Anda di halaman 1dari 410

W2MISTERI RUMAH BERDARAH

Saduran : Tjan ID

Jilid 1
PENDAHULUAN
“DISEWAKAN SEBUAH RUMAH REJEKI”
Silakan periksa di gunung, Liong-san Hutan Tauw Liem.
Itulah bunyi dari sebuah pengumuman penyewaan
rumah yang ditempelkan diluar pintu sebelah utara kota kay
Hong, bukan saja kertas warna merah tersebut sangat
menarik perhatian, bahkan ada sesuatu yang jauh lebih
menarik dari hal tersebut., banyak para pedagang berhenti
sebentar untuk membaca isi pengumuman itu.
Bagi orang-orang yang sering melakukan perjalanan
melalui jalan raya ini rasanya masih teringat oleh mereka
akan peristiwa penyewaan rumah yang sangat aneh ini.
Karena setiap tahun pengumuman tersebut selalu
muncul satu kali dan waktu pun sama, yaitu bulan tiga
tanggal tiga belas !
Gunung Liong san terletak anatara Kota kay Hong
dengan gunung Siong-san, disana terdapat sebuah hutan
Tauw yang lebat, apakah rumah yang disewakan tersebut
pernah disewa dan diadiami oleh orang ……?
Sudah tentu, persoalan ini jarang sekali diketahui orang,
tetapi bila ditinjau dari keadaan rumah tersebut, tentu sudah
pernah disewa oleh seseorang dan orang itu berdiam disana
tidak bakal melebihi satu tahun lamamnya.
Kalau tidak, tidak mungkin setiap setahun sekali
pengumuman kertas merah itu bisa muncul kembali
ditempat semula!
Pernah ada beberapa orang karena tertarik, telah
berangkat ke gunung Liong-san hutan Tauw Liem itu untuk
melihata keadan sebenarnya, tetapi setelah tiba disana,
orang-orang itu dengan hati kebat-kebit dan bulu roma pada
berdiri, hingga melarikan diri terbirit-birit dari sana.
Mengapa ?
Rumah tersebut bukankah sebuah rumah rejeki,
melainkan sebuah rumah yang memyai bentuk sangat aneh
dan menyeramkan ……..
Kiranya ritu bentuknya seperti kerangka manusia,
sehingga bagi setiap orang baru menemuinya terasa amat
menyolok.
Didepan rumah tersebut diantara semak-semak yang
lebat terdapat empat buah kuburan yang kuno dan baru tak
tentu, hal ini menambah keseraman serta kengerian suasana
disekitar sana.
Siapa yang berani mendiami rumah dalam suasana
begitu menyeramkan …?????....
Tetapi, kediaman di kolong langit memang kadangkadang
berda di luar duagaan semua orang. Rumah itu
bukan saja pernah disewa oleh seseorang, bahkan orang itu
adalah seorang jago Bu-lim yang memiliki ilmu ssangat
tinggi.
Cuma saying, orang-orang itu akhirnya harus dikubur
didepan rumah tersebut.
Mati ????? betul, mati
Tetapi, mengapa ???????
Beratus-ratus bahkan beribu-ribu pendapat pada muncul
dibalik benak para jago-jago bu-lim. Kendati begitu tak
seorangpun yang bisa memahami keadan yang sebenarnya.
Sedang pengumuman sewa rumah itupun setahun demi
setahun muncul terus didalam mayarakat ……..
Hanya didalam sekejap mata, tiga tahun sudah berlalu !
……………..
Didepan pintu rumah rejeki itupun sudah bertambah lagi
dengan tiga buah kuburan baru …..…………..
----------- ooo O ooo ----------
Bab 1
MUSIM SEMI bulan ketiga telah tiba ….
Sesosok bayangan manusia yang kurus tinggi perlahanlahan
muncul didepan sebuah pintu rumah yang berada
diatas suatu bukit.
Dia adalah seorang pemuda berbaju hijau yang berusia
kurang lebih delapan, sembilan belas tahunan, badannya
kurus tinggi, sama sekali tidak kelihatan gagah, tampan
maupun kekar.
Ia berjalan bolak-balik didepan rumah itu dengan gelisah,
agaknya sedang menantikan sesuatu, sinar matanya tiada
henti-hentinya ditengokkan kearah bawah tebing yang
penuh ditutupi oleh kabut tebal.
Setiap kali ia menengok, suara helaan nafas panjangpun
mengiringi perasaan kecewa yang timbul dalam hati,
agaknya apa yang dinantikan selama ini membuat hatinya
terasa semakin gelisah …….
Tiba-tiba ……….
Sesosok bayangan hitam bagaikan kilat menyambar
datang melayang turun diatas puncak tersebut.
Semula pemuda berbaju hijau itu rada tertegun, tetapi
sebentar kemudian ia sudah tak dapat membendung rasa
girang dihatinya lagi.
“Suhu, kau sudah pulang ?” teriaknya tak tertahan.
Kiranya si orang berbaju hitam itu adalah seorang kakek
tua dengan dandanan sastrawan, terhadap sapaan dari
pemuda berbaju hijau itu Cuma mendehem perlahan.
Sekali lagi pemuda berbaju hijau itu dibuat berdiri
tertegun, karena dari suara deheman tadi, ia menemukan
nadanya berat dan paras muka suhunya kelihatan amat
sedih bercampur murung.
Agaknya selama ini pemuda berbaju hijau itu belum
pernah mengalami kejadian dimana suhunya
memperlihatkan sikap serta perubahan paras muka seperti
hari ini, akhirnya ia berkata kembali :
“Suhu, perjalananmu kali ini sudah makan waktu lima
hari …..”
“Emmmmm, aku tahu, mari kita masuk kedalam !”
Nada ucapannya masih tetap berat, singkat dan tandas,
sepasang alisnya dikerutkan sangat rapat. Setelah
menngucapkan kata-kata tadi tanpa menanti reaksi dari
muridnya, ia telah mendahului masuk kedalam rumah.
Dengan termangu-mangu si pemuda berbaju hijau itu
berdiri ditengah kalangan, matanya terus memandang
bayangan punggung suhunya dengan sayu, didalam hati
kecilnya pemuda ini mulai merasa ada sesuatu peristiwa
bakal terjadi …… atau mungkin peristiwa tersebut sudah
berlangsung.
Perubahan sikap serta paras muka suhunya yang
ditunjukkan hari ini boleh dikata sangat luar biasa, karena
selama ini belum pernah ia berubah sedemikian rupa,
apalagi kepergian suhunya kali ini sudah membuang tempo
lima hari, ini merupakan suatu kejadian yang sangat
istimewa.
Sekonyong-konyong …….
“Thian Kie, masuk !” dari balik ruangan berkumandang
suara suhunya sedang memanggil.
Si pemuda berbaju hijau - ------- atau Pek Thian Kie
kontan saja tersadar kembali dari lamunannya, dengan
terburu-buru ia segera putar badan berlari masuk kedalam
ruangan.
Tetapi sebentar kemudian ….. sewaktu sinar matanya
berkelebat, ia merasakan hatinya bergidik.
Karena tampaklah suhunya duduk diatas kursi dengan
wajah membesi, alisnya dikerutkan sedang selintas perasaan
sedih, duka dan murung menghiasi air mukannya.
“Suhu, urusan apa yang telah terjadi?” Tanya Pek Thian
Kie segera melangkah mendekat.
“Hei ….” Perlahan-lahan si sastrawan berbaju hitam itu
menghela napas panjang.
“Ada suatu urusan yang bagaimanapun juga harus
kuberitahukan kepadamu !”
“Suhu ! urusan apa ? Cepat kau beritahukan kepadaku !”
kontan saja Pek Thian Kie merasakan hatinya berdesir.
Si satrawan berbaju hitam itu mengangguk berat.
Bukankah sejak kecil sampai kau menginjak dewasa
selam ini selalu bersama-sama dengan diriku ?” tanyanya
“Benar!”
“Jika dihitung dengan jai kau sudah berdiam selama
limabelas tahun lamanya diatas tebing “Pek Wu Leng” ini,
selama ini bukankah suhumu belum pernah berpisah
dengan dirimu?”
“Benar !”
“Kepergianku kali ini yang telah menghabiskan waktu
lima hari, bukankah kau merasa terlalu lama ?”
“Benar ! Kau orang tua belum pernah pergi selama
ini….”
“Lama ?” Potong si sastrawan berbaju hitam itu tidak
menanti muridnya selesai berbicara. “Lima hari kau anggap
sangat lama ?”
“Benar ……!” Agaknya si sastrawan berbaju hitam itu
dibuat melengak juga oleh pertanyaan tersebut, tetapi
sebentar kemudian ia sudah meyambung kembali :
“Ooouw ……. Aku pergi menengok beberapa orang
sahabat karibku, karena itu aku pulang kegunung rada
terlambat. Cuma ….. kini aku punya maksud untuk
meninggalkan tempat ini !”
“Benar !”
“Kita akan pergi kemana ?”
“Tidak! Kau salah, Cuma aku seorang saja pergi, kau
tidak termasuk.”
Mendengar perkataan tersebuta itu juga Pek Thian Kie,
kontan seketika jadi tertegun, agaknya perkataan tersebut
benar-benar diluar dugaannya.
“Suhu kenapa ?” teriaknya tak kuasa lagi.
“Tidak karena pa-apa. Tetapi yang jelas, aku mau tak
mau harus pergi, sedang mengenai apa sebabnya, aku tidak
ingin memberitahukan kepadamu. Karena aku merasa hal
ini sama sekali tidak berguna dan tidak mendatangkan
keuntungan bagimu ……..”
“suhu ! Tidak, aku ingin mengetahui sebab-sebabnya.”
“Tidak perlu, kepergiaku kali ini Cuma setahun, setelah
satu tahu. Kemungkinan sekali aku masih bisa kembali, ada
banyak urusan aku tak dapat beritahukan kepadamu …..
tetapi ada pula beberapa urusan yang harus aku sampaikan
kepadamu ……………”
“Suhu ! Bila kau ada urusan, katakanalah semuanya !”
sahutnya Pek Thian Kie cepat-cepat.
“Kitab yang aku berikan kepadamu sudah selesai kau
baca ?”
“Belum, masih ada empat-lima halaman.”
“Didalam satu tahun ini, kau harus menyelesaikan
keempat, lima halaman tersebut?”
“Tecu ikuti perintah.”
Perlahan-lahan si sastrawan berbaju hitam itu
mengangguk.
“Aku piker didalam satu tahun mendatang, kau pastu
sudah bisa menyelesaikan kitab tersebut sampai halaman
yang terakhir.” Katanya.
Ia merandek sejenak, sejurus kemudian sambungnya
kembali : Sedangkan mengenai penyakitmu, sampai
sekarang aku masih belum berhasil menemukan orang yang
bisa menyembuhkannya, tentang ini terpaksa aku harus
minta maaf ……”
“Suhu! Apakah kau sudah tidak mau menggubris tecu
lagi?”
Si sastrawan berbaju hitam itu tertawa pahit.
Setelah satu tahun, kemungkinan sekali aku bisa pulang
kembali, tetapi dikalau sampai ……”
Berbicara sampai disitu mendadak ia tutup mulutnya
rapat-rapat, diatas paras mukanya terlintaslah perasan yang
murung.
“Suhu ……” jerit Pek Thian Kie dengan hati bergidik.
“Jikalau sampai aku tidak kembali, kaupun tidak usah
pergi mencari aku.”
Saat itu Pek Thian Kie benar-benar merasakan bulu
romanya pada berdiri semua.
“Suhu! Mengapa kau tidak pulang?”
“Heeeeeei ….. peristiwa yang terjadi dikolong langit
memang kadang-kadang berada diluar dugaan orang lain.”
Ujar si sastrawan berbaju hitam itu sambil tertawa pahit.
“Kemungkinan juga kepergianku kali ini tak bakal kembali
lagi untuk selamanya. Tetapi hal ini masih merupakan
suatu kemungkinan, mungkin juga tidak sampai terjadi
peristiwa semacam itu …..”
Ia menghela napas panjang, setelah berhenti sebentar
tambahnya lagi :
“Heeeeei …… semisalnya sungguh-sungguh terjadi
peristiwa semacam ini, kau tidak usah mencari aku lagi
…..”
“Kenap ?”
“Kau tidak usah tanyakan sebabnya!”
“Ba ……. Baik ………!” dengan gugup dan ketakutan
Pek Thian Kie menyahut.
Perlahan-lahan paras muka si sastrawan berbaju hitam
itu mulai berubah jadi ramah kembali.
“Persoalan lain yang harus kau ketahui adalah asal
usulmu.” Ujarnya kembali. “Sampai sekarang aku masih
belum berhasil mendapatkan tahu persoalan ini, perempuan
itupun tak pernah ditemukan oleh orang lagi. Tetapi pada
waktu itu ia sudah harus kau cari tahukan nammu beserta
orang yang harus kau cari setelah menginjak dewasa. Aku
percaya tentunya kau masih belum melupakannya bukan?”
“Benar! Untuk selamanya tecu tak akan melupakan hal
ini ……” sahut Pek Thian Kie dengan suara yang berat.
“Aku harus pergi mencari orang yang bernama Kiang To
untuk menanyakan asal usulku.”
“Heeeeei ….. kalau begitu bagus sekali setahun
kemudian kau pergilah sendiri untuk mencari dirinya.”
“baik, suhu …… “ Agaknya Pek Thian Kie hendak
mengucapkan sesuatu lagi, tetapi untuk beberapa sat tak
sanggup untuk mengucapkannya keluar.
Kembali sastrawan berbaju hitam itu menghela nafas
panjang.
“Heeeei ….. sudahlah, perkataanku hanya sampai disini
saja” katanya perlahan.
“malam Sudah semakin kelam, kau pergilah untuk
beristirahat!”
“suhu ! Apakah kau benar-benar tidak suka
memberitahukan kepadaku tujuanmu yang sebenarnya ????”
desak sang pemuda tersebut dengn nada yang sedih.
“Benar, aku tidak akan beritahukan hal ini kepadamu
karena persoalan tersebut tidak bakal mendatangkan
keuntungan buat dirimu, sekarang kau beristirahatlah lebih
dulu.”
Pek Thian Kie mengerti. Agaknya persoalan ini sangat
besar dan maha penting bahkan mungkin juga bakal terjadi
terhadap dirinya sendiri, hal ini merupakan suatu kejadian
yang tak dapat diragukan kembali.
Iapun tidak ingin banyak bertanya lagi, karena ia
mengerti sekalipun ia bertanya bertanya lebih lanjut kecuali
memperoleh suara bentakan dari suhunya, tidak bakal
memperoleh hasil apapun. Hal ini merupakan suatu
kenyataan yang amat jelas.
“Suhu !” ujarnya kemudian setelah berpikir sebentar.
“Selama diperjalanan kau tentu sangat lelah sekali, baiknya
aku hantar kau orang tua untueristirahat terlebih dahulu !”
“Heeee …. Baiklah !”
“Selesai berkata, si sastrawan berbaju hitam itu lantas
bangun berdiri dan melangkah keruangan sebelah
belakang”
Dengan kencang Pek Thian Kie menguntil dari belakang,
sesampainya dipintu kamar sebelah belakang, tampaklah si
sastrawan berbaju hitam itu perlahan-lahan menoleh.
“Bocah, kaupun beristirahatlah!” ujarnya ramah.
Pek Thian Kie mengangguk, segera putar badan dan
bergerak keluar lambat-lambat …….
Tiba-tiba ……..
“Thian Kie !” panggil si sastrawan berbaju hitam itu.
Mendengar suara panggilan tersebut, dengan cepat Pek
Thian Kie berhenti dan putar badan.
“Suhu ! ada urusan apa ???” tanyanya cepat.
Ujung bibir si sastrawan berbaju hitam itu tampak
bergerak-gerak, tetapi tak kedengaran sedikit suarapun.
Akhirnya dengan sedih ia menghela napas panjang.
“Aaaakh ….! Tak ada urusan, kau pergilah tidur !”
Fengan melongo-longo pemuda itu memandang
suhunya, ia merasa sikap si orang tua itu hari ini sangat
aneh sekali dan hal ini merupakan suatu keistimewaan.
Akhirnya dengan perasaan apa boleh ia melanjutkan
kembali langkahnya berlalu dari sana.
Menanti bayangan punggung Pek Thian Kie lenyap dari
pandangan, si sastrawan berbaju hitam itu baru menghela
napas ringan.
“Heeeeei ….. buat apa dia orang mengetahui sejak
sekarang??? Bukannya nanti ia bakal tahu sendiri ……”
gumamnya tak terasa.
Untuk mengetahui soal apa ? ? ? ?
Agaknya hal inilah merupakan kesedihan yang sedang
terkandung di hati sastrawan berbaju hitam itu dan ia tidak
ingin memberitahukan peristiwa tersebut kepada Pek Thian
Kie karena persoalan ini sepertinya mempunyai sangkut
paut yang sangat erat dengan dirinya.
Perlahan-lahan Pek Thian Kie berjalan keluar dari dalam
kamar dan kembali kedalam ruangan tamu. Tetapi sesaat ia
berbelok keserambi yang lain pemuda itu mendadak berseru
tertahan dan menghentikan langkahnya.
Sepasang matanya memancarkan sinar tajam melototi
secarik kertas merah persegi empat yang berada diatas
tanah, lama sekali pemuda itu tampak tertegun.
Akhirnya ia tersadar kembali diam-diam pikirnya :
“Aaaakh ……! Mungkin juga barang ini terjatuh dari
saku suhu ……”
Buru-buru ia menjemput kertas tadi lalu berjalan kembali
kearah kamar suhunya.
Belum jauh ia melangkah, sekonyong-konyong didalam
benaknya terlintas suatu bayangan ………….. dengan cepat
ia menghentikan langkahnya.
“Diluar apakah Thian Kie ??” dar balik kamar tahu-tahu
berkumandang keluar suara pertanyaan dari suhunya.
“Benar suhu …..”
“Ada perkataan boleh kau sampaikan besok saja !”
Pek Thian Kie jadi tertegun.
“Baik, suhu !” sahutnya kemudian.
Selesai berkata, ia lantas putar badan dan berlalu.
Mengapa Pek Thian Kie tidak jadi serahkan itu kertas
merah bersegi empat kepada suhunya ? didalam persoalan
ini agaknya masih ada sesuatu rahasia yang tersembunyi.
Benar. Menurut dugaan Pek Thian Kie kepergian
suhunya selamaa lima hari ditambah pula sekembalinya
dari bepergian, mengucapkan kata-kata semacam itu,
kesemuanya ini tentu ada sangkut pautnya dengan kertas
merah tersebut.
Oleh karena itu, ia mulai melenyapkan maksudnya
untuk menyerahkan kembali kertas merah tadi ketangan
suhunya, dalam hati ia tahu tindakannya ini tidak patut
tetapi perasan ingin tahu yang terus mendesak dihatinya
memaksa juga ia harus mengambil tindakan tersebut untuk
mencari tahu rahasia dibalik kesemuanya itu.
Terburu-buru pemuda itu berlari kembali kedalam
kamrnya, setelah mengunci pintu kamar dengan tangan
gemetar ia mulai membaca kertas merah itu, agaknya kertas
itu mengandung suatu rahasia serta hawa pembunuhan
yang tiada taranya.
Akhirnya ia berhasil menenangkan hati yang sedang
bergolak, dengan sangat hati-hati kertas merah itu mulai
dibuka dan disapu dengan tajam.
Tetapi sebentar kemudian ia sudah dibuat berdiri
tertegun ! Apa yang telah terjadi ???
Kiranya kertas merah itu hanya tercantum kata-kata :
“DISEWAKAN SEBUAH RUMAH REJEKI”
Silakan periksa di Gunung Liong San Hutan Tauw Liem.
Secarik kertas pengumuman tentang disewakannya
sebuah rumah, peristiwa ini sangat biasa dan tiada yang
aneh.
Kendati Pek Thian Kie sudah memeriksa dan
menelitinya setengah harian belum juga ditemukan letak
keistimewaan dari kertas pengumuman tersebut.
Satu-satunya persoalan yang tidak ia pahami adalah,
mengapa kertas pengumuman tersebut justeru bisa berada
disaku suhunya? ???????? Apakah suhu telah menyewa
rumah di gunung Liong San Hutan tauw Liem itu ?
Atau ungkin pengumaman tersebut didapatkan suhunya
dari tempat lain, lalu disimpan dalam sakunya ? sudah tentu
kedua persoalan ini kesemuanya ada kemungkinan.
Mendadak satu ingatan kembali berkelebat didalam
benaknya. Besok suhunya akan meninggalkan tempat ini
dan selama setahun takkan kembali lagi. Apakah mungkin
dia orang tua ada maksud untuk menyewa rumah tersebut ?
…………. Sudah tentu, hal inipun ada kemungkinan bisa
terjadi.
Lama sekali Pek Thian Kie termanggu-manggu berpikir
keras tetapi tak ia pahami juga persoalan ini.
Sangking lelahnya terakhir ia masukan kertas tersebut
kedalam saku kemudian ia jatuhkan diri tertidur diatas
pembarngan …….. tidak lama kemudian, hari sudah terang
tanah. Buru-buru pemuda tersebut bangun dari
pembaringannya.
“Thian Kie !” mendadak dari luar kamar berkumndang
dating suara panggilan dari suhunya yang sedang berjalan
mendekat.
“Oooouw ….. suhu !”
Ditengah suara sahutan, buru-buru Pek Thian Kie
meloncat kedepan membuka pintu kamar.
Tampaknya suhunya sudah berdiri didepan pintu, satusatunya
keadaan yang berbeda-beda pada hari ini adalah
diatas punggung si orang tua itu kini sudah kelebihan
sebilah pedang yang tersoren dengan amat gagah.
Menurut suhunya tempo dulu dia orang tua tak akan
menggunkan pedang lagi, tidak disangka sebelum dia
meninggalkan tempat ini, pedang yang sudah tak digunkan
hamper mendekati puluhan tahun akhirnya digunakan
kembali.
Kejadian ini diam-diam membuat Pek Thian Kie
merasakan hatinya bergidik.
“Thian Kie ! Aku mau berangkat !” terdefar terdengar si
sastrawan berbaju hitam itu memecahkan kesunyian.
“Suhu……..” seru Pek Thian Kie sedih
“Tecu akan selalu mengingat-ingat perkataan dari kau s
orang tua !” katanya.
Perlahan-lahan si sastrawan berbaju hitam itu
menganagguk
“Kalau begitu, aku akan segera pergi !”
Selesai berkata, tidak menunggu jawaban dari Pek Thian
Kie tubuhnya segera berkelebat keluar dari pintu besar.
Kemudian didalam beberapa lontaan lagi bayangan hitam
itu sudah lenyap dibalik kabut nan putih …………
Dengan terpesona pemuda itu berdiri ditempat semula,
segulung perasaan yang amat aneh mendesak naik
ketenggorokannya menbuat dia saking sedihnya hamperhampir
meneteskan air mata lagi ……..
Lama sekali ……… akhirnya ia putar badan berjalan
masuk kedalam rumah.
----------- ooo O ooo -----------
Bab 2
SUASANA DIATAS PUNCAK “Pek Wu Leng”
kembali jadi hening …… sunyi …….. tak kedengaran suara
apapun.
Keadaan berubah pula seperti keaadan tempo dulu,
kabut putih yang amat tebal hampir menutupi seluruh
tempat …..
Musim semi berlalu, musim rontokpun telah tiba …..
Diikuti musim semi berlalu. Musim semi kembali
menjelang datang.
Waktu berlalu bagaikan mengalirnya air sungai, hanya
didalam sekejap mata satu tahun sudah berlalu.
Mengikuti berlalunya waktu, berita tentang si sastrawan
berbaju hitam itupun ikut lenyap tak berbekas, sejak waktu
itu ia tak pernah kembali lagi ketas gunung.
Siang malam Pek Thian Kie menanti dan mengharapkan
suhunya cepat kembali ……. Tetapi harapan ini ternyata
sia-sia belaka.
Apakah suhunya benar-benar tak akan kembali ??? Benar
! Kenyataan memang demikian untuk selamanya dia tak
bakal kembali lagi.
Ia mulai teringat sesuatu ….
Diam-diam pikirnya :“Didalam satu tahun ini aku
menyelesaikan beberapa halaman terakhir dari kitab
tersebut. Kini aku harus pergi ! Aku harus pergi mencari
suhu ……”
Iapun harus pergi mencari seseorang, dia adalah Kiang
To ! …. Suhunya pernah beritahu kepada dirinya, hanya dia
seorang yang tahu siapakah orang tuanya.
Berpikir akan persoalan ini, dengan cepat ia
membereskan sebentar barang-barang keperluannya,
kemudian lari keluar rumah dan meluncur kebawah tebing.
Gerakan tubuhnya pada saat ini cepat laksana sambaran
kilat, kecepatannya boleh dikatakan jauh lebih hebat
beberapa kali lipat jika dibandingkan dengan kecepatan si
sastrawan berbaju hitam tempo dulu sewaktu menuruni
tebing tersebut.
Hanya dalam sekejap Pek Thian Kie sudah tiba dibawah
tebing Pek Wu Leng, mendadak ia menghentikan gerakan
tubuhnya.
“Aku harus pergi kemana ?” otaknya mulai berputar
keras, “Liong-san ? benar, aku harus pergi ke Gunung
Liong-san !”
Setelah mengambil keputusan, tubuhnya kembali
berkelebat kearah depan. Sekarang ia harus mencari
seseorang untuk ditanyai arah yang benar, kemudian baru
berangkat menuju ke gunung Liong-san. Pek Thian Kie
yang melakukan perjalanan cepat hanya didalam sekejap
saja berpuluh-puluh lie sudah dilalui. Tetapi tiba-tiba ….. ia
menjerit keras, dan tubuhnya mendadak berhenti sedang
dari keningnya mengucur keluar keringat sebesar kacang
kedelei, sikapnya menunjukkan sangat menderita ……
Sepasang tangan ditekankan keras-keras ketas
lambungnya, tubuhnya berjongkok sedang dari mulutnya
terdengar suara rintihan yang menyayatkan hati …..
Mendadak …..
Sewaktu Pek Thian Kie sedang merintih kesakitan itulah,
suara langkah kaki menusia memecahkan kesunyian
bergema semakin mendekat.
“Eeeeei …. Kau kenapa ?” terdengar orang itu menegur
dengan suara agak kaget.
Mendengar suara tegur tersebut Pek Thian Kie merasa
agak terperanjat maka dengan cepat kepalanya
didongakkan.
Tampak seorang pengemis muda berusia duapuluh
tahunan dengan tenang berdiri dihadapannya.
“Kenapa kau ?” kembali orang itu bertanya, agaknya ia
menaruh rasa kuatir terhadap keadaan diri Pek Thian Kie.
“Aku ….. aku sakit hati !”
“Sakit hati ? Kau sudah kehilangan barang apa yang
berharga sehingga sakit hati?”
Menghadapi pertanyaan semacam ini Pek Thian Kie
benar-benar dibuat kalang-kabut mau marah tak dapat, mau
tertawapun sukar.
“Sakit hatiku adalah suatu penyakit, bukan sakit hati
karena kehilangan sesuatu baraang !” sahutnya kemudian.
Si pengemis muda mengiayakan beberapa kali agaknya
ketika itu ia baru paham akan apa yang sebetulnya telah
terjadi.
Dengan cepat ia mulai berjalan mendekati diri Pek Thian
Kie.
Setelah beristirahat beberapa saat, sakit hati dari Pek
Thian Kie pun perlahan-lahan mulai lenyap kembali …..
“Hiiii …..hiiii ……hiiiii……hiiiii ku sudah sedikit baikan
?” Tanya pengemis muda itu lagi sambil tertawa cekikikan.
“Baik ….. baik ……”
“Tentunya penyakitmu ini sudah kau derita sangat lama
bukan ?”
“Bagaimana kau bisa tahu ?” teriak Pek Thian Kie kaget,
hatinya merasa berdesir.
“Cukup dilihat dari beberapa kerut tulang Bay-kutmu
serta lagakmu yang lemas tak bertenaga sudah jelas sekali,
bukankah begitu ?”
“Aaaaakh …… salah, salah …… sejak lahir aku memang
sudah sekurus ini,” buru-buru Pek Thian Kie membantah.
“Sedang penyakit sakit hatiku ini baru aku derita, dua tiga
tahun yang lalu.”
“Oooow ….. oooooow ….. kalau begitu aku sudah salah
menebak !”
Pek Thian Kie pun tersenyum.
“Kawan ! Bila kau tak ada urusan, silakan berlalu,
akupun harus pergi,” ujarnya.
“Kau sedang sakit, apalagi badanmu tinggal beberapa
kerat tulang bay-kut.
…… eeeeeeei …… kau mau kemana ????” seru si
pengemis dengan kening yang dikerutkan.
“Terima kasih atas perhatianmu kawan, cayhe dapat
mengatur kesemuanya sendiri.”
“Eeeeee ….eeeeeeeei …….. tunggu sebentar ! kawan,
apakah kau punya uang ?”
Mendengar perkataan tersebut Pek Thian Kie segera
tertawa, sekarang ia baru paham kiranya pengemis ini ada
maksud ingin minta uang..
Pemuda itu segera merogoh kedalam sakunya
mengambil keluar beberapa tail perak lantas diangsurkan
ketangan pengemis tersebut.
“Di dalam saku ku Cuma tinggal ini saja, kau bawalah
perg i.” ujarnya
Paras muka pengemis tersebut kontan saja berubah
hebat.
“Siapa yang bilang aku ingin minta uang darimu ?”
teriaknya
Kontan saja Pek Thian Kie jadi melengak.
“Kau …… !”
Justeru aku yang lagi merasa kuatir apakah kau punya
uang untuk periksakan penyakitmu itu ?”
Sekali lagi pemuda itu merasakan hatinya tergetar sangat
keras, ia tidak menyangka kalau si pengemis ini ternyata
adalah seorang yang baik hati.
“Heng-thay, terima kasih atas perhatianmu.” Sahutnya
sambil tertawa pahit. “Sungguh saying penyakit siauw-te ini
tak bakal bisa sembuh …….”
“Omong kosong ! asal punya uang, siapa yang bilang
penyakit tak dapat disembuhkan ?”
Pek Thian Kie tidak ingin banyak rebut lagi, sekali lagi ia
tertawa pahit.
“Anggap saja cayhe tidak punya ung …..”
“bagaimana kalau kita pergi melakukan sesuatu
perdagangan ?” sambung sang pengemis muda dengan alis
yang dikerutkan.
“Dagang apa ?”
“Sudah tentu cari uang !”
“Aaaakh ….. ! Mau mencuri ?”
Si pengemis muda itu segera menggeleng.
“Merampas. ?”
Mendadak pengemis muda itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaaaa ……. Haaa …… haaa …. Haaaa …..
merampas ?” teriaknya kegelian. “Kalau hanya
mengandalkan beberapa kerat tulang Bay-kutmu, bukannya
berhasil merampas, mungkin kau sendiri yang kena
ditangkap, bahkan mungkin juga dipanggang untuk teman
arak …. Eeeei …. Bagaimna kau bisa punya pikiran untuk
merampas ??”
“lalu kau ingin melakukan jual beli macam apa ?”
sambung Pek Thian Kie tersenyum
“Kau pernah mendengar suatu tempat yang dinamakan
Cay Yen atau istana harta ?” Tanya pengemis tersebut
setengah berbisik.
“Istana harta ? belum pernah kudengar
Kalau begitu bukankah sama saja aku sudah Tanya
dengan sia-sia ? Kau bukan orang Bu-lim sudah tentu tidak
tahu soal “Istana harta” ini. Aku minta uang sudah ada dua
puluh tahun lamanya. Kali ini bagaimanapun juga aku
harus memberi bagian kepadamu.”
Menurut pertimbangan Pek Thian Kie, kepandaian silat
yang dimiliki pengemis muda ini agaknya tidak lemah,
disamping itu iapun merasa keheranan terhadap “Istana
Harta” dua perkataan tersebut.
“Eeeei …. Sebetulnya macam apakah istana harta itu?”
tak kuasa lagi ia bertanya
“Sekalipun aku beritahukan kepadamu, kaupun tak bakal
tahu. Buat apa kau orang banyak bertanya ?? apalagi
sekalipun kau sudah tahupun tiada berguna!”
“Apakah istana harta itu khusus dibuka untuk memberi
pinjaman uang kepada kalian kawan-kawan dari kalangan
Bu-lim?” Tanya Pek Thian Kie lebih lanjut.
“Boleh dikata memang demikian.”
“Lalau bagaimna carany untuk meminjam uang ?”
“Eeeeei …. ! Bagaimana kalau kau sedikit kurangi
pertanyaanmu ? Bukankah setelah sampai waktunya kau
bakal tahu sendiri ?”
Mendengar jawaban itu pemuda tersebut segera
mengerutkan dahinya.
“Dimanakah letak Istana harta itu ?”
“Didalam hutan bamboo dua lie diluar kota Kay Hong !”
Sekali lagi Pek Thian Kie mengerutkan dahinya kencangkencang.
“Bolehkah cayhe menanyakan sesuatu tempat terhadap
diri Heng-thay ?......”
“Tempat apa ?”
“Dimana letaknya gunung Liong-san ?”
“Apa ?” hampir-hampir saja pengemis muda itu
meloncat tinggi saking kagetnya.
“Kau tanyakan gunung Liong-san ?”
“benar !”
“Apa yang hendak kau lakukan disana ?”
“Aku …. Aku ingin mem …… mencari seorang kawan.”
“Mencari seorang kawan!” beberapa patah perkataan itu
segera membuat paras muka pengemis muda tadi berubah
kembali jadi sangat ramah.
“Sungguh kebetulan sekali,” serunya sambil tertawa.
“Gunung Liong-san letaknya diluar kota Kay Hong, jika
mengikuti jalan raya ini, maka kita akan tiba dulu di istana
harta, kemudian baru sampai di gunung Liong San !”
“Harus butuhkan berapa lama untuk sampai disitu ???”
“Jika dihitung sesuai dengan kekuatan kaki manusiamanusia
biasa, mungkin mungkin membutuhkan dua hari
lamanya, tetapi keadaanku sama sekali berbeda, kurang
lebih setengah hari sudah cukup untuk tiba dtempat
tujuan.”
Ia rada merendek sejenak, lalu sambungnya kembali :
“Kini aku sudah terlanjur menjadi orang baik, biarlah
aku jadi orang baik sampai akhir, mari ! Biar aku gendong
dirimu”
“Aaaakh …. Hal ini mana boleh jadi ?”
“Kau anggap pakaianku terlalu kotor ?”
“Oooouw ….. bukan, bukan karena soal itu, tolong
Tanya Heng-thay ….”
“Aku bernama Cu Tong Hoa, Heng thay boleh langsung
menyebut namaku saja.
“Aku bernama Pek Thian Kie, kalau begitu merepotkan
Cu-heng harus harus bekerja keras.”
Cu Tong Hoa tertawa
“Agaknya kau belum pernah belajar jurus-jurus ilmu
silat,” katanya
“Benar !” Pek Thian Kie tertawa tawar.
Berbohongnya pemuda tersebut tidak lain disebabkan
karena suhunya pernah memberitahu kepadanya bila
keadaan didalam dunia kangouw sangat berbahaya, banyak
jago-jago Bu-lim yang yang berhati licik, kejam dan
telengas, terhadap seorang teman yang belum dikenalnya
terlalu rapat, lebih baik jangan berbicara yang sebetulnya.
Apalagi, keadaanya pada saat ini sama sekali tak
bertenaga lagi, bahkan untuk menangkap seekor ayampun
tak sanggup.
Kiranya, setiap kali penyakit sakit hatinya kambuh,
maka satu jam kemudian tenaga dalamnya baru dapat pulih
satu bagian, dan seluruh tenaga dalam yang dimilki akan
pulih kembali dengan mengikuti bertambahnya waktu yang
berlalu.
Jikalau semisalnya ia memilki dua belas bagian tenaga
Iweekang didalam tubuhnya, maka pemuda tersebut hrus
membutuhkan waktu dua belas jam lamanya untuk
memulihkan seluruh tenaga dalam yang dimilkinya seperti
sedia kala.
Sudah tentu Cu Tong Ho tak tahu bila Pek Thian Kie
mempunyai sebab-sebab semacam itu, sehingga ia harus
berbohong terhadap kenyataannnya.
“Pek-heng, kalau begitu, biarlah aku gendong kau untuk
melakukan perjalanan kembali ujarnya memecahkan
kesunyian.”
“Eeeehmmm …… baiklah !”
Cu Tong Hoa segera menggerakkan tangan kanannya
menarik pergelangan tangan Pek Thian Kie keatas, dengan
sangat entengnya ia mengangkat badan pemuda tersebut
keats punggungnya, sedang tangannya yang sedang
mencekal diatas pergelanganntya diam-diam diperkencang.
Agaknya didalam cekalan tersebut secara diam-diam
pengemis ini sedang memeriksa apakah pemuda itu betulbetul
tak berilmu ataukah sedang pura-pura.
“Haaa ….. haaaa ….. semula aku kira kau sedang
menipu diriku, kiranya kau benar-benar tidak memiliki
kepandaian silat” ujar Cu Tong Hoa, kemudian setelah
pemuda tersebut berada diatas punggungnya.
Mendengar perkataan itu, diam-diam dalam hati Pek
Thian Kie merasa kegelian.
“Bagaimana kau bisa tahu ?” sengaja tanyanya
“Seseorang bila pernah belajar ilmu silat, maka susunan
jalan darah serta urat nadinya tentu berbeda …… aaaaach !
sekalipun aku terangkan kaupun tidak bakal paham,
baiknya tidak usah kita ungkap lagi ……….”
Ditengah pembicaraan tersebut, tubuhnya dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat berkelebat kerah depan.
Kepandaian silat yang dimiliki Cu Tong Hoa betul-betul
amat dasyat, kecepatan gerak larinya benar-benar membuat
hati orang merasa sangat terperanjat.
Hanya dalam beberapa kali enjotan saja mereka sudah
berada puluhan kaki jauhnya dari tempat semula.
……. Wah …….. Cu-heng, kau sedang terbang diatas
awan ?” sengaja Pek Thian Kie menjert keras pura-pura
merasa kaget bercampur ketakutan.
…. Huuuus …… siapa yang bilang ? inilah yang
dinamakan ilmu meringankan tubuh !”
“Ooow ….. oooow ………….”
Sebelum matahari tengelam dibalik gunung. Cu Tong
Hoa yang menggendong Pek Thian Kie telah tiba diluar
kota Kay Hong, pengemis itu segera menghentikan larinya.
….Akhirnya kita sampai juga ditempat tujuan,” katanya
kemudian sambil tertawa girang.
“Sudah sampai ?”
“Benar !” Cu Tong Hoa lantas menuding kearah sebuah
hutan dihadapannya.” Stelah melewati hutan lebat ini,
maka kita akan sampai dihutan bamboo itu, ayoh
berangkat.
“Baiklah !”
“Kalau begitu, kita segera jalan !”
Setelah berkata, tanpa banyak cakap lagi ia memimpin
jalan didepan menerobosi hutan tersebut.
Setelah menerobosi hutan lebat, sampailah mereka
didepan hutan bamboo yang luasnya ada beberapa puluh
lie.Diantara hutan bamboo itu terdapat sebuah jalanan kecil
yang langsung menembus hutan yang lebih dalam. Dengan
Cu Tong Hoa didepan Pek Thian Kie dibelakang, kurang
lebih seperminuman the kemudian sampailah mereka
didepan sebuah bangunan berloteng yang amat megah.
Istana harta ini benar-benar luar biasa sekali, bukan saja
bangunannya yang kokoh, besar dan megah, bahkan merek
kata-kata “ISTANA HARTA” yang tergantung diatas
pilarpun terbuat dari emas murni.
Cukup ditinjau dari hal tersebut, sudah bisa dibayangkan
berapa banyak emas yang tersimpan didalam istana harta
ini.
“Cu-heng !” mendadak pemuda itu seperti telah teringat
akan sesuatu. “Aku ada satu persoalan yang hendak
ditanyakan kepadamu !”
“urusan apa ?”
“Istana harta ini sudah dubuka berapa lama ?”
“Kurang lebih ada puluhan tahun lamanya”
“Darimnakah pihak istana harta ini memperoleh uang
emas yang begitu banyak ? sekalipun emas mereka banyak
bagaikan gunung, perak mereka berlimpah bagikan
samudera, tetapi kalau dipakai terus bukankah akhirny akan
habis ?”
“Pertanyaan yang kau ajukan sangat bagus sekali. Tetapi
kau jangan kuatir, walaupun Istana Harta ini sudah dibuka
selama puluhan tahun lamanya, tetapi belum pernah
mengalami kehabisan atau kekurangan uang, sedangkan
sumber uang mereka ….. seperti juga kau, aku sendiripun
tidak tahu.”
Perlahan-lahan Pek Thian Kie mengangguk.
Cu Tong Hoa segera berkelebat menuju kearah pintu
besar diatas tangga batu, lalu dengan tenangnya dia
menghampiri orang lelaki berpakaian perlente yang berdiri
didekat pintu.
Usia kedua orang perlente itu kurang lebih tiga puluh
tahunan, jalan darah”Thay Yang Hiat” diatas keningnya
menonjol tinggi-tinggi, sekali pandang dapat diraba bila
tenaga Iweekang mereka sangat luar biasa.
Ketika Cu Tong Hoa tiba didepan pintu, lelaki
berpakaian perlente yang berada disebelah kanan segera
menggerakkan pedangnya menghadang.
“Kawan tunggu sebentar,” serunya sembari menjura
“Ehmmmm ….!”
“Kau dating kemari, apakah hendak minta uang ?”
“Betul !”
“Sungguh maaf !” seru lelaki berpakaian perlente itu lagi
setelah memandang tajam keseluruh wajah Cu Tong Hoa.
Istana kami selamanya tidak suka memberi uang kepada
kum pengemis, jika kau menginginkan uang lebih baik pergi
sana minta kelain tempat saja !”
“Kenapa ?”
“Karena menurut peraturan istana kami hanya memberi
pinjaman kepada kawan-kawan Bu-lim saja”
“Air muka Cu Tong Hoa segera berubah hebat.
“Bagaimana kau bisa tahu aku bukan kawan-kawan dari
kalangan Bu-lim ?” teriaknya gusar
Lelaki berpakaian perlente itu agak melengak juga
dibuatnya, tetapi sebentar kemudian ia sudah tersenyum
kembali.
“Aaakh …. Kalau begitu maaf, hamba ada mata tak
berbiji, harap kawan jangan marah dibuatnya.”
“Hmmmmm ! lain kali jika sampai begitu lagi, akan
kutebas dulu sepasang kakimu”
“Sebelum kalian masuk kedalam ruangan, aku ingin
bertanya dulu akan sesuatu hal. Sudah tahukah kau akan
peraturan yang berlaku didalam istana harta ini ?”
“Tahu !”
“Coba kau sebutkan !”
“Bukan kawan dari kalangan Bu-lim dilarang meminjam.
Dan asal-usul perguruan tidak jelas juga dilarang
meminjam.”
“Betul, lalu tahukah kau ada beraapa macam cara untuk
meminjam uang ?”
“Sudah tentua aku tahu.”
“Coba kau sebutkan.”
“Kesemuanya dibagi menjadi lima golongan, golongan
yang pertama termasuk dalam golongan “Putih” dan bagian
ini diperuntukkan bagi kawan-kawan kangouw yang sering
berkelana jumlah uang diberikan dapat diatur oleh pihak
istana. Golongan kedua adalah “Hijau”. Dari pihak istana
kirim wakil untuk bergebrak dengan orang itu, jika menang
mendapat hadiah seratus tail perak. Golongan ketiga adalah
“Hijau tua” yang menang memperoleh hadiah seribu tail
perak. Golongan keempat adalah “Biru” yang menang
memperoleh hadiah seribu tahil emas murni. Dan golongan
yang terakhir “Merah” yang menang memperoleh hadiah
lima ribu tahil emas murni.”
“Perkataanmu sedikitpun tidak salah.” Si lelaki perlente
itu tertawa.
“Lalu kawan bersiap-siap hendak memasuki golongan
yang mana ?”
“Golongan Hijau tua !”
“Hmmmm ! dengan mengandalkan beberapa jurus cakar
ayammu apa kau merasa yakin sanggup untuk
menerobosnya ?”
“Buat apa saudara begitu memandang rendah diriku ?
berhasil atau tidak bukankah besok pagi bisa kau ketahui
sendiri ?’
“Baiklah ! Kalian ikut diriku, silakan !”
Tanpa banyak bacot lagi, dengan langkah lebar, Cu Tong
Hoa segera berjalan masuk kedalam istana, Pek Thian Kie
yang ada di belakangnya buru-buru mengikuti pula.
Mendadak ……….
“Eeeei …. Kau mau apa ?” seorang lelaki perlente yang
lain sudah meloncat kedepan menghadang jalan perginya.”
“Kawan ! kau jangan cari gara-gara dia adalah saudaraku
!” teriak Cu Tong Hoa cepat sambil putar badannya
Sinar mata lelaki tersebut berkilat ….. agaknya ia rada
ragu-ragu untuk bertindak.
“Ia tidak termasuk orang Bu-lim bukan ?” serunya
kemudian
“Betul !”
“Kalau begitu maafkan kami terpaksa tak dapat
membiarkan dia untuk ikut masuk.”
“Dia datang kemari mengikuti diriku, kau hendak suruh
dia pergi kemana untuk beristirahat ?” teriak Cu Tong Hoa
tertawa.
“Kawan ! Lebih baik kau lepaskan dirinya, besok kami
tak tak akan lupa untuk membagikan sedikit upah
untukmu.”
“Soal ini ….. heee ….heee…..heeee ……. Baiklah !
untuk kali ini biarlah aku sedikit melanggar kebiasaan.”
Demikianlah, dibawah pimpinan lelaki berbaju perlente
itu Cu Tong Hoa serta Pek Thian Kie berjalan masuk
kedalam ruangan tengah.
Didalam, sekali pandang saja Pek Thian Kie segera
dibuat melengak dan berdiri termanggu-manggu oleh
keadaan disana.
Ruangan tersebut dibangun amat kekar, kokoh dan
megah, kemewahannya jauh melebihi istana kaisar, intan
permata, barang-barang antic yang mahal harganya
berserakan dikeempat penjuru, jumlahnya sangat banyak
dan benar-benar membuat orang merasa kurang percaya.
Cukup dibicarakan dari permata-permata yang
ditaburkan dikedua belah tiang pilar batu pualam ditengah
ruangan, sudah terdiri dari berpuluh-puluh butir, sedang
kata-kata “Menolong kaum miskin” yang terpancang di
tengah ruangan tersebutpun terbuat dari deretan intan
berwarna merah yang diatur rapih menjadi bentuk huruf.
Disebelah depan ruangan tersebut terdapat sebuah
ruangan kecil yang dihuni oleh seorang kakek tua berusia
enam puluh tahun.
----------- ooo O ooo -----------
Bab 3
SI LELAKI berbaju perlente itu langsung membawa Cu
Tong Hoa berdua kehadapan kakek tersebut.
“Cungkwee, ada seorang kawan dating kemari untuk
pinjam sedikit uang !” lapornya.
“Ehmmmmm ……. Sudah tahu !” sahut kakek itu tanpa
mendongakkan kepalanya.
Menanti lelaki berbaju perlente itu sudah mengundurkan
diri, perlahan-lahan si kakek tua itu baru mengalihkan sinar
matanya keatas wajah Cu Tong Hoa serta Pek Thian Kie.
“Siapa diantara kalian berdua yang hendak pinjam uang
?” tanyanya kaku, nada suaranya sangat dingin seperti
berada di dalam gudang es.
“Aku !” sahut Cu Tong Hoa singkat
“Mau pinjam berapa ?”
“Seribu tahil perak!”
“Apa ?” agakmya si kakek tua tersebut merasa
terperanjat setelah mendengar jumlah tersebut, sekali lagi ia
mengulangi pertanyaan :
“Kau ingin pinjam berapa ?”
“Seribu tahil perak !”
“Bocah Sungguh besar amat kantong nasimu,
perkataanmu betul-betul berada diluar dugaanku, bagus …..
bagus sekali, bukan peraturan yang berlaku didalam istana
harta ini bila ingin mendapatkan uang sebesar seribu tahil
perak ?”
“Sedikitpun tidak salah, aku sudah menyelidiki dengan
jelas semua hal-hal yang perlu”
“bagus sekali, siapakah namamu ?”
“Cu Tong Hoa !”
“Umur ?”
“Delapan belas tahun”
“Asal perguruan ?”
“Tongcu urusan begitu luas, perkumpulan Kay-pang
diluar perbatasan !”
Air muka si kakek tua itu kelihatan sedikit berubah,
agaknya ia dibuat terperanjat oleh sepatah kata yang
diucapkan oleh Cu Tong Hoa barusan ini, karena nama dari
perkumpulan “Kay-pang” diluar perbatasan memang amat
terkenal sekali di seluruh dunia persilatan.
Kabarnya pangcu mereka Bian Ih kay-ong atau si Raja
pengemis berpakaian perlente mengutamakan kelihayannya
didalam permainan ilmu jari yang sangat lihay.
Pemuda ini kalau memang sudah mengaku sebagai
Tongcu urusan bagian luar dari perkumpulan Kay-pang,
maka kepandaian yang ia miliki tentu bukan sembarangan
lagi.
Terpaksa si kakek tua itu tersenyum.
“Tempo dulu akupun mempunyai kesempatan untuk
berkenalan dengan Pangcu kalian, entah bagaimana
keadaan dari Pangcu kalian kini ?”
“Bagus …….. bagus …… ia sangat bagus !”
“Tahun ini berapa usia Pangcu kalian ?”
Agaknya ia sedang mengecek kebenaran dari pengemis
muda itu.
“Tujuh puluh enam tahun !”
Mendengar jawaban tersebut si kakek tua itu lantas
mengangguk, sinar matanya mulai beralih keatas wajah Pek
Thian Kie.
“Dan Siapakah saudara ini ?”
“Dia adalah kawanku.”
“Berasal dari mana ?”
“Ia tak mengerti akan ilmu silat, aku piker dia orang
tentunya tak mempunyai suhu, karena perjalananku kali ini
berangkat bersama-sama dengan dia, maka iapun ikut aku
dating kemari …..”
“Tidak bisa jadi !” belum habis pengemis muda itu
menyelesaikan kata-katanya, si kakek tua tersebut sudah
memotong.
“Kenapa tidak bisa jadi ?” seru Pek Thian Kie
keheranan.
“Istana kami hanya mengizinkan kawan-kawan dari
kalangan Bu-lim saja yang boleh masuk, kalau dia bukan
orang Bu-lim …… maaf ! istana kami tak dapat melanggar
peraturan tersebut.
“Apa kau suruh dia orang beristirahat ditempat terbuka
?”
“Soal itu merupakan urusanmu sendiri, Istana kami tidak
mencampuri urusan pribadi orang lain!”
Nada ucapannya sangat tegas dan kaku, agaknya sama
sekali tiada maksud untuk memberi kesempatan kepada
pihak lawannya guna berunding.
Sebetulnya Pek Thian Kie tidak ingin berdiam disitu,
tetapi sekarang setelah dirasakan dibalik “Istana Harta” ini
agaknya masih tersembunyi suatu rahasia yang amat
mencurigakan, dalam hatinya lantas mengambil keputusan
untuk melakukan suatu penyelidikan yang teliti teka-teka
ini.
Alasannya mudah sekali, karena jikalau majikan dari
istana harta ini memang seorang hartawan yang kerjaannya
berlimpah-limpah, maka tidak seharusnya ia membagibagina
harta kekayaannya itu kepada orang lain dengan
percuma. Pastilah dibalik kesemuanya ini sudah
tersembunyi sesuatu tujuan tertentu.
Dan bilamana sunguh-sungguh dibalik kesemuanya ini
ada tujuan yang sedang dinantikan, maka peristiwa ini tidak
gampang.
Karena itu, dalam hatinya, ia lantas mengambil
keputusan untuk melakukan penyelidikan.
“Walaupun aku bukan orang asal Bu-lim,” ujarnya
kemudian dengan sangat tenang. “Tetapi suhuku adalah
seorang yang sering berkelana didalam dunia kangouw…..”
Beberapa patah kata yang diucapkan oleh Pek Thian Kie
barusan ini bukan saja membuat si kakek tua sang
Ciangkwee tersebut merasa kaget, sekalipun Cu Tong Hoa
sendiripun merasa terperanjat. Bagi si pengemis muda itu
kejadian ini benar-benar berada di luar dugaannya.
“Oooooouw …………siapakah nama suhumu ?” seru sang
kakek tua itu rada tertegun.
Menerima pertanyaan yang diajukan kepadanya ini,
sekarang gentian Pek Thian Kie yang dibuat termanggumanggu.
Bicara sesungguhnya hingga saat ini I sendiripun
tidak tahu siapakah nama suhunya.
Otaknya dengan cepat berputar keras, sejenak kemudian
ia baru memperoleh satu bayangan.
“Ia bernama “Hek Ih Kiam Khek” atau si jagoan pedang
berbaju hitam !” sahutnya.
“Jagoan pedang berbaju hitam? Agaknya didalam dunia
kangouw belum pernah didengar seorang jagoan yang
menggunakan gelar Semacam itu “
“Jagoan Bu-lim yang namanya tidak menonjol didalam
kalangan persilatan amatlah banyak jumlahnya, sekalipun
namanya terkenalpun belum tentu kau bisa mengenali dan
mengetahui seluruh jago-jago Bu-lim yang ada di kolong
langit pada saat ini.”
“Perkataan dari saudara sedikitpun tidak salah, asalkan
didalam Bu-lim ada seorang yang bernama demikian
ditanggung dalam tiga hari mendatang, kami dari pihak
istana harta pasti berhasil menyelidiki dengan jelas.”
Tetapi saudarapun harus ingat menurut peraturan istana
kami, barangsiapa yang berani berbohong, dia akan
dihukum mati.”
Diam-diam Pek Thian Kie merasakan hatinya bergidik
setelah mendengar perkataan tersebut tetapi diwadanya ia
masih tetap tenang tanpa menunjukkan sedikit perubahan
apapun.
“kalau memang tiga hari kemudian kalian dapat berhasil
mengetahui jelas gelar orang ini, lalu buat apa kau banyak
bacot lagi pada saat ini ?” sindirnya ketus.
“Bagus ….. bagus …… lalu siapakah nama saudara ?”
“Pek Thian Kie ……. !”
“Apa? Pek …. Thian ……. Kie?”
Nada suara kakek tua itu rada gemetar dan bimbang, ia
menyebutkan nama Pek Thian Kie ini dengan suara yang
keras dan panjang. Agaknya ! disuatu tempat tertentu ia
pernah mendengar nama orang ini.
Pek Thian Kie sendiripun dibuat melengak oleh sikap
sang Ciangkwee tersebut.
“Betul ….. apa yang tidak benar ?” serunya
“Aaaakh …. Tidak ada apa-apa yang tidak benar, aku
Cuma merasa disuatu tempat agaknya sudah pernah
mendengar nama orang itu …….”
“Sungguh kebetulan sekali !”
“Hmmmm ! Kemungkinan memang suatu kejadian yang
kebetulan.” Sahut sang kakek tuaitu sambil tertawa dingin
tiada hentinya.
“Tetapi kalau memang suhu saaudara adalah seorang
Bu-lim, mengapa kau tidak mengerti akan ilmu silat ?”
“Soal ini sudah tentu ada alas an-alasannya. Menurut
suhuku keadaan didalam dunia kangouw sangat berbahaya,
bilamana belajar ilmu silat maka pada suatu hari ada
kemungkinan bakal menemui ajal dibawah hantamanan
orang lain, maka beliu suruh aku belajar membacsa dan
bersyair saja, agar dikemudian hari berhasil merebut
kedudukan yang layak di Ibukota.”
“Oooooouw …… kiranya begitu, berapa usia saudara ?”
“Delapan belas!”
“Baiklah!” kata si kakek tua itu kemudian setelah
termenung dan berpikir keras beberapa sat lamanya.”
Biarlah Istana kami sekali ini melanggar kebiasan, tetapi
didalam tiga hari kemudian istana kami baru berhasil
menyelidiki asal-usul serta perguruanmu, jikalau ucapanmu
ini ada sepatah kata saja yang berbohong, hati-hati saja
badan bakal pindah tuan.”
“Soal ini kau boleh legakan hati, aku tak bakal melarikan
diri.”
“Hantar tamu kebelakang!” Teriak si kakek tua itu
kemudian setelah mendehem berat.
Diiringi suara bentakan tersebut, dari belakang ruangan
muncullah seorang lelaki berbaju perlente yang langsung
berjalan menuju kehadapan si kakek tua sang Ciang Kwee
tersebut.
“Hamba nantikan perintah.” Katanya
“Hantar kedua orang kawan ini untuk beristirahat.”
“Baik!” perlahan-lahan lelaki itu menoleh kearah Cu
Tong Hoa serta Pek Thian Kie.
“Kalian berdua silakan mengikuti diriku …..”
Selesai berkata pertama-tama ia berjalan terlebih dulu
menuju keruangan sebelah belakang.
Setelah melewati ruangan besar dan melewati sebuah
serambi yang amat panjang, sampailah mereka didepan
sebuah halaman yang penuh berisikan kamar-kamar.
Akhirnya lelaki itu memimpin kedua orang tersebut
menuju kedalam salah satu kamr lalu kepada mereka
berdua ujarnya :
“Kalian berdua silajan beristirahat, bila ada urusan
silakan perintahkan saja.”
“Ehmmm …..! Kau boleh berlalu.” Sahut Cu Tong Hoa
sambil mengangguk perlahan.
Setelah si lelaki berbaju perlente itu mengundurkan diri,
Pek Thian Kie mulai mengalihkan sinar matanya menyapu
sekejap keseluruhan ruangan kamar itu. Tampaklah
olehnya walaupun kamar ini tidak begitu besar, tetapi
sangat nyaman, bersih dan menyenangkan.
“Cu-heng, aku ada satu urusan yang hendak minta
petunjuk.” Ujarn Pek Thian Kie kemudian memecahkan
kesunyian.
“Ada urusan apa ?”
“Mengapa kita harus menanti sampai besok ?”
“Menanti dibuktikan dulu asal-usul kita yang
sebenarnya.”
Setelah memperoleh jawaban itu, Pek Thian Kie baru
mengerti keadaan yang sebenarnya, segera tanyanya
kembali : “Apakah sungguh-sungguh ada orang yang
berhasil memperoleh uang dari dalam Istana Harta ini ?”
“Ada!”
“Banyak sekali?”
“Tidak begitu banyak, tetapi juga tidak begitu sedikit.”
“Jikalau didalam pertandingan kita nanti kalah bergebrak
?” Tanya sang pemuda itu kembali sambil tertawa-tawa.
“Gampang sekali, tetap tinggal didalam Istana Harta ini,
soal ini sudah dijadikan peraturan sejak dahulu.”
“Bila semisalnya orang itu tidak mau tinggal disini?
“Oooouw …… mudah ……. Tinggalkan dulu batok
kepalanya, setelah itu kau boleh berlalu dari sini.”
“Kalau demikian adanya bukankah sama saja pihak
“Istana Harta” ini sedang mengumpulkan jago-jago lihay
dari Bu-lim dengan menggunakan harta kekayaan sebagai
umpan?”
Semula Cu Tong Hoa rada tertegun, tetapi sebentar
kemudian ia sudah tertawa.
“Aduuuuuuh sayng ……..! kiranya kau masih tidak jelek
dan mengerti juga akan soal ini.”
“Acckh ……. Mana, mana …….. Siauw-te hanya
menduga-duga saja sekenanya,” buru-buru sahut pemuda
itu sambil tertawa rikuh.
“ada satu persoalan yang bagaimanapun juga aku harus
beritahukan kepadamu,” ujar Cu Tong Hoa lebih lanjut
dengan wajah yang keren dan serius. “Kau ada seorang
manusia yang tidak mengerti akan urusan Bu-lim, lebih baik
kurangilah buka suara dan mengucapkan kata-kata yang tak
berguna sehingga jangan sampai mendatangkan banyak
kerepotan buat dirimu sendiri tentang soal ini aku percaya
tentunya kau tahu jelas bukan.”
“Siaue-te akan ingat-ingat.”
“Kalau begitu, kita harus beristirahat mulai sekarang,
besok pagi masih ada urusan lagi!”
Kembali Pek Thian Kie mengangguk tanda menyetujui
usul dari Cu Tong Hoa ini.
Didalam kamar itu terdapat dua buah tempat
pembaringan yang terpisah, demikianlah Pek Thian Kie
serta Cu Tong Hoa lantas masing-masing mengambil
sebuah tempat pembaringan yang terpisah untuk
beristirahat.
Pek Thian Kie yang didalam benaknya masih diliputi
oleh berbagai persoalan, sampai tengah malam belum juga
bisa tidur, pikirannya berputar dan melayang entah kemana
……..
Sebaliknya Cu Tong Hoa begitu berbaring sebentar
kemudian sudah tertidur pulas, suara dengkurannya
bergema memecahkan kesunyian dan memberikan irama
yang amat lucu ditengah kesunyian.
Mendekati kentongan kedua, akhirnya Pek Thian Kie
baru berhasil tidur pulas.
Sekonyong-konyong ……..
Pek Thian Kie tersadar kembali dari pulasnya oleh satu
suara yang amat perlahan sekali, suara tersebut berasal dari
pembaringan yang dibaringi oelh Cu Tong Hoa.
Buru-buru Thian-kie sedikit membuka matanya
menengok, nampaklah dengan gerakan yang sangat hatihati
Cu Tong Hoa merangkak turun dari atas
pembaringannya setelah memandang sekejap kearah Pek
Thian Kie dengan langkah yang hati-hati ia membuka
pintu, berjalan keluar …….
Menemui kejadian semacam ini, diam-diam Pek Thian
Kie merasa amat terperanjat, ia merasa asal-usul Cu Tong
Hoa rada sedikit mencurigakan. Ia menduga pula
kedatangannya kedalam Istana Harta ini sama sekali bukan
dikarenakan hendak mintakan uang but dirinya, melainkan
dibalik kesemuanya ini masih tersembunyi satu persoalan
……. Agaknya ia hendak menyelidiki sesuatu.
Lama sekali Pek Thian Kie termenung, akhirnya satu
pikiran terlintas didalam benaknya.
Dengan cepat ia bangun berdiri, turun dari pembaringan,
lalu dengan gerakan sangat berhati-hati berjalan pula kearah
luar kamar.
Baru saja tubuhnya hendak melangkah keluar, mendadak
sesosok bayangan manusia dengan kecepatan bagaikan kilat
sudah menerjang kearahnya, sehingga bertumbukkan
menjadi satu.
Ditengah suara bentrokan yang amat keras tubuh Pek
Thian Kie kena terpukul mental enam, tujuh langkah
kebelakang.
“Oooooouw kau ?” serunya kemudian
Ternyata orang yang baru saja menubruk kedalam
pangkuannya bukan lain adalah Cu Tong Hoa, hal ini
seketika itu juga membuat Pek Thian Kie merasa sangat
terperanjat.
“Eeeei …… kau bangun mau apa?” tegur Cu Tong Hoa
melengak ketika dilihatnya pemuda itupun sudah bangun.
“Aku …… aku sedang mencari kau!”
“Mencari aku?”
“Sewaktu aku terbangun dan melihat kau lenyap, maka
buru-buru aku lantas bangun untuk mencari dirimu ………..
“Oooouw ……. Aku lagi pergi kencing!”
Pek Thian Kie menghembuskan napas panjang, diamdiam
pikirnya :
“Aaaakh …… ! kiranya Cu Tong Hoa lagi pergi kencing
……..Tak terasa lagi ia mulai merasa geli atas sikapnya
barusan yang banyak menaruh curiga.
“Mari kita tidur! Hari sudah hampir terang tanah.”
Terdengar Cu Tong Hoa kembali berseru.
Pagi hari sudah menjelang tiba!
Suara ketukan santar menyadarkan Pek Thian Kie serta
Cu Tong Hoa dari pulasnya.
“Siapa?” bentak Cu Tong Hoa perlahan sembari
meloncat bangun dengan kecepatan bagaikan kilat.
“Cu Tongcu, ada undangan.”
Si pengemis muda ini segera mendekati pintu dan
membukanya perlahan-lahan, tampaklah si lelaki
berpakaian perlente yang menghantar mereka berdua
kekamar kemarin malam sudah berdiri didepan pintu.
“Tongcu ruangan hijau dari istana kami ada panggilan,”
katanya
Selesai berbicara, tanpa banyak menunggu lagi, lelaki itu
segera putar badan dan memimpin Cu Tong Hoa menuju
kearah ruangan besar, lalu berputar dan masuk kedalam
sebuah ruangan lain dan masuk kedalam sebuah ruangan
lain yang jauh lebih besar dari ruangan semula.
Tampaklah didalam ruangan besar tersebut duduk
seorang kakaek tua bermata tunggal yang memakai pakaian
perlente, tidak usah ditanya lagi semua orang bisa menduga
kalau orang inilah yang merupakan Tongcu dari “Ruang
Hijau Tua”
“Tongcu ! Kau orang mengundang cayhe ada keperluan
apa ?” seru Cu Tong Hoa sambil menjura kearah kakek tua
bermata tunggal itu.
“Tidak berani, tidak berani …… Mengenai asal-usul
saudara dari Pihak Istana kami sudah berhasil
menyelidikinya dengan sangat jelas. Agaknya kedatangan
saudara kedaerah Tionggoan ini bukanlah untuk pertama
kalinya, bukan ?”
Cu Tong Hoa tertawa tawar
“Betul ! Kedatanganku kali ini adalah untuk kedua
kalinya.”
“Tempo dulu pada tanggal berapa kau dating kemari ?”
“Bulan ketiga, tiga tahun yang silam.”
“Oooouw ….” Kakek tua bermata tunggal itu tertawa.
“Entah ada keperluan apa sehingga saudara hendak
minta uang sebesar seribu tahil perak ?”
“Ini termasuk soal pribadiku”
“lalu tahukah kau bahwa untuk memperoleh seribu tahil
perak itu kau harus berhasil menangkis diriku terlebih
dahulu?”
“Soal ini cayhe tahu.”
“Bila kalah ………” seru kakek itu kembali sambil
tertawa mengejek.
“Menggabungkan diri dengan Istana Harta kalian untuk
menjabat sebagai pembantu.”
“Heeee…….heeeee……..heeeee……kalau kau sudah
tahu begitu jelas, akupun tidak usah banyak bicara lagi.”
Kembali si kakek tua bermata tunggal itu tertawa dingin
tiada hentinya. “Pertempuran kita kali ini hanya bersifat
sebagsa pi-bu saja ….”
“Sudah tentu, sudah tentu. Harap Tongcu suka turun
tangan agak ringan terhadap diriku.”
Kakek tua bermata tunggal tidak banyak bicara lagi,
sembari tertawa dingin ia bangun berdiri kemudian sedikit
menggerakkan badannya melayang kehadapan Cu Tong
Hoa.
“Silakan!” seru Cu Tong Hoa sambil menjura
Begitu perkataan tersebut diucapkan keluar, tubuh si
kakek tua bermata tunggal ini dengan kecepatan laksana
anak panah yang terlepas dari busur meluncur kedepan,
telapak tangannya dengan dasyat mengirim satu pukulan
gencar membabat tubuh musuh.
Dengan amat gesit Cu Tong Hoa segera menyingkir
kesamoing, tangan kanannya buru-buru diangkat untuk
menangkis datangnya serangan lawan.
Sesaat Cu Tong Hoa menyingkir kesamping itulah,
serangan yang kedua maha dasyat dari pihak lawan kembali
sudah menyapu dating, serangan kali ini jauh lebih hebat
dari pada serangan pertama.
Agaknya Cu Tong Hoa sama sekali tidak menduga
bahwa ilmu kepandaian pihak lawan bisa sedemikian tinggi,
tubuhnya tak kuasa lagi kena tergetar mundur dua langkah
kebelakang.
Tetapi didalm waktu yang amat singkat itu pula serangan
yang kedua sudah menyapu kembali.. bayangan manusia
berkelebat simpang siur, angina pukulan menderu-deru
membuat suasana diempat penjuru jadi panas dan membuat
pernapasan menjadi sesak. Hanya didalam sekali bentrokan
saja masing-masing pihak sudah saling mengirim dua buah
pukulan kearah musuhnya, cukup ditinjau dari hal ini
sudah cukup menunjukkan bahwa tenaga dalam yang
mereka miliki ternyata seimbangn.
Mendadak Cu Tong Hoa membentak keras, tubuhnya
mencelat ketengah udara kemudian langsung menyerang
kearah depan. Didalam situasi yang amat kritis dan
berbahaya itulah berturut-turut ia telah mengirim tiga buah
serangan berantai kearah depan.
Ketiga buah jurus serangan tersebut telah menggunakan
hampir seluruh tenaga Iweekang yang dimilki Cu Tong Hoa
selama ini, kedasyatannya juga bukan alang kepalang lagi.
Tak kuasa lagi si manusia aneh bermata tunggal itu kena
terdesak mundur empat, lima langkah kebelakang, dengan
susah payah akhirnya ia baru berhasil menghindarkan diri
dari teteran pihak musuh.
Bayangan telapak taangan salaing berkelebat, hawa
Iweekang saling menghantam, menyambar dan membabat
memenuhi empat penjuru hanya didalam sekejap saja
sepuluh jurus telah berlalu.
Perlahan-lahan Pek Thian Kie yang berdiri disamping
kalangan pertempuran menarik kembali sinar matanya, ia
percaya tenaga dalam yang ia miliki sendiri masih jauh
lebih rendah satu tingkat jika dibandingkan dengan tenaga
dalam yang dimiliki oleh Cu Tong Hoa, maka itu ia percaya
ada sembilan bagian kemenangan ada ditangan pihak
pengemis muda tersebut.
Mendadak …….
Diiringi suara bentakan keras yang gegap gempita tubuh
Cu Tong Hoa berputar kencang ditengah udara, lalu
melayang mundur kearah belakang.
“Tongcu, terima kasih atas kemurahan hatimu,” serunya
sambil tertawa dingin.
Paras muka si manusia aneh bermata tunggal itu berubah
hebat, selintas senyuman paksa mulai menghiasi bibirnya.
“Ehmmmm ……. Kepandaian ilmu silat saudara betulbetul
sangat mengagumkan!” pujinya
“Terlalu memuji, kesemuanya ini bukan kah disebabkan
Tongcu suka bermurah hati …….”
“Hmmmm ! apakah uang tersebut hendak saudara ambil
sekarang juga ?”
“sedikitpun tidak salah, lebih baik diberi uang emas saja,
sehingga rada gampang untuk membawanya ?”
“Bagus sekali !”
Demikianlah, si manusia aneh bermata tunggal itu lantas
memerintahkan sang Ciangkwee untuk menyediakan uang
seribu tahil perak menjadi beberapa batang emas murni
untuk diserahkan ketangan Cu Tong Hoa.
“Pek-heng !” kata si pengemis itu kemudian sambil
melirik sekejap kearah Pek Thian Kie. “Mari kita segera
berangkat”
Mendengar ajakan tersebut agaknya Pek Thian Kie
dibuat rada tertegun, kini ia sudah tiba disini, sebelum
urusan selidikan jelas mengapa ia malah bermaksud hendak
pergi ? Peristiwa ini betul-betul rada mengherankan.
Baru saja ucapan Cu Tong Hoa selesai diutarakan,
mendadak sang Ciang Kwee yang ada disamping sudah
menimbrung :
“Cu Tongcu ! Kau hendak berlalu silakan berlalu, tetapi
saudara ini masih harus tetap tinggal disini.”
“Mengapa?”
“Asal-usulnya belum berhasil kami selidiki jelas.”
“Jika kalian tak berhasil menyelidikinya, apakah kita
diharuskan menanti setahun lamanya ?”
“Heeeee …….. heeeeeee ……….heeeee …… Cu Tongcu
! Tentunya kau mengetahui keadaan disini bukan?
Peraturan Istana harta selamanya tidak pernah menahan
tetamunya melebihi tiga hari …….”
“Heeeee …….. heeeeeee ……….heeeee ……baiklah, biar
kita tunggu dua hari lagi!” sahut Cu Tong Hoa kemudian
tertawa dingin.
Perubahan yang dilakukan oleh Cu Tong Hoa secara
mendadak ini benar-benar berada diluar dugaan Pek Thian
Kie, karena keinginan si pengemis tersebut untuk tetap
tinggal didalam “Istana harta” amat jelas sekali. Kalau
tidak, bukankah ia bisa tinggalkan emas itu, kemudian
berlalu sendiri.
----------- ooo O ooo -----------
Jilid 2
Bab 4 Rasul Peronda Istana Harta
DIDALAM HATI Pek Thian Kie sendiripun paham
bahwa tujuan Cu Tong Hoa membawa serta dirinya
memasuki “Istana harta” bukanlah dikarenakan ingin
mencarikan uang buat dirinya, sebaliknya ia sengaja
mendatangkan suatu persoalan yang sukar bagi pihak
“Istana Harta” agar bisa mengambil kesempatan tersebut
tinggal lebih lama lagi di istana.
Bila dugaannya tidak meleset, lalu apa tujuan Cu Tong
Hoa datang kemari ? Agaknya asal-usul dari pengemis
inipun masih merupakan suatu tanda Tanya.
Sementara berpikir keras beberapa saat lamanya, tak
terasa lagi pemuda ini sudah berseru :
“Cu-heng, kau boleh berangkat sendiri terlebih dulu.”
“Apa maksud perkataanmu ?” teriak Cu Tong Hoa rada
tertegun lalu tertawa, paksa.
“Kau adalah seorang yang sedang menderita sakit,
bagaimana mungkin aku boleh berangkat dulu seorang diri
? Apalagi kaupun bisa masuk kesini karena aku yang
menyeret, bagaimanapun juga aku tak bisa melepaskan
dirimu sedemikian saja !”
“Aaaakh … kalau begitu, aku harus mengucapkan
banyak terima kasih atas perhatian Heng-thay!”
Sembari berkata, mereka berdua bersama-sama
berangkat menuju kepintu luar.
Ketika Pek Thian Kie serta Cu Tong Hoa sudah berlalu
dari sana, dari balik ruangan rahasia dibelakang ruangan
besar itu mendadak terbukalah sebuah pinyu kecil dan
muncullah seorang kakek tua berwajah merah.
“Tecu mengunjuk hormat buat Cong koan !” ketika
melihat munculnya orang itu. Si kakek bermata tunggal
buru-buru menjura memberi hormat.
“Hmmmm! Bagaimana?” dengus kakek berwajah merah
itu dingin, kaku.
“Tecu …… untuk beberapa waktu tecu masih belum
berhasil mendapat tahu benarkah dia orang atau bukan!”
“Lalu siapakah Cu Tong Hoa itu? Apakah dia orang
memang benar-benar menjabat sebagai Tongcu bagian
urusan luar dari perkumpulan kay-pang ……..?”
“Kemungkinan sekali bukan, menurut surat keterangan
yang dikirim dating melalui burung merpati. Katanya pada
lima hari yang lalu Cu Tong Hoa masih berada didalam
perkumpulan Kay-pang. Sekalipun ia bisa melakukan
perjalanan cepat pun masih harus membutuhkan sepuluh
hari sampai setengah bulan lamanya baru bisa tiba disini.”
“Lalu siapakah sebetulnya dia orang? Dan bagaimana
dengan asal-usulnya yang sebetulnya?”
“Saat ini tecu sedang perintahkan orang kita untuk
melakukan penyelidikan yang lebih teliti!”
“Ehmmm …..!” si kakek berwajah merah itu mendengus
berat. “Perhatikan orang yang diberitakan selama ini!”
“Baik!”
“Hmm! Aku punya cara sendiri …..”
Kita balik pada Pek Thian Kie serta Cu Tong Hoa
sekeluarnya dari ruangan hijau”, sesampainya kembali
didalam ruangan besar mendadak terdengar suara yang
amat gaduh berkumandang memenuhi seluruh angkasa.
Ketika mendongakkan kepalanya memandang, maka
taampaklah seorang nenenk tua berpakaian kembang
sedang ribu dengan si lelaki berpakaian perlente yang
berjaga didepan pintu, suara dari nenek tu itu merengek
hampir mendekati setengah menangis.
“Saudara, kau sukalah berbuat baik terhadap diriku. Aku
…..aku benar-benar tak dapat menyebutkan siapakah
namaku ….. kalau tidak, maka musuh akan turun tangan
membinasakan diriku ……”
“Tidak bisa jadi!”
“Saudara, tolonglah diriku sekali ini saja ….”
“Nenek celaka! Apa kau tuli haaaa? Aku sudah berkata
tidak bisa tetap tidak bisa …..”
“ ……………?????”
Pek Thian Kie mendengar perkataan tersebut, air
mukanya kontan berubah hebat. Ketika, ia melirik sekejap
kearah Cu Tong Hoa, maka tampaklah air mukanya sudah
berubah hijau membesi, selintas hawa nafsu membunuh
mulai menghiasi wajahnya.
Melihat hal tersebut didalam anggapan Thian Kie,
tentunya si pengemis muda ini sudah dibuat gusar oleh
sikap lelaki berpakaian perlente tersebut.
“Hmmm istana harta tidak lebih hanyalah merupakan
suatu perkumpulan kaum bajingan yang tahunya memeras
dan menghina yang lemah dan miskin ….”
“Tua bangka! Kau hendak mencari mati ….” Teriak
lelaki berpakaian perlente gusar.
“Aku si nenek tua sudah hidup tujuh puluh delapan
tahunan, sekalipun mati, apa yang patut disayangkan lagi
?????? Kalau memang kalian ada maksud membagikan
harta, kenapa orang-orang yang diberi harus ditentukan
dulu …… kalian memang manusia terkutuk …..”
“Nenek sialan! Memangnya kau sudah bosan hidup ….”
Perkataan tersebut belum selesai diucapkan, lelaki
berpakaian perlente itu sudah menggerakkan badannya
meluncur kearah si nenek tua tersebut, telapak tangannya
dengan disertai angina pukulan yang menderu-deru segera
dibabatkan kearah depan.
Pek Thian Kie yang melihat kejadian ini air mukanya
kontan saja berubah hebat.
“Heee…..heeeeee……heeee ….. Pek-heng! Mari kita
kembali kekamar saja!” seru Cu Tong Hoa ketika itu sambil
tertawa.
Pek Thian Kie yang mendengar ajakan tersebut segera
merasakan peristiwa sedikit ada diluar duagaan,
kebanyakan orang-orang yang menyebut dirinya pendekar,
seorang lelaki sejati tentu akan turun tangan membantu
mereka-mereka yang sedang menghadapi bahaya, apalagi
jika ditinjau dari selintas hawa nafsu membunuh yang
menghiasi wajahnya tadi. Tapi mengapa sekarang ia malah
batalkan maksudnya ?
Berpikir akan hal tersebut Pek Thian Kie merasakan
hatinya semakin keheranan.
“Cu-heng, daia ….”
“Lebih baik kita jangan terlalu banyak ikut campur
dengan urusan orang lain, ayoh mari masuk!”
Selesai berkata tanpa mengubris dir Pek Thian Kie lagi,
ia sudah berjalan terlebih dahulu menuju ke ruangan
belakang.
Melihat sikap kawannya ini, Pek thian Kie jadi
melengak, tetapi sebentar kemudian iapun mengikuti pula
dari belakang Cu Tong Hoa berjalan masuk kedalam.
Didepan pintu besar, si lelaki berpakaian perlente itu
masih bergebrak amat seru melawan si nenek tua
berpakaian kembang tersebut. Siapun diantara mereka
berdua tak ada yang suka mengalah.
“Berhenti!” mendadak serentetan suara bentakan dengan
amat dingin bergema memenuhi angkasa.
Tampaklah si kakek tua berusia enam puluh tahun yang
bertindak sebagai Ciang-Kwee sudah melayang keluar.
Ditengah suara bentakan yang amat keras dari si orang
tua itu kedua orang tersebut segera berhenti bergebrak.
“Kau si nenek tua betul-betul tidak tahu diri …..” bentak
kakek itu dengan gusar.
“Siapa kau?”
“Aku adalah Ciang-Kwee dari Istana Harta!”
Tangan kanan si nenek tua berpakaian kembang itu
segera diulurkan kedepan, tetapi sebentar kemudian dengan
terburu-buru ditariknya kembali kebelakang.
“Ciang-kwee, kau berbuatlah baik buat diriku untuk kali
ini!” katanya setengah merengek.
Air muka Ciang-kwee tersebut berubah hebat, wajahnya
berubah hijau membesi.
“Baik ….. baik ….. baik …” serunya gugup.
“Memandang dari usiamu yang sudah amat tua, untuk
kali ini biarlah aku melanggar kebiasaan memberi izin
kepadamu untuk masuk.”
“Aakh…! Kau sungguh seorang yang sangat baik!”
Dengan berlangsungnya kejadian ini kedua orang lelaki
berpakaian perlente itulah yang dibuat kebingungan
setengah mati, dengan ketolol-tololan mereka berdua berdiri
ditengah kalangan.
“Popo, silakan masuk!” terdengar Ciang-kwee lojin
mempersilakan perempuan tua itu masuk dengan sikap
yang sangat hormat.
Dengan langkah yang semampai dan sempoyongan
nenek tua berpakaian kembanan itu berjalan masuk
kedalam ruangan, sesampainya disuatu tempat yang sunyi,
mendadak Ciang-kwee lojin dengan nada gemetar berkata :
“Maaf, tecu ada mata tak berbiji, sehingga tidak
mengetahui ……”
“Sudah, sudahlah …. Dimana Tong Tiong-koan?’
“dalam ruangan Merah!”
Sejak Ciang-kwee lojin menemui diri nenek tua tersebut,
sikapnya jadi amat takut-takut seperti tikus menghadapi
kucing saja, sikapnya amat menghormat bahkan sampai
menghembuskan napas berat-beratpun tidak berani.
“Bawa aku menuju keruangan Merah!”
“Baik!”
Dengan cepat tanpa banyak berpikir lagi Ciang-Kwee
lojin tersebut segera membawa sang nenek tua menuju
“Ruangan merah” kiranya didalam “Istana harta”
semuanya dibagi menjadi lima buah ruangan, masingmasing
ditandai dengan warna putih, hijau, hijau tua, biru
dan merah.
Didalam setiap ruangan tersebut terdapat pula sebuah
ruangan yang sangat besar. Dan keadaan dari ruangan
merah ini mirip sekali dengan keadaan didalam “ruangan
hijau tua”
Ketika mereka berdua telah memasuki ruangan merah, si
Ang Bian Lojin, si penguasa ruangan tersebut sewaktu
melihat munculnya mereka air mukanya kontan berubah
hebat.
“Ada urusan apa?” Tanyanya sambil buru-buru meloncat
bangun.
“Lapor congkoan. Sang Rasul peronda Istana dating
berkunjung!”
“Apa?’ air muka si kakek tua berwajah merah ini
berubah semakin hebat.
“Ach …. Maaf …..maaf, cayhe tak thu atas kunjungan
kehormatan dari rasul Peronda Istana …..”
“Sudah, sudahlah ……”
“Cdayhe sudah menyambut kurang pantas, masih
mengharapkan Sin-si memaafkan dosa-dosaku.”
Paras muka nenek tua itu berubah jadi semakin tawar
dan sama sekali tidak menunjukan sedikit perubahanpun.
“Tong It San!” bentaknya dingin.
“Dari ruang Cong-tong sudah dikirim sepucuk surat
perintah melalui burung merpati, bagaimana dengan
pekerjaan yang sudah diperintahkan?”
“Maaf, tecu masih belum berhasil menemukan suatu titik
terang apapun ….”
“Kurang ajar! Jadi kau anggap kami hanya membayari
dirimu untuk makan tidur seenaknya ….”
“Benar ….. benar ….!”
“Hmmmm! Hanya sedikit urusan yang amat sepele saja,
kau sudah tak becus. Kau …..”
“Harap Sin-si suka mengampuni dosaku.”
“Kau tahu, apa maksudku dating kemari?”
“Cayhe kurang jelas, harap Sin-si suka memberi sedikit
penjelasan.”
“Terus terang aku beritahu kepadamu, dia sudah
memasuki Istana kita, bahkan sumber berita ini boleh
dipercaya, selama beberapa hari nini bukan saja dari kedua
istana yang lain, bahkan jago-jago yang sudah lama tidak
pernah munculkan diripun, kini sudah pada berdatangan
kedalam istana kita. Bilamana pihak kita tak berhasil
menghadapi mereka, bukan saja Istana kita bakal tutup
pintu untuk selamanya mungkin badan serta kepala kitapun
bakal terpisah dari tempat semula.”
“Baik ….. baik ….baik …. Tentu cayhe akan bekerja
lebih hati-hati dan waspada lagi.”
“darimakah asal-usul dari kedua orang bocah barusan
itu?” teriak si nenek tua itu lagi.
Dengan amat hormat sekali”Hiat kui So” atau si Setan
Berdarah Tong It San segera memberi penjelasan asal-usul
kedua orang itu.
“Hmmmm! Tidak salah.” Seru nenek tua tersebut
kemudian dengan sinis setelah mendengar penjelasan itu.
“Diantara mereka berdua, salah satu tentu terdapat orang
itu ….”
Ia merendek sejenak, kemudian tanyanya lagi :
“Bocah she Cu itu apa sudah berhasil mendapatkan
uang?”
“benar!’
“Ehmmmm ….” Dengan wajah murung dan mata yang
dipicingkan nenek tua itu mulai kerutkan dahinya berpikir
keras, mendadak ia mendekati Tong It san dan membisiki
sesuatu kesamping telinganya.
Tampaknya Tong It san mengangguk-angguk tidak
hentinya.
“Pengawal!” bentaknya keras
Seorang lelaki berpakaian perlente, dengan cepat
berkelebat masuk kedlam ruangan.
“Maknya.” Teriak Tong It san lagi dengan nada gusar.
“Nenek tua ini memang benar-benar tidak tahu diri,
setelah diberi seratus tahil, ia masih tidak mau puas. Dia
orang sama sekali tidak berkepandaian, tapi ingin seribu
tahil juga ….. Hmmmm? Seret dia kebelakang biar ia
berpikir duklu hingga masak!”
“Baik!”
Ditengah suara jeritan-jeritan dan makian-makian si
nenek itu, ia kena diseret lelaki berpakaian perlente tersebut
keruangan belakang.
Ruangan belakang ini merupakan kamar-kamar yang
digunakan untuk menampung para jago-jago Bu-lim yang
khusus dating untuk minta uang, pada saat ini ditengah
ruangan besar sedang berkumpul berpuluh-puluh orang
jagoan yang sedang omomg-omong sambil buang waktu.
Ketika si nenek tua itu diseret masuk kedalam ruangan
sambil berteriak-teriak dan menjerit-jerit, seketika itu juga
telah memancing perhatian dari orangorang disekitar sana.
Ketika itu …..
Pek Thian Kie serta Cu Tong Hoa yang mendengar suara
teriak-teriak itu tak urung mengalihkan sinar matanya juga.
“Hmm! Tindakan Istana Harta terhadap si nenek tua
betul-betul rada keterlaluan.” Seru Pek Thian Kie dengan
air muka berubah hebat.
Mendengar kata-kata temannya, Cu Tong Hoa tertawa
tawar.
Pada saat itulah terdengar si lelaki berpakaian perlente
itu sudah berseru kembali kepada nenek tua itu :
“Bagaimana keputusan kita terhadap dirimu, tunggu saja
sampai besok pagi”
Selesai berkata tanpa menanti jawaban dari si nenek tua
itu lagi, ia lantas putar badan berlalu.
“Hei, bajingan yang tak berperasaan …. Kalian betulbetul
tidak punya Liang-sim …. Teriak nenek tua itu kalang
kabut.
“Sungguh kejam tindakan kalian terhadap diriku.
……….”
Bicara sampai disitu ia tak dapat membendung rasa sedih
didalam hatinya lagi, mulailah nenek itu menangis tersdusedu.
Sekonyong-konyong ………
“Nenek tua, mengapa kau menangis??” suara seseorang
berkumandang dating dari belakang tubuhnya.
Si Nenek tua itu segera mengalihkan sinar matanya
menyapu sekejap kearah orang itu.
Tampaklah seorang kakek tua berbaju hitam yang
usianya sudah hampir mendekati enampuluh tahunan
berdiri dengan amat gagah disana.
“Heeeeei ….. sudah tentu lau tidak akan tahu
kesusahanku ….” Seru perempuan tua itu sedih.
“Aku ada keperluan yang mendesak dan ingin
meminjam seribu tahil perak dari Istana Harta ini ….. tetapi
ternyata ……. Ternyata mereka sudah menyusahkan diriku
….. kau bilang sungguh mangkelkan tidak …..”
“Untuk pinjam uang pada permulaan tahun rasanya
memang rada susah …. Eeei …… nenek tua, bagaimana
kalau aku ramalkan dirimu? Ciba kita lihat apakah kau
berhasil memperoleh seribu tahil perak itu atau tidak ?
“Haaaaaa …….. kau sedang melamun sampai dimana ?
jika aku punya uang untuk meramal, buat apa susah payah
datang kemari untuk minta pinjam uang?”
“Haaaaaa …….. Haaaaaa …….. Haaaaaa ……..soal ini
kau boleh legakan hati,” sahut si kakek hitam itu sambil
tertawa terbahak-bahan. “Aku tidak akab bersifat keras
kepala dan tidak punya Liang-sim. Orang-orang menyebut
diriku sebagai “Thiat Siepoa.” Bagaimana kalau aku
ramalkan dirimu tnpa membayar?”
“bagus sekali!”
“Coba sekarang kau sebutkan tanggal kelahiranmu yang
lengkap.”
“Tapi ….. cocok tidak ramalanmu itu?”
“Bagaimanapun aku tidak akan minta uang darimu,
cocok atau tidak, mengapa tidak coba terlebih dahulu?”
“Baik …… baik …..”
Demikianlah si nenek tua tersebut lantas beritahukan
tanggal kelahirannya kepada si kakek tua itu.
Selesai mendengar keterangan tadi, si kakek berbaju
hitam itu lantas pejamkan matanya berpikir.
“Aaakh ….. salah, salah …..” tiba-tiba teriaknya sengan
terperanjat.
“Apa yang tidak benar ?”
“Menurut perhitunganku, bukan saja kau orang tiada
kesulitan didalam soal keuangan, bahkan kaupun
merupakan seorang yang popular dan mempunyai
kedudukan yang sangat terhormat …..”
“Kentut bau anjingmu ! Sedikitpun tidak cocok.
Omonganmu tidak hanya omongan anjing yang lagi
berkentut” maki nenek tua itu kalang kabut.
Mendengar makian tadi, kontan saja air muka si kakek
tua berbaju hitam itu berubah menjadi merah padam.
“Benar …… benar ……. Tidak cocok, tidak cocok.”
Serunya gugup. “Cuma ada satu hal yang bagaimanapun
juga aku hendak beritahukan dulu kepadamu, kemungkinan
besar bencana sudah berada diambang pintu …….”
“Apa?” teriak nenek itu dengan mata terbelalak lebarlebar.
“Heeee…….heeee….. kemungkinan juga ramalanku itu
tidak cocok!
Selesai berkata, ia lantas putar badan berlalu, hal ini
tentu saja membuat si nenek itu dengan perasan ketakutan
berdiri termanggu-manggu ditengah kalangan.
Sebaliknya Cu Tong Hoa yang selama ini berdiri disisi
kalangan, begitu melihat jalan peristiwa tersebut, segera
tertawa dingin tiada hentinya.
“Hmmmmm! Tidak disangka didalam Istana Harta
sudah berubah menjadi suatu tempat yang ditunggangi
harimau dan ditempati naga ……”
“Apa maksudmu ?” Teriak Pek Thian Kie terperanjat.
“Kau tidak bakal memahami soal ini, lebih baik tidak
usah banyak bertanya lagi …”
Ketika itu, si kakek tua berbaju hitam itu sedang berjalan
mendekati diri Pek Thian Kie. Ketika ia tiba dihadapan
kedua orang bocah tersebut, langkahnya rada merendek,
sedang sinar matanya perlahan-lahan disapu sekejap keatas
wajah pemuda itu.
Eeeeeei ….. bocah kurus, penyakit yang kau derita
sungguh parah sekali!” serunya.
“Apa?” saking terperanjatnya Pek Thian Kie sudah
menjerit kaget.
“Aku mengatakan bila penyakitmu itu amat parah!” seru
si Kakek tua berbaju hitam kembali.
“Bagaimana kau bisa tahu ?’
“Aku sudah terbiasa memperhatikan mimic wajah setiap
orang dan pandai meramal …………… eeeeei tulang Baykut
kurus siapa namamu?”
“Aku? Aku bernama Pek Thian Kie!”
“Pek ….. Thian ….. Kie ……?”
“Sedikit tidak salah, aku memang bernama Pek Thian
Kie.”
“Heeeeei tulang bay-kut kurus, bagaimana kalau aku
ramalkan buat dirimu?”
“Ramalkan soal apa?”
“Sesukamu. Apa yang kau ingin tanyakan, apa yang kau
ingin ketahui semuanya dapat aku jawab dengan tepat.”
“Haaaaaa …….. kau sedang melamun sampai dimana ?
jika aku punya uang untuk meramal, buat apa susah payah
datang kemari untuk minta pinjam uang?”
“Haaaaaa …….. Haaaaaa …….. Haaaaaa ……..soal ini
kau boleh legakan hati,” sahut si kakek hitam itu sambil
tertawa terbahak-bahan. “Aku tidak akab bersifat keras
kepala dan tidak punya Liang-sim. Orang-orang menyebut
diriku sebagai “Thiat Siepoa.” Bagaimana kalau aku
ramalkan dirimu tnpa membayar?”
“bagus sekali!”
“Coba sekarang kau sebutkan tanggal kelahiranmu yang
lengkap.”
“Tapi ….. cocok tidak ramalanmu itu?”
“Bagaimanapun aku tidak akan minta uang darimu,
cocok atau tidak, mengapa tidak coba terlebih dahulu?”
“Baik …… baik …..”
Demikianlah si nenek tua tersebut lantas beritahukan
tanggal kelahirannya kepada si kakek tua itu.
Selesai mendengar keterangan tadi, si kakek berbaju
hitam itu lantas pejamkan matanya berpikir.
“Aaakh ….. salah, salah …..” tiba-tiba teriaknya sengan
terperanjat.
“Apa yang tidak benar ?”
“Menurut perhitunganku, bukan saja kau orang tiada
kesulitan didalam soal keuangan, bahkan kaupun
merupakan seorang yang popular dan mempunyai
kedudukan yang sangat terhormat …..”
“Kentut bau anjingmu ! Sedikitpun tidak cocok.
Omonganmu tidak hanya omongan anjing yang lagi
berkentut” maki nenek tua itu kalang kabut.
Mendengar makian tadi, kontan saja air muka si kakek
tua berbaju hitam itu berubah menjadi merah padam.
“Benar …… benar ……. Tidak cocok, tidak cocok.”
Serunya gugup. “Cuma ada satu hal yang bagaimanapun
juga aku hendak beritahukan dulu kepadamu, kemungkinan
besar bencana sudah berada diambang pintu …….”
“Apa?” teriak nenek itu dengan mata terbelalak lebarlebar.
“Heeee…….heeee….. kemungkinan juga ramalanku itu
tidak cocok!
Selesai berkata, ia lantas putar badan berlalu, hal ini
tentu saja membuat si nenek itu dengan perasan ketakutan
berdiri termanggu-manggu ditengah kalangan.
Sebaliknya Cu Tong Hoa yang selama ini berdiri disisi
kalangan, begitu melihat jalan peristiwa tersebut, segera
tertawa dingin tiada hentinya.
“Hmmmmm! Tidak disangka didalam Istana Harta
sudah berubah menjadi suatu tempat yang ditunggangi
harimau dan ditempati naga ……”
“Apa maksudmu ?” Teriak Pek Thian Kie terperanjat.
“Kau tidak bakal memahami soal ini, lebih baik tidak
usah banyak bertanya lagi …”
Ketika itu, si kakek tua berbaju hitam itu sedang berjalan
mendekati diri Pek Thian Kie. Ketika ia tiba dihadapan
kedua orang bocah tersebut, langkahnya rada merendek,
sedang sinar matanya perlahan-lahan disapu sekejap keatas
wajah pemuda itu.
Eeeeeei ….. bocah kurus, penyakit yang kau derita
sungguh parah sekali!” serunya.
“Apa?” saking terperanjatnya Pek Thian Kie sudah
menjerit kaget.
“Aku mengatakan bila penyakitmu itu amat parah!” seru
si Kakek tua berbaju hitam kembali.
“Bagaimana kau bisa tahu ?’
“Aku sudah terbiasa memperhatikan mimic wajah setiap
orang dan pandai meramal …………… eeeeei tulang Baykut
kurus siapa namamu?”
“Aku? Aku bernama Pek Thian Kie!”
“Pek ….. Thian ….. Kie ……?”
“Sedikit tidak salah, aku memang bernama Pek Thian
Kie.”
“Heeeeei tulang bay-kut kurus, bagaimana kalau aku
ramalkan buat dirimu?”
“Ramalkan soal apa?”
“Sesukamu. Apa yang kau ingin tanyakan, apa yang kau
ingin ketahui semuanya dapat aku jawab dengan tepat.”
“Bagus sekali .”
“Kalau begitu kau boleh tuliskan nama serta tanggal
kelahiranmu diatas kertas?”
“Kau tidak usah takut akan rahasiamu bocor dan
terjatuh ketangan orang lain?” kata si kakek tua berbaju
hitam itu sambil menyapu sekejap kearah Cu Tong Hoa.
Berapa patah perkataan ini seketika itu juga memaksa
Pek Thian Kie bergidik. Apakah si kakek tua berbaju hitam
ini memeang jelas akan asal-usulnya yang sebetulnya?
Berpikir hal itu, tak terasa lagi ia sudah menoleh Cu
Tong Hoa si pengemis muda tersebut.
“Cu-heng, bagaimana kalau kau menyingkir sebentar?
Pintanya
Cu Tong Hoa tersenyum, sambil mengangguk ia lantas
berjalan mendekati si nenek tua tersebut ……
Menanti si pengemis muda kawannya sudah pergi jauh.
Pek Thian Kie baru putar badan menghadap kearah si
kakek tua berbaju hitam tadi.
“Aku ternama Pek Thian Kie,” sahutnya perlahan.
“Tahun ini baru berusia delapan belas tahun lahir pada
siang hari bulan tiga belas tanggal tiga belas!”
Si kakek tua berbaju hitam itu lantas berkemak-kemik
dan bergumam beberapa sat lamanya, mendadak ……
“Tidak benar …….. tidak benar ……….!” Gumamnya
seorang diri.
“Apa yang tidak benar?” jawab Pek Thian Kie benarbenar
merasakan hatinya bergidik.
“Antara namamu serta tanggal kelahiranmu sama sekali
tidak cocok!”
“Aaaaaakh ……. Apa yang sudah terjadi ?”
“Nama yang kau gunakan sekarang bukan namamu yang
sesungguhnya!”
“Apa?” saking kagetnya hampir-hampir pemuda itu
meloncat keatas.
“Kau memang betul-betul dilahirkan pada tanggal tiga
belas bulan tiga, tetapi namamu bukan Pek Thian Kie!”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Karena nama Pek Thian Kie tak dapat hidup hingga
sekarang …… dia sudah mati!”
Kali ini Pek Thian Kie benar-benar dibuat terperanjat
dan ketakutan sehingga jantungnya terasa berdebar-debar
dengan sangat keras.
Jika ditinjau dari sikap serta gerak-gerik si orang tua yang
begitu serius, rasanya ia bukan lagi berbohong atau bicara
sembarangan.
“Lalu …….. lalu ……. Orang yang bernama Pek Thian
Kie seharusnya mati sejak kapan?” tanyanya rada gemetar.
“tahun yang lalu ….. tanggal tiga belas bulan tiga tahun
yang lalu, bahkan kematiannya sangat mengerikan ……….”
“Heeeeee……..heeeeee…….heee …… tetapi aku
bernama Pek Thian Kie ……. Sejak kecil aku sudah
bernama demikian!” teriak pemuda tersebut sambil tertawa
dingin tiada hentinya.
“Aaaakh …… kau sudah salah mengerti, namamu yang
sudah disembunyikan oleh orang lain, Pokoknya yang jelas
namamu yang asli bukan Pek Thian Kie ……”
“Persoalan ini dapat kau buktikan darimana?”
“Menurut perhitunganku sebagai tug ramal!”
Pek Thian Kie bukan bernama Pek Thian Kie, peristiwa
ini baru untuk pertama kali ini ia dengar, unuk sesaat
dengan perasaan setengah percaya setengah tidak, ia berdiri
termangu-mangu.
“Apakah suhumu yang beritahukan kepadamu bila kau
bernama Pek Thian Kie?”
“Sedikitpun tidak salah, dia orang tualah yang
beritahukan nama itu kepadaku …”
“Apakah suhumu memakai pedang?”
“Sedikitpun tidak salah?”
“Pakainan yang dikenakan selalu berwarna hitam dan
dandanannya mirip seorang sasterawan?”
“Betul! Kau ….. bagaimna kau bisa tahu ?” tak kuasa
lagi Pek Thian Kie berseru kaget.
“Heeeei ….. aku minta kau jangan berteriak-teriak
seenaknya, bagaimana ?”
----------- ooo O ooo -----------
Bab 5 Rahasia Pek Thian Kie dan Cu Tong Hoa
DENGAN TERMANGU-MANGU Pek Thian Kie
berdiri ditengah kalangan, selama hidup belum pernah ia
merasakan terkejut seperti ini hari, si kakek tua berbaju
hitam itu benar-benar merupakan seorang yang amat lihay
lagi misterius.
“Tahukah kau siapakah nama suhumu?” Tanya si kakek
tua berbaju hitam itu lagi.
“Siapa namanya ?”
“Pek Thian Kie!”
“Aaaaaakh …..!” sekali lagi Pek Thian Kie menjerit
tertahan.
Beberapa patah kata yang diucapkan barusan benarbenar
laksana halilintar yang membelah bumi disiang hari
bolong …..
“Ia bernama “Sin Mo Kiam Khek” atau si jagoan pedang
iblis sakti Pek Thian Kie!” ujar si kakek tua berbaju hitam
itu lebih lanjut.
“Apa per ….. peeeeeeeeeee ……….. perkataanmu itu
sungguh-sungguh ?”
“Sedikitpun tidak salah !”
“Lalu ….. lalu apa ia kini sudah mati?” Tanya Pek Thian
Kie dengan nada gemetar
“Benar, ia sudah mati!”
“Bagaimana matinya? Karena apa dia orang tua
menemui ajalnya?”
“Waaaah …. Kalau soal ini aku kurang jelas !”
Mendadak didalam benak Pek Thian kie terlintas suatu
bayangan, secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan surat
pengumuman berwarna merah itu …….. surat
pengumaman berwarna merah itu …… surat pengumuman
tentang disewakannya sebuah rumah ……..
Bukankah suhumu memerintahkan kau untuk mencari
sesorang?” Tanya si kakek tua berbaju hitam itu kembali.
“Tidak salah.”
“Bukankah orang yang kau cari itu bernama Kiang To?”
“Betul ….. tapi ….. tapi ….. bagaimana kau bisa tahu
tentang soal ini?”
“Kau tidak perlu menanyakan kepadaku, secara
bagaimana aku bisa mengetahui persoalan ini, terus terang
aku beritahukan kepadamu, tahukah kau siapakah yang
bernama Kiang To itu ?”
“Siapa ? ……” seru Pek Thian Kie melengak, “Apakah
kau yang bernama Kiang To?”
“Haaaaa …..haaaaaa…..haaaaa……. salah, salah!
Bukan Aku ……. Orang yang bernama Kiang To,
melainkan kau sendiri !”
“Apa?” sekali lagi Pek Thian Kie menjerit keras, saking
kagetnya, hampir-hampir ia meloncat keatas.
Perasaan terkejut yang diderita Pek Thian Kie kali ini
hampir-hampir luar biasa, hampir boleh dikata ia jadi amat
goblok dibuatnya. Hampir-hampir dia tidak mempercayai
lagi telinganya sendiri.
Kiang To adalah dia sendiri ? suhunya suruh dia mencari
dirinya sendiri ? Apa maksudnya ?
Dikolong langit apa betul terdapat peristiwa yang
demikian anehnya ?
Apakah suhunya yang tidak ia ketahui namanya itu
benar-benar bernama Pek Thian Kie ?”
Mengapa ia memberikan nama Pek Thian Kie kepada
dirinya?” Tentu didalam persoalan ini masih ada hal-hal
yang lebih dalam maksud serta tujuannya.
Pek Thian Kie yang dbuat terperanjat oleh peristiwa
tersebut selama ini Cuma bisa melototi si kakek tua berbaju
hitam itu dengan termanggu-manggu, beberapa patah
perkataannya itu benar-benar membuat ia merasa sangat
terperanjat.
“Heee…….heee……heee….. kau masih tidak percaya?”
seru si kakek tua berbaju hitam itu sambil tertawa dingin.
“Aku ….. aku tidak tahu !” sahut Pek Thian Kie
perlahan-lahan sambil menelan ludahnya.
“Mau percaya atau tidak, itu terserah kepada dirimu
sendiri, tetapi ada sepatah kata mau tak mau aku harus
beritahu kepadamu. Untuk sementara waktu lebih baik kau
singkirkan dulu apa yang aku beritahukan kepadamu itu
kesamping, dan aku harap kau jangan ungkap persoalan ini
kepada siapapun!”
“Mengapa?”
“Karena hal ini tidak akan mendatangkan keuntungan
buat dirimu.”
Si Kakek tua berbaju hitam itu rada merendek sejenak,
lalu tambahnya lagi :
“Tempat ini bukanlah suatu tempat yang baik, lebih baik
cepat-cepatlah kau menyingkir dari sini …..”
Belum habis perkataannya diucapkan terdengarlah suara
langkah manusia sudah berkumandang datang
memecahkan kesunyian. Tampaklah Cu Tong Hoa dengan
langkah lebar sudah berjalan mendekat.
Si kakek tua berbaju hitam itupun segera tertawa
terbahak-bahak.
“Hey bocah kurus, mau percaya atau tidak, itu terserah
kepada dirimu sendiri,” serunya.
Selesai berkata ia lantas putar badan berlalu melalui jalan
semula.
Dengan kejadian ini maka Pek Thian Kie lama sekali
dibuat berdiri termangu-mangu, ia tidak paham perkataan
yang diucapkan oleh si lelaki berbaju hitam itu sebetulnya
sungguh-sungguh atau bohong.
Jika peristiwa itu adalah nyata, maka hal ini boleh
dikataa merupakan suatu hal yang sama sekala tak diduga.
Nama suhunya adalah Pek Thian Kie tetapi mengapa ia
berikan namanya itu kepada dirinya? Apakah ia berbuat
demikian agar orang-orang kangouw tidak tahukah nama
dirinya yang sesungguhnya? Tentunya nama Kiang To
sudah terkenal sekali didalam dunia Kangow dan diketahui
oleh banyak orang, kalau tidak suhunya tidak mungkin bisa
berbuat demikian.
Apa yang dipikirkan memang cengli, tetapi apa
sesungguhnya yang telah terjadi, ia masih belum sanggup
untuk membuktikannya.
Sementara suara secara mendadak mengejutkan Pek
Thian Kie sehingga tersadar dari lamunannya.
“Siauw-hiap!” ketika itu si nenek tua sedang merengek
kepada diri Cu Tong Hoa. “Kau berbuatlah perbuatan yang
mulia. Bagaimana kalau seribu tahil perakmu itu kau
pinjamkan dulu kepadaku untuk digunakan keperluan yang
mendesak?”
“Tidak bisa jadi!”
“Kau berbuatlah pekerjaan yang mulia.”
“Heeeeeee ……….heeeeee………….heeeeeeee……kau
sungguh-sungguh hendak meminjam ?........” akhirnya
teriak Cu Tong Hoa sambil tertawa dingin.
“Betul, tolong kau berbuat pekerjaan mulia ……”
“Baiklah, mari ikut diriku untuk ambil uang tersebut
……!”
Agaknya di nenek itu dibuat rada melengak juga oleh
tindakan si pengemis muda tersebut.
“Sungguh?” tanyannya kurang percaya.
“Aku melihat keadanmu patut dikasihani, karena itu
terpaksa aku berikan dulu uang tersebut kepadamu!”
Sekali berkata, ia lantas berjalan langsung menuju
kedalam kamar.
Mendadak Pek Thian Kie yang ada ditengah kalangan
teringat akan sesuatu, maka dengan cepat iapun meloncat
kedepan menghadang jalan perginya.
“Eeeeeeei nenek tua, bagaimana kau bisa tahu kalau dia
mempunyai seribu tahil perak?”
“Orang-orang Istana Harta yang beritahukan padaku.”
“Oooooouw ….. begitu!”
Dengan cepat Pek Thian Kie pun ikut berjalan masuk
kedalam kamar, ketika itulah si nenek tua yang berada
didalam kamar sudah berseru dengan nada cemas.
“Cu-siauw-hiap, dimanakah uangmu itu?”
Mendadak air muka Tong Hoa berubah berat.
“Pek-heng, tutup pintu kamar,” bentaknya dengan cepat
sambil melirik sekejap kearah pemuda tersebut.
“Tidak usah ……. Tidak usah, aku segera akan berlalu,”
buru-buru nenek tua itu mencegah.
“Hmmm! Kau tak bakal bisa lolos dari sini lagi!”
“Cu Siauaw-hiap! Apakah kau ingin menahan diriku?”
seru si nenek tua itu dengan wajah rada berubah.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Cu Tong
Hoa tertawa dingin tiada hentinya. “Bukan saja aku ingin
menahan dirimu, bahkan aku inginkan pula nyawamu.”
“Kau ……kau …….. siapa kau ……..?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Pak Hoa
Coa atau si ular seratus bunga, kau kira aku sungguhsungguh
tidak kenali wajah aslimu?”
Si pengemis muda itu segera enjotkan badannya laksana
sambaran kilat mencelat kehadapan tubuh si nenek tua itu.
“Siiiii ………siapa kau ?” Teriak nenek tua itu lagi
dengan nada gemetar, wajahnyapun berubah menjadi pucat
pasi bagaikan mayat.
“Aku? Haaaaa………….haaaa……….haaa………kau
boleh menduga sendiri!”
Dari dalam sakunya perlahan-lahan Cu Tong Hoa
mengeluarkan sebuah kipas yang dibentangkan lebar-lebar.
Diatas kipas terlukiskan sekuntum bunga seruni yang
memancarkan cahaya keemasan.
“Perkumpulan Pak Hoa Pang!” tak terasa lagi nenek tua
itu berseru tertahan.
“Sedikitpun tidak salah, perkumpulan Pak Hoa pang!”
Kau…..”Kau….. adalah ……?”
“Hmm! Pak Hoa Coa, terhadap peraturan tentunya kau
masih mengetahui dengan sangat jelas bukan, kau sebagai
seorang Tongcu bagian hukuman mengapa berani
menghianati perguruan …….”
“Kau ….. kau adalah pangcu?” teriak nenek tua itu
kembali dengan seluruh badan gemetar sangat keras.
“Peduli aku pangcu atau bukan, kau tidak perlu banyak
menggubris, baik-baik berdiri disana dan terimalah sepuluh
jurus “Hoa kay Hoa Lok” atau bunga Mekar Bunga
rontok” ku tentu kau bakal menjadi jelas dengan sendirinya
…..”
“Pangcu!”
“Pak Hoa Coa. Yang kutunggu-tunggu selama ini adalah
ini hari ……..” Bentak Cu Tong Hoa dingin. “Kau sudah
menghianati perguruan, hal ini masih lumayan, bahkan
berani pula mencuri sebotol “Pak Hoa Lok
…….Hmmmmm!......”
“Pangcu !......”
“Sekarang aku mau bertanya kepadamu, apakah kau
sudah bertemu dengan majikan Istana harta?”
“Belum …..!”
Cu Tong Hoa tertawa dingin semakin seram.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. kalau
begitu, kau serahkan dulu nyawamu! Teriaknya.
Ditengah suara bentakan yang amat keras tubuh Cu
Tong Hoa sudah mencelat kedepan, kipas ditangannya
laksana anak panah yang terlepas dari busur meluncur
kedepan mengirim sebuah babatan yang maha dasyat.
Buru-buru pak Hoa Coa menggeserkan badannya
kesamping menghindarkan diri dari datangnya serangan
gencar Cu Tong Hoa, diantara memisahnya bayangan
manusia, iapun balas mengirim satu serangan kedepan.
“Hmmmmm! Kau cari mati …..”
Ditengah bentakan yang keras, kipas ditangan Cu Tong
Hoa berturut-turut melancarkan serangan gencar kedepan,
hanya didalam sekejap mata tiga jurus sudah berlalu. Begitu
mereka berdua saling bergebrak, maka seketika itu juga Pek
Thian Kie dibuat berdiri termangu-mangu ditengah
kalangan.
Sekarang ia baru mulai memahami akan suatu urusan,
kiranya Cu Tong Hoa ini adalah seorang gadis atau dengan
perkataan lain Pangcu dari perkumpulan seratus bunga.
Hal ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang tak
pernah terpikirkan olehnya.
Dan tujuannya datang kemari, sudah tentu sedang
mencari si penghianat perguruan “Pak Hoa Coa”
Mendadak ……
Ditengah suara bentakan yang sangat dingin, tampaklah
tubuh Cu Tong Hoa laksana sambaran kilat cepatnya sudah
menubruk kearah pak Hoa Coa, kipas ditangannya laksana
bayangan bunga dengan amat gencar mengirim empat buah
serangan sekaligus mencecer musuhnya.
Sebentar kemudian suara dengusan berat bergema
memenuhi angkasa, kiranya tubuh Pak Hoa Coa dengan
amat dasyat kena terpukul pental, sehingga mencelat kearah
belakang dan jatuh tepat diatas tanah tak berkutik.
“Ayoh cepat bangun, tidak perlu pura-pura mati!” bentak
Cu Tong Hoa dingin. Perlahan-lahan pak Hoa Coa bangun,
sambil mengusap darah segar yang muncrat keluar dari
ujung bibirnya, ia memandang kearah Cu Tong Hoa
dengan perasaan ketakutan.
“Aku …..!”
Belum habis perkataan tersebut diucapkan, tubuhnya
mendadak mencelat ketengah udara kemudian dengan
kecepatan laksana sambaran kilat meluncur kearah Pek
Thian Kie sambil mengirim serangan mencengkeram
tubuhnya.
Dalam anggapan pak Hoa Coa, pemuda yan bernama
Pek Thian Kie ini adalah seorang pemuda yang sama sekali
tidak mengerti akan ilmu silat, asalkan ia berhasil
menguasai pemuda tersebut bukan saja ia berhasil
meloloskan diri dari kematian bahkan asal-usulnya yang
sesungguhnya tidak akan sampai terbongkar dihadapan
jago-jago bulim lainnya.
Karena itu serangan yang baru saja ia lancarkan ini
sudah menggunakan seluruh tenaga iweekang yang
dimilikinya, sudah tentu kehebatannya sangat luar biasa
sekali.
Cu Tong Hoa yang sama sekali tidak menyangka bisa
terjadi peristiwa semacam itu, ketika dilihatnya nenek tua
tersebut menubruk kearah Pek Thian Kie hatinya terasa
amat terperanjat.
Dimana bayangan manusia berkelebat tahu-tahu ia
sudah berada dihadapan Pek Thian Kie.
Melihat dirinya diserang, pemuda ini segera menjerit
keras sambil menjatuhkan diri kebelakang.
Pada saat-saat yang amat kritis itulah Cu Tong Hoa
sudah membentak keras, tubuhnya dengan cepat meloncat
kearah Pak Hoa Coa, sedangkan kipasnya digerakkan
melanjutkan serangan-serangan gencar.
Serangan yang dilancarkan si pengemis muda barusan ini
betul-betul sangat luar biasa, bahkan keanehan serta
kelihayan dari jurus-jurus gerakannya patut dipuji.
“Tahan!” mendadak Pak Hoa Coa membentak keras.
Tetapi suara bentakan tersebut sama sekali tidak berhasil
menahan serangan yang dilancarkan oleh Cu Tong Hoa,
tahu-tahu kipas pihak lawan sudah berada diatas jalan
“Ming Bun Hiat” diatas punggung nenek tua itu.
“Kau sudah tidak mau nyawamu lagi ….” Teriak si ular
seratus bunga gusar.
Belum habis ia berkata, suara dengusan berat sudah
bergema memenuhi angkasa, tubuhnya roboh keatas tanah
tak berkutik lagi, sedang dari hidung maupun mulutnya Pek
Thian Kie muntahkan darah segar.
Kiranya peristiwa ini telah terjadi dalam waktu yang
sangat kebetulan sekali. Sewaktu Pak Hoa Coa
melancarkan tubrukan tadi, kebeulan penyakit sakit hati
dari Pek Thian Kie sedang kambuh, sehingga tak kuasa lagi
ia kena ditawan oleh pihak musuh.
Dan sewaktu Cu Tong Hoa melancarkan serangannya
tadi, mengambil kesempatan tersebut, Pak Hoa Coa lantas
turun tangan menyerang pemuda tersebut, sehingga
membuat dia jadi terluka parah.
Perlahan-lahan Cu Tong Hoa melirik sekejap kearah Pek
Thian Kie, alisnya dikerutkan rapat-rapat. Tanpa banyak
cakap lagi dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebuah
botol poselen dan meneteskan beberapa tetes cairan putih
kedalam mulut Pek Thian Kie, lalu diurutnya pula seluruh
tubuh pemuda tersebut dengan cermat.
Beberapa saat kemudian pemuda itu baru tersadar
kembali dari pingsannya, dengan termangu-mangu ia
memandang pengemis muda tersebut.
“Pek-heng!” ujar Cu Tong Hoa sambil tertawa perlahan.
“Kesemuanya akulah yang tidak baik, tetapi aku tidak akan
membinasakan dirinya.”
Selesai berkata ia lantas mencengkeram tubuh si ular
seratus bunga itu, kemudian diangkatnya keatas dan pada
beberapa bagian tubuhnya ditepuk pula berulang kali.
Berkat gebukan Cu Tong Hoa itulah, perlahan-lahan si
nenek tersebut tersadar kembali dari pingsannya.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……..
Pak Hoa Coa. Kau benar-benar seorang manusia yang
banyak akal dan licik.” Seru pengemis muda tersebut sambil
tertawa dingin tiada hentinya.” Sekarang kau jawab,
mengapa kau menghianati perguruan ?”
“Aku….!”
“Cepat katakana !”
“Baik ….. baik ….. aku ….. Aduuuuuuuh…..”
Belum sempat Pak Hoa Coa mengucapkan sesuatu,
mendadak diiringi suara jeritan ngeri tubuhnya roboh
keatas tanah dengan kepala hancur berantakan dan darah
berceceran diatas tanah. Tahu-tahu ia sudah menemui ajal
dengan keadaan yang sangat mengerikan.
Menghadapi kejadian ini Cu Tong Hoa rada melengak,
ia sama sekali tidak menyangka sewaktu dirinya berada
dalam keadan tidak bersiap-siap, ternayta sudah ada orang
yang turun tangan terlebih dahulu melenyapkan Pak Hoa
Coa.
Tubuhnya dengan cepat dienjotkan melayang keluar
kamar.
Tetapi dipintu depan tengah halaman luas, dua puluh
orang jagoan lihay Bu-lim yang semula ada disana, kini
sudah berubah menjadi empat, limapuluh orang banyaknya
dan jago-jago tersebut rata-rata mempunyai raut muka yang
terasa sangat asing buat mereka.
Kedua orang pemuda yang ada didalam kamar tadi
ketika menghadapi orang yang sebegitu banyaknya tak
dapat mengetahui dengan pasti siapakah diantara mereka
yang telah turun tangan melenyapkan diri Pak Hoa Coa.
Dengan cepat Cu Tong Hoa putar badan berjalan balik,
alisnya berkerut rapat-rapat, agaknya ia sedang memikirkan
sesuatu, sebentar kemudian ia sudah tertawa dingin, lalu
langsung berjalan mendekati diri Pek Thian Kie.
“Siapa yang sudah membinasakan dirinya?” Tanya
pemuda tersebut buru-buru.
“Aku sendiri tak melihat jelas.”
“Apakah orang-orang dari Istana harta?”
“Sedikitpun tidak salah, kemungkinan sekali Majikan
Istana harta pun termasuk diantara mereka-mereka itu!”
“Karena Apa?”
Dengan nada yang dingin dan sikap yang sombong Cu
Tong Hoa tertawa tawar, dari senyuman tersebut semua
orang dapat melihat bila sepintas hawa nafsu membunuh
sudah melintas diatas wajahnya.
“Aku sendiripun tidak tahu!”
“Cu-heng, benarkah kau adalah pangcu dari
perkumpulan seratus bunga?” tiba-tiba Tanya Pek Thian
Kie.
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
Pertanyaan yang berbalik ini seketika itu juga membuat
Pek Thian Kie jadi melengak, ia merasakan bukan saja
kepandaian silat yang dimiliki Cu Tong Hoa sangat lihay,
sehingga sukar diraba bahkan kecerdikannyapun jauh lebih
tinggi satu tingkat dari dirinya.
“Aku menginginkan jawabannya!” seru pemuda tersebut
kembali.
Cu Tong Hoa tertawa tawar.
“Kemungkinan benar, kemungkinan pula bukan!”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Sekalipun sudah dijelaskan, kaupun pasti tidak akan
mengerti maksudku.”
Dalam hati diam-diam Pek Thian Kie mendengus
dingin, sampai sekarang ia masih merasakan bila asal-usul
dari Cu Tong Hoa merupakan suatu teka-teki dan tanda
Tanya yang sangat membingungkan.
Kedudukannya yang pertama adalah Tongcu Urusan
bagian luar dari perkumpulan Kay-pang, kedudukan yang
kedua adalah Pangcu dari Perkumpulan Seratus Bunga.
Tetapi jika diteliti lebih mendalam agaknya kedua buah
kedudukannya itu sama sekali bukan sungguh-sungguh.
“Pek-heng !” Tiba-tiba Cu Tong Hoa menegur dengan
alis yang dikerutkan rapat-rapat. “Tolong merepotkan
dirimu untuk melakukan sesuatu urusan, entah maukah kau
untuk melakukannya ?
“Coba kau katakana !”
“Tolong panggil si Tiang Kwee untuk datang kemari
sebentar.”
Pek Thian Kie tidak mengerti permainan setan apa lagi
yang sedang ia susun, setelah termenung berpikir keras
beberapa saat lamanya terakhir ia mengangguk juga.
“Baiklah!”
Selesai berkata ia lantas berjalan keluar dari dalam
kamar.
Setibanya diluar, dimana sinar mata Pek Thian Kie
menyapu sekejap kesekeliling tempat itu, ternyata apa yang
diucapkan si pengemis muda tersebut sedikitpun tidaka
salah.
Didalam halaman yang amat luas itu kini sudah
bertambah lagi dengan berpuluh-puluh orang jagoan Bulim,
ketika Pek Thian Kie lewat disisi mereka, para jago itu
hanya melirik sekejap kearahnya. Diam-diam pemuda
tersebut merasakan hatinya berdebar-debar sangat keras,
bulu kuduk pada berdiri.
Orang-orang Bu-lim itu sama sekali tidak mengenali
dirinya, tetapi selama ini selalu mengawasi terus gerak-gerik
mereka berdua, peristiwa ini hanya ada satu kemungkinan
saja yang bisa diterangkan, kedatangan mereka tentunya
dikarenakan diri Cu Tong Hoa.
Dugaan ini memang sangat cengli, Cu Tong Hoa betulbetul
seorang manusia yang sangat misterius, berasal dari
manakah orang itu? Didalam soal ini ia harus mencari tahu,
sehingga duduknya perkara menjadi lebih jelas.
Berpikir sampai disitu, dengan langkah lebar-lebar, ia
lantas berjalan menuju keruangan sebelah depan.
Siapa sangka ketika itulah mendadak ssosok bayangan
manusia dengan kerasnya menubruk diatas badannya.
“Bluuuuummmmm ……!” Didalam keadaan baru saja
sembuh dari sakit hatinya, boleh dikata tenaga dalam yang
dimiliki Pek Thian Kie pada saat ini sama sekali punah.
Tak kuasa lagi tubuhnya kena tergetar, sehingga
mundurtujuh, delapan langkah kebelakang.
Pek Thian Kie yang kena tertubruk, diam-diam
badannya terasa amat sakit, hatinya jadi mendongkol
sedang sinar matanya mulai melototi orang yang berada
dihadapannya.
Tetapi sebentar saja ia sudah menemukan bila orang
yang berdiri dihadapannya pada saat ini bukan lain adalah
seorang dara berbaju hijau yang sangat cantik dan baru
berusia kurang lebih tujuh delapan belas tahun.
Bab 6 Teka-teki yang belum terjawab ……… ?
DIA adalah seorang gadis yang mempunyai wajah amat
cantik, terutama sekali bibirnya yang kecil ungil berwarna
merah serta sepasang matanya yang jeli bersinar cerah,
hidungnya mancung benar-benar amat mempesona setiap
orang.
Pada saat itu, diatas pipi gadis tersebut terlintaslah warna
merah dadu yang dengan cepat membara menjalar
keseluruh wajah. Agaknya ia sadang merasa jengah karena
tertumbuk diatas badan seorang lelaki asing.
“Aaakh ….. maaf, maaf!” Buru-buru Pek Thian Kie
menjura sambil mohon maaf berulang kali.
Selesai menjura, dengan mengitari dari samping tubuh
dara cantik berbaju hijau itu ia melanjutkan kembali
langkahnya kedepan.
Mendadak …….
“Saudara, tunggu sebentar!” dara berbaju hijau itu
berseru menahan jalan pergi pemuda tersebut.
Pek Thian kie jadi melengak, tak kuasa lagi iapun
menghentikan langkahnya.
“Nona, kau ada urusan apa?” tanyanya sambil menoleh
dan memandang sekejap kearah dara berbaju hijau itu.
“Jangan minta maaf seharusnya aku,” kata dara tersebut
sembari tersenyum. “Karena tubrukan tadi adalah sengaja
aku lakukan.”
Sekalipun tidak diterangkan, dalam hati Pek Thian Kie
pun sudah merasa sangat paham.
Dara berbaju hijau itu adalah seorang jagoan Bu-lim
apalagi ditengah hari bolong, jika ia bisa bertubrukan
dengan orang lain, maka hal ini jelas sekali menunjukkan
bila ia sengaja melakukannya.
“Aaaakh ….. kau sedang bergurau !” seru Pek Thian Kie
tertawa.
Dijawabnya sangat tepat sekali dengan kedudukannya
pada saat ini, hal ini jelas menunjukkan bila dia benar-benar
seorang yang tidak mengerti akan ilmu silat.
“Kau bernama Pek Thian Kie?” tanyanya dara cantik
berbaju hijau itu kemudian sambil tertawa.
Agak melengak juga Pek Thian Kie dibuat oleh kejadian
ini.
“Tidak salah !”
“Lalu saudara yang satunya itu apakah juga kawanmu.”
“Sedikitpun tidak salah, dia memang kawanku.”
“Apakah kalian berkenalan sudah lama?”
“Entah apa amaksud nona untuk menanyakan persoalan
ini ?”
Dara cantik berbaju hijau itu kembali tertawa.
“Tahukah kau orang macam apa kawanmu itu?”
tanyanya
“Dia adalah manusia macam apa?” Buru-buru pemuda
itu berseru, karena hatinya rada bergerak.
“Eeeeeei …… bukankah kalian berdua adalah pasangan
sahabat karib, bagaimana kau bisa tahu macam apakah
manusia itu?”
Pek Thian Kie yang dikatai begitu, sekali lagi berdiri
tertegun dibuatnya.
“Per…..persahabatan kami tidak begitu mendalam ……
apalagi perkenalanku belum cukup lama.”
“Sudah ada berapa hari?” desak dara berbaju hijau itu
lebih lanjut
“Kami baru berkenalan selama dua hari saja!”
“Oooooow ….. kiranya kalian baru berkenalan selama
dua hari, tidak aneh kalau kau belum begitu paham
terhadap dirinya. Walaupun asal-usulnya yang benar masih
merupakan suatu teka-teki, tetapi orang-orang dunia
kangouw pada mengetahui bila ia bukan bernama Cu Tong
Hoa …..!”
“Lalu siapakah dia?”
“Kiang To!”
“Apa? Apa kau bilang ? Kiang To ?”
Tak kuasa lagi Pek Thian Kie menjerit tertahan,
beberapa patah perkataan tersebut benar-benar terasa
bagaikan aliran strom yang membuat seluruh badannya
tergetar dan gemetar keras.
Ia merasa terperanjat, kaget, bingung dan kelabakan
sendiri !
Dia bernama Kiang To ? Cu Tong Hoa adalah
sebenarnya Kiang To ?
Tetapi, bukankah si kakek tua berbaju hitam itu tadi
mengatakan bahwa Kiang To adalah dirinya sendiri !
Kiang To ………Kiang To ……….! Kiang To ………..!!
sebetulnya macam apakah Kiang To ini ?
Kejadian ini betul-betul merupakan suatu peristiwa yang
tak dapat masuk akal, bahkan urusan ini terlalu
membingungkan. Buat Pek Thian Kie, ia sama sekali tidak
paham walau barang sedikitpun. Kiang To adalah satu
orang, dan hanya seorang manusia saja yang bernama
Kiang To. Orang itu kalau bukan dirinya tentu si manusia
mesterius tersebut.
Sebenarnya siapakah orang itu ?
Agaknya peristiwa ini ada sangkut paut yang amat besar
dan erat sekali dengan dirinya, karena jika dia benar-benar
bernama Kiang To, maka kejadian suhunya telah
menyembunyikan nama aslinya tentu masih ada sebabsebab
tertentu.
Kabut mesterius, teka-teki serta tanda Tanya yang besar
mengurung Pek Thian Kie kencang-kencang dan mulai
menjerumuskan dirinya kedalam lembah lamunan.
Si dara cantik berbaju hijau yang melihat paras muka Pek
Thian Kie menunjukkan perasaan terkejut segera
menambahi lagi kata-katanaya :
“Eeeei …… sekarang tentunya kau sudah tahu bukan,
manusia macam apakah kawanmu itu ?”
“Ehmmmm ……..! benar ………..!”
Dalam hati Pek Thian Kie mengerti bahwa ia harus tetap
berpura-pura menunjukkan rasa kagetnya dikarenakan
“Kiang To” dua kata tersebut dan bukan sedang terkejut
dikarenakan persoalan lain.
Padahal, yang ida ketahui hanya angina kentut belaka
……
“Eeeeei …..kalau kau sudah tahu lebih baik cepat-cepat
pergi!” seru si dara berbaju hijau lagi. “Kalau tidak,
mungkin sekali bibit bencana bakal terjatuh keatas badanmu
juga!”
Selesai berkata dengan langkah yang menggiurkan ia
berlalu dari tempat itu.
Pek Thian Kie masih tetap berdiri tertegun ditempat
semula.
Sekarang, didalam hatinya ia sudah mengambil
keputusan, ia harus menyelidiki urusan ini sampai jelas,
siapakah sebenarnya Cu Tong Hoa ini ? Benarkah dia orang
bernama Kiang To ? Dan macam apakah manusia yang
disebut Kiang To itu ?
Mendadak, ia teringat akan suatu persoalan yang maha
penting, persoalan ini adalah suhunya menyuruh dia pergi
mencari Kiang To untuk menanyakan asal-usulnya. Dan
orang yang disebut Kiang To ini tentu adalah seorang
manusia terkenal yang sudah diketahui oleh siapapun,
maksud suhunya tentu agar ia sekali mendapat tahu, maka
mudah untuk memperoleh keterangan yang cukup. Berpikir
akan hal ini, ia merasa semakin harus menjelaskan
persoalan ini.
“Kawan Pek, kau lagi pikirkan apa?” sekonyongkonyong
serentetan suara berkumandang masuk kedalam
telinganya.
Mendengar suara tersebut diam-diam dalam hati pemuda
tersebut merasa amat terperanjat, sewaktu ia
mendongakkan kepala terlihatlah seorang lelaki berpakaian
perlente sudah berdiri dihadapannya.
Pek Thian Kie rada tertegun sejenak.
“Oooouw ….. kawanku mengundang kau untuk pergi
kesana sebentar ….!” Serunya kemudian.
“Ada urusan apa?”
“Entahlah, mari ikuti diriku!”
Selesai berkata tanpa menungu jawaban dari seorang
berbaju perlente itu lagi, ia lantas putar badan berjalan
melalui jalanan semula.
Pada mulanya si lelaki berpakaian perlente itu dibuat
agak ragu-ragu, tetapi akhirnya dengan wajah penuh rasa
curiga ia mengikuti juga dari belakang tubuh Pek Thian Kie
Sesampainya didepan kamar, pemuda itu langsung
mendorong pintu berjalan masuk. Mendadak ……. Ia
dibuat berdiri tertegun !
Kiranya didalam kamar itu kini sudah tak nampak
bayangan Cu Tong Hoa lagi, saat ini kamar tersebut kosong
melompong.
Bukan saja bayangan dari Cu Tong Hoa lenyap tak
berbekas, sekalpun mayat “Pak Hoa Coa” yang
menggeletak didepan pintunya pada saat ini sudah ikut
lenyap. Hal ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang
sama sekali tak ia duga.
Tak kuasa lagi Pek Thian Kie berdiri termangu-mangu
disana, tak sepatah katapun berasil diucapkan keluar.
“Eeeei …….. kawan Pek, dimana kawan Cu-mu?”
Tanya si lelaki berbaju perlente itu setelah melirik sekejap
kedalam ruangan kamar.
Pek Thian Kie yang ditanyai demikian Cuma bisa
meringis-ringis kuda dan bungkam seribu bahasa, karena
hal ini jelas membuktikan bila Cu Tong Hoa ada maksud
untuk menyingkirkan dirinya kesamping, agar ia dapat
dengan leluasa melanjutkan tindakannya menyelesaikan
suatu rencana busuk.
Tak terasa lagi hawa marahnya berkobar memenuhi
seluruh rongga dada.
“Kemungkinan sekali dia baru saja keluar….” Sahutnya
terpaksa
“Tapi, ada urusan apa dia memanggil aku kemari?
“Mungkin tiada urusan apa dia memanggil aku kemari ?
“Ooooouw ….” Tanpa banyak rewel lagi si lelaki berbaju
perlente itupun segera putar badan berlalu.
Menanti bayangan orang itu sudah lenyap dari
pandangan, dengan gerakan yang sangat cepat ia segera
menerjang masuk kedalam kamar !
Seluruh isi ruangan kamar diperiksanya dengan sangat
teliti, tetapi walaupun ia susah payah tak sedikit dijejakpun
yang berhasil ditemukan.
Untuk beberapa saat pemuda ini dibuat berdiri termangumangu,
karena peristiwa ini terjadi terlalu mendadak dan
sama sekali berada diluar dugaan, maka untuk beberapa
saat lamanya ia tak sanggup berpikir lebih panjang.
Dengan kaku ia jatuh terduduk diatas pembaringan,
pikirnya melayang, entah memikirkan urusan apa ……
Entah sudah beberapa lamanya, mendadak Pek Thian Kie
mencium bau amis yang semakin lama semakin tebal
menyerang hidungnya dari bawah pembaringan.
Hatinya terasa berdebar amat keras, buru-buru seprei
tempat tidurnya disingkap, lalu berjongkok untuk diperiksa.
Tetapi sejenak kemudian saking terperanjatnya hampirhampir
saja ia menjerit keras.
Kiranya dibawah pembaringan itu berbaringlah mayat
dari si ular seratus bunga, hanya saja pada saat ini
pakaiannnya sudah dicopot orang lain, sehingga diatas
mayat tersebut hanya tertinggal pakaian dalam saja yang
sudah amat minim.
Tetapi Pek Thian Kie tidak habis mengerti akan kejadian
yang sudah berlangsung ….. Sudah tentu, Cu Tong Hoa
bisa berbuat demikian, tidak mungkin tak ada suatu tujuan
tertentu, Cuma, saying pemuda ini tak mengerti apakah
tujuannya berbuat demikian?
Mendadak ……
Suatu ingatan sudah berkelebat didalam benaknya,
dengan cepat ia menerjang keluar dari kamar. Ketika sinar
matanya berputar, maka terlihatlah olehny ditengah luar
kini sudah bertambah lagi dengan puluhan orang jagoan
lihay Bu-lim. Sinar mata Pek Thian Kie kembali menyapu
kearah orang-orang itu, akhirnya dibawah tumbuhan bunga
ia menemukan seorang nenek tua berpakaian kembangan
berjongkok disana. Bukankah dia orang adalah Pak Hoa
Coa ?
Tetapi dalam hati Pek Thian Kie mengerti, kalau dia
bukan Pak Hoa Coa yang asli, sebaliknya seorang pak Hoa
Coa palsu, hasil penyaruhan dari si pemuda misterius Cu
Tong Hoa.
Saat inilah Pek Thian Kie mulai merasakan bila Cu Tong
Hoa rada menyeramkan, apakah tujuan sebenarnya datang
kemari ?
Apa sebabnya berpuluh-puluh orang jagoan Bu-lim
mendatangi tempat ini pula untuk mencari dirinya ?
Dalam hati Pek Thian Kie mulai mengambil keputusan
untuk bikin jelas persoalan ini, sekalipun ia harus
membocorkan rahasianya sendiri.
Diam-diam ia mulai berpikir.
“Sekarang tenaga dalamku sudah pulih enam bagian,
rasanya sudah lebih dari cukup untuk menghadapi seorang
jagoan, aku harus mulai bertindak …..”
Setelah mengambil keputusan ini, dengan langkah
tergesa-gesa ia lantas berjalan mendekati diri Cu Tong Hoa.
Sampainya disisi pengemis tersebut dengan nada mengejek
ia tertawa tawar .
Cu Tong Hoa yang melihat munculnya Pek Thian Kie
disana ia Cuma melirik sekejap kearahnya, tetapi air
mukanya masih tetap tawar tak berubah sedang
suaranyapun sangat mirip dengan suara dar Pak Hoa Coa.
“Eeeeei ….. bocah kurus, kau hendak berbuat apa
disini?”
“Kawanku yang berada dibawah pembaringan
mengundang kau untuk bertemu sejenak!” sahut Pek Thian
Kie tertawa.
Seluruh Tubuh Cu Tong Hoa kontan saja gemeatr sangat
keras.
“Aaaakh ….. ada urusan apa?” serunya sambil meloncat
bangun.
“Aku sendiripun kurang jelas, lebih baik kita bicara
didalam kamar saja.”
“Stttt….Pek-heng, kau tahu siapakah aku?” Tiba-tiba Cu
Tong Hoa berbisik.
“Sudah tentu tahu!”
“Kalau begitu, mari kita kembali kedalam kamar!”
“Sebetulnya siapakah kau? Ayoh cepat katakana!”
bentaknya.
Perubahan nada ucapan dari Pek Thian Kie ini agaknya
sama sekali berada diluar dugaan Cu Tong Hoa, maka
dengan perasaan terperanjat dan hati berdesir ia
memperhatikan pemuda itu tajam-tajam, untuk beberapa
saat lamanya pengemis muda tersebut tak sanggup untuk
mengucapkan sepatah katapun.
Lama ……lama sekali ia baru bisa menjawab.
“Pek-heng, kau benar-benar berada diluar duagaanku.
Kiranya kau bukannya tidak mengerti akan urusan ini
……!”
“Sedikitpun tidak salah, aku memang pernah tidak
mengerti akan urusan ini, tetapi sekarang aku sudah mulai
memahami. Cu-heng, siapakah sebetulnya kau ini? Ayo
cepat jawab!”
Walaupun keadaan didalam ruangan tersebut penuh
diliputi oleh suasana tegang, tetapi nada pembicaraan
mereka masih tetap ringan dan halus. Saking perlahannya,
sehingga hanya mereka berdua sajalah yang bisa
mendengarnya.
Cu Tong Hoa tertawa dingin tiada hentinya.
“Sekalipun aku katakana belum tentu, kau bisa paham.
Lebih baik tak usah aku bicarakan,” serunya
Air muka Pek Thian Kie berubah hebat.
“Jika kau tidak suka berbicara lagi, hati-hati aku akan
pecahkan rahasia penyamaranmu dihadapan para kawankawan
Bu-lim yang hadir ditengah lapangan!” ancamnya
“Heeeee………heeeeee………..heeeeeeeee……. kalau
kau berani berbuat demikian, maka hal ini akan
mendatangkan kesialan saja buat dirimu sendiri!”
“Aku sudah merasa cukup untuk jadi orang goblok, Cuheng!
Mengapa kita tidak suka bicara baik-baik. Kalau tidak
……. Siauwte pun tidak ingin menimbulkan banyak
kerepotan lagi ……..!”
Mendengar perkataan tersebut, air muka Cu Tong Hoa
segera berubah hebat, dari sepasang matanya memancarkan
cahaya tajam yang membuat setiap orang terasa bergidik.
Perlahan-lahan ia menyapu pula sekejap kearah diri Pek
Thian Kie tajam-tajam.
“Siapakah sebtulnya dirimu? Tanyanya kemudian
dengan suara seram’
Nada suaranya penuh diliputi oleh perasaan kaget dan
bergidik, hal ini sebaliknya malah membuat Pek Thian Kie
jadi tertegun.
“Aku adalah Pek Thian Kie!” serunya keheran-heranan.
“Bohong! Kau bukan Pek Thian Kie.”
“Kenapa aku harus berbohong?”
“Aaaaaakh …… sekarang aku baru teringat,
sesungguhnya Pek Thian Kie sudah mati, bagaimana
mungkin sekarang bisa muncul kembali seorang yang
bernama Pek Thian Kie ?”
“Apa kau kata? Pek Thian Kie sudah mati? Kapan dia
matinya?”
“Setahun yang lalu, dan aku berani pastikan kalau Pek
Thian Kie benar-benar sudah mati.”
Pek Thian Kie benar-benar merasakan hatinya tergetar
keras, perkataan dari Cu Tong Hoa ini ternyata mirip sekali
dengan apa yang dikatakan oleh si orang tua berbaju hitam
itu !
Bagaimana kau bisa tahu ? Siapakah dia ? tanyanya
terperanjat.
“Sin Mo Kiam Khek! Si jagoan pedang iblis sakti.”
“Aaaakh …….!” Tak kuasa lagi saking terperanjatnya
Pek Thian Kie jadi menjerit tertahan.
“Ayo jawab, siapakah kau!” kembali Cu Tong Hoa
membentak keras, suaranya amat dingin menyeramkan.
Perlahan-lahan air muka Pek Thian Kie berunah jadi
ramah kembali, ia tertawa perlahan.
“Sekarang lebih baik kau sebutkan dulu siapakah kau?
Bukankah kau bernama Kiang To!’ serunya.
“Apa?” Cu Tong Hoa menjerit kaget, “Apa kau kata
………?
“Aku bilang apakah kau orang bernama Kiang To
…….!”
Belum habis Pek Thian kie berbicara, Cu Tong Hoa
sudah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila.
Tetapi pada saat yang bersamaan mendadak terdengarlah
suara langkah manusia berkumandang mendekat, disusul
dengan munculnya si orang tua Tiang kwee dari Istana
harta itu dan diikuti oleh si orang tua berwajah merah yang
menjabat sebagai Cong-koan disana, si setan tangan darah.
Pek Thian kie serta Cu Tong Hoa tetap berdiri
berdampingan dengan sikap yang tenang.
“Eeeeei …..nenek tua permisi!” sapa Tiang-kwee setelah
tiba dihadapan Cu Tong Hoa.
“Ada urusan apa?”
“Mengenai uang pinjamanmu seribu tahil perak, kami
sudah siapkan buat dirimu, mari silakan ikuti diriku untuk
pergi mengambil.”
Perkataan ini sangat biasa sekali, tetapi bagi Cu Tong
Hoa serta Pek Thian Kie kedalm hati sudah merasa sangat
paham.
Agaknya pihak lawan sudah mengetahui, bila dia
bukanlah si ular seratus bunga yang asli, karena kematian
Pak Hoa Coa secara mendadak agaknya juga dilakukan
oleh orang-orang istana harta sendiri.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……..dia tidak
menginginkan seribu tahil perak kalian lagi,” teriak Pek
Thian Kie sambil tertawa dingin tiada hentinya.
“Kenapa?” seru sang Ciang-kwee tak tertahan lagi air
mukanya berubah hebat.
“Kawanku sudah pinjamkan seribu tailnya buat dia
orang, karena itu dia kini sudah tidak menginginkan uang
seribu tail perak kalian lagi.”
“Siapa yang tidak suka uang?” tiba-tiba Cu Tong Hoa
berteriak keras dengan air muka berubah hebat. “Lebih
banyak uang lebih bagus, mari biar aku ikut kalian ambil
uang itu.”
Selesai berkata, ia lantas putar badan siap meninggalkan
ruangan tersebut.
“Berhenti!” mendadak Pek Thian Kie membentak keras.
Suara bentakan yang amat keras dari Pek Thian Kie ini
seketika itu juga membuat ketiga orang itu membatalkan
niatnya untuk berlalu dari sana.
Biji mata Cu Tong Hoa berputar-putar tiada hentinya,
sedang air muka berubah amat sinis.
“Kau ingin berbuat apa?” tegurnya ketus
“Cu-heng, kau adalah seorang manusia yang cerdik,
apakah kita harus saling cakar-mencakr muka masingmasing?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. kau ingin
berbuat apa?”
“Jawab dulu pertanyaan yang aku ajukan!”
“Apa?”
“Kau tidak usah berlagak pilon lagi, tujuan kita masingmasing
tidak sama. Kau lakukanlah perbuatanmu sedang
aku akan melakukan pekerjaanku sendiri …..”
Sekali lagi Pek Thian kie dibuat tertegun dan berdiri
termangu-mangu disana.
Perkataan dari Cu Tong Hoa barusan ini jelas
menunjukkan bila dia bernama Kiang To dan perkataan ini
ternyata sama sekali cocok dengan apa yang diucapkan si
kakek tua berbaju hitam itu kepadanya.
Hal ini sudah tentu cukup membuat hatinya merasa
sangat terperanjat.
Ketika itulah ……
Cu Tong Hoa beserta kedua orang dari istana harta
sudah putar badan dan melanjutkan kembali perjalanannya
keluar dari ruangan tersebut.
“Berhenti! Kembali Pek Thian Kia membentak keras.
Mendengar suara bentakan tersebut, walau dengan hati
mendongkol mereka terpaksa berhenti juga.
“Eeeeei …. Sebetulnya kau ingin berbuat apa?” teriak Cu
Tong Hoa dengan amat gusar, hatinya benar-benar
mendongkol
“Jelaskan dulu perkataanmu kemudian baru berlalu.”
“Hei… bocah kurus, kau ingin mencari mati?” bentak
Hiat Koei So secara mendadak.
“Kenapa ?” balik Tanya Pek Thian Kie dingin
“Kalau kau memang ingin menjadi tamu dari istana
kami, ada seharusnya jangan menyusahkan kami untuk
berlalu, jika kau rebut-ribut lagi, hati-hatilah aku akan kasih
sedikit hajaran buat dirimu!”
Diatas air muka Pek Thian Kie perlahan-lahan
terlintaslah suatu perubahan yang sangat menyeramkan.
“Hmmmmm! Sekalipun kau sudah berbicara demikian,
tetapi aku tetap tidak akan mengizinkan dia berlalu.”
“Hmmm! Nenek tua ayoh ikut kami pergi, jika ada
urusan biarlah aku yang tanggung.” Seru si Hiat Kui So
dengan dingin.
“Bagus ….. bagus sekali,” Pek Thian Kiepun tidak mau
mengalah dengan begitu saja.
“Hei nenek tua, ayoh, kau oleh coba-coba berlalu dari
sini!”
“Makanya, badanmu yang kurus tinggal tulang bay-kut
apa benar-benar kepingin diputus-putus untuk makanan
anjing?”
“Haaaaaa……….haaaa…………haaaa…….. justru aku
takut kalau kau orang tidak memiliki kepandaian semacam
itu.”
“Kurang ajar, bagus sekali, aku harus kasih sedikit
hajaran dulu kepadamu.”
Baru saja perkataan tersebut selesai diucapkan, tubuhnya
laksana sambaran kilat sudah meluncur menerjang diri Pek
Thian Kie, tangannya dipentangkan lebar-lebar kemudian
dengan menggunakan kelima jari tangannnya yang runcing
ia mencengkeram dada pemuda tersebut.
Serangan cengkeraman dari pihak lawan ini benar-benar
sangat luar biasa dasyatnya, tampaklah bayangan putih
berkelebat tahu-tahu Pek Thian Kie sudah menyingkir
kesamping.
“Kau benar-benar ingin mencari mati?” bentaknya keras.
“Sedikitpun tidak salah!”
Baru saja perkataan itu meluncur keluar cengkeraman
kedua sudah menyambar tiba, kecepatan dari serangan ini
jauh melebihi serangan pertama bahkan kedasyatannya
amat mengerikan.
Pada saat itu Pek Thian kie sendiripun sudah dibuat
gusar juga oleh sikap pihak lawan, menanti cengkeraman si
Hiat Kui So hampir mencapai pada sasarannya, mendadak
tangan kanannya diputar kencang lalu dibabatkan kearah
depan.
Kecepatan geraknya jauh, melebihi kecepatan pihak
lawan.
Dengan bergebraknya kedua orang ini maka cepat
memancing perhatian dari berpuluh-puluh orang jagoan Bulim
yang semula sedang berkumpul ditengah lapangan itu,
dengan perasaan heran mereka pada memperhatikan
jalananya pertempuran tersebut.
Cu Tong Hoa dengan bungkam tetap berdiri disisi
kalangan.
Sekonyong-konyong …….
Si “Hiat Kui So” berturut-turut melancarkan tiga buah
serangan gencar kearah depan, angin pukulannya menderuderu,
bayangan telapak berkelebat menyilaukan mata.
Hanya didalam sekejap mata saja ia sudah mengancam
tiga buah jalan darah penting pada tubuh pemuda tersebut.
“Tong Cong-koan, buat apa kau mengganggu orang
lain?” mendadak dari samping kalangan berkumandang
datang suara seseorang yang amat merdu.
Mendengar suara teriakan tersebut, buru-buru si “Hiat
Kui So” menarik serangannya dan segera mengundurkan
diri kebelakang.
Kiranya orang yang baru saja berteriak bukan lain si dara
cantik berbaju hijau.
“Nona Suma, bagaimana kau bisa tahu urusan ini.
Bangsat cilik ini benar-benar liar dan seperti maknya
……….” Teriak si Hiat Kui So dengan gemas.
“Tong Cong-koan! Bukankah yang pertama-tama turun
tangan terlebih dahulu adalah kau ……!”
“Sedikitpun tidak salah! Yang turun tangan terlebih
dahulu memang aku, tetapi bangsat cilik ini sendiri yang
mencari mati.”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Bangsat
Tong Coa-koan. Jangan kau kira aku menaruh rasa jeri
terhadap dirimu,” seru Pek Thian Kie sambil tertawa dingin
tiada hentinya. “Terus terang saja aku beritahu padamu,
jika aku benar-benar kepingin membinasakan dirimu,
sebenarnya gampang sekali seperti membalikkan telapak
tangan sendiri.”
“Cuh ….. kau monyet cilik apa punya kepintaran seperti
itu.”
“Ooooouw …. Kau tak percaya ? Bagaimana kalau kita
coba-coba dulu ?”
“Bagus sekali!” Aku ingin kasih sedikit hajaran biar kau
merasa bila diatas langit masih ada langit.”
Selesai berbicara tubuhnya dengan cepat kembali
berkelebat kedepan, kecepatannya laksana sambaran petir.
Diiringi dengan terjangan tersebut, sebuah pukulan yang
maha dasyat menimbulkan deruan yang memekakkan
telingga dihantmkan keatas tubuh pemuda tersebut.
Agaknya serangan ini sudah menggunakan hampir
seluruh tenaga Iweekang yang dimiliki Tong It San,
kehebatannya benar-benar bukan alang kepalang.
Jilid 3
Bab 7 Kiang Swie Tau Tau ....?
DIDALAM DUNIA Kangouw Tong It san memiliki
julukan sebagai setan tangan berdarah yang terkenal akan
keganasan serta ketelengasannya. Sudah tentu setiap
serangan yang dilacarkan sangat kejam dan tidak
berprikemanusiaan.
Begitu Tong It san turun tangan dasyat, orang-orang lain
yang hadir disamping kalangan tak terasa lagi pada ikut
merasa kuatir buat keselamatan Pek Thian Kie.
“Oooooo…..kau ingin cari mati?” bentaknya
Bersamaan dengan itu pula sepasang telapak tangannya
perlahan-lahan didorong kedepan menyambut datangnya
serangan musuh, serangnnya ini dilancarkan sangat biasa
dan sama sekali tiada keistimewaannya.
Tampak bayangan manusia saling berkelebat
menyilaukan mata, ditengah suara bentrokan yang amat
keras tubuh si Hiat Kui So kontan kena terdesak mundur
puluhan tindak kearah belakang …..
“Siapakah kau ….. bangsat cilik?” tak kuasa lagi si Hiat
Kui So berseru dengan nada gemetar.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Bukankah
sewaktu aku masuk kemari sudah kuberitahutentangku
kepada kalian? Hei Bangsat tua berhati-hatilah, sekarang
adalah giliranku yang akan kasih sedikit hajaran buat
dirimu?”
Telapak tangan kirinya segera diayunkan kedepan
mengirim sebuah babatan tajam.
Kali ini si Hiat Kui So benar-benar merasa terperanjat,
tangan kanannya buru-buru disilangkan didepan dada
menangkis datangnya serangan tersebut.
Tetapi sewaktu tangan kanannya diangkat diatas dada
dua kali suara tabokan nyaring sudah bersarang diatas
pipinya.
Sambil menjerit keras, Hiat Kui So mundur kebelakang
dengan terhuyung-huyung pipinya sembab membengkak,
sedang dari ujung bibirnya mengucur darah segar.
Kecepatan gerak dari pemuda ini benar-benar sangat
mengerikan, walaupun disamping kalangan hadir berpuluhpuluh
orang jagoan lihay tetap tak seorangpun diantara
mereka yang berhasil melihat dengan jelas secara
bagaimana pemuda tersebut memerseni beberapa tabokan
kepada pihak musuhnya.
Tak kuasa lagi bulu kuduk mereka pada berdiri, mereka
merasakan hatinya berdesir, tak disangka badan yang kurus
tinggal tulang bay-kut saja ternyata bisa memiliki
kepandaian ilmu silat yang begitu lihay.
Hal ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang
sama sekali tak terpikirkan oleh mereka.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. jika kau
masih tidak tahu baik buruknya, jangan salahkan aku akan
turun tangan lebih kejam.” Bentak Pek Thian Kie dingin.
Tong It san sebagai Congkoan “Istana Harta”
kedudukannya sangat tinggi, dan terhormat, boleh dikata
didalam dunia kangouw sudah mempunyai nama yang
sangat harum pula.
Siapa sangka dihadapan jagoan Bu-lim yang begitu
banyak ternyata ia kena diperseni beberapa tempelengan
oleh seorang pemuda yang kurus kering, hal ini benar-benr
merupakan suatu kejadian yang sangat memalukan.
Hatinya benar-benar merasa malu bercampur gusar,
penghinaan ini dianggap jauh lebih kejam daripada
badannya ditusuk beberapa kali dengan menggunakan
golok tajam.
Ia meraung keras, tubuhnya bagaikan harimau lapar
kembali menubruk kearah pemuda tersebut, tampaklah
sepasang telpak tangannya yang sudah berubah jadi merah
darah dipentangkan lebar-lebar.
Dan hanya didalam sekejap mata saja ia sudah mengirim
tiga jurus serangan sekaligus.
“Kau cari mati …….” Teriak Pek Thian Kie gusar.
Tubuhnya segera berkelebat menghindarkan diri dari
datangnya serangan dasyat pihak lawan, mendadak iapun
membentak keras, diantra berkelebatnya cahaya tajam,
tahu-tahu ia sudah mengirim pula sebuah pukuln dasyat,
bagaikan ambruknya gunung thay-san ia balas menggencet
lawan.
Kecepatan gerak tubuhnya benar-benar luar biasa,
mengiringi menyambarnya angin pukulan kedepan suara
jeritan ngeripun berkumandang memenuhi angkasa.
Tubuh Hiat Kui So terpental sejauh dua kaki lebih roboh
keatas tanah dengan memuntahkan darah segar.
Peristiwa ini hanya terjadi dalam waktu amat singkat,
kepandaian ilmu silat dari Pek Thian Kie yang amat lihay
ini seketika itu juga membuat lima, enam puluh orang
jagoan yang hadir ditengah kalangan pada mersakan
kakinya bergidik.
“Bangsat cilik, biarlah aku adu jiwa dengan dirimu,”
teriak Ciang-kwee lojin gusar.
Tampak bayangan manusia berkelebat dengan cepat
iapun sudah menubruk keatas tubuh Pek Thian Kie, telapak
tangannya bersama-sama digerakkan mengirim beberapa
serangn dasyat menghajar musuhnya.
“Kau juga ingin cari mati?” bentak pemuda itu gusar,
badannya buru-buru berkelit kesamping.
Suara bentakannya ini ternyata membawa suatu
kekuatan yang amat besar, tak terasa lagi tubuh Ciang-kwee
lojin itu kena tertahan oleh suara bentakan tersebut.
“Hei Ciang-kwee ! Lebih baik kau orang tahu diri,”
bentak Pek Thian Kie dingin.
“Jika aku ingin membinasakan dirimu, cukup didalam
tiga jurus saja aku sudah bisa melaksanakannya, kau
percaya tidak ?..........”
Perkataan ini memang ada buktinya, orang-orang yang
hadir ditengah kalangan rata-rata sudah pada percaya akan
perkataannya ini.
Dengan perasaan ketakutan Ciang-kwee lojin buru-buru
mengundurkan diri kebelakang, ia mengerti jikalau
diharuskan mengikuti hawa nafsu untuk mencari gara-gara,
maka sekalipun tidak mau, iapun menderita luka parah.
Hiat Kui o adalah suatu contoh yang sangat nyata dan
tak terbantah !
Pek Thian kie pun tak menggubris si orang tua itu lagi,
tubuhny dengan cepat mencelat ketengah udara, lalu
melayng kehadapan Cu Tong Hoa.
“Kau suka bicara tidak?” bentaknya dingin
“Apa yang harus aku ktakan?”
“Siapakah kau?”
“Heeeee……….heeeee…… aku tidak sampai
membocorkan siapakah kau sebenarnya, bukankah sudah
cukup …..” dengus Cu Tong Hoa dingin
Sepasang mata Pek Thian Kie melotot lebar-lebar, nafsu
membunuh mulai terlintas diatas wajahnya.
“Kau suka bicra tidak?” bentaknya lagi dengan amat
kasar.
Air muka Cu Tong Hoa kontan saja berubah hebat.
“Kiang To! Orang lain tak akan mengenali dirimu, tetapi
aku mengetahui jelas akan dirimu….!
Belum habis perkataan dari Cu Tong Hoa ini diucapkan
keluar, diantara para jago-jago Bu-lim sudah timbul
kegaduhan, bahkan ada berpuluh-puluh orang yang sudah
berteriak-teriak keras.
“Aaaakh …… diakah Kiang To?”
“Sedikitpun tidak salah, ornag yang sedang kalian cari
bukan lain adalah dirinya ..” sambung Cu Tong Hoa
dengan cepat.
“Kentutmu!”
“Eeeei…..bagaimana? kau masih tidak berani
mengakui.”
“Mengaku, kaulah yang bernama Kiang To!”
“Kentut anjingmu!”
“Tidak salah, dia orang adalah Kiang Tp…..” suasana
gaduh kembali menyerang seluruh kalangan.
“ ………….. kalau bukan dia, siap lagi yang memilki
kepandaian silat yang selihay itu…?”
“……..Benar, benar …….. seratus persen dia adalah
Kiang To ……”
“………”
Berpuluh-puluh orang jagoan Bu-lim yang hadir mulai
gaduh, suasana berubah jadi amat ramai dan diliputi rasa
ketegangan.
Perlahan-lahan diatas paras muka Pek Thian Kie terlihat
hawa nafsu membunuh yang semakin tebal, ia merasa
“Kiang To” yang ada dihadapannya atau dengan nama lain
Cu Tong Hoa benar-benar bersifat kejam dan cukup
telengas.
Demi keuntungan diri sendiri, ternyata dengan tiada
sayangnya ia sudah menuduh dirinyalah orang yang
bernama Kiang To.
………. Sudah tentu, pihak lawan adalah seorang
manusia ganas yang sudah terlalu banyak melakukan
perbuatan jahat, kalau tidak, bagaimana bisa memancing
datangnya begitu banyak jago-jago lihay Bu-lim untuk
melakukan pengejaran ?
Sekarang, bagaimanapun ia tak bisa menggubris
peristiwa ini lagi!
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. tindakan
saudara ini boleh dikatakan sama dengan siapa turun
tangan terlebih dahulu dialah yang lebih kuat,” bentak Pek
Thian Kie dingin. “Cuma …… kau berhasil menipu orang
lain, tetapi tak bakal bisa menipu diriku, kaulah yang
bernama Kiang To!”
“Kentut!”
Kata-kata makian ini ganti Cu Tong Hoa yang
menghadiahkan kepada diri Pek Thian Kie.
“Bagaimana? Apa kau tidak berani mengaku?”
Suara bentakan serta nada ucapannya sama sekali mirip
satu sama lainnya, hal ini seketika itu juga membuat
berpuluh-puluh orang jagoan Bu-lim yang hadir disana jadi
kebingungan dibuatnya.
“Haaa……….haaa…………haaa……..bagus sekali,
bagus sekali, sebuah jurus serangan yang amat lihay ……!”
teriak CU Tong Hoa sambil tertawa terbahak-bahak dengan
amat seram.
“Kaulah yang sudah mengeluarkan sebuah jurus
serangan yang amat lihay!”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Kawan!”
seru si pengemis muda ini kembali dengan nada dingin.
“Hubungan kita sama dengan air sumur tidak melanggar air
sungai, kau melakukan perjalanan Yang Kwan To mu,
sedang aku lewat jembtan To Bok Kiauw ku, buat apa kita
harus saling cakar mencakar?
Heeeee……….heeeee………apa kau anggap aku sudah
takut padamu ?”
“Jadi kau sudah mengakui kaulah yang bernama Kiang
To?”
“Apa maksud dari perkataan saudara ini?”
“Aku ingin mengetahu apakah kau adalah manusia yang
bernama Kiang To …..”
“Kentut! Kenapa kau begitu ngotot mengatakan aku
adalah Kiang To ….? Saudara tidak usah banyak bicara
lagi, kau bisa memiliki kepandaian ilmu silat yang demikian
lihaynya jelas kaulah yang bernama Kiang To, dan hal ini
sudah disaksikan oleh banyak orang …..”
“……..Tidak salah, kecuali dia tidak seorangpun yang
bisa memilki kepandaian silat yang selihay itu …..” kembali
ada orang yang berteriak.
“ ……….bangsat cilik ini benar-benar cukup ganas.”
Dari antara gerombolan jago-jago lihay Bu-lim sekali lagi
terjadi kegaduhan, suasana semakin meruncing.
“Aku ingin mengetahui apakah kau adalah manusia
yang bernama Kiang To …..”
“Kentut! Kenapa kau begitu ngotot mengatakan aku
adalah kiang To …..? saudara tidak usah banyak bertanya
lagi, kau bisa memiliki kepandaian ilmu silat yang demikian
lihaynya jelaslah kaulah yang bernama Kiang To dan hal
ini sudah disaksikan oleh banyak orang …..”
“…….. Tidak salah, kecuali dia tidak seorangpun yang
bisa memiliki kepandaian ilmu silat yang selihay itu ……”
kembali ada orang yang berteriak.
Diantara gerombolan jago-jago bu-lim sekali lagi
terdapat kegaduhan, suasana semakin meruncing.
Pek Thian Kie melihat kejadian ini saking kekinya tak
sanggup untuk mengucapkan sepatah kaatapun, ia sama
sekali tidak menyangka kalau orang lain bisa mencap
dirinya sebagai manusia yang bernama Kiang To ….”
Bagaimana sikap serta tindak tanduk Kiang To
sebenarnya terhadap orang lain ? Jikalau urusan ini benarbenar
sampai terjatuh keatas tubuhnya, bukankah getah ini
bakal ia telan dengan hati mendongkol ?
“Kawan!” serunya kemudian. “Jika kau tidak suka
mengaku, maka aku orang akan paksa kau untuk mengaku
!”
“Hmm ! Orang she Kiang, kini kau sudah merusak
urusanku, akupun tidak akan mengampuni dirimu ……”
bentak Cu Tong Hoa pula dengan dingin.
“Kau cari mati …..!”
Belum hbis perkataan diucapkan keluar bagaikan
sambaran kilat Pek Thian Kie sudah berkelebat menubruk
kearah Cu Tong Hoa diiringi sebuah pukulan yang amat
dasyat.
Serangan yang dilancarkan Pek Thian Kie ini benarbenar
lihay, sehingga ruangan seluas beberapa kaki itu
dengan cepat terbungkus didalam derunya angina pukulan.
Buru-buru Cu Tong Hoa meloncat ketengah udara
menghindarkan diri dari datangnya serangan tersebut, tetapi
belum sempat ia balas melancarkan serangan, Pek Thian
KIe kembali mengirim serangannya yang kedua.
Serangan tersebut dilancarkan dengan begitu mantap dan
hebatnya, hal ini membuat Cu Tong Hoa tidak berani
betrayal ditengah suara bentakan yang keras iapun
mengirim satu pukulan menerima serangan musuhnya.
“Bunuh bangsat cilik ini !” diantara gerombolan jagojago
bu-lim kedengaran ada yang berteriak.
Teriakannya ini ternyata segera memancing gusar dari
berpuluh-puluh orang lainnya.
Dasar memang tujuan kedatangan mereka kesana adalah
hendak mencari Kiang To, kini setelah mendapatkan
hasutan yang panas itu mereka tak bisa menahan diri lagi.
Tampak bayangan manusia berkelebat memenuhi
angkasa, berpuluh-puluh orang bersama-sama meluncur
kearah Pek Thian Kie dengan kecepatan penuh.
Angina pukulan datang menderu-deru bagaikan
ambruknya gunung thay-san serta tumpahnya samudera,
hal ini membuat pemuda tersebut benar-benar amat
terperanjat.
Pek Thian Kie sama sekali tidak menyangka kalau
peristiwa ini bisa berubah ja begitu, segera ia membentak
keras, sepasang telapak tangannya dengan disertai tenaga
Iweekang yang hebat bersama-sama didorong kedepan.
Kontan saja berpuluh-puluh orang jagoan Bu-lim ini
kena terdesak mundur sejauh lima, enam langkah kearah
belakang.
Tetapi keadaan dari orang-orang itu sudah seperti orangorang
gila saja, begitu terdesak mundur dengan nekad
kembali mereka menerjang maju kedepan.
Menggunakan kesempatan waktu para jago Bu-lim
menubruk kearah Pek Thian Kie itullah, dengan gesit dan
sebat Cu Tong Hoa mencelat dari tengah kalangan langsung
melayang kearah ruangan Cong-tong dari Istana Harta
tersebut.
“Kau hendak lari kemana?” bentak Pek Thian Kie gusar.
Tubuhnyapun ikut mencelat ketengah udara lalu
melayang kearah mana Cu Tong Hoa melenyapkan diri.
Siapa sangka sewaktu badannya mencelat ketengah
udara itulah, berpuluh-puluh gulung angina pukulan yang
dasyat kembali meluncur kearahnya.
Gabungan angina pukuln dari berpuluh-puluh orang ini
benar-benar luar biasa dasyatnya, sekalipun Pek Thian Kie
terbuat dari besi bajapun sulit juga untuk menahan
datangnya serangan tersebut.
Dengan cepat tangannya disilangkan kedepan, sedang
tubuhnya balik mencelat kesamping.
Loncatannya ini ternyata dengan sangat tepat berhasil
menghindarkan diri dari datangnya sambaran angina
pukulan gabungan tersebut, sinar matanya cepat menyapu
sekejap keseluruh kalangan.
“Tahan!” bentaknya keras, suaranya amat keras,
sehingga mirip seperti halilintar yang membelah bumi.
Bentakan tersebut ternyata benar-benar berhasil menahan
gerakan dari beberapa orang jagoan yang sedang menyerang
mati-matian kearahnya itu, tetapi sinar mata mereka masih
memperhatikan diri Pek Thian Kie tajam-tajam.
“Kalian ingin berbuat apa?” bentak pemuda itu lagi
dengan sinar mata yang berkilat, hawa nafsu membunuh
yang meliputi wajahnya semakin tebal.
“Hmmm! Kenapa kau harus Tanya kepada kami?
Tanyakan saja pada dirimu sendiri.” Sahut seseorang
dengan dingin.
“Dapatkah aku orang minta petunjuk tentang suatu
persoalan dari kalian?”
“Coba kau katakana!”
“Sebenarnya macam apakah manusia yang bernama
Kiang To?”
Baru saja perkatan dari Pek Thian Kie ini selesai
diucapkan, mendadak terdengar suara tertawa keras dari
seseorang berkumandang memenuhi angkasa.
“Pertanyan saudara ini bukankah terlalu lucu?”
“Apa maksudmu?” pemuda tersebut mulai kerutkan
dahinya.
“Apakah perbuatan yang kau lakukan sendiri, kaupun
tak bisa memahami?”
“Apa maksudmu?”
“Apa saudara anggap dengan mengajukan pertanyan
tersebut, lalu kita bisa percaya bila kau bukan Kiang To?”
Dengan kejadian ini maka saking kekinya hampir-hampir
saja Pek Thian Kie mencak-mencak, ia tidak mengira
bahwa urusan bisa berubah semakin ruwet. Sekalipun ada
alas an, tetapi tak bisa diterangkan, bahkan orang-orang itu
selalu saja mencap dirinya sebagai Kiang To dengan alas an
ia memiliki serangkaian ilmu silat yang lihay.
Saking keki dan mendongkolnya, sifat liarnya mulai
meliputi seluruh benaknya.
“Kalau begitu anggap saja aku bernama Kiang To, lalu
apa sangkut pautku dengan kalian?” akhirnya ia
membentak keras.
“Jadi kau sudah mengaku dirimu bernama Kiang To?”
“Anggap saja perkataanku itu benar!”
“Kalau memang begitu, kita tak usah banyak bicara lagi,
seluruh jago-jago Bu-lim yang ada dikolong langit tak akan
membiarkan kau untuk hidup dengan bebas!”
Begitu perkatan tersebut selesai diucapkan, tampak
sesosok bayanagan hitam dengan kecepatan laksana
sambaran kilat menerjang datang.
Begitu orang itu turun tangan, maka berpuluh-puluh jago
lihay lainnya bagaikan manusia-manusia kalap bersamasama
menubruk kearah pemuda tersebut.
Orang-orang ini entah mempunyai dendam apa dengan
manusia yang bernama Kiang To, ternyata tindakan mereka
telah bulat untuk membinasakan pemuda tersebut.
Sebetulnya bagi Pek Thian Kie, untuk melenyaapkan
manusia-manusia itu bukanlah suatu pekerjaan yang sulit,
tetapi karena orang-orang itu tiada ikatan sakit hati apapun
dengan dirinya, bagaimana mungkin dia orang tega turun
tangan jahat?
Diam-diam ia mulai berpikir :
“Aaaaaakh …… anggap saja kedatanganku kemari
hanya mendatangkan kesialan saja ………. Buat apa aku
harus banyak berbuatdengan manusia-manusia itu? Biarlah
aku bikin perhitungan setelah dikemudian hari bertemu
muka sendiri dengan manusia yang bernama Kiang To
…..”
Setelah berpikir sampai disini, tangan kanannya lantas
diayunkan kedepan berturut-turut mengirim tiga buah
pukulan gencar sedangkan tubuhnya bagaikan kilat
cepatnya meluncur kearah pintu sebelah belakang istana
harta dan berkelebat keluar.
Mendadak ……..
Sewaktu Pek Thian Kie meluncur keluar dari pintu
belakang itulah, suara jeritan ngeri bergema saling susul
menyusul dari dalam ruangan Conng-tong Istana harta.
Suara jeritan ngeri itu begitu mengerikan dan
menyayatkan hati, sehingga membuat setiap orang yang
mendengar suara orang tersebut bergidik dan bulu roma
pada berdiri.
Pek Thian Kie rada tertegun sejenak, tetapi dengan cepat
ia melanjutkan kembali gerakannya meluncur masuk
kedalam ruangan lain.
Sinar matanya dengan cepat menyapu sekejap seluruh isi
ruangan, tetapi sebentar kemudian ia sudah berdiri tertegun
disana.
Tampaklah ditengah ruangan itu sudah menggeletak
empat sosok mayat lelaki berpakaian perlente yang
menemui ajalnya dalam keadaan sangat mengerikn.
Pek Thian Kie benar-benar merasakan hatinya bergidik,
hampir-hampir ia tak mempercayai pandangan matanya
sendiri.
Siapakah orang yang sudah turun tangan sekejam ini?
Jika ditinjau dari keadannya jelas menunjukkan perbuatan
ini sudah hasil kerja Cu Tong Hoa.
Teringat akan peristiwa ini tak terasa lagi Pek Thian Kie
merasa hatinya sangat gusar, walaupun peristiwa ini tiada
sangkut paut dengan dirinya, tetapi tindakan dari Cu Tong
Hoa ini benar-benar sedikit kelewat batas.
Ruangan besar yang terdapat didalam Istana harta ini
dibagi menjadi lima ruangan besar ….. masing-masing
ditandai dengan warna putih, hijau, hijaua tua, biru dan
merah.
Walaupun setiap ruangan besar itu saling bersambungan
dengan ruangan pusat, tetapi masing-masing ruangan
merupakan sebuah ruangan tersendiri yang berdiri
menunggal.
Saat ini Pek Thian Kie berdiri ditengah tengah ruangan
besar, pikirannya terasa amat kacau sekali setelah menemui
kejadian tersebut.
“Aaaaakh …………….. sudahlah, bagaimanapun juga
urusan ini tiada sangkut pautnya dengan aku, buat apa aku
harus mencari keonaran dan kerepotan buat diriku sendiri?”
pikirnya dalam hati.
Teringat akan hal ini, ia mulai mengeserkan kakinya
berjalan keluar ruangan tersebut.
Mendadak …..
“Kau mau bicara tidak …..” dari belakang punggungnya
berkumandang datang suara seseorang.
“Aaaa…..aku …… aku sungguh …… sungguh-sungguh
tidak tahu ……” jawab suara yang lain dengan nada
ketakutan.
“Aku akan menghitung sampai lima jika kau masih tidak
suka bicara lagi, hati-hatilah aku akan turun tangan kejam
…… satu!”
“Dua……”
Mendengar perkataan tersebut Pek Thian Kie benarbenar
merasakan hatinya tergetar sangat keras sambil
mengeretak gigi diam-diam pikirnya :
“Cu Tong Hoa, aku pasti akan membokar kedokmu yang
asli …….”
Tubuhnya dengan cepat berkelebat mendekati tempat
suara tersebut …….
“Tiga !......”
Dengan mengikuti arah munculnya suara tersebut,
akhirnya Pek Thian Kie berhasil menemukan ada suara itu
muncul dari sebuah ruangan samping didalam ruangan
kelima.
“Maka dengan cepat pemuda ini menggerakkan
badannya meluncur kesana …”
“Empat ……..!” suara hitungan tersebut tetap berjalan
dengan cepat.
Ketika itulah Pek Thian Kie sudah berada kurang lebih
sepuluh kaki dari tempat berasalnya suara tersebut.
Kini ia terdiri didepan sebuah pintu rahasia
menghubungkan tempat tersebut dengan sebuah ruangan
dibawah tanah.
Sekonyong-konyong …….
“Kawan Pek yang ada diluar, kau benar-benar bajingan
terkutuk, buat apa kau banyak ikut campur urusan orang
lain?” suara yang amat dingin itu kembali berkumandang
keluar dari ruangan tersebut.
Diam-diam Pek Thian Kie merasa sangat terperanjat atas
ketajaman serta kelihayan kepandaian silat pihak lawan.
Ketika Pek Thian Kie sedang berdiri tertegun itulah,
suara tersebut kembali berkumandang keluar :
“urusan ini tak perlu kau ikut campur, mengapa kau
harus mengetahui jelas urusan ini?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. lalu siapa
kau?” bentak pemuda ini sambil tertawa dingin tiada
hentinya.
“Kiang To!”
“Bagus sekali, justru cayhe ingin sekali melihat wajahmu
yang asli!”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……..aku nasihati
kau lebih baik jangan masuk kemari, karena hal ini tidak
bakal mendatangkan keuntungan bafi dirimu!”
Pek Thian kie Cuma tertawa dingin tiada hentinya,
mendadak tangan kanannya diayunkan kedepan mengirim
satu pukulan kearah pintu.
Diiringi suara bentrokan keras, suara jeritan ngeripun
berkumandang memenuhi angkasa.
Dengan cepat Pek Thian Kie meluncur masuk kedalam
ruangan itu, tetapi didalam ruangan tersebut saat itu hanya
tinggal sesosok mayat saja yang menggeletak diatas tanah,
pada bagian batok kepalanya tertancap sebuah bendera
kecil.
Dari balik ruangan tersebut ia tak berhasil menemukan
orang yang kedua.
Tak terasa lagi Pek Thian Kie berdiri termangu-mangu,
didalam ruangan tersebut tidak terdapat jalan tembus
ketempat lain, sekalipun ada, tidak lebih hanyalah sebuah
jendela yang sangat kecil.
Lalu dengan cara bagaimana pihak lawan masuk keluar
dari ruangan tersebut.
Ketika ia mengintip dari sebuah lubang, maka barulah
tertampak disebelah atas ruangan tersebut nerupakan
sebuah hutan yang lebat.
Dalam hati pemuda itu lantas mengambil kesimpulan,
tentunya si pembunuh tersebut menyambitkan panji kecil
itu dari luar jendela kecil itu.
Sudah tentu, dugaannya ini tak dapat dipastikan seratus
persen kejadian yang baru saja berlangsung tak terlihat
olehnya dengan dengan mata kepala sendiri.
Akhirnya dengan hati lemas ia putar badan, belum
sampai berjalan mendadak satu ingatan berkelebat didalam
benaknya.
Tubuhnya segera membalik lagi untuk mencabut panji
kecil yang tertancap pada batok kepala orang itu, ketika
diperhatikan lebih teliti lagi, maka tampaklah diatas panji
tersebut bertuliskan empat buah kata yang kira-kira
berbunyi :
“Kiang Swie Tau-tau.”
Bab 8 Syarat-syarat Penyewaan Rumah Rejeki
INILAH TANDA dari “Kiang To”
Cepat-cepak Pek Thian Kie membersihkan darah yang
melengket pada ujung panji, lalu disusupkan kedalam saku.
Lama sekali ia berdiri termangu-mangu didepan mayat
tersebut, akhirnya ia melirik sekejap kearah mayat itu, lalu
balik kejalan semula.
Sekembalinya di ruangan tengah, ia baru merasa seperti
sedang bermimpi saja, seluruh kejadian itu benar-benar
amat menarik hati.
“Sudah …… sudahlah” pikirnya kembali.
“Lebih baik aku langsung pergi kehutan Tauw liem saja
…… buat apa terlalu ikut campur dengan urusan orang lain
? bagaimanapun juga pada suatu hari peristiwa ini pasti
akan menjadi jelas dengan sendirinya.”
Berpikir sampai disitu, Pek Thian Kie segera
menggerakkan badannya melayang keluar pintu, sudah
tentu dia tak bakal tahu apakah didalam Istana Harta
tersebut sudah terjadi peristiwa lain.
Dia hanya tahu Kiang To sudah melakukan
pembunuhan ditempat ini. Sedang mengenai apa sebabnya
Kiang To membunuh orang, ia tidak mau tahu dan
memang ia tidak tahu.
Ketika Pek Thian Kie sedang melayang keluar dari pintu
depan Istana harta, mendadak suara seseorang yang amat
dingin berkumandang memecahkan kesunyian.
“Berhenti!”
Mendengar suara bentakan itu dengan cepat Pek Thian
Kie menghentikan langkahnya lantas menengok dimana
asal suara tersebut.
Siapa sangka sesosok bayangan manusiapun tidak
tampak, tetapi bagi pemuda itu cukup mendengar suara
tersebut, ia lantas sudah tahu kalau suara itu pasti berasal
dari mulut Kiang To.
“Kawan Pek, kau sudah mencelekai wakil majikan dari
Istana harta ini!” seru suara itu kembali.
“Aaaa …. Apa kau kata ?”
“Berkata apa? Jika bukan karena kau, aku pun tak akan
membinasakan dirinya, hal ini bukankah sama saja kau
yang sudah membinasakan dirinya?”
“Sungguh indah sekali perkataanmu.”
“Cuma, aku harus mengucapkan banyak terima kasih
karena kau sudah membantu diriku,” seru pihak lawan
kembali sambil tertawa dingin tiada hentinya. “Terus terang
saja aku katakana, jkalau bukannya kau, mungkin sekali
barusan aku orang harus menemui banyak kerepotan…….”
“Kau bernama Kiang To?”
“Mungkin benar!”
“Apa maksud dari kata-kata “Mungkin” itu?”
“Aku tak bernama Kiang TO, tetapi kawan-kawan dunia
kongouw menganggap diriku sebagai Kiang TO.”
“Mengapa?”
“Menurut pendapatmu dapatkah dia orang datang
mencari diriku?”
“Sudah tentu dapat.”
“Sedikitpun tidak salah, karena hal ini sama dengan
maksud hatiku, maka akupun sedang mencari dia.”
“Apa tujuanmu pergi mencari dirinya?”
“Bunuh mati orang itu!”
“Kau ingin membinasakan dirinya? Tapi …… ada ikatan
sakit hati apa antara kau dengan dirinya ? apakah kalian
merupakan musuh besar ?”
“Mungkin benar, Cuma perkataanku sudah selesai aku
utarakan, lebih baik kau jangan menggubris urusanku lagi,
dan aku harap perkataan yang aku ucapkan tadi janagan
kau bocorkan kepada orang lain, kalau tidak
heeee……….heeeee………… heeeee……. Sampai
waktunya aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi
terhadap dirimu.”
Kata terakhir begitu meluncur keluar, orangnya sudah
berkelebat sejauh puluhan kaki dari tempat itu.
Seketika itu juga Pek Thian Kie dibuat berdiri termangumangu
ditempat semula.
Ia benar-benar dibuat terperanjat oleh perkataan yang
bru saja diucapkan oleh pihak lawan.
Orang yang barusan munculkan diri itu adalah
sebenarnya Kiang To ! Dan ia adalah Kiang To yang asli
atau masih ada orang lain ?
Kalu ada, siapa orang itu ? apakah …… sunguh-sungguh
ia sendiri ?.....
Berpikir sampai disitu tak tertahan lagi Pek Thian Kie
merasakan hatinya semakin berdesir, ia merasa peristiwa ini
ada kemungkinannya benar …… dan delapan puluh persen
kemungkinan tersebut tetap ada.
Suhunya minta dia orang pergi mencari seorang manusia
yang bernama Kiang To untuk menanyakan asal usulnya,
tetapi didalam dunia kangouw sukar sekali untuk
menemukan orang ini, bahkan ada orang yang mengatakan
dirinyalah Kiang To ….. jika hal ini dihubung-hubungkan
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dialah yang bernama
Kiang To.
Bila dugaan tidak salah, maka suhunya takut ia
menggunakan nama Kiang To untuk munculkan diri dalam
dunia kangouw sehingga beliau memberikan namanya
sendiri buat dia pakai.
Agaknya orang tua itu mengerti bila dia muncul dengan
nama Kiang To, maka hal ini bakal mendatangkan bencana
buat dirinya.
Apakah benar maksud suhunya dalam hal ini ?
Benarkah dia bernama Kiang To ?
Sudah tentu semua persoalan ini ada kemungkinan yang
benar.
Sekarang ia harus berusaha untuk membuat jelas
bagaimanakah bentuk orang yang bernama Kiang To itu
dan benarkah Kiang To itu adalah dirinya sendiri.
Tiba-tiba …………….
Urusan lain kembali berkelebat didalam benaknya,
hingga sat ini sudah ada dua orang yang mengatakan
suhunya Pek Thian Kie telah binasa.
Sungguhkan suhunya sudah mati? Mengapa ia mati ?
Ia teringat pula dengan kertas pengumuman penyewaan
rumah tersebut, apakah suhunya mati dalam rumah
tersebut? Kalu ia sudah tahu dirinya bakal mati jika masuk
ke rumah tersebut, kenapa ia sengaja mencari mati ?
Akhirnya ia merasa untuk mengetahui jelas persoalan
ini, ia harus berangkat sendiri ke Hutan Tauw Liem gunung
Liong-san untuk melakukan pemeriksaan sendiri.
Berpikir sampai disitu, tanpa banyak buang waktu lagi,
tubuhnya segera meluncur kedepan.
oooOOooo
Bayangan manusia bagaikan anak panah yang terlepas
dari busur bergerak ditengah kegelapan menuju kesebuah
hutan lebat yang sangat gelap.
Hutan tersebut bukan lain adalah hutan Tauw Liem.
Tiba-tiba ……………
Bayangan manusia itu menghentikan gerakannya,
kiranya orang itu buka n lain adalah Pek Thian Kie.
Diatas pohon-pohon dalam hutan tersebut, ia telah
menemukan berpuluh-puluh lembar kertas merah yang
sangat mencolok mata tertempel disana :
“DISEWAKAN SEBUAH RUMAH REJEKI”
Silakan Periksa di gunung Liong-san hutan Tauw-Liem
Munculnya pengumuman tersebut benar-benar membuat
Pek Thian Kie sangat terperanjat sehingga berdiri tertegun
disana.
Ia menemukan saja tulisan dari pengumuman tersebut
persis mirip denan kertas pengumuman yang terjatuh dari
saku suhunya.
Dengan terpesona Pek Thian Kie memperhatikan kertas
pengumuman itu, ia merasa kertas tersebut penuh diliputi
suasana pembunuhan yang sangat menyeramkan.
Mana ia tahu didalam rumah “rejeki” tersebut, pada
tahun yang lalu kembali seseorang menemuia ajalnya
sehingga hal ini menambah jumlah orang yang mati
dirumah tersebut menjadi delapan orang ? jikalau tahun ini
kembali ada orang yang jadi korban, maka jumlahnya akan
meningkat jadi sembilan orang.
Dengan perasaan amat kaget Pek Thian Kie berdiri
melengak disana, sahutnya benar-benar sudah mati? Mati
didalam rumah itu ? hal ini hampir boleh dikata suatu
kejadian yang tidak mungkin, suhunya sudah mengerti bila
masuk kerumah ini pasti akan mati ? kalau memang sudah
tahu akan mati, mengapa ia ngotot menyewa juga rumah
ini ?
Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang
penuh diliputi kabut misterius, teka-teki dan tanda Tanya
yang amat membingungkan.
Setelah termangu-mangu beberapa waktu lamanya,
akhirnya ia bergerak-gerak juga menuju kedalam hutan
Tauw Liem.
Mendadak …….
Suara derapan kaki bergema memecahkan kesunyian,
diam-diam Pek Thian Kie merasa amat terperanjat.
“Mana mungkin ditengah malam buta masih ada orang
yang mendatangi hutan Tauw Liem ini ?” pikirnya diamdiam.
Dengan cepat ia memperhatikan keadaan disekelilingnya
lebih teliti lagi, memang tampaknya sesosok bayangan
manusia dengan cepatnya masuk kedalam hutan.
Dengan cepat Pek Thian Kie pun menggerakkan
badannya melayang masuk kedalam hutan itu.
Ditengah lautan aneka bunga, yang menyiarkan bau
harum semerbak, muncullah rumah “rejeki” yang berbentuk
tengkorak itu.
Didepan rumah ditengah semak belukar yang tebal
muncul delapan buah kuburan ada yang sudah kuno dan
ada juga yang masih baru.
Ketika itu Pek Thian Kie telah menemukan bayangan
manusia tersebut telah berdiri tegak didepan sebuah
kuburan.
Orang itu memakai baju warna hijau, dan bila ditinjau
dari dandanannya, mirip dengan seorang gadis.
Kuburan yang berada paling kanan agaknya berumur
paling lama sedangkan kuburan yang ada disebelah kiri
adalah yang paling baru.
Tampaklah kuburan pertama yang ada disebelah kanan
bertulislah beberapa kata diatas batu nisannya :
“Cuan Hoa Kiam Khek” atau “si Jagoan pedang
menembus bunga.”
Kuburan yang kedua bertuliskan : “To Liong Kiam
Khek” atau si jagoan pedang penjagal naga.
Kuburan yang ketiga bertuliskan “Sam Cie Kiam Khek”
atau si jagoan Pedang tiga jari.
Kuburan keempat bertuliskan : “Ha-Hauw Kiam Khek”
atau si jagoan pedang penakluk harimau …..”
Dan kuburan yang kedelapan ternyata bertuliskan “Sin
Mo Kiam Khek” atau si jagoan pedang Iblis sakti
“Aaaaaah ………. !” Pek Thian Kie merasakan dadanya
seperti dihantam dengan martil besar, kepalanya terasa
amat pening, matanya berkunang-kunag, badan gemetar
dan keringat dingin mengucur keluar dengan amat deras.
Itulah nama suhunya ! Apakah dia benar-benar mati
didalam rumah “Rejeki” itu ?
Dalam hati Pek Thian Kie terlintaslah suatu perasaan
sedih yang bukan alang-kepalang tetapi untuk beberapa saat
lamanya ia tak dapat membuktikan apakah si “Sin Mo
Kiam Khek” itu benar-benar suhunya.
Mendadak ……….
“Iiiiih ……!” suara seruan tertahan berkumandang
masuk kedalam telinganya, suara tersebut agaknya berasal
dari mulut dara cantik berbaju hijau itu.
Ternyata dara berbaju hijau yang sekarang hadir
ditengah kuburan depan rumah maut tersebut, bukan lain
adalah si dara cantik berbaju hijau yang menabrak dirinya
sewaktu masih berada dalam Istana harta, hal ini benarbenar
diluar dugaannya.
“Aaaaaaakh ……..! Kau?” Tanya dara berbaju hijau itu
rada terperanjat.
Perlahan-lahan Pek Thian Kie mengangguk, ia merasa
sedikit diluar dugaan dengan munculnya dara berbaju hijau
itu ditempat ini.
“Bagaimana bisa kau samapi disini?” belum sempat ia
mengajukan pertanyaan ini, dara cantik itu sudah keburu
bertanya terlebih dahulu.
“Dan kau sendiri?”
“Aku datang untuk menyambangi kawanku yang sudah
mati!”
Pek Thian Kie lantas mengalihkan sinar matanya
memandang batu nisan kuburan keenam orang disamping
yang ia sambangi.
Ternyata diatas batu nisan tersebut bertuliskan kata-kata
:
“Sian Hong Kiam Khek” atau si jagoan pedang angin
taupan
“Dia adalah kawan karibmu?”
“Benar! Dan kau sedang menyambangi siapa?”
“Aku sedang datang mencari seseorang.”
“Siapa ?”
Kontan saja Pek Thian Kie dibuat bungkam seribu
bahasa, untuk beberapa saat lamanya dia tidak mengerti
harus mengatakan kata-kata apa untuk menjawab
pertaanyan itu.
Bagaimana juga, ia tidak boleh memberitahukan kepada
seorang asing bahwa ia tak kenal siapakah nama suhunya
sendiri.
Sekalipun diberitahu, belum tentu pihak lawan percaya.
“Aku sedang mencari seorang sahabat karibku!”
sahutnya kemudian sambil tertawa pahit.
“Siapa dia? Laki atau perempuan?”
“Aku juga tidak tahu siapakah namanya!”
“Sudah mati atau masih hidup ?”
“Entahlah!”
“Kalau begitu, benarkah kau bernama Kiang To?”
“Tidak benar ……. Tidak benar …………” buru-buru
Pek Thian Kie menggeleng. “Dugaanmu sama sekali
meleset!”
“Kau bukan Kiang To?”
“Benar, aku bukan Kiang To, aku bernama Pek Thian
Kie!”
“Pek Thian Kie…..? Apakah kau tidak tahu siapakah
nama kawanmu itu?”
“Benar!”
“Bukankah hal ini merupakan suatu peristiwa yang
sangat aneh sekali?”
“Benar! Aku dengan dia Cuma pernah bertemu muka
sekali saja, dan peristiwa ini sudah berlangsung tahun yang
lalu, aku hanya tahu kemungkinan sekali dia hendak
menyewa rumah ditempat ini.”
“Oooooow ………orang yang tahun lalu menemui
ajalnya bukan lain adalah si jagoan pedang iblis sakti!”
“bagaimana kau bisa tahu?”
“Cukup ditinjau dari deretan kuburan ini sudah jelas
sekali tertera!”
Terhadap si dara cantik berbaju hijau ini Pek Thian Kie
mulai menaruh perasan heran, siapakah sebenarnya dia ?
Kenapa bisa muncul ditempat ini ?
Tiba-tiba …………
Agaknya Pek Thian Kie sudah menemukan sesuatu
……..
“Aaaaaakh ……….! Sungguh aneh sekali,” teriaknya
tertahan.
“Aneh? Apa yang Patut dikatakan aneh ?”
“Coba kau lihat orang yang menemui ajalnya ditempat
ini semuanya menggunakan pedang sebagai senjata
andalannya!”
“Sedikitpun tidak salah, kedelapan orang yang menemui
ajalnyaa disini bukan saja menggunakan pedang sebagai
senjata andalannya, bahkan merekapun jago-jago pedang
namanya sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan,
mereka adalah Thian He Kiu Kiam atau sembilan Jago
pedang dari kolong langit, kini diantara mereka masih
tinggal seorang saja.”
“Maksudmu diantara sembilan jagoan pedang dari
kolong langit, sekarang ini sudah ada delapan orang yang
menemui ajalnya disini?”
“Sedikitpun tidak salah !” jawab dara berbaju hijau itu
sambil mengangguk.
“Lalu sekarang tinggal siapa yang belum mati?”
“Pemimpin dari kesembilan jagoan pedang si “Ciang
Liong Kiam Khek” atau jagoan pedang penakluk naga!”
Mendengar penjelasan tersebut, Pek Thian Kie segera
merasakan hatinya berdesir, jikalau dikatakan “Sembilan
jagoan pedang dari kolong langit ini merupakan jago-jago
lihay didalam dunia persilatan pada saat kini kenapa
mereka harus mendatangi tempat ini untuk antar
kematian?”
“Jika dugaanku tidak meleset, maka orang yang
seharusnya menyewa rumah pada tahun ini adalah si
jagoan pedang penakluk naga!” ujar dara cantik berbaju
hijau itu lagi.
“Urutan tertera sangat jelas, karena kini delapan orang
dari sembilan jagoan pedang dari kolong langit sudah ada
delapan orang yang mati, dan mereka sembilan orang sudah
ditakdirkan harus mati semua disini!”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Agaknya dara cantik berbaju hijau itu dibuat tertegun
juga oleh pertanyaan ini, lama sekali ia berdiri mematung.
“Apakah kau anggap perkataanku ini tidak sesuai
dengan keadan yang berada dihadapan kita?” balik
ytanyanya.
Pek Thian Kie termenung, ia merasa perkataan dari gadis
tersebut sebenarnya memang cengli, tetapi jikalau orang
yang benar-benar hendak menyewa rumah tersebut adalah
si jagoan pedang penakluk naga, maka peristiwa ini
rasanyaa tak masuk diakal.
Apakah orang yang hendak dibunuh oleh majikan rumah
itu adalah jago-jago pedang termasuk didalam “Sembilan
jagoan pedang dari kolong langit?” macam bagaimanakah
manusia-manusia yang disebut sebagai “sembilan Jagoan
pedang dari kolong langit” itu? Berargakah manusiamanusia
itu dibunuh ?
Berpikir samapai disitu tak terasa lagi dalam hati Pek
Thian Kie merasa amat gusar.
“Nona, bolehkah aku orang minta petunjuk akan suatu
persoalan …? Tanyanya
“Silakan diutarakan!”
“Manusia-manusia yang disebut jagoan pedang dari
kolong langit ini sebetulnya termasuk masnusi-manusia dari
aliran sesat ataukah berasal dari aliran lurus?
“Jang jelas tidak termasuk aliran sesat!”
“Kalau memang berasal dari aliran lurus, mengapa
majikan rumah ini ada maksud membinasakan mereka?
“Soal ini aku sendiri tidak tahu …………… tetapi yang
jelas kita tidak ada yang melihat orang-orang itu menemui
ajalnya ditangan majikan rumah terseut, lebih baik kita tak
usah mengambil kesimpulan seenaknya sendiri.”
“Maksudmu orang-orang itu belum tentu menemui
ajalnya ditangan majikan rumah rejeki ?
“Siapa yang tahu ?”
Untuk sesaat lamanya Pek Thian Kie tak terpikirkan
dimanakah letak alasan pembunuhan ini, alisnya dikerutkan
rapat-rapat.
“Apakah rumah ini boleh juga disewa oleh siapapun ?
“Benar, tetapi syarat-syarat yang diajukan terlalu aneh!”
“Apakah syarat-syart yang diajukan?”
“Majikan rumah ini sudah menempel suatu surat
keterangan didepan pintu besar, jika kau ingin tahu
mengapa tidak pergi kesana untuk melihat sendiri ?
Pek Thian Kie segera mengalihkan sinar matanya
menurut apa yang dituding dara cantik tersebut.
Sedikitpun tidak salah diatas pintu besar terbuat dari besi
yang tertutup rapat-rapat tertempel secarik kertas warna
merah darah.
Dengan cepat, Pek Thian Kie ameloncat kedepan, lalu
berkelebat kehadapan surat keterangannya tersebut.
Ketka diamat-amati lebih teliti, maka tampaklah diatas
kertas tersebut bertuliskan beberapa kata.
Syarat-syarat untuk menyewa rumah :
Orang itu harus seorang jagoan dunia kangouw
menggunakan ilmu pedang sebagai kepandaian
Biayaa penyewaan rumah :
1. Emas Murni seribu kati.
2. Giok Hoa Lok satu botol besar
3. Gadis cantik seorang
Ketiga syarat tersebut harus diserahkan sebelum
memasuki rumah rejeki ini, barang siapa berminat harap
datang pada setiap malam kentongan yang ketiga untuk
membereskan syarat-syarat yang diminta.
Catatan : Barang siapa bisa mendiami rumah ini selama
setahun penuh akan mendapat hadiah berupa sebuah rumah
megah “Ang Wu Piat Su”
Tertanda : majikan Rumah Rejeki.
Melihat syarat yang diminta Pek Thian Kie boleh
dikatakan benar-benar tertegun, ia tidak menyangka kalau
orang itu kecuali minta uang emas murni seribu kati masih
menginginkan pula dua buah syarat lain yang aneh.
Apakah Itu “Giok Hoa Lok?”
Ia harus mencari seorang gadis cantik dari mana ?
Hal ini merupakan suatu keanehan.
Mendadak hatinya rada bergerak, ketika ia menoleh
tampaklah si dara cantik berbaju hijau itu masih tetap
berdiri termangu-mangu didepan kuburan.
Dengan cepat ia enjotkan badannya meloncat kembali
kesisinya.
“Bagaimana ? Apa kau sudah periksa syarat-syarat
tersebut ?” sapa dara cantik itu dengan cepat.
“Benar, syarat-syarat itu sudah aku periksa.”
“Bukankah syarat tersebut amat aneh?”
“Aneh …….. aneh, sungguh mengherankan sekali! Kalu
Cuma uang emas murni seribu kati masih tidak mengapa,
tahukah kau apa yang disebut “Giok Hoa Lok” itu ?”
“Entah, aku sendiripun tidak tahu.”
“Gadis cantik seorang, buat apa majikan rumah rejeki ini
minta pula seorang gadis cantik ?”
“Soal ini, aku sendiripun tidak jelas.”
Kontan saja Pek Thian Kie mengerutkan dahinya, dalam
hati ia mulai mengambil kesimpulan untuk menyewa
rumah rejeki ini, sudah tentu tujuannya yang paling utama
adalah mencari tahu apakah suhunya benar-benar bernama
Si Jagoan Pedang Iblis Sakti dan apakah sungguh-sungguh
sudah menemui ajalnya disana !
Sekonyong-konyong ………… ia teringat akan suatu
persoalan yang sulit, maka tak tertahan lagi serunya :
“Aaaaakh ………………….. mencari seorang gadis
cantik ? Aku harus pergi kemana untuk mencarinya ?
Haaaaaai ……….. hal ini benar-benar merupakan suatu
syarat yang amat sukar.”
“Tidak sukar ?’
“Benar!”
“Apa maksudmu ?”
“Sebelum memberi keterangan, aku ingin mengajukan
dulu suatu pertanyaan untukmu,” kata dara cantik berbaju
hijau itu.
“Coba kau katakana!”
“Apakah kau punya uang emas murni seberat seribu
kati?”
“Tidak punya!”
“Apa kau sudah lupa bahwa didalam Istana harta paling
mudah untuk mencari uang tersebut ?’
Mendengar perkataan itu seketika itu juga Pek Thian Kie
merasakan hatinya tergetar keras.
“Aaaaakh ……..! sedikitpun tidak salah, kenapa aku bisa
melupakan tempat itu ?”
“Menurut apa yang aku dengar “Giok Hoa Lok” adalah
semacam arak wangi !”
“Arak wangi?”
“Benar! Semacam arak terkenal yang sukar dicari kecuali
didalam Istana Arak!”
“Istana Arak?” Pek Thian Kie semakin dibuat menjadi
keheranan.
“benar Istana arak sama halnya dengan Istana Harta,
mereka termasuk sebuah perguruan yang didirikan sendiri!”
Perlahan-lahan Pek Thian Kie mengangguk.
“bagaimana dengan mencari gadis cantik ?”
“Soal ini sama sekali tidak sukar!”
“Walaupun dikolong langit tidak sedikit terdapat gadisgadis
cantik, tetapi bagaimanapun juga aku tak bisa
sembarangan menangkap salah satu orang untuk diserahkan
kepada Majikan rumah rejeki tersebut!”
“lalu bagaimana caranya?”
“didalam Istana Perempuan banyak terdapat gadis
cantik!”
“Istana Perempuan? Nama ini benar-benar tidak jelek
kedengarannya ………….”
“sedikitpun tidak salah, nama ini kedengarannya
memang tidak jelek, tetapi didalam Istana Perempuan itu
terdapat hampir seratus orang gadis-gadis cantik.”
“lalu apakah ada Istana Nafsu?” seru Pek Thian Kie
melengak.
Bab 9 Dara Baju Hijau
MENDENGAR perkataan tersebut si dara berbaju hijau
tertawa.
“Pertanyaanmu sangat bagus, “Arak, perempuan, harta
serta Nafsu.” Memang merupakan empat kebutuhan yang
terbesar dari kalian orang-orang laki, tetapi diantara
keempat buah kebutuhan tersebut justeru hanya kurang satu
yaity Nafsu !”
“Kenapa?”
“Aku lihat tiada kegunaannya.”
“Aaaakh ……..aku tidak mengerti maksudmu!”
“Bicara yang lebih jelas lagi, jikalau seorang lelaki sudah
mempunyai uang banyak bisa minum arak wangi kelas
utama ditambah lagi bisa memeluk gadis cantik, aku lihat
kebutuhan mereka sebetulnya sudah dipenuhi semua.”
“Tetapi ………….mengapa didalam Bu-lim bisa berdiri
tiga buah perguruan yang demikian anehnya>” seru
pemuda itu kembali dengan nada keheranan.
“Sudah tentu ada sebab-sebab!”
“Apa sebabnya?”
“Kau sungguh-sungguh tidak tahu?”
“Kalau aku sudah tahu buat apa bertanya lagi
kepadamu?”
“Ingin mengetahui hal ini sebetulnya tidak sulit,” si dara
cantik berbaju hijau iu tertawa lebar. “Cuma, kau harus
penuhi satu syaratku.”
“Apa syaratmu?”
“Lusa datanglah ke gunung Lui Im San!”
“Mau apa kesana ?”
“Aku beritahukan suatu persoalan kepadamu!”
Perlahan-lahan Pek Thian Kie mengangguk.
“Asal-usul dari si dara berbaju hijau ini sangat aneh dan
belum aku ketahui jelas, ia minta aku mendatangi gunung
Lui Im San. Rasanya tentu ada suatu tujuan tertentu ……..
Diam-diam pikirnya dalam hati. Setelah menimbang
beberapa saat, kemudian hatinyapun merasa mantap.
“Baiklah” sahutnya kemudian sambil tertawa. “terpaksa
cayhe harus mengabulkan syarat yang kau ajukan, tetapi
aku masih ada satu urusan yang hendak minta petunjuk
dari dirimu. Istana Arak, Istana Perempuan serta Istana
harta ini apakah ada pemiliknya ?”
“Sudah tentu ada!”
“Siapa ? Siapakah pemilik rumah-rumah Istana Harta,
Istana Perempuan serta Istana Arak.”
“Kiang Lang ?”
“Kiang Lang ? Siapa itu Kiang Lang ?”
“Ayah dari Kiang To !”
Mendengar perkatan tersebut Pek Thian Kie dibuat
bingung semakin kebingungan lagi. Dengan termangumangu
dia memandangi dara cantik berbaju hijau itu
dengan terpesona.
Sudah tentu Pek Thian kie tidak akan tahu siapakah
Kiang Lang itu, sedangkan apakah hubungannya antara dia
dengan Istana Arak, Istana harta ia sendiripun tidak tahu.
Oleh karena itu dengan termangu-mangu pemuda
tersebut memandang dara berbaju hijau dengan pandangan
terpesona.
Lama…..lama sekali, ia baru bertanya :
“Sebenarnya hal ini disebabkan apa ?”
“Kau sungguh-sungguh tidak paham?”
“Benar, aku sedikitpun tidaka paham.”
“Kalau begitu lusa datanglah ke gunung Lui Im San!”
“Kenapa harus datang ke gunung Lui Im san?”
“karena ditempat itu aku bisa beritahukan seluruh apa
yang ingin ku ketahui.”
“Bukankah berbicara pada saat ini juga sama saja?”
“Sudah tentu pada saat ini ada alasan-alasan tertentu
yang membuat aku tak boleh beritahukan hal ini kepadamu
!”
Kembali Pek Thian Kie termenung berpikir-pikir keras,
tapi walaupun ia sudah peras otak secara bagaimanapun
belum berhasil juga menemukan alasan-alasan tersebut.
“Aku lihat diantara majikan rumah Rejeki dengan ketiga
buah Istana tersebut tentu mempunyai hubungan yang
sangat erat ! Bahkan kemungkinan besar diantara mereka
sedang menjalankan suatu rencana yang keji ?”
“Suatu rencana yang keji ?”
“Sedikitpun tidak salah !” pemuda itu mengangguk.
“Coba kau piker, untuk menyewa rumah Rejeki ini orang
harus memenuhi ketiga syarat yang ia ajukan, setelah
mejikan rumah rejeki ini membinasakan orang yang
menyewa rumah ini, ia bisa mengembalikan lagi ketiga
macam barang itu kepada ketiga buah istana tersebut.
Bukankah hal ini jelas sekali menunjukkan bila diantara
mereka ada yang sangat erat dan suatu rencana keji yang
sedang mereka jalankan ?”
“Ehmmm ……… dugaanmu memang tidak salah !”
“Dan yang jelas jago-jago lihay dari kalangan dunia
persilatan yang harus menanggung kerugian ini!”
“Sedikitpun tidak salah !”
“Oleh karena itu perkataan itu rumah berbentuk
tengkorak ini tak bisa terlepas dari hubungannya dengan
Istana Arak, Istana Perempuan serta Istana Harta!”
“Walaupun perkataan yang kau ucapkan sedikitpun
tidak salah, tetapi orang-orang yang hendak menyewa
rumah itu bukankah sudah mengetahui bila mereka
memasuki rumah tersebut pasti akan menemui ajalnya,
kenapa mereka masih begitu ngotot juga pergi kesana untuk
menghantarkan kematian sendiri ?”
“Titik yang perlu kita curigai justru terletak didalam soal
ini, tetapi hal ini sudah cukup membuktikan bila antara
rumah rejeki dengan ketiga buah istana tersebut nanti ada
sangkut paut serta hubungan yang sangat erat !”
“Kemungkinan sekali dugaanmu itu memang benar.” Si
dara cantik berbaju hijau itu mengangguk. “Apakah dalam
hatimu sudah timbul perasan tertarik terhadap rumah aneh
ini?”
“Bukan Cuma tertarik saja …….” Diam-diam piker Pek
Thian Kie dalam hati. “Teka-teki yang menyelubungi
kematian suhunku sampai saat kini masih belum berhasil
aku bikin jelas, jutru rumah inilah yang bisa memberikan
jawaban atas seluruh persoalan yang masih merupakan
tanda Tanya didalam benakku.”
Walaupun didalam hati ia berpikir demikian, tetapi
diluaran ia mengangguk.
“Sedikitpun tidak salah, aku memang sudah mulai
tertarik dengan rumah berbentuk aneh ini.”
“Kau ingin menyewa rumah ini?”
“Kemungkinan besar.”
“Aku takut kau orang tidak punya bagian.”
“Kenapa?”
“Bila dugaanku tidak meleset, maka orang yang
seharusnya menyewa rumah rejeki tersebut pada tahun ini
adalah si jagoan pedang penakluk naga ……?”
“Kenapa harus dia ……..?”
“Eeeee…. Bagaimana sih kau?” Bukankah diantara
sembilan jagoan pedang dari kolong langit, kini tinggal dia
seorang ….?”
Mendengar perkataan tersebut Pek Thian Kie benarbenar
merasakan hatinya bergidik. Aaaakh ……. !
Sedikitpun tidak salah, diantara sembilan jagoan pedang
dari kolong langit kini tinggal seorang yang terakhir yaitu si
jagoan pedang penakluk naga.
Bagaimanapun juga dugaan dari dara berbaju hijau itu
tidak akan salah, tahun ini jagoaan pedang tersebut pasti
akan menyewa rumah ini.
Teringat akan hal ini, mendadak pemuda itu bertanya
kembali :
“Nona, pernahkah kau orang bertemu muka dengan
jagoan pedang penakluk naga itu ?”
Kembali Pek Thian Kie kerutkan dahinya, untuk
beberapa saat lamanya agaknya ia sedang merenungkan
sesuatu atau mungkin sedang mengambil suatu keputusan.
Lama ……… lama sekali ……… ia baru mengajukan
kembali pertanyaan.
“Apakah saat ini rumah tersebut kosong tak
berpenghuni?”
“Bagaimana aku bisa tahu?” sahut dara tersebut
tersenyum.
Kembali pemuda itu berdiri tertegun. Ia benar-benar
dibuat kebingungan oleh persoalan yang penuh diliputi
kabut misterius ini.
“Kau masih ingin mengetahui soal apa lagi? “ tiba-tiba
dara cantik berbaju hijau itumenegur memecahkan
kesunyian.
Pek Thian Kie tertawa pahit, ia menggeleng.
“Kalau begitu aku harus pergi dari sini.”
“Silakan!”
“Jangan lupa lusa aku nantikan kedatanganmu di
gunung Lui Im San ….”
Belum habis perkataan tersebut diucapkan, ia sudah
berada beberapa kaki jauhnya dari tempat semula.
Dengan termangu-mangu dan pandangan terpesona Pek
Thian Kie memandang bayangan punggung gadis itu,
hingga lenyap dari pandangan, ia tidak mengerti siapakah s
dara cantik berbaju hijau itu ? Apa yang ia inginkan
sehingga memintanya untuk datang ke gunung Lui Im San
besok lusa.
Karena terpakurakhirnya ia melamun …………
Jikalau diantara majikan rumah aneh ini dengan pihak
istana arak, istana perempuan serta istana harta tiada
sangkut paut maka ia akan dibuat semakin bingung lagi
oleh peristiwa ini.
Siapakah majikan dari Istana Arak ?
Macam apakah majikan dari Istana perempuan itu ?
Walaupun Istana Harta pernah ia datangi, tetapi sampai
saat ini dia orang masih belum berhasil juga bertemu muka
dengan majikan istana tersebut.
Kini ditambah lagi dengan sebuah rumah yang berbentuk
demikian aneh, kesemuanya peristiwa ii segera tercipta
suatu cerita yang penuh kemisteriusan, penuh keseraman
dan kengerian, bagi dirinya. Demi keselamatan suhunya,
mau tak mau ia harus menyewa rmah tersebut.
Jika dugaan si dara cantik berbaju hijau itu tidak meleset,
maka tahun ini orang yang harus menyewa rumah ini
adalah si jagoan pedang penakluk naga.
Sebelum kena didahului orang, ia harus bertindak jauh
lebih pagian untuk memperoleh semua syarat-syarat
tersebut.
Bagaimana wajah si jagoan pedang penakluk naga?
……dalam soal ini ia harus melakukan penyelidikan
terlebih dahulu kemudian baru berusaha mendahului
dirinya.
Istana harta, bagaimanapun juga harus ia datangi sekali
lagi !
Istana arak serta istana perempuan bagaimana juga iapun
mendatangi pula untuk melihat keadaan disana. Ia harus
mendapatkan arak “Giok Hoa Lok” serta seorang gadis
cantik.
Berpikir sampai disini mendadak dalam hati kecil Pek
Thian Kie timbul suatu keinginan untuk melihat
bagaimanakah tampang dari si majikan rumah rejeki ini !
Tubuhnya dengan cepat dienjotkan melayang kearah
pintu besar yang tertutup rapat-rapat.
Sesampainya didepan pintu tanpa banyak cakap lagi
telapak tangannya dengan disertai tenaga dalam penuh
dihantamkan keatas besi berwarna hitam pekat itu, sehingga
menimbulkan suara dengungan yang amat keras.
“Hei, adakah orang didalam?” teriaknya keras.
Kecuali suara pantulan dari gembrongannya tadi, tak
kedengaran suara jawaban dari seseorang !
Tak terasa lagi hawa amarah mulai berkobar didalam
rongga dada Pek Thian Kie, telapak kanannya dengan
disertai tenaga yang jauh lebih dasyat sekali lagi menghajar
pintu besi tersebut.
Ditengah suara bentrokan yang amat keras, suara
dengungan kembali bergema memekakan telinga, tetapi
pintu tersebut masih tetap tertutup rapat.
Tak tertahan lagi Pek Thian Kie dibuat tertegun.
Tetapi sebentar kemudian ia sudah tertawa dingin tiada
hentinya.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. aku tidak
percaya bila dengan kekuatanku tak berhasil menghajar
roboh pintu besimu ini” teriaknya keras.
Baru saja perkataan tersebut selesai diucapkan, serangan
kedua kembali sudah menerjang lewat.
Mendadak …………
“Saudara, apa maksudmu datang kemari?” serentetan
suara yang amat dingin berkumandang datang.
Mendengar suara teguran tersbut Pek Thian Kie benarbenar
jadi terperanjat, tak terasa lagi angina pukulan yang
sudah dikumpulkan diats telapak tangan ditarik kembali.
Dengan cepat badannya berputar memandang suara
tersebut. Tampaklah sesosok bayangan hitam, sudah berdiri
dodepan kuburan.
“Siapa kau? Bentak pemuda tersebut dingin.
Jarak antara mereka ada tiga, empat kaki jauhnya,
sehingga hal ini membuat Pek Thian Kie tak sanggup
melihat lebih jelas lagi wajahnya.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Majikan
rumah rejeki!” sahut orang itu sambil tertawa dingin.
“Apa?”
Tak kuasa lagi Pek Thian Kie berseru tertahan, ia sama
sekali tidak menyangka bayanagan hitam yang secara
mendadak munculkan diri adalah Majikan Rumah Rejeki,
hal ini mana mungkin tidak membuat hatinya merasa
sangat terperanjat ?
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. kau tidak
percaya?” kembali orang itu menegur
“Percaya!”
“Kau ingin merusak rumah rejekiku ini?”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Kenapa kau ingin merusak rumah ini? Apa salh rumah
tersebut dengan dirimu?”
“Hmmmmmm! Mudah sekali maksudku, aku ingin
mencari kau!”
“Ada urusan apa>”
“Banyak pertanyan yang hendak aku tanyakan
kepadamu!” sahu sang pemuda dengan muka sinis.
“Cepat katakana, apa yang ingin kau tanyakan?”
“Rumah rekjekimu ini hendak kau sewakan kepada
orang lain?’
“Hmmm! …… kecuali kau bangsat cilik tidak bisa
membaca, bukankah disamping pintu sudah tertempel jelas
tulisan tersebut.”
“Lalu siapakah orang yng sudah datang menyewa rumah
ini pada tahun yang lalu?”
“Si Jagoan pedang Iblis Sakti!”
“Sekarang dimanakah orang itu?”
“Sudah mati!”
“bagaimana dia bisa mati? Ia mati ditangan siapa?
Dimanakah dia orang menemui ajalnya?” tak kuasa lagi
pemuda tersebut sudah mencecer sang majikan rumah
rejeki dengan berpuluh-puluh pertanyaan yang selama ini
mengganjal didalam hatinya.
“Maaf ……… maaf …….. tentang soal ini aku tak bisa
memberikan jawaban!”
“Kenapa?”
“karena kau bukan orang yang hendak menyewa
rumahku. Pertama tiada barang suapan, kedua tiada
hubungan persahabatan, maka dari itu aku tidak bisa
menjawab seluruh pertanyaan itu.”
“Siapakah nama si jagoan pedang iblis sakti?” kembali
Pek Thian Kie bertanya
“Tentang soal ini akupun tak bisa memberikan
jawaban!”
“Secara bagaimana kau baru suka memberikan
jawaban?”
“Kecuali orang yang menyewa rumahku ini atau orangorang
yang mempunyai hubungan persahabatan dengan
diriku.”
“Jadi pada saat ini sepatah katapun kau tidak suka
menjawab?
“Sedikitpun tidak salah!”
“Tapi saying aku menginginkan kau orang harus
memberikan jawaban!”
“Aku piker kau tak akan sanggup memaksa diriku!” ejk
orng itu dingin
“bagus sekali!” kau orang bodoh boleh coba-coba……..
Begitu ucapan tersebut meluncur keluar dari bibirnya
tanpa membuang banyak waktu lagi tubuhnya laksana
sambaran petir cepatnya sudah menubruk kearah bayangan
hitam tersebut.
Dari dua bagian tenaga dalam yang dimilki Pek Thian
Kie, pada saat ini sudah ada sembilan bagian tenaganya
yang telah pulih kembali seperti sedia kala.’
Tubrukannya ini dilancarkan secepat kilat, bahkan
gerakannya amat aneh tahu-tahu ia sudah berada didepan
kuburan tersebut.
Siapa sangka gerakan tubuh dari bayangan hitam itupun
tidak kalah cepatnya dari gerakan Pek Thian Kie,
tampaknya bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu
ia sudah melayang sejauh tiga, empat kaki jauhnya kearah
belakang.
Diam-diam Pek Thian Kie merasakan hatinyaa bergidik
juga melihat kegesitan pihak lawannya.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Suadara !
Kau harus tahu, aku tidak ingin pamerkan kepandaian
silatku dihadapanmu.” Seru orang itu sambil tertawa dingin
tiada hentinya. “Apalagi kemungkinan sekali kaupun
merupakan calon tamu yang akan menyewa rumahku.
Daripada dikemudian hari hubungan antara pemilik rumah
dan si penyewa rada riku, dan kurang enak lebih baik aku
berlalu setindak terlebih dahulu ………”
Belum habis perkataan tersebut diucapkan keluar,
tampaklah bayangan manusia berkelbat, tahu-tahu ia sudah
meninggalkan tempat tersebut.
“Kau ingin pergi?” bentak Pek Thian Kie keras.
Ditengah berkelebatnya bayangan manusia, Pek Thian
Kie enjotkan badannya melakukan pengejaran.
Gerakan tubuh dari pemuda ini tak dapat dikatakan
lambat, siapa sangka gerakan tubuh dari si orang berbaju
hitam itu tidak lemah …..
Laksana anak panah yang terlepas dari busur, ia berputar
satu lingkaran ditengah hutan lalu jejaknya lenyap tak
berbekas. Hal ini sudah tentu membuat Pek Thian Kie
saking gemasnya menggertak giginya kencang-kencang.
Tiba-tiba ……..
Sesosok bayangan manusia kembali meluncur kearah
rumah tersebut dengan amat ringannya menggunakan
kesempatan sewaktu pemuda tersebut berdiri termangumangu.
Dengan cepat ia menoleh dan memandang tajam orang
itu, tampaklah bayangan tersebut dengan langkah yang
berhati-hati berjalan mendekati pintu, jelas kelihatan diatas
punggungnya tersoren sebilah pedang.
Hatinya diam-diam rada bergerak, dengan tidak
menimbulkan suarapun ia segera ikut melayang kedepan
dan bersembunyi kurang lebih dua kaki dari tempat orang
itu.
Tampaklah pihak lawan ternyata adalah seorang pemuda
yang berusia duapuluh tujuh, delapan tahunan, badannya
sangat kekar, hanya saja air mukanya begitu murung dan
diliputi ketegangan.
Lama sekali ia memperhatikan syarat yang tertempel
diatas pintu besi tersebut, akhirnya dengan alis yang
dikerutkan ia putar badan dan berlalu dari jalanan semula.
Aaaakh …………! Kiranya seorang manusia yang
khusus datang melihat rumah !
Pada waktu Pek Thian Kie ada maksud ikut berlalu dari
sana, mendadak ……..
Suara tindakan kaki manusia sekali lagi berkumandang
datang memecahkan kesunyian, diam-diam pemuda
tersebut merasakan hatinya tergetar keras.
Tampaklah sesosok bayangan manusia perlahan-latan
berjalan mendekat.
“Siapa!” tegurnya kemudian dengan suara keras.
Mendengar bentakan tersebut bayangan itu rada
merendek sejenak, kemudian ia putar badan dan berjalan
mendekati Pek Thian Kie. Hanya dalam sekejap saja ia
sudah berada dihadapannya.
Ternyata orang yang baru saja datang adalah pemuda
berbaju hijau yang usianya kurang lebih baru duapuluh
tahunan, wajahnya amat tampan dengan sepasang mata
memancarkan cahaya tajam, bibirnya tersungging satu
senyuman manis.
Ia memandang sekejap kearah Pek Thian Kie, lalu
tersenyum.
“Heng-thay malam-malam datang kemari apakah ada
maksud hendak melihat rumah ini juga?” … tanyanya.
“Benar!” sahut Pek Thian kie agak melengak. “Dan
Heng-thay ……”
“Akupun datang kemari karena perasaan ingin tahu …..
siapa nama Heng-thay?”
“Cayhe Pek Thian Kie?”
“Oooow …..Pek-heng! Cayhe bernama Tang Liem !”
Selesai berkata, kembali ia tersenyum dan menyapu
sekejap wajah Pek Thian Kie, lalu dengan langkah yang
lambat berjalan mendekati rumah berbentuk aneh itu.
Didalam pandangan matanya itulh, mendadak Pek
Thian Kie menemukan sinar matanya yang aneh, dan lain
dari pandangan mata orang biasa, Cuma saja ia tidak
mengerti dimanakah terletak perbedaan tersebut…..
Didalam hutan Tauw Liem berturut-turut telah terjadi
berbagai macam peristiwa yang sangat aneh, semuanya ini
membuat Pek Thian Kie semakin kebingungan dan merasa
bimbang tidak karun.
Tidak lma kemudian si pemuda berbaju hijau sudah balik
kembali.
“Bagaimana penaksiran Pek-heng, terhadap harga rumah
ini?” tanyanya sambil tertawa dan memandang wajah
pemuda itu tjam-tajam.
“Penaksiran?”
“Benar! Bukankah kau merasa rumah ini rada
misterius?”
“Ehmmm ………ada sedikit, menurut pandanganmu?”
“Akupun mempunyai perasan yang sama!” sahut
pemuda berbaju hijau itu sambil mengangguk. “Si penyewa
rumah ini belum sampai satu tahun mendiami rumah ini
mendadak menemui ajalnya, bahkan setelah mengetahui
hal ini ada juga orang yang ingin menyewa, coba kau piker
bukankah sangat aneh sekali kejadian ini?”
“Memang ada sedikit keanehan?”
“Benar, barang pusaka!”
“Barang pusaka apa?”
“Bukankah didalam keterangn diatas kertas itu tercatat
sebagai hadiah akan diberikan sebuah bangunan rumah
:Ang Wu Piat Su? Aku piker rumah merah itu pasti
merupakan sebuah mustika bu-lim. Kalau tidak siapa yang
ingin pergi kesana untuk menghantarkan nyawa ?”
Mendengar ucapan tersebut, diam-diam Pek Thian Kie
merasakan hatinya tergetar.
“Aaaaaakh ………….. sedikitpun tidak salah.”
Diam-diam pikirnya dalam hati. “Jikalau rumah merah
yang dimaksudkan bukan suatu mustika dari kalangan
dunia persilatan, mengapa jago-jago Bu-lim itu suka masuk
kedalam rumah rejeki untuk hantar kematian ?”
Berpikir akan hal ini tak terasa lagi ipun sudah bertanya
kembali.
“Tetapi masih ada suatu hal yang mencurigakan
………!”
“Apa yang patut dicurigakan ?”
“Jikalau rumah merah “Ang Wu Piat Su” ini
menunjukkan semacam mustika dunia persilatan, aku piker
orang-orang Bu-lim tentu akan berusaha untuk
mendapatkannya, tetapi mengapa prang-orang yang
menemui ajalnya hanya sembilan jagoan pedang dari
kolong langit saja?”
“Menurut duganku, kemungkinan sekali hanyaa
sembilan jagoan pedang dari kolong langit saja yang
mengetahui rahasia rumah merah “Ang Wu Piat Su”
tersebut !”
“Ehmmmm …….. dugaanmu memang cengli!”
“Aaaaakh ………. Ini Cuma dugaan siauw-te, benar atau
tidak aku rasa tak bakal bisa disimpulkan oleh kita.”
Perlahan-lahan Pek Thian Kie mengangguk, ia merasa
apa yang diucapkan pemuda berbaju hijau ini memang
benar.
“Pek-heng, apakah kau sering berkelana didalam dunia
kangouw?” Tanya Tong Liem kembali.
Pek Thian kie menggeleng.
“Siauwte baru beberapa hari berkelana didalam dunia
persilatan ………” sahutnya perlahan.
“Apakah Heng-tay pernah mendengar istana harta?”
“Pernah …….” Pemuda tersebut mengangguk, hatinya
rada kaget. “Katanya Istana harta tersebut khusus
meminjamkan uang untuk kawan-kawan Bu-lim!”
“Sedikitpun tidak salah !”
“Siauwte ada maksud hendak sedikit onglos perjalanan
dari Ist tempat ini?” kembali tanya Istana Harta tersebut,
entah beberapa jauh dari tempat ini?” kembali Tanya Tong
Liem sambil tertawa pahit.
“Haaaaaa………..haaaa…………….haaa ………..
sungguh kebetulan sekali.” “Siuwtepun ada maksud hendak
pergi ke Istana harta, bagaimana kalau kita berangkat
bersama-sama.”
“Sudah tentu sangat bagus sekali!”
Demikianlah Pek Thian Kie serta pemuda yang masih
terasa asing baginya bersama-sama mendatangi Istana
harta.
Jilid 4
Bab 10 Meminjam uang di Istana Harta
SAAT INI hari baru saja terang tanah pintu Istana harta
pun baru saja dibuka.
Kiang To telah melakukan pembunuhan didalam Istana
harta tersebut sehingga ada tujuh, delapan orang jatuh
korban, tetapi keadan didalam istana harta pada saat ini
tenang seperti sediakala, suasana sunyi-senyap seperti
belum pernah terjadi suatu peristiwapun.
Kali ini Pek Thian Kie bisa mengunjungi kembali Istana
Harta, tujuan yang terutama sudah tentu hendak mencari
tahu keadaan dari si jagoan pedang penakluk naga beserta
rahasia hubungan antara Istana Harta dengan rumah
misterius itu.
Jikalau orang yang ingin menyewa rumah tersebut pada
tahun ini benar-benar adalah si jagoan pedang penakluk
naga, pemimpin dari sembilan naga, maka urusan bisa
diketahui dengan sangat mudah, karena untuk memperoleh
emas murni seribu kati bagaimnapun juga, ia pasti akan
mendatangi Istana Harta ini.
Bersamaan itu pula ia ingin menggunakan kesempatan
ini menyelidiki siapakah majikan dari Istana Harta ini.
Ketika Pek Thian Kie tiba didepan pintu si lelaki
berpakaian perlente penjaga pintu tersebut agaknya masih
ingat dengan diri pemuda tersebut.
Air mukannya kelihatan berubah sangat hebat, buru-buru
ia menjura memberi hormat.
“Ooooouw ……. Kiranya Pek Thay-hiap ……”
Sedikitpun tidak salah, memang cayhe adanya!”
…… Tolong Tanya apa maksud Pek Thay-hiap datang
kemari?”
“Kalau tidak pinjam uang, buat apa aku harus datang
kemari? ………” seru pemuda itu ketus.
“Sungguh maaf, Istana harta kami hanya mengizinkan
satu orang pinjam uang satu kali saja dari sini !”
“Tetapi kemarin hari aku tidak pinjam uang!”
Si lelaki berpakaian perlente itu tertawa, sinar matanya
perlahan-lahan dialihkan keatas wajah Tang Liem.
“Dan apa pula maksud saudara ini datang kemari?”
tanyanya lagi.
“Cayhepun ingin pinjam sedikit uang.”
“Mau pinjam berapa?”
“Tidak banyak, Cuma seratus tahil perak saja.”
“Berasal dari perguruan mana?”
“Cayhe Tang Liem berasal dari perguruan Bu-Tong
Pay!”
“Kenapa?”
“Karena …….karena ………..” agaknya si pemuda
berbaju hijau itu merasa serba susah juga untuk mengajukan
alasannya, lama sekali baru jawabnya :
“Cayhe ingin bertemy muka dengan majikan kalian !”
“Sungguh maaf, majikan kami tak ada disini.”
“Kalau begitu aku ingin bertemu dengan Cong-Kooan
atau Ciang-kwee kalian!”
“kalau memang saudara mempunyai kesulitan, baiklah,
mari ikut aku masuk,” ujar si lelaki berpakaian perlente itu
kemudian.
Selesai berkata dengan memimpin pemuda yang
menyoren pedang itu ia berjalan masuk kedalam ruangan.
Pek Thian Kie yang dapat melihat seluruh kejadian ini,
diam-diam dalam hatinya mulai menaruh rasa curiga
…………….
Kemarin malam pemuda tersebut sudah pergi menengok
rumah aneh itu dan kini ingin pinjam uang pula kemari, ada
sepuluh bagian ia pasti hendak menyewa rumah tersebut.
Lalu siapakah dia ?
Selagi Pek Thian Kie dibuat kebingungan itulah, si lelaki
berbaju perlente itu sudah mempersilakan mereka masuk.
“Saudara berdua silakan masuk!”
Pek Thian Kie melirik sekejap kerah pemuda berbaju
hijau yang menyoren pedang itu kemudian tanpa menoleh
lagi melnjutkan perjalannya kedalam.
Ciang Kwee Istana harta masih tetap si Kakek tua
tersebut, sewaktu dia orang melihat munculnya Pek Thian
Kie disana air mukanya segera berubah hebat.
“Aaaaaakh ………… kau ……….. “ Serunya tak
tertahan.
“Benar Cayhe!” Pek Thian Kie tersenyum?
“Kan ……… apa maksudmu datang kemari?”
“Mau pinjam uang!”
“Kiang ……..”
“Cayhe bernama Pek Thian Kie, apakah kau sudah
lupa?” buru-buru pemuda itu memotong perkataannya yang
belum selesai.
“Benar…………..benar …………benar ……… Pek
Thay-hiap ingin pinjam berapa?”
“Tidak tentu, mungkin Cuma tiga, lima tahil
kemungkinan lima ribu tahil kemungkinan Cuma lima ribu
tahil emas murni!”
Didalam anggapan Ciang-kwee lijin seratus persen Pek
Thian Kie sebetulnya adalah Kiang To, ia menganggap
korban tujuh, delapan orang yang mati didalam Istana harta
adalah hasil perbuatannya.
Melihat bagaimana luar biasa dasyatnya ilmu silat
pemuda tersebut, sudah tentu bagi sang Ciang-kwee tersebut
menemui dia, seperti pula menemui musuh tangguh yang
sangat mengerikan.
“Saudara ini adalah …….” Serunya kemudian Ciangkwee
ini berhasil menenangkan hatinya.
“Cayhe Tang Liem, anak murid partas Bu-tong.
“Kau ingin pinjam berapa?”
“Seratus tahil perak sudah cukup. Bila dibicarakan
sungguh memalukan sekali Cayhe sudah kehabisan bekal
ditengah jalan, terpaksa aku harus pinjam uang dari Istana
Harta kalian ………..”
“Orang-orang yang sering melakukan perjalanan
ditempat luaran, kekurangan uang sudah merupakan suatu
kejadian yang sangat luar biasa ………” Kata ciang-kwee
lojin itu tertawa, “Hal ini bukan termasuk suatu kejadian
yang sangat memalukan, tetapi Istana kami harus
menyelidiki dulu asal-usul kalian sehingga jelas, setelah itu
baru bisa mengambil keputusan dipinjami uang atau tidak.”
“Soal ini tidak mengapa!”
“Kalau begitu, kalian berdua boleh pergi istirahat…….”
Si lelaki berbaju perlente itu dengan cepat membawa
kedua orangitu menuju keruangan belakang, sengaja Pek
Thian Kie memperlambat langkah kakinya.
Terdengar si lelaki berpakaian perlente yang ada
dibelakangnya, pada saat itu sedang berkata.
“Dialah Ciang-Kwee dari Istana harta kami,”
Buru-buru si lelaki berbaju hijau itu menjura memberi
hormat.
“Ciang kwee, terimalah penghormatanku!” serunya.
“Saudara tidak perlu sungkan-ungkan, apakah
kedatangan saudara kemaripun ingin pinjam uang?”
“Benar!”
“Siapa nama saudara?”
“Tolong Tanya Ciang-kwee, namaku serta perguruanku
apakah bisa dirahasiakan?’
“Soal ini saudara boleh berlega hati selama puluhan
tahun ini belum pernah istana kami membocorkan nama
kawan-kawan dunia kangouw yang datang pinjam uang
kemari …… bukan saja terhadap orang yang pinjam uang,
sekalipun terhadap orang-orang yang menitipkan barang
berharganya disinipun selalu pegang rahasia rapat-rapat,
inilah perturan dari Istana kami, karena itu harap saudara
boleh berlega hati.
Diam-diam Pek Thian kei merasa dangat kaget, ia tidak
menyangka kecuali Istana Harta meminjamkan uang
kepada orang lain, merekapun dapat menyimpankan harta
benda pusaka milik orang lain didalam istna tersebut,
kejadian ini benar0-benar berada diluar dugaannya.
Tak terasa lagi ia memperhatikan orang itu lebih tajam
lagi, tampaklah ketika itu si pemuda berbaju hijau tersebut
sedang membisikkan sesuatu ketelinga sang Ciang-kwee
lojin.
Selesai dibisiki, air muka Ciang-kwee lojin berubah
hebat, ia mengangguk tida hentinya.
“Kau ingin pinjam berapa?” Tanyanya kemudian.
“Seribu kati emas murni!”
“Asal-usul saudara tidak perlu diselidiki lagi. “sang
Ciang-kwee lojin itu mengangguk. “mari aku hant kau pergi
keruangan biru!”
“Terima kasih atas bantuanmu!”
Selesai berkata dengan memimpin pemuda berbaju hijau
itu, ia lantas berjalan keruangan kedua sebelah paling kiri,
tampaklah diatas pintu tertera sebuah tulisan yang
bertuliskan kata-kata :
“Ruan Biru !”
Pek Thh=ian Kie yang dapat melihat seluruh keadaan
tersebut dengan amat jelas, tidak terasa lagi mengerutkan
dahinya, langkah yang semula berjalan sangat lambat,
mendadak sama sekali terhenti.
“Eeeee……. Saudara kenapa?” tegur si lelaki berpakaian
perlente itu.
“Aku sekarang juga ingin pinjam uang!”
“Sekarang?”
“Tidak salah, agaknya asal-usulku pada saat ini tidak
perlu diselidiki lagi bukan?”
“Benar!”
“kalau begitu, kau bawa saja kawan Tang kebelakang!”
Selesai berkata ia langsung berjalan menuju keruang
yang ditempati Ciang-Kwee tersebut.
Ketika itu kebetulan sang Ciang-kwee lojin baru saja
keluar dari ruangan biru, sewaktu dilihatnya Pek Thian Kie
berjalan bali, air mukanya segera berubah hebat.
“Pek Thay-hiap, kau ada urusan apa!”
“Aku ingin pinjam uang sekarang juga!”
“Sekarang …………?” Ciang Kwee lojin itu benar-benar
merasa amat terperanjat.
“Sedikitpun tidak salah, sekarang juga aku ingin pinjam
uang tersebut.”
“Mau …….. mau pinjam berapa ?”
“Lima laksa tahil emas murni!”
“Apa? Lima laksa tahil emas murni ?”
“Sedikitpun tidak salah.”
“Baik……. Baik ……baik ……” dengan gugup dan
ketakutan Ciang-kwee lojin mengiakan.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. heei Ciangkwee,
aku ingin menanyakan lagi suatu persoalan!” seru
Pek Thian Kie sambil tertawa dingin tida hentinya!
“Apakah Istana kalian juga khusus menyimpan harta serta
barang pusaka milik orang lain?”
“Benar!”
“Apakah ada orang yang khusus menjaga barang-barang
tersebut!”
“Maaf …….. soal ini adalah rahasia kami,
bagaimanapun juga tak bisa aku bocorkan.”
“Kalau begitu, aku ingin pinjam uang saja,” kata
pemuda itu kemudian setelah berpikir sebentar.
“Soal ini ……..” seru Ciang-kwee lojin agak ragu-ragu.
“Ayoh, cepat bawa aku keruang merah!” Potong Pek
Thian Kie dengan mata melotot lebar-lebar.
“Baik ………. Baik ………..baik ………….”
Dengan langkah yang gugup, Ciang-kwee lojin itu segera
membawa Pek Thian Kie menuju keruangan yang terakhir,
pada saat ini dari dalam ruangan Biru kedengaran suara
bentakan-bentakan keras berkumandang keluar.
Tidak usah ditanya lagi, jelas sekali menunjukkan bila
sang pemuda berbaju hijau itu sedang bergebrak melawan
Tongcu dari ruang Biru.
Dengan cepat Pek Thian Kie elah tiba diruangan merah,
tanpa disuruh lagi Ciang-kwee lojin itu segera mengetuk
pintu dengan nada yang gencar.
“Siapa?” dari balik ruangan berkumandang keluar suara
bentakan nyaring.
“Cong-koan, tecu adalah Ciang-kwee!”
“Masuk!”
“Baik……baik…..”
Ciang-kwee lojin itu segera mendorong pintu berjalan
masuk kedalam, ketika Pek Thian Kie dapat melihat
Tongcu dari ruang merah tersebut ternyata adalah si setan
darah Tong it san, ia lantas tersenyum.
Lain halnya dengan Tong It san, sewaktu melihat orang
yang bertindak masuk kedalam ternyata Pek Thian Kie,
saking kaget dan takutnya, paras mukanya kontan saja
menjadi berubah hebat.
“Aaaaakh ………. Kau? ……….” Serunya tak tertahan.
“Sedikitpun tidak salah, memang aku!”
“Kau …..kau mau apa datang kemari?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. sudah tentu
pinjam uang, apa kau kira aku khusus datang hendak
mencari setori?’
“Kau …… kau ingin pinjam berapa?’
“Kau pikir dari ruang merah ini bisa pinjam uang
seberapa besar untuk aku?”
“Lima ……lima laksa tahil emas murni?’
“Sedikitpun tidak salah, apakah kita harus bergebrak
kembali?......”
“Tidak perlu!!!”
“kalau begitu terima kasih atas perhatian Cong-koan
yang suka memberi muka untuk diriku, kalau begitu harap
kalian segera persiapkan emas tersebut karena sekarang juga
aku hendak pergi dari sini!”
“Ciang-kwee!” buru-buru Tong It San menoleh kearah
Ciang-kwee lojin tersebut. …… Emas murni dalam gudang
apakah cukup untuk membayar sejumlah itu?’
“Pek Thay-hiap, dapatkah kau orang memberi
kelonggaran beberapa hari untuk pihak Istana kami ?”
dengan cepat Ciang-kwee lojin berseru. “Terus terang saja
aku beritahu bahwa simpanan uang didalam gudang kami
sampai ini hari masih belum cukup untuk membayar
jumlah tersebut, tetapi didalam tiga hari ……”
“Aku orang tak bakal sanggup menunggu sedemikian
lamanya!”
“Pek Thay-hiap !” seru Ciang-kwee lojin kembali,
“Bukankah kau hendak menyusahkan pihak istana kami?
Bukannya kami tidak mau memberi uang tersebut
kepadamu. Melainkan karena jumlah uang disini masih
kurang, maka dari itu …….. harap ……….. harap Pek
Thay-hiap suka memaklimi …….”
“Tidak bisa jadi!”
Kedatangan Pek Thian Kie ketempat itu adalah
bertujuan pinjam uang, jika menurut keadaan yang
sebetulnya, jangan dikata pinjam uang, sekalipun menagih
hutangpun semisalnya orang tersebut minta waktu beberapa
hari, dia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi Pek Thian Kie
adalah khusus oinjam uang dari tempat itu.
Sudah seharusnya ia tidak boleh mengelak permintaan
itu, siapa sangka ternyata pemuda tersebut dengan ngotot
sudah menolak.
Pemuda tersebut menolak permintaan Ciang-kwee itu
sudah tentu hatinya mempunyai alasan-alasan tertentu.
Apalagi tujuan utama dari kedatangannya kemari adalah
pinjam uang disamping hendak paksa majikn “Istana harta”
itu untuk unjukkan diri menemui dirinya.
Begitu perkataan dari Pek Thian Kie meluncur keluar
dari ujung bibir, air muka Ciang Kwee lojin serta Tong
Cong-koan segera berubah hebat.
“Kau ingin berbuat apa?” teriak Tong It San keras.
“Ingin pinjam uang!”
“Bukankah kami sudah berkata kalau uang didalam
Istana kami sedang kekurangan ?”
“Kalau begitu silakan kalian undang keluar majikan
Istana harta!”
“……….. selamanya majikan kami tidak menetap
disini!”
“kalau begitu, kalian boleh beritahu kepadanya jika ia
tidak suka serahkan uang tersebut pada saat ini juga, maka
aku akan baker habis Istana harta ini.”
“Jadi kedatangan saudara kemari sengaja hendak
mencari gara-gara dengan pihak kami ?”
“Boleh kalian anggap begitu !”
“Hmm ! Apa menurut pendapat saudara, kami orangorang
dari Istana Harta bisa dipermainkan sesuka hatimu ?”
teriak Tong It San sambil mendengus dingin. “Delapan
lembar nyawa kau bunuh kemarin hari, dari pihak majikan
kami belum melakukan perhitungan ……..”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. soal ini
belum pernah cayhe pikirkan didalam hati.”
“Mengenai uang lima laksana tahil emas tersebut, pada
saat ini Istana kami tak sanggup untuk membayarnya
sekaligus, dua hari kemudian ………”
“Tadi aku sudah bilang tidak bisa!” bentak Pek Thian
Kie dengan air muka berubah hebat.
“Kenapa tidak bisa jadi?”
“Istana kalian sendiri yang mengeluarkan syarat serta
peraturan, bila ini hari tidak kalian bayar uang itu, maka
aku akan menggunakan nyawa kalian sebagai jaminan.”
“Cara bagaimana kau ingin menggunakan jaminanmu?”
Pek Thian Kie tertawa dingin tiada hentinya.
“Bila aku ingin membinasakan kalian, soal itu
merupakan suatu pekerjaan yang sangat mudah seperti
membalik telapak tangan sendiri.
Sewaktu berbicara, selintas hawa nafsu membunuh mulai
berkelebat diatas wajahnya, nada ucapanpun kedengaran
sangat menyeramkan ……….. membuat hati siapapun
terasa bergidik.
…….. kau orang bisa diajak bicara tidak?” teriak Tong It
San dengan setengah suara menggembor air mukanya
berubah hebat.
………Yang tidak pakai aturan adalah kalian, kenapa
kamu harus salahkan diriku?”
“Kentut !” maki Tong Cong-koan amat gusar. “Aku
akan mengadu jiwa dengan dirimu bangsat cilik !”
Begitu perkataan terakhir meluncur keluar, badannya
segera berkelebat kedepan menubruk Pek Thian Kie sedang
telapak tangannya dengan disertai angina pukulan yang
menderu-deru dihajarkan kedepan.
“Jelas, Tong It San dibuat tidak sabar dan tidak tahan
lagi oleh sikap Pek Thian Kie yang ingin menang sendiri,
oleh karena itu saking tak tahannya ia melancarkan
serangan dasyat kedepan.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik inilah Pek
Thian Kie ingin lebih memperbesar persoalan tersebut.
“Bagus sekali, kau ingin cari mati?” teriaknya gusar.
Tangan kanannya segera disilangkan didepan dada
menangkis datangnya pukulan musuh, sedang tangan
kirinya didorong kedepan mengirim serangan balasan.
Dua buah telapak tangan dengan cepat terbentur satu
sama lain diikuti suara ledakan keras, tubuh Tong It san tak
kuasa untuk menahan diri lagi seketika itu juga ia terdesak
mundur sejauh lima, enam langkah.
“Haaaaa ………… haaaa ……………haaaa………..
tidak salah, aku memang mencari mati, jauh lebih baik lagi
jika aku ditemani dirimu ………”
Sekali lagi tubuhnya bergerak kedepan menubruk tubuh
Pek Thian Kie yang sudah bersiap sedia.
Mendadak …………
“Ada urusan apa?” serentetan suara yang amat dingin
berkemandang masuk kedalam ruangan.
Mendengar suara teguran tersebut, baik Pek Thian Kie
maupun Tong It San sama-sama menarik kembali
serangannya dan mundur kebelakang.
Dengan cepat Pek Thian Kie menoleh kearah belakang
………
“Haaa …… kau ? …..” tak tertahan lagi ia menjerit.
Orang yang baru saja munculkan dirinya disana ternyata
bukan lain adalah si pengemis muda, Cu Tong Hoa adanya.
Cu Tong Hoa ternyata belum meninggalkan tempat itu,
hal ini benar-benar berada diluar dugaan Pek Thian Kie.
“Oooouw ……… aku kira siapa ….. tidak tahunya kau
orang …….” Seru Cu Tong Hoa ketika itu juga sambil
tertawa dingin.
“Sedikitpun tidak salah, memang cayhe ….”
“Apa yang lebih terjadi?”
“Cu Tongcu, kau bilang aku patut keki tidak,” seru Tong
It San dengan gemas. “Saudara ini hendak meminjam uang
dengan Istana Kita, dan uang yang diminta belum cukup
jumlahnya. Kami minta waktu tiga hari, ternyata dia orang
tidak setuju.”
“Benar-benar sudah terjadi kejadian ini ?”
“Sedikitpun tidak salah !” Pek Thian Kie tertawa dingin.
“Pek-heng, kau ingin pinjam berapa?”
“Lima laksa tahil emas murni!”
“Kalau orang lain tidak punya, lebih baik kau mengalah
dan kasih waktu beberapa hari buat mereka ………”
“Tidak bisa jadi!”
“Begini saja,” seru Cu Tong Hoa kemudian setelah
termenung sebentar. “Kalian semua lihatlah diatas
wajahku, kasihlah waktu setengah hari !”
“Waaaaah …….. tidak bisa jadi, bagaimana mungkin
dalam setengah hari kita bisa dapatkan uang sebanyak itu ?”
teriak Tong It San tidak setuju.
“Tong Cong-koan aku lebih baik kau setujui saja
keputusan ini. Kalau tidak bilamana Istana Harta sampai
dihancurkan orang, maka seluruh tanggung jawab ini harus
kau pikul sendiri …….”
“Baik …….. baik, kita undur setengah hari!”
“Jikalau aku tidak setuju? Mendadak Pek Thian Kie
tertawa dingin
“Tidak setuju?”
“Benar, aku tidak setuju.”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. Pek-heng!
Kenapa kau harus membuat orang lain susah ?” tegur Cu
Tong Hoa sambil tertawa dingin.
“Ooooouw …….. kawan Cu, agar aku setuju, tidak sukar
syaratnya. Asalkan kau suka beritahu asal-asulmu yang
benar !”
“Tetapi ……… Pek-heng ! Apa ….. apa perlumu ?”
“Jika kau tidak setuju lebih baik cepat menggelinding
pergi dari sini, menanti perhitunganku dengan Tong
Congkoan telah selesai, aku bisa pergi mencari kau dengan
sendirinya.
“Pek-heng, kau sungguh-sungguh tidak suka memberi
muka kepadaku?”
“Benar! Jikalau benar-benar tak ada uang disini, harap
kalian panggil keluar Majikan Istana Harta untuk berbicara
dengan diriku …..”
“Pek Thian Kie, tindakanmu salah besar …….” Tiba-tiba
air muka Cu Tong Hoa berubah hebat.
“Tindakanku yang mana dianggap salah ?”
“uang yang mereka miliki tidak cukup, tidak seharusnya
kau orang menggunakan cara paksaan !”
“kalau aku hendak menggunakan kekersan kau mau apa
? untuk batalkan niatku ini mundur saja …….. kalian boleh
panggil majikan Istana Harta untuk keluar dan berbicara
beberapa patah kata dengan diriku !”
“Air muka Cu Tong Hoa berubah semakin hebat.
Bab 11 Cu Tong Hoa Majikan Istana Harta
KAWAN PEK ! Mari ……… mari ……. Mari ……..
selama hidup, aku memang paling suka mencampuri urusan
orang lain, sikap serta tindakan-tindakanmu ini sangat tidak
enak dipandang, maka itu aku sudah putuskan untuk
mencampuri urusan ini, “ teriaknya keras.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. kalau
begitu sangat bagus sekali,” teriak Pek Thian Kie pula
sambil tertawa dingin. “Orang she Kiang, kedelapan lembar
nyawa yang mati didalam Istana Harta adalah kau yang
turun tangan membinasakan mereka, tidak kusangka
sekarang kau bisa memperlihatkan wajah yang begitu rmahtamah.
Hmmmm ……….. justru aku ingin mencari kau
untuk bikin perhitungan.”
“Kaulah yang bernama Kiang To!”
“Kentut !”
“Haaaaaaa ? Kau berani memaki aku ……. Bagus ! Aku
bunuh dulu kau orang bentak Cu Tong Hoa gusara.
Begitu selesai berbicara badannya segera menubruk
kedepan sambil melancarkan serangan dasyatnya.
Dalam hati Pek Thian Kie pun mengerti bila kepandaian
silat dari Cu Tong Hoa tak boleh dipandang enteng,
sewaktu Cu Tong Hoa sedang menggerakkan badannya
meloncat kedepan, telapak tangannya segera disilangkan
kedepan dada menanti datangnya serangan tersebut.
Bayangan manusia berkelebat saling menyambar untuk
kemudian berpisah kembali.
Ilmu silat yang dimiliki, Cu Tong Hoa ternyata amat
tinggi sekali, sehinggarada diluar dugaan Pek Thian KIe,
tetapi sewaktu teringat bahwa nama besar Kiang To bisa
begitu terkenal di dalam dunia kangouw sudah tentu
kepandaiannya sangat lihay.
Oleh sebab itu, ia tidak begitu merasa kaget.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…….. nama besar
Kiang To ternyata bukan nama kosong belaka …………”
jengek pemuda itu dingin.
“Terima kasih ……….. terima kasih …………”
Tubuhnya kembali bergerak kedepan, serangan-serangan
yang dilancarkan keluar semakin santer, agaknya ia
bermaksud menjatuhkan Pek Thian Kie dalam waktu yang
singkat.
Pek Thian Kie sendiripun tidak ingin menunjukkan
kelemahannya, iapun membentak keras, sedang telapak
tangannya dengan membuat gerakan setengah lingkaran
ditengah udara dengan cepat ditabokkan kedepan.
Hanya didalam sekejap mata kedua orang itu masingmasing
sudah mengirim tiga jurus serangan terhadap pihak
lawan aja.
“Pek Thian Kie !” Mendadak terdengar Cu Tong Hoa
membentak dengan suara yang rendah. “Kau dengarlah,
jikalau kau merasa urusan berada diluar dugaanmu, lebih
baik jangan hentikan gerakkan tanganmu !”
Mendengar perkataan tersebut, Pek Thian Kie jadi
melengak, dengar sinar mata keheranan, ia memandang si
pengemis tersebut tajam-tajam.
“Terus terang aku beritahu kepadamu,” bisik Cu Tong
Hoa kembali. “Akulah Majikan dari Istana Harta ini
………”
“Apa ?” Kali ini Pek Thian Kie tak bisa membendung
perasaan kagetnya lagi, ia berseru tertahan.
Beberapa patah perkataan tersebut terasa bagaikan
halilintar yang membelah bumi disiang hari bolong.
Kepalanya terasa pening seperti dimartil. Kejadian ini betulbetul
berada diluar dugaannya.
“Pek Thian Kie, seluruh perkataanku adalah nyata ! Aku
tahu apa sebabnya kau paksa aku keluar, bukankah kau
mengira antara Istana Harta dengan Rumah Rejeki yang
disewakan ada sangkut pautnya ? Kau benar-benar bodoh
………..”
“Apa maksudmu ?”
“Kau benar-benar terlalu tolol, jikalau antara Istana
Harta dengan Rumah Rejeki yang disewakan ada sangkut
pautnya, mengapa tulisan tersebut bisa ditulis demikian
jelas sehingga sekali pandang saja orang-orang Bu-lim
sudah memahami semua ?”
Pek Thian Kie termenung, ia merasa perkataan tersebut
sedikitpun tidak salah.
“Pada mulanya aku anggap kau adalah Kiang To,” ujar
Cu Tong Hoa lebih lanjut. “Tetapi sekarang aku baru tahu
bahwa dugaanku ternyata tidak benar. Kau bukan manusia
itu, karena kemaren sewaktu kau lagi bergebrak melawan
orang lain, ia sudah masuk dan membinasakan wakil
Majikan Istana Harta, ketika kau masih berada diruang
belakang.”
Pek Thian Kie jadi tertegun.
“Apakah antara Kiang To dengan Istana kalian ada
ikatan permusuhan yang mendalam ?” tanyanya.
“Tidak ada ……… kau tahu mengapa aku sudah turun
tangan membinasakan si ular seratus bunga ?”
“Kenapa ?”
“Eeeei …. Aku beritahu padamu, tahun yang lalu
sebelum “Sin Mo Kiam Khek” Pek Thian Kie memasuki
rumah tersebut, ia sudah titipkan sebuah benda didalam
Istana Harta ini !”
“Benda apakah itu ?” Sang Pemuda berteriak tertahan.
“Soal ini kau jangan bertanya terlebih dahulu, benda ini
kendati kelihatannya tidak berharga, tapi “Sin Mo Kiam
Khek” sudah menggunakan tiga butir permata sebagai uang
tanggungan. Karena barang tersebut mahal harganya.
Cong-koan tidak berani terima dan laporkan urusan ini
kepadaku, akhirnya aku setuju untuk menyimpan barang
itu.”
Cu Tong Hoa merandek sejenak kemudian sambil
menghembuskan napas panjang sambungnya kembali :
“Selama ini barang-barang yang disimpan dalam Istana
harta, rahasianya bisa kita pegang tegug-teguh. Tetapi
mengenai peristiwa ini tidak disangka ternyata sudah tersiar
keseantero dunia kangouw…”
“Jadi Pek Hoa Coa si ular seratus bunga itu yang
membocorkan rahasia ini ?”
“Tidak salah ! si ular seratus bunga sudah kepincut
dengan Kiang To !”
“Kau ……. Kau maksudkan itu …………. Si ular seratus
bunga ………… usia si ular seratus bunga masih sangat
muda ?
“Sedikitpun tidak salah !” kembali Cu Tong Hoa
mengangguk.” Ia baru berusia duapuluh tahun. Coba kau
bayangkan ! Setelah peristiwa ini tersiar, ternyata Kiang To
sudah bersumpah akan mendapatkan benda ini, jelas sekali
kalau benda yang disimpan oleh kami sedikit banyak punya
hubungan erat dengan Kiang To …..”
“Ehmmm …….. tidak salah, tidak salah.”
“Bila kita tinjau persoalan tersebut lalu dihubungkan
pula dengan bangunan rumah aneh yang disewakan itu, aku
rasa agaknya peristiwa inipun hasil perbuatan dari Kiang
To !”
“Dari mana kau dapatkan alasan ini ?”
Karena sebelum Sin Mo Kiam Khek menyewa rumah
tersebut, agaknya ia sudah dapat mengetahui segalagalanya,
karena itu benda tersebut baru ia simpan didalam
Istana harta kami, bukankah sudah jelas sekali bila tujuan
dari si penyewa rumah tersebut hanya bermaksud untuk
memperoleh barang itu ?” Pek Thian KIe merasa pendapat
ini sedikit tidak salah, tanyanya lagi : “Kalau sudah melihat
sendiri barang yang dititpkan Sin Mo Kiam Khek ?.......
“Belum ia minta setahun kemudian barang itu harus
diserahkan kepada seseorang!”
“Siapa ?”
“Kiang To !”
“Apa ?” Pek Thian Kie ini betul-betul tersentak kaget.
“Ia perintahkan aku untuk serahkan barang itu kepada
muridnya Kiang To.”
“Lalu kenapa kau tidak serahkan kepadanya ?”
“Terus terang, aku beritahu padamu, dia bukan Kiang
To!”
“Apa maksud dari perkataanmu itu ?”
“Jikalau dia adalah Kiang To, maka sekalipun tidak
pergi mencuripun sama saja akan peroleh barang itu !
“Ehmmmmm ….. sangat beralasan ……. Sangat
beralasan.”
“Sin Mo Kiam Khek beritahu pada kami bahwa
muridnya baru akan muncul setahun kemudian,” sahut Cu
Tong Hoa kembali. “Sedangkan Kiang To itu sudah
muncul setengah tahun yang lalu, jelas sekali kalau Kiang
To yang asli pasti bukan dia!”
Mendadak …….. agaknya Pek Thian Kie pun sudah
menyadari akan sesuatu, ia pernah bertemu dengan orang
itu dan pihak lawanpun pernah berterus terang mengatakan
bila ia bukan Kiang To yang asli. Kiang To adalah orang
lain.
Siapakah orang itu ? Apa mungkin dirinya sendiri ?
Berbagai keadaaan yang ditemui selama ini
membuktikan bila kemungkinan besar dirinyalah Kiang To.
Cma samapai kini ia masih belum bisa memastikan, jika dia
adalah anak murid dari “Sin Mo Kiam Khek:,
Berpikir akan persoalan tersebut, Pek Thian Kie kembali
memandang wajah kawannya tajam-tajam.
“Benarkah Sin Mo Kiam Khek bernama Pek Thian Kie
?”
“Tidak salah !” Bahkan kemungkinan besar kau adalah
anak muridnya.
“Bagaimana kau bisa tahu ?”
“Karena kau adalah manusia yang mendatangi Istana
Harta kami setahun kemudian. Tempo dulu kau belum
pernah munculkan diri didalam dunia kangouw, bahkan
kaupun bernama Pek Thian Kie.”
Ketika itulah Pek Thian Kie mulai memastikan jika
dialah Kiang To yang dimaksudkan ……… Cuma ia belum
berhasil membuktikan kebenaran dari dugaan tersebut.
“Bukankah rumah itu sudah sangat lama sekali disewakan
kepada orang lain ?” seru Pek Thian Kie kemudian sk
mungkin kalau peristiwa ini hasil seperti sudah menyadari
akan sesuatu. “Tidak mungkin kalau peristiwa ini hasil
kerja dari Kiang To ……”
“Mungkin ! karena dari saku Sin Mo Kiam Khek ia tidak
berhasil menemukan barang yang dicari, maka terpaksa
mau tidak mau ia harus munculkan diri kedalam dunia
kangouw. Sekarang kau sudah paham bukan ?”
“Paham !”
“Kemungkinan besar, pada saat ini Kiang To masih
berada dalam Istana Harta.” Bisik Cu Tong Hoa lirih.
“Karena itu aku terpaksa harus berada di dalam ruangan
belakang terus dan melarang anak buahku membocorkan
asal-usulku yang sebenarnya……….”
“Macam apakah Kiang To itu ?”
Kejam, ganas, licik, banyak akal. Kesemua ini
merupakan watak yang sudah melekat dihati sanubarinya.
Sekarang kau boleh pergi, kau pergilah mengurusi
pekerjaanmu, jika ada persoalan aku bisa pergi mencari
dirimu, bagaimana pun juga kita harus bikin jelas persoalan
Kiang To ini.”
“Tapi ……… banyak persoalan aku masih belum jelas!
……..” teriak Pek Thian Kie melengak.
“Soal ini aku tahu,” potong Cu Tong Hoa tidak menanti
selesai berbicara. Tapi aku bisa beritahu kepadamu,
sekarang kau tidak usah tinggal disini lagi, karena hal ini
hanya mendatangkan banyak kerepotan saja buat diriku,
dan mulai sekarang kau harus bekerjasama dengan ku.”
“Bagus ! Kapan kau akan datang mencari diriku ?”
“Beberapa hari ini!”
“Aku percaya padamu.”
Seluruh pembicaran ini mereka lakukan masih dalam
keadaan bergebrak, apa lai nada ucapannya amat perlahan
dan lirih, karena itu kecuali mereka berdua tak ada yang
mendengar lagi apa yang sedang mereka bicarakan.
Mendadak ………….
Cu Tong Hoa membentak keras, telapak tangannya
dengan gencar mengirim satu pukulan mendesak mundur
musuhnya kemudian badannya mencelat mundur sejauh
satu kaki lebih.
“Tahan !”
“Ada apa ?” sengaja Pek Thian Kie berseru ketus, sambil
menarik kembali serangannya, iapun meloncat mundur
kebelakang.
“Dengan kepandaian silat serta kesempurnaan tenaga
iweekang yang kita miliki sekalipun bergebrak selama tiga
hari tiga malampin tak ada habis-habisnya, diantara kita
tiada ikatan sakit hati maupun dendam, kenapa kau tidak
suka kasih sedikit muka untukku ?”
“Baiklah !” pura-pura Pek Thian Kie berpikir sebentar,
“Tapi didalam tiga hari mendatang aku pasti akan datang
kembali untuk ambil uang tersebut.”
Ketika Pek Thian Kie baru saja selesai berbicara,
mendadak pintu ruangan biru terbuka, dan muncullah sang
pemuda yang menggembol pedang tadi mengikuti dari
belakangnya seorang kakek berpakaian perlente.
“Ciangkwee !” terdengar si kakek tua berpakaian perlente
itu berseru. “Kepandaian ilmu pedang dari saudara ini
sangat mengagumkan sekali, berikanlah kepadanya seribu
tahil emas.”
“Baiklah,” sang Ciangkwee itu menoleh dan
memandang sekejap kearah sang pemuda tersebut, “Seribu
tahil emas ini kapan hendak kau ambil ?”
“Dalam Tiga hari kemudian.”
“Baik……. Baik ……. Kami akan persiapkan untuk
saudara, bila kau merasa buruh setiap saat boleh datang
untuk mengambil.”
“Terima kasih cayhe mohon diri terlebih dahulu.”
Melihat kejadian itu berbalik Pek Thian Kie yang dibuat
tertegun, ia tidak mengerti mengapa sang pemuda yang
menggembol pedang ini tidak sekalian membawa pergi
uang seribu tahil emasnya, malahan dititipkan untuk
sementara waktu disana ?
Sementara pemuda itu berlalu, Pek Thian Kie menoleh
kearah sang Ciang-kwee.
“Siapa orang itu ?” tanyanya perlahan.
“Maaf hamba tak berani memberi jawaban, aku orang
punya kewajiban untuk merahasiakan namanya.”
Pek Thian Kie tertawa tawar, tanpa banyak cakap lagi ia
lantas berlalu meninggalkan tempat itu dan menguntil dari
belakangnya.
Didalam hai ia ada maksud untuk mengetahui siapakah
dia dan apa maksudnya minta uang sebesar seribu tahil
emas.
Selagi Pek Thian Kie sedang melakukan penguntilan
itulah mendadak dari belakang badannya berkumandang
datang suara teguran : “Pek-heng, kau mau berangkat ?”
Terlihatlah Tong Liem, kawan yang baru saja ia kenal
tidak lama sudah muncul dari belakang tubuhnya.
Pek Thian Kie lantas mengangguk
“Tidak salah, aku mau pergi, maaf aku harus berlalu satu
langkah lebih cepat.”
“Pek-heng, kenapa kita tidak berangkat bersama-sama?”
“Bukankah kau ingin pinjam uang?”
“Benar …… benar…… Cuma …… aku takut berada
disini seorang diri. Aku lihat tempat ini bukan suatu tempat
yang aman, aku tidak jadi pinjam uang.”
Mendengar perkataan tersebut, tiba-tiba Pek Thian KIe
merasakan hatinya rada bergerak.
“Ia sudah datang kemari untuk pinjam uang, tapi
sewaktu melihat aku ingin berlalu, ia lantas batalkan
maksudnya ……… dia ………. Mungkinkah ia sedang
menguntit diriku ? …… “ pikirnya didalam hati ……
baiklah ! ….. Aku ingin melihat siapakah kau orang …..”
Berpikir akan persoalan tersebut, ia balik bertanya.
“Jadi maksudmu ?”
“Aku ingin berangkat mengikuti dirimu.”
Kontan Pek Thian Kie merasakan hatinya tergetar sangat
keras. Sedikitpun tidak salah ! Terang-terangan orang ini
ada maksud hendak menguntit didinya. Tak kuasa sang
pemuda tersebut merasakan badannya merinding, bulu
roma pada bangun berdiri.
“Apa mungkin dialah si manusia yang bernama Kiang
To ?” kembali pikirnya.
Pek Thian kie merasakan hatinya samakin bergidik,
diam-diam matanya melirik sekejap.
Ketika itu Tong Liem masih beridir ditempat semula
dengan satu senyuman manis menghiasi bibirnya,
“Kalau kau ingin ikut marilah !” sahutnya kemudian.
Selesai berkata dengan cepat ia meluncur keluar dari
Istana. Sekarang, Pek Thian Kie harus mengejar pemuda
yang menggembol pedang itu dan lihat berasal dari
manakah pemuda tersebut, betulkah dia orang sunggugsungguh
berniat untuk menyewa rumah aneh itu ?
Jikalau dugaannya benar, ia harus turun tangan
menghadang atau setidak-tidaknya mendahului pemuda itu
satu tindak !
Pek Thian Kie sekeluarnya dari pintu Istana, laksana
kilat ia meluncur kurang lebih sepuluh kaki kedepan
kemudian berkelebat kearah muka, sebentar kemudian
ditemuinya pemuda misterius tersebut sedang berjalan
menerobosi sebuah hutan.
Pek Thian Kie menguntit lebih jauh.
Mendadak pemuda tersebut berhenti dan mencelat
secepat kilat menoleh kebelakang, empat mata bertemu jadi
satu tak terasa lagi Pek Thian Kie menghentikan langkah
kakinya.
Agaknya sang pemuda tersebut sudah menemukan bila
jejaknya sedang dikuntit orang lain, setelah berdiri tertegun
beberapa saat kembali melanjutkan perjalanannya kemuka.
Pek Thian Kie yang melihat jejaknya konangan alisnya
kontan dikerutkan, mulai saat ini ia tak dapat melakukan
pengintai lagi secara terang-terangan.
Ia merandek sejenak, menanti sang pemuda tersebut
sudah berlalu agak jauh ia baru melanjutkan kembali
kuntitannya kearah muka.
Siapa nyana, didalam waktu yang amat singkat itulah
bayangan tubuh dari pemuda tersebut sudah lenyap tak
berbekas.
“Aduuuuh ……. Celaka !” teriak Pek Thian Kie dalam
hati, tubuhnya menyambar lewat dan melakukan
pengejaran secepat kilat.
Gerakan tubuh dari Pek Thian Kie kali ini benar-benar
amat cepat, dimana bayangan tubuh berkelebat lewat, ia
sudah berada ditempat semula pemuda tersebut berdiri.
Matanya dengan cepat menoleh keempat penjuru,
telingga dipentang lebar-lebar dan perhatian dipusatkan jadi
satu. Tapi tak sesosok bayangan manusiapun yang nampak.
Tak terasa lagi Pek Thian Kie jadi melengak dibuatnya.
Suara tertawa dingin bergema memecahkan kesunyian,
sesosok bayangan turun dari tengah udara dan tahu-tahu
sudah berdiri dihadapan Pek Thian Kie.
Pek Thian kie merasa bergidik hatinya, buru-buru ia
mundur satu langkah kebelakang.
Terlihatlah pemuda yang menggembol pedang tadi pada
sat ini sudah berdiri dihadapannya dengan sikap dingin,
angkuh dan menyeramkan.
“Aaaaaakh ……!” Pek Thian Kie berteriak tertahan,
hatinya berdesir dan ia mengerti bila dirinya sudah kena
dijebak.
“Kawan !” Tegur sang pemuda menggembol pedang itu
dengan wajah penuh kegusaran. “Apa maksudmu
menguntit perjalanan cayhe ?”
Untuk beberapa waktu Pek Thian Kie tak sanggup
mengucapkan sepatah katapun, ia membungkam dalam
seribu bahasa.
Melihat pihak lawan tidak memberi jawaban, air muka
pemuda tersebut berubah semakin hebat.
“Cepat jawab, siapakah kau ?” bentaknya murka.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……. dan saudara
sendiri ?” balas Pek Thian Kie sambil tertawa dingin.
“Jawab dulu siapakah kau dan apa maksudmu menguntit
perjalanan cayhe ! jika kau membandel hmm ! Jangan
salahkan cayhe segera akan turun tangan kejam.”
Beberapa patah kata ini diutarakan dengan nada yang
dingin, kaku dan ketus, sepasang matanya dengan
memancarkan cahaya dingin melototi wajah Pek Thian Kie
tak berkedip.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee……. jalanan ini
juga bukan milikmu, aku mau lewat disini atau tidak, apa
sangkut pautnya dengan dirimu ? Belum tentu aku sedang
menguntit kau orang !”
“Ooooouw ….. jadi kau masih ingin berlagak pilon ?”
“Bukannya berlagak pilon, tapi kenyataan !”
“Bangsat ! Kau mau berterus terang tidak kepadaku, apa
maksudmu menguntit diriku ?” Sekali lagi pemuda itu
membentak Pek Thian Kie dengan sepasang mata melotot
lebar-lebar.
“Jika aku tidak suka bicara ?”
“Akan kupaksa kau untuk menjawab !”
Tak kuasa lagi Pek Thian Kie mendongakkan kepala
tertawa tergelak.
“Haaaa……….haaaa…………haaaa……. kalau begitu
kau boleh coba-cba.”
“Bangsat kau cari mati …..”
Belum habissuara teriakan tersebut meluncur keluar, satu
pukulan yang dasyat sudah menerjang kearah dada Pek
Thian Kie.
Pek Thian Kie yang di serang segera mendengus dingin,
badannya miring satu langkah kesamping, tangannya
dengan gerakan dari bawah menuju keatas menunci dirinya
dari serangan musuh.
“Tahan !” teriaknya cepat
“Apa yang ingin kau ucapkan kembali ?”
“Kau benar-benar ingin paksa aku untuk turun tangan ?”
“Tidak salah, kecuali kau suka menyebutkan siapakah
kau ?”
“Aku lihat lebih baik kau urungkan saja niatmu itu
….heeeee……….heeeee…………heeeee……. karena aku
lihat yang bakal rugi adalah kau sendiri.”
“Kalau kau tak percaya …… Nih ! cobalah bagaimana
rasanya kepalanku !”
Begitu pemuda tersebut selesai berteriak, bayangan tubuh
berkelebat lewat, sekali lagi ia melanjutkan tubrukan
kedepan.
Serangan yang dilancarkan kali ini betul-betul cepat
laksana sambaran petir, bahkan kesempurnaan dari jurus
serangannya sangat luar biasa. Pek Thian Kie merasakan
hatinya bergidik, buru-buru ia menyingkir kesamping.
Baru saja ia berhasil meloloskan diri, serangan kedua
dari pihak lawan kembali sudah menggulung datang.
Bab 12 Jatuh Cinta
PEK THIAN KIE tertawa dingin telapak tangannya
disilangkan didepan dada menangkis datangnya serangan.
Kepandaian ilmu silat yang dimiliki Pek Thian Kie saat
ini sudah mencapai taraf kesempurnaan, bilamana
tangkisannya ini ia menggunakan seluruh tenaga, jangan
dikata sang pemuda yang menggembol pedang ini tak akan
sanggup untuk menerimanya, sekalipun siapapun jangan
harap bisa menahan pukulan tersebut.
Tetapi didalam tangkisannya barusan ini, ia Cuma
menggunakan enam, tujuh bagian tenaga saja.
“Braaaak …… !” ditengah suara bentrokan yang sangat
keras tubuh pemuda penggembol pedang itu tergetar
mundur tiga langkah kebelakang, sedangkan Pek Thian Kie
sendiripun tergetar mundur dua langkah kebelakang.
Belum habis mereka mengatur pernapasan, sang pemuda
penggempol pedang itu sudah menggembol keras dan sekali
lagi menubruk kearah musuhnya.
Bayangan manusia berkelebat menyilaukan mata,
berturut-turut ia sudah mengirim tiga buah pukulan
sekaligus.
Tiba-tiba …….
Seluruh tubuh Pek Thian Kie berkerut dan menyusut
diikuti gemetar sangat keras.
“Aduuuuh …… celaka !” teriakanya terperanjat.
Kiranya setiap hari setelah mendekati waktu ini, maka
penyakit sakit hatinya akan kumat kembali, dan kini
sewaktu menghadapi musuh tangguh ternyata penyakit
tersebut kembali sudah kambuh.
Diiringi suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati,
tubuhnya oboh keatas tanah.
Pemuda itu roboh bukan disebabkan terkena pukulan,
melainkan karena penyakitnya kambuh, saking sakitnya
seluruh tubuh berkerut kencang dan seperti ditusuk-tusuk
dengan beribu-ribu batang anak panah, sehingga akhirnya
saking tak tahannya, ia roboh keatas tanah.
Melihat musuhnya roboh sang pemuda penggembol
pedang tersebut dangan cepat menyambar ujung baju Pek
Thian Kie dan diangkatnya keatas.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… dengan
mengandalkan kepandaian secetek itu, kau masih ingin
menguntit diriku …… Hmm ! Sungguh tidak tahu diri,”
ejekan sambil tetawa dingin.
“Sungguh suatu lelucon ? Pemuda penggembol pedang
tersebut masih mengira Pek Thian Kie roboh disebabkan
terkena angina pukulannya.
Waktu itu, saking sakitnya hampir-hampir saja Pek
Thian KIe roboh tak sadarkan diri, merasakan dirinya
diangkat, ia tak dapat berkutik bahkan untuk berbicarapun
tak sanggup.
“Siapa kau ?” kembali pemuda itu membentak keras.
Tapi ….. dapatkah Pek Thian Kie buka suara pada
waktu itu ?
Tiba-tiba ……..
“Kawan, lepaskan orang itu !” dari balik hutan bergema
suara bentakan seseorang yang sangat dingin.
Terlihatlah Tong Liem dengan sebat sudah meluncur
masuk ketengah kalangan.
“Siapakah kau ?” tegur pemuda itu sembari tertawa
dingin.
“Soal ini kau tak perlu tahu.”
“Orang ini apakah kawanmu ?”
“Tidak salah.”
“Apa maksudnya dia menguntit diriku ?”
“Benarkah dia sedang menguntit dirimu, soal ini aku
merasa kurang jelas, pokoknya aku perintahkan sekarang
juga kau lepaskan orang itu !”
“Jika aku merasa keberatan ?’ Tong Liem tertawa dingin
semakin seram
“Jika aku kepengin membinasakan dirimu, gampang
seperti membalikkan telapak tangan sendiri, kau tidaka
percaya ?”
“Sungguh besar bacot anjingmu. Aku lihat kau hendak
gunakan cara apa untuk membinasakan diriku.”
“Jadi kau sungguh tiada maksud untuk melepaskan
dirinya ?” bentak Tong Liem dengan air muka berubah
hebat.
“Betul …… betul …… aku tidak akan lepaskan orang
ini, akan ku lihat kau punya kepandaian seberapa lihay.”
“Bangsat, kau cari mati …….”
Ditengah suara bentakan yang sangat keras, tubuh Tong
Liem sudah meluncur maju kedepan.
Ditengah berkelebatnya cahaya tajam yang menyilaukan
mata, ia sudah melancarkan satu cengkeraman kearah
punggung pemuda tersebut.
Serangan cengkeraman ini boleh dikata cepat laksana
sambaran kilat ditengah udara.
Tergopoh-gopoh pemuda tersebut berkelit kesamping,
lalu menangkis dengan tangan kanannya, setelah itu
menggunakan kesempatan yang sangat baik itu mundur
kearah belakang.
Sungguh patut disayangkan, gerakan pemuda tersebut
rada terlambat satu tindak, tahu-tahu telapak kiri pihak
lawan sudah menyambar kembali dihadapan wajahnya.
“Aduuuuuuuuuh ……. Cialat ……. !” tak kusangka lagi
pemuda itu menjerit tertahan, terburu-buru berkelit
kesebelah kiri.
Tetapi, tangan kanan dari Tong Liem sudah menyambar
lewat dan tepat menghajar diatas badannya.
Suara dengusan berat bergema memenuhi angkasa,
tubuh pemuda yang menggembol pedang itu sudah kena
tertotok sehingga berdiri kaku ditengah kalangn, sedangkan
tubuh Pek Thian Kie yang berada ditangannpun terjatuh
kembali keatas tanah.
Hanya didalam tiga jurus serangan ternyata Tong Liem
berhasil menotok roboh sang pemuda menggembol pedang
itu, kelihayan dari ilmu keoandaiannya benar-benar
mengejutkan sekali.
“Saudara!” terdengar Tong Liem menegur sambil
tertawa dingin. “Jika aku kepingin mencabut nyawamu ,
bukankah sangat gampang seperti membalik telapak tangan
sendiri ?”
Nyali pemuda tersebut benar-benar sudah dibuat pecah
oleh kelihayan ilmu silat pihak lawan. Selama hidup
rasanya belum pernah dia melihat seseorang memiliki
kepandaian silat yang sedemikian lihaynya. Kejadian ini
boleh dikata merupakan peristiwa yang belum pernah
terbayangkan selama ini.
Kembali Tong Liem tertawa manis.
“Mengingat antara kau dengan diriku tiada ikatan sakit
hati apa-apa, maka aku tidak ingin menyusahkan dir lebih
jauh.”
Tangan kanannya dengan cepat digerakkannya menepuk
bebeas jalan darah sang pemuda tersebut.
“Sekarang kau boleh berlalu !” bentaknya.
Pemuda itu tetap berdiri tertegun ditengah kalangan,
hampir-hampir ia tidak mempercayaai apa yang sedang
dilihatnya saat ini.
Kepandaian ilmu silat yang dimilki pemuda berbju hijau
ini benar-benar luar biasa tingginya, sehingga susah dijajaki.
“Hmmmmm ! saudaratidak ingin berlalu dari sini,
mungkin ingin cari mati?” bentak Tong Liem kembali.
Bagaikan baru saja terbangun dari impian buruk,
pemuda itu tertawa pahit, akhirnya putar badan dan berlalu
dari sana dengan langkah terburu-buru.
Pada waktu itu Pek Thian Kie masih berguling-guling
diatas tanah, karena kesakitan, air mukanya pucat pasi
bagaikan mayat, keringat dingin sebesar kacang kedelai
keluar tiada hentinya membasahai hampir seluruh tubuh.
“Pek-heng kenapa kau ?” tegur Tong Liem dengan hati
sangat kuatir.
“Aku …… aku ….. sakit hati.”
“Sakit hati ?”
“Benar ! …..”
Sembari berbicara, Pek Thian Kie tetap mencekali
lambungnyanya kencang-kencang.
Tong Liem tidak mengerti apa yang sedang
dimaksudkan, akhirnya dengan ali yang dikerutkan rapatrapat
ia berjongkok dan menggendong tubuh Pek Thian Kie
kedalam pelukannya.
Seluruh tubuh Pek Thian Kie gemetar sangat keras,
tubuhnya tanpa bisa dicegah lagi lantas jatuh kedalam
pelukan Tong Liem.
“Kau sudah rada baikan ?” Tanya Tong Liem rada
melengak.
“Baik …… ! sedikit baikan …..terima kasih heng-thay….
Terima kasih heng-thay suka menolong diriku….”
“Aaaaaakh …… Cuma soal kecil ini, kenapa kau harus
ucapkan terima kasih kepadaku ?”
Mendadak Pek Thian Kie merasakan bahwa
punggungnya yang menempel pada pangkuan Tong Liem
seperti sudah terganjal oleh sebuah benda empuk yang
sangat aneh dan misterius sekali bentuknya, disamping itu
tercium pula sejenis bau wangi yang merangsang melayang
masuk kedalam hidungnya …..
Pada mulanya Pek Thian Kie rada melengak, tapi
sebentar kemudian satu ingatan sudah berkelebat didalam
benaknya…..
“Aaaaaaakh …… dia adalah seorang gadis yang sedang
menyaru sebagai lelaki ……”
Tak tertahan lagi badannya segera meronta bangun,
kemudian dengan nada gemetar tanyanya :
“Kau …..”
“Aku ….. kenapa aku ? ……. “ melihat kawannya kaget,
Tong Liem jadi melengak dinuatnya.
“Kiranya kau adalah …..”
“Kenapa aku ? Aku adalah apa ?” Tong Liem semakin
kebingungan lagi.
“Kau adalah seorang gadis !”
Mendengar perkataan tersebut air muka Tong Liem
kontan saja berubah jadi merah padam, bagaikan buah
Tauw yang sudah masak.
“Benar …… benar ….. aku …… aku adalah seorang
gadis …… akhirnya ia menyahut malu-malu.
Untuk beberapa waktu lamanya Pek Thian Kie berdiri
temangu-mangu disana, matanya memandang wajah
pemuda berbaju hijau atau tepatnya gadis tersebut dengan
pandangan mendelong. Peristiwa ini benar-benar
merupakan suatu kejadian yang sama sekali tak terduga
olehnya.
“Kau tak menyangka bukan ?” tegur Tong Liem sambil
tertawa.
“Benar ! Aku tidak menyangka kalau kau adalah seorang
gadis !”
“kalau kau orang sudah tahu, tak apalah, anggap saja
kau adalah manusia yang paling beruntung. Cuma ….. kau
jangan beritahukan kepada orang lain loo ….!
“Aku …… aku tak akan memberitahukan soal ini kepada
orang lain, karena kau ….. kau sudah menolong aku lolos
dari mara bahaya !”
Kembali Tong Liem tertawa.
“Sebenarnya aku ada maksud untuk mengikuti terus, tapi
sekarang kau sudah tahu kalau aku adalah seorang gadis
rasanya jika kita harus melakukan perjalanan bersama-sama
rada kurang leluasa, maka dari itu, aku terpaksa harus pergi
satu tindak terlebih dahulu.”
Berbicara sampai disitu ia lantas berkelebat dan berlalu
dari sana.
“Nona …… tunggu sebentar !” mendadak Pek Thian Kie
berteriak keras.
“Kau masih ingin mennayakan urusan apa lagi ?”
“Aku …… bolehkah aku mengetahui namamu yang
sebenarnya ?”
“Aku ? Ooooouw …. Aku bernama Tong Ling !”
“Nona Tong! ….. “
Bibir Pek Thian Kie sudah digerakkan tetapi sebentar
kemudian ia sudah batalkan maksudnya untuk berbicara,
agaknya apa yang ingin ia ucapkan keluar serasa kurang
sesuai untuk didengarkan gadis tersebut, kendati begitu air
mukanya menunjukkan suatu sikap yang amat aneh sekali.
“Eeeeeei ….. sebetulnya kau ada urusan apa ?
Katakanlah secara terbuka …. Seru Tong Ling kembali
sambil tertawa pahit.
“Aku …… aku …… aakh ….. aku tidak apa-apa !”
“kau membutuhkan kawan lain jenis ?”
“Kemungkinan sekali ?”
Perlahan-lahan diatas wajah Tong Ling terlintas suatu
perasaan amat sedih dan murung.
“Aku memahami kesunyianmu, dan hal ini sama pula
dengan kesunyian yang aku rasakan, orang-orang muda
kebanyakan memang tak bakal terhindar dari soal cinta,
Cuma saja ………”
Ia menghela napas panjang dan menahan kembali katakata
selanjutnya yang tidak sempat diucapkan …..
Akhirnya dengan membawa wajah murung, ia berlalu dari
sana.
Melihat gadis itu berlalu, Pek Thian Kie lama sekali
berdiri melongo.
Secara tiba-tiba ia merasakan hatinya sangat kecewa,
pikirannya bagaikan kosong …… mungkin perkataan dari
Tong Ling sedikitpun tidak salah …. I membutuhkan
seorang kawan lawan jenis.
Dan kebutuhan tersebut bukan lain adalah ……. Cinta.
Tetapi jika ditinjau dari keadaan yang dihadapinya saat
ini, ia tak mungkin untuk membicarkan persoalan ini.
Masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan, apalagi
raut muka serta bentuk badannya bukan suatu perawakan
yang menarik bagi kaum gadis.
Akhirnya ia tertawa pahit, pikirnya dalam hati :
“Aku harus pergi ke Istana Arak atau Istana Perempuan,
aku harus memperoleh sebotol arak “Giok Hoa Lok” serta
seorang gadis cantik setelah itu pergi menyewa rumah
tersebut …… aku tak akan membiarkan siapapun untuk
mendahului diriku …..!”
Setelah mengambil keputusan, iapun mulai
menggerakkan badan berlalu dari sana …… pikirannya
sangat bingung …… bingung bagaikan menghadapi asalusulnya
sendiri ……”
Istana Arak letaknya disebelah selatan gunung Coa san,
dari gunung Liong-san menuju gunung Coa-san kurang
lebih ada seratus lie jauhnya.
Bagi setiap orang yang mengerti minum arak, rasanya
tak bakal ada yang kenal nama dari Istana Arak tersebut.
Di dalam Istana Arak terdapat arak wangi serta arakarak
terkenal, asalkan setiap orang punya kepandaian lihay,
maka tanpa merogoh saku lagi, tentu bisa minum arak
sampai mabok …..
Seperti halnya pula dengan Istana Harta, asalkan kau
memiliki kepandaian silat tinggi, maka setiap saat bisa
datang kesana untuk minta uang.
Secara bagaimakah Istana Arak, Istana Perempuan serta
Istana Harta itu didirikan ? Mengapa ada orang yang
melakukan perbuatan yang demikian anehnya, tak seorang
jago kangouw yang tahu.
Hari itu …….
Seorang pemuda kurus kering yanag sangat lemah
muncul didepan Istana Arak dengan langkah yang amata
lambat.
Seorang kakek tua berbaju hijau menjaga didepan pintu
dengan sinar mata tajam, lantas memperhatikan pemuda
kurus tersebut, beberapa saat kemudian ia maju kedepan
menjura.
“Apakah saudarapun ada maksud untuk mengunjungi
istana kami ?” tegurnya lambat.
“Benar!”
“Tolong Tanya siapakah nama majikan saudara ?”
“Cayhe Pek Thian Kie.”
“Apa ? Pek Thian Kie ?” teriak si kakek berbaju hijau itu
hampir-hampir mencelat ketengah udara saking kagetnya
terhuyung-huyung ia mundur dua, tiga langkah kebelakang.
Melihat sikap sang kakek tua yang amat aneh, Pek Thian
Kie jadi melengak.
“Kau kenapa ? Apakah ada sesuatu yang tidak beres ?’
“Oooouw …… tidak mengapa ………. Tidak mengapa
……….. mari ………. Mari ……… silakan masuk !”
Dengan angkuh Pek Thian Kie melanjutkan kembali
langkahnya masuk kedalam.
Tampaknya ruangan Istana Arak sangat luas, didalam
sebuah ruangan tampak tiga puluh meja tersebar dimanamana,
saat ini kurang lebih ada dua puluh orang sedang
minum arak.
Ketika Pek Thian Kie hendak berjalan masuk melalui
pintu besar, seorang dara berbaju hijau menyambut
kedatangannya.
“Selamat datang kedalam istana kami, silakan duduk,
silakan duduk ! ….. serunya berulang kali.
Agaknya dara berbaju hijau tersebut adalah gadis
pelayan khusus melayani para tetamu yang mengunjungi
Istana mereka.
Dengan mengikuti dari belakang dara tersebut,
sampailah Pek Thian Kie didepan sebuah meja, ia lantas
duduk.
“Tentunya saudara baru pertama kali ini mengunjungi
istana kami bukan ? ….. tegur dara berbaju hijau itu
memecahkan kesunyian.
“Benar !”
“Untuk minum arak disini kami mempunyai beberapa
peraturan.”
“Peraturan ? Apa Peraturannnya ?”
“Untuk minum arak, kami bagi menjadi tiga kelompok !”
“Ehmmmm ….. apa saja ketiga kelompok itu ?”
“Atas, tengah dan bawah ….. Arak yang termasuk paling
atas dipersembahkan kawan-kawan Bu-lim seperti
Ciangbujin, ketua perkumpulan dan lain-lainnya. Arak yang
termasuk kelompok tengah diberikan untuk para jago-jago
kelas wahid. Sedangkan arak kelompok bawah adalah arakarak
yang diminum kawan-kawan Bu-lim tingkat biasa.
Entah sakarang kau minum arak macam apa ?”
“Didalam Arak kelompok atas dibagi pula beberapa
macam arak ?” Tanya Pek Thian Kie lagi setelah berpikir
sejenak.
“Arak “Hoa Lok”, Arak “Lok Siang” serta Arak “Sim
Mie” tiga macam.”
Mendengar hanya macam itu saja, Pek Thian Kie jadi
melengak.
“Lalu macam apa saja dalam kelompok Arah Menengah
?”
“Arak “Tan Siang” Arak “Giok Peng” serta Arak “Sam
Jie Cui” Tiga macam.”
Sekali lagi Pek Thian Kie dibuat melengak, didalam dua
kelompok arak tersebut ternyata sama sekali tidak terdapat
kata-kata arak “Giok Hoa Lok” Apakah arak tersebut
termasuk dalam arak kelompok terendah ?
“Bagaimana pula dengan arak kelompok terbaeah ?”
akhirnya ia bertanya juga.
“Arak “Cun Siang” Arak “Shia Liang” Arak “Ciu
Suang” serta arak “Tong Luan” empat macam. !!
Untuk sesaat lamanya Pek Thian Kie dibuat duduk
mematung dengan mulut melongo-longo. Arak “Giok Hoa
Lok” merupakan arak yang termahal dikolong langit pada
saat ini, dan katanya arak tersebut hanya terdapat didalam
Istana Arak saja ?
Kini, ternyata gadis berbaju hijau tersebut sama sekali
tidak mengungkap soal arak macam itu.
Lalu apa maksudnya ? dan dimanakah letak “Ceng-li
dari persoalan ini ?......
Tak terasa lagi kembali ia bertanya :
“Sudah tidak ada golongan arak lain lagi ?”
Dara berbaju hijau itu meleng.
“Sungguh tidak ada !”
“Aaaaakh ….. ! Tidak mungkin ….. masih ada yang lain
kan ?”
“Mau pecaya atau tidak terserah padamu. Sekarang kau
ingin minum arak dari tingkatan yang mana ?”
“Arak kelompok teratas !”
“Aku piker belum tentu kau orang bisa …… “ jengek
sang gadis dinginnya
“Kenapa Tidak bisa ?’
“Arak kelompok terats hanya diperuntukan para jagojago
lihay yang sudah punya nama besar dalam dunia
persilatan …..”
“jadi kau anggap aku bukan seorang jagoan lihay yang
sudah punya nama besar dalam Bu-Lim ?” teriak Pek Thian
KIe dengan air muka berubah hebat.
“Tidak berani ……. Tidak berani …….! Kalau begitu
biarlah aku laporkan dulu persoalan ini kepada Ciang-kwee
!”
Sembari berkata dengan langkah yang lemah lembut, ia
berjalan menuju kemeja sang Ciang-kwee dan membisikkan
sesuatu kepada seorang wanita cantik setengah tua.
Pek Thian Kie menarik kembali sinar matanya dan
dialihkan kearah luar pintu Istana …..
Mendadak ……
Ia menemukan seorang dara berbaju hijau dengan
memimpin seseorang berjalan massuk kedalam Istana, dua
orang itu bukan lain adalah sang pemuda yang menggembol
pedang itu.
Pek Thian Kie merasakan hatinya berdebar keras, burburu
ia melengos kesamping.
Jilid 5
Bab 13 Murid jagoan Pedang Penakluk Naga
SANG pemuda yang menggembol pedang ini pernah
munculkan dirinya didalam Istana Harta. Seratus persen
kedatangannya kedalam Istana Arak pasti disebabkan arak
“Giok Hoa Lok” tersebut.
Kini sudah jelaslah terbukti kalau pemuda menggembol
pedang itu ada maksud untuk menyewa rumah aneh
tersebut, hanya saja ia belum berhasil mengetahui asal-usul
serta keadan yang sebenarnya dari pihak lawan, serta
mengapakah ia melakukan tindak tanduk yang demikian
rahasianya ?”
Sewaktu Pek Thian Kie sedang berpikir keras didalam
hatinya, dara berbaju hijau itu sudah bertanya kepada sang
pemuda menggembol pedang :
“Saudara ingin minum arak yang macam apa ?”
“Aku dengar didalam istana kalian terdapat semacam
arak terkenal yang luar biasa wanginya ?”
“Bukan kami mengibul, arak yang terdapat dalam Istana
kami kendati dari tingkatan terendah pun jauh lebih keras
dari arak tingkatan teratas yang ada dijual dalam kota,” ujar
dara berbaju hijau itu sambil tertawa.
“Soal ini aku sih tahu, apakah ada arak yang bernama
Giok Hoa Lok ….?”
“Arak Giok Hoa Lok?”
Dara berbaju hijau itu tak dapat menahan rasa kejut
dalam hatinya sehingga ia berseru tertahan.
Pek Thian Kie sendiripun terperanjat, Aaaaakh ….!
Sedikitpun tidak salah, kedatangan pemuda menggembol
pedang ini tidak lain dikarenakan arak “Giok Hoa Lok”.
“Tidak salah ! Arak Giok Hoa Lok.” Terdengar sang
pemuda menggembol pedang itu sedang menyahut.
“Tapi arak golongan ini tidak diperuntukkan buat orangorang
bu-lim !”
“Aku tahu dan aku ingin arak macam itu !”
Dara berbaju hijau tersebut lantas tersenyum.
“Ada dua macam orang saja yang bisa minum araj ini,”
katanya
“Siapa saja! Coba nona terangkan!”
“Orang perempuan dan anak-anak!”
“Kalau begitu aku tak bisa minum arak itu?”
“Benar, bahkan walaupun arak ini hanya diperuntukan
buat kaum gadis dan anak-anak, ada syarat-syaratnya pula.
Pertama dengan tenaga Iweekang yang paling tinggi,
tumpahkan dulu arak dalam cawan keatas meja, setelah itu
menghisap kembali, sehingga masuk kedalam botol.”
Lama sekali pemuda menggembol pedang itu berdiam
diri tidak berkata, sesaat kemudian dengan suara yang
rendah bisiknya :
“Sedikit benda ini aku berikan buat nona untuk beli
bedak dan gincu, harap kau sudah sedikit memahami
kesulitanku !”
Pek Thian kie miringkan matanya melirik, tampaklah
benda yang diberikan pemuda menggembol pedang tersebut
kepada dara berbaju hijau itu bukan emas, melainkan
sebutir permata warna hijau yang memancarkan cahaya
tajam.
Setelah diberi sebutir permata sedemikian indahnya,
sikap dari dara berbaju hijaupun berubah, terdengar ia
tertawa merdu.
“Kalau begitu, akan kucarikan akal buat dirimu,”
sahutnya.
Habis berkata dengan langkah yang lemah gemulai, ia
berlalu dari sana.
Pek Thian Kie kerutkan alisnya, dalam hati ia berpikir
keras untuk mencari sebuah akal yang bagus …………
Waktu itulah, dara berbaju hijau itu sudah kembali lagi,
kepada sang pemuda uajarnya :
“Bilamana saudara ingin minum arak kelompok teratas
tidak sukar, asalkan kau suka perlihatkan sedikit
kepandaian agar aku bisa menilai apakah kau berhak untuk
minum arak kelompok teratas ini atau tidak.”
“Ooooou ….. soal itu tidak sulit !”
Sembari berkata Pek Thian Kie mengerakan tangan
kanannya menggapai kedepan, cawan arak yang berada di
tangan seorang lelaki bercambang dihadapannya tahu-tahu
sudah melayang kearah pemuda tersebut.
Melihat cawan arak yang berada ditangannya mendadak
melayang sendiri ketengah udara, lelaki bercambang itu jadi
terperanjat sekali, sepasang matanya terbelalak besar
bagaikan genta.
Ketika cawan arak itu melayang tiga depa dihadapan Pek
Thian Kie, kembali pemuda tersebut menggerakkan tangan
kanannya kebelakang, cawan arak yang semula sudah
melayang jauh kemuka saat ini melayang kembali keatas
tangan lelaki bercambang tersebut !
Demontrasi ini kecuali si dara berbaju hijau serta wanita
setengah baya yang bertindak sebagai Ciang-kwee, orang
lain tak ada yang melihat dengan jelas apa yang telah
terjadi.
Melihat kedasyatan dari pemuda tersebut, dara berbaju
hijau itu jadi terperanjat alang-kepalang.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… berdasarkan
kepandaianku ini entah dapatkah minum arak kelompok
teratas ?” seru Pek Thian Kie dingin.
“Boleh, boleh, akan kuambilkan sebotol arak !”
Terburu-buru ia berlalu dari sana.
Waktu itu sang dara berbaju hijau yang melayani
pemuda menggembol pedang itupun sudah berjalan balik,
ditangannya mencekal sebuah baki kayu yang berisikan
sebotol arak serta sebuah cawan.
Dan pada sat yang bersamaan. Dara berbaju hijau yang
melayani Pek Thian Kie pun sudah membawa arak datang
mendekat.
“Arak ini adalah “Hoa Siang Ciu” coba saudara rasakan
dulu,” kata dara berbaju hijau itu.
Habis berkata, ia lantas berlalu.
“Kurang ajar ….. maknya ….. ini hari aku sudah
bertemu dengan setan …………” Gumam si lelaki
bercambang dihadapannya secara mendadak.
Walaupun ia bergumam sendir, tapi sampai detik ini
masih belum juga ia ketahui peristiwa apa yang sudah
terjadi.
“Saudara ! Inilah arak Giok Hoa Lok …..” Dara berbaju
hijau yang berada dibelakang tubuhnya bekata
“Terima kasih ………. Terima kasih ……….”
Sesaat dara berbaju hijau itu selesai berbicara, lalu Pek
Thian Kie mengambil cawan yang ada di meja dan
disambitkan kearah lelaki bercambang tersebut.
Sang lelaki bercambang yang baru saja angkat cawan
hendak minum, mendadak terasa angina dingin menyambar
lewat disusul dengan pecahnya cawan tersebut jadi
berkeping-keping, hatinya jadi sangat terperanjat.
Tidak ampun lagi seluruh wajah serta tubuhnya basay
kuyup oleh arak yang muncrat keempat penjuru itu.
Dengan penuh kegusaran matanya segera menyapu
kesekeliling, dengan suara yang keras dan kata-kata yang
kasar, makinya kalang kabut.
“Maknya ……. Bajingan dari mana yang berani
bergurau dengan aku si orang tua ? Kurang ajar ……
kurang ajar ……. Telur busuk maknya ………….”
Suara makian tersebut keras, sehingga menggetarkan
seluruh atap, perhatian semua orang yang hadir dalam
ruangan itupun tak terasa pada terpikat semua kearahnya.
Berpuluh-puluh pasang sinar mata dengan memancarkan
perasan keheranan pada melototi lelaki bercambang
tersebut.
“Hey bajingan, siapa yang berani main-main dengan
diriku, maknya ! Ayo cepat berdiri ……..!”
Belum habis ia berkata, guci arak yang berada didepan
wajahnya mendadak mencelat ketengah udara dan langsung
menyambar masuk kedalam mulutnya.
“Pluuuuuuuk ………. !” Tidak ampun lagi, seluruh
mulutnya sudah penuh tersumbat oleh guci arak tersebut,
sehingga ia tak bisa bicara lagi. Akhirnya setelah bersusah
payah sebentar, tercabut juga guci itu dari dalam mulutnya.
Tetapi, dengan kejadian ini, diapun tidak berani memaki
lagi.
Seluruh orang yng hadir dalam ruangan itu setelah
melihat kejadian ini ikut merasa terperanjat, air muka
mereka pada berubah hebat.
Diantara mereka semua hanya Pek Thian Kie seorang
yang tetap duduk tenang, waktu ia sedang angkat cawan
hendak meneguk …… mendadak terdengar pemuda yang
menggembol pedang itu berteriak kaget.
“Aaaaakh …………… aaaa ………. Arak ……….. arakku
?”
Sedikitpun tidak salah ! Arak berharga “Giok Hoa Lok”
yang ada diatas baki pada sat itu sudah lenyap tak berbekas
hanya tinggal sebuah cawan saja.
Yang jelas sebotol arak “Giok Hoa Lok” pada saat ini
sudah berada didalam saku Pek Thian Kie.
Kiranya dengan menggunakan kesempatan sewaktu
seluruh jago yang ada dalam ruangan tersebut mengalihkan
perhatian kearah sang leleki bercambang yang sedang
berteriak-teriak keras itu, Pek Thian Kie dengan diam-diam
menggunakan Ilmu Menghisap “Lie Gong Si Wu” telah
menyedot Arak “Giok Hoa Lok” dari pemuda yang
menggembol pedang itu dan disembunyikan kedalam
sakunya.
Gerakannya ini bukan saja terlalu depat, bahkan tepat
dan hebat.
“Aaaaakh ………. Dimana arakku ?” kembali pemuda
menggembol pedang itu berteriak kaget.
Pek Thian Kie tertawa tawa ! Tapi ia tetap tidak ambil
pkomentar.
Karena teriakan yang penuh diliputi perasaan cemas,
kembali sinar mata seluruh jago dialihkan ketas wajah
pemuda yang menggembol pedang itu.
Sinar mata Cong-koan dari Istana Arak …….. nenek
setengah baya itu beserta sinar mata dari dara berbaju hijau
itu dengan perasaan tegang, lantas dialihkan kearah cawan
arak ditangan Pek Thian Kie.
Pada waktu itu Pek Thian Kie sedang angkat cawannya
siap menengak habis isi araknya.
Sekonyong-konyong ……….
Serentetan cahaya putih laksana sambaran petir
menymbar kearah pangkuannya, dengan diiringi sambaran
angina tajam, sebuah benda sudah terjatuh kedalam cawan
ditangannya.
Dan benda tersebut bukan lain adalah segumpal kertas !
Pek Thian Kie benar=benar dibuat tertegun juga oleh
kejadian ini.
Jika ditinjau dari kecepatan gerak dari orang tersebut,
jelas sekali kalau ia memiliki kepandaian silat yang luar
biasa dasyatnya, hanya saja sang pemuda tersebut tidak
mengerti siapakah diantar orang-orang tersebut tidak
mengerti siapakah orang-orang yang hadir isana yang
memilki kepandaian setinggi itu.
Air muka Pek Thian Kie mendadak berubah hebat, sinar
matanya berapi-api dan mulutnya tergigit kencang.
Terlihatlah diatas kertas tersebut vertuliskan kata-kata :
“Arak pemabok, jangan diminum. Aku nasehati dirimu
lebih baik jangan mengganggu rumah sewaan tersebut.
Kalau tidak ……….. Hmmmm ! sampai waktunya kau
salahkan aku orang akan mengambil tindakan telengas
………..”
Selesai membaca surat tersebut, kembali Pek Thian Kie
merasakan hatinya bergidik, karena manusia yang paling
menakutkan pada saat ini, Kiang To telah memperingatkan
dirinya untuk kedua kalinya.
Tapi sebentar kemudian pemuda tersebut tersenyum
kembali, karena semakin pihak lawan melarang ia berbuat
demikian, semakin sengaja ia akan ikut campur dan
menyewa rumah misterius tersebut. Karena dengan
wataknya yang keras kepala, ia tidak ingin tunduk dibawah
perkataan oran lain.
Pek Thian Kie melirik sekejap keatas cawan arak
ditangannya kemudian tertawa dingin tidak hentinya.
“Arakmu hilang ?”
“Benar …… ! Sudah Hilang ……”
“Aaaaaakh …… ! Tidak mungkin ?”
“Suuuuu ……. Suuuuuuung ……….. sungguh !”
Saking cemasnya pemuda menggembol pedang itu jadi
kalang kabut sendiri sehingga seperti semut diatas kuali
panas, keringat sebesar kacaang kedelei mengucur keluar
tiada hentinya, sedang sinar matanya perlahan-lahan
berhenti diatas wajah Pek Thian Kie kurang lebih lima depa
dihadapannya.
Dan ketika itu Pek Thian Kie sedang memikirkan perlan
lain yang memberatkan pikirannya.
Pemuda penggembol pedang yang melihat keadaan Pek
Thian Kie sangat mencurigakan, mendadak ia bangun
berdiri dan langsung mendekati diri Pek Thian Kie.
“Maaf kawan, cayhe sedikit mengganggu,” tegurnya
setibanya disisi Pek Thian Kie.
Perlahan-lahan Pek Thian Kie menoleh dan memandang
pemuda tersebut sambil tersenyum.
Begitu melihat siapakah orang yang berada disana,
kontan muka pemuda menggembol pedang itu berubah
hebat, tanpa terasa ia sduah mundur satu langkah
kebelakang.
“Aaaaaakh …. ! Kiranya kau ?” teriaknya tak tertahan.
“Sedikitpun tidak salah, memang betul cayhe !” Pek
Thian kie tersenyum dan mengangguk.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… tidak
kusangka kita bakal berjumpa lagi disini !”
Maksud dari perkataannya ini, mengapa kau selalu
menguntit diriku, hingga samapi disini.
“Tidak salah !” Pek Thian Kie tertawa “Akupun sudah
sampai disini ! Haaaa …….. haaaaaa ………. Haaaaa
…………”
Dengan pandangan yang tajam, pemuda tersebut
menyapu sekejap pada wajah Pek Thian Kie, mendadak ia
melihat kalau disaku pemuda tersebut tersendul keluar
sebuah benda yang kelihatan sangat jelas mirip sebuah guci
arak. Hatinya jadi teramat gusar.
Saudara ! Manusia budiman tak akan melakukan
pekerjaan gelap. Cepat kembalikan guci arakku!” Teriak
pemuda menggembol pedang itu dingin.
“Arak ? Arak Apa ?” seru Pek Thian Kie pura-pura
melengak.
“Hmm ! Kau jangan berlagak pilon lagi, cepat keluarkan
guci arakku yang kau sembunyikan dalam saku.”
“Arak apa toh yang sudah hilang ?”
“Arak Giok Hoa Lok !”
“Apa ? Giok Hoa Lok ?
“Tidaka salah ! Ayoh. Cepat bawa kemari. Hmmmm !
Kalau tidak, jangan salahkan aku bila bertindak tidak
sungkan lagi.”
“Tidak benar ……… tidak benar …… tidak mungkin
benar ….” Gumam Pek Thian Kie menggeleng.
“Apanya yang tidak benar, bangsat ! Cepat serahkan arak
tersebut kepadaku.”
“Didalam Istana Arak ini tidak ada arak semacam ini !
dari mana aku bisa mengambil arak Giok Hoa Lok mu itu
?”
“Bangsat !” Kau tidak usah banyak bacot lagi, ayo cepat
serahkan guci ark tersebut. Hmmmm ! Kalau tidak, aku
akan segera turun tangan !”
Diatas wajahnyapun terlintaslah suatu hawa nafsu
membunuh yang mendesak wajah Pek Thian Kie dalamdalam,
agaknya ia sudah ada maksud untuk turun tangan.
“Dalam Istana Arak ini betul-betul ada arak semacam ini
! Kembali Pek Thian Kie berteriak.
Baru saja Pek Thian Kie selesai berkata, pemuda tersebut
sudah membentak keras. Telapak tangannya laksana
sambaran kilat menyapu tubuh Pek Thian Kie keras-keras.
Dengan sebat Pek Thian Kie angkat tangan kanannya
pula menangkis.
“Tunggu sebentar !” bentaknya keras.
“Hmmm ! Apa kau sudah berubah pikiran dan hendak
mengembalikan arak ku yang sudah kau curi ?”
“Saudara, apakah kau melihat dengan mata kepalamu
sendiri, kalau arakmu itu aku yang curi ?”
“………………….Seketika itu juga pemuda tersebut
dibikin bungkam seribu bahasa oleh perkataan Pek Thian
Kie tersebut.
Pada saat itulah dara berbaju hijau tersebut tersenyum
sudah berjalan mendekat, tegurnya dengan suara yang
merdu.
“Eeeeei ….. kalian berdua ada urusan apa >”
Pek Thian Kie tertawa.
“Nona ! Tolong Tanya didalam Istana kalian apakah ada
semacam arak yang bernama Giok Hoa Lok ?”
Muka dara berbaju hijau itu kontan saja berubah hebat,
lama …… lama sekali, ia baru menjawab :
“Ada ….!”
“Tadi aku sudah tanyakan soal ini kepada nona itu
sambil menunjuk nona yang dibelakangnya, dan mengapa
ia bilang tidak ada ?”
“Ka …… karena ………… karena arak ini haaaaa
…..hanya diperuntukan buat kaum wanita dan ……. Dan
bocah cilik !”
“Oooouw ….. jadi kau sudah memberi arak “Giok Hoa
Lok” untuk saudara ini minum ?”
Walaupun tidak secara langsung, namun pertanyaan ini
bermaksud menyindir pemuda menggembol pedang itu.
Dara berbaju hijau itu rada tertegu, sebentar, tetapi
kemudian ia sudah tertawa tawar.
“Saudara suka bergurau…..”
“Tidak …… ! Cayhe tidak sedang bergurau. Aku
bersungguh-sungguh. Ada orang menuduh aku mencuri
sebotol arak “Giok Hoa Lok –nya , bukankah hal ini sangat
lucu ?’
Perkataan dari Pek Yhian Kie ini diucapkan dengan
suara yang keras, sehingga hampir semua orang dapat
mendengar perkataan tersebut dengan amat jelas.
Tidak terasa lagi, kembali sinar mata semua orang
ditujukan kepada wajah Pek Thian Kie.
Sedangkan pemuda ini sendiri dengan sinar mata yang
tajam melototi dara berbaju hijau itu tanpa berkedip, ia
menantikan jawabannya.
Dara berbaju hijau itu bagaikan orang bisu kena getah,
ada kesulitan sukar untuk diutarakan keluar. Lama … lama
sekali ia baru berkata :
“Dia menuduh kau sudah mencuri arak Giok Hoa Loknya
?”
“Benar ! maka dari itu akuingin bertanya kepadamu. Dia
bukannya seorang perempuan atau bukan pula seorang
bocah seharusnya kau tak mungkin memberi arak “Giok
Hoa Lok” kepadanya bukan ?”
Baru sajja perkatan tersebut meluncur keluar, keempat
penjuru sudah dipenuhi dengan gelak tertawa yang riuh
rendah.
Air muka pemuda menggembol pedang itu berubah
merah jengah, ia benar-benar kena dipermainkan Pek Thian
Kie sehingga tanpa bisa memberikan serangan balasan.
“Sudah tentu ….. sudah tentu dia orang tiiii ….tidak
mungkin minum arak Giok Hoa Lok……” sahut dara
berbaju hijau itu kemudian.
Agaknya pemuda menggembol pedang itu tak dapat
menahan rasa gusar dihatinya lagi, belum habis dara
berbaju hijau itu menyelesaikan kata-katanya, ia sudah
mengembor keras.
“Bangsat Cilik ! Hitung-hirung kau lebih pintar, tapi
tunggu saja pada suatu hari pasti akan ku balas sakit hati
ini.”
Buru-buru ia putar badan dan berlalu.
Dengan kepergian pemuda menggembol pedang ini,
maka suasana didalam kalangan pun kembali berubah jadi
tenang dan hening.
Dengan gemas dara berbaju hijau itu melototi sekejap
kearah Pek Thian Kie, kemudian putar badan dan berjalan
ke meja sang Ciang-kwee.
Dengan tangan kanan mencekal guci arak dan tangan
kiri mencekal cawan arak mendadak Pek Thian Kie bangun
berdiri.
Melihat tindakan pemuda tersebut, dengan perasaan
terperanjat dan penuh waspada, wanita setengah baya serta
dara berbaju hijau itu melototi diri Pek Thian Kie tajamtajam.
Bab 14 Kemurkaan Pek Thian Kie
SETELAH RADA merandek sejenak, pemuda itu
langsung berjalan kearah dara berbaju hijau itu.
Air muka gadis tersebut kontan saja berubah pucat pasi,
kakinya tanpa terasa sudah mundur satu langkah
kebelakang.
“Nona ! Siapakah namamu ?” tegur Pek Thian Kie
sembari berhenti kurang lebih satudepa dihadapannya.
“Aku bernama A Ing.” Sahut dara berbaju hijau itu rada
melengak.
“Ooooouw ……… ! Nona A Ing, berapa usiamu tahun
ini ?”
“Aku …… delapan belas …….. apa maksudmu bertanya
soal ini ?”
Diatas wajah Pek Thian Kie terlintaslah satu senyuman
yang misterius, sedang cawan araknya diangkat keatas,
kemudian tertawa.
“Nona ! Sudah berapa lama kau berada didalam Istana
Arak ini ?”
“Lima Tahun !”
“Oooooouw ……… sudah lima tahun berada disini,
Waaaaah ….. kalau begitu nona sudah tentu sangat ahli
didalam soal arak. Nona A Ing yang baik ! Mari, aku
hormati satu cawan arak uat dirimu.”
“Aku ….!”
Kontan A Ing mundur dua langkah kebelakang, air
mukanya kelihatan sangat ketakutan sehingga berubah jadi
pucat pasi bagaikan mayat.
“Benar, kau kenapa ?” seru Pek Thian Kie tersenyum.
“Aku ……. Aku tidak terbiasa minum arak !”
“Tidak terbiasa minum arak ?”
“Aaaaakh …….! Masa ? Tidak mungkin !”
“Sungguh ……. Aku …….. aku tidak terbiasa minum
…”
“Tidak mengapa ……tidak mengapa, Cuma minum
secaan arak, tak bakal bisa mabok.”
“Tidak ……… tidak ……….. tidak ………..”
Dengan penuh ketakutan, A Ing mundur terus
kebelakang, ia tetap berusaha untuk menghindarkan diri
dari desakan pemuda tersebut.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… nona A Ing,
aku lihat lebih baik kau minum saja samapai habis,” dengus
sang pemuda ketus.
“Tidak ! Aku tida terbiasa minum arak ….. “
Bagaikan sambaran kilat, Pek Thian Kie meloncat maju
kedepan, bentaknya dingin :
“Ayo, cepat minum ! Jika kau tidak mau minum sendiri,
maka aku terpaksa akan menggunakan caraku untuk pekasa
kau menghabiskan arak ini.”
Selintas hawa nafsu membunuh berkelebat diatas wajah
Pek Thian Kie, hal ini membuat A Ing nyiut nyalinya.
Jikalau ia tidak mau menghabiskan arak tersebut, maka
urusan dengan gampang akan terbentang dihadapannya dan
kemungkinan besar, Pek Thian Kie segera akan turun
tangan membinasakan dirinya.
Akhirnya ia terima juga cawan arak itu, seluruh
tubuhnya gemetar amat keras sedang air mukapun berubah
jadi pucat pasi bagaikan mayat. Nyalinya benar-benar
sudah dipukul pecah.
“Haaaaaa ……………. Haaaaaaaaaaa …………….
Haaaaaaaaaaa ……… bagus, bagus sekali. Ayoh, cepat
habiskan.” Seru Pek Thian Kie sambil tertawa seram.
Ditengah suara tertawa yang tidak sedap didengar,
secara samara-samar terlintaslah nafsu untuk membunuh.
Sambil menggertak gigi kencang-kencang, akhirnya A
Ing meneguk habis isi dari cawan tersebut.
Dari tangannya Pk Thian Kie terima kembali cawan
tersebut, lalu tertawa dingin tidak hentinya.
“Terima kasih atas kerelaaan nona untuk kasih muka
kepadaku,” serunya mengejek.
Baru saja perkataan Pek Thian Kie selesai diucapkan,
tampaklah tubuh A Ing sempoyongan keras, lalu roboh
ketas tanah dengan menimbulkan suara yang amat keras.
Melihat kejadian itu, seluruh jago yang hadir di ruangan
tersebut jadi gempar, suasana berubah sangat ramai.
Hawa nafsu membunuh yang melintasi diatas wajah Pek
Thian Kie semakin menebal, ia meloncat maju kedepan
mendekati Ciang-Kwee kemudian mendengus dingin.
Air muka wanita setengah baya itu kontan berubah
hebat, tak terasa ia sudah mundur satu langkah kebelakang.
“Kau cong-koan dari IStana Arak ?” jengek Pek Thian
Kie sambil melototi sekejap wanita setengah baya itu dan
tertawa dingin.
“Sedikitpun tidak salah !”
“Aku sudah menghormati secawan arak untuk anak
muridmu dan sekarang mari ! Akupun ingin menghormati
secawan arak pula kepadamu !”
Sembari berkata, ia memenuhi kembali cawan araknya
dan diletakkan diatas meja, sinar matanya dengan tajam
terus melototi wanita setengah baya itu tanpa berkedip.
Hal ini sudah tentu membuat perempuan tersebut jadi
merinding dan merasakan hatinya berdebar-debar.
“Ayo cepat minum !” bentak Pek Thian Kie dingin.
“Jika aku tidak mau minum ?”
“Aku punya cara untuk paksa kau minum arak tersebut,
bahkan gentong-gentong arak yang berada dibelakangpun
terpaksa akan hancur berantakan oleh satu pukulanku.”
Tanpa banyak cakap lagi wanita setengah baya tersebut
angkat cawan yang diangsurkan oleh Pek Thian Kie itu dan
siap hendak ditempelkan dekat bibir.
Mendadak …….
Terdengar wanita setengah baya itu membentak keras,
cawan ditangannya lasana sambaran kilat meluncur kearah
Pek Thian Kie. Gerakan serangan tersebut datangnya samat
cepat lagi aneh, bahkan tenaga pukulannyapun sangat luar
biasa.
“Kau berani …….! Bentak Pek Thian Kie keras.
Telapak tangannya diangkat, serangan dasyat segera
menyambar keluar menghantam wanita setengah baya itu.
Dibawah serangan sang pemuda yang amat dasyat,
wanita tersebut laksana sambaran kilat telah mencelat
ketengah udara kemudian menubruk kearah Pek Thian Kie,
seranagannya bukan alang-kepalang.
Gerakan yang sebat dan lincah ditambah pula dengan
kedasyatan angina pukulan, bagaikan ambruknya gunung
thay-san. Tubuh Pek Thian Kie tak dapat bertahan lagi
terdesak mundur dua langkag kebelakang.
Waktu itulah serangan ketiga dari wanita setengah baya
itu kembali sudah meluncur datang.
“Kau cari mati ………” bentak Pek Thian Kie dingin.
Tubuhnya berputar kemudian menerjang kedepan, iapun
balas mengirim satu pukulan dasyat kemuka.
Serangan dari Pek Thian Kie kali ini sudah
menggunakan hampir seluruh tenaga yang dimilikinya,
bagaikan ambruknya gunung dan tumpahnya air ditengah
samudera diiringi suara bentrokan dengan keras lawan
keras, wanita setengah baya itu menerima datangnya
serangan tersebut.
Tubuhnya kontan terpukul mundur sejauh sepuluh
langkah kebelakang.
Sedangka tubuh Pek Thian Kie mnecelat ketengah udara,
jurus kedua kembali telah menyambar datang.
Bayangan manusia berpisah diiringi suara dengusan
berat. Tampaklah badan wanita berusia setengah baya itu
sudah berhasil diangkat oelh Pek Thian Kie ketengah udara.
Gerakan serangan yang baru saja dilancarkan ini, betulbetul
amat cepat, sudah entu kejadian tersebut kontan saja
memancing rasa terkejut dalam hati semua jago yang hadir
didalam ruangan istana Arak tersebut.
“Hmmmmmm ! Kau juga ingin binasakan diriku ?”
Masih terpaut sangat jauh !” Bentak Pek Thian Kie dengan
wajah diliputi nafsu membunuh.
“Aaa …… apa …… apa yang hendak kau lakukan !”
seru wanita setengah baya tersebut dengan nada gemetar.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… tidak apaapa,
aku Cuma ingin menanyakan satu persoalan saja
kepadamu!”
“Urusan apa ?”
“Obat pemabok yang terdapat didalam arak ku ini,
apakah hasil dari perbuatan kau orang ?”
“Tiiii ….tidak salah !”
“Mengapa ? Diantara kita bukankah tiada ikatan dendam
sakit hati apapun? Kenapa kau hendak meracuni diriku ?
Ayo cepat jawab …!”
“Karena …….. karena ……… karena kau adalah Kiang
To !”
“Kalau aku betul Kiang To, apa yang akan kau lakukan ?
Dan apa pula hubungannya dengan dirimu ?”
“Kau tidak akan mendatangkan kebaikan buat Istana
Arak kami ….. “ jawab wanita setengah baya itu ragu-ragu.
“Karena itu, kau lantas taruh obat pemabok didalam
arak yang hendak aku minum ?”
Sedikitpun tidak salah !”
“Cuma sungguh saying …… aku bukan bernama Kiang
To. Terus terang aku beritahu kepadamu, aku bernama Pek
Thian Kie, sudah dengar belum ? Pek ….. Thian ….. Kie !
Dimana majikanmu ?”
“Majikan kami ? Dia tak ada disini.”
Suara tertawa sinis dari Pek Thian Kie segera berubah
semakin menyeramkan, bahkan secara samara-samar
terselip nafsu untuk membunuh.
Dengan badan merinding dan bulu kuduk pada bangun
berdiri, wanita setengah baya itu melototi wajah Pek Thian
Kie yang penuh dengan senyuman sinis menyeramkan.
“Tahukah kau, apa yang hendak aku lakukan untuk
menghadapi diri ?” Tanya pemuda itu tib-tiba sambil
menarik kembali senyumannya.
“Kau ! ………..”
Pek Thian Kie tertawa dingin memotong perkatannya
yang belum selesai itu.
“Istana kalian dengan diriku selama ini tiada ikatan sakit
hati apapun, tetapi secara diam-diam kau sudah taruh obat
pemabok kedalam cawan arakku. Bilama bukannya cayhe
menemukan kejadian ini dengan cepat,
heeeee……heeee………… bukankah selembar nyawaku
bakal lenyap ditanganmu ?”
“Aku ! …..”
“Kau boleh berlega hati, aku tidak ingin menolong
diriku, juga tidak ingin membinasakan dirimu. Cuma aku
ingin kau menjawab satu persoalan ini. Kejadian ini apakah
diperintahkan langsung oleh Majikan Istana Arak ?”
“Dia ……… dia tiii ………tidak ………… tidak tahu.”
“Hmmm ! Aku sudah tahu kalau diriku tak mungkin
berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Karena itu
terpaksa aku harus memaksa dia untuk munculkan diri
dengan sendirinya.”
Sembari berkata tangan kanan pemuda itu mendadak
dibabatkan keatas lemari arak yang berderet-deret
dihadapannya.
“Braaaaaak ……..” diiringi suara ledakan yang amat
keras, angina pukulan Pek Thian Kie seberat ribuan kati ini
dengan cepat menghajar diatas almari arak dibelakang meja
Ciang-Kwee.
Almari ambruk kebawah, berpuluh-pluh guci besar arak
wangi jatuh berantakan dan hancur lebur, arak berceceran
memenuhi seluruh permukaan tanah memberikan bau
sedap keempat penjuru.
Kembali Pek Thian Kie tertawa dingin tiada hentinya.
“Aku sudah katakana, aku tak akan membinasakan
dirimu. Tolong kau sampaikan kepada majikanmu bahwa
seluruh arak tersebut, aku Pek Thian Kiel ah yang
memusnahhkan, jika ia punya kepandaian carilah diriku
untuk mencari balas.”
Habis berkata ia banting tubuh wanita setengah baya itu
keatas tanah keras-keras, kemudian putar badan dan berlalu
dari sana.
Melihat peristiwa ini, hampir boleh dikata sebagian besar
jago-jago yang hadir didalam Istana Arak tersebut dibuat
tertegun dan bergidik. Rata-rata tiada yang berani pentanag
bacot cari gara-gara.
Dengan hati puas, akhirnya Pek Thian Kie berjalan
keluar dari Istana Arak itu, tetapi belum jauh ia berlalu,
mendadak tampaklah sesosok bayangan manusia
menyambar datang dihadapannya.
Dengan perasaan terperanjat Pek Thian Kie dongakkan
kepalanya menengok, tampaklah pemuda menggembol
pedang itu dengan membawa hawa nafsu membunuh diatas
wajahnya, perlahan-lahan mendesak mendekat, sinar
matanya yang tidak berkedip melototi wajah pemuda
lawannya tajam-tajam.
“Oooooouw ……. Aku kira siapa, tak tahunya kau !”
sapa Pek Thian Kie kemudian sambil tertawa tawar.
“Sedikitpun tidak salah, memang aku !”
“Entah apa maksud tujuan kedatangan saudara kemari
?”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… saudara
betul-betul amat ganas ……….” Maki pemuda menggembol
pedang itu sambil tertawa dingin. “Cuma
……heeeee……….heeeee…………heeeee…… jika kau
adalah seorang yang cerdik, maka cepat-cepat kembalikan
arak Giok Hoa Lok tersebut kepadaku.”
Sekalipun sang pemuda menggembol pedang itu tidak
menyebut didalam hati Pek Thian Kie pun mengerti apa
maksud kedatangannya.
Segera ia tertawa dingin, air mukanya berubah keren ….
“Arak Giok Hoa Lok-mu ?
“Sedikitpun tidak salah, kau ambil arak tersebut dan
sekarang kau tidak usah berlagak pilon lagi.”
Sekali lagi Pek Thian Kie tertawa dingin.
“Kau melihat dengan mata kepala sendiri kalau arak
Giok Hoa LOk tersebut aku yang curi?”
“Sekalipun aku tidak melihat sendiri arak tersebut kau
yang curi, tapi aku tahu perbuatan ini pasti hasil kerjamu.”
“Apa alasannya !”
“Hmmm ! Coba jawab, barang apa yang berada sakumu
itu ?”
“Arak !”
“Arak apa ?”
“Maaf ….. maaf …..! Soal ini aku tidak kepingin
beritahukan padamu.”
“Kau tidak ingin bicara?”
“Benar!”
Air muka pemuda menggembol pedang itu berubah
hebat, melintas nafsu membunuh berkelebat diatas
wajahnya.
“Manusia she Pek,” bentaknya gusar. “Kau suka
kembalikan arak Giok Hoa Lok ku tidak ?”
Pikiran Pek Thian Kie dengan cepat berputar, mendadak
ia menyengir dingin.
“barang yang ada didalam sakuku memang sebotol arak
Giok Hoa Lok, Cuma aku boleh berikan kepadamu asal
kau suka memenuhi satu syaratku. Beritahukan kepadaku
siapakah kau ?”
“Hmmm ! Soal ini tak akan kuberitahukan kepadamu.”
“Kalau begitu, akupun tak dapat serahkan arak Giok
Hoa Lok tersebut kepada sauadara.”
“Kau paksa aku untuk turun tangan?” teriak pemuda
menggembol pedang itu dingin.
“Jika kau punya kepercayan bisa menangkan diriku,
boleh coba-cobalah turun tangan merebut !”
Baru saja perkataan Pek Thian Kie selesai diucapkan,
pemuda menggembol pedang tersebut sudah membentak
keras. Tubuhnya dengan cepat mendesak maju kedepan,
tangannya laksana sambaran petir menghajar dada Pek
Thian Kie sang pemuda tersebut.
Pemuda menggembol pedang yang berulang kali
dipermainkan dan dicemoohkan oleh Pek Thian Kie, pada
saat ini sudah tak dapat menahan sabarnya lagi, sehingga
serangan yang baru saja dilancarkan ini sudah
menggunakan hampir seluruh kekuatan yang dimilikinya
selama ini. Kehebatannya luar biasa dan laksana
ambruknya gunung thay-san dan bobolnya bendungan
besar.
Tempo dulu karena penyakit sakit hati dari Pek Thian
Kie kambuh, sehingga menyebabkan tenaga dalamnya
punah dan tidak than terhadap satu serangannya saja, maka
kali ini pemuda menggembol pedang tersebut sama sekali
tidak memandang sebelah matapun terhadap Pek Thian
Kie.
Ia mengangaap kepandaian silat yang dimiliki Pek Thian
Kie bukan merupakan tandingannya.
Melihat pihak lawan melancarkan serangan dasyat. Pek
Thian Kie tertawa dingin tiada hentinya, tubuhnya dengan
cepat mencelat kearah belakang.
Sewaktu Pek Thian Kie sedang berkelebat lewat itulah,
sang pemuda menggembol pedang dengan membawa suara
bentakkan nyaring sekali lagi menubruk kearah muka,
sehingga serangan keduanyapun menekan datang dengan
amat santar.
“Hmmmm ! cari mati …”
Dengan cepat Pek Thian Kie putar badan kemudian
langsung mengirim sebuah serangan balasan.
Didalam serangannya ini, Pek Thian Kie telah
menggunakan enam bagian tenaga pukulannya, kedasyatan
dari serangan tersebut hebat bagaikan tiupan angina taupan.
“Braaaaak ………!” Ditengah suara bentrokan yang
amat keras, tubuh pemuda menggembol pedang itu kena
terpental sejauh sepuluh kaki dengan sempoyongan. Sedang
Pek Thian Kie sendiri tetap beridir tegak dtempat semula.
“Siapa Kau ? Ayoh cepat katakana !” bentak Pek Thian
Kie keras, selintas nafsu membunuh mulai berkelebat diatas
wajahnya.
Denhan kejadian ini, air muka pemuda menggembol
pedang itupun berubah hebat. Untuk beberapa sat lamanya
ia berdiri mematung ditempat itu dan memandang kearah
Pek Thian Kie dengan pandangan mendelong.
Agaknya ia sama sekali tidak menduga kalau kepandaian
silt yang dimiliki Pek Thian Kie demikian dasyat.
“Kawan ! Cepat katakana siapakah namamu ? seru Pek
Thian Kie sambil tertawa dingin.
“Soal ini kau tidak perlu tahu.”
“Apa maksudmu mencari arak Giok Hoa Lok ini ?”
“Sioal ini pun kau tidak perlu tahu.”
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… kawan !
Tadi kau minta uang seribu tahil emas di Istana Harta,
kemudian ditambah lagi dengan sebotol Arak “Giok Hoa
Lok” aku terka setelah ini kau pasti hendak mencari gadis
cantik di dalam Istana Perempuan bukan ?”
“bagaimana kau bisa tahu ?” pemuda menggembol
pedang itu tersentak kaget, air mukanya pun pucat pasi.
Pek Thian Kie yang mendengar jawaban tersebut, dalam
hatinyapun merasa agak tergetar, sedikitpun tidak salah !
Pemuda menggembol pedang ini benar-benar ada maksud
untuk menyewa rumah tersebut. Tapi …….. tidak
seharusnya ia bersikap demikian misterius !
Setelah berpikir keras, akhirnya kembali ia membentak
dingin :
“Bukankah kau orang hendak menyewa rumah aneh
didalam hutan Tauw Liem tersebut ?”
Air muka pemuda menggembol pedang itu semakin
hebat, seluruh tubuhnya kini gemetar keras ………
“Baaaaa …….. bagaimana …….. bagaimana kau bisa
tahu ?”
Setelah didalam hati Pek Thian Kie berhasil
membuktikan persoalan ini, pikirannya dengan cepat
berputar.
“Kalau begitu, kau sungguh-sungguh ingin pergi
menyewa rumah tersebut ?”
“Sedikitpun tidak salah !”
“Sekalipun benar kau ada maksud untuk menyewa
rumah itu, lalu mengapa jejak serta tindak-tandukmu amat
misterius dan mencurigakan ?”
“Tentang soal ini …….. maaf …! Aku tak bisa memberi
penjelasan.
“Eeeeeei ……. Kawan ! Siapakah kau sebetulnya ?”
“Bukankah tadi sudah aku katakana dalam hal ini maaf
aku tak bisa memberi penjelasan!”
“Jadi kau sudah bulatkan tekad untuk menyewa rumah
tersebut ?”
“Benar !”
“Mengapa ?” desak Pek Thian Kie lebih lanjut.
“Aku tidak ingin beritahukan persoalan ini kepadamu.”
“Kau sunggug-sungguh tidak ingin berbicara ?”
“Benar, aku tidak ingin berbicara.”
“Jika aku npaksa kau untuk memberitahukan persoalan
ini ?”
“Jadi kau ingin memaksa ?”
“Bilamana kau tidak suka bicara terus terang, terpaksa
aku harus mengambil jalan ini.”
Seluruh tubuh pemuda menggembol pedang itu gemetar
amat keras, matanya melotot lebar-lebar.
“Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan dirimu, buat
apa kau harus tahu rahasia ini ?”
“Bagaimana kau bisa tahu kalau persoalan ini tiada
sangkut pautnya dengan diriku ……..” Mendadak Pek
Thian Kie merasa ia sudah salah berbicara, buru-buru
gantinya dengan perkataan lain :
“Apakah persoalan ini ada sangkut pautnya dengan
dirimu ?”
“Benar!”
“Apa sangkut pautnya ?”
“Maaf ! Aku tak dapat memberi penjelasan kepadamu.”
“Tapi aku rasa sekalipun kau terangkan juga, tidak
mengapa ?” Pek Thian Kie coba memaksa.
“Sudah tentu tak bisa ! Sudah, pokoknya aku tak dapat
menerangkan persoalan ini kepadamu !”
“Dan akupun sudah berkata, pokoknya kau harus bicara
!”
“Jadi …….. jadi kau ingin paksa diriku ?’
“Kemungkinan benar.”
“Hmmm! Aku sudah berkata, persoalan ini tak mungkin
aku katakana,” seru pemuda menggembol pedang itu
dingin.
Air muka Pek Thian Kie berubah hebat.
“Kau sungguh-sungguh tidak ingin bicara ?” bentaknya
keras.
Sembari berkata tangan kanannya diangkat keatas
lambat-lambat, jika pemuda menggembol pedang itu tidak
suka boicara, mungkin ia benar-benar akan turun tangan
ganas.
“Heeeee……….heeeee…………heeeee…… Benar, aku
tak akan bicara !”
“Hmmm ! Akan aku lihat kau benar-benar suka bicara
atau tidak ………….!”
Bab 15 Ilmu “Ciang Liong Kiam Hoat”
BAYANGAN MANUSIA berkelebat lewat, kiranya ia
sudah menubruk kearah pemuda menggembol pedang ini
dan melancarkan satu serangan dasyat.
Didalam hati Pek Thian Kie sadar, bilamana ia tidak
menggunakan kekerasan pada pemuda menggembol pedang
ini pasti tak akan menceritakan rahasianya mengapa
hendak menyewa rumah aneh tersebut.
Oleh sebab itu, serangan yang dilancarkan Pek Thian Kie
barusan ini luar biasa dasyatnya, begitu tubuh pemuda
mengembol pedang itu tersapu oleh serangan tersebut,
tubuhnya kontan mencelat sejauh satu kaki dari tempat
semula.
Belum sempat pemuda menggembol pedang itu
melakukan gerakan serangan kedua dari Pek Thian Kie
kembali sudah menghajar datang.
Serangan yang dilancarkan kali ini jauh lebih cepat jika
dibandingkan dengan serangan yang pertama, dimana
bayangan manusia berkelebat lewat tahu-tahu ia sudah
mencelat kebelakang punggung pemuda menggembol
pedang itu, hal ini membuat pemuda tersebut tidak sempat
untuk berkelit lagi.
“Braaaaaaak ……… !”
Ditengah suara gebukan keras, tubuh pemuda
menggembol pedang itu sudah dipukul pental sejauh
sepuluh langkah lebih dan pada saat yang bersamaan
serangan cengkeraman dari Pek Thian Kie kembali sudah
menyambar datang. Terdengar suara dengusan berat
memenuhi angkasa, tangan kanan dari pemuda
menggembol pedang itu kena dicengkeram oleh Pek Thian
Kie.
Air mukanya kontan berubah jadi pucat bagaikan mayat,
keringat dingin sebesar kacang kedelai mengucur
membasahi seluruh tubuhnya.
“Kau suka bicra tidak ?” Bentak Pek Thian Kie keras.
“Hmmm! Apa yang harus aku bicarakan?”
“Mengapa kau begitu ngotot hendak menyewa rumah
tersebut?”
“Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu itu ?”
“Kawan ! Aku lihat lebih baik kau bicara terus terang
saja daripada harus menjadi siksaan buat diri sendiri !”
“Heeeeee ……….heeeeeee………….heeeee …………
apa kau kira ancaman tersebut membuat aku bergidik ?”
“Baiklah ! Jika kau tidak ingin bicara, maka aku akan
menggunakan ilmu memisah otot menggeser urat untuk
menotok jalan darahmu, aku akan biarkan kau dalam
keadaan mati tak dapat hidup pun tersiksa. Akan kulihat
seberapa kuat daya tahanmu !”
Bangsat ! Kau manusia terutuk. Sekalipun kau siksa, aku
tetap[ tak akan berbicara !”
Pek Thian Kie tertawa seram. Air mukanya berubah
beringas kejam, sinar matanya berapi-api.
“Sebenarnya kau suka bicara tidak ?”
“Mengapa kau ingin mengetahui persoalan oaring lain ?”
Akhirnya pemuda menggembol pedang itu mengubah
sikapnya.”
“Karena aku ingin menyelidiki jejak suhuku.
Kemungkinan sekali ia sudah menemui ajalnya dalam
rumah aneh itu.”
“Siapa suhumu ?”
“Sin Mo Kiam Khek atau si jagoan pedang iblis sakti !”
“Apa ? Sin Mo Kiam Khek adalah suhumu ?” teriak
pemuda menggembol pedang itu tersentak kaget.
Melihat pemuda tersebut memperlihatkan sikap terharu
dan kegirangan, tak terasa Pek Thian Kie pin merasa
hatinya bergidik.
“Ehmm ………hanya saja aku belum berani memastikan
benarkah dia adalah nama suhuku.”
“Apa maksudmu? Aku tidak paham perkataanmu itu !”
“Aku katakana. Sin Mo Kiam khek belum tentu nama
suhuku.”
“Jadi kau sedang ngaco belo ?”
“Apa kau sendiripun tidak tahu siapakah nama suhumu
?” teriak sang pemuda menggembol pedang dengan mata
terbelalak lebar-lebar.
“Sedikitpun tidak salah.”
“Mengapa ?”
“Selama ini dia belum pernah memberitahukan namanya
kepadaku.”
Agaknya pemuda menggembol pedang tersebut dibuat
tertegun oleh perkatan itu.
“Aaaaaakh ……. Tidak mungkin ?”
“Mau percaya atu tidak itu terserah pendapatmu
sendiri.”
“Lalu apakah gurumu menggunakan pedang sebagai
senjata?”
“Tidak salah.”
“Kau tidak punya senjata ? Kalau begitu sudah tentu kau
bukan anak muridnya.”
“Aaaaaaakh ….. kau salah, suhuku tidak ajari aku
menggunakan pedang, ia Cuma memberi aku sejilid kitab
aneh dan seluruh kepandaian silat yang kumiliki saat ini
hasil belajarku dar kitab aneh tersebut !”
“Oooooouw …..”
“Padahal tenaga dalam suhuku paling banter hanya
seperti dari tenaga dalamku.”
Mendengar perkatan tersebut Pemuda menggembol
edang itu dibuat setengah percaya setengah tidak, lama
sekali ia tidak bersuara.
Kurang lebih seperminuman teh kemudian, agaknya
secara tiba-tiba ia sudah teringat akan sesuatu.
“Aaaaaakh benar !” teriaknya tertahan.
“Kau benar-benar bernama Pek Thian Kie ?”
“Sedikitpun tidak salah, aku bernama Pek Thian Kie.”
“Aku dengar suhuku pernah berkata bahwa “Sin Mo
Kiam Khek” juga bernama Pek Thian Kie.”
Mendengar perkataan itu, tidak ampun lagi Pek Thian
Kie merasakan hatinya tergetar keras. Sekarang persoalan
sudah dibuktikan dengan nyata bahwa ia serta “Sin Mo
Kiam Khek” memiliki nama yang sama, jelas dibalik
kesemuanya ini tak akan lolos dari suatu hubungan yang
sangat erat.
“Siapakah suhumu ?” Tanyanya kemudian sesudah
termenung sejenak.
“Soal ini …..”
Agaknya pemuda menggembol pedang itu merasa serba
salah untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Sebetulnya kesulitan apa tokh yang membuat kau jadi
seba salah dan merasa sulit untuk menjawab persoalan ini?”
“Aku …….. heeeiiiii ……… !”
Kembali pemuda menggembol pedang itu menghela
napas panjang.
“Kawan ! Pada saat ini aku sedang menyelidiki suatu
urusan, diterangkan juga rasanya tidak mengapa bukan ?”
desak Pek Thian Kie lebih lanjut.
“Kau ……. Kau tak akan tahu !”
“Sebenarnya apa tokh yang telah terjadi ?”
Agaknya pemuda menggembol pedang itu ingin
mengutarakan isi hatinya, tapi iapun tidak tahu apa yang
harus dibicarakan terlebih dahulu.
“Kau ingin pergi menyewa rumah aneh tersebut, aku
rasa dibalik kesemuanya ini tentu ada sebab-sebabnya.
Apalagi seharusnya kau sudah mengerti jelas bukan, setiap
jago lihay yang pergi menyewa rumah aneh tersebut,
akhirnya sudah menemui ahalnya semua ?”
“Aaa ….. aaaku ……. Aku tahu.”
“Lalu, apa kau sudah bulatkan tekad untuk menghantar
kematian sendiri ?”
“Benar!”
“Mengapa ?”
“Aku …..”
Hampir setengah harian lamanya ia mengucapkan katakata
“Aku “ tapi kata-kata selanjutnya tak diutarakan
kembali.
“Kalau memang kau ada maksud untuk menghantar
kematian sendiri, seharusnya pula kau memberikan suatu
alasan terlebih dahulu !”
“Kau anggap aku sungguh-sungguh ada maksud untuk
memamsuki rumah aneh itu untuk menghantar kematian
sendiri ?” seru pemuda menggembol pedang itu sambil
tertawa sedih.
“Kalau memang kau tak ada maksud untuk hantar
kematian sendiri, mengapa kau harus berbuat begini ?”
“Karena aku sedang menjalankan tugas !”
“Menjalankan tugas ? Tugas dari siapa ?”
“Heeeeei ……….. !” Pemuda menggembol pedang itu
menghela napas panjang. “Sekalipun aku utarakan kaupun
belum tentu paham, Cuma yang jelas aku sedang
menjalankan tugas suhuku.”
“Siapakah sebenarnya suhumu itu ?”
“Baiklah ……… beritahu padamu pun tak ada
halangan.” Akhirnya pemuda menggembol pedang itu
berseru ……… apa kau sudah pergi melihat kedaan rumah
aneh tersebut ?”
“Benar !”
“Siapa saja yang mati dirumah tersebut ?”
“Delapan orang jagoan pedang dari sembilan jagoan
pedang dari kolong langit.”
“Sedikitpun tidak salah, seharusnya kau tahu bukan,
kalau diantara kesembilan orang jagoan pedang tersebut
pada saat ini masih tersisa seorang …..”
“Apa ? Suhumu adalah “Ciang Liong Kiam Khek.” Atau
si jagoan pedang penakluk naga ?” seru Pek Thian Kie tak
tertahan.
“Sedikitpun tidak salah !”
Pek Thian Kie rada bergidik, didalam sekejap mata
itulah dengan perasan terperanjat ia telah melototi pemuda
menggembol pedang itu, karena ia merasa peristiwa ini
benar-benar ada diluar dugaannya.
Kedelapan orang yang sudah menemui ajalnya semua itu
adalah kedelapan orang jagoan pedang dari “Sembilan
jagoan pedang dari kolong langit.”
Dan kini orang yang hendak pergi menyewa rumah aneh
tersebut adalah anak murid dari pentolan sembilan jagoan
pedang, “Ciang Liong Kiam Khek” atau si jagoan pedang
penakluk naga. Karena si jagoan “Ciang Liong Kiam
Khek” sudah mati, sekarang muridnyalah yang mewakili.
Apakah orang-orang itu menerima perintah untuk
menyewa rumah tersebut ?”
Kalau benar, lalu mereka telah menerima perintah siapa
?
Kejadian ini benar-benar merupakan suatu teka-teki yang
mengejutkan dan menggetarkan hati semua orang.
“Jadi ….. jadi karena suhumu sudah mati, maka kau
menerima tugas untuk menyewa rumah tersebut ?” Tanya
Pek Thian Kie dengan perasaan amat terperanjat.
“Sedikitpun tidak salah !”
“Menjalankan tugas serta menjalankan perintah suhumu
apakah tidak sama ?”
“Benar tidak salah!”
“Dimana letak alasannya?”
“Yang menerima tugas adalah suhuku. Dan aku sedang
menjalankan perintah dari suhuku.”
“Jadi sebelum suhumu meninggal sudah beritahu
kepadamu untuk pergi menyewa rumah aneh itu ?”
“Benar ! Ia meninggalkan pesan tersebut kepadaku”
Pek Thian KIe yang mendengar perkataan tersebut
dijadikan keheranan.
“Apakah suhu mengiginkan kau pergi mengantar
kematian ?” tanyanya ragu-ragu.
“Tidak ! Sebelum suhuku meninggal, rumah aneh itupun
belum pernah munculkan diri”
“Jadi ia tak tahu tentang peristiwa munculnya rumah
aneh yang disewakan ini ?”
“Bukan …… bukan ! Ia tahu jika setiap orang yang pergi
menyewa rumah tersebut bakal memperoleh kematian.:”
Lama sekali Pek Thian Kie kerutkan keningnya berpikir.
“Aku masih tidak mengerti,” ia menggeleng setelah lama
tidak berbicara.
“Benar ! Kau tidak mengerti dan aku sendiripun kurang
mengerti. Cuma aku tidak rela pergi menyewa rumah
tersebut karena aku sudah punya istri dan punya anak.”
Mendengar perkataan tersebut dalam hati Pek Thian Kie
pun ikut merasa hatinya sedih.
“Sedikitpun tidak salah, ia sudah mempunyai isteri dan
punya anak pula, sudah tentu ia tidak ingin menyewa
rumah aneh tersebut untuk menghantar kematian sendiri.”
Pikirnya dihati.
Hal ini tidak aneh, manusia mana yang rela nyawa
sendiri direnggut orang setelah mengetahui jika menyewa
rumah tersebut pasti mati ?
………. Inilah suara hatinya ! ……………..
Suara hatinya yang pedih. Bilamana ia Cuma seorang
diri, sebatang kara, sudah tentu tak akan merisaukan soal
mati.
Tapi, keadaan pada saat ini tidaklah sama.
Karena itu, dari dasar hati kecil Pek Thian Kie muncul
perasaan sedih bercampur kasihan dan simpatik, ia ikut
merasa berduka bagi seseorang yang mendekati ajalnya ini.
“Lalu, kau sudah bulatkan tekad untuk menyewa rumah
tersebut?” kata Pek Thian Kie sedih !
“Benar !”
“Jika akupun pergi menyewa rumah tersebut ?”
“Kau tak mungki bisa, karena syaratnya tidak cukup.”
“Syaratnya tidak cukup?”
“Benar, karena tujuan mereka dalam penyewaan rumah
kali ini adalah diriku.”
“Tidak, Suhumu,” sambung Pek Thian KIe cepat
“Tapi, suhuku sudah mati, maka tujuan si penyewa
rumah tersebut adalah diriku.”
“Begini saja ……….” Setelah berpikir sangat lama, Pek
Thian Kie mengajukan usulnya. Bagaimana kalau aku pergi
mewakili dirimu untuk menyewa rumah tersebut ?”
“Tidak bisa !”
“Mengapa tidak bisa ?”
“Kau tidak dapat menggunakan kepandaian silat
suhuku.”
“Cuma itu saja yang kau risaukan ?”
“Benar.”
“Haaaaa ………… haaa …………… haaaa ………….
Soal itu gampang sekali untuk diatasi. Bukankah aku bisa
belajar ilmu silat tersebut dari dirimu ?”
“Belajar ? Belajar kepandaian silat suhuku dari aku orang
?”
“Benar, apakah tidak bisa ?”
Sinar mata pemuda menggembol pedang itu berkilat.
“Kau ingin wakili diriku untuk hantar kematian ?”
“Boleh dikata begitulah !”
“Tapi ingin belajar ilmu silat bukanlah suatu pekerjaan
yang bisa diselesaikan didalam dua tidga hari saja ……….”
“Bukannya cayhe bicara besar, ilmu silat semua partai
yang ada diseantero dunia asalakan dapat aku latih satu kali
saja selamanya pasti tak akan dapat cayhe lupakan
kembali.”
“Kau sungguh-sungguh memiliki kepandaian semacam
ini ?” teriak pemuda menggembol pedang itu terkejut
bercampur girang.
“Sedikitpun tidak salah.”
“Aaaaaakh ……… aku rasa masih tak bisa dijalankan,”
sahut pemuda tersebut dengan sedih sambil menggeleng.
“Bagaimanapun aku tidak dapat melihat kau orang pergi
mewakili aku mati dengan hati lega.”
“Haaaaa ………… haaaaaaa …………… haaaa
…………. Soal ini kau boleh legakan hati. Karena soal ini
adalah atas dasar kemauanku sendiri, apakah akhirnya aku
akan mati atau tidak, soal ini tidak bisa diputuskan
sedemikian paginya !”
Saking terharunya pemuda menggembol pedang itu,
sampai mengucurkan air mata mendadak ia jatuhkan diri
berlutut kemudian menyembah dengan penuh rasa
berterima kasih.
“Terima kasih tuan penolong yang suka membantu
diriku !”
“Eeeeeeeei ………… ! eeei …………. Kenapa kau harus
menjalankan penghormatan sedemikian besarnya ? Pek
Thian Kie tak sanggup untuk memikulnya,” seru Pek Thian
KIe dengan gugup dan buru-buru membimbing ia bangun.
“Keselamatan seluruh keluargaku telah mendapat budi
bantuan yang amat besar dari Heng-thay ……”
“Soal ini aku tidak usah sungkan-sungkan lagi, karena
persoalan inipun ada sangkut pautnya dengan diriku !......
Ooooouw yaa, bnar siapakah nama besar Heng-thay ?”
“Aku bernama Tong Yong. Ini tahun berusia duapuluh
sembilan tahun !”
“Oooouw ……… kiranya Tong-heng. Kawan, saat ini
kau boleh mainkan satu kali ilmu pedang suhumu agar aku
bisa memperhatikan dengan cermat.”
“Suhuku dengan mengandalkan ilmu pedang “Ciang
Liong Kiam Hoat” atau ilmu pedang Penakluk naga
memimpin delapan pedang lainnya, maka dari itu
kepandaian silat yang sudah suhu ajarkan kepadaku adalah
kesembilan jurus ilmu pedang penakluk naga itu saja.
Sekarang kau perhatikanlah baik-baik, aku akan mainkan
satu kali dihadapanmu.”
Sembari berkata, dari punggungnya ia mencabut keluar
sebilah pedang panjang, terasalah cahaya pedang berkilauan
menyilaukan mata, secara samara-samar terasalah hawa
dingin menusuk tulang. Pedang tersebut benar-benar
merupakan sebilah pedang mustika.
“Pek-heng, harap kau mulai ambil perhatian.” Seru Tong
Yong seraya menggerakkan pedangnya. “Aku akan mulai
berlatih.”
“Ehmmm …….. silakan !”
Demikianlah, Tong Yong lantas gerakan pedangnya dan
mulai memainkan ilmu pedang “Ciang Liong Kiam Hoat”
nya.
Kiranya ilmu pedang penakluk naga ini mengutamakan
kecepatan untuk mendesak musuh, perubahan pedang
tersebut amat banyak sukar diraba bahkan memiliki pula
suatu daya kekuatan yang mata hebat. Benar-benar tidak
malu kalau disebut ilmu pedang seorang jagoan kenamaan.
Sembilan jurus dengan cepat berlalu Tong Yong pun
sambil menarik pedangnya mengundurkan diri kebelakang.
“Pek-heng. Coba kau lihat bagaimana ?”
“Haaaaa ………… haaaaaaa …………… haaaa
…………. Aku rasa berlatih dua kali sudah lebih dari
cukup.”
….. Tong Yong menganggk, iapun berturut-turut
memainkan ilmu pedang tersebut sebanyak dua kali,
kemudian tanyanya lagi kepada Pek Thian Kie.
“Coba kau lihat bagaimana ?”
“Bagus, sudah cukup ! Coba kau serahkan pedang itu
kepadaku adan akan aku mainkan satu kali dihadapanmu.
Bilamana ada kesalahan harap kau suka memberi banyak
petunjuk kepadaku.”
Tong Yong lantas memberikan pedang itu kepadanya,
kendati begitu didalam hatinya masih belum percaya penuh
jika Pek Thian Kie bisa memainkan ilmu pedangnya cukup
hanya dengan menonton dirinya berlatih tiga kali saja.
Tetapi Pek Thian Kie pribadi agaknya mempunyai
perhitungan yang masak, sambil tertawa ia menerima
pedang tersebut kemudian, sambil silangkan pedangnya
didepan dada.
“Tong-heng harap memberi petunjuk.
””Pek-heng, silakan !”
Pek Thian Kie tak banyak bicara lagi, pedangnya
disilangkan kedepan dada sebagai jurus pembukaan, setelah
itu sejurus demi sejurus ia mainkan ilmu pedang “Ciang
Liong Kiam Hoat” tersebut dengan penuh kekuatan.
Tampak cahaya dengan berkilauan memenuhi seluruh
angkasa, angina dingin menekan empat penjuru, hanya
didalam sekejap mata, jurus-jurus ilmu pedang penakluk
naga tersebut sudah selesai dilatih.
“Bagaimana ?” tanyanya kemudaian sambil tersenyum.
Dengan hati terperanjat dan bergidik Tong Yong berdiri
termangu-mangu disamping kalangan, hampir boleh dikata
ia tidak mempercayai pada sepasang matanya.
Bukan saja Pek Thian Kie berhasil memainkan “jurusjurus
ilmu pedang “Ciang Liong Kiam Hoat” tersebut
dengan amat sempurna, bahkan jauh lebih sempurna dari
permainan sendiri. Inilah disebabkan karena tenaga dalam
yang dimiliki Pek Thian Kie jauh lebih sempurna.
“Coba kau lihat bagaimana dengan hasil latihanku?”
kembali Pek Thian Kie menegur sambil tertawa
“Suuuuung ……. Sungguh ………. Sungguh hebat
………. Jauh berada diluar dugaanku.” Sahut Tong Yong
dengan gelgapan saking terkejutnya.
“Apakah ada kesalahan?”
“Sedikitpun tak ada yang salah, bahkan jauh lebih
sempurna daripada permainan siuwte sendiri.”
“Aaaaakh ….. kau terlalu memuji.”
“Bukannya memuji, tapi benar-benar !
“Kalau begitu kita putuskan demikian saja, aku akan
segera pergi mewakili dirimu untuk menyewa rumah aneh
tersebut.”
“Terima kasih atas budi pertolongan dari Heng-thay !”
“Eeeeeei ….. Tong-heng, kenapa harus mengucapkan
kata-kata semacam itu ? Apakah aku sudah cukup
sempurna untuk pergi menyewa rumah aneh itu ?”
“Belum ! Masih ada beberapa urusan harus kau
selesaikan dulu.”
“Masih ada ? Coba kau sebutkan urusan apa saja ?”
“Aku sendiripun tidak tahu jelas siapakah majikan dari
rumah aneh itu Cuma sebelum suhu meninggal, ia pernah
memberitahu kepadaku bahwa semisalnya didunia
persilatan muncul sebuah rumah aneh yang hendak
disewakan maka kau harus pergi menyewanya, dan diatas
pintu bangunan tersebut ada tertepel sebuah plakat yang
berisi tentang syarat-syarat menyewa rumah tersebut, yaitu :
Uang emas seribu tahil
Arak Giok Hoa Lok
Dan yang ketiga, seorang gadis cantik.”
“Dan rumah yang muncul saat ini adalah rumah aneh
yang dimaksudkan suhumu bukan ?”
“Sedikitpun tidak salah, sewaktu suhu menjelang ajalnya
ia berkata tiada larangan untuk menyewa rumah tersebut
seorang diri. Tapi nyatanya setiap tahun rumah tersebut
hanya boleh disewa oleh seorang saja, ia masih berkata pula
bahwa semua sembilan jagoan pedang dari kolong langit
mengetahui jelas persoalan ini.”
“Betul, mereka semua tahu persoalan ini, kalau tidak
mana mungkin mereka dapat dibunuh mati semua.”
“Pek-heng ! Kau harus ingat betul-betul, sewaktu kau
berhasil menemui majikan dari rumah tersebut maka benda
ini harus kau serahkan kepadanya !”
Sembari berkata dari dalam sakunya ia mengambil keluar
sebuah bungkusan sutera dan diserahkan ketangan Pek
Thian Kie.
Sang pemuda she Pek juga menerima bungkusan sutera
tersebut, mendadak hatinya bergerak kemudian bergetar
keras, karena suatu ingatan sudah berkelbat didalam
benaknya.
“Apakah isi didalam buntalan sutera ini ?” tak terasa
tanyanya.
“Aku sendiripun tidak tahu,” perlahan-lahan Tong ong
menggeleng.
“Jadi kau sendiripun tidak apa isi dari benda yang ada
didalam kantong sutera ini ?”
“Benar!”
“Mengapa?’ Bukankah barang ini sudah lama ada
disakumu? Apakah belum pernah memeriksa isi kantong
tersebut ?”
Sekali lagi Tong Yong menggeleng.
“Waktu itu, ketika suhu menyerahkan kantong sutera ini
kepadaku beliau tidak mengucapkan sesuatu dan tidak pula
beritahu kepadaku apa isi dari kantong ini. Ia hanya berkata
setelah bertemu muka dengan majikan rumah aneh tersebut
maka kantong ini harus diserahkan kepadanya.”
Mendengar perkataan itu Pek Thian Kie merasa hatinya
semakin terperanjat, ia merasa benda yang berada didalam
kantong sutera ini pasti suatu benda yang amat penting !
……. Kalau tidak tak mungkin urusan dirahasiakan
sedemikian rapat.
Mendadak ………..
Agaknya Pek Thian Kie teringat akan sesuatu hal, air
mukanya berubah hebat, ia teringat akan diri “Sin Mo
Kiam Khek”
Si jagoan pedang inipun pernah menyimpan semacam
barang didalam istana harta ………. Apakah orang yang
dititipkan itupun merupakan benda semacam kantong
sutera ini ?
Sudah tentu hal ini mempunyai kemungkinan yang
sangat besar !
“Kau maksdukan kantong sutera ini harus diserahkan
kepada majikan rumah aneh itu ?’ Tanya Pek Thian Kie
kemudian.
“Benar “
“Kanng sutera itu hanya diserahkan kepadanya begitu
saja tanpa bicara apa-apa lagi ?”
“Benar-benar ! …… oooouw yaa ….. sewaktu kau
bertemu dengan dirinya, ia akan berkata kepadamu.
Serahkan seperembembilanmu itu ! ….”
“Apa katamu ? Sepersembilan ? Jadi sembilan jagoan
pedang dari Kolong Langit memiliki benda ini ?”
“Tidak salah ! Jikalau pihak lawan tidak mengucapkan
kata-kata tersebut kepadamu, maka kaupun tidak perlu
serahkan barang ini kepadanya.”
“Ehmmmm …..! Aku sudah tahu.” Pek Thian Kie
mengangguk.
“Disamping itu, untuk membuktikan asal-usulmu yang
benar dalam penyamaranmu sebagai anak murid suhuku.
Terpaksa pedang penakluk naga “Ciang Liong Kiam” ini
harus aku serahkan padamu.”
Pek Thian Kie lantas menerima pedang penakluk naga
itu sambil ucapnya :
“Masih ada urusan lain lagi yang belum kau sebutkan ?”
“Sudah tak ada lagi, seluruh persoalan aku serahkan
kepada Heng-thay untuk Menyelesaikannya.”
“Haaaa ……… haaaa …….. haaaa …… kau tidak perlu
sungkan-sungkan lagi.”
“Jika dilihat dari tindak-tanduk heng-thay, agaknya baru
pertama kali kau orang terjun diri dalam dunia persilatan?”
“Benar!”
“Tidak aneh kalau kau masih merasa asing terhadap
seluruh peristiwa yang terjadi didalam dunia kangouw……”
----------- ooo O ooo -----------
Jilid 6
Bab 16 Perkampungan Lui Im San Cung
MENDENGAR perkataan itu Pek Thian Kie tertawa.
“Dugaan Tong-heng sedikitpun tidak salah,” jawabnya
sambil mengangguk.
“Terhadap persoalan yang terjadi didalam dunia
kangouw siaute memang merasa rasa asing, aku ada
beberapa persoalan yang ingin minta petunjuk dari hengthay!”
“Oooouw ….! Urusan apa? Coba kau sebutkan!”
“Tahukah kau orang tentang seorang manusia yang
bernama Kiang To?”
Mendengar disebutnya nama Kiang To, Tong yong
lantas kerutkan dahinya.
“Soal orang itu aku hanya mengetahui sedikit sekali.”
“Bagaimana kalau kau beritahukan apa yang kau ketahui
itu kepada diriku?”
“Sudah tentu boleh saja.”
Ia merandek sejenak untuk tukar napas, kemudian
katanya kembali :
“Pertama, dia adalah seorang bajingan cabul yang paling
terkutuk. Katanya didalam beberapa hari yang lalu
sekaligus ada empat gadis yang sudah diperkosa
olehnya…..!”
“Sungguh-sungguhkah peristiwa semacam ini?” teriak
Pek Thian Kie dengan air muka berubah hebat.
“Sedikitpun tidak salah! Keempat orang gadis tersebut
sama-sama diperkosa dalam waktu hampir bersamaan.
Bangsat itu memasuki kamar gadis-gadis tersebut menjelang
kentongan ketiga tengah malam buta. Dan pada hari kedua
mereka ditemukan tergeletak diatas pembaringan dalam
keadaan telanjang bulat dan mabok oleh obat bius. Serta
disisi pembaringannya pasti tertancap sebuah panji kecil!”
“Sungguh cabul dan buas tindakan bangsat itu,” tak
kuasa lagi Pek Thian Kie ikut berteriak gusar.
“Tidak salah, ia memang amat cabul, dan buas didalam
soal perkosaan kaum gadis. Sedang mengenai keganasan
tindak tanduknya, selama ini sudah beratus-ratus jagoan
kangouw yang menemui ajalnya di tangan bangsat
tersebut.”
“Sungguhkan perkataanmu itu ?”
“Sedikitpun tidak salah.”
Mendengar perkataan itu Pek Thian Kie ikut merasakan
hatinya bergidik, tindak-tanduk yang demikian kejam dan
buasnya memang betul-betul membuat hati setiap orang
pasti merasa gemas, benci dan marah. Tidak aneh kalau
orang-orang Bu-lim begitu membenci manusia yang
bernama Kiang To itu.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, kembali Pek
Thian Kie bertanya : “Lalu dengan alasan apa ia hendak
menjagali jago-jago lihay begitu banyak ?”
“Mana aku bisa tahu?”
Pek Thian Kie mengangguk, sesudah berdiam beberapa
saat lamanya, kembali ia bertanya :
“Heng-thay ! Selain Istana Harta serta Istana Arak, aku
dengar masih ada sebuah tempat yang disebut Istana
Perempuan. Untuk dapatkan syarat yang terakhir yaitu
gadis cantik, apakah ada seharusnya aku harus berkunjung
kesana. Tahukah kau dimanakah letak “Istana Perempuan”
tersebut ?”
“Siaute tahu letak Istana Perempuan tersebut !”
“Kalau begitu, tolong heng-thay suka menjelaskan letak
Istana Perempuan tersebut lebih jelas, aku segera akan
berangkat kesana.”
“Istana Perempuan terletak ditengah hutan Hong Siauw
Liem gunung Kun Kauw-san. Dari tempat ini kau boleh
berjalan menuju kearah timur, kemudian setelah melewati
enam, tujuh lie akan tiba disebuah bangunan besar yang
megah, itulah letaknya Istana Perempuan.”
“Terima kasih atas petunjuk dari heng-thay,” kata Pek
Thian Kie kemudian sambil tertawa. “Untuk mempercepat
selesainya tugas ini, maka aku segera akan berangkat
kesana, kitapun berpisah dulu sampai disini!”
Saking terharu dan terima kasihnya, lama sekali Tong
Yong tak dapat mengucapkan sepatah katapun, lama ……..
lama sekali ia baru berkata :
“Heng-te akan pulang dulu ke rumah, guna menjenguk
isteri serta puteraku kemudian aku akan berangkat lagi
untuk menemui dirimu.”
“Emmm …… silakan!”
Belum jauh ia berlalu, mendadak kembali Tong Yong
menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Pek-heng, aku tahu kalau kau orang belum pernah
mengunjungi Istana Perempuan, sebelum kau pergi kesana,
aku ada sebuah urusan hendak kusampaikan kepadamu.”
“Urusan apa ?”
“Didalam Istana perempuan tersebut berpenghuni
ratusan orang gadis-gadis berwajah cantik. Dan setiap orang
mempunyai daya tarik yang mempesonakan. Tetapi
diantara ratusan orang gadis cantik tersebut hanya seorang
gadis yang bernama “It Peng Hong” sebagai gadis yang
tercantik dan paling mempesonakan ….”
“It Peng Hong? Apakah It Peng Hong ini nama seorang
gadis cantik …?”
“Benar!” Tong Yong mengangguk.
“It Peng Hong adalah nama samarannya. Dan ia
memiliki kecantikan wajah yang sangat luar biasa. Tapi
…… aku nasehati dirimu lebih baik jangan mencari
dirinya.”
“Kenapa? Kenapa aku tidak boleh mencari gadis yang
bernama It Peng Hong itu ? Bukankah seperti apa yang kau
katakana, dia merupakan gadis yang paling cantik diantara
seluruh penghuni istana perempuan ?”
“Heeiiiiiii …… “ kembali Tong Yong menghela napas
panjang. “Kendati begitu, tapi menurut apa yang aku
dengar dari pembicaraan orang, gadis It Peng Hong tersebut
sudah di borong oleh Kiang To si bangsat cabul dan ganas
itu. Ada beberapa orang jagoan lihay dari bu-lim tidak suka
mendengarkan peringatan yang diberikan kepada mereka,
dan banyak diantaranya hampir-hampir saja menemui
ajalnya di tangan Kiang To.”
Pek thian kie yang mendapatkan keterangan tersebut
diluaran, tidak ingin benyak membantah, maka ia
tersenyum dan mengangguk saja.
“Kau boleh berlega hati u akan ingat keteranganmu ini
..”
“Kalau begitu kaupun harus baik-baik berjaga diri.”
“Heng-thay, silakan berlalu …”
Setelah merangkap tangannya menjura, Tong Yong
segera menggerakkan badannya berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Menanti bayangan punggung dari Tong Yong sudah
lenyap dari pendangan. Pek thian kie baru menghembuskan
napas panjang, iapun putar badan dan berlari menuju
kearah sebelah timur.
Kini diantara ketiga buah istana, yaitu Istana Harta,
Istana Perempuan serta Istana Arak, tinggal sebuah saja
yang belum dikunjungi.
Ia harus mendapatkan seorang gadis cantik dari istana
perempuan tersebut guna melengkapi syarat-syarat untuk
menyewa rumah aneh itu, maka bila setelah komplit ia
segera akan pergi ke rumah aneh tersebut dan menemui
majikan rumah itu.
Tanpa banyak membuang waktu lagi pek thian kie segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya meluncur
kesebelah timur.
Ketika sang surya kembali muncul diufuk sebelah timur,
Pek Thian Kie sudah dapat menemukan Istana perempuan
yang merupakan banguanan besar, megah dan menempati
tanah seluas berpuluh-puluh hektar itu.
Mungkin karena kedatangan Pek Thian Kie terlalu pagi,
maka pintu Istana Perempuan tersebut masih tertutup rapatrapat.
Diatas pelataran pintu depan, berdirilah seorang kakek
tua berbaju kuning.
Dam sewaktu melihat munculnya Pek Thian Kie disana,
ia sudah lantas maju mendekat dan rangkap tangannya
menjura :
“Bocah sungguh pagi benar kau sudah tiba disini?”
tegurnya sembari tertawa.
Air muka Pek Thian Kie kontan berubah jadi merah
padam saking jengahnya mendapatkan teguran tersebut.
Bab 17
"Loo-tiang, tolong tanya apakah bangunan ini benar2
adalah istana Perempuan?" Akhirnya dengan menahan rasa
malu ia bertanya.
"Benar! Inilah Istana Perempuan, saudara! Apakah
maksud kedatanganmu sepagi ini hendak mencari gadis
untuk ber-senang2?"
"Sedikitpun tidak salah!. . ."
Kembali siorang tua berbaju kuning itu tertawa.
"Saudara! Kedatanganmu terlalu pagi!"
"Terlalu pagi? Ini sudah jam berapa? Bagaimana
mungkin kau katakan terlalu pagi?"
"Benar, memang sekarang sudah tidak pagi lagi, tapi
Istana perempuan ini baru mulai dibuka melayani para
tamu setelah sore hari hingga pagi, sehingga pada
kentongan kelima, Sekarang mereka sudah tidur pulas,
untuk merangkak bangunpun tak mungkin bisa."
"Jadi maksudmu aku harus balik lagi nanti sore?"
"Benar!"
Mendengar jawaban tersebut, Pek Thian Ki lantas
berpikir keras, ia merasa jikalau pihak lawan sudah
mengatakan kalau Istana Perempuan baru akan dibuka dan
melayani tamu setelah sore hari, maka sudah tentu
bagaimanapun juga ia harus menunggu hingga sore hari
menjelang datang, Berpikir sampai disitu, ia lantas menoleh
lagi kearah siorang tua berbaju kuning itu.
"Loo-tiang! Baiklah, terima kasih atas petunjukmu, nanti
sore aku akan balik lagi."
"Tidak usah berterima kasih, tidak usah berterima kasih,
nanti sore kau boleh datang lagi."
Setelah berjalan keluar dari Pintu depan Istana
Perempuan, Pek Thian Ki berjalan lambat2 tanpa arah
tujuan dan untuk beberapa waktu pemuda ini benar2
merasa kebingungan kemana ia harus pergi.
Akhirnya ia berjalan mendekati sebuah pohon besar dan
tertidur pulas dibawah dedaunan yang rindang itu, Entah
lewat beberapa waktu lamanya. . . .mendadak ia dikejutkan
oleh suara langkah kaki manusia yang berjalan mendekati
arahnya, Kontan membuat pemuda itu tersentak bangun
dari tidurnya.
Sinar mata dengan tajam menyapu empat penjuru,
dengan amat mudah sekali ia berhasil menemukan sesosok
bayangan manusia berwarna hijau dengan langkah cepat
berjalan menuju kearahnya, Dan orang itu pasti bukan lain
adalah Tong Ling yang sedang menyaru jadi seorang pria.
Ditempat dan keadaan semacam ini, mendadak Tong
Ling bisa munculkan dirinya ditempat itu, Hal ini sedikit
banyak berada diluar dugaan Pek Thian Ki. Lama sekali ia
berdiri tertegun tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun.
Per-lahan2 Tong Ling berjalan kesisi tubuh Pek Thian
Ki, setelah melirik sekejap kearahnya sambil tertawa,
ujarnya; "Sebegini pagi, kau sudah tiba di istana Perempuan
untuk mencari kesenangan?"
"Tidak. . .tidak. . ." buru2 Pek Thian Ki membantah
dengan air muka berubah menjadi merah padam, "Aku ada
urusan untuk diselesaikan ditempat ini!"
Tong Ling tersenyum, ia melirik sekejap kearah pintu
besar Istana Perempuan yang tertutup rapat2, kemudian
godanya lagi; "Kemungkinan sekali nona-nona cantik itu
baru saja tertidur pulas bukan?"
"Benar, Cayhe. . .kedatangan cayhe rada terlalu pagi. .
.Nona Tong. . . ."
"Pada saat ini aku sedang memakai pakaian pria, lebih
baik kau sebut diriku dengan sebutan Tong-te saja."
"Tapi. . .hal ini mana bisa jadi?" Seru Pek Thian Ki
sambil tertawa pahit.
"Kenapa tidak bisa jadi?"
"Karena kau adalah seorang gadis, mana boleh aku
orang memanggil dirimu dengan sebutan Tong Loo-te?"
"Tapi, bukankah pada saat ini aku sedang menyaru
sebagai seorang pria? Sungguh amat lucu juka seorang pria
kau panggil dengan sebutan nona. . ."
"Heeeei. . .baik, baiklah, aku akan panggil dirimu dengan
sebutan Tong Loo-te!" Ia merandek sejenak dan tertawa.
"Tong-te! Kau adalah seorang nona, apalagi gadis suci,
tidak seharusnya datang kemari hanya untuk mencari gadis
ber-senang2 bukan?"
"Benar, secara kebetulan saja aku lewat ditempat ini."
"Tolong tanya Nooo. . .Tong Loo-te, hendak kemana?"
"Aku? Oooooouw. . .aku hendak kegunung Lui Im San!"
"Gunung Lui Im San?"
"Benar!"
Mendengar perkataan itu, Pek Thian Ki merasakan
hatinya sangat terperanjat, secara mendadak ia teringat
akan sesuatu, Bukankah dara cantik berbaju hijau yang
ditemuinya sewaktu berada di Istana Harta juga mengajak
dia orang untuk bertemu digunung Lui Im San?
Teringat akan persoalan ini, tak terasa lagi tanyanya;
Tong Loo-te! Tolong tanya, apa maksudmu pergi kegunung
Lui Im San?"
"Melihat keramaian!"
"Melihat keramaian?"
"Benar!"
"Keramaian apa?"
"Ini hari adalah ulung tahun kelima puluh dari Hu Toa
Kan itu Cung-cu dari perkampungan Lui Im San Cung,
Berbagai jagoan lihay dari semua daerah pada berdatangan
untuk memberi selamat kepadanya!"
"Hu Toa Kan? Macam apakah orang itu?" tanya Pek
Thain Ki rada melengak.
"Sejak Sam Ciat Sin-cun meninggal, boleh dikata
dikolong langit pada saat ini kepandaian silatnya terhitung
menduduki kursi pertama."
"Siapakah itu Sam Ciat Sin-cun?"
"Ayah dari Kiang To. . .Kiang Lang!"
Pek Thian Ki merasakan hatinya tergetar sangat keras, ia
tidak menyangka kalau Hu Toa Kan adalah seorang jagoan
yang angkat nama sejajar dengan Kiang Lang ayah dari
Kiang To.
"Lalu kau tahu urusan apa yang menyangkut orang ini?"
tanyanya lebih lanjut.
"Kurang jelas!"
"Dia dengan Kiang Lang apakah kawan baik ?"
"Penah bersahabat karib, tapi saat ini Kiang Lang sudah
mati."
Pek Thian Ki mengerutkan dahinya, belum sempat ia
mengucapkan sesuatu, kembali Tong Ling sudah berkata:
"Tetapi, diantara dia dengan Kiang Lang agaknya masih
ada sedikit ikatan dendam, Didalam ulang tahunnya yang
kelima puluh ini ada kemungkinan Kiang to pun bakal
munculkan diri."
"Apa? Kiang To bisa munculkan dirinya didalam pesta
ulang tahun tersebut."
"Benar, bahkan kelihatannya hendak mencari kerepotan
terhadap diri Hu Toa Kan."
"Apa kira2 yang hendak ia lakukan?"
"Soal ini rada sulit untuk dibicarakan, dahulu Hu Toa
Kan dengan Sam Ciat Sin-cun adalah merupakan sepasang
sahabat karib, Menurut apa yang aku ketahui, Hu Toa Kan
sudah menjodohkan putrinya kepada diri Kiang To."
"Oooouw. . ." Tak kuasa lagi Pek Thian Ki berseru
tertahan.
"Tapi, terhadap tindak tanduk dari Kiang To
kedengarannya Hu Toa Kan sudah membenci hingga
merasuk kedalam tulang sumsum." Ujar Tong Ling
kembali. "Maka dari itu, dengan menggunakan kesempatan
diadakannya pesta ulang tahun ini, ada kemungkinan
dihadapan para tamu Hu Toa Kan akan membatalkan
ikatan perkawinan tersebut."
Pek Thian Ki mengangguk.
"Cuma aku duga Kiang To pasti tak akan
menyetujuinya," tambah Tong Ling lebih lanjut.
"Soal ini sudah tentu bakal terjadi, lalu entah bagaimana
dengan pendapat putrinya?"
"Putrinya entah setuju atau tidak dengan keputusan ini,
aku duga sampai waktunya tentu ada suatu keramaian
bakal terjadi, oleh sebab itu aku ingin pergi kesana untuk
menonton keramaian.
"Kapan pesta ini akan dilangsungkan?"
"Nanti sore?"
"Aku ingin ikut pergi kesana untuk menambah
pengetahuan." seru Pek Thian Ki tiba2 sambil tertawa.
"Kau ingin pergi?"
"Benar!"
"Waaah. . .kebetulan sekali, mari kita berangkat
bersama-sama." Demikianlah, kedua orang itupun bersama2
lantas lari menuju kearah gunung Lui Im San.
Perkampungan Lui Im San Cung terletak disebelah
selatan gunung Lui Im San, Bangunan perkampungan
tersebut mencapai ratusan hektar luasnya dengan bangunan
rumah yang ber-deret2, Bukan saja megah, bahkan
memperlihatkan keseraman dan keangkeran yang bukan
kepalang.
Siang hari itu Pek Thian Ki serta Tong Ling sudah tiba
diatas gunung Lui Im San. Tampaklah ber-puluh2 orang
Bu-lim saling susul menyusul memasuki perkampungan Lui
Im San Cung, kebanyakan orang2 ini merupakan jago2
yang datang untuk memberi selamat, Tetapi ada pula
sebagian besar yang datang hanya hendak menonton
keramaian saja.
Pek Thian Ki serta Tong Ling pun membaurkan diri
mereka kedalam gerombolan orang2 itu, sewaktu tiba
didepan pintu halaman perkampungan Lui Im San Cung
yang dikelilingi dengan tembok tinggi, tampaklah beberapa
orang kakek tua berbaju merah secara terpisah menyambut
dan melayani kawan2 Bu-lim itu.
Setelah masuk halaman luas, terlihatlah didepan pintu
besar sebuah loteng besar lampu teng-tengan
bergelantungan dengan tulisan "So". Suasana amat meriah
dan ramai.
Dibawah pimpinan seorang kakek tua berbaju merah,
Pek Thian Ki pun dipersilahkan memasuki sebuah ruangan
besar, Suasana hiruk pikuk ramai dengan pembicaraan
manusia, kurang lebih ada ratusan orang banyaknya para
jago yang datang memberi selamat.
Sinar mata Pek Thian Ki menyapu sekejap kesekeliling
tempat itu, ia merasa kedudukan Hu Toa Kan jelas tidaklah
rendah, hal ini terbukti dari banyaknya para tamu yang
datang memberi selamat.
Didalam desakan2 serta ruangan yang sumpek
kebanyakan tamu, lama kelamaan Pek Thian Ki tak bisa
menahan hawa panasnya lagi, ia melirik sekejap kearah
Tong Ling, lalu katanya;
"Tong-te! Sungguh udara panas, mari kita jalan2 saja
ketempat luaran. . ."
Dengan penuh kegembiraan Tong Ling mengangguk,
demikianlah mereka berdua lantas berjalan keluar ruangan,
Ketika itu, masih banyak jago yang saling susul menyusul
memasuki perkampungan Lui Im San Cung.
"Tong-te!" mendadak Pek Thian Ki berseru, agaknya ia
sudah teringat akan suatu urusan. "Aku ingin menanyakan
suatu urusan kepadamu!"
"Urusan apa?"
"Apa kau pernah berjumpa dengan putrinya Hu Toa Kan
itu?"
"Belum. . ." Tong Ling menggeleng, sepasang matanya
yang jeli ber-kedip2, "Mengapa dia?"
"Aku ingin tahu bagaimanakah wajahnya?" seru Pek
Thian Ki sambil tertawa.
"Aku dengar kecantikan wajahnya tiada bandingan
diseantero kolong langit pada saat ini."
"Oooouw yaaa. . .? waaaah. . .kalau cantik sekali
wajahnya, aku ada maksud ingin melihat sekejap
wajahnya."
"Eeeeei. . . .Pek-heng, kau jangan membawa maksud
tidak baik loh terhadap gadis tersebut," goda Tong Ling
sembari tertawa.
"Mana. . .mana. . .cayhe tak akan berani berniat jahat."
Pada waktu itulah mereka berdua sudah tiba disebuah
kebun bunga dibelakang ruangan besar itu, dimana tumbuh
beraneka warna bunga yang memancarkan bau harum
semerbak, ditengah kebun itu terdapat kolam dibalik kota
tersusun gunung2an, Pemandangannya sangat indah dan
mempesona.
"Waaah. . .sungguh indah pemandangan ditempat ini. .
." Tak terasa lagi pemuda itu berguman.
"Pek-heng, coba kau lihat siapakah itu?" mendadak Tong
Ling berteriak tertahan.
"Dimana?" seru Pek Thian Ki melengak.
"Itu diatas loteng depan kita."
Mengikuti arah yang ditunjuk Pek Thian Ki alihkan sinar
matanya, tampaklah disamping jendela bangunan loteng
dihadapannya berdiri seorang gadis cantik berbaju warna
merah.
Usianya kurang lebih tujuh, delapan belas tahunan,
boleh dikata wajahnya amat cantik dan mempesonakan
setiap orang yang memandang. Untuk beberapa saat
lamanya perhatian Pek Thian Ki benar2 terpesona atau
lebih tepatnya terpikat oleh kecantikan wajah gadis tersebut.
Lama sekali ia memandang dara berbaju merah itu
dengan pandangan mendelong. "Sungguh amat cantik!"
Pujinya tanpa terasa.
"Ehmmm. . .ia memang seorang gadis yang amat
cantik," sambung Tong Ling dengan cepat.
Air muka Pek Thian Ki langsung saja berubah merah
jengah, ia terpaksa tertawa jengah, "Benar, dara tersebut
betul2 amat cantik, entah siapakah dia orang. . . .?"
"Kemungkinan besar adalah putri dari Hu Toa Kan!"
"Tidak salah! Ada kemungkinan besar. . ." Teriak Pek
Thian Ki tak tertahan, Hatinya merasa bergetar sangat
keras.
Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata2nya,
mendadak dari belakang punggung mereka berkumandang
datang suara langkah manusia yang memecahkan
kesunyian, Seorang kakek tua berbaju merah tahu2 sudah
tiba dibelakang tubuh mereka berdua.
"Kongcu berdua, maaf aku orang mengganggu sebentar
ketenangan kalian," seru orang tua itu sambil tertawa.
"Ada urusan apa?"
"Tolong tanya apakah kalian berdua datang kemari
hendak menyampaikan ucapan selamat buat Loo-ya kami?"
"Benar!"
"Kawan-kawan Bu-lim kini sudah mulai menyampaikan
ucapan selamat mereka, kalian berdua mari ikuti diriku."
Pek Thian Ki tersenyum dan mengangguk, tapi tidak
urung ia melirik kembali sekejap kearah dara cantik diatas
loteng tersebut, kemudian baru berlalu dari sana. Pek Thian
Ki serta Tong Ling dengan mengikuti dari belakang kakek
tua berbaju merah itu berjalan masuk kedalam ruangan
pesta, Tampaklah ditengah ruangan yang besar itu teratur
empat, lima puluh buah meja perjamuan, Diatas dinding
sembahyang terpancang sebuah kata 'So' yang amat besar
dan terbuat dari kertas warna emas.
Disamping tulisan besar itu tergantung pula beberapa
deret tulisan yang kira2 berbunyi sebagai berikut "Panjang
Usia bagaikan tingginya gunung Lam San, Banyak rejeki
bagaikan Lautan Tong Hay."
Lampu lilin warna merah memancarkan cahaya terang
benterang menerangi seluruh ruangan yang penuh diliputi
rasa kegembiraan.
Diatas kursi kebesaran duduklah seorang kakek tua
berusia limapuluh tahunan dengan wajah memancarkan
cahaya merah pula, tubuhnya memakai jubah warna merah
yang terukirkan kata2 'So' dari benang emas. Pada saat itu
ia sedang mengangguk menerima ucapan selamat dari para
jago Bu-lim yang hadir diruangan tersebut.
"Orang inikah yang bernama Hu Toa Kan?" Bisik sang
pemuda dengan suara yang lirih.
"Benar!"
Suasana kembali berubah jadi hening, sunyi dan tidak
kedengaran sedikit suarapun.
Pada waktu itulah. . . .
Ucapan selamat sudah selesai, dan Hu Toa Kan sambil
tersenyum bangun berdiri, ujarnya lantang;
"Didalam merayakan ulang tahunku, kawan2 sekalian
tiada kenal lelah, jauh2 dari ujung dunia datang mengikuti
perayaan ini, dalam hati aku orang she Hu benar2
mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dari
saudara-saudara sekalian."
Sinar matanya per-lahan2 menyapu sekejap keseluruh
ruangan.
"Dari tempat jauh saudara sudah datang kemari, aku
orang she Hu tiada barang yang berharga untuk dijamukan,
biarlah aku gunakan air arak sebagai tanda terima kasihku."
ooo O ooo
Ditengah suara teriakan 'Hidangkan Arak', tampaklah
pelayan2 mulai mengatur sayur serta arak diatas meja
perjamuan.
"Saudara-saudara sekalian, aku orang she Hu
akanmenghormati kalian dengan secawan arak sebagai
tanda terima kasihku," Seru Hu Toa Kan kemudian dengan
cawan arak diangkat keatas.
Semua hadirin sama-sama pula angkat cawan dan
meneguk habis isinya. Seorang kakek tua yang duduk
dimeja depan mendadak bangun berdiri.
"Kitapun sudah seharusnya balas menghormati secawan
arak buat Hu-heng!" serunya keras.
Kembali para hadirin bangun berdiri dan balas
menghormati secawan arak buat Hu Toa Kan. Mengambil
kesempatan tersebut Tong Ling ikut angkat cawan keatas,
kepada Pek Thian Ki serunya;
"Pek-heng, menggunakan kesempatan ini, akupun ungin
menghormati secawan arak kepadamu."
"Tidak bisa jadi!" Pemuda itu tertawa dan menggeleng.
"Mungkinkah Pek-heng ada maksud menampik?"
"Bukan. . . bukannya begitu, karena ditengah jalan tadi
sakit hati dari siauwte sudah kumat satu kali, maka aku
tidak berani minum arak."
"Mengapa kau tidak berani?"
"Sebelum tenaga dalamku puluh enam bagian, siauwte
benar2 tidak berani ikut minum arak."
"Baiklah, kalau memang begitu sesukamulah!"
Pek Thian Ki tersenyum, ia angkat cawan dan
ditempelkan saja keatas bibirnya.
"Tong-te, terima kasih!"
Tong Ling tersenyum, senyuman tersebut amat menarik,
mempesonakan dan menggairahkan, hal ini membuat Pek
Thian Ki jadi kepincut dan merasakan hatinya berdebar
amat keras, Terutama sekali dari tubuhnya melayang keluar
segulung bau harum yang sangat aneh sekali, hal ini
semakin membuat Pek Thian Ki jadi mabok. Melihat sikap
sang pemuda yang me-longo2 seperti kehilangan nyawa,
Tong Ling jadi melengak.
"Pek-heng, mengapa kau memandang diriku terus
menerus?"
"Kau. . .kau sangat cantik?"
"Ngaco belo!. . ."
"Bukan ngaco belo. tapi. . .suuung. .sungguh. . .sungguh!
Kau benar2 amat cantik,"
"Bagaimana jika dibandingkan dengan nona tadi?"
Bila kau berganti dengan pakaian perempuan,
kecantikanmu tak akan kalah dari kecantikan gadis tadi?"
"Eeeei. . .kau jangan pakaikan topi kebesaran diatas
kepalaku. Pek Thian Ki tertawa riku, Mendadak terdengar
suara bentakan keras bergema memecahkan kesunyian.
"Kawan2 sekalian, tunggu sebentar, maaf aku akan
menganggu kalian sebantar."
Para tamu yang sedang minum arak dengan ramainya
sama2 meletakkan cawannya kembali keatas meja dan
alihkan sinar matanya kearah mana berasalnya suara
tersebut.
Tampaklah Hu Toa Kan dengan wajah yang keren sudah
bangun berdiri, sinar matanya berkilat dan dari ujung
bibirnya tersungging satu senyuman tawar.
"Terpaksa cayhe harus mengganggu ketenangan kalian
untuk minum arak, aku ada suatu urusan yang mau tak
mau harus diberitahukan kepada saudara2 sekalian."
"Hu Cungcu, ada urusan apa? Silahkan kau orang
utarakan keluar," jawab seorang kakek berbaju kuning
dengan suara lantang.
"Tolong tanya, diantara kalian pernahkah mendengar
seorang jagoan yang bernama Kiang To?"
Mendengar disebutkannya nama orang itu, rata2 air
muka semua hadirin berubah hebat, agaknya mereka
menaruh rasa jeri dan takut terhadap manusia ganas yang
amat lihay itu, Seketika itu juga suasana ditangah ruangan
besar jadi sunyi senyap, tak kedengaran sedikit suara
apapun! Air muka Pek Thian Ki sendiripun rada berubah
setelah mendengar disebutnya nama orang itu.
"Hu Cungcu! Tolong tanya, mengapa dengan dirinya?"
tanya seseorang yang tidak dapat menahan sabar lagi.
"Heee. . . . .heeee. . . .heeee. . . . . ia sudah datang!"
"Apa? Ia sudah datang? Dimanakah sekarang orangnya?"
Dengan diiringi suara teriakan tertahan, para jagoan berseru
keras, rata2 semua hadirin sudah dibuat bergidik hatinya
oleh berita ini.
Sinar mata Pek Thian Ki pun dengan tajam
memperhatikan wajah Hu Toa Kan tanpa berkedip,
Suasana ditengah ruangan jadi hening, tapi dibalik itu
terlintas napsu membunuh yang amat menyeramkan.
"Kiang To!" Terdengar Hu Toa Kan membentak keras,
"Kau ingin keluar sendiri ataukah memaksa aku orang yang
menarik kau keluar dari ruangan ini?"
Para hadirin mulai saling bertukar pandangan dengan
pikiran penuh tanda tanya, agaknya orang yang duduk
dihadapannya merupakan Kiang To yang sedang disebut
itu, suasana berubah semakin sunyi lagi.
"Tong Loo-te! Apakah dia orang benar2 sudah datang?"
bisik Pek Thian Ki dengan suara yang amat lirih.
"Kemungkinan besar!"
Hu Toa Kan yang melihat lama sekali Kiang To tidak
suka unjukkan diri, air mukanya segera berubah hebat;
"Kiang To! Kau sungguh2 tidak mau keluar? Apakah kau
ingin paksa aku orang turun tangan sendiri?" kembali
bentaknya.
Ruangan tetap sunyi senyap tak kedengaran sedikit
suarapun. Sinar mata Pek Thian Ki pun melototi diri Hu
Toa Kan semakin tajam.
"Heee. . . .heee. . .heee. . .Kiang To! Kalau memang kau
tiada maksud untuk keluar sendiri, terpaksa aku harus turun
tangan sendiri untuk mengundang kau keluar." seru Hu Toa
Kan sambil tertawa dingin.
Para jago Bu-lim yang ada didalam dunia Kangouw ratarata
mulai mengalihkan sinar matanya keatas wajah Hu
Toa Kan, tampaklah siorang tua itu selangkah demi
selangkah mulai berjalan diantara meja2 perjamuan.
Suasana didalam ruangan amat sunyi, hening dan tidak
kedengaran sedikit suarapun, Kecuali suaar langkah kaki
Hu Toa Kan yang teratur, hampir2 membuat jarum yang
jatuh keatas tanahpun kedengaran.
Mendadak. . . Hu Toa Kan berbelok dan langsung
menuju kearah meja yang ditempati oleh Pek Thian Ki serta
Tong Ling, hal ini membuat kedua orang itu jadi terkejut
dan saling bertukar pandangan.
Waktu itu Hu Toa Kan telah tiba disisi tubuh Pek Thian
Ki, Air muka pemuda itu langsung saja berubah hebat,
jantungnya terasa berdebar keras.
"Heee. . .heee. . .heeee. . . Kiang To! Kalau memang
sudah datang kemari, mengapa kau orang tidak langsung
menyambangi diriku secara terang2an dan blak2an?" tegur
siorang tua itu sambil tertawa seram.
"Apa? Dia adalah Kiang To?" terdengar suara jeritan
tertahan dari para jago yang hadir didalam ruangan.
"Kiang To adalah pemuda kurus itu?"
". . . .Apakah betul mereka?"
Suasana berubah jadi gaduh, teriakan-teriakan tidak
percaya mulai tersebar simpang siur, rata-rata air muka para
jagoan pun mulai berubah hebat.
"Apa kata kau?" terdengar Pek Thian Ki pun berseru
tertahan.
"Hmmmm! Kau adalah Kiang To!"
"Kau sedang ngaco belo!"
"Ngaco belo?"
"Benar, kau sedang ngaco belo, aku bukan Kiang To, aku
bernama Pek Thian Ki."
"Heeee. . . heeee. . . heeee. . . aku tahu kalau kau
bernama Pek Thian Ki," seru Hu Toa kan sambil tertaw
dingin. . .Tetapi nama tersebut nama samaranmu, dan
namamu yang sebenarnya adalah Kiang To."
"Kurang ajar, aku harap kau jangan ngaco belo lagi!"
Saking gusarnya Pek Thian Ki membentak keras.
"Hmmm! Kalau memang tujuanmu datang kemari untuk
menyatroni diriku, mengapa tidak berani pula untuk
mengakui?"
Mendadak Pek Thian Ki pun tertawa dingin, "Jadi kau
suruh aku mengakui kalau aku adalah Kiang To?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tapi, aku kan sudah berkata kalau aku bukan orang
itu."
"Aku punya cara untuk membuktikan."
"Heeee. . . .heeee. . . heeee. . . aku ingin tahu dengan
menggunakan cara apa kau ingin membuktikan diriku
adalah Kiang To," Tantang Pek Thian Ki sambil tertawa
dingin.
"Mari silahkan!"
Ditengah suara seruan tersebut, dengan langkah lebar Hu
Toa Kan sudah melangkah keluar ketengah ruangan. Pek
Thian Ki tertawa dingin, ia pun dengan mengikuti dari
belakang tubuh Hu Toa Kan berjalan keluar dari meja
perjamuan langsung menuju ketengah ruangan.
Sinar mata semua orangpun mulai dialihkan keatas
tubuh kedua orang itu, mereka mulai memperhatikan
dengan cermat dan penuh perhatian. Setibanya ditengah
ruangan, mereka berdua ber-sama2 menghentikan langkah
kakinya dan putar badan saling ber-hadap2an.
"Hu Cungcu, kau hendak menggunakan cara apa untuk
membuktikan kalau aku adalah Kiang To?"
"Hmmm! Semua jago diseantero dunia pada tahu kalau
kau Kiang To setelah melakukan kejahatan tentu akan
meninggalkan sebuah panji kecil disamping korban,
Sekarang aku perintahkan kau untuk copot pakaian luarmu
untuk aku periksa, Dan akan kulihat apakah didalam
sakumu terdapat panji kecil itu atau tidak!"
Air muka Pek Thian Ki kontan berubah hebat. Pada saat
ini didalam sakunya memang ada subuah panji kecil yang
didapatkan disamping korban Kiang To sewaktu berada di
Istana harta, sudah tentu ia tak dapat melepaskan pakaian
luarnya dihadapan orang banyak.
Bukankah jika ia berbuat demikian sama halnya dengan
telah membuktikan jika ia betul-betul adalah Kiang To?
Dan pemuda ini sama sekali tidak mengira, kalau panji
kecil yang disimpan dalam sakunya bakal mendatangkan
banyak kerepotan buat dirinya, Untuk beberapa saat
lamanya ia berdiri tertegun ditengah kalangan.
"Heee. . .heeee. . .heee. . . bagaimana? Kenapa pakaian
luarmu tidak kau lepaskan?" jengek siorang tua itu sambil
tertaw dingin.
Didalam hati Pek Thian Ki tahu bahwa persoalan ini tak
bakal disa dibikin jelas, maka air mukanya tambah berubah
hebat.
"Tidak salah, aku tak akan melepaskan pakaian luarku,"
sahutnya tegas.
"Mengapa?"
"Karena tiada kepentingannya!"
"Jadi kau sudah mengakui kalau dirimu adalah Kiang
To?" teriak Hu Toa Kan dengan air muka berubah hebat.
"Tidak!"
Air muka Hu Toa Kan berubah semakin hebat. "Kau
akan paksa aku untuk turun tangan sendiri melepaskan
pakaian luarmu itu? teriaknya semakin murka.
Suara bentakan dari Hu Toa Kan ini penuh mengandung
napsu membunuh, sepasang matanya berkilat dan
memancarkan cahaya tajam melototi wajah Pek Thian Ki,
dengan tidak berkedip.
Air muka pemuda tersebut berubah semakin hebat pula,
hatipun terasa berdebar semakin keras, Pada saat ini apabila
ia membuka pakaian luarnya, maka seketika itu juga
dihadapan para jago yang sedemikian banyaknya akan
terbukti bila ia adalah Kiang To.
Pada saat itu. . . .
"Bangsat! Kau suka melepaskan pakaian luarmu tidak?"
bentak Hu Toa Kan ketus.
"Bagaimana jika aku orang tidak mau lepaskan?" jengek
pemuda itu dingin.
"Aku sudah berkata bahwa aku bisa turun tangan
sendiri!"
"Oooouw. . . begitu? Hu Cungcu, bolehkah aku orang
menanyakan satu persoalan dulu kepadamu?"
"Cepat kau katakan!"
"Kenalkah kau orang dengan Kiang To?" Mendapat
pertanyaan ini Hu Toa Kan jadi melengak.
"Aku tidak kenal dengan dirinya!"
"Hmm! Lalu apakah diantara dirimu dengan diri Kiang
To ada ikatan dendam?"
"Ikatan dendam?"
"Benar!"
"Tidak ada. . ."
"Heee. . .heeee. . .heee. . . Hu Cungcu! Jika demikian
adanya, kaulah yang salah!" potong Pek Thian Ki dengan
cepat sambil memperdengarkan suara tertawa sinis yang
tidak sedap didengar. "Kalau memang kau orang tidak
kenal dengan Kiang To, lalu secara bagaimana kau bisa
menuduh akulah Kiang To?"
Menerima pertanyaan yang amat diluar dugaan ini, Hu
Toa Kan jadi tertegun dan berdiri ter-mangu2. Sedikitpun
tidak salah! Kalau ia sendiripun belum pernah bertemu
dengan Kiang To, bagaimana mungkin bisa menuduh Pek
Thian Ki sebagai Kiang To?. . . .
Tetapi, bagaimanapun juga Hu Toa Kan tidak malu
kalau disebut sebagai seorang jago Kangouw yang punya
nama, maka segera dia orang tertawa dingin.
"Kiang To, bukankah perkataanmu itu kau ucapkan siasia
belaka?"
"Sia-sia belaka?"
"Benar! Padahal hingga sampai saat serta detik ini, mana
ada jagoan Bu-lim yang pernah berjumpa dengan manusia
yang bernama Kiang To?. . . ."
"Kalau begitu, Mengapa kau menuduh aku adalah Kiang
To?"
"Karena wajahnya amat mirip. . ."
Baru saja Pek Thian Ki hendak menjawab, Tong Ling
yang duduk disisinya dengan suara yang dingin sudah
menyambung; "Hu Cungcu, apakah kau tidak mirip?"
"Kau?"
"Benar! Apakah aku tidak mirip dengan Kiang To?"
Hu Toa Kan kontan dibuat cep kelakep untuk beberapa
saat lamanya tak sanggup untuk mengucapkan sepatah
katapun. Sedikitpun tidak salah, Bagaimana pun ia tak
dapat menuduh sembarangan orang sebagai Kiang To!
Akhirnya ia tertawa paksa.
"Kau. . .kaupun mirip."
"Kalau memang aku mirip Kiang To, lalu bagaimana
dengan dia itu?"
"Ia pun mirip!"
"Perkataan macam begini mana bisa diutarakan dari
mulut seorang manusia semacam Hu Cungcu?" teriak Tong
Ling dengan air muka berubah hebat.
"Apa salahnya?"
"Kau sebagai seorang Cungcu dari suatu perkampungan
besar, betapa mulia dan terhormatnya kedudukanmu, tetapi
sebelum suatu persoalan kau selidiki sampai jelas kenapa
berani sembarangan membuat tuduhan kepada orang lain?
Apakah kau tidak takut dibuat lelucon oleh para kawan2
Bu-lim sehingga lepas giginya saking kegelian?"
Beberapa patah perkataan ini diucapkan amat cengli tak
terbantahkan, memang tidak salah, sebagai seorang Cungcu
yang terhormat, mana boleh sembarangan menuduh orang
lain tanpa mempunyai suatu bukti yang cukup?
Tetapi, agaknya ia merasa amat yakin kalau Pek Thian
Ki adalah penyaruan dari Kiang To. Tak terasa lagi siorang
tua itu tertawa dingin tiada hentinya.
"Kalau begitu kalian berdua sama2 tidak mengakui kalau
kalian adalah Kiang To?"
"Kami tidak mengakui juga tidak akan mungkir, hanya
saja harapan kami Cungcu suka memberikan suatu alasan
yang tepat."
Sinar mata Hu Toa Kan dengan tajam dialihkan keatas
wajah Pek Thian Ki, kemudian sambil tersenyum sinis
ujarnya;
"Aku mau tanya, mengapa kau tidak berani untuk
melepaskan pakaian luarmu?. . ."
"Kenapa aku harus lepaskan pakaian luarku?"
"Aku ingin membuktikan!"
"Membuktikan? Membuktikan apa? Kau ingin
membuktikan aku adalah Kiang To?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Menggunakan cara apa kau hendak membuktikan hal
ini?"
"Bila kau adalah Kiang To, maka disakumu pasti ada
panji tanda pengenalmu."
"Heee. . .heee. . .heee. . .Hu Cungcu! Mengapa kau tidak
suruh semua kawan2 Bu-lim yang hadir didalam kalangan
pada saat ini sama2 pada melepaskan pakaian luarnya
untuk diperiksa?" jengek Pek Thian Ki sambil tertawa
dingin, "Jikalau mereka pada setuju, sudah tentu aku Pek
Thian Ki akan mengiringi."
Pek Thian Ki bukan saja memiliki nyali serta kecerdikan
yang melebihi orang, bahkan ucapannyapun tajam sekali,
Jikalau bukannya disebabkan karena baru saja sakit hatinya
kumat, iapun tak bakal suka berbicara demikian baik
dengan dirinya.
Pada saat ini tenaga dalamnya baru saja pulih
sepertiganya, sudah tentu ia mengetahui jelas bila dirinya
bukanlah tandingan dari Hu Toa Kan, Oleh sebab itu untuk
sementara waktu mau tak mau ia harus menahan rasa
mangkelnya ini.
Hu Toa Kan sendiripun sadar kalau perkataannya amat
cengli, tetapi bagaimanapun juga, ia tak dapat turun dari
panggung dengan demikian saja. Pada hari2 biasa ia sangat
memandang kosong siapapun dan terlalu anggap
kedudukannya sangat tinggi, sudah tentu ia tak akan
memandang sebelah matapun terhadap diri Pek Thian Ki.
"Heee. . .heee. . .heee. . . aku suruh kau lepas pakaian,
maka kau harus tetap lepas pakaian!" teriaknya dingin.
Air muka Pek Thian Ki berubah hebat, mendadak ia
meloncat bangun. "Hu Cungcu! Sungguh besar benar
lagakmu!" teriaknya.
Keadaan Hu Toa Kan pada saat ini mirip dengan
menunggang diatas punggung harimau, bagaimanapun juga
ia harus keraskan kepala untuk menyelesaikannya.
"Bocah!" Aku sedang bicara sungguh-sungguh."
teriaknya sambil tertawa tawar.
"Kau hendak mengandalkan apa? Kepandaian ilmu
silat?"
"Anggap saja perkataanmu itu benar."
"Heee. . .heee. . .heee. . .Hu Cungcu, ini hari adalah hari
apa? Membuat ruangan perayaan ulang tahun jadi
berceceran darah, rasanya tidak akan mendatangkan
kebaikan buat dirimu," jengek pemuda itu ketus.
"Haaa. . . .haaa. . .haaa. . . aku tak akan memperdulikan
soal itu, jikalau kau tidak suka mengakui kalau kau adalah
Kiang To, terpaksa aku harus menggunakan cara ini."
Tong Ling pun mendadak meloncat bangun. "Hu
Cungcu, apa kau anggap kepandaian ilmu silatmu tiada
bandingnya dikolong langit?" teriaknya.
"Aku tidak pernah mengucapkan kata2 seperti itu."
"Kalau memang demikian, kenapa kau tantang orang
untuk bertempur pada saat diadakannya perayaan hari
ulang tahun?" Kembali ia tertawa dingin tiada hentinya,
"Jikalau kau kepingin men-coba2 kepandaian silat orang
lain, mari! Cayhe pun ingin minta beberapa petunjuk dari
dirimu."
"Kau?. . ." jengek Hu Toa Kan dingin, Diatas wajahnya
terlintaslah suatu senyuman menghina.
"Tidak salah, cayhe pernah dengar orang berkata,
katanya kepandaian silat Hu Cungcu luar biasa dahsyatnya,
Kini cayhe ingin minta beberapa petunjuk dari dirimu. . ."
"Sangat bagus sekali. . . ."
"Tapi, aku masih ada satu syarat lagi bagi dirimu."
"Syarat apa lagi?"
"Kita bertaruh dalam tiga jurus jika aku kalah, maka aku
akan segera bantu kau orang untuk menemukan kembali
Kiang To tersebut. . ."
"Bila aku yang kalah?"
"Pertama, jangan menaruh curiga kalau dia adalah Kiang
To, dan kedua, suruh puterimu keluar untuk melayani kami
minum arak."
"Apa kau kata?" teriak Hu Toa Kan teramat gusar, air
mukanyapun berubah sangat hebat.
"Aku minta puterimu keluar melayani kami minum arak?
Bagaimana. . . ."
"Kentut!. . ."
"Eeeei. . .Hu Cungcu! Kau takut kalah?"
Selebar wajah Hu Toa Kan saking khekinya berubah jadi
merah padam, ia anggap Tong Ling terlalu tidak pandang
sebelah mata terhadap dirinya. Dia adalah seorang jagoan
kenamaan didalam dunia persilatan, bukan saja nama
besarnya serta kedudukannya, bahkan kepandaian silat
yang ia milikipun terhitung sebagai seorang jagoan
kenamaan, Maka rasa mangkel tersebut mana sanggup
ditelan begitu saja kedalam hati? Padahal, ia sendiripun
tidak pandang sebelah mata terhadap diri Tong Ling!
"Baik!" sahutnya kemudian sambil tertawa dingin.
"Hu Cungcu, apa kau tidak menyesal?"
"Selama melakukan pekerjaan Hu Toa Kan belum
pernah ingkar janji barang satu kalipun."
"Bagus. . . .bagus. . . ." seru Tong Ling lantang, sinar
matanya per-lahan2 menyapu sekejap keseluruh hadirin,
"Para cianpwee sekalian, atas kebaikan hati Hu Cungcu
yang suka pandang tinggi diri cayhe Tong Ling, sehingga
mau bertaruh dengan diriku dalam tiga jurus aku merasa
sangat berterima kasih sekali, Bilamana aku kalah, maka
aku akan segera menyeret keluar Kiang To, dan bila ia yang
kalah, maka aku larang dia orang menuduh kawan Pek
adalah Kiang To, bahkan mengundang putri
kesayangannya untuk melayani kami minum arak, entah
siapa diantara kalian yang suka bertindak sebagai saksi?"
Begitu perkataan tersebut berkumandang keluar suasana
didalam ruangan jadi teramat gaduh.
Bab 18
Lama. . . lama sekali baru tampaklah seorang kakek tua
berbaju hijau bangun berdiri dan berkata;
"Hu Cungcu paling memegang teguh ucapan sendiri, aku
rasa dia orang tak bakal salah janji."
"Jadi kalian suka menjadi saksi?"
"Tidak salah kami suka menjadi saksi. . ."
"Kami sanggup. . . "
"Kami tanggung. . ." Suara teriakan para hadirin segera
meledak dan membuat suasana didalam ruangan tersebut
jadi amat gaduh.
Sudah tentu ada sebagian diantara mereka yang hanya
bertujuan menonton keramaian dan ada sebagian lagi yang
menginginkan pemuda ini bisa dikalahkan oleh Hu Toa
Kan sehingga ia harus menyeret keluar Kiang To simanusia
yang mendatangkan keseraman bagi siapapun juga.
Pek Thian Ki sendiripun jadi melengak dibuatnya.
Alisnya dikerutkan rapat2, agaknya ada sesuatu urusan
sedang dipikirkan, tetapi seperti pula sedang mengambil
suatu keputusan tentang suatu hal yang tidak dipahami
olehnya dan terjadi disekeliling tubuhnya sendiri.
Siapakah Tong Ling itu? Kepandaian silat yang ia miliki
tidak berada dibawah kepandaian sendiri, dan mungkinkah
gadis ini dapat berhasil merobohkan Hu Toa Kan didalam
tiga jurus seperti halnya tempo dulu ia sendiri merobohkan
Tong Jong itu anak murid dari sijagoan pedang penakluk
naga dalam tiga jurus pula?
Jikalau ia kalah, apakah gadis tersebut sanggup
menemukan Kiang To yang amat misterius itu? Sudah tentu
peristiwa ini merupakan suatu kejadian yang tidak
mungkin, jadi ia mempunyai kepercayaan seratus persen
bahwa dirinya mempunyai kepandaian untuk merobohkan
Hu Toa Kan?
Pada saat inilah didasar hati Pek Thian Ki mendadak
terlintas suatu ingatan yang sangat aneh, Ia sangat
mengharapkan agar Tong Ling menderita kalah, sehingga ia
akan menarik keluar manusia yang bernama Kiang To itu.
Sudah tentu pikiran aneh ini bisa muncul, karena memang
didasar hatinya sejak semula sudah ada maksud untuk
menemui manusia yang bernama Kiang To itu.
Pada saat itu. . . .
"Heee. . .heee. . .heee. . .hampir2 saja saja aku lupa
menanyakan nama besar dari Tong Siauw-hiap?" Seru Hu
Toa Kan dingin.
"Cayhe she Tong bernama Ling!"
"Oooouw, kiranya Tong Siauw-hiap, mari kita keluar
rumah."
Tanpa banyak bicara Tong Ling putar badan dan
langsung menuju keluar rumah. Ketika itulah semua
hadirin pada ikut bangun berdiri dan berjalan keluar dari
ruangan tersebut untuk menonton jalannya suatu
pertarungan yang sengit.
Sambil bergendong tangan, dan dongakkan kepala
keatas, Pek Thian Ki pun ikut berjalan keluar menuju
ruangan depan, Sepasang matanya dengan tajam
memperhatikan wajah kedua orang itu.
Per-lahan2 Hu Toa Kan melepaskan jubah panjangnya,
sehingga kelihatan pakaiannya yang ringkas, dengan sinar
mata ber-api2, ia melototi diri Tong Ling tajam2.
"Tong Siauw-hiap, silahkan." serunya dingin.
"Lebih baik Hu Cungcu turun tangan terlebih dahulu."
"Tidak bisa jadi, terhadap seorang angkatan muda
semacam kau, bagaimana aku orang boleh turun tangan
terlebih dahulu?"
"Kalau memang begitu, cayhe pun terpaksa menurut
perintah saja!" Begitu perkataan terakhir meluncur keluar
dari bibirnya, tangan kanannya dengan cepat diayunkan
kemuka melancarkan satu cengkeraman dahsyat.
Serangan cengkeraman ini kelihatannya sangat biasa
tanpa ada variasi yang aneh, sehingga Hu Toa Kan tertawa
dingin, tangan kanannya pun dengan sebat menangkis
keatas sedang tangan kirinya dengan gencar balas mengirim
satu serangan.
Serangan yang dilancarkan oleh Hu Toa Kan ini boleh
dikata amat cepat laksana sambaran kilat, ada sebagian jago
yang tak dapat menahan rasa kaget lagi, mereka pada
berteriak tertahan dan mengucurkan keringat dingin.
Tetapi bagi Tong Ling sendiri, agaknya ia sudah
menduga kalau bakal datangnya serangan tersebut, maka
pada waktu Hu Toa Kan mengirim serangan tangan kiri
kedepan itulah tangan kiri gadis itupun ikut menerobos
kearah luar.
Bayangan jari berkelebat bagaikan petir, tahu2 ia sudah
berhasil menggagalkan serangan dari Hu Toa Kan dan
disusul bayangan manusia berkelebat lewat tangan kiri
Tong Ling sekali lagi mengirim satu pukulan gencar.
Kecepatan gerak betul2 membuat orang sukar untuk
melihat jelas, diantara berputarnya bayangan manusia
masing2 pihak saling memencar dan mengundurkan diri
kebelakang.
Siapa menang, siapa kalah, tak ada yang berhasil melihat
jelas, kecuali Pek Thian Ki seorang yang berdiri disisi
kalangan. Per-lahan2 Pek Thian Ki menghembus napas
ringan. . .
Suara helaan napas itu kedengaran amat jelas sekali
ditengah kesunyian yang mencekam seluruh ruangan,
bahkan sangat menusuk telinga. Hanya saja disebabkan,
perhatian semua pada orang waktu itu sedang tertumpah
ketengah kalangan, maka tak seorangpun diantara mereka
yang menoleh melihat kearah Pek Thian Ki.
"Hu Cungcu! Kepandaian silatmu benar2 sangat
mengagumkan," seru Tong Ling sambil tertawa tawar.
Hu Toa Kan berdiri mematung ditengah kalangan,
lagaknya mirip seperti seorang yang kehilangan nyawa.
Melihat kejadian tersebut, semua orang jadi berdiri
tertegun, pikiran mereka pada dibuat kebingungan apa yang
baru saja terjadi.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?. . ." terdengar suara
seseorang berteriak keras.
"Siapa yang menang?. . ."
"Siapa yang kalah?. . ."
Suara manusia bergema memenuhi angkasa membuat
suasana jadi gaduh, mendadak terdengar seorang berteriak
keras; "Aaaah. . . Hu Cungcu kalah setengah jurus. . ."
"Apa?. . ." Tak terasa lagi semua jago yang hadir disana
pada menjerit kaget.
"Ia kalah?. . ."
Seketika itu juga semua orang dibuat terperanjat oleh
hasil pertandingan tersebut. Ketika Pek Thian Ki
mengalihkan sinar matanya kearah orang tersebut, maka
tampaklah orang yang baru saja berteriak bukan lain adalah
seorang kakek tua bercambang yang memakai jubah warna
kuning.
Ditengah suara gaduh yang memenuhi empat penjuru,
dengan perasaan amat malu Hu Toa Kan menundukkan
kepalanya rendah2, Ia sama sekali tidak mengira kalau
nama baik dirinya selama ini ternyata hancur ditangan
seorang Boanpwee yang tidak bernama dan tiada
berpengalaman.
Bukan saja ia sudah kalah, bahkan menderita kekalahan
yang amat mengenaskan. . . walaupun selama hidup ia
sudah pernah jatuh kecundang beberapa kali ditangan orang
lain, tetapi selama ini belum pernah ia menderita kekalahan
sehebat dan mengenaskan seperti kali ini.
Didalam tiga jurus menderita kalah ditangan seorang
Boanpwee tak ternama, peristiwa ini benar2 sangat
memalukan, hendak dilemparkan kemanakah wajahnya?
"Hu Cungcu, terima kasih atas bantuanmu yang suka
mengalah, disini Boanpwee ucapkan banyak terima kasih."
kata Tong Ling sambil tersenyum. Selesai berkata, ia lantas
merangkap tangannya menjura.
Terang sudah perkataan tersebut bernadakan mengejek,
hal ini mana mungkin tidak membuat Hu Toa Kan jadi
kheki, sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Mendadak. . .
"Sudah. . . .sudahlah. . ." mendadak siorang tua itu
berteriak keras. Telapak tangannya segera diangkat keatas,
kemudian dihajarkan keatas batok kepalanya sendiri.
Pada saat itu Hu Toa Kan benar2 ada maksud untuk
bunuh diri, karena nama baiknya yang dipupuk selama ini
ternyata sudah hancur ditengah jalan, ia mana punya muka
lagi untuk tancapkan kakinya didalam dunia persilatan?
Daripada menerima malu, lebih baik menemui ajal. . . .
Maksud Hu Toa kan yang ingin bunuh diri ini benar2
berada diluar dugaan semua orang, Tetapi, sekonyongkonyong.
...
Sesosok bayangan manusia dengan sebat mencelat
kehadapan Hu Toa Kan, kemudian tangannya berkelebat
mencengkeram tangan siorang tua itu yang sudah siap
hendak dihajarkan keatas ubun2 sendiri itu.
"Kau cari mati?" bentak Hu Toa Kan keras, saat ini ia
tidak ingin ada orang yang menghalangi maksudnya untuk
bunuh diri.
Tanpa banyak perhitungan lagi, pukulan yang
mengandung hawa pukulan seberat ribuan kati ini
dihantamkan keatas tubuh orang tersebut dengan gerakan
yang cepat dan aneh. Pihak lawan dengan gesit menyingkir
kesamping meloloskan diri dari datangnya serangan
tersebut.
"Hu Cungcu! Apa maksudmu?" bentak orang itu keras.
Hu Toa Kan yang melihat serangannya tidak mencapai
hasil, ia rada melengak, sinar matanya dengan cepat
dialihkan kearah orang itu. Kiranya orang yang sedang
mencengkeram pergelangan tangannya bukan lain adalah
seorang kakek tua bercambang.
Gerakan tubuh dari kakek tua bercambang itu amat gesit
dan sebat, hal ini membuat Pek Thian Ki rada bergidik juga
dibuatnya.
"Siapa kau?" bentak Hu Toa Kan gusar.
"Hu Cungcu, siapakah diriku, untuk sementara kau tidak
perlu tahu," jawab sikakek bercambang itu sambil tertawa,
"Cuma ada sepatah dua patah kata aku ingin beritahu
kepadamu, Menang kalah dalam suatu pertarungan
merupakan suatu kejadian yang biasa, Buat apa kau orang
ambil keputusan untuk bunuh diri, hanya disebabkan
karena kalah setengah jurus?"
"Heeee. . .heeee. . .heeee. . . Hu Cungcu! Bilamana kau
tidak suka menerima kekalahanmu itu, akupun tidak ingin
menang lagi," sambung Tong Ling sambil tertawa dingin.
Beberapa patah perkataan ini langsung membuat wajah
Hu Toa Kan diliputi kegusaran, dia adalah seorang jagoan
yang paling mengutamakan muka sendiri, Dan kini bukan
saja sudah jatuh kecundang ditangan orang lain, bahkan
diejek dan dihina pula, hal ini betul2 membuat hatinya
amat mendongkol.
Tetapi. . . kendati ia mendongkol perasaan tersebut sukar
untuk dilampiaskan keluar, oleh sebab itu siorang tua itu
segera memperdengarkan suara tertawa yang amat
menyeramkan.
"Saudara aku orang she Hu benar2 kagum terhadap
dirimu. . ."
"Saudara terlalu memuji!"
"Dan kaulah satu2nya orang yang membuat aku orang
she Hu menderita kekalahan dengan demikian
mengenaskan. . ."
"Haaaa. . .haaaa. . .haaaa. . . saudara tidak usah
sungkan-sungkan lagi."
"Hmm! Apa yang kau inginkan pada saat ini?"
"Melaksanakan sesuai dengan syarat yang kita janjikan
tadi."
Air muka Hu Toa Kan berubah jadi serba salah, ia
kelihatan kikuk dan jengah, Baginya untuk menjalankan
syarat yang pertama sangat gampang sekali, tetapi syarat
yang kedua. . . hal ini bukan suatu urusan yang boleh
dilaksanakan.
"Heee. . .heeee. . .heee. . . Hu Cungcu bagaimana?"
Kembali Tong Ling mengejek.
"Sejak kapan aku pernah mengingkari janji?" teriak Hu
Toa Kan amat murka.
"Yaaa. . .yaaa. . . kalau kau suka melaksanakan hal ini
amatlah bagus."
"Kalau begitu kau tidak usah banyak bicara lagi!"
Tanpa banyak bicata ia putar badan dan langsung
menuju keruangan tengah. Para hadirin lainnya pun dengan
cepat mengikuti dari belakang tuan rumah berjalan masuk
kedalam ruangan.
Kini ditengah kalangan tinggal Pek Thian Ki seorang diri
yang berdiri mematung disana, melihat hal tersebut, Tong
Ling segera berjalan mendekati sisinya.
"Eeeeei. . . kau kenapa?" tegurnya dingin.
"Tidak mengapa!" pemuda tersebut hanya menggelaeng
sambil tertawa pahit.
"Lalu mengapa tadi kau orang menghela napas panjang?"
"Oooouw. . . .tiii. . .tidak mengapa."
"Bagaimana? Kau kecewa?"
"Kecewa?" seru Pek Thian Ki kaget hatinya berdebar
keras.
"Tidak salah, aku tahu kalau hatimu merasa amat
kecewa, bukan begitu?"
"Apa yang perlu aku kecewakan?"
"Kau kecewa kenapa aku tidak dapat dikalahkan oleh Hu
Cungcu!"
Dengan perasaan terperanjat Pek Thian Ki memandang
sekejap kearah Tong Ling, agaknya ia merasa bergidik oleh
ucapan yang diutarakan oleh gadis tersebut, karena ia tidak
menyangka kalau pihak lawan bisa mengetahui jelas apa
sebabnya ia menghela napas panjang.
"Pek-heng, aku tidak menyangka kalau watakmu busuk
dan berpikiran sangat licik!" kembali Tong Ling memaki.
"Apa yang kau katakan?"
"Heeee. . . .heeee. . . heeee. . .Pek-heng, walaupun
persahabatan diantara kita tidak terlalu erat, tetapi aku
sudah bantu kau orang membebaskan diri dari kesulitan,
tahukah kau bahwa perytarunganku melawan Hu Toa Kan
kali ini tidak lain hanya disebabkan karena dirimu?. . ."
"Aaaaa. . .aku. . . aku tahu!"
"Sebaliknya kau mengharapkan aku menderita kalah,
sehingga terpaksa Kiang To harus aku seret keluar,
Tahukah kau orang bahkan bilamana aku kalah, kecuali
mati, maka tak mungkin bagiku untuk menemukan Kiang
To. . ."
"Kau. . .kaupun tidak tahu dimana Kiang To berada?"
"Tidak salah, sedang kau ternyata meng-harap2kan agar
aku bisa menderita kalah, bahkan kau. . ." Berbicara sampai
disini, ia tak dapat menahan diri lagi, sepasang matanya
jadi merah, bahkan hampir2 saja membuat air mata jatuh
berlinang, air mukanya jelas kelihatan amat murung.
Pek Thian Ki sendiripun merasa amat menyesal didalam
hatinya atas perasaan yang sudah ia tunjukkan tadi.
"Terhadap dirimu, aku benar-benar merasa kecewa,"
kembali Tong Ling berseru dengan suara yang amat
menyedihkan. "Aku Tong Ling tidak ingin bergaul dan
bersatu dengan orang yang serakah dan terlalu
mementingkan diri sendiri, baiklah kita berpisah saja
sampai disini. . ." Habis berkata dengan langkah yang
gontai ia hendak berlalu dari tempat itu.
Melihat tindakan yang diambil gadis tersebut Pek Thian Ki
jadi sedih bercampur menyesal. Dengan uring-uringan Tong
Ling berhenti dan menoleh.
"Ada urusan apa?"
"Ha. . . hara. . . harap kau jangan. . . jangan salah
paham."
"Salah paham? Hmmm! Raba dulu hatimu sendiri,
pernahkah aku orang menaruh rasa salah paham terhadap
dirimu?"
"Heeei. . . kalau begitu katakan saja kau suka
memaafkan kesalahanku!" seru Pek Thian Ki rada
merengek.
Perkataan yang diucapkan oleh pemuda tersebut agaknya
jauh berada diluar dugaan Tong Ling, ia rada tertegun
dibuatnya.
"Aku bisa memaafkan dirimu," sahutnya kemudian
sambil memandang diri pemuda itu setelah termenung
sejenak," tapi bukan pada saat ini, aku harus baik2 berpikir
keras. . ." Kembali ia putar badan dan melangkah pergi dari
sana.
Dengan perasaan menyesal, gegetun dan sayang, Pek
Thian Ki memandang bayangan punggungnya, Selama
hidupnya belum pernah dia orang pernah menaruh rasa
cinta pada seseorang. . . terutama seorang gadis semacam
dia. . . .
Sewaktu Pek Thian Ki sedang berdiri termangu-mangu,
tiba-tiba. . . .
"Pek-heng, tahan dirinya!" Serentetan suara yang lembut
seperti suara nyamuk berkumandang masuk ketelinganya.
Mendengar perkataan tersebut, Pek Thian Ki jadi
terperanjat, karena ia merasa suara tersebut rasanya pernah
dikenal olehnya. Setelah lama sekali berpikir, akhirnya ia
berhasil menemukan kalau suara tersebut kiranya berasal
dari sang pemuda miterius Cu Tong Hoa.
Sekali lagi Pek Thian Ki merasakan hatinya berdesir. Cu
Tong Hoa minta dia orang mencegah jalan pergi dari Tong
Ling, tapi apa alasannya? Agaknya dibalik segala persoalan
ini masih tersembunyi suatu rahasia yang tidak gampang.
Cukup meninjau dari adal usul Cu Tong Hoa sudah
amat mencurigakan pertama, dia adalah Tong-cu urusan
bagian luar dari kaum pengemis didaerah luar perbatasan.
Kedua, dia adalah Pangcu dari perkumpulan Pek Hoa
Pang. Dan yang ketiga, dia adalah majikan dari Istana
Harta. Lalu diantara ketiga buah kedudukannya ini, mana
yang benar2 merupakan jabatannya?
Selagi Pek Thian Ki dibuat tertegun Cu Tong Hoa
dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara,
kembali mengirim berita; "Eeeei. . . kenapa kau masih termangu2?
Kenapa tidak cepat-cepat cegat jalan perginya?"
Kontan Pek Thian Ki merasakan hatinya berdesir.
Mendadak. . . agaknya ia memahami sesuatu, Apakah
mungkin Cu Tong Hoa sudah menaruh curiga kalau Tong
Ling adalah hasil panyaruan dari Kiang To?
Teringat akan diri Kiang To, sang pemuda tersebut
kembali merinding sehingga bul kuduknya pada berdiri
semua. Urusan ini tak bisa dikatakan tiada
kemungkinan2nya, Tong Ling adalah seorang gadis yang
menyaru sebagai kaum pria tak dapat diketahui orang,
sedang kepandaian silat yang ia milikpun sangat luar biasa
dahsyatnya, tidak dapat disalahkan kalau ia menaruh curiga
kalau Tong Ling adalah Kiang To. Teringat akan hal
tersebut, tak terasa lagi Pek Thian Ki berguman;
"Ehmmm. . . . sedikitpun tidak salah, kemungkinan besar
dia adalah penyamaran dari Kiang To. . ." Teringat akan
persoalan itu, tubuhnya dengan cepat berkelebat dan
melakukan pengejaran kearah depan.
"Tong-te!" teriaknya keras.
Tong Ling yang melihat jalan perginya secara mendadak
dihadang oleh pemuda tersebut, alisnya segera dikerutkan.
"Kau hendak berbuat apa?"
"Tong-te!" seru Pek Thian Ki sambil tertawa pahit,
"Sekalipun aku sudah berbuat salah, seharusnya kaupun
jangan marah seperti macam begini."
"Kapan aku memperlihatkan rasa marahku
dihadapanmu?"
"Lalu mengapa kau tidak suka ikut bersama-sama
diriku!"
"Tidak! Aku tidak ingin bersama-sama dirimu."
"Mengapa? Apa salahnya kalau kita berkumpul jadi satu
sebagai kawan?"
"Aku tahu siapakah dirimu!"
"Kau tahu siapakah aku? Coba kau sebut siapakah
diriku?"
"Kiang To!"
"Apa?" saking kagetnya Pek Thian Ki berteriak tertahan,
tubuhnya tanpa terasa sudah mundur beberapa langkah
kebelakang. "Kau mengatakan aku adalah Kiang To?"
"Sedikitpun tidak salah."
Mendadak Pek Thian Ki tertawa tergelak, ia baru
menyadari kalau Tong Ling bukanlah seorang manusia
yang gampang, Ada kemungkinan besar bila gadis tersebut
sudah merasa bila dirinya telah menaruh curiga, bahwa
sigadis adalah Kiang To, oleh karena itu sengaja
mengucapkan kata2 tersebut.
"Apa yang kau tertawakan?" terdengar gadis itu
mendadak menegur sambil memperhatikan senyuman Pek
Thian Ki tajam-tajam.
"Bagaimana kau bisa mengetahui kalau aku adalah
Kiang To," balik tanya Pek Thian Ki dengan wajah keren.
"Kecuali kau, rasanya dikolong langit pada saat ini tak
ada manusia lain yang memiliki watak sebuas seganas dan
sekejam dirinya,"
"Heeeei. . . ." Perlahan-lahan Pek Thian Ki menghela
napas panjang dan tertawa pahit, "Haruslah kau ketahui,
aku bukan menghela napas panjang karena persoalan ini,
tapi aku menghela napas karena ada suatu persoalan lain
yang mengganjel hatiku."
"Urusan apa?"
"Karena kau adalah seorang gadis, Ternyata dapat
memiliki kepandaian ilmu silat yang demikian tingginya,
oleh sebab itu aku menghela napas panjang saking
kagumnya,"
"Hmmm! Aku tahu apa yang kau ucapkan ini
sebenarnya sama sekali berlainan dengan apa yang kau
pikirkan dalam hatimu tadi."
"Kalau memang kau berpikiran demikian, akupun tak
dapat berbuat apa-apa lagi, mau percaya atau tidak terserah
pada pendapatmu sendiri."
"Sebetulnya kaulah satu2nya orang yang paling aku
percaya, tetapi sekarang. . . . aku tak dapat mempercayai
dirimu lagi, ayoh cepat minggir, kalau tidak, aku tak akan
perduli siapakah dirimu dan akan bertindak tegas terhadap
kau orang."
Berbicara sampai disitu, suatu hawa napsu membunuh
tampak melintas diatas wajahnya. Pek Thian Ki kontan
merasakan hatinya bergidik, alisnya dikerutkan sedang
matanya terbelalak lebar-lebar.
Setelah lewat beberapa saat lamanya, mendadak pemuda
itu tertawa dingin bahkan tawa tersebut begitu misterius
mengandung maksud pandang rendah pihak lawannya.
"Apa yang sedang kau tertawakan?" tegur Tong Ling
agak melengak.
"Aku kini tahu siapakah dirimu!"
"Siapa?"
"Kiang To!"
"Apa?" Tak terasa lagi Tong Ling berseru tertahan. "Kau
mengatakan aku adalah Kiang To?"
"Benar! Kau adalah Kiang To."
"Ngaco belo. . ."
"Aku bukan sedang ngaco belo, tapi nyata.
"Hmmm! Kau bisa mengatakan begitu, tentu punya
alasan yang kuat bukan? Coba katakan apa alasanmu."
"Alasannya amat jelas sekali, kau adalah Kiang To,
karena orang lain tidak mengenal wajahmu maka kau lantas
ikut aku datang kemari. . . ."
"Hmmm! Siapa yang sedang ikut dirimu? Apa kau kira
aku tak dapat datang kemari seorang diri?"
"Sudah tentu dapat, hanya saja dikarenakan kau tidak
ingin berada dalam keadaan seorang diri untuk waktu yang
panjang, maka kau mencari seorang kawan untuk diajak
melakukan perjalanan bersama-sama, dan kini kau hendak
melaksanakan rencanamu itu, maka menggunakan
kesempatan ini kau lantas ingin berlalu dan meninggalkan
diriku. . . ."
"Kau. . . kau. . . kau ngaco belo!"
"Biarpun kau anggap aku sedang ngaco belo, tapi aku
merasa urusan ini seratus persen ada kemungkinan benar."
"Saking khekinya air muka Tong Ling berubah hebat.
"Jadi kau hendak menghasut aku, sehingga hatiku menjadi
panas?" teriaknya keras.
"Anggap saja tuduhanmu itu benar."
"Baiklah, aku akan membuktikan dihadapanmu bahwa
aku bukanlah Kiang To seperti yang kau tuduhkan."
"Jadi kau suka tetap tinggal disini?"
"Sedikitpun tidak salah."
Baru saja Tong Ling selesai berbicara, mendadak dari
belakang punggung mereka berkumandang suara teguran
dari seseorang;
"Kongcu berdua, Cung-cu kami mengundang kalian!"
Dengan pandangan dingin Tong Ling melirik sekejap
kearah pelayan tersebut, akhirnya ia menoleh kearah
pemuda tersebut.
"Mari kita masuk kedalam!" ajaknya.
Tidak menunggu jawaban dari pemuda itu lagi, ia sudah
melangkah terlebih dahulu untuk masuk kedalam ruangan
pesta dengan langkah lebar.
Pek Thian Ki sedikit mengerutkan alisnya, kemudian
sambil tertawa paksa dia mengikuti dari dari belakang Tong
Ling berjalan masuk kedalam ruangan besar. Teka-teki yang
menyelubungi Kiang To tetap tak berhasil dipecahkan.
Dan diantara berpuluh-puluh jago lihay angkatan muda
yang hadir didalam ruangan tersebut, mulai pada saling
menebak dan saling menerka satu sama lainnya.
Jilid 7
Bab 19
SUASANA ditengah ruangan tengah masih tetap saja
seperti sedia kala, hanya sewaktu Pek Thian Ki serta Tong
Ling berjalan masuk, rata2 para jago yang hadir disana
pada memandang mereka dengan sinar mata penuh
perqasaan terperanjat bergidik dan kagum.
Senyuman Tong Ling masih tetap menghiasi bibirnya
seperti sedia kala, setibanya dihadapan Hu Toa Kan
langsung tegurnya;
"Hu Cung-cu, entah dimanakah putri kesayanganmu?"
"Heee. . .heee. . .heee. . .Saudara! Kau boleh berlega
hati, aku sudah kirim orang untuk mengundang ia datang
kemari."
"Kalau begitu, aku harus mengucapkan banyak terima
kasih atas perhatian Hu Cung-cu."
"Hmmm! Kalian berdua silahkan minum arak."
Tong Ling tanpa banyak rewel angkat cawan sendiri
lantas diangsurkan kehadapan wajah Pek Thian Ki.
"Pek-heng!" serunya sambil tertawa. "Aku menghormati
secawan arak buat kecurigaanmu."
"Terima kasih. . . .terima kasih. . ." sahut Pek Thian Ki
sambil tertawa dan angkat cawannya pula.
"Pek Heng, aku ingin bertanya kepadamu, sebetulnya
Kiang To itu seorang pria atau seorang gadis?"
"Mana aku bisa tahu? sampai detik inipun aku belum
pernah berjumpa dengan Kiang To, bagaimana aku bisa
menjawab pertanyaanmu itu?"
"Bagaimana? jadi kaupun tidak tahu kalau Kiang To itu
seorang pria ataukah seorang gadis?"
"Kemungkinan sekali dia adalah seorang pria, tapi, ada
kemungkinan besar pula dia adalah seorang gadis yang
sedang menyaru seorang pria."
Mendengar jawaban tersebut, air muka Tong Ling
kontan berubah hebat, Ia menggertak giginya kencang2
Agaknya saking gemasnya kepingin sekali dia orang
memerseni sebuah tempelengan keatas wajah Pek- Thian
Ki.
"Tong-te, kau jangan terlalu keburu marah dulu,
perkataanku ini adalah perkataan sungguh-sungguh," ujar
pemuda itu sambil tertawa.
"Baik. . .baiklah, anggap saja aku sangat lihay. . ." Belum
habis Tong Ling berkata, mendadak. . .
"Sauw-hiap benar-benar memiliki kepandaian silat yang
amat lihay, biarlah loohu hormati secawan arak
kepadamu." ujar seseorang dengan suara yang nyaring.
Mendengar suara itu, baik Pek Thian Ki maupun Tong
Ling sama-sama merasa amat terperanjat dan segera
menoleh kearah mana berasalnya suara tersebut. Maka
tampaklah seorang kakek tua bercambang dengan keren dan
bibir penuh senyuman sudah berdiri disisi kedua orang itu.
"Aaaaaach. . . . kiranya orang ini adalah Cu Tong Hoa!"
pikir pemuda tersebut didalam hatinya.
Belum sempat ia mengambil suatu tindakan, Tong Ling
sambil tersenyum sudah mengangkat cawannya
ditangannya.
"Terima kasih atas perhatian loocianpwee kepada diri
cayhe, hal ini benar-benar membuat aku merasa amat
bangga."
Sekali teguk ia menghabiskan isi cawannya. Sedang Pek
Thian Ki sendiri diam2 merasa amat terperanjat,
munculnya Cu Tong Hoa ditempat itu tanpa ditanya lagi
sudah jelas tertera, bahwa maksud tujuannya tidak meleset
dari diri Tong Ling. Dengan demikian, rasanya ada
kemungkinan besar Tong Ling yang berada dihadapannya
ini bukan lain adalah Kiang To.
"Teriam kasih Tong sauw-hiap suka memberi muka
kepadaku." ketika itu terdengarlah sikakek tua bercambang
sudah berseru.
"Aaaaach. . . . loocianpwee terlalu memuji."
"Dan siapakah dia orang?" Sinar mata Cu Tong Hoa perlahan2
beralih keatas wajah Pek Thian Ki dan sengaja
mengajukan pertanyaan tersebut.
"Cayhe bernama Pek Thian Ki." sahut pemuda itu buruburu.
"Oooou. . . .kiranya Pek sauw-hiap, Heeeei. . . .agaknya
saue-hiap sedang menderita sakit?
"Ehmmmmm! Benar!"
"Penyakit apa? Bukan sakit rindu khan?"
Mendengar perkataan itu, Pek Thian Ki hanya tertawa
pahit. "Sudah tentu bukan!"
"Kalau kau memang sedang sakit, akupun tidak paksa
untuk menghormati secawan arak kepadamu."
"Loocianpwee tidak perlu sungkan-sungkan."
Sampai detik ini juga Pek Thian Ki masih belum tahu
jelas Cu Tong Hoa yang ada dihadapannya ini sebenarnya
adalah seorang pria ataukah seorang gadis. Apalagi ia
pandai sekali didalam menyaru, Rasanya sulit untuk
membedakan jenis kelamin yang sebenarnya.
Pada waktu itulah. Cu Tong Hoa sudah berjalan balik
keasal tempat duduknya. Setelah Cu Tong Hoa berlalu,
dengan suara setengah berbisik Tong Ling lantas menoleh
kearah Pek Thian Ki.
"Heeeei. . . .siapakah sebetulnya orang itu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" teriak pemuda itu kaget,
hatinya berdebar keras.
"Aku lihat jejaknya amat mencurigakan, ilmu menyamar
dari orang ini amat lihay sekali, Tetapi tak bakal bisa lolos
dari sepasang mataku, aku tahu dia orang paling banter
berusia duapuluh tahun."
Setelah bergaul beberapa waktu lamanya, terhadap diri
Tong Ling sang pemuda tersebut sudah menaruh was-was,
hatinya bergidik juga menghadapi dara ini, Karena bukan
saja ia memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, bahkan
sepasang matanya terlalu lihay untuk memecahkan
penyamaran orang lain.
"Oooouw. . .sungguh?" Sengaja teriaknya dengan nada
kaget.
"Sedikitpun tidak salah."
"Menurut penglihatanmu, dia orang adalah seorang pria
ataukah seorang gadis?"
"Kelihatannya mirip seperti seorang pria, gerak-gerik
orang ini sangat mencurigakan, Kemungkinan sekali adalah
orang itu!"
"Siapa?"
"Kiang To."
"Apa? Kau katakan. . .dia. . .dia. . .dia adalah Kiang
To?" Kata Pek Thian Ki tak dapat menahan rasa kagetnya
lagi setelah mendengar perkataan tersebut, sehingga ia
berseru tertahan.
"Sedikitpun tidak salah, kemungkinan besar ia adalah
orang she Kiang tersebut."
Kini, urusan semakin lama berubah jadi semakin kacau,
Cu Tong Hoa menaruh curiga kalau Tong Ling adalah
Kiang To, sebaliknya Tong Ling menaruh curiga pula kalau
Cu Tong Hoa adalah Kiang To.
Sebenarnya siapakah Kiang To itu? Pek Thian Ki betulbetul
dibuat pusing tujuh keliling oleh persoalan ini!
"Heee. . heee. .heee. . .perduli dia orang benar Kiang To
atau bukan, aku tetap akan menyelidiki keadaannya." seru
Tong Ling sambil tertawa dingin.
Sinar mata Pek Thian Ki perlahan-lahan menyapu
sekejap kearah Tong Ling, tampaklah air muka gadis
tersebut pada saat ini sudah terlintas suatu kebulatan tekad
serta hawa napsu membunuh yang tebal. Hal ini seketika itu
juga membuat Pek Thian Ki merasakan hatinya bergidik.
Disebabkan Kiang To, sebuah ruangan pesta ulang tahun
yang semula sangat meriah itu kini penuh diliputi
kecemasan dan ketegangan, diam-diam pemuda she Pek ini
memuji kecakapan serta kelihayan dari manusia yang
bernama Kiang To itu.
Kiang To yang asli apakah dapat munculkan dirinya?
Sudah tentu, hal ini pasti akan terjadi, hanya sekarang
tergantung kapankah waktunya ia akan muncul.
Pada waktu itu. . . .
Suara langkah yang lambat bergema memecahkan
kesunyian, tampaklah seorang dara cantik berbaju merah
dengan langkah yang mengiurkan sudah muncul diruangan
besar itu. Melihat munculnya gadis cantik itu, Pek Thian Ki
rada tertegun juga dibuatnya.
Dara cantik berbaju merah yang muncul ditengah
ruangan pesta ini bukan lain adalah gadis yang ditemuinya
sewaktu berada diloteng tadi, wajahnya benar2 amat cantik
jelita tiada tandingan. . . Bibirnya kecil, hidungnya yang
mancung, serta biji matanya yang jeli. . .benar2 amat
mempesonakan.
"Tia! Entah ada urusan apa kau orang tua memanggil Inji?"
sapa gadis tersebut sambil memberi hormat kepada
ayahnya Hu Toa Kan.
"In-ji!" kata Hu Toa Kan setelah tertawa tawar,
"Ayahmu sudah kalah bertaruh dengan orang lain, maka
dari itu harap kau suka melayani kedua orang itu minum
arak."
"Perintah dari Tia, siauw-li mana boleh membangkang?
Entah kedua orang manakah yang harus aku layani?"
"Kedua orang itu." ujar Hu Toa Kan sambil menuding
kearah Pek Thian Ki serta Tong Ling. "Kau pergilah layani
mereka minum arak."
"Tia! Kau tidak usah risau, aku akan melaksanakan
perintahmu itu."
"Ehhmmm. . kalau begitu pergilah."
Dengan langkah yang menggairahkan gadis cantik itu
mendekati meja perjamuan dari Pek Thian Ki serta Tong
Ling, waktu itu diatas bibir Tong Ling kelihatan tersungging
suatu senyuman yang amat dingin.
Gadis tersebut setibanya didepan meja perjamuan kedua
orang muda itu, dengan sangat hormat lantas menjura,
ujarnya; "Kalian berdua suka datang kemari mengucapkan
selamat buat Tia, aku Hu Siauw In mewakili Tia
mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian kalian."
"Haaa. . .haaa. . .haaa. . .Nona Hu! Bukan saja wajahmu
amat cantik, kiranya pembicaraanmu pun amat manis,"
Goda Tong Ling sembari tertawa.
"Aaarch. . .sauw-hiap terlalu memuji."
"Ehmmm! Sungguh, sungguh kau amat cantik, Nona
Hu, silahkan duduk."
"Terima kasih."
Walaupun Hu Siauw In adalah seorang gadis perawan
yang jarang sekali keluar rumah, tetapi bagaimanapun juga
dia adalah putri seorang jagoan Bu-lim yang tidak terlalu
mengikat diri dengan adat istiadat kuno yang terlalu
menjirat kebebasan seseorang.
Dengan tiada rasa jengah atau rikuh lagi, gadis tersebut
sudah duduk disamping kedua orang muda tersebut.
Dalam hati Pek Thian Ki mengerti, Tong Ling memaksa
agar Hu Siauw In suka munculkan dirinya pasti bukan
dikarenakan untuk melayani mereka minum arak saja,
Dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu persoalan yang
hendak dilakukan.
Karena itu pemuda tersebut selama ini tetap bungkam
dalam seribu bahasa, ia ingin melihat apa yang hendak
dilakukan Tong Ling terhadap gadis cantik itu. Hu Siauw
In angkat poci arak untuk penuhi cawan Tong Ling serta
Pek Thian Ki, kemudian memenuhi pula cawannya sendiri,
setelah itu ujarnya sambil angkat cawan;
"Mari, aku hormati kalian berdua dengan secawan arak."
Sekali teguk ia habiskan isi cawannya.
"Nona Hu, sungguh hebat kekuatan minum arakmu."
seru Tong Ling sambil tersenyum.
"Inilah yang dinamakan mempertaruhkan nyawa
malayani lelaki sejati." sahut Hu Siauw In sambil tertawa
manis. "Kalian berdua silahkan menikmati arak, aku
hendak mengundurkan diri."
"Eeeei. . .eeeeei. . . nona Hu! Kenapa kau harus tergesa2?
Aku masih ada perkataan yang hendak ditanyakan
kepadamu."
Mendengar perkataan dari Tong Ling ini, kelihatan Hu
Siauw In rada melengak, badannya yang sudah bangun
berdiri kembali duduk dikursi."
"Entah ada urusan apa yang hendak saudara tanyakan?"
"Aku ada satu persoalan penting yang hendak
kutanyakan kepadamu."
"Silahkan saudara mengutarakan secara terus terang."
"Menurut berita yang aku dengar, agaknya antara nona
Hu dengan Kiang To mempunyai ikatan perkawinan?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Pernahkah kau orang berjumpa dengan Kiang To?"
Gadis cantik itu menggeleng lalu menghela napas.
"Walaupun aku dengan dirinya ada ikatan perkawinan
tetapi selama ini belum pernah kujumpai dirinya barang
sekalipun."
"Lalu tahukah kau bagaimana watak dari Kiang To itu?"
"Tahu sedikit. Tia pernah beritahu kepadaku tentang soal
ini."
"Ehmmm. . . Dan tahukah kau akan hubungan antara
Kiang To dengan ayahmu?"
"Kiang To adalah putra dari Sam Ciat Sin-cun adalah
sahabat karib dari ayahku dan sejak Sam Ciat Sin-cun
meninggal. . ."
"Sam Ciat Sin-cun mati karena apa?" tiba-tiba Pek Thian
Ki menimbrung.
"Soal ini akupun tidak tahu."
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Setelah Sam Ciat Sin-cun meninggal dunia, Tia pernah
melakukan pencarian terhadap putranya Kiang To, tetapi
susah payah tidak mendatangkan hasil apapun, Sampai
pada setahun yang lalu, mendadak Kiang To munculkan
dirinya dalam dunia kangoue. . ."
"Karenanya, ayahmu lantas merasa tidak puas dengan
tindak-tanduk serta kelakuan dari Kiang To?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Bagaimana menurut perasaanmu terhadap tindak
tanduk serta kelakuan Kiang To ini?. . ."
Biji matanya yang jeli itu mendadak memperlihatkan
perasaan sedih, ia menghela napas perlahan. "Heeeei. . .
aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Tapi aku
percaya bahwa ia tak akan sejahat seperti apa yang
disiarkan oleh orang-orang Bu-lim."
"Aku dengar orang berkata bahwa ayahmu hendak
membatalkan ikatan perkawinanmu dengan Kiang To.
Bagaimana menurut pendapatmu menghadapi persoalan
ini?"
"Aku tidak setuju, perkawinan sudah ditetapkan dan
selama hidup tak akan kusesali."
Beberapa patah perkataan ini langsung menimbulkan
perasaan kagum didasar hati Pek Thian Ki serta Tong Ling,
Tidak malulah dara berbaju merah ini disebut seorang gadis
suci yang pegang teguh janji."
"Bilamana ayahmu bersikeras hendak batalkan ikatan
perkawinan? Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Tong
Ling lebih lanjut sambil tertawa pahit.
"Aku bisa menunggu dirinya. . ."
"Menunggu Kiang To?"
"Benar aku bisa menunggu dirinya dan selama hidup tak
akan kawin dengan orang lain."
"Bila aku adalah Kiang To, hatiku akan ikut terharu oleh
pernyataan nona yang begitu mempesonakan.
Hu Siauw In hanya bisa tertaw pahit, setelah bungkam
beberapa saat akhirnya kembali ia berkata; "Entah masih
ada urusan apalagi yang hendak kau tanyakan?"
"Sudah tak ada lagi."
"Kalau begitu aku mohon diri dulu."
"Nona Hu. . . . silahkan, terima kasih. . . .terima kasih. .
."
Perlahan-lahan Hu Siauw In bangun berdiri, tetapi selagi
hendak melangkah pergi, mendadak. . . seperti ia sudah
teringat akan sesuatu, Sambil putar badan tanyanya;
"Aaarch. . .! Hampir-hampir saja aku sudah lupa
menanyakan nama besar dari kalian berdua."
"Aku bernama Tong Ling dan ia bernama Pek Thian
Ki."
Hu Siauw In mengangguk perlahan iapun putar badan
dan berlalu.
Menanti gadis tersebut sudah berlalu, sinar mata Tong
Ling dialihkan keatas wajah Pek Thian Ki, Tampaklah
diatas wajahnya yang kurus kering penuh diliputi
kemurungan, Alisnya berkerut seperti sedang memikirkan
sesuatu persoalan:
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Tong Ling
perlahan.
"Aaach. . . tidak mengapa. . ." Pek thian Ki tertawa.
"Peristiwa ini benar-benar meruoakan suatu peristiwa yang
sangat membingungkan, sebenarnya siapakah Kiang To
itu?"
"Aku pikir sebentar lagi ia pasti dapat munculkan dirinya
disini."
"Bagaimanapun pada saat ini aku tak ada urusan lain"
diam-diam pikir Pek thian Ki dalam hatinya. "Lebih baik
aku tetap tinggal disini untuk melihat perubahan
selanjutnya dalam peristiwa ini."
Perduli apapun yang akan terjadi, agaknya peristiwa ini
ada sangkut pautnya dengan dia pribadi, karena itu ia harus
membuat jelas persoalan ini.
"Pek Thian Ki kau duduklah disini sebentar, aku hendak
keluar sebentar." seru Tong Ling mendadak sambil bangun
berdiri.
"Apa yang hendak kau lakukan?" Pemuda itu rada
melengak.
Jelas sekali menunjukkan urusan sedikit diluar dugaan
sewaktu melihat Tong Ling hendak berlalu dan hal ini
segera menyeret pikirannya untuk menduga siapakah gadis
itu. Sudah tentu Tong Ling sendiripun mengerti maksud
dari Pek Thian Ki tersebut.
"Bukankah aku sudah berkata bahwa aku ingin keluar
sebentar." serunya cepat.
"Apa yang hendak kau lakukan?"
Dengan wajah riku Tong Ling menunduk, lalu sambil
menjatuhkan diri kedalam peluknya Pek Thian Ki bisiknya
lirih.
"Urusan dari kami kaum gadis amat banyak sekali,
hanya soal-soal itu tak dapat aku ucapkan keluar."
Akhirnya Pek thian Ki dapat dibuat mengerti, dengan
perasaan apa boleh buat, ia mengangguk.
"Sewaktu aku pergi nanti, perhatikanlah kakek
bercambang yang amat misterius itu dan amati juga semua
orang yang patut dicurigai." ujar Tong Ling kembali.
Demikianlah Tong Ling, sigadis misterius ini lalu berlalu
dari dalam ruangan. Dengan berlalunya Tong Ling secara
mendadak ini, sudah tentu memancing perhatian banyak
orang, sinar mata semua hadirin yang ada didalam ruangan
bersama-sama dialihkan keatas tubuhnya. Sebaliknya Tong
Ling dengan tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu,
tetap melanjutkan perjalanannya keluar ruangan.
Sinar mata Pek Thian Ki perlahan-lahan menyapu
sekejap keseluruh ruangan, mendadak hatinya merasa
terperanjat karena didalam sekejap mata itulah Cu Tong
Hoa yang menyaru sebagai seorang kakek tua bercambang
pun sudah lenyap tak berbekas.
Pemuda she Pek ini merasakan hatinya bergidik, ia mulai
menduga diantara kedua orang itu pasti salah satu adalah
Kiang To, Kalau tidak tak mungkin dalam waktu yang
bersamaan kedua orang itu bersama-sama melenyapkan diri
dari pandangan.
Agaknya suatu pertarungan yang mengerikan sekali
bakal berlangsung, suasana terasa berubah semakin tegang,
Sekarang, Pek Thian Ki dapat menarik kesimpulan, bahwa
diantara Cu Tong Hoa serta Tong Ling, salah satu
diantaranya kemungkinan besar adalah Kiang To simanusia
misterius itu.
Mendadak. . . Suara bentakan nyaring menyadarkan
dirinya dari lamunan, terdengar Hu Toa Kan dengan
lantang sedang berseru:
"Kawan-kawan sekalian, silahkan meneguk secawan
arak!"
Sinar mata semua orang tak terasa pada dialihkan kearah
Hu Toa Kan, suasana ditengah ruangan jadi sunyi senyap,
kembali tak kedengaran sedikit suarapun.
"Kawan-kawan sekalian!" ujar Hu Toa Kan kembali.
"Menggunakan kesempatan didalam merayakan ulang
tahun Loolap ini, ada suatu urusan hendak aku sampaikan
kepada saudara-saudara sekalian."
Suasana didalam ruangan tersebut semakin sunyi lagi,
sampai jarum yang terjatuh keatas lantaipun pasti
kedengaran.
"Tempo dulu, loolap dengan Sam Ciat Sin-cun sebagai
jagoan yang paling lihay, waktu itu adalah sepasang sahabat
karib, Kiang Lang ada menaruh sedikit budi pertolongan
kepaad diri Loolap, rasanya didalam peristiwa ini kawan2
sudah pernah mengetahuinya bukan. . ." ujar siorang tua itu
kembali.
"Sedikitpun tidak salah, urusan ini pernah kami dengar."
sahut seseorang dengan lantang.
"Waktu itu, aku sudah menjodohkan putriku kepada
Kiang To putra dari Kiang Lang." sambung Hu Toa Kan
sambil tertawa. "Hanya saja setelah Kiang To munculkan
dirinya didalam dunia kangouw ternyata sudah berubah
jadi seorang bajingan iblis cabul yang ganas dan iblis
pembunuh manusia berdarah dingin, maka dari itu setelah
aku berpikir keras tiga kali, Loolap merasa bahwa
kebahagiaan siauw-li tak dapat dihancurkan ditangan Kiang
To. . ."
"Cara berpikir dari Hu Cung-cu sedikitpun tidak salah. .
." teriak para hadirin dengan gaduh.
"Tidak salah, putrimu tak dapat dijodohkan dengan iblis
terkutuk itu. . ."
"Tindakan dari Hu Cung-cu sangat tepat. . ."
Kiranya para hadirin yang ada didalam ruangan tersebut
rata-rata pada memuji tindakan dari Hu Toa Kan ini.
"Oleh karena itu." sambung Hu Toa Kan sambil ulapkan
tangannya. "Dihadapan saudara2 sekalian aku orang she
Hu hendak mengumumkan, bahwa sejak hari ini ikatan
perkawinan antara Siauw-li Hu Siauw In dengan Kiang To
dengan resmi diputuskan. . ."
Baru saja Hu Toa Kan berbicara sampai disitu,
mendadak. . .
"Tunggu sebentar!" Serentetan suara bentakan yang amat
dingin bergema memenuhi angkasa.
Suara bentakan tersebut amat dingin, kaku dan penuh
mengandung hawa napsu membunuh, Sehingga rata2
semua hadirin dibuat bergidik oleh kejadian tersebut.
Sewaktu semua orang dongakkan kepalanya, tampaklah
didepan pintu ruangan itu secara mendadak sudah muncul
seorang manusia berkurudung. Sekali lagi para jago dibuat
bergidik melihat kejadian itu.
Sinar mata Pek Thian Ki berkilat, hatinya berdebar
keras, Sedang suasana dalam ruangan itu, berubah jadi
sunyi senyap bagaikan ditengah kuburan saja.
Tak seorangpun diantara para jago yang meneriakkan
siapakah orang itu, tapi dalam hati mereka sudah pasti
merasa sangat jelas kalau orang ini tak usah diragukan
pastilah sang iblis yang paling menakutkan pada saat ini,
KIang To adanya!
Suasana dalam ruangan begitu sunyi, hening,
menyeramkan dan amat mengerikan. . .
Dengan langkah yang lebar dan menimbulkan suara
detakan nyaring, orang berkerudung itu selangkah demi
selangkah berjalan masuk kedalam ruangan, setiaplangkah
kakinya meninggalkan suara yang amat menyeramkan. . .
Sudah tentu Hu Toa Kan sendiripun tahu kalau siapakah
orang tersebut. Sambil tertawa dingin tiada hentinya, ia
membentak keras:
"Siapa?"
Orang berkerudung itu sama sekali tidak menghentikan
langkah kakinya, ia tetap melanjutkan langkahnya setindak
demi setindak mendekati siorang tua itu.
"Heee. . .heee. . .heee apakah kau orang ingin tahu
siapakah diriku?" serunya kaku.
"Sedikitpun tidak salah."
"Buat apa kau tanyakan lagi? Aku pikir kawan2 yang ada
dikalangan ini rata-rata sudah pada mengerti semua,
siapakah diriku,"
"Aku minta kau yang jelaskan sendiri siapakah dirimu!"
"Kiang To!"
"Apa?"
"Haaa. . .!"
"Kiang To. . ."
Ditengah kesunyian yang mencekam seluruh ruangan
mendadak meledak suara jeritan kaget yang gegap gempita,
air muka setiap hadirin tak terasa sudah berubah terlintas
suatu perasaan terperanjat dan ketakutan. Pek Thian Ki
sendiripun dibuat terperanjat oleh kejadian ini, sinar
matanya tanpa berkedip segera dialihkan keatas tubuh
simanusia misterius Kiang To.
"Heee. . . heee. . . heee. . . kiranya kaulah yang bernama
Kiang To, sungguh kebetulan sekali kedatanganmu. . ."
Jengek Hu Toa Kan sambil tertawa dingin.
"Benar, aku memang ada maksud untuk munculkan diri
pada saat seperti ini."
"Kiang To! Aku sudah pergi kemana-mana untuk
mencari jejakmu, ternyata kau sembunyi tidak mau
munculkan diri. . ."
"Hmmm! Aku tidak ingin menemui manusia semacam
kau, karena itu aku menghindari setiap perjumpaan dengan
dirimu, kau sudahmengerti?"
"Perduli kau ingin menghindari aku atau tidak, aku tidak
mau ambil perduli, Bagaimanapun juga akhirnya pada saat
ini kita berjumpa satu sama lainnya, Kiang To, antara
ayahmu dengan diriku pernah mempunyai suatu ikatan
persahabatan yang sangat erat."
"Soal ini aku tahu."
Sewaktu Kiang To sedang menyahut tadi, ia sudah
meloncat kehadapan Hu Toa Kan kurang lebih satu kaki
jauhnya, kemudian beru berhenti, kejadian ini sudah tentu
membuat suasana didalam ruangan tersebut berubah
semakin tegang dan penuh diliputi hawa membunuh.
"Kiang To! Hatiku benar2 terluka terhadap semua tindak
tandukmu setelah kau orang munculkan diri didalam dunia
persilatan." seru Hu Toa Kan kembali dengan nada yang
amat dingin.
"Soal ini, aku sih tak akan ambil perduli."
"Karena perbuatan dan tindak-tandukmu sangat kurang
ajar, cabul dan ganas, maka aku putuskan mulai detik ini
hubungan antara puteriku dengan dirimu putus sampai
disini saja. . ."
"Heee. . .heee. . .heeee. . . tidak bisa jadi. ' teriak Kiang
To dingin.
"Tidak bisa jadi?"
"Benar, tidak bisa jadi!" bentak Kiang To lagi dengan
suara yan kasar.
Nada suara tersebut penuh diliputi hawa napsu
membunuh, hal ini membuat setiap orang merasakan bulu
kuduknya pada berdiri.
"Sungguh aneh. . .!" Tak terasa lagi Pek thian Ki berseru
tertahan setelah melihat kejadian itu.
Kiranya ia dapat berseru aneh ini, karena ia mengerti
kalau Kiang To yang ada dihadapannya pada saat ini
bukanlah Kiang To yang asli, lalu apa sangkut pautnya
dengan dibatalkannya perkawinannya ini?
Tetapi Kiang To palsu ini ternyata tidak menerima
keputusan dibatalkannya perkawinan itu dengan senang
hati, jadi jelas dibalik kesemuanya ini pasti masih tersimpan
alasan2 yang lain. Bukankah kejadian ini sangat
membingungkan hatinya?
"Hmmm! Perkataan yang aku katakan selamanya berat
bagaikan gunung dan tak akan berubah kembali," teriak Hu
Toa Kan tegas.
"Heee. . . heeee. . . .heeee. . . Hu Toa Kan! Aku mau
bertanya kepadamu, Ide untuk membatalkan perkawinan
ini datangnya dari dirimu sendiri ataukah dari putrimu?"
"Keputusanku sendiri."
"Apakah puterimu setuju!"
"Aku putuskan sendiri persoalan ini."
"Hu Toa Kan!" Teriak Kiang To dengan keras. "Tidak
salah puterimu adalah seorang gadis yang berwajah amat
cantik, tetapi aku Kiang To pun bukanlah manusia yang
belum pernah menemui gadis cantik, Jikalau putrimu suka
berbicara sendiri bahwa secara tulus ia ingin putuskan
hubungan perkawinan ini, maka cayhepun dengan senang
hati akan menerima keputusan tersebut."
"Bangsat." bukankah tadi sudah kukatakan bahwa
urusan ini dapat aku putuskan sendiri."
"Jadi dengan demikian, kau tidak ingin mengundang
putrimu untuk keluar dan menjawab sendiri keputusan ini?"
jengek Kiang To dengan ketus.
"Tak ada perlunya. . ."
"Kurang ajar." potong jagoan she Kiang itu dengan suara
gemboran yang keras, "Kau harus undang dia keluar,
karena yang akan kawin dengan aku bukan dirimu, tapi dia,
putrimu."
Suara bentakan ini penuh mengandung napsu
membunuh, hal ini membuat para jago yang ada didalam
ruangan jadi merindik dan bergidik, keganasan serta
kebuasan dari Kiang To ini benar-benar bukan kabar
bohong belaka.
"Aku sudah bilang, tidak perlu!" potong Hu Toa Kan
tetap dingin.
Bab 20
Mendadak Kiang To memperdengarkan suara tawanya
yang amat menyeramkan, suara tertawatersebut bukan saja
amat sombong, seram bahkan mengandung hawa napsu
membunuh yang amat tebal. Suara tertawa sangat
menyeramkan ini dapat membuat hati orang ketakutan
sehingga ter-kencing2.
"Hu Toa Kan, aku ingin bertanya kepadamu," kembali ia
membentak keras sambil memperdengarkan suara tertawa
sinisnya, "Mengapa Kiang Lang dapat disebut orang
sebagai Sam Ciat Sin-cun?"
"Karena ia ternama dengan 'Perempuan, arak serta
hartanya!"
"Sedikitpun tidak salah, lalu siapa pula yang mendirikan
Istana Harta, Istana Perempuan serta Istana Arak itu?"
"Sam Ciat Sin-cun."
Beberapa patah perkataan itu segera membuat Pek Thian
Ki jadi amat terperanjat karena persoalan ini sedikit banyak
ada diluar dugaan pemuad tersebut, Ia sama sekali tidak
menyangka kalau Istana Harta Istana Arak serta Istana
Perempuan yang merupakan perguruan aneh didalam Bulim
pada saat ini ternyata didirikan oleh Sam Ciat Sin Cun.
Bagaimanakah watak dari Sam Ciat Sin-cun itu?
Bagaimana hasil yang sudah ia lakukan? Selagi Pek Thian
Ki sedang berpikir keras, Kiang To sudah berkata kembali
dengan suara yang amat dingin;
"Hu Toa Kan, kalau memang Istana Harta, Istana
Perempuan serat Istana Arak didirikan oleh Sam Ciat Sincun,
lalu aku mau bertanya lagi kepadamu secara
bagaimana Sam Ciat Sin-cun bisa menemui ajalnya?"
"Aku tidak tahu."
"Apa? Kau tidak tahu. . ."
Nada ucapan dari Kiang To in penuh berisikan hawa
napsu membunuh yang amat menyeramkan, agaknya
jawaban dari Hu Toa Kan ini sudah menggusarkan hatinya.
"Tidak salah!" sahut Hu Toa Kan dingin. "Aku tidak
mengetahui apa sebabnya ia mati."
"Bagaimana dengan moy-moayamu?"
"Apa. .?"
"Hu Cung-cu masih mempunyai seorang moy-moy
bukan. . .?"
"Kenapa kami belum pernah dengar orang mengatakan
soal ini?. . "
". . . ."
". . . ."
Para jago Bu-lim yang ada didalam ruangan tersebut
rata2 dibuat terperanjat oleh perkataan dari Kiang To ini.
Mereka benar-benar tidak nyana kalu Hu Toa Kan
ternyata masih mempunyai seorang moy-moy, bahkan
berita ini baru untuk pertama kali ini mereka dengar.
"Hmmm! Aku sama sekali tidak punya adik perempuan.
. ."
"Apa?. . ." bentak Kiang To semakin gusar. "Kau tidak
punya adik perempuan?"
"Sedikitpun Tidak salah!"
"Lalu siapakah Hu Bei Sin?"
"Selama hidup aku orang she Hu baru untuk pertama
kali ini mendengar nama orang itu."
"Hu Toa Kan! Perbuatanmu sungguh keterlaluan, kau
tak akan lolos dari tanggung jawab atas kematian dari Sam
Ciat Sin-cun, sedang adik perempuanmu kebahagiaannya
pun hancur ditanganmu, sekarang kaupun ingin
menghancurkan hidup putrimu, Hu Toa Kan, kau betulbetul
seorang manusia yang patut dibunuh mati. ."
Tubuhnya bagaikan sambaran kilat segera mencelat
kedepan melakukan serangan.
Agaknya pada siang ini Kiang To sudah dibuat teramat
gusar, didalam perputaran badannya itulah laksana elang, ia
telah menyambar tubuh Hu Toa Kan.
Serangan yang dilancarkan Jiang To ini benar2 dahsyat
sekali, tetapi se-konyong2. . . . Bayangan manusia
berkelebat lewat, sesosok bayangan manusia tahu2 sudah
menerjang pula kearah Kiang To sesaat ia mencelat
kedepan.
Muncul bayangan manusia secara mendadak ini sama
sekali tidak membuat Kiang To jadi jeri, ia malah tertawa
dingin dan bertarung jadi satu dengan pihak lawannya.
Beberapa saat kemudian diiringi suara bentrokan keras
kedua sosok bayangan manusia itu berpencar satu dengan
lainnya.
Ketika semua orang mendongakkan kepalanya,
tampaklah bayangan manusia yang menubruk kearah Kiang
To itu mendadak berkelebat kembali kearah luar jendela
dan didalam sekejab mata lenyap dari pandangan.
Kecepatan gerak orang itu benar-benar luar biasa sekali,
sehingga membuat semua orang merasa rada tertegun.
Terdengar Kiang To tertawa dingin tiada hentinya, entah
sejak kapan diatas genggamannya kini sudah bertambah
dengan secarik kertas.
Apakah isi dari kertas tersebut tak seorangpun yang tahu,
tapi yang jelas tulisan dari bayangan manusia tadi.
Tiba-tiba. . . .
"Hu Toa Kan! Biarlah kali ini aku ampuni satu kali
jiwamu." terdengar Kiang To berseru dengan suara yang
amat dingin. "Tetapi kau jangan keburu bergirang hati dulu,
aku hanya satu kali ini saja mengampuni jiwamu, lain kali
aku tak akan melepaskan dirimu lagi, Dan satu hal harus
kau ingat tersu, bahwa putrimu masih tetap merupakan
istriku. . ."
Tidak menanti jawaban lagi, ia sudah putar badan lantas
berlalu dari dalam ruangan tersebut. Mendadak. . .
Bayangan manusia berkelebat lewat, sesosok bayangan
manusia mendadak sudah menghadang dihadapan Kiang
To dengan sikap yang gagah.
Ketika semua mata memperhatikan orang itu lebih
cermat lagi, maka tampaklah dia bukan lain adalah
sipemuda kurus tinggal tulang Bay-kut, Pek Thian Ki
adanya.
Kontan saja Kiang To jadi melengak dibuatnya.
"Heee. . .heee. . .heeee. . . kawan! Kau orangkah yang
bernama Kiang To?. . ." tegur Pek thian Ki sambil tertawa.
Pada awalnya Kiang To rada melengak, tapi dengan
cepat ia sudah tertawa. "Pertanyaan saudara ini bukankah
sama saja sudah pura2 bertanya?"
"Jadi kalau demikian adanya kita pernah berjumpa,
bukan?"
"Pernah berjumpa?"
Pek Yhian Ki tersenyum, senyuman tersebut begitu halus
dan begitu mempesonakan, ia mengangguk.
"Kemungkinan sekali kita memang pernah berjumpa,
tentunya saudara bernam Pek thian Ki, bukan?" jawab
Kiang To dingin.
"Benar!"
"Kawan Pek, kau menghadang perjalananku, entah ada
urusan apa yang hendak kau sampaikan kepadaku?"
"Aku ingin melihat wajahmu yang sebenarnya. ."
Kata terakhir begitu meloncat keluar dari ujung bibirnya,
Pek thian Ki sudah menggerakkan tangan kanannya,
laksana sambaran kilat mencengkeram kerudung hitam
diatas wajah Kiang To.
Perlu diketahui, tenaga dalam yang dimiliki Pek thian Ki
pada saat ini sudah pulih empat bagian, sudah tentu saja
serangan cengkeraman ini luar biasa cepatnya. Didalam
keadaan tidak bersiap sedia ini, hampir2 saja membuat
kerudung hitam diatas wajah Kiang To kena tersambar
robek.
Tetapi, bagaimanapun juga, ia adalah seorang jagoan
yang memiliki kepandaian ilmu silat amat tinggi, sewaktu
Pek Thian Ki melancarkan serangan tadi, tubuhnya sudah
berkelit lantas menangkis, setelah itu buru-buru meloncat
kebelakang.
"Kau mencari mati?" bentaknya gusar.
Pek thian Ki tetap tersenyum dikulum. "Saudara Kiang,
ternyata kepandaian silatmu bukanlah nama kosong belaka.
. ." pujinya ringan.
Senyuman yang menghiasi bibir Pek thian Ki ini bukan
saja berada diluar dugaan semua orang, sekalipun Kiang To
sendiripun dibuat melengak oleh kejadian ini.
Untuk beberapa saat lamanya Kiang To tidak berhasil
memahami apa yang sedang dilakukan oleh Pek Thian Ki,
karena senyuman itu benar-benar sangat aneh dan
misterius, sehingga sukar untuk diketahui artinya.
Sudah tentu Pek thian Ki sendiripun paham, dengan
tenaga dalam yang dimiliki pada saat ini tidak mungkin dia
orang bisa berhasil menangkan pihak lawan, apalagi tenaga
murninya baru pulih tiga, empat bagian saja.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tegur Kiang To dengan
nada yang amat dingin.
"Sudah lama cayhe menaruh rasa kagum terhadap
kepandaian silat yang kau miliki, dan kini aku ada maksud
untuk menjajal apakah berita yang aku dengar itu benar2
ataukah cuma berita angin belaka. ."
"Kurang ajar! Nyalimu benar-benar amat besar."
"Akupun percaya kalau kau tak bakal dapat sampai
berhasil mencabut nyawaku. . ."
"Hmmm! Memandang diatas nyalimu ada diluar dugaan
untuk kali ini, biarlah aku ampuni nyawamu, tapi lain kali. .
.heee. . .heee. . . akan kusuruh kau orang merasakan
kelihayanku."
Habis berkata tubuhnya berkelebat dan melayang keluar
dari pintu depan. Pek Thian Ki yang melihat orang itu
berkelebat leawt, hatinya mendadak bergerak, iapun ikut
melayang dari ruangan.
Pada waktu itu. . . Hari sudah mendekati petang, tubuh
Pek thian Ki yang mencelat keluar dari pintu depan dengan
tidak mengeluarkan sedikit suarapun melakukan
penguntitan dibelakang punggung Kiang- To.
Didalam anggapan Pek thian Ki, Kiang To
menyelubungi wajahnya dengan kerudung ia pasti akan
melepaskan juga kain kerudung itu, maka sampai pada
saatnya, bukankah dia orang dengan sangat mudah dapat
melihat jelas bagaimanakah wajahnya yang asli? Bagaikan
terbang, Pek Thian Ki melakukan pengejaran kedepan.
Tiba-tiba. . .
Suara bentakan keras bergema datang, tampaklah
dihadapannya terlihat dua sosok bayangan manusia sedang
berkelebat, lalu saling berpisah dan mundur kearah
belakang.
Melihat kejadian itu tak urung Pek thian Ki merasa
hatinya amat terperanjat. Didalam sekejap mata itu, ia
sudah tiba dikalangan pula.
Sewaktu ia memperhatikan suasana ditengah kalangan
lebih cermat lagi, seketika itu juga Pek thian Ki jadi
melongo, matanya mendelong dan badannya mematung.
Kiranya kedua orang yang sedang berdiri saling berhadap2an
itu bukan lain adalah Cu Tong Hoa serta Tong
Ling.
Oooouw Thian! Apakah yang sudah terjadi?
"Kiang To! Akhirnya aku berhasil menjumpai dirimu."
seru Tong Ling dengan suara yang amat dingin.
Cu Tong Hoa pun tertawa dingin tiada hentinya.
"Akupun tidak menyangka kalau Kiang To adalah
saudara." sambungnya tidak mau kalah.
"Kiang To. . .! Pintar benar kau berlagak pilon."
"Bangsat! Kaulah yang pandai berlagak pilon."
Untuk beberapa saat lamanya Pek thian Ki jadi melengak
dibuatnya ditengah kalangan, ia tak tahu apa sebenarnya
yang sudah terjadi disana. Maka buru-buru badannya
meloncat kedepan melerai.
"Eeeei. . .eeei. . . kenapa kalian berdua? Apa yang sudah
terjadi?"
"Dia adalah Kiang To!"
"Omong kosong!" bantah Cu Tong Hoa dingin. "Dialah
bangsat Kiang To yang menjadi incaran semua jago-jago
Bu-lim dikolon langit, Sebelum terjadinya peristiwa ini aku
sudah menanti dirinya diluar dan sekarang aku berhasil
mencegat jalan perginya. . ."
"Pek Thian Ki! Kau jangan suka mempercayai katakatanya
yang ngaco belo, dialah si Kiang To yang asli,
Karena sejak tadi aku sudah menunggu ditempat luaran
untuk menghadang jalan perginya, Sewaktu dia meluncur
keluar, maka aku segera malakukan pengejaran kemari dan
akhirnya berjumpa dengan dirinya."
Pek thian Ki jadi me-longo2, ia berdiri melengak tak bisa
berbicara. Sepasang alisnya berkerut, agaknya sedang
memikirkan sesuatu, seperti pula sedang mengambil suatu
kesimpulan.
Sedikitpun tidak salah! Ia memang sedang berpikir dan
mengambil suatu kesimpulan, Kesimpulan dari suatu
peristiwa yang maha penting.
Tadi, pada saat yang bersamaan mereka berdua keluar
berbareng. . . dan setelah mereka berdua berlalu, Kiang To
simanusia misterius yang menyeramkan itu segera
munculkan dirinya. Jadi secara kasarnya saja diantara
kedua orang itu pasti salah satu tentu hasil penyaruan dari
Kiang To.
Tetapi siapakah diantara mereka berdua yang jauh lebih
mencurigakan? Kepandaian silat yang dimiliki Cu Tong
Hoa tidaklemah, ilmu menyamarpun merajai Bu-lim, Jika
dia adalah Kiang To, maka ada kemungkinannya sangat
besar.
Tetapi ia pernah mengakui bahwa dirinya adalah
majikan Istana Harta, mana mungkin kalau seorang
majikan Istana Harta adalah Kiang To? Apalagi kedelapan
lembar jiwa anggota Istana Hartapun mati ditangan Kiang
To, jadi tidak mungkin hal ini bisa terjadi.
Masih ada satu hal lagi yang menguatkan, menurut
keadaan pada waktu itu sewaktu Kiang To turun tangan
keji, Cu Tong Hoa pun sedang dikerubuti oleh ber-puluh2
orang jagoan Bu-lim didalam Istana Harta. . . . Jadi Cu
Tong Hoa tetap ada kemungkinan, hanya kemungkinan
tidak besar.
Sebaliknya Tong Ling pun mempunyai kemungkinan
yang besar. Umpama saja kepandaian silatnya, nada
ucapannya dan tingkah laku yang sangat aneh
kemungkinan besar dia adalah Kiang To. . . . Tetapi
menurut berita yang tersiar, ia pernah memperkosa kaum
gadis? Lalu bagaimana penjelasannya. . .
Sewaktu Pek Thian Ki sedang termenung berpikir keras
itulah. Tong Ling kembali sudah membentak keras;
"Bangsat kau tidak mau mengaku? Baik akan kupaksa kau
orang untuk mengaku sendiri."
Tubuhnya langsung mencelat ketengah udara dan
menubruk tubuh Cu Tong Hoa, tangan kanannya
diayunkan mengirim satu pukulan dahsyat. Serangan yang
dilancarkan Tong Ling ini benar-benar amat cepat dan
mengerikan.
Ter-buru2 Cu Tong Hoa berkelit kesamping meloloskan
diri dari datangnya pukulan tersebut, kemudian tubuhnya
menerjang maju kedepan balas melancarkan satu pukulan.
Bayangan manusia saling menyambar, diiringi dengan
bentrokan2 keras, masing-masing pihak mundur beberapa
langkah kebelakang.
Didalam bentrokan yang hanya menghabiskan waktu
sedetik ini kedua orang tersebut sama-sama sudah
melancarkan tiga jurus serangan, jika dibicarakan dari
kecepatan gerak serta kemantapan jurus-jurus serangan
maka Cu Tong Hoa rasanya masih bukan tandingan dari
Tong Ling.
Heeee. . .heee. . .heee. . . kawan, sungguh hebat
kepandaian silatmu. . . ." Jengek Cu Tong Hoa sambil
tertawa dingin.
"Hmmmm! Kaupun tidak jelek. . ."
"Kawan terlalu memuji."
"Tutup bacotmu! Nih, rasakan lagi sutu pukulan."
Telapak tangan kanannya kembali menyambar lewat
menghajar jalan darah 'Ciang-thay' diaras tubuh Cu Tong
Hoa.
Kebutan dari Tong Ling ini dalam satu gerakan sudah
menggunakan tiga buah perubahan yang berbeda,
kecepatan serta kedahsyatannya pun luar biasa sekali.
Dengan sebat Cu Tong oa menangkis serangan tersebut
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya balas
mengirim satu serangan totokan pula.
Jurus-jurus serangan yang dilancarkan kedua orang itu
sama2 dilakukan dengan amat cepat, hanya didalam
sekejab mata, lima jurus sudah berlalu.
Cu Tong Hoa yang rada kalah satu tingkat didalam
perubahan jurus serangan ini, ditengah gencetan Tong Ling
yang amat gencar ia kena dipaksa mundur sejauh tiga
empat langkah jauhnya.
"Mendadak. . .
"Tahan!" bentak Pek Thian ki keras.
Begitu suara bentakan dari pemuda tersebut bergema
memenuhi angkasa, dua orang itupun sama-sama
menghentikan serangannya dan mundur kebelakang.
Mengambil kesempatan itu, Pek Thian Ki menerjang
maju kedepan, tegurnya sembari tertawa. "Heeei. . . .apa
sebabnya kalian berdua saling bergebrak?"
"Karena Kiang To!" sahut Cu Tong Hoa dingin.
"Kau anggap saudara ini adalah Kiang To?"
"Benar!"
Pemuda itu lantas menoleh kearah Tong Ling dan
tanyanya pula: "Dan kau anggap dia Kiang To?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Aku rasa agaknya sama sekali tiada berharga apabila
kalian berdua saling bergebrak hanya dikarenakan masingmasing
pihak menaruh curiga kalau pihak lawannya adalah
Kiang To, Sekarang perduli siapakah Kiang To diantara
kalian berdua, bukankah urusan ini tiada sangkut pautnya
dengan diri kita? Buat apa kita orang menjadi kesusahan
dan kemurungan hanya disebabkan persoalan ini?"
"Hmm! Aku mencari dirinya karena ingin menuntut
balas!" seru Cu Tong Hoa dingin.
Bila perkataan dari Cu Tong Hoa adalah perkataan yang
benar maka dendam yang hendak dibalas tentunya adalah
dendam kedelapan lembar nyawa anggota Istana Harta
yang menemui ajalnya ditangan Kiang To.
"Tidak! Akupun sedang mencari dirinya." sambung Tong
Ling pula.
"Jadi dengan demikian kalian berdua sama-sama hendak
mencari Kiang To sampai ketemu?"
"Benar!" jawab kedua orang itu hampir berbareng.
Pek Thian Ki tak dapat menahan rasa gelinya lagi,
terpaksa ia tertawa ter-bahak2, "Haaa. . .haaa. . . haaa. . .
padahal aku sendiripun punya perasaan bahwa satu
diantara kalian berdua pasti adalah Kiang To. . ."
"Siapa?"
Ditengah suara teriakan tersebut sinar mata mereka
berdua sama-sama dialihkan keatas wajah Pek thian Ki,
Agaknya didalam anggapan mereka pemuda itu sebenarnya
sudah tahu siapakah Kiang To sebenarnya diantara mereka
berdua.
Sekali lagi Pek Thian Ki tertawa. "Soal ini sih harus
menunggu pembuktian dulu."
"Kau hendak membuktikan dengan cara apa?"
"Sebelum aku memberi jawaban, akan kutanya dulu
kepada kalian berdua, sebenarnya Kiang To adalah seorang
lelaki ataukah seorang gadis?" kata Pek Thian Ki setelah
berpikir sebentar.
"Sudah tentu seorang laki!" jawab Cu Tong Hoa dengan
cepat.
"Hmmm! Bagaimana kau begitu merasa yakin?" sela
Tong Ling dingin.
"Sudah tentu! Karena ia telah memperkosa dan menodai
beberapa gadis, juga buat apa memborong nona It Peng
Hong dari Istana Perempuan, jika bukan seorang lelaki buat
apa ia lakukan kesemuanya ini?"
"Perkataanmu sedikitpun tidak salah, tetapi gadis-gadis
yang diperkosa itu hanya pakaiannya saja yang dicopoti dan
sama sekali tak ada pemerkosaan secara sungguh2, Sedang
mengenai nona It Peng Hong yang diborong dari Istana
Perempuan, apakah dia tak dapat menyaru sebagai seorang
pria untuk memborong dirinya?"
Mendengar bantahan tersebut, Cu Tong Hoa jadi
bungkam dalam seribu bahasa. Pek thian Ki sendiripun
dibuat tertegun.
Perkataan tersebut sedikitpun tidak salah, gadis2 tersebut
hanya pakaiannya saja yang dicopoti dan sama sekali tak
dapat dibuktikan kalau mereka benar-benar sudah diperkosa
atau belum, Apalagi setiap gadispun bisa menyaru sebagai
pria untuk memborong nona It Peng Hong tersebut dari
Istana Perempuan.
Akhirnya Cu Tong Hoa tertawa.
"Sedikitpun tidak salah!" katanya pula lambat-lambat.
"Kiang To memang ada kemungkinan juga seorang gadis
yang menyaru sebagai pria, tapi aku sekarang ingin
bertanya satu persoalan dari kalian berdua, Setiap kali
Kiang To selesai melakukan kejahatan tentu akan
meninggalkan sebuah panji kecil bukan?. . ."
"Sedikitpun tidak salah!"
"Jadi dengan begitu panji kecil tersebut merupakan
barang bawaan yang selalu ada disakunya bukan?"
"Benar!"
"Kalau begitu. . ." sengaja Pek thian Ki menghentikan
pertanyaannya ditengah jalan, lama. . . .lama sekali ia baru
menyambung kembali, katanya lebih lanjut: "Ada satu cara
yang bisa kita ketahui siapakah diantara kalian berdua
sebenarnya adalah Kiang To?"
"Cara apa?"
"Geledah seluruh badan setiap orang!"
"Apa?"
Bab 21
Kedua orang itu sama2 berteriak tertahan, agaknya
perkataan yang diucapkan oleh Pek Thian Ki ini ada diluar
dugaan mereka.
"Kecuali cara ini rasanya tak ada cara lain lagi yang bisa
ditempuh. ." sambung pemuda itu serius.
"Tidak bisa jadi!" seru Tong Ling dengan cepat.
"Hmmm! Siapa yang tidak setuju dialah Kiang To
sibangsat tersebut. ." Sambung Cu Tong Hoa cepat.
Tong Ling jadi tertegun, dia adalah seorang gadis
perawan yang masih suci. Bagaimana mungkin boleh
membiarkan seorang lelaki asing meraba dan
menggerayangi seluruh badannya?
Tapi, jika ia tidak setuju bukankah hal ini sama saja
kalau ia sudah mengaku kalau dirinya adalah Kiang To?
Dengan hati berat, akhirnya ia menyapu sekejap kedua
orang itu.
"Siapa yang akan turun tangan menggeledah?" bentaknya
keras.
"Sudah tentu suruh Pek Sauw-hiap yang turun tangan
menggeledah, karena rasanya dia seoranglah yang paling
adil."
"Jadi dengan demikian kaupun sudah setuju untuk
digeledah badan?. . ."
"Sedikitpun tidak salah."
"Baiklah! Kalau memang rasanya cuma cara ini saja
yang bisa dilaksanakan, aku orang she Tong pun akan
mengiringi dengan senang hati."
"Hmmm! Pek Sauw-hiap, kau geledah dulu badannya!"
perintah Cu Tong Hoa kemudian dengan dingin.
"Harus menggeledah siapa dulu?" seru pemuda itu agak
ragu-ragu.
"Geledah dulu badannya."
"Eeeei. . .kenapa harus menggeledah diriku terlebih
dahulu?" teriak Tong Ling gusar.
"Menggeledah siapa dulu pun sama saja, bagaimana?
Kau takut?"
"Baik kalau begitu, geledah dulu badanku?"
Kini Pek thian Ki-lah yang dibuat tertegun dan serba
salah, ia merasa bingung apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi persoalan ini.
Usul untuk menggeledah badan setiap orang adalah
muncul dari pikirannya, sudah tentu tugas ini harus ia
lakukan, Tapi. . . ia pun tahu kalau Tong Ling adalah
seorang gadis!? Untuk beberapa saat ia jadi gelagapan
sendiri dibuatnya.
"Eeee. . . kau kenapa?" tegur Tong Ling keras.
"Aku. . ."
"Ayoh, cepat kemari dan geledah badanku!"
"Baik!" Akhirnya dengan keraskan hati Pek Thian Ki
maju kedepan, pada saat ini keadaannya mirip dengan
menunggang diatas punggung harimau, mau menampik
pun tak dapat.
Akhirnya ia tiba dihadapan Tong Ling dan memandang
kearahnya dengan termangu-mangu.
"Ayoh cepat!" kembali Tong Ling membentak keras.
Pek Thian Ki menggigit kencang bibirnya, dengan
menggunakan ilmu menyampaikan suara serunya: "Nona
Tong, maaf aku harus bertindak kasar." Ditengah suara
ucapan tersebut, tangannya sudah lantas merogoh kedalam
saku Tong Ling dan mengadakan pemeriksaan, tapi
didalam saku gadis tersebut ternyata tidak ditemui panji
kecil tanda dari Kiang To tersebut.
"Dia tak ada. . ." serunya sambil buru-buru menarik
kembali tangannya.
"Hmmm! Kau cuma merogoh sakunya saja, badan
bagian atas serta badan bagian bawahnya tidak kau periksa,
bagaimana bisa membuktikan kalau benda tersebut tidak
ada didalam badannya?" Kembali Cu Tong Hoa berteriak.
"Soal ini. . ."
"Pek-heng, kau geledah!" ujar Tong Ling perlahan.
Dengan kejadian ini maka Pek thian Ki semakin serba
salah, dia bukanlah seorang jayhoacat (penjahat pemetik
bunga), mana boleh secara terang2an menggerayangi tubuh
bagian 'Atas' serta tubuh bagian 'Bawah' dari seorang gadis
suci?
Tetapi, bagaimanapun juga ia harus melakukan
penggeledahan, sehingga akhirnya tangan pemuda tersebut
dengan sedikit gemetar mulai menggerayangi tubuh bagian
== MISSING PAGE (Halaman ROBEK)
======================================
====================
"Benar!"
Sungguh suatu omongan kosong yang ngaco belo, mari
kemari! Coba kalian periksa dulu badanku."
"Apa perlunya repot-repot lagi?"
"Jikalau didalam badanku pun tiada terdapat panji tanda
pembunuhan tersebut, bukankah hal ini sama artinya kalau
aku bukan Kiang To?"
Perkataan ini agaknya membuat kedua orang itu jadi
kaget, sedikitpun tidak berhasil ditemukan panji tanda
pembunuhan tersebut, bukankah hal ini juga membuktikan
kalau iapun bukanlah si Kiang To tersebut?
"Maksudmu didalam badanmupun tidak terdapat panji
tanda pembunuhan?. . ." tanya Tong Ling melengak.
"Ada atau tidak ada, bukankah sesudah digeledah segera
akan ketahuan?. . ."
Sekali lagi Tong Ling melengak.
"Pek Thian Ki! Coba kau geledah badannya,"
perintahnya kemudian.
Pek Thian Ki mengangguk, untuk beberapa saat ia
sendiripun dibuat bimbang, bingung dan ragu-ragu untuk
menghadapi persoalan ini, Apakah mungkin Cu Tong Hoa
benar2 bukan Kiang To?
Agaknya persoalan ini tidak mungkin terjadi. . . . karena
salah satu diantara mereka berdua pasti adalah seorang
yang bernama Kiang To, Tetapi jika ditinjau dari perubahan
sikap yan diperlihatkan Cu Tong Hoa, agaknya didalam
badannya pun sungguh2 tidak terdapat panji tanda
pembunuhan tersebut, menghadapi persoalan ini
bagaimana mungkin Pek thian Ki tidak jadi kebingungan?
Tetapi, bagaimana juga ia harus mengadakan
penggeledahan juga disaku Cu Tong Hoa. Dengan besarkan
nnyali pemuda itu berjalan kearah Cu Tong Hoa, kemudian
setelah tiba dihadapannya lantas mulai menggerayangi
badan orang itu.
Mendadak. . .
Sewaktu Pek Thian Ki merogoh kedalam saku Cu Tong
Hoa itulah, dari belakang tubuhnya berkumandang datang
suara teguran yang merdu:
"Pek Sauw-hiap, apa yang sedang kau lakukan?"
Mendengar teguran tersebut dengan hati terperanjat Pek
Thian Ki putar badan, maka tampaklah dibelakang
dibelakang tubuhnya entah sejak kapan sudah berdiri sidara
cantik berbaju hijau yang ditemuinya sewaktu berada
didalam Istana Harta serta diluar rumah aneh tersebut.
Pek Thian Ki jadi melengak dibuatnya. . . . Kedatangan
dari dara berbaju hijau ini benar2 sangat mendadak sekali
karena ia pernah juga memberitahukan kepadanya jika
ingin mengetahui persoalan Rumah aneh serta Istana Arak,
Istana Harta dan Istana Perempuan datanglah Kegunung
Lui Im-san.
Ia berkata bahwa seluruh persoalan yang ingin diketahui
olehnya harus pergi dulu kegunung Lui Im-san baru bisa
diketahui, dan sekarang ia sudah datang kemari, tetapi tak
berjumpa dengan dara tersebut.
Siapa tahu didalam keadaan seperti ini tahu-tahu dara
cantik berbaju hijau itu sudah munculkan dirinya. Ketika
dara cantik berbaju hijau itu melihat Pek Thian Ki
memandang kearahnya dengan ter-mangu2, kembali ia
menegur dengan suara yang merdu:
Pek Sauw-hiap! Apakah kau sudah lupa siapakah
diriku?"
Dari perasaan ragu-ragu dan keheranannya Pek Thian Ki
segera tersadar kembali.
"Ooow. . . kiranya kau!" Jawabnya ter-buru2. "Mana
mungkin cayhe bisa melupakan diri nona? Tentunya kau
barusan saja datang bukan?"
Emmm. . . Apa yang sedang kau lakukan?"
Tong Ling yang berada disisi kalangan sewaktu melihat
munculnya seorang gadis cantik disana dan langsung
menegur pemuda tersebut, air mukanya segera berubah
hebat, Tetapi sebentar kemudian, ia sudah mengatasinya.
"Tolong tanya siapakah nama nona?" tanyanya
kemudian kearah dara berbaju hijau itu.
"Aku bernama Suma Hun!"
"Oooow! Kiranya nona Suma."
Pada waktu itu. . .
Tangan Pek Thian Ki yang sudah berada didalam balik
pakaian Cu Tong Hoa sudah mulai menggerayangi badan
orang itu, sedang sinar mata Tong Ling pun dengan tajam
dan tanpa berkedip memperhatikan terus wajah Pek Thian
Ki.
Sang pemuda yang akhirnya tidak berhasil juga
menemukan tanda panji apapun didalam saku Cu Tong
Hoa, lantas mengalihkan tangannya untuk menggerayangi
tubuh bagian 'Atas'
Tiba-tiba. . .
"Aaaaach. . .!" Pek Thian Ki berteriak kaget, tubuhnya
ber-turut2 mundur sejauh empat lima langkah kebelakang.
Pada saat Pek Thian Ki menjerit kaget itulah tubuh Tong
Ling bagaikan sambaran kilat sudah menubruk kearah Cu
Tong Hoa.
"Kiranya kaulah iblis cabul. . . .iblis ganas tersebut. . ."
bentaknya keras.
Bayangan manusia segera berkelebat lewat laksana
sambaran kilat, dengan menggunakan satu serangan yang
dahsyat, gadis tersebut menerjang kearah Cu Tong Hoa.
Jelas sekali Pek Thian Ki menjerit kaget karena
tangannya berhasil meraba panji tanda pembunuhan
tersebut, kalau tidak, iapun tidak seharusnya menunjukkan
perasaan kaget yang bukan alang-kepalang.
Terjangan yang dilancarkan Tong Ling kali ini benarbenar
luar biasa cepatnya, diam2 Pek thian Ki yang melihat
terjangan itupun merasakan hatinya sangat terperanjat.
Belum habis ia berpikir, serangan yang demikian gencarnya
dari Tong Ling sudah berada dihadapan tubuh Cu Tong
Hoa.
Dalam keadaan tidak bersiap sedia, hampir saja Cu Tong
Hoa kena tersapu oleh datangnya serangan dari gadis itu,
Beruntung sekali ilmu silat yang ia milikipun tidak lemah,
maka dengan bersusah payah akhirnya ia berhasil juga
meloloskan diri dari ancaman bahaya.
Dengan kejadian ini maka mau tak mau terpaksa Cu
Tong Hoa harus menerima juga datangnya serangan dari
Tong Ling ini dengan keras lawan keras.
"Tahan!" bentaknya keras. Sembari berteriak, telapak
tangannya pun digetarkan mengunci seluruh lubang
kelemahan dibadannya.
"Blaaam. . .!" diiringi suara ledakan yan amat keras,
angin taupan menggulung dan memecah keempat penjuru
diiringi pasir dan debu beterbangan memenuhi angkasa.
Oleh serangan yang amat gencar dari Tong Ling ini, Cu
Tong Hoa kena terdesak mundur sepuluh langkah lebih
kebelakang, air mukanya pucat pasi bagaikan mayat.
Sedang air muka Tong Ling pun mulai terlintas hawa napsu
membunuh yang amat tebal, bentaknya dingin:
"Kiang To, kau masih ada perkataan apa lagi?"
"Apa maksud dari perkataanmu itu?"
"Bukankah Pek Thian Ki sudah berhasil menemukan
panji tanda pembunuhan tersebut didalam badanmu?"
bentak Tong Ling sesudah melengak sejenak.
"Omong kosong!"
"Omong kosong?. . ."
Sinar mata Tong Ling dengan cepat dialihkan dengan
tepat keatas wajah Pek Thian Ki, pada waktu itu pemuda
tersebut masih tetap berdiri termangu ditengah kalangan
tanpa berkutik, ia seperti sudah kehilangan semangat saja.
"Pek Thian Ki!" kembali Tong Ling membentak dingin.
Kau kenapa? "Bukankah kau sudah berhasil meraba panji
tanda pembunuhan tersebut?"
Begitu mendengar teguran tersebut bagaikan baru saja
bangun dari impiannya, Pek Thian Ki menelan ludah,
sedang sinar matanya lantas dialihkan kearah gadis
tersebut.
"Apa yang sedang kau katakan?" tanyanya kebingungan.
"Aku sedang bertanya kepadamu, apakah kau
menemukan panji tanda pembunuhan tersebut. . .?"
Baru saja Tong Ling selesai berbicara, Cu Tong Hoa
sudah menyambung dengan bentakan yang dingin: "Pek
sauw-hiap, katakanlah? Benar atau tidak?"
Pek Thian Ki tetap membungkam dalam seribu bahasa,
ia merasa bingung untuk memberikan jawaban. Sedangkan
didalam anggapan Tong Ling, pada saat ini Pek thian Ki
tidak berani berbicara karena kaget, dan takut terhadap
keganasan dari Kiang To, maka air mukanya segera
berubah hebat.
"Kiang To! Kau tak usah jual lagak lagi disini!"
bentaknya keras. Tubuhnya dengan cepat menerjang maju
kedepan, telapak tangannya dengan diiringi angin pukulan
tajam menghajar keatas tubuh Cu Tong Hoa.
"Apa yang hendak kau lakukan?" teriak Cu Tong Hoa
keras.
Ditengah suara bentakan yang sangat keras, tubuhnya
mencelat kesamping sehingga angin pukulan yang
dilancarkan oleh Tong Ling kali ini tak bisa dihindarkan
lagi menghajar sebuah pohon besar dihadapannya yang
langsung terpukul patah jadi dua bagian.
"Aduh. . . maknya. . . apa yang sudah terjadi?"
mendadak dari atas pohon yang tumbang itu
berkumandang keluar suatu jeritan kaget.
Sesosok bayangan hitam dengan cepatnya jatuh
terjungkal dari atas pohon dan tidak menceng tidak melesat
persis terjatuh dihadapan Suma Hun. Dengan sebat nona
Suma gerakkan tangannya menyambar badan orang itu.
Masih beruntung Suma Hun berhasil menerima jatuhnya
badan orang itu, kalau tidak, maka orang itu kalau
bukannya patah tulang, sedikit2nya pasti akan jatuh
pingsan tak sadarkan diri. Begitu sampai diatas tanah,
kembali orang itu meloncat bangun dan memaki kalangkabut.
"Cucu kura-kura mana yang berani membokong diriku?
Kurang ajar! Maknya! Kalau ingin membunuh mati diriku,
janganlah menggunakan kesempatan sewaktu aku masih
tidur nyenyak.
Munculnya suatu peristiwa secara mendadak ini, kontan
saja membuat semua orang yang ada disana jadi amat kaget
setengah mati, sinar mata mereka ber-sama2 dialihkan
kearah orang itu.
Pek Thian Ki yang melihat munculnya orang itu, hatinya
pun terasa amat terperanjat karena ia segera mengenali
kalau siorang tua berbaju hitam bukan lain adalah 'Sin Si
Poa' yang ditemuinya sewaktu berada didalam Istana
Harta.
Dan dia pula orang yang memberitahukan kepadanya
kalau Kiang To adalah dirinya sendiri. Dan sekarang pada
saat dan keadaan seperti ini mendadak sikakek tua yang
amat misterius ini kembali munculkan dirinya, sekarang
kemunculannya ini disengajakah, atau tidak sengaja. . .?
Setelah tertegun beberapa saat, akhirnya Pek Thian Ki
tersenyum. "Oooouw. . . . kiranya kau Loocianpwee!"
sapanya.
Sinar mata 'Sin Si-poa' dengan tajam dialihkan keatas
wajah Pek Thian Ki.
"Hmmm, bangsat cilik, kiranya kaupun berada disini,"
tegurnya pula lantang. "Eeeei. . .bocah! Sewaktu aku
tertidur pulas diatas pohon tadi, cucu kura2 serta bangsat
dari manakah yang membabat putus pohonku itu?"
"Aku!" jawab Tong Ling dingin.
Sinar mata Sin Si-poa pun segera dialihkan keatas wajah
Tong Ling. "Kau yang melakukan?" teriaknya gusar.
"Sedikitpun tidak salah, cayhe yang lakukan!"
"Apakah perbuatanmu itu disengaja ataukah tidak
disengaja?"
"Sudah tentu tidak disengaja. . ."
"Kalau memang tidak sengaja, akupun akan ampuni
jiwamu!"
"Tolong tanya siapakah nama besar dari Loocianpwee?"
"Sin si=poa!" Habis berkata ia putar badan dan berlalu
dari tempat itu.
"Loocianpwee! Tunggu sebantar!" mendadak Pek Thian
Ki berteriak keras.
Mendengar teriakan tersebut, Sin Si-poa langsung
menghentikan langkahnya dan menoleh memandang
sekejap kearah pemuda tersebut.
"Ada urusan apa?" "Ada urusan apa?"
"Cayhe ada beberapa urusan hendak kutanyakan
padamu!"
"Sekarang kau tak ada waktu yang luang sedangkan akupun
tak ada waktu, lain kali saja kalau bertemu kembali,
biarlah kita bicarakan lagi." Dengan langkah lebah, siorang
tua itu lantas berlalu.
Sedang Pek thian Ki yang ditinggal seorang diri jadi
melengak dibuatnya, Menanti siorang tua itu sudah berlalu,
kembali sinar mata Tong Ling menyapu sekejap keatas
wajah Cu Tong Hoa, bentaknya dingin;
"Kiang To! Sekarang kita orang boleh bergebrak kembali.
. ."
Bayangan manusia tampak berkelebat, sekali lagi ia
menerjang kearah tubuh Cu Tong Hoa, Dimana tangan
kanannya mengayun, ber-turut2 ia sudah mengirim tiga
buah jurus serangan sekaligus dengan serangan-serangan
yang dahsyat dan mematikan.
"Hmmm! Apa kau kira aku benar-benar jeri
terhadapmu?" bentak Cu Tong Hoa ketus.
Bayangan manusia kembali berpencar, ia membalik
badan balas melancarkan tubrukan kedepan menggagalkan
setiap serangan dahsyat, dari Tong Ling.
Mendadak. . . Terdengar Suma Hun berseru tertahan,
tiba-tiba tubuhnya melayang pergi dengan melalui jalan
semula.
Kedatangan dari Suma Hun sudah amat mengherankan,
kepergiannya kali ini sangat mendadak, hal ini membuat
Pek Thian Ki tidak ambil perhatian, sedang Tong Ling serta
Cu Tong Hoa yang sedang bergebrakpun semakin tidak
ambil perhatian lagi.
Ditengah kalangan pertarungan antara Cu Tong Hoa
melawan Tong Ling berlangsung semakin lama semakin
hebat.
Suara bentakan-bentakan keras yang memecahkan
kesunyian, dengan cepat menyadarkan kembali pemuda
tersebut dari lamunannya.
"Kalian semua berhenti bergebrak!" teriaknya keras.
Dengan bergemanya suara bentakan tersebut, kedua
orang yang sedang melangsungkan pertarungan sengit
ditengah kalanganpun segera berpisah dan menghentikan
serangannya, sinar matapun bersama dialihkan keatas
wajah Pek thian Ki.
"Mengapa kalian berdua jadi bergebrak sendiri?" tegur
pemuda she Pek ini tertegun.
"Bukankah dia orang adalah Kiang To?" teriak Tong
Ling melengak.
"Ngaco belo!" sambung Cu Tong Hoa cepat.
"Pek Thian Ki! Cepat kau jawab, apa yang baru saja
berhasil kau raba?"
Aku. . ." untuk beberapa waktu Pek thian Ki merasa sulit
untuk mengutarakan kelar maksud hatinya.
"Ayoh cepat jawab! Bukankah kau menjerit kaget karena
tanganmu yang ada dibalik bajunya berhasil meraba panji
tanda pembunuhan yang disembunyikan olehnya bakan?"
"Buuu. . .bkan!"
"Apa? Bukan?" Agaknya Tong Ling merasakan jawaban
dari pemuda tersebut jauh berada diluar dugaannya,
sehingga sepasang mata yang jeli dengan penuh rasa
terperanjat melototi wajah Pek thian Ki tak berkedip, Untuk
beberapa saat iapun dibuat melengak dan kebingungan.
Lama. . . lama sekali ia baru bertanya kembali: "Lalu apa
yang berhasil kau raba?"
"Aku. . .aku sudah meraba. . .sudah meraba. . ."
Jawabannya tetap tidak karuan, gelagapan, ragu2 dan
bingung.
Coba saudara2 terka apa sebenarnya yang berhasil diraba
oleh Pek Thian Ki?
Kiranya sepasang tangan pemuda tersebut telah menyentuh
dua gumpal daging kenyal yang panas, dan empuk-empuk
merangsang didada Cu Tong Hoa. . . itulah sepasang
payudara mungil dari seorang gadis perawan!
Ternyata Cu Tong Hoa adalah seorang gadis perawan,
hal ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang ada
diluar dugaan Pek Thian Ki, oleh karena itu saking
terkejutnya ia menjerit kaget.
Tetapi justru disebabkan suara jeritan kagetnya itulah,
Tong Ling sudah salah menganggap kalau pemuda itu
berhasil menemukan panji tanda pembunuhan didada
lawan, oleh sebab itu tanpa banyak cakap lagi ia mengirim
serangan-serangan gencar untuk berusaha merobohkan
pihak lawannya.
Melihat pemuda itu tetap gelagapan, Tong Ling jadi
tidak sabaran: "Eeeei. . . sebenarnya apa yang berhasil kau
raba didada orang itu? Ayoh, cepat jawab! Kenapa harus
ragu-ragu dan gelagapan tidak karuan macam begitu?"
"Ia. . .ia seperti dirimu. . . maksudku dadanya. .dadanya
seperti juga dada milik nona. . ."
"Dia. . .dia adalah seorang gadis?"
"Benar! Oleh karena itu cayhe merasa sangat
terperanjat!"
"Heee. . .heee. . .heee. . . ilmu menyaru dari nona ini
benar-benar sangat lihay." dengus Tong Ling dingin.
"Wajahmu sikakek bercambang benar-benar sangat
sempurna!"
"Pek Sauw-hiap!" ujar Cu Tong Hoa lagi dingin." Coba
kau kemari dan periksa lagi seluruh badanku, apakah ada
panji kecil yang aku sembunyikan dibadan!"
Dengan adanya kejadian ini, maka Pek Thian Ki jadi
serba salah, keadaan yang dihadapinya pada saat ini mirip
sekali dengan keadaannya sewaktu hendak melakukan
pemeriksaan dibadan Tong Ling.
Tetapi, bagaimanapun juga, ia harus turun tangan untuk
melakukan penggeledahan, sambik menggertak giginya
kencang2 ia berjalan kehadapan tubuh Cu Tong Hua,
kemudian kembali melakukan pemeriksaan yang sangat
teliti sekali diseluruh tubuh gadis she Cu ini baik badan
bagian 'Atas'nya maupun tubuh bagian 'Terbawah'nya.
Tetapi hasil yang didapat tetap nihil, panji yang dicari
tetap tidak ditemukan. "Tidak ada!" seru Pek Thian Ki
kemudian melengak.
Dengan adanya kejadian ini, maka Tong Ling pun dibuat
tertegun ditengah kalangan, Benar! Bukti terakhir yang
mereka dapatkan ini benar-benar berada diluar dugaan
mereka bertiga.
Karena didalam saku bahkan seluruh tubuh dari Tong
Ling serta Cu Tong Hoa, tidak berhasil diketemukan panji
tersebut, Hal ini sudah tentu, jelas membuktikan kalau
mereka berdua sama2 bukan Kiang To!
Heeee. . . kalian berdua sama-sama bukan Kiang To."
seru Pek thian Ki sambil tertawa pahit.
Tong Ling juga tertawa pahit; "Kemungkinan sekali kita
sama-sama mengejar Kiang To dan kebetulan berjumpa
satu dengan lainnya, sehingga masing2 lawannya adalah
Kiang To."
"Sedikitpun tidak salah." sambung Cu Tong Hoa dengan
cepat.
"Tidak kusangka bukan saja Kiang To tak berhasil kita
temukan, bahkan kitalah yang harus menelan kerugian
besar," kembali Tong Ling bereru sambil tertawa. "Pek
Thian Ki! Kali ini kau orang benar2 lagi untung besar."
"Cayhe tidak ada maksud untuk berbuat cabul. . ."
Tapi. . .heeeei!"
Jilid 8
Bab 22
Akhirnya Tong Ling menghela napas panjang, agaknya
didalam hati ia merasa amat murung, setelah lewat
beberapa saat, ia baru berkata tawar;
"Aku mohon diri dula!" Tidak menanti jawaban lagi, ia
sudah putar badan dan berlalu.
Sebenarnya Pek Thian Ki ada maksud untuk memanggil
dirinya sewaktu melihat gadis tersebut berlalu, tetapi iapun
merasa bingung apa yang harus ia ucapkan setelah
memanggil gadis itu kembali, Terpaksa dengan pandangan
mendelong, ia memandang bayangan punggung gadis
tersebut, hingga lenyap dari pandangan. . . .
Aku pun hendak pergi!" tiba-tiba Cu Tong Hua tertawa
tawar pula.
"Kau. . . .kau jangan pergi dulu!"
"Ada urusan apa? cepat katakan!"
"Per-tama2, aku minta maaf atas perbuatanku tadi. . ."
"Soal ini aku tak akan menyalahkan dirimu, soal kedua
bukankah kau ingin bertanya kepadaku siapakah aku orang,
dan darimanakah asal-usulku yang sebenarnya bukan?
Disamping itu kau ingin bertanya pula apakah Sin Mo
Kiam Khek benar-benar bernama Pek Thian Ki?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Beberapa persoalan ini untuk sementara waktu aku
tidak ingin beritahukan kepadamu, dan waktunyapun
belum tiba untuk memberitahukan seluruh persoalan ini
kepadamu, akau mau pergi!"
Tubuhnya dengan gesit segera berkelebat dan meluncur
kemuka. Dengan terpesona Pek Thian Ki memandang
bayangan punggung dari Cu Tong Hoa yang makin lama
berlalu semakain jauh, Dan ia. . tetap meninggalkan suatu
teka-teki yang membuat setiap orang mulai menduga.
Pek Thian Ki menarik napas panjang2, ia sudah puas
mencicipi tahu empuk, seluruh tubuh kedua orang gadis
itupun sudah cukup digerayangi merata, Tetapi hal tersebut
hanya meninggalkan suatu kenangan indah yang kosong. . .
.
Cinta itu adalah suatu benda yang tak berujud, kejadian
yang tak dapat dilihat dengan mata, Selama hidup belum
pernah dia orang mencintai seorang gadispun. . . dan tak
pernah pula ada seorang gadispun yang menaruh rasa
simpatik atau cinta terhadap dirinya.
Pernah beberapa kali ia berusaha mendapatkannya, tapi
hasilnya tetap nihil, ia selalu gagal. Hal ini membuat
hatinya jadi tawar dan tidak percaya pada diri sendiri. . .
Disamping itu iapun mengerti bahwa dirinya tidak
memiliki perawakan serta tindak-tanduk yang dapat
menyenangkan hati kaum gadis, badannya hanya tinggal
sekerat tulang Bay-kut, ia percaya setiap gadis pasti tak
mungkin akan mencintai dirinya.
Teringat akan persoalan tersebut, sekali lagi pemuda itu
menghembuskan napas panjang, suara helaan napas
tersebut penuh dengan perasaan sedih, duka dan murung.
Mendadak. . . .agaknya ia sudah teringat akan sesuatu,
maka buru-buru menoleh tapi sebentar kemudian ia sudah
berdiri tertegun lagi.
"Eeeeei. . .sejak kapan Suma Hun berlalu?" diam-diam
pikirnya.
Pada waktu itulah tiba-tiba ia teringat pula akan teka-teki
yang menyelubungi mati hidup suhunya, Apakah benar
suhunya adalah Sin Mo Kiam Khek? Apakah benar2 Kiang
To adalah dirinya sendiri?
Agaknya persoalan ini ada kemungkinannya benar, tapi
ia tak dapat membuktikan kebenaran tersebut, Teringat
persoalan itu, akhirnya ia menghela napas panjang. . . .
"Aku harus pergi menyewa rumah aneh tersebut,"
gumamnya.
Benar, memang seharusnya ia pergi untuk menyewa
rumah aneh itu.
. . . .Syarat yang diajukan untuk menyewa rumah aneh
tersebut, pada saat ini sudah ada dua yang berhasil
dipenuhi. . . Uang emas seribu tail serta sebotol arak Giok
Hoa Lok, Satu2nya syarat yang belum berhasil ia penuhi
adalah seorang gadis cantik.
Gadis cantik hanya ada di Istana Perempuan, iapun
teringat pula perkataan dari Tong Yong itu, anak murid dari
Ciang Liong Kiam Khek;
"Didalam Istana Perempuan terdapat ratusan orang gadis
cantik, setiap orang memiliki wajah yang rupawan dan
mempesonakan, tapi diantara beratus orang gadis cantik itu
hanya 'It Peng Hong' seorang yang memiliki kecantikan
melebihi orang lain. . ."
Teringat sampai disini tak terasa lagi Pek Thian Ki
tertawa, ia teringat pula dengan perkataan Tong Yong yong
mengatakan 'It Peng Hong' sudah diborong oleh Kiang To. .
.
"Heeee. . .heee. . .heeee. . . aku sih kepingin benar
menggoda kau si Kiang To!" gumannya sambil tertawa
dingin.
Pemuda itu tertawa, dan dibalaik suara tertawa itu penuh
mengandung perasaan percaya pada diri sendiri. Tubuhnya
dengan cepat mencelat kedepan langsung menuju kehutan
Hong Siauw Lim gunung In Hauw San. . . .
Ketika kentongan ketiga sudah tiba, Pek Thian Ki pun
sudah berada didepan Istana Perempuan.
Pada waktu itu. . . .
Keadaan didalam Istana Perempuan tersebut sama sekali
berbeda keadaannya dengan apa yang dilihatnya pagi tadi,
Pintu besar terbentang lebar-lebar dengan sinar lampu yang
redup.
Suara tertawa cekikikan dari perempuan tiada hentinya
berkumandang keluar memecahkan kesunyian malam. . . .
Didalam Istana Perempuan tersebut penuh dengan suasana
yang menggiurkan dan mempesonakan, membuat hati
setiap orang terasa terikat.
Perlahan-lahan Pek Thian Ki melangkah masuk kedalam
pintu, si kakek tua berbaju kuning yang pernah ditemuinya
tadi pagi segera maju menyongsong kedatangan pemuda
tersebut sambil menjura.
"Saudara, agaknya pagi tadi kau sudah datang bukan?"
"Benar!"
Kembali siorang tua itu tertawa. "Aku lihat tentunya
saudara baru pertama kali ini mendatangi sini?. . . '
"Sedikitpun tidak salah, kedatangan chayhe ketempat
macam begini baru untuk pertama kalinya."
"Jadi maksud saudara hendak bermain-main saja?"
"Betul!"
"Untuk bermain nona didalam Istana kami ada
peraturan2nya, tahukah kau orang?"
"Chayhe kurang jelas, harap Loo-tiang suka memberi
petunjuk."
"Didalam Istana kami terdapat ratusan orang nona yang
masing-masing memiliki kecantikan wajah melebihi
siapapun. . ."
"Soal ini sih chayhe pernah dengar orang berkata. . . ."
"Diantara ratusan orang gadis cantik cantik itu, kami
bagi pula menjadi empat golongan, Golongan pertama
adalah berbicara, golongan kedua bermain, golongan ketiga
memeluk dan golongan keempat menginap, Yang termasuk
golongan berbicara sudah tentu hanya terbatas menemani
dirimu untuk kongkow kongkow saja. . . ."
"Kalau yang termasuk golngan bermain?"
"Menemani kau main catur, main Khim, membuat syair
dan melukis."
"Kalau golongan memeluk?"
"Kau boleh memeluk dirinya dan mencium bibirnya,
sedang golongan menginap? Kau boleh menemani dirinya
satu malam penuh dan selama satu malam ini dia adalah
isterimu!"
"Harus membayar untuk main dengan perempuanperempuan
itu?" tanya Pek thian Ki kembali sambil tertawa.
"Uang? Sauw-hiap; Kau sudah salah menduga, yang
diarah paling utama oleh Istana Perempuan kami adalah
kawan-kawan Bu-lim dan tujuan kitapun bukan untuk
mencari keuntungan uang, Tapi untuk menentukan
golongan manakah yang bisa kau dapat harus dicoba dulu
seberapa tinggi kepandaian silat yang kau miliki."
"Lalu bagaimanakah caranya?"
"Pertama, setiap orang yang hendak memasuki Istana,
dari pihak kami akan mengirim seseorang untuk menjajal
kepandaian silat pihak lawan."
"Dan aku boleh memilih gadis yang manapun untuk
menemani aku orang menginap semalam disini?" seru
pemuda itu sambil tertawa.
"Sudah tentu boleh!"
"Diantara ratusan orang gadis cantik yang ada dalam
Istana Perempuan ini, menurut Loo-tiang siapakah yang
tercantik."
"Waaah. . .soal ini sukar untuk ditentukan! Untuk
mengikuti selera setiap orang bukan suatu soal yang
gampang, apalagi setiap orang mempunyai cara berpikir
sendiri-sendiri, Ada orang yang suka dengan kepala tinggi,
muka lebar seperti kuda, ada pula yang suka sedangan,
dengan wajah yang mengiurkan, ada pula yang suka gadis
berwajah cantik, ada yang ingin pinggul montok. . ."
"Tetapi rasanya tidak mungkin kalau tak ada seorang
gadispun yang dianggap umum paling cantik bukan?"
potong sang pemuda sambil menyengir.
"Sudah tentu ada!"
"Siapa?"
"Giok Kong Su Kiauw (empat gadis cantik dari Istana
Pualam), Keempat orang gadis ini merupakan gadis-gadis
yang memiliki raut wajah paling mempesonakan, Pertama
adalah 'It Peng Hong' yang kedua, 'Ting Siang' ketiga 'Giok
Lian Hoa, dan terakhir 'Siauw Tauw Hong'. . ."
"Kalau begitu 'It Peng Hong' merupakan gadis yang
kecantikan wajahnya melebihi siapapun?"
"Betul. . . cuma ia sudah tidak termasuk dalam
hitungan!"
"kenapa?" sengaja Pek Thian Ki bertanya.
"Ia sudah diborong oleh Kiang To."
"Loo-tiang!" Kalau begitu adanya urusan kan salah
besar, kalau memangnya Istana kalian tidak melayani
perbuatan2 seperti tempat diluaran, lalu menggunakan cara
apa Kiang To memborong 'It Peng Hong'?"
"Sudah tentu ilmu silat."
"Oooow. . . Sekarang aku paham sudah, Majikan kalian
tentu jeri terhadap kepandaian silat yang dimiliki Kiang To,
maka dari itu kalian lantas persembahkan 'It Peng Hong'
kepada Kiang To!"
"Salah. . . salah besar, bukan demikian urusannya!
Sebetulnya beginilah kejadiannya, untuk bisa memborong
seorang nona, maka pihak tamu harus meninggalkan
setengah jurus ilmu silat, bilamana Cong-koan kami tak
berhasil memecahkannya, maka pihak lawan boleh
memborong seorang nona diantara ratusan nona yang ada."
"Kalau begitu! Kiang To pun sudah meninggalkan
sejurus ilmu silat yang tak berhasil dipecahkan oleh Congkoan
kalian?"
"Benar!"
"Adakah orang lain yang berusaha untuk mendapatkan It
Peng Hong?"
"Sudah tentu ada! Orang2 ini hampir-hampir saja
menemui ajalnya ditangan Kiang To, Walaupun Cong-koan
kami sudah memberi peringatan sebelum mereka bertindak,
tapi mereka tidak suka mendengarkan nasehat itu, bahkan
begitu ngotot hendak mencari nona 'It Peng Hong'."
Pek thian Ki tersenyum, ketika itu kembali ada beberapa
orang Bu-lim yang berjalan masuk kedalam Istana
Perempuan.
Pemuda itupun lantas mengucapkan terima kasihnya
kepada siorang tua itu, dengan mengikuti dari belakang
jago-jago Bu-lim tersebut pemuda itu masuk kedalam pintu
Istana.
Tempat itu merupakan sebuah ruangan besar yang
lebarnya bukan main, baru saja pemuda she Pek itu berjalan
masuk, seorang gadis berbaju kuning sudah maju
menyongsong kedatangannya.
"Kongcu, apakah kau mendatangi Istana kami untuk
mencari nona?
"Benar!"
"Entah gadis mana yang paling kongcu sukai?"
"Golongan yang terakhir?"
Mendengar perkataan tersebut, sidara berbaju kuning itu
rada melengak dibuatnya, sebentar kemudian ia sudah
tertawa cekikikan.
"Kau ingini seorang nona untuk menemani kau tidur
satu malam?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Dengan sinar mata yang tajam dara berbaju kuning itu
memperhatikan diri Pek Thian Ki dari atas hingga
kebawah, Agaknya gadis tersebut sedang berkata; "Usia
masih muda, badan sudah tinggal sebaris Bay-kut, delapan
bagian tentu habis dikarenakan main perempuan terlalu
banyak. . ."
"Eeee. . . bagaimana? Tidak boleh?" tegur Pek Thian Ki
rada melengak.
"Boleh. . . boleh! Sudah tentu boleh, cuma saja rada tidak
gampang. . . /'
"Tidak gampang?"
"Benar! Untuk mendapatkan seorang nona yang
menemani kau semalam, maka kepandaian silat yang kau
miliki harus bisa menangkan dulu kepandaian dari Congkoan
kami, sedangkan kau kelihatannya lemah-lembut tidak
bertenaga, Aku lihat tak mungkin bisa jadi!"
Pek Thian Ki tertawa;
"Cayhe ada maksud untuk men-coba2, kemungkinan
sekali ketika Cong-koan kalian melihat badanku tinggal
sebaris Bay-kut saja lantas memberi satu kesempatan baik
buatku, Bukankah hal ini ada kemungkinannya?"
"Hmmm! Kau jangan bermimpi disiang hari bolong,
cuma kalau memang kau minta seorang nona untuk
menemani dirimu, terpaksa akupun akan laporkan urusan
ini kepada Cong-koan."
"Nona silahkan. . ."
Sambil menanti datangnya gadis itu kembali Pek Thian
Ki jalan mondar-mandir didalam ruangan besar.
Mendadak. . . . Dari pintu luar Istana berkumandang
datang suara teriakan yang amat keras!
"Kawan-kawan sekalian, Diatas kata-kata wanita ada
pisaunya, sejak dahulu kala perempuan disebut orang
sebagai bibit bencana, banyak enghiong hoohan yang mati
didalam pelukan kaum perempuan. Mari. . . mari. . . .mari.
. . untuk mengetahui apakah akhirnya kalian akan mati
karena perempuan atau tidak, silahkan datang untuk
menanyakan nasib, kemungkinan sekali urusan berat
diselesaikan, mari silahkan mencoba, tidak dipungut
bayaran."
Suara gemboran tersebut amat keras bagaikan sambaran
geledek, terasa ditelinga mendengung tiada hentinya.
Mendengar suara tersebut, Pek Thian Ki merasa hatinya
tergetar sangat keras, ia merasa suara orang itu sangat
dikenal olehnya.
Mendadak ia teringat kembali, suara tersebut agaknya
berasal dari mulut si Sin Si-poa, yang sudah pernah
ditemuinya beberapa kali. Tubuhnya dengan cepat mencelat
kedepan, dan melayang keluar dari pintu Istana.
"Kawan, siapakah namamu, ingin tanya apa," Waktu itu
terdengar Sin Si-poa sedang berseru.
"Cayhe she Lim bernama Cun Seng, lahir tanggal tiga
bulan lima tengah malam, aku ingin menanyakan nasibku.
"Tanya nasib?" Baik. . .baik. . ."
Pek thian Ki yang sudah tiba didepan pintu, segera dapat
melihat dibawah sebuah pohon liu yang lebat tergantung
sebuah lampu teng-tengan yang memancar cahaya tajam,
dibawah pohon terdapat sebuah meja dan dibelakang meja
berdirilah seorang tua yang berbaju hitam yang bukan lain
adalah Sin Si-poa.
Secarik kain putih dengan lima buah tulisan besar
tergantung didepan meja tersebut. "Ahli Ramal dari Kolong
Langit!" Disamping tulisan besar itu tertera pula beberapa
tulisan dengan kata-kata yang lebih kecil.
"Melihatkan nasib orang-orang Bu-lim, Membacakan
takdir tamu-tamu Kang-ouw." Ditengah tulisan tersebut
tertera pula sebuah tulisan yang sangat menyolok;
"Bilamana tidak cocok batok kepala dihadiahkan sebagai
pengganti. . . ."
Sungguh bualan seorang sinting! Sekalipun Sin SI-poa
adalah seorang dewa, iapun tidak mungkin bisa mengetahui
nasib manusia dikolong langit dengan demikian jelasnya.
Tetapi bukan saja pihak lawan mengarahkan
pekerjaannyan ini terutama bagi orang2 Bu-lim, bahkan
syarat yang diajukan sangat mengejutkan pula. Bila tidak
cocok, batok kepala akan dihadiahkan, suatu syarat yang
sangat mengejutkan.
Pada waktu itu ada seorang lelaki berusia pertengahan
sedang menanyakan nasibnya, Terdengar Sin Si-poa
tertawa terbahak-bahak.
"Ha. . .haaa. . .haaa. . . kawan, bolehkah aku orang
langsung membicarakan persoalan ini?"
"Sudah tentu."
"Jika ditinjau dari nasibmu, agaknya nama maupun
kekayaanmu hanya termasuk golongan biasa saja," ujar Sin
Si-poa dengan wajah serius. "Sejak kecil kau sudah
kehilangan ayahmu, ibumu kawin lagi dengan orang lain,
sedang kau sendiri hidup sebatang kara, sehingga akhirnya
angkat guru dan berkelana didalam dunia kangouw,
Sesudah menikah dan beristeri tidak beruntung, Hujin kena
penyakit aneh, sehingga harus berbaring terus dirumah,
karena itu sering sekali kau orang mencari kesenangan
ditempat luaran, Tapi aku lihat nasibmu biasa-biasa saja. . "
Mendengar sampai disitu, silelaki yang bernama Lim
Cun Seng itu tak dapat menahan gejolak hatinya lagi, ia
berteriak keras; "Kau sungguh2 seorang dewa, tepat. .
.tepat. . .tepat. .terlalu tepat!"
"Aaaach. . kawan! Kau terlalu memuji."
"Berapa ongkosnya?"
"Tidak perlu, aku hanya bekerja menurut kemauan hati
saja!"
"Terima kasih. . .terima kasih. ."
Dengan langkah lebar Lim Cun Seng segera putar badan
dan langsung menuju kedalam ruangan Istana Perempuan.
Sewaktu Lim Cun Seng menjerit kaget tadi, dari dalam
Istana Perempuan kebetulan sekali muncul pula lima enam
orang lelaki kekar.
Agaknya orang2 itupun mendengar pembicaraan dari Sin
Si-poa serta teriakan Lim Cun Seng, kelihatan beberapa
orang itu berdiri ter-mangu2.
"Eeeee. . . kawan!" akhirnya seorang lelaki berusia
pertengahan menegur diri Lim Cun Seng, " Apakah siorang
tua itu bisa meramal tepat?"
"Tepat. . .tepat. . .terlalu tepat!" Sembari berkata, ia
langsung menuju kedalam ruangan Istana.
"Mari kita pergi lihat kesana." ajak siorang berusia
pertengahan itu kepada kawan2nya, "Kita buktikan apakah
orang tua itu benar-benar seorang dewa hidup."
Tidak menanti jawaban dari kawannya lagi, ia langsung
menerjang kehadapan Sin Si-poa diikuti kawan- kawannya
dari belakang.
Pek Thian Ki yang menonton jalannya peristiwa itu dari
samping, mendadak merasakan keadaan sedikit kurang
beres, kedatangan Sin Si-poa ditempat ini pasti membawa
hal-hal yang luar biasa, apalagi ditengah malam buta ia
meramalkan nasib orang, dibalik kesemuanya ini tentu
mengandung suatu latar belakang yang misterius. Perlahanlahan
iapun berjalan mendekati si Sin Sipoa.
Ketika itu. . . .
"Kawan! Apakah kalian beberapa orang pun hendak
melihat nasib?" tegur si Sin Si-poa sambil mendengakkan
kepalanya memperhatikan silelaki berusia pertengahan itu
sekejap.
"Benar!"
"Kalau begitu kalian harus berbaris dan antri satu demi
satu."
Keenam orang itu tidak banyak cakap lagi, mereka
berbaris dan antri memanjang kebelakang dengan silelaki
berusia pertengahan itu berada dipaling depan.
"Kawan! Coba beritahu siapakah namamu? Dan beritahu
pula kapan kau dilahirkan apa yang ingin kau tanyakan?"
ujar Sin Si-poa tertawa.
"Aku she Nyioo bernama Hong dilahirkan pada tanggal
delapan bulan delapan siang. . ."
Sinar mata Sin Si-poa per-lahan2 dialihkan keatas wajah
Nyioo Hong, lama sekali ia baru menggeleng. "Tidak
benar!"
"Apa yang tidak benar?"
"Namamu tidak benar, jika ditinjau dari hari
kelahiranmu serta namamu rasanya tidak ada persesuaian
kawan! Bagaimanapun kau tidak boleh mencari nama palsu
seenaknya!"
Air muka Nyioo Hong langsung berubah hebat.
"Loocianpwee, perkataanmu tepat sekali, aku bukan
bernama Nyioo Hong. . . aku tidak jadi melihat nasib. . ."
Tubuhnya segera diputar dan berlalu dengan ter-gesa2 dari
sana.
Tiba-tiba. . .
"Kawan! Apakah hitunganmu cocok?" Suara seseorang
yang nyaring bergema datang.
Saking nyaring dan kerasnya suara tersebut, semua orang
yang ada disana termasuk juga Pek thian Ki merasa amat
terperanjat, karena mereka merasa bahwa nada suara orang
itu kuat bertenaga, jelas bukan seorang sembarangan.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, tampaklah ditengah
kalangan sudah bertambah lagi dengan seorang kakek tua
berbaju hitam yang mempunyai raut muka buas dan jelek.
Sin Si-poa alihkan sinar matanya memandang sekejap
kearah orang itu kemudian ia melengos dan tidak lagi
memnggubris siorang tua berbaju hitam itu.
Kepada seorang lelaki yang berada dihadapannya ia
berseru; "Sekarang ada seharusnya giliranmu."
Sikakek tua berbaju hitam yang melihat Sin Si-poa tidak
ambil gubris terhadap dirinya, air mukanya kontan berubah
hebat, hawa gusarpun melintasi wajahnya.
"Kawan!" bentaknya sambil menerjang maju kedepan,
Perkataan yang aku tanyakan padamu sudah kau dengar
belum?"
"Emmm! Memang aku dengar sangat jelas!"
"Mengapa kau tidak menjawab?"
"Aku lihat sepasang matamu masih utuh dan normal,
tidak seharusnya buta terhadap tulisan diatas kain itu?"
Beberapa patah perkataan ini terang2an terlalu tidak
pandang mata terhadap siorangt tua berbaju hitam itu, air
muka siorang tua tersebut sudah tentu berubah semakin
hebat lagi.
"Baik. . .baik. . .baik. . . akan kubiarkan kau menghitung
nasibku, jika tidak tepat, hmmm! Akan kujagal dirimu."
Sembari berkata tubuhnya menerjang maju kedepan meja.
"Eeeei kawan! Sekarang bukan giliranmu, sana antri
dulu," tegur Sin Si-poa dingin.
Siorang tua berbaju hitam itu semakin gusar lagi, tetapi
ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap diri Sin Si-poa,
terpaksa badannya mundur kembali kebelakang untuk antri.
Pada waktu itu Sin Si-poa sudah mulai membanyol
dengan orang kedua.
"Pek sauw-hiap kau pun sudah tiba disini?" Pek thian Ki
yang sedang melamun seorang diri, mendadak ditegur
seseorang dari belakang tubuhnya.
Mendengar teguran tersebut pada mulanya Pek Thian Ki
rada melengak, buru-buru ia menoleh kebelakang,
tampaklah si dara berbaju hijau Suma Hun dengan gaya
sangat menggiurkan sudah berada dibelakangnya.
"Nona Suma! Kebetulan sekali akupun sedang mencari
dirimu." teriak Pek Thian Ki rada melengak. "Sewaktu
berada digunung Lui Im-san mengapa secara mendadak kau
berlalu?"
"Ooooouw. . . aku ada urusan," Suma Hun tersenyum.
Ia merandek sejenak, sinar matanya lantas dialihkan keatas
wajah Sin Sin-poa, kemudian sekali lagi tersenyum;
"Akupun kepingin melihat-lihat apakah ramalannya
tepat atau tidak. . ." Sembari berkata, ia langsung berjalan
mendekati diri Sin Si-poa tersebut.
Melihat seorang gadis berjalan mendekati kearahnya,
situkang ramal itu lantas menoleh;
"Oooouw. . kiranya kau orang!" sapanya tersenyum.
"Beruntung sekali tempo hari kau suka menahan badanku,
sehingga tidak sampai mati terbanting, Nona, kaupun ingin
diramal?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Diantara biji mata Suma Hun yang jeli terlintaslah suatu
hawa membunuh yang sangat menyeramkan, tapi sebentar
kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala.
"Kalau begitu, kaupun harus antri." ujar situkang ramal
itu lagi.
"Tidak, tidak bisa jadi, perempuan harus nomor satu."
potong Suma Hun dingin.
"Oooh, yaa. . benar. .benar. . Perempuan harus nomor
satu, perempuan harus nomor satu!"
Suma Hun tersenyum, ia berjalan mendekati Sin Si-poa
tanpa banyak berpikir panjang lagi.
"Nona, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Aku ingin kau orang suka meramalkan diriku, coba kau
hitung siapakah diriku dan bagaimana nasibku tempo dulu,
Loocianpwee! Kau harus berhati-hati, salah sedikit, batok
kepalamu akan pindah rumah.
"Soal ini kau boleh berlega hati, sekarang kau harus
sebutkan nama serta tanggal kelahiranmu."
Suma Hun menyebutkan nama serta tanggal
kelahirannya tanpa banyak rewel-rewel lagi. Lama sekali
Sin Si-poa memperhatikan wajah Suma Hun, sidara berbaju
hijau itu akhirnya berkata lagi;
"Coba kau keluarkan tangan kananmu agar bisa aku
periksa."
Suma Hun menurut dan keluarkan tangannya kehadapan
Sin Si-poa. Sesudah diperiksa lama sekali, mendadak
situkang ramal itu kerutkan alisnya.
"Nona, hal ini sedikit tidak benar!"
"Apanya yang tidak benar?"
"Agaknya kau bukan bernama Suma Hun?"
"Omong kosong!" bentak Suma Hun dengan air muka
berubah hebat. "Apa kau kira aku bisa mencari nama palsu
untuk membohongi dirimu?"
"Jadi, namamu itu adalah yang asli?"
"Benar."
"Waah. . . ! Kalau begitu urusan jadi sangat aneh." seru
situkang ramal sambil manggut2. "Jika ditinjau dari garis
nyawamu, seharusnya kau orang tidak seramah dan sehalus
ini, sebaliknya nona merupakan seorang manusia yang
berhati ganas dan kejam, karena ditanganmu banyak
terdapat garis- garis melintang. . . ."
Mengikuti perkataan dari Sin Si-poa, air muka Suma
Hun pun ikut berubah tiada hentinya. . . .
"Walaupun garis jelek sangat banyak, tapi akhirnya
terputus oleh garis Liang-sim, oleh sebab itu hingga sampai
saat ini semua orang yang sudah roboh ditanganmu hanya
terluka saja, tidak sampai terbunuh. . . . sedangkan
mengenai basibmu, sejak ayahmu mati lantas. . . .
Munggkin sekali nasibmu akan berubah jauh lebih baikan,
sedangkan didalam soal cinta, tidak begitu sukses. . . .
karena watakmu terlalu cemburuan, Soal ini asalkan kau
bisa berubah, tentu tidak sukar untuk banyak menolong
dirimu.
"Sungguh tepat sekali."
"Kalau tidak cocok mana aku berani bergurau dengan
taruhan batok kepalaku sendiri?"
"Sekarang aku ingin menemukan sebuah benda. coba
kau lihat aku berhasil menemukan atau tidak?"
"Coba kau ambil sebuah ciam-si!" Dari dalam sakunya ia
mengambil keluar delapan lembar kertas persegi delapan,
kemudian sambil berkemak-kemik, ia suruh Suma Hun
memilih satu.
Setelah gadis itu memilih dan diperiksa sebentar olehnya,
siorang tua itu menggeleng.
"Sukar!"
"Bagaimana? Sukar ditemukan?"
"Benar! Sulit untuk ditemukan kembali, Tetapi
kemungkinan sekali pihak lawan bisa bermurah hati dan
mengembalikan barang itu kepadamu!"
"Hmmm. . .hmmm. . . ilmu meramal dari Loocianpwee
benar-benar sangat tepat, entah bagaimana dengan ilmu
silat?"
"Lohu sendiri pernah belajar beberapa jurus, cuma
kurang bagus, nona, apa maksudmu menanyakan soal ini?"
"Jikalau kepandaian silatmu sama-sama lihaynya dengan
ilmu meramalmu, maka keadaannya akan jauh lebih bagus.
Bab 23
Pek Thian Ki mendengar perkataan tersebut, agaknya
secara mendadak menemukan kalau dibalik perkataan
Suma Hun masih terselip juga maksud yang lebih
mendalam, hanya saja untuk beberapa waktu ia tak
mengerti apakah arti dari perkataannya itu.
"Masing-masing orang mempunyai keahlian yang
berbeda-beda, jika seseorang bisa menguasai segalanya. . .
wah. . . itu baru hebat." sambung Sin Si-poa sambil tertawa.
"Entah aku harus membayar berapa untuk ramalanmu
ini?"
"Tempo hari nona sudah menerima badanku, sehingga
tidak sampai jatuh terbanting, kali ini bagaimanapun, aku
tak bisa menerima uang pemberianmu itu."
"Tidak! Lebih baik aku beri sedikit uang untukmu." Dari
dalam sakunya ia mengambil keluar setahil perak, dan
dilemparkan kearah situkang ramal tersebut.
"Setahil perak ini aku hadiahkan semua untukmu!"
serunya.
Dimana tangan kanan Sin Si-poa menyambar lewat,
uang tersebut tahu-tahu sudah berada didalam
genggamannya, tetapi sebentar kemudian air mukanya
sudah berubah hebat, tangan yang digunakan untuk
menerima uang perak itupun kelihatan gemetar keras.
Cukup ditinjau dari hal ini, jelas membuktikan kalau
Suma Hun telah menggunakan tenaga lweekang tingkat
teratas untuk melemparkan uang perak tersebut kearah Sin
Si-poa.
Meninjau dari keadaan ini, diam-diam Pek Thian Ki
merasa sangat terperanjat dan pada saat yang bersamaan
pula Suma Hun sudah putar badan berlalu.
Pada waktu itu. . .
Terdengar Sin Si-poa tertawa ter-bahak2 dengan amat
kerasnya. "Haaaa. . . . haaa. . . haaa. . . kalau memang nona
paksa juga diriku untuk menerima uang ini, rasanya kurang
enak kalau aku tidak menerima hadiah kebaikan hatimu itu,
tapi tidak usah sebegini banyaknya, Nah, nona boleh ambil
kembali separuh bagian."
Dimana cahaya putih berkelebat lewat dengan
memancarkan cahaya tajam uang perak tersebut sudah
meluncur kembali kearah Suma Hun.
Dengan sebat Suma Hun putar badan menerima uang
perak tersebut, ketika ia memperhatikan lebih teliti lagi
benda yang berada ditangannya, mendadak sang air muka
berubah hebat, Kiranya uang perak yang berada
ditangannya kini sudah tinggal separuh bagian.
Kesempurnaan dari tenaga dalam yang dimiliki Sin Sipoa,
benar2 luar biasa tingginya, Dia ternyata bisa
memutuskan uang perak tersebut jadi dua bagian hanya
didalam sekali gerak tangan saja, hal ini membuktikan
kalau kepandaian silatnya benar-benar sangat lihay.
"Loocianpwee! Kepandaianmu ternyata kuar biasa!" seru
Suma Hun sambil tertawa tawar. Tubuhnya segera
berkelebat kesisi Pek Thian Ki dan melemparkan satu
senyuman manis kearahnya.
"Eeeeei. . . . si Bay-kut kurus, kau orang hendak melihat
nasib tidak?" tegur situkang ramal dengan suara keras.
"Melihat nasib? Tapi cayhe tidak punya waktu. . ."
Baru saja Pek Thian Ki berbicara sampai disitu,
mendadak terdengar suara langkah manusia bergerak
mendekat memecahkan kesunyian, Tampaklah sidara
berbaju kuning yang dijumpainya sewaktu ada didalam
Istana Perempuan sudah berjalan mendekati dirinya.
Kepada pemuda tersebut, ia menjura, lalu ujarnya;
"Kongcu, cong-koan kami ada undangan."
"Terima kasih."
Tanpa banyak cakap lagi, ia mengikuti dari belakang
tubuh dara berbaju kuning itu masuk kedalam ruangan
Istana Perempuan.
"Pek Sauw-hiap, tunggu sebentar," teriak Suma Hun
mendadak.
"Nona Suma, kau masih ada urusan yang lain?" jawab
sang pemuda sambil berhenti dan menoleh.
"Kau. . . apa yang hendak kau lakukan disini?"
"Aku?. . . aku sudah datang kemari sudah tentu untuk
bermain dengan nona-nona."
"Kau. . . lelaki busuk!"
Setelah memaki Suma Hun segera putar badan dan
berlalu dari sana. Melihat gadis itu berlalu Pek Thian Ki
tertawa ter-bahak2, air mukapun menunjukkan sikap yang
sombong dan memandang tinggi diri sendiri.
Belum jauh pemuda itu berjalan kedalam istana,
mendadak Sin Si-poa kembali berteriak;
"Eeee. . . . baykut kurus kau benar-benar seorang
manusia gemar main perempuan, badanmu sudah sekurus
itu masih juga kau orang ingin main perempuan, kau harus
hati-hati. . . main perempuan kebanyakan akan berbahaya
bagi dirimu."
Pek Thian Ki bergidik mendengar peringatan tersebut.
"Hey Baykut-kut kurus, hati-hati, wanita adalah racun
dunia, berhati-hatilah mengdahapi segala kejadian." teriak
Sin Si-poa kembali.
Terutama sekali beberapa patah kata terakhir dari
situkang ramal itu, bagaikan kena strom seluruh tubuh Pek
Thian Ki gemetar keras.
Justeru karena kedatangannya ke Istana Perempuan
inilah ia merasa keadaan sangat berbahaya apa lagi sesudah
mendengar peringatan tersebut.
Kedatangannya untuk mencari It Peng Hong
bagaimanapun jelas pasti akan dihalangi oleh Kiang To.
"Baiklah aku akan menanyakan pula nasibku." akhirnya
tanpa sadar ia sudah putar badan dan mendekati meja
situkang ramal tersebut.
"Haaa. . .haaa. . .haaa. . .suatu dagangan yang amat
besar. . ."
Ketika itu kembali si Sin Si-poa meramalkan nasib dari
kelima orang yang terdepan, dan setiap orang merasa
ramalannya sangat tepat. Kini adalah gilirang dari siorang
tua berbaju hitam itu.
"Saudara, siapakah namamu?" tanya Sin Si-poa sambil
memandang pihak lawannya.
"Bun Tong Yen, aku ingin mencari seseorang."
"Cari orang? Siapa yang sedang kau cari?"
"Soal ini kau tidak perlu tahu, aku ingin bertanya apakah
aku bisa menemukan orang itu atau tidak?"
"Coba ambil Ciam-si."
Kembali ia mengeluarkan beberapa lembar kartu,
kemudian sambil membaca mantera, ia suruh Bun Tong
Yen pilih satu lembar kartu. Setelah itu dengan perlahanlahan,
situkang ramal itu baru berkata;
"Kawan sebelum aku membebaskan dirimu dari
persoalan yang sulit ini, terlebih dahulu ada satu persoalan
hendak kusampaikan kepadamu, cuma aku takut kau tidak
kuat untuk membayarnya."
"Berapa?"
"Sebenarnya tidak banyak, juga tidak sedikit hanya
seratus tahil uang emas!"
"Apa? Seratus tahil uang emas!" Kau. . .kau. . .bukankah
kau sedang memeras?"
"Waaaah. . .waaah. . . dugaanmu salah besar, kawan!
Mau atau tidak itu terserah pada dirimu sendiri, jika kau
tidak kuat untuk bayar, kitapun tak usah berunding lebih
lanjut."
"Hmmm! Mana ada ongkos meramal yang demikian
mahalnya?"
"Soalnya keadaan saudara sangat teristimewa!"
Beberapa patah perkataan dari Sin Si-poa ini segera
membuat wajah siorang tua berbaju hitam itu berubah
hebat, dengan perasaan kaget, ia melototi situkang ramal itu
tajam-tajam.
"Apa keistimewaannya?"
"Aku tidak perlu terangkan rasanya kau sendiripun jelas
bukan?" Bagaimana mau diteruskan atau tidak?"
Agaknya siorang tua berbaju hitam itu sudah terjebak
didalam siasat Sin Si-poa, ujarnya dingin;
"Dalam sakuku tinggal beberapa puluh tahil perak saja,
bagaimana kalau aku berikan semua kepadamu?"
"Tidak bisa jadi!"
Siorang tua berbaju hitam itu mengerutkan alisnya,
secara samar-samar hawa membunuh mulai melintas diatas
wajahnya, akhirnya dari dalam saku ia mengambil keluar
sebutir mutiara berwarna merah dan dilemparkan keatas
meja.
"Bagaimana kalau aku membayar dengan sebutir mutiara
tersebut?" teriaknya.
Dengan hati-hati dipungutnya mutiara tersebut, lalu
diperiksa dengan teliti, setelah itu situkang ramal baru
mengangguk;
"Boleh. . . boleh. . ."
"Tapi kau harus ingat, jika tidak tepat ramalanmu hatihati
kepalamu akan pindah rumah."
"Boleh. . .boleh. . . aku lihat saudara sedang menerima
perintah untuk mencari orang, tapi orang yang sedang kau
cari agaknya sukar untuk ditemukan dan saudara sudah
sangat lama mencarinya. . "
"Teruskan. . .!"
"Tapi, malam nanti kau dapat menemui orang yang
sedang kau cari itu!"
"Apakah perkataanmu itu sungguh-sungguh?"
"Kawan, coba kau pikir, apakah aku orang bisa
menggunakan batok kepalaku sendiri sebagai bahan
banyolan?"
"Heeee. . .heeee. . .heeee, baik. .baik!" seru siorang tua
berbaju hitam itu kemudian. "Bilamana aku tak berhasil
menemukan orang itu, Hmmm! Aku bisa datang kemari
untuk menuntut kerugian."
Tanpa ambil pusing lagi keadaan disana, ia lantas putar
badan dan berlalu.
Pek Thian Ki yang menonton jalannya peristiwa tersebut
dari samping kalangan rada tertegun juga dibuatnya, Ia
merasa siorang tua berbaju hitam itu terlalu misterius dan
membuat orang men-duga2 asal-usulnya.
"Bangsat cilik, apa yang membuat kau tertegun?" Tibatiba
tegur situkang ramal dengan suara yang keras.
"Loocianpwee, siapakah orang itu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?"
"Kalau begitu, tolong loocianpwee ramalkan nasibku."
Air muka Sin Si-poa berubah jadi memberat ujarnya
tegas; "Bocah kurus lebih baik jangan punya ingatan untuk
menggoda It Peng Hong kalau tidak, hal ini akan
mendatangkan ketidak beruntungan buat dirimu."
Beberapa patah perkataan ini penuh mengandung nada
yang seram, membuat setiap orang yang mendengar ikut
merasa bergidik.
Dengan tanpa sadar, Pek Thian Ki mundur selangkah
kebelakang, teriaknya keras; "Si i. . .siapa kau?"
"Soal ini kau tidak perlu bertanya. . ."
"Tapi It Peng Hong pasti akan kudapatkan."
"Aku pikir tidak semudah itu. . ."
"Cayhe akan coba-coba."
Dalam pembicaraan tersebut, tanpa terasa Pek thian Ki
sudah timbul perasaan curiga terhadap Sin Si-poa ini,
sebenarnya darimanakah asal-usul orang ini?
Agaknya pemuda tersebut tidak ingin banyak ribut lagi
disitu, tubuhnya mendadak berputar dan langsung
berkelebat kearah ruangan Istana Perempuan.
"Bocah kurus, tunggu dulu!" kembali situkang ramal itu
membentak dingin.
"Loocianpwee, kau masih ada pesan apa lagi?"
"Aku bermaksud menasehati dirimu dengan baik-baik,
mau percaya atau tidak, itu terserah dirimu sendiri, kau
jangan pergi dulu, ada sebuah urusan hendak kutitipkan
kepadamu dan hampir saja aku lupa."
"Urusan apa?"
Dari dalam sakunya Sin Si-poa mengambil keluar secarik
kertas diserahkan kepada Pek Thian Ki. Tolong kau
serahkan kertas ini buat nona Suma itu. . ." pesannya.
"Mengapa tidak kau sampaikan sendiri, sewaktu
berjumpa tadi?. . ." tanya pemuda tersebut melengak.
"Hal ini tidak mungkin terjadi, kalau tidak, kenapa tidak
aku serahkan sendiri? Maukah kau orang membantu diriku?
Jika kau setuju, maka sewaktu berjumpa dengan dirinya
lebih baik jangan sekali-kali menyebutkan kalau kertas ini
akulah yang berikan kepadamu."
Secara mendadak, Pek Thian Ki mulai merasakan bahwa
Sin Si-poa penuh mengandung misteri. Ia mulai
memperingatkan dirinya untuk berwaspada, karena ia
belum tahu maksudnya baik ataukah bermaksud jelek?
Tiba-tiba, seperti pemuda itu sudah teringat akan sesuatu,
tubuhnya kelihatan merinding dan suatu bayangan yang
sangat menakutkan mendadak berkelebat didalam
benaknya.
"Apa mungkin dialah Kiang To?. . ." pikirnya dihati.
Sudah tentu hal inipun ada kemungkinannya, sebelum
Kiang To munculkan dirinya didepan umam setiap orang
bisa dicurigai dialah samaran dari Manusia yang bernama
Kiang To itu.
"Baiklah!" sahut Pek Thian Ki kemudian setelah berpikir
sebentar. "Akan kubantu serahkan benda ini kepadanya."
"Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasihku
kepadamu." seru situkang ramal sambil serahkan kertas
tersebut ketangannya.
Didalam benak Pek thian Ki pun mulai bertambah lagi
dengan beberapa persoalan yang mencurigakan hatinya.
Sebenarnya berasal darimanakah Suma Hun serta Sin Sipoa
ini? Dan siapa pula siorang tua berbaju hitam tadi?
Teka-teki ini sulit untuk dipecahkan oleh Pek thian Ki.
Benar, didalam benak Pek Thian Ki dasarnya memang
sudah dipenuhi dengan berbagai persoalan yang
mencurigakan hatinya, dan kini ditambah pula dengan
beberapa persoalan yang demikian banyaknya, sudah tentu
tak akan terjawabkan olehnya persoalan-persoalan tersebut.
Ia menarik napas panjang-panjang dan berguman
seorang diri. "Buat apa aku turut campur didalam persoalan
sampingan ini? Lebih baik cepat-cepat aku mencari seorang
gadis, lalu menyewa rumah tersebut dan menyelidiki jejak
dari suhu. . ."
Kepada sidara berbaju kuning itu ia lantas mengangguk.
"Mari kita pergi!"
Demikianlah, dibawah bimbingan dara berbaju kuning
itu, Pek Thian Ki berjalan masuk kedalam pintu istana,
melewati ruangan besar dan menuju kesebuah ruangan
disebelah belakang. Setelah masuk kedalam ruangan
belakang suara tertawa cekikikan dari gadis2pun mulai
kedengaran sangat ramai, Dan dara berbaju kuning itupun
telah mengetuk pintu kamar belakang tersebut.
"Siapa?" Dari dalam ruangan berkumandang datang
suara pertanyaan dari seorang perempuan.
"Aku! Lapor Cong-koan, ada orang hendak mencari
nona untuk menemani dirinya satu malam."
"Ehmmm. . .! Suruh dia masuk!"
"Baik!" Dara berbaju kuning itu lantas menoleh kearah
Pek Thian Ki dan serunya; "Kawan, silahkan masuk
kedalam."
Pek Thian Ki mengangguk, per-lahan2 ia mendorong
pintu tersebut dan dengan sombong melangkah masuk
kedalam. Ruangan yang berada dihadapannya pada saat ini
merupakan sebuah ruangan yang sangat indah sekali dan
mewah, seorang wanita setengah baya sedang berjalan
mendekati kearahnya.
Wanita setengah baya itu amat cantik, walaupun usianya
sudah lanjut, tapi kecantikan wajahnya masih belum luntur,
Setelah tiba dihadapan Pek Thian Ki, ujarnya sambil
tersenyum;
"Aku dengar mereka berkata bahwa saudara kesepian
dan ingin mencari seorang nona untuk menemani dirimu
satu malam?"
"Betul!"
"Entah siapakah namamu?"
"Cayhe she Pek bernama Pek Thian Ki."
"Apa? Pek Thian Ki?"
Ketika mendengar disebutnya nama tersebut, sang Congkoan
berubah muka, agaknya ia sangat terperanjat,
tubuhnya ber-turut2 mundur dua tiga langkah kebelakang,
dan memandang kearah pemuda tersebut dengan mata
melotot.
"Apanya yang salah?" tegur pemuda she Pek sambil
tertawa.
Sikap yang gugup dari Cong-koan itupun perlahan-lahan
jadi tenang kembali, "Kau. . .kau bernama Pek Thian Ki?"
"Benar, bagaimana? Apakah tidak mirip?"
"Hmmm! Bukan saja tidak mirip, bahkan aku tidak
percaya dengan sekerat tulang bay-kutnya yang amat kurus
ternyata bisa mengacau diistana Arak serta Istana Harta."
pikir Cong-koan tersebut.
Dilain pihak, iapun mendengar orang berkata bahwa Pek
thian Ki adalah Kiang To.
Walaupun It Peng Hong sudah diborong oleh Kiang To,
tapi kecuali It Peng Hong sendiri belum ada seorang
manusiapun yang pernah menemui wajah Kiang To yang
asli.
Setelah pikirannya berputar, siwanita setengah baya sang
cong-koan dari Istana Perempuan itupun tersenyum,
bagaimanapun juga sebagai pekerjaan sehari-harinya, ia
sudah sering menemui tamu macam begini.
"Oooouw. . . kiranya saudara sudi mengunjungi istana
kami, hal ini benar2 ada diluar dugaanku, dan inipun
merupakan suatu kehormatan buat istana kami." serunya
serius.
"Cong-koan terlalu memuji, kau boleh mulai menjajal
kepandaian silatku."
"Bagus sekali, aku tahu kepandaian silat yang saudara
milki sangat lihay, tapi terpaksa aku harus bergebrak juga
dengan dirimu, harap saudara suka memaafkan kelakuanku
ini."
"Silahkan Cong-koan beri petunjuk,"
"Baiklah, terimalah seranganku ini."
Selesai berkata, tubuhnya laksana sambaran kilat
mencelat kedepan mengirim beberapa pukulan yang maha
dahsyat keatas tubuh Pek thian Ki, kecepatan geraknya
sangat luar biasa.
Pada saat ini, tenaga dalam yang dimiliki Pek thian Ki
pun sudah pulih delapan bagian, menanti serangan wanita
setengah baya itu, hampir mengenai tubuhnya, dengan
sebat ia mencelat kesamping.
Baru saja Pek thian Ki mencelat kesamping serangan
berikut dari wanita itu kembali sudah menggulung datang.
Melihat datangnya serangan tersebut, bukannya mundur
sebaliknya Pek thian Ki malah maju kedepan, gerakan
tubuhnya jauh lebih cepat beberapa bagian daripada
gerakan sang Cong-koan tersebut.
Hanya didalam sekejap mata iapun sudah mengirim dua
buah serangan balasan. Walaupun wanita setengah baya itu
mengerti bila kepandaian silat yang dimiliki Pek thian Ki
sangat tinggi, tetapi ia tidak menduga bisa setinggi begini,
sewaktu pemuda tersebut melancarkan dua buah serangan
itulah tubuhnya tahu-tahu sudah menjadi kaku, sedang Pek
thian Ki sendiripun telah melayang mundur kebelakang.
Seketika itu juga wanita setengah baya itu berdiri
mematung ditempatnya semula.
"Cong-koan terima kasih atas petunjukmu." seru Pek
Thian Ki sambil tertawa ringan.
Seperti baru saja bangun dari impian, wanita setengah
baya itu tertawa pahit. "Kepandaian sakti yang saudara
miliki benar2 sangat mengejutkan, aku merasa sangat
kagum."
"Kalau begitu aku sudah boleh mencari nona untuk
menemani aku tidur bukan?"
"Sudah tentu boleh, saudara baru pertama kali ini
mengunjungi Istana kami, bagaimana kalau aku pilihkan
seorang nona buat saudara?"
"Tidak perlu, walaupun cayhe baru pertama kali
mengunjungi Istana ini, tetapi terhadap empat orang gadis
cantik. . .'Giok Kong Su Kiauw' sudah lama merasa kagum.
. ."
"Lalu saudara hendak cari yang mana?" sambung wanita
setengah baya itu dengan cepat. "Ting Siang Giok Lian
Hoa? ataukah Siauw Tauw Hong?"
"Cong-koan, agaknya kau sudah lupa menyebutkan
nama seorang nona diantaranya. . .?" tegur pemuda tersebut
sambil tertawa.
"Kau. . .kau maksudkan It Peng Hong?" tanya wanita
setengah baya itu dengan wajah berubah.
"Tidak salah. . ."
"Tapi. . ."
"Tapi It Peng Hong telah diborong oleh Kiang To?"
"Benar!"
"Tapi aku tetap menginginkan dirinya!"
"Tidak bisa jadi!"
Air muka Pek thian Ki berubah, bentaknya dingin; "Aku
sudah bulatkan tekad untuk minta nona It Peng Hong,
sekalipun tidak bisa, juga harus bisa!"
"Kawan kau hendak menggunakan kekerasan? Giok
Kong Su Kiauw rata-rata memiliki wajah yang cantik jelita,
mengapa kau harus mengingini dirinya?"
Pek Thian Ki begitu ngotot menginginkan It Peng Hong,
sudah tentu dalam hatinya memiliki alasan sendiri, justru ia
ada maksud untuk mencari gara-gara dengan Kiang To
sibangsat cabul tersebut.
"Heee. . . heeee. . . heeee. . .banyak orang berkata
kecantikan It Peng Hong melebihi siapapun, karena itu
cayhe baru ada maksud mencicipi dirinya, kalau tidak buat
apa aku datang kemari. . ." Jengek pemuda itu sambil
tertawa dingin.
"Tapi Kiang To. . ."
"Kau takut dengan Kiang To?"
"Tidak salah, aku takut pada dirinya, orang lainpun takut
pada dirinya. . ."
"Hmmm! Dugaanmu salah, ak Pek Thian Ki tak akan
menaruh rasa jeri terhadap dirinya."
"Walaupun kau tidak takut dengan Kiang To, tapi
jikalau seluruh akibat ini ia jatuhkan ketangan istana kami
bukankah hal ini berarti pula kalau kamilah yang harus
bertanggung jawab?"
"Cukup omonganmu!" teriak Pek Thian Ki sangat gusar.
"Aku sudah pastikan untuk mendapatkan It Peng Hong,
jika kau tidak setuju maka akan kuhancurkan Istana
Perempuan ini, Jika kau tidak percaya, tunggu saja
akibatnya."
Beberapa patah perkataan dari Pek thian Ki ini penuh
mengandung napsu membunuh, hal ini sudah tentu
membuat Cong-koan itu pun jadi bergidik dibuatnya.
Dengan sinar mata ketakutan, ia melototi diri Pek Thian Ki
tak berkedip, lama sekali ia baru berkata;
"Jikalau saudara benar-benar menginginkan It Peng
Hong, aku pikir masih ada satu cara yang bisa ditempuh. .
."
"Apa caramu itu?"
"Punahkan dulu sebuah jurus serangan Kiang To yang
ditinggalkan didalam istana kami, jikalau kau berhasil
memunahkan jurus serangannya itu, maka kau boleh
mendapatkan It Peng Hong. . . Jurus serangan yang ia
tinggalkan bernama 'Pauw Yu Hwie Hoa'(Hujan Badai
Bunga Berguguran)!"
"Hujan Badai Bunga Berguguran?"
"Benar!"
Bab 24
Dengan alis yang dikerutkan, Pek Thian Ki mulai
memikirkan jurus-jurus serangan yang dipahaminya untuk
memecahkan serangan tersebut, ia merasa jurus yang
ditinggalkan oleh Kiang To tersebut benar-benar merupakan
suatu jurus serangan yang amat lihay.
Untuk beberapa saat lamanya, Pek Thian Ki tak berhasil
mendapatkan cara untuk memecahkan jurus serangan yang
maha lihay itu, lama. . . .sekali. . . akhirnya ia menghela
napas panjang.
"Suatu jurus serangan yang benar-benar amat lihay."
"Bila saudara tak dapat memecahkan jurus serangan ini,
lebih baik kau jangan punya niat untuk mengingini It Peng
Hong."
"Soal ini aku tahu. . ." pemuda itu manggut perlahan.
Kembali Pek thian Ki berjalan mondar-mandir ditengah
kalangan, mendadak ia berhenti dan tertawa hambar;
"Hujan Badai Bunga Berguguran. . . . aaach! Sudah ada. ."
"Entah jurus apakah bisa pecahkan serangan tersebut?"
"Jurus Hujan Badai Bunga Berguguran hanya bisa
dipunahkan dengan Jurus 'Hoa Lok Hoa Kay'! (Bunga
Rontok Bunga Mekar).
"Bunga Rontok Bunga Mekar?"
"Sedikitpun tidak salah, jika Kiang To datang lagi, maka
katakan saja kepadanya bahwa jurus serangannya 'Hujan
Badai Bunga Berguguran' telah dipunahkan dengan
menggunakan jurus 'Bunga Rontok Bunga Mekar!"
"Saudara ingin memborongnya juga ataukah hanya
memakai satu malam saja?" tanya wanita setengah baya itu
kemudian.
"Akupun ingin memborong dirinya."
"Bila saudarapun ingin memborong It Peng Hong, maka
ada seharusnya kaupun tinggalkan satu jurus serangan
untuk aku punahkan, bila akupun tak bisa maka It Peng
Hong sejak hari ini merupakan orangmu!"
"Boleh aku bawa pergi?"
"Tidak salah!"
"Kalau begitu sangat bagus sekali." seru Pek thian Ki
sambil tertawa tawar. "Aku mengeluarkan jurus 'Thian Hoa
Luan Swi'(Bunga Langit jatuh Berantakan), dapatkah kau
pecahkan?"
Jurus 'Thian Hoa Luan Swi' ini jangan dikata Cong-koan
tersebut tak dapat menjawab, sekalipun Pek Thian Ki
sendiripun tak bisa memecahkannya.
Jurus serangan ini adalah jurus terakhir yang didapatkan
dari kitab pusaka pemberian suhunya, dan hingga ini hari
Pek Thian Ki sendiripun masih belum dapat memecahkan
jurus serangan tersebut.
Mendengar disebutkannya nama jurus itu, wanita
setengah baya tersebut kelihatan tertegun. "Biar aku pikir2
dulu dan besok pagi akan kuberi jawabannya, sekarang aku
akan kirim orang untuk antar kau pergi kekamar tinggal It
Peng Hong."
"Terima kasih atas kemurahan Cong-koan."
"Hey pelayan!" teriak wanita itu kemudian lantang.
Dari pintu luar bergema datang suara sahutan sidara
berbaju kuning itu, sang wanita setengah baya tersebut
lantas memerintahkan dara itu untuk mengantarkan Pek
Thian Hong kekamar It Peng Hong.
Demikianlah dengan mengikuti dari belakang tubuh dara
berbaju kuning itu, Pek Thian Ki keluar dari ruangan dan
berbelok masuk kedalam sebuah lorong panjang. Dan
dalam sekejap mata mereka sudah tiba dihalaman belakang.
Halaman belakang bersambung dengan sebuah
bangunan loteng yang mungil dan indah, sidara berbaju
kuning itu langsung membawa pemuda tersebut menuju
kearah loteng tadi.
Mendadak. . .
"Berhenti!" bentak seseorang memecahkan kesunyian
disekitar tempat itu.
Begitu suara tersebut berkumandang keluar, Pek thian Ki
merasakan hatinya tergetar sangat keras, dengan cepat ia
putar badannya kebelakang.
Tampaklah sesosok bayangan manusia tahu-tahu sudah
berdiri dibelakang tubuhnya, Tanpa sadar pemuda she Pek
ini mundur satu langkah, ketika ia mendongakkan
kepalanya, maka segera mengenali kembali kalau siorang
berbaju hitam itu bukan lain adalah Bun Tong Yen yang
baru saja ditemuinya diluar istana.
Hal ini membuat Pek Thian Ki jadi melengak; "Apa
maksudmu memanggil diri cayhe?" tegurnya.
Selintas senyuman yang amat menyeramkan menghiasi
wajahnya.
"Saudarakah yang bernama Pek Thian Ki?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Juga yang bernama Kiang To?"
"Bukan, aku tidak bernama Kiang To!"
"Barusan saja aku dengar orang berkata bahwa kau Pek
thian Ki adalah Kiang To. Kawan, kau tidak usah mungkir
lagi sudah amat lama aku mencari dirimu. . ."
"Apa maksudmu mencari diriku?"
"Mendapat perintah untuk sampaikan sepucuk surat
kepadamu!"
"Tapi cayhe adalah Pek Thian Ki dan bukan Kiang To,
lebih baik kau pergi mencari Kiang To saja."
Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu putar badan dan
berlalu.
"Berhenti!" kembali Bun Tong Yen membentak keras,
tubuhnya meloncat kedepan menghalangi jalan pergi dari
Pek Thian Ki, sedang diatas wajahpun terlintas hawa napsu
membunuh yang sangat menyeramkan.
"Apa yang hendak kau lakukan?" teriak Pek thian Ki
mulai panas hatinya.
"Kau mempunyai nyali untuk membunuh orang,
mengapa tidak berani mengakui dirimu sendiri?"
"Haaaa. . .haaaa. . . kawan, kau salah." seru Pek Thian
Ki tertawa lantang, "Selama ini aku Pek thian Ki
merupakan seorang manusia yang tidak ternama, sudah. . .
susahlah, kau tak usah banyak rewel lagi, kalau usil terus. . .
Hmmm! Jangan salahkan kalau aku tidak sungkan2 lagi."
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Perintahkan kau orang segera menyingkir."
"Kawan, aku hanya menerima tugas untuk
menyampaikan sepucuk surat kepadamu, mengapa tidak
berani kau terima?"
"Sudah kukatakan, bahwa aku bukan Kiang To."
"Kau tidak mau mengaku? Hmmm! Akan kupaksa untuk
mengaku."
Tubuhnya segera melesat ketengah udara laksana
sambaran kilat cepatnya langsung menerjang kearah Pek
thian Ki, Kelima jari tangannya dipentangkan dan
mencengkeram wajah pemuda tersebut.
Serangan cengkeraman yang dilancarkan olehnya ini
boleh dikata dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa,
Tak urung Pek thian Ki dibuat terperanjat juga melihat
kedahsyatan pihak lawan, Terburu-buru ia mencelat
kesamping.
Baru saja pemuda itu berkelit, serangan dahsyat pihak
lawan kembali menubruk datang. Lama-lama Pek Thian Ki
dibuat gusar juga oleh sikap serta tingkah laku pihak lawan,
ia membentak keras diantara berkelebatnya bayangan
manusia, dengan menggunakan satu jurus serangan yang
amat dahsyat, ia tangkis datangnya serangan lawan.
Telapak tangan kanannya menangkis, tangan kirinya
menggulung keluar. Dua buah serangan yang dilancarkan
oleh Pek Thian Ki ini hampir dilakukan dalam waktu yang
bersamaan, tetapi kepandaian silat yang dimiliki siorang tua
berbaju hitam itupun agaknya tidak lemah.
Tubuhnya berputar keras meloloskan diri dari dua buah
serangan tersebut, kemudian meluncur kebelakang dengan
gerakan tubuh yang sangat cepat.
"Kawan, sungguh mengagumkan sekali kepandaian silat
yang kau miliki. . ." jengek Bun Tong Yen sambil tertawa
dingin.
Kembali dua jurus serangan mematikan dengan
mengambil arah dari sebelah kiri serta sebelah kanan
langsung mengencet diri Pek Thian Ki ditengah kalangan.
"Kurang ajar, kubunuh dirimu. . ." bentak pemuda
tersebut gusar.
Tubuhnya berkelebat lewat, bayangan tangan
menyambar silih berganti memunahkan setiap serangan
yang meluncur datang. Dari dua belas bagian tenaga dalam
yang dimiliki Pek Thian Ki, pada saat ini sudah ada
delapan bagian yang sudah pulih seperti sedia kala,
melancarkan serangan dalam keadaan gusar kehebatannya
ber-puluh2 lipat mengerikan.
Mendadak. . . "Braaaaak!" Ditengah suara bentrokan
keras yang diiringi abu, pasir beterbangan memenuhi
angkasa, tampak dua sosok bayangan manusia berpisah dan
mundur kearah belakang.
Siorang tua berbaju hitam itu mundur sempoyongan
beberapa puluh langkah kebelakang dan muntah darah
segar, agaknya ia sudah berhasil dilukai oleh pemuda
tersebut.
"Kawan kau masih menganggap aku adalah Kiang To?"
bentak Pek Thian Ki sambil mengangkat tubuh pihak
lawannya keatas.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Saudara berasal dari mana?"
"Dalam surat tertulis sangat jelas, kau boleh membaca
dari surat tersebut."
"Cepat serahkan surat itu kepadaku." Ternyata Pek
Thian Ki minta sendiri surat tersebut, hal ini jauh berada
diluar dugaan Bun Tong Yen, ia rada melengak kemudian
buru-buru mengambil keluar sepucuk surat dan diangsurkan
kedepan.
"Cepat pulang dan beritahukan kepada majikanmu,
bahwa surat ini aku Pek Thian Ki akan menyimpannya
sementara dan akan kuserahkan sendiri kepada Kiang To,
cepat menggelinding pergi." bentak sang pemuda setelah
menerima surat tersebut.
Tangannya langsung diayunkan kedepan melemparkan
tubuh siorang tua berbaju hitam itu beberapa kaki jauhnya
dari kalangan. Bagaikan anjing kena gebuk, Bun Tong Yen
sipat kuping dan lari terbirit-birit dari sana.
Menanti bayangan orang itu sudah lenyap dari
pandangan, Pek Thian Ki baru mengalihkan sinar matanya
keatas surat tersebut.
"Dipersembahkan kepada; Kiang Tayhiap. Kiang To."
Pek Thian Ki tertawa dingin tiada hentinya, dalam hati
diam-diam pikirnya; "Entah apa isi dari surat tersebut?"
Sudah tentu iapun bisa menduga kalau didalam surat itu
penuh berisikan hawa pembunuhan.
Pek Thian Ki suka menerima suka tersebut, ia punya
perhitungan bahwa Kiang To pasti akan munculkan dirinya
sewaktu ia mencari It Peng Hong, dan sampai waktunya ia
akan serahkan sendiri surat itu kepadanya.
Hanya saja ia tidak tahu berasal darimanakah surat
tersebut. Sinar matanya per-han2 dialihkan kearah dara
berbaju kuning itu, kemudian manggut.
"Nona, silahkan tunjuk jalan!"
"Oooouw. . . hampir-hampir saja saya lupa dengan
sebuah urusan," teriak dara berbaju kuning itu seperti
terbangun dari impian, "Tadi ada seorang menitipkan
sepucuk surat untukmu."
"Sepucuk surat?"
"Benar!" Dari dalam sakunya gadis itupun mengambil
keluar sepucuk surat dan langsung diserahkan ketangan Pek
thian Ki.
"Surat ini siapa yang berikan kepadamu?" tanya pemuda
tersebut tertegun.
"Entah, aku tidak berhasil melihat wajahnya dengan
jelas."
Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan yang
berarti, Pek thian Ki mengalihkan sinar matanya keatas
surat tersebut. Tampaklah diatas sampul surat bertuliskan
beberapa patah kata;
Dipersembahkan kepada: "Pek Thian Ki pribadi."
Pemuda itu langsung merobek sampulnya dan membaca
isi surat tersebut; "Pek Thayhiap, Jangan coba-coba punya
maksud mengganggu It Peng Hong, kalau tidak jangan
salahkan aku orang akan ambil tindakan ganas terhadap
kau orang!"
Habis membaca surat tersebut, Pek Thian Ki rada
tertegun, akhirnya simanusia paling menakutkan Kiang To
munculkan dirinya juga, bahkan mengirim peringatan
untuk yang kedua kalinya kepada dirinya. Tempo dulu
sewaktu berada didalam Istana Arak, pihak lawan sudah
memberikan satu kali peringatan agar dirinya jangan
mengganggu rumah aneh tersebut.
Teringat akan persoalan ini, pemuda tersebut lantas
mengambil keluar surat yang diberikan Kiang To tempo
dulu. Tapi sebentar kemudian, ia sudah menjerit kaget, air
mukanya berubah hebat, sedang matanya kelihatan
melongo.
Ternyata gaya tulisan dari dua pucuk surat peringatan
tersebut sangat berlainan sekali! Untuk beberapa waktu
pemuda itu merasa kebingungan, jika dilihat dari nada
peringatan kedua pucuk surat tersebut, jelas hasil perbuatan
dari Kiang To, Tetapi gaya tulisannya berbeda, apakah
mungkin Kiang To ada dua orang?
Peristiwa yang terjadi secara mendadak ini benar-benar
membuat Pek Thian Ki jadi seperti orang bodoh, persoalan
yang mencurigakan hatinya semakin menumpuk didalam
benak, tapi tak sebuahpun yang berhasil ia pecahkan.
"Kongcu, mari ikut aku!" tegur dara berbaju kuning itu
tiba-tiba.
Pek Thian Ki manggut, dengan mengikuti dari belakang
tubuh dara berbaju kuning itu, mereka naik keatas loteng.
"Heeee. . . sudah, sudahlah, pikir pemuda tersebut sambil
menghela napas panjang. Bagaimanapun sekarang aku
harus mencari seorang gadis cantik untuk menyewa rumah
aneh itu."
Pada waktu itu. . .
Sementara irama lagu yang sangat sedih diiringi
tetabuhan Pie-pa bergema dari atas loteng tersebut, irama
lagu itu sangat sendu dan mempesonakan. Walaupun Pek
thian Ki tidak kenal irama lagu, tetapi hatinyapun ikut
tergerak oleh suara alat Pie-pa yang dimainkan dengan ahli,
dalam hati ia ikut merasa berduka.
Setelah memasuki sebuah ruangan kecil, suara bunyi2an
Pie-pa kedengaran semakin jelas lagi dari atas loteng.
"Kongcu, mari ikut aku naik keatas loteng." kata sidara
berbaju kuning perlahan.
Mereka naik keloteng dan tiba didepan subuah ruangan
kamar, suara irama Pie-pa masih ditabuh tiada hentinya. . .
.
"Nona It Peng Hong!" sapa sang gadis berbaju kuning itu
sambil mengetuk pintu.
Suara Pie-pa berhenti, kemudian bergema keluar suara
yang amat merdu;
"Siapa?"
"Aku, Ah Mie!"
"Ada urusan apa?"
"Nona It Peng Hong, Cong-koan suruh aku mengantar
seorang Pek Kongcu kemari, kau harus melayani satu
malam buat dirinya."
"Tapi, bukankah aku sudah diborong oleh Kiang
Kongcu?"
"Benar, tapi kongcu ini sudah berhasil menghancurkan
persoalan sulit yang diajukan oleh Kiang Kongcu, sekarang
kau bukan milik Kiang Kongcu lagi."
"Kalau begitu, suruh dia masuk, dan kau sendiri boleh
mengundurkan diri."
"Baik!" jawab sigadis itu dengan hormat, kepada Pek
Thian Ki lantas serunya; "Pek Kongcu, kau masuklah
sendiri."
Untuk beberapa saat lamanya Pek Thian Ki berdiri
termangu-mangu didepan pintu, perbuatan macam ini boleh
dikata baru untuk pertama kalinya hendak ia lakukan.
Lama. . . lama sekali, ia baru mendorong pintu dan
melangkah masuk kedalam kamar, sinar matanya menyapu
sekejap keseluruh isi ruangan.
Tampaklah kamar tersebut benar-benar merupakan
sebuah kamar yang sangat mewah, dengan segala perhiasan
yang mahal harganya, didepan jendela duduklah seorang
gadis berbaju merah.
Tak usah ditanya lagi, gadis tersebut tentunya nona yang
bernama It Peng Hong itu. Untuk beberapa waktu Pek thian
Ki kebingungan, ia cuma bisa berdiri termangu-mangu
sambil memandang bayangan punggungnya dengan
terpesona. . .
"Pek Kongcu, silahkan duduk!" ujar It Peng Hong tibatiba
memecahkan kesunyian.
Nada suaranya amat mempesonakan, pemuda itupun
tersadar kembali dari lamunannya, kemudian tertawa;
"Nona, kau bernam It Peng Hong?"
"Benar!"
"Ini hari cayhe dapat berkenalan dengan nona, kejadian
ini benar-benar merupakan suatu rejeki buat diriku!"
"Aaaach. . . Pek Kongcu terlalu sungkan, apakah
Kongcu sering sekali bercanda ditempat luaran?"
"Cayhe. . . memang sering sekali mencari kesenangan
ditempat luaran. . .!"
"Berapakah usia Kongcu tahun ini?"
"Delapan belas, dan nona. . ."
"Akupun baru delapan belas!"
"Nona memainkan Pie-pa mu tadi benar-benar amat
mempesonakan!"
"Pek Kongcu terlalu memuji!"
Perlahan-lahan gadis itu putar badannya, sehingga
kelihatanlah selembar wajah yang amat cantik jelita dengan
bibir yang kecil mungil merah merekah, hidung yang
mancung, sepasang sujen menghiasi pipinya terutama sekali
sepasang biji matanya yang jeli.
"Waaaduhhh. . .! seorang gadis yang benar-benar amat
cantik. . ." pikir Pek thian Ki didalam hatinya.
Beberapa saat lamanya, ia hanya bisa memandang It
Peng Hong dengan termangu-mangu, apalagi senyumannya
sangat mengiurkan, benar-benar membuat hatinya berdebardebar
keras.
"Eeeei. . . Pek Kongcu! Kau kenapa?" Tiba-tiba It Peng
Hong menegur sambil tersenyum.
"Kecantikan wajah nona benar-benar bagaikan bidadari
yang baru turun dari kahyangan. . ."
"Pek Kongcu, kau betul-betul pintar membuat kaum
gadis gembira!" Akhirnya ia tertawa. . . . senyumannya itu
benar2 amat cantik, amat mempesonakan dan membuat
birahi per-lahan2 memuncak. .
Mendadak. . .
"Aaaaaach. . .! Pek Thian Ki berseru tertahan dan
memandang kearah It Peng Hong dengan mata terbelalak.
"Pek Kongcu, kenapa kau?" teriak gadis tersebut kaget.
"Kau. . . aku seperti pernah berjumpa dengan dirimu. . ."
Sedikitpun tidak salah, kecantikan wajah dari It Peng
Hong yang tiada tandingannya ini seperti pernah ditemui
Pek thian Ki disuatu tempat, hanya saja untuk beberapa
waktu ia tidak teringat.
"Tidak, aku pernah menemui dirimu. . . . biar aku
berpikir sebentar. . ." Pek Thian Ki mulai berguman dan
untuk beberapa saat lamanya ia duduk tepekur dan berpikir
keras.
Mendadak. . .
Akhirnya Pek thian Ki berteriak tertahan; "Ooooo. . .
kau ?. . ." Diatas air muka pemuda itu terlintaslah suatu
perasaan terperanjat yang belum pernah dijumpainya
selama ini.
Jeritan tertahan dari Pek Thian Ki segera membuat It
Peng Hong itupun merasa ikut terperanjat, air mukanya
kelihatan berubah hebat.
"Kau katakan aku mirip siapa?" tanyanya rada gemetar.
"Kau adalah Tong Ling!?"
Sedikitpun tidak salah, kecantikan wajah dari It Peng
Hong mirip dengan wajah Tong Ling, Oleh karena itu
sewaktu untuk pertama kalinya Pek thain Ki bertemu muka
dengan gadis It Peng Hong tersebut, ia lantas merasa
pernah mengenalinya. Tetapi sewaktu It Peng Hong
mendengar disebutkannya kata-kata Tong Ling, sikapnya
kelihatan rada melengak.
"Siapakah Tong Ling?"
"Kau!"
Agaknya It Peng Hong dibuat keheranan dan sedikit ada
diluar dugaan melihat perbuatan serta perkataan dari
pemuda tersebut.
"Siapakah Tong Ling? Kekasihmu?" tanyanya kemudian
sambil tertawa tawar.
"Bukan, kawanku. . . Kau bukan Tong Ling?"
"Bukan, kau salah! Aku bukan Tong Ling, aku bernama
It Peng Hong dan semua orang mengetahui jelas urusan ini.
. ."
Walaupun pemuda tersebut juga mendengar perkataan
ini dengan jelas, tapi ia merasa bahkan hal tersebut tidaklah
mungkin, Walaupun ia belum pernah melihat Tong Ling
dengan memakai pakaian perempuan, tetapi wajahnya
seratus persen adalah wajah dari Tong Ling.
Tetapi apakah mungkin Tong Ling bisa berada disini?
Agaknya persoalan inipun tidak mungkin terjadi, ia tidak
seharusnya memandang Tong Ling sebagai perempuan
macam begitu, Kalau tidak maka ini berarti pula ia sedang
menghina dan merusak nama baik dari Tong Ling, gadis
tersebut.
Akhirnya ia tertawa pahit; "Kemungkinan sekali
wajahmu rada mirip dengan wajahnya." ia mendusta.
"Benar!" Sahut It Peng Hong tertawa, "Dikolong langit
memang banyak sekali terdapat manusia dengan wajah
yang hampir sama, kemungkinan besar saudara sudah salah
melihat orang."
"Nona It Peng Hong, bolehkah aku bertanya satu urusan
kepadamu?"
"Silahkan kau utarakan!"
"Pernahkah kau orang berjumpa dengan Kiang To?"
"Kau maksudkan Kiang Kongcu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Agaknya It Peng Hong dibuat melengak oleh pertanyaan
yang mendadak ini, lama sekali ia baru mengangguk. "Aku
pernah bertemu. . ."
"Bagaimana wajahnya?"
"Amat tampan sekali."
"Dan berapa besar usianya?"
"Kelihatannya hampir sama dengan usiamu, hanya saja
ia tidak semurung dirimu!"
"Dia. . . seorang lelaki atau perempuan?"
"Eeeei. . . Pek Kongcu." tegur It Peng Hong sambil
memandang pemuda itu dengan pandangan keheranan,
"Pertanyaanmu ini benar-benar membingungkan sekali."
"Maksudku Kiang To sebenarnya seorang lelaki atau
seorang gadis?. ."
"Pek Kongcu! Pandai benar kau bercanda, coba kau
pikirkan dengan wajar, apakah dikolong langit ada seorang
perempuan yang memborong seorang gadis untuk
bersenang-senang?"
"Jadi maksudmu Kiang To adalah seorang lelaki?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Pernahkah kau orang. . ."
"Maksudmu pernahkah dia orang tidur seranjang dengan
diriku?"
"Benar. . . benar. . . aku memang bermaksud demikian."
"Hal ini sudah tentu, karena pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaannya serta pekerjaanku yang rutin. . ."
Alis Pek Thian Ki berkerut semakin rapat, jika perkataan
dari It Peng Hong ini tidak bohong, maka Kiang To benar2
seorang lelaki tulen, dan hal ini tak ada hal2 yang patut
dicurigai lagi.
"Pek Kongcu, apakah kau kenal dengan Kiang Kongcu?"
tanya It Peng Hong lagi.
"Ehmmmm!"
Setelah mengiyakan Pek Thian Ki membungkam dalam
seribu bahasa, agaknya dia sedang mencari sebab akibat
dari persoalan ini, hanya saja jawabannya tak kunjung
datang.
Akhirnya pemuda itu disadarkan kembali oleh suara
tawa cekikikan dari It Peng Hong.
"Pek Siangkong, malam hari semakin kelam, kentongan
keempat hampir berlalu. . . mari kita tidur, membuang
waktu dengan percuma sungguh patut disayangkan, mari
aku bantu lepaskan bajumu!"
"Melepaskan pakaian?" teriak Pek Thian Ki terperanjat.
"Benar, bukankah kita akan tidur bersama? Kalau tidak
buka pakaian bagaimana mungkin. . ."
"Aku. . ."
"Pek Kongcu, untuk menghilangkan kemurungan
dimalam yang panjang, mari biarlah aku melayani semalam
buat dirimu!"
"Aku. . ."
"Pek Kongcu, kau sebagai seorang yang sering cari
mangsa ditempat luaran tentunya sudah memahami bukan,
permainan ini!"
Akhirnya Pek Thian Ki tertawa. . . senyumannya penuh
kesunyian, penuh kemurungan, Selama hidup belum pernah
dia orang disukai orang dan tak ada seorang gadispun yang
pernah menyukai dirinya.
Ia mempunyai napsu yang matang, napsu yang besar,
hanya saja sukar untuk dipersembahkan buat gadis pujaan
hatinya. . . karena wajahnya tidak cakap, raut mukanya
tidak ganteng, dan tak seorang gadispun yang suka
kepadanya.
Keadaannya mirip pula dengan para pemuda lainnya
yang tidak berhasil mendapatkan cinta kasih dari gadisgadis
pujaannya, sehingga akhirnya mempersembahkan
cintanya itu kepada 'Bidadari'.
Dan kini, ia sedang berada dalam keadaan murung,
dalam keadaan sedih, kemudian secara mendadak menaruh
simpati pada seorang gadis, sudah tentu ia sendiripun tidak
tahu perasaan ini sebetulnya normal atau tidak.
"Pek Kongcu apakah kau melihat aku kurang cantik?"
terdengar It Peng Hong menegur dengan suara yang lirih.
"Tidak, wajah nona cantik jelita dan tiada bandingan. . .
."
---oodwoo---
Jilid 9
Bab 25
"Kalau begitu apakah aku kurang menggairahkan?"
"Tidak!"
"Jikalau bukan, mengapa tuan kelihatan tidak gembira?"
Dengan termangu-mangu Pek thian Ki memandang
alisnya yang berkerut, serentetan rasa cinta, kasihan,
mengalir keluar melalui sepasang matanya yang jeli.
Akhirnya pemuda ini tertawa pahit; "Kau jangan banyak
curiga, aku sama sekali tidak murung. . ."
"Berlalunya waktu sangat berharga, cepat lepas pakaian
dan tidur!"
Belum sempat pemuda she Pek ini memberikan jawaban,
It Peng Hong telah mengulur sepasang tangannya yang
halus dan putih bersih untuk bantu sang perjaka lepas
pakaian.
"Nona. . . aku sudah biasa tidur dengan berpakaian, kini
lebih baik aku tidur dalam keadaan begini saja," buru-buru
Pek Thian Ki berseru.
It Peng Hong melirik sekejap kearahnya kemudian tertawa,
agaknya tindakannya ini sedikit ada diluar dugaannya;
"Ternyata kau benar-benar seorang tamu pencari bunga
yang lain dari pada yang lain, Kalau begitu tidurlah."
Ia membereskan pembaringan dan mempersilahkan Pek
Thian Ki berbaring diatas tempat tidur yang empuk dan
menyiarkan bau semerbak itu, hal ini membuat pemuda she
Pek ini sedikit merasa terangsang.
Ia melihat It Peng Hong melepaskan pakaian merahnya
yang tebal, sehingga hanya tertinggal selapis kain sutera
yang sangat tipis dan tembus pandangan, kecuali itu
ternyata gadis ini sama sekali tidak memakai sehelai benang
penutuppun.
Sepasang payudaranya yang tinggi menjulang, kulitnya
yang putih bersih bagaikan salju, serta lekukan-lekukan
yang menggairahkan satu per-satu tertera dengan amat
jelas.
Kapankah perjaka ini pernah melihat seluruh lekukan
tubuh seorang dara dalam keadaan telanjang bulat macam
begini?
Dan kapan pernah ia sentuh lekukan-lekukan yang
menggairahkan itu?. . . apalagi It Peng Hong adalah
seorang gadis yang sangat cantik melebihi kecantikan
bidadari yang turun dari kahyangan, sekalipun iman Pek
Thian Ki sangat tebalpun, lama kelamaan tak bisa
menghindarkan diri dari pengaruh keadaan yang
terpancang didepan mata.
Perlahan-lahan It Peng Hong jatuhkan diri berbaring
disisi Pek thian Ki, Ia melihat sekejap air muka perjaka
tersebut, lalu tegurnya;
"Pek Kongcu, kenapa kau?"
"Aku. . ."
Tangannya yang halus dan putih bersih bagaikan salju
itu perlahan-lahan dieluskan keatas dada Pek Thian Ki yang
kurus, lalu dengan nada bergantian serunya;
"Pek Kongcu, apa yang sedang kau pikirkan?" Ayo, coba
beritahukan kepadaku."
Pemuda itu alihkan sinar matanya memandang wajah
gadis tersebut, sepasang matanya yang jeli membawa
kegairahan sungguh membuat hati manusia berdebar keras,
tidak terkecuali pula diri Pek Thian Ki, darah panas dalam
rongga dada mulai bergolak sangat keras.
Akhirnya ia balikkan badan, bagaikan binatang buas
ditubruknya tubuh perempuan tersebut, lalu diciumi
bibirnya yang kecil mungil. . . seluruh lekukan badannya
yang menggairahkan dengan penuh napsu. . . . gadis itu
kelihatan merinding, desisnya lirih; "Pek Kongcu. . . . ."
Desisnya semakin lama semakin pendek, semakin lirih
dan akhirnya sunyi senyap, suasana begitu hening. . . .sepi. .
. bibirnya yang kecil mungil, kena disumpeli oleh bibir Pek
Thian Ki yang jauh lebih besar, ia merinding, gemetar dan
akhirnya lemas.
Agaknya peristiwa ini tak dapat dihindarkan lagi, sudah
tentu Pek Thian Ki bukan seorang jagoan main perempuan
dan sembarangan cari hiburan di-mana2, tapi, saat ini ia
sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Ia mulai kalap,
mulai dipengaruhi oleh napsu birahi. . . .
Ditengah kekalapan, pemuda itu mulai melupakan segala
sesuatu, termasuk dirinya yang berada dalam keadaan
bahaya. . . .
Dalam detik ini yang dipikirkan adalah mengalirkan
napsu birahinya kepada pihak lawan jenis, perduli siapakah
lawan mainnya ini.
Sehingga akhirnya ia terpengaruh, kesadarannya mulai
penuh. . . Tangannya menggerayangi seluruh lekkan tubuh
gadis itu, meraba sepasang payudaranya yang montok. . .
Gadis itu kembali gemetar keras, seluruh tubuhnya
tergetar oleh rabaan tersebut. "Pek Kongcu. ." jeritnya
kaget.
Tapi, Pek Thian Ki tetap membungkam, ia meneruskan
pekerjaannya.
Tiba-tiba. . . . Pada waktu itulah sesosok bayangan
manusia berbaju hitam bagaikan kilat menyambar masuk
melalui jendela.
"Eeei! orang she Pek, kau mencari mati. . ." bentaknya
keras.
Diam-diam Pek Thian Ki merasa terperanjat, dengan
cepat ia meloncat bangun dan turun dari atas pembaringan,
sinar matanya dengan tajam menyapu sekejap simanusia
berkerudung yang telah berdiri dihadapannya.
"Kau. . . kau adalah Kiang To?" bentaknya keras.
"Kemungkinan besar dugaanmu tidak salah."
"Kawan Kiang, akhirnya kau suka munculkan diri juga. .
."
"Hmm! Kaulah yang paksa aku muncul."
"Sedikitpun tidak salah, memang aku yang paksa kau
orang, sehingga suka perlihatkan bentuk badanmu."
"Heee. . . heee heee. . . tapi, orang she Pek, karena
perbuatanmu ini, maka yang rugi adalah kau sendiri!"
"Kiang To! Ada satu persoalan hendak aku tanyakan
kepadamu!"
"Bicaralah!"
"Apa sangkut pautmu dengan sipemilik rumah yang
disewakan itu?"
"Apa perlunya kau menanyakan persoalan ini?" jengek
orang itu ketus.
"Aku ingin tahu."
"Maaf, dalam soal ini aku orang tak dapat memberikan
jawaban."
"Delapan jago pedang dari kolong langit apakah mati
ditanganmu semua?. . ." kembali tanya Pek Thian Ki.
"Aku tak akan berbicara, dan karena saudara tidak suka
mendengarkan peringatanku, maka sekarang aku tak akan
berlaku sungkan lagi terhadap dirimu."
Begitu ucapan selesai diutarakan, sesosok bayangan
manusia berkelebat lewat diiringi segulung angin pukulan
yang dahsyat menghajar seluruh tubuh Pek Thian Ki.
Melihat datangnya serangan begitu dahsyat, pemuda she
Pek ini tak urung merasa bergidik juga dibuatnya.
"Apa kau anggap aku takut menerima seranganmu ini?"
teriaknya gemas.
Dengan cepat bayangan manusia saling menyambar,
dalam sekejap mata masing-masing pihak sudah saling
melancarkan tiga buah serangan dahsyat, Saat ini tenaga
dalam Pek Thian Ki belum pulih kembali seperti sedia kala,
oleh sebab itu untuk beberapa saat ia bukan tandingan dari
Kiang To simanusia misterius itu.
Dalam serangan tiga jurus beruntun itu, ia sudah kena
terdesak mundur satu langkah kebelakang. It Peng Hong
sewaktu melihat kedua orang itu saling melancarkan
serangan dengan begitu mengerikan, saking kagetnya
seluruh air mukanya berubah pucat pasi bagaikan mayat,
seraya menyambar pakaiannya, ia mencoba melarikan diri
melalui pintu samping.
Pada waktu itu. . . Antara Pek Thian Ki dengan Kiang
To sudah saling bergebrak sebanyak lima enam jurus
banyaknya.
"Tahan!" tiba-tiba Pek Thian Ki membentak keras.
Ditengah suara bentakan yang amat keras ia mengunci
sebuah serangan lawan, lalu melayang mundur kebelakang.
"Heee. . .heeee. . .heeee. . . orang she Pek, ada ucapan
apa lagi yang hendak kau utarakan?" bentak Kiang To sinis.
"Lebih baik kita selesaikan dulu pembicaraan kita,
kemudian baru bergebrak kembali!"
"Ada ucapan cepat utarakan, jangan buang waktu
dengan percuma."
"Ada seseorang memerintahkan diriku untuk
menyampaikan sepucuk surat untukmu, Nih! ambillah!"
Tangannya diayun kedepan, ia melemparkan surat yang
diterimanya dari sikakek tua berbaju hitam Bun Tong Yen
itu kearah Kiang To.
Sang manusia misterius dengan sebat menerima surat
tadi, lalu disambit kembali kearah pemuda tersebut.
"Kaupun tahu kalau aku bukan Kiang To yang asli, apa
gunanya surat itu kau serahkan kepadaku, lebih baik
serahkan saja kepada si Kiang To yang benar-benar tulen. . .
."
"Bagaimana? Jadi kau tidak suka menerima surat ini?"
seru Pek Thian Ki melengak.
"Benar, aku tak mau terima!"
"Bagaimana? Kau. . . !"
"Aku sudah berulang kali memberi keterangan
kepadamu, aku bukan Kiang To yang tulen. . . ."
"Lalu dimanakah Kiang To yang asli?"
"Kemungkinan sekali sudah mati, kemungkinan juga
belum munculkan dirinya dalam dunia persilatan."
"Tapi orang lain sedang mencari dirimu."
"Kau berani memastikan kalau orang yang dicari itu
adalah diriku?"
Untuk beberapa waktu Pek Thian Ki tak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan hati, lama. . lama
sekali ia baru berkata;
"Tidak mau terima ya. . .tidak mau terima, tapi. .aku
mau bertanya kepadamu lagi, kau berani menyaru sebagai
Kiang To seharusnya tahu bukan, akan asal-usulnya pada
masa yang lalu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Cepat kau terangkan padaku. . .!"
"Heee. . . heee. . .heee. . . aku rasa soal ini sih tidak
penting untuk diberitahukan kepadamu."
Sepasang alis Pek Thian Ki melentik, bentaknya gusar;
"Sungguh kau orang tidak mau bicara?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Akan kupaksa dirimu sampai suka bicara dengan
sendirinya!"
Bayangan manusia kembali berkelebat lewat, laksana
seekor elang raksasa yang mencari mangsa dengan dahsyat
ia tubruk badan Kiang To, telapak tangannya dibabat
kemuka melancarkan satu serangan yang aneh dan dahsyat.
"Kau tidak suka mendengarkan peringatanku, akan
kubunuh dirimu sampai mati," bentak Kiang To pula
dengan nada yang dingin.
Ditengah suara bentakan keras telapak tangannya
disilangkan didepan dada memunahkan datangnya
serangan lawan, telapak kiri menggurat ditengah angkasa
balas mengirim satu pukulan gencar.
Jikalau misalnya tenaga dalam dari Pek Thian Ki sudah
pulih kembali seperti sedia kal, maka kepandaian silat yang
ia miliki tidak berada dibawah kepandaian dari Kiang To
ini, cuma saja keadaannya pada saat ini sangat merugikan
dirinya.
Tenaga dalam yang dimiliki pada saat ini betul-betul
masih bukan tandingan dari Kiang To. Waktu itu puluhan
jurus sudah berlalu dengan cepatnya.
Ber-turut2 Pek Thian Ki kena terdesak mundur lima
enam langkah kebelakang, akhirnya perjaka ini bulatkan
tekad untuk mengadu jiwa.
Ia meraung keras, bayangan manusia berkelebat lewat
berturut-turut ia mengirim tiga buah serangan dahsyat
mendahului serangan dengan pihak lawan.
Tiba-tiba. . . Kiang To berkelebat, lalu mencelat ketengah
udara dengan gerakan lincah, telapak tangannya mengebut
berulang kali, dengan gerakan yang sangat aneh tapi
lihaynya luar biasa, mengirim tiga buah serangan
mematikan yang maha hebat.
Ketika itu Pek Thian Ki sudah ada maksud untuk adu
jiwa, sekalipun begitu, ia tidak berani berlaku ayal.
Tubuhnya dengan sebat menyingkir kesamping, Tapi belum
sempat pemuda she Pek itu benar-benar berkelit kesamping,
serangan dahsyat dari Kiang To sudah menerjang datang.
Dengan demikian mau tak mau ia harus menerima
serangan tersebut dengan keras lawan keras, Telapak
tangannya diayun kemuka dengan menyalurkan seluruh
tenaga lweekang yang dimilikinya, ia menyambut
datangnya serangan tersebut.
"Braaaaaak!" angin pusaran berhembus melanda empat
penjuru, debu pasir beterbangan memenuhi angkasa,
berpuluh-puluh rentetan angin desiran memecahkan seluruh
kalangan bagaikan ombak besar membentur tepian.
Didalam bentrokan kali ini, Pek Thian Ki merasa
hatinya tergetar keras, darah segar bergolak dalam rongga
dadanya, berturut-turut ia kena terdesak mundur sejauh
berpuluh-puluh langkah kebelakang, akhirnya setelah
bersusah payah, ia berhasil juga mempertahankan
keseimbangannya.
Tiba-tiba. . .
Pada waktu itulah sesosok bayangan manusia
menyambar lewat, bagaikan kilat orang itu langsung
menerjang kearah Kiang To.
"Kiang To bangsat, tidak tahu malu, lihat serangan!"
bentaknya keras.
Datangnya terjangan orang ini benar-benar sangat cepat,
hal ini memaksa Kiang To dalam keadaan tidak
mempersiapkan diri segera melesat kesamping untuk
berkelit.
"Tahan!" Seraya membentak Kiang To meloncat mundur
beberapa langkah.
Orang itupun segera menghentikan badannya ditengah
angkasa, lalu berjumpalitan beberapa kali dan melayang
turun keatas tanah.
"Aaaach! Tong-te, kiranya kau!" Pek Thian Ki yang ada
disisi kalangan segera menjerit tertahan.
Kiranya orang yang baru saja datang memang Tong Ling
adanya. Belum sempat Tong Ling mengucapkan sesuatu,
Kiang To telah menegur dengan suara dingin;
"Siapa kau?"
"Kawan karib Pek Thian Ki!"
"Maksudmu datang kemari ingin mencampuri urusan
sampingan ini?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Jadi kau sudah bulatkan tidak untuk cari mati?"
"Heee. . .heee. . .heee. . . sungguh besar bacotmu, belum
tentu kau bisa membinasakan diriku dengan begitu
gampang."
Ooou, kau tidak percaya, baik! Silahkan kau orang
mencoba-coba bagaimanakah dahsyatnya seranganku ini."
Diiringi suara bentakan keras Kiang To meluncur
kedepan menubruk kearah Tong Ling, dimana tangannya
diayun berturut-turut mengirim dua buah serangan gencar.
Gerakan serangan dari Kiang To amat cepat, tapi Tong
Ling jauh lebih cepat lagi, tampak bayangan manusia
berkelebat lewat, iapun mengirim sebuah serangan kedepan.
Suara bentrokan bergema memenuhi angkasa diikuti
berpisahnya kedua sososk bayangan manusia tersebut.
"Hmm! Hebat juga kepandaiaan silat yang kau miliki,"
seru Tong Ling dingin.
"Kaupun berada diluar dugaanku. . ." Perkataan terakhir
baru saja meluncur keluar, badannya sekali lagi meluncur
kearah Tong Ling, melancarkan dua buah serangan
dahsyat.
Tong Ling tidak mau kalah, melihat datang serangan
amat dahsyat ia berkelit lantas menubruk maju pula
kedepan.
Dalam sekejap mata terjadilah suatu pertarungan sengit
yang sangat ramai, masing-masing pihak dengan
mengandalkan gerakan yang tercepat, berusaha
merubuhkan pihak lawannya.
Lima jurus sudah lewat, tapi keadaan masih kelihatan
berimbang, agaknya untuk beberapa saat lamanya susah
bagi kedua orang itu untuk menentukan siapa menang siapa
kalah.
Sekonyong-konyong. . . .
"Kiang To!" bentak Pek Thian Ki keras. "Ini hari akan
kulihat siapakah sebenarnya dirimu!"
Ketika itu pemuda tersebut tidak mengindahkan
peraturan Bu-lim lagi, ditengah suara bentakan penuh
kegusaran tubuhnya melesat kedepan menerjang tubuh
Kiang To, tangannya dengan lima jari terpentang lebarlebar
mencengkeram dadanya.
Diam-diam Kiang To merasa amat terperanjat. Tapi
akhirnya ia tidak malu kalau disebut sebagai seorang jagoan
berilmu tinggi, perubahan jurusnya dilakukan diluar
dugaan, tahu-tahu tangan kanannya dibabat kearah Pek
Thian Ki, sedang tangan kirinya menyambut datangnya
serangan dari Tong Ling, kemudian menggunakan
kesempatan itu mencelat kesamping.
Tapi dengan terjunnya Pek Thian Ki kedalam
pertarungan ini, maka posisi Kiang To semakin tergencet.
Untuk menghadapi seorang Tong Ling saja sudah
kepayahan, apalagi bertambah pula dengan seorang Pek
Thian Ki, Sekalipun kepandaian silat yang ia miliki jauh
lebih lihaypun jangan harap bisa menahan serangan dari
dua orang yang bergabung menjadi satu.
Setelah menyingkir kesamping, segera tegurnya sinis;
"Hmmmm! Kalian semua tidak tahu malu beraninya
turun tangan berbareng mengeroyok seorang."
"Hmm! Terhadap dirimu, rasanya kita orang tak perlu
mengindahkan kata-kata memalukan atau tidak, yang jelas
kau harus mati!" teriak Pek Thian Ki gusar.
Baru saja perkataan selesai diucapkan, badannya kembali
meluncur kedepan. Pada saat Pek Thian Ki menerjang
kemuka tadi, Tong Ling pun ikut mencelat kearah pihak
lawan dengan mengirim satu serangan dahsyat menghajar
tubuh Kiang To.
Agaknya simanusia she Kiang itu mulai merasa bahwa
keadaan sangat tidak menguntungkan posisinya, melihat
datangnya serangan dahsyat dari Tong Ling, iapun
kumpulkan seluruh tenaga yang dimilikinya lantas balas
mengirim sebuah pukulan.
"Pek Thian Ki, aku bisa balik mencari dirimu,"
bentaknya keras.
Bayangan manusia berkelebat lewat, ia menerjang keluar
melalui jendela. Agaknya baik Pek Thian Ki maupun Tong
Ling tidak menduga kalau Kiang To bisa melarikan diri dari
sana, ketika mereka sadar tubuh orang itupun sudah
meluncur keluar melalui jendela.
"Kiang To, kau anggap dirimu bisa lolos dari tanganku?"
bentak Tong Ling gusar.
Bayangan manusia berkelebat lewat, iapun mencelat
keluar melakukan pengejaran. Pek Thian Ki ikut menyusul
dari belakang, tapi dalam waktu singkat itulah ia sudah
ketinggalan puluhan kaki jauhnya dari Kiang To maupun
Tong Ling, dan akhirnya kedua orang itu lenyap dibalik
hutan. . .
Saking khekinya Pek Thian Ki cuma bisa menggertak
giginya rapat-rapat, hingga saat ini ia masih belum tahu
siapakah sebenarnya Kiang To itu. . .
Sinar matanya dengan cepat menyapu sekejap kearah
seluruh ruangan, ketika dilihatnya gadis It Peng Hong tak
ada disana, ia jatuhkan diri duduk diatas kursi, Lama. . .
lama sekali ia baru menghela napas, agaknya pemuda ini
sedang memikirkan suatu persoalan.
Mendadak. . .
"Aaaach. . .!" Pemuda she Pek ini menjerit tertahan. . .
dalam keadaan tidak sengaja sinar matanya telah terbentur
dengan sebuah lengan kanan dari perempuan yang sedikit
muncul dari bawah pembaringan.
Rasa terkejut yang dialami Pek Thian Ki kali ini bukan
alang kepalang lagi, dengan cepat ia melompat maju dan
berjongkok untuk memeriksa siapakah orang itu.
Tapi sebentar kemudian sekali lagi ia merasa terperanjat.
Dilihatnya seorang perempuan yang sangat cantik dengan
lekukan badan yang mempesonakan menggeletak dibawah
ranjang, sekali pandang dapat diketahui kalau ia
menggeletak karena tertotok jalan darahnya.
Sepintas berkelebat. . . secara mendadak Pek Thian Ki
teringat akan sesuatu, pikirnya;
"Tidak salah! Perempuan yang menggeletak diatas tanah
ini tentu nona It Peng Hong dan nona tadi pasti bukan
dirinya, Ada seseorang yang sengaja menyaru sebagai nona
It Peng Hong. . . Tapi apa maksudnya berbuat begitu. . . .?"
Akhirnya pikiranpun teringat kembali akan diri Tong
Ling. Gadis yang menyaru sebagai It Peng Hong tadi, jelas
adalah Tong Ling, tapi apa tujuannya menyaru sebagai
orang lain?
Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang
susah untuk dipahami keadaannya!
Tapi ada satu hal yang nyata dan tak bisa dibantah lagi,
yaitu Tong Ling benar-benar telah menyaru sebagai It Peng
Hong, bahkan samarannya sangat mirip. . . dan gadis itu
berusaha keras untuk bertindak persis.
Pada waktu itu. . . . Dari luar pintu berkumandang
datang suara langkah kaki seseorang yang memecahkan
kesunyian.
"Siapa?" bentak pemuda itu keras.
"Pek Kongcu. . . aku!"
Inilah suara nona It Peng Hong yang telah dijumpainya
tadi.
"Eeehmmm! Tidak salah lagi." pikir Pek Thian Ki diamdiam;
"Pada mulanya kau keluar dulu untuk menyaru
sebagai orang laki dan pergi mengejar Kiang To, kemudian
sekarang balik lagi kemari menyaru sebagai It Peng Hong. .
. ."
Waktu itu suara gadis tersebut kedengaran gemetar, jelas
ia sengaja memperdengarkan suaranya dalam keadaan
ketakutan.
Selintas senyuman dingin berkelebat diatas wajah Pek
Thian Ki, agaknya ia sudah teringat akan sesuatu. . . .
"Nona It Peng Hong, kau kenapa. . .?" tegurnya halus.
"Aku. . . aku takut?"
"Apa yang kau takuti?"
"Aku takut melihat kalian. . . . kalian berkelahi!"
"Kau masuklah kedalam kamar sekarang sudah tak ada
pertempuran lagi."
"Oooouw. . . .!"
Perlahan-lahan It Peng Hong berjalan masuk kedalam
kamar, wajahnya masih terlintas perasaan ketakutan yang
luar biasa, sinar matanya memandang Pek Thian Ki dengan
mendelong.
"Nona It Peng Hong, aku minta maaf. . ." sengaja ujar
Pek Thian Ki dengan nada menyesal.
"Kiang. . . Kiang Kongcu sudah pergi?"
"Benar! Ia sudah pergi!"
"Mungkinkah ia kembali lagi?"
"Mungkin tidak akan kembali lagi! Kentongan keempat
hampir lewat, marilah kita tidur!"
Ia mengangguk, sikapnya kelihatan rada ragu-ragu tapi
sebentar kemudian ia sudah melangkah mendekat. Waktu
itu Pek Thian Ki sudah menjatuhkan diri berbaring diatas
pembaringan.
Perlahan-lahan It Peng Hong melepaskan baju merahnya
kembali, sehingga tinggal selembar kain sutera yang tipis
menempel diatas badannya, setelah itu ia menjatuhkan diri
berbaring disisi pemuda tersebut, keadaannya persis seperti
keadaan semula.
Hanya saja perasaan dihati Pek Thian Ki pada saat ini
jauh berbeda dengan perasaannya semula.
"Nona It Peng Hong, bolehkah aku orang menanyakan
satu urusan kepadamu?. . ." sengaja tanyanya.
"Silahkan bertanya!"
"Kau sudah pernah terima berapa orang tamu?"
"Aku. . . aku. . . ach! aku tidak mau beritahu. . ."
mendadak ia tertawa, senyumannya begitu mempesonakan,
begitu menggairahkan. . ., "Pek Kongcu, mengapa kau
tanyakan soal ini?"
"Aku hanya ingin tahu."
Gadis itu kembali tertawa. . . Ia tertawa begitu manis,
begitu menarik hati, kiranya gadis itu berusaha untuk
menunjukkan sikap seorang perempuan nakal, dengan
paksakan diri ia berusaha untuk menyesuaikan keadaan
sebenarnya.
Mendadak Pek Thian Ki membalikkan badannya dan
memeluk tubuh gadis itu kencang-kencang. . . seperti pula
keadaan tadi, dengan buas dan penuh napsu diciumnya
seluruh tubuh dara manis ini.
Beberapa kali It Peng Hong kelihatan gemetar keras. . .!
"Pek. . . Pek Kongcu. . . .!
Ia mendesis berulang kali, suaranya penuh mengandung
daya rangsang yang membangkitkan hawa napsu.
Perlahan-lahan tangan kanan Pek Thian Ki yang semula
memeluk pinggang lalu naik ke atas depan, menyentuh
sebentuk dada padat menggelembung yang masih tertutup
kain tipis. Diremasnya dengan lembut dada kenyal-padat
sebelah kanan.
"Ughh ... " It Peng Hong mendesah merasakan nikmat
saat ujung-ujung jari tangan Pek Thian Ki mempermainkan
sebentuk benda bulat kecil yang ada di atas gumpalan padat
menggelembung dari luar. Bersamaan dengan itu, It Peng
Hong makin liar membalas ciuman Pek Thian Ki ke arah
telinga pemuda itu.
Melihat sinona membalas perlakuannya dengan tidak
kalah liar, kembali pemuda itu menyerang leher hingga
membuat merinding bulu tengkuk sang gadis.
"Iiih ... " Bahkan, saat tangan kanan pemuda itu mulai
menyusup ke balik kain atas It Peng Hong yang entah
kapan, ikat pinggang gadis itu sudah luruh dan jatuh ke
lantai, mungkin saat ia menarik sinona dalam pelukan, ia
melepas ikat pinggang. Tangan Pek Thian Ki meraba-raba
dada montok itu dengan lembut dan penuh perasaan kasih.
Kembali tubuh gadis itu berkelejat liar saat jemari Pemuda
itu mempermainkan tonjolan dada kanan dari dalam.
"Oooh ... ssshh ... " It Peng Hong hanya bisa
mendongakkan kepala ke atas, menikmati lumatan dan
remasan yang dilakukan oleh sipemuda.
"Nona, kainnya kulepas saja, ya?"
Pelukan Pek Thian Ki sedikit merenggang, diikuti
dengan Pek Thian Ki membuka kain yang melekat ditubuh
sinona, bahkan It Peng Hong sendiri turut membantu apa
yang dilakukan sipemuda.
Setelah semua kain tipis gadis terbebas, kemudian dilepas
dari tubuh langsing It Peng Hong hingga sepasang payudara
putih mulus padat kencang yang masih segar terpampang
jelas.
"Dadamu indah sekali, Nona!" ujarnya begitu sebentuk
benda bulat besar yang tadi sempat diremas-remas.
"Kongcu, jangan dipandangi begitu! Aku kan malu,"
ucap sinona sambil menutupi dadanya dengan dua tangan
bersilangan.
"Kenapa harus malu? Lihat ... aku saja sudah tidak
memakai apa-apa sedang Nona masih setengah komplit,"
kata Pek Thian Ki dengan kedua tangan direntangkan,
kemudian memeluk It Peng Hong yang malu-malu kucing
sambil bibirnya menghujani leher, pipi, dan bibir gadis itu
dengan ciuman menggelora.
"Ooouchh ... "
Di antara hisapan dan gigitan mesra, sukma gadis itu
bagai melayang ringan di awan saat tangan kiri sipemuda
mengelus-elus pada bagian paha, melingkar-lingkar
membentuk bulatan tak beraturan, sehingga napas gadis itu
semakin memburu, pelukan semakin kuat dan ia mulai
merasakan bagian gerbang istana kenikmatannya mulai
basah.
"Oooch ... Kongcu ... "
It Peng Hong hanya pasrah dan membiarkan bibir dan
tangan Pek Thian Ki menjelajahi setiap lekuk dari tubuh
sintalnya. Sesukanya, karena memang gadis itu sangat
menikmati sentuhan lembut si pemuda. Bahkan tanpa sadar
tangan sinona memegang tangan Pek Thian Ki seolah-olah
membantunya untuk memuaskan dahaga birahi yang
semakin meninggi. Ia semakin menggelinjang kegelian!
Halaman 27-28 robek
Bab 26
Haripun telah terang tanah.
Sinar sang surya menyoroti wajah It Peng Hong yang
cantik jelita, titik air mata jatuh berlinang membasahi
wajahnya. . .
Ia menangis, menangis dengan begitu sedihnya.
Akhirnya meluncurlah suara sesenggukan yang lirih
dimana makin lama semakin keras. .dan akhirnya
meledaklah suara tangisan yang memilukan hati.
"Eeeeei. . . kau . . . kenapa kau?" tanya Pek Thian Ki
melengak.
"Aku. . ."
Baru sepatah kata meluncur keluar, kembali dara tersebut
menangis. Pek Thian Ki semakin melengak lagi dibuatnya,
ia bangun berdiri dan dan dipandangnya gadis itu tajamtajam.
Mendadak. . . . sinar matanya tertuju pada segumpal
noda darah yang membekas diatas sprei nan putih.
Benar! Sekarang Pek Thian Ki baru paham kalau gadis
cantik ini pasti bukan It Peng Hong, melainkan Tong Ling.
Tapi ia tidak ingin memecahkan rahasia ini. . . .sudah
tentu sebelum ia melakukan perbuatan ini pemuda kita
telah berpikir sampai disana, dan sekarang apa gunanya
memecahkan rahasia?
"Nona, kenapa kau?" sengaja tanyanya.
"Aku. . . ."
"Perbuatanku terlalu kasar, sehingga menyakiti dirimu?"
"Tidak. . ." "Lalu, mengapa kau menangis?"
Mendadak It Peng Hong menarik kembali suara
sesenggukan tangisannya, ia berkata; "Suami isteri
semalaman, buat apa kita bicarakan soal ini lagi?"
"Kalau begitu, tidurlah! Hari sudah terang tanah!"
Dengan halus penuh mesra diciumnya gadis tersebut,
lalu dipeluknya tubuh yang kecil dan dengan membawa
perasaan hati yang berbeda, akhirnya mereka tertidur juga
dengan pulasnya. . .
Ketika ia terbangun kembali, sinar matahari sudah
berada tepat diatas kepala. Ketika Pek Thian Ki membuka
matanya, waktu itu It Peng Hong sedang berdiri didepan
jendela seorang diri.
"Nona, kau sudah bangun?" segera tegur pemuda itu.
Gadis itu menoleh, bibirnya kelihatan bergerak tapi tak
sepatah katapun yang meluncur keluar dari mulutnya.
Perlahan-lahan Pek Thian Ki berjalan menghampirinya.
"Nona It Peng Hong, suami isteri semalaman tak akan
aku lupakan walau terpaut ratusan tahun, aku memohon
diri terlebih dahulu."
"Kau hendak pergi kemana?"
"Aku? Pergi mencari seorang nona, aku mau pergi
menyewa sebuah rumah!" Tanpa menoleh lagi, ia lantas
berjalan keluar melalui pintu kamar dan menuju kebawah
loteng.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba It Peng Hong berteriak
keras.
Mendengar teriakan tersebut, Pek Thian Ki berhenti.
"Nona! Terima kasih atas pelayananmu malam tadi, juga
terima kasih untuk semua hal, Lain waktu kita berjumpa
lagi didunia kangouw!" Ia dorong pintu dan melangkah
keluar.
"Kau. . .! jerit It Peng Hong sangat terperanjat.
"Perkataanku adalah sesungguhnya, cayhe mohon diri
terlebih dulu." demikianlah pemuda itupun berlalu!
"Pek Kongcu, bila ada waktu luang, datanglah
berkunjung kemari. . " kembali teriak It Peng Hong.
Pek Thian Ki tertawa pahit, mendadak suara langkah
manusia memecahkan kesunyian, sipelayan berbaju kuning
yang kemarin menghantar pemuda itu kekamar dengan
langkah lambat berjalan mendekati. Ia memandang sekejap
kearah sang pemuda, lalu tersenyum;
"Pek Kongcu, pagi sekali kau sudah bangun, aku
memang lagi siap mengundang dirimu!"
"Ada urusan apa?"
"Kau diundang oleh Cong-koan kami."
Pek Thian Ki mengangguk, dan mengikuti dibelakang
dara berbaju kuning itu, ia berjalan menuju keruang tengah.
Mendadak. . . .
"Berhenti!" Bentak seorang dengan suara yang amat
dingin.
Mendengar suara bentakan itu, Pek Thian Ki rada
tercengang dibuatnya, dengan cepat ia menoleh, Dilihatnya
seorang dara cantik berbaju hijau telah berdiri
dibelakangnya.
Gadis itu bukan lain adalah Suma Hun. Tampak
sepasang matanya memancarkan cahaya buas, sambil
melototi diri sang pemuda, tegurnya dingin;
"Sungguh menyenangkan sekali bukan semalaman ini?"
"Haaa. . . haaa. . .haaaa. . . sudah tentu menyenangkan
sekali!"
"Hmmm! Kau lelaki bangsat!"
"Setiap ada kesempatan, main-main perempuanpun
merupakan olah raga yang baik, apa salahnya?"
Saking gusarnya, Suma Hun melototkan sepasang
matanya bulat-bulat, agaknya ia hendak mengumbar hawa
amarahnya.
Tiba-tiba Pek Thian Ki teringat akan sesuatu, ia merogoh
kedalam sakunya seraya berkata;
"Nona Suma, ada satu urusan hampir-hampir saja aku
lupa untuk disampaikan kepadamu, ada orang titipkan
sepucuk surat untukmu!"
"Apa?" teriak Suma Hun tersentak kaget, air mukanya
kontan saja berubah sangat hebat.
"Nih, ambillah!" seru Pek Thian Ki kembali seraya
sodorkan surat tadi ketangan Suma Hun.
Diterimanya surat itu, lalu sinar matanya memeriksa
isinya, tapi sebentar kemudian air muka gadis ini sudah
berubah sangat hebat, tanpa sadar ia mundur satu langkah
kebelakang.
Kelihatannya Pek thian Ki sama sekali tidak menemukan
perubahan wajah dari Suma Hun ini, ia tertawa hambar.
"Nona Suma, aku mohon diri terlebih dahulu." Habis
berkata, ia putar badan dan berlalu.
"Berhenti!" tiba-tiba gadis she Suma ini membentak
keras.
"Nona Suma, kau masih ada pesan-pesan apa lagi?"
"Siapa yang menyerahkan surat ini kepadamu?"
"Pihak lawan melarang aku untuk memberitahukan
persoalan ini, maaf aku tak mengutarakannya keluar."
"Pek Thian Ki, sebenarnya kau suka berbicara tidak?"
bentak Suma HUn teramat gusar, serentetan napsu
membunuh melintasi wajahnya.
"Bukannya tidak mau berbicara, tapi titipan orang lain
harus aku sampaikan sebagaimana mestinya, dan janji
dengan orang lain tak boleh diingkari, kau suruh aku secara
bagaimana memberi jawaban?"
"Jadi kau mencari mati?"
Secara tiba-tiba Pek thian Ki mulai merasa tidak paham,
sebenarnya apa yang ditulis dalam surat yang diberikan Sin
Si-poa kepadanya ini sehingga mengakibatkan wajah Suma
Hun penuh dilintasi napsu membunuh?
"Sebenarnya apa yang ditulis diatas surat tersebut?"
tanyanya agak tertegun.
"Soal ini sih kau tidak perlu tahu, ayo jawab! Siapa yang
serahkan surat ini kepadamu? Jikalau kau tidak suka
berbicara lagi, aku akan menggunakan kekerasan untuk
memaksa dirimu buka mulut."
Air muka Pek thian Ki sedikit berubah mendengar
perkataan tersebut. Urusan sudah jelas tertera didepan
mata, diatas surat itu tentu tertuliskan sesuatu yang
menyangkut suatu urusan besar, Kalau tidak, maka sikap
gadis itu tak akan berubah semacam begini.
Hanya saja untuk beberapa saat ia tak mengerti apa
sebenarnya urusan itu!
"Nona Suma, mana boleh kau orang memaksa orang lain
dengan menggunakan kekerasan?" katanya tertawa.
"Kau suka bicara tidak?"
"Tidak!"
"Akan kupaksa dirimu untuk buka suara berbicara terus
terang!"
Tubuhnya berputar kencang, laksana sambaran petir
meluncur kearah Pek Thian Ki, telapak tangannya dengan
disertai suara desiran tajam langsung menghantam tubuh
Pek Thian Ki.
Serangan yang dilancarkan Suma Hun kali ini lebih
mirip serangan mengadu jiwa, kecepatannya sangat
mengejutkan hati. Pek Thian Ki merasakan hatinya
bergidik, buru-buru ia gerakkan tangannya menangkis.
"Nona Suma, kau sungguh-sungguh hendak turun
tangan?" bentaknya gusar.
"Sedikitpun tidak salah!"
Ditengah suara bentakan keras, berturut-turut ia
melancarkan dua buah serangan mengancam tubuh pemuda
she Pek itu, kecepatannya jauh lebih hebat dari serangan
yang pertama tadi.
Rasa kejut yang dialami Pek thian Ki kali ini bukan
alang kepalang lagi.
Ketika itu. . . .
Didalam sekejap mata Suma Hun sudah melancarkan
tiga buah serangan gencar yang memaksa sang perjaka
berturut-turut terdesak mundur sejauh tiga empat langkah
lebih.
Jikalau dibicarakan dari tenaga lweekang yang dimiliki
Pek Thian Ki pada saat ini, ternyata kena didesak mundur
sejauh tiga empat langkah oleh Suma Hun, kejadian ini
benar-benar merupakan suatu peristiwa yang tidak mungkin
terjadi.
"Nona Suma, jikalau demikian, kau jangan salahkan aku
orang akan turun tangan kejam," bentak sang pemuda
teramat gusar.
Bayangan manusia berkelebat lewat, ia menghalau
datangnya sebuah serangan lawan yang gencar.
Tangkisannya barusan ini ia telah gunakan dua belas bagian
tenaga lweekangnya, apalagi seranganpun datangnya cepat
dan ganas, kontan Suma Hun kena didesak balik ketempat
semula.
"Nona Suma, kau sungguh-sungguh ingin cari mati?"
bentaknya keras.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Jikalau demikian adanya, terpaksa aku Pek Thian Ki
harus berlaku tidak sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu."
Bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu ia sudah
melancarkan serangan dahsyat kedepan. Begitu Pek thian
Ki turun tangan, Suma Hun pun tidak ingin menunjukkan
kelemahannya, ia ikut melancarkan serangan kearah
musuhnya, dan masing-masing saling menyerang dengan
kecepatan laksana petir menyambar, Dalam beberapa kali
kelebatan saja kedua orang itu sudah saling menyerang
sebanyak puluhan jurus.
Kepandaian silat yang dimiliki Suma Hun jelas bukan
tandingan dari Pek thian Ki, karena tenaga lweekang yang
dimiliki Pek thian Ki saat ini telah mencapai titik puncak
yan teratas.
Sekonyong-konyong. . . .
Pek Thian Ki membentak keras, telapak tangannya
didorong kemuka menghajar dada gadis tersebut. Kekuatan
dari pukulan kali ini telah diikuti oleh segulung tenaga
lweekang yang luar biasa dahsyatnya, bagaikan guntur
membelah bumi dengan gencar menghantam tubuh Suma
Hun.
Dengan adanya kejadian ini, mau tak mau Suma Hun
terpaksa harus menggerakkan tangannya menangkis ia
menggigit bibirnya rapat-rapat, tangan kanan digetarkan
keras lantas dibabat kedepan menangkis datangnya
serangan musuh dengan keras lawan keras.
"Braaaak!. . . ." Suara bentrokan keras meledak
memenuhi angkasa, desiran angin tajam menyebar keempat
penjuru, ranting, dedaunan, pasir maupun debu
beterbangan memenuhi angkasa.
Kena terhantam oleh serangan yang maha dahsyat dari
pemuda tersebut, Suma Hun terdesak mundur sepuluh
langkah lebih kebelakang.
Cahaya putih berkelebat lewat, tahu-tahu diatas tangan
Pek Thian Ki telah bertambah dengan sebilah pedang
'Ciang Liong Kiam', tegurnya seraya tertawa dingin tiada
hentinya.
"Nona Suma, aku Pek Thian Ki sama sekali tidak ingin
mengikat permusuhan dengan dirimu, buat apa kau paksa
kita berdua untuk saling mengadu jiwa?"
"Lalu apa mau-mu?"
"Jawab! Siapakah sebenarnya dirimu?" bentak Pek Thian
Ki gusar, selintas napsu membunuh berkelebat diatas
wajahnya.
"Aku bernama Suma Hun!" jawab gadis itu keras.
"Dari mana asal-usulmu?"
"Hmm! Aku rasa didalam soal ini kau tidak berhak untuk
mengetahuinya dan akupun tiada berkepentingan untuk
memberikan jawaban yang benar."
"Sekalipun kau tidak suka berbicara terus terang, akupun
tahu siapakah kau orang."
"Siapa?"
"Kiang To!"
Baru saja kata-kata itu meluncur keluar dari mulutnya,
ujung pedang dari Pek Thian Ki sudah dicukilkan keatas
baju Suma Hun.
Diiringi suara robeknya pakaian, kain sebelah depan dari
nona itu sudah kena tergurat robek, sehingga kelihatan
kutangnya yang berwarna merah.
"Kau. . .!" teriak Suma Hun amat gusar.
"Aku sedang mencari tanda membunuh yang berada
disakumu."
"Pek Thian Ki, mengandalkan apa kau bisa menuduh
aku adalah Kiang To?. . ."
"Heee. . . heee. . . heee. . . Suma Hun, samaranmu benarbenar
terlalu mirip." seru Pek Thian Ki sambil tertawa
dingin tiada hentinya. "Kemarin malam Kiang To
memasuki kamar kediaman dari It Peng Hong dan pernah
pula bergebrak melawan diriku, jurus serangan yang ia
gunakan persis seperti apa yang kau gunakan saat ini. . . ."
"Jadi kau mengandalkan soal ini saja lantas menuduh
aku adalah Kiang To. . ."
"Masih ada lagi, sewaktu berada diatas gunung Lui Im
San, aku sudah menaruh curiga bahwa kau adalah Kiang
To, seharusnya kau belum lupa bukan kehadiranku
digunung Lui Im San adalah atas ajakanmu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tapi sejak mulai, hingga berakhir, aku tidak pernah
menemui kau barang sekejappun, dan kebetulan sekali
sewaktu kedua orang kawanku sedang saling bergebrak kau
munculkan diri, ditengah persoalan ini kau masih punya
cukup waktu untuk mengembalikan wajah aslimu."
"Masih ada yang lain?"
"Mengandalkan beberapa hal ini rasanya sudah cukup
untuk membuktikan kau adalah Kiang To."
"Anggap saja benar aku adalah Kiang to, lalu kau mau
apa?" bentak Suma Hun dingin.
"Baik, cukup menjawab beberapa buah pertanyaanku,
tahukah kau asal-usul dari Kiang To?"
"Tidak tahu!"
"Apa sangkut pautmu dengan rumah yang disewakan
itu?" "Tidak tahu!"
"Mengapa kau menyaru sebagai Kiang To? Dan
dimanakah Kiang To yang asli?"
"Tidak tahu!"
Ternyata beberapa kali gadis tersebut hanya menjawab
setiap pertanyaan dengan kata-kata tidak tahu belaka. Lama
kelamaan Pek Thian Ki tak dapat menahan kegusaran yang
berkobar dalam hatinya lagi.
"Sungguh-sungguhkah kau orang tidak mau berbicara
barang sekejappun?. . ." teriaknya melengking.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Kau jangan lupa, asalkan pedangku ini aku tusukkan
lebih kedalam, maka nyawamu akan segera melaporkan diri
keakhirat."
"Asalkan kau Pek Thian Ki punya kemampuan, ayoh!
Turun tanganlah, bila kau jago, silahkan cepat2 tusukkan
pedang itu keperutku."
"Buat apa kau paksa aku untuk turun tangan keji?" seru
pemuda itu lagi sambil tertawa dingin.
Suma Hun pejamkan matanya rapat-rapat dan tidak
menjawab lagi pertanyaan dari pihak lawannya. Bicara
sesungguhnya, asalkan Pek Thian Ki sedikit kerahkan
tenaga, maka seketika itu juga Suma Hun akan menemui
ajalnya disana.
"Nona Suma! Baiklah, aku tak akan membinasakan
dirimu," bentak Pek Thian Ki kemudian sambil menggertak
gigi. "Tapi pada suatu hari aku bisa tahu siapakah kau
orang, dan sekarang sana menggelinding pergilah jauhjauh."
"Pek Thian Ki!" teriak Suma Hun pula sambil meloncat
bangun, "Selamanya aku tak akan melupakan
penghinaanmu semacam ini hari, lain waktu akupun akan
merobek pakaianmu dihadapan umum."
Habis berkata, tubuhnya melejit dan mencelat pergi dari
sana, dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan.
Pek Thian Ki tertawa dingin tiada hentinya, ia masukkan
kembali pedangnya kedalam sarung dan melangkah pergi.
Ketika itulah mendadak serentetan suara berkumandang
datang memecahkan kesunyian.
"Eeeeei bocah cilik, sungguh bagus sekali tindakanmu!
Ternyata kaupun mengerti juga tentang menyayangi kaum
gadis!"
Munculnya suara tersebut secara mendadak langsung
membuat Pek Thian Ki jadi tersentak kaget, buru-buru ia
putar badannya.
Terlihatlah kurang lebih satu tombak dibelakang
punggungnya entah sejak kapan sudah berdiri seorang lelaki
setengah baya berdandan seorang sastrawan. Melihat
munculnya sastrawan berusia setengah baya itu Pek Thian
Ki rada tertegun dibuatnya.
"Siapa kau?" tegurnya cepat.
"Sin Hoa Khek atau si tetamu pencari bunga!"
"Apa? Si tetamu pencari bunga?"
"Ehmmm! Apakah kau merasa namaku lucu?"
Kena ditanya oleh pihak lawan hampir-hampir saja Pek
Thian Ki tertawa ter-bahak2, sudah tentu setiap orang yang
mendatangi Istana Perempuan boleh disebut sebagai si
tetamu pencari bunga!
Pek Thian Ki tertawa, senyuman yang membawa
kejumawaan, sedang langkah kakipun meneruskan
perjalanannya kedepan.
Tiba-tiba. . . .!
Sreet! Sreet!. . . berturut-turut muncul delapan sosok
bayangan manusia yang langsung menghadang perjalanan
pergi dari sang pemuda tersebut.
Pek Thian Ki rada tertegun dibuatnya, sinar mata yang
tajam perlahan-lahan menyapu sekejap kearah orang2 itu,
dilihatnya dari kedelapan orang berbaju hijau yang baru
saja munculkan dirinya itu, masing-masing orang
menggembol sebilah pedang diatas punggungnya. Orang
yang pertama adalah seorang kakek tua, dengan sangat
cepat ia menghadang dihadapan Pek Thian Ki.
"Tolong tanya apakah saudara adalah Pek Thian Ki?"
tegurnya seraya menjura.
"Sedikitpun tidak salah, siapakah kalian?"
"Loohu, San Hoa Kiam Khek (Jagoan pedang penyebar
bunga), sebagai anak murid dari Kiam Kok, atau Lembah
Pedang, saat ini memperoleh perintah dari Kokcu sengaja
datang mengundang saudara untuk mengunjungi lembah
kami sebentar."
"Apa keperluannya?"
"Soal ini Loohu sendiripun tidak tahu, setelah saudara
tiba disana rasanya segera akan jadi paham kembali."
"Heee. . .heee. .heee cayhe tidak saling kenal mengenal
dengan Kokcu kalian, apa kepentingannya untuk pergi
kesana?" seru Pek Thian Ki sambil tertawa dingin tiada
hentinya. "Tolong sampaikan kepada Kokcu kalian,
katakan saja aku Pek Thian Ki tiada waktu luang untuk
menyambangi dirinya."
"Saudara pastikan diri tidak mau pergi?"
"Kenapa aku harus pergi?" jengek sang pemuda lagi
sambil tertawa hambar.
"Kau harus pergi kelembah kami!"
"Mengapa aku harus pergi kelembah kalian?"
"Karena Kokcu kami ada urusan penting. . ."
"Itukan urusan pribadi ia sendiri!" potong sang pemuda
tidak menanti siorang tua itu menyelesaikan kata2nya.
"Apa sangkut pautnya antara urusan pribadinya dengan
urusanku?"
Melihat keketusan sang pemuda she Pek ini, si jagoan
pedang penyebar bunga langsung kerutkan alisnya rapatrapat.
"Loohu harap kau suka memandang diatas wajahku. . ."
"Cukup! Antara kau dan aku tidak saling mengenal,
Mengapa aku harus memandang diatas wajahmu lantas
mengabulkan permintaanmu itu," sela Pek Thian Ki
kembali.
Merah padam selambar wajah San Hoa Kiam Khek.
"Jadi kau sungguh-sungguh tidak suka mengikuti kami
untuk mengunjungi Lembah Kiam Kok?
"Sedikitpun tidak salah!"
"Saudara, apakah kau menaruh minat untuk
menyusahkan diri Loohu karena persoalan ini?" desak San
Hoa Kiam Khek lebih lanjut.
"Sudah aku katakan bahwa aku tak ada waktu." teriak
Pek Thian Ki sangat mendongkol. "Bagaimana? Apakah
kalian tidak dengar?"
"Dengar sih Loohu sudah dengar."
"Kalau begitu cepat enyah dari sini!"
"Tapi. . . "
Air muka Pek Thian Ki berubah semakin menghebat,
bentaknya keras; "Aku suruh kalian enyah dari sini, sudah
dengar belum? Congek!"
Air muka San Hoa Kiam Khek pun kelihatan rada
berubah.
"Jikalau saudara keraskan kepala tidak mau ikut kami
pergi, terpaksa kami akan mengundang dengan
menggunakan kekerasan!"
"Hmmmm! Kau berani?"
"Adalah saudara yang terlalu memaksa, sehingga kami
harus turun tangan menggunakan kekerasan. ."
"Kentutmu, Jikalau kalian tahu diri, lebih baik cepatcepat
enyah dari sini, kalau tidak. . Hmm! Aku sungguhsungguh
tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi kepada
kalian."
"Menurut berita kangouw yang aku dengar, para jago
mengatakan kau memiliki kepandaian silat yang luar biasa,
terpaksa Loohu beberapa orang menanti beberapa petunjuk
darimu." seru San Hoa Kiam Khek akhirnya sambil tertawa
dingin.
Begitu ia membungkam, serentetan cahaya tajam laksana
sambaran petir sudah meluncur kedepan mengancam tubuh
Pek Thian Ki. Serangan ini dilancarkan bagaikan seekor
naga sakti ditengah awan, cepat dan dahsyat sangat
mengejutkan, bersamaan dengan turun tangannya si jagoan
pedang penyebar bunga ini, sisanya pun ber-turut2 turun
tangan melancarkan serangan.
Delapan bilah pedang dengan membentuk delapan
kuntum bunga-bunga pedang mengancam datang dari
delapan penjuru yang berlainan, sungguh luar biasa sekali.
Melihat datangnya serangan itu, Pek Thian Ki jadi
sangat terperanjat. Dalam keadaan kaget, ia mengirim satu
pukulan dahsyat kedepan, tubuhpun mengiringi serangan
tersebut mencelat kesamping.
Delapan bilah bayangan pedang bersama-sama mencapai
sasaran yang kosong dan menyebabkan diatas tanah
muncul delapan buah lubang kecil yang cukup dalam.
"Tahan!" bentak pemuda itu keras.
Suara bentakan tersebut keras bagaikan guntur
membelah bumi, delapan orang jagoan lihay bersama-sama
menarik kembali serangannya dan mundur kebelakang.
Si jagoan pedang penyebar bunga maju kedepan seraya
tertawa dingin tiada hentinya; "Apakah saudara sudah
berubah pikiran?" tegurnya.
"Aku hanya ingin bertanya, apakah kalian benar-benar
ada maksud hendak membinasakan aku orang she Pek?"
teriak Pek Thian Ki dengan air muka berubah hebat.
"Tidak pernah terjadi urusan semacam ini."
"Kalau begitu, apa maksud kalian delapan orang
bersama-sama melancarkan serangan. . ."
"Tujuan kami hanya ingin mempersilahkan saudara suka
mengikuti kami mengunjungi Lembah Kiam Kok."
"Sudah aku katakan kalau aku tak ada waktu."
"Maka dari itu terpaksa kami mengundang dengan
kekerasan."
"Jadi kalian hendak paksa aku untuk turun tangan. . ."
jengek Pek Thian Ki dengan wajah penuh diliputi napsu
membunuh.
Baru saja ia bicara sampai disitu pedang Ciang Liong
Kiam sudah dicabut ditangan, sedang sang wajahpun
dilintasi oleh selapis napsu membunuh yang belum pernah
diperlihatkan selama ini.
Benar! Pek Thian Ki sudah dibuat gusar pula, ia sama
sekali tidak saling mengenal dengan Kiam Kok Kokcu,
Tindakan dari anak murid orang-orang Lembah Kiam Kok
ini jelas hendak mencari sengketa dengan dirinya.
"Saudara, aku lihat lebih baik ikuti kami saja berangkat
ke Lembah Kiam Kok. . ." seru si San Hoa Kiam Khek lagi
sambil tertawa hambar.
"Tidak dapat!"
"Kalau begitu, akan kulihat sebenarnya saudara
mempunyai kepandaian andalan seberapa lihay. . ."
Belum habis ia berkata bayangan manusia sudah berkelebat
lewat, pedangnya langsung menusuk dada Pek Thian Ki.
Setelah San Hoa Kiam Khek turun tangan, ketujuh orang
jago pedang lainnya pun laksana kilat masing-masing
mengirim sebuah serangan kedepan.
Bab 27
Tiba-tiba. . .
Pek Thian Ki membentak keras, pedang Ciang Liong
Kiam-nya disapu keluar, terlihatlah cahaya tajam
menyambar lewat, Ia sudah melancarkan jurus pertama dari
ilmu pedang 'Ciang Liong Kiam Hoat'.
Ilmu pedang 'Ciang Liong Kiam Hoat' ini merupakan
kepandaian andalan dari pemimpin sembilan jagoan pedang
dari kolong langit, kedahsyatannya luar biasa, hanya
didalam sekali kelebatan saja ia sudah berhasil menghalau
datangnya kedelapan buah serangan tersebut.
Suara bentakan itu muncul dari balik ruangan, dan
Cong-koan dari Istana Perempuan pun tahu-tahu sudah
munculkan dirinya ditengah kalangan, seraya menyapu
semua orang yang sedang bergebrak tegurnya;
"Apa yang hendak kalian lakukan disini?"
"Heeee. . .heeee. . .heeee. . . lebih baik kau bertanya
langsung dengan mereka saja." sahut Pek Thian Ki dingin.
"Kawan, sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Kokcu dari Lembah kami ada urusan hendak mencari
saudara ini, tapi ia tidak suka mengikuti kami untuk
menghadap, terpaksa kami harus menggunakan kekerasan
untuk mengundang dirinya."
"Urusan ini menyangkut persoalan pribadi kalian kawan!
Tindakanmu salah besar, haruslah kau ketahui setiap
kawan-kawan Kang-ouw dilarang melakukan pertarungan
dalam lingkungan Istana kami!"
"Kecuali kawan ini suka mengikuti kami berangkat ke
Lembah Kiam Kok!" kata San Hoa Kiam Khek kembali.
"Apakah kawan tidak pandang sebelah mata terhadap
Istana kami?"
"Soal ini bukan menyangkut soal memandang sebelah
mata atau tidak terhadap Istana kalian, sekalipun kawan ini
berada didalam Istana terlarang dari Maha Kaisar pun kami
juga sama saja akan menemui dirinya."
"Heee. . .heee. . .heeee. . .sungguh besar lagak kalian,
entah kamu semua berasal dari perguruan mana?"
"Lembah Kiam Kok!"
"Apa? Lembah Kiam Kok?"
Tampaklah air muka sang Cong-koan tersebut berubah
hebat, kelihatan sekali ia merasa sangat jeri terhadap nama
besar dari Lembah Kiam Kok.
Keadaan tersebut langsung saja membuat hati Pek Thian
Ki merasa bergidik, diikuti dari atas wajahnya, terlintaslah
serentetan rasa gusar yang sukar dibendung. Cara paksaan
yang digunakan orang-orang ini, benar2 membangkitkan
hawa amarah dihati pemuda she Pek.
Setelah berhasil menenangkan hatinya, Ujar Cong-koan
dari Istana Perempuan itu lagi;
"Kiranya kawan-kawan dari Kiam Kok, selamat
bertemu, selamat bertemu, cuma. . .Kawan! Maukah kalian
memandang diatas wajah kami dan jangan bergebrak
didalam Istana Perempuan?"
"Kecuali saudara ini suka mengikuti kami pergi!"
"Jadi dengan demikian, kalian paksa aku harus turun
tangan?" bentak Pek Thian Ki teramat gusar.
"Sedikitpun tidak salah!"
"heeee. . .heeee. . . jangan dikata cuma sebuah lembah
Kiam Kok saja, sekalipun Kaisar sendiripun setelah aku Pek
Thian Ki bilang tidak pergi, tetap tidak pergi, bilamana
kalian tidak tahu diri, dan memaksa terus. . . Hee. . .heee. .
.hati-hati, aku orang she Pek akan melakukan
pembunuhan."
"Kalau begitu kau boleh coba-coba!"
Tubuh si jagoan pedang Penyebar Bunga ini segera
menerjang maju kedepan, laksana sambaran kilat, ia
mengirim sebuah serangan dahsyat kearah pinggang Pek
Thian Ki.
Serangan tersebut segera disusul oleh tujuh orang lainnya
yang bersama2 menggerakkan pedangnya mengirim sebuah
serangan.
"Bagus sekali! Jadi kalian sungguh-sungguh mau cari
gara-gara dengan aku orang, akan kubunuh kalian semua!"
teriak Pek Thian Ki.
Bayangan manusia berkelebat lewat, pedang tahu-tahu
sedah berkelebat laksana seekor naga sakti. Pada saat ini
Pek Thian Ki ada maksud untuk melakukan serangan
mengadu jiwa, serangannya ini telah disisipkan pula tenaga
lweekang yang dimilikinya selama ini, sungguh amat luar
biasa.
"Criiiiing!" suara bentrokan keras memecahkan
kesunyian disusul percikan bunga api menyebar keempat
penjuru.
Delapan bilah pedang bersama-sama kena tersapu pental
oleh datangnya serangan dari Pek Thian Ki ini, sedang
pemuda tersebut mengambil kesempatan itu melanjutkan
kembali terjangannya kemuka.
Suara jeritan ngeri bergema memenuhi angkasa, seorang
jagoan pedang yang tidak keburu menyingkir kena terbabat
pedang lawan, sehingga rubuh binasa dengan bermandikan
darah.
"Ayooh! Siapa lagi yang tidak takut mati, boleh maju
coba-coba ketajaman pedangku!" teriak pemuda tersebut
dengan sepasang mata memancarkan cahaya penuh napsu
membunuh.
"Bangsat cilik, aku adu jiwa dengan kau orang!" teriak
San Hoa Kiam Khek pula dengan kalap ketika dilihatnya
seorang jagoan pedang yang ia bawa mati terbunuh.
Cahaya pedang berkelebat bagaikan pelangi, dengan
jurus 'Man Thian Hoa Im'(Seluruh Angkasa Bayangan
Bunga), ia serang tubuh pemuda she Pek ini.
Dengan munculnya maksud untuk mengadu jiwa dari
sang pemimpin, sisanya beberapa orangpun bagaikan
banteng terluka bersama-sama menubruk maju kedepan.
Seketika itu juga bayangan manusia saling menyambar,
bayangan pedang berkelebat memenuhi angkasa. Suara
jeritan ngeri kembali berkumandang menembusi awan, tiga
orang jagoan pedang dari Lembah Kiam Kok menemui
ajalnya dengan sangat mengerikan ditangan Pek Thian Ki.
Seluruh peristiwa ini hanya terjadi dalam waktu yang
amat singkat, Pek Thian Ki yang sudah terpengaruh oleh
napsu membunuh, tidak kepalang tanggung lagi, segera
membuka suatu kalangan penjagalan secara besar-besaran.
Yang mati pada menggeletak diatas tanah, sedang yang
masih hidup bagaikan kalap menerjang maju terus kedepan.
"Kalian cari mati?" bentak sang perjaka teramat gusar.
Pedangnya digetarkan keras, dimana bayangan pedang
berkelebat lewat beruntun, ia mengirim tiga buah serangan
gencar, Tiga rentetan jeritan kesakitan berkumandang lagi
diangkasa diikuti robohnya tiga orang menggeletak ditanah.
Melihat anak buahnya banyak yang sudah roboh
bermandikan darah, San Hoa Kiam Khek menjerit aneh,
seranganya dipertingkat, tubrukannya kearah Pek Thian Ki
pun semakin ganas.
Seraya menangkis datangnya serangan gencar dari San
Hoa Kiam Khek, pemuda ini kembali menegur; "Kau betulbetul
cari mati?"
"Tidak salah. . ."
Baru saja perkataan terakhir meluncur keluar, serangan
pedang dari pemuda itu sudah menyambar datang. Suara
jeritan kesakitan langsung meluncur keluar dari bibirnya,
tidak ampun lagi lengan kanannya tertembus oleh tusukan
pedang lawan.
Seketika itu juga darah segar mengucur keluar sangat
deras, air mukanya pucat pasi bagaikan mayat sedang
keringat dingin sebesar kacang kedelai mengucur keluar
membasahi bajunya.
"Ayoh cepat enyah dari sini dan beritahu kepada Kokcu
kalian!" bentak Pek Thian Ki keras, "Katakan aku orang she
Pek tidak suka menerima perintah maupun petunjuk dari
siapapun, Jika ada waktu luang lebih baik ia sendiri yang
keluar untuk menemui diriku." Sehabis berkata, ia
masukkan pedangnya kedalam sarung.
Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu penghinaan
bagi San Hoa Kiam Khek, saking khekinya, hampir-hampir
saja ia jatuh semaput.
Bukan saja orang yang dimaksud tak berhasil datang,
bahkan keenam orang anak buahnya sama-sama menemui
ajal ditangan orang itu, Saking tak tahan menyimpan rasa
dongkolnya, ia tertawa seram;
"Kokcu kami tentu akan mencari saudara untuk
menuntut balas hutang2 berdarah kita kali ini." Selesai
bicara bagaikan anjing kena digebuk, dengan sipat kucing ia
melarikan diri terbirit2 dari sana diikuti seorang anak
buahnya yang beruntung lolos dari cengkeraman elmaut.
"Waaduuh. . .waaduh. . . ilmu pedang yang saudara
mainkan barusan ini jauh lebih sempurna dari pada
permainan Ciang Liong Kiam Khek sendiri," tiba2 si tamu
pencari bunga itu berseru memuji.
Mendengar perkataan tersebut, Pek Thian Ki merasa
sangat terperanjat, karena cukup ditinjau dari perkataannya
ini jelas menunjukkan bila si tamu pencari bunga itu bukan
manusia sembarangan.
Pemuda she Pek ini rada tertegun dibuatnya; "Cianpwee,
apakah kau kenal dengan Ciang Liong Kiam Khek?"
"Tidak kenal. . .?"
"Lalu, secara bagaimana kau bisa tahu kalau ilmu
pedang yang aku mainkan adalah ilmu pedang Ciang Liong
Kiam Hoat?"
"Pedang itu adalah sebilah pedang Ciang Liong Kiam,
sudah tentu ilmu pedang yang kau mainkan adalah ilmu
pedang Ciang Liong Kiam Hoat!"
Jawaban ini walaupun tidak sesuai, tapi untuk beberapa
waktupun Pek Thian Ki tidak berhasil mencari alasan yang
lain untuk membantah jawabannya itu.
Pek Thian Ki tertawa dingin, ia tidak menggubris diri si
tamu pencari bunga itu lagi, kepalanya berpaling kearah
sang Cong-koan dari Istana Perempuan.
"Apakah kau sudah berhasil pecahkan jurus seranganku
itu?" tanyanya.
"Tidak!"
"Kalau begitu kau harus serahkan It Peng Hong
kepadaku!"
"Soal ini. . ."
"Aku hendak bawa ia pergi dari sini!"
"Apa? Saudara hendak membawa pergi nona It Peng
Hong?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tidak bisa jadi, dalam Istana kami tiada peraturan
semacam ini."
"Sekalipun tidak bisa jadi, kali ini harus dibisa-bisakan."
teriak sang pemuda dengan air muka berubah hebat.
"Kau. . .kau. . . apa yang hendak kau lakukan?"
"Congek! Bukankah tadi sudah aku katakan, nona
tersebut hendak aku bawa pergi?"
"Jika kami tidak mengijinkan?"
"Tidak mengijinkan?" tak kuasa lagi Pek Thian Ki
tertawa dingin tiada hentinya. "Aku takut Istana
Perempuan ini tak bisa meloloskan diri dari kehancuran."
Air muka siwanita setengah baya yang bertindak sebagai
Cong-koan itu langsung berubah hebat, jelas sekali maksud
dari pemuda itu, jikalau ia tidak suka menyerahkan It Peng
Hong kepadanya, maka pemuda tersebut akan turun tangan
menghancurkan Istana itu.
"Giok Mo Hoa! Jikalau orang ini sudah mengucapkan
kata-katanya, kenapa kau tidak pikir2 dulu, dengan masak."
Tiba-tiba si tamu pencari bunga itu berseru.
Dengan perasaan bergidik, sang Cong-koan Giok Mo
Hoa melirik sekejap kearah Pek Thian Ki; "Kapan kau
hendak minta nona It Peng Hong?"
"Ini hari juga!"
"Baiklah! Biar aku laporkan dulu urusan ini kepada
Pemilik Istana, kemudian baru memberi jawaban kepada
saudara." Habis berkata, ia lantas berlalu dari sana.
Menanti wanita setengah baya itu sudah lenyap dari
pandangan, si tamu pencari bunga kembali buka suara;
"Eeeei. . . bocah cilik, apakah kau benar2 bernama Pek
Thian Ki?. . ." tegurnya.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Aku rasa hal ini tidak mungkin. . ."
"Apa maksud perkataanmu itu?" Seketika itu juga air
muka Pek Thian Ki berubah hebat.
Si tamu pencari bunga itu tersenyum;
"Saudara, kau jangan menyalah artikan maksudku,
maksudku namamu yang sebenarnya pasti bukan Pek Thian
Ki!"
"Apa alasanmu?" seru perjaka itu kembali dengan hati
dak dik duk.
"Pertama, Pek Thian Ki adalah si Sin Mo Kiam Khek,
salah satu dari Sembilan jago pedang dari kolong langit. . ."
Mendengar perkataan tersebut sekali lagi Pek Thian Ki
merasakan hatinya berdesir, Sekarang, agaknya ia mulai
merasa bahwa namanya yang sesungguhnya bukan Pek
Thian Ki, dan orang yang benar-benar bernama Pek Thian
Ki adalah si Sin Mo Kiam Khek itu. Lalu apakah dirinya
sungguh-sungguh bernama Kiang To?
"Lalu apa alasanmu yang kedua?" desaknya lebih lanjut.
"Kedua, watak maupun wajahmu mirip seseorang?"
"Siapa?"
"Kiang Lang. . ."
"Aaaach! Beberapa patah kata ini tidak akan terlepas
bagaikan godam berat yang menghajar hatinya, membuat
seluruh badan pemuda ini kelihatan gemetar keras.
"Kau pernah berjumpa dengan 'Sam Ciat Sin Cun' Kiang
Lang?. . ." tanyanya tercenggang.
"Hmm! Pernah berjumpa beberapa kali."
"Bagaimanakah macam orang itu?"
"Kau ingin tahu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Si tamu pencari bunga itu segera tertawa; "Kalau begitu,
kau boleh pergi mencari Sin Si-poa, kemungkinan besar ia
bisa memberitahukan kesemuanya ini kepadamu dengan
sangat jelas."
"Dia?"
"Tidak salah! Kau harus pergi mencari dirinya!"
Bicara sampai disitu, mendadak si tamu pencari bunga
itu mencelat ketengah udara, kemudian dalam beberapa kali
kelebatan saja sudah lenyap dari pandangan.
Dengan hati terperanjat Pek Thian Ki berdiri mematung
ditengah kalangan. Hatinya pada saat ini mulai bergolak
keras, ia mulai berpikir, apakah 'Sam Ciat Sin Cun' Kiang
Lang benar2 ayahnya? Benarkah dirinya bernama Kiang
To?
Tubuhnya dengan cepat mencelat kemuka, kemudian
meluncur keluar dari pintu besar, saat itu juga ia ingin
mencari tahu urusan ini sehingga jadi sejelas-jelasnya.
Ketika ia tiba didepan pintu Istana Perempuan,
ditemuinya si Sin Si-poa masih duduk2 dibawah pohon Liu,
pemuda ini tertawa dingin, sekali loncatan, ia melayang
kehadapannya.
"Eeeei. . . si kurus Bay-kut, apa maksudmu datang
kemari?" tegur si Sin Si-poa sambil melirik sekejap kearah
Pek Thian Ki.
"Cari kau orang!"
"Mau apa? ooouw. . . mau meramalkan nasibmu?"
Pek Thian Ki mendengus dingin.
"Sin Si-poa, kau jangan berlagak pilon lagi, aku mau
bertanya kepadamu, macam apakah manusia yang bernama
'Sam Ciat Sin Cun' itu? Apa hubungannya antara dia
dengan aku orang?"
"Bagaimana aku bisa tahu?"
"Jadi kau tidak suka berbicara terus terang?"
"Aku tidak tahu tentang urusan ini, Kau suruh aku
menjawab secara bagaimana?"
"Jikalau kau orang tidak suka bicara terus terang, aku
segera akan berlaku tidak sungkan-sungkan lagi terhadap
dirimu." teriak sang perjaka dengan air muka berubah
hebat.
Mendadak Sin Si-poa mengambil pit-nya dan menulis
beberapa patah kata diatas kertas.
"Besok pagi datanglah keperkampungan Lui Im Sancung!"
Ditangannya ia menulis sedang diluar bibir ujarnya:
"Bangsat cilik, kau benar-benar mengajak aku bergurau,
bagaimana aku bisa berbicara jikalau aku tidak tahu?"
Pek Thian Ki yang bisa membaca surat tersebut, air
mukanya berubah semakin menghebat, karena ketidak suka
bicaranya Sin Si-poa tentu ada sebab-sebab tertentu!
Bahkan urusan ini kemungkinan besar menyangkut pula
tentang diri Hu Toa Kan itu, cungcu dari Lui Im San-cung.
Sudah tentu Pek Thian Ki mengetahui maksud pihak
lawan, ia lantas manggut.
"Baiklah. . ."
"Begitulah baru benar!"
Mendadak sepertinya Pek Thian Ki telah teringat akan
sesuatu urusan, tiba-tiba tanyanya;
"Eeeei. . . kertas yang kau suruh aku sampaikan kepada
Suma Hun sebenarnya berisikan tulisan apa saja?"
"Besol lusa siang hari berjumpa ditelaga Hiat Swi Thau.
Kecuali itu tak ada tulisan lainnya lagi."
"Tulisan itu kau orangkah yang menulis?"
"Bukan!"
"Siapa?"
"Seseorang! Jika kau ada minat untuk melihat keramaian
datang saja kesana, Bukankah dengan jelas sekali kau bisa
melihat siapakah orang itu?. . ."
"Bagus sekali, ada kesempatan aku pasti akan pergi
kesana."
"Bilamana tak ada urusan, kau boleh berlalu. . . aku
sedang menantikan kedatangan seseorang. ."
Belum habis Sin Si-poa berbicara, tiba-tiba serentetan
suara yang amat dingin sudah berkumandang datang; "Sin
Si-poa, seperti apa yang kau tulis diatas kain ini, jika benar2
tidak cocok apakah batok kepalamu sungguh-sungguh
hendak kau hadiahkan?. . ."
Suara itu muncul secara mendadak, sehingga membuat
sang pemuda she Pek ini merasa amat terperanjat, dengan
cepat ia menoleh.
Dilihatnya seorang pemuda berpakaian perlente dengan
langkah yang lambat sedang berjalan mendekat.
Sin Si-poa tertawa; "Sedikitpun tidak salah."
"Kalau begitu bagus sekali," seru sang pemuda sambil
tertawa hambar. "Sekarang kau boleh hitungkan nasibku.
Jika tidak benar. . .heee. . heeee. . heee. . .akan kutabas
batok kepalamu."
"Tak ada persoalan, siapakah namamu?"
NYioo It Hong, tahun ini berusia dua puluh tahun, lahir
tanggal tiga bulan lima, aku ingin kau bacakan
pengalamanku semasa yang lalu."
"Coba keluarkan tangan kirimu."
Si pemuda berpakaian perlente itu keluarkan tangan
kirinya, Sin Si-poa segera mencekal dan diperiksanya
guratan-guratan yang ada ditangan pemuda tersebut.
Melihat munculnya sang pemuda berbaju perlente itu
sangat aneh, tak terasa lagi Pek Thian Ki berpikir dalam
hatinya;
"Apakah orang yang sedang ditunggu Sin Si-poa adalah
orang ini?" Belum habis berpikir, terdengar Sin Si-poa
sedang berkata;
"Saudara, bolehkah aku orang bicara secara terus
terang?"
"Sudah tentu!"
"Baik. . baik. . saudara adalah seorang anak tunggal,
sejak umur dua tahun sudah angkat guru. ."
"Aku angkat guru dengan siapa?"
"Soal ini sih susah dihitung, pada usia sembilan belas
tahun kau munculkan diri didalam dunia kang-ouw dan
tindakanmu ini memperoleh tantangan keras dari sang ibu,
watakmu sangat kasar, bahkan mendekati buas dan keji. . ."
"Lantas bagaimana selanjutnya?"
"Dengan watakmu ini sekalipun kau merupakan seorang
jagoan Bu-lim yang berbakat, tapi tidak begitu bagus, lain
kali kemungkinan besar akan mendatangkan bencana
kematian ditangan orang. ."
"Sudah selesai kau berbicara?"
"Ehmmm! Selesai sudah!"
"Heee. . .heee. . .heee. . .sungguh sayang apa yang kau
hitung sedikitpun tidak tepat."
"Bagaimana yang kau anggap tidak tepat?"
"Ayah ibuku sudah dibunuh mati oleh musuh!"
"Siapakah musuh besarmu?"
"Soal ini kau tidak perlu tahu!" ia merandek sejenak,
kemudian bentaknya keras.
"Sekarang serahkan batok kepalamu!"
"Aku katakan apa yang aku ramalkan adalah cocok, tapi
kau ngotot bilang tidak cocok, urusan ini adalah suatu
peristiwa yang tak bisa diselesaikan dengan baik!"
"Omong kosong, aku yang alami, sudah tentu aku tahu
cocok atau tidak cocok, ayoh serahkan batok kepalamu."
"Heeei. . .soal ini terpaksa harus terserah kepada dirimu
sendiri, suka percaya atau tidak!"
Air muka Nyioo It Hong berubah hebat, "Jadi kau paksa
aku harus turun tangan sendiri untuk tabas batol kepalamu
itu?" teriaknya.
Ditengah suara bentakan keras, tubuhnya meloncat
kedepan seraya melancarkan satu serangan gencar, Melihat
datangnya serangan si Sin Si-poa tertawa.
"Saudara, apa yang kau kehendaki?"
"Menginginkan batok kepalamu! Sebagaimana yang
telah kau janjikan."
"Jikalau demikian adanya, mari! Ambillah sendiri batok
kepalaku!"
Jawaban dari Sin Si-poa ini jauh berada diluar dugaan
orang lain, Nyioo It Hong tertawa dingin;
"Heee. . .heee. . .heee. . bagus sekali! Apa kau anggap
aku tidak becus untuk turun tangan tabas sendiri batok
kepalamu?"
Badannya mencelat dua kaki tingginya ketengah
angkasa, diikuti tangan kanannya diayun kemuka
melancarkan satu serangan dahsyat kearah Sin Si-poa
dengan gerakan yang aneh tapi cepat.
"Hmm! Bangsat cilik, kau cari mati?" teriak Sin Si-poa
ketus sewaktu dilihatnya orang itu melancarkan serangan
dahsyat.
Bayangan manusia berkelebat lewat, iapun sudah
mengirim satu pukulan mengunci datangnya serangan
lawan. Masing2 melancarkan serangannya dengan
kecepatan laksana sambaran petir, begitu Nyioo It Hong
menyerang, angin pukulan Sin Si-poa-pun sudah
menyambar datang.
"Brak. .!" suara bentrokan keras memecah kesunyian
sehingga menimbulkan ber-puluh2 buah desiran tajam
menyebar kesamping, sebuah meja yang ada disisi
kalangan, langsung terhajar hancur berantakan berkepingkeping.
Terlihat Nyioo It Hong tergetar mundur sejauh satu
tombak, sedangkan Sin Si-poa terpukul mundur sejauh tiga
empat langkah kebelakang.
Diam-diam Nyioo It Hong merasa sangat terperanjat, tak
terasa lagi, ia berseru; "Oooouw. . .! Sungguh dahsyat
kepandaian silat yang kau miliki!"
"Heee. . .heeee. . .heee. . .kepandaianmu-pun lumayan
juga hebatnya!" seru situkang ramal pula dengan cepat.
"Mana. . .mana. . ."
Begitu ucapan selesai diutarakan, sekali lagi Nyioo It
Hong mencelat keangkasa kemudian melancarkan sebuah
serangan yang dahsyat kearah siorang tua itu.
Sin Si-poa pun tidak mau menunjukkan kelemahannya,
ia segera menggerakkan tangan menangkis, dengan
demikian terjadilah suatu pertempuran yang amat sengit
ditengah kalangan tersebut.
Mendadak. . . Suara bentakan nyaring bergema datang
disusul munculnya sesosok bayangan hitam langsung
menubruk kearah tubuh Sin Si-poa.
"Braaaaak!. . . . Aduuuuuh. . . ." Ditengah berpisahnya
bayangan manusia, tubuh Sin Si-poa mencelat ketengah
angkasa, kemudian terbanting sangat keras diatas tanah,
darah segar memuncrat keluar dari mulutnya.
Sedangkan siorang berbaju hitam itu sendiri setelah
berhasil menghajar luka si Sin Si-poa, dengan gerakan yang
cepat, segera melayang pergi dari sana. dalam sekejap mata
telah lenyap dari pandangan.
Kecepatan gerak dari siorang berbaju hitam itu benarbenar
membuat orang menjulurkan lidah, sehingga
bagaimanakah wajah dari orang itu, tak seorangpun yang
dapat melihat jelas.
Pada saat Sin Si-poa muntah darah dan roboh keatas
tanah itulah. . . Tiba-tiba Nyioo It Hong majukan diri
mengirim satu pukulan menghajar tubuh Sin Si-poa.
Serangannya ganas dan telengas sedikitpun tidak
meninggalkan perasaan peri kemanusiaan.
Belum sampai telapak tangannya menempel diatas badan
mangsanya, bayangan manusia kembali berkelebat lewat,
Pek Thian Ki tahu-tahu sudah menerjang datang sambil
mengirim satu serangan dahsyat kearah Nyioo It Hong.
"Tahan!" bentaknya keras.
--oodwoo--
Jilid 10
Bab 28
SANG TELAPAK dibabat kemuka, lalu mengunci
datangnya pukulan lawan, dengan sangat tepat ia berhasil
menolong Sin Si-poa, lolos dari lubang jarum.
Melihat pemuda she Pek itu ikut campur, air muka
Nyioo It Hong langsung berubah hebat, "Apa yang kau
kehendaki?" bentaknya gusar.
"Heeee. . .heeee. . .heeee. . .saudara, ia sudah menderita
luka parah, mengapa kau begitu pengecut, beraninya turun
tangan terhadap seseorang yang berada dalam keadaan
bahaya?" jengek Pek Thian Ki sambil tertawa dingin.
"Hmmm! Itu urusanku dan kau tidak berhak untuk ikut
campur, ayoh, enyah dari sini! Kalau tidak. . . heee. . .heee.
. . aku orangpun tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi
terhadap dirimu.
"Oooouw. . . jika begitu, mari kita coba-coba dulu."
Nyioo It Hong betul-betul merasa teramat gusar
badannya melayang kemuka, telapak kanan dibalik
mengirim segulung angin pukulan yang men-deru2 kearah
Pek Thian Ki.
Pemuda she Pek dengan sebat menangkis datangnya
pukulan, telapak tangan kiripun mengambil kesempatan itu
balas melancarkan satu pukulan dahsyat.
Gerakan dari kedua orang ini sama-sama dilakukan
dalam kecepatan laksana sambaran kilat, hanya dalam
sekejap mata, puluhan jurus sudah berlalu tanpa berhasil
menentukan siapa menang dan siapa yang kalah.
Tiba-tiba Pek Thian Ki membentak keras, dengan
gencarnya, ia mendesak dua pukulan dahsyat kearah
musuhnya. Kedua buah serangan ini langsung memaksa
Nyioo It Hong terdesak mundur beberapa puluh langkah
kebelakang.
"Sebetulnya siapakah kau?" bentaknya keras.
"Siapakah aku, rasanya kau tidak berhak untuk
mengetahuinya, buat apa kau orang banyak bacot yang tak
berguna?"
"Apakah diantara kau dengan situkang ramal itu ada
terikat dendam sedalam lautan?"
Nyioo It Hong menggeleng.
"Siapakah siorang berbaju hitam yang munculkan diri
dengan kecepatan luar biasa itu?"
"Aku tidak kenal dengan orang itu, bagaimana bisa tahu
siapakah dirinya?. . ."
"Baiklah! Aku orang she Pek katakan dulu, jikalau kau
berani membokong dia orang dengan mengambil
kesempatan sewaktu ia sedang menderita luka dalam, maka
aku Pek Thian Ki tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi
terhadap dirimu."
Diatas selembar wajah sang pemuda berbaju perlente itu
terlintaslah suatu senyuman dingin yang menggidikkan.
"Baiklah! Untuk sementara kita sudahi dulu urusan kita
sampai disini, lain kesempatan kita berjumpa kembali."
Habis berkata, ia putar badan dan berlalu.
Tindakan dari sang pemuda berpakaian perlente itu
kontan saja membuat Pek Thian Ki jadi berdiri melengak.
Waktu itu Sin Si-poa yang menggeletak diatas tanah
sedikitpun tidak bergerak, air mukanya pucat pasi bagaikan
mayat, sepasang mata terpejam rapat-rapat dan darah segar
meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Pek Thian Ki kertak gigi kencang-kencang, ia salurkan
tenaga lweekangnya kesepasang telapak kemudian bagaikan
sambaran kilat mencengkeram urat nadi dari si Sin Si-poa
tersebut, tapi belum sempat tangannya menempel ditangan
pihak lawan, mendadak serentetan suara bentakan yang
dingin berkumandang datang;
"Tahan!"
Mendengar bentakan tersebut, Pek Thian Ki merasakan
hatinya bergidik, buru-buru ia tarik kembali tangannya
kebelakang.
"Siapa?" bentaknya tak terasa.
Suara senyuman dingin bergema kembali dari arah
belakang, dengan sebat pemuda ini putar badan. Dilihatnya
kurang lebih tiga tombak dibelakang dirinya telah berdiri si
bayangan hitam yang baru saja munculkan dirinya itu
dengan sikap keren dan menyeramkan. Tanpa terasa Pek
Thian Ki merasakan seluruh badannya merinding.
Kembali orang itu memperdengarkan suara tertawa
dinginnya yang sangat menyeramkan; "Heee. . .hee . .heeee.
.saudara! Hampir-hampir saja aku melupakan dirimu,
bukankah kau bernama Pek Thian Ki?"
"Sedikitpun tidak salah, entah siapakah kau orang?"
"Siapakah aku, rasanya kau tidak perlu tahu, sekarang
aku mau bertanya, apakah kau bermaksud pergi menyewa
rumah tersebut?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Kalau begitu, akan kubunuh kau orang. . ." Sembari
berbicara selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati
Pek Thian Ki.
Walaupun dirinya didesak, sang perjaka ini sedikitpun
tidak menunjukkan sikap jeri.
"Tadi Sin Si-poa pernah berkata bahwa ia sedang
menunggu kehadiaran seseorang, mungkin kau orangkah
yang ia tunggu?" balik tanyanya.
"Dugaanmu sedikitpun tidak salah!"
"Mengapa?"
"Heee. . . heee. . . heee. . . soal ini tiada sangkut paut
dengan dirimu, dan kaupun tak ada kepentingan untuk
mengetahui persoalan ini."
"Tapi aku harus mengetahuinya. . . aku ingin kau sendiri
yang memberi keterangan kepadaku."
"Kalau begitu, kau boleh coba-coba saja. . ." Belum habis
ia berkata, sang badan sudah menubruk kedepan, dimana
bayangan manusia berkelebat lewat, ia sudah mengirim satu
pukulan yang dahsyat kedepan.
Pek Thian Ki pun membentak keras, telapak tangannya
membentuk gerakan setengah lingkaran ditengah udara,
kemudian diayun kedepan menyambut datangnya serangan
tersebut.
Pada saat kedua orang itu sedang melangsungkan suatu
pertarungan yang maha sengit tiba-tiba sesosok bayangan
manusia laksana sambaran petir meluncur kearah Sin Sipoa
dan didalam sekali kelebatan, ia sudah berhasil
mencengkeram tubuh siorang tua tersebut.
Ketika itu antara Pek Thian Ki dengan si bayangan
hitam tersebut sudah saling mengirim satu pukulan dan
masing-masing pihak terpental mundur kebelakang.
Air muka Pek Thian Ki berubah pucat pasi bagaikan
mayat, sedang orang itupun kedengaran ngos2an, Jelas
masing-masing pihak tidak berhasil memperoleh
keuntungan dalam bentrokan barusan ini.
Tapi ketika mereka lihat disisi kalangan telah bertambah
lagi dengan kehadiran seseorang, baik Pek Thian Ki
maupun siorang berbaju hitam itu, sama-sama menjerit
keras.
Pertama-tama Pek Thian Ki yang mengenali dahulu
siapakah orang itu, karena ia sudah sering ditemuinya, yaitu
sang pemuda misterius Cu Tong Hoa adanya.
Cu Tong Hoa yang penuh diliputi kemisteriusan,
kambali munculkan diri disana. Diatas selembar wajahnya
penuh diliputi napsu membunuh.
"Saudara, jika tahu diri, aku nasehati dirimu lebih baik
letakkan kembali orang itu keatas tanah." bentak siorang
berbaju hitam itu dengan suara yang dingin menyeramkan.
"Heee. . .heee. . . kau anggap aku suka mendengarkan
perintahmu dengan begitu gampang? Jangan mimpi disiang
hari bolong!"
"Bangsat! Sungguh besar nyalimu, siapakah kau? Mau
cari mati haah?"
"Oooouw. . . kau ingin tahu siapakah aku orang?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Bagus sekali." seru Cu Tong Hoa sinis, ia berpaling
kearah pemuda she Pek itu, lalu katanya;
"Thian Ki, coba kau jaga dulu orang ini, akan
kuberitahukan kepadanya siapakah aku orang sebenarnya!"
Seraya berkata, ia lemparkan tubuh Sin Si-poa kearah sang
pemuda, kemudian dari sakunya mengambil keluar tiga
batang seruling perak.
Salah! Bukan seruling perak, karena benda tersebut tidak
bertulang!
Tampak Cu Tong Hoa menggetarkan tangan kanannya,
tabung perak tersebut mendadak menekuk dan akhirnya
membelah jadi tiga bagian yang saling sambung
menyambung.
"Aaaaach! Kau. . ." Tiba-tiba siorang berbaju hitam itu
menjerit keras, Berturut-turut ia mundur tiga empat langkah
kebelakang dengan sempoyongan, seluruh tubuhnya seperti
kena stroom bertegangan tinggi, gemetar keras sekali.
Melihat kejadian itu, Pek Thian Ki jadi dibuat
tercengang dan berdiri me-longo2 ditempat semula, lama. . .
lama sekali, ia baru berguman seorang diri: "Thian!
Siapakah sebenarnya dia orang? Gadis ini betul-betul sangat
misterius!"
"Rasanya kau sudah tahu siapakah aku bukan?" bentak
Cu Tong Hoa dengan dingin.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Siapakah dia?" Tiba-tiba Pek Thian Ki ikut menimbrung
dari samping kalangan.
Pada saat sang pemuda she Pek menimbrung itulah Cu
Tong Hoa sudah mengayunkan senjata Sam Ciat Tong-nya
kedepan; "Siapa yang mengetahui asal-usulku, dia tak boleh
dibiarkan hidup," teriaknya seram.
Bayangan tubuh berputar gencar, diikuti oleh
berkelebatnya cahaya putih yang menyilaukan mata, Tubuh
Cu Tong Hoa laksana kilat menubruk kearah siorang
berbaju hitam itu.
Bukan saja asal-usul dari pemuda she Cu ini merupakan
suatu misteri, bahkan belum tahu siapakah sebenarnya
orang ini.
Apalagi kepandaian silatnya sangat lihay, soal ini
semakin merupakan suatu teka-teki yang tak terpecahkan
lagi.
Gerak serangan yang ia lancarkan barusan ini benarbenar
dahsyat dan lebih cepat beberapa kali lipat daripada
gerakan tubuh dari Pek Thian Ki sendiri.
Senjata Sam Ciat Tong laksana kilat dengan
memancarkan cahaya keputih-putihan berturut-turut
mengirim tiga buah serangan gencar kemuka.
Entah disebabkan kepandaian silat yang dimiliki siorang
berbaju hitam ini sungguh-sungguh bukan tandingan dari
Cu Tong Hoa, ataukah karena ia merasa terkejut dan
ketakutan, sehingga susah gerakkan badan, yang nyata
dibawah desakan tiga buah serangan manusia she Cu ini
siorang tua berbaju hitam itu ber-turut2 terdesak mundur
sepuluh langkah lebih kebelakang.
Pek Thian Ki yang melihat kejadian ini, kontan saja
merasakan hatinya bergidik. Ketika itulah. .
Diiringi suara bentakan keras, bayangan tubuh Cu Tong
Hoa bagaikan lintasan listrik kembali mengirim lima buah
serangan berantai. Jurus serangannya cepat dan aneh, setiap
tindakannya telengas, keji dan buas.
Agaknya siorang berbaju hitam itupun sudah timbul
maksud untuk mengadu jiwa, membarengi gerakan dari Cu
Tong Hoa, ia sendiripun balas melancarkan dua buah
serangan dahsyat.
Suatu pertempuran sengit yang mempertaruhkan
jiwapun segera berlangsung. . . siapa menang, dia yang
hidup dan siapa yang kalah, dialah yang bakal menemui
ajal seketika itu juga.
Sekonyong-konyng. . . .
Serentetan suara bentakan keras bergema memecahkan
kesunyian, tampak bayangan putih berkelebat lewat disusul
jeritan ngeri bergema mendirikan bulu roma, siorang
berbaju hitam itu dengan sempoyongan mundur berpuluhpuluh
langkah kebelakang, kemudian roboh keatas tanah
dengan napas kembang-kempis.
Dengan sebat, Cu Tong Hoa meloncat kedepan
memapah badannya yang hampir mencium tanah itu.
"Siapakah kau? Ayoh jawab!" bentaknya keras.
"Tiii. . .tidak tahu!"
"Bangsat! Kau orang sungguh-sungguh tidak mau buka
suara?"
"Dugaanmu sedikitpun tidak salah."
Perlahan-lahan diatas selembar wajah Cu Tong Hoa
terlintaslah napsu membunuh yang menggidikkan hati,
kembali bentaknya keras; "Berasal dari perguruan manakah
kau orang?"
"Maaf! Soal inipun tak bisa aku terangkan."
"Heee. . .heeee. . .heeee. . . sungguh-sungguh kau tidak
mau bicara?" teriak Cu Tong Hoa sambil tertawa dingin.
"Sedikitpun tidak salah."
"Bangsat. Kurang ajar, kau sungguh2 ingin cari mati?"
Begitu ucapan selesai diutarakan, senjata Sam Ciat Tong
ditangannya sudah membabat kearah bawah.
Suara jeritan ngeri berkumandang keluar, tubuh siorang
berbaju hitam itu dengan disertai muncratan darah segar
mengotori empat penjuru menggeletak mati diatas tanah
dalam keadaan yang sangat menyeramkan.
Pek Thian Ki yang melihat kejadian ini segera
merasakan seluruh badannya merinding, bulu kuduk pada
bangun berdiri, Perlahan-lahan Cu Tong Hoa mengalihkan
sinar matanya keatas tubuh pemuda she Pek itu, lalu
tegurnya dingin;
"Serahkan kembali orang itu kepadaku."
Dari tengah keterkejutannya, Pek Thian Ki tersadar
kembali dari lamunan, air mukanya langsung ikut berubah
sedikit.
"Tunggu sebentar!"
"Apa yang kau kehendaki?"
"Cu Tong Hoa! Kau betul-betul mempunyai kemampuan
untuk pergi datang bagaikan angin puyuh! Ayoh bicara,
siapakah sebenarnya kau orang?"
"Sekarang bukan waktunya untuk membicarakan soal
ini, cepat serahkan orang itu ketanganku, agar aku bisa
memeriksa lukanya." seru Cu Tong Hoa dengan air muka
berubah hebat.
"Jikalau kau tidak suka mengatakan siapakah dirimu,
Hmm! Jangan harap aku suka serahkan orang ini
ketanganmu."
"Ooouw. . . kau tidak menginginkan nyawanya lagi?"
bentak manusia she Cu ini dingin. "Baiklah! Jikalau kau
tidak menginginkan lagi nyawanya, itupun tidak tersangkut
urusan pribadiku, terserah kau sendiri." Tiba2 ia putar
badan dan berlalu dari sana.
"Berhenti!" bentak Pek Thian Ki mendadak.
"Ada apa lagi?"
Sekali loncat Pek Thian Ki sudah menghadang kembali
dihadapan Cu Tong Hoa.
"Jikalau kau tidak mengatakan siapakah kau orang.
Hmm! Jangan harap bisa lolos dari tanganku."
"Apa yang kau inginkan?" Cu Ton Hoa tertawa hambar.
"Aku hanya ingin memaksa kau orang suka
memberitahukan kepadaku siapakah sebetulnya kau?"
"Seingatku, aku pernah memberitahukan urusan ini
kepadamu, bukan begitu?"
"Tidak salah, kau pernah memberitahukan kepadaku
siapakah dirimu, cuma aku rasa Majikan Istana Harta
bukan kedudukanmu yang sebenarnya."
"Heeeee. . .heeee. . .heeee. . .soal ini mau percaya atau
tidak, itu terserah kepadamu."
"Sewaktu masih berada didalam Istana Harta bukankah
kau pernah berkata bahwa kau ingin mencari aku dan
memberitahukan apa yang ingin aku ketahui. . .? Nah!
Sekarang bicaralah," kata Pek Thian Ki kembali dingin.
Air muka Cu Tong Hoa perlahan-lahan mulai diliputi
napsu gusar, agaknya ia hendak mengumbar hawa
amarahnya. "Apakah kau sungguh-sungguh ingin
mengetahui urusan ini?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Baiklah!" kata Cu Tong Hoa kemudian seraya tertawa
dingin. "Jika kau ingin tahu, datangilah lembah Bu Cing
Kok digunung Pak Giok San besok pagi."
"Mengapa harus tunggu sampai besok?"
"Karena tempat ini bukan tempat yang layak untuk
berbicara."
"Heeee. . .heeee. . .heeee. . .kau jangan coba2
menggunakan siasat kepompong kosong melepaskan kulit,
aku Pek Thian Ki tak bakal terpancing oleh jebakanmu!"
Air muka Cu Tong Hoa langsung berubah hebat, napsu
membunuh mulai melintasi wajahnya, jelas gadis ini sudah
dibuat gusar oleh sikap Pek Thian Ki.
"Pek THian Ki, jikalau semisalnya aku berterus terang
memberitahukan keadaanku, siapakah sebetulnya diriku
apakah kau dapat percaya?"
Pek Thian Ki melengak, sedikitpun tidak salah, jikalau
semisalnya Cu Tong Hoa benar-benar memberitahukan
asal-usulnya, apakah ia bisa mempercayai kebenaran
tersebut sepenuhnya? Bagaimanapun juga ia pasti akan
menganggap perkataan dari gadis ini merupakan suatu tekateki
yang susah dipecahkan, Pertama, dia adalah pangcu
dari perkumpulan Pak Hoa Pang, Dan kedua, dia menyebut
dirinya sebagai Majikan Istana Harta.
Sekarang ia hendak memberitahukan lagi sebuah
kedudukannya, apakah ia bisa percaya? Teringat akan
persoalan ini, Pek Thian Ki menghela napas panjang.
"Heeei. . .! Sudahlah, aku tahu sekalipun aku ingin
mengetahui asal-usulmu juga percuma saja, karena dibalik
kesemuanya ini kau bisa menipu diriku dan aku tak bakal
mengetahui. Tapi ada satu hal yang tak dapat kau bohongi
lagi, yaitu kau adalah seorang gadis!"
"Sedikitpun tidak salah, aku memang seorang gadis."
"Baiklah, asalkan aku Pek Thian Ki bisa mengingat-ingat
hal tersebut, cukuplah sudah." Habis berkata, ia serahkan
Sin Si-poa ketangan Cu Tong Hoa kemudian putar badan
dan berlalu.
Kepergian Pek Thian Ki secara mendadak ini jauh
berada diluar dugaan Cu Tong Hoa, gadis tersebut
keliahatn rada melengak, lama sekali akhirnya ia berseru;
"Pek Thian Ki!"
Dengan cepat si pemuda menghentikan langkahnya, lalu
putar badan dan sinar matanya dialihkan keatas wajah Cu
Tong Hoa yang penuh diliputi kemurungan, kesal dan
kecewa.
Ia jadi melengak. "Kau masih ada urusan apa lagi?"
"Heeeee1. . . sebetulnya aku punya banyak urusan yang
tidak ingin mengelabui dirimu," katanya seraya menghela
napas panjang, "Tapi, aku tak bisa tidak harus membohongi
kau orang, banyak urusan yang belum kau pahami,
demikian pula aku. . ."
"Maksudmu?"
"Pertama, aku tidak bernama Cu Tong Hoa, aku bukan
Tongcu urusan bagian luar dari perkumpulan pengemis
diluar perbatasan, juga bukan Pangcu dari Pak Hoa Pang,
aku bernama Cu Hoa, sedangkan mengenai kedudukanku
yang sebetulnya saat ini belum bisa kuberitahukan."
"Mengapa?"
"Karena aku punya alasan untuk menjaga rapat2 rahasia
ini, karena hal ini mempunyai sangkut-paut yang sangat
penting dengan dirimu, cuma ada satu urusan aku beritahu
dulu kepadamu, yaitu antara Istana Arak, Istana Harta serta
Istana Perempuan sama sekali tiada sangkut-pautnya
dengan rumah yang hendak disewakan itu. . ."
"Siapakah majikan dari rumah tersebut?"
"Aku tidak tahu, sedang mengenai syarat-syarat yang
diajukan untuk menyewa rumah tersebut, mengapa sampai
menggandeng erat Istana Harta, Istana Arak serta Istana
Perempuan, hal inipun benar-benar merupakan suatu
persoalan yang sangat rumit." Ia merandek sejenak untuk
mengambil napas, lalu sambungnya. "Disamping itu, aku
masih ada satu urusan lagi yang tak dapat membohongi
dirimu, yaitu sebelum Sin Mo Kiam Khek pergi menyewa
rumah tersebut pada bulan tiga tanggal tiga belas yang lalu,
ia memang benar2 pernah mendatangi Istana Harta untuk
menitipkan suatu barang."
"Sebenarnya benda apakah itu?"
"Sudah aku katakan bahwa barang itu belum pernah
kulihat, dan sekarang urusan sudah jadi nyata sekali,
kemungkinan besar, kau adalah anak muridnya yang
dimaksudkan."
"Dimanakah letak alasan-alasan tersebut?"
"Pertama, kau adalah satu-satunya pemuda yang muncul
didalam dunia kang-ouw satu tahun kemudian, Kedua,
namamu adalah Pek Thian Ki yang sebenarnya nama dari
Sin Mo Kiam Khek, agaknya didalam persoalan ini masih
tersembunyi suatu rahasia, sehingga ia harus
menyembunyikan nama aslimu dan memberikan namanya
kepadamu."
"Apa tujuannya?"
"Inilah merupakan suatu persoalan yang susah
dijelaskan, cuma namamu yang sebenarnya adalah Kiang
To dan hal ini sudah pasti benar, karena pertama, sembilan
jagoan pedang dari kolong langit adalah kawan karib dari
Sam Ciat Sin Cun, Sin Mo Kiam Khek suruh kau mencari
orang yang bernama Kiang To itu sama saja suruh kau
mencari dirimu sendiri. . ."
"Walaupun soal ini ada kemungkinan yang benar, tapi
mengapa ia tidak memberitahukan kepadaku bahwa aku
adalah Kiang To? Mengapa ia perintahkan aku orang harus
pergi mencari, asal-usul seseorang yang bernama Kiang
To?"
"Karena asal-usulmu penuh dinodai oleh air mata dan
darah!"
"Air mata dan darah?"
"Benar, air mata dan darah, dan kisahnya sangat panjang
sekali, keadaan dari Sam Ciat Sin-cun memang penuh
diliputi oleh keanehan serta kemisteriusan, bagaimanakah
ia bisa mati atau benarkah ia belum mati, hingga saat ini
masih merupakan suatu teka-teki."
"Siapakah nama isterinya?"
"Isteri dari Kiang Lang tidak hanya seorang saja." sahut
Cu Tong Hoa dingin.
"Tidak cuma seorang saja? Lalu berapa?"
"Jikalau ditotal, semua kurang lebih ada lima orang!"
"Apa? Ia punya lima orang isteri?"
"Sedikitpun tidak salah, isteri pertamanya bernama Hu
Bei San, kedua adalah seorang perempuan misterius yang
bernama 'Tiap Hoa Sianci'(Si Bidadari Kupu2 dan Bunga),
sedang sisanya tiga orang. . ."
"Siapakah ketiga orang itu?" potong sang pemuda cepat.
"Majikan dari Istana Harta Giok Mey Jin, Majikan
Istana Arak Cui Mey Jin serta Majikan Istana Perempuan,
Hoa Mey Jin."
Pek Thian Ki betul-betul melengak dibuatnya. "Menurut
apa yang kau ketahui diantara kelima orang perempuan itu,
ia paling suka perempuan yang mana?"
"Menurut apa yang aku ketahui, tak seorangpun diantara
mereka yang dicintai benar-benar."
Pek Thian Ki semakin dibuat bingung lagi oleh kejadian
ini, tampak ia berguman seorang diri; "Sebenarnya apa yang
telah terjadi?"
"Selama hidupnya Sam Ciat Sin-cun hanya pernah
mencintai seorang gadis saja, dan gadis tersebut dalam
hidupnya merupakan gadis yang dicintainya untuk yang
pertama kali. . ."
"Siapakah dia?"
"Kecuali Sam Ciat Sin-cun seorang, tak ada yang tahu,
tapi akhirnya entah karena apa, gadis ini telah
meninggalkan Kiang Lang tanpa sebab, sehingga karena
kejadian ini, maka setelah Sam Ciat Sin-cun berhasil
dengan ilmu silatnya, ia tidak pandang sebelah matapun
terhadap semua perempuan. . . ."
"Jadi, dia adalah seorang jahat?"
"Tidak jahat! Tidak jahat, ia cuma berwatak ku-koay saja
dan suka menyendiri, kepandaian silatnya sangat
menggetarkan seluruh dunia persilatan, sehingga akhirnya
dalam keadaan sedih, ia mendirikan tiga buah istana dan
setiap hari bergaul, bersenang-senang dibawah dekapan
perempuan, minum arak paling wangi. . ."
"Akhirnya?"
"Akhirnya ia lenyap tak berbekas."
"Lenyap tak berbekas? Mana mungkin bisa terjadi
peristiwa semacam ini?"
"Benar. . . ia sungguh-sungguh lenyap tak berbekas, dan
karena hilangnya orang ini pernah menimbulkan
gelombang yang sangat dahsyat dalam Bu-lim, tak seorang
manusiapun yang tahu apa sebabnya ia bisa lenyap tak
berbekas." Cu Tong Hoa berhenti sejenak untuk tukar
napas, lalu sambungnya kembali. "Setelah Kiang Lang
lenyap tak berbekas, tiba2 Giok Mey Jin, Cui Mey Jin serta
Hoa Mey Jin pun ikut lenyap dari penglihatan."
"Apa? Merekapun lenyap tak berbekas?"
"Benar!"
"Apakah mereka masih hidup atau sudah mati?"
"Sampai kini persoalan masih merupakan suatu teka-teki!
Cuma menurut berita yang terdengar katanya mereka sudah
mati semua, rumah yang mereka tempati terbakar habis dan
semua perempuan yang ada tak seorangpun yang berhasil
meloloskan diri dari kobaran api."
Bab 29
MENDENGAR sampai disitu, Pek Thian Ki termenung
berpikir sebentar, kemudian katanya kembali; "Peristiwa ini
bukankah sedikit rada aneh?"
"Benar, peristiwa ini memang sangat aneh sekali."
"Lalu, siapakah Kiang To yang sering kali munculkan
diri itu?"
"Entahlah, karena orang yang menyaru sebagai Kiang To
tidak cuma seorang saja. . ."
"Maksudmu ada dua orang yang menyaru sebagai Kiang
To?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Aaaach! Sekarang aku paham sudah." tiba2 Pek Thian
Ki menjerit tertahan. "Dua orang yang menyaru sebagai
Kiang To ini tentu salah seorang adalah sipemilik rumah
yang disewakan itu. ."
"Kemungkinan ini memang tetap ada."
"Tidak, bukan kemungkinan lagi, tapi pasti benar."
"Benar, salah seorang yang menyaru sebagai Kiang To
tentu mempunyai hubungan dengan siorang pemilik rumah
tersebut, dan dua orang diantaranya satu rada lurus yang
lain rada sesat, kedua orang ini munculkan diri karena
hendak menanti munculnya Kiang To yang asli."
"Jikalau aku benar-benar adalah Kiang To yang asli, lalu
bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Pek Thian Ki
melengak.
"Mungkin seperti halnya dengan maksud Sin Mo Kiam
Khek menyembunyikan nama serta asal-usulmu, karena ia
tidak ingin kau tahu keadaan sesungguhnya dan
dikarenakan kepandaian silatmu belum berhasil mencapai
taraf yang diinginkan."
"Aku masih belum mengerti maksudmu." kembali sang
pemuda menggeleng.
"Bagaimanakah sebetulnya kejadian yang telah
berlangsung, aku sendiri juga kurang paham, jikalau Kiang
To yang asli munculkan diri, maka ia tentu bakal
memancing kedatangan banyak orang untuk melakukan
pembunuhan, atau dengan perkataan lagi asal-usul dari
Kiang To penuh diliputi oleh napsu membunuh, sekarang
seharusnya kau sudah mengerti bukan?"
"Aku sudah paham, tapi, benarkah aku putra dari Kiang
Lang dan bernama Kiang To?"
"Bukankah sudah aku orang katakan bahwa hal ini ada
kemungkinan besar benar?"
"Menurut pandanganmu, siapakah yang bisa
memecahkan teka-teki ini?"
"Sembilan jagoan pedang dari kolong langit. . . tetapi
mereka sudah mati semua."
"Benar mereka sudah mati semua. . .?" Tiba-tiba agaknya
Pek Thian Ki teringat akan sesuatu. . "Siapakah si lelaki
berbaju hitam tadi?"
"Entahlah, aku sendiripun tidak tahu."
"Mengapa setelah ia melihat senjata Sam Ciat Tong-mu,
lantas memperlihatkan sikap begitu ketakutan?"
"Karena senjata ini melambangkan seseorang!"
"Siapa?"
"Sam Ciat Sin Cun!"
"Kau. . . .kau katakan bahwa senjata Sam Ciat Tong ini
adalah barang peninggalan dari Sam Ciat Sin-cun?"
"Sedikitpun tidak salah. . ."
"Lalu kau. . ."
"Banyak urusan aku merasa kurang leluasa untuk
beritahukan kepadamu, tapi pada suatu hari, kau bakal
mengerti sendiri segala seluk-beluknya peristiwa ini, dan
bila aku katakan saat ini malah tidak mendatangkan
kebaikan untukmu, senjata ini bernama Sam Ciat Tong dan
dapat diubah menjadi tiga macam senjata yang berbeda,
Pertama dapat digunakan sebagai pedang, kedua dapat
digunakan sebagai toya dan ketiga bisa digunakan sebagai
senjata rahasia, tadi si lelaki berbaju hitam itu justru
menemui ajalnya dibawah serangan senjata rahasiaku."
"Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Sam Ciat Sincun?
Apakah mungkin kau ada sangkut-paut dengan
dirinya?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Dan kau tak dapat memberikan alasan-alasan yang
sebenarnya?"
"Benar!"
Perlahan-lahan Pek Thian Ki menghela napas panjang.
"Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu peristiwa
yang penuh diliputi teka-teki, siapa yang bisa memecahkan
teka-teki ini?"
"Kemungkinan sekali Sin Si-poa bisa memberikan
penjelasan, menurut apa yang aku lihat tadi, jelas
kepandaian silat yang dimiliki situkang ramal ini tidak
berada dibawah kepandaian dari si orang berbaju hitam itu,
dan ia sengaja membiarkan dirinya kena dihantam. . ."
"Sengaja membiarkan dirinya kena dihantam? Sungguh
lucu sekali, apa mungkin bisa terjadi peristiwa semacam
ini?"
"Benar. . ."
"Lalu, apa sebabnya ia berbuat demikian?"
"Justeru inilah merupakan suatu persoalan yang susah
dipecahkan."
"Mungkinkah Sin Si-poa mengetahui urusan yang
menyangkut diriku?"
"Sedikitpun tidak salah, mungkin hanya dia seorang
yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaanmu, cuma
sekarang ia sedang menderita luka dalam yang parah dan
mungkin tak bisa berbicara lagi."
Sepasang mata Pek Thian Ki mendadak memancarkan
serentetan sinar yang sangat tajam, "Nona Cu, aku merasa
sangat berterima kasih sekali kepadamu, karena kau sudah
memberitahukan banyak urusan kepadaku."
"Kemungkinan sekali kita adalah sama-sama orang yang
tidak beruntung. . ." seru Cu Hoa menghela napas panjang.
. . "Pek Siauw-hiap, pada suatu waktu dapatkah kau mengingat2
diriku?"
"Aku dapat meng-ingat2 dirimu. . . cuma. . .cuma aku
tidak berani. . ." kata Pek Thian Ki dengan hati berdebar.
"Selama hidup ini, Pek Thian Ki belum pernah mendapat
rasa cinta dari orang lain. . .dan tidak berani mencintai
seseorang." Nadanya amat sedih dan memilukan hati.
"Pek Siauw-hiap, kau salah besar, banyak orang
mencintai dirimu. . . hanya saja mereka tidak mengucapkan
secara terus terang kepadamu dan Cu Hoa adalah salah satu
diantaranya, semoga saja kau suka mengingat baik-baik
urusan ini," seru Cu Hoa kembali.
Habis berkata dengan mengempit tubuh Sin Si-poa, ia
berlalu cepat2 dari sana. Pek Thian Ki jadi tertegun
dibuatnya.
Dengan ter-mangu2 pemuda itu memandang bayangan
punggung gadis itu lenyap dari pandangan, selama hidup
baru pertama kali ia mendengar ucapan tersebut dan ia
merasa hatinya rada tergetar. . . .
Perlahan-lahan ia mulai bergeser pergi dari sana. . .
Langkahnya limbung tak ada arah tujuan, ia tidak mengerti
harus pergi kemana baiknya, benar, ia merasa
penghidupannya seperti berada ditengah sebuah samudra
yang sangat luas. . . .
Selama hidup Pek Thian Ki hanya penuh mengalami halhal
yang tidak menguntungkan, sekarang satu-satunya hal
yang harus segera dikerjakan adalah pergi menyewa rumah
tersebut untuk kemudian menyelidiki asal-usul sendiri.
Benar, teka-teki ini sudah lama tersimpan didalam
benaknya, ia harus menyelidiki jelas asal usulnya beserta
apakah ia benar merupakan anak murid dari Sin Mo Kiam
Khek.
Teringat akan persoalan ini, Pek Thian Ki segera putar
badan dan berjalan menuju kearah Istana Perempuan.
Siorang tua berbaju kuning yang berdiri didepan pintu
sewaktu melihat munculnya Pek Thian Ki disana, air
mukanya lantas berubah hebat, ia menunjukkan sikap
ketakutan.
"Pek Kongcu, kau. . ."
"Aku ada urusan hendak mencari Cong-koan kalian!"
"Baik. . . baik. . ."
Pek Thian Ki pun tidak berbicara banyak lagi, ia
langsung melangkah masuk kedalam ruangan belakang.
Belum jauh ia masuk, suara langkah manusia tiba-tiba
memecahkan kesunyian, terdengar seseorang menegur
dengan suara yang halus.
"Pek Kongcu, apa maksudmu mencari Cong-koan
kami?"
Dengan sebat Pek Thian Ki menengok, dilihatnya sidara
berbaju kuning itu dengan langkah lambat sedang berjalan
mendekat.
"Aku punya urusan hendak menemui dirinya. . ."
"Sekarang?"
"Sedikitpun tidak salah, sekarang juga."
"Kalau begitu, mari ikutilah diriku."
Demikianlah kedua orang itu segera berjalan menuju
keruang belakang, setibanya didepan sebuah ruangan yang
tertutup tidak menanti sidara berbaju kuning itu mengetuk
pintu lagi, ia langsung mendorong pintu dan mencelat
masuk kedalam.
Sang pintu terpentang lebar-lebar diikuti munculnya
Giok Mo Hoa sambil memandang kearah Pek Thian Ki
dengan sinar mata penuh ketakutan.
"Pek Kongcu, kau. . ."
"Tidak salah, memang aku orang."
"Apa maksudmu datang kemari?"
"Bagaimana dengan persoalan yang aku beritahukan
kepadamu?"
"Kau hendak membawa pergi nona It Peng Hong?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Dan hendak kau bawa pergi sekarang juga?"
"Benar?"
"Tidak bisa jadi, selamanya Istana kami melarang orang
membawa pergi perempuan yang ada disini."
Heee. . .heee. . .heee. . . Giok Mo Hoa, kau cari mati
Haa?. . . teriak Pek Thian Ki sembari tertawa dingin.
"Bukannya aku mencari mati, tapi bila kau ingin
membinasakan diriku, nah, silahkan turun tangan."
"Aku tidak ingin membunuh dirimu, tapi aku ingin kau
suka menyerahkan nona It Peng Hong kepadaku."
"Sudah aku katakan bahwa urusan ini tak bisa
dilaksanakan. . . ."
"Bangsat, jadi kau cari mati. . . ." Pek Thian Ki
membentak keras, tubuhnya dengan sebat meluncur
kedepan, melancarkan suatu tubrukan.
Pada saat pemuda itu menggerakkan badannya, Giok
Mo Hoa pun mencelat kesamping seraya mengirim satu
pukulan dahsyat kemuka. Tapi serangannya ini berhasil
ditangkis oleh tangan kanan Pek Thian Ki, dan belum
sempat Giok Mo Hoa melakukan sesuatu, tangan kiri
pemuda tersebut sudah mencengkeram datang.
Bayangan manusia berkelebat lewat disusul dengusan
berat bergema memenuhi angkasa, tampak tubuh Giok Mo
Hoa sudah berhasil dicengkeram oleh Pek Thian Ki dengan
menggunakan satu gerakan yang sangat cepat.
"Kau suka serahkan nona itu tidak?" teriak sang pemuda
dengan wajah penuh diliputi napsu membunuh.
"Bila aku tidak suka memenuhi permintaanmu itu?"
"Akan kubunuh dirimu terlebih dahulu, kemudian
kuhancurkan pula seluruh Istana Perempuan ini."
Dengan ketakutan Giok Mo Hoa merinding, ia percaya
tindakan semacam ini dapat dilakukan oleh Pek Thian Ki,
akhirnya ia tertawa sedih.
"A Mey! Bawa kemari nona It Peng Hong." jeritnya
kemudian.
"Baik!" sahut sidara berbaju kuning itu dari luar pintu.
Setelah dara tersebut berlalu, Pek Thian Ki pun
melepaskan cengkeramannya dari atas tubuh Giok Mo
Hoa.
"Hmm! Aku masih mengira kau betul-betul tidak takut
mati!" jengeknya sinis.
Tidak lama kemudian suara langkah kaki berkumandang
datang memecahkan kesunyian, tampaklah It Peng Hong
yang ditemuinya kemarin malam mengikuti dari belakang
dara berbaju kuning itu berjalan mendekat. Melihat
kejadian tersebut, Pek Thian Ki jadi melengak dibuatnya,
diam-diam ia berpikir:
"Mungkinkah dia orang benar-benar adalah nona It Peng
Hong?"
Setibanya dihadapan pemuda tersebut, sang nona
menunjuk hormat dengan lagak lagu yang luwes. "Pek
Kongcu, kau panggil diri siauw-li, entah ada urusan apa?"
Kali ini Pek Thian Ki yang dibuat melengak;
"Kau. . ."
"Pek Kongcu, aku adalah It Peng Hong, apa yang
sebenarnya kau kehendaki?"
"Ia hendak membawa kau pergi," sela Giok Mo Hoa dari
samping.
"Aaaach. . .! Pek Kongcu, kau hendak membawa aku
pergi kemana?"
Air mukanya memperlihatkan rasa terkejut bercampur
penuh permohonan, hal ini membuat Pek Thian Ki
merasakan jantungnya berdebar-debar keras.
"Soal ini rasanya kau tidak perlu tahu." sahutnya
kemudian setelah berpikir beberapa waktu.
"Pek Kongcu, kau. . . kau tak bakal membinasakan
diriku, bukan?"
Pek Thian Ki tertawa pahit, sudah tentu ia hendak
membawa gadis ini untuk pergi menyewa rumah tersebut,
dan kemungkinan besar kepergiannya kali ini bisa
menghantarkan nyawa gadis ini ditangan sipemilik rumah
tersebut. Tapi diluaran ia tetap mempertahankan
ketenangannya.
"Sudah tentu aku orang tak akan membinasakan seorang
gadis secantik dirimu, apalagi diantara kita tidak terikat
dendam sakit hati."
"Kalau begitu kau hendak membawa aku pergi kemana?
Dan apa maksudmu membawa aku meninggalkan tempat
ini."
"Soal ini kau tidak perlu tahu."
Dengan pandangan bergidik, gadis itu memandangi sang
perjaka, alisnya melentik dan penuh diliputi perasaan
curiga, ragu-ragu dan gelisah.
"Pek Kongcu, bagaimana kalau aku pergi membereskan
sedikit pakaian?. . ." katanya kemudian.
"Hmmm! Apa perlunya pergi membereskan buntalan,
kepergianmu kali ini mungkin untuk selamanya, tak akan
balik lagi. . ." Berpikir sampai disitu, ia lantas menggeleng;
"Aku rasa tidak perlu!"
"Kita berangkat dengan tangan kosong belaka?"
"Benar!"
"Baiklah, Pek Kongcu. . ."
Demikianlah Pek Thian Ki dengan membawa serta It
Peng Hong berjalan meninggalkan pintu besar Istana
Perempuan menuju kearah depan, selama ini gadis tersebut
berjalan lenggak lenggok dengan gaya yang sangat
menggiurkan membuat setiap orang merasa terpesona
dibuatnya.
"Nona It Peng Hong, pernahkah kau orang belajar ilmu
silat?" tanya Pek Thian Ki ditengah jalan memecahkan
kesunyian.
"Aku hanya pernah belajar beberapa jurus dari Congkoan.
. . Oooo! Pek Kongcu, tadi pagi setelah kau pergi, aku
telah menemukan suatu peristiwa yang sangat menakutkan
sekali."
"Urusan apa?"
"Dibawah ranjangku ternyata menggeletak sesosok
mayat perempuan!"
"Apa?" Tak terasa lagi Pek Thian Ki menjerit tertahan
dan ia segera menghentikan langkah kakinya, karena
perkataan yang diucapkan oleh It Peng Hong ini benar2
berada diluar dugaan Pek Thian Ki.
"Aku katakan bahwa dibawah pembaringanku ada
sesosok mayat perempuan, seorang perempuan yang amat
cantik sekali, hampir2 saja aku jatuh semaput saking
takutnya. . ." kata It Peng Hong ketakutan.
"Bukankah perempuan itu adalah It Peng Hong?"
Mendengar perkataan tersebut, nona It Peng Hong jadi
melengak, "Pek Kongcu, kemana jantrungnya kau bicara?
Bagaimana mungkin perempuan itu adalah diriku?"
Kali ini saking terperanjatnya, lama sekali Pek Thian Ki
tak dapat mengucapkan sepatah katapun, karena It Peng
Hong mengatakan bahwa dibawah pembaringannya
tergeletak sesosok mayat perempuan, hal ini bukankah jelas
mengatakan bahwa dia benar-benar adalah It Peng Hong?
Jikalau dia adalah seorang yang menyaru sebagai It Peng
Hong maka tidak mungkin gadis ini suka memberitahukan
persoalan ini kepada diri Pek Thian Ki.
Lama. . . lama sekali ia baru bertanya; "Sungguh2kah
kau orang adalah It Peng Hong?"
"Sudah tentu benar, Pek Kongcu! Apakah kau menaruh
curiga? Kemarin malam. . .Heeei. . . ." Suara helaan
napasnya sangat menyedihkan hati. . . .
Pek Thian Ki tidak ingin membicarakan persoalan itu
lagi, karena ia tahu banyak bicara hanya menambah
kepiluan hatinya saja, demikianlah mereka berdua kembali
melanjutkan perjalanan menuju kearah Istana Harta dengan
mulut membungkam.
Pek Thian Ki harus memperoleh seribu tahil uang emas
dahulu untuk pergi menyewa rumah aneh tersebut, kepada
It Peng Hong katanya;
"Nona It Peng, kau tunggulah sebentar disini, aku akan
masuk sebentar, kemudian keluar."
Tidak menanti jawaban dari It Peng Hong lagi ia
mencelat kearah Istana Harta dan langsung menerobos
masuk kedalam ruangan. Silelaki berbaju perlente yang
melihat munculnya Pek Thian Ki disana dengan rasa
ketakutan segera menjerit;
"Aaaach! Pek Thian Ki. . . ."
Pek Thian Ki pun tidak menjawab pertanyaan pihak
lawan, tubuhnya langsung meluncur masuk kedalam
ruangan.
"Aaaaach! Pek Tayhiap, kau. . . ." teriak sang Ciangkwee
Lojin pula ketika melihat munculnya sang pemuda.
"Aku datang hendak mengambil seribu tahil emas murni,
sisanya empat ribu untuk sementara aku titipkan dulu
disini."
"Baik. . . baik. . ." Dengan cepat, sang Ciang-kwee
mengeluarkan seribu tahil emas murni dan dibungkus jadi
satu buntalan besar, lalu diserahkan kepada sang pemuda
tersebut.
Pek Thian Ki tidak banyak berbicara lagi, setelah
menerima buntalan tersebut, ia segera berkelebat keluar dari
Istana Harta.
Sekarang ketiga buah syarat untuk menyewa rumah aneh
tersebut sudah terpenuhi semua, yaitu; Seribu tahil emas
murni, Perempuan cantik serta arak Giok Hoa Lok.
Ia harus berusaha keras untuk pergi menyewa rumah
aneh itu, karena kecuali berbuat demikian, pemuda she Pek
ini tidak berhasil memperoleh cara lain untuk membuktikan
apakah suhunya benar2 adalah Sin Mo Kiam Khek dan
apakah beliau betul-betul mati didalam rumah aneh
tersebut.
Sudah tentu ia pun harus menyelidiki sampai jelas
siapakah majikan dari rumah aneh itu, karena inipun
merupakan salah satu tujuannya.
Ketika Pek Thian Ki berlari keluar dari pintu besar Istana
Harta, tampaklah nona It Peng Hong masih berdiri
ditempat semula. Ketika melihat pemuda itu munculkan
dirinya kembali, buru-buru tanyanya;
"Eeeei. . . kau sedang berbuat apa?"
"Aaaach! Tidak ada apa-apa. . . ."
"Lalu, apa isi buntalan tersebut?"
"Soal ini kau pun tidak perlu tahu, mari kita pergi!"
Diatas selembar pipinya yang cantik jelita terlintaslah
suatu perasaan takut yang bukan alang kepalang, sinar
matanya dengan mendelong memperhatikan pemuda
tersebut, lama sekali. . .akhirnya ia ikut berlalu juga
mengikuti dari belakang.
"Pek Kongcu, boleh aku mengetahui sebenarnya kau
hendak membawa aku pergi kemana?" tanya gadis itu tibatiba
memecahkan kesunyian.
Mendengar suaranya sangat mengenaskan. Pek Thian Ki
merasakan hatinya bergetar, ia tertawa pahit;
"Kita hendak pergi menyewa rumah!"
"Kau hendak menyewa rumah untukku?"
"Benar. . ." ia menyahut terpaksa.
Sudah tentu ia menyewa rumah tersebut bukan untuk
diberikan kepada gadis itu, kemungkinan sekali setelah
rumah itu disewa, maka selama hidup tak ada harapan lagi
baginya untuk hidup. Dan Pek Thian Ki hendak
menyerahkan nona It Peng Hong ini kepada Majikan
rumah bagaikan sebuah benda, mati hidupnya ia tidak mau
ikut ambil pusing memikirkan.
"Pek Kongcu, kau. . . sungguh baik sekali terhadap
diriku. . ." gadis itu tersenyum kegirangan. . "Kau telah
membawa aku keluar dari neraka, bahkan mau sewakan
pula rumah untuk aku diami. . . heei. . ." Ia menghela napas
dengan penuh rasa terharu. . . .
Mendadak. . . .
Seluruh tubuh Pek Thian Ki berkerut, lalu gemetar keras,
wajahnya berubah pucat pasi bagaikan mayat, ia menjerit
ngeri lantas roboh terjengkang keatas tanah. Penyakit sakit
hatinya secara mendadak kambuh kembali.
"Pek Kongcu. . . ." jerit It Peng Hong ketakutan.
Saking sakitnya Pek Thian Ki berguling-guling diatas
tanah, keringat dingin sebesar kacang kedele mengucur
keluar tidak hentinya membasahi seluruh badan.
"Pek Kongcu. . ." kembali It Peng Hong menjerit. Suara
jeritannya ini penuh diliputi rasa khawatir. . . .
Bab 30
LAMA. . . LAMA sekali, penyakit sakit hati tersebut
baru reda kembali, dengan badan lemas sedikitpun tak
bertenaga, Pek Thian Ki rebah terlentang diatas tanah.
Melihat kejadian itu, gadis tersebut dengan cepat menubruk
keatas tubuh pemuda tersebut dan mendekapi badannya
sambil berseru;
"Pek Kongcu, kenapa kau?"
Dari sepasang matanya mengucurkan air mata yang
setetes demi setetes membasahi wajah Pek Thian Ki,
lagaknya mirip seorang isteri setia yang mengkhawatirkan
keselamatan suaminya.
Perasaan serta sikapnya ini benar-benar mengharukan,
dan jelas muncul dari dasar lubuk hatinya, Melihat kejadian
itu, Pek Thian Ki merasa sangat terharu.
"Penyakit hatiku mendadak kambuh kembali. . ."
katanya lirih.
Gadis itu tampak terbelalak lebar-lebar, mulutnya melongo2
tak bisa berbuat apa2, Lama sekali, mendadak
sepertinya teringat akan sesuatu, dari dalam sakunya gadis
itu mengeluarkan sebuah kotak kumala dan mengambil
keluar dua lembar bahan obat, katanya;
"Pek Kongcu, dahulu ada seorang tetamu pernah
menghadiahkan sebuah barang kepadaku, katanya bernama
apa. . .eeeeh. . .Jinsom seribu tahun. . . .coba kau telanlah
dulu!"
Mendengar perkataan tersebut, Pek Thian Ki merasakan
hatinya sangat kaget; "Apa? Aaaaa. . . apa kau kata?"
teriaknya.
Hampir-hampir saja Pek Thian Ki tidak mempercayai
telinga sendiri, Jinsom seribu tahun adalah sebuah bahan
obat yang dirindukan oleh seluruh jagoan Bu-lim dikolong
langit, bagaimana mungkin It Peng Hong bisa memiliki
obat semujarab tersebut?
"Tempo dulu akupun pernah menderita penyakit sakit
hati," kata It Peng Hong menjelaskan, "Lalu ada seorang
tamu menghadiahkan barang tersebut kepadaku yang
seluruhnya berjumlah duapuluh empat lembar, setelah aku
telan sepuluh lembar, ternyata penyakit tersebut hilang
lenyap sama sekali, coba kau telanlah obat ini."
Ia masukkan dua lembar jinsom tersebut kedalam mulut
Pek Thian Ki. Jinsom itu merupakan semacam obat yang
sangat mujarab sekali, setelah Pek Thian Ki menelan dua
lembar, bukan saja penyakitnya sembuh bahkan semangat
maupun ilmu silatnya sudah pulih kembali seperti sedia
kala.
Dalam waktu singkat itulah, perasaan Pek Thian Ki
bercampur aduk tidak karuan, dengan sinar mata penuh
rasa terima kasih dipandangnya gadis tersebut tajam-tajam.
"Kau sudah sedikit baikan bukan?" tanya It Peng Hong
dengan air mata masih mengucur keluar membasahi
pipinya.
"Aku. . . aku sudah baikan, entah aku Pek Thian Ki
harus berbuat bagaimana untuk menyatakan terima kasihku
ini padamu."
"Pek Kongcu, kau bicara begitu bukankah sama saja
memandang rendah diriku?"
"Tidak, aku berbicara sesuai dengan isi hatiku?"
"Pek Kongcu, ada satu urusan tak bisa tidak harus
kuberitahukan kepadamu, walaupun aku berada di Istana
Perempuan, tapi aku hanya menjual muka, tidak menjual
tubuh, aku percaya, tentu kau tahu bukan."
"Eeehmm! Aku tahu!"
"Aku telah menyerahkan kesucianku kepadamu. . . .kau
tahu bukan?"
"Aku tahu!"
"Seorang gadis hanya dapat menyintai seorang lelaki
yaitu sang pria yang telah merenggut keperawanannya,
walaupun aku bukan seorang gadis baik-baik, tapi aku
sudah menganggap kau adalah suamiku. . . ."
Setiap perkataan yang diutarakan penuh disertai
perasaan, hal ini membuat seorang lelaki yang berhati
keraspun akan leleh dibuatnya.
Pek Thian Ki pun tergerak juga hatinya oleh kejadian ini,
Mendadak ia peluk gadis tersebut, kemudian menciumnya
dengan penuh napsu, ia hendak menggunakan seluruh cinta
kasihnya untuk menyayangi gadis yang berada
dihadapannya ini.
Cinta. . . suatu cinta yang suci bersih, benar-benar
muncul dari lubuk hatinya pada detik ini. Dan ia telah
menyerahkan seluruh kasih sayangnya kepada gadis
tersebut. . . .ia mulai melupakan segala sesuatu. . . bahkan
lupa pula siapakah gadis itu.
Kena dipeluk oleh sang pemuda, gadis itupun
memberikan reaksi yang cukup hangat pula; "Pek Kongcu .
. .selama hidup aku tidak pernah mendapatkan apa-apa. .
.tapi detik ini, kau sudah memberikan kebutuhan bagi
penghidupanku. . . .Pek Kongcu. . . ."
Mungkin beberapa patah kata ini adalah kata-kata yang
paling jujur, kata-kat yang paling murni tercetus keluar
melalui bibirnya. Pemuda itu hanya menciumi terus gadis
tersebut, banyak bicara baginya hanya membuang waktu
belaka.
"Pek Kongcu. . . kau. . .kau sungguh-sungguh mencintai
diriku?. . ." tanya gadis itu lirih.
"Benar! Aku sangat mencintai dirimu, cintaku tak akan
padam selama hidup. . . dan tak bakal kering bagaikan
samudra. . . ."
"Selama hidup, kau tak akan melupakan diriku?"
"Benar. . ."
"Aaaaaach! Pek Kongcu. . ." Ia balas memeluk pemuda
tersebut. . . . agaknya didalam hati gadis itu telah
menemukan sesuatu dan secara tiba-tiba takut kehilangan
dirinya, sehingga ia memeluk kekasihnya ini erat-erat. . . .
Mendadak. . . .
Serentetan suara tertawa dingin yang menggidikkan
bergema memecahkan lamunan, seketika itu juga Pek Thian
Ki serta It Peng Hong tersadar kembali dari impian yang
indah.
"Ooooouw. . . . . sungguh suatu pertunjukan yang panas,
suatu pemandangan yang menggairahkan!" teriak orang itu
lagi.
Buru-buru Pek Thian Ki mendororng It Peng Hong
kesamping, lalu bangun berdiri, sinar matanya dengan
tajam menyapu sekejap sekeliling tempat itu. Tampaklah
kurang lebih tiga tombak dari mereka berada, berdiri
seorang bayangan hitam.
"Siapa?" bentak Pek Thian Ki dingin.
"Aku!"
"Kiang To?"
"Mungkin! Eeeeei orang she Pek, kau sungguh-sungguh
hendak pergi menyewa rumah tersebut?"
"Benar!"
"Kau benar-benar seorang yang kejam, jikalau kau sudah
mencintai dirinya, mengapa begitu tega untuk
membinasakannya pula? Lebih baik kau jangan hantar dia
orang menghadapi maut!" Begitu selesai berkata, orang itu
kembali melayang pergi.
Pek Thian Ki segera tertawa dingin tiada hentinya,
gumamnya; "Akan kulihat apakah aku orang benar-benar
bisa mati. . ."
"Pek Kongcu, apakah dia adalah Kiang Kongcu?" tibatiba
It Peng Hong bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, mendadak sang perjaka ini
teringat kembali akan satu persoalan. "Ooouw . . . aku ingin
menanyakan suatu urusan kepadamu. . ."
"Silahkan kau utarakan!"
"Benarkah kau pernah berjumpa dengan Kiang To?"
"Benar!"
"Kalau begitu. . ."
"Pek Kongcu, aku pernah berjumpa dengan orang itu,
tapi diantara kami adalah suci bersih, ia cuma datang
menjenguk diriku saja, dan tempo hari, aku sudah menipu
dirimu. . ." Ia merandek sejenak, lalu sambungnya; "Itupun
karena Cong-koan kami yang perintahkan aku untuk
menjawab secara demikian."
Pek Thian Ki manggut. "Ehmmm! Marilah kita pergi!"
Mereka berjalan kedepan dan tidak sampai menjelang
kentongan kedua, kedua orang itu telah tiba didalam hutan
Touw tersebut. Mereka melanjutkan perjalanan memasuki
hutan Touw dan rumah aneh berbentuk tengkorak itupun
sudah muncul dihadapan mereka dari tempat kejauhan.
"Pek Kongcu, kita akan tinggal disini?" tanya It Peng
Hong memecahkan kesunyian.
"Benar."
"Aaaaach. . . tempat ini sangat menakutkan sekali!"
Pek Thian Ki berpaling memandang kearah gadis itu,
tampaklah diatas wajahnya yang cantik terlintas suatu
perasaan ketakutan yang luar biasa, keadaannya sangat
mengenaskan sekali.
Dalam beberapa saat itulah dari dalam hati Pek Thian Ki
muncul perasaan iba hati, ia tak dapat serahkan It Peng
Hong yang demikian cantik dan setianya ini kepada
majikan rumah tersebut. Selama hidup ia tidak pernah
mencintai seseorang, kecuali It Peng Hong ini.
"Pek Kongcu, sungguh menakutkan sekali rumah itu,"
kembali gadis tersebut berseru.
"Tapi, kita harus menyewa rumah itu, kita akan
mendiami rumah tersebut. . ."
"Apa? Kita akan menyewa rumah itu?"
"Benar!"
Mendadak gadis itu tertawa. "Dapat bersama-sama
dirimu, aku tak akan takut!"
Senyumannya begitu manis, begitu menarik. . .ia
demikian polos dan mempesonakan, hal ini membuat Pek
Thian Ki mulai ragu-ragu, Antara cinta dan tujuan
bertempur satu sama lainnya didalam hati.
Jikalau ia dapat menyerahkan ketiga buah syarat ini,
maka ia bisa menyewa rumah tersebut dan dapat pula
menyelidiki siapakah majikan dari rumah aneh tersebut.
Tapi, benarkah tindakannya karena ingin mengetahui
rahasia rumah ia harus korbankan kekasihnya untuk
memuaskan napsu majikan rumah itu?
Tidak! Hal ini tidak mungkin.
Akhirnya pemuda itu gertak giginya kencang-kencang.
"Nona It Peng Hong, kau pergilah!" ujarnya kemudian.
"Aaaaa. . . apa. . .apa kau kata?" teriak gadis itu
melengak.
Hatinya bergolak keras membuat suaranya serak dan
kasar menyeramkan, dengan perasaan ketakutan It Peng
Hong mundur selangkah kebelakang.
"Heeeei. . .! Nona It Peng Hong, pergilah! Dan tidak
usah bertanya apa sebabnya!" kembali Pek Thian Ki berseru
seraya menghela napas panjang.
"Tidak, Pek Kongcu, aku ingin tahu apa sebabnya kau
suruh aku pergi. . . . Pek Kongcu, beritahukanlah kepadaku.
. . ."
"Aku ingin menyewa rumah ini, karena kau ingin
mengetahui suatu urusan," bentak Pek Thian Ki keras.
"Majikan rumah tersebut mengajukan tiga buah syarat yang
harus aku penuhi dan salah satu diantaranya adalah
menginginkan dirimu, Sekarang aku merasa tidak tega
untuk menyerahkan kau orang kepadanya, karena
kemungkinan sekali ia bisa mencabut nyawamu, sekarang
kau sudah tahu, bukan?" Dengan hati penuh rasa haru ia
mendongak, tambahnya; "Maka dari itu, kau pergilah, aku
tidak tega melihat kau mati karena aku, Kau pergilah. . .dan
jangan menggubris diriku lagi."
Dengan perasan ketakutan gadis itu memandang sang
perjaka dengan mata mendelong. Sepertinya dalam
beberapa waktu ini, ia masih belum mengerti maksud yang
sebenarnya dari Pek Thian Ki, padahal yang benar ia sudah
mengerti maksudnya dan memahami pula perasaan hati
pemuda tersebut.
"Kau. . . kau sungguh-sungguh menyuruh aku pergi?"
tanyanya sedih.
"Benar!"
"Lalu dengan cara apa kau hendak mencari perempuan
lain?"
"Aku bisa mencari cara lain."
"Pek Kongcu, jikalau kau betul-betul mencintai diriku,
akupun rela pergi melakukan suatu pekerjaan untukmu, ada
pepatah mengatakan bahwa isteri berkorban untuk
suaminya adalah suatu pekerjaan yang mulia, Akupun
merasa rela untuk berkorban demi suksesnya tujuanmu."
Beberapa patah perkataan ini benar-benar menghantam
lubuk hati Pek Thian Ki, membuat ia jadi meringis dan
tertawa getir.
"Tidak, kau pergilah!"
"Pek Kongcu, apa yang aku ucapkan adalah sungguhsungguh,
asalkan kau suka, akupun rela."
"Tidak. . . aku tidak suka melihat kau berkorban karena
diriku. . . Kau pergilah. . . apakah kau tidak mendengar
bahwa aku perintahkan kau pergi dari sini?" Suara pemuda
tersebut makin lama semakin keras, dan akhirnya menjadi
suara bentakan.
Dengan sedih gadis itu menunduk rendah-rendah,
katanya lirih; "Selama hidup aku bisa meng-ingat2 terus
cinta suci dari kau Pek Kongcu, baiklah! Jikalau kau suruh
aku pergi, akupun mohon diri sampai disini. . ."
Perlahan-lahan ia putar badan dan berlalu dengan kepala
tertunduk rendah-rendah, jelas kelihatan gadis itu merasa
hatinya sangat pilu.
Lama sekali Pek Thian Ki berdiri termangu-mangu
ditempat semula, menanti bayangan punggung gadis itu
lenyap dari pandangan, ia baru menghela napas panjang.
Ketika It Peng Hong lenyap dibalik pepohonan yang
lebat itulah mendadak sesosok bayangan hitam berkelebat
keluar dari tempat persembunyiannya menghadang
perjalanan gadis tersebut.
Dengan cepat It Peng Hong menghentikan langkahnya;
"Siapa?" bentaknya dingin.
"Lapor Tongcu, tecu adanya!"
"Ehmmmm!. . ."
"Lapor Tongcu, dari Cong-koan ada perintah
menanyakan apakah orang she Pek itu benar-benar Kiang
To atau bukan?"
"Kau boleh balas memberi laporan, katakan saja Pek
Thian Ki benar-benar adalah Kiang To atau bukan, sampai
saat ini masih belum dapat dipastikan," kata It Peng Hong
dingin, "Jika ia benar-benar adalah Kiang To, aku bisa
turun tangan sendiri untuk membinasakan dirinya,"
"Baik, Tongcu!"
"Kalau begitu, kau pergilah!"
"Baik, Tongcu!" Bayangan hitam itu berkelebat lewat,
dan dalam beberapa kali loncatan, ia sudah lenyap dari
pandangan.
Sedangkan It Peng Hong tetap berdiri termangu-mangu
ditempat semula. . . .
Sudah tentu ia bukan It Peng Hong yang asli, melainkan
seseorang yang menyaru sebagai nona It Peng Hong.
Lalu siapakah orang itu?
Ketika itu. . . .Dengan termangu-mangu Pek Thian Ki
berdiri didepan rumah aneh tersebut, ia sudah lepaskan
salah satu syaratnya untuk menyewa rumah itu, dan kini
kecuali berhasil memperoleh seorang gadis lagi, kalau tidak
jangan harap bisa menyewa rumah itu lagi.
Mendadak. . . Agaknya ia teringat akan sesuatu,
tubuhnya dengan cepat berkelebat kearah mana lenyapnya
bayangan It Peng Hong tadi, Tapi belum sampai ia berlari
beberapa tombak kembali ada sesososk bayangan manusia
berkelebat keluar menghadang jalan perginya.
Buru-buru sang pemuda she Pek ini menghentikan
langkahnya seraya menyilangkan tangan didepan dada siap
menghadapi sesuatu.
"Pek Thian Ki, berhenti!" bentak bayangan tersebut
dengan suara yang amat dingin.
Sinar mata Pek Thian Ki berkilat, ia menemukan orang
itu bukan lain adalah Suma Hun yang telah ditemuinya
beberapa kali.
"Ooooouw. . . kau?" teriaknya tak tertahan.
"Sedikitpun tidak salah, memang aku, Pek Thian Ki apa
maksudmu datang kemari?"
"Pergi menyewa rumah tersebut."
"Orang she Pek, lebih baik cepat-cepatlah kau orang
meninggalkan tempat ini." seru gadis she Suma ini tiba-tiba.
"Mengapa?"
"Terus terang kuberitahukan kepadamu, tempat ini
bukan suatu tempat yang baik, kau anggap nona It Peng
Hong yang kau bawa datang itu adalah nona It Peng Hong
yang asli?"
"Apakah dia adalah It Peng Hong palsu?" teriak sang
pemuda dengan hati bergidik.
"Sedikitpun tidak salah! Nona It Peng Hong yang asli
sekarang masih berada di Istana Perempuan, urusan ini
sudah aku selidiki sangat jelas sekali, hanya saja siapakah
perempuan yang menyaru sebagai nona It Peng Hong, aku
sendiripun tidak tahu, sekalipun begitu, aku bisa beritahu
satu hal lagi kepadamu, Kemarin malam gadis yang
memuaskan napsumu bukan It Peng Hong yang asli, nona
It Peng Hong yang sebenarnya telah dikuasai dan
disembunyikan dibawah kolong ranjang, sewaktu kau
keluar dari Istana Perempuan untuk mencari Sin Si-poa, ia
telah bicara langsung dengan diri Giok Mo Hoa, bahwa ia
akan mewakili It Peng Hong untuk pergi ber-sama2 dirimu,
sudah tentu Giok Mo Hoa menerima tawaran ini dengan
segala senang hati."
"Apa sungguh2kah perkataanmu ini?" tanya Pek Thian
Ki terperanjat.
"Sedikitpun tidak salah, bahkan aku tahu pula, bahwa
orang yang menyaru sebagai It Peng Hong menaruh
maksud tidak baik terhadap dirimu!"
Dari sepasang matanya, Pek Thian Ki memancarkan
cahaya berkilat, selama hidup belum pernah ia tertipu
macam begini, ternyata It Peng Hong adalah palsu dan ia
masih belum merasa jikalau ia sedang ditipu.
Lalu siapakah It Peng Hong? Tak terasa pemuda ini
teringat kembali akan diri Tong Ling.
"Heeeee. . .heeee. . .heeee. . .urusan ini bisa aku selidiki
sampai jelas. . " teriak sang pemuda kembali sambil tertawa
dingin. "Jikalau ia sedang menipu diriku, maka aku Pek
Thian Ki tak akan mengampuni dirinya."
"Sekarang marilah kita pergi dari sini!"
"Tidak!"
"Kau sungguh-sungguh hendak menyewa rumah
tersebut?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tapi kau masih kekurangan sebuah syarat!"
"Aku bisa pergi menemukannya."
Diatas wajah Suma Hun tiba-tiba terlintas suatu perasaan
kebulatan tekadnya. "Pek Thian Ki, tahukah kau siapakah
aku sebenarnya?"
"Tidak tahu."
"Pek Thian Ki, bagaimana kalau aku menemanimu pergi
menyewa rumah tersebut, jikalau kau sungguh2 hendak
pergi menyewanya. . ."
"Aku sudah pastikan diri untuk menyewa rumah ini. . . ."
"Sekalipun mati juga tidak menyesal?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku akan memenuhi
kekurangan syaratmu yang ketiga itu? Jikalau kita bisa lolos
dari sana dalam keadaan hidup, maka akan keberitahukan
kepadamu, siapakah sebenarnya diriku, bagaimana?"
Mendengar perkataan tersebut, timbullah rasa terima
kasih dihati pemuda itu. "Bukankah kau membenci diriku?"
serunya tanpa terasa.
"Dahulu memang begitu. . ."
"Lalu mengapa kau suka membantu diriku?"
"Karena akun tahu urusan ini sangat penting bagi
dirimu."
"Aku bisa berterima kasih kepadanu. . . selama hidup
aku bisa berterima kasih kepadamu. . ." seru Pek Thian Ki
berulang kali.
"Kalau begitu, mari kita pergi!"
Munculnya Suma Hun secara mendadak serta
kerelaannya untuk membantu Pek Thian Ki pergi menyewa
rumah benar-benar jauh berada diluar dugaan pemuda
tersebut. Hingga saat ini pemuda she Pek ini pun masih
belum mengetahui asal-usul yang sebenarnya dari Suma
Hun, tapi agaknya saat ini, tidak penting lagi baginya untuk
memikirkan persoalan tersebut, yang terutama saat ini
adalah berusaha untuk menyewa rumah tersebut.
Tubuhnya dengan cepat berkelebat kearah rumah aneh
tadi, sekalipun hatinya kebat-kebit tapi ia berusaha untuk
menenangkan diri. Sebentar kemudian mereka berdua
sudah tiba didepan pintu bangunan rumah itu.
Ketika itulah tiba-tiba. . . .
Dari sisi sebelah kiri laksana sambaran kilat muncul pula
dua sosok bayangan manusia yang langsung meluncur
kedepan pintu bangunan, orang itu adalah seorang kakek
tua berbaju hijau serta seorang gadis cantik.
Pek Thian Ki jadi melengak dibuatnya. Suma Hun pun
berdiri tertegun oleh munculnya kejadian tersebut. Lama
sekali Pek Thian Ki baru mengalihkan sinar matanya keatas
tubuh siorang tua berbaju hijau itu.
"Tolong tanya apa maksud Loocianpwee datang
kemari?" tegurnya.
"Menyewa rumah!"
"Apa?" Saking kagetnya pemuda itu tersentak
kebelakang. "Kaupun datang kemari hendak menyewa
rumah?"
"Sedikitpun tidak salah, dan apa pula maksudmu?"
"Akupun datang kemari hendak menyewa rumah!"
"Aaaaah. . . .! Kaupun hendak menyewa rumah?"
"Sedikitpun tidak salah! Bahkan aku harus berhasil
menyewa rumah ini."
"Siapakah kau?"
"Pek Thian Ki! Dan siapa pula dirimu?"
"Thian Mo Kiam Khek (si Jagoan Pedang Iblis Langit),
adik dari To Liong Kiam Khek, saudara tak ada sangkutpautnya
dengan urusan ini, apa gunanya datang kemari
untuk menyewa rumah ini?"
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku tak ada urusan atau
sangkut-paut dengan urusan ini?"
"Apa mungkin kau punya sanak keluarga yang menemui
ajalnya didalam rumah ini?"
"Sukar untuk dibicarakan dan rasanya saudara tak
berhak untuk menyelidiki rahasiaku sampai jelas!"
Air muka Thian Mo Kiam Khek, langsung saja berubah
hebat; "Aku sudah pastikan diri untuk menyewa rumah
ini!" teriaknya keras.
"Cayhepun punya jalan pikiran yang sama!" teriak sang
pemuda pula tidak mau kalah.
Secara mendadak ditempat itu muncul pula seseorang
yang hendak menyewa rumah dalam waktu yang
bersamaan, sudah tentu Pek Thian Ki tak bakal suka
mengalah dengan begitu saja, dan rasanya pihak lawanpun
sama halnya dengan apa yang ia pikirkan.
Jelas suatu pertarungan sengit ta dapat dihindarkan lagi
untuk menentukan siapakah yang lebih berhak untuk
menyewa rumah tersebut terlebih dahulu.
"Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?"
seru Thian Mo Kiam Khek kembali.
"Lebih baik kau orang cepat2 mengundurkan diri dan
enyah dari sini!"
"Jika aku membangkang?"
"Heeee. . . heeee. . . heee. . . jika aku sudah mengatakan
kau harus mundur, maka kau orang harus menurut, sudah
dengar belum?. . ." teriak pemuda she Pek ketus.
"Ooooouw. . . sungguh besar lagakmu!"
"Bukannya aku suka bicara ngibul, tapi ini kenyatan."
"Baik. . . . baiklah, lebih baik kita melangsungkan suatu
pertarungan dan siapakah yang keluar sebagai pemenang
diantara kita, dialah yang berhak untuk menyewa rumah
ini."
"Bagus sekali usulmu ini."
Begitu Pek Thian Ki mengutarakan persetujuannya,
Thian Mo Kiam Khek dengan cepat menubruk datang
disertai pedangnya dicabut keluar dari dalam sarung.
"Mari. . . .mari. . .kau boleh coba dulu bagaimanakah
rasa pedasnya pedangku. . ." ejek Pek Thian Ki sinis.
Belum habis ia berkata, pedang Ciang Liong Kiam-nya
sudah dicabut keluar, dan suatu pertarungan sengit yang
menentukan mati hidup pun secara mendadak akan
berlangsung didepan mata.
"Saudara, silahkan kau orang turun tangan terlebih
dahulu," bentak Thian Mo Kiam Khek ketus.
"Lebih baik kau saja yang duluan!"
Baru saja Pek Thian Ki menyelesaikan kata2nya,
terlihatlah serentetan cahaya tajam laksana kilat sudah
menyambar kearah pemuda tersebut, Kiranya
menggunakan kesempatan baik itu Thian Mo Kiam Khek
sudah melakukan pembokongan.
Ditengah merentetnya cahaya pedang, Pek Thian Ki pun
menyabetkan pedangnya kedepan menghalau datangnya
serangan lawan.
"Traaaaaaang. . . .! Masing-masing pedang saling
bentrok diatas udara menimbulkan percikan bunga api,
serangan Thian Mo Kiam Khek kena tercukil lewat oleh
serangan pemuda she Pek itu.
Setelah berhasil menghalau datangnya serangan Thian
Mo Kiam Khek, Pek Thian Ki tidak ambil diam sampai
disitu saja, tangan kanannya digetarkan berturut-turut
dengan menggunakan tiga macam serangan yang berbeda
menggencet pihak lawan.
Sekonyong-konyong. . . .
Ketika Pek Thian Ki mengirim serangan mematikan
itulah, serentetan suara bentakan yang amat dingin bergema
datang;
"Tahan!!"
Suara bentakan ini datangnya sangat mendadak lagipula
bernada dingin menyeramkan, tanpa terasa Pek Thian Ki
serta Thian Mo Kiam Khek sama-sama menarik kembali
badannya dan mundur kebelakang.
Ketika ditengok, dilihatnya didepan pintu rumah aneh
yang terbuka lebar-lebar berdiri sesosok bayangan hitam
munculkan dirinya disana. Karena jaraknya sangat jauh
ditambah pula suasana didalam rumah aneh itu gelap
gulita, maka Pek Thian Ki tak berhasil melihat jelas
bagaimanakah raut mukanya. . . .Tapi, yang jelas, orang itu
pasti adalah si Majikan rumah aneh tersebut.
"Kau orangkah si Majikan rumah aneh ini?" tegur Thian
Mo Kiam Khek setengah membentak.
"Sedikitpun tidak salah, kalian berdua apakah samasama
ingin menyewa runah ini?"
"Dugaanmu tidak meleset!"
-0odwo0-
Jilid 11
Bab 31
"Jika demikian adanya urusan jadi rada sulit, rumah ini
didalam setahun hanya boleh disewakan untuk satu orang
saja, jikalau kalian berdua sama-sama ada maksud
menyewa rumah ini dalam waktu yang bersamaan, maka
sulitlah untuk ditentukan siapakah yang lebih berhak untuk
menyewa terlebih dahulu," seru pihak lawan sambil tertawa
dingin.
"Engkohku To Liong Kiam Khek apakah mati
ditanganmu?" bentak Thian Mo Kiam Khek, dingin.
"Sebelum kau berhasil menjadi tamu sipenyewa
rumahku, mengikuti aturan tak dapat kujawab
pertanyaanmu itu, Apa betul To Liong Kiam Khek adalah
engkohmu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Lalu siapakah saudara ini? Agaknya tempo dulu kita
pernah berjumpa bukan?"
"Tidak salah!" Pek Thian Ki manggut.
"Kaupun ingin menyewa rumah ini?"
"Sudah tentu!"
"Siapakah yang kau wakili?"
"Ciang Liong Kiam Khek!"
"Apa? si Jagoan Pedang Penakluk Naga?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Dimana ia sekarang berada?"
"Mati!"
Saat ini Pek Thian Ki mempunyai pegangan seratus
persen bahwa ia bakal berhasil menyewa rumah aneh ini,
karena diantara sembilan jagoan pedang dari kolong langit
hanya tinggal si Ciang Liong Kiam Khek seorang yang
belum hadir disana.
"Heeeee. . . heeee. . .heeeee. . . lalu kalian berdua sudah
bawa sekalian syarat-syarat yang dibutuhkan?" seru sang
Majikan Rumah aneh seraya tertawa dingin.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Jika kutinjau keadaan kalian berdua agaknya mirip
orang-orang jujur, Dan rumah ini memang khusus
disewakan untuk orang jujur, sehingga dikemudian hari tak
bakal timbul banyak persoalan, Satu tahun penuh bila aku
tidak berhasil minta kembali rumah ini, bukankah akan jadi
repot. . ."
"Lalu, rumah ini akan kau sewakan kepada siapa?"
bentak pemuda she Pek dingin.
"Tempo dulu aku pernah beritahu kepadam bahwa
kemungkinan besar kau adalah tamu si penyewa rumahku,
sudah tentu setelah ucapan tersebut diutarakan,
bagaimanapun juga rumah ini harus kuserahkan kepadamu
untuk disewa setahun. . ."
"Apa? Kau hendak sewakan rumah ini kepadanya?"
bentak Thian Mo Kiam Khek teramat gusar.
"Dugaanmu tidak meleset!"
"Aku harus berhasil menyewa rumah ini. . ."
"Tapi rumah ini adalah milikku, sudah tentu aku berhak
untuk ambil keputusan, coba kau bilang betul tidak?" jengek
pihak lawan dingin.
"Mengapa kau sewakan rumah ini kepadanya?"
"Aku suka dengan orang muda. . . .apalagi orang muda
tak akan berbuat selicik orang tua, maka dari itu, aku
putuskan hendak sewakan rumah ini kepadanya, apakah
tidak boleh?"
"Kalau begitu, apakah engkohku menemui ajalnya
ditanganmu?" teriak Thian Mo Kiam Khek lagi teramat
gusar.
"Aku tidak ada kepentingan untuk menjawab
pertanyaanmu itu!"
Si jagoan Pedang Iblis Langit tak dapat menahan sabar
lagi, teriaknya; "Akan kulihat, kau adalah manusia macam
bagaimana? Sombong betul lagakmu. . ."
Diiringi suara bentakan keras, tubuhnya melesat kedepan
langsung melayang kearah si Majikan rumah aneh itu.
Tindakan dari Thian Mo Kiam Khek ini benar-benar berada
diluar dugaan Pek Thian Ki.
"Mundur. . . ." bentak si Majikan rumah aneh keraskeras.
Tangan kanan diayun kedepan, segulung angin pukulan
yang amat keras kontan memaksa tubuh Thian Mo Kiam
Khek terpental balik.
"Jikalau saudara mengerti keadaan, lebih baik cepatcepat
enyah dari sini, kalau tebal muka lagi. . . . .heee. . .
heeee. . . heeee. . . jangan salahkan aku orang tak akan
berlaku sungkan lagi terhadapmu." ancam sang Majikan
rumah aneh tersebut.
Nada suaranya dingin penuh mengandung napsu
membunuh, membuat setiap orang yang mendengar ikut
merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
"Kurang ajar! Kau berani usir aku? Ini hari jika bukan
kau yang mati, adalah aku yang hancur," teriak si jagoan
pedang itu gusar.
Pada saat ini Thian Mo Kiam Khek sudah diliputi
maksud untuk adu jiwa, ditengah suara bentakan keras
sekali lagi, ia menubruk kearah si Majikan rumah aneh itu
dengan kalap.
Mendadak. . . .
Pada waktu Thian Mo Kiam Khek mencelat ketengah
udara dan siap menubruk kearah si Majikan rumah aneh
itu, Pek Thian Ki pun enjotkan badannya menghadang
jalan pergi dari si jagoan pedang tersebut.
"Tahan!" bentaknya dingin.
"Apa yang kau inginkan?" teriak Thian Mo Kiam Khek
murka, dari sepanjang matanya memancarkan cahaya
berapi-api.
"Ada pepatah mengatakan; "Siapa yang tahu keadan
dialah orang pintar, aku lihat lebih baik kau pulang saja. . ."
kata pemuda itu seraya tertawa hambar.
"Kentutmu!"
Rasa bencinya terhadap diri Pek Thian Ki pun sudah
meresap kedalam tulang sumsum, jikalau ini hari bukannya
muncul sang pemuda tersebut, ia pasti telah berhasil
menyewa rumah itu.
Ditengah kegusaran yang berkobar-kobar ia membentak
keras, pedangnya dengan membawa suara desiran tajam
langsung menerjang diri sang perjaka dengan serangan yang
tajam, dahsyat dan gencar.
Seraya mengebaskan pedang Ciang Liong Kiam-nya,
memunahkan datangnya serangan lawan, Pek Thian Ki
berkelit kesamping.
"Kata-kata yang jujur kau tidak suka mendengar, akupun
tak akan menggubris dirimu lagi." serunya dingin.
Thian Mo Kiam Khek yang melihat serangannya tidak
mencapai pada sasaran, tubuhnya bagaikan sambaran petir
langsung menerjang kearah Majikan rumah aneh itu. Suara
dengusan berat berkumandang memecahkan kesunyian,
tubuh Thian Mo Kiam Khek dengan sempoyongan mundur
sepuluh langkah kebelakang, setelah beberapa kali muntah
darah segar, ia jatuh terjengkang keatas tanah.
"Hmmm! Heee. . .heee. . . dengan mengandalakn
sejumpit kepandaian, kau sudah berani cari gara2 . . . .
manusia yang tidak tahu diri!. . ." seru Majikan rumah aneh
itu sambil tertawa dingin.
Suara tawaannya kaku, ketus dan penuh mengandung
hawa napsu membunuh, membuat setiap orang yang
mendengar merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Kekejaman serta keganasan pihak lawan membuat Pek
Thian Ki pun ikut merasakan hatinya berdesir, Sehingga
tanpa terasa pemuda ini sudah mundur selangkah
kebelakang.
"Heee. . .heee. . .heee. . .kepandaian silat yang kau miliki
sungguh mengagumkan sekali," seru Pek Thian Ki dingin.
"Kau orang terlalu memuji."
"Sekarang aku boleh menyewa rumahmu itu bukan?"
"Boleh. . . boleh. . . Uang Emas, Wanita cantik serta arak
wangi apakah semuanya sudah siap?"
"Sedikitpun tidak salah," Pek Thian Ki manggut dingin.
"Setelah syarat-syarat diserahkan, kapan aku baru boleh
menempatinya?"
"Setiap saat kau boleh menempati!"
"Malam ini juga?"
"Benar, malam ini juga!"
"Bagus sekali, Nih! Terimalah uang emas seribu tahil!"
Sembari berseru, ia lemparkan uang seribu tahil emas murni
itu kearah si Majikan rumah aneh tersebut, kemudian
bentaknya lagi; "Dan ini adalah arak Giok Hoa Lok !"
Kembali ia lemparkan botol berisikan arak Giok Hoa Lok
itu kearah pihak lawan.
Setelah Majikan rumah aneh itu menerima uang emas
seribu tahil dan arak wangi Giok Hoa Lok sebotol, kembali
ujarnya dingin; "Wanita cantik. . . apakah sang gadis yang
berada disisimu itu?"
"Dugaanmu tidak meleset!"
"Kalau begitu, suruh saja ia datang sendiri kemari!"
Pek Thian Ki melirik sekejap kearah Suma Hun,
dilihatnya wajah gadis itu diliputi ketawaran yang susah
dibedakan bagaimanakah reaksinya, selangkah demi
selangkah ia berjalan maju kedepan.
"Kau tetap berdiri ditempat!" Mendadak Majikan rumah
aneh itu membentak keras.
"Mengapa?" tanya Pek Thian Ki seraya menghentikan
langkah kakinya kembali.
"Sebelum aku beru ijin kepadamu untuk maju, kau
dilarang melangkahi rumah ini."
Pada waktu itu Suma Hun telah berada didalam rumah
aneh tersebut, hal ini membuat sang perjaka merasakan
dadanya berdebar keras. Menanti Suma Hun telah berada
tiga depa dihadapan Majikan rumah aneh itu, mendadak
gadis tersebut membentak keras, tubuhnya laksana kilat
menyerbu kedalam seraya mengirim satu pukulan dahsyat
kearah dadanya.
Gerakan yang dilancarkan Suma Hun ini benar-benar
luar biasa cepatnya, terasa bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu serangannya sudah bersarang didada
Majikan rumah aneh itu.
Agaknya sang Majikan rumah aneh tersebut sama sekali
tidak menduga Suma Hun bisa melakukan tindakan macam
ini, ia tidak malu disebut sebagai seorang jagoan yang
berkepandaian tinggi, walaupun menghadapi musuh
tangguh pikiran tidak sampai jadi gugup.
Tangan kanan buru-buru dikebaskan kedepan menerima
datangnya serangan itu. "Braaaak!" diiringi suara bentrokan
keras, angin pusaran menghembus lewat dan memecah
keempat penjuru, debu pasir beterbangan menyilaukan
mata, tubuh masing-masing pun terpental mundur kearah
belakang.
Dalam saat-saat yang sangat kritis itulah Pek Thian Ki
berkelebat maju kedepan, serangannya secara tiba-tiba
manyapu tubuh lawan. Serangan yang dilancarkan sang
perjaka ini lebih mirip daripada sebuah serangan mengadu
jiwa. . .
"Plaaaak!" sekali lagi pukulannya bersarang ditubuh
Majikan rumah aneh tersebut. Tubuhnya langsung terpukul
mencelat sejauah satu tombak, Pek Thian Ki sudah tentu
tak akan melepaskan kesempatan yang sangat baik ini,
tubuhnya berkelebat lewat dan sekali lagi menubruk
kedepan.
Walaupun gerakan sang pemuda cepat, tapi gerakan
pihak lawanpun tidak berani berayal, begitu tubuhnya
terbanting keatas tanah, buru-buru menggelinding pergi
beberapa tombak jauhnya.
Cengkeraman dari Pek Thian Ki jadi mencapai pada
sasaran yang kosong. Dalam keadaan gusar, pemuda itu
segera menggerakkan pedang Ciang Liong Kiam-nya
melancarkan tusukan.
Cahaya tajam berkelebat lewat, pedangnya dengan
menimbulkan bunga-bunga pedang mengurung tubuh
lawan. Ketika itulah, ditengah suara bentakan keras
serentetan cahaya tajam secara mendadak meluncur kearah
tubuh Pek Thian Ki.
Untuk menghindarkan diri, pemuda itu tidak sempat
lagi. Lengannya langsung merasakan sakit, tahu2 sebatang
senjata rahasia sudah bersarang dibadannya.
Karena kejadian ini hawa membunuh dihati Pek Thian
Ki meledak, ia membentak keras, pedang Ciang Liong
Kiam-nya dengan digunakan sebagai senjata rahasia
disambitkan kearah Majikan rumah aneh tersebut.
"Adduuuuuh!" suara jeritan ngeri berkumandang
memenuhi angkasa, darah segar muncrat keempat penjuru,
dada si Majikan rumah aneh tersebut telah ditembusi
pedang Ciang Liong Kiam, sehingga darah segar muncrat
semakin deras lagi, orang itupun roboh menemui ajalnya.
Melihat peristiwa ini Pek Thian Ki berdiri tertegun. Sinar
mata sang pemuda dengan cepat menyapu lewat, dilihatnya
orang yang menggeletak mati itu adalah seorang kakek tua
kecil pendek yang berkerudung.
Agaknya Pek Thian Ki merasa sedikit ada diluar dugaan
dengan kejadian ini, maka itulah ia merasa lengannya mulai
sakit sekali, sehingga merasuk kedalam tulang, sinar
matanya perlahan-lahan dialihkan keatas lengan sendiri.
Dengan sekali sambaran pemuda itu cabut keluar senjata
rahasia tersebut, kemudian memandang Suma Hun sang
gadis yang berdiri tertegun ditangah kalangan.
"Akan kulihat siapakah sebenarnya si Majikan rumah
aneh ini." seru sang perjaka sambil tertawa dingin.
Tubuhnya mendadak berkelebat lewat dan langsung
meluncur kearah Majikan rumah aneh itu. Tapi, belum
sampai tubuhnya mencapai sasaran, suara bentakan
kembali berkumandang datang, sesosok bayangan hitam
dengan membawa segulung angin pukulan yang maha
dahsyat secara tiba-tiba membokong diri pemuda itu.
Serangan tersebut datangnya amat cepat membuat Pek
Thian Ki dalam keadaan tidak bersiap sedia hampir-hampir
saja kena tersapu roboh. Tangan kanannya dengan cepat
disilangkan kedepan dada, lalu mengundurkan diri
kebelakang.
Dengan mundurnya sang pemuda, bayangan hitam itu
mendesak lebih jauh, serangan keduapun kembali
menyambar datang. Seketika itu juga keadaan sang pemuda
jadi terjepit, ia tak bisa berkutik lagi dari tengah kepungan.
Kelihatan Pek Thian Ki bakal terhajar oleh serangan
lawan, tiba-tiba Suma Hun membentak keras, dari samping
ia mengirim satu pukulan kemuka. Serangan dari gadis ini
cepat, aneh dan kuat.
"Braaak!" Ditengah suara bentrokan keras, Suma Hun
mendengus berat dan terpukul pental keluar dari pintu
besar, sedangkan siorang berbaju hitam itu sendiri mundur
tujuh, delapan langkah kebelakang.
"Aku hancurkan dirimu," bentak Pek Thian Ki gusar.
Bayangan manusia berkelebat lewat, bagaikan seekor
burung elang ia menyambar badan siorang berbaju hitam
itu, sedang angin pukulanpun membarengi menyapu keluar.
...
Tiba-tiba. . . .
Pada saat Pek Thian Ki sedang melancarkan pukulan
dahsyat kedepan itulah, siorang berbaju hitam melejit
kesamping lalu balas mengirim satu pukulan pula kearah
muka.
Kepandaian silat yang dimiliki siorang berbaju hitam ini
benar-benar sangat lihay, perubahan jurus yang dilakukan
pun luar biasa, kontan Pek Thian Ki kena terdesak mundur
kebelakang.
Waktu itu siorang berbaju hitam tersebut masih
melanjutkan mengirim tiga buah serangan sekaligus. Dalam
beberapa detik saja pemuda itu kena dipaksa mundur keluar
dari pintu besar.
"Braaaak!" dengan disertai suara bentrokan keras,
mendadak pihak lawan menutup rapat-rapat pintu besar
tersebut.
"Eeeeei. . . kalau punya kepandaian, ayoh menggelinding
keluar. . ." bentak sang perjaka dengan suara yang keras.
Diiringi suara pekikan nyaring, ia mengirim satu pukulan
gencar keatas pintu besi tersebut. Dengan menimbulkan
suara yang keras, kedua pintu besi tadi bergetar keras, tapi
sedikitpun tidak kelihatan rusak atau terbuka.
Pek Thian Ki semakin gusar lagi, ia persiapkan serangan
yang kedua, tapi belum sempat dihantamkan keluar,
pandangannya jadi gelap, seluruh tubuh bergidik dan mulai
sempoyongan.
"Aduuuuh celaka. . . senjata rahasia tersebut beracun!"
teriaknya didalam hati.
Adanya racun diatas senjata rahasia yang menghajar
dibadannya tadi benar-benar ada diluar dugaan Pek Thian
Ki. Buru-buru ia salurkan hawa murninya mengelilingi
seluruh tubuh dan bermaksud memaksanya keluar dari dari
badan, jika ia berdiam diri, mungkin masih mendingan
karena saluran hawa murni, maka pandangan matapun jadi
gelap dan badannya lemas tak bertenaga.
Pek Thian Ki mengerti jika ia sudah terkena racun yang
amat ganas, dengan badan lemas tak bertenaga ia bangun
berdiri. Tiba-tiba sinar matanya terbentur dengan Suma
Hun yang menggeletak diatas tanah sambil muntahkan
darah segar berulang kali.
Kejadian ini membuat sang perjaka semakin gertak
giginya tajam-tajam, Belum sampai rahasia rumah aneh ini
terbongkar, ia serta Suma Hun berturut-turut menderita
luka parah, bahkan pedang Ciang Liong Kiam-nya pun
tertinggal didalam rumah.
Dengan sedikitpun tak bertenaga, pemuda itu bangkit
lalu berjalan kesisi Suma Hun.
"Nona Suma. . ." tegurnya.
Tapi gadis itu bungkam dalam seribu bahasa. Pada ujung
bibirnya masih mengucurkan darah segar, menanti pemuda
itu bantu menotokan beberapa buah jalan darahnya, Suma
Hun baru perlahan-lahan membuka mata. . . .
"Nona Suma. . . ." kembali Pek Thian Ki menyapu.
"Kau. . . kau. . .lukamu. . ." seru sang gadis sambil
memandang perjaka itu dengan pandangan penuh rasa
khawatir.
"Aku masih bisa bertahan diri, tapi. . .kau. . kau. .
.karena urusanku, kau jadi ikut terluka. ."
Dari sepasang matanya, mendadak memancar keluar
serentetan cahaya yang menggidikkan, serunya kembali;
"Sekalipun aku Pek Thian Ki menemui ajalpun, harus bikin
terang dulu urusan yang menyangkut rumah aneh ini. . . ."
"Lu. . .lukamu. . Mungkin. . .mungkin tak akan tahan. . "
seru Suma Hun lagi penuh rasa khawatir.
Jikalau semisalnya Pek Thian Ki tidak pernah menelan
dua lembar Jinsom seribu tahun jangan dikata tenaga
lweekangnya tak bakal bisa pulih kembali, mungkin daya
pengaruh racun tersebut sudah mulai bekerja.
"Aku masih bisa tahan, tapi kau. . ."
"Aku telah terhajar satu pukulan beracun. . . ."
"Nona Suma. . ."
"Kau orang jangan merasa dirimu bersalah karena
peristiwaku, aku. . . rela begini. . . sekalipun. . . . haaa. .
harus mati, aku juga. . . .juga rela."
Saking terharunya Pek Thian Ki mengucurkan air mata,
selama hidupnya belum penah ia merasa berduka seperti
ini, karena seorang gadis cantik ternyata rela berkorban
demi kepentingan dirinya. "Nona Suma, aku orang she Pek
entah harus menggunakan apa untuk membalas rasa terima
kasihku ini. . . ."
"Aku. . .aku tidak ingin. . .kau. . . kau membalas budi
tersebut. . . aku. . . aku tak akan mengharapkan. . . sooo. . .
soal semacam itu. . ."
"Aku. . . aku tahu!"
"Ada. . . ada kalanya aku. . .aku merasa sangat benci
kepadamu. . . karena. . . karena. . . aku. . . . cinta padamu. .
."
"Cinta padaku?"
"Benar. . . sebelum mati, aku. . .aku tak bisa tidak harus
kuucapkan secara terus terang. . ."
"Kau. . . kau tak akan mati!. . ."
"Tidak! Kemungkinan besar aku bakal mati. . ."
"Tidak!"
"Sebelum aku mati banyak perkataan yang hendak aku
bicarakan. . . perkataan ini tak boleh tidak harus kukatakan
dan inipun apa yang kau ingin ketahui. . ."
"Kau. . . katakanlah!" Baru saja Pek Thian Ki
menyelesaikan perkataannya,
Mendadak. . . .
Serentetan suara bentakan dingin bergema memecahkan
kesunyian, sreet! sreet! ber-turut2 melayang turun empat
sosok bayangan manusia yang segera mengepung sang
pemuda ditengah kalangan.
Pek Thian Ki rada melengak dibuatnya, dengan raguragu
ia menyapu sekejap kearah orang-orang itu, yang
terdiri dari tiga orang lelaki tua serta seorang perempuan.
Orang yang berada disisi kanan menggembol pedang,
yang kedua mencekal cambuk, yang perempuan membawa
pedang dan orang terakhir adalah seorang kakek tua yang
kurus kering. Begitu keempat orang itu munculkan diri, air
muka merekapun sama-sama memperlihatkan napsu
membunuh.
Pek Thian Ki berdiri melengak. Ketika itu Suma Hun
dengan paksakan diri sudah bangun berdiri, biji matanya
yang jeli dengan tiada bertenaga berputaran, lalu serunya
lirih;
"Aduuuuh celaka. . ."
Mendengar jeritan tersebut, Pek Thian Ki ikut merasakan
hatinya berdesir. Sikakek tua menggembol pedang itu maju
selangkah kedepan seraya membentak keras;
"Rasanya saudara telah menerima surat dari kami
bukan?"
"Surat? Surat apa?"
"Tidak salah," sahut siorang tua bersenjatakan cambuk
itu dengan suara yang amat dingin, "Aku telah
memerintahkan orangku untuk mengirim sepucuk surat
kepada saudara sewaktu berada di Istana Perempuan. . . .
apakah mungkin saudara tidak menerimanya?"
"Siapakah kalian berempat?"
"Aku adalah Kokcu dari lembah Hong Yu Kok dengan
gelar 'Hong Yu Sin Pian Khek'(Cambuk Sakti Hujan dan
Angin), sedang dia adalah 'Thian Lui It Kiam (Pedang Sakti
Guntur Langit), dan dia adalah 'Ciang Hong Kiam Li'
(Pendekar Pedang Burung Hong Hijau), terakhir 'Ngo Tok
Mo Cun' ( Iblis Sakti Lima Racun), bukankah didalam surat
tersebut telah disebutkan amat jelas?"
"Kalian berempat kira siapakah aku?"
"Kiang To!"
"Heeeee. . . heeeee. . . heeee. . . kalau begitu dugaan
kalian salah besar, cayhe bukan Kiang To, aku bernama
Pek Thian Ki dan Kiang To yang sebetulnya tidak suka
menerima surat ini, lebih baik kalian terima kembali
suratmu ini." Habis berkata ia lemparkan surat tadi kearah
sicambuk sakti hujan dan angin.
"Kiang To!" teriak Hong Yu Sin Pian Khek setelah
menerima kembali surat tersebut. " Kau tidak berani
mendatangi lembah Hong Yu Kok kami, terpaksa kami
datang sendiri mencari dirimu. . ."
"Sudah aku katakan bahwa aku bukan Kiang To!"
"Dalam dunia kangouw, saat ini sudah terbukti bahwa
Kiang To seluruhnya berjumlah dua orang, seorang lelaki
dan seorang perempuan, sewaktu berada diperkampungan
Lui Im San-cung, kau tidak berani munculkan diri, sedang
Kiang To sang gadis sudah munculkan dirinya. . . ."
"Saudara berempat, tolong tanya ada ikatan dendam
apakah antara Kiang To dengan kalian?" ujar Pek Thian Ki
kemudian sambil tertawa.
"Saudara, apa gunanya setelah tahu pura-pura bertanya
kembali? Kau sudah memperkosa keempat orang putri
kami!"
"Apa? Kiang To telah memperkosa empat orang gadis,
keempat orang puteri kalian?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Apakah kalian benar-benar yakin jika keempat orang
gadis tersebut kena diperkosa?"
"Soal ini apa perlunya ditanyakan kembali?"
Pek Thian Ki langsung merasakan hatinya bergidik. "Jika
demikian, kalian sudah yakin betul2 ?" serunya.
"Karena peristiwa ini, putriku serta putri dari Ngo Tok
Mo-cun telah bunuh diri. Kau yang terkutuk, kembalikan
nyawa putri-ku!" Pedang Cing Hong Kiam-nya dengan
menimbulkan beribu-ribu bintik cahaya tajam laksana kilat
menyapu kearah pinggang pemuda tersebut.
"Tahan!" bentak Pek Thian Ki keras-keras.
Cing Hong Kiam Li segera tarik kembali pedangnya
seraya menegur dingin; "Kiang To, masih ada perkataan
apa lagi yang hendak kau sampaikan?"
"Sudah aku katakan, bahwa aku bukan Kiang To, kalian
janganlah salah paham, Apalagi cayhe-pun sedang mencari
Kiang To. . . ."
"Bangsat! Kau tidak usah berlagak pilon lagi!" teriak
perempuan tua itu memotong perkataannya yang belum
selesai.
Kembali Pek Thian Ki tertawa dingin. "Aku harus
berbuat bagaimana agar kalian bisa percaya bila aku bukan
manusia yang bernama Kiang To?"
"Kecuali aku tabas batok kepalamu!"
Mendengar perkataan tersebut, air muka Pek Thian Ki
kontan saja berubah sangat hebat.
"Apa yang kalian kehendaki?"
"Bunuh mati kau orang!"
"Bagus sekali, aku Pek Thian Ki ingin coba-coba minta
petunjuk dari kalian berempat!" seru sang pemuda,
kemudian seraya kertak gigi.
"Pek Siauw-hiap, kau. . . badanmu terkena racun. . . ."
bisik Suma Hun lirih.
"Aku tahu dan rasanya merekapun sudah melihat semua,
tapi, aku Pek Thian Ki lebih baik mati keracunan daripada
harus minta ampun kepada mereka, Kau mengerti bukan?"
Perlahan-lahan ia melangkah maju kedepan. Sebetulnya
Pek Thian Ki tak dapat bergebrak kembali, jikalau ia turun
tangan lagi, maka racun yang bersarang dalam badannya
tentu akan bekerja dan mengakibatkan kematian bagi
dirinya.
Tapi, situasi yang dihadapi saat ini bagaimanapun juga
memaksa ia harus turun tangan. Setelah berdiri tegak,
ujarnya dingin;
"Kalian sudah tahu bahwa aku Pek Thian Ki telah
terluka parah, cuma rasanya untuk menerima beberapa
buah jurus serangan dari kalian masih belum termasuk
suatu persoalan yang penting, lebih baik kalian berempat
turun tangan bersama-sama saja!"
Dengan perasaan bergidik Suma Hun melototi beberapa
orang itu dengan mata terbelalak lebar-lebar.
Bab 32
MENDADAK.....
Suara bentakan keras berkumandang memevahkan
kesunyian, pangcu dari perkumpulan Cing Hong Pang, si
Pendekar Pedang Burung Hong Hijau meloncat maju
kedepan seraya mengirim satu serangan dahsyat menyapu
pinggang Pek Thian Ki.
Begitu si Pendekar Pedang Burung Hong Hijau turun
tangan, maka kawan-kawannya si Pedang Sakti Guntur
Langit serta si Iblis Sakti Lima Racun-pun sama-sama
melancarkan serangan menerjang diri pemuda tersebut.
Bayangan manusia berkelebat lewat, setelah Pek Thian
Ki berhasil meloloskan diri dari beberapa buah serangan
tersebut, dengan sebat ia mengirim sebuah serangan
balasan. Tapi begitu serangan tadi didorong keluar,
pandangan matanya jadi berkunang-kunang dan akhirnya
menggelap.
Serangan tersebut berhasil mengunci datangnya tubrukan
dari ketiga orang itu, tapi dalam sekejap mata mereka
kembali menerjang kemuka sambil mengirim pukulanpukulan
yang mematikan. Dengan paksakan diri, Pek Thian
Ki mencelat ketengah udara kemudian berjumpalitan
beberapa kali ditengah udara dan melesat kesisi tubuh
mereka bertiga.
Suara jeritan ngeri berkumandang memenuhi angkasa,
dua sosok bayangan manusia roboh keatas tanah, kiranya
Thian Lui It Kiam serta Ngo Tok Mo-cun sama-sama telah
menggeletak mati dengan batok kepala terbabat hancur
berantakan.
Tubuh sang pemuda she Pek itu sendiri pun terhuyunghuyung
mundur kebelakang. Setelah Pek Thian Ki berhasil
membinasakan si Pedang Sakti Guntur Langit serta si Iblis
Sakti Lima Racun dengan kepandaian Sing-kang-nya, racun
yang mengeram didalam badanpun mulai bekerja,
badannya bergoyang dan mundur kebelakang dengan
sempoyongan. . . .
Suma Hun segera menjerit kaget melihat kejadian itu. . . .
Pada saat gadis tadi menjerit kaget, pedang Cing Hong
Kiam Li kembali menyambar, ditengah udara dengan
gerakan yang teramat kihay menerjang dada Pek Thian Ki.
Serangan yang digunakan perempuan tua pada saat ini luar
biasa cepatnya, ditambah pula racun yang sedang bekerja
ditubuh Pek Thian Ki membuat sang pemuda tersebut tiada
bertenaga untuk menghindar lagi.
Sekonyong-konyong. . . .
"Tahan!" suara bentakan yang sangat dingin
berkumandang memecahkan kesunyian. Suara bentakan
tersebut mengandung suatu tenaga pengaruh yang sangat
besar, membuat si Pendekar Pedang Burung Hong Hijau
dengan hati berdesir menarik kembali serangannya.
Ketika semua mengalihkan sinar matanya dilihatnya
seorang gadis berbaju hitam dengan angkernya berdiri disisi
kalangan, dibelakang gadis tersebut mengikuti delapan
orang kakek tua yang sama2 menggembol pedang.
Melihat munculnya orang-orang itu, air muka Cing
Hong Kiam Li, berubah sangat hebat. "Ooouw. . . kiranya
Kiam Mo Li (si Perempuan Iblis), entah apa maksudmu
datang kemari?" serunya sambil tertawa paksa.
Air muka gadis berbaju hitam itu sama sekali tidak
menunjukkan reaksi, wajahnya hambar sedang sinar
matanya langsung dialihkan keatas wajah Pek Thian Ki.
Lama sekali ia baru buka suara menegur; "Kau orangkah
yang bernama Pek Thian Ki?"
"Sedikitpun tidak salah!" sahut pemuda tersebut setelah
menenangkan pikirannya sebentar.
"Kau orangkah yang membinasakan keenam orang anak
murud dari lembah pedang kami sewaktu berada didalam
Istana Perempuan?"
Mendengar pertanyaan itu, Pek Thian Ki merasakan
hatinya berdesir, pikirnya: "Aaaach! Kiranya si gadis
berbaju hitam yang bernama Kiam Mo Li ini adalah Kokcu
dari Lembah Pedang. . . ."
Ia lantas tertawa hambar, dan mengangguk.
"Tidak salah! Keenam orang itu memang menemui
ajalnya ditanganku, lalu siapakah nona? Kau orang Kokcu
dari Lembah Pedang?"
"Bukan!"
"Jadi nona adalah. . . ."
"Siapakah aku sebetulnya untuk sementara waktu kau
tidak perlu tahu, sekarang aku hanya ingin bertanya, apa
sebabnya kau orang membinasakan keenam orang anak
murid kami?"
"Karena kalian terus menerus memaksa dan situasi
mendesak diriku, apakah aku disuruh peluk tangan mandah
dibelenggu?"
"Heeee. . .heee. . .heee. . . bagaimanakah situasi pada
waktu itu?" dengus Kiam Mo Li sinis.
"Anak muridmu memaksa cayhe untuk ikut pergi
kelembah pedang, cayhe sudah berulang kali menanyakan
siapakah Kokcu kalian, dan apa maksudnya mengundang
cayhe, tapi anak buahmu itu sepatah katapun tidak mau
berbicara. . . ."
"Lalu kau turun tangan membinasakan dirinya?"
"Tidak, bahkan cayhe sudah berulang kali mengatakan
bahwa saat ini belum ada waktu, dikemudian hari, bila ada
waktu luang tentu akan datang berkunjung, tapi anak buah
kalian mengandalkan jumlah yang banyak memaksa cayhe
harus turun tangan. . . ."
"Oleh sebab itu kau orang lantas membinasakan keenam
orang anak buah kami?"
"Jikalau pada waktu itu kedudukanku diganti oleh nona,
apa yang hendak kau lakukan?"
Oleh pertanyaan tersebut Kiam Mo Li berdiri tertegun,
tapi sebentar kemudian ia sudah menyahut; "Sekalipun
begitu dosa mereka, tidak sepantasnya memperoleh
hukuman mati, tindakan kau orang terlalu telengas!"
"Apakah kedatangan nona pada hari ini disebabkan oleh
persoalan tersebut?. . ." tanya Pek Thian Ki sambil tertawa
getir.
"Sedikitpun tidak salah, disamping itu masih ada satu
persoalan yang ingin minta penjelasan dari saudara."
"Silakan kau utarakan."
"Benarkah kau orang bernama Pek thian Ki?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Tahukah kau orang bahwa Sin Mo Kiam Khek pun
bernama Pek Thian Ki. . ."
"Cayhe memang pernah mendengar akan persoalan ini!"
sahut sang pemuda dengan hati tergetar!
"Jikalau begitu, mengapa kau bernama Pek Thian Ki
pula?"
"Kemungkinan sekali hanya suatu peristiwa kebetulan
saja, bagaimana? Apakah tidak boleh?"
"Sudah tentu boleh, siapakah gurumu?"
"Hingga saat ini aku masih belum jelas siapakah nama
guruku itu."
"Bagaimana? Kau tidak tahu?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Omong kosong, dikolong langit mana, ada sang murid
tidak tahu siapakah gurunya?"
"Tapi suhuku memang belum pernah memberitahukan
kepadaku siapakah namanya, soal ini mau percaya atau
tidak, itu terserah kepadamu sendiri."
"Kecuali kau bernama Pek Thian Ki, apakah namamu
yang lain adalah Kiang To?" desak Kiam Mo Li lebih
lanjut.
"Dugaanmu salah besar."
Sekali lagi Kiam Mo Li tertawa dingin. "Kau telah
membinasakan keenam orang anak buah kami, aku tak
akan bisa melepaskan dirimu begitu saja. . ."
"Jikalau demikian adanya, silahkan nona turun tangan!"
"Sekarang badanmu sedang menderita luka dalam yang
sangat parah, apalagi masih ada orang yang hendak
mencari balas dengan dirimu, maka dari itu kau orang lebih
baik hadapi mereka terlebih dahulu." Selesai berkata Kiam
Mo Li mengundurkan diri kesisi kalangan.
Dalam hati Pek Thian Ki memahami sangat jelas, ini
hari bilamana ia tidak mati, karena keracunan, maka ia
pasti mati dibunuh oleh orang-orang yang mencari balas
terhadap dirinya.
Tapi, agaknya ia sudah tidak memikirkan soal mati
hidupnya didalam hati. . .ia harus menggunakan seluruh
tenaga lweekang yang dimilikinya melakukan suatu
pertarungan mati hidup sebelum menemui ajal. Sinar
matanya perlahan-lahan menyapu sekejap kearah si Hong
Yu Sin Pian Khek serta Cing Hong Kiam Li.
"Sekarang kalian berdua boleh mulai turun tangan,"
katanya dingin. Suaranya dingin, kaku dan membuat hati
orang bergidik.
Tiba-tiba. . . .
"Bangsat cilik! Terimalah sebuah serangan cambukku!"
bentak Hong Yu Sin Pian Khek dengan keras.
Sreeet! Bayangan cambuk dengan membentuk serentetan
bayangan hitam dihajarkan keatas badan Pek Thian Ki, dan
bersamaan waktunya pula, ketika Hong Yu Sin Pian Khek
melancarkan serangan, si Cing Hong Kiam Li pun
mengirim sebuah tusukan mematikan.
Serangan cambuk serta serangan pedang bersama-sama
menyambar datang dalam waktu yang bersamaan. Pada
saat ini bagaimanapun juga Pek Thian Ki harus mengadu
jiwa, telapak tangannya dengan disertai hawa pukulan yang
maha dahsyat langsung didorong kedepan menghajar tubuh
Hong Yu Sin Pian Khek, kekuatannya sungguh luar biasa.
Dengan hati bergidik, buru-buru si Cambuk Sakti Hujan
dan Angin mengundurkan diri kebelakang. Serangan yang
dilancarkan Pek Thian Ki barusan ini ternyata hanya
sebuah serangan kosong belaka, sewaktu Hong Yu Sin Pian
Khek mengundurkan diri kebelakang itulah tiba-tiba angin
pukulan menyapu kearah Cing Hong Kiam Li yang ada
disisinya. Serangan yang digunakan sang pemuda ini
ternyata sangat aneh, lihay dan mengherankan.
"Braaak. . .!" Pukulan dengan telak bersarang didada
muduh diikuti suara dengusan berat bergema memenuhi
angkasa, tubuh Cing Hong Kiam Li kena tersapu keras,
darah segar muncrat keluar dari mulutnya dan tubuh
perempuan tua itupun roboh keatas tanah.
Tubuh Pek Thian Ki sendiri terdesak mundur beberapa
langkah dengan sempoyongan. Laksana sambaran kilat
sekali lagi si cambuk sakti Hong Yu Sin Pian Khek
mengirim sebuah babatan kearah pemuda tersebut.
Dimana bayangan cambuk menyambar lewat, dengan
tepat berhasil menghajar punggung Pek Thian Ki, membuat
tubuh pemuda tersebut terpukul mencelat satu tombak
ketengah angkasa. "Braaaaak!" Ia terbanting keras-keras
diatas tanah. Darah segar mengucur keluar dengan
derasnya dari punggung yang terhajar oleh cambuk tadi. . . .
Sedang tubuhnya menggeletak tak bergerak diatas tanah.
Sinar mata si cambuk sakti Hong Yu Sin Pian Khek penuh
diliputi oleh napsu membunuh, bentaknya keras;
"Kiang To! Serahkan nyawamu!"
Bayangan cambuk kembali menggulung lewat, sebuah
serangan dahsyat sekali lagi menyapu datang dan tepat
menghajar diatas batok kepala pemuda she Pek ini.
Sekonyong-konyong. . . .
Pada saat cambuk Hong Yu Sin Pian Khek menghajar
dengan tepat diatas batok kepala Pek Thian Ki itulah suara
bentakan nyaring tiba-tiba berkumandang memecahkan
kesunyian, Suma Hun bagaikan orang kalap menubruk
maju kedepan, Serangannya dengan disertai hawa pukulan
yang dahsyat, dihajarkan kepada atas tubuh si cambuk sakti
Hong Yu Sin Pian Khek.
Kejadian ini agaknya jauh berada diluar dugaan si
cambuk sakti Hong Yu Sin Pian Khek siorang tua ini tidak
sempat menghindarkan diri lagi. . . . . "Braaaak!" dengan
telak serangan tadi bersarang didadanya, Ia muntah darah
segar, tubuhnya mencelat ketengah udara dan terbanting
keras-keras diatas tanah.
Sedangkan tubuh Suma Hun pun terdorong mundur
kebelakang dengan sempoyongan dan akhirnya jatuh
tertindih diatas badan Pek Thian Ki. Ketika badannya
roboh diatas tanah , gadis tersebut berseru dengan amat
lirih;
"Pek. . Siauw. . hiap. . " Suaranya begitu memilukan hati
dan penuh mengandung perasaan khawatir.
Tapi, Pek Thian Ki tidak menjawab. si Kiam Mo Li yang
melihat jalannya peristiwa ini dari sisi kalangan segera
mengerutkan alisnya rapat-rapat, pemandangan yang sangat
mengerikan ini cukup membuat hati setiap orang merasa
terharu.
Lama. . . lama sekali, ia baru bangun berdiri. . . suara
perkataannya seperti merambat saja perlahan-lahan
merangkak naik keatas bibirnya, ia memandang Suma Hun
yang menggeletak lemas diatas tanah, gadis berbaju hitam
ini kepingin berteriak, tapi tak sepatah katapun yang bisa
diutarakan keluar.
Pek Thian Ki pun mulai menggerakkan badannya,
pemandangan yang ada dihadapan mata masih terasa
buram. . . badannya hampir-hampir saja tak dapat berdiri
tegak.
"Nona. . . kau. . .kau boleh mulai. . .tuuu. . . turun
tangan. . ." serunya kemudian. Suaranya lemah sedikitpun
tak bertenaga.
Kiam Mo Li ragu-ragu sejenak, akhirnya ia cabut keluar
pedangnya, cahaya pedang berkelebat lewat dan tahu-tahu
ujung pedangnya sudah menempel diatas dada Pek Thian
Ki yang kerempeng itu.
Agaknya pemuda tersebut masih belum merasakan
adanya bahaya. . . ia tetap masih berkata; "Ayooooh . . . .
tuuuu. . . turun tanganlah. . . "
"Hmm! Kau sendiri sudah tiada bertenaga untuk turun
tangan," jengek Kiam Mo Li dingin.
"Oooo. . .omong. . .omong kosong. . . ayo cepat
keluarkan pedangmu. . ."
Hampir2 saja Kiam Mo Li tertawa kegelian, ternyata Pek
Thian Ki masih belum sadar bila ujung pedangnya sudah
menempel diatas dada sendiri, setelah badannya terluka
parah, omongannya masih sombong saja, sungguh seorang
pemuda yang tidak tahu diri.
Senyuman yang semula menghiasi bibir gadis berbaju
hitam itu, perlahan2 lenyap dari pandangan. "Kau sudah
menderita luka yang sangat parah!" katanya perlahan.
"Tapi. . . tapi. . .aa. . .aku. . . aku be. . .belum mati. . ."
"Sekalipun sekarang belum mati, aku rasa sudah hampir
mati."
"Mau. . .mau. . .bunuh aku. . .ayoh. . .cepat. . .tuuu. .
.turun tangan. . ."
"Heeee. . .heeee. . .heeee. . .aku tidak dapat
membinasakan dirimu, karena kau sama sekali tiada
bertenaga untuk melakukan perlawanan. . ." kata Kiam Mo
Li sambil tertawa dingin.
". . . . ." Pek Thian Ki ingin mengucapkan sesuatu, tapi
tak sepatah katapun yang berhasil diutarakan keluar.
"Pek Thian Ki, jikalau kau tidak sampai mati, bagaimana
kalau kita berjanji untuk melakukan suatu pertarungan
disebuah tempat tertentu?"
"Di. . .dimana. . .dimana?"
"Datanglah kelembah pedang kami!"
"Baik. . .!"
"Kalau begitu aku pergi dulu. . ." Dengan membawa
keibaan hati, Kiam Mo Li, akhirnya menggeserkan kakinya
berlalu dari sana.
Walaupun gadis ini ada maksud untuk membinasakan
pemuda she Pek ini, tapi keadaan yang terpapar
dihadapannya membuat hatinya tidak tega untuk turun
tangan, ia tak dapat membinasakan seseorang yang sama
sekali tiada bertenaga untuk melancarkan serangan balasan,
dan jauh lebih jujur bila ia menantang dirinya untuk
bertanding pada suatu hari setelah tenaganya pulih kembali
seperti sedia kala.
Setelah Kiam Mo Li berlalu, tubuh Pek Thian Ki pun
kembali roboh keatas tanah. . . tepat disisi tubuh Suma
Hun.
"Nooooo. . .na. . . .nona. . . .nona Suma. . ." serunya
perlahan.
"Pek. . .sau-hiap. . ." Gadis itu nyeletuk, tapi suaranya
perlahan sedikitpun tak bertenaga dan kedengarannya amat
memilukan hati.
"Aku. . . aku merasa. . .telah berbuat salah padamu. . ."
ujar pemuda itu lagi dengan ngotot.
"Tidak. . ."
"Nona. . .nona Suma. . .mungkin aku. . .aku tiada
harapan. . .harapan lagi un. . .untuk hidup. ."
"Jikalau kita. . .bisa. . .bisa mati bersama. . .jauh lebih. .
.baaa. . .bagus lagi."
"Aku. . ."
"Pek. . .Siauw-hiap. . .tahu. . .tahukah. . .kau. . .siapa. .
.siapakah aku?"
"Aku. . .aku tidak tahu. . ."
"Aku. . .aku ada. . . adalah Kiang To."
"Apa?. . ."
"Aku. . .aku adalah orang. . .orang. . .yang menyaru
seee. . .sebagai Kiang To. . ."
Perkataannya ini jauh berbeda diluar dugaan Pek Thian
Ki semula, karena ia mimpipun tidak pernah mengira kalau
Suma Hun adalah salah seorang yang menyaru sebagai
Kiang To.
"Kau. . .kau tidak percaya?" tanya gadis itu kembali
dengan suara yang setengah dipaksa.
"Aku. . ."
"Perrr. . .perkataan ini sungguh-sungguh. . .betul. . .
Kiang To. . . Kiang To. . . yang muncul see. . . sewaktu ada
digunung Lui Im San adalah. . .aku. . ."
"Kaaaaa. . .kau?"
"Benar. . . buu. . .bukankah. . .kau. . .kau melihat dengan
ma. . .mata kepala sendiri? akhirnya. . . .muncul. . .sese. . .
sesosok bayangan. . . bayangan hitam."
"Benar. . ."
"Dia. . . dia adalah Kiang To. . .yang. . .yang lain. . .buu.
. .bukankah ia. . .ia memberikan. . .see. . .secarik kertas. . .
keee. . .kepadaku?"
"Benar!"
"Itu. . . itulah secarik kertas. . .yang. .yang menantang
aku un. . .untuk melakukan pertarungan. . .tapi, tiba-tiba. .
.kerr. . .kertas itu lenyap. . .dan akhirnya. . .kau kembalikan
lagi keee. . . .kepadaku. . . ."
"Aaaaach!" Pek Thian Ki menjerit kaget.
Kiranya sewaktu berada diperkampungan Lui Im Sancung,
tiba-tiba Sin Si-poa menubruk badan Suma Hun
adalah bertujuan hendak mencuri kertasnya itu.
Jadi dengan demikian jelas Sin Si-poa telah mengerti bila
Suma Hun adalah orang yang menyaru sebagai Kiang To.
"Paaaaa. . . padahal. . . aku. . .aku tidak berr. . . bernama
Su. . . Suma Hun!"
"Lalu. . . lalu siapakah nama. . . namamu?"
"Aku bernama. . . Hu Li Hun. . ." Ketika kata-kata
terakhir itu meluncur keluar dari bibirnya hampir boleh
dikata tidak kedengaran jelas lagi, akhirnya gadis itu
pejamkan matanya dan jatuh tidak sadarkan diri.
"Nona. . . nona Hu. . . mengapa. . .mengapa kau
menyaru sebagai Kiang To?" teriak Pek Thian Ki tiada
bertenaga.
Tapi gadis itu tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Pikiran Pek Thian Ki mulai berdengung. . . akhirnya
dengan tiada bertenaga iapun pejamkan sepasang matanya.
Suasana dalam hutan Touw itupun pulih kembali seperti
sedia kala, sunyi senyap sedikitpun tidak kedengaran suara.
...
Kecuali delapan buah kuburan didepan rumah aneh
tersebut saat ini menggeletak pula enam sosok tubuh. . . Pek
Thian Ki, Hu Li Hun, si Pedang Sakti Guntur Langit, si
Cambuk Sakti Hujan dan Angin, si Pedang Burung Hong
Hijau serta si Iblis Sakti Lima Racun.
Apakah Pek thian Ki menemui ajalnya dengan begitu
saja?. . . . .Seharusnya ia tidak begitu gampang menemui
ajalnya, masih ada banyak persoalan yang belum ia
kerjakan hingga selesai, jika ia mati, bukankah sama saja
mati dengan tidak jelas. . . .dan kematiannya sama sekali
tidak berharga. Mungkinkah muncul sebuah penemuan
aneh yang ada diluar dugaan?
Bab 33
PADA WAKTU itulah muncul setolok bayangan bitam
laksana kilat meluncur masuk ketengah kalangan, dan
orang itu bukan lain adalah Tong Ling.
Setelah tiba ditengah kalangan, sinar matanya perlahanlahan
menyapu sekejap kearah Pek Thian Kie serta Hu Lie
Hun, air mukanya menunjukkan suatu perubahan yang
sangat aneh.
Perubahan tersebut menunjukkan perasaan sedih dan
berduka dihatinya.
Akhirnya ia merogoh keialam sakunya mengambil keluar
sebutir pil yang secara terpisah dimasukkan kedalam mulut
Pek Thian Kie maupun Hu Lie Hun, setelah itu sepasang
telapak tanaannya ditempelkan kepunggung pemuda Itu
dan salurkan hawa murniya untuk menyembuhkan luka
yang sedang diderita
Setelah memperoleh bantuan dari tenaga murni
ditambah pula pengaruh obat perlahan lahan penuda she
Pek itu sadar kembali dari pingsannya.
Ketika sinar matanya terbentur dengan wajah Tong Ling,
tiba-tiba saja ia menjerit tertahan.
„Aaaaakh . . Kau ?"
“Tidak salah, aku, cepatlah salurkan bawa murnimu
untuk menyembuhkan luka racun yang kau derita."
Diatas wajah Pek Thian Kie terlintaslah suatu cahaya
yang sangat aneh, dalam waktu singkat itulah secara tiba
tiba teringat kembali olehnya akan diri It Peng Hong
Peristiwa tersebut dengan amat jelas terpapar kembali
dihadapan matanya, kemungkinan besar Tong Ling adalah
nona It Peng Hong, sudah tentu harus ia bikin jelas
persoalan mi.
”Siapakah kau ?" tegurnya dingin.
”Aku adalah Tong Ling."
”Benar, kau memang Tong Ling "
Dalam bati Pek Thian Kie paham, sebelum tenaga
lweekangnya pulih kembali seperti sedia kala, ia tak boleh
turun tangan secara gegabah, diam-diam hawa murninya
segera disalurkan bergabung dengan tenaga dalam dan
Tong Ling mendesak. keluar hawa racun yang masih
mengeram didalam badannya.
Kurang lebih setengah jam kemudian, hawa racun yang
terkandung dalam tubuh Pek Thian Kie telah berhasil
didesak keluar dari dalam badan, Tong Ling sendiri-pun
kelelahan. keringat mengncur keluar membasahi seluruh
tubuhnya
”Nona Tong. terima kasih atas pertolonganmu kepadaku
," kata sang pemuda itu kemudian seraya bangun duduk
”Mana. . . "
Belum habis gadis itu berkata, mendadak tangan kanan
Pek Tinan Kie melancarkan satu cengkersman kearah jalan
darah 'Wan Meh Hiat' dalam ksadaan Tong Ling tidak
bersiap sedia
Kejadian ini kontan saja membuat gadis sheTong itu jadi
terperanjat setengah mati.
”Siapa kau''" bentak Pek Thiah Kie dingin
”Apa yang kau kehendaki" balas teriak Tong Ling sambil
nismandaag kearah pemuda itu dengan pandangan
bergidik,
“Aku ingin tahu siapakah kau?"
“Bukaakah iudah kuberitahukan kepadamu bahwa iiku
bamama Tong Ling !"
”Danmaaaksh aial usulmu ?"
“Apa maksudmu benanya tentang soal im ?"
“Aku ingin tahu "
“Aku tidak mempunyai asal usul yang penting untuk
diberitahukan kepadamu "
“Kau sungguh-sungguh tidak ingin ber-bicara ?" bentak
pemuda she Pek itu lagi, dingin
”Pek Thian Kie ! Tindakanmu jauh berada diluar
dugaanku."
”Tidak salah! Aku orang she Pek tidak boleh selama
hidup jadi seorang manusia yang tolol."
”Cepat lepas tangan !" jent gadis tersebut keras-keras.
”Tong Ling, Aku ingin bertanya kepadamu, benarkah
kau adalah It Peng Hong ?" desak sang perjaka seraya
tertawa dingin.
”Apa maksudmu bertanya tentang soal ini ?"
”Kau tidak perlu tahu apa maksudnya, ayo cepat jawab
pertanyaanku Itu."
”Mana boleh kau orang samakan aku dengan lainnya ?"
“Jadi kau mungkir ?"
”Betul?"
Sekali lagi Pek Thian Kie tertawa dingin tiada hentinya.
”Terpaksa aku harus turun tangan sendiri untuk
membuktikan siapakah kau sebenarnya.'
Tangan kirinya langsung merogoh saku Tong Ling dan
mulai menggerayanginya dengan seksama.
“Apa yang kau inginkan ?' teriak gadis she Tong itu
cemas.
”Mencari sesuatu "
Saking khekinya, seluruh tubuh Tong Ling gemetar
keras, tapi ia sudah kena dikuasai oleh Pek Thian Kie,
apalagi jalan darahnya tercengkeram, hal ini membuat ia
tak bisa berkutik.
Dan saat itu tangan pemuda tersebut telah meraba dari
atas dadanya hingga ke-arah bawah. .
”Pek Thian Kie, aku tak akan mengampuni dirimu !"
jerit Tong Ling deagan suara yang kalap.
Pada waktu itu.
Tangan kiri sang perjska tersebut mendadak telah meraba
sesuatu barang dan sewaktu diambil keluar, air mukanya
tiba-tiba saja berubah sangat hebat
Kiranya barang yang diambil keluar adalah sebuah kotak
yang terbuat dari kumala.
Akhirnya pemuda she Pek itu tertawa dingin
”Nona Tong, barang apakah ini ?"
Air muka Tong Ling berubah jadi pucat pati bagaiman
mayat, mulutuya terkancing rapat-rapat.
Air muka Pek Thian Kte pun berubah hebat, selintas
napsu membunuh mulai berkelebat diatas wajahnya.
”Barang apa yang berada didalam kotak tersebut ?"
bentaknya keras.
”Apakah kau sendiri tak dapat memeriksanya '.'
”Aku ingin kau menjawab!"
”Hrnmm! Aku tak bakal menjawab"
”Bukankah berisikan jinsom seribu tahun?" jengek sang
pemuda itu lagi sambil tertawa sinis.
Seluruh tubuh Tong Ling gemetar sangat keras.
”Apakah kau tak dapat melihat sendiri ?" bentaknya.
Pek Thian Kie gertak gigi, tangannya mulai meraba
kotak tersebut dan dibukanya
Sebentar kemudian ia telah berdiri dengan mata
terbelalak dan mulut melongo benda yang ada didalam
kotak itu benar-benar membuat hatiuya terperanjat.
Kiranya dugaannya sedikitpun tidak ialah, isi dan kotak
itu adalah beberapa lembar jimsom seribu tahun.
Dan teka-teki yang selama ini menyelimuti hatinya telah
terbongkar.
Tong Ling adalah dara yang menyaru sebagai lt Peng
Hong, hawa gusar karena dirinya tertipu mulai berkobar
didada pemuda tersebut.
Akhirnya ia tertawa. . . suara tertawa-nya seram,
menakutkan dan penuh mengandung hawa membunuh.
Sedangkan air muka Tong Ling berubah pucat pasi
bagaikan mayat-
”Bagus sekali . , . kiranya kaulah It Peng Hong, aku Pek
Thian Kie bisa memperoleh perhatianmu selama tiga
turunan merasa amat bangga . " jengek Pek Thsan Kie sinis
“Apa yang kau kehendaki? Cepat katakan "
”Mana aku berani melakukan sesuatu kepadamu, ada
pepatah mengatakan. Suami isteri semalaman melebihi budi
ribuan hari, perkataan ini bukankah pernah aku utarakan
kepadamu '"
Gadis itu membungkam.
”Kehangatan yang kau berikan kepadaku semalaman
cukup membuat aku merasa tidak tega untuk berbuat
sesuatu kepadamu !"
Ia tertawa sinis, diatas wajahnya terlintaslah suatu
perubanan yang sangat menyeramkan, sangat menakutkan,
jelas hati-nya sudah terpengaruh oleh keadaan.
”Tidak salah, akulah yang menyaru sebagai It Peng
Peng. . ." kata Tong Ling kemudian dingin.
„Mengapa ?"
”Cinta "
”Menyintai diriku ?”
”Sedikitpun tidak salah !"
”Heeee . . . heeeee . . . heeeee benarkah itu ?" kembali
Pek Thian Kie tertawa sinis
”Tidak salah ! pek Thian Kie, jika aku tidak.cinta
padamu, mana mungkin aku suka menyerahkan badanku
kepadamu ? . ."
Berbicara sampai disitu. ia tertunduk dan mengucurkan
air mata kesedihan
Kemungkinan sekali perkataan ini adalah ucapan yang
jujur, jika ia tidak menyintai Pek Thian Kie mana mungkin
gadis tesebut suka menyerahkan keperawanannya
kepadanya . . menyerahkan kepada seorang lelaki asing ? . .
Beberapa patah perkataan tersebut langsung membuat
bati Pek Thian Kie merasa tergetar, tapi ia tetap
memperlihat-kan senyuman sinis.
”Tentang soal itu, aku merasa sangat berterima kasih
sekali, cuma aku merasa rada kecewa "'
”Aaaaa . . apa kau kata ?"
”Aku bilang hatiku merasa sangat kecewa, karena ysng
aku inginkan adalah It Peng Hong.”
”Kau. .”
”Apa yang aku ucapkan adalah kata-kata sesungguhnya,
It Peng Hong adalah seorang perempuan yang sangat cantik
rupawan tiada bandingannya dikolong langit. Bahkan
bidadari yang turun dari kahyang-anpun tidak dapat
menandingi dirinya. terutama sekali permainan diatas
ranjangnya jauh lebih piniar dan pada permainan
ranjangmu . "
Beberapa buah perkataan ini sungguh-sungguh
keterlaluan.
Tapi ia memang sengaja ada maksud untuk menghina
gadis tersebut, karena dengan demikian Pek Thian Kie
hendak melenyapkan rasa mengkal yang terkandung didalam
hatinya.
”Pek Thian Kie . . kau . . kau terlalu keji . . " teriak
Tong Ling hampir saja menangis menjerit
”Oooouw , benarkah ?"
”Selama hidup aku akan membenci dirimu terus
menerus. . . "
“Kau mau benci boleh bencilah diriku terus menerus
Tong Ling! Aku mau bertanya lagi padamu, apa
maksudmu menguntit diriku terus menerus? Dan apa pula
tujuanmu memancmg daya rangsangku dengan
menggunakan badanmu yang kempot dan kisut itu. . "
”Kau....”
Kali ini Tong Ling tak dapat menahan penghinaan yang
dilontarkan Pek Thian Kie terhadap dmnya, ia bertekad
hendak mengadu nyawa
Tangan kanannya mendadak disabet kebelakang
berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pemuda
tersebut.
Rontaannya ini berhasil melepaskan diri dari
cengkeraman, tapi justru karena gerak ini, maka jalan aarah
'Wan Meh Hiat’nya terbentur, tidak ampun lagi Tong Ling
muntahkan darah segar yang langsung mengotori seluruh
tubuh sang pemuda she-Pek yang berada dihadapannya,
Pek Thian Kie tertegun. Mendadak.
”kau cari mati ?" bentaknya keras
Tangannya langsung diayun memerseni beberapa buah
tabokan nyaring keatas wajah gadis tersebut,
Kena ditabok, sepasang pipi Tong Ling jadi sembab
membengkak, darah segera mengucur keluar semakin deras
lagi.
“Orang she-Pek, jika kau punya kepandaian, ayoh bunuh
sekalian diriku, buat apa kau hina seorang gadis yang lemah
? Kau manusia pengecut! ..."
”Heeeee , . , heeeee . , , heeeee . . ' boleh, boleh saja kau
maki aku sebagai pengecut," kembali sang pemuda berseru
sinis, tiba-tiba ia membentak kasar “Ayoh, jawab!
Siapakah kau?"
Tong Ling tidak mau menjawab. se-baliknya balik
bertanya ;
”Pek Thian Kie, aku ingin bertanya kepadamu. , ."
”Apa yang ingin kau tanyakan?" ,
”Aku Tong Ling dalam bagian mana yang telah berbuat
tidak baik kepadamu??
Pertanyaan tersebut kontan saja membuat Pek Thian Kie
jadi melengak. sedikitpun tidak salah, dibagian yang mana
Tong Ling pernah berbuat tidak baik kepadanya ? Ia telah
serahkan keperawanannya kepada dia orang cukup dengan
hal ini saja sudah seharusnya memuaskan hatinya.
Akhirnya - ? pemuda itu tertawa getir.
“Aku tidak pernah mengatakan bahwa kau pernah
berbuat salah kepadaku."
“lalu, mengapa kau menghina diriku? Mengapa kau
mencemooh dan menganiaya
diriku ?"
”Aku tidak ingin ada orang yang berani membohong dan
menipu diriku !”
“Kapan aku pernah menipu dirimu ?'
“Kau menipu diriku dan mengatakan kaulah It Peng
Hong"
”Pek Thian Kie ! Apakah cinta kasih yang kuberikan
kepadamu adalah palsu semua ?" kata Tong Ling setelah
menghembuskan napas panjang
”Bagaimana aku bisa tahu?"
”Baiklah! Kau boleh anggap semua yang pernah aku
berikan kepadamu adalah palsu !'' seru gadis itu sambil
gertak gigi „Lalu. apakah aku berikan jinsom seribu tahun
kepadamu adalah perbuatan yang palsu pula?
”Bukankah kau punya sesuatu tuju-an?"
”Apa tujuanku'"' Air muka Tong Ling berubah hebat.
”Bagaimana aku bisa tahu 7"
Saking sedihnya gadis she-Tong ini menangis terisak
lama sekali ia baru ber kata.
”Baik! Baiklah! Kesemuanya adalah palsu sekarang apa
yang kau inginkan cepat katakan!"
”Aku ingin tahu siapakah kau? Mengapa kau selalu
menguntit diriku?"
”Sebenarnya aku ingin berbicara, tapi sekarang aku tidak
ingin berb cara lagi "
”Mengapa ?"
”Penghinaanmu serta penganiayaanmu terhadap aku
sudah keliwat betas, jika kau orang she Pek masih punya
tindakan yang lebih telengas lagi, boleh kau keluarkan
semua terhadap diriku."
”Sungguh sungguh kau tidak ingin bicara terus terang'"'
ancam Pek Thian Kie dingin.
”Sedikitpun tidak salah l"
”Tong Ling, aku beri tahu kepadamu, aku adalah
seorang yang keji, seorang yang buas dan telengas.''
”Sudah kucoba kesemuanya, juga sudah kusedihkan,
sekalipun kau punya tindakan yang lebih kejipun, tak akan
kutakuti l'*
”Jadi kau mau coba ?" bentak sang pemuda jengkel
Ditengah suara bentakan yang sangat keras, sepasang jari
Pek Thian Kie bagaikan senjata trisula laksana kilat
disadukkan keatas perut Tong Ling sigadis malang itu
Mendadak. . .
Sebelum jari tangan pemuda itu bersarang di atas
lambung Tong Ling, serentetan suara bentakan bergema
memecahkan kesunyian.
”Bangsat ciltk, kau cari mati . ."
Sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, disusul
menggulung datangnya sebuah pukulan dahsyat menghajar
tubuh pemuda tersebut.
Datangnya angin pukulan itu amat aneh dan luar biasa
dahsyatnya memaksa Pek Thian Kie buru buru harus
menarik kembali serangannya dan meloncat mundur kebelakang.
Ketika sinar matanya dialihkan, maka dilihatnya seorang
kakek tua berbaju hitam lelah berdiri dihadapannya.
Sinar mata si orang tua berbaju hitam itu dengan tajam
meniapu sekejap kearah Tong Ling, kemudian serunya
dingin ;
”Kau orangkah yang melukai dirinya ?"
”Sedikitpun tidak salah, siapakah kau ?*'
Diatas wajah si orang tua berbaju kitam itu perlahan
lahan terlintas selapis hawa napsu membunuh
”Orang she pek, nyalimu sungguh tidak kecil. . ."
bentaknya.
Kembali segalung angin pukulan menyambar datang
menghajar tubuh pemuda
Dengan sebat Pek Thian Kie angkat tangan kanannya
menangis datangnya serangan itu.
”Siapakah kau ? Ayoh jawab " teriaknya.
”Hmmmmm ! Kau tidak berhak untuk mengetahui
siapakah aku."
”Apakah dia adalah satu komplotan dengan dirimu ?"
”Sedikiipun tidak salah !"
”Dari perguruan manakah kamu semua T'
”Soal ini kaupun tidak berhak untuk menanyakan !"
”Kau orang sungguh-sungguh tidak mau bicara ?" teriak
Pek Thian Kie kembali, selapis hawa uapsu membunuh
melintasi seluruh waiyahnya
”Sedikitpun tidak galah !"
”Kau cari mau 1 '
Diiringi suara bentakan keras yang menggidikkan hati,
pemuda itu mencelas ketengah udara kemudian bagaikan
seekor burung elang yang mencari mangsa menyambar
kearah si orang tua berbaju hitam itu, seraya melancarkan
satu pukulan dahsyat.
Serangan yang dilancarkan Pek Thian Kie ini telah
menggunakan seluruh tenaga lweekang yang dimilikinya
selama ini. ke kuatannya bagaikan ambruknya gunung
Thay-san dan menggulungnya ombak ditengah samudera.
sungguh sungguh luar biasa.
Tenaga Iwsekang yang dimiliki si orang Yua berbaju
hitam itupun sangat luar biasa, di bawah hujan pukulan dari
pemuda lawannya, ia masih bisa melesat kesamping untuk
menggulung datangnya hajaran-hajaran, tersebut
”Braaak' diiringi suara bentrokan keras, kedua sosok
bayangan manusia itu mencelat kesamping dan melayang
mundur dua kaki jauhnya kebelakang.
Sewaktu tubuh si orang tua berbaju hitam itu melayang
mundur kebelakang itulah, mendadak. ia berayumpalitan
dan sekalian mcnyambar tubuh Tong Ling yang
menggeletak diatas tanah kemudian melayang pergi dari
sana.
Tindakan dari si orang tua berbaju hitam ini jauh berada
diluar dugaan Pek Thian Kie, ia tersadar kembali akan
peristiwa tersebut, bayangngaa si orang tua itu «udah
berada puluhan tombak jauhnya.
Dalam hati Pek Thian Kie merasa gusar bercampur
gemas, tapi dalam sekejap mata itulah berbagai bayangan
berkelebat dalam benaknya Tong Ling pernah memberikan
segala sesuatu kepadanya, iapun pernah menolong dirinya,
dan sekarang ia memberlakukan gadis tersebut dengan
begitu kejam, begitu keji dan telengas, sedikit banyak
perbuatannya ini memang rada keterlaluan.
Tapi, ia sudah kena ditipu oleh gadis tersebut.
Ia tidak ingin dirinya kena tertipu, terutama sekali oleh
seorang gadis muda yang cantik.
Teringat sampai disini, tanpa terasa laia, ia
menghembuskan napas panjang, ia mulai merasa sedih dan
berduka oleh seluruh kejadian tersebut.
”Pek Sauw-hiap!" tiba-tiba dari bela-kang tubuhnya
berkumandang datang suara sapaan yang halus.
Mendengar suara itu, Pek Thian Kie merasa hatinya
berdesir, buru-buru ia putar badan
Dilihatnya Hu Lie Hun telah berdiri dibelakangnya
sembari memanaaug kearah-nya dengan termangu-mangu.
Teringat dirinya serta Hu Lie Hun sama-sama menderita
luka parah, kemudian mereka bisa pulih kembali
kesehatannya, jelaa kesemuanya int adalah berkat jinsom
seribu tahun yang diberikan Tong Ling kepada mereka
”Pek Thian Kie, ternyata kita kita masih hidup?"
terdengar Hu Lie Hun bergumam seorang diri sambi1
memandang kearab pemuda tersebut.
”Benar "
”Mungkinkah kita sedang bermimpi ?"
”Tidak 1 Seluruh kejadian adanya nyata”
”Siapa yang telah menolong kita?"
”Si lt Peng Hong palsu"
”Apa? Doa ?”
”Sedikitpun tidak salah!"
”Aku. . . aku tidak ingin ditolong olehnya "
„Mengapa ?”
„Karena aku benci kepadanya?"
”Benci kepadanya ? Apa alasanmu?"
„Karena dia. . dia telah . . . telah bukankah ia sudah ada
hubungan dengan dirimu.”
Akhirnya ia telan kembali kata-katanya, sudah tentu Pek
Thian Kie pun mengerti apa yang hendak ia ucapkan.
“Benar, kami. . . " akhirnya pemuda itu tertawa getir
”Maka dari itu, aku benci kepadanya, karena telah
merebut dirimu "
”Ia sudah merebut diriku ? . . . .kau salah besar, aku
sama sekali tidak direbut olehnya."
”Tapi, kau sudah menjadi miliknya..”
Berbicara sampai disitu. air mata jstuh berlinang, jelas
kelihatan sebagai mana sedih dan cintanya gadis tersebut
kepaca sang perjaka ini
Ia menyintai Pek Thian Kie .. bahkan cintanya begitu
mendalam .
Cinta gadisnya yang pertama telah ia serahkan kepada
seorang lelaki. tapi lapun tidak ingin kekasibnya direbut
oleh gadis yang lain maupun kakasinnya merebut perawan
gadis lain .
Saat ini hatinya amat kacau. pikirannya butek tdak
mengerti apa yang harus ia lakukan.
Disampmg itu, iapun tak ingin bersama-sama menyintai
seorang lelaki dengan gadis yang lain, ia menginginkan
seorang lelaki yang hanya menyintai ia sendiri dan cintanya
itu tiada cacadnya
“Kau anggap aku sudah menjadi miliknya?" tanya Pek
Thian Kie lagi sembari tertawa geli
”Apakah kau anggap tidak ?'
”Benar aku tidak merasa diriku sudah menjadi miliknya,
aku adalah milikku sendiri !”
”Tapi dalam soal cinta asmara laki perempuan, kau
sudah menjadi mihknya”
”Kemungkinan sekali pendapat mu benar . . " kata
pemuda itu mengangguk Ia menghela napas panjang.
”Nona Hu. mari aku bantu kau untuk paksa keluar hawa
racun yang bersarang dibadanmu, setelah itu masih banyak
persoalan yang ingin kutanyakan kepadamu."
”Urusan apa ?"
”Menanti setelah kau sembuh dari pengaruh racun, kita
bicarakan lagi, . ."
Ia menengok dan memandang pemuda itu dengan penuh
arti, akhirnya meuundukkan dan memejamkan matanya.
Sang pemuaa sne-Pek itupun segera menyalurkan hawa
murninya untuk mengobati luka yang sedang ia derita.
Lama . . lama sekali, akhirnya gadis itu menjerit.
”Pck Sauw-hiap !"
”Ehmmm , . '. Ada apa ?"
”Selania hidup ini kemungkinan sekali aku sudah
berbuat sesuatu yang salah."
”Perbuatan apa yang kau anggap salah ?"
”Aku telah salah mencintai seseorang!'
Pek Thian Kie menghela napas panjang ”Mungkin
pendapatmu itu memang benar...”
Air mata mengembang pada kelopak matanya dan
butiran air matapun mengucur keluar sangat deras, hatinya
terasa amat tertekan.
Pada saat itulah, tiba-tiba. . .
Pintu besar dari Rumah Aneh tersebut perlahan-lahan
terbuka kembali lebar lebar. . .
Pintu besar terpentang lebar-lebar, sesosok bayangan
hitam segera melesat keluar, setelah memandang iskejap
kearah Pek Thian Kie yang sedang menyembuhkan luka Hu
Lie Hun, ia tertawa seram, lalu menerjang kearah pemuda
tersebut
Pada waktu itu Pemuda she Pek sedang pusatkan seluruh
perhattannya untuk paksa keluar racun. yang bersarang
dibadan gadis she Hu tersebut, walaupun ia merasakan
datangnya serangan bayangan hitam tersebut, tapi sukar
baginya untuk menghindarkan diri.
Tiba-tiba. . .
Suara bentakan keras berkumanaatig di-tengah angkasa,
bersamaan waktu, si bayangan hitam itu menubruk kearah
Pek Thian Kie, sesosok bayangan manusia yang lain
dengan menerobos angkasa menerjang kearah bayangan
hitam itu,
Gerakan dari bayangan manusia tersebut cepatnya bukan
kepalang, tak kuasa bayangan hitam tadi kena keterjang
sehingga mencelat kebelakang
Setelah tenangkan hati, ia baru melihat dihadapannya
islah berdiri seorang pemuda pengemis yaug berwajah keren
Orang itu bukan lain adalah Coe Hoa, si manusia
misterius.
Diatas selembar wajah Coe Hoa penuh diliputi napsu
membunuh, bentakuya keras :
”Kau orangkah sang Majikan Rumah Aneh ini ?”
”Tidak salah . . "
”Heeeee. . . heeeee. heeeee tidak kusangka perbuatan
membokong yang paling rendahpun bisa kau lakukan
terhadap seorang pemuda?. . ."
”Siapa kau ? Berani betul banyak bacot disini ” teriak
pihak lawan sambil tertawa seram
”Siapakah aku, kau tidak perlu tahu, karena manusia
rendah macam kau masih belum berhak untuk
mengetahuinya,"
”Apakah kaupun ingin mencampuri urusan sampingan
yang tiada sangkut paut-nya dengan dirimu ?”
„Sedikitpun tidak salah. . ."
”Jikalau begitu, itu namanya kau manusia tidak tahu
diri, nih! Cobalah rasakan bogem mentahku."
Si manusia berbaju hitam itu berkelebat kedepan dengan
gerakan bagaikan kilat langsung menyerbu Coe Hoa,
serangannya tandas, ganas dan keji.
Ilmu silat yang dimiliki si bayangan hitam ini benar
benar mengejurkan hatiya melayang, menerjang dan
melancarken serangan keseluruhannya dilakukan dalam
hanya sekejap mata belaka
”Bangsat ! Kau orang cari gara gara " bentak Coe Hoa
teramat gusar melihat dirinya diserang.
-0odwo0-
Jilid 12
Bab 34
TUBUHNYA melesat, meloloskan diri dari datangnya
serangan siorang berbaju hitam, kemudian maju selangkah
kedepan, sepasang telapaknya didorong kedepan bergantian
mengirim tiga buah serangan mematikan. Serangannya
dilaksanakan dengan berat dan penuh tenaga.
Agaknya tenaga dalam yang dimiliki Cu Hoa bukan
tandingan dari pihak lawan, setelah lewat tiga jurus, ia
mulai kena terdesak sehingga mundur terus sejauh satu
tombak lebih dari tempat semula.
Cu Hoa membentak keras, senjata Sam Ciat Tong-nya
digetarkan mengirim satu babatan gencar kearah
musuhnya. Sinar mata sibayangan hitam itu berkelebat lalu
buru-buru mundur beberapa langkah kebelakang, teriaknya
tertahan;
"Aaaaaaaach! Senjata Sam Ciat Tong. . . ."
"Sedikitpun tidak salah. . . ."
"Siii. . .siii. . . siapa kau?" Nadanya gemetar dan lirih
penuh rasa ketakutan membuat hati orang bergidik.
"Siapakah aku rasanya, kau masih belum berhak
mengetahuinya, tapi ada satu urusan yang rasanya kaupun
tentu paham. . ."
"Urusan apa?"
"Barang siapa yang telah melihat senjata Sam Ciat Tong
berarti dia harus mati. . ."
Kata 'Mati' begitu meluncur keluar dari bibirnya, sang
tubuhpun meluncur maju kedepan, senjata Sam Ciat Tong
digetarkan dimana cahaya putih berkelebat lewat, ia sudah
mengirim sebuah serangan yang luar biasa hebatnya kearah
siorang bayangan hitam itu.
Bayangan hitam tersebut merasa sangat terperanjat,
tangan kanannya didorong kedepan memunahkan
datangnya serangan lawan, sedang sang tubuh mencelat
balik kedalam Rumah Aneh itu.
"Hmmmmm! Kau anggap masih bisa melarikan diri???"
bentak Cu Hoa dengan nada dingin.
Cahaya tajam berkelebat lewat, suara jeritan ngeri
berkumandang memenuhi angkasa, tampak tubuh
sibayangan hitam tersebut berkejit-kejit, akhirnya roboh
keatas tanah.
Sekalipun kepandaian silat yang dimiliki siorang
bayangan hitam itu sangat lihay, tapi baginya masih terasa
amat sukar untuk meloloskan diri dari serangan senjata
rahasia yang dilepaskan dari balik senjata Sam Ciat Tong
tersebut, begitu terhajar badannya lantas roboh dan seketika
itu juga menemui ajalnya.
Cu Hoa tertawa dingin, sembari tarik balik senjatanya ia
menyimpan kembali Sam Ciat Tong tersebut kedalam saku.
Pada waktu itu. . . .
Pek Thian Ki baru saja selesai menyembuhkan luka yang
diderita Hu Li Hun, dan membuka kembali matanya, tepat
bersamaan sewaktu Cu Hoa turun tangan membinasakan
sibayangan hitam itu.
Ia rada melengak dibuatnya. "Cu Hoa, kau! Apa yang
telah terjadi?" tanyanya.
"Ayo, cepat pergi dari sini! Aku lihat tempat ini bukan
tempat yang bagus bagi dirimu."
"Apa ???? Pergi dari sini ????"
"Sedikitpun tidak salah, tempat ini bukan tempat yang
baik bagimu, lebih baik kita cepat-cepat pergi dari sini.
"Tidak. . . . ." potong Pek Thian Ki dingin, "Untuk
sementara aku masih tidak ingin pergi dari sini."
"Kau harus pergi dari sini!" bentak Cu Hoa lirih.
"Pertama, jika dibicarakan dari tenaga lweekang yang kau
miliki saat ini rasanya masih belum mampu untuk
menyelidiki rumah aneh ini, apalagi mengandalkan
keberanian serta kejantanan saja, hanya mendatangkan
kematian yang mengerikan buat dirimu, Dan kedua, si Sin
Si-poa ingin menemui dirimu!"
"Apa ???? si Tukang ramal itu ingin menemui diriku ???"
"Benar, ia berhasil menyelidiki tahu, bahwa tahun yang
lalu sebelum Sin Mo Kiam Khek pergi menyewa rumah ini,
ia telah pergi menemui seseorang terlebih dahulu. . ."
"Siapa???" teriak sang pemuda tak terasa, hatinya tergetar
sangat keras.
"Persoalan ini akan menjadi jelas setelah kau pergi
kesana, kemungkinan sekali orang ini mengetahui asalusulmu
yang sebenarnya, sudah tentu rumah aneh yang
misterius ini harus kita selidiki sampai jelas, tapi rasanya
jauh lebih jelas kita selidiki kembali rumah ini setelah
mengetahui dahulu asal-usulmu."
"Apakah orang itu sungguh-sungguh dapat membuktikan
asal-usulku?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Baiklah, aku akan pergi mengikuti dirimu!"
"Kepada nona Suma ini, si Sin Si-poa pun ada undangan
untuknya."
"Sin Si-poa mengundang diriku? Apa yang ia inginkan?"
seru Hu Li Hun tercengang.
"Soal ini kau bakal tahu sendiri setelah pergi kesana."
"Tapi aku tak ingin pergi kesana!"
"Mengapa?"
"Persoalan yang kalian kerjakan sama sekali tiada
sangkut pautnya dengan diriku, maka aku tidak ingin
pergi."
"Nona! Kau harus pergi kesana karena ada suatu urusan
yang punya sangkut paut dengan dirimu, semisalnya saja
hubungan yang erat antara ibumu Hu Bei San dengan Sam
Ciat Sin Cun. . ."
"Apa? Ibunya adalah Hu Bei San, adik dari Hu Toa
Kan?" teriak Pek Thian Ki tertahan.
"Sedikitpun tidak salah!"
Kali ini Pek Thian Ki betul-betul dibuat berdiri
mematung ditengah kalangan, karena ia merasa peristiwa
yang barusan terjadi benar-benar berada diluar dugaannya.
"Kau. . . . bagaimana kau bisa tahu kalau ibuku adalah
Hu Bei San ???. . ." Hu Li Hun pun dibuat kaget sehingga
melengak.
"Dugaan dari Sin Si-poa."
"Dasar apa si tukang ramal itu bisa mengatakan
demikian???"
"Soal ini aku merasa kurang jelas, ia hanya beritahu
kepadaku bahwa nona Suma Hun tersebut ada
kemungkinan adalah putri dari Hu Bei San. . ."
"Nona Hu, benarkah ibumu adalah Hu Bei San?" tanya
pemuda she Pek kaget.
"Sedikitpun tidak salah!" Ia merandek sejenak kemudian
tambahnya. "Cukup berdasarkan perkataanmu barusan ini
sudah seharusnya aku ikut kalian pergi menemui si tukan
ramal Sin Si-poa itu.
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" kata Cu Hoa.
Pertama-tama ia yang berkelebat dulu kedepan melakukan
perjalanan.
Pada saat ini pikiran Pek Thian Ki penuh diliputi oleh
persoalan2 baru, ia berpikir keras sebenarnya apa hubungan
antara Hu Bei San ibu dari Hu Li Hun dengan Sam Ciat Sin
Cun Kiang Lang. . . Karena semakin dipikir semakin
bingung, akhirnya ia enjotkan tubuhnya mengejar
kebelakang punggung Cu Hoa.
Tiba-tiba. . . . Sewaktu Pek Thian Ki melesat kearah
depan itulah, ditengah kesunyian yang mencekam sekeliling
tempat itu berkumandang datang suara bentakan yang amat
keras;
"Berhenti!" Suara bentakan tersebut keras dan
berwibawa, tanpa terasa lagi, Pek Thian Ki serta Hu Li Hun
bersama-sama menghentikan langkah kakinya.
Ketika menoleh dari balik hutan Touw muncullah
seorang sastrawan berusia pertengahan, orang itu bukan
orang lain adalah simanusia yang menyebut dirinya sebagai
si-tamu pencari bunga yang pernah ditemuinya sewaktu
berada didalam Istana Perempuan.
Pek Thian Ki berdiri tercengang, Si-tamu pencari bunga
itu memandang sekejap kearah Pek Thian Ki, lalu
tanyanya;
"Bocah cilik, kau masih teringat dengan diriku bukan?"
"Ooooouw. . .! Cianpwee kiranya kau orang." seru Pek
Thian Ki sambil tertawa hambar.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tolong tanya apa maksud cianpwee datang kemari?"
"Aku? Oooouw. . . aku sedang mencari kau!"
"mencari aku?"
"Sedikitpun tidak salah, bocah cilik, aku mau bertanya
kepadamu, apa maksudmu datang kemari."
Pek Thian Ki rada tertegun mendengar pertanyaan itu,
lama sekali ia termenung, kemudian baru sahutnya;
"Menyewa runah aneh itu!"
"Sudah berhasil kau sewa?"
"Belum!"
"Apa tujuanmu dengan menyewa rumah aneh itu?"
Oleh pertanyaan yang diajukan oleh pihak lawan ini Pek
Thian Ki jadi berdiri membodoh ditengah kalangan, untuk
beberapa saat lamanya, ia tak dapat menjawab pertanyaan
tersebut.
"Baiklah, biar aku yang wakili kau untuk menjawab!"
kata si-tamu pencari bunga, "Kau menyewa Rumah Aneh
ini bukankah hanya ingin melihat rahasia apa yang
sebenarnya terkandung didalam rumah aneh tersebut?
Bukankah begitu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Lalu apa yang telah berhasil kau lihat dan rahasia apa
yang berhasil kau dengar?"
"Tidak ada?"
"Jikalau tidak ada yang kau peroleh, mengapa kau
hendak pergi? Apakah tiada bernyali untuk menyelidiki
rahasia rumah aneh tersebut?"
Air muka Pek Thian Ki berubah hebat. Cu Hoa
sendiripun berubah muka, tanyanya lirih;
"Siapakah dia?"
"Aku sendiripun tidak kenal!"
Cu Hoa mengangguk, mendadak katanya kepada si
sastrawan berusia pertengahan itu; "Tapi kita harus pergi
dari sini!"
"Mengapa?"
"Karena kami ada urusan penting yang harus
dikerjakan!"
"Pergi mencari Sin Si-poa?"
Mendengar pertanyaan itu, air muka mereka berdua
sama-sama berubah hebat, setelah lama sekali berdiri raguragu,
akhirnya mengangguk juga;
"Sedikitpun tidak salah!"
"Pek Thian Ki!" ujar si-tamu pencari bunga lagi sambil
tertawa ringan. "Punya nyalikah kau orang untuk pergi
menyelidiki runah aneh yang misterius itu ???"
"Siapa yang bilang aku tidak punya nyali ???" sahut
pemuda tersebut dengan air muka berubah hebat.
"Kalau begitu, kau tidak seharusnya berlalu dari sini
dengan tidak membawa sesuatu hasilpun!"
Selagi Pek Thian Ki hendak memberikan jawaban, Cu
Hoa yang ada disisinya kembali sudah berbisik;
"Pek Thian Ki, orang ini sangat mencurigakan, biarlah aku
selidiki dulu siapakah dia!" Sembari berkata, ia melangkah
kedepan mendekati si-tamu pencari bunga itu.
Air muka Pek Thian Ki rada bergerak, tapi ia tetap
berdiri ditempat semula. Sinar mata si-tamu pencari bunga
itu dengan tajam menyapu sekejap diri Cu Hoa, lalu
tegurnya dingin;
"Bocah perempuan, apa yang kau kehendaki ???"
kata-kata 'Bocah perempuan' tersebut langsung membuat
seluruh tubuh Cu Hoa gemetar sangat keras, karena hinga
saat ini belum ada seorang jagoan dunia kangouw pun yang
tahu jika dia adalah seorang gadis yang menyaru sebagai
seorang pria.
"Hmmm! Ternyata kau lihay juga." dengus Cu Hoa
dingin. "Aku ingin tahu siapakah sebenarnya dirimu?"
"Sekalipun kau sudah tahu juga percuma!"
"Mengapa kau paksa Pek Thian Ki masuk kedalam
rumah aneh itu untuk antar kematiannya?"
"Siapakah yang bilang Pek Thian Ki pasti mati setelah
memasuki rumah aneh itu?" Si-tamu pencari bunga itu
tertawa ringan.
"Aku!"
"Ooooouwu. . . . jadi kau adalah Majikan rumah aneh
tersebut?"
"Bukankah perkataanmu itu hanya ngaco-belo belaka?"
seru Cu Hoa melengak.
"Kalau memang, demikian, dari titik apa kau bisa
mengambil kesimpulan bahwa Pek Thian Ki pasti mati
setelah memasuki rumah aneh tersebut?"
"Saudara, aku mau bertanya, siapakah yang berhasil
keluar dalam keadaan hidup setelah memasuki rumah itu?"
"Tapi bagaimanapun juga tak mungkin bisa dikatakan
tiada pengecualian bukan?"
"Asal-usul saudara bukan saja misterius bahkan
pembicaraanpun diliputi kemisteriusan, jikalau engkau
tidak ingin memberitahukan siapakah dirimu, aku masih
punya cara untuk paksa kau bicara!"
"Apa caramu itu ???? Ilmu silat!"
"Sedikitpun tidak salah."
Kembali si-tamu pencari bunga itu tertawa. "Pek Thian
Ki, jikalau kau punya nyali, bagaimana kalau aku temani
dirimu memasuki rumah tersebut untuk mengadakan
penyelidikan ????"
"Bagus sekali!" sahut Pek Thian Ki dengan air muka
berubah hebat.
Tiba-tiba Cu Hoa tertawa dingin tiada hentinya; "Aku
bisa menduga siapa saudara!"
"Siapa ???"
"Majikan dari rumah itu."
Si-tamu pencari bunga segera tertawa terbahak-bahak.
"Perkataanmu itu kedengarannya cukup membuat orang
jadi kebingungan setengah mati, dari kesimpulan mana kau
bisa mengatakan kalau aku majikan dari rumah itu ????"
"Karena kau menggunakan kata-kata menghasut Pek
Thian Ki, agar suka memasuki rumah itu, kemudian
membinasakan dirinya disana, Sehingga peristiwa berdarah
yang pernah terjadi selama puluhan tahun ini, selamanya
tidak berhasil memperoleh penyelesaian."
Dugaan yang diucapkan Cu Hoa memang sangat
beralasan sekali dengan kenyataan yang terbentang didepan
mata, tak urung Pek Thian Ki kena digerakkan juga
hatinya.
Si-tamu pencari bunga tertawa. "Kau bocah perempuan
sungguh tidak jelek, lebih baik kau jangan anggap dirimu
terlalu pintar sehingga jadi keblinger!" Ia tersenyum ramah
lalu tambahnya; "Pek Thian Ki, jika kau tidak ingin masuk,
aku akan segera berangkat seorang diri." Habis berkata, ia
melangkah kearah rumah aneh tersebut.
Cu Hoa berkelebat lewat menghadang didepan orang itu,
teriaknya dingin; "Tungu sebentar!"
"Apa yang kau inginkan lagi?"
"Aku ingin tahu siapakah kau?"
"Aku rasa pertanyaanmu itu tak mungkin aku jawab!"
"Kau sungguh-sungguh tidak ingin berbicara?"
"Sudah tentu sungguh-sungguh, apa kau anggap hanya
pura-pura, ya?"
"Kalau begitu, rasakanlah kelihayanku!" Badan sang
gadis yang menyaru sebagai pria ini mencelat ketengah
udara, kemudian meluncur kedepan, tangan kanannya
diayun melancarkan satu babatan dahsyat kearah si-tamu
pencari bunga.
Serangan yang dilancarkan Cu Hoa sangat dahsyat
bagaikan kilat, Dengan tenang si-tamu pencari bunga
berputar, lantas berkelit kesamping, gerakannya luwes dan
sama sekali tidak menggunakan banyak tenaga.
Pada waktu itu serangan kedua dari Cu Hoa sudah
beruntun menggencet datang. Si-tamu pencari bunga
tertawa dingin, tangan kanannya dibabat mengunci
serangan lawan, sedang tangan kirinya mendadak didorong
kemuka.
Daya kekuatan serangan tersebut sangat cepat dan aneh
sekali, seketika itu juga Cu Hoa kena didesak mundur
sejauh satu tombak lebih kebelakang.
"Bocah perempuan dengan mengandalkan kepandaian
yang kau miliki masih belum merupakan tandingan dari
aku orang!" seru si-tamu pencari bunga dingin.
"Kalau begitu, kau boleh coba-coba saja nanti!"
Mendadak sang gadis she Cu ini mengeluarkan senjata Sam
Ciat Tong-nya, lalu dimana tangannya sedikit digetarkan
muncullah sebilah anak panah yang pendek.
"Haaaa. . . senjata Sam Ciat Tong?" si-tamu pencari
bunga itu berseru tertahan.
"Sedikitpun tidak salah!"
Berturut-turut si sastrawan berusia setengah baya itu
mundur tiga, empat langkah kebelakang. "Kau. . .
.darimana kau dapatkan senjata tersebut?" tanyanya dengan
hati bergidig.
"Soal ini kau tidak perlu tahu."
"Aku tahu siapakah dirimu. . ."
"Siapa?"
"Aku tidak ingin mengucapkannya keluar."
"Jikalau sudah tahu senjata Sam Ciat Tong ini, maka
seharusnya tahu bukan, barang siapa yang melihat senjata
ini berarti mati!"
Begitu ucapan terakhir meluncur keluar dari bibirnya,
cahaya putih berkelebat lewat, ujung yang tajam dari
senjata Sam Ciat Tong itu dengan dahsyat menyerang
tubuh si-tamu pencari bunga tersebut. Begitu Cu Hoa
melancarkan serangan, si sastrawan berusia setengah baya
itupun tertawa dingin tiada hentinya.
"Senjata Sam Ciat Tong ini tak bakal bisa menakutnakuti
diriku!"
Bayangan manusia berkelebat lewat, ia bukan saja
berhasil menghindarkan diri dari datangnya serangan
lawan, bahkan balas melancarkan satu serangan dengan
kecepatan tidak berada dibawah kecepatan Cu Hoa.
Kejadian ini langsung saja membuat gadis she Cu itu
merasa sangat terperanjat.
Ia tidak malu disebut sebagai seorang jagoan yang
memiliki kepandaian silat sangat tinggi, sewaktu merasa
sasarannya yang kosong pedangnya digurat berulang kali,
hanya dalam sekejap mata beruntun telah mengirim tiga
buah serangan sekaligus.
Kepandaian silat yang dimiliki Cu Hoa bukan termasuk
golongan yang biasa, dibawah serangan beruntunnya
ternyata keadaannya masih tetap seperti sediakala,
sedikitpun tidak terjadi perubahan.
Mendadak. . . .
Mengiringi suara bentakan dari si-tamu pencari bunga itu
tampaklah tangan kanannya dipentangkan lebar2, lantas
mencengkeram wajah Cu Hoa. Diam2 gadis itu merasa
sangat terperanjat, pedangnya digetarkan membabat
pinggang lawan untuk berusaha memaksa dia orang
menarik kembali serangannya.
Pada saat itu Cu Hoa mengirim satu babatan kearah
lawan, itulah si-tamu pencari bunga dengan serangan
kosong jadi kenyataan tangan kirinya menotok kemuka.
Kedua buah serangan yang dilancarkan si sastrawan berusia
setengah baya ini kesemuanya dilancarkan dengan
kecepatan laksana sambaran kilat.
Agaknya Cu Hoa tidak sempat untuk menghindarkan
diri lagi, dengan niat mengadu jiwa bukannya menghindar,
ia malah menerjang maju kedepan, tangan kanannya
menekan tombol senjata rahasia.
Cahaya tajam berkelebat lewat, senjata rahasia meluncur
kedepan bagaikan hujan gerimis. Bersama dengan
melncurnya senjata rahasia tersebut menghajar tubuh
lawan, suara dengusan berat bergema memenuhi angkasa,
Cu Hoa telah kena tertotok dan roboh tak berkutik diatas
tanah. Kejadian ini langsung membuat Pek Thian Ki jadi
sangat terperanjat.
Pada waktu itu. . . .
Si-tamu pencari bunga sudah melayang mundur
kebelakang, terlihatlah diatas baju bagian dadanya
tertancap tiga batang jarum perak sepanjang dua cun.
Melihat kejadian itu, sekali lagi pemuda itu merasakan
hatinya bergidik.
Ia sama sekali tidak menduga kalau kepandaian silat
yang dimiliki si-tamu pencari bunga ini sangat tinggi dan
telah mencapai taraf kesempurnaan, dengan mengerahkan
hawa khi-kangnya, ternyata ia berhasil menahan datangnya
ketiga batang senjata rahasia tersebut.
"Bocah perempuan, sungguh ganas seranganmu ini!"
tegur si sastrawan berusia tengah baya ini dengan suara
yang dingin.
Ia cabut keluar ketiga batang jarum perak itu, lalu
dilemparkan keatas tanah, setelah itu dipungutnya senjata
Sam Ciat Tong tersebut. Air mukanya hambar, sedikitpun
tidak menunjukkan reaksi apapun, dengan teliti
diperiksanya sebentar senjata Sam Ciat Tong itu, lalu
digetarkan jadi tegak dan memasukkan kembali sang
pedang kecil kedalam tabung.
Setelah itu, seraya memandang sekejap kearah Pek Thian
Ki ujarnya; "Pek Thian Ki, menurut pandanganmu
seharusnya aku beri sedikit hajaran atau tidak kepadanya.
"Beri sedikit pelajaran kepadanya?"
"Benar, bukankah tindakannya terlalu keji?"
"Menurut pandangan cayhe lebih baik sudahi saja urusan
ini sampai disini!"
"Demikianpun baik. . ." akhirnya si-tamu pencari bunga
itu mengangguk dengan alis dikerutkan.
"Cianpwee, menurut pandanganmu, mungkinkah dia
adalah anak murid dari Sam Ciat Sin Cun tersebut?"
"Aku tidak tahu, cuma senjata Sam Ciat Tong ini
memang merupakan tanda dari si Sam Ciat Sin Cun,
sudahlah, kita tidak usah gubris dia lagi, aku cuma menotok
jalan darah tidurnya saja, sebentar lagi ia bakal tersadar
dengan sendirinya, mari kita pergi!"
"Pergi? Kemana?"
"Menyelidiki rumah aneh tersebut."
"Kau sungguh-sungguh hendak menyelidiki rumah itu?"
tanya Pek Thian Ki melengak.
"Sedikitpun tidak salah, apa mungkin kau takut? Atau
mungkin tidak ingin masuk kesana?"
"Apa yang aku takuti? Kau berani, sudah tentu akupun
berani!" seru Pek Thian Ki dingin.
"Apakah kau tidak takut aku adalah Majikan yang
sesungguhnya dari Rumah Aneh itu? Dan sekarang sedang
memancing untuk kau masuk kedalam kemudian
membinasakan dirimu?"
"Soal ini sih aku Pek Thian Ki boleh berlega hati!"
"Berlega hati?"
"Benar, jikalau kau ingin membunuh mati aku, rasanya
tidak perlu memancing masuk kedalam rumah, sekalipun
disini kau masih sanggup untuk membunuh aku."
"Tidak salah, tidak salah ternyata kau bocah cilik
mengerti juga akan persoalan ini, kalau begitu, mari kita
berangkat!" Per-tama2 ia yang berlalu terlebih dahulu dari
sana.
Pek Thian Ki mengikuti dari belakang tubuh si-tamu
pencari bunga, ia melakukan perjalanan kearah depan.
"Pek Siauw-hiap!" Tiba-tiba Hu Li Hun berseru.
Mendengar teriakan itu, Pek Thian Ki berhenti dan
menoleh; "Ada urusan apa?"
"Aku tidak ingin ikut masuk kesana!"
"Mengapa?"
"Aku tidak ingin mengetahui rahasia yang menyangkut
soal rumah ini, aku mau pergi dari sini!"
"Tidak bisa jadi, kau harus ikut masuk kesana." sela si
Sastrawan berusia setengah baya itu tiba-tiba.
"Mengapa?"
"Karena kami masih ingin mengetahui berbagai urusan
yang menyangkut dirimu, mari jalan! Ada aku disini, kau
boleh berlega hati, aku rasa kalian tak bakalan menemui
ajal ditangan mereka."
Hu Li Hun ragu-ragu sejenak, akhirnya dengan alis
berkerut ia mengiakan juga.
"Baiklah!"
Bab 35
MENGIKUTI dari belakang orang-orang itu, iapun
melangkah pergi.
"Nona Hu! Mengapa kau menyaru sebagai Kiang To???"
tiba-tiba Pek Thian Ki bertanya.
"Sudah tentu ada sebab2nya, asalkan kita berhasil keluar
dari rumah ini, pasti akan kuberi tahu, dan inipun
merupakan urusan yang pernah kusanggupi."
Dengan hati berat Pek Thian Ki mengangguk. Pada
waktu itu. . . .Si-tamu pencari bunga telah tiba didepan
pintu masuk, dengan tanpa sebab, mendadak ia berhenti
berjalan dan mengalihkan sinar matanya keatas selembar
kertas merah yang tertempel disisi pintu.
Ia berpaling memandang sekejap kearah Pek Thian Ki,
kemudian tertawa dingin tiada hentinya; "Pek Thian Ki!
Coba kau lihat, bukankah pengumuman ini sangat aneh
sekali?"
"Aneh? ? ?" Tanpa terasa Pek Thian Ki pun ikut
mengalihkan sinar matanya keatas lembaran kertas merah
tadi.
Diatas kertas merah tersebut bertuliskan beberapa patah
kata-kata sebagai berikut:
"RUMAH INI DISEWAKAN."
Langganan yang diutamakan: Orang-orang kangouw,
terutama yang mengandalkan pedang.
Ongkos-ongkos sewa rumah:
Pertama: Uang emas murni seribu kati.
Kedua : Giok Hoa Lok sebotol besar.
Ketiga : Wanita cantik seorang.
Ketiga syarat tersebut harus dibayar lunas sebelum
memasuki rumah ini, barang siapa yang berminat harap
datang setiap tengah malam kentongan ketiga untuk
menyerahkan syarat-syarat tersebut dan menempati rumah
ini.
Catatan:
Jikalau ada yang bisa tahan mendiami rumah ini selama
setahun, maka disamping itu akan diberi hadiah sebuah
bangunan rumah merah yang indah.
Tertanda: "Majikan Rumah ini."
Pek Thian Ki yang melihat pengumuman tersebut cuma
bisa berdiri tertegun saja, sembari memandang si-tamu
pencari bunga katanya;
"Aku tidak berhasil menemukan sesuatu hal yang aneh."
"Benar, kau tidak bakal paham. . . .kau tidak bakal
paham. . . ."
"Apanya yang tidak paham ???"
"Coba kau lihat ketiga buah syarat untuk menyewa
rumah ini, jikalau setiap patah kata yang pertama
disambung jadi satu akan jadi kata-kata apa. . . ."
"Ui Giok Mey. . ."
"Ehmmm. . .! Coba mirip apa ???"
"Aaaaaah! Menyerupai nama dari seorang perempuan!"
tiba-tiba Pek Thian Ki berseru tertahan.
"Sedikitpun tidak salah, memang nama seorang
perempuan, tahukah kau bahwa Sam Ciat Sin-cun
mempunyai seorang isteri yang bernama Tiap Hoa Sianci
atau si Bidadari Kupu2 dan Bunga ???"
"Apakah Ui Giok Mey adalah nama dari Tiap Hoa
Sianci tersebut ??? tanya sang pemuda dengan hati dak dik
duk. . .
"Bukan!"
"Lalu siapakah sebenarnya ???" kembali Pek Thian Ki
berdiri melengak.
"Tiap Hoa Sianci bernama Ui Mey Giok dan bukan Ui
Giok Mey. . . ."
"Maksudmu namanya terbalik ???"
"Benar! Nama bisa terbalik hal ini sudah tentu
merupakan peristiwa yang tidak mungkin bisa terjadi.
Syarat=syarat yang diajukan untuk menyewa rumah ini
hanya memberi tahukan kepada Sembilan Jago Pedang dari
kolong langit, bahwa orang yang mendiami rumah ini
adalah Ui Mey Giok. . . . karena kesembilan orang jago dari
kolong langit mengetahui akan sesuatu persoalan. . . ."
"Persoalan apa ?????"
"Letak dari Rumah Berdarah."
"Rumah Berdarah ????"
"Sedikitpun tidak salah, cacatan terakhir yang tercantum
dipaling ujung dari pengumuman ini bukankah mengatakan
bahwa siapa saja yang bisa mendiami rumah ini selama
setahun ia bakal menerima hadiah sebuah rumah merah
yang indah ????"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Yang dimaksud Rumah Merah adalah Rumah
Berdarah, sekarang kau sudah paham?"
"Aku paham. . . .aku paham, orang yang mendiami
rumah ini adalah si Tiap Hoa Sianci Ui Mey Giok, ia ingin
memancing kedatangan Sembilan Orang Jago dari kolong
langit dengan tujuan ingin memperoleh Rumah Berdarah
tersebut?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Kalau begitu, mengapa namanya bisa salah tulis?"
"Justeru persoalan terletak disini, menurut pendapatku,
orang yang mendiami rumah ini pasti adalah Tiap Hoa
Sianci Ui Mey Giok!"
"Lalu, mengapa ia bunuhi sembilan jagoan dari kolong
langit?"
"Persoalan ini masih membingungkan, cuma kita harus
selidiki rahasia rumah ini sampai jadi jelas kembali."
"Tidak salah." seru Pek Thian Ki sambil kertak gigi.
"Kita harus selidiki urusan ini sampai menjadi jelas."
"Kalau begitu, mari kita masuk!"
"Cianpwee, sebenarnya siapakah kau?" tiba-tiba pemuda
she Pek ini bertanya.
"Sebaliknya pada saat ini aku beritahu kepadamu tiada
berguna, akhirnya kau bisa tahu sendiri!"
"Cianpwee, aku dibuat kebingungan setengah mati oleh
asal-usulku sendiri, tentang Sam Ciat Sin-cun, Kiang To
serta rumah aneh ini. . . ."
"Ada satu persoalan aku bisa buktikan kepadamu yaitu
kau adalah putra dari Sam Ciat Sin-cun dan merupakan
Kiang To asli. . . ."
"Berdasarkan apa kau bisa membuktikan bila aku adalah
putra dari Sam Ciat Sin-cun dan bernama Kiang To ????"
"Ui Mey Giok yang berada dalam rumah ini bisa
membuktikan persoalan ini dengan jelas."
"Kau. . . . apa kau kata ???"
"Sekarang banyak urusan yang tidak perlu kau tanyakan,
karena aku sendiripun masih kurang jelas, untung saja
peristiwa berdarah yang terjadi puluhan tahun yang lalu
dengan misterius segera akan menjadi jelas kembali."
Sekali lagi Pek Thian Ki dibuat bingung oleh persoalan
ini.
"Aku semakin bingung dibuatnya." ujar sang pemuda
sambil memandang si-tamu pencari bunga itu.
"Jikalau begitu kau boleh bingung terus-menerus,
mengerti lebih banyak malah tidak baik buat dirimu dan
lebih baik untuk sementara kau tetap gunakan nama Pek
Thian Ki saja."
"Mengapa?"
"Asalkan Kiang To yang asli munculkan diri, maka
seluruh dunia persilatan bakal dinodai dengan ceceran
darah, karena itu untuk sementara. . . . sebelum peristiwa
yang sebenarnya terungkap, kau masih bernama Pek Thian
Ki."
Pemuda she Pek ini makin lama semakin terlempar
seperti berada di-awang2, ia tidak mengerti peristiwa apa
sebenarnya yang telah terjadi. . . . Ia tetap merasa tidak
paham. Persoalan yang mencurigakan hatinya makin lama
bertumpuk semakin banyak lagi.
"Sekarang kau tidak perlu terlalu banyak memikirkan
persoalan yang tiada berguna," kata si-tamu pencari bunga
itu menasehati, "Satu-satunya persoalan yang sedang kita
hadapi saat ini adalah selidiki dahulu apakah orang yang
menghuni rumah ini betul2 adalah Ui Mey Giok!"
Pek Thian Ki manggut. Ketika itu si-tamu pencari bunga
sudah melangkah masuk kebalik pintu besar kemudian
masuk keruangan dalam, sedang Pek Thian Ki pun dengan
cepat mengikuti dari belakang.
Mendadak. . . .
"Berhenti!" Suara bentakan yang sangat dingin
berkumandang memecahkan kesunyian. Membarengi suara
bentakan tadi muncul sesosok bayangan manusia dengan
kecepatan laksana kilat berkelebat kearah Pek Thian Ki,
kemudian berdiri kurang lebih satu tombak dihadapan
pemuda tersebut.
Sinar mata pemuda she Pek ini berkelebat lewat, air
mukanya tiba-tiba berubah hebat karena ia menemukan
orang itu adalah seorang dara cantik yang memakai baju
warna hitam dengan rambutnya yang panjang terurai
sepanjang pundak.
"Aaaaach! Kau. . . .Tong Ling?" seru Pek Thian Ki
tertahan.
"Heeeee. . . heeeee. . .heeee. . . sedikitpun tidak salah,
juga bernama It Peng Hong!"
Diatas wajah Tong Ling terlintas hawa napsu
membunuh yang sangat hebat, sembari mendekati pemuda
itu selangkah demi selangkah, ia tertawa seram tiada
hentinya. "Pek Thian Ki, bukankah aku pernah berkata
kepadamu bahwa aku bisa balik kemari mencari dirimu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Pek Thian Ki, aku bisa menolong kau, bisa pula
membinasakan dirimu. . ."
Pek Thian Ki tertawa hambar. "Bagaimanapun selembar
nyawaku adalah kau yang tolong, dikembalikan lagi
kepadamu juga bukan suatu persoalan yang patut
disayangkan. . ."
Belum habis pemuda itu berkata, tiba-tiba Hu Li Hun
menjerit tertahan; "Kau. . . kau adalah Hek Mo Li atau si
Iblis perempuan Hitam?. . ."
"Sedikitpun tidak salah!"
"Aaaaaach!. . ." Hu Li Hun menjerit tertahan kemudian
berturut-turut mundur tiga empat langkah kebelakang.
Pek Thian Ki yang melihat kejadian ini segera
merasakan hatinya merinding, sudah tentu ia masih belum
mengerti bagaimana macam manusia yang disebut sebagai
si Iblis Perempuan Hitam ini.
Terdengar Hek Mo Li Tong Ling tertawa dingin tiada
hentinya; "Pek Thian Ki, selama hidupku belum pernah
kubersikap baik kepada siapapun, tapi terhadap kau, aku
sudah keluarkan seluruh kemampuanku untuk menyayangi
dirimu, tetapi apa yang aku dapat dari dirimu? Pek Thian
Ki, kaulah manusia pertama yang membuat aku berduka,
aku hendak bunuh mati dirimu. . ."
"Apa yang kau inginkan, ucapkanlah secara terangterangan."
"Tidak berat, aku hanya inginkan batok kepalamu."
"Kalau begitu, kemarilah untuk ambil sendiri!"
"Hmmm! Aku bisa melakukannya sendiri!"
Pada waktu Tong Ling sudah berada kurang lebih lima
depa dihadapan Pek Thian Ki, hal ini membuat si-tamu
pencari bunga kerutkan alisnya, Tiba-tiba ia mencelat
kedepan menghadang diantara kedua orang itu, Tong Liong
disebut orang-orang kangouw sebagai si Iblis Perempuan
berhati hitam, hal ini disebabkan tindakannya keji, ganas,
buas dan telengas, membunuh orang tak berkedip, bahkan
munculnya kedalam dunia kangouw pun sangat misterius
sekali, jarang ada orang yang tahu berasal dari manakah
perguruannya.
Setelah gadis itu kena dihina habis oleh pemuda she Pek,
kali ini ia munculkan dirinya kembali dengan tujuan untuk
membalas penghinaan yang diterimanya tempo dulu. Tong
Ling yang melihat si tamu pencari bunga menghadang
didepannya, alisnya lantas dikerutkan rapat-rapat, tegurnya
dingin;
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Buat apa nona mengumbar hawa marah disini? Jikalau
diantara kalian berdua pernah mengadakan hubungan
suami isteri, apa perlunya berbuat ribut-ribut karena suatu
persoalan yang kecil? Sudahlah, anggap saja urusan selesai
sampai disini."
"Kentut makmu yang busuk!"
Walaupun si-tamu pencari bunga ketanggor batunya,
tapi ia tetap senyum dikulum, kembali ujarnya;
"Begini saja, aku suruh Pek Thian Ki minta maaf
kepadamu, bagaimana?. . . ."
"Minta maaf? Aku Pek Thian Ki tak bakal
melakukannya!" teriak sang pemuda dengan cepat.
"Akupun tidak butuh minta maafmu, ayoh cepat
menyingkir!" teriak Tong Ling sambil tertawa dingin.
"Jikalau demikian adanya, kalian pasti hendak bertempur
sampai salah satu menemui ajalnya?" sela si sastrawan
berusia setengah baya itu dengan nada serius.
"Sedikitpun tidak salah."
"Ada aku disini kalian tak bakal bisa bertarung
semuanya."
"Kalau bigitu, kau boleh coba-coba." Begitu selesai
berbicara, Tong Ling segera mencelat kedepan bagaikan
sambaran kilat, telapak tangannya dengan disertai tenaga
dalam yang luar biasa hebatnya dihajarkan kearah si-tamu
pencari bunga.
Serangan yang dilancarkan sigadis she Tong ini luar
biasa cepatnya, dengan sebat orang itu menangkis dengan
tangan kanannya.
"Tunggu sebentar!" bentaknya gusar.
"Kau masih ada pertanyaan apa lagi yang hendak
disampaikan?"
"Kau orangkah yang bernama Tong Ling?"
"Sedkitpun tidak salah."
"Siapakah majikanmu?"
"Soal ini kau tidak perlu tahu. . ."
"Padahal sekalipun kau tidak suka bicara akupun bisa
menduga separuh bagian, aku ada semacam barang, tolong
kau sampaikan kepada majikanmu, beritahu kepadanya
bahwa didalam sepuluh hari mendatang aku pasti pergi
mencari dirinya!"
Dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebilah pedang
kecil yang panjangnya hanya lima cun dengan luas satu
cun, lalu diangsurkan ketangan gadis tersebut.
Tong Ling menerima pedang kecil itu dan diperiksanya
sebentar, mendadak air mukanya berubah hebat, karena ia
dapat melihat diatas tubuh pedang tersebut berukirkan
ombak air sungai yang menggulung-gulung berwarna biru
serta seekor burung mementang sayap terbang diatasnya.
"Aaaaaach. . .! Kau?" Tiba-tiba saja gadis itu berseru
tertahan.
"Emmmmm. . . .! Mengapa?"
"Tiiii. . . . tidak mungkin?"
"Apanya yang tidak mungkin?"
"Tidak mungkin kau masih hidup dikolong langit!"
"Bocah perempuan, apakah kau sudah tahu siapakah
aku?" seru si sastrawan berusia pertengahan itu sambil
tertawa dingin.
"Tidak salah, aku pernah dengar orang membicarakan
soalmu. . .Dan ada pula orang yang mengatakan kau sudah
mati!"
"Kalau begitu, cepat pulang dan beritahu kepada
majikanmu, aku bisa pergi mencari dirinya, sedang
urusanmu dengan Pek Thian Ki, memandang diatas
wajahku untuk sementara jangan diungkap kembali."
Air muka Tong Ling pada saat ini sudah berubah pucatpasi
bagaikan mayat, setelah berhasil menenangkan
hatinya, ia berkata;
"Baiklah, aku akan sampaikan tandamu ini kepada
majikanku." Habis berkata ia putar badan siap berlalu.
"Tong Ling!" tiba-tiba Pek Thian Ki menegur dingin.
"Jangan pergi dulu, coba kau sebutkan siapakah dia?"
Mendengar suara bentakan tersebut, Tong Ling segera
menghentikan langkahnya dan berpaling.
"Bagaimana? Apakah kau masih belum tahu siapakah
kawanmu itu. . .?" tegurnya dingin.
"Jika aku sudah tahu, buat apa bertanya lagi kepadamu?"
"Kalau begitu, tanyakan saja sendiri kepadanya apakah
kau tidak bisa bertanya?" Selesai berkata, tubuhnya
mencelat ketengah udara dan berlalu dari sana dengan
cepat.
Si Hek Mo Li ini adalah seorang iblis perempuan yang
berhati ganas, dan keji, ternyata kali ini bisa merasa begitu
takut kepada diri si-tamu pencari bunga, jelas hal ini
menunjukkan bila orang itu adalah seorang yang sangat luar
biasa sekali.
Sinar mata Pek Thian Ki perlahan-lahan dialihkan keatas
wajah si sastrawan tersebut, tanyanya seraya tersenyum;
"Cianpwee siapakah sebenarnya kau?"
Si-tamu pencari bunga pun tertawa; "Soal ini sekalipun
sudah kau ketahui juga percuma saja, mari kita masuk!"
"Cianpwee, apakah kau tak bisa memberikan jawaban
tersebut kepadaku. . .?"
"Mungkin!"
"Si Iblis Hek Mo Li ini sebetulnya termasuk perguruan
yang mana ???"
"Hingga saat ini sukar ditentukan, kau tidak usah
bertanya lagi, mari kita masuk."
"Baiklah."
Setelah menyahut, Pek thian Ki pun dengan mengikuti
dari belakang si-tamu pencari bunga itu berjalan masuk
kedalam ruangan rumah aneh tersebut.
Sudah tentu, didalam pikiran pemuda itu kembali
bertambah dengan suatu persoalan yang ia tidak pahami,
siapakah sebenarnya si-tamu pencari bunga yang sangat
misterius ini ????
Pada waktu itu mereka bertiga telah memasuki ruangan
rumah aneh tersebut yang ternyata merupakan sebuah
ruangan tamu yang indah dan megah sekali, Diatas lantai
ruangan masih menggeletak pedang Ciang Liong Kiam, Pek
Thian Ki segera memungutnya kembali.
Tiba-tiba. . . .
"Aaaaach! Delapan bilah pedang!" Teriak Hu Li Hun
tertahan.
Buru-buru pemuda tersebut mengalihkan sinar matanya
mengikuti arah yang dilihat Hu Li Hun, Sedikitpun tidak
salah diatas dinding ruangan tertancaplah delapan bilah
pedang. Ketika sinar mata pemuda tersebut bertemu dengan
pedang yang terakhir, tiba-tiba air mukanya berubah hebat.
"Buuu. . . bukankah pedang itu adalah pedang Sin Mo
Kiam. . .senjata. . .senjata guruku?" serunya tersendatsendat.
"Tidak salah, pedang itu memang pedang Sin Mo Kiam!"
Air muka Pek Thian Ki berubah semakin pucat lagi.
"Jadi guruku benar2 adalah Sin Mo Kiam Khek?"
"Tidak salah!"
"Ia sudah mati?. . . ia benar-benar sudah mati?"
"Benarkah ia sudah mati, hingga ini hari masih susah
untuk ditentukan karena banyak persoalan kadang-kadang
berada diluar dugaan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku benarkah Sin Mo Kiam Khek sudah mati
masih susah untuk dibicarakan."
"Dia. . ."
"Pek Thian Ki kau anggap diantara kuburan-kuburan
yang berada didepan rumah itu sungguh-sungguh dikubur
delapan jagoan pedang dari antara sembilan jagoan kolong
langit?"
"Apakah itu palsu?"
"Palsu atau tidak, aku tidak berani memastikan, cuma
diantara kedelapan buah kuburan tersebut, benar-benar
terkubur manusia rasanya sukar untuk dipercaya."
"Jadi maksudmu kuburan itu hanya kosong belaka?"
"Menurut pendapatmu apakah ada kemnungkinannya?"
Pertanyaan yang balik ditanyakan ini kontan membuat
Pek Thian Ki berdiri tertegun, sedikitpun tidak salah urusan
memang ada kemungkinannya, karena ia belum pernah
membongkar kuburan tersebut untuk dibuktikan apakah
benar didalam liang sungguh-sungguh terkuburkan
kedelapan orang jagoan pedang dari antara sembilan jagoan
pedang dari kolong langit.
Lama sekali Pek thian Ki berdiri tertegun. "Aaaaaach. . .
.makin lama aku dibuat semakin bingung saja." serunya.
"Tapi sebentar lagi kau bakal menjadi jelas dengan
sendirinya." Sambil berbicara si-tamu pencari bunga itu
berjalan terlebih dahulu memasuki ruangan belakang.
Sedangkan Pek Thain Ki mengikuti dari belakangnya
dengan hati berduka, pikirannya kacau-balau tidak karuan.
Suhunya benar-benar telah mati. Bersamaan itu pula
kenyataan telah membuktikan jika suhunya bernama Sin
Mo Kiam Khek Pek Thian Ki. . . . dan ia sendiri tidak
bernama itu karena untuk sementara gurunya telah
pinjamkan namanya itu untuk dia orang.
Lalu, apakah ia benar-benar bernama Kiang To?
Agaknya persoalan ini sudah pasti benar, hanya belum
memperoleh bukti yang nyata.
Mendadak. . . . Si-tamu pencari bunga yang berjalan
didepan dibuat terkejut oleh suara tertawa dingin yang
berkumandang keluar dari balik ruangan.
"Siapakah kalian bertiga? Apa maksud kalian
sembarangan memasuki rumah orang lain?" Suara tersebut
datangnya mendadak, kontan membuat mereka bertiga jadi
terperanjat.
"Kawan, siapakah kau?" tegur si sastrawan tersebut
dingin.
"Majikan rumah ini."
"Sesungguhnya ada berapa banyak majikan rumah ini?"
tegur sang sastrawan lagi dingin.
"Soal itu kau tidak perlu tahu, pokoknya yang jelas,
rumah ini adalah milik bersama."
"Sesungguhnya ada berapa orang?" kembali si sastrawan
mendesak lebih lanjut.
"Soal ini susah untuk dibicarakan, apa yang kalian
bertiga inginkan?"
"Menyewa rumah ini!"
"Siapa diantara kalian yang ingin menyewa?"
"Kami bertiga?"
Pihak lawan segera tertawa dingin tiada hentinya. "Maaf!
Rumah kami hanya bisa disewakan setiap tahunnya satu
orang, jikalau kalian bertiga ingin menempatinya bersamasama,
hal ini tidak bisa jadi!"
"Aku mau sewa rumah ini." bentak Pek Thian Ki dingin.
"Kau?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Tadi ada seorang membinasakan dua orang kawan
kami, siapa diantara kalian yang melakukan?"
"Aku!"
"Kalau begitu rumah ini tak dapat disewakan kepadamu,
setiap orang yang ingin menyewa rumah ini harus
mempunyai asal-usul yang suci bersih, rumah ini tidak akan
disewakan kepada seorang pembunuh!"
"Tapi aku sudah bulatkan tekad untuk menyewa rumah
ini."
"Bolehkah aku yang sewa???" Tiba-tiba si-tamu pencari
bunga berseru dingin.
"Kau bisa menggunakan pedang ???"
"Sedikitpun tidak salah."
"Ketiga syarat tersebut ???"
"Tidak ada. . . . cuma aku bisa menyusulkan barangbarang
tersebut."
"Tidak bisa jadi!"
"Tidak Bisa jadi ?????"
"Benar, harap kalian bertiga cepat-cepat mengundurkan
diri dari rumah ini!"
"Mengundurkan diri dari sini ????"
"Benar! Kalau tidak, setelah sampai waktunya jika
diantara kalian bertiga sampai tertimpa kemalangan, jangan
salahkan kami tidak menerangkan terlebih dahulu."
"Kawan, aku ingin menanyakan satu persoalan
kepadamu." ujar Pek Thian Ki dingin.
"Katakan!"
"Benarkah Sin Mo Kiam Khek sudah menemui ajalnya
???"
"Persoalan ini tak dapat aku jawab, karena kau bukan
tamu penyewa rumah kami, sehingga tak dapat dikatakan
punya hubungan, apalagi barang timbal balikpun tak ada,
maka dari itu aku tidak ingin menjawab pertanyaanmu itu."
Si-tamu pencari bunga segera tertawa.
Bab 36
"Kawan, kau tidak berani menjawab ataukah tidak bisa
menjawab?" Ejeknya. Setelah merandek sejenak, kemudian
ujarnya seraya tertawa dingin; "Kawan, mengapa kau tidak
suka unjukkan diri untuk berjumpa dengan kami?"
"Aku tidak ingin menemui kalian."
"Tapi aku justeru ingin sekali berjumpa dengan dirimu. .
."
oo (d)O(w) oo
Begitu ucapan terakhir meluncur keluar dari bibirnya
bayangan manusia berkelebat lewat, badannya sudah
mencelat kearah dimana berasalnya suara tersebut,
gerakannya benar-benar luar biasa cepatnya.
Ketika si-tamu pencari bunga ini tiba dibelakang ruang
tersebut, ternyata telah menubruk tempat kosong, sesosok
bayangan menusiapun tidak tampak.
Ia jadi melengak.
Pada waktu itu Pek Thian Ki sudah menyusul dari
belakang.
"Woooooouw. . . .! Cepat benar gerakan badannya. . . ."
seru si-tamu pencari bunga kesal.
Suasana diruangan besar sunyi senyap, tak kedengaran
sedikit suarapun. Pada waktu itu tiba-tiba sepasang mata si
sastrawan berusia setengah baya yang sangat tajam telah
terbentur dengan sebuah pintu kecil dibelakang ruangan
tersebut, alisnya langsung dikerutkan, kaki kanan
diayunkan melancarkan satu tendangan kilat keatas pintu
tersebut.
Kena terhajar oleh tendangan tadi, pintu terpentang
lebar, suasana didalam ruangan tersebut gelap gulita dan
sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Pertama-tama si sastrawan berusia setengah baya itu
berjalan masuk terlebih dahulu kedalam ruangan kecil,
disusul oleh Pek Thian Ki dibelakang, pintu rahasia tersebut
sempit lagi panjang.
Kurang lebih setelah berjalan sejauh tiga kaki sampailah
mereka disebuah ruangan yang gelap, sukar melihat lima
jari sendiri, hening, sunyi secara samar-samar menimbulkan
rasa seram dihati semua orang.
Tiba-tiba, suara bentakan keras berkumandang
memecahkan kesunyian disusul munculnya sesosok
bayangan manusia melayang turun kurang lebih tiga
tombak ditengah ruangan tersebut.
"Kawan, akhirnya kau munculkan diri juga," seru sitamu
pencari bunga dingin.
"Sedikitpun tidak salah, kalian sudah tiba disini, sudah
seharusnya kami adakan sedikit penyambutan buat
kedatangan kalian!"
Baru saja ia membungkam, mendadak dari balik ruang
rahasia tersebut kembali muncul enam orang lelaki berbaju
hitam yang segera mengepung ketiga orang itu ditengah
kalangan.
Suasana mulai diliputi ketegangan, hawa napsu
membunuh melintas memenuhi ruangan. Kembali si-tamu
pencari bunga itu tertawa hambar.
"Ooooooouw. . . . . penyambutan kalian ternyata betulbetul
luar biasa!" jengeknya sinis.
"Sudah tentu, karena kalian bertiga hanya manusia biasabiasa
saja!"
Sinar mata Pek Thian Ki dengan tajam menyapu sekejap
keseluruh ruangan, ditemuinya wajah orang2 berbaju hitam
itu rata2 berkerudung sehingga sulit untuk melihat wajah
mereka yang sebenarnya.
"Siapakah sebetulnya kalian!" seru pemuda itu sambil
tertawa dingin.
"Bukankah kami sudah pernah memberi tahu kepada
kalian bahwa kami adalah Majikan Rumah ini?"
"Apakah diantara kalian masih ada orang lain?"
"Tidak ada!"
"Lalu siapakah diantara kalian yang merupakan majikan
sebenarnya?"
"Aku!" sahut siorang berbaju hitam yang berada dipaling
depan.
"Kalian bertujuh siap hendak melakukan apa?"
"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa rumah ini tidak
akan kami sewakan kepada kalian bertiga, tapi sekarang
kamu semua dengan maju paksa telah menerjang masuk
kemari, maka akupun tidak perlu sungkan-sungkan untuk
menghadapi kalian lagi."
"Haaaaa. . . .haaaaa. . .haaaaa. . . jadi kalian ingin
menggunakan jumlah yang banyak untuk mengalahkan
jumlah yang sedikit?" ejek si-tamu pencari bunga seraya
tertawa.
"Terhadap kalian manusia-manusia yang tidak pakai
aturan, terpaksa kami harus menggunakan cara begini
untuk menghadapai kamu semua!"
Habis berkata tampak bayangan manusia berkelebat
lewat, siorang berbaju hitam itu pertama-tama bergerak
terlebih dahulu dengan gerakan yang aneh dan cepat
langsung mengancam tubuh si-tamu pencari bunga.
"Setelah datang rasanya tidak perlu sungkan-sungkan
lagi, Nih! Lihat serangan!" Bentak si-tamu pencari bunga
pula.
Pada waktu si lelaki berkerudung tadi melancarkan
serangan kearahnya dengan cepat ia putar badan, lalu
mencelat kesamping, kemudian diikuti oleh serangan
dahsyat menggulung keluar.
Dengan sebat si-tamu pencari bunga silangkan sepasang
tangan memmunahkan datangnya serangan lawan sedang
waktu itu keenam orang berbaju hitam lainnya sudah
bergerak menyerang Pek Thian Ki serta Hu Li Hun berdua.
Gerak-gerik keenam orang berbaju hitam itu laksana
banteng luka, serangan yang dilancarkan rata2 cepat
bagaikan kilat, tenaga pukulanpun luar biasa dahsyatnya,
seketika itu juga Pek Thian Ki serta Hu Li Hun kena
terdesak mundur sejauh tujuh delapan langkah lebih.
Pek Thian Ki membentak keras, pedangnya digetarkan
dengan membentuk serentetan cahaya tajam berturut-turut
mengirim dua serangan sekaligus.
Hu Li Hun pun membentak keras seraya mengirim satu
hajaran dahsyat. Seketika itu juga seluruh kalangan
dipenuhi dengan napsu membunuh yang menggidikkan
hati, sepuluh orang bertarung jadi satu dengan ramainya,
untuk beberapa saat sukar bagi masing2 pihak untuk
merebut kemenangan.
Kepandaian silat yang dimiliki Pek Thian Ki bertiga
betul2luar biasa sekali. Bayangan manusia menyambar
lewat, angin pukulan menderu-deru, suasana diliputi
dengan ketegangan.
Tiba-tiba. . . .
Suara jeritan ngeri berkumandang memecahkan
kesunyian, seorang lelaki berkerudung menemui ajalnya
dengan sangat mengerikan dibawah tusukan pedang Ciang
Liong Kiam dari Pek Thian Ki.
Waktu itu si lelaki berkerudung yang menyerang diri
sastrawan berusia setengah baya pun telah digencet oleh
lawannya, sehingga berada dalam keadaan berbahaya.
Tiba-tiba, si sastrawan setengah baya melancarkan suatu
serangan dengan tangan kanannya membabat wajah lelaki
berkerudung tersebut, serangannya cepat dan anehnya luar
biasa.
Agaknya si lelaki berkerudung itu sama sekali tidak
menduga kalau lawannya mempunyai kepandaian sebegitu
dahsyat dan lihaynya, melihat si sastrawan setengah baya
menyerang badannya, iapun mengirim satu serangan pula
menerima datangnya serangan lawan dengan keras lawan
keras.
Pada saat siorang berbaju hitam itu menerima datangnya
serangan lawan dengan keras lawan keras itulah, tangan kiri
dari si-tam pencari bunga sudah disapu kedepan.
"Braaaaak! Diikuti suara bentrokan keras, suara
dengusan berat bergema saling susul menyusul, terlihatlah
siorang berbaju hitam itu sambil muntahkan darah segar,
badannya mencelat ketengah udara kemudian terbanting
keatas tanah keras-keras.
Sekali terjang si-tamu pencari bunga itu sudah
mencengkeram tubuh lelaki berkerudung tersebut,
kemudian diangkat tinggi-tinggi keatas. Ketika itu juga
jeritan ngeri kembali berkumandang memenuhi ruangan,
seorang lelaki berkerudung kembali menemui ajalnya
dengan sangat mengerikan ditangan Pek Thain Ki.
Sedang pemuda itu sendiri juga terkena hajaran,
sehingga badannya mundur kebelakang dengan
sempoyongan.
Pada waktu itulah. . . .
Tiga sosok tubuh bayangan manusia berkelebat lewat,
dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari
busur menubruk kearah Pek Thian Ki, sedang angin
pukulan ber-sama2 menyapu keluar. Melihat kejadian itu,
si-tamu pencari bunga segera membentak keras.
"Tahan!"
Suara bentakan dari si-tamu pencari bunga ini keras
bagaikan ledakan halilintar disiang bolong, membuat
seluruh ruangan jadi berdengung dan orang-oran pada
mundur kebelakang dengan hati terperanjat.
"Siapa yang berani turun tangan terhadap dirinya, akan
kubunuh terlebih dahulu!" bentak si-tamu pencari bunga
dengan wajah penuh hawa napsu membunuh.
Beberapa patah perkataan yang diucapkan si-tamu
pencari bunga ini penuh diliputi hawa napsu membunuh,
membuat setiap orang yang mendengar merasakan hatinya
bergidik dan bulu roma pada bangun berdiri.
Sisanya empat orang berbaju hitam yang mendengar
perkataan tersebut sama-sama merasakan badannya
merinding dan memandang kearah si-tamu pencari bunga
itu dengan mata mendelong, ternyata tak seorangpun
diantara mereka yang berani turun tangan lagi.
Si sastrawan berusia setengah baya itu tertawa dingin,
sinar matanya perlahan-lahan dialihkan keatas wajah
simanusia berkerudung yang berada didalam
cengkeramannya.
"Siapakah sebenarnya kau orang ???" tanyanya dingin.
Pihak lawan cuma tertawa sinis, mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa. Diatas wajah si-tamu
pencari bunga perlahan-lahan terlintaslah hawa napsu
membunuh.
"Kau benar-benar tidak ingin berbicara?" bentaknya
dingin.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Kau tidak suka bicara, apakah kau anggap aku tidak
punya cara untuk paksa kau buka suara?" Habis berkata
tangan kanan si-tamu pencari bunga itu ditotokkan keatas
tujuh buah jalan darah kematian ditubuh lelaki berkerudung
tersebut dengan ilmu peretak tulang pembotot otot.
Begitu jalan darah kena ditotok, si lelaki berkerudung
hitam itu menjerit-jerit kesakitan seperti babi disembelih,
seluruh tubuhnya gemetar keras dan makin lama semakin
menyusut kecil. . . .
"Kau suka bicara tidak?" kembali si-tamu pencari bunga
membentak keras.
"Aku. . . . aku bicara!"
"Heeeee. . . .heeeee. . . heeeee. . . , aku masih
menganggap badanmu itu terbentuk dari besi baja." seru sitam
pencari bunga seraya tertawa congkak.
Tangannya segera berkelebat membebaskan orang itu
dari totokan jalan darahnya, kemudian bentaknya; "Siapa
kau? Ayoh jawab!"
Orang itu terengah-engah, setelah sedikit mengatur
pernapasan jawabnya;
"Aku. . .aku adalah Tiong. . . .Aduuuuuuhh. . . ." Belum
habis ia berkata, mendadak suara jeritan ngeri
berkumandang memenuhi seluruh ruangan, darah segar
muncrat keempat penjuru dan tahu-tahu siorang berbaju
hitam itu sudah menemui ajalnya.
Kejadian itu kontan saja menimbulkan rasa terkejut
didalam hati semua orang. Tiba-tiba. . . . .
"Heeee. . . .heeee. . . .heeee. . . barang siapa yang berani
membocorkan rahasia perguruan harus mati!" Serentetan
suara tertawa dingin berkumandang datang.
Suara tersebut jelas berasal dari seorang perempuan,
terlihat bayangan hitam berkelebat lewat ditengah ditengah
ruangan rahasia yang sunyi senyap muncul kembali sesosok
bayangan hitam.
Semua orang mendongak, dilihatnya seorang perempuan
berusia tiga puluh tahunan dengan wajah kaku, dingin dan
menyeramkan telah berdiri tegak disana.
"Heeee. . . heeee. . . heeee. . . .tidak kusangka ditempat
yang seram bagaikan dineraka ini masih ada seorang gadis
secantik kau, kejadian ini benar-benar merupakan suatu
peristiwa yang sukar dipercaya," seru si-tamu pencari bunga
sambil tertawa dingin.
"Siapa kau!"
"Si-tamu pencari bunga?"
"Ooooouw. . . .sungguh indah sekali gelarmu itu."
"Sedikitpun tidak salah, tolong tanya, siapakah dirimu?"
"Soal ini aku tidak ingin memberitahukan kepadamu,
justeru aku ingin minta pertanggungan jawab dari kalian
bertiga yang berturut-turut telah membinasakan empat
orang anak buah kami dalam ruangan ini."
"Siapa kau? Jikalau kau tidak menjawab bagaimana kami
bisa mempertanggung jawabkan persoalan ini?"
"Aku adalah salah seorang majikan dari rumah ini!"
"Apakah disamping itu masih ada majikan-majikan yang
lain?"
"Kemungkinan sekali ada!"
"Mengapa tidak suruh saja majikan kalian untuk keluar?"
"Karena kalian belum setimpal untuk menemui dirinya!"
"Jadi aku cocok jikalau berjumpa dengan kau?"
Perkataan yang bergandeng erat ini seketika itu juga
membuat perempuan berbaju hitam itu jadi malu, dan dari
rasa malu jadi gusar, air mukanya berubah hebat.
"Apakah kalian bertiga sudah tahu barang siapa yang
berani memasuki rumah ini, maka ia harus mati?"
"Tidak tahu!"
"Kalau begitu akan aku suruh kalian mengetahuinya."
Sembari berkata selangkah demi selangkah, ia berjalan
mendekati si-tamu pencari bunga.
Peristiwa dengan jelas sudah terbentang didepan mata,
rumah yang berbentuk aneh dan penuh diliputi
kemisteriusan ini tentu milik diri suatu perguruan tertentu.
Sedang perguruan tersebut dengan menggunakan rumah
aneh ini telah membunuhi habis jago-jago lihay dari dunia
kangouw termasuk sembilan jagoan pedang dari kolong
langit.
Pada waktu itu. . . .
Si perempuan berbaju hitam itu telah tiba kurang lebih
lima depa dihadapan si-tamu pencari bunga, mendadak ia
memandang sembari bertanya dengan nada suara yang
dingin;
"Kalian bertiga, hendak turun tangan bersama-sama,
ataukah satu persatu ???"
Si-tamu pencari bunga kembali tertawa dingin; "Begini
saja, mari kita orang mengadakan suatu pertaruhan!"
"Taruhan apa? Taruhan jurus serangan?"
"Benar, kita tetapkan hanya terbatas sampai sepuluh
jurus saja, jika aku kalah, maka kami bertiga rela menerima
hukuman darimu, sebaliknya jika kau yang kalah, maka kau
harus manjawab tiga buah pertanyaan yang aku ajukan."
"Apa pertanyaanmu?"
"Soal ini kau tidak perlu tahu, cuma seharusna kau tahu
tiga lembar nyawa kami hanya diganti dengan tiga buah
pertanyaan, sepatutnya kaulah yang beruntung."
"Sungguh-sungguhkah perkataanmu itu." tanya si
perempuan berbaju hitam itu dengan air muka berubah
hebat.
"Sedikitpun tidak salah."
"Apakah mereka berdua sama-sama setuju?"
"Aku rasa mereka bisa menyetujuinya." Sinar matapun
perlahan-lahan dialihkan keatas wajah Pek Thian Ki serta
Hu Li Hun, tanyanya; "Bagaimana menurut pendapat
kalian berdua?"
Dengan air muka berat Pek Thian Ki serta Hu Li Hun
mengangguk, mereka percaya kepandaian silat yang
dimiliki si-tamu pencari bunga ini jauh berada diatas
lawannya.
Setelah memperoleh persetujuan, Sasatrawan berusia
setengah baya itu, kembali menoleh kearah perempuan
berbaju hitam itu, tegurnya dingin;
"Mereka sudah menyetujui, kau boleh berlega hati."
"Bagus sekali, jikalau didalam sepuluh jurus kau berhasil
menemui kekalahan ditanganku, maka kalian bertiga harus
menurut hukuman yang aku jatuhkan tanpa membantah."
"Benar!"
"Kalau begitu, kita boleh segera bergerak?"
"Silahkan kau orang mulai turun tangan."
Sekali lagi siperempuan berbaju hitam itu melangkah
maju kedepan, sinar matanya memancarkan cahaya penuh
berhawa napsu membunuh melototi diri si-tamu pencari
bunga itu tanpa berkedip.
"Cabut keluar senjatamu!" bentaknya dingin.
"Tidak perlu."
"Kalau begitu, bagus sekali, silahkan saudara mulai turun
tangan!"
"Terhadap seorang perempuan secantik dirimu, aku
merasa sangat tidak tega untuk turun tangan jahat, lebih
baik. . . ."
"Bangsat! Kau sudah bosan hidup." Belum habis
perempuan berbaju hitam itu selesai berbicara, bayangan
hitam sudah menyambar lewat bagaikan anak panah yang
terlepas dari busurnya, menerjang diri si-tamu pencari
bunga itu, sebuah serangan dahsyat sudah menggulung
keluar.
Si perempuan berbaju hitam ini benar-benar merupakan
seorang jagoan yang memiliki kepandaian yang sangat
lihay, cukup ditinjau dari badannya yang mencelat kedepan,
sudah cukup mengejutkan hati setiap orang yang
melihatnya.
Buru-buru si-tamu pencari bunga angkat tangan kirinya
menghalau datangnya serangan tersebut, sedang tangan
kanan balas mengirim satu pukulan kemuka.
Bayangan manusia saling menyambar, masing-masing
pihak dalam waktu yang amat singkat telah saling bertukar
serangan sebanyak dua jurus, kecepatan geraknya membuat
orang lain susah untuk melihat jelas bagaimanakah jurus
serangan yang digunakan kedua orang itu.
Tangan kiri si sastrawan berusia setengah baya itu begitu
menyerang, siperempuan berbaju hitam itupun menangkis
dengan tangannya, dengan sebuah jurus bertahan yang
indah. Jelas mereka berdua telah menggunakan cara
bertempur adu jiwa untuk berusaha mengalahkan pihak
lawannya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pek Thian Ki menoleh dan memandang sekejap kearah
Hu Li Hun, dilihatnya wajah gadis itu hambar sedikitpun
tidak menunjukkan reaksi apapun, sinar matanya dengan
tajam memperhatikan ketengah kalangan dimana telah
berlangsung suatu pertarungan yang maha seru.
"Nona Hu !" tegur Pek Thian Ki lirih.
Suara teguran dari pemuda itu agaknya telah
menggetarkan hatinya, ia tersentak kaget kemudian alihkan
sinar matanya kearah sang perjaka.
"Ada urusan apa?" balik tanyanya.
"Aku ada satu persoalan yang saat ini hendak
kutanyakan kepadamu."
"Katakanlah!"
"Antara ibumu dengan Sam Ciat Sin-cun apakah benarbenar
ada hubungan yang erat?"
"Sudah tentu, dia adalah salah seorang isterinya!"
"Ibumu sudah mati?"
"Soal ini aku tidak bisa menjawab, Cuma aku boleh
beritahu kepadamu bahwa aku bukan dilahirkan oleh Sam
Ciat Sin-cun."
"Mengapa?"
"Menanti sepeninggal dari rumah aneh ini, aku bisa
memberitahukan persoalan ini kepadamu."
"Jadi saat ini kau tidak ingin menjawab seluruh
pertanyaanku?"
"Benar."
Agaknya Pek Thain Ki dibuat kecewa oleh jawabannya
itu, benar, hingga saat ini ia masih belum mengetahui halhal
yang pernah dialami Sam Ciat Sin-cun pada masa yang
lalu. Sebenarnya macam apakah orang itu?. . . .
Tiba-tiba. . . .
Suara bentakan keras berkumandang memenuhi
angkasa, tampak bayangan manusia saling berkelebat,
kedua orang itu kembali saling menyerang sebanyak
delapan jurus. Ditengah suara bentakan keras itulah tubuh
si-tamu pencari bunga itu kena dipaksa mundur lima enam
langkah kebelakang oleh serangan dari siperempuan berbaju
hitam itu, kejadian ini kontan saja membuat Pek Thian Ki
serta Hu Li Hun merasa sangat terperanjat.
Tiba-tiba, pada saat si-tamu pencari bunga itu
mengundurkan diri kebelakang itulah, tiba-tiba tubuh
siperempuan berbaju hitam itu berputar kencang, kemudian
laksana sambaran kilat menerjang maju kedepan.
Tapi si-tamu pencari bunga tidak ingin menunjukkan
kelemahannya, melihat perempuan itu berputar kencang
tangan kanannya dengan gerakan yang aneh tiba-tiba
menotok kedepan.
Agaknya siperempuan berbaju hitam itu sama sekali
tidak menduga kalau kepandaian silat yang dimiliki si-tamu
pencari bunga itu bisa sedemikian lihaynya, buru-buru ia
mengundurkan diri kebelakang.
Suara bentakan bergema memenuhi angkasa, kembali sitamu
pencari bunga tersebut mengirim satu pukulan
kemuka. Kepandaian silat yang dimiliki si-tamu pencari
bunga ini sekalipun digunakan untuk menghadapi tiga
orang perempuan berbaju hitam macam itupun mungkin
masih sanggup, apalagi hanya seorang, sudah tentu
kemenangan pasti berada ditangannya.
Dalam serangannya yang terakhir ini ia telah
menggunakan suatu serangan maut yang mematikan. Si
perempuan berbaju hitam itu mana mungkin bisa berhasil
menghindarkan diri dari datangnya serangan tersebut. . . .
"Breeeet. . .!" Pakaian dibagian dada dari siperempuan
berbaju hitam itu telah kena tersambar robek satu depa
lebih. Kain berwarna hitam hancur berkeping-keping dan
rontok keatas tanah, sehingga kelihatan kutangnya yang
berwarna merah.
"Maaaaf. . . maaf. . . terima kasih atas bantuanmu. . .
terima kasih! Terima kasih!"
Air muka perempuan berbaju hitam itu berubah pucat
pasi bagaikan mayat, keringat sebesar kacang kedelai
mengucur keluar membasahi keningnya, ternyata saking
kagetnya ia sudah lupa mengenakan kembali pakaiannya
yang hampir terbuka itu.
"Haaaaa. . . .haaaaa. . . haaaaa. . . apakah kau sudah
mengaku kalah?" ujar si-tamu pencari bunga sambil tertawa
terbahak-bahak.
Seluruh tubuh perempuan cantik berbaju hitam itu
gemetar keras bagaikan kena stroom bertegangan tinggi,
wajahnya pucat pasi bagaikan mayat.
"Tidak salah, aku sudah kalah, apa yang kau inginkan?"
"Ooooouw. . . mudah, mudah sekali, jawablah tiga
pertanyaan yang akan aku ajukan kepadamu!"
Perempuan cantik berbaju hitam itu kelihatan rada raguragu,
lama sekali ia baru bertanya;
"Pertanyaan apakah itu?"
"Pertama, siapakah majikan kalian."
"Kedua?" potong sang perempuan dengan cepat.
"Tahukah kalian rumah berbentuk aneh ini adalah
rumah kediaman dari Tiap Hoa Siancu?"
"Dan persoalan yang ketiga?"
"Dimana letaknya Loteng Genta?"
Ucapan 'Loteng Genta' yang diutarakan paling belakang
ini bukan saja membuat air muka siperempuan cantik
berbaju hitam berubah hebat, sekalipun Pek Thian Ki yang
ada disisi orang itupun ikut berubah wajah karena
kata2'Loteng Genta' baru untuk pertama kali ini ia dengar
disebut orang.
Apa kata-kata 'Genta' yang diucapkan siorang berbaju
hitam tadi sesaat menemui ajalnya adalah mengartikan
'Loteng Genta' ini? Tapi macam pengurung apakah Loteng
Genta itu?
Dengan perasaan hati bergidik siperempuan cantik
berbaju hitam itu berdiri mematung ditempat semula.
Melihat perempuan cantik tersebut belum juga memberi
jawaban barang sepatah katapun, si-tamu pencari bunga
kembali menegur dengan nada yang dingin.
"Cepat jawab ketiga buah pertanyaanku!"
"Heeee. . . .heeeee. . . heeee. . . sayang, sayang. . .
.sungguh sayang sekali diantara ketiga buah pertanyaanmu
tak sebuahpun bisa kujawab. . . ." sahut siperempuan cantik
berbaju hitam itu seraya tertawa hambar.
-0odwo0-
-0odwo0-
-0odwo0-
Jilid 13
Bab 37
BELUM selesai ia berkata, tangan kanannya mendadak
diangkat keatas kemudian dihajarkan keatas ubun-ubun
sendiri dengan suatu serangan yang dahsyat.
Kiranya perempuan berbaju hitam ini tidak ingin
memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan, maka ia mengambil keputusan dengan kematian
coba meloloskan diri dari penderitaan, Tidak aneh kalau
serangan yang barusan ia lancarkan dilakukan dengan
kecepatan laksana sambaran petir.
"Aaaaaaach. . .!" Pek Thian Ki sama sekali tidak
menduga akan perbuatan yang bakal dilakukan oleh
perempuan itu, saking kagetnya ia menjerit tertahan.
Lain halnya dengan si-tamu pencari bunga, agaknya ia
sudah menduga kesitu, selagi perempuan cantik berbaju
hitam ayunkan tangannya keatas tadi, tubuhnya dengan
kecepatan penuh telah berputar kemudian meluncur
kedepan.
Suara dengusan berat bergema memecahkan kesunyian
disusul dengan jeritan kaget yang melengking. Sewaktu
semua orang alihkan sinar matanya kembali ketengah
kalangan, tampak si-tamu pencari bunga masih tetap berdiri
ditempat semula dengan muka yang wajar, Lagak lagunya
mirip seseorang yang sama sekali belum pernah
menggerakkan badannya.
Sebaliknya, siperempuan cantik berbaju hitam itu berdiri
dalam sikap yang aneh tangan kanannya berhenti kaku
kurang lebih tiga cun diatas batok kepalanya sendiri. Ia
berdiri kaku disana dengan sepasang mata memandang
kearah si-tamu pencari bunga dengan penuh rasa kaget dan
bergidik.
"Heee. . . .heeeee. . . .heeeee. . . eeeei perempuan cantik,
tidak segampang itu manusia mencari kematian buat diri
sendiri. . .! jengek si-tamu pencari bunga dengan suara
dingin.
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan?" teriak
perempuan cantik itu kemudian. Nada ucapannya penuh
mengandung rasa jeri dan takut.
"Gampang, gampang. . . .jawab dulu ketiga buah
pertanyaan yang aku ajukan tadi! Eeeei. . .gimana?
Bukankah kita sudah saling berjanji sebelum bergebrak
tadi?"
"Sayang aku tak dapat menjawab pertanyaanmu itu."
"Apa? Apakah dengan nama besarmu Hek Mey Kwi
(Bunga Mawar Hitam) juga ingin ingkari janji sendiri?"
"Bagaimana kau bisa tahu, aku bernama si Bunga Mawar
Hitam? Siapa yang beritahu kepadamu?"
Perempuan cantik berbaju hitam itu sama sekali tidak
menyangka apabila pihak lawan bisa mengetahui nama
sebutannya, ia merasa terperanjat sehingga kentara diatas
wajahnya berubah menjadi pucat kehijau-hijauan.
"Apa yang perlu diherankan untuk mencari tahu
siapakah dirimu? Bukankah tebakanku tidak meleset?"
Dalam keadaan begini bukan saja peristiwa tersebut
membuat siperempuan cantik berbaju hitam itu jadi
terperanjat, bahkan Pek Thian Ki sendiripun merasa sedikit
heran dan tercengang, Ia tidak mengerti secara bagaimana
si-tamu pencari bunga ini bisa menebak dengan begitu
tepat.
Agaknya manusia ini mengetahui segala persoalan. . . .
tapi mirip pula seseorang yang apapun tidak mengerti, dia
betul-betul seoran manusia paling misterius.
Ketika itu. . . .
"Heeeee. . . .heeee. . . heeee. . . Kau suka menjawab
ketiga pertanyaanku tidak?" teriak si-tamu pencari bunga
diiringi suara tertawa dingin yang menyeramkan. "Apakah
kau benar-benar tidak suka dengan arak penghormatan dan
justeru mencari arak hukuman? Baik, baiklah! Bilamana itu
permintaanmu sendiri, terpaksa aku akan turun tangan keji
terhadap dirimu."
"Bangsat! Jangan banyak ngoceh lagi, jika kau punya
keberanian, ayoh cepat keluarkan tindakanmu yang keji!"
"Heee. . . heeee. . . heee. . . tindakanku sangat gampang
sekali dan aku rasa tidak perlu sampai mencabut nyawa."
seru si-tamu pencari bunga dengan dihiasi senyuman
misterius pada bibirnya, "Aku tidak ingin menyiksa
badanmu, tapi aku ingini dirimu. . ."
"Apa? Kau ingini diriku?"
"Benar, benar, benar eeeei. . .! Apakah kau lupa namaku
adalah si-tamu pencari bunga?"
Ucapan ini langsung memaksa air muka si bunga mawar
hitam berubah hebat, dengan perasaan terkejut ngeri, seram
dan takut ia pandangi wajah simanusia misterius ini tajamtajam.
Sebaliknya si-tamu pencari bunga mulai memperlihatkan
senyuman cabulnya, sembari selangkah demi selangkah
mendekati tubuh si bunga mawar hitam, ia cengar-cengir
kuda.
"Ooooo. . . .sungguh indah dan montok buah dadamu!
ehmmm. . .! Tentu padat dan kencang sekali. . . .akan
kucoba pegang dan meremas-remasnya. . . ."
Bagaikan perbuatan seorang penjahat pemetik bunga
yang kotor dan cabul, ia mulai menggerayangi tubuh si
bunga mawar hitam, terutama sekali yang dituju adalah
sepasang buah dadanya serta gerbang kenikmatan
perempuan tersebut.
"Tindakan apa yang kau hendak lakukan padaku?" teriak
si bunga mawar hitam penuh ketakutan.
"Aku. . . oooouw. . . bila dibicarakan sebetulnya terlalu
kasar, aku ingin melepaskan pakaianmu satu demi satu
sehingga akhirnya kau telanjang bulat. . ."
"Kau berani?" Jeritan perempuan itu makin histeris.
"Kenapa tidak berani? Eeee. . . heeee. . .heee. . .bila kau
ingin lihat beranikah diriku berbuat begitu, nah! Buktikan
sendiri saja nanti, setelah kutelanjangi dirimu sehingga tak
sehelai benangpun yang melekat dibadan. . .heee. . .heeee. .
.heeee. . . aku rasa sekalipun tak usah kuberitahukan, kau
sudah tahu sendiri bukan permainan serius apakah
selanjutnya bakal terjadi."
Beberapa patah kata ini sungguh membuat si bunga
mawar hitam bergidik dan gemetar keras, keringat dingin
mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, dari
perubahan wajah si-tamu pencari bunga, ia dapat menduga
apabila ancaman tersebut benar-benar bisa ia lakukan.
Pek Thian Ki pun mulai tertawa dingin tiada hentinya.
"Hey bunga mawar hitam, aku lihat lebih baik cepatcepatlah
kau mengaku terus terang, kalau tidak, maka yang
menderita rugi bakalnya kau sendiri. . . ."
Belum habis Pek Thian Ki berkata, mendadak suara
bentakan keras berkumandang memecahkan kesunyian;
"Bangsat terkutuk, benar-benar banyolanmu! Aku akan
adu jiwa dengan kalian." Diiringi suara bentakan keras,
bayangan hitam saling menyambar dengan kecepatan
penuh.
Tiga orang dari antara keempat orang lelaki berbaju
hitam yang ada disisi kalangan secara mendadak
melancarkan serangan berbareng mengancam si-tamu
pencari bunga.
Serangan yang dilancarkan ketiga orang itu benar-benar
dahsyat bagaikan menyambarnya guntur membelah bumi,
tiga orang dengan tiga gulung angin pukulan berhawa
sinkang yang luar biasa dahsyatnya bersama-sama
menghajar tubuh si-tamu pencari bunga.
"Kalian cari mati. . ." bentak si-tamu pencari bunga
penuh kegusaran.
Tubuhnya berputar kencang, dimana cahaya putih
menyambar lewat, tiga buah jeritan ngeri yang
menyayatkan hati berkumandang memenuhi angkasa,
ketiga orang lelaki berkerudung hitam yang barusan
melancarkan serangan kini pada roboh binasa semua diatas
tanah dalam keadaan sangat mengerikan.
Si-tamu pencari bunga masih tetap berdiri ditempat
semula dengan sikap yang tenang, wajahnya dingin kecut.
Melihat kelihayan ilmu silat yang dimiliki si-tamu pencari
bunga ini, Pek Thian Ki serta Hu Li Hun sama2
menyangka, bila orang itu sudah berhasil melatih ilmunya
hingga mencapai ketaraf yang tak terbayangkan.
Si-tamu pencari bunga tertawa ringan, perlahan-lahan ia
putar badan seraya berkata; "Kalian sendiri yang cari
kematian, apabila kamu semua tidak terlalu mendesak,
akupun belum tentu suka mencabut nyawa kalian. . ."
Rasa terkejut yang menimpa si bunga mawar hitam kali
ini membuat dia jadi bodoh, keringat dingin mengucur
keluar membasahi seluruh tubuhnya, nyalinya benar-benar
dibikin pecah oleh kedahsyatan ilmu silat yang dimiliki sitamu
pencari bunga simanusia misterius ini.
"Bunga Mawar Hitam, sebenarnya kau suka bicara atau
tidak?" bentak orang itu lagi dingin.
Seluruh tubuh si bunga mawar hitam gemetar keras,
akhirnya ia ambil keputusan. "Aku tak akan menjawab
pertanyaanmu itu!"
"Heee. . . .heee. . . .heee. . . .tidak mau menjawab ???"
seru si-tamu pencari bunga sambil tertawa dingin, tiada
hentinya, ia segera berpaling kearah Pek Thian Ki serta Hu
Li Hun. "Jikalau memang ia ngotot tidak mau menjawab,
terpaksa kalian berdua harus keluar sebentar dari sini!"
"Baik!"
Pertama-tama Pek Thian Ki berlalu terlebih dahulu
keluar pintu diikuti Hu Li Hun dibelakangnya. Setibanya
diluar ruangan, mendadak Hu Li Hun bertanya kepada diri
Pek Thian Ki;
"Pek Siauw-hiap, siapakah sebenarnya si-tamu pencari
bunga itu?"
"Entah! Aku sendiri juga tidak tahu."
"Kepandaian silat yang dimilikinya sangat mengejutkan
hati, sekalipun kepandaian silat Sam Ciat Sin-cun yang
didengungkan sebagai manusia paling lihay waktu itupun,
aku lihat hanya begitu saja."
Pek Thian Ki mengangguk.
"Eeeeei. . .!" tiba-tiba Hu Li Hun berpekik nyaring.
"Mungkinkah dia adalah. . . ."
"Siapa?"
"Sam Ciat Sin Cun?"
Hati Pek Thian Ki bergidik mendengar disebutnya nama
jago tersebut, serunya; "Kau maksudkan dia adalah si Sam
Ciat Sin Cun Kiang Lang ???"
"Maksudku mungkin dia adalah Kiang Lang ??"
"Tapi. . .bukankah dia sudah mati ??"
"Mati ?? Siapa yang membuktikan Kiang Lang sudah
mati ?? Apakah ada orang yang melihat dengan mata kepala
sendiri ??" bantah sigadis cepat.
Pek Thian Ki jadi melengak, lama sekali ia baru
menggeleng. "Aku rasa tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin ??"
"Jika dia adalah Sam Ciat Sin Cun, simanusia tersohor
itu tidak seharusnya Cu Hoa tidak mengenali dirinya,
karena senjata yang digunakan Cu Hoa yaitu tabung Sam
Ciat Tong adalah senjata andalan si Sam Ciat Sin Cun sejak
masa yang silam."
"Kau hanya berdasarkan hal tersebut lantas menganggap
hal ini tidak mungkin?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Kalau begitu kau salah besar!" ujar Hu Li Hun cepat.
"Kau tahu Cu Hoa tahun ini baru berusia berapa ?? Sedang
Sam Ciat Sin Cun sudah lenyap hampir delapan belas tahun
lamanya, secara bagaimana Cu Hoa bisa kenal dengan
dirinya ??? Mungkinkah semasa ia baru keluar dari
kandungan ibunya lantas kenal dengan simanusia kesohor
itu ??"
"Lalu dari manakah ia dapatkan senjata Sam Ciat Tong
itu ???"
"Mungkin sekali tempo dulu Sam Ciat Sin-cun telah
menghadiahkan senjata ini kepada seseorang, dan kebetulan
Cu Hoa adalah anak murid orang itu, kalau tidak orang ini
sebagai Sam Ciat Sin-cun kenapa tidak menarik kembali
senjata Sam Ciat Tong-nya ???"
Mendengar uraian tersebut, Pek Thian Ki mulai bisa
menangkap kebenaran dari ucapannya itu.
Sam Ciat Sin Cun adalah seorang jago yang memiliki
kepandaian silat amat lihay, kecuali dia, jagoan dari
manakah yang bisa memiliki ilmu silat sedahsyat itu ???
"Ada satu cara yang bisa kita gunakan untuk
membuktikan benarkah dia Sam Ciat Sin-cun atau bukan,"
ujar Hu Li Hun kembali.
"Apa caramu itu ??"
"Bawa orang itu pergi menemui ibuku!"
"Ooooouw. . . .ibumu Hu Bei San masih hidup ??"
Ketika Hu Li Hun merasa ucapannya terlanjur keluar
dan untuk menarik kembali sudah tidak sempat lagi,
terpaksa ia manggut. "Tidak salah, ibuku masih hidup."
Pek Thian Ki mulai berpikir keras, akhirnya iapun
mengangguk. "Ehmmm. . .benar, bila ia sungguh2 Sam Ciat
Sin-cun aku rasa ibumu tentu mengenali dirinya."
Pada saat itulah, riba-tiba. . . .
Suara jeritan kaget berkumandang keluar dari balik
ruangan rahasia, suara tersebut keras lagi tinggi melengking.
Kemudian disusul dengan suara bentakan keras dari si-tamu
pencari bunga;
"Kau suka bicara tidak ???"
"Baik, baik, aku. . . .aku bicara!" Suara sibunga mawar
hitam kedengaran gemetar, jelas ia telah dibuat ketakutan.
"Nah! Cepat katakan. . . pertanyaan pertama, siapakah
majikanmu ???. . ."
"Cong Loo Mo Li atau si Iblis Wanita dari Loteng
Genta!"
"Siapa namanya ???"
"Aku tidak tahu."
Suasana hening beberapa saat, kurang lebih seperminum
teh, kemudian terdengar suara si-tamu pencari bunga
berkata kembali;
"Baiklah, sekarang pertanyaan yang kedua, apakah
kalian tahu rumah yang kalian diami ini adalah tempat
tinggal Ui Mey Giok ???"
"Sedikitpun tidak salah, kita sudah tahu!"
"Dan ia masih berada didalam rumah ini ???"
"Benar, ia masih berada disini, Bangunan rumah ini
walaupun keliahatnnya tidak besar, tetapi dibangun sangat
kokoh dan sempurna."
"Siapa yang membangun rumah ini ???"
"Pertanyaan ini tidak termasuk didalam syarat yang telah
kita janjikan, aku tidak bisa menjawab."
Si-tamu pencari bunga berdiam sejenak, kemudia
bertanya lagi;
"Kau berani memastikan apabila dia masih berada dalam
rumah ini ???. . ."
"Benar!"
"Lalu dimanakah letak Loteng Genta tersebut ???"
"Puncak Gouw Cio Hong gunung Ciang Gouw San. . ."
Belum habis si Bunga Mawar Hitam berbicara, mendadak. .
.
Suara kaki yang ramai memecahkan kesunyian dan
makin lama bergerak semakin dekat. Mendengar suara itu
Pek Thian Ki merasa terperanjat, dengan sebat ia berpaling
kebelakang. Dilihatnya dua sosok bayangan hitam tahutahu
sudah muncul dibelakang tubuhnya.
"Siapa?" bentak sang pemuda keras-keras.
"Aku! Eeeeii, Pek Siauw-hiap dimanakah si-tamu pencari
bunga itu?"
Dengan pandangan tajam Pek Thian Ki alihkan sinar
matanya kearah mana berasalnya suara tersebut, tiba-tiba
hatinya tergetar keras.
Kiranya orang yang barusan datang bukan lain adalah
Cu Hoa serta si Sin Si-poa dua orang. Munculnya Sin Sipoa
secara mendadak disana jauh berada diluar dugaan Pek
Thian Ki, untuk sesaat ia berdiri tertegun ditengah
kalangan.
"Kemana orang itu?" terdengar Cu Hoa menegur dengan
nada cemas.
"Ada apa?"
"Cari balas dengan dirinya, jikalau bukan Sin Si-poa
loocianpwee keburu datang, bukankah aku harus berbaring
entah sampai kapan ditempat luaran?"
Pek Thian Ki tertawa, ia segera maju kedepan untuk
memberi hormat kepada diri Sin Si-poa, ujarnya;
"Aku dengar Cu-heng mengatakan bahwa loocianpwee
mengundang diriku. . ."
"Benar!" Belum habis pemuda itu menyelesaikan katakatanya
si Sin Si-poa sakti sudah memotong, "Setelah aku
mengundang dirimu, lantas terpikir didalam benakku
apabila kau tak mungkin datang menemui diriku karena
ingin menyelidiki keadaan dari bangunan rumah ini, maka
dari itu terpaksa aku datang sendiri kemari."
Ia merandek sejenak, lalu berpaling kearah Hu Li Hun dan
sambungnya lebih lanjut: "Nona Hun, barang yang pernah
kau minta ramalkan apakah sudah ketemu?"
Hu Li Hun kelihatan agak tertegun.
"Tidak salah, sudah kutemukan. . ." Mendadak air
mukanya berubah hebat, sambungnya: "Oooouw. . .
sekarang aku paham sudah, sewaktu kau jatuh dari atas
pohon digunung Lui Im San tempo dulu dan kuterima
dengan tangan, menggunakan kesempatan tersebut kau
telah curi suratku, bukankah begitu?"
"Sedikitpun tidak salah, oleh karena itu sengaja aku
datang kemari untuk minta maaf!"
"Siapakah sebenarnya kau?" teriak Hu Li Hun dengan air
muka berubah hebat.
"Eeeei. . . lucu sekali, aku adalah Sin Si-poa!"
"Loocianpwee!" ketika itulah Pek Thian Ki menyela dari
samping setelah sinar matanya menyapu sekejap seluruh
ruangan. "Kau mencari diriku entah ada urusan apa?"
"Bukankah kau ingin mengetahui asal-usulmu?"
"Tidak salah. . ." Belum lagi Pek Thian Ki
menyelesaikan kata-katanya, mendadak suara jeritan ngeri
berkumandang keluar dari balik ruangan rahasia.
Mendengar jeritan yang menyayatkan hati tersebut, air
muka semua orang yang hadir didalam kalangan pada
berubah hebat.
Pek Thian Ki segera enjotkan badannya mencelat masuk
kedalam ruangan rahasia, sinar matanya dengan tajam
menyapu sekejap suasana diseluruh ruangan. Dilihatnya si
Bunga Mawar Hitam tergeletak diatas tanah dengan
benaknya hancur berantakan, darah menggenangi
permukaan lantai.
Air muka Pek Thian Ki kontan berubah hebat.
"Mengapa kau bunuh perempuan ini?" bentaknya keras.
Dengan termangu-mangu si-tamu pencari bunga alihkan
sinar matanya keatas wajah Pek Thian ki, sedangkan
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
"Cianpwee! apakah kau tidak merasa bahwa tindakanmu
barusan terlalu keji dan telengas?" kembali Pek Thian Ki
membentak keras. "Setelah ia menjawab kedua
pertanyaanmu, tidak seharusnya kau turun tangan sekeji ini
untuk mencabut nyawanya!"
"Siapa yang bilang perempuan ini mati ditanganku ???"
seru si-tamu pencari bunga dingin.
Oleh pertanyaan ini gantian Pek Thian Ki yang dibikin
melengak.
"Apakah ia bunuh diri dengan menghajar batok
kepalanya sendiri?" tanyanya setelah ragu2 sejenak.
"Tidak salah!"
Bab 38
SINAR MATA si-tamu pencari bunga segera diarahkan
keatas wajah silelaki berkerudung hitam yang tinggal satusatunya
hidup itu, bentaknya dingin;
"Kau masih belum mau menggelinding pergi?" Suara
bentakan yang nyaring dan keras kontan menyadarkan
kembali lelaki berbaju hitam itu dari rasa kaget serta
takutnya, belum sempat ia lari terdengar si-tamu pencari
bunga kembali membentak;
"Cepat enyah dari sini dan beritahu kepada majikanmu,
katakan saja dalam satu bulan kemudian aku si-tamu
pencari bunga pasti akan datang mencari dirinya, Sekarang
cepat gelinding pergi!"
Bagaikan seekor anjing yang kena digebuk, dengan sipat
kucing lelaki berkerudung itu melarikan diri terbirit-birit
dari sana. Menanti orang itu sudah berlalu, Pek Thian Ki
maju kedepan siap minta maaf atas kekasarannya tadi, tapi
belum sempat ia berbuat sesuatu, Cu Hoa sudah meluncur
kedepan.
"Oooouw. . . .saudara, sungguh keren benar gayamu!"
jengeknya dingin.
Sinar mata si-tamu pencari bunga dengan tajam
menyapu sekejap keatas wajah Cu Hoa, kemudian
dialihkan keatas wajah Sin Si-poa. Melihat munculnya
orang terakhir inilah, mendadak air mukanya berubah
hebat;
"Oooouw. . . kiranya kau!"
"Tidak salah, memang aku adanya, Sekarang kau boleh
kembalikan senjata Sam Ciat Tong kepadaku." seru Cu Hoa
penuh kegusaran.
"Haaa. . . .haaa. . . .haaa. . . .kiranya kau datang hanya
bermaksud minta kembali senjata Sam Ciat Tong tersebut. .
. ." si-tamu pencari bunga tertawa dingin.
"Tidak salah, cepat serahkan senjata Sam Ciat Tong itu
kepadaku."
"Tunggu sebentar!"
"Bagaimana? Kau tidak suka serahkan kembali senjata
itu kepadaku? Heee. . .heee. . .heee. . .aku rasa sejak jaman
dahulu kala belum pernah ada orang yang sengaja
merampas senjata milik orang lain. . ."
"Perkataanmu memang merupakan kenyataan, cuma
keadaan sedikit teristimewa, aku ingin periksa dulu apakah
senjata Sam Ciat Tong ini sungguh-sungguh asli atau palsu
belaka. . . ."
"Apa kau kata?"
"Akan kuperiksa senjata Sam Ciat Tong ini asli atau
palsu."
"Apa mungkin senjata Sam Ciat Tong ada yang palsu?"
"Soal ini sih susah dikatakan."
"Kentut makmu!" Cu Hoa tak dapat menahan diri lagi, ia
mulai naik pitam.
"Oooooouw. . . .oooouw. . . .usia masih muda, kalau
bicara tahulah sedikit kesopanan, hati-hati nanti aku perseni
beberapa tamparan buat pipimu yang licin itu," seru si-tamu
pencari bunga tersebut tertawa.
"Bangsat, Sebenarnya kau suka mengembalikan senjata
Sam Ciat Tong-ku atau tidak?"
"Sudah tentu akan kukembalikan senjata ini padamu,
tapi bukan sekarang."
Air muka Cu Hoa berubah semakin hebat, Bentaknya;
"Kau sungguh-sungguh tidak mau mengembalikan
senjataku, kurang ajar, bangsat, aku adu jiwa dengan
dirimu. . ."
Dalam keadaan amat gusar sehingga sukar dikendalikan,
tidak menanti ucapannya selesai diucapkan, telapak tangan
dengan disertai suatu hawa pukulan yang dahsyat segera
menyapu kearah tengkuk si-tamu pencari bunga.
"Tahan!" teriak si-tamu pencari bunga cepat, tangan
kanannya diayun keatas mengunci datangnya serangan
lawan.
Tangkisan tersebut benar-benar luar biasa akibatnya,
tubuh Cu Hoa kena terpukul mental, sehingga mundur
tujuh delapan langkah kebelakang dengan sempoyongan.
"Apa yang kau kehendaki?" teriak Cu Hoa sambil kertak
gigi kencang-kencang.
Belum lagi si-tamu pencari bunga berbicara, Pek Thian
Ki keburu sudah maju melerai, kepada si manusia misterius
itu, ujarnya;
"Cianpwee, kembalikan senjata Sam Ciat Tong tersebut
kepadanya. . .!"
Si-tamu pencari bunga kerutkan alisnya rapat-rapat, ia
berpikir sejenak, kemudian mengangguk;
"Baiklah, aku akan serahkan kembali senjata ini
ketanganmu, Cuma aku harus berbicara terlebih dahulu,
lain kali lebih baik kau jangan secara sembarangan
menggunakan senjata lihay Sam Ciat Tong Ini." Sembari
berkata ia serahkan kembali senjata Sam Ciat Tong tersebut
ketangan Cu Hoa.
Tindakan yang dilakukan si-tamu pencari bunga ini
agaknya jauh diluar dugaan Cu Hoa, hal ini membuat ia
jadi berdiri tertegun, Lama sekali gadis ini angsurkan
tangannya untuk menerima senjata Sam Ciat Tong tersebut.
Setelah si-tamu pencari bunga mengembalikan senjata
Sam Ciat Tong itu ketangan Cu Hoa, sinar matanya lantas
dialihkan keatas wajah Sin Si-poa.
"Saudarakah yang disebut Sin Si-poa?" tanyanya diiringi
suatu senyuman.
"Benar. . . akulah Sin si-poa!"
"Sebenarnya aku ingin pergi menjumpai dirimu. . ."
Tetapi belum selesai si manusia misterius ini
menyelesaikan kata-katanya, Pek Thian Ki tiba-tiba
menimbrung dari samping. "Cianpwee Sin Si-poa, aku ingin
menanyakan satu urusan dengan dirimu!"
"Urusan apa?"
"Pernahkah kau berjumpa dengan Sam Ciat Sin Cun?"
Maksud Pek Thian Ki bertanya demikian, sudah tentu
dikarenakan ia menaruh curiga si-tamu pencari bunga
bukan lain adalah Sam Ciat Sin Cun. Semisalnya Sin Si-poa
pernah berjumpa dengan Sam Ciat Sin-cun, ini berarti ia
dapat pula membuktikan si-tamu pencari bunga sebenarnya
adalah Sam Ciat Sin-cun atau bukan.
Oleh datangnya pertanyaan tersebut, Sin Si-poa dibuat
agak melengak. "Benar, aku pernah berjumpa beberapa kali
dengan Sam Ciat Sin-cun. . ." sahutnya seraya mengangguk.
"Peristiwa itu sudah terjadi berapa lama?"
"Ehmm. . .!" si Sin Si-poa sakti berpikir sejenak untuk
mengingat-ingat kembali peristiwa yang telah terjadi dimasa
lampau. "Kurang lebih delapan belas tahun berselang!"
"Dimana?"
"Istana Perempuan!"
"Kau mengetahui asal-usul serta kejadian yang
menyangkut diri Sam Ciat Sin-cun pada masa yang lalu?"
timbrung si-tamu pencari bunga tiba-tiba dari samping.
"Sedikitnya banyak juga tahu!"
"Lalu tahukah kau sebelum Sin Mo Kiam Khek datang
menyewa rumah ini, ia telah pergi menemui siapa?"
"Soal ini sudah tentu aku tahu."
"Siapa? Siapa yang telah ditemui Sin Mo Kiam Khek?"
"Hu Bei San!"
Pek Thian Ki kontan melengak setelah mendengar
disebutkannya nama orang itu, karena Hu Bei San adalah
ibu kandung dari Hu Li Hun.
"Ia pergi menjumpai Hu Bei San?" serunya tercengang.
"Tidak salah!"
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" seru Pek Thian Ki
rada melengak. "Kau anggap aku dengan Sam Ciat Sin-cun
bisa mempunyai hubungan apa?"
"Menganggap kau sebagai murid Sin Mo Kiam Khek
juga merupakan putra dari Kiang Lang."
Hati Pek Thian Ki tergetar keras, dengan hati bergidik ia
melototi wajah Sin Si-poa tajam-tajam, lalu dengan nada
gemetar ujarnya;
"Aku sudah membuktikan apabila aku adalah murid Sin
Mo Kiam Khek."
"Kalau begitu kau adalah Kiang To."
Dalam keadaan seperti ini jantung Pek Thian Ki bergetar
keras, ia merasa tegang dan tercengang, Karena Sin Si-poa
sudah membuktikan apabila dia adalah putra dari Sam Ciat
Sin-cun Kiang Lang yang bernama Kiang To. Lalu,
bagaimana keadaan yang sebenarnya dari peristiwa ini ??"
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" Tak tahan lagi
dengan badan gemetar ia bertanya.
"Peristiwa ini amat panjang kalau diceritakan."
"Sekarang kita mempunyai banyak waktu untuk
berbicara, kau berceritalah lambat-lambat." sela Si tamu
pencari bunga.
Sebelum mulai berbicara Sin Si-poa berpaling dahulu
kearah si-tamu pencari bunga, lalu bertanya; "Bolehkah aku
mengetahui dahulu siapakah nama saudara ??"
"Soal ini aku rasa tidak penting, lebih baik tak usah kita
ungkap-ungkap lagi."
Sin Si-poa langsung kerutkan dahinya, melihat orang tua
itu tak mau mengaku siapakah namanya, tetapi ia tidak
mendesak lebih jauh.
"Menurut berita yang kudengar, sejak kecil Kiang lang
telah kehilangan kedua orang tuanya. . . Kecuali dia, Kiang
Lang masih mempunyai seorang adik yang bernama Kiang
Ing, Cuma hal ini hanya kabar dan berita belaka,
sebenarnya adakah manusia yang bernama Kiang Ing,
orang tak ada yang pernah menjumpainya. Hanya. . ada
beberapa orang yang membuktikan apabila Kiang Ing
sebetulnya ada, bahkan yang memberitahu urusan ini
kepadaku pun orang kepercayaan Kiang Lang sendiri yang
bernama Sah Hoa So (Tangan Pencabut Bunga). . ."
"Apakah antara lenyapnya Sam Ciat Sin-cun mempunyai
sangkut paut yang erat dengan Kiang Ing?" tak tertahan Pek
Thian Ki menimbrung ditengah jalan.
"Tidak salah peristiwa ini justeru punya sangkut paut
yang erat dengan orang ini." sahutnya, ia merandek
sebentar lalu sambungnya lebih jauh; "Kiang Ing lebih kecil
dua tahun dari Kiang Lang, menurut apa yang kudengar,
Kiang Ing mempunyai potongan badan yang menarik
dengan wajah yang ganteng, kedahsyatan ilmu silatnya
tidak berada dibawah kelihayan Kiang Lang, bahkan
mungkin jauh lebih tinggi dari kepandaian kakaknya. Tetapi
selama ini Kiang Ing sangat jeri terhadap kakaknya Sam
Ciat Sin-cun. . . saking takutnya sehingga kekasih yang
dicintaipun rela diberikan buat engkohnya, Sam Ciat Sin
Cun Kiang Lang."
"Oooouw. . . ada kejadian seperti ini?" kembali Pek Thian
Ki berseru tertahan.
"Tidak salah!"
"Hmmm! Teruskan," ujar si-tamu pencari bunga dingin.
Sin Si-poa berpikir sebentar, lalu lanjutnya;
"Katanya peristiwa tersebut terjadi karena Kiang Ing
mempunyai dua orang kekasih, yang satu adalah seorang
perempuan misterius dan merupakan pula kekasih Kiang
Lang dalam pandangan pertama. Siapakah perempuan itu,
hingga detik ini tak ada yang tahu, yang jelas dia adalah
kekasih Kiang Ing, tapi dicintai pula oleh Kiang Lang,
engkohnya. . . ."
"Dan akhirnya Kiang Ing serahkan kekasihnya buat
Kiang Lang?" sela Pek Thian Ki kembali.
"Benar, ia berikan kekasihnya buat Kiang Lang, tetapi
sejak peristiwa itu pula, Kiang Ing lenyap dari peredaran
dunia persilatan. . . sudah tentu hal ini hanya kudengar dari
desas-desus belaka. Tetapi, Kiang Lang pun akhirnya tidak
berhasil mendapatkan siperempuan misterius itu,
perempuan itu telah meninggalkan dirinya entah pergi
kemana karena yang dicintai perempuan misterius tersebut
sebenarnya adalah Kiang Ing, bukan engkonya Kiang Lang.
Kepergian siperempuan misterius itu memberikan pukulan
bathin yang sangat berat bagi diri Kiang Lang, hal ini
membuat ia patah hati dan selalu bersedih.
Sejak saat itulah dalam penghidupannya telah terjadi
perubahan yang sangat besar, hampir boleh dikata ia tidak
pandang sebelah matapun terhadap kaum wanita, dengan
kelihayan serta kegagahannya pada waktu itu, ia berhasil
membangun Istana Arak, Istana Perempuan serta Istana
Harta.
Tetapi wataknya yang suka menyendiri itu tidak bisa
terhindar, sering menyalahi banyak orang pula.
Sebelum ketiga buah Istana itu selesai dibangun, kembali
Kiang Lang jatuh cinta pada perempuan kedua yang benarbenar
menarik hatinya, perempuan tersebut adalah Tiap
Hoa Sian Cu Ui Mey Giok.
Sungguh sayang Ui Mey Giok juga tidak mencintai dirinya.
. . .didalam lautan cinta, agaknya Sam Ciat Sin-cun adalah
seorang yang tidak beruntung, karena perempuan kedua
yang dicintainya ini kebetulan sekali merupakan kekasih
dari adiknya Kiang Ing pula. . . ."
"Ooooouw. . . . demikian kebetulan?" seru Pek Thian Ki
tertegun.
"Benar, justeru dikolong langit ada kejadian sedemikian
kebetulan, dua orang kakak beradaik pada saat yang
bersamaan berbareng mencintai dua orang perempuan yang
sama, Untuk kedua kalinya Kiang Ing menyerahkan Tiap
Hoa Sian Cu Ui Mey Giok untuk Kiang Lang!"
"Mengapa Kiang ing bisa berbuat pekerjaan setolol itu?
Apakah ia tidak mencintai kedua orang gadis tersebut?"
tanya si pemuda.
"Tidak, ia mencintai kedua orang gadis tersebut, hanya
saja ia jeri terhadap engkohnya, maka apa yang diminta
engkohnya, lantas diberikan semua kepadanya, bahkan
termasuk nyawanya sendiri.
Tetapi sewaktu Tiap Hoa Sian-cu kawin dengan Kiang
Lang, didalam perutnya telah mengandung darah daging
dari Kiang Ing, tentang soal ini agaknya sepanjang masa
Kiang Lang tak bakal tahu.
Ketiga orang isteri lainnya adalah Giok, Cui, Hoa, tiga
orang wanita cantik yang rata-rata merupakan jago lihay
dari kalangan Bu-lim, asal-usul dari ketiga orang gadis ini
jarang sekali ada orang yang tahu. . . ."
"Lalu secara bagaimana pula Hu Bei san bisa kawin
dengan Kiang Lang. . . ." tanya Pek Thian Ki mendadak."
"Kena dipaksa."
"Dipaksa? Siapa yang paksa dia untuk kawin dengan
Kiang Lang?"
"Hu Bei San adalah adik perempuan dari Hu Toa Kan,
sedangkan Hu Toa Kan dengan Sam Ciat Sin-cun agaknya
merupakan sepasang sahabat karib. . . ."
"Bagaimana dengan penyelesaian ucapanmu ini?"
"Hu Toa Kan bisa tersohor diseluruh dunia persilatan hal
ini dikarenakan memperoleh bimbingan serta bantuan dari
Kiang Lang, atau dengan perkataan lain, dia adalah orang
kepercayaan dari Sam Ciat Sin-cun, tetapi Hu Toa Kan
berpandangan lain terhadap diri Kiang Lang.
Mungkin kepandaian silat yang lihay dari Kiang Lang
membuat ia dengki, iri dan takut.
Waktu itu menurut kabar selentingan mengatakan Sam Ciat
Sin-cun Kiang Lang telah memperoleh sebuah peta mustika
'Hiat Wu Toh'(Peta Rumah Berdarah), itulah sebuah peta
dari sebuah rumah kecil berwarna merah, didalam rumah
mustika tadi tersimpan seluruh kitab pusaka hasil jeri payah
'Hiat Mo Hoa' semasa hidupnya.
Oleh karena itu Hu Toa Kan paksa adiknya kawin dengan
Kiang Lang, kemudian mencari kesempatan untuk mencuri
peta mustika tersebut. Tapi, sebelum Hu Bei San
dikawinkan dengan Kiang Lang, ia sudah punya kekasih
terlebih dahulu, akhirnya kekasihnya ini lenyap tak
berbekas dan hingga kini tidak ketahui kemana ia telah
pergi!
Pada waktu itu sipemilik Istana Harta, Giok Mey Jin telah
mengandung dan sembilan bulan kemudian lahirlah
seorang bayi lelaki yang diberi nama Kiang To!
Tidak lama setelah Kiang To dilahirkan, mendadak Kiang
Ing munculkan dirinya datang mencari Kiang Lang. . . ."
"Apa maksudnya ia datang mencari Kiang Lang?"
kembali Pek Thian Ki bertanya.
"Tentang soal ini aku sih kurang tahu, cuma, sejak Kiang
Ing meninggalkan tempat itu mendadak perasaan Kiang
Lang tidak tenang, ia mengumpulkan kesembilan orang
kawan akrabnya 'Sembilan Jago Pedang dari Kolong Langit'
untuk merundingkan sesuatu, kemudian jejaknya lenyap tak
berbekas. . "
Ia sudah pergi kemana?"
"Tak seorang manusiapun yang tahu ia pergi kemana,
mulai detik itulah Kiang Lang tak pernah munculkan
dirinya lagi didalam dunia persilatan, Sejak lenyapnya
Kiang Lang, tiga hari kemudian rumah kediaman mereka
'Im San Piat Yen' mendadak kebakaran dan memusnahkan
seluruh bangunan tersebut dalam sekejap mata.
Waktu itu sembilan jago pedang dari kolong langit sedang
bertamu didalam perkampungan Im San Piat Yen, ditengah
kobaran api yang sangat dahsyat, beruntung sembilan
jagoan pedang tidak mati, tetapi Giok, Cui serta Hoa tiga
orang wanita cantik sama2 terkubur dalam puing2 yang
berserakan."
"Mereka mati semua?" seru Pek Thian Ki dengan hati
bergidik.
"Benarkah mereka mati semua, rasanya tak seorangpun
yang berani memastikan, tetapi kecuali sembilan jago
pedang dari kolong langit, tak seorang manusiapun yang
berhasil meloloskan diri dari kobaran api tersebut."
"Tapi, secara bagaimana Tiap Hoa Sian-cu Ui Mey Giok
bisa tetap hidup dikolong langit?"
"Siapa yang bilang Ui Mey Giok masih hidup?"
Ditempat suara bentakan tersebut sinar mata Sin Si-poa
dengan penuh mengandung rasa curiga dialihkan keatas
wajah Pek Thian Ki, agaknya ia dibikin terperanjat oleh
ucapan tersebut.
"Kami juga dengar orang berkata bahwa si Tiap Hoa
Sian-cu masih hidup dikolong langit." sambung si-tamu
pencari bunga buru-buru.
"Hal ini tidak mungkin terjadi, menurut apa yang
kudengar tempo dulu, kecuali Hu Bei San telah kembali
kegunung Lui Im San terlebih dahulu keempat orang
perempuan yang berada didalam perkampungan tersebut
tak seorang pun yang berhasil meloloskan diri dari
kematian, diantara keempat orang perempuan itu termasuk
Tiap Hoa Sian-cu juga."
"Siapa yang melepaskan api untuk membakar
perkampungan tersebut?" tanya Pek Thian Ki.
"Seseorang. . . ."
"Kiang Ing?"
"Bukan, Kiang Lang. . ."
"Apa? Kiang Lang yang melepaskan api untuk
membakar perkampungan Im San Piat Yen-nya? Hal ini
mana mungkin?"
"Mungkin, mungkin. . . segala sesuatu ada kemungkinan,
karena lenyapnya Kiang Lang justeru sedang
mempersiapkan rencana busuk ini, karena pada waktu itu
ada orang yang mendengar seseorang berteriak keras. . .
Kiang Lang, kau sungguh berhati keji. . ."
"Jika demikian adanya, aku adalah dilahirkan oleh Giok
Mey Jin ??. . ." desak Pek Thian Ki lebih jauh.
"Sedikitpun tidak salah."
"Secara bagaimana aku bisa lolos dari kematian ??"
"Kau ditolong oleh Sin Mo Kiam Khek Pek Thian Ki
dari atas pembaringan."
Pek Thian Ki berdiam diri untuk berpikir beberapa saat
lamanya, sejurus kemudian ia berkata kembali; "Jika begitu,
aku benar keturunan dari Kiang Lang ??"
"Tidak salah!"
"Setelah ayahku membinasakan mereka dengan tindakan
yang keji, apa yang terjadi selanjutnya ??"
"Ayahmu Kiang Lang dibunuh oleh Kiang Ing."
"Apa kau kata ??"
"Berita ini hanya kudengar dari cerita orang, katanya
setelah peristiwa berdarah tersebut Kiang Ing berhasil
menemukan Kiang Lang, diantara mereka berdua segera
terjadilah suatu pertarungan berdarah yang amat seru, sejak
itulah mereka berdua sama-sama lenyap dari keramaian
dunia persilatan."
"Kalau begitu mereka sudah mati semua?"
"Benar, mungkin mereka berdua sama-sama menderita
luka parah didalam pertarungan tersebut."
Pada saat itu. . . .
"Loocianpwee!" tiba-tiba Hu Li Hun menimbrung. "Tadi
kau mengatakan bahwa pada tahun yang lalu sebelum Sin
Mo Kiam Khek datang kemari untuk menyewa rumah ini,
ia telah pergi menjumpai ibuku?"
"Benar."
"Tapi, agaknya aku tidak melihat seorang manusiapun
yang datang mencari ibuku. . ."
"Bagaimana kau bisa tahu? Mungkin sekali, waktu ia
datang mengunjungi ibumu kebetulan kau sedang tidak ada
dirumah?"
"Ehmm. . . memang ada kemungkinan."
Suasana untuk sesaat jadi sunyi senyap, saking sepinya
hingga hanya terdengar suara detakan jantung masingmasing
orang.
Lama sekali, Pek Thian Ki sesudah termenung sebentar
mendadak bertanya; "Cianpwee, kenapa Sembilan Jago
Pedang dari Kolong Langit secara beruntun datang
menyewa rumah ini?"
"Tentang soal ini aku sih kurang tahu."
Kisah yang terjadi pada masa yang silam telah selesai
dibicarakan, akhirnya Pek thian Ki berhasil membuktikan
bahwa dia punya hubungan yang sangat erat dengan Sam
Ciat Sin-cun Kiang Lang.
Dia adalah putranya. KIANG TO !!!
Suatu peristiwa yang mengerikan telah berakhir. . . kedua
orang tuanya sudah mati semua, si pembunuh ayahnya
Kiang Ing pun sudah mati.
Ia mulai merasa sedih, pedih dan berpilu hati buat asal-usul
yang mengenaskan ini. . . .
Sekonyong-konyong. . . .
"Pek Thian Ki," seru Cu Hoa memecahkan kesunyian.
"Setelah aku berhasil membuktikan bahwa kau adalah anak
murid Sin Mo Kiam Khek, seharusnya aku pun
menyerahkan semacam benda kepadamu. . ."
"Benda apa ???"
"Barang yang dititipkan ayahmu kepada kami!"
"Jadi kau sungguh-sungguh adalah majikan Istana
Harta?" Tidak kuasa lagi Pek Thian Ki berseru.
"Benar, Nah! Ambillah barang ini."
Sinar mata Pek Thian Ki dengan tajam menyapu sekejap
benda yang berada ditangan Cu Hoa, sebentar kemudian ia
sudah berseru tertahan, hatinya bergetar sangat keras.
Kiranya benda yang diserahkan Cu Hoa kepadanya
adalah sebuah kantong sutera, kantong sutera itu mirip
bahkan tiada bedanya dengan kantong yang diberikan Tong
Yong anak murid Ciang Liong Kiam Khek kepadanya
tempo dulu.
Setelah menerima kantong sutera itu, Pek Thian Ki
segera membuka dan melihat isinya. Ternyata isi dari
kantong itu hanya sehelai kertas yang disulami dengan
benang merah serta benang hitam.
"Inilah salah satu bagian dari peta Rumah Berdarah!"
seru pemuda itu tak tertahan lagi.
"Tidak salah, itulah salah satu bagian dari peta rumah
berdarah!" ujar Sin Si-poa membenarkan.
Pada saat itu. . . .
Mendadak si-tamu pencari bunga mendongak dan
tertawa terbahak-bahak. "Haaaaa. . . .haaaaa. . . .haaaaa. . .
.Sin Si-poa, aku dengar ramalanmu sangat cocok sekali!"
"Aaaach. . . saudara terlalu memuji!"
"Dapatkah aku minta petunjuk tentang satu urusan
dengan diri saudara. . . .?"
"Urusan apa?"
"Mengapa kau mengetahui begitu jelas persoalan yang
menyangkut diri Sam Ciat Sin-cun?"
"Aku mencari tahu dari mulut kawan-kawanku."
"Sin Si-poa!" Kembali si-tamu pencari bunga tertawa.
"Apa yang kau ceriterakan hanyalah kisah secara garis
besarnya saja."
"Secara garis besar saja?"
"Ehmmm. . . bukan saja secara garis besarnya saja,
bahkan ada banyak perkataan yang tidak cocok dengan
kenyataan."
"Apakah kau mengetahui peristiwa ini jauh lebih jelas
lagi?"
"Benar!"
Sin Si-poa langsung saja dibuat melengak, lama sekali ia
berdiri tertegun. "Kalau begitu coba kau ceritakan."
Kini, semua sinar mata para jago yang hadir diruangan
tersebut bersama-sama dialihkan keatas wajah si-tamu
pencari bunga, agaknya peristiwa ini sangat menarik dan
mempesonakan hati mereka.
Si-tam pencari bunga tertawa dingin tiada hentinya,
selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati si Sin Sipoa
sakti. Melihat tindakan yang diluar garis dari orang ini,
para jago lainnya sama-sama dibikin melengak.
Ketika itu. . . .
Si-tamu pencari bunga telah tiba kurang lebih tiga depa
dihadapan Sin Si-poa sakti, ia berhenti dan memandang
pihak lawan dengan sinar mata tajam.
"Saudara minta aku untuk menceritakan kisah
pembunuhan yang paling keji dalam Bu-lim ini?" ujarnya
dingin.
"Tidak salah!"
"Heeee. . . .heeee. . .heeeeee. . . .soal itu sih gampang
sekali," kembali si-tamu pencari bunga tertawa dingin.
Barang siapapun juga yang hadir disana, rata-rata dapat
menangkap didalam senyumannya barusan, wajah maupun
bibirnya penuh mengandung hawa membunuh yang
menggidikkan hati.
Hati kecil Pek Thian Ki rada bergerak, buru-buru
serunya; "Cianpwee cepat kau ceritakan!"
Senyuman semula yang menghias bibir si-tamu pencari
bunga, kini lenyap tak berbekas. "Sin Si-poa, tahukah kau
siapakah aku sebenarnya?"
"Loohu tidak tahu!"
Kembali si-tamu pencari bunga tertawa dingin tiada
hentinya, dari dalam saku ia mengambil keluar sebilah
pedang pendek.
"Sin Si-poa, coba kau lihat benda apakah ini?" Ia
lemparkan pedang pendek sepanjang lima cun itu ketangan
Sin Si-poa yang berdiri dihadapannya.
Sin Si-poa segera menerima lemparan pedang itu. . . .
mendadak. . . air mukanya berubah hebat, berturut-turut ia
mundur tiga langkah lebar kebelakang, wajahnya pucat pasi
bagaikan mayat, sedang keringat dingin mengucur keluar
membasahi seluruh badannya.
"Kau adalah Kiang. . ."
Kata-kata selanjutnya belum sampai diutarakan, si-tamu
pencari bunga sudah membentak keras;
"Setelah tahu siapa aku, kenapa tidak cepat-cepat
beberkan seluruh peristiwa keji yang telah berlangsung pada
waktu itu?" Bentakan dari si-tamu pencari bunga ini penuh
mengandung hawa napsu membunuh yang hebat,
mendatangkan rasa bergidik bagi setiap orang yang
mendengar.
Pek Thian Ki terperanjat, segera serunya; "Siapa
namanya ??? Ia bernama Kiang apa ???"
Sin Si-poa ketakutan, tak sepatah katapun berhasil
diutarakan keluar, ia bungkam dalan seribu bahasa.
Suasana dalam ruangan mulai membeku dan penuh
ketegangan, ditengah kesunyian yang mencekam hawa
napsu membunuh makin menebal disetiap benak para jago.
"Mo Hong So (si Iblis Sinting), kau paksa aku untuk
turun tangan membunuh dirimu ???" Kembali si-tamu
pencari bunga membentak dingin.
Bab 39
AIR MUKA Sin Si-poa berubah menghebat, dengan
ketakutan ia mundur satu langkah kebelakang.
"Kau. . . . kau. . . ."
"Kau anggap aku sudah mati ???" potong si-tamu pencari
bunga kembali dengan mata melotot.
"Kau. . . kau. . . kau tidak mungkin masih hidup!"
"Heeeee. . . heeeee. . . heeee. . . dan amat sayang sekali
sekarang aku masih hidup!"
"Kau. . . . kau. . . ."
"Aku adalah adik dari Kiang Lang, Kiang Ing adanya. . .
."
"Apa?" Saking kagetnya Pek Thian Ki berseru tertahan,
berturut-turut ia mundur tiga empat langkah kebelakang
dengan sempoyongan.
Ia tidak menyangka si-tamu pencari bunga sebetulnya
adalah adik dari Sam Ciat Sin-cun Kiang Lang yang
bernama Kiang Ing. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba
ini boleh dikata jauh diluar dugaan setiap orang yang ada
disana.
"Eeeei. . . Iblis Sinting, urusan ini agak sedikit diluar
dugaanmu bukan ??. . ." Jengek si-tamu pencari bunga
dengan nada dingin. "Delapan belas tahun kemudian aku
masih hidup segar bugar, rencana yang kalian susun tak
bakal berlangsung lagi bukan?"
Dengan ketakutan si Iblis Sinting munduru selangkah.
Mendadak. . . .si Iblis Sinting membentak keras, pedang
pendek sepanjang tiga cun yang berada ditangan kanannya
dengan meninggalkan serentetan cahaya tajam yang
menyilaukan mata meluncur kearah dada Kiang Ing.
Serangan yang dilancarkan si Iblis Sinting ini dilakukan
dengan kecepatan laksana sambaran kilat, suara jeritan
kaget bergema memenuhi angkasa.
"Bangsat, kurang ajar! Kau cari mati!" teriak Kiang Ing
penuh kegusaran.
Bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu ia sudah
berhasil meloloskan diri dari serangan lawan, tangan
kananpun dengan menggunakan satu jurus serangan yang
hebat balas menghajar tubuh si Iblis Sinting tersebut.
Si Iblis Sinting yang melihat serangannya tidak berhasil
mencapai sasaran, badannya bagaikan sambaran petir
segera berkelebat keluar pintu. Ia bermaksud menggunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri dari kepungan lawan.
Mendadak. . . .
Bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu Pek
Thian Ki telah menghadang jalan perginya.
"Jangan pergi, tunggu sebentar!" bentaknya keras.
"Menyingkir!" Bukannya berhenti, si Iblis Sinting malah
menerjang maju lebih kedepan.
Diiringi suara bentakan yang dahsyat, satu pukulan
melayang kearah diri Pek Thian Ki. Serangan ini
dilancarkan tidak kalah cepatnya dengan serangan yang
diarahkan kepada diri Kiang Ing tadi.
Pada saat ini si Iblis Sinting sudah punya maksud
mengadu jiwa, serangan yang barusan ia lancarkan telah
disertai dengan seluruh tenaga sinkang yang dimiliki hingga
saat ini, ia bermaksud mencabut nyawa Pek Thian Ki
didalam sebuah serangannya ini.
"Hmmm! Kau jangan harap bisa lolos dari sini." teriak
Pek Thian Ki penuh kegusaran.
Telapak tangannya disilang kedepan mengunci
datangnya serangan lawan, sedang tangan kanannya
laksana kilat mencabut keluar pedang Ciang Liong Kiam
kemudian disapu keluar.
Kepandaian silat yang dimiliki Pek Thian Ki saat ini
sudah pulih hampir mencapai duabelas bagian, serangan
yang dilancarkan jauh lebih cepat daripada kecepatan si
Iblis Sinting. Cahaya tajam yang menyilaukan mata
berkelebat lewat, si Iblis Sinting tahu-tahu sudah kena
didesak mundur kebelakang.
"Iblis Sinting! Kau masih tidak ingin menceritakan kisah
yang sebenarnya telah terjadi?" Sekali lagi Kiang Ing
membentak."
"Urusan apa lagi yang bisa kita bicarakan ???" seru si Iblis
Sinting pula tidak kalah dinginnya.
"Heee. . . heee. . . heee. . . eeei Iblis Sinting, tidak salah!
Didalam pandangan kalian semua menganggap aku Kiang
Ing sudah mati, tapi bukan saja aku masih hidup bahkan si
Giok Mey Jin pun masih hidup. . ." ujar Kiang Ing seraya
tertawa dingin tiada hentinya.
"Apa?" Rasa kejut yang dialami si Iblis Sinting kali ini
susah dikendalikan lagi.
"Kecuali Giok Mey Jin, si Tiap Hoa Siancu pun masih
hidup dikolong langit. . ."
"Aaaaaach. . ."
"Kau, Sin Mo Kiam Khek serta si Tangan Pencabut
Bunga telah memusnahkan perkampungan Im San Piat
Yen, mengatur barisan aneh untuk menjebak kami semua. .
. . Hmmm! Iblis Sinting, rasa-rasanya sikap Kiang Lang
terhadap dirimu tidak jelak juga. . . ."
"Tutup mulut anjingmu. . ."
"Hmmm! Kau, si Tangan Pencabut Bunga serta Sin Mo
Kiam Khek masing-masing orang merebut ketiga orang
isterinya, bahkan mencelakai pula dirinya, Perbuatan kalian
benar-benar terlalu keji. . ."
"Kiang Ing!" mendadak si Iblis Sinting membentak keras.
"Aku akan mengadu jiwa dengan dirimu!" Begitu ucapan
selesai diutarakan, tubuhnya laksana anak panah yang lepas
dari busur, meluncur kedepan menubruk diri Kiang Ing.
"Tahan!" kembali Kiang Ing membentak keras.
"Apa yang hendak kau ingini?" teriak si Iblis Sinting
dengan air muka berubah pucat pasi bagaikan mayat.
"Siapa yang memerintahkan kalian berbuat begitu? Siapa
orang yang berdiri dibelakang layar?"
"Tidak ada orang yang memerintah kami, tak ada orang
yang berdiri dibelakang."
"Kau sungguh-sungguh tidak mau bicara?" hilang sudah
kesabaran Kiang Ing.
Air muka Kiang Ing ini sudah dipenuhi dengan hawa
napsu membunuh yang menggidikkan hati, sepasang
matanya dengan tajam melototi wajah si Iblis Sinting.
"Diakah salah seorang pembunuh orang tuaku?" pada
saat itulah Pek Thian Ki bertanya.
"Tidak salah!"
"Kau sungguh-sungguh adalah adik ayahku?"
"Benar!"
"Paman, sebenarnya apa yang telah terjadi?" seru Pek
Thian Ki dengan hati tergetar keras.
"Kau boleh secara langsung bertanya kepadanya!"
Pek Thian Ki. . . . Sekarang ia seharusnya dipanggil
dengan 'KIANG TO'.
Kiang To dengan suara berat segera membentak; "Sin Sipoa,
sungguh mirip sekali penyaruanmu, aku masih
menganggap kau adalah seorang manusia baik-baik. . . .! ini
hari aku baru tahu bila kau sebenarnya adalah pembunuh
ayahku, ayoh, cepat ceritakan kisah yang sebenarnya
kepadaku!"
Wajah Kiang TO penuh diliputi hawa napsu membunuh,
semisalnya si Iblis Sinting benar-benar tidak mau buka
suara mungkin ia segera akan turun tangan membinasakan
dirinya.
Air muka si Iblis Sinting berubah jadi pucat pasi
bagaikan mayat. "Apa yang harus aku bicarakan lagi?"
serunya.
"Kurang ajar! Jadi kau cari mati?"
Diiringi suara bentakan keras, Kiang To meluncur
kedepan dengan kecepatan laksana kilat, pedangnya diputar
sedemikian rupa mengancam seluruh tubuh si Iblis Sinting.
Serangan yang dilancarkan Kiang To kali ini luar biasa
hebatnya, tampak bayangan manusia berkelebat lewat,
Diantara meluncurnya berjuta-juta cahaya tajam ia sudah
mengirim dua jurus serangan kedepan.
Keadaan si Iblis Sinting waktu itu lebih mirip burung
yang ketakutan karena ancaman anak panah, sewaktu
serangan pedang Kiang To meluncur datang, mau tak mau,
ia harus keluarkan semua tenaganya untuk melawan.
Bayangan telapak cahaya pedang berkelebat memenuhi
angkasa, dalam sekejap mata ia sudah mengirim dua buah
serangan balasan. Kini, masing-masing pihak mulai
mengubah posisinya dalam suatu pertarungan mengadu
jiwa, siapa kalah ia segera akan menggeletak binasa
ditengah kalangan. . . . siapa lengah ia akan roboh ditangan
lawan.
Sekonyong-konyong. . . .
Tangan kanan Kiang To yang mencekal pedang
melancarkan satu babatan dahsyat diiringi tangan kirinya
mengirim sebuah babatan kilat mengancam pinggang
lawan, dalam sekejap mata bayangan telapak cahaya
pedang berkelebat menyilaukan mata, suasana diliputi
keseraman.
Ketika kedua orang itu sedang melangsungkan suatu
pertarungan yang maha sengit, mendadak dari dalam
ruangan berkumandang keluar suara gelak tertawa yang
sangat menyeramkan. Suara itu amat menyeramkan
membuat bulu kuduk semua orang pada bangun berdiri.
Mendengar suara tersebut Kiang To berubah air mukanya.
Tiba-tiba. . . .
Suara bentakan keras bergema memecahkan
kesunyiannya, Kiang To kena didesak mundur, tiga empat
langkah kebelakang oleh serangan-serangan yang
mematikan dari si Iblis Sinting.
"Hey Iblis Sinting, hingga detik ini masih berani
melawan?" bentak Kiang Ing.
Tiba-tiba bayangan manusia berkelebat lewat, bagaikan
kilat ia meluncur kearah si Iblis Sinting diiringi sebuah
serangan totokan yang cepat. Suara dengusan berat
memecahkan kesunyian, si Iblis Sinting tak sempat
menghindarkan diri lagi, ia segera roboh keatas tanah dari
mulutnya muntahkan darah segar.
"Kubunuh dirimu!" teriak Kiang To setelah melihat
musuhnya berhasil dibikin roboh, pedangnya diangkat siap
ditusuk kedalam perutnya.
"Jangan dibunuh mati!" tiba-tiba Kiang Ing membentak.
Kiang To bergidik, buru-buru ia tarik kembali
serangannya dan alihkan sinar matanya keatas wajah Kiang
Ing.
"Kenapa?" tanyanya tercengang.
"Aku punya cara untuk paksa ia berbicara!"
Kiang To berdiri melengak, ia tidak mengerti apa
sebenarnya yang telah terjadi, karena ia masih tidak tahu
keseluruhan dari peristiwa tersebut. Ditengah kepedihan,
wajahnya kelihatan makin bingung makin terharu.
"Paman, apa sebenarnya yang telah terjadi?" kembali
pemuda itu bertanya.
"Bukankah kau sudah tahu?"
"Aku. . . aku sudah tahu? Maksudmu apa yang
diceritakan olehnya adalah palsu? Lalu bagaimana yang
sebenarnya?"
'Kita bisa tanyakan hal tersebut pada seseorang!"
"Siapa?" rasa ingin tahu yang bergelora didada Kiang To
susah dipertahankan lagi.
"Tiap Hoa Siancu atau si Bidadari Kupu dan Bunga!"
"Paman, antara kau. . . .kau dengan dia benar-benar
punya hubungan?. . ." seru Kiang To kembali ragu-ragu.
"Benar. . . kami adalah sepasang kekasih yang saling
mencintai. . . .selama hidup aku merasa menyesal terhadap
dirinya. . . .aku tidak seharusnya memberikan tubuhnya
buat engkohku, cinta tak bisa diberikan ataupun diserahkan
kepada siapapun. . . ia membenci diriku, selama hidup ia
benci kepadaku, kecuali dia aku telah mencelakai pula
Siang Hwi Giok Li. . ."
"Siang Hwi Giok Li?. . .Siapa itu Siang Hwi Giok Li?"
"Kekasihku yang pertama!"
"Juga merupakan gadis yang dicintai ayahku?"
"Benar. . ." Dengan bergumam ia menjawab, wajahnya
kelihatan begitu terharu, sedih dan murung. .
Barang siapapun juga rasanya dapat memahami
bagaimana perasaan Kiang Ing selama ini, sepanjang
hidupnya ia pernah mencintai dua orang gadis, tetapi ia
telah memberikan kekasihnya itu buat engkohnya, apa
sebabnya ia berbuat begitu ???
"Paman, apa sebabnya kau berbuat demikian?" seru
Kiang To dengan nada cemas. "Kenapa kau berikan mereka
buat ayahku ??"
"Karena aku hormat dan jeri kepadanya, selembar
jiwaku pernah diselamatkan oleh ayahmu, kejadian itu
sudah berlangsung lama sekali, waktu itu aku masih kecil,
bila bukan dia yang turun tangan menolong, mungkin sejak
dulu aku sudah mati tenggelam didalam air. . . oleh karena
itu, sejak saat itu, hatiku menaruh rasa berhutang budi
terhadapnya, setiap kali apa yang ia minta, aku pasti
berikan kepadanya. . . .bahkan sampai kekasihku-pun
kuberikan kepadanya!"
"Tapi paman cinta tak boleh diberikan kepada orang lain
semaunya!" seru Kiang To membantah.
"Benar, dan akhirnya aku tinggalkan kedua orang gadis
yang paling kucintai semasa hidupku ini, hanya sayang. . .
.aaaaai! Iapun tidak berhasil mendapatkan mereka berdua. .
. ."
"Hal ini sudah tentu karena mereka berdua sama sekali
tidak mencintai ayahku!" kembali Kiang To menimbrung.
"Mungkin memang begitu, aku masih ingat sewaktu aku
tinggalkan diri Siang Hwi Giok Li, waktu itu air muka gadis
tersebut penuh diliputi dengan hawa napsu membunuh,
bahkan memaki aku dengan kata-kata demikian; 'Kiang Ing,
kau bukan Burung yang ada diatas sungai, kau adalah
seekor anjing, anjing yang tak bertulang. . .' makiannya ini
selama hidup tak pernah kulupakan kembali. . . .ia paling
mencintai diriku, dan paling membenci pula diriku, aku tak
bisa melupakan dirinya tak dapat melupakan apabila
sepanjang hidupku telah mencelakai dan menghancurkan
harapan dua orang perempuan!" Butiran air mata perlahan2
membasahi kelopak matanya. . . . .
Kiang to pun ikut terharu oleh suasana yang dihadapinya
didepan mata, dengan nada menghibur ujarnya; "Paman,
kita jangan mengungkap lagi peristiwa yang telah terjadi
pada masa silam. . . . benarkah si Iblis Sinting, si Tangan
Pencabut Bunga serta Sin Mo Kiam Khek membinasakan
ayahku?"
"Benar!"
Pada waktu itu. . .
"si Iblis Sinting inikah yang menyaru sebagai Kiang To?"
tiba2 Cu Hoa menimbrung dari samping.
"Benar!"
"Salah, salah. . . salah besar, jikalau si Iblis Sinting
bersekongkol dengan Pek Thian Ki, apakah ia tidak tahu
jika Pek Thian Ki sebenarnya adalah Kiang To?"
"Pertanyaanmu sangat bagus sekali, justru inilah
jebakan-jebakan licik yang mereka susun, terang-terangan si
Iblis Sinting tahu Pek Thian Ki adalah Kiang To. . . ."
"Benar!" sambung Kiang To memotong ucapan Kiang
Ing yang belum selesai, "Sewaktu si Iblis Sinting untuk
pertama kalinya berjumpa dengan diriku, ia telah
memberitahukan kepadaku bahwa aku bernama Kiang To!"
"Itulah dia, justru si Iblis Sinting beritahu kepadamu bila
kau bernama Kiang To adalah bertujuan untuk pancing kau
mencari tahu asal-usulmu lebih lanjut, mengambil
kesempatan yang sangat baik itulah ia lantas karangkan satu
cerita bohong untukmu. . . yaitu apa yang diucapkannya
tadi. . ."
"Dengan demikian aku akan menganggap orang tuaku
sudah meninggal, sipembunuh pun sudah mati, hal ini
membuat aku tak dapat menemukan musuh besar lagi
untuk menuntut balas. Dengan begitu peristiwa berdarah
inipun selama hidup tak akan ada saatnya untuk dibikin
terang?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Oooouw. . . sungguh keji perbuatan-perbuatan mereka. .
."
"Benar, keji dan telengas, tapi mereka tidak menyangka
kalau aku masih hidup didunia ini. . . ."
"Tapi mengapa mereka anggap kau sudah mati?" tanya
Kiang To lebih jauh.
"Karena aku pernah bergebrak melawan Sin Mo Kiam
Khek Pek Thian Ki, dan si Tangan Pencabut Bunga telah
membokong diriku serta menotok empat buah jalan darah
kematianku, kemudian melemparkan tubuhku kedalam
jurang yang dalam. . . ."
"Paman jelaskanlah peristiwa itu se-terang2nya."
"Baiklah!" Kiang Ing tertawa sedih seraya mengangguk.
"Pertama, orang yang membakar perkampungan Im San
Piat Yen bukan Kiang Lang, api itu berkobar dari arah
Timur dan Barat dalam waktu yang bersamaan. . ."
"Kalau begitu api ini dilepas oleh dua orang dalam waktu
yang berbareng, sebelum kejadian tersebut aku memang
pergi menjumpai ayahmu, tapi aku hanya memberi nasehat
kepadanya agar jangan terlalu tegang menghadapi setiap
peristiwa, terutama sekali perhatikan ketiga orang isterinya.
."
"Siapa saja diantar ketiga orang itu?"
"Cui Mey Jin, Hoa Mey Jin serta Tiap Hoa Siancu. . . .
terutama sekali si Bidadari Kupu dan Bunga ini, sejak aku
tinggalkan ia pergi karena ia punya anak, maka akhirnya ia
kawin dengan Kiang Lang, ia ada maksud mencelakai
engkohku. . ."
"Lalu secara bagaimana ayahku bisa lenyap ??" tanya
sang pemuda penuh perhatian.
"Hingga kini kematian ayahmu masih merupakan tekateki,
tanda tanya ini aku masih belum berhasil pecahkan,
cuma ayahmu terbukti benar-benar sudah mati."
"Mati ??" kembali Kiang To menyela. "Secara bagaimana
kau bisa membuktikan apabila ia sudah mati ??"
"Aku temukan jenazah ayahmu menggeletak ditengah
sebuah tebing dibelakang gunung, kematiannya sangat
mengerikan!"
"Bukankah kepandaian silat yang dimilki ayahku sangat
lihay? Secara bagaimana ia bisa dibunuh orang dengan
begitu gampang ??"
"Banar memang diakui kepandaian silat yang dimilki
ayahmu tidak lemah, tetapi dikolong langit masih banyak
terdapat jagoan yang memiliki kepandaian silat jauh lebih
tinggi dari kepandaiannya, Sin Mo Kiam Khek Pek Thian
Ki adalah salah satu diantaranya."
"Apa?? Kepandaian silat Pek Thian Ki jauh diatas
kepandaian ayahku ??" seru Kiang To sangat terperanjat.
"Benar. . . ."
"Tapi, dalam urutan Sembilan Jago Pedang dari Kolong
Langit, bukankah ia hanya menduduki urutan kedua. . . ."
"Kau salah, kepandaian silat yang dimiliki Pek Thian Ki
jauh lebih lihay dari kepandaian ayahmu, kepandaianku
pun hanya lebih tinggi sedikit dari kepandaiannya, sedang
dia bukan lain adalah kekasih dari Hu Bei san. . ."
"Apa ??" Kiang To dan Hu Li Hun hampir bersamaan
waktunya berseru tertahan.
"Apa yang kuutarakan adalah kenyataan, kalian mau
percaya atau tidak, itu terserah pada kalian sendiri. . ."
"Loocianpwee, maksudmu Pek Thian Ki adalah ayahku
??" seru Hu Li Hun dengan nada gemetar.
"benar!"
Hu Li Hun membelalakkan sepasang matanya bulatbulat,
dengan rasa takut dipandangnya wajah Kiang Ing,
jelas gadis ini dibuat terperanjat oleh berita tersebut.
"Setelah ayahmu mati tiga hari." sambung Kiang Ing
lebih lanjut, "Giok Mey Jin lantas mengajak Sembilan Jago
Pedang dari Kolong Langit untuk berkumpul
diperkampungan Im San Piat Yen, kecuali mengundang
kesembilan jago pedang dari kolong langit itu, iapun
mengundang pula tiga orang yaitu; si Tangan Pencabut
Bunga, si Iblis Sinting serta Hiat Loo Kiam Khek. . . ."
"Siapa itu Hiat Loo Kiam Khek ??"
"Guru dari Cu Hoa!"
Mendengar ucapan tersebut, air muka Cu Hoa berubah
hebat. "Bagaimana kau bisa tahu guruku adalah Hiat Loo
Kiam Khek ??"
"Karena kau membawa senjata lihay Sam Ciat Tong,
sejak Kiang Lang berhasil angkat nama dan tersohor
dikolong langit, ia jarang sekali menggunakan senjata Sam
Ciat Tong-nya kembali, pada hari biasa ia serahkan
senjatanya untuk disimpan oleh Hiat Loo Kiam Khek,
maka dari itu setelah Kiang Lang mati, senjata Sam Ciat
Tong tersebut masih berada ditangan Hiat Loo Kiam Khek.
. ." Ia merandek sejenak untuk tukar napas, kemudian
sambungnya lebih jauh; " Orang yang diundang datang
waktu itu, kecuali Hiat Loo Kiam Khek hanya Pek Thian
Ki seorang yang sempat hadir, sedang sisanya kedelapan
orang jago tak seorangpun yang muncul. . . ."
"Kenapa ??" tanya Kiang To tercengang.
"Sebelum mereka tiba ditempat yang telah dijanjikan,
perkampungan Im San Piat Yen telah terjadi peristiwa yang
mengerikan, dalam kenyataannya memang tidak salah,
waktu itu ada orang yang berteriak; 'Kiang Lang, kau keji
benar. . . .' tetapi ucapan ini hanyalah siasat licin yang
sengaja diatur, oleh para pembunuh. . . ."
"Oooouw. . . sekarang aku paham sudah, mereka berbuat
demikian tentunya agar orang percaya apabila perbuatan
terkutuk itu dilakukan oleh ayahku!"
"Benar!"
"Kemudian secara bagaimana paman bisa dibawa keluar
dari ruangan api?. . . ."
"Sewaktu terjadi kebakaran besar, sumua orang jadi
panik, mereka terkejut, gugup dan gelagapan, ketika itulah
si Tangan Pencabut Bunga serta si Iblis Sinting turun tangan
membinasakan Cui Mey Jin, Hoa Mey Jin serta Tiap Hoa
Siancu. . . ."
"Bukankah ketiga orang perempuan tersebut punya
hubungan gelap dengan mereka?" sela Kiang to tercengang.
"Benar, demi terbabatnya rumput keakar-akarnya,
terpaksa mereka berbuat demikian."
"Sungguh keji perbuatan mereka!" teriak sang pemuda
gemas.
"Benar, tapi beruntung sekali, waktu itu Tiap Hoa Siancu
berhasil meloloskan diri dari kematian, sedang Giok Mey
Jin pun berhasil melarikan diri. . . .hanya sayang akhirnya
ia kena dicegat oleh Pek Thian Ki. . . ."
"Aaaach. . . .lalu bagaimana selanjutnya?"
"Sudah tentu Pek Thian Ki tak bakal suka melepaskan
ibumu, waktu itu ibumu memohon kepadanya agar suka
melepaskan dirimu. . . ."
"Pek thian Ki setuju?"
"Sudah tentu tidak, sedangkan ibumu lantas
mengimbangi permintaannya ini dengan satu nilai yang tak
terhingga besarnya."
"Nilai yang tiada terhingga besarnya?. . ."
"Benar!" Kiang Ing mengangguk. "Siapapun tahu
ayahmu telah memperoleh peta Rumah Berdarah,
dimanakah letak peta Rumah Berdarah itu, hanya Giok
Mey Jin seorang yang tahu, demikianlah Giok Mey Jin
lantas memberitahukan rahasia tersebut kepadanya."
"Ayahku hanya beritahu rahasia itu pada Giok Mey Jin
seorang?"
"Karena ayahmu ingin meninggalkan mustika tersebut
untukmu, sebab ia hanya punya kau seorang putra saja,
sedangkan kedua orang anak dari Hu Bei San serta Tiap
Hoa Siancu, ia tahu bahwa mereka bukan anaknya, karena
belum sampai setengah tahun, kedua orang perempuan itu
kawin dengannya, masing-masing orang telah melahirkan
semua!"
"Setelah ibuku beritahukan rahasia tersebut kepadanya,
apakah Pek Thian Ki memberikan jalan hidup bagiku?"
tanya Kiang To penuh kecemasan.
"Benar!" Kiang Ing mengangguk, "Tapi sekali tusuk, ia
bunuh ibumu kemudian menendangnya, sehingga jatuh
kedalam jurang, ketika itulah kebetulan aku mengejar
datang dan langsung bergebrak melawan dirinya. . . .
Setelah mengalami suatu pertarungan berdarah yang sengit
sepanjang setengah harian lamanya, terakhir Pek Thian Ki
menderita kekalahan ditanganku, tapi pada saat itulah
secara tiba-tiba si Tangan Pencabut Bunga munculkan diri
disana, ia melancarkan tangan telengas kearahku dan
menotok empat buah jalan darah kematian diseluruh
tubuhku lantas menendang aku masuk kedalam jurang pula,
beruntung aku kena ditolong orang kalau tidak. . . .aaaai. . .
sejak dulu aku sudah mati. . ."
"Dan bagaimana dengan Giok Mey Jin ??"
"Menurut dugaanku, kemungkinan besar ia tidak mati,
karena walaupun sudah kucari diseluruh dasar lembah,
tidak berhasil juga kudapatkan mayatnya."
"Akhirnya?"
"Waktu itu aku ingin datang mencari Pek Thian Ki lagi,
sayang tak berhasil kutemukan manusia terkutuk itu!"
Kiang To mengangguk, setelah berpikir sejenak,
tanyanya lagi; "Lalu, mengapa Pek Thian Ki
menghadiahkan namanya kepadaku ??"
"Inilah siasatnya yang keji, ia mengharapkan ada orang
lain yang turun tangan membinasakan dirimu. . . .karena
menurut dugaannya jikalau diantara kelima orang
perempuan itu kecuali Hu Bei San yang tempo dulu pulang
keperkampungan Lui San-cung terlebih dahulu ada seorang
saja yang masih hidup, maka perempuan ini tentu pergi
membinasakan dirimu, kemudian baru pergi mencari Pek
Thian Ki yang asli, sekarang kau paham bukan ??"
"Huuu. . . .sungguh keji rencana ini!" teriak Kiang To tak
tertahan lagi.
"Benar rencana ini amat keji dan telengas!"
"Paman, justeru yang kuherankan selama ini, ia bersikap
sangat baik kepadaku!"
"Benar, akupun percaya ia akan bersikap sangat baik
kepadamu, ia tidak ingin membinasakan dirimu. . . . tapi ia
ingin kau setapak demi setapak mendekati sendiri
kematianmu, tahukah kau mengapa kau bisa menderita
penyakit hati?"
Kiang To menggeleng.
))>>odwo<<((
Jilid 14 Tamat
Bab 40
"Itulah disebabkan semacam obat racun yang luar biasa
ganasnya," sambung Kiang Ing lebih lanjut, "Sewaktu kau
tidak ambil perhatian. . . .mungkin ketika minum teh atau
bersantap, secara diam2 ia campurkan racun tersebut
kedalam makanan atau minumanmu. . . ."
"Benar, benar, benar. . . . pada tiga tahun berselang,
waktu aku bersantap, secara tiba-tiba kedapatan suatu bau
yang aneh dalam santapanku, aku lantas tanyakan hal ini
pada suhu, tapi ia bilang tidak apa-apa, lewat tiga empat
hari kemudian, aku mulai menderita sakit hati," teriak sang
pemuda tersentak kaget.
"Nah, itulah dia!"
"Tapi mengapa ia hadiahkan sejilid kitab kepadaku, agar
aku melatih ilmu silatku?"
"Semuanya ini bertujuan agar kau terkenal dan tersohor
dalam dunia kang-ouw, memperoleh perhatian banyak
orang, dengan demikian barulah salah seorang perempuan
yang belum sampai mati, bisa mengetahui akan dirimu, dan
akan datang mencari kau, coba bayangkan setelah ilmu
silatmu berhasil mencapai puncak kesempurnaan, siapa
yang tidak ambil perhatian kepadamu? bukankah begitu?"
"Benar, memang beralasan!"
"Tujuh delapan tahun setelah peristiwa itu, agaknya para
jago kang-ouw sebagian besar sudah melupakan kejadian
ini, dan saat itulah mulai timbul peristiwa penyewaan
rumah. Sudah tentu Sin Mo Kiam Khek Pek Thian Ki tak
dapat meminta peta rumah berdarah tersebut setelah
membinasakan Sam Ciat Sin-cun serta menghancurkan
perkampungan Im San Piat Yen-nya, Kalau tidak maka
seluruh jago Bu-lim dikolong langit akan menaruh curiga
kepadanya, bukankah begitu. . . ??"
"Tidak salah."
"Maka dari itu setelah peristiwa tersebut lewat delapan
tahun, ia baru mengumumkan soal penyewaan rumah,
disamping ia hendak mencari peta rumah berdarah, ia
berbuat demikian karena juga diriku.."
"Kau??" seru Kiang To keheranan.
"Benar!" Perlahan-lahan Kiang Ing mengangguk,
"Tempo dulu rumah ini hasil rancanganku, aku serta Tiap
Hoa Siancu pernah melewati beberapa waktu yang indah
dan menyenangkan didalam rumah ini. . . dan hal tersebut
memang diketahui si Tangan Pencabut Bunga, maka dari
itulah setelah rumah ini disewakan dalam anggapannya asal
aku masih hidup, tentu masih bisa datang kemari, Tetapi. . .
. berhubung aku harus melatih semacam ilmu sinkang telah
mengasingkan diri hampir sepuluh tahun lamanya, inilah
sebabnya kenapa Pek Thian Ki menganggap aku betul-betul
sudah mati."
"Rahasia peta rumah berdarah itu berada dalam rumah
yang disewakan ini?" tanya Kiang To kembali.
"Benar, hanya saja alasan yang sebenarnya aku
sendiripun tidak tahu, tentang perjumpaan Pek Thian Ki
dengan Hu Bei San sebelum pergi menyewa rumah ini pun
merupakan berita palsu. . . ."
"Palsu?"
"Benar, ia sama sekali tidak tahu Hu Bei San berada
dimana, sedang ia sendiri ingin pergi mencari Hu Bei san,
dan persoalan ini diketahui perempuan she Hu ini dengan
sangat jelas, justeru bersembunyinya Hu Bei San selama ini
dikarenakan adanya alasan yang tidak kita mengerti. . . ."
"Tapi Pek Thian Ki telah pergi ke Istana Harta untuk
menitipkan peta rumah berdarah itu!" mendadak Cu Hoa
menimbrung.
"Peta rumah berdarah itu adalah palsu yang asli tak
mungkin Pek Thian Ki suka menitipkan kepada orang lain,
ini pun merupakan satu siasat untuk mengelabui mata
orang lain, setelah itu ia suruh si Iblis Sinting munculkan
diri untuk beritahu kepada Kiang To bahwa Pek Thian Ki
sudah mati, dengan sendirinya oleh berita ini semua orang
akan tahu apabila Sin Mo Kiam Khek sebenarnya bernama
Pek Thian Ki."
"Sungguh hebat siasat yang mereka susun!" seru Kiang
To kagum.
"Sedikitpun tidak salah!"
"Lalu apa tujuan si Iblis Sinting sengaja menyaru sebagai
Kiang To. . ."
"Agar kau pergi mencari dirinya, sedang ia tak suka
menemui dirimu dengan wajah aslinya, Dengan begitu ia
baru bisa merencanakan siasat selanjutnya, seluruh
perbuatan jahatnya yang dilakukan selama ini akan kau
pikul dosa-dosanya!"
"Ooooouw. . . .sekarang aku sudah paham. . . ." teriak
Kiang To sambil kertak gigi! "Orang ini betul-betul sangat
keji, aku Kiang To sebelum berhasil melumat badan
mereka, aku bersumpah tak akan berhenti. . . ."
"Semoga saja kau bisa hidup lebih lama lagi. . ."
"Apa? Aku hampir mati?" Pemuda ini betul-betul
terperanjat mendengar ucapan tersebut.
"Ehmmm. . . sudah hampir, paling banter tinggal
sebulan. . . ."
"Aku hanya bisa hidup satu bulan lagi?"
"Satu bulan hanya merupakan dugaanku secara kasaran
saja," kata Kiang Ing dengan nada berat, "Yang jelas paling
sedikit kau hanya bisa hidup setengah bulan lagi."
Air muka Kiang To langsung berubah pucat pasi
bagaikan mayat sehabis mendengar ucapan tersebut.
"Aaaaa. . . . kau tidak usah khawatir." kata Kiang Ing
sambil menghela napas panjang, "Nasib manusia ada
ditangan Tuhan, kemungkinan sekali sampai waktunya
akan muncul suatu penemuan yang aneh bagimu."
Ia tertawa pedih, setelah merandek sebentar, ia berpaling
seraya berkata kembali; "Nona Hu, aku ada urusan hendak
ditanyakan kepadamu. . ."
"Urusan apa?" seru Hu Li Hun tercengang, ia berpaling
dan memandang sekejap wajah Kiang Ing ini.
"Mengapa kau menyaru sebagai Kiang To?"
"Karena ibuku sedang mencari dirinya!"
"Ooooouw. . . ibumu mencari aku?" ujar Kiang To
keheranan.
"Benar!"
"Ada urusan apa?"
"Aku tidak tahu!" perlahan-lahan gadis itu menggeleng.
"Kiang To yang per-tama2 kujumpai dan bergebrak
melawan dirinya sewaktu berada dalam Istana Perempuan,
apakah hasil penyaruanmu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Mengapa?"
"Karena aku benci kau main cinta dengan perempuan
lain!" seru Hu Li Hun tanpa tedeng aling-aling, Ia merandek
untuk tukar napas, lalu tambahnya; "Jikalau si Iblis Sinting
ini benar-benar adalah simanusia yang menyaru sebagai
Kiang To, maka semua tindakannya amat bagus! Ia tantang
aku berduel ditepi telaga Hiat Suw Than, lalu mencuri balik
kertas tantangan tersebut, agar kau yang berikan kembali
kepadaku, dengan berbuat demikian siapa yang akan
menduga kalau dia adalah Kiang to?"
"Nona Cu, suhumu masih hidup?" sela Kiang Ing seraya
berpaling kearah Cu Hoa.
"Benar, beliau masih hidup, hanya kini dia orang tua
sudah mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan,
ia memberi pelajaran ilmu silat kepadaku bahkan
memberikan pula dua pertiga dari tenaga sinkangnya
untukku, Sekarang beliau sudah kehilangan tenaga
sinkangnya, beliau memerintahkan aku secara misterius
muncul diketiga Istana dan perintah aku jadi majikan ketiga
buah istana tersebut, Hingga kini si penguasa ketiga istana
tersebut masih belum mengetahui wajah asliku, karena
setiap kali berjumpa, aku selalu munculdengan wajah yang
berlainan, inilah perintah dari suhuku dan kini kuketahui
maksudnya!"
"Lalu bagaimana dengan dua buah kedududkanmu yang
lain. . . ." tanya Kiang To rada tercengang.
"Tongcu dari perkumpulan pengemis yang bermaskas
diluar perbatasan Cu Tong Hoa adalah sahabat karibku,
sedangkan mengenai Pangcu dari Pek Hoa Pang sesaat
Pangcu tersebut menemui ajalnya aku telah berjumpa
dengan dirinya, ia beritahu kepadaku tentang
pengkhianatan Pek Hoa Coa yang kini telah
menggabungkan diri dengan pihak Istana Harta. . ."
"Siapakah penguasa ketiga Istana tersebut?"
"Setelah ketiga penguasa istana-istana tersebut menerima
perintahku, mereka sangat jarang berkelana didalam dunia
persilatan, bahkan anak murid mereka sendiripun belum
tentu tahu siapakah mereka!"
"Waktu itu kau membinasakan diri Pek Hoa Coa,
tindakanmu tersebut disebabkan hendak membalaskan
dendam bagi Pangcu Pek Hoa Pang? Ataukah karena ia
telah membocorkan barang yang dititipkan Pek thian Ki
kedalam istana kalian?"
"Keduanya sama-sama penting, karena ia membinasakan
Pangcu dari Pek Hoa Pang, maka aku harus membunuh
dirinya, sedangkan soal membocorkan rahasia Pek Thian
Ki yang titip barang berharaga dengan istana kami, pada
mulanya aku mengira tindakan tersebut karena ingin
memancing datangnya Kian To, sekarang aku baru tahu
kiranya Pek Hoa Coa sudah dibeli pihak mereka untuk
memancing datangnya para jago kang-ouw, kemudian
membiarkan si Iblis Sinting dengan menyaru sebagai Kiang
To membinasakan delapan orang jago, orang yang tidak
tahu tentu saja akan menjatuhkan hutang berdarah ini atas
nama Kiang To, ini berarti mereka hendak mencelakai
dirimu. . ."
"Tidak salah!"
Ketika Kiang To menyelesaikan kata-katanya, si Iblis
Sinting telah tersadar kembali dari pingsannya, pemuda ini
segera memburu kedepan sembari membentak dengan suara
yang dingin;
"Eeeeei. .Iblis Sinting, sungguh keji perbuatan kalian,
bukan saja kau sudah membinasakan orang tuaku, bahkan
ingin mencelakai pula diriku dengan menggunakan siasat
yang keji, Aku ingin bertanya, Ayahku mati ditangan
siapa?"
"Tidak tahu!"
"Siapa yang memerintah kalian dari balik layar?" bentak
Kiang Ing pula dengan suara dingin.
"Tidak tahu!"
"Kau sungguh-sungguh tidak mau bicara?"
"Tidak ada ucapan yang harus kuutarakan!"
"Bagus sekali, kalau begitu, terpaksa kau harus kubawa
untuk menemui Ui Mey Giok, bukankah iapun termasuk
salah seorang pembunuh dalam peristiwa keji tersebut?. . .
."
"Dia. . ."
"Ada orang berkata, bahwa ia masih ada disini!"
sambung Kiang Ing dengan cepat tidak menanti orang itu
menyambung kata-katanya.
"Aku tidak ingin berjumpa dengan dirinya!"
"Tidak ingin berjumpa? Kau takut?" seru Kiang Ing
dengan nada mengejek.
"Apa yang harus aku takuti. . . ." Kata-kata terakhir baru
saja meluncur keluar dari ujung bibirnya, memdadak
laksana sambaran petir ia menerjang kearah Kiang To
sembari melancarkan sebuah serangan dahsyat.
Untuk kesekian kalinya si Iblis Sinting melancarkan
serangan tanpa memperdulikan keadaan luka dalamnya
yang parah, satu-satunya yang ia tuju hanyalah meloloskan
diri dari cengkeraman orang2 itu.
Dalam keadaan tidak bersiap sedia hampir-hampir saja
tubuh Kiang To tersapu serangan lawan, buru-buru ia
berkelit dan menyingkir kesamping. . . . Bersamaan dengan
gerakan Kiang To berkelit kesamping, tubuh si Iblis Sinting
langsung menerjang keluar.
Melihat orang itu mau melarikan diri, Kiang To
membentak keras; "Kau kira begitu gampang bisa pergi dari
sini?"
Bayangan manusia berkelebat lewat, ia mengirim sebuah
serangan kearah pihak musuhnya. Serangan yang
dilancarkan Kiang To barusan dilakukan dengan kecepatan
bagaikan sambaran petir, tetapi tindakannya ini jauh kalah
dengan gerakan dari Cu Hoa.
Tahu-tahu orang she Cu ini sudah meluncur kemuka
seraya membentak keras;
"Iblis Sinting, kau tak akan berhasil lolos dari sini."
Tangan kanannya diayun kedepan mengirim sebuah
serangan totokan yang gencar.
Luka parah yang diderita si Iblis Sinting belum sembuh
betul, mana ia sanggup untuk menerima serangan dari dua
orang musuh sekaligus? Suara dengusan berat bergema
memenuhi angkasa Tahu-tahu jalan darahnya sudah kena
ditotok oleh serangan Cu Hoa.
"Kiranya saudara adalah sipembunuh yang ku-cari2
selama ini." teriaknya gusar. "Tidak aneh sewaktu berada
didepan pintu Istana Perempuan kau bisa pura-pura
terpukul, siapakah orang yang menghajar dirimu itu?. . ."
"Tidak tahu!"
"Maksudmu terkena pukulan lawan, bukankah ingin
menyelidiki rahasiaku?. . ."
"Tidak tahu!"
"Kiang To, kuserahkan dirinya kepadamu!" Hilanglah
rasa sabar Cu Hoa sehingga ia berseru dingin.
Kiang To pun tertawa dingin tiada hentinya. "Iblis
Sinting, apakah rumah ini kau yang sewakan?"
"Bukan!"
"Heeeee. . .heeee. . .heeeee. . . .aku rasa tidak demikian
gampang. . . .baik2lah kau beritahu urusan ini kepadaku
maka aku Kiang To akan memberikan sebuah jenazah yang
utuh bagimu, kalau tidak. . . ."
"Hmmm! Kau anggap aku takut dengan ancamanmu,
silahkan mulai turun tangan!"
Air muka Kiang To berubah hebat, hawa napsu
membunuh memenuhi seluruh wajahnya "Lalu dimanakah
Pek thian Ki sekarang berada?" tanyanya kembali.
"Tidak tahu."
"Kau sungguh-sungguh tidak mau bicara apapun?"
"Aku rasa tak ada yang bisa dibicarakan!"
"Heee. . .heee. . . cuma sayang aku tidak percaya kalau
kau tak bisa bicara," jengek sang pemuda she Kiang sambil
tertawa dingin.
Sepasang jari tangan kanannya dengan menggunakan
ilmu pelepasan tulang secara ber-turut2 menotok empat
buah jalan darah kematian disekitar badan Iblis Sinting.
Dimana ujung jari Kiang To menyambar lewat, mendadak
si Iblis Sinting merintih kesakitan, dari jidatnya mengucur
keluar keringat sebesar kacang kedelai, wajahnya kelihatan
amat menderita.
Setelah jalan darah si Iblis Sinting kena ditotok oleh
Kiang To dengan ilmu totok manunggal, setiap bagian otot
maupun tulangnya terasa sakit susah ditahan, air mata
mulai jatuh berlinang.
"Iblis Sinting, kau suka bicara tidak?" teriak Kiang To
sambil kertak gigi.
Si Iblis Sinting hanya menggertak gigi kencang-kencang
dan bungkam dalam seribu bahasa, akhirnya ia pentang
mulut muntahkan darah darah segar, dan jatuh tidak
sadarkan diri.
"Sungguh keras kepala orang ini!" seru Kiang Ing dingin.
"Paman, bagaimana kalau kita bunuh saja orang ini?"
teriak Kiang To gemas.
"Jangan, kita bawa dia pergi menjumppai Tiap Hoa
Siancu!"
"Baiklah. . ." pemuda she Kiang ini segera mengangkat
tubuh Iblis Sinting untuk dibawa pergi, "Paman, mari kita
berangkat!"
Kiang Ing mengangguk dan bergeser terlebih dahulu dari
sana disusul Kiang To dari belakang.
"Kiang Siauw-hiap!" tiba-tiba Hu Li Hun yang ada
dibelakang berseru.
Mendengar seruan tersebut Kiang To berhenti dan
berpaling memandang sekejap wajah Hu Li Hun, tampak
wajahnya penuh diliputi oleh kesedihan.
Ia jadi melengak, "Ada urusan apa ??" tanyanya halus.
"Aku. . . aku mau pergi!"
"Kenapa?"
"Aku rasa lebih baik aku pergi dari sini, jangan lupa aku
adalah puteri musuh besarmu. . ."
Hu Li Hun tak dapat menahan diri lagi air mata jatuh
bercucuran membasahi seluruh wajahnya, sedangkan Kiang
To marasa hatinya berdebar keras, Bilamana kenyataan
memang demikian dan Hu Li Hun adalah hasil hubungan
Hu Bei San dengan Pek Thian Ki, maka dia adalah musuh
besarnya.
"Nona Hu, kau tak boleh pergi, kami masih ingin pergi
menjumpai ibumu. . ." kata Kiang Ing.
"Kalian pergilah sendiri kesana, aku akan beritahu
tempatnya!"
"Tentang soal ini. . ." Kiang Ing termenung sebentar,
akhirnya ia manggut, "Demikian baiklah!"
"Ibuku tinggal ditebing Thiat Ki Yen diatas gunung Thiat
San, kami akan menanti kedatangan kalian!" Sehabis
berkata, ia putar badan dan berlalu, langkahnya berat dan
gontai, hal ini menunjukkan betapa hancur dan sedih
hatinya saat ini.
Ia telah pergi. . . pergi dengan membawa hati yang
pedih, hancur dan putus harapan. . . .
Dengan termangu-mangu Kiang To memandang bayangan
punggungnya, Akhirnya Cu Hoa menghela napas panjang
memecahkan kesunyian yang mencekam.
"Aaaai. . . orang ini patut dikasihani."
Kiang To berpaling memandang sekejap kearah gadis itu,
lalu tertawa getir, ia dapat menangkap maksud dibalik
ucapan Cu Hoa ini.
"Kiang Siauw-hiap!" kembali gadis she Cu itu berkata.
"Jikalau ia benar-benar puteri Pek Thian Ki, Apa yang
hendak kau lakukan?"
"Aku sendiripun tidak tahu!"
Ketika itulah Kiang Ing menghela napas panjang seraya
menyela; "Urusan selanjutnya kita bicarakan lagi
perkembangan dikemudian hari, mari kita masuk kedalam!"
Dari sebuah pintu rahasia Kiang Ing menerobos masuk
terlebih dulu disusul oleh Kiang To serta Cu Hoa dari
belakang.
Didalam pandangan Kiang Ing, rumah aneh ini
meninggalkan kenangan-kenangan lama yang pahit dan
getir bagi dirinya, Ia bangun sendiri bangunan rumah ini
beserta alat-alat rahasianya, tapi justeru hidupnya hancur
pula dari sini. . . .
Setelah masuk kedalam ruangan rahasia kurang lebih
tiga tombak, kembali Kiang Ing meraba keatas dinding.
"Krak. . .!" dari atas tanah mendadak muncul sebuah jalan
rahasia dibawah tanah.
Bab 41
Kiang Ing segera memimpin jago yang lain memasuki
lorong tersebut, Lorong rahasia itu panjang sekali, kurang
lebih ada sepuluh tombak lebih, pada ujung lorong muncul
enam buah pintu kecil.
Dari pintu yang ada ditengah Kiang Ing melanjutkan
langkahnya masuk kedalam. Setelah berjalan ber-liku2
entah berapa jauhnya, sampailah mereka didalam sebuah
ruangan berbatu.
"Paman, sudah sampai?" tanya Kiang To.
"Belum, kita harus berjalan beberapa saat lagi."
"Ooouw. . . belum sampai?"
"Benar!"
"Tampak bangunan ruangan dibawah tanah ini amat luas
dan megah, barang-barang perabot yang disini rata-rata
indah, dan menarik hati.
"Loocianpwee, bangunan ruangan ini adalah hasil
kerjamu sendiri?" tanya Cu Hoa.
"Benar!"
"Aaaaach! Tidak kusangka kecuali loocianpwee
mempunyai kepandaian silat yang sangat lihay, bahkan
kecerdikanpun luar biasa."
Mendengar pujian tersebut, Kiang Ing hanya tertawa
hambar, dari wajahnya dapat dilihat ia begitu sedih, dan
hambar. Seperti ia sedang mengenang kembali kejadian
lama. . . .
Teringat kembali olehnya akan seorang perempuan yang
mencintai dirinya, tapi akhirnya ia telah mencelakai
perempuan tersebut, sama halnya ia sudah membinasakan
kekasihnya sendiri. . . .
Ia menghela napas panjang. . . . hatinya pedih tak
terhingga. . . .
Kembali beberapa orang itu melanjutkan perjalanannya
memasuki ruangan besar dan menuju keruang belakang.
Diruang itu berdiri sebuah patung perempuan berwajah
cantik sekali. Arca tersebut terbuat dari batu, tetapi
ukirannya hidup, sehingga terlihat betapa cantiknya wajah
perempuan itu.
"Ehmmm. . . sebuah patung perempuan yang amat
cantik," tak kuasa lagi Kiang To memuji.
"Dia cantik?" seru orang itu sedikit berguman.
"Benar sangat cantik. . ." mendadak Kiang To teringat
akan sesuatu. "Apakah dia. . . dia adalah Tiap Hoa Siancu?"
"Benar, dia. . ."
Kiang To tertegun, wajah patung ini amat
mempesonakan, apalagi wajah orang yang sebenarnya,
tentu jauh lebih menggiurkan lagi.
"Ooouw. . . seorang perempuan yang memiliki
kecantikan tiada bandingan dikolong langit." puji Cu Hoa
pula.
"Mungkin kau lebih cantik! goda Kiang Ing tertawa."
Oleh pujian itu Cu Hoa malah dibuat tertegun.
"Loocianpwee, kau sedang bergurau, kecantikanku mana
bisa menandingi dirinya?"
"Padahal kau pun amat cantik, aku pernah menjumpai
wajah aslimu!"
Merah padam selembar wajah Cu Hoa saking jengahnya,
tak sepatah katapun bisa ia ucapkan. Perlahan Kiang Ing
alihkan kembali sinar matanya keatas wajah patung
tersebut, ia mulai dibuat terpesona dan berdiri melamun. . .
Setelah berpisah sepuluh tahun lamanya, ia merasa agak
asing dengan wajah bekas kekasihnya ini. Tempo dulu ia
pernah jatuh cinta kepadanya, pernah angkat sumpah untuk
sehidup semati, tapi beberapa waktu kemudian ia
meninggalkan perempuan ini, ia telah memberikan semua
penderitaan serta kesedihan kepadanya.
Kenangan manis berlalu, dendam kebencian mengalir
bagaikan sungai Yang Tze. . . .
Cinta ada awalnya. . . ada pula akhirnya. . . .
Tapi selembar wajahnya yang cantik selalu tak terhapus
dari benaknya, ia selalu merindukan, mencintai dirinya. . . .
.
"Loocianpwee, patung arca inipun hasil karyamu?" tanya
Cu Hoa memecahkan kesunyian.
"Benar!"
"Sungguh indah pembuatannya, hidup bagaikan manusia
biasa!"
Kiang Ing tertawa getir, ia menghela napas panjangpanjang.
...
"Loocianpwee, kau sungguh pandai mencari simpati
perempuan, kau buatkan patung untuk memuji dan
menyanjung dirinya, entah berapa lama harus kau buang
waktu untuk menyelesaikan hasil karyamu ini?"
"Setahun!"
"Sungguh patut dikagumi semangatmu!"
"Aaaai. . . ia dibuat oleh tenagaku, dan kini seharusnya
hancur dengan tenagaku pula!" Mendadak tangan kanannya
diayun keatas kemudian laksana kilat dihajarkan keatas
patung tersebut.
"Braaaaak. . . .!" dengan menimbulkan suara ledakan
yang keras, arca 'Tiap Hoa Siancu' hancur berantakan diatas
tanah.
Kiang to serta Cu Hoa sama-sama dibuat tertegun oleh
sikap orang tua ini.
Kiang Ing benar-benar dibikin terharu oleh kejadian yang
tertera dihadapannya, air mata jatuh berlinang membasahi
wajahnya, ia merasa pedih dan perih. . . . .
Agaknya Jiang To memahami perasaan pamannya, ia
tidak ingin Kiang Ing terlalu lama mengumbar kesedihan
disana.
Segera ajaknya; "Paman, mari kita pergi!"
Dengan wajah berat Kiang Ing mengangguk, ia
menggeser sebuah meja batu kesamping dan muncullah
sebuah pintu rahasia dari atas dinding. Tanpa banyak bicara
lagi Kiang Ing melangkah masuk kedalam ruangan rahasia
tersebut.
"Loocianpwee, bangunan ruangan rahasia ini amat
sempurna dan indah sekali."
"Kau suka?"
"Sudah tentu!"
"Bila kau sungguh suka, biarlah dikemudian hari
kuhadiahkan rumah ini sebagai hadiah perkawinanmu!"
ujar Kiang Ing tertawa.
"Loocianpwee, kau seorang yang amat menarik hati,
dalam keadaan bersedih hati masih tidak lupa untuk
menggoda orang."
"Apa yang aku ucapkan adalah sungguh-sungguh,
apakah kau tidak ingin kawin dengan orang lain?"
"Sudah tentu aku akan kawin dengan orang, hanya
orangnya hingga kini belum berhasil kudapatkan.."
"Eeei. . . .bukankah kau sudah berhasil menemukannya?"
"Orang lain tidak tertarik padaku, ia sudah punya calon
isteri sendiri. . . ."
Melihat kedua orang itu kasak-kusuk, Kiang to kelihatan
agak melengak. "Eeeeei. . . . sebenarnya apa yang sedang
kalian bicarakan?"
"Membicarakan soal dirimu," seru Kiang Ing sambil
tertawa. "Nona Cu mengatakan kau sudah mempunyai
calon isteri."
"Aku. . ." nada suaranya gemetar dan bergidik, secara
mendadak ia teringat kembali akan Hu Siauw In putri Hu
Toa Kan yang memiliki kecantikan wajah melebihi
siapapun.
Dengan termangu-mangu ia memandang sekejap wajah
pamannya Kiang Ing, lalu jawabnya;
"Paman, sebenarnya Hu Toa Kan adalah seorang baik
atau jahat?"
"Baik pun tidak akan baik sampai begitu rupa."
"Kalau begitu bisa menemukan dirinya berarti kita bisa
memperoleh kabar berita tentang diri Pek Thian Ki serta si
Tangan Pencabut Bunga."
"Ada kemungkinan?"
"Sudah tentu ada kemungkinannya."
Perlahan-lahan Kiang To menghela napas panjang.
"Putrinya adalah seorang gadis yang baik hati. . . . ia sangat
ramah dan mulia."
"Tidak salah, dia memang ramah dan mulia."
"Paman, hampir-hampir saja aku lupa untuk
menanyakan dua macam urusan. . ." seru Kiang To secara
tiba-tiba.
"Urusan apa?"
"Pertama, anak murid siapakah si Hek Mo Li atau si Iblis
Perempuan Hitam itu?"
"Mungkin dia adalah anak murid dari Pek Thian Ki."
"Siapa pula si Iblis Perempuan Loteng Genta?"
"Mungki. . . .mungkin. . . .mungkin adalah. . . ."
"Siang Hwi Giok Li!"
"Aaaaa. . .!" tidak kuasa lagi Kiang To bereru tertahan
setelah mendengar ucapan tersebut, ia tidak menyangka
apabila si Tiong Loo Mo Li kemungkinan besar adalah
Siang Hwi Giok Li.
Ia merasa urusan ini memang ada kemungkinannya,
hanya saja mimpipun belum pernah ia berpikir sampai
kesitu.
Saat itu, mendadak terdengar Cu Hoa menghela napas
panjang.
"Eeeei. . ." tegur Kiang Ing agak tercengang.
"Aaach. ." tidak apa-apa!"
"Keponakanku!" perlahan-lahan Kiang Ing alihkan sinar
matanya memandang sekejap wajah pemuda she Kiang.
"Bagaimanakah perasaanmu terhadap diri nona Cu?"
"Aku. . ."
"Orang lain sudah memiliki seorang calon isteri yang
mempunyai kecantikan wajah melebihi bidadari, sudah
tentu tak akan memandang sebelah matapun terhadap
diriku."
Oleh ucapan tersebut, Kiang To tertawa getir. "Selama
hidup belum pernah aku mencintai orang, Aaaai. . .belum
pernah pula orang mencintai diriku, apalagi. . . .mungkin
aku tak bisa mencintai orang lain lagi, jikalau aku tidak
mati ditangan musuh besarku, paling juga umurku tinggal
satu bulan saja."
"Ooooouw. . . sungguh halus penolakanmu!" seru Cu
Hoa tak tertahan lagi sambil tertawa getir.
"Apakah kau. . . kau sungguh-sungguh bisa mencintai
diriku?"
"Kenapa? Tidak boleh?" sahut Cu Hoa dengan sepasang
mata terbelalak besar.
"Aku takut diriku tidak mencukupi syaratnya. . . ."
"Kau tidak buta, tidak kekurangan sesuatu apapun, tidaj
cacad, syarat apa yan tidak cukup? Walaupun kau kurus
tetapi sepasang matamu sangat mempesonakan, mungkin
aku tertarik karena pandangan matamu yang tajam. . . ."
"Nona Cu, aku sangat berterima kasih kepadamu, selama
hidup tak akan kulupakan cinta kasihmu kepadaku," seru
Kiang To dengan terharu, "Tetapi aku Kiang To sudah
hancur ditangan Hek Mo Li Tong Ling. . . ."
"Antara kau dan dia. . . ."
"Eeeeehmmm. . .!" Kiang To mengangguk, "Antara aku
dengan dia sudah melakukan hubungan!"
"Aaaaakh. . . .kenapa?" agaknya Cu Hoa rada sedikit
kecewa oleh berita tersebut.
"Ia menyaru sebagai It Peng Hong. . ."
"Ooooouw. . . lantas kalian. . . ."
"Benar!"
"Cuma, menurut apa yang aku ketahui, ia sungguhsungguh
mencintai dirimu, kalau tidak, ia tak akan berbuat
demikian! Hanya saja apa akibat yang bakal terjadi dengan
peristiwa ini masih belum bisa diduga mulai sekarang, hal
ini membuat orang merasa cemas. . ."
Kiang To hanya tertawa getir. Tong Ling adalah
perempuan pertama yang pernah ia cintai, ia sudah
memperkosa dirinya, merenggut perawannya, tetapi
kesedihan yang ia berikan pun cukup banyak, cukup
menderita bagi ia sendiri.
Bagaimanakah hubungan mereka selanjutnya? Apakah
sungguh-sungguh selesai sampai disini saja? sudah tentu
tidak! mereka belum menyelesaikan sandiwara babak yang
paling menyedihkan ini.
Terdengan Kiang ing menghela napas panjang. "Aaaai. .
. mari kita maju kedepan!"
Kedua orang muda-mudi itu dengan mengikuti dari
belakang Kiang Ing berjalan masuk kedalam ruangan
rahasia tersebut.
Lorong itu ber-liku2 dan panjangnya ada lima tombak
lebih, beberapa saat kemudian sampailah mereka disebuah
tempat yang bercahaya terang, hal ini membuat Kiang To
serta Cu Hoa sama-sama dibuat berdiri tertegun.
Tampak sebuah lembah yang indah dan tertutup oleh
tebing yang tinggi menjulang keangkasa muncul dihadapan
mata, tempat ini amat indah dan tidak mudah ditemukan
orang dari atas puncak.
Berbagai macam bunga tumbuh memenuhi seluruh
lembah, bau harum semerbak memencar menusuk hidung,
pemandangan indah merasuk hati dengan sebuah kolam
ditengah-tengah aneka bunga, sebuah bangunan loteng yang
megah dan menarik berdiri disisi kolam.
"Paman, dia berdiam didalam loteng tersebut ??" tanya
Kiang To tercengang.
"Jikalau ia masih berada disana, seharusnya ada diatas
loteng!"
Dalam pembicaraan tersebut Kiang Ing serta kedua
orang muda-mudi itu sudah berada didepan loteng tersebut.
Pintu loteng tertutup rapat-rapat, diatas pintu tertera papan
nama yang bertuliskan:
"LOTENG KUPU-KUPU dan BUNGA"
Nama tersebut sangat cocok sekali dengan pemandangan
disekitarnya dimana bunga bertaburan
dimana-mana dengan kupu-kupu yang terbang kian kemari
menambah kesemarakannya pemandangan.
Kiang Ing berjalan mendekati pintu, lama sekali ia
berdiri termangu-mangu dan akhirnya mendorong pintu,
lalu berjalan masuk kedalam.
Sesaat Kiang Ing melangkah kedalam, serentetan suara
bentakan yang amat dingin bergema memenuhi angkasa.
"Siapa?" Suara tersebut keras dan dingin membuat
seluruh badan Kiang Ing gemetar kencang, bahkan Kiang
To serta Cu Hoa pun ikut merasakan badannya tergetar
keras.
Kiang Ing tertegun dan tak bisa menjawab barang
sepatah katapun. Buru-buru Kiang To maju kedepan.
"Siapa yang ada diatas loteng?" Balik bentaknya keras.
Uvapan Kiang To ini sama halnya dengan kata-kata
yang mengatakan'Setelah tahu buru-buru bertanya' kecuali
Tiap Hoa Siancu yang mendiami loteng tersebut masih ada
siapa lagi?
Suara jawaban dari perempuan itu tidak kalah dinginnya
bergema datang, "Pertanyaan saudara bukankah diutarakan
terlalu aneh? Pertanyaan adalah aku ajukan terlebih dahulu,
kini balik kalian yang bertanya kepadaku. . .?"
Air muka Kiang To berubah hebat. "Kaukah yang
bernama Ui Mey Giok?"
Agaknya pihak lawan merasa kaget dengan ucapan
tersebut, lama sekali tak kedengaran suara jawaban.
Seperminum teh kemudian baru terdengar suara itu
bergema kembali.
"Bagaimana kau bisa tahu? Apakah saudara datang
kemari karena hendak mencari diriku?"
"Tidak salah."
"Siapa kau?"
Kiang To tidak menjawab, sekali loncat ia menerjang
masuk kedalam ruangan, sinar matanya dengan tajam
menyapu sekejap suasana didalam ruangan tersebut. Suara
langkah kaki manusia turun dari tangga bergema
memecahkan kesunyian, seorang perempuan cantik berbaju
hijau perlahan-lahan turun dari atas loteng.
Wajah perempuan itu boleh dikata amat cantik sekali
melebihi kecantikan bidadari, walaupun usianya sudah
lanjut tetapi ke-ayuannya sama sekali tidak berkurang.
Dengan termangu-mangu perempuan itu melototi wajah
Kiang To, wajahnya kelihatan agak tertegun.
"Siapa kau?"
Perasaan Kiang To saat ini benar-benar bergolak, hawa
napsu membunuh memenuhi seluruh benaknya.
"Kaukah yang bernama Ui Mey Giok!" bentaknya
dingin.
"Tidak salah, dan siapakah saudara?"
"Kiang To!"
"Apa?" perempuan cantik berbaju hijau itu tersentak
kaget, air mukanya berubah hebat.
Agaknya ucapan ini jauh berbeda diluar dugaannya
semula. Dengan badan gemetar dan sinar mata bergidik,
dipandangnya wajah pemuda itu tajam-tajam.
Bagaikan menemui suatu peristiwa yang mengerikan
saja, badannya gemetar keras, keringat dingin mengucur
keluar membasahi seluruh badannya. . . .
Pada waktu itu. . . . Kiang Ing melangkah masuk
kedalam ruangan, melihat munculnya orang itu mendadak
si perempuan cantik berbaju hijau itu menjerit tertahan
bagaikan orang histeris. . .
"Kau. . . kau. . ."
Wajah Kiang Ing penuh diliputi rasa jengah, kikuk,
sedih, berduka dan perasaan lain yang susah dilukiskan
dengan kata-kata. . .
Kembali mereka berjumpa muka.
Tujuh belas tahun berselang ia pergi meninggalkan
dirinya, ia berikan rasa kecewa dan sedih buat dirinya,
Seluruh penghidupannya telah musnah semua.
Dan kini tujuh belas tahun kemudian, kembali mereka
berjumpa muka. . .Pertemuan ini bagaikan tidak disengaja,
peristiwa ini lebih mirip Kiang Ing pulang kembali untuk
mencari dirinya dan menyambung kenangan manis yang
telah lama terputus.
"Kau? Benar-benar kau?. . ." sekali lagi perempuan itu
menjerit.
Kiang Ing gigit bibir sendiri, ia telan mentah air mata
yang mengucur keluar membasahi pipinya.
"Benar aku. . . .aku. . . ." desisnya lirih.
"Aaaaaach. . .!" suatu jeritan yang mengenaskan
memecahkan kesunyian diruangan tersebut.
Mendadak air mata mengucur keluar membasahi
pipinya, air mata yang mengenaskan akhirnya membasahi
pula pipinya serta wajahnya yang cantik jelita.
Ia merasa terkejut, gembira dan terharu. . . karena orang
yang dinanti-nantikan selama ini akhirnya kembali juga, ia
sudah lupa lelaki ini pernah mencelakai dirinya, ia lupa
seluruh hidupnya telah musnah dan hancur ditangan orang
ini.
Mendadak. . . .
"Ing-ko, benar-benar kau?" desisnya dengan nada
gemetar.
"Benar!"
"Ooooouw. . . .engko Ing, akhirnya kau kembali juga. . ."
Jeritnya penuh rasa haru.
Saking tak kuat menahan gejolak dalam hatinya,
bagaikan kalap dan histeris ia lari turun dari loteng dan
menubruk masuk kedalam pelukan Kiang Ing.
Tindakan yang mendadak dan tak terduga ini membuat
kesadaran Kiang Ing jadi pudar, iapun balas memeluk
perempuan itu erat-erat.
Masa indah tempo dulu, kini balik kembali.
Sudah tentu, pemandangan pada saat ini amat romantis,
mereka telah melupakan penderitaan selama ini untuk
saling mengisi kekosongan, kerinduan yang terpendam
dalam hati mereka masing-masing.
"Engkoh Ing. . . .benar-benar kau!" jeritnya lirih.
"Benar!. . ."
"Oooouw, engkoh Ing. . ." Jeritannya lirih, dan penuh
kesedihan akhirnya meledaklah suara tangisan yang
memekakkan telinga. . .
Tangisannya amat menyedihkan, amat memilukan hati
setiap orang yang ikut mendengar. Cu Hoa ikut terharu oleh
suasana yang dihadapinya didepan mata, air mata secara
tiba-tiba meluncur keluar membasahi pipinya, dengan sedih
ia ikut tundukkan kepala rendah-rendah.
Gadis ini merasa tidak tega melihat peristiwa yang
menyedihkan itu berlangsung didepan matanya. Kiang To
yang melihat peristiwa itupun ikut bersedih hati, diam-diam
ia menghela napas panjang.
Ketika itulah terdengar Tiap Hoa Siancu berkata lirih.
"Engkoh Ing, kenangan indah yang telah lalu, kini sudah
kembali lagi. . ."
"Benar, sudah kembali, sudah kembali. . ."
"Engkoh Ing. . . aku mengira sepanjang hidupku
selanjutnya tak bakal bisa berjumpa dengan dirimu lagi. . .
."
"Aku. . ." saking sesenggukan kata-kata selanjutnya tak
sempat meluncur keluar.
"Engkoh Ing, aku. . .aku tahu kau bisa kembali lagi. .
.tujuh belas tahun. . .oouw. . . sungguh panjang masa ini. . .
."
"Benar, sangat panjang!"
"Kau. . .akhirnya, kau kembali. .aku selalu
mengharapkan. . selalu menantikan hari macam ini. ."
Saking sedihnya Kiang Ing tak bisa bicara lagi, hanya air
mata jatuh bercucuran makin deras. . .ia tidak tahu ucapan
apa seharusnya diutarakan dalam keadaan seperti ini,
benar, ia tidak dapat bicara lagi, terpaksa ia membungkam.
"Giok moay, aku. . .aku merasa sangat menyesal
terhadap dirimu. . ."
Ucapan ini langsung menyadarkan kembali Tiap Hoa
Siancu dari rasa bahagia dan terharu, ia segera mendorong
badan Kiang Ing kedepan, sedangkan ia berdiri meloncat
mundur sejauh tujuh delapan langkah kebelakang.
Selama beberapa detik sepertinya ia sudah teringat akan
sesuatu. . .
Mendadak ia tertawa, tertawa kalap dengan suara yang
menggidikkan, menyeramkan membuat bulu kuduk pada
bangun berdiri. . . .
"Kenapa kau?" tanya Kiang Ing dengan rasa terperanjat.
Senyuman yang menghiasi wajah Tiap Hoa Siancu
lenyap tak berbekas, kini air mukanya berubah pucat pasi
bagaikan mayat.
"Kiang ing!" bentaknya keras. "kau. . . kau sudah
kembali. . .haaaa. . .haaaa. . .haaaaa. . . .sekarang kau baru
bisa menyesali perbuatanmu? Kiang Ing. . . ."
"Giok moay. . ."
"Tutup mulut, aku sudah bukan Giok moay-mu lagi!"
Air mukanya berubah hijau membesi, kembali bentaknya;
"Sekarang baru tahu kau menyesal kepadaku?"
Perlahan-lahan Kiang Ing menundukkan kepalanya
rendah-rendah.
"Kiang Ing. . . kenapa kau datang kemari?" bentak Tiap
Hoa Siancu keras-keras.
"Aku. . ."
"Kiang Ing, aku tahu kau bisa datang kemari, tapi bukan
karena cinta, melainkan karena mencari balas kepadaku,
bukankah begitu?"
"Tidak salah!"
"Kiang Ing, aku mau tanya, sepanjang hidupku
pernahkah aku Tiap Hoa Siancu bersikap tidak baik
kepadamu?"
"Aku sama sekali tidak pernah mengatakan kau bersikap
tidak baik kepadaku!"
"Jadi, kau ada maksud mempermainkan diriku?"
"Soal ini. . ." Kiang Ing jadi gelagapan dibuatnya.
"Kiang Ing, walaupun aku Tiap Hoa Siancu bukan
berasal dari gadis seorang kenamaan, tetapi akupun seorang
perempuan Bu-lim yang berkelakuan baik, tetapi kau. . .
setelah mempermainkan diriku lantas ditinggal pergi. . .kau.
. ."
"Aku. . ."
"Kau tidak mencintai diriku bukan?" kembali Tiap Hoa
Siancu menjengek sambil tertawa dingin. . ."Kiang Ing,
jikalau kau tidak menyukai diriku, mengapa kau
mempermainkan badanku, kehormatanku? Ayo jawab!. . ."
"Aku tidak pernah mengatakan aku tidak suka
kepadamu. . ."
Kembali perempuan itu tertawa dingin, selangkah demi
selangkah ia mendekati Kiang Ing.
"Kiang Ing!" teriaknya sambil kertak gigi. "Apa yang kau
cintai dariku? Perawanku? Badanku? atau Permainan diatas
ranjang?"
"Tidak. . .!"
"Kau tidak tahu bukan, aku sudah punya anak? Tahukah
sewaktu kau pergi didalam perutku sudah mengandung
anakmu? Jawab!"
"Aku tahu!"
"Setelah kau tahu, mengapa kau pergi? Sekalipun kau
tidak suka kepadaku, apakah anakmu pun tidak kau mau-i
lagi?"
"Aku. . . aku mengaku salah!"
"Mengaku salah? Kau mengakui kesalahanmu? Heeee. . .
heeee. . .heeee. . .Kiang Ing! Apa gunanya kau ucapkan
perkataan tersebut kepadaku? Apa yang telah kau berikan
kepadaku selama ini?" seru Tiap Hoa Siancu sambil tertawa
dingin.
Benar! Kiang Ing tidak pernah memberikan sesuatu
apapun kepadanya, ia hanya memberi kesedihan,
kepedihan kepadanya, belum pernah ia memberi
kesenangan, kegembiraan kepada perempuan ini.
"Ayoh jawab, apa yang pernah kau berikan kepadaku?"
teriaknya setengah menjerit.
"Aku. . .aku memberi penderitaan buatmu!"
"Benar, kau telah memberi penderitaan kepadaku,
kemudian bagaikan barang dagangan saja kau hadiahkan
badanku buat dipakai engkohmu Kiang Lang. . . Kiang Ing,
kau anggap aku sebagai apa? Kau anggap aku pelacur? yang
bisa diberikan dan dipakai oleh setiap orang?"
"Aku. . ."
"Kiang Ing penghidupanku selama ini telah hancur
ditanganmu, kau tidak menampik tuduhan ini bukan?"
"Aku tidak membantah!"
"Bagus sekali, hutang-hutang diantara kita selama ini
harus kita bereskan. . ." Diiringi jeritan keras, mendadak
badannya menerjang kehadapan Kiang Ing, bentaknya;
"Kiang Ing, ayoh turun tangan!"
Dengan pandangan bergidik, Kiang Ing memandang
sekejap wajah Tiap Hoa Siancu, ia merasa makin menyesal
lagi.
"Tidak!" akhirnya ia menolak.
"Kiang Ing, kau takut? Setelah kau merusak hidupku,
mengapa tidak sekalian kau bunuh diriku? Ayoh cepat
turun tangan. . ."
"Tidak!"
"Kiang Ing! Jadi kau tidak ingin turun tangan?"
"Benar. . ."
"Bagus, kalau begitu aku harus turun tangan sendiri!"
Badannya yang langsing laksana sambaran petir meluncur
kedepan, tangan kanannya diayun keatas, kemudian
dengan menggunakan sebuah jurus serangan yang amat
gencar menghajar diri Kiang Ing.
Kali ini Tiap Hoa Siancu turun tangan dengan maksud
mengadu jiwa, ia sudah membenci lelaki ini sampai
merasuk ketulang sumsum, kepingin sekali dalam sekali
hantaman membinasakan dirinya.
Setelah Tiap Hoa Siancu turun tangan, Kiang Ing tidak
berani berdiam diri lagi, buru-buru ia mundur kebelakang
untuk berkelit. Tetapi serangan kedua dari Tiap Hoa Siancu
kembali meluncur datang mengurung seluruh badannya.
Kepandaian silat yang demikian, yang dimiliki Tiap Hoa
Siancu bukan biasa-biasa saja, serangan ini benar-benar
mengejutkan hati. Karena terdesak, terpaksa Kiang Ing
angkat tangan kanannya untuk menangkis datangnya
serangan dari Tiap Hoa Siancu ini.
Bayangan manusia berkelebat lewat, secara beruntun
Tiap hoa Siancu mengirim tiga buah serangan gencar
mengancam tubuh lawan.
Sudah sejak lama Kiang Ing menyesali perbuatannya
terhadap diri Tiap Hoa Siancu, saat ini mana ia berani balas
menyerang? Sekalipun perempuan itu melancarkan tiga
buah serangan beruntun, ia hanya berani berkelit belaka.
Bab 42
Mendadak. . . .
"Tahan!" bentak Kiang To keras-keras.
Bentakan ini bagaikan guntur yang membelah bumi
disiang bolong, membuat setiap orang yang mendengar
merasakan telinganya mendengung dan sakit sekali.
Terburu-buru Tiap Hoa Siancu menarik kembali
serangannya dan mundur kebelakang. Kiang To segera
maju setindak kedepan, langsung mendesak kehadapan
Tiap Hoa Siancu.
"Apa yang kau kehendaki?" bentak Tiap Hoa Siancu
dingin.
Selapis hawa membunuh melintasi seluruh wajah Kiang
To.
"Tiap Hoa Siancu, coba kau lihat siapakah dia?"
teriaknya.
Ditengah suara bentakan tersebut, ia angkat tubuh si Iblis
Sinting keatas lantas diayun kearah Tiap Hoa Siancu.
Ketika perempuan itu dapat mengenali orang itu, air
mukanya langsung berubah hebat.
"Tiap Hoa Siancu, siapakah dia?" teriaknya.
"Si Iblis Sinting!"
"Dia adalah pembunuh ayahku?" kembali pemuda itu
berteriak.
"Oooouw. . . benar, ayahmu bernama Sam Ciat Sin-cun
bukan?. . ."
"Tidak salah!"
"Kalau bigitu benar, dia adalah salah seorang pembunuh
orang tuamu. . ."
"Termasuk kau?" ujar Kiang To penuh napsu.
"Benar!"
"Mengapa kalian membinasakan mereka? Jawab!"
"Heee. . .heeeee. . .heeee. . . benci! Aku benci dirinya!"
"Sekalipun kalian benci kepadanya, tidak seharusnya
membunuh ayahku!"
"Tetapi yang kubenci adalah orang-orang she Kiang,
tahu? Kami akan menghancurkan mereka. . ."
"Kecuali kau serta si Iblis Sinting, masih ada siapa lagi?"
"Aku percaya Kiang Ing sudah beritahu kepadamu!"
"Kurang ajar, justru aku minta kau yang bicara sendiri!"
"Masih ada lagi si Tangan Pencabut Bunga serta Sin Mo
Kiam Khek Pek Thian Ki!"
"Siapa yang berdiri dibelakang layar memberi perintah
pada kalian?. . ."
"Kau boleh tanyakan sendiri dengan diri Pek Thian Ki,"
jawab perempuan itu hambar.
"Kenapa kau tidak sampai mati ?? Bukankah kau terlibat
dalam peristiwa berdarah itu?"
"Sewaktu perkampungan Im San Piat Yen terbakar, aku
berhasil meloloskan diri. . ."
"Siapa yang membakar rumah tersebut?" sela sang
pemuda sebelum perempuan itu melanjutkan kata-katanya.
"Si Tangan Pencabut Bunga serta si Iblis Sinting yang
bakar perkampungan, sedang Pek Thian Ki bertanggung
jawab dalam membunuh orang, dalam keadaan tidak
bersiap sedia, hampir-hampir saja aku mati ditangan Pek
Thian Ki. . ."
"Eeeee. . . Bukankah kalian bersekongkol? Kenapa dia
ada maksud sekalian membinasakan dirimu?"
"Inilah dikarenakan hati lelaki tak seorangpun yang bisa
dipercaya, lelaki dikolong langit kejam semua, Mereka
ingin tutup mulutku, maka aku sekalian akan dibunuh,
tetapi akhirnya dengan membawa luka aku berhasil
melarikan diri dari lorong rahasia, sedang mereka
menganggap aku sudah mati. ."
"Sekarang Pek Thian Ki ada dimana?" kembali pemuda
itu menyela.
"Aku tidak tahu."
"Si Tangan Pencabut Bunga?"
"Aku juga tidak tahu!"
"Kau tahu soal rahasia peta rumah berdarah?"
"Sudah tentu tahu!"
"Kalau begitu, bicaralah!"
"Peta rumah berdarah adalah barang mustika Bu-lim
yang berhasil didapatkan ayahmu, kecuali Giok Mey Jin
seorang tak seorangpun yang tahu ia sembunyikan benda
itu dimana. . . ."
"Dan kau tahu soal penyewaan rumah?" desak sang
pemuda she Kiang lebih jauh.
"Tahu, hal ini dikarenakan peta rumah berdarah!"
"Peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan dirimu?"
pemuda ini coba memancing.
"Mungkin ada, mungkin tidak ada hubungan, apa
maksudnya kau menanyakan persoalan ini?"
"Eeeeeei. . . .apa maksudmu bicara demikian? Kan aku
hanya ingin tahu saja?"
"Hmm!" Perempuan itu mendengus dingin, setelah
termenung beberapa saat, akhirnya ia berkata juga, "Karena
mereka hendak gunakan rumahku untuk disewakan kepada
orang lain, juga menggunakan namaku untuk pekerjaan ini,
maka aku termasuk salah seorang pembunuh didalam
kejahatan tersebut. . ."
"Kau ada hubungan dengan Loteng Genta?"
"Loteng Genta? Nama ini baru pertama ini kudengar."
"Tiap Hoa Siancu!" ujar Kiang To kemudian dengan
dingin. "Kau telah membinasakan orang tuaku, juga
termasuk salah seorang perencana dari kejahatan tersebut,
aku tak dapat mengampuni dirimu.."
"Ooooouw. . . jadi kau ingin membalas dendam?" Jengek
si Bidadari Kupu-kupu dan Bunga ini.
"Tidak salah!"
"Kalau begitu, silahkan mulai turun tangan!"
Air muka Kiang To penuh diliputi napsu membunuh,
selangkah demi selangkah ia mendekati diri Tiap Hoa
Siancu. . . .
Melihat kebulatan tekad sang pemuda, Kiang Ing sebagai
pamannya tak dapat berbuat apa-apa kendati yang
dimusuhi adalah bekas kekasihnya, dengan wajah sedih ia
menyingkir kesamping.
Tiba-tiba. . . .
Suara bentakan bergema memenuhi angkasa, ditengah
suara bentakan yang keras itulah tubuh Kiang To mendesak
maju kedepan diiringi sebuah serangan dahsyat mengancam
bagian bahaya diatas tubuh Tiap Hoa Siancu, Serangan
yang dilancarkan Kiang To cepat laksana sambaran kilat,
apalagi tenaga dalamnya pada saat ini sudah mencapai
pada saat-saat puncaknya, serangan ini laksana ambruknya
gunung Thay-san dan menggulungnya ombak ditengah
samudra.
Tiap Hoa Siancu membentak keras, ia segera mengirim
sebuah serangan pula mengunci datangnya serangan lawan.
Serangan yang dilancarkan kedua belah pihak samasama
cepatnya, tampak bayangan manusia berkelebat
lewat, masing-masing telah mencelat kebelakang dengan
sempoyongan, jelas didalam serangan ini kedua belah pihak
tak ada yang berhasil mengungguli lawannya.
"Tiap Hoa Siancu! Sungguh dahsyat tenaga sinkangmu,"
bentak Kiang To keras-keras.
"Kaupun tidak lemah!"
Ketika itulah mendadak Kiang Ing melangkah maju
kedepan menghadang dihadapan Tiap Hoa Siancu.
"Ui Mey Giok, bolehkah aku menanyakan satu urusan
kepadamu?" ujarnya.
"Cepat katakan!"
"Di. . . dimana anakmu?"
"Mungkin sudah mati ditelan kobaran api, kau sangat
gembira bukan. . .?"
Dengan bersedih hati Kiang Ing menunduk dan mundur
kembali kebelakang.
"Tiap Hoa Siancu, terima kembali sebuah seranganku!"
sekali lagi Kiang To membentak.
Badannya meluncur kedepan, telapak tangannya
berkelebat kiri kanan mengirim satu pukulan kedepan.
Serangan pertama baru meluncur, serangan kedua siap
dilancarkan kembali. . .
Pada saat itulah Tiap Hoa Siancu tak dapat menahan
rasa gusar didalam hatinya lagi, tangan kiri diayun kedepan
melemparkan tubuh si Iblis Sinting kearah datangnya
serangan Kiang To tersebut.
Suara jeritan bergema memenuhi angkasa, tubuh Iblis
Sinting hancur berantakan seketika itu juga, ia menemui
ajalnya dengan darah segar muncrat memnuhi lantai.
Menggunakan kesempatan itulah, dengan kecepatan
penuh Tiap Hoa Siancu balas mengirim sebuah serangan
gencar. Serangan yang dilancarkan perempuan itu sungguh
ada diluar dugaan, kontan Kiang To terdesak mundur tiga
empat langkah kebelakang.
Setelah berhasil merebut posisi diatas angin, Tiap Hoa
Siancu melancarkan kembali tiga buah serangan berantai.
Dengan demikian Kiang To makin terdesak lagi, sehingga
susah untuk melancarkan serangan balasan.
Cu Hoa yang ada disisi kalangan, setelah melihat
kejadian itu, hatinya mulai khawatir, keringat dingin
mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Mendadak suara bentakan kembali bergema, serangan
Tiap Hoa Siancu laksana ambruknya gunung dan
tumpahnya samudra menggulung tubuh Kiang To,
Serangan itu datangnya amat cepat, sehingga sama sekali
tidak memberi kesempatan bagi Kiang To untuk berkelit,
terpaksa pemuda ini kertak gigi menerima datangnya
serangan tersebut dengan keras lawan keras.
Mengambil ketika pemuda itu mengunci datangnya
serangan tangan kanan, Tiap Hoa Siancu mengebutkan
tangan kirinya menghantam dada pemuda she Kiang
tersebut.
"Braaaaak!" Kiang To muntah darah segar, badannya
terpental dan menggeletak diatas tanah.
Tiap Hoa Siancu segera menerjang lebih kedepan untuk
menambahi sebuah serangan kembali.
"Aaaaach. . .!" saking kagetnya Cu Hoa berseru tertahan.
Mendadak. . . Kiang To yang menggeletak diatas tanah
secara tiba-tiba meloncat bangun, kaki kirinya mengirim
sebuah tendangan kilat mengancam lambung perempuan
tersebut.
"Braaaaak, Tiap Hoa Siancu yang tidak menyangka akan
datangnya tendangan kilat dari sang pemuda, dengan telak
kena terhajar, badannya mencelat ketengah udara dan
akhirnya terbanting keras-keras diatas tanah, dari mulutnya
muntahkan darah segar. . .
Dengan payah Kiang To merangkak bangun, selangkah
demi selangkah ia mendekati Tiap Hoa Siancu, napsu
membunuh makin menebal meliputi wajahnya.
Sekonyong-konyong. . . .
Tangan kanannya perlahan-lahan diangkat keatas
bentaknya; "Tiap Hoa Siancu, serahkan nyawamu!"
Ditengah suara bentakan yang keras, telapaknya
perlahan-lahan diayun kearah tubuh perempuan tersebut.
Tetapi secara mendadak ia tarik kembali tangannya,
tindakan tersebut tentu saja membuat Cu Hoa serta Kiang
Ing tercengang, mereka tidak menduga pemuda itu bisa
tarik kembali telapaknya.
Seraya menggertak gigi, pemuda itu angkat seluruh
tubuh Tiap Hoa Siancu keatas, dan tepat ketika itu
perempuan tersebut telah sadar kembali dari pingsannya. Ia
pandang wajah Kiang To dengan sayu, air mukanya pucat
pasi bagaikan mayat.
Kiang To tertawa dingin tiada hentinya. "Heee. . .heee. .
.heee. . . Tiap Hoa Siancu, tak kau sangka dirimu bisa
menemui kejadian seperti ini hari bukan. . .?" jengeknya.
"Ayoh cepat turun tangan!"
"Tiap Hoa Siancu." teriak Kiang To sambil menggertak
gigi, "Ayahku bersikap sangat baik kepadamu, diantara
kalian tiada ikatan dendam ataupun sakit hati, mengapa
kau begitu tega untuk bersekongkol dengan orang untuk
bersama-sama mencelakai dirinya? Hatimu benar-benar
amat keji!"
"Hmmm!" Sudah tidak usah banyak bicara, ayoh cepat
turun tangan bunuh diriku!"
"Heee. . .heee. . .heee. . . Tiap Hoa Siancu, aku ingin
bertanya lagi kepadamu, dimanakah si Tangan Pencabut
Bunga serta Pek Thian Ki kini berada?"
"Aku tidak tahu!"
"Siapa yang memerintahkan kalian berbuat demikian?"
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu!"
Habis sudah kesabaran dari pemuda ini, seraya
menggertak gigi, bentaknya keras-keras;
"Tiap Hoa Siancu, aku tak akan membinasakan dirimu. .
. tapi aku ingin beritahu satu hal kepadamu, aku bisa pergi
mencari Pek Thian Ki serta si Tangan Pencabut Bunga!"
Seraya berkata ia banting tubuh perempuan Bidadari
Kupu2-dan Bunga ini keatas tanah.
"Kenapa tidak sekalian kau bunuh dirinya?" Perlahan
Kiang Ing bertanya dengan nada sedih.
Kiang to menghela napas panjang. "Aku tidak ingin
membunuh dirinya, karena selama ini kau telah banyak
menyiksa dan membuat ia menderita, maka aku suka
mengampuni dirinya satu kali, aku ingin bayarkan
hutangmu kepadanya."
Air mata jatuh berlinang membasahi seluruh kelopak
mata Kiang Ing, ia merasa amat sedih. "Aku telah
mencelakai seorang perempuan, menghancurkan banyak
soal. . . seluruh dosa, akulah yang mulai. . . ."
Kiang To pun tertawa getir melihat kesedihan
pamannya. "Kadang kala suatu tindakan yang tanpa
sengaja dan tanpa mengandung maksud tertentu dapat
menciptakan berpuluh-puluh macam kesedihan, aaai. . .
paman, mari kita pergi!"
Kiang Ing mengangguk, dipandangnya sekejap wajah
perempuan bekas kekasihnya, lalu putar badan dan berlalu
dari sana. Demikianlah mereka bertiga segera berjalan
keluar dari rumah misterius itu menuju kearah luar.
Beberapa saat kemudian, mendadak Kiang Ing berhenti
berlari. "Kalian berangkatlah terlebih dulu!" serunya tibatiba.
"Kau? Kenapa kau paman?"
"Aku. . ." ia tertawa getir dan menghela napas panjang,
"Aku ingin baik-baik berpikir, aku ingin mengenang
kembali apa yang telah kulakukan sepanjang hidupku, soal
apa dan siapa saja yang kuhancurkan hidupnya. . . .kalian
pergilah dahulu, pada suatu ketika aku bisa datang mencari
diri kalian lagi!"
"Paman. . ."
"Pergi dan carilah Hu Toa Kan, kemungkinan besar ia
tahu dimana Pek Thian Ki sekarang berada!"
Mendengar ucapan tersebut seluruh tubuh Kiang To
tergetar keras, tak kuasa ia berseru tertahan. "Apa? Hu Toa
Kan tahu dimanakah Pek thian Ki si bangsat terkutuk itu
kini berada?"
"Kemungkinan besar benar, karena menurut dugaanku,
diapun termasuk salah seorang yang berkomplot dalam
persekongkolan dengan mereka untuk berbuat peristiwa
sekeji ini."
Kiang To mengangguk, dengan ter-mangu2 ia
memandang wajah Kiang Ing pamannya yang berdiri termangu2
disana, Untuk beberapa saat lamanya, ia merasa
hatinya ikut sedih dan pilu mengingat penderitaan yang
dijalani pamannya selama ini.
Akhirnya dengan hati berat dan kesedihan yang ditekan,
ia putar badan berlalu dari sana diikuti Cu Hoa dari
belakang.
Sekeluarnya dari hutan Touw, tiba-tiba Cu Hoa menyapa
dengan suara yang halus;
"Kiang Siauw-hiap!"
"Ehmm. . .!"
"Akupun seharusnya pergi dahulu meninggalkan dirimu
untuk sementara waktu."
"Apa?. . . kau. . . kaupun hendak pergi? Kau hendak
pergi kemana?"
Air muka gadis itu berubah amat sedih, kepalanya
tertunduk rendah-rendah dan membungkam dalam seribu
bahasa. Melihat gadis itu membungkam, air muka Kian To
pun ikut berubah penuh kesedihan, perlahan-lahan ia
menghela napas panjang.
"Nona Cu, kau telah banyak menolong diriku, aku
merasa sangat berterima kasih kepadamu."
"Hal itu sudah seharusnya," gadis itu tertawa sedih.
"Cuma aku berharap pada suatu ketika kau dapat
mengunjungi lembah Bu Cing Kok kami, karena suhu ingin
berjumpa dengan dirimu. . ."
"Aku pasti akan pergi kesana, pada suatu hari aku
berjanji akan mengunjungi gurumu!"
"Kalau begitu aku pergi dulu, baik-baiklah kau berjaga
diri dan sampai jumpa lain waktu!"
Kiang To mengangguk perlahan.
"Pergilah !. . ."
Dengan hati yang sedih, gadis tersebut perlahan-lahan
putar badan dan melangkah pergi dari sana.
Melihat gadis itu berberat hati meninggalkan dirinya,
jantung Kiang To berdebar keras, tak tertahan lagi ia
berseru;
"Nona Cu. . ."
Mendengar teguran itu Cu Hoa berhenti, perlahan-lahan
putar badan.
"Kau masih ada urusan apa lagi?"
"Aku?. . .aku. . .aku. . ." Mendadak ia menubruk maju
kedepan, bagaikan seekor binatang liar dengan kasar dan
penuh napsu ia terjang tubuh gadis tersebut, kemudian
dipeluknya erat-erat.
Selama ini Cu Hoa selalu berharap pada suatu ketika ia
bisa berbuat demikian, kini ketika dirinya dipeluk oleh
pemuda idaman hatinya ia mendesis lirih;
"Kiang Siauw-hiap?. . ." Ia balas pelukan perjaka tersebut
dengan tidak kalah eratnya.
Cinta yang bersemi dan selalu dipendam dalam hatinya
kini tak bisa dibendung lagi, mengalir keluarlah perasaan
yang selalu ditekan selama ini.
Ia cium gadis itu dengan penuh mesra, bibirnya yang
merah merekah dan kecil mungil menambah kenikmatan
dari ciuman tersebut. . . .
Gadis itu tidak mau kalah, dengan bernapsu dibalasnya
ciuman pemuda itu dengan suatu kecupan yang hangat dan
bergairah.
Saat itu juga ia telah menyerahkan dan persembahkan
seluruh cinta kasihnya buat pemuda ini, cinta yang suci
bersih serta kehangatan tubuhnya yang menggiurkan. . . . .
Lama. . . lama sekali Kiang To baru melepaskan pelukan
gadis tersebut, ia temukan Cu Hoa sedang terisak, air mata
jatuh berlinang membasahi seluruh kelopak matanya.
"Eeeei. . . kenapa kau?" tanya Kiang To tertegun.
Gadis itu bungkam dalam seribu bahasa.
"Apakah perbuatanku yang terlalu kasar, sehingga
menyakiti dirimu?"
"Tidak. . . !" gadis itu menggeleng.
"Lalu kenapa. . .?"
"Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan hal ini, Kiang
Siauw-hiap! Karena rasa girang, bisa menerima cintamu,
aku mengucurkan air mata kegirangan, semoga saja kau
tidak menerima cinta kasihku yang suci sebagai barang
mainan. . . ."
"Aku tak akan berbuat demikian nona Cu, kau
percayalah, aku benar-benar mencintai dirimu."
"Selama hidupku, aku hanya mencintai kau seorang,
Kiang Siauw-hiap, moga-moga kau selalu mengingat akan
diriku."
"Aku dapat mengingat dirimu selalu, sampai mati tak
akan kulupakan dirimu!"
"Kiang Siauw-hiap kalau begitu, aku harus pergi dulu,
semoga kau tidak akan menyia-nyiakan harapanku. . ."
"Nona Cu, jangan khawatir, tak akan kulupakan dirimu
selama hidup. . ."
"Aku akan pergi dulu, setelah kau tiba digunung Lui Im
San, janganlah menyalahi Hu Siauw In, dia adalah
isterimu, sejak dahulu sampai akhir hidupmu dia tetap
merupakan isterimu, mengerti?"
"Aku mengerti!"
"Nah, pergilah, jikalau didalam sepuluh hari ini kau tak
sempat mencari aku, maka aku bisa pergi mencari dirimu."
"Baik, kita janji begini saja!"
Dan merekapun berpisah. . .
Perpisahan ini membawa rasa sedih yang tak terhingga. .
. tetapi mengandung pula harapan yang tiada batasnya.
Kiang To langsung menuju kegunung Lui Im San,
sedang Cu Hoa gadis tersebut pergi menyelesaikan tugas
sendiri.
Mereka berpisah untuk sementara dan akan berjumpa
kembali dikemudian hari.
Kisah inipun tamat untuk bagian pertama, untuk
kemudian disambung bagian dua dengan judul: "CINTA
DAN DENDAM'
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai

  • No 2 Su Tugas 7
    No 2 Su Tugas 7
    Dokumen3 halaman
    No 2 Su Tugas 7
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • No 1 Su Tugas 7
    No 1 Su Tugas 7
    Dokumen5 halaman
    No 1 Su Tugas 7
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Mixing
    Bab Ii Mixing
    Dokumen19 halaman
    Bab Ii Mixing
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv Mixing
    Bab Iv Mixing
    Dokumen5 halaman
    Bab Iv Mixing
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii He
    Bab Iii He
    Dokumen4 halaman
    Bab Iii He
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • No 1 Su Tugas 7
    No 1 Su Tugas 7
    Dokumen5 halaman
    No 1 Su Tugas 7
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kelompok TRK
    Tugas Kelompok TRK
    Dokumen7 halaman
    Tugas Kelompok TRK
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • No 2 Su Tugas 7
    No 2 Su Tugas 7
    Dokumen3 halaman
    No 2 Su Tugas 7
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Mixing
    Bab Ii Mixing
    Dokumen19 halaman
    Bab Ii Mixing
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • 05 Neraca Energi Pada Sistem Perpipaan
    05 Neraca Energi Pada Sistem Perpipaan
    Dokumen13 halaman
    05 Neraca Energi Pada Sistem Perpipaan
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii He
    Bab Iii He
    Dokumen3 halaman
    Bab Iii He
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Tugas04 09B
    Tugas04 09B
    Dokumen13 halaman
    Tugas04 09B
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Tugas 5 SU
    Tugas 5 SU
    Dokumen14 halaman
    Tugas 5 SU
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Tugas03 09B
    Tugas03 09B
    Dokumen11 halaman
    Tugas03 09B
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Tugas02 7B
    Tugas02 7B
    Dokumen36 halaman
    Tugas02 7B
    laila kristi
    Belum ada peringkat
  • Tugas08 7B
    Tugas08 7B
    Dokumen23 halaman
    Tugas08 7B
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • PendekarGila CaoReBing
    PendekarGila CaoReBing
    Dokumen122 halaman
    PendekarGila CaoReBing
    aditoothless
    Belum ada peringkat
  • Tugas01 7B
    Tugas01 7B
    Dokumen47 halaman
    Tugas01 7B
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • 06 Friction Loss Pada Sistem Perpipaan
    06 Friction Loss Pada Sistem Perpipaan
    Dokumen11 halaman
    06 Friction Loss Pada Sistem Perpipaan
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Tugas02 7B
    Tugas02 7B
    Dokumen36 halaman
    Tugas02 7B
    laila kristi
    Belum ada peringkat
  • Tugas07 7B
    Tugas07 7B
    Dokumen25 halaman
    Tugas07 7B
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii - 3
    Bab Ii - 3
    Dokumen17 halaman
    Bab Ii - 3
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
    Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
    Dokumen14 halaman
    Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
    Dwiki Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
    Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
    Dokumen14 halaman
    Bab Ii Tinjauan Pustaka PDF
    Dwiki Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Istana Tanpa Bayangan (Elfenan) BT
    Istana Tanpa Bayangan (Elfenan) BT
    Dokumen114 halaman
    Istana Tanpa Bayangan (Elfenan) BT
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat
  • Bukek Kangs in Kang
    Bukek Kangs in Kang
    Dokumen493 halaman
    Bukek Kangs in Kang
    Rama Donnie Finsa
    100% (2)
  • Bab Ii - 3
    Bab Ii - 3
    Dokumen17 halaman
    Bab Ii - 3
    LAILA KRISTINA HENDRAWAN
    Belum ada peringkat