Anda di halaman 1dari 78

1.

Permulaan

Jika kita mengambil skala sepuluh, maka dipastikan aku ada di angka empat. Artinya,
hidupku tidak terlalu beruntung dan banyak mengalami kesialan, entah secara sosial,
ilmiah, atau hal – hal yang paling bodoh sekalipun. Keberuntungan sangat jarang
menghampiri, tiga bulan sekalipun belum tentu, apalagi seminggu sekali. Beberapa dari
kesialan itu bahkan melekat dan menjadi sebuah trade mark yang mencirikanku dan
membentuk sebuah cap alias anggapan yang tentu saja tidak mengenakkan.
Kesialan pertamaku adalah aku berdiam di rumah kos yang ditinggali oleh dua orang
kembar iseng bernama Roni dan Doni. Dua orang inilah penyebab utama kesengsaraan
hidupku. Penyebabnya tak lain adalah keisengan luar biasa dari dua orang ini yang
seringkali menyusahkan. Pernah satu ketika aku menemukan sepatuku tergantung di
pagar teras kamarku, sementara sebelahnya ada di lobang WC. Dan salah satu yang
paling iseng adalah ketika aku kehilangan kaos kakiku yang akhirnya kutemukan
tergeletak di freezer dalam keadaan membeku alias keras. Satu – satunya yang
menghiburku adalah dua orang ini tidak bersekolah di sekolah yang sama denganku.
Kesialan kedua adalah mengenai transportasi. Jarak antara kos - kosan tempat aku
tinggal dan menuju sekolah adalah dua kilometer, yang berarti untuk ke sekolah harus
dengan menumpang angkot. Masalahnya, aku tinggal sendiri alias tanpa orang tua yang
berada di luar kota. Uang yang sering dikirim pun tidak banyak. “Belajar hidup mandiri
dan pintar mengatur kebutuhan”, itu yang mereka bilang. Namun, masalah sebenarnya
bukan soal uang, namun soal angkot itu sendiri. Angkot di wilayah kami bukanlah yang
terbaik, bahkan tergolong pemalas. Seringkali mereka terbiasa menunggu penuh,
sebagian lagi malah menunggu sampai siang tanpa peduli kepada para pelanggan. Jadi,
sepagi apapun kamu pergi sekolah, maka tetap saja bisa terlambat.
Begitu juga yang terjadi pada pagi ini. Aku telah menunggu selama lebih dari
setengah jam. Kulihat jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul 06 : 48, alias dua
belas menit sebelum bel berbunyi. Aku melihat ke kanan, namun belum ada juga angkot
warna biru tua yang kunantikan. Waktu semakin berlalu. Kini waktu menunjukkan pukul
06 : 55 alias lima menit sebelum bel masuk. Aku mulai tegang dan berkeringat,
sementara duo kembar terus saja meracau dan mengoceh terus menerus untuk
mengganggu ketenanganku. Dua orang ini beruntung karena sekolahnya memberlakukan
waktu masuk lima belas menit lebih lama dibanding sekolahku alias pukul 07:15.
Angkot biru tua itu akhirnya datang juga tepat tiga menit sebelum bel masuk. Waktu
yang tentu saja tidak cukup banyak untuk mencapai sekolah, ditambah dengan adanya
belokan-belokan sinting dan jalan-jalan yang berlubang dan berbisul. Aku hanya bisa
pasrah, namun tentu saja aku tidak akan berhenti sekarang. Aku harus mencapai cita –
cita, tegasku dalam hati. Sangat sulit membayangkan mobil angkot butut ini tiba – tiba
berubah menjadi mobil Lancer Evolution ataupun Lamborghini Murcielago yang
mencapai kecepatan 200 km per jam serta dilengkapi turbo dan nitrous okside. Mobil ini
hanya salah satu angkot butut warna biru yang hanya dapat mencapai kecepatan
maksimum 60 km per jam alias kurang dari sepertiga dari mobil – mobil diatas. Namun,
mobil ini tetap saja mempunyai keunggulan dibanding mobil – mobil tersebut. Di mobil
ini terdapat sebuah pencampuran kimia yang sangat teratur dan rapi dalam bentuk gas
luar biasa yang menghasilkan sebuah bau yang sering kita sebuat bau tengik.
Pencampuran ini bahkan tidak bisa dilakukan oleh ahli kimia manapun di dunia.
Pencampuran yang menggabungkan bau ikan, bau ayam, bau keringat, ompol bayi,
parfum, kentut dan asap knalpot yang menghasilkan suatu pacuan adrenalin yang dapat
membuat orang pingsan apabila tidak sanggup menghadapinya. Untungnya kali ini aku
duduk tepat di depan, disamping pak supir yang sedang bekerja. Bau kali ini sungguh
lebih daripada yang kemarin – kemarin. Aku hanya berharap dapat selamat menuju ke
sekolah tercinta.
Pukul 07 : 10 aku tiba disekolah, dan disambut tampang seram Pak Dun, sang guru
piket dan wajah ramah Pak Toni, satpam sekolah kami. Ia berdiri, menyombongkan
ketegapan dada-dadanya yang dibusungkan secara serampangan. Tangannya mengepal-
ngepal, diremas satu sama lain, siap untuk menghamtam, menghujam pipi-pipiku. Aku
rasanya ingin lari. Namun, kaki – kakiku terasa terkunci oleh gembok super besar dengan
berat 100 ton, badanku terasa kaku, seolah - olah diikat oleh tambang berdiameter
setengah meter. Pak Dun semakin dekat, sekitar enam meter dariku. Jantungku berdetak
semakin cepat, lebih cepat daripada langkah Pak Dun. Ia pun semakin dekat dan dekat
sampai akhirnya ia berhasil menangkapku dan menyeretku ke kantor, dan mendudukkan
aku di sebuah kursi. Pada fase ini aku dimarahi habis – habisan oleh Pak Dun karena
keterlambatanku yang ke-10 pada satu setengah bulan ini. Namun, tentu saja aku tidak
konsen dengan ocehan – ocehan Pak Dun. Ocehan-ocehan mengenai keterlambatan,
prestasi-prestasinya saat masih SMA, serta pentingnya disiplin bagi masa depan. Namun,
sekali lagi pak, ini masalah nasib!
Ia terus mengoceh tanpa sekalipun kuperdulikan. Aku menunduk dengan sesekali
mencoba tidur. Oh, aku kini benar-benar menghina guruku sendiri!
Pak Dun yang semakin sebal melihatku lelah sendiri dengan ocehan-ocehannya. IA
sedikit menghela dan secara mengejutkan berhenti mengoceh.
“Baiklah, sekarang kamu boleh masuk kelas. Kamu bawa surat pernyataan ini dan
berikan pada guru yang mengajar”, kata Pak Dun pada akhirnya.
“Terima kasih, pak”, ucapku basa – basi, yang disambut dengan tidak ikhlas oleh Pak
Dun.
Akhirnya aku bisa masuk kelas, dengan harapan bahwa Pak Saiful tidak menambah
runyam situasi. Tapi aku tidak terlalu yakin. Mungkinkah seorang Pak Saiful bisa
memaafkanku? Jawabannya tentu saja tidak. Pak Saiful adalah seorang guru paling kejem
di sekolah. Peraturan pemerintah mengenai kekerasan diakalinya melalui hukuman atletik
atau penanaman rasa malu yang efektif. Dan inilah kesialanku yang ketiga, yaitu sering
bermasalah dengan Pak Saiful. Sudah cukup banyak hukuman yang kujalani, mulai dari
sprint 1000 meter, jalan jongkok, tari perut, goyang ngebor, ngecor, sampai goyang
ngendor pun udah dijalani dengan ( tentu saja ) malu yang tiada hingga. Dan kali ini,
sekali lagi aku bermasalah dengan Pak Saiful. Namun, apa hukumannya kali ini? Goyang
panaskah?

Namun, ternyata kali ini keberuntungan akhirnya menghampiriku. Pak Saiful


dikabarkan terlambat karena ban motornya bocor dijalan. Maka, aku pun dengan
lenggang dapat masuk ke dalam kelasku, XI IPA 3. Di sana telah menunggu seorang
sahabatku sekaligus teman sebangkuku, Soebedjo alias Felix.
“Uy, kenapa telat?”, sambutnya.
“Biasa”, jawabku seraya duduk di kursiku.
Inilah kelasku, dimana kesenangan yang jadi makanan sehari – hari, dan dimana
hanya segelintir orang yang berfikir untuk masa depan, itu terbukti dari sedikitnya orang
yang membaca buku dibanding yang bermain gitar atau pacaran. Di kelasku ini
kepintaran sangat merata, alias tak ada yang terlalu pintar dan terlalu bodoh. Namun,
menurutku itu hanya karena mereka tidak berusaha. Tapi tentu saja ada beberapa yang
menonjol seperti Andi, Inu atau Warni yang merupakan tiga orang yang paling pintar di
kelas. Namun justru kaum – kaum yang mendewakan kesenangan itulah yang paling
diterima di kalangan murid – murid SMA. Sungguh ironis. Di saat bangsa butuh para
muda – mudi yang berfikir, mereka justru merelakan otak brilian mereka untuk bermain,
bersenang – senang, bepergian setiap waktu tanpa hasil.
Beberapa saat kemudian muncullah seorang wanita yang biasa dipanggil “Miss
Honey”. Mungkin karena ia memang berwajah manis dan imut – imut, ditambah ia belum
menikah. Namun, ia menyatakan akan menikah pada dua bulan ke depan. Para murid pun
bermusyawarah untuk menentukan panggilan baru si guru. Beberapa mengusulkan “Mam
Sweet”, sebagian mengusulkan “Madame” dan yang lain mengusulkan “Mama Four”.
Namun semua panggilan itu ditolak oleh Miss Honey karena ia ingin dipanggil dengan
nama aslinya saja yaitu Annisa Yulistia. Maka daripada itu lalu diputuskan nama
panggilan baru untuk Miss Honey adalah “Mam Yul”.
Mam Yul membawa seorang wanita disampingnya. Seseorang yang tak pernah
kulihat sebelumnya namun pernah ku kenal. Aku pernah mengenalnya dalam sebuah
fasilitas chatting. Tapi sekali lagi, aku bahkan belum tahu nama aslinya karena ia
memakai nama samaran yaitu l3b@y_w0MeN. Yang aku ketahui cuma nama kecilnya
yaitu Rin. Ia memberitahu akan pindah ke sekolahku dua hari yang lalu melalui sms, dia
bilang tidak sabar bertemu denganku, dan tentu saja aku tak sabar bertemu dengannya.
Rin yang kulihat ini tentu saja lebih dari yang kubayangkan. Setiap langkah kakinya
seolah melambangkan seorang wanita elegan yang menjaga martabatnya, dan setiap
tatapannya seolah menyimpan sejumlah kecerdasan dan visi serta misteri bagi laki – laki
yang ingin memikatnya, paling tidak bagiku.
“Baik Karin, perkenalkan dirimu”, Man Yul mempersilahkan. Karin menoleh dan
sedikit membungkuk padanya, dan kembali menghadap kami.
“Hai, aku Karin Irnasa. Aku pindahan dari SMA Puri Bogor”, ucapnya perlahan dan
tentu saja dengan senyuman.
“Baik. Sudah kenal semua kan sama Karin? Nah, Karin. Kamu sekarang duduk di
sana, ya”, Mam Yul menunjuk kursi kosong yang berada tepat dibelakang kursi Putri,
disamping kursi Emmilia, di depan kursi Farzi dan disamping kursiku.
Saat ia berjalan aku hanya berharap inilah Rin yang selama ini ber-sms ria denganku,
bercanda melalui telepon, ngobrol lewat chatting dan berkirim surat. Kemarin lusa aku
mendengar berita ada satu murid baru yang lain bernama Rina. Mungkinkah itu Rin-ku?
Entahlah. Namun, siapapun wanita yang berjalan itu, yang kutahu adalah aku jatuh cinta
pada pandangan pertama.
Ia duduk, dan melirik ke arahku sebentar, namun kemudian berpaling karena Emmilia
dan Putri memanggilnya. Mereka mengobrol satu sama lain, seperti kebiasaan wanita
pada umumnya. Namun, suaranya hanya terdengar sesekali, tidak sesering Emmilia dan
Putri, menandakan tidak ada niatan dalam obrolannya.
Kini mereka diam. Mungkin karena lelah bicara atau kehabisan topik. Setelah itu aku
melihat Emmilia dan Putri keluar setelah mendengar Karin menolak ajakan mereka ke
kantin. Sesaat setelah itu aku mendengar sebuah suara yang lembut, sangat lembut dan
menyenangkan. Suara itu memanggil – manggil namaku.
“Dan…”
“Danar…”,
Suara itu semakin jelas.
“Danar…”
Aku pun menoleh ke tempat suara itu berasal.
“Danar, ini Rin. Aku seneng akhirnya bisa ketemu sama kamu. Aku udah menantikan
ini sejak lama”.
2. Sahabat
Menurut data statistik dari tahun ke tahun disebutkan bahwa penduduk di
Kepulauan Bangka Belitung didominasi oleh dua suku : Melayu dan Cina. Jika skala
diperkecil, didapatkan angka sebesar lebih dari 30 % penduduk merupakan keturunan
Cina. Ini dapat dimaklumi mengingat beratus – ratus tahun yang lalu orang – orang Cina
datang merantau ke negeri Indonesia, terutama pulau Bangka untuk berdagang.
Sebagian besarnya konon memutuskan tinggal di negeri ini. Hingga sekarang,
kaum Cina pun beranak-pinak. Beberapa diantaranya kawin dengan anak Melayu hingga
akhirnya menghasilkan anak-anak CM ( Cina-Melayu ) yang kini jumlahnya entah sudah
berapa ratus orang.
Hal itu juga rupanya menimpa Karin. Karin merupakan seorang wanita keturunan
Cina, yang didapatkannya dari Ayahnya. Kulitnya yang putih bersih ditambah mata sipit
nan indahnya cukup menggambarkan ke-Cina-annya. Hanya saja, logat dan beberapa
bagian tubuhnya seperti bibir, tidak sama sekali menggambarkan bahwa ia seorang Cina.
Hari ini, tepatnya sekarang, aku dan Karin berjalan berduaan di halaman kantor
guru. Statusku sekarang adalah seorang guide dan Karin berperan sebagai tourist. Jujur,
aku belum pernah berduaan dengan wanita yang bukan keluargaku selain dengan Dewi,
sahabatku sejak SMP dan Feni. Namun, kesan kali ini sangat berbeda. Lebih hangat, bisa
dibilang begitu. Berjalan berduaan dengan Karin bisa dibilang merupakan kontak sosial
terbaik yang bisa dialami pemuda jomblo. Kata – kata, intonasi, serta mimiknya
merupakan yang terbaik diantara cewek – cewek lain yang pernah kutemui. Nada
bicaranya sangat menyenangkan, penuh kehati – hatian, namun tidak diperlambat. Jika
diambil skala lima bintang, maka Karin akan mendapatkan empat setengah. Sebuah
penghargaan bagi orang yang nantinya bisa menjadi seorang politikus bermulut ajaib.
Khayalanku melayang tinggi dengan idiotnya. Dalam gambaranku, suara Karin
terdengar sangat jelas. Di ruangan itu aku dan Karin berdampingan. Suaranya sungguh
indah, enak didengar telinga. Saat itu penghulu bertanya:
“Apa engkau dengan hati yang ikhlas bersedia berdampingan dengan lelaki ini?”,
“Ya”. Oh..sungguh elok suaranya. Sebuah balutan kecerdasan dan kelembutan
hati bersatu dalam sebuah kata : “Ya”. Ohhh..aku terasa hanyut dalam kalbu khayalanku
sendiri. Semua sungguh terasa nyata dan realistis. Tak terkirakan seberapa berartinya
visualisasi itu.
“Dan, bagaimana denganmu, pencinta?”, penghulu itu bertanya dengan noraknya.
Alis kiriku mengangkat cepat menatap penghulu yang tersenyum melotot padaku
itu. “Ya, iyalah…”, jawabku cepat.
Sungguh bahagianya aku. Aku melihat Karin, dan ia melihatku. Oh, manisnya
khayalan-khayalan ini. Sesaat aku berharap semuanya menjadi nyata.

Dan, dalam sebuah tepukan semuanya menghilang.


“Dan”, Karin memanggilku sambil menepuk kedua belah tangannya.
“Oh, kenapa Rin”, aku terbangun dari lamunan.
“Kamu ngelamun?”,
“Ah, enggak…”,
“Kirain..”.
Aku tersenyum kaku.

Namun, hari ini akhirnya berakhir. Sungguh miris bagiku. Sebuah bunyi –
bunyian pada akhirnya memisahkanku dan Karin untuk sementara. Sebuah benda besar
hitam yang disebut mobil jemputan menjadi pemisah antara aku dan Karin. Kertas kecil
yang berisikan alamat rumahnya menjadi kenang – kenangan terakhir untuk hari ini
darinya. Sementara aku memandangi mobil jemputannya yang perlahan menghilang,
sebuah suara menghampiri gendang telingaku. Sebuah suara yang sangat aku kenal, yang
setiap hari aku jumpai dan kali ini nadanya sangat tinggi : supir angkot!
“WOI!! Mau naek apa kagak?”, sang supir berteriak.
Sebagaimana Oliver Kahn, dalam sekejap akupun terbang memasuki angkot biru
itu.

Hari ini aku tidak langsung pulang ke kos – kosan, melainkan mampir sebentar ke
Video BUSY, sebuah tempat penyewaan film paling lengkap di Pangkalpinang. Tempat
ini merupakan satu – satunya tempat penyewaan film yang menyewakan kaset original
alias asli. Kebanyakan tempat (bahkan mungkin seluruhnya) lain selalu menyewakan
kaset bajakan yang kualitasnya sangat – sangat (sangat) buruk.
Jadwal kerjaku di tempat ini tidak terlalu rumit. Di sini terdapat tiga orang
pegawai: aku, Ifkan, dan Heri. Jika hari ini aku menjaga, maka besok dan lusanya aku
tidak menjaga, begitu seterusnya. Pekerjaan ini memakan waktu selama empat jam, mulai
dari pukul 14:00 sampai pukul 18:00 alias maghrib. Pada jam malam, petugas lain yang
akan menjaga. Dari jadwal tersebutlah gaji bulanan kami tidak tinggi, hanya Rp
30.000,00 alias sepuluh ribu per harinya.
Yang biasa kulakukan disini hanya menunggu waktu berjalan dengan menonton
beberapa film secara gratis, dan berkenalan dengan beberapa member cewek, yang tentu
saja selalu menolak secara halus. Yang terkadang membuatku senang adalah kedatangan
dua sahabatku, Felix dan Arman yang juga merupakan member. Seringkali kami
bercanda, dan bercerita. Namun kali ini tidak ada satupun orang yang datang hingga jam
kerjaku habis. Dan, jadilah aku manusia yang sendiri ditemani sebuah televisi.
Sesampai di rumah, aku langsung duduk . Capek. Berjalan sejauh 300 meter
merupakan hal yang menyakitkan bagi orang berstamina lemah sepertiku. Itulah kenapa
setiap pelajaran olahraga nilaiku tidak pernah tinggi kecuali dalam materi senam dan
tolak peluru.
Aku berjalan menaiki tangga menuju kamar. Di depan kamarku si duo kembar
asyik bermain Playstation sementara Tante Minah, sang ibu kos menyambutku dengan
sebuah kalimat yang menyejukkan:
“Dan, udah makan belom?”.
Itu adalah sebuah kata menyejukkan bagi anak kos manapun di dunia.
“Belum, tante”, jawabku.
“Kalau begitu, makan gih. Lauk sama nasi ada di meja makan”, balasnya.
“Iya tante. Danar ganti baju dulu”, jawabku seraya menganggukkan kepala dan
memasuki kamar.

Tante Minah merupakan ibu kos yang terbaik, paling tidak bagiku. Ia
menganggap aku dan teman sekosku yang lain seperti anaknya sendiri. Sikapnya yang
sangat keibuan inilah satu – satunya alasan aku tidak meremukkan kepala si duo kembar
iseng. Selain itu, Tante Minah juga selalu dapat menjadi seorang kakak sekaligus ibu bagi
para perantau macam aku dan teman – temanku. Hal itu terbukti dari perhatiannya yang
super, termasuk membangunkan kami tidur dan memberi support disaat kami sedang
down.
Hal yang pertama kulakukan di kamarku adalah mengambil HP. Benda yang
selalu kutaruh di balik bantal itupun aku ambil. Akupun membuka sarungnya,
menonaktifkan kunci tombolnya, dan yang kudapatkan adalah empat panggilan tidak
terjawab dan enam sms. Namun, yang paling kuperhatikan adalah sms yang terakhir,
yang dikirimkan pukul 16:43. Sebuah sms dari Karin yang merupakan sms terindah dan
membuatku gundah setengah mati:
“Jika ada mantan pacar, aku berharap tidak pernah ada yang namanya mantan
sahabat. Dari sahabatmu, Karin.”
3. Feni Ambrita Evindia

SMA Negeri Pancuran merupakan sebuah SMA favorit di Pangkalpinang. Itu


yang dikatakan para ibu – ibu, bapak – bapak, hingga siswa – siswi SMP kelas sembilan.
Buktinya simpel saja, kita bisa melihat pada setiap tahun ajaran baru lebih dari empat
ratus orang mendaftarkan dirinya, mulai dari yang pintar, sedang, sampai yang idiot
sekalipun. Namun tentu saja ini tidak mudah. Setiap tahunnya nilai terendah yang
terdaftar di SMA ini bisa disandingkan dengan dua puluh besar milik SMA lain yang
jaraknya empat kilometer dari sini, sebut saja SMA Negeri Mantap.
Fenomena tersebut sebetulnya sah – sah saja. Bisa dibilang wajar, karena
setengah dari SMAN Mantap merupakan pelarian dari SMA Negeri Pancuran yang tidak
diterima. Hal itu sebetulnya secara tidak langsung menyiratkan siswa – siswi di SMA ini
boleh disebut sebagai kualitas nomor satu dibidang eksak dan ilmu pengetahuan.
Maksudnya, para pelajar yang menuntut ilmu di sini pastilah orang – orang cerdas, baik
dalam pelajaran maupun kehidupannya.

Benarkah itu? Pada awalnya aku percaya itu. Namun, saat kuputar kepalaku
sebesar 45o ke kanan, yang kutemukan hanyalah sebuah kebodohan sosial yang sangat
miris. Adalah Felix yang membuatku berpikir seperti itu. Felix, seorang siswa yang
bercokol di peringkat 124 saat penerimaan siswa takluk oleh Siska, seorang siswi yang
bahkan tersesak – sesak hingga detik akhir penerimaan siswa baru. Ibarat kata, fenomena
ini seperti singa yang menjadi budak seekor keledai. Mungkin terdengar berlebihan,
namun itulah kenyataannya. Lihatlah bagaimana Felix memohon – mohon demi sebuah
kesalahan yang bahkan menurutku tak pernah ada, alias dibuat – buat oleh sang pacar.
Hubungan ini berlangsung selama empat bulan, maksudku delapan bulan, karena
ada sebuah jeda alias putus di bulan keempat. Jikalau boleh jujur, menurutku hubungan
tidak lebih dari sebuah penjajahan mental. Seperti yang kusebutkan di atas, Felix sangat
mencintai Siska, maklum, inilah pacaran pertamanya. Namun justru itulah yang
dimanfaatkan Siska untuk “bersenang – senang”, hal yang belum pernah dia lakukan
kepada pacar – pacarnya yang lain.
Hubungan ini justru sangat mengganggu kami sebagai teman – teman
terdekatnya. “Penjajahan” yang kusebutkan barusan bukan hanya sebatas uang dan jasa,
namun juga batasan – batasan yang lain. Ke kantin pun gak boleh. Terkadang pun saat
kami nongkrong ataupun jalan – jalan dipastikan akan sulit, karena Siska akan terus
menelpon dan menelpon agar Felix menjemputnya atau malah mengantarnya ke beberapa
tempat. Namun yang paling parah ( dan paling busuk ) adalah sebuah peraturan yang
tidak boleh dilanggar: dilarang dekat dengan cewek lain.

* * * * *

Salah satu orang yang paling terkena imbas adalah Feni Ambrita Evindia, seorang
siswi kelas XI IPA 2 yang telah bersahabat dengan Felix sejak kelas tujuh SMP.
Peraturan ini tentu saja sangat menyakitkan, maksudku sangat – sangat menyakitkan.
Feni adalah cewek yang paling dekat dengan Felix, bahkan sebelum Felix mengenal
Siska.
Sedikit cerita mengenai Feni. Feni adalah seorang wanita yang disukai oleh lebih
dari 95 % cowok – cowok di SMA ini. Wajar saja, dengan paras imut – imut dan bodi
oke yang dipunyainya, seorang homo pun dijamin bakal kembali normal untuk sementara
waktu. Menelisik persentase tersebut, wajarlah jikalau akupun mengalami “rasa” yang
sama. Namun, tentu saja “rasa” itu telah tertutupi oleh besarnya sayangku kepadanya
sebagai seorang sahabat. Untuk kondisi seperti ini, sepertinya istilah persahabatan lebih
baik dari pacaran memang benar adanya.
Namun, status gadis idola yang disematkan padanya tidak jua membuatnya
melapas status jomblo yang telah bertahan cukup lama, dua tahun. Alasannya simple :
belum ketemu tipe cowok yang sesuai. Mungkinkah? Jika didata, ada lebih dari 20 tipe
cowok yang mengejarnya setiap hari. Ternyata masalahnya tidak jauh berbeda dariku :
keberuntungan. Cowok yang diidolainya, Zikri, sang ketua rohis, memang cenderung
diam, tak banyak omong, dan jenaka. Tapi, sekali lagi dia tidak beruntung. Dari daftar
cowok – cowok yang mendatanginya setiap hari, nama Zikri hanya tertera sebanyak
2850240948 kali, itupun bukan Zikri yang dimaksud, melainkan Zikri Sobari atau yang
biasa dipanggil Kuncup, karena rambutnya memang mirip kuncup.
Kendala yang dihadapi mungkin adalah kelas yang berbeda. Zikri adalah siswa
kelas XI IPA 1. Tapi tentu saja bukan itu kendala sebenarnya. Kendala sesungguhnya
terletak di bawah alam sadarnya. Sesuatu yang orang bilang keberanian. Walaupun Feni
menghadapi masa pubertasnya jauh – jauh hari yang lalu alias saat ia masih SD, nyali
Feni terhadap lawan jenis tak berbeda dengan anak umur empat tahun, ciut dan kecil.

* * * * *

Apa yang dilakukan Feni dari hari ke hari tak lebih daripada menangisi rasa
sayangnya pada Felix. Ia lebih dari sekedar teman baginya, lebih tepatnya mungkin
setengah hidupnya. Jika aku tak dapat menemukannya, ada satu tempat di mana ia dapat
ditemukan : taman. Salah satu tempat favoritnya.

Dari sini aku dapat melihatnya, ia duduk rileks di sebuah kursi yang memanjang
rata sepanjang tiga meter. Menerawang jauh tanpa batas, namun tak tampak sama sekali
olehnya diriku yang berdiri. Ia menatap dengan sedih, matanya berkaca – kaca, namun
tak dapat lagi mengeluarkan air mata. Satu tangannya memegang sebuah pena, sementara
tangan yang lain memegang secarik kertas bertuliskan : Kakak, aku merindukanmu.
4. Pesona

Pesona Karin memang tiada duanya. Aku merasakan hal itu, sama dengan dua
orang disampingku ini. Dua orang yang mempunyai tingkat ketidaktahumaluan yang
cukup tinggi. Hampir seluruh cewek cantik sukses menolaknya dan (juga)
mendampratnya. Erik dan Fingki, itulah namanya. Kebodohan dua orang ini dalam
memikat memang tergolong payah, sangat buruk malah. Namun tentu saja mereka tak
pernah putus asa. Mungkin kemaluan, maksudku, rasa malu mereka memang telah hilang
sama sekali.
Begitu juga saat ini. Lihatlah mereka saat mendekati Karin. Sangat tidak efisien
dan efektif, bahkan cenderung menjijikkan. Dan dapat ditebak, yang mereka dapat
hanyalah sebuah “ciuman” dari buku Kamus Indonesia-Inggris yang tebalnya mungkin
sekitar 400 lembar. Ini adalah cara PDKT paling buruk yang pernah kulihat.

Namun sesungguhnya nasib mereka tidak berbeda jauh dariku, bukan dalam hal
ketidaktahumaluan, melainkan lebih kepada nasibku sebagai seorang jomblo sejati. Yap,
aku memang jomblo bertahun – tahun. Dari dua puluh cewek yang kutembak, hanya satu
yang menerima. Bisa bayangkan? Namun tentu saja itu bukanlah sebuah masalah bagiku,
hanya cukup menggganggu saja.
Tapi dibalik itu aku menyimpan sebuah kebanggaan tersendiri. Kebanggan itu
menyangkut dekatnya aku dengan dua cewek paling dicari di seluruh SMA Pancuran. Hal
ini memang terkadang terasa ironis, beberapa orang bilang begitu. Kedekatanku pada
cewek – cewek ini justru tidak dapat kumanfaatkan untuk menggaet mereka. Memang
sepintas terdengar ironis sekali. Namun sekali lagi, sebuah persahabatan jauh lebih
penting dibanding menjadi pasangan yang pada ujungnya berakhir saling menjauhi.
Dibalik keironisan itu, seperti yang kubilang sebelumnya, tersimpan sebuah
kebanggaan. Kedekatanku tersebut sebetulnya menyebabkan status sosialku meningkat
drastis. Bayangkan saja, berjalan berduaan dengan seorang cewek cantik tentu saja
menghasilkan sebuah cap positif dari publik. Tak heran jika terkadang aku disanjung
setengah mati oleh para cowok dan Feni atau Karin seringkali dihujat oleh teman –
temannya karena berduaan dengan lembu Rusia.
Begitu juga saat ini, saat kami berduaan di perpustakaan, salah satu tempat favorit
di SMA Negeri Pancuran. Kali ini aku bersama Feni. Hari ini kami memang sedang
pelajaran kosong alias tidak ada guru. Ini memang sering terjadi. Yang kali ini pun bisa
terhitung yang ke-dua puluh kalinya dalam tiga bulan ini. Apapun yang dibahas itu, yang
jelas di hampir setiap rapat selalu terdengar suara Bu Nisa meraung – raung keluar.
Suasana perpustakaan yang tidak terlalu ramai membuat segalanya menjadi lebih
rileks dan nikmat, ditambah struktur perpustakaan kami yang memakai bilik - bilik. Dan
untuk kesekian ratus kalinya, Feni bercerita tentang dua hal : Zikri dan Felix. Dan untuk
kesekian ratus kalinya juga, seluruh kebosananku entah kenapa terusir dengan sangat
cepat saat melihat binar – binar matanya. Entah itu penyebab utamanya atau tidak, yang
jelas setiap aku melihat matanya, segala sesuatu yang rumit terasa mudah dan indah. Dan,
disaat aku mendengar caranya bicara, aku bagai tersapu oleh angin yang berhembus,
sangat – sangat mendayu. Setiap kata – katanya, cara bicara kekanak – kanakannya,
suaranya, serta setiap detik yang melaju, semuanya mampu membuat detak jantung turun
drastis, menaikkan tensi, dan mempercepat laju adrenalinku.
Saat ia menyelesaikan ceritanya, akupun masih tetap menatap matanya tanpa
mampu kulepaskan. Tatapan itu dibalasnya dengan hal yang serupa, bahkan jauh lebih
indah dari yang kupunya. Sesaat, semua rasa sayangku sebagai sahabat berubah drastis
menjadi sebuah rasa yang sangat jauh berbeda. Sebuah rasa yang kudapatkan saat
pertama kali bertemu dengannya. Kami pun terdiam dan saling mendekat. Ia memegangi
wajahku dan membelainya secara halus dan perlahan. Aku pun memegang tangannya
yang lain, menggenggamnya dengan pasti. Mata kami tak terlepas antara satu dengan
yang lain. Mungkinkah itu akan terjadi? Sebuah peristiwa yang tak pernah ingin
kulakukan dengan Feni.
Hal itu memang harus terjadi dan saat ini tak satupun penghalang bagi kami untuk
melakukannya, setidaknya itu yang aku lihat. Ibarat kata tinggal menunggu waktu saja.
Perlahan dan perlahan Feni semakin mendekat dan mendekat. 5….4….3….
“Ehm..”, terdengar sebuah suara.
“Ehm…”, suara itupun semakin berat dan dekat.
“Sori ganggu, tapi kayaknya hal itu gak patut dilakukan di sebuah perpustakaan”,
itu Zikri, sang pemilik suara berat yang mengganggu itu. Ia melihat Feni dengan sebuah
tatapan dan seketika berlalu.
Aku pun melihat Feni. Ia terdiam. Raut sesal tergambar dari wajahnya. Kenapa
harus ia yang tau? Pertanyaan itu pasti bergaung dalam di pikirannya. Ia tentu ingin
menangis, karena baginya kesempatan untuk dekat dengan Zikri telah habis sama sekali.
“Aku minta maaf”,
Feni menatapku. Tidak jelas apa jawaban dari permintaan maafku itu. Jelas sekali
ia terluka. Dalam sekejap ia meninggalkan aku sendiri. Ia setengah berlari sambil terisak.
Aku yakin ia pasti akan ke toilet dan menangis sekencang – kencangnya. Dan aku, hanya
dapat terdiam sendiri diliputi rasa bersalah, ditambah pandangan sinis dari para fans
fanatik Feni seolah – olah siap meremukkan kepalaku.
5. El Purpone of Love

Kejadian itu berdampak luar biasa untukku, terutama bagi hubunganku dan Feni.
Beberapa hari ini kami tidak saling bertegur sapa sama sekali. SMS-ku pun tak pernah
lagi dibalasnya. Setiap bertemu pun ia selalu menghindar bahkan sebelum aku sempat
menyebut namanya. Tiap aku mendekat, ia selalu menjauh dan tiap aku meliriknya, ia
selalu mengalihkan pandangannya.
Ini membuatku sangat frustasi. Sejujurnya, aku sangat ingin tahu jawaban dari
permintaan maafku. Tak lebih dari itu.
Persoalan ini kubeberkan pada Arman setelah rapat mingguan Jurnalistik SMA
Negeri Pancuran atau disingkat sebagai Jurpan. Sedikit info, Arman merupakan wakil
ketua Jurnalistik SMA Negeri Pancuran.
“Kalo menurut aku, ya kamu musti deketin dia”, bebernya.
“Ya gimana mau deketin, ngeliat gua aja pasti langsung lari kebirit – birit”,
jawabku seraya meminum jus alpukat buatan bu kantin.
“Ya kalo lari dikejer dong”, Arman menimpali.
Aku diam. Yang ada dalam pikiranku hanyalah sebuah pendapat mengenai
kesalahanku meminta pendapat pada Arman. Lihatlah jawaban simpelnya. Tiada satupun
ketepatan jawabannya dengan apa yang kuinginkan. Jikapun aku mengikuti jawabannya
dipastikan yang kudapatkan adalah sebuah rasa malu tak tertahankan.\

“Maksudku, carilah saat dimana dia sendiri alias gak sama temen – temennya.
Nah, di saat itulah kamu dekati pelan – pelan dan kalau dia lari, kejar dan buat seromantis
mungkin”, jawabnya mantap.
Yap, itu adalah sebuah jawaban yang membuka pikiran. Sebuah jawaban yang
telah lama kutunggu. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya? Mungkin karena pikiranku
telah benar – benar buntu dari segala kemungkinan yang bisa diambil.
Sebuah tegukan dan selembar uang dua puluh ribuan pun memisahkan kami hari
itu. Kau pasti tahu maksudnya. Paling tidak hari ini hatiku telah tenang, namun tidak bagi
dompetku yang tak kunjung bertambah berat.
* * * * * *

Hari ini cuaca sungguh panas. Dalam keadaan seperti ini imajinasi – imasjinasi
seolah lenyap tiada hingga. Mungkin itulah sebabnya di saat cuaca sepanas ini orang –
orang tidak pernah sama sekali mengalami keceriaan ataupun semangat.
Namun cuaca panas seperti ini bukanlah halangan bagi guru olahraga kami untuk
menghentikan praktek lari jarak jauh yang memakan jarak sekitar enam kilometer. Enam
kilometer!
“Semangat! Semangat! Semangat!”, guru itu menjerit pada kami.
Semangat? Semangat muke lu. Seperti yang sudah kubilang sebelum –
sebelumnya, staminaku sangat – sangat memprihatinkan. Sekarang saja napasku sesak
minta ampun. Satu – satunya temanku hanya Inu. Berhubung badannya gendut, ia adalah
satu – satunya “pesaing” dalam memperebutkan predikat nilai terkecil pada pelajaran
olahraga. Untuk kali ini aku beruntung, karena jarakku dan Inu cukup jauh dan tentu saja
semakin menjauh. Paling tidak urutanku bukan yang paling akhir. Cukuplah untuk
mempertahankan kehormatanku di hadapan cewek – cewek.
Inilah kesialanku yang keempat, yaitu tidak pernah mendapatkan predikat bagus
di pelajaran olahraga, entah itu kecepatan, ketangkasan, kelincahan, ataupun lompatan.
Padahal, salah satu kriteria cowok maco adalah pintar berolahraga. Itulah kenapa para
pemain ekskul basket dan futsal umumnya sangat mudah mendapatkan pasangan.
Kelebihanku di bidang olahraga hanyalah nilai – nilai Ujian tertulis, baik itu dalam Ujian
Akhir, Tengah ataupun Ujian Semester.
Menyedihkan? Ya, memang. Cewek – cewek di sekitar jalan pun seringkali
mentertawakan aku. Namun, aku tak pernah peduli. Yang kupikirkan hanyalah satu : jari
tengah!

* * * * *

Biasanya, pelajaran olahraga ini dilanjutkan pelajaran - pelajaran lain yang sama
menyiksanya. Lihat daftar ini : Fisika, Matematika, dan Bahasa Jerman. Astaga. Mungkin
inilah penyebab hari Kamis merupakan hari yang paling dibenci oleh kelas kami.
Masalahnya bukanlah pada pelajarannya, namun lebih kepada gurunya yang rata – rata
punya tingkat kegalakan dan kesensitifan yang cukup tinggi. Beberapa diantaranya
bahkan tergolong hidung belang.
Ambil contoh guru Bahasa Jerman kami, Pak Iskandar. Guru yang membujang 45
tahun ini tangannya sangat gesit. Lebih gesit daripada tikus. Kelakuan inilah yang paling
dibenci para murid. Baik itu cewek maupun cowok. Secara, seorang wanita yang baik
tentu saja tidak mau tubuhnya disentuh oleh laki – laki yang bukan anggota keluarganya.
Tingkah ini sangatlah menjijikkan. Seorang guru tidak seharusnya bertundak seperti itu.
Sedangkan, kebencian para cowok ketika sang guru menyentuh pacarnya. Seorang cowok
pastilah tidak rela jika pasangannya disentuh laki – laki lain yang bukan keluarga
pacarnya.
Pelajaran Bahasa Jerman yang juga adalah pelajaran penutup, memang bukan
pelajaran favoritku. Tidak heran kalau nilai Bahasa Jermanku tidak terlalu jauh dari
angka 65. Kata – kata bahasa Jerman yang kumengerti hanyalah Spieltag, Jong, Wir, dan
kanone yang kudapatkan dari majalah sepakbola yang kubeli tiap Kamis. Di majalah itu
memang sering ada kata – kata asing dari berbagai negara. Salah satu kalimat yang
pernah kurangkai adalah : El purpone of love ( Sang Pengeran Cinta ).
6. Rasa yang terpendam jauh

Ada suatu saat dimana manusia harus menunggu. Hal yang satu dan yang lain
tidak pernah sama, oleh karena itu wajarlah apabila waktunya pun berbeda antara satu
dan yang lain. Contohnya adalah penghitungan suara dalam suatu pemilihan umum.
Waktu yang dibutuhkan untuk mendapat hasil yang valid paling tidak adalah 1 – 2
minggu, bahkan bisa satu bulan bila ada hal – hal tertentu. Lain halnya dengan
memanggang roti. Untuk memanggang roti hanya butuh waktu maksimal sepuluh menit
untuk mendapat hasil sempurna.

Hari ini aku juga menunggu. Menunggu sebuah kepastian yang selama sepuluh
hari ini mengambang jauh di dalam anganku. Aku pikir percumalah aku terus mendesak
Feni. Toh, keduabelas sms ku pun tak pernah dibalasnya. Sikapnya pun tak pernah
membaik. Menurutku aku telah bosan. Biarlah ia begitu. Mungkin dia butuh waktu.
Setiap orang memang punya karakteristik yang berbeda. Beberapa orang hanya butuh
satu jam atau bahkan sepuluh menit untuk meredakan masalah. Beberapa butuh paling
tidak tiga atau empat hari. Aku pun yakin Feni punya waktunya sendiri. Dua minggu
mungkin? Atau satu bulan? Malah mungkin yang lebih ekstrim, saat ia sakaratul maut
barulah dia bicara padaku. Ah, hidup siapa yang tahu?
Apakah hidup penuh kejutan? Ya, aku yakin itu. Beberapa orang mengatakan
kejutan dapat datang dari mana saja. Ya, aku pun yakin itu. Tapi, apakah kejutan akan
datang padaku? Nah. Itulah yang tidak kuyakini. Karena memang, kejutan tak pernah
mampir ke tempatku. Ia selalu saja lupa dimana aku tinggal, dan karena ia bingung ia pun
memilih kabur dan terjatuh di hadapan si duo kembar. Jadilah dua orang itu beruntung
seumur hidupnya.
Kali ini kejutan memang tidak datang padaku, namun kentutnya sempat tertahan
sebentar untuk menghantam wajahku. Sekarang, di kantin dan di meja ini dimana aku
sendirian, didatangi seseorang yang telah lama tak kujumpai, dan selalu saja kurindukan
setiap kata yang keluar dari bibir tipisnya, Feni. Ia tak berubah, tetap secantik dulu,
senyumnya menawan, badannya langsing dan tatap matanya mempesona. Yang
membuatnya berbeda hanya gerak gerik tubuhnya yang sedikit kaku. Sepertinya dia
cukup was – was dan bingung bercampur rasa bersalah.
“Hai…”, sebuah sapaan standar dilemparkannya.
“Hai juga”,
Sekilas terbesit dalam benakku untuk balas dendam atas sikapnya. Tapi….
“Dan,, aku minta maaf atas sikapku beberapa hari ini…”,
Aku menatap Feni dan mengalihkan pandanganku jauh ke tempat lain.
“Danar… aku minta maaf… aku mohon,, kamu jangan bersikap seperti itu sama
aku…”, ia melirih.
“Tapi kenapa kamu harus bersikap seperti itu!?”, aku menatapnya dalam.
“Aku malu..”,
Aku melihatnya tertunduk, matanya berkaca – kaca seolah memohon iba.
“Saat seorang wanita bersikap seperti itu, hanya sebuah hinaan yang akan terpikir
oleh para lelaki.”, ia kembali melirih, diikuti isakan – isakan berarti.
“Sesungguhnya, aku lah yang ingin minta maaf…”, ucapku. “Sejak hari – hari
sebelumnya aku mau ketemu, tapi…kamu selalu menghindar.”,
Feni diam. Ia tak kunjung menatapku. Hatiku semakin bingung bercampur rasa
bersalah.
“Sejak dulu, aku heran kenapa tidak jua aku menyadari hal ini. Dari segala
candamu, tatapan matamu, dan dari segala kata – katamu, baru sekarang aku menyadari
ini”, Feni menegakkan kepalanya. Ia perlahan menaikkan tangannya ke meja lalu
menggenggam tanganku erat – erat. “Aku sayang kamu, Dan. Sayang yang lebih dari
sekedar dua orang sahabat, dan sayang ini lebih dari sekedar dua orang yang telah lama
mengenal satu sama lain.”.
Aku terdiam. Ini ibarat sebuah pukulan telak sekaligus rejeki nomplok. Aku
bimbang. Dalam saat seperti ini setiap kata sangat berarti. Kebingunganku sungguh sulit
digambarkan dengan kata – kata. Desakan serta kata yang keluar dari para audience
hilang tanpa jejak. Dunia seolah hanya kami berdua. Meja yang kami duduki mendadak
berbentuk bulat dan berbahan keramik. Kursi yang diduduki pun ikut – ikutan berbentuk
bulat. Suasana pun menjadi sejuk seperti di pegunungan. Namun keindahan – keindahan
itu tidak dapat kunikmati. Kebingungan membawa imajinasiku ke dalam sebuha
gambaran visual yang lain. Di atas kepalaku terdapat sebuah palu besi kecil yang setiap
detik menghamtamku. Di belakangku ada seorang prajurit yang siap meledakkan
kepalaku kapan saja jikalau aku salah mengambil keputusan. Itu pun rupanya belum
cukup. Di sampingku telah berdiri seorang waria yang selalu siap memperkosaku
sebelum sang prajurit menghancurkan segalanya.
“Kamu mau gak jadi pacar aku..??”, ucapnya.
Oh! Sekarang aku memang telah meledak. Meledak oleh kebingungan yang
kuciptakan oleh rasa berlebihanku yang memang berlebih. Segalanya kini kian gelap.
Kian hampa. Rasa bingungku kembali membawaku ke imajinasi-imajinasi yang lebih
liar. Disampingku telah berdiri tegak singa yang siap membunuhku kapan saja. Dan dia
bawa pistol! Imajinasiku memang bertambah tidak karuan.
Aku mencoba menenangkan diri. Aku menatap Feni. Kucoba mengacuhkan
segala situasi di sekitarku, termasuk singa berpistol dan buaya berkepala blangkon yang
ada di belakang Feni. Aku menatap Feni, dan kali ini jauh lebih dalam dari sebelumnya.
Kugerakkan tanganku untuk meraih kedua tangannya. Kuanggukkan kepalaku perlahan
dan kukatakan dengan lembut padanya : “Iya Fen, aku mau jadi pacar kamu”.
Kalimat ini sontak disambut meriah oleh audience di sekitar kami. Seketika itu
juga segala imajinasiku menghilang. Yang ada kini hanya satu orang perempuan. Seorang
perempuan yang amat mencintaiku, dan kini aku pun mencintainya, bukan sebagai
sahabat, melainkan lebih, jauh lebih dari itu.
7. Gosip

Salah satu kenikmatan terbesar di muka bumi adalah menikmati indahnya sore
hari. Saat matahari terbenam membentuk sebuah cakrawala jingga melintasi garis
katulistiwa. Pemandangan ini amat nikmat, ditambah angin sepoi-sepoi serta es kelapa
yang sangat ranum, siap untuk dinikmati. Tak sampai di situ, kenikmatan ini bertambah
semarak dengan adanya sang kekasih yang menemani disamping kita dan memasrahkan
kepalanya di atas pundak kita. Oh, sungguh mesra tiada taranya.
Sementara itu, di atas para burung beterbangan ke satu arah seraya berkicau
penuh kegirangan. Ombak-ombak menderu seolah memakan pasir-pasir pantai. Sungguh
indah, sungguh eksotik.
Namun sesungguhnya saat ini aku tidak berada di pantai ataupun menikmati es
kelapa yang ranum. Kantin inilah yang jadi pengganti tak sepadan pantai tersebut. Dan
botol soda ini bukanlah sebuah es kelapa yang ranum dan manis. Namun semua anggapan
tersebut hilang seketika saat melihat senyuman Feni. Ah, inilah yang orang bilang
karisma. Kuakui, karisma Feni memang sangat dahsyat. Bagiku, kali ini sama sekali tak
ada bedanya dengan berduaan di pantai: sama sama mesra.

* * * * * * *

Tidak butuh waktu seminggu bagi kalangan SMA Negeri Pancuran untuk
mengetahui hubungan kami. Setiap kasak-kusuk kini telah tersebar luas mulai dari guru,
satpam, murid, sampai tukang syomai pun mengetahuinya. Tak heran jika setiap bertemu
teman-temanku maupun teman-teman Feni selalu mengeluarkan pendapat standar :
“makan-makan”.
Ketenaran kami sesungguhnya bukan sebuah hal yang tabu untuk dijalani.
Maklum, status Feni sebagai “jomblo buruan lelaki” & “wanita yang paling banyak
menolak lelaki” membuat semua kalangan terperanjat ketika mereka tahu Feni-lah yang
menyatakan cinta kepadaku. Ditambah statusku yang hanya seorang murid bertampang
biasa, banyak ditolak serta berbadan gemuk seolah pertanda bahwa jika ada wanita yang
memilihku sebaiknya wanita tersebut dibawa ke RSJ terdekat.
Namun Feni memutarbalikkan fakta tersebut. Diriku kini tak diragukan lagi telah
masuk salah satu “kaum elit”, tentunya juga karena status Feni yang cukup “berduit”.
Sungguh menyenangkan. Namun, dibalik semua itu tentu saja aku menyayanginya
sepenuh jiwaku, dan ia pun begitu.
Tak ada berapapun kata yang dapat menggambarkannya. Tak juga apapun.
Bagiku ia hanyalah ia. Tak akan terganti walaupun hanya satu jari. Aku ingin selalu
membelai, aku ingin selalu mengusap setiap helai rambut serta wajahnya. Aku ingin
hidup selagi ia ada, dan aku siap mati jika memang harus untuknya.
8. Ekskul

Permainan basket boleh dihitung sebagai permainan favorit di sekolah ini. Basket,
sebuah permainan bola tangan yang dimana sebuah tim memasukkan bola ke dalam ring
berkali-kali. Siapa yang memasukkan lebih banyak, dia yang menang. Sayangnya, dalam
beberapa saat terakhir ini permainan basket tidak pernah lagi dimainkan. Ring yang
dulunya berdiri dengan tegaknya kini hanya menyisakan tiang serta papan penyangga.
Tak lebih dari itu. Kalau tidak ada ring, ke mana lagi bola akan dimasukkan? Namun
tentu hal itu tidak berhak kami urus. Karena kami hanyalah sekelompok murid yang
kewajibannya hanya belajar dan berprestasi.
Aku seringkali melihat para atlit-atlit basket sekolah ini. Kebanyakan dari mereka
berbadan tinggi dan tegap, terutama pemain yang merupakan kelas XII dan sebagian
lainnya kelas XI. Kebanyakan dari mereka merupakan pemain-pemain inti dan sebagian
pemain cadangan. Hanya ada tiga orang pemain “kerdil” di tim ini : Yoki, Danu, dan
Felix. Mereka semua cadangan. Selama aku melihat pertandingan basket, jujur, aku tak
pernah melihat ketiganya bermain. Mungkin karena alasan tinggi badan tersebut.
Kepopuleran ini juga menghantui Feni sebagai seorang wanita.
“Pemain basket itu keren ya, Dan…”, ucapnya suatu kali. “Oh…seandainya kamu
ikut ekskul basket…”, “Kalo kamu main basket, pasti keren banget lo Dan…”.
Tekanan-tekanan ini sungguh membuatku shock. Beribu kali ia menekanku
dengan desakan-desakan mengikuti ekskul basket. Setiap jam, menit, detik, hari dan
minggu dihabiskannya untuk menyanjung para atlet basket dan anjuran (atau pemaksaan)
agar aku mengikuti ekskul basket. Yah, mungkin inilah kesialanku yang keempat : lemah
di depan wanita cantik. Pada akhirnya pun desakan-desakan ini selalu berakhir dengan
kalimat : “tapi aku gak maksa kok…”. Chh, mungkin hanya basa-basinya saja. Terhitung
pada bulan kedua jadian ini dan dimulai tiga minggu yang lalu ia memulai desakannya,
tepatnya saat kami menonton pertandingan antar sekolah yang bertajuk “SMA
PANCURAN CUP”. Salah satu cabang yang dipertandingkan di turnamen tersebut
adalah permainan basket.
Kejatuhcintaan Feni dimulai tepatnya saat pertandingan SMA Pancuran melawan
SMA Tebing. Pertandingan yang mempertemukan dua tim paling kuat di kota ini
memang menyuguhkan aksi-aksi individu yang mutakhir. Mulai dari three point shot,
slam dunk, hingga steal yang memukau penonton. Bagiku, itu hanyalah sekelompok
pertunjukan balet memakai bola. Namun, berbeda dariku, enam ratus penonton lain
menganggap itu sebagai pertunjukan skill tingkat tinggi yang membuat semua orang jatuh
cinta.
Benar saja, seusai pertandingan itu para pemain sukses dikerubungi para penonton
dan secara mengejutkan mengakhiri kejombloannya. Beberapa diantaranya malah sukses
mendapatkan selingkuhan. Tak sia-sia peluh yang mereka keluarkan.

*********************

Ekskul basket diadakan setiap hari Senin dan Kamis, mulai pukul 15:30 sampai
17:30. Hari itu merupakan hari pertamaku mengikuti ekskul ini. Dengan bermodal “good
luck” dari Fani, semangatku beranjak naik hingga ke titik paling tinggi.
Aku dan Felix memasuki lapangan itu dengan berjalan kaki. Seratus meter ke
belakang merupakan tempat parkir motor kami.
Lapangan itu tak begitu luas, tak seluas lapangan sekolah kami. Standar untuk
ukuran lapangan basket. Alasnya terbuat dari semen, dengan beberapa ornamen-ornamen
abstrak yang biasa disebut lubang menganga. Di ujung masing-masing kutub, berdiri
dengan sombongnya dua tiang ring basket, yang selama ini telah dimasukkan ratusan
hingga ribuan bola per harinya. Papan penyangga ring itu kini telah rusak. Mungkin
terlalu banyak anak pemula seperti aku yang iseng melempar bola ke dalam ring. Mereka
tidak tahu bahwa bola itu harus dimasukkan perlahan ke dalam ring, bukan dilempar
sekuat tenaga.
Angin sepoi-sepoi menyambut kami saat memasuki lapangan. Belum ada satu
anak pun sampai sebelum kami. Kulihat jam tanganku. Jarum menunjukkan pukul tiga
lewat dua empat. “Sebentar lagi”, pikirku. Selagi aku terdiam, kulihat Felix membuang
waktunya dengan melakukan lay up yang sangat menjijikkan. Menurutku lebih mirip
tarian balet daripada sebuah lay up. Saat angin sepoi belum berhenti memanjakan kami,
awan-awan pun ikut berkumpul membentuk suatu bentuk dimana tak seorang pun dapat
merasakan panasnya sinar matahari. Sejuk. Oh, hari yang sangat bagus untuk bermain
basket!

“Oh, hari yang sangat bagus untuk bermain basket!”, sebuah suara berat
mengejutkanku.
Suara berat itu ternyata adalah Pak Erik, pembina ekskul basket. Senyum khasnya
mengumbar sesaat setelah ia menikmati sejuknya udara sore ini, menarik nafas dalam dan
mengehembuskannya perlahan. Aku melihat jamku, tepat pukul tiga lewat tiga lima. Tak
lama, anak basket lain bermunculan satu persatu. Sebagian besar merupakan tim inti Tim
Basket SMA Negeri Pancuran. Doni, Bedu, dan Riko adalah beberapa yang dapat
kukenali. Sisanya? Aku tak tahu.

Tak makan waktu lama, latihan dimulai. Setelah pembacaan doa, Pak Erik
memimpin latihan yang dimulai dengan lari-lari kecil. Mudah bukan? Namun, sebetulnya
hal ini merupakan pembukaan bagi latihan-latihan keras yang sangat menyiksa.

******************************

Benar saja. Latihan-latihan selanjutnya memang luar biasa menyiksa. Mulai dari
latihan penguatan stamina, agility, speed, dan jumping atau lompatan. Latihan yang
paling berat bagiku adalah agility atau kelincahan. Pada tahap ini, kita diharuskan
melakukan lari bolak-balik secepat mungkin, dan kembali dengan berlari mundur!
Saat itu juga aku mengenal Henqy, seorang pemain inti berposisi sebagai center
tim basket SMA Negeri Pancuran. Sama sepertiku, Henqy mempunyai bentuk badan
yang tak terlalu kurus. Namun, semangat yang membawanya hingga ke tahap seperti ini.
Dan, semangat itu coba ditularkannya kepadaku.
“Terus Dan…jangan menyerah sekarang!”, ia menyemangatiku.
“Tapihhh…akuhh..gak kuat lagi…”,
“Kamu musti paksa Dan… Gak ada yang gak bisa kamu lakuin selama lo mau!”,
ia menggelegar, membakar semangatku, seolah staminaku tak pernah bisa habis.
Saat istirahat, kami berbincang cukup akrab. Saat itulah aku tahu, dibalik
semangat dan teriakannya, ia masih menyimpan kelembutan hati, sesuatu yang
membuatku makin kagum padanya. Henqy, siswa kelas XI IPS 1. Basket adalah sebagian
dari hidupnya saat ini. Tubuh, dengan otot-otot ini ia bentuk dengan semangat juang yang
tiada henti, sungguh luar biasa. Dan kerendahan hati itu ditempanya dengan sesering
mungkin beribadah kepada Yang Maha Kuasa, sungguh sungguh luar biasa.
“Karir dan ibadah itu, haruslah sejalan, Dan”, ucapnya seraya tersenyum.
Kekagumanku bertambah saat melihatnya bermain. Basket seolah sudah menjadi
nafas dan langkah kakinya. Ia bisa melakukan hal-hal yang orang lain tidak bisa lakukan,
dan ia bisa membuat gerakan-gerakan yang orang lain bahkan belum sempat terpikirkan.
Ia tidak egois. Ia tanpa ragu seringkali memberikan peluang bagi rekannya yang lain yang
lebih baik darinya. Sungguh sosok yang rendah hati.
Saat kami berpisah pun, kerendahan hatinya tak pudar. Ia menyalami satu persatu
dari kami dengan salam khas anak muda, tak peduli pemain cadangan ataupun inti,
pemain baru ataupun lama, bahkan junior-juniornya. Ia memberikan senyumnya padaku
sebelum ia menghilang pergi. Aku mengangkat tanganku dan membalas senyumnya. Ia
pun segera menghilang seperti disapu angin.
Aku segera membereskan barang-barangku. Mulai dari handuk, botol minuman,
dan lain-lain. Kuambil mereka satu persatu seraya menengok ke lapangan basket.
Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Bertemu teman-teman baru, mempelajari hal-
hal baru, serta menyegarkan tubuh untuk membentuk semangat yang baru.
Setelah segalanya selesai, aku memutar badanku dan meluncur cepat ke parkiran,
dimana kendaraan telah menunggu. Aku berjalan bersama Felix, yang hari ini tidak
membawa tas. Tentu, karena barang-barangnya disatukan di dalam tasku. Selama
sepersekian detik dalam obrolan, naluri mengarahkan tanganku mengambil handphone.
Dan secara naluri pula aku mengarahkan mataku kepadanya. Ternyata ada sebuah SMS.
Sebuah SMS yang telah lama masuk, namun tak kunjung kusadari.

“Dan, hari ini aku ngerasa sangat-sangat bahagia. Bukan karena hadiah ataupun
rejeki nomplok. Ini sulit buat dijelasin, karena aku gak tau harus mulai dari mana. Tapi
Dan, sekarang aku mengerti apa yang seringkali orang bilang jatuh cinta itu. Semua
terasa seperti surga. Melihat matanya pun rasanya aku mati suri selama satu detik. Oh
Dan, seandainya aku bisa berbagi kebahagiaan ini sama kamu…”.

Aku membaca setengah bagian akhirnya. Jelas, ini kejutan bagiku. Karin jatuh
cinta? Dengan siapa? Tentu aku harus mencari tahu. Dan besok sepertinya saat yang tepat
untuk mencari tahu.
9. Berbagi Kebahagiaan

Dua bulan lamanya Karin tak mengirim satu pun tanda komunikasi untukku,
mulai SMS, telpon, e-mail, sampai komentar di facebook pun tak ada. Jujur, ini cukup
membuatku tersiksa. Dicuekin sedemikian misterius pastilah membuat siapapun
bertanya-tanya : apa salahku?
Terakhir kali kami mengobrol adalah dua hari setelah hari jadianku. Sebuah sesi
yang biasa saja, sama seperti obrolan-obrolan sebelumnya. Hanya memang, aku
merasakan suatu kejanggalan di dalamnya, bagaimana keegoisan Karin muncul begitu
saja. Aku tak pernah bisa memotong kata-katanya untuk memberitahu statusku dan Feni.
Ia terus saja berbicara dengan penuh keceriaan, membuka setiap topik baru dan tanpa
sedikitpun menyinggung statusku.
Aku masih ingat saat-saat sebelum bertemunya aku dan Feni hari itu. Bagaimana
Karin terus mendorongku untuk bangkit, mengumpulkan keberanian, dan menyemangati
sedemikian hebat. Entah apa jadiku tanpanya. Namun selanjutnya aku begitu bertanya-
tanya mengenai sikapnya. Ia seolah tak perduli statusku dengan Feni.

******************************

Kantin tak seramai biasanya, malah tergolong sepi. Jalan yang biasanya sangat
sesak, kini terbuka lebar hingga seekor sapi pun bisa melewatinya. Maklum, seluruh
siswa kelas dua belas saat ini mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh IPDN (
Institut Pendidikan Dalam Negeri ). Sebagian siswa lainnya merupakan anggotan Paduan
Suara yang bertugas dalam peringatan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan di Kantor
Dinas Pendidikan Kota di Air Itam.

Kantin yang sepi ini otomatis menutup akses bagi siapapun untuk menguping
pembicaraan kami. Bahkan ibu kantin yang bermuka lesu dekat kami pun tak mendengar.
Mungkin ia terlalu pasrah menerima keadaan kantinnya sepi.
“Wajahnya, senyumnya, setiap mimiknya, ohh.. sungguh mempesona..”, Karin,
yang telah tiga kali mejelaskan detil cowok tersebut masih saja bersemangat, persis saat
pertama kali ia mendeskripsikannya.
“Hmm..”, aku membalasnya dengan nada bosan, dan dengan anggukan yang
membosankan juga.
“Apalagi waktu dia main basket,, duh…rasanya pengen mati!!”, kali ini ia
semakin histeris. Sungguh udik.
Aku menjawab dengan sebuah anggukan pelan.
Lihatlah ia. Bagaimana ia mengekspresikan dengan penuh pengungkapan yang
menurutku sedikit berlebihan. Aku tak pernah melihatnya sebahagia ini. Ada sebuah
senyuman yang terlukis, ada sebuah terawangan mata yang sayu, yang menggambarkan
sebuah kerinduan, harapan, serta rasa ingin memiliki, menyayangi, dan mengasihi
sepenuh hati. Aku melihatnya. Tak sanggup rasa hati ini melukainya, meskipun secara
tersirat, hatiku terasa berat. Ada suatu kepedihan yang berbeda saat ia berkata ‘aku telah
jatuh cinta kepadanya’.
“Udah kenalan?”, aku coba membuka topik.
“Belum”, jawabnya. “Tapi aku yakin suatu hari nanti aku dan dia bisa saling
kenal”. Ia tersenyum pendek.
“Siapa sih, cowok itu?”,
“Namanya Henqy..”, jawabnya mantap.
Aku terperanjat, tertegun sejenak. Aku terbangun dari pangkuan tanganku.
Henqy, seseorang yang ku kenal di ekskul basket kemarin. Seorang pria yang memang
begitu mempesona, dan Karin telah teracuni olehnya.
“Aku memang gak pernah ketemu sama dia secara langsung, dan mungkin dia
juga enggak terlalu mengenalku..”, ia memutar bola matanya berkeliling. “Dan, kamu
mau kan bantu aku??”, ia melihat ke arahku dengan ekspresi penuh harap.
Aku sedikit terkejut, namun aku berusaha menutupinya. Dengan sedikit menghela
pelan, kusanggupi permintaannya.
“Aku akan selalu membantu kamu, Rin…”, jawabku berat.
“Terimakasih, Dan…:, ia memegang tanganku, dan menatap mataku. “Kamu gak
akan pernah aku lupain sepanjang hidupku”.
Momen itupun berakhir dalam deringan bel masuk. Sekali lagi, ia sama sekali tak
menyinggung tentang statusku. Sama seperti saat-saat sebelumnya, ia pergi begitu saja,
hanya menyisakan senyuman manis khasnya, yang membuat semua hati tenggelam dalam
ketentraman. Sebuah senyum yang tidak semua wanita memilikinya. Sebuah senyum
yang akan kuingat di hidupku kini dan matiku nanti.
10. Kepergian Sang Saudara

Malam itu aku pulang lebih lambat dari biasanya. Siang ini memang sangat sibuk.
Pelanggan yang banyak mendatangi untuk meminjam film memaksa kami bekerja sangat
keras untuk mendatanya. Bahkan, komputer ekstra yang telah tersimpan sekian lama
ditarik keluar demi memudahkan kinerja.
Pada tanggal dan bulan-bulan seperti ini memang para pelanggan biasanya datang
dengan jumlah yang sangat besar. Malah lebih mirip demonstran dibanding peminjam.
Pada bulan-bulan ini, industri perfilman mengeluarkan banyak film-film ngetop setiap
tahunnya. Terhitung, lebih dari sepuluh film top keluar menjelang akhir tahun ini.
Contohnya beberapa film seperti : Mengejar bujangan, Transporters, Liburan Berujung
Kematian, dan Duda beranak Tiga, keluar secara beruntun hanya dalam satu minggu ini.
Keadaan ini memaksa bos besar kami, Pak Heru meminta kami menambah jam
kerja sebanyak dua jam dengan iming-iming uang dua puluh ribu rupiah. Aku pun setuju
dengan kesepakatan ini. Gara-gara kerja lembur ini HP-ku menemui ajalnya. Sejauh itu
aku tak mengetahuinya. Keadaan yang sedemikian ramai mengacaukan konsentrasiku.

******************************

Rumah saat itu sangat sepi. Waktu menunjukkan pukul 20: 13. Kulihat ke kiri dan
kananku, berharap ada seseorang. Namun tak ada satupun orang saat itu. Aku berjalan ke
dapur, kutinggalkan ruang tengah yang sunyi senyap itu. Ku ambil gelas dan mengisinya
penuh dengan air. Di situ tak ada satu orang pun. Aku pun menenggak air itu,
meminumnya hingga tanpa sisa.
Aku berjalan perlahan menuju kamarku. Kunaiki tangga kayu itu seraya
memperhatikan sekeliling. ‘Mereka mungkin sedang berjalan-jalan’, pikirku. Ku teruskan
langkahku, sejenak kuperhatikan satu set peralatan Playstation yang berantakan. Kuambil
mereka satu persatu dan kutaruh pada tempat yang seharusnya. Kumatikan televisi yang
masih menyala itu dan mengeluarkan kaset yang ternyata masih ada di dalam Playstation.
‘Anak-anak yang urakan’, aku menggelengkan kepalaku penuh keheranan.
Aku memasuki kamarku. Kututup pintu bergagang putar itu dengan pelan.
Kulempar tasku ke sudut kamar dan menjajal diriku dengan spring bed empuk dengan
lapisan motif bunga itu. Aku memperhatikan sekeliling. Kamar ini harum, sama seperti
biasanya. Lantai-lantai keramik, yang setiap kilaunya tak pernah pudar, selalu
menemaniku dua tahun ini. Ini akan jadi kenangan yang indah bagiku, paling tidak
sampai menjelang hari tuaku. Tante Minah, Roni, Doni, Felix, dan Arman. Situasi ini
melemparku dalam bayangan orangtuaku yang nun jauh di Bogor. Hatiku bimbang. Tak
terbayangkan bagaimana jadinya saat aku meninggalkan semua. Mungkin aku takkan
sanggup. Apakah aku akan menangis? Tak ada salahnya menangis untuk hal ini, paling
tidak bagiku.
Oh, aku tak sanggup membayangkan tentang ini. Tentang apa yang dinamakan
perpisahan. Dan, bagaimana tentang Feni dan Karin? Bagaimana nantinya aku tanpa
mereka? Belum lagi mengenai teman-teman terbaikku. Aku memejamkan mataku, namun
hatiku semakin tak sanggup. Setiap detik dan menit yang terbayang hanyalah wajah
orang-orang yang kusayangi. Wajah-wajah yang penuh kenangan, kebaikan, serta cerita-
cerita abadi.

Aku coba mengalihkan perhatianku. Sekejap aku teringat akan HP-ku yang telah
almarhum. Kuambil ia dari tas, menaruhnya di meja belajarku, dan menghubungkannya
ke listrik terdekat.
Aku melihat pada layarnya. “Bismillahirrahmanirrahim”, begutulah
pembukaaannya. Aku menunggu sejenak, kalau-kalau ada SMS, atau telepon yang tidak
terjawab.
Ternyata memang ada beberapa SMS yang masuk, mulai dari SMS Arman, Felix,
Feni, namun tak ada satupun dari Karin. Aku membacanya satu persatu, membalasnya
dan begitu seterusnya.
Saat aku membalas SMS ketiga HP-ku bergetar keras. ‘Roni calling…’, begitu
tulisnya. ‘Tak biasanya’, pikirku.
“Halo?”,
“Dan,, kamu ke rumah sakit sekarang…!!”, ucap Roni dengan napas agak sesak.
“Kenap,,,kenapa Ron??”,
“Doni, Dan…Doni…Doni kecelakaan..Pokoknya kamu ke sini sekarang,, Ke
Rumah Sakit Mawar Putih!!”, ia berteriak penuh kesedihan.
Saat telepon itu ditutup, aku menyadari bahwa ia telah meneleponku lima kali
sekitar lima belas menit yang lalu. Aku termenung. Doni kecelakaan? Di mana? Siapa
yang menabraknya? Atau malah ditabraknya?
Aku bergegas turun dari kamarku. Kulewati segala apa yang menghalangi. ‘Itulah
sebabnya rumah ini sepi’, pikirku.
Aku membuka pintu garasi, mengambil motor bebek warna merah yang berdiri
kaku itu dan melompat menyusuri jalan.

*********************************

Saat memasuki lorong rumah sakit, aku tak bisa berpikir apapun. Yang
tervisualisasi dalam pikiranku hanyalah wajah Doni.
Ia mempunyai paras yang menarik. Lucu tepatnya. Wajahnya yang bundar telur,
ditambah kulit kuningnya membuat semua insan seolah ingin menyayanginya, tak ingin
menyakiti apalagi menjerumuskannya dalam lembah maksiat. Ia memang mempunyai
aura yang mengagumkan. Tak heran, sekeji apapun perbuatannya aku tak pernah sanggup
memukulnya ataupun menghentakkan kepalanya ke dinding.
Pada dasarnya, Doni bukanlah seorang anak yang nakal. Ia hanya iseng. Tak
pernah sekalipun aku melihatnya menyakiti Tante Minah. Ia selalu membantu dalan
berbagai hal. Mencuci, memasak, menyirami tanaman, bahkan membersihkan kucing
kesayangan Tante Minah. Ia memang sangat rajin, jauh lebih rajin dari kami, anak kos
yang menumpang tinggal di rumah itu.

Saat aku memperlambat jalanku, sebuah sosok yang ku kenal kini telah terduduk
lesu. Tangannya yang besar menutupi dahinya yang lebar. Matanya telah kering,
kesadarannya telah melayang pergi, dan keputusasaannya datang membayangi. Aku tak
melihat Tante Minah. Ia mungkin pergi untuk mengurus sesuatu.

“Ron, Roni…”, aku memanggilnya pelan.


Ia menegakkan kepalanya. Terpecah sudah lamunan yang dipendamnya. Ia
melihatku. Aku tahu ia ingin menangis namun tak bisa lagi. Ia mengambil tanganku,
berdiri, merangkul, dan memelukku.
“D-d-d-dann…”, ia tersengal. “D-d-dd-do-donni, d-Dan… Doni…!”.

Aku membalas rangkulannya. Kuangkat sebelah tanganku, menepuk


punggungnya, tap tap tap. “Semuanya akan baik-baik aja”, ucapku.
Aku mengiringnya perlahan untuk duduk. Kubujuk ia hingga ia lebih tenang.
Perlahan ia memulihkan nafasnya, merapikan perasaanya, dan kembali menatap biasa.
Ia bercerita atas apa yang dilihat mata kepalanya. Bagaimana tubuh Doni
terlempar keras, terpelanting jauh, melawan kerasnya dorongan motor yang
menabraknya.
“Saat itu aku hanya terdiam melihat wajahnya yang hanya membisu. Matanya
sayu, tak jelas menatap ke mana. Aku coba membangunkannya, namun semakin
kugoyangkan tubuhnya, semakin deras saja darahnya mengalir. Aku panik. Tak tahu lagi
harus berbuat apa. Salah satu dari mereka lalu menghubungi ambulans. Dan seorang yang
lain menyuruhku memberitahu ibuku. Saat itulah aku teringat kamu. Namun, kamu gak
bisa dihubungi…”,
“HP-ku mati..”, ucapku pelan.
“Oh…”, ia menjawab tanpa intonasi.

Aku menatapnya. Tak terbayangkan olehku bagaimana rasanya. Pedih, mungkin


itu yang dirasakannya.Sedih, itu pasti. Namun, ekspresi seperti ini sungguh membuat hati
ngilu. Seorang saudara yang telah menemani sedari rahim, kini harus bertarung melawan
ajal yang membentang tepat di depan hidung. ‘Ia pasti mati’, perasaan itu seolah tertulis
di wajahnya. Aku dapat membaca itu.
Dalam wajahnya terdapat suatu ekspresi yang menurutku sedikit rumit. Di satu
sisi ia sangat pesimistis akan keadaan saudaranya. Di sisi yang lain, ia memohon pada
Tuhannya, meminta kesembuhannya, menginginkan kehidupannya kembali.
Ia kembali tertunduk. Satu per satu air matanya kembali jatuh. Tak tertahankan
lagi kekhawatiran akan siapa yang disayanginya itu. Aku menampungkan tanganku pada
bahunya. Menepuknya, dan menenangkannya semampuku. Saat itu Tante Minah
mendatangi kami. Langkahnya sangat pelan, seolah-olah ada sesuatu yang
membenaninya. Ia pun menunduk. Hanya saja tak sedalam Roni. Sebelah tangannya
menutup siku yang lainnya, sementara tangan satunya terjuntai, terlunglai pasrah.
“Dokter akan memeriksanya”, ia memberitahu kami. Roni hanya terdiam,
mengangguk pelan.

***********************

Terhitung empat puluh lima menit kami menunggu. Selama itu, kami hanya dapat
berdoa, memohon, dan meminta pada yang Yang Maha Kuasa.
Beberapa saat yang lalu anak kos lain menemui kami, beberapa saat setelah
kuberitahu mengenai ini. Adi, dan Kaslan datang secara berurutan sekitar sepuluh menit
yang lalu, sedangkan Madi sekitar lima menit yang lalu. Mereka pun kini hanya dapat
menunggu. Sebagian terduduk di kursi putih panjang itu. Sebagian lain berdiri, dengan
jempol yang tertempel di daun bibir mereka.
Roni kini tak lagi menangis. Ia sudah dapat mengendalikan pikiran serta emosi
seperti sedia kala. Waktu yang terlampau lama ini sepertinya berperan penting. Tante
Minah yang sedari tadi tak berhenti menangis pun kini telah dapat meredakannya.

Saat itulah sang dokter mendatangi kami, keluar dari ruang operasi. Ia masih
mengenakan pakaian operasinya, dengan masker di bawah dagunya, serta penutup kepala
yang masih melekat. Ia mendekat. Wajahnya yang berkeringat tak menutupi
kewibawaannya.
“Keluarganya?”, ia menunjuk kami.
Kami mengangguk.

“Doni Syahputra, yaa?”, sang dokter kembali bertanya.


“Ya”, jawab Tante Minah.
“Sepertinya tabrakan yang dialaminya cukup keras”, sang dokter menggeser
kacamatanya.”Membuat kepalanya terbentur”, ia menghela. “Maaf, tetapi..kami tidak
bisa menyelamatkannya…”, ia berkaca-kaca, dan seketika itu juga Roni tercengang.
Wajahnya berpeluh. Tak dapat dipercayanya apa yang dikatakan dokter ini.
“TIDAK!! Kau bohong, dokter sialan!!!”, ia berteriak, menunjuk dengan
kejamnya. Terlihat sekali ketidakpercayaannya pada sang dokter. Ia berputar, beralur-ilir.
Ia mendatangi lelaki itu, mencengkeram kerahnya. “KATAKAN!!! Katakan sekali lagi!!!
Aku ingin mendengarnya SEKALI LAGI!!”.

Sang dokter menarik nafasnya. Melepaskan cengeraman Roni, dan berkata pelan:
“Doni telah mati…”.
11. Kisah Duo Kembar

Masih jelas dalam benakku kisah-kisah itu. Seolah baru terjadi kemarin.
Tiga tahun lalu. Saat aku mendaratkan tubuhku di kota ini. Pangkalpinang, Kota
Berarti. ‘Slogan yang bagus’, pikirku. Nuansa melayu begitu tercium saat detik-detik
pertama aku menghirup udara kota. Setiap kata-kata yang terucap dari sang porter,
penjual makanan, tukang parkir, sungguh menggambarkan cita rasa melayu. Belum lagi
penggunaan logat yang sedikit terkesan kasar, semakin membuatku kagum akan budaya
negeri ini. ‘ka nek kemane?’ adalah salah satu contoh bahasa yang digunakan di sini.
Tiga tahun lalu, saat tahun ajaran baru dimulai orang tuaku mengirimku ke sini.
‘Belajar hidup mandiri’, itu alasan mereka. Konon, di kota inilah ayahku mengambil
ijazah strata satu-nya. Dan kebetulan, Tante Minah adalah salah satu teman bermainnya
selama di sini.
Saat itu juga aku mengenal Doni dan Roni, dua kembar yang selalu dinaungi hal-
hal menyenangkan selama hidupnya. Saat aku menyerahkan surat dari ayahku, dua orang
ini langsung menyalamiku.
“Aku Doni”, ucap salah satu dari mereka.
“Aku Roni”, yang satunya memperkenalkan dirinya.
“Selamat datang di Pangkalpinang!”, ucap mereka dengan nada yang ceria secara
bersamaan.

Selama perjalanan pun mereka sangat menyenangkan. Pengobrol yang menarik,


bisa dibilang begitu. Sangat jarang kutemui individu-individu lain yang seperti ini.
Mereka tak pernah kehabisan topic untuk dibicarakan, mulai dari olahraga, gosip, politik,
hingga edukasi mampu mereka dalami selues mungkin. Sungguh dua bersaudara yang
ceria.

***********************

Sesampai di rumah, aku membawa masuk koperku. Kuterawangi rumah itu


berkelling. Halaman depannya cukup luas. Di dalamnya ditanami beberapa tanam hias
seperti aphorbia, melati, kuping gajah, hingga palem botol. Di sisi kiriku, sebuah kolam
ikan terbentang. Kolam itu cukup luas. Sekitar seperempat dari luas taman itu. Sungguh
indah. Taman ini memang tak seluas taman rumahku di Bogor, tapi ini jauh lebih cantik
dari taman apapun yang ada di Bogor.
“Masuk, Dan..:, Tante Minah memanggilku.

Saat kumasuki rumah itu, decak kagumku tak dapat kutahan lagi. Ruang tamunya
sangat luas dan indah. Di dinding-dindingnya terdapat lukisan-lukisan yang tak kalah
indah dengan ornamen penghias pintunya. Beberapa lukisan kuda, atau gadis yang duduk
itu menurutku harganya bisa mencapai jutaan. Dan apakah semua lukisan itu sudah cukup
untuk menghiasi ruang tamu ini? Ternyata itu belum cukup jua. Di sudut-sudut ruangan,
guci-guci cina berdiri tegak dengan gagahnya. Gambar dewi Kuan In terpampang di
kulitnya. Di depan guci itu terdapat kursi-kursi serta meja-meja yang megah.
Kerangkanya tersusun atas kayu-kayu jati bermotifkan bunga matahari. Di atasnya alas
kapuk memasrahkan dirinya untuk diduduki.
Aku meninggalkan ruang surga itu menuju ruang tengah, atau ruang keluarga.
Aku disambut sebuah LCD TV yang sangat besar. Aku tak tahu berapa inci TV itu. Tapi
yang jelas, TV di rumahku bukan yang kurus seperti itu. Aku melihat sekeliling.
‘Indahnya ruangan ini’, pikirku. Ruangan itu memang luas. Lebih luas lagi dari ruang
tamu tadi. Bedanya, ruangan ini jauh lebih lapang. Wajar saja, perabotan di ruangan ini
tak terlalu banyak. Hanya ada dua sofa, satu meja, TV, dan satu AC (air conditioner).

“Oke Dan, kamar kamu di atas. Kamar nomor dua di kanan”, Tante Minah
menunjuk ke lantai atas. “Kamar yang lain itu punya tiga orang mahasiswa. Biasanya sih
mereka emang jarang pulang. Maklum, banyak praktek”.
Aku mengangguk. Kuambil koperku dan berjalan ke atas. Di atas kutemui duo
kembar yang sedang bermain Playstation. Aku hanya menggelengkan kepalaku
sementara mereka masih saja berseteru.
Aku membuka perlahan pintu itu dan menutupnya kembali. Kuletakkan koperku
di samping meja belajar. Kuhempaskan badanku di ranjang. Aku menghirup udara
perlahan, kupejamkan mataku, dan terlelap tidur. Oh, hari yang melelahkan.
***************************

Pagi itu aku bangun pagi-pagi sekali. Hari ini merupakan hari pertama
pendaftaran di SMA Negeri Pancuran.
Kuambil tasku, dan kumasukkan surat-surat yang dibutuhkan. Ijazah, STTB,
piagam prestasi, kumasukkan dalam sebuah map merah. Aku melihat sebentar angka-
angka yang tertera. ‘Lumayanlah..’, pikirku.

Saat aku turun, aku melihat duo kembar sedang sibuk melakukan pekerjaan
rumahan. Yang satu menyapu halaman, sedangkan yang lain mencuci piring. Keriangan
tertera di wajah mereka, keikhlasan terpancar dari auranya. ‘Anak-anak yang baik’.
Kuteruskan perjalananku menuju garasi. Di sana, Tante Minah telah menungguku. Ia
pengkukang kedua tangannya di pahanya, sambil bergoyang menikmati alunan musik
abang Meggy Z : ‘Anggur Merah’.
“Siap, Dan?”, ia tersenyum padaku.
“Iya, Tante”, aku mengangguk.
Ia memutar setir mobilnya, menggelincirkan ban-bannya pada jalanan. Perjalanan
sejauh 2 kilometer yang menyenangkan.

Saat di sekolah itulah aku mengenal Felix, seorang anak berkulit kuning, bermuka
jerawatan, dan berambut keriwilan. Ia datang bersama ibunya, Bu Anis, yang adalah
salah seorang pejabat tinggi di kota.
“Kenalin, aku Soebedjo”, ia menyalamiku. “Tapi, panggil aku Felix”, ia berbisik.
“Namamu siapa?”.
“Aku Danar. Pindahan dari Bogor”, jawabku.
“Oh. Bogor, ya”, ia mengangguk-anggukan kepalanya. Di saat yang sama ibunya
masih saja tak perduli pada apapun. Dagunya terangkat, matanya melotot ke bawah,
sesekali melihat sekeliling dengan setengah menyipit.
Pada saat itu aku menyerahkan mapku pada seorang laki-laki di balik bilik yang
nantinya kukenal sebagai Pak Dun. Sedangkan wanita disampingnya nantinya kukenal
sebagai Mam Yul.
Saat itu kami mengobrol, berbincang, dan bercengkrama satu sama lainnya. Dan,
bisa ditebak, sang ibu tak jua mengubah ekspresinya. Ia masih saja diam, sesekali melihat
jam tangannya.
Dan saat selesai sudah semua prosedur-prosedur itu, dua ibu-anak itu
meninggalkan kami. Felix melambaikan tangannya padaku, dan sang ibu terus saja
berjalan seperti orang yang ingin ke toilet.

**************************

Kejutan pertamaku terjadi sepulang dari itu. Awalnya, tak sedikit pun
kecurigaanku muncul pada dua makhluk ini. Seperti biasa, mereka bermain Playstation di
ruang tengah, memainkan permainan favorit mereka, Dinasty Warrior.
Aku menaiki tangga, berjalan pelan menuju pintu kamarku. Kuputar gagang pintu
itu, dan memasukinya. Alangkah terkejutnya aku, karena sesampai di dalam, aku
menemukan sebuah tubuh teronggok kaku di lantai kamarku, dengan darah-darah yang
bersimbah di mana-mana. Aku menjerit, aku berlari sekencang-kencangnya, menggedor
pintu kakak-kakak kos yang lain.
“Mayat! Ada mayat!”, aku berteriak seraya memukul-mukul pintu kamar
bertuliskan ‘Kaslan’. Pintu itu terbuka, dari dalamnya keluar laki-laki berbadan tegap,
Kak Kaslan.
“Kenapa?”, ia bertanya dengan nada bosan bercampur bentakan.
“Ada mayat! Ada mayat di kamarku!!”,
Ia mendorongku pelan. Berjalan menuju kamarku, dan melihat ‘mayat’ itu.

Ia tersenyum, menggelengkan kepalanya, menyentuh bahuku dengan tangannya.


“Anak baru, dengerin..Hidup di rumah ini jauh lebih keras daripada di Jakarta. Dan
mayat itu salah satu buktinya”.
Mulutku menganga mendengar pernyataan itu. Saat itu juga aku mendengar tawa
yang keras dari ruang tengah. Aku berjalan ke tapi ruangan, sementara Kak Kaslan mauk
kembali ke kamarnya. Aku melongo, terdiam. Di ruang tengah aku melihat duo kembar,
Roni dan Doni, tertawa terpingkal-pingkal sembari melihatku sesekali. Aku termangu.
Tak kusangka mereka yang melakukannya. Mungkin ini yang dimaksud Kak Kaslan.
‘Hidup di rumah ini jauh lebih keras daripada di Jakarta’.

Kejahilan itu rupanya hanyalah sebuah awal dari kejahilan-kejahilan yang lain.
Persis hari-hari setelahnya, aku mengalami kejahilan yang paling tidak dalam satu
harinya satu kejahilan. Berbagai kejahilan seperti sepatu roda, ranjang keras, hingga
muntah palsu sudah kujalani dengan keji. Praktis, ini seolah menjadi keseharianku.
Namun, aku tak pernah dendam atas semua itu. Aku mengerti mereka hanya ingin
mengajak bermain, bukan untuk menyakiti. Tak pernah sekalipun mereka melakukan
kejahilan yang menyakiti hatiku, justru aku terkadang tersenyum sendiri atas itu semua.
Namun, di balik kejahilan-kejahilan yang laknat itu mereka tetap saja memiliki
sisi positif dalam diri mereka. Seringkali kulihat mereka membantu Tante Minah dalam
melakukan pekerjaan sehari-hari, mulai dari menyapu, menggunting tanaman, menyiram
bunga, mencuci, hingga memandikan kucingpun mereka ikhlas melakukannya. Selain itu,
mereka bukan tipe yang egoistis. Mereka tak sungkan berbagi atas sesuatu yang mereka
dapatkan. Tak jarang aku mendapatkan es krim, kue, sate, hingga minuman. Dan
merekalah yang paling sering memberiku, bahkan tanpa kuminta sekalipun.
Sisi positif yang lain yaitu kepeduliannya. Mereka selalu tahu kapan diriku
merasa senang, sedih, atau marah. Mereka pun tahu bagaimana memperlakukanku sesuai
apa yang aku rasakan. Saat aku sedih, mereka tak sungkan mengajakku bersenang-
senang. Saat aku marah mereka tak pernah menjahiliku. Dan saat aku senang, mereka
menambah kesenangan itu lebih dari sebelumnya. Aku masih sangat ingat ketika aku
diopname akibat usus buntu, beberapa minggu setelah Ujian Semester 1. Merekalah yang
menemaniku paling sering, jauh lebih sering dari siapapun. Mereka membawakanku
buah-buahan, komik-komik, dan berbagi guyonan yang seru dan lucu.
“Kau seperti saudara kami sendiri”, ucap mereka suatu kali.

Mereka, dua orang ini memang sangat menyenangkan, paling tidak bagiku. Tak
sekalipun aku melihat mereka cemberut, bersedih, ataupun stres. Senyuman keceriaan
selalu terpancar dari wajah bundar telur itu. Selalu riang, selalu ceria, tertawa, dan
berbagi canda.
Kini, semua itu menghilang tanpa sedikit jejakpun. Tak ada lagi senyum ceria itu,
tak ada lagi keriangan, tak ada lagi tawa. Yang kini ada hanyalah sebuah kesedihan yang
mendalam. Kesedihan yang seolah tiada akhir. Yang dilakukan Roni sejak hari itu
hanyalah menunduk, menyesali kepergian saudaranya.
“Tubuhnya boleh mati, tapi jiwanya tetap hidup! Kesedihanmu hanya membuat
jiwanya perlahan-lahan mati!”, aku memekik padanya.
“Kau tahu apa!? Kami berdua adalah keceriaan. Jikalau keceriaan itu tak lagi
utuh, maka yang ada tak lebih dari sekedar kesedihan tiada sudah!!”, ia memekik lebih
keras.

Keadaan kini makin parah. Ia hanya membisu. Tak ada lagi yang dapat diperbuat
kepadanya. Apa yang kami bicarakan seolah tak ada gunanya lagi. Ia hanya duduk di
depan rumah, kepalanya menunduk, pandangannya kosong, matanya lebam karena terlau
lama menangis. Jikalau dipanggil, ia tak menyahut barang sedikitpun. Sejenak kupikir
ada benar ucapannya. Di kala keceriaan tak lagi utuh, yang ada hanya kesedihan tiada
sudah.
12. Hijrah

Keadaan yang seperti itu membuat Tante Minah mengirim Roni ke Rumah Sakit
Jiwa di Sungailiat. Ia pun memutuskan pindah ke Sungailiat, menemani anak yang kini
tinggal satu-satunya. Rumah ini untuk sementara ia titipkan ke kerabatnya di sini.
Awalnya, ia menyuruhku menjaga rumah ini. Namun, jujur, aku belum sanggup
mengurus rumah sebesar dan semewah ini sendirian. Bukan soal pekerjaan rumahannya,
melainkan tanggung jawabnya.
Kediamanku pun berpindah ke sebuah daerah yang bernama ‘Jalan Balai’, tak
begitu jauh dari sekolah. Jadinya, aku tak perlu lagi naik angkot. Cukup berjalan kaki
saja. Pemilik kediaman ini adalah seorang batak bernama Gokan Simatupang. Ia adalah
seorang guru. Ia mengajar di SMK Negeri Kuarca di dekat Lapangan Merdeka. Seorang
guru ekonomi yang galak.

“Oke, Hanar, kamarmu berada di ujung itu, di samping WC”, ia menunjuk sebuah
kamar dengan logat batak yang medok.
“Danar, pak…”, aku mengoreksi.
“Terserah”, ia menggoncangkan kepalanya.

Aku berjalan menuju kamar itu. Rumah ini memang besar, tak beda jauh daripada
rumah Tante Minah. Namun entah kenapa aku merasa rumah ini dinaungi semacam hawa
mistis yang menusuk-nusuk. Mungkin karena tampang Pak Gokan yang seram, atau
tempat ini memang terkesan kotor, jorok, dan dekil. Lihat saja dinding-dindingnya yang
sedikit kusam, atau keramiknya yang agak menguning.
Aku menekan gagang panjang pintu itu, membukanya, dan memasukinya.
Sesampainya di dalam aku tercengang. Oh, kamar ini sungguh kecil, jauh lebih
kecil daripada punya Tante Minah. Kamar itu luasnya hanya 3x3. Yang lebih parah,
kamar ini tampaknya sudah lama tak dibersihkan. Debu bertaburan, tebalnya tak
terkirakan. Aku mengambil sapu yang kebetulan ada di belakang pintu, dan
membersihkan sekeliling ruangan. Sepertinya tempat ini dulunya gudang. Pantas saja
sewanya murah. Waktuku pun terbuang hanya untuk membersihkan ruangan hari itu.
Sebuah pembukaan yang tidak mengenakkan.

**************************

Hari ini, 10 Agustus. Kini aku menginjak kelas tiga, dan mudah-mudahan dengan
izin-Nya, inilah tahun terakhirku di SMA ini. Tahun ini susunan kelas tidak berbeda jauh
dengan tahun sebelumnya. Felix pada tahun ini kembali sekelas denganku, namun tidak
untuk kekasihnya, Siska. Tahun ini Siska masih tetap eksis di XII IPA 3, sementara kami
bergeser ke XII IPA 2. Karin dan Feni kali ini sekelas, XII IPA 3, dan Arman XII IPA 1.
Hari ini perlombaan tujuh belasan yang diadakan setiap tahun dimulai. Berbagai
perlombaan mulai dari futsal, lomba karung, enggrang, hingga tepuk bantal menjadi
santapan kami. Untuk pertama kalinya selama tiga tahun, aku dipercaya menjadi
pesertanya, dalam hal ini aku mengikuti futsal.

Dalam perlombaan ini, peserta diwajibkan memakai kaos kaki merah putih
beserta sarung.
Tim dari kelas kami diikuti oleh tujuh orang, Agi, Umar, Anto, Felix, Asrul, Budi,
dan Aku. Bisa ditebak, aku dan Felix hanya menjadi pemain cadangan. Praktis, sepanjang
pertandingan, kami hanya melongo, menunggu dan berharap salah seorang dari mereka
kakinya patah dan meminta digantikan.
Dan, hal itu terkabulkan. Namun, kakinya tidak patah, hanya terkilir. Aku pun
memasuki lapangan. Beberapa rekanku menyambut dengan sebuah tos-tosan. Posisiku
adalah bek. Disampingku, Umar yang berbadan besar menemaniku. Jempolnya diangkat.
‘Yakinlah’.
Skor saat itu menunjukkan angka 0-0. Waktu tertinggal tiga menit saat itu. Saat
sebagian dari kami kelelahan, Anto melakukan sebuah pelanggaran, lima inci dari kotak
penalti. Ia diberi kartu kuning.
Detik itulah segalanya berubah. Sebuah tendangan keras dihentakkan salah satu
dari mereka. Ia meluncur deras menghantam mata kaki Umar, membuat bolanya berbelok
arah, menghindari Agi yang condong ke kiri. Gol yang sontak disambut meriah oleh
kelas XI IPS 2 dan cecunguk-cecunguknya.
Detik berikutnya Felix masuk menggantikan Anto. Permainan kembali berjalan
dengan bosannya. Operan-operan pendek, itulah yang hanya dapat kami lakukan.
Berusaha, dan terus berusaha menghindari lawan yang coba mengambil bola. Felix lalu
agak turun ke tengah, dan meminta bola. Saat itu aku berinisiatif berlari. Felix menahan
bolanya, dan dengan sebuah gerakan cepat memutar bola menghindari lawan. Saat itu
juga ia memberikan sebuah umpan terobosan manis ke sayap, tempat aku berada. Bola itu
kutahan, lalu kuteruskan pada Asrul melalui sebuah crossing kencang yang akhirnya
disambut sebuah tandukan nan sempurna. Gol! Skor berubah menjadi 1-1 saat itu juga.
Kami sontak berteriak dan menyambut gol itu penuh emosi. Sebuah gol yang dramatis!
Dua puluh detik menjelang berakhirnya pertandingan! Asrul pun dikerumuni dan dipeluk
habis-habisan. Namun, pertandingan belum berakhir.
Saat peluit dibunyikan, XI IPS 2 mengambil kick-off. Saat itulah aku terkejut akan
Felix. Sebuah gerakan cepat dibuatnya. Ia mengambil bola dari lawan hanya sepersekian
detik sehabis kick-off. Dibawanya bola itu tak jauh, lalu ditendangnya sekeras mungkin.
Tas! Bola itu ditepis sang kiper seraya melompat terbang, membiarkan tanah
menyambutnya. Semua orang ternganga. Tak dapat dipercaya apa yang terlihat. Sang
kiper pun terlihat terkejut atas tendangan itu. Beruntung ia dapat menangkapnya.
Tendangan sudut pun dilakukan. Yang mengambilnya adalah Asrul. Ia
menendang, namun bola itu masih dapat dihalangi beberapa anak XI IPS 2, menghasilkan
sebuah bola liar yang menggelincir mendekati Felix. Ia pun mengambil ancang-ancang
menendang. Sap! Tiba-tiba ia menahannya, dan menyodorkan bola itu padaku.
“Hantam teman!”, ia memekik.
Bola itu kudorong masuk ke gawang. Gooooll! Ia masuk! Skor pun berubah
menjadi 2-1 bagi kami. Semua, hingga wali kelas kami pun berlari memelukku. Semua
dalam hiruk pikuk dan euforia yang luar biasa. Mereka berteriak histeris, tak dapat
menahan kebahagiaannya. “Danar, Danar, Danar!!”, mereka bergelora. Tak dapat
kupercaya momen yang begitu cepat ini. Sebuah gol, yang bahkan tak kurencanakan, kini
terjadi. Gol yang biasa, namun bagiku sungguh luar biasa. Aku mengeluarkan diriku dari
kerumunan itu, berlari kecil, merangkul Felix dan menengadahkan telunjukku ke langit.
Doni, gol ini untukmu, bung!
13. Wanita Liar

Bulan Agustus merupakan bulan kami. Dalam bulan ini total kami mendapatkan
lima piagam juara. Juara 1 futsal, juara 1 tepuk bantal putra, juara 2 lompat karung putri,
juara 1 lompat karung putra, dan juara 3 lompat karung putra.
Yang mendapat perhatian paling khusus tentu saja futsal, yang notabene adalah
lomba favorit di SMA. Dua dari kami mendapat penghargaan individu. Felix mendapat
penghargaan sebagai assist terbanyak, dan Asrul sebagai top skorer. Aku memeluk Felix
sesaat setelah menerima piagam penghargaan itu. Bertahun-tahun, beru kali inilah ia
menunjukkan kehebatan sejatinya. Sejak kelas satu, memang baru kali ini ia mendapat
tempat di lomba futsal. Faktor entertain berperan penting dalam nasibnya ini.
“Tak sia-sia aku berlatih, Dan”, ia tersenyum. Senyum puas yang sangat indah.
Bulan Agustus adalah awal dan akhir sementara bagi kami, siswa kelas dua belas.
Selama dua bulan ke depan, September dan Oktober, kami akan digenjoti pembelajaran
yang cukup memusingkan kepala.

**************************

Bulan Agustus hingga September menghadirkan suasana panas yang luar biasa.
Dibanding bulan-bulan lain, panas ini jauh lebih menyengat. Tak tahan aku berdiri,
ataupun berlari-lari dalam cuaca seperti ini. Saking panasnya, ke kantin pun aku tak mau.
Lebih baik aku duduk dan menikmati udara sembari mengipaskan buku ke wajahku.
Dalam cuaca sepanas ini, konsentrasiku seolah meluruh, melebur. Udara yang
panas mengkontaminasikan otakku hingga skala yang paling rendah. Sebuah reaksi
seolah reaksi nuklir berputar-putar menngelilingi kepalaku. Sebuah larutan penyangga
seolah-olah ada di otakku, menghentikan kinerja saraf konektorku. Dalam situasi
tersebut, otakku berfungsi dengan lamban. Tak dapat kucerna satu katapun dari guru atau
dari teman-temanku. Contohnya dalam presentasi kimia ini. Sedikit pun aku tak mampu
mencernanya. Udara panas ini sungguh menyakitkan!
“Unsur-unsur transisi periode-4 antara lain Sc, Ti, V, Cr, Mn, Fe, Co, Ni, Cu, dan
Zn”, mata Rani menyapu seisi kelas, namun aku tahu sesungguhnya ia menatap dinding,
bukan kami. “Sifat kimia unsur-unsur transisi periode-4 salah satunya membentuk
senyawa berwarna yang nantinya akan dijelaskan oleh teman saya yang lain”, kembali ia
menjelaskan.
Tak sedikit pun kumengerti kata-kata Rani. Kesusahan itu ditambah lagi dengan
kekurangsukaanku pada mata pelajaran kimia. Oh, hari ini memang bukan hariku.
Keadaan ini rupanya juga dialami beberapa temanku yang lain. Beberapa dari
mereka malah tak perduli sedikitpun pada presenstasi ini. Sebagian sibuk mengobrol,
sedangkan sebagian yang lain bermain HP.
Terhitung dua minggu ke depan adalah bulan puasa, bulan yang paling ditunggu
oleh kami, terutama umat muslim di kelas kami. Saat itulah Felix memberitahuku sebuah
rencana istimewa.
“Sabtu ini kita ke bukit Mangkol”, ujarnya.
“Mau ngapain?”, tanyaku.
“Mau ngapain lagi coba? Ya jalan-jalan lah… Dua minggu lagi puasa, kapan lagi
mau jalan-jalan, lagian kamu kan belum pernah ke sana, hitung-hitung gak ada waktu dan
kesempatan yang lain lagi.. Soalnya bulan-bulan ke depan, kita bakal digenjot buat
UAN”, ia menjelaskan dengan jari telunjuknya dikibas-kibaskan ke sana ke mari.
“Yoyoi”, jawabku singkat. Yoyoi maksudnya adalah ‘ya’.
Bukit Mangkol memang belum pernah kukunjungi. Aku pernah mendengar
tentangnya, namun tak pernah punya cukup banyak waktu untuk mendatanginya. Tak
jarang, teman-temanku mengajak, namun selalu saja ada halangan yang menunda
kepergianku ke sana.

Aku duduk santai bersama Felix saat istirahat pertama itu. Sebuah kursi beton
yang memanjang jadi tempat bernaung kami. Kuangkat sebelah kakiku, menopangnya di
kaki yang sebelahnya lagi. Kunikmati udara yang tak begitu sejuk. Tak apalah, daripada
tak sama sekali. Nun jauh di sana, Karin dan Henqy berjalan berduaan, sesekali berhenti
dan bercanda satu sama lain. Kini mereka duduk di sebuah kursi kayu di taman dekat
ruang guru. Sama seperti sebelumnya, mereka bercanda dan bermesraan satu sama lain.
Enam bulan sudah mereka menjalaninya. Dan semua berkat bantuanku. Segalanya, mulai
dari no HP, perkenalan, hingga mencomblangi pun aku yang turun tangan. Semua
kulakukan demi Karin, yang ironisnya adalah wanita yang kucintai. Lihat mereka. Hati
ini serasa teriris, tercabik-cabik, dan terluka melihat kemesraan itu.
Henqy adalah seorang laki-laki yang baik. Pada awalnya, aku meyakini itu.
Karena alasan itulah sebetulnya, aku rela Karin menjalin hubungan dengannya. Namun
kini semua berubah. Bagiku, ia hanyalah seorang lelaki munafik. Lihat bagaimana ia
merubah Karin. Semua hal mulai dari rambut, cara berpakaian, hingga bersikap Karin
berubah drastis. Kini bajunya tak lagi rapi, indah, dan bersih, melainkan urakan, tak rapi,
bahkan aku yakin itu bukanlah baju SMA, itu adalah baju anak SMP yang berbalut
lambang OSIS SMA. Cara bersikap Karin pun berubah. Ia tak lagi ramah, berwibawa,
dan intelektualitas. Ia kini telah menjadi kasar, cuek dan tak peduli pada apapun atau
siapapun kecuali Henqy. Perubahan ini praktis menular ke segi prestasi. Prestasinya
menurun, menurun dtastis malah.
Perubahan ini berimbas pada hubungannya dengan teman-temannya yang lain. Ia
tak mau lagi berkumpul, bercengkrama, dan bercanda dengan orang-orang. Dalam
pikirannya hanya ada satu orang yang baik : Henqy. Selebihnya hanya ia anggap sebagai
kumpulan orang-orang tak penting. ‘Masalahmu bukan masalah bagiku’, ucapnya suatu
kali.
Ini meresahkan. Tak jarang ia ditemukan bolos ataupun terlambat sekolah. Tak
jarang pula, ia ditegur para guru, dihukum sedemikian rupa, dan ditekan sedalam-
dalamnya.
Berkali-kali aku coba menegur, namun tak pernah digubrisnya.
“Tahu apa kamu! Aku yang punya badan! Semauku!”, ia membentak.

Aku tak habis pikir. Sejak itu, aku tak pernah menegurnya. Sejak itu pula, ia
bertambah nakal dan liar. Ia tak lagi seperti dulu, ia bukan Karin yang kukenal. Ia adalah
seorang wanita liar yang sangat tidak kusukai.
14. Penghianatan Siska

Sabtu pagi, kami memulai perjalanan. Kesibukan para guru yang terlalu padat
memaksakan kami harus berlibur satu hari ini. Keberuntungan atau kesialan? Ah, aku tak
peduli. Yang kutahu, aku tak tahu hari lain yang dapat dimanfaatkan selain hari ini.
Perjalanan ini tak memakan waktu yang lama. Cukup dua puluh menit dari kos-
kosanku. Kami mengendarai sebuah motor gede milik Felix. 150 cc, warna merah, dan
bertuliskan nomor 72 di depannya. Pagi-pagi, sekitar pukul enam, ia mendatangiku.
“Kita nikmati hari ini, bung”, ucapnya sembari tersenyum. Kami pun memulai
perjalan itu.

Pemandangan dari bukit Mangkol begitu indah dan menawan mata. Dari atasnya,
kamu bisa melihat sebuha panorama kota Pangkalpinang yang terpapar rapi dan
menyegarkan. Udara di puncak bukit itu pun sungguh menyegarkan. Aku
membentangkan tanganku, memejamkan mata, dan menikmati udara pagi itu. Di sana,
matahari belum memanaskan suasana. Sungguh nyaman. Sementara aku mengagumi
panorama itu, Felix berbaring beralaskan kedua tangannya untuk menopang kepalanya. Ia
terkekeh-kekeh melihat tingkahku. ‘udik’, mungkin itu pikirnya.
Panorama yang terbentang itu sungguh membuatku kagum. Aku dapat melihat
kos-kosanku dari sini. Sebuah rumah besar beratap biru muda. Dari situ juga aku dapat
melihat SMA Negeri Pancuran, sekolahku kini. Aku lalu berputar kea rah Felix, dan
dalam satu gerakan, aku mengambil gambarnya : klik!
“Aloy”, ia sedikit membentak. Aloy bisa diartikan sebagai jahil.
“Pemandangan di sini bagus”, ucapku sembari mendekatinya. Aku duduk dan
membentangkan kedua kakiku, saling menjauhi.
“Ya iyalah…”, jawabnya.

Aku melihat ke atas langit. Saat itu langit belum jua menunjukkan kecerahan
matahari. Mendung, tepatnya seperti itu. Aku lalu sedikit berjalan. Kupotret segala
sesuatu yang menurutku indah dan enak dipandang mata. Aku melihat mereka, foto-foto
yang kudapatkan. Sungguh menakjubkan. Tak bosan aku menatapnya. Sebuah kenangan
yang tak mudah dilupakan.
“Sebentar lagi kita pisah, ya Dan..”, ia bertanya secara tiba-tiba.
Aku menatapnya. Tak kuucapkan apapun. Aku mengangguk satu kali, dan
mengalihkan pandanganku ke lain tempat.
“Enam atau tujuh bulan lagi…”, ia melirih. “Dua tahun memang tidak terasa
cepatnya”.
Aku mendatanginya, dan duduk disampingnya.
“Kita gak akan berpisah”, ucapku. “Tinggallah di Bogor bersamaku nanti”.
“Kalau saja bisa, Dan, aku akan ikut bersamamu”, ia tersenyum. “Namun,
firasatku berkata, kita akan berpisah”.
“Enggak, Felix. Kita udah pernah ngomongin soal ini sebelumnya. Biarlah dua-
tiga tahun ini jadi dua-tiga abad, kalau perlu jadi persahabatan sampai kita mati!”.
Ia tersenyum. “Hatiku ingin mengikutimu, Dan. Tapi…”
“Sudahlah. Kita gak pernah tau masa depan. Yang bisa kita lakukan cuma
berusaha!”.
Ia mengangguk. Ia menatapku, lalu mengalihkannya, memandang dan
menerawang ke depan. Aku tak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Tapi aku tahu ia
mengatakan sesuatu. Sesuatu, yang amat dalam dan menyakitkan.
“Kamu sama Feni gimana?”, ia bertanya.
“Gitulah, sama seperti hari-hari sebelumnya”, aku menghela sejenak. “Penuh
tuntutan, ekspektasi, macam-macam pokoknya”.
“Wanita memang butuh perhatian, Dan”.
“Entahlah..Waktu aku memilihnya, sebetulnya ada dua pilihan : aku menerima
dia, atau meneruskan perjuanganku untuk mendapatkan Karin”. “Karin..Cintaku
sebetulnya jauh lebih besar kepadanya. Namun keegoisan sepertinya membawaku kepada
Feni”.
Felix mengangguk.
“Lambat laun, aku merasa pilihanku salah. Lihat saja Karin saat ini. Ia tak lebih
daripada cewek badung, nakal dan liar di sekolah. Dan Feni, ia tak lebih dari sekedar
tekanan batin untukku. Hidup itu pilihan, Lix. Dan kalau salah memilih, kehancuran yang
akan didapatkan. Tak terbayang olehku, jikalau saja aku meneruskan perjuanganku pada
Karin. Mungkin segalanya berjalan baik. Dan Karin, hidupnya bisa lebih baik dari ini”.
Aku melihat Felix. Ia mengerti apa yang kumaksud, sangat sangat mengerti.
“Kamu bisa melihat contohnya padaku, Dan. Dalam kisahku pun aku dihadapkan
pada pilihan : tetap bersama Siska, atau melepaskannya”. “Sebetulnya, bisa saja aku
melepasnya, namun cintaku tampaknya terlalu menguasai. Aku belum bertemu apa akibat
dari ini. Tapi kelihatannya ini hanya menunggu waktunya saja”.
Aku tersenyum padanya.
“Semuanya akan baik-baik saja”, ucapku.

Beberapa saat kemudian, Felix terlelap dalam kemalasannya. Saat itu aku hanya
duduk dan menikmati pemandangan di sekitar. Merasa bosan, aku berdiri dan
memutuskan berkeliling.
Di sekitar daerah itu, sebuah padang golf terhampar. Padang golf itu sangat luas,
mencapai beberapa hektar. Aku melihat beberapa orang bermain golf dengan nikmatnya,
dengan para caddy yang cantik-cantik. Dilihat dari parasnya, mereka sepertinya adalah
para pejabat serta orang-orang kaya di kota ini. Aku memotret mereka beberapa kali,
termasuk ekspresi kekecewaan dari salah satu yang jangkung ini.
Aku melanjutkan jalanku menapaki jalan berbatu dekat situ. Hawa dan udara
dingin yang menusuk menemani perjalananku berkeliling. Dalam perjalananku, sering
kutemukan beberapa pasangan yang sibuk berpacaran. Tak lupa, aku memotret mereka
dari jarak yang tentunya aman. Jalan yang bertebing sungguh membantuku dalam
mendapatkan gambar yang bagus. Tak jarang aku memotret ke tebing bagian bawah dari
tempatku. Dari situlah aku mendapatkan beberapa gambar burung, kadal, dan awan-awan
yang unik dan indah.
Tak jauh dari situ, aku melihat sepasang cowok dan cewek. Mereka bermesraan.
Si cewek berada di motor, sedangkan sang cowok sesekali berputar di dekatnya. Aku
mengarahkan kameraku, memfokuskan lensa, dan berusaha mengambil pencahayaan
yang bagus. Aku menekan tombol pengambilan gambar, dan saat itu juga aku terkejut
akan gambar yang telah aku ambil. Dua orang itu adalah dua orang yang sangat kukenal :
Arman, dan Siska.
15. Muak

Selama berhari-hari aku menyimpan rahasia itu dari Felix. Aku tahu,
menceritakan kejadian ini sama saja dengan membunuhnya. Siska, wanita yang telah
lama ia kagumi, tak mungkin ia dapat menerima ini. Aku sudah kehilangan Doni,
seseorang yang kuanggap saudaraku sendiri. Dan kini, tak terbayang olehku jika harus
kehilangan Felix.
Felix, seorang teman yang sejak awal aku menginjakkan kaki di Pangkalpinang.
Ia adalah seorang teman yang seru, baik, serta punya toleransi tinggi. Tak sungkan ia
membantuku atas berbagai hal, baik secara material ataupun sosial. Ambil contoh dalam
kepindahanku baru-baru ini. Jikalau bukan karena bantuannya, aku tak pernah tahu ada
kos-kosan yang dekat sekolah itu.

Kini, semenjak kejadian itu, hampir setiap waktu aku menatapnya dengan sebuah
pandangan tak tega. Tak sampai hati aku menyakiti wajah yang bulat berjerawat itu. Ia
tersenyum dan terkekeh-kekeh bersama Siska. Namun, ia tak pernah tahu penghianatan
wanita itu. Di samping itu, ia tak tahu sahabatnya, Arman adalah lintah yang senantiasa
mengambil kebahagiaannya sedikit demi sedikit.

********************

Dalam agamaku, salah satu pepatah yang dikenal adalah ‘Hari ini harus lebih baik
dari hari kemarin. Jika hari ini lebih jelek, maka kita celaka, dan jika sama, maka kita
merugi. Aku memahami pepatah itu dengan baik. Namun prakteknya tak semudah itu.
Hari demi hariku bertambah, dan semakin bertambah buruk.
Adalah Feni yang berperan utama dalam hal itu. Hari demi hari, jam demi jam,
dan detik demi detik diisinya hanya dengan satu kegiatan : mengoceh. Ada saja ocehan
yang dibuatnya, mulai dari ekskul, cewek-cewek, hingga tema-tema lain yang entah
didapatnya dari mana. Jujur, aku bukanlah tipe orang yang suka bicara, lebih condong ke
pendiam malah. Jadilah hari-hari kami dalam masa jadian ini diisi dengan pembicaraan
yang seringkali secara sepihak.
Ini membuatku muak. Hari-hari kujalani tanpa satu ketenangan pun.
Kekhawatiran dan kebingungan membuat segalanya terasa semakin kacau saja.
Hubunganku pada teman-teman memang tak terlalu terganggu. Hanya saja, yang
kuinginkan saat ini hanyalah ketenangan yang lebih baik dari ini. Jauh lebih baik dari ini.

Berbulan-bulan sudah kami menjalani hubungan ini. Hubungan satu pihak yang
menyiksa. Semakin hari, semakin gundah dan tersiksa hatiku pada Feni. Ia bertambah
menyebalkan dan semakin posesif. Ia tak sadar, semakin ia begitu, semakin menipis pula
rasa sayangku padanya.
Aku tak pernah membayangkan sedikitpun akan perpisahan. Namun, justru ia
membuat semua itu semakin dan semakin jelas saja. Tingkahnya, segala kekhawatiran
akan kehilanganku, justru membuatku semakin tidak tenang. Mungkin ini imbasnya dari
sikap lemahku padanya.
Aku tak pernah menyakitinya. Membentaknya pun aku tak sanggup. Wajah yang
bulat kuning nan cantik itu membuat segala urat dan ototku melemah dan takluk hanya
dalam satu kedipan mata.
“Kamu harus membuat ini semua terlihat kejam, Dan”, Felix berkomentar.
“Kejam?”,
“Ya..katanya kamu tersiksa dan gak mau membohongi diri kamu sendiri, kan?”.
Yap, aku memang tak pernah mau membohongi diriku sendiri. Aku
menggelengkan kepalaku pada Felix. Disampingnya, Asrul sibuk mendengarkan MP3
yang baru saja ia beli.
“Tapi,,aku gak tega…”, aku sedikit berbisik.
“Kamu harus tega, Dan. Buat sedemikian rupa supaya dia gak cinta lagi ama
kamu. Jauhin dia lah, jahatin dia lah, tertutup, kalo perlu, ganti indentitas!”.
Aku mengangguk dan tidak tertawa atas lelucon absurd ini. Lelucon itu memang
tak lucu adanya. Aku berpikir, tegakah aku menghancurkan hati Feni, seseorang yang
mencintaiku? Aku tak tahu! Aku tak pernah tahu! Oh, hatiku terasa bimbang, bingung.
Ingin rasanya mati saja! Di luar itu, lima bulan lagi Ujian Nasional siap menyambut.
15. Eksekusi perpisahan

“Perkembangan yang bagus”, ucap Felix.


“Entahlah…”,
“Yakinlah…”, ia menepuk-nepuk pundakku, menyemangantiku dengan sebuah
goyangan kepala ke atas dan ke bawah.

Sudah tiga minggu berjalan semenjak pembahasanku dengan Felix. Ucapan Felix
memang benar adanya. Feni kini seperti cacing kepanasan. Ia tak pernah tenang, selalu
bertanya-tanya satu hal padaku : ‘apa salahku?’. Dan boleh ditebak, aku tak pernah
menjawabnya, sesuai saran Felix. Kerisihan itu ditambah lagi dengan minimnya
kesempatan bertemu. Satu kali seminggu pun belum tentu. Bisa dibilang aku menikmati
keadaan ini. Lebih tenang, lebih damai.

“Dan..”, sebuah suara memanggilku. Itu Feni. Ia menatapku sendu namun tetap
tersenyum. Kedua tangannya ia tangkupkan. Felix saat itu juga segera menyingkir, masuk
ke kelas.
“Kamu bisa, Dan”, ia berbisik sebelum masuk.
Aku melihatnya, tak yakin aku bisa melakukan ini. Ia mengacungkan jempolnya
dengan tegasnya. Oh, hatiku malah bertambah ruwet karenanya.
“Boleh duduk?”, Feni menunjuk bagian yang kosong.
Aku mengangguk. “Boleh”, jawabku.

Ia lalu duduk, memandangku sesaat lalu mengalihkan pandangannya ke lain


tempat. Aku melihatnya. Semakin kulihat, semakin tak kuat hatiku. Ia kembali
memandangku. Sesaat, tak sampai setengah detik pandangan kami bertemu, sebelum
selanjutnya kualihkan pandanganku.
“Kenapa kamu begini, Dan?”, ia sedikit membentak.
“Maksudnya?”,
“Kenapa kamu…seolah ingin menghindar dari aku?”,
“Menghindar?”, aku menatapnya. Ia sedikit tersentak karena itu.
“Kamu selalu menghindar dari aku..Tak satu kali pun kamu memberi kepastian
sama aku. Setiap aku tanya sesuatu, kamu gak pernah niat ngejawab!”, ia terisak. “Apa
salahku, Dan?”.
Aku melihat pada matanya. Rasa ibaku kembali muncul.
“Kamu gak salah apa-apa Fen..”,
“Tapi kenapa…??”, ia tak bisa meneruskan kata-katanya. Bel masuk berbunyi
saat itu juga. Tak lama setelah itu, Pak Dun berjalan memasuki kelas kami. Ia membawa
seberkas kertas hasil Ulangan Tengah Semester kami.
“Bel masuk udah bunyi Fen..aku…”, sebelum aku menyelesaikan kalimat itu Feni
menghambur masuk ke kelasnya. Ia tak menangis, hanya terisak. Aku tak tahu apa yang
terjadi selanjutnya, tapi sepertinya itu sangat menyakiti hati terdalamnya.

“Kamu, cepat masuk!”, Pak Dun membentak, jari telunjuknya diarahkan tepat ke
wajahku. “Pacaran aja!”, lanjutnya.
Dengan segera aku memasuki kelas. Di dalamnya, aku tak konsentrasi pada
apapun, termasuk hasil UTS-ku yang bernilai 45,89. Aku memasukkan kertas itu ke
dalam tasku dan melanjutkan lamunanku. Jahatkah aku?
“Kejarlah tujuan hidupmu, bung!”, Felix menepuk punggungku, sembari
memagang kertas nilainya di tangan kanannya. Nilainya 75,60. Mengherankan, padahal
aku yang memberinya jawaban, namun kenyataannya, justru nilaiku yang jeblok.
Ia lalu mengambil HP-nya, dan secara sembunyi-sembunyi mengirim SMS pada
Siska : ‘UTS Fisikamu berapa, cay?’.

*******************

Malam itupun aku tak bisa tenang. Tak berhenti bayangan betapa jahat aku
padanya. Hitung-hitungan di atas kertas ala Felix rupanya meleset jauh.
“Minggu pertama, dia bakal risih sedikit. Tapi, belum akan curiga. Minggu kedua,
ia bakal risih beneran dan akhirnya ngocar-ngacir sendiri. Minggu ketiga dia bakal
mempertimbangkan untuk putus. Dan di minggu keempat, bakalan putus beneran”.
Hitung-hitungan yang ngaco menurutku. Hati orang sebetulnya tidak bisa ditebak.
Berbagai firasat dari kewas-wasanku memenuhi kepala tanpa bisa berhenti. Apa
yang akan terjadi nanti? Gimana kalo Feni dendam? Gimana kalo dia pakai dukun santet?
Atau malah dia yang langsung nyantet? Oh! Segalanya ini membuat hidupku justru
bertambah tidak tenang. Tak konsentrasi lagi aku membaca dan memahami buku Biologi
ini. Sungguh tak tertahankan!
Aku mengambil fotonya yang berdiri dengan indahnya di meja belajarku. Aku
duduk, kuperhatikan sekasama tiap lekuk wajah yang ada di foto itu. ‘Cantik’, pikirku.
‘Apa yang membuatku begitu terpesona?’, hatiku bertanya-tanya. Ia cantik, ia manis, ia
memiliki segala alasan yang diajukan para laki-laki untuk membuat jatuh cinta. Hampir
seluruh SMA menginginkannya, namun kenapa justru aku ingin melepasnya? Oh, hatiku
bimbang. Aku memang terpesona padanya, juga menyayanginya, namun di sisi yang lain,
aku teringat satu nama : Karin. Betapa sayang dan cintaku jauh lebih besar dibanding
wanita manapun, betapa inginku padanya jauh lebih dalam dari wanita manapun di dunia.
Aku menyadari besarnya cintaku, saat aku menyadari pula betapa kecewanya aku pada
perubahannya.

Saat itu, sebuah dering telepon memecah pikiranku. Aku berdiri dari kursi
belajarku, berjalan ke tempat tidur dan mencari HP-ku. HP itu tak ada di mana-mana. Di
kasur, di bawah bantal, atau di dalam tasku. Konsentrasiku sepertinya telah jatuh bebas.
Tak dapat kutangkap apapun dengan baik. Aku putus asa dengan keadaan seperti itu.
Sangat-sangat menyakitkan.
“Sh**!”, aku berteriak.
Sesaat kupejamkan mataku, kukonsentrasikan segalanya dalam hela nafasku. Aku
menarik nafasku pelan, pelan, dan pelan. Aku mengatur nafasku dalam suatu pola teratur
: 1-2, 1-2, 1-2.
Segera, aku menjadi rileks. Bunyi dering itu masih terdengar jelas. Kuikuti
langkah per langkah bunyi itu berasal. Ia berasal dari bantal itu, bantal yang tadi telah
kusingkapkan. ‘Aneh’, pikirku. Aku mengambil bantal itu. Tak ada apa-apa dibaliknya.
Aku berpikir sesaat. Tangnku mengelus-elus dagu, persis para pemikir-pemikir dan
hakim-hakim. Aku melihat bantal itu, kudekatkan telingaku padanya. Bunyi itu semakin
jelas. Kuangkat tanganku, dan kumasukkan ke dalam sarungnya. HP itu ternyata masuk
ke dalam sarungnya. ‘Astaga’. Aku mengmbil HP itu dan melempar bantalnya ke
ranjang. ‘Feni’, begitu tulisnya.
“Halo?”,
“Dan, temui aku besok di perpustakaan. Aku mau ngomong sesuatu. Aku mohon,
kali ini kamu mau nemuin aku…aku mohon…”, ia terisak. Tak sampai sedetik kemudian
ia membanting teleponnya, meninggalkanku dalam sebuah kebingungan. Hatiku semakin
bingung kini. Aku merasa seolah telah membunuhnya.
Aku terbaring dalam kesusahan hati. Betapa egoisnya aku. Feni, seorang wanita
yang baik, tulus mencintaiku, dan kini apa yang aku berikan padanya? Kehancuran hati
yang mendalam. Aku memang jahat, aku serasa iblis yang terkutuk! Perhatian-
pertatiannya, segala sikap posesifnya, aku baru menyadarinya kini. Sikap posesif itu, tak
lebih dari sekadar pengungkapan sayangnya. Dan perhatian itu, adalah tanda cinta
darinya. Namun hatiku melawan. Aku tak bisa mencintai dengan paksaan. Aku tak bisa
membentuk cinta, aku tak bisa menikmati cinta yang di satu sisi aku tak mau, dan aku tak
bisa melawan kata hatiku.
Aku memejam. Kupasrahkan diriku dalam lelap lembutnya kasur. Kuatur nafasku,
dan kutenangkan jiwaku. Segalanya kini gelap dalam aliran nafas yang menyejukkan.
Dalam kegelapan itu aku melihat sebintik cahaya yang hangat. Kini aku telah
membulatkan hatiku.

************************

Setelah bel berbunyi, langsung kubawa diriku menuju perpustakaan. Sebelumnya,


kusalami Bu Dona, guru Bahasa Indonesia kami dan mempersilahkannya keluar duluan.
“Mau kemana, Dan?”, Budi bertanya padaku.
“Perpus”, jawabku.
“Perpus? Mendingan kita ke kantin”, ia menunjukkan duit dua puluh ribuannya.
“Aku traktir”.
“Aku ada janji”, “Nitip pisang goreng aja, Bud”, aku menjawab. Budi hanya
mencibir, dan lalu menghampiri Asrul. Aku melanjutkan jalanku.
Sesampai di perpus, aku melihat sekeliling. Sepertinya Feni belum datang.
Kuhampiri sebuah bilik di dekat situ, di tempat yang bisa dilihat. Aku duduk rileks,
melihat sekeliling, kalau-kalau ia ada di tempat lain. Setelah memastikan, aku membuka
buku yang kubawa. ‘Sang Penulis’ judul novel yang kubawa. Novel yang bercerita
tentang perjuangan seorang penulis hingga masa jayanya. Lumayan untuk mengisi waktu.
Tak lama, Feni datang. Ia sempat kebingungan mencari, sebelum pada akhirnya
aku memanggilnya.
Ia duduk. Ia tidak terlihat baik, matanya sedikit berkantung. Terbayang olehku
seberapa lama dan kerasnya ia menangis. ‘Malam yang berat’, pikirku.
Ia menatapku, dan aku menatapnya. Kubuka senyumku padanya. Ia pun
tersenyum, namun sedikit dipaksakan.
“Dan”, ia memanggil namaku.
“Kenapa Fen?”,
“Kamu…cinta gak..sama aku?”,
“Tentu aja, Fen..”,
“Kamu bohong…”, ekspresinya kini telah berubah.
“Aku gak bohong Fen..”,
“Terus, kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar??”,
“Aku..aku…”, aku terbata-bata. Tak kutemukan alasan untuk menjawabnya.
“Kenapa, Dan? Jawab aku!”,
“Aku tersiksa karena sikap posesif kamu, Fen..!”, kuucapkan itu secara spontan.
“Aku…aku kecewa karena itu!”.
“Enggak! Pasti ada wanita lain, Dan…”, ia menyentak. Tak dapat ditenangkan
kepalanya. Selalu saja berganti arah, kadang ke kiri, kadang ke kanan.
“Enggak, Fen…”, “Enggak ada wanita lain”,
“Enggak! Kamu bohong!”, ia mulai terisak.
“Feni! Dengar Fen!”, aku memegang pundaknya dan menatap matanya lebih
dalam dari sebelumnya. Ia melihatku, matanya kini berkaca-kaca.
“Tapi..kenapa kamu menghindariku terus, Dan??”, ia melirih.
Aku menghela sejenak. “Sikap posesif kamu itu yang bikin aku menghindar,
Fen..”, ucapku padanya, setengah berbisik.
“Maafin aku, Dan…”,
Aku melepas peganganku. Kuambil tangannya dan kugenggam dengan erat.
“Dan…”, ia memulai, sebelum kuucapkan apapun. Ia melepas pegangan
tanganku, dan menatapku dengan sebuah pandangan yang ‘lain’. “Jangan bohongi
hatimu, Dan..”.
“Selama berbulan-bulan, aku selalu memberi segalanya sama kamu. Material,
motivasi, bahkan hatiku untukmu. Selama itu juga, aku tahu, dan sangat-sangat tahu
kamu juga selalu berusaha memberikan cintamu sama aku. Tapi memang, cinta itu gak
bisa dipaksa, Dan”, caranya berbicara sungguh mengesankan. Ia tidak terisak, melainkan
tegas dan terukur.
“Aku menyadari keegiosanku. Jujur, aku takut kehilangan kamu barang sedetik
pun. Saat aku sadar cintamu mulai mengikis, aku pun sadar harus melakukan sesuatu.
Aku juga sadar, cinta kita bukanlah cinta sejati, hanya sebuah cinta satu pihak seperti
orang-orang katakan”, ia menghela. “Mungkin sebaiknya kita berpisah, Dan…”.

Aku termenung. Tak dapat kupercaya yang dikatakannya.


“Enggak, Fen…aku akan menyayangimu sepenuh hati”, ucapku.
“Jangan bohongi diri kamu, Dan. Selama ini kamu udah cukup bikin aku bahagia.
Dan, aku akan bahagia jika kamu bahagia, dan aku menderita jika hatimu tersiksa ”.
“Tapi Fen…”,
“Segalanya kini jelas, Dan. Sepertinya aku terlalu egois selama ini. Aku sadar
kamu melakukan ini semua untuk membahagiakan sahabatmu”,
“Aku memang cinta sama kamu, Fen”, aku mendesak.
“Mungkin, tapi seperti yang aku bilang, cinta kita bukan cinta sejati, Dan..”,
“Gimana kamu tahu kalau kita bukan cinta sejati?”,
“Hatiku yang berkata seperti itu”,
“Kata hati itu gak selalu benar, Fen…”,
“Mungkin, tapi kita semua punya mimpi, Dan. Dan sepertinya, gambar laki-laki
di dalam mimpiku bukan kamu”,
“Aku…aku gak ngerti”,
Ia menghela. “Simpelnya begini. Aku memang cinta sama kamu, tapi bukan
berarti kamu cinta sejatiku. Tadi malam aku menyadari semua itu. Aku melihat jauh ke
dalam hatiku, dan ia berkata cinta sejatiku adalah orang lain. Orang yang di masa depan
nanti baru kutemui”.
“Aku..aku…”, aku kembali terbata-bata.
“Udahlah, Dan. Percayalah padaku, ini yang terbaik untuk kita. Mulai sekarang
carilah cinta sejatimu. Terima kasih juga udah mau jadi pacar aku. Aku banyak belajar
dari kamu, Dan”, ia tersenyum. Ia lalu berdiri dan meninggalkanku sendiri di bilik itu.
“Semoga sukses, teman”, ucapnya.

Aku termenung tak percaya. Benarkah ini terjadi? Aneh. Ia tak marah ataupun
jadi gila karena aku. Ia tersenyum, dan senyum itu senyum kebahagiaan. Aku tak dapat
berkata-kata. Perkembangan kedewasaan yang bagus.
Tak lama, bunyi bel masuk berbunyi. Aku segera keluar, tak kulihat ia di
sekelilingku. Sungguh cepat ia bergerak. Sepanjang jalan aku berpikir mengenai kata-
kata yang dibuatnya. Sungguh mengesankan. Perlahan senyumku terurai. ‘Inilah yang
terbaik’.
16. Kebenaran yang terungkap

Sebuah berita heboh mampir di kelas kami hari ini. Kabarnya, beberapa kelompok
dari berbagai SMA dan SMK akan mengadakan demo di depan kantor Polisi dekat
lapangan merdeka. Para massa ingin mendesak agar Polisi menangkap Parmo, seorang
pejabat DPRD yang telah merugikan rakyat banyak atas tindakan korupsinya.
Untuk hal seperti ini, tentu saja Felix memberanikan dirinya untuk ikut.
“Nanti bakal dapat nasi kotak, Dan”, ucapnya padaku.
Berita ini sontak menyebar ke seluruh sekolah. Dan, yang paling hebat dari semua
ini, para murid dengan hebatnya dapat menutupi berita ini dari kalangan guru. Praktis,
hingga jam setengah dua, yaitu jam pulang sekolah, berita itu masih tertutup rapat.
Hingga jam itu pula, massa dari SMA Negeri Pancuran sudah terkumpul sekitar empat
puluh orang.
“Coba kamu ikut”, Felix merayuku.
“Enggak ah”, aku menolak.
“Ayolah, Dan…”,
“Enggak”,
“Ayo”,
“Enggak”,
“Ayo”,
“Enggak”, ucapku seraya menjauh darinya.

Pada akhirnya aku pun ikut kerumunan itu. Bakat penghasut dan perayu Felix
memang hebat, aku saja bertekuk lutut. Setelah tiga ratus kali rayuan, mau tak mau aku
ikut. Paling tidak supaya dia diam.

Kami pun berkumpul di Taman Sari, tempat yang pada malam hari menjadi
tempat berkumpul para waria. Tedjo, sang pemimpin demo mengabsen kami satu per satu
dengan kode SMA.
“SMA Ganai!”,
“Hadir, mas!”,
“Berapa orang?”,
“Tiga puluh tujuh”, salah satu dari mereka berteriak.

Aku melihat sekeliling. Sekitar lima SMA dan tergabung dalam kelompok ini.
SMA Pancuran, SMA Ganai, SMA Mantap, SMK Boeahsegar, dan SMK Oedono.
Jumlah total mungkin mencapai dua ratus orang.
“Kita mulai sesudah makan siang, sekitar pukul dua!”, ucap Tedjo. Beberapa
orang lalu membagikan pada tiap sekolah satu dus nasi kotak.
“Satu kotak dua orang!”, pesan mereka.

Dani, ketua pelaksana kami lalu membagikan nasi-nasi kotak itu. Aku dan Felix
makan bersama.
“Mas Dani?”, panggilku.
“Kenapa pula?”, nada bicaranya sedikit melengking.
Aku melihat sekeliling, kalau-kalau ada yang menguping. “Apa kepsek kita
bakalan tahu hal ini?”, aku berbisik.
“Ah”, ia memundurkan kepalanya. “Semua di sini sudah diatur. Nama-nama
kalian yang di sini disamarkan ke sekolah lain”.
“Disamarkan?”,
“Iyalah!! Kalau untuk demokrasi, apapun akan kami lakukan!!”, ia berteriak,
heboh sendiri. “Hah, kau.. Jangan khawatir. Semua yang di sini sudah kami urus dengan
sangat baik”.
Aku mengangguk. Diam. Tak mau aku berurusan dengannya lagi, jangan sampai
nantinya ia berkelakar tidak karuan.
Aku memperhatikan sekeliling. Mereka orang-orang yang tak kukenal. Sebagian
besar dari mereka bertampang sangar dan arogan. Tampangnya mengingatkanku pada
penjahat-penjahat di film-film barat. Sebagian dari mereka sepertinya adalah orang kaya.
Beberapa dari SMK Boeahsegar malah adalah anak juragan-juragan cina teman Pak
Gokan yang seringkali berbisnis timah dengannya. Lihat itu. Aku yakin HP-HP itu
nilainya tak kurang dari empat juta. Hanya saja, mungkin keberuntungan mereka di
material tak sebanding dengan wajah-wajah dianugerahi pada mereka, belum lagi sikap
yang tidak baik.
“Sesudah makan, kita langsung kabur, Dan”, Felix berbisik.
“Hah? Gila kamu!”, aku ikut berbisik.
“Udah…Kamu pikir aku mau panas-panas di situ? Yang diincer di sini cuma
makan!”, ia terkekeh, dan mendadak tersedak, terbatuk-batuk. Ia mengambil air dan lalu
meneguknya.
Aku sedikit tersenyum. Sungguh licik temanku ini. Sudah kuduga jadinya akan
begini. Tak mungkin ia merelakan tubuhnya terpanaskan oleh matahari. Yang
dipikirkannya cuma satu : perut.

Waktu telah habis. Tedjo kambali meraung-raung tak karuan.


“Kumpul! Semuanya kumpul!”.
Kami berkumpul. Beberapa dari mereka kini tampak memikul dan memegang
papan-papan yang berisi protes-protes. ‘Lawan korupsi’, ‘Tangkap Parmo’, ‘Say no to
Parmo’, atau ‘Belah dadaku ini’ adalah beberapa kata-kata yang tertera. Beberapa yang
lain membawa spanduk. ‘Kami adalah perwakilan dari hati rakyat’, itulah isinya. Aku
ingin sedikit tersenyum saat itu juga. ‘Rakyat pun tak peduli’, pikirku.
Sebuah tanda diberikan Tedjo, dan saat itu juga orang-orang mulai bergerak. Felix
menyentuhku, dan memberikan sebuah tanda untuk lari dari tempat itu. Aku
mengangguk, dan saat itu pula kami berusaha membebaskan diri dari kerumunan badan
itu.
Semuanya terasa sia-sia. Kelompok yang berjaln itu terlalu padat untuk dilewati.
Celah yang tersedia terlalu kecil dan riskan bagi kami untuk berlari atau bergerak. Aku
menoleh pada Felix, dan ia pun menoleh padaku. Sepertinya kami punya pikiran yang
sama : inilah balasan bagi orang-orang yang licik.

*********************
Panas menyelimuti demo kali ini. Aku, bersama Felix celakanya berdiri di barisan
terdepan, tanpa ada satupun penghalang kami. Sementara itu, berbagai kendaraan lalu
lalang dan sebagian dari mereka menyahut-nyahut tidak karuan.
“Setuju, setuju”, ucap salah satu dari mereka. Mereka bahkan tak tahu apa yang
mereka setujui. Aku tak heran bila mereka akhirnya gampang ditipu orang.
Setengah jam sudah kami berdiri dengan bosannya. Saat itu Tedjo, sang pelopor,
masih saja berteriak-teriak dengan semangatnya.
“Apakah kita akan membiarkan semua ini terjadi begitu saja saudara-saudara?”, ia
menirukan gaya Presiden Soekarno dengan sangat buruk.
“Tidaaakk!!!”, kami memekik bersamaan.
“Tidak! Karena memang kami tidak menyukai korupsi sebagaimana kami tidak
menyukai babi!”, ia berteriak ke arah kerumunan Polisi yang kerjanya hanya mengobrol
saja. “Betul tidak saudara-saudara?”, ia kembali menunjuk kami.
“Bedaaakkk!!”. Aku terdiam, semua orang terdiam. Bedak? Sebagian orang
rupanya menjawab ‘tidak’ dalam sesi itu. Kata ‘betul’ dan ‘tidak’ bercampur menjadi
‘bedak’. Kami saling lihat. Penasaran siapa yang mengucapkan itu.
“Babi tidak terlalu buruk”, ucap salah satu dari mereka yang menjawab tidak. Ia
adalah seorang cina.
“Baik. Babi tidak terlalu buruk. Baiklah…saya ulang kalau begitu”, ia berbalik
pada para Polisi. “Kami tidak menyukai korupsi sebagaimana kami tidak menyukai nasi
basi. Betul tidak saudara-saudara?”, ia menunjuk kami.
“Betuuulll”, jawab kami.
Sungguh demonstrasi yang idiot. Aku tak tahu kapan demo ini berakhir, namun
lebih baik ini cepat berakhir.

Di saat segenting ini salah seorang di belakang secara tiba-tiba mengeluarkan


kata-kata provokasi. Ia mengejek salah satu dari SMA di situ. Mendadak, situasi menjadi
ricuh. Mereka berdebat, dan tanpa disadari, semakin panas dan secara tiba-tiba, seseorang
dari mereka menghujam dengan satu pukulan. Sontak, keadaan menjadi ribut, dan
tawuran tak terelakkan.
Saat itu akupun dihujani oleh pukulan dari berbagai sisi. Aku dapat menangkal
salah satunya, namun tidak pada yang lainnya. Aku termundur, dan sebuah terjangan aku
hadiahi pada orang tadi. Namun itu hanya sementara. Beberapa saat kemudian aku
kembali diterjang dan dipukuli. Perkelahian pun terjadi. Sementara Polisi menciduk kami
satu persatu, Tedjo, sang pelopor terdiam dan ternganga melihat situasi yang seperti itu.
Aku melihat Felix, ia dengan lincah menghindari satu persatu pukulan. Sebuah
pukulan mengenainya, namun segera dibalasnya. Saat itu para warga memadati pinggiran
jalan ujung, menonton tawuran massal ini secara eksklusif, langsung di depan mata. Aku
melihat salah satu dari mereka, itu Arman dan Siska. Mereka berhenti sejenak dan
memperhatikan kami. Siska saat itu duduk dibelakang, dipeluk pinggang Arman dengan
mesranya.

Sebuah terjangan menghantamku. Itu Polisi. Ia membekukku dan mengikat kedua


tanganku. Aku tak melawan, aku hanya diam, karena aku tahu, semakin aku melawan,
semakin keras terjangan yang ia berikan. Aku melihat kedua pasangan itu dengan penuh
kebencian. Harapanku Felix tak mengetahuinya.
Aku melihat Felix. Setelah sebuah pukulan telaknya pada seorang jangkung, ia
tiba-tiba menoleh ke ujung jalan. Aku melihatnya terkesima tak percaya. Arman dan
Siska saat itu pun melihatnya, mereka membalas tatapan itu dengan suatu pelukan dan
tatapan yang mengerikan. Raut Felix berubah seketika itu juga. Saat itulah seorang Polisi
menghantamnya. Ia juga tertangkap. Ia dihujani berbagai pukulan, namun aku tahu, sakit
itu tak terasa dibanding dengan apa yang dilihatnya : Penghianatan.
17. Tiga bulan terakhir

Malam itu Felix setidaknya dihujani pukulan dua kali oleh bapaknya. Aku tahu itu
jika melihat dari bendam di wajahnya. Wajahku pun bendam, tapi bedanya, ia lebih
banyak dariku. Sebagian kecil didapatnya dari tawuran itu, dan sebagian besar
disumbangkan Polisi dan bapaknya.
“Apa kamu gak apa-apa ke sini?”, tanyaku.
“Gak apa-apa, Dan. Di rumah kan gak ada siapa-siapa, jadi aku bisa keluar
semauku”, ucapnya sembari tersenyum.
“Kamu ngeliat itu juga?”,
“Ngeliat apa?”, ia melihat padaku.
“Arman..dan…Siska”, aku memperlabat ucapanku.
“Iya, aku liat. Aku liat dengan jelas”, ia menunduk. “Sebuah penghianatan atas
apa yang udah aku kasih selama ini”.
“Kamu gak apa-apa, kan, Fel”, aku melihatnya penuh kekhawatiran.
“Enggak, aku gak apa-apa”, ia tersenyum. “Malam itu, aku nelpon dia, dan saat
itu juga aku mutusin dia”.
Aku mengangguk.
“Aku ini bukan seorang pengecut, Dan. Dan, si Arman itu, dia pengecut sejati”.
Yap, kamu bukan pengecut, Fel. Sedari aku mengenalmu, aku sudah tahu itu.
Kamu memang pelawak sejati, namun kamu juga seorang pria sejati, yang tak semudah
membalikkan telapak tangan untuk meruntuhkanmu.
Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan. Ia sedikit mengerang. Dan bisa ditebak,
menit berikutnya ia membuatku tertawa terbahak-bahak, seperti kebiasaannya yang telah
lalu. Aku memang percaya padanya, namun aku tetap menyimpan sebuah kekhawatiran
yang besar pada dirinya.
Selama tiga hari ke depan, yang kami dapat adalah skorsing dari pihak sekolah.
Dan selama masa itu, segala sesuatunya menjadi sangat vital. Empat bulan ke depan
Ujian Nasional menyambut. Tiga hari ini ini bukanlah sebuah batu penghadang bagiku.
Ini adalah tapak pertama dari batu langkah masa depanku.
***********************

Beberapa bulan setelah kejadian itu, sekolah kami mengalami perubahan jadwal
berkaitan dengan persiapan Ujian Nasional. Mulai hari ini, jadwal masuk dimajukan ke
pukul enam lewat lima belas pagi dan diakhiri pukul dua. Terhitung, total jam adalah
sepuluh jam pelajaran.
Saat itu, jam enam kurang aku bersiap untuk pergi bersekolah. Sebuah SMS
menjambangiku sesaat setelah aku mengemas buku-buku ke tasku. Itu sebuah SMS dari
Tante Minah.
“Selamat menikmati jadwal baru, Dan. Sekarang Roni udah agak mendingan,
udah bisa diajak ngomong sedikit-sedikit. Kata dokter dia belum boleh dibawa pulang,
masih harus beberapa saat lagi. Tahun depan mudah-mudahan dia udah bisa sekolah lagi.
Tente doain semoga sukses selalu”, begitu bunyi SMS itu.
Aku lalu menekan tombol ‘balas’ dan mengirim balasan pesan singkat pada Tante
Minah.
“Amin, Tante. Danar juga mendoakan semoga Tante dan Roni sehat selalu”.

Aku lalu memasukkan HP itu ke dalam tas. Kubawa badanku berjalan ke ruang
depan dan memasang sepatuku, sepatu yang telah tiga tahun ini kupakai selalu.
“Om Gokan, saya pergi dulu”, aku menyahut pada Pak Gokan yang masih duduk
menatap televisi.
“Ya, pergilah kau sana”, ia menjawab.

Aku membuka pintu itu dan berjalan keluar. Sepanjang jalan, aku melihat
beberapa siswa SMA maupun SMK seperti aku, pergi pagi-pagi, menyambut jadwal baru
sekolahnya. Beberapa dari mereka mengendarai kendaraan masing-masing, sebuah motor
bebek dan sebagian yang lain motor gunung atau biasa orang sini sebut ‘motor laki’.
Terbesit keirianku pada mereka, mengingat nasibku yang hanya berjalan kaki menuju
sekolah.
Saat itulah Felix, muncul dan menghampiriku.
“Ayo naik”, ia tersenyum. “Mulai hari ini, kita pergi sama-sama tiap pagi”.
Aku tersenyum dan sedikit tertawa. Ia memberikan helm bututnya padaku. Aku
mengangkat alisku, bertanya-tanya dalam hati.
“Di depan ada Polantas”, jawabnya singkat.

********************

Sesampai di sekolah, kami disambut pelajaran Kimia. Oh, hari pertama yang tidak
bagus. Hari ini, Bu Dor, (nama aslinya adalah Bu Doriah, bukan Rodiah seperti biasanya)
mengajarkan mengenai konsep mol dan hal-hal lain yang entah apa namanya. Praktis,
kantukku semakin bertambah. Tak terhitung sudah berapa kali aku menguap. Namun, Bu
Dor tak perduli sama sekali. Baginya hanya ada satu tujuan ia ke sekolah ini : datang,
ajar, pulang. Terhitung, ini adalah tiga bulan terakhir kami sebelum Ujian Nasional
dilangsungkan.
Di hari pertama ini, beberapa temanku rupanya mengalami masalah serupa :
ngantuk. Paling enak adalah berbaring saat ini, ditambah angin sepoi-sepoi dan kesejukan
udara yang tebal mengencang.

Jam istirahat akhirnya tiba. Pak Dun, dengan kepala terangkatnya, keluar dari
kelas kami. Kepalanya memang selalu terangkat. Aku pun tak tahu kenapa seperti itu.
Dan anehnya seiring tahun ajaran baru, dan seiring diangkatnya beliau sebagai Wakil
Kepala Sekolah bagian kesiswaan, kepalanya malah terangkat lebih tinggi, jauh lebih
tinggi dari biasanya. Tinggal tunggu waktu saja kepalanya berputar ke belakang.
Saat itu aku sedang duduk-duduk di kursi beton depan kelasku. Bersama Felix,
aku mengobrol dan bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari yang positif, hingga yang
paling negatif sekalipun. Sekarang pun, kami sedang sibuk membicarakan mengenai dua
artis porno, Miyabi dan Sora Aoi. Felix sepertinya lebih tahu dari aku. Sementara aku
mengagguk-angguk, ia semakin ganas bercerita mengenainya.
Tak sadar, saat itu Feni mendatangiku. Aku terkejut, tak dapat aku berkata apa-
apa mengenai obrolan kami.
“Kalian ngobrol apa? Kayaknya asik betul”,
“I-itu Fen…Anu…”, aku terbata, tak tahu mau ngucap apa.
“Jepang, Fen”, jawab Felix.
“I-iya. Lagi ngomongin Jepang”, aku tergugup. Miyabi memang berasal dari
Jepang.
“Ooh..”, ia mengangguk.

Beberapa bulan setelah putus, kami kembali seperti sebelumnya, dua sahabat yang
saling bercerita. Tak tergambar sama sekali kami pernah menjalin cinta satu dan lainnya.
Tak ada kekakuan, tak ada sungkan, dan tak ada kebencian. Putus, memang tak
selamanya menjadi permusuhan.
Hari itu tak sekalipun aku melihat Karin. Hari ini ia memang tak kelihatan barang
sedetik pun. Sejenak, muncul kekhawatiranku padanya. Aku bertanya pada Feni, namun
ia juga tak tahu. Aku semakin khawatir saja. Apakah dia sakit? Saat itu inisiatif
mengarahkanku untuk mengirimnya sebuah SMS.
“Kok gak masuk, kamu sakit?”.

“Dan, temenin ke WC…”, dengan nada manja Felix memanggilku.


Aku menghela dari hidungku, jijik mendengar nada seperti itu. Aku mengangguk,
dan melambaikan tanganku pada Feni. Ia tersenyum.

“Kamu jaga jangan sampai ada yang ngeliat aku telanjang”, ucapnya sembari
membuka pintu WC.
“Siapa yang bakalan nafsu sama elu!”, aku menjulurkan lidahku. Ia pun terkekeh-
kekeh mendengarnya.
Aku mengambil tempat di bangku depan WC itu. Pintu WC itu tidak mempunyai
kunci. Otomatis, kita harus sering-sering menggerakkan tangan untuk menutupnya
jikalau ia terbuka secara tiba-tiba.
Di saat aku menunggu, sebuah telpon masuk ke HP-ku. Itu Karin.

“Halo, Karin?”,
“Dan..Dan..”, ia terisak.
“Halo, Karin? Kamu gak apa-apa?”, kepanikanku membuncah.
“Aku…aku hamil, Dan…Dia..si Henqy, dia brengsek!”, Karin kini menangis.
Aku terdiam mendengarnya. Karin hamil?
“Karin, tenang dulu, Rin…ada aku di sini”,
“Aku minta maaf, Dan…karena aku gak percaya kamu..”,
“Iya Rin, iya…kamu tenang, ya..semuanya akan baik-baik aja…”.
Tepat saat itu juga, aku mendengarnya berteriak. Sebuah teriakan yang pedih.
Tangis tak dapat ditahannya lagi. Ia tak tahu lagi kini harus bagaimana, begitupun aku.
Emosiku menguak, terbayang wajah brengsek Henqy. Tepat saat itu pintu WC terbuka
secara tiba-tiba. Aku melihat sesuatu berwarna merah menggenang dibaliknya. Aku
berjalan, dan kubuka pintu itu. Alangkah terkejutnya aku, saat aku melihat tubuh Felix,
yang kini telah terlumuri oleh darah yang berasal dari nadi tangannya.
“Dan? Danar?”, Karin memanggilku, dengan terisak.
Aku terkesima melihat Felix. Kuangkat HP itu dan mengucapkan sejumput
kalimat.
“Rin, Felix mati…”, ucapku lirih. Aku memutus koneksi itu, dan mematikan HP-
ku dengan segera. Aku melihatnya selama beberapa saat. Hatiku pedih, kini aku
kehilangan sahabat yang paling kusayangi. Tak tahu aku kini harus bersandar pada siapa
lagi. Ia, Felix, sahabatku telah pergi meninggalkanku.
Aku berteriak keras, dan selanjutnya terduduk beralaskan tanah. Beberapa dari
guru mendatangiku, dan murid-murid yang lain ikut datang.
“Kenapa, Dan?”, tanya Pak Saiful.
“Felix mati, pak”, aku menjawab datar. Aku menunjuk pada WC, dan saat itu juga
salah satu dari guru mendatangi jasad Felix dan memeriksanya. “Mati”, ucapnya. Oh,
hatiku semakin perih mendengarnya.
Saat itu aku melihat Arman. Ia terdiam dan terkejut melihat itu. Aku
mendatanginya dan menerjangnya hingga ia terduduk di tanah.
“Ini semua salahmu!”, aku memekik padanya.
Ia terdiam. Tak dapat diucapkannya satu katapun. Ia melihat pada jasad Felix
yang terbaring kaku berlumuran darah. Ingin aku membunuhnya saat ini juga, namun
beberapa temanku menghalangiku hingga tak sempat kusentuh ia sedikitpun.
Di sana, Siska memperhatikan Felix. Rasa bersalah terlukis dalam rautnya. Aku
melihatnya dengan sebuah tatapan benci.
“Pelacur!”, aku berteriak padanya.

Aku berdiri meratapi jasad temanku itu. Tak dapat kupercaya ia akan berakhir
seperti ini. Segala tawa, keceriaan, dan lelucon yang ditampilkannya beberapa bulan ini
adalah sebuah topeng dari penderitaan hatinya yang sangat dalam. Aku mengenalnya
bertahun-tahun, namun tak kusadari kahancuran hatinya. Ia memang orang paling hebat
yang pernah kutemui.
Saat itu, Pak Saiful memanggilku. Ia membawa sepucuk surat bertuliskan
namaku.
“Surat ini sepertinya untukmu, Dan”, ia memberikan surat itu padaku.

Untuk Danar. Begitu tulisan pada surat yang berlumur darah itu. Aku membaca
surat itu, dan hatiku semakin perih. Aku terduduk. Tangisku tak dapat kutahan lagi.
Terselimutlah aku dalam duka dan tangis yang mendalam. Namun tangis ini bukan tangis
seorang banci, ini tangis kasih sayang seseorang pada sahabatnya.

Danar, maafkan aku jikalau aku banyak berbohong. Maafkan aku pula jika aku
telah membuatmu terganggu atas kahadiranku. Tak sedikitpun inginku menyakiti kamu.
Apa yang telah kau beri, takkan pernah kulupakan hingga aku mati.
Tentang mati, maafkan aku atas kematianku yang sungguh mendadak ini. Hanya
saja, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku mengajarkan kamu tentang kekuatan, Dan,
tapi sesungguhnya aku adalah orang yang paling lemah hatinya di dunia ini.
Mengenai aku, tak perlu khawatir. Aku akan selalu berada di sekitar kamu,
menolong di setiap kesulitanmu, dan mendoakan atas segala harapan-harapanmu.
Kejarlah, Dan. Kejarlah mimpi dan tujuan hidupmu, tanpa ada sedikit keinginan
pun untuk meninggalkannya.

Sahabatmu, Felix
Beberapa bulan kemudian…………
18. Perantauan

Hari ini, kedua orang tuaku datang ke Pangkalpinang. Dan itu artinya,
perantauanku berakhir. Dan yang paling utama, hari ini aku menginap di hotel, alih-alih
rumah Pak Gokan.
Misi utama mereka adalah mengambil hasil Ujian Nasionalku. Terhitung, tiga hari
sudah lamanya mereka di sini.

Dan, detik-detik menjelang penyerahan hasil Ujian merupakan saat-saat yang


menegangkan. Wali kelas kami, Bu Ria, menyerahkan amplop itu pada ayahku. Mereka
lalu saling bersalaman. Ayahku membawa amplop itu keluar dan mau tak mau
membebani jantungku.
Ia membuka perlahan dan mengeluarkan kertas itu. Saat detik demi detik kini
sungguh mendebarkan. Beberapa dari teman-temanku sudah membukanya, sejauh ini
mereka lulus. Kertas itu lalu terbuka dan menampilkan sebuah hasil yang memuaskan :
LULUS.
Aku melompat. Kupeluk ayahku seerat-eratnya, dan ibuku kemudian.
Teman-temanku lalu mendatangiku, dan satu persatu memelukku. Dari kejauhan
aku melihat Feni, ia mendatangiku, menyalami dan memberikan selamat padaku.
“Selamat, Dan”, ucapnya.
“Kamu gimana, Fen?”, tanyaku.
“Aku juga lulus”,
“So, selamat juga buat kamu”,

Ia memelukku kemudian. Tak sadar, ia terisak dan meneteskan air mata.


“Kita masih bisa ketemu gak, Dan?”, ia bertanya.
“Bisa, Fen…Kita kan satu daerah nantinya?”,
“Oh, iya, ya…”, ia tersenyum, dilepaskannya pelukanku darinya.
“So, sampai ketemu nanti”, ia melambaikan tangannya, dan berlalu menuju
rombongan kelasnya.
Saat itulah HP-ku berdering. Sebuah SMS muncul setelah SMS yang lain. Aku
membuka yang pertama. Itu dari Karin.
“Gimana, Dan? Kamu lulus, gak?”.
“Iya, Alhamdulillah…”, balasku.
Berbulan-bulan yang lalu, ia mendatangiku dengan tangis, satu hari setelah Felix
dikuburkan. Ia menyesal tak mendengarkanku, dan memohon sekeras-kerasnya akan
maafku.
“Aku gak mungkin benci kamu, Rin”, ucapku. “Apa yang aku berikan, adalah
yang terbaik untuk kamu”.
Ia menatapku.
“Karena sesungguhnya, aku sayang kamu”, aku menatapnya. Ia pun tersenyum,
sama seperti senyum-senyum yang sebelumnya.

Karin, seorang wanita yang membuatku terpesona akan kecerdasan dan


kecantikannya. Kini, ia telah menikah dengan Henqy. Sebuah ‘kecelakaan’ yang
memaksanya untuk mengakhiri pendidikan. Namun, dibalik itu ia tetap mempunyai
impian, dan melalui impian itulah ia tetap dapat tersenyum bahagia sekarang.

SMS selanjutnya dari Tante Minah. Sebuah SMS yang sama dengan yang dikirim
Karin.
“Iya, Tante. Alhamdulillah”, begitu balasku.
Aku lalu menerawang ke sekeliling sekolah ini. Betapa banyak cerita yang dibuat
dalam masa-masa ini. Saat ini aku mengerti kenapa ayahku mengirimku ke sini. Untuk
pembelajaran hidup. Tak cuma mengenai material, namun juga mental dan kecerdasan
berpikir pada umumnya. Ia memang yang paling tahu akan diriku, bahkan melebihi diriku
sendiri.
Sejenak aku teringat pada Felix, sahabat sejatiku. Seandainya ia di sini, ia pasti
telah merangkulku, dan aku akan merangkulnya. Kerinduanku terasa dalam, dan saat
kerinduan itu semakin dalam, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Spontan, aku melihat
ke sekeliling. Saat itu tak kulihat seorang pun. Namun, aku merasa ada seseorang yang
merangkul bahuku. Firasatku kali ini bermain, namun aku tak merasa takut, yang ada
hatiku terasa semakin tentram karenanya.
“Aku lulus, teman”, aku berbisik pada diriku sendiri.

Kini diriku telah terbentuk. Aku siap menghadapi dan menyongsong apa yang ada
di depanku. Kini, perantauan kedua telah menanti di depanku, sebuah negeri impian para
mahasiswa : Jogjakarta.

Anda mungkin juga menyukai