Anda di halaman 1dari 100

BIODATA PENULIS

Nama saya Aurel Valerine Mombilia. Lahir di kota


Jakarta pada tanggal 13 Juli 2004. Sekarang, saya tinggal di
kota Bekasi. Tepatnya di Pondok Ungu Permai, Kecamatan
Babelan.
Saya tengah menempuh Jurusan IPS di SMA Negeri 5 Jakarta
kelas 12 IPS 2.
Adapun pendidikan formal yang pernah saya tempuh yaitu
lulusan tahun 2016 dari SD Strada Van Lith 1, Gunung Sahari,
Jakarta Pusat dan tahun 2019 saya lulus sekolah dari SMP
Santo Yoseph Metland Menteng, Jakarta Timur.
Kalian bisa mengunjungi sosial media saya di Instagram
@aurelvalerine atau menghubungi email saya di
charlinvalerine@gmail.com. Terimakasih 😊
BEGIN

“Tunggu, siapa kamu? “ tanya Valda


“Lalu dimana aku? “

“DORRR!”

Jakarta, 16 Juni 2019


Valda secepat mungkin membuka kedua matanya tetapi cara dia bernafas masih
terenga-engah karena ia merasa mimpinya seperti kisah nyata. Dia melirik jam dinding
menunjukkan pukul 02.30 WIB. Mimpi itu selalu saja datang belakangan ini lantas
menghantui dirinya di setiap malam hari. Akhirnya ia melanjutkan tidurnya kembali
mengingat bahwa esok hari Valda akan pergi ke suatu museum di kotanya untuk study tour.

*********
Valda sudah tiba di sebuah Museum, saat itu cuaca dingin tidak seperti biasanya. Sehingga
dirinya memutuskan untuk menggunakan blazer tebal dengan rok panjang. Anehnya, di
musem tersebut Valda tidak melihat adanya pengunjung satupun termasuk teman-temannya.
Museum memang bukan tempat yang disukai oleh kaum milenial sekarang. Tidak heran jika
pengunjung di Museum itu sedikit.

“Drrttt..Tring~~” dering ponsel Valda.


Valda segera mengangkat panggilan dari ponselnya dan itu ternyata Divya, sahabat Valda.
“Hallo?Valda.”
“Kamu dimana? Aku udah sampai di Museum dari tadi sesuai dengan pembicaraan
kita kemarin.”
“Astaga Valda, aku lupa mengabarimu. Sebenarnya kami membatalkan study tour
hari ini. Namun, pengganti harinya menjadi besok.”
“Apa??! Gila ya kamu.” Raut wajah Valda berubah masam.
“Aku minta maaf Valda.”

Valda segera mematikan panggilan dari sahabatnya itu, ia begitu kesal dan berpikir untuk apa
merepotkan dirinya dengan datang ke Museum apabila Valda dan lainnya membatalkan janji
untuk datang padahal Valda sedang dikejar-kejar oleh tugas lain yang deadline-nya sudah
menumpuk. Sambil mencari jalan menuju pintu keluar dari Museum, di koridor ia sambil
melihat lukisan serta patung pahlawan, suasana kehidupan zaman dahulu disaat penjajah
masih menetap di Indonesia pasti masih banyak tragedi pertumpahan darah.
Saat Valda berjalan menuju ruangan yang lain, dia tidak sengaja menginjak sebuah jam saku
dengan huruf romawi yang bentuknya seperti barang pajangan Museum. Ia berpikir untuk
segera mengembalikannya kepada petugas Museum sebelum dia dituduh pencuri oleh
petugas Museum. Tetapi belum sempat dia mengembalikannya, jarum jam tersebut berputar
dengan arah yang cepat sekali bahkan ia merasakan dunia uga ikut berputar sehingga Valda
menutup mata.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Valda mulai membuka mata dan melihat semua di
depannya sudah berubah, bahkan Valda tidak berada di Museum lagi tetapi di hutan rimba
yang bahkan tidak ada satupun manusia. Ia mencoba menyusuri hutan untuk meminta
bantuan. Tetapi hasilnya nihil dan ia sekarang merasa terjebak. Dan tanpa disadari bahwa
Velda mulai menangis, dia tidak pernah merasa takut seperti ini hingga ia sadar bahwa ada
tangan yang memegang pundaknya. Dia terkejut dan hampir berteriak. Tetapi tangan itu
segera menutup mulut Velda dan Velda langsung mencoba untuk melepasnya.
“Siapa kau? Dan dimana aku?” suara Velda sangat dan rasa panik menyerangnya, ia
terlihat sangat kebingungan. Pria asing ini menggunakan pakaian khas kolonial Belanda dan
lengkap dengan senapan laras panjang pada jamannya.
“Katakan dimana aku?! Cepat katakan sekarang juga!!” Valda berjalan mundur dan
berteriak seolah dirinya akan dimangsa harimau dan semakin lama penglihatannya kabur dan
segala tampak begitu gelap.

***********
Valda mulai tersadar dan mencoba untuk membuka mata perlahan. Dengan suara
yang samar ia mendengar seseorang berbicara menggunakan bahasa asing, kini dia bukan lagi
berada di hutan melainkan berada dalam ruangan bercat putih bergaya khas Eropa.
“ben je wakker?” suara pria asing yang ditunjukkan kepadanya.
Ia merasa nyeri pada bagian kepala dan dia melihat semuanya terasa berputar-putar seperti
roda. Pria asing itu pun mengambilkan air untuk Valda dan tanpa basa-basi Valda
melepaskan dahaganya.
Valda hanya terdiam saja. Perasaannya terasa kalut sekarang, karena dibenaknya masih
banyak hal yang tidak dipahaminya.
“Maaf, bisa kau memberi tahu diriku dimana aku sekarang?” tanya Valda dengan
suara begitu lemah dan berharap semoga pria asing itu mengerti apa yang ditanyakan Valda.
“kini kau berada di Batavia”, jawabnya.
Valda tertegun mendengar jawaban dari pria asing itu dan dia semakin panik karena tidak
mengerti apapun dengan yang pria asing katakan. Dirinya mencoba berlari keluar ruangan
menuju halaman. Ia melihat bangunan bercat putih dengan arsitektur seperti di Kota Tua.
Disana dia hanya melihat seorang wanita tua dengan menggunakan kebaya putih lalu
tersenyum kepadanya. Pria asing itu menghampirinya dan memeluknya.
“Tahun berapa ini?! Dan apa ini Hindia Belanda? Katakan!” Valda kembali berteriak
dan menutup telinganya dengan panik.
“Tahun 1941, ya kau benar ini di Hindia Belanda. Tepatnya di Batavia. Ada apa?”
tanya pria itu.
“Aku pasti sudah mati” gumam Valda.
“Kau masih hidup dan belum mati. Aku yang membawamu kesini” pria itu terheran
mendengar ucapan Valda.
Valda semakin terkejut lalu ia mencoba melepaskan pelukannya dengan meronta-ronta,
namun hasilnya percuma saja. Pria asing itu begitu erat memeluk Valda lalu membawa Valda
menuju kamarnya.
“Tinggalkan aku sendirian!” ujar Valda. Ia menangis seolah tidak percaya akan
semuanya. Kemudian pria asing itu hanya terdiam dan meninggalkan Valda sesuai dengan
keinginannya.

Valda masih tidak mempercayai bahwa ia pergi melintas masa lalu. Dirinya berpikir betapa
bodohnya ia. Seharusnya dia tidak mengambil jam saku itu dan tetap membiarkannya
tergeletak di lantai. Namun semuanya telah terjadi, tidak ada yang bisa diulang. Valda
memperhatikan pakaiannya yang telah berganti menjadi kebaya berwarna putih polos. Ia
masih terkejut akan dirinya yang terjebak di masa kolonial Belanda dan sekarang bahkan ia
berdiam diri tinggal di rumah salah satu prajurit Belanda. Ia menangis sejadi-jadinya sambil
menutup mata.Valda berpikir mungkin dengan cara itu dia dapat kembali ke tempat dimana
dia seharusnya berada sekarang.

**********
“Tok tok” ketukan pintu terdengar.
Seseorang telah mengetuk pintu kamarnya lalu membukanya secara perlahan. Dilihatnya oleh
Valda ternyata si pria asing itu membawakan dia nampan yang berisi sepiring nasi dan
semangkuk sup ayam.
“ini sudah larut malam dan kau belum makan apapun? Aku khawatir kau akan sakit”
ujarnya. Valda tidak mengatakan sepatah kata padanya. Pria asing itu mencoba duduk
disamping Valda. Hal itu membuat Valda sedikit gelisah dan jantungnya berdegup kencang.
“Dengarlah, tidak perlu kau takut kepadaku” ujarnya. Sepertinya ia tahu bahwa Valda
sangat ketakutan.
“Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Kau harus makan karena kau ada di
rumahku. Kau adalah tanggung jawabku sekarang”. Dirinya kemudian mengambil sendok
dan mulai menyuapi Valda. Awalnya Valda menolak namun ia sangat lapar sehingga mau tak
mau dirinya harus menerima suapan dari pria asing itu.
“Kau tidak akan membunuhku atau menjadikan diriku gundikmu bukan?” tanya
Valda dengan nada yang datar dan tatapan kosong.
“Apa maksudmu?” Pria asing itu tampak keheranan mendengar pertanyaan yang
dilontarkan oleh Valda.

“Uhuk-Uhuk”
Melihat Valda tersedak, pria asing itu dengan sergap memberikan air kepada Valda. Ia mulai
tersenyum pada Valda dan meletakkan piring di meja.
“Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan apapun yang menyakitimu “ jawabnya.
“Dengarlah sekarang, mungkin aku tidak tahu siapa dirimu dan darimana kau berasal
tapi aku mohon padamu tetaplah hidup baik” ujarnya pada Valda.
Setelah Valda menyudahi makan malamnya, pria itu segera menyuruhnya untuk tidur.
“Sekarang kau harus segera tidur. Selamat malam.” Lalu dirinya pergi dan membawa
piring bekas makanan. Kemudian Valda mencoba menutup matanya dengan berharap yang
sama bahwa ia bisa pergi dari sini setelah ia bangun.

**********
2

Cahaya matahari mulai menyeruak masuk ke dalam kamar menandakan sang surya
telah terbit. Harapannya sudah pupus, bahkan ia masih berada di tempat itu. Perlahan Valda
mulai beranjak dari ranjang lalu keluar kamarnya. Rumah yang cukup luas dan memberikan
kesan elegan pada jamannya. Namun, rumah itu sangat sepi mengingat hanya pria londo
tersebut yang tinggal sendirian.
“Goedemorgen”
Valda terkejut. Pria asing itu mendadak di dekatnya dan tersenyum menyapa dirinya.
Jantungnya terasa berdegup mengingat apa yang ia ucapkan kemarin malam.
“Ayo makan” ujarnya. Ia membawa Valda ke meja makan lalu menyiapkan roti dan
telur.
“Kau tidak suka ya?” tanya dirinya.
“A-aku menyukainya” jawab Valda agak sedikit gugup.
“Harii ini aku akan pergi ke kantor” ujarnya. Valda memperhatikan dirinya yang
sudah lengkap menggunakan seragam tentara.
“Aku akan kembali nanti. Jangan takut.” ujarnya. Kemudian ia pergi membawa mobil
tempo dulunya.

Valda menghabiskan roti serta telur yang disediakan. Tidak berapa lama kemudian datanglah
seorang wanita paruh baya yang ia lihat kemarin sambil membawakan keranjang yang berisi
sayuran.
“Non, bagaimana? apakah sudah membaik?” tanya wanita itu.
“Iya sudah” jawab Valda.
“Jika diperkenankan, boleh mbok tahu nama non siapa?”
“Namaku Valda” jawab Valda dengan tersenyum.
“Non cantik sekali. Beruntung sekali non ditolong oleh tuan muda” ujarnya.
“Siapa tuan muda yang dimaksud?” Valda mengerutkan alisnya.
“Tentu saja pria londo yang tinggal disini. Namanya Tuan Alderts”
“Memangnya kenapa?aku tidak mengerti maksudnya” tanya Valda.
“Apakah nona tahu jika jarang sekali ada wong londo yang baik dan penuh perhatian
bahkan tuan muda tidak pernah memiliki seorang nyai” jawabnya.
“Nyai? Wanita simpanan tanpa ikatan pernikahan?” tanya Valda.
“Benar sekali, orang seperti tuan muda sangat langka” jawab mbok Juminten.

Valda pernah mendengar bahwa seorang nyai terkadang merelakan dirinya untuk menjadi
simpanan untuk menghasilkan uang walaupun terpaksa. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa
sebagian dari mereka juga dengan senang hati menjadi nyai. Melihat udara yang berhembus
dari arah perkarangan membuat Valda ingin menenangkan diri.
“Mbok, apakah tidak keberatan aku melihat sekeliling diluar sebentar?” Ujar Valda.
“Tentu saja tidak keberatan. Silahkan, non.”

Valda pergi melihat perkarangan rumah yang tampak sejuk untuk dipandang karena
banyak sekali bunga yang membuatnya terlihat sangat indah, ini sangat nyata. Masa dimana
bangsanya belum merdeka dan masih dijajah oleh kolonial Belanda bahkan sebaik apapun
pria asing itu tetap saja dirinya adalah penjajah negerinya, ia harus tetap waspada kepada pria
tersebut.
Namanya Valda Eilien Delila, seorang mahasiswa jurusan ilmu sejarah di salah satu
Universitas di Ibukota Jakarta dengan rambut hitam lebat dan wajah khas gadis Jawa serta
mata yang bersinar membuatnya digandrungi kaum lelaki dan kini dia berada di masa
kolonial, tinggal bersama pria berdarah asing.
Valda menghembuskan nafas secara perlahan dan mencoba membuat dirinya setenang
mungkin. Ia biarkan sang fajar menghangatkan tubuhnya dengan sinarnya.

Sempat terbesit dipikirannya bagaimana keadaan di masa sekarang, apakah Divya


sahabatnya tahu bahwa dirinya menghilang? Dan bagaimana nanti dengan tugas kuliah yang
menumpuk?
“Sudahlah diam, Valda. Kau masih saja memikirkan tugasmu sedangkan kau saja masih
terjebak di masa lalu sekarang” batinnya.

*******
Sore hari itu bahkan Valda masih saja di taman bunga sambil menikmati cahaya fajar
yang mulai berwarna jingga menandakan bahwa hari sudah mulai petang.
“Kau sudah terlalu lama sekali disini”. Valda menoleh ke asal suara tersebut dan pria
asing itu berdiri tepat di belakangnya.
“Namaku Danique Van Alderts” ia menjulurkan tangannya pada Valda. Awalnya Valda diam
saja dan ragu untuk menjabat tangannya. Namun, sangat tidak sopan apabila
mengabaikannya.
“Namaku Valda Eilien Delila” jawabnya pada Alderts
“Namamu indah seperti sebuah bunga dahlia” ujar Alderts.
“Kau tahu bunga itu?” tanya Valda
“Tentu saja. Kenapa tidak? Kau pikir londo sepertiku tidak tahu? Jawab Alderts sambil
terkekeh.
Valda hanya tertunduk dan tidak menatap Alderts.
“Apa saja yang kau lakukan sepanjang hari ini?” tanya Alderts
“Aku hanya melihat-lihat taman bunga saja” jawab Valda.
“Jika aku memiliki waktu senggang, aku akan mengajakmu berkeliling Batavia” ujar Alderts.
“Kenapa?” tanya Valda.
“Karena sepertinya kau bukan dari sini” jawab Alderts. Valda mengerutkan dahinya dan
berpikir apa Alderts tahu bahwa dirinya bukan dari masa ini. Begitu pikirnya.
“Maksudku adalah aku yakin bahwa kau orang dari luar Batavia” ujar Alderts.

Ternyata anggapan Valda salah karena tidak mungkin pria londo tersebut tahu bahwa
dirinya dari masa depan. Valda dan Alderts pun masuk ke dalam rumah karena hari makin
gelap. Alderts mulai menyalakan lampu untuk menerangi ruangan dan menyiapkan makan
malam.
“Apa kau tidak merasa berlebihan kepadaku?” tanya Valda.
“Apa maksudmu?” Alderts tampak bingung dengan pertanyaan Valda
“Seorang prajurit Belanda yang baik pada pribumi sepertiku, aku berpikir sudah
berapa banyak yang kau bantai dari kaumku?” entah apa yang dipikirkan Valda saat itu.
Dirinya merasa begitu lancang pada Alderts.
“Apa kau sadar akan hal itu?” lanjutnya. Alderts berjalan mendekati Valda tanpa
ekspresi apapun. Dirasakan tubuhnya mulai gemetar. Ia terlihat begitu ketakutan dan
membuatnya berpikir bahwa Alderts akan membunuh dirinya karena kelancangannya dalam
berbicara. Kini Alderts berdiri di depan hadapannya dan memegang dagu Valda.
“ Ucapanmu itu sama sekali tidak pernah aku dengar dari wanita pribumi lain”ujar
Alderts.
Selama mereka makan malam, tidak ada satupun kata yang terlontar dari bibir Alderts
maupun Valda. Valda yang merasa bersalah pada Alderts hanya bisa menelan salivanya.
Hingga pada malam harinya, Valda yang merasa sangat bersalah memutuskan untuk pergi
dari rumah pria tersebut meski dirinya tidak memiliki arah tujuan kemana. Dirinya kabur
melalui jendela dengan sangat hati-hati tanpa sepengetahuan Alderts dan melompat melalui
pagar.

Kini, Valda sudah keluar dari rumah Alderts. Namun, ia tidak tahu akan pergi
kemana. Hari itu pun sudah malam sekali. Suasana sangat gelap tanpa penerangan pada jalan
setapak yang dilewatinya. Ia sangat takut apabila para tentara Belanda lainnya menculik
dirinya. Dan benar saja di tengah perjalanan, Valda bertemu dengan para tentara Belanda
yang sepertinya terlihat sedang mabuk. Saat itulah salah satu dari mereka mulai
memperhatikan Valda.
“Hey, Inlander. Ayo bersenang-senang dengan kami”ujar salah satu diantara mereka.
Kemudian mereka menarik paksa tangan Valda dan mulai merobek kebaya berwarna putih
yang dirinya kenakan. Pada saat itu tidak ada siapapun kecuali mereka.
“Gadis yang cantik sekali” mereka terkekeh tanpa rasa peduli.

Terlihat raut wajah bajingan dari mereka. Valda teringat bahwa dirinya pernah
mengikuti bela diri di sekolahnya. Lalu, ia berpikir untuk mencoba menggunakannya. Dirinya
menendang tulang kering pada salah satu tentara dan menggigit lengannya walaupun hasilnya
tidak begitu memuaskan karena tubuh mereka besar dan jumlah mereka yang lebih banyak.
Meskipun demikian, berhasil membuat Valda kabur dari para tentara itu. Kini ia berlari
dengan sekuat tenaga dari kejaran mereka dengan kebaya yang sudah lusuh. Dirinya berlari
tanpa menggunakan alas kaki sehingga membuat kakinya terluka. Valda melihat sebuah
sungai yang tidak terlalu dalam lalu melompat dan bersembunyi dibawah jembatan kecil.
Para tentara itu sepertinya terlihat bingung mencari Valda diatas jembatan.
“Stom meisje!” (Gadis bodoh!), ujar salah satu tentara Belanda.

Valda mengendap-endap untuk memastikan bahwa mereka telah pergi dan perlahan mulai
menepi. Hawa dingin mulai masuk ke dalam tubuh Valda yang basah akibat terjun ke sungai
dan pakaiannya yang robek. Rasa sakit pada kakinya akibat terkena duri membuat Valda
merintih kesakitan. Ia menyesal karena telah kabur dari rumah Alderts. Namun, ia juga
berpikir bahwa Alderts juga tidak akan memaafkan dirinya akibat kelancangan berbicara. Ia
mulai menuju tepi sungai dan berjalan tertatih-tatih menuju perkampungan pribumi. Sedikit
demi sedikit pandangannya semakin gelap dan ia jatuh tersungkur di depan rumah salah satu
penduduk.

*******
3

Pagi itu Alderts bangun tepat pukul 07.00 dan bersiap-siap akan pergi ke Barat. Ia
sedikit merasa bersalah karena sudah bersikap dingin pada Valda kemarin malam dan berniat
untuk meminta maaf. Setelah itu, Alderts lantas langsung menuju ke kamar Valda. Betapa
terkejut dirinya ketika ia membuka pintu kamar Valda, dirinya tidak melihat gadis itu.
Alderts mencari keberadaan Valda hingga berkeliling pada area perumahan. Namun, tetap
saja gadis itu tidak ditemukan.
“Valda? Waar ben je??” (Valda? Dimana kamu?)
Alderts terlihat begitu panik mencari keberadaan Valda yang ia tidak ketahui sama sekali.
Bahkan ia begitu terlihat kesal atas perlakuannya kemarin.
“Kau sangat bodoh, Alderts” Gumamnya sambil menutup pintu kencang,
Ditengah perjalanan Alderts dalam mencari Valda, mbok Juminten datang dengan tergopoh-
gopoh untuk memberitahu keberadaan Valda dan wanita paruh baya tersebut segera
mengajak majikannya untuk menemui Valda.

********
Dengan perlahan, matanya mulai terbuka. Valda mulai sadar dan kini ia berada di
dalam gubuk milik seorang pribumi. Disamping itu juga terlihat yang mana seorang gadis
berusia lebih muda darinya membawakan teh untuknya. Kepalanya masih terasa sedikit
berkunang-kunang ketika terbangun.
“Kau sudah sadar?ini minumlah agar kau cepat pulih” ujar gadis itu sambil tersenyum.
“Jika aku boleh bertanya, bisakah kau beritahu dimana aku sekarang? tanya Valda.
“Di gubuk kecil kaum pribumi tentunya. Kau lupa ya? Kemarin malam kau pingsan lalu jatuh
tersungkur dengan pakaian yang sudah basah kuyup dan robek. Lalu kakimu juga terluka”
jawab gadis itu.
Valda hanya diam sambil menyeruput tehnya, ia masih trauma ketika mengingat kejadian
kemarin. Itu adalah pengalaman pertama dalam hidupnya yang sangat menakutkan baginya.
Untung saja dirinya dapat bersembunyi menghindari orang-orang tersebut. Jika tidak dapat
lolos, kemungkinan besar ia akan mati mengenaskan di masa ini.
Disaat yang bersamaan, datanglah pria londo tersebut beserta mbok Juminten. Ia terlihat
heran darimana Alderts tahu akan keberadaannya bahwa ia disini.
“Non, sudah sadar?ini rumah mbok Juminten. Tadi mbok memberitahu ke tuan muda tentang
keberadaan non”ujar mbok Juminten memberi tatapan yang khawatir.

Saat Alderts melihat Valda, Alderts langsung terlihat syok dan memeluk Valda
dengan erat. Valda sedikit gugup, lantai mulai menangis tersedu-sedu. Kaki dan tangannya
begitu gemetar ketika dalam pelukan Alderts.
“Apa yang terjadi, Valda?kenapa kau bisa seperti ini?” tanya Alderts dengan lembut.
“Maafkan aku atas kelancanganku, Alderts” jawab Valda yang masih menangis.
“Kau tidak salah, Valda. Justru aku yang harus yang meminta maaf” ujar Alderts.
“Aku kabur dari rumah kemarin malam karena aku takut kau marah dan tidak memaafkan
diriku. Kemudian di tengah perjalanan…” Valda menangis kencang.
“Teruskan, Valda” ujar Alderts.
“Di perjalanan, beberapa tentara melihatku. Lalu, mereka mulai menarikku paksa dan
merobek pakaianku. Lalu aku berhasil kabur dan terjun ke sungai dengan kaki yang terluka.”
Valda saat itu terus menangis dan Alderts memeluknya kembali dengan erat seolah mereka
sudah lama saling mengenal.
“Aku selalu ada untukmu, Valda. Jangan menangis aku mohon. Jangan pergi lagi seperti itu,
Valda” ujar Alderts mencoba menenangkan Valda.
Perlahan-lahan tangis Valda mulai berhenti walaupun bulir air mata masih mengalir di
pipinya. Alderts mengusap pipi Valda dan Valda sedikit merasa tenang meski masih
dibayangi oleh kejadian buruk kemarin.
“Ayo Valda, kita pulang” Alderts mengajak Valda pulang. Namun ia menolak dengan alasan
tidak ingin merepotkan Alderts.
“Non Valda lebih baik ikut pulang saja, kasihan tuan muda” ujar mbok Juminten.
Valda hanya diam setelah menatap mbok Juminten.
“Non tahu tidak? tuan muda begitu panik sekali mencari non Valda. Untungnya mbok datang
menemukan Non Valda.” Ujar mbok Juminten.
Valda kemudian berpikir apabila dirinya tinggal disini pastilah hanya menyusahkan mbok
Juminten dan putrinya. Kemudian ia menyetujui ajakan Alderts untuk membawanya kembali.
Alderts menggendong Valda dan membawanya masuk menaiki kereta. Di dalam perjalanan,
Alderts hanya diam tanpa berani mengajaknya berbicara. Alderts membiarkan Valda untuk
menenangkan diri.
**********
Sekembalinya menjemput Valda, Alderts menuntun Valda dengan membawanya ke
kamar dengan hati-hati.
“Valda, apakah kau sudah makan?” tanya Alderts. Valda hanya menggelengkan kepala. Lalu,
Alderts segera pergi ke dapur dan membuatkan sup untuknya.
Setelah kejadian tersebut, Valda berpikir bahwa untuk pergi ke dunia luar sangatlah sulit
apalagi harus kembali ke masanya ia seharusnya berada. Ia berpikir sebaiknya ia tidak
memikirkan itu terlebih dahulu dan memikirkan kesembuhannya. Lagipula, disini ada Alderts
yang sangat peduli kepadanya.
“Makanlah sup ini selagi masih hangat” ujar Alderts. Alderts menyuapi Valda. Tatapan
Alderts kepada gadis pribumi tersebut sangat dalam. Dirinya melihat kesedihan yang
dirasakan Valda dan berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menjaganya.

Alderts memanggil dokter untuk mengobati luka Valda. Hari itu Valda tidak banyak
berbicara seperti kemarin dan lebih banyak diam. Alderts khawatir bahwa Valda mengalami
trauma pasca kejadian tersebut.
“Tahan, ini akan sedikit sakit” ujar dokter. Valda merintih kesakitan akibat luka yang
dialaminya.
“Aku sudah selesai membersihkan lukanya” ujar dokter sambil membalut kakinya dengan
perban. Dokter memberikan obat untuk Valda sebagai pereda nyeri. Kemudian, ia lanatas
pergi meninggalkan Valda yang langsung berbaring pada ranjangnya.
“Kau harus minum obatnya dengan rutin untuk kesembuhanmu.” Alderts berjanji pada Valda
akan membawanya keliling Batavia setelah kesembuhannya.
“Istirahatlah, Valda. Sebentar lagi mbok Juminten akan datang. Aku akan pergi dahulu” ujar
Alderts.
Sebelum pergi, Alderts menyelimuti Valda lalu mengecup dahinya. Jantung Valda mulai
berdegup kembali dan merasakan ada benih cinta yang timbul padanya.

*********
4

“Apa kabar, Alderts?” tanya Mogens.


“Aku baik, Gens” jawab Alderts.
“Aku mengundangmu ke pesta ulang tahun istriku. Datanglah”
“Aku pasti akan datang, Gens” jawab Alderts.
“Kalau perlu, ajaklah kekasihmu.” Ujar Mogens terkekeh. Mengingat Alderts adalah pria
yang tidak pernah memiliki nyai seperti sebagian kaum Belanda lainnya. Sudah berapa kali
Mogens mengenalkan Alderts pada Noni Belanda namun hasilnya nihil. Alderts sangat
misterius dan di hidupnya sama sekali tidak terpikir tentang wanita. Namun tidak untuk
sekarang. Sejak dirinya bertemu dengan Valda, ia merasakan ada sesuatu yang tumbuh di
dalam hatinya. Ia membayangkan senyuman Valda yang manis dengan kulit kuning langsat
dan wajah khas pribumi menambah pesonanya.
“Alderts? Kau melamun?” Tanya Mogens yang membuyarkan lamunannya.
“Umm, sebenarnya tidak” jawab Alderts sedikit terbata-bata.
“Perwiraku tidak sedang jatuh cinta, bukan?” tanya Mogens
“Sudahlah, Gens” jawab Alderts sambil tersenyum dan pergi meninggalkan temannya.

**********
“Hati-hati, non” ujar mbok Juminten.
Hari ini Valda ingin menikmati suasana di taman. Tentu saja ia tidak mau pergi terlalu jauh
lagi dan hanya disinilah tempat yang dirinya rasa aman. Valda menutup mata dan menarik
nafas secara perlahan. Ia menikmati setiap udara yang dirinya hirup. Sebenarnya Valda
berpikir tidak terlalu buruk untuk tinggal disini.
“Disini kau rupanya.” Alderts datang membawakan Valda bunga mawar. Valda tersenyum
lalu mengucapkan terimakasih kepada Alderts.
“Aku suka melihatmu tersenyum” ujar Alderts padanya.
“Malam ini aku akan pergi ke pesta temanku. Kau sebaiknya beristirahat saja”
“Bisa aku ikut?” tanya Valda.
“Bagaimana dengan kakimu? Kau harus istirahat” Alderts terlihat khawatir akan keadaan
Valda. Namun, Valda tetap saja keras kepala.
“Aku merasa bosan disini” pinta Valda.
“Baiklah, tapi berjanjilah kau akan beristirahat setelah itu” ujar Alderts.
Valda tersenyum sambil mengangguk pada Alderts.

********
Malam itu Valda mengenakan kebaya sutra berwarna merah muda dan selendang.
Lalu rambutnya terkepang rapi seperti putri keraton.
“Tidakkah diriku menjadi bahan gunjingan disana?” tanya Valda yang sudah berada di depan
gedung acara.
“Jangan khawatirkan itu.” Ujar Alderts. Ia membawa Valda masuk ke dalam, Disana sudah
berkumpul kaum bangsawan Belanda maupun pribumi. Untuk pria, mengenakan setelan jas
seperti yang dipakai oleh Alderts dan para wanitanya menggunakan gaun dengan kerah
berbalut renda. Mereka semua kini menatap Valda dan Alderts, bahkan sebagian terlihat
berbisik seolah sedang mengolok-olok Valda. Timbul perasaan takut pada dirinya Valda dan
kini dirinya berpikir seharusnya ia tidak ikut datang.
“Mereka pikir pasti aku adalah seorang nyai” gumam Valda.

Mogens datang bersama istrinya dan sedikit terkejut melihat Valda. Mereka tersenyum pada
Valda seolah menyambutnya.
“Katakan padaku, siapa dia?” tanya Mogens.
“Ini adalah temanku. Namanya Valda” jawab Alderts.
“Senang berkenalan denganmu” jawab Valda.
“Aku juga, Valda. Nikmati pestanya” ujar Mogens tersenyum.
“Alderts, bisa bicara sebentar?”. Mogens membawa Alderts menjauhi kerumunan. Valda
hanya bisa terdiam dan tidak ingin mengganggu mereka.
“Apa dia seorang nyai?” tanya Mogens.
“Apa maksudmu? Tentu saja tidak” jawab Alderts.
“Jangan berbohong, kawanku. Pantas saja kau menolak saat aku memperkenalkan dirimu
pada noni Belanda” Ujar Mogens sambil menepuk Pundak Alderts.
“Terserah kau saja. Tapi kami hanya berteman” balas Alderts yang mulai sedikit geram.
Disini Valda terlihat seperti ayam yang kehilangan induknya. Valda melihat
sekelilingnya dan semua terlihat gemerlap seperti klub malam di Jakarta. Banyak para
bangsawan yang sedang berbincang-bincang. Kini, ia berpikir sebaiknya dirinya mencari
Alderts. Namun, naas saat Valda melangkah tanpa sengaja menabrak seorang wanita Belanda
yang membawa minuman.
“Sampah! Apa kau bisa melihat?” wanita itu sangat marah dan menarik perhatian orang
sekitar.
“Maafkan aku, Nona. Aku benar-benar tidak sengaja” Ujar Valda yang ketakutan.
“Dasar Inlander rendahan!”
Valda sangat terkejut dengan ucapannya. Walau begitu, ia tidak bisa tinggal diam saja.
“Siapa yang kau maksud sampah? Kau sendiri yang tinggal dan mencari makan di negeriku
bahkan kau lebih dari sampah!” ucap Valda tidak kalah meninggi dan ia pun pergi dari
gedung itu.

Air mata mengalir deras bahkan tidak ada siapapun yang peduli padanya.
“Nona, jangan menangis” seorang pria londo memberikan sapu tangan kepadanya. Valda
mengambil sapu tangan itu dan mengusap pada pipinya. Alderts yang melihat ada
kerumunan, langsung mendatanginya.
“Dasarr wanita pribumi sinting!” Wanita Belanda itu masih terus saja memaki Valda
sehingga Alderts tahu siapa yang dimaksud wanita itu.
Alderts berlari mencari Valda keluar dan didapatinya Valda sedang menangis ditemani pria
asing.
“Valda, apa yang terjadi?” Alderts memegang kedua bahu Valda.
“Di..ia menghinaku” Ujar Valda sambil menangis.
“Tuan, apa kau melihat kerumunan orang tadi?” tanya pria asing.
“Apa? Katakan.” Alderts terlihat kebingungan.
“Sebenarnya ia terlibat pertengkaran dengan wanita Belanda itu” ujarnya. Lantas Alderts
memeluk Valda dan mengusap kepalanya.
“Maafkan aku, seharusnya aku tidak ikut denganmu.” Ujar Valda pada Alderts.
“Sssshh” Alderts meletakkan jari telunjuknya pada Valda.
“Aku ingin pulang” ujar Valda.
“Tapi, berhentilah menangis sekarang” Alderts menghapus air mata Valda.
Pria asing itu terlihat keheranan melihat mereka berdua sampai terdiam sesaat. Ia merasa
pertama kalinya melihat pria dari bangsanya dengan wanita pribumi yang terlihat seperti
sepasang kekasih.

********
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dan tidak melanjutkan pesta.
“Malam ini kau harus segera tidur” Ujar Alderts. Valda hanya menganggunk tanda setuju. Ia
membawa Valda ke ranjangnya dan menyelimutinya.
“Goede Nacht” (Selamat malam)
Alderts menutup pintu kamar Valda dengan perlahan. Ia menarik nafas secara perlahan dan
merasa bersedih denga napa yang dialami Valda. Tidak lama kemudian, terbesit di pikirannya
untuk memberikan janjinya kepada Valda.

********

Dua minggu berlalu sudah sejak Valda berada disini. Sejak kejadian di pesta, ia
merasakan perasaan yang asing baginya. Disaat dirinya berpikir, ia terlihat serius sehingga
melihat bahwa Alderts memperhatikan dirinya sedari tadi.
“Halo nona” Alderts melambaikan tangannya di hadapan Valda. Valda terkejut dan membuat
mimik wajah yang lucu sehingga membuat Alderts tertawa.
“Jangan begitu, aku terkejut” Valda tampak sebal.
“Itu tadi lucu sekali” Alderts tertawa terbahak-bahak.
“Untuk seukuran tentara, kau sangat berbeda” Celetuk Valda.
Alderts mengerutkan alisnya lalu mendekatkan wajahnya pada Valda. Kini Valda yang gugup
merasakan panas pada pipinya dan jantungnya berdegup kencang.
“Katakan, apa yang membuatku berbeda?” tanya Alderts.
“Sebelum aku memberikan jawaban, mundurlah lima sentimeter dariku” jawab Valda.
Alderts hanya tersenyum melihat reaksi Valda.
“Aku tidak tahu, intinya kau berbeda.” Ujar Valda.
“Baiklah nona Valda. Ngomong-ngomong hari ini ada waktu sedang senggang. Bisa kau
temani aku berkeliling?” Tanya Alderts.
“Tentu saja” mata Valda berbinar-binar lalu melompat kegirangan.
“Hati-hati, kau baru sembuh” Ujar Alderts.
“Kau wanita pribumi yang aneh.” Celetuk Alderts.
“Dan kau tentara Belanda yang naif” balas Valda.

*******
Mulanya mereka pergi ke pertokoan di daerah Batavia. Disana dirinya melihat toko
pakaian, bahkan kios makanan berjejer dengan rapi. Ada satu hal yang menarik perhatian
Valda yaitu pria tua yang berjualan buah keliling dengan anak kecil yang mungkin cucunya.
Valda yang merasa iba pun datang menghampiri mereka untuk sekedar membeli beberapa
buah.
“Saya ambil buah manga dan jeruknya.” Ujar Valda sambil tersenyum.
Alderts hanya memperhatikan Valda dari kejauhan. Walaupun dirinya adalah kaum Belanda
yang terkadang bersifat arogan, namun melihat pemandangan ini ia berpikir bagaimana bisa
negaranya sendiri berperilaku buruk dengan para pribumi.
“Hey, kenapa melamun? Aku sudah selesai.” Ujar Valda.
“Ikutlah denganku” Alderts menarik tangan Valda.

***********
“Wah ini indah sekali.”
Valda belum pernah melihat Ancol yang masih bersih, bahkan dirinya merasa pangling. Di
zamannya, ia hanya bisa melihat pantai bahkan sungai yang sudah tertutup polusi. Jakarta
bukanlah Batavia seperti dahulu.
Valda menapakkan kakinya di tepi pantai dan berjalan sebari menikmati deburan ombak
pantai serta suara angin di sekitarnya. Mereka mencari tempat yang teduh untuk berbincang
sembari menikmati waktu sang fajar tenggelam.

Dikala menikmati suasana, Alderts memikirkan ucapan sahabatnya, Mogens tentang


Valda. Dirinya bahkan tidak menyangka sahabatnya bisa berkata seperti kaumnya yang lain.
“Hari ini akan menjadi kenangan yang indah.” Ujar Valda lalu menatap Alderts. Kini mereka
saling memandang dengan mata yang bersinar dan mulai terukir sudah kisah sepasang
manusia yang saling jatuh cinta. Alderts yang memiliki mata berwarna biru secerah langit dan
rambutnya yang pirang menambah kesan elok rupanya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa
Valda mulai terpesona pada Alderts. Begitu pula dengan Alderts yang terpesona dengan
Valda.

“Valda, lihatlah. Fajar yang sudah mulai tenggelam disana.” Telujuk Alderts mengadahkan
ke arah matahari terbenam.
“Ada apa Alderts?” tanya Valda.
“Aku teringat sewaktu kecil. Ayah dan ibuku mengajak diriku ke pantai saat di Netherland”
begitu bahagianya Alderts bercerita hingga dirinya tidak sadar air matanya jatuh.
“Kau menangis? Ada apa?” Valda khawatir pada Alderts.
“Aku selalu begini, Valda. Terkadang aku merindukan ibu dan ayah serta tanah kelahiranku.”
Ujar Alderts.
Valda merasakan bahwa Alderts sangatlah kesepian. Ia mencoba menenangkan Alderts
dengan merangkulnya. Perlahan-lahan matahari mulai tenggelam bagai di telan bumi. Valda
dan Alderts memutuskan kembali untuk pulang.
“Sial aku lapar.” Gumam Valda
“Kau mengatakan sesuatu?” Tanya Alderts.
“Ah, tidak.” jawab Valda tersenyum walau sebenarnya cacing di perutnya sudah mulai
berteriak.
“Apa kau lapar?” pertanyaan dari Alderts seolah menjadi penolongnya untuk mengisi
kekosongan di perut.
“Iya, sangat lapar. Aku ingin makan sate diujung sana.” Valda menunjuk dagang sate
keliling. Mereka pun memesan dua puluh tusuk sate dengan lontong. Alderts sebelumnya
tidak pernah makan di tempat seperti ini sehingga dirinya menjadi sorotan orang pribumi,
bahkan sebagian dari mereka ada yang menatap sinis Alderts.
“Jangan terlalu dipikirkan. Di mata mereka sudah tertanam istilah wong londo.” Ujar Valda.

Alderts merasa apa yang dikatakan Valda ada benarnya. Apabila bangsanya tidak
menjajah Hindia Belanda dengan kejam, mungkin saja mereka tidak akan seperti sekarang.
Memang dulu Alderts sempat bersikap angkuh pada kaum pribumi hingga suatu hari dirinya
terluka akibat ikut berperang di daerah Jawa yang menyisakan sebagian kecil tentaranya.
Disaat dirinya tidak berdaya, ia ditemukan oleh seorang warga sekitar lalu Alderts
disembuhkan olehnya. Karena kejadian itu yang membuat hati Alderts terbuka yang kini
membuat dirinya tidak seangkuh dahulu. Namun, gelar penjajah mungkin masih kekal di
hidupnya.
“Sudah lama sejak datang masa kini, aku tidak mencicipi sate.” Ujar Valda.
“Apa katamu?” Alderts terlihat bingung dengan kata yang dilontarkan Valda.
“Maksudku adalah sejak ke Batavia, aku tidak pernah mencicipi sate.” Valda terlihat gugup
mendengar pertanyaan Alderts.
“Aku lelah sekali.” Valda mencoba mengganti topik agar suasana tidak hening.
“Habiskan makananmu lalu kita akan pulang.” Ujar Alderts.

*************
“Akhirnya kita sampai rumah.” Ujar Valda yang kelelahan.
“Tidurlah Sekarang Valda.”
“Dirimu sendiri bagaimana? kau harus istirahat juga.” Valda mengerutkan alisnya.
“Ada yang harus kukerjakan.” Ujar Alderts.
“Aku akan menunggumu saja.”
“Jika aku menyuruhmu tidur, maka kau harus menurutinya.” Kali ini Alderts berbicara tegas
pada Valda.
“Akan aku lakukan, meneer” Ujar Valda yang sedikit cengengesan. Daripada dirinya harus
melihat wajah Alderts yang garang, lebih baik dirinya menuruti perintah Alderts. Pikir Valda.

***

“Mbok Juminten, dimana Alderts?” tanya Valda.


“Sudah pergi non.” Jawab mbok Juminten. Valda terlihat heran mendengar bahwa Alderts
sudah pergi pagi sekali. Biasanya ia selalu pergi pukul 07.30.
“Ini non, sarapannya.” mbok Juminten membawakan nasi serta daging yang di gulai.
“Apa mbok sudah makan?” tanya Valda. Mbok Juminten hanya tersenyum dan menggeleng-
gelengkan kepala.
“Ayo mbok. Makan dengan Valda.” Valda mempersilahkan wanita paruh baya itu untuk
duduk.
“Tidak usah, Non. Saya tidak pantas duduk disini apalagi ini rumah meneer” Ujar mbok
Juminten.
“Jangan seperti itu, mbok. Aku menganggap mbok seperti ibuku sendiri.” Ujar Valda sambil
menyunggingkan senyuman pada mbok Juminten.
“Terimakasih, Non.” Ujar mbok Juminten.

**Batavia, 1941***
“Sekarang perang sudah tidak terbendung lagi.” Ujar Mogens sambil menghisap cerutu
miliknya.
“Apalagi Ratu Wilhemina sepertinya sedang kesulitan mengatasi Jerman yang sejak tahun
lalu menginvasi.” Mogens tampak sangat serius dengan ucapannya sehingga tidak
memperhatikan Alderts yang melamun.
“Apa yang kau pikirkan, Alderts?” Tanya Mogens.
“Buka apa-apa.” Ujar Alderts sedater mungkin.
“Kau memikirkan gadis itu lagi? Sudah aku katakan bahwa..” Belum sempat Mogens
berbicara, Alderts sudah menyahut terlebih dahulu.
“Ze is niet zo’n meisje!” (Dia bukan gadis seperti itu!) tegas Alderts. Mogens tidak berani
membalas Alderts, sehingga dirinya pergi dari hadapan Alderts.

Tahun 1941 adalah tahun awal masa dimulainya perang dunia kedua dimana saat itu,
banyak negara yang terjadi konflik. Bahkan NAZI sudah mulai menguasai Eropa secara
perlahan-lahan.
“Mbok mau kemana?” Tanya Valda.
“Mau ke pasar sebentar, non.” Jawab mbok Juminten.
“Aku ingin ikut saja.” Ujar Valda.
“Tidak usah, non. Saya hanya sebentar saja.” Jawab mbok Juminten.
“Tapi, mbok janji akan ajak Valda keliling, setuju?” tanya Valda.
“Iya, mbok janji non.” Jawab mbok Juminten. Kemudian wanita paruh baya itu mengayuh
sepeda ontel miliknya.

Valda yang saat itu terlihat bosan, memilih untuk berjalan-jalan di daerah
permukiman yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
“Kita bertemu lagi, nona.” Seorang pria menghentikan langkahnya yang ternyata adalah pria
yang ditemui Valda di pesta.
“Mag ik je naam weten?” (Bolehkah aku tahu namamu?)
Pria tersebut menjulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Awalnya Valda terlihat
bingung dengan yang diucapkan pria itu. Untunglah ia mengulurkan tangannya sehingga
Valda mengerti apa yang pria itu maksud. Valda hanya menundukkan kepalanya sambil
membalas uluran tangan Deehan.
“Namaku Deehan Everhart Van Der Bleecker.” Ujarnya pada Valda.
“Valda Eilien. Senang berkenalan denganmu” Jawab Valda.

Senyum tipis terlihat dari raut wajah Deehan saat itu. Matanya tidak berwarna biru
seperti Alderts, melainkan cokelat terang dan rambutnya sedikit bergelombang berwarna
cokelat gelap serta tingginya sama persis seperti Alderts.
“Kau mau kemana?” tanya Deehan.
“Hanya berjalan-jalan sebentar.” Jawab Valda.
“Ngomong-ngomong, dimana kau tinggal nona?”
“Aku tinggal disana.” Valda mengadahkan telunjuknya ke rumah berdinding putih.
“Rumah perwira Alderts?” Deehan sedikit meyakinkan ucapannya.
“Iya benar. Kau kenal dia?” tanya Valda.
“Tentu saja. Dia adalah perwira dan mana mungkin tidak ada yang mengetahuinya.” Ujar
Deehan terkekeh.
Valda hanya tersenyum malu. Dirinya tidak tahu ternyata Alderts memiliki jabatan yang
lumayan tinggi.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa tinggal disana?” tanya Deehan. Saat Deehan
melontarkan pertanyaan tersebut, Valda sedikit bingung dengan pertanyaan Deehan.
“Umm..karena aku bekerja disana.” Ujar Valda yang sedikit ragu.
“Apa kau nyai?” kini Deehan sedikit serius dengan pertanyaannya.
“APA?!!Jaga ucapanmu!” Emosi Valda tersulut saat Deehan menyebutnya nyai.
“Maafkan aku, nona. Sangat jarang sekali wanita pribumi sepertimu tinggal di rumah Belanda
jika tidak seorang nyai.” Ujar Deehan.
“Kau pikir hanya seorang nyai saja yang bisa tinggal disana?! Londo Gila!” Valda pergi
meninggalkan Deehan dengan tergesa-gesa.
“Maafkan aku nona atas kelancanganku.” Deehan menahan Valda pergi dengan memegang
tangannya.

Dari kejauhan, rupanya Alderts melihat Valda dan Deehan yang kemudian dirinya
menghampiri mereka berdua.
“Valda?” ujar Alderts. Kemudian Valda berlari menghampiri Alderts.
“Apa yang kau lakukan padanya” tanya Alderts pada Deehan.
“Aku hanya ingin berkenalan dengannya.” Jawab Deehan.
Alderts tidak melanjutkan pembicaraannya lagi dan membawa Valda pergi.

***********
“Apa yang terjadi, Valda?” tanya Alderts selepas membawa Valda di ruang tamu.
“Tidak apa-apa, Alderts.” Valda hanya tersenyum. Namun, Alderts tahu bahwa senyuman itu
terlihat palsu.
“Kau tahu? Aku mencarimu sedari tadi.” Ujar Alderts.
Alderts menepuk kedua bahu Valda.
“Sejujurnya, aku tidak suka apabila seseorang menyembunyikan sesuatu dariku.” Ujar
Alderts. Valda hanya tertunduk saja bahkan untuk menatap Alderts pun rasanya tidak
sanggup.
“Non?” Dikala keheningan suasana, mbok Juminten memecah keheningan itu. Untung saja
mbok Juminten segera datang. Jika tidak, maka Valda tidak bisa menghindar dari pertanyaan
Alderts.
“Permisi, aku akan membantu mbok Juminten”. Valda menghindar dari hadapan Alderts
walaupun Alderts menatap Valda dengan rasa sedikit kecewa.
“Ada yang bisa aku bantu?’ Tanya Valda pada mbok Juminten.
“Tidak usah, non.” Jawab mbok Juminten.
“Jangan begitu. Biarkan aku membantu mbok” ujar Valda.
“Biarkan saja Valda membantu mbok” Celetuk Alderts sambil menatap Valda lalu pergi.

Valda merasa bahwa Alderts terlihat sedikit kesal pada dirinya sehingga dirinya
berpikir untuk membuatkan kejutan.
“Mbok Juminten, apa yang Alderts suka?” Tanya Valda.
“Tuan muda suka soto dan daging panggang gitu, hanya mbok lupa nama sebutan
makanannya” ujar mbok Juminten.
“Maksud mbok itu steak?” tanya Valda.
“Nah, itu dia non.” Ujar mbok Juminten sambil tertawa.
“Ayo kita masak itu mbok.” Ujar Valda yang begitu antusias untuk memasak hingga tidak
menyadari bahwa sebenarnya Alderts memperhatikan dirinya sambil tersenyum. Entah
mengapa ada sesuatu yang menarik dari dalam diri Valda yang membuat Alderts tidak bisa
berhenti memandangnya.
*********
Malam itu, Alderts terlihat hanya termenung di teras rumah. Valda yang melihatnya
pun mencoba menghampiri Alderts.
“Alderts, lihatlah apa yang aku dan mbok Juminten buat untukmu.” Valda menarik
pergelangan tangan Alderts yang berada di teras rumah.
“Apa itu?” Tanya Alderts.
“Ikuti saja aku sekarang.” ujar Valda. Di meja makan sudah tersedia soto dan juga steak
kesukaan Alderts. Terlihat dari wajah Alderts begitu senang sehingga melupakan masalah
mereka.
“Kau membuat ini untukku?” tanya Alderts.
“Tentu saja. Menurutmu untuk siapa lagi?” Ujar Valda. Alderts mencoba soto yang terlihat
menggiurkan itu. Lalu, steak yang dimasak dengan kematangan yang pas sehingga dapat
memanjakan lidahnya.
“Valda, terimakasih ya” Alderts tersenyum pada Valda.
“Oh ya mbok Juminten, aku ingin mengucapkan terima kasih juga padanya.” Ujar Alderts.
“Ia sudah pulang. Akan kusampaikan besok.” Ujar Valda.
“Ayo, makanlah” Alderts mengadahkan sendok pada Valda.
“Kau menyuapiku?” tanya Valda.
“Tentu saja, Valda. Ini sangat enak.” Ujar Alderts. Valda kemudian membuka mulutnya dan
membiarkan Alderts menyuapi dirinya. .

***
7
“Mbok, sudah berapa lama bekerja pada Alderts?” Tanya Valda. Pagi itu Valda pergi
ke rumah mbok Juminten untuk sekedar berkunjung. Karen hari itu Alderts sedang sibuk,
maka dirinya tidak menemani Valda.
“Sudah sejak tuan muda datang kesini, non.” Mbok Juminten mencoba mengingat-ngingat.
“Kala itu tahun 1937 tuan muda datang dan bertemu saya. Lalu mempekerjakan saya. Dirinya
termasuk londo yang baik.” Ujar mbok Juminten.
“Berarti sudah lumayan lama.” Ujar Valda.
“Ya begitulah non.”
“Mbok apa hari ini tidak ke pasar?” Tanya Valda.
“Tidak non, tapi saya akan pergi ke rumah teman saya.” Jawab mbok Juminten.
“Apa aku boleh ikut?” tanya Valda.
“Tentu saja non.” Jawab mbok Juminten. Mereka pun menuju permukiman yang agak jauh
dari kampung tempat tinggal mbok Juminten. Di permukiman inilah Valda melihat kenyataan
pahit yang dialami oleh bangsanya sendiri, bahkan rumah dipermukiman ini sangat tidak
layak untuk dijadikan tempat tinggal.
“Tunggu ya non. Saya mau panggil teman saya.” Ujar mbok Juminten. Seorang wanita tua
yang umurnya tidak jauh dari mbok Juminten pun keluar dari gubuknya.
“Ini, aku bawakan kamu singkong rebus.” Ujar mbok Juminten.
“Jangan repot-repot.” Wanita tua itu kini merasa canggung menerima pemberian mbok
Juminten.
“Yowes rapopo. Aku bikin buat kamu.” Ujar mbok Juminten. Perempuan itu kini melihat
Valda yang berdiri melihat mereka.
“Ini siapa?”
“Dia Valda. Teman dari majikanku” ujar mbok Juminten.
“Halo Nona Valda. Saya mbok Sumiyanti. Bisa dipanggil mbok Sum” wanita itu
memperkenalkan dirinya.
”Nggih mbok” Ujar Valda.
“Maaf jika rumah saya gubuk.” Ujar mbok Sum.
“Ratna, ayo keluar. Ada tamu” panggil mbok Sum. Sri Ratnasari, atau kerap dipanggil Ratna
adalah cucu satu-satunya bahkan orang yang hanya dimiliki mbok Sum kini.
“Ini Ratna, cucu saya” Ujar mbok Sum. Ratna memiliki warna mata yang hitam pekat serta
kulit yang sawo matang. Tubuhnya juga terlihat kurus. Hal ini membuat Valda iba.
Untunglah saat itu, Valda membawa lima Gulden sehingga ia dapat memberikannya kepada
mbok Sum.
“Ini, ada sedikit rezeki buat Ratna.” Ujar Valda.
“Tidak usah. Jangan berlebihan.” Ujar mbok Sum.
“Jangan menolak, mbok. Ini juga untuk Ratna.” Valda mencoba untuk meyakinkan mbok
Sum.
“Baiklah saya ambil. Terimakasih non Valda.” Ujar mbok Sum.

Valda senang bahwa mbok Sum dapat menerima pemberiannya. Dari kejauhan, Valda
melihat beberapa orang berseragam tentara yang membuat dirinya sedikit heran.
“Mbok Sum, kenapa ada orang-orang itu?” Valda mengadahkan telunjuknya pada
sekelompok tentara.
“Oh itu. Mereka sedang bermain dengan anak-anak kampung disini. Biasanya mereka sehabis
tugas memang seperti itu untuk menghilangkan penat.” Ujar mbok Sum. Ada salah satu dari
mereka yang mendekat ke arah Valda. Sontak ia terkejut melihat seseoran yang tidak asing
dimatanya yaitu Deehan.
“Hai nona.” Ujar Deehan. Valda sama sekali tidak membalas sapaannya karena dirinya
sedikit geram atas ucapan Deehan.
“Aku tahu kau masih marah padaku bukan?Aku minta maaf.” Ujar Deehan. Valda tetap saja
masih tidak bergeming dan enggan menatap Deehan.
“Aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi.” Ujar Deehan. Valda berpikir daripada
dirinya dihantui oleh Deehan, sebaiknya ia memaafkan Deehan.
“Aku terima maafmu.” Ujar Valda tegas.
“Benarkah nona? Bedankt” (Terima kasih).
Kemudiaan mbok Juminten mengajak Valda untuk kembali pulang setelah berpamit pada
mbok Sum dan Ratna. Deehan hanya menatap Valda yang tanpa pamit meninggalkan dirinya.

********
“Mbok Juminten, apa londo itu selalu kesana?” tanya Valda.
“Tidak juga non. Jika mereka sedang sibuk, biasanya tidak datang.” Ujar mbok Juminten
sembari memotong seledri di dapur.

Valda melirik jam dinding yang berada tidak jauh dari ruang tamu. Jam itu
membunyikan loncengnya dan menunjukkan pukul 17.00. Dirinya terus menunggu
kedatangan Alderts. Namun, seperti yang diucapkan Alderts tadi pagi bahwa dirinya akan
pulang mungkin larut malam.
Seperti biasa untuk menghabiskan waktunya, Valda membaca buku milik Alderts yang tertata
rapi di raknya. Alderts sangat menyukai buku pengetahuan seperti perjalanan Colombus
ataupun Max Havelaar dari E.Douwes Dekker. Namun sepertinya Valda menemukan sebuah
novel romansa diantara buku pengetahuan yang lain dan buku itu berjudul “Odysseus dan
Penelope”. Tidak dirinya sangka, Alderts menyukai kisah klasik seperti ini sedangkan Alderts
sepertinya tidak terlalu suka untuk berurusan dengan cinta karena baginya, cinta sangatlah
tidak berguna dan rumit.
“Non, saya pamit pulang dulu.” Ujar mbok Juminten.
“Iya. Silahkan mbok. Hati-hati.” Balas Valda.

Mbok Juminten adalah seorang pembantu di rumah Alderts sejak tahun 1937. Dirinya
saat itu sedang membutuhkan biaya untuk kesembuhan puterinya sampai ia rela bekerja pada
perwira Belanda walaupun menuai kontra dari tetangganya. Sebenarnya dirinya bisa saja
kembali ke kampungnya di Wonosobo. Namun, karena biaya dan jarak yang ditemouh cukup
jauh sehingga dirinya menetap di Batavia. Untunglah, Alderts adalah londo yang baik hati,
sehingga ia membantu kesembuhan putri mbok Juminten dan dengan rasa balas budi, mbok
Juminten pun mengabdi pada Alderts.
Hari sudah semakin larut malam. Sang fajar pun telah kembali tenggelam. Semakin
lama Valda membaca buku, maka semakin besar rasa kantuknya. Ia terlihat kelelahan dan
matanya mulai terpejam. Disaat Valda sudah tertidur cukup lama, Alderts datang dan
menjumpai Valda yang tertidur pulas di sofa. Lalu dirinya menggendong Valda dengan hati-
hati agar tidak terbangun. Dibawanya Valda dikasur lalu diselimuti dirinya oleh Alderts.
“Zoete dromen van mihn koningin, goede nacht” (Mimpi Indah ratuku, selamat malam).
Ujar Alderts berbisik ditelinga Valda sembari mengusap rambutnya.

***

“Alderts, ceritakan aku tentang kisah Odysseus dan Penelope” ujar Valda.
“Kenapa?” tanya Alderts.
“Karena aku ingin tahu.” Valda memasang raut wajah datar. Alderts yang tidak tega apabila
menolak permintaan Valda, akhirnya menceritakannya sembari mengikat tali pantopel.
“Dikisahkan ratu Penelope adalah isteri dari Raja Odysseus. Namun suatu hari, terjadi sebuah
Perang Troya yang mengharuskan Odysseus pergi dan ikut berperang. Penelope akhirnya
mengikhlaskan kepergian suaminya dan dirinya sangatlah setia walau sudah menunggu
selama dua puluh tahun bersama putranya yang ia lahirkan sesaat Odysseus pergi berperang.”
“Lalu? Bagaimana selanjutnya?” Valda semakin penasaran.
“Semenjak kepergian Odysseus, banyak sekali para pelamar yang inin menikahi Ratu
Penelope. Namun, dirinya tidak akan menghianati cinta Odysseus. Akhirnya, penantian
Penelope pun berbuah manis. Mereka dipertemukan kembali setelah dua puluh tahun
lamanya dan mereka bersatu.” Ujar Alderts yang telah selesai bercerita.
“Itu pasti sangat sulit.” Ujar Valda.
“Tentu saja. Namun tidak ada kata sulit bagi kesetiaan.” Balas Alderts.
“Ngomong-ngomong kenapa kau ingin aku menceritakan mereka? Bukankah banyak kisah
seperti Romeo dan Juliet?” tanya Alderts.
“Itu sudah sering aku dengar. Lagipula, aku menemukan buku kisah Odysseus dan Penelope
di rak bukumu.” Ujar Valda terkekeh.
“Pantas saja. Rupanya kau mengerjaiku?” tanya Alderts.
“Itu tidak benar, Alderts.” Jawab Valda sembari tertawa.
“Sudahlah. Jika memang begitu, aku akan pergi ke Barak.” Ujar Alderts tersenyum.
“Tunggu, kapan kau kembali?” tanya Valda.
“Mungkin sore nanti. Ada apa?” Alderts sedikit heran.
“Tidak ada, hanya bertanya.” Jawab Valda yang menyunggingkan senyuman. Kemudian,
Alderts pun pergi setelah pamit kepada Valda.
“Hari ini aku akan kemana?” Gumam Valda.
Valda berpikir sebaiknya ia menuju pasar yang tidak jauh disini untuk menikmati jajanan
masa lampau.

**********
Sesampainya di pasar, yang pertama kali ia lihat adalah pedagang gethuk yang tidak
jauh dari tempatnya ia berdiri. Gethuk adalah jajanan khas yang sudah ada sejak jaman
penjajahan yaitu kue yang berbahan singkong kemudian diberi parutan kelapa diatasnya.
Valda pun memesan gethuk dan ia menyantap gethuk dengan lahapnya.
“Nikmat bukan”
Beberapa menit kemudia, suara itu muncul di dekatnya dan kini ia melihat Deehan
disampingnya. Sontak Valda tersedak karena terkejut.
“Uhuk uhuk.” Valda memukul-mukul dadanya untuk memastikan makanan itu segera keluar
dari kerongkongannya.
“Hey, kau tidak apa-apa?” Deehan yang panik kemudian membawakan air untuknya. Hal ini
menarik perhatian dipasar. Akhirnya setelah bersusah payah makanan itu keluar dari
kerongkongan Valda, keluar juga sisa makanan itu.
“Bagaimana?” tanya Deehan. Valda mengangguk dengan berarti memberikan tanda bahwa
dirinya sudah merasa membaik dan meminum air yang Deehan bawakan.
“Apa kau mengikutiku? Dimanapun aku, selalu saja bertemu denganmu.” Celoteh Valda.
“Kenapa kau menuduhku? Aku hanya kebetulan disini.” Ujar Deehan. Valda hanya terdiam
dan memutuskan untuk tidak berdebat pada Deehan.
“Sepertinya kau suka jalan-jalan. Ayo, kutunjukkan tempat disini.” Ujar Deehan.

Valda menatap Deehan dan tanpa sadar menyetujui ajakan Deehan. Mereka menuju
sebuah lapangan yang cukup luas. Tempat dimana anak-anak berkumpul untuk bermain.
“Disinilah tempat pribumi ini menghabiskan waktu” ujar Deehan.
“Setidaknya mereka bisa bahagia walaupun sedang terjajah.” Celetuk Valda.
“Menjajah bukalha keinginan diriku, melainkan perintah dari pemerintah Netherland.” Ujar
Deehan.
“Kau lihat pria tua disana?” Valda menunjuk pedagang yang terlihat sangat kurus.
“Itu ulah bangsamu,” ujar Valda dengan serius.
“Ini sudah takdir. Bangsa kami harus bertahan pada perang dunia ini.” Balas Deehan.
“Pada akhirnya, Hindia Belanda akan merdeka.” Valda tanpa sadar mengucapkan kalimat
yang membuat Deehan keheranan.
“Apa kau bilang? Darimana kau tahu?” tanya Deehan.
“Tidak ada.” Jawab Valda yang berhat-hati pada Deehan pun segera mengganti topik.

Di antara keheningan setelah berdebat, sebuah bola menggelinding kearah Deehan


dan ia memberikan kembali pada anak-anak yang sedang bermain dan ikut bergabung dalam
permainan itu. Deehan mengajarkan anak-anak itu menendang bola dengagn benar. Terlihat
senyum ceria terpancar dari wajah anak-anak pribumi.
Hingga tanpa teras amatahari sudah berada di barat. Sore itu mereka menyelesaikan
permainan. Valda yang sudah bosan akhirnya mengajak Deehan untuk kembali.
“Kau tadi tertidur dibawah pohon, bukan?” tanya Deehan.
“Itu tidak benar.” Tegas Valda.
“Kau berbohong.” Ujar Deehan menjahili Valda.
“Kau yang menuduhku!” geram Valda.

*********
Akhirnya mereka sampai dirumah Alderts sore itu.
“Terimakasih Deehan.” Ujar Valda.
“Tentu saja.” Jawab Deehan. Tidak berselang lama, Alderts muncul dari arah pintu dan
berjalan kearah mereka.
“Alderts, ini temanku. Dia itu Deehan.” Valda memperkenalkan Deehan pada Alderts.
“Aku Alderts.” Ujarnya dengan memasang raut wajah datar.
“Aku Deehan. Seorang tentara sepertimu.” Ujar Deehan yang sedikit kikuk.
“Baiklah, aku harus segera pergi. Sampai jumpa lain waktu.” Deehan segera meninggalkan
mereka berdua.

Kemudian, Valda dan Alderts masuk ke dalam rumah. Pikiran Alderts dibuat kacau
oleh Valda karena kemarin Valda terlihat sangat marah pada Deehan sedangkan ini mereka
tampak sangat akrab. Ingin rasanya Alderts bertanya pada Valda untuk menjawab rasa
penasaran dirinya. Namun, ia sadar bahwa Alderts tidak memiliki hak.
“Aku pikir dirimu belum pulang.” Ujar Valda.
“Dan aku pikr dirimu sedang menungguku disini.” Balas Alderts.
“Aku memang sedang menunggumu. Jadi aku menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan.”
Ujar Valda.
“Bersama pria itu?” entah mengapa Alderts merasa kesal melihat Valda bersama pria lain.
“Deehan namanya. Memang kenapa?” Tanya Valda.
“Karena aku mengkhawatirkanmu.” Jawab Alderts.
“DEG” sontak Valda sedikit terkejut dan jantungnya mulai berdegup kencang. Ia hanya
menunduk dan memastikan agar dirinya tidak salah tingkah.
“Beberapa hari yang lalu, aku melihatmu kesal padanya. Namun, hari ini kau terlihat akrab
dengannya. Aku bingung dan memastikan bahwa dirimu baik-baik saja.” Ujar Alderts
menatap Valda.
“Aku baik-baik saja, Alderts.” Valda mendongakan wajahnya pada Alderts.
“Apa itu benar?” tanya Alderts sekali lagi.
“Aku bersungguh-sungguh.”senyum mengembang dari sudut bibir Valda.
Walaupun ada kekecewaan oleh ras penasarannya, akahirnya Alderts memutuskan untuk
tidak melanjutkan topik ini dan bersikap seperti biasa.

***
10
“Karena masa lalu, tidak akan aku lewatkan dengan begitu saja”
-Valda Eilien
“Mbok Juminten, kenapa terburu-buru?” tanya Valda.
“Saya izin, non.” Jawab mbok Juminten.
“Kenapa mbok izin?” Valda memaksa mbok Juminten untuk memberikan alasannya.
“Apa non ingat Ratna? Ratna sekarang lagi sakit. Jadi, mbok harus pergi kesana.” Ujar mbok
Juminten.
“Bagaimana jika aku ikut bersama mbok?” tanya Valda.
“Baik, iya non. Ayo cepat.” Ujar mbok Juminten yang tergesa-gesa. Mereka menuju
kediaman mbok Sum dengan menggunakan sepeda ontel milik mbok Juminten agar lebih
cepat.

*********
Sesampainya disana, mbok Juminten dan Valda segera menemui Ratna. Disana sudah
terbaring Ratna yang terlihat pucat dan menggigil, bahkan suhu tubuhnya naik turun. Valda
seera menanyakan Ratna pada mbok Sum.
“Sudah berapa lama Ratna seperti ini?” tanya Valda.
“Sudah dari dua hari yang lalu, non.” Jawab mbok Sum. Valda berpikir melihat kondisi
ekonomi mbok Sum, sepertinya tidak memungkinkan Ratna sudah berobat.
“Sepertinya Ratna terkena penyakit malaria.” Ujar Valda.
“Malaria itu apa non?” tanya mbok Sum.
“Malaria adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.” Ujar Valda.
“Kami memang hidup miskin. Untuk membuat sanitasi saja tidak mampu.” Jelas mbok Sum
membuat Valda pilu.
“Non pelajar STOVIA ya?” tanya mbok Juminten.
“Mboten mbok” jawab Valda dengan tersenyum.

Melihat mbok Sum yang bersedih, Valda merasa iba karena mengingat Ratna adalah
orang yang begitu disayangi oleh mbok Sum. Kini, Valda mencoba mengompres Ratna untuk
membantu menurunkan suhu badannya. Disaat seperti ini, Valda merasa kesal kepada kaum
londo yang bersikap tidak adil di negerinya. Bagaimana bisa mereka tidak memliki hati
nurani pada sesama manusia.
“Mbok Sum, untuk sementara kompres Ratna selama tubuhnya masih hangat.” Ujar Valda.
“Baiklah, non.” Mbok Sum mengusap kepala Ratna yang sedang tertidur pulas.
“Ini, ada rezeki buat mbok.” Valda memberikan dua puluh gulden pada mbok Sum.
“Ini banyak sekali. Jangan non.” Mbok Sum menolak pemberian Valda.
“Buat Ratna juga apabila ada keperluan mendesak.” Mbok Juminten ikut menimpali.
Mbok Sum akhirnya menerima pemberian Valda. Dengan rasa berterima kasih, kini mbok
Sum memeluk Valda.

********
“Alderts, apa kabarmu?” Suara itu membuat Alderts menoleh dan dilihatnya Tuan Claudios
selaku tentara dengan pangkat yang cukup tinggi di Batavia. Ia datang bersama seorang gadis
Belanda.
“Sejak kapan anda disini?” tanya Alderts.
“Sudah seminggu yang lalu aku disini.” Jawab tuan Claudios.
“Oh ya, dia adalah keponakanku dari Den Haag. Namanya Anneliese.” Tuan Claudios
memperkenalkan gadis itu pada Alderts.
“Namaku Alderts.” Dirinya menjulurkan tangan pada (nama panggilan ceue).
“Aku Anneliese Van De Maarschalkerweerd.” tampak gugup pada saat berjabat tangan
dengan Alderts.
“Aku hampir lupa jika ada urusan di Barak. Maaf aku harus pergi.” Ujar Alderts.
”Alderts, bisakah besok kau datang ke rumahku?” tanya tuan Claudios.
“Tentu saja. Besok siang aku akan datang.” Jawab Alderts yang kemudian pergi
meninggalkan mereka.

*******
“Aku akan pulang. Besok aku akan datang kesini untuk memastikan keadaan Ratna.”
Valda akhirnya kembali ke rumahnya setelah berpamit pada mbok Sum. Hari sudah mulai
gelap. Mereka seharian dirumah mbok Sum untuk merawat Ratna. Valda berpikir untuk
meminta bantuan Alderts. Namun disisi lain, pikirannya menolak.
Valda melihat rumah dengan keadaan sepi. Sepertinya Alderts belum datang. Beruntung bagi
Valda karena apabila Alderts tahu dirinya pergi, maka Alderts akan memberikan pertanyaan
yang Valda tidak mungkin jawab.
“Non, saya pulang dulu ya.” Ujar mbok Juminten.
“Iya mbok.”

Hari ini memang Valda dan mbok Juminten seharian berada di rumah mbok Sum
yang seharusnya Valda hanya menjenguk sebentar saja. Sembari menunggu Alderts, dirinya
kembali membaca buku dengan serius. Dirinya belajar berbahasa Belanda. Suapa tahu suatu
saat ia kembali, itu akan digunakan.

*********
“Apa yang kau pelajari?” Alderts yang entah muncul darimana, tiba-tiba berdiri dibelakang
Valda yang sedang duduk di sofa.
“Kau?datang darimana?” ujar Valda terkejut karena tidak mendengar langkah kaki Alderts.
“Sudah dari tadi.” Jawabnya.
“Jangan bohong, Alderts.” Valda mengerutkan wajahnya.
“Baiklah aku mengaku” ujar Alderts terkekeh.
“Tunggu dulu, kau mempelajari bahasaku?” Alderts melihat isi buku yang dipelajar Valda.
“Hmm iya. Lalu kenapa?” tanya Valda.
“Tidak apa-apa. Aku akan membantumu.” Ujar Alderts.

Alderts mengajari Valda dalam hal berbahasa Belanda dengan baik dan Valda
menanggapi pelajaran dengan cepat sehingga tidak butuh waktu yang lama, Valda sudah
lumayan berhasil menguasai Bahasa Belanda.
“Kau sangat pintar.” Alderts memuji Valda.
“Aku sebenarnya bisa sedikit Bahasa ini. Namun sekarang aku hanya memperdalam lagi.”
Ujar Valda.
“Kalau begitu, bacakan kalimat ini.” Alderts menunjuk suatu kalimat yang tertera di buku.
“Disini tertulis ik hou van je” (aku mencintaimu) Ujar Valda.
“Ik hou ook van jou” (aku juga mencintaimu) balas Alderts.
Kini Valda merasakan keringat dingin dan jantungnya berdegup kencang. Seharusnya ia tidak
membacakan kalimat itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Alderts.
“Tentu tidak” jawab Valda yang sedang gugup.
“Sebaiknya kita akhiri saa pelajaran sampai hari ini.” Valda mengemas bukunya lalu dirinya
beranjak dari sofa.
“Baiklah. Kita lanjut besok saja.” Ujar Alderts. Valda mengangguk tanda setuju lalu segera
masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu sangat pelan. Melihat tingkah Valda seperti
itu, Alderts tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala.

***
10
“Kita akan pergi kemana?” Alderts mengajak Valda utuk mengunjungi rumah Tuan Claudios.
“Aku akan mengajakmu ke rumah Tuan Claudios. Dia adalah seniorku.” Ujar Alderts.
Mereka akhirnya segera berangkat menuju kediaman Tuan Claudios. Valda sedikit merasa
canggung akibat yang terjadi saat di pesta dan hari ini Alderts mengajaknya untuk bertemu
seniornya yang membuat ingatan itu kemnbali.

********
Jarak rumah Alderts dan Tuan Claudios tidak begitu jauh, sehingga memungkinkan
sampai dalam waktu yang cukup singkat. Setelah mereka sampai disana, Tuan Claudios dan
Anneliese menyambut kedatangan mereka bahkan terlihat senyum sinis dari bibir Anneliese
pada Valda.
“Aku sudah yakin bahwa kau akan datang.” Ujar Tuan Claudios terkekeh. Tuan Claudios
yang melihat kehadiran Valda pun bertanya pada Alderts.
“Siapa dia?” tanya tuan Claudios.
“Perkenalkan. Dia adalah Valda, temanku.” Ujar Alderts.
“Kau sangat manis.” Puji tuan Alderts.
“Terimakasih, meneer” jawab Valda. Tuan Claudios mempersilahkan mereka duduk dan
menyuruh Anneliese membawakan teh untuk Alderts dan Valda.
“Bagaimana dengan tugasmu, Alderts?” Tuan Claudios mempertanyakan keamanan di
Batavia.
“Sekarang masih terpantau aman. Namun anda sudah tahu bukan? Bahwa Jepang sudah
menginvasi sebagian Asia Tenggara.” Alderts tampak begitu serius. Sekilas Valda berpikir
bahwa Alderts terluhat lebih mempesona apabila serius seperti ini.
“Aku ingin lebih memperketat keamanan selama beberapa bulan kedepan.” Ujar Tuan
Claudios.
“Akan aku laksanakan.” Tegas Alderts.

Tidak berselang lama, Anneliese datang membawakan teh untuk mereka. Valda hanya
memperhatikannya dan berpikir dari perawakan Anneliese, sepertinya ia begitu digandrungi
kau madam karena dia memiliki rambut pirang dan warna mata hazel serta kulit yang putih
bersih.
“Jadi, sejak kapan kalian saling mengenal? Dan darimana asalmu?” tanya Anneliese. Dua
pertanyaan sekaligus membuat Valda terlihat bingung untuk menjawabnya.
“Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu dan ia berasal dari Batavia.” Jawab Alderts.
Spontan Valda menghela nafas, namun tidak berhenti disitu. Anneliese sepertinya terlihat
ingin memojokkan Valda sehingga dirinya memberikan pertanyaan lagi pada Valda.
“Dimana kau mengenyam pendidikan?” Anneliese tahu bahwa jarang sekali ada pribumi
yang bisa bersekolah sehingga ia yakin bahwa Valda tidak akan bisa menjawabnya.
“Valda adalah pelajar dari STOVIA” ujar Alderts. Sontak Valda terkejut, lalu Anneliese
hanya menatap sinis Valda.
“Maafkan aku, nona Anneliese. Tapi Valda sangat pemalu.” Ujar Alderts.
“Baiklah, tidak apa-apa.” Anneliese tersenyum pada Alderts. Valda teringat bahwa hari ini, ia
akan pergi ke rumah mbok Sum. Valda berpikir bahwa dirinya merasa sungkan apabila
meningggalkan Alderts, namun Valda sudah berjanji pada mbok Sum untuk menjenguk
Ratna sehingga Valda memberanikan diri untuk berbicara.
“Saya harus pergi sekarang, mengingat bahwa saya ada janji.” Ujar Valda.
“Pergi kemana?” tanya Alderts. Valda berpikir bahwa tidak mungkin dirinya memberitahu
tempat yang akan ia datangi. Mungkin saja Alderts tidak akan membiarkannya.
“Bukankah tidak sopan apabila tamu pergi seperti itu?” ketus Anneliese. Tuan Claudios
menatap Anneliese sembari menggelengkan kepalanya.
“Maafkan aku, nona Anneliese dan Tuan Claudios.” Sebenarnya Valda sudah geram pada
Anneliese, namun ia harus menahan emosinya hari ini.
“Jangan dipikirkan ucapan Anneliese.” Ujar Tuan Claudios. Valda hanya mengangguk dan
segera pergi. Sekilas ia menatap Alderts, namun sepertinya Alderts merasa sedikit kesal
akibat Valda tidak menjawab pertanyaannya.
“Dasar inlander!” ujar Anneliese.
Valda mencoba menghelaa nafas sedalam mungkin, lalu melanjutkan langkahnya tanpa
memikirkan ucapan Anneliese.

********
Valda berjalan dengan tergesa-gesa guna memastikan dirinya tidak terlambat untuk
menjenguk Ratna. Ditengah-tengah perjalanan, Valda menoleh kanan kiri karena dirinya
mersakan seseorang mengikutinya. Ia kemudian berlari dengan cepat lalu sampai pada
kediaman mbok Sum.
“Tok tok”
Valda mengetuk pintu rumah mbok Sum dan mbok Sum segera membukakan pintu untuk
Valda.
“Maaf saya terlambat. Bagaimana dengan Ratna?” tanya Valda.
“Ratna sedang tidur.” Jawab mbok Sum.
“Syukurlah kalau begitu.” Ujar Valda.
“Silahkan duduk, non. Biar saya bawakan air.”
“Tidak perlu, mbok.” Valda menolak tawaran mbok Sum karena dirinya merasa sungkan.
“Jangan ditolak, non. Tunggu sebentar.” Ujar mbok Sum.

Mbok Sum akhirnya masuk kedalam rumah untuk membawakan air namun tidak
berselang lama kemudian, terdengar teriakan mbok Sum. Valda yang terkejut pun sontak
segera berlari mencari mbok Sum.
“Mbok, ada apa??!” Valda terlihat sangat khawatir pada mbok Sum.
“Ratnaaa non.” Mbok Sum memeluk cucunya dengan erat.
“Ada apa mbok??” tanya Valda.
“Ratna sudah meninggal.” Ujar mbok Sum dengan tangisan yang tidak bisa dibendung lagi.
Tatapan kesedihan dan kasih sayang terlihat dari mata mbok Sum.
“APA?! Tidak mungkin.” Bagai petir di siang bolong, Valda begitu tidak percaya pada
ucapan mbok Sum dan segera memeriksa nadi Ratna. Valda menangis sejadi-jadinya.
Hingga akhirnya dari balik pintu munculah Alderts yang tersadar melihat Valda menangis
pun langsung memeluknya. Valda yang terkejut melihat Alderts memeluk dirinya, sontak
melepaskan pelukannya. Ia begitu kesal pada Alderts dan bangsanya yang sudah membuat
penderitaan pada pribumi.
“Kenapa kau mengikutiku?!” Teriak Valda.
“Aku khawatir padamu.” Jawab Alderts.
“Lihat, Alderts! Karena ulah bangsamu, kau memisahkan seorang nenek dan cucunya!”
ucapan Valda meninggi yang membuat Alderts tidak bisa berkutik.
“Sudah non. Jangan.” Mbok Sum melerai Valda walaupun dalam dirinya begitu sedih atas
kepergian sang cucu.
“Astaga, Vala.” Ujar mbok Juminten yang entah datang darimana. Valda pergi ke pelukan
mbok Juminten lalu menangis sejadi-jadinya.
“Kau lihat bukan? Bangsamu memisahkan permukiman antara pribumi dan Eropa. Lalu lihat
sekarang? banyak pribumi yang sakit akibat tinggal di lingkungan yang kumuh.” Ujar Valda.
Ucapan Valda seperti pisau yang menghujam Alderts.
“Sudah, Valda. Jangan seperti itu pada tuan muda.” Ujar mbok Juminten.
“Yang dikatakan Valda memang benar, mbok Juminten. Bangsaku memang kejam
sepertiku.” Ujar Alderts.
“Pergilah Alderts” ujar Valda sembari menangis.
“Aku mohon, Valda.” pinta Alderts.
“Sekali lagi aku katakan, tolong pergi!” ujar Valda tegas.
Entah apa yang dipikirkan Valda saat itu. Dirinya merasa sangat kalut. Alderts yang pasrah
akhirnya meninggalkan Valda dalam wajah yang tenggelam dalam kesedihan.

Sore itu, warga berkumpul lalu segera memakamkan Ratna. Mbok Sum yang tidak
berdaya jatuh tersungkur. Ia begitu rapuh akan kepergian cucu kesayangannya.
“Mbok Sum, yang sabar ya.” Lirih Valda sembari merangkul mbok Sum.
“Sabar yo” ujar mbok Juminten meghela nafasnya.

*********
Akhirnya satu per satu warga pulang dari pemakaman, termasuk Valda, mbok Sum
dan mbok Juminten.
“kamu tidak pulang?” tanya mbok Juminten.
“Tidak mbok. Valda mau disini, temani mbok Sum.” Ujar Valda.
“Kamu yakin? Apa tidak kasihan sama tuan muda?” tanya mbok Juminten.
“Aku tidak peduli, mbok.” Jawab Valda.
“Dengar nak, semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa. Tidak
sepantasnya kamu menyalahkan seseorang. Kamu memang membenci wong londo, tetapi
tidak semua dari mereka bersikap jahat. Sebagian adalah dari paksaan.” Ujar mbok Juminten.
Valda hanya terdiam dan mengangguk.
“Aku tetap tidak ingin pulang.” Valda berujar dengan tatapan yang kosong.
“Baiklah, saya tidak akan memaksa non Valda.” Ujar mbok Juminten.
DOWN
Seharusnya aku sadar akan darah penjajah yang melekat pada diriku
-Alderts

Sudah satu pekan keadaan rumah terlihat hampa tanpa kehadiran Valda. Rasa kecewa
pada ungkapan yang dilontarkan Valda terus saja terngingiang di pikirannya. Alderts
mencoba untuk menahan rasa sedihnya namun sia-sia. Ia beranjak dari kasurnya untuk segera
melakukan rutinitasnya dengan pergi ke Barak. Setelah ia selesai mengikat tali bootnya,
kemudian ia berangkat.

*********
“Ada apa? Kenapa wajahmu murung seperti itu?” tanya Mogens. Alderts hanya tersenyum
sembari menggelengkan kepalanya.
“Banyak yang harus dikerjakan hari ini.” Ujar Mogens.
“Hey kawan, kau sepertinya sedang tidak bergairah.” Mogens menepuk Pundak Alderts.
“Jangan khawatir. Akan aku lakukan.” Balas Alderts dengan wajah yang datar. Alderts
meninggalkan kawannya yang Nampak kebingungan akan tingkahnya Alderts. Kemudian
Alderts menuju ke lapangan untuk melatih para prajurit di Barak.

Pagi itu, Batavia terlihat ramai seperti biasanya bahkan tida ada bedanya dengan saat
menjadi Jakarta. Kegiatan transaksi terjadi disekitar pertokoan, mulai dari pedagang China
maupun Timur Tengah memenuhi pertokoan. Jika tidak karena jamu untuk mbok Juminten,
dirinya akan malas untuk berjalan ditempat ramai seperti ini. Ia berjalan melewati pembeli
yang berdesak-desakan. Tampak diseberang toko pakaian, dirinya melihat orang yang
dikenalnya yaitu gadis menyebalkan, Anneliese. Pedagang jamu tersebut bahkan berada di
samping toko, tempat dirinya melihat Anneliese. Kini, ia terpaksa harus bertemu wanita
menyebalkan itu.
“Ayo, cepat Valda” ujar Tyas.
Syukurlah Valda pergi bersama Tyas, anak dari mbok Juminten sehingga dirinya tidak perlu
khawatir akan tersesat.
“Saya ambil jamunya satu.” Ujar Valda. Bapak itu memberikan jamu dalam wadah botolan
kaca.
“Tolong bantu aku bawakan.” Ujar Valda pada Tyas.
Anneliese yang saat itu seleai berbelanja, lantas tanpa sengaja melihat Valda yang kemudian
Anneliese mengolong-olok Valda dan Tyas.
“Orang miskin tentu saja hanya bisa membeli minuman aneh.” Sindiran Anneliese itu
membuat Valda tersulut emosi.
“Hey, tolong jaga ucapanmu! Siapa yang kau sebut miskin? Tolong bercermin sebelum
berbicara.” Ujar Valda. Tyas mencoba melerainya, namun percuma saja. Valda terlihat
emosi, terlebih lagi Anneliese sempat menghinanya saat dirinya hendak menuju rumah mbok
Sum.
“Maafkan teman saya, nona.” Ujar Tyas yang merasa sungkan pada Anneliese dikarenakan ia
hanya sebatas pribumi.
“Kai tidak pantas meminta maaf padanya.” Tegas Valda pada Tyas.
“Aku tidak tahu kenapa Alderts bisa berteman dengan pribumi sepertimu” ujar Anneliese.
Valda hanya diam dan mencoba menahan emosinya sekuat mungkin saat Anneliese
menyebut nama Alderts.
“Tyas, ayo kita pergi.” Valda menarik tangan Tyas, lalu meninggalkan Anneliese yang
terlihat puas mengolok-olok Valda.

**********
“Mbok Sum, ayo diminum.” Valda membawakan jamu yang ia beli pada mbok Juminten.
“Terimakasih, non.”
Mbok Juminten meneguk jamunya hingga habis. Valda hanya melihat mbok Juminten
menghabiskan jamunya yang terlihat pahit, bahkan membayangkan saja Valda sudah mual.
“Mbok Juminten hari ini sudah izin untuk tidak bekerja pada tuan muda.” Ujar Mbok
Juminten. Valda tidak bergeming dan hanya menatap mbok Juminten.
“Aku tidak tahu, mbok.” Jawab Valda dengan datar.
“Mbok Sum sudah mengikhlaskan Ratna.” Ujar Mbok Juminten.
“Apa itu benar??” tanya Valda.
“Tentu saja, Non. Tuhan sangat menyayangi Ratnda dan tidak ingin membuatnya menderita.”
Kalimat itu sudah sering ia dengar saat Valda kehilangan adik perempuannya yang meninggal
akibat kecelakaan.
“Sekarang giliran kamu yang harus mengikhlaskan Ratna dan memaafkan tuan muda.” Mbok
Juminten mencoba meyakinkan Valda.
“Aku membutuhkan waktu.” Jawab Valda.
“Tidak mengapa. Non Valda sudah ingin berusaha.” Ujar mbok Juminten.
Kemudian mbok Juminten beranjak dari kursi kayunya untuk melanjutkan pekerjaan rumah.
Kini, dipiiran Valda hanya terbayang Alderts dan ucapan miliknya yang membuat Alderts
terlihat kecewa pada Valda hari itu yang dimana dirinya sudah melakukan kesalahan lagi
untuk kedua kalinya.

*******
Sesekali Alderts menyeruput tehnya untuk menikmati senja di teras depan. Dirinya
terbayang saat Valda duduk didekat taman bunga miliknya. Terbayang wajah Valda yang
manis dan rambut hitamnya yang terurai mmebuat siapa saja terpesona melihatnya tanpa
terkecuali Alderts.
“Valda?” ia pikir dirinya melihat Valda, namun hanya halusinasinya saja. Hari semakin
petang. Alderts memikirkan apa yang sedang Valda lakukan hari ini bahwa ia sangat
merindukan Valda.
Begitu juga dengan Valda, hari ini entah mengapa dirinya selalu terbayang sosok Alderts.
Terlebih lagi setelah Anneliese mengucapkan kalumat yang baginya menusuk. Dirinya
memandangi kegelapan malam dengan cahaya sinar rembulan yang tampak benderang seolah
menjadi saksi bisu atas kerinduan dua manusia. Mbok Juminten yang melihat Valda, dirinya
tahu bahwa gadis itu tampak terlihat memikirkan Alderts.
“Non Valda, tidak tidur?” tanya mbok Juminten sembari menggantungkan lampu petronak
pada dinding.
“Belum ngantuk, mbok.” Jawab Valda. Kini mbok Juminten berjalan mendekati Valda, lalu
mengusap rambutnya.
“Kalau kamu ingin berkeluh kesah pada mbok, cerita saja.” Ujar mbok Juminten.
“Tentu saja, mbok. Terimakasih atas perhatiannya.” Senyum tipis muncul dari bibir Valda.
“Kamu tahu tidak? kalau mbok sudah anggap kamu anak sendiri.” Ujar mbok Juminten.

Hati Valda merasa tersentuh saat mendengar ucapan mbok Juminten. Wajar saja
begitu, karena Valda hanya tinggal di Jakarta seorang diri sedangkan ibu dan ayahnya bekerja
di Yogyakarta sebagai manager perusahaan property. Harta yang melimpah tentu saja ia
dapatkan, namun tidak dengan kasih sayang. Akhirnya, Valda memutuskan untuk
melanjutkan kuliah di salah satu Universitas terkenal di Jakarta dan hidup mandiri. Hal ini ia
lakukan untuk mendapatkan pengalaman baru, terlebih lagi dirinya tidak begitu merasa
kesepian karena ia memiliki sahabat, Divya walaupun terkadang dirinya tetap saja
merindukan kasih sayang orang tuanya.
“Sekarang waktunya non Valda tidur.” Ujar mbok Juminten.
“Iya, mbok.” Valda merebahkan badannya diatas anyaman tikar serta menarik selimut kain
guna menghangatkan dari rasa dinginnya udara.

***
12
Gadis itu masih saja memperhatikan Alderts yang sedang sibuk melatih pasukan.
Dirinya sebenarnya tidak suka pergi ke tempat seperti ini, namun hal itu ia lakukan untuk
bertemu Alderts. Sesekali Alderts melihatnya, namun dirinya tampak begitu risih saat
Anneliese memandanginya, bahkan Alderts sempat berpikir bahwa seharusnya yang
memperhatikan dirinya adalah gadis pribumi yang tidak lain adalah Valda.
Disaat para tentara sedang beristirahat, Alderts menghampiri Anneliese yang terlihat sudah
menunggunya sejak tadi.
“Apa kabarmu?” tanya Anneliese.
“Aku baik. Bagaimana denganmu?” Alderts sesekali menoleh sekitarnya.
“Aku juga baik. Apa kau setiap hari melatih pasukan itu?” tanya Anneliese.
“Tentu saja. Namun, terkadang aku harus pergi ke kantor Gubernur untuk sekedar mengurus
hal penting.” Jawab Alderts.
“Oh ya, apakah Tuan Claudios ada di rumah?” tanya Alderts.
“Dirinya sedang berkuda hari ini. Jika kau ingin menemuinya, datanglah besok atau nanti
malam.” Anneliese tersenyum pada Alderts. Alderts hanya diam sembari menyeruput
kopinya.
“Apa kau suka berkuda juga?” tanya Anneliese.
“Aku hanya ingin tahu kegemaranmu.” Ujar Anneliese yang menunduk malu.
“Aku suka sekali berkuda di Rotterdam sana. Aku belajar berkuda dengan ayahku.”
“Lantas bagaimana denganmu?” Tanya Alderts.
“Umm aku tidak suka kegiatan seperti itu. Aku lebih suka pergi belanja dan mengambil
barang apapun yang aku sukai.” Gadis itu langsung menjawab pertanyaan Alderts seolah
menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang gadis Eropa yang berkelas hingga Anneliese
tidak sadar bahwa Alderts bukanlah pria yang hidup dengan kemewahan. Semua ia dapatkan
dengan hasil usahanya ia sendiri.
“Astaga, aku lupa jika hari ini ada janji bersama teman-temanku. Maaf aku harus pergi
dahulu.” Ujar Anneliese.
“Tentu saja. Silahkan, Anneliese.” Alderts mempersilahkan Anneliese untuk pergi walaupun
dengan berat hati sebenarnya Anneliese ingin berbincang bersama Alderts dalam waktu yang
lama.
Jam istirahat saat itu juga telah usai. Para pasukan kembali dilatih dengan baik untuk
menjaga apabila terjadi pemberontakkan. Sebenarnya, tidak semua tentara professional yang
ikut dikirim ke Batavia. Sebagian besar adalah kaum pemuda Belanda yang menganut
kebijakan pemerintah untuk wajib mengikuti militer waaupun tidak sedikit dari mereka yang
sebenarnya berat hati meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak memiliki kemampuan yang
cukup handal tentang kemiliteran.

********
“Air sungai ini masih segar. Sangat berbeda dengan Jakarta sekarang.” ujarnya dalam hati.
Siang hari, Valda pergi mengambil air dari sungai untuk ia gunakan mandi. Maklum saja di
rumah mbok Juminten tidak ada saluran pipa air seperti kran, bahkan di sungai itu terlihat
jelas banyak anak-anak yang sedang asik mandi dan bermain.
“Butuh bantuanku, nona?” Valda terkejut melihat Deehan yang sudah duduk di pinggiran
sungai seolah sedang menungggu Valda sedari tadi.
“Kau lagi? Aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu seperti hantu.” Valda mengerutkan
keningnya.
“Aku baru saja hendak pergi setelah mandi disini dan tanpa sengaja aku melihat kamu.” Ujar
Deehan.

Kini Deehan beranjak dari pinggiran sungai, lalu membantu Valda membawakan
kendi yang terlihat cukup berat untuk Valda bawa sendirian. Ditengah perjalanan, Deehan
menyuruh Valda berhenti sementara.
“Valda, maukah kau berteman denganku?” tanya Deehan. Pertanyaan yang dilontarkan
Deehan membuat Valda tidak bergeming untuk sesaat.
“Berikan alasanmu kenapa kau ingin berteman denganku. Bukankah aku pribumi?”
pertanyaan tersebut memalik pertanyaan Deehan.
“Apa maksudmu? Bukankah kita sama saja manusia?” ujar Deehan.
“Ya, sebenarnya kau tidak perlu meminta izin untuk itu.” Celetuk Valda.
“Bedankt” (terimakasih)
Valda tidak membalas ucapan Deehan dan tetap melanjutkan perjalanan pulang.

******
“Non Valda, dari mana saja?” Tanya mbok Juminten.
“Tadi aku sedang pergi untuk mengambil air di sungai.” Jawab Valda. Disamping itu, mbok
Juminten mempersilahkan Deehan untuk duduk di kursi bambu.
“Silahkan duduk, meneer.” Ujar mbok Juminten. Tyas membawakan segelas air untuk
Deehan dan Valda. Sekilas tatapan Tyas sedikit tidak biasa pada Deehan.
“Tyas, kemarilah dan duduk bersama kami.” Ujar Valda.
“Umm, tidak. Aku akan pergi ke pasar.” Tyas menolak ajakan Valda dan tampak dari
gelagatnya, kelihatan ragu.
“Oh, berhati-hatilah.” Ujar Valda.

Kemudian Tyas meninggalkan mereka berdua yang tampak asik berbincang. Tidak
berapa lama kemudian setelah Tyas pergi, Deehan izin untuk pamit.
“Valda, sepertinya aku tidak bisa berdiam lama disini.” Ujar Deehan.
“Kenapa?” tanya Valda.
“Masih banyak yang harus aku kerjakan.” Jawab Deehan. Akhirnya Valda mempersilahkan
Deehan untuk pergi. Namun sebelum Deehan pergi, ia menawarkan Valda untuk datang ke
acara hiburan yang tidak jauh dari tempatnya.
“Bisakah besok kita pergi ke sebuah acara hiburan.” Ujar Deehan.
“Hiburan seperti apa?” tanya Valda.
“Panjat pinang. Kau tahu bukan?” jawab Deehan.
“Oh ya. Tentu saja aku tahu.” Valda tersenyum pada Deehan.
“Jadi, kau akan ikut?” Deehan mengharapkan persetujuan Valda.
“Iya. Aku akan ikut.” Tanpa pikir panjang, Valda mengiyakan ajakan Deehan.

********
Alderts tampak serius membaca surat kabar hingga tidak sadar, satu jam telah ia
gunakan hanya untuk membaca. Sesekali melirik jam dinding lalu melepaskan kacamata yang
ia gunakan untuk membiarkan matanya beristirahat sembari jemarinya memijat pelipisnya,
kemudan Alderts hendak beranjak dari kursinya lalu meletakkan surat kabar itu di rak
bukunya dan tanpa sengaja, dirinya melihat buku kisah Odysseus dan Penelope. Kenangan
kembali lagi dalam pikirannya dimana saat Valda memaksa dirinya untuk menceritakan kisah
itu. Kini Alderts merindukan rengek-an Valda yang terlihat konyol lalu merindukan gaya
bicaranya yang berbeda dari wanita lainnya yang pernah ia temui seumur hidupnya.
Pemikiran Valda juga sangat kritis dan cerdas. Terlihat dari sorot matanya serta caranya
berbicara sangat jauh lebih berwawasan dibandingkan dengan wanita Eropa kebanyakan yang
bersikap angkuh serta kurang pandai dalam wawasannya. Alderts berpikir bahwa untuk
seorng pribumi sepertinya, Valda patut dikagumi.

***
13
“Tidak, aku mohon jangan”
Teriakan yang terdengar sangat pilu dan mengusik malam. Dua tentara yang sedang
menikmati tubuh seorang gadis seperti singa yang sedang menyantap mangsanya.
“Diam inlander!”
“Nikmati saja permainan ini”
Kini mereka merobek kebaya yang gadis itu kenakan. Salah sati dari tentara itu menjambak
rambutnya dengan kuat.
“Tolong hentikan.” Pekik gadis itu. Dirinya berharap ada seseorang yang menolongnya.
“Hey, sudahlah”. Suara seserang dari balik pintu itu membuat mereka berhenti sejenak.
Gadis itu berpikir sepertinya doa yang ia panjatkan telah dikabulkan. Pria itu berdiri tepat
dipintu dengan seragam yang masih ia kenakan.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya salah satu dari mereka.
“Kau mengganggu kami”
“sekarang, itu tidak penting kawan.” Ujar pria itu.
“Apa yang ingin kau katakan?”. Pria itu hanya menyeringai seolah sedang memikirkan
sebuah rencana jahat.
“Aku ingin membalaskan apa yang telah direbut dariku dan tidak sepantasnya dia
mendapatkan apa yang harusnya menjadi miliku.” Ujar pria itu.
“Aku tahu siapa yang kau maksud, kawan.”

Jam dinding terus berdetik mengisi kesunyian. Gasi itu masih menangis tersedu-sedu
sehingga pria asing mengalihkan pandangannya kepada sang gadis. Perlahan pria asing itu
melihatnya lalu mendekatinya sembari tersenyum.
“Pulanhlah sekarang.” bisik pria itu. Gadis itu hanya mengangguk seolah tidak memikirkan
makna yang tersimpan didalamnya.
“Hey, kenapa kau biarkan dia pergi?!” Pria itu hanya diam lalu menatap kearah pintu dan
tepat saat gadis itu hendak keluar melalui pintu, ia menarik pelatuknya sehingga sebuah
peluru melesat mengenai kepala sang gadis.
“Dorrr dorr”
Dua peluru tepat mengenai kepala gadis itu, Seketika tubuhnya tersungkur ke lantai dan
bersimbah darah. Nafas gadis itu tersengal-sengal hingga hembusan nafas terakhirnya.
“Aku mengakui bahwa kau penembak yang jitu.”
“Bukankah seharusnya kau yang mendapatkan jabatan perwira tinggi itu.”
“Jangan ingatkan aku lagi.” Kini pria itu memasang wajah emosi. Kemudian pria asing itu
bergegas pergi.
“Semoga berhasil, kawan!” Teriak salah satu dari mereka.

********
Semua orang terlihat berdesak-desak hendak menonton perlombaan panjat pinang.
Terlihat para pejabat Belanda dan kaumnya duduk di tempat yang sudah dipersiapkan.
Sedangkan para penonton dari kalangan pribumi hanya bisa duduk di pinggir lapangan yang
panas akibat terik matahari.
Valda dan Deehan mencoba mencari tempat yang teduh disekitar pohon mangga.
Sebenarnya, Deehan bisa saja duduk diantara kaumnya. Namun, Valda menolak karena
dirinya begitu kesal dengan ulah kaum Belanda.
“Kau tahu tidak kenapa ada panjat pinang?” tanya Deehan.
“Kenapa?” Valda memasang wajah bingung,
“Panjat pinang sebenarnya dibuat untuk merayakan ulang tahun pemimpin kami yaitu Ratu
Willhemina.” Ujar Deehan.
“Aku mengerti. Bukankah dia adalah ratu yang tidak pernah merelaakkan apabila Hindia
Belanda merdeka?” pertanyaan yang menohok itu cukup untuk membuat Deehan terbungkam
untuk sementara.
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Deehan.
“Aku seorang pelajar dan aku tahu segalanya.” Jawab Valda.
Valda sangat tidak menyukai sikap kaum Belanda, terutama yang dirinya lihat sekarang
mereka terlihat mengolok-olok kaum pribumi yang sedang bersusah payah untuk meraih
hadiah. Valda berpikir panjat pinang yang biasa ia lihat akan sama dengan sekarang. Namun,
pemikirannya salah. Entah kenapa Valda merasa panjat pinang yang dilakukan oleh kaum
pribumi adalah sebagai penghinaan terhadap bangsa Indonesia.
“Kau pelajar darimana?” tanya Deehan.
“Deggg” Valda memasang raut wajah terkejut. Ia mencoba mencari sebuah alasan karena
saking kesalnya Valda dengan Belanda, membuat dirinya berceletuk seperti itu.
“A-apakah kau tahu STOVIA?” Tanya Valda sedikit ragu.
“Kau pelajar STOVIA? Jarang sekali aku melihat gadis yang mengenyam pendidikan sejauh
itu.” Jawab Deehan.
Untunglah Valda segera mengingat ucapan Alderts saat dirumah Tuan Claudios sehingga ia
mendapat sebuah alasan yang dirasa cukup masuk akal.
“Lalu, bagaimana kau bisa berteman dengan Alderts?” tanya Deehan.
“Itu karena mbok Juminten.” Jawab Valda.
“Kau pernah berkata padaku bahwa kau bekerja disana, bukan?”
“Ah, iya. Aku membantu mbok Juminten.”
“Kau adalah seorang pelajar STOVIA, tetapi kenapa kau harus bekerja disana?bukankah kau
bisa saja menjadi seorang guru?” Ujar Deehan semakin penasaran pada Valda.
“Kau tahu bukan? Sangat sulit untuk mencari pekerjaan karena kalanganmu hanya
menganggap pribumi adalah budaknya.” Semakin lama, Valda terbiasa pada pertanyaan
Deehan.

Deehan hanya terdiam dan mengarahkan pandangannya pada perlombaan. Begitu juga
dengan Valda.
Semua orang tertawa menyaksikan para peserta lomba yang kesulitan untuk meraih hadiah,
bahkan hingga terjatuh. Diantara semua orang yangtertawa, entah mengapa Valda terlihat
tidak senang.
“Lihatlah monyet itu! HAHAHHAA” Gelak tawa yang menggelegar dari salah satu pejabat
yang menunjuk peserta lomba.
“Tidak tahu malu.” Celetuk Valda mendengar ucapan pejabat itu.
“Apa katamu? Disini terlalu ramai.” Tanya Deehan.
“Ah, tidak ada.” Jawab Valda.
Akhirnya para peserta lomba berhasil meraih hadiah yaitu beberapa bahan pokok seperti
beras, gula dan lainnya.
“Acaranya sudah selesai. Ayo kita pulang.” Ujar Valda.
Mereka akhrnya bergegas untuk pulang sore itu.

*******
Sesampainya dirumah mbok Juminten, Valda melihat sesosok pria yang ia kenal yang
tidak lain adalah Alderts.
“Kau tunggu disini sebentar.” Ujar Valda yang menyuruh Deehan untuk menunggunya di
kejauhan. Begitu pula Alderts yang melihat Valda, raut wajah bahagia terukir ketika
melihatnya.
“Apa kabarmu?” tanya Alderts.
“Aku baik.” Jawab Valda dengan singkat kemudian ia masuk rumah dan meninggalkan
Alderts sendirian. Alderts yang melihat Deehan dari kejauhan lalu memghampirinya
meskipun Alderts tidak begitu menyukainya.
“Apa saja yang kalian lakukan hari ini?” tanya Alderts.
“Kami hanya menuju lapangan yang tidak jauh dari sini untuk menonton hiburan.” Jawab
Deehan.
“Valda adalah gadis yang manis bahkan kalangan seperti kita bisa menyukainya, bukan?”
Ujar Deehan.
Apa yang dikatakan Deehan tersebut membuat Alderts hanya tersenyum walaupun sorot
maata Alderts sangat tajam. Tidak berselang lama, Valda datang menghampiri mereka
walaupun Valda berharap Alderts segera pulang. Namun, pemikirannya tidak tepat.
“Hari sudah sore. Apa kau tidak pulang, Deehan?” tanya Valda.
“Jangan khawatir, Valda” Deehan tersenyum pada Valda.
“Sampai jumpa, kawan.” Ujar Deehan pada Alderts.
Setelah Deehan sudah pergi cukup jauh, Valda mencob mengabaikan Alderts. Namun, itu sia-
sia karena dilubuk hatinya, ia sangat rindu pada Alderts.
“Kau tidak pulang?” Tanya Valda.
“Dan bila kau akan pulang ke rumah itu?” Alderts berharap bisa membawa Valda ke
rumahnya. Sesaat Valda hanya terdiam mendengar pertanyaan Alderts.
“Aku akan pulang. Tetapi tidak untuk sekarang.” ujar Valda. Alderts hanya mengangguk
seolah ada harapan baginya untuk membawa Valda kembali.
“Baiklah, aku akan mengingat ucapanmu.” Ujar Alderts. Valda hanya menatap Alderts
dengan wajah yang datar, kemudian segera meninggalkannya.
“Goede Nacht!” (Selamat malam).
Valda berbalik badan dan hanya mengangguk tanpa sepatah kata. Alderts merasa bahagia saat
mendengar ucapan Valda walaupun ia harus menunggu lama, namun ia yakin bahwa Valda
tidak akan pernah mengingkari apa yang ia ucapkan.

***
14
“Non Valda ingin apa?” Mbok Juminten menawarkan jajanan tradisional yang ditawarkan
oleh pedagang keliling disekitaran rumah.
“Wah kok ayu tenan.” (Wah kok cantik sekali) Puji si pedagang.
“Jenenge wis Valda. Pasti wonge ayu.” Jawab mbok Juminten.
Valda hanya tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Walaupun Valda adalah orang
Jawa, namun dirinya tidak terlalu fasih berbahasa Jawa karena di lingkungan sekitarnya, tidak
ada orang yang berbicara dalam Bahasa Jawa.
“Saya mbok Wira dari Pasuruan.” Pedagang itu memperkenalkan dirinya.
“Saya Valda. Salam kenal.” Ujar Valda.
“Ini, ambil saja untukmu. Jangan dibayar.” Ujar mbok Wira.
“Loh, tapi kenapa?” tanya Valda.
“Anggap saja ini hadiah karena saya bertemu kamu.” Jawab mbok Wira terkekeh.
“Jangan berlebihan, mbok.”
“Sudahlah. Tidak mengapa, nduk.”
“Yasudah kalau begitu. Terimakasih, mbok Wira.” Ujar Valda.
“Iya nduk. Kalau begitu, saya pamit mau lanjut.” Ujar mbok Wira.

Kemudian mbok Wira beranjak dari kursinya lalu kembali menyunggingi


dagangannya.
“Mbok Juminten, tolonng panggil aku Valda saja.” Ujar Valda.
“Memang kenapa, non?” tanya mbok Juminten.
“Karena aku menganggapmu seperti ibuku sendiri. Jadi mulai sekarang , berhentilah
memanggilku nona.” Jawab Valda.
“Terimakasih, Valda.” Ujar mbok Juminten sembari memeluk Valda.
“Oh ya, dimana Tyas?” tanya Valda.
“Dia sedang ke pasar. Nah itu dia.” Ujar mbok Juminten yang mengarahkan pandangannya
pada Tyas.
“Kenapa kamu lama sekali?” tanya mbok Juminten. Tyas hanya menatap ibunya lalu
mengabaikan pertanyaannya.
“Sudahlah mbok, biar aku saja yang mengurus Tyas.” Ujar Valda.
“Yasudah kalau begitu. Mbok akan masak dulu.”
“Iya mbok.”

Valda masuk kedalam kamar Tyas lalu menanyakan apa yang terjadi padanya. Dilihat
Tyas sedang menangis tersedu-sedu.
“Tyas, kamu kenapa?” tanya Valda khawatir. Tyas masih belum menjawab pertanyaan Valda
dan tetap menangis.
“Katakan padaku, Tyas.”
“Sahabatku telah dibunuh oleh para anjing pirang itu!”ujar Tyas.
“Siapa yang kau maksud?” tanya Valda.
“Wong londo itu sangat kejam. Aku membenci perbuatan mereka!”. Valda segera memeluk
Tyas untuk segera menenangkannya lalu Valda mencium kening Tyas.
“Astaga Tyas. Kamu kenapa menangis?” mbok Juminten yang saat itu mendengar teriakan
Tyas sontak terkejut melihat putrinya menangis.
“Apa ibu tau Ninis?dia meninggal buk.” Tangisan Tyas semakin kencang.
“Sudah, jangan menangis.” Ujar Valda.

*******
“Besok jendral akan datang untuk melihat perkembangan militer disini. Jadi, jangan buat aku
malu.” Ujar mayor Janssen.
“Siap.” Alderts memberi hormat pada mayor Janssen.

Setelah mayor Janssen pergi, Alderts menuju salah satu rangan untuk mengambis
bberapa dokumen. Ia berjalan di koridor melewati beberapa ruangan lain. Hingga tanpa
sengaja, dirinya melihat seorang pria asing disalah satu ruangan tersebut. Namun, Alderts
mencoba untuk tidak menghiraukannya dan terus berjalan. Perasaan curiga muncul
dibenaknya hingga akhirnya ia memutuskan untuk berbalik arah. Kini, di ruangan itu terlihat
kosong. Aldets berpikir mungkin itu adalah tentara baru.
“Kau sedang apa?’ Mogens terlihat heran melihat Alderts.
“Mencari beberapa dokumen untuk mendata pasukan.” Jawab Alderts.
“Dokumen itu berada di mejaku.” Ujar Mogens.

Alderts berjalan menuju meja Mogens untuk mengabil dokumen.


“Apakah ada orang selain kita yang dibolehkan memasuki ruangan disini?” Alderts teringat
pada kejadian yang baru ia alami.
“Siapa yang kau maksud? Kau tahu bukan bahwa orang yang tidak berkepentingan, dilarang
memasuki ruangan disini.” Jawab Mogens.
“Aku melihat seseorang. Namun, tidak begitu jelas wajahnya. Ia sedang mencari sesuatu.”
Ujar Alderts.
“Tidak ada, Alderts. Hanya saja tadi seorang datang kesini.” Mogens mencoba mengingat
sesuatu sembaari mengerutkan alisnya.
“Apa?!Untuk apa ia datang?” tanya Alderts.
“Dia berkata bahwa seniornya menyuruhnya untuk mengambil keperluan di Barak.” Jawab
Mogens. Alderts merasa kurang puas pada jawaban Mogens. Namun, ia tidak ingin Mogens
merasa curiga padanya dan mencoba untuk segera pergi. Disaat Alderts sudaha berada di
ambang pintu, Mogens sedikit berteriak.
“Rambutnya sedikit bergelombang dan berwarna cokelat gelap! Begitulah yang aku ingat.”
Ujar Mogens.
“Deg”

************
“Apa ia sudah tidur?” Tanya mbok Juminten.
“Sudah, mbok.” Jawab Valda. Tidak lama setelah Tyas menangis, ia tertidur saat Valda
sedang mengusap kepalanya.
“Mbok masak apa hari ini?” Tanya Valda.
“Masak botok, kesukaan Tyas.” Jawab mbok Juminten dengan tersenyum.
“Botok?” Valda tidak pernah mendengar makanan itu sebelumnya.
“Kamu pernah makan botok?” Tanya mbok Juminten. Valda hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya lalu memasang wajah konyol.
“Kalau begitu, kamu coba botok buatan mbok Juminten nanti.” Ujar mbok Juminten.

Valda kemudian membantu mbok Juminten untuk memasak botok. Valda memang
kurang untuk eemasak makanan seperti ini. Namun, ia adalah tipikal yang selalu ingin
mencoba. Mereka tampak sibuk didapur untuk memasak. Dengan arahan dari mbok
Juminten, kini ia berhasil membuat hidangan khas Jawa satu ini.
“Nah sudah jadi. Ayo makan.” Ujar mbok Juminten.
“Iya mbok.” Valda mencicipi botok buatannya sendiri.
“Gimana? Itu buatan kamu loh.” Mbok Juminten terkekeh.
“Enak mbok. Valda suka.” Ujar Valda.
“Apa Tyas tidak dibangunkan saja?” tanya Valda.
“Biarkan dia bangun dengan sendirinya. Mbok khawatir ia akan menangis lagi.” Ujar mbok
Juminten.
“Ayo, habiskan.” Ujar mbok Juminten.
“Jika mbok butuh bantuan, panggil aku saja. Aku juga ingin belajar memasak.” Ujar Valda
sembari mengunyah makanannya. Mbok Juminten menganggukan kepalanya sembari
tersenyum. Pertanda bahwa ia menyetujui Valda.

***
15

“Hei inlander, berikan pajak kalian!” ujar salah satu tentara dengan wajah bringas.
“Kalian harus segera membayar pajak!”
“Ampun, meneer. Penghasilan saya belum cukup.” Pria paruh baya itu bersujud memohon
rasa iba.
“Kau seharusnya mematuhi peraturan.”

Duggg!!
Mereka menendang pria paruh baya itu dengan sekali tendangan yang mampu membuay pria
itu tersnungkur sembari menahan sakit pada dadanya.
“Saat lusa, kau harus membayar pajak segera! Jika tidak, kau akan tahu akibatnya.”
Kemudian mereka meninggalkan pria tua tersebut.
“Aku sangat membenci inlander!” ujar salah satu tentara. Temannya hanya tersenyum sinis
padanya.
“Kau tampak beringas juga saat menendang inlander itu.” Tentara itu mencoba memuji
temannya, namun tidak ada reaksi apapun yang terlihat.
“Kenapa kau melamun?”
“Tidak ada”
“Lusa kau akan ikut datang kerumah inlander itu?”
“Kita lihat saja nanti”
“Kau pasti tidak akan mengecewakan diriku. Terlebih lagi saat kau menendangnya.”
“Aku kagum padamu.” Kemudian dirinya berjalan meninggalkan temannya yang sedang
memuji dirinya.
“Kau mau kemana?”
“Ke suatu tempat dimana aku memulai permainan.”

********
“Breng Groet!!”
Semua pasukan memberi hormat pada jendral yang terlihat sudah datang. Ia adalah Jendral
Gubernur Tjarda Van Starkenborg, seorang pemimpin dengan pangkat tinggi di Batavia.
“Buitengewoon” ujar Jendral sembari bertepuk tangan.
“Kau melatih pasukan dengan hebat.”
“Dank u geneeral” ujar Alderts.
Terik matahari ditanah lapang membuat kulit para tentara berwana merah. Namun, mereka
diharuskan untuk tetap gigih karena semakin lama, Jepang mencoba untuk masuk ke Hindia
Belanda.

*********
“Deehan? Rupanya kau datang lagi.” Ujar Valda.
“Memang kenapa? Apa aku tidak boleh?” tanya Deehan.
“Aku tidak berkata seperti itu.” Jawab Valda.
“Apa kau sendirian?dimana mbok Juminten?” Deehan menoleh disekelilingnya.
“Ia sedang bekerja di kediaman Alderts.”
“Valda, ayo ikut denganku.” Ujar Deehan.
“Kemana?” tanya Valda.
“Sudah, ikut saja aku.” Deehan menarik pergelangan Valda lalu mengajaknya ke suatu tepat
yang Valda belum pernah melihatnya. Berdiri sebuah Gereja dengan pilarnya yang berwarna
putih lalu dihias dengan ukiran.
“Kenapa kau mengajak diriku kesini?” Valda yang sebelumnya tidak pernah diajak ke Gereja
terlihat heran.
“Hari ini temanku mengadakan pernikahan.” Jawab Deehan. Di gereja tersebut, sudah banyak
tamu undangan yang hadir, lalu pengantin pria yang sudah menunggu di altar.
“Aku pikir kita akan terlambat.” Ujar Deehan yang sudah mencari kursinya.
Dataanglah mempelai perempuan dengan rambut yang digerai lalu mengenakan gaun putih
dengan gaya khas Eropa. Sembari tersenyum, ia mengarahkan wajahnya kepada calon
suaminya itu. Iringan piano dan biola menambah suasana yang romantis.

**********
“Sudah lama sekali aku tidak makan bersama.” Ujar jendral.
“Ini adalah pertama kalunya kami bisa makan denganmu.” Ujar Alderts.
“Tentu saja. Aku sangat sibuk sekali. Semakin hari, banyak sekali orang Netherland yang
mulai meninggalkan Hindia Belanda, termasuk di Batavia.” Ujar jendral.
“Aku sudah tahu itu. Kemunculan pasukan Jepang sudah merebak ke seluruh penjuru.”
Alderts memasang wajah yang amat serius.
“Aku memiliki firasat bahwa mereka pasti akan berlabuh ke daerah Borneo.” Ujar jendral
sembari menghisap cerutunya.
“Aku dengar bahwa kau adalah salah satu perwira terbaik. Beruntunglah aku.”
Alderts hanya membalas dengan senyuman.
“Aku berharap apabila keadaan sudah darurat, kau akan memimpin pasukan di Batavia. Aku
mempercayaimu.”
“Terimakasih atas kepercayaan yang telah kau berikan padaku.” Ujar Alderts.
“Sepertinya sudah waktunya aku harus kembali.” Ujar jendral yang sudah beranjak dari
kursinya.
“Selamat bertugas, perwiraku. Tetap semangat.”
“Dank u.” Ujar Alderts.

**********
“Kalian sekarang sudah resmi menjadi sepasang suami dan Istri.” Ujar sang pendeta pada
kedua mempelai. Acara pelemparan bunga segera dimulai. Para gadis berkumpul untuk
mendapatkan seikat bunga.
“Ikutlah mereka.” Ujar Deehan.
“Tidak perlu” Valda menolak untuk berdesak-desakan.
“Kau payah sekali, Valda.” Ujar Deehan.
“Apa? Aku payah? Biar aku buktikan padamu bahwa akan aku dapatkan bung aitu.” Ujar
Valda.

Valda kemudian bergabung dalam kerumunan para gadis. Hitungan mundur dimulai,
lalu bung aitu dilempar mengarah ke kerumunan. Valda berushaa keras mendapatkan seikat
bunga mawar putih tersebut dan usahanya membuahkan hasil.
“Aku mendapatkannya!” Valda sangat kegirangan karena mendapatkan seikat bunga
hingga tidak sedikit menarik perhatian para tamu.
“Lihatlah, Deehan. Valda tidak payah.” Ujar Valda yang merasa puas.
“Itu hanyalah kebetulan saja.” Jawab Deehan yang enggan untuk mengalah.
“Yang terpenting, aku sudah membuktikannya padamu.” Ucap Valda. Kedua pengantin
tersebut datang menghamoiri Valda dan Deehan.
“Aku ucapkan selamat atas pernikahanmu.” Deehan memberi salam pada temannya.
“Perkenalkan, dia adalah Michael dan isterinya Anne.” Ujar Deehan pada Valda.
“Namaku Valda Eilien.” Valda tersenyum pada mereka.
“Senang berkenalan denganmu.” Ujar Anne.
“Jadi, apakah kalian ingin memiliki rencana setelah menikah?” tanya Deehan.
“Kami mungkin akan kembali ke Rotterdam.” Jawab Michael.
“Kau sudah tahu kan? Bahwa situasi kini mulai tidak aman. Mungkin sebaiknay kau juga
kembali, kawan.” Michael tampak menkhawatirkan Deehan.
“Ada yang harus aku selesaikan disini.” Ujar Deehan.
“Semoga Tuhan memberkatimu, kawanku.” Michael hanya bisa tersenyum mendengar
Deehan.
“Sudahlah Michael, jangan berbicara seperti itu. Deehan, tidak perlu dipikirkan.” Anne ikut
menimpali.

Valda hanya bisa terdiam mendengar perbincangan mereka sembari wajahnya yang
berubah menjadi pucat pasi. Ia teringat akan sejarah kelam bahwa di tahun 1942, akan datang
pasukan yang memiliki tubuh pendek dan bemata sipit, namun memiliki tekad kuat yaitu
adalah Nippon.
“Valda, apa kau sakit?kenapa wajahmu pucat?” tanya Deehan.
“Sepertinya aku sedikit lelah.” Jawab Valda yang sedikit berbohong.
“Aku akan segera mengantarkanmu pulang.” Ujar Deehan pada Valda.
“Michael, aku pergi dahulu. Selamat menempuh hidup baru.” Ujar Deehan.
“Terimakasih, Deehan.”
“tot ziens” Deehan melambaikan tangannya.

**********
“Kita sudah sampai dirumah.” Ujar Deehan menuntun Valda.
“Deehan, maafkan aku.”
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku, kau jadi pergi meninggalkan temanmu.”
“Tidak masalah, lagipula aku sudah datang kesana. Sekarang kau harus istirahat.” Deehan
mengantar Valda masuk.
Saat Deehan dan Valda memasuki rumah, Tyas terlihat sedang menunggu Valda. Tyas yang
melihat Deehan bersama Valda, tidak berkata sepatah kata apapun. Hanya menatap mereka
dengan tatapan yang sedikit cetus.
“Valda, aku pergi dahulu. Sampaikan salamku pada mbok Juminten.” Ujar Deehan.
16
“Bisa aku menanyakan sesuatu padamu?” Tanya Tyas.
“Sesuatu apa?”
“Apa hubunganmu dengan pria londo itu?”
“Siapa? Maksudmu Deehan?” Tyas hanya mengangguk tanpa berbicara sepatah kata.
“Kita hanya sebatas teman saja.” Valda tersenyum dan mencoba meyakinkan Tyas.
“Apa itu benar?”
“Memangnya ada apa ?” Valda terlihat sedikit keheranan. Tyas menggeleng-gelengkan
kepalanya dan hal itu membuat Valda ragu.
“Ayo kita kesana!” ujar Tyas yang mencoba untuk mengalihkan topik.

Suasana pasar sedang ramai, apalagi sekarang adalah musim panen. Banyak sekali
pedagang yang menjuak setengah dari hasil panen lalu setengahnya lagi akan diserahkan
kepada Belanda.
“Kau mau membeli ini? Valda menunjuk buah mangga yang terlihat segar.”
“Aku hanya ingin melihat-lihat saja.” Ujar Tyas. Valda tahu benar bahwa Tyas sangat
menginginkan mangga. Namun, Gulden yang dibawa tidak cukup untuk membelinya.
“Sebaiknya, ayo kita pulang.” Ujar Valda. Saat mereka hendak pulang, Valda melihat orang-
orang yang saling berbisik-bisik.
“Sudah aku katakana untuk menyiapkan seluruh hasil panen!” Suara dengan nada tinggi
tersebut berhasil membuat Valda terkejut dan heran.
“Dugg”
Valda mendengar suara tendangan yang tidak jauh dari tempat dirinya berdiri. Dilihatnya
seorang pria paruh baya yang sedang tersungkur di tanah.
“Hari ini kau tidak menepati janji kami lagi, inlander! Kau akan merasakan akibatnya.”
Tentara itu mengambil sebuah pistol di sakunya. Mata Valda mendelik dan terkejut lalu kea
rah dimana pria paruh baya tersebut tersungkur untuk melindunginya.
“Valdaaa” teriak Tyas yang ikut menyusul Valda.
“Apa kau tidak memiliki rasa kasihan melihatnya?!!” Valda terlihat geram.
“Jangan ikut campur urusan kami!” ujar pria londo tersebut dengan nada tinggi.
“Aku memiliki hak untuk melindungi kaumku.” Valda tidak ingin mengalah. Nadanya juga
ikut meninggi.
“Diam kau pribumi!” Valda berdiri dan merentangkan kedua tangannya untuk melindungi
pria paruh baya tersebut. Kini, tentara tersebut berubah mengarahkan pistolnya tepat
dihadapan Valda.
“Aku muak dengan gadis sepertimu yang bertingkah seperti pahlawan.”
“Silahkan, tembak saja aku!” Mata tentara tersebut terus menatap Valda sebelum dirinya
meletakkan kembali pistol itu di sakunya.
“Sial” celetuk tentara tersebut yang akhirnya pergi meninggalkan mereka. Gerombolan
kerumunan mulai membubarkan diri seolah tidak pernah terjadi apapun.
“Biar saya membantu anda berdiri.” Valda membantu pria paruh baya tersebut.
“Terimakasih sudah menolong saya. Tapi kemungkinan mereka akan kembali lagi.”
“Para londo itu memang tidak memiliki hati Nurani.” Ujar Valda yang mengerutkan alisnya.
“Saya akan berusaha supaya hasil panen saya memenuhi keinginan mereka.” Senyum pria
paruh baya tersebut membuat hati Valda terenyuh.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama seseorang it uterus berusaha.” Pria paruh baya
tersebut berjalan dengan kaki yang sedikit pincang.
“Saya akan mengantar bapak pulang. Tyas, sebaiknya kau pulang saja dahulu.” Ujar Valda.
“Bagaimana dengan ibu?” tanya Tyas sedikit berbisik.
“Jangan mengatakan masalah ini dengan mbok Juminten.” Jawab Valda.
“Sekarang, cepat pergilah sebelum ibumu khawatir.” Ujar Valda.
“Jangan repot. Saya bisa sendirian.” Pria paruh baya itu mencoba meyakinkan Valda.
“Saya telah diajarkan untuk melayani orang yang lebih tua.”
“Kalau begitu, baiklah neng.” Pria paruh baya tersebut tersenyum.
Tyas pergi meninggalkan Valda yang mengantarkan pria paruh baya tersebut ke rumahnya.

**********
Sesampainya dirumah, Tyas melihat seorang tamu yang tidak lain adalah Alderts yang
sedang berbincang-bincang dengan ibunya.
“Dimana Valda?” mbok Juminten terlihat bingung sebab tidak melihat Valda bersama
putrinya.
“Tadi Valda menyuruhku untuk pulang lebih dulu karena ingin membeli sesuatu.” Jawab
Tyas.
“Membeli apa?” mbok Juminten semakin tidak mengerti.
“Tidak tahu, bu. Kalau tidak salah ia tadi terlihat sedang mencari pedagang buah.” Tyas
merasa sepertinya ia harus berbohong karena tidak ingin ibunya dan Alderts merasa khawatir.
“Apa benar yang kau katakan?” Alderts ikut menimpali pertanyaan dengan sorot mata
birunya yang tajam.
“Iya, benar.” Jawab Tyas yang sedikit gugup. Kemudian Tyas pergi menuju kamarnya
sebeluum ibunya memberi pertanyaan lain.
“Jangan khawatir dengan Valda.” Ujar mbok Juminten.
“Aku sudah lama tidak berjumpa dengannya dan aku rindu.” Alderts mengusap wajahnya.
“Sepertinya Valda akan lama kembali. Jam istirahatku akan segera berakhir. Aku harus
segera kembali untuk mengurus pekerjaan” Ujarnya Alderts kepada mbok Juminten.
“Saya minta maaf, tuan.” Ujar mbok Juminten yang merasa bersalah.
“Tidak perlu minta maaf. Kau tidak melakukan kesalah. Mungkin aku datang di waktu yang
tidak tepat.” Alderts mencona untuk meyakinkan mbok Juminten.
“Baiklah tuan.” Ujar mbok Juminten menundukkan pandangannya.

*********
“Maafkan saya yang tidak bermaksud membuat neng repot.”
“Jangan dipiirkan. Saya senang bisa membantu.”
“Sebelumnya, nama neng siapa?”
“Nama saya Valda. Kalau anda?” tanya Valda.
“Saya mbah Kardi.” Sembari membuka pintu rumah yang engselnya sudah sedikit goyah.
“Jika tidak ada neng, saya tidak tahu apa yang terjadi pada saya. Barangkali sudah
meninggal.”
“Jangan berkata seperti itu, mbah.”
“Mbah sempat ingin berhenti menjadi seorang petani karena merasa tidak berdaya pada
peraturan yang ada. Tanaman mbah akan panen sekitar dua bulan lagi karena mbah sempat
gagal panen.”
“Bagaimana dengan mereka? Apa mereka tidaak akan mencari mbah lagi?” tanya Valda.
“Mbah tidak tahu. Semoga saja mereka mengerti.” Jawab mbah Kardi.

Saat itu, terik matahari sudah mulai menyengat. Valda yang tidak sempat berlama-
lama disana lalu pamit setelah mengantar mbah Kardi.
“Kalau begitu, saya pamit pulang yam bah. Sepertinya ibu saya sudah kebingungan mencari
anaknya.” Valda teringat ia harus segera pulang sebelum mbok Juminten merasa khawatir.
“Sebentar. Saya ambilkan air dahulu.” Ujar mbah Kardi.
“Jangan, repot. Maaf, saya terburu-buru, mbah.” Valda mencoba menolak tawaran mbah
Kardi.
“Saya juga minta maaf karena tidak memberikan apapun, neng.”
“Tidak apa-apa. Mbah jangan meminta maaf.” Ujar Valda.
“Saya pamit dahulu, permisi.”
“Iya, silahkan.”

Valda kemudian berjalan terburu-buru untuk segera mencapai rumah. Dirinya


menyusri jalan setapak yang tadi dilalui olehnya dan mbah Kardi. Tidak biasanya Valda pergi
sendiran. Ia selalu bersama Tyas atau paling tidak dengan Deehan. Saat jalan yang ia lewati
sudah cukup jauh, Valda melihat pohon mangga yang sedang bebruah lebat dan aromanya
menggoda siapa saja yang lewat disana. Ia berpikir untuk mengambil beberapa mangga
sebagai alasan untuk mbok Juminten apabila mbok Juminten menanyakan kepergian Valda.
Lagipula, Valda juga teringat bahwa Tyas terlihat sangat menginginkan buah mangga saat di
pasar tadi.

Valda mencoba memanjat pohon mangga yang terlihat cukup tinggi. Ia teringat saat
dirinya masih duduk di bangku SMP, sering dimarahi oleh ibunya karena mencuru mangga
pak Budi, salah satu warga komplek rumahnya.
“Baiklah, akan kupanjat kau sekarang.” gumam Valda. Perlahan-lahan ia mencoba
memijakan kakinya pada pohon tersebut.
“1 2 3 4 …”
“Ahh, kenapa susah sekali memanjat pohon ini? Valda tidak boleh nyerah.” Batinnya.
Berulang kali dirinya gagal dalam memanjat pohon tersebut. Namun, tekadnya kuat. Ia
berpikir untuk mengambil pilihan untuk berpegangan erat pada batangnya yang kasar. Tidak
butuh waktu yang cukup lama, akhirnya Valda berhasil memanjat pohon mangga tersebut
lalu mengambil beberap abuah yang sduah matang. TIdak berselang lama, Valda mendengar
langkah seseorang yang mendekati pohon tersebut. Lalu dirinya mencoba memicingkan
matanya dan yang dilihatnya adalah Alderts. Valda berpikir sepertinya Alderts tidak
mengetahui keberadaanya disini dan Valda memilih untuk berdiam diri sembari Alderts
melewati pohon mangga. Benar saja, Alderts sama sekali tidak melihat Valda yang berada
diatas pohon. Alderts hanya melaluinya begitu saja tanpa curiga.
“Aww gatal.” Semut merah pada ranting pohon itu mengigit tangan Valda yang membuat
tangannya terasa gatal sehingga tanpa sadar, dirinya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
“Duuuggg”
“Awww sakit sekali.” Ujar Valda yang merintih kesakitan. Alderts yang terkejut lantaran
mendengar benturan yang cukup keras, kemudian mengarahkan pandangannya ke belakang
lalu dilihatnya Valda yang tersungkur ditanah.
“Valda, ada apa denganm?” Alderts berlari menuju arah Valda dan membantunya.
“Jangan khawatir, Alderts.” Jawab Valda.
“Bagaimana tidak khawatir? Sekarang jelaskan padaku. Bagaimana kau bisa terjatuh?” tanya
Alderts. Alderts melihat mangga yang Valda genggam lalu mengarahkan pandangannya pada
pohon mangga yang cukup tinggi itu.
“Apa kau memanjat pohon itu?” Valda tidak menjawab pertanyaan Alderts dan hanya
mengangguk.
“Kau pasti melihat diriku saat melewati pohon ini bukan? Kau bisa meminta bantuanku. Atau
kau sengaja menghindariku lagi?”
“Sudahlah, Alderts. Aku harus segera kembali.” Ujar Valda yang mencoba untuk berjalan
walau tertatih-tatih.
“Tunggu Valda.” Panggil Alderts. Alderts kemudian berlutu dengan satu kaki dihadapan
Valda yang membuat Valda berhenti.
“Naiklah cepat. Aku akan menggendongmu.” Ujar Alderts. Sontak jantung Valda berdegup
kencang dan sesekali mengerjapkan matanya.
“Tidak perlu, Alderts.”
“Kau selalu keras kepala, Valda. Mbok Juminten pasti akan semakin khawatir.” Valda
akhinya menyetujui perkataan Alderts lalu membiarkan Alderts untuk menggendongnya.
Selama perjalanan, Valda hanya terdiam tanpa mengatakan sepatah kata.
“Ternyata, kau sangatlah berat.” Ujar Alderts sembari terkekeh.
“Jadi aku ini gendut, begitu?!” Valda merasa kesal saat Alderts mengejek dirinya.
“Kalau begitu, aku turun saja.” Ujar Valda.
“Tidak bisa sebelum kita sampai tujuan. Berpeganglah dengan erat.” Alderts mempercepat
langkahnya sehingga membuat Valda terkejut lalu segera memeluk bahunya.
“Hati-hati, Alderts. Aku hampir saja terjungkal.” Pekik Valda. Alderts hanya tersenyum
menanggapi gadis itu.

**********
“Darimana saja, Valda?kau tahu, mbok sangat khawatir.” Tanya mbok Juminten.
“Aku membawakan mangga untuk mbok dan Tyas.” Jawab Valda. Valda mendelik menatap
Alderts.
“Jangan khawatir, mbok. Besok pasti sudah sembuh.” Ujar Valda meyakinkan mbok
Juminten.
“Ya ampun, Valda. Bagaimana tidak khawatir? Kakimu terkilir. Biar mbok memijat kakimu.”
Alderts membantu Valda untuk duduk.
“Terimakasih, tuan muda. Jika tidak ada anda, entah apa yang akan terjadi sekarang.” ujar
mbok Juminten.
“Tidak perlu berterimakasih. Sudah menjadi tugasku untuk menjaga Valda.” Ujar Alderts.
“Valda, maafkan aku. Aku harus segera pergi. Nanti aku akan menjenguk dirimu.” Jelasnya.
“Alderts, terimakasih sudah menolongku.” Ujar Valda.
“Sama-sama, Valda. Jaga dirimu dengan baik.” Alderts tersenyum pada Valda kemudian
pergi.

***
17

“Aku masih saja merasa geram pada gadis itu.”


“Brakkk!!!” Pria dengan kumis tebal menendangi kursi dihadapannya hingga terpental.
“Jangan terlalu memikirkan ulah gadis itu.” Ujar salah satu temannya.
“Bagaimana denganmu, tuan yang sangat misterius? Kau ada disana, bukan?” tanya dirinya
dengan tatapan yang tajam.
“Benar yang Barron katakana. Jangan terlalu dipikirkan.” Jawabnya dengan senyuman sinis.
“Akan kubunuh gadis inlander itu bila bertemu nanti!” Teriaknya.
“Kau ingin membunuhnya? Bukankah kau memiliki kesempatan? Tetapi kau menyiakan hal
itu.” Ujar pria misterius tersebut.
“Aku akan pergi.” Ujarnya lagi dngan datar.
“Hey tuan misterius, kemana kau?” Tidak ada jawaban dari pertanyaan yang diberikan ria
berkumis tebal tersebut. Ia tetap pergi melangkah menuju ambang pintu tanpa mengatakan
apapun.
“Hei Deehan!!” teriaknya.
“Bukan urusanmu!” Suaranya tidak kalah meninggi sebelum dirinya melanjutkan
langkahnya.

*********
Sudah lebih dari satu minggu Valda hanya berdiam diri dirumah karena kakinya yang
terkilir, bahkan Alderts setiap memiliki waktu luang selalu saja menyempatkan diri untuk
menjenguk Valda.
“Valda, kau ikut tidak?” tanya Tyas.
“Kemana?”
“Ke rumah tuan Alderts.”
“Nanti aku akan menyusul. Firasatku sepertinya Deehan akan datang.” Ujar Valda.
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati saja.” Kemudian Tyas pergi memacu sepeda ontelnya. Valda
hanya mengerutkan kedua alisnya dan menggelengkan kepala.
“Halo, Balda.” Ujar Deehan yang sudah berdiri tepat dibelakang Valda.
“Ternyata firasatku benar.”
“Maksudmu?aku tidak mengerti.” Deehan sedikit heran pada Valda.
“Firasatku mengatakan bahwa kau akan datang kemari.” Jawab Valda.
“Jadi, kau mencoba meramal?” tanya Deehan.
“Tentunya aku bukan seorang Dilan.” Ujar Valda terkekeh.
“Dilan? Siapa dia?” Deehan semakin dibuat keheranan oleh Valda. Valda lupa bahwa ia
sedang di masa lalu dan mengatakan lelucon yang sering ia gunakan pada teman-temannya.
Jadi, tidak mungkin Deehan mengerti apa yang ia katakan.
“Dilan yang aku maksud adalah temanku. Ah sudahlah, lupakan saja.” Ujar Valda.
“Bagimana keadaan kakimu sekarang?” tanya Deehan.
“Sudah membaik. Tenanglah.” Jawab Valda.
“Kau mau ikut denganku?” tanya Deehan.
“Pergi kemana? Kau sangat suka membawaku keliling.”
“Sudahlah, ikut saja.” Ujar Deehan.

*******
Valda menyetujui ajakan Deehan. Kemudian, Deehan meraih tangan Valda dan
membawanya ke sebuah rumah yang cukup besar. Dirumah tersebut, banyak tentara yang
sedang bercengkrama ataupun beristirahat.
“Deehan, ini tempat apa?”
“Tempat peristirahatan kami. Biasanya aku menghabiskan waktu disini. Akan aku
perkenalkan kau dengan teman-temanku.”
Valda hanya mengangguk lalu memasuki rumah tersebut. Disana bukan Valda satu-satunya
perempuan. Terdapat sekitar sepuluh perempuan yang masih terlihatt muda dan sangat cantik
mengenakan kebaya yang indah. Mereka tampak tersenyum ramah pada Valda.
“Siapa gadis ini, Deehan?” seorang pria dengan tatapan yang dingin.
“Dia adalah Valda, temanku.”
“Halo. Aku Valda.”
“Aku Mike, Senang berkenalan denganmu.” Ujar Mike sembari tersenyum.
“Aku pergi dahulu.” Ujar Mike pada Valda dan Deehan.
“Valda, bisakah kau tinggu sebentar disini? Aku akan mengambil dokumen diruanganku.”
“Baiklah. Aku akan menungggumu.”
Kemudian Deehan pergi meninggaalkan Valda di ruang tamu yang cukup luas dan
tentunya ramai oleh para prajurit. Valda memperhatikan di sekelilingnya dan melihat
beberapa gadis tampak menggoda tentara. Valda juga memperhatikan salah satu dari gadis
tersebut sedang dirangkul dan bokongnya diraba. Valda merasakan sedikit geli melihat
pemandanngan seperti ini. Terlihat dari raut wajah mereka mungkin terpaksa melakukannya
karena kebutuhan ekonomi ataupun dijual, jelasnya Valda tidak tau secara pasti.
“Halo gadis cantik.” Seorang pria sedikit lebih tua dibandingkan Deehan, datang
menghampiri Valda.
“Siapa namamu, nona?”
“Namaku Valda.” Jawabnya yang begitu gugup sembari celingukan menunggu kedatangan
Deehan.
“Apa kau sendirian?” tanya pria tersebut.
“Aku datang bersama temanku.” Jawab Valda.
“Apa kau mau menemaniku minum?”
“Maaf, aku tidak bisa.” Valda mencoba menolak tawaran pria tersebut karena dirinya merasa
takut.
“Ayolah nona.” Pria itu tetap memaksda Valda mencengkram tangannya.
“Tolong lepaskan aku.” Ujar Valda sembari memohon agar Deehan segera datang.
“Ayolah!” cengkramannya semakin kuat dan membuat Valda merintih kesakitan. Dibalik
ketakutan Valda oleh pria tersebut, sebuah tangan yang kekar menarik pria tersebut hingga
melepas cengkramannya pada Valda. Valda yang ketakutan, kini merasa aman karena telah
berdiri Alderts dihadapannya.
“Jangan pernah untuk mencoba menggangunya. Ga weg jjij!” Bentak Alderts pada pria
tersebut.
“Het spijt me” ujar pria tersebut pada Alderts yang kemudian pergi. Semua para tentara
disana tampak memperhatikan mereka setelah keribuan dan menunduk pada Alderts.
“kenapa kalian diam saja?!” teriak Alderts.
“Apa kalian buta sehingga tidak menolong wanita ini?” ujar Alderts.
“Maafkan kami.” Ujar salah satu prajurit disana pada Alderts. Terlebih lagi karena posisi
Alderts dalam jabatan yang lumayan tinggi. Valda sama sekali tidak bergeming saat
mendengar ucapan Alderts.
“Ayo kita pulang!” ujar Alderts dengan tegas. Disaat dirinya sedang memperhatikan prajurit
disekitarnya, pandangannya menangkap Deehan yaitu sesosok pria yang menjadi teman
Valda.
“Ayo, Valda.” Alderts menggenggam tangan Valda dengan lembut sembari menuntunnya
berjalan.
**********
Mereka berdua hanya berdiam diri diperjalanan pulang. Valda yang gugup mencoba
memulai pembicaraan terlebih dahulu.
“Alderts, aku berterimakasih padamu.” Ujar Valda.
“Kenapa kau bisa disana, Alderts?” Alderts hanya diam tanpa membalas Valda.
“Alderts, apa kau dengarkan aku?” Valda berhenti sejenak.
“Aku selalu mendengarkanmu, Valda dan sekarang kau membuatku kesal.” Ujar Alderts.
“Kenapa, Alderts?” tanya Valda.
“Kau tahu bukan? Bahwa banyak prajurit disana. Untung saja saat itu aku sedang mencari
temanku dan tanpa sengaja, aku melihatmu.” Jawab Alderts.
“Sebenarnya aku sedang menunggu Deehan karena dirinya mengambil dokumen dan ia
menyuruhku untuk menunggunya.” Jelas Valda. Alderts kembali diam setelah mendengar
penjelasan Valda dan menarik nafasnya sedalam mungkin.
“Lain kali, kau harus bertanya dahulu kemana ia akan mengajakmu.” Ujar Alderts dengan
wajah datar.
Valda yang merasa enggan berbicara, hanya mengangguk saja tanpa berani menatap Alderts.

**********
Rumah masih terlihat sepi. Mbok Juminten dan juga Tyas sepertinya belum pulang.
“Apakah mereka masih disana?” tanya Valda.
“Mungkin saja. Aku tidak sempat untuk pulang.” Jawab Alderts. Valda menatap Alderts yang
sedari ditengah perjalanan terlihat melamun.
“Apakah kau baik-baik saja?” Valda menepuk Pundak Alderts.
“Apa? Aku baik.” Ujar Alderts yang sedikit terkejut. Sebenarnya Alderts memikirkan tentang
Valda dan juga Deehan. Dirinya merasa tidak yakin apabila Deehan adalah pria yang baik.
Ingin sekali Alderts bertanya tentang Deehan. Namun, niat itu selalu diurungkan agar Valda
tidak merasa khawatir dan membuat hubungannya dengan Valda tidak renggang kembali.
“Sekarang kau diam saja disini. Jangan pergi kemanapun. Aku akan menemanimu sampai
mbok Juminten datang.” Ujar Alderts.
“Tidak perlu, Alderts. Masih banyak yang harus kau kerjakan, bukan?”
“Tetapi kau juga penting, Valda.” Jelas Alderts. Mata Valda sedikit terbelak mendengar
ucapan Alderts. Disaat yang sama, mbok Juminten dan Tyas sampai di rumah. Mbok
Juminten sedikit terkejut melihat tuannya datang kerumahnya.
“Tuan kenapa disini?” tanya mbok Juminten.
“Aku hanya sehabis berkeliling dengan Valda.” Jawab Alderts.
“Aku pergi dahulu. Tolong jangan biarkan Valda pergi sendirian.” Ujar Alderts.
“Iya, tuan.” Jawab mbok Juminten.

***
18
Kini ia sedang duduk dan memperhatikan dokumen yang sudah ia kumpulkan.
Wajahnya begitu segius membaaca setiap kalimat untuk mencari informasi. Ia mendengus
kesal sembari mengepalkan tangan.
“Alderts Van Roosevelt, kau harus membayar segalanya!” ujarnya.
“Tok-tok”
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Ia segera beranjak dari kursinya untuk
membuka pintu.
“Apa yang dirimu lakukan?” Tanya temannya.
“Aku sedang sibuk.” Sembari menutup pintu dengan wajahnya yang dingin.
“Tunggu Deehan. Aku punya berita untukmu” pintu itu tertahan oleh temannya.
“Cepat katakan.” Ujar Deehan.
“Aku mendapatkannya dari Rotterdam.” Temannya menyodorkan sebuah surat dibalut
amplop cokelat.
“Siapa pengirmnya?” tanya Deehan.
“Kau pasti akan tahu.” Jawab temannya.
“Baiklah, kawan. Aku harus pergi dahulu.” Sembari menepuk pundak Deehan dan pergi
menggunakan mobil Jeep.

*********
Alderts melamun disaat ia menatap sebuah foto dirinya dengan ibu dan ayahnya. Ia
merasakan kerinduan yang teramat dalam. Beberapa tahun lalu, ayahnya mendaftarkan
dirinya untuk menjadi seorang tentara meskipun itu bukan kehendaknya. Ia berpikir, sebagai
anak yang menghormati orang tuanya, mana mungkin ia menolak keinginan ayahnya itu,
terlebih lagi ayahnya juga memiliki posisi penting pada militer.
“Aku sangat merindukan kalian.” Ujarnya dengan wajah yang murung. Mbok Juminten
hanya tertegun melihat majikannya bersedih. Dirinya merasa iba pada Alderts. Ingin sekali ia
mencoba dekat pada majikannya. Namun, mbok Juminten merasa tidak pantas apabila
bertindak lancang pada seorang meneer.
“Permisi tuan.” Sembari mengetuk pintu secara perlahan.
“Saya pulang dahulu. Semua sudah saya bersihkan.”
“Tunggu sebentar. Bisa berikan surat ini pada Valdda?” Tanya Alderts.
“Baiklah tuan.” Mbok Juminten mengambil surat yang disodorkan Alderts untuknya.
“Hati-hati, mbok. Sepertinya hujan akan turun.” Ujar Alderts.
“Tentu saja, tuan.” Ujar mbok Juminten tersenyum lalu pergi mengambil sepeda ontelnya
yang tampak sudah menunggunya. Wanita paruh bayah tersebut mengayuh sepeda ontelnya
dengan sekuat tenaga. Bisa dibilang diumurnya yang tidak cukup muda, dirinya begitu
pekerja keras.

*********
“Kring kring” suara bel mbok Juminten.
Dirinya turun dari sepeda ontelnya dan tidak lupa memasangkan dongkrak. Ia memicingkan
matanya sembari memperhatikan sekitarnya. Tidak ada sambutan dari Valda dan Tas. Rintik
hujan mulai deras ditenamni oleh gemuruh. Mbok Jumunten segera masuk kerumah sebelum
dirinya basah kuyup. Bahkan didalam rumah, tampak gelap akibat mendung. Segera mbok
Juminten menyalakan lampu petromax sebagai penerangan.
“Selamat hari ibu!” ujar Valda yang membuat mbok Juminten terkejut. Valda dan Tyas
segera memeluk mbok Juminten dengan erat.
“Aku sangat menyayangi kalian.” Ujar Valda.
“Kita masak makanan buat ibu.” Tyas membawa mbok Juminten menuju dapur. Diatas meja
sudah tersedia pepes ikan serta nasi hangat dalam bakul yang sudah siap untuk disantap.
“Kalian semua yang masak ini?” tanya mbok Juminten.
“Tentu saja.” Jawab mereka berdua.
“Ayo, cepat dimakan. Nanti keburu dingin.” Ujar Valda.

Kemudian mereka makan bersama. Tyas tampak lahap menyantap peps ikan yang
dibuat Valda dan begitu juga dengan mbok Juminten yang menikmatinya. Valda yang
melihat pemandangan tersebut hanya bisa tersenyum. Ia banyak belajar dari mereka tentang
bagaimana rasa bersyukur dalam hidup penuh kesederhanaan.
“Kenapa ada hari ibu?” tanya Tyas sembari mengunyah.
“Kau tahu, Tyas? Seorang ibu adalah malaikat bagi anaknya. Ia mampu memberikan seluruh
jiwa dan raganya hanya untuk anaknya.” Jawab Valda.
“Itu berarti perjuangan seorang ibu sungguh berat, bukan? Dan karena itu sebabnya
dicetuskan hari ibu.” Ujar Tyas.
“Iya, benar sekali.” Valda tersenyum pada Tyas. Selesai mereka makan bersama, dilanjutkan
mbok Juminten dan Valda untuk membereskan meja.
“Tyas, sebaiknya kau tidur saja. Bukankah kau bilang dirimu mengantuk?” tanya Valda.
“Tapi aku ingin membantumu.” Ujar Tyas.
“Sebaiknya kau tidur saja, Tyas. Semuanya biar aku yang kerjakan.” Valda mencoba
meyakinkan Tyas untuk segera tidur.
“Iya, baiklah.” Jawab Tuas yang kemudian dirinya pergi menuju kamarnya.

Hujan yang lebat dan hanyalah cahaya remang dari lampu petromax yang membantu
mereka. Mbok Juminten terluhat telaten menyapu serta membersihkan sisa makanan di
piring. Sebenarnya mbok Juminten tidak memiliki perabotan rumah tangga yang elok. Semua
perabtan adalah pemberian dari Alderts untuk kebutuhan mereka. Alderts yang merasa iba
karena melihat mbok Juminten makan beralaskan daun pisang lantas memberikan beebrapa
perabotan untuk mbok Juminten.
“Tuan muda memberikan surat untukmu.” Ujar mbok Juminten. Valda mengerutkan sedikit
alisnya. Ia merasa heran karena tidak pernah Alderts memberikannya surat.
“Ini sura tapa, mbok?” tanya Valda.
“Mbok juga tidak tahu. Valda baca saja ya.” Jawab mbok Juminten. Valda mengambil surat
dari tangan mbok Juminten. Kemudian memasuki kamarnya. Saat itu hujan tengah lebat dan
dirinya menyempatkan untuk menutup jendela sebelum ia membaca suratnya. Setelah
memastikan semua jendela tertutup rapat, Valda segera membuka surat yang Alderts berikan
dengan hati-hati.
Hai dewiku, apa kabar?
Seharusnya aku tidak menanyakan kabarmu karena beberapa saat yang lalu, kita sudah
bertemu. Namun apa daya? Aku tidak peduli sudah beberapa kali aku melihatmu, tetap saja
diriku seolah tidak bertemu denganmu bertahun-tahun. Aku terkadang merasa kesepian
disini tanpamu, Valda. Aku berharap kau menemuiku walau sebentar saja
Tertulis “Alderts.”
Surat singkat itu membuat Valda tersenyum dan hatinya begitu terenyuh. Ia merasa berhutang
budi pada Alderts yang telah menolongnya dalam keadaan apapun, terlebih lagi saat Alderts
melindunginya beberapa hari yang lalu. Valda sangat berhutang budi pada Alderts dan
dirinya berjanji akan membalas semua kebaikan Alderts padanya.

***
19

“Valda, kamu pergi kemana?” tanya mbok Juminten.


“Aku akan mengunjungi rumah Alderts.” Jawab Valda.
“Mbok, aku pinjam dahulu ya sepedanya. “ Valda mencoba menaiki sepeda ontel tersebut.
“Ya, hati-hati nak” ujar mbok Juminten.

*********
Siang hari yang cerah, Valda mencoba membuat kejutan untuk Alderts akan
kedatangan dirinya. Untung saja ia bertanya lebih dahulu tentang keberadaan Alderts dirumah
pada mbok Juminten.
“Pasti Alderts akan senang dengan kedatanganku.” Gumam Valda.
Valda semakin kencang mengayuh pedal sepedanya dan melaju kencang untuk menuju
kediaman Alderts yang cukup jauh dari rumah mbok Juminten. Sepanjang jalanan yang
berada pada perumahan elit, terlihat beraspal dibandingkan dengan perumahan pribumi.
Tidak jauh beberapa meter, terlihat rumah dengan cat berwarna putih.
“Itu dia rumah Alderts. Untunglah aku masih ingat.”

Sesampainya didepan rumah, perlahan dirinya turun lalu dengan sangat hati-hati
memasang dongkrak agar Alderts tidak mengetahui kedatangannya. Valda menarik nafasnya
secara perlahan, mengingat sudah lama sekali dirinya tidak menapakkan kaki disini sejak hari
itu. Dilihatnya pintu tertutup namun tidak terkunci. Itulah kesempatan Valda untuk masuk.
Langkahnya pelan sembari menengok ekadaan sekitar namun tidak dijumpainya Alderts.
“Dimana Alderts?” Gumamnya. Valda mencoba mencari Alderts dikamarnya dan benar saja,
ia melihat Alderts tengah duduk diranjang dan membelakangi Valda.
“Haruskah aku kembali sekarang? Disisi lain, aku sangat dibutuhkan disini. Maafkan aku
ibu, aku tidak bisa menjengukmu bahkan untuk terakhir kalunya dan aku sangat bimbang
sekali.”
Valda mendengarkan apa yang pria londo tersebut lontarkan. Dirinya sangat terkejut dan
Valda berlari mendekati Alderts.
“Alderts, aku datang untukmu.” Valda mendekap Alderts. Alderts merasa terkejut karena
kehadiran Valda. Dirinya tidak bisa lagi membendung tangisnya. Air matanya mengalir
deras. Belum pernah Valda melihat seorang pria menangis, selain ayahnya.
“Valda?”
“Iya, Alderts?”
“Jangan pernah meninggalkan aku sendirian.”
“Tanpa kau minta, bahkan aku akan menemanimu.”
“Kau berjanji Valda?” tanya Alderts dengan terbata-bata.
“Aku berjanji padamu.” Jawab Valda.
Valda menyentuh wajah Alderts lalu menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
“Kau tahu, Valda? Aku begitu menyayangi ibuku.”
“Aku tahu itu, Alderts.”
“Beliau meninggal karena penyakit jantung yang sudah lama dialaminya namun ia tetap kuat.
Aku bahkan baru mendapat kabar ini sekarang, seangkan ibuku meninggal beberapa minggu
yang lalu.” Valda mengusap punggung Alderts untuk menenangkan dirinya.
“Disaat terakhirnya, aku tidak melihatnya. Bukankah aku anak yang tidak tahu diri?”
“Alderts, sudahlah…”
Alderts menyandarkan kepalanya pada bahu gadis pribumi itu. Sudah jelas Valda merasakana
kesedihan yang dialami Alderts. Sekilas, Valda juga merasa risau karena suatu sat nanti
dirinya akan kembali ke masa depan lalu meninggalkan Alderts sendirian. Entah bagaimana
perasaan Alderts saat itu.

***********
Hari sudah petang. Sang fajar bahkan tidak menampakkan cahaya lagi. Valda masih
berdiam dirumah Alderts sembari menjaganya.
“Tok tok”
Terdengar suara pintu terketuk, Valda sgeera membukanya dan melihat mbok Juminten sudah
berdiri di depan.
“Mbok khawatir sama kamu. Kenapa belum pulang? Sudah malam juga.”
“Ceritanya panjang. Nanti Valda ceritakan.”
“Kamu sendirian?”
“Alderts sedang tidur, mbok. Suhu badannya tinggi.” Ujarnya begitu gelisah.
“Biar mbok buatkan wedang jahe untuk tuan muda.” Valda mengangguk sembari
mengantarkan mbok Juminten menujur dapur. Mbok Juminten meminta Valda agar melihat
kondisi Alderts dan terus mendampinginya. Langkahnya sangat terburu-buru saat menuju
kamar Alderts sembari membawa air untuk mengompresnya.
“Moeder…Moeder” Alderts mengigau memanggil ibunya. Valda menenangkan Alderts
dengan mengusap rambutnya. Perasaan Valda begitu gelisah saat ini.
“Aku mengkhawatirkanmu, Alderts.” Gumam Valda dengan wajah yang cemas. Mbok
Juminten datang ke kamar Alderts dengan membawakan segelas wedang jahe. Dirinya sangat
peduli terhadap kesehatan majikannya.
“Berikan ini setelah dia terbangun nanti.” Ujar mbok Juminten.
“Sudah dipanggil dokter?” tanya mbok Juminten.
“Sudah, mbok. Mungkin Alderts seperti ini karena masalahnya.” Jawab Valda.
“Mbok, kemari sebentar.” Valda menarik pergelangan tangan mbok Juminten keluar dari
kamar Alderts.
“Kita bicara disini saja.” Valda membawa mbok Juminten ke teras lalu duduk pada kursi
rotan.
“Ada apa sebenarnya?” mbok Juminten mulai drundung rasa penasaran.
“Katakan, Valda.” Timpalnya lagi.
“Ibunya Alderts meninggal beberapa minggu yang lalu, mbok. Namun, dirinya baru
mengetahuinya sekarang.”
“Yaampun, yang benar kamu?” mbok Juminten masih tidak percaya. Mbok Juminten
menggenggam tangan Valda.
“Nak Valda, bagaimana jika bermalam disini dan menjaga tuan muda?”
“Itulah yang sedang aku pikirkan, mbok. Apakah tidak mengapa?”
“Justru mbok lebih khawatir jika dia dibiarkan sendirian.” Jelas mbok Juminten.
“Ada benarnya juga mbok.” Valda menyetujui perkataan mbok Juminten.

Mbok Juminten beranjak dari kursinya dan izin pulang sebelum larut malam. Besok
subuh sehabis sholat, mbok Juminten akan datang lagi.
“Hati-hati, mbok.”
Mbok Juminten membawa kembali sepeda yang Valda gunakan tadi. Diraihnya sadel sepeda
tersebut lalu segera mbok Juminten mengayuhnya. Valda kembali masuk kedalam rumah dan
menuju kamar Alderts untuk memastikan bahwa pria tersebut tidak terbangun. Valda duduk
pada kursi yang terletak tidak jauh dari ranjang Alderts. Dirinya terus saja memperhatikan
Alderts tanpa merasa bosan. Walaupun waktu terus berputar, Valda mencoba menahan rasa
kantuknya. Sesekali dirinya menguap dan mengusap matanya. Namun, Valda kalah dari rasa
kantuknya. Dirinya merasakan lelah dan mulai memejamkan matanya.

***
AFRAID

“Apa dirimu sudah yakin tidak akan meninggalkan diriku sendirian?”


-Alderts Van Roosevelt
Sudah beberapa hari Valda menginap dirumah Alderts semenjak pria londo tersebut
sakit. Sejarang, Valda sedang menyapu ruangan, hitung-hitung dirinya meringankan
pekerjaan mbok Juminten yang sedang sibuk memasak di dapur.
Alderts yang sedang dilanda persaaan amat berduka sejak kepergian ibunya, tidak
menyurukan langkahnya untuk menjalankan tugasnya sebagai Perwira. Sudah sejak tadi pagi,
dirinya berangkat menuju kantor untuk mengurus pekerjaanya.
“Alderts, aku turut berduka cita atas kepergian dirimu.” Ujar Mogens seraya menepu pundak
temannya itu.
“Terimakasih, kawan.” Alderts hanya tersenyum tipis dengan wajah yang sedikit pucat.
Mogens tampak ragu untuk berbasa-basi dengan sahabatnya itu, karena suasana yang tidak
mendukung sehingga dirinya memutuskan untuk meninggalkan Alderts yang sedang
melaksanakan tugasnya.
“Alderts, besok kita akan mengadakan pertemuan penting.” Ujar Mogens sebelum
meninggalkan Alderts.
“Aku pastikan untuk tidak terlambat.” Jawab Alderts.

**********
“Semua fakta ini menunjukkan bahwa kau harus bertanggung jawab, Alderts!!”
“Aku muak melihat segalanya yang kau miliki dan aku akan mengambilnya dimulai
dari wanita itu!”
Deehan mengepalkan tangannya dengan tatapan kosong.
“Mulai saja rencanamu. Aku akan membantuu, Deehan.” Ujar temannya yang sudah berdiri
dibelakang Deehan.
“Sudah lama aku menjalankannya.” Senyum Deehan dengan sinis.
“Tidak sulit untukku menghancurkan dirinya. Terlebih lagi Alderts tidak memiliki siapapun
disini kecuali wanita itu.” Timpalnya lagi.
“Rupanya aku melupaka sesuatu, Deehan. Akan tetapi, Alderts memiliki seseorang selain
wanita itu disini.” Ujar temanya.
“Siapa? Katakan padaku.” Deehan mengerutkan alisnya.
“Kau tahu bukan?bahwa meminta informasi pada Rudolf ini tentu saja tidak gratis.”
“Berapa keping yang kau inginkan ?” tanya Deehan.
“Itu urusan nanti, Deehan.” Jawabnya.
“Jangan membuatku semakin penasaran.” Deehan terlihat menggebu-gebu.
“Claudios Betran Van Howard.” Jawab Rudolf , temannya. Deehan hanya mengerutkan
keningnya setelah mendengar nama tersebut. Bahkan sepertinya ia pernah mendengarnya.
“Ia adalah salah satu tentara senior dengan pangkat tingi disini dan tahun ini adalah tugas
terakhirnya sebelum akhirnya ia pension.” Ujar Rudolf. Deehan menarik nafasnya perlahan
dan sedikitpun tidak bicara.
“Pergilah, aku akan memerlukanmu.” Tegas Deehan.
“Baiklah, kau tidak akan lupa dengan perjanjian kita?”
“Tentu saja aku ingat.” Rudolf kemudian pergi dari hadapan temannya itu. Deehan terlihat
memikirkan sesuatu yang akan dirinya jalankan selanjutnya.

************
“Wah, sejak kapan dirinya memajang foto ini?” gumam Valda disaat membersihkan lukisan
dengan kemoceng dan tanpa sengaja melihat foto Alderts serta ibunya terpajang di buffet.
Wajah Alderts sama sekali tidak berubah dengan sorot mata birunya yang tajam dan rambut
yang tertata klimis. Hanya saja pioinya sedikit tembam.
“Pasti foto ini diambil saat usianya 10 tahun. Tetap saja terlihat tampan.” Ujar Valda.
“Apa katamu?”
“Lihatlah, bahkan Alderts tetap tampan.” Belum sempat Valda memutar badannya, ia tersadar
bahwa itu adalah suara Alderts.
“Sejak kapan kau datang? Aku tidak mendengar langkah kakimu.” Valda merasa tersipu
malu.
“Kau tidak tahu ya? Aku bisa teleportasi.” Ujar Alderts.
“Sekalian saja telepati.” Valda sangat gemas dengan tingkah Alderts.
“Kenapa? Kau ingin sekali aku membaca pikiranmu?”
“Tentu saja tidak, karena yang hanya tahu pikiranku adalah aku.” Ujar Valda. Alderts
tersenyum setelah mendengar ucapan Valda.
“Valdaa..Valdaa” gumamnya. Alderts mengambil sebuah fotonya dengan ibunya yang
terbingkai. Sejenak dirinya memandangi foto itu.
“Ayo duduk. Aku akan ceritakan kenanganku bersama ibuku.” Ujarnya pada Valda.
“Apa boleh?” tanya Valda.
“Tidak ada larangan, bukan?” jawab Alderts.
Alderts duduk terlebih dahulu kemudian dibarengi oleh Valda disampingnya.
“Kau tadi memujiku tampan, bukan? Terimakasih.” Ujar Alderts.
“Tidak ada. Mungkin kau salah dengar.” Ujar Valda menunduk tanpa berani menatap
Alderts, jantungnya berdegup.
“Hey jika aku tuli, tidak mungkin aku menjadi perwira.”
“Sombong sekali.” Ketus Valda.
“Pfffttt hahahaha.” Alderts tertawa melihat wajah Valda yang mulai kesal lantas dirinya
mengacak-acak rambut Valda sehingga membuatnya terurai.
“Hentikan, Alderts.” Valda mendengus kesal.
“Baiklah Valda.” Ujar Alderts. Alderts juga menunjukkan foto dengan ibunya serta seorang
pria paruh baya dengan kumis yang cukup tebal.
“Ini disaat aku sedang berada di Amsterdam saat mengunjungi kakekku. Waktu itu aku
menangis karena tidak ingin pulang.” Ujar Alderts.
“Bagaimana denganmu, Valda? Coba ceritakan pengalamanmu.” Tanya Alderts. Untuk
sejenak, Valda berpikir bahwa tidak mungkin dirinya bercerita tentang keluarganya karena itu
akan membuka rahasia tentang darimana Valda berasal.
“Alderts, aku tidak begitu ingat. Bukankah kau yang menemukan diriku di hutan?”
“Kau benar, Valda. Maafkan aku yang mungkin membuatmu trauma.”
“Sungguh kau tidak perlu meminta maaf seperti itu, Alderts.” Valda tersenyum manis pada
Alderts.
“Alderts, kenapa hari ini pulang lebih awal?” tanya Valda.
“Kenapa? Apa aku tidak boleh pulang?” Alderts memasang raut wajah yang sedikit konyol.
“Bukan begitu, biasanya kau selalu pulang malam.” Jawab Valda.
“Besok akan ada sebuah pertemuan penting. Jadi, aku diperbolehkan untuk pulang lebih
awal.” Ujar Alderts. Valda tidak heran karena Alderts adalah seorang perwira yang sangat
diandalkan. Tentu saja membuatnya harus selalu hadir dalam setiap pertemuan penting.
“Sebaiknya kau istirahat saja terlebih dahulu.” Ujar Valda sambil beranjak dari kursi.
“Kau mau kemana?” tanya Alderts.
“Aku akan pulang ke rumah mbok Juminten. Aku merindukan Tyas.” Jawab Valda.
“Kapan kau kembali?”
“Besok pagi aku akan datang lagi.” Alderts hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia senang
memiliki hubungan yang cukup kembali membaik dengan gadis itu. Setidaknya, Valda yang
membantunya meringankan sebuah perasaan sedih dihatinya.
21
“Kau akan ke rumah Alderts lagi?” tanya Tyas.
“Iya, kenapa?”
“Mbok tadi menitipkan mangga. Tolong diantarkan ya.” Tyas memberikan beberapa buah
mangga yang sudah ditempatkan pada keranjang anyaman untuk dibawa.
“Iya, aku berangkat.” Ujar Valda.

Valda segera melangkahkan kakinya keluar menuju halaman. Suasana pagi begitu
dingin sehingga tampak tetesan embun pada dedaunan. Bagi Valda, berjalan kaki bukanlah
hal yang cukup menyulitkan dirinya. Terlebih lagi disaat mbok Juminten harus menggunakan
sepeda ontel untuk pergi ke pasar. Melihat suasana pagi seperti ini, memang dapat membuat
seseorang rindu terhadap masa yang indah. Valda teringat saat neneknya menceritakan
tentang masa kecil ayahna yang sangat suka pergi ke sawah sebelum sang fajar terbit
kemudian terpeleset ke parit akibat minimnya penerangan jaman dahulu.
Di jalan setapak yang dilalui Valda, beberapa orang sudah terlihat bergegas menuju pasar
bahkan persawahan. Semakin jauh dirinya berjalan, sinar matahari turut hadir mengikutinya
dari ufuk timur.
“Loh, Valda?” suara mbok Juminten terdengar dekat. Terlihat wanita paruh baya tersebut
mengerem sepeda ontelnya.
“Bukankah mbok sudah menyuruh Tyas mengantarkan mangga ini?” mbok Juminten melihat
keranjang yang dibawa Valda.
“Supaya lebih cepat, biar aku saja yang membawanya.” Ujar Valda.
“Yasudah, ayo mbok Juminten bonceng.” Mbok Juminten menawarkan boncengan pada
Valda.
“Tidak mbok. Sebentar lagi sudah sampai rumah Alderts. Seharusnya dari tadi saja.” Ujar
Valda dengan nada candanya.
“Sudah pintar ya kamu sekarang.” mbok Juminten terkekeh.
“Benar tidak ikut?” tanya mbok Juminten.
“Iya, mbok.”
“Kalau begitu, mbok tunggu segera ya.” Ujar mbok Juminten yang kemudian menganyuh
pedal sepeda. Valda melanjutkan langkahnya menuju rumah Alderts. Dari kejauhan, sudah
terlihat gerbang berwarna putih yang berdiri kokoh pada rumah pria londo tersebut.
Dirinya membuka gerbang pintu tersebut secara perlahan. Kemudian Valda memasuki
rumah itu. Mbok Juminten tampak sudah menunggu Valda di dapur sambil memotong sawi.
Walaupun majikannya sudah berangkat, tetap mbok Juminten menyiapkan masakan untuk
Alderts agar majikannya tidak kelaparan saat sepulang bekerja. Alderts bukanlah orang yang
terlihat pemilih dalam makanan. Apapun masakan yang dibuat oleh mbok Juminten, selalu
dirinya habiskan.
“Alderts sudah berangkat?” tanya Valda.
“Kamu seperti tidak tau tuan muda saja.” Jawab mbok Juminten.
“Kenapa? Kamu rindu?” mbok Juminten mulai menggoda gadis tersebut.
“Tentu saja tidak, mbok.” Valda merasakan jantungnya yang berdegup.
“Kenapa? Tuan muda adalah pria yang baik.” Ujar mbok Juminten.
“Dikondisi seperti ini, tidak ada waktu untuk memikirkan itu.” Valda mencoba untuk
tersenyum.
“Kita tidak tahu masa depan. Jangan pernah melawan arus.” Ujar mbok Juminten
meyakinkan Valda.
Valda hanya mengangguk tanpa berbicara sepatah kata. Dirinya melanjutkan mengupas
mangga yang dibawanya tadi.

***********
Pagi hari, suasana sebuah gedung yang besar sudah begitu ramai. Siapa lagi yang
tidak mengenal kantor Gubernur yang menjadi pusat pemerintahan di Batavia. Alderts yang
baru saja datang, tampak rapi dengan badan proposionalnya yang dibalut dengan seragam
cokelat serta rambutnya yang klimis.
“Kau selalu datang tepat waktu”
“Tuan Claudios, kau disini?” Alderts sedikit terkejut.
“Bagaimana bisa aku tidak hadir?” ujar tuan Claudios sambil sibuk dengan cerutunya.
“Aku sangat bahagia karena sebentar lagi akan menemui keluargaku di Netherland.” Mata
tuan Claudios sedikit berkaca-kaca.
“Kau harus semangat juga, Alderts. Aku yajin bahwa kau bisa menjadi sosok yang kuat.”
Segera tuan Claudios mengusap matanya sambil menepuk bahu Alderts.
Alderts hanya membalasnya dengan tersenyum walau dirinya merasa sedikit sulit.
“Ayo kita segera masuk. Sepertinya rapat akan segera dimulai.” Ujar Alderts.

**********
“Inikah kediaman pria tersebut?” tanya Deehan pada Rudolf.
“Apa kau tidak percaya padaku?” Rudolf mendengus kesal. Pagi ini Deehan menuju
kediaman tuan Claudios untuk mencari informasi tentang Alderts.
“Sudahlah, cepat.” Ujar Rudolf. Deehan mengetuk pintu dengan suara yang cukup keras,
namun yang dijumpainua bukanlah pria paruh baya tersebut, melainkan seorang gadis londo
yaitu Anneliese.
“Bisakah aku bertemu dengan tuan Claudios?” tanya Deehan.
“Siapa kau? Kau perlu apa sehingga ingin menemuinya?” beberapa pertanyaan dilontarkan
oleh Anneliese dengan sedikit ketus.
“Katakan saja.” Ujar Deehan sedikit geram.
“Turunkan tatapanmu itu padaku.” Ujar Anneliese.
“Sepertinya wanita ini memang keras kepala.” Rudolf mengerutkan alisnya.
“Tidak ada cara lain lagi.” Ujar Deehan.

Deehan menarik tangan Anneliese dengan keras lalu mendorongnya pada dinding
sehingga membuat kepala Anneliese sedikit tebentur.
“Kau adalah wanita yang sangat angkuh. Jika aku tidak bisa mendapatkan jawaban dari pria
tersebut, bukankah aku bisa mendapatkan darimu?” tatap Deehan dengan sorot mata yang
tajam.
“Siapa kalian?! Aku akan segera melaporkan kalian!” teriak Anneliese.
“Sebelum kau melaporkan, aku akan memotong lidahmu itu!” timpal Rudolf. Kini, Anneliese
hanya bisa diam membisu tanpa berani menatap mereka.
“Bagaimana jika kita membuat perjanjian?” tanya Deehan.
“Nee!” (Tidak!) teriak Anneliese.
“Begitu ya? Kau lihat peluru ini?” Deehan menondongkannya pada Anneliese.
“Tu-tunggu. Baiklah.” Ujar Anneliese terbata-bata. Anneliese sangat ketakutan. Deehan
tersenyum sinis atas kemenangannya.
“Kau pasti kenal dengan seorang perwira bernama Alderts, bukan? Cari apapun tentangnya
lalu berikan semua yang kau tahu padaku.” Ujar Deehan.
“Apa hubunganmu dengannya?! Siapa kau?” air mata Anneliese mulai mengalir.
“Kau tidak perlu tahu tentang itu. Lakukan saja perintahku! Jika tidak, kau akan tahu
akibatnya.” Deehan mengancam gadis tersebut.
“Dan jangan pernah beritahu apapun, mengerti??!” Bentak Deehan. Anneliese terkejut dan
segera mengangguk. Rasa sakit yang diakibatkan benturan pun belum terasa sirna.
“Rudolf, ayo kita pergi. Banyak yang harus kita lakukan.” Ujar Deehan.
***
22
“Sekarang kau akan pulang?” Tanya Alderts.
“Iya, pasti mereka sudah menungguku.” Jawab Valda.
“Biarkan aku mengantarmu.” Alderts menawarkan diri untuk mengantar Valda ke rumah
mbok Juminten.
“Jangan merepotkan dirimu, Alderts.” Valda merasa sungkan dengan pria tersebut.
“Tidak sama sekali, karena aku juga akan pergi.” Ujar Alderts.
“Ke rumah tuan Claudios. Kami akan berdiskusi tentang rapat tadi pagi.”
“Aku pikir kau akan bertemu dengan Anneliese.” Ujar Valda.
“Lantas kau cemburu?” tanya Alderts.
“Itu tidak benar. Cemburu hanyalah membuang waktu.” Jawab Valda.
“Itu artinya, selama ini aku selalu membuang waktu?” Alderts mengerutkan alisnya yang
tebal.
“Memang kau cemburu dengan siapa?” tanya Valda.
“Dengan seorang pria yang selalu dianggap sahabat oleh wanita yang disukainya.” Jawab
Alderts.
“Aku tidak mengerti dengan ucapanmu.” Valda mencoba berpikir.
“Sudahlah, ayo cepat. Sebentar lagi hari akan gelap.” Ujar Alderts.

Alderts menyiapkan mobil untuk mengantar Valda. Mobil yang lebih tampak seperti
kereta kuda. Hanya saja tidak menggunakan tenaga hewan. Selama diperjalanan, Valda hanya
memandangi jalanan yang tampak sepi dan hanya berbunyi suara jangkrik yang saling
bersahutan.
“Alderts, sepi sekali bukan?”
“Kau takut?” tanya Alderts.
“Aku tidak takut hal seperti ini.’ Jawab Valda.
“Apa yang paling kau takutkan?” tanya Alderts.
“Perpisahan..” jawab Valda dengan tatapan kosong.
“Perlahan, tapi pasti semuanya akan pergi.” Valda menundukkan kepalanya. Raut wajah
Alderts yang perlahan ceria sekarang mulai berubah menjadi kaku seolah telah dibangun
dinding diantara mereka berdua. Biarpun begitu, ia selalu berpikir apakah dirinya
bersungguh-sungguh memiliki sebuah perasaan pada Valda ataukah hanya hubungan sebatas
teman.

Dengan menggunakan kereta, perjalanan menuju rumah mbok Juminten jauh lebih
cepat dibandingkan dengan sepeda ontel ataupun berjalan kaki.
“Kita sudah sampai.” Ujar Alderts.
“Terimakasih sudah mengantarku.” Valda tersenyum pada Alderts.
“Biar aku bantu.” Alderts membantu Valda untuk turun.
“Kau seharusnya tidak perlu turun juga, Alderts.” Ujar Valda.
“Aku takut kau terjatuh.” Alderts menatapnya dengan tatapan yang sedikit dingin.
“Pintu rumah mbok Juminten sudah tertutup. Sepetinya mereka sudah tidur.” Valda menatap
disekelilingnya.
“Ayo, Valda.” Alderts menarik tangan Valda dengan pelan. Diketuknya pintu kayu tersebut
oleh Alderts.
“Mbok Juminten.” Panggil Valda.
“Kreekkkk” suara decitan pintu.
“Nak Valda, mbok kira kamu tidak pulang.” Ujar mbok Juminten.
“Ada tuan juga disini.” Mbok kaget sedikit terkejut.
“Karena aku sedang ada urusan. Jadi, sekalian saja mengantarnya pulang.” Ujar Alderts.
“Terimakasih, tuan.” Ujar mbok Juminten.
“Aku pergi dahulu.” Alderts menatap lekat Valda.
“Hati-hati, Alderts.” Valda khawatir akan perasaan Alderts atas ucapannya tadi.
“Mbok masuk dahulu ya.” Ujar mbok Juminten.

Mbok Juminten yang terlihat canggung melihat sikap mereka, memilih meninggalkan
mereka berdua di teras rumah dan sejenak keheningan terjadi diantara mereka.
“Lupakan saja apa yang aku ucapkan tadi.” Valda mengigit bibirnya.
“Kenapa Valda?”
“Aku merasa kau sedikit berbeda.” Jawab Valda.
“Hanya saja aku tidak bisa menentukan perasaanku sendiri.” Alderts menyentuh kedua bahu
Valda.
“Sampai jumpa, Valda.” Alderts tersenyum pada gadis itu. Tanpa bas abasi lagi, Alderts
pamit lalu segera pergi.
*************
“Apa kau yakin pada perempuan itu, Deehan?” Rudolf merasa tidak yakin pada Anneliese.
“Ada apa?”
“Nee” ujar Rudolf sambil menggelengkan kepala.
“Kau tidak menemu gadis itu lagi?” Rudolf bertanya kembali.
“Siapa? Anneliese?” Deehan memicingkan matanya.
“Gadis pribumi yang kau ceritakan.”
“Maksudmu Valda? Hmmm entahlah” Deehan menghela nafasnya.
“Kau akan membunuhnya?” Rudolf tersenyum sinis.
“Tutup mulutmu itu! Aku tidak sejahat itu padanya.”
“Maksudmu kau akan menjadikannya gundikmu?”
“Aku tidak tertarik dengan gadis pribumi. Lagipula aku tidak ingin seperti ayahku.” Deehan
menghela nafasnya.
“Lalu apa peran gadis itu terhadap rencanamu?” Rudolf semakin dibuat bingung.
“Kau lihat saja nanti.” Jawab Deehan.
“Besok kau dan aku akan menemui Valda.” Deehan mengajak Rudolf.
“Untuk apa?”
“Kau tidak menginginkan Gulden? Tentunya dikondisi seperti ini sangat sulit. Bukan begitu,
Rudolf?”
“Baiklah, kawan.” Rudolf menepuk bahu Deehan.

**********
“Tok tok” suara ketukan pintu pada kediaman tuan Claudios.
“Akhirnya kau datang juga.” Ujar tuan Claudios.
“maaf membuatmu menunggu. Aku mengantar Valda untuk pulang.” Alderts merasa
bersalah.
“Tidak apa, Alderts. Ayo masuk.” Pria tersebut mempersilahkan Alderts masuk.
“Duduklah, Alderts. Aku akan menyuruh Anneliese membuatkan secangkir the.” Ujar Tuan
Claudios. Alderts menggosok-gosokan telapak tangannya untuk menghangatkan diri. Wajar
saja, udara menjadi dingin karena hujan sore tadi.
“Jadi, ALderts kemungkinan besar kau bisa saja dipindah tugaskan. Bagaimana menurutmu?”
Tanya tuan Claudios. Sekejap Alderts hanya diam tanpa menjawab apapun.
“Aku siap apabila suasana mendesak dan rencana yang diberikan jenderal berubah.” Jawab
Alderts.
“ini the untukmu.” Anneliese datang membawakan tehnya.
“Terimakasih, Anneliese.” Ujar Alderts. Anneliese hanya tersenyum lalu pergi. Dirinya
mencoba bersembunyi dibalik tirai untuk mendengarkan pembicaraan pamannya itu dengan
Alderts.
“Ah Alderts, aku hampir saja lupa. Kemarin ayahmu mengirimkan surat ini.” Tuan Claudios
menyodorkan amplop cokelat tersebut.
“Surat apa ini?” Alderts memicingkan matanya.
“Bacalah saat kau dirumah nanti.” Ujar Tuan Claudios.
“Kau pasti merindukan kampung halaman, bukan?”
“Kenapa kau memberikan pertanyaan seperti itu? Tentu saja.” Jawab Alderts.
“Aku harap dunia akan segera kembali berdamai.” Ujarnya.
“Aku harap begitu juga. Usiaku tidak muda lagi. Aku ingin menghabiskan waktuku bersama
isteriku.” Mata tuan Claudios tampak berkaca-kaca. Alderts tidak ingin mengganggu suasan
hati pria tersebut dan memutuskan untuk kembali pulang setelah menyeruput tehnya.
“Sebaiknya aku kembali. Kita lanjutkan lain waktu saja.”
“Maafkan kau yang terbawa suasana.” Tuan Claudios mengusap matanya.
“Tidak masalah. Aku mengerti perasaanmu. Isterimu beruntung memiliki suami sepertimu.”
Alderts mencoba menghiburnya.
“Kelak isterimu juga akan beruntung memilikimu.” Ujar tuan Claudios. Alderts hanya
tersenyum. Namun, dipikirannya terlintas paras Valda yang ayu.
“Aku pamit dan katakan juga pada Anneliese.”
“Sampai jumpa, Alderts.”

***
23
Gadis londo itu masih melamun mengingat kejadian saat dirinya hampir saja mati dan
kini nyawanya sedang terancam.
“Anneliese, apa kau mendengarkanku?” suara pamannya bahkan diabaikan.
“Anneliese? Wat is er mis met jou?” (Anneliese? Ada apa denganmu?). Pamannya menepuk
Pundak Anneliese sehingga dirinya tersentak dan terdasar dari lamunannya.
“Maafkan aku, paman.” Ujarnya.
“Tolong kau pergi ke rumah Alderts dan antarkan berkas ini.”
“Jaa” inilah kesempatan baginya untuk bertemu dengan Alderts sekaligus mencari tahu lebih
banyak tentangnya.
“Cepatlah kembali, Anneliese.” Ujar pamannya.
“Tenang saja, paman. Aku tidak akan berlama-lama.” Jawab Anneliese sambil mengangguk.
Tidak butuh waktu lama untuk Anneliese segera pergi, terlebih lagi tuan Claudios
menyuruhnya agar pulang cepat. Dirinya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini atau ia
akan mati ditangan pria asing tersebut.

**********
Dikala Valda sedang sibuk membawa tas belanja yang dipenuhi sayur di pasar,
dirinya melihat sesosok yang sudah lama tidak dijumpainya sedang menghampiri dirinya.
Rambut pirang yang ikal dengan mata yang berwarna hijau yang ditempa sinar mentari.
“Deehan? Sedang apa kau disini?” tanya Valda yang sudah lama tidak berjumpa dengannya.
“Kebetulan aku sedang menunggu temanku.” Jawab Deehan.
“Bagaimana kabarmu, Valda?” tanya Deehan.
“Aku sendiri baik. Bagaimana kabarmu?” Gadis itu sedikit terkejut karena sudah cukup lama
tidak menjumpai teman londonya itu.
“Seperti yang kau lihat sekarang.” ujar Deehan. Valda hanya sesekali tersenyum padanya dan
begitu juga dengan Deehan.
“Ah itu dia. Hey, Rudolf!!” panggil Deehan sambil melambaikan tangannya. Rudolf yang
mendengar panggilan kawannya itu lalu melihat lambaian tangan Deehan lantas segera
menghampiri mereka berdua.
“Kemari, Rudolf.” Ujar Deehan.
“Valda, kenalkan. Ini Rudolf, kawanku.” Deehan memperkenalkan Rudolf pada gadis
tersebut.
“Senang bertemu denganmu.” Valda melempar senyum pada Rudolf.
“Hmm, kalian sedang ada urusan bukan? Kalau begitu silahkan. Aku akan pergi dulu.” Ujar
Valda.
“Kemana, Valda?” tanya Deehan.
“Ke rumah Alderts.” Jawabnya. Sejenak, Dehan dan Rudolf hanya saling menatap tanpa
mengucap sepatah katapun.
“Tunggu sebentar, Valda. Soal kejadian saat aku menghilang tentunya aku minta maaf.” Ujar
Deehan.
“Itu sudah berlalu dan untungnya Alderts datang diwaktu yang tepat.”
“Ya. Kau benar, Valda. Sekali lagi, maafkan aku.”
“Baiklah, Deehan. Kalau begitu, aku pergi dahulu. Sepertinya hari sudah semakin siang.”
Ujar Valda yang bergegas pergi melangkahkan kaki dengan terburu-buru.
“Kita masih berteman kan?” teriak Deehan. Sejenak Valda menghentukan langkahnya lalu
segera menoleh kebelakang melihat Deehan.
“Iya, tentu saja.” Jawab Valda.
“Sampai jumpa.” Gadis itu segera berlari setelah melambaikan tangannya pada Deehan.
“Cih, gadis itu.” Bibir Deehan mengembangkan senyuman diikuti alisnya yang dikerutkan.
“Manisnya gadis itu.” Ujar Rudolf.
“Hou je mond!”(Tutup mulutmu!) Ujar Deehan.
“Apa?aku hanya sekedar kagum.” Rudolf terkekeh melihat tingkah Deehan.
“Ayo pergi.” Deehan mengajak kawannya untuk segera pergi dari keramaian pasar.

**********
“Pamanku menuruhku memberikan ini kepadamu.” Anneliese menyodorkan berkasnya.
“Terimakasih, duduklah. Akan aku buatkan teh untukmu.” Ujar Alderts.

Alderts kemudian pergi meninggalkan Anneliese untuk membuatkannya teh. Gadis itu
memandangi sekelilingnya. Ia memicingkan matanya pada sebuah amplop yang diberikan
pamannya beberapa hari yang lalu. Dirinya berpikir mungkin amplop itu akan membantunya
untuk mendapat informasi tentang Alderts. Anneliese berjalan dengan hati-hati untuk
mengambil amplop yang terletak diatas laci. Agar dirinya tidak ketahuan oleh Alderts, tidak
butuh waktu lama untuk mengambilnya dan segera Anneliese membaca isi surat tersebut.
“Anneliese?” suara seorang wanita yang menyebut Namanya membuat Anneliese terkejut.
Segera dirinya meletakkan kembali amplop tersebut. Diwaktu yang sama, Alderts juga datang
membawakan teh untuk Anneliese.
“Kenapa kau tidak duduk, Anneliese?” tanya Alderts.
“Ahh, pajangan dindingnya sangat indah. Ini adalah pertama kalinya aku berkunjung
kerumahmu.” Jantung Anneliese berdegup kencang seperti pencuri yang sedang tertangkap
basah. Valda yang merasa sungkan lalu meninggalkan mereka berdua sambil membawa tas
belanjaannya menuju dapur.
“Hufft” Anneliese sedikit mendengus kesal melihat gadis pribumi itu datang ke rumah
Alderts.
“Alderts, kenapa Valda datang kesini?” tanya Anneliese.
“Ada apa? Setiap harinya Valda datang untuk membantuku.” Jawab Alderts. Anneliese hanya
terdiam. Wajahnya sedikit masam mendengar jawaban dari Alderts.
“Paman Claudios menyuruhku untuk segera pulang. Maafkan aku.” Ujar Anneliese yang
teringat pesan pamannya.
“Setidaknya minum tehnya terlebih dahuly.” Alderts menyodorkan segelas teh pada
Anneliese.
“Baiklah.” Anneliese menyeruput tehnya yang masuh hangat dengan perlahan lalu beranjak
dari kursinya.
“Sampai jumpa lagi, Alderts.” Ujar Anneliese setelah meletakkan gelas tehnya. Jantungnya
masih terasa berdegup memikirkan kejadian yang telah ia lakukan. Anneliese berpikir apakah
Alderts tahu bahwa dirinya telah membuka amplop tersebut.

*********
Dikala siang itu terik matahari menyengat, membuat kulit gadis londo tersebut
memerah dan keringat bercucuran.
“Sial gadis bodoh itu!” ujar Anneliese yang menggerutu pada Valda karena gadis itu datang
sebelum dirinya menyelesaikan membaca surat tersebut.
“Aww.” Pekiknya ketika sebuah tangan dengan kuat. Dilihatnya seorang pria yang Anneliese
takuti, yang tidak lain adalah Deehan. Sesosok pria londo yang ia hindari dengan tatapan
bengisnya mampu membuat ketakutan.
“Lepaskan, aku mohon.” Ujar Anneliese merintih kesakitan.
“Kau darimana?” tanya Deehan.
“Aku akan menjawabnya. Tapi tolong lepaskan dahulu.” Ujar Anneliese. Lantas Deehan
melpaskan cengkramannya pada gadis londo itu. Anneliese mengusap pergelangan
ttangannya yang membekas merah.
“Sekarang katakanlah.” Ujar Deehan.
“Aku menemui Alderts.” Jawab Anneliese.
“Apa yang kau lakukan?”
“Begini, pamanku memberikan amplop dengan surat dan surat itu datang dari ayah Alderts,
Bastie Van Roosevelt.” Gadis itu tampak ragu memberikan keterangan.
“Cepat teruskan!” bentak Deehan.
“Namun disaat belum habis aku membacanya, gadis sialan itu datang.” Ujar Anneliese.
“Siapa maksudmu?” tanya Deehan.
“Seoang gadis pribumi yang berada dirumah Alderts.” Jawab Anneliese. Mendengar kata
gadis pribumi, Deehan mengerti bahwa yang dimaksud adalah Valda.
“Apa saja yang kau ketahui?”
“Aku hanya membaca kalimat yang mengatakan bahwa Bastien menyuruh Alderts untuk
mencari seseorang disini,” ujar Anneliese.
“Hany aitu saja?” Deehan memasang wajah kesal.
“Aku hanya membaca separuhnya.” Anneliese perlahan berjalan mundur.
“Pergilah dari sini. Lain kali aku tidak akan memaafkanmu.”
“Terimakasih.” Keringat dingin membasahi telapak tangan Annelies. Ia segera berlari
menjauhi Deehan. Hampir saja nyawanya melayang. Begitu pikirnya.
“Tunggu sebentar.” Ujar Deehan yang menghentukan langkah Anneliese. Gadis itu sama
sekali tidak berani menatapnya bahkan sikap angkuhnya seperti menghilang.
“Gadis pribumi yang kau hina itu lebih baik darimu.” Lontaran kata yang keluar dari mulut
Deehan membuat Anneliese tertegun sambil menelan salivanya.

***
24

“Hanya itu saja yang dikatakan gadis itu?”


“Ya, benar.” Rudolf hanya menggelengkan kepala seolah tidak percaya dengan yang Deehan
katakan.
“Kenapa tidak kau tanyakan pada Valda?” Rudolf mencoba membari saran.
“Apa kau bodoh? Tentu saja rencanaku akan gagal total.” Ujar Deehan
“Lalu bagaimana bila Anneliese setelahnya akan membingkar semua? Wanita itu cukup
licik!”
“Hey Rudolf, jika seseorang sudah tidak berguna lagi lalu untuk apa ia hidup?”
“Kau memang terlahir kejam.” Rudolf terkekeh mendengar jawaban Deehan.
“Kejamku bukan semata-mata tanpa alasan.” Ujar Deehan.
“Begini kawanku, aku dengar bahwa Alderts mungkin saja akan dipindahtugaskan menuju
wilayah dengan konflik yang serius. Terlebih lagi, Nippon dalam waktu dekat akan mendarat
di Hindia Belanda. Mungkinkah Alderts akan terbunuh di medan perang?” Rudolf begitu
serius berbicara hingga tidak sadar bahwa Deehan sedang termenung.
“Apa kau mendengarkanku?” Rudolf melambaikan tangannya tepad di wajah Deehan.
“Alderts harus mati ditanganku. Aku sendiri tidak akan membiarkannya mati ditangan
siapapun.” Rudolf hanya diam tanpa mengucap sepatah katapun dan memutuskan untuk
meninggalkan Deehan.
“Nanti kita bertemu lagi.” Ujar Rudolf.
“Baiklah.”

***********
“Mbok, apakah buahnya dikupas semua?”
“Kupas saja semua.” Jawab mbok Juminten. Valda melanjutkan mengupas beberapa buah
pada keranjang. Sedangkan mbok Juminten sedang sibuk memotong sayurannya.
“Kemarin nona Anneliese datang.” Ujar mbok Juminten.
“Iya, aku tahu mbok.” Jawab Valda.
“Apa sebelumnya Anneliese pernah datang kesini?” tanya Valda.
“untuk pertama kalinya nona Anneliese datang kesini.” Ujar mbok Juminten sambil mencoba
mengingat.
“Lalu, darimana mbok kenal dengannya?”
“Mbok pernah membawakan surat dari tuan muda yang sedang sakit ke rumah Tuan
Claudios. Kebetulan hanya ada Nona Anneliese disana.”
“Hany aitu saja?” Tanya Valda.
“Kamu pikir mbok akan berbohong?”
“Aku tidak berpikir seperti itu.” Ujar Valda.
“Lantas apa Valda cemburu?” mbok Juminten mulai menggoda Valda.
“Untuk apa aku melakukan hal seperti itu?” Valda menunjukkan raut wajah masam.
“Mbok juga melihat temanmu sedang bersama nona Anneliese.” Ujar mbok Juminten.
“Teman? Siapa?” Valda terlihat heran.
“Pria londo yang sering menemuimu.” Jawabnya.
“Maksudnya Deehan?”
“Iya itu, Deehan.” Mbok juminten baru mengingatnya.
“Benarkah? Apa mbok tidak salah lihat?” Valda mencoba meyakinkan mbok Juminten.
“Mbok yakin sekali.” Jawab mbok Juminten. Valda hanya terdiam seolah bersikap tidak
peduli. Namun, dirinya berpikir apakah kawan londonya tersebut memiliki hubungan dengan
Anneliese.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya mbok Juminten.
“Ah, tidak ada mbok.”
“Tidak bagaimana? kamu serius sekali.”
“Mbok, aku kembali kerumah dulu sebentar.” Ujar Valda.
“Lho, memang ada apa?” tanya mbok Juminten keheranan.
“Ada sesuatu yang aku harus ambil.” Jawab Valda.
“Yasudah kalau begitu.” Beruntungnya mbok Juminten tidak menanyakan hal lain lagi pada
Valda.

Dikeluarkannya sepeda ontel milik mbok Juminten dari perkarangan rumah Alderts
dan Valda mulai menganyuh pedal tersebut. Entah apa yang dirinya pikirkan sehingga
sepedanya membawa Valda menuju bangunan tempatnya dimana saat dirinya hamoir dibawa
pergi oleh pria londo. Tempat itu sedikit sepi daripada saat Deehan mengajaknya datang
beberapa waktu lalu.
“Kau mencari siapa?” suara pria menyambut kedatangan Valda. Dilihatnya seorang pria
berseragam tentara dengan wajah pribumi. Itu dia KNIL dari pribumi yaitu pasukan Hindia
Belanda yang dibentuk tahun 1814 oleh Kerajaan Belanda. Tidak hanya kaum londo saja
yang direkrut, melainkan kaum pribumi juga. Dilihat dari sudut manapun terkadang mereka
segan untuk melawan bangsanya sendiri. Namun tetap saja bahwa perlawanan tidak bisa
dihindarkan.
“Umm, apakah kau mengenal Deehan?” Tanya Valda.
“Deehan? Maksudmu Deehan Everhart Van Der Bleecker?” jawab pria tersebut.
“Iya benar.” Valda mencoba mengingat nama lengkap temannya.
“Sejak hari itu, Deehan tidak pernah datang kembali.” Jawabnya.
“Ada perlu apa?”
“Tidak ada.” Valda menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.
“Aku tahu dimana alamat rumahnya. Mungkin itu bisa membantumu.” Ujarnya.
“Benarkah?” tanya Valda.
“Tentu saja. Biar aku antarkan kau kesana.” Ujarnya.
“Itu tidak perlu. Aku hanya ingkin kau beritahu saja.” Valda merasa sedikit sungkan.
“Tunggu sebentar.” Pria itu mengambil pena di sakunya,
“Berikan telapak tanganmu.” Ujarnya.
“Apa maksudmu?” Valda sedikit bingung. Pria itu segera meraih tangan Valda lalu
menuliskan sebuah alamat pada telapak tangannya.
“Maafkan aku. Aku tidak membawa secarik kertas.”
“Tidak perlu meminta maaf. Aku berterimakasi padamu sudah membantuku.” Ujar Valda
merasa sungkan.
“Baiklah, aku pergi dulu.” Ujar pria tersebut. Valda hanya tersenyum seraya menganggukkan
kepalanya.

***********
“Sepertinya sudah benar, tapi kenapa aku merasa salah jalan?” gumam Valda.
Gadis itu terlihat kebingungngan untuk mencari alamat teman londonya itu, bahkan
jalanan yang dirinya lalui sangat tidak bersahabat. Banyak jalan yang rusak sehingga ia harus
berhati-hati dalam mengayuh sepedanya. Namun, sepertinya Valda sedang tidak beruntung
karena ia tidaak memperhatikan batu yang berada di depannya sehingga dirinya terjatuh pada
sebuah rumah besar.
“Hari yang sial.” Celetuknya. Telapak tangannya tergores akibat kerikil pada jalan tersebut.
“Valda? Kenapa kau disini?” suara Deehan terdengar olehnya.
“Aku mencarimu.” Tanpa berpikir panjang, Valda menjawab pertanyaan Deehan.
“Tetapi kau harus berhati-hati.” Ujar Deehan sambil menahan tawa.
“Kau tertawa? Tertawalah!” Valda merasa kesal dengan respon Deehan. Deehan membantu
Valda untuk berdiri. Dengan sedikit terpincang-pincang, gadis itu menahan rasa sakitnya.
“Ini rumahku.” Ujar Deehan sambil menunjukkan bangunan dimana tempat mereka berdiri
sekarang.
“Biar aku obati lukamu.” Deehan membawa Valda ke rumahnya untuk mencoba mengobati
lukanya.

************
“Valda tidak datang?” tanya Alderts.
“Tuan sudah kembali? Valda kembali ke rumah. Mungkin nanti akan datang.” Wanita paruh
baya itu sedikit terkejut melihat kedatangan majikannya.
“Saya sudah menyiapkan makanan.” Ujar mbok Juminten.
“ Baiklah, bawakan sebagian sayuran dan daging itu.”
“Terimakasih, tuan.”
“Jangan ragu padaku. Kau sudah bekerja dengan sangat baik disini.” Alderts memanglah
majikan yang berbeda diantara kaum londo lainnya. Dirinya gemar berbagi, termasuk kepada
mbok Juminten.
“Tentu, tuan. Apa anda butuh bantuan?” tanya mbok Juminten.
”Tolong jaga Valda dengan baik.” Jawab Alderts.
“Baiklah tuan.”

***********
“Kau harus fokuskan pandanganmu.” Ujar Deehan.
“Ck, diamlah. Ini tidak lucu.” Geram Valda.
“Baiklah, sudah selesai.” Deehan membalut luka Valda pada tangannya yang tergores.
“Deehan, aku ingin bertanya suatu hal padamu”
“Kau juga bisa serius?” Deehan terkekeh melihat ekspresi Valda yang terlihat berbeda.
“Aku sedang tidak bercanda, Deehan.”
“Tapi itu tidak lucu sekali.” Ujar Deehan yang tidak bisa menahan tawanya.
“Kau kenal dengan Anneliese?” seketika pertanyaaan yang dilontarkan Valda membuat
Deehan terdiam.
“Deehan? Apa kau mengenalnya?” sekali lagi Valda menanyakan pada Deehan.
Butuh waktu sejenak bagi Deehan untuk menjawa pertanyaan gadis itu, Ia sedikit bingung
untuk mengatakan pada Valda.
“Anneliese adalah rekan kerjaku.” Ujar Deehan.

***
25

“Sayang! Berhati-hatilah.”
“Tidak bisa, Moeder!” teriak dari mungilnya.
“Aww” rintihnya ketika kaki kecilnya terjatuh.
“Ibu sudah bilang untuk berhati-hati. Jangan menangis, sayang.” Wanita itu menggendong
putra kecilnya lalu mengecupnya dengan lembut. Senyumnya yang selalu ia pancarkan untuk
putranya membuat sang anak merasa dirinya adalah sesosok malaikat tanpa sayap.
“Lihatlah, ibu buatkan stroopwaffle untukmu.”
“Wah, ibu membuat kesukaanku.” Matanya berbinar-binar.
“Makanlah yang banyak, sayang.”
“Ik hou van jou, Moeder!”ujar putranya, Ibunya memeluk putranya lalu mengusap rambut
pirangnya yang lembut.
“Mulai haari ini, kau harus menjadi orang yang kuat. Aku yakin kau pasti bisa melewati
segalanya karenan namamu adalah Alderts, artinya penguasa yang kuat.”
“Ja, Moeder” (Iya, ibu)
“Ibu akan pergi, sayang. Hiduplah dengan baik.” Senyum wanita itu.
“Jangan pergi, Moeder. Aku janji tidak nakal lagi.” Ibunya segera menghilang seperti kabut
pada musim dingin.
“Moeder!!!”

Mimpi itu datang lagi, membuat sekujur tubuh Alderts berkeringat dan jantungnya
berdegup sangat kencang. Air matanya mengalir membasahi pipinya dengan nafas yang tidak
beraturan. Dirinya mencoba mengontrol perasaannya waktu terasa kalut.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00. Hari ini Alderts sedang tidak bertugas, jadi
dirinya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Valdda. Mbok Juminten baru saja
datang dengan sepeda ontelnya.
“Maaf tuan. Saya sedikit terlambat.” Ujar wanita paruh baya tersebut.
“Tidak apa.” Jawabnya.
“Valda tidak datang bersamamu?” Alderts tidak melihat keberadaan Valda.
“Valda sedang sakit karena terjatuh dari sepeda, tuan.”
“Kalau begitu aku akan kesana.” Ujar Alderts.
“Jangan khawatirkan dia.” Mbok juminten mencoba meyakinkan Alderts.
“Tidak bisa. Aku akan kesana sekarang.” Alderts lantas segera bergegas ke rumah mbok
Juminten untuk melihat keadaan Valda.

***********
“Huft” hari ini Valda merasa sangat jenuh karena tidak dapat pergi. Mbok JUminten
juga tidak mengijinkannya untuk leuar dahulu sebelum dirinya sembuh. Bahkan kawannya,
Deehan berjanji akan menjenguknya namun hari ini dia tidak menampakkan batang
hidungnya sama sekali.
“Kalau dipikir, apa mungkin Deehan sama seperti Alderts?” gumam Valda yang penasaran
terhadap kehidupan Deehan.
Sejak pertama kali dirinya bertemu , saat itu Valda sedang menangis lalu memberikan sapu
tangan untuknya. Sudah cukup lama dirinya berteman dengan Deehan namun tidak sama
sekali pria tersebut menceritakan tentang dirinya maupun keluarganya.
“Ada apa denganmu, Valda? Kenapa rasa penasaran itu muncul sekarang?” gumamnya.
“Mungkin lain hari nanti aku harus pergi ke rumah Deehan.” Ditengah rasa penasarannya,
Tyas datang membawakan pisang untuk Valda sembari memasang raut wajah yang masam.
“Makanlah untukmu.” Ujar Tyas.
“Ada apa denganmu?” Valda mengernyitkan dahinya.
“Tidak ada.” Jawabnya singkat.
“Katakan padaku, Tyas.”
“Apa kau tahu? Semua kaum londo itu sama saja! Saat aku kembali dari pasar lalu melewati
perumahan mereka, lantas para gadis dari kaum mereka segera menyebutku “gadis kumal!”
ujar Tyas sangat kesal.
“Duduklah dahulu.” Valda menggenggam pergelangan Tyas dengan lembut.
“Tenangkan dirimu. Memang yang dilakukan mereka adalah salah.”
“Dasar kaum tidak tahu diri! Aku sangat tidak menyukai mereka, terlebih lagi pada
temanmu.” geram Tyas.
“Siapa, tyas?”Tanya Valda.
“Siapa lagi jika bukan Deehan.” Jawab Valda.
“Kenapa kau tidak menyukainya?” Valda menatap Tyas dengan penasaran.
“Dia adalah pria yang menyebalkan. Kau harus berhati-hati dengannya.” Valda hanya tertawa
mendengar jawaban yang dilontarkan Tyas, hingga tanpa sadar mereka mendengar suara
pintu terketuk beberapa kali. Valda yang hendak beranjak berdiri dengan sigap, Tyas
melarangnya.
“Siapa yang menyuruhmu untuk berdiri? Kau sedang sakit. Biar aku saja yang
membukanya.” Ujar Tyas. Dibukanya pintu yang telah terketuk beberapa kali itu. Dirinya
sendiri terkejut karena majikan dari ibunya tersebut datang ke rumahnya.
“Tyas, siapa itu?” tanya Valda dengan nada lantang.
“Ammm diaa” Tyas sedikit merasa gugup. Alderts hanya tersenyum sambil menggelengkan
kepalanya pada gadis kecil itu yang mengisyaratkan untuk tidak memberitahu kedatangannya
pada Valda.
“Ayo, kemari.” Tyas menarik tangan Alderts. Valda sedikit terkejut dan canggung karena
Alderts yang datang disaat kondisinya sedang sakit.
“Kau seharusnya tidak datang.” Ujar Valda.
“Mendengar kabarmu sedang seperti ini, bukanlah sebaiknya aku datang?” tegas Alderts.
“Aku hanya luka ringan saja. Lihatlah.” Valda mencoba meyakinkan Alderts.
“Aku tidak peduli walaupun luka berat atau ringan. Aku akan tetap menemuimu.” Ujarnya.

Valda hanya terdiam tanpa berani berucap sepatah katapun. Tiba-tiba saja, Alderts
menggenggam jari jemari kecil gadis itu dengan lembut.
“Kemana kau pergi, Valda? Kenapa tidak memberitahuku?” tanya Alderts. Jantung Valda
merasa berdegup kencang lantaran pertanyaan yang dilontarkan Alderts padanya kini dirinyaa
begtiu bingung hingga keringat dingin membasahi telapak tangannya.
“Selamat pagi Valda”
“Deehan?”
Pagi ini terasa seperti hari pembalasan untuk Valda lantaran rasa penasarannya yang begitu
tinggi. Deehan datang tidak berapa lama setelah Alderts datang. Firasat Valda mengatakan
akan terjadi sesuatu yang buruk. Valda berpikir mungkinkah bahwa Deehan akan
memberitahunya pada Alderts bahwa dirinya mengunjungi Deehan.
“Rasanya seperti ketahuan selingkuh.” Ujar Valda dalam hatinya.
“Kenapa kau datang?” tanya Alderts.
“Apa masalahmu? Valda adalah temanku. Tentu saja tidak ada larangan.” Jawab Deehan.
“Valda, bagaimana keadaanmu? Lihatlah, aku membawakan buah untukmu.” Ujar Deehan
sambil membawa keranjang buah. Valda yang sekilas menatap Alderts, melihat wajah pria
tersebut berubah menjadi memasam dan memerah.
“Boleh aku duduk?” tanya Deehan.
“Iya, tentu saja. Silahkan.” Jawab Valda.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Ujar Alderts pada Valda.
“Jangan membuatnya berpikir. Apa kau tidak melihatnya sedang sakit karena terjatuh saat
mencariku?” Deehan yang mengatakan demikian membuat Valda rasanya ingin menghilang
saja.
“Apa benar yang dia katakan?” tanya Alderts,
“Iya, benar.” Ujar Valda dengan sedikit ragu.
“Kau dengar bukan?” Deehan memandang Alderts dengan raut wajah yang sedikit sinis.
Alderts hanya menghela nafasnya kemudian tersenyum pada Valda walaupun gadis itu yakin
bahwa tampak keterpaksaan dalam senyum Alderts.
“Sudah aku katakan padamu untuk lebih berhati-hati.” Ujar Alderts. Valda hanya
mengangguk dan tersenyum pada Alderts.
“Bisakah aku beristirahat? Maaf aku sedang cukup lelah” Tanya Valda.
“Tentu saja. Lagipula kedatanganku hanya sebentar saja.” Jawab Alderts.
“Cepatlah sembuh, Valda. Jangan lupa habiskan makananmu.” Deehan ikut menimpali.
“Terimakasih semuanya.” Ujar Valda sambil tersenyum.

Valda memutuskan untuk berbohong karena dirinya merasa gugup apabila kedua pria
londo tersebut bertemu. Valda merasakan bahwa mereka tidak saling menyukai satu sama
lain sehingga untuk meminimalisir perseturuan, terpaksa dirinya harus membuat mereka
pergi walaupun ada rasa bersalah dihatinya saat menatap raut wajah Alderts.
“Maafkan aku, Alderts.” Gumamnya sambil memandangi ambang pintu.

***
END
Keesokan harinya, ternyata tak disangka Jepang sudah mengepung Batavia begitu
cepat. Alderts sedang berada di medan perang. Sedangkan Valda sedang berusaha untuk
mencari tempat perlindungan diluar rumah Alderts. Setelah berlarian mencari perlindungan,
Valda tak menyangka dia bisa sampai ke medan perang yang dimana tempat itu adalah
tempat Alderts berperang. Suasananya sangat mengerikan.
“Alderts, dimana dirimu?” Valda berteriak. Valda mencari Alderts di semak-semak supaya
tidak diketahui oleh tentara Jepang. Tak lama itu, kaki Valda pun tertusuk duri mawar. Dia
merintih kesakitan dan akhirnya tentara Jepang menangkap Valda.
“Lepaskan aku.” Valda berteriak
“Diamlah gadis cantik.” Jawab salah satu tentara Jepang.

Ternyata, Valda dibawa ke rumah Alderts dimana rumahnya telah menjadi markas
orang Jepang. Sesampainya Valda disana, ia sangat terkejut. Banyak mayat bergelimpangan
disekitar halaman rumah Alderts. Tak lama itu, terlintas dipikirannya keadaan mbok
Juminten dan anaknya.
“Mbok Juminten dan Tyas dimana?” batin Valda.” Saat Valda berada di ruang tengah rumah
Alderts, Valda terkejut melihat keadaan mbok Juminten dan Tyas yang sudah dalam keadaan
tewas mengenaskan.
“YAAMPUNN MBOK JUMINTEN..TYAS..” Teriak Valda terkejut.
Valda ingin menolong mereka, tetapi tidak bisa karena tentara Jepang mencengkram Valda
sangat kuat sehingga ia kesakitan.
“Mau kau apakan diriku ini sama kalian? Kalian kejam sekali. Manusia berhati batu.” Teriak
Valda kepada tentara Jepang disekitarnya. Tidak ada yang merespon. Karena Valda
mengatakan hal seperti itu, Valda diikat tangannya disalah satu kursi diruang tengah dengan
mulut yang terikat juga dengan kain.

********
“Valda, dimana dirimu?” batin Alderts. Alderts mencari Valda dengan keadaan lambung
yang sudah tertusuk pedang. Dia menahan sakit dan keadaan kakinya pun pincang di bagian
kaki kanan. Tetapi Alderts masih kuat dan masih mempunyai harapan dia akan menemukan
Valda. Dan tibalah dia di rumahnya sendiri dengan sangat berhati-hati.
“Siapa kamu? Mau apa kamu disini?” tanya salah satu tentara Jepang.
“Dimana Valda? Katakan padaku.” Ujar Alderts dengan nada meninggi.
“Anda mencari gadis muda? Jika anda maju selangkah, kami akan menembak anda.” Jawab
tentara Jepang.
“Coba saja tembak aku sekarang, tembak jika kau mau. Silahkan.” Jawab Alderts.
Tentara Jepang itu menembak ke arah Alderts tetapi sengaja tidak kena sasaran karena
bertujuan untuk membuat Alderts takut. Tembakan itu terjadi 2 kali. Valda mendengar bunyi
tembakan itu dan akhirnya ia berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari tali yang mengikat
tangannya. Tak memakan waktu lama, Valda akhirnya bisa lepas dan segera berlari untuk
mencari Alderts. Valda menemukan Alderts diruang tengah.
“Alderts…” lirih Valda sembari menangis.
“Valda, tenanglah. Kita akan keluar dari sini. Kamu jangan bergerak.” Jawab Alderts.
Alderts melangkah untuk menuju ke posisi Valda, tetapi Alderts tertembak dari salah satu
tentara Jepang lainnya dan membuat Alderts sudah tergeletak di lantai.
“ALDERTSSS” teriak Valda sambil menghampiri Alderts. Disaat Valda berlari menghampiri
Alderts, dirinya juga ditembak sebanyak tiga kali oleh tentara Jepang dari belakang. Akhirnya
mereka berdua tergeletak dengan posisi bersebelahan. \
“Valda, kuharap kita bisa hidup bahagia di kehidupan selanjutnya. Aku mencintaimu.” Ujar
Alderts.
“Alderts, jangan kamu berkata seperti itu. Jangan tinggalkan aku.” Jawab Valda. Dengan
sekuat tenaga, Valda memeluk Alderts dengan keadaan Alderts sudah tergeletak. Valda
memeluk Alderts. Untuk terakhir kalinya melihat Valda, Alderts mencium kening Valda dan
setelah itu Alderts menghembuskan nafas.
“ALDERTSSS” teriak Valda sambil memeluk Alderts. Saat Valda berteriak, ia ditembak oleh
tentara Jepang dan kemudian tewas dalam kondisi dekapan pelukan Alderts.
Nyawa memang Tuhan yang tahu. Tetapi saat kita kembali ke Sang Pencipta, tubuh menyatu
dengan tanah. Hanya, segala kenangan tidak akan pudar dan cinta tidak akan termakan usia,
kekal sampai selamanya.

***

Anda mungkin juga menyukai