0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
435 tayangan525 halaman
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid l
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Boe Beng Tjoe (Oey An Siok), 1915 - ?
Pendekar Wanita Penjebar Bunga (San Hoa Lie Hiap)/ Boe Beng Tjoe (Oey
An Siok), Surabaya: Tjerita Silat bekerja sama dengan Masyarakat Tjerita Silat, 2005.
809 halaman; 18 cm
ISBN 979-3743-13-1 (Nomor Jilid Lengkap) ISBN 979-3743-14-X (Jilid I)
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid l
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Boe Beng Tjoe (Oey An Siok), 1915 - ?
Pendekar Wanita Penjebar Bunga (San Hoa Lie Hiap)/ Boe Beng Tjoe (Oey
An Siok), Surabaya: Tjerita Silat bekerja sama dengan Masyarakat Tjerita Silat, 2005.
809 halaman; 18 cm
ISBN 979-3743-13-1 (Nomor Jilid Lengkap) ISBN 979-3743-14-X (Jilid I)
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid l
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Boe Beng Tjoe (Oey An Siok), 1915 - ?
Pendekar Wanita Penjebar Bunga (San Hoa Lie Hiap)/ Boe Beng Tjoe (Oey
An Siok), Surabaya: Tjerita Silat bekerja sama dengan Masyarakat Tjerita Silat, 2005.
809 halaman; 18 cm
ISBN 979-3743-13-1 (Nomor Jilid Lengkap) ISBN 979-3743-14-X (Jilid I)
Jilid l Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat Surabaya 2008 PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA (SAN HOA LIE HIAP) Jilid l Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat Surabaya 2008 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Boe Beng Tjoe (Oey An Siok), 1915 - ? Pendekar Wanita Penjebar Bunga (San Hoa Lie Hiap)/ Boe Beng Tjoe (Oey An Siok), Surabaya: Tjerita Silat bekerja sama dengan Masyarakat Tjerita Silat, 2005. 809 halaman; 18 cm ISBN 979-3743-13-1 (Nomor Jilid Lengkap) ISBN 979-3743-14-X (Jilid I) 1. Cerita Silat 2. Judul PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA (San Hoa Lie Hiap) Cetakan pertama: Mekar Djaja, Djakarta, 1962. Cetakan kedua: Wastu Lanas Grafika, Surabaya, Maret 2005. Cetakan ketiga: Wastu Lanas Grafika, Surabaya, Maret 2008, Edisi E-Book wastu lanas grafika Jl. Gayungsari Timur III Blok MGI No. 22 Telp./Fax. +62-31-8291398 Surabaya 6023 4 www.wastulanas.com Suara tertawanya sekawanan anak nakal telah memecahkan kesunyian suatu dusun peg unungan. Pesta Goan-siauw (Tjapgomeh) baru lewat tiga hari, tapi sang bunga sudah mekar d i seluruh lembah. Entah gunung Tjouwlay san yang menahan angin utara barat, enta h musim semi memangnya datang terlalu siang, tapi kenyataannya adalah daerah peg unungan itu seakan-akan sudah ditutup dengan rangkaian bunga yang beraneka warna . Tjouwlay san terletak di propinsi Shoatang, sebelah utara Sungai Besar (Tiangkang), akan tetapi keadaannya pada waktu itu adalah seperti suasana dalam musim semi di daerah Kanglam (sebelah selatan Sungai Besar). Di sana-sini orang da- pat melihat beberapa rumah penduduk yang bersembunyi di antara pohon-pohon yang rindang daunnya. Di luar dusun, di sebidang tanah yang agak datar, terdapat satu empang besar, entah milik siapa. Kawanan anak nakal itu sedang bermain-main di pinggir empang, dengan disoroti ol eh matahari lohor yang hawanya hangat. Ada yang sedang menangkap kutu-kutu kecil tanpa memakai baju, ada yang berlari-lari main petak dan se-bagainya. Di antara mereka terdapat seorang anak yang macamnya agak luar biasa. Anak itu b erusia kira-kira dua belas tahun, mukanya yang hitam agak berminyak di bawah sin ar matahari, kedua kakinya yang telanjang memperlihatkan urat-urat yang berwarna hijau, badannya tegap, sedang paras mukanya yang seperti jagoan me mberi kesan bahwa dia itu adalah pemimpin dari kawan-kawannya. Mendadak ia membuka baju. "Hei!" ia berseru. "Siapa berani turut aku turun ke em pang menangkap ikan?" Meskipun dihangatkan sinar matahari, tapi tanpa baju kapas, hawa dingin masih te rlalu hebat. Kawanan anak nakal itu saling mengawasi, tak satu pun yang berani m enurut contohnya si Hitam. Salah seorang berjongkok dan mencelupkan sebelah tang annya ke dalam air. "Fui!" ia berseru. "Siauw Houwtjoe (si Harimau Kecil), otakm u benar-benar miring! Air luar biasa dinginnya, kau mau menyebur, nyebur-lah sen diri." Si Hitam yang dina- makan "Siauw Houwtjoe" mesem tawar, kedua matanya menyapu kawan-kawannya. "Setan -setan pengecut!" ia berteriak. "Tak ada satu yang berani nyebur?" Kawan-kawannya semua menggelengkan kepala sembari tertawa. Siauw Houwtjoe mengawasi satu kawannya dan berseru: "Siauw-liong (si Naga Kecil) ! Kau saja turut aku!" "Aku lebih suka berlutut tiga kali dihada-panmu!" jawab Siauw-liong. "Baiklah," kata si Hitam. "Mari sini kau!" Ia jambret bajunya Siau-wliong yang l antas didorong. "Plung!", Siauwliong kecebur, lalu disusul olehnya. Ia ambil segenggam lumpur yang lalu di poleskan di mukanya Siauwliong. Kawan-kawannya lantas saja menepuk- nepuk tangan sambil berteriak-teriak kegirangan. "Dingin! Mati aku!" berteriak Siauwliong, badannya menggigil. "Justa!" berteriak si Hitam sembari nyengir. "Kau pakai baju kapas, mana bisa di ngin?" "Baju ini baju baru," kata Siauwliong, meringis. "Baru dijahit oleh ibu." Siauw Houwtjoe tidak menggubris, ia terus mengeduk lumpur yang langsung dipolesk an ke muka dan bajunya Siauwliong. Selagi ramai bersen-da gurau, kawanan anak nakal yang berada di daratan mendadak menengok ke belakang dan suara tertawa tiba-tiba berhenti. Siauw Houwtjoe meno-ngolkan kepalanya dari dalam air dan melihat, dari dalam sel at gunung muncul tiga orang yang menunggang kuda. Di sebelah barat Tjouwlay san terdapat jalan raya yang menerus sampai di kota Tj eelam. Dahulu, antara jalan raya tersebut dan dusunnya Siauw Houwtjoe terdapat s ebuah jalan gunung yang cukup baik. Akan tetapi, oleh karena diserang banjir dan lama tak pernah dibikin betul, maka sekarang jalan gunung itu sudah jadi rusak sekali. Penduduk dusun yang berjalan kaki masih dapat juga menggunakan jalan itu , akan tetapi, bagi orang luar, terutama yang menunggang kuda, jalan tersebut su ngguh sukar dilewati. Dusun tersebut yang dikurung gunung-gunung, sebegitu jauh belum pernah kedatanga n tetamu. Maka dapatlah di mengerti, jika kawanan anak nakal itu menjadi sangat heran melihat kedatangannya tiga penunggang kuda itu, dua ant aranya adalah perwira tentara yang memakai sepatu tinggi, sedang yang satunya la gi adalah seorang laki-laki brewokan yang kedua matanya bersinar terang dan beru sia tiga puluh tahun lebih. Sebaliknya ketiga tetamu itu pun tak kurang herannya melihat kawanan anak nakal tersebut, terlebih pula ketika Siauw Houwtjoe muncul dari dalam air dengan celan a kuyup. Pakaian ketiga penunggang kuda itu, walaupun terbuat dari sutera, kelihatan comp ang-camping dan penuh debu, seperti juga mereka baru habis berkelahi. Kedua perw ira itu agaknya lelah sekali dan pada bajunya terlihat noda-noda da- rah. Pada jalan gunung di mulut dusun terdapat lubang akibat banjir, yang lebarnya ki ra-kira dua tombak. Lubang itu belum ditutup dan di atasnya hanya dipasangkan be berapa lembar papan kayu, yang selalu bergoyang-goyang jika ditiup angin dan tak mungkin dapat dilewati kuda yang badannya berat. Begitu tiba di depan lubang, m ereka loncat turun dari kudanya dengan niatan turun ke bawah untuk melewati solo kan itu. Siauw Houwtjoe yang berdiri di tengah empang, mengawasi tiga tetamu itu dengan s orot mata tajam, tanpa berkata suatu apa. Melihat sikapnya si Hitam, perwira yan g jalan paling dulu berpaling ke belakang. "Loohoan," katanya kepada lelaki brewokan. "Mula-mula aku sunguh tak percaya bahwa di dalam dusun i ni bersembunyi orang pandai. Tapi sekarang ternyata, bahwa mungkin sekali di sin i terdapat naga atau harimau yang menyembunyikan dirinya." Orang yang dipanggil "Loohoan" mesem lebar sembari tuntun kudanya turun ke solok an. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar ber-bengernya kuda. Larinya binatang itu luar biasa cepat. Barusan saja, ditaksir dari suaranya, dia masih berada kira-kira setengah lie jauhnya, tapi di lain detik, binatang itu t ahu-tahu sudah berada di belakang mereka! Sebelum sempat menengok, mereka merasakan kesiuran an gin yang sangat tajam dan satu bayangan hitam loncati kepala mereka, akan kemudian hinggap di seberang solokan! Ternyata, kuda itu bersama penunggang nya sudah meloncati solokan itu yang lebarnya kira-kira dua tombak. Kedua perwira dan "Loo-hoan" saling mengawasi dengan perasaan terkejut, sedang k awanan anak nakal itu bersorak-sorai dengan girangnya. Begitu tiba di seberang, si penunggang kuda lantas saja turun dari tunggangannya yang ke empat kakinya putih bagaikan salju, sedang badannya penuh dengan totol- totol putih. Kedua perwira itu adalah orang-orang yang banyak pengalamannya dan pernah melihat beribu-ribu kuda jempolan, tapi mereka sungguh belum pernah melih at kuda yang sebagus itu. Orang yang dipanggil "Loohoan" lebih-lebih kaget. "Apakah dia kembali munculkan diri dalam dunia Kangouw?" ia m enanya dalam hatinya. Begitu melihat tegas macamnya si penunggang kuda, mereka terkesiap. Ia itu adala h seorang pemuda yang baru berusia kira-kira enam belas tahun, badannya kurus da n mukanya cakap luar biasa, dengan kulit yang putih laksana batu pualam. Sembari menuntun kuda, perlahan-lahan, dengan tindakan ayu, ia menghampiri kawanan anak nakal itu. Gerakan-gerakan badannya ada sedemikian rupa, sehingga, jika ia tida k mengenakan baju boesoe (orang yang pandai silat), orang tentu akan menduga, ba hwa ia itu adalah wanita cantik yang menyamar sebagai lelaki. Kawanan bocah na- kal yang barusan lari berpencaran akibat "terbangnya" si penunggang kuda, sekarang sudah berkumpul kembali. Mereka jadi hilang takutnya oleh karena melihat penunggang kuda itu ada lah seorang muda yang usianya cuma lebih tua sedikit dari mereka dan pada bibirn ya yang merah, tersungging me-seman ramah tamah. Sembari menggapai ke tengah empang, pemuda itu berkata: "Eh, sahabat kecil! Kau naiklah!" Siauw Houwtjoe merangkak naik ke darat, sikapnya yang kaku berbeda dengan lain-l ain kawannya. "Eh, aku tidak mengenal kau, untuk apa kau panggil-panggil aku?" i a menanya sembari men-delikkan matanya. Badan Siauw Houwtjoe yang jangkung ha nya lebih kate sedikit dari pemuda itu. Melihat sikap menantang itu, si pemuda jadi tertawa, suaranya merdu nyaring, bag aikan kelenengan perak. "Tertawa apa kau?" menanya Siauw Houwtjoe, agak kaget. "Kau tertawai mukaku jele k, bukan?" Dengan mukanya yang seperti pantat kuali dan badannya yang telanjang, Siauw Houw tjoe kelihatan sangat lucu, terutama ketika ia membetulkan celananya yang meroso t turun. Mukanya si pemuda bersemu dadu dan kemudian ia berkata pula: "Siapa kata, mukamu jelek? Sebaliknya, mukamu sungguh menarik. Apa tak dingin menangkap ikan di empang itu?" "Tidak", jawabnya. "Hanya kawanan setan pengecut yang takut dingin. Hm! Aku malahan kepanasan!" Pemuda itu mesem-mesem urung. "Benar," katanya. "Aku pun merasa gerah. Orang-ora ng gagah memang tak takut dingin." Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sebua h kipas indah dan segera berkipas-kipas dengan perlahan, sambil mengusap-usap mu kanya yang berkeringat. Sikap Siauw Houwtjoe berobah, ia mengawasi sembari tertawa-tawa. "Yah", katanya. "Boleh juga kau mendapat julukan orang gagah. Eh, untuk apa kau panggil aku?" "Aku mau tanya, di mana rumahnya Thio Toasiok (Paman Thio)?" kata si pemuda. Pertanyaan si pemuda disambut dengan suara tertawa oleh kawanan anak nakal i tu. "Thio Toasiok?" berka- ta salah seorang anak. "Thio Toasiok adalah ayahnya sendiri. Kau tak tahu?" Pemuda itu jadi girang sekali. "Ha!" ia berseru. "Kalau begitu, dugaanku tepat s ekali. Siapa namamu?" "Namanya Thio Houwtjoe. Siauw Houwtjoe." seorang anak mendahului. "Oh, Siauw Houwtjoe?" kata si pemuda. "Siauw Houwtjoe! Tolong kau antarkan kepad a ayahmu." Siauw Houwtjoe tidak tertawa lagi. Ia mengawasi dengan mata dibuka lebar-lebar. "Kau ingin bertemu dengan ayahku?" menanya ia. "Benar," jawab si pemuda. "Antarlah aku. Sebentar aku persen kembang gula." Mendadak si Hitam angkat kedua tangannya yang penuh lumpur, dan sebelum orang dapat menduga, ia berbuat apa, kedua tangan itu sudah me-nyamb er ke arah muka si pemuda! Kawan-kawannya mengeluarkan seruan tertahan. Semua orang mengetahui, bahwa si Hitam nakal luar biasa. Akan tetapi, bahwa dia berani berlaku begitu kurang ajar terhadap seorang tetamu, adalah di luar dugaan kawan-kawannya. Si pemuda pun kelihatan agak terkejut, tapi pada bibirnya terus tersungging seny uman manis. "Siauw Houwtjoe, aku tak mempunyai tempo buat main-main dengan kau," katanya sembari mengipas. Kipasan itu mengeluarkan sambaran angin tajam dan air berlumpur lantas saja berbalik menghantam mukanya si Hitam. Kedua perwira dan "Loohoan" kaget bukan main. Sedikitpun mereka tidak menduga, b ahwa pemuda itu mempunyai tenaga dalam yang begitu kuat dan dapat mengeluarkan i lmu menimpuk dengan senjata rahasia yang sedemikian indah. "Plung!" Siauw Houwtjoe sudah menyebur lagi ke dalam air. "Aku juga tak mempunya i tempo untuk mengantar kau," ia berseru. "Hm! Ayahku tak sudi menemui siapa jug a. Apa pula kau!" "Tapi mungkin ayahmu suka menemui aku," kata si pemuda sembari tertawa. "Tidak! Tidak!" berteriak Siauw Houwtjoe. "Ayahku tak suka bertemu dengan siapa juga. Pergi! Pergi kau!" "Siauw Houwtjoe, jangan kau terlalu nakal," kata si pemuda. "Antar- lah aku. Kau lihat! Aku mempunyai sebotol kembang gula." "Apa anehnya kembang gula?" menjawab si nakal. "Jangan ganggu aku! Kalau nyalimu besar, turun kemari!" Ia tepuk-tepuk air yang pada muncrat ke atas. Si pemuda mengerutkan kedua alisnya. Ia agaknya merasa sedikit mendongkol. "Siau w Houwtjoe, jika kau membandel, aku akan paksa kau naik!" kata ia. "Setan kecil!" memaki si Hitam, "Jangan sombong! Kakekmu sekali kata tak naik, tetap tak naik!" "Kau tak percaya?" kata si pemuda sembari tertawa. "Aku kata kau naik, kau mesti naik!" Ia membungkuk dan memungut beberapa batu kecil. Ia mengayun tangannya dan menimp uk air empang dengan sebutir batu. Heran sungguh, orangnya begitu muda, tenaga dalamnya si pemuda begitu kuat. Begi tu mengenakan air, batu itu menerbitkan gelombang hebat dan kemudian air kotor m enyambar ke arah si Hitam. Buru-buru Siauw Houwtjoe selulup, tapi begitu lekas i a meno-ngolkan kepala, si pemuda lalu menimpuk pula dengan batunya. Dengan cepat , Siauw Houwtjoe terdesak ke pinggir empang, Siauw Houwtjoe bukan saja tidak dap at selulup terlalu lama, akan tetapi, walaupun berada di dalam air, ia selalu ha rus berjaga-jaga jangan sampai kesambar batu. Siauwliong menonton pertunjukan itu dengan hati berdebar-debar. Meskipun batu-ba tu itu bukan ditujukan kepadanya, akan tetapi, sebagai seorang kawan, ia sangat kuatirkan keselamatannya si Hitam. Tiba-tiba Siauw Houwjoe menggapai ia. Tanpa perdulikan sambaran batu, ia berenan g menghampiri kawannya itu. Si pemuda yang rupanya kuatir Siauwliong kena tertim puk, segera menghentikan timpukannya. Sesudah berbisik-bisik di kuping kawannya, Siauw Houwtjoe mendadak angkat badannya Siauwliong yang lalu dilemparkan ke daratan, sedang ia sendiri lalu selulup. Ses udah berenang kira-kira setombak, ia menongolkan kepalanya di atas air seraya be rteriak: "Aku tak akan naik!" "Aku tetap mau kau naik!" membalas si pemuda. Oleh karena di empang hanya keting galan Siauw Houwtjoe seorang, pemuda itu menimpuk semakin gencar dan dalam tempo sekejap, si Hitam sudah terdesak ke ping gir. Selagi pemuda itu menimpuk dengan gembira, tiba-tiba di belakangnya terdengar be ntakan: "Menghina anak kecil! Benar tak tahu malu!" Kedatangan pemuda itu membikin semua orang jadi terkejut. Ia berparas sangat cak ap dan menunggang seekor kuda bulu putih yang sangat garang. Begitu loncat turun dari tunggangannya, ia mengga-pe Siauw Houwtjoe. "Hei Sahabat kecil! Kau naikla h." kata ia. Siauw Houwtjoe segera merangkak naik kedarat. Si pemuda memutar badan dan dihadapan-nya berdiri seorang lelaki brewokan yang b ukan lain daripada "Loohoan". Barusan, kedua per- wira itu terkejut ketika lihat "Loohoan" menghampiri si pemuda dengan paras muka gusar. Mereka mau mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. "Aku hanya main-main, kenapa kau begitu usilan?" si pemuda balas membentak. "Kau lihat, apa aku lukakan seujung rambutnya?" "Dia memang anak nakal, tapi apa kau juga bukan bocah liar?" kata "Loohoan". "He i, Siauw Houwtjoe! Gebuk padanya atau jangan?" Si pemuda mengeluarkan suara di hidung. "Hm!" katanya. "Orang gagah dari mana un juk lagak di sini? Masih basah kuyup, sudah berani berkokok lagi. Dasar ayam!" Mukanya "Loohoan" lantas saja berobah merah. "Binatang kecil! Jangan rewel!" ia membentak sembari men- jotos dengan ilmu pukulan Siauwlim pay. Si pemuda menutup kipasnya yang segera digunakan untuk me-nyampok sang lawan. "L oohoan" pasang kuda-kuda dan mengecas dengan lengannya. Buru-buru si pemuda membuat satu lingka ran dengan kipasnya dan kemudian secara mendadak menyodok ke depan. "Loohoan" mundur setindak dan dengan menggunakan tenaga dalam, tangan kirinya menyodok den gan gerakan Toeitjho-eng bonggoat (Mendorong jendela melihat bulan). Dalam segeb -rakan itu, kedua belah pihak mengetahui, bahwa sang lawan bukan sembarang orang. Tapi jika dibandingkan, ilmunya "Loohoan" masih sedikit lebih rendah dari si pemuda dan itulah sebabnya, kenapa barusan ia sudah menggunakan tenaga dalamnya. Melihat kedua orang sudah bertempur, kawanan anak nakal itu pada berpencaran dan menonton dari tempat yang agak jauh. Mereka bersorak-sorai dan menepuk-nepuk tangan untuk menambah semangatnya kedua orang yang sedang bertempur. Siauwliong yang basah kuyup juga turut berdiri menonton di antara kawan-kawannya . Tiba-tiba Siauw Houwtjoe yang masih merendam di air, men-deliki ia. Siauwliong mendadak menangis keras. "Aku pulang!" ia berseru. "Aku pulang berita hukan ibu. Siauw Houwtjoe mesti ganti pakaianku!" Sembari berteriak-teriak begit u, ia lari pulang. Kawan-kawannya me- rasa heran. Mereka tahu, meskipun Siauwliong tidak begitu kepala batu seperti Si auw Houwtjoe, tapi dia sedikitnya bukan satu pengecut "cengeng" yang sedikit-sed ikit segera mengeluarkan air mata. Sungguh mereka belum pernah melihat Siauwlion g berlaku begitu rupa. Tapi mereka tak dapat memikir banyak-banyak, perhatian mereka sudah tertarik kembali oleh jalannya pertempuran. Ketika itu, tiga serangan berantai dari "Loohoan" semuanya sudah dapat dipunahka n oleh si pemuda, sedang beberapa totokan si pemuda pun telah diegos oleh "Loohoan". Setiap kali "Loohoan" maju du a tindak, ia terpaksa mundur kembali tiga tindak, sedang si pemuda pun begitu j uga, saban-saban menyerang selalu dipukul mundur kembali. Kedudukannya si pemuda berada di atas angin, tapi ia belum berhasil mendapat kemenangan yang memutuskan. Diam-diam "Loohoan" mengeluh. Sebagai seorang kenamaan dalam kalangan Kangouw, ia merasa malu sekali masih belum dapat menjatuhkan satu bocah sesudah bertempur begitu lama. Dalam jengkel nya, lantas saja ia mengambil putusan untuk mengeluarkan ilmu silat Lohan koen guna bertarung mati hidup dengan pemuda itu. Tapi sebelum ia me-robah cara bersilatnya, si pemuda mendadak menutup kipasnya d an berkata dengan suara nyaring: "Aku sungkan berpemandangan seperti Kedatangan pemuda itu membikin semua orang jadi terkejut. Ia berparas sangat cak ap dan menunggang seekor kuda bulu putih yang sangat garang. Begitu loncat turun dari tunggangannya, ia menggape Siauw-houw-tjoe. "Hei Sahabat kecil! Kau naikla h", kata ia. Siauw-houw-tjoe segera merangkak naik ke darat. kau! Aku tak mempunyai tempo lagi untuk meladeni kau!" Dengan sekali mengenjot b adan, ia sudah duduk di atas punggung kuda yang lantas dilarikan keras sekali. Kedua perwira itu dan "Loohoan" sendiri merasa sangat heran. Terang-terangan, si pemuda berada di atas angin. Tapi, kena pa ia mabur dengan begitu saja? Siauw Houwtjoe sudah merangkak naik ke daratan. Ia menepuk-nepuk tangan dan berk ata sembari tertawa: "Bagus! Pertempuran bagus sekali!" Mukanya "Loohoan" jadi berobah merah. "Siauw Houwtjoe," kata ia. "Apa ayahmu ada di rumah?" "Kau pun tanyakan ayah?" kata si Hitam sembari mendelik dan menepuk dadanya "Loohoan" dengan tangannya yang kotor. "Loohoan" menyampok dengan tangannya, berbareng menggaet dengan kakinya dan si H itam segera jatuh celentang. Tapi, begitu jatuh, dengan gerakan Leehie Tateng (I kan gabus meletik), begitu ia loncat berdiri kembali. "Apa kau Hoan Toa-ko?" menanya Siauw Houwtjoe. Si brewok manggut-manggutkan kepalanya. "Benar," katanya sembari tertawa. "Kau masih ingat?" Yah, si Hitam masih ingat padanya. Pada empat tahun berselang, ia pernah mengina p semalaman di rumah ayahnya Siauw Houwtjoe. Ketika itu, ia pernah mengajarkan i lmu menggaet Houw-wiekak (Ilmu menggaet buntut harimau) kepada Siauw Houwtjoe. Barusan, waktu digaet dengan ilmu Houwwiekak, ingatlah Siauw Houwtjoe kepada Hoan Toako, si kakak bere-wokan yang pada empat t ahun berselang, brewoknya tidak setebal sekarang. Si Hitam lantas saja tertawa haha hihi. "Hoan Toako," katanya. "Bagus betul kau punya pukulan berantai tiga kali beruntun. Hoan Toako, tolong kau ajarkan aku ti ga pukulan itu." "Loohoan" mengawasi cap tangan lumpur di dadanya akibat pukulan Siauw Houwtjoe. Ia terbahak-bahak seraya berkata: "Siauw Houwtjoe! Kau benar jempol! Lagi dua ta hun, Hoan Toako tak dapat mengajar kau lagi. Baiklah. Mari kita berangkat sekara ng." "Kalian bertiga?" me- nanya si Hitam. "Benar," jawab "Loohoan". "Kedua Taydjin (panggilan menghormat untuk orang berpa ngkat) ini adalah sahabatku." Mendengar pembicaraan itu, kedua perwira itu merasa kagum oleh karena si Hitam y ang masih begitu kecil rupanya sudah mengerti baik ilmu silat. Mereka menghampir i dan sembari mesem-mesem, mereka mengangsurkan tangan. Tapi sambutannya si nakal tak diduga-duga. Ia hanya melirik dan tidak meladeni. "Baiklah," katanya kepada "Loo hoan". "Dengan memandang mukamu, aku akan antarkan kalian. Akan tetapi, kalau ay ahku tak suka menemui, jangan kau menyalahkan aku." "Loohoan" merasa geli dalam hatinya mendengar perkataan si Hitam, yang meskipun masih begitu kecil, su dah berbicara seperti seorang Kangouw kawakan. Di lain pihak, kedua perwira itu yang kena "membentur tembok", sudah merasa mendongkol sekali, tapi mereka tentu saja tak dapat melamp iaskan rasa gusarnya terhadap satu bocah cilik. Sambil menuntun kuda, ketiga tetamu itu lantas saja jalan mengikuti Siauw Houwtj oe. Sesudah berjalan kira-kira sejam dengan melewati jalanan gunung yang sukar dan berbiluk-biluk, tibalah mereka di depan sebuah rumah batu yang dibuat di lamping gunung. Rumah batu itu ber-bentuk sebagai benteng dan tin gginya hampir dua tombak, pekarangannya cukup luas, sedang di depannya terdapat beberapa pohon siong tua. Sesudah menambat tunggangan mereka, "Loohoan" dan kedua kawannya segera menghampiri pintu, yang dirapati. Siauw Houwtjoe sudah mendahului masuk dengan berlari-lari. "Thia! " ia berseru. "Si Brewok, Hoan Toako, datang berkunjung." Tapi dari dalam sama s ekali tidak terdengar jawaban. "Hoan Toako!" si Hitam berseru sembari menggapai. "Mari! Mari sini!" Hoan Toako dan kedua perwira itu lantas saja masuk ke ruangan depan. Pada tembok batu, di ruangan itu, mereka lihat tiga kuntum bunga bwee yang berwarna merah. Bunga ternyata merupakan ukiran, beberapa dim dalamnya di dalam batu itu. "Loohoan" terkesiap. Ia masuk ke beberapa kamar, tapi tak dapat menemui tuan rumah atau ta nda-tanda lain. Segala perabotan tetap berada di tempatnya, sama sekali tidak te rdapat tanda-tanda bekas diganggu. "Mungkin tanda itu adalah tandanya seorang Kangouw," berkata salah seorang perwi ra. "Mungkin penjahat yang liehay sekali." Siauw Houwtjoe men-jebi, seperti juga mau mengatakan, bahwa hal itu tak usah dis ebutkan lagi, sebab sudahlah terang bagaikan siang. "Mungkin tanda yang ditinggalkan oleh pemuda tadi," kata perwira yang satunya la gi. "Loohoan" mendadak menepuk kedua tangannya. "Benar," berseru ia. "Sepul uh sembilan mestinya dia!" "Pemuda itu sangat liehay," berkata pula perwira yang pertama. "Apakah tak bisa jadi, sahabatmu sudah kena dibinasakan olehnya?" "Kentut!" berteriak Siauw Houwtjoe sembari mendelik. "Ayahku sudah binasakan entah berapa banyak orang gagah! Walaupun kepandaiannya bocah it u dua kali lipat lebih tinggi, ayahku tak pandang sebelah mata. Berani benar kau ngaco belo!" Perwira itu jadi naik darah, tapi sebelum ia unjuk kegusarannya, "Loohoan" buru- buru menarik Siauw Houwtjoe ke samping dan berkata dengan suara membujuk: "Maksu dnya Taydjin baik sekali. Ia tak pernah katakan, ayahmu tidak mempunyai kepandai an tinggi." Siauw Houwtjoe te- tap merengut, hatinya tetap mendongkol. "Siauw Houwtjoe," kata "Loohoan" sembari tertawa. "Coba lihat! Lihat apa ayahmu sudah pulang atau belum. Kami menunggu di sini. Besok pagi, aku akan ajarkan kau pukulan berantai tiga kali. Eh, Siauw Houwtjoe! Toako datang, kau tak menyuguhk an apa-apa? Kalau kau terus main marah-marahan, lain kali aku tak akan datang la gi di sini." Mendengar omongan itu, Siauw Houwtjoe jadi tertawa. "Hoan Toako," katanya. "Aku ingat, kau suka sekali minum arak. Waktu itu, diam-diam kau ajarkan aku minum, h ampir-hampir diketahui ayah. Baiklah. Aku akan menyuguhkan dua botol arak dan ti ga kati daging macan. Macan itu adalah hasil perburu- nku, kau tahu?" "Aduh! Macan Kecil binasakan macan tua!" memuji "Loohoan" sambil mengacungk an jempolnya. "Benar-benar jempol!" Si Hitam jadi bunga sekali hatinya, sembari haha hihi ia berjalan keluar. "Kerbau kecil itu besar benar ambeknya!" kata salah seorang perwira sembari meng geleng-gelengkan kepala. "Eh, Loohoan, kau kata, Looenghiong itu adalah ayahnya? " "Tak salah," sahutnya. "Coba kau lihat. Anaknya saja sudah begitu liehay! Kau bo leh legakan hati." "Siapa namanya?" menanya perwira yang satunya lagi. "Kenapa kau masih belum mau memberitahukan?" "Sedari delapan tahun berselang, jago tua itu sudah menutup pintu dan menyimpan golok," menerangkan "Loohoan". "Ia tak suka orang menyebut-nyebut pula namanya. Sebentar, sesudah mendapat permisi, ia sendiri bisa memberitahukan namanya pada kalian." "Kalau ia sudah menutup pintu, guna apa kau mengajak kami ke sini?" menanya perw ira itu. "Urusan kita perlu pertolongan lekas. Jika ia menampik, bukankah seante ronya akan menjadi gagal?" "Mungkin sekali, dengan memandang mukaku, ia suka mengadakan kecualian," kata "L oohoan". "Manakala djiwie Taydjin merasa kurang tepat, baiklah kalian mencari or ang lain saja. Aku, si orang she Hoan, tak dapat melihat jalan yang lain." Kedua perwira itu saling mengawasi tanpa berkata apa-apa lagi. Sesudah menunggu sekian lama Siauw Houwtjoe belum juga muncul, kedua perwira lal u membuka baju luarnya untuk menukar obat pada luka di pundak mereka. "Penjahat bertopeng itu sungguh liehay," kata satu antaranya. "Loohoan, antara beberapa ratus orang, mungkin hanya kau seorang yang tidak mendapat luka." "Aku pun hampir-hampir kesabet toyanya," jawab si Brewok. "Apa dengan seorang diri Looenghiong itu bisa berhasil?" menanya pula perwira it u dengan perasaan sangsi. "Jika ia sudi meluluskan, tenaganya melebihi laksaan tentara." sahut "Loohoan" d engan suara tetap. Kedua perwira itu lalu saling menceritakan liehaynya penjahat bertopeng itu. "Jika gagal, habislah jiwa kita serumah tangga," kata satu antaranya. "Sekarang tak ada lain jalan daripada mengandalkan padanya," kata yang lain, "Ie Toako, dalam keadaan begini, janganlah kau mengeluarkan kata-kata yang kurang baik." "Loohoan" tutup mulutnya. Ia merasa agak mendongkol melihat sikap kedua orang it u. Mendadak pintu yang hanya dirapati itu, didorong orang dan Siauw Houwtjoe meloncat masuk ke dalam. Mulut bocah itu ditutup rapat-rapat, parasnya sangat ta k enak dilihatnya. "Loohoan" terkejut. Siauw Houwtjoe kembali dengan tangan kosong, tidak membawa a rak dan daging yang dijanjikan olehnya. "Hoan Toako! Apa kau cinta sahabat atau tidak?" menanya ia. "Kenapa, Siauw Houwtjoe?" tanya "Loohoan". "Jika kau menyinta sahabat, beritahukanlah maksud kedatanganmu," sahut si Hitam. "Kalau tidak, aku akan berita-hukan ayah, supaya ia tidak meladeni kau." "Kau tahu, ayahmu berada di mana?" menanya pula "Loohoan." "Tentu saja," jawabnya. "Lekas katakan! Dengan siapa kau mau ajak ia bertempur?" Sebenar-benarnya, Siauw Houwtjoe tidak mengetahui, kenapa ayahnya mendadak mengh ilang. Selama tujuh delapan tahun, ayahnya tidak pernah keluar dari rumah pada w aktu begitu. Dalam otak kecilnya, Siauw Houwtjoe merasa, bahwa menghilangnya sang ayah mempunyai hubungan rapat dengan beberapa orang asi ng yang baru datang itu, antaranya si pemuda yang bersenjata kipas. Barusan ia t elah mencuri dengar pembicaraan antara "Loohoan" dengan kedua perwira itu dan ia merasa, bahwa kedatangan mereka dapat mendatangkan akibat jelek bagi ayahnya. I tulab sebabnya kenapa ia sudah menjustai si Brewok. Untuk sementara, "Loohoan" kelihatan bersangsi. Beberapa kali ia melirik kedua p erwira itu. "Baiklah," katanya sesudah berselang beberapa saat. "Siauw Houwtjoe, kau bukan seperti bocah yang kebanyakan. Aku aka n beritahukan kau secara terus terang." Ia mendehem dan kemudian menyambung perkataannya sambil menunjuk kedua perwira i tu: "Taydjin itu adalah Ie Tongleng, yang ini adalah Liok Koantay. Aku telah ban tu mereka melindungi barang angkutan. Dari Ouwpak, kami antar tiga puluh laksa tahil perak, ke kota raja. Se tibanya di Shoatang, yaitu kemarin dulu, di sebelah selatan gunung Thay-san, perak itu sudah kena dirampok oleh seorang penjahat bertopeng." "Hoan Toako, kau tak dapat melawan padanya?" menanya Siauw Houwtjoe. "Kalau aku dapat melawan ia, tak perlu kami datang kemari," sahutnya. "Kedua Taydjin ini kena dibikin luka. Beberapa ratus serdadu sudah disapu bersih olehny a, ditawan atau dibunuh. Hanya kami bertiga yang dapat meloloskan diri." "Ha! Liehay benar penjahat itu!" kata si Hitam yang jadi ketarik sekali. "Benar," kata "Loohoan". "Jika bukan begitu, aku tentu tidak berani sembarangan mengganggu ayahmu. Aku datang kemari untuk memohon bantuan ayahmu guna membekuk penjahat itu dan ambil pulang perak yang sudah dirampas itu." Begitu habis "Loohoan" menutur, Siauw Houwtjoe menarik tangannya yang dipegang oleh si Brewok. "Hoan Toako," katanya. "Kau ternyata tidak cinta sahabat!" "Kenapa tak menyinta sahabat?" si Brewok balas menanya dengan perasaan heran. Siauw Houwtjoe tertawa dingin. "Hm! Kata- nya dengan suara di hidung. "Thia thia paling benci segala pembesar anjing! Seka rang kau mau ajak ia keluar untuk menjadi budak pula dari kawanan pembesar. Hm! Tidak! Aku tak dapat meluluskan!" "Loohoan" dan kedua perwira itu menjadi bengong, mereka kesi-ma mendengar kata-k ata yang tidak diduga-duga itu. Tiba-tiba dengan satu suara keras, kedua daun pintu batu ditutup oleh Siauw Houw tjoe yang sudah meloncat keluar sebelum tiga tetamunya sadar dari kagetnya. Daun pintu itu dibuat dari batu yang tebalnya tidak kurang dari satu kaki, sehingga satu orang yang tidak mempunyai kekuatan kira-kira lima ratus kati, tidak akan d apat menutupnya. Di lain saat, di luar kamar terdengar suara tindakannya Siauw Houwtjoe yang berlari-lari dengan cepat sekali. "Penjahat cilik!" memaki kedua perwira itu sembari coba mendorong pintu. Tapi percobaan itu sia-sia belaka, oleh karena sudah dikunci da ri luar oleh si Hitam. Kamar batu itu tak mempunyai jendela, hanya di atasnya te rdapat beberapa lubang kecil untuk keluar masuknya hawa. Kedua perwira itu gusar bukan main, mereka memaki kalang kabut, sambil menyesalkan juga si Brewok yang sudah mengajak mereka datang kesitu. "Kau sudah tahu sahabatmu sangat membenci p embesar negeri, tapi kau toh sudah mengajak juga kami datang ke sini," kata sala h satu antaranya. "Dia juga tentu bang- sa penjahat!" kata yang lain. "Eh, Loohoan! Apa sih maksudmu yang sebenarnya?" Paras mukanya "Loohoan" berubah gusar. "Djiewie Taydjin tak usah mencaci," katan ya dengan suara keras. "Majikan rumah ini pernah menjabat pangkat yang lebih tin ggi dari atasanmu!" Kedua perwira itu berhenti serentak. "Siapa ia?" mereka menanya hampir berbareng. Mereka kaget, tercampur sangsi. "Loohoan" mesem. "Majikan rumah ini pernah menjadi Tongleng (pemimpin) barisan Gielimkoen (barisan yang menjaga keselamatan pribadi kaizar)," menerangkan ia dengan suara perlahan. "Ia pun pernah menjabat pangkat Tjiongtjiehoei (pemimpin) dari pasukan Kimiewie (pasukan pahlawan kaizar yang mengenakan seragam sulam) dan pada sepuluh tahun berselang, ia dikenal sebagai ahli silat nomor satu di seluruh kota raja. Ia bukan lain da ripada Thio Hong Hoe, Thio Taydjin!" "Thio Hong Hoe, ahli silat utama di seluruh kota raja?" menegasi kedua perwira i tu dengan suara terkejut. "Tak salah! Ahli silat nomor satu di seluruh kota raja!" mengulangi "Loohoan". M ukanya kedua perwira itu berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya . Thio Hong Hoe adalah pahlawan utama yang paling diandalkan oleh Kie Tin, Kaizar Engtjong dari kerajaan Beng. Ia pernah berkuasa atas barisan Gielimkoen dan Kimi ewie dan beberapa kali pernah berjasa besar dalam medan pe- perang. Berhubung dengan kegagahannya, namanya sudah menggetarkan seluruh Tiongkok. Dahulu, dalam peperangan dengan negeri Watzu di Tobok-po, seantero tentara Beng boleh dibilang musna semuanya, sedang Kie Tin sendiri telah ditawan musuh. Dalam kekalahan yang hebat itu, seorang diri dan dengan menunggang seekor kuda, tujuh kali Thio Hong Hoe menerjang masuk ke dalam tentara musuh dan tujuh kali i a dapat menoblos keluar pula dengan selamat. Walaupun gagal dalam usaha menolong kaizar, namanya sudah berhasil membikin peca h nyali musuh dan orang-orang gagah di seluruh negara tidak ada satupun yang tid ak kagum padanya. Belakangan, Ie Kiam, seorang menteri yang sudah berhasil menolong kerajaan Beng dari kemusnaan, telah mengirim In Tiong ke Watzu sebagai utusan istimewa guna mengadakan perdamaian. I n Tiong berhasil dan Kie Tin dapat dibawa pulang ke Tiongkok dengan selamat. Aka n tetapi adiknya Kie Tin yang bernama Kie Giok, atau Kaizar Bengtay-tjong, sungk an menyerahkan kembali tachta kerajaan kepada kakaknya itu. Ia penjarakan sang kakak di Istana Lamkiong dan memberi gelar keho rmatan Thaysianghong kepada Kie Tin. Mulai waktu itulah, Thio Hong Hoe menghilang. Ada yang mengatakan, ia tak dapat melupakan majikan yang lama (Kie Tin) dan sungkan bekerja di bawah perintah kaiz ar baru. Ada juga yang bercerita, ia sudah merasa tawar akan segala keduniawian dan pergi bertapa di pe gunungan yang sunyi. Tapi hal yang sebenarnya adalah: Ia sudah mengundurkan diri atas nasehat sahabatnya yang bernama Thio Tan Hong. Dengan rasa sakit dalam hat inya, ia telah menyaksikan segala keburukan dalam kalangan pemerintahan kaizar y ang baru. Segala penghianat dan dorna memegang kekuasaan besar, sedang orang-ora ng pandai dan bijaksana tidak mendapat kedudukan yang sesuai dengan kepandaianny a. Bahkan Ie Kiam sendiri, seorang menteri yang jasanya luar biasa besar dalam m embangun kembali kerajaan Beng, hanya mendapat pangkat Pengpo Siangsi e (Menteri Pertahanan), tanpa kekuasaan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, sesudah mendapat nasehat Thio Tan Hong, ia segera menutup pintu dan menyimpan golok, lal u hidup mengasingkan diri di pegunungan Tjouwlay san. Kedua perwira itu sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa majikan dari rumah itu adalah Thio Hong Hoe yang namanya menggetarkan seluruh ke rajaan Beng. Mengingat sikapnya tadi dan cacian "penjahat" yang barusan diucapkan, hati mereka benar-benar merasa tidak enak. "Loohoan" hanya mesem-mesem melihat laga mereka dan lalu menyandar pada tembok tanpa bicara lagi . Sesudah melirik beberapa kali, hati mereka jadi semakin tidak enak. tidak enak. "Saudara Hoan," kata satu antaranya. "Kami mempunyai mata, tapi tak dapat melihat gunung Thaysan yang besar. Kami tak tahu, bahwa Hoan-heng (Saudara Hoan) sebenarnya adalah seorang Tjindjin (orang berilmu) yang sungkan menonjolkan muka. Kami sung guh merasa menyesal, bahwa di sepanjang jalan, kami sudah berlaku kurang hormat terhadap Saudara." Permintaan maaf itu mempunyai latar belakang. Untuk mengangkut tiga puluh laksa tahil perak uang negara itu, Khoan Kie, Vamoen-soe (pembesar yang berkuasa atas pengangkutan garam) dari Ouwpak-Ouwlam, telah minta bantuan Soenboe Ouwpak, yang segera perintahkan dua panglimanya yang paling dibuat andelan pergi menjalankan tugas tersebut. Kedua perwira itu lantas saja menyiapkan lima ratus serdadu pilihan un tuk bantu mengantar, dan menurut dugaan mereka, dengan pasukan sekuat itu, tugas tersebut akan dapat diselesaikan secara mudah. Tak dinyana, sebelum berangkat, Yamoensoe Khoan Kie sudah pujikan seorang piauwsoe (ahli silat yang biasa mengan tar barang angkutan) dan piauwsoe itu adalah Hoan Eng. Kedua perwira itu lantas saja jadi mendongkol lantaran menganggap Hoan Eng sebagai saingan yang mau mereb ut sebagian jasa mereka yang sudah kelihatan di depan mata. Secara diam-diam kedua perwira itu menyelidiki. Mereka mendapat kenyataan, bahwa dalam sejumlah piauwkiok (perusahaan yang mengantar ba rang dari satu ke lain tempat) di beberapa propinsi Tiongkok Selatan, sama sekal i tidak terdapat orang yang bernama Hoan Eng. Oleh karena itu, mereka menyangsik an, apakah Hoan Eng benar-benar adalah seorang piauwsoe. Akan tetapi, walaupun m erasa kurang senang, mereka tidak dapat menolak, oleh karena Hoan Eng adalah ora ng yang dipujikan oleh Vamoensoe. Di luar dugaan, Hoan Eng mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Pada waktu ter jadinya perampokan, hanya dia seorang yang dapat bertempur sehingga puluhan juru s dengan si perampok bertopeng, tanpa dapat dilakukan. Sekarang, ia pun ternyata mempunyai hubungan rapat dengan Thio Hong H oe. Mengingat itu, kedua perwira itu saling mengawasi dengan perasaan sangsi dan berkuatir. Mereka tak dapat menebak asal usulnya si Brewok. Hoan Eng mesem mendengar penghaturan maaf kedua perwira itu. "Djiewie Taydjin ja nganlah bicara begitu," katanya. "Aku hanya seorang piauwsoe biasa. Mana berani menganggap diri sebagai Tjindjin?" Sehabis berkata begitu, ia menyandar pula pada tembok dan meramkan kedua matanya. Kedua perwira itu merasa lebih tidak enak. Mereka sebenarnya ingin menanyakan hu bungan antara Hoan Eng dan Hong Hoe, akan tetapi, sesudah mendapat jawaban yang tawar itu, mereka tak berani membuka mulut lagi. Sembari menyandar, otak Hoan Eng bekerja keras. Ia tidak nyana, bahwa sesudah me ngundurkan diri, Thio Hong Hoe jadi begitu membenci segala apa yang berbau pembe sar negeri. Ia merasa menyesal sudah meluluskan permintaan Khoan Kie untuk bantu melindungi perak negara itu. Ia berkuatir, bukan saja kawan-kawan kalangan Kang ouw akan mencurigai dirinya, tapi Thio Hong Hoe pun akan menganggap ia sebagai s eorang manusia yang mengejar harta dan pangkat. "Hai!" katanya di dalam hati, sembari menghela napas panjang. "Kenapa juga aku m encari penyakit sendiri? Kedua manusia ini tak mengetahui asal-usulku, tapi kawan-kawan Kangouw sedikit banyak mengenal namanya Soanhoahoe Hoan Eng. Yah, kenapa juga aku rela menjadi orang suruhannya pembesar negeri? Siapa suruh aku menjadi keponakannya Hoan Tiong? Siapa suruh ak u menjadi saudara angkatnya Yamoensoe Khoan Kie?" * * * Dahulu, Thio Hong Hoe, Hoan Tiong dan Khoan Tiong dikenal sebagai tiga serangkai jagoan utama di kota raja. Belakangan, Thio Hong Hoe telah mengikat tali persah abatan dengan musuh besar kaizar Beng, yaitu Thio Tan Hong. Secara diam-diam, Kh oan Tiong telah menjual saudara angkatnya dan mem- beritahukan rahasia itu kepada kaizar. Thio Tan Hong yang mengetahui penghianata n itu, sudah turun tangan dan membinasakan Khoan Tiong, sehingga menimbulkan sal ah mengerti di pihaknya Thio Hong Hoe. Dalam pertempuran di Tobokpo, Hoan Tiong telah membinasakan menteri dorna penjua l negara yang bernama Ong Tjin, tapi ia juga harus mengorbankan jiwa dalam perte mpuran itu. Khoan Kie, pute-ranya Khoan Tiong, belakangan berkecimpung dalam kal angan pembesar negeri, dan berkat bantuan sahabat-sahabat mendiang ayahnya, ia m endapat pangkat Yamoensoe bagian wilayah Ouw-pak-Ouwlam. Pangkat Yamoensoe, atau pengurus garam, adalah pangkat yang mendatangkan keuntungan besar. Adiknya Hoan Tiong yang bernama Hoan Tjoen dahulu pernah menjadi pahlawan istana. Sesudah kakaknya mengorbankan jiwa untuk negara, ia lalu menurut contoh nya Thio Hong Hoe dan menyembunyikan diri di rumah leluhurnya di Ouwpak. Thio Ho ng Hoe, Hoan Tiong dan Khoan Tiong adalah saudara-saudara angkat, sedang hal pen ghianatan Khoan Tiong hanya diketahui oleh Thio Tan Hong dan Thio Hong Hoe berdu a. Mereka adalah ksatria-ksatria yang sungkan menguarkan kejelekan orang, sehing ga kejadian itu jadi tertutup rapat. Itulah sebabnya kenapa perhubungan baik ant ara ketiga keluarga tetap tidak berubah. Sebagai Yamoensoe, Khoan Kie berkedudukan di kota Boetjiang. Dalam pengiriman tiga puluh laksa tahil perak ke kota raja, s atu jumlah yang bukan main besarnya, hatinya tetap menyangsikan kepandaian dua p anglima Soenboe Ouwpak itu. Oleh karena itu, beberapa kali ia memohon bantuannya Hoan Tjoen. Berhubung dengan usianya yang sudah lanjut, Hoan Tjoen menolak permohonan itu dan mengirim saja puteranya, yaitu Hoan Eng, untuk memberi bantuan. Dalam kalangan Hek-to (Jalanan hitam, atau kalangan penjahat), Hoan Eng mempunya i banyak hubungan. Secara diam-diam ia sudah mengadakan hubungan dengan sahabat dan kenalannya di sepanjang jalan, sehingga sebegitu jauh pengangkutan itu dapat berlangsung dengan selamat. Tapi, siapa nyana, baru saja menginjak wilayah propi nsi Shoatang, di sebelah selatan gunung Thaysan, mereka telah dicegat oleh seora ng penjahat bertopeng yang sudah berhasil menyikat bersih Seantero angkutan. Waktu itu, "Perayaan Tahun Baru" baru saja lewat. Di sepanjang jalan, dengan ria ng gembira, kedua perwira itu terus mengagul-agulkan diri sendiri. Secara tember ang mereka mengatakan, bahwa kawanan penjahat pada lari sipat kuping akibat kean gkeran tentara negeri. Mereka tidak mengetahui, bahwa keselamatan mereka sudah terjamin sampai di situ, berkat perlindungan Hoan Eng. Tapi mereka pun sebenarnya mempunyai alasan untuk merasa gembira. Sesudah melewati Shoatang, mereka akan segera masuk ke propinsi Hopak yang berada dalam wilayah kekuasaan tentara kaizar dan perjalanan antara Hopak dan kota raja boleh tidak usah dikuatirkan la gi. Hari itu, mereka bermalam di satu kota kecil yang terpisah kira-kira lima puluh lie dari kota Bongim. Pada malamnya, beberapa pengemis datang ke tempat penginap an dan minta sedekah. Liok Koantay segera perintah beberapa serdadu untuk gebuk dan mengusir mereka. Apa yang agak luar biasa, adalah ketika mau berlalu, bebera pa pengemis itu tertawa terbahak-bahak. Hoan Eng yang sudah kawakan dalam kalang an Kangouw, lantas saja merasa lantas saja merasa tidak enak dalam hatinya. Dan benar saja, pada besok harinya, ketika mereka tiba di sebelah selatan Thaysan, tiba-tiba terdengar suara tertawa dan segerom-bolann perampok menerjang keluar, dengan, di kepalai oleh beberapa pengemis itu. Kawanan perampok itu semuanya menunggang ku da dan dengan sekali menyerbu, pasukan negeri lantas saja menjadi kalut. Sebelum Hoan Eng sempat membuka mulut, beberapa pengemis itu sudah dapat merubuh kan kedua perwira itu. Oleh karena terpaksa, Hoan Eng turun tangan juga dan melu kakan dua orang pengemis. Tiba-tiba, diiringi dengan tertawa nyaring, seorang pe njahat bertopeng kaburkan kuda- nya dan menerjang bagaikan kilat. Dengan sekali menyabet dengan toya-nya, seorang perwira rendahan rubuh binasa. P erwira Ie dan Liok, yang ilmu silatnya lebih tinggi dan otaknya lebih cerdik, bu ru-buru panjangkan langkah, tapi meskipun begitu, tak urung pundak mereka kena j uga dihantam toya. Hoan Eng majukan kudanya dan menyambut toya musuh dengan kamp aknya yang dibuat dari logam-logam pilihan. Begitu kedua senjata itu berbentrok, satu suara nyaring segera terdengar. Sesudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus, ka mpaknya Hoan Eng sudah menjadi gompal. Penjahat itu tertawa terbahak-bahak. "Kau boleh dihitung sebagai orang gagah," k atanya. "Pergilah!" Sehabis berkata begitu, ia mengedut kendali kuda untuk menyingkir dari hadapan H oan Eng dan menghampiri kereta-kereta besi yang terisi perak. Setelah tiga kali menghantam dengan toyanya, lapisan besi setebal beberapa dim menjadi pecah dan i sinya jatuh berhamburan di atas tanah. Dengan beruntun ia merusakkan tiga kereta dan kemudian perintah anak buahnya mengumpulkan dan mengisi perak itu dalam kar ung-karung yang lalu di tempatkan di atas punggung kuda. Antara lima ratus serda du negeri itu, yang binasa ada kira-kira enam tujuh bagian, yang luka dua tiga b agian, sedang sisanya, yaitu serdadu-serdadu yang paling gagah, telah ditawa n. Hanya perwira Ie dan Liok serta Hoan Eng yang dapat meloloskan diri. Hoan Eng memutar otaknya, tapi ia tidak dapat menebak siapa adanya penjahat bert openg itu. Ia ingat, antara begitu banyak orang-orang gagah yang ia kenal, hanya Thio Hong Hoe yang mungkin dapat menaklukkan penjahat itu. Tetapi sekarang, bukan saja Thio Hong Hoe tak ketahuan ke mana perginya, tapi ia sendiri pun sudah kena dikurung dalam kamar batu oleh si nakal. * * * Selagi melamun sambil bersandar, kuping Hoan Eng mendadak mendengar suaranya si perwira: "Si... si nakal belum juga balik. Bisa-bisa kita mati kelapa- ran!" Ia sebenarnya mau menggunakan istilah "si penjahat", tapi urungkan niatann ya dan menggunakan saja perkataan "si nakal". Hoan Eng tertawa dan membuka matanya. Keadaan dalam kamar gelap gulita, di luban g-lubang kecil juga tidak kelihatan sinar terang, mungkin siang sudah berganti m alam. Ia pun merasa lapar, tapi berbeda dengan kedua perwira itu yang tak hentin ya menggerutu, ia lalu bersila dan melatih Iweekang-nya. Diam-diam Hoan Eng berkuatir. Dusun itu tidak berapa besar. Kenapa Siauw Houwtjo e pergi begitu lama? Apa ia tidak dapat mencari ayahnya? Dan apakah Thio Hong Ho e menemui bencana? Tapi segera juga ia membantah sendiri pertanyaan itu, oleh ka rena mengingat kegagahannya orang tua itu. Sebaliknya, kenapa ia belum juga pulang ke rumah? Sesudah berselang beberapa jam, hawa udara jadi semakin dingin, sebagai tanda su dah jauh malam. Kedua perwira itu mepet di sudut tembok dengan kelaparan dan kedinginan. "Hoan Toako!" berbisik perwira yang satu. "Ada apa?" menanya Hoan Eng. "Bagaimana sih hubunganmu dengan Thio Taydjin?" menanya perwira she Ie. "Empat tahun berselang, aku pernah berjumpa dengan ia," jawabnya. "Celaka!" Ie Koantay mengeluh. "Kalau begitu, kau tidak mempunyai hubungan rapat ! Aku kuatir, bukan saja ia sungkan menolong, malahan kita sendiri bisa mati kelaparan di sini. Kenapa ia begitu membenci kaizar? Mungkin ia ingin mencelakakan kita." Hoan Eng mendongkol tercampur geli. "Thio Taydjin adalah ksatria sejati," katany a dengan suara tawar. "Jika ia maui jiwa kalian, tak nanti ia menggunakan segala akal bulus." Kedua perwira itu jadi ketakutan setengah mati dan gemetar sekujur badannya. "Ka u... kau maksudkan, ia benar-benar maui jiwa kita?" mereka menanya dengan suara terputus-putus. Hoan Eng tertawa besar. "Orang-orang yang binasa dalam tangannya adalah orang ya ng namanya besar," katanya. "Orang-orang seperti kita ini mungkin belum cukup be rharga untuk mati dalam tangannya!" "Tapi kenapa ia tak mau pulang untuk melepaskan kita?" menanya perwira she Liok. "Malahan si bocah nakal juga tak kelihatan mata hidungnya." "Bagaimana aku bisa tahu?" Hoan Eng balas menanya dengan hati mendeluh. Baru saja kedua perwira itu mau membuka mulut, di lubang-lubang kecil mendadak k elihatan sinar terang. Semangat mereka lantas saja terbangun. Tiba-tiba terdenga r suara tertawa aneh yang kedengarannya seperti juga jeritan setan, sehingga bul u badan mereka menjadi bangun. "Thio Taydjin," demikian terdengar suara satu orang. "Enak benar kau hidup sembu nyi di tempat yang nyaman ini! Tapi sungguh sengsara kami berdua saudara mencari kau." Hoan Eng tahu Thio Hong Hoe sudah pulang. "Kenapa suara orang itu begitu tak sed ap didengarnya? Apa ia musuh Thio Siepeh (Paman Thio)?" menanya ia dalam hatinya . Sebagai seorang yang berpengalaman dalam dunia Kangouw, ia mengetahui adanya mar a bahaya. Ia menekan tangan kedua perwira itu, supaya mereka jangan mengeluarkan suara, dan kemudian ia merayap ke atas dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjian g (Cecak merayap di tembok). Ia menempelkan matanya pada sebuah lubang dan mengintip ke k amar sebelah. Kamar itu adalah kamar buku. Di tengah-tengah kamar terdapat sebuah meja batu bu ndar di mana ke- lihatan berduduk tiga orang, satu antaranya, yang menghadap ke arah Hoan Eng, ad alah Thio Hong Hoe sendiri. Waktu itu Thio Hong Hoe sudah berusia lima puluh tah un lebih, akan tetapi, keangkerannya masih tetap seperti di waktu muda. Orang ya ng duduk di sebelah kiri mempunyai kepala yang luar biasa besarnya, tapi badanny a kate dan kecil, sehingga kelihatannya aneh sekali. Yang duduk di sebelah kanan adalah seorang yang berparas tawar dan kedua pipinya menonjol ke atas. Dilihat dari parasnya, dapat diketahui, bahwa ia mempunyai Iweekang (tenaga dalam) yang sangat kuat. Di sebelah belakang meja itu terdapat dua lemari besar yang penuh d engan buku-buku. Dahulu, Thio Hong Hoe hanya mengenal sedikit mata surat, akan tetapi, berkat pengaruhnya Thio Tan Hong, semen- jak hidup menyendiri, ia banyak mempelajari ilmu surat. "Apakah maksud kedatangan kedua Taydjin?" menanya Thio Hong Hoe sesudah mendehem beberapa kali. "Taydjin sudah hidup menyendiri delapan tahun lamanya, dan selama itu, Hongsiang (kaizar) selalu memikirkan kau," kata orang yang paras mukanya tawar. "Tiga kal i aku coba mencari, tiga kali gagal. Tak tahunya, Taydjin hidup senang di tempat ini. Aku mengetahui, tanpa ikatan pangkat, Taydjin dapat hidup bebas, akan teta pi, sesudah delapan tahun hidup bahagia, rasanya kini sudah tiba saatnya akan Taydjin membantu Hongsiang." Thio Hong Hoe mengawasi dengan mata berkilat, seakan-akan ingin melihat isi peru t dua orang itu. Orang yang kepalanya besar tertawa haha hehe dan lalu menyambung perkataan kawan nya "Benar. Sekarang negara sedang menghadapi banyak sekali urusan. Mendengar tambur perang, Hongsiang jadi ingat panglimanya dan aku kuatir beliau tak dapat mengijinkan Ta ydjin terus hidup secara begini." "Djiewie Taydjin mungkin keliru," menjawab Thio Hong Hoe dengan sikap tenang. "A ku mengetahui, bahwa kini dalam dewan kerajaan berjejer penuh menteri-menteri si pil dan militer yang berkepandaian tinggi, seperti Djiewie Taydjin yang merupakan tihangnya negara. Apakah kegunaannya manusia sepe rti aku, yang sudah tua dan jompo, sehingga Hongsiang mau mencapekan hati untuk memikirinya? Di sebelahnya itu, aku pun mengetahui, bahwa pada waktu ini, seluru h negara sudah aman, sedang di dalam negeri Watzu justru lagi timbul kerusuhan d an Yasian sendiri sudah disingkirkan. Maka itu, menurut pendapatku, adalah kelir u jika dikatakan, bahwa negara tengah menghadapi banyak urusan. Sungguh aku kurang mengerti maksud omongan Djiewie Taydjin." Kata-kata itu yang dikeluarkan secara sopan santun, bukan main tajamnya. Orang yang bermuka tawar lantas saja ter- tawa terbahak-bahak. "Thio Taydjin," katanya sembari mendongakkan kepala. "Kami adalah orang-orang yang isi perutnya lurus dan tidak biasa bicara terputar-putar . Apakah Taydjin mengetahui, bahwa sekarang Thay-sianghong (Kie Tin) sedang bers ekutu untuk merebut tachta? Apakah Taydjin mengetahui, bahwa dalam tempo belakangan ini, ia sudah mem bentuk suatu persekutuan yang cukup kuat?" "Selama delapan tahun, semenjak menuntut penghidupan sebagai seorang rakyat peng unungan. aku tak pernah mencampuri urusan luar, lebih-lebih urusan keluarga kaiz ar," jawab Thio Hong Hoe. "Oleh karena itu, urusan ini sama sekali berada di lua r pengetahuanku." "Ada yang kata, Tay- djin mengundurkan diri oleh karena tak dapat melupakan majikan lama dan tak sudi mengeluarkan tenaga untuk kepentingan Hong- siang," kata pula si muka tawar. "Apa benar omongan itu?" Paras muka Thio Hong Hoe lantas saja berubah. Dengan satu tangan menyekal pinggi r meja, ia menyahut dengan suara menyeramkan: "Jika Hongsiang menyangsikan aku, dengan secarik firman, ia dapat menghadiahkan kebinasaan pada diriku! Guna apa m engirim Djiewie Taydjin datang ke sini untuk mengadakan penyelidikan menggelap!" Selagi berkata begitu, Hong Hoe teringat riwayat In Tjeng, seorang menteri setia yang sudah "dihadiahkan" hukuman mati oleh kaizarnya, dan me- ngingat itu, suaranya yang penuh perasaan mendongkol menjadi keras dan sedikit g e-meter. "Thio Taydjin bicara terlampau berat," kata si muka tawar. "Adalah karena percay a kepadamu, maka Hongsiang sudah perintah kami pergi mencari Taydjin. Itulah mer upakan tindakan mulia dari seorang junjungan dalam usaha mencari menteri yang pandai, dan oleh karena itu, tidaklah dapat Tay djin menggunakan istilah penyelidikan menggelap." Sesudah berdiam beberapa saat, si muka tawar lantas sambung pula perkataannya: " Barusan Boen Tongleng telah mengatakan, bahwa negara sedang menghadapi banyak urusan. Yang dimaksudkan bukannya urusan d ari luar, akan te- au sebagai orangnya, sudah tentu beliau akan melarang aku memberikan keterangan ini kepada Taydjin." Thio Hong Hoe yang darahnya semakin lama naik semakin tinggi, duduk menjublek ta npa mengeluarkan sepatah kata. Hanya kedua matanya semakin berkilat-kilat! Si kepala gede lantas saja tertawa haha hehe dan berkata dengan suara dibuat-bua t: "Dahulu, ketika Taydjin menyembunyikan diri, kami berdua saudara terpaksa memiku l tanggungan yang sangat berat. Kini, setelah Taydjin keluar pula, kami dapat me lepaskan pikulan itu. Sungguh beruntung! Thio Taydjin! Janganlah Taydjin berlaku sungkan dan menolak jabatan yang diserahkannya. Lihatlah! Inilah firman r ahasia dari Hongsiang! Di atas firman, terang-terangan ditulis: 'Mengangkat Thio Hong H oe ke dalam jabatannya yang semula, yaitu Tongleng barisan Gielimkoen merangkap Tjiongtjie-hoei pasukan Kimiewie.1 Lihatlah, Thio Taydjin! Kami tak be rjusta. Terhadap Taydjin, budinya Hongsiang besar bagaikan gunung!" Hoan Eng yang mendengarkan pembicaraan tersebut, menjadi kaget. Kedua orang itu ternyata adalah pemimpin-pemimpin Gielimkoen dan Kimiewie. Memang juga, mereka berdua adalah ahli-ahli silat kelas berat pada jaman itu. Or ang yang paras mukanya tawar bernama Tjian Sam San, Tjiongtjiehoei dari pasukan Kimiewie, atau pasukan ahli-ahli silat yang menjaga keselamatan pribadi kaizar. Ia mahir dalam ilmu Hoen-kin tjokoet tjhioe (ilmu memecah otot memindahkan tulang), serupa ilmu tunggal dalam Rimba Persilatan. Ketika baru datang di kota raja, ia pernah mengadu silat di Giewan (taman dalam istana kaizar). Dalam tempo sehari, dengan menggunakan Hoenkin tjokoet tjhioe, ia berhasil mematahkan lengannya dua belas boesoe (pahlawan) kelas satu, dan berhubung dengan itu, namanya sudah menggetarkan seluruh kerajaa n. Si kepala gede yang bernama Boen Tiat Seng juga tidak kurang liehaynya, meskipun potongan badannya agak aneh dan lucu. Ia mahir dalam ilmu pedang Ngoheng kiam y ang bukan saja dapat menikam, tapi juga dapat menotok jalan darah musuh. Ia pun pandai melepaskan senjata rahasia beracun dan paham ilmu silat tan gan kosong Teetong koen dari Pakpay (Partai Utara). Kini ia menjabat pangkat Ton gleng, atau pemimpin, barisan Gielimkoen, yaitu tentara yang menjaga istana kaiz ar. Bahwa kaizar sudah perintah mereka membujuk Thio Hong Hoe, adalah kejadian y ang sebenarnya. Paras muka Thio Hong Hoe segera berubah menjadi merah padam. "Firman itu aku tak berani menerima," katanya dengan suara perlahan. "Apa pangkatnya terlalu rendah?" menanya Boen Tiat Seng. "Seorang menteri tak boleh menuruti kekeliruan rajanya, tapi haruslah menuntun r ajanya ke jalanan yang benar," menyahut Hong Hoe. "Aku mohon menanya Djiewie Taydjin. Bila Taydjin meli hat 'tulang dan daging' (saudara-saudara sekandung) saling bunuh membunuh, apaka h kalian akan membujuk agar mereka rukun kembali, ataukah kalian akan mengipas a pi yang sedang berkobar-kobar dan membantu salah satu pihak?" Kedua pembesar itu terkejut. Mereka tak menduga, Thio Hong Hoe berani berkata be gitu, yang sedalam-dalamnya merupakan kritik terhadap kaizar yang masih bertacht a. Begitu hilang kagetnya, Boen Tiat Seng lantas saja tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Aku tak duga, Thio Taydjin sudah meninggalkan boe (silat) dan mengambil boen (ilmu surat) serta sudah dapat berbicara seperti seorang saste-rawan lemah. Thio Taydjin! Jangan gu sar jika aku berterus terang. Perundinganmu yang barusan menyeleweng jauh dari k epantasan." "Apa?" membentak Thio Hong Hoe sembari mendelik. "Perebutan tachta antara Thaysianghong dan Hongsiang merupakan kenyataan yang ta k dapat dicegah, baik olehmu, maupun olehku," menjawab Boen Tiat Seng dengan suara keras. "Menurut kebiasaan, seo rang menteri haruslah bersetia kepada satu majikan. Thio Hong Hoe! Sekarang aku mau menanya: Siapakah yang kau anggap sebagai majikanmu?" "Aku ini tak lebih dan tak kurang hanya seorang rakyat kecil dari daerah pegunungan," sahut Hong Hoe dengan suara dingin. "Bagiku, siapa yang menj adi kaizar tak merupakan soal. Siapa juga yang bercokol di singgasana, aku tetap membayar pajak." Boen Tiat Seng garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia benar-benar kewalahan menghadapi orang gagah yang adatnya keras itu. Achirnya, dengan suara terpaksa i a berkata pula: "Thio Taydjin, kau memang mempunyai hak sepenuhnya untuk mengamb il keputusan sendiri. Tapi cara bagaimana kami berdua saudara harus memberi lapo ran kepada Hongsiang?" Sebelum Hong Hoe menyahut, Tjian Sam San tiba-tiba tertawa sembari berkata: "Lai n hal aku tak dapat meramalkan, hanya satu yang aku berani pastikan sedari sekarang. Jika Thaysianghong berhasil dalam usah anya, ada seorang besar yang tak akan dapat menyelamatkan jiwanya!" "Siapa?" tanya Hong Hoe. "Ie Kokloo," sahutnya. (Kokloo adalah panggilan menghormat kepada seorang perdan a menteri. Dengan Ie Kokloo dimaksudkan Ie Kiam). "Sungai dan gunung (negara) dari kerajaan Beng sudah tertolong dari kemusnaan be rkat jasanya Ie Kokloo seorang," berkata Hong Hoe. "Siapakah yang tidak mengetah ui kenyataan ini?" Boen Tiat Seng tertawa bergelak-gelak. "Hongsiang yang sekarang sudah dinaikkan ke atas tachta oleh Ie Kiam dan oleh karena tindakan Ie Kiam itu, Thaysianghong jadi kehilangan tachtanya," kata Boen Tiat S eng. "Siapakah yang tidak mengetahui kenyataan ini?" "Akan tetapi tindakan itu sudah diambil lantaran keadaan yang memaksa dan hal in i sudah dimaklumi oleh seantero rakyat di seluruh negeri," berkata pula Thio Hon g Hoe. "Waktu itu Thaysianghong masih jadi tawanan di negara lain, sedang di dal am negeri tidak boleh ada satu hari tanpa jungjungan." "Hanya aku kuatir ada satu manusia yang sungkan mengerti," berkata Tjian Sam San. "Dan orang itu adalah Thaysianghong sendiri." Boen Tiat Seng tertawa dan menyambung perkataan rekannya: "Thio Taydjin! Tak gun anya kau membela Ie Kokloo di tempat ini. Jalan satu-satunya adalah menerima baik panggilan Hongsian g dan dengan segala kesetiaan, mencegah usahanya Thaysianghong. Hanya dengan beg itu saja barulah Taydjin dapat menolong jiwanya Ie Kokloo." Hatinya Hong Hoe berdebar-debar dan mukanya segera berubah pucat. Ia tak menguca pkan sepatah kata, rupa-rupa pikiran datang ke dalam otaknya. "Sebagai seorang y ang sudah menolong negara dari kemusnaan, Ie Kokloo dipuja oleh rakyat seluruh n egeri," katanya di dalam hati. "Andaikata Thaysianghong berhasil dalam usaha mer ebut tachta, belum tentu ia berani menentang rakyat dengan membunuh Ie Kokloo." Tapi memikir sampai di situ, tiba-tiba ia ingat perkataan Thio Tan Hong dahulu hari. Waktu itu, adalah Thio Tan Hong be rsama In Tiong yang telah pergi ke Watzu untuk mengambil pulang Thaysianghong. Menurut pendapat Thio Tan Hong, Thaysiang- hong adalah seorang ma nusia "bongim pweegie" (manusia yang tak ingat budi orang), sehingga apa yang dikatakan oleh Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng bukanlah suatu hal yang mustahil. Sementara itu, Hong Hoe pun mengetahui, bahwa kaizar yang sekarang juga bukannya manusia baik-baik. Seb agai seorang yang pernah berdiam lama di istana, ia mengetahui betapa kejamnya seoran g kaizar. Dari kata-katanya Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng, ia mengetahui, bahwa me- reka berusaha memaksa padanya dengan menggunakan keselamatan Ie Kokloo sebagai a lasan. Mengingat itu, ia jadi bergidik dan tak dapat mengambil keputusan. "Thio Taydjin," kata Tjian Sam San sembari mendorong firman yang terletak di ata s meja. "Lebih baik kau menerima saja." Tiba-tiba paras muka Hong Hoe berubah, sedang Tjian Sam San memasang kupingnya. "Ah, tak dinyana semalaman ini aku harus menerima dua rombongan tetamu," kata Ho ng Hoe sambil menghela napas. Hoan Eng yang sedang mendengarkan dengan penuh perhatian, sekonyong-konyong meli hat Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng sambar firman itu yang lalu dimasukkan ke d alam saku dan kemu- dian berkata dengan suara berbisik: "Thio Taydjin, celaka atau selamat, semua te rserah kepadamu." Sehabis berbisik begitu, buru-buru mereka lari ke belakang lem ari buku. Hoan Eng merasa sangat heran. Ketika itu, Thio Hong Hoe sudah membuka pintu dan di bawah sinarnya obor kayu siong, mukanya kelihatan menyeramkan sekali. Sekonyong-konyong, berbareng dengan suara kresekan, dari luar pintu meloncat mas uk dua orang yang mengenakan seragam boesoe (pahlawan istana) berwarna hitam. Gerakan mereka luar biasa cepatnya dan kepandaian mereka juga ti dak berada di sebelah bawah Tjian Sam San atau Boen Tiat Seng. Thio Hong Hoe rangkapkan kedua tangan- nya dan memberi hormat. Kedua tamu itu tertawa terbahak- banak. "Antara sahabat lama, buat apa menggunakan segala pera-datan," kata yang satu. "Lama sekali aku sudah mendapat dengar nama besarnya Thio Taydjin dan baru sekar ang dapat kesempatan untuk bertemu muka," kata yang lain. Sembari menyekal lubang tembok, Hoan Eng mengangkat naik badannya sedikit dan mengintip keluar. Orang yang masuk lebih dulu berbadan lang sing dan mukanya cakap. "Liok-heng," kata Thio Hong Hoe. "Siapakah adanya sahabat ini? Mataku yang lamur tak dapat mengenali." Orang yang kedua itu berbadan tinggi besar, justru sebaliknya dari kawannya. Sem bari me- rangkapkan kedua tangannya, ia berkata: "Saudara Tian Peng adalah sahabat lamaku . Dengan Thio Taydjin, baru kali ini aku bertemu muka. Mungkin sekali saudara Ti an Peng pernah menyebutkan namaku yang rendah." Thio Hong Hoe tertawa seraya berkata: "Ah! Tak dinyana, Peklek tjhioe (si Tangan Geledek) Tong Samko yang aku sudah dengar lama nama besarnya." Hoan Eng kembali terkejut. Kedua orang itu sama-sama mempunyai nama besar. Orang yang berbadan langsing bernama Liok Tian Peng, soetee-nya (adik seperguruan) Ko ng Tiauw Hay, Tjongkoan (kepala pengurus) istana. Pada Tjengtong tahun kel3. Ia pernah turut dalam ujian Boet-jonggoan. Da lam baba- kan-babakan pendahuluan, ia telah menjatuhkan banyak sekali ahli-ahli silat tern ama dan achirnya harus berhadapan dengan In Tiong dalam perebutan gelar Boetjonggoan. Sesudah bertempur ratusan jurus, mereka tetap setanding, sampai akhirnya, berkat bantuan Thio Tan Hong, In Tiong dapat menjatuhkan orang she Lio k ini dan merebut gelar tersebut. Berhubung dengan pertandingan itu, walaupun ka lah, namanya Liok Tian Peng jadi kesohor dan belakangan ia ditarik ke istana seb agai pahlawan. Jika di hitung-hitung, ia adalah rekannya Thio Hong Hoe. Orang yang bertubuh tinggi besar adalah Tong Kee Tjoen. Sebelum Liok Tian Peng m asuk ke istana, me- reka berdua sudah berkawan lama dan pernah bersama-sama malang melintang di daer ah Kanghoay dan mendapat julukan Kanghoay Djiepa (Dua jago dari daerah Kanghoay). Ilmu silatnya Tong Kee Tjoen cu kup tinggi dengan mempunyai Toksee tjiang dan Kimkong tjioe, sehingga dalam kalangan hekto (penjahat), ia terkenal sebagai manusia yang tangannya sangat beracun. Tong Kee Tjoen kembali tertawa. "Thio Taydjin," katanya. "Mulai dari sekarang, kita adalah menteri-menteri dari satu kerajaan dan aku men gharap bisa mendapat banyak petunjuk dari Taydjin. Sekarang ijin-kanlah aku memb eri hormat." Thio Hong Hoe ter- kesiap dan meloncat ke samping untuk menolak pemberian hormatnya. "Tong Soehoe! Apa artinya ini?" ia menanya. "Firman rahasia Hongsiang ada di sini Harap Thio Taydjin suka menerima," berkata Liok Tian Peng dengan suara nyaring. Hoan Eng menjadi bingung. "Eh, eh! Kenapa ada lagi firman rahasia?" katanya di d alam hati. "Bukankah tadi Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng sudah membawa firman? " Ketika itu, dengan kedua tangannya Thio Hong Hoe menjunjung firman tersebut dan dengan sikap menghormat lalu berlutut tiga kali. "Aku mengharap kalian sudi mema afkan, bahwa aku tidak dapat menerima firman ini," katanya. "Dan aku memohon Lio k-heng sudi memberi penjelasan yang baik dihadapan Thaysianghong." Sekarang Hoan Eng sadar. Orang yang dipanggil "Hongsiang" (kaizar) oleh Liok Tia n Peng bukannya Kaizar Kie Giok yang sekarang memerintah, akan tetapi Thaysiangh ong Kie Tin yang telah ditahan dalam istana Lamkiong oleh Kie Giok. Liok Tian Peng lantas saja membuat lagu seperti orang terkejut dan berkata: "Ora ng kata: Satu hari menjadi menteri, mengabdi seumur hidup. Sekarang Tjoekong (ma jikan) sedang memerlukan tenaga Thio-heng, kenapa Thio-heng menolak firman?" Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, ialah jaman kerajaan Beng, dalam perhubun gan antara raja dan menteri terdapat suatu peraturan yang sangat keras. Thio Hong Hoe adalah menteri lama dari Kaizar Kie Tin dan di samping itu, tugas melindungi keselamatan Kie Tin jatuh di atas pundaknya sebagai Tjiongtjiehoei pasukan Kimiewie dan Tongleng barisan Gielimkoen. Menurut peratur an waktu itu, walaupun Thio Hong Hoe sudah meletakkan jabatannya, ia tak dapat m enolak firman kaizarnya. "Sekarang ini Tjoekong adalah orang yang paling dihormati di seluruh negeri dan telah dirawat secara baik oleh Hongtee (kaizar)," kata Hong Hoe. "Ada ketidak pu asan apakah, sehingga beliau perintah Djiewie mengunjungi rumah gubuk ini di ten gah malam buta?" Liok Tian Peng tertawa dingin. "Aku tak tahu, apa Thio Taydjin benar-benar tid ak me- ngetahui, atau hanya berlaga tidak mengetahui," ia menyindir. "Tachta kerajaan sebenarnya adalah miliknya Tjoekong, tapi Ek-ong (gelaran Kie Giok sebelum menjadi kaizar) sungkan mengundurkan diri dan secara tidak patut terus menduduki tachta dan perbuatanny a itu, tidaklah beda dengan merebut tachta secara paksa. Lebih hebat lagi, Tjoek ong sendiri telah di penjarakan di istana Lamkiong. Apakah orang bisa bersabar t erhadap perlakuan itu? Kita semua adalah menteri-menteri tua dan menurut kepanta san, kita haruslah membantu Tjoekong untuk merampas pulang tachta kerajaan. Hany a dengan begitu saja barulah kita tidak melanggar peraturan antara raja dan menterinya." Thio Hong Hoe kerutkan alisnya dengan perasaan mendongkol sekali. Sungguh ia mer asa sangar sebal jika harus mencampur urusan perebutan tachta dalan satu keluarga. Memikir begitu segera ia berkata dengan suara tawar: "Bukan sekali-kali Hong Hoe melupakan budinya Tjoekong dahulu hari, akan tetapi dengan sungguh-sungguh aku tak dapat mencampuri urusan pribadi dari keluarga ka izar." "Apa ini urusan pribadi?" Tong Kee Tjoen menyindir. Liok Tian Peng membuka firman itu seraya berkata: "Thio Taydjin, baca dulu firma n ini." Dengan terpaksa, Hong Hoe membaca firman tersebut yang mengatakan, bahwa ia dibe ri pangkatnya yang lama dengan ditambah pangkat Engboepek dan bahwa ia harus segera berangkat ke kota raja untuk melapor kan diri. "Thio Taydjin, apa kau sudah mengerti maksudnya?" menanya Liok Tian Peng. Thio Hong Hoe membungkuk dan menjawab dengan sikap menghormat: "Banyak terima ka sih untuk budi Thaysianghong yang sangat besar, akan tetap hamba tak berani mene rima firman." "Masih kau menolak?" menegasi Liok Tian Peng dengan suara keras. "Hong Hoe tak berani mengacau," jawabnya dengan suara tetap. "Pangkat Tjiongtjie hoei dari Kimiewie dan pangkat Tongleng dari barisan Gielimkoen sudah ada lain o rang yang memegangnya." (Hong Hoe berkata begitu, oleh karena dalam fir- man tersebut di tulis, bahwa ia diberi pangkatnya yang lama yaitu pangkat Tjiong tjiehoei Kimiewie merangkap Tongleng dari Gielimkoen. Sepengetahuan Hong Hoe sam pai pada saat itu, kedua pangkat tersebut dijabat oleh Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng yang sedang bersembunyi di belak ang lemari buku.) "Thio Taydjin," berkata Tong Kee Tjoen. "Apa benar-benar kau sudah baca firman i tu dengan teliti!" Mendengar pertanyaan begitu diajukan berulang-ulang, Hong Hoe jadi bercuriga. "Apa?" ia menegasi. Liok Tian Peng tertawa dingin dan menyahut: "Tjoekong sekarang sudah bukan Thays ianghong lagi! Aku memberitahukan kau sebenar-benarnya: De- ngan didukung oleh para menteri, kemarin Tjoekong sudah kembali pada tachtanya!" Itulah pernyataan tak diduga-duga, bagaikan halilintar di tengah hari bolong! Th io Hong Hoe jadi kesima dan untuk beberapa saat, tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Kedua matanya yang berkilat-kilat mengawasi Liok Tian Peng dan Tong Kee Tj oen, seolah-olah ingin menembuskan isi perutnya kedua orang itu. "Kau tak percaya?" menanya Liok Tian Peng. "Di dalam hati, mungkin kau berkata: Dari kota raja ke sini, dengan menunggang kuda masih harus menggunakan tempo tig a hari. Cara bagaimana kamu berdua dapat mengetahui kejadian yang terjadi kemari n?" Benar! Bukan saja Hong Hoe, tapi Hoan Eng pun memikir begitu. Sesudah berkata begitu, Tian Peng mengawasi Hong Hoe dengan mata tajam dan kemud ian menyambung pula perkataannya: "Akan tetapi, perhitungan Hongsiang adalah tep at bagaikan perhitungan malaikat, yang tak akan dapat ditaksir oleh orang-orang sebangsa kau. Siang-siang beliau sudah membuat persiapan yang tak dapat meleset lagi. Sesudah itu, barulah beliau perintah aku pergi mencari kau. Jika Hongsiang masih merasa sangsi, beliau tentu tak akan menulis terang-terangan, bahwa kau d ikasi kembali pangkatmu yang dulu. Thio Hong Hoe! Sesudah memberi keterangan jel as, apakah kau masib tak mau menerima firman?" Tong Kee Tjoen dan Liok Tian Peng lantas saja membentang firman itu dan menunggu jawaban Hong Hoe. Hong Hoe berdiri tegak bagaikan patung, seakan-akan kehilangan semangatnya. Diam -diam Liok Tian Peng tertawa dalam hatinya. "Hm! Ada juga takutnya, kau!" pikir ia. Tiba-tiba Hong Hoe membuka mulutnya. "Bagaimana dengan Ie Kokloo?" ia menanya. Liok Tian Peng kaget, tapi lantas saja ia tertawa tengal. "Oh! Kalau begitu, di matamu hanya ada Ie Kiam seorang?" katanya. Ia saling melirik dengan Tong Kee Tj oen dan lalu berkata pula: "Urusan ini, kau tanya saja sendiri kepada Hongsiang. Kami hanya ingin mendapat kepastian, kau menerima atau ti- dak menerima firman ini." Thio Hong Hoe do-ngakkan kepalanya. "Tidak terima!" jawabnya. "Thio Toako adalah laki-laki yang sekali kata satu tidak berubah dua," kata Liok Tian Peng dengan suara lunak. "Kalau begitu putusan Toako, kami berdua ingin pa mitan saja dengan mengharap supaya Toako menjaga kesehatan baik-baik." Heran benar Thio Hong Hoe mendengar perkataan itu. Itulah kata-kata berpisahan a ntara sahabat- sahabat kekal, sedang ia dan Liok Tian Peng sedari dulu tak dapat hidup rukun. Dengan perlahan Liok Tian Peng menggulung firman itu. Hong Hoe merasa terharu, s ehingga kedua matanya mengembeng air. "Liok-heng," katanya. "Aku memohon pertolonganmu untuk menanyakan kesehatannya Ie Taydjin. Di samping itu, aku pun memohon supaya dihadapan Hongsiang, kau sudi bicara baik untuk alamatnya Ie Tayd jin." "Tentu saja," kata Tian Peng sembari menyoja, sedang Hong Hoe pun segera membala s pemberian hormat itu. Pada saat itulah, tangannya Tong Kee Tjoen mendadak berkelebat dan menghantam pu ndak Thio Hong Hoe! Ternyata, kedua orang itu sudah menerima perintah rahasia Kie Tin untuk membinas akan Thio Hong Hoe, jika ia menolak firman! Sebagai seorang yang ilmu silatnya tinggi, walaupun dibo-kong, secara otomatis H ong Hoe dapat mengerahkan tenaga dalamnya. Dengan satu suara "buk!", si pem-bokong terpelanting di atas lantai! "Manusia tak mengenal malu!" membentak Hong Hoe. "Berani benar kau membokong aku !" Sementara itu, Liok Tian Peng sudah mencabut keluar Kimsie Djoanpian (Pecut lemas) yang segera disabetkan ke pundak Hong Hoe. Melihat serangan pengecut itu, Hoan Eng gusar bukan main. Ia hanya menyesal tak dapat mendobrak pintu untuk membantu pamannya. Begitu terguling, Tong Kee Tjoen meloncat bangun dengan gerakan Leehie Tateng (I kan gabus meletik) dan lalu mengayun kedua tangannya. Dengan suara-suara "srr, s rr, srr" yang sangat halus, belasan jarum Ngotok tjiam beracun menyambar Hong Hoe. "Thio Hong Hoe!" i a berseru. "Meskipun kau mempunyai kepandaian menembus langit, malam ini kau jan gan harap dapat meloloskan diri!" Dengan tangan kiri menindih pecut musuh, Hong Hoe mengebas dengan tangan kananny a dan belasan jarum lantas saja berbalik menghantam pihak tuannya. Pecut Liok Tian Peng adalah senjata istimewa, dibuat dari benang emas yang dilil itkan kepada urat harimau dan rotan gunung yang usianya ribuan tahun, sehingga s enjata itu mempunyai keulatan dan kekuatan yang luar biasa. Sesudah menindih, Ho ng Hoe membetot pecut itu, tetapi senjata ini tak menjadi putus, meskipun tangan Liok Tian Peng sampai terbeset dan berdarah akibat betotan yang sangat hebat itu . Dalam kagetnya, Tian Peng mendengar suara menyambarnya jarum dan buru-buru ia menundukkan kepala dengan gerakan Honghong Tiamtauw (Burung Hong manggutkan kepala). Belasan jarum lewat di atas kepalanya, tetapi satu antaranya sudah menembuskan lengannya! Bukan main kagetnya Liok Tian Peng. Ia tak menyana, jika dalam tempo belum cukup delapan tahun, tenaga dalamnya Hong Hoe sudah mendapat kemajuan begitu jauh. "Liok-heng!" berseru Tong Kee Tjoen. "Tempel pundak! Dia sudah kena Toksee tjian g (Tangan pasir beracun). Desak terus sampai dia mampus." Sesaat itu Hong Hoe merasakan pundaknya kesemutan dan lengannya agak kaku. Buru- buru ia bernapas dalam-dalam untuk menahan naiknya racun. Tong Kee Tjoen membuat satu "loncatan harimau" dan sembari berseru "heh!", ia me nghantam pula dengan tangan beracunnya. Tapi kali ini Hong Hoe sudah siap sedia. Ia berlaga kebingungan dan membiarkan musuhnya datang dekat padanya. Mendadak, ia membalikkan tangannya dan menghantam sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Deng an kaget, Tong Kee Tjoen coba mundur, tapi sudah terlambat. Pada pergelangan tan gannya yang kena dihajar dengan kontan timbul lima tapak jari yang berwarna m erah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi. Dengan beruntun Liok Tian Peng menyabet tiga kali dengan pecutnya dan kemudian m emutarkan badan untuk melarikan diri. "Jangan kasi dia bernapas!" berseru Tong Kee Tjoen. "Kalau hari ini dia tak mamp us, kita berdua sukar menyelamatkan jiwa di belakang hari." Sehabis berkata begi tu, ia melemparkan dua butir yowan (pel) dan menyambung perkataannya: "Sambut in i obat pemunah!" Hong Hoe menggeram bagaikan harimau ter-luka, tangan kanannya memapas, tangan kirinya menyambut yo wan itu. Liok Tian Peng menyampok dengan pecutnya, sembari menyambut yo wan itu dengan sebelah tangannya, tapi ia hanya dapat satu butir, sedang sebutir lainnya sudah kena dirampas Hong Hoe. Tian Peng yang lengannya ditembuskan Ngotok tjiam buru-buru menelan yo wan itu, sedang Ho ng Hoe pun segera caplok obat rampasannya. Sesaat itu, Hong Hoe sudah berdiri di tengah pintu dan mencegat jalan mundur ked ua musuhnya. "Binatang!" ia membentak. "Kenapa kau orang membokong aku? Lekas bi lang! Jika tidak, jangan harap kau orang bisa meloloskan diri!" Liok Tian Peng ketakutan setengah mati, mukanya pucat bagaikan kertas. Tiba-tiba Tong Kee Tjoen mengeluarkan teriakan "aduh!" Ternyata, pukulan Hong Hoe tadi yang luar biasa hebatnya sudah men- copotkan tulang pergelangan tangannya, dan barusan, ia menggeser tulang itu kete mpat asalnya. Dapat di mengerti, bahwa penggeseran itu sudah menerbitkan kesakitan yang sangat hebat, sehingga tanpa merasa ia mengeluarkan teriakan "adu h!" Liok Tian Peng memberi tanda kepada kawannya dengan lirikan mata, supaya mereka segera angkat kaki. "Liok-heng," berkata Kee Tjoen. "Tak dapat kita melepaskan dia. Lebih baik mati bertiga. Obatku adalah pemunah Ngotok tjiam, bukan obat Toksee tjiang. Hayolah! Kita desak terus sampai dia mampus!" Tian Peng menganggap perkataan kawannya memang ada benarnya. Thio Hong Hoe bukan main liehay-nya. Dengan Iweekang-nya yang sudah sempurna, dalam sepulu h hari saja ia sudah akan dapat menyembuhkan luka akibat pukulan Toksee tjiang. Sesudah sembuh, Hong Hoe tentu akan membalas sakit hatinya. Meskipun Toksee tjia ng dan Ngotok tjiam menggunakan racun yang sama, akan tetapi cara bekerjanya berlainan sekali. Jarum Ngotok tjiam yang halus terutama digunakan untuk menyera ng jalan darah. Pukulan Toksee tjiang, dapat mengakibatkan luka di dalam dan di luar pada tubuh musuh. Di samping itu, sebuah tangan adalah beberapa puluh kali lebih besar daripada jarum, sehingga racunnya pun puluhan kali lebih hebat. Oleh karena itu, yo wan yang dimaksudkan untuk memunahkan racun jarum dan yang sudah ditelan sebutir ole h Hong Hoe, tak akan menolong banyak. Dalam pada itu, Hong Hoe sendiri sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan naiknya racun. Dapat di mengerti, bahwa usaha itu sudah sangat mengurangkan ten aganya yang harus digunakan untuk melawan dua musuhnya. Maka sebab itulah, dengan dua lawan satu, walaupun Liok Ti an Peng dan Tong Kee Tjoen masih jatuh di bawah angin, Hong Hoe sendiri merasa s angat kepayahan. Mati-matian mereka bertempur. Sesuatu pukulan adalah pukulan yang membinasakan. Dalam sekejap, belasan jurus sudah lewat. Liok Tian Peng ber- kelahi secara licik sekali. Ia tak berani datang dekat dan menggunakan siasat "g erilya". "Thio Hong Hoe!" ia berseru. "Jika benar kau seorang gagah, kau harus m embunuh diri sendiri jangan sampai ditertawai oleh orang-orang gagah di kolong l angit." "Kentut!" membentak Hong Hoe. "Satu hoohan (orang gagah) harus menyerah disem-be leh olehmu? Bagus!" "Thio Hong Hoe!" berteriak pula Liok Tian Peng dengan suara mengejek. "Malam ini kami berdua menjalankan perintah Hongsiang. Sebagai seorang menteri, jika raja perintah kau mampus, kau mesti mampus. Kau mengerti?" Perkataan Liok Tian Peng, walaupun ejekan, bukannya tidak beralasan. Pada jaman itu, kekuasaan kaizar tiada batasnya. Jika kaizar menghendaki jiwa menterinya, menteri itu harus segera menyerahkan jiwanya, tanpa banyak rewel. Ak an tetapi, Liok Tian Peng tidak mengetahui, bahwa sesudah bergaul dengan Thio Tan Hong, alam pikiran Hong Hoe sudah sangat d ipengaruhi oleh sahabatnya itu. Ia sudah menjadi sadar dan sungkan mengorbankan jiwanya untuk satu keluarga yang sedang berebut kekayaan dunia, walaupun keluarga itu adalah keluarga kaizar. Mendengar ejekan itu, darahnya Hong Hoe naik tinggi. "Liok Tian Peng!" ia memben tak. "Manusia rendah yang tak mengenal malu! Kau ingin menggunakan darahku untuk menaikkan pangkatmu? Bagus! Tak malu kau, mengatakan begitu!" Se mbari memaki, kedua tangannya menghantam bagaikan hujan dan angin. Mendadak terdengar suara "buk!" d an badannya Tong Kee Tjoen terpental menubruk tembok, sampai hampir-hampir dia p ingsan. Liok Tian Peng buru-buru menghadang di tengah jalan guna menolong kawannya. "Thi o Hong Hoe!" ia pentang bacotnya lagi. Hongsiang benar cerdik. Siang-siang belia u sudah tahu, kau mempunyai tulang penghianat. Thio Hong Hoe! Kau tahu satu penghianat harus mendapat hukuman apa? Jika kau menyerah dibelenggu, hanya kau seorang yang mampu s. Tapi jika kau melawan, serumah tanggamu akan dibasmi habis!" Mendengar perkataan itu, Hong Hoe me- rasakan dadanya mau meledak. Belasan tahun ia melindungi Kie Tin. Dalam peperang an di Tobokpo, ia bela kaizar itu tanpa memperduli-kan keselamatan jiwanya sendiri. Kesetiaannya sudah tak dapat disangkal pula dan kegagahannya di kagumi orang sejagat. Maka, oleh sebab itu cara bagaimana ia tidak gusar ketika mendapat cap "penghianat"? Dengan hebat ia mengirim tiga pukulan berantai, sehingga Kee Tjoen dan Tian Peng terpaksa mundur beberapa tindak. "Waktu Vasian menyerang, di mana kau? Hm! Seka rang, kaulah menteri setia, sedang aku satu penghianat. Bagus! Bagus betul!" "Thio Hong Hoe, kau tak rela dicap penghianat?" Tian Peng mengejek terus. "Kau k ira orang tak tahu segala gerak-gerikmu? Perhubunganmu dengan Thio Tan Hong sudah di ketahui Hongsiang. Siapa Thio Tan Hong? Apa kau tak tahu? Dalam undang-undang ke rajaan terang-terang ditulis: Siapa juga yang bersekutu dengan pemberontak, mendapat hukuman yang sama dengan pemberontak itu. Apa lagi kau mau kata? Selainnya itu, ketika Ie Kiam menco-kolkan kaizar baru, kau menjadi isi p erutnya (orang sebawahan yang setia) Ie Kiam. Apa itu bukannya berhianat?" Baru habis perkataan itu diucapkan, biji mata Hong Hoe berputar dan rambutnya be rdiri, bahna gusarnya. "Kalau begitu, Ie Kokloo juga penghianat?" ia membentak sekuat suaranya. "Apa lagi?" jawab Liok Tian Peng sembari mesem-mesem dingin. "Hongsiang sudah mengatur rapih. Begitu ia naik tacha, begitu Ie Kiam masuk penjara. Diserahkan k epada Makamah Agung, diumumkan kedosaannya dan dicabut jiwanya! Haha! Thio Hong Hoe! S ekarang juga, aku kuatir kau punya Ie Kokloo sudah hilang kepalanya!" Mata Hong Hoe berkunang-kunang, hampir-hampir ia rubuh pingsan. Melihat kesempat an baik, Tong Kee Tjoen dan Liok Tian Peng lantas saja menyerang sehebat-hebatny a. Tiba-tiba Thio Hong Hoe mendelik. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berteriak. "Jika Ie K okloo dianggap penghianat, guna apa aku hidup terus? Baiklah! Aku sekarang mem- berontak! Hm! Tindakan pertama adalah ambil jiwa anjingmu!" Berbareng dengan perkataannya, Thio Hong Hoe, jago nomor satu di kerajaan Beng, segera menerjang dengan menggunakan seantero kepandaiannya dan seluruh tenaga dalamnya! Seram ben ar terjangan itu! Tong Kee Tjoen yang belum mengenai sampai di mana lieha-ynya Hong Hoe, segera me rangkap kedua tangannya di depan dada untuk coba me-nyampok sambaran tangannya Hong Hoe. Begitu kebentrok, tulang lengan Kee Tjoen di bawah pundak, k ontan patah dua! Tapi Tong Kee Tjoen benar-benar bandel. Sesudah lengannya patah dan darah mengal ir tak hentinya, mulutnya masih berte- riak: "Jangan kasi dia bernapas. Racunku sudah bekerja!" Panjang pecut Liok Tian Peng ada lebih dari setombak. Dengan mengandalkan senjat anya yang panjang, ia terus berkelahi secara licik, lari berputar-putar di selur uh kamar dan menyerang bila mendapat kesempatan baik. Dilawan secara itu, sediki tnya untuk sementara, Hong Hoe tak dapat menghantam si licik ini. Toksee tjiangnya Tong Kee Tjoen liehay luar biasa. Waktu baru kena, berkat Iweek ang-nya yang dalam, Hong Hoe masih dapat menahan menjalarnya racun tersebut. Aka n tetapi, sesudah lewat berapa lama, lengan kanannya mulai kesemutan dan semakin lama jadi semakin kaku. Melihat musuhnya mulai kepayahan, Liok Tian Peng lantas saja tertawa terbahak- bahak. "Thio Hong Hoe!" ia berteriak. "Kalau kau mempunyai pesanan apa-apa, leka s-lekas beritahukan kepadaku. Mengingat kecintaan sebagai rekan untuk banyak tah un, aku pasti akan menolong kau!" Ejek-ejekan yang tak henti-hentinya itu mempunyai satu tujuan berbahaya. Jika seorang yang terkena racun, naik darahnya, racun itu akan menjalar terlebih cepat dan sang korban akan rubuh terlebih sian g pula. Dalam gusarnya, Thio Hong Hoe menendang meja batu, yang lantas saja terpental da n melintang di tengah pintu. Sesudah itu, ia menghantam kalang kabut segala pera botan, seperti sekosol, meja, kursi dan seba- gainya, sehingga barang-barang itu pada menggeletak di atas lantai. Setelah menyingkirkan rintang an-tangan itu, sembari menggeram, Thio Hong Hoe menubruk Tian Peng, yang jadi te rbang semangatnya dan coba menolong jiwanya dengan lari berputar-putar, bagaikan tikus diubar kucing. Dengan satu bentakan keras, Hong Hoe berhasil menyekal pecut musuh. Tian Peng me lepaskan senjatanya dan menggulingkan diri sampai di bawah lemari buku. Thio Hong Hoe menendang dengan sekuat tenaga. Dengan suara gedubrakan, kakinya m ampir di lemari buku yang menjadi dobrak dan roboh. Di antara ramai suara itu, t erdengar teriakan: "Awas!" Dan hampir ber- bareng, Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng munculkan diri. Sembari tertawa seram, tangannya Tjian Sam San mendadak menyambar tulang pundaknya Hong Hoe. "Saudara Boen! Mam-puskan padanya!" ia berseru. Hong Hoe benar-benar kaget. Ia tak pernah mengimpi bisa terjadi peristiwa begitu . Sebagai pemimpin Gielimkoen dan Kimiewie dari Kie Gok, Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng adalah mu suh-musuh Liok Tian Peng dan Tong Kee Tjoen yang menjadi orang kepercayaannya Ki e Tin. Menurut dugaan Hong Hoe, walaupun tidak membantu padanya, Tjian Sam San d an Boen Tiat Seng sedikitnya tidak akan membantu pihak musuh. Hoenkin tjokoet tjhioe dari Tjian Sam San adalah ilmu silat kelas utama dalam Rimba Persilatan. Dengan lima jerijinya yang seperti jepitan besi, ia menyengkeram tulang pundak H ong Hoe yang lantas saja merasakan bagian atas badannya lemah tidak bertenaga. Sementara itu, Boen Tiat Seng sudah mengeluarkan Djoan-kiam (pedang lemas) dari pinggangnya. "Thio Taydjin, hari ini adalah hari kebinasaanmu!" katanya sembari tertawa dan menyabetkan pedangnya ke arah kepala Hong Hoe. Hampir berbareng, Lio k Tian Peng pun sudah bangun dan pungut lagi pecutnya. "Tjian-heng dan Boen-heng ," kata ia sembari tertawa benar. "Seorang gagah memang harus bisa melihat salat an. Mulai dari sekarang, kita semua adalah menteri dari satu kerajaan." Sembari berkata begitu, ia menyabet Hong Hoe dengan senjatanya. Selama beberapa detik, Hong Hoe coba menggunakan beberapa macam ilmu silat untuk meloloskan diri. Akan tetapi, Hoenkin tjokoet thjioe sungguh-sungguh ilmu istim ewa. Lima jerijinya Tjian Sam San seperti juga lengket pada tulang pundak Hong H oe dan tak dapat dibikin terlepas. Sesaat itu, Djoankiam dan Djoanpian menyambar hampir berbareng. Pada detik yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba saja Thio Hong Hoe membentak. He bat sungguh bentakan itu! Bagaikan guntur atau bagaikan geram harimau yang masuk dalam jebakan! Pada detik-detik itu, keangkeran-nya Thio Hong Hoe ber- kumpul menjadi satu. Boen Tiat Seng dan Liok Tian Peng jadi kesima. Tanpa merasa, pecut dan pedang te rhenti di tengah udara. Pada saat itulah, kaki kiri dan kaki kanannya Hong Hoe m enendang dengan berbareng dan dengan kontan kedua musuhnya jatuh terpelanting! Sehabis menendang, ia menyikut dengan sikut kiri dan menyengkeram musuh dengan t angan kanan. * * * Tjian Sam San adalah seorang manusia licik. Tadi, selagi bersembunyi di belakang lemari, ia sudah dapat mendengar segala pembicaraan dan mengetahui, bahwa Kie T in sudah berhasil merebut tachta. Pada saat itu juga, ia segera mengambil putusan buat tinggalkan majikan lama (Kie Giok) dan menghamba kepada majikan baru (Kie T in). "Thaysianghong paling membenci Ie Kiam, Thio Tan Hong dan Thio Hong Hoe," p ikir dia. "Ie Kiam sudah dibekuk, Thio Tan Hong yang berkepandaian paling tinggi tak ketahuan berada di mana, maka yang ketinggalan hanya Thio Hong Hoe seorang. Thaysianghong coba pancing dia dengan pangkat tinggi, tapi dia menolak, sehingg a tidaklah heran jika beliau maui jiwanya. Jika aku bisa membinasakan Hong Hoe, pa hala itu akan dapat digunakan untuk menebus dosa dihada-pan majikan baru." Akan tetapi, ia pun merasa jeri terhadap Hong Hoe yang kepandaiannya tinggi. Sesudah me- ngasah otak liciknya beberapa detik, lantas saja ia mendapat jalan yang sangat b aik. "Lebih baik menonton dulu perkelahian antara harimau-harimau itu," katanya di dalam hati. "Sesudah mereka rusak, barulah aku turun tangan. Jika tidak mampu s, Liok Tian Peng dan Tong Kee Tjoen tentu mesti luka berat. Dan siapa lagi yang bakal kantongi pangkat Tongleng Gielimkoen? Ha-ha! Inilah yang dinamakan sebuti r batu menghasilkan tiga ekor burung!" Demikianlah ia menunggu sambil memasang mata. Apa mau, gelanggang pertempuran pi ndah ke tempat bersembunyinya dan lemari buku kena ditendang oleh Thio Hong Hoe, sehingga mau tidak mau ia mesti keluar juga. Ia menge- tahui, bahwa pundak kanan Hong Hoe sudah terkena pukulan Toksee tjiang, sehingga lengan kanannya tak dapat digunakan lagi. Maka itu, ia menyengkeram tulang pund ak kiri Hong Hoe, supaya dua-dua lengannya tak dapat bergerak dan dengan gampang dapat dibinasakan. * * * Akan tetapi, perhitungannya Tjian Sam San ternyata meleset, oleh karena, dalam d etik yang sangat berbahaya, Hong Hoe masih mempunyai tenaga untuk balas menyeran g. Begitu kena disikut, ia merasakan kesakitan hebat pada dadanya, dan hampir be rbareng, tangannya Hong Hoe menyengkeram nadinya. Dengan satu teriakan hebat, ia berontak sembari melepaskan cengkeramannya pada tulang pundak Hong Hoe, dan di l ain saat, mereka berdua sudah jatuh terguling di atas lantai. Pada detik yang sama, dalam kamar sebelah terdengar suara gedubrakan, seperti ju ga ada orang jatuh dari atas ke bawah. Suara itu adalah akibat jatuhnya Hoan Eng. Teriakan "Awas!" tadi adalah teriakan Hoan Eng. Tak dinyana, oleh karena teriakannya itu, tempat bersembunyinya sudah diketahui oleh Tong Kee Tjoen. Walaupun satu lengannya patah, Tong Kee Tjoen masih dapat menggunakan tangan yang satunya lagi . Sebagai seorang ahli senjata rahasia yang dapat mencari musuhnya dengan hanya mendengar suaranya musuh itu, ia segera mengayun tangannya dan melepaskan sebatang Ngotok tjiam ke arah lubang tembok. Meskipun Hoan Eng masih keburu miri ngkan kepalanya sehingga jarum itu tidak mengenakan matanya, tapi satu jerijinya yang memegang pinggir tembok, tak urung menjadi korban. Sesudah bertahan beberapa saat, ia roboh terguling ke bawah. "Dikamar sebelah ada orang!" berseru Tong Kee Tjoen sesudah menimpuk. Dengan gerakan Lee-hie Tateng (Ikan gabus meletik), Tian Peng loncat bangun. Tap i, sebelum ia dapat bergerak, Hong Hoe sudah menghadang di tengah jendela seraya membentak: "Mau lari ke mana, kau!" Berba- reng dengan bentakannya, ia menyapu dengan tangannya. Dengan cepat Tian Peng ber kelit, tapi Hong Hoe terlebih cepat lagi dan tangannya mengenakan jitu pada ping gang musuh. Di waktu biasa, tenaga tangan Hong Hoe dapat membelah batu besar, ma ka tidaklah heran, begitu kehantam, mata Tian Peng berkunang-kunang. "Matilah aku!" ia berteriak. Tiba-tiba terdengar suara tertawanya Boen Tiat Seng. "Liok-heng," katanya. "Jang an takut. Dia sudah terluka hebat. Tenaganya sangat berkurang. Mari kita kepung padanya!" Mendengar perkataan itu, Liok Tian Peng menjadi sadar. Benar juga, biarpun sakit bukan main, badannya masih dapat bergerak. Buru-buru ia menarik napas dalam-dalam dan merangkak bangun. Ia melihat lengan kanan Hong Hoe sudah seperti tergantung pada pundaknya dan tid ak dapat bergerak-gerak lagi, sedang bajunya penuh darah. Lengan kirinya masih d apat digunakan, tapi gerakannya sudah sangat kaku. Sesudah terkena pukulan Toksee tjiang, tangan kanan Hong Hoe memang sudah menjad i kaku. Tadi, dalam keadaan mati hidup, bagaikan api lilin yang bersinar terang sebelum padam, tangan itu dapat memecahkan cengkeraman Hoenkin tjokoet tjhioe. T api, oleh karena gerakan itu, lengan tersebut copot dari tempatnya dan tak dapat bergerak lagi. Waktu kena dicengkeram, beberapa dalamnya. Dengan satu suara "bukl", si pem-bokong terpelanting di atas lantai! "Manusia tak mengenal malu!" membentak Hong Hoe. "Berani benar kau membokong aku !" Sementara itu, Liok Tian Peng sudah mencabut keluar Kimsie Djoanpian (Pecut lemas) yang segera disabetkan ke pundak Hong Hoe. Melihat serangan pengecut itu, Hoan Eng gusar bukan main. Ia hanya menyesal tak dapat mendobrak pintu untuk membantu pamannya. Begitu terguling, Tong Kee Tjoen meloncat bangun dengan gerakan Leehie Tateng (I kan gabus meletik) dan lalu mengayun kedua tangannya. Dengan suara-suara "srr, s rr, srr" yang sangat lembar urat lengan kiri Hong Hoe telah menjadi putus, sehingga tenaganya jadi sa ngat berkurang. Itulah sebabnya kenapa, walaupun mendapat pukulan telak, Liok Tian Peng tidak sampai me njadi binasa. Sambil menahan sakit, Tian Peng segera pungut lagi pecutnya dan kembali maju men erjang. Sesaat itu, muka Tjian Sam San kelihatan pucat bagaikan mayat, sedang ba dannya bergoyang-goyang. Boen Tiat Seng pun pincang-pincang jalannya dan tidak b erani loncat menyerang. Lima orang yang berada di dalam kamar itu, sebenarnya sudah terluka semua. Tong Kee Tjoen patah sebelah lengannya dan keadaannya payah sekali. Boen Tiat Seng terluka kakinya akibat tendangan, Tjian Sam San patah tulang dadanya lantaran ke na disikut, sedang Liok Tian Peng sendiri mendapat luka berat pada isi perutnya. Akan tetapi, jika dibandingkan, Thio Hong Hoe-lah yang mendapat luka paling ber at. Di lain saat, mereka sudah bertempur pula untuk mendapat ke-putusan mati atau hi dup. Sesudah melayani belasan jurus, Hong Hoe merasa tak dapat bertahan lebih la ma lagi. Di antara kawan-kawannya, adalah Boen Tiat Seng yang lukanya paling rin gan. Oleh karena kakinya sakit, lantas saja ia menggulingkan diri dan menyerang dengan ilmu Koentee-tong dari Partai Utara. Sembari bergulingan, Djoankiam-nya diputar bagaikan titiran untuk menyabet kedua kaki Hong Hoe. Hong Hoe jejek kedua kakinya dan badannya melesat tinggi untuk meloloskan diri dari babatan pedang, dan ketika melayang turun, ia menubruk Tjian Sam San yang lantas saja terpental. Tjian Sam San mementang kedua tangannya dengan niatan memeluk musuhnya dengan menggunakan ilmu Hoenkin tjokoet tjhioe. Akan tet api, tangan Hong Hoe cepat luar biasa. Bagaikan kilat, ia cekal pergelangan tang an musuhnya sambil membentak: "Rasakan bagaimana enaknya lengan copot!" Tjian Sam San mengeluarkan teriakan menyayatkan hati, badannya berguling-guling sampai di kaki tembok, dengan satu tangannya memegang tangan yang lain, yang sudah putus hubung an dengan lengannya! Sementara itu, badan Thio Hong Hoe kembali melesat tinggi dan sebelah tangannya sudah menyekal sebatang golok mustika yang mengeluarkan sinar dan hawa dingin. S emenjak mengundurkan diri, ia tak pernah menggunakan goloknya, yaitu golok Biant o, yang selalu digantung dalam lemari buku. Sekarang, dalam pertarungan mati hid up, ia mengambil goloknya itu, dan dalam sekejap, keadaannya jadi berobah, bagai kan harimau bertambah sayap. Bukan main kagetnya Liok Tian Peng. Dengan muka pucat, ia mundur beberapa tindak . "Binatang!" membentak Hong Hoe. "Jika hari ini kau orang bisa keluar dari pintuku, aku akan menulis terbalik nama Thio Hong Hoe !" Baru saja Liok Tian Peng memutar badan untuk coba melarikan diri, kesiuran angin tajam menyambar punggungnya dan bajunya sudah kena dirobek golok. Pada detik mati hidup, selagi Liok Tian Peng m au membalikkan badan untuk menangkis serangan yang menyusul, tiba-tiba Thio Hong Hoe berteriak dan mundur beberapa ti ndak dengan sempoyongan. "Tikus!" membentak Hong Hoe. "Kau belum mampus?" Sembari berteriak, ia menendang. Hampir berbareng, Tong Kee Tjoen mengeluarkan jeritan h ebat, tubuhnya bergulingan beberapa kali dan terus tidak bergerak lagi, rochny a pulang ke alam baka! Ternyata, barusan waktu mengubar Liok Tian Peng, Hong Hoe sudah tidak memperhatikan Tong Kee Tjoen yang sudah menggeletak di atas lantai dengan luka berat. Meskipun sebelah lengannya patah, ia ternyata masih dapat menggunakan tangan yang satunya lagi. D emikianlah, ketika Hong Hoe lewat di dekatnya, dengan sekuat tenaga ia menimpuk dengan sepuluh batang jarum beracun, yang semuanya menancap pada lutut Hong Hoe! Melihat musuhnya sudah tinggal matinya, Boen Tiat Seng jadi girang. "Tjian-heng! Tjian-heng!" ia berseru. "Hayo bantu sepukulan lagi!" Dengan terpaksa, Tjian Sam San, yang sudah copot sebelah tangannya, maju menyerang. Keadaan Hong Hoe benar-benar sudah payah sekali. Kaki tangannya terlu ka berat, ditambah dengan racun hebat yang sudah mulai naik sampai di jantungnya . Sambil kertek gigi, dengan menggunakan seantero tenaga yang masih ketinggalan, i a terjang tiga musuhnya dengan ilmu golok Ngohouw toanboen tohoat (ilmu golok li ma harimau). Sungguh tak usah malu Thio Hong Hoe bergelar Jagoan Nomor Satu di s eluruh kota raja. Walaupun sudah empas-empis, serangannya masih tetap hebat dan ketiga musuhnya terpaksa mundur dengan terpencar. "Jangan melawan rapat!" berseru Tjian Sam San. "Paling lama dia bisa tahan setengah jam lagi!" Thio Hong Hoe tentu saja mengetahui keadaannya sendiri. Tapi ketika itu ia sudah menghitung dirinya mati dan tujuannya adalah mati bersama-sama tiga musuhnya. M aka itulah, tanpa menjaga diri, ia menyerang bagaikan harimau edan. Antara ketiga musuhnya, adalah Boen Tiat Seng yang lukanya paling ringan. Dengan dilindungi oleh orang she Boen itu, Tjian Sam San dan Liok Tian Peng berkelahi sembari lari berputar-putar dan menyerang apabila ada lowongan. Tujuan mereka ad alah "mengikat" Hong Hoe dengan serangan-serangan "gerilya", sampai musuh itu ru buh sendirinya. Semakin lama, kedua matanya Hong Hoe jadi semakin kabur. Seka- rang ia sudah tak dapat melihat tegas musuh-musuhnya, yang dilihatnya hanya sepe rti gundukan-gundukan bayangan hitam. Sekarang marilah kita tengok Hoan Eng yang jatuh dari atas tembok lantaran jerij inya disambar jarum beracun. Sesaat kemudian, ia merasa jerijinya kesemutan dan sebagai seorang yang banyak pengalaman, lantas saja ia mengetahui, bahwa ia suda h dilanggar senjata beracun. Buru-buru ia mencabut goloknya dan menggurat ujung jerijinya, akan kemudian meme ncet keluar darah beracun yang berwarna hitam. Sesudah itu ia beset bajunya untu k membalut lukanya. "Loohoan, bagaimana kita?" menanya perwira yang satu. "Thio Hong Hoe su- dah memberontak. Bagaimana kita?" menanya yang lain. Hoan Eng tak meladeni mereka. Ia tempelkan kupingnya di tembok, mendengarkan sua ra beradunya senjata. Ia bingung sekali, tak tahu siapa yang menang siapa yang kalah. Menging at kekejaman kaizar, mengingat di pengarakannya Ie Kiam dan dikepungnya Hong Hoe , darahnya jadi meluap. Bagaikan kalap, ia angkat goloknya dan membacok tembok berulang-ulang. Suara bacokan itu terdengar di gelanggang pertempuran. Boen Tiat Seng dan dua ka wannya tentu saja tak tahu, bahwa kamar sebelah sudah dikunci oleh Siauw Houwtjo e. Mereka menduga, bahwa pembantu Thio Hong Hoe sedang membuka pintu untuk memberi bantuan. Antara mereka, adalah Liok Tian Peng yang nyalinya paling kecil. Dialah yang pal ing dulu loncat keluar dari gelanggang dan sambil menyeret pecut, ia coba melomp ati jendela. Hong Hoe menarik napas dalam-dalam. Buat sesaat, kedua matanya tera ng kembali. Sambil membentak keras, ia membacok. Sekali ini orang she Liok itu t ak dapat singkirkan dirinya lagi. Golok Hong Hoe mampir tepat di pundaknya dan i a roboh dengan tidak bernyawa lagi! Tjian Sam San bengong sedetik, saking kagetnya. Sebelum mencabut Bianto dari tubuh musuhnya, Hong Hoe mengirim satu tendangan dengan kak i kirinya. Kali ini pun ia berhasil, kakinya mnge- nakan tepat pada dadanya Tjian Sam San. "Boen-heng..." berseru Tjian Sam San dengan suara lemah dan rubuh tanpa berkutik lagi. Selagi Hong Hoe "membereskan" kedua musuhnya. Boen Tiat Seng loncat dan menikam punggungnya Hong Hoe dengan Djoankiam-nya. Pada saat ujung pedang menempel pada punggung musuhnya dan selagi ia mau menyodok ke depan, mendadak ia dengar teriak annya Tjian Sam San yang menyayatkan hati. Ia terkesiap, sehingga gerakan Djoankiam jadi agak lambat. Pada detik itu, Hong Hoe sudah meloncat ke depan, ak an kemudian memutarkan badannya. "Hm! Sekarang hanya ketinggalan kau seorang!" membentak Hong Hoe dengan suara menyeramkan. "Thio Taydjin, ampuni aku!" memohon Boen Tiat Seng dengan suara gemetar. Thio Ho ng Hoe mendelik sambil menimpuk dengan goloknya. Dengan disertai sinar dingin, B ianto menyambar ke uluatinya Boen Tiat Seng dan terus menembus sampai di punggun gnya! Tanpa mengeluarkan suara, dia roboh celentang. Sembari tertawa terbahak-bahak, Hong Hoe memungut senjatanya dan menyingkirkan m eja batu yang melintang di tengah pintu. Ia menghampiri pintu batu dan membentak : "Siapa di dalam? Keluar semuanya!" Hoan Eng dorong keluar kedua perwira itu dan ia sendiri pun mengikuti dari belak ang. Melihat Hoan Eng, sambil melintangkan senjata, Hong Hoe menanya: "Hoan Eng, ada urusan apa kau datang ke sini? Siapa y ang kirim dua perwira ini?" Kedua perwira itu pucat mukanya. "Kami... kami datang untuk memohon pertolongan Taydjin," jawab salah satu antara nya dengan suara terputus-putus. "Apa?" membentak Hong Hoe. "Kau rasa boleh keluar masuk sesukamu di rumahku?" Sedang kedua perwira itu gemetar sekujur badan, Hoan Eng mengawasi jago tua itu dengan hati duka. Ketika itu, seluruh badannya Hong Hoe berlumuran darah, tapi k eangkerannya masih tetap seperti sediakala. Tanpa merasa, Hoan Eng mengucurkan a ir mata dan menyekal tangannya orang tua itu. "Thio Pehpeh, bagaimana keadaanmu?" ia menanya dengan suara terharu. "Kenap a kau?" membentak Hong Hoe. "Kenapa kau ajak orang luar datang ke sini?" "Pehpeh," jawabnya. "Kau mengaso dulu. Sebentar aku akan ceritakan." "Baiklah," kata Thio Hong Hoe yang lantas masuk ke kamar batu dan duduk bersila. Buru-buru Hoan Eng mengeluarkan obat luka untuk mengobati pamannya. Hong Hoe men delik. "Taroh!" ia memerintah. "Siapa perintah kau bikin laga seperti nenek-nenek. Lekas bilang! Siapa dua pembesar it u?" "Apa yang dikatakan mereka adalah hal yang sebenarnya," menjawab Hoan Eng sesuda h menjalankan kehormatan. "Dari Ouwpak, mereka mengantar uang negara sebanyak tiga puluh laksa tahil perak. Di tengah ja lan, perak itu kena dirampok. Mereka datang ke sini buat memohon pertolongan Peh peh." "Ada sangkut paut apa dengan kau?" menanya sang paman. "Aku turut melindungi uang itu," sahutnya. "Kenapa kau begitu tolol!" membentak Hong Hoe. Hoan Eng buru-buru berlutut dan berkata: "Uang itu adalah kiriman Khoan Samtee. Aku tak dapat menolak mengingat hubungan mendiang ayahanda... Pehpeh, bagaimana kau rasakan?" Tadi, ketika belum mengetahui maksud kedatangan Hoan Eng dan kedua perwira itu, untuk sementara, Hong Hoe dapat mempertahankan dirinya. Seka- rang, sesudah mengetahui mereka tak bermaksud jahat, perasaan tegangnya hilang dan mukanya lan tas saja berobah pucat dan badannya bergoyang-goyang. Hoan Eng bangun dan coba memberi pertolongan. "Tak usah," berkata Hong Hoe. "Selagi aku masih dapat bicara, kau dengarlah omon ganku." Hoan Eng merasa tak tega dan mau juga coba memegang badannya orang tua it u. "Kau mau dengar perintahku atau tidak!" membentak sang paman. "Hm! Kau kena Ngot ok tjiam. Lekas ambil obat pemunah dari badannya Tong Kee Tjoen." Hoan Eng mengawasi lukanya. Warna merah ternyata sudah melebar sampai di telapak an tangannya. Ia terkejut oleh karena tidak menduga racun Ngotok tjiam sedemikian liehay. Mengingat, bahwa Hong Hoe pun kena racun serupa, buru-buru ia menggeledah mayatnya Tong Kee Tjoe n dan mendapat sebungkus yowan, yang lantas saja diserahkan kepada Hong Hoe. "Benar," kata sang paman. "Kau telan tiga butir." "Thio Pehpeh, kau juga harus makan obat itu," kata Hoan Eng. Hong Hoe tertawa sedih seraya berkata: "Jika satu jam lebih siang, mungkin masih ada harapan. Tapi sekarang, meskipun mendapat obat dewa, sudah tidak menolong l agi!" Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kangouw, Hoan Eng tak membantah o mongan paman- nya. Dengan hati bergon-cang ia mengawasi mukanya jago tua itu, yang dari berwarna ab u-abu sekarang sudah berobah menjadi hitam. Tanpa merasa, bungkusan obat itu terlepas dari cekalannya dan jatuh di atas lantai. "Thio Pehpeh," katanya sembari berlutut. "P esanan apakah yang Pehpeh hendak berikan kepada siauwtit (kepo- nakan)?" Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak. "Budi dan sakit hati sudah terbalas semuan ya, ada apa lagi yang aku dapat memesan?" kata ia. "Hm! Hanya satu! Kau dengarla h!" "Bret!" ia membeset bajunya yang penuh darah. "Bawalah sobekan baju ini dan golo kku dan pergilah kau mencari Thio Tan Hong!" kata sang paman. "Sesudah perak dapat diambil pulang , suruh Khoan Kie segera meletakkan jabatannya!" Dengan air mata bercucuran. Hoan Eng menyambuti sobekan baju dan golok mustika i tu. "Ada apa lagi?" ia menanya. "Ketika datang di sini, apakah kau tidak bertemu Siauw Houwtjoe?" menanya Hong H oe. "Siauw Houwtjoe pergi mencari Pehpeh," jawabnya. Tubuhnya Hong Hoe bergemetar, tapi parasnya tetap tenang. Dalam menghadapi maut, orang gagah itu sama sekali tak menjadi gentar dan Hoan Eng merasa kagum s ekali. Bagaikan api lilin yang mendadak terang sebelum padam sama sekali, Hong Hoe tiba - Thio Hong Hoe angsurkan sobekan baju yang berlumuran darah dan golok Bian-to, ya ng diterima sambil berlutut oleh Hoan Eng. "Bawalah sobekan baju ini dan golokku dan pergilah kau mencari Thio Tan Hong," ia memesan. "Sesudah perak dapat diamb il tiba membuka kedua matanya. "Jika Siauw Houwtjoe masih hidup," katanya dengan su ara terburu-buru, seolah-olah kuatir keburu mati. "Serahkanlah golokku kepadanya dan suruhlah ia mengangkat Thio Tan Hong sebagai guru." Sehabis berkata begitu, ia mengebas tangannya dan menyambung perkataannya: "Dengan penduduk dusun, aku mempunyai hubungan yang sangat baik. Jenazahku tentu dirawat baik-baik oleh mere ka. Kau sendiri boleh segera berangkat. Dengan tangan sendiri, aku telah membala s segala sakit hatiku, sehingga meskipun mati, aku mati dengan mata meram. Hanya... satu... penyesalan... aku tak dapat.. . bertemu pula... dengan Ie Kokloo... Thio Tan Hong..." Suaranya semakin lama, semakin lemah dan sesudah mengucapkan perkataan "Hong", i a meramkan kedua matanya. Hoan Eng loncat dan meraba dadanya. Ahli Silat Nomor S atu di seluruh kota raja sudah tiada lagi dalam dunia! Hoan Eng menangis tersedu -sedu. Ia tak nyana, bahwa jago yang begitu disegani orang, harus menutup mata d alam sebuah kamar batu, tanpa disaksikan oleh pute-ranya sendiri. Sesudah kenyang menangis, Hoan Eng segera berlutut diha-dapan jenazahnya sang pa man, sebagai pemberian hormat yang penghabisan kali. Mendadak, kupingnya jang tajam mendengar suara kresekan. "Ah, memang juga aku ta k boleh berdiam lama-lama di sini." katanya di dalam hati. Buru-buru ia masukkan sobekkan bajunya Hong Hoe ke dalam saku dan sa mbil menenteng Bianto, ia berjalan keluar dari kamar itu. Suara yang didengar Hoan Eng, ternyata adalah suaranya kedua perwira itu, yang s esudah menunggu lama di luar dengan tidak sabaran, coba melongok-longok ke dalam buat mencari tahu, bagaimana kesudahan pertemuan Hoan E ng dengan Thio Hong Hoe. Melihat Hoan Eng berjalan keluar dengan menenteng golok yang sinarnya berkilauan, mereka terkejut. "Loohoan, bagaimana?" menanya satu antaranya. "Sebulan kemudian, kalian tunggui aku di tepi telaga Thayouw," jawabnya dengan p endek. "Apa?" menegasi mereka. "Thio Taydjin sudah meluluskan permohonanmu," sahutnya. "Satu bulan kemudian, di hitung dari hari ini, kalian berdua tunggui aku di tepi telaga Thayouw untuk men dapat tahu kesudahannya." "Sebulan kemudian? Bagaimana kami dapat menunggu begitu lama?" kata merek a. Hoan Eng jadi naik darah. "Jika kalian tak dapat menunggu, aku pun tak dapat men olong lagi," katanya dengan suara keras. Sehabis berkata begitu, ia lantas berja lan dengan tindakan cepat. Kedua perwira itu mengudak sembari berteriak-teriak, tapi, sesaat kemudian, di b awah sinar rembulan, mereka hanya dapat melihat bayangan Hoan Eng yang k aburkan dalam hati. Buru-buru ia masukkan sobekkan bajunya Hong Hoe ke dalam saku dan sa mbil menenteng Bianto, ia berjalan keluar dari kamar itu. Suara yang didengar Hoan Eng, ternyata adalah suaranya kedua perwira itu, yang s esudah menunggu lama di luar dengan tidak sabaran, coba melongok-longok ke dalam buat mencari tahu, bagaimana kesudahan pertemuan Hoan E ng dengan Thio Hong Hoe. Melihat Hoan Eng berjalan keluar dengan menenteng golok yang sinarnya berkilauan, mereka terkejut. "Loohoan, bagaimana?" menanya satu antaranya. "Sebulan kemudian, kalian tunggui aku di tepi telaga Thayouw," jawabnya dengan p endek. "Apa?" menegasi mereka. "Thio Taydjin sudah meluluskan permohonanmu," sahutnya. "Satu bulan kemudian, di hitung dari hari ini, kalian berdua tunggui aku di tepi telaga Thayouw untuk men dapat tahu kesudahannya." "Sebulan kemudian? Bagaimana kami dapat menunggu begitu lama?" kata merek a. Hoan Eng jadi naik darah. "Jika kalian tak dapat menunggu, aku pun tak dapat men olong lagi," katanya dengan suara keras. Sehabis berkata begitu, ia lantas berja lan dengan tindakan cepat. Kedua perwira itu mengudak sembari berteriak-teriak, tapi, sesaat kemudian, di b awah sinar rembulan, mereka hanya dapat melihat bayangan Hoan Eng yang k aburkan kudanya keras sekali. Mereka tak berani balik ke rumah Hong Hoe dan dengan menunggang kuda, mereka cob a menyusul, tapi Hoan Eng sudah meninggalkan mereka jauh sekali dan terus kaburk an tunggangannya ke arah utara. Mereka kaget tercampur heran. "Dia kata, di pinggir Thayouw, tapi kenapa dia per gi ke utara dan bukan ke selatan?" kata satu antaranya. "Apa bukan dia guyon-guy on?" Mereka tahan tunggangannya dengan perasaan duka sekali. Sungguh mereka tak mengerti perkataan Hoan Eng. * * * Empat hari kemudian, kota raja mendapat kunjungan seorang tamu yang pakaiannya penuh debu. Orang itu adalah Hoan Eng. Dengan membedal kudanya siang malam, dala m empat hari, ia sudah tiba di kota raja. Di jalan-jalan di seluruh kota Pakkhia, ia melihat berdiri pintu-pintu gerbang i ndah dengan tengloleng beraneka warna. Pada saban pintu gerbang, terdapat tulisan yang bunyinya seperti berikut: "Sianghong kembali ke atas tachta, seantero rakyat memberi selamat." Akan tetapi, paja-ngannya adalah pajangan pesta, suasananya adalah suasana kesed ihan. Siapa yang tak buta akan dapat melihat paras duka pada mukanya setiap oran g. Hoan Eng naik ke loteng sebuah rumah makan besar. Di atas tembok, ia melihat pem - beriantahu dengan tulisan: "Jangan bicarakan urusan negara." Di situ hanya terdapat beberapa tamu yang sedang bicara satu dengan yang lain sa mbil berbisik-bisik. Hoan Eng teriaki pelayan dan minta arak putih dengan dua kati daging sapi. Sambi l makan, ia memasang kupingnya. Beberapa tamu itu ternyata sedang membicarakan h alnya Ie Kiam. Pem-beriantahu di atas tembok ternyata tidak digubris mereka. Dari rumah makan itu, Hoan Eng pergi ke beberapa tempat yang biasanya ramai. Dar i penyelidikannya itu, kasar-kasar ia sudah mendapat satu gambaran tentang keada an di kota raja pada waktu itu. Apa yang dikatakan oleh Liok Tian Peng, adalah benar. Sesuai dengan rencananya, Kie Tin sudah berhasil merebut kembali tachta kerajaan. Sebagaimana diketahui, sedari pulang ke Tiongkok, ia sudah di penjarakan di Lamk iong oleh adiknya (Kie Giok), yang sungkan mengembalikan tachta itu kepadanya. Untuk menjaga kakaknya, Kie Giok merasa perlu menggunakan tenaganya seorang jend eral yang berpangkat Tjengwanpek, Ong Kie namanya. Tapi, tak dinyana, semua kewaspadaan itu tak dapat mencegah persekutuan Kie Tin. Perlahan-lahan, Kie Tin bersekutu dengan para menteri dan pada achirnya, ia mal ahan berhasil menarik Ong Kie ke dalam persekutuannya. Demikianlah, pada Kengthay tahun ke-8, yaitu tahun ke d elapan semenjak Kie Giok naik ke tachta, pada malam kedua dari perayaan Goansiau w (Capgomeh), Ong Kie membuka pintu Lamkiong lebar-lebar dan membiarkan tentaran ya Kie Tin masuk, yang lantas saja mengepung keraton kaizar. Pada besok hari, Ki e Tin sudah kembali ke tachtanya dengan didukung oleh menteri-menteri yang sudah bersekutu dengan ia. Berbareng dengan itu, ia mengumumkan, bahwa Kie Giok sudah "wafat". Kie Tin bertindak cepat. Ia mengumumkan nama "Thiansoen" sebagai nama pemerintah annya, memberi pengampunan umum kepada persakitan di seluruh negeri, dan pada hari pengampunan itu, ia jebluskan Ie Kiam ke dalam penjara istana! Rakyat di kota raja berduka bukan main. Banyak, banyak sekali rakyat, secara dia m-diam memasang meja sembahyang di rumahnya untuk memohon kepada Tuhan, agar kes elamatan Ie Kiam dilindungi. Macam-macam desas-desus tersiar di seluruh kota. Banyak orang mengatakan, bahwa sejumlah hiapsoe (pendekar) sedang bersiap-siap untuk membongkar penjara. * * * Malam itu, di dekat penjara istana kelihatan berkelebat bayangan orang. Orang it u adalah Hoan Eng. Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga mundar-mandir tak henti-hentinya. Hoan Eng mengawasi dengan mata tajam, sedang otaknya diasah guna mencari jalan untuk masuk ke dalam. Tiba-tiba terdengar suara terompet. Berbare ng dengan itu, di atas genteng muncul banyak bayangan hitam yang segera menuju k e arah utara barat dengan berbondong-bondong. Hoan Eng merasa heran. Ia tak tahu , apa artinya itu semua. Akan tetapi, itu adalah kesempatan luar biasa baginya. Buru-buru ia mengeluarkan dua butir batu hoei-hongsek dari sakunya dan melontark an batu-batu itu ke tengah-tengah udara. Begitu berbentrok, kedua batu itu menge luarkan suara keras. Dua penjaga loncat keluar untuk menyelidiki suara itu. Tanp a bersangsi, Hoan Eng mengenjot badan dan hinggap di atas tembok. Malam itu adalah malam tak berbintang. Dengan pakaiannya yang berwarna hitam dan dengan ilmu en-tengkan badannya yang cukup tinggi, gerakan Hoan Eng sama sekali tak dapat dilihat oleh kedua penjaga itu yang kepandaiannya masih sangat rendah . Hati-hati, Hoan Eng merangkak di atas genteng. Sayup-sayup ia mendengar teriakan -teriakan di tempat jauh. Baru saja melewati dua wuwungan, tiba-tiba ia dibentak dengan perkataan "Thiansoen". Hoan Eng tahu, bahwa "Thiansoen" adalah kata-kata rahasia yang digunakan pada malam itu. Dengan suara tak terang, ia men jawab dengan dua perkataan pula. "Apa?" membentak orang itu. "Lebih keras sedikit!" Hoan Eng meloncat, panah tangannya menyambar tenggorokan orang itu. Tanpa bersua ra ia roboh di atas genteng. Hoan Eng lalu membuka pakaian penjaga itu yang lantas saja dipakai olehnya sendiri. Sesudah itu, ia loncat tur un dan bersembunyi di tempat gelap. Beberapa saat kemudian, seorang penjaga lain mendatangi sambil menengteng lentera. Hoan Eng meloncat dan kebaskan goloknya di muka orang itu. "Di mana Ie Kokloo di penjarakan?" ia membentak dengan suara perlahan. Penjaga penjara yang tadi kaget setengah mati, mendadak tertawa girang. "Ka u mau menolong Ie Kokloo?" ia menegasi. "Di kamar (sel) persa-kitan yang mendapat hukuman mati, kamar nomor delapan. Dari sini jalan terus, sampai di ujung biluk ke kanan. Hitung saja, kamar yang ke delapan adalah kamarnya Ie Kokloo." Hoan Eng masukkan Bianto ke dalam sarung, tapi, selagi ia mau bertindak, penjaga penjara itu berkata pula: "Eh, tanda rahasia malam ini adalah Thiansoen Banlian (Thiansoen berlaksa tahun). Ingatlah!" Sesuai dengan petunjuk itu, dengan hati tetap, Hoan Eng masuk ke dalam. Setiap b entakan "Thiansoen", dijawabnya dengan "Banlian" dan dapat berjalan terus tanpa rintangan. Antara sipir-sipir itu, terdapat satu dua orang yang merasa curiga oleh karena suara Hoan Eng yang agak asing, akan tetapi, mere ka diam-diam saja. Di depan kamar nomor delapan berdiri seorang penjaga dengan menyekal pedang terh unus. Mendadak, Hoan Eng menubruk, sambil mengayun golok. Tapi orang itu gesit l uar biasa. Walaupun di-bokong, ia mash dapat berkelit. "Celaka!" Hoan Eng mengel uarkan seruan tertahan. Penjaga itu memutar badan, tapi aneh sungguh, sebaliknya dari menyerang ia berse nyum! "Lekas bacok diriku, di tempat yang tidak membinasakan," katanya. Hoan Eng terkesiap, tapi lantas saja ia menjadi sadar. Penjaga penjara itu pun ingin menolong Ie Kiam! Mengingat kemulian orang. Hoan Eng jadi terharu, sehingga ia tak tega untuk menu runkan tangan. "Lekas!" kata penjaga itu. "Setengah jam lagi, tukar penjaga." Sambil mengeraskan hati, Hoan Eng mengangkat goloknya dan menggurat kaki orang i tu. "Jangan begitu! Lebih dalam sedikit!" kata penjaga itu sembari cekal tangann ya Hoan Eng yang memegang golok dan membacok dengkulnya sendiri. Sesudah itu, ia menotok jalan darah Ahhiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) di pin ggangnya sendiri. Di lain saat, ia roboh sambil menahan sakit, tapi mukanya terl ukis senyuman! Sembari menghela napas panjang, Hoan Eng membacok kunci yang lantas saja jatuh berarakan di atas lantai, tiba-tiba ia dengar suara seorang tua yang bersyair de ngan suara perlahan: "Di antara taksaan serangan 'ku munculkan diri, api membakar 'ku tak perduii, ba dan hancur 'ku tak takuti, asai nama bersih dalam dunia ini." Itulah suatu syair, yang pada peristiwa "Tobokpo", telah digunakan oleh Ie Kiam untuk memperlihatkan kebersihan dirinya. Dengan perlahan Hoan Eng menolak pintu, kedua tangannya meraba-raba kamar yang g elap itu. "Siapa? Apa Tjoe-djie (anak Tjoe)?" menanya Ie Kiam. "Kenapa kau tak turut omong an ayah dan kembali datang ke sini?" Oleh karena keadaan mendesak, Hoan Eng tak sempat menanyakan siapa adanya "Tjoe-djie". Buru-buru ia menyalakan bahan api yang dibawanya dan berbisik: "Ie Kokloo, apa kau terluka? I jinkanlah aku menggendong kau untuk keluar dari sini." Di bawah penerangan yang remang-remang, Ie Kiam, yang rambutnya sudah putih semu a, duduk bersila dengan kedua tangan diborgol. Dalam keadaannya yang menyedihkan itu, kedua matanya tetap bersinar dan keangkerannya tetap tidak berkurang. "Siapa?" ia membentak. Hati Hoan Eng berdebar keras, air matanya mengucur deras. Sambil menekuk lututny a, ia menjawab dengan suara perlahan: "Ayahku adalah Siewie Hoan Tjoen, d ahulu pernah jadi pengikut Kokloo." "Oh!" berkata Ie Kiam. "Kalau begitu, kau adalah keponakannya Hoan Tiong, putera nya Hoan Tjoen. Untuk apa kau datang kemari?" "Aku datang untuk menolong Kokloo keluar dari tempat ini," sahutnya sembari menc abut Bianto untuk membabat borgolan. "Inilah pekakas menghukum dari kerajaan, tak dapat sembarangan diganggu," berkata orang tua itu. Hoan Eng menjadi bingung. "Jika borgolan tidak diputuskan, cara bagaimana kita d apat melarikan diri?" kata ia. "Aku adalah seorang menteri besar dari kerajaan Beng!" Ie Kiam membentak dengan mata melotot. "Cara bagaimana aku dapat melarikan diri dengan jalan kabur dari penjara?" Hoan Eng tak menduga, orang tua itu sedemikian "tolol". "Taydjin!" ia berkata dengan suara bingung. "Jika Taydjin sungkan kabur, penasar anmu akan tetap merupakan suatu penasaran." Ie Kiam tertawa terbahak-bahak. "Jika aku takut mati, dahulu hari aku tentu tida k perintah In Tiong pergi ke Watzu untuk menyambut Hongsiang," katanya dengan suara nyaring. "Aku memang sudah menduga bakal ada ke jadian seperti di ini hari. Hoan Hiantit! Kau pergilah!" Tetapi manalah Hoan Eng mau gampang-gampang berlalu. "Aku sudah mengambil putusan pasti," berkata Ie Kiam dengan gusar. "Aku bersumpa h tak akan melarikan diri!" "Kokloo!" berkata Hoan Eng dengan suara memohon. "Apakah Kokloo tidak merasa kasihan kepada rakyat di seluruh negeri?" "Usiaku sekarang sudah enam puluh tahun lebih, sehingga meskipun tidak lantas mati, aku adalah seperti lampu yang sudah kehabisan minyak ," berkata orang tua itu sambil menghela napas. "Di antara putera dan puteri Tiongk ok, jumlah ksatria tak dapat dihitung berapa banyaknya. Satu Ie Kiam mati, ratus an atau ribuan Ie Kiam munculkan diri. Tak dapat kau bicara begitu." "Akan tetapi, mati secara Kokloo, adalah mati secara tidak berharga!" berkata Hoan Eng dengan ber-napsu. "Kenapa tidak berharga?" menanya Ie Kiam. "Jika matiku tidak berharga, maka matinya Gak boebok ong (Gak Hoei) juga tidak berharga. Ketika itu , dalam tangannya ia memegang kekuasaan atas ratusan laksa serdadu, tapi ia toh masih sungkan melanggar undang-undang kerajaan dan rela menerima hukuman. Meskipun aku tak berani menela d contohnya, tapi sedikitnya aku pun sungkan melanggar undang-undang!" Harus diingat, bahwa semenjak muda sehingga menjabat pangkat yang sangat tinggi, dalam alam pikirannya, Ie Kiam hanya mengetahui, bahwa seorang menteri yang set ia harus tunduk pada kemauan sang jungjungan. Cara berpikir yang sedemikian suda h melekat dalam otaknya selama beberapa puluh tahun, se- hingga Hoan Eng tentu saja tidak dapat meru-bahnya dalam tempo yang sangat pende k itu. Hoan Eng masih ingin membujuk terus, akan tetapi, kupingnya mendadak mendengar s uara bergulingan dari si penjaga penjara yang barusan sudah melukai dirinya send iri. Ia mengetahui, bahwa itu adalah satu peringatan, supaya ia bekerja terlebih cepat. "Taydjin... Taydjin..." ia mengeluh. "Pergi!" membentak Ie Kiam. "Jika kau tak menurut, aku akan benturkan kepala di tembok, supaya binasa di hadapanmu!" Hoan Eng menghela napas panjang. "Kokloo," katanya dengan suara duka sekali. "Ap a Kokloo mempunyai pesanan apa-apa?" "Aku tak pernah berdosa terhadap Tu- han, tak pernah menyakiti sesama manusia," kata orang tua itu dengan suara tenan g. "Ada apa yang aku harus memesan? Pergilah!" Dengan air mata mengucur, Hoan Eng memutar badan dan bertindak keluar. "Ada satu urusan, harap kau tolong menyampaikannya,"" Ie Kiam mendadak berkata. Hoan Eng hentikan tindakannya. "Pergilah ke telaga Thayouw dan cari Thio Tan Hong," memesan Ie Kiam. "Suruh ia lekas-lekas melarikan diri." "Kokloo legakan hati," kata Hoan Eng. "Pesanan ini aku akan segera jalankan." Baru habis ia berkata begitu, pintu penjara kedengaran ditendang terpental. "Ada orang membongkar penjara!" demikian teriakan bebe- rapa orang. Begitu loncat keluar dari kamar Ie Kiam, Hoan Eng putarkan goloknya dan menerjan g beberapa musuh yang sudah tiba dihadapan-nya. Dengan suara "trang!" senjata be berapa orang itu sudah terbabat putus oleh Bianto yang tajam luar biasa. Mereka mundur dengan kaget, dan tanpa sia-siakan ketika bagus, Hoan Eng loncat naik ke atas genteng. "Jangan lari!" satu bentakan terdengar, disusul dengan kesiuran angin tajam di b elakang kepala Hoan Eng. Hoan Eng berkelit sembari menyampok dengan goloknya. Dengan satu suara keras, le latu api berhamburan. Hoan Eng terkesiap oleh karena bukan saja Bianto tak dapat menguntungkan senjata musuh, malahan tangannya sen- diri terasa sakit dan kesemutan. Ia mengawasi dan ternyata musuhnya adalah seora ng Wiesoe (pahlawan istana) yang berseragam hitam dan bersenjata golok besar yan g beratnya kira-kira lima puluh kati. Golok itu adalah senjata yang biasanya digunakan dalam peperangan dengan menunggang kuda. Bahwa Wiesoe tersebut dapat menggunakannya dalam pertempuran di atas genteng yan g memerlukan loncatan-loncatan tinggi, dapatlah dibayangkan berapa liehaynya pah lawan itu. Hoan Eng kaget, tapi musuhnya pun tidak kurang kagetnya. ia adalah seorang Gietj ian Siewie (pengawal pribadi kaizar) kelas satu yang ditugaskan untuk menjaga pe njara istana. Begitu golok besarnya kebentrok dengan Bianto yang tipis kecil, ia merasakan tangannya kesemutan dan goloknya pun sempo ak sebagian. "Hei! Mana yang lain! Lekas datang!" ia berteriak. Dengan gerakan Tiangtjoa Tjoeeng (Ular keluar dari lubang), Hoan Eng membacok. S ekonyong-konyong, berbareng dengan satu bentakan, dua bola besi menyambar mukany a. Hoan Eng menundukkan kepalanya dengan gerakan Honghong Tiam-tauw (Burung Hong manggutkan kepala) sambil menyampok dengan goloknya. Dengan satu suara "trang!" kedua bola besi itu sudah ditarik pulang. Dengan satu lirikan, Hoan Eng dapat k enyataan, bahwa di sebelah kirinya sudah muncul seorang Wiesoe lain yang berseragam hitam. Dua bola besi itu bukan senjata rahasia, tapi kepala nya senjata Liantjoe toei, atau ban-dringan. Liantjoe toei adalah semajam senjat a yang sukar digunakan. Bahwa Wiesoe itu dapat menggunakannya secara begitu lelu asa, dapatlah dibayangkan, bahwa ia itu bukannya seorang lawan enteng. Dalam jarak kurang lebih setombak, Wiesoe itu segera menyerang dengan bandringan nya. Panjang rantai Liantjoe toei ada delapan kaki lebih dan jika diputar, kedua bola besinya dapat menghantam segala apa yang berada dalam jarak satu tombak. O leh karena itu, untuk sementara, Hoan Eng tak dapat menoblos keluar. Sementara itu, Wiesoe yang bersenjata golok sudah menyabet pinggangnya. Hoan Eng berkelit, sembari menyampok dengan Bianto. Tiba-tiba di sebelah kanan kembali terdengar bentakan dan lagi bayangan hitam be rkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Begitu musuh baru itu menggerakk an tangannya, dua kesiuran angin tajam menyambar jalan darah Kiankeng hiat, di kedua pundak Hoan E ng. Dengan gerakan Hoeihong paylioe (Angin meniup pohon lioe), Hoan Eng buru-bur u membungkuk, goloknya menyampok Liantjoe toei, kakinya menendang golok musuh, d isusul dengan satu loncatan ke samping. Musuh ketiga yang baru datang itu adalah seorang yang berbadan kecil dan kate, s edang dalam kedua tangannya ia menyekal sepasang Poankoan pit yang panjang hanya delapan dim. Tak usah disangsikan lagi, bahwa se orang yang dapat menggunakan senjata sedemikian kecil, pastilah seorang ahli men otok jalan darah. Andaikata kepandaian Hoan Eng dua kali lipat lebih tinggi, ia masih tak akan gam pang- gampang meloloskan diri. Ketiga Wiesoe itu adalah Gietjian siewie kelas satu, se dang masing-masing senjatanya mempunyai ke-liehayan yang berbeda-beda. Golok bes ar adalah senjata berat yang tak takut membentur golok mustika, Liantjoe toei adalah senjata yang dapat menghantam dari jauh dan dari d ekat, sedang Poankoan pit selalu menyambar jalan darah. Tiga rupa senjata itu, d engan tiga "Pergi," membentak Ie Kiam. "Jika kau tidak menurut, aku akan benturkan kepala d itembok, supaya binasa dihadapanmu!" Hoan Eng menghela napas dan paras mukanya s edih sekali. macam serangannya, sudah membikin Hoan Eng bingung sekali. Sesudah bergebrak kurang lebih tiga puluh jurus, Hoan Eng sudah merasa tak tahan lagi. Sementara itu, di bawah genteng sudah terdengar teriakan-teriakan dari pa ra penjaga penjara. Belasan orang yang dapat meloncat tinggi, sudah naik ke gent eng dan mengurung di empat penjuru. Hoan Eng kertek giginya dan berkelahi bagaikan banteng edan tanpa memperdulikan lagi keselamatan dirinya. Pada detik yang sangat berbahaya, di wuwungan sebelah tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang mengenakan pakaian serba putih dan meli hat gerakan-gerakannya, Hoan Eng merasa seperti sudah pernah bertemu dengan orang itu. Saat itu, Wiesoe yang bersenjata Poankoan pit mendadak menghantam dengan senjatanya sembari berseru: "Kena!" Oleh karena goloknya sedang menyampok Liantjoe toei, Hoan Eng tidak sempat menyambut Poankoan pit musuh, dan dalam keadaan kedesak, buru-buru ia mengerahkan pernapa sannya guna menutup semua jalan darahnya. Di lain saat, pinggangnya kesemutan ol eh karena jalan darah Tjengpek hiat sudah terkena totokan. Dan, berbareng dengan itu, Wiesoe yang bersenjata golok besar membacok kepalanya dengan senjatanya yang berat. Walaupun mengerti ilmu Piekie hoehiat (Menutup hawa melin- dungi jalan darah), tenaga dalam Hoan Eng belum mencapai puncaknya. Maka itu, be gitu pinggangnya terkena totokan, tenaga lengannya segera berkurang. Ia mengetah ui, bahwa tenaganya tidak cukup untuk menyambut golok musuh yang beratnya kira-kira lima puluh kati. Akan tetapi, lantaran tiada jalan lain, apa boleh buat ia mengangkat Bianto untuk menyambut. "Matilah aku!" ia me ngeluh. Tapi, pada detik Bianto dan golok besar hampir beradu, tak diduga-duga Wiesoe it u mengeluarkan teriakan kesakitan dan goloknya terpental dari tangannya. Dan sec ara kebetulan sekali, golok yang terpental itu menghantam Liantjoe toei dan, ber bareng dengan satu suara keras, bandringan itupun jatuh ke bawah genteng. Satu suara tertawa nyaring yang sangat merduh tiba-tiba terdengar. Hoan Eng meng awasi dan mendapat kenyataan, bahwa bayangan putih yang barusan berkelebat di wu wungan seberang adalah seorang pemuda. Di lain saat, pemuda itu mengayun tangann ya dan belasan Kimhoa (Bunga emas) yang berkredep melesat ke tengah-tengah udara yang gelap itu. Para Wiesoe tak pernah mengimpi, bahwa dalam dunia terdapat sen jata rahasia yang begitu liehay. Siapa juga yang kelanggar Bunga emas itu, badan nya lantas lemas dan roboh di atas genteng. Dalam tempo sekejap, sebagian besar dari belasan Wiesoe yang mengurung sudah pada rebah tanpa ber- kutik. Bunga emas itu ternyata tak membedakan kawan atau lawan. Satu antaranya m enyambar lengan Hoan Eng dan tangan kanannya lantas saja tak dapat digunakan lagi. "Lekas panggil Yo Taydjin!" berseru Wiesoe yang bersenjata Poankoan pit. Baru habis ia berseru begitu, sekuntum bung a menyambar dan ia rubuh sesudah sempoyongan beberapa tindak. Hoan Eng tak berani berlaku ayal. Sambil memindahkan goloknya ke tangan kiri, ia menarik napas dalam-dalam dan lalu kabur dengan menggunakan ilmu entengkan bada n. Sesudah melewati dua wuwungan, ia menoleh ke belakang. Di atas genteng kelihatan dua bayangan yang sedang ubar- ubaran dan satu antaranya adalah si pemuda, pemuda penyebar Kimhoa. Dalam tempo sekejap, mereka sudah menghilang ke jurusan utara barat. Hoan Eng berdiam sejenak sambil meng-mengingat-ingat. Tertawa yang nyaring, gera kan yang bagaikan kilat... ah, ia sekarang ingat! Pemuda itu bukan lain dari pad a si anak sekolah berkuda putih yang telah mempermainkan Siauw Houwtjoe! Saat itu, ratusan obor sudah dipasang terang-terang, sedang di atas genteng keli hatan berlari-lari puluhan orang, beberapa antaranya sudah memburu ke arahnya. H oan Eng menghela napas. Dengan lengan mendapat luka dan ke- pandaian yang masih sangat rendah, ia tahu tak akan dapat berbuat apa-apa. "Ah, biarlah tugas menolong Kokloo aku serahkan kepada si pemuda penyebar bunga, " katanya di dalam hati dan lain kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan L ioktee hoeiteng (Terbang di atas bumi). Ia tiba di rumah penginapan pada jam empat pagi. Ia membuka bajunya dan untung, lukanya hanya luka di luar. Baru saja memakai obat luka, tiba-tiba kepalanya puy eng dan matanya berkunang-kunang, lalu rubuh di atas pembaringan. Tak tahu sudah lewat berapa lama, barulah Hoan Eng sadar dari pingsannya. Ia mem buka mata dan melihat api lampu yang kelak-kelik. Di lain saat, ia terkesiap sebab Tiamsiauwdjie (pelayan) dengan men genakan pakaian berkabung, sedang berdiri di kepala ranjang sambil mengucurkan a ir mata. "Eh, aku toh belum mati! Kenapa kau menangis?" ia menanya. "Ie Taydjin..." sahutnya. "Ie Taydjin sudah pulang kealam baka!" "Apa benar?" Hoan Eng berseru, matanya dibuka lebar-lebar. "Pagi ini beliau berpulang," sahut si pelayan sambil mang-gutkan kepalanya. "Sel uruh penduduk Pakkhia, kecuali kawanan menteri bangsat, berkabung semuanya!" Dengan satu teriakan menyayatkan hati, Hoan Eng kembali pingsan! Setelah sadar, si pelayan ternyata masih duduk di kepala ranjang. "Jam berapa ini?" menanya Hoan Eng. "Kau pingsan sehari dan setengah malam," jawabnya. "Ini adalah malam hari kedua. " Hati Hoan Eng seperti diiris-iris. Ia tak nyana, bahwa kaizar bebodoran itu bera ni mengambil jiwa Ie Kiam, seorang menteri utama yang sudah menolong kerajaan Be ng dari kemusnaan. "Hoan Giesoe (ksatria)," kata si pelayan. "Bagaimana kau rasakan? Jika bisa jala n, baik kau segera meninggalkan kota raja ini." Mendengar si pelayan memanggil ia "Giesoe", Hoan Eng terkejut. "Apa kau kata?" i a menanya. "Giesoe, jangan kau berkuatir," sahutnya. "Kemarin malam, ketika kau pulang, gol okmu masih bernoda darah." Berita tentang percobaan membongkar penjara pada malamnya, sudah tersiar luas pa da besok paginya. Melihat pingsannya Hoan Eng dan goloknya yang bernoda darah, ditambah dengan pertanyaannya mengenai Ie Kiam pada siang harinya, si pelayan lantas saja mendug a, bahwa tetamunya itu adalah orang yang sudah menyatroni penjara. Ia segera min ta pertolongan seorang tabib yang dapat dipercaya, guna memeriksa keadaan Hoan E ng. Tapi Hoan Eng hanya mendapat luka di luar yang tidak berbahaya. Bahwa ia pin gsan begitu lama, adalah lantaran kelelahannya yang melewati batas. Sesudah meng aso sehari dan setengah malam, keadaannya segera pulih kembali. Hoan Eng segera mengambil goloknya yang lantas dibersihkan dari segala tanda-tan da darah. "Hm!" ia meng-gerendeng. "Sungguh sayang aku tak dapat mampuskan lebih banyak manusia jahat." "Giesoe," berbisik si pelayan. "Hebat benar desas-desus di luaran. Katanya, sega la orang yang mempunyai hubungan dengan Ie Kokloo sudah ditangkap. Giesoe, lebih baik kau menyingkirkan diri." Hoan Eng menghela papas sambil mengusap-usap Bianto. "Dengan membikin ribut di p enjara, sebaliknya dari menolong, aku sudah mempercepat ke-binasaannya Ie Kokloo ," katanya. "Ah, apa guna aku hidup lebih lama lagi!" "Giesoe tak boleh berpikir begitu," kata pula si pelayan. "Matinya satu ksatria berarti negara kehilangan satu tenaga ber harga. Ie Kokloo yang sudah meninggal dunia, tak akan bisa hidup lagi. Giesoe ya ng masih hidup, haruslah menjaga diri baik-baik." Mendengar kata-kata si pelayan, Hoan Eng jadi kaget. "Siapa kau?" ia menanya. "Aku hanya satu pelayan rendah dari rumah penginapan ini," jawabnya. Lagi-lagi si Brewok menarik napas. "Ah! Dalam dewan kerajaan hanya berjajar kawa nan penjilat, sebaliknya di antara rakyat jelata, orang masih dapat menemukan ks atria-ksatria sejati," katanya. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: "Apa jenazah Ie Kokloo sudah dirawat?" "Menurut katanya orang, Hongsiang sudah perintah Tan Koei merawat jenazah Ie Kokloo, tapi kepalan ya masih terpancer di pintu kota sebelah timur," menerangkan si pelayan. Hoan Eng berjingkrak sambil mengeluarkan teriakan keras. Kedua matanya terputar dan badannya gemetar, saking gusarnya. "Berikan aku sedikit makanan," ia memerintah. Si pelayan segera berjalan keluar dan balik dengan membawa sekati arak putih dan dua kati daging sapi. Tanpa berkata suatu apa, Hoan Eng sa pu bersih makanan itu dan kemudian lalu membayar uang sewa kamar dan makanan. "Terima kasih untuk segala budi kebaikanmu, harap saja di lain hari kita aka n dapat ber- temu pula," kata ia sembari membuka jendela dan di lain saat, ia sudah menghilan g di antara gelapnya sang malam. Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, Hoan Eng menuju ke pintu kota sebelah t imur. Malam itu adalah malam yang gelap, sang rembulan yang melengkung bagaikan alisnya seorang gadis, hanya memberi penerangan remang-remang. Hoan Eng dongakkan kepalanya. Ia melihat, di atas temb ok kota berdiri sebatang tihang bendera dan di ujung tihang tergantung serupa benda bundar yang bentuknya seperti kepala manusia. Hoan Eng tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Ia lantas menangis tersedu-sedu. Tanpa memperdulikan segala bahaya yang mengancam, sekali mengenjot badan ia sudah hinggap di atas tembok da n lalu menyabet tihang bendera itu dengan goloknya. "Digantungnya kepala Ie Kiam di atas pintu kota, merupakan satu jebakan yang dip asang oleh Kie Tin yang kejam. Maka itu, manalah Hoan Eng bisa gampang-gampang m encapai maksudnya. Baru saja ia mengangkat golok, berbareng dengan suara tertawa dingin, dua bayangan hitam sudah menerjang dari tempat gelap. Hoan Eng meloncat tinggi untuk menghindari sepasang Kautiam tjhio (tombak yang ada gae-tannya), s edang goloknya memapas ke bawah untuk menyampok sambarannya sebatang tongkat bes i. "Ha-ha!" tertawa se- orang lawannya. "Tepat sekali perhitungannya Vo Taydjin. Satu kodok buduk bau su dah masuk ke dalam jaring!" Bukan main gusarnya Hoan Eng. Dengan gerakan Pekho liangtjie (Bango putih mement ang sayap), ia mengirim dua bacokan hebat. "Bagus benar golokmu!" berkata orang yang bersenjata Kauw-liam tjhio. "Aku ampun i jiwamu, jika kau menyerahkan golokmu dan menaluk." "Kau mau golok?" membentak Hoan Eng. "Nih!" Ia membacok dengan sepenuh tenaga, s ehingga lawannya terpaksa menggulingkan diri. Dengan mengandalkan senjatanya yang berat, orang yang bersenjata tongkat besi se gera maju menerjang. Tapi, begitu kedua senjata kebentrok, ta- ngannya kesemutan dan hampir-hampir tongkatnya terlepas. Hoan Eng mendesak, sambil menendang. Mendadak, betisnya sakit luar biasa. Ternyata, Siewie yang barusan menggulingkan diri, sudah menggait betisnya dengan Kauw-liam tjhio. Pada saat yang sangat berbahaya, tanpa memperdulikan keselamatannya lagi, Hoan E ng mengenjot badannya, sembari memapas dengan goloknya. Orang yang menggait tida k menduga, bahwa Hoan Eng masih dapat mengirim serangan membalas yang begitu hebat, dalam bingungnya, ia melepaskan senjatanya dan mengg ulingkan diri. Sambil merapatkan gigi, Hoan Eng mencabut Kauwliam tjhio itu dari betisnya dan lantas ditimpukkan ke arah Siewie yang bersenjata tongkat. Siewie itu berkelit dan Kauwliam tjhio m embentur tembok, akan kemudian jatuh ke bawah. Melihat musuhnya berkelahi seperti harimau edan, Siewie yang bersenjata tongkat, jadi merasa gentar. "Masa kau takut kodok buduk pincang!" berseru kawannya yang bersenjata Kauwliam tjhio. "Tempel pundak dan hantam padanya!" Walaupun sudah kehilangan sebelah sen jatanya, tapi serangan Siewie itu tak berkurang hebatnya. Sesudah mendapat bantu an semangat dari kawannya. Siewie yang bersenjata tongkat besi jadi lebih mantap ha tinya dan ia pun segera menyerang secara dahsyat. Dikepung secara begitu, Hoan Eng yang sudah terluka, lambat laun jatuh di bawah angin. Hoan Eng berkelahi dengan mata merah. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, ia seng aja membuka satu lowongan untuk memancing musuhnya. Sembari tertawa menyeramkan, Siewie yang bersenjata Kauwliam tjhio segera menyodok dada Hoan Eng. Bagaikan k ilat, Hoan Eng mengegos dan, dibarengi dengan bentakan keras, ia membacok sekuat tenaga. "Trangl", suara beradunya senjata memecah kesunyian malam. Siewie itu terkesiap. Ternyata ujung Kauwliam tjhio mel engkung, sedang tangannya berdarah! Tapi ia pun bukan orang sembarangan, sebab, meskipun dihantam begitu keras, senjatanya masih tetap tercekal dalam tangannya. Hoan Eng menggeram bagaikan harimau terluka dan segera menerjang pula. Sekonyong -konyong dari tempat gelap, di bawah tihang bendera, meloncat keluar seorang lai n. "Manusia tolol!" ia membentak. "Kodok buduk pincang saja kau orang tak mampu ber eskan. Mundur!" Hoan Eng mengawasi. Musuh itu mengenakan seragam perwira Gielimkoen dan tanganny a menyekal sebilah golok melengkung, model golok Arab. Tiba-tiba ia meran-dek dan berkata: "Eh! Bianto Thio Hong Hoe cara bagaimana bis a berada dalam tanganmu?" "Thio Hong Hoe pinjamkan senjatanya kepadaku dan perintah aku ambil jiwamu!" jawabnya, sembari membacok. Perwira itu bukan main gusarnya. "Kebinasaan sudah berada depan matamu, kau masi h berani ngaco belo!" ia berseru. Tanpa berkata apa-apa lagi, Hoan Eng segera menyerang dengan seru. Beruntun-runtun ia mengirim bacokan-bacokan yang membinasakan, tapi semuanya dengan gampang sudah dipunahkan oleh lawannya. "Kalau tidak diberi sedikit hajaran, kau tak tahu liehaynya Tong-hong Lok," kata perwira itu dengan suara dingin. Dengan penuh amarah, Hoan Eng mengerahkan tenaga dalamnya dan lalu membacok seku at tenaga. Secara tenang, Tonghong Lok mengangkat goloknya untuk menyambut golok musuh. Tenaganya Hoan Eng luar biasa besar dan dalam perhitungannya, bacokannya yang hebat itu tak aka n dapat disambut oleh musuhnya. Tapi tak dinyana, begitu kedua golok kebentrok, goloknya Tonghong Lok terus menempel kepada Bianto. Hoan Eng terkesiap. Tonghong Lok tertawa berkakakan, sedang goloknya yang dibula ng balingkan ke kiri kanan terus "mengikat" Bianto, Hoan Eng yang belum mahir da lam ilmu silat golok, tak mengetahui cara bagaimana harus melepaskan goloknya da ri "ikatan" itu. Mau tak mau, goloknya terus mengikuti golok musuh berputar-puta r dan, dalam sekejap, kedua matanya sudah-sudah berkunang-kunang. Dalam bingungnya, secara mendadak Hoan Eng menendang dua kali beruntun dengan kaki kanan dan kiri, dan berbareng dengan itu, tangan kirinya me mbabat musuh. Senjata yang biasa digunakan Hoan Eng adalah kampak dan pukulan te rsebut, yang membabat bagaikan babatan kampak adalah pukulan simpanannya, sedang tendangannya yang barusan adalah Lianhoan toei (Tendangan berantai) yang sangat hebat. Tonghong Lok terkejut, ia tak menduga lawannya mempunyai "beka-lan" yang serupa itu. Tonghong Lok adalah Hoetongleng Gielimkoen, yaitu pembantunya Liok Tian Peng yan g telah dibinasakan oleh Thio Hong Hoe. Walaupun pangkatnya lebih rendah setingkat, tapi kepandaiannya kira-kira setanding dengan Lio Tian Peng dan berada jauh di atas Hoan Eng. Untuk menyambut serangan Hoan Eng, sebenarnya ia dapat menggunakan tipu Bengtek hianto (Beng-tek mempersembahkan golok), yaitu membalik tangannya dan me nyabet lehernya musuh. Akan tetapi, jika ia menggunakan tipu tersebut, Hoan Eng pasti akan binasa. Ia bengong sejenak dan lalu berkelit ke sa mping. Dengan berlaku begitu, bukan sekali-kali Tonghong Lok merasa kasihan atau sengaj a mengampuni Hoan Eng. Yang menjadi sebab adalah golok Bianto. Ia mengetahui, ba hwa Bianto adalah miliknya Thio Hong Hoe yang tidak nanti meminjamkan golok must ikanya kepada orang lain. Kemungkinan satu- satunya ialah Hong Hoe sudah binasa dan golok itu jatuh ke dalam tangannya Hoan Eng. Perginya Liok Tian Peng guna mencari Hong Hoe, tentu saja diketahui oleh Tonghong Lok. Maka itu, demikian ia memikir, jik a Hong Hoe sudah binasa, golok itu tentulah jatuh ke dalam tangannya Liok Tian P eng. Tapi kenapa Bianto sekarang berada ditangannya si Brewok? Ia memang sedang bercuriga, kenapa sampai sekarang Liok Tian Peng belum juga balik ke kota raja. Apa ia celaka? Dal am kesangsiannya itu, Tonghong Lok segera mengambil putusan untuk menangkap Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan dari mulutnya. Akan tetapi, dengan berkelahi secara nekat, tidaklah gampang- gampang Hoan Eng dapat ditawan. Sesu- dah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Tonghong Lok berhasil menggores pund ak lawannya dengan goloknya dan berbareng dengan itu, tendangannya mengenakan jitu lutut Hoan Eng. Sembari berteriak, Hoan Eng segera menggulingkan diri. "Bekuk padanya!" Tonghong Lok memintah kedua Wiesoe tadi. Akan tetapi, sebelum mereka bergerak, satu suara nyaring yang luar biasa hebat, mendadak terdengar. Suara itu ternyata disebabkan oleh seorang yang gerakannya c epat bagaikan kilat. Begitu munculkan diri, dengan beberapa loncatan saja, ia sudah b erada di atas tembok, dan dengan sekali menghantam dengan toyanya, tihang bendera patah dua dengan mengeluarkan suara yang sangat nyaring itu. Tihang bendera itu dibuat dari tembaga murni yang tak akan dapat diputuskan dengan bacokan kampak atau golok. Bahwa dengan sekali hantam saja, orang itu dap at merobohkan tihang tersebut, dapatlah dibayangkan berapa besar tenaga dalamnya! Dua Wiesoe yang hendak membekuk Hoan Eng, telah dibikin ke-sima oleh suara itu, dan tanpa sia-siakan kesempatan baik, dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus m eletik), Hoan Eng loncat bangun sembari mengayun golok. Tapi, ia terkejut bukan main oleh karena pundaknya, yang barusan kena digores, sakit luar biasa dan leng annya tidak menurut kemauannya lagi. Sesaat itu, Wiesoe yang bersenjata Kauwliam tjhio dan tongkat besi sudah menerja ng padanya. Dengan sebelah lengan yang baru sembuh dari lukanya dan lengan lain tak dapat digerakka n lagi, Hoan Eng mengawasi menyambarnya senjata musuh dengan hati mencelos dan m enduga, bahwa sekali itu, ia tak akan lolos pula dari kebinasaan. Akan tetapi, di luar segala dugaan, pada detik yang sangat berbahaya, kedua Wiesoe itu mendadak mengeluarkan jeritan dan rubuh di atas genteng. Di lain saat , Hoan Eng dapat kenyataan, bahwa Tonghong Lok sudah bertempur seru dengan seora ng bertopeng di kaki tihang bendera. Hoan Eng heran ber- bareng kagum. "Siapa ia?" ia menanya dirinya sendiri. "Cara bagaimana, dari situ senjata rahasianya masih dapat melukakan musuh?" Harus diketahui, bahwa jarak antara Hoan Eng dan tihang bendera, paling sedikit ada empat tombak. Ia sungguh tidak mengerti, dari jarak begitu jauh, cara bagaim ana orang itu masih dapat membinasakan kedua Wiesoe dengan senjata rahasianya! S elain daripada itu, dalam pertempuran antara jago dan jago, masing-masing pihak tidak dapat memecah perhatiannya ketempat lain. Maka itu, ia jadi lebih-lebih me rasa kagum, cara bagaimana, sedang dirinya sendiri tengah dikurung oleh sinar go lok Tonghong Lok, orang itu masih dapat melepas- kan senjata rahasia yang menyambarnya begitu jitu! Mendadak saja semangat Hoan Eng terbangun. Ia memindahkan Bianto dari tangan kan an ke tangan kiri dan berniat lantas menyerbu ke gelanggang pertempuran. Sekonyong-konyong terdengar jeritan Tonghong Lok yang terbirit-birit loncat ke bawah tembok, akan kemudian menghilan g di tempat gelap. Orang bertopeng itu tertawa terbahak- bahak. Dengan tangan kanan menengteng toya dan tangan kiri menyekal kepala Ie Ko kloo, ia mengenjot badannya dan tubuhnya melayang ke bawah bagaikan seekor burun g. Hoan Eng terkesiap. Didengar dari suara tertawanya dan dilihat gerak-gerakannya, orang itu adalah si penjahat bertopeng yang telah merampas tiga puluh laksa tahi l perak di propinsi Shoatang! Hoan Eng kemudian menunduk dan mengawasi kedua Wiesoe itu yang menggeletak tanpa berkutik lagi. Begitu melihat, hatinya jadi lebih kaget lagi. Pada jalan d arah Tayyang hiat mereka, terlihat nyata bekas Kimhoa! Bunga emas, atau Kimhoa, adalah senjata rahasia si pemuda baju putih. Apakah pemuda baju putih itu adalah si penjahat bertopeng? Akan tetapi, hal itu tak mungkin, oleh karena potongan b adan si baju putih berbeda dengan badan si penjahat. Apakah si penjahat juga dap at menggunakan senjata rahasia Kimhoa? Demikianlah Hoan Eng berdiri bengong, tanpa dapat memecahkan "cangkeriman" itu. Tiba-tiba, kesunyian sang malam dipecahkan suara bentrokan dua kuntum Kimhoa! Da n hampir berbareng dengan itu, dihadapan Hoan Eng berdiri si pemuda baju putih! Hoan Eng adalah seorang yang berkepandaian cukup tinggi dan sudah kawakan dalam dunia Kangouw. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mengetahui, dari mana datangnya pemuda itu. Begitu terdengar suara bentrokan senjata rahasia, begitu ia muncul dihadapannya! Dapatlah dibayangkan, betapa cepat gerakan orang itu. Pemuda itu tertawa nyaring, nyaring bagaikan kelenengan perak. "Apakah orang bertopeng itu sahabatmu?" ia menanya. "Bukan!" jawab Hoan Eng. Paras muka si baju putih berobah dengan mendadak. "Ah!" katanya sembari memutark an badan dan menjejek kedua kakinya. "Hiapkek (pendekar)! Bolehkah kau memberitahukan she dan namamu yang mulia?" ber seru Hoan Eng. Tapi ia tidak menjawab, badannya sudah melayang turun ke bawah tembok. * * * Pada besok paginya, masih remang-remang, dengan seekor kuda dan sebatang golok, Hoan Eng sudah berangkat. Sesudah kepala Ie Kokloo dicuri orang, atas nasehat si pelayan hotel, Hoan Eng meninggalkan Pakkhia secepat mungkin untuk pergi ke Thayouw guna mencari Thio Tan Hong. Tunggangannya adalah kuda pilihan yang larinya cepat sekali dan kira-kira tengah hari, ia sudah melalui seratus lie lebih. Sesudah melewati Lamwan, lalu lintas tidak begitu ramai lagi dan ia dapat kaburkan tunggangannya tanpa banyak rintang an. Selagi larikan kudanya, ia mendapat kenyataan, bahwa di belakangnya mengikuti se orang lain. Dilihat dari dandanannya, orang itu adalah seorang saudagar. Ia menu nggang seekor kuda belang dan pada pelana tergantung dua tas kulit yang tidak te rlalu besar. Semula Hoan Eng tidak memperhatikannya dan menduga, bahwa ia itu ad alah seorang saudagar biasa. Di waktu magrib, ia tiba disuatu kota kecil, yaitu kota Lioelieho, yang terpisah dua ratus lima pulu h lie lebih dari Pakkhia. Sesudah Hoan Eng masuk ke dalam kota dan berhenti di depan sebuah rumah penginap an, secara tidak di sengaja ia menoleh ke belakang dan melihat saudagar itu seda ng mengikuti dari sebelah kejauhan. Ia terkejut. Cara bagaimana, tunggangan saud agar itu, yang kelihatan seperti kuda pasaran, dapat menyusul ia? Ketika masuk k e dalam hotel, ia sangat berwaspada, tapi segera juga ia tertawa sendiri oleh ka rena saudagar itu mengambil penginapan lain. Hoan Eng adalah seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kangouw. Walaupun saudaga r itu tidak ter- lalu menyurigakan, akan tetapi, pikirnya lebih berhati-hati ada lebih baik. Memi kir begitu, sesudah mengobati lukanya, yang untung juga hanya luka di luar, ia b ersamedhi untuk memelihara semangat dan kemudian tidur dengan menggunakan golokn ya sebagai bantal kepala. Besoknya, sebelum jam lima pagi, ia sudah bangun, baya r uang sewa kamar dan lalu berangkat. Pada jaman itu terdapat satu nasehat untuk mereka yang melakukan perjalanan: "Se belum malam mengasolah di rumah penginapan, sesudah terang tanah barulah berjala n." Maka itu, si pelayan merasa agak heran melihat Hoan Eng sudah berangkat sebe lum fajar menyingsing. Sekeluarnya dari kota kecil itu, Hoan Eng men- Repot sekali Hoan Eng dikerubuti oleh tiga musuh yang masing-masing bersenjata P oan-koan-pit, Lian-tjoe-toei- dan golok. Selagi keadaannya berada dalam bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang menolong ia dengan melepaskan senjata rahas ia yang merupakan bunga-emas. dongak. Bulan sabit dan beberapa bintang masih memancarkan sinarnya yang remang- remang, sedang kawanan burung masih tidur nyenyak dalam sarangnya. Ia mesem dan lalu kaburkan tunggangannya. Kira-kira tengah hari, ia sudah berada di tempat yang terpisah kurang lebih sera tus lima puluh lie dari Lioelieho. Ia menahan kudanya dan menengok ke belakang. Ia kaget oleh karena saudagar itu ternyata sedang mengikuti dari jauh. "Apakah i a sengaja menguntit aku?" ia menanya pada diri sendiri. Muka orang itu agak berm inyak, kepalanya memakai topi kulit, sedang di punggungnya menggemblok sebentuk tudung. Dilihat dari mukanya dan dipandang dari kudanya, ia hanyalah se- orang saudagar biasa. Hoan Eng sangat ber-sangsi. Siapa orang itu dan apa maunya ? Sesudah melirik lagi sekali, ia menyabet kudanya dan binatang itu lantas saja ka bur sekeras-kerasnya. Si saudagar tenang- tenang saja, sama sekali tidak mengunjukkan keinginan untuk sengaja menyusul Hoa n Eng. Dalam sekejap, saudagar itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi dan Hoan Eng menjadi lega hatinya. Hoan Eng adalah seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah larikan lagi kudanya b eberapa lama, ia mem-biluk ke suatu jalan kecil dan di waktu magrib, tibalah ia di kota Pekkouw yang terletak seratus lie lebih di sebelah timur kota Poteng. Da lam kota itu, yang terlebih kecil daripada Lioelieho, hanya terdapat sebuah rumah penginapan. Sesudah mendapat kamar dan bersantap malam, ia merasa pasti si saudagar tidak ak an mengikutinya ke kota kecil itu. Tapi, tak dinyana, baru saja ia memikir begit u, di luar sudah terdengar suara berbengernya kuda dan saudagar itu sudah berada di depan pintu hotel. Sekarang benar-benar ia kaget. Sudah tak dapat disangsikan lagi, orang itu sedan g menguntit ia. Sebelum orang itu masuk, dengan cepat ia masuk ke dalam kamarnya , di mana ia mendengar saudagar itu memesan makanan dan minta air cuci muka, tia da beda dengan seorang pelancong biasa. Sesudah makan, saudagar itu ma- suk ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar Hoan Eng. Hoan Eng merasa sangat tidak enak hatinya, ia bersamedhi sembari menyekal golok. Tapi sesudah menung-kuli setengah malam, sama sekali tidak terjadi kejadian lua r biasa. "Jika orang itu mempunyai niatan kurang baik, dalam dua hari ia tentu s udah menyerang," pikirnya. "Jika maksudnya baik, siang-siang tentu ia sudah menegur aku. Tapi kenapa, tanpa menyerang atau menegur, ia menguntit terus menerus? Apa kawan, apa lawan?" Jam tiga sudah lewat, tapi tetap tak ada pembahan luar biasa. Mendadak Hoan Eng ingin kencing dan sembari menengteng golok, ia pergi ke kakus yang terletak di pojok pekarangan hotel. Selagi kencing, dari sela-sela pintu kakus, ia melihat satu bayangan manusia men dekam di atas genteng. Begitu ia keluar dari kamar kecil, bayangan itu menghilan g dengan gerakan cepat luar biasa. "Sahabat dari mana di situ?" membentak Hoan Eng dengan suara perlahan. "Lekas ke luar!" Ia menimpuk dengan sebutir batu kecil, tapi bayangan itu tetap tak muncul lagi. Dengan penuh kecurigaan, cepat-cepat Hoan Eng kembali ke kamarnya dan membesarka n api lampu. Pembahan besar tak ada tapi toh ia terkejut bukan main, oleh karena buntalannya yang tadi berada di tengah-tengah meja sekarang sudah berkisar ke k iri dan bentuk ikatan bun-talan pun sudah bero- bah. Sebagai seorang yang biasa berkelana di kalangan Kangouw, ia selalu berhati -hati dan semua barangnya ditaroh di tempat tertentu, malah ada juga yang diberi tanda, sehingga tergeser sedikit saja, ia pasti akan mengetahuinya. Ia yakin, bahwa dalam tempo yang sangat pendek, yaitu selagi ia pergi ke kakus, bun talannya sudah dibuka orang. Buru-buru ia membuka buntalan itu dan ternyata bebe rapa stel pakaiannya tidak diganggu. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Hoan Eng mengambil putusan buat mabur s ecepat mungkin. Ia meninggalkan sepotong perak di atas meja sebagai pembayaran s ewa kamar dan kemudian cemplak kudanya yang lantas saja dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah berjalan kurang lebih setengah jam, di sebe lah depan kelihatan hutan yang melintang menutup jalan. Ia loncat turun dari tun ggangannya dan masuk ke dalam hutan dengan menuntun kudanya. Belum berapa lama ia berjalan, ketika tiba-tiba di sebelah belakangnya terdengar suara berbengernya seekor kuda. Ternyata si saudagar sudah mengubar sampai di s itu dan tanpa menghiraukan larangan Kangouw yang berbunyi: "Bertemu hutan, janga nlah masuk", dikepraknyalah kudanya yang lantas menerobos masuk ke dalam hutan. Melihat orang itu tidak berkawan, hati Hoan Eng jadi mantep. Ia memutarkan badan dan sambil menyekal goloknya keras-keras, ia menanya: "Kenapa tuan terus menerus menguntit aku?" Orang itu tertawa dingin. Dengan sekali menggoyangkan tangan kirinya, ia menyala kan bahan api yang lantas dilemparkan kerumput kering, sehingga rumput itu lanta s jadi terbakar. Sesudah menyapu dengan matanya ke kiri kanan, barulah ia berkata: "Kau jalan di jalanmu, akupun jalan di jalanku sendiri. Kenapa tuan menjadi curiga?" Hoan Eng mengetahui orang itu membakar rumput lantaran kuatir adanya musuh yang bersembunyi. Dari sini dapat diketahui, bahwa orang itu benar-benar sudah kawaka n dalam kalangan Kangouw dan dapat memikir begitu cepat dalam tempo yang begitu pendek. Sambil melintangkan goloknya, Hoan Eng lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Bahwa tuan meneruskan perjalanan di tengah malam buta, adalah satu kejadian yan g sungguh-sungguh mengherankan aku!" katanya dengan suara nyaring. Orang itu turut tertawa berkakakan seraya berkata: "Kalau begitu, apakah kelakua n tuan yang juga kaburkan kuda di tengah malam buta, tidak sama mengherankannya? " "Sekarang lebih baik kita bicara terus terang saja," berkata Hoan Eng. "Aku adal ah seorang pemburon. Dan siapakah adanya kau?" "Kau pemburon, aku adalah orang yang menguntit pemburon!" jawabnya. "Jika begitu, kau tentunya orang dari is- tana," kata Hoan Eng sembari tertawa tawar. "Baiklah! Aku siap sedia untuk melay ani kau!" "Bukan aku, tapi kau yang berkata begitu," kata orang itu. "Siapa yang mau berke lahi denganmu? Jika kau pemburon, kenapa tidak cepat-cepat kabur?" Hoan Eng terkejut. "Siapa sebenarnya kau?" ia membentak. "Di hadapan ksatria, orang tidak berjusta." kata si saudagar. "Dan kau, siapa se benarnya kau?" "Bukankah aku sudah memberitahukan?" jawab Hoan Eng. "Lantaran apa kau menjadi pemburon?" menanya pula orang itu. "Kedosa an apakah yang sudah kau lakukan?" "Aku menyatroni penjara istana untuk menolong Ie Kiam!" jawabnya dengan berani. "Siapa yang curi ke- pala Ie Kiam?" orang itu menanya lagi. "Aku sudah bicara terus terang, sekarang adalah giliranmu. Siapa kau?" tanya Hoa n Eng dengan perasaan mendongkol oleh karena orang itu terus mencecer dengan pertanyaan-pertanyaan, tanpa ia sendiri mau berterus terang. "Aku adalah seorang yang secara diam-diam sudah melindungi kau," jawabnya. "Kita semua adalah sahabat- sahabat dari satu jalan. Aku ingin sekali bertemu dengan Giesoe (pendekar) yang sudah mencuri kepala Ie Kiam dan dengan memandang persahabatan, aku mohon kau suka mengantarkan aku kepada orang itu." Biji mata Hoan Eng bergerak beberapa kali, hatinya sungguh merasa sangsi. "Dilih at dari gerak-geriknya, ia bukan mau menangkap aku," katanya di dalam hati. "Tapi kenapa ia begitu ingin me nemui si pencuri kepala?" "Apa kau masih merasa sangsi?" tanya orang itu. "Cobalah pikir. Jika aku orang p emerintah, masakah sesudah menguntit dua hari dua malam, aku belum juga turun ta ngan?" Hoan Eng tak menyahut, tapi lantas mendekati kuda orang itu, yang sedang makan r umput. Melihat seorang asing datang padanya, hewan itu mengangkat kepalanya dan berbe-nger keras. "Macam tunggangan tuan tidak terlalu garang, tapi sungguh cepat larinya," memuji Hoan Eng sembari mengangsurkan sebelah tangannya dan membetot les. "Mau apa kau?" bentak orang itu. Begitu dibetot, kuda itu berjingkrak dan menendang. Hoan Eng berjongkok dan mena ngkap satu kakinya. Sekali melirik saja, ia sudah melihat, bahwa pada besi kaki kuda tertjetak empat huruf: "Toalwee Giema" (Kuda Istana Kaizar). Hampir berbare ng, ia menggulingkan diri dan molos di antara kaki kuda itu. "Ha-ha-ha!" Hoan Eng tertawa berkaka-kan. "Sekarang aku tahu siapa adanya tuan!" Sebagaimana diketahui, ia adalah seorang yang sangat berhati-hati. Dengan matany a yang sangat tajam, ia menduga, bahwa kuda itu sudah mendapat latihan istimewa. Ia mengetahui, bahwa semua kuda istana diberi tanda pada besi kakinya. Maka itu , ia segera mengambil putusan untuk mencoba dan benar saja percobaannya berhasil. Orang itu adalah pahlawan istana yang dengan menyamar sudah menguntit Hoan Eng. Ia tidak lantas turun tangan oleh karena menduga, bahw a si pencuri kepala adalah kawan Hoan Eng dan dari Hoan Eng, ia mengharap akan m endapatkan keterangan yang diingininya, supaya dengan sekali menyapu, ia bisa me mbinasakan kedua-duanya. Ia bukan Wiesoe (pahlawan) biasa dan setelah kedoknya di-locoti, sebaliknya dari ketakutan, ia tertawa terbahak-bahak. "Mata tuan sungguh awas sekali!" katanya. "Dari ini saja, tuan sudah cukup berharga untuk menjadi sahabatku." Ia berhenti sejenak dan kemudian membentak: "Apakah kau pernah mendengar nama Yang Tjong Hay? Jika kau i ngin aku berlaku murah hati, lekas antarkan aku kepada penjahat yang mencuri kep ala Ie Kiam!" Hoan Eng terkesiap. Pada jaman itu, kiamkek (ahli pedang) yang kesohor di wilaya h Tiongkok adalah: "Di Selatan Thio Tan Hong, di Utara Ouw Bong Hoe, di Barat Ya ng Tjong Hay, sedang di Timur adalah Tjio Keng Tauw. Thio Tan Hong dan Ouw Bong Hoe sudah lama mengundurkan diri dari pergaulan umum, Tjio Keng Tauw kabur ke se berang laut sebagai pemburon lantaran merampok pedang mustika dari istana dan ha nya Yang Tjong Hay yang masih malang melintang di daerah Tiongkok Barat daya, di mana ia sudah melakukan ba- nyak perbuatan terkutuk. Sepanjang warta, ia adalah jago Tjengshia pay (Partai k ota hijau), tapi para tetua partai itu ternyata tak sanggup mengendalikan lagi t ingkah lakunya. Dengan menunggang seekor Toalwee Giema, sudah terang ia sekarang menjadi kaki tangan kaizar dan "Yang Taydjin" itu yang disebut-sebut oleh para Wiesoe, tentulah ia adanya. Hoan Eng menyedot napas dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya. "Baiklah!" kata nya. "Aku akan mengantar kau!" Ia maju setindak dan sekali membalik tangan, golo k Bianto sudah menyambar. Bacokan itu yang dilakukan secara tidak diduga-duga, s udah cepat luar biasa, tapi Yang Tjong Hay tidak kalah cepatnya. Sem- bah tertawa dingin, ia mementil dengan kedua jerijinya. Beratnya sabetan Hoan En g ada beberapa ratus kati, tapi, begitu terpentil, golok itu mental! Dan pada sa at itu, Yang Tjong Hay sudah menghunus pedangnya seraya membentak: "Rasakan peda ngku!" Hoan Eng yang sudah kenyang menghadapi lawan-lawan berat, lalu melancarkan seran gan berantai, dengan tendangan, sabetan tangan dan bacokan yang semua merupakan serangan mati-matian. Yang Tjong Hay kembali tertawa dingin dan berkelit sembari menikam. "Bret", pundak Hoan Eng tergores pedang! Dengan tikaman itu, Yang Tjon g Hay sudah berlaku murah hati lantaran ia ingin sekali dapat mem- bekuk Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan dari mulutnya. Jika mau, den gan mudah ia dapat menobloskan tulang pundak musuh. Dulu, paman Hoan Eng mempunyai kedudukan setingkat dengan Thio Hong Hoe dan dike nal sebagai salah seorang dari "Tiga Jago Kota Raja." Dengan mewarisi ilmu silat turunan, ia mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Begitu pundaknya tergores, ia meloncat mundur dan selagi Yang Tjong Hay mau menikam pula, tiba-tiba ia memb entak keras sambil membacok dan menendang. Pukulan ini sangat tersohor dan dinam akan pukulan Houwwiekak Tiongmato (Tendangan buntut harimau bacokan kuda kabur). Orang yang bisa mengelit bacokannya, tak nanti mampu mengegosi tendangannya. Akan tetapi, Yang Tjong Hay bukan lawan biasa dan dengan meloncat mundur, ia dapat menyingkir dari dua serangan itu. Di lain pihak, sembari membacok dan menendang, Hoan Eng terus menubruk ke depan dan menerobos keluar dari kurungan api. Selagi meloncat, ia menyembat dua batang cabang pohon yang berkobar-kobar untuk menimpuk musuhnya. Yang Tjong Hay me-nge bas dengan tangannya dan kedua batang itu jatuh di tempat yang terpisah kira-kir a tujuh kaki dari badannya. Akan tetapi, perbuatan Hoan Eng ini ada hasilnya jug a, yaitu sudah membikin binal kuda Yang Tjong Hay. Ketika achirnya hewan itu dap at dibikin jinak, Hoan Eng sudah lari agak jauh. Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Yang Tjong Hay bernyali besar dan ia lantas saja mengubar. "Kawan! Hayo membantu!" berseru Hoan Eng. "Keluar! Aku tak takut!" berteriak Yang Tjong Hay dengan suara mengejek. Sekonyong-konyong di luar hutan terdengar suara berbengernya kuda. Yang Tjong Ha y mengeluarkan suara "hm" dan menduga, Hoan Eng benar-benar mempunyai kawan. Ia mengempos semangat dan mengubar seperti kilat cepatnya, dengan tujuan lebih dulu membinasakan Hoan Eng dan kemudian baru melayani musuh yang masih berada di lua r hutan. Dengan mengguna- kan siasat "main petak" dan lari membiluk-biluk di antara pohon-pohon, Hoan Eng dapat menyelamatkan diri. Beberapa kali, lantaran terdesak, ia terpaksa melawan sejurus dua jurus, akan kemudian kabur lagi. Meskipun ilmu silat Yang Tjong Hay jauh lebih tinggi, ia tak akan dapat merobohkan Hoan Eng dalam hanya dua atau ti ga jurus. Bukan main gusarnya Tjong Hay. Dengan mata merah, ia mengudak terus sembari meng eluarkan seraup Thielian tjie (Biji teratai besi) yang lantas ditimpukkan ke ara h dua belas jalan darah musuh. Dengan lari berbelit-belit, Hoan Eng dapat menyin gkir dari sejumlah senjata rahasia itu. Tiba-tiba, sambil membentak "kenal", Tjong Hay menendang rubuh sebatang pohon kecil. Begitu pohon itu, yang merupakan tedeng bagi badan Hoan Eng rubuh, ia menimpuk dengan b eruntun dan sebuah Thielian tjie tepat mengenakan jalan darah Thianhian hiat, di punggung Hoan Eng. Hoan Eng berteriak kesakitan sembari meloncat dan menyampok beberapa Thielian tj ie lain dengan goloknya. Ketika itu, ia sudah sampai di tengah-tengah hutan leba t yang penuh dengan pohon-pohon berduri. Dengan nekat ia menerobos terus dan mem buka jalan dengan Bianto-nya. Yang Tjong Hay mengejar terus, sering pakaiannya tercangkol duri. Lantaran pedangnya tidak setajam Bianto, ia harus mengg unakan lebih banyak tempo untuk membabat pohon-pohon duri itu, sehingga sema- kin lama ia jadi ketinggalan semakin jauh. Selain itu, sebab gelap gulita ia sek arang tak dapat melihat lagi di mana adanya Hoan Eng. Dengan gusar ia menyalakan bahan api yang lantas dilemparkan dan begitu mengenakan cabang-cabang kering, a pi lantas berkobar-kobar. Sesudah itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan bada n Tengpeng touw-soei (Menginjak rumput menyeberang sungai), ia mengubar dengan b erlari-lari di atas pohon-pohon berduri, tanpa memperdulikan pakaian dan kakinya yang tertusuk duri. Saban kali keadaan sudah terlalu gelap, ia lalu membakar hu tan lagi sehingga tidak lama kemudian, di beberapa belas tempat sudah terbit keb akaran. Semakin lama, Yang Tjong Hay sudah semakin dekat pada korbannya. Sementara itu, beberapa kali terde ngar suara berbengernya kuda di luar hutan. Secara mati-matian, achirnya Hoan En g dapat juga menerobos ke luar dari hutan itu yang panjangnya kira-kira tiga lie . Melihat musuhnya sudah berada di tempat terbuka, Yang Tjong Hay tertawa bergel ak-gelak. "Sekarang mau lari ke mana kau?" ia berseru sembari menimpuk dengan tiga butir Thielian tjie. Hoan Eng menyampok jatuh peluru pertama dengan goloknya dan berkelit dari peluru kedua yang menyambar tenggorokannya, tapi Thielian tjie yang ketiga tak dapat d ielakkan lagi dan tepat mengenakan lututnya, sehingga ia jatuh berlutut seketi ka itu juga. Ketika itu, dengan adanya sinar api dan sinar bulan, keadaan di situ menjadi cuk up terang. Yang Tjong Hay bergirang hati dan kembali ia tertawa besar, akan kemu dian menghampiri korbannya untuk ditelikung. Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara tindakan kuda yang berlari cepat sek ali. Yang Tjong Hay terkesiap dan mengawasi ke jurusan itu. Bagaikan kilat sesos ok bayangan putih melesat mendatangi dan dalam sekejap mata, seekor kuda berbulu putih sudah berada dihada-pannya dan penunggangnya, seorang pemuda berbaju puti h, segera meloncat turun. Dilihat dari mukanya yang sangat cakap, pemuda itu bar u berusia kurang lebih tujuh belas tahun, badannya langsing kecil, sehingga jika dipandang sekelebatan, seolah-olah ia hanya satu bocah yang baru keluar dari rumah sekolah. Pemuda itu melirik dan berkata: "Ah! Tak tahunya Yang Toatjongkoan, Yang Taydjin! Untuk apa kau mengubar-ubar ia?" Yang Tjong Hay terkejut sebab sekali membuka mulut, si bocah sudah melocoti kedo knya. "Siapa kau?" bentaknya sembari menuding dengan pedangnya. "Jangan menyampuri uru san orang lain!" Si pemuda mesem tawar dan menjawab: "Urusan dalam dunia harus diurus oleh manusi a yang hidup dalam dunia. Siauwya-mu (Siauwya = Tuan kecil) paling senang menyam- puri urusan ganjil!" Yang Tjong Hay mendongkol tercampur geli mendengar kata-kata itu. "Urusan ganjil apa?" ia menanya sembari tertawa. "Yang besar menindas yang kecil, kau sudah menghinakan orang!" jawabnya. Perkataan si bocah yang belum hilang bau pupuknya itu sudah mengilik-ngilik hati Yang Tjong Hay. Ia lantas meladeni terus dan sama sekali tidak kuatir Hoan Eng, yang sudah kena Thielian tjie akan melarikan diri. "Ah! Perkataanmu tak masuk d iakal," katanya sembari tertawa geli. "Dia sudah cukup besar dan bukan seperti k au yang masih bau daun deringo. Tak dapat kau mengetakan: Yang besar menindas ya ng kecil!" Si baju putih tertawa tawar. "Sebagai kiamkek kenamaan dan seorang yang bergelar Taydjin, kau sudah melukakan seorang piauwkek biasa dengan senjata rahasia," katanya dengan suara mengejek. "Apakah ini bukan yang kuat menghina yang lemah, yang besar menindih yang kecil? Sesudah dilihat olehku, urusan ganjil ini tak dapat aku tak menyampuri!" Sembari menggosok-gosok lututnya dan mengempos semangat untuk membuka jalan dara hnya, Hoan Eng mendapat kenyataan bahwa si baju putih adalah pemuda yang sudah m empermainkan Thio Houwtjoe dan yang sudah melukakan dua Siewie dengan senjata ra hasia bunga emas. Ia jengah bukan main ketika mendengar dirinya dinamakan se - bagai "piauwkek biasa". Hati Vang Tjong Hay jadi seperti semakin dikitik-kitik. "Jika aku sampai turun t angan terhadapmu, bukankah soal yang besar menindas yang kecil-kecil jadi terula ng pula?" katanya sembari tertawa berka-kakan. "Sebagai kiamkek kenamaan, kau sungguh mengecewakan aku," kata si baju putih. "S ungguh aku tak nyana, otakmu kosong me-longpong!" "Apa?" menegasi Yang Tjong Hay. "Apa gunanya mempunyai badan yang seperti kerbau atau kuda besarnya?" kata pula pemuda itu. "Apakah kuat dan lemah, besar atau kecil, diukur dengan ukuran usia? Aku sekarang bicara terus terang kepadamu: Jika kau bukannya seorang Toatjon gkoan (Pengurus besar dalam istana kaizar), masih sungkan aku mengadu tanganku dengan cecongormu!" Mendengar omongan temberang itu yang menyebut-nyebut juga soal tingkatan, Yang T jong Hay jadi lebih-lebih sungkan bertempur dengan si bocah. Harus diketahui, ba hwa dalam Rimba Persilatan, soal tingkatan diperhatikan benar. Jika, sebagai seo rang yang mempunyai tingkatan tinggi, ia sampai mengukur tenaga dengan satu boca h, semua orang gagah dalam Rimba Persilatan tentu akan mentertawakan-nya. "Hayo!" membentak si baju putih sembari menghunus sebatang pedang pendek. Begitu dihunus, pedang itu mengeluarkan sinar yang menyilaukan, se- hingga Yang Tjong Hay jadi terkesiap. Jika tidak melihat dengan mata sendiri, su ngguh ia tak percaya bahwa bocah yang belum hilang bau pupuknya itu mempunyai ku da dan pedang mustika. Tapi biar bagaimanapun juga, ia tentu tak memandang sebelah mata si bocah itu. " Benar-benar kau mau turut campur urusan ini?" ia menanya. "Jangan rewel!" si baju putih membentak. "Hayo, seranglah sesukamu!" "Bocah!" berkata Yang Tjong Hay yang sudah mulai mendongkol. "Pergilah pulang ke pada gurumu dan belajar lagi beberapa tahun. Seorang yang seperti aku sebenarnya tidak harus mempunyai pandangan seperti kau bocah cilik." "Eh! Kau mau me- nyerang atau tidak?" mendesak si baju putih. "Kalau kau tetap tidak bergerak, ak u tak akan berlaku sungkan lagi." "Coba kau bersilat sejurus, aku mau lihat siapa gurumu," kata Yang Tjong Hay akh irnya. "Baik. Awas!" berseru pemuda itu, sembari menikam. Dengan tenang Tjong Hay menga ngkat dua jerijinya untuk mementil senjata yang sedang menyambar. Tak dinyana, t ikaman itu yang kelihatan seperti tikaman biasa, aneh sekali perobahan-nya. Di t engah jalan, pedang itu mendadak berobah arahnya, dari menikam jadi membabat dan jika kedua jeriji Yang Tjong Hay tidak ditarik kembali, sudah pasti dua-dua aka n terbabat putus. Tak malu Yang Tjong Hay dikenal sebagai kiamkek kawakan. Pada saat pe- dang itu hanya tinggal terpisah lima dim dari jerijinya, ia masih keburu membalik tangannya dan dengan gerakan Liongheng tjoantjiang (Gerakan naga menembus tangan), ia coba merampas pedang itu. Hampir pada detik itu juga, pedang si baju putih lewat di pinggir kuping Yang Tj ong Hay, sedang tangan Tjong Hay menyambar lengan si baju putih. Dalam pertempur an antara jago melawan jago, menang kalah hanya berdasarkan perbedaan bagai ramb ut sehelai dibelah tujuh. Pada detik itu, dari berada di bawah angin, Yang Tjong Hay berbalik berada di atas angin, sehingga, dengan sekali menyodok, lengan si baju putih akan dapat dirusaknya. Hoan Eng terkesiap dan berteriak: "Celaka!" Tanpa mem-perdulikan lututnya yang masih lemas, ia menepuk tanah dengan kedua tangannya dan badannya lantas me lesat ke dalam gelanggang pertempuran. Tapi, sedang badan Hoan Eng masih berada di tengah udara, tiba-tiba Yang Tjong H ay berteriak: "Ih!" Ternyata, pada detik itu, si baju putih sudah menarik pulang tangannya dan menggunakan gagang pedang untuk menotok lengan lawannya. Jika Yan g Tjong Hay tidak menghentikan pukulannya, lengan kedua belah pihak tentu akan patah bersama-sama. Cepat bagaikan kilat, Yang Tjon g Hay loncat minggir dan kedua lawan itu sama-sama terlolos dari bahaya. Sesaat itu, Hoan Eng hinggap di atas tanah, dengan napas lega. Tapi siapa nyana, satu gelombang baru lewat, lain gelombang sudah menyusul. Menu rut kebiasaan, jika dalam satu pertempuran, dua musuh berpencar, masing-masing p ihak lebih dulu memperbaiki kedudukannya, kemudian baru maju lagi untuk bertempu r pula. Akan tetapi, baik Yang Tjong Hay, maupun si baju putih ketika itu mempun yai pikiran yang sama, yaitu: Mendahului menyerang sebelum sang lawan dapat memp erbaiki kedudukannya. Dalam hal ini, Tjong Hay yang mempunyai lebih banyak penga laman, sudah bertindak lebih cepat dari pada lawannya. Baru saja pedang si baju putih bergerak, kedua tangan Tjong Hay sudah membuat satu lingkaran dan menerobos masuk ke dalam garis pembelaan si baju putih, yang kedua tangannya lantas saja "terkunci" dan tak dapat mengerahk an tenaga lagi. Yang Tjong Hay adalah ahli waris Tjengshia pay yang sudah mendapat segala rahasi a ilmu silat partai tersebut. Setiap pukulannya mengandung "kekerasan" dan "kelembekan" serta dapat berubah-ubah secara di luar dugaan. Walaupun tak mengenal rahasia ilmu sil at Tjengshia pay, akan tetapi Hoan Eng mengetahui, bahwa dengan sekali menggerak kan tangan. Yang Tjong Hay dapat mencelakakan si baju putih. Ia tahu, biar bagai manapun juga, ia tak akan dapat memberi pertolongan dan tanpa merasa, sekali lagi ia berteriak: "Celaka!" Dan hampir berbareng dengan teriakan Hoan Eng, Yang Tjong Hay dan si baju putih bersama-sama menjerit. Mata Hoan Eng kabur, ia tak tahu kedua pihak menggunakan pukulan apa. Ia hanya melihat lengan baju Tjong Hay robek dan badannya sempoyong an."Sahabat kecil! Bagus! Sungguh bagus!" Hoan Eng berteriak bagaikan kalap lant aran kegirangan. Ia tidak mengetahui, bahwa pergelangan tangan si pemuda juga su dah terpukul dan jika dihitung-hitung, adalah si baju putih yang menderita kerug ian terlebih besar. Sekarang muka Toatjongkoan itu berubah merah padam, ia merasakan dadanya seperti mau meledak lantaran gusarnya. Me-ngimpi pun ia tak pernah, bahwa tangan bajunya bisa dirobe k oleh satu bocah yang belum hilang bau pupuknya. Selagi lawannya ber-gusar, si baju putih lantas saja mencecer dengan serangan- serangan hebat. Dalam keadaan tenang, sebenarnya Tjong Hay masih dapat melayani pemuda itu dengan tangan kosong. Tapi begitu darahnya naik, semangatnya tak dapat lagi dipusatkan dan dalam sekejap, ia sudah terdesak, sehi ngga ia jadi kaget dan bingung. Tanpa memperdulikan lagi tingkatannya yang tingg i, ia segera menghunus pedangnya yang menggemblok di punggungnya. "Nah! Sedari tadi aku sudah perintahkan kau mencabut senjata," me- ngejek si baju putih sembari tertawa. "Tapi kau tetap membandel. Sekarang bagaim ana?" Sedang mulutnya berbicara, tangannya bekerja terus dan menikam tenggorokan Yang Tjong Hay bagaikan kilat. Pedang si baju putih cepat, tapi gerakan Tjong H ay lebih cepat lagi. Dengan sekali mengegos, ia sudah mengelit tikaman itu dan l alu balas menyerang. Sesudah bergebrak beberapa-apa jurus, dengan gerakan Souwtjin pweekiam (Souwtjin menggendong pedang), Tjong Hay menggerakan pedangnya, yang dengan meng eluarkan suara mengaung, sudah "mengunci" bagian atas, tengah dan bawah pemuda itu. "Bagus!" berseru si baju pu tih. Bukannya berkelit atau mengegos, sebaliknya dengan ilmu Lie Kong siatjiok (Lie Kong memanah batu), ia m alah menikam dada Yang Tjong Hay. Gerakan itu sungguh-sungguh di luar dugaan. Menurut ilmu pedang yang biasa, seor ang yang sudah "dikunci" secara begitu, harus berusaha menolong diri. Tapi dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, si pemuda sudah balas menyerang. Saat itu, T jong Hay terkesiap, sebab ia mendadak teringat, bahwa pedang lawannya adalah ped ang mustika. Menurut perhitungan, dalam bentrokan antara kedua pedang itu, pedan g si baju putih mesti jatuh terpental. Tapi pedang Tjong Hay bukan pedang mustik a, sehingga, dalam bentrokan itu, meskipun pe- dang si baju putih mungkin terpental jatuh, tapi pedangnya sendiri pasti akan putus menjadi dua. Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan, ia tentu akan menjadi buah t ertawaan umum, jika pedangnya sampai diputuskan oleh satu bocah. Biar bagaimanapun juga, bentrokan antara kedua pedang itu sudah tak dapat dielak kan lagi. Berbareng dengan suara "trangl", kedua lawan itu segera berpencar. Bar usan, begitu kedua pedang mereka beradu, Tjong Hay menarik pulang tenaga Yangkon g (tenaga "keras") dan mengeluarkan tenaga Imdjioe (tenaga "lembek"), sehingga pedangnya hanya menempel pedang lawan dan lalu mental kembali. Akan te- tapi, walaupun begitu, pedang Yang Tjong Hay somplak juga sedikit. Demikianlah, dalam gebrakan itu, si baju putih telah mendapat kemenangan gemilan g. Tapi sebagai seorang muda, ia tak mengenal batas. Dengan cepat, ia membacok lagi dan berusaha untuk mengadu pula pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu berbent rok, tapi... aneh sungguh, sekali ini bentrokan itu tidak mengeluarkan suara! Hoan Eng kaget dan heran. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar untuk mencari tah u, apa sebabnya. Di lain saat, pedang si baju putih seolah-olah sudah kena "dihisap" oleh pedang Yang Tjong Hay. Beberapa kali ia berkutet, tapi pedang itu tetap tak dapat dit arik pulang. Ternyata, kali ini Yang Tjong Hay sudah mengerahkan tenaga Imdjioe yang sangat t inggi guna "menghisap" pedang lawannya. Beberapa saat kemudian, keringat sudah mengucur dari dahi si baju putih. "Bagaimana?" mengejek Tjong Hay. "Tak apa!" sahut si baju putih sembari mesem tawar. Tak tahu dengan ilmu apa, ti ba-tiba badan si baju putih mencelat dap pedangnya sudah terlepas dari "ikatan" musuh. Kejadian itu adalah karena salah Yang Tjong Hay sendiri. Barusan, sesudah berhasil "menghisap" senjata musuh, dalam sejenak ia memandang rendah lawannya d an lalu mengejek, dan selagi bicara, perhatiannya terpecah. Si baju putih, yang liehay luar biasa, sungkan mensia-siakan ketika baik ini dan dengan sekali membetot, ia melepaskan pedangnya dari "hisapan" tenaga Imdjioe. Berbareng dengan itu ia mel oncat ke samping Tjong Hay dan menikam sekali. Dengan sangat menyesal, Yang Tjong Hay berkelit dengan gerakan Toeipo lianhoan ( Mundur berantai) dan kemudian membabat dengan pedangnya dalam usaha untuk "menghisap" pula pedang musuh. Tapi kali ini si baju putih tak dapat dijebak lagi. Dengan gerakannya yang sangat gesit, bagaikan kupu-kupu yan g berterbangan di antara bunga-bunga, ia melayani Toatjongkoan itu. Yang Tjong H ay menjadi kaget, heran dan kagum dengan berbareng. Beberapa ka- li, pedangnya hampir menempel pedang si baju putih, akan tetapi, pada detik yang terachir bocah itu selalu dapat meloloskan senjatanya dari "ikatan". Mendadak T jong Hay tergoncang hatinya. Sesudah memperhatikan ilmu pedang si bocah, mendada k ia ingat akan seorang Tayhiap (pendekar) yang sekarang sudah mengundurkan diri dari pergaulan umum. Apakah boc ah ini ahli waris dari pendekar tersebut? Sesudah bertempur lagi beberapa lama, Yang Tjong Hay menjadi sadar dan mendapat jalan untuk menghadapi musuhnya. Ia segera merobah cara bersi-latnya dan menguta makan pembelaan diri. Akan tetapi, dalam pembelaan diri itu, ia berlaku sangat a was dan segera balas me- nyerang, begitu ada kesempatan. Dilayani secara begitu, dengan perlahan si baju putih menjadi lelah dan napasnya mulai tersengal-sengal. Sementara itu, Hoan Eng mengawasi jalannya pertempuran dengan hati berdebar-deba r. Kedua orang itu sedang bertempur dengan menggunakan ilmu pedang yang paling t inggi dan sekali salah tangan, jiwa bisa melayang. Walaupun tidak terlalu paham akan ilmu pedang, ia mengetahui, bahwa si baju putih berada di bawah angin. Keti ka itu, dengan mengatur jalan pernapasannya, Hoan Eng sudah pulihkan kembali ali ran darahnya dan perasaan kesemutan sudah menjadi hilang. Maka itu, sambil membe ntak keras, ia menjumput Bianto-nya dan bergerak untuk menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran. Sebagai seorang berpengalaman, Yang Tjong Hay sangat awas matanya. Begitu Hoan E ng bergerak, ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri dan merogo sakunya dengan tan gan kanan. Sembari membacok dengan tangan kiri sehingga si baju putih terpaksa m undur dua tindak, ia mengayun tangan kanannya dan melepaskan sejumlah Thielian t jie ke arah kedua lawannya. Sekarang Toatjongkoan ini sudah tidak menghiraukan l agi soal tingkatan dan dalam kekuatirannya akan dikerubuti, ia malah tidak meras a malu untuk menggunakan juga senjata rahasia. Hoan Eng, yang baru terluka kakin ya, tak be- gitu gesit gerakannya, sehingga dua butir Thielian tjie mampir di lehernya dan i a kembali jatuh terguling. Begitu rubuh, ia meloncat bangun lagi dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus m eletik) dan pada detik itu, ia mendengar si baju putih berteriak: "Bagus!" Di lain saat, seperti hujan gerimis, belasan bunga emas yang berbentuk Bweehoa m enyambar ke arah Yang Tjong Hay. "Bagus!" teriak Hoan Eng, kegirangan. Dengan gerakan Pe-kho tjiongthian (Burung Ho putih menembus awan), Tjong Hay mel oncat ke atas sambil mengebas dengan pedangnya. Dengan suara "tring! trang!", se jumlah bunga emas kena dibikin terpental, tapi dua antaranya menyambar terus. "Kena kau!" berteriak si baju putih sambil meloncat menikam. Biar bagaimana liehay pun, Tjong Hay tak dapat berkelit lagi dari dua bunga emas itu yang menyambar kedua pundaknya. "Bagus!" ia berseru sambil mengerahkan tena ga dalamnya dan menggoyang pundaknya. Dua bunga emas itu tepat mengenakan sasara nnya, tapi lantas jatuh ke tanah lantaran kena ditolak tenaga dalam Yang Tjong H ay, yang, berbareng dengan itu sudah mengangkat pedangnya untuk menyambut serangan si baju putih. Si pemuda kaget tak kepalang. Bahwa sepuluh antara dua belas bunga emasnya kena dipukul jatuh, sudah cukup mengagumkan. Tapi menolak senjata rahasia itu dengan tenaga dalam, adalah kejadian yang tak pernah diduga- duganya. "Nama besar Yang Tjong Hay sungguh bukan nama kosong," ia memuji dalam hatinya. "Tak heran, dalam dunia Kangouw ia mempunyai nama yang berendeng dengan nama guruku." Melihat keadaan yang berbahaya, tanpa memperdulikan lukanya, Hoan Eng kembali pu tarkan goloknya dan maju ke medan pertempuran. Sekonyong-konyong si baju putih bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat, bagai kan terbang, kuda putih itu sudah lari ke arah mereka. Sembari menjambret baju H oan Eng, si pemuda menjejek kedua kakinya dan badannya melesat ke atas, akan kemudian hinggap tepat di atas punggung kuda yang terus kabur bagaikan kilat! Buru-buru Yang Tjong Hay cemplak tunggangannya dan mengubar. Kuda itu bukan kuda sembara-ngan, akan tetapi, dibanding dengan kuda putih si pemuda, ia masih kala h terlalu jauh. Semakin lama jarak antara mereka jadi semakin jauh dan achirnya Yang Tjong Hay hanya dapat melihat satu titik putih yang dengan cepat lalu mengh ilang dari pemandangan. Tentu saja Toatjongkoan tidak dapat berbuat lain daripad a menghela napas berulang-ulang dan menahan kudanya. Tiba-tiba ia merasakan pundaknya sakit. Buru-buru ia turun dari tunggangannya da n pergi ke sebuah kolam sambil membuka bajunya. Dengan berkaca di air, ia melihat dua tapak bunga yang b erwarna merah di kedua pundaknya. Masih untung senjata-senjata itu tidak beracun . Kalau beracun, kedua lengannya tentu tak akan dapat digunakan lagi. Ia menggel eng-gelengkan kepala dan dalam jengkelnya, ia masih boleh merasa syukur. * * * Hoan Eng yang menggemblok di punggung kuda, merasakan seperti juga dibawa terban g di udara. Hatinya berdebar- debar, ia tak nyana seekor kuda dapat berlari sedemikian cepat. Selagi ia mau menengok ke belakang untuk menghaturkan terima kasih kepada penolongnya, kuda itu melompati suatu solokan dan hampir-hampir ia jatuh terpelanting. Buru-buru ia me njepit perut kuda terlebih keras dan tidak berani menengok ke belakang. "Jangan bicara! Hati-hati!" membentak si baju putih sembari memecut udara dan ku da itu lantas saja lari terlebih keras. Tak lama kemudian, fajar sudah menyingsing dan si baju putih menahan kudanya. "Sekarang sudah boleh berhenti," katanya sembari meloncat turun dari kudanya den gan paras muka tidak berobah dan napasnya juga tidak tersengal-sengal. "Kuda ini benar-benar kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia," memuji Hoa n Eng. "Apa sekarang aku boleh mengetahui nama tuan yang mulia?" Ia tak menyahut. Mendadak tangannya dilonjorkan dan golok Bianto yang tergantung di pinggangnya H oan Eng, sudah pindah ke dalam tangannya. Bagi seorang ahli silat, melindungi se njatanya adalah satu kebiasaan yang otomatis. Begitu tangan si baju putih menyam bar, tangan Hoan Eng pun bergerak. Tapi ia kalah cepat dan di lain saat, pemuda itu sudah menyekal Bianto dan mengawasi senjata itu dengan paras muka bersangsi. Hoan Eng terkejut. "Dari mana kau dapat golok mustika ini?" menanya si baju putih. "Ini adalah golok Thio Hong Hoe," jawabnya. "Kenapa Thio Hong Hoe menyerahkan goloknya kepadamu?" menanya pula pemuda itu. Secara terus terang Hoan Eng segera menceritakan kejadian pada malam itu, bagaimana Thio Hong Hoe binasa lantaran kekejeman kaizar. "Hanya meny esal aku Hoan Eng tak punya guna dan tak dapat menolong Thio Pehpeh," kata ia se mbari menangis. "Sesudah itu aku pergi ke kota raja dan lagi-lagi gagal dalam usaha menolong Ie Kokloo yang kepalanya belakangan kena dicuri orang." Tiba-tiba si baju putih menghunus Bianto yang lalu disabetkan keudara beberapa k ali. Ia mendongak dan tertawa berkakakan, tertawa yang nadanya menyayatkan hati. "Bagus!" ia berseru. "Biar bagaimanapun juga, Thio Hong Hoe tidak binasa secara mengecewakan. Ia tidak... ia tidak mensia-siakan penghargaan Ie Kokloo." Hoan Eng tergoncang hatinya dan air matanya berhenti mengucur. Didengar perkataa nnya, si baju putih agaknya mempunyai hubungan rapet dengan Ie Kiam dan Thio Hon g Hoe. Pemuda itu lalu masukkan Bianto ke dalam sarungnya dan gantung senjata itu di pi nggangnya sendiri. "Mohon tuan sudi kasi pulang golok itu kepadaku," kata Hoan Eng. "Kenapa?" ia me nanya. "Aku dapat mengerti jika Indjin (tuan penolong) menyukai golok ini," kata Hoan E ng. "Semenjak dulu orang kata: Golok mustika harus diserahkan kepada orang gagah , pupur wangi harus dipersembahkan kepada wanita cantik. Menurut pantas, memang aku harus mempersembahkan senjata itu kepada Indjin. Hanya sayang, sungguh sayang, waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, Thio Pehpeh sudah memesan aku, supaya menyerahkan golok itu kepada orang lain, dan di sebelah itu, di dalamnya tersembunyi satu urusan besar." "Urusan apa?" menanya si baju putih dengan suara tawar. "Golok ini harus kuserahkan kepada Thio Tayhiap, Thio Tan Hong!" jawabnya. Pada jaman itu, nama Thio Tan Hong sangat kesohor dan setiap orang yang pandai s ilat, tentu mengenal namanya. Jika orang lain yang mendengar perkataan Hoan Eng, sepuluh sembilan ia akan segera mengembalikan golok itu dengan segala kehormata n. Akan tetapi, pemuda itu hanya melirik dan lalu berkata: "Untuk apa diserahkan kepada Thio Tayhiap?" "Selain golok, masih ada baju yang berlumuran darah," jawabnya. "Thio Hong Hoe d an Thio Tan Hong adalah sahabat rapat. Pada waktu mau menutup mata, Thio Pehpeh ingat sahabatnya itu. Ia memesan aku supaya menyerahkan baju itu kepada Thio Tan Hong agar, dengan melihat bajunya, Thio Tayhiap jadi ingat sang sahabat yang sudah meninggal dunia sebagai korban seorang kaizar kejam. Di samping itu, Thio Pehpeh juga ingin minta supay a Thio Tayhiap berusaha mencari pute-ranya dan jika bertemu, supaya Thio Tayhiap sudi mengambil putera itu sebagai muridnya, dan di belakang hari, supaya golok mustika itu diserahkan kepada puteranya itu." "Apakah putera Thio Hong Hoe adalah itu anak nakal yang tempo hari bertemu denga n aku di pinggir kolam?" tanya si baju putih. "Benar, namanya Thio Houwtjoe," jawab Hoan Eng. "Mana itu baju berdarah" pemuda itu menanya pula. "Ini dia," kata Hoan Eng sembari memperlihatkan baju itu. Di luar dugaan, si baju putih mendadak menjambret dan merampas baju itu. "Kau... kau!" berseru Hoan Eng dengan suara kaget. "Apa maksudmu? Kau adalah pen olongku, tapi tak mungkin aku menyerahkan golok dan baju itu!" Dengan tenang si pemuda melipat baju itu yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya. "Thio Tan Hong sungkan bertemu dengan orang luar," katanya. "Biarlah aku yang me nyerahkan golok dan baju ini kepadanya." Hoan Eng jadi bingung dan berkata dengan suara terputus-putus: "Ini... ini..." I a tak dapat meneruskan perkataannya oleh karena si baju putih sudah mendorong de ngan tangannya dan menggaet dengan kakinya, sehingga tak ampun lagi ia jatuh celentan g. Pada saat itu, si baju putih loncat maju dan sebelum badan Hoan Eng mengenaka n tanah, ia kembali mendorong. Begitu didorong, badan Hoan Eng terputar beberapa kali dan kemudian berdiri tegak di tempat tadi. Dua gerakan itu luar biasa cepa tnya dan Hoan Eng menjadi kaget berbareng gusar. "Itulah Hiankie Tjianghoat (Ilmu pukulan tangan kosong dari Hiankie)," kata si baju putih dengan suara tawar. "Meskipun kau belum pernah menyaksikan, rasanya kau sudah pernah m endengar." Hoan Eng terkesiap dan ingat penuturan Thio Hong Hoe, bahwa Thio Tan Hong mempun yai ilmu silat Hiankie Tjianghoat yang sangat dashyat. "Bolehkah aku menanya, pernah apakah kau dengan Thio Tayhiap?" menanya Hoan Eng. Si baju putih tidak menjawab langsung pertanyaan orang, ia hanya berkata: "Sesud ah melihat Hiankie Tjianghoat, apakah kau masih menyangsikan aku? Golok dan baju biarlah aku yang menyampaikan." "Ini... ini..." kata Hoan Eng, tergugu. "Ini apa?" membentak pemuda itu. "Dengan membawa baju dan golok itu sebagai bukti, aku ingin memohon pertolongan Thio Tayhiap untuk mengambil pulang uang negara," menerangkan Hoan Eng. Si pemuda mengerutkan alisnya dan menanya: "Uang apa?" Dengan menahan sabar Hoan Eng lalu mengisahkan semua kejadian, cara bagaimana ia sudah terpaksa membantu melindungi uang itu dan achirnya cara bagaimana uang te rsebut sudah dirampas oleh seorang perampok bertopeng di wilayah Shoatang. "Apa benar di Shoatang ada perampok semacam itu?" tanya si baju putih. "Perampok bertopeng itu adalah orang yang sudah mencuri kepala Ie Taydjin," menerangkan Hoan Eng. "T ak dapat aku menebak asal-usulnya dan oleh karena itu, mesti juga aku minta pert olongan Thio Tayhiap." Sekonyong-konyong paras muka pemuda itu berubah. "Dia yang mencuri kepala Ie Kok loo?" katanya sembari berjingkrak. "Baik. Urusan ini pun kau serahkan saja kepad aku. Mari kita cari padanya. Naik!" Selagi Hoan Eng bersangsi, badannya sudah diangkat dan di dudukkan di atas pungg ung kuda yang lantas saja dikaburkan. Kira-kira tengah hari, mereka tiba di satu kota kecil. "Tempat ini sudah termasu k dalam wilayah Shoatang," kata si baju putih. "Tak usah tiga hari lagi, kita akan tiba di Bongim. Biar aku membeli seekor kuda untukmu." Sesudah memesan supa ya Hoan Eng menunggu di rumah penginapan, ia lantas berjalan keluar. Baru saja Hoan Eng selesai bersantap, si baju putih sudah kembali dengan tangan menuntun seekor kuda yang cukup bagus dengan totol-totol putih pada empat kakiny a. Hoan Eng merasa sangat heran, cara bagaimana dalam tempo begitu cepat, ia sudah dapat membeli seekor kuda yang baik. "Hoan Toako," kata si baju putih. "Sebenarnya kita dapat bersama-sama menunggang seekor kuda, akan tetapi, oleh karena jalan akan menjadi terlebih ramai, aku ku atir orang akan men-tertawai kita." Bagi Hoan Eng, uru- san itu tak menjadi soal dan mendengar keterangan si pemuda, hatinya merasa geli . Semenjak bertemu, ia berusaha untuk mencari tahu siapa adanya si baju putih, t api sebegitu jauh ia belum berhasil. Sebagai seorang yang mengenal baik kebiasaa n dalam kalangan Kangouw, ia tidak berani menanya melit-melit. Pada hari ketiga, tibalah mereka di Bongim, yaitu tempat di mana uang pemerintah telah dirampas oleh si perampok bertopeng. Hoan Eng memberi keterangan, bahwa p erampok itu tak mungkin masih berada di Bongim, tapi si baju putih tetap kukuh d an mau juga menyelidiki di kota itu. Benar saja, tiga hari mereka membuang tenaga dengan percuma. Pada hari ke empat, si baju putih masih juga mau menyelidiki di daerah sekitar Bongim. "Tak gunanya kita berdiam lama-lama di sini," berkata Hoan Eng dengan suara kesal. Pemuda itu mendelik dan berkata dengan suara tawar: "Kalau begitu, biarlah kau y ang memimpin aku untuk mencarinya." "Seorang perampok yang seperti dia, biasanya tak mempunyai tempat yang tentu," k ata Hoan Eng. "Cara bagaimana aku bisa mengetahui tempat sembunyinya?" "Kalau begitu, biarlah sekali lagi kita pergi ke tempat perampokan," kata si baj u putih. Hoan Eng merasa tidak enak untuk membantah terus dan lantas saja mang-g utkan kepalanya. Tempat terjadinya perampokan itu adalah di pinggir hutan. Si baju putih mencabut pedangnya yang digunakan untuk menulis beberapa baris huruf-huruf besar di batang sebuah pohon besar. Hoan Eng mengawasi tindak-tanduknya dan lan tas saja tertawa besar. Huruf-huruf itu berarti: "Namanya saja penjahat besar, hatinya kecii seperti tikus. Sesudah bekerja, tak berani munculkan kepala." Caranya benar-benar seperti bocah. Hari itu cape lelah mereka juga terbuang tanpa hasil. Pada hari ke lima, pemuda itu mendadak berkata: "Tempat ini adalah sebelah selat an gunung Thaysan. Menurut pendapatku, sarang perampok bertopeng itu adalah di puncak gunung ini." "Aku rasa tidak begitu," kata Hoan Eng. "Daerah di sekitar gunung Thaysan adalah tanah datar. Walaupun tinggi, gunung itu tidak mempunyai tempat-tempat yang ber bahaya, sehingga semenjak dulu, jarang sekali perampok-perampok besar bersarang di situ. Jika ingin menyaksikan pemandangan indah, memang boleh pergi ke Thaysan . Akan tetapi, jika mau mencari penjahat, aku rasa bukan tempatnya." Tapi pemuda itu kukuh akan pendapatnya, sehingga dengan terpaksa, Hoan Eng menur uti juga. Thaysan adalah salah satu dari Ngogak (Lima gunung suci). Dibandingkan dengan be berapa gunung besar dalam wilayah Tiongkok, Thaysan sebenarnya tidak seberapa tinggi. Akan tetapi, oleh karena terletak dalam propinsi Shoatang yang tanahnya datar, gunung itu dianggap luar biasa angkernya dan jumlah kuil y ang terdapat di situ adalah lebih banyak daripada di gunung-gunung lain. Setiap tahun, banyak sekali pelancong mendaki gunung itu untuk bersembahyang atau menikmati pemandangan alam yang indah. Di ka ki gunung terdapat banyak sekali rumah penginapan dan restoran untuk menampung p ara pelancong itu. Begitu tiba di kaki gunung, Hoan Eng dan si pemuda segera memilih sebuah rumah p enginapan dan mengambil dua kamar. Begitu membuka mulut, pemuda itu menanya: "Apa aman di atas gunung?" Ditanya begitu, pelayan hotel terkejut dan menjawab: "Kenapa tidak aman? Jika ta k aman, apa kami bisa berusaha terus di sini? Jika tuan-tuan ingin mendaki gunun g untuk melihat-lihat pemandangan, kami mempunyai penunjuk jalan yang meminta up ah sangat ringan. Dengan lima uang perak saja, tuan-tuan akan diantar ke berbaga i tempat yang indah pemandangannya." Hoan Eng manggut-manggutkan kepalanya sembari mesem. Si pemuda pun turut mang-gu tkan kepala seraya berkata: "Bagus! Bagus!" Waktu itu adalah permulaan musim semi. Ratusan macam kembang sedang mekarnya dan ke mana juga orang pergi, ia akan mengendus bau-bauan yang sangat harum. Sa mbil mengikuti si penunjuk jalan, Hoan Eng dan pemuda itu putar kayun ke tempat-tempa t yang bersejarah dan indah pemandangannya. Mereka menyeberangi Patsian kio (Jem batan delapan dewa), melihat-lihat Ongbo tie (Pengempang Ong Bo Nionio), menyaks ikan Tjoeiliam tong (Guha tirai air), mendaki puncak Goanpo hong dan sebagainya. Si pemuda yang tidak mempunyai kegembiraan untuk menikmati semua pemandangan it u, saban-saban mendesak supaya si penunjuk jalan berjalan terlebih cepat. Sesudah melewati pintu Tiongthian boen, tibalah mereka di Ngotay hoesiong (lima pohon siong yang berpangkat Tayhoe). Sepanjang cerita, pada waktu mendaki Thaysa n, kaizar Tjinsiehong pernah berdiri di bawah lima pohon siong itu guna berlindung dari serangan hujan, sehingga belakangan kaizar tersebut menganugerahkan pangkat Tayhoe kepada lima p ohon tersebut. Lima pohon itu katanya sudah mati lama sekali, sedang lima pohon yang ditanam belakangan untuk menggantikannya, juga hanya ketinggalan tiga. Kecu ali pohon, di tempat itu tidak terdapat pemandangan lain yang berharga, sehingga si pemuda jadi merasa sangat tidak sabar. Selagi ia mau berjalan pergi, di sebe lah belakang mendadak terdengar suara tertawa dingin. Hoan Eng menengok. Ia melihat seorang toosoe (imam) sedang mengawani seor ang yang kelihatannya seperti saudagar hartawan serta sedang berbicara sembari tunjak-tunjuk, seperti juga ia lagi menceritakan sejarah lima pohon siong itu. "Ada orang mendaki gunung seperti juga sedang mengubar maling," kata saudagar itu. "Daripada jalan-jalan secara begitu, ada lebih baik tidur di rumah. Saudara Goan Djim, benar tidak perkataanku?" Perkataan yang pali ng belakang ditujukan kepada seorang kawannya. "Benar! Benar!" sahut orang yang dipanggil Goan Djim. "Sesudah berada di atas gu nung, orang harus menikmati alam permai sepuas hati." Si pemuda baju putih mendadak mendelik dan berkata: "Aku pergi sebentar." "Jangan bikin gara-gara," kata Hoan Eng dengan terkejut. Si pemuda sudah berlari-lari tanpa tercegah lagi, tapi ia ternyata bukan mau men cari kerewelan, ia pergi kesuatu tempat sepih, di belakang batu-batu gunung. "Guna apa pergi jauh-jauh," gerendeng si penunjuk jalan. "Mau kencing, boleh ken cing saja di sembarang tempat." Melihat lagak pemuda itu, Hoan Eng jadi merasa geli dalam hatinya. Begitu kembali, si pemuda menarik Hoan Eng ke tempat yang agak jauh dan kemudian menanya: "Eh, kau tahu mereka manusia bagaimana?" "Dalam matamu, setiap orang adalah kawan si penjahat bertopeng," sahut Hoan Eng sembari tertawa. Pemuda itu turut tertawa dan bungkam untuk beberapa saat. "Manusia tak bisa dili hat dari macamnya," akhirnya ia berkata. "Bukankah Yang Tjong Hay pun berdandan seperti satu saudagar?" Hoan Eng terkejut. Ia menengok, akan tetapi beberapa orang itu sudah pergi ke la in tempat. Sesudah melewati pintu Lamthian boen, mereka mendaki puncak Thiantjoe hong, yait u puncak tertinggi dari gunung Thaysan, di mana terdapat kuil Giok Hong Koan yan g sangat indah dan biasa digunakan sebagai tempat penginapan para pelancong. Mereka tiba pada waktu magrib dan lantas saja minta tempat untuk bermalam di kui l itu. Diam-diam Hoan Eng berwaspada, akan tetapi orang-orang tadi ternyata tidak datang di situ. Pada besok paginya, si pemuda sebenarnya ingin lantas turun gunung, tapi keingin an itu sudah dicegah si penunjuk jalan, yang mengatakan, bahwa siapa juga yang s udah tiba di situ, tak boleh tidak harus menikmati pemandangan matahari terbit y ang luar biasa indahnya. Hoan Eng menunjang usul penunjuk jalan itu, sehingga, s esudah berpikir sebentar, si pemuda terpaksa menyetujui juga. Memandang matahari terbit dari puncak Thaysan, sesungguhnya cukup berharga. Pada waktu Hoan Eng bertiga tiba di tempat memandang sang matahari, di sebelah timur hanya terlihat sinar putih seperti warna perut ikan, sedang di antara awan terdapat sinar yang berwarna merah dadu. Jauh di seb elah bawah, mereka melihat gelombang Laut Tong-hay yang bermain di permukaan air bagaikan ribuan ikat pinggang sutera berwarna putih. Mendadak, mendadak saja, sang matahari yang bundar dan berwarna merah seakan-akan meloncat keluar dari dalam laut. Dalam sekejap, ia memencarkan sinar nya yang gilang gemilang, sehingga seluruh jagat seperti juga mengenakan kerodon g merah pengantin perempuan. Hoan Eng sudah kenyang berkelana di kalangan Kangouw, akan tetapi, ia belum pern ah menyaksikan pemandangan yang begitu luar biasa. Ia melirik kawannya dan seger a juga ia tertawa dalam hatinya. Pemuda baju putih itu ternyata sedang mengawasi pemandangan yang sangat indah itu tanpa berkesip, sedang dari ujung kedua matany a mengetel turun dua butir air mata. "Ah, bocah ini masih seperti seekor anak burung yang belum pernah terbang jauh," kata Hoan Eng dalam hatinya. Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa ramai. Hoan Eng menengok. Mereka itu t ernyata adalah rombongan lain yang juga ingin menyaksikan matahari terbit dan di antara mereka, terdapat si saudagar kemarin. Hoan Eng agak terkejut dan meneliti orang-orang it u, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa yang luar biasa dan tidak lama kemudian, mereka sudah naik ke tempat yang lebih tinggi. Sesudah makan pagi, Hoan Eng bertiga lantas turun gunung dan tiba di rumah pengi napan kira-kira pada waktu magrib. "Apa tuan-tuan mendapat banyak kegembiraan?" tanya pelayan hotel. "Bagaimana dengan penunjuk jalan yang aku pujikan? Apakah tuan-tuan merasa puas?" Si pemuda hanya menggerendeng, sedang Hoan Eng menjawab dengan gembira: "Puas, puas sekali!" Begitu masuk ke kamar, pemuda itu lantas mencaci si penjahat bertopeng yang dikatakan pengecut dan tidak berani muncul. Hoan Eng menghampiri dan berkata dengan suara membujuk: "Saudara, aku tahu kau mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi. Akan tetapi, rupanya kau belum mempunya i banyak pengalaman di kalangan Kangouw. Orang kata, tembok mempunyai kuping..." "Hm!" si pemuda memutuskan perkataannya. "Jika aku takut aku tentu tidak cari padanya. Aku sungguh ingin ba ngsa tikus itu yang dikatakan penjahat besar, mendengar perkataanku ini." Suaran ya semakin lama jadi semakin keras, sehingga Hoan Eng tidak dapat berbuat lain d aripada tertawa getir. Tiba-tiba di luar kamar terdengar suara ribut. "Eh, ada apa?" kata Hoan Eng. "Galak benar suara tamu itu. Mari kita keluar." Ia berkata begitu untuk menhen-tikan cacian kawannya. Tiga tamu yang baru datang itu adalah seorang toosoe dan dua pengemis. Mereka berteriak-teriak oleh karena pelayan hotel menolak untuk menerima mereka. "Eh, kau ini rupanya hanya melihat pakaian, tidak melihat manusia," kata si toos oe dengan suara gusar. "Kenapa kami tidak boleh menginap di sini?" "Tooya," kata pelayan hotel. "Jika ingin menginap di sini, kau boleh minta kamar . Akan tetapi, menurut peraturan hotel kami, kami tak dapat menerima kedua tuan ini." "Dusta!" toosoe itu membentak. "Dalam dunia di mana ada begitu?" Kedua pengemis itu tertawa terbahak- bahak. "Tooya," kata satu di antaranya. "Benar juga orang berkata, mata anjing h anya dapat meman- dang rendah kepada orang." Sehabis berkata begitu, mukanya berobah dan ia membentak: "Tuan besarmu tidak memakai sutera, ada sangkut paut a pakah dengan kau!" "Plak!" ia melemparkan sepotong perak ke atas meja. "Perak pengemis juga sama pu tihnya seperti perak tuan-tuan besar," ia membentak. "Buka matamu!" Meskipua tidak ada peraturannya, akan tetapi dapatlah di mengerti jika rumah-rum ah penginapan sungkan menerima tamu pengemis. Selain itu, sebegitu jauh belum pe rnah, atau sedikitnya jarang sekali, seorang pengemis minta menginap di dalam ho tel. Melihat potongan perak yang beratnya kira-kira sepuluh tahil, si pelayan jadi te rperanjat. Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berkata: "Jika kedua Toaya (tuan) mau menginap juga di sini, boleh juga dibikin pengecualian." "Pengecualian apa?" bentak pengemis itu. "Bilang terus terang: Mau atau tidak ma u kau merawati tuan besarmu?" "Mau! Mau!" jawabnya dengan cepat. Tanpa banyak rewel lagi, ia lantas mengantar tiga tamunya ke kamar kelas satu. Dengan rasa geli, si pemuda kembali ke kamarnya bersama Hoan Eng. "Sungguh menarik kedua pengemis itu," katanya. "Enak benar ia memaki orang." "Kalau bukan pendekar, orang semacam itu tentulah juga penjahat besar," kata Hoa n Eng dengan suara perlahan. "Lebih baik kita jangan merundingkan mereka." "Apa?" pemuda baju putih itu menegasi. "Kau menduga, bahwa mereka kawan si p enjahat bertopeng?" "Mungkin," jawabnya. "Bagus! Kalau begitu, sekarang juga aku mau mencaci mereka." kata si pemuda. "Dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang luar biasa," kata Hoan Eng dengan cepat. "Belum tentu mereka adalah konco-konco si penjahat bertopeng." "Ah! Bagaimana sih!" kata pemuda itu dengan suara jengkel. "Bicaramu sebentar lain, sebentar lain." "Dengan sesungguhnya aku tak tahu, apa mereka konco si penjahat atau bukan," kat a Hoan Eng dengan suara sabar. "Maksudku satu-satunya adalah, supaya kau jangan me- maki orang yang berdosa." "Baiklah, aku tak memaki mereka," kata si pemuda sembari tertawa. "Biar aku mema ki saja bangsa cecurut itu yang menamakan dirinya penjahat besar." Sehabis berkata begitu, dengan suara keras ia mencaci h abis-habisan, sehingga Hoan Eng tidak dapat berbuat lain daripada tertawa getir. Pada besok paginya, si pelayan datang dikamar pemuda baju putih itu untuk minta uang sewa kamar. Saat itu, Hoan Eng juga datang dengan me-nengteng buntalannya. Tiba-tiba si pelayan mengangsurkan sebuah Payhap (kotak kayu yang berisi surat u ndangan) seraya berkata: "Barusan datang orang yang memberikan Payhap ini untuk diserahkan kepada kedua Toaya." "Siapa yang kirim?" tanya Hoan Eng. "Orang dari Boe keetjhoeng," jawabnya. "Hm," gerendeng Hoan Eng, tapi ia tidak membuka kotak itu dan lantas membereskan uang sewa kamar. "Terima kasih, terima kasih," kata si pelayan. "Harap Toaya berdua selamat dalam perjalanan. Apakah masih ada perintah untukku?" "Tidak," kata Hoan Eng, tapi pelayan itu belum juga mau berlalu. "Eh," kata si pemuda. "Apa dua pengemis itu masih berada di sini?" "Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat," jawabnya, "Ah! Belum pernah aku berte mu dengan tamu yang begitu loyar. Sepuluh tahil perak, tak mau mengambil pulanga nnya, semua dikasikan kepadaku." Mendengar begitu, Hoan Eng segera mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata: "Nah, i ni untuk kau." Si pelayan menjadi girang sekali dan lantas berlalu sesudah menghaturkan terima kasih berulang-ulang. "Hoan Toako," kata si pemuda sembari tertawa. "Kau rupanya mau adu keloyaran den gan pengemis itu." "Semenjak mencari penjahat bertopeng itu, dalam dua hari ini kita telah bertemu dengan orang-orang luar biasa dan kejadian-kejadian luar biasa," kata Hoan Eng s embari membalik-balik kotak merah. "Kenapa tidak lantas dibuka?" tanya si pemuda dengan suara tak mengerti. Tanpa menyahut, Hoan Eng menutup pintu dan meletakkan kotak itu di atas meja. Ia menarik pemuda itu ke pojok kamar dan mengeluarkan sebilah belati. "Hoan Toako, mau apa kau?" tanya pemuda itu. Hoan Eng terus bungkam. Ia membuat setengah lingkaran dan menimpuk dengan belati itu. Dengan satu suara "trak!" kotak itu terbuka dan tutupnya terlempar jatuh d i atas lantai. Si pemuda merasa sangat tidak mengerti, kenapa kawannya sudah berlaku begitu rewel untuk membuka kotak tersebut. Hoan Eng menghampiri meja dan memungut surat undangan yang terletak di dalam kot ak. "Tulen," katanya sembari tertawa. "Tulen apa?" tanya si pemuda. "Dari siapa undangan itu?" "Undangan Siauwkim- liong (si Naga emas kecil) Boe Tjin Tong," jawab Hoan Eng. "Sungguh mengherankan . Dengan dia, aku hanya mengenal sele-watan, tapi ia sudah mengundang aku untuk datang di rumahnya dan malahan mengundang kau juga." Boe Tjin Tong adalah seorang kaya raya di Shoatang selatan. Sepanjang warta, di waktu muda ia adalah perampok besar, tapi sesudah mencapai u sia pertengahan, ia mencuci tangan dan berusaha seperti seorang rakyat baik-baik . Belakangan ia menjadi terkenal sebagai yang paling kaya di daerah itu. Demikianlah cerita orang yang belum dapat dipasti-pastikan benar tidaknya. Boe Tjin Tong adalah seorang yang tangannya terbuka dan suka bergaul. Seluruh tahun, tidak hentinya kawan-kawan dalam kalangan Kangouw datang berkunjung untuk meminta bantuan ini atau itu, yang sedapat mungkin selalu dilul uskannya. Itulah sebabnya kenapa ia sudah dijuluki nama si Naga Emas Kecil, dala m artian bahwa seekor naga selalu menyemburkan hujan untuk menolong ummat manusi a. Si pemuda baju putih, yang juga sudah pernah mendengar nama Boe Tjin Tong, lantas saja berkata: "Jika itu benar surat undangan Boe Tjin Tong, apa mungkin ada permainan gila?" "Ada hal yang tidak di mengerti oleh saudara," Hoan Eng menerangkan. "Boe Tjin T ong tentu saja tak mungkin main gila. Akan tetapi, selalu terdapat kemungkinan, bahwa orang lain, dengan menggunakan nama Boe Tjin Tong, yang mengi rim surat undangan ini. Maka itu, untuk berjaga-jaga, aku sudah membukanya dengan timpukan belati. Jika orang mau main gila, dalam kotak i a tentu akan menyembunyikan senjata rahasia, yang begitu kotaknya terbuka, akan menyambar. Sesudah mendapat kenyataan, bahwa kotak itu tidak terisi senjata rahasia, barulah aku berani mengatakan, undangan itu adalah tulen." Mendengar keterangan itu, si pemuda jadi merasa sangat kagum akan hati-hatinya H oan Eng. "Masih ada satu hal yang menyurigakan," kata pula Hoan Eng. "Apa?" tanya pemuda itu. "Dari sini ke Boe keetjhoeng masih ada seratus delapan puluh lie," Hoan Eng mene rangkan. "Dalam undangannya, ia minta kita menghadiri perjamuan pada malam ini. Cara bagaimana ia mengetahui kita mempunyai dua ekor kuda bagus? Lauwtee, kudamu , seekor kuda mustika, sehari berlari seribu lie, masih belum mengherankan. Tapi b agi kuda biasa, sehari seratus delapan puluh lie adalah tugas yang hampir tak mu ngkin dilakukan." Si pemuda baju putih tertawa. "Jika surat undangan itu tak palsu, apakah mungkin tanpa sebab Siauwkimliong ingin mencelakakan kita?" katanya sembari tertawa. "H oan Toako, berhati-hati memang baik sekali, tapi janganlah keterlaluan seperti k au. Hayolah, kita berangkat." Walaupun kuda yang dibeli binatang semba-rangan, larinya cepat dan ulet sekali. Sesudah lari sehari, sebelum matahari menyelam ke barat, mereka sudah berada di depan Boe keetjhoeng. Dalam jarak tiga lie dari gedung Boe Tjin Tong, Hoan Eng dan si pemuda sudah tur un dari kudanya dan meneruskan perjalanan sambil menuntun tunggangan masing-masi ng. Itulah peraturan Kangouw untuk mengunjukkan hormat kepada tuan rumah. Sepanjang jalan mereka bertemu dengan banyak sekali orang yang semua berjalan me nuntun tunggangannya, Hoan Eng menjadi heran. Dilihat tanda-tandanya, Boe Tjin T ong akan mengadakan pesta besar. Di antara orang-orang itu terdapat juga: si saudagar dengan siapa mereka pernah bertemu di atas puncak Thaysan, orang yang dipanggil "Goan Djim", si toosoe dan kedua peng emis yang pernah cekcok dengan pelayan hotel. Si pemuda mengge-rendeng. "Sst!" bentak Hoan Eng dengan suara perlahan. "Bersikaplah secara tenang!" Si baju putih melirik, dari paras mukanya seperti juga ia mau mengatakan, masaka n soal begitu saja ia tidak mengerti? Orang-orang itu pun terus berjalan tanpa m enengok ke jurusan Boe keetjhoeng. Begitu tiba di Boe keetjhoeng, Hoan Eng dan si pemuda disambut beberapa penyambu t yang lantas mengantar mereka ke taman bunga yang sangat luas, di mana sudah diatur beberapa puluh meja perjamuan. Di tengah-tengah taman tersebut terdapat lapangan untuk berlatih silat dan di ke dua sisi lapangan itu berdiri rak-rak senjata. Hoan Eng dan si pemuda diantar ke sebuah meja yang letaknya di sebelah timur. Mereka tak mengenal tamu-tamu lain yang sedang kasak-kusuk saling menanya, karena apa Boe Tjin Tong mengadakan perjamuan besar. Media mereka terpisah jauh dari meja tuan rumah dan rupanya mer eka dianggap sebagai tamu biasa saja yang boleh di tempatkan di sembarang tempat . Duduk belum lama, perjamuan segera dimulai. Seorang tua yang jenggotnya bercabang tiga dan berusia kurang lebih enam puluh tahun berbangkit dan berkata sambil memberi hormat kepad a hadirin: "Terlebih dulu aku hanturkan terima kasih kepada saudara- saudara yang sudah memberi muka kepada aku si tua. Dalam mengirimkan Enghiong ti ap (surat undangan untuk orang gagah) kali ini, kecuali Goan Ham Tiangloo yang t idak bisa datang lantaran mempunyai urusan penting lain, Lioe Teng Am Soehoe yan g sedang sakit dan Han Kang Tootiang yang belum kembali dari Ouwlam, yang lainny a semua sudah sudi datang berkunjung. Dengan demikian, pertemuan kita ini dapat dikatakan pertemuan besar para orang gagah di lima propinsi Utara. Sebagai perny ataan terima kasih kepada Saudara- saudara, terlebih dulu aku minta kalian mengeringkan tiga cawan arak." Hoan Eng terkejut. Mengirim Enghiong-tiap bukannya urusan kecil. Boe Tjin Tong y ang sudah berusia lanjut, sudah lama mengundurkan diri dari segala urusan Kangou w. Apakah sekarang ia mempunyai maksud tertentu yang sangat besar? Sesudah semua tamunya minum tiga cawan arak. Boe Tjin Tong segera meneruskan pid atonya dengan suara nyaring: "Saudara-saudara yang hadir di sini adalah sahabat-sahabat kekal. Dengan tak mal u-malu aku mengakui, bahwa di waktu muda, aku pernah berusaha tanpa modal. Pada waktu belakangan ini, dengan merasa sangat menye- sal, aku mendengar di antara jago-jago banyak yang bertengkar. Inilah satu kejadian yang tidak baik. Menurut pendapatku , tanpa kepala seekor ular tak dapat berjalan. Itulah sebabnya mengapa aku sudah mengundang para orang gagah datang ke sini dengan tujuan untuk mengangkat 'Toal iong-tauw1 (pemimpin) yang perintahnya harus ditaati oleh kita bera-mai. Jika ini dapat tercapai, pertama, kita boleh tidak u sah bertengkar lagi, kedua, kita boleh tidak usah takut lagi kepada tentara nege ri dan ketiga, kita dapat melindungi daerah sendiri, jika ada serangan dari luar. Sebagaimana Saudara-saudara mengetahui, an caman negeri Watzu belum dapat disingkirkan, se- dang di sebelah utara timur, suku Lietjin juga katanya sudah bersiap-siap untuk menggerayang ke wilayah Tionggoan. Sekianlah adanya usulku yang aku harap suka d ipertimbangkan oleh Saudara-saudara sekalian." Tujuh delapan bagian dari para tamu adalah orang-orang Lioklim (Rimba Hijau, per ampok), yang lainnya terdiri dari jago-jago Rimba Persilatan yang berusaha secar a jujur dan beberapa orang kepala polisi. Pidato tuan rumah telah mendapat macam-macam sambutan. Ada yang berteriak menyatakan persetujuannya, ada yang bis ik-bisik dengan kawan-kawannya dan ada pula yang tidak mengeluarkan suara. Boe Tjin Tong menyapu semua tamu- nya dengan matanya dan kemudian mengetok meja, sehingga suara ribut lantas berhe nti. "Saudara-saudara," ia meneruskan pidatonya. "Walaupun kita sudah mengadakan pers erikatan dan mempunyai pemimpin, akan tetapi, sesudah masuk dalam perserikatan, sahabat-sahabat dari jalanan putih (bukan perampok) dapat meneruskan usahanya sendiri dengan leluasa dan mereka hanya diminta jangan menyusahkan kawa n-kawan kalangan Lioklim, seperti air sumur jangan mengganggu air sungai. Jika m uncul urusan, semua pihak harus berdamai dengan pemimpin kita yang akan menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan." Mendengar keterangan itu, beberapa kepala polisi yang kena- maan lantas saja merasa setuju. Dengan adanya peraturan begitu, jika di belakang hari terjadi perampokan dan pembesar atasan memperintah mereka untuk mengambil pulang barang-barang rampokan itu, mereka jadi tak usah turun tangan sendiri dengan mati-matian. Harus diketahui, bahwa biarpun kepala-k epala polisi itu harus mempunyai ilmu silat sangat tinggi, akan tetapi, biar bag aimana pun juga, mereka harus mempunyai hubungan dengan pentolan- pentolan kalangan RimbaHijau, supaya, jika kejepit, mereka masih bisa meminta pertolongan dari pen tolan-pentolan itu. Dengan demikian, usul Boe Tjin Tong untuk mengangkat Toalion gtauw yang akan mengurus segala sengketa, pada hake-katnya sangat menguntungkan kepala-kepala polisi itu. Maka i tu, mereka lantas saja mengangkat tangan dan memberi persetujuan. "Boe Lootjhoengtjoe!" seru seorang. "Kalau begitu, biarlah kedudukan Toaliongtau w diduduki Lootjhoengtjoe sendiri." Boe Tjin Tong tertawa seraya berkata: "Sudah dua puluh tahun, aku si tua menutup pintu dan menyimpan golok. Mana aku mempunyai napsu lagi untuk tampil ke muka? Sekarang ini aku hendak mengusulkan seorang yang rasanya cukup cakap untuk mendu duki kursi Toaliongtauw. Pit Lauwtee! Harap kau suka bangun untuk berkenalan dengan para orang gagah." Begitu mendengar perkataan Boe Tjin Tong, semua orang segera mengulurkan leher untuk melihat, sia pa adanya orang itu yang dipujikan tuan rumah. Di lain saat, seorang pemuda yang duduk di samping tuan rumah, berdiri. Ia berba dan tinggi besar, alisnya tebal, matanya besar, berewoknya pendek dan kaku, seda ng usianya belum cukup tiga puluh tahun. Dengan matanya yang tajam, ia menyapu p ara hadirin. Banyak orang merasa terkejut dan heran, oleh karena mereka tidak me ngetahui, siapa adanya pemuda itu. Antara mereka, adalah Hoan Eng yang paling be sar rasa kagetnya, lantaran, dilihat dari potongan badan dan gerak-geriknya, pem uda itu bukan lain daripada si penjahat bertopeng! "Saudara-saudara," demikian Boe Tjin Tong berkata pula. "Meskipun belum cukup dua tahun Pit Lauwtee menerjunkan diri ke dalam kalangan Lioklim, namanya sudah cukup menggetarkan dan sudah melakukan beberapa pekerjaan yang mengejutkan. Dengan seorang diri, ia per nah merubuhkan Lokho Samliong (Tiga naga dari Lokho), tanpa berkawan ia pernah menggulingkan Han Tjhoeng Djiehouw (Han dan Tjhoeng, dua macan), dengan sebelah tangan ia pernah m enyambut dua belas golok terbang Tjong-piauwtauw (pemimpin) Tjinwie Piauwkiok da n ia juga pernah merampas emas intan raja muda Sengtjinong yang berharga dua puluh laksa tahil perak. Akan tetapi, dalam melakukan peker jaannya, Pit Lauw- tee selalu sungkan memperlihatkan mukanya dan di kalangan pembesar negeri, ia ha nya dikenal sebagai si perampok bertopeng!" Keterangan Boe Tjin Tong disambut dengan suara kaget dan heran oleh para hadirin . Dalam Rimba Persilatan, si penjahat bertopeng sudah sangat tersohor, tapi hany a berapa gelintir orang saja yang pernah melihat mukanya. "Saudara-saudara," Boe Tjin Tong melanjutkan keterangannya. "Paling belakang, Pi t Lauwtee kembali sudah melakukan dua pekerjaan yang benar-benar hebat. Pertama, ia sudah merampas uang negara yang besarnya tiga puluh laksa, sehingga Koan Kie , si manusia busuk dari Rimba Persilatan yang sudah kaya raya, jadi kerupukan!" Hoan Eng berdebar hatinya. Mendengar adik angkatnya dinamakan manusia busuk yang kaya raya, mukanya menjadi panas lantaran malu. Sesudah berdiam beberapa saat, Boe Tjin Tong berkata pula. "Pekerjaannya yang ke dua adalah pekerjaan yang terlebih hebat lagi. Sebagaimana kalian mengetahui, Ie Kiam adalah tihang negara yang putih bersih. Sungguh menyedihkan, beliau sudah dibunuh mati oleh kaizar bebodoran, sehingga semua orang gagah di kolong langit jadi mendidi darahnya. Belum lama berselang, Pit Lauwtee sudah mengaduk di ibukota dan dengan beruntun sudah membinasakan tujuh Wiesoe (pengawal) istana kaizar. Meskipun tidak berhasil menolong Ie Kiam, ia sudah dapat merampas kepala menteri berjasa itu, sehingga beliau dap at dikubur dengan anggau-ta badan lengkap. Menurut pendapatku, pekerjaan itu saj a sudah cukup berharga untuk kita mengangkat ia sebagai Toaliongtauw." Hoan Eng melirik dan melihat si pemuda baju putih berobah paras mukanya, sedang tangan kanannya menyekal gagang pedang. "Hiantee (adik), jangan terburu napsu," ia berbisik. "Dengarkan dulu apa yang di katakannya." Baik juga, waktu itu semua orang sedang bersorak sorai, sehingga tidak ada yang memperhatikan mereka. Si pemuda melepaskan tangannya, tapi kedua matanya masih t erus mengawasi orang she Pit itu tanpa berkesip. Sifat kebocahan yang biasanya terdapat dalam sikapnya, mendadak lenyap. Melihat laga-lagu pemuda itu, Hoan Eng jadi mer asa heran sekali. Si baju putih agaknya sangat bernapsu untuk mengambil pulang kepala Ie Kiam. Tujuan mencari si penjahat bertopeng kelihatann ya adalah untuk mencari tahu maksud pencurian kepala itu. Ada hubungan apakah an tara si baju putih dan Ie Kiam? Pertanyaan itu tak dapat dijawab Hoan Eng. Sementara itu, Boe Tjin Tong sudah berkata pula: "Meskipun Pit Lauwtee belum lam a menerjunkan diri ke dalam kalangan Rimba Hijau, akan tetapi, ia bukan seorang yang tidak mempunyai asal usul besar. Aku merasa, saudara-saudara yang hadir di sini tentunya sudah pernah mendengar nama ayahnya." "Siapa? Siapa?" demikian terdengar teriakan dari segala peloksok. "Tiga puluh tahun berselang, ayahnya adalah seorang yang kenamaan dalam dunia Ka ngouw," kata Boe Tjin Tong. "Tjianpwee itu bukan lain daripada Tjinsamkay (Mengg etarkan tiga benua) Pit To Hoan!" Sekarang ia mewarisi kedudukan ayahnya sebagai Pang-tjoe dari Kaypang (partai pengemis) di Utara barat dan ia pun menjadi adik angkat Tjioe San Bin, Kimtoo Siauwtjeetjoe di luar kota Ganboenkwan. Namanya ad alah Pit Kheng Thian!" Mendengar itu, biji mata si baju putih bergerak dua kali dan paras mukanya luar biasa. Hoan Eng jadi tambah bersangsi. "Kau kenal ia?" tanyanya. Pemuda itu yang sedang memusatkan perhatiannya kepada Pit Kheng Thian, menyahut secara menyimpang: "Hm! Kalau begitu, dia putera Tjinsamkay? Kenapa dia tidak me njadi paderi? Kenapa dia kesudian menjadi Toaliongtauw?" Harus diketahui, bahwa menurut peraturan keluarga Pit To Hoan, setiap anak lelak i yang sudah dewasa harus menjadi pengemis untuk sepuluh tahun lamanya, kemudian menjadi hweeshio untuk sepuluh tahun lagi dan sesudah itu, baru ia dapat memelih ara rambut, menikah dan berusaha seperti orang biasa. Jika Pit Kheng Thian mentaati peraturan keluarga itu, dalam usianya kira-kira belum cukup tiga puluh tahun, semestinya ia tengah menjalankan tugas sebagai paderi. Hoan Eng merasa sangat heran. Si baju putih yang belum mengenal seluk-beluk kala ngan Kangouw, agaknya banyak mengetahui asal usul banyak orang ternama. Meskipun Pit To Hoan sudah meninggal dunia lama berselang, namanya masih cemerla ng. Baru saja Boe Tjin Tong memperkenalkan jagonya itu, seluruh ruangan lantas s aja menjadi ramai dengan suara orang yang masing-masing berunding dengan kawan-k awannya. Semua orang gagah yang berada di situ sangat mengagumi Tjinsamkay, akan tetapi terhadap puteranya yang baru saja dia tahun tampil ke muka, mereka belum merasa ta'luk, meskipun pemuda itu pernah melakukan beberapa pekerjaan yang meng gemparkan. "Orang-orang Lioklim yang masing-masing menganggap dirinya jagoan, tak gampang-g ampang mau bertekuk lutut," pikir Hoan Eng. "Dilihat begini, Pit Kheng Thian ras anya harus lebih dulu membuktikan kepandaiannya." Pit Kheng Thian menyapu semua orang itu dengan matanya yang angkar bagaikan mata harimau. "Sebagaimana saudara-saudara mengetahui, waktu ini dunia sudah mulai k alut," katanya dengan suara nyaring. "Dikatakan orang, dalam jaman begitu, enghi ong hidup menderita, yang hidup mewah kebanyakan adalah manusia- manusia rendah. Jika kita sekarang mengha- rapkan tangan kaizar untuk membereskan negara, adalah seperti mengharapkan embun tengah hari. Maka itu, usul Boe Lootjhoengtjoe untuk mengangkat seorang pemimpi n Rimba Hijau adalah usul yang harus diselesaikan secara lekas. Akan tetapi, penunjukan supaya aku menjadi Toaliongtauw benar-bena r merupakan kejadian yang dapat ditertawakan orang. Bukankah di tempat ini terda pat banyak sekali orang yang lebih tepat?" Baru habis ia mengucapkan perkataannya, di seluruh taman lantas saja terdengar t eriakan banyak orang berlomba-lomba mengutarakan pendapatnya. "Kenapa Pit Lauwtee berlaku begitu sungkan?" kata Boe Tjin Tong. "Sedari dulu, eng- hiong muncul daripada kalangan orang-orang muda," seru seorang lain. "Kedudukan Toaliongtauw memang pantas di tempati Pit Tjeetjoe." "Siapa lagi yang berani merampas uang Yamoensoe?" tanya seorang. "Apakah orang lain berani mengacau di ibukota? Benar sekali perkataan Boe Lootjhoengtjoe, bahwa dua pekerjaan itu saja sudah mencukupi syarat untuk men jadi pemimpin kita." "Kedudukan Toaliongtauw bukan usia pentingnya!" teriak seorang yang duduk pada m eja sebelah belakang. "Meskipun ia gagah, pengalamannya dalam Rimba Hijau masih agak kurang!" "Siapa merasa tak puas, boleh main-main sedikit dengan aku!" te- riak orang lain yang rupanya menjadi penunjang Pit Kheng Thian. Tiba-tiba, dari antara orang banyak meloncat keluar seorang, yang lantas saja be rkata sembari tertawa ha-ha hi-hi: "Siapa yang berhak menjadi Toaliongtauw, bagiku bukan soal penting. Tapi siauwtee adalah seorang pedagang. Sebelum rela menjadi pegawai toko, siauwtee harus mengetahui dulu berapa besar m odal sang majikan." Hoan Eng mengawasi. Orang itu ternyata adalah si saudagar, dengan siapa ia perna h bertemu di atas gunung Thaysan. Baru selesai si saudagar berbicara, seorang lain sudah meloncat keluar. "Harta o rang tidak boleh sembarang dipertunjukkan di depan orang ba- nyak," kata orang itu. "Orang yang bermodal besar, mana mau membeber hartanya di hadapanmu? Aku si pengemis hanya mempunyai dua tangtjhie (uang tembaga), yang h anya cukup untuk membeli phia bakar atau bubur dingin. Maukah kau menengok harta ku itu?" Orang ini ternyata adalah salah seorang pengemis yang kemarin membikin ribut di rumah penginapan. Jawabannya yang diucapkan secara lucu, sudah membikin semua or ang tertawa bergelak-gelak. "Baiklah!" kata si saudagar dengan suara mendongkol. "Tapi, apakah dua tangtjhie itu cukup untuk melayani tamu?" Sehabis berkata begitu, ia segera mengeluarkan senjatanya. Senjata itu berwar- na kuning dengan sinar berkilauan. Banyak orang terkejut, karena senjata tersebut adalah sebuah shoeiphoa (alat hitung Tio nghoa) yang dibuat dari emas murni! "Ah! Kenapa dia tampil ke muka?" kata seorang yang duduk berdekatan dengan Hoan Eng. "Siapa?" tanya si baju putih. "Siauwko (saudara kecil), kau masih berusia sangat muda, tidak mengherankan jika kau tidak mengenal ia," kata orang itu. "Seperti Boe Tjhoengtjoe, ia pernah men jadi perampok. Sesudah melakukan beberapa pekerjaan besar, tiba-tiba ia cuci tan gan dan lalu berusaha. Merampok, dia pandai, berdagang, dia lebih pandai lagi. B elum cukup sepuluh tahun, hartanya sudah hitung ratusan laksa. Tiekoan dan Tiehoe semua mempunyai hubungan yang sangat baik dengan ia. Yang tahu ia per nah menjadi perampok hanya beberapa orang dan sekarang, semua orang menyebut ia Tjian Pek Ban (si Kaya raya dengan harta ratusan laksa). Jika Siauwko mau tahu n amanya, ia adalah Tjian Thong Hay." "Sungguh heran," seorang lain menyeletuk. "Dia begitu kaya, tetapi tak mau duduk diam di rumah. Guna apa rewel-rewel di sini?" Si baju putih melirik kepada Hoan Eng dan bersenyum simpul. Diam-diam Hoan Eng merasa jengah, oleh karena, dengan segala pengalamannya, ia m asih tidak dapat mengenali seorang seperti Tjian Thong Hay. "Siapakah pengemis itu?" tanya lagi si pe- muda. "Dia adalah Hoepang-tjoe (wakil pemimpin) Partai pengemis, namanya Pit Yan Kiong ," jawab orang tadi. "Ia adalah keponakan jauh Pit To Hoan." "Nama orang itu menarik sekali," kata si baju putih sembari bersenyum. Tak ingin miskin (poet yan kiong), benar-benar menjadi miskin." Senjata si pengemis adalah sebatang tongkat bambu yang agaknya biasa digunakan u ntuk menggebah anjing, jika ia sedang mengemis. Senjata kedua lawan itu berbeda bagaikan langit dan bumi, yang satu mewah luar biasa, ya ng lain memperlihatkan kemiskinan yang sangat. Begitu berhadapan, tanpa bicara l agi, mereka lantas saja bertempur. Dengan senjatanya yang aneh, Tjian Thong Hay mempunyai pukulan-pukulan yang aneh pula dan shoeiphoa itu terutama digunakan untuk merebu t senjata musuh. Di lain pihak, tongkat Pit Yan Kiong licin luar biasa dan selal u melejit setiap kali akan "dikunci" senjata lawan. Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Tjian Thong Hay mendadak menghantam ke depan sehingga biji-biji shoeiphoa-nya mengeluarkan suara kerotakan. "Ha! Berapa besar jumlah duit baumu?" Pit Yan Kiong mengejek. Dengan sekali memukul dan sekali menarik, Tjian Thong Hay coba merebut tongkat s i pengemis. Mendadak dengan suara "krok", Pit Yan Kiong menyemburkan riaknya. Tjian Thong Hay sekarang bukan Tjian Thong Hay dulu, waktu masih berkelana dalam dunia Kangouw dan tak takut akan segala kotoran. Kuatir badannya ke-sambar riak, buru -buru ia menarik pulang senjatanya dan berkelit ke samping. Pit Yan Kiong menyab et dan dengan bunyi "trangl", shoeiphoa itu kena terpukul. Si saudagar membalik tangannya untuk merebut senjata musuh, tapi si pengemis kembali menyemburkan ria knya, sehingga ia terpaksa berkelit lagi. Sesudah memperhatikan jalan pertempuran si baju putih dan Hoan Eng mengetahui, b ahwa dalam ilmu silat, si saudagar lebih unggul, tapi dalam tenaga, ia kalah dar i lawannya. Selama kurang lebih tiga puluh jurus, Pit Yan Kiong mempertahankan diri dengan mengandalkan riaknya, sehingga Tjian Thong Hay semakin lama jadi semakin gusar. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, ketika Pit Yan Kiong menghantam dengan tongka tnya, Tjian Thong Hay mendadak menggetarkan shoeiphoa-nya dan entah dengan gerak an apa, dua biji alat hitung itu tiba-tiba menyambar. Berbareng dengan itu, si p engemis mengeluarkan teriakan kesakitan dan jatuh berlutut di atas tanah. Ternya ta jalan darah di kedua lututnya telah disambar biji-biji shoeiphoa itu. "Kau menyerah?" tanya Tjian Thong Hay sembari tertawa. Ia maju setindak sambil m engangkat sebelah kakinya sebagai akan menendang dan kemu- dian niat memungut dua biji shoeiphoa itu yang terbuat dari emas murni. Mendadak Pit Yan Kiong loncat bangun, tangan kirinya memungut dua biji emas itu, sedang tangan kanannya menyekal tongkat, dan dengan terpincang-pincang, ia kemb ali ke mejanya. "Ha-ha-ha!" ia tertawa terbahak- bahak. "Dalam dunia ini banyak sekali orang yang berlutut dihada-pan uang. Denga n memandang muka emas, aku sudah ber- lutut dihadapanmu." Baru saja ia berkata begitu, dari antara meja-meja perjamuan sekonyong-konyong m eloncat keluar seorang toosoe (imam) yang mengenakan juba pertapaan kuning. Dengan gerakan gesit, lebih gesit daripada Pit Yan Kiong, ia meloncat ke dalam g elanggang. "Hoan Toako, lihatlah!" bisik si baju putih. "Dia adalah toosoe bau itu, yang ke marin menginap di hotel." Tjian Thong Hay agak terkejut, ia melintangkan senjatanya di depan dada dan berk ata: "Ah! Apakah Hian Eng Tootiang juga mau turut serta dalam keramaian?" Disebutkannya nama itu sudah mengejutkan banyak orang. Hian Eng Toodjin adalah k epala kuil Siangtjeng koan di propinsi Shoatang. Menurut kata orang, ia mempunyai silat yang luar biasa tingginya dan sampai sebe gitu jauh, ia belum pernah berkelana dalam dunia Kangouw, sehingga tampilnya ke dalam gelanggang pertempuran, sudah mengherankan sangat banyak orang. Hian Eng Toodjin mendongak dan tertawa besar. "Kedatangan pin-too di sini adalah untuk minta sedekah," katanya dengan suara tawar. "Di antara begini banyak orang, Lauwko-lah yang terh itung paling beruang. Maka itu, sudah sepantasnya jika aku memohon sedikit derma dari kau." "Bagus! Bagus!" kata Tjian Thong Hay. "Apakah Tootiang perlu uang perak?" "Lauwko adalah seorang gagah yang tangannya terbuka," sahut Hian Eng. "Aku tak p erlu uang perak, yang kubutuhkan adalah emas. Lauwko pun tak usah berabe pulang untuk mengambil emas. Biji-biji e mas dari shoeiphoa itu sudah mencukupi keperluanku." Tjian Thong Hay mendongkol bukan main, ia mesem tawar seraya berkata: "Jika begitu, biarlah Tootiang mengambil sendiri." Ia mengebas dengan senjatanya yang lantas saja mengeluarkan suara kerotakan. "Baiklah," kata Hian Eng. "Kau tak sekaker, aku pun tak usah berlaku sungkan." B erbareng dengan perkataannya, ia mengeluarkan hoedtim (kebutan yang biasa dimili ki orang pertapaan) dan lalu mengebut. Tjian Thong Hay pa-paki senjata itu dengan shoeiphoa-nya untuk "dikunci" dan dib etot. Akan tetapi hoedtim adalah benda lemas dan dengan sekali meng-gentak, Hian Eng sudah meloloskankan senjatanya dari ikatan. Tjian Thong Hay membalik tangan nya dan menggulung hoedtim itu di tihang shoeiphoa. "Bagus! Kasi!" seru si imam sembari membetot. Tjian Thong Hay merasakan tangannya kesemutan dan tiga biji shoeiphoa sudah dire but si imam. Ia terkejut bukan main, tak berani ia menyerang lagi secara sembarangan. Sambil menyekal senjatanya erat-erat, ia bersilat dengan taktik membela diri, sehingga untuk sementara waktu, Hian Eng tidak dapat berbuat banyak. Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, hati Tjian Thong Hay mulai tenteram pula. Tiba-tiba Hian Eng tertawa dan berkata dengan suara mengejek: "Kau sudah kehilan gan beberapa biji emas, apa kau tidak merasa sakit hati?" Sehabis mengejek, ia membalikkan senjatanya dan dengan kecepatan kilat, lalu men otok alis Tjian Thong Hay dengan gagang hoedtim. Buru-buru Tjian Thong Hay manggut dengan gerakan Honghong Tiamtauw (Burung Hong manggut) dan berbareng menghantam dengan shoeiphoa-nya. Ta pi tak dinyana, totokan itu hanya gertakan untuk memancing serangan si saudagar. Begitu lekas shoeiphoa itu menyambar, Hian Eng mengebut dan dua biji emas kemba li terpental keluar dari dalam alat hitung itu. Dengan sekali menjambret, dan bi ji emas itu sudah berada dalam tangannya. Sampai di situ, Tjian Thong Hay sebenarnya ingin segera mengachiri pertandingan itu, tapi ia terus didesak oleh Hian Eng, sehingga tak dapat meloloskan diri. Da lam tempo sekejap, belasan biji shoeiphoa kembali kena direbut. Sembari mencecer lawannya, Hian Eng terus menghitung: "Satu, dua, tiga, empat, lima..." Tidak lama kemudian, empat puluh sembilan biji sudah dikantongi si imam. Sebuah shoeiphoa mempunyai tiga belas tihang yang masing-masing terisi tujuh bijinya. Sesudah dua biji direbut Pit Van Kiong, dalam shoeiphoa itu ketinggalan delapan puluh sembilan biji dan dari jumlah itu sudah hilang pula empat puluh sembilan b iji. Tjian Thong Hay merasakan dadanya sesak. "Baiklah! Sekarang aku mau mengadu jiwa!" ia berteriak. Sekonyong-konyong sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menggoyangkan senjatany a dan... loh! Empat puluh biji itu terbang berbareng dan menyambar Hian Eng dari berbagai jurusan. I tulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang sangat istimewa, yang dinamakan Boant hian Hoaie Saykim tjhie (Di selebar langit turun hujan bunga, menyebar uang emas ). Melihat itu, semua penonton jadi merasa kagum. Tapi Hian Eng Toodjin bersikap tenang sekali. Ia tertawa besar seraya berkata: " Tjian Toaya sungguh royal dan aku pun tidak usah sungkan-sungkan lagi." Sebalikn ya dari berkelit, ia mengebas kalang kabut dengan kedua tangan jubahnya yang san gat panjang dan dalam tempo sekejap, seantero biji shoeiphoa itu sudah masuk ke dalam tangan jubahnya! Muka Tjian Thong Hay menjadi pucat ba- gaikan mayat. Ia berdiri terpaku di tengah gelanggang sambil menyekal shoeiphoa- nya yang sudah kosong. Tampik sorak bergemuruh terdengar di seluruh taman. Hian Eng membungkuk sembari bersenyum, tapi sebelum ia sempat membuka suara, di antara sorak sorai, mendadak terdengar suara orang yang menyeramkan: "Guna apa berlaku begitu kejam? Aku sun gguh tak tega melihatnya!" Suara itu tidak begitu keras, tapi sangat menusuk kup ing dan sudah menindih sorakan ramai itu. Hian Eng Toodjin terkejut dan di lain saat, seorang tinggi besar sudah loncat ma suk ke dalam gelanggang dengan melompati kepala sekian banyak tamu. "Tjian Lauwtee!" kata orang itu. "Jangan pergi dulu. Aku akan mengambil pulang b iji emasmu!" Orang itu juga berdandan seperti saudagar dan begitu melihat, Hoan Eng terkesiap lantaran orang itu bukan lain daripada Vang Tjong Hay. Si baju putih juga kaget dan tangannya merasa gagang pedangnya. "Yang Toako," kata Boe Tjin Tong dengan suara manis. "Kau juga datang? Hian Eng Tootiang adalah kawan kita!" Pada jaman itu, Yang Tjong Hay adalah salah satu dari empat ahli pedang utama di seluruh Tiongkok. Nama besarnya sudah menggetarkan Rimba Persilatan, tapi karen a ia hanya berkelana di daerah Soetjoan, Hoenlam dan Kwitjioe, maka di antara orang-orang gagah di wilayah Tionggoan, banyak sekali yang belum pernah bertemu muka dengan ia. Begitu she-nya disebutkan Boe T jin Tong, semua orang jadi terperanjat. "Kawan apa?" kata Yang Tjong Hay dengan suara tawar. "Tjian Lauwtee adalah seora ng saudagar jujur. Tujuanku hanya untuk mengambil pulang modalnya!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia menghunus pedang. Mendengar perkataan yang tidak segan-segan itu, Hian Eng, lantas saja naik darah nya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia mengebut dan coba menggulung gagang peda ng Yang Tjong Hay dengan hoedtim-nya. Pukulan itu yang diberi nama Ouwliong djia uw- tjoe (Naga hitam melibat tihang) adalah salah satu pukulan paling berbahaya dari Thiankong Hoedtim tjhioe (ilmu bersilat dengan kebutan) yang mempunyai tiga puluh enam jalan. Deng an sekali membalik tangan, ia membuat suatu gerakan yang sangat sukar ditebak ar ahnya. Hian Eng sangsi, ia tidak tahu, apakah musuh akan menikam ke sebelah kiri atau ke sebelah kanan. Di saat ia bersangsi, pedang Yang Tjong Hay mendadak ber kelebat bagaikan kilat cepatnya dan dengan bunyi "bret!", tangan jubah si imam d itembusi pedang dan biji-biji shoeiphoa yang tersimpan di dalamnya lantas saja j atuh berarakan di atas tanah! Hian Eng gusar bukan main. Dengan gerakan Poanliong djiauwpo (Naga bertindak), ia loncat ke samping kanan Yang Tjong Hay sembari mengiram ser angan. "Hidung kerbau!" kata Yang Tjong Hay sembari tertawa dingin. "Apa kau masi h mau berku-kuh mengangkangi segala harta rampasan?" Berbareng dengan itu, ia menikam tulang pundak Hian Eng yang lantas mengegos sembari memapaki pedang itu dengan hoedtim-nya. Tapi gerakan pedang Yang Tjong Hay sangat aneh dan tidak dapat diduga terlebih dulu. Di tengah jalan, pedang tersebut mendadak berobah arahnya dan dengan bunyi "bret" untuk kedua kalinya, tangan juba kiri Hian Eng t elah dirobek, dan biji-biji shoeiphoa yang tersimpan di situ tentu saja jatuh berantakan. Kejadian itu sudah membikin semua orang terkesiap. Dalam mata mereka, Hian Eng T oodjin adalah seorang ahli silat kelas utama yang jarang ada tandingannya. Tapi siapa nyana, dalam dua gebrakan saja, kedua tangan jubahnya sudah dirobek semua. Hian Eng jadi mata gelap. Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Ngoheng Patkwa, ia menyerang dengan hoedtim-nya secara mati-matian. Sebenarnya, meskipun kepandaian Hian Eng masih k alah setingkat dari Yang Tjong Hay, akan tetapi bedanya tidak begitu besar. Tadi , lantaran kedua tangan jubahnya penuh biji shoeiphoa, ia tidak dapat bergerak d engan leluasa, sehingga Yang Tjong Hay dapat menarik banyak keuntungan. Sekarang, sesudah semua biji emas itu jatuh berarakan, gerakannya menjadi terlebih gesit, ia dapat membela diri dan balas menyerang. Sesudah lewat beberapa jurus, Yang Tjong Hay mendadak berseru: "Kenal", dan peda ngnya menyambar. Hian Eng loncat dengan perasaan heran. Pukulan itu bukan pukula n luar biasa dan gampang sekali dipunahkan. Ia tidak mengerti, kenapa lawannya b erteriak: "Kena!" Sekonyong-konyong suatu sinar emas berkelebat di depan matanya . Ternyata, dengan gerakan yang indah sekali, dengan ujung pedangnya, Yang Tjong Hay sudah menyontek sebuah biji shoeiphoa yang lantas terbang ke arah Tjian Thong Hay. Ia ini lantas saja menyambuti dan memasukkan biji emas itu ke dalam alat hitungnya. Sorakan riuh kembali menggetarkan seluruh taman. Dengan sikap bangga, Yang Tjong Hay terus mencecer Hian Eng dengan pukulan-pukulan hebat dan setiap kali imam i tu loncat minggir, ia menyontek sebuah biji shoeiphoa yang segera disambuti si s audagar she Tjian. Dalam tempo sekejap, delapan puluh sembilan biji shoeiphoa ya ng tadi berhamburan di atas tanah, sudah kembali ke dalam shoeiphoa Tjian Thong Hay. Dengan paras muka pucat bagaikan kertas, Hian Eng menarik pulang hoedtim-nya dan menghampiri Pit Kheng Thian. "Pintoo tak mempunyai kemampuan, se- hingga Tjeetjoe menjadi hilang muka," katanya sembari membungkuk. "Sekarang aku meminta diri dan mohon Tjeetjoe sudi memaafkan." Boe Tjin Tong dan Pit Kheng Thian coba mencegah, tapi orang pertapaan itu sudah berlalu dengan tindakan lebar. Perkataan Hian Eng menggenggam permintaan supaya Pit Kheng Thian turun tangan un tuk menolong mukanya. Semua mata sekarang ditujukan kepada pemuda itu untuk meli hat gerakannya. Yang Tjong Hay sama sekali tidak memperduli-kan. Sambil menyentil pedangnya, ia berpaling kepada Tjian Thong Hay seraya berkata: "Hian-tee, apakah modalmu sudah dapat diambil pulang semuanya?" Tiba-tiba Pit Yan Kiong tertawa terbahak- bahak. Ia muncul dari antara orang banyak dan berkata: "Orang kaya mengeduk kant ong sama mustahilnya seperti naik ke langit. Baiklah! Oleh karena Yang Toaya sud ah tampil ke muka, maka aku si pengemis tak dapat berbuat lain daripada muntahka n kembali makanan yang sudah berada di dalam muiut." Sehabis berkata begitu, ia menyentil dengan jerijinya dan dua buah biji shoeiphoa lantas saja melesat di te ngah udara. Ilmu Tjian Thong Hay lebih tinggi daripada si pengemis dan ia sungka n menyia-nyiakan kesempatan untuk memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengangkat shoeiphoa-nya untuk menyambuti dan dua biji itu jatuh tepat sekali di tihan g yang masih belum lengkap isinya. Dengan sekali menekuk tihang itu, isi shoeiphoa tersebut sudah penuh kembali sep erti sediakala. "Toaya yang kaya-raya," kata Pit Yan Kiong. "Sekarang modalmu sudah kembali semu a. Apakah masih membutuhkan bunganya?" Dengan berkata begitu, si pengemis ingin Yang Tjong Hay lantas berlalu dari temp at itu. Tapi Yang Tjong Hay tetap tidak berkisar dari tempatnya di tengah gelanggang. Ia kembali menyentil pedangnya dan berkata dengan suara tawar: "Benar! Orang dagan g selamanya mengharapkan bunga untuk uangnya." Pernyataan itu sudah mengejutkan semua orang. "Apa ia mau merebut kedudukan Toal iongtauw?" tanya Boe Tjin Tong di dalam hatinya. "Ilmu silatnya cukup tinggi, hanya sepak terjangnya tidak begitu bagus. Jika ia menjadi pemimpin kalangan Lioklim di lima propinsi Utara, kita bakal ja di berabe." Orang yang berpendapat sama dengan Boe Tjin Tong berjumlah besar, maka sorakan y ang terdengar hanya keluar dari beberapa gelintir orang yang mungkin juga konco Yang Tjong Hay. Sementara itu, dengan tindakan perlahan, Pit Kheng Thian berjalan masuk ke dalam gelanggang. Begitu berhadapan dengan Yang Tjong Hay, ia mengawasi dengan kedua matanya yang tajam bagaikan pedang. "Toaliongtauw," kata Yang Tjong Hay dengan suara dingin. "Pengajaran apakah yang kau mau berikan kepadaku?" Pit Kheng Thian mendongak dan terbahak-bahak. "Aku adalah seorang houwpwee (oran g yang tingkatannya rendah) dengan kepandaian yang sangat cetek," katanya. "Mana berani aku memikul tugas sebagai Toaliongtauw? Sau daraku ini adalah seorang pengemis yang sangat miskin dan tidak mempunyai uang u ntuk membayar bunga. Maka itu, apa boleh buat, aku saja yang tolong membayarnya. " "Bagus! Bagus!" kata Yang Tjong Hay. "Kalau begitu, aku pun boleh tidak usah sun gkan-sungkan lagi." Berbareng dengan perkataannya, ia menikam jalan darah Hianki e hiat, di bawah tenggorokan Pit Kheng Thian. Dengan cepat, Pit Kheng Thian menangkis pedang musuh dengan toyanya yang sebesar mangkok. Tanpa me-robah kuda-kuda, tangkisan itu ia susul dengan pukulan Boe Siong pahhouw (Boe Siong pukul harimau ), yaitu membabat lutut musuh. "Sungguh cepat!" seru Yang Tjong Hay, sembari menyampok dengan pedangnya. Berbar eng dengan suara bentrokan senjata, Pit Kheng Thian terhuyung ke depan beberapa tindak, sedang Yang Tjong Hay mundur ke belakang dengan sempoyongan. Ternyata, dalam sampokannya, Yang Tjong Hay telah menggunakan tenaga Imdjioe (te naga "lembek") dan dengan meminjam tenaga Yangkong (tenaga "keras") dari Pit Kheng Tian, ia niat merubuhkan lawanny a itu. Jika tenaga antara kedua orang itu tidak berbeda seberapa, tujuan Yang Tjong Hay pasti akan terwujud. Akan tetapi, Pit Kheng Thian mempunya i "tenaga malaikat", pe-ngasi Tuhan. Pukulan Boe Siong pahhouw itu luar biasa heba tnya dan biarpun Yang Tjong Hay berhasil menyampok toya Pit Kheng Thian, ia send iri telah dibikin terpental dan sempoyongan ke belakang beberapa tindak. Di lain pihak, begitu lekas toyanya kebentrok dengan ujung pedang, Pit Kheng Thian mengetahui adanya bahaya. Buru-buru ia meny ontek dengan toyanya, miringkan badannya dan meloncat beberapa tindak ke depan dengan agak sempoyongan. Demikianlah, yang satu mundur, yang lai n maju, masing-masing tidak mempunyai kesempatan untuk membarengi dengan serangan membalas. Maka itu, dalam gebrakan tersebut, mereka dapat dikatakan seri. Sesudah kedua belah pihak memperbaiki kedudukan masing-masing, mereka lalu mulai bertempur pula dengan hebatnya. Pedang Yang Tjong Hay selulup timbul di tengah udara bagaikan naga yang sedang m emain di lautan, sedang toya Pit Kheng Thian ber-kelebat-kelebat, seakan-akan bu rung Hong tengah berterbangan. Semua orang gagah yang menyaksikan pertempuran it u jadi terpesona. Mereka merasa kagum sekali melihat seorang muda yang usianya belum cukup tiga puluh tah un, sudah dapat menandingi kiamkek kenamaan. Dengan cepat lima puluh jurus sudah lewat dan belum ada yang keteter. Tiba-tiba, berbareng dengan suatu siulan panjang, Yang Tjong Hay merubah cara be rsilatnya. Sinar pedangnya berkelebat-kelebat bagaikan kilat menyambar dan sebatang pedang itu, bahna cepatnya bergerak-gerak, kelihatan seperti ratusan pedang yang menyambar-nyambar di sekitar badan Pit Kheng Thian, seakan-akan turunnya rontoka n bunga ditiup angin. Dikurung secara begitu, perlahan-lahan Pit Kheng Thian jatuh di bawah angin. Tjian Thong Hay kelihatan girang sekali, ia menyentil-nyentil biji shoeiphoa-nya sembari berkata seorang diri: "Bunganya pasti akan segera dibayar!" Pit Yan Kiong yang berdiri di pinggir gelanggang lantas saja tertawa ha-ha hi-hi . "Memang juga bunganya akan lantas dibayar," katanya. "Tapi belum tentu, pihak mana akan membayarnya!" Tjian Thong Hay melirik dengan paras gusar. "Toaya yang kaya raya!" kata Pit Yan Kiong sembari tertawa. "Jangan gusar." Ia menyelesap dan lalu menghilang di ant ara orang banyak. Sekonyong-konyong jalan pertempuran kembali berubah. Untuk melayani pedang musuh, Pit Kheng Thian sudah merubah cara bersilatnya. Jika tadi ia bersilat den gan tenaga Yangkong yang agresif, adalah sekarang toyanya berputar-putar di sekitar badannya, dalam gerakan membela diri dan sama sekali tidak mengandung serangan pembalasan. Akan tetapi, ahli-ahli yang ilmunya tinggi, mengetahui, bahwa sekarang Pit Khen g Thian sedang bersilat dengan tenaga Imdjioe dan gerakan toyanya merupakan gera kan lingkaran atau setengah lingkaran, sehingga toya yang keras dan lempang itu seolah-olah djoanpian, atau pecut lemas. Dalam pelajaran ilmu silat, terdapat kata-kata seperti berikut: "Tombak takut ke pada lingkaran, pecut mengenai kelurusan." Tombak dan toya adalah senjata yang k egunaannya sama. Jika seorang dapat menggunakan tombak atau toya seperti pecut d an membuat gerakan-gerakan melingkar, maka lawannya harus berlaku hati-hati. Demikianlah, begitu lekas Pit Kheng Thian merubah cara bersilatnya, pedang Yang Tjong Hay lantas saja dapat ditindih dan gerak-gerakannya tidak begitu cepat lag i. Akan tetapi, dalam gerakannya yang lebih perlahan itu, Yang Tjong Hay kelihat an menggunakan lebih banyak tenaga, seperti juga berat pedangnya bertambah serib u kati. "Hm! Yang Toatjongkoan sekarang menggunakan Iweekang yang sangat tinggi," geren- deng si baju putih. "Aku mau lihat, bagaimana ia melayani ilmu toya itu." Baru habis perkataan itu diucapkan, suatu bentrokan senjata yang sangat nyaring memecahkan kesunyian taman itu. Di antara lelatu api, toya Pit Kheng Thian kelihatan terbang di tengah udara, sehingga semua orang mengeluarkan serua n kaget. Dalam detik yang sama, Yang Tjong Hay agaknya seperti orang kesima, ia terpaku dan tidak bergerak untuk menyerang. Gesit sungguh gerakan Pit Kheng Thia n. Di saat itu juga, badannya melesat dan tangannya menyambuti toyanya yang seda ng melayang turun kembali. Dan sebelum kedua kakinya hinggap di atas tanah, ia m emutar toyanya dan laksana seekor elang, ia menghantam kepala Yang Tjong Hay. Dalam pertempuran antara kedua jago itu, Pit Kheng Thian menang tenaga, sedang Y ang Tjong Hay lebih unggul dalam Iweekang dan pengalaman. Ia mahir sekali dalam ilmu meminjam tenaga musuh untuk menjatuhkan musuh. Barusan, selagi Pit Kheng Thian menghantam dengan toyan ya, ia membarengi menyerang dengan pedangnya dengan menggunakan sembilan bagian tenaganya. (Dalam pertandingan antara jago-jago kelas utama, seseorang tidak bol eh menggunakan tenaganya 1DD persen untuk menjaga serangan membalas yang mendadak. Digunakannya sembilan bagian tenaga adalah ukuran yang p aling tinggi). Dalam perhitungannya, pukulan tersebut pasti akan dapat mematahka n toya Pit Kheng Thian. Tapi ia tidak mengetahui, bahwa toya itu adalah senjata mustika, warisan dari leluhur keluarga Pit. Toya itu dikenal sebagai Hang-liong pang (Toya menaklukkan naga), di- Selagi Pit Kheng Thian dan Vang Tjong Hay mengadu tenaga dalam dalam satu pertem puran mati hidup, mendadak terdengar suara "tring!" dan sekuntum bunga emas tepa t mengenakan ujung pedang Yang Tjong Hay, yang lantas saja terpukul miring. buat dari pohon Hang-liong soe yang tumbuh di atas gunung Lamthian san. Walaupun dibuat dari kayu, toya itu lebih keras dan ulet daripada emas maupun besi. Dulu dalam pertempuran antara Thio Tan Hong dan Pit To Hoan, pedang mustika Tan Hong masih belum dapat mengutungkan Hangliong pang itu.l) Maka itu, dapat di mengerti jika pedang Yang Tjong Hay, yang hanya lebih baik sedikit dari pedang biasa, tidak dapat berbuat banyak terhadap toya mustika tersebut. Dalam bentrokan itu, berkat tenaga dalamnya, Yang Tjong Hay berhasil melontarkan toya Pit Kheng Thian, akan tetapi, berbareng dengan itu, pedangnya juga somplak dan t angannya terbeset se- hingga mengeluarkan darah. Sabetan toya Pit Kheng Thian yang di kirim selagi tubuhnya masih berada di tenga h udara, sudah mengejutkan semua orang. Dengan cepat, Yang Tjong Hay mengerahkan tenaga dalamnya dan memapaki toya itu. Semua orang menduga, bentrokan senjata k ali ini, akan sepuluh kali lebih hebat daripada bentrokan yang pertama. Tapi di luar dugaan, bentrokan antara kedua senjata itu sama sekali tidak mengeluarkan suara dan lebih menghera nkan lagi, toya itu seperti juga menempel di ujung pedang, sedang tubuh Pit Khen g Thian masih terus berada di tengah udara. Yang Tjong Hay membentak keras dan m aju tiga tindak, sambil menggentak pedangnya. Tapi... toya itu terus menempel di ujung pedang dan tubuh Pit Kheng Thian tetap menggelantung di tengah udara! Semua orang terkesiap, sedang mereka yang ilmunya belum seberapa t inggi, tidak mengetahui apakah artinya semua itu. Si baju putih, Boe Tjin Tong dan beberapa jago lain yang ilmunya tinggi, tentu s aja mengerti, bahwa kedua lawan itu sedang mengadu tenaga dalam. Barusan, waktu mema-paki toya lawannya, Yang Tjong Hay telah menggunakan Liankin dan Pengkin de ngan berbareng (tenaga untuk menempel dan tenaga untuk melontarkan), semacam ilmu Iweekang yang sangat tinggi. Di lain pihak, walaupun Iweekang-nya masih kalah setingkat, sabetan Pit Kheng Thian, yang dilakukan dari atas ke bawah, sudah menambah tenag anya, sedikitnya separoh lebih. Ditambah lagi dengan berat badannya, tenaga toya itu (yang menindih ke bawah) tidak kurang dari seribu kati! Maka itu, meskipun Yang Tjong Hay sudah berhasil memunahkan tenaga yang menyabet, ia masih merasaka n beratnya tenaga yang menindih itu. Liankin-nya sudah berhasil menempel senjata musuh, tapi dengan Pengkin-nya, ia gagal untuk melontarkan lawannya. Sembari jalan mengitari gelanggang, Yang Tjong Hay menggoyang-goyangkan pedangny a dalam usaha untuk melontarkan lawannya yang menempel bagaikan lintah. Tapi sebegitu jauh ia belum berhasil dan dalam sekejap saja badan kedua orang it u sudah basah dengan keringat. Boe Tjin Tong mengeluh di dalam hatinya. Jika keadaan itu dipertahankan dalam tempo yang agak lama, ia mengetahui, Pit Kh eng Thian bisa celaka. Keadaan Pit Kheng Thian agak lemah, oleh karena ia belum dapat menarik pulang tenaga pukulannya dan tidak bisa mengerahkan tenaga lagi, s ebab badannya masih berada di tengah udara. Sambil mengerutkan alisnya, Boe Tjin Tong berjalan masuk ke dalam gelanggang. Ia menyoja seraya berkata: "Jika dua harimau berkelahi terus menerus, salah satu m esti celaka. Yang Toako dan Pit Hiantee sekarang kalian boleh berhenti saja." Tapi mereka tidak menyahut, agaknya karena sedang memusatkan seluruh semangat da n menggunakan semua tenaga mereka. "Yang Toako," kata pula Boe Tjin Tong. "Kau adalah seorang kiamkek yang sudah me ndapat nama besar. Pit Hiantee adalah enghiong yang tingkatannya terlebih rendah . Yang Toako! Kau biasanya berkelana di daerah Selatan barat dan jika kau mempun yai niatan untuk berusaha di wilayah Utara, kedudukan Toaliongtauw dapat kita ru ndingkan terlebih jauh." Boe Tjin Tong sudah berkata begitu lantaran ia belum mengetahui Yang Tjong Hay s udah menjabat pangkat Toatjongkoan di dalam istana kaizar. Ia menduga, orang she Yang itu benar-benar mau merebut kedudukan Toaliongtauw dari tangan Pit Kheng Thian. Dibujuk dengan kata-kata manis, sedikitpun Yang Tjong Hay tidak menggubris. Sesu dah berada di atas angin, tentu saja ia sungkan melepaskan korbannya. Ia berjala n semakin cepat mengitar gelanggang, sehingga Pit Kheng Thian seperti juga sebua h perahu kolek yang sedang ditiup angin. Boe Tjin Tong tidak berdaya, ia ingin m enolong, tapi kepandaiannya tidak mencukupi. Selagi semua orang mengawasi dengan hati berdebar-debar dan sedang Boe Tjin Tong berada dalam kebingungan hebat, mendadak saja terdengar suara seseorang yang sa ngat nyaring: "Kalian tidak tahu diri! Yang Toatjongkoan mana memandang sebelah mata segala kedudukan Toaliongtauw!" Hampir berbareng dengan suara itu, sekuntum bunga emas melesat di tengah udara, yang dengan menerbitkan bunyi "ering!", menghantam ujung pedang Yang Tjong Hay! Senjata rahasia itu yang dilepaskan dengan tenaga yang tepat sekali, sudah memuk ul miring ujung pedang itu dan di lain saat, sesudah memutar badan satu kali, Pit Kheng Thian hinggap di atas bumi. Kejadian itu disusul dengan loncat masuknya seorang pemuda baju putih, ke dalam gelanggang. Tak usah dikatakan lagi, bunga emas itu adalah miliknya. Semua orang, tak terkecuali Boe Lootjhoengtjoe sendiri, merasa sangat kaget. Mereka tak nyana, bahwa seorang yan g usianya masih begitu muda, sudah mempunyai tenaga dalam yang sedemikian tinggi . Perlu diterangkan, bahwa untuk timpu-kannya itu, si baju putih telah menggunakan tenaga Kiauwkin (tenaga yang dikeluarkan secara tepat, pada saat yang tepat pula). Selagi Iweeka ng Yang Tjong Hay beradu dengan Iweekang Pit Kheng Thian, ia menghantam di tenga h-tengah yang kosong di antara kedua tenaga yang besar itu. Dalam pelajaran ilmu silat, pukulan itu dinamakan Sieniu potjiankin (dengan tenaga empat tahil menjatuhkan tenaga ribuan kati). Itulah sebabnya, kenapa dengan sekali menghantam saja, si baju putih sudah berhasil. Mengetahui itu, Pit Kheng Thian jadi merasa kagum sekali. Dengan tindakan tenang, si baju putih berjalan mendekati Yang Tjong Hay. Ia menyapu semua orang dengan sepasang matanya yang bersinar bening dan kemudian mengawasi Yang Tjong Hay. "Yang Toatjo ngkoan," katanya. "Kau mengabdi kepada Hongsiang (Kaizar), kurasa kau masih sangat kekurangan tempo. Mana kau mempunyai tempo untuk menjadi Toaliongtauw dari kaum Rimba Hijau. Bukankah begitu?" Baru habis si pemuda mengucapkan perkataannya, seluruh taman lantas menjadi gemp ar. Harus diketahui, bahwa belum cukup sebulan Yang Tjong Hay memegang jabatan Toatjongkoan. Ia menerima ja batan tersebut sebelum Kie Tin merebut pulang tachta kerajaan. Ketika itu, Kie T in masih dikurung di dalam istana Lamkiong dan belum diketahui, apakah usahanya akan berhasil. Oleh karena itu, pengangkatan Yang Tjong Hay sangat dira hasiakan dan hanya diketahui oleh beberapa orang. Tak usah dikatakan lagi, orang -orang kalangan Kangouw tak ada satu pun yang mengetahui kejadian tersebut. Begitu lekas si baju putih membuka rahasia, orang yang paling dulu mengajukan pe rtanyaan adalah Boe Tjin Tong. "Yang Toako, benarkah itu?" tanyanya. Sementara itu, semua orang gagah lantas saja berlomba-lomba menyatakan pendapat. Ada yang merasa sangsi, ada yang gusar, ada yang lantas mengejek... sehingga seluruh taman menjadi ramai sekali. "Kamu di sini mengangkat Liongtauw, siapa yang paling kuat, dia yang menjadi jag o," sahut Yang Tjong Hay. dengan suara angkuh. "Apa yang aku sendiri kerjakan, a da sangkut paut apa dengan kamu semua?" Paras muka Boe Tjin Tong lantas saja berubah. Ia mendongak dan tertawa terbahak- bahak. "Air sumur tidak mengganggu air kali," katanya. "Orang gunung tak berani melayani orang mulia. Yang Toatjongkoan! Maafkan aku yang tidak bisa melayani ka u lagi!" Yang Tjong Hay melirik, ia melihat semua orang sudah menyekal gagang senjata dan semua mata mengawasi ia dengan sorot gus ar. Meskipun Boe Tjin Tong tidak berani terang-terangan memberontak terhadap kai zar, akan tetapi ia mengetahui, bahwa berbagai tjeetjoe itu adalah orang-orang yang tak takut mati dan bisa berbuat segala apa. Walaupun ilmu silatnya sangat tinggi, tak urung ia gentar juga. Ia masukkan ped angnya ke dalam sarung dan tertawa tengal untuk menutupi goncangan hatinya. "Baiklah," katanya kepada Tjian Thong Hay. "Sekarang baru aku tahu, kedudukan To aliongtauw bukan direbut dengan kepandaian. Orang tak bermodal juga dapat berdag ang besar. Guna apa kita berdiam lama- lama lagi di sini? Saudagar tulen lebih baik berlalu!" "Apa artinya saudagar tulen?" kata Pit Yan Kiong dengan suara tawar. "Saudagar t ulen tentu dimaksudkan manusia yang bisa mengurut-urut lutut Hongtee (kaizar) supaya bisa lekas-lekas n aik pangkat." "Jangan sombong kau!" bentak seorang. "Kau sama sekali belum dapat menjatuhkan P it Tjeetjoe. Kalau mau, boleh menjajal-jajal lagi!" Suara cacian menjadi semakin ramai, sehingga tanpa menengok pula, sembari menunt un tangan Tjian Thong Hay, Yang Tjong Hay buru-buru berlalu bersama beberapa konconya. Sekarang baru orang mengetahui, bahwa si kaya raya Tjian Thong Hay sud ah bersekutu dengan Toatjongkoan itu, dengan niatan menjadi orang berpangkat. Baru saja Boe Lootjhoengtjoe ingin membuka mulut, si baju putih mendadak menghun us sebatang pedang pendek yang sinarnya berkilauan. Boe Tjin Tong terkejut. "Apa bocah yang masih bau susu itu juga ingin merebut kedudukan Toaliongtauw?" t anyanya di dalam hati. Sementara itu, sembari menuding Pit Kheng Thian dengan pedangnya, si baju putih berkata: "Bahwa kau menjadi Liongtauw, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan aku. Tapi benda yang kau curi sebelum menjadi Liongtauw, harus dipulangka n kepadaku!" Boe Tjin Tong heran bukan main. Sepanjang pengetahuannya, harta yang berharga kurang dari selaksa tahil perak, sedikitpun tidak menarik hati Pit Kheng Thian. Di samping itu, pekerjaannya tak dapat dikat akan "mencuri", tapi "merampok" terang-terangan. Mendengar perkataan si baju putih, Boe Tjin Tong menduga, ia se dang minta kembali sejumlah uang yang telah dirampas Pit Kheng Thian. Maka itu, lantas saja ia menyahut: "Gampang, urusan ini gampang diselesaikan. Aku yang ber tanggung jawab, aku akan membayar pulang seanteronya." Pemuda itu tertawa dingin seraya berkata: "Ia berhutang sebuah kepala manusia. A pakah kau bisa membayarnya?" Boe Tjin Tong terkesiap. Ia mengawasi si baju putih dengan mata melotot. "Apakah kepala itu milik keluargamu?" tanya Pit Kheng Thian. Mata pemuda itu segera menjadi merah, seperti orang yang hampir mengucurkan air mata. "Kau mau mengembalikan atau tidak?" ia membentak. "Tapi sekarang sukar sekali, walaupun aku ingin mengembalikannya," jawab Pit Kheng Thian. Paras muka si baju putih lantas saja berubah pucat. Tanpa mengeluarkan sepatah k ata, tiba-tiba ia menikam. Pit Kheng Thian loncat mundur sambil menangkis dengan toyanya, tapi pemuda itu, yang gerakannya cepat luar biasa, dalam sekejap saja s udah mengirimkan sembilan tikaman, sehingga Pit Kheng Thian lantas saja kena didesak. Serangan-serangan si baju putih menyambar-nyambar bagaikan kilat dan jika dinila i dari kiamhoat-nya, kepandaiannya malah masih lebih tinggi daripada Yang Tjong Hay. "Saudara kecil, janganlah terburu napsu," kata Boe Tjin Tong dengan suara membuj uk. "Jika kau mempunyai ganjelan apa-apa, cobalah tuturkan kepada kami secara terang. Jika Pit Tjeetjoe sudah kesalahan tangan, aku akan minta ia mengadakan sebuah meja perjamuan untuk meminta maaf." Dengan berkata begitu, Boe Tjin Tong menduga, Pit Kheng Thian telah membinasakan seorang yang mempunyai hubungan erat dengan si baju putih dan ia ini sekarang d atang untuk mem- balas sakit hati. Dalam dunia Kangouw kejadian itu adalah kejadian lumrah dan Bo e Tjin Tong berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Tapi pemuda itu tidak menjawab dan terus menyerang semakin hebat. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, Pit Kheng Thian segera bersilat dengan ilmu Kimliong hiesoe i (Naga emas memain di air). Dengan kesiuran angin yang menderu-deru, Hangliong pang-nya berkelebat-kelebat di sekitar badan si baju putih yang pedang pendeknya lantas saja dapat ditindih. "Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Khen g Thian sembari tertawa. "Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau mau mengembalikan atau tidak?" Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "A ku bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku sudah kerjakan secara sempurna." "Benarkah?" tanya si baju putih sembari menarik pulang pedangnya. "Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Th ian dengan suara sungguh-sungguh. "Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara ma in-main?" Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suar a perlahan. "Kau adalah Indjin-ku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi." Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di ta man itu, terhitung juga Boe Tjin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh kar ena pemuda itu adalah orang yang baru dikenal, Boe Tjin Tong merasa tidak enak u ntuk menanya terlebih jauh. Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Boe Lootjhoengtjoe lantas saja berkata: "Pit Tjeetjoe adalah seora ng yang berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toaliong- tauw, apakah ada saudara yang merasa tidak puas?" Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba m enolak, Boe Tjin Tong sudah mendului: "Sedang para tjeetjoe sudah menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungk an lagi." "Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih ada satu urusan yang aku ingin ke mukakan." Boe Tjin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan ya ng tidak enak. "Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang harus diselesaikan dengan kau." Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar. "Saudara kecil," katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada a sal mulanya, hutang piutang ada tuan uangnya, pedang pendeknya lantas saja dapat ditindih. "Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau m au mengembalikan atau tidak?" Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "A ku bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku sudah kerjakan secara sempurna." "Benarkah?" tanya si baju putih sembari me- narik pulang pedangnya. "Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Th ian dengan suara sungguh-sungguh. "Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara ma in-main?" Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suar a perlahan. "Kau adalah Indjin-ku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi. " Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di ta man itu, terhitung juga Boe Tjin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh kar ena pemuda itu adalah orang yang baru dikenal, Boe Tjin Tong merasa tidak enak u ntuk menanya terlebih jauh. Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bo e Lootjhoengtjoe lantas saja berkata: "Pit Tjeetjoe adalah seorang yang berpenge tahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toa liongtauw, apakah ada saudara yang merasa tidak puas?" Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba m enolak, Boe Tjin Tong sudah mendului: "Sedang para tjeetjoe sudah menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungk an lagi." "Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih ada satu urusan yang aku ingin ke mukakan." Boe Tjin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan ya ng tidak enak. "Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang harus diselesaikan dengan kau." Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar. "Saudara kecil," katanya " Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan uang nya. Sedang tuan uang berada di sini, guna apa kau yang mewakili bicara?" Boe Tjin Tong kaget. Dari perkataannya, Pit Kheng Thian ternyata sudah mengetahu i perhitungan apa yang hendak diselesaikan dan sudah mengundang orang yang berke pen- tingan langsung tampil ke muka. Di lain saat, seorang laki-laki yang berbadan kasar loncat masuk ke dalam gelang gang. Orang itu mempunyai brewok yang kaku seperti kawat dan kedua matanya bersinar terang sekali. Orang yang mengenal ia segera berseru: "Ah! Itulah Soanhoahoe Hoan Eng!" Hoan Eng nmerang-kap kedua tangannya untuk memberi hormat dan berkata dengan sua ra nyaring: "Pit Tjeetjoe! Kau barangkali masih ingat pertemuan kita di sebelah selatan gunung Thaysan. Sekarang beruntung kita dapat bertemu muka pula. Sudikah kau membayar pulang uan g itu yang berjumlah tiga puluh laksa tahil?" Begitu Hoan Eng habis bicara, seluruh ta- man lantas saja ramai. "Kenapa Soanhoahoe Hoan Eng melindungi uang pembesar negeri?" tanya seorang. "Sungguh luar biasa!" kata yang lain. Hoan Eng adalah turunan ahli silat yang ternama dan dalam kalangan Kangouw, ia t erkenal sebagai seorang jujur dan dihormati. Begitu lekas persoalan itu muncul, semua orang segera merasakan sukarnya memecahkan soal itu. Dilihat dari sudut pe rsahabatan dengan Hoan Eng, uang itu harus dikembalikan. Akan tetapi, menurut peraturan Lioklim, uang pembesar negeri yang sudah dirampas, tak boleh dipulangkan dengan begitu saja. Di samping itu, Yamoensoe Koan Kie dikenal sebag ai seorang busuk dalam Rimba Persilatan yang sangat serakah akan segala kemewahan. Maka itu, jika Pit Kheng Thian mengem balikan uang tersebut, ia tidak berlaku adil dan mengecewakan harapan kalangan L ioklim. Semua mata mengawasi jago muda itu tanpa berkesip, sedang paras muka Hoan Eng se bentar merah dan sebentar pucat. Melihat Pit Kheng Thian belum juga menjawab, de ngan suara terputus-putus Hoan Eng berkata pula: "Urusan ini... sebenarnya agak memalukan. Akan tetapi... dengan sesungguhnya siauwtee telah didesak keadaan. Ak u sebenarnya ingin minta pertolongan Thio... Thio..." Mendadak perkataan itu diputuskan dengan suara tertawanya Pit Kheng Thian. "Aku tahu," katanya. "Aku tahu pembesar anjing itu adalah keponakan Thio Hong Hoe. Tapi andaikata urusan ini diberitahukan Thio Hon g Hoe, belum tentu Thio Hong Hoe sudi mengakui dia sebagai keponakan. Selain itu , aku mempunyai serupa adat. Sekali bekerja, aku tidak akan meladeni segala permintaan dikembalikan hasil pekerjaan itu, biarpun yang datang mendamaikan ada lah pentolan Boelim yang paling jempol. Meski orang menggunakan gunung Thaysan u ntuk menindih aku, aku toh tak akan menyerah!" Yang dimaksudkan Hoan Eng sebenarnya adalah Thio Tan Hong, tapi sudah salah dita fsirkan oleh Pit Kheng Thian. Hoan Eng menjadi semakin jengah, sedang si pemuda baju putih kembali meraba gagang pedangnya. Sekonyong-konyong Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Tapi," katanya. "Meng ingat kau sudah dapat menyambut tiga hantaman toyaku, urusan ini masih dapat did amaikan." "Kalau begitu, aku menyerahkannya kepada pertimbangan Tjeetjoe," kata Hoan Eng d engan hati sedikit lega. Pit Kheng Thian menepuk kedua tangannya sembari berteriak: "Bawa kemari!" Semua orang yang sedang mengawasi Pit Kheng Thian sudah tidak memperhatikan Pit Yan Ki ong yang entah dari mana datangnya, sudah muncul sembari menggusur seorang yang mengenakan pakaian pembesar negeri. "Pengadilan bersidang!" katanya sembari tertawa. "Inilah Yamoensoe Toalooya (tuan besar)!" Hoan Eng terperanjat. Orang itu bukan lain daripada saudara angkatnya, Koan Kie! Muka Koan Kie pucat bagaikan mayat, badannya gemetar, matan ya, yang bersorot ketakutan, sebentar mengawasi Pit Kheng Thian, sebentar meliri k Hoan Eng, gerak-geriknya tak beda dengan seorang peran-taian yang sudah dijatu hi hukuman mati. "Hoan Toako!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Aku sudah mengundang saudar a angkatmu datang kemari dari kantor Yamoensoe. Apakah perbuatanku ini tidak cukup menghormat terhadap sahabat?" Hoan Eng kaget berbareng gusar. Ia kaget lantaran Pit Kheng Thian sudah berhasil menawan Koan Kie yang berada di tempat begitu jauh, harus diingat, bahwa ilmu silat Koan Kie bukan ilm u sem-barangan, sedang kantor Yamoensoe biasanya mempunyai penjagaan yang sangat kuat. Penculikan itu sungguh bukan peke rjaan gampang. Berbareng dengan itu, ia merasa gusar oleh karena Pit Kheng Thian sedikit pun tidak "memberi muka" kepadanya. Sebaliknya dari mengembalikan uang itu, ia sudah menggusur saudara angkatnya dihadapan orang banyak. "Koan Taydjin!" kata Pit Kheng Thian. "Dalam beberapa hari ini aku sudah berlaku kurang pantas terhadapmu!" Melihat dirinya sukar terlolos dari bahaya, Koan Kie jadi berbalik tenang. "Aku adalah pembesar kerajaan," katanya dengan suara keras. "Aku boleh mati, tapi sungkan menerima hinaan. Mau d ibunuh, kau boleh bunuh. Guna apa banyak rewel! Hoan Toako! Aku hanya ingin meni nggalkan suatu pesan kepadamu. Tolong kau memberitahukan hal ini kepada Thio Siepek." Demikianlah, dalam menghadapi bahaya maut, ia menggunakan nama Thio Hong Hoe unt uk coba menggertak Pit Kheng Thian. Ia tidak mengetahui, bahwa orang tua itu sudah meninggal dunia bersama-sama dengan empat pahlawan ist ana. Sebenarnya Hoan Eng sendiri tidak dapat menghargakan sepak terjang Koan Kie. Aka n tetapi, mengingat persaudaraan yang sudah turun menurun, hatinya merasa pilu d an tanpa merasa, ia mengucurkan air mata. Selagi ia hendak bicara, mendadak terdengar suara tertawa Pit Kheng Th ian. "Hm! Pembesar kerajaan apa?" kata Pit Kheng Thian. "Agaknya kau belum mengetahui , bahwa kau sedang dicari majikanmu! Jika sekarang aku melepaskan kau dan kau ta k mampu mengembalikan tiga puluh laksa tahil perak itu, bukankah seluruh keluarg amu akan dihukum mati? Ha! Jika hanya kau seorang yang mampus, sedikit pun tak usah dibuat menyesal! Akan tetapi, kematianmu itu akan menyeret juga anak isterimu. I nilah yang dinamakan "budi" kerajaan!" Khoan Kie terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian bukan gertak sambal belaka. Meman g benar, kalau ia tidak bisa mengadakan uang itu, seluruh rumah tangganya akan menghadapi bahaya termus-na. Mengingat begitu, mukanya lantas saja berubah pucat. Tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlah an: "Aku mohon belas kasihan Tjeetjoe." Pit Kheng Thian melirik Hoan Eng dan berkata pula sembari tertawa: "Tiga tahun k au menjabat pangkat Yamoensoe. Berapa banyak harta sudah dikeduk olehmu?" "Ti... dak... tidak banyak," jawabnya dengan tergugu. Sama sekali ia tak nyana, Pit Kheng Thian akan mengajukan pertanyaan itu. " Pit Kheng Thian kembali tertawa besar. "Menurut pengetahuanku, seluruhnya kau su dah mengeduk lima belas laksa enam ribu empat ratus tahil perak," katanya. "Jumlah ini belum terhitung gedung besar yang kau bangunkan di kampung kelahiranmu. Benar tidak?" Lagi-lagi Koan Kie terkejut. Ia sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa Pit Khe ng Thian bisa mengetahui kekayaannya secara begitu terang. Ia tak dapat berbuat lain daripada menyahut: "Benar!" Pit Kheng Thian bersenyum mendengar pengakuan itu. "Sekarang," katanya pula. "De ngan memandang muka Hoan Toako, aku sudah mengirimkan uang itu ke kota raja. Kau tak mempunyai sangkutan apa-apa lagi!" Itulah suatu pernyataan yang tidak diduga-duga. Koan Kie terpaku, ia berdiri ben gong seperti tak percaya kupingnya sendiri. Mendadak paras muka Pit Kheng Thian kembali berubah menyeramkan. "Akan tetapi," katanya. "Harta yang tidak halal itu, kau tak dapat menggunakan sesuka hatimu. Dari tiga puluh laksa tahil perak, aku hanya menyerahkan separoh, sedang kekurangan yang separoh lagi aku sudah tutup dengan uangmu sendiri. Untukmu, aku tinggalkan gedung besa r itu dan enam ribu empat ratus tahil perak. Jumlah ini, kurasa sudah cukup untu k digunakan sampai di hari tuamu. Selain itu, kau sudah dipecat dari pangkatmu d an kurasa, mulai dari sekarang kau tak dapat menjadi pembesar negeri lagi. Tinda kanku itu sebenar-benarnya adalah untuk menolong dirimu. Apakah kau merasa puas? " Perkataannya diucapkan kepada Koan Kie, tapi maksudnya yang benar adalah menanya Hoan Eng. Mendengar itu, Hoan Eng merasa kagum dan ta'luk terhadap kebijaksanaan Toaliongtauw itu. Beberapa kali i a pernah membujuk Koan Kie supaya berhenti menjadi pembesar negeri, tapi nasehatnya itu tak pernah diladeni sang adik. Tak dinyana dengan me nggunakan caranya sendiri, Pit Kheng Thian sudah berhasil membikin Koan Kie tak bisa memegang pangkat lagi untuk seumur hidupnya. Tindakan itu sedalam-dalamnya memang merupakan "pertolongan". Perampasan sebagian besar hartanya itu, tentu sa ja dirasakan sakit oleh Koan Kie, tapi dalam keadaan sekarang, ia sudah merasa g irang, bahwa jiwanya selamat. Maka itu, sambil memanggut-manggutkan kepalanya ia berkata: "Puas, aku puas!" "Koan Taydjin," kata Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Sekarang kau boleh berlal u. Seragam pembesar yang kau pakai itu, rasanya sudah tidak begitu cocok lagi. M aka, sekeluarnya dari sini, kurasa baik kau menukar pakaian. Yan Kiong! Tolong a ntarkan Koan Taydjin keluar dari sini." Koan Kie yang sudah lama menjadi pembesar negeri hingga kebiasaan seorang pembes ar sudah melekat dalam dirinya, tanpa merasa segera menjawab: "Baiklah. Terima kasih atas budi Baginda! Eh, salah! Terima kasih atas budi Tjeetjoe!" Kesalahan berbicara itu tentu saja disambut dengan tertawa ramai oleh segenap ha dirin. "Aku juga ingin mengantarkan Djietee," kata Hoan Eng. Pit Kheng Thian melirik dan berkata sembari bersenyum: "Loohoan, harap kemudian kau kembali lagi. Aku menunggu di sini." Hoan Eng kaget karena kata-kata itu menggenggam maksud yang dalam. Ia mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja aku akan kembali," katanya. "Pit Tjeetjo e! Kau tak usah kuatir!" Setibanya di pintu luar, Hoan Eng menyekal Koan Kie dan berkata dengan mata basa h: "Hiantee, sekali ini, dalam penderitaan kau menemui kebahagiaan. Mulai sekara ng, tuntutlah penghidupan sebagai orang baik." Mendengar itu dan mengingat bantuan Hoan Eng, Koan Kie jadi terharu. "Nasehat to ako, siauwtee akan perhatikan," jawabnya dengan suara perlahan. Sementara itu, sambil tertawa ha-ha hi-hi, Pit Yan Kiong berkata: "Harap Taydjin menukar pakaian." Ia mengangsurkan sebuah bungkusan yang terisi pakaian rakyat biasa. Sebagai seorang yang sudah dipecat dari pangkatnya, Koan Kie tak boleh me makai lagi seragam pembesar. Maka itu, walaupun ia merasa sangat jengah, hatinya berterima kasih terhadap Pit Kheng Thian yang sudah mengatur segala sesuatu dengan begitu sempur na. Waktu Hoan Eng kembali kemeja perjamuan, Pit Kheng Thian sudah menduduki kursi T oaliongtauw secara resmi. Di situ juga ia segera membereskan beberapa sengketa, an- taranya soal pencurian topi mutiara oleh seorang perampok besar yang bernama Lou w Poet Sia. Raja muda itu telah menugaskan seorang kepala polisi untuk mengambil pulang barangnya. Kepala polisi itu minta pertolongan Pit Kheng Thian yang lantas saja mengambil tindakan dan memulangkan barang berharga itu. Beberapa urusan lain juga sudah diputuskan secara adil oleh Toaliongtauw itu, sehingga semua orang jadi merasa puas. Malam itu, Hoan Eng dan si baju putih menginap dalam gedung Boe Tjin Tong. Seant ero malam, Hoan Eng gulak-gulik di atas pembaringan tanpa bisa pulas karena diga nggu rupa-rupa pikiran. Ada beberapa hal yang ia benar-benar tak dapat pecahkan. Seba- gai contoh, kenapa si baju putih rela melalui perjalanan ribuan lie untuk mengam bil kembali kepala Ie Kiam? Kenapa pemuda itu menutupi asal-usulnya begitu rapat ? Sikap Pit Kheng Thian juga sangat meragukan. Ia seperti mengenal si baju putih , tapi pura-pura tidak mengenalnya. Dengan meminjam nama Boe Tjhoengtjoe, Kheng Thian sudah mengundang mereka datang kesitu. Apakah maksudnya? Besoknya, pagi sekali Pit Kheng Thian sudah memerintah orang mengundang ia. Setibanya di taman, ia melihat Pit Kheng Thian, si baju putih, Bo e Tjin Tong dan beberapa tetua dari Rimba Persilatan, sudah menunggu di situ. "Aku sengaja mengundang beberapa saudara datang ke sini untuk menjadi saksi," kata Pit Kheng Thian. "Siauwko ini telah minta sebuah kepa la orang yang memang benar sudah dicuri olehku. Akan tetapi, sekarang tak dapat aku mengembalikannya. Sebagai gantinya, aku ingin menyerahkan sebuah peti mati y ang berisi jenazah lengkap. Kalau Siauwko ini masih juga merasa tidak puas, aku pun tak dapat berbuat lain." Selain Hoan Eng dan Boe Tjin Tong, semua orang tidak mengerti apa yang dimaksudk an oleh Pit Kheng Thian. Dengan diikuti oleh semua orang, Kheng Thian segera menuju ke bagian belakang ta man dengan melalui jalan kecil yang berliku-liku. Di situ, di suatu sudut taman, berdiri sebuah bangunan kecil berwarna abu-abu. Dari jende- lanya yang terbuka, lapat-lapat kelihatan mengepulkan asap hio. Semua orang menj adi kaget. Pit Kheng Thian menolak pintu dan berkata dengan suara terharu: "Liha tlah! Bukankah aku sudah mengurusnya baik-baik?" Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang dibuat dari tembaga, sedang di depan peti itu dipasang meja sembahyang dengan hiolouw dan beberapa b atang hio yang asapnya naik keudara dengan perlahan. Di atas meja itu terdapat sebuah papan dengan tulisan: "Kokpo Taysin I e Kiam" (Menteri besar Ie Kiam). Di samping meja itu kelihatan berdiri seorang T haykam (orang kebiri dalam istana kaizar) tua yang rambutnya sudah putih semua. Ia agak terkejut melihat masuknya begitu banyak orang dan ketika melihat paras si baju putih, ia mengeluarkan seruan tertahan. Dengan sikap menghormat, Pit Kheng Thian menghampiri peti tembaga itu, yang tutupnya lantas saja diangkat dengan kedua tangannya yang kuat . Dalam peti itu ternyata terdapat peti mati lain yang dibuat dari kristal. Di d alam peti kristal itu berbaring jenazah seorang tua yang mengenakan pakaian kebesaran seorang pembesar tertinggi. Jenaza h itu agaknya dipakaikan obat sehingga tidak bisa rusak. Jenazah itu bukan lain daripada jenazah Ie Kiam, seorang menteri besar yang sudah menolong kerajaan Ben g dari kemusnaan, tapi, kemudian sudah dibinasakan oleh kaizar kejam yang sudah ditolongnya itu! Paras muka si baju putih berubah pucat bagaikan kertas. Ia meloncat dan menubruk peti mati itu. "Thia thia (ayah)! Sungguh jelek nasibmu !" ia menangis dengan m enyayatkan hati. Sekarang semua orang mengetahui, bahwa pemuda itu adalah putera Ie Kiam. Berbare ng dengan itu, beberapa pertanyaan muncul di dalam hati beberapa orang. Ie Kiam adalah seorang menteri besar, tapi kenapa puteranya berkelana di kalangan Kangou w. Siapakah guru pemuda itu yang ternyata mempunyai kepandaian yang sangat tingg i. Sebagai orang yang sudah menolong negara, Ie Kiam dihormati oleh segenap rakyat. Kecuali Pit Kheng Thian, semua orang lantas saja menekuk lutut dan memberi horma t di hadapan jenazah Ie Kiam. Sesudah kenyang menangis, si baju putih mengangkat kepalanya dan matanya mendadak melihat sebuah syair yang artinya kira-kira sepe rti berikut: Menghadapi iaksaan serangan, 'ku turun gunung, Lautan api, 'ku tak per-duiikan, Badan hancur, 'ku tak takut, Asai nama bersih dalam dunia! Syair yang digantung pada tembok itu, adalah syair mendiang ayahnya yang digubah berdasarkan syair Engsekhwee (Syair debu batu), untuk memperlihatkan isi hatinya. Ia heran dan tak mengetahui, dari mana Pit Kheng Thian mendapat syair t ersebut. Mendadak, di antara sesenggukan, si baju putih tertawa berkaka-kan bagaikan oran g edan. "Badan hancur, 'ku tak takut, asal nama bersih dalam dunia!" ia berteria k. "Oh, ayahku! Kebinasaanmu akan tercatat ribuan tahun. Tapi sungguh, kau sudah binasa secara cuma-cuma!" Sesudah tertawa, ia mengulun, dan dalam tangisnya, ia tertawa pula. Laganya sepe rti orang berotak miring, suatu tanda dari kedukaan yang melewati batas! Pit Kheng Thian tidak berlutut dan juga tidak menangis. Ia menyalakan hio yang l alu ditancapkan di hiolouw sambil manggutkan ke- palanya. Kedua matanya terus mengawasi si baju putih. Mendadak ia berkata: "Tjo Kongkong, dari mana Ie Kiam mempunyai anak lelaki?" Thaykam itu mengawasi si baju putih, bibirnya bergerak, tapi ia tak lantas bicar a. Sekonyong-konyong putera Ie Kiam ini meloncat bangun dengan wajah gusar. "Kau su dah mengurus jenazah ayahku, budi itu selama hidupku tak dapat kulupakan," katanya. "Tapi, apa kau katakan barusan? Di kolong langit, di manakah pernah ter jadi, seorang anak mengakui ayah terhadap orang yang bukan ayahnya?" Semua orang yang menyaksikan kesedihan si baju putih, di dalam hati menyalahkan Pit Kheng Thian yang, sebaliknya dari membujuk, sudah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan. Thaykam tua itu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara perlahan: "Tak sal ah. Ayahnya adalah Ie Taydjin." Barusan, oleh karena seantero perhatiannya ditujukan kepada jenazah Ie Kiam, si baju putih tidak memperhatikan Thaykam tua itu. Begitu dua pasang mata mereka be rbentrok, pemuda itu kelihatan terkejut, mulutnya terbuka, tapi lantas tertutup lagi. Hoan Eng melihat itu semua, tapi Pit Kheng T hian, yang berdiri membelakangi si baju putih, sudah tidak melihat perubahan paras muka pemuda itu. Pit Kheng Thian kaget berbareng heran dan ia lantas saja berkata: "Ie-heng, harap kau sudi memaafkan perkataanku yang tidak pada tempatnya. Bolehkah aku mentanyakan, di mana Ie-heng ingin menempatkan jenazah m endiang ayahmu?" Pemuda itu yang dapat dikatakan belum mengerti urusan, tak dapat menjawab pertan yaan Pit Kheng Thian. "Menurut keterangan Tjo Kongkong, semasa hidupnya, mendiang ayahmu senang sekali kepada kota Hangtjioe," kata pula Pit Kheng Thian. "Sebelum meninggal dunia, be liau telah meninggalkan pesan, supaya jenazahnya dikubur di Hangtjioe, di kaki gunung berdekatan dengan kuburan Gak Hoei. Jika Ie-heng dapat mempercayai diriku, aku bersedia untuk mengurus penguburan beliau di Hangtjioe, sesuai dengan pesannya itu." Mendengar perkata- an itu, si baju putih lantas saja menekuk lutut dan memanggil: "Inkong (tuan pen olong)." Kheng Thian buru-buru menyekal lengan pemuda itu seraya berkata: "Bukan terhadap aku, tapi terhadap Kongkong yang kau harus menghaturkan terima kasih." Si baju putih mengawasi Thaykam tua itu dan di dalam matanya terdapat sorot kesa ngsian. "Tjo Kongkong adalah Thaykam isana yang bertugas mengajar ilmu surat kepada Thay tjoe (putera mahkota)," Kheng Thian menerangkan. "Ia sudah berdiam di istana kurang lebih empat puluh ta hun. Dulu, saban kali kaizar ingin memberi tugas atau hadiah kepada menteri besa rnya, orang yang diperintah menyampaikannya kebanyakan adalah Tjo Kongkong. Apakah ia belum pernah datang di rumahmu?" Si baju putih tergugu. Lewat beberapa saat, baru ia menjawab: "Tak heran, jika a ku rasanya mengenal ia. Mungkin sekali, kita sudah pernah bertemu sekali dua kal i." "Tjo Kongkong adalah seorang yang sangat mengagumi ayahmu," Pit Kheng Thian mene ruskan penuturannya. "Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri, ia telah memohon kepada kaizar bebodoran itu supaya ia diijinkan mengurus jenazah mendiang ayahmu. Sementara itu, aku sendiri sudah beruntung dapat mencuri kepala Ie Taydjin. Kaizar itu yang mengetahui adanya pergolakan di antara rakyat, sudah mengalah sedikit untuk menenteramkan hati orang-orang yang sedang gusar. Katanya: Mengingat Ie Kiam adalah Goanloo (menteri tua) dari dua kaizar, maka ijin itu di berikan. Demikianlah, Tjo Kongkong berhasil membawa keluar jenazah mendiang ayahmu. Sesudah itu, baru kepala Ie Taydjin dapat dipersatukan dengan tubuhnya dan kita semua sudah berbuat begitu hanya untuk mengunjukkan rasa cinta kita kepada Ie Taydjin. Tjo Kongkong pun sudah mengambil putusan untuk tid ak kembali lagi ke istana." Sedang Pit Kheng Thian berceritera, air mata si baju putih mengucur deras sekali . Diam-diam ia merasa menyesal, bahwa ia sudah mencurigai dan berlaku kasar terhadap orang gagah itu. Oleh karena Pit Kheng Thian sungkan mene rima pemberian hormat besar (berlutut), ia hanya dapat menghaturkan terima kasihnya b erulang-ulang. (Belakangan, Pit Kheng Thian benar-benar sudah memerintahkan orang mengantarkan peti mati Ie Kiam ke kota Hangtjioe di mana pet i itu dikubur sesuai dengan pesan orang tua itu.) "Kesetiaan Ie Taydjin memang pantas dicatat dalam kitab sejarah," kata pula Pit Kheng Thian. "Akan tetapi, menurut pendapatku, ia bukan seorang yang berpengetah uan tinggi dan lebih-lebih bukan seorang gagah (hokiat)!" Muka si baju putih lantas saja berubah merah, sedang hatinya mendongkol sekali. Hoan Eng yang juga merasa Pit Kheng Thian sudah keterlepasan bicara, buru-buru berkata: "Pit Toaliongtauw, apa artinya perkataanmu itu?" Pit Kheng Thian tertawa besar dan berkata: "Sungguh sayang! Ia hanya seorang menteri setia. Jika ia benar-benar seorang enghiong ata u hokiat, tak nanti ia mau binasa secara cuma-cuma!" Sesudah berkata begitu, ia menghela napas berulang-ulang. "Jika Ie Taydjin sudah menyelami sejarah sampai di dasar-dasarnya, ia tentu mengetahui, bahwa dunia ini adalah dunia (milik) penghuni dunia," katanya pula. "Dunia ini b ukan milik pribadi suatu keluarga tertentu. Dulu, waktu Tjinsiehong berlaku sewe nang-wenang, Hang Ie telah bangkit dan merubuhkan kaizar bebodoran itu. Orang yang semacam itulah, baru boleh dinamakan enghiong atau hokiat sejati!" Hoan Eng terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian hebat bukan main. Dalam kata-kata itu bersembunyi suatu maksud yang sangat besar, yaitu maksud untuk merebut Tiong kok dari tangan kaizar Beng! "Hm!" kata si baju putih dengan suara tawar. "Kalau begitu, kau ingin menjadi ka izar? Orang yang ingin menjadi raja, juga belum tentu benar-benar seorang enghio ng sejati." Sekarang adalah giliran Pit Kheng Thian yang berubah paras mukanya. "Ada orang y ang mempunyai kesempatan untuk menjadi hongtee (kaizar), tapi sungkan menggunakan kesempatan itu," si baju putih berkata pula. "Orang begitu b aru boleh disebut seorang gagah tulen." "Itulah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong!" Hoan Eng menyeletuk tanpa merasa. Paras muka Pit Kheng Thian lantas saja berubah pucat. Melihat ketegangan itu, Bo e Tjin Tong buru-buru menyelak. "Dulu adalah lain dari pada sekarang," katanya. "Thio Tan Hong memang benar seorang gagah. Akan tetapi, di ini waktu, belum tent u ia sudi membantu kerajaan Beng." Mata si baju putih kesap kesip, seperti juga ia sedang berpikir. Tiba-tiba, Pit Kheng Thian berteriak dengan suara gusar: "Enghiong apakah Thio Tan Hong itu? Me nurut aku, dia adalah anak yang tidak berbakti. Aku kata, dia adalah hiapkek (pendekar) palsu yang licik!" Di jaman itu, nama Thio Tan Hong kesohor di seluruh negeri dan dihormati semua o rang. Maka itu, cacian Pit Kheng Thian ini sudah membikin setiap orang jadi kesi ma. Muka si baju putih merah padam, bahna gusarnya. "Manusia macam apakah kau in i, hingga berani mencaci Thio Tayhiap!" ia membentak. Bagaikan kilat, ia menghun us pedangnya yang lalu ditikamkan ke mulut Pit Kheng Thian. Harus diketahui, bahwa sesudah melihat ilmu silat si baju putih yang sedemikian tinggi dan mengetahui pemuda itu adalah putera Ie Kiam, Pit Kheng Thian sudah sengaja mengeluarkan kata-kata yang membakar, supaya si baju putih mau bekerja sama dengan ia dalam usaha merebut tachta kerajaan. Dan ia sama sekali tidak menduga, jika pemuda itu akan mendadak menika m. Jarak antara mereka sangat dekat dan ia tak keburu berkelit lagi! "Bagus!" seru Pit Kheng Thian, sembari membuka mulutnya. Hoan Eng mengeluarkan teriakan tertahan dan dalam detik yang sama, tangan Boe Tj in Tong menyambar untuk menangkis pedang itu. Di saat itu, badan si baju putih sedikit condong ke depan. Boe Tjin Tong, yang berdiri di sampingnya, sebenarnya ingin memukul lengannya untuk menan gkis tikaman itu, tapi oleh karena, ketika itu, badan si baju putih con- dong ke depan, maka pukulan Boe Tjin Tong menyambar ke arah kepalanya. Mereka bertiga berdiri berderet, dan lantaran itu, meskipun mau, yang lainnya su dah tidak keburu menolong lagi. Di lain detik, Pit Kheng Thian menyemburkan dara h dari mulutnya dan memaki: "Apakah kau sudah lupa akan sakit hati ayahmu? Pedan gmu sebenarnya harus digunakan untuk menikam kaizar anjing itu, bukannya berbali k menyerang aku. Mana ada aturan begitu?" Ternyata, begitu ditikam, Pit Kheng Thian sudah papaki dengan mulutnya dan mengg igit pedang itu. Si baju putih yang tidak mempunyai niatan jahat, tidak menyerta kan tenaga dalamnya pada serangan itu. Tapi, oleh karena pedang itu masuk ke dalam mulut, mau tak mau, mulut Pit Kheng Thian terluka juga. Si baju putih b uru-buru menarik pulang senjatanya dan di detik itu, tangan Boe Tjin Tong menyam bar. "Ayal" Pit Kheng Thian berteriak, sehabis mencaci. Semua mata dengan serentak me ngawasi kepala si baju putih! Topi pemuda itu ternyata sudah jatuh di lantai, sedang ikat kepalanya juga sudah terlepas dan terlihatlah rambut yang hitam jengat! Barusan, meskipun sedapat mu ngkin Boe Tjin Tong menarik pulang pukulannya, tapi sambaran angin pukulannya sudah cukup untuk menggulingkan topi si baju putih. Semua orang yang tadinya hanya mem perhatikan Pit Kheng Thian yang terlu- ka, baru menjadi sadar sesudah mendengar teriakan Toaliongtauw itu. Sekarang mer eka baru mengetahui, bahwa si baju putih adalah seorang gadis jelita! Semua orang jadi kesima, mereka berdiri terpaku, tanpa dapat mengeluarkan sepata h kata. "Sin Tjoe! Sin Tjoe!" mendadak terdengar suara Tjo Thaykam. "Benar-benar kau adanya! Kau berhutang budi besar dengan Pit Tjeetjoe. Tak boleh kau menyerang ia !" "Sesudah bengong untuk berapa saat, si nona menyontek topinya dengan pedangnya d an lalu dipakai lagi di kepalanya. Ia merangkap kedua tangannya dan berkata deng an suara perlahan: "Pit Tjeetjoe, budimu yang besar tak akan kulupakan. Jika d i hari kemudian, kau memerlukan tenagaku, biarpun mesti berenang di air atau masuk di a pi, tak akan aku menolak segala perintahmu. Hanya jika kau mencaci Thio Tayhiap. janganlah kau menyesalkan aku sebagai tidak mengenal budi." Sehabis berkata begitu, ia masukkan pedangnya ke dalam sarung d an lalu berjalan keluar dengan tindakan cepat. "Ie-heng! Tahan dulu!" seru Kheng Thian. Ia masih menggunakan perkataan "neng" ( saudara lelaki) lantaran belum dapat mengubah panggilan itu. Tapi si nona tak meladeni teriakan itu. Setibanya di luar, ia bersiul panjang da n nyaring. Kuda putihnya yang memang berada dalam taman tersebut lantas menghamp iri dan dengan sekali meloncat, ia sudah berada di atas punggung binatang itu. Sungguh j empol kuda itu! Sekali ditepuk, ia melompati tembok yang tingginya setombak lebi h. Di lain saat, di luar tembok terdengar derap kaki kuda yang semakin lama jadi semakin jauh. * * * "Si baju putih" adalah puteri tunggal mendiang Ie Kiam dan diberi nama Sin Tjoe. Tjo Thaykam pernah memberitahukan Pit Kheng Thian, bahwa Ie Kiam tidak mempunya i putera, dan itulah sebabnya, kenapa tadi ia sudah memperlihatkan perasaan sang si. Dulu, di gedung Ie Kiam, In Loei pernah bertemu dengan Sin Tjoe yang cantik dan cerdas sekali otaknya, sehingga pendekar wanita itu sangat sayang kepada nona cilik itu. Belakangan, sesudah menikah dengan Thio Tan Hong, In Loei mengam bil Sin Tjoe sebagai muridnya yang lalu diajak tinggal bersama-sama di dekat tel aga Thayouw. Dalam tempo beberapa tahun saja, di bawah pimpinan suami isteri yan g gagah itu, dari seorang gadis lemah, Ie Sin Tjoe sudah berubah menjadi jago wa nita yang ilmu silatnya tinggi. Mereka bukan saja sudah menurunkan kiamhoat Hian Kie Itsoe yang luar biasa, tapi In Loei pun sudah mengajar ilmu menimpuk senjat a rahasia yang sangat liehay dan dikenal sebagai Hoeihoa tahhiat (bunga terbang me nghantam jalan darah) kepadanya. Sesudah keluar dari rumah perguruan, berkat sen jata rahasianya itu, Sin Tjoe sudah mendapat julukan sebagai Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga). Sesudah berlatih hampir sepuluh tahun, dapat dikatakan Ie Sin T joe sudah mencapai puncak pelajaran silat yang sangat tinggi. Oleh karena ia sen diri hanya berkelana di kalangan Kangouw selama dua tiga tahun, lalu menyingkir dan hidup bersembunyi di daerah Thayouw, In Loei menginginkan supaya muridnya it u bukan saja mewarisi ilmu silatnya, tapi juga meneruskan pekerjaannya sebagai s eorang pendekar wanita. Dalam beberapa tahun itu, di samping meyakinkan ilmu silat, Ie Sin Tjoe juga san gat dipengaruhi oleh sifat-sifat Tan Hong suami isteri. Ketika itu, Thio Tan Hong dan In Loei berus ia kira-kira tiga puluh tahun, sedang Sin Tjoe baru saja belasan tahun. Dengan adanya perbeda an usia yang begitu besar, perhubungan antara mereka bukan hanya merupakan perhu bungan antara guru dan murid, tapi juga seperti antara orang tua dan anak sendir i. Maka itu, demi mendengar gurunya dicaci, Sin Tjoe tak dapat menguasai diri la gi, biarpun yang mencaci itu adalah tuan penolongnya. Dalam sekejap mata, ia sudah terpisah belasan lie dari Boe keetjho eng. Hatinya yang mendongkol dengan perlahan sudah menjadi tenang pula. Ia memikirkan perbuatannya tadi dan b erulang-ulang menanya dirinya sendiri: "Apakah aku benar? Apakah aku keliru?" Dengan hati pepat, ia menjalankan kudanya. Ia ingat akan Pit Kheng Thian yang kasar dan gagah, deng an keangkeran seorang enghiong. Akan tetapi, dengan segala kega-gahannya itu, sa ma sekali ia tidak merasa takluk. Sebab apa ia tidak merasa takluk, ia sendiri t idak mengerti. Mengenai serangannya tadi, ia pun tidak tahu, apakah itu benar at au salah. Apakah sakit hati ayahnya harus dibalas? Jika harus dibalas, bagaimana membalasnya? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat mengusutkan pikiran si nona. Harus diingat, bahwa waktu itu, Ie Sin Tjoe baru saja berusia enam belas tahun. Dalam usia sebegitu, orang lain mungkin belum tahu, apa artinya penderitaan. Tap i oleh karena ia pernah mengalam beberapa kejadian yang menggoncangkan hati, maka ia sudah lebih dewasa daripada nona-nona lain sepan-tarannya. Saat itu, tujuan satu-satunya adalah buru-buru pulang ke rumah gurunya, untuk menye-sapkan kepalanya di pangkuan sang Soebo (ib u guru, In Loei) dan kemudian minta petunjuk Soehoe-nya. Tiba-tiba, tunggangannya yang biasa berlari bagaikan angin, entah kenapa, jadi s emakin lambat larinya. Sin Tjoe menepuk-nepuk punggung hewan itu dan berkata den gan suara halus: "Kudaku, hayolah lari lebih cepat." Kuda itu berbenger dua kali, mulutnya mengeluarkan busa putih dan berjalan semakin perlahan. Si nona merasa heran, belum pernah ia menga - lami peristiwa seperti itu. Kuda putih itu sebenarnya adalah tunggangan Thio Tan Hong yang dinamakan Tjiauwya Saytjoe (si singa yang menerang i malam), seekor kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia. Dalam sehari dia bisa berlari seribu lie, sehingga di waktu menungganginya, Sin Tjoe sering-seri ng merasa larinya terlalu cepat. Dengan perasaan heran, si nona loncat turun. Ia me lihat kuda itu seperti sedang sakit dan mulutnya terus mengeluarkan busa. Ia men jadi bingung karena tidak mengerti penyakit kuda. Dengan perasaan menyayang, ia memeluk leher hewan itu dan berkata dengan suara halus: "Hayolah, kita jalan lagi beberapa lie. Sebentar, di kota sebelah depan, aku akan memberikan kau makan kenyang- kenyang dan kemudian mengundang thabib untuk mengobati pe-nyakitmu." Kuda itu seperti juga mengerti apa yang dikatakan majikannya. Tiba-tiba ia berbe nger keras dan mengangkat-angkat kedua kaki depannya. Begitu si nona loncat ke p unggungnya, lantas saja ia kabur bagaikan terbang. Tapi sebelum berlari berapa j auh, tindakannya kembali berubah perlahan, seperti sedang lelah dan dari mulutnya keluar lebih banyak busa. Selagi Ie Sin T joe akan loncat turun, mendadak di sebelah belakangnya terdengar tindakan kaki k uda. "Ie Kouwnio (nona Ie)!" teriak seseorang. "Kudamu tak dapat ber- jalan lagi. Mari kita bercakap-cakap sebentar." Si nona menengok dan melihat, orang yang mendatangi itu bukan lain daripa da Pit Kheng Thian. "Mau membicarakan apa lagi?" tanya Sin Tjoe uring-uringan. "Barusan aku sudah memaki Thio Tan Hong sehingga kau menjadi gusar," kata Pit Kh eng Thian. "Kau tahu kenapa aku mencaci ia?" Ie Sin Tjoe lantas saja naik darahnya. "Aku tak mau mendengarkan segala alasanmu!" ia membentak sambil meraba gagang pedangnya. Sesu dah membentak, ia merasa agak menyesal dan lalu berkata pula: "Kau sudah menguru s jenazah ayahku, budi itu bukan main besarnya dan aku merasa berterima kasih ta k ha- bisnya. Tapi sebagaimana sudah kukatakan tadi, kau tak boleh menyebut-nyebut pul a nama Thio Tayhiap1." "Ah! Sungguh heran!" kata Kheng Thian. "Ada hubungan apakah antara Thio Tan Hong dan kau?" "Tak usah tahu!" Sin Tjoe membentak pula. "Pit Toaliongtauw1. Biarlah kita masin g-masing mengambil jalan sendiri. Mengenai budimu, di belakang hari aku pasti ak an membalasnya." "Baiklah!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa besar. "Kau sungkan mendengarkan , aku pun tak perlu bicara. Tapi aku mempunyai sebuah cerita istimewa. Apakah ka u suka mendengarnya?" Sin Tjoe yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan, lantas saja merasa ketarik. "Baiklah! Kalau ceritanya bagus, aku suka mendengarkan," jawabnya sembari bersenyum. "Dahulu, dahulu kala," Kheng Thian mulai menutur. "Di negara ini hidup seorang h weeshio (paderi) yang mempunyai ilmu luar biasa tingginya. Ia bukan saja pandai ilmu silat, tapi juga mahir dalam ilmu perang. Paderi itu mempunyai tiga murid. Murid pertamanya adalah seorang pengemis, murid yang kedua adalah seorang penyelundup garam, seda ng si murid ketiga adalah seorang yang pernah menjadi paderi dan juga pernah men jadi pengemis. Belakangan, murid pertama dan murid kedua itu menjadi raja dan kaizar, keturunan mereka hidup dalam kemewahan dan kemuliaan. Hanya murid ketiga itu yang paling bangpak. Guna kedua saudara seperguruannya, ia sudah bertempur mati-matian di se panjang Sungai Besar dan belakangan ia sudah mengorbankan jiwanya dalam peperang an, tanpa diketahui di mana mayatnya. Keturunannya hidup terombang-ambing dalam dunia Kangouw, menjadi pengemis, menjadi hweeshio dan selalu berada dalam ketaku tan, sebab sembarang waktu bisa dibekuk oleh kaki tangan kaizar. "Akan tetapi, sebelum binasa dalam peperangan, murid ketiga itu pernah melakukan suatu pekerjaan penting bersama-sama gurunya. Ia tak kepingin menjadi raja atau kaizar dan selalu mengaw ani sang guru berkelana ke berbagai tempat. Sesudah menjelajah ke gunung dan ketempat- tempat berbahaya yang penting artinya bagi ketentaraan, guru dan murid itu lalu membuat sebuah peta bumi yang lengkap dan sempurna, di mana tercantum petunjuk-p etunjuk untuk menggunakan tentara dan peperangan. Siapa juga yang dapat menganto ngi peta itu, dialah yang mempunyai harapan untuk menjadi raja atau kaizar. Bala kangan, sesudah murid ketiga dan murid kedua binasa dalam peperangan di Sungai B esar, peta bumi tersebut lenyap tak ketahuan ke mana atau oleh siapa disembunyik annya. "Achir-achirnya, murid pertamalah, yaitu si pengemis, yang berhasil mempersatuka n negara dan naik ke atas tachta. Tapi hatinya masih selalu berkuatir dan ia men inggalkan pe- san dalam surat wasiatnya, supaya kaizar-kaizar anak cucunya terus berusaha untuk membasmi turunan kedua keluarga itu dan berusaha pula untuk merebut peta bumi itu. Menurut pantas, peta bumi tersebut adalah milik bersama dua keluarga, keturunan murid kedua dan ketiga, apa pula jika diingat, bahwa murid ketiga ini telah meng eluarkan tenaga terlebih banyak, seharusnya keturunan murid ketigalah yang lebih berhak atas peta itu. Kira-kira seratus tahun kemudian, peta bumi tersebut munc ul pula, dan berada dalam tangan keturunan murid kedua. Tak diduga-duga, orang i tu sudah menyerahkan peta tersebut kepada musuh, sehingga anak cucu musuh itu bisa terus mener us bercokol di atas tachta. Coba katakan: pantas atau tidak?" Ie Sin Tjoe tertawa dingin. "Hm!" ia meng-gerendeng. "Bicara ke barat, bicara ke timur, achirnya yang kau bicarakan adalah Tayhiap Thio Tan Hong juga! Kejadian itu adalah kejadian yang sudah lama sekali, si hweeshio tua adalah Pheng Eng Gio k, si pengemis adalah Tjoe Goan Tjiang, si penyelundup garam Thio Soe Seng, seda ng murid ketiga, yang pernah menjadi hweeshio dan pengemis, mungkin adalah leluhurmu yang bernama Pit Leng Hie. Pit Toaliongtauw1. Guna apa kau meny ebut-nyebut hutang yang sudah begitu lama?" 2) "Biarpun orang memuji Thio Tan Hong setinggi langit, aku tetap menganggap perbua tannya tidak adil," kata Pit Kheng Thian. Ie Sin Tjoe jadi mendongkol. "Apakah kau tak tahu, bahwa waktu itu negara Watzu sedang menyerang?" tanyanya dengan suara aseran. "Apakah percekcokan antara bang sa sendiri lebih penting daripada menolak musuh yang datang dari luar!" "Peta itu adalah milik bersama keluarga Thio dan keluarga Pit," kata Kheng Thian . "Malah, menurut pantas, keluarga Pit mempunyai hak yang lebih besar. Dan Thio Tan Hong! Tanpa berunding dulu dengan pihak kami, sudah menyerahkan peta tersebu t kepada kaizar!" "Tidak!" bantah Sin Tjoe. "Ia menyerahkan itu kepada ayahku." Biji mata Kheng Thian berputar dan tanpa menggubris bantahan si nona, ia berkata pula: "Itulah kesalahannya yang pertama. Menolak bahaya dari luar memang benar urusan penting. Tapi, biar bagaimana pun juga, sedikitnya ia harus minta persetujuan keluargaku." Si nona tertawa dingin seraya berkata: "Ah! Kalau begitu kau datang ke sini untu k mengadu lidah!" Pemuda itu masih tetap tidak meladeni dan terus melanjutkan bicaranya: "Selain i tu, menurut pantas, peta tersebut harus ada salinannya (copy), atau, sesudah tentara Watzu dipukul mundur, peta aselinya harus diambil pulang. Biar bagaimana pun juga, Thio Tan Hong pasti menyimpan salinannya. Sebelum ayahk u menutup mata, ia pernah minta pertolongan bebe- rapa saudara Partai Pengemis untuk minta peta itu dari Thio Tan Hong, tapi dia k ata, tidak ada. Dengan demikian, sedikit pun ia tidak memperdulikan persahabatan lama antara kedua keluarga kami. Apakah ini bukan perbuatan tidak adil yang kedua?" Ie Sin Tjoe tertawa dingin. "Thio Tayhiap tak ingin menjadi raja." katanya. "Gun a apa ia menyimpan salinan peta itu atau memintanya pulang dari tangan ayahku? K alau ia kata tidak ada, tentu tidak ada. Apakah kau berani menyangsikan kejujura nnya?" Kheng Thian lagi-lagi tertawa besar. "Kalau kau membela ia secara begitu, sudahl ah, aku pun tak perlu bicara lagi." katanya. "Hayo! Hayo katakan apa yang kau mau ka- takan!" kata si nona sambil melotot. Kheng Thian bersenyum dan berkata: "Andaikata benar ia tidak menyimpan salinanny a." katanya. "Tapi, orang sekolong langit mengetahui, bahwa Thio Tan Hong adalah manusia cerdas luar biasa, yang sekali membaca tak dapat melupakan lagi apa yan g dibacanya. Apakah ia tak bisa menolong membuatkan salinan peta itu tanpa melih at contoh?" Mendengar gurunya dipuji, si nona jadi merasa senang dan hawa amarahnya mulai re da. Ia mesem dan tidak berkata apa-apa. "Sungguh celaka, kalau benar-benar ia tidak menyembunyikan peta tersebut," kata pula Kheng Thian. "Aku sudah menyelidiki dengan terliti dan menda- pat kepastian bahwa peta itu tidak berada dalam rumahmu. Maka itu, kesimpulan sa tu-satunya adalah peta bumi yang sangat penting itu sekarang sudah berada dalam istana kaizar." Paras si nona lantas berubah dan ia mengeluarkan seruan tertahan. Kheng Thian te rtawa seraya berkata: "Apakah kau heran? Apakah kau belum insyaf, bahwa kaizar yang tak menge nal budi itu, dapat melakukan segala rupa perbuatan busuk? Dia sudah membunuh ayahmu, sudah menggeledah rumahmu, apakah kau mengira ia sudi melepaskan peta bu mi itu?" Tapi, yang di saat itu dipikirkan si nona, bukannya hal ini. Sesudah mendengar k eterangan Pit Kheng Thian, ia mengetahui, pemuda itu sudah memeriksa rumahnya untuk mencari peta tersebut. Sebelum Pit Kheng Thian datang, rumahnya mungkin sudah lebih dulu digeledah oleh kaki tangan kaizar dan segala apa yang berharga sudah dirampas. Kumpulan syair ayahnya mungkin tak dipandang sebelah mata oleh orang-orang kaizar itu dan sudah dibuang-buang dengan begitu saja, sehingga belakangan dapat dikete-mukan oieh p emuda itu. Sebelum Pit Kheng Thian mengemukakan soal peta bumi itu, ia mengangga p sepak terjang pemuda itu, yakni mengacau di ibu kota dan belakangan mencuri kepala aya hnya, adalah semata-mata untuk kepentingan ayahnya. Tapi sesudah mendengar ket erangan pemuda itu, ia mengetahui, bahwa Pit Kheng Thian sebenar- benarnya mempunyai tujuan yang lebih penting untuk dirinya sendiri, yaitu merebu t kembali peta tersebut. Ie Sin Tjoe adalah seorang gadis yang polos dan bersih. Tadi, meskipun hatinya mendongkol mendengar cacian terhadap gurunya, sedalam-dalamnya ia merasa sangat berterima kasih kepada pemuda itu. Tapi sesudah mengetahui maksud Pit Kheng Thia n sesungguhnya, rasa terima kasih itu jadi banyak berkurang. Dan sebagai orang y ang polos, perasaan kecewanya lantas saja terlukis pada wajahnya. Sesudah Kheng Thian selesai berbicara, ia menyoja seraya berkata: "Jika Pit-ya t idak mau bicara apa-apa lagi, aku ingin segera berlalu." Mukanya tenang, suaranya manis, tapi sikapnya dingin luar biasa. Sebagai seorang cerdas, Kheng Thian tentu saja merasakan ketawaran i tu. Ia mengeluh di dalam hatinya dan merasa putus asa. Sin Tjoe mengusap-usap punggung kudanya yang lalu dituntun pergi. "Kembali!" mendadak terdengar teriakan Pit Kheng Thian. "Ada apa lagi?" tanya si nona sembari memutar badan. "Kau melupakan satu hal," kata Pit Kheng Thian, Ie Sin Tjoe berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Hm! Benar! Lekas pulangkan kumpulan syair ayahku." Pit Kheng Thian tertawa berkakakan. "Benar-benar anak berbakti!" katanya. "Kecua li syair Engsekhwee yang ditempel di sam- ping peti mati ayahmu, yang lain semuanya berada di sini." Ie Sin Tjoe segera menyambut kumpulan syair itu dan menghaturkan terima kasih de ngan suara tawar. "Kau menyintai ayahmu dan mewarisi pelajarannya, itu semua memang merupakan kewa jiban dalam menjalankan kebaktian," kata Pit Kheng Thian sembari mengawasi si no na. "Hanya sayang, kau masih belum merupakan anak yang benar-benar berbakti!" "Kenapa begitu?" tanya Ie Sin Tjoe. "Ayahmu mati dengan penuh penasaran, seluruh rakyat, tak ada satu pun yang tidak gusar," kata Pit Kheng Thian. "Tapi kenapa kau sendiri justru masih tenang-tena ng saja?" "Apa katamu?" bentak si nona, matanya melotot. "Siapa yang membunuh ayahmu?" Pit Kheng Thian balas menanya. "Kenapa kau tak mau membalas sakit hati? Sekarang orang-orang gagah di lima propinsi Utara sudah be rserikat, kenapa kau sungkan berdiam di sini untuk bersama-sama mengerjakan usah a besar?" "Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu kau ingin menahan aku untuk menjungjung kau sebagai Toaliongtauw1." Kheng Thian mengerutkan alisnya dan ia berkata pula dengan suara kecewa: "Rakyat di seluruh negeri sedang bergolak. Apakah kau mengira aku bertindak untuk kepen tinganku pribadi?" "Dari dulu sampai sekarang, orang yang ingin menjadi kaizar se- lalu menyanyikan lagu begitu," kata si nona. Pit Kheng Thian tertawa dingin. "Sekarang aku tahu, kau sungguh-sungguh puteri I e Kiam, menteri yang setia kepada kerajaan Beng," katanya, menyindir. "Dan aku p un tahu, bahwa kau bukannya seorang pendekar wanita yang berbakti dan luhur pribadinya!" Didesak begitu, Ie Sin Tjoe menjadi bingung. Harus diingat, bahwa dalam usia yan g masih begitu muda, sukar untuk ia segera mengambil putusan dalam memilih antara dua soal penting yang bersangkut paut dengan seluruh penghi dupannya ini. Sementara itu, Pit Kheng Thian sudah berkata pula dengan suara mengejek: "Apakah dengan berdiam da- lam pesanggerahanku, kedudukanmu sebagai Tjiankim Siotjia (nona yang berharga ri buan uang emas) akan ternoda?" "Selama hidupnya, ayahku adalah seorang yang putih bersih!" bentak Sin Tjoe deng an gusar sekali. "Ia menambal pakaian dan membetulkan kerusakan rumah dengan tan gannya sendiri. Kenyataan ini diketahui oleh manusia sedunia. Dengan bicaramu itu, kau menganggap aku sebagai manusia apa sih?" "Kalau begitu, baiklah kita bicara secara ringkas saja," kata Kheng Thian. "Apak ah kau ingin membalas sakit hati atau tidak? Apakah kau bersedia berdiam bersama -sama kami atau tidak?" "Soal membalas sakit hati dan soal berdiam sama-sama kau, adalah dua soal yang tak dapat dicampur adukkan," jawabnya. "Mengenai itu, aku akan minta nasehat guruku." Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa kau a dalah murid Thio Tan Hong," katanya. "Tak heran, jika kau membela gurumu mati-ma tian." "Sesudah mengetahui, bahwa Thio Tayhiap adalah guruku, sepantasnya tak boleh kau mengeluarkan kata-kata yang menyinggung beliau diha-dapanku," kata si nona. "Sakit hatinya sendiri, Thio Tan Hong belum dapat membalas." kata Kheng Thian. " Bagaimana ia bisa membantu kau?" Alis Ie Sin Tjoe berdiri, ia gusar, ia gusar bukan main. "Untuk melawan musuh dari luar, guruku sudah menyampingkan sakit hati pribadinya," kata Sin Tjoe dengan su ara keras. "Orang begitu baru dapat disebut hokiat sejati." "Dulu lain dan sekarang lain," bantah Kheng Thian. "Sekarang ini, orang-orang ga gah di seluruh negeri bangkit dengan serentak oleh karena kaizar sewenang-wenang . Apakah kau mau mengatakan, bahwa mereka memberontak untuk membalas sakit hati pribadi dan tidak dapat dinamakan hokiat ?" Sin Tjoe melirik seraya berkata: "Dalam soal itu, kau tak dapat menyama ratakan semua orang. Apakah kau seorang gagah atau bukan, harus ditunggu dulu buktinya d ikemu-dian hari!" Perkataan itu yang dikeluarkan si nona secara terus terang sudah membikin Kheng Thian jengah dan mu - kanya dirasakan panas. Ie Sin Tjoe kembali memberi hormat dan bergerak untuk b erlalu. "Tahan dulu!" kata Kheng Thian. "Maaf, Pit Toaliongtauw," kata si nona, tidak sabar. "Aku harus berangkat sekarang juga." "Biar pun mau, kau tetap tidak dapat lantas berlalu," kata Kheng Thian sembari t ertawa. "Kudamu menolak untuk membawa kau!" Sembari berkata begitu, ia mendekati kuda putih itu. Mendadak saja, Tjiauwya Say tjoe berbenger keras dan menendang! Pit Kheng Thian meloncat pergi dan berkata s embari tertawa: "Benar-benar kuda mustika! Lagi sakit, masih begitu garang." Sebagai seorang yang sangat cerdas, si nona lantas saja teringat suatu hal. "Pit Toaliong tau w!" katanya dengan suara sungguh. "Kau adalah pemimpin Rimba Hijau dari lima propinsi Utara. Apakah kau tak malu sudah menghina seorang wanita?" "Kenapa begitu?" tanya Kheng Thian. "Apakah kudaku benar-benar sakit? Apakah sakitnya bukan akibat permainan gila seorang manusia?" tanyanya. Pit Kheng Thian terkejut. Walaupun dalam menghadapi urusan besar, nona itu masih ragu-ragu, tapi ia ternyata mempunyai otak yang sangat cerdas. Memang benar jug a penyakit Tjiauwya Saytjoe adalah perbuatan Kheng Thian. Me- lihat nona itu yang berparas sangat cantik dan berilmu silat sangat tinggi, dita mbah lagi ia adalah puteri Ie Kiam dan murid Thio Tan Hong, sedapat mungkin Khen g Thian ingin menahan ia untuk dijadikan pembantu. Maka itu, diam-diam ia memeri ntahkan orang menambahkan semacam obat dalam makanan kudanya. Obat itu bukan rac un, hanya semacam obat yang memabukkan dengan perlahan. Kuda yang telah makan ob at itu, cepat letih dan achir-nya tidak kuat lari lagi. Untuk menyembuhkannya, harus digunakan obat yang dibuatnya sendiri. Demikianlah untuk menahan si nona, dengan melupakan kedudukannya sebagai pemimpi n, Pit Kheng Thian sudah menggunakan siasat yang kurang bagus itu. Tapi sedalam- dalamnya ia bebas dari maksud jahat dan tujuannya, dilihat dari sudutnya, adalah baik sekali. Tidak dinyana, si nona sudah menanya secara begitu, sehingga, deng an segala kegagahan dan kepintarannya, Pit Kheng Thian jadi tergugu. Ia melengos untuk mengegosi sorot mata Ie Sin Tjoe dan kemudian mengambil sebuah kantong kulit yang dicantelkan pada pelana kudanya. "Benar-benar kau mau pergi?" kata Kheng Thian dengan suara menyesal. "Baiklah. Minumkan air dalam kantong ini pada kudamu dan belum setengah jam, kesehatannya akan baik kembali." "Kalau begitu, benar kerjaan dia!" kata Sin Tjoe di dalam hatinya. Sesudah berdiam sejenak, Kheng Thian berkata pula: "Ie Kouwnio, d engan setulus hati, aku coba menahan kau. Tapi karena kau mau berlalu juga, aku pun ta k dapat berbuat lain. Aku hanya seorang kasar yang tidak mengerti cara-cava mena han tamu, sehingga dalam beberapa hal, perbuatanku sudah menggusarkan kau. Ie Ko uwnio1. Dapatkah kita menjadi sahabat?" Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut, sebagian untuk menjelasikan kenapa ia sudah main gila terhadap Tjiauwya Saytjoe dan sebagian pula untuk mengunjuk r asa cintanya. Di lain pihak, mendengar perkataan halus yang keluar dari mulut se orang yang begitu kasar, Ie Sin Tjoe yang masih bebas dari segala rasa cinta antara lelaki dan perempuan, jadi merasa geli dalam hatinya. Akan tetapi, mendengar suara itu yang keluar dari lubuk hati, tanpa merasa jantung si nona jad i berdebar juga. "Pit Toaliong tau w," katanya. "Kau adalah Indjin -ku ( tuan penolong). Kecuali jika kau mencaci guruku, aku selalu merasa berterima kasi terhadapmu. Dari jauh aku mendoakan, agar kau berhasi l dalam usaha yang mulia." Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya, sebagai tanda ia bersedia me njadi sahabat pemuda itu. Dengan heran ia merasakan gemeternya tangan pemuda tersebut. Buru-buru ia melepaskan tangannya yang sedang dijabat dan lalu memberi kan "Guruku tak obat Kheng Thian kepada kuda putihnya. "Jika kau bertemu gurumu, tak ada halangan, kalau kau menyampaikan perkataanku k epadanya," kata Pit Kheng Thian. "Jika ia sudi melukiskan peta bumi itu di luar kepala, aku mohon kau sudi membawa itu kemari. Sebenar-benarnya aku tak mempunya i maksud jelek terhadap gurumu. Hanya oleh karena peta tersebut adalah milik dua keluarga, maka dapatlah di mengerti jika aku menagih padanya." "Baiklah," Sin Tjoe menyanggupi. "Aku akan menyampaikan perkataanmu kepada Soehoe." Ia loncat ke punggung kuda yang, s esudah minum obat, mulai memperoleh kembali tenaganya dan tanpa diperintah, lantas saja mementang ke empat kakinya. "Sampai bertemu pula!" seru Pit Kheng Thian dengan suara sedih. Sang kuda lari s emakin cepat dan dalam sekejap mata, si nona sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. *** Sepuluh hari kemudian, seorang diri, dengan menunggang Tjiauwya Saytjoe, Ie Sin Tjoe masuk ke dalam kota Souwtjioe, di mana Thio Tan Hong mempunyai suatu usaha. Usaha tersebut adalah taman Koay-walim, yang telah dimenangkan Thio Tan H ong dalam perjudian dari tangan Kioetauw Saytjoe In Thian Kian (si Singa Sembila n Kepala). Koaywalim sebenarnya adalah Heng- kiong (istana di luar kota raja yang biasa digunakan oleh kaizar yang sedang pes iar) yang telah dibuat oleh Thio Soe Seng (leluhur Thio Tan Hong), di waktu ia m enjadi kaizar di Souwtjioe. Sesudah Thio Soe Seng kalah dalam peperangan dan har ta bendanya dirampas, istana itu dijual kepada keluarga In dan belakangan dijadi kan sarang judi. Sesudah kembali ke dalam tangan Thio Tan Hong, istana dan taman itu segera diperbaharui dengan seksama. Akan tetapi, Thio Tan Hong adalah seorang yang tidak suka akan keramaian. Ia mem buat sebuah rumah di atas gunung Tongteng san, di telaga Thayouw, dan hidup meng asingkan diri bersama isterinya, sedang pengurusan Koaywalim, diserahkan kepa- da In Tiong dan isterinya, Tantay Keng Beng. Beberapa kali Ie Sin Tjoe pernah me ngunjungi Koaywalim dan begitu tiba di Souwtjioe, ia segera menuju ke taman tersebut untuk menyambangi suami isteri In Tiong. Tapi lekas juga ia menjadi terkejut lantaran pintu taman tertutup dan di atas pi ntu ditempel pembe-riantahu yang bunyinya seperti berikut: Taman ini teiah dibeli olehku. Ditutup untuk sementara waktu, guna diperbaharui. Liong Thian Soe, Pemilik Koaywalim. "Guruku tak kekurangan uang, kenapa ia sudah menjual Koaywalim?" tanya Sin Tjoe dalam hatinya. "Siapa itu Liong Thian Soe? Selain si nona, di depan pintu taman itu terdapat beberapa orang lain yang luntang-lantung. "Ha-ha!" tertawa seorang. "Koaywalim akan pulang asal, jadi tempat judi! Saudara kita bakal mempunyai pencarian lagi. Liong Pangtjoe sudah minta bantuanku." Dilihat romannya dan didengar perkataannya, orang itu tentunya seorang buaya dar at. Sin Tjoe jadi semakin tidak mengerti. "Kalau toh Soehoe mau menjualnya, ia harus memilih pembelinya," katanya di dalam hati. "Kenapa dijual kepada gembong judi? " "Ah!" kata seorang lain sambil menghela napas. "Kalau ada judi, tempat ini bakal tak aman lagi. Menurut cerita orang-orang tua, sepuluh tahun berselang, waktu Koaywalim menjadi sarang judi, setiap hari tentu mesti terjadi pencurian, perampokan dan perkelahian. Anak-anak muda menjadi rusak." "Memang juga lebih baik dalam tangan In Tjonggoan," o ra n g ketiga menyeletuk. "Waktu ia masih mengurus taman ini, meskipun kita tak dapat sembarang keluar mas uk, tapi sebulan dua kali, saban Tjeeit dan Capgo (tanggal 1 dan tanggal 15 menu rut penanggalan Imlek), orang dapat pesiar dengan leluasa dan tenteram. Orang bi sa melihat-lihat kembang, melihat-lihat ikan, mengobrol di bawah pohon siong dan sebagainya. Ah! Kalau sudah menjadi sarang judi, untuk kita si miskin, tak ada tempat lagi untuk menghibur hati." Dilihat dari romannya, orang itu mes- tinya seorang Sioetjay (gelar seorang sastera-wan) miskin. "Apakah dulu, pemilik taman ini seorang Tjonggoan?" tanya Sin Tjoe. "Siauwko, apakah kau datang dari tempat lain?" tanya si sastera-wan. "Masa kau b elum pernah mendengar nama Boetjonggoan In Tiong yang kesohor? Boetjonggoan itu bukan saja paham ilmu silat dan pernah jadi jenderal, tapi juga tinggi ilmu sura tnya. Coba lihat! Bagaimana ia menghias taman ini! Angker dan indah!" Ie Sin Tjoe tertawa. "Mana kau tahu, bahwa pemilik taman ini adalah guruku," kat anya di dalam hati. "Segala sesuatu dalam mengatur dan menghias taman ini, semua -muanya menurut petunjuk Soehoe." "Kenapa Siauwko tertawa?" tanya Sioetjay itu. "Kalau benar Tjonggoan, tentu tidak kekurangan uang," jawabnya. "Kenapa taman in i dijual kepada orang yang mau membuka tempat judi?" "Siauwko," kata Sioetjay miskin itu. "Ada sesuatu yang kau tak tahu. In Tjo nggoan sekeluarga sudah pindah semua. Dan Liong Pangtjoe itu... hm..." Si buaya darat mendelik sehingga saste-rawan itu jadi keder dan berkata pula den gan suara perlahan: "Sudah lama Liong Pangtjoe ingin membuka tempat judi dan keb etulan ada tempat yang cocok, ia lantas membelinya." Ie Sin Tjoe heran bukan main. Kenapa In Tiong sekeluarga pindah ke lain tempat? "Ke mana In Tjonggoan pindah?" tanyanya. Si buaya darat tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Apakah kau kira dia ini pentolan, sehingga In Tjonggoan sudah begitu perlu memberitahuka n ia ini ke mana pindahnya? Jika begitu jempol, dia ini tentu tidak berkawan den gan orang-orang seperti kami." Sioetjay miskin itu kelihatan jengkel sekali. "Meskipun sudah pernah menjabat pa ngkat tinggi, In Tjonggoan tidak banyak tingkah," katanya. "Bahwa In Tjonggoan dan aku pernah bercakap- cakap, sama sekali bukan kejadian luar biasa." Tapi Sioetjay ini memang tak tahu ke mana In Tiong pindah dan si buaya darat jadi tertawa terlebih besar dan teru s mengejeknya. Ie Sin Tjoe yang tidak mempunyai kegembiraan untuk mende- ngarkan pertengkaran mereka, lantas saja berlalu dengan pikiran kusut. Ketika me mbiluk di ujung jalan, mendadak ia melihat dua orang, yang rasanya tak asing lag i baginya, sedang membuntutinya. Si nona menghentikan tindakannya dan mengawasi mereka. Segera juga ia mengenali, bahwa mereka adalah dua perwira itu yang bersama Hoan Eng telah berkunjung ke kampung Thio Hong Hoe. Kedua perwira itu lantas saja mendekati dan sesudah mengawasi beberapa saat, mer eka mengenali si baju putih. "Ah! Siauwko," kata perwira she Liok. "Bukankah kau yang pernah bertempur dengan Loohoan?" "Kenapa?" kata si nona. "Apa kamu mau tolong membalaskan sakit hatinya?" Mereka tak meladeni pertanyaan Sin Tjoe yang garang. "Apa belakangan kau pernah bertemu lagi dengan Loohoan?" tanya perwira she Ie. Ie Sin Tjoe merasa geli dalam hatinya dan balas menanya: "Kalau ketemu kenapa? D an kalau tidak ketemu, kenapa?" "Loohoan telah menjanjikan kami untuk bertemu pula di tepi telaga Thayouw, tapi sesudah kami menunggu belasan hari, belum juga muncul," perwir a she Liok menerangkan. "Untuk apa ia berjanji begitu?" si nona sengaja menanya. Kedua perwira itu jadi gaga gugu, mereka tak berani bicara terus terang. Dalam hati Sin Tjoe lantas saja timbul rasa kasihan. Ia mengetahui, mereka sedan g berada dalam ketakutan hebat. Maka itu, sembari tertawa ia lantas saja berkata: "Hoan E ng menjanjikan kalian bertemu di sini untuk bersama-sama mencari Thio Tan Hong dalam usaha mengambil p ulang uang negara yang berjumlah tiga puluh laksa perak. Bukankah begitu?" Mereka terkesiap mendengar perkaraan itu. Mengingat liehay-nya si baju putih, me reka mengetahui "pemuda" itu bukan orang sembarangan. Maka itu, sesudah dapat me netapkan jantungnya yang ber-goncang keras, si perwira she Ie segera menyahut: "Benar. Sesudah bertempur, kau dan Loohoan lalu mengikat tali persahabatan, bukan? Apaka h Loohoan yang memberitahukan hal ini kepada- mu?" "Apa kalian sudah bertemu dengan Thio Tan Hong?" Ie Sin Tjoe balas menanya. Mereka lantas saja mengatakan, bahwa tanpa diantar oleh Hoan Eng, mereka tidak b erani menemui Thio Tan Hong. Sin Tjoe bersenyum dan berkata: "Sudahlah kalian tak usah menunggu lagi. Tiga pu luh laksa tahil itu sudah dibayar pulang dan sudah diantar oleh orang lain kepad a yang harus menerimanya. Tapi atasanmu sudah dipecat, sehingga kalian harus bur u-buru pulang ke Ouwpak. Jika Yamoensoe baru sudah menjabat pangkatnya dan kalia n belum melaporkan diri, mungkin kalian juga akan dipecat." Mereka kaget berbareng girang dan hampir- hampir tak percaya apa yang dikatakan Sin Tjoe. "Malam ini kalian boleh tidur dengan tenang," kata pula Sin Tjoe sembari berseny um dan lantas meninggalkan kedua perwira itu. Di luar tahunya, pembicaraan merek a sudah dapat didengar oleh dua pahlawan istana yang dengan diam-diam segera membuntuti puteri Ie Kiam ini. Besok paginya, dengan menunggang si putih, Sin Tjoe pergi ke pinggir telaga, di mana biasanya terdapat banyak sekali perahu, tapi sekarang hanya kelihatan sebua h perahu kecil yang ditambat di bawah pohon yanglioe. Si nona heran dalam hatinya. Waktu itu adalah buntut musim semi yang sangat coco k untuk pesiar di telaga, yang biasanya ramai sekali. Kenapa sekarang begitu sunyi? Begitu melihat Ie Sin Tjoe, si pemilik perahu, seorang yang alisnya tebal, matan ya besar dan badannya tinggi kasar, lantas membuka tambatan dan menanya sembari tertawa: "Apa Siangkong (tuan) mau pesiar?" "Benar," jawah Sin Tjoe. "Antar aku ke sebelah barat Tongteng san." "Bagus! Bagus!" kata orang itu. "Kudamu benar bagus. Mari aku tuntun." Indah sungguh pemandangan telaga Thayouw. Dengan dikipasi angin musim semi yang sejuk, sambil memandang gelombang yang berwarna biru dan puncak-puncak di tengah telaga tersebut, seorang pelancong seakan-akan berada di tempat dewa-dewa. Tapi si nona tak mempu- nyai kegembiraan untuk menikmati pemandangan alam itu lantaran hatinya berdebar- debar mengingat ia sudah berada dekat sekali dengan Soehoe dan Soebo-nya. Ia ber diri bengong, ia melamun. Mendadak matanya melihat dua buah perahu besar yang se dang berlayar ke arah perahunya. Dua perahu itu bukan perahu pesiar dan di setia p kepala perahu berdiri seorang lelaki yang berbadan tinggi dan yang terus menga wasi Sin Tjoe. Si nona terkejut, ia tak mengerti kenapa dua orang itu begitu kur ang ajar. Tiba-tiba si pemilik perahu berkata dengan suara menyeramkan: " Loohoe selamanya hidup di pinggir telaga, tak suka bergaul, paling suka uang. Ha-ha! Sungguh muju r, pagi ini bertemu dengan kambing gemuk!" Ie Sin Tjoe terperanjat, "Apa katamu?" tanyanya. "Siangkong," jawabnya. "Numpang tanya: Kau lebih suka mie golok atau mie pa ngsit." "Apa artinya mie golok? Apa artinya mie pangsit?" tanya si nona. Si pemilik perahu lalu membuka papan perahu dan mengambil sebatang golok. "Mie g olok adalah ini, sekali sabet, kau menjadi dua potong," katanya sembari menyabet kan goloknya diudara. "Mie pangsit yaitu: Kau diikat keras-keras dan plung, kau masuk ke dalam air!" "Binatang! Tengah hari bolong kau berani merampok dan membunuh?" bentak Sin Tjoe dengan suara gusar. "Lekas keluarkan semua milikmu!" si peram- pok balas membentak. "Baiklah, aku mengampuni jiwamu, tapi kau mesti mengikut ak u." Dua perahu besar itu semakin lama jadi semakin dekat. "Hei! Mau apa rewel-rewel!" teriak si lelaki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu. "Lempar saja ke air, biar dia setengah mampus! Ha-ha! Kemudian baru dis erahkan pada Yang Toatjongkoan." "Baiklah, kasi dia makan mie pangsit dulu," jawab si perampok. Dengan tangan kir i menyekal golok dan tangan kanan memegang tambang, ia mendekati Ie Sin Tjoe. Tiba-tiba saja, berbareng dengan diayunnya tangan si nona, suatu sinar emas meny ambar dan, tanpa mengeluarkan suara, si pemilik perahu kecebur ke dalam air! Ter nyata lehernya sudah ditembuskan sekuntum bunga emas. Dia berdiri yang lebih dulu maka n "mie pangsit"! Ie Sin Tjoe sebenarnya sungkan menurunkan tangan kejam. Akan tetapi, sesudah men dengar teriakan si lelaki tinggi besar, ia mengetahui, bahwa kawanan itu bukan p erampok biasa dan dalam gusarnya, ia tak main kasihan lagi. Badan si pemilik per ahu tenggelam timbul beberapa kali dan kemudian lenyap dari permukaan air. "Bagus! Liehay juga bocah itu!" seru si tinggi besar. Ia lalu memerintah anak bu ah kedua perahu itu agar menggayuh lebih cepat dan menjepit perahu Sin Tjoe deng an dua perahu besar itu. Begitu si pemilik kecebur, perahunya terputar beberapa kali. Sin Tjoe tak pandai berenang dan juga tak dapat mengemudikan perahu. Dalam gusar nya, ia mengayun kedua tangannya, masing-masing melepaskan tiga kuntum bunga emas yang menyambar ke arah tiga jala n darah setiap lelaki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu. Mereka adalah Wie-soe (pahlawan) kelas satu dari istana kaizar. Yang berdiri di perahu sebelah kiri adalah Yo Tjian Kin, sedang yang di sebelah kanan adalah Kim Ban Liang. Yo Tjian Kin yang bertenaga besar segera menyam-pok jatuh tiga bunga emas itu dengan rantai besinya. Kim Ban Liang yang pandai berkelit, sudah menan g- kis dengan goloknya sambil mengegos ke kiri kanan. Ia menyampok jatuh sekuntu m bunga emas dengan goloknya dan mengelit dua bunga lainnya, yang kemudian menancap di papan perahu. Ie Sin Tjoe melepaskan senjata rahasianya dari jarak belasan tombak dan bahwa dari jarak begitu jauh ia masih dapat menimpuk begitu jitu, sudah membikin kedua Wiesoe itu menjadi kaget dan tak berani datang terlalu dekat. Tapi di lain saat, mereka sudah mengetahui, si baju putih tidak mengenal ilmu be renang. Yo Tjian Kin tertawa berkakakan, "Kunjungan harus dibalas dengan kunjung an!" ia membentak sambil menimpuk dengan Tiattha ("Nyali-besi"), yang ditujukan bukan ke arah Sin Tjoe, tapi ke perahunya . Tiattha itu yang beratnya beberapa kati, lantas saja membikin papan pe- rahu berlubang dan air telaga mulai mengalir masuk. Sin Tjoe terkejut dan Tiatth a kedua sudah menyambar pula. Buru-buru ia mengeluarkan dua bunga emas dan menim puk dengan menggunakan seantero tenaga dalamnya. Tiattha itu ketahan di tengah udara dan jatuh ke dalam air di pinggir perahu, se hingga air telaga muncrat tinggi dan berombak keras. Perahu itu terputar-putar b eberapa kali dan Sin Tjoe merasakan matanya berkunang-kunang, hampir-hampir ia muntah. Yo Tjian Kin kembali tertawa berkakakan. "Ambil batu penindih perahu!" ia berter iak. "Lebih dulu aku mau menenggelamkan perahu bocah itu." Sebagaimana diketahui, perahu-perahu yang muatannya sedikit, bergoncang keras jika bertemu angin dan ombak besar. Mak a itu, anak buah perahu yang berpengalaman selalu menaruh batu-batu besar di das ar perahu yang muatannya enteng, untuk meneguhkan kedudukan perahu itu. Disetiap perahu besar yang sedang menggenjet perahu Ie Sin Tjoe, hanya terdapat tiga orang, yaitu dua pemegang ke mudi dan seorang melayani si nona. Selain itu, kedua perahu tersebut tidak memba wa barang. Maka di saban perahu terdapat batu-batu besar yang beratnya sama seka li dua tiga ribu kati. Begitu diperintahkan, anak buah perahu itu lantas saja menggotong naik beberapa batu besar. Yo Tjian Kin tertawa berkakakan seraya berteriak: "Bocah! Sambutlah ini!" Ia mengerahkan tenaga dalamnya, membuat sebuah lingkaran dengan kedua lengannya dan kemudian melontarkan sebuah batu yang beratnya hampir seratus kati. Batu itu jatuh ke dalam air, di dekat perahu Sin Tjoe. Air telaga berombak keras sehingga perahu Sin Tjoe terputar dan miring. Buru-buru si nona mengerahkan ilmu Tjiankin toei dan memusatkan seluruh tenaga kepada kedua kakinya yang menginjak perahu itu keras-keras. Untuk menetapkan perahu yang didampar ombak dengan menggunakan ilmu Tjiankin toei, orang harus me mpunyai Iweekang dan gwakang yang sama tingginya. Ie Sin Tjoe sudah mewarisi ilmu Iweekee (ilmu dalam) dari Thio Tan Hong, tapi oleh karena usianya masih san gat muda, gwakang-nya belum dapat menyamakan tenaga dalamnya ( Iweekang). Maka i tu, perahunya masih terus terputar-putar dan miring ke kiri kanan, sehingga si nona merasakan kepalanya pusing. Lagi-lagi Yo Tjian Kin mengeluarkan tertawa girang dan melontarkan pula sebuah b atu besar yang jatuh di sebelah kiri perahu Sin Tjoe. Air telaga muncrat, sehing ga pakaian si nona menjadi basah dan ombak jadi semakin hebat. Sambil membentak keras, Yo Tjian Kin melemparkan batu ketiga yang jatuh di sebelah kanan perahu Sin Tjoe! Dapat dibayangkan hebatnya ombak itu yangn menggencat dari kiri dan kanan. Perahu Sin Tjoe terputar, miring, tenggelam timbul, beberapa kal i hampir-hampir ditelan ombak. Mata si nona berkunang-kunang, kepalanya pusing. "Wah!" ia muntahkan semua makanan yang telah dimakan pagi tadi. Ia kaget dan gusar, tapi seluruh badannya lemas. Sementara i tu, Yo Tjian Kin sudah mengangkat batu yang ke empat. Jika batu itu dilemparkan, perahu Sin Tjoe pasti akan tenggelam. Di saat yang sangat genting itu, berbareng dengan suatu siulan panjang dan nyari ng, di tengah telaga mendadak munjul sebuah perahu kecil yang mendatangi bagaika n anak panah yang baru terlepas dari busurnya. Dengan cepat, perahu itu sudah me nyelak di antara perahu Sin Tjoe dan dua perahu besar itu. "Apakah kau mau cari mampus?" teriak Yo Tjian Kin. Dari dalam perahu itu sekonyong-konyong muncul seorang yang berkata sembari tert awa: "Di siang hari bolong, kau berani merampok dan membunuh! Apakah kau kira du nia ini milikmu sendiri?" Suara itu nyaring sekali, seperti suara anak kecil. Mendengar suara itu, yang agaknya tak asing baginya, Sin Tjoe yang sedang mabuk jadi bergoncang hatinya. Ia membuka kedua matanya dan ternyata yang muncul dari perahu itu adalah bocah yang mengenakan pakaian serba hitam, dengan tudung hitam dan lantaran mukanya juga berwarna hitam, kedua matanya yang bersinar terang kelihatan menyolok sekali. Sebab kepalanya pusing, Sin Tjoe tidak dapat lantas mengenali siapa adanya bocah itu. "Binatang kecil yang tak kenal mampus!" Yo Tjian Kin membentak. "Kau juga gegare s sebuah batu!" Dengan suara "jebiur!", batu ke empat dilontarkan ke arah perahu si hitam yang lantas saja terbalik dan tenggelam di antara ombak-ombak besar. Ie Sin Tjoe terperanjat. Sekonyong-konyong ia merasakan seakan-akan perahunya didorong orang, sekali mele sat belasan tombak dan dalam sekejap mata sudah keluar dari lingkungan ombak-omb ak besar. Itulah suatu kejadian yang benar tidak diduga-duganya. Begitu berada di air tenang, mabuknya lantas agak reda dan sesudah menjalankan pernapasannya, tenaganya segera juga ke mbali. Buru-buru ia menjembat penggayuh dan menggayuh secepat mungkin. Walaupun tidak mengerti ilmu main perahu, akan tetapi di air te nang dan karena perahu itupun bergerak mengikuti aliran air, dapat juga ia menjalankannya. Mengingat si bocah, Sin Tjoe menengok ke belakang. Ia melihat perahu si hitam me ngambang terbalik di atas permukaan air, sedang si hitam sendiri tidak kelihatan bayang-bayangannya, mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Si nona berduka sa ngat dan berkata dalam hatinya: "Hai! Dengan kenakalannya itu, secara kebe- tulan ia sudah menolong jiwaku, tapi ia sendiri harus mengorbankan ji wa." Tiba-tiba Yo Tjian Kin berteriak-teriak dengan kegusaran hebat. Ternyata perahunya sedang terputar-putar dan miring ke s ana sini. "Ada orang main gila di bawah air!" seru salah seorang anak buahnya dan seorang antaranya lantas loncat ke air. "Kim Toakol" teriak Yo Tjian Kin. "Tolong kau mengubar bocah yang sedang kabur i tu!" Saat itu, jarak antara perahu Kim Ban Liang dan Ie Sin Tjoe kira-kira dua puluh tombak. Tenaga orang she Kim itu tidak sebesar kawannya, sehingga ia tak mampu m enimpuk musuh dengan batu besar. Tetapi ia pandai main perahu dan dalam tempo tak lama, ia sudah mengubar semakin dekat. Ie Sin Tjoe segera me ngayun tangannya dan melepaskan lima bunga emas yang menyambar ke beberapa jurus an. Sekuntum bunga emas yang menyambar Kim Ban Liang kena dipukul jatuh dengan g oloknya, tapi dua bunga lainnya mengenakan jitu pada tambang layar yang lantas p utus dan layarnya jatuh, sehingga lajunya perahu itu jadi tertahan. Berbareng de ngan itu, dua kuntum bunga emas lain menyambar ke arah dua pengemudi perahu. Pengemudi yang berdiri di sebelah kiri masih dapat berkelit, tapi yang di sebela h kanan kena disambar jitu, sehingga tanpa mengeluarkan suara, ia terguling ke d alam air. Kim Ban Liang terkesiap dan sementara itu, perahu Sin Tjoe sudah terpisah lebih dari dua puluh tombak. Dengan gusar, Kim Ban Liang mengambil penggayuh untuk coba me ngubar lagi. Tapi mendadak ia mendengar teriakan Yo Tjian Kin: "Kim Toako\ Balik !" Ia menengok dan melihat air telaga berwarna merah, sedang mayat anak-buah perahu yang tadi terjun dan menyelam ke dalam air, ketika itu sudah mengambang di atas air. Lebih celaka lagi, air telaga mengalir masuk ke dalam perahu itu yang sege ra mulai tenggelam dengan perlahan. Ternyata anak buah perahu itu telah dibinasakan si hitam yang juga sudah membocorkan pera hu tersebut, Yo Tjian Kin yang tidak pandai be- renang, jadi ketakutan dan buru-buru mente-riaki kawannya. Dengan terpaksa, Kim Ban Liang melepaskan si baju putih dan membilukkan perahuny a untuk menolong Yo Tjian Kin. Dengan sekuat tenaga, Kim Ban Liang dan seorang a nak buahnya menggayuh perahunya, yang terpisah kira-kira lima puluh tombak dari perahu Yo Tjian Kin. Ketika sudah berdekatan, perahu Yo Tjian Kin sudah hampir tenggelam seluruhnya d an kaki orang she Yo itu yang berdiri di kepala perahu, sudah kerendam air. Peng emudi perahu yang satunya lagi buru-buru terjun ke dalam air, tapi beberapa saat kemudian, air telaga mendadak berubah merah dan ia mengalami nasib seperti kawa nnya. Begitu kesambar bunga emas di tenggorokannya, tukang perahu itu lantas terjungka l ke dalam air. Sesudah itu, dengan hati berdebar, Ie Sin Tjoe mengawasi dua per ahu besar itu yang semakin lama jadi semakin dekat. Melihat keadaan mendesak, sembari melemparkan papan, Kim Ban Liang bert eriak "Yo Toakol Lihat ini!" Yo Tjian Kin loncat dan kedua kakinya hinggap di atas papan. Sekonyong-konyong b ocah hitam itu muncul di permukaan air dan menarik papan yang sedang diinjak Yo Tjian Kin. "Orang gede!" katanya sembari tertawa ha-ha hi-hi. "Mari turun main-m ain!"f2 Dengan mata merah, Yo Tjian Kin menghantam sekuat tenaganya. Pukulan itu hebat l uar biasa, air telaga muncrat tinggi. "Tak kena!" teriak si hitam sembari menyelam. Tak usah malu Yo Tjian Kin menjadi pahlawan kelas satu di istana kaizar! Pada de tik yang sangat berbahaya itu, ujung kaki- nya menotol papan dan badannya segera melesat ke atas setombak lebih! Selagi ber ada di tengah udara, ia memutarkan badan dan di lain saat, kedua kakinya hinggap di atas perahu Kim Ban Liang! "Bangsat kecil itu benar-benar seperti setan air," katanya, tersengal-sengal. "K im Toako\ Coba kau turun !"f2 Sambil menyekal sumpitan anak panah, Kim Ban Liang segera terjun dan selulup. Ia berdiam di dalam air tanpa bergerak, dengan niatan membokong si hitam dengan an ak panahnya. Tidak lama kemudian, dalam jarak beberapa tombak, ia melihat berkel ebatnya bayangan hitam yang gerakannya gesit luar biasa, seperti juga seekor ika n terbang. Bayangan itu lewat di depannya dan menuju ke arah perahu Ie Sin Tjoe. Kim Ban Liang coba mengubar, tap i kepandaiannya ternyata masih kalah jauh, sehingga sesudah mengu-dak beberapa l ama, dengan mendongkol ia terpaksa kembali ke perahunya. Di lain pihak, sesudah terlepas dari bahaya, perlahan-lahan Ie Sin Tjoe menggayu h perahunya. Ia menengok dan dengan terkejut, ia mendapat kenyataan bahwa sebuah antara dua perahu besar itu sudah tenggelam. Sekarang ia mengetahui, bahwa itu semua adalah pekerjaan si bocah hitam. Ia merasa kagum dan tidak mengerti, bagai mana bocah itu bisa memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Lapat-lapat ia ing at bahwa ia pernah bertemu dengan bo- cah tersebut, akan tetapi ia lupa bila dan di mana. Selagi mengingat-ingat, pera hunya mendadak bergoncang dan di lain saat, perahu itu mendadak melesat ke depan , didorong orang dari dalam air. "Hei! Anak nakal! Lekas naik!" teriak si nona. Tapi teriakan itu tidak diladeni, sedang perahunya laju bagaikan terbang. Dalam tempo sekejap, perahu itu sudah tiba di kaki Tongteng san barat. Baru saja perahu itu menempel pada tepi telaga, Tjiauwya Saytjoe ber-benger keras. "Sudah hampir sampai rumah," kata Sin Tjoe sembari tertawa. "Untuk apa kau berte riak-teriak?" Dengan menuntun si putih, ia lantas naik ke darat. Sekonyong-konyo ng sesosok bayangan hitam loncat keluar dari dalam air, yang bagaikan kilat sudah mengusap kepala dan muka Sin Tjoe dengan kedua tangannya yang berlumpur! Si nona menyampok dengan tangannya, tapi bayangan itu sudah melesat ke gili-gili . "Hayo, udak jika kau bisa!" ia berteriak sembari tertawa haha hi-hi. "Hm! Baru sekarang aku tahu, kau bukan bocah, tapi nona besar!" Ie Sin Tjoe mengawasi dan segera juga ia mengenali, bahwa si nakal bukan lain da ripada Siauw Houwtjoe, putera Thio Hong Hoe! Girangnya si nona tidak kepalang. " Waktu mau menutup mata, Thio Hong Hoe telah minta Hoan Eng menyampaikan kepada g uruku, supaya ia mencari anak itu dan mengambilnya sebagai murid," kata Sin Tjoe di dalam hatinya. "Ketika itu, aku tak tahu sampai kapan bisa dapat menemukan ia. Tak dinyana, seb aliknya dialah, yang sudah lebih dulu berada di sini." Kegusaran Sin Tjoe lantas saja seperti ditiup angin. "Siauw Houwtjoe!" ia berter iak. "Bocah nakal! Aku mau lihat, ke mana kau mau lari?" ia mengudak untuk membe kuk si hitam. "Aku tak suka main dengan anak perempuan!" teriak si hitam sembari kabur dan bag aikan seekor kera dalam sekejap mata ia sudah merghilang di antara pohon-pohon y ang rindang. Ie Sin Tjoe bengong. Sekarang baru ia mengetahui, bahwa ikat kepalanya telah dit arik oleh si nakal, sehingga rambutnya awut-awutan, muka dan pakaiannya juga sud ah kotor penuh lum- pur. Sesaat itu, dua orang dusun kelihatan mendatangi dari kejauhan. Sin Tjoe ya ng merasa malu untuk bertemu orang dengan muka dan pakaian kotor, buru-buru kemb ali ke perahu untuk membereskan rambutnya, mencuci muka dan tukar pakaian. Waktu ia keluar lagi, bukan saja Siauw Houwtjoe, tapi dua orang itu juga sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Dengan penuh kesangsian, si nona mendaki gunung. "Biar pun Siauw Houwtjoe pintar , tapi jika tak ada yang menuntun, mana bisa ia mencari sampai di sini?" pikir S in Tjoe. "Baru berselang sebulan lebih, ilmu silatnya sudah maju begitu jauh. Ta k salah lagi, ia tentu telah mendapat petunjuk-petunjuk se- orang berilmu. Tapi siapakah orang itu? Apakah guruku sendiri? Mungkinkah Soehoe sudah mengetahui segala kejadian dan lalu mencari si nakal yang lantas diambil sebagai muridnya?" Sembari berpikir, si nona berjalan terus dan tanpa merasa ia sudah tiba di tenga h-tengah gunung. Tongteng san barat adalah gunung yang penuh dengan bunga dan bu ah-buahan. Di kaki gunung, sawah berderet-deret, di atas gunung, pohon buah samb ung menyambung. Waktu itu adalah buntut musim semi, musim yang sangat repot untu k petani. Akan etapi di sepanjang jalan, di kaki gunung si nona tidak melihat pe tani yang menggarap sawah dan di lereng gunung, ia tidak mendengar suara nyanyian nona-nona pemetik teh. Kecuali dua orang dusun itu, baik di sawah maupu n di kebun buah-buahan, keadaan sunyi senyap dan tak tampak manusia lain. Itulah keadaan yang luar biasa, yang sudah membikin hati Sin Tjoe tidak enak sekali. I a mempercepat tindakannya, menuju ke arah perkampungan di mana rumah gurunya ber diri. Tongteng santjhoeng dahulu adalah milik Tantay Tiong Goan, mertua In Tiong. Bela kangan, sesudah in Tiong suami isteri berdiam di Koaywalim, rumah itu diserahkan kepada keluarga Thio Tan Hong. Santjhoeng (rumah di daerah pegunungan) tersebut berdiri di lereng gunung yang penuh dengan pohon-pohon dan meskipun tidak sea ngker Koay- walim, tapi dengan ranggon-ranggonnya dan pemandangan alamnya yang sangat indah, rumah tersebut mempunyai keindahan yang sukar dicari bandingannya. Begitu tiba di depan rumah, hati si nona lapang dan lega, dengan perlahan ia men getuk pintu. "Aku pulang!" ia berseru dengan suara nyaring. Sebagai seorang yang menjadi besar di Tongteng santjhoeng, suaranya dikenal oleh semua orang di sekitar situ. Tapi, kali ini, sesudah memanggil-manggil tiga kaii, belum juga ia mendapat jawa ban. Sin Tjoe sangat heran. Ia menolak pintu yang lantas saja terbuka, tapi di d alam tidak terdapat seorang manusia pun. "Soehoe1. Aku pu- lang!" teriak si nona. Suaranya yang nyaring berkumandang dalam taman Santjhoeng yang sunyi senyap. Sin Tjoe bergidik dan mengawasi sekitarnya. Ia melihat bunga -bunga, pohon-pohon, beberapa pen-dopo, air yang mengalir di sela-sela batu... s eluruhnya tiada bedanya dengan keadaan biasa. Hati si nona jadi berdebar-debar. Ia jalan mengi-tari sebuah gunung-gunungan, melewati sebuah lorong panjang dan teru s menuju ke kamar berlatih silat Soebo-nya (In Loei). "Soehoe1. Aku pulang!" ia memanggil sembari mengetuk pintu, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Ia menolak pintu itu dan mendapat keny ataan, bahwa kamar itu kosong melongpong, malah tulisan-tulisan dan gambar-gambar juga sudah hilang. "Apakah Soehoe juga pindah?" ia menanya dirinya sendiri dan kemudian berlari-lar i ke kamar buku Thio Tan Hong. Ia menolak pintu dan hatinya lagi-lagi terkejut. Kecuali gambar "Sungai Tiangkang di Musim Rontok", lukisan Thio Tan Hong, dalam kamar itu tidak terdapat suatu apa lagi. Di atas gambar itu terdapat sebuah syai r yang ia belum pernah lihat dan yang agaknya baru saja ditambahkan pada gambar itu. Syair tersebut kira-kira berarti seperti berikut: Siapakah, yang menyanyikan lagu-lagu Souw-hang (Souwtjioe dan Hangtjioe) yang pe nuh kesedapan? Bunga teratai sepuluh iie, bunga Kwi di musim rontok, Siapa nyana bunga dan pobon yang tak berperasaan, Dapat menyeret lembah Tiangkang ke dalam kesengsaraan,' Itulah syair yang sering sekali dihafalkan gurunya. Sering sekali, sesudah mengh afalkan syair tersebut, Thio Tan Hong tertawa berkakakan, akan kemudian menangis sesenggukan. Membaca tulisan sang guru yang melukiskan penderi taannya, Sin Tjoe jadi merasa lebih tidak enak di dalam hatinya. "Apakah Soehoe telah menemui bencana?" ia menggerendeng seorang diri. Tapi seger a juga ia membantah pertanyaannya sendiri. "Tak bisa! Hal itu tak mungkin terjad i," katanya di dalam hati. Sama sekali ia tidak percaya, bahwa gurunya yang berkepan daian begitu tinggi, bisa menemui bahaya yang di luar dugaan. Tapi, biar bagaimana pun juga, semakin lama ia jadi semakin bingung. Ia masuk ke luar kamar, pergi ke berbagai peloksok, tapi tetap tak dapat menemui siapa juga. la berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi yang menyahut hanya kumandang suara nya sendiri. Paling achir, ia pergi ke kamar tidur Thio Tan Hong. Begitu tiba di depan kamar, dari sela-sela pintu, ia mengendus harumnya kayu garu yang sangat disukai In Loei dan sering-sering dibakar dalam kamar tidurnya. "Kenapa siang hari bolong, Soehoe dan Soebo masih mengumpat dalam kamar?" tanya si nona dalam hatinya. Ia menanya begitu hanya untuk menghibur dirinya sen- diri. Ia sudah melihat perubahan aneh dan dalam hati kecilnya ia merasa, bahwa p asti sudah terjadi sesuatu yang luar biasa. Beberapa saat ia berdiri bengong di luar kamar dan kemudian mengetuk pintu denga n perlahan. "Soehoe1." ia memanggil. "Aku sudah pulang." Oleh karena tidak mendapat jawaban, ia menempelkan kupingnya pada pintu. Ia hera n bukan main lantaran lapat-lapat. kupingnya menangkap suara orang bernapas. "Apakah Soehoe sedang tidur siang?" tanyanya di dalam hatinya dan sesudah bersan gsi beberapa saat, perlahan-perlahan ia menolak pintu. Begitu masuk, Ie Sin Tjoe yang tabah dan gagah berani, hampir-hampir mencelat ba hna kagetnya. Di atas dua pembaringan, masing-masing terdapat manusia yang duduk ber sila. Orang yang bersila di pembaringan sebelah kiri hitam mukanya dan hitam pul a kulitnya, sedang yang bersila di pembaringan sebelah kanan, putih sekujur bada nnya, malah kedua alisnya juga putih meletak dan kelihatannya sungguh menakutkan. Kecu ali perbedaan warna kulit, potongan badan dan roman kedua orang itu sangat sama, seperti juga saudara kembar. Rambut mereka ikal, hidung mereka bengkok, mulut m ereka seperti mulut singa, sedang mata mereka celong ke dalam. Dengan sekali mel irik, si nona mengetahui, bahwa mereka adalah orang asing. Badan mereka mengelua rkan bau seperti kam- bing yang tidak dapat ditindih dengan harumnya kayu garu. Masuknya Ie Sin Tjoe seperti juga tidak diketahui mereka yang tetap bersila di a tas ranjang. Mereka berdua tidak memakai sepatu dan di atas sprei yang putih ter lihat tapak-tapak kaki kotor. Ie Sin Tjoe jadi sangat gusar dan sembari menuding ia membentak: "Hei! Siapa kam u? Kenapa begitu tak tahu adat?" Mereka terus me-ramkan mata dan tak menggubris bentakan si nona. Sin Tjoe jadi s emakin gusar. "Hei!" ia membentak pula. "Kamar ini adalah kamar tidur guruku. Si apa memperkenankan kamu masuk dan mengotorkan ranjang itu?" Kedua orang aneh itu membuka mata mereka dan empat sinar tajam menyapu Ie Sin Tjoe, tapi di lain saat, mereka kembali meram-kan mata. Thio Tan Hong dan In Loei adalah orang-orang yang sangat memperhatikan kebersiha n dan kamar mereka selalu dirawat dengan seksama. Melihat lagak kedua orang itu, si nona tak dapat menahan sabar lagi. "Kalau kamu masih tetap tak meladeni, aku tidak akan berlaku sungkan lagi," katanya sembari mendorong orang yang bermuka hitam. Seketika itu juga, si nona terkesiap karena tangannya hanya menyentuh sesuatu yang lembek sebagai kapas. Sekarang ternyata, manusia aneh itu mempunyai Iweekang yang luar biasa tingginya. Selagi memutar ba dan, ia mendengar si orang aneh di sebelah kanan tertawa terbahak-bahak. Dengan gusar, ia menghantam jalan darah Dj oanma hiat di pinggang orang itu. Lagi-lagi, dengan terkejut, ia menarik pulang tangannya, karena kali ini, tangan itu seperti kebentrok dengan papan besi yang sangat panas. Tapi badan orang yang terus tertawa itu juga bergo yang sedikit. Dengan gusar, si nona lalu menghunus pedang. "Pergi!" ia membentak. "Mana boleh kau mengotorkan kamar Thio Tayhiap1." Pedangn ya berkelebat dan menikam pinggang si muka hitam. Senjata Sin Tjoe adalah pedang mustika yang telah dihadiahkan oleh In Loei kepad anya. Pedang tersebut dinamakan Tjengbeng Pokiam dan dengan Pekin Pokiam milik T hio Tan Hong, merupakan pasangan setimpal. Yang satu pedang untuk pria dan yang lain pedang perempuan. Sepuluh tahun lamanya Hian Kie Itsoe telah mengolah kedua sen jata tersebut yang tajamnya luar biasa dan dapat memapas besi seperti membacok l umpur. Berkat ketajamannya, kedua pedang itu dapat menobloskan tubuh orang-orang yang m empunyai ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk). Karena darahnya meluap, si nona sudah menikam si muka hitam dengan pedang mustik anya. Akan tetapi, baru saja tangannya meluncur, hatinya sudah agak menyesal dan ia lalu menikam ke bagian tubuh yang tidak berbahaya den gan hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Tapi, baru saja ujung pedangnya melanggar pakaian orang itu, si nona merasakan s enjatanya "terpeleset" dan melejit ke samping. Si muka hitam tertawa terbahak-bahak. "Jika kau ingin tolong menggaruk badanku y ang gatal, gunakanlah tenaga yang lebih besar!" katanya. Sin Tjoe menjadi kalap tanpa memikir pula, ia mendorong senjatanya dengan sepenuh tenaganya. "Bret!" baju orang itu robek dan si nona terkesiap, kuatir kalau orang aneh itu jadi binasa. Buru-buru ia menarik pulang senjatanya, tapi lagi-lagi ia terkejut oleh karena Tjengbeng kiam seperti juga kena dijepit sesuatu yang lembek tapi ku at sekali dan tak dapat dicabut keluar! Separoh dari pedang itu yang panjangnya dua kaki delapan dim, sudah terjepit otot-otot dada orang itu! S i nona mengerahkan seantero tenaga dalamnya, tapi ia masih tidak berhasil. Muka Sin Tjoe menjadi merah seperti kepiting direbus. Sekonyong-konyong ia merasa batang lehernya ditiup orang dan hampir berbareng de ngan itu, terdengar suara tertawa Siauw Houwtjoe. "Kau memang paling suka berkelahi!" kata si nakal. "Tapi bertemu dengan guruku, kau menubruk tembok. Perlu bantuan?" Si muka hitam mendadak mengendorkan otot-ototnya dan pedang si nona segera juga terlepas dari jepitan. "Sungguh tak usah malu kau menjadi murid suami isteri Thi o Tan Hong," katanya sembari tertawa. "Ke- pandaianmu sudah cukup tinggi. Siauw Houwtjoe! Jangan kau besar mulut. Biarpun b erlatih siang malam, dalam tiga tahun kau tak akan dapat menyusul ia. Di kemudia n hari, ia bakal menjadi Soeheng-mu. Mari! Lekas memberi hormat!" Ie Sin Tjoe membuka matanya lebar-lebar, hatinya heran bukan main. "Siapa kau?" tanyanya. "Apakah gurumu belum pernah menyebut-nyebut nama kami?" tanya si muka hitam. "Ka mi adalah Hek Pek Moko (si Hantu Hitam dan si Hantu Putih)!" Hek Moko dan Pek Moko adalah saudara kembar. Mereka terlahir di India, tapi berd agang emas intan di Tiongkok. Mereka adalah sahabat Thio Tan Hong, tapi sesudah Tan Hong meng-asingkan diri di yangkan tubuh Pek Moko dengan dorongannya dan bahwa ia dapat merobek baju Hek Moko, adalah suatu kejadian luar biasa. Mendengar nama kedua orang itu, kegusaran Sin Tjoe lantas saja reda, tapi ia mas ih tetap mendongkol. "Biar pun kamu menjadi sahabat Soehoe, tak pantas kamu meng otorkan kamar tidurnya," katanya di dalam hati. "Bocah! Kau benar tak tahu diri!" kata Hek Moko sembari tertawa. "Jika kami buka n sahabat kekal gurumu, apa kau kira kami kesudian berdiam dalam kamar ini yang menyesakkan napas?" "Apa?" tanya Sin Tjoe. "Apa, apa?" kata Pek Moko sembari menunjuk si nona. "Bukankah tadi kau telah ber tempur dengan dengkul anjing (kaki tangan kaizar)?" "Dihajar pulang pergi!" Siauw Houwtjoe menyambungi. "Lihat! Bajunya sampai kotor ." Sembari berkata begini ia mengusap tangan jubanya si nona yang lantas saja me njadi kotor. Sin Tjoe menangkap tangan si nakal dan lalu memencetnya sehingga ia berteriak-teriak. "Semua gara-garamu!" Sin Tjoe menyo-mel. "Jika kau nakal lagi, akan kuha jar kau sampai terkuing-kuing." "Dulu kau sudah membikin sekujur badanku penuh lumpur," kata Siauw Houwtjoe sembari nyengir. "Hari ini hanya pemb alasan." "Sedang kau saja masih diubar-ubar, bagaimana kawanan dengkul anjing itu bisa membiarkan gurumu hidup tenang?" kata pula Hek Moko. Sin Tjoe terkejut, ia teringat nasib Thio Hong Hoe. "Kalau begitu, bukankah guru ku sudah angkat kaki karena kuatir kaizar menurunkan tangan jahat?" tanyanya. Si n Tjoe yang biasa mendewa-dewakan gurunya dan menganggap sang guru dapat mengata si kejadian apa pun juga, sama sekali tidak mengerti, mengapa gurunya bisa didesak orang sehingga mesti menyingkir. "Gurumu tak ingin rewel," sahut Pek Moko. "Tapi kami berdua justru ingin menalangi ia melampiaskan kemendongkolannya ini." "Ke mana perginya guruku ?" tanya pula si nona. "Jauh, jauh sekali..." jawab Hek Moko yang mendadak menghentikan bicaranya dan memasang kuping. Sesaat kemudian, ia berkata lagi sembari tertawa: "Siauw Houwtjoe! Apakah kau masih ingat pelajaran Koenkeng (Kitab ilmu silat) yang kuajarkan kemarin dulu?" "Ingat," jawabnya. "Apakah perlu aku menghafal?" "Hanya bisa menghafal, apa gunanya?" kata Hek Moko. "Yang penting, harus dapat m enggunakannya jika berhadapan dengan musuh. Sebentar aku akan mengajarkan kau il mu itu dalam prakteknya, bagaimana harus menggunakan Lohan Sinkoen terhadap musuh yang jumlahnya lebih besar." "Bagus!" seru si nakal. "Apakah kita berlatih di lapangan belakang?" "Bukan, dalam kamar ini." jawab Hek Moko. "Sebentar kau harus memperhatikan dengan terliti. Nah! Sekarang kamu berdua mengumpat di atas lemari pakaian." Heran sungguh hati si nakal, tapi sebelum ia sempat menanya, di luar sudah terde ngar tindakan banyak orang. Ie Sin Tjoe buru-buru menarik tangannya dan mereka l alu meloncat ke atas lemari. "Bakal ada tontonan menarik," bisik si nona sembari tertawa. "Gurumu ingin menggunakan musuh untuk berlatih silat, supaya kau dapat mempelajarinya." Tiba-tiba di luar kamar terdengar teriakan: "Thio Tan Hong diperintahkan menerim a firman Hongsiang (Kaizar) dengan berlutut!" "Aku si tua tak sudi menerima firman kaizar kentut anjing!" sahut Hek Moko denga n me-niru suara Thio Tan Hong. Mereka berdua adalah orang India yang belum paham benar bahasa Tionghoa. Maka it u, meskipun suaranya mirip dengan suara Thio Tan Hong, tapi bahasanya kaku dan k acau balau. Sin Tjoe tidak tahan untuk tidak tertawa. "Benar-benar kentut anjing ," katanya di dalam hati. "Guruku belum pernah menggunakan kata-kata yang begitu kasar." Orang-orang yang berada di luar tentu merasa sangat heran mendengar jawaban yang berani mati itu. "Thio Tan Hong!" demikian terdengar mereka membentak. "Mengapa kau berani berlaku begitu kurang ajar? Apakah kau tak takut serumah tanggamu ditumpas seantero-nya?" "Dak!" pintu diten- dang dan terpental! Di depan pintu berjejer sejumlah orang, antaranya Yo Tjian Kin dan Kim Ban Liang . Mereka itu adalah pahlawan-pahlawan istana yang menerima perintah kaizar Kie T in untuk menangkap Thio Tan Hong. Kie Tin yang mengetahui Tan Hong mempunyai kep andaian sangat tinggi, sebenarnya ingin mengirim pasukan laut untuk mengepung To ngteng san barat, tapi, karena kuatir gerakan pasukan laut itu akan membikin Thi o Tan Hong mencium bau, maka ia mengurungkan niatannya dan lalu mengirim tujuh W iesoe kelas satu yang dianggapnya cukup untuk membekuk pendekar gagah itu bersam a isterinya. Tapi di luar dugaan, meskipun berdiam di tempat sepih, hidung Tan H ong tajam luar biasa dan niatan Kie Tin sudah lebih dulu diendusnya. Demikianlah, ke tika orang-orang itu datang di Thayouw, mereka mendapat kenyataan, bahwa burung yang mau dijaring itu sudah terbang jauh. Mereka jadi penasaran dan setiap hari secar a bergiliran dua orang meronda di telaga Thayouw. Hari itu, Yo Tjian Kin dan Kim Ban Liang yang sedang bertugas sudah bertemu dengan Ie Sin Tjoe dan sebagaimana diketahui, mereka telah menubruk tembok gara-gara Siauw Houwtjoe. Begitu pintu terpental, orang-orang Kie Tin itu terkesiap melihat Hek Pek Moko y ang beroman aneh dan menakutkan. "Siapa kau?" bentak seorang. Pek Moko tertawa ha-ha he-he dan kemudian menyahut: "Kami adalah Hek Pek Boesiang (si Hitam dan s i Putih) yang menugaskan diri untuk mencabut jiwa kawanan dengkul anjing!" "Ah! Dua bangsat kecil itu juga berada di sini!" seru Yo Tjian Kin sembari mengh antam pintu kamar dengan rantai besinya, sehingga pintu itu hancur lebur. "Ha-ha!" tertawa Pek Moko. "Aku justru sedang mencari-cari rantai untuk merantai setan. Bagus juga kau sendiri yang membawanya!" Kim Ban Liang tertawa seram seraya berkata: "Di hadapan malaikat, jangan kau cob a menakut-nakutkan orang dengan berlaga menjadi setan." Ia adalah seorang ahli s enjata rahasia dan ber- bareng dengan perkataannya, ia mengayun tangannya serta menundukkan kepala. Dengan serentak, belasan senjata rahasia, seperti panah tang an, batu Hoeihong sek dan Thielian tjie (biji teratai besi), menyambar ke arah H ek Pek Moko. Luas kamar tidur Thio Tan Hong tidak lebih dari dua tombak dan keti ka itu, Hek Pek Moko sedang bersila di atas pembaringan sehingga menurut perhitungan, senjata rahasia itu tidak bisa meleset lagi. Hek Pek Moko tertawa bergelak-gelak. "Ha!" kata seorang antara mereka. "Terima k asih. Badanku memang sedang gatal. Enak benar garukanmu!" Semua senjata rahasia itu tepat mengenai badan Hek Pek Moko dan kemudian jatuh meluruk di atas pembaringan, sedang kedua orang itu sama sekali tidak bergeming. "Lagi! Lagi!" mereka berteriak sembari tertawa terbahak-bahak. Kim Ban Liang terkesiap, ia bengong seperti orang kesima. Yo Tjian Kin gusar bukan main, sembari menggereng seperti harimau, ia loncat mas uk. Begitu sudah datang agak dekat, ia membabat pinggang Hek Moko dengan rantai besi nya, yang panjangnya satu tombak tujuh kaki, sedang buntut rantai itu digunakan untuk melibat badan Pek Moko. "Bagus!" seru Hek Moko sambil mengebaskan lengannya dan rantai itu lantas saja t erpental balik. Terkena hantaman tenaga dalam yang hebat itu, Yo Tjian Kin yang sedang menggunakan seantero tenaganya, lantas saja jadi terhuyung. Sementara itu, dengan tenang Pek Moko menangkap buntut rantai itu yang segera digunakannya untuk melilit kedua tangan Vo Tjian Kin. "Na h! Satu setan kecil sudah dirantai!" katanya sembari tertawa. Sesaat itu, enam Wiesoe yang lain hampir berbareng turut meloncat ke dalam kamar . Sekonyong-konyong tubuh Hek Moko melesat dari atas pembaringan dan hinggap di tengah-tengah pintu, sehingga semua pahlawan istana itu tercegat jalan mundurnya . "Siauw Houwtjoe!" ia berseru, "Perhatikanlah baik-baik!" Para Wiesoe menjadi agak keder, tapi mengingat jumlah mere- ka yang besar, lantas saja mereka maju menyerang. Sambil membentak keras, seorang Wiesoe menghantam kepala Pek Moko, yang sedang bersila di tengah ranjang, dengan tongkat besinya. Bagaikan kilat, Pek Moko menangkis dengan tangan kirinya dan mem babat dengan tangan kanannya. "Krek!" pergelangan tangan Wiesoe itu sudah menjadi patah! "Inilah Houwkoen (Ilmu silat harimau)!" Pek Moko berseru. Hampir berbareng dengan itu, Wiesoe yang kedua sudah menerjang. Pek Moko berkeli t sembari mengirim tinjunya yang tepat mampir di hidung orang. Telak sungguh jotosan itu! Hidung it u amblas dan kedua mata si Wiesoe melotot keluar. "Itulah Pakoen (Ilmu silat macan tutul)!" teriak Hek Moko. "Eh! Kau jangan memukul begitu cepat. Perl ahan sedikit, supaya Siauw Houwtjoe dapat melihat lebih terang." "Cukup terang!" si nakal berseru kegirangan. Melihat gelagat tidak baik, salah seorang Wiesoe buru-buru balik dan coba k abur. Wiesoe itu mahir dalam ilmu tendangan Tantoei yang mempunyai tiga puluh enam jalan. Untuk melewati Hek Moko yang menghadang di depan pintu, ia segera mengirimkan tendangan berantai. "Koko," kata Pek Moko. "Sekarang giliranmu." Hek Moko merapatkan lima jerijinya yang, bagaikan pacul, meno-tok lutut Wiesoe i tu. Dengan teriakan mengerikan, si Wiesoe sem- poyongan karena tulang lututnya sudah hancur. Hek Moko lantas membarengi menjoto s dengan tinju kirinya dan tubuh Wiesoe itu kembali terpental ngus-ruk ke dalam kamar. "Itulah Hokoen (ilmu silat bangau)!" teriak Pek Moko. "Eh! Kau pun tak boleh mem ukul begitu cepat." "Ha-ha-ha!" Siauw Houwtjoe tertawa berkakakan sembari menepuk-nepuk tangan. "Toasoehoe (gu ru pertama) benar-benar seperti seekor bangau. Hanya sayang bukan bangau putih. Jik a pukulan itu digunakan oleh Djiesoehoe (guru kedua), barulah mirip benar sepert i bangau putih!" Selagi Pek Moko bicara, Yo Tjian Kin mengerahkan tenaga dalamnya dan dengan seka li berontak, rantai yang mengikat kedua tangannya segera menjadi putus. Begitu tangannya bebas, dengan sekuat tenaganya ia menjotos ketiak Pek Moko. Dengan tinju kiri Pek Moko memakai tinju musuh, sedang telapak tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah. Meskipun Yo Tjian Kin bertenaga besar, tak dapat ia melawan tenaga lweek.ee (tenaga dalam) Pek Moko. Dengan terdengarnya teriakan menyayatkan hati, tangannya berdarah dan lima jerijinya remuk! "Itulah Liongkoen (Ilmu silat naga)!" Hek Moko berseru. Mulutnya berbicara, tang annya terus bekerja. Dengan gerakan Tiangtjoa tjoettong (Ular keluar dari guha), ia menghantam dengan telapakan tangannya, dis usul de- ngan tinjunya dan lagi-lagi seorang Wiesoe jungkir balik. "Aku kenal pukulan itu!" teriak Siauw Houwtjoe. "lulah Tjoa-koen (ilmu silat ula r)!" "Benar," sahut Hek Moko. "Coba lihat, apakah ini?" Bagaikan kilat ia menggerakka n kedua tinjunya dan menghantam seorang Wiesoe lain dengan gerakan mengacip, sebuah tinju menjotos punggung dan tinju yang lain memukul perut Wiesoe itu. Sam bil menyedot napasnya untuk mengempeskan perut, Wiesoe itu berkelit dengan gerak an Thaykek koen (Ilmu silat Thaykek) dan ia berhasil meloloskan diri, tapi biarp un begitu, tak urung ia terputar-putar beberapa kali sebagai akibat sambaran ang in tenaga iweekee. "Itulah Liongkoen!" teriak Siauw Houwtjoe. "Hanya sayang, kenanya tidak telak." Wiesoe tersebut adalah kepala rombongan yang terdiri dari tujuh Wiesoe itu. Ia b ernama Lie Ham Tjin dan merupakan salah seorang tangan kanan Yang Tjong Hay. Jik a Hek Moko menggunakan seantero tenaganya, ia pasti akan rubuh, tapi karena tuju an si iblis hitam hanya untuk memberi pelajaran kepada Siauw Houwtjoe, maka ia hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Sebagai ahli Thaykek, Lie Ham Tjin mengetahui itu dan ia tidak berani menyambut pukulan yang kedua. Buru-buru ia loncat minggir dan bersembunyi di belakang sala h seorang kawannya. Hek Moko tertawa terbahak-bahak. "De- ngan dapat menyambut sebelah tinjuku, kau boleh dibilang ahli yang bandingannya sukar ditemukan," katanya. "Aku mengampuni jiwamu, lain kali tak boleh kau datan g lagi di sini." Sembari berkata begitu, dengan sekali menggentak, ia membikin Wiesoe yang berdir i di depan Lie Ham Tjin "terbang" dan jatuh ngusruk di atas pembaringan. Hek Mok o bekerja terus, tangan kirinya menjambak Lie Ham Tjin yang lantas dilempar kelu ar, seperti melempar seekor itik. Segera terdengar bunyi gedubrakan dan pecahnya genteng. Mungkin sekali Wiesoe itu jatuh di atas genteng kamar sebelah. "Bagus! Bagus!" teriak Siauw Houwtjoe. "Tapi itu bukan Lohan Sinkoen (Ilmu silat Lohan). Soehoe1. Hebat benar ilmu melontarkan itu!" "Benar!" kata Hek Moko. "Nah, sekarang, muncul lagi Lohan Sinkoen!" Berbareng de ngan perkataannya, ia menjotos Wiesoe yang baru merangkak bangun di atas pembari ngan, sehingga ia ini kembali rubuh di tengah ranjang. Demikianlah Hek Pek Moko menghajar ke tujuh Wiesoe itu pulang pergi, sehingga me reka jadi babak belur dan mata mereka berkunang-kunang. Mereka ingin melarikan d iri, tapi tak bisa oleh karena Hek Moko menghadang di tengah pintu. Lohan Sinkoen yang digunakan Hek Pek Moko adalah semacam ilmu silat yang merupak an gabungan lima macam ilmu, yaitu Liongkoen, Houwkoen, Pakoen, Tjoakoen dan Hok oen (Ilmu silat Naga, Harimau, Macan tutul, Ular dan Bangau). Menurut Koenkeng (Kitab Ilmu silat), Liongkoen adalah untuk "melatih semangat," yang terutama memperhatikan pianhoa (pero-bahan-perobahan) dan tenaga dalam. Houwkoen "melatih tulang" untuk melakukan serangan-serangan keras, dengan tujuan melukakan musuh. Pakoen "melatih tenaga" dan mengutamakan kegesitan serta kegarangan. Tjoakoen ad alah untuk "melatih hawa", dengan tujuan memperpanjang umur. Hokoen "melatih ten aga batin" supaya pukulan- pukulan jatuh tepat pada bagian badan musuh yang berbahaya. Sumber lima macam ilmu silat itu adalah Siauwlim, sedang pen-cipta ilmu silat Si auwlim sie adalah Tatmo Tjouwsoe dari India. Hek Pek Moko adalah orang India dan mereka sudah menyelami pelajaran Tatmo yang tersebar di negaranya sendiri. Belakangan sesudah datang di Tiongkok, mereka mempelajari pula lima macam ilmu silat dari S iauwlim itu. Meskipun Lohan Sinkoen yang dikenal di India agak berbeda dengan Lo han Sinkoen di Tiongkok, tapi oleh karena bersumber satu, pada dasarnya tidak be rbeda banyak. Achir-nya mereka menggodok dan mempersatukan kedua macam Lohan Sin koen itu, sehingga mereka memperoleh semacam Lohan Sinkoen yang benar-benar isti mewa. Thio Hong Hoe adalah ahli Siauwlim pay dan sedari kecil Siauw Houwtjoe sudah bel ajar Lohan koen di bawah pimpinan mendiang ayahnya. Maka sesudah ia diambil sebagai murid, Hek Pek Moko lalu menye rahkan Koenkeng kepadanya. Akan tetapi, karena usianya masih sangat muda, ia belum mengerti pelajaran dalam kita b tersebut. Sekarang, dengan menyaksikan pukulan-pukulan yang "dipraktekkan" ole h kedua gurunya terhadap para Wiesoe itu, dengan sendirinya ia menjadi lebih faham dan dapat menangkap bagian-bagian yang tadinya gelap baginya. Dalam pelajaran praktek itu, bukan saj a Siauw Houwtjoe, tapi Ie Sin Tioe pun sudah menarik keuntungan tidak sedikit. Selagi Ie Sin Tjoe memuaskan seantero perhatiannya kepada pertempuran, mendadak Siauw Houwtjoe mena- nya: "Eh, apakah hari itu kau bertemu dengan ayahku?" Hati Si nona men-celos. Saat itu baru ia tahu, bahwa bocah itu belum mengetahui kebinasaan ayahnya. Di antara tujuh Wiesoe itu, Yo Tjian Kin sudah setengah mati, Lie Ha m Tjin sudah dilemparkan keluar kamar, sedang lima Wiesoe lainnya, kecuali Kim Ban Liang, sudah mendapat luka-lu ka berat. Bahwa Kim Ban Liang terlolos dari luka berat, sama sekali bukan karena kepandaiannya yang lebih tinggi, tapi lantaran kelicikannya. Ia selalu main pet ak dan bersembunyi di belakang kawan-kawannya. Sesaat itu, dengan Hokoen, Hek Mo ko memukul rubuh dua Wiesoe dan Kim Ban Liang pun telah dibikin terguling ke kolong ranjang. Selagi merangkak bangun, mendadak ia melihat Siauw Houwtjoe sedang berbicara dengan Ie Sin Tjoe di atas lemari. Dengan gergetan, secara mendadak ia melepaska n dua batang panah tangan. Siauw Houwtjoe yang sedang menanyakan hal ayahnya, terkesiap ketika melihat menyambarnya dua batang anak panah itu. Buru-buru ia mengangkat t angannya untuk coba menyampok dua senjata gelap itu. Tapi Ie Sin Tjoe sudah mend ahuluinya. Dengan sekali mencentil, dua batang anak panah itu terpental, dan ham pir berbareng, sekuntum bunga emas menyambar tenggorokan Kim Ban Liang. Dengan t eriakan menyayatkan hati, Kim Ban Liang loncat setom- bak lebih, kepalanya hampir-hampir mengenakan langit-langit kamar. Pek Moko tertawa besar dan tangannya menyambar. Di lain saat, badan Kim Ban Lian g sudah terlempar keluar kamar dengan tulang remuk akibat remasan ilmu Hoenkin t jokoet (Memecah otot memindahkan tulang). Gerakan Ie Sin Tjoe dalam menyentil anak panah dan melepaskan bunga emasnya, cep at luar biasa, sehingga Siauw Houwtjoe jadi merasa kagum sekali. "i Tjietjie yang baik," katanya. "Kepandaian Soehoe sukar ditulad, tapi jika aku dapat menyusul Tjietjie, hatiku sudah merasa puas sekali." Mendengar perkataan itu, Hek Pek Moko yang tadinya menduga Ie Sin Tjoe adalah se - orang laki-laki, baru mengetahui, bahwa mereka sudah salah mata. Mereka merasa k agum berbareng mengiri dan segera mengambil putusan untuk mendidik Siauw Houwtjoe sebaik- baiknya dan kemudian, sesudah anak itu memperoleh kepandaian tinggi, baru akan d iserahkan kepada Thio Tan Hong. Sesudah berhasil me-lukakan musuh, sedang Siauw Houwtjoe menepuk-nepuk tangan bahna girangnya, Ie Sin Tjoe sendiri mengerutkan alisnya, s eperti sedang berduka. "i Tjietjie, kau kenapa?" tanya si nakal. "Sampai di mana barusan kita bicara? Y a! Hari itu apakah kau bertemu dengan ayahku?" "Ia meninggalkan dua rupa barang, sebentar akan kuserahkan kepadamu," sahut si nona. "Kalau begitu, kau telah bertemu dengan ia," kata pula Siauw Houwtjoe. "Barang i tu sebentar saja dikasikan kepadaku. Eh, coba lihat! Sungguh indah pukulan Soeho e1." Sesaat itu, Hek Pek Moko sedang menghujani empat Wiesoe yang masih agak segar de ngan pukulan. Mereka mengirim pukulan- pukulan dengan tenaga yang diperhitungkan, setiap pukulan membikin seorang Wieso e kejeng-kang di tengah ranjang dan begitu lekas badan Wiesoe itu membal bangun, mereka mema-pakinya dengan pukulan lagi yang membikin pahlawan istana itu kemba li terpelanting di atas pembaringan. "Siauw Houwtjoe! Perhatikanlah ini!" seru Hek Moko. "Inilah Lohan Ngoheng koen. Semuanya ada seratus delapan jalan. Lihat! Akan kujalankan dari ke pala sampai dibuntut." Sungguh sial ke empat Wiesoe itu! Badan mereka dijadikan semacam karung pasir un tuk melatih pukulan. Sebagaimana diketahui, seorang yang berkepandaian ilmu silat, secara otomatis mengerahkan tenaganya untuk melawan, jika ia mendapat serangan. Dari sebab itu, dalam menghadapi hujan pukulan, penderitaan empat Wiesoe tersebut bahkan lebih hebat daripada orang bia sa. Sebelum Hek Pek Moko menjalankan separoh Lohan Ngoheng koen, tenaga dalam me reka sudah musna sama sekali, keringat mereka membasahi sprei dan kasur, keadaan mereka seolah-olah lampu yang sudah kehabisan minyak dan tinggal matinya saja. Dua di antara mereka terkencing -kencing, sehingga kamar itu jadi penuh dengan bau-bauan yang kurang sedap. "Bau!" seru si nona. "Hei! Jangan mengotorkan kamar Soehoe-ku! Lekas lempar mereka keluar!" Hek Pek Moko kembali tertawa terbahak-bahak. Saling berganti mereka menyambar ba dan Wiesoe-wiesoe itu yang seorang demi seorang segera dilemparkan keluar. Palin g belakang Hek Moko menyengkeram punggung Vo Tjian Kin sambil menggunakan dua bagian tenaga dalamnya dan sesaat itu, tulang punggung orang she Vo itu lantas m enjadi patah. Sembari melontarkan tubuh kurbannya, Hek Moko membentak: "Pergi pulang dan beritahukan kepada kaizar anjingmu! Jika dia berani memerintah orang datang lagi untuk mengganggu Thio Tayhiap, dia akan mendapat nasib seperti kamu tadi!" Dulu Hek Pek Moko adalah orang-orang yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip. Belakangan, sesudah lanjut usianya, adat mereka yang berapi-api telah menjadi le bih sabar. Kali ini, kecuali Vo Tjian Kin dan Kim Ban Liang yang telah dihajar s ehingga menjadi orang bercacad, empat Wiesoe lainnya masih dapat menuntut penghi dupan sebagai manusia biasa, meskipun ilmu silat mereka telah dibikin musna. Di antara tujuh Wiesoe itu, Lie Ham Tjin-lah yang paling beruntung, karena sesuda h kelak lukanya sembuh, ilmu silatnya tidak akan menjadi hilang. Bahwa antara ke tujuh W iesoe itu tak satu pun yang diambil jiwanya, dilihat dari sudut Hek Pek Moko, be rarti bahwa mereka sudah berbelas kasihan yang luar biasa. Sesudah menyapu bersih semua musuh, Pek Moko berkata sembari tertawa: "Siauw Houwtjoe, hari ini kau kurang mujur. Lohan Sinkoen kita hanya dapat dilat ih separah." "Yang separah lagi, biarlah ditunda sampai di lain hari," sahut si nakal dengan suara gembira. "Yang separah ini sudah cukup untuk dipelajari dalam tempo bebera pa bulan." "Anak otak!" ka- ta Hek Moko. "Lain kali mana bisa ada kesempatan yang begitu baik?" "Eh, jangan rewel lama-lama dalam kamar ini," kata Ie Sin Tjoe. "Jika guruku mel ihat kamarnya begini kotor, tak tahu ia bakal bagaimana marahnya!" Sembari mesem, Hek Pek Moko berjalan keluar, diikuti si nona dan Siauw Houwtjoe. "Paling sedikitnya tiga tahun kemudian barulah gurumu bisa kembali ke rumah ini, " kata Hek Moko. "Aku berani tanggung, ia tak akan menjadi gusar." "Apa kalian pernah bertemu dengan guruku?" tanya Sin Tjoe. "Apa ia ada memesan a pa-apa? Ke mana ia pergi?" "Aduh! Benar-benar jempol murid Thio Tan Hong!" kata Hek Moko. "Kami berdua menj ual jiwa untuk gurumu, tapi kau hanya ingat gurumu dan sama sekali tidak ingat u ntuk menghatur- kan terima kasih." Si nona monyongkan mulutnya seraya berkata: "Jual jiwa apa? Barusan kalian berke lahi untuk memberi pelajaran kepada murid sendiri. Sama sekali bukan untuk kepen tingan guruku." "Ha! Benar-benar manusia tak mengenal budi!" kata Pek Moko sembari tertawa. "Kau tahu? Aku mengajar murid juga untuk gurumu sendiri!" "Sudahlah," kata Hek Moko. "Kami datang di sini tiga hari berselang dan waktu it u, gurumu baru saja mau berangkat. Ia mendesak supaya kami juga buru-buru menyin gkir, tapi kami justru sengaja berdiam di sini untuk mengurus urusan orang lain. " "i Toasoehoe omong besar," kata Siauw Houwtjoe sembari nye- ngir. "Bukankah di tengah jalan Soehoe berkata akan meminjam serupa barang dari Thio Tayhiap? Dan hanya secara kebetulan kita menemui urusan ini." "Aduh!" kata Hek Moko sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Belum mengangkat Thi o Tan Hong menjadi guru, kau sudah membantu calon gurumu. Benar-benar aku merasa mengiri! Benar! Gurumu sudah menduga, bahwa kau akan kembali kemari dan ia meme san, supaya kau saja yang memberikan barang itu kepada kami." "Barang apa?" tanya si nona. "Pokiong (gendewa mustika) dari keluarga Thio," sahut Hek Moko. Dulu, di waktu Thio Soe Seng, leluhur Thio Tan Hong, menjadi kaizar di Souwtjioe , ia telah membuat sebuah gendewa raksasa yang beratnya kira-kira lima ratus kati. Ketika itu, Thio Soe Se ng menduga pasti, bahwa ia akan dapat merebut seluruh Tiongkok dan gendewa terse but dimaksudkan untuk dijadikan mustika negara, sebagai semacam nasehat, supaya anak cucunya yang menjadi kaizar tidak melupakan gendewa dan kuda. Sesudah ia ka lah perang, gendewa itu disembunyikan dalam guha batu di Koaywalim. Belakangan, setelah Thio Tan Hong mendapat kembali istana dan taman tersebut, ia mengangkut gendewa itu ke atas gunung. Mendengar Hek Pek Moko ingin meminjam gendewa itu, Sin Tjoe menjadi sangat heran . "Untuk apa kalian meminjam gendewa rak- sasa itu?" tanyanya. "Anak kecil jangan menyampuri urusan orang," kata Pek Moko. "Serahkan saja kepad a kami." "Jika kau tak berterus terang, aku tidak nanti keluarkan," kata si nona. "Di sam ping itu, bagaimana kau bertemu guruku dan apakah yang telah dikatakan guruku? S esudah kalian memberitahukan, baru aku menyerahkan gendewa itu." Hek Moko mendongak mengawasi cuaca, parasnya seperti orang tidak sabar. "Benar g ila! Hayolah!" katanya. "Perempuan memang rewel sekali. Baiklah. Sembari jalan, aku akan menceritakan. H ayolah, cepatan!" Melihat kesungguhan kedua orang tua itu, Ie Sin Tjoe tidak berani banyak bicara lagi dan lalu bertindak lebih cepat, diikuti Hek Pek Moko dan Siauw Houwtjoe. "Aku sama sekali tidak menjustai kau," kata Hek Moko sembari jalan. "Sebenarnya aku mencari gurumu untuk menghadapi musuh besar. Tapi begitu tiba di sini, gurumu justru sedang ketakutan diubar kaki tangan si kaizar anjing dan bersiap untuk kabur bersama keluarganya. Hari itu, kita bertemu di pinggir telaga. Sesudah aku menceritakan duduknya persoalan, ia mengajarkan aku suatu tipu untuk menghadapi musuh dengan menggunakan gendewa itu. Ketika itu, gurumu sudah kesusu mau lekas-lekas berangk at. Kami datang ke sini dengan membawa Siauw Houwtjoe dan niatan kami adalah untuk menyerahkan anak itu kepadanya, tapi karena ia begitu terburu-buru, kami tak sempat lagi membicar akan hal itu." Heran sungguh hati si nona, mendengar keterangan itu. Thio Tan Hong pernah menceritakan padanya, bahwa dengan kepandai annya Hek Pek Moko sukar dicari tandingannya dalam dunia. Jika satu lawan satu. Thio Tan Hong sendiri pun paling banyak hanya setanding dengan kedua orang tua itu. Siapakah adanya musuh itu, yang agaknya disegani oleh merek a? Pek Moko mendongak melihat cuaca. "Celaka!" katanya. "Dua musuh itu akan se gera datang. Lekas serahkan gendewa itu kepadaku!" Sebenarnya Sin Tjoe masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan, akan tetapi, men dengar Dengan suara "ung!", sebatang anak panah emas yang dilepaskan Hek Moko, menyamba r ke bawah. desakan itu, ia mengurungkan niatannya dan buru-buru menuju ke gudang mustika ya ng terletak di gunung belakang. Gudang tersebut yang berada di dalam guha, dulunya adalah tempat menyimpan mustika Thio Soe Seng. Sesudah Thio Tan Hong menyerahkan semua mustika dan emas permata kepa da kaizar Beng, dalam gudang tersebut hanya tersimpan beberapa alat senjata dan barang-barang peringatan. Ie Sin Tjoe yang pernah beberapa kali masuk ke dalam g udang tersebut, mengetahui cara membuka pintunya. Sesudah memutarkan sebuah batu tiga kali ke kiri dan tiga kali ke kanan, pintu guha itu lantas saja terbuka le bar. Pek Moko segera menyalakan bahan api dan masuk ke dalam. Di tengah-tengah ruangan itu terletak gendewa raksasa dan di sampingnya terdapat ti ga batang anak panah yang bersinar kuning, yang ternyata dibuat dari emas murni. Hek Moko membungkuk dan mengangkat gendewa itu. "Ha-ha-ha!" ia tertawa. "Cocok sekali untuk digunakan olehku." Pek Moko lantas saja mengambil tiga anak panah i tu dan mereka lalu berjalan keluar. "Sebenarnya aku ingin minta bantuan gurumu," kata Hek Moko kepada Sin Tjoe. "Tap i karena gurumu tidak berada di sini, maka aku ingin minta bantuan kau berdua. B olehkah?" Siauw Houwtjoe yang tahu akan terjadi "keramaian", menjadi sangat girang dan lan tas saja menyanggupi sembari bertepuk tangan. Tapi Sin Tjoe merasa heran dan berkata: "Dengan cara apa kami berdua dapat melawan mu suh kalian?" "Menurut keterangan Thio Tan Hong," Hek Moko menjelaskan. "Di sebelah bawah perk ampungan ini terdapat suatu barisan batu, yang diatur menurut Pattintouw Tjoekat Boehouw (Tjoekat Liang, panglima besar dari kaizar Lauw Pie, pada jaman Samkok). Apakah kau tahu? " "Tahu," jawab si nona. "Waktu mengikut Soehoe pertama kali datang di sini, hampi r-hampir saja aku kesasar di dalam barisan itu." "Apakah kau paham seluk beluk barisan itu?" tanya Pek Moko. "Aku hanya mengetahui, bagaimana orang harus keluar dari pintu hidup," jawabnya. "Cara menggunakannya, tak tahu." "Cukup," kata Hek Moko. "Aku hanya minta kau turun gunung dan memancing kedua mu suh kami itu ke dalam tin (barisan). Mereka adalah orang Arab, sekali melihat, kau akan lantas mengenali. Hayo, lekas!" Tanpa berkata suatu apa, Siauw Houwtjoe lantas saja berlari-lari seperti terbang dan tidak lama kemudian, Ie Sin Tjoe sudah menyusul. "Eh, Siauw Houwtjoe!" kata si nona. "Bagaimana kita harus memancingnya? Kita mesti berdamai dulu." "Mau berdamai apa?" kata si nakal sembari nyengir. "Ikut aku saja." Dari sikapny a, agaknya ia sudah mempunyai siasat yang baik. Baru saja si nona hendak menanya pula, di kaki gunung sudah kelihatan berkelebatnya dua ba- yangan manusia. Kedua orang itu mengenakan jubah panjang dari sutera kuning, pundak mereka ditut up dengan sutera putih, kepala mereka diikat dengan ikatan kepala, hidung mereka mancung, mata mereka dalam dan sekali melihat saja, orang segera mengetahui, ba hwa mereka adalah orang Arab. Apa yang luar biasa adalah: Mereka bukan saja berp akaian sama, tapi muka mereka pun seperti pinang dibelah dua. Perbedaan satu-sat unya adalah: Yang satu tidak mempunyai kuping kiri, sedang yang lain hilang kupi ng kanannya. "Luar biasa!" kata Siauw Houwtjoe sembari tertawa. "Aku lihat, mereka sama benar dengan kedua guruku. Tak bisa salah lagi, mereka adalah saudara kembar. Ha! Dua saudara kembar bermusuhan dengan dua saudara kembar. Sungguh aneh!" Walaupun gunung Tongteng san Barat tidak seberapa tinggi, tapi dari kaki sampai di lerengnya, masih ada ratusan tombak. Dengan jalan yang berbelit-belit, untuk naik sampai di lereng, sedikitnya orang harus menggunakan tempo setengah jam. Tapi entah bagaimana, dalam sekejap mata, kedua orang itu sudah tiba di lereng. Baru habis Siauw Houwtjoe mengucapkan perkataannya, dua orang Arab itu sudah tiba di lembah sebelah kiri barisan batu itu dan dilihat da ri arah jalan mereka, mereka bisa naik ke atas gunung, tanpa melewati barisan ba tu itu. Ie Sin Tjoe menjadi bingung. "Nah, sekarang akan kupancing mereka," kata si nakal. "Bunga emasmu harus dilepaskan pada saat yang tepat. Sek arang aku pergi." Lantas saja ia berlari-lari dan naik ke atas sebuah pohon pipa . Si nona tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh si nakal, tapi ia segera mengiku tinya dan bersembunyi dalam jarak beberapa tombak dari pohon itu. Di lain saat, kedua orang itu sudah masuk ke dalam hutan pohon buah-buahan. Deng an mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tentu saja mereka segera mengetahui, bahwa di atas pohon bersembunyi seorang manusia. Tapi oleh karena melihat, yang "nangkring" di atas itu hanya satu bocah, me- reka tidak memperhatikannya dan menduga, bahwa bocah itu mau memetik buah pipa. Sembari jalan mereka berbicara dalam bahasa Arab. Tepat selagi mereka lewat di b awah pohon pipa tersebut, ketika mendadak ada air mancur ke bawah. Ternyata di s aat itu Siauw Houwtjoe sengaja kencing. Mereka terkejut dan loncat minggir dengan berbareng, tapi tak urung, muka mereka masih juga kecipratan air kencing. "Bocah nakal!" bentak salah seorang dari mereka dalam bahasa Tionghoa. "Apa kah kau mau mencari mampus?" Hampir berbareng mereka menyerang, yang satu mengebas dengan tangan kirinya, yan g lain menghantam dengan tangan kanannya, dari jarak kira-kira dua tombak dari pohon itu. Itulah Pekkong tjiang (Pukulan menghantam udara)! Dig empur dua kali sambaran angin yang sangat tajam, daun-daun pohon itu rontok, cabang-cabangnya, bahkan batang pohon pipa itu sekali jadi ber goyang-goyang semua! Ie Sin Tjoe terkesiap dan segera mengayun kedua tangannya. Enam bunga emas seger a melesat dari setiap tangannya dan menyambar ke arah jalan darah kedua orang it u. "Ih!" terdengar mereka mengeluarkan seruan tertahan, yang satu loncat ke kiri, y ang lain loncat ke kanan, masing-masing menggerakkan tangannya, saling menolong menangkap bunga-bunga emas itu. Bunga emas Sin Tjoe sebenarnya tajam luar biasa, tapi mereka sama sekali tidak menghiraukan itu dan dengan seka li bergerak, semua bunga tersebut sudah masuk ke dalam tangan mereka. Di lain sa at, sembari tertawa besar, mereka membuka tangan mereka dan loh... bunga emas it u sudah hancur menjadi pasir emas yang berkredepan! Sementara itu, sambil jungkir balik, Siauw Houwtjoe sudah hinggap di atas tanah dan segera lari terbirit-birit. Barusan, biar pun sedang gusar, tapi karena meli hat Siauw Houwtjoe hanya satu bocah cilik, kedua orang itu masing-masing hanya m enggunakan tiga bagian tenaganya di waktu menggunakan Pekkong tjiang, dengan tujuan supaya si na kal jatuh untuk kemudian dicaci maki. Jika ketika itu seluruh tenaga mereka dikerahkan, Siauw Houwtjoe tentu sudah binasa. Kedua orang itu memang benar sepasang saudara kembar. Yang tertua bernama Ismet, adiknya Achmad. Mereka pernah menjelajah benua-benua Eropa dan Asia. Pada waktu itu, mereka menj adi Koksoe (guru negara) dari Raja Iran. Oleh sebab terjadinya suatu peristiwa a neh di istana ratu, dalam mana malah terselip juga perkara pencurian mustika, ya ng bersangkut paut dengan Hek Pek Moko, maka dari Iran sampai di India dan dari India sampai di Tiongkok, Ismet dan Achmad mengubar-ubar Hek Pek Moko. Kepandaia n kedua belah fihak agaknya berimbang, si Hitam dan si Putih tak dapat mengalahk an dua sauda- ra itu, sedang dua orang Arab itu juga tak dapat menyekal Hek Pek Moko. Seperti Hek Pek Moko, kepandaian kedua saudara itu pun didapat dari berbagai sum ber, dari Eropa dan dari Asia. Pukulan Pekkong tjiang mereka merupakan gabungan dari Gwakang (Ilmu luar) Arab dan Djioekang (Ilmu "lembek") dari Bittjong pay di Tibet, sehingga pukulan tersebut mengeluarkan tenaga "keras" dan "lembek" dengan berbareng dan hebatnya luar biasa. Barusan, kedua saudara itu sudah memastikan, bahwa si bocah nakal ak an jatuh semaput di bawah pohon dan mereka heran bukan main, ketika Siauw Houwtj oe berhasil melarikan diri. Keheranan itu jadi bertambah besar, ketika Ie Sin Tjoe melepaskan bunga emasnya yang sangat dahsyat. Ismet tertawa dan berkata dalam bahasa Arab: "Ah! Tak nyana, di tempat ini muncu l bocah-bocah yang berkepandaian tinggi. Eh, aku mengambil yang besar, kau menga mbil yang kecil." Dengan berkata begitu, ia bermaksud mengambil Ie Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe sebagai murid. "Bagus!" jawab Achmad menyetujui usul saudaranya dan dengan sekali menjejek kaki , badan mereka sudah melesat enam tujuh tombak jauhnya. Berbareng dengan itu, me reka lalu melancarkan pulah pukulan Pekkong tjiang dengan menggunakan lima bagian tenaga mereka. Ie Sin Tjoe yang sedang lari terbirit-birit, mendadak merasakan sambaran angin yang sangat tajam. Secara otomatis, ia loncat minggir. Meskipun p ukulan itu dilancarkan dari tempat yang agak jauh, badannya tak urung bergoyang- goyang juga beberapa kali. Ismet jadi semakin heran, setelah mendapat kenyataan, bahwa pukulannya yang lebi h berat itu, masih belum dapat merubuhkan si bocah. Sesudah mengubar enam tujuh tombak lagi, tiba-tiba ia menghantam dengan kedua tangannya, kali ini ia menggun akan delapan bagian tenaganya. Mendengar kesiuran angin, si nona mengetahui, bahwa ia sendiri masih dapat mempe rtahankan diri, tapi kawannya pasti akan rubuh. Sungguh tak usah malu Ie Sin Tjo e menjadi murid yang disayang suami isteri Thio Tan Hong. Pada saat yang genting itu, sambil menyambar badan si nakal, ia m eloncat kira-kira dua tombak tingginya dengan gerakan Itho tjiongthian (Burung H o menembusi langit). "Biar tetap!" ia berseru di tengah udara dan angin pukulan Pekkong tjiang itu lewat di bawah kaki mereka! Segera setelah itu, si nona melem parkan tubuh Siauw Houwtjoe masuk ke dalam barisan batu, sedang ia sendiri pun, dengan gerakan yang sangat indah, melayang turun di depan pintu tin (barisan) te rsebut. Sementara itu, Ismet dan Achmad juga sudah menyusul. "Tak kenal malu!" si nona m engejek. "Bisanya menghina anak kecil." "Angkatlah aku menjadi gurumu dan kau akan beruntung sekali," bujuk Ismet. "Punya kepandaian apa kau, berani menawarkan diri untuk menjadi guru?" si nona m enyindir. Tangan Ismet menyambar dan coba menyengkeram si nona. Bagaikan kilat Ie Sin Tjoe menikam pedangnya yang berkeredapan menyambar ke arah jalan darah Hiankie hiat di dada dan Koangoan hiat di bawah ketiak Ismet. Tikaman itu adalah serangan mem binasakan menurut Hian Kie Kiamhoat. Melihat serangan yang sehebat itu, Ismet agak terkejut. Ia tak menduga, jika pem uda yang masih kekanak-kanakan itu mempunyai kiamhoat yang begitu liehay. Ia tak berani berlaku ayal, sembari mengegos ia menyentil dengan jerijinya. De ngan ber- bunyi "tring!", Tjengbeng kiam itu hampir-hampir terbang dari tangan Ie Sin Tjoe . Oleh karena tujuannya adalah untuk memancing musuh, maka gerakan Sin Tjoe itu, walaupun hebat, tetapi di samping menyerang juga meng andung persiapan untuk mundur. Demikianlah dengan meminjam tenaga musuh, begitu pedangnya terpental balik, ia lantas loncat mundur dan masuk ke dalam barisan batu. Ismet yang tidak menduga jelek, lantas saja mengubar, diikuti saudaranya. Barisan batu itu dulu dibuat Pheng Hweeshio menurut rencana Pattintouw Tjoekat Boehouw dan mempunyai delapan pintu, yaitu pintu Hioe (Berunt ung), Seng (Hidup), Siang (Luka), Ton w (Buntu), Sie (Mati), Keng (Besar), Kheng (Kaget) dan Kay (Buka). Seorang yang tidak mengenal barisan itu, meski mempunyai kepandaian bagaimana tinggi juga, sekali masuk, tak usah mengharap akan bisa kel uar lagi. Dengan perasaan tidak mengerti, Ismet bersama saudaranya berputar-putar di antara batu-batu itu. Sebentar-sebentar, entah dari mana Ie Sin Tjoe dan Siauw H ouwtjoe muncul, tapi begitu diserang, mereka menghilang, tak tahu ke mana. Merek a tak usah kuatir akan keselamatan mereka, akan tetapi, dipermainkan secara begi tu, mata mereka jadi berkunang-kunang dan semakin lama, mereka masuk semakin dal am. Ismet terkejut. "Tu- juan kita adalah untuk mencari dua siluman tua itu, tapi kenapa kita sendiri ber balik kena dipermainkan oleh dua bocah cilik itu?" katanya kepada saudaranya. Be rputar-putar, mereka mencari jalan keluar, tapi tidak bisa berhasil. "Hei!" teriak Siauw Houwtjoe, mengejek. "Kamu mau mengambil aku sebagai murid. A ku sekarang berada di sini, kenapa kau tak berani mendekati?" Dengan gusar kedua saudara itu mengubar. Si nakal buru-buru lari mendekati Ie Si n Tjoe dan mengikuti si nona lari beberapa putaran. Ismet dan Achmad mengejar te rus dan achirnya kena dipancing masuk ke pintu Mati. Biar tinggi ilmu mereka, kedua saudara itu mulai menjadi bingung juga. Sementara itu, Sin Tjoe dan si nakal mengejek terus. Achmad jadi gusar bukan main. Ia memeluk sebua h pilar batu dan sembari membentak keras ia mencabut pilar itu yang beratnya rat usan kati. Tinggi setiap pilar sedikitnya beberapa tombak dan bagi orang biasa, untuk merubuhkan sebuah saja sudah bukan pekerjaan enteng. Sesudah mengeluarkan banyak keringat dan badannya lemas kecapean, Achmad baru berhasil merubuhkan beberapa pilar saja dan bersama saudaranya, ia masih b elum dapat mencari jalanan keluar. Ismet minta saudaranya berhenti mencabut pilar-pilar itu dan lalu mengasah otak untuk mencari daya lain yang lebih baik. Beberapa saat kemudian, ia minta saudar anya ber- diam di bawah untuk berjaga-jaga terhadap serangan senjata rahasia Ie Sin Tjoe, sedang ia sendiri segera memanjat salah sebuah pilar. Pinggiran pilar dtu tajam bagaikan pisau, tapi Ismet yang seakan-akan mempunyai tulang besi dan urat kawat , tidak takut akan ketajaman batu itu. Dalam sekejap mata, ia sudah tiba di ujung pilar. Baru saja matanya memandang ke empat penjuru, kupingnya mendadak mendengar suara tertawa yang nyaring dan aneh, di puncak gunung. Ternyata orang yang berada di puncak itu bukan lain daripada Hek dan Pek Moko. H ek Moko kelihatan sedang memeluk sebuah gendewa raksasa, sedang Pek Moko menyeka l anak panah. Dengan badan mereka yang tinggi besar, dua saudara hitam putih itu seakan-akan dua malaikat y ang sedang berdiri di puncak gunung. Ismet dan Achmad kaget bukan main dan sebelum mereka membuka suara, Hek Moko sud ah tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Muridku saja kamu masih tak sanggup m elayani, bagaimana kamu berani banyak berlagak di sini? Lebih baik kamu lekas-lekas pergi !" "Manusia yang memancing musuhnya dengan segala akal bulus, bukan seorang gagah!" Ismet membentak dengan gusar. "Jika kau benar-benar mempunyai nyali, turunlah d an bertempur dengan kami sampai ada yang binasa!" "Baiklah, jika kamu tidak mau menyerah ka- lah, kita boleh bertempur lagi," sahut Hek Moko sembari tertawa. "Sambutlah anak panahku!" Meskipun Ie Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe tidak mengerti cacian-cacian yang diucap kan dalam bahasa Arab itu, hati mereka berdebar-debar mendengar suara orang-oran g aneh itu yang nyaring dan angker luar biasa, seolah-olah menggetarkan seluruh gunung. Ketika itu mereka berdua bersembunyi disuatu sudut pintu Seng (Hidup). Mendadak, berbareng dengan terdengarnya bunyi "ung!", sebatang anak panah menyambar ke ba wah dari puncak gunung dan tubuh Ismet tergelincir dari atas pilar. Bagaikan kil at, Achmad loncat ke atas sambil mementang kedua tangannya untuk menyambut k akaknya yang sedang melayang jatuh. Hampir pada saat itu juga, kembali terdengar "ung!" dan tubuh Achmad juga terpelanting ke bawah. Susul-menyusul kedua saudara itu ru buh di atas tanah, di pundak masing-masing terdapat satu tanda merah. Hampir pad a detik yang sama, menyusul berke-lebatnya sinar kuning yang berkeredep, dua ana k panah menancap pada batu, dengan batang bergoyang-goyang tak hentinya. Kepandaian Hek Pek Moko dan kedua orang Arab itu kira kira setanding. Jika merek a bertempur secara biasa di atas tanah datar, dalam tempo tiga hari tiga malam b elum tentu ada yang kalah atau menang. Tapi tadi, dengan mengandalkan tenaga gen dewa raksasa itu dan juga karena Hek Pek Moko memanah dari tempat yang lebih tinggi, maka Ismet maupun Achmad yan g sudah pusing dipermainkan Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe, tak dapat berkelit lagi dan segera rubuh ketika anak panah itu mengenai pundak mereka. Masih untung. Hek Pek Moko tidak berlaku kejam dan hanya memanah bagian pundak yang tidak membahayakan jiwa. Akan tetapi, maskipun begitu, hantaman anak panah itu sudah memecahkan khie (hawa) mereka dan untuk memperoleh kembali tena ga dalam yang hilang karenanya, mereka harus berlatih sedikitnya setahun. Siauw Houwtjoe adalah bocah nakal yang tak kenal takut. Tapi, menyaksikan peradu an tenaga yang demikian hebat, ia terkesiap dan hanya dapat mengawaskan dengan mulut ternganga. Dengan h ati kagum, ia menyaksikan bagaimana Ismet dan Achmad "menyambut" kedua anak pana h itu dengan pundak mereka. Tanpa mempunyai tenaga dalam yang sudah mencapai puncak kesempurnaan, tulang serta otot-otot pun dak mereka tentu sudah ditembusi dan dihancurkan dua anak panah itu. Dengan Iwee kang mereka yang luar biasa dahsyatnya, Ismet dan Achmad sudah dapat membuat ter pentalnya kedua anak panah itu, yang masih mempunyai tenaga begitu besar, sehing ga menancap di batu. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan, bagaimana hebatnya pe raduan tenaga yang terjadi barusan. Begitu kagum Siauw Houwtjoe dibuatnya sehingga ia tak dapat mengeluarkan ejekan pula. Sebaliknya, buru-buru ia mendekati kedua saudara itu dan membangunkan mereka. Ismet mendelik dan loncat bangun. "Bocah! Hatimu baik sekali," katanya sembari m enjambret si nakal yang lalu diputar beberapa kali, sedang dengan tangan kirinya ia menepuk punggung si bocah. Ie Sin Tjoe jadi terkejut, buru-buru ia loncat untuk menolong. Tapi tangan Ismet cepat luar biasa, dalam sekejap mata sudah tiga kali ia menepuk punggung Siauw Houwtjoe yang lalu didorongnya pergi. Mendadak saja, si nakal merasakan perutnya mulas dan gegerugukan. Ia lari dan be rsembunyi di belakang sebuah batu besar. "Kenapa kau?" tanya Sin Tjoe. Siauw Houwtjoe me-nongolkan kepalanya dan menjawab: "Jangan kemari. Aku mau buan g air." Si nona mendongkol berbareng geli hatinya, tetapi di samping itu, demi melihat p aras muka Siauw Houwtjoe tidak berubah, hatinya menjadi lega. Tiba-tiba terdengar teriakan Hek Moko: "Sin Tjoe! Dengan memandang budi yang dil epasnya kepada Soetee-mu ( Soetee berarti adik seperguruan, yaitu Siauw Houwtjoe), antarlah mereka keluar." "Hek Moko!" kata Ismet dengan suara mendongkol. "Tak sudi aku menerima budimu!" "Jika kau masih ingin mengadu tenaga, sedikitnya kau harus menunggu setahun lagi." kata Hek Moko. "Lihatlah! Aku masih mempunyai sebatang anak panah. Biarlah aku menggunakan ini untuk membuka jalan." Berbareng dengan diucapkannya perkataan itu, sebatang anak panah emas menyambar pilar batu yang berada di depan Ismet dan pilar itu lantas saja terbelah dua. Is met mengarti, bahwa dengan anak panah itu, Hek Moko ingin memperlihatkan keangke rannya. Ia tertawa dingin seraya berkata: "Sungguh angker! Tapi keangke-ranmu hanya untuk satu tahun." Sehabis berkata begitu, ia m enuntun saudaranya dan berjalan keluar dari barisan batu itu dengan diantar oleh Ie Sin Tjoe. Sesudah keluar dari tin (barisan) sembari memandang si nona, Ismet menanya: "Apakah kau murid dua silu- man itu?" Guruku adalah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong," jawabnya. "Hm! Thio Tan Hong!" kata Ismet. "Baiklah. Aku menerima baik budimu ini. Aku tak akan melupakannya." Sesudah kedua saudara itu berlalu, Sin Tjoe segera masuk pula ke dalam barisan b atu, dari mana ia mengambil pulang tiga anak panah emas itu. Waktu tiba di pintu Seng, ia bertemu dengan Siauw Houwtjoe yang, sungguh mengherankan, telah menjad i pucat mukanya dan agak lebih kurus. "Kenapa kau?" tanya Sin Tjoe. "Tak apa-apa," jawabnya. "Aku tadi buang-buang air, tapi badanku sekarang rasany a nyaman sekali." Harus diketahui, bahwa Ismet mempunyai semacam ilmu mengurut yang sangat liehay, yang dapat menyembuhkan macam-macam penyakit. Waktu Siauw Ho uwtjoe bermula belajar Iweekang, ia telah berlatih secara melewati batas karena ingin mendapat kemajuan pesat. Sebagai akibatnya, kadang-kadang ia merasakan dadanya mendeluh, tapi ia sendiri tidak menyadari, bahwa ia menderita semacam penyakit dalam. Seba gai seorang ahli, dengan sekali melirik saja, Ismet sudah mengetahui penyakit bocah itu. Dengan menepuk tiga kali ia menjalankan darah Siauw Houwtjoe , sehingga semua "hawa kotor" turun ke bawah dan keluar sebagai kotoran dan "haw a bersih" naik ke atas. Bantuan Ismet itu sangat besar faedahnya dan akan banyak mem- bantu latihan Siauw Houwtjoe di hari kemudian. "Tak heran, jika kedua guruku sudah meminjam kamar gurumu untuk berlatih," kata Siauw Houwtjoe. "Ternyata, mereka harus bertempur dengan dua siluman itu." "Lagi kapan kau bertemu dengan kedua gurumu?" tanya Sin Tjoe. "Malam itu, sesudah mengurung Hoan Eng di dalam kamar, aku keluar untuk mencari ayah," cerita si nakal. "Setibanya di mulut dusun, aku bertemu kedua guruku itu. Aku kenal mereka, karena mereka pernah berkunjung di rumahku. Begitu bertemu, T oa-soehoe Hek Moko lantas saja berkata: "Siauw Houwtjoe, ada orang jahat yang ma u mencari ayahmu. Lebih baik kau jangan pulang. Aku se- gera mengatakan, bahwa, jika benar ada orang jahat mau mencari ayahku, lebih-leb ih aku perlu buru-buru pulang untuk memberitahukannya. Djiesoehoe Pek Moko lanta s saja membujuk. Katanya: Siauw Houwtjoe, kepandaianmu masih sangat cetek, tak d apat kau membantu ayahmu. Jika kau pulang, ayahmu berbalik harus melindungi kau dan kau sendiri pun mungkin dilukakan orang. Aku tahu, dua orang jahat itu bukan tandingan ayahmu. Lebih baik kau mengikut kami. Aku akan membawa kau pergi menemui Thio Tan Hong. Dulu, ayahmu pernah mengatakan kepadaku, bahwa ia ingin sekali kau belajar silat kepada Thio Tan Hong. Kedatangan kami kali ini, adalah untuk menga- jak kau pergi, tapi tak dinyana, ayahmu kebetulan menemui urusan penting. Di lai n pihak, kami juga tak dapat berayal lagi dan perlu buru-buru mencari Thio Tan H ong. Maka itu, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak menemui ayahmu dulu da n meninggalkan suatu tanda saja di depan rumahmu. Malam ini, sesudah mengusir ke dua orang jahat itu, ayahmu pasti akan menyusul kita. Sekian bujukan Djiesoehoe dan aku segera menurut. Hm! Sin Tjoe Tjietjie, kau sudah bertemu dengan ayahku, kenapa ia tidak datang bersama-sama kau?" Mendengar cerita itu yang ditutup dengan pertanyaan, si nona jadi sangat berduka . "Ah, sungguh sayang Hek Pek Moko hanya melihat dua orang yang datang lebih dulu," katanya di dalam hati. "Sungguh sayang, mereka hanya melihat Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng yang di kirim Kie Giok. Mereka tak mengetahui, bahwa dua orang kaki tangan Kie Tin belakangan juga menyusul. Jika mereka tahu, biar b agaimana juga, mereka tentu akan membantu." "i Tjietjie!" kata Siauw Houwtjoe dengan tidak sabar, karena si nona bungkem ter us. "Kau kenapa? Kenapa matamu merah? Apakah kau dimaki ayahku yang sungkan mene rima kau? Benarkah begitu? Ah, sudahlah! Jangan menangis! Ayahku pernah mengatak an, biar darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak keluar..." Hati Siauw Houwtjoe sangat heran melihat air mata Sin Tjoe berketel-ketel. Ia te ringat, bah- wa Sin Tjoe bukan seorang laki, sehingga perkataan ayahnya tidak sesuai untuk tjietjie itu. Mendadak Sin Tjoe membuka mulutnya dan berkata dengan suara terputus-putus: "Aya hmu... telah... telah... dibinasakan orang!" Bagi telinga Siauw Houwtjoe kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari bol ong. "Apa?" teriaknya. "Dibinasakan orang?" Si nona manggut dan menjawab dengan suara serak: "Dibinasakan kawanan manusia keparat itu!" Siauw Houwtjoe ternganga. Tiba-tiba ia berteriak dengan suara tak wajar: "Justa! Ayahku jarang ada tandingannya. Mana mungkin ia dibinasakan orang?" Sambil menahan air mata, Ie Sin Tjoe me- ngeluarkan golok Bianto dan sobekan baju Thio Hong Hoe yang berlumuran darah unt uk diserahkan kepada Siauw Houwtjoe. "Siauw Houwtjoe, benar katamu," katanya dengan suara sedih. "Ayahmu adalah seora ng jago yang jarang tandingannya. Orang-orang jahat itu semuanya sudah dibinasak an-nya sendiri, sakit hatinya semua sudah dibalas dengan tangannya sendiri." Muka bocah itu mendadak menjadi pucat bagaikan kertas. Ia hanya dapat mengeluark an sepatah kata: "Ayahku..." "Biar pun mati, ayahmu mati dengan mata meram," Sin Tjoe membujuk. "Golok mustik a itu ditinggalkan untukmu." Kedua mata Siauw Houwtjoe menjadi me- rah bagaikan darah, ia mengawasi Sin Tjoe dengan mata beringas. Tiba-tiba ia men gangkat tinjunya dan menumbuk dadanya sendiri serta kemudian menangis menggerung-gerung. Si nona mengeluarkan saputangannya dan menyusuti air mata bocah itu dengan hati penuh kedukaan. "Siauw Houwtjoe," katanya dengan lemah lembut serta perlahan. "Ayahmu bukankah pernah berkata, biarpun darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak akan keluar." Sekonyong-konlong bocah itu menghunus Bianto itu dan membacok beberapa kali di u dara. "Baiklah! Aku memang tak boleh menangis," katanya, tapi air matanya masih terus mengucur. "Aku bersumpah akan membinasakan semua orang jahat dalam dunia dengan golok ini!" kata Siauw Ho uwtjoe dengan suara gergetan. "i Tjietjie, aku mohon kau mengajarkan aku ilmu si lat." "Asal mau dan rajin belajar, di kemudian hari kau pasti akan mempunyai ilmu yang sangat tinggi," kata si nona. "Kedua gurumu dan guruku sendiri sudah tentu akan menurunkan segala kepandaian mereka kepadamu." Sedang mulutnya membujuk bocah itu, hati si nona sendiri justru seakan-akan diir is-iris. Ia ingat, bahwa sakit hati Thio Hong Hoe sudah terbalas himpas, tapi sa kit hati ayahnya sendiri, siapa yang akan dapat mem-balaskannya? Ia menghibur Si auw Houwtjoe, tapi air matanya sendiri terus berketel-ketel turun. "Ah! Mengapa kamu menangis berdua-dua?" demikian terdengar pertanyaan Hek Moko yang tanpa diketahui sudah berada di damping mereka. "Thio Hong Hoe Peh-peh telah meninggal dunia, aku sedang membujuk supaya ia jangan terlalu bersedih," kata Sin Tjoe. "Ha? Thio Hong Hoe mati? Apakah gara-gara urusan malam itu?" tanya Hek Moko deng an suara terkejut. Sin Tjoe lantas saja menuturkan, bagaimana Thio Hong Hoe sudah binasa secara lak i-laki, sesudah, dengan tangan sendiri, membunuh semua penyerangnya. "Bagus! Dia hidup sebagai laki-laki, mati juga sebagai laki-laki," kata Hek Moko . "Siauw Houwtjoe! Kau harus merasa bangga mempu- nyai ayah seperti ia." Ia berpaling kepada Sin Tjoe dan berkata pula: "Sebenarny a aku harus membiarkan kau mengajak Siauw Houwtjoe pergi mencari gurumu. Tapi, m engingat ilmu silat bocah itu masih sangat cetek, sehingga akan membikin kau ber abe saja dalam perjalanan jauh, maka lebih baik aku akan mengajaknya ke India un tuk dua tahun lamanya. Sesudah ia mempunyai kepandaian yang agaknya cukup tinggi , baru aku akan mengirimnya kepada gurumu. Bagaimana pendapatmu?" "Aku setuju," sahut si nona. "Rencana kalian adalah untuk kebaikan Siauw Houwtjo e. Hm! Sekarang aku minta kau menceritakan hal guruku." "Gurumu telah memberitahukan, bahwa ia ingin pergi ke Taylie, di Hoenlam," Hek Moko menerangkan, "i Thay-soetjouw-mu ya ng berdiam di gunung Tiamtjong san di Taylie, tahun ini akan merayakan hari ulang t ahunnya yang ke delapan puluh satu. Maka, kepergian gurumu kali ini mempunyai du a tujuan, yaitu untuk menyingkir dari bencana dan berbareng untuk memberi selama t panjang umur kepada Thaysoe tjou w - m u." Thaysoetjouw I e Sin Tjoe adalah Hian Kie Itsoe yang dulu pernah bermusuhan deng an Siangkoan Thian Ya. Sepuluh tahun berselang, sesudah kedua lawan itu berbalik menjadi kawan, mereka bersama-sama mengundurkan diri dan hidup bersembunyi di p egunungan. Hal itu sudah diketahui Sin Tjoe dari cerita gurunya, tapi baru sekarang ia mengetahui bahwa kedua orang tua itu berdi am di Tiamtjong san. "Gurumu menunggu tiga hari lamanya dan karena kau belum juga pulang, ia terpaksa lantas berangkat," kata Hek Moko pula. "Menurut katanya, dalam kamar buku ia te lah meninggalkan sepucuk surat untukmu." Mendengar, bahwa sang guru sudah menunggu ia tiga hari lamanya, Sin Tjoe jadi le bih-lebih merasakan kecintaan guru itu dan jadi sangat menyesal, bahwa ia tidak pulang lebih cepat. "Menurut dugaanku, sesudah mendapat hajaran keras, untuk sementara, Wiesoe-wieso e itu tentu tidak berani menyatroni pula," kata Hek Moko lagi se- sudah berdiam beberapa saat. "Perjalanan ke Hoenlam bukan perjalanan dekat. Maka itu, kuharap kau berlaku hati-hati di tengah jalan. Di ke mudian hari, kami juga ingin menyambangi gurumu di Hoenlam dengan mengambil jalan dari Birma. Nanti, kalau kau bertemu dengan gurumu, harap kau me nanyakan keseha- tannya atas nama kami." Sesudah berkata begitu, bersama saudaranya dan Siauw Houwtjoe, Hek Moko segera berangkat. Setelah berada seorang diri, dengan hati duka si nona pergi ke kamar buku Thio T an Hong. Oleh karena sering melayani sang guru menulis surat, ia mengetahui bahw a gurunya biasa menyimpan surat-surat pribadinya di dalam laci tengah meja tulisnya. Benar saja, begitu menarik keluar laci tersebut, di dalamnya terd apat dua pucuk surat, satu untuknya sendiri, yang lain untuk Tjioe San Bin, di s amping itu terdapat sepasang bendera merah kecil, sehelai tersulam matahari, sedang yang lain bulan sabit. Ie Sin Tjoe lantas saja merobek amplop surat dengan namanya. Dalam amplop itu, s elain sepucuk surat, terdapat sebuah lukisan seorang laki-laki dan seorang perem puan setengah tua yang berparas cakap dan angker. Si nona lantas saja membaca su rat itu yang isinya kira-kira seperti berikut: Dipersembahkan untuk muridku Sin Tjoe: Sungguh kaget hatiku, ketika mendengar beri- ta wafatnya ayahmu. Sungguh aku berduka, jika mengingat, bagaimana Kaizar Beng s udah memusnakan Tembok Besar dengan tangannya sendiri dan jika mengingat, bahwa aku sendiri sudah kehilangan seorang guru, seorang sahabat. Satu hai aku tahu, b ahwa orang yang bersedih hati, bukan hanya kau dan aku berdua saja. Aku hanya mengharap, supaya dengan mengingat adanya kekalutan dalam dunia dan ke sukaran dalam negara kita, kau jangan terlalu bersedih. Aku berharap supaya kau dapat menerusk an cita-cita mendiang ayahmu, agar tak mengecewakan penghargaan seluruh rakyat. Aku tahu, bahwa Taysia nghong ada/ah manusia kejam dan bah- wa, begitu lekas ia naik lagi ke atas tachta, ia tentu akan membasmi menteri-men teri yang berjasa. Gunung ini yang gampang disatroni pasukan kaizar, bukan tempat yang sentosa. Aku sebenarnya tidak memikirkan keselamatan jiwa sendiri. Tapi sebagaimana kau tahu, suku Lie tjin (l eluhur orang Boan) telah bergerak di daerah Utara timur, sedang orang-orang Jepa ng sering menyatroni pasi-sir Tenggara, sehingga pada waktu ini, kita seharusnya bersatu padu untuk menghadapi bahaya dari luar. Kau tentu tahu, bahwa keharusan bersatu itu merupakan cita-citaku semenjak dulu. Aku selamanya tidak mau bersat u dengan pihak kerajaan. Itulah sebabnya, mengapa, guna menyingkir dari mara bahaya, untuk sementara wakt u aku ingin bersembunyi di Hoenlam selatan. Berbareng dengan itu, akupun ingin m emberi selamat panjang umur kepada Thaysoetjouw-mu. Aku tahu kau tentu akan segera menyusul. Akan tetapi, sekarang ini ada suatu uru san penting yang kuminta kau mengerjakannya. Sepasang bendera yang terlampir di sini harus disimpan baik-baik olehmu, sebagai semacam pertandaan. Dengan membawa surat yang kutinggalkan, kau harus segera berangkat ke Utara. Jika bertemu dengan pasangan suami is teri yang romannya mirip dengan gambar terlampir, kau harus mengetahui, bahwa pa- sangan itu adalah suami is teri Kim too Siauwtjeetjoe Tjioe San Bin. Sekian surat itu. Sesudah selesai membaca, walaupun masih sedih, si nona agak terhibur juga oleh p esan sang guru yang ia cintai itu. Tanpa berayal lagi, ia segera menyemplak kuda nya dan turun gunung. Tentang riwayat Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian, sudah sering ia mendengar gurunya be rceritera. "Tjioe Kian sudah tua dan segala urusan katanya diserahkan kepada put e-ranya," pikir si nona. "Tapi kenapa suami isteri Tjioe San Bin berani masuk ke wilayah Tionggoan? Dan dengan cara apa guruku bisa mengetahui itu?" Hatinya san gsi, tapi karena ia percaya, bahwa gurunya tidak akan bicara sembarangan, ia meneruskan perjalanannya ke Utara dengan hati tetap. Setibanya di tepi telaga, Sin Tjoe merasa agak bingung, karena di atas telaga ya ng luas itu, tidak kelihatan sebuah perahu pun. Selagi diliputi kejengkelan, tib a-tiba dari antara cabang-cabang pohon Yanglioe yang tumbuh di pinggir air, munc ul sebuah perahu kecil. "Ie Kouwnio (Nona Ie)." kata seorang penangkap ikan yang mengemudikan perahu itu . "Apakah kau mau pergi ke Boesek? Apakah kau tidak mengenali aku? Aku adalah Si e Loosam yang tinggal di Pipa lim di lereng gunung." Di gunung Tongteng san Barat terdapat ra- tusan keluarga. Sesudah berdiam delapan tahun lamanya di gunung itu, walaupun ti dak dapat mengingat semua nama, Sin Tjoe mengenal sebagian besar penduduk di situ. Demikianlah, begitu si penangkap ikan menyebut namanya. Sin Tjoe segera mengenalnya kembali. "Tadi waktu aku mendaki gunung, bukankah kau juga berada di atas gunung?" tanya Sin Tjoe dengan rasa agak jengah. "Tak mengherankan jika kau tidak mengenali, ka rena aku mengenakan pakaian lelaki. Benar besar nyalimu. Orang lain semua pada b ersembunyi." "Aku tahu kau ingin menyeberang, maka aku sudah sengaja menunggu di sini," kata Sie Loosam. "Nona, kau naiklah." Sembari berkata be- gitu, ia menuntun si Putih ke perahu dan sesudah Sin Tjoe loncat turun, ia seger a menggayuti perahunya. "Baik juga kalian dapat mengalahkan orang-orang jahat it u," kata si penangkap ikan. "Jika tidak, kami semua tentu tak berani muncul. Thi o Tayhiap benar-benar baik. Sebelum berangkat ia sudah mengetahui akan datangnya manusia-manusia itu dan menasehatkan kami untuk menyingkir sementara waktu. Hm! Ke mana ia pergi? Kapan pulangnya?" Perahu itu laju cepat sekali. Mengingat pengalaman-pengalaman yang membahagiakan selama delapan tahun berdiam di Tongten g Santjhoeng, hati si nona jadi terharu dan dengan mata mende-long, ia mengawasi puncak-puncak gunung yang semakin lama menjadi semakin jauh. "Ya!" katanya sambil menghela napas. "Gu ruku telah pergi ke tempat jauh, jauh sekali. Tapi ia sangat menyintai tempat in i. Kurasa beberapa tahun kemudian, lama atau cepat, ia tentu akan kembali." Sembari bercakap-cakap, tidak lama kemudian, perahu itu sudah tiba di Boesek. Se sudah menghaturkan terima kasih pada Sie Loosam, Sin Tjoe segera meneruskan perj alanannya dengan menunggang kuda. Pada hari kedua, sembari jalan, hati Sin Tjoe merasa heran karena di sepanjang j alan ia bertemu dengan orang-orang yang kelihatan menyurigakan. Di waktu magrib, selagi ingin mempercepat lari kudanya supaya bisa buru-buru tiba di sebuah kota kecil, dua penunggang kuda tiba-tiba melewatinya, yang seorang brewokan mukanya, yang lain seorang pengemis. Pengemis itu, yang pakaiannya penuh tambalan, menunggang seekor kuda besar yang garang, sedang pelananya pun indah s ekali. Begitu melewati si nona, Ia menengok dan berkata sembari tertawa: "Ie Siangkong ... Ie Kouwnio, Toa-iiongtauw kami tak dapat melupakan kau. Bagus! Kau juga datang ke sini. Atas nama Toaiiongtauw , aku menanyakan keselamatanmu." Sembari berkata begitu, ia mengangkat tongkatnya dan memberi hormat dengan cara yang lucu sekali. Si nona lantas saja mengenali, bahwa pengemis itu adalah Pit Van Kiong. Dengan rasa malu dan gusar, ia menimpukkan sekuntum bunga emas seraya membentak: "Siapa ke-sudian menerima hormat segala pengemis jorok!" Senjata rah asia itu menyambar jitu sekali dan Tahkauw pang (tongkat pemukul anjing) si pengemis terlepas dari tangannya. Tubuh Pit Yan Kiong melesat dari at as pelana dan dengan suatu gerakan indah, menangkap tongkatnya yang sedang melay ang jatuh, akan kemudian, dengan sekali jungkir balik, ia sudah duduk lagi di at as pelana. "Umumnya, jika kita berlaku hormat, semua orang akan merasa senang," katanya sem bari nyengir. "Tapi kau sebaliknya. Biarpun kau jempol, tak pantas kau menghajar seorang yang berlaku begitu hor- mat terhadapmu. Hm! Nona mantu itu benar-benar sukar diurus!" Sembari mengejek, buru-buru ia mengeprak kudanya yang lantas saja lari kabur. Bukan main gusarnya Sin Tjoe. Jika menuruti adatnya, ia tentu sudah menyusul dan memberi persen si mulut jail dengan dua bunga emas. Akan tetapi, karena sungkan diketahui orang, bahwa ia sebenarnya adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria dan juga karena merasa malu, jika dipa nggil "nona mantu", maka sebaliknya dari mengubar, ia menahan-nahan les kudanya supaya jangan berdekatan dengan pengemis itu. Sesudah melarikan kudanya beberapa lama, kota kecil itu sudah terlihat di depan mata. Sekonyong- konyong di belakang Sin Tjoe kembali terdengar kelenengan kuda dan bagaikan kila t seekor kuda lewat di sampingnya. Si penunggang kuda agaknya sedang kesusu dan tak hentinya menyambuk tunggangannya itu. Entah disengaja atau tidak, selagi lew at, cambuknya sudah menghantam kuda si nona. Tjiauwya Saytjoe adalah seekor kuda mustika yang belum pernah dicambuk oleh maji kannya. Demikianlah, begitu kecambuk, adatnya keluar. Sembari berbenger, ia mene ndang dengan kaki depannya. Si penunggang kuda, seorang hweeshio (paderi) yang b erbadan gemuk, memutarkan badan dan menahan kaki kuda itu dengan sebelah tangannya, sehingga Tjiauwya Saytjoe mundur terhuyung beberapa tindak. Ie Sin Tjoe terkesiap. Harus diketahui bahwa tendangan si Putih mempunyai tenaga lima atau enam ratus kati dan dari sini dapat dibayangkan, betapa besar t enaga si paderi gemuk. Sin Tjoe tak sempat berpikir banyak-banyak. Sekali mengayun tangan, sekuntum bun ga emas lantas menyambar. Sesaat itu, si hweeshio sudah berada dalam jarak belas an tombak. Begitu mendengar suara menyambarnya senjata rahasia, ia menyabet deng an pecutnya yang jitu mengenai bunga emas itu. "Oleh karena terburu-buru, aku sudah kesalahan menyabet kuda mestikamu," katanya sembari memberi hormat. "Kuharap Siauwko sudi memaafkan." Ie Sin Tjoe yang sudah bersiap untuk bertempur, menjadi sabar lagi sesudah mendengar permintaan maaf itu. Di samping itu, ia pun ingat, bahwa ia sendiri mempunyai tugas yang sangat penting. Maka, urusan itu lantas sa ja menjadi beres sampai di situ. Ketika Sin Tjoe tiba di dalam kota, siang sudah berganti malam. Selagi mau masuk di sebuah rumah penginapan, mendadak ia melihat kuda Pit Yan Kiong tertambat di depan gedung. Melihat begitu, lantas saja ia berubah pikiran dan mengambil putu san untuk meneruskan perjalanan. Tapi di lain saat, ia jadi terpaku dan m atanya mengawasi serupa benda yang menarik seluruh perhatiannya. Rumah penginapan itu adalah sebuah gedung dua tingkat yang sangat indah dan berb entuk delapan pa-segi. Kamar-kamar tamu terletak di atas loteng, sedang di bawah loteng terdapat ruangan besar yang diperaboti indah dan digunakan sebagai resto ran. Bahwa dalam sebuah kota kecil terdapat rumah makan yang begitu indah, sudah merupakan suatu keheranan. Tapi apa yang mengagetkan Sin Tjoe adalah dua gambar yang ditempelkan di tembok, di kiri kanan pintu tengah, sebuah gambar merupakan matahari merah yang bundar, gambar yang lain berupa bulan sabit. Sekali melihat, ia mengetahui, bahwa kedua gambar itu belum lama dilukisnya. Terang- terangan, itu adalah Djitgoat Siangkie (Sepasang bendera matahari bulan) Tjioe S an Bin. Sesudah bersangsi sebentar, Sin Tjoe turun dari kudanya yang lalu ditambat pada sebuah tihang. Begitu masuk di ruangan restoran, ia melihat belasan orang yang d uduk pada lima enam meja. Menurut kebiasaan, jika begitu banyak orang makan minum dalam suatu restoran, ri butnya tak kepalang. Sungguh heran, ruangan itu sunyi senyap dan semua orang mem perlihatkan paras sungguh-sungguh, seolah-olah mereka berada disuatu tempat kera mat. Pit Yan Kiong dan kawannya yang brewokan, duduk pada sebuah meja di dekat j endela sebelah barat. Melihat Sin Tjoe, ia mesem, sehingga hati si nona jadi berdebar-debar, tapi syuk ur ia tidak mengeluarkan kata yang gila-gila. Si hweeshio gemuk duduk sendirian pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Tjoe. Dengan rasa tertindih, Sin Tjoe mengambil tempat duduk, yang berdekatan dengan j endela. Ketika pelayan restoran mengampiri, dengan sikap acuh tak acuh, ia menge luarkan Djitgoat Siangkie dari sakunya. Pelayan itu manggut-manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara perlahan: "Tuan ingin makan apa?" Si nona lantas saja minta setengah kati daging kerbau asin dan satu kati arak pu tih. Pelayan itu mengawasi dan paras mukanya mengunjuk perasaan sangsi. Sesaat itu, Sin Tjoe menyapu beberapa meja dengan matanya. Tiba-tiba saja ia menjadi heran karena di atas setiap meja terdapat semangkok sayur ikan masak kuwa yang asapnya masih mengebul-ngebul. Kenapa mereka dengan serentak memesan makanan yang sama? Mendadak si hweeshio gemuk yang sedang minum arak sendirian, berteriak: "Hei! Ma na makanan yang kupesan?" "i Taysoe pesan apa?" tanya pelayan restoran. "Begitu datang, aku lantas memesan," jawabnya dengan suara mendongkol. "Aku minta Angsio kaki babi. Bagaimana sih? Ba ru dipesan, sudah lantas lupa?" "Maaflah," kata si pelayan sembari ter- tawa. "Kawanku yang barusan melayani taysoe , sedang ke dapur. Biarlah kutengok. " Para tamu mengawasi hweeshio itu, tapi mereka tidak berkata suatu apa. Beberapa saat kemudian, salah orang bangun dan terus naik ke loteng, entah ingin menengok kawan, entah dia sendiri menginap di kamar atas. Lewat lagi beberapa detik, seo rang lain menyusul ke atas. Tanpa sebab, si hweeshio gemuk mendadak tertawa ding in. Setelah itu, seorang pelayan keluar dengan semangkok ikan masak kuwa yang masih mengebul dan membawa masakan itu ke meja Pit Yan Kiong. Tiba-tiba si paderi berbangkit dan berteriak: "Hei! Aku memesan lebih dulu, kena pa dia yang lebih dulu dilayani!" "Jangan gusar, taysoe," kata si-pelayan sembari tertawa. "Pesanan taysoe akan segera datang." Paderi itu segera meninggalkan mejanya dan berjalan dengan tindakan lebar. Sin Tjoe mula-mula menduga bahwa ia ingin memprotes kepada pengu rus restoran, tapi tak dinyana, begitu berdekatan, ia menyikut si pelayan yang kontan jatuh kejengkang dan semangkok sa ntapan itu berhamburan di lantai. Pit Yan Kiong dan kawannya yang berbadan kasar, loncat menyingkir, tapi tak urung kecipratan kuwa juga. "Kalde gundul!" bentak kawan Pit Yan Kiong. "Benar-benar kau mau cari-cari?" Sem bari mencaci, tinjunya menyambar. "Tanganku sedang ga- tal," jawab si paderi. "Tak menghajar kau, mau menghajar siapa lagi? Dengan tang an kiri, ia menangkap tinju yang menyambar itu, sedang tangan kanannya, dengan g erakan Toeitjhoeng bonggoat (Menolak jendela memandang rembulan), menyanggapi sikut lawannya yang lantas didorong dengan keras. Saat itu juga, badan orang yang besa r itu "terbang" ke arah meja pengurus restoran. Pengurus restoran itu adalah seorang tua yang berkumis putih. Selagi tubuh orang itu melayang ke arahnya, ia mengangkat shoei-phoa (alat menghitung Tionghoa) da n mendorong. "Celaka! Kalian merusakkan perabotan di sini!" ia berseru. Kelihata nnya, orang tua itu mendorong tanpa bertenaga, tapi... be- gitu didorong, tubuh kawan Pit Van Kiong terpental kembali! Ie Sin Tjoe terke-m siap. Itulah suatu ilmu menyerang dengan meminjam tenaga mus uh, yaitu ilmu dari tingkatan atas. Lelaki itu juga ternyata bukan sembarang orang. Dengan meminjam tenaga mendorong dari si pengurus restoran, ia jungkir balik di tengah udara, akan kemudian menendang sebuah meja yang lantas s aja terbelah menjadi empat potong, satu di antara menyambar Ie Sin Tjoe yang seg era menyam-poknya. Tiga potongan lain yang melesat ke arah beberapa orang, juga sudah terpukul jatuh. Dengan demikian, dapatlah diketahui, bahwa semua orang yang berada di situ, berikut pengurus restoran itu juga, mem- punyai ilmu silat yang tidak cetek. Sementara itu, si hweeshio sudah menyerang pula secara bertubi-tubi dan orang itu segera jadi keteter. "Siapa-sia pa yang tak tahu malu, boleh maju ke sini!" tantang si gemuk. Para tamu jadi men dongkol, tapi oleh karena mereka itu adalah orang-orang Ka-ngouw yang berkeduduk an tinggi, walaupun mendeluh, tiada satu yang turun tangan. Beberapa saat kemudian, Pit Van Kiong bangun dan berkata sembari tertawa: "Aku s i pengemis adalah seorang yang paling tidak memperdulikan soal muka." Berbareng dengan ucapan itu, ia menotok pinggang si paderi dengan tongkatnya. Biarpun berbadan gemuk, paderi itu gesit se- kali. Sembari memutarkan tubuh, ia menyam-pok totokan itu dengan tangan kanan, s edang tangan kirinya menepuk dada si pengemis. Pit Van Kiong mengetahui, bahwa p ukulan itu adalah pukulan Tiat pipee (Pipee, semacam alat musik Tionghoa, besi) dari Siauwlim pay, yang disertai dengan tenaga dalam, sehingga, jika kena, tulan g dadanya pasti akan menjadi patah. Tanpa berayal pula, sesudah memunahkan pukulan itu, Pit Van Kiong segera menyera ng dengan ilmu tongkat keluarga Pit. Dibantu dengan silat Ngoheng koen dari kawa nnya, ia menyerang bagaikan hujan dan angin, sehingga pertempuran menjadi hebat luar biasa. Si pengurus restoran tak hentinya teriak, tapi ketiga orang itu yang sedang berapi-api, tentu saja tidak menggubris. Sementara itu, dari luar kembali masuk dua tamu laki-laki, seorang tua dan seora ng muda. Vang tua berbadan seperti seorang dusun dengan tangan menye-kal hoentjw ee (pipa panjang), sedang muda, yang berusia tiga puluh tahun lebih, berbadan ka te gemuk, seperti juga buah labu. Begitu mereka masuk, semua mata lantas ditujuk an ke arah mereka. Si orang tua melirik ke sekitarnya, lalu ia menyedot hoentjwee-nya, habis mana, seraya menuding dengan pipa panjangnya itu, ia menegur pengurus restoran. "Keadaan kacau begini, tuan pengurus, mengapa kau diamkan saja?" demikian tany a- nya. Pengurus itu memberi hormat. "Menyesal, Kwee Lootiatjoe dan Beng Toatia," menyahut dia. "Kami yang membuka ru mah makan tidak berani mendapat salah dari tetamu-tetamu kami..." Hatinya Sin Tjoe tergerak mendengar disebutnya she dari kedua orang itu. Ia pern ah dengar dari gurunya bahwa di antara orang-orang kosen di lima propinsi Utara ada Kwee Seng Tay, begal tunggal dari propinsi Shoatang, yang romannya mirip ora ng dusun, yang senjatanya ada sebatang hoen-tjwee, yang sebenarnya diperantikan menotok jalan darah, sedang muridnya, Beng Tiang Seng namanya, bertubuh kate gem uk bagaikan labu, dia pandai ilmu silat bergulingan Teetong koen. Rupanya mereka inilah dua orang itu. Mendengar jawaban itu, si orang tua mengkerutkan kening. "Tetamu yang pantas dihormati mesti dihormati, tetapi yang suka menerbitkan onar mesti diurus," katanya. "Nah, kau uruslah mereka, untuk segala akibatnya aku si orang tua yang akan bertanggung jawab!" Pengurus itu ber-sangsi sejenak, lantas ia maju ke kalangan. "Tuan-tuan," ia berkata, "dengan memandang kepada Kwee Lootiatjoe, aku minta suk alah kamu menghentikan pertempuran, aku yang rendah suka menghaturkan maaf kepad a kamu..." "Apa sih Kwee Lootiatjoe?" berkata si paderi. "Jikalau kau hen- dak menghaturkan maaf, nah kau berlututlah tiga kali dan mengangguk-angguk hingga k epalamu berbunyi nyaring serta kau memanggil engkong kepadaku!" Ia berkata demikian akan tetapi kedua tangannya tidak berhenti bekerja, hingga beruntun dua kali terdeng ar suara nyaring. Dengan tangan kini ia hajar si orang bertubuh kasar hingga dia terjungk al dan dengan tangan kanannya menyampok terbang tongkatnya Pit Yan (Goan) Kiong. Ie Sin Tjoe menyaksikan itu, ia terkejut. Terang orang telah menggunai jurus-jur us "Liongkoen" dan "Pakoen" atau kepalan-kepalan "Naga" dan "Macan tutul" dari i lmu silat "Lo Han Koen," yang Hek Pek Moko telah ajarkan kepada Siauw Houwtjoe. Mestinya si paderi hendak mencari onar, di saat ada orang yang m encampur tangan, baharu dia keluarkan kepandaiannya itu. Kwee Seng Tay mengurut kumisnya dan si pengurus restoran batuk-batuk. "i Toasoehoe, kau mengacau, aku yang rendah terpaksa meminta kau p ergi keluar!" berkata pengurus restoran ini seraya kedua tangannya diulur kepada pundaknya paderi gemuk itu. Ia tua dan kurus tetapi kedua tangannya itu memainkan ilmu silat Eng Djiauw Kong si Kuku Garuda. Si paderi mendak, untuk membebaskan diri, tapi tidak urung ia merasakan pundakny a sakit dan pedas, maka itu, ia menjadi terkejut, sedang si pengurus res- toran heran yang cengkeramannya itu lolos. "Uangku bukan uang bau amis, kau membuka rumah makan, mengapa kau larang aku dah ar?" si hweeshio tanya. "Hm, kau hendak usir aku, maka biarlah aku rabuh dulu ru mah makanmu ini!" Kata-kata ini ditutup dengan serangan kepada si pengurus restoran, malah dia men yerang terus saling susul, dengan tiga jurus lainnya dari Lo Han Koen yaitu Houw koen, Tjoakoen dan Hookoen, ialah kepalan-kepalan Naga, Ular dan burung Hoo. Mak a walaupun dia mengarti Eng Djiauw Kong, tuan rumah itu lantas saja keteter. Pit Goan Kiong pungut tongkatnya, hendak ia turun tangan, akan tetapi kapan ia l ihat kawannya masih rebah saja, ia lantas menghampirkan. Ia ingin menolongi andaikata kawan itu terl uka. Si labu ialah Beng Tiang Seng, menjadi habis sabar. Dia lompat kepada si paderi, untuk menerjang, atas mana, paderi itu geraki sebelah tangannya. Sin Tjoe lihat tangan itu tidak mengenai sasarannya tetapi heran, Tiang Seng lantas saja rubuh terguling seperti cupu-cupu menggelinding. "Dia kesohor kenapa dia begini tidak punya guna?" tanya nona itu dalam hatinya. "Mustahil dia roboh hanya terkena anginnya kepalan?" *** Segera ternyata, Tiang Seng hanya bersilat dengan "Laylouw takoen" atau "Keledai malas bergulingan," dan setelah berguling menghampirkan si paderi, ia s amber kaki orang. Paderi itu sudah lantas menarik kakinya itu. Atas itu, ia disu sul dengan sambe-ran lain, yang menjejak dengkulnya. Ia lantas saja menjadi repo t. Tiang Seng bukan roboh sewajarnya, dia hanya sembari menjatuhkan diri untuk bersilat dengan kepandaiannya, Teetong koen. Sangat linca h tubuhnya itu, yang bergulingan tak hentinya, malah ada kalanya, tubuhnya diban tu sama tangannya, sama pundaknya juga. Sampai di situ, Ie Sin Tjoe tertawa seorang diri. Lucu cara bersilatnya si orang she Beng itu, sedang si paderi, yang tadi kosen sekali, sekarang terpak- yang panjangnya dua kaki delapan dim, sudah terjepit otot-otot dada orang itu! S i nona mengerahkan seantero tenaga dalamnya, tapi ia masih tidak berhasil. Muka Sin Tjoe menjadi merah seperti kepiting direbus. Sekonyong-konyong ia merasa batang lehernya ditiup orang dan hampir berbareng de ngan itu, terdengar suara tertawa Siauw Houwtjoe. "Kau memang paling suka berkelahi!" kata si nakal. "Tapi bertemu dengan guruku, kau menubruk tembok. Perlu bantuan?" Si muka hitam mendadak mengendorkan otot-ototnya dan pedang si nona segera juga terlepas dari jepitan. "Sungguh tak usah malu kau menjadi murid suami isteri Thi o Tan Hong," katanya sembari tertawa. "Ke- sa main mundur. Tiba-tiba ada seorang yang berkata-kata seorang diri, kata-katanya itu berupa se ruan: "Putar kaki, tendang punggungnya! Ambil kedudukan kam, injak belakang tang annya! Ambil jalan lie, sontek hidungnya!" Kwee Seng Tay heran hingga segera ia berpaling. Ia dapatkan orang bertubuh kecil tetapi lincah agaknya. Ia mengarti bahwa orang tengah mengajari si paderi untuk bersilat dengan "Wanyo Lianhoan twie" atau "Tendangan berantai burung Wanyo" untuk memecahkan Teetong k oen dari si labu itu. Ia menjadi mendongkol. Si p aderi memang ada terlebih kosen daripada Beng Tiang Seng, begitu ia diberi petunjuk, ia lantas mela- kukan serangan membalas. Di atas ia mainkan Lo Han Ngoheng koen, di bawah dengan Wanyo Lianhoan twie itu. Tiang Seng menjadi repot berkelit, akan satu kali ia k ena didupak hingga jungkir balik! Bukan main mendongkolnya Kwee Seng Tjay, hingga ia urut-urut kumisnya dengan sen git. Mengingat derajatnya, tapinya tidak dapat ia lantas turun tangan. Pit Goan Kiong sementara itu telah dekati si orang bertubuh kecil lincah itu. Ia sudah tolong mengasi bangun kawannya, yang tidak terluka, maka itu ia sempat me nghampirkan orang. Ia kata: "Kalau tuan gatal tangan, aku si pengemis suka sekal i menemani kau main-main..." Orang kecil lincah itu menyahuti: "Satu budiman menggunai mulutnya, tidak tangannya. emdash Va, nyam-pin g ke kedudukan soen, kasi dia satu tendangan pula, aku tanggung dia bakal tak be rkutik lagi!" Perkataan yang belakangan ini ditujukan kepada si paderi, yang turut petunjuk, t erus dia ambil tempatnya dan menendang, maka kali ini, setelah tertendang terjun gkir, hingga ia membentur dua buah meja, Beng Tiang Seng benar-benar tak dapat b erkutik lagi! Pit Goan Kiong menjadi mendelu. Ia tukang mempermainkan orang, sekarang ialah ya ng kena dipermainkan. Ia mau lantas turun tangan, atau tiba-tiba ia merandak. Ia dengar tindakan kaki nyata di tangga, turun dari undakan atas. Ruang pun lantas menjadi sunyi. Apabila ia telah menoleh, ia pun lantas turut berdiam seraya menghunjuki sikap menghormat. Ie Sin Tjoe heran sekali, ia pun berpaling ke tangga lauwteng. ia melihat sepasa ng priya dan wanita umur pertengahan tengah menindak turun. Pakaian mereka itu i ndah dan roman mereka gagah. Pantas ruangan lantas menjadi sunyi. "Siapakah mereka ini, yang besar pengaruhnya?" Sin Tjoe tanya dirinya sendiri. M aka ia lantas mengawasi dengan tajam. Baharu sekarang ia mengenalinya. Merekalah yang Tan Hong suruh ia mencarinya, yang romannya tertera di dalam gambar lukisan emdash ialah suami isteri K imtoo Siauw-tjeetjoe Tjioe San Bin serta Tjio Tjoei Hong. Pengurus restoran hendak keluar dari gelanggang, tetapi si paderi menghalangi. "Pengurus tua bang-ka, tidak dapat kau berlalu!" kata dia, yang terus saja menye rang, dengan tangan kiri yang disusul tangan kanan. Maka pengurus restoran itu l antas saja terguling pula. Tapi kali ini ia roboh karena alpa, ia hendak mengham pirkan San Bin, ia tidak sangka bakal diserang. Kejadian itu, yang dianggap curang, membuat banyak orang menjadi penasaran. Mala h Kwee Seng Tay, yang matanya menjadi merah, tak dapat menguasai diri lagi, ia s udah lantas maju ke gelanggang. "Oh, Kwee Lootiatjoe , kau pun datang?" terdengar suaranya San Bin. "Maaf, tidak berani aku membuat kau cape..." Wajahnya Seng Tay menjadi merah. Ia ingat kepada derajatnya. Memang tidak pantas ia melayani si hweeshio. Ia pun berada di depan Kimtoo Siauwtjeetjoe. San Bin memandang si paderi dan lainnya. "Sebenarnya urusan apakah yang tak dapat didamaikan?" berkata ia sambil tertawa. "Marilah semua duduk, untuk pasang omong! Bukankah ini bagus?" "Kamu berkawan membantu si pengurus restoran, aku tidak takut!" berteriak si pad eri. "Bagaimana kau bisa bilang aku membantui tuan rumah?" tanya San Bin tertawa. "Co ba kau berikan alasanmu, agar orang ramai menimbang." Dua anak muda tak tahan sabar, selagi San Bin berkata-kata, me- reka hendak tarik si paderi, tetapi begitu lekas paderi itu kibasi kedua tangann ya, mereka terjungkal roboh! "Bagus betul!" berseru Seng Tay di achirnya. "Masih tidak apa kau menghina aku s i orang tua tetapi sekarang kau pun menghinai Kim..." Belum sempat orang tua ini bicara terus, San Bin sudah mengulapkan tangan kepada nya. Dia rupanya mengarti yang San Bin tidak ingin perkenalkan diri, maka dia te rus membentak: "Jikalau aku tidak ajar adat padamu, keledai gundul, aku bukannya si orang she Kwee!" Lantas dia lari kepada si paderi. Paderi itu tertawa. "Aku justeru i ngin belajar kenal sama hoentjwee-mu peranti menotok jalan darah! " dia kata menantang. Hanya, belum sampai dia dapat menyambut Seng Tay, satu bayangan sudah berlompat ke depannya seraya bayangan itu berseru: "Apakah kau kira kau tepat untuk melaya ni Kwee Lootjianpwee?" Dan seruan itu dibarengi serangan. Si paderi menjadi heran. "Ah, dia pun mengarti Loohan koen..." pikirnya. Dia lantas menangkis dengan Tiat piepee tjioe tangan kiri dan dengan t angan kanan, dengan Hoo-koen, dia membarengi menyerang. Bayangan itu, yang ada satu anak muda, berkelit ke kiri, berbareng dengan mana, dengan lima jari tertekuk, ia menyambuti serangan Hookoen. Ia menggunai Hookoen juga. Si paderi kembali menjadi heran, hanya kali ini, ia alpa dan kurang gesit. Di luar dugaannya, habi s me-nyambuti, anak muda itu membalas menyerang dengan sebat sekali. Dia menggun ai Tiangkoen, Kepalan Panjang, yang dia susuli dengan sapuan kaki. Maka tanpa am pun lagi, paderi itu terguling roboh. Anak muda itu ialah Ie Sin Tjoe. Paderi itu merayap bangun dengan muka merah, ia awasi Sin Tjoe dengan mata melot ot, habis mana, ia ngeloyor pergi. Ia tidak tahu bahwa ia telah kalah cerdik dar i Sin Tjoe. Ia pandai Loo Han Koen, Sin Tjoe pun menggunai ilmu silat itu, bedan ya, Sin Tjoe menggunai pelajaran dari Hek Moko, yang disambung dengan Tiangkoen. Kwee Seng Tay majukan dirinya. "Eh, apakah da- pat kau berlalu dengan begini saja?" si orang tua menegur. Paderi itu berhenti bertindak. "Engko kecil ini liehay, aku menyerah kalah terhadapnya!" dia menyahuti. "Tapi k au? Aku belum belajar kenal denganmu! Kalau kau hendak melarang aku, kau mesti k eluarkan kepandaianmu seperti engko kecil ini!" Dengan "engko kecil" ia maksudkan Ie Sin Tjoe. Seng Tay gusar sekali. "Aku tidak punya kepandaian apa-apa, kalau kau hendak coba, kau cobalah!" ia bil ang. "Jikalau kau bisa molos dari bawah hoentjwee-ku ini, selanjutnya aku tidak akan merantau lagi di dunia kangouw1." San Bin heran. Terang si paderi hendak mengacau tetapi dia jujur, dia bukan miri pnya orang jahat. Ia lantas maju di tengah mereka itu. "Di antara empat lautan, kita semua bersaudara," ia berkata. "Urusan apakah yang demikian besar hingga untuk itu kita mesti mengadu jiwa?" Beng Tiang Seng sudah lantas merayap bangun, untuk berdiri di samping gurunya, d engan napas masih sengal-sengal, ia tuding si paderi dan mengatakannya: "Keledai gundul ini, begitu dia datang dia lantas mengacau, semua orang dapat melihat it u, maka itu, buat apa kau main tanya lagi?" Matanya si paderi mencilak. "Kita semua datang ke mari untuk minum arak dan bersantap," dia bilang, sengit, "karena itu, kenapa di sini orang main membeda-bedakan? Coba tanya pemilik restoran, aturan apakah ini?" Tiang Seng tidak mau mengarti, ia buka pula mulutnya, dengan begitu ia jadi adu mulut dengan si paderi, karena itu, perlahan-lahan San Bin mengarti duduknya hal . Lantas saja dia tertawa. "Kiranya karena urusan kecil sekali!" katanya. "Tuan rumah, lekas atur meja kurs i, lantas kau sajikan barang hidangan, hari ini hendak aku mengundang tetamu. Kw ee Lootiatjoe, toasoehoe, dan kau, engko kecil, dengan melihat mukaku, mari kita minum satu cangkir!" Suaranya San Bin berpengaruh, si paderi lantas tutup mulutnya, hanya kepada sahabatnya, si kate dan kecil, ia mengedipkan mata, lalu dia berkat a: "Kita ada orang-orang yang baharu saling mengenal, tidak pantas kami menggere cok, maka itu biarlah kami pergi saja." San Bin tertawa, ia kata: "i Toako, kau bicara bukan seperti orang kangouw1. Apa kah kau tidak dengar bahwa bunga merah dengan daun hijau asalnya satu? Secangkir arak tawar, apakah artinya? Aku harap, toako, janganlah kau malu-malu sebagai s eorang perempuan." Tjio Tjoei Hong memandang suaminya, matanya terbuka lebar. "Apakah semua wanita malu-malu?" dia bertanya. San Bin tertawa besar. "Ya, aku salah omong, aku harus diden- da tiga cangkir!" katanya. Melihat orang demikian polos, si paderi jatuhkan diri ke atas kursi. "Baiklah, aku pun mendenda diriku tiga cawan!" katanya. Si kate dan kecil mendelik kepada kawannya itu, tetapi dia lantas ditarik San Bi n, yang mengatakan: "Mari, kau pun minum barang satu cawan!" Justeru itu dari luar pintu terdengar suara orang tertawa seraya terus berkata: "Bagus! Kami juga hendak minum bersama!" Habis itu terlihatlah orangnya, ialah d ua orang perwira, yang tubuhnya besar dan kekar, yang di pinggangnya tergantungk an pedang. Ie Sin Tjoe cuma melihat sekelebatan, lantas ia kenali perwira yang jalan di dep an ialah Taylwee Tjongkoan Yang Tjong Hay, sedang semua orang lainnya, melihat tjongkoan dari istana kaisar itu, pada berubah air mukanya. Tjioe San Bin berlaku tenang, ia angkat kedua tangannya akan memberi hormat kepa da dua orang baru itu seraya mengatakan: "Bagus! Sungguh kebetulan yang kedua ta ydjin telah datang ke mari. Ini dia yang dibilang, bertemu sama orang agung, yan g diundang pun tak dapat datang!" Di mana pengurus restoran sudah siap sedia, Yang Tjong Hay berdua lantas ambil t empat duduknya tanpa sungkan lagi, hanya setelah berduduk, hampir tak hentinya i a menoleh akan mengawasi San Bin, siapa sebaliknya menguasai dirinya. "Aku mohon tanya she dan nama yang mulia dari kedua taydjin ," ia mohon . "Aku she Yang, namaku yang rendah Tjong Hay," menjawab Tay i wee Tjongkoan itu. "Dan in i ada Tongnia dari Gielimkoen, namanya Law Tong Soen." Mendengar ini, semua hadirin terkejut. Yang Tjong Hay itu ada salah satu dari em pat kiamkek , ahli pedang, yang kenamaan di jaman itu, sedang Law Tong Soen ada soeheng, kakak seperguruan, dari Tjian Sam San, bekas tjong-tjiehoei atau kepala dari pasukan Kimiewie, sedang guru mereka, Tjio Hong Pok, guru silat kenamaan d i Shoasay Utara, terkenal untuk ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet hoat. Malah Tong S oen ini dapat mewariskan kepandaian gurunya melebihkan adik seperguruannya. Kalau Yang Tjong Hay menjadi Taylwee Tjongkoan adalah aneh, maka sungguh tak disangka-angka Tong Soen menjadi kepala Gielim-koen, barisan pelind ung raja. Duduknya hal adalah sebagai berikut: Setelah Tjian Sam San terbinasakan Thio Hon g Hoe, Kaisar Kie Tin perintah orang pergi mengundang Tjio Hong Pok, gurunya kep ala Kimiewie itu. Dijelaskan bahwa Tjiam Sam San terbinasakan Thio Tan Hong dan Tjio Hong Pok diminta suka menuntut balas untuk muridnya itu. Tjio Hong Pok mena mpik undangan dengan alasan usianya yang telah lanjut, tetapi ia percaya saja ke terangannya Kie Tin itu, ia jadi membenci Thio Tan Hong, maka, sekalian untuk mema- merkan ilmu kepandaiannya, ia kirim murid kepalanya itu. Kie Tin lantas angkat L aw Tong Soen menjadi kepala Gielimkoen. Para hadirin tak tenteram hatinya kapan mereka lihat Yang Tjong Hay berdua menga mbil meja di dekat pintu, sebagai juga mereka itu hendak memegat jalan. Si kate kecil cerdik sekali, diam-diam ia tarik si paderi, untuk memilih meja de kat pintu besar, hingga mereka jadi seperti menyaingi kedudukannya Yang Tjong Ha y itu. Kwee Seng Tay tidak puas sama suasana di situ, berulangkah ia kasi dengar tertaw a yang bernada ejekan. Yang Tjong Hay duduk dengan tidak berdiam saja, dengan matanya yang tajam ia men yapu semua hadirin, apabila matanya ben- terok sama matanya Ie Sin Tjoe, ia agaknya heran. Sin Tjoe sebaliknya tak gentar hatinya, dia justeru mengawasi dengan tajam. Tiba-tiba saja Yang Tjong Hay tertawa, lalu ia berbicara seorang diri: "Sungguh, inilah yang dibilang, mencari sampai sepatu besi pecah, yang dicari tidak kedap atan, sebaliknya, yang dicari itu kedapatan tanpa susah payah! Semua hadirin ada lah orang-orang kosen, maka itu hari ini kita mesti minum hingga puas!" Lalu tan pa orang mengundangnya lagi, ia tenggak kering tiga cawannya secara beruntun. San Bin angkat kedua tangannya memberi hormat kepada kedua perwira itu. "Kedua taydjin sedang menjalankan tugas, aku tidak berani memintanya untuk minum banyak-banyak," ia berkata, "sekarang ta ydjin sudah minum tiga cawan, maka para hadirin, persilahkan emdash siapa hendak bersantap, siapa ingin minum, baiklah masing-masing memilihny a sendiri!" "Tugasku telah mendapat bantuan kau, saudara, itu tidak menjadi soal lagi," berk ata Yang Tjong Hay. "Dengan tiga cawan ini, terimalah ucapan terima kasihku!" Mau atau tidak, San Bin heran. Ia menahan cawan araknya. "i Taydjin, apakah artinya kata-katamu ini?" ia menanya. "Sri Baginda mengundang saudara datang ke kota raja!" menyahut Yang Tjong Ha y tanpa pakai tedeng aling lagi. San Bin menjadi tam- bah heran untuk keberaniannya tjongkoan itu. Ia mau percaya orang telah ketahui tentang dirinya, tetapi di situ toh banyak orang lainnya. "Aku ada satu mahasiswa tolol," ia berkata, tetapi suaranya dingin, "untuk menca pai tingkat sioetjay saja, beberapa kali aku turut ujian, selalu aku jatuh, maka itu mana aku ada punya peruntungan bagus untuk menghadap Sri Baginda Raja? Yang Taydjin, bukankah kau sedang berkelakar?" Yang Tjong Hay tertawa terbahak-bahak. "Aku harap di hadapan orang yang mengetahuinya jangan kita omong dari hal yang t idak benar!" ia bilang, "i Siauwtjeetjoe, kau adalah seorang boenboe siangtjoan dan Sri Baginda Raja sangat memangeni kepadamu!" Kali ini Yang Tjong Hay memanggil orang sebagai siauwtjeetjoe, yaitu tjeetjoe mu da. "i Tjeetjoe" ialah pemimpin dari suatu rombongan. Dan ia pun sengaja memuji orang ada "i boenboe siangtjoan" emdash pandai ilmu surat dan silat dengan berbar eng. Tiba-tiba si paderi gemuk menyelak. "Yang Taydjinl" katanya, "ini engko kecil juga bagus sekali ilmu silatnya, kau h arus sekalian mengundang padanya!" Paderi ini sembrono sekali, ia tidak kenal salatan, ia menyangka Yang Tjong Hay mulia hatinya telah mengundang orang datang ke kota raja, untuk diberi pangkat, maka itu ia pujikan Ie Sin Tjoe, ia sampai tidak mau memikir bahwa ia kenal baik atau tidak dengan orang she Yang itu. Yang Tjong Hay tertawa pula. "Liauw Yan Taysoe benar!" katanya, gembira. "Semua orang gagah di sini, wanita dan priya, aku undang bersama!" Biar bagaimana, dari sikapnya, Yang Tjong Hay seperti tidak memandang mata semua hadirin di situ, maka juga Kwee Seng Tay, satu jago Rimba Hijau dari beberapa p uluh tahun, menjadi tak dapat mengendalikan diri lagi. "Bagus!" dia berseru seraya dia geser kursinya, "Yang Taydjin telah membuat unda ngan, maka hendak aku si tua berangkat terlebih dulu!" Yang Tjong Hay tengah memandang Tjioe San Bin, ia tidak ambil mumat jago tua itu ketika ia berkata pula: "Bagus! Saudara Tjoe, kau layanilah semua tetamu!" Si orang kate dan kecil yang lincah sudah lantas menyahuti sambil ia berbangkit, ia tolak tubuhnya si paderi sambil ia berkata: "Liauw Yan Taysoe, mari kita ber sama-sama menyambut tetamu!" Seng Tay tidak perdu-likan segala apa, ia bertindak ke pintu, sambil berbuat begitu, ia lonjorkan hoentjwee-nya ke arah si kate kec il itu, yang berdiri menghalang, maka tidak ampun lagi, orang itu menjadi lemas kakinya dan robohlah tubuhnya. Akan tetapi dia roboh untuk meneruskan mencabut sebatang golok, lalu sambil bergulingan, ia babat kakinya si ora ng she Kwee. Nyata ia mengarti ilmu silat golok yang harus dimainkan di waktu ia bergulingan. Itulah ilmu Koenteetong Tohoat dari partai persilatan Utara. "Hm!" Kwee Seng Tay kasi dengar suaranya yang tawar. "Di depan pintu Khong Hoe T joe orang menjual kitab Pek Kee She! 11 Ia lantas menyontek dengan hoentjwee-nya, yang ia gunakan sebagai tombak pendek. Dengan menerbitkan suara, ujung hoentjwee membentur tulang lakop dengkul dari la wannya yang lincah itu, yang kali ini gagal bergulingan untuk menghindarkan diri . Melihat kawannya roboh, si paderi berseru: "Ah! Yang Taydjin mengundang tetamu, mengapa kau berlaku kasar?" ia lantas memburu kawan itu, untuk menolongi. Kwee Seng Tay benci paderi ini, yang tadi telah mempecundangi muridnya, dari itu begitu lekas si paderi datang cukup dekat , ia menusuk pinggang orang. Tusukannya ini bisa menjadi tusukan biasa juga totokan. "Sungguh liehay!" berseru si paderi sambil dia memutar tubuhnya, menyusul mana k edua tangannya bergerak, emdash tangan kiri dengan Liongkoen, tangan kanan dengan Houwkoen, emdash akan menggempur musuh. Seng Tay sudah lanjut usianya, tidak mau ia melawan keras dengan keras, dari itu , setelah totokannya gagal, ia berkelit. "Hahaha!" tertawa si paderi. "Kau nyata cuma pandai meniup mengepul, kau tidak b erani mengadu tangan denganku!" Lalu dia maju, akan menyerang pula, untuk mendesak. Seng Tay tetap tidak hendak melayani kekerasan, ia menggunai kelincahan tubuhnya, dengan begitu, selama tujuh atau delapan jurus, ia selalu menyingkir dari kepalan dahsy at dari hweeshio itu. Satu kali saja si paderi berhasil dengan tinjunya, ia dapa t menyebabkan patahnya tulang-tulang. Tapi Seng Tay tidak melainkan berkelit saja, di mana ada kesempatan, ia juga mem balas menyerang, dengan tikamannya, dengan totokannya. Dengan begitu, mereka jad i berimbang. "Kiranya kau liehay juga!" berkata lagi si paderi. "Nyata aku telah keliru melih at, aku tadinya menyangka kau cuma pandai meniup mengepul!" Sebagai seorang sembrono, paderi ini jujur, ia memuji dengan sesungguhnya hati. Meski begitu, ia menyebabkan murkanya Kwee Seng Tay, maka juga dia ini lantas mencoba membalas m erangsak. Pertempuran itu membuat Yang Tjong Hay menjadi habis sabar. "Nyatalah kamu menampik undangan karena menghendaki dihukum denda!" dia berseru. "Kalau begitu, aku tidak hendak berlaku sungkan-sungkan lagi!" Baharu saja tjongkoan ini perdengarkan suaranya itu atau Tjioe San Bin, yang tel ah menghunus goloknya, golok Kimtoo, seraya bulang balingkan goloknya ke atas, b erseru dengan nyaring: "Saudara-saudara, serbu pintu! Yang Taydjin, arak dendaanmu kami terima!" Yang Tjong Hay telah kasih dengar suaranya tetapi matanya tetap ditujukan kepada Tjioe San Bin, orang lain-lainnya ia tidak perdulikan, melihat aksinya San Bin itu, ia hunus pedangnya, maka juga sejenak saja, golok dan pedang telah benterok . Kesudahannya benterokan ini ada luar biasa. Golok berat, pedang enteng, tetapi golok kena dibikin terpental. Tjio Tjoei Hong sudah lantas menghunus goloknya, golok Lioeyap to, dengan itu ia maju menyerang, tidak peduli ia terhalang dengan sebuah meja, sedang San Bin, s uaminya, menyerang pula. Yang Tjong Hay tertawa dingin. "Kamu suami isteri yang manis maju bersama, bagus!" ia berkata. "Hal ini aku si orang she Yang tidak berani memintanya!" Ia lantas dupak meja di depannya, untuk merintangi goloknya si nyonya, di lain pihak, ia maju untuk menikam perutnya Sa n Bin. Kimtoo tjeetjoe sedang tanggung gerakan goloknya, tidak dapat ia menangkis, maka itu kebetulan ada pot kuningan, yang dipakai tempat kuwa panas, ia samber pot i tu, untuk disambitkan kepada tjongkoan itu. Tjong Hay lihat serangan itu, ia menangkis, begitu keras, hingga pot terbelah du a, hingga kuwanya muncrat kepada koen -nya Tjoei Hong, yang justeru maju untuk m embantu suaminya. Tanpa mempedulikan itu, si nyonya lompat naik ke atas meja, un tuk membacok terus. Tjong Hay menang- kis, hingga kedua senjata benterok keras, nyaring suaranya, habis mana, ia pun t angkis goloknya San Bin, yang menyusuli isterinya itu, dengan begitu dua-dua bac okan dapat disingkirkan. Di pihak lain, para hadirin, yang berada di pihaknya San Bin, sudah maju ke amba ng pintu, hanya pintu sudah dikunci Law Tong Soen, yang berdiri menghalang di ha dapan itu. " Dua anak muda maju paling depan, untuk menyerbu. Law Tong Soen melihat aksi orang, ia tertawa dingin. "Semua rebah!" serunya tiba-tiba, tangannya membarengi bergerak sebat sekali. Orang belum sempat melihat tegas atau senjatanya kedua anak muda itu emda sh masing-masing sebatang gembolan emdash telah kena dibikin terlepas dari cekalanny a, sedang kedua anak muda itu sendiri, sambil menjerit, benar-benar roboh ke lan tai. Kemudian ternyata, dua pemuda itu sudah terhajar ilmu silat Hoenkin Tjokoet hoat dari tongnia Gielimkoen itu, hingga tangan mereka itu kena dipatahkan. Berbareng dengan kagetnya, beberapa orang maju untuk menolongi dua pemuda itu, a kan tetapi mereka disambut Tong Soen, yang terus kerjakan pula kepandaiannya, hi ngga sebentar saja roboh lagi beberapa kurban. Tong Soen liehay kedua tangannya, asal ia dapat menyamber tangan orang, ia berhasil. Ilmu silatnya itu memang menghendaki pertempuran rapat, agar ia bisa samber sana samb er sini tanpa orang dapat berkelit dengan merdeka. Karena ini, orang tidak berani merangsak pula, maka tongnia itu dapat b ertahan di depan pintu. Ketika itu, kursi meja telah terjungkir balik dan kusut letaknya. Begitupun pertempuran, yang terpecah dalam tiga rombongan. Yang pertam a yaitu si hweeshio gemuk dengan Kwee Seng Tay bertarung seruh sekali. Yang kedua ialah Law Tong Soen yang mempertahan pintu. Dan yang ketiga, San Bin serta isterinya yang mengepung Yang Tjong Hay. Si orang kate kecil yang lincah sudah merayap bangun, untuk balut sendiri dengku lnya, terus dia berdiri di dampingnya Law Tong Soen, untuk menyerang musuh-musuhnya de ngan panah pelurunya. Beberapa orang, yang berniat membantu San Bin suami isteri terpaksa mundur karena serangan panah peluru itu. Di antara tiga rombongan itu, San Bin dan isterinya yang terancam bahaya walaupu n berdua mereka mengepung seorang lawan. Yang Tjong Hay liehay sekali, dengan peda ngnya saban-saban ia menggertak sambil menyerang dengan sungguh-sungguh, ia bikin San Bin berdua repot sekali, hingga terpaksa mereka in i bertempur rapat, untuk membela diri saja. Tidak lama terdengarlah satu suara nyaring, lalu San Bin menjadi terkejut. Karen a lambat sedikit, golok emasnya kena disamber pedang lawannya dan bercacad ujungnya. Tjong Hay tidak men ggunai pedang mustika tetapi berkat liehaynya ilmu dalamnya, tabasa-nnya kaget s ekali dan tepat. Tjoei Hong turut kaget karenanya. Yang Tjong Hay menang angin, ia tidak sudi mengasi hati. Ia menyerang terns dengan desakannya, di kiri ia arah jalan darah yangpek hiat dari San Bin, di kan an ia menikam jalan darah lengkioe hiat dari Tjoei Hong. Maka lagi-lagi suami is teri itu kena dibikin kelabakan. Dalam saat kacau itu, tiba-tiba terdengar suara tingtong beberapa kali. Ie Sin T joe lompat maju dengan tangannya terayun, atas mana tiga batang kimhoa, bunga em asnya, terbang menyam- ber, menyebabkan pelurunya si orang kate kecil dan lincah itu tidak berdaya. Set elah itu dengan berkelebat berkilauan, pedang Tjengbeng kiam si nona menyamber k epada Yang Tjong Hay, kepada siapa nona itu berlompat terlebih jauh. Ie Sin Tjoe tidak jeri walaupun Tjong Hay liehay sekali. Tjong Hay geraki pedangnya, untuk menyambut pedang Sin Tjoe itu, dengan niat dit empel. Ketika ini digunai oleh San Bin dan Tjoei Hong untuk berbareng membacok l awannya yang tangguh itu. Sin Tjoe pun geraki terus pedangnya, yang tidak kena ditempel lawan, dengan mene rbitkan suara nyaring, ia menyebabkan ujung baju Tjong Hay terbabat putus. Ia telah menggunai ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan adanya serangan berbareng dari S an Bin berdua, serangannya itu jadi memberi hasil. Tjong Hay kaget sekali. Ia ada salah satu dari empat jago silat. Thio Tan Hong p un ada salah satu dari ke empat jago itu. Sekarang bajunya kena dirobek muridnya Tan Hong itu, bagaimana ia tak menjadi malu sendirinya? Tapi ia berpengalaman, walaupun ia malu dan kaget, dapat ia menguasai dirinya. Sekarang ia tidak mendes ak lagi. Nampaknya Sin Tjoe bertiga menang di atas angin, tapi buktinya pahlawan kaisar itu dapat mempertahankan diri, di sebelah pembelaan, ia masih bisa memba las menyerang. Ie Sin Tjoe bertem- pur di tengah, di antara San Bin dan Tjoei Hong. Ia selalu dapat memecahkan sera ngannya Yang Tjong Hay. Tjio Tjoei Hong dapat lihat ilmu silat orang, ia menjadi heran. "Eh, kau pernah apa dengan Thio Tan Hong?" tanya Nyonya San Bin ini. "Dialah guruku," sahut Sin Tjoe terus terang. "Apakah soebo-mu baik?" Tjoei Hong tanya pula, tentang isterinya Tan Hong, yang menjadi ibu guru dari Sin Tjoe. Ia memang bergaul rapat sekali dengan In Loei da n erat perhubungannya. Dengan melihat ilmu silat Sin Tjoe, ia menduga kepada Tan Hong dan ingat Tan Hong, wajar saja ia lantas ingat In Loei. Hanya, saking gemb ira, ia alpa, hampir saja ia tertikam Tjong Hay, yang menyerang selagi ia tanya Sin Tjoe. "Soebo baik!" Sin Tjoe jawab. "Soehoe dan soebo pun kangen padamu! Ah, baik kita singkirkan dulu binatang ini baharu kita pasang omong!" Kata-katanya nona ini disusuli dorongannya. Yang Tjong Hay terus menenangkan diri, maka itu, ia tetap dapat bertahan meskipu n mereka sudah bertempur lagi dua puluh jurus lebih. Malah satu kali ia tertawa dan kata: "Apa? Kamu berniat membinasakan aku? Hahaha! Kamu bermimpi! Kamu tahu, sekarang ini aku telah siapkan lima ratus serdadu panah, yang pun sudah menguru ng kamu! Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu, lekas letaki senjatamu, lalu satu pe r satu dari kamu turut aku pergi ke kota raja!" Sin Tjoe memasang kuping, ia benar dengar suara tindakan dan banyak kaki kuda di luar rumah makan itu. Sementara itu si paderi terkejut ketika ia dengar disebut-sebutnya nama Tan Hong. Dia memang lagi bertempur seru dengan Kwee Seng Tay, perhatiannya menjadi terganggu, maka tidak heran dengkulnya lantas kena keb entur ujung hoentjwee-nya Seng Tay. Ia kesakitan dan kaget, hingga ia berjingkra k. Syukur ia tidak kena tertotok jalan darahnya. "Eh, bagaimana sih caranya kau mengundang tetamu?" ia tanya Yang Tjong Hay. "Liauw Yan Taysoe, kau jangan banyak usil!" kata Tjong Hay sambil tertawa. "Untu kmu sudah cukup asal kau dapat melibat si tua bangka itu dan jaga baik-baik pintu! Itulah jasamu!" Si paderi gemuk ini agaknya heran dan bingung, kupingnya pun dengar suara datang nya pasukan tentera, tindakan kaki kuda terdengar semakin dekat. "Saudara kecil, serbu pintu!" San Bin berseru. Ia menginsafi bahaya yang menganc am mereka. Apa jadinya kalau lima ratus serdadu menghujani anak panah kepada mer eka? Ie Sin Tjoe pun insaf ancaman bahaya itu, ia lantas maju ke pintu, tapi ketika i ni dipakai Tjong Hay untuk mendesak pula San Bin dan Tjoei Hong, karena mana ter paksa ia kembali, akan bantui suami isteri itu. "Aku akan memegat di belakang!" Sin Tjoe berteriak, sesudah beberapa kali ia menyerang hebat, untuk desak mundur orang sh e Yang itu. San Bin dan isterinya lantas menggantikan Sin Tjoe maju ke pintu. Tjong Hay hendak mencegah suami isteri itu, akan tetapi Sin Tjoe rintangi ia, wa laupun ia kosen, tidak dapat ia pukul mundur si nona hanya dalam tiga atau empat puluh jurus. Maka itu, suami isteri itu lantas mendekati pintu besar. "Liauw Yan Taysoe, mereka hendak mengepung, jangan takut, aku nanti bantu kau!" kata orang yang menjaga pintu. "Aku nanti hajar mereka dengan panah peluru!" ial ah si kate kecil dan lincah. Si paderi gemuk agaknya menjadi habis sabar, dengan geraki kedua tangannya, ia serang hebat pada Seng Tay, setelah itu, hendak ia serang suami isteri itu. Atas itu San Bin berdua sudah lantas bersiap. Seng Tay juga tidak berdiam saja, dengan gunai hoentjwee-nya sebagai tombak, ia tikam perutnya si paderi, pada jalan darah djiekhie hiat. Ia menggunai jurusnya "Sinliong djiphay" atau "Naga sakti terjun ke laut." Si paderi menjadi repot, ke satu ia memang berimbang kepandaiannya dengan Seng Tay, kedua sekarang San Bin berdua mengancam kepadanya . Selagi ia terancam bahaya, tiba-tiba ada orang yang berlompat ke arahnya, oran g mana menyampok hoentjwee hingga terpental dan menarik si paderi hingga dia ini terbetot ke pintu. Orang yang liehay ini ialah Yang Tjong Hay, yang telah gunai kelincahannya akan meninggalkan Sin T joe, buat tolongi si paderi, untuk sekalian menjaga agar pintu tak kena diserbu pihak lawannya yang ia hendak bekuk. Ia pun lantas mendahulukan lompat ke pintu itu. Maka sekarang pintu dijaga oleh empat orang, ialah Yang Tjong Hay, Law Tong Soen , si paderi gemuk serta itu orang yang memegang panah peluru. Tjong Hay berlaku bengis dengan pedangnya, juga Tong Soen dengan ilmunya membikin tulang patah ata u urat keseleo. Si paderi juga memperlihatkan tenaganya yang besar serta ilmu si latnya Lo Han Koen yang liehay, sedang kawannya dapat dengan leluasa menggunai lagi panah pelurunya. Di pihak San Bin, ia cuma berada berempat bersama isterinya, Sin Tjoe dan Kwee S eng Tay, yang lainnya bukan lagi tandingan rombongannya Tjong Hay itu, karena ma na, mereka tak dapat berbuat banyak untuk menyerbu pintu. Di lain pihak lagi, pasukan tentera sudah tiba di muka pintu luar. Yang Tjong Hay lantas tertawa besar. "Kimtoo Tjeetjoe, terimalah nasibmu!" ia kata kepada San Bin, mengejek. "Ini sec awan arak dendaan, tidak dapat kau tidak minum! Liauw Yan Taysoe, kau ubah kepal anmu dengan Houwkoen, lebih dulu kau hajar terlepas golok emasnya!" Ketika itu San Bin sedang menangkis dengan goloknya, untuk membalas menyerang , Tjong Hay dapat melihat itu, pahlawan ini lantas beri petunjuknya kepada si pade ri. Ia ingin menawan hidup-hidup kepada tjeetjoe itu. Menyusul suaranya Yang Tjong Hay itu, satu suara keras sekali segera terdengar. Untuk herannya semua orang, mereka lihat daun pintu menjeblak. Sebab si paderi b ukannya menghajar San Bin atau goloknya ia ini, dia justeru menyerang daun pintu dengan kepalannya yang dahsyat. Untuk itu, dari menghadapi San Bin, dia memutar tubuh dengan tiba-tiba, serangannya pun secara mendadak. "Liauw Yan Taysoe, kau bikin apa?" tanya Tjong Hay heran. "Lekas pe gat musuh!" "Liauw Yan Taysoe, apakah bilangmu tempo kau turut aku datang ke mari?" menanya kawannya. "Bukankah kau berniat me naruh kakimu di kota raja?" Si paderi menyahuti dengan suaranya yang nyaring: "Aku tidak mengarti jelas apa yang kamu tengah lakukan ini! Siapakah musuh? Aku tidak sudi anggap Kimtoo Tjeet joe sebagai musuhku!" Kedua matanya Yang Tjong Hay mendelik, tanpa bilang suatu apa, ia tjende-rungkan tubuhnya seraya terus mengge-raki pedangnya menikam pusarnya si paderi terokmok itu. Inilah gerakannya, "Dengan busur beng-kung memanah harimau." Ie Sin Tjoe dapat lihat gerakan orang itu, ia menghajar pedang orang dengan peda ngnya, hingga gagallah tikaman seperti boko- ngan itu. Berbareng dengan itu dengan belakang goloknya, San Bin hajar roboh orang yang me nghalang di pintu, sedang Seng Tay menyambuti tubuh orang, untuk dilemparkan. Maka semua orang lantas memburu keluar dari pintu. Orang kate kecil yang lincah itu benar-benar lincah, ia dilemparkan tetapi begit u ia menginjak tanah, ia mencelat pula dengan gerakannya "Ikan gabus meletik." I a dilemparkan ke arah pasukan tentara, yang hendak menyambut ia dengan tikaman, maka ia tangkap dua batang tombak sambil ia membentak: "Apakah kamu buta? Inilah aku!" Atas itu, pemimpin tentera yang mengepalai pasukan panah itu lantas berseru: "Inilah Tie Taydjin1. Jangan lepas panah!" Titah itu tidak ada perlunya, sebab serdadu-serdadu yang berada di muka sudah mengenali orang yang dipanggil Tie Tay djin itu taydjin atau pembesar she Tie kalau tidak, panah dan tombak mereka pasti tidak dapat dicegah lagi. Menyusul terlemparnya tubuh si Tie Taydjin , paling dulu muncul si paderi gemuk. Ada beberapa serdadu yang kenali paderi ini sebagai sahabatnya Tie Taydjin, mer eka berseru-seru: "Inilah Liauw Yan Taysoe ! Orang sendiri!" Si paderi tidak ambil mumat apa orang bilang, hanya sambil maju dengan murka sek ali, hingga ia berteriak keras, ia hajar terjungkal seorang perwira yang berada di dekatnya, habis mana ia rampas kuda orang, untuk lompat ke atas punggungnya, guna terus dikasi kabur! Perwira pasukan panah menjadi heran, hingga ia berdiam saja. Adalah si Tie Taydj in, yang lantas memberikan perintahnya: "Paderi itu berkongkol sama musuh, panah dia!" Sementara itu Kwee Seng Tay serta rombongannya sudah menerjang keluar, tentera n egeri mencoba merintangi, di lain pihak, sejumlah serdadu panah telah menjalankan tugasnya memanah si paderi, ialah Liauw Yan Taysoe. Paderi ini liehay, ia buka j ubah sucinya, dengan itu ia sampok jatuh setiap anak panah. Pihak Seng Tay tidak kenal Liauw Yan Taysoe itu, yang sebenarnya ada satu murid dari Siauwlim Sie cabang Pouwthian. Ia polos dan jujur, ia sangat disayangi gurunya yaitu Kak Hoei Sianso e. Hanya ketika Kak Hoei berpulang ke Tanah Barat, karena bersalah dahar daging anjing, oleh kakak seperguruannya, ia ditegur. Ia menjadi tidak puas, ia merasa berat hidup di dalam kuil, diam-diam ia buron. Ia berniat untuk berhenti menjadi paderi. Kalau ia berdiam di Selatan, ia kuatir nanti bertemu sama salah satu sa udara seperguruannya, dari itu, ia kabur jauh sekali. Kemudian ia ingin menyaksi kan keindahannya kota raja. Di kota raja ia ada punya kenalan, yaitu si Tie Tayd jin, yang bernama Hian, yang menjadi siewie atau pengiring kelas tiga pembawa go lok. Tatkala itu Yang Tjong Hay bersama Law Tong Soen tengah bertugas, mereka dapat selentingan Kimtoo Tjeetjoe San Bin sudah memasuki wilayah Tionggoan, mereka lantas pergi menyelidiki, untuk dapat menawan. Dalam perjalanan ini, kebetulan s ekali di propinsi Shoatang, Tie Hian bertemu sama Liauw Yan Taysoe dan Liauw Yan tuturkan niatnya pergi ke kota raja. Liauw Yan buka rahasia juga bahwa dia buro n dari kuilnya. "Aku nanti bantu kau," berkata Tie Hian, yang menjanjikan sesuatu pekerjaan umpa ma menjadi piauw-soe, kemudian dia ajak si paderi berjalan bersama, sampai di ru mah makan itu. Di sini Tie Hian yang anjurkan Liauw Yan membawa aksinya itu tanp a si paderi ketahui ia telah dijadikan perkakas guna memancing keluar pada San Bin dan isteri. Walaupun ia sembrono dan polos, Liauw Yan masih dapat membedakan hal yang benar dan tidak-tidak. Pula ia sangat menghargai dua orang, ialah ke satu Thio Tan Hon g, dan kedua Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian, yang di Ganboenkwan telah menghalangi pasukan perang bangsa Watzu. Maka itu timbullah kecurigaannya setelah dengar Ie Sin Tjoe ada muridnya Tan Hong. setelah mana ia dengar lagi halnya San Bin puter a dari Tjioe Kian. Sebaliknya, Yang Tjong Hay berniat menawan San Bin itu serta Sin Tjoe. Tentu saja ia menjadi murka yang ia telah diperdayakan, maka itu ia te rjang pintu, ia hajar si perwira, lantas ia kabur. San Bin dan isterinya serta Sin Tjoe turut Seng Tay beramai nyerbu keluar. Seng Tay semua berhasil tapi mereka bertiga kena dirintangi Yang Tjong Hay dan Law To ng Soen. Sebabnya ini adalah karena merekalah yang di arah Tjong Hay. Mereka lan tas merasakan kesulitan mereka. Bertiga mereka sukar melawan Tjong Hay seorang, sekarang tjong koan dari Tay I wee itu dibantu tongnia dari Gielimkoen serta di belakang dua or ang itu masih ada lima ratus serdadu, benar-benar mereka terancam bahaya. Dalam bingung dan kuatirnya, Sin Tjoe ingat kudanya, maka ia lantas kasi dengar siulannya yang nyaring. Lantas saja kuda Tjiauwya Saytjoe ma datang atas panggilan itu. Untuk ini dia menyerbu barisan serdadu, yang dia tida k perduli-kan berapa besarnya. Yang Tjong Hay segera dapat lihat itu kuda putih, ia mengarti pentingnya kuda it u, lantas ia berteriak: "Jangan lukai kuda itu! Tangkap hidup-hidup!" Beberapa serdadu lantas maju, untuk menangkap, tapi lacur mereka, kuda itu mener jang dan menjen-til, hingga mereka roboh dengan kesakitan. Sambil meringkik-ringkik, kuda itu menerjang terus ke arah Sin Tjoe. Law Tong Soen panas hatinya, ia tinggalkan Sin Tjoe, ia memburu kepada kuda itu. Sebaliknya binatang itu dapat berlari-lari dengan merdeka, karena tidak ada satu serdadu yang berani melukainya. Selama itu, rombongannya Kwee Seng Tay sudah lolos dari kepungan. Beng Tiang Sen g mengetahui San Bin bertiga belum dapat menerjang keluar, ia kata pada gurunya: 11 Soehoe, silahkan soehoe lindungi semua orang, untuk pergi dari sini, aku hen dak kembali akan menyambut mereka itu bertiga!" Tanpa menanti jawaban lagi, ia l ari balik, untuk terus menggulingkan tubuhnya di tanah, untuk segera menyerang tentera, guna membabat kakinya siapa yang berada dekat. Semua serdadu itu heran dengan ini cara berkelahi, mereka tidak berani merintang i. Tong Soen sudah lantas datang dekat kuda putih, ia memikir akan gunai ilmu silat nya Hoenkin Tjokoet hoat, untuk melukai kuda itu, supaya gampang ia tangkap, akan tetapi belum lagi ia mewujudkan pikirannya itu, tiba-tiba ia tampak satu tubuh bergulingan ke arahnya. Ia menjadi kaget dan lant as saja repot sendirinya, sebab ia segera diserang orang itu. Terhadap orang yan g bergulingan, ia tidak berdaya, benar ia dapat berlompatan, untuk berkelit, tid ak urung satu kali tulang kakinya kena terhajar hingga ia kesakitan dan berkaok- kaok. Kuda putih, yang tidak ada yang menghalangi, kembali men-jentil roboh dua serdad u, dengan maju terus, dia mencoba menghampirkan majikannya. Tong Soen sementara itu panas hatinya. Biar bagaimana, ia jauh terlebih liehay d aripada Tiang Seng, maka untuk melayani terlebih jauh, ia bergerak dengan ilmu silatnya tindakan patk-wa, delap an penjuru. Sekarang Tiang Seng tidak dapat lagi menyerang kaki lawannya, malah sebaliknya, setelah beberapa kali berlompat, Tong Soen dapat menendang lawannya sampai terpental dan jatuh tidak berkutik lagi. Maka di lain saat ia su dah kena diringkus serdadu. Dengan begitu, Tong Soen dapat lari pula ke arah kuda putih. Yang Tjong Hay sedang layani Sin Tjoe bertiga ketika ia dapat lihat sepak terjan gnya Tong Soen, ia jadi berkuatir kuda itu nanti dapat ditangkap kawannya itu. M aka ia kata dalam hatinya: "Baiklah aku tangkap dulu kuda itu! Masih ada tempo a kan membekuk San Bin..." Dalam kekacauan itu, tiba-tiba terdengar bunyi "ting-tong" beberapa kali. Ie Sin Tjoe mengayun tangannya sambil melompat maju dan tiga buah bunga emasnya, menye babkan peluru si kate runtuh semua. Ie Sin Tjoe dapat menduga hati orang ketika ia dapatkan tjongkoan ini saban-saba n menoleh ke arah Tong Soen dan kuda putihnya, maka justeru orang berayal, ia en jot tubuhnya untuk lompat melesat, guna menjauhkan diri, habis mana ia menoleh s ambil layangkan sebelah tangannya, hingga tiga bunga emasnya me-nyamber tjongkoan itu. Yang Tjong Hay liehay, ia menangkis dengan pedangnya, setelah mana ia lompat, un tuk susul nona itu. Biarnya begitu, ia toh terlambat juga disebabkan tangkisanny a itu, dan sang kuda putih sudah tiba di depan majikannya. Tanpa ayal, malah dengan lincah sekali, Sin Tjoe lompat naik ke punggung kuda. D i waktu ia baharu duduk, satu serdadu menikam ia dengan sebatang tombak panjang. Ia berlaku sebat, dengan tangan kiri ia samber tombak itu, dengan tangan kanan ia membabat. Maka kutunglah lengan si serdadu, hingga tombaknya kena terampas. Justeru itu, San Bin dan isterinya pun tiba ke situ. Tanpa Tjong Hay merintangi tapi mereka bisa membuka jalan di antara banyak serdadu. "Ke mari!" Sin Tjoe teriaki suami isteri itu, sedang kudanya ia putar, guna mema paki mereka itu. Tong Soen sekarang sudah datang dekat, dia maju untuk pegat si nona. "Saudara Law, tangkap dulu pemberontak!" Tjong Hay teriaki kawan itu. Dengan pem berontak ia maksudkan San Bin suami isteri. San Bin sendiri sudah maju jauh, bagaikan harimau lolos dari dalam kerangkeng, i a menyerang hebat ke kanan dan kiri, setelah merobohkan belasan serdadu, ia data ng semakin dekat pada Sin Tjoe. Karena ini, ia pun jadi datang dekat sama Tong S oen. Orang she Law ini mengarah kuda, tetapi ada titah dari Tjong Hay, ia tidak dapat tentangi itu. Benar kedudukan mereka berimbang tapi Tjong Hay minta ia menawan "pemberontak," alasan itu kuat. Dengan berlompat, Tong Soen dekati San Bin dan Tjoei Hong, dengan geraki kedua t angannya, ia menyerang berbareng kepada suami isteri itu. Dengan tangan kiri ia hajar San Bin, dengan tangan kanan ia ingin robohkan si nyonya. Atas serangan itu, San Bin berdua kena dipaksa mundur. Tapi San Bin tidak melain kan mundur, setelah per-nahkan diri, ia membalas membabat. Ia ingin menabas kedu a-dua tangannya lawan itu, ia membacok dari kiri terus ke kanan, dalam gerakanny a "Soentjioe twietjioe" atau "Mengikuti tangan menolak perahu." Tong Soen benar-benar liehay. Serangannya tadi sebenarnya di arahkan kepada San Bin seorang, lalu ia meneruskan kepada Tjoei Hong. Serangan kepada si nona ini a da gertakan belaka. Begitu ia dibabat, ia berkelit seraya mendak, tetapi begitu ia angkat pula tubuhnya, ia ulangi serangannya kepada Tjoei Hong. San Bin ter- kejut, hendak ia membantu isterinya, dengan cepat ia membacok pula. Kali ini Ton g Soen sudah bersedia. Begitu golok lewat, tangan kirinya menyerang San Bin, cep atnya luar biasa, hingga Kimtoo Tjeetjoe tidak sempat mengegos tubuh, maka dadan ya kena tertekan, bajunya sampai robek, di dadanya itu lantas berpetah tapak lim a jari, tubuhnya pun terhuyung. Tjoei Hong tidak sempat menolongi suaminya itu. Berbareng itu waktu, dari arah rumah makan datang satu rombongan orang yang di k epalai oleh perwira yang tadi. Rombongan itu terdiri dari orang-orang restoran b erikut pengurusnya yang usianya sudah lanjut. Perwira ini tidak bercuriga terhad ap si pengurus, dari itu, ia cuma membelenggu tangannya beberapa jongos. Ia tawan mereka itu untuk dibawa ke tangsi, guna diperiksa. Si orang tua bukan cuma tidak diborgol, diikat dengan ta mbang pun tidak, dan ia jalan dekat si perwira. Rombongan ini datang dekat Tong Soen sejarak beberapa tindak, justeru tongnia dari Gielimkoen itu hendak mengulangi serangannya kepada San Bin, selagi tjeetjoe ini terhuyung. Mendadak saja si orang tua berseru, tub uhnya diputar, kedua tangannya bergerak sebat sekali. Si perwira menjadi kaget, sebab tahu-tahu kedua tangannya kena dicekal keras, lalu badannya terangkat, bad an itu terlempar, tepat ke arah Tong Soen! Karena San Bin ter- ancam bahaya, orang tua itu tidak dapat berpura-pura lebih lama, terpaksa ia turun tangan, guna menolongi tjeetjoe itu. Tong Soen kaget tetapi ia masih keburu membela diri. Ia batal menyerang terus kepada San Bin, seraya memutar tubuh, ia tanggapi tubuh si perwira, untuk ditola k kembali, hingga tubuh orang disamakan dengan bola. "Siauwtjoedjin, lekas lari!" berteriak si pengurus restoran kepada San Bin , yang ia panggil siauwtjoedjin atau majikan muda. Sembari berteriak, ia hampirkan Tong Soen, untuk dirintangi. San Bin tahu si orang tua bukan tandingan dari Tong Soen, ia hendak memberikan b antuannya, maka ia geraki golokaya. Tidak beruntung, tangannya tidak sudi dengar kata. Begitu ia kerahkan tenaganya, guna mengayun golok, ia rasakan dadanya sakit, goloknya turun sendirinya. Justeru itu Sin Tjoe bersama kudanya telah datang dekat. "Lekas lompat naik!" ia teriaki tjeetjoe itu. Tjoei Hong menginsafi pentingnya ketika, tanpa tunggu suaminya menyahuti, ia sam ber tubuh suami itu, terus ia angkat, untuk dibawa lompat, ke punggung kuda. Sin Tjoe dengan sebat menggeser tubuh ke belakang, untuk memberi tempat kepada s uami isteri itu, sambil berbuat begitu, ia mainkan tombak di tangan kiri dan ped ang di tangan kanan, guna menghalau setiap musuh, untuk nerobos keluar kepungan. Yang Tjong Hay telah saksikan itu semua, dia berlompat memburu. Dia ada sangat l incah, gerakannya sangat pesat. Kepandaiannya ilmu enteng tubuh memang istimewa. Sin Tjoe dapat lihat orang datang, ia memapaki dengan satu tikaman tombak. "Crok!" demikian satu suara benterokan, dan ujung tombak itu terbabat kutung! Tanpa menghiraukan tombaknya buntung, Sin Tjoe mengeprak kudanya, supaya binatan g itu berlompat maju, guna pergi menyingkir lebih jauh. "Awas!" teriak Tjong Hay, yang sudah lantas menimpuk dengan ujung tombak lawanny a itu. Sin Tjoe menangkis, tetapi tombak itu terpental ke samping, tepat nancap di pund ak- nya Tjoei Hong, hingga darahnya si nyonya lantas saja bercucuran keluar. "Panah!" Tjong Hay berteriak pula, mengasi titahnya. Ie Sin Tjoe putar tombak buntungnya, untuk mengeprak jatuh setiap anak panah. Da n kudanya, di lain pihak, sambil meringkik keras, sudah berlompat, untuk kabur. Dia dapat lari keras walaupun punggungnya memuat tiga orang. Sama sekali binatan g ini tidak menjadi kaget dengan datangnya anak-anak panah. Tiba-tiba saja San Bin ingat suatu apa dan terus berseru: "Mari kita tolon gi si pengurus rumah makan!" "Lambat sedikit saja, kita semua tidak bakal lolos!" Sin Tjoe bilang. "Toako, kau perlu lolos terlebih dulu," Tjoei Hong pun bilang. "Dia telah tolongi kita, apa boleh kita tidak menolongi dia?" tanya San Bin kera s. Justeru itu terdengar teriakan aneh dari Law Tong Soen, kapan San Bin menoleh ke belakang, ia tampak si tongnia Gielimkoen tengah mengangkat tubuhnya pengurus rumah makan itu, kedua tangan siapa telah te r-telikung, setelah mana orang dilemparkan kepada satu perwira berpangkat geetjiang. Habis itu, Tong Soen lari memburu. Saking gusar dan mendongkol, San Bin berseru keras, hingga ia memuntahkan darah, habis mana ia pingsan, tubuhnya terjatuh ke belakang, syukur Tjoei Hong lantas menyamber untuk dipeluki. Dengan tangannya yang sebelah lagi, nyonya ini main- kan goloknya, untuk melindungi diri. Di waktu begitu, ia melupakan luka di punda knya. Kuda putih lari terus, akan membuka jalan di antara serdadu-serdadu tukang panah itu. Di mana kuda sampai, orang lari menyingkir. Maka sebentar kemudian, kuda j empolan ini sudah meninggalkan jauh tentera negeri itu, malah Yang Tjong Hay pun tidak sanggup mengejarnya, hanya ia penasaran dan menyayangi yang kuda itu dapa t lolos. Achirnya ia menjadi seperti nekat, ia siapkan panahnya, dengan mengerta k gigi, ia menarik tali panah. Di saat itu, ia bersangsi pula, maka sejenak kemu dian, kuda putih itu dan penunggangnya semua telah pergi jauh... Untuk beberapa lie, kuda itu kabur terus, sampai di jurusan timur- nya terdengar suara tambur dan terompet tentera. Ie Sin Tjoe tidak ingin bertemu pula sama tentera negeri, ia tarik les kuda, untuk lari ke arah barat, hingga d i lain saat mereka berada di mana tak ada seorang lain jua. Di sini kuda lari di jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku. Sampai di situ, lega hatinya Tjoei Hong, tetapi justeru itu, ia seperti kehabisa n semangat, hingga ia rasai tubuhnya lemah, tubuh itu bergoyang-goyang seperti hen dak jatuh dari atas kuda. Sin Tjoe lihat orang lelah, ia lantas memeluk. Ia sekarang melihat tegas darah d i pundak nyonya itu, yang masih mengalir. Tidak ayal lagi, ia buka baju si nyony a, untuk di atas kuda juga mengobati lukanya itu. Sampai di situ, San Bin pun sadar dengan pelahan-lahan. Ia terkejut akan menyaksikan Sin Tjoe tengah mengolah tubuh isterinya. Ia lantas ulur sebelah tangannya, guna merangkul isterinya itu, denga n hawa amarah naik, ia membentak: "Eh, kau bikin apa?" Sin Tjoe terkejut akan mendapati orang bergusar. Dalam sesaat itu, ia lupa bahwa ia dandan sebagai satu anak muda. Tjoei Hong tertawa tiba-tiba. Ia kata: 11 Toako, kau bikin berisik apa? Dia adal ah satu nona!" Ia ingat halnya dulu In Loei, yang telah permainkan padanya, maka itu, setelah p engalamannya itu, ia lantas ketahui Sin Tjoe adalah satu nona. Sin Tjoe pun terta- wa, terus ia kasi turun kopianya, hingga terlihat rambutnya yang bagus. "Tjioe Tjeetjoe, untuk apa kau bercem-buru?" ia pun menanya sambil tertawa. San Bin tahu ia kecele, ia jengah sendirinya, tetapi lekas ia menghaturkan maaf. Ketika itu matahari sudah doyong rendah ke barat, manusia dan kuda letih bersama . Sin Tjoe lompat turun dari kudanya, ia membantui suami isteri itu turun. Ia pu n lantas periksa lukanya San Bin, Kalau luka Tjoei Hong tidak mengenai urat atau tulang, luka itu tidak berbahaya, tidak demikian dengan tjeetjoe ini, jeriji ta ngannya Tong Soen membuatnya ia terluka parah. Sin Tjoe lantas kasi ia makan dua butir pil Siauwyang Siauwhoan tan dan menitahkannya dia beristirahat. Berselang lama juga, San Bin merasakan kesegarannya pulih sedikit. Ingat kepada lukanya, ia jadi sengit. Katanya: "Pernah aku berperang sa ma tentera Watzu, sampai beratus kali, belum pernah aku terkalahkan sebagai ini. Sakit hati ini mesti aku balas!" Tjoei Hong hiburkan suami itu. "Mana gurumu?" kemudian San Bin tanya Nona Ie. "Oleh karena kami mendengar kabar pemerintah bermaksud tidak baik terhadapnya, kami sengaja datang untuk menyambu t padanya. Apakah dia tidak kurang suatu apa?" "Soehoe sudah menyingkir sejak siang-siang," sahut Sin Tjoe. "Untukmu ia telah t itipkan sepucuk surat." Nona itu lantas ke- luarkan surat gurunya itu. San Bin sambuti surat itu, untuk dibuka dan dibaca, habisnya, ia menghela napas: "Ah! Gurumu melarang aku menuntut balas!" "Apakah yang Thio Tan Hong tulis?" Tjoei Hong tanya. "Dia bilang di pesisir timur selatan keamanan tengah terganggu oleh perompak-per ompak bangsa kate, jikalau aksinya kawanan perompak itu tidak dicegah, mereka bisa menjadi bencana besar di belakang hari," sahut San Bin. "Karena ini ia menghendaki aku memecah sebahagian tenteraku, guna dipindahkan ke Kanglam, untuk bekerja sama ka wan sepaham di pesisir timur selatan itu untuk menentang pengaruhnya perompak-pe rompak bangsa kate itu. Inilah bukan pekerjaan gampang." "Apakah yang sulit?" Sin Tjoe menanya. "Pertama-tama kita orang Utara tidak bisa berenang," jawab San Bin. "Kedua kita telah lama bermusuh sama pemerintah, sekarang kita mesti bawa pasukan tentera me lintasi tempat-tempat jagaan pemerintah, sulitnya bukan main. Ketiga, dengan beg ini apa kita bukan seperti juga membantu pemerintah si orang she Tjoe itu?" "Kau telah belajar silat, apakah kau anggap belajar berenang lebih sukar daripad a belajar silat itu?" Sin Tjoe tanya. "Tentu saja belajar silat ada terlebih sukar." Si nona lantas tertawa. "Kalau begitu, kesu-karanmu yang pertama itu tidak beralasan!" ia berkata. "Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan lantas dapat berenang. Orang Utar a juga, satu kali dia sampai di Selatan, dia bakal bisa berenang. Kita bisa bela jar berperang di air." "Dan tentang kesulitan tentera kita berangkat ke selatan," Tjoei Hong turut bica ra, "untuk bisa melintasi tempat jagaan tentera negeri, baiklah kita atur supaya mereka menyamar sebagai pelbagai golongan penduduk, jalannya pun dengan berpenc aran. Kita mesti masuk ke Selatan dengan menyelundup." San Bin tertawa. "Kamu berdua membilang begini, aku jadinya tak seperti kamu kaum wanita!" ia kat a. "Aku bukannya tidak mengarti maksudnya Thio Tan Hong, bahwa menolongi rakyat dari ancaman bahaya adalah tugas kita. Memang tidak dapat aku menampik. Aku hanya tidak puas kita ke luarkan tenaga untuk pemerintah si orang she Tjoe. Pemerintahlah yang mesti tolo ng rakyat di Selatan itu. Kalau sekarang kita yang menolongi, habisnya, pemerint ah bakal melabrak musna pada kita!" "Tetapi kau harus ingat, toako, Thio Tan Hong sendiri tidak mengutarakan penasar an seperti kau ini," berkata Tjoei Hong, sang isteri. "Bicara perihal sakit hati , dia sebenarnya lebih membenci dan mendendam kepada pemerintah!" San Bin memang mengarti soal itu. "Baiklah!" katanya. "Asal kita bisa pulang ke tempat kita, akan aku kerahkan t enteraku..." San Bin bicara keras-keras, lukanya terasa sakit, maka ia menjadi lesu pula. "Mari kita cari rumah penduduk, untuk menumpang menginap barang semalam," Tjoei Hong menyarankan. Tapi mereka berada di tempat pegunungan yang sunyi. Di situ di mana ada rumah or ang? Sin Tjoe berniat mencari tetapi ia kuatir untuk meninggalkan suami isteri itu. Tengah mereka bingung, Sin Tjoe tiba-tiba mendengar suara kuda meringkik, lalu k udanya meringkik keras dan panjang, terus berjingkrakan dan lari. Itulah aksi ku da menyambuti suara bangsanya. Nona Ie menjadi heran. Tidak biasanya kuda putih itu menjadi binal. I a memanggil, kuda itu tidak kembali. Terpaksa ia lari, untuk menyusul. Baharu saja Sin Tjoe muncul di sebuah tikungan, sekonyong-konyong ia dengar bent akan terhadapnya: "Bangsat bernyali besar! Kudanya Thio Tan Hong juga kau berani curi?" Lalu bentakan itu disusuli satu serangan hebat dengan sebatang sianthung , tongkatnya seorang suci. Sin Tjoe terkejut dan heran. Di bawah sinar rembulan, ia dapatkan si penyerang a dalah satu paderi yang alisnya gompiok dan matanya besar, dan tongkatnya, yang panjang, besar umpama kata sebesar mangkok. Untuk melindungi diri, terpaksa ia m enangkis. Sebenarnya ia hendak menegur, guna meminta keterangan, apa mau, si pad eri sudah lantas mengulangi serangannya dan, secara hebat sekali. Kali ini Nona Ie tidak berani menangkis, ia berkelit, tetapi justeru ia berkelit , ia menjadi kena didesak paderi itu, yang bengis sekali, yang tak mau berhenti dengan dua kali serangannya itu. Ia melayani dengan tunjuki kegesitannya. Segera ia dapat kenyataan orang ada terlebih liehay banyak daripada Liauw Van Taysoe. "i Toasoeheng, dengar dulu aku!" achirnya ia berseru setelah terdesak berulang- ulang. Ia pun heran sekali atas sikap keras dari paderi ini. "Kau hendak omong apa?" membentak paderi itu. Ia lompat minggir. Lebih dulu dari pada itu, ia sudah sampok pedang orang hingga pedang itu terlepas dan mental. "Ah, kiranya kau muridnya Thio Tan Hong!" kemudian paderi itu berkata dengan nyaring sambil ia tertawa, sedang Sin Tjoe be rdiri tercengang saking herannya. "Sungguh, satu jaman dengan satu jaman, orang menjadi terlebih pandai, maka kita dari tingkat terlebih tua harus mati karena malu!..." Sin Tjoe lompat untuk pungut pedangnya, setelah itu, ia awasi paderi itu, seoran g berusia mendekati enam puluh tahun, mukanya merah segar, matanya sedang memeri ksa tongkatnya, yang ujungnya bercacad bekas benterok sama pedangnya. Paderi itu pun mengawasi ia sambil bersenyum berseri-seri, tidak lagi bengis seperti tadi. Sedang tak jauh dari mereka, ia li hat, kudanya emdash kuda Tjiauwya Saytjoe ma emdash tengah bergurau sama seekor kuda putih lainnya, yang s egalanya mirip dengan kudanya itu, kecuali bulu putih di badannya kecampuran ban yak titik-titik hitam. Tjiauwya Saytjoe ma menekuk sebelah kakinya di depan kuda putih itu, kepalanya digosok-gosoki, dan kedua kuda berbun yi tak hentinya. Mereka mirip orang yang ketemu sanaknya yang terdekat. Menyaksikan semua itu, Sin Tjoe ingat suatu apa. Itu waktu pun lantas terdengar suara nyaring dari Tjioe San Bin: "Oh, kiranya Tiauw Im Taysoe1." Sin Tjoe segera menoleh, ia dapatkan Tjoei Hong tengah mempepa-yang suaminya itu . Mereka rupanya menyusul karena ia tidak se- gera kembali. Tidak tempo lagi, ia bertekuk lutut di depan paderi itu seraya men gatakannya: "i Soepeetjouw, cucu muridmu Ie Sin Tjoe memberi hormat." "Kau bangunlah," berkata paderi itu, yang memang Tiauw Im adanya, murid kedua da ri Hian Kie Itsoe, yang kesohor ilmu silat tongkatnya yaitu Thianmo Thunghoat, dan terhadapnya, Thio Tan Hong mesti memanggil djiesoepee, pe -man guru yang kedua, sedang kuda putihnya itu adalah biangnya Tjiauwya Saytjoe ma, maka juga kedua binatang itu erat sekali perhubungannya satu dengan lain. "i Siauwtjeetjoe, kenapa kau terluka?" Tiauw Im tanya San Bin. "Kita dikepung musuh," sahut Tjoei Hong, yang tuturkan jalannya pertempuran melawan rombongannya Yang Tjong Hay. "Kiranya kamu juga sedang mencari Thio Tan Hong!" berkata paderi itu. Ia terus t ertawa dan menambahkannya: "Aku pun lagi cari dia supaya dia balaskan sakit hati nya dua bacokan ini!" Ia robek jubah di betulan pundaknya yang kiri, akan mengas i lihat dua tapak bacokan yang bersilang. Luka itu telah ditempeli kouwyoh. Sin Tjoe heran sekali. "Pantas soehoe membilangnya hebat gwakang dari soepeetjouw ini, dia t erluka pundaknya begini hebat tetapi ia masih sanggup bersilat dengan dahsyat se kali." pikirnya. "Siapakah yang telah makan hati harimau dan nyalinya macan tutul maka dia berani memu- suhkan taysoe?" San Bin tanya. Tjeetjoe ini pun heran. "Siapa yang membacok taysoe?" Tjoei Hong bertanya. "Mereka itu bukan melainkan memusuhkan aku!" menyahut Tiauw Im, sengit. "Mereka juga membinasakan ribuan penduduk di sepanjang pesisir timur selatan! Syukur unt ukku, tongkatku ini bukan tongkat sembarang, kalau tidak pastilah tubuhku juga t elah tercingcang mereka itu! Dua lukaku ini ada luka bacokannya perompak-perompa k kate!" Lantas paderi ini menuturkan hal ichwalnya. Ia memang gemar membelai perkara-per kara tidak adil, waktu ia dengar kabar perompak kate di pesisir timur selatan me ncelakai rakyat, yang mereka garong dan bunuh- bunuhi, ia lantas pergi ke Tjiatkang, di kota Taytjioe, untuk membantu pasukan s uka rela rakyat. Dalam satu pertempuran besar, tentera rakyat itu kena dikalahka n, sebab jumlah mereka hanya beberapa ratus tetapi perompak kate tiga ribu jiwa, benar mu suh banyak yang terbinasa tapi pihak rakyat sendiri menderita kerugian separuhnya. Ketika Tiauw Im melindungi pemimpin pasukan, Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit, dalam p ergumulan, dua kali ia kena terbacok. Demikian ia peroleh luka-lukanya itu. Sampai di situ Ie Sin Tjoe mengatakan bahwa gurunya sudah berangkat ke Taylie. "Tentulah dia berniat mengundang toasoeheng turun gunung," Tiauw Im mengutarakan duga- annya. "Katanya dia hendak memberi selamat hari ulangnya toasoetjouw," kata Sin Tjo e. "Ah, aku sampai lupa!" seru Tiauw Im seraya ia ketok kepalanya sendiri. "Memang tahun ini soehoe memasuki usia delapan puluh tahun!" Ia tertawa dan menambahkan: "Memang nampaknya Tan Hong si bocah hendak menyingkirkan diri dari dunia ramai tetapi sebenarnya hatinya panas bergolak, dia melebihi aku dalam hal gemar mengu rus segala peristiwa tidak adil. Begitulah pernah dia menulis surat kepada Yap T jong Lioe menganjurkan Tjong Lioe berserikat bersama San Bin dan lain-lain rombo ngan suka rela lagi di Shoatang. Sekarang dia pergi memberi selamat kepada soeho e, mestinya dia ada mengandung lain maksud pula. Aku lihat, paling lambat lain tahu n, dia pasti akan sudah kembali ke Kanglam." Sin Tjoe mengangguk. Ia lantas tanya lukanya San Bin. "Setelah makan obatmu, aku merasa baikan," sahut Kimtoo Tjeetjoe sambil tertawa, "dan setelah mendengar penuturan taysoe barusan, aku jadi semakin gembira. Aku percaya lukaku ini tidak bakal jadi hebat." Mendengar pembicaraan itu, Tiauw Im tegur dirinya sendiri. "Lihat, bagaimana aku tolol!" katanya. "Seharusnya kamu beristirahat!" "Di mana ada tempat beristirahat di sini?" Tjoei Hong tanya. "Di kaki gunung sana ada rumahnya seorang pemburu , ia ada orang sendiri," menyahut Tiauw Im. "Mari kita pergi ke sana!" San Bin bertiga akur, maka Tiauw Im lantas jalan di depan. Sin Tjoe membantui Tj oei Hong yang mempepayang suaminya untuk naik atas kuda putih, yang Nona Ie tela h panggil datang. Baharu saja kuda mereka bertindak, tiba-tiba San Bin pesan Sin Tjoe: "Nona Ie, tolong kau meninggalkan tanda untukk u. Setiap kira-kira sepuluh tindak, bikinlah tanda itu di batang pohon." "Tanda apakah itu?" Sin Tjoe tegaskan. "Djitgoat Siangkie serta satu toya besar," sahut San Bin. Djitgoat Siangkie iala h sepasang bendera dengan lukisan matahari dan rembulan. Mendengar itu, Sin Tjoe ingat apa-apa. "Bukankah tanda un- tuk Pit Keng Thian?" ia tanya. "Benar. Maksud perjalananku ini kecuali untuk memapak gurumu juga sekalian untuk mencari orang she Pit itu, adalah niatku untuk kita menggabungkan diri. Dialah adik angkatku. Taysoe, dialah seorang gagah, yang polos, dia sama tabiatnya sama taysoe." Tidak enak Sin Tjoe mendengar disebut-sebutnya Pit Keng Thian. Setahu kenapa, ia merasa sebal terhadap orang itu dan roman orang yang kasar seperti berpeta di d epan matanya. Tiauw Im Taysoe sebaliknya gembira sekali dan ia menanyakan San Bi n tentang orang she Pit itu. San Bin beritahu siapa orang itu. "Haha, kiranya dia puteranya Pit Too Hoan!" berkata si paderi sambil tertawa. "Dengan begitu, dia harus memangg il siesiok kepadaku!" "i Siesiok" ialah paman. Karena di masa hidupnya, Pit Too Hoan bersahabat erat s ekali dengan Tiauw Im. Paderi ini pun girang sekali mengetahui pute-ra sahabatny a telah menjadi toaiiongtauw, kepala dari orang-orang kosen di lima propinsi Uta ra. Mereka berbicara sambil berjalan, tak lama lewatlah mereka di sebuah tikungan da ri mana lantas terlihat sebuah rumah. "i Siauwtjeetjoe," berkata Tiauw Im, "lukamu ini, dikata berat tidak berat, dibi lang enteng tidak enteng, mungkin kau perlu beristirahat beberapa bulan karenany a. Kebetulan untukmu untuk singgah di sini, tuan rumahnya mengerti ilmu ketabiban." Baharu Tiauw Im berkata begitu, tiba-tiba terlihat sinar obor di kaki gunung, da ri mana tertampak satu penunggang kuda sedang lari mendaki. "Hebat ilmunya orang itu menunggang kuda!" berkata hweeshio ini kagum. "Dan kuda nya pun jempol! Saudara Tjioe, coba lihat, adakah dia Pit Keng Thian?" Sin Tjoe berpaling dengan cepat. "Yang Tjong Hay!" ia mendahulukan berkata. Dengan matanya yang celi, ia sudah la ntas mengenali penunggang kuda itu. "Yang Tjong Hay yang mana?" bertanya Tiauw Im. "Apakah dia Yang Tjong Hay si jag o pedang dari Soetjoan Barat?" "Dialah Tay i wee Tjongkoan Yang Tjong Hay!" Tjoei Hong menyahuti. "Dialah si bangsat anjing Yang Tjong Hay yang telah melukai aku!" Memang jempol kudanya Yang Tjong Hay itu, yang ada kuda dari istana. Dengan menu nggang kuda ia mencoba mengikuti jejaknya Ie Sin Tjoe dan ia dapat menyan-dak di tempat ini. Ia sudah lantas angk at tinggi obornya untuk memandang ke depan. Tiba-tiba saja ia tertawa lebar. "Tjioe Tjeetjoe, kau kiranya masih ada di sini?" ia berkata nyaring. "Aku si ora ng she Yang hendak menawan kau, tuan yang mulia!" Ie Sin Tjoe lantas menghunus pedangnya, sedang San Bin tidak sahuti orang. "Kau serahkan bang- sat itu padaku!" berkata Tiauw Im, dengan suaranya dalam. "Kau lin dungi saja Tjioe Tjeetjoe!" Habis berkata, dengan tiba-tiba paderi ini berseru keras, tubuhnya pun mencelat maju, begitu ia menginjak tanah, tongkatnya me-nyamber kaki kudanya Tjong Hay. Kuda itu liehay, dia kaget dan berlompat. Tjong Hay menjadi gusar sekali, dengan obornya ia menimpuk. Tiauw Im lihat datangnya obor itu, ia menyampok. Maka bagaikan seekor ular api, obor itu terpental jauh beberapa tombak. Luar biasa gesitnya paderi ini, menyusuli tangkisannya itu kepada obor, ia sudah lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya kepada tjongkoan dari istana kai sar itu. Tjong Hay I ompat turun dari kudanya, setelah itu dengan pedangnya ia membalas m enyerang dengan jurusnya "Ular berbisa memuntahkan bisanya." "Sungguh lincah!" si paderi memuji menyaksikan kegesitan orang. Ia menangkis den gan keras, hingga pedang dan tongkat beradu dengan nyaring, orangnya pada mundur sendirinya. "Siapa kau?" Tjong Hay tanya sambil membentak. "Akulah melaikat Hang Mo Thiantjoen yang biasa mengemplang anjing jahat!" sahut Tiauw Im. "Kau bocah tidak punya malu, kau berani sebut dirimu satu jago pedang, mari kaii coba tiga ratus kemplangan tongkatku!" Jawaban itu dibarengi dengan serangan bertubi-tubi. Yang Tjong Hay men-jad repot sekali. Ia tidak mau keras melawan keras, ia terpak sa menggunai kelincahannya, kelit sana dan kelit sini, berlompatan, baharu setelah dapat ketikanya, ia mencoba membalas menyerang. Mereka bertempur sekian lama, Tiauw Im tidak dapat segera merobohkan lawan, ia m enjadi sibuk sendirinya, karena ini ia menjadi sengit, ia berkelahi dengan hebat sekali, hingga tongkatnya bergerak bagaikan "ular naga keluar dari gunanya" ata u "harimau kelaparan turun dari gunung." Yang Tjong Hay terpaksa main mundur, sambil mundur ia terus menutup dirinya. Saban-saban ia berhasil melenyapkan ancaman bahaya tongkatnya si paderi yang ia tidak kenal itu, yang ia heran ada demikian kosen. Ie Sin Tjoe menyaksikan itu pertempuran, ia mengerutkan keningnya, ia masgul. "Heran kenapa soe-peetjouw tidak insaf bahwa orang tengah menungkuli dia..." ia kata dalam hati kecilnya. "Kenapa soepeetjouw menjadi demikian sembrono? Coba gu ruku yang lagi bertempur, tidak nanti ia sudi memberikan ketika begini kepada Ya ng Tjong Hay..." Memang di antara murid-muridnya Hian Kie Itsoe, Tiauw Im adalah yang paling kuat tenaganya tetapi paling rendah ilmu silatnya, dibanding sama Thio Tan Hong, kep onakan muridnya, dia masih kalah. Dengan kepandaiannya itu, kalau Tiauw Im berkelahi dengan sabar, ia masih dapat mengimbangi Yang Tjong Hay, sekarang ia m ain hantam kromo, sedang juga sebelah lengannya sakit, selewatnya tiga puluh jur us, gerak-gerakannya menjadi kendor sendirinya. Yang Tjong Hay pun telah kasi dengar tertawanya yang dingin. "Aku kira siapa orangnya yang dapat menggunai ilmu tongkat Thian Mo Thunghoat be gini liehay, kiranya soepee dari Thio Tan Hong!" ia berkata, mengejek. "Sayang d ia ada bagaikan kerbau dungkul, sama sekali dia tidak mengarti rahasianya ilmu s ilat yang luhur! Kau sabar! Maukah kau aku berikan petunjuk? Ah, tidak seharusny a kau menyapu secara begini! Tidak tepat kau menggunai tenagamu!" Tjongkoan ini hendak mengundang hawa amarah orang dan ia berhasil. Tiauw Im kena dibikin panas hatinya, hingga ingin dia menghajar mampus lawannya ini dengan satu kali kemplang saja. Adalah pantang an orang liehay untuk bertempur dengan hati bergusar dan Tiauw Im sudah kena langgar pantangan itu. Ia masih men yerang dengan hebat akan tetapi ilmu silatnya mulai kacau. Yang Tjong Hay tertawa terbahak-bahak menampak perubahan lawannya ini, sekarangl ah ia mainkan pedangnya secara dahsyat, untuk memulai serangan pembalasannya, hi ngga pedangnya jadi berkelebatan bagaikan bianglala. Tiauw Im lantas menjadi repot, dari pihak menyerang, kontan ia menjadi pihak yang membela diri. Sin Tjoe goncang hatinya menyaksikan perubahan itu. Ia ingin maju, untuk ia memb antui, ia cuma beringin tapi ia tidak berani mewujudkan itu. Tiauw Im berderajat lebih tinggi, kalau ia maju, ia kuatir soepeetjouw itu merasa tersinggung keang kuhannya. Terpaksa ia berdiri mengawasi dengan tajam, sebelah tangannya ditaruh di gagang pedangnya, tangan yang lain menyiapkan tiga potong kimhoa, senjata rah asianya itu yang bermodel bunga emas. Ia memikir untuk membantu dengan senjata r ahasia tetapi ini pun ia masih sangsikan... Justeru itu terdengar meringkiknya si kuda putih. "Ada orang jahat ma- in gila!" San Bin berseru. Sin Tjoe menoleh dengan cepat, hingga matanya kabentrok sama aksinya Tie Hian si orang kate kecil yang lincah. Entah kapan datangnya dia, tahu-tahu dia muncul d ari belakangnya sebuah batu besar, dari situ dia menyiapkan busur pelurunya, unt uk membokong San Bin, dia dipergoki si kuda putih, yang terus meringkik. Karena ini, dia berbalik mengincar kuda putih itu. " Si nona Ie menjadi gusar, lantas saja ia menimpuk, bukan kepada Tjong Hay, hanya kepada si orang she Tie itu. Bahkan ia menyerang tiga ka li saling susul. Bunga emas yang pertama berhasil mematahkan busurnya Tie Hian, karena busur menjepret, tangannya terluka dan mengeluarkan darah. Bunga emas yang kedua menyamber ke kepala, Tie Hian masi h sempat berkelit tetapi tidak urung rambutnya kena terbabat, hingga kulit kepal anya lecet. Dalam takutnya, ia jatuhkan diri, untuk bergulingan di tanah. Dengan caranya ini ia dapat menolong jiwanya, sebab bunga emas yang ketiga lewat tepat lagi lima dim dari batok kepalanya. Sin Tjoe masih hendak mengulangi serangannya dengan bunga emas kepada Tie Hian s i taydjin atau pahlawan raja kelas tiga tatkala ia dengar suara kuda yang dilari kan keras ke arah mereka, ialah ke arah Tie Hian yang bergulingan terus ke kaki bukit. Ia lantas melihat satu penunggang kuda yang tubuhnya besar dan kekar. Ses ampainya di dekat Tie Hian, orang itu lompat turun dari kudanya, tanpa ayal lagi, dia dup ak si orang she Tie. Tie Hian masih sempat berkelit, hanya di lain saat, dia sud ah lantas kena dibekuk orang bertubuh besar itu. "Pit Hiantee di sana?" menanya San Bin sambil berseru, agaknya ia girang sekali. "Tjioe Toako?" orang itu membalasi. Ia memberi penyahutan kepada San Bin tetapi tangannya tak berhenti bekerja. Dengan keras ia mencekek lehernya Tie Hian, hing ga dia ini mengeluarkan teriakan tertahan, lalu tubuh orang dilemparkan ke dalam jurang tanpa Tie Hian dapat membuka suara pula. Yang Tjong Hay sedang menang di atas angin ketika ia dapat lihat perbuatannya si orang she Pit itu, yang dalam segebrakan saja dapat merobohkan Tie Hian yang lin cah, ia menjadi terkejut. Ia lantas berpikir: "Di sini ada Pit Keng Thian, Tiauw Im Hweeshio dan Ie Sin Tjoe, kalau mereka bertiga mengepung aku, inilah berbaha ya. Kalau kita berkelahi satu sama satu itulah lain." Sebagai seorang yang berpengalaman dan pandai berpikir, ia lantas desak Tiauw Im Hweeshio, begitu paderi itu mundur dengan terpaksa, ia pun lompat mundur, untuk terus memutar tubuhnya, guna mengangkat kaki. Tiauw Im mendongkol bukan main, ia menantang sambil menjerit-jerit tanpa ada faedahnya, sebab Tjong Hay menyingkir terus, malah dengan naik atas kuda istana yang jempol itu, sedetik kemudian dia sudah menghilang di kaki gunung. Pit Keng Thian sudah lantas datang pada mereka. Ia dan Tiauw Im pernah bertemu, mereka kenal satu dengan lain, hanya sebagai kenalan baru, mereka saling mengagu mi. "Pit Hiantee, cara bagaimana kau bisa datang ke mari?" San Bin menanya. "Aku dengar kabar toako datang ke Selatan, aku girang bukan main," sahut toaiio ng-tauw itu, "melainkan aku menyesal yang tak dapat aku siang-siang da tang menyambut. Karena itu aku telah utus lebih dulu kepada Pit Goan Kiong. Apakah toako telah bertemu dengannya?" "Ya," sahut San Bin, yang tapinya berduka. "Kali ini kita nampak kerugian tak sedikit." "Jangan berduka, toako." Keng Thian menghibur. "Kecuali beberapa orang, yang lai nnya telah berhasil aku menolonginya." San Bin girang mendengar ke terangan ini. "Cara bagaimana hiantee menolonginya?" ia tanya. "Aku datang cepat sekali bersama tiga belas tjeetjoe lainnya," menjawab Keng Thi an. "Kebetulan kami bertemu sama pasukan negeri. Kita lantas bertempur. Di dalam tentera negeri itu ada Law Tong Soen yang liehay sekali, yang lainnya tak dapat menentangi kami. Tong Soen tahu diri, ia sudah lantas mundur. Karena itu sebagi an besar saudara-saudara yang tertawan pasukan negeri itu dapat kami bebaskan. Aku dengar toako menyingkir ke jurusan ini, aku lantas menyusul kemari." "Bagaimana dengan si pengurus rumah makan yang tua?" "Dia pun telah dapat ditolongi." "Bagus! Bagaimana dengan Beng Tiang Seng? Dia muridnya Kwee Looenghiong." "Dia terluka parah, dia dimasuki ke dalam kerangkeng, Tong Soen sendiri yang jag a padanya, dia tak dapat ditolongi," sahut Keng Thian pula. San Bin menjadi berduka, berduka tercampur girang. Ia berdiam. Keng Thian tertawa besar. "Asal kita dapat bersatu, negara Beng pun bakal dapat kita rampas!" kata dia. "J adi bukannya cuma satu Beng Tiang Seng!" San Bin masih berdiam. Sin Tjoe dengar suara jumawa itu, tak senang hatinya, ia sudah hendak membuka mu lutnya, syukur ia lantas dapat menguasai diri. Justeru itu matanya Keng Thian melihat si Nona Ie. "Ah, Nona Ie, kita bertemu kembali," katanya sabar. "Sungguh kita berjodoh! Kali ini kau toh memasuki ikatan kita, bu kan?" Tiauw Im mengawasi Sin Tjoe, ia tertawa. "Lagi-lagi satu nona menyamar!" katanya. "Kau mirip In Loei dulu hari itu. Apaka h senjata rahasia kau ini dia yang mengajarinya?" Keng Thian tidak puas yang Tiauw Im menyelak bicara, tetapi ia dapat bersabar sa mpai si nona sudah menjawab paderi itu. Ia kata pula dengan sabar seperti tadi : "Apakah nona telah tanyakan gurumu tentang peta bumi itu? Itulah peta bumi yang mengenai kepentingan negara!" Sin Tjoe menyahuti dengan dingin. Ia tanya: "Mana lebih perlu, merebut negara at au menolongi rakyat jelata?" Ditanya begitu, Keng Thian melengak. "Apakah artinya pertanyaan ini?" ia balik menanya. "Benar," Tiauw Im menyelak pula, "perkataannya Sin Tjoe cocok dengan suara gurun ya. Tan Hong menghendaki kamu lebih dulu menolongi penduduk di pesisir timur sel atan. Di sana itu selama yang belakangan ini perompak-perompak bangsa kate ada s angat mengganas, apakah kau tidak ketahui itu?" "Perompak-perompak kate itu adalah penyakit di kulit belaka!" sahut Keng Thian. "Sekalipun kurap, jikalau tidak lekas diobati, penyakit itu bisa merembet menjad i berbahaya!" kata Tiauw Im pula. "Laginya belum tentu itu hanya penyakit kurap! Saudara Pit, aku baharu kembali dari Taytjioe, hendak aku menjelaskan kau tenta ng perompak bangsa kate itu. Ah, keadaan di sana sungguh hebat dan mengenaskan.. ." Ia berhenti sebentar, lalu ia ketok kepalanya yang gundul. "Kau lihat, bagaim ana aku tolol. Tjioe Tjeetjoe dan isteri perlu beristirahat! Mari kita kembali d ulu ke rumahnya pemburu itu." Pikiran ini lantas diwujudkan, maka sebentar lagi mereka sudah berada di dalam r umah si pemburu yang dimaksud itu. Sin Tjoe mengatakan letih dan ngantuk, ia pergi beristirahat lebih dulu. San Bin dapat menguatkan hati, ia dud uk pasang omong sama Tiauw Im dan Keng Thian, membicarakan urusan perompak bangs a kate. Suara mereka itu membuat si Nona Ie sukar pulas. "Pit Laotee," berkata Tiauw Im, suaranya keras, "asal kau tiba di pesisir timur selatan itu dan dapat melihat keadaan di sana, tidak dapat tidak perutmu pasti m eledak dan matamu tentulah pecah dan rambutmu bangun berdiri! Kawanan perompak itu bukannya manusia lagi, mereka main bunuh orang atau menawan, tapi y ang paling hebat, sekalipun anak-anak kecil mereka bunuh juga! Di waktu mereka m enganiaya, mereka dapat bertepuk tangan dan bersorak- sorai. Sayang di mala-man aku menyaksikan kekejaman mereka, aku datang terlambat , benar aku bisa labrak mereka tetapi anak-anak itu tidak dapat ditolong lagi. Karena itu untuk beberapa malam aku tid ak dapat tidur pulas. Perompak itu, saban habis membajak, lantas kabur pula deng an bawa rakyat yang diculik, sedang yang lain mereka bunuh dan wanitanya diperko sa. Di waktu mau pergi, mereka main membakar kampung! Coba bilang, laotee, siapa saja yang bersemangat, bisakah dia diam saja? Kau sendiri, apa kau bakal kerahk an pasukanmu atau tidak?" Keng Thian berdiam, hatinya berpikir. "Mengerahkan pasukan, itulah tentu," sahutnya kemudian, "Hanya, paman Tiauw Im, di bahagian apakah liehaynya kawanan perompak itu? Apakah di antara mereka ada yang liehay ilmu silatnya? Sebelumnya bertindak, kita harus ketahui diri sendiri dan mengenal mereka itu." "Kawanan perompak itu biasa memecah diri dalam rombongan- rombongan kecil, kalau mereka bergerak, nampaknya mereka bukan gerombolan belaka," menyahut Tiauw Im. "Mereka pergi ke segala tempat yang mereka suka. Tentera negeri menjag a masing-masing wilayahnya, mereka tidak merintangi. Jadinya perlawanan menganda lkan saja pada pasukan suka rela rakyat, yang tidak terpimpin sempurna. Inilah ruginya pih ak kita. Kawanan perompak itu ada punya golok buatannya sendiri yang tajam luar biasa, terutama di waktu bergumul, pihak kita tidak dapat mempertahankan diri. Maka itu aku anggap, kita mesti punya pasukan y ang terlatih, seperti pasukanmu itu. Tentang ilmu silat, kawanan itu mengarti yudo dan kendo. Yudo mir ip dengan silat tangan kosong Thaykek Koen kita. Kendo ialah ilmu pedang, yang b eda dengan ilmu pedang kita. Kabarnya ahli yudo dan kendo mereka dibagi dalam se mbilan dan. Pernah aku mengalahkan dua musuh dari tingkat dan ke lima, dengan da n ke sembilan, belum pernah aku bertemu." Keng Thian kembali diam berpikir. "Kalau begitu," berkata San Bin, "tidak perduli kawanan perom- pak itu liehay sekali, tidak dapat kita tidak pergi ke sana! Tiauw Im Taysoe, ku damu dapat lari keras, kau saja yang menolongi membawa /eng tjian serta suratku ke pesanggrahanku di luar kota Ganboenkwan, untuk menitahkan mereka itu nyelusup masuk ke sini, guna berkumpul di Gieouw, Tjiatkang. Aku percaya itu waktu lukak u tentu sudah sembuh, nanti aku yang pimpin sendiri kepada mereka itu. Untuk men jaga pesanggrahan, cukup dengan meninggalkan satu atau dua per sepuluh." "Baik," jawab Tiauw Im, setuju. "Kau, Pit Hiantee?" "Pasti aku akan turut," sahut Pit Keng Thian. "Cuma satu hal harus didamaikan du lu." "Apakah itu?" "Menurut katamu ta- di, rakyat suka rela dan badan keamanan setempat di pesisir timur selatan itu be kerja sendiri-sendiri, inilah tidak bagus," berkata Keng Thian. "Aku pikir perlu kita angkat satu pemimpin dan orangnya ialah Tjioe Toako yang paling tepat, han ya tak tahu kita bagaimana dengan Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit, mereka akur atau tidak." "Untuk aku, siapa menentang perompak, aku turut padanya," berkata Tiauw Im, "mak a juga, siapa menjadi pemimpin, itulah bukannya soal." "Bukannya begitu," Keng Thian tertawa. "Dalam urusan peperangan, tanpa pemimpin, itulah tak dapat. Bukankah kita bukan cuma untuk membasmi perompak saja? Tidakk ah demikian, Tjioe Toako?" "Memang ular tanpa kepala tak dapat jalan, inilah benar," kata pula si paderi, " hanya soal siapa mesti jadi kepala, aku tidak tahu..." "Pemimpin itu mestinya Tjioe Toako," Keng Thian tegaskan. "Siapa tidak tahu nama besar dan pengaruhnya Kimtoo Tjeetjoe?" "Tidak, hiantee," berkata San Bin. "Mengenai kepintaran, kau menang banyak darip ada aku dan kau juga toaiiongtauw dari lima propinsi Utara. Bukankah semua orang Rimba Hijau dan pelbagai perkumpulan telah mendengar kau? Maka kaulah yang mest i jadi pemimpin." "Aku menjadi toaiiongtauw karena orang sudi menjunjung aku," Keng Thian masih me nolak, "di samping itu, toako bersama, mana dapat aku melewati kau? Laginya, Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit ada terlebih berpengaruh daripada aku ." Melihat orang saling tolak, Tiauw Im tertawa. "Kamu bukan bakal jadi raja, kenapa kamu main saling dorong?" kata ia. "Menurut aku, Pit Hiantee, kau terlebih tepat. Bukankah kau tuan rumah dan Tjioe Tjeetjoe tetamu? Tentang Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit, mereka telah nyatakan padaku, baik Tj ioe Toako atau Pit Hiantee, pasti mereka akan menjunjungnya. Pit Hiantee, sekali pun kau menjadi raja, Tiauw Im akan tunjang padamu!" Paderi itu tertawa, begitu juga San Bin dan Keng Thian. Mereka berdua kagum untu k kepolosannya paderi ini. Di achirnya Sin Tjoe di dalam kamar dengar Keng Thian menerima baik kedudukannya. Ia masgul sekali. Ia tak puas dengan suara kaku dari orang sh e Pit itu. Tapi ia berpikir: "Dia beroman kasar, siapa tahu, dia bisa berpikir. Terang dia ingin menjadi kepala tetapi dia berpura-pura. Dia suka menjadi kepala penentang perompak, ini ada baiknya juga..." Kemudian terdengar pula suaranya Tiauw Im, yang mengatakan hendak berangkat besok, sebab pertolongan sangat penting. Ia pun menganjurkan Keng Thian berangka t lebih duluan ke Taytjioe bersama rombongannya. "Tindakan untukku tidak ada sedemikian sederhana, saudaraku yang baik," berkata Keng Thian. "Pertama, sepulangku ke Shoa-tang, aku mesti panggil berkumpul semua tiong-tauw dari pelbagai pen- juru, kita mesti berapat dulu, lalu setelah itu aku mesti cari pengganti, untuk mewakilkan aku. Tidak dapat aku meninggalkan kedudukanku dengan begitu saja." "Tidak dapatkah kau mengirim orang saja untuk menyampaikan segala titahmu?" "Dalam urusan begini mana bisa kita main wakil-wakilan?" Keng Thian tertawa pula . "Tapi usaha melawan perompak di Taytjioe penting sekali," Tiauw Im mendesak. "Ki ta mesti kirim utusan untuk mengasi kabar, supaya mereka tidak keburu runtuh, se baliknya, agar mereka dapat semangat." "Habis, siapakah yang pergi?" menanya San Bin. Ia tertawa. "Aku!" sahut Tjoei Hong. "Kau perlu merawat toako, mana dapat kau pergi?" Tiauw Im tak akur. Keng Thian pun ber-sangsi, sampai tiba-tiba terdengar suara nyaring: "Aku yang p ergi!" Itulah suara Ie Sin Tjoe, yang terus muncul. Keng Thian mengawasi, sinar matanya benterok sama sinar mata si nona, hatinya la ntas berpikir: "Memang baik sekali kalau ia dapat mendampingi aku dan membantu." "Bagus!" Tiauw Im pun tertawa lebar. "Ah, kenapa aku tidak ingat kau, nona kecil ? Kau suka pergi, tak ada yang terlebih baik!" Keng Thian disadarkan tertawanya paderi itu. Ia lantas mendapatkan Ie Sin Tjoe m engawasi ia dengan sinar mata dingin. Si nona juga lantas berkata dengan sabar : "Pit Toaliongtauw, silahkan kau tulis suratmu untuk pemimpin penentang perompak di Taytjioe itu, supaya mereka dapat ketahui bala bantuan segera bakal tiba. Aku segera berangkat ke sana." Tuan rumah bukan pemburu biasa, ia mengarti ilmu tabib, maka itu, ia sedia perab ot tulis, mendengar perkataan si nona, ia lantas siapkan perabotnya itu di depan Keng Thian, siapa sebaliknya terus menyapu semua orang, hingga ia dapat tahu me reka itu tengah memandangi si nona. Sin Tjoe bersikap tenang, wajahnya membuat orang menghormati dia. Juga Keng Thian merasa menyayangi dan mengaguminy a. Ia berpikir: "Dia satu wanita dan masih muda sekali, dia berani pergi ke tempat ribuan lie untuk membawa surat, dia tak takut memasuki daerah harimau dan srigala, apa kata denganku satu laki-laki? Mustahil aku mesti kalah daripada nya?" Pikiran ini menyadarkan ia bahwa keliru untuk mengharap si nona nanti teru s mendampingi padanya. Ketika ia memandang pula nona itu, matanya kebente-rok pu la sama sinar mata bagaikan pedang dari nona itu, lekas-lekas ia tunduk, mukanya pun dirasakan panas. Dengan lekas ia menulis suratnya. "Pit Laotee, kau juga perlu menulis dua surat untukku," Tiauw Im minta. "Untuk siapa?" "Satu untuk Yap Tjong Lioe, guna me-ngasi tahu bahwa aku pergi ke Kwangwa buat m encari bala bantuan, agar hatinya tetap, yang satu pula untuk seorang tukang perahu di Tiangkang..." Keng Thian heran. "Seorang tukang perahu?" ia menegaskan. "Sin Tjoe asing di sana, ia mesti dapatkan satu penunjuk jalan untuk dapat berte mu sama Tjong Lioe," Tiauw Im mengasi keterangan. "Tukang perahu itu bernama Thi o Hek, tinggalnya di Tjeng-kang. Dia ditugaskan Tjong Lioe untuk jadi penghubung . Kau tulis bahwa nona ini ada muridnya Thio Tan Hong, keponakan muridku itu, da n minta ia melayaninya baik-baik." Keng Thian tidak menanya lagi, ia tulis pula dua pucuk surat itu. Justeru itu fajar sudah menyingsing. Orang sebenarnya tak tidur tapi mereka tak merasa kantuk, malah Sin Tjoe, setelah simpan surat-suratnya, lalu memberi hormat kepada kawan-kawan itu. Ia pu n kata: "Terima kasih, Pit Toaliong tau w\ T e ri m a kasih, Tjioe Tjeetjoe dan soepeetjouw1. Aku berangkat lebih dulu!" "Kau berangkat sekarang juga?" Keng Thian tanya, heran. "Ya," sahut si nona. "Mencari bala bantuan ada seperti menolong bahaya kebakaran ! Sekarang langit sudah terang tanah, aku hendak tunggu sampai kapan lagi?" Orang lantas antar si nona keluar di mana dia lompat naik atas kuda putihnya, ma ka di lain saat ia sudah lenyap di jalanan yang masih remang-remang. Ia menuju k e timur. Keng Thian merasa sayang tapi tak dapat ia membuka mulut untuk mencegahnya... Dua hari kemudian, tibalah kuda Tjiauwya Saytjoe ma dan penunggangnya di tepian sungai Tiangkang, di mana air sangat lebar dan luas, hingga ujungnya bagaikan nempel sama langit. Gelombang pun men-dampar-dampar. Menyaksikan kebesaran alam itu, terbuka hatinya Sin Tjoe hingga tanpa merasa ia bernyanyi pelahan. Ia pun jadi ingat halnya dahulu hari Thio Soe Seng dan Tjoe G oan Tjiang melakukan peperangan yang memutuskan di sungai ini, ia menjadi terhar u sendirinya. Di hari kedua setelah itu, Sin Tjoe sampai di Tjengkang. Ia menuju langsung ke l uar kota timur, untuk mencari Thio Hek si tukang perahu. Ia berhasil menemuinya dengan gampang. Bukan main girangnya tukang perahu ini menerima suratnya Tiauw I m Hweeshio. "Ie Siangkong, kau datang di saat yang tepat!" ia berkata. Ia memanggil siangkon g tuan muda karena Sin Tjoe tetap dandan sebagai seorang pemuda. "Sepanjang pesi sir Taytjioe baharu saja didatangi dua rombongan baru perompak-perompak bangsa k ate itu dan keadaannya tentera rakyat sedang terancam. Benar bala bantuan masih belum sampai tetapi surat ini, kabar dari Pit Toaliongtauw, pastilah akan merupa kan obat penenang hati mereka. Asal pasukan kita mendapat semangat maka tak usah lah kita berkuatir lagi!" Lantas Thio Hek siapkan perahu kecilnya, untuk mengantarkan pembawa surat ini. Kuda putih ditunda di rumahnya tukang perahu ini lantaran binatang itu tidak dap at dinaiki ke dalam perahu yang kecil itu. Pandai Thio Hek memegang kemudi, kendaraannya itu laju pesat sekali. Sin Tjoe berdiri di kepala perahu, matanya memandang ke depan. Kembali ia merasa kan hatinya terbuka. Tapi ia sekarang mendapat kawan, ia ambil kesempatan akan b erbicara sama Thio Hek mengenai sepak terjang kaum perompak. "Tukang perahu! Tukang perahu!" demikian panggilan dari tepian selagi perahu laj u. Itulah seorang mahasiswa muda yang memanggil-manggil, yang tangannya meng gape-gape. Thio Hek tahu tugasnya, ia berpura-pura tidak mendengar, ia menggayu terus perahunya itu. Mahasiswa itu berlari-lari, kembali ia memanggil-manggil. "Tolongilah dia," kata Sin Tjoe, yang tak sampai hati. "Kami kaum perjalanan har us menolongi satu sama lain..." "Tetapi dunia ka-ngouw banyak bahayanya, siangkong," Thio Hek bilang. "Tugas kit a penting sekali, kalau yang naik ada satu telur busuk, apakah itu tidak berbaha ya dan kita bisa gagal?" "Segala mahasiswa lemah, apakah yang dibuat takut?" Sin Tjoe tertawa. Mendengar begitu, Thio Hek ke pinggirkan perahunya. Mahasiswa itu lari terus ke pinggiran, ia singsatkan jubahnya yang panjang, lalu ia pegang ujung penggayu yang Thio Hek ulur kepadanya, sambil pegangan, ia lompat ke lantai perahu. Kendaraan air itu bergerak, tubuh si mahas iswa terhuyung, sebelah kakinya kejeblos, hampir dia kecemplung ke air, tapi Sin Tjoe samber tangannya, sengaja dipegang keras, untuk menguji. Karena tubuhnya terhuyung, hampir mahasis wa itu nubruk dada si nona dalam penyamaran. Baharu setelah itu, dia dapat berdi ri tetap. "Dia bukan cuma tak mengerti silat, dia pun lemah sekali," Sin Tjoe berpikir. "T hio Hek berkuatir berlebihan..." Anak muda itu bernapas memburu, mukanya bermandikan peluh, ia keluarkan sapu tan gannya untuk menyeka peluhnya itu. "Terima kasih!" katanya kemudian. Sin Tjoe undang orang berduduk, lalu ia memberi hormat sekalian menanyakan she d an nama orang serta maksudnya menyeberang. "Siauwtee Tiat Keng Sim," menyahut anak muda itu. "Ayahku lagi sakit, hendak aku menjenguknya. Kami tinggal di Taytjioe." Sin Tjoe tertawa di dalam hatinya. "Mahasiswa ini lemah lembut, ia tak surup dengan she-nya," pikir ia. Pemuda itu she Tiat yang artinya besi. Ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berkata: "Kebetu lan, siauwtee juga hendak menuju ke Taytjioe." "Kalau begitu kebetulan sekali!" berkata si mahasiswa. "Dengan begini, setelah m endarat, tujuan kita tetap sama. Bolehlah aku mengetahui she mulia dan nama besar dari hengtay? " Ia memanggil hengtay, artinya kakak yang dihormati. Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin Tjoe perkenalkan diri. Baharu setelah itu, ia seper ti ingat suatu apa. Ia lantas saja menanya: "Katanya perompak lagi mengacau di T aytjioe, aku kuatir tidak aman di jalanan?" "Memang juga aku telah dengar perompak kate lagi mengganas di pesisir Taytjioe," sahut si mahasiswa, "dan walaupun betul kota Taytjioe masih berada di tangan te ntera negeri, bahaya bukannya tidak ada. Ayahku lagi sakit, sebagai anak, tidak dapat aku tidak menjenguknya..." Sin Tjoe terharu, ia jadi ingat ayahnya sendiri. Diam-diam ia menghela napas. "Kenapa kau menghela napas, hengtay?" si mahasiswa menanya. "Aku terharu untuk nasibnya penduduk pesisir timur selatan," menjawab Sin Tjoe. "Di sana kaum perompak mengganas, pem erintah tidak dapat menolongi mereka..." "Kau mulia sekali, hengtay," kata si anak muda, yang memuji kebaikan hati orang. Ia berkata seraya menoleh ke lain arah. "Apakah hengtay gemar menikmati pemandangan alam indah di sini?" kemudia n Sin Tjoe menanya lain hal. Mahasiswa itu mengusap mukanya dengan tangan bajunya, ia berpaling kembali. "Maafkan aku," ia menyahut. "Mataku kurang sehat, terkena angin sungai, aku tela h mengeluarkan air mata." Sin Tjoe lihat mata orang merah dan masih ada sisa air matanya. Ia sebenarnya ti dak perhatikan itu, sampai ia dibikin bercuriga oleh nada orang yang agaknya berbica ra seperti menahan tangisan. Kapan ia mengawasi pula, ia tampak satu muka yang t ampan, kecuali alisnya menunjuki tekukan dari kedukaan. "Mungkin ia berduka karena ia memikirkan sakitnya ayahnya," pikir Sin Tjoe. Nona Ie ingin menghibur mahasiswa ini ketika ia batal karena perhatiannya tertar ik sebuah perahu, yang mendatangi dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali dan kepalanya berukiran naga-nagaan. Tubuh perahu juga tinggi, karena undakannya, ya ng merupakan lauwteng di atas mana rupanya ada terdapat banyak penumpangnya. Dari atas itu terdengar suara tetabuan berikut nyanyiannya. Mungkin orang tengah berpesta. Gurunya Sin Tjoe terpelajar dalam segala hal, si nona sedikitnya dapat mewariska n kepandaian guru itu, maka juga ia bisa mengenali suara tetabuan itu, yang buka nnya tetabuan Tionghoa. Kapan perahu besar itu sudah datang terlebih dekat, terlihat nyata di atas lauwt eng-nya ada banyak orang, yang semua bertubuh kasar. "Ini toh orang-orang Nippon?" Sin Tjoe kata sambil tertawa. "Dari mana datangnya mereka begini banyak?" Terdengarlah suara nyanyian, yang kasar tetapi berirama sedih. Si nona memasang kupingnya, sia-sia saja, ia tidak mengarti, samar-samar ia mendengarnya. Tiba-tiba saja si mahasiswa nyanyi seorang diri: "Bunga itu walaupun harum tetapi ia terbang terbawa angin tanpa perlindungan... Inilah nyanyian Nippon bunga sakura..." Thio Hek sudah lantas berhenti menggayu. "Tidak salah, inilah perahu upeti bangsa kate!" katanya. Sin Tjoe terperanjat saking heran. "Kenapa perahu mereka dapat berlayar dengan merdeka di sungai Tiangkang?" katany a. "Siangkong tidak tahu," sahut Thio Hek. "Bangsa kate itu sangat licin, di satu p ihak mereka membajak, di lain pihak dengan ber- pura-pura mengantar upeti mereka berusaha dengan menyelundup." "Begitu?" Si tukang perahu menghela napas. "Malah pembesar pabean kita telah memperlakukan mereka sebagai tetamu yang dihor mati!" Di jaman kerajaan Beng itu, sewaktu tahun Tjengtong atau Kaisar Eng Tjong, untuk Nippon adalah "jaman perang saudara" dan di pelbagai tempat di mana ada raja mu da yang berkuasa dengan angkatan perangnya, raja-raja muda itu berebut mengirim upeti ke Tionggoan, dengan mengangkutnya dengan perahu-perahu besarnya itu. Menu rut aturan kerajaan Beng di masa itu, kalau utusan asing datang mengantar upeti, barang-barang pribadinya bebas dari cukai. Ketika ini dipakai pelbagai raja muda itu untuk menyelundupi barang-barangnya. K alau pemerintah Beng menegur pemerintah Nippon tentang kawanan perompaknya, dija wabnya mereka itu ada golongan bangsa 11 ronin" yang pemerintah Nippon tidak ber daya untuk mengurusnya. Sedang sebenarnya, rombongan ronin itu dapat tunjangan p elbagai raja muda itu atau yang langsung ditugaskan membajak. "Mereka itu merampok, membakar dan membunuh, kenapa pembesar negeri setempat membiarkan saja?" tanya pula Sin Tjoe. "Bukankah itu disebabkan hasil keuntungan besar?" Thio Hek balik bertanya. "Mere ka itu menggunai kedudukannya sebagai utusan pengantar upeti. Telah ditetapkan pemerintah, waktu mengantar upeti adalah tiga tahun sekali dan jumlah rombongan utusan pun dibataskan, tetapi pelbagai raja muda itu berebut menganta r upeti dan semua rombongan itu menyogok pembesar maka mereka dapat datang dan p ergi dengan merdeka." Si nona menggeleng-geleng kepala, ia menjadi sangat masgul. "Mari kita menyingkir," kata Thio Hek selagi perahu di depan datang semakin deka t. Darahnya si nona menjadi naik. "Kenapa kita mesti menyingkir?" katanya sengit. "Kita justeru papaki dia!" Thio Hek mengedipi mata. "Siangkong," ia memberi ingat, "bukankah kau hendak me-nyebrang untuk satu urusan? Perahu upeti itu biasanya galak dan jahat, satu kali kita papaki dia, on ar bakal terbit dan itulah bukannya permainan." Nona Ie murka tapi nasihat Thio Hek membuatnya ia diam. Thio Hek lantas mengubar tujuannya, tetapi di lain pihak belasan tombak dari per ahu upeti itu, ada sebuah perahu nelayan yang muatannya adalah seorang nelayan t ua serta seorang anaknya perempuan, perahu nelayan itu dapat dilihat orang-orang dari perahu besar, lantas mereka berk aok-kaok menggunai penggayu, untuk mengejar. "Celaka!" seru si mahasiswa, kaget. "Mereka hendak tangkap itu nona nelaya n!" Kembali naik darahnya Sin Tjoe. "Thio Hek, biar ba- gaimana juga, mari kita hampirkan mereka!" dia berteriak. "Lekas kau menggayu ba lik!" Di pihak sana, perahu besar sudah mendekati perahu nelayan, ada dilemparkan dua rantai gaetan, untuk mem-bangkol perahu nelayan itu. Justeru itu, perahunya Thio Hek dapat menyandak, dan Sin Tjoe, dengan pedangnya, lantas membabat kutung rantainya gaetan seperti jangkar itu. Di atas perahu besar, orang kaget dan gusar, lalu terdengar teriakan mereka "Bag ero\" berulang-ulang. Bahkan dua orang, yang membekal golok, sudah lantas lompat turun ke perahunya Thio Hek. Ie Sin Tjoe memang sudah bersiap sedia, ia menyambut mereka dengan ayunan tangan , yang membuatnya dua bunga emasnya terbang menyamber. Satu ronin kena dihajar, dia roboh ke dalam air , kawannya dapat menaruh kaki di perahu tapi dia ini segera dibabat dengan pedan g. Dia gunai goloknya, untuk menangkis. Untuk kagetnya, goloknya terpapas kutung, sedang tadinya dia tertawa lebar. Ronin itu ada dan ke empat, ia percaya goloknya yang tajam, ia tidak pandang mat a kepada nona ini, yang macamnya sebagai seorang pemuda lemah, baharu ia kaget s esudah goloknya itu terkutung. Selagi orang tercengang, sambil membentak, Sin Tjoe kirim tikaman mautnya seraya kakinya membarengi menendang, maka selain dada orang itu ditembuskan pedang hingga di punggungnya, dia pun roboh ke dalam air, tubuhnya dibawa hanyut air yang menjadi merah karena darahnya. Dari atas perahu besar segera terdengar pula riuh teriakan bagero tapi sekarang dibarengi pujian, pujian untuk caranya Sin Tjoe merobohkan kedua lawannya, tidak perduli lawan itu ada kawan atau bangsanya sendiri. Thio Hek memutar pula kepala perahunya, untuk mencoba menyingkir, atau lagi dua musuh lompat ke atas perahunya itu, mereka ini sangat lincah, dan ketika mereka telah menaruh kaki di lantai perahu, perahu lantas saja kelam sedikit. Hatinya Sin Tjoe menjadi besar menyaksikan bagaimana dengan gampang sekali ia be rhasil menyingkirkan dua lawan yang pertama itu, ia terus menyambut lawan yang baru ini. Dengan gerakan pedangnya "Secara mendusta membagi emas," ia menikam mereka saling susul, berganti dari yang satu kepada yang lain. Kedua lawan itu berseru, mereka membabat dengan pedang mereka yang panjang. Dengan terpaksa, Sin Tjoe menarik pulang pedangnya seraya mundur. Hampir berbareng dengan itu, ia dengar jeritan, terus ia tampak tubuh Th io Hek terlempar ke air. Tukang perahu itu hendak membantui si nona, selagi kedua musuh menyerang, ia mem bokong satu musuh dengan penggayunya. Musuh itu kebetulan ada jago dan ke enam, dia lihat serangan, dia berkelit, justeru tubuh Thio Hek terjerunuk ke arahnya, dengan meng- gunai satu jurus yudo, dia tangkap tangannya Thio Hek untuk diteruskan dilempark an. Saking kaget, Thio Hek menjerit. Sin Tjoe lantas menyerang pula, tempo ia diserang kembali, ia punahkan serangan mereka itu. Kedua musuh ini, yang ada dan ke enam dan ke lima, menjadi kagum men getahui si nona liehay, karenanya, mereka berkelahi dengan ati-ati. Nona Ie didesak, ia tidak mau mundur, sebaliknya, ia membalas merangsak. Ia berh asil membuatnya orang mundur ke kepala perahu tetapi ia tidak dapat lantas merobohkan mereka itu. Mere ka itu cerdik, tahu si nona memegang pedang mustika, mereka selalu menghindarkan benterokan senjata. Selagi begitu, perahu besar mulai mendekati perahu Thio Hek. Dari atas perahu besar itu segera dilonjo rkan belasan batang gaetan. Asal saja kedua perahu telah datang dekat sekali, pasti g aetan akan bekerja dan perahunya si nona bakal kena tergaet. Inilah berbahaya. P erahu kecil itu tanpa tukang kemudinya. Si nona sendiri tidak pandai berenang. Tanpa kemudi, perahu kecil itu terumbang-ambing, dan dengan di atasnya ada tiga orang lagi bertarung, terum-bang ambingnya menjadi terlebih keras. Gubuk perahu juga telah terbabat golok -goloknya musuh. Lantas juga Sin Tjoe menjadi berkuatir. Goncangan keras dari perahu membuatnya repot, kesatu untuk melayani musuh, kedua guna memperteguh kuda-kudanya. Celakanya, kepalanya terasa pusing, hingga matanya pun bagaikan ka bur. Ia terganggu apa yang dinamakan "mabuk laut." Di perahu besar, rombongan ronin berteriak-teriak, belasan gaetan mereka digerak -geraki. Melihat gaetan itu, Sin Tjoe menjadi bingung. Justeru itu, sambil berse ru, dua lawannya menyerang dengan berbareng. Bahkan musuh yang di kiri. habis me nggertak, hendak menyergap, guna menangkap tangan si nona, guna dilemparkan ke sungai. Dalam saat yang berbahaya itu, Sin Tjoe masih dapat melihat tegas. Ia lantas mem -bulang-balingkan pedangnya, guna menangkis. Ia geraki jurusnya "Kuda sungai men ggendol gambar." Tiba-tiba musuh yang di kanan menjerit keras, sebelah tangannya lantas dikasi turun. Ketika baik ini digunai Sin Tjoe untuk berkelit dari musuh yang di kiri, yang hendak mencekuk padanya. Setelah berkelit, ia menikam ke bawa h. Musuh itu lantas menjerit, karena perutnya menjadi sasaran pedang. Syukur untuknya, dia tidak terluka parah, maka bisa dia terjun ke air untuk menolong di rinya. Dia lantas ditelad kawannya, yang tangannya terus dibabat pula si nona hi ngga kutung. Untuk sejenak, hatinya Sin Tjoe lega, tetapi segera ia diancam belasan gaetan, yang bisa-bisa menyamber tubuhnya atau perahunya. Sekonyong-konyong saja perahu kecil itu memutar tujuan, lalu melesat menjauhkan diri beberapa tombak, hingga ancaman itu buyar! Dengan cepat Sin Tjoe berpaling ke belakang, hingga ia bisa tampak wajahnya si m ahasiswa, yang bagaikan bersenyum, hanya begitu lekas sinar mata mereka benterok , pemuda itu lantas tunduk, tinggal kedua tangannya saja yang memegang kemudi, mengendalikan perahu mereka. "Terima kasih!" berkata Sin Tjoe, hatinya ingat sesuatu. "Terima kasih apa," sahut si mahasiswa, tenang. "Lekas masuk ke dalam gubuk!" Kata-kata ini disusuli damparannya gelombang, hingga perahu menjadi miring. Dengan sekonyong-konyong dari dalam gelombang terlihat satu orang lompat mencelat, di mulutnya tergigit sebatang golok Nippon, kedua tangann ya menengteng masing-masing sebuah kepala orang. Dia lompat naik ke perahu kecil ka rena dialah Thio Hek si tukang perahu. Sebelum membilang apa-apa kepada si nona atau si pemuda, Thio Hek pelemparkan ke dua kepala manusia itu ke perahu besar, lalu setelah ambil golok dari mulutnya, ia berseru: "Siapa berani menyusul kami, inilah contohnya!" Kemudian baharu ia m enoleh, sembari tertawa ia kata: "Ini dia yang dibilang, orang tulen tidak menge nta-rakan diri, yang me-ngentarakan diri bukanlah orang tulen! Tiat Siangkong, kaulah si orang gagah yang menyimpan kepan daian liehay!" Thio Hek adalah tukang perahu, sebagai tukang perahu pastilah ia pandai berenang , maka itu tempo ia dilemparkan ke sungai, ia tidak mendapat bahaya apa-apa. Ia hanya tidak segera muncul pula di permukaan air, hanya dari dalam air, ia ikuti perahunya, sampai ia dapatkan dua musuh nyebur ke sungai. Ia lantas serang merek a itu, yang sudah terluka, dengan gampang ia bisa bunuh mereka, yang kepalanya i a kutungi. Selama di dalam air, ia dapatkan dua batang pisau belati nancap di da da kedua musuh itu, karena ia tahu, Sin Tjoe menggunai bunga emas, ia lantas men duga si mahasiswa. Thio Hek terus ambil penggayunya, untuk membantui si mahasiswa, dengan begitu, p e- rahu kecil itu lantas laju pesat. Baharu saja Sin Tjoe merasa lega betul-betul, atau ia telah menjadi kaget pula. "Celaka!" tiba-tiba Thio Hek berseru, matanya mendelong ke dasar perahu. Si nona mengikuti tujuan mata orang, maka itu ia mendapat lihat papan perahu pec ah di dua tempat dan air merubul masuk. Thio Hek lepaskan penggayunya, ia me-nimbakan air. Di lain pihak, perahu besar, yang memasang layar, datang menyusul. Di kepala per ahu, seorang yang tubuhnya besar perdengarkan suaranya yang nyaring dan bengis. Orang tidak mengarti apa yang dia bilang, sedang sebenarnya dia mencaci: "Telur busuk yang besar!" Menyusul itu, dengan menghitung "it ni san," dia menimpuk dengan sebuah jangkar besar ke arah perahu kecil. Berat jangkar mungkin dua tiga ratus kati, tidak dapat Sin Tjoe tanggapi itu ata u menangkisnya. Tapi jangkar sudah melayang datang, dengan terpaksa si nona berl ompat, untuk pergi ke kepala perahu, guna paksa menanggapi juga. Justeru itu, ia merasakan ada orang tarik ia dari belakang, lalu seorang melesat mendahulukan dia, tepat itu waktu, jangkar pun tibalah! Dalam ancaman bahaya itu, orang yang mendahulukan Sin Tjoe, ialah si mahasiswa, sudah lantas mengulur kedua tangannya, dengan tenang ia menganggapi jangkar, lan tas ia berseru: "Kehormatan tidak dibalas itulah bukan kehormatan!" Menyusuli itu, ia ayun kedua tangannya, maka sekejab saja, jangkar telah terlempar balik ke arah perahu besar! Orang-orang di perahu besar, yang pada berdiri di tepian, menjadi kaget, serenta k mereka lari mundur karena ancaman jangkar mereka itu. Tapi seorang, yang terny ata ada dari dan ke tujuh, majukan diri untuk pasang kuda-kuda, guna mengulur kedua tangannya, guna me-nyanggapi jangkar. Tanpa dia berbuat demi kian, jangkar itu dapat merusak lantai perahu mereka. Dia berhasil menyanggapi, dia terus letaki jangkar itu, hanya, berbareng dengan terlepasnya jangkar dari t angannya, ia muntahkan darah hidup dari dalam mulut- nya! Itulah karena lemparan yang disebabkan tenaga besar luar biasa dari si pemuda. Semua orang di dalam perahu besar itu menjadi kaget sekali. Di dalam perahu itu ada sama sekali dua jago dan ke tujuh, dua dari dan ke enam, dan enam atau tujuh lainnya dari dan ke empat dan dan ke lima, deng an dari dan ke enam telah terbinasa satu orang, dari dan ke lima satu orang, dan dari dan ketiga atau ke empat dua orang, sekarang dari dan ke tuju h luka parah satu orang, semua penghuni perahu besar itu menjadi bingung. Lantas banyak suara mengusulkan untuk berhenti mengejar. "Jangan!" berteriak jago dari dan ke tujuh yang tinggal satu-satunya. Dia be rmata awas dan dia dapat melihat perahunya Thio Hek kemasukan air. "Apakah pahlawan-pa hlawannya Tenno mesti kehilangan keang-karannya? Kejar mereka, lepaskan panah!" Sin Tjoe tidak mengarti apa yang orang ucapkan itu, tidak demikian dengan Thio H ek dan si mahasiswa, yang hidup di sepanjang pesisir. Mereka ini menjadi kaget. Perahu mereka bocor dan menjadi semakin besar, kalau mereka dihujani anak panah, mana mereka dapat membela diri? Sedikitnya perahu kecil itu bakal karam! Thio Hek mengertak gigi. "Mari kita adu jiwa!" katanya kemudian, sengit. "Sayang kabaran kita tidak dapat sampai di kuping Yap Toako1...." "Yap Toako yang mana?" bertanya si ma- hasiswa. "Toako Yap Tjong Lioe pemimpin dari tentera suka rela di Taytjioe," sahut si tuk ang perahu. "Kita hendak menyampaikan kabar kepadanya." Thio Hek omong secara terbuka. Ia percaya si mahasiswa adalah orang kaum sendiri . Mahasiswa itu me-ngasi dengar suara tertahan, lalu ia mengibas tangannya. "Lekas menggayu dan menyingkir!" ia berkata. "Pergi kamu mengambil jalan kecil u ntuk tiba di Taytjioe!" Ia lantas menepuk kepada pinggangnya, dari mana ia loloskan sebatang djoangin ki am atau pedang lemas, setelah itu ia mencelat hingga tubuhnya terlihat berkeleba t seperti terbangnya seekor burung ho. Sementara itu riuh Terpaksa Sin Tjoe hendak meloncat untuk menyambut jangkar itu, tetapi mendadak i a merasakan tubuhnya ditarik ke belakang dan berbareng dengan itu, si mahasiswa sudah mendahului meloncat menyambut jangkar itu. suara teriakan di perahu besar, panah mereka lantas ditarik dan dilepaskan ke ar ah perahu kecil itu, tetapi si mahasiswa putar pula gegamannya itu yang istimewa , ia membuatnya setiap batang anak panah mental balik dan jatuh ke air. Perahu b esar pun telah datang dekat, maka tubuh si anak muda sudah mencelat naik ke atas nya, di tingkat yang kedua. Penumpang-penumpang perahu besar itu menjadi heran menyaksikan kepandaian orang hingga mereka jadi berdiri tercengang, kecuali dua jago dari dan ke empat, merek a maju untuk memapaki lawan, yang mereka terus serang. Si mahasiswa berlaku awas dan sebat sekali. Ia sebenarnya seperti dibokong, kare na orang tidak hendak berikan ia ketika untuk menaruh kaki. Syukur saking gesitnya, kakin ya itu telah mendahului tiba, maka ia bisa lantas menangkis serangan itu. Ia tid ak melainkan menangkis, dengan kecepatan yang luar biasa, ia membalas menyerang. Kedua musuh itu tidak menyangka, mereka kaget, tetapi justeru mereka tergugu, me reka lantas menjadi kurbannya pedang perak yang lemas dari lawannya ini. Mereka roboh dengan lukanya masing-masing. Jago dan ke tujuh menjadi gusar sekali. Ia justeru ada murid terpandai dari Eguc hi Fujiki, dan ke sembilan dan jago kendo kenamaan dari Nippon. Ia lantas menghu nus pedangnya, sambil memasang kuda-kuda, ia menantang. Melihat sikapnya jago ini, yang lain-lain, dengan senjata mereka terhunus juga, lantas mengambil sikap mengurung, siap sedia untuk mengeroyok bila saatnya telah tiba. Si mahasiswa tidak menjadi jeri walaupun ia sudah terkurung, dengan matanya yang bersinar tajam dan bengis, ia menyapu semua lawan itu. Sikap nya ini membuat musuh-musuh gentar hati. Bukankah tadi mereka telah menyaksikan sendiri orang telah menyambuti jangkar dan melemparnya balik serta b arusan saja dia telah menghalau hujan anak panah? *** "Panggillah juru bahasa kamu!" membentak si mahasiswa. Ia me- ngarti bahasa Nippon akan tetapi dihadapan bangsa itu ia tidak suka menggunai ba hasa orang itu. Di antara rombongan ronin itu ada sejumlah yang mengarti bahasa Tionghoa, sa lah satu di antaranya lantas menyahuti. "Aku lihat kau ada satu orang kosen," katanya, "maka kalau kau ada pesan apa-apa , sampaikanlah itu kepada kami! Perlu apa mesti pakai juru bahasa lagi?" Si m ahasiswa pentang lebar kedua matanya, ia tertawa bergelak. "Aku telah naik ke atas perahu kamu ini, itu artinya aku sudah mengambil ketetap an untuk pulang tanpa nyawa!" ia menyahuti. "Hanya untuk berpulang itu, mesti ak u mengundang dan mengajak kamu pergi bersama ke noraka!" Kata-kata ini ditutup dengan berkelebatnya pedangnya dengan tiba-tiba, maka itu dua jago dan ke empat, yang pedangnya diajukan ke depan, ken a terbabat kutung, hingga mereka itu menjadi kaget. Jago dan ke tujuh itu menjadi murka sekali, sambil berseru, ia menikam. Si anak muda menangkis, hingga senjata mereka benterok hingga memuntahkan lelatu api. Anak muda ini tidak cuma menangkis, ia pun mesti berlompat, karena hampir berbareng beberapa pedang lain membabat kakinya! Jago dan ke tujuh itu tidak hendak mensia-siakan ketika-nya, selagi orang belum menaruh kaki, ia menyerang. Si mahasiswa dapat melihat orang menyerang, sembari turun ia menangkis, lalu den gan sebat ia membalas menyerang. Maka itu ia lantas jadi bertempur sama penyeran gnya itu. Banyak musuh menjadi kagum terhadap si mahasiswa, bukannya berkelahi, mereka jus teru menonton. Adalah kemudian, beberapa di antaranya maju pula. Dengan sekonyong-konyong, si mahasiswa berseru keras. Ia bertubuh kecil dan kuru s, romannya juga lemah, akan tetapi sekali ia berseru, ia perdengarkan suara men gguntur, sampai orang kaget, tak terkecuali si jago dan ke tujuh. Semua orang me rasakan telinga mereka seperti berbunyi mengaung... Mahasiswa itu pandai menggunai ketikanya. Tempo ia didesak rapat oleh dua musuh dan ketiga, ia sampok senjata mereka, ia mendesak, lalu tangan ki rinya menyamber seraya terus dilemparkan. Dua kali ia bergerak secara demikian, dua musuh kena ditangka p dan dilempar, celaka untuk mereka ini, mereka dilemparkan ke arah jago dan ke tujuh, justeru selagi dia ini menerjang. Sia-sia saja dia mencoba mengelakkan pe dangnya, dua kawannya itu kena tertikam urat kakinya hingga urat-urat itu putus. Walaupun ia telah berhasil, si mahasiswa tidak berhenti sampai di situ. Bukankah ia berada di dalam perahu musuh dan musuh itu berjumlah besar? Maka ia mesti be kerja terus. Begitulah selagi me-rangsak, ia dapat menendang dua musuh hingga mereka itu terjungkal ke luar perahu, tercebur ke dalam sungai. Jago dan ke tujuh itu pun maju terus, tapi sekarang ia tampak musuh tengah menye nder di loneng besi, tangannya dibulang-balingkan tak hentinya, hingga pedangnya itu mengasi dengar suara angin santer, mengaung tak hentinya. "Baiklah, siapa akan temani aku pergi ke noraka!" teriak pemuda itu, sikapnya me nantang. Ia jadi semakin berani karena di belakangnya ada hanya sungai Tiangkang , tak usah kuatir ia nanti ada yang bokong. Pihak penyerang itu beragu-ragu. Mereka kuatir, umpama kata musuh dapat disingki rkan, mungkin di pihak mereka sendiri bakal jatuh terlalu banyak kur- ban. Ini pun menjadi pikirannya utusan yang mengantar upeti. Selagi keadaan mandek itu, dari dalam perahu terlihat munculnya satu orang denga n seragamnya sebagai pembesar kerajaan Beng. Ia memang ada utusannya tiehoe atau wedana dari Taytjioe untuk menyambut d an mengawani si utusan, yang akan menuju ke kota raja. Kapan pembesar ini telah melihat nyata si mahasiswa, mukanya lantas saja berubah menjadi pucat. "Tiat Kongtjoe..." katanya pelahan. "Siapa kau?" membentak si mahasiswa yang dipanggil Tiat Kongtjoe itu seraya dia menuding dengan pedangnya. Pembesar itu memberi hormat. "Aku adalah Sioepie Oey Tay Keng dari Tay- tjioe," ia menyahut, memperkenalkan diri sebagai sioepie atau kapten. "Aku kenal ayahmu untuk banyak tahun..." "Itulah terlebih baik lagi!" berkata si anak muda. "Kabarnya kamu tengah mencari aku?" "Aku tidak berani," menyahut sioepie itu seraya menjura. "Kenapa kau tidak berani? Sekarang ini aku justeru hendak menyerahkan diri! Kau berita-hu kepada budak-budak kate ini, karena aku hendak menyerahkan diri ke Tay tjioe, suruh mereka sediakan aku sebuah perahu kecil, untuk mengantarkan aku. Um pama kau tidak bertenteram hati, kau boleh utus beberapa pahlawan untuk mereka m enemani aku! Sebaliknya, jikalau mereka hendak menangkap dan membunuh aku di s ini, boleh saja, aku bersedia untuk melayani mereka! Asal kau maklum bahwa pedang tid ak ada matanya dan tidak mengenal kasihan, seandainya aku mesti membuang jiwa di sungai Tiangkang ini, utusan ini juga jangan harap dia dapat tertanggung kesela matannya hingga di Pakkhia untuk mempersembahkan upetinya!" Kembali si mahasiswa kebaskan pedangnya, yang lalu berbunyi pula. Utusan pembawa upeti itu mengarti sedikit bahasa Tionghoa, ia kaget berbareng gi rang. Ia tarik si kapten ke samping, lalu ia kata dengan pelahan sekali: "Kirany a dia ini si pembunuh dan perampas, yang nyalinya besar berani merobek bendera m atahari kami? Dia ini Tiat Keng Sim?" "Dia bilang..." berkata si sioepie. "Aku tahu apa yang dia bilang!" si utusan memotong. "Aku hendak tanya kau, apaka h benar-benar dia hendak menyerahkan diri?" "Sasterawan Tionghoa paling menjunjung rajanya dan berbakti kepada orang tuanya, aku lihat dia rupanya bersungguh-sungguh hati," menyahut si soepie. Utusan itu mengangguk. "Baik," .bilangnya. "Aku pun menghargai dia sebagai seorang kosen. Sekarang kita atur begini saja. Sebentar aku sediakan sebuah perahu kulit, Otonoe dan kau bol eh bawa padanya. Sekarang undang dulu dia bersantap." Otonoe adalah si jago dan ke tujuh. Oey Sioepie sampaikan perkataannya si utusan kepada si mahasiswa, dia ini lantas tertawa lebar. "Mati pun aku tidak takut, kenapa aku mesti jeri untuk arak kamu?" katanya. "Nah , suruhlah dia keluarkan barang makanannya dan dia boleh temani aku minum!" Nyaring tertawanya pemuda ini hingga itu terdengar jauh, sampai juga di t elinganya Ie Sin Tjoe. Sebenarnya perahu kecil si nona, yang digayu Thio Hek, sudah terpisah jauh dari perahu besar, akan tetapi mendengar suara tertawa itu, nona ini berdiri di kepal a perahu, ia memandang ke arah perahu besar itu. Ia heran waktu ia dapat lihat s amar-samar si anak muda, yang dikurung perompak, tengah menenggak poci arak. "Kenapa barusan dia berkelahi mati-matian dan sekarang dia minum arak bersama musuh?" ia tanya dirin ya sendiri saking heran. Ia jadi berkuatir yang si pemuda telah kena diakali mus uh. "Mari kita kembali!" ia mengajak si tukang perahu. "Kita ada punya urusan penting, mana dapat kita kembali?" jawab Thio Hek sambil tertawa. "Laginya perahu kita bocor, untuk menyingkir jauh saja masih belum tentu kita keburu, apa pula untuk balik kembali..." Dengan sebenarnya, air sungai nerobos semakin besar. Thio Hek tidak tahu bocor i tu disebabkan tadi dua musuh memakai sepatu yang ada pakunya dan di waktu menaru h kaki, mereka itu sengaja menginjak dengan keras. Di tengah sungai itu tidak ad a jalan untuk menutup liang itu. Sin Tjoe tidak bisa berenang sekarang pun sepatunya telah basah kerendam air, ha tinya gentar juga. Karena ini, ia tidak berani memaksa. Tentu saja ia menjadi me rasa tak enak bukan main mengingat si mahasiswa berada di tangan musuh... Belum lagi perahu ini laju jauh, tiba-tiba terlihat sebuah perahu kecil lagi men datangi dengan pesat, malah segera ternyata, itulah perahunya si nelayan tua. Begitu perahu itu sudah datang dekat, si nelayan menjura kepada Sin Tjoe. "Siangkong, terima kasih banyak-banyak untuk budimu sudah menolongi kami," ia be rkata, "Silahkan siangkong pindah ke perahu kami untuk kami ayah dan anak meng- hunjuk hormat padamu." Di waktu begitu, Sin Tjoe tidak dapat menampik pertolongan. Thio Hek pun segera mengajak ia pindah. Tak lama dari kepin-dahan mereka, perahu mereka lantas karam. Perahu nelayan itu lantas digayu oleh Thio Hek dibantu si nona nelayan, Sin Tjoe sendiri duduk di dalam gubuk ditemani si nelayan tua. Nelayan itu ada penduduk asli dari Taytjioe, tempo Sin Tjoe omong perihal peromp ak asing, ia menghela napas. Ia kata: "Kota Taytjioe sekarang ini, walaupun di s ini ada tiehoe yang menjadi wakil pemerintah, sebenarnya si perompak kate yang m enjadi rajanya! Jangan kata rakyat jelata, sekalipun pembesar negeri jeri terhad ap mereka itu..." "Sampai begitu ganasnya perompak itu?" Sin Tjoe tanya. "Memang! Baharu bulan yang sudah terjadi satu peristiwa. Sebuah perahu penyelund up kate berlayar ke Hayleng. Di Hayleng itu ada seorang saudagar yang kemaruk, d ia berhubungan sama pihak penyelundup itu, lantas dia kena makan pancing. Selama pembicaraan di pela buan sudah dijelaskan, mereka kedua pihak akan saling tukar barang, tetapi kenyataannya, pihak sana mai n gila. Caranya ialah, barang mereka dipasang harganya tinggi sekali, barang si saudagar sebaliknya ditaksir rendah. Saudagar itu tidak mau mengarti. Berani sekali pihak penyelundup itu. Mereka men uduh si saudagar melanggar jan- ji, lantas mereka menganiaya hingga saudagar itu setengah mati, barangnya diramp as, perahunya ditenggelamkan! Tapi itu belum semua. Di dalam perahu ada isteri d an gadisnya si saudagar, nyonya dan nona itu diambil mereka, katanya sebagai bar ang pengganti kerugian. Saudagar itu tidak berdaya, saking putus asa, dia terjun ke sungai dan binasa karenanya. Kejadian itu membangkitkan amarah umum, banyak orang berseru-seru untuk menyerbu. Berbareng dengan itu, pihak penyelundup pun berselisih sama belasan ku li Tionghoa, yang upahnya tak hendak diperhitungkan, hingga kesudahannya kuli-ku li itu bersatu sama orang banyak. Ada ronin di dalam perahu penyelundup itu, mer eka achirnya menghunus golok, sembari menunjuk benderanya, yang dipancar di kepala perahu, me reka buka mulut besar, sambil tertawa mereka kata: "Dengan ada bendera ini, kami dapat malang melintang di pelbagai tempat dari Tiongkok! Pembesar-besar kamu, k apan mereka lihat bendera kami ini, mereka lantas menyambut kami dengan segala kehormatan! Beranikah kamu membikin ribut di depan bendera ini?" K awanan kuli itu dan orang banyak tidak mau mengarti, mereka tetap berkeras. Roni n itu benar ganas, mereka lantas turun tangan, mereka menyerang kalang kabutan. Pihak kuli tidak bersenjata, mereka terpukul mundur, belasan yan g terluka. Pihak ronin masih hendak mengejar, sampai di antara orang ramai ada satu pemuda yang muncul seraya membentak: "Apak ah benar dengan adanya bendera kamu ini boleh kamu malang melintang?" Dia lantas lompat maju, dia lompat naik ke perahu penyelundup, bagaikan kera, dia panjat t ihang bendera, untuk mengasi turun benderanya, yang terus dirobek empat! Seorang ronin membacok, goloknya ditangkis hingga kutung menjadi dua potong. Setelah it u si pemuda menghajar roboh belasan ronin, golok mereka dibabat kutung, kutungny a dibuang ke sungai! Setelah itu, isteri dan gadisnya si saudagar ditolongi. Di ac hirnya, sembari tertawa, dia angkat kaki." Sin Tjoe gembira mendengar penuturan itu, meskipun mulanya ia mendongkol. "Bagus, bagus!" serunya. "Siapakah pemuda gagah itu?" "Sebenarnya kita semua tidak tahu siapa pemuda itu, sampai belakangan, setahu de ngan jalan bagaimana, satu pengchianat telah dapat mengusutnya," sahut si nelaya n tua. "Dia adalah puteranya satu bekas giesoe yang telah pulang berpensiun di T aytjioe. Giesoe itu she Tiat, namanya Hong. Untuk kota Taytjioe ialah penduduk k enamaan, memang telah turun temurun ia memangku pangkat. Giesoe itu katanya ada dari tingkat kedua. Ia baharu saja tahun yang selam meletaki jabatannya dan pula ng ke kampung halamannya. Pengchianat itu lantas memberi kisikan kepada wakil bangsa kate di Taytjioe itu, yang biasa mengurus soal-soal perdagangan bangsanya. Wakil perdaga ngan itu lantas mendesak kepada tiehoe dari Taytjioe, meminta anak muda itu. Ketika itu, si anak muda telah lenyap tak kerua n paran. Tapi tiehoe tidak kurang akal, dia tangkap giesoe tua itu, yang terus d ia tahan secara halus, untuk memaksa si giesoe menyerahkan puteranya. Perkara it u menggemparkan kota Taytjioe, sampai sekarang masih belum beres. Lihat, bukanka h perompak kate itu menjadi raja di sini, sampai tiehoe pun jeri terhadapnya?" Habis menutur, nelayan itu menghela napas pula. Sin Tjoe lantas ingat si mahasiswa, ia terkejut. "Bukankah dia putera giesoe itu?" serunya seorang diri. "Kau bicara dari dia siapa, siangkong?" tanya si nelayan, heran. "Dialah si pemuda yang tadi menempur bangsa kate," jawab Sin Tjoe. "Kalau begitu, dia benar-benar gagah!" berkata si nelayan. "Di bawah desakan ban gsa kate, tiehoe memang berniat menawan dia, sekarang dia pulang dan sendirian s aja dia menaiki perahu musuh, apa itu bukan berarti dia antari diri ke dalam per angkap?" Sin Tjoe berdiam. Entah kenapa, ia menjadi pepat hatinya. Setibanya di seberang, Sin Tjoe berpisah dari si nelayan dan gadisnya, bersama T hio Hek, ia lantas mendarat, untuk melakukan perjalanannya. Selang beberapa hari, tibalah ia di kota Taytjioe, yang letaknya di pesisir propinsi Tjiatkang, dan di desa-desa sekitarnya justeru lagi dikacau perompak, penduduk terbenam dalam ket akutan, pasar menjadi sepi, walaupun di siang hari, dari sepuluh toko atau warun g, enam atau tujuh yang menutup pintunya. Thio Hek bawa Sin Tjoe langsung ke rumah kawannya, bersiap untuk berangkat nanti setelah ada perhubungan sama pihak tentera rakyat. Baharu saja Ie- wat dua hari, kota Taytjioe gempar dengan warta bahwa Tiat Kongt joe, yaitu puteranya Tiat Hong si bekas giesoe atau censor raja, telah datang me nyerahkan diri di kewedanaan, tetapi ada juga yang bilang dia dibawa datang oleh bangsa Nippon. "Coba tolong mencari keterangan," Sin Tjoe minta kepada Thio Hek. Tukang perahu itu pergi dengan cepat. Ia ada punya banyak kenalan sekalipun di k antor negeri. Sesudah sore baharulah ia pulang, dengan kabar yang memastikan, ia pun dapat keterangan, sekarang ini kongtjoe itu ditahan di dalam kantor, sebab ada kemungkinan, lagi tiga hari dia bakal diserahkan pada pihak Nippon. Katanya, sebab kongtjoe itu ada puteranya Tiat Hong, dia tidak ditahan di penjara hanya di sebuah ingin aku ketahui, penahanan itu dilakukan atas undang-undang fatsal k e berapa?" Kembali mukanya si wedana menjadi merah. Ia rangkapi kedua tangannya, untuk menj ura. "Harap kau tidak gusar, kongtjoe," ia bilang. "Apa yang aku lakukan ini sebenar- benarnya saking terpaksa. Kongtjoe, haraplah kau, kau maafkan kesuli- tanku..." "Sebenarnya kau pembesarnya pemerintah atau hambanya si perompak kate?" Tiat Ken g Sim menanya pula. "Terang aku ada pembesarnya pemerintah," sahut si tiehoe cepat. "Tetapi, k ongtjoe, kau sendiri bukannya tak ketahui, bahagian luar dari kota Tay tjioe sekarang ini adalah dunianya perompak kate itu sedang di bahagian dalamnya, perwakilan Nippon telah sangat me ndesak padaku. Pemerintah kita sama sekali tidak mengirim pasukan perang untuk menindas kaum pe rompak itu. Di samping itu, pembesar pabean telah menyambut hormat sekali kepada utusan perupetian Nippon it u. Maka, kongtjoe, kau, kau hendak suruh aku berbuat bagaimana? Ah, siapakah yan g dapat mengarti kesulitanku ini?" Menampak wajahnya tiehoe, biar bagaimana, Sin Tjoe berkasihan juga kepada pembes ar lemah ini yang tidak berdaya, kalau tadinya ia ingin memenggal batang leher o rang, sekarang kemarahannya, kebenciannya, tumplak semua kepada perompak kate. "Ya, aku mengarti!" berkata Keng Sim, tapi hatinya panas. "Sekarang kau hendak b erbuat apa terhadapku?" Tiehoe mengurut-urut kumisnya yang sudah ubanan. "Perwakilan Nippon di kota ini pasti sekali ingin mendapatkan kau, kongtjoe," ia menyahut, pelahan, "maka itu dengan memanda ng kepada keselamatannya penduduk Taytjioe, aku minta sukalah kongtjoe sedikit m erendahkan diri untuk besok pindah tempat..." Keng Sim tertawa dingin ketika ia bilang: "Aku ada rakyatnya kerajaan Beng, jika lau aku bersalah, seharusnya kaulah yang memeriksa! Kau menyebut-nyebut undang-u ndang negara, sekarang aku tanya padamu, mana undang-undangmu itu? Apakah menuru t undang-undang itu boleh bangsa asing yang memeriksa rakyat negara kita?" Dengan tergesa-gesa tiehoe itu menjura. "Kongtjoe, meskipun benar katamu itu, aku minta kau sukalah ingat kesul itan- ku," ia berkata. "Jikalau aku tidak iringkan kehendak mereka itu, pihak perwakil an Nippon itu bisa memerintahkan kawanan perompak kate di luar kota datang mener jang kota kita ini. Kalau itu terjadi, tidakkah penduduk kota menjadi bercelaka? Kongtjoe, kau ada seorang yang sadar dan mengarti segala apa, aku minta sukalah kau, kau, memaafkan kesu-karanku ini..." Keng Sim mendongkol bukan main. "Kenapa aku tidak mengarti?" katanya dalam hatinya. "Inilah semua sebab kau hend ak lindungi kopia kebesaranmu, karena kau bernyali kecil, kau kasi dirimu didesa k-desak!" Melihat roman orang, pemuda ini toh tidak tega untuk menegur lebih jauh. Ia dapa tkan tiehoe itu, dengan sorot mata minta dikasihani, terus mengawasi padanya. Achirnya ia angkat kepalanya. "Baiklah kau ketahui, aku tidak menyayangi jiwaku, tetapi dengan kau serahkan ak u kepada si budak kate, ke mana kau hendak letaki kehormatannya pemerintah kita? " ia berkata. "Tapi kau berada dalam kesulitan. Baik begini saja: Maukah kau aku carikan jalan yang ada dua kebaikannya untukmu?" "Suka aku mendengarnya, kongtjoe," menyahut tiehoe cepat. "Dayaku itu begini," berkata pula Keng Sim, menjelaskan. "Perkaraku ini kau send iri yang periksa, kau ijinkan perwakilan Nippon itu turut hadir untuk menyaksika n. Mereka itu mencari aku, biarlah dia memanggil datang saksi- saksinya untuk menuduh dan mendakwa aku. Di waktu dilakukan peperiksaan, rakyat jelata penduduk Taytjioe mesti diijinkan turut menyaksikan juga." "Ini... ini..." "Ini, ini apa?" memotong si anak muda. "Inilah cara untuk melindungi undang-unda ng pemerintah sekalian untuk memberi muka kepada perwakilan Nippon itu! Dengan b egini kau dapat membersihkan dirimu dari tanggung jawab terhadap pihak asing itu . Tidakkah ini bagus? Jikalau kau tidak setuju, sudah, hendak aku mengangkat kak i dari sini! Apakah kau kira ratusan atau ribuan perompak kate itu dapat mencega h aku? Apakah kau juga dapat menghalanginya?" Sengit ini anak muda hingga ia hajar ujung meja teh dengan tangannya. Tiehoe menjadi ketakutan. Ia memang tahu anak muda ini liehay dan telah dengar b agaimana orang telah tempur musuh. Dengan cepat ia menjura. "Baiklah kalau kongtjoe memikir demikian," katanya, terpaksa. "Besok akan aku bicarakan urusan ini dengan pihak sana. Aku hanya harap sukalah kongtjoe ingat keselamatannya penduduk kota kita." Wajahnya tiehoe ini menjadi sangat kucel, dengan lesu ia mengundurkan diri. Seberlalunya pembesar itu, Sin Tjoe lompat turun dari payon, tanpa bersangsi pul a, ia lompat menem-brak jendela untuk masuk ke dalam kamar. Keng Sim tidak jadi kaget, bahkan ia menyambut sambil ter- tawa. Katanya: "Bukankah telah lama kau datang ke mari dan telah mendengar pembi caraan barusan?" Sin Tjoe merasa heran dan kagum. "Aku anggap aku datang di luar tahu siapa juga, tidak dinyana dia telah mengetah uinya..." pikirnya. Belum lagi ia menyahuti, anak muda itu sudah menambahkan: "K au telah dengar segala apa, untuk apa kau datang juga padaku?" "Aku hendak menjenguk kau!" sahut si nona, agaknya ia kurang puas. Keng Sim bersenyum. "Itu hari di sungai Tiangkang kau telah sudi mengajak aku menumpang perahumu," i a berkata, "sekarang selagi aku dalam tahanan, kau pun men- jenguk aku, saudara Ie, kau sangat baik, aku berterima kasih padamu." Habis berkata, dia menjura. Sin Tjoe mendongkol, tetapi mendengar perkataan orang dan melihat tingkahnya itu , ia tertawa. "Kau bilang tidak perlu aku datang ke mari, tetapi aku anggap tidak perlu kau be rdiam di sini!" ia kata. "Eh, kenapa?" tanya pemuda itu. "Ayahmu sudah dimerdekakan, kenapa kau kesudian berdiam di sini untuk menjadi me ndelu saja?" berkata si nona. "Apakah benar-benar kau sudi menerima hinaan denga n membiarkan si budak kate bercokol di atas menyaksikan kau diperiksa?" Mendengar itu, Keng Sim membalas: "Apakah kurang jelas bagimu maksudnya si tiehoe?" "Dia ketakutan sangat terhadap perompak kate, dia sampai hilang semangatnya! Apa kah kita, kau dan aku, jeri juga? Bukankah sejak dahulu ada dibilang, Tentera datang, panglima menangkisnya Air melanda, kita pakai tanah membendungnya? Jikal au benar-benar perompak kate berani datang menyerang, apakah kita tak dapat berd aya untuk memukul mundur pada mereka?" Keng Sim tertawa. Ia mengawasi. "Kita berdua memang tidak takuti perompak kate itu!" ia menyahut. "Tetapi kita b erdua saja, dapatkah kita memukul mundur pada mereka? Aku mohon tanya, umpama ka ta kawanan perompak itu menerjang kota secara besar-besaran, saudaraku ada punya daya apa untuk menghancurkan mereka?" Ie Sin Tjoe bicara dengan menuruti suara hatinya, hati yang muda, ia tidak perna h memikir sampai begitu jauh. Tapi ia tidak mau menyerah kalah mentah-mentah. "Apakah kau benar rela diperiksa mereka?" ia tanya. "Apakah kau telah punyakan d aya untuk menghajar kawanan perompak itu?" Tiat Keng Sim tertawa. "Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok p edang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay," ia berkata. "Untuk memana h harimau dan menyingkirkan ular naga kita perlu lebih dulu menarik busur dan menggosok pedang, dari itu apa pula untuk mengusir perompak yang terlebih garang daripada harimau dan ular naga itu?" Sin Tjoe menjadi berpikir mendengar jawab orang, yang seperti telah mempu-nyakan daya upaya. Ia kata di dalam hatiny a: "Mungkinkah kerelaannya diperiksa ini disebabkan dia seperti hendak menarik b usur dan menggosok pedang, yaitu dia telah menyiapkan sesuatu? Sungguh dia tak d apat diterka hatinya..." Ia awasi pemuda itu, ia dapatkan sinar mata yang tenang. "Terima kasih yang kau telah datang menjenguk aku," berkata pula si anak muda sambil bersenyum. "Sekarang sudah waktunya untuk kau k embali pulang! Nanti saja di hari peperiksaan, kau datang pula melihat aku!" Sin Tjoe masih merasa berat. "Saudara Tiat, kau ada pesan apa lagi?" ia tanya. "Aku suka berikan tenagaku yan g lemah..." Heran juga Keng Sim menyaksikan kelakuan orang itu. "Baik sekali ini anak muda," ia berpikir. "Kita baharu saja bertemu, dia sudah l antas memandang aku sebagai sahabat kekal." Ia menatap, hingga sinar mata mereka benterok, hanya sejenak saja, Sin Tjoe lant as melengos, wajahnya menjadi merah sendirinya. "Dasar bocah cilik!" kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia merasa lucu. "Barusan di a omong tampan, seperti orang dewasa, sekarang dia malu sendirinya..." Pemuda ini masih belum menduga bahwa orang ada satu pemudi. "Terima kasih, saudaraku," katanya pula kemudian, sembari tertawa. "Kalau begitu baiklah saudaraku tolong bawa saja pesanku." "Untuk siapakah itu?" Sin Tjoe tanya. "Terpisah tujuh atau delapan lie di timur kota ini ada sebuah desa kecil yang di panggil Peksee tjoen," menjawab Keng Sim. "Di sebelah barat desa itu, seperti me nyender pada bukit, ada sebuah rumah. Di depan rumah itu ada tiga pohon pekyang dan di depan pintunya ada sepasang singa batu. Ada sangat gampang untuk mengenal i rumah itu. Kalau nanti saudaraku telah bertemu sama tuan rumah, tolong kau t u- turkan kepada dia semua apa yang kau dengar dan lihat malam ini." "Siapakah tuan rumah itu?" Sin Tjoe tanya. "Orang apakah dia?" "Asal saudaraku bertemu dengannya, saudaraku bakal ketahui sendiri," sahut Keng Sim. Dia bersenyum, agaknya dia aneh. Sin Tjoe terima pesan itu, ia lantas berlalu. Sampai di pondoknya, ia masih tida k dapat menerka artinya senyuman pemuda itu. Besoknya, Sin Tjoe masih belum menerima balasan kabar dari orang yang diutus Thi o Hek untuk menghubungi pihak tentera rakyat. Ia tidak menanti lebih lama, seora ng diri ia menuju ke Peksee tjoen, desa Pasir Putih. Ketika itu ada di per- mulaan musim rontok, sawah-sawah di luar kota memperlihatkan wajah kuning emas, tandanya tanaman telah masak. Pemandangan alam itu ada menarik hati, maka Sin Tjoe merasa puas. H anya ketika itu, di situ terdapat jarang sekali orang yang berlalu lintas. Ia me nghela napas, di dalam hatinya ia kata: "Coba tidak ada gangguan perompak kate, tempat ini mirip dengan dunia punya Taman Bungah Toh..." Peksee tjoen terpisah dari kota tak ada sepuluh lie, maka itu dengan tanya-tanya orang, Sin Tjoe lekas tiba di desa itu. Itulah sebuah kampung kecil, yang pendu duknya terdiri dari belasan rumah, yang mencar satu dari lain. Ia jalan terus di jalan pegunungan yang berliku-liku, sampai di selat di mana ia dapatkan sebuah rumah yang berdiri di lamping bukit . Rumah itu tidak punya tetangga. Di tanjakan terlihat tanaman bunga koeihoa, yang harumnya terbawa siuran angin gunung. Lega akan mendapat kan bau harum itu. Maka Sin Tjoe duga penghuni rumah itu seorang yang halu s budi pekertinya. Setelah melintasi kebun bunga, Sin Tjoe dapat lihat sepasang tjiosay atau singa- singaan dari batu, yang bercokol di undakan tangga rumah, dan di depan pintu rum ah itu benar ada tiga buah pohon pekyang, yang mengalingi satu pojoknya lauwteng rumah. "Tidak salah lagi inilah rumah yang Keng Sim pesan aku mesti cari," memikir pemu di ini selagi ia mengawasi ke arah rumah itu. "Kenapa Keng Sim tidak hendak memberitahukan aku siapa pemilik rumah ini?" Ia bertindak meng-hampirkan pintu, tindakannya pelahan, niatnya untuk mengetok. Tiba-tiba ia merasakan samberan ang in di belakangnya, lalu ia dengar teguran yang nadanya halus: "Siapa yang datang celingukan ke mari?" Ia lantas menoleh, maka di hadapannya tampak satu nona yan g manis, bajunya bertangan pendek, warnanya kuning marong, rambutnya dijadikan konde dua. Nampaknya nona it u masih kebocah-bocahan walaupun usianya, ia taksir, tak berjauhan dengan usiany a sendiri. Nona itu bawa lagaknya seorang dewasa. Untuk kagetnya, nona itu terus menyerang padanya, dengan satu jurus Kimna tjioe. Rupa- nya orang telah pandang ia sebagai seorang panca longok! Sebenarnya cukup untuk Sin Tjoe untuk berkelit seraya menyebutkan nama Keng Sim, urusan sudah tidak ada lagi, siapa tahu, ia pun bawa tabiatnya, ingin ia mencob a nona itu. Ia lantas membikin punah serangan si nona itu dengan jurusnya "Mega merah menampa rembulan." Kalau si nona menyerang ia dengan tangan kiri seraya tangan kanan dip akai melindungi diri, ia justeru menangkis dengan tangan kiri sambil menjambak d engan tangan kanan. Nona itu kaget hingga ia mengeluarkan seruan pelahan, sebab sikutnya kena dibent ur. Atas ini, ia lantas saja menyerang pula dengan jurusnya "Tujuh bintang," m engarah dada orang, karena mana, Sin Tjoe mesti menarik pulang tangannya. Ia menjadi kagum un tuk kegesitannya nona itu. Lantas ia mengubah jurusnya tadi dengan jurus "Menari k busur untuk memanah burung rajawali." Ia belum dapat menguasai ilmu silat tang an kosong tetapi gurunya telah ajari ia ilmu silat pedang "Pekpian Hian Kie Kiam hoat," maka itu, ia lincah luar biasa. Begitulah selagi dengan tangan kiri ia ta ngkis serangan si nona, dengan tangan kanan ia menyamber dada orang, pada jalan darah lengkioe hiat. Nona itu terkejut, mukanya menjadi merah, tetapi ia tidak menangkis atau berkelit, ia buka mulutnya, untuk menggigi t tangan lawannya itu. Melihat itu, Sin Tjoe pun terperanjat. Ia lantas ingat bahwa ia tengah menyamar sebagai satu pemuda se dang lawannya itu satu nona remaja. Ia jadinya telah bersikap ceriwis! Pun luar biasa sekali cara bersilatnya nona itu, yang main menggigit. Syukur Sin Tjoe sebat menarik pulang tangannya, kalau tidak dua jerijinya bisa kutung terk acip gigi! Hanya, biar bagaimana, ia merasa Jenaka juga... Di saat Nona Ie memikir untuk bicara, nona itu sudah menyerang pula padanya, sec ara bertubi-tubi, kedua tangannya, kiri dan kanan, menyamber-nyamber saling susu l, kedua kakinya turut bergerak dengan cepat dan tetap untuk mengimbangi hujan serangannya itu. Ia terpaksa menunjuki ke- lincahannya akan menyingkir dari semua serangan itu, ia main berkelit, dengan mengegos tubuh atau berlompat. Tapi ia terus dirangsak, hingga tanpa merasa telah berlalu empat pul uh sembilan jurus, hingga, umpama kata, ia tak dapat bernapas... "Heran," pikirnya. Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu silatnya itu seperti melebih padanya. Banyak sudah gurunya, Thio Tan Hong, menuturkan ia tentang pelbagai macam ilmu s ilat partai lain tetapi belum pernah ada yang semacam ini. Baharu setelah itu, Sin Tjoe "menutup" kedua tangannya si nona dengan ilmu silat nya "Siauwthian tjee" atau "Bintang kecil." "Bagus!" ia pun me- muji. "Sudah, sampai di sini saja, tidak usah kita bertarung pula. Aku dat ang untuk membawa kabar bagimu." Nona itu berontak, tidak dapat ia membebaskan kedua tangannya. Ia telah kerahkan tenaganya, masih sia-sia saja. Sin Tjoe telah berhasil mewariskan kepandaian gurunya, siapa sebaliknya telah dapat mengatasi warisan Pheng Hweeshio, yang sudah meninggalkan surat wasiatnya yang berisi pelajaran is timewa, pelajaran mana Tan Hong yakinkan selama belasan tahun. "Eh, kau bawa surat?" tanya nona itu heran. "Surat apakah?" "Surat yang berupa pesan lisan dari Tiat Keng Sim," Sin Tjoe menjawab. "Tiat Keng Sim me-ninggali pesan untukku?" si nona menegaskan. "Di mana kau bertemu dengannya?" "Di kantornya tiehoe. Besok dia bakal diserahkan tiehoe kepada orang Nippon." Nona itu agaknya terkejut, lalu nampak ia berduka, alisnya berkerut. Setahu kenapa, menampak roman itu, Sin Tjoe merasa sedikit iri hati... "Benarkah Tiat Keng Sim meninggalkan pesan?" tiba-tiba si nona menanya. "Kau siapa? Apakah namamu?" "Aku she Ie dan namaku Sin Tjoe. Kau?" "Ie Sin Tjoe? Belum pernah aku dengar..." kata nona itu. "Kita ada sahabat-sahabat baru," Sin Tjoe jelaskan. Tiba-tiba nona itu tertawa dingin. "Mustahil Tiat Keng Sim mempunyai sahabat semacam kau!" katanya. "Kau ceriwis! Kau tentu penipu! Rasai pedangku!" Sin Tjoe melayani orang bicara tanpa curiga, maka ketika nona itu berontak denga n tiba-tiba, terlepaslah "tutupannya." Cepat luar biasa, nona itu sudah menghunu s pedangnya, dan sama cepatnya, dia buktikan ancamannya, yang berupa tikaman! Mau atau tidak, Sin Tjoe mesti berkelit, malah terus hingga tiga kali sebab nona itu tikam ia berulang-ulang. Achirnya, ia jadi mendongkol juga. Di dalam hatiny a ia kata: "Ilmu pedangmu boleh liehay, apakah kau sangka aku jeri terhadapmu?" Di saat Nona Ie hendak mencabut pedangnya, guna melayani, kupingnya dengar tinda kan berlari-lari di arah belakangnya, suara berlari-lari dari belakang bukit. Belum sempat ia menole h, si nona sudaha" menghentikan serangannya sambil terus berseru: "Seng Djiekol" "Djieko" itu ialah kakak yang nomor dua. Ketika ini digunai oleh Sin Tjoe untuk berpaling ke belakang, maka itu ia lantas dapat melihat dua orang tengah berlari, yang satu di depan, yang lain di belaka ng, keduanya laki-laki, yang di sebelah belakang adalah seorang perwira, dengan pedang di tangan, dia tengah mengejar orang di depannya itu. Laki-laki yang lagi diubar-ubar itu adalah seorang muda yang alisnya gompiok dan matanya besar, bajunya tak terkancing hingga nampak dadanya. Dia berkulit hit am. Segera dia dapat dikenali sebagai seorang nelayan. Dia bersenjatakan sebatang toya, den gan itu saban-saban dia berpaling untuk menyerang pengejarnya itu. Si perwira bersenjatakan sebatang golok melengkung, bagus ilmu silat goloknya, s elalu ia bisa singkirkan serangannya si pemuda, ia cuma kalah ilmu ringan tubuh, karena di jalanan pegunu ngan seperti itu, ia kalah cepat larinya. Maka setiap menemui jalan yang sulit, ia mesti lari nyimpang ke lain arah untuk dapat menyandak. Si nona sudah lantas saja lari untuk mema-paki, karena mana, Sin Tjoe turut berl ari juga. Cepat sekali, mereka sudah datang dekat satu pada lain. Kapan si perwi ra melihat Sin Tjoe, ia menjadi heran. "Hm, binatang, kau pun di sini?" dia menegur. "Kau pernah apakah dengan si tua bangka she Tjio?" Sin Tjoe segera mengenali perwira itu, ialah Tonghong Lok, hoetongnia atau kepal a yang kedua dari pasukan Gielimkoen, ketika di kota raja ia mencuri kepala ayah nya, ia telah bertemu dan bertempur dengannya, jadi ia mengetahui orang ada lieh ay. Ia tidak tahu siapa itu yang disebut tua bangka she Tjio, tetapi ia percaya datangnya kepala Gielimkoen ini niscaya bukan bermaksud baik, ia lantas bersiap akan bersama si nona menempur padanya. Nona itu sebat luar biasa, baharu Sin Tjoe berpikir, dia sudah mendahulukan berl ompat, terus menikam perwira itu, hanya ber- bareng menyerang, ia teriaki si pemuda yang dikejar-kejar perwira itu: "Seng Dji eko, kau layani itu bocah, dia berani datang menghina aku, dia bukannya satu man usia baik-baik!" Mendengar ini, Sin Tjoe tercengang. Si anak muda dengar perkataannya si nona, ia tinggalkan si perwira, ia lantas me ngham-pirkan nona kita, untuk lantas menekan pedang orang. Tentu saja nona kita menjadi mendongkol. "Kenapa kau begini sembrono?" ia menegur. "Aku datang untuk membantu kamu!" Ia lantas geraki pedangnya, akan bebaskan diri dari tekenan. Pemuda itu heran, tetapi ia mengawasi dengan tajam. "Kau siapa?" ia tanya, bengis. "Seng Djieko, ja- Menuruti adatnya, Sin Tjoe segera menangkis dengan tangan kirinya dan menjambret dengan tangan kanannya. Ia ingin mencoba-coba kepandaian nona itu. ngan dengari bujukannya!" si nona berkata, sekalipun ia tengah melayani si perwi ra. "Tadi dia berlaku kurang ajar terhadapku! Hajar dulu padanya!" Pemuda itu menjadi gusar, ia lantas menyerang pula. Sin Tjoe menjadi mendongkol sekali. Atas datangnya serangan, ia bergerak dalam jurusnya "Menggeser tubuh, menukar tindakan." Gesit luar biasa, ia mendak, akan nyelusup di bawah toya. Ia ada bagaikan seekor ikan yang licin. Habis itu, ia me mbalas menyerang, dengan sabetannya. Ia hanya tidak menikam tubuh atau lain angg auta tubuh dari anak muda itu, ia cuma membikin putus dua buah kancing baju! Pemuda itu terkejut, justeru mana, Sin Tjoe tarik pulang pe- dangnya, sambil tertawa dingin, si nona berkata: "Ini dia yang dibilang, anjing menggigit Lu Tong Pin, kamu tidak kenal kebaikan orang! Coba aku tidak mengharga i Tiat Keng Sim, pastilah aku telah membikin liang di dalam tubuhmu!" Pemuda itu terkejut, ia heran. "Tiat Keng Sim?" ia mengulangi. "Tiat Keng Sim yang mana?" Sin Tjoe tertawa dingin. "Mana ada Tiat Keng Sim lainnya lagi selainnya Tiat Keng Sim yang sekarang tenga h ditahan di kantor tiehoe kota Taytjioe!" ia menyahut tawar. "Jangan dengari ocehannya!" si nona mendahulukan si anak muda. Ia lagi berkelahi , ia pun memasang kupingnya. "Tiat Soeko tidak nanti mempunya- kan sahabat seperti dia ini!" "Traang!" demikian suara yang menyusuli perkataan si nona dan nona itu menjadi k aget. Justeru ia perdengarkan suaranya, Tonghong Lok sudah hajar pedangnya, hing ga tangannya tergetar dan pedangnya itu terlepas dan terpental! Pemuda itu terperanjat, ia tinggalkan Sin Tjoe, untuk membantui si nona. "Jangan peduli- kan aku!" nona itu berseru, mencegah. "Aku dapat bertahan! Kau h ajar saja pemuda ceriwis itu!" Nyata nona itu besar kepala dan tak suka menyerah kalah. Si anak muda ber-sangsi sebentar, achir-nya ia mendengar kata. Maka kembali ia h adapi Nona Ie, ia lantas merabu ke bawah. Sin Tjoe benar-benar mendongkol, ia berlompat, terus ia membalas menyabet dengan tipu silat "Menjahit dengan jarum emas." Ia ingin memapas pula kancing baju orang. Kali ini si anak muda waspada, ia dapat egoskan tubuhnya. Ia kalah gesit tapi me nang tenaga, maka itu, ia lantas kurung dirinya dengan toyanya. Dalam mendongkolnya, Sin Tjoe menyerang dengan sengit, sampai ia lewatkan belasa n jurus, baharu ia papas ujung toyanya pemuda itu. Ia membarengi berkata: "Jikal au kau tidak percaya aku, kau mesti percaya soeheng-mu Tiat Keng Sim!" Walaupun ia seorang kasar, pemuda itu tidak besar kepala seperti si nona, adik s eperguruannya itu. Ia pun polos. Maka ia berpikir: "Ilmu silat orang ini tak ada di bawahan Tiat Soeheng, kalau dia bermaksud jahat, baru san mana dapat aku membebaskan diri dari dua tikamannya?" "Sebenarnya kau datang untuk urusan apa?" ia achirnya tanya. Ia tidak menyerang lebih jauh, ia berdiri sambil mengawasi dengan tajam. "Aku datang untuk menyampaikan pesan lisan dari soeheng-mu\" sahut Sin Tj oe. "Pesan apakah itu?" si anak muda bertanya. "Dia ditahan di kantor tiehoe, besok dia hendak diserahkan pada orang Nippon!" S in Tjoe beritahu. "Hm! Cuma sebegitu saja pesannya?" anak muda itu menegasi. Agaknya ia seperti su dah ketahui kejadian atas diri si anak muda. "Kau hendak mena- nya apa lagi?" Sin Tjoe balik menanya. Anak muda itu berpikir, lalu ia angkat kepalanya. "Menurut kau, jadinya Tiat Soeheng-ku itu ditahan di kantor tiehoe ?" katanya. "Benar!" sahut Sin Tjoe. "Soeheng-ku itu mempunyai kepandaian untuk menakluki naga dan menundukkan harimau, dia pun pandai ilmu enteng tubuh Terbang di atas rumput, kenapa dia bolehnya membiarkan dirinya ditangkap tiehoe untuk diserahkan pada orang Nippon?" dia tanya pula. "Itu adalah pikirannya sendiri, apa maksudnya, aku tidak dapat tahu," menjawab n ona Ie. "Dia cuma membacakan dua baris syair kepadaku, ialah Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Rupa-rupanya dia sudah ketahui baik apa yang dia harus lakukan." Mendengar itu, si anak muda lantas berseru: "Soemoay, perkataannya orang ini ben ar! Benar-benar dia datang membawa pesan lisan dari soeheng kita!" Nona itu tidak menjawab, maka Sin Tjoe menjadi heran. Ia lantas berpaling. Nyata nona itu tengah bertempur hebat sekali dengan Tonghong Lok, gerakan tubuh mereka pesat sekali, sinar pedang berkilauan. Tidak ada suara dari beradunya sen jata, cuma suara angin yang bersiuran keras. Sebab si nona berkelahi dengan tang an kosong, melayani musuh yang bersenjata. Dia mainkan sepasang kepalannya sama seperti pedangnya tadi, dia menyerang bertubi-tubi, sep erti tak hentinya. Ilmu silatnya itu tetap tidak dapat dikenali Sin Tjoe. Mengha dapi nona itu, Tonghong Lok agaknya kewalahan, bukan karena ia kalah, hanya sebab sukar untuk ia memecahkan serangan berantai dari si nona. "Coba tenaga dalam si nona lebih sempurna sedikit saja, terang sudah Tonghong Lo k bukan tandingannya," berpikir Sin Tjoe kemudian. Ia terus memasang mata, hingg a di achirnya, ia berseru kepada si anak muda di depannya: "Kamu toh muridnya Tj io Keng To?" Anak muda itu terperanjat. "Cara bagaimana kau kenal guru kami?" tanyanya heran. Di jaman itu ada ter- dapat empat kiamkek atau ahli ilmu silat pedang. Di selatan ialah Thio Tan Hong. Di utara yaitu Ouw Bong Hoe. Di barat yakni Yang Tjong Hay, itu tjongkoan kesoh or dari istana kaisar. Dan di timur adalah Tjio Keng To yang disebutkan Sin Tjoe ini. Di antara mereka itu berempat, Tan Hong yang usianya paling muda tetapi na manya paling terkenal. Tjio Keng To adalah yang tertua, sebaliknya yang mengenal dia, tak banyak jumlahnya. Inilah disebabkan pada dua puluh tahun yang lampau ia telah mencuri pedang di dalam ist ana kaisar hingga ia menjadi melakukan perlanggaran pidana besar, ia kabur ke lu ar batas negara dan seterusnya mengumpatkan diri, hingga selama dua puluh tahun orang tak dengar pula. Lantaran ini kaum muda tidak banyak yang ketahui namanya. Tan Hong ketahui Keng To pandai ilmu pedang "Keng To Kiamhoat" karena pernah Tj io Keng To datang berkunjung kepada kakek gurunya, untuk sebagai yang muda memoh on pengajaran. Tatkala itu Hian Kie Itsoe kebetulan telah selesai meyakinkan dua pedang Pekin kiam dan Tjengbeng kiam, maka dengan sembarangan ia gunai Tjengben g kiam melayani Keng To. Di dalam sepuluh jurus pedangnya Keng To kena dibikin sapat. H abis itu, di samping memuji Keng To, Hian Kie pun menjelaskan kekurangan orang. Hian Kie bicara dengan polos, ia membeber dengan tedas, ia pun memberi peneranga n de- ngan jujur. Keng To malu atas kekalahannya itu, tapi berbareng ia kagumi pedang orang. Ia percaya Hian Kie liehay, tetapi ia kurang puas dengan kekalahannya. Ia anggap ia kalah disebabkan ia kalah pedang. Ia tidak menginsafi akan latihan se mpurna dari Hian Kie, bahwa dengan pedang biasa juga, pedangnya itu dapat dibiki n kutung. Karena ini timbullah niatnya mencuri pedang di istana kaisar itu. Tadi telah Sin Tjoe lihat ilmu silatnya si nona, yang bergerak bagaikan "gelomba ng kaget" (keng to) atau " "ombak mengejutkan," ia kemudian dengar Tonghong Lok menyebut-nyebut "si tua bangka she Tjio," ia lantas ingat Tjio Keng To dan dugaa nnya itu ternyata tepat. Hanya, belum lagi ia jawab per- tanyaan si anak muda, berdua mereka berpaling dengan cepat ke arah pertempuran karena keduanya dengar suara beradunya senjata nyaring sekali. Mereka masih sempat melihat lelat u api, lalu si nona terdesak mundur. Terang rupanya pedang si nona kena terhajar hebat goloknya hoetongnia dari pasukan raja. Liehay permainan pedang dari si nona, kurang latihannya dalam tenaga dalam, kare na itu ia kalah ulet dari Tonghong Lok. Hoetongnia itu mungkin dapat melihat cac at si nona, dia menunggu sampai nona itu selesai memainkan empat puluh sembilan jurus, dengan mendadak dia melakukan penyerangan membalas dan menghajar pedang o rang itu. Pedang telah mental ba- lik, hampir si nona terlukai pedangnya sendiri. "Celaka!" berseru si anak muda, yang melihat adik seperguruannya terancam bahaya . Ia baharu hendak berlompat maju, guna membantui nona itu, atau Tonghong Lok te lah kerjakan pula goloknya, kali ini dia berhasil membuatnya ujung baju si nona tersontek bolong! Golok Tonghong Lok ada punya gigi bengkung model rembulan, semacam gaetan, maka itu golok itu bisa dipakai sebagai alat membangkol. Si nona sedang terdesak, ia tidak berdaya menghadapi ancaman itu, ujung bajunya terus tercantel. Sin Tjoe pun kaget tetapi ia tertawa, terus ia berseru: "Adik yang baik, pergila h kamu dua saudara seperguruan memasang omong, akan aku gantikan kau!" Habis itu, selagi su ara tertawanya belum lenyap di udara, ia mengayun tangannya, menerbangkan bunga emasnya. "Traang!" demikian satu suara nyaring dan goloknya Tonghong Lok terhajar hingga miring. Lalu datang bunga emas yang kedua, yang membuatnya ujung baju si nona te rbabat putus, hingga baju itu terlepas dari cantalan gigi golok. Si nona gunai keti-kanya akan menarik tangannya, untuk terus menikam lawannya. Tonghong Lok kaget, ia berlompat ke samping. Tapi di sini ia dirintangi Sin Tjoe , yang sehabisnya menimpuk sudah lantas berlompat maju. Ketika si nona hendak mengulangi serang annya, ia menjadi tercengang sebab ia dapatkan musuhnya sudah bertempur dengan si pemuda.. . Hebat cara berkelahinya Sin Tjoe, sejenak saja ia sudah melalui tujuh atau delap an jurus. Si anak muda menyeka peluhnya, lalu ia tarik tangan si nona. "Aku lihat anak muda ini benar-benar hendak membantu kita," ia kata pada itu soe moay atau adik seperguruan. "Hm!" si nona perdengarkan suaranya, tetapi mukanya merah. Ia membungkam. "Dia membilangnya dia ada sahabat kekal dari Tiat Soeko, mungkin dia tidak mendu sta," kata pula si anak muda. "Bagaimana kau ketahui itu?" si nona menyahuti juga, tapi suaranya menyataka n dia masih mendongkol. Si anak muda tarik pula tangan soemoay ini, lalu ia bicara pelahan sekali, bi sik-bisik. Sin Tjoe berkelahi dengan saban-saban menggunai ketika akan melirik itu soeheng dan soemoay berdua, ia lihat tingkah laku orang, diam-diam ia tertawa di dalam h atinya. Tahulah dia ada hubungan apa di antara soeheng dan soemoay itu. Karena i ni, kalau tadinya ia mendongkol kepada si nona, yang perlakukan ia kasar, sekara ng ia mendapatkan kesan yang baik. Ia merasa orang seperti kebocah-bocahan dan i a jadi menyukainya. Ia hanya tidak memikir bahwa ia sendiri pun masih membawa ad atnya satu bocah... Tidak benar untuk Nona Ie memecah perhatiannya selagi ia menempur satu lawan yang tangguh, justeru lawan itu berkelahi dengan sungguh- sungguh. Begitu ketika Tonghong Lok melakukan penyerangan membalas, satu kali uj ung goloknya hampir mampir di tenggorokannya. Si anak muda dapat lihat ancaman hanya untuk nona itu, ia kaget hingga ia berser u, terus ia lompat maju, guna menolongi. Tapi, belum ia sampai kepada si nona, i a dengar satu suara nyaring, yang dibarengi dengan muncratnya lelatu api. Nyata Sin Tjoe telah dapat membebaskan diri dari ancaman malapetaka itu, malah d engan membabat podol dua buah giginya goloknya lawannya itu. Sin Tjoe masih muda, belum sempurna tenaga dalamnya, akan tetapi di samping itu, sudah sering ia melakukan pertempuran, pengalamannya jadi bertambah. Kepandaiannya pun bertambah setelah ia peroleh pengajaran ilmu silat Ngoheng Koen dari Hek Pek Moko, maka itu, ia tidak lagi dapat disamakan sama wa ktu pertama kali ia bertempur sama Tonghong Lok. Dulu hari itu, selama sepuluh j urus, keadaan mereka berimbang. Karena ini, Tonghong Lok menjadi memandang ringa n kepada nona ini, biarnya mulanya ia didesak, ia dapat membela diri dengan baik . Sebagai seorang berpengalaman, hoetongnia ini dapat mengambil ketikanya yang b aik. Demikian ia menyerang hebat sedangnya si nona melirik itu soeheng dan soemo ay. Ia percaya bah- wa ia bakal berhasil. Di luar dugaannya, si nona liehay, matanya tajam, gerakann ya gesit, maka goloknya kena dipapas giginya. Coba ia tidak berlaku sebat, mungk in ujung goloknya yang terbabat buntung. "Bagus!" berseru si anak muda, yang dari kaget berbalik menjadi memuji. Si nona tidak turut memuji, akan tetapi di dalam hatinya, diam-diam ia kagum. "Kamu soeheng dan soemoay sudah letih, baiklah kamu beristirahat!" berkata Sin T joe, yang melihat mereka itu menonton dengan asyik. Ia pun tertawa. Mukanya si anak muda menjadi merah, ia melirik kepada soemoay -nya, ya ng berdiam saja. Pertempuran berjalan terus. Tanpa mera- sa, mereka sudah melalui kira-kira seratus jurus. Keduanya telah menggunai tenag a tetapi mereka nampaknya berimbang. Sin Tjoe tetap lincah seperti bermula, pedangnya berkelebatan tak hentinya, sinarnya menyilaukan mata. Di achirnya, si nona menjadi kagum. "Aku menyangka ilmu pedang Keng To Kiamhoat tidak ada keduanya di kolong langit ini, siapa tahu sekarang ada yang menandingi," pikirnya. Ia kagum tetapi toh ia merasakan hatinya dingin, karena kejuma-waannya terguyur. Tonghong Lok penasaran tidak dapat menjatuhkan lawannya, yang ia pandang enteng itu. Ia heran kenapa sekarang orang ada begini liehay. Di dalam halnya latihan d an pe- ngalaman, ia menang setingkat daripada si nona, yang membuatnya ia sulit adalah pedang yang tajam dari nona itu, hingga ia sungkan mengadu senjata. Untuk selalu mengegos golok dari tabasan pedang ada meminta kecelian ma ta dan kegesitan gerakan tangan, dan ini meminta banyak dari hoetongnia itu. Setelah seratus jurus, kelincahannya Sin Tjoe tidak jadi berkurang. Sekarang ia menang di atas angin. Ia lantas perkeras serangannya yang bertubi-tubi. Si nona, yang terus menonton dengan perhatian, tanpa ia merasa, lenyap kemen-dongkolannya terhadap itu pemuda ceriwi s. Ia sekarang dipengaruhkan kekagumannya untuk kegagahan orang. Si anak muda sebaliknya, di sebelah kekagumannya, hatinya menjadi sangat lega. B ukankah pemuda itu sudah bebas dari ancaman bahaya maut? Maka itu ia sempat tany a si nona: "Soemoay, benarkah soehoe sudah pulang?" "Ya! ya!" si nona menyahut, tanpa ia berpaling, karena ia sedang ketarik sekali menyaksikan gerakan terachir dari Sin Tjoe. Kelihatannya pedang si "pemuda" berg erak dari kiri ke kanan, tetapi nyatanya, sebaliknya, ialah dari kanan ke kiri. Gerakan ini sudah terjadi melulu disebabkan kelincahan. Tonghong Lok tengah bertempur, akan tetapi ia dapat dengar perkataannya itu pemu da dan pemudi, ia terkejut. Di dalam hatinya, ia berkata: "Sudah terang ini beberapa binatang ada murid-muridnya Tjio Keng To, kalau mereka sudah begini liehay, apapula si tua bangka sendiri! Kalau sekarang dia sudah pulang, tidakkah aku menghadapi ancaman bencana?" Dengan sendirinya, hatinya menjadi ciut. Tonghong Lok datang dengan tugas untuk menawan Tjio Keng To, ia menerima titah l angsung dari junjungannya. Ia datang dengan hati besar, sebab ia percaya betul k egagahannya. Benar ia ketahui Tjio Keng To liehay tetapi orang telah berusia lan jut, belum tentu jago tua itu dapat menandingi padanya. Setibanya, ia lantas men dapat pengalaman yang membuatnya ia mesti berpikir. Pertama-tama ia tidak sanggu p bekuk si anak muda walaupun anak muda itu sudah keteter. Kedua ia lantas mengadu kepan daian sama si nona, yang ternyata bukan tandingan sembarang. Dan sekarang ia men ghadapi pula lain "pemuda," hatinya menjadi goncang. Jangan kata untuk memperoleh kemenangan, guna membela diri saja ia merasa sulit. Maka itu, mengetahui Tjio Keng To sudah pulan g, ia kaget. Justeru kepala Gielimkoen itu kaget, justeru Sin Tjoe kirim tusukannya yang lieh ay. Sia-sia saja Tonghong Lok membela diri, pundaknya kena juga ditusuk, hingga tulang pundaknya terpapas sebagian. Ia lantas berlompat, dengan melupakan sakitnya, ia membuang dirinya ke tanah, untuk lari berguli- ngan di tanah mudun. Itulah tanda jeri yang berlebihan, sebab Sin Tjoe tidak menguber, hanya sembari tertawa, dia putar tubuhnya untuk menghampirkan si muda-mudi. "Nah, sekarang tentulah kau percaya aku!" katanya pada si nona. Nona itu tidak menyahuti, ia hanya mendelik! Si pemuda maju, untuk memberi hormat. "Terima kasih untuk bantuan kau!" ia berkata. "Kita repot bertempur, sampai kita tak sempat belajar kenal!" kata Sin Tjoe semb ari ia membalas hormat. Ia bicara sambil bersenyum. Nona itu tetap membungkam. Adalah si pemuda, yang menyahuti dengan cepat. "Inilah soemoay-ku, Tjio Boen Wan," ia mem- perkenalkan. "Aku sendiri Seng Hay San. Soemoay-ku ini adalah puterinya Tjio Lookiam-kek, guruku." Boen Wan menoleh dengan cepat. "Kau toh bukan hendak berbesan dengannya, untuk apa kau menjelaskan hal keluarga ku!" katanya kepada si anak muda. Sin Tjoe tidak menjadi kurang senang, sebaliknya, ia tertawa geli. Boen Wan rupanya merasa bahwa ia sudah terlepasan bicara, wajahnya lantas menjadi merah sendirinya. Seng Hay San tidak layani soemoay itu. "Orang toh sudah mengetahui namanya soehoe?" katanya, pelahan. "Ia pun bukannya orang lain, ada apa halangannya untuk memberi penjelas an?" "Aku bernama Ie Sin Tjoe," Sin Tjoe berkata, tak memperdulikan soeheng dan soemo ay itu, yang ia anggap Jenaka lagak lagunya. "Guruku ialah Thio Tan Hong. Dengan sebenarnya kita bukanlah orang luar!" Seng Hay San terkejut hingga ia mengeluarkan suara tertahan dan lompat mencelat. "Pantas kau begini liehay, kiranya kau muridnya Thio Tayhiap1." ia be rseru. Si nona pun he- ran, ia sampai angkat kepalanya, akan awasi "pemuda" itu. "Thio Tan Hong kesohor gagah dan mulia, kenapa dia ambil murid begini ceriwis?" ia kata dalam hati kecilnya. Sin Tjoe tidak ambil perduli sikapnya dua orang itu. "Guruku sudah lama mengagumi gurumu yang kesohor," ia berkata, "sampai sebegitu jauh guruku tidak berjodoh untuk membuat pertemuan dengan gurumu, maka itu sekarang hendak aku mewakilkannya untuk mengha dap Tjio Lookiamkek. Aku minta entjie Boen Wan sukalah mengajak aku menemuinya." "Terima kasih, sebenarnya kita tidak berani menerima kunjunganmu," berkata Hay San, yang mendahului si Nona Tjio. Thio Tan Hong benar masih muda dibanding sama gurunya tetapi Sin Tjoe omong demi kian merendah, Hay San menjadi malu hati. Ia memang jujur dan polos sekali. Ia p un heran atas sikap soemoay -nya. Katanya di dalam hati: "Ini orang she Ie begin i halus dan sopan, kenapa soemoay bilang dia ceriwis?" "Tamlah kata ayahku ada di rumah, dia pasti tidak nanti menemui kau!" kata Nona Tjio dingin. Agaknya hatinya menjadi panas pula. "Soemoay, kau kenapa..." Hay San heran, ia tanya adik seperguruan itu, tapi ia dipotong si soemoay. "Kau. .. kau apa?" Si nona pun mendelik. Sebenarnya Hay San hendak menanya, kenapa adik itu bersikap tak manis, karena ia dipegat, ia lantas merubah haluan. "Bukankah soehoe sudah pulang ?" demikian ia tanya. "Kenapa soehoe tidak ada di rumah?" "Siapa yang bilang ayah sudah pulang?" si nona membaliki, suaranya tawar. "Toh kau yang mengatakannya tadi..." katanya. "Kau melihat memedi barangkali! Kapannya aku bilang begitu?" Hay San menjadi heran sekali. "Rupanya aku salah dengar," ia bilang. "Kuku garuda tadi bilang soehoe s udah pulang maka juga dia telah datang ke mari." "Memang beberapa hari yang lalu ayah telah minta pertolongan membawa surat, katanya lagi beberapa hari dia bakal pulang dengan naik kapal," berkata si nona. "Sampai sekarang ayah belum balik. Hm, kuku garuda itu liehay kupingnya, maka p antaslah dia dapatkan tikamannya!..." Tiba-tiba si nona berhenti bicara. Ia ingat bahwa yang menikam si kuku gar uda adalah si pemuda ceriwis... "Jikalau begitu, aku tidak berjodoh untuk menemui Tjio Lookiamkek," b e rk a t a Sin Tjoe. Ia agaknya me nyesal. Boen Wan masih bersikap tawar, ia tidak memberikan penyahutan. Sin Tjoe berdiri dengan hati tak enak. Ia tahu sebabnya sikap dingin dari si non a. Tadi ia telah kesalahan berbuat kurang manis. Karena terpaksa, ia rangkap ked ua tangannya seraya berkata: "Pesan lisan dari Tiat Keng Sim telah aku sampaikan , di sini sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, aku meminta diri." "Terima kasih untuk bantuan kau ini, saudara Ie," berkata Hay San sambil ia memb alas hormat. "Tentang Tiat Soeheng, kami sudah mendapat tahu. Memang sengaja Tiat Soehe ng meminta kau menyampaikan pe- sannya itu, supaya kami dapat berkenalan denganmu. Itu pun menandakan, Tiat Soeh eng pandang kau bukan seperti orang luar. Mengenai urusan Tiat Soeheng itu, dari terancam bahaya dia pasti bakal mendapatkan keselamatannya, tentangnya tak usah saudara buat kuatir." Ada maksudnya kenapa Hay San menyebutkan Sin Tjoe bukan orang lain. Perkataannya itu sebenarnya ditujukan kepada Tjio Boen Wan. Sin Tjoe sebaliknya menjadi heran. Kenapa Tiat Keng Sim menyuruh ia menyampaik an pesannya itu? Mengenai urusannya Keng Sim sendiri, rupanya pemuda itu sudah meng atur segala apa. Apakah siasatnya itu? Ia tidak tahu, Keng Sim ingin ia datang k e Peksee tjoen, untuk belajar kenal sama Tjio Boen Wan. Hanya sayang, kejadiannya ada di luar du gaan Keng Sim. Sebab ia justeru benterok sama Nona Tjio... Sin Tjoe kembali ke kota, bertemu sama Thio Hek, ia tuturkan pengalamannya selam a dua hari. Thio Hek pun heran atas sikapnya Keng Sim itu, tak dapat ia menerkanya. "Tentang Vap Toako , sudah datang beritanya," kemudian ia pun memberi keterangan . Katanya nusa lagi bakal ada datang orang untuk berhubungan sama kita. Cuma nus a lagi itu ada harian peperiksaan atas dirinya Tiat Keng Sim oleh tiehoe bersama pihak Nippon... Sin Tjoe ketarik hati, ia agaknya heran. "Bagaimana kau bisa ketahui halnya peperiksaan itu?" ia tanya. "Tentang itu telah ada permaklumannya," menjawab Thio Hek. "Banyak orang telah m embilang hendak menonton sidang itu." Pemeriksaan secara terbuka itu ada keinginannya Tiat Keng Sim, ia menang dari ti ehoe. Pihak Nippon menerima baik permintaan itu karena kepercayaannya tak bakal terjadi sesuatu. "Kalau begitu," berkata Sin Tjoe kemudian, "di harian sidang itu, kau baik berdi am di rumah, untuk menanti orang yang akan berhubungan dengan kita. Aku hendak p ergi menonton." Thio Hek terima baik pengaturan itu. Sidang yang bakal dibuka itu adalah hal baru untuk kota Tay- tjioe. Ada luar biasa yang tiehoe hendak periksa perkara bersama-sama pihak asin g, dan peperiksaan itu terbuka untuk chalayak ramai. Tapi untuk kebanyakan pendu duk, yang mengarti keadaan, mereka itu mendongkol dan penasaran. Mereka membenci pihak asing itu, mereka tak puas terhadap tiehoe, yang dikatakan pengecut sebab sudah membiarkan pihak asing mencampuri tahu wewenangnya. Demikian di harian peperiksaan, sejak pagi sudah berkumpul banyak orang di muka kantor, untuk menyaksikan sidang. Di antara orang banyak itu, Sin Tjoe menyelipk an dirinya. Kira tengah hari, tiehoe dari Taytjioe muncul bersama seorang pemb esar Nippon yang tubuhnya gemuk. Melihat orang asing itu, banyak orang mengangkat tangannya untuk menunjuk. "Dialah wakil Nippon, namanya Takahashi!" kata seorang. Takahashi itu datang bersama dua pengiring, salah satu di antaranya Sin Tjoe ken ali sebagai Eguchi, dan ke tujuh. Yang satunya lagi, menurut katanya seorang pen duduk, adalah Segochi, perwakilan militer Nippon di Taytjioe, dan dia katanya ad a dan ke enam. Kapan tiehoe sudah duduk di muka meja pengadilan, ia bawa aksinya. Ia menepuk me ja, lantas ia mencabut sebatang tjiam, yang ia terus lemparkan. "Bawa menghadap si orang jahat!" ia memberi titah. Tjiam itu ada tanda kekuasaan nya un- tuk memanggil persaki-tan atau terdakwa. Perintah itu di jalankan seorang hamba polisi, maka tak lama kemudian, Tiat Keng Sim telah dibawa menghadap. Pemuda itu bersikap gagah. Dia tidak bertekuk lutut, sebaliknya dia berdiri tega r, sepasang matanya yang bersorot bengis mengawasi ke arah si orang asing. Takahashi gentar hatinya menyaksikan sikap gagah itu. Tapi ia menggeprak meja. "Orang jahat yang bernyali besar! Tahukah kau kesalahanmu?" ia menegur. Ia menda hulukan tiehoe. Ia bicara dalam bahasanya, lalu ada juru bahasa yang menterjemah kannya. "Tidak tahu!" sahut Keng Sim keras. "Kau telah membunuh orang dan merampas barang!" bentak Taka- hashi. "Kau sudah pukul mati seorang kapten kapal Nippon, kau telah rampas baran g-barang dari kapal itu! Kau juga sudah begitu berani merobek-robek bendera Mata hari Terbit kita! Kesalahanmu telah nyata, kau mesti dihukum berat! Eh, tiehoe, aku bilang, Tidak usah kau memeriksa lagi. Biarlah Kolonel Segoshi yang menjalankan hukuman potong kepadanya!" Jumawa wakil ini. Kata-katanya yang belakangan itu ditujukan kepada tiehoe. Keng Sim tertawa dingin. Ia kata: "Kau harus ketahui, lebih dulu daripada itu Ka pten kamu sudah bunuh orang Tionghoa, sudah merampas barang-barangnya, dan di sebelah itu ada belasan orang lain yang sudah dilukak an! Aku lakukan perbuatanku itu untuk membela keadilan, umpama benar aku telah membunuh orang, itu berarti satu jiwa ganti satu jiwa! Barang-barang yang aku rampas itu asalnya ada barang-barangnya kapal Tionghoa. Kapalmu sendiri itu hari juga sudah lari menyingkir, mana dapat kamu menampak kerugian!" Takahashi menjadi gusar sekali, dia menoleh kepada tiehoe. "Tiehoe, apakah boleh satu penjahat mengacau di muka pengadilan?" ia menegur. "B awa dia pergi!" *** Tiehoe kaget dan ketakutan, mukanya menjadi pucat dan tubuhnya gemetaran. Ia tel ah cabut pula sebatang tjiam tetapi tidak berani ia melem- parkannya, karena ia ditatap dengan mata bengis oleh Tiat Keng Sim. "Di muka sidang orang bicara dari hal keadilan!" Keng Sim berkata. "Sebelum perkara jadi terang dan keadilan didapat, siapa berani menangkap aku?" Suara itu keren dan berpengaruh. Di antara orang banyak pun terdengar seruan pujian, suatu tanda pemuda itu telah peroleh bantuan semangat. Takahashi mendongkol hingga mukanya menjadi merah padam. "Baik!" ia berseru. "Kau bilang kapten kapal kami membunuh orang! Apakah buktiny a? Dan kau, kenapakah kau merobek bendera Matahari kami?" Keng Sim kasi dengar suaranya yang nyaring: "Kapal Nippon datang ke Tiongkok, di a mesti turut aturan kita! Kaptennya itu telah membunuh orang dan merampas barang, juga telah menyelundupi barang gelap, maka itu, kapal itu mesti dipandang sebagai kapal per ompak! Aku percaya, negaranya juga tidak bakal akuhi kapal semacam itu sebagai k apal pemerintahmu! Kapal itu kapal bajak, dia tapinya mengerek bendera Nippon, i tu artinya dia menghinakan negaramu sendiri! Aku wakilkan kamu menyingkirkan ben dera itu, itu berarti aku telah melindungi kehormatan negaramu! Maka itu selayak nya kamu berterima kasih padaku!" Takahashi menepuk-nepuk meja. "Kau mendustai Kau membela ngawur!" dia berteriak-teriak. Keng Sim tidak pedulikan bentakan itu. "Bukankah barusan kau menyebut-nyebut tentang bukti?" dia bertanya. "Aku ada pun ya buktinya! Di sini ada saksi-saksinya!" Baharu si anak muda tutup mulutnya, dari antara orang banyak muncul seorang wani ta yang rambutnya kusut awut-awutan, sembari menangis ia jalan di antara orang b anyak untuk maju ke depan sidang. "Aku mohon keadilan paduka!" ia berkata, masih ia menangis. "Suamiku telah dibun uh mati, aku juga dilukai! Barang-barangku telah dirampas semua, yang dapat dira mpas pulang tidak ada separahnya!...11 Dialah jandanya pemilik perahu yang kena dibajak. Menyusuli nyonya ini, yang terus mengu-lun, ada belasan orang lain yang maju ke muka sidang, setiap dua orang dari mereka ada menggotong bale- bale papan di atas mana ada rebah kurban-kurban pembajakan, ada yang tangannya k utung, ada yang kakinya singkal, ada yang luka-lukanya masih mengucurkan darah. Itulah kurban-kurban pembajakan dan penganiayaan yang dimaksudkan. "Inilah semua bukti!" seru Keng Sim. "Apa lagi kamu hendak bilang?" Takahashi tidak pernah menyangka orang bisa menghadapkan bukti-bukti semacam itu , matanya menjadi terpentang lebar. Sebenarnya ia masih hendak pentang aksi lagi , untuk menegur, atau lantas datang lagi serombongan orang dengan dakwaan mereka masing-masing. Satu nenek ubanan mengadu anaknya kena dibunuh. Ada satu nyonya yang mendakwa suaminya telah dibinasakan. Yang lainnya lagi mengadu puteranya dianiaya hingga mati, anak gadisnya dirampas. Pula ada yang mendakwa rumahnya sudah dibak ar musna. Suara mereka itu berisik, wanitanya pada menangis. Takahashi gusar, bingung dan berkuatir. Inilah hebat. "Usir ini semua babi!" tiba-tiba ia berteriak. Rupanya ia telah lantas dapat pul ang ketabahannya. Segoshi sudah lantas lompat bangun dari kursinya, untuk meng-hampirkan para saks i itu, dengan bengis ia hajar roboh seorang tua, setelah mana ia hampirkan si ne nek-nenek. Di lain pihak Eguchi lompat seraya menghu- nus pedangnya dengan apa ia membabat Keng Sim. Pemuda itu lihat bahaya mengancam, dengan gesit ia berkelit, hingga pedang memba bat tempat kosong. Ia tidak lantas layani penyerangnya ini, hanya dengan berlompat, ia hampirkan Segoshi, dengan dua tangannya ia jambak beb okongnya orang yang hendak mencelakai si nenek, hingga nenek itu menjadi dapat d itolong. Segoshi pandai jujit-su, ia lantas melenggak, kedua tangannya dibuang ke belakang, untuk menyekal keras atasan sikut penyerangnya. Atas ini Ke ng Sim rapatkan tubuhnya. Sejenak saja terlihat Keng Sim menggemblok di punggungnya Segoshi, itu tandanya ia segera bakal dibanting musuhnya itu. Celaka kalau ia terbanting ke undakan tangga batu. Ie Sin Tjoe melihat tegas, ia kaget, dengan sendirinya ia lompat, untuk menolong i si anak muda. Eguchi melihat semua itu, ia girang bukan main. Ia tertawa dan kata: "Binatang c ilik, kiranya ada harinya yang kau roboh di tangan jagoanku!" Ia tidak cuma meng ejek, ia lantas geraki pedangnya untuk membacok pemuda itu. Sin Tjoe masih terpisah jauh, sia-sia ia mencoba menolong. Orang banyak pun bert eriak bahna kagetnya. Hanya sekelebatan saja, terlihatlah tubuh Segoshi terjerunuk ke arah Eguchi, men yambut datangnya pedang dan ke tujuh itu. Eguchi tengah menyerang, tidak dapat ia menarik pulang pedangnya, maka itu tidak dapat dicegah lagi yang ujung pedang na ncap di dadanya Segoshi. Segera terdengar tertawanya Keng Sim, yang tubuhnya mencelat, menyusul mana kedu a tangannya melayang ke kedua kuping orang kupingnya Eguchi! "Di muka sidang negaraku kau berani mengacau, apakah di matamu masih ada undang- undang pemerintahku?" pemuda itu menegur. Dalam keadaan tanggung seperti itu, tidak keburu Eguchi menarik pedangnya untuk menangkis sera ngan. Ia pun kaget dengan kesudahan itu. Ia tidak menyangka bahwa Keng Sim berha sil membebaskan diri dan berbalik menjadi si pemenang. Keng Sim ketahui lawan liehay, ketika kedua tangannya ditangkap, ia sengaja segera menempelkan tubuhnya, berbareng dengan itu, belum l agi ia sempat dibanting jeriji tangannya sudah menotok punggungnya Segoshi, hing ga dia ini kaget, dia merasakan punggungnya itu sakit, gatal dan kaku. Tentu saj a, karenanya, tidak dapat dia meneruskan gerakannya, untuk mengangkat dan membanting. Sebaliknya, dia tidak berdaya sama sekali ketika si a nak muda dorong tubuhnya ke arah Eguchi. Maka jadilah dia kurban pedang bangsany a itu. Habis dihajar kupingnya baharulah Eguchi dapat mencabut pedangnya. Atas itu Sego shi memperdengarkan jeritan hebat, dari dadanya darah muncrat menyembur, tubuhnya terus roboh. Eguchi kaget dan murka, maka ia lantas tumplaki kemarahannya kepada Keng Sim. Ta pi anak muda itu tidak ada di hadapannya. Ia kaget bukan main. "Celaka!" serunya. Ia tahu musuh sudah menggeser ke belakangnya, dari itu dengan sebat ia memutar tubuh. Hanya sayang untuknya, ia terlambat, selagi ia terlamba t, selagi ia berputar, tangannya yang memegang pedang telah didulukan disamber Keng Sim. Cuma sekejab saja, tangan itu sudah menjadi teklok, hi ngga pedangnya jatuh menggontrang di lantai! Keng Sim berlaku cerdik dan sebat, setelah bikin Segoshi mati kutunya, ia tolak tubuhnya orang itu ke arah Eguchi, untuk pa- kai dia sebagai tameng hidup, lalu selagi pedang nancap dan sukar ditarik, ia me lesat ke belakang dan ke tujuh itu, untuk tanpa menangkis ketika menyamber denga n orang di saat ia diserang. Justeru musuh sudah tidak berdaya, dengan satu sontekan dengan kakinya, Keng Sim bikin pedang musuh itu meletik naik, untuk ia sambut dengan tangannya. Tapi ia tidak gunai pedang itu sebagai senjata, hanya dengan memegang itu dengan kedua t angannya, ia mematahkannya, hingga pedang menjadi dua potong. Eguchi roboh karena kesakitan, ia merayap bangun, justeru itu, ia menyaksikan pe dangnya dibikin patah, maka habislah dayanya. Keng Sim lemparkan kedua kutungan pedang. "Budak-budak kate ini ada sangat kurang ajar!" ia lantas berkata dengan nyaring. "Mereka bernyali sangat besar, berani menggunai pedang di muka pengadilan, beran i menganiaya orang di muka chalayak ramai! Maka itu, taydjin, aku minta keadilanmu !" Tiehoe kaget dan takut sampai tubuhnya gemetaran, mulutnya bungkam. Justeru itu Takahashi menggeprak-geprak meja. "Terbalik! Terba- lik!" dia berteriak-teriak. Menyusuli suaranya wakil Nippon itu, dari pintu belakang kantor itu muncul denga n mendadak sebarisan serdadu Nippon yang semua bersenjatakan pedang yang panjang dan mengkilap, sambil berseru mereka terus menerjang ke arah Keng Sim. Barisan itu ada barisan pengawalnya Takahashi. Tidak dapat mereka itu turut munc ul di muka sidang, dari itu mereka telah diatur bersembunyi di belakang kantor, apabila ada tanda baharulah mereka boleh keluar. Mereka memang bangsa galak, beg itu dengar suara Takahashi, mereka lantas menyerbu. Di muka sidang itu, terus sampai di muka kantor, ada berkumpul ratusan penduduk. Semua mereka panas hatinya semenjak mereka saksikan kejumawa-an pihak asing itu, yang tidak menghormati tiehoe dan tidak mengindahkan pengadilan. Mereka gusar m elihat si aki dan si nenek dianiaya, maka syukur mereka dapatkan Keng Sim turun tangan. Mereka puas dengan kesudahannya pertempuran itu. Tapi mereka kaget atas datangnya itu barisan serdadu asing, bahkan beberapa anak muda lantas mendidih darahnya, melupakan segala apa, mereka maju, untuk bantu Keng Sim, guna menerjan g pasukan asing itu. Keng Sim tidak berdiam saja yang ia dikepung, ia membuat perlawanan. Dengan cepa t ia robohkan lima atau enam orang. Tapi musuh berjumlah kira tiga puluh orang, semuanya bersenjata, tidak gampang untuk cepat-cepat merobohkan mereka semua. Di antara anak-anak muda yang maju, beberapa orang pun terluka, malah satu orang t erbacok kutung sebelah lengannya. Di dalam saat itu, Sin Tjoe telah maju menyerang. Lebih dulu ia ayun sebelah tangannya melayangkan lima buah bunga emasnya. Satu musuh dapat berkelit, empat yang lainnya roboh seb agai kurban senjata rahasia itu. Setelah itu, Sin Tjoe menghunus pedangnya, ia membekal senjata rahasianya dalam jumlah berbatas, tidak dapat ia obral itu. Maka ia lantas menggunai pedang. Dala m saat kacau itu, dari arah pintu timur terdengar suara berisik, lalu tertampak membuinya banyak orang, yang di kepalai oleh satu nona dengan baju merah, yang t angannya mencekal pedang. Atas datangnya mereka itu, orang banyak menyingkir ke kedua bel ah, untuk memberi jalan. Rombongan itu terdiri dari orang-orang yang dandan sebagai nelayan, senjata mereka adalah tempuling da n joran pancing besar. Pula lantas terlihat cara berkelahi mereka yang luar bias a. Setiap dua nelayan menjadi satu gabungan. Satu yang memegang tempuling menang kis golok musuh, lantas yang satunya lagi merabu kaki musuh itu dengan pancingny a, segera musuh itu roboh terguling. Cara ini tidak pernah gagal, maka dalam tem po yang pendek, semua musuh itu dapat diringkus, hingga pertempuran lantas berac hir. Cuma pemimpinnya pasukan itu, yang nampaknya kosen, mesti dirobohkan si non a dengan sebelah tangannya ditabas kutung sesudah pertempuran beberapa jurus. Sin Tjoe lantas saja kenali nona baju merah itu, ialah Tjio Boen Wan. Maka mengartilah ia sekarang ak an duduknya hal. Pantas Seng Hay San membilangi ia untuk ia jangan berkuatir, kiranya mereka itu sudah siap sedia. Baharu sekarang Takahashi ketakutan. Ia berniat melarikan diri tetapi kedua kaki nya tidak sudi menuruti suara hatinya. Selagi ia bergemetaran, Keng Sim seret ia dari kursinya, untuk ditelikung, buat dihadapkan kepada tiehoe. "Budak-budak kate ini menghina undang-undang negara kita, di muka sidang pengadilan mereka mengacau dan menyerbu, maka itu tiehoe taydjin, yang berwenang membelai neg ara, tidak dapat taydjin tidak mengurus mereka!" demikian suara nyaring dari pemuda she Tiat ini. Tiehoe kaget dan ketakutan, sekian lama ia tidak dapat bersuara. "Ini... ini..." katanya kemudian, suaranya terputus-putus. "Bagaimana sekarang.. .? Kalau nanti perompak kate datang menyerbu kota, bagaimana kita bisa menangkis nya? Tentera kita berjumlah sedikit sekali..." Keng Sim tertawakan wedana itu. "Di sini ada begini banyak orang, kenapa masih berkuatir tidak ada orang yang me nangkis mereka?" ia berkata. Gedung pengadilan itu, atau lebih benar kantor tiehoe, telah dirumung banyak sek ali orang. "Kita bersedia untuk melawan mereka!" banyak suara berseru. Tapi juga ada yang berteriak: "Jikalau tiehoe taydjin takut perompak, nah lekaslah angkat kaki, kab ur dari sini, urusan di Taytjioe itu, kita yang nanti membereskannya!" Tiehoe berdebaran hatinya. Tahu ia, kalau ia berlaku penakut terus, rakyat bakal berontak. "Tiat Siangkong," ia lantas berkata, "urusan hari ini aku serahkan saja padamu u ntuk menyelesaikannya." "Untuk membela negara dan lindungi rakyat, itulah tugas setiap manusia," berkata Keng Sim, "tetapi taydjin adalah bapak rakyat, dari itu tidak dapat ta ydjin menyimpang dari tugasmu. Sekarang marilah kita bekerja sama." Tiehoe tidak punya daya, ia menurut saja. Keng Sim segera pilih beberapa penduduk yang kenamaan, yang ia tahu hatinya jujur, maka mereka itu bersama-sama tiehoe l antas diajak berunding, mendamaikan cara untuk melawan kalau ada serbuan musuh. Sedang semua musuh yang ditawan berikut T akahashi, dijebluskan dalam penjara untuk ditahan. Tiehoe ingin Keng Sim terus berada bersama ia tetapi si anak muda menolak. "Aku masih ada punya urusan lain," pemuda itu memberi alasan. Tiehoe ingat orang sudah ditahan beberapa hari, mungkin dia ingin menemui sahaba t- sahabatnya, ia tidak dapat memaksa. Lagi-nya ia kuatir hati si anak muda berubah kalau ia menggunai paksaan. Keng Sim segera ber- tindak keluar, diikuti oleh barisan nelayan yang tadi dipimpin Tjio Boen Wan. Me reka itu bersorak-sorai karena kegembiraannya. Rakyat pun turut bergembira, seda ng tadinya mereka berkuatir sekali menyaksikan aksi pihak musuh yang garang itu. Tanpa merasa Ie Sin Tjoe mengikuti keluar. Boen Wan tidak perhatikan itu "pemuda," adalah Keng Sim yang melihat orang, tang an siapa ia lantas tarik. Lebih dulu daripada itu ia mengawasi dengan wajah ters enyum. "Mari kita pergi bersama!" mengajak Keng Sim. Karena orang berbicara, Boen Wan menoleh. Melihat si nona berpaling, Sin Tjoe bersenyum kepadanya. Boen Wan membalas mengangguk, ia hanya tetap tawar sikapnya. Sama sekali ia tidak sudi bicara, hingga Sin Tjoe pun tida k dapat membuka mulutnya. Sin Tjoe sendiri jengah, merah mukanya. Belum pernah tangannya dipegangi seorang priya dan sekarang Keng Sim mencekalnya dan ditarik. Syukur untuknya, mereka berada di antara banyak orang dan Keng Sim juga tidak memperhatikan padanya. Tiga muda-mudi ini berjalan bersama. Mereka diawasi penduduk, yang berkumpul di jalan-jalan besar. Mereka itu penduduk yang berdekatan, yang baharu saja mendengar kabar perihal hu ru-hara di kantor tiehoe. Rata-rata orang puji Keng Sim dan caci bangsa kate. Supaya tidak terganggu orang banyak itu, Keng Sim ajak dua kawannya ambil jalan kecil, untuk menghindarkan diri. Sam pai jauh ia masih dengar suara riuh dari rakyat jelata itu. "Semakin perompak kejam, semakin naik amarahnya rakyat," bilang Keng Sim sembari jalan. "Peristiwa hari ini ada bukti nyata." Mendengar itu, Ie Sin Tjoe berkata di dalam hatinya: "Inilah rupanya sebab kenap a pemuda ini suka serahkan dirinya ditawan. Dia hendak membangunkan semangat rak yat, dia mengatur siasatnya itu." Cuma Nona Ie masih belum tahu apa sebabnya selagi tiehoe dan panitya penduduk be runding di dalam kantor, untuk membicarakan daya akan menghadapi musuh nanti, pemuda itu meninggalkannya. Adakah urusan lebih penting daripada daya perlawanan terhadap musuh? Selagi Sin Tjoe ingin minta keterangan pada Keng Sim, pemuda itu sendiri mengawa si ia dan Boen Wan sambil tertawa. Dia kata: "Apakah kamu berdua telah saling be rkenalan?" "Hm, bagus sahabatmu!" menyahut si Nona Tjio. Keng Sim heran. "Saudara Ie ini sungguh satu sahabat sejati," ia bilang. "Kita berdua berkenalan di permukaan sungai. Pertama kali aku bertemu dia selagi dia melupakan segala bahaya untuk menolong s eorang nelayan ayah dan gadisnya." "Dengan begitu dia benar seorang gagah dan mulia hatinya, cuma..." Boen Wan tidak melanjuti kata-katanya itu. "Cuma?..." tanya Keng Sim. "Cuma dia rada ceriwis..." si nona hendak menyahuti, hanya karena memandang toasoeheng itu, batal membuka mulutnya. Ia kata saj a: "Cuma dia terlalu muda sedikit..." Keng Sim terta- wa. Ia sebenarnya mengandung maksud, ialah supaya soemoay itu me ngikat jodoh dengan "pemuda" ini, ia hanya tidak tahu, soemoay itu sudah menanam bibit asmaranya terhadap Seng Hay San. "Saudara Tiat, kau hendak pergi ke mana?" tanya Sin Tjoe, yang tidak perdulikan sikapnya Boen Wan. "Kau sendiri hendak pergi ke mana?" pemuda itu balik menanya. "Pasti sekali, aku hendak pulang ke rumahku," jawab Sin Tjoe. "Kalau begitu, aku juga hendak pergi ke rumahmu!" ujar si anak muda. Sin Tjoe heran. Ia lihat orang tidak tengah bergurau. Ia berpikir: "Dia kata kep ada tiehoe dia punya urusan penting, kenapa sekarang dia punyakan tempo luangnya untuk ikut padaku?" Ia masgul tetapi ia pun girang. Ia jalan terus, ke rumahnya Thio Hek. Tidak lama, tibalah mereka. Ketika Sin Tjoe dipapak Thio Hek, yang baharu keluar dari rumahnya, ia heran, bahkan terperanjat, sebab nelayan itu ada bersama seor ang yang ia tidak sangka-sangka. "Kau di sini?" katanya pada orang itu, siapa pun menegur: "Oh, kiranya kau?" "Ya, kiranya kau?" Keng Sim pun berkata. Orang itu ada Seng Hay San, yang tetap dengan dandanannya sebagai nelayan yang sederhana. "Ini Seng Toako adalah utusannya Toako Yap Tjong Lioe," Thio Hek lantas mengajar kenal. "Seng Toako yang bakal mengajak kita pergi kepada Yap Toak o itu." "Kapan kau kenal Yap Toako?" Keng Sim tanya soetee-nya itu. "Kenapa aku tidak ta hu? Soemoay membilangi aku, Yap Toako ada mengirim utusan, aku tanya siapa utusa n itu, ia tidak hendak memberitahukan. Kiranya kau!" "Selama beberapa bulan ini aku bersama soemoay berada di tempatnya Yap Toako," Hay San memberikan jawaban, "bahkan beberapa kali kita sudah pernah bertempur sama rombongan perompak. Baharu beberapa hari yang lalu kita pulang. Sudah beberapa bulan kau pesiar, soe ko, tidak ada ketikanya untuk kita memberi keterangan padamu." Keng Sim tertawa. "Kamu telah menjadi dewasa, sekarang kamu pandai bekerja!" ia bilang. "Aku tadin ya menduga kamu masih berdiam tetap di rumah, memain menangkap burung dan mengai l ikan!..." Hay San pun tertawa. "Dalam beberapa hari ini kita memang berdiam di rumah," ia mengasi tahu. "Syukur soeko tidak ketahui yang kita pernah meninggalkan rumah, jikalau tidak, kau ten tu tidak bakal mengutus ini saudara Ie datang ke Peksee tjoen untuk mencari kita . Di samping itu aku juga menyangka yang sauda- ra Ie ini adalah bala bantuan yang diundang Yap Toako. Baharu tadi aku terima su aranya Yap Toako, yang menyuruh aku datang ke mari untuk menyambut seorang gagah dari Shoatang yang toako undang. Tadinya aku menduga kepada Toaiiongtauw Pit Kh eng Thian, siapa tahu sebenarnya ini saudara Ie! Sungguh kebetulan! Coba kemarin ini aku tidak bertemu sama saudara Ie ini, pastilah aku dan soemoay telah kena dibekuk si kuku garuda!" "Apakah kau pun kenal Pit Kheng Thian?" Sin Tjoe menyelak. "Belum pernah aku bertemu sama dia," jawab Hay San, "hanya namanya toaliongtauw dari lima propinsi Utara begitu terkenal, siapakah yang belum pernah mendengarny a?"f2 Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan kening. "Nama orang, bayangan pohon," katanya, seperti kepada dirinya sendiri, "kata-kat a ini beralasan juga. Hanya belum tentu semua orang sama dengan namanya yang kes ohor itu. Maka itu, janganlah kasi diri kita digetarkan oleh nama lain orang. Ak u dengar Pit Kheng Thian ada pemimpin partai Kay-pang di Utara, sekarang dia men jadi kepala kaum kangouw, rupanya dia berhak juga memangku kedudukannya i t u." f2 Seng Hay San tidak kenal Kheng Thian, ia berdiam saja, tidak demikian dengan Ie Sin Tjoe. Biar ia tak berkesan baik terhadap pemimpin kaum pengemis itu, ia kurang senang atas pandangannya Keng Sim ini. Ia kata dalam hat inya: "Kau belum pernah ketemu Pit Kheng Thian, kenapa kau menimbang secara begini sem brono? Apa mungkin seorang pemimpin pengemis tak dapat menjadi pemimpin kaum kangouw seumumnya?"f2 Keng Sim ada dari keluarga berpangkat, ia pun pandai ilmu surat berbareng ilmu s ilat, maka itu, pandangannya mengenai orang kangouw ada sedikit berlainan, rada memandang enteng. Sin Tjoe adalah lain. Nona ini benar ada puteri tunggal dari s atu menteri, tetapi Ie Kiam bukan sembarang orang berpangkat, ia beda dari mente ri-menteri lainnya. Ie Kiam telah jadi menteri, tapi di rumahnya ia suka bekerja kasar, ia tidak bawa lagaknya si menteri yang agung dan mulia. Sin Tjoe mewariskan sifat ayahnya ini. Sudah begitu, ia pun terpengaruh T hio Tan Hong, gurunya yang sederhana, yang kenyang mengumbara dan pernah merasai pelbagai penderitaan, sedang sahabat-sahabatnya adalah kaum kangouw. Mungkin Si n Tjoe tidak cocok dengan semua orang kangouw tetapi sedikitnya ia sangat mengha rgai mereka yang gagah dan mulia hatinya. Biar bagaimana, Sin Tjoe hargai sepak terjangnya Keng Sim, maka itu, cuma sebent ar, lantas lenyap perasaannya tak puas barusan. "Kuku garuda apa itu?" Keng Sim tanya Hay San. "Kenapa mereka ganggu kamu?"f2 "Katanya kuku garuda itu, dia mendengar kabar soehoe sudah pulang, dia lantas datang untuk melakukan penangkapan," Hay San menerangkan. Keng Sim heran. "Apakah artinya ini?" katanya. "Memangnya soehoe bersalah apa?"f2 "Itulah aku tidak tahu," jawab Hay San. Keng Sim melirik pada Boen Wan. "Aku juga tidak tahu," berkata si nona, suaranya kurang tegas. Sin Tjoe pun heran sekali. "Tjio Keng To mencuri pedang di dalam istana di mana dia mengacau, karenanya dia kabur ke luar negeri," ia berpikir. "Tiat Keng Sim ada murid kepalanya, kenapa sebagai murid dia tidak ketahui itu? Nampaknya Boen Wan tahu duduknya hal , mengapa ia tidak mau memberi keterangan pada soeheng-nya ini?" Segoshi melengak, kedua tangannya bergerak ke belakang, menangkap siku Keng Sim untuk segera dibanting. Tetapi Keng Sim merapatkan tubuhnya dan menotok punggung musuh. Coba Sin Tjoe menghadapi ini setahun berselang, tentu ia sudah membeber rahasia kepada Keng Sim, tetapi sekarang ia telah punyakan pengalaman, ia mulai mengenal dunia, dapat ia mengendalikan diri. Ia berpikir pula: "Tjio Keng To men utup rahasia terhadap muridnya, mesti ada sebabnya. Halnya Keng To mencuri pedan g di istana, sedikit sekali orang yang mengetahuinya, cuma thaysoetjouw serta be berapa orang lain. Soehoe percaya aku, maka itu ia tuturkan aku rahasianya sejum lah orang kangouw , dari itu mana boleh aku bicara sembara-ngan." Karena ini, ia terus menutup mulut. Hay San pun berkata pula: "Maksudnya Yap Toako yaitu aku me- ngantarkan kedua saudara ini ke sana, habis itu, sepulangnya aku, aku mesti memb antu tentera rakyat di sini membelai kota Taytjioe. Kau sendiri, soeheng, bagaim ana sikapmu?" "Itu pun baik," berkata Keng Sim. "Nanti aku pujikan kau kepada tiehoe. Kau, Tjio Soemoay, kau bagaimana?" "Aku juga ingin berdiam di sini membantu Seng Soeko," sahut si nona. "Yap Toako sangat mengharap bantuan kau, soeko," kata Hay San. Keng Sim berpi kir. "Begitupun baik," ia menjawab. "Tentang ini aku mesti pulang dulu, untuk me mberikan tahu ayahku. Katanya Yap Toako lagi menghadapi kesulitan, di mana urusan menentang musuh penting sekali, seharusnya saja aku pe rgi ke sana." Pemuda ini bicara secara tawar, sikap ini tidak mempuaskan Sin Tjoe. Keng Sim se perti beranggapan, asal ia pergi, urusan akan beres. Tapi kapan Sin Tjoe ingat o rang liehay dan berani, sekejab itu juga lenyap lagi perasaan tak puasnya itu. Sampai di situ, mereka berpisahan. Di waktu magrib Keng Sim kembali, agaknya ia kecewa. "Begitu lekas ayah dibebaskan, dia lantas berangkat menuju ke ibukota propinsie, " ia beritahu. "Ah, jauh-jauh aku pulang, untuk menolongi ayah, tapi sekarang ak u tidak dapat bertemu dengannya..." Ia menjadi sangat masgul. Kembali Ie Sin Tjoe menjadi heran. "Hubungan antara ayah dan anak sangat erat," ia pikir, "kenapa Tiat Hong pergi t anpa tunggu lagi selesainya perkara puteranya ini? Adakah orang yang memaksakan kepergian-nya itu atau ia pergi karena saking kuatirnya berdiam di sini lebih la ma pula?" Hay San tidak tahu apa yang si "pemuda" pikir. "Habis sekarang apa soeheng hendak turut kami pergi bersama?" ia tanya kakak sep erguruan itu. "Kita berangkat besok." Keng Sim angkat kepalanya, sambil dongak, ia bersenanjung: "Orang gagah itu, darahnya disiarkan ke daiam debu, maka kaiau negara di daiam s usah, mana sempat dia mengurus rumah tangga? Pergi, tentu pergi!" Demikian besoknya Sang Hay San berangkat bersama-sama Ie Sin Tjoe, Thio Hek dan Tiat Keng Sim. Mereka meninggalkan Taytjioe, Hay San yang menjadi penunjuk jalan . Baharu dua hari, sampai sudah mereka di tempat yang termasuk daerah pengaruh tentera rakyat. Itulah sebuah gunung di tepi laut, gunung yang menjadi cabangnya gunung Sian Hee Nia, cukup tinggi dan lebat hutannya, markasnya berada di dalam rimba. Selagi memasuki gunung, mereka lihat tentera rakyat tengah memotong kayu dan atau menanam sayur, pakaian mereka cumpang-camping, tandanya mereka hidup sengsara, tetapi mereka bekerja dengan gembira, sem- bari pasang omong atau tertawa. Sin Tjoe kagumi mereka itu. Keng Sim sebaliknya memikir lain. Katanya dalam hatinya: "Mereka ada hanya serom bongan yang tak teratur, tidak heran mereka tidak dapat melawan kaum perompak. A ku harus membantui Yap Tjong Lioe mengatur rapi mereka ini..." Kapan Yap Tjong Lioe dengar hal kedatangan tetamu-tetamunya, ia girang bukan mai n. Ia lantas mengundang ke markasnya, ialah sebuah tenda terbuat dari kulit kerb au. Tenda itu paling jempol tapi toh ada bocornya... Kapan Sin Tjoe berempat sudah berada di dalam tenda, mereka disambut beberapa orang, satu di antaranya berkumis pendek dan kaku, mukanya hitam mengkilap, bajunya ada beberapa tambalannya. Dia mirip kuli tani yang kenyang panas kepanas an dan hujan kehujanan. Dia lantas menyodorkan dua tangannya yang hitam seraya b erkata: "Setiap hari aku memikirkan kamu, hampir aku mati karenanya! Inikah Tiat Kongtjoe?" Dengan kedua tangannya, ia tepuk pundaknya si anak muda. Terang ia hendak menunjuk kegirangan nya yang luar biasa. Hanya begitu ia menepuk, di pundaknya Keng Sim bertapak sep asang tangan hitam! Di antara empat pemuda itu Keng Sim yang berdandan paling perlente dan bersih, tapi sekarang baju itu kena dibikin kotor. Orang hitam itu insaf akan perbuatannya itu. "Ah, aku membuat kotor pakaiannya tetamu agungku!" katanya, tertawa. Ia lantas s aja mengebuti pakaiannya pemuda itu, gerak tangannya pelahan-pelahan, tetapi tangannya itu kotor, ia membuatnya baju orang semakin kotor lagi! Keng Sim menjadi jengah sendirinya. Ia memberi hormat. "Adakah ini Yap Tongnia?" ia tanya. "i Tongnia" itu artinya komandan, di sini diartikan komandan tentera suka rela, tentera rakyat, bukannya komandan yang diangkat pemerintah, maka itu, si orang hitam tertawa berkakakan. "i Tongnia... tongnia ... tongnia apakah?" katanya. "Aku adalah Yap Tjong Lioe, semua saudara memanggil aku Yap Loohek si Hitam atau Yap Toako saja, maka itu janganlah kamu sungkan-sungkan! Ada terlebih tua beberapa tahun dari ka mu semua, baiklah aku aguli ketuaanku itu, jadinya kamu semua panggillah aku Yap Toako saja!" Keng Sim kata di dalam hatinya: "Di kota Taytjioe setiap hari orang dengar nama besar dari Yap Tjong Lioe, semua orang bilang dialah seorang luar biasa, siapa s angka dialah seorang dusun tua..." Pemuda ini menyebutnya orang dusun, ia tidak tahu Yap Tjong Lioe berasal kuli pa rit yang umum paling pandang enteng dan orang-orang sebawa-hannya kebanyakan ada kuli-kuli parit yang menjadi kawan sekerjanya. Ie Sin Tjoe lantas menyampaikan suratnya Pit Kheng Thian dan Tjioe San Bin. Yap Tjong Lioe buka itu surat dan membebernya di hadapannya. "Ah!" katanya, "banyak surat yang kenal aku, aku tidak kenal mereka! Kau saja ya ng membacakannya!" Dengan sembarangan saja ia angsurkan surat itu pada seorang di sampingnya, orang mana bertubuh melengkung, dan pakaiannya, walaupun ada tambe-lannya, cukup bersi h. Rupanya dialah si soeya atau ahli pemikir. Dia ini menyambut surat itu, terus dia membaca. Bunyi surat melainkan memberitahu rombongan bala bantuan akan datang lagi bebera pa hari, bahwa mereka bersedia akan bekerja sama guna melawan musuh. Cuma di s uratnya Pit Kheng Thian ditambahkan kata-kata ini: "Sudah lama aku kagumi nama besar saudara. Penduduk pesisir timur selatan bebas dari ilas-ilasan perompak, semua itu mengandal pada tenagamu. Aku diangkat jadi toaiiong-tauw, sebenarnya aku malu sekali, karena aku tidak punya kepandaian apa-apa, maka itu aku nanti berdiam di bawah perintah saudara- saudara, untuk menanti segala titahmu." Mendengar itu, Yap Tjong Lioe tertawa terbahak. "Pit Kheng Thian menulis surat, kenapa bunyinya begini macam? Tentulah ini surat ditulis oleh soeya-nya! Dia kepala pengemis, aku kepala kuli parit, bukankah ki ta sem-babat? Dia lebih liehay daripada aku, aku justeru hendak angkat dia menjadi toako, hendak aku serahkan semua saudara di sini untuk dia suruh-sur uh, kenapa dia begini sungkan? Tidakkah ini lucu? Hahaha! Pasti ini bukan tulisa nnya Pit Kheng Thian sendiri!" Tjong Lioe tidak tahu, surat itu ada buah kalam sendiri dari Pit Kheng Thian. Ke pala pengemis itu di luar terlihat kasar, pikirannya tapi tajam dan halus. Leluh urnya dulu ada panglima di bawahan Thio Soe Seng. Anak cucu leluhur ini diwajibk an menjadi hweeshio atau paderi lamanya sepuluh tahun, selama sepuluh tahun itu mereka mesti hidup dari mengemis. Jadi Kheng Thian bukan sembarang pengemis, mak a juga dia mengarti ilmu surat. Keng Sim tidak puas dengan kata-katanya pemimpin tentera rakyat ini. Ia bukannya hendak memperebuti pengaruh. Hanya sebab Tjong Lioe sang at memandang tinggi kepada Pit Kheng Thian. Kenapa, belum lagi orang tiba, Tjong Lioe sudah hendak menyerahkan kedudukannya? Di sini, pandangan Ie Sin Tjoe beda lagi dari orang she Tiat ini. Sin Tjoe juste ru memikir: "Pit Kheng Thian sebenarnya memikir jauh, dia ingin menjadi kepala, tetapi dia berpura-pura merendahkan diri, dia tak sejujur Yap Tjong Lioe." Tentera r akyat ini bersarang di atas gunung, di dalam rimba, barang makanan mer eka setiap hari ada beras kasar dan sayur hutanan, tapi malam ini, untuk menyamb ut Keng Sim beramai, istimewa mereka menyembelih se- ekor babi hutan. Tapi nasinya tetap ada pesaknya, maka sulit Sin Tjoe memakannya . Tetapi Yap Tjong Lioe sangat ramah tamah, ia jepit potongan- potongan daging babi yang besar, ia letaki itu ke dalam mangkoknya Keng Sim dan Sin Tjoe. Nona Ie menjadi malu hati, mau atau tidak, terpaksa ia dahar banyak juga... Malamnya Sin Tjoe berempat dipernahkan di tenda yang baharu dibangun. Itu pun te nda kulit kerbau, tapi semuanya baru, maka itu tidak ada bahagiannya yang bocor, tak usah mereka takuti hujan. Berempat mereka masing-masing mengambil satu pojo kan. Malam itu Nona Ie sukar mendapat pulas. Ia gulak-gulik, di depan matanya seperti berbayang beberapa orang. Pertama-tama petaan Thio Tan Hong, gurunya, lalu Tiat Keng Sim, si pemuda sahaba t yang baru. Habis itu bayangannya Pit Kheng Thian. Yang terachir ialah Yap Tjon g Lioe. "Ya, Tiat Keng Sim rada mirip guruku," ia berpikir. Tiba-tiba ia tertawa dalam hati. Sedetik saja, lalu ia merasakan ada perbedaannya juga, entah di bah agian mana... ia merasa kepalanya berat akan memikirkan perbedaan itu. "Yap Tjong Lioe tolol di mata Tiat Keng Sim, ia tapinya sedikit mirip dengan gur uku," ia berpikir pula, kapan petaan pemimpin tentera rakyat itu lewat di depan matanya. Juga ia tak dapat jelaskan kemiripan itu. Nampaknya Tjong Lioe kasar tetapi dia jujur dan polos, dia tak pandai mengatur kata-kata. Mengenai Pit Kheng Thian, kalau dia dibanding sama Tan Hong, Keng Sim atau Tjong Lioe, dia agaknya kalah. Petaan orang she Pit ini lantas kealingan bayangannya Keng Sim. Orang she Tiat ini justeru masih muda dan tampan, dan tingkatnya pun b erimbang dengan ia, tak seperti Tan Hong dan Tjong Lioe. Berselang dua hari ada datang serombongan nelayan, jumlahnya dua tiga ratus oran g. Mereka di kirim Tjio Boen Wan, yang pernah didik mereka. Seng Hay San pun per nah turut mendidiknya. Mereka ini bawa berita bahwa di kota Taytjioe sudah berdi ri barisan suka rela tetapi kurang pemimpinnya. "Kalau begitu, baiklah saudara Seng yang pulang." Tjong Lioe me- ngasi pikiran. Hay San suka pulang. Keng Sim juga ingin kembali, tapi ia dicegah Tjong Lioe, yang minta ia mendidik barisan nelayan itu. Maka ia jadi berdiam terus. Setelah rapi mengatur barisannya, Keng Sim minta ijin dari Tjong Lioe untuk mula i menggempur musuh. Komandan itu menolak. Ketika ia majukan lagi permintaannya, sampai beberapa kali, tetap ia ditolak. Ia menjadi kurang puas. Diam-diam ia kat a pada Sin Tjoe: "Tentera ini berdiam lama di gunung, makan dan pakainya sulit, dengan terus berdiam saja, apakah kita bukan mencari kemusnaan sendiri? Kita dat ang ke mari untuk memerangi perompak, sekarang sudah lewat setengah bulan, kita terpekur saja, apakah artinya ini?" Sin Tjoe tidak habis sabar seperti sahabatnya ini. Ia tenang-tenang saja. "Yap Toako tidak hendak memberi persetujuan, mungkin ada sebabnya," ia bilang. "Sebab apakah itu? Hm! Ia tentunya jeri!" Biasanya Sin Tjoe hargakan pemuda ini, sekarang ia dapatkan orang seperti memand ang enteng kepada Yap Tjong Lioe, ia tidak puas. Maka dengan dingin ia kata: "Ap akah cuma kau yang bisa berpikir dan lain orang tidak? Menarik beng-kung busur u ntuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Apakah artinya itu? Untuk melawa n perompak, tidak perlu kita terlalu tergesa-gesa. Bukankah kau per- nah berkata begini? Siapa tahu kalau Yap Toako tengah bersiap-siap untuk menarik panahnya dan mengasah pedangnya?" Melihat orang tidak puas dan kata-katanya dipakai memukul padanya, Keng Sim terp aksa bungkam. Tapi tetap ia tidak puas, maka ia berpikir: "Aku pandai membaca ki tab perang, dapatkan Yap Tjong Lioe dibandingkan denganku?" Tjong Lioe tidak menggeraki pasukan perangnya, itu bukan berarti ia berdiam saja . Setiap hari ia ada mengirim mata-mata untuk mencari tahu gerak-gerik perompak. Demikian itu hari, seorang mata-matanya pulang dengan berita perompak hendak me nyerbu gunung dari tiga jurusan, bahwa ten-teranya akan sampai di kaki gunung. Komandan itu bersikap tenang sekali. "Untuk dapat merayap naik, perompak mesti gunai temponya setengah harian," ia bi lang, "Sekarang kita tengok dulu gerak-gerik mereka, sesudah itu baharu kita men damaikan daya untuk menyambut mereka itu..." Lantas ia ajak Sin Tjoe dan Keng Sim mendaki puncak, untuk dari tempat tinggi it u mengawasi musuh. Sin Tjoe dan Keng Sim pandai ilmu enteng tubuh, malah Keng Sim hendak pertontonk an kepandaiannya itu. Sebentar saja mereka berdua sudah sampai di atas puncak. Kapan Keng Sim menoleh, ia dapatkan Tjong Lioe ada bersama. Komandan ini tidak bermuka merah, napasnya tidak memburu. Keng Sim menjadi kagum, maka hilanglah beberapa bahagian dari pandangannya terhadap pemimpin itu, tidak lagi ia tak melihat mata . Kaum perompak benar maju dari tiga jurusan timur, barat dan utara. Dua yang di t imur dan utara, barisannya panjang bagaikan ular. Mereka menyebabkan debu mengep ul naik dan binatang liar lari sera-butan. Vang di barat sebaliknya berjumlah se dikit, mungkin cuma tiga sampai lima ratus jiwa. Selagi barisan ini mendaki, di atas udara ada sekumpulan burung terbang lewat, makin lama makin tinggi, sampai lenyap dari pemandangan. Sesudah menyaksikan sekian lama, Tjong Lioe ajak kawan-kawannya pulang. Terus ia mengadakan rapat. Keng Sim bilang: "Kita harus terjang musuh dengan pakai ilmu perangnya Soen Tjoe . Kalau tentera kita berlipat sepuluh kali, kita mengurung, kalau cuma lima kali , kita menerjang, dan bila hanya satu kali, mesti kita mencoba memecah tenaga mu suh itu. Jikalau tenaga kita berimbang, kita harus rebut kemenangan, tapi kalau jumlah kita lebih sedikit, harus kita mundur teratur. Begitu juga kalau kita leb ih lemah, kita mesti menyingkir dari pertempuran." Tjong Lioe semua mengawasi. Sejumlah tauwbak, ialah pemimpin rombongan-rombongan kecil, menjadi heran yang orang sempat mengapali bu ku kitab perang. "Dasar dia mahasiswa, dia pandai mengapal!" kata satu tauwbak, b erbisik. "Siapa itu Soen Tjoe? Dia umur berapa?" lain tauwbak berbisik. "Kalau Soen Tjoe pasti tidak salah, Loo Tjoe lebih-lebih!..." Keng Sim nampaknya bangga, ia kata pula: "Sekarang ternyata tenaga musuh lebih b esar daripada kita, kalau kita memecah diri untuk melayani mereka, pasti kita ka lah. Rombongan musuh di barat lebih lemah, kalau kita lawan mereka, kita jadi te rlebih kuat. Maka mari kita serang bahagian baratnya itu, kemudian baharu kita t erjang yang di timur, kita pasti menang." "Oh, begitu!" kata si soeya. "Kau menyebut-nyebut Soen Tjoe, aku jadi bingung." Tjong Lioe berkata: "Kita bangsa kasar, kita tidak mengarti ilmu perangnya Soen Tjoe. Kalau menurut aku, kalau si perompak kate datang, kita boleh main-main dengan mereka secara menggiling berputaran..." "Apakah itu cara menggiling berputaran?" Sin Tjoe tanya. "Pernahkah kau lihat keledai menarik penggilingan?" Tjong Lioe balik menanya. "K eledai itu lari terputar-putar menarik penggilingan, lama-lama matanya kabur dan kepalanya pusing, apabila kita lepaskan dia, dia masih lari berputaran terus..." "Apa hubungannya itu dengan cara menyerang si perompak?" Sin Tjoe tanya pula. "Ha, penting hubungannya!" sahut komandan itu, tertawa. "Kita mesti bikin perom- pak itu menjadi si keledai tolol, kita pancing mereka supaya mereka lari-larian dan berputaran di atas gunung ini. Kita jangan bertempur dengan mereka, kita hanya berputaran, main petak. Kita kenal baik gunung kita, kita dap at lari lebih cepat. Secara begitu kita nanti bikin mereka mati letih." Pemimpin ini bicara secara biasa, perkataannya gampang di mengarti, maka semua t auwbak, besar dan kecil, menjadi kegirangan. "Akur!" seru mereka. "Mari kita bekerja menuruti akalnya tongnia1. Kit a bikin perompak itu mampus kecapean!" "Kitab perang dahulu kala tidak pernah mencacat cara berperang ini," kata Keng S im tawar, "Rangsum kita tidak cukup, apakah bu- kan kita yang bakal mati lelah?" "Musuh datang dari tempat jauh, mereka bisa bawa berapa banyak rangsum?" seorang berkata, "Kita hidup bagaikan mengandal gunung makan gunung, mengandal a ir meminum air, kita pun dibantu rakyat jelata, kenapa kita mesti takut main pen ggilingan dengan mereka itu?" Keng Sim tidak per-dulikan orang itu. "Kalau turut caramu ini, berapa lama kita akan main petak sama perompak kate itu ?" ia tanya Tjong Lioe. "Tentang temponya tidak dapat dipastikan," pemimpin itu menyahuti. "Mungkin se puluh hari, mungkin setengah bulan. Atau mungkin juga satu bulan..." "Kalau begitu, sampai kapan dapat kita gebos mereka hingga ke laut?" Keng Sim tanya pula, tetap dengan tawar. "Kau takut lawan musuh keras den gan keras, kau dapat menyingkir dari mereka. Tapi bagaimana jadinya dengan rakya t yang bersengsara? Apakah kau tidak hendak tolong mereka? Nah, pergilah kau mai n petak, aku sendiri hendak berperang!" Semua tauwbak menjadi kaget. Tjong Lioe mengedipi mata pada mer eka itu. Seorang lantas berkata, keras: "Di antara kita, siapakah yang tidak berani mati dan jeri menempur musuh? Kau... kau..." "Cukup!" Tjong Lioe menyelak. "Tiat Kongtjoe juga memikir untuk negara dan rakya t, kita jangan berisik. Ada alasannya kenapa Tiat Kongtjoe ingin segera menggemp ur musuh kita. Cuma perompak itu licik bagaikan rase, kita mesti perhatikan itu." "Perduli apa mereka licik sebagai rase, garang seperti srigala atau harimau, aku tidak takut!" Keng Sim berkata pula. "Aku akan bawa barisanku untuk serang mere ka!" Tjong Lioe menyeringai. "Kalau begitu, baik, aku nanti kirim orang untuk membantu," katanya. "Tidak usah!" Keng Sim menampik. "Kau sendiri baiklah main petak sama mereka itu !" Tjong Lioe antar pemuda itu keluar dari tenda, ia cekal keras tangan orang. "Tiat Kongtjoe, kau hendak berperang, aku tidak dapat melarang kau," katanya. "A ku cuma harap kau berhati-hati dalam satu hal..."Pemimpin ini berkata dengan sungguh-sungguh, hati Keng Sim tergerak juga. Maka maulah ia mend engar apa pesan tongnia itu. *** "Perompak kate itu licik, mereka pandai menggunai tipu daya, kita harus berhati- hati," berkata Tjong Lioe. "Kita mesti jaga tentara sembunyi mereka." Di dalam hatinya, Keng Sim berpikir: "Inilah pengetahuan umum dalam urusan peran g, tak usahlah kau mengingatinya. Laginya dari puncak telah aku melihat tegas-te gas, di garis ini jumlah musuh paling juga lima atau enam ratus jiwa, mana ada t entara sembunyinya?" Maka itu ia menjawab dengan sem-barangan saja: "Aku tahu." "Di waktu berperang, baiklah pasukanmu ini jangan dipersatukan," Tjong Lioe meme san pula. "Kita mesti bernyali besar tetapi terliti, kita mesti memikir untuk me rebut kemenangan, terutama kita mesti menjaga jangan sampai kalah. Maka itu baik lah kau memecah barisan, yaitu satu barisan kecil dijadikan pelopor, untuk maju di paling depan, guna mencari tahu tenaga musuh. Kau sendiri boleh ambil keduduk an di tengah. Biarlah Iie Siangkong paling belakang, untuk menjadi pembantu. Secara begini, andaikata benar kita menghadapi tentara sembunyi, tidak nanti kit a sampai kena dikurung musuh." Mendengar itu, Keng Sim tertawa. "Walaupun aku bodoh, tahu jugalah aku sedikit tentang ilmu perang!" ia berkata. "Tentang itu tak usahlah saudaraku memberi petunjuk padaku." Sebenarnya Yap Tjong Lioe masih hendak memesan lagi tetapi satu tauwbak telah da tang sambil berlari-lari padanya mengundang ia lekas kembali ke markas. Maka itu , selagi hendak berlalu, ia hanya memesan: "Umpama kata benar saudara sampai ber temu tentera bersembunyi musuh, lekaslah kau mundur ke timur selatan." "Aku tahu," sahut Keng Sim tawar, ia mengangguk pelahan. Jumlah tentera Keng Sim ini ada dua ratus jiwa lebih, ia kumpul mereka jadi satu pasukan besar, ia titahkan lekas menuju ke lembah barat, untuk lantas menyambut musuh. "Tadi Yap Toako pesan..." berkata Ie Sin Tjoe, untuk menyadarkan. "Dia tahu apa!" jawab Keng Sim. "Di depan takut pada harimau, di belakang jeri p ada srigala, apakah itu namanya perang? Aku sudah lihat tegas musuh berjumlah cu ma lima ratus jiwa, tentara kita dua ratus, jadi satu lawan dua, sudah cukup! Lu cu Yap Tjong Lioe, dia menyuruh aku memecah pasukanku menjadi tiga barisan. Juml ah kita sudah sedikit, lalu hendak dipecah tiga pula, habis bagaimana kita dapat berperang?" Besar nyalinya anak muda ini, ia percaya akan kemenangannya emdash kemenangan bes ar emdash ia sam- pai tak memikirkan kemungkinan bisa kalah... Jalanan sukar tetapi Keng Sim desak barisannya maju dengan cepat. Dalam tempo du a jam, tibalah mereka di lembah barat itu. Kecuali Keng Sim sendiri bersama Sin Tjoe, semua orang telah mulai bernapas sengal- sengal. Baharu tiba di mulut lembah, mereka sudah dapat lihat satu pasukan musuh , yang mendatangi dalam rombongan-rombongan dari empat lima orang. Keng Sim berada di sebelah atas, mere ka itu berada di sebelah bawah, maka itu, mereka itu tengah mendaki. "Mari maju!" berseru Keng Sim dengan titahnya, sambil ia kibaskan pedangnya, pun mendahulukan berlompat maju, guna mulai menyerang. Tentara suka rela nelayan itu memang benci perompak kate itu, yang biasa sangat mengganggu mereka, hati mereka panas, sekarang mereka menyaksikan kepala perang mereka sudah maju, mereka pun lantas menyerbu, tanpa takut mati, tanpa menghirau kan mereka masih lelah. Hebat serangannya Keng Sim. Sejumlah musuh lantas putus tangannya atau kutung ka kinya, atau mereka itu terdupak roboh bergeluntungan ke dalam lembah. Setelah belasan menjadi kurban, yang lainnya ketakutan dan lari ba lik. Tentara nelayan pun menyerbu mereka secara hebat. Keng Sim tertawa lebar. "Bagaimana?" tanyanya kepada Sin Tjoe. Saking puas, ia menjadi bangga. Sin Tjoe juga tidak menyangka musuh demikian tra punya guna, ia menjadi gembira sekali, maka tempo si anak mudah men gejar, ia turut memburu. Tentara perompak itu lari sampai di tempat di mana ada hutan alang-alang atau rumput, yang tinggi sependirian, mereka lari serabutan masuk ke dalam situ. "Biar mereka kabur ke sarangnya, mereka mesti diserbu dan diseret keluar!" berse ru Keng Sim. Ia terus memberi contoh. Tentera nelayan itu berani tapi tanpa pengalaman, mereka memang tengah gembira d an sengit, mereka terus ikuti pemimpinnya yang kosen itu. Hanya begitu lekas mer eka sudah masuk ke dalam rimba itu, tiba-tiba ada terdengar dentuman meriam, yang disusul sama teriakan-t eriakan riuh dari empat penjuru. Nyatalah tentera perompak telah mengatur siasat, di situ mereka menyembunyikan diri, setelah memancing lawan, sekarang mereka keluar untuk membalas menerjang. Keng Sim dan barisannya lantas kena dikurung. Dua perampok, yang tubuhnya tinggi dan besar, lompat kepada Keng Sim, untuk meny erang dengan goloknya. Dengan dua kali tangkisan beruntun, si anak muda dapat me nyingkirkan ancaman bahaya itu. Salah satu musuh itu adalah Otonoe dan ke tujuh, yang pernah diketemukan di dalam kapal upeti, dan kawan- nya adalah Sakada Eio, juga dan ke tujuh, maka tidak heran, habis itu, Keng Sim kena dikurung mereka. Tentera sembunyi musuh itu berjumlah kira-kira seribu orang, sama mereka yang ta di memancing, jumlah semua ada seribu lima ratus lebih, dari itu bisalah di mengerti yang barisannya Keng Sim jadi kalah lima enam lipat. Maka juga sia-sia saja tentara nelayan itu mencoba berulang-ulang, mereka tidak dapat menoblos kurungan. Sebaliknya, mereka terdesa k hingga mereka terkurung makin rapat. Keng Sim menjadi gusar berbareng cemas. "Awas!" ia berteriak, lalu ia menyerang hebat dengan jurusan "Batu pecah, langit gentar." Pedangnya menikam kepada kedua lawannya, bergantian tetapi sangat cepat. Sakada Eio berlaku ayal, lengannya bahagian atas kena ketikam. Otonoe dapat berkelit, terus ia hendak menolong kawa nnya, tetapi ia kena terbentur hingga terhuyung, hampir ia jatuh. Keduanya tidak mau mundur, meski yang satu sudah terluka. Lekas juga mereka dibantui beberapa kawannya lagi. Maka Keng Sim kembali kena terkuru ng. Ie Sin Tjoe dapat melihat kawannya terancam, ia hendak membantu, untuk ini, lebih dulu ia robohkan dua musuhnya, ya ng mengepung padanya. Belum lagi sampai pada Keng Sim, bunga emasnya, lima buah, sudah menyamber. Lima musuh terserang semua, yang roboh hanya dua. Untuk sejena k, Sin Tjoe tercengang, tapi segera ia ingat, musuh ada mengenakan baju lapis. Dua musu h yang roboh itu kebetulan terhajar tenggorokannya. Musuh yang lain mesti disera ng jalan darahnya, baru mereka bisa dibikin jatuh. Karena ini, ketika Nona Ie menyerang pula, kembali dengan lima buah bunga emasny a, kali ini ia arah tenggorokan. Ia berhasil merobohkan tiga musuh. Dua yang lai n bebas ialah Otonoe dan Sakada Eio. Hanya celaka Otonoe, karena dia menangkis s enjata rahasia, dia kena dibarengi Keng Sim, meski benar dia bisa menangkis, heb at lengannya terhajar, hingga tak dapat dia geraki tangannya itu, terpaksa dia l ari pergi. Sakada Eio lantas turut menyingkir. Keng Sim terlepas dari kurungan, tetapi pasukannya tidak, mereka masih tetap terkepung, bersama Sin Tjoe ia mencoba menyerbu hebat, hanya, tertoblos yang selapis, masih ada lapisan yang lainnya, demikian seterusnya. Ma na dapat mereka membunuh habis ratusan musuh itu? Tentara nelayan merasakan kesukaran hebat. Sudah mesti menangkis musuh, mereka j uga menderita dari tusukan ujung rumput dan duri, hingga banyak yang terluka. Sakit hatinya Keng Sim menyaksikan penderitaan tentaranya itu. "Biar aku terbinasa di sini, akan aku dayakan agar kamu lolos dari kurungan!" di a berseru. Ia putar pedangnya untuk menyerang hebat sekali. Musuh membuka jalan untuk ini pemuda yang gagah, sebaliknya, tentera nelayan mer eka pegat terus. Maka itu, ketika kemudian Keng Sim menoleh ke belakang, ia dapa tkan ia berada sendirian saja, di sana Ie Sin Tjoe lagi bertempur seru sama musu h, guna membuka jalan untuk barisannya yang tetap terkurung. "Setan alas!" ia mengutuk dalam hatinya. "Aku menyerbu seorang diri, aku lolos, siapa tahu tenteraku tetap terkurung! Bukankah mereka itu bisa dapat susah?" Tidak ayal lagi, ia kembali, akan menyerang balik. Segera ia merasakan kesulitan dengan pedangnya, yang bukan pedang mustika. Pedangnya itu lekas menjadi puntul . "Menyesal aku tidak dengar perkataannya Yap Tjong Lioe..." katanya masgul. Sekarang ia menginsafi kekeliruannya. Ketika itu Oto- noe dan Sakada Eio, yang sudah dapat beristirahat, datang pula. Maka itu, pengurungan musuh jadi bertambah kuat, kurungan menjadi terlebih ringkas. Keng Sim sangat berduka dan mendongkol karena sia-sia saja ia menyerang balik, i a tidak sanggup mendekati Sin Tjoe atau pasukannya, saking kuatnya pertahanan la wan, yang merintangi kembalinya itu. Dalam saat barisan nelayan terancam bahaya kemusnaan itu, tiba-tiba ada terdengar riuh suara anak panah yang lewat m engawung di tengah udara, habis mana terlihat datangnya satu pasukan penolong. Bahkan sekilas lalu saja, satu lapis kurungan musuh sudah lantas kena didobrak. Musuh ada menyiapkan dua buah meriam, yang bisa menembak jauh beberapa puluh tom bak, menampak datangnya bala batuan lawan itu, mereka lantas menembak dengan meriamnya itu. Tentara penolong itu mendengar suara mengguntur, mereka pada jatuhkan diri untuk bersetiarap, dengan begitu mimis lewat bagaikan hujan di atasan tubuh mereka. B enar mereka tidak kena tertembak tetapi majunya mereka jadi terhalang. Keng Sim menyaksikan itu semua. "Saudara Ie, akan aku membuka jalan untukmu, pergi kau bikin mampus dua tukang tembak meriam itu" ia kata pada Sin Tjoe, habis mana ia menyerang ke arah meriam . Ia lemparkan pedangnya, ia cekuk dua musuh, untuk diangkat tubuhnya, buat dibu lang-balingkan bagai senjata. Pusing kepalanya dua perompak itu, dengan goloknya mereka menyerang kalang kabutan, tapinya yang kena diserang justeru kawan mereka sendiri, kemudian merek a pun terbacok golok ngawur, hingga mereka terbinasa. Keng Sim lemparkan kedua mayat musuh, ia bekuk dua yang lain, ia pakai pula mere ka itu sebagai senjata. Siasat ini ia pakai berulangkah. Dengan begini ia berhas il membuka jalan, dan Sin Tjoe dapat mengikuti. Dari itu setelah datang dekat ke pada meriam, untuk menyerang, si nona segera gunai bunga emasnya. Sedetik saja, dua tukang meriam itu roboh binasa, maka bungkam juga kedua meriamnya. Di lain saat, barisan penolong dan tentera nelayan berhasil saling mendekati sat u sama lain, untuk menggabungkan diri, karena ini, mereka lantas bisa bekerja sa ma. Barisan penolong itu dipimpin Teng Bouw Tjit, atau hoetongnia, pemimpin ya ng kedua. Keng Sim girang berbareng likat. "Mana Yap Toako?" ia tanya. "Yap Toako menitahkan aku datang menyambut," Bouw Tjit menjawab. "i Toako sendir i membawa pasukannya pergi ke tenggara, mungkin sekarang ia pun tengah menempur musuh di ju- rusan sama." Keng Sim terkejut. Ia tahu jumlah mereka semua, sekarang Bouw Tjit membawa empat atau lima ratus orang, pasti jumlahnya pasukannya Tjong Lioe menjadi kecil sekali, tinggal separuhnya. Dapat mereka mel awan musuh di dua jurusan di sana itu? "Bagaimana ini bisa?" katanya. "Dia membagi separuh tenteranya, bagaimana dia bi sa melayani dua rombongan musuh di dua jurusan?" "Yap Toako bilang, berapa bisa kita lindungi, kita lindungi," menerangkan Bouw T jit. "i Toako kenal baik wilayah ini, kau adalah orang baru, maka itu toako ingi n menolong dulu pada pihakmu. Toako pesan untuk jangan berkuatir." Keng Sim malu dan menyesal sendirinya. "Mari kita lantas mundur ke tenggara!" katanya. Dengan adanya bala bantuan ini, jumlah tentera suka rela tetap ada terlebih keci l, tetapi Keng Sim membuka jalan, Bouw Tjit mengikuti dia. Sin Tjoe ambil tempat di tengah. Orang berkelahi sambil mundur. Berselang setengah jam mereka berhasil keluar dan rimba alang-alang itu. Tapi ma sih mereka berkelahi terus. Lagi setengah jam baharulah mereka tiba di mulut gun ung. Pihak musuh masih mengejar, karena mana, Keng Sim berkuatir. Mereka telah b erkelahi lama dan tujuan masih jauh. Sampai kapan mereka bisa tiba di tenggara i tu akan menggabungi diri dengan pasukannya Tjong Lioe? Sakada Eio dan Otonoe kedua dan ke tujuh, telah dapat beristirahat, dengan sejum lah tenteranya, mereka hendak mengurung. Untuk itu mereka ambil jalan samping, g una tiba lebih dahulu di sebelah depan. Lantas mereka pegat jalannya Keng Sim, h ingga si anak muda menjadi mendongkol, ia segera menyerang. "Kalau ia tak selelah itu, dapat Keng Sim pukul mundur kedua musuh, sekarang ia cuma dapat membikin keadaan berimbang. Meski begini, ia mesti berkelahi mati-mat ian. Karena ia terhalang, Sin Tjoe turut terhalang juga. Selagi pertempuran itu berlangsung dahsyat sekali, terlihat debu menge pul, satu pasukan mendatangi cepat sekali, maka segera tertampak satu orang dengan toyanya yang besar. Dia hebat sekali, be lasan perompak lantas kena dibikin terjungkal. "Pit Kheng Thian!" Sin Tjoe berseru apabila ia telah melihat tegas roman orang. Kheng Thian itu memandang si nona, ia tertawa dan mengangguk, lalu terus ia meng hajar musuh. Cepat sekali ia telah datang dekat. Tanpa membilang suatu apa, ia haj ar Sakada Eio dengan toyanya. Sakada Eio menangkis dengan goloknya. Dia bersilat dengan ilmu golok Angin Keram at, yang liehay. Dia memang bertenaga besar sekali. Habis menangkis, dia bakal m embalas menyerang. Dia percaya tangkisannya itu akan membuatnya senjata lawan te rpental. Kali ini tapinya dia menduga keliru. Begitu kedua senjata benterok, dia menjadi kaget sek ali, hingga dia menjerit dan tangannya kesakitan. Telapakan tangannya pecah dan berdarah akibat benterokan itu. Inilah disebabkan tenaga besar luar biasa dari s i orang she Pit. Kheng Thian penasaran yang ia cuma bisa membikin mental golok musuh, ia terus me ngulangi serangannya, dengan tenaga yang dikerahkan. "Bagus! Kau terima lagi satu toya!" ia berseru. Sakada Eio menjadi jeri, ia balik tubuhnya, untuk menyingkirkan diri. Ia dipegat Keng Sim, yang menendang padanya, lantas saja ia terhuyung, karena dengkulnya adalah yang kena ditendang itu. Justru itu, datang pula samberannya Kheng Thian. Tidak ampun lagi, ia roboh dengan polonya pecah berarak an. Otonoe licik, melihat kawannya terbinasa, ia lantas lari. Jumlah tenteranya Pit Kheng Thian ini ada seribu lebih, digabung menjadi satu de ngan tenteranya Tiat Keng Sim, jumlah mereka jadi melebihkan tentera musuh, maka itu, sebentar kemudian, keadaan jadi terbalik, ialah sekarang musuh yang kena dilabrak hingga mereka buyar dan lari kucar-kacir, banyak yang terbina sa dan luka. Kheng Thian hendak mengejar, untuk melabrak terus tetapi Sin Tjoe cegah padanya. "Lebih baik kita pergi membantui Vap Tongnia ," Sin Tjoe usulkan. "Jangan kuatir," Kheng Thian mengasi keterangan. "Aku sudah perintah Pit Goan Kiong membawa serib u serdadu pergi ke sana." Sin Tjoe tetap berkuatir, karena ia tahu musuh berjumlah besar. Melihat ia sudah menang, Kheng Thian tidak memaksakan kehendaknya. Keng Sim segera kumpuli tenteranya dan menghitung. Yang terbinasa dan terluka ad a kira-kira enam puluh orang. Jumlah kurban ini kecil kalau diingat hebatnya per tempuran, tetapi ia berduka, karena ia insaf inilah tentera nelayan yang dilatih baik sekali oleh Seng Hay San. Ia cekal tangannya Sin Tjoe, sembari menghela napas ia berkata: "Aku pandai membaca kitab ilmu perang, nyatanya kepandaian i tu tidak dapat dipakai dalam perang yang sebenarnya, buktinya telah terbinasa dan terluka begini banyak saudara... Ah, mana aku ada punyai muka untuk pulang dan menemui Yap Toako?" Pit Kheng Thian lihat pergaulan orang yang erat itu, tak se- nang hatinya, tetapi ia bisa mengendalikan diri. Maka sambil tertawa lebar ia ka ta: "Menang atau kalah adalah umum dalam peperangan, buat apa kau pikirkan itu? Kau bertentera beberapa ratus jiwa, kau bisa layani seribu lebih serdadu musuh, itu pun sudah bagus! Saudara, apakah she-mu?" (bersambung) CATATAN 1) hal 104, pertempuran itu diceritakan dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Tur unan). Dalam cerita tsb juga diceritakan hubungan antara keluarga Pit dan keluar ga Thio Tan Hong. 2) hal 125, pertikaian tiga murid Peng Hweeshio diceritakan dalam Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) dan Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan). Sete lah sekian lama menghilang, peta dan harta peninggalan Thio Soe Seng, yang petun juknya berupa lukisan, akhirnya ditemukan oleh Thio Tan Hong dalam cerita Peng T jong Hiap Eng PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA (SAN HOA LIE HIAP) Jilid 2 Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat Surabaya 2008 PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA (SAN HOA LIE HIAP) Jilid 2 Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat Surabaya 2008 Kheng Thian lihat orang gagah, ia menyangka Keng Sim menduduki tempat penting dalam tentera rakyat, ingin bergaul erat dengannya. Keng Sim perkenalkan dirinya, bahwa ia datang dari Taytjioe untuk menggabungi di ri dengan Vap Tjong Lioe. Kemudian ia menambahkan: "Pit Toaliongtauw, syukur kau keburu datang. Terima kasih untuk bantuanmu ini." Teng Bouw Tjit lalu memperkenalkan terlebih jauh, katanya: "Tuan ini ada putera dari Giesoe Tiat Hong, yang di Taytjioe terkenal untuk ilmu silat dan ilmu surat nya. Baiklah kamu bersahabat." "Oh, kiranya satu kongtjoe..." kata Kheng Thian di dalam hatinya seraya ia lirik anak muda itu. Karena ia melirik, ia dapatkan Sin Tjoe, yang sudah lepaskan tangannya yang dicekal Keng Sim, masih berdiri di damp ing si pemuda. Kembali timbul rasa tak puasnya. Maka dengan tertawa tawar ia kat a dalam hatinya: "Ie Sin Tjoe ada satu wanita gagah, kenapa dia boleh penujui ma hasiswa begini macam?" Berbareng dengan itu. Kheng Thian lantas ingat bahwa orang yang Sin Tjoe paling puja adalah Thio Tan Hong, dan Tan Hong pun seorang mahasiswa. Mengingat ini, ka lau tadinya ia cuma tak senang terhadap Keng Sim, dengan tiba-tiba saja ia jadi bersikap "bermusuh" terhadap pemuda itu... Sebaliknya adalah Tiat Keng Sim. Ia mulanya memandang enteng kepada orang sebang sa Kheng Thian ini, tapi setelah kekalahannya apa yang orang bilang, ia menyangka saja mereka itu sahabat-sahabat erat, dari i tu, ia turut tertawa. Malam itu semua orang bergembira, maka juga Yap Tjong Lioe melakukan keistimewaa n, ialah ia menitahkan menyembelih belasan ekor babi untuk mereka berpesta, guna memberi selamat atas kemenangan mereka. Keng Sim telah gunai satu ketika akan secara pribadi menghaturkan maaf kepada Tj ong Lioe. Pemimpin itu tertawa, ia kata: "Tidak ada artinya! Aku cuma pernah lebih sering benterok sama perompak kate itu, aku jadi terlebih berpengalaman sedikit. Setela h aku pikirkan, kata-katamu tentang ilmu perang Soen Tjoe itu benar beralasan. B ukankah kau telah bilang, menu- rut kitab Soen Tjoe itu, kalau musuh banyak dan kita sedikit kita mesti menyingk ir dari perang mati-matian? Aku pikir, memang satu kali kita toh mesti bertempur secara memutuskan dengan musuh perompak ini! Untuk itu, kita mesti me ncari daya yang paling menguntungi kita. Laoko, lain kali akan aku minta kau menutur kepadaku tentang ilmu perang Soen Tjoe itu. Sudikah kau, Laoko, menerima murid setolol aku ini?" Keng Sim jengah sendirinya. Ia lihat Tjong Lioe pandai merendah, meski sudah ber jasa besar, dia tidak jumawa, dia tidak mengagulkan diri. Ia kata: "Sekarang bah arulah aku insaf, membaca kitab perang saja masih belum berarti. Aku berlag ak pintar, aku main kunya kata-kata Soen Tjoe, aku pakai bukan di tempatnya! Pantas aku kalah. Cuma satu hal aku minta toako sudi menerangkan padaku..." Tjong Lioe tetap merendahkan diri. "Baiklah Tiat Siang-kong yang memperka-takan itu, nanti kita merunding bersama," ia bilang. Ia lantas saja ketahui tabiat pemuda ini, maka itu, ia lantas bawa l agaknya merendah. "Toako," Keng Sim menanya, "kenapa kau ketahui musuh mengatur tentera sembunyi?" Tjong Lioe bertindak ke luar tenda sambil tertawa. Ia lihat di luar tangsi, anak buahnya lagi repot menyembelih babi dan kambing, suara mereka riuh. Jauh di ata s rimba terlihat burung-burung berter-bangan, masih ada yang belum terbang jauh. Ia kata: "Tadi pagi di waktu kita memeriksa di atas puncak, bukankah di sana tertampak banyak burung berter-bangan?" Ia maksudkan hutang ala ng-alang. Tiba-tiba saja Keng Sim sadar. "Ya!" sahutnya. "Jikalau di sana tidak ada tentera sembunyi, tidak nanti burung- burung itu kabur terbang. Yap Toako, kau pandai sekali memikir!" "Inilah tidak berarti!" Tjong Lioe masih tertawa. "Setiap orang tani mengetahui tentang ini, aku cuma pakai itu dan memindahkannya ke medan perang..." Keng Sim malu sendirinya. Ia mengarti sekarang bahwa kepandaian tidak terdapat d i buku saja. Besoknya selagi berpesta, Yap Tjong Lioe mengajukan usul mengangkat Pit Kheng Thian menjadi tjongtjiehoei, yaitu pemimp in umum, untuk pergerakan mereka menentang perompak kate. Ia sendiri rela menjadi pembantu saja. Tentang i ni, ia sudah mengasi penjelasan kepada orangnya, yang tidak menyatakan sesuatu. Kheng Thian sangat setujui usul itu, meskipun di mulutnya, di muka orang banyak berulang-ulang ia menampik. Ia menanti saja saatnya untuk menerima "dengan terpaksa." Adalah juste ru sejenak itu, Keng Sim campur bicara. "Tidak, inilah tidak dapat!" katanya. "Yap Toako sudah sering menempur musuh, ka u telah ketahui baik perihal musuh itu, toako juga ada penduduk setempat, untukm u jadi lebih banyak yang me-nguntungi. Kalau toako ditukar lain orang, kendati dia pandai sekali, dalam hal pengalaman, dia kalah dari toako." "Tapi Pit Toaliongtauw mengepalai lima propinsi Utara, sudah beratus kali dia be rperang sama tentera negeri, pengalaman perangnya itu lebih menang daripada aku. " berkata Tjong Lioe. "Laginya dalam hal menghadapi perompak, kita harus bekerja sama, kita harus sering berunding. Aku menjadi pembantunya toaliongtauw, apakah halangannya? Toaliongtauw beratus kali lebih pandai daripada aku, baiklah dia d iminta menjadi pemimpin besar." Keng Sim tidak mau mengarti. Ia tahu tindakannya Kheng Thian yang bakal di ambil: Lagi sekali dia berpura-pura mengalah, lantas ia bakal menerima. Maka ia berkata pula: "Memang, buat melawan perompak kita mesti bekerja sama, bersatu padu! Kalau begitu, buat apa kita sali ng mengalah? Laginya, berperang melawan tentera negeri beda dengan berperang melawan perompak ini. Sekarang ini di pesisir dari beberapa propinsi, siapa juga mengetahui toako adalah pemimpin u tama tentera rakyat, kalau toako ditukar sama lain orang, banyak ruginya, sedikit kebaikannya. Toako hendak menyer ahkan kedudukan, itu tandanya toako pandai menghormati orang sebawaha n, dan Pit Toaliongtauw suka mengalah, menampik kedudukan itu, ini pu n menandakan toaliongtauw jujur. Dua-dua toako dan toaliongtauw adalah orang-orang yang harus dihargakan. Toako, sudah selayaknya toako menerima baik penampikan toaliongtauw, dari itu harap toako tidak mengalah terlebih jauh!" Berpengaruh suaranya Keng Sim ini, maka juga beberapa orang, yang tadinya setuju pemimpin mereka menyerahkan kedudukan kepada Pit Kheng Thian, sekarang pada men ahan pula pemimpinnya itu. Bukan main mendongkolnya Kheng Thian atas cegahannya Keng Sim ini. Tentu saja ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dasar ia pandai membawa diri, lantas ia terta wa lebar. "Dasar Tiat Kongtjoe seorang sekolahan," katanya, "pandangannya menjadi jauh dan luas, apa yang kukatakan, telah ia mendahuluinya menguraikan. Ya, Yap Toako, kaulah harapan orang ramai, jangan kau mengalah pula! Bukankah pe rlawanan kepada perompak juga bakal ada hari penutupnya? Di belakang hari masih banyak sekali urusan besar dalam mana kita bisa bergandeng t angan dan bekerja sama!" Mendengar ini, Sin Tjoe tergerak hatinya. Ia heran. "Kenapa Pit Kheng Thian lepe hkan pula bahpauw yang sudah masuk ke dalam mulutnya?" ia kata dalam hatinya. "M ungkinkah ia telah merubah tabiatnya? Teranglah sudah ia ada mengandung sesuatu maksud..." Yap Tjong Lioe jujur, tidak pernah ia memikir curang, maka itu, mendengar perkat aannya Kheng Thian itu, ia bilang: "Kalau Pit Toaliongtauw memaksanya, baiklah, aku terima perintah. Toaliongtauw benar, kecuali perlawanan kita sekarang terhadap pemberon tak, di belakang hari masih ada banyak urusan dalam mana kita harus bekerja sama . Aku lihat, baiklah atur begini saja! Sekarang aku tetap menjadi pemimpin tentera rakyat melawan perompak, tapi toaliongtauw mesti jadi bengtjoe, k epada ikatan. Bukankah toaliongtauw telah menjadi bengtjoe di lima propinsi Utara? Mak a lain kali, akan aku kumpulkan semua orang gagah kaum Rimba Hijau di dua propin si Kangsouw dan Tjiatkang supaya mereka memasuki ikatan toaliongtauw itu. Kalau nanti perompak sudah dapat diusir pergi dan pesisir aman sentosa, kami semua suka mendengar segala titah toaliong tauw1." Ini pun ada keinginannya Pit Kheng Thian, tapi untuk sesaat ia masih menampik, s etelah ia dibujuk, baharulah ia menerima, maka itu perjanjian lantas diperkuat. Mengenai ikatan itu, Keng Sim tidak ketarik hati, dari itu, ia tidak campur bica ra. Ia pun tidak menyangka bahwa Pit Kheng Thian ada menyimpan maksud yang dalam , bahwa Tjong Lioe hendak dipakai tenaganya nanti. Habis upacara perserikatan, Kheng Thian tarik Tjong Lioe ke samping, untuk diaja k bicara berdua saja. Mereka kasak-kusuk. Sin Tjoe dapat lihat kelakuan orang itu, ia tidak dapat menduga apa-apa, ia hany a terkejut sendirinya tempo ia dapatkan Tjong Lioe mengawasi padanya sambil bers enyum. "Apakah bisa jadi mereka bukan sedang berdamai hanya lagi membicarakan urusan-ku ?" si nona menduga-duga. Ia jadi bercuriga. Ia memandang kepada Kheng Thian, ia pun dapat orang lagi mengawasi padanya. Lantas saja ia kata dalam hatinya: "Di a ntara semua orang ini, yang ketahui aku wanita cuma Pit Kheng Thian dan Pit Goan Kiong, jikalau mereka itu membuka rahasia, terang sudah tidak dapat aku berdiam lebih lama pula di sini." Hatinya si nona menjadi lega pula kapan kemudian ia dapatkan Tjong Lioe bicara t erus secara wajar, terhadapnya pemimpin itu tidak mengubah sikap. Semenjak perginya Seng Hay San, Ie Sin Tjoe berdiam di dalam sebuah tenda be rtiga bersama Thio Hek dan Tiat Keng Sim, tetapi malam itu, Yap Tjong Lioe menitahkan orangnya membangun tiga tenda lagi, terus dia minta si nona dan Keng Sim masing- masing menempati sebuah tenda, sebuah tenda lagi untuk Pit Kheng Thian. Thio Hek tetap menempati tenda y ang lama. Alasan dari ini adalah supaya masing-masing merdeka. Keng Sim paling senang kalau orang hargakan padanya, ia senang dengan ini cara p erlayanan. Sin Tjoe tapinya bercuriga. Dia halus perasaannya, lantas dia dapat m enduga inilah pasti ada buahnya kasak-kusuk Kheng Thian dengan Tjong Lioe tadi. Dia menjadi tidak puas. Dia anggap Kheng Thian kur ang terhormat. Di lain pihak, dia senang mendapatkan sebuah tenda. Memang dia kuatir, kalau lama-lama tinggal bersama Keng Sim, pemud a itu nanti curigai atau pergoki dia. Maka itu dengan gembira dia menghaturkan t erima kasih kepada Tjong Lioe. Tjong Lioe telah mengatur pula pasukannya dengan rapi, ia pun berserikat sama te ntera rakyat di lain-lain tempat. Selama itu, dia menjadi repot sekali. Pula sel ama itu, sikapnya terhadap Sin Tjoe tidak pernah berubah, hingga si nona ragu-ra gu kalau orang telah mengetahui rahasia penyamarannya itu. Lewat setengah bulan, selesai sudah segala pengaturannya Tjong Lioe, perhubungan nya dengan lain-lain pasukan rakyat pun sudah erat, maka mulailah ia menggeraki pasukan perangnya menggempur kawanan perompak. Dalam beberapa kali pertempuran, musuh bisa didesak balik ke arah pesisir, sampai di S eeouw, sepuluh lie dari tepi laut. Di sini perompak itu dapat bertahan sebab mer eka dapat bantuan serombongan ronin, yang baru tiba dari negerinya. Selagi kedua pihak berhadapan, Tjong Lioe ambil sikap mengacip atau mengurung, h ingga jalanan keluar musuh tinggallah jalan ke tepi laut. Secara begitu, mereka tidak dapat molos ke lain wilayah di mana mereka dapat mengacau pula rakyat pesi sir. Di saat Tjong Lioe hendak menjanjikan satu hari yang memutuskan, tiba-tiba saja datanglah utusan perompak, terdiri dari dua orang, yang mengajak pihak tentera rakyat itu mengirim wakil untuk menghadiri pesta mereka, katanya pesta musim ron tok, di waktu mana sekalian diadakan pertandingan besar. Di achirnya ditegaskan, apa pihak tentera rakyat itu suka mengambil bagian. Membaca surat undangan itu, Keng Sim tidak puas terhadap bunyinya. Terang surat itu mesti ditulis oleh satu pengchianat, yang menyerah kepada pihak perompak itu . Ia lantas jelaskan bunyinya surat kepada Tjong Lioe semua. "Mereka mengundang kita mengadu kepandaian, pasti mereka mengandung maksud tidak baik," Keng Sim mengutarakan dugaannya. "Di jaman Tjoen Tjioe dahulu, memang bi asa terjadi, selagi kedua negara berperang, peperangan suka ditunda, ialah di musim rontok, untuk kedua pihak turut ambil bagian dalam perta ndingan memanah sambil menunggang kuda. Sekarang mereka gunai alasan ini, untuk menunda pertempuran, buat mengadu kepandaian dengan lain cara. Dulu orang berper ang saudara, sekarang lain, malah sekarang, yang berperang bukan pemerintah Nipp on sendiri, hingga tidak dapat kita menerima mereka sebagai musuh resmi. Menurut pikiranku, baik kita jangan perdulikan surat undangan ini dan si utusan kita ra ngket masing-masing lima puluh rotan, habis kita usir mereka!" "Bagus kau masih ada punya kesabaran untuk berbicara panjang lebar," berkata Pit Kheng Thian. "Paling benar robek saja surat- nya itu!" Yap Tjong Lioe berpikir. "Memang perompak kate banyak akal bulusnya," berkata ia, "tetapi tenaga kita cuk up, tidak usah kita berkuatir. Aku pikir, dia menggunai akal, kita baik mengguna i akal juga, ialah akal lawan akal. Artinya kita terima undangannya dan pergi me ngambil bagian dalam pertandingan itu." "Toako ada punya daya apa?" Keng Sim tanya. Tjong Lioe bersenyum. "Kita lihat gelagat saja!" sahutnya. "Sekarang kita kirim wakil kita, yang nyali nya besar, yang umpama kata dapat membuka jalan dan menyingkir dari kurungan ser ibu atau selaksa serdadu musuh..." "Kalau begitu, aku suka pergi bersama saudara Ie Sin Tjoe!" Keng Sim paling dulu mencatatkan namanya. Kheng Thian melirik kepada anak muda itu, ia tertawa. "Tiat Siangkong, ini urusan mengadu jiwa!" katanya. "Ini tak dapat dibanding den gan membuat syairmu..." Tidak senang Keng Sim mendengar suara itu, air mukanya sampai berubah. Tjong Lioe dapat lihat roman orang, ia segera campur bicara. "Tiat Kongtjoe lie hay, pastilah dia tidak bakal gagal," katanya. "Laginya ada ba ik apabila yang pergi lebih banyak lagi. Pit Toako, apakah kau ada minat mengiku t pergi, untuk turut ambil bagian? Dengan kau turut, segala apa pasti menjadi te rlebih baik lagi." Mulanya tidak ada niatnya Kheng Thian untuk mengambil bagian, tetapi mendengar K eng Sim hendak pergi bersama Sin Tjoe dan si nona setuju, ia menjadi jelus, ingi n ia segera memberikan namanya, hanya malang malang sama kedudukannya sebagai be ngtjoe, terpaksa ia diam saja. Sekarang Tjong Lioe membuka suara, ia lantas guna i ketikanya itu. "Toako menitahkan aku, mana berani aku membantah?" ia memberi alasan. Habis ini ditetapkan lagi dua nama, ialah Teng Bouw Tjit dan The Kan Louw, dua p emimpin sebawahan dan tauwbak tentera rakyat. Jawaban diberikan kepada utusan musuh bahwa besok mereka akan memenuhi j anji. Demikian besoknya, Keng Sim berlima pergi ke tempat musuh, yang berupa sebuah la pangan terbuka di tepi laut. Gelanggang luas tetapi seperti penuh oleh beberapa ribu perompak kate. Di tengah gelanggang terlihat belasan jago Nippon tengah berlatih. Mereka ini lantas menyambut tetamu -tetamunya. Seorang, yang rupanya menjadi kepala, yang bertubuh tinggi besar, mengulurkan ta ngannya, sembari dia berkata dalam bahasanya: "Orang-orang gagah Tiongkok harus dipuji, marilah kita bersahabat!" Kheng Thian majukan dirinya ke depan, ia sambut tangan orang itu. Ia meyakinkan tenaga kimkong tjie, ingin ia membejak tangan lawan hingga tulang- tulang tangannya remuk, tetapi waktu ia memencet, ia merasakan jeriji orang bagaikan jari besi . Tentu saja ia menjadi heran. Di pihak lain, tuan rumah pun terperanjat. Ia adalah Ishii Taro, seorang dan ke delapan yang baharu tiba dari negerinya, yang liehay yudo dan kendonya, sedang t ubuhnya kebal, kuat bagaikan baja atau besi akibat latihan semenjak dari kecil t ubuhnya direndam obat. Ia pun ingin menghancurkan tangan tetamunya, ia menjadi kaget merasakan ta ngan orang keras sekali, jari tangannya terasakan sakit. Maka lekas-lekas ia lep askan cekalannya dan menarik pulang tangannya itu. Ia tapinya penasaran, ingin i a berjabat tangan sama Sin Tjoe. "Tak usah pakai adat peradatan!" berkata si nona, yang tetap menyamar sebagai pe muda sambil tertawa manis, berbareng dengan mana sebelah kakinya menjejak sepoto ng batu di depannya, hingga batu itu hancur. Ishii dapat lihat itu, ia terkejut. "Benarkah pemuda tampan dan halus ini lebih liehay dari pada kawannya si tubuh k asar ini?" tanya ia dalam hatinya. Karena ini, ia batal mencoba tenaga tangannya si nona. Ia tidak menduga Sin Tjoe sebenarnya menggunai akal, karena nona ini t ak sudi berpegang tangan dengan tangannya yang kasar dan berbulu. Sin Tjoe meman g mengenakan sepatu yang berlapisan besi, dan gerakan kakinya dibarengi sama aks i seperti ia salah angkat kaki dan terje-runuk. Tanpa banyak bicara lagi, Ishii pimpin tetamu-tetamunya ke tengah gelanggang di mana ada seorang, yang roman atau sikap dedaknya menyolok mata sekali. Kedua pem pilingannya naik, romannya jelek, sepasang matanya tajam bersinar. "Inilah wasit dalam pertandingan ini," Ishii memperkenalkan. "Ia ada Hasegawa, d an ke sembilan paling terkenal di negeri kami!" Diam-diam Keng Sim beramai terkejut. Tidak disangka musuh mendatangkan jago dan ke sembilan. Maka bisa di mengerti liehaynya jago ini. Hasegawa ini bersikap temberang. Dia ada dan ke sembilan, dia tak ingin turut d alaan pertandingan, dari itu dia angkat diri sebagai wasit, untuk memimpin pertandingan. Dia mengangguk acuh tak acuh. "Bagus!" katanya. "Sekarang ini kita tengah berlatih, yang menang sampai sekarang ini ada Konoe Saburo, maka siapa di antara kamu yang hendak bertanding dengannya?" Dia omong Nippon, lantas ada yang salin. Teng Bouw Tjit kata pada Pit Kheng Thian: "Lainnya ilmu silat aku tidak mengarti , untuk tenaga, aku mempunyai beberapa kati, coba aku yang melayani dia." Lantas ia tindak meng-hampirkan Konoe Saburo. Cuma saling mengangguk saja, kedua jago itu sudah lantas mulai bertempur. Mereka bergulat. Tiba-tiba saja, Bouw Tjit kena dibanting. Semua orang Nippon bersorak-sorai. Keng Sim mengke-rutkan kening, pikirnya: "Teng Bouw Tjit ada hoetongnia, kenapa dia begini tidak punya guna?" Ia menjadi masgul. Bouw Tjit terbanting untuk segera merayap bangun, untuk bergulat pula. Lagi seka li ia kena dirobohkan, tapi lekas juga ia berbangkit pula akan menantang lagi. K ejadian ini diulangkan hingga tujuh delapan kali. Konoe kewalahan sedang maksudnya adalah membikin terluka musuh, agar dia tak dapat berbangkit pula. Bouw Tjit seb aliknya satu jago gwak.ee, bahagian luar, dan selama bekerja sebagai kuli tamban g beberapa puluh tahun tubuhnya jadi kuat dan ulat sekali, baharu dibanting pulang pergi sebagai itu, ia bagaikan baharu merasa gatal. Ia tidak lantas dinya takan kalah, sebab menurut aturan pertandingan itu, siapa terbanting dan dapat lompat bangun pula, dia berhak untuk melanjuti bergulat. Lagi sekali mereka bergulat. Hati Konoe keder sendirinya. Bouw Tjit sebaliknya t etap tabah. Kali ini ia dapat mencekal kedua lengan lawannya, sembari berseru, ia kerahkan tenaganya. Segera tubuh Konoe terlempar, jatuh terbanting. Malang untuknya, kepalanya mengenai batu, kepala itu berlobang dan men geluarkan darah, maka juga jangan kata berlompat bangun, bergeming pun ia tidak dapat. Pihak Nippon kaget, mereka bersuara riuh. Lalu seorang masuk ke kalangan seraya memutar goloknya dan berseru: "Lebih baik kita gunai senjata tajam!" Ie Sin Tjoe tertawa haha hihi, ia bertindak masuk ke dalam gelanggang. Ia tidak menghunus pedangnya, ia hanya loloskan angkinnya, ialah ikat pinggang terbuat da ri sutera. Pihak tuan rumah menjadi heran, tidak kecuali jagonya, yang memegang golok itu, ialah Koso, dan ke tujuh. Ia heran menyaksikan si pemuda memutar-mutar angkin -nya itu. "Eh, kau bikin apa?" tegurnya. "Bukankah kamu yang bilang hendak mengadu kepandaian?" Sin Tjoe membaliki. "Kalau begitu kenapa kau tidak menghunus pedang?" "Menurut aturan ber- tanding bangsaku, untuk mengadu kepandaian kita mesti melihat pihak lawan," sahut Sin Tjoe tenang, "setelah itu baharu kita tetapkan cara me- layaninya. Untuk melayani kau? Tidak ada harganya untuk aku menghunus pedang!..." Ia putar pula angkin-nya, hingga berkibar dan melilit. "Inilah senjataku!" ia tambahkan sambil tertawa. Pembicaraan mereka selalu diterjemahkan tukang salin, karenanya, sifat mengejek dari Sin Tjoe menjadi kurang hebat, dia melainkan dapat dilihat dari aksinya, ma ka itu Koso merasa bahwa orang pandang tak mata kepadanya. Ia menjadi gusar seka li. "Baik, pakailah sabukmu!" dia membentak, lantas goloknya menyabat, cepat dan bengis. "Hure!" bersorak jago-jago Nippon. Sin Tjoe berlaku ayal-ayal gesit, ialah tepat golok hampir mengenakan dadanya, b aharu ia berkelit. Bagus gerakan tubuhnya, yang lemas tetapi sebat. Keng Sim kagum hingga ia berseru memuji nona itu. Tapi segera ia dapat perasaan aneh, hingga ia kata di dalam hatinya: "Gesit tetapi halus dan lemas sekali tubu h saudara Ie ini, kenapa dia mirip sama gerak-geriknya satu nona?" Karena ini, k alau tadinya ia tidak mencurigai apa-apa, sekarang ia menjadi berpikir. Ia ingat tidak pernah orang membuka baju luar dan di waktu mandi, Thio Hek dan ia selalu diminta menanti di luar. Ia mau percaya atas kebiasaan orang akan tetapi sekarang? Karena berpikir, ia menjadi diam saja . Justeru itu ia dapatkan Pit Kheng Thian memandang kepadanya dengan mata dibuka lebar, ia terperanjat. Ia pun lantas mendapat dengar sorak yang ramai. Nyata Sin Tjoe untuk kedua kali berkelit secara manis dari bacokan lawannya. Segera datang serangan yang ketiga kali dari Koso. Itulah ilmu silat golok "Sufu " atau "Angin Keramat." Sinar golok berkilauan. Sin Tjoe seperti kena dikurung k iri kanannya, ke mana tubuhnya berkelit, ke situ golok menyusul. Dengan gerakannya "Burung ho mencelat ke langit," Sin Tjoe berloncat tinggi be berapa kaki, dengan begitu golok lewat di bawah kakinya ketika Koso menyerang ia yang t erachir. Kembali sorak ramai, juga dari pihak lawan, karena mereka ini belum pernah menya ksikan cara berlompat demikian indah. Belum lagi Koso sempat menarik goloknya, Sin Tjoe sudah turun menaruh kaki sejar ak setombak lebih dari padanya. Nona kita bersenyum, sabuknya dikibaskan. Ia ber kata: "Tiga kali sudah kau menyerang, sekarang datang giliranku!" Kata-kata ini sudah lantas dibuktikan. Koso membabat, tetapi sabuk melayang lewat, lalu kembali, maka ia terus ulur tan gan kirinya, guna menyambar, niatnya untuk membetot. Ia berlaku sangat cepa t tetapi buktinya, sabuk terlebih cepat pula, tidak dapat ia mencekal. Setelah itu, ikat pinggang itu menyambar pula. Berulang-ulang Koso disambar pergi datang, ia menangkis, ia gagal. Ia mau menang kap, ia gagal pula. Sabuk menyambar berulang-ulang, tidak pernah mengenai sasara nnya, akan tetapi dengan begitu Koso repot sendiri, hingga sebentar kemudian, ia bermandikan keringat. Di matanya para hadirin, sabuk Sin Tjoe bergerak bagus sekali, manis untuk diton ton, di mata Koso, hebatnya bukan main, karena saban-saban ia terancam bahaya ba kal kena disambar dan dililit. Kalau ia kena menjadi sasaran, pasti celakalah ia . Paling untung ia bakal terlempar tubuh- nya. Lagi sesaat, dari bermandikan peluh, Koso menjadi pusing kepalanya dan kabur matanya. Terlalu hebat mesti mengikuti gerak-geriknya sabuk, ia mesti berputaran tak tuasnya. Ie Sin Tjoe terdengar tertawa terkekeh, lalu itu ditutup dengan seruannya: "Kena !" Kali ini sabuk me-nyamber golok, golok lantas ditarik keras. Terlepaslah senjata itu dari tangannya Koso, terus terlempar tinggi, hingga sinar peraknya berkilau an di antara sorot matahari, memperlihatkan suatu bayangan. Cepat terbangnya golok itu, cepat juga melayang turunnya. Orang semua kaget, ada di antaranya yang mencoba menyingkir. Tapi golok jatuh lempang ke arah Koso sendiri. "Hebat!" memuji Keng Sim. Ia mendapatkan sabuk Sin Tjoe bukan cuma membuatnya golok terpental, itupun diberikuti ilmu melepas senjata rahasia. Tidak demikian golok tak akan kembali ke arah pemiliknya. Sin Tjoe pandai menggunai kimhoa, bunga emasnya, dan kali ini, golok Koso ia terbangkan menuruti gerakan ilmunya i tu melepas senjata rahasia, maka golok turun menyamber menuruti kehendaknya. Itu lah kepandaian ajarannya In Loei yang liehay. Sampai di situ orang lantas dengar satu suara tertawa yang rada luar biasa, sege ra terlihat munculnya seorang Nippon, yang terus mendekati gelanggang. Dia membawa sehelai tambang, yang ujungnya dikalak hidup, tambang itu segera diayun, dilemparkan ke arah golok, ma ka sekejap saja, golok itu kena disambar, terus ditarik. Di lain saat, goloknya Koso sudah berada di dalaan genggamannya. Keng Sim kagum untuk caranya menggunai bandring atau lasso itu. Tapi itu pun men jadi tanda, pihak Nippon tidak dapat dipandang ringan, di antara mereka itu ada orang-orang yang liehay. Pihak Nippon bersorak-sorai, antaranya ada yang menyebut nama jagonya itu. Keng Sim mengarti bahasa orang, maka tahulah ia, pelempar lasso jempolan itu bernama Kagawa Ryuki, dan ke delapan. Dalam bala bantuan Nippon itu ada satu jagonya dari dan sembilan dan dua dan del apan. Dan sembilan ialah Hasegawa, dia tidak turun bertanding. Dan delapan yakni yang satu adalah penyamb ut tetamu tadi, Ishii Taro, dan yang lainnya Kagawa Ryuki ini. Mereka ini berdua disiapkan untuk melawan musuh paling tangguh, mereka bakal keluar di saat terak hir, siapa tahu, dua kali pihak lawannya menang beruntun dan Sin Tjoe mempertont onkan sabuknya yang liehay itu hingga mau atau tidak, Kagawa mesti lantas maju. Setelah menanggapi golok, Kagawa Ryuki lilitkan lassonya di lengannya. "Mari kita mencoba-coba!" dia menantang. "Kau boleh gunai senjata apa kau suka, aku siap sedia untuk melayaninya!" Penterjemah segera salin kata-kata yang menantang itu. Belum lagi Sin Tjoe memberikan jawabannya, tahu-tahu sabuknya telah disambar lasso orang dan terus ditarik, hin gga ia kena terbetot dua tindak. Ia menjadi kaget sekali. Kagawa tidak berhenti sampai di situ. Dia tertawa terkekeh, tetapi tangan kirinya bergerak. Dengan begini dia membuatnya lassonya, yang panj ang tiga tombak lebih, menjadi pendek. Di pihak lain, dengan satu gerakan yang m enyusuli itu, dia membuatnya golok Koso di tangannya melesat menyambar lawan! Semua gerakan terjadi cepat bagaikan kilat berkelebat, tetapi juga Sin Tjoe tida k mau menyerah kalah. Setelah kena terbetot, hatinya menjadi tenang dan mantap. Bagaikan kilat ia bergerak, sebelah tangannya turut bergerak pula, lalu "Tas!" putuslah lassonya Kagawa sebelum lasso itu sempat ditarik pulang. Sekarang orang lihat di tangan Sin Tjoe terdapat sebuah pedang pendek yang tajam mengkilap. Tubuhnya Kagawa berputar, lantas golok Nippon itu terkutung dua, karena Sin Tjoe kembali menggunai pedangnya yang tajam itu. Tapi ia pun bukannya tidak berkurban. Ujung sabuknya k ena disambar musuh, yang menariknya keras sekali, hingga sabuk itu putus! Kegagalan Kagawa ini membuatnya masgul dan malu, hingga ia berdiri diam di pingg iran gelanggang itu. Sin Tjoe putus sabuknya tetapi ia merasa puas sekali. "Awas!" sekonyong-konyong terdengar peringatannya Keng Sim. Nona Ie terkejut, sebab tahu-tahu Kagawa, dengan sebatang golok, sudah menerjang tanpa tanda apa juga. Sedang barusan saja dia berdiri diam. Sin Tjoe boleh gagah tetapi dalam hal pengalaman dan kelicinan, ia kalah dari lawannya ini, yang sebagai dan delapan, telah ulung dal am pelbagai pertempuran. Dia berdiam hanya menggunai akal, setelah lihat lawanny a alpa, dia lantas membokong. Dia membekal goloknya yang tajam, sedang tadi dia pakai goloknya Koso. Kaget Sin Tjoe mendengar suaranya Keng Sim. Syukur ia tabah dan dapat berlaku te nang dan gesit. Tidak ada jalan lain, ia lantas melenggak sebatas pinggang, berkelit dengan gerakan "Jembatan papan besi," rambutnya hampir mengenakan tanah. Dengan begitu, golok lewat cuma sedikit di atasan mukanya. Kembali riuh sorak-sorainya pihak Nippon, yang bergembira berbareng menganjurkan jagonya. Tentu sekali nona kita menjadi mendongkol sekali. Ia menekan ujung pedangnya tan ah. Selewatnya golok di mukanya, ia geraki kedua kakinya, untuk berlompat bangun , untuk berdiri pula, sembari berlompat, tangannya diayun. Dengan ujung pedangnya ia membabat lengan lawannya itu. Kagawa pun sebat sekali, dapat ia berkelit, cuma karena ayal sedikit, ikat pin ggang- nya, sehelai ban kulit, kena terlanggar ujung pedang hingga putus. "Bagus!" berseru Pit Kheng Thian, nyaring suaranya, hingga ia membuatnya pihak Nippon bungkam, sedang tadi mereka girang bukan kepalang, suara mereka sangat ri uh. Selagi Kheng Thian berteriak itu, teriakannya Keng Sim telah menyusulinya. "Celaka!" demikian suaranya si orang she Tiat ini. "Apa?" tanya Kheng Thian kaget, suaranya pun tergandet. Nyatanya Kagawa Ryuki tidak berhenti sampai di situ. Ia belum mau menyerah kalah . Dengan tiba-tiba tangan kirinya menyambar lengan Sin Tjoe, tangan kanannya, ya ng memegang golok, membacok ke pundak si nona. Sebenarnya Sin Tjoe hendak membikin kutung golok lawan, ia cuma berhasil memutuskan tali pinggang saja, sekarang ia dibarengi lawannya itu ia terancam bahaya. Dalam hal ilmu golok, Kagawa ada jago nomor tiga di negerinya. Ilmu goloknya itu pun dapat dipakai menyerang terus menerus. Inilah justeru hebatnya. Dengan terpaksa Sin Tjoe berkelit sambil mengentak tangannya dengan tiba-tiba, dengan begitu ia menjadi lolos dari bahaya, tetapi waktu ia hendak membalas meny erang, ia segera dirabu, dihujani bacokan-bacokan yang dahsyat sekali. Ia menjad i repot membela diri. Dengan begitu, ia menjadi terdesak. Kagawa menang di atas angin tetapi ia tidak dapat lantas merebut kemenangan terachir. Sia-sia saj a rangsakannya itu, percuma beberapa puluh bacokannya, tidak ada satu yang menge nai sasarannya. Maka kemudian ia campur pakai ilmu silat "Tanpa golok." Artinya ia bisa berkelah i dengan tangan kosong dan dengan tangan kosong itu dapat merampas senjata musuh . Ini ilmu mirip sama ilmu "Tangan kosong memasuki rimba golok" dari ilmu silat Tionghoa, melainkan cara bergeraknya yang berlainan. Nona Ie kena didesak, karenanya, ia mengandal kepada keringanan tubuhnya, kepada kegesitannya berkelit atau bergerak. Menampak pihaknya kembali menang di atas angin, orang-orang Nippon membuka pula suaranya, untuk memuji jagonya, buat membantu menganjurkan s emangat orang. Keng Sim dan Kheng Thian mulai berkuatir untuk Sin Tjoe. Orang pun terdesak. Sin Tjoe tapinya tidak terdesak hingga ia tidak berdaya. Melainkan sebentar saja ia kalah angin, atau segera terjadi perubahan pula. Ialah di dalam rangsakannya Kagawa, ia terus bergerak cepat, melesat sana dan melesat sini, saban ia berada dekat lawannya, ia mulai main menotok. Perubahan ini membuat hatinya Keng Sim d an Kheng Thian menjadi lega. Biar bagaimana, Sin Tjoe adalah muridnya Thio Tan Hong, ia pun cerdas sekali den gan melihat keadaan, ia le- kas dapat mengimbanginya. Ia mencari bahagian-bahagian yang lemah dari musuh. Bi ar bagaimana sebat orang mainkan goloknya, ia masih menang lincah, maka kemenangan bahagian ini ia pergunakan. Ia berkelebatan menggunai ilmu silat ajaran In Loei ialah "Menembusi bunga mengita rkan pohon." Ilmu silat In Loei ini berdasarkan gerakan tubuh "memindahkan wujud, menukar ked udukan," tubuh bergerak seperti menari, cepat dan halus, menarik dipandangnya. K eng Sim menjadi sangat ketarik hatinya, hingga ia memuji. Mendengar ini, Kheng Thian mengkerutkan alisnya dan mengawasi orang dengan mata tajam... Kagawa juga bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mengikuti orang berputaran secepat itu, sebaliknya ia gunakan kecepatannya d i lain pihak. Ialah ia menyerang dengan bengis, maksudnya untuk mendahului turun tangan dengan berhasil. Beberapa puluh jurus lewat pula. Habis ini, Sin Tjoe nampak kendor gerakannya. "Kau berputaran pesat sekali, tenagamu habis sendirinya," pikir Kagawa. Ia lanta s menanti ketika yang baik, atau mendadak ia membacok hebat. Kelihatan tubuh Sin Tjoe terhuyung ke depan, seperti yang hendak jatuh. Melihat itu, semua orang Nippon sudah lantas bersorak. Belum lagi suara mereka berhenti, atau suara "Buk!" menyusulnya, terlihatlah tubuh Kagawa yang besar itu terlempa r dan terbanting setombak lebih, goloknya pun berada di tangan lawannya, yang terus mematahkannya menjadi dua pot ong. Sin Tjoe telah menggunai tipu daya, selagi ia disusuli serangan, ia mendak berkelit, tangannya menotok jalan darah kwangoan hiat dari musuh, hingga sejenak saja, kaku tubuh Kagawa, dengan begitu, setelah goloknya dirampas, tubuhnya itu ditolak naik dengan kaget dan keras. Sampai dia telah terbanting. Kagawa masih tidak mengarti akan kekalahannya itu. Pihak Nippon menjadi heran dan membuatnya berisik, lalu satu di antaranya majuka n diri, untuk menantang berkelahi. Dialah Ishii Taro, dan delapan. Pit Kheng Thian tahu Nippon ini mesti lebih liehay daripada Kagawa, ia berniat maju guna menggantikan Sin Tjoe, tapi belum lagi ia maju, ia ingat di sana masih ada Hasegawa dan sembilan. Sebagai toaliongtauw, kepala ikatan, pant as kalau ia melayani dan sembilan itu. Ia cuma tidak tahu aturan bertanding cara Nippon, kalau bukan sama tingkat, dan sembilan tidak dapat turun tangan. Tengah Kheng Thian bersangsi itu, Keng Sim telah bertindak ke gelanggang. Ia mej adi girang berbareng berkuatir. Kata ia di dalam hatinya: "Ishii Taro sebanding dengan aku, mana Keng Sim bisa menjadi tandingannya?" Sejenak kemudian ia berpikir pula: "Pihak kita sudah menang tiga babak, kalah satu babak tidak apa. Biarlah ini anak sekolah to lol dapat bagiannya, su- paya lenyap temberangnya!..." Ishii Taro dan Keng Sim sudah lantas bertanding. Hebat pukulannya Ishii berat da n dahsyat anginnya. Di depan dia, Keng Sim berlaku ringan dan gesit. Setelah bel asan jurus dan merasa mengetahui ilmu silat orang, Keng Sim mulai mendesak, kedu a tangannya keluar saling susul dengan lincah. Pihak Nippon kembali menjadi heran. Mereka agulkan ilmu silat golok mereka palin g jempol, sekarang mereka lihat orang yang bisa melayani jago mereka itu. Hebat keduanya saling serang. Beberapa waktu lagi telah lewat. Tiba-tiba terdengar seruannya Keng Sim: "Kena!" Dan bebokongnya Ishii kena ditepuk, hingga jago itu terhuyung. Dia tidak roboh. Cepat sekali dia menahan tubuhnya, terus dia membali k diri dan tertawa. Adalah itu waktu, mendadak dia membalas menyerang. Keng Sim menyerang tetapi ialah yang merasakan tangannya sakit. Ia seperti mengh ajar besi. Tentu saja, karenanya ia terkejut atas datangnya serangan, yang dimul ai dengan suara tertawa. Lekas-lekas ia berkelit ke kiri, sikutnya diangkat naik , dengan begitu, pundaknya cuma terbentur sambil lalu, ia hanya terhuyung sedikit. Ishii heran bukan main, sedang ia percaya ia bakal menghajar ringsak musuhnya in i. Sekarang Keng Sim tahu orang kuat dan kebal, rupanya kekebalan itu sama dengan Kimtjiongtiauw atau Lonceng Emas atau Tiatpousan atau Baju Besi. Sementara Ishii ingat akan ilmu silat Tionghoa bahagian dalam, Iweekang, yang keistimewaannya gesit dan dapat meminjam tenaga lawan. Ia pikir: "Siapa nyana mahasiswa lemah ini sempurna ilmu dalamnya..." Meski dia mem ikir begitu, dia tidak jeri. Dia percaya betul ketangguhan tubuhnya sendiri. Segera keduanya bergebrak pula. Setelah beberapa puluh jurus, beberapa kali Keng Sim dapat menghajar tubuh lawannya, tidak dapat ia membuat orang roboh atau kesakitan, hanya ia sendiri ya ng merasa tangannya sakit. Percuma saja serangannya itu, ia malah membikin Ishii murka dan berkao- kan. Ia sendiri dua kali kena diserang tetapi ia dapat mengegos tubuhnya, ia lolos dari bahaya. Setelah lagi beberapa jurus mereka masih tetap seri, mendadak Keng Sim lompat ke luar kalangan seraya berseru dalam bahasa Nippon: "Tahan!" "Kenapa?" Ishii tanya. "Bukankah kita seri saja?" Keng Sim balik menanya. "Benar." "Kalau begitu percuma kita bertanding terus, tidak ada artinya." "Habis kau hendak menyudahi saja? Tidak, tidak dapat! Pihakmu telah menang tiga kali dan kali ini belum ada keputusannya." "Dengan bertempur secara begini, tidak bakal ada achirnya." Keng Sim bersenyum. "Habis kau ingin ber- buat apa?" Ishii menegaskan. "Baik kita gunai lain cara. Kau pukul aku tiga kali, aku pukul kau tiga kali jug a. Di waktu aku hajar kau, kau tidak dapat berkelit, kau tidak boleh membalas. D emikian juga aku." "Tapi, kalau tetap tidak ada yang kalah juga?" "Usul aku yang majukan, kalau kita seri, anggaplah aku yang kalah," Keng Sim kas i kepastian. Ishii girang, ia terima baik cara bertanding begini. Ia benar tangguh tetapi set elah kenyang dihajar lawannya, sedikitnya ia merasakan sakit juga di tubuh bagia n dalamnya, hingga ia pikir: "Kalau aku terus bertempur, mungkin aku achirnya ka lah. Syukur dia adalah satu telur busuk!" Lantas dia tanya: "Siapa yang memukul lebih dulu?" Keng Sim tertawa ketika ia memberikan jawabannya: "Kami ada bangsa terhormat dan menghormati tetangga, maka pastilah sekali suka aku mengalah untuk kau yang mem ukul lebih dulu." Ia lantas gunai kakinya membuat guratan bundar di tanah, dua lingkaran, untuk mereka seorang satu. Ia pun menambahkan: " Siapa yang keluar dari lingkaran dia pun terhitung kalah." "Bagus!" seru Ishii. "Aku berterima kasih yang kau suka mengalah." Keduanya lantas mengambil lingkarannya masing-masing, berdiri berhadapan. Ishii bernapsu sekali, segera ia ayun kepalannya dan menyerang. Ia mengarah muka orang. Ia pikir: "Biar Iweekang kau liehay, kau toh tidak bis a melatih dirimu menjadi berkepala besi!" Keng Sim mendak, maka kepalan lewat di atasan embun-embunannya. Hebat serangan Ishii, karena ia tidak mengenai sasarannya, tubuhnya maju ke depa n hampir roboh. Keng Sim sebaliknya berdiri diam, tubuhnya tidak miring, kakinya tidak bergerak, maka itu bukan dinamakan berkelit. "Masih ada dua lagi!" kata Keng Sim sambil tertawa. "Kau incarlah biar tepat!" Ishii pikir perkataan orang benar, ia harus mengincar biar betul. Keng Sim sudah lantas mengerahkan tenaga dalamnya, ia pasang dadanya. Ishii memasang ma- ta, terus ia menyerang. Kesudahannya, ia menjadi sangat heran, ia seperti mengha jar besi, kepalannya itu mental balik. "Tubuhnya kuat seperti besi, seperti tubuhku saja," pikirnya. "Nah, tinggal satu lagi!" berkata Keng Sim tertawa. "Kau hajarlah!" Ishii tidak membilang suatu apa, sembari menekuk dengkul, untuk memasang kuda-ku da, ia menyerang perut lawannya. Ia telah kerahkan tenaganya. Ia pikir, perut le mah, tidak nanti perut dapat dibikin kuat seperti besi. Ketika kepalannya mengenai sasarannya, kembali ia terkejut. Kepalan itu seperti memukul kapok, lal u kena tersedot. Belum lagi ia sempat menarik pulang kepalannya itu, Keng Sim su dah mengeropos semangatnya, perutnya dibikin melem-bung kaget. Maka Ishii kena tertolak keras, dia terpental mundur beberapa kaki. "Nah, sekarang giliranku!" kata Keng Sim tertawa. Ia angkat tinggi kepalanya. Ishii berdiri tercengang, herannya bukan buatan. Ia sampai memikir musuh menggun ai ilmu siluman. Tentu sekali, sekarang hatinya gentar. Tempo ia pandang Keng Si m, ia melihat sepasang alis yang berdiri, dua biji mata yang tajam, kepalan yang diangkat tinggi tetapi tidak segera dikasi turun... Bagaikan persakitan, Ishii diam saja, hatinya ciut. Beberapa kali pundaknya dian gkat. Cuma sebentar ia jeri, lantas ia besarkan hatinya. Ia tetap dan delapan. "Telur busuk, kau hendak memukul atau tidak?" achirnya ia menegur. Ia jadi mendongkol. Keng Sim tidak menjadi gusar, bahkan dia tertawa. "Aku akan segera memukul!" katanya, tetap tertawa. Ia benar lantas memukul, teta pi, belum lagi mengenai tubuh orang, ia sudah menarik pulang. ia menggertak. Ishii pengkeratkan lehernya, tubuhnya minggir sedikit, pundak kirinya diangkat n aik, seperti untuk membentur kepalan. Tapi kepalan Keng Sim telah ditarik pulang , percuma segala gerakannya itu untuk membela diri. Malah kaki kanannya menggese r setindak. "Bagerol" dia mendamprat saking sengit. Justeru ia bersuara, justeru serangan datang, tepat kepada pundak kanannya, di tulang piepee, karena tidak bersiap sedia, ia mesti mundur d ua tindak, hampir ia keluar dari lingkaran. Ia terkesiap, peluhnya mengucur kelu ar ketika ia lihat kakinya hampir keluar dari rel... Keng Sim cerdik, ia menduga bahagian lemah dari lawan ada di punggungnya, ia lalu mencari ketika untuk menyerang ke b ahagian anggauta itu. Tapi Hasegawa pun cerdik sekali, dia dapat menduga hati mu suh. Malah dia lantas memberi peringatan kepada kawannya: "Awas, si telur busuk hendak menggunai akal! Jagalah pun ggungmu, berdiri tegar, jangan miring!" Keng Sim mengarti bahasa Jepang, ia kagum untuk Hasegawa. Tetapi, berbareng deng an itu, ia pun sadar, maka dengan lantas ia menyerang. Tangannya dibawakan dari samping, ia jug a tidak meninju hanya menekan jalan darah soankie hiat di dada. Yang hebat adala h kesehatannya. Ishii sudah lantas berdiri pula di tengah-tengah lingkaran begitu ia menginsafi ia hampir keluar dari situ, ia menjaga diri akan tetapi ia masih merasakan sakit pada pundaknya. Ia telah mendengar peringatannya Hasegawa, ia mau berhati-hati. Begitulah ia menyingkir dari serangan dengan memutar tubuhnya. Inilah justeru y ang dikehendaki Keng Sim. Tepat bebokong orang menghadapi ianya, segera ia melanjuti serangannya ke jalan darah thiantjoe hiat, jalan darah yang terlemah. Sekalipun orang berlatih Kimtjiongtiauw atau Tiatpousan, siapa tertotok jalan darahnya itu, dia mesti celaka. Demikianlah Ishii Taro, lantas saja dia menjerit, dari mulutnya menyembur darah hidup. Dia tertotok tepat, tubuhnya terus roboh. Jago-jago Nippon menjadi kaget, mereka memburu untuk meno-longi. Ishii berwajah pucat, napasnya empas-empis. Dia telah terluka di bahagian dalam. Jago-jago Nippon itu menjadi panas hatinya, mereka maju mengham-pirkan Keng Sim, wajah mereka menunjuki kemarahan mereka. Keng Sim dapat lihat sikap mengancam itu, ia gendong kedua tangannya di punggung nya, sembari tertawa, ia kata: "Adakah ini semangat bushido dari Nippon?" Mendengar itu, Hasegawa berseru: "Semua mundur!" Sejenak itu, sunyilah gelanggang itu. Semua jago Nippon berhenti beraksi. Dengan tindakan tetap, Hasegawa meng-hampirkan. Ia berwajah bermuram durja. "Kau juga mundur!" berkata Hasegawa pada Keng Sim selagi orang hendak menegur padanya."Tahukah kau, siapa aku? Aku ada dan sembilan, kau bukan tandingan ku! Siapa pemimpinmu?" Mendahului Keng Sim, Pit Kheng Thian sudah lantas majukan dirinya. Ia bukannya p emimpin akan tetapi ia anggap dirinya begitu. Ia maju begitu lekas perkataan Has egawa diterjemahkan. "Kau cari aku?" dia kata sambil tertawa. "Bagus, bagus sekali! Hendak aku belajar dari kau, dan sembilan!" Hasegawa memperlihatkan jempolnya. "Kaulah si pemimpin besar?" dia tanya. Di pihak Nippon terdapat pengchianat, mak a itu mereka ketahui siapa jadi toaliongtauw di lima propinsi Utara. Cuma Hasega wa tidak tahu apa itu toaliongtauw, yang ia ketahui hanya pemimpin besar. Kheng Thian puas sekali. "Kiranya kau ketahui namaku yang besar?" pikirnya. Teru s ia tertawa. Lalu ia menjawab: "Orang gagah kita banyak, tidak sedikit yang menangi aku, tetapi kau tidak usah menemui pemimpin kami..." "Jadi kau bukan si pemimpin besar?" Hasegawa mengawasi, matanya mendelik. "Maaf untuk pujian- mu? Tidak berani aku mengangkat diriku menjadi pemimpin besar!" ia menjawab. "Bangsa kamu tidak jujur! Apa perlu kamu merendah tidak keruan?" menegur Hasegaw a. "Baiklah, sebagai dan sembilan, aku tantang pemimpin besarmu!" Seluruh gelanggang sunyi senyap. Terutama di pihak Nippon, hati mereka kebat-keb it. Mereka senang jago mereka maju, tapi di sebelah itu, mereka kuatir jago ini pun gagal dan mereka bisa dapat malu besar. Di sini terletak kehormatan mereka! Maka mereka mengawasi dengan mata dibuka lebar-lebar. Hasegawa dan Pit Kheng Thian saling mengawasi. Keduanya sudah siap sedia tetapi tidak ada satu yang hendak mulai turun tangan. Juga Sin Tjoe dan Keng Sim kurang tenang pikirannya. Mereka sudah bertempur, mereka insaf sulitnya merobohkan musuh dan delapan. Sekarang Pit Kheng Thian men ghadapi dan sembilan. Kheng Thian pun mengaku sebagai pemimpin mereka. Tidak bai k kalau sahabat ini gagal. Selagi banyak mata mengawasi mereka berdua, tiba-tiba Kheng Thian dan Hasegawa berseru berbareng, tubuh mereka sama-sama dimajukan, untuk menyerang. Keng Thian sudah lantas mengg unai ilmu silat Toasoet paytjioe, Tangan Bantingan. Ia memang bertenaga besar, i lmu silat ini cocok untuknya. Keng Sim kagum menyaksikan kawan itu mengerahkan tenaganya. Di pihak Hasegawa, dia pun menyambut serangan itu. Baharu mereka bergebrak, atau keduanya telah mun dur sendirinya, dengan terhuyung tiga tindak. Kejadian ini mengherankan para penonton. Cuma Keng Sim ya ng terkejut untuk caranya Hasegawa. Dia ini nyata menggunai tipu meminjam tenaga lawan. Hanya saking hebatnya Kheng Thian, dia pun turut mundur. Hasegawa menggunai Jujitsu, yang asal mulanya adalah ilmu silat Thaykek Koen yan g dibawa masuk ke Nippon di mana ilmu itu diolah pula hingga menjadi sedikit ber beda. Di puncaknya kemahiran, dengan itu orang bisa meminjam tenaga lawan untuk melayani atau merobohkan lawan. Kheng Thian kehilangan keseimbangan tubuhnya ketika ia ditim- pali Hasagawa itu, sedang ia telah kerahkan seluruh tenaganya, syukur untuknya, ia pun paham /weekang dengan baik, ia masih sempat mempertahankan diri, hingga t idaklah ia sampai roboh. Tadi itu, ia maju menyerang dengan tangan kanannya mengancam, dengan tangan kiri ia bekerja, menotok jidatnya lawan di jalan darah pekhouw hiat. Ia gagal, tubuhnya maju ke depan, ta pi segera ia menahan diri seraya terus mundur, maka juga ia mundur dengan terhuy ung. Segera setelah bergerak pula, Kheng Thian bersilat dengan ilmu silat Hangliong T jiang, atau Menaklukkan Naga, tangan kirinya keras, tangan kanannya lemas. Ia tidak sudi merapatkan diri . Sebaliknya, Hasegawa ingin bertempur rapat, supaya ia bisa menyekal lawan, untuk dibanting atau dibikin ter pental. Maka kedua pihak tidak lantas dapat mewujudkan pengharapan mereka. Lagi beberapa puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya. Pihak Nippon menjadi heran. Kenapa jago mereka tidak juga berhasil? Inilah tidak biasanya. Pertandingan ini pun tidak seseru tadi. Mereka tidak mau pikir, siapa lawannya jago mereka itu. Sebaliknya, Keng Sim dan Sin Tjoe ketahui, pertempuran lagi mendekati sa at terachir, puncaknya kehebatan. Kheng Thian sebenarnya cemas sendirinya. Keng Sim dan Sin Tjoe menang dengan gam pang, hasil mereka gemilang. Ia sendiri? Kalau ia kalah, sungguh memalukan, apa pula ia telah menempati diri sebagai toaliongtauw... Ia tahu, dua -dua Keng Sim merobohkan lawan mereka itu dengan ilmu totok. Ia sudah mencobanya , ia selalu gagal. Ia sendiri, sebaliknya, tidak dapat kasi dirinya ditempel law an itu. Lagi beberapa jurus, baharulah Sin Tjoe dan Keng Sim berlega hati. Keng Sim kata pada kawannya: "Pit Toako dapat berlaku keras dan halus, dengan begini, walaupu n ia tak dapat menang, tidak nanti ia kalah. Dan asal seri, pihak kita menang." Sin Tjoe mengangguk. "Dalam halnya kepandaian, kelihatannya Hasegawa menang setingkat," ia kata. "Syukur Pit Toako liehay ia punya Hangliong Tjiang dan tenaga dalamnya lebih sempurna. Dengan berlaku tenang, ia tidak bakal kalah, yang aku kua-tirkan ialah ia kurang sabar..." Baharu Sin Tjoe mengatakan demikian, sudah terlihat Kheng Thian mengubah cara be rkelahinya, ia menyerang hebat sekali umpama kata bagaikan gelombangnya sungai T iangkang yang menggulung saling susul. Hasegawa terdesak, ia mesti main mundur, hingga kawan- kawannya mengawasi dengan hati memukul. "Inilah berbahaya..." kata Keng Sim pelahan. Segera terlihat Kheng Thian berlompat maju, tangan kirinya dimajukan, untuk mementang lengan Hasegawa, terus satu jeriji tangannya dipakai menotok jalan darah tionghoe hiat. Serangan itu hebat tetapinya pun berbahaya untuk si penyerang sendiri. Sin Tjoe kurang mengarti. "Kau artikan bagaimana?" ia tanya Keng Sim. Belum lagi si orang she Tiat menyahuti, Hasegawa nampak sudah beraksi. Dia membebaskan diri, sebaliknya dengan sebat, dengan kedua tangannya, dia pegang lengan Kheng Thian, untuk terus diteli kung ke belakang. Di kalangan Jujitsu, itulah yang dinamakan tipu "Membalik tang an, melempar sendiri." Di mana lengan Kheng Thian sudah dipegang, asal Hasegawa meng erahkan tenaganya, mesti Kheng Thian kena dibanting roboh. Di luar dugaan, kedua lawan itu nampak berdiri tegar bagaikan patung batu. Haseg ewa tetap memegangi, ia tidak angkat tubuh orang untuk dibanting. Kheng Thian menanc ap kedua kakinya bagaikan ia sebuah tunggak, tubuhnya tidak bergeming. Kedua pihak saling mengawasi, sinar mata mereka bengis, tandanya keduanya gusar satu pada lain. Di mata penonton, mereka itu nampaknya l ucu. Kheng Thian telah menggunai kesehatan tangannya, hendak ia menotok. Percobaannya itu gagal. Ketika ia dapat menotok, ia rasai perut lawan menjadi ciut, serangan nya gagal sendirinya. Ia terkejut, ia tahu ia terancam bahaya terbanting, maka ia lantas tabahkan hati seraya memasang kuda-kuda memberatkan tubuhnya. Den gan begitu ia tidak dapat diangkat, untuk dibanting. Hasegawa memikir untuk membanting lawannya, ia tidak dapat mewujudkan itu. Ia memegang lengan Kheng Thian tetapi l engan itu lembek. Untuk dapat membanting, ia mesti pinjam tenaga lawan, sekarang lawan itu seperti hilang tenaganya. Ia pun tidak dapat mengangkat, lantaran kud a-kudanya Kheng Thian teguh sekali. Maka keduanya saling berdiam, mereka sama-sama tidak berani melepaskan lengan lawannya atau menggeser kakinya. Pihak Nippon berdiam bengong, habis itu, mereka terbenam dalam kekuatiran. Keng Sim pun cemas. Ketika Sin Tjoe lihat sikap orang, kesan baiknya ter hadap orang she Tiat itu bertambah, karena ia tahu, di antara Keng Sim dan Kheng Thian itu ada ganjalan tak terkenta -rakan. Dalam kekuatirannya, pihak Nippon membikin banyak berisik. Sin Tjoe tidak tahu a pa yang mereka perkatakan, sebab ia tidak mengerti bahasa Nippon. Ia lantas mint a keterangan dari Keng Sim. "Mereka itu tidak puas," sahut Keng Sim. "Mereka kalah, mereka bilang pihak kita menggunai ilmu siluman begitupun sekarang Kheng Thian terhadap Hasegawa." Sin Tjoe bersenyum ewah. "Mereka umumnya tidak tahu liehaynya ilmu silat kita, apa begitu cupat juga pand angan dan mereka yang ke tujuh dan ke delapan?" dia bertanya. Keng Sim pun ce- mas. "Mungkin pemimpin mereka di belakang layar hendak menggunai akal busuk," katanya . "Rupanya dia hendak mengasut supaya orang-orangnya menyerang kita secara serampangan. Biasanya semangat bushido meng alah sesudahnya kalah. Ketika ini mungkin mereka pakai untuk mengacau..." Dugaan Keng Sim ini tepat. Malah segera terlihat orang-orang yang berjalan meng- hampirkan. Di antara mereka ada Kagawa dan delapan, yang tadi dirobohkan Sin Tjo e, tapi habis dipale, dia dapat pulang tenaganya. Keng Sim jadi mendongkol. "Beginilah semangat bushido kamu!" ia menegur. Dasar dan delapan, Kagawa jengah sendirinya, ia merandak. Adalah di saat itu, di kejauhan terdengar suara berisik bagaikan guntur. Segera setelah suara itu, satu perompak yang dandan sebagai opsir berkata dengan nyarin g: "Orang China tidak dapat dipercaya! Di satu pihak mereka kirim orang bertandi ng sama kita, di lain pihak mereka menyerang tangsi kita! Kita mesti bunuh habis semua telur busuk ini!" "Telur-telur busuk ini memakai ilmu siluman menjatuhkan jago-jago kita, mereka m esti dibasmi!" berseru beberapa orang di antara rombongan Nippon itu. "Maju!" Benar-benar beberapa orang, yang bersenjatakan golok dan tombak, sudah lantas ma ju. Keng Sim jadi men- dongkol sekali. Ia menyampok tombaknya dua orang yang maju paling depan, hingga tombak itu mental tinggi dan jauh. Setelah itu ia cabut pedangnya seraya berseru: "Kamu menghendaki ilmu silat sejati?" Terus ia membabat dengan pedangnya itu, maka beberapa golok Nippon lantas kena ditabas kutung! Mereka itu berjumlah besar, mereka pun tidak jeri, mereka merangsak terus. Di ac hirnya, Keng Sim dan Sin Tjoe menjadi repot juga. Bahkan Keng Sim segera kena di kurung. Beberapa musuh menuju ke arah Kheng Thian. Melihat sikap mereka itu, Sin Tjoe te rkejut. Keng Sim terancam bahaya tetapi tak sehebat ancaman Kheng Thian, karena toaliongtauw itu lagi me- layani Hasegawa. Umpamakata, satu bocah pun bisa serang Kheng Thian tanpa dia ini dapat mengelakkannya. Maka tidak bersangsi pula, Sin Tjoe berlompat melewati kepala beberapa orang, untuk menolo ng Kheng Thian itu. Sejumlah musuh berteriak-teriak melihat orang berlompat tinggi. Malah musuh yang bersembunyi, yang bersenjatakan panah, sudah lantas menyerang. Karena ini, sela gi mendekati Kheng Thian, Sin Tjoe kena terhalang anak panah. Terpaksa, lantaran bisa berlompat lebih jauh, ia gunai pedangnya menangkis anak-anak panah itu. Ketika itu terlihat Kagawa dengan golok di tangan, lari mendatangi. Kelihatannya dia gusar sekali, dari mulutnya terdengar kata-kata keras. Sin Tjoe tidak mengarti bahasa Nippon, ia tidak tahu apa yang o rang bilang. Ia cuma menduga, orang tentu benci ia sebab ialah yang merobohkan o rang itu. Cuma sebentar saja, Kagawa sudah lantas bertempur sama si Nona Ie. Beberapa musuh yang tadi memburu kepada Kheng Thian, karena tidak ada yang halan gi, telah datang dekat kepada lawannya Hasegawa itu. Sin Tjoe lihat ini, ia jadi berkuatir bukan main. Sebab tidak ada lain jalan untuk menolongi kawan itu, ter paksa ia berlompat menyingkir dari Kagawa, terus ia menimpuk dengan tiga buah ki mhoa kepada mereka itu. Justeru itu, Kagawa lompat membacok, maka terpaksa Sin T joe memutar tubuh, untuk menangkis. Hasegawa masih berkutat sama Pit Kheng Thian, ia dapat melihat orang hendak memb antui padanya, tentu membantu dengan cara mengepung. Dasar ia dan sembilan, ia t idak senang sama cara mengeroyok itu. "Kamu semua mundur!" ia bentak mereka itu. Adalah itu waktu, dua buah kimhoa menyamber dua orang Nippon. Tidak ampun lagi, mereka itu roboh. Hebat adalah kimhoa yang ketiga, yang menyamber ke arah Hasega wa. Untuk menolong diri, terpaksa jago ini melepaskan pegangannya kepada Kheng Thian, samb il berseru, ia menangkis serangan senjata rahasia itu dengan satu sampokan. Ia b erhasil, kimhoa mental jauh. "Bagus!" Kheng Thian berseru. "Kau tidak sudi orang bantui, begitu juga aku! Mar i kita bertempur terus!" Sebenarnya selagi orang melepaskan cekalannya dan membentak kawannya, Kheng Thian bisa membarengi menghajar musuh i ni, tetapi sebab ia dapatkan orang satu laki-laki, ia tidak ingin berlaku curang . Ia juga hendak jaga baik namanya sebagai toaliongtauw. "Bagus! Kau benar seorang gagah!" berkata Hasegawa, dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar. Ia menepuk ke pinggan gnya, dari mana segera ia mencabut keluar sebatang golok yang tajam mengkilap. Y ang luar biasa ialah golok itu lemas hingga dapat dilibatkan di pinggang. Senjata Kheng Thian adalah toya Hangliong pang, karena ia bertanding dengan tang an kosong, ia tidak bekal senjatanya itu. Hasegawa telah tidak mengasi ketika padanya, dua kali beruntun ia diserang hebat , hingga ia mesti berlompatan mundur. Menampak orang terdesak, Hasegawa tertawa berkakakan. Dengan tiba-tiba saja ia s amber golok seorang kawannya, golok mana terus ia lempar pada lawannya itu. "Sambutlah! Kita bertempur dengan bersenjata golok!" katanya. Ia berlaku adil te tapi sebenarnya, imbangan kipa. Ia memegang goloknya sendiri. Kheng Thian sebali knya asing dengan golok orang itu. Maka itu, ia kembali terdesak. Oleh karena mereka terpecah tiga, Kheng Thian, Sin Tjoe dan Keng Sim tidak dapat berhubungan satu d engan lain. Kheng Thian melayani satu musuh, walaupun ia terdesak, ia tidak tera ncam bahaya langsung. Sin Tjoe liehay pedangnya, ia dapat membela diri. Berbahay a adalah Keng Sim, yang dikepung enam musuh. Syukur Teng Bouw Tjit dan The Kan L ouw, yang berada paling dekat, sudah lantas menyerbu mendekati dia, maka sebentar kemudian, mereka bertiga bisa merapatkan diri melay ani musuh yang mengeroyok itu. Bouw Tjit bersenjatakan cambuk djoanpian, ia dapa t menyerang jauh begitu juga Kan Louw, yang gegamannya bandring gembolan, maka s iapa terbandring, kepalanya hancur, tubuhnya re- muk. Mereka ini segera meminta kurban. Begitu juga Keng Sim, yang mengambil kedu dukan di tengah, yang main papas jari tangan orang, hingga orang tidak dapat ter us memegang senjatanya masing-masing. Melihat tiga musuh liehay, pihak Nippon tidak berani merapatkan diri, mereka mai n mengurung saja. "Kita mesti lab- rak mereka!" kata Keng Sim achirnya. "Dapat satu sudah pulang m odal, dapat dua sudah untung, tetapi kita mesti dapat membinasakan lebih!" Dan s egera dia mulai menerjang hebat. Ia ingin membuka jalan. "Tiat Siangkong, jangan terburu napsu," Bouw Tjit memberi ingat. "Yap Toako suda h mengatur siasatnya, dari itu kita bertiga jangan mengacau siasatnya itu." Keng Sim suka percaya keterangan ini, karena ia ketahui ketjermatannya ketua itu . Karenanya, hatinya jadi lega. Dengan berhati lega, ia dapat emposan semangat. Ketika itu dua musuh dan enam hendak membokong Bouw Tjit. Mereka maju dari belak ang Keng Sim, yang kebetulan maju ke depan. Bouw Tjit tidak ketahui itu. Tapi Ke ng Sim bermata celi. Mendadak saja ia putar tubuhnya dan pedangnya menyambar. Te pat ia dapat membabat jeriji tangan kedua musuh itu! Bouw Tjit ketolo-ngan, ia lantas ambil kesempatan akan melepaskan dua batang tjoayam tjian, panah ular api, yang meluncur ke atas denga n mengeluarkan sinar biru. Dengan pertandaan ini ia minta bantuan. Melihat panah itu, kawanan perompak menyiapkan pasukan yang bertameng rotan, mereka ini membantu dengan maju di muka , tamengnya diatur rapi. Jumlah tameng ada beberapa puluh buah, semuanya menjadi tedengan atau tirai, untuk melindungi sambil maju setindak demi setindak. Sekarang ini sulit untuk Keng Sim membabat jari tangan musuh. Tameng menjadi rin tangan. Kalau toh ada serdadu tameng yang roboh, segera datang gantinya. Karena ini, mereka bertiga mulai terdesak. Barisan tameng itu berjumlah seratus jiwa le bih. Dalam saat sangat mengancam itu untuk Keng Sim bertiga, mendadak terdengar sua ra sangat berisik di luar lapisan kurungan, menyusul mana, tertampak tentera peromp ak menjadi kacau, di antara mereka segera tertampak lebih jauh datangnya satu pasuk an serdadu. "Bala bantuan datang!" Keng Sim berseru setelah ia melihat tegas kepada pasukan yang baharu sampai itu. Pasukan itu kecil saja, jumlahnya tak sampai seratus jiwa. Pakaian mereka juga a neh ragamnya, ialah dandanan dari segala nelayan. Jadi mereka bukannya pasukan rakyat suka rela, menampak mana, Keng Sim kehilangan kegembiraannya. Segera setelah datang terlebih dekat, dari dalam pasukan itu terlihat munculnya seorang tua yang jenggotnya panjang, yang tangannya menyekal senjata seperti boneka rumput, tetapi dengan itu, satu kali i a menyerang musuh, lantas ada beberapa musuh yang terpelanting dan roboh. Sebab gerakannya itu adal ah gerakan Toasoet paytjioe, dalam hal mana, orang tua itu ada terlebih mahir daripada ini pemuda she Tiat. Keng Sim kagum bukan main tetapi kekagumannya itu segera berubah menjadi kegirangan tidak terkira, sebab sejenak kemudian, ia dapa t mengenali orang tua kosen itu yang bukan lain daripada gurunya. Kalau pada mul anya ia tidak menyangka, inilah disebabkan ia tak pernah memikirnya. Di antara guru dan murid ini, perpisahannya lebih banyak daripada pertemuannya, apa pula selama beberapa tahun yang belakangan ini gurunya itu, ialah Tjio Keng To, sudah mengangkat kaki pergi jauh ke luar negara hingga Keng Sim tidak ketahui lagi ge rak-geriknya. Maka sekarang munculnya sang guru secara tiba-tiba ini sungguh di luar terkaannya. Maka juga ia heran berbareng girang sekali. Pasukan nelayan itu berjumlah kecil tetapi mereka hebat, mereka dapat satu melaw an sepuluh, maka itu setelah mendobolkan kurungan lapis luar, mereka sudah lanta s menerjang barisan tameng, hingga barisan tameng ini mesti membalik diri guna melawan mereka. Si orang tua segera memberi tanda kepada muridnya, yang ia kenali, setelah mana dia maju terus, untuk menghampirkan Pit Kheng Thian dan Hasegawa, justeru dua musuh itu lagi menghadapi saatnya yang dah syat. Kheng Thian menyerang dengan goloknya, Hasegawa menangkis. Hebat tangkisan ini, Kheng Thian sampai kag et hampir menjerit, disebabkan telapakan tangannya dirasakan sangat sakit, sampa i goloknya terlepas dari cekalan dan terlempar, terus disamber lawannya, yang de ngan lantas membikinnya patah dua, setelah mana, jago asing itu meneruskan menik am lawannya! Di saat mati hidup itu, belum sempat Kheng Thian berdaya, tiba-tiba ia merasa ad a orang sambar tubuhnya dan terus diangkat, hingga di lain detik, tubuhnya itu terlempar di udara, berjumpalitan dua kali, lalu turun ke tanah. Ka rena ia membantu menggeraki tubuhnya, ia jatuh berdiri dengan tidak kurang suatu apa. Kapan ia melihat ke depan, ia tampak seorang tua tengah menghadapi Hasegaw a dengan si orang tua bersenyum dingin. "Hai, orang tua, apakah yang kau tertawakan?" Hasegawa membentak, murka. "Aku tertawakan kau bangsa udang dari negara pulau!" menyahut si orang tua, ialah Tjio Keng To. "Kau meniru kepandaian Tiongkok, baharu mengerti beberapa jurus ilmu silat golok, lantas kau aguli diri mu!" Tjio Keng To bicara dalam bahasanya sendiri, Hasegawa dapat mengarti dengan ba ik. Dia memang lebih mengarti mendengar daripada berbicara dalam bahasa Tionghoa. Dia gusar atas teguran itu walaupun ia menginsafi, pelaja ran silatnya benar ada cangkokan dari Tiongkok. Oleh bangsanya, kepandaian itu d ianggap milik sendiri, bangsanya tak mengaku menjadi murid malah sebaliknya me-n gagulkan diri. Dia ada dan sembilan, belum pernah dia memperoleh penghinaan, mak a itu tanpa banyak omong lagi, dia menantang: "Kau hunus golokmu, mari kita bert anding!" Keng To ada menggantung pedang di pinggangnya akan tetapi ia tidak hunus itu. Itulah hinaan hebat untuk Hasegawa, dia murka tak terkira. Dalam murkanya itu ia tapinya masih dapat tertawa bergerak. Ia kata dengan nyaring: "Baiklah! Sebenarnya tidak biasa aku membinasakan orang tak ternama, aku juga tidak niat membunuhmu, akan tetapi kali ini kaulah yang menye rahkan dirimu kepada golok!" Lantas saja ia maju menyerang, dengan lebih dulu me nekuk bengkok pedang lemasnya itu. Keng To berkelit, sembari berkelit ia menyusuli dua jari tangannya untuk menindi h belakang golok, hingga Hasegawa menjadi heran, sebab ia tidak menyangka orang demikian sebat dan tekenannya pun berat. Tapi goloknya lemas, ia lekas menarik p ulang, guna dipakai membacok. "Jikalau kau dapat melayani aku tiga jurus, suka aku mengasi ampun pada jiwamu!" kata Keng To, yang kagum untuk kegagahan orang. Ia berkata sambil tertawa. Ia berkelit pula dari ba cokan itu. Hasegawa tidak gubris ancaman itu. Ia lihat orang tua dan tidak bersenjata, kala u ia kalah, atau jatuh di bawah angin, ia malu sekali, maka itu dalam murkanya, tanpa berpikir pula, ia ulangi serangannya. Menyaksikan sikap orang itu, Keng To tertawa lebar. Sekarang ia tidak berkelit l agi. Dengan kibaskan tangan bajunya, ia menangkis. Tangan baju itu, yang lebar, pun dapat membuat matanya Hasegawa kealingan. Di lain pihak, dengan tangan kirinya, dengan jari ta ngan, ia menyentil. Dengan memperdengarkan suara "Trang!" maka golok itu mental balik, hampir saja membentur jidat majikannya sendiri. Maka Hasegawa mesti mendak, untuk berkelit. Justeru itu, Keng To mengibas pula dengan tangan bajunya, kali ini Hasegawa mera sakan sakit pada telapakan tangannya. Tempo ia mencoba untuk meng-geraki golokny a, ia terkejut. Golok itu seperti dililit tangan baju, tidak dapat dikasi berger ak. "Masih kau tidak hendak melepaskan golokmu?" Keng To membentak dengan ancamannya . Tapi ia bukan cuma mengancam, ia terus menarik tangannya, dengan begitu tangan bajunya ikut bersama. Hasegawa masih tidak mau melepaskan cekalannya, dengan begitu dengan sendirinya tubuhnya kena ditarik maju. Tentu saja ia kaget tidak terkira. Ia tahu orang menggunai tenaga pinjaman, dan tenaga orang itu jauh lebih menang dar ipada tenaganya sendiri. Celakanya ia telah mencoba akan meloloskan goloknya itu, kesudahannya sia-sia be laka. Maka terpaksa ia melepaskan cekalannya, tubuhnya sendiri berlompat mundur untuk terus lari. Dengan demikian, dalam tempo ancamannya Keng To, sebagai dan sembilan, satu jago , ia kalah dengan kecewa, meninggalkan golok dan lari... "Golok yang jempolan!" berkata Keng To. "Pantas golok ini dihadiahkan kepada mur idku! Eh, aku telah beri ampun pada jiwamu, mari serahkan sarung golok itu!" Hasegawa dengar suara itu tetapi ia lari terus, atau mendadak ia rasa ada orang menepuk pundaknya. Ia lantas memutar tubuh seraya menyerang ke be lakang. Gagal serangannya itu. Ia lihat Keng To terpisah dari ia setombak lebih dan di tangannya orang tua itu tercekal sarung goloknya, yang di luar tahunya ru panya telah diloloskan dari pinggangnya. Semua kawannya Hasegawa kaget sekali. Tadinya mereka tidak berani membantui, sebab Hasegawa ada dan sembilan. Sekarang pemimpin itu kena dikalahkan secara de mikian mengecewakan, terpaksa mereka itu memburu. Hasegawa menanti sampai kawan- kawannya itu tiba, terus ia merampas sebatang golok. "Sudahlah!" serunya, yang mana disusuli dodetannya kepada perutnya merupakan silang empat, maka selagi darahnya berhamburan, tubuhnya robo h, jiwanya melayang. Dia telah menjalankan harakiri menepati kebiasaan bushido. Lebih baik terbinasa daripada terhina! Pihak perompak kate menjadi murka sekali. Kagawa Ryuki dan delapan sudah lantas tinggalkan Ie Sin Tjoe, untuk memimpin kawan-kawannya guna mengurung Tjio Keng T o. "Sekarang bolehlah aku mencoba-coba pedangku sendiri!" kata Keng To dengan berani, sembari tertawa. Dan ia hunus ped angnya, ia bulang-balingkan itu ke arah musuh, hingga di antara suara trang-tren g-trong, banyak golok musuh yang terbabat kutung. Pedang Keng To ini ada pedang curian dari istana, yang membuatnya ia dicari pemerintah. Pedang itu tak usah kalah dengan p edang Tjengbeng kiam dan Pekin kiam buatan Hian Kie Itsoe. Dengan bersenjatakan pedang, ia bagaikan harimau tumbuh sayap. Ia lantas bekerja sama dengan Ie Sin T joe, yang telah menghubungi diri kepadanya. Pit Kheng Thian juga bekerja keras untuk melabrak musuhnya, cuma disebabkan musu h berjumlah besar dan mereka nekat, mereka hendak menuntut balas untuk Hasegawa, mereka jadi berani luar biasa. Yang satu roboh, yang lain merubul merangsak. Barisan nelayan yang dipimpin Keng To pun gagah sekali. Mereka itu bersenjat akan gaetan dan golok, dengan itu mereka menggaet ta- meng musuh, untuk terus membacok. Dengan tameng, musuh lebih banyak menjaga di atas, dari itu kaki mereka tidak te rlindung sempurna, kaki merekalah yang diarah. Lekas sekali mereka roboh separuh nya, maka yang separuh lagi terpaksa lari menyingkir. Begitu lekas ia bebas dari kurungan, Tiat Keng Sim memburu ke arah gurunya, untu k membantu gurunya itu melabrak musuh. Adalah di itu saat, di luar kurungan musuh terdengar suara menggelegar dari meri am, berulang-ulang, menyusul mana terlihat menerjangnya satu pasukan tentera di bawah pimpinan satu orang yang bersenjatakan golok, yang kemu dian ternyata ada Vo Tjong Boe, salah satu pembantunya Yap Tjong Lioe. Dia itu berseru-seru: "Tentera perompak di bahagian luar sudah dilab rak musna, tinggal yang di sini saja, mari kita usir mereka ke laut!" Pemimpin perompak licin sekali. Sejak dua hari yang lalu mereka sudah dapat kaba r, di hari pertandingan ini bakal datang bala bantuannya, terdiri dari seribu ji wa lebih. Dia anggap bala bantuan ini masih kurang, maka dia mengatur tipu menan tang pieboe. Selagi orang adu kepandaian, dia mengatur serangan di tiga jurusan. Di barat Taytjioe, yaitu di pelabuan Samah, bala bantuannya akan menyerang bela kangnya tentera rakyat. Untuk maju di muka, dia pakai pasukannya sendiri. Lagi s atu ialah penyerangan dari pasisir di mana pieboe diadakan. Di sini jumlah serdadunya seribu jiwa lebih. Mengenai pieboe, Hasegawa percaya d ia bakal menang. Dia anggap pihaknya kuat sekali. Dia tidak sangka, dia kalah da n dia sendiri mesti harakiri. Dua tentera sayapnya siang-siang sudah kena dibasmi. Hagasegawa licin, Yap Tjong Lioe lebih cerdik lagi. Tjong Lioe mencurigai musuh, maka supaya tidak terbokong, dia mengatur penjagaan. Syukur untuknya, dia pun se cara kebetulan dapat bantuannya Tjio Keng To dengan seratus lebih nelayannya yan g tangguh, yang asalnya ada tentera rakyat di pelbagai pulau Laut Timur. Tjong Lio e dapat tahu datangnya Keng To, dia segera minta jago tua langsung membantu pihaknya yang lagi pieboe. Demikian pihak perompak dilabrak, hingga sisanya kabur ke pesisir. Dari seribu j iwa lebih, mereka ini tinggal seratus lebih. Dengan naik perahu mereka, mereka k abur ke tengah laut. *** Sin Tjoe puas sekali dengan kemenangan itu. Dengan sapu tangannya ia susuti dara h di pedangnya yang ia sayang itu. Tjengbeng kiam benar istimewa, cuma sedikit d arah yang nempel, dan sinarnya tetap ber-gemirlapan. Keng To pun ketarik, ia ter us mengawasi pedang orang. Di saat Sin Tjoe mau masuki itu ke dalam sarungnya, tiba-tiba ia menyambar, hingga si nona terperanjat. "Tjio Lootjianpwee, mengapa kau main-main?" ia tanya, heran. Keng To tidak segera menyahuti, hanya ia saling bacoki Tjengbeng kiam dengan ped angnya sendiri, hingga kedua senjata bentrok keras tetapi tidak ada yang rusak. Menampak itu, Sin Tjoe heran berbareng sadar. "Ya," pikirnya. "Dia pernah kalah oleh pedang Thaysoetjouw, lantaran itu, dia curi pedang di istana, sekarang dia coba kedua pedang itu..." Keng To tertawa terbahak, terus kembalikan pedang si nona, yang menyamar sebagai seorang pemudi. Ia pun tanya: "Kau pernah apa dengan Hian Kie Itsoe?" "Ialah Thaysoetjouw -ku," Sin Tjoe jawab. "Jadi gurumu ialah Thio Tan Hong?" "Benar. Soehoe sering menyebut-nyebut lootjianpwee, yang ia kagumi," kata pula S in Tjoe, yang terus memberi hormat, katanya, untuk sekalian mewakilkan gurunya. Keng To kagum hingga ia menghela napas. Ia kata: "Muridnya begini sempurna, maka dapatlah diketahui tentang gurunya. Orang kangouw merendengi aku dengan Thio Tan Hong, kami disebut empat ahli pedang besar, sebenarnya, aku malu sekali." Ia tertawa, ia meneruska n: "Ini dia yang dibilang, gelombang sungai Tiangkang yang di belakang mendampar yang di depan orang muda di dunia mengganti kan mereka yang tua. Kamu muda dan gagah, aku malu, tetapi aku pun girang sekali !" Keng To ini lebih tinggi tingkat derajatnya dibanding sama Thio Tan Hong, sebali knya guru Tan Hong serta Tiauw Im Hweeshio dan Tang Gak, tidak ia pandang mata, maka ia tidak puas yang orang rendengi ia sama Tan Hong itu, tetapi sekarang men yaksikan kegagahan Sin Tjoe, berubahlah pandangannya, sekarang ia insaf, Tan Hon g memang lebih liehay daripadanya. Dengan begitu pun padam pula minatnya mencari Hian Kie Itsoe untuk bertanding pula. Pit Kheng Thian berlari-lari kepada jago tua itu, guna menghaturkan terima kasih , akan tetapi belum sempat ia mengucap sepatah kata, orang she Tjio itu sudah dului ia. "Tidak usah, tidak ada artinya," kata Keng To, tertawa. "Hoohan toh..." "Inilah Pit Toaliongtauw dari lima propinsi Utara," Bouw Tjit mendahul ui memberi keterangan. "Ha, kiranya toaliongtauw Pit Kheng Thian!" kata Keng To. "Sudah dua tahun aku s i tua berada di perantauan, toh pernah aku dengar, namamu yang besar. Dari murid -muridku, kelihatannya cuma Tiat Keng Sim yang dapat dibanding denganmu. Ya, per nahkah kau bertemu sama murid-muridku?" Kheng Thian girang mendengar ia dipuji, tapi lantas merasa tidak puas yang ia di samakan dengan murid orang, tak kepuasan itu segera terutara pada paras mukanya. Justeru itu, Keng Sim muncul, maka Keng To berkata: "Nah, ini dianya! Apakah kamu telah kenal satu dengan lain?" Kheng Thian paksakan diri tertawa ketika ia menyahuti: "Murid lootjianpwee muda dan gagah, dalam penumpasan perompak ini, banyak aku menerima bantuannya." Keng To girang sekali, ia cekal tangan orang, yang ia ajak bicara tak hentinya, hingga Keng Sim tidak sempat menyelak. Maka anak muda itu lantas pasang omong sa ma Sin Tjoe, keduanya girang, mereka pun tertawa-tertawa. Melihat sikap mereka itu, Kheng Thian tak enak sendirinya. Ia ingin dekati mereka, guna membuyarkan, tapi Keng To terus mengajak ia bicara. Di sepanjang jalan pulang, Keng Sim pikirkan Sin Tjoe. Ia sudah curiga, sekarang ia lihat orang menyusuti pedang dengan sapu tangan, tambah kecu rigaannya itu. Tidak ada priya lain yang memakai semacam sapu tangan. Sembari ja lan, mereka bicarakan hal pieboe tadi. Jauh di tengah laut masih terlihat titik- titik hitam, ialah perahu-perahu perompak yang sudah berlayar jauh sekali. "Ie Siangkong, tadi kau melayani musuh dan delapan, tubuhmu enteng sekali, gerak-gerakanmu sangat lincah dan indah, apakah namanya ilmu silatmu itu?" Keng Sim tanya kemudian. "Itulah ilmu ajarannya soebo-ku," sahut Sin Tjoe. "Namanya ialah Menembusi Bunga Mengitarkan Pohon. Kau tidak tahu, rumah kita di Thayouw indah sekali dan soebo gemar bunga, di depan rumah ia banyak menanam pohon mawar, lie, tho dan bwee. Setiap musim semi, semua bunga itu berkembang permai. Di situlah aku ikuti soebo belajar ilmu enteng tubuh. Selama dua tahun bukan saja aku tidak dapat susul soebo malah aku sering tertusuk duri, baharu sesudah tiga empat tahun aku dapat nelasap-nelusap dengan baik. Di tahun ke lima baharulah aku bisa sambar koen-nya soebo ii Keng Sim tertawa. "Soebo-mu itu baik sekali terhadap kau!" katanya. "Kau membikin orang kagum dan mengiri. Rupanya kau dipandang sebagai anak kandung sendiri." Dengan "anak kandung," Keng Sim maksudkan anak kandung perempuan. Sedang "i soebo" itu ialah guru wanita. Selagi orang bicara, Sin Tjoe mengawasi. Ia tampak wajah orang bersenyum bukanny a bersenyum, dan wajah itu mirip sama wajah gurunya, Thio Tan Hong, hatinya sedi kit terkesiap. Berbareng dengan itu ia pun sadar bahwa ia telah terle-pasan omon g mengenai soebo-nya itu. Mustahil murid priya demikian erat hubungannya sama is teri gurunya, sekalipun soebo itu benar turut mengajari ia ilmu silat. Karena in i sendirinya parasnya bersemu merah. "Bagus sekali nama ilmu enteng tubuh itu. Menembusi Bunga Mengitarkan Pohon," Ke ng Sim berkata pula. "Memang, ketika kau permainkan musuh tadi, kau seperti kupu -kupu memain di antara bunga- bunga, kau bukan seperti sedang pieboe, kau mirip tengah menarikan tarian Puteri Kahyangan Menyebar Bunga. Ya, sungguh indah!" "Ah, kau memuji saja," kata Sin Tjoe. "Kalau kau main puji terus, tak suka aku b icara terlebih jauh!" "Memangnya aku salah omong?" Keng Sim tanya. "Taruh kata pujianku kurang, kau ta k usah gusar. Sebenarnya, aku memikir untuk minta kau mengajari aku..." Sin Tjoe tertawa. "Kau lebih tua daripa-daku, ilmu silatmu tinggi, pengetahuanmu luas, j ikalau aku yang meminta pengajaran dari kau, baharulah pantas!" kata dia. "Kenap a kau begini sungkan?" "Bukan begitu, Ie Siangkong," Keng Sim kata. "Di kalangan Rimba Persilatan, pantas orang saling mengajari. Kau ajari ak u apa yang kau bisa, aku ajari kau kebisaanku, bagus bukan? Maka sebentar malam, kau datanglah ke kemahku, kita nanti pasang omong selama satu malam, tentang il mu silat. Tidakkah itu bagus? Orang dulu pun bilang, 'Mendengar tuan berbicara s atu malam, lebih menang daripada membaca buku sepuluh tahun!1 Demikian kita, pas ti kita akan peroleh banyak kefaedahan." Kembali merah parasnya Sin Tjoe. "Ah, kau ngaco!" katanya. "Siapa mau berada dengan kau dalam sebuah kemah di wak tu malam? Jikalau kau datang ke kemahku, akan aku tikam kau!" "Oh!" Keng Sim ber- pura kaget. "Saudara, kenapa kau begini marah? Bukankah di waktu pertama kali ki ta datang, kita sama-sama mengambil sebuah kemah?" Sin Tjoe sadar bahwa kembali ia bersikap keliru, lalu sebisa-bisa ia tenangi hat inya. "Sebenarnya aku paling tidak suka berdiam dalam sebuah kemah dengan orang lain," ia menerangkan, sabar. "Di waktu kita pertama datang, itulah lain. Aku terpaksa karena tempatnya buruk..." Ia ingin berlaku tenang supaya tidak membuka rahasia, tetapi ia tetap likat. Keng Sim tertawa. Ia bukan satu pemuda ceriwis. Ia mengajak Sin Tjoe pasang omon g seantero malam untuk menguji saja. Melihat sikap orang, tahulah ia pemuda di d epannya ini sebenarnya seorang pemudi. Karena ini, ia tidak mau mendesak lebih jauh. "Karena kau menampik aku si bau, saudara, pasti aku tidak berani datang ke kemah mu," katanya bersenyum. "Biarlah selang dua hari lagi, kita pasang omong di sini saja. Perompak telah membikinkan kita gelanggang luas ini, di sini aku nanti mi nta pengajaranmu." Sin Tjoe tetap tidak tenang hatinya. Tahulah ia sekarang yang Keng Sim sudah ket ahui rahasianya. Syukur untuk ianya, pemuda itu tidak mengganggu padanya. Sebentar lagi mereka sudah tiba di wilayah gunung. Di sana pasukan-pasukan yang menang telah berkumpul. Keng Sim dapat melihat soetee dan soemoay-nya, adik se- perguruan priya dan wanita, ia lekas menemui mereka itu. Seng Hay San dan Tjio Boen Wan sudah membantu tentera rakyat membelai kota Taytjioe. Selama dua bulan, beberapa kali mereka berhasil m emukul mundur kaum perompak kate. Karena pergerakannya Tjong Lioe dan pihak pero mpak membantu pihaknya yang menghadapi Tjong Lioe itu, kota Taytjioe menjadi tid ak terancam bahaya lagi. Maka mereka berdua dapat kesempatan membawa pasukan rak yatnya membantu Tjong Lioe. Kebetulan untuk mereka, Tjio Keng To pun pulang, maka guru dan murid-murid dapat bertemu dan lantas bekerja sama. Boen Wan masih ingat Sin Tjoe, yang telah permainkan pada- nya, ia bersikap tawar, ia tak memperdulikan-nya. Sin Tjoe tidak mendongkol, bah kan dalam hatinya, ia tertawai nona itu. Diam-diam ia menyingkir dari Keng Sim, ketika Keng To cari ia, untuk diajak bicara ia sudah nelusup di antara orang ban yak. Sementara itu di antara tentera rakyat ada seorang yang rupanya ada asal kota Ta ytjioe, dia senantiasa mengawasi Tiat Keng Sim. Sin Tjoe dapat lihat kelakuan or ang itu, ia menjadi heran, tetapi karena ia lagi menyingkir, orang itu lantas lenyap dari pandangan matanya. Malam itu tangsi tentera rakyat ramai bukan main. Penduduk berdekatan pun datang berduyun-duyun menggotong daging babi dan kerbau yang mereka sembelih, beras dan arak, untuk menghadiahkan tentera itu. Vap Tjong Lioe mem-pe rsilahkan Tjio Keng To, Pit Kheng Thian, Tiat Keng Sim dan Ie Sin Tjoe duduk di kursi tetamu, ia sendiri menemani dengan duduk di sebelah bawah. Kemenangan itu ia anggap ada jasa besar dari empat tetam u itu. Keng Sim berdua Sin Tjoe merasa tidak selayaknya menerima jasa, hati mereka tida k tenang. Kheng Thian sebaliknya omong banyak sama Tjong Lioe mengenai rencana mereka selanjutnya. Bahkan habis menenggak beberapa cawan arak, hingga ia rada s inting, toaliongtauw ini kata sambil tertawa: "Yap Toako, pandai sekali kau meng atur tentera, maka di bela- kang hari, kita semua sangat mengandal padamu!" Ia memuji orang tetapi itulah saran tak langsung agar orang nanti beker ja sama dengannya. Keng Sim tidak puas dengan pernyataan orang itu tetapi karena orang lagi dipenga ruhi air kata-kata dan dia pun memuji kemenangan mereka, sedang itu waktu mereka lagi berpesta, ia tidak bilang suatu apa. Untuk menghibur diri, ia pun minum ar aknya. Ia berada di samping Sin Tjoe, diam-diam ia senantiasa melirik si nona. Sin Tjoe tahu kelakuan orang, ia masgul, maka itu, dengan alasan tidak dapat min um banyak, ia minta perkenan untuk undurkan diri, guna beristirahat. Di kemahnya , ia tidak dapat tidur, pikirannya terus tidak tenang. Ia malu mendongkol sendirinya karena kata-kata Ke ng Sim. Ia hendak menjaga supaya orang tidak datang ke kemahnya itu, karena itu, ia tidak membuka pakaian lagi dan pedangnya diletakkan di bawah bantal. Ia berc okol di atas pembaringan dengan hatinya terus bekerja. Beberapa kali bayangan Thio Tan Hong, Tiat Keng Sim dan Pit Kheng Thian seperti berkelebat di depan matanya. Ia membandingkan gurunya dengan Keng Sim dan Kheng Thian itu. Ia anggap gurunya bagai gelombang laut dan Keng Sim seperti air telag a yang mati. Dan Kheng Thian bagaikan air curuk yang tumpah ke bawah. Air tumpah itu mungkin mengalir ke laut, mungkin juga ke telaga, hingga jadi air mati juga. Mungkin ada yang menyukai air tumpah tapi ora ng itu bukanlah ia. Ia merasa Kheng Thian itu menjemukan tetapi juga Keng Sim ta k mendatangkan rasa sukanya, apapula Keng Sim telah mengetahui rahasia penyamara nnya. Ruwet pikirannya nona umur tujuh belas tahun ini. Sampai jam tiga, ia masih belu m tidur pulas. Maka ia ketahui, berisiknya pesta mulai sirap dan itu diganti dengan derupnya angin laut, dengan damparannya gelombang. Ia sampai ngelamun bagaikan gurunya menggapai kepadanya, hingga ia merasa di dalam dunia ini, kecuali guruny a itu, tidak ada lagi orang yang "berdekatan" dengannya. Puas ia kapan ia ingat gurunya. Tiba-tiba Sin Tjoe ingat: "Hari ini perompak telah dilabrak hampir musna, walaupun di beberapa tempat masih ada beberapa rombongannya, jumlah mereka kecil sekali, mereka tidak dapat dikuatirkan pula. Di pihak kita ada bala bantuan dar i Tjioe San Bin, apabila bantuan itu sudah tiba, kekuatiran sudah tidak ada lagi . Maka itu apa perlunya aku berdiam di sini lebih lama? Kenapa aku tidak mau per gi mengikuti soehoel Tentu saja, tidak dapat aku pergi dengan berterang, Tjong L ioe tentulah bakal menahan dan Keng Sim serta Kheng Thian pasti akan menggerecok i aku..." Ia berdiam, lalu berpikir, berdiam pula, berpikir kembali. Ia terganggu ragu-rag unya. Di achirnya, ia turun dari pembaringannya, ia rapikan pakaiannya, kemudian ia benahkan juga buntalanny a. Sebelum berlalu dengan diam-diam, ia menulis sepucuk surat perpisahan untuk T jong Lioe. Malam itu rembulan guram. Kemah Sin Tjoe dekat dengan kemah Keng Sim, jaraknya tidak ada setengah lie. Itu waktu, si nona lihat ada sinar api di kemah sahabat itu. Ia pikir, rupanya pemu da itu pun belum tidur. Maka ia pikir pula, baik ia lewat di sana dan meninggalk an tapak kakinya di luar kemah orang. Biar bagaimana, Keng Sim toh kenalannya. Ia lantas menuju ke kemah itu. Untuk tidak meninggalkan suara, ia la ri dengan ilmu ringan tubuh. Anehnya, ia ingin melihat bayangan pemuda itu... Di samping kemah ada pepohonan lebat, selagi lewat di situ, Sin Tjoe dengar suar a orang bicara pelahan. Ia pun segera mengenali suaranya Keng Sim. Ia jadi terle bih heran pula. Pikirnya: "Sudah malam begini dia belum tidur, dia pun kasak-kus uk sama orang lain, apa dia bikin?" Karena ingin ketahui, Sin Tjoe lompat naik ke sebatang cabang pohon. Ia tidak mengasi dengar suara apa-apa. Untuk ringan tubuh, ia menang jauh daripada pemuda she Tiat itu. Segera ia kenali kawan bicara Keng Sim itu adalah orang dari Taytjioe tadi. "Ong An, kau bukan berdiam di Taytjioe melayani looya, mau apa kau datang kemari ?" demikian suaranya Keng Sim. "Pasukan rakyat toh tidak memer- lukan seorang sebagai kau?" "Looya yang mengirim aku untuk menyampaikan pesan lisan," sahut Ong An itu. "Tad i siang ada banyak orang tidak leluasa untuk kita berbicara." "Kabar apa itu yang kau bawa?" Agaknya dia heran. "Looya pesan jangan kongtjoe ber-campuran sama tentera rakyat," menerangkan Ong An. "Looya bi lang di dalam pasukan rakyat terdapat segala macam orang sampaipun segala penjah at, mereka itu berkumpul cuma dengan alasan melawan perompak." "Tentera negeri tidak lawan perompak, kalau sekarang rakyat bertindak sendiri, b ukankah itu baik?" "Walaupun demikian tetapi pembesar negeri tidak memikir begitu. Looya bilang, Keluarga Tiat keluarga berpangkat, tak perlu kita bercampuran sama penjahat, kalau mereka menerbitkan huru hara, kita bakal kena terembet-rembet, i tulah berbahaya. Maka Looya ingin kongtjoe mengarti jelas." Keng Sim berdiam, tetapi hatinya memikiri Tjong Lioe beramai, yang ternyata juju r dan bekerja sungguh untuk rakyat jelata dan negara. Ia kagumi Tjong Lioe itu m eski benar ia merasa, ia bukan golongannya. Lain lagi adalah Kheng Thian. Ingat Kheng Thian, ia ingat kata-kata orang tadi di medan pesta. Ia menerka: "Dia jang an-jangan bukan seperti orang jahat yang kebanyakan, mungkin dia bercita-cita me rampas kerajaan Beng. Dalam hal ini, kekuatiran ayah beralasan, ayah berpandangan jauh..." "Looya ingin kongtjoe segera pulang," Ong An kata pula. "Sekarang perompak sudah dapat disapu, maka aku pikir, seperti kata kongtjoe tadi, pasukan rakyat juga t idak memerlukan kongtjoe satu orang. Baiklah kongtjoe pulang agar looya tidak bu at pikiran." Keng Sim berdiam, dia bersangsi. Dia bukan tidak ingin meninggalkan tentera rakyat, dia hanya pikirkan Sin Tjoe. "Baiklah kongtjoe cepatan mengambil putusan," Ong An si hamba mendesak. "Nanti aku pikir dulu. Apakah looya di Hangtjioe baik?" "Looya berdiam di kantor boetay. Dia bernama Wie Tjoen Teng. Ingatkah kongtjoe a kan dia?" "Ya. Dialah muridnya looya. Dia juga murid looya yang pangkatnya paling tinggi." "Benar. Syukur dia masih ingat Looya, mengetahui looya tinggal di Hangtjioe, dia lantas menyambut dan mengajak looya tinggal di kantornya. Sempurna sekali rawat annya." "Itu bagus, Ong An. Sekarang pergilah kau pulang. Umpama kata aku hendak berangk at, sedikitnya mesti lagi dua hari." "Dua hari pun baik. Looya masih memesan satu hal lagi." "Apakah itu?" Keng Sim lantas membade-bade. "Looya telah dapat menerima firman rahasia dari Sri Baginda, maksudnya agar looy a menitahkan kongtjoe membantu komandan Gielimkoen menawan seorang penjahat yang dicari Sri Baginda..." "Ini aneh! Apa hubungannya itu dengan aku? Aku bukannya hamba negeri. Raja pinta r, kenapa dia berbuat setolol ini? Mungkin kau salah dengar..." "Tidak salah, kongtjoe. Penjahat itu bukan lain hanya guru kongtjoe , si orang s he Tjio," "Apa, guruku penjahat yang dicari raja?" "Benar. Firman itu dibawa sendiri oleh Law Tong Soen, komandan Gielimkoen, dia m enyerahkan kepada boetay dan boetay menyampaikan kepada looya. Katanya Tjio Loos oe itu pada tiga puluh tahun yang lampau pernah mengacau keraton dan sudah mencu ri pedang mustika. Sekarang dia sedang dicari." Keng Sim menjublak seperti dikageti guntur. Segera ia ingat gurunya, dengan si apa baharu saja ia bertemu pula. Segera ia ingat kejadian pada sepuluh tahun bersela ng. Ketika itu ia adalah bocah umur dua belas tahun, ayahnya memangku pangkat gi esoe atau censor di kota raja. Tidak ada orang yang kendalikan padanya, maka di samping belajar surat, ia belajar silat sama cintengnya. Dia tinggal di dalam ko ta tetapi dia pun punya pila di luar kota, ke sana dia pergi beristirahat bersam a saudaranya sepupu. Dia pergi di musim panas, di musim rontok dia kembali ke ko ta. Di pila dia semakin merdeka. Yang terbelakang, dia ada punya dua guru silat baru, yang satu ahli toya Djielong pang, yang lain pandai Tiatsee tjiang, Tangan Pasir Besi. Keng Sim pernah lihat orang menghajar batu dengan tangannya hingga batu itu hancur lebur. Dia gemar sekali b elajar silat, walaupun sudah sampai musim rontok, dia berat meninggalkan pilanya itu, yang pernahnya di pesisir. Pada suatu malam terjadilah suatu perampokan. Beberapa cinteng kena dikalahkan. Kedua guru silat yang baru tak nampak. Keng Sim hendak dibekuk tapi dia lincah, dia bisa lari-larian. Satu penjahat habis sabar, dia hendak dipanah. Justeru itu terdengar satu seruan panjang, tiba-tiba di situ muncul seorang nelayan tua yan g kumisnya panjang. Cuma dengan satu gerakan, ia dapat merampas busurnya si penj ahat. Penjahat itu dan kawan-kawannya menjadi gusar, mereka menyerang. Nelayan i tu menghunus pedangnya, ia melawan. Dalam beberapa gebrakan saja, habis sudah semua senjata penjahat, kena ditabas kutung pedang nelayan tua itu. "Pedangku tidak membinasakan segala kurcaci, lekas kamu pergi!" ia membentak. Takut semua penjahat itu, mereka mengangkat kaki. Tinggallah cinteng-cinteng, ya ng rebah merintih di tanah, tidak dapat bangun. Nelayan tua itu tertawa, ia pegangi tangan Keng Sim untuk diawasi, lalu ia mengh ela napas dan berkata: "Sayang, sayang, bakat begini baik dibikin gagal oleh segala guru tidak keruan..." Justeru muncullah kedua guru silat yang baru, dengan roman sungguh-sungguh mereka kata: "Loosoehoe benar, kita memang datang unt uk gegares. Selayaknya kita mengangkat kaki dari sini tetapi kita tidak tahu diri, kita mohon loosoehoe suka membuka mata kita." Mendadak mereka menyerang dari kiri dan kanan, senjatanya yang satu ialah tongkat kayu diarahkan ke batok kepala, yang lain dengan tangan besinya ke bebokong. Si nelayan tua me nangkis tongkat, hingga tongkat itu patah dua dan penyerangnya roboh. Serangan y ang satunya mengenai tepat. Keng Sim masih bocah tetapi ia tahu membedakan perbuatan jahat dan baik, dia men jadi gusar, dia lantas tegur guru silat Tiatsee tjiang itu. Sebaliknya guru itu memegangi tangannya seraya mulutnya mengeluh kesakitan. "Engko kecil, tidak usah kau damprat dia, dia sudah cukup menerima bagiannya," k ata si nelayan sambil tertawa. Sekarang terlihat nyata, tangan guru silat itu bengkak, tangannya itu dikasi mer oyot turun, sedang lima jarinya kaku, tidak dapat ditekuk-tekuk. Tidak saja tang an itu tidak dapat digunai lagi, seluruh kepandaian silatnya pun telah musna. Setelah itu, semua guru silat pergi. Keng Sim minta si nelayan jadi gurunya teta pi si nelayan mengajukan satu syarat. Ia sebenarnya bersedia sekalipun untuk sep uluh syarat. Nyatanya, syarat itu pun enteng, ialah si nelayan ingin Keng Sim j angan buka rahasia dia menjadi gurunya, rahasia mesti ditutup sekalipun terhadap ayah ibu d an saudara-saudaranya, atau ia tidak bakal datang lagi. Keng Sim tanya kalau-kalau si nelayan menghendaki ia turut guru itu pergi ke sua tu tempat, si nelayan tertawa dan kata: "Mana bisa aku ajak-ajak kau satu kongtj oe, puteranya seorang berpangkat? Tidakkah aku disangka menculikmu?" Lantas Keng Sim tanya, bagaimana dia hendak diajari silat. "Aku tahu kau bakal pulang ke kota, sekarang aku ajarkan kau pokok dasarnya saja ," menerangkan si nelayan. "Selama satu tahun, kau terus pelajarkan ini, nanti l ain tahun, kau datang pula ke mari, aku nanti datang juga menemui kau." Keng Sim memegang janji, ia menutup mulut. Di lain tahunnya, ia pergi ke pila de ngan mengajak satu budak kepercayaan. Benarlah, si nelayan pun muncul. Tapi dia tidak mengajari silat di pila hanya di gubuknya di tepi laut. Keng Sim dipesan m emakai alasan pesiar untuk datang ke gubuknya itu. Nelayan itu ada punya satu anak perempuan umur delapan tahun, anak itu disuruh b elajar sama-sama Keng Sim. Baharu itu waktu, Keng Sim ketahui gurunya itu she Tjio dan namanya Ke ng To dan si nona bernama Boen Wan. Sejak itu setiap tahun tiga bulan lamanya Keng Sim belajar sama si orang tua, da n waktu selebihnya ia pakai berlatih di rumah sendiri. Cuma kadang- kadang saja guru itu tengok ia di waktu malam di pilanya. Ke rumah di kota, tida k pernah sekali jua guru itu datang. Selama itu, tujuh tahun berselang. Banyak perubahan telah terjadi. Di antaranya, Keng To menerima lagi satu murid, ialah Seng Hay San anak nelayan. Ayah Keng Si m berhenti bekerja dan pulang ke rumahnya. Keng Sim pun lulus ujian sebagai sioe tjay. Setiap tahun Keng Sim tetap pergi ke pilanya, di sana terus ia belajar sil at. Di rumahnya ia ada punya guru silat yang baru, hanya dengan pelabi saja, ia belajar sama guru itu. Sampai sebegitu jauh, tidak ada orang yang ketahui ia pan dai silat. Adalah di musim semi di tahun ke tujuh itu baharulah kaum perompak mulai mengganggu keamanan di pesisir. Suatu hari Keng Sim melabrak sero mbongan perompak yang lagi mengganas, karena itu baharu orang tahu ia gagah. Lan tas namanya tersiar sampai pun ayahnya, Tiat Hong, mengetahuinya. Maka pada suat u malam ia dipanggil ayah dan ditanyakan. Ia memang berbakti, ia lupa pesan guru nya, ia membuka rahasia. Ayahnya girang dan kaget. Girang sebab anaknya liehay, dan kaget sebab ia kuatir anak itu bersahabat sama kaum kangouw yang sesat. Di musim panas tahun itu, Keng Sim pergi ke pilanya seperti biasa. Tapi kali ini gurunya tidak ada. Ketika ia tanya Boen Wan, nona itu bilang memang ayahnya suk a pergi tanpa ketentuan, entah kapan pulangnya. Tiga bulan Keng Sin, menanti di pilanya, ia menanti dengan sia- sia saja. Demikian seterusnya, baharu sekarang ia bertemu guru itu di medan pert empuran. Pula, baharu sekarang ia tahu rahasia gurunya, yang telah dicari pemeri ntah karena mencuri pedang di dalam istana. Demikianlah, mendengar kata-kata Ong An, Keng Sim berdiam. Ia cerdik tetapi ia m ati daya. Dalam Rimba Persilatan, melawan guru adalah kejahatan tak berampun. Se baliknya, titah kaisar tidak dapat ditentang. Sin Tjoe dari tempat sembunyinya terus memasang mata. Ia lihat orang jalan mundar-mandir, tanda dari ruwetnya pikiran. Dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar dehem-nya Ong An. Dia berkata: "Kongtjoe telah banyak membaca kitab, pastilah ko ngtjoe ketahui baik perihal perbedaan tingkat derajat manusia." "Bocah umur tiga tahun pun mengetahui tingkatnya langit dan bumi, raja, orang tu a dan guru," sahut Keng Sim. "Perlu apa kau menanyakan itu?" "Dengan begitu, kecuali langit dan bumi, rajalah yang teratas," berkata Ong An. "Habis itu baharu persanakan antara ayah dan anak, dan pertalian di antara guru dan murid ialah yang terendah." Mendengar itu, Keng Sim menggigil. "Jadi kau hendak mengajari aku melawan guruku?" ia membentak. Dia pun heran buda k ini bisa bicara demikian rupa. Dia tidak tahu, Ong An telah diajari ayahnya. "Mana budakmu berani mengajari kongtjoe menjadi manusia tidak berbudi?" berk ata budak itu. "Hanya budakmu tidak sudi melihat kongtjoe menjadi satu menteri tidak setia berbareng satu anak poethauw1." "Jadi kau maksudkan, kalau aku tidak menjalankan bunyi firman, ayahku akan teran cam bahaya?" Keng Sim tanya. Ia pun tidak sudi jadi anak poethauw atau tidak ber bakti. "Memang dikuatirkan rumah kita disita atau entengnya kita kena terembet," Ong An jawab. Mukanya Keng Sim menjadi pucat, ia jadi semakin bingung. "Sebenarnya sekarang ini looya pun telah ditahan secara halus di kantor boetay," Ong An berkata pula. "Keselama- tan looya itu bergantung kepada kongtjoe seorang." "Bukankah kau bilang boetay ada murid ayah yang terbaik?" Keng Sim tanya. "Sudah tiga puluh tahun budakmu mengikuti looya, aku ketahui baik penghidupan di kalangan pembesar negeri," berkata Ong An. "Kalau bahaya mengancam, makin tinggi pangkat seseorang , makin kentara orang tak menghiraukan persahabatan. Pikir saja, raja tinggal di dalam keraton, mana dia ketahui Tjio Keng To itu guru kongtjoe?" "Benar. Habis, adakah firman itu firman palsu?" "Mana bisa firman itu palsu? Adalah kongtjoe yang tidak tahu kenyataan dalam uru san pembesar negeri. Law Tong Soen itu mendapat tugas menangkap orang jahat dalam kedudukannya sebagai komandan Gielimkoen, sudah pasti ia bawa bersamanya kertas kosong yang sudah dicap dengan cap kerajaan, untuk tinggal di isi saja. Kabarnya Law Tong Soen yang ketahui halnya Tjio Loosoe serta di mana adanya Tjio Loosoe itu. Law Tong Soen sendiri tidak berani me nangkap Tjio Loosoe, dia pakai pengaruh firman untuk desak boetay sert a looya. Maka kalau kongtjoe tidak suka membantu, bukan cuma looya b akal susah tapi juga boetay. Bahkan mungkin Law Tong Soen bakal datang ke mari." "Kalau aku chianati soehoe, pasti aku bakal dicaci orang gagah di kolong lang it ini..." Keng Sim berkata. "Dan kalau looya dapat susah, dosa kong- Sembari mengangsurkan pedangnya, Keng To mengangkat tangan kirinya, supaya begit u muridnya menerima pedang tersebut, ia bisa segera menghajar ubun-ubunnya untuk membuatnya bercacat. tjoe sebagai anak poethauw tidak dapat dicuci bersih dengan air sungai Tiangkang," berkata Ong An. "Sudah, jangan bicara pula!" Keng Sim membentak, tangannya dikibaskan. "Pergi ka u pulang, urusan ini aku hendak pikirkan pula masak-masak." Sin Tjoe kagum dan berkuatir. "Malam ini akan ada putusannya, Keng Sim seorang gagah sejati atau satu manusia hina dina!" pikirnya. Sin Tjoe paling menghormati gurunya, maka itu, biar bagaimana, perbuatan menjual guru untuk mendapatkan pangkat besar adalah dosa tak berampun. Apapula Tjio Ken g To itu orang gagah kenamaan yang seimbang dengan gurunya. Dalam kesunyian sang malam itu tiba-tiba terdengar siulan yang panjang disusul dengan nyanyian y ang tedas: "Tidak mengecewakan pedang tajam tiga kaki setelah tua jantung nyali jadi semakin dingin!" Lalu terlihat orangnya, yang tangannya menyentil-nyentil p edang. Dialah Tjio Keng To! Hati Keng Sim gon-cang. Ia lantas menyambut. "Soehoe belum tidur?" tanyanya. "Aku merasa sangat puas dengan peperangan hari ini!" sahut guru itu sambil terta wa, tangannya masih menyentil pedangnya. "Aku gembira hingga aku tidak dapat tidur pulas. Kita berdu a pun sudah tiga tahun tidak pernah bertemu, tadi siang tidak sempat kita berbic ara, sekarang sengaja aku tengok. Kiranya kau pun belum tidur. Ah, kau kenapa-kah? Aku lihat kau kurang sehat. Mun gkinkah tadi berperang letih sekali?" "Ya, aku merasa letih, soehoe," sahut Keng Sim, hatinya memukul. "Tapi tidak apa . Soehoe, adakah pedangmu pedang mustika?" Keng To tertawa terbahak. "Apakah kau suka pedang ini?" dia tanya. "Ilmu pedangmu maju banyak, tidak demik ian dengan Boen Wan dan Seng Hay. Aku tidak nyana ilmu pedang keluarga Tjio terw a-riskan kepada lain she\" Ia berhenti sebentar. "Selama dua tahun ini, aku tela h dapat menciptakan beberapa jurus istimewa. Besok, bila ada waktunya yang luang , akan aku turunkan semua itu kepada kau, supaya kau dapat mewariskannya." Di antara tiga muridnya, berikut gadisnya, Keng To paling menyayangi Keng Sim. T adinya, karena orang ada anak orang berpangkat, tidak mau Keng To omong terus te rang, tetapi tadi ia telah menyaksikan sendiri kegagahan muridnya itu, sedang Ya p Tjong Lioe pun telah memuji tinggi, ia anggap ia tidak salah melihat, maka hen dak ia mewariskan semua kepandaiannya, untuk angkat murid ini jadi tjiangboendji n, murid kepala yang mewariskan ilmu silat Keluarga Tjio. Biasanya Keng Sim girang bukan main mendapat pelajaran baru dari gurunya, tentu- tentu ia lantas paykoei menghaturkan terima kasihnya, kali ini ia merasa tidak t enang, ia malu sendirinya, punggungnya serasa ditusuk-tusuk. Keng To lihat itu, ia nenj adi heran murid ini bagaikan hilang semangat. "Apakah kau kurang sehat?" ia tanya, halus. Keng Sim tidak menjawab, hanya dengan hati kebat-kebit, ia balik menanya: "Soehoe, dari mana soehoe dapatkan pedangmu ini?" Keng To terkejut. "Perlu apa kau menanyakan ini?" ia pun balik menanya. "Tidak, tidak apa-apa..." sahut murid itu tidak lancar. "Siapa yang suruh kau menanyakan?" tanya lagi sang guru, keras. "Tidak, tidak ada yang suruh, soehoe," sahut Keng Sim. Keng To segera menatap muridnya itu. "Ketika pertama kali kau angkat aku jadi guru, kau pernah bilang kau akan dengar segala perkataan gur umu!" ia berkata. "Masihkah kau ingat itu?" "Ingat, soehoe." "Kalau begitu, kenapa sekarang kau hendak mendustakan gurumu? Kenapa kau menanya kan tentang pedangku ini?" "Soehoe, maafkan muridmu," kata Keng Sim kemudian. "Benarkah pedang ini dapat di curi dari istana?" "Memang! Memang barang curian!" sahut Keng To terus terang. "Benda mustika disim pan saja di dalam istana, itulah artinya mensia-siakan. Apakah tidak tepat aku m engambil ini?" Keng Sim tidak berani bersuara. Keng To sentil pedang di tangannya. Segera pedang itu me- ngasi dengar suara nyaring dan panjang bagaikan naga bersenandung dan harimau me nggeram. Terus ia dongak dan tertawa lebar. Ia pun kata: "Buat guna pedang ini a ku telah buron ke empat penjuru dunia, tidak pernah aku menyesal!..." Habis itu, ia mengawasi muridnya. Ia kata: "Lekas bilang, siapa yang suruh kau menanyakan? " " Tongnia La w Tong Soen dari Gielimkoen," sahut Keng Sim achirnya. "Dia ada di mana?" Keng To tanya. "Suruh dia yang datang sendiri padaku!" "Dia paksa ayah- ku dan ayahku memaksa aku," sahut sang murid. "Ayah suruh aku m enangkap Soehoe..." Keng To tertawa dingin. "Menangkap aku?" dia mengulangi. Segera dia sadar, maka dia menambahkan: "Aku me ngarti sekarang! Jikalau kau tidak tangkap aku, dia bakal bikin ayahmu celaka! Benarkah begitu?" Keng Sim menangis. "Benar," sahutnya. "Sekarang ini ayahku telah ditahan secara halus di kantor boetay ii "Bagus, beginilah lelakon kita guru dan murid!" berkata Keng To. "Sekarang kau b icara terus terang, kau hendak berbuat bagaimana? Benarkah kau hendak ambil dara h di leherku untuk dipakai menyemir merah kopia hitam di batok kepala ayahmu?" Keng Sim menangis terus. "Teetjoe tidak berani," ia menyahuti. "Satu laki-laki me- ngucurkan darah tidak mengalirkan air mata!" berkata Keng To kemudian. "Aku Tjio Keng To, aku telah berani mengacau di istana, biarpun langit ambruk, aku tidak takut! Buat apa kau menangis? Kenapa kau takut? Lekas bilang, sebenarnya kau hen dak bertindak bagaimana?" "Soehoe," m e nj a w a b murid itu. "Kepandaian soehoe sudah sampai di batasnya kemahiran, orang yang dapat merendengi kegagahan kau, tidak ada seberapa lagi, d ari itu, soehoe sudah tidak membutuhkan pedang lagi. Soehoe , kenapa untuk semac am pedang kau sudi menerima dosa sebagai pemberontak?" Keng Sim menangis terus. Keng To berdiam. "Kita bukan orang luar, tidak usah kita bicara banyak lagi!" katanya, bengis. "Sekarang bilang, kalau menurut kau, aku harus bertindak bagaimana?" "Soehoe," jawab murid itu, "baiklah soehoe serahkan pedang padaku, nanti aku mengembalikannya ke istana, untuk minta sri baginda menarik pu lang titahnya. Tidakkah itu baik untuk kedua belah pihak?" "Bagus, sungguh pikiran yang bagus!" kata Keng To dingin. Sementara itu, ia ada sangat berduka. Ia sudah pikir untuk menyerahkan pedang kepada muridnya ini, sia pa sangka rahasianya terbuka dan muridnya itu anggap perbuatannya perbuatan mend urhaka, memberontak, hingga ia diminta menyerahkan pulang pedangnya itu melulu untuk kesem- purnaan hidup mereka. Tentu saja penyerahan berarti pelanggaran kepada pantangan Rimba Persilatan. Ia sudah memikir untuk menolongi Tiat Hong, guna ajak dia dan Keng Sim pergi buron, siapa tahu, Keng Sim telah mengutarakan sarannya ini. Keng Sim mengawasi gurunya itu, yang ia lihat seperti sudah berubah menjadi seor ang lain, romannya bermuram durja, sebagai juga guru itu sudah tidak mengenali dia. Ia jadi merasa sangat tidak ten ang. "Soehoel..." katanya. "Aku bukan gurumu lagi!" jawab Keng To, suaranya tapinya tenang, mungkin saking murkanya yang tertahan. "Soehoe, kau..." kata pula si murid. "Jangan banyak omong!" menyanggapi guru itu. "Kau bawa pergi pedang ini!" Ia cekal gagang pedan g, ia angsurkan itu ke muka muridnya hingga mata orang kabur dan hatinya terkesi ap. Keng Sim tidak berani me-nyambuti. "Kau ambil!" Keng To membentak. "Biarlah kau jadi orang setia dan berbakti yang sempurna! Kenapa kau belum mau ambil juga?" Dengan hati kebat-kebit, Keng Sim angkat sebelah tangannya. Keng To segera berkata: "Pedang ini aku serahkan pada kau, maka ilmu silat yang aku ajarkan kau, kau mesti kembalikan padaku!" Di kolong langit ini tidak ada guru yang meletaki senjata kepada muridn ya. Hal ini baharulah Keng Sim ketahui. Pantas gurunya mengatakan bahwa dia bukannya guru lagi. Murid itu mengucurkan air mata deras, ia menangis sesenggukan. "Muridmu bersalah, pantas soehoe menegurkan," ia berkata. "Aku minta soehoe jangan usir aku dari rumah perguruan..." "Hh!" guru itu bersuara, bengis, wajahnya merah padam. "Mana aku ada punya rejek i mendapatkan murid bagus semacam kau! Kau tentunya menganggap tidak berarti itu sedikit pelajaran yang aku telah berikan padamu... Akan aku ambil pulang pengaj aran yang aku berikanmu, selanjutnya, kita masing-masing ambil jalan sendiri. Pedang ini kau persembahkan kepada raja, hitunglah ini sebagai barang presenanku yang ter- achir untukmu. Seumurku, aku membilang satu, tidak dua! Kenapa kau masih tidak m au ambil pedang ini?" Keng Sim sangat berduka ia menjadi serbah salah. Kalau ia tidak menyambuti pedang, ia menjadi tidak berbakti, biarnya keluarganya tidak disita, sedikitnya ayahnya bakal kerembet dan mendapat malu. Kalau ia menyambuti , maka habislah perhubungan guru dengan murid, dan habis juga ilmu silatnya. Pad a otaknya segera berbayang aksi gurunya yang memberi hajaran kepada cintengnya. Ia lantas menggigil sendirinya. "Orang terhormat mesti pandai mengambil putusan!" Keng To berkata pula. "Kau ken apa begini cupat pikiranmu? Kau ambil pedang ini, kau kembali- kan pelajaranku! Apakah kau merasa dirugikan aku?" Guru ini balingkan pedang di muka muridnya dan tangan kirinya diangkat, supaya b egitu Keng Sim menyambuti pedang, ia bisa menghajarnya. Asal ia dapat menepuk, h abislah kepandaiannya Keng Sim, dia akan jadi manusia bercacad..." Selagi begitu, Sin Tjoe di atas pohon pun bergidik. Hebat pemandangan itu. Ia ti dak bersimpati kepada Keng Sim tetapi ia pun tidak tega menyaksikan ilmu silat o rang hendak dibikin musna. Ia melihat tangannya Keng To turun dengan pelahan-pel ahan, siap untuk menepuk embun-embunan Keng Sim begitu lekas Keng Sim menyambuti pedang mustika. Saking ngeri, hampir nona ini menjerit. Ia lantas merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur, hingga sendirinya ia men utup rapat kedua matanya. Sunyi waktu itu, atau tiba-tiba terdengar Keng To menghela napas panjang. Sin Tj oe terkejut, belum lagi ia membuka matanya, ia sudah dengar bergon-trangnya suar a pedang jatuh. Tempo ia sudah melek, ia tidak lihat lagi Keng To, sedang Keng S im berdiri menjublak di bawah pohon, pedang menggeletak di pinggir kakinya. Untu k sejenak si nona tercengang, tetapi segara ia sadar. Keng To masih ingat ikatan guru dengan murid, tidak tega dia menurunkan tangan telengas. Mengingat dia men ghela napas panjang, bisalah dimengarti kedudukannya yang hebat. Masih lewat sekian lama tempat sunyi senyap itu terbenam dalam kesunyian, baharu kelihatan tubuh Keng Sim bergerak, dengan pelahan-pelahan ia membungkuk u ntuk menjumput pedang. Hati Sin Tjoe kusut sendirinya. Ia merasa jemu tercampur kasihan terhadap pemuda gagah itu. Ia merasa orang ia kenal erat tetapi di lain pihak asing sekali... I a menjadi serba salah. Kembali sang waktu lewat. Atau mendadak, dari antara pepohonan, muncul dua orang . Keng Sim merasa atas datangnya orang itu, ia segera menoleh seraya mengangkat kepala. Itulah Ong An si hamba setia serta seorang umur empat puluh lebih, yang tubuhnya besar, yang mengenakan baju tentera suka rela kota Taytjioe, muka siapa memperlihatkan wajah kelicikan, sedang kedua matanya ditujukan kepada pedang mustika. Si anak muda tidak kenal orang itu, sebaliknya dengan Sin Tjoe, yang turut menga wasi. Nona ini terperanjat. Dia kenali Tongnia Law Tong Soen dari pasukan pengaw al raja pasukan Gielimkoen dengan siapa ia pernah bertarung! Sambil tertawa haha-hihi, Law Tong Soen menghampirkan Keng Sim, ia ulur sebelah tangannya akan menepuk-nepuk pundak pemuda itu. "Tiat Kongtjoe, kau telah berhasil?" katanya, seperti ia ada satu sahabat kekal. "Kenapa itu bangsat tua kabur?" Keng Sim mendelik. "Kau siapa?" ia tanya. "Barusan aku lihat Tjio Loosoe datang, " Ong An mendahului orang men- jawab, "oleh karena kuatir kongtjoe mendapat celaka, aku sudah lantas mengundang Law Taydjin datang ke mari. Law Taydjin ini memang datang bersama aku dari Taytjioe. Harap kongtjoe maafkan aku yang telah tidak lantas memberitahukannya. Apakah Tjio Loosoe benterok sama kongtjoe ? Apakah dia tidak turun tangan?" Keng Sim terkejut. "Kaulah Law Tong Soen?" dia tanya. "Itulah aku yang rendah," sahut Tong Soen sembari tertawa. Tiba-tiba saja tangan Keng Sim terayun, hingga pedangnya melesat. "Pergi kau bawa pedang ini!" ia berseru. "Mulai sekarang hingga selanjutnya, jan gan kau datang pula menemui aku!" " Tong Soen berkelit, tangannya menyamber pedang, terus ia menyabet ke sampingnya di mana ada sebuah p ohon, maka batang besar pohon itu kutung. Ia tertawa dan memuji: "Benar-benar pe dang mustika dari istana! Ha, Tiat Kongtjoe, jasamu ini bukan main besarnya!" "Pedang telah ada ditanganmu, apakah kau masih tidak mau pergi?" pemuda itu mene gur. Tong Soen tidak lantas pergi. Agaknya ia membelar. Lantas ia tertawa. "Memang pedang telah aku dapatkan akan tetapi penjahatnya masih belum tertawan," ia kata. "Tiat Kongtjoe, aku harap kau bekerja tidak kepa lang tanggung, untuk mengantar Sang Buddha harap kau mengantarnya sampai di Lang it Barat!" "Apa katamu?" Keng Sim tegaskan. "Tay gie biat tjin, kongtjoe1." menjawab kommandan Gielimkoen itu. "Apapula inil ah cuma di antara guru dan murid. Bangsat tua she Tjio itu telah kehilangan peda ngnya, dengan mengandal tenaga kita berdua, dapat kita melayani dia. Haha!" Belum lagi kommandan itu sempat tutup mulutnya, matanya Keng Sim sudah mendelik, kedua biji matanya seperti mau lompat keluar. Kata-kata "tay gie biat tjin" itu yang berarti, sekalipun orang tua sendiri pun boleh dibinasakan membuatnya murka bukan buatan. Melihat wajah orang yang bengis itu, Tong Soen merasa jeri, tetapi sejenak saja, ia sudah tertawa pula. "Ayahmu di dalam gedung soenboe siang dan malam memikirkan kau saja, kongtjo e," ia berkata pula, suaranya, tingkahnya, dibikin-bikin. "Kalau ada sesuatu yang membikin kau murka sebagai ini, hingga ke sehatanmu terganggu, pastilah ia akan berduka bukan main!" Mendengar itu, Keng Sim ingat bahwa ayahnya masih di tangan boetay. Ia jadi ber- sangsi, hingga tangannya yang hendak dipakai menyerang menjadi didiamkan saja. Tong Soen tertawa pula. "Kongtjoe ada seorang yang cerdik, jikalau sekarang kongtjoe mendirikan suatu ja sa besar, maka untuk kau selanjutnya, tak usah lagi kau kuatirkan urusan pan gkat dan penghidupan yang berbahagia!" katanya lagi. Dengan pengaruh kekuasaan, dengan pancingan kedudukan mulia, Tong Soen hendak membikin pemuda itu jatuh di bawah p engaruhnya, tetapi sampai di situ, ia berhenti membuka mulutnya. Ia melihat wajah orang yang muram dan lalu menjadi pucat. "Oh, Thian!" berseru itu anak muda, seraya ia menepuk dadanya, "kedosaan apa tel ah hambamu lakukan maka sekarang orang pandang aku sebagai manusia hina dina?" Tong Soen terkejut. Inilah ia tidak sangka. "Jikalau aku temahai pangkat dan kesenangan!" pemuda itu kata dengan nyaring, "kenapa aku tidak mau bawa sendiri pedang ini ke kota raja kepada raja? Sudah cukup, jikalau lagi kau ngaco belo, aku nanti adu jiwaku denganmu, b iarlah aku menjadi hamba tidak setia dan anak tidak berbakti!" "Sabar, kongtioe." kata Tong Soen dengan berani. "Bukankah kita dapat bicara sec ara baik-baik? Kenapa kau bicara keras-keras, berkaok-kaok?" Keng Sim tidak gubris komandan Gielimkoen itu, hanya seorang diri ia berseru: "S oehoe, soehoe1. Kapankah aku bisa bertemu pula denganmu untuk membeber hatiku ini?" Sampai di situ, Tong Soen juga menjadi habis sabar, hingga ia menyesal tidak bis a lantas mencekek leher orang, meskipun begitu, tidak berani ia sembarang turun tangan, karena ia tahu, dalam lima puluh jurus, belum tentu ia dapat merobohkan pemuda itu yang liehay. Ia pun kuatir suara berisik na nti mengasi bangun banyak orang di sekitarnya. Bukankah ia telah mendapatkan pedang? Dengan membawa pedang itu, kendati si penjahat belum tertawan, ia sudah dapat bertanggung jawab. Ong An sementara itu masgul sekali. Belum pernah ia saksikan majikan mudanya dem ikian bersusah hati. "Kongtjoe, mari kita pulang menemui looya," ia berkata membujuk. "Baiklah kalau siang-siang kongtjoe menyingkir dari ini tempat buruk...?" "Kau juga pergi!" membentak si kongtjoe tiba-tiba. "Semenjak hari i ni, jangan kau melihat aku pula!" Lantas pemuda ini menangis seraya menepuk-nepuk dada. Ong An menjadi bingung. "Kongtjoe-mu telah jadi gila, mari kita lekas pergi!" berkata Law Tong Soen meny aksikan kelakuan orang itu. Tapi ia sebenarnya kuatir Keng Sim menyebabkan bangu nnya banyak orang, hingga Ong An bisa dibekuk. Ia lantas sambar tangan Ong An itu untuk dita rik diajak pergi. Keng Sim menangis hingga ia merasa sangat letih melebihkan pertempuran sama musuh tadi siang. Ia merasa telah mendapat cacad yang seumurnya sukar ia singkir kan. Sin Tjoe di tempat bersembunyi pun terharu. Ia lihat orang num-pra di tanah, keh ilangan semangat, hingga pemuda itu mirip dengan sebuah patung batu. Diam-diam ia menghela napas. Tak tahu ia, ia merasa kasihan atau muak... Ketika itu terdengar suara berisik yang mendatangi. Mungkin dari pelbagai kemah datang orang yang tadi mendengar suaranya keras dari si anak muda. Mendengar itu , Sin Tjoe pun insaf akan halnya dirinya sendiri. Bukankah ia hendak pergi menyi ngkir? Maka, tanpa ayal lagi, ia lompat turun, untuk mengangkat kaki. Keng Sim mendapat dengar suara pelahan sekali, segera ia mengawasi, maka sekaran g baharu ia ketahui, di sana ada seorang lain. Ia lantas mengawasi, samar-samar ia kenali Sin Tjoe. Ia menjadi menjublak sendirinya. Sin Tjoe lari terus turun gunung. Ia dapat- kan sinar rembulan dan bintang-bintang guram. Fajar belum lagi menyingsing akan tetapi di tengah laut terlihat dua tiga ekor burung laut sudah berterba-ngan men cari makanan. Di tepian, sang gelombang mendampar gili-gili tak hentinya. Menamp ak itu, hatinya pun ruwet. Ia ingat ia datang dengan gembira tapi sekarang pergi dengan lesu. Ia menoleh ke arah Keng Sim, ia seperti dengar pemuda itu memanggi l-manggil padanya... Kemudian pemudi ini memungut sebutir batu, ia timpuki itu ke air laut, seperti k ias bahwa ia membuang segala macam kesannya... *** Setelah fajar, air laut nampak bergelombang hebat, suaranya berge- Mau tidak mau, Tong Soen harus melepaskan lengan Sin Tjoe, yang tanpa menyia-nyiakan waktu segera menyerangnya dengan kedua-dua pedang itu. muruh, setiap kali tepian digempur, muncratlah letikannya, bagaikan air hujan at au hancuran mutiara. Sin Tjoe berada di tepian, bajunya terkena muncratan air. H awa dingin membikin hatinya terbuka. Maka tanpa merasa, ia bersenandung dengan s yairnya Su Tung Po "Pergi ke Kang Tong." Ia ingat belum pernah ia menemui orang yang cocok dengan hatinya. Ia bayangkan Keng Sim dan Kheng Thian, keduanya lenya p di dalam rupa bayangan. Tjong Lioe gagah tetapi dia bukanlah priya yang menjad i idam-idamannya wanita. Maka di achirnya ia merasa, adalah soebo-nya, gurunya y ang wanita, yang berbahagia sekali. Di timur, cuaca makin lama makin terang, ge- lombang pun menghebat terus. Kelihatan laut dan langit seperti nempel. Luas air laut, yang seperti tak berujung pangkal. Kagum Sin Tjoe menyaksikan kebesaran sang laut dengan gelombangnya. Cuma burung- burung laut yang dapat terbang mundar-mandir di atasnya dengan kadang-kadang binatang itu terjun menyamber ke muka air. Mengawasi burung itu, Sin Tjoe tertawa sendirinya dan berkata: "Burung laut itu menyerbu lautan, dia mementang sayap dan berterbangan, maka mustahil sekali aku tidak dapat seperti dia?" Ia ngelamun teta- pi ia jadi bersemangat, maka tempo ia membuka tindakannya, ia dapat berjalan dengan cepat. Fajar membuat laut terlihat tegas, gunung-gunung pun turut berpeta, muncul dari antara uwap gempal. Terbukalah hati memandangi gunung-gunung itu. Selagi si nona terbenam dalam keindahan sang alam itu, tiba-tiba kupingnya mende ngar suara tindakan yang keras, yang tengah mendatangi. Ia terkejut. Segera ia menduga apa Tjong Lioe mengirim orang menyusul padanya. Ia m emasang kuping, ia dapat kenyataan suara itu bukan datang dari arah belakang. Ma ka ia memikir pula: "Benarkah di waktu pagi buta begini sudah ada orang yang mel akukan perjalanan?" Makin lama tindakan kaki itu terdengar makin dekat, sekarang pun terdengar jug a suara napas orang yang disusuli dengan kata-kata: "Dengan bersembunyi di tempat gelap membokong orang, apakah itu perbuatannya satu laki-laki? Jikalau kau ada punya nyali, mari muncul di tempat terbuka di bawahnya matahari untuk kita main-main!" Itulah tantangan. Tapi yang menarik perhatian ialah suara itu Sin Tjoe rasanya k enal baik. Ia tidak usah memikir lama akan ingat suaranya Law Tong Soen si koman dan Gielimkoen. Ia menjadi heran. Bukankah komandan itu gagah sekali? Siapakah y ang berani membokong padanya? Segera juga terlihat orang yang berlari-lari dan berkata-kata itu muncul di sebu ah tikungan. Dia memang Tong Soen adanya! Sin Tjoe lantas saja menyembunyikan diri di antara dua batu besar di tepi jalan. Di situ orang tidak dapat lihat ia sebaliknya ia dapat mengintai orang. Ia lant as memasang mata. Tong Soen itu riap-riapan rambutnya, mukanya mateng biru di sana-sini dan pakaiannya penuh kotoran tanah, dia bagaika n seorang rudin. Melihat keadaan orang itu, Sin Tjoe heran bukan main. Ia berpikir: "Walaupun Loo tjianpwee Tjio Keng To tidak nanti dapat membikin ini komandan Gielimkoen yang g agah menjadi rusak begini macam... Untuk Tjio Lootjianpwee, ini pun tidak mungki n, karena ia sudah tidak suka memusingkan kepala lagi terhadap segala urusan..." Oleh karena ia insaf ia bukan tandingan Law Tong Soen, Sin Tjoe tetap bersembunyi, ia hanya mengawasi saja. Bahkan napasnya ia sampai tahan, kuatir nanti kedengaran musuh itu. Ia tetap heran kenapa orang menjadi serudin itu. Tong Soen telah mendapatkan pedang mustika, ia kabur, bahkan dengan meninggalkan Ong An ketika ia dengar suara orang mencari Keng Sim. Ia memilih jalan kecil, l antaran ia sungkan menemui tentera rakyat. Ia tidak takuti tentera itu tetapi ia segan mendapat kesulitan d igerembengi mereka. Karena ia pilih jalan kecil itu, ia mesti melewati sebuah tanjakan atau bukit kecil. Ketika kemudian ia memasuki sebuah tempat dengan pepo honan yang lebat bagai- kan rimba, ia kendorkan tindakannya. Ia menduga bahwa ia sudah terpisah tiga pul uh lie lebih dari tangsi tentera rakyat. Di sini ia mengambil kesempatan untuk menghunus pedang mustika, yang segera mengasi lihat sinar berkilauan, cahayanya mirip dengan cahaya mutiara. Sejarak lima tindak, ia bisa melihat segala apa den gan nyata. Bukan main girangnya ia. "Pantaslah pedang dari istana!" ia memuji di dalam hati saking kagum. "Tidak ane h yang untuk ini Tjio Keng To sampai mengacau istana!..." Gembira Tong Soen hingga seorang diri ia tertawa tak hentinya. Ia sudah membayan gkan bahwa ia telah mendapatkan hadiah istimewa dari raja untuk jasanya sudah mendapatkan pedang itu. "Syukur Yang Tjong Hay tidak turut bersama aku," ia ngelamun terlebih jauh. Tiba -tiba saja ia ingat rekannya itu. "Kalau tidak, jikalau sampai dia yang mendapat kan ini, pasti sekali dia tidak menghiraukan lagi pangkat Tay i wee Tjongkoan, k uasa istana! Pasti dia bakal buron dengan pedang ini! Sayang dahulu hari aku tid ak meyakinkan ilmu pedang, coba sebaliknya, sekarang ini tentulah aku tidak kesu dian mengantarkan pedang ke istana!..." Tong Soen mengatakan ia tidak mempelajari ilmu silat pedang, tetapi sedikit-sedi kit ia bisa juga, maka itu, dengan pedang mustika itu, ia terus bersilat dengan caranya sendiri. "Traang!" demikian sekonyong-konyong terdengar suara nyaring. Komandan Gielimkoen ini menjadi kaget sekali. Itulah pedangnya yang mengasi deng ar suara nyaring itu. Pedang itu telah kena ditimpuk batu, keras serangannya hin gga tangannya sedikit gemetar. "Sahabat siapa itu?" dia lantas menegur. "Silahkan kau keluar, sahabat?" Dardalam rimba tidak terdengar suatu apa, suasana di situ tetap sunyi. Tong Soen heran dan penasaran, ia memandang kelilingan, pedangnya disiapkan untuk melindungi tubuhnya. Tiba-tiba ada terdengar suara tertawa pelahan di sebelah timur. Gesit sekali ia berlompat, akan lari ke arah dari mana suara itu datang. Ia pun menegur: "Di sini Law Tong Soen menanti pengajaran!" Ia perca ya, orang golongan Jalan Hitam atau Jalan Putih, sedikitnya tentu pernah mendeng ar namanya itu. Belum lagi suara tantangan itu lenyap di udara, kembali ada sebutir batu yang me nyambar, jauh lebih keras daripada yang tadi. Kali ini pedang berbunyi nyaring d an getarannya terasa hingga telapakan tangan komandan Gielimkoen itu menjadi seperti kesemutan. Tong Soen ketahui ia dipermainkan, ia menjadi sangat gusar, maka ia lantas lompat ke arah timur itu, dengan niat memas uki rimba guna mencari orang yang mempermainkan padanya. Ketika ia baharu sampai di muka rimba, mendadak kupingnya mendengar suara tertawa di sebelah barat. Ia m engenali suara yang sama. "Setan alas!" ia mendamprat. "Jikalau kau tetap tidak mau keluar, nanti aku meng upat caci padamu!" Tengah ia membuka mulutnya itu, tiba-tiba ada sepotong tanah yang menyambar masu k tanpa ia dapat mencegah, saking hebatnya timpukan tanah itu. Ia kaget sekali, sampai hampir ia ketelak. Dengan luar biasa cepat, ia memuntahkannya. Tentu saja , meluap kemurkaannya, hendak ia membuktikan ancamannya, akan mengupat caci. Tapi kali ini, timpukan datang pula dan mengenai mukanya, hingga ia merasakan sakit dan perih, hampir berbareng dengan mana, ia dengar suara tertawa di arah selatan! "Inilah hebat," kemudian Tong Soen berpikir. Ia ada satu jago tetapi dua kali ia kena orang timpuk. Bahwa pedangnya yang kena diserang, itulah tidak terlalu her an, yang belakangan tapinya mulutnya dan mukanya. Ia menjadi mendongkol berbaren g jeri. "Siapakah orang liehay ini? Mungkinkah dia iblis rimba ini?" Sekarang ia tidak berani membuka mulut pula jangan kata mendamprat atau menegur. Sudah tentu, ia pun tidak berani membuktikan ancamannya akan mengupat c aci. Bahkan ia pikir, menyingkir dari tempat ini adalah paling baik. Ia baharu j alan beberapa tindak tatkala ia dengar suara bengis: "Kembali!" suara mana disusuli mengaungnya suara senjata rahasia menyambar. Dengan terpaksa jago ini mencelat mundur, dengan begitu ia lolos dari serangan. Untuk herannya ia memperoleh kenyataan, ia ditimpuk dengan batu yang terlebih ke cil daripada telur burung. Maka itu menyatakan liehaynya si penyerang. Kalau ia kena ditimpuk, mungkin tulangnya patah. Penyerang batu itu tidak berhenti dengan yang pertama itu, lalu itu disusul deng an yang kedua dan ketiga, seterusnya. Dengan begitu juga Tong Soen terpaksa mest i kembali ke tempat dari mana ia datang. Sebab setiap datang serangan itu, ia me sti berkelit mundur. Serangan batu pun tercampur sama tanah atau gumpalan lump ur, maka itu, tidak dapat ia membebaskan diri anteronya, hingga sekarang pakaiannya menjadi kotor begitupun muka dan kepalanya. Percuma ia ada satu jago atau kepala dari pasukan tentera kerajaan, sekarang ini Tong Soen tidak berani membuka mulutnya, ia mesti membung kam tidak perduli kemen-dongkolan dan kegusarannya meluap-luap. Sebagai satu jag o silat, ia ada cacadnya, ialah ia tidak pernah meyakinkan mata, untuk dapat mel ihat tegas di waktu malam gelap petang, sedang keistimewaannya, ialah ilmu silat Hoenkin Tjokoet tjioe, untuk mematahkan tulang lawan, cuma dapat dipakai dalam perkelahian rapat. Sementara itu langit telah mulai menjadi terang, angin laut meniup-niup dengan santar, dari kepala pusing, Tong Soen mend apat pulang kesegarannya. Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapat kenyataan yang ia t elah dipaksa mundur kembali ke jalanan di tepi laut. Ia menjadi heran dan kaget sendirinya. "Lagi beberapa lie, aku pasti akan tiba di tangsi tentera rakyat," ia berpikir. "Syukurlah langit keburu terang, jikalau tidak, tentulah aku akan dipaksa mundur sampai di sana. Pasti di sana orang bakal jadikan aku buah tertawaan..." Dengan cuaca menjadi terang, Tong Soen terbangun semangatnya. Sekarang orang tid ak bisa main sembunyi seperti tadi untuk saban-saban menyerang ia dengan timpukan. Kembali ia memandang ke sekitarnya. Di waktu fajar seperti itu, di situ belum ada orang yang berlalu lin tas. Ia tidak lihat siapa juga, hingga ia jadi penasaran sekali. Penyerangnya it u tetap tidak pernah memunculkan diri. Sekarang baharulah Tong Soen merasakan letih, maka itu ia cari sebuah batu besar di tepi jalanan itu, untuk duduk beristirahat. Ia pun segera merasakan perutnya lapar. Maka ia tancap pedang di sampingnya, terus ia keluarkan rangsum keringnya untuk didahar. Ia tidak meneliti lagi tempat duduknya itu, ia tidak ta hu batu itu ada pasangannya dan di antara kedua batu itu ada satu nona tengah me ngintai ia... Sin Tjoe tetap sembunyi di sela batu itu. Ia mengintai selama matanya masih dapat melihat. Ia sembunyi di situ sampai oran g tiba kembali. Ia terkejut akan mendapatkan orang duduk di dekatnya, hingga ia dapat mendengar suara bernapas orang. Ia baharu merasa sedikit lega setelah mendapat kenyataan rupanya orang tidak ketahui sembunyinya di situ. Ia terus berdiam, dengan ati-ati ia me ngintai. Begitulah ia lihat pedang itu, yang kalau mau, dapat ia sambar dengan t angannya. "Kenapa aku tidak mau curi pedangnya ini, untuk diteruskan menikam padanya?" si nona dapat pikiran. Ia nyata bernyali besar, begitu ia berp ikir, begitu ia bekerja. Tangannya menyambar dan pedang tercekal. Hanya di saat ia baharu mencabut, Tong Soen mendapat tahu, jago ini dengar suara angin, maka dengan kesehatannya y ang luar biasa, tangannya menyambar, tepat ia kena cekal lengan si nona. Sin Tjoe kaget bukan main, ia pun merasakan sakit pada tangannya itu, yang bagai kan terjepit besi. Law Tong Soen sudah lantas tertawa terbahak. "Kiranya kau?" katanya. Ia telah lantas berpaling kepada si nona, yang ia pun ta rik. Sin Tjoe cerdik, belum sampai ia tertarik, ia mendahulukan berlompat, di waktu m ana pun, "Sret!" terdengarlah suara pedang dicabut. Dasar muridnya Thio Tan Hong , ia cerdik sekali, ia tidak gugup. Tangan kanannya benar telah orang cekuk tetapi tangan kirinya masih bebas maka dengan tangan kiri itu ia menghunus pedangnya, b ahkan tanpa ayal sedetik jua, ia terus menikam ke tenggorokannya komandan Gielim koen itu. Tong Soen liehay, ia tarik tangannya si nona hingga tubuh nona ini tergerak, hin gga tentu saja serangannya mengenakan sasaran yang keliru, ialah mengenakan pedang dari istana itu. Syukur untuk si nona, ia tidak sampai menikam tangannya sendiri yang kanan itu. Ia menjadi kaget berbareng penasaran, ia mendongkol bukan main. Dengan berani ia ulangi serangannya, kali ini ia membacok ke arah lenganny a sendiri yang dipegangi Tong Soen itu! Inilah hebat! Tong Soen tidak sempat ber- daya, walaupun sebenarnya, kalau ia cukup cerdas, dapat ia membikin patah tangan nona itu. Ia telah didului, ia menjadi kaget. Kalau ia tidak lepaskan cekalanny a, bukan melainkan tangan si nona, tangannya sendiri bakal terbabat kutung, ia t idak sempat merampas pedang istana itu, yang Sin Tjoe tidak mau melepaskannya tidak perduli tangannya dipenc et keras. Ia menahan sakit sebisa-bisa. Serangan Sin Tjoe ini ada maksudnya, dan nyata ia berhasil. Mau atau tidak , Tong Soen mesti melepaskan cekalannya, maka itu, si nona menjadi merdeka. Tidak mensia-siakan tempo lagi, N ona Ie segera menyerang dengan kedua pedang di tangannya itu. "Binatang licin!" Tong Soen berseru saking mendelu. Ia tidak takut, ia lawan si nona dengan bertangan kosong. Ia harap dapat melanggar atau memegang tangan nona itu, untuk dibikin keseleo atau patah. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet Tjioe itu yang liehay. Maka ia dapat melayani dengan baik. Dengan sangat lincah ia saban-saban menyingkir dari sabetan atau tikaman pedang. Hanya ia rep ot juga, ia mesti berlaku ati-ati luar biasa. Sin Tjoe berkelahi dengan ilmu pedangnya Hian Kie Itsoe, dengan begitu, walaupun ia kalah kosen, ia masih dapat bertahan, apapula sekarang ia memegang dua batang pedang mustika. Mereka telah bertempur sampai kira-kira lima puluh jurus, itu artinya meminta tempo. Keduanya lantas merasa tidak aman sendirinya. Law Tong Soen kuatir munculnya lawan yang sembunyi kan diri itu, yang belum ketahuan siapa adanya, kalau dia itu datang, ia bisa da pat susah. Sin Tjoe sebaliknya kuatir-kan munculnya Kheng Thian, yang bisa mengg erecoki padanya. Maka itu keduanya sama-sama ingin lekas-lekas mengachiri pertem puran itu. Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari Hian Kie Itsoe mengutamakan sepasang pedang yang dipegang masing- masing oleh satu orang, sekarang Sin Tjoe menggunainya sendiri ini kurang tepat, tangan kirinya kalah lincah dengan tangan kanannya. Lama-lama kekurangan ini dapat dilihat Tong Soen yang liehay itu, maka selang lagi sekian lama, ini komandan Gielimkoen lantas mendesak di sebelah kiri. "Lepas!" berseru Tong Soen tatkala ia dapat membikin mental Tjengbeng kiam di ta ngan kiri si nona sambil tangan kanannya menyambar ke pedang istana, untuk mana ia gunai dua jarinya, tengah dan telunjuk, untuk menjepit pedang mustika itu. Ia benar-benar liehay, karena berbareng sama seruannya itu, pedang itu terlepas dari tangan Sin Tjoe, pindah ke tangannya. La ntas ia tertawa berkakak. "Lepas!" kembali ko-manan Gielimkoen ini berseru setelah beberapa jurus lagi. Ka li ini dengan tangan kiri ia menyamber tangan si nona dengan maksud merampas juga pedang Tjengbeng kiam. Tapi kali ini ia keliru menyangka. Dengan h anya memegang sebuah pedang, Sin Tjoe jadi terlebih liehay daripada ia mencekal dua. Ia meloloskan di ri dari sambaran, ia terus membalas menikam ke uluhati lawannya dengan jurusnya "Ular putih muntahkan bisa." Tong Soen bukan ahli pedang, ia dapat menangkis, akan tetapi ia kalah tindih, ka renanya ujung Tjengbeng kiam terus mengarah dadanya. Tentu saja ia menjadi terkejut, perlu ia lebih dahulu membela dirinya, hingga gagal ia dengan serangannya itu. Sin Tjoe menjadi dapat hati, maka itu, berulang-ulang ia mendesak. Dengan terpaksa, Tong Soen main mundur. Achirnya, saking penasaran, komandan itu berseru: "Jikalau aku tidak dapat rampas pedangmu, aku bukan si ora ng she Law lagi!" Dengan teriakannya itu, Tong Soen hendak menyimpan pedang mustika ke dalam sarungnya. Sebab ingin ia merampas pedang si nona dengan tangan kosong, dengan menggunai ilmu silat andalannya ialah Hoenkin Tjokoet Tjioe. Justeru itu sekonyong-konyong terdengar seruan "Ilmu pedang yang bagus!" Lalu se butir batu menyambar keras sekali kepada kedua pedang yang lagi saling tindih it u, hingga kedua pedang itu terpisah sendirinya. Tong Soen terkejut,ia lantas berlompat mundur seraya berpaling ke arah dari ma na suara datang. Ia kenali suara yang tadi mengganggu padanya. Ia mendapat lihat, d i tempat terpisah belasan tindak dari ia, dua orang tengah berdiri menonton. Mer eka itu priya dan wanita, umurnya umur pertengahan, masing-masing dengan sikapny a sangat tenang. Rupanya sudah sekian lama mereka itu menonton pertempuran. Si p riya dandan sedikit luar biasa, ialah ia mengenakan pakaian orang Hweekiang. Dan si wanita, di bebokong siapa ada tergendol sepasang gaetan, juga dandan bukan s ebagai orang Han. Kembali Tong Soen menjadi kaget, ini kali disebabkan ia tidak ketahui datangnya orang. Ia percaya dirinya sangat liehay dan mengetahui segala apa. Ia pun lantas menduga pasti, si priya adalah orang yang dari dalam rimba menggodai padanya... Dengan Tong Soen berlompat mundur, Sin Tjoe menjadi berhenti berkelahi. Tentu sa ja ia pun heran atas datangnya batu yang memisahkan perkelahian mereka. Justeru itu si priya menunjuk padanya seraya menanya: "Eh, nona, apakah kau muridnya Thi o Tan Hong?" Sin Tjoe heran bukan main hingga ia melengak. "Kenapa sekali melihat saja dia ketahui aku wanita?" pikirnya. "Kenapa dia pun mengenali ilmu silatku?" Tapi ia tidak melengak lama, segera ia sadar. Bukannya menjawab, ia justeru menanya: "Bukankah kau Peehoe Ouw Bong Hoe?" Orang itu berse- nyum. Ia memang Ouw Bong Hoe, muridnya Siangkoan Thian Ya, yang mewariskan ilmu silat gurunya itu dan kepandaiannya jauh terlebih liehay daripada Tamtay Biat Be ng, kakak seperguruannya yang tertua. Sedang wanita itu adalah adik seperguruann ya. Kimkauw Siantjoe Lim Sian In si Dewi Gaetan Emas. Siangkoan Thian Ya, sama kesohornya dengan Hian Kie Itsoe, ia hanya bertabiat aneh, ialah ia melarang pernikahan di antara murid-muridnya priya dan wanita. Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In terkena lar angan itu, mereka menyinta satu pada lain tetapi tidak dapat mereka merangkap jo doh. Adalah kemudian, sesudah dibantu Thio Tan Hong, yang membikin Siang- koan Thian Ya kagum terhadap orang she Thio itu, baharu pantangan itu ditiadakan dan mereka dapat menikah. Karena ini, tanpa perdulikan lagi tingkat derajat. Ou w Bong Hoe suami isteri jadi bersahabat erat dengan Thio Tan Hong. 3) Sin Tjoe sering mendengar gurunya bercerita tentang Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In itu, maka lekas juga ia ingat mereka dan lantas mengenalinya. Tentu saja datang nya mereka itu membuat hatinya lega, hingga ia menjadi girang sekali. Adalah Ouw Bong Hoe yang bersama-sama Thio Tan Hong, Tjio Keng To dan Yang Tjong Hay yang disebut Thianhee Soetay Kiam-kek yaitu jago pedang paling besar di kol ong langit di jamannya itu. Maka juga kaget sekali Law Tong Soen apabila ia dengar Sin Tjoe yang ia sangka seorang pemuda menyebut namanya jago itu. Tapi dasar ia sangat percaya ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet Tji oe, ia tidak menjadi berkecil hati. "Ouw Bong Hoe," ia lantas berkata, dengan dingin, "kaulah seorang kenamaan, meng apa kau senantiasa bermain di tempat gelap, sampai kau tidak berani memperlihatk an dirimu? Hari ini aku si orang she Law telah belajar kenal denganmu!" Ouw Bong Hoe melirik orang dengan sikapnya yang dingin sekali. "Tahukah kau siapa binatang ini?" ia tanya Sin Tjoe. "Tahukah kau perlu apa dia datang ke mari?" "Dialah tongnia dari Gielimkoen," menjawab Sin Tjoe, "dia sedang menerima fir man raja Lekas-lekas Tong Soen membalikkan pedangnya, tetapi sebaliknya dari berhasil mem bebaskan pedangnya, ia bahkan merasakan, bahwa pedang bambu musuhnya semakin ber at, mungkin seribu kati lebih. untuk menawan Lootjianpwee Tjio Keng To sekalian dia hendak merampas pedangku! D ialah satu telur busuk paling besar!" Ouw Bong Hoe tertawa dingin, ia lantas berpaling kepada komandan Gielimkoen itu. "Tadi malam aku tidak ketahui asal-usulmu maka itu aku berlaku murah terhadapmu, " ia berkata. "Hm! Kenapa kau justeru mencaci aku? Kau berniat keras sekali mera mpas pedang orang, sekarang aku juga ingin merampas pedang di tanganmu itu! Mari , mari kita main-main!" Habis mengucap kata-katanya yang terachir itu, Ouw Bong Hoe mengulur sebelah tangannya ke sampingnya di mana ada pohon bambu, ia menjambret sebatang yang masih muda, ia patahkan itu, dengan tangannya ia belah dan merautnya hingga menjadi seperti pedang bambu panj ang tak ada tiga kaki, kemudian menyabet dengan itu, ia kata dengan nyaring: "Ka u gunakanlah pedang mustikamu itu! Jikalau kau dapat mengalahkan pedang bambuku ini, segera aku kembali ke gurun pasir di Utara dan untuk selanjutnya tidak nant i aku kembali ke Kanglam ini!" Tong Soen mendongkol tidak terkira. "Bagaimana jikalau pedang bambumu itu kena aku babat kutung?" dia tanya. "Dengan begitu akulah yang kalah!" menjawab Ouw Bong Hoe. Tong Soen segera berpikir: "Aku punya ilmu pedang tidak sempurna tetapi pedang i ni tajam luar biasa, rambut ditiup di tajam- nya pedang putus, mustahil segala pedang bambu tidak akan terpapas buntung?" Lan tas ia menerima baik, serunya: "Baiklah! Kau ada seorang kenamaan, kata-kata kit a adalah janji! Jikalau aku kalah, dengan kedua tanganku akan aku persembahkan p edang mustika dari istana ini kepadamu!" Baharu Tong Soen menutup mulutnya atau tangannya sudah bergerak menikam seraya s ebelah kakinya dimajukan dengan cepat. Ia mengarah pinggang orang. Ouw Bong Hoe tertawa. "Hm! Sungguh sebati" katanya, mengejek. Sembari tertawa, ia berkelit ke samping terus ke belakang penyerangnya itu, untuk menotok jalan darah honghoe hiat dari komandan Gielimkoen itu. "Celaka!" Tong Soen berseru di dalam hatinya, karena ia tengah menyerang dan tid ak dapat ia lekas-lekas menarik pulang pedangnya itu untuk menangkis. Tapi meski pun begitu, ia gunai tangan kirinya guna menyambar tangan lawan. Itulah gerakan dari Hoenkin Tjokoet Tjioe. Diserang dengan sambaran itu, Ouw Bong Hoe tertawa. "Namanya mengadu pedang teta pi ceker anjing pun dikeluarkan!" katanya. Mukanya Tong Soen menjadi merah dan ia merasakan panas sendirinya. Bukan saja sambarannya itu tidak memberi hasil juga ejekan lawan mem buatnya malu sekali. Memang tidak ada dibikin perjanjian, mengadu pedang tak boleh dicampur baur dengan lain macam ilmu silat, akan tetapi sama-sama orang kenamaan sebagaimana ia anggap ia pun tersohor suda h sepantasnya ia hilang muka. Setelah ini, dalam mendongkol dan sengitnya, Tong Soen mendesak lawannya itu. Be rulang-ulang ia membacok atau membabat, dengan niat keras membikin sapat pedang bambu dari si lawan. Pedang bambu itu, asal benterok sedikit saja, mesti putus. Ouw Bong Hoe ada sangat lincah, ia berkelit atau berlompat mengegos tubuh menyingkir dari setiap serangan, ia selalu dapat membebaskan diri dari ancaman, sambil menolong diri, di mana ada kesempatan, ia juga membalas menyerang, hingga satu dua kali, hampir Tong Soen kena ditotok ujung pe dang bambu itu, yang di tangannya Bong Hoe, menjadi liehay sekali. "Jikalau terus begini jalannya, mungkin aku nanti salah tangan atau kena dipanci ng," pikir Tong Soen kemudian dengan hatinya gon-cang. Karena ini, terus ia puta r pedangnya. Ia tidak pandai mainkan pedang untuk menyerang tetapi untuk membela diri, melindungi tubuhnya, ia cukup mahir. Bagaikan lingkaran perak demikian tubuhnya tertutup sinar pedangnya itu. Di dalam hatinya ia kata: "Aku hendak lihat dengan cara bagaimana kau dapat menyerang aku! Asal pedangku dapat mengenai sedikit saja, pedangmu tentu bakal terkutung..." Komandan Gielimkoen ini berpikir demikian, hatinya puas. Ia tidak menduga, juste ru di saat ia membuat perubahan siasat, dari menyerang menjadi menjaga diri seke jap itu Ouw Bong Hoe telah menggunai ketika-nya dengan baik, dia ulur pedang bam bunya dan membentur pedang mustika dari istana raja itu. Dengan lekas-lekas Tong Soen membalik pedangnya, dengan harapan supaya ia dapat menempel pedang lawan dengan pedangnya bagiannya yang tajam, akan tetapi kesudah annya ia heran sekali. Pedang bambu itu seperti nempel sama pedangnya sendiri, tidak dapat ia membalik pedangnya itu. Belasan kali ia geraki pedangnya, dengan pelbagai tipu, tetap kedua pe- dang tak dapat terpisah. Yang membikin hatinya jadi kecil adalah ket ika kemudian ia merasakan pedang bambu berubah sifatnya, tadinya enteng, sekarang menjadi berat, berat hingga ser ibu kati, hingga hampir ia tidak dapat berdaya lagi. Ia menginsafi akan tenaga d alam yang luar biasa dari lawannya ini. "Sekarang kau hendak membilang apa lagi?" Ouw Bong Hoe menanya. Tong Soen mengertak giginya. "Aku serahkan pedang padamu!" sahutnya sengit. Sambil menolak keras, ia lepas ga gang pedangnya dengan ujung pedang yang tajam menjurus ke jantung lawannya itu. Sin Tjoe dapat melihat perbuatan orang itu, ia kaget hingga ia menjerit. Ouw Bong Hoe tidak menjadi kaget karena kelicikan lawannya. Ia menarik pedangnya selagi Tong Soen m enolaknya, tangan kirinya membarengi maju bekerja, maka sebelum ujung pedang mampir di tubuhnya, gagang pedang sudah dapat ia cekal. Begitu cepat gerakan tangan jago ini, sampai Sin Tj oe tidak dapat melihat orang menggunai tipu silat apa. Maka ia menjadi kagum lua r biasa. "Pantas dia sama kesohornya seperti soehoe1." pikirnya. Nona ini mengatakan demikian tanpa ia menginsafi bahwa dalam tingkat derajat, Ou w Bong Hoe ada terlebih tinggi setingkat daripada gurunya itu, sedang ilmu menan ggapi pedang itu, Ouw Bong Hoe dapat menurunkan dari Liehiap Siauw Oen Lan, sa habat gurunya. Untuk jamannya itu, Siauw Liehiap itu adalah yang tingkat derajatnya paling atas . Dahulu harinya pernah dengan sebatang pedang bambu dia melayani Tjia Thian Hoa dan Vap Eng Eng yang mengepung ia berbareng de ngan pedang mereka dengan kesudahannya seri. 4) Begitu lekas ia menyekal pedang mustika gegamannya lawannya itu, Ouw Bong Hoe tertawa lebar, hingga wajahnya Law Tong Soen menjadi bermuram durja saking mendongkol dan malunya dia. "Dengan pedang bambu kau merampas pedangku, itulah tidak aneh!" berkata komandan Gielimkoen ini terkebur. "Kau lihat bagaimana dengan tangan kosong aku rampas pulang pedang itu!" Tanpa memberi ketika lagi, komandan ini segera menyerang. Ia menggunai kedua tan gannya dengan berbareng. "Cis, tidak tahu malu!" Sin Tjoe berludah. Ia muak menyaksikan kelicikan orang. Ouw Bong Hoe berkelit mundur, sambil tertawa, ia kata: "Jikalau dia tidak diberi kan ketika untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, biarnya dia kalah dia tidak bakal puas! emdash Baiklah, mari aku belajar kenal sama ilmu silatmu yang katanya paling liehay di kolong langit ini ialah Hoenkin Tjokoet Tjioe!" Selagi ia berkata-kata, Bong Hoe sudah diserang dengan hebat. Rupanya adalah keb iasaannya Tong Soen untuk menutup kata- katanya sendiri dengan serangan, untuk separuh membokong kepada lawannya, guna membikin lawan kaget dan gelagapan. Tujuh atau delapan kali dia menyerang saling susul. "Baiklah kita main-main dengan tangan kosong!" berkata Ouw Bong Hoe kemudian ser aya ia ambil kesempatan membawa pedangnya ke mulut, untuk digigit. Hingga dengan begitu ia jadi melawan tangan kosong tanpa senjata. Ia sudah lantas menbuyarkan setiap serangan si lawan. Tentu saja, dengan sikapnya ini, ia jadi sudah mengal ah terhadap Law Tong Soen. Komandan Gielimkoen itu tidak ambil mumat orang bilang apa, dengan membungkam ia melanjutkan serangannya, dengan pelbagai jurusnya, mencoba yang satu dari yang lain, karena sampai sebegitu jauh semua serangannya dapat di punahkan lawan. Ia juga menggunai kedua kakinya di mana ada kesempatan. Nampakny a ia liehay sekali, hebat setiap serangannya itu. Ouw Bong Hoe berlaku sangat lincah. Ia menyingkir setiap kali serangan datang. I a pun tidak sudi kasi dirinya dirapatkan. Kalau ada ketikanya baharulah ia menyerang. Tanpa merasa dengan lekas mereka telah lewatkan kira lima puluh jurus. Hati Tong Soen menjadi panas berbareng cemas. Tidakkah sia-sia belaka semua peny erangannya yang sudah-sudah itu? "Ouw Bong Hoe, kau tidak berani menyambuti tanganku!" kemudian ia berkata dengan sengit. "Dengan bertempur cara begini, sampai kapan nanti achirnya?" Ouw Bong Hoe tidak menjadi gusar, sebaliknya ia tertawa. "Aku mengalah dengan membiarkan kau main-main lebih banyak dari selayaknya!" ia menyahuti dengan manis. "Apakah kau tidak sudi terima kebaikanku ini? Jikalau aku berniat meroboh kan kau, tidak usah sampai aku gunai satu tanganku!" Oleh karena mulutnya sedang menggigit pedang, suaranya Ouw Bong Hoe tidak terden gar terang, dan karena ia berbicara saja, dadanya telah terbuka. Ketika itu ia t engah mengegos tubuh ke samping. "Kena!" Tong Soen berseru seraya kedua tangannya dikeluarkan, tangan kirinya lebih dulu, tangan kanannya menyusul, teta pi kenyataannya, tangan kananlah yang menyerang hebat. Lagi-lagi dia gunai ketik anya separuh membokong itu, sebab lawannya tengah membuka suara. Tangan kanannya itu, yang jari-jarinya dibuka, menyambar bagaikan cengkraman. Sebab inilah sala h satu serangan terliehay dari ilmu silatnya itu, Hoenkin Tjokoet Tjioe, ilmu pe ranti mematahkan tulang. Siapa terkena itu, kontan dia bakal bercacad. Kembali Sin Tjoe kaget. Ia merasakan berbahayanya serangan orang she Law itu. Ia pun tidak mengarti kenapa Ouw Bong Hoe menjadi demikian alpa, berbicara tanpa k ewaspadaan. Law Tong Soen berseru kena membarengi serangannya itu, tepat seruannya itu. Ia b erhasil mengenai sasarannya. Hanya, ketika jari-jari tangannya baharu nempel di baju, dia telah d ipapaki sentilan oleh Ouw Bong Hoe, yang tidak berkelit atas serangan yang lieha y itu. "Aduh!" Tong Soen menjerit seraya dia lompat mundur setombak lebih. Ouw Bong Hoe mengawasi orang, sembari tertawa ia kata: "Kau dapat bertahan untuk sebuah jeriji tanganku ini, k au hebat. Baiklah, aku beri ampun padamu dari kematian! Sekarang pergi kau pulan g, untuk merawat diri selama tujuh hari. Mengenai pedang ini, suka aku meneriman ya!" Ia angkat tangan kirinya, di situ nyata tambah sebuah sarung pedang. Ialah sarung pedang mustika dari istana, yang tadi tergantung di pinggangnya komandan Gielimkoen itu. Sebab barusan, selagi sebelah tangannya menyentil, tangan yang lain menjambret ke ping gang lawan itu. Law Tong Soen kaget bukan main ia mati kutunya, di saat Ouw Bong Hoe memasuki pe dang ke dalam sarung, ia telah kabur hingga bayangannya pun lantas tak nampak la gi. Sin Tjoe girang tidak terhingga, ia lantas bertindak cepat meng-hampirkan orang she Ouw itu untuk mengunjukkan hormatnya, begitupun kepada Lim Sian In. Kimkauw Siantjoe tertawa ketika ia ulur tangannya menarik tangan si nona. "Kau menjadi besar hingga mirip dengan In Loei dahulu hari!" berkata nyonya ini. "Juga soebo-mu itu dulu senantiasa menyamar sebagai pemuda, dia merantau sepert i kau sekarang ini! Lihat, Bong Hoe, bagaimana bagus muridnya Tan Hong! Kita sen diri sayang tidak punya rejeki sebagai dia. Bagi kita seperti juga dunia ini leb ar luas akan tetapi murid yang berbakat baik dirampas lain orang!..." Sin Tjoe tidak perhatikan pembicaraan suami isteri itu, ia hanya heran kenapa or ang segera mengenali ia sebagai pemudi. "Peehoe dan peebo ," ia tanya, "soehoe dan soebo pergi ke Tjhong San, apakah pee hoe dan peebo bertemu de- ngan mereka?" Ouw Bong Hoe tertawa. "Jikalau kami tidak bertemu sama mereka itu, tidak nanti kami datang ke Kanglam ini," sahutnya. "Kau tahu, soebo-mu itu telah mendengar kabar kau, turut dalam p asukan rakyat suka rela, ia menjadi girang berbareng kuatir. Ia berkuatir karena hatinya memikirkan kau, takut-takut kalau kau gagal. Aku tidak nyana, semuda kau ini, ka u telah dapat mewariskan kepandaian gurumu, sampai Law Tong Soen si bangsat tua itu barusan tidak sanggup berbuat apa-apa terhadapmu. Sungguh, kau harus diberi selamat!" Lim Sian In sembari tertawa pun berkata: "Kalau nanti kami pulang akan aku mengasi keterangan pada soehoe dan soebo-mu itu tentulah mereka bakal jadi girang sekali, hingga selanjutnya so ebo-mu itu tak usah bercemas hati lagi." Sin Tjoe tertawa, ia gembira sekali. "Aku pun berniat pergi ke gunung Tjhong San di Inlam itu untuk memberi selamat p ada thaysoetjouw di harian ulang tahunnya!" katanya. "Itulah baik," mengatakan Lim Sian In. "Aku berniat mencari Tjio Keng To," kata Ouw Bong Hoe kemudian. "Kabarnya dia be rada di dalam pasukan rakyat, benarkah itu?" "Benar," Sin Tjoe menjawab lekas. "Sebenarnya aku belum pernah bertemu muka dengan dia itu," Bong Hoe berkata pula . "Kedatanganku ini adalah Tan Hong yang menyuruhnya aku pergi ke Kanglam untuk menemui dia, maka kebetulan sekali sekara ng aku dapat merampas pulang pedangnya itu, pedang ini dapat dijadikan persembah an perkenalan untuknya. Bagaimana kalau aku minta kau yang mengantarkan aku meng unjungi dia?" "Aku kuatir sekarang ini Tjio Lootjianpwee sudah tidak ada di sini," Sin Tjoe me ngutarakan dugaannya. "Mungkin sekali ia telah pulang ke rumahnya di Taytjioe." "Kenapa maka pedangnya ini bisa berada di tangannya Law Tong Soen?" tanya Bong H oe tak mengarti. "Itulah ada sebabnya," sahut Sin Tjoe, yang terus menuturkan duduknya hal. Ouw Bong Hoe tertawa. "Memang juga heran, dengan kepandaiannya itu, Law Tong Soen dapat merampas pedan g dari tangan Tjio Keng To," ia berkata. "Tadi malam karena aku belum tahu hal i chwalnya Tong Soen itu, aku cuma giring dia dengan paksa ke wilayah tentera raky at ini, untuk mencari keterangan, maka beruntung aku bertemu denganmu. Karena Tj io Keng To tidak ada di sini, percuma aku mensia-siakan tempo." Sin Tjoe pun beranggapan itu benar. "Peehoe," katanya kemudian. Tiba-tiba ia ingat suatu apa. "Kalau Peehoe kembalikan pedang ini kepada Tjio Lootjianpwee, pasti sekali ia tidak dapat menerimanya, it u malah menambahkan kedukaannya." "Habis bagaimana?" Ouw Bong Hoe tanya. Ia tua tetapi tidak sungkan ia menanya ya ng terlebih muda. "Pedang ini pedang mustika, mesti ada pemiliknya yang cocok. A ku sendiri tidak membutuhkan ini." "Kalau peehoe sudi, serahkan saja padaku," Sin Tjoe minta langsung. "Nanti aku s erahkan pada orang yang tepat." Bong Hoe setuju. "Kau benar," katanya. "Menurut katamu tadi, Tjio Keng To ada punya satu murid sh e Tiat, apakah pemuda itu pantas memiliki pedang ini?" Wajahnya Sin Tjoe merah sendirinya. "Aku tidak akan berikan pedang ini kepadanya," ia kata. Ouw Bong Hoe lantas serahkan pedang mustika itu. "Sekarang mari lekas kita berangkat!" Lim Sian In mengajak. "Lebih dulu kita car i Tjio Keng To, baharu Yang Tjong Hay. Kita harus lekas-lekas menyelesaikan tuga s kita supaya kita tidak terlambat pulang untuk memberi selamat kepada Hian Kie Itsoe." Sin Tjoe heran. "Peehoe dan peebo hendak cari Yang Tjong Hay?" ia bertanya. "Benar," Bong Hoe menyahuti. "Orang she Tjio dan orang she Yang itu, bersama-sama kita, menjadi apa yang disebut Soetay Kiamkek. Tentu sekali, j ulukan itu adalah pujian kaum kangouw belaka, maka itu, kami ingin seka li membuktikan benar atau tidaknya pujian itu." Mendengar itu, dengan menjebi, Sin Tjoe kata: "Yang Tjong Hay itu tidak layak menjadi salah satu Tay kiamkek, jago silat yang terbesar seperti peehoe bertiga!" "Benarkah itu?" Bong Hoe menegaskan. "Apakah kau pernah bertempur dengannya?" "Menurut pandanganku, dia hanya kurang lebih sama dengan Law Tong Soen," kata si nona tanpa menjawab langsung. "Kalau begitu, urusan sulit!" kata Bong Hoe, yang romannya jadi bersungguh-sungg uh. Sin Tjoe menja- di heran sekali. "Kenapa begi- tu, peehoe?" ia tanya. "Sebenarnya ada urusan apakah?" "Kalau dia sudah demikian kosen, pasti orang yang berdiri di belakangnya liehay luar biasa!" sahut Bong Hoe, kembali tidak langsung. Sin Tjoe menjadi bertambah heran. "Apakah benar ada orang yang terlebih liehay daripada Siangkoan Lootjianpwee?" i a tanya lagi. Ouw Bong Hoe tertawa. "Kau harus keta- hui itu pembilangan, di luar langit ada langit lainnya, di samp ing orang gagah ada lagi yang terlebih gagah. Tentang ini sukar diberikan kepast iannya," ia menjawab. "Yang Tjong Hay itu ada orang dari partai Tjekseng Pay tin gkat kedua, bahwa dia berani main gila, di belakangnya mesti ada orang yang dia buat andalan..." Hati Sin Tjoe terkesiap. Memang gurunya pernah omong tentang Tjekseng Tjoe pendi ri dari partai Tjekseng Pay itu, bahwa Tjek Seng Tjoe ada seorang Rimba Persilat an yang liehay, bahwa tiga kali Tjek Seng Tjoe pernah datangi Hian Kie Itsoe, thaysoetjouw-nya itu. Tentang kunjungan itu Tan Hong, gurunya, menerangkan: Pertama kali dia datang, Tjek Seng Tjoe tel ah diajak Hian Kie Itsoe, kakek guru itu, masuk ke kamar samedhi, di sana satu h ari dia diajak berdiam. Pada kunjungannya yang kedua, dia diajak bersamedhi dua hari. Dan pada yang ketiga kali, dia diajak mengeram diri tiga hari. Ketika itu dari murid-muridnya Hian Kie Itsoe, cuma ada Tang Gak seorang tetapi murid ini d iperintah menanti di luar saja ia dilarang masuk ke dalam kamar katanya nanti me ngganggu mereka berdua. Maka itu Tang Gak pun tidak ketahui apa yang gurunya dan Tjek Seng Tjoe itu lakukan. Kalau mereka mengadu ilmu silat, dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa. Yang jelas a dalah, setiap kali Tjek Seng Tjoe keluar dari kamar samedhi, dia selalu tunduk d an romannya kucel. Sejak kunjungan yang ketiga kali itu, tidak pernah Tjek Seng Tjoe datang pula. Di kunjungan yang ketiga kali itu, di waktu mana mereka berdia m tiga hari di dalam kamar, keduanya tidak pernah minum air seceguk juga. "Mungkinkah orang liehay yang Ouw Peehoe bilang ini Tjek Seng Tjoe adanya?" Sin Tjoe menduga. Tapi karena orang agaknya terburu-buru, ia tidak berani menanyakan keterangan. Bertiga mereka lantas berpisah. Seberlalunya suami isteri itu, baharu Sin Tjoe p eriksa pedang mustika dari istana itu. Ia dapatkan dua ukiran huruf "Tjie Hong." Itulah rupanya, namanya pedang itu, yang samar-samar mengeluarkan sinar biru muda. Kapan ia ingat kejadian semalam, nona ini menghela napas. Ia lihat hari sudah ja di terang sekali, matahari mulai naik tinggi, di laut tertampak sinar berkilauan seperti emas. Dari tangsi tentera rakyat ia pun mendengar suara terompet. Ia ti dak mau berdiam lebih lama, lantas ia berangkat. Belum lama, Sin Tjoe mendapat dengar suara tindakan kaki kuda mendatangi dari ar ah belakangnya, ia lantas saja menoleh. Ia lihat sepasang muda-mudi, yang lari m engaburkan kudanya ke arahnya. Ia pun lantas mengenali Seng Hay San dan Tjio Boe n Wan. Karena di antara mereka tidak ada Yap Tjong Lioe atau Pit Kheng Thian, hatinya menjadi lega, ia lantas memutar tub uh, untuk menyambut mereka itu. "Aku bilang bocah ini bukan orang baik-baik, soeko, kau masih tidak percaya!" te rdengar suaranya Nona Tjio. "Eh, mengapa kau pergi dengan diam-diam?" Justeru orang telah datang dekat padanya, Sin Tjoe dengar nyata suaranya nona it u. Ia mengarti perkataan serta pertanyaan itu diartikan dan dimajukan kepadanya. Ia lantas angkat pedangnya, ia tertawa sedih, karena tak tahu ia bagaimana haru s memulai membuka pembicaraan. Setibanya, Boen Wan agaknya tercengang, dia mengawasi saja pemudi yang menyamar sebagai pemuda itu. "Apa? Kau seorang wanita?" kemudian dia tanya, heran. Sin Tjoe terkejut. Ia lekas memeriksa dirinya. Segera ia dapat kenyataan, ujung rambut di dekat kupingnya telah meroyot turun. Setahu kapan, ikat kepalanya tela h terbuka di pinggiran itu. Mungkin itu disebabkan terjambret Law Tong Soen atau kebentur sela-sela batu tadi. Sekarang pun ia sada r kenapa Ouw Bong Hoe mengenali penyamarannya itu, ialah dari rambutnya itu. Boen Wan sekarang mengarti kenapa orang berlaku ceriwis kepadanya. Achir-achirnya Sin Tjoe bersenyum. Tenang hatinya sekarang. "Adik, kau ambil pedang ini," kata ia, manis. Dengan "adik" ia artikan adik pere mpuan. Boen Wan heran. Ia kenali pedang ayahnya itu. Ia sampai lupa menegaskan orang sebenarnya priya atau wanita. "Kenapa pedang ayah berada di tanganmu?" dia menanya kemudian. "Janganlah kau menanya, kau terima saja pedang ini," Sin Tjoe bilang. "Kau angga p saja bahwa ini ada persembahanku untukmu. Sekarang ini ayahmu ada sangat berdu ka, ia memerlukan kau mendampinginya untuk menghiburi. Baik kau lekas pulang unt uk menjenguknya. Aku pun hendak pergi. Adik Boen Wan, kau harus baik-baik merawa ti ayahmu itu, kau mesti menghiburi dia hingga hatinya menjadi lega..." Sin Tjoe bicara dengan sungguh-sungguh, hingga ia mirip dengan gadisnya Keng To sendiri, maka itu, hati Boen Wan tergerak, lenyaplah kecurigaannya. Ia jadi ingat ayahnya hingga ia berkuatir, ingin ia seg era pulang. Ia menyambuti pedang itu. "Terima kasih!" ia mengucap, lalu ia ajak Hay San mengasi lari kuda mereka. Sin Tjoe mengawasi orang pergi sampai mereka itu lenyap dari pandangan mata, lal u ia menghela napas. "Bocah ini tajam matanya," katanya di dalam hatinya. "Seng Hay San ini menang da ripada soeheng-nya\" Hay San nampaknya tolol, ia tak secerdik Keng Sim, yang romannya pun tampan. Tad inya Sin Tjoe heran kenapa Boen Wan pilih pemuda itu, sekarang baharu ia mengart i. Sendirinya ia menjadi berduka. Beberapa bulan ia berada bersama Keng Sim, sekarang semua itu lenyap bagaikan impian... Nona ini angkat kepalanya, dongak melihat langit, ia dapatkan matahari merah tel ah naik semakin tinggi. Ia berpaling ke arah laut, ia tampak air laut bergemirla p bagaikan kaca. Hari itu benar-benar indah. Di antara langit biru terlihat buru ng-burung walet laut berterbangan. Sedetik itu, ia sadar akan dirinya, maka lantas ia buka tindakan kakinya, untuk melanjuti perjalanannya yang telah tertunda sekian lama. Beberapa hari kemudian, Sin Tjoe mulai menyeberang di sungai Tiangkang. Ia naik sebuah perahu yang menyusur gelombang. Di tengah-tengah sungai, pikirannya melay ang. Di luar kehendaknya, ia terbayang kepada saat- saat pertama dari pertemuannya dengan Tiat Keng Sim. Saat-saat itu telah lantas lenyap mengikuti aliran sungai... Kuda Tjiauwya Say-tjoe ma telah dititipkan di rumah Thio Hek di tepi sungai Tian gkang, setibanya di seberang, Sin Tjoe sudah lantas menuju ke rumah orang she Th io itu. Ia girang akan mendapatkan kudanya tidak kurang suatu apa, malah nampaknya lebih segar, berkat rawatan yang sempurna. Binatang itu pun gembira menemui majikannya. Maka Sin Tjoe girang ber bareng terharu. Ia tahu, begitu banyak ia kenal orang, sahabatnya paling kekal a dalah kuda jempolan ini. Keluarga Thio Hek menanyakan urusan melawan kaum perompak, mereka girang akan mendengar keterangan bahwa kawanan penjahat itu sudah diusir ke laut. Mereka pun girang waktu diberitahukan, Thio Hek sendiri akan pulang tidak lama kemudian. M ereka lantas memuji kaum penyinta negara yang mengambil bagian dalam penindasan peromp ak terutama mereka puji Sin Tjoe, mendengar mana si nona sendiri terharu berbare ng jengah. Di rumah Thio Hek ini si nona tidak berdiam lama, cuma semalaman, lalu besoknya pagi ia berangkat menuju ke barat, meninggalkan wilayah Kanglam yang permai itu. Selang sebulan lebih, tibalah ia di daerah pegunungan Kioe Leng di barat daya. Di sini ia melihat pemandangan alam yang beda dengan Kanglam. Kalau Kanglam ada bagaikan nona-nona manis, barat daya ini seperti pemuda-pemuda sederhana. Ti ba-tiba ia dapat suatu perasaan aneh. Ia ingat Keng Sim dan Tjong Lioe, ia umpam akan Keng Sim sebagai bunga bouwtan di taman di Kanglam, dan Tjong Lioe seperti pohon cemara di tanah datar kedua propinsi Inlam atau Koeitjioe. Nona ini melanjutkan perjalanannya. Ia hendak melintasi Koeitjioe menuju ke Inla m. Di Koeitjioe ia tampak gunung jauh terlebih banyak, puncaknya berentet-rentet begi-tupun rimbanya, rimba cemara yang lebat. Di mana saja, ia dapat mendengar nyanyian kaum wanita suku bangsa Biauw dan melihat wanita bangsa itu bekerja di sawah ladang, bekerja rajin dan ulat seperti priya. Mereka itu sangat berbeda dari nona-nona Kanglam yang sepert i tak pernah keluar rumah. Sin Tjoe dandan sebagai pemuda, melihat sikap wajar dari wanita Biauw itu, ia li kat sendirinya, maka ia cari tempat sunyi di mana ia salin pakaiannya, untuk kem bali menjadi seorang nona. Orang Biauw senang sekali menyambut tetamu asing, di tengah jalan di mana ada pe seban peranti beristirahat, tentu-tentu ada disediakan air minum yang diambil da ri sumber di kaki gunung serta tjauwee, ialah sepatu rumput, untuk kaum pelancon g melenyapkan dahaganya atau menukar sepatunya yang rusak. Sekalipun keluarga miskin, kalau mereka kedatangan tetamu, perlu sekali mereka melayani tetamunya supaya menjadi puas. Karena ini, sebagai satu pemudi, Sin Tjoe tidak nampak kesulitan dalam perjalanannya ini. Setelah berjalan setengah bulan, ia tiba di barat Koeitjioe di tempat yang disebut Yamatjoan. Dar i situ, lagi enam atau tujuh hari, ia akan melintasi wilayah bangsa Biauw itu da n akan sampai di batas propinsi Inlam. Sore itu Sin Tjoe menumpang di rumah seorang Biauw di mana cuma ada dua penghuni nya, ibu dan puteranya, tetapi si putera bekerja di rumah touwsoe, kepala suku b angsa, maka itu, tinggallah si ibu seorang diri. Nyonya ini menyembelih seekor a yam semengga-mengganya untuk menyuguhkan tetamunya. Sin Tjoe malu hati, ia membantui memasak beras. Di Koeitjioe Barat, orang Han dan Biauw hidup bercampuran, dari itu ada banyak o rang Biauw yang dapat berbicara Tionghoa, demikian nyonya rumah ini, meskipun ia tidak dapat bicara lancar, perkataannya masih dapat di mengerti Sin Tjoe. Dari itu mereka dapat memasang omong. Habis bersantap, nyonya rumah dan tetamunya duduk di luar rumah di bawah sebuah pohon. Nyonya itu senang sekali terhadap tetamunya, ia cekal tangan si nona sera ya berkata : "Banyak aku melihat nona-nona bangsa Han, cuma kau yang melebihkan cantiknya wanita Biauw yang tercantik! Liha t tanganmu, begini halus dan putih, seperti kepunyaan tuan puteri dalam ceritera saja?" Sin Tjoe likat dipuji, dengan bersenyum malu-malu ia kata: "Mana dapat aku dibanding sama nona-nona bangsamu? Mereka itu pandai sekali bekerja, masak nasi, bercucuk tanam dan bersulam. Aku justeru san gat mengagumi mereka..." Nyonya itu tertawa. "Berapa usia kau, nona?" ia tanya. "Tujuh belas tahun," menjawab Sin Tjoe. "Sudah punya mertua atau belum?" "Tidak," sahut Sin Tjoe, mukanya merah. "Kita di sini, pemudi umur tujuh atau delapan belas tahun jarang sekali yang bel um menikah," berkata nyonya rumah, "apa pula yang cantik seperti kau, yang melamar tentulah siang-sia ng datang mendobrak pintu!" "Masih begitu muda sudah menikah?" Sin Tjoe menanya begitu tanpa ia mengetahui, di jamannya itu, sudah umum nona Ha n menikah dalam usia seperti itu. Ia tidak tahu sebab ia mengutamakan ilmu silat , perhatian tidak sampai kepada soal usia pernikahan. Tengah mereka memasang omong, tiba-tiba kuping mereka mendengar suara tetabuan yang merdu, yang tercampur nyanyian nona-nona Biauw. Sin Tjoe tidak men garti kata-kata nyanyian itu tetapi lagunya menarik hatinya, lagu itu seperti be rirama asmara. "Pernahkah kau menyaksikan upacara nikah orang Biauw?" si nyonya tanya. Ia terta wa. "Belum," menya- hut Sin Tjoe, dengan hati- nya ketarik. "Mari kita lihat!" Nyonya itu lantas ajak tetamunya pergi ke jalan dari mana suara tetabuan d atang. Melewati sebuah bukit, di sana ada satu tanah datar berumput yang luas, di tanah datar itu, mengitari segerombolan pohon bunga, sejumlah nona Biauw berlari-lari mengitarinya, menari dan bernyanyi gembira sekali. Di antaranya ada yang memain kan tetabuan berikut seruling, yang lagunya merdu. Selagi Sin Tjoe mengawasi dengan hati tertarik, tiba-tiba dua pemuda Biauw meng- hampirkan ia, mereka membungkuk dan bersenyum, terus mereka pentang kedua tangan mereka seraya datang lebih dekat dengan berebut. "Apakah artinya ini?" Sin Tjoe tanya heran. Sebelum mereka itu menyahuti, si nyonya sudah bicara dalam bahasa Biauw kepada m ereka itu, lantas mereka berlalu, romannya kecele. Si nyonya memetik dua tangkai bunga putih ia tancap itu di rambut si nona dekat kupingnya, sembari bersenyum ia kata: "Siapa suruh kau begini cantik, sampai boc ah-bocah itu berebutan mengajak kau menarikan bunga?" "Apa itu menarikan bunga?" Sin Tjoe tanya. "Bukankah itu menarikan bunga?" si nyonya balik menanya seraya tangannya menunjuk ke depan, kepada nona-nona dan pemuda-pemuda yang tengah menari di anta ra bunga-bunga seraya memainkan tetabuan. Malah segera juga mereka itu berpa sangan, terus menari dan bernyanyi. "Sungguh menarik!" kata Sin Tjoe tertawa. "Sayang aku tidak bisa bernyanyi dan m enari!" "Aku tahu kamu nona-nona Han pema-luan, maka itu aku tancapi bunga di rambutmu!" berkata si nyonya sambil tertawa. "Dengan menaruh tanda bunga ini, orang jadi tidak datang mengajak menari?" Sin T joe tanya pula. "Benar. Itu artinya orang sudah punya kekasih tetapi kekasihnya tidak hadir di s ini, kau jadi cuma datang untuk menonton. Jangan kau gusar, nona, tanpa kau berbuat begini, bagaimana juga kau tidak dapat menampik bocah-bocah itu, pasti mereka tidak mau mengarti. Eh ya, sebenarnya ka u sudah punya kekasih atau belum?" Parasnya Sin Tjoe merah dengan mendadak. Tanpa merasa, ia menjadi kesepian. Tapi tetabuan dan nyanyian menggema di kupingnya. Tidak lama, ia menjadi biasa pula, ia kembali bergembira. Sang Puteri Malam makin lama naik makin tinggi. Jumlah pasangan muda-mudi pun ta mbah makin banyak. Saban-saban ada pasangan, yang bergandengan tangan masuk ke t empat pepohonan lebat, seperginya mereka, tempatnya lantas diambil lain pasangan. Begitu seterusnya, bergantian. "Beginilah kebiasaan kami mencari pasangan!" kata si nyonya sambil tertawa. "Ini pun tanda dari suatu pernikahan." Sin Tjoe likat tetapi ia tertarik hatinya. "Pernikahan?" tanyanya. "Mana nona pengantinnya?" "Segera dia akan muncul!" Lewat sesaat lalu tertampak dua orang laki-laki dengan baju kembang dan panjang muncul seraya menuntun seekor kerbau, mereka jalan mengitari gelanggang, lantas mereka disambut tampik sorak, terus mereka dirubungi sejumlah priya, yang mengepung kerbau itu, yang diikat ke empat kakinya, kemudian muncul seorang sebagai dukun, dengan kampak dia mengampak tiga kali kepala kerbau itu, setelah binatang itu tak sadarkan diri, pemuda-pemuda itu lantas berebut mengese t kulitnya, memotong dagingnya, untuk dipanggang di situ juga. Sebab inilah u pacara mereka yang disebut "Memukul kerbau." "Habis memukul kerbau, sepasang mempelai segera akan datang!" si nyonya berkata kepada tetamunya. "Siapa itu yang ada hajat?" tanya si nona. "Begini ramai!" "Orang miskin mana bisa menyembelih kerbau demikian gemuk? Inilah touwsoe kami yang menikahkan puterinya." Baharu sekarang si nyonya mengasi keterangan, maksudnya akan menggirangkan tetam unya. Sin Tjoe benar-benar bergembira. Ia lantas memasang mata, menanti mempelai. Tiba-tiba tetabuan berhenti, tanah datar menjadi sunyi. Lalu terlihat delapan pa sang bocah priya dan wanita mengiringi sepasang mempelai. Pengantin perempuan memegang payung kertas kembang mentereng, dan pengantin laki-laki memakai bunga besar di dadanya, hingga separuh mukanya kena teralingi. Di tanah datar, mereka disambut dengan tampik sorak. Pengantin peremp uan lantas menyerahkan payungnya pada pengiringnya, dan pengantin laki-laki ada orang yang menyingkirkan bunganya itu, untuk dikasi pakai pada bakal isterinya. Sekarang terlihat tegas wajah si mempelai laki-laki itu. Melihat dia, Sin Tjoe b erdiri terbengong, hingga hampir ia tidak mempercayai matanya. Pengantin itu adalah Siauw Houwtjoe! Baharu satu ta- hun Sin Tjoe tidak melihat Siauw Houwtjoe, dia telah jadi lebih tinggi dan besar banyak, akan tetapi dibanding sama pengantin perempuan, dia masih terlebih kate. Nona Ie menjadi heran sekali. Siauw Houwtjoe menjadi pengantin orang Biauw! Coba suasana tidak demikian rupa, mau ia percaya bocah it u tengah bersandiwara. Bukanlah Siauw Houwtjoe memangnya gemar bergurau? Kenapa si bocah menikah? Bukankah dia telah p ergi mengikuti Hek Pek Moko? Kenapa dia berada di sini dan sendirian saja? Ke ma na perginya Hek Pek Moko? Kenapa puteri touwsoe menikah sama Siauw Houwtjoe? Pusing kepala si nona. Tidak dapat ia menjawab semua pertanyaan itu. "Kenapa, eh?" si nyonya tanya, tertawa. "Kau sangat heran? Mempelai laki-laki it u ada orang bangsamu!" "Kenapa bocah itu datang kemari?" Sin Tjoe tanya. "Kenapa touwsoe menikahkan put erinya dengannya? Tahukah kau sebabnya?" Nyonya itu menggeleng kepala sambil tertawa. "Kami penduduk biasa, mana kami dapat campur tahu urusan keluarga touwsoe?" dia menjawab. "Dulu-dulu memang tidak banyak pernikahan campuran Han dan Biauw tetap i sekarang sudah umum, tidak aneh lagi!" Tentu saja, Sin Tjoe bukan heran akan halnya pernikahan campuran, hanya kenapa Siauw Houwtjoe berada sendirian dan kenapa dia menikah sa ma puteri ketua suku Biauw itu. "Kau bilang mempelai laki-laki bocah bukankah di kalangan bangsa- mu ada isteri bakal sejak masih kecil?" tanya si nyonya. Tapi pun kebiasaan ini berlaku di antara bocah umur dua tiga tahun sudah dinikahkan dan bakal isterinya lebih tua belasan tahun, "isteri" itu diambil, untuk merawati suami ciliknya, h ingga ia mirip ibu merawati anak. "Puteri touwsoe tahun ini berusia enam belas," berkata pula si nyonya, "dia dini kahkan sebab menurut dukun, jodohnya cocok sekali. Mempelai ini berumur empat be las, jadi usia mereka tidak beda banyak." Pemuda-pemuda Biauw itu telah memanggang matang daging kerbaunya, mereka dahar itu sambil minum arak, mereka gembira sekali, saban-saban mereka bersorak. "Dalam pesta pernikahan kami, tetamu tak usah diundang lagi," berkata si nyonya. "Kau pun boleh turut dahar daging panggang itu." "Ah, aku tidak lapar." "Kalau kau tidak dahar daging atau tidak minum arak, itu artinya kau tidak membe ri muka pada tuan rumah," si nyonya mengasi tahu. "Baiklah, kau tentu malu berca mpuran sama anak-anak itu, nanti aku yang ambilkan." Sin Tjoe tidak per-dulikan nyonya itu, ia hanya mengawasi Siauw Houwtjoe. Ia menjadi lebih heran mendapatkan bocah itu diam saja, matanya juga mengawasi hanya kesatu jurusan. Siauw Houwtjoe tidak lincah lagi seperti bi asanya, dia malah mirip boneka kayu, dia dapat orang perbuat sesukanya. Dari her an, si nona jadi ber- cunga. Tiba-tiba seorang pemuda Biauw bernyanyi dalam bahasa Tionghoa: "Puteri Malam di atas langit dikawani mega dadu yang indah permai, burung hong d i muka bumi bagaimana dapat dipasangi burung gaok? Haha! Nona yang begini cantik kenapa dijodohkan baba begini jelek?" Sebagai sambutan, seluruh hadirin bersorak ramai. Sembari bernyanyi, orang itu muncul dari antara orang banyak. Melihat dia itu, S in Tjoe kata dalam hatinya: "Hm! Kau katakan Siauw Houwtjoe si baba jelek tapi s ebenarnya dia jauh lebih ganteng dari padamu!" Pemuda itu bermuka merah tidak keruan akibat banyak minum arak, rupanya menjadi jelek. Dia mengham-pirkan Siauw Houwtj oe, dia mengusap pipi orang seraya berkata: "Baba kecil, mari aku lihat gigimu s udah tumbuh semua atau belum?" Siauw Houwtjoe diam saja, cuma mendadak tangannya terangkat. "Plok!" demikian satu tamparan, atas mana pemuda jail itu menjerit kesakitan, tu buhnya terpental roboh, dua buah giginya copot berdarah! Para hadirin ribut tertawa. Lalu seorang lagi bernyanyi: "Inilah binatang kielin dipasangi dengan burung hong, bukannya burung hong direndengi dengan gaok!" Sin Tjoe bisa melihat, kalau tadinya orang ber- sikap menggoda Siauw Houwtjoe, sekarang mereka itu dipengaruhi rasa heran dan ka gum. Si nyonya sementara itu telah membawa datang sebuah lodong arak serta sepotong d aging kerbau. Ia serahkan semua itu kepada tetamunya. "Bocah itu sudah sinting, kalau tidak, tidak nanti dia main gila seperti barusan ," katanya. "Siapa bocah itu?" "Dia anaknya salah satu kepala di bawahan touwsoe. Memang sudah lama dia gilai puteri touwsoe malah pada tahun yang lalu, dia telah menari bunga sama puteri itu. Nampaknya puteri pun menyukai bocah itu. Setahu kenapa s ekarang mendadak touwsoe jodohkan puterinya pada bocah Han ini yang tidak terang asal- usulnya. Bocah ini rupanya tidak puas, dia minum banyak arak, lalu dia menggoda. Ha, bocah Han itu liehay! Kau tidak tahu, nona, bocah jail itu ada seorang kose n di antara pemuda-pemuda kami!" Sin Tjoe berdiam tetapi kecurigaannya bertambah. Siauw Houwtjoe baru berumur empat belas tahun, tak tahu dia urusan pernikahan. Kalau d ia tidak setuju, dengan kepandaian yang ada padanya, siapa dapat memaksa dia? Se karang kenapa dia diam saja? Kenapa dia mau diren-dengi sama pengantin perempuan ini? Kenapa dia bisa menghajar pemuda jail itu? Itu waktu ada terdengar orang meniup terompet tanduk kerbau yang panjang, hingga beberapa kali, lalu tertampak sebarisan tukang musik. "Upacara nikah sudah dimulai!" berkata si nyonya. Seorang tetua Biauw mengambil dua buah cawan tanduk, semuanya diisikan arak dica mpur darah kerbau, lalu orang tua itu berseru sebagai menyanyi: "Minum arak perpaduan dua cawan, saling menyinta sampai di hari tua!" Terus dua cawan itu dibagi kepada mempelai. Nona pengantin menyambut dengan malu-malu, baba pengantin tetapi menyentil cawan seraya berkata dengan nyaring: "Ayahku telah memesan, sebelum aku dewasa, aku d ilarang minum arak!" Dan cawan itu mental tinggi, araknya tumpah berhamburan. Ma ka basahlah si orang tua pemimpin upacara itu! Tak tahan lagi, Sin Tjoe tertawa. Bukankah lucu Siauw Houwtjoe masih ingat pesan ayahnya itu? Tetua itu terkejut. Tumpahnya arak campur darah itu beralamat buruk. Sin Tjoe terus tertawa di dalam hati, ingin ia menyaksikan lebih jauh. "Kasikan lagi dia satu cawan!" tiba-tiba satu suara dalam dan seram, lalu orangn ya muncul. Dia mirip orang Han akan tetapi dandan sebagai orang Biauw, usianya e mpat puluh lebih, romannya bengis. Dia yang memerintah tetapi dia sendiri yang m enyiapkan arak campur darah itu, ia sendiri juga yang membawa ke depan si baba pengantin, terus dia mengangsurkannya. "Aku bilang aku tidak minum arak!" Siauw Houwtjoe bilang. Menda- dak ia menyentil pula dengan dua jari tangannya. "Jangan main gila!" membentak si orang bengis, yang menyingkir dari itu sentilan , menyusul mana, cangkir disesapkan ke tangan Siauw Houwtjoe, terus ia paksa men uang ke mulut orang selagi si baba pengantin berseru. Siauw Houwtjoe gelagapan, ia lekas menyemburkan keluar arak campur darah itu, me ski demikian, ia dapat minum juga sedikit. Semua itu terjadi dengan cepat, hingg a para hadirin menyangka baba pengantin meminumnya sendiri. Melainkan Sin Tjoe y ang melihat nyata. Maka nona ini jadi terkejut. Orang itu liehay sekali, dia sud ah menggunai tipu silat "Meminjam tenaga untuk membunuh orang," yang lebih hebat dari tipu "Meminjam tenaga menyerang lawan." Semua anak muda, priya dan wanita, bersorak-sorai seraya berjingkrakan. Pengirin g pengantin lantas membuka payung, untuk memayungi pengantin perempuan, untuk berjalan berlalu dari tanah datar itu. Siauw Houwtjoe, seperti ada yang mendoron g, berjalan di samping pengantinnya itu. "Selesai sudah upacara ini!" kata si nyonya. "Sebentar di rumah touwsoe orang ak an menggodai kedua mempelai!" *** Sin Tjoe nelusup di antara orang banyak, untuk mengikuti kedua mempelai itu. "Apa? Kau hendak turut mengacau di kamar pengantin?" si nyonya tanya, tertawa. "Aku sudah tua bangka, rambutku sudah puti h semua, tidak dapat aku turut-turutan bergurau sebagai kamu anak-anak muda!" "Kau letih, nyonya silahkan kau pulang lebih dulu," kata Sin Tjoe. "Upacara ini menarik hati, sukar aku menemuinya lain kali, maka ingin aku menonton mereka men gacau kamar kemantin..." Upacara menggoda pengantin bangsa Biauw lebih banyak ragamnya daripada cara oran g Han. Kedua mempelai mesti sama-sama menggigit sebuah pinang. Mempelai laki-laki mesti membukai tutup muka mempelai w anita. Mempelai wanita mesti bernyanyi untuk menghaturkan terima kasih kepada tetamu-tetamunya. Dan lain-lain lagi. Sin Tjoe di antara orang banyak terus memperhatikan Siauw Houwtjoe saja. Ia dapa t kenyataan sinar mata orang mendelong saja, bagai orang hilang semangatnya. Boc ah itu menurut saja apa yang orang suruh dia lakukan. Habis bergurau sekian lama, laki-laki yang tadi memaksa Siauw Houwtjoe minum ara k berkata: "Cukup sudah! Mempelai laki-laki tipis kulit mukanya, kalau dia digod a terus, nanti dia menangis!" Orang semua tertawa riuh. Wanita pengiring mengambil kipas, dia kasikan itu kepada Siauw Houwtjoe, yang di suruh mengetok pundak mempelai wanita tiga kali. Tiba-tiba Siauw Houwtjoe mengasi lihat roman sungguh- sungguh. "Dia baik sekali terhadapku, kenapa aku mesti ketok dia?" tanyanya, keras. Mendengar itu, kembali orang banyak tertawa riuh. Wanita pengiring berbisik di k uping mempelai laki-laki: "Inilah upacara. Kau ketok saja pelahan-pelahan tiga k ali." Bisikan itu seperti tidak didengar nyata Siauw Houwtjoe, sebaliknya seorang muda di sampingnya mendengarnya, dia ini lantas berseru: "Tidak boleh! Tidak boleh. Mesti mengetok dengan keras, kalau tidak, itu artinya takut bini!" Kembali orang tertawa gempar. Matanya Siauw Houwtjoe bersinar, agaknya ia cemas hatinya. Mungkin ia ketahui artinya "takut bini" itu, bahwa i tu memalui. Ia lantas angkat kipasnya, tiga kali ia pukul pundak pengantinnya. Hebat pukulannya itu, setiap kalinya, pengantin itu berjengit. Bahkan setelah pukulan yang ketig a, dia berlompat, kedua matanya mengeluarkan air, parasnya berubah pucat. Kembali orang banyak tertawa, semua memuji: "Bagus!" Sin Tjoe terkejut. Ia tahu pukulan Siauw Houwtjoe itu hebat, pantas nona pengant in kesakitan, melainkan dia mencoba menahan sakit, dia dapat tidak menjerit. Suara tertawa baharu berhenti kapan orang melihat baju di pundaknya nona pengant in itu pecah robek, hingga terlihat kulit pundaknya. Mereka tidak berani menggod a pula. Hanya seorang mengambil air labu, untuk disiramkan kepada kedua mempelai bergantian. "Ha, kau berani siram aku?" membentak Siauw Houwtjoe. Ia terus menyampuk sama kipasnya, maka air labu itu berbalik menjeblok muka si penyiram, muncrat kepada mereka yang berdekatan. Kali ini suara orang riuh bahna kaget dan heran. Menyiram dengan air labu itu ada adat kebiasaan orang Biauw, tanda pemberian selamat, mak in basah pakaian pengantin, makin beralamat baik katanya. Si orang lelaki memegang lengan Siauw Houwtjoe, ia membisiki, lalu air labu disi ramkan untuk kedua kali, kali ini basah bajunya Siauw Houwtjoe. Meski begini, it ulah alamat tak baik. Menurut kepercayaan orang Biauw, maka di belakang kali, ka lau bu- kan si lelaki tentulah si perempuan, yang bakal menikah pula. Sampai di situ selesai sudah upacara mengacau pengantin, berkesudahan dengan kac au dan kecewa, orang semua lesu. Selagi orang bubaran, diam-diam Sin Tjoe sembunyi di gunung-gunungan di dalam pe karangan rumah si kepala suku, kemudian ia naik ke atas genteng kamarnya Siauw Houwtjoe, untuk mengintai. Ia lihat dua-dua mempelai duduk di atas pembaringan, keduanya berdiam saja, tidak ada roman gembiranya. Baharu kemudian mempelai perempuan memecahkan kesunyian. "Eh, kau bilang kau suka aku, nyata kau mendustai" katanya. "Siapa bilang dusta?" Siauw Houwtjoe menjawab. "Terhadap Siauw- liong aku tidak sebaik terhadapmu." "Siapa itu Siauwliong?" si nona tanya. "Siauwliong itu anaknya tetanggaku yang aku panggil paman yang nomor dua," jawab Siauw Houwtjoe. "Dari masih kecil sekali kita biasa bermain-main berdua, cuma d ia bernyali sedikit kecil. Begitulah di bulan ketiga, dia tidak berani turun ke empang untuk menangkap ikan. Dia takut dingin!" Sin Tjoe ingat ketika pertama kali ia ketemu Siauw Houwtjoe, anak ini lagi mengg anggu satu bocah nakal. Bocah itulah rupanya si Siauwliong. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya. Nona pengantin rupanya merasa lucu. "Mana dapat aku dibanding dengan Siauwliong!" katanya. "Aku ini isterimu!" "Isteri? Isteri itu apa?" Siauw Houwtjoe tanya. "Isteri yaitu orang paling terdekat denganmu." "Oh..." agaknya Siauw Houwtjoe bingung atau linglung, ia seperti tak aku si nona ada orang terdekat dengannya. "Sebenarnya kau akui aku sebagai isterimu atau tidak?" sang isteri menanya pula. "Eh, kenapa sih kau mendesak aku dengan pertanyaanmu ini?" Siauw Houwtjoe tanya. "Habis, kenapa kau tidak mau saling tukar minum arak denganku?" "Usiaku masih muda sekali, aku tidak minum arak." Nona itu sangat mendongkol dan berduka, dia menangis. "Kenapa kau menangis?" Siauw Houwtjoe agaknya cemas. "Aku toh tidak menghina kau?" "Kau berani menyebut tidak menghinaku? Kenapa kau pukul aku tiga kali dengan keras? Sampai sekarang pundakku masih sakit." "Sebab mereka itu bilang, jikalau aku tidak memukul, aku takut bini! Oh, kiranya kau gusar karena itu. Nah, kau pukullah aku tiga kali! Maukah kau? Jikalau masi h kurang, kau boleh pukul sampai enam kali!" Selagi berkata, sinar mata Siauw Houwtjoe bercahaya. Sin Tjoe lihat dia seperti kembali kepada kenakalannya. Ia bersenyum, di dalam hatinya ia kata: "Di mana di kolong langit ini ada mempelai laki-laki bicara seperti bocah cilik?" Karena me mikir begini, timbul pula kecurigaannya. Maka ia berpikir lagi: "Siauw Houwtjoe sangat cerdik jarang ada bandingannya, kenapa sekarang dia jadi tolol, mirip anak desa yang dungu? Kenapa dia kasi dirinya diperbuat sesukanya oleh ora ng lain? Inilah bukan sifatnya! Mungkinkah dia telah kehilangan sifat nuraninya?" Ia ingat Tan Hong pernah membilang, siapa terlalu bergirang atau ter lalu berduka, sifat aslinya bisa hilang atau berubah. Tapi Siauw Houwtjoe masih bocah, dia belum kenal asam garamnya dunia. Kenapa dia agaknya berubah? "Apa benar?" si nona tanya. "Kenapa tidak benar? Kalau kau senang, kau pukullah!" Si rona mengambil kipas. Siauw Houwtjoe buka bajunya. "Mulailah! Aku buka bajuku supaya kau memukul sepuasnya!" "Plok!" demikian suara pukulan. Si nona benar-benar memukul dada orang. "Eh, kenapa nona ini pun bersifat kekanak-kanakan?" Sin Tjoe heran. Ia mengawasi lalu ia menjadi kaget. Ia dapatkan cara memukul si nona ada menurut gerakan men otok jalan darah, sasarannya pun jalan darah soankie hiat. Dalam kagetnya, ia si apkan bunga emasnya, siap akan menolong kalau Siauw Houwtjoe dihajar hingga ping san. Ia mengawasi terus. Ia dapatkan Siauw Houwtjoe menarik napas dalam-dalam. Si nona menyerang pula, menotok hingga tiga kali, semua itu m elejit, seperti dada itu ada minyaknya dan licin. Nona itu menyerang dengan totokan hebat tetapi Siauw Houwtjoe merasakannya sebagai garukan. Menampak itu Sin Tjoe heran berbareng girang. Baharu satu tahun tidak bertemu, b ocah itu sudah maju pesat ilmu Iweekang-nya. Memang, siapa latihannya ilmu itu s udah sempurna, dia tak takuti totokan jalan darah lagi. Ilmu itu bisa dicapai de ngan latihan sedikitnya sepuluh tahun. Di India ada ilmu Yoga, yang pun bisa menutup jalan darah, caranya berlai nan dan tempo pelajarannya sedikitnya dua tiga tahun untuk yang telah ada dasarn ya. Siauw Houwtjoe mengikuti Hek Pek Moko baharu satu tahun, dia telah dapatkan ilmu menutup diri itu, sungguh langka. "Tiga kali kau membalas menyerang aku, kau puas bukan?" Siauw Houwtjoe kata pada kemantinnya. "Tidak!" sahut si isteri. "Tadi kau pukul aku sampai aku merasa sakit hingga air mataku keluar, kau sendiri, mengkerutkan alis pun tidak, jadi kau tidak merasa sakit sedikit juga." "Ya, habis apa daya?" kata Siauw Houwtjoe. "Ilmu ini aku diajarkan guruku, bagai mana pun kau pukul aku, aku tidak akan merasa sakit. Ilmu ini tidak dapat dipela jari lain orang." "Kau dapat belajar, kenapa lain orang tidak ?" Siauw Houwtjoe mementang lebar kedua matanya. Ia rupanya anggap pertanyaan itu b eralasan. "Eh, kau ajari aku ilmu itu, bolehkah?" Ditanya begitu, sinar mata Siauw Houwtjoe berubah, agaknya ia cemas. Ia lantas menggeleng kepala. "Tidak dapat!" sahutnya. Si nona heran. Ia menanya kenapa. "Sebab ini... ini tidak dapat diajarkan kepada lain orang..." "Ngaco! Lain orang boleh kau tidak ajari, aku lain, aku isterimu! Suami isteri a da seperti satu tubuh! Bagaimana kau tidak sudi mengajari aku?" "Beginikah liehaynya satu isteri?" tanya Siauw Houwtjoe meringis. "Benar! Apa yang isteri minta suaminya mesti memberinya!" "Ah, kalau begitu seumurku aku tidak mau beristeri!..." "Tapi kita sudah menikah! Mana dapat kau menyangkal!" Kelihatannya Siauw Houwtjoe berkuatir, dia duduk bengong saja. "Begini saja," katanya kemudian. "Aku ajari ilmu ini tetapi kau tidak dapat menj adi isteriku! Dapatkah begitu?" "Tidak!" sahut si isteri. Sin Tjoe heran mengapa Siauw Houwtjoe jadi demikian tolol. Ia menduga nona penga ntin itu bakal gusar. Tidak tahunya si nona menunjang djanggut dan berpikir. Kem udian dia kata: "Baiklah, karena kau tidak sudi jadi suamiku, tidak dapat aku pa ksa. Sekarang kau ajari aku ilmumu, tidak apa aku tidak jadi isterimu. Berapa la ma aku mesti belajar?" "Lamanya tiga tahun atau cepatnya cuma satu tahun," sahut Siauw Houwtjoe. "Hanya, setelah mempelajari rahasianya, selanjutnya orang mesti berlatih sendiri." "Berapa lamanya tempo belajar rahasianya itu?" "Kurang lebih sepuluh hari." "Baik! Dalam sepuluh hari kau ajarkan aku sampai bisa, sepuluh hari sehabisnya i tu, aku akan melepaskan mengasih kau pergi!" "Benarkah itu?" Siauw Houwtjoe kelihatan girang sekali. "Kita bangsa Biauw tidak pernah mendustai" "Baiklah! Sekarang juga aku mengajari kau!" Sin Tjoe heran bukan main. "Rupanya nona ini bukan menikah dengan sesungguhnya," ia berpikir. "Dia terlebih muda daripada aku tetapi dia cerdik sekali. Apakah dia telah diajari oleh orang tua? Ah, hebat! Apakah ini bukan semacam jebakan, perangkap guna memper- dayakan Siauw Houwtjoe?" Ilmu silat ada golongannya masing-masing. Ilmu silat rahasia sesuatu golongan, atau perguruan, tidak dapat diajarkan kepada orang luar, kecuali orang dapat perkenan dari gurunya. Sekarang Siauw Houwtjoe hendak obral ilmunya itu, pasti Sin Tjoe berkuatir. Tidak dapat i a menguasai diri lagi, ia lompat turun ke bawah, terus ia lompat masuk ke dalam kamar. Nona pengantin kaget bukan main melihat ada orang berlompat masuk ke kamarnya, d ia ternganga hingga tak dapat dia mengucapkan sesuatu. Siauw Houwtjoe pun menjublak mengawasi Nona Ie, hatinya gelisah. "Siauw Houwtjoe, kau kenali aku atau tidak?" Sin Tjoe tanya si bocah tanpa ia gubris nona pengantin. Bocah itu mundur dua tindak. Ia mengawasi. "Kau... kau siapa?" ia tanya. "Di mana kita pernah bertemu?" ia bingung, ia sepe rti lagi berpikir keras, mengingat-ingat sesuatu yang ia lupakan. Sin Tjoe masgul sekali. Ia mau percaya, bocah itu telah makan semacam obat hingg a dia tak sadar akan dirinya. Kasihan bocah demikian lincah kena dibikin jadi du ngu begini. Ia ulur tangannya, ia pegang pundak orang. "Aku ialah entjie Sin Tjoe-mu!" katanya. "Apakah kau sudah lupa?" "Entjie Sin Tjoe?" Siauw Houwtjoe mengulangi, suaranya pelahan. Ia seperti ingat tetapi tidak berani segera mengutarakannya. Sin Tjoe menatap bocah itu, sampai mendadak ia ingat pengajarannya gurunya, Thio Tan Hong, tentang ilmu menyadarkan orang yang lupa ingatan. Dengan mendadak saj a ia menotok djintiong dari Siauw Houwtjoe tanpa bocah itu sempat berkelit atau menangkis. Atas itu, Siauw Houwtjoe menjerit kaget. Sin Tjoe menyambar kipas di atas pembaringan, seraya membeber dan mengibaskan it u, ia tanya si bocah: "Ingatkah kau siapa aku?" Siauw Houwtjoe mementang kedua matanya lebar-lebar. "Inilah ilmu yang kau ajarkan aku!" sahutnya lekas. "Entjie Sin Tjoe!" Memang di musim semi tahun itu, waktu pertama kali mereka bertemu, si nona telah menggunakan kipasnya mengipas air di tubuhnya Siauw Houwtjoe dan sekarang Siauw Houwtjoe ingat gerakan tangan orang i tu. Sin Tjoe girang bukan main mendapatkan orang telah sadar. "Kau telah dapat mengingatnya, bagus!" katanya. "Sekarang lekas ikut aku pergi!" Ia pun menarik tangan orang. Tiba-tiba Siauw Houwtjoe nampaknya bergelisah, rupanya dia jeri. "Tidak, tidak!" katanya. "Tidak dapat aku pergi. Apakah kau juga ingin menjadi i steriku ?" Bocah ini telah makan obat pelupa ingatan, totokannya Sin Tjoe kurang tepat, tot okan itu tidak dapat dipakai mengobatinya, mendadak saja Siauw Houwtjoe ingat "entjie Sin Tjoe," habis itu, ia tak sadar pula. Sin Tjoe mendongkol berbareng geli hatinya. Ia tidak menyangka bahwa orang belum sadar anteronya. "Tidak dapat aku menjadi isterimu," ia berkata. "Aku hanya hendak menolongi kau! Kau takut apa?" Ia sambar pula tangan orang, untuk ditarik, buat diajak pergi b erlari. Justeru itu ia merasakan sambaran angin di belakangnya. Itulah si nona p engantin yang dengan sebilah pisau tajam di tangannya sudah menikam sambil mempe lai itu mendamprat: "Perempuan tidak tahu malu! Kenapa kau merampas suamiku?" Sin Tjoe tidak menjadi kaget atau bingung, sembari menarik sedikit tubuhnya, ia memutar diri, sebelah tangannya diulur, maka sedetik saja ia sudah dapat merampas pisaunya si nona, ya ng ia terus lemparkan keluar kamar. "Kau yang tidak tahu malu!" ia balik mendamprat. Ia mendongkol didamprat nona it u. "Kau toh menikah bukan dengan sesungguhnya hati? Kau masih begini muda, kenap a kau begini licik? Kenapa kau hendak mengakali kepandaian orang?" Nona pengantin itu mendadak menangis, dia menjatuhkan diri berguling di tanah, l alu dengan kedua kakinya dia menendang kalang kabutan kepada Nona Ie. Dia nyata telah bersilat dengan ilmu silat tendangan berantai. "Benar! Kau pun mengatakan kau tidak dapat menjadi isteriku!" tiba-tiba Siauw Houwtjoe berkata. Ia nampaknya bingung melihat nona pengantin menangis dan menye rang hebat itu. Sin Tjoe berjaga diri dari serangan nona pengantin, satu kali, ia menyabat kaki orang. "Jangan lukai dia!" Siauw Houwtjoe berseru seraya ia menarik tangan si nona. Boc ah ini ketahui itulah serangan berbahaya. "Dia sebenarnya orang baik!" "Orang baik apa!" berkata Sin Tjoe. Kembali ia ayun tangannya. "Jangan!" Siauw Houwtjoe mencegah pula. "Baik aku akan turut kau pergi!" Inilah jawaban yang diharap Sin Tjoe, maka ia tarik tangan orang, ia biarkan si nona pengantin. Keduanya sudah lantas keluar dari rumah. Baharu mereka tiba di pekarangan, menda- dak mereka dengar suara yang seram: "Perempuan siluman yang bernyali besar! Baga imana kau berani datang ke mari merampas baba pengantin?" Kata-kata itu disusul sama menghalangnya satu orang. Sin Tjoe segera mengenali orang yang memaksa Siauw Houwtjoe minum arak pengantin. Dia mengenakan pakaian orang Biauw, di kedua leng annya masing-masing ada lima buah gelang perak, ketika ia berbicara, ia mengangk at kedua tangannya, maka sepuluh buah gelang itu memperdengarkan suara beradunya yang nyaring dan berisik. Sin Tjoe tidak mem-punyakan kegembiraan untuk berbicara, ia lantas ayun sebelah tangannya melayangkan tiga tangkai bunga emas, yang ia telah genggam di tangannya itu. Ia menyerang orang itu di tiga jal an darah tjianbie hiat, yangpek hiat dan hiathay hiat. Orang itu tertawa berkakak, dia mengibas tangannya yang kiri. Entah tipu silat a pa itu yang dia gunakan selagi dia mengibas, terdengar suaranya yang rada aneh, lantas sebuah gelang di tangannya itu melesat, melayang menyamber, tak lurus, tetapi kesudahannya, semua tiga bunga emas terjatuh ke dal am tangan bajunya. Yang aneh, gelang perak itu pun kembali ke tangan pemiliknya. Inilah kejadian di saat Sin Tjoe hendak menghunus pedangnya guna menangkis gelan g itu. Orang itu mengasi keluar ketiga bunga emas, apabila dia sudah melihat nyata, dia menunjuki roman heran. Sin Tjoe pun tercengang. Ia dapat kenyataan, caranya orang menggunai gelang adal ah dengan bantuan kekuatannya tenaga dalam, jadi orang ini benar-benar liehay. "Siauw Houwtjoe!" ia lantas menyadarkan bocah itu. "Jikalau kau hendak berlalu d ari sini mari kita bekerja sama!" Ia mengucap demikian karena ia pikir: "Siauw H ouwtjoe telah maju banyak dalam satu tahun ini, kalau dia membantu, aku pasti da pat melayani ini orang aneh..." Di luar dugaannya, ia tidak dapat jawaban dari bocah itu. Ia dapatkan Siauw Houwtjoe berdiri men-jublak, sedikit juga tidak ada tandanya dia h endak menyambut ajakannya itu. Ia heran dan merasa kecele. "Siauw Houwtjoe, kau kenapa?" ia tanya, membentak. Bocah itu tidak menjawab, jawaban datang justeru dari si orang aneh, dengan tert awanya yang dingin dan seram. "Merampas baba pengantin juga mesti dengan persetujuannya si baba pengantin send iri!" dia berkata, dingin. "Fui! Kau main tarik-tarik orang, sungguh kau tidak tahu malu barang sedikit juga!" Sin Tjoe menjadi gusar sekali. "Kamulah yang merampas baba pengantin!" ia membaliki. "Cis Kamu memperdaya kan s atu bocah! Tidak tahu malu!" Kembali orang itu mengasi dengar tertawa dingin. "Kau hendak bawa lari orang, di sini banyak calonnya!" dia berkata. "Tapi dia in i tidak sudi ikut padamu! Perlu apa kau masih berdiam di sini menggerembengi dia ? Dengan memandang kepada tiga buah bunga emasmu ini, aku tidak hendak melukai p adamu. Nah, kau pergilah! Jikalau kau sudah pulang, kau beritahu pada soebo -mu, kau kau bilang bahwa Bong Goan Tjoe murid dari Tjekseng Pay menahan tiga buah b unga emasmu ini! Jikalau dia hendak mengambilnya pulang, dia boleh datang ke Ouw bong San!" Sin Tjoe murka bukan kepalang. Belum pernah ia terhina sebagai ini. Parasnya pun berubah pucat. Tidak ayal lagi, ia cabut pedangnya, pedang Tjengbeng kiam. "Siauw Houwtjoe, mari kau turut aku pergi!" ia berseru seraya ia geraki tubuhnya untuk menerobos pergi. "Tinggalkan Siauw Houwtjoe! Kau pergi sendiri!" membentak Bong Goan Tjoe si oran g aneh itu dengan suaranya yang keras dan seram. Ia pun mengibaskan sebelah tang annya yang panjang, atas mana dua buah gelangnya molos dari tangannya dan menyam ber sambil berputar ke arah nona kita. Sin Tjoe terkejut berbareng gusar. Ia menjejak dengan kedua ujung kakinya, untuk mencelat lompat, ketika kedua gelang tiba padanya, ia menyabet dua kali beruntu n. Di dalam ilmu h- ngan tubuh dan menggunai pedang, kecuali kurang mendalam la tihannya, Sin Tjoe jarang tandingannya. Hal ini di luar dugaannya si orang aneh, maka juga , dia kaget bukan kepalang tempo tahu-tahu dua buah gelangnya itu kena terbacok hingga putus menjadi empat potong! Tentu sekali dia tidak keburu menarik pulang. .. Sin Tjoe tidak berhenti sampai di situ, sudah kepalang tanggung, ia mencelat pul a, maju kepada orang aneh itu, untuk menyerang dia, hingga dalam sekejap, sinar pedangnya sudah berkelebat di depan mata orang. "Pedang yang bagus!" Bong Goan Tjoe berseru, sedang tangannya mengibas. Dia buka nnya menangkis, dia hanya memapaki, untuk menyamber, menyeng-keram lengan orang. Dia bergerak tak kalah dengan dengan kesehatannya Law Tong Soen. Hebat ancaman bahaya untuk Sin Tjoe itu, karena serangan pedangnya sudah berjalan, untuk menariknya pulang, sudah tidak ada tempo lagi. S egera lengannya bakal kena dilanggar tangan musuh dan mungkin bakal patah. Siauw Houwtjoe rupanya dapat melihat ancaman itu, dia berseru kaget. Sin Tjoe sendiri tidak mau menyerah lengannya dibikin patah untuk menolong diri, ia kasi bekerja tangannya yang kiri . Dengan dua jari tengah dan telunjuk, ia menotok kepada tangan lawannya itu! Bong Goan Tjoe tidak menyangka sama sekali, dia kaget tidak terkira. Syukur untu knya, dapat dia membatalkan sera- ngannya sambil tubuhnya juga dimundurkan, dengan begitu, serangannya gagal, dia sendiri tertolong. "Itulah Hookoen!" berseru Siauw Houwtjoe, yang dapat melihat serangan si nona. Hookoen ialah ilmu silat Burung H oo. "Tidak salah!" Sin Tjoe menyahuti bocah ini. Tapi ia membuka mulut untuk terus b erdiam. Kembali ia meneruskan serangannya kepada orang aneh dari Ouw Bong San it u. Ia menyerang dengan ujung pedangnya, di bawah itu ikut bergerak tangannya yang kiri, yang dikasi mel engkung sedikit. "Itulah Pakoen!" Siauw Houwtjoe berseru pula. Ia lantas ingat tipu silat itu Pak oen atau Macan tutul. Ketika dulu hari Hek Pek Moko di Thayouw mengajarkan dia ilmu silat "Loohan Ngoheng Koen," kedua saudara Moko itu sudah gunai sasaran hidup dalam dirinya tujuh pahlawan dari istana. Itu waktu, Siauw Houwtjoe ada b ersama Sin Tjoe, keduanya memperhatikannya hingga sekarang merasa dapat menginga tnya dengan baik. Siauw Houwtjoe telah kena makan obat akan tetapi ia tak lenyap antero kesadarann ya, masih ada sisa ingatannya, maka itu, melihat penyerangannya Sin Tjoe itu, ia ingat samar-samar pengajaran gurunya. Ia lantas saja berpikir keras, untuk mengingat-ingat terlebi h jauh. Sayang, dalam sesaat itu, ia tidak cukup kuat untuk mengatasi dirinya. Itu waktu Bong Goan Tjoe telah kerjakan tangan dan kakinya, dia mulai menyerang si nona, selagi kedua tangannya menyeran g saling susul, kedua kakinya mengikuti maju merangsak. Nampaknya dia berlaku be ngis sekali. Sin Tjoe lantas terdesak, terpaksa ia main mundur. "Kenapa kau tidak hendak menggunai Liongkoen?" tanya Siauw Houwtjoe. Ia terus memperhatikan jalannya pertempuran itu, ia melihat kefa eda-hannya "Liongkoen" ilmu silat "Naga". "Aku lupa!" menyahuti si nona sengaja. Sebenarnya ia bukannya lupa, ia hanya tid ak berani mengadu tenaga, keras lawan keras, karena ia tahu ia kalah kuat. Di an tara Loohan Ngoheng Koen ilmu silat Lima Macam Hewan Liongkoen adalah yang memer lukan tenaga besar sedang ia sendiri bertenaga kecil, di lain pihak, musuhnya sangat t angguh. Bong Goan Tjoe juga telah dapat melihat kelemahan orang, ia mendesak di bagian y ang lemah itu, ia menggunai ilmu silat "Kimna tjioe" Menangkap Tangan dibantu "K oengoan lat" Tenaga Sejati. Beruntung buat Sin Tjoe, liehay ilmu pedangnya dan enteng sekali tubuhnya, ia da pat bergerak dengan lincah, sedang Tjengbeng kiam, pedangnya itu, ada pedang mus tika yang bisa merusak ilmu tubuh kedot semacam Kimtjiongtiauw dan Tiatpousan. Ia bersilat dengan Hookoen, Pakoen dan juga Tjoakoen ilmu silat Ular, karena itulah ilmu yang paling tepat u ntuknya, tak usah ia menggunakan tenaga berlebihan. Begitu, dengan pedang ia mainkan ilmu silat Pekpi an Hian Kee Kiamhoat, dengan tangan kiri dengan Ngoheng Loohan koen. Ia terdesak tetapi ia masih dapat bertahan. Si nona pengantin juga selama itu telah turut menonton pertempuran, ia berdiri d i samping. Sampai itu waktu, mendadak ia menegur Siauw Houwtjoe: "Siauw Houwtjoe, perkataanmu dapat dipercaya atau tidak?" Justeru itu, Sin Tjoe pun menyerukan: "Siauw Houwtjoe, kenapa kau masih tidak mau mengangkat kaki? Dia nanti memaksa k au menjadi suaminya!" Karena ia berbicara, hampir saja Nona Ie kena dihajar Bong Goan Tjoe, yang telah menjambak secara hebat sekali. "Kenapa kau tidak hendak menggunai Houwkoen?" berteriak Siauw Houwtjoe. Ia lihat si nona terancam, ia sampai tidak menghiraukan pertanyaan pengantinnya atau peringatannya Nona Ie itu. Houwkoen ialah ilmu silat "Harimau." "Ah, Houwkoen pun aku lupa!" Sin Tjoe menjerit dengan jawabannya. Kembali Bong Goan Tjoe menyerang, kali ini ia membuatnya si nona terhuyung tiga tindak. Saking cepatnya peristiwa berlaku, Siauw Houwtjoe tidak tahu nona itu terluka atau ti dak. Hanya, saking kaget, sekonyong- konyong dia berlompat dengan terjangannya, tepat dia mengenai pundak bagian bela kang dari Bong Goan Tjoe, sembari menghajar dia berseru: "Houwkoen begini bukan?" Orang aneh dari Ouw Bong San itu tidak menyangka sekali-kali bahwa Siauw Houwtjo e bakal menyerang padanya, ia tidak dapat menangkis atau berkelit, maka itu ia merasakan sangat sakit. Tentu saja ia menjadi sangat murka. "Siauw Houwtjoe! Kau berontak?" dia membentak, bengis. Sin Tjoe menggunai ketikanya yang baik, yang ia memang sedang cari. Ia tidak mau mengasi ketika bocah itu terpengaruh si orang aneh. "Betul!" ia berseru. "Kau gunai lagi Liongkoen!" Di mulut nona kita menganjurkan Siuw Houwtjoe, gerakannya adalah lain. Sekonyong -konyong saja ia mencelat, meninggalkan lawannya, berlompat kepada nona kemantin, yang ia segera totok urat gagunya, men yusul mana, ia berseru pula: "Siauw Houwtjoe, mari kita bekerja sama! Kita roboh kan ini manusia jahat! Dia tentu tidak bakal menjadi isterimu!" Dengan "dia," Sin Tjoe maksudkan nona pengantin. Serangannya ini tepat waktunya, sebab itu waktu si nona justeru hendak mempengar uh-kan pula Siauw Houwtjoe, supaya Siauw Houwtjoe mengajarkan dia rahasia ilmu silatnya. Siauw Houwtjoe terpengaruh kata-katanya Sin Tjoe. Dia benar-benar takut takut na nti menjadi suaminya nona pengantin itu. Di lain pihak, ia mulai merasa semakin mengingat Sin Tjoe, kesannya bertambah baik. Karena ini, ia serang pula Bong Goan Tjoe. Lihat, apakah ini bukannya Liongkoen?" katanya membarengi serangannya itu. "Benar! Itulah Liongkoen!" berseru Sin Tjoe seraya ia tertawa terbahak-bahak. Ia pun membarengi menyerang dengan pedangnya, dengan gerakannya Menggulung Sungai Perak. Itulah t ikaman dari atas ke bawah. Bicara dari hal il- mu silat, Siauw Houwtjoe masih kalah jauh daripada Bong Goan Tjoe dan walaupun serangannya Ie Sin Tjoe sangat liehay, dapat si orang asing m engelakkannya, hanya kali ini dia menghadapi dua serangan berbareng. Dapat dia b erkelit dari kepalan, tidak dapat dari pedang, dapat dari pedang, mes- tilah ia kena tertinju. Tentu saja dia tidak sudi kena ditikam dadanya atau dido det perutnya, dia lebih suka merasakan bogem mentahnya si bocah. Demikian sudah terjadi, selagi dia berkelit dari si nona, "D uk!" maka dia merasakan pinggangnya terhajar hebat, sampai dia terhuyung beberap a kali. Masih dia bersyukur yang dia bisa menyingkir dari ujung pedang Tjengbeng kiam. Siauw Houwtjoe baharu berusia empat belas tahun, tetapi sebagai bocah, ia telah terlatih baik sekali. Sejak umur satu tahun ketika ia mulai belajar jalan, ia su dah mulai dilatih urat-urat dan tulangnya, ialah dengan setiap waktu dipakaikan rendaman obat kuat dan setelah ia mulai mengarti ini dan itu, ia mulai diberikan pelajaran silat pokok, untuk menanam dasar. Thio Hong Hoe mengarti dua-dua ilmu dalam dan ilmu luar, maka Siauw Houwtjoe pun dididik dalam dua rupa ilmu kepandaian itu, m ulanya ilmu luar, lalu ilmu dalam. Maka itu, di antara Sin Tjoe dan Siauw Houwtj oe, si nona menang ilmu silat, si bocah menang tenaga. Demikianlah, hebat Bong G oan Tjoe merasakan pukulan bocah itu, meskipun dia tidak roboh, dia hampir menjerit "Aduh!" "Bagus!" berseru Sin Tjoe, yang tak berhenti dengan penyerangannya, malah dia pe rhebat. Setelah menikam tiga kali saling susul, ia serukan si bocah: "Bagus, Siauw Houwtjoe! Mar i kita bertaruh! Mari lihat, kau punya Lohan Ngoheng Koen lebih liehay atau aku punya Hian Kie Kiamhoat!" Bocah-bocah umumnya suka menang sendiri, Siauw Houwtjoe tidak menjadi kecuali. B ukankah ia telah berhasil menggebuk Bong Goan Tjoe sampai dua kali? Maka itu ia lantas tertawa berka-kakan. "Pastilah tinjuku lebih liehay!" dia menjawab. Dengan tinju dia maksudkan ilmu s ilatnya Loohan Ngoheng Koen itu. "Kau lihat tua bangka ini, dia tidak dapat berk elit! Lihat, akan aku hajar pula hidungnya dengan Pakoen!" Dia terus lempangkan pinggangnya, dia menyambar dengan kepalan kirinya, berbareng dengan mana, kepalan kanannya menindju! Itulah gerakan Pakoen atau ilmu silat Macan Tutul. Berbareng dengan itu, Ie Sin Tjoe juga menyerang dengan pedangnya, bagaikan "Bianglala Perak Menyamber Melintang," guna memegat jalan mu ndur lawan mereka. Dikepung begitu rupa, jago dari Ouwbong San itu terpaksa mesti berlompat ke depa n. Tidak dapat ia mundur, dan kalau ia diam saja, ia bakal dihajar pula si bocah ! Walaupun begitu, meski juga ia berlaku gesit sekali, ia masih kalah cepat dari Siauw Houw tjoe. Dengan menerbitkan suara dalam, batang hidungnya terhajar tepat hingga kembali ia merasakan sakit. Girangnya Siauw Houwtjoe bukan alang kepalang. "Lihat, akan aku serang pula dia dengan Hokoen!" dia berseru pula. Bong Goan Tjoe mendongkol sekali, sedang hidungnya telah mengucurkan darah! "Kali ini tidak nanti kau dapat menindju aku," pikirnya. Ia berkelit dari serang annya Sin Tjoe, yang telah mendesak pula, sembari menangkis, ia angkat sebelah k akinya untuk menendang si bocah, menendang kepalan orang. Di waktu melawan demikian, ia tidak pernah pikir liehaynya Loohan Ngoheng Koen, yang mengutamakan kecepatan. Maka juga, cepat gerakannya kaki, leb ih cepat pula melesatnya tinju. Hanya, disebabkan kaki itu menghalang di tengah jalan, maka bagian dengkulnya ya ng kena dihajar! Mau atau tidak, jago Ouw Bong San itu mesti menekuk kaki beriku t tubuhnya. "Hai, kau berlutut di depanku memohon ampun?" berseru Siauw Houwtjoe yang melihat gerak-gerik orang itu. "Ah, tidak en ak hatiku untuk menghajar pula padamu!..." Pertempuran itu telah mengejutkan orang-orang di rumah touwsoe itu ser ta dekat-dekatnya, yang termasuk satu halaman kampung, begitupun sejum lah penari-penari bunga yang masih belum berlalu. Mereka itu lant as lari mengham-pirkan. "Tidak bagus!" Sin Tjoe teriaki Siauw Houwtjoe apabila ia tampak mendatanginya b anyak orang. "Jikalau kau tidak hajar tua bangka ini, kita pasti tidak bisa lolo s dari sini!" Siauw Houwtjoe kena dipengaruhkan pula. "Baiklah, akan aku hajar pula dia dengan Liongkoen!" ia berseru menyahuti, terus dengan mengerahkan tenaganya, ia menyera ng pula Bong Goan Tjoe. Jago Ouwbong San itu tengah tak berdaya, maka itu kembali ia kena dihajar. Ini k ali ia tidak dapat bertahan lebih lama pula, begitu terserang, ia menjerit, tubu hnya roboh terguling, tidak dapat ia lantas merayap bangun pula. Sin Tjoe tidak mau bekerja kepalang tanggung. Meninggalkan Bong Goan Tjoe itu, ia lompat memapaki orang banyak, ia s erang mereka itu tanpa memilih bulu. Ia tidak menggunai pedangnya, hanya ia meno tok setiap orang yang berada paling dekat dengannya, hingga orang tidak dapat berdaya lagi kecuali nanti, selang dua belas jam, mereka itu akan bebas sendirinya. Setelah itu, dengan menyekal lengan ya Siauw Houwtjoe, ia tarik bocah itu untuk dibawa lari kabur dari rumahnya touwsoe . Sesudah lewat tengah malam itu suasana jadi sunyi sekali. Ketika Sin Tjoe berdua sampai di tanah datar di mana tadi orang menarikan bunga dan kedua mempelai men jalankan upacara, di sana pun sunyi senyap, tinggal sisa api bekas memanggang da ging kerbau serta berserakannya bunga-bunga. Di situ si nona memandang kawannya, ia lantas saja tertawa. Siauw Houwtjoe masih mengenakan pakaian pengantin! Habis itu, nona ini berdiri diam. Aneh pengalamannya malam ini, ia merasakan sep erti habis bermimpi. Ia pun merasakan dunia sangat luas tetapi sepi... Siauw Houwtjoe sendiri juga merasa ia tengah bermimpi, kedua matanya celingukan ke sekitarnya. Sekian lama ia mengawasi Sin Tjoe. Achir-achirnya ia membuka mulu tnya. Ia tanya: "Ke mana kau hendak membawa aku?" "Kau sendiri hendak pergi ke mana?" si nona balik menanya. Ia lihat orang bingun g atau belum sadar betul. "Aku tidak tahu," menyahut anak itu, ke tolol-toloan. "Kenapa kau dapat datang kemari?" Sin Tjoe menanya pula. "Aku tidak tahu! " "Kenapa kau tidak tahu? Mustahilkah kau jatuh dari atas langit? Coba kau pikir b aik-baik. Kapan pengantinmu itu muncul di dampingmu? Mustahil dia muncul dari dalam tanah?" Habis berkata, si nona tertawa manis. Siauw Houwtjoe tunduk. Ia rupanya berpikir. Ketika ia mengangkat kepalanya, mata nya memperlihatkan sinar berkuatir, suatu tanda hatinya tidak tenang. "Aneh sekali!" katanya kemudian. "Dia memang seperti muncul dari dalam tanah! Ra sanya, begitu aku mendusin, dia sudah berada di dampingku, lagi melayani aku..." Sin Tjoe pun heran. "Mana gurumu?" ia tanya. Ia menanya tetapi hatinya mengatakan: "Hek Pek Moko itu beroman sangat luar biasa, tidak nanti Siauw Houwtjoe dapat melupakan mereka." "Guru? Guru apa?" Siauw Houwtjoe balik menanya. "Apakah ilmu silatmu didapat sejak kau dilahirkan?" berkata si nona, menanya. "Siapakah yang telah ajarkan kau ilmu silat itu? Kau ingatkah?" Siauw Houwtjoe berpikir pula. Agaknya ia pusing. "Seperti ada banyak orang yang mengajari aku..." sahutnya kemudian. "Ha, aku ing at sekarang! Kau juga pernah mengajarkan aku! Aku menyampok arak dengan kipas, s ampokan itu adalah ajaranmu! Ya, kaulah guruku!" Sin Tjoe berduka sekali berbareng merasa lucu, mau ia tertawa, tetapi tidak dapa t. Bocah ini lupa akan dirinya, dia harus dikasihani. "Entah dia telah di-kasi makan obat apa sampai gurunya pun dia lupakan," pikirny a. "Walaupun demikian, ia agaknya belum melupakan semua-mua. Bukankah tadi setelah melihat aku, dia rada-rada masih mengingatnya?" "Entjiel" berkata Siauw Houwtjoe, menanya. "Eh, soehoe1. Sekarang kita hendak pergi ke mana?" Dia memang gil entjie dan soehoe dengan beruntun. Rupanya dia masih ingat nona itu pun gurunya (soehoe). Sin Tjoe juga tidak tahu ke mana ia harus ajak bocah ini tetapi ia tertawa. "Aku bukannya gurumu, akulah entjie-mu1." ia bilang. "Gurumu adalah dua orang In dia yang parasnya masing-masing hitam dan putih!" Kedua matanya Siauw Houwtjoe menci-lak, ia seperti ingat suatu apa. "Ah, aku takut!..." katanya. "Kau takut apa?" si nona tanya. "Aku takut padamu!" Nona itu tertawa. "Kenapa kau takut padaku?" "Sebab dia telah bilang padaku, kecuali dia, tidak ada lagi orang lain yang hati nya baik. Tadi kau telah serang dia, aku takut..." Dengan "dia," terang bocah in i maksudkan pengantinnya. Inilah Sin Tjoe bisa duga. "Benar-benarkah kau percaya dia?" ia tanya, tertawa. Siauw Houwtjoe tidak menjawab, dia cuma mengawasi. "Habis dia itu hendak jadi isterimu! Apakah kau tidak takut?" Tubuh Siauw Houwtjoe menggigil. "Benar, kelihatannya setiap orang pun menakuti!..." katanya. Nyata dia jeri. "Bagaimana aku mesti berbuat untuk membikin dia mempercayai aku?" Sin Tjoe tanya dirinya sendiri. Ia berpikir keras. Tiba-tiba ia kena raba sesuatu di pinggangn ya. Segera ia menanya: "Ayahmu telah wariskan kau golok Bianto apakah golokmu itu masih ada?" Siauw Houwtjoe mengawasi dengan bengong. "Masih ada!" sahutnya sesaat kemudian. Goloknya itu ada golok lemas, yang dia li bat di pinggangnya bagaikan sabuk, sampai si nona pengantin pun tidak mendapatka nnya. Dia lantas lepaskan golok itu dari pinggangnya, terus dua kali dia membaco k ke udara. "Bukankah ini golok itu?" dia tanya. Dia ada begitu gembira, di situ juga dia la ntas bersilat, memainkan ilmu golok Ngohouw Toanboen too. Dia tertawa, terus dia tanya: "Kau li hat, aku masih belum lupa!" "Betul!" Sin Tjoe menyahuti. "Kuat ingatanmu! Sekarang coba kau mengingat-ingat pula. Siapakah yang ajari kau ini ilmu golok?" "Pasti sekali ayah!" sahut Siauw Houwtjoe, cepat dan bangga. "Ayahku a da satu enghiong terbesar, satu hoohan sejati!" "Mana baju yang berlumuran darah dari ayahmu itu?" tiba-tiba Sin Tjoe menanyakan lain hal. Kembali Siauw Houw menjublak. "Baju yang berlumuran darah?" katanya, bagaikan mendumal. "Benar, baju berdarah!" Sin Tjoe memberi kepastian. "Mustahil kau lupai baju ay ahmu itu?" Siauw Houwtjoe berdiam, pikirannya bekerja. Erat sekali perhubungan di antara ay ah dan anak, tidak gampang untuk melupakan itu. Sebagaimana Sin Tjoe tidak dapat melupakan Tan Hong, gurunya, yang ia sangat puja. Siauw Houwtjoe sebaliknya san gat menghargakan dan memuliakan ayahnya itu. Pelahan-lahan ingatannya itu seperti terbangun. "Eh, mengapa ayahku memberikan aku baju berdarah itu?" katanya, habis menjublak lagi sekian lama. "Ayah penasaran kenapakah?" "Ayahmu itu orang baik atau bukan?" Sin Tjoe tanya mendadak. "Apa perlunya untuk menyebutkan itu lagi?" Siauw Houwtjoe menjawab, membentak. I a terlihat murka. "Ini golok Bianto serta baju berdarah itu, siapakah yang kasikan padamu?" Sin Tj oe tanya pula tanaa pedulikan kemarahan orang. Bocah itu mementang lebar matanya. "Itulah kau!" serunya. "Ya! Entjie Sin Tjoe, sekarang aku percaya kau, kau meman g orang baik! Bilangi aku, entjie, kenapa ayahku serahkan baju berdarah padaku?" Sin Tjoe menatap, ia bersenyum. "Kau percaya aku, itulah bagus," sahutnya. "Tentang ayahmu itu nanti saja aku tu turkan padamu. Sekarang coba kau pikirkan, kenapa kau dapat tiba di sini. Dan kedua gurumu itu, ke mana mereka sudah pergi?" Sengaja Sin Tjoe menanya begini, supaya orang tidak "terpukul" urusan hebat dari ayahnya dia itu. Ia pun mencoba menggempur ingatan orang yang kabur. Sia-sia usahanya ini. Siauw Houwtjoe, tidak dapat lantas mengingatnya. Sin Tjoe menanti, ia mencoba menanya, hasilnya tidak ada. Hingga ia ingat: "Pern ah aku dengar di wilayah orang Biauw ini ada kedapatan beberapa rupa rumput obat yang mujijad, sekarang baiklah aku ajak Siauw Houwtjoe ke rumah si nyonya yang rumahnya aku tumpangi, u ntuk menanyakan keterangannya." Untuk pulang dengan mengajak Siauw Houwtjoe, Sin Tjoe tidak menampak kesukaran. Siauw Houwtjoe benar-benar telah mempercayai ia, tempo ia mengajak, bocah itu mengikuti dengan jinak Nyonya rumah sudah tidur ketika Sin Tjoe mengetok pintu. Ia mendusin dengan kage t. "Apakah sudah bubaran orang mengacau di kamar pengantin?" menanya nyonya itu sam bil ia turun dari pembaringannya. "Aku menyangka kau akan pulang di waktu terang tanah!" Ia membuka pintu, tangannya memegang sebatang obor cabang cemara. Lantas saja ia terkejut kapan ia melihat si nona datang berdua dan bersama siapa. Ia sampai te rgugu. "Kau... kau..." katanya kepada Siauw Houwtjoe. "Bukankah kau si mempelai laki-la ki? Ha, perawan yang bernyali besar! Kenapa kau bawa pulang baba mantunya touwsoe kami?" Perkataan itu, pertanyaan itu, ditujukan kepada si bocah dan si nona berbareng. Sin Tjoe bersikap tenang. "Dia ini ialah adikku," ia menjawab. "Entah dia makan obat apa, ingatannya menja di kacau hingga dia lupa segala apa. Sebenarnya dia sungkan menjadi baba mantuny a touwsoe !" Nyonya itu heran. "Ha? Benarkah itu?" katanya. Ia lantas menyuluhi mukanya Siauw Houwtjoe. Mendada k ia ketakutan, mukanya menjadi pucat. Ia lantas tarik Sin Tjoe ke samping. "Celaka!" serunya. "Dia bukan cuma telah makan obat lupa ingatan, dia pun terken a buatan orang! Lewat satu tahun habis ini, kalau dia tidak ditolong dengan obatnya orang yang mencelakai dia, dia pasti bakal mati! Mungkin ini ada perbuatan puterinya touwsoe, yang kuatir adikmu berubah hatinya. Sudah obat pelu pa itu sukar disembuhkannya, obat racun itu terlebih sukar lagi seperti aku katak an, cuma pembuatnya yang dapat menolongnya... Sin Tjoe terkejut. Ia mau percaya keterangannya nyonya ini. Selang sesaat baharu ia dapat kembali ketenangannya. M enurut nyonya itu, daya pertolongannya bukannya tidak ada. Ia lantas minta si ny onya tolong mengobati itu penyakit lupa ingatan. Nyonya itu berdiam sekian lama, lalu dengan cepat ia pergi keluar rumahnya. Ia p ergi tidak lama atau ia telah kembali, tangan- nya membawa segeng-gam rumput, ialah daun obat yang ia maksudkan. Ia lantas saja masak air, untuk menyeduh rumput itu, yang terus diminumkan kepada Siauw Houwtj oe. "Pahit!" kata si bocah habis dia menenggak seceglukan. "Satu enghiong, satu hoohan, dia tidak takut langit atau bumi!" berkat a Sin Tjoe. "Masa dia takut rasa pahit?" "Akur!" menimpali Siauw Houwtjoe, lantas dia cegluk habis air obat yang pahit it u. Hanya, habis itu, ia kata: "Ah, aku kepingin tidur!" Nyonya rumah menepuk punggung orang dua kali. "Baiklah, pergi kau tidur!" katanya. Siauw Houwtjoe tapi-nya bukan tidur, dia hanya duduk bersila, kedua matanya d ime- ramkan. Nyata ia duduk bersamedhi. Sin Tjoe mengeluarkan sepotong perak, ia angsurkan itu kepada si nyonya. Nyonya itu agaknya tidak senang, dia menampik uang itu. "Aku lihat kau baik, aku suka membantu padamu," Ia berkata. "Apakah ka u sangka aku mengharap uangmu?" "Maaf, maaf!" berkata Sin Tjoe lekas. Ia simpan pula uangnya. Nyonya itu menghela napas. "Aku juga tidak merasa pasti obatku akan berhasil atau tidak," katanya kemudian. Sin Tjoe terperanjat. "Kenapa begitu?" "Obatku ada obat yang umum," menerangkan si nyonya. "Racun yang dimakan adikmu i ni sebaliknya mirip dengan racun terhebat yang sulit didapatnya di wilayah kita ini. Namanya racun itu ialah Bongyoe tjauw rumput lup a kedukaan. Lagi pula ia kena buatan orang, maka setelah makan obatku, mungkin d ia tak sadar seluruhnya. Hanya, melihat keadaannya sekarang ini, mungkin ingatannya akan kembali." Keduanya lantas berdiam. Sin Tjoe dengan pikiran kurang tenang. Berselang lagi sekian lama, Siauw Houwtjoe kelihatan menggeraki pinggangnya dibi kin lempang. Terus saja dia membuka matanya. "Aku merasa lega," katanya. "Aku ingat sekarang! Kedua guruku telah bertempur sa ma satu orang, bertempurnya di dalam sebuah rumah yang luar biasa..." Sin Tjoe terkejut. "Tunggu!" katanya. Terus ia menghadapi nyonya rumah, akan berkata: "Nyonya, terima kasih untuk kebaikan kau. Sekarang juga aku mesti berangkat pergi..." "Benar," berkata si nyonya, yang mengarti maksud orang. "Memang kamu mesti lekas pergi menyingkir. Begitu lekas sang fajar datang, sukar untuk kamu melarikan di ri!" Lagi sekali Sin Tjoe mengucap terima kasih, terus ia ajak Siauw Houwtjoe lari ke luar. "Dengan siapa kedua gurumu itu berkelahi?" si nona tanya, sesudah mereka sedikit jauh dari rumah si nyonya. "Bagaimana caranya kau berpisah dengan kedua gurumu itu?" "Aku merasa aku dan kedua soehoe datang dari tempat yang jauh sekali," Siauw Hou Tjoe menyahut. Ia agaknya berpikir. "Pada suatu hari, setahu kenapa, kami memasuki sebuah rumah tua semacam bentengan. Di sana s edang diadakan pesta. Para hadirin di situ, semuanya beroman luar biasa. Yang le bih menakuti adalah seorang di antaranya. Dia lanang kepalanya, tubuhnya sangat kurus, kulitnya kering, dia mirip dengan mayat hidup. Meski begitu, terhadap ked ua guruku, nampaknya mereka hormat sekali, mereka mengundang minum arak. Habis i tu, entah kenapa, mendadak mereka berkelahi. Aku membantu kedua guruku melawan mereka. Tiba-tiba aku kena dijambak si mayat hidup, lantas aku tak sada r lagi. Ketika kemudian aku mendusin, aku rebah di rumah si touwsoe tadi. Puteri touwsoe itu mengasi aku minum secangkir teh panas. Setelah itu, kacaulah ingatanku. Tapi dia berlaku sangat baik padaku, set iap hari dia merawat dan melayani aku dengan telaten sekali. Sesudah aku sembuh, lantas dia menggerembengi aku, dia bilang dia mau menjadi isteriku. Coba aku ta hu dia bukannya isteri yang baik, tidak nanti aku menerima baik untuk menjadi su aminya." Sin Tjoe tak tahan tertawa. Bukan saja ceritera Siauw Houwtjoe lucu, ia pun senang yang ingatan orang telah pulih kembali, meskipun be lum seluruhnya. "Kalau benar dia mempunyakan tempo satu tahun untuk dapat disembuhkan dari racun buatan orang itu," ia berpikir, "masih ada tempo untuk mendaya-kan memaksa si p erem- puan siluman menyerahkan obat pemunah-nya. Sekarang ini perlu dicari tahu dulu d i mana adanya Hek Pek Moko." Maka ia lantas tanya Siauw Houwtjoe: "Di mana letak nya benteng tua itu? Apakah kau masih ingat?" "Nanti aku coba mencarinya," menyahut bocah itu. "Kalau tidak salah adanya di le mbah di gunung depan itu..." Sin Tjoe suka mengiringi, maka sekarang dialah yang dipimpin Siauw Houwtjoe perg i ke gunung di depan mereka. Jalanan sukar dan banyak tikungannya tetapi bocah i tu dapat mengingatnya. Tidak selang lama, tiba sudah mereka di sebuah lembah yan g gelap di mana cahaya rembulan tak dapat menembus masuk. Cuma ada cahaya yang k ecil sekali yang molos di antara sela-sela batu. Dari atas gunung sering terdengar suaranya si burung malam dan a ngin gunung yang dingin saban-saban meniup bersilir. Hawa dingin itu dan suasana lembah itu dapat membuat orang bangun bulu romanya. Sin Tjoe sendiri sampai mer asa seram. Lagi sekian lama, lalu Siauw Houwtjoe menghentikan tindakannya. "Sudah sampai!" katanya. "Lihat, itulah benteng tua itu!" Sin Tjoe mengawasi benteng yang ditunjuk si bocah. Bangunan itu memang luar bias a. Di empat penjuru tembok semua. Di kiri dan kanannya ada bangunan seperti mena ra bundar. Sebuah pintu sempit sekali kedapatan di situ, sempit hingga cuma muat satu orang untuk keluar dan masuk. Dari dalam pintu itu terlihat sinar terang dari api. Sebab pintu itu terbuka. Pula dari dalam ter dengar suara orang bicara sambil tertawa-tertawa, meskipun lapat-lapat. Ketika itu sudah jam empat, di dalam benteng masih ada api menyala dan pula suar a orang pasang omong, benar-benar luar biasa. Cuma sedetik saja Sin Tjoe bersangsi, lantas ia tarik tangannya Siauw Houwtjoe, buat diajak mengham-pirkan pintu itu, untuk ke dalamnya, terus ke sebuah ruang b esar. Di situ ada sebuah meja panjang, di atasnya tersajikan rupa-rupa barang hi dangan berikut araknya. Duduk di meja tuan rumah ada seorang yang kepalanya gund ul licin, tubuhnya kurus sekali dan kulitnya kering, benar mirip satu mayat hidu p. Di tempat tetamu, semua kursi kosong. Adalah di lorongnya, di kiri dan kanan, ad a berbaris pelayan priya dan wanita. "Itulah dia si orang aneh!" berkata Siauw Houwtjoe menunjuk si mayat hidup. Ia a gaknya tidak jeri, sebagaimana juga Sin Tjoe. Kalau tidak, tidak nanti mereka be rani masuk sampai di ruang besar itu. Melihat Siauw Houwtjoe, kelihatan si mayat hidup itu kaget, sampai ia mengeluark an sepatah kata tertahan. Kemudian baharulah ia berkata terus. "Kenapa kau tidak jadi mempelai di rumahnya touwsoe?" demikian pertanyaannya. "M au apa kau datang ke mari?" "Aku tidak meng-inginan isteri!" teriak Siauw Houwtjoe dengan jawabannya. "Aku menghendaki guruku!" Orang aneh itu tertawa dingin. "Soehoe apa kau ada punya?"tanyanya. "Kenapa aku tidak punya soehoe?" Siauw Houwtjoe membentak pula. "Guruku bukan cu ma satu! Bukankah itu hari aku punya Hek Soehoe telah berkelahi denganmu di sini ? Lekas kembalikan guruku!" Wajahnya orang aneh itu jadi semakin tak enak dilihat. "Siapakah yang telah memberi obat pemunah kepadanya?" dia menanya bengis pada seorang di sampingnya, ialah muridnya. "Lekas bekuk dia!" Murid yang diperintah itu bergerak maju, akan tetapi baharu ia bertindak, ia sud ah diserang Sin Tjoe dengan setangkai bunga emas, tepat mengenai jalan darahnya, bukan dia roboh, dia hanya menindak seraya kedua tangannya diang kat, seperti mengancam hendak menerjang. Orang aneh itu mengasi dengar suara tertawa terkekeh yang menyeramkan. "Kiranya ada Thio Tan Hong yang menjadi tulang punggungmu!" katanya bengis, meng ejek. "Pantas kamu berani datang ke mari meminta orang!" Dia melenggak, dia tert awa tiga kali, terus dia berkata nyaring: "Thio Tayhiap kesohor di dunia ini, me ngapa kau menyembunyikan kepala dan mengumpatkan ekor? Kenapa kau cuma kirim dua bocah datang mengacau di sini? Kau sembunyi saja, apakah kau tidak kuatir nanti ditertawakan orang? Diundang tidak sama dengan bertemu secara kebetulan, maka itu silahkanlah masuk ke mari. Aku silahkan kau minum tiga buah cangkir! Tidak ada halangannya bukan?" Sin Tjoe melihat orang menggerakki tubuh dan tangan seperti orang yang mempersi- lahkan tetamunya masuk dan duduk, mau atau tidak, ia menjadi tertawa berkakakan. "Apakah kau melihat hantu?" di menegur sekalian mengejek. "Guruku ada di Tali di gunung Tjhong San! Jikalau kau hendak mengundang dia menghadiri pestamu ini, lekas kau menulis surat undangannya, kau serahkan itu padaku, nanti aku yang tolong membawa dan menyampaikannya!" Orang aneh itu mengawasi dengan perasaan sangat heran. Dia tidak menyangka sekal i orang ada demikian berhati besar. Ia menduga Thio Tan Hong datang bersama. Ia pu n mau percaya Siauw Houwtjoe ditolongi Tan Hong. Karenanya tidak berani ia lanca ng turun tangan. Sekarang mendengar Tan Hong berada jauh di gunungnya, wajahnya lantas saja menjadi berubah bengis. "Kau dengar tidak perkataanku?" dia tanya Siauw Houwtjoe. Kedua matanya pun menc orong menatap bocah itu. Kemudian dia menyapu dengan matanya yang berpengaruh itu kepada Sin Tjoe. Tanpa merasa, kedua orang itu bergidik sendirinya. Sin Tjoe merasa mata orang me mpunyai pengaruh iblis, yang membuatnya hati orang goncang. Maka ia lantas saj a menguasa dirinya, kepada Siauw Houwtjoe ia membisiki: "Lekas pusatkan pikiranmu, jangan k au awasi dia!" Siauw Houwtjoe sudah menjublak seperti ia terkena pengaruh ilmu sihir, mendengar kisikan si nona, mendadak ia sadar. Malah segera ia membentak: "Siapa sudi deng an perkataanmu? Aku cuma dengar perkataan guruku! Mana kedua guruku itu?" "Kedua gurumu itu bukan tandinganku," menyahut si orang aneh. "Mereka telah aku hajar hingga mereka lari kabur!" "Ngaco!" Siauw Houwtjoe membentak. "Kedua guruku ada enghiong-enghiong di jaman ini, mana dapat kau menghajar mereka!" "Baik!" seru orang aneh itu. "Jikalau kau tidak percaya, mari aku ajak kau pergi melihat- nya!" Sembari mengatakan demikian, setindak demi setindak dia menghampirkan si b ocah, kedua matanya dengan sinarnya yang tajam terus menatap, mukanya memperliha tkan senyum aneh. "Celaka!" berseru Sin Tjoe di dalam hatinya seraya terus ia menimpuk dengan tiga buah bunga emasnya. Orang aneh itu tertawa dingin. "Segala mutiara sebesar biji beras juga mengeluarkan sinar!" mengejeknya. Ia men gibaskan tangannya, jari-jarinya menyentil. Dengan menerbitkan suara nyaring, ke tiga bunga emas terpental nyamping tinggi, nancap di balok penglari merupakan ti ga segi seperti huruf "i pin." Coba serangan itu mengenai tubuh manusia, sasar annya ialah tiga jalan darah lengtjioe hiat di kiri buah susu serta pusar. Hebat sentilannya orang aneh itu, Sin Tjoe kaget hingga parasnya berubah menjadi pucat, karena ia tahu, bunga emasnya itu tajam di empat penjuru, tidak dapat se njata rahasia itu membentur daging. Tapi sekarang si orang aneh menyentilnya! Ma lah sentilan itu mengasi dengar suara nyaring, itu menyatakan tangannya bukan se perti berdarah daging... "Siauw Houwtjoe lekas gunai Liongkoen!" ia segera serukan kawannya. Meski ia kaget dan gentar hatinya, ia masih ingat akan bahaya yang men gancam mereka. Ia sendiri pun sudah lantas menghunus Tjengbeng kiam. Siauw Houwtjoe berada di sebelah depan, dia sudah lantas menyerang. "Bus!" demikian serangannya mengenai jitu tetapi suaranya seperti ia memukul rum put layu dan tubuh orang pun tidak bergeming jangan kata terhuyung. Malah si ora ng aneh pun sudah lantas mengibas mental pedangnya si nona. "Haha!" dia tertawa lebar. Biarpun pedangmu tajam, apa dia bisa bikin terhadap a ku?" Dia mengejek Sin Tjoe, matanya tapinya melirik tajam kepada Siauw Houwtjoe, suaranya yang bengis diperdengarkan: "Hm! Kau berani tidak dengar kataku!" Siauw Houwtjoe bergidik, ia mengigil. Sin Tjoe penasaran kembali ia menyerang dengan hebat, tiga kali beruntun. Orang aneh itu sa- ngat terkebur, dia tetap membawa sikapnya yang sangat memandang enteng kepada si nona, dia pun menggunakan pula kibasannya untuk menghalau pedang, supaya pedang itu terpental seperti tadi. Akan tetapi kali ini dia kelir u menduga, dia tidak menginsafi liehaynya ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat dari Hian Kee Itsoe. Tanpa keliehayannya itu, Hian Kee Kiamhoat tidak nanti menjadi sangat tersohor. Dua serangan Sin Tjoe yang pertama gertakan belaka, yang ketiga kali adalah sera ngan sungguh-sungguh, dan gerakannya pun diubah sedikit di saat ujung pedang mel uncur. Maka "Bret!" robek dan kutunglah ujung bajunya si orang aneh itu! "Sayang!..." Sin Tjoe mengeluh. Sebenarnya ia mengarah lengan si orang aneh, untuk dibikin putus, saking lincahnya musuh, i a tidak dapat mencapai maksud hatinya itu. Cuma, karenanya, ia membikin buyar be berapa bahagian dari kejumawaan orang. Di saat si orang aneh menyingkir dari pedang si nona, yang membuatnya ia terpera njat, kembali pukulannya Siauw Houwtjoe mengenakan perutnya hingga terdengar sua ra keras "Buk!" Sebab bocah itu menyerang selagi Sin Tjoe membabat. Hanya akibat serangan bocah ini ada hebat. Dia mengenai sasarannya tetapi dia ti dak mampu segera menarik pulang kepalanya itu, yang seperti nancap atau nempel d i perut orang. "Entjiel" dia berteriak, dengan mukanya menjadi merah bahna malu dan kaget. Kage t karena mendadak tubuhnya lantas terangkat naik dan terlempar! Sin Tjoe pun kaget akan tetapi ia cukup tabah dan sebat, begitu kaget begitu ia menyerang, membabat lengan si orang aneh itu. Lagi sekali si orang aneh mengibas dengan tangan bajunya, kali ini dia bukannya hendak membikin mental tetapi untuk melibat. Tapi si nona liehay sekali, ia lant as berontak seraya menegakkan tangannya, maka itu, ia dapat lolos dengan tangan bajunya lawan lagi-lagi terbabat kutung! Si nona tidak berhenti sampai di situ, kecerdasannya membuat ia sadar. Maka meng gunai ketikanya itu, hendak ia menusuk ke dadanya lawan. Akan tetapi bertepatan dengan itu mendadak ia mendapat cium se macam bau yang asing untuknya, bau itu keluar dari tangan baju si orang aneh. Ia kaget, buru-buru ia menahan napas, guna menyingkir dari bau itu. Karena ini, be lum sempat ia menikam. Di saat itu, tahu-tahu ia telah kena ditotok si orang ane h! "Haha!" orang aneh itu tertawa. "Sebenarnya aku ingin menyaksikan Hian Kie Kiamh oat di jalankan habis, untuk menyaksikan keliehayannya, sayang aku mesti melayan i tetamu agung, sukar untuk aku menemani kau lebih lama pula!..." Hampir berbareng dengan itu, Siauw Houwtjoe juga telah kena ditotok hingga berdu a Sin Tjoe ia menjadi mati daya, berdua mereka lantas dibawa ke barisan murid-muridnya si oran g aneh. Nona Ie tidak dapat menggeraki kaki tangannya tetapi pikirannya sadar. Ia heran bukan main, hatinya menjadi goncang. Ia heran atas keliehayan orang, ia pun mend uga-duga siapa tetamu agung dari orang itu. Adakah si tetamu juga orang aneh sem acam dia? Orang aneh itu berlalu sebentar, untuk menyalin pakaian, ketika ia muncul pula, ia menitahkan tetabuan dibunyikan. Cuma sebabak, musik be rhenti, lantas terlihat datangnya dua orang. Sin Tjoe mementang matanya. Ia dapatkan dua orang itu adalah seorang priya dan s eorang wanita, dan si wanita adalah orang asing yang berambut berwarna keemas- emasan, wajahnya cantik, romannya agung. Dia mengenakan rok yang panjang hingga mengenai lantai. Kembali Sin Tjoe heran melihat wanita agung ini. Kenapa dia datang ke tempat sem acam benteng tua ini? Si orang priya be-roman tampan, tubuhnya tinggi, nampaknya pun agung. Ia tidak b isa lantas dikenali apa ia orang Barat atau orang Han. Tapi ia mengenakan pakaia n orang asing. Ia berhidung mancung dan kedua matanya bersinar tajam. Kulitnya berwarna kuning tetapi rambutnya hitam. Ia berjalan dengan berpe gang tangan dengan si wanita, keduanya nampak akrab sekali perhubungannya. Siauw Houwtjoe mengawasi dengan bengong. Sin Tjoe sebaliknya menduga-duga, merek a itu berdua suami isteri atau bukan. "Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk perlayanan ongya di sini," te rdengar si priya berkata kepada si orang aneh, yang dipanggil "ongya" atau "tuan ku raja" atau "tuanku pangeran." Untuk banyak hari kami sudah menggerecok di istanamu ini, tidak dapat kami berdi am lebih lama pula, maka itu hari ini kami mohon pamitan." Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa yang kaku, seperti juga orang yang sudah lama meninggalkan kampung halamannya, yang baharu pulang kembali, tinggal lagu suara asalnya yang belum berubah. Sin Tjoe berpikir keras. Orang aneh ini ongya dari mana? Biar bagaimana ia ada p uterinya satu menteri dan luas juga pengetahuannya. Kerajaan Beng, semenjak diba ngun Kaisar Tjoe Goan Tjiang, meskipun banyak menganugerahkan raja-raja muda di pelbagai propinsi tetapi belum pernah ia dengar ada pangeran yang diangkat menja di raja atau raja muda di propinsi Koeitjioe ini. Orang ini dipanggil ongya maka heran dia punya " onghoe" alias istana adalah macam ini benteng tua dan juga ti dak seharusnya dibangun di tanah pegunungan sepi sunyi seperti ini. Bukankah ong ya ini ongya palsu? Si mayat hidup itu bersikap sangat menghormat kepada kedua tetamunya itu, wajahnya senantiasa tersungging senyuman manis. Ketika ia menyahu ti, ia pun menjura dalam-dalam. "Sungguh siauw ong sangat berbahagia telah mendapat kunjungan dari kongtjoe dan hoema ini," demikian katanya. "Oleh karena hoema berkeras hendak berangkat, siau w ong tidak dapat menahannya terlebih jauh. Perjalanan ini ke kota raja Tiongkok adalah jauh, jalannya banyak sungai dan gunungnya, keamanannya pun kurang, maka itu perlu sekali ada orang pandai yang mengiringinya, baharu hatiku tenteram..." Kembali Sin Tjore heran. Si orang aneh dipanggil ongya, selayaknya saja dia memb asahkan diri siauw ong," yaitu "raja yang kecil." Wanita itu dipanggil "kongtjoe" artinya puteri, dan si priya dipanggil "hoema," yaitu suami nya puteri atau menantu raja. Tidakkah itu aneh? "Benarlah mereka sepasang suami isteri," nona kita berpikir. "Entah dia kongtjoe dari raja atau negara mana. Dia menjadi kongtjoe, kenapa dia tidak punya pengir ing? Apa perlunya tuan puteri ini berkunjung ke Tiongkok? Meski Tiongkok ada neg ara besar, sudah lama lemah kedudukannya, sudah lama tak pernah datang utusan da ri negara lain, maka itu, dari mana tuan puteri ini? Umpama kata benar dia mewak ilkan negaranya dan hendak datang ke Tiongkok untuk membayar upeti, bukankah tak perlu dia mengambil jalan dari Koeitjioe ini terutama mengambil jalan pegunu- ngan yang jauh dan sulit hingga dia mesti mampir di sini? Bukankah dia juga tuan puteri palsu? Hanya, kalau dikata palsu, suami isteri ini nampaknya benar-benar agung..." Maka itu, pusing Sin Tjoe memikirkannya. Priya yang dipanggil hoema itu kelihatannya rada bersangsi. "Sebenarnya kami telah diantar oleh dua orang pandai, hanya dengan mereka itu ka mi berpisah di tengah jalan," berkata dia kemudian. "Lama kami menantikan mereka , tidak juga mereka kunjung tiba, dari itu terpaksa kami lantas berangkat terleb ih dulu." "Kalau begitu, tidak dapat kongtjoe dan hoema berangkat sendiri," berkata si orang aneh, "Baiklah siauw ong saja yang mengiringi pengantar. Baiklah surat kepercayaan dan barang hadiah diserahkan dia yang bawa. Dia ada se orang gagah yang kenamaan, ilmu silatnya tinggi, orangnya pun jujur dan setia, k arenanya hoema boleh tidak usah menguatirkan apa-apa lagi." Hoema itu menggeleng kepala. "Tidak usah," bilangnya. "Tentang surat kepercayaan dan barang hadiah itu, semua telah diserahkan kepada dua orang pengantar kami itu. K ami berjalan dengan tubuh kosong, kami tidak kuatirkan apa juga. Umpama kata di tengah jalan ada gangguan segala kurcaci, rasanya dapat aku melayani mereka!" Orang asing itu tertawa. "Hoema pandai surat dan silat, siauw ong memang sangat mengagumi kau," katanya, "Beda dengan kongtjoe, seorang tuan puter i yang lemah lembut hingga kaget saja tidak dapat kongtjoe mendapatkannya. Oh, y a, hoema barusan menyebutkan kedua orang pandai yang menjadi pengantar, bukankah mereka ada dua saudagar bangsa India yang mukanya masing-masing hitam dan putih , ialah kedua saudara kembar yang dipanggil Hek Pek Moko?" Hoema itu nampaknya heran. "Mengapa ongya ketahui mereka itu?" ia balik bertanya. "Mereka pernah mengirim satu muridnya datang ke mari, siauw ong kurang percaya," sabut orang aneh itu. "Kiranya benar-benar mereka adanya." "Mana dia muridnya Hek Pek Moko itu?" si hoema tanya. "Dia ada di sini..." Sembari menyahuti, si orang aneh meng-hampirkan Siauw Houwtjoe, yang ia tarik dari antara murid-muridnya. Sin Tjoe bermata celi, dia mendapat tahu orang aneh itu telah menggunai ilmu tot okan yang luar biasa untuk membebaskan si bocah, hanya sementara itu, sembari me ncekal tangan orang dia sebenarnya memencet nadi. Siauw Houwtjoe bergidik, dengan jinak dia mengikuti orang aneh itu. " Sin Tjoe heran menyaksikan bocah itu demikian jinak. "Siauw Houwtjoe beradat keras dan berani, biar nadinya dipen cet, tidak selayaknya ia jinak begini?" ia berpikir. Maka ia mengawasi terus. Siauw Houwtjoe tetap jinak dan si orang aneh memperlihatkan kedua matanya yang bersinar sangat tajam dan berpengaruh menatap bocah itu. "Bukankah kau datang bersama kedua gurumu, Hek Soehoe dan Pek Soehoe itu?" tanya si orang aneh. "Benar," Siauw Houwtjoe menjawab. "Kau datang ke mari mencari gurumu, benarkah?" tanya pula si orang aneh. "Benar, tidak salah," jawab pula Siauw Houwtjoe. Ia seperti terpengaruh tetapi i a dapat menjawab rapi. "Eh, Siauw Houwtjoe, apakah kau masih kenali kami?" si hoema turut bertanya. Siauw Houwtjoe menjublak mengawasi hoema dan kongtjoe itu, ia rupanya mengingat secara samar-samar saja. Si orang aneh tertawa. "Ingatannya anak kecil kurang kuat," ia bilang. "Berapa kalikah hoema pernah bertemu sama Siauw Houwtjoe?" "Heran!" berkata hoema itu. "Ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Kalim- pong, dia nampaknya sangat cerdik." "Setibanya di sini, karena udara tidak cocok, dia lantas dapat sakit," berkata s i ongya , "Sudah beberapa hari dia jatuh sakit, baharu sekarang dia sembuh sedik it." Dia lantas menepuk-nepuk tangannya dan berkata nyaring: "Undang Bong Goan T joe datang ke mari!" Titah itu rupanya ada yang lakukan, maka sebentar saja dari dalam terlihat munculnya satu orang dengan dandanan sebagai bangsa Biauw. Dialah itu o rang yang di rumah touwsoe telah memale Siauw Houwtjoe, yang kemudian ditinggal lari Siauw Houwtjoe dan Sin Tjoe sehabisnya di a dihajar roboh. "Siauw Houwtjoe, apakah kau masih kenali orang ini?" si orang aneh tanya sambil menunjuk Bong Goan Tjoe. "Aku ingat," sahut Siauw Houwtjoe. "Tadi malam kita masih ada bersama." Si orang aneh menghadapi hoema, lalu sambil menunjuk Bong Goan Tjoe, dia kata: " Ini orang bersahabat kenal dengan Hek Pek Moko. Hek Pek Moko itu lagi beberapa h ari bakal datang ke mari. Umpama kata hoema ingin cepat-cepat be- rangkat, boleh siauw ong menitahkan Bong Goan Tjoe yang mengantarkan, biar Hek P ek Moko menyusul belakangan." Setelah melihat Siauw Houwtjoe, hoema itu nampaknya mulai percaya si ongya. Ia mengangguk. "Baiklah kalau begitu!" katanya. "Bagus!" kata si ongya pula. "Sekarang mari siauw ong memberi perjamuan selamat berpisah kepada kongtjoe dan hoema1." Ia lantas menuangi arak ke dalam cawa n kumala putih, araknya berwarna hijau. Lebih dulu ia menyuguhkan kepada hoem a. Itulah arak Biauw yang dicampuri obat pengacau asabat. Hoema itu menyambuti cawan itu, yang ia terus antar ke mulutnya. Baharu pinggi- ran cangkir nempel pada bibir, atau satu sinar kuning emas berkelebat, segera terdengar suara nyaring dari pecahnya cangkir. Sebab cangkir di tangan hoema itu pecah terbelah empat, terlepas dari tangan, mental jauh. Berbareng dengan itu t erdengar juga suara nyaring tetapi halus: "Arak itu ada racunnya! Binatang ini b ukannya orang baik-baik!" Itulah Sin Tjoe, yang telah menimpuk dengan kimhoa, bunga emasnya. Selama itu di samping memasang mata dan kuning, ia pun sudah kumpul semangatnya, ia empos itu . Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil ia membebaskan diri dari totokannya si orang aneh. Tentu sekali, kejadi an ini ada di luar dugaan mayat hidup itu. Malah saatnya pun sangat tepat, hingga Sin Tjoe bisa menolong si hoema tanpa o rang aneh itu dapat mencegah. Setelah itu Sin Tjoe berlompat maju dan dengan pedangnya ia serang pula si mayat hidup. Ia ada sangat berani. Orang aneh itu menggeraki tangannya, dari dalam tangan bajunya lantas menghembus pula bau aneh yang tadi menyerang hidungnya si nona. Tapi sekarang Sin Tjoe dap at menahan napas, dia pun menahas tangan baju orang. Dengan berpaling cepat, ia melepaskan napasnya yang tertahan itu. "Lepas pedangmu!" tiba-tiba si mayat hidup berseru. Sin Tjoe merasakan tenaga kuat sekali menekan pedangnya. Ia dapatkan orang aneh itu telah menjepit dan menekan pedangnya dengan sepasang sumpit yang dia dengan sebat telah samber dari atas meja, dengan itu dia menangk is serangan membarengi menjepit. Pasti sekali Sin Tjoe kalah tenaga hingga ia ti dak berdaya. "Jangan takut, entjie Sin Tjoe!" Siauw Houwtjoe berteriak. "Aku akan bantui kau! " Juga bocah ini sadar akan dirinya, malah kata-katanya disusuli serangannya, deng an begitu "Buk!" si orang aneh kena terhajar kepalan Liongkoen. Tapi serangan in i tidak mengenai seluruhnya, sebab dari samping Bong Goan Tjoe sudah menyambar t angan orang. Bong Goan Tjoe telah kena orang hajar, dia bersakit hati, maka itu sekarang dia turun tangan tidak kepalang tanggung, hendak dia membikin remuk tulang orang, hingga Siauw Houwtjoe merasakan tangannya sakit tidak terkira. Ta pi ia bandal, ia menahan sakit, tidak sudi ia menjerit kesakitan. Menyaksikan kejadian itu, si hoema mengke-rutkan keningnya. Di saat ia hendak pe rdengarkan suaranya, mendadak dari pintu luar terdengar suara tertawa yang luar biasa yang disusul seruan: "Siapa berani menghina muridku!" Tertawa dan seruan itu segera disusul pula sama suara hebat bagaikan guntur, yan g disusul lagi dengan gempur robohnya daun pintu, yang mendatangkan angin sampai api lilin tertiup bergoyang-goyang. Orang menjadi kaget, apapula setelah itu segera mereka melihat munculnya dua ora ng yang romannya keren sekali, ialah Hek Pek Moko, dua saudara kembar yang mukan ya hitam dan putih itu, malah lagu suaranya sama juga. Bong Goan Tjoe terperanjat, ia segera melepaskan cekalannya. Tapi ia sudah terla mbat, serangannya Hek Moko telah tiba tanpa dia sanggup menangkis atau berkelit dari itu. Tidak ampun lagi dia kena terhajar hebat sampai tubuhnya terlempar ke meja panjang di atas mana ada banyak rupa barang makanan. Kaget jatuhnya tubuh, sebuah kaki meja tidak dapat menahannya, meja itu turut ambruk b ersama, piring mangkoknya pada pecah dan hancur, bekas ketindihan dan jatuh belarakan, menambahkan berisik. Hek Moko sudah lantas tertawa berkakakan. "Beginilah Liongkoen harus digunakan, baharu tenaganya cukup besar!" ia kata, su aranya nyaring, "Siauw Houwtjoe, kau lihat tegas-tegas! Aku hendak mengajarkan pula kepadamu!" Tangannya si hitam ini segera terayun pula, terayun dengan memperdengarkan suara anginnya. Kepalan itu melayang ke arah si orang aneh yang terpisah cukup jauh d engan penyerang ini, sasarannya adalah muka orang. Berbareng dengan itu, Sin Tjoe merasakan pedangnya enteng. Itulah sebab dua bata ng sumpitnya si orang aneh, yang dipakai menjepit pedang, telah kena dibikin patah oleh sampokan ujung baju Hek Moko. Si orang aneh kaget dan cemas. Untuk menangkis, ia menyamber dua muridnya yang b erada paling dekat dengannya, dia angkat tubuh orang, untuk dipakai sebagai tame ng. Kedua murid itu kalah pandai daripada Bong Goan Tjoe, pasti mereka tidak berdaya . Masih beruntung untuk mereka, Hek Moko tidak gunai seantero tenaganya setelah ia lihat kelicikan si orang aneh. Kesudahannya mereka terhajar terpental, yang satu patah tulang rusuknya, yang lain patah lengannya, keduanya rebah di lantai sambil merintih. Kejadian itu membikin ciut hatinya murid-murid lainnya dari orang aneh itu, bany ak yang menyingkir, kuatir nanti digunai gurunya sebagai tameng lagi. "Hek Pek Moko, jikalau mau bicara, bicaralah dengan baik!" berseru si orang aneh . "Ada bicara baik apa!" menjawab Pek Moko. "Kepalanku ini masih belum laku! Eh, S iauw Houwtjoe, kau lupa atau tidak ilmu silatmu Loohan Koen?" dia menanya muridn ya. Murid itu berjengit. "Soehoe, tanganku ini tidak dapat digunai," dia menjawab. "Ngaco!" bentak Pek Moko. "Kenapa tidak dapat digunai?" Dia menghampirkan, dia j ambret tangan yang sakit dari muridnya itu, setelah menekan, dia menarik pelahan - pelahan. Cuma sekejap itu saja, lenyap rasa sakitnya Siauw Hou Tjoe. "Bagus!" berseru pula Pek Moko, si guru. "Dia membikin luka lenganmu, sekarang kau hajar dia sepuluh kali!" Bong Goan Tjoe lagi merayap bangun ketika Siauw Houwtjoe, yang menghampirkan pad anya, sudah melayangkan sebuah kepalannya, maka tidak ampun lagi, dia terhuyung beberapa tindak, hampir dia terguling. Dia terluka hingga kulitnya pecah. Hek Pek Moko tertawa berbareng. "Bagus!" mereka membentak. "Sekarang kau, hantu bangkotan, mari kau rasai kepala nku!" Dengan berbareng dua saudara kembar itu berlompat kepada si orang aneh, kepalan mereka menyambar. Orang itu menjambret meja batu marmer, dengan itu ia menangkis . Maka hancurlah batu marmer itu. "Soehoe, jangan sembrono!" si hoema berteriak, kepada kedua pengantarnya. "Apa?" kedua Moko berpaling dan menanya. "Kamu mengundang kami untuk mengantar k amu, kenapa sekarang kamu melarang kami menghajar orang?" "Dialah seorang raja Hoan!" hoema menyahuti. "Raja apa!" berseru Hek Moko, tertawa. "Dia ini adalah Poan Thian Lo si silum an dari Ouwbong San. Dia sekarang lagi main gila di sini!" Lantas dua saudara kembar itu maju pula. "Hek Pek Moko!" berkata si orang aneh. "Aku bermaksud baik mengajak kamu berda-m ai! Apakah kamu sangka aku jeri terhadapmu?" Dia lantas meraba ke pinggangnya, maka di lain saat dia telah mencekal serupa senjata yang aneh. Senjata itu mirip dengan djoanpian, ruyung lemas, akan tetapi seputar badannya penuh duri bagaikan gergaji. Sebab itu adalah kiesit pian, ruyung lemas bergigi. Itulah senjata yang cuma dapat digunai partai persilatan Tjie Hee Toodjin dari Ouwbong San, keistimewaannya ialah melibat merampas senjata lawan serta menghajar pecah siapa yang tubuhnya kebal, yang tidak mempan senjata . Kedua Moko tertawa lebar melihat senjata itu. "Lihat, senjata mustikanya Ouwbong San telah dikeluarkan!" mereka berseru. "Kamu ada punya cambuk mustika, kami juga ada punya tongkat seru pa! Sekarang kami ingin saksikan, cambuk atau tongkat yang terlebih liehay!" Hek Moko sudah lantas menarik tongkatnya, Lekgiok thung, dan Pek Moko, Pekgiok t hung, masing-masing tongkat hijau dan putih mengkilap, bila diputar keras, kedua nya dapat mengeluarkan suara nyaring berirama. Poan Thian Lo melihat dan mendengar suara senjata lawan itu, dia bergidik sendir inya, tetapi terpaksa dia lantas melayani berkelahi. Oleh karena mereka sama-sam a kosen, lekas sekali mereka sudah bertempur sekira dua puluh jurus. Hanya hebat kedua tongkat dari saudara kembar itu. Dulu hari melawan Thio Tan Hong, tongkat itu membuat Tan Hong kewalahan sebab pedang Tjengbeng kiam tidak dapat merusakn ya, maka juga sekarang, senjatanya si orang aneh sudah lantas saja menjadi gompal! Hebat Hek Pek Moko, dengan pelahan- pelahan, dengan teratur, mereka mulai mendesak, kedua tongkat mustika mereka seperti menjadi satu. Ruyung lemasnya Poan Thian Lo panjang setombak lima kaki, kalau itu digunai, dip utar, senjata itu seperti dapat menyamber dua lipat jauhnya, biasanya tidak ada orang yang berani menghampirkan dia sampai dekat, akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, bukan saja dalam hal ilmu silat dia kalah, mengadu senjata pun dia keteter, dari itu kalangan pembelaan dirinya semakin lama jadi semakin ciut. Agaknya segera p ertempuran itu akan sampai di achirnya. "Eh, Siauw Houwtjoe!" tiba-tiba Sin Tjoe berseru. "Kenapa kau diam saja?" Pek Moko dapat dengar pertanyaan itu, ia heran, hingga ia lantas berpaling kepad a muridnya. Ia menjadi bertambah heran. Ia dapatkan Siauw Houwtjoe berdiri diam di hadapannya Bong Goat Tjoe, matanya mendelong, kedua tangannya dikasi turun. D i lain pihak Bong Goan Tjoe dengan matanya yang tajam terus menatap bocah itu, t idak pernah dia menoleh ke kiri dan kanan. "Siauw Houwtjoe, kau mesti turut perkataanku!" demikian Bong Goan Tjoe berkata s uaranya bengis. Menampak itu dengan mendadak guru yang putih itu berlompat keluar dari kalangannya mengepung Poan Thian Lo, dia berlompat kepada muridnya. "Siauw Houwtjoe, kau kenapa?" dia berseru dengan pertanyaannya. "Apakah kau suda h lupa ilmu silat Loohan Ngoheng Koen yang aku ajari padamu?" Sin Tjoe berteriak kepada orang India itu: "Siauw Houwtjoe telah kena makan obat jahat dari mereka hingga urat sarafnya terganggu!" "Oh begitu!" seru Pek Moko. Lantas dia tarik tangan muridnya, terus dia tepuk em bun-embunannya, beboko-ngnya dan rusuknya yang kiri, beruntun tiga kali. Habis i tu ia berseru menyuruh: "Lekas kau hajar dia! Dialah orang jahat!" Itulah cara mengobatinya Pek Moko menurut ilmu yoga, untuk menolong siapa y ang urat sarafnya terganggu hingga dia menjadi pelupaan. Pengobatan itu sangat musta jab, Siauw Houwtjoe sudah lantas sadar, hingga bagaikan satu manusia baru, dia s egera ingat segala apa seperti sediakala. Bagaikan berbayang di depan matanya, i a ingat baik-baik bagaimana Bong Goan Tjoe telah perlakukan padanya. Tentu sekal i ingatan itu membangkitkan hawa amarahnya, maka juga tanpa Sin Tjoe mente-riaki nya lagi, seperti harimau ganas, dia berlompat kepada Bong Goan Tjoe, untuk meny erang pula tanpa mengucapkan sepatah kata, malah terus ia menyerang saling susul dengan Loohan Ngoheng Koen, ialah ilmu silat Naga, Harimau, Macan Tutul, Burung Hoo dan Ular. Tadi diserang Hek Pek Moko, kepandaiannya Bong Goan Tjoe telah lenyap separuh-ny a, sekarang dia dirabuh si bocah, dia menjadi kewalahan, dia tidak sanggup melay ani lama-lama. Maka lewat lagi sekian lama dia sudah roboh di lantai, kulit dan dagingnya pada pecah dan hancur, urat-uratnya putus, tulang-tulangnya patah, den gan napas empas-empis, dengan tubuh berlumuran darah, ia rebah tanpa mampu merayap bangun lagi! Selama Pek Moko menolongi muridnya, Hek Moko mesti menyerang Poan Thian Lo seora ng diri, dengan begitu Poan Thian Lo menjadi seperti dapat napas separuh, tetapi di bawah desakan orang India ini, dia tetap keteter, dia tetap kena didesak. Sudah begitu, segera Pek Moko datang pula dengan tongkat putihnya, saki ng terdesak, dia sampai tak malu-malu untuk berkaok-kaok... Dua-dua Moko tertawa lebar. "Baiklah!" berkata mereka. "Aku mengasi ketika untuk kau memanggil bala bantuan! " Lantas mereka tancap tongkat mereka, mata mereka memandang ke kiri dan kanan. Menyusul kaokannya Poan Thian Lo itu di ruang besar itu sudah lantas muncul dua orang aneh lain! *** Dua orang yang baharu datang itu masing-masing mengenakan baju kuning yang panja ng, rambut mereka digubat, sudah hidung mereka mancung, mata mereka celong. Tapi yang aneh adalah, di samping pakaian mereka yang berseragam itu, rupa mereka pun sangat mirip satu dengan lain, kecuali, yang satu hilang ku ping kirinya, yang kanan lenyap kuping kanannya. Di dalam ruang itu orang sudah heran melihat Hek Pek Moko si saudara kembar, sek arang itu ditambah dengan keheranannya atas dua orang baru ini. Benar-benar duni a aneh, dalam sekejap, di sini muncul dua pasang saudara kembar. Akan tetapi dua orang aneh ini dikenal oleh Hek Pek Moko, juga oleh Sin Tjoe dan si bocah, malah mereka pernah dilukai dengan panah oleh kedua saudara Moko itu. Mereka dilukai pada tahun yang lalu di gunung Tongteng san di telaga Thayouw. Sebab merekalah itu dua saudara kembar bangsa Arab, Ismet dan Achmad. Melihat mereka itu, mulanya Hek Pek Moko tercengang, lalu segera mereka tertawa lebar. Lekas-lekas mereka merangkap kedua tangan mereka untuk memberi hormat. "Saudara-saudara, sungguh kamu memegang kepercayaan!" kata Hek Moko. "Tapi sekar ang ini untuk sampai kepada janji satu tahun masih kurang tiga hari!" "Hm!" Ismet bersuara seraya ia membalas hormat. Tapi ia tidak melayani orang bic ara hanya lebih dulu dia berpaling kepada si wanita asing yang cantik, untuk mem bungkuk memberi hormat dari mulutnya terdengar kata-kata yang tidak di mengerti Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe dan yang lainnya, malah Hek Pek Moko juga mengarti tak sepe nuhnya. Habis mendengar perkataan orang, wanita cantik itu meng-kerutkan keningnya, d ujung matanya lantas terlihat air m engem-beng, parasnya turut berubah pias, akan kemudian dia menjadi tak wajar lag i. Ismet bersikap semakin menghormat, tetapi di samping itu, ia masih berkata-kata tak hentinya. Sin Tjoe sangat heran hingga ia berpikir: "Ismet dan Achmad ada kosen sekali, me reka sekarang berlaku begini hormat terhadap ini wanita asing, terang benarlah i a ada seorang wanita agung, satu tuan puteri. Hanya, kenapa mereka ini ada sangk utannya sama Hek Pek Moko dan ini orang aneh dari benteng tua ini?" Sin Tjoe tidak mengarti tetapi dugaannya itu tidak meleset. Wanita cantik itu memang ada puterinya raja Iran, suaminya ialah itu priya yang berdiri di dampingnya, yang romannya separuh orang Tionghoa dan separuh orang Ar ab. Sebenarnya dia adalah seorang dari suku bangsa Pek dari Tali, namanya Toan T eng Tjhong. Untuk negara Tali itu. Keluarga Toan adalah keluarga besar dan kenam aan. Semenjak sebelum kerajaan Song, keluarga itu menjadi raja turun temurun. Ad alah sejak kerajaan Goan memus-nakan negara Tali itu, turunan keluarga Toan diub ah kedudukannya dari raja menjadi " pengtjiang" yaitu kedudukan perdana menteri. Toan Kong itu pandai bekerja, dia dapat mendirikan jasa di Tali melebihkan leluh urnya, hingga penduduk propinsi Inlam dalam mana Tali berada, memuji tinggi pada nya. Dan Toan Teng Tjhong ini adalah generasi yang ke tujuh. Ketika dulu hari te ntera Mongolia menerjang ke Eropah, Asia dan Afrika, ada satu puteranya Toan Kong yang menjadi perwira dan turut dalam angkatan perang itu. Kemudian, setelah kerajaan Goan runtuh, keluarga putera Toan Kong itu berdiam terus di Iran (Persi a) dan turun temurun menikah sama wanita Iran. Karena keluarga Toan ada keluarga orang peperangan, mereka pandai ilmu silat pedang. Demikian Toan Teng Tjhong in i, yang di masa mudanya telah menjadi ahli pedang nomor satu untuk seluruh Iran, hingga raja Iran undang dia m enjadi guru silat pedang, hingga karenanya dia dicintai puteri Iran itu. Untuk b eberapa tahun mereka berasmara secara diam-diam. Kemudian baharulah raja Iran me ndengar selentingan. Ia tidak setujui perjodohan itu, sebabnya ialah keagungan raja, tak pantas puteri menikah sama satu guru silat pedang. Raja itu ada kakaknya puteri, ia lantas mendesak adiknya menikah sama lain pemuda. Puteri tidak setuju, dia menjadi nekat, dia mi nggat bersama Toan Teng Tjhong. Di waktu pergi, puteri itu membawa banyak barang berharga dari istana. Raja menjadi gusar sekali, perintah dikeluarkan akan cari puteri itu. Dua saudara Ismet dan Achmad berkedudukan sebagai guru neg ara, merekalah yang diutus pergi mencari, dibebankan tanggungan mesti dapat mena wan dan membawa pulang sepasang merpati yang terbang kabur itu. Toan Teng Tjhong merasa ia tidak sanggu p melawan kedua guru negara itu, ketika dia dan puteri lari sampai di India, den gan perantaraan orang, ia minta bantuannya Hek Pek Moko. Mereka ini menerima bai k permintaan tolong itu. Sebagai saudagar-saudagar barang permata, dua saudara M oko biasa mengitari seluruh India, Iran dan Tiongkok. Isteri mereka pun orang ba ngsa Iran. Maka itu, mereka mengantarkan Toan Teng Tjhong dan sang puteri ke Tio ngkok. Ismet dan Achmad telah menyusul puteri sampai di India, di Kalimpong mereka bertemu sama Hek Pek Moko, kedua pihak bertempur seruh tanpa ada yang kalah atau menang. Tidak berhasil Ismet dan Achmad mendapatkan tuan puterinya. Hek Pek Moko berhasil menyembunyikan puteri itu di rumah seorang saha batnya bangsa India juga, mereka sendiri menyingkir guna menyesatkan kedua orang Iran itu. Mereka ini menyusul terus menerus hingga ke Tiongkok. Hal ini membuat dua saudara Moko itu sangat mendongkol, hingga mereka pernah memikir meminta ba ntuannya Thio Tan Hong untuk menghajar dua orang itu, agar keduanya kapok dan ka bur. Ketika mereka tiba di Tongteng san, Thayouw, Thio Tan Hong sudah berlalu dari gunung di tengah telaga itu dan p indah ke Inlam. Di Tongteng san, Hek Pek Moko bertemu sama Sin Tjoe, maka mereka lantas pinjam panah pusaka dari Thio Soe Seng, dengan tiga batang panah itu mer eka berhasil meluka-kan Ismet dan Achmad, yang kena dipukul mundur. Karena luka itu, satu tahun lamanya dua jago Iran itu mesti memelihara diri untuk mempulihka n kesehatannya. Dari gunung Tongteng san, Hek Pek Moko kembali ke India, untuk menyambut tuan pu teri dan Toan Teng Tjhong berangkat ke Tiongkok. Puteri itu suka pergi ke Tiongk ok karena ia sekalian mempunyai suatu maksud. Mongolia itu semenjak Perdana Menteri Vasian(Essen) bangkit pula kembali telah menjadi kuat. Yasian telah membantu Tot o Puhwa membangun negara Watzu, hingga dalam peperangan di Tobokpo hampir dia dapat memusnakan Tio ngkok, Kemudian dari itu Yasian sendiri kena dibasmi oleh suatu suku lain bangsa Mongolia, akan tetapi putera Toto Puhwa dapat bangun lagi. Dia inilah yang peme rintah Beng sebut " siauw ong tjoe" atau "raja kecil". Siauw ong-tjoe ini menjad i kuat pelahan-pelahan, pengaruhnya sampai di Asia Tengah hingga hampir berhubun gan sama Persia. Persia itu dulu pernah diilas-ilas bangsa Mongolia, maka juga k alau mereka mendengar disebutnya "Bahaya Kuning," mereka jeri sekali. Maka itu w alaupun puteri Iran (Persia) itu lari dari negaranya, dia tetap masih memikirkan keselamatan negaran ya. Dari itu dengan kedudukan sebagai puteri Iran, ingin ia berkunjung ke Pakkhi a untuk menghadap kaisar Tiongkok, untuk mencoba mengadakan persahabatan di antara Iran dan Tiongkok, mak sudnya ialah untuk menjaga diri dari ancaman bangsa Tartar (ialah siauw ongtjoe itu). Yang dimaksudkan Tartar di sini adalah pemimpin bangsa Watzu, yang disebut nya "khan Tartar." Puteri itu berminat demikian, ia tapinya belum ketahui keadaan yang sebenarnya d ari kerajaan Beng, yang kusut di dalamnya. Toan Teng Tjhong pun ada sama tidak m engetahuinya, karena ia, semenjak beberapa turunan, berada di luar negeri. Ia hanya ingin sekalian pulang ke Tiongkok denga n maksud serupa seperti isterinya, untuk dapat melakukan sesuatu guna kebaikan Tiongkok dan Iran. Di dalam tugasnya mengantar suami isteri bangsawan itu ke Pakkhia, Hek Pek Moko ada mengalami sedikit kesulitan, ialah mereka tidak berani berjalan sama-sama se cara berterang, mereka cuma dapat mengawasi secara sembunyi. Sebabnya ialah pada belasan tahun yang lalu, mereka pernah mencuri batu-batu permata di istananya pangeran Seng Tjin Ong di Pakkhia, sedang pergaulannya deng an Tan Hong, menyebabkan mereka juga dicari Kaisar Kie Tin yang telah kembali ke atas tachta kerajaannya. Sebenarnya mereka bukan takut dibekuk pemerintah, mereka han ya tidak ingin sebab urusan pribadi mereka nanti merembet-rembet puteri Iran dan Toan Teng Tjhong. Mulanya mereka berniat pergi dahulu ke Tali di Inlam, kesatu untuk mengunjungi Thio Tan Hong untuk mendamaikan sesuatu, kedua supaya Toan Ten g Tjhong dapat menengok kampung halamannya, apa mau di tengah jalan di tanah dat ar Koeitjioe itu kedua pihak berpencaran, hingga kesudahannya mereka mencari put eri Iran dan Toan Teng Tjhong itu di tempatnya Poan Thian Lo. Poan Thian Lo adalah murid kepala dari Tjie Hee Toodjin dari gunung Ouwbong San. Tjie Hee ada punya tiga murid tetapi murid kepala inilah yang paling pandai, cuma nama Poan Thian Lo tid ak tersohor secara umum disebabkan dia tidak pernah ke luar dari propinsi Koeitj ioe dan ia senantiasa melayani gurunya. Yang Tjong Hay adalah murid yang ketiga, ialah yang paling disayang gurunya maka itu ia mewariskan ilmu silat pedang Tje k Seng Kiamhoat dan di wilayah Barat daya ia menjagoi hingga namanya sama terken alnya seperti nama Thio Tan Hong. Bong Goan Tjoe ada murid yang nomor dua dan ia lah yang kepandaiannya paling lemah. Dua saudara Ismet dan Achmad itu, setelah mereka terluka panah oleh Hek Pek Moko , mereka sudah lantas pergi pada Poan Thian Lo, untuk memohon bantuan g una menghadapi pula musuhnya, yaitu kedua saudara Moko. Mereka dapat persetujuannya Poan Thian Lo. Maka itu mereka lantas mengatur rencana. Perjanjian mereka yaitu, Ismet dan Achmad cuma menghendaki membawa pulang puteri Iran ke ne gerinya, sedang Poan Thian Lo boleh dapatkan semua kekayaannya puteri itu. Poan Thian Lo mengatur rencananya sebab, biar bagaimana, ia jeri terhadap Hek Pek Mok o. Partai Tjek Seng Pay itu berpengaruh di propinsi Koeitjioe, maka juga Poan Thian Lo dapat bekerja dengan leluasa. Mulanya Poan Thian Lo mengirim sejumlah muridn ya me-megat puteri Iran itu di tengah jalan. Hal ini terjadi sebelum Hek Pek Mok o dapat menyusul puteri itu suami isteri. Di lain pihak Poan Thian Lo sendiri memimpin sejumlah orangnya pergi "menolongi" puteri Iran itu. Ia mengaku diri sebagai Hoan ong atau raja muda, maka ia dipan ggil pangeran. Setelah menolongi, ia sambut puteri itu serta suaminya ke bentengnya itu di mana ia melayani orang dengan cara hormat dan telaten sekali. Ketika pertama kali He k Pek Moko datang menyusul, mereka gagal, malah Siauw Houwtjoe kena ditawan. Ismet dan Achmad serta Poan Thian Lo memang jeri terhadap Hek Pek Moko, yang mer eka malui terutama ilmu yoganya, maka setelah Siauw Houwtjoe tertawan mereka, Po an Thian Lo hendak mengorek pelajaran yoga itu dari murid orang ini, tetapi Si auw Houwtjoe cerdik sekali, ia tidak kena dibujuk atau dipedayakan, karenanya oleh Poan Thian Lo dan Bong Goan Tjoe ia dikasi makan obat yang melemahkan urat sarafnya hingga ia jadi pelupaan dan tolol sekali, sesudah mana ia dinikahkan dengan puteri tou wsoe, puteri mana ada muridnya Bong Goan Tjoe dan touwsoe pun sudi menerima boca h itu sebagai baba mantunya. Itulah apa yang Sin Tjoe dapat menyaksikan di kamar pengantin. Hek Pek Moko tidak puas mendengar Ismet dan Achmad, Hek Moko lantas saja tertawa dingin dan menegur: "Tuan puterimu tidak suka pulang, perlu apa kamu masih meng oceh saja? Kalau kau lantas pulang, kau justeru masih dapat melindungi kedudukan mu sebagai guru negara! Ketahui olehmu, apabila kamu tetap tidak tahu gelagat, kami tidak n anti sudi berlaku sungkan lagi! Dulu kamu kehilangan kepandaianmu satu tahun, ka li ini bisa untuk beberapa tahun, dengan begitu, apakah kamu masih dapat mendudu ki kursi kebesaranmu?" Dua saudara itu merasa sangat terhina mereka sudah kena terpanah, sekarang merek a diperingati hal lukanya itu, yang meminta perawatan satu tahun, keduanya menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka menghunus golak mereka yang meleng kung model bulan sabit, maka di situ terlihatlah sinarnya kedua golok itu yang b erkilauan. Hek Pek Moko pun menggeraki tongkat mereka hingga terdengar suaranya yang nyaring. Maka itu kedua pihak sudah lantas bertempur. Cepat sekali belasan jurus telah dikasi lewat. "Sungguh golok yang bagus." Hek Moko memuji senjata lawannya, berbareng dengan m ana ia menyapu dengan tongkatnya, Lekgiok thung. Ismet membalas menyerang hingga tiga kali beruntun. Sin Tjoe telah menyaksikan dan delapan Nippon menggunai goloknya, sekarang ia lihat cara berkelahinya orang Iran ini, ia merasa orang ad a terlebih liehay. Ismet pun menyerang sambil berseru. Achmad menyontoh saudaranya, ia menyerang tidak kurang hebatnya, tetapi goloknya dihalau Pekgiok thung, tongkatn ya Pek Moko, maka habis itu, ia menjaga hingga senjata mereka tidak benterok pula. Demikian juga dengan Ismet. Tadi Hek Moko memuji lawannya tetapi benterokan senjata mereka merugikan Ismet, yang gigi goloknya pada patah, dari itu ia mendahului saudaranya berkelahi denga n menghindarkan peraduan senjata. Di dalam halnya tenaga, dua saudara Ismet dan Achmad itu merasa mereka kalah, di sebabkan tenaga dan keulatan mereka belum pulih anteronya, oleh karenanya, untuk dapat melawan, mereka mengandal kepada ilmu silat golok mereka. Hek Pek Moko juga berkelahi dengan sabar, daripada mendesak, mereka lebih banyak membela diri. Mereka mau menanti ketika. Meskipun demikian, hebatnya pertempuran tidak jadi berkurang. Semua orang menonton dengan kagum. Setelah lewat sekian lama, terlihat sinar hijau dari tongkat mengalahkan sinar p utih dari golok, melihat itu Siauw Houwtjoe sudah lantas berseru kegirangan: "Gu ruku menang!" Bocah ini tidak melihat keliru. Belum lagi seruannya berhenti, sudah terdengar s eruan hebat dari Ismet dan Achmad, lalu di luar tahu Sin Tjoe keduanya telah lom pat keluar dari gelanggang, menyingkir dari pengaruhnya tongkat, sesudah mana te rdengar Ismet bersumpah: "Hari ini aku bersumpah mesti membalas sakit hati panah dahulu hari!" Menyusul itu sebelah tangannya terayun! Semua orang lantas menampak sebuah sinar terang kuning emas meluncur, sinar yang keluar dari tiga bola yang pun memperden garkan suara me-ngaung. Ketiga bola itu menyambar ke arah Hek Moko. "Sungguh suatu senjata rahasia yang temberang!" Hek Moko tertawa setelah ia liha t serangan itu, "Eh, berapa banyak juga senjatamu ini, suka aku membelinya! Bera pa harga yang kau minta?" Dua saudara kembar India ini ada saudagar-saudagar barang permata, maka sifat da gangnya itu tidak gampang-gampang lenyap. "Aku kuatir kau tidak sanggup membelinya!" Ismet mengejek. Ia kembali menyerang dengan tiga bolanya, karena tiga yang pertama dapat dikelit musuhnya. Berbareng dengan itu, Acmad juga menyerang Pek Moko dengan tiga bola yang sama. Setelah menyaksikan senjata rahasia orang Iran itu, Sin Tjoe kata di dalam hati kecilnya: "Apakah yang aneh dari senjata ini? Sama saja dengan bunga emasku, yan g bisa menyerang jalan darah! Mana bisa senjata begini melukai Hek Pek Moko?" Dua saudara Moko itu telah menggunai tongkat mereka, mereka menyampok serangan h ingga senjata rahasia itu mental balik kepada lawannya masing- masing. Ismet dan Achmad memunahkan senjatanya itu sendiri dengan lain bola mereka, sesu dah itu mereka mengulangi serangan mereka, beruntun beberapa kali, hingga mereka telah membikin habis semuanya tiga puluh enam bola emas mereka. Bola-bola emas itu benterok satu deng an lain, hingga suaranya menjadi sangat nyaring dan berisik, berkumandang di tengah udara, hebat didengarnya, hati orang menjadi goncang, hingga orang lekas- lekas menekap kuping. "Kiranya suaranya bola ini begini berpengaruh..." berpikir pula Sin Tjoe. "Cuma suara ini pasti tidak bakal mempengaruhi mereka yang tenaga dalamnya tangguh." Memang juga perhatian Hek Pek Moko tak terganggu suara hebat itu. Mereka cuma re pot menangkis setiap bola, sebab Ismet dan Achmad memungut pula yang jatuh, buat dipakai menyerang lagi, atau menanggapi yang mental balik, yang terus dipakai menimpuk pula. Sekarang Sin Tjoe mengagumi bola emas itu. Sebab nyata setiap sasarannya adalah jalan darah yang berbahaya. "Entjie, lihat!" berkata Siauw Houwtjoe. Sin Tjoe tengah mengagumi senjata rahasia musuh, ia seperti tidak dengar suara b ocah itu. "Entjiel" Siauw Houwtjoe memanggil pula, terus hingga tiga kali. "Jangan berisik! Jangan berisik!" kata Sin Tjoe achirnya. "Aku lagi melihat!" Memang benar Nona Ie ini lagi memperhatikan cara menyerang dari Ismet dan Achmad itu, ia pikirkan cara itu untuk dipakai dengan bunga emasnya sendiri, kalau ia dapat meniru, bunga emas itu dapat dipakai menotok berbareng melukai karen a lembaran-lembaran bunganya tajam. "Itulah tidak aneh!" kata pula Siauw Houwtjoe. "Guruku terlebih liehay lagi! Kau lihat! Kau lihat!" Mau atau tidak, Sin Tjoe menjadi tertarik hatinya, maka ia lantas memasang mata terhadap Hek Pek Moko. Ia mendapatkan kedua sinar hijau dan putih dari dua sauda ra itu bersinar bundar sebagai roda, menutupi tubuh mereka itu, maka setiap kali bola emas menerjang, masuk ke dalam bundaran sinar, masuknya itu bagaikan kerbau tanah kecem-plung ke laut, tidak dapat keluar pula seperti tadi. Lalu tak berselang lama, kedua tongkat kedua saudara Moko itu tela h tergantungkan banyak bola emas dengan sinarnya kuning mengkilap. Semua bola emas itu tadi dapat mental balik, kesatu karena cara menyerangnya Ism et dan Achmad, dan kedua disebabkan dihajar mental oleh kedua lawannya. Tapi sekarang, semua bola itu tidak dihajar, hanya d isambuti sinar bundar seperti roda itu, sinar yang seperti merupakan jala perang kap, dibiarkan dapat masuk, tidak diijinkan keluar lagi. Sin Tjoe kagum hingga ia berdiri men-jublak. Ismet dan saudaranya hebat caranya menyerang, dan dua saudara Moko ini hebat kepandaiannya menyambuti itu. "Sekalipun nelayan menebar jala, masih ada ikannya yang molos," ia berpikir. "Ta pi dua saudara ini membuatnya bola emas bergantung di tongkat mereka... Sungguh hebat!" Tiba-tiba Sin Tjoe ingat kepandaian menggunai pedang dari suami isteri gurunya. "Sepasang pedang soehoe dan soebo liehay sekali apabila keduanya telah tergabung ," demikian pikirnya pula. "Pasti kepandaian soehoe dan soebo lebih liehay dari dua saudara Moko ini. Sayang ilmu pedang itu tidak dapat dipelajari satu orang s endiri, tidak demikian, apabila itu digabung dengan kepandaiannya Hek Pek Moko i ni, tentu senjata rahasia yang paling liehay di kolong langit ini dapat dipunahk an juga..." Girang Sin Tjoe dapat menyaksikan ini kepandaian dari Hek Pek Moko dan Ismet dan Achmad itu, ia dapat melihat kefaedahannya, yang ia hendak menela-dannya. Selam a sepuluh tahun ia mengikuti kedua gurunya, banyak pengetahuannya dan kecerdasannya bertambah, hingga ia gampang me ngarti, gampang menerima pelajaran. Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring dari Hek Pek Moko. "Pembicaraan dagang kita ini sudah dibicarakan putus jadi!" demikian mereka itu berseru. "Haha! Kiranya di kolong langit ini ada juga kejadian tanpa modal sepes er tetapi dapat kita memperoleh begini banyak emas kuning! Perdagangan serupa in i, seumur hidupnya satu manusia, satu kali juga sungguh sukar diketemukannya! Ya , kamu masih mempunyai berapa banyak emas lagi? Mari, ada berapa banyak juga kam i suka menerimanya!" Ismet dan Achmad berdiri bengong di dalam gelanggang itu. Mereka masih mempunyai sisa enam biji bola emasnya tetapi mereka tidak berani pakai itu untuk menyerang pula. Mereka cuma memegangi saja golok bulan sabit mereka. Poan Thian Lo menonton semenjak tadi, ia perhatikan pertempuran dan segala apa d i sekitarnya. Ia kagum untuk jalannya pertempuran, ia bercemas hati untuk kesuda hannya itu. Sudah ia tidak sanggup berbuat apa-apa, juga dua saudara kembar itu yang diharapkan bantuannya, gagal. Tapi ia ada sangat cerdik dan licik, maka juga tengah Ismet berdua berdiam saja dan kedu a saudara Moko bergurau, ia perdengarkan pekik yang aneh, tubuhnya lantas berlom pat ke arah Siauw Houwtjoe. Hebat akibat pekik dan gerakan Hoan ong palsu ini, bagaikan orang tersadar, Isme t dan Achmad segera bergerak pula, dengan memutar goloknya masing-masing, mereka menerjang pula Hek Pek Moko. Hebat adalah gerakannya Poan Thian Lo. Cambuknya yang luar biasa sudah lantas me nyambar ke arah si bocah, yang dia niat lilit. Sin Tjoe berada di damping Siauw Houwtjoe, ia sebenarnya gesit tetapi ia masih kalah sebat. Ia pun tidak menyangk a sama sekali atas serangan mendadak ini. Ketika ia menyabet dengan pedangnya, u jung cambuknya Poan Thian Lo sudah menyamber robek ujung bajunya si bocah. Tidak berhasil sean-teronya terhadap Siauw Houwtjoe, Poan Thian Lo memutar cambuknya yang istimewa terhadap dadanya Sin Tjo e, nona yang merintangi usahanya itu. Ia menyerang dengan jurusnya "Naga berbisa keluar dari sarangnya." Sin Tjoe menangkis serangan itu dengan sama kerasnya, maka itu kedua senjata ben terok hebat, hingga muncratlah lelatu apinya. Setelah benterok, cambuk itu tidak berhenti hanya masih mencoba melilit. Cambuk panjang setombak lebih, dengan begitu seperti juga si nona dirintangi jal annya di samping kiri atau kanan, sedang ujung cambuk mencari bajunya, untuk digaet dengan gigi-giginya cambuk yang istimewa itu. Dalam saat sangat terdesak maka terlihat- lah satu tubuh mencelat tinggi bagaikan terbang, membarengi mana sinar hijau dar i pedang pun berkelebat ke empat penjuru, diikuti dengan suara nyaring dari satu benterokan. "Bagus, ilmu pedang yang bagus!" berseru Poan Thian Lo. "Nah, sambutlah lagi!" Nyatalah Sin Tjoe dapat meloloskan diri dari cambuk dengan ia mencelat tinggi sa mbil tangannya membabat, maka pedangnya itu telah membabat habis gigi-gigi cambu knya si pangeran tetiron. Semua itu terjadi dengan sangat cepat. Dengan gerakannya ini yang luar biasa, Sin Tjoe telah mempergunakan banyak sekal i tenaganya. Dalam ilmu silat dan tenaga, ia kalah jauh dari Poan Thian Lo, siapa ada menangi Yang Tjong Hay sedikitnya satu lipat, maka itu ia bukanlah satu tandinga n. Bahwa ia sudah membuat perlawanan, itulah saking terpaksa, untuk melindungi S iauw Houwtjoe. Dan bahwa ia dapat membabat putus giginya cambuk, itu melulu kare na ia andalkan liehaynya Hian Kie Kiamhoat yang ia telah fahamkan itu dibantu sa ma tajamnya Tjengbeng kiam, pedang mustikanya itu. Segera datang pula sambaran cambuknya Poan Thian Lo, cepat dan berat. Sin Tjoe t erkejut. Itu waktu ia sudah lelah dan tela-pakan tangannya pun sakit. Meski ia d apat membabat, benterokan senjata buatnya tangannya tergetar dan sakit. Kalau se karang ia melayani keras dengan keras, ada kemungkinan pedangnya bakal terlepas dari cekalannya dan terlempar. Siauw Houwtjoe bukannya berdiam saja ketika tadi ia diserang Poan Thian Lo, ia s udah gunai kelincahannya untuk berkelit dengan menjatuhkan diri dan bergulingan, sesudah mana dengan gerakannya "Ikan gabus meletik," ia lantas berlompat bangun . Justeru itu, ia melihat bahaya mengancam si nona kawannya itu. "Entjie, jangan bingung, aku datang!" ia lantas berseru. "Mana kau dapat?" berseru Sin Tjoe dengan pertanyaannya, agaknya ia terperanjat. Ia baharu menanya atau ia dengar suara angin menyambar, sebab dengan berani bocah itu berlompat kepada musuh, yang ia serang dengan mend a- dak itu. Poan Thian Lo repot, karena ia lagi menyerang Sin Tjoe. Kalau ia menyerang terus , mesti ia kena dihajar bocah itu. Inilah ia tidak menghendakinya. Maka itu ia t arik cambuknya, untuk dipakai membela diri. Ketika ini digunai Sin Tjoe untuk menolong dirinya. Dengan pedang di depan dada, ia turun, untuk menaruh kaki. Tapi Poan Thian Lo benar-benar sebat, dia dapat m enyerang pula, ke arah jalan darah soankie hiat, setelah mana ujung cambuknya me nyambar terus ke arah Siauw Houwtjoe. Berbahaya sekali bocah itu, dalam halnya ilmu enteng tubuh, ia kalah dari Sin Tj oe, maka sulit untuk ia membebaskan diri. Si nona pun kaget bukan main, hatinya cemas. Adalah di saat sangat mengancam itu, tiba-tiba cambuk Poan Thian Lo mental nyam- ping. Di antara mereka lantas terlihat Hek Moko, yang sembari tertawa terbahak- bahak memuji si bocah: "Bagus, Siauw Houwtjoe! Pukulan Naga kau ini benar-benar ada ajaran gurumu!" Memang juga Siauw Houwtjoe menyerang dengan Liongkoen, pukulan Naganya itu, hanya sebab kalah tenaga, ia kena dibikin terpental lawanny a, ia justeru malu sendirinya, karena ia anggap gurunya itu menterta-wai padanya , ia dapatkan tubuh lawannya miring. Jadi ia telah kena menghajar musuh jago itu , meski tidak hebat. Sekarang baharulah ia tahu, gurunya memuji ia dengan sebenar-benarnya. Pertarungan berjalan terus. Hek Pek Moko telah mendesak Poan Thian Lo dan Ismet dan Achmad. Dua saudara ini, dengan mendapatkan bantuannya Poan Thian Lo, menjad i mendapat hati, hingga mereka sanggup membuat perlawanan dengan sama serunya. Poan Thian Lo tidak puas, maka tanpa memikir panjang lagi, ia memberikan tanda dengan siulannya, atas mana murid-muridnya di kedua pinggiran lantas menghunus s enjatanya masing-masing, semua meluruk untuk mengepung. Hek Moko melihat ancaman bahaya itu. "Sin Tjoe, kau lindungi tuan puteri, kau menerjang keluar!" ia teriaki si nona. "Marilah kita berlalu bersama-sama!" mengajak Toan Teng Tjhong. "Tidak!" menyahut Hek Moko. "Tidak dapat tidak, aku mesti menghajar dulu binatan g ini!" Sin Tjoe sudah lantas mendampingi puteri Iran itu, dengan pedang di tangan ia me nunjuki roman bengis. Puteri itu pun agung, ia tidak jadi kecil hati karena bahaya yang mengancam itu. Untuk beberapa tahun, ia pernah belajar silat di bawah pimpinan suaminya. Bahka n sambil bersenyum, ia kata pada suaminya itu: "Kau tidak usah pedulikan aku! Ap akah kau senang membiarkan satu bocah membantu kau menerjang?" Siauw Houwtjoe memang telah berpisah pula. Ia sudah lantas menghunus goloknya go lok Bianto yang ia cekal di tangan kiri, karena dengan ta- ngan kanannya ia bersilat dengan Loo Han Koen ajarannya Hek Pek Moko. Dengan gol ok itu ia bersilat dengan ilmu golok Ngohouw Toan-boen too. Ia berkelahi dengan bengis sekali hingga murid-muridnya Poan Thian Lo tidak berani merapatkan dia. S ayangnya untuk ia, ia masih belum cukup ulat. Maka kemudian ia kena dirintangi j uga oleh banyak musuh, yang bersenjatakan tombak. Tapi ia tidak kenal mundur, wa laupun sudah mandi keringat, ia bertempur terus. "Sungguh, tidak kecewa dia menjadi puteranya Thio Hong Hoe!" Sin Tjoe memuji deg an kekaguman menyaksikan kegagahan orang. Toan Teng Tjhong telah menerima baik anjuran isterinya, begitu ia menghunus pedangnya, begitu ia lompat maju menerjang. Dan begitu lekas juga, beberapa musu h roboh di ujung pedangnya. "Dengan baik hati aku melayani kau, kenapa kau melukai pengi kut-pengikutku?" Poan Thian Lo menegur. "Terima kasih, Hoan ong\" menjawab Teng Tjhong. "Kalau benar Hoan ong bermaksud baik, mengapa kau tidak membubarkan sekalian pengiringmu ini? Kena pa kau merintangi kami? Tentang kebaikanmu, nanti saja setibany a kami di Pakkhia, kami melaporkannya kepada sri baginda raja!" Teng Tjhong bicara dengan bahasa Tionghoa yang kaku, maka kata-katanya ini yang bersifat menyindir terasa lebih menusuk kuping, dari itu, Poan Thian Lo menjadi gusar bukan main. Tapi ia mesti mendongkol saja, untuk menghampirkan orang dan menyerangnya, ia tidak sang gup. Kedua tongkatnya Hek Pek Moko tetap tengah mengurung padanya. Toan Teng Tjhong tersohor sebagai ahli pedang nomor satu di Iran, ia merangkap k edua kepandaian Timur dan Barat, ia menjadi hebat sekali. Sebentar kemudian, lag i beberapa orang roboh sebagai kurban pedangnya. San Tjoe dapat lihat orang menggunai pedang dengan jarang sekali menyabet, selalu dengan menikam, maka gerakannya Ten g Tjhong ada cepat sekali. Ia anggap ilmu silat orang ada baik sekali walaupun, ti dak dapat dibandingkan dengan Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari gurunya. Dalam pertempuran dahsyat itu, tiba-tiba terdengar mengaungnya senjata rahasia. Segera ternyata, itulah serangannya Bong Goan Tjoe, adik seperguruan dari Poan Thian Lo. Dia telah menggunai gelang perak di lengannya. Tapi dia menyerang dengan tubuhnya rebah di tanah. Tinjunya Hek M oko membikin dia tidak dapat merayap bangun. Meskipun dia tidak bisa jalan, tang annya masih dapat menggunai senjata rahasianya itu. Begitulah kedua tangannya menyerang dengan enam buah gel ang peraknya. Toan Teng Tjhong kaget sekali waktu tahu-tahu ada senjata rahasia yang menyambar ke arahnya. Ia lekas-lekas menangkis dengan pedangnya. Senjata rahasia itu kena terpukul, lalu mental. Celakanya, dengan mengasi dengar suaranya yang luar biasa, gelang itu mental nyambar puteri Iran. Tentu sekali, i a menjadi bertambah kaget. Di saat ia hendak berlompat, akan menolongi isterinya , mendadak tiga buah gelang yang lain menyambar pula ke arahnya. "Celaka!" ia mengeluh. Akan tetapi, tidak usah pangeran ini menangkis atau berkelit, enam buah gelang i tu telah runtuh sendirinya, jatuh ke tanah. Sebab Ie Sin Tjoe sudah menolongi di a menimpuknya hingga semua senjata rahasia itu jatuh. Dan caranya si nona menimp uk tepat menuruti caranya Ismet dan Achmad tadi! Bukan main gembiranya Sin Tjoe yang ia dapat meniru cara orang itu. Mengikuti ke gembiraannya itu, ia lantas gunai semuanya tujuh puluh dua biji bunga emasnya, untuk terus menyerang murid-muridnya Poan Thian Lo. Mereka itu berjumlah kira lima puluh orang, kecual i yang dirobohkan Toan Teng Tjhong dan Siauw Houwtjoe, masih ada sisa tiga puluh lebih orang dan mereka ini, semua roboh di tangannya si nona. Hingga ia cuma me nggunai tak ada separuh dari senjata rahasianya itu. Habis menyerang dengan cepat Sin Tjoe jalan mengitari kalangan, untuk memungut p ulang semua bunga emasnya itu. Pertempuran di antara Hek Pek Moko melawan musuh- musuhnya berlangsung terus, keadaan mereka kedua pihak agaknya berimbang. Maka juga, menyaksikan itu, Sin Tjoe tidak mendapat duga kapan akan achirnya itu. " Tjianp wee m a ri I a h kita berlalu!" achirnya Sin Tjoe menyerukan dua saudar a Moko itu, mengajak mengangkat kaki. Kedua saudara Moko itu tertawa bergelak, keduanya menyahuti dengan berbareng: "Inilah tandingan yang setimpal! Inilah pertandingan yang seumur hidupku mungkin sukar diketemukan meski juga satu kali saja! Maka itu baik kamu membiarkan kami bertempur sepuas-puasnya!" Kata-kata mereka ini di achirkan dengan satu tangkisan tergabung dari kedua tong kat hijau dan putih dan golok bengkung dari Ismet lantas saja terhajar terlepas mencelat ke atas. Akan tetapi Ismet benar-benar liehay, belum sampai datang serangan kepadanya, ia sudah mencelat me nyambuti goloknya itu, hingga bersama saudaranya dapat ia merapatkan diri untuk bertempur terlebih jauh. Kedua golok m ereka terus bergerak-gerak mengimbangi kedua tongkat, kadang- kadang mereka membalas menyerang juga. Poan Thian Lo adalah yang terendah ilmu silatnya akan tetapi dengan dapat bantua nnya dua saudara kembar yang menjadi kawannya itu, ia bisa bergerak dengan gesit untuk memberikan bantuannya mengepung dua saudara Moko itu. Hingga berlima mereka menjadi bertaru ng rapat sekali. Sin Tjoe mendapat perasaan sayang untuk tidak menyaksikan per- tempuran yang istimewa itu, akan tetapi kapan ia melihat cuaca, ia menginsafi pe rlunya mereka mengangkat kaki. Kalau umpama touwsoe mengirim bala bantuan, tentu lah sulit untuk mereka menyingkir. Dari itu di achirnya ia berseru kepada dua sa udara Moko itu: "Baiklah, kami akan menantikannya di selat selatan sana!" Di mana di situ sudah tidak ada lainnya musuh dengan merdeka Sin Tjoe beramai da pat menyingkir dari benteng itu. Sin Tjoe menarik tangannya si puteri, sedang To an Teng Tjhong mendahulukan mereka untuk mengambil kudanya yang bulu merah atas mana ia sudah terus menyem-plak, sedang tangannya menuntun seekor kuda lain yang sama warna bulunya. "Baik aku bersama Siauw Houwtjoe menaiki kuda ini," Toan Teng Tjhong bilang. "Ka u naiki itu kuda untuk sekalian melindungi tuan puteri." Kedua kuda ada kuda Persia kenamaan, larinya pesat, jalanan pegunungan yang sukar di jalani itu tidak menjadikan rint angan untuknya. Sebentar kemudian mereka sudah tiba di selat di sebelah selatan itu. Toan Teng Tjhong lompat turun dari kudanya. "Bagaimana kau lihat kedua ekor kuda ini?" sembari tertawa ia menanya Siauw Houwtjoe. "Jikalau kau suka kuda ini, lain hari boleh aku menghadiahkan padamu!" Sin Tjoe bersenyum. "Kedua kuda ini memang tidak dapat dicelah," menjawab si bocah, "hanya kalau mereka hendak diadu dengan kudanya entjie -ku, bedanya masih jauh sekali!" "Benarkah itu?" menanya Teng Tjhong kurang percaya. Belum lagi Siauw Houwtjoe menyahuti, Sin Tjoe sudah mengasi dengar siulannya yan g nyaring halus yang panjang, yang berkumandang di selat itu. Mendengar suara itu, Teng Tjhong terperanjat. "Leluhurku beberapa turunan pernah membilang hebatnya ilmu silat Tionghoa, sekar ang aku percaya kebenarannya itu," ia berkata kagum. "Sekalipun kau, nona, kau t elah mempunyai tenaga dalam yang liehay ini." Sin Tjoe tidak membilang suatu apa, ia cuma bersenyum, jawabannya tela h diwakilkan suara meringkik yang nyaring dan keras dan panjang, lalu tertampak lari mendatan ginya seekor kuda putih, lari pesat dan melompati beberapa solokan, akan sebentar saja tiba di hadapan mereka. Itulah Tjiauwya Say-tjoe ma, yang datang atas panggilan majikannya. Toan Tjeng Tjhong menghela napas. "Orang Eropah membilang Persia mempu-nyakan banyak mustika, aku bilang, Tiongkok kita, baharulah negara kaya raya," ia berkata. "Lihat saja, sekalipun kudanya p un begini istimewa!" Ie Sin Tjoe tertawa. Ia pondong puteri untuk dikasi turun dari kudanya. Puteri itu menyekal tangan orang erat-erat. "Terima kasih!" katanya dalam bahasa Tionghoa, yang sedikit-sedikit ia dapat pelajari dari suaminya. Suaranya itu kak u tetapi toh enak didengarnya. Sin Tjoe bersenyum. Lalu, dengan kata-kata Tionghoa yang ia tahu, dibantu sama gerakan tangannya, pu teri itu mencoba memasang omong dengan nona kita. Sin Tjoe menanyakan kenapa puteri ini datang ke Tiongkok. Tidak dapat puteri mem beri keterangan jelas, maka ia minta Teng Tjhong membantu bicara. Ia agaknya sen ang sekali dengan suami asingnya ini, karena memang ada biasa untuk wanita Persi a yang berbesar hati mempunyai kekasih, sedikitpun ia tidak malu atau likat. Sin Tjoe pun girang, ia gembira melihat suami isteri itu bicara sambil dicampur sama tanda-tanda dengan tangan, tetapi kemudian, ia masgul seora ng diri. Lain orang telah berpasangan, hidupnya berbahagia, tetapi ia sendiri, i a masib sebatang kara... Siauw Houwtjoe tidak dapat kawan bicara. Ia lari sana lari sini, akan mencari ke senangannya sendiri, ia pun sering menoleh ke arah dari mana tadi mereka datang. Lama rasanya sudah lewat, mendadak dia berseru: "Lihat, kedua guruku telah data ng. Kelihatannya mereka gembira sekali, pasti mereka telah peroleh kemenangan!" Dan ia lantas tertawa terbahak- bahak. Memang di sana terlihat Hek Pek Moko mendatangi dengan laratkan kuda mereka. Dar i jauh cambuk mereka itu telah dibulang-balingkan, kemudian terdengar suara tertawa mereka riang gembira. Sin Tjoe semua berpaling, lantas ia lari bersama Siauw Houwtjoe untuk mema-paki. Segera juga kedua saudara Moko telah sampai, keduanya lantas lompat turun dari kuda mereka. Mereka pun tertawa dengan gembira sekali. "Kali ini pertempuran baharulah mempuaskan sekali!" keduanya berseru. "Sudah belasan tahun yang kami belum pernah menemui tandingan seperti kali ini!" "Ceritakanlah, soehoe , untuk kami mendengarnya!" berkata Siauw Houwtjoe yang pu n girang luar biasa. Hek Moko menoleh kepada Sin Tjoe. "Pada sepuluh tahun yang lalu kami dua saudara pernah bertarung dengan gurumu su ami isteri," ia berkata. "Kami kena dikalahkan tetapi kami kalah dengan puas. Ka li ini kami bertempur, kami menang dan Ismet dan Achmad dua saudara juga kalah d engan puas juga!" "Dua saudara itu ada harganya untuk dijadikan sahabat!" berkata Pek Moko. "Cuma sayang mereka tidak berpandangan luas sebagai guru kamu nona, setelah kalah mereka lantas bersumpah akan pulang ke neg erinya untuk tidak mencampuri lagi segala urusan nganggur!" "Yang paling mempuaskan adalah Poan Thian Lo si jahanam itu!" berkata pula Hek M oko, "Dia kena kuhajar dengan tongkatku hing- ga tulang kakinya patah! Siauw Houwtjoe, kau pun boleh merasa puas!" "Kabarnya Poan Thian Lo itu bersama-sama Yang Tjong Hay ada murid-muridnya Tjie Hee Toodjin," berkata Sin Tjoe. Hek Pek Moko tertawa terbahak. "Habis Tjie Hee itu bagaimana?" tanya mereka. "Mustahilkah kami dan gurumu berdu a jeri terhadapnya? He, Siauw Houwtjoe, mengapa kau diam saja?" "Kepalaku sedikit pusing," menyahut murid itu. Hek Moko menyambar tangan orang untuk memeriksa nadinya. "Ah tidak beres!" katanya. "Dia telah kena makan obat pengganggu urat saraf, sesudah itu dia pun kena makan bisa yang diberikan oleh gadisnya touwsoe," Sin Tjoe memberitahukan. "Obat pengganggu urat saraf itu sudah dipunahkan," berkata Hek Mako. "Bagaimana dengan bisa itu?" "Turut apa yang aku dengar," Sin Tjoe memberi keterangan, "bangsa Biauw suka mem elihara pelbagai macam binatang berbisa mereka taruh semua binatang itu dalam se buah paso besar, semuanya dibiarkan saling membunuh hingga tinggal semacam binat ang yang hidup sendiri. Binatang itu ditumbuk dijadikan bubuk, bubuk itu dibikin menjadi semacam obat, jikalau itu dicampur dalam air teh atau di dalam sayur at au nasi dan dikasikan orang minum atau makan, di dalam waktu yang tertentu, umpa manya seratus hari atau satu tahun, bisa itu akan bekerja, dengan begitu celakalah si kurban kecuali dia ditolong oleh orang yang mera-cuninya sendiri." Pek Moko menjadi gusar sekali. "Kalau begitu mari kita kembali!" ia berseru. "Kita mesti ubrak-abrik rumahnya t ouwsoe itu dan paksa si wanita siluman mengeluarkan obat pemu-nahnya!" "Bukan, dia bukannya wanita siluman," Siauw Houwtjoe bilang, "Ketika itu hari ak u dilukai oleh Poan Thian Lo dan Bong Goan Tjoe, selama setengah bulan, aku dira wat nona itu." Sin Tjoe segera menaruh jari tangannya di mukanya. "Siauw Houwtjoe ada punya liangsim yang baik sekali," katanya, menggoda, "dia me nyayangi isterinya itu!..." "Siapa bilang dialah isteriku?" Siauw Houwtjoe membentak. "Bukankah kita telah membilangnya bahwa kami telah putus hub ungan?" "Eh, bagaimana duduknya hal ini?" Hek Pek Moko tanya heran. "Dia telah dipeda-yakan dan dinikahkan," berkata Sin Tjoe yang terus menuturkan duduknya hal. Tapi, ketika menutur sampai di bagian mengacau kamar pengantin, no na ini jengah sendirinya. Hek Pek Moko lantas tertawa lebar. "Jikalau menuruti adatku dulu-dulu, touwsoe itu mesti diubrak-abrik!" berkata He k Pek Moko kemudian, romannya sungguh-sungguh, "tetapi sejak aku bersahabat deng an gurumu itu, perangaiku dapat aku ubah banyak. Mendengar keterangan kau, rupanya gadis touwsoe itu juga dijadikan pekakasnya Po an Thian Lo, maka itu, tidak perlu kita mengganggu padanya. Aku tidak percaya di dalam dunia ini ada racun yang tidak dapat dipunahkan!" Hek Pek Moko pernah mengidarkan seluruh India, sudah merantau luas di Persia, Ti ongkok dan beberapa negara timur lainnya, mereka telah perhatikan pelbagai macam obat di negara-negara itu, lebih-lebih Hek Pek Moko, ia paling memperhatikan penyakit-penyakit yang aneh, i a jadi lebih mengarti daripada saudaranya itu. Maka ia lantas menyuruh Siauw Houwtjoe duduk bersila, terus ia memeriksa pula. Di achirnya ia tertawa. "Bisa ini benar "Bisa ini benar berbahaya tetapi dia tidak dapat mencelakai orang yang faham yog a," katanya. "Sin Tjoe, pergi kau lebih dahulu bersama tuan puteri, nanti aku be baskan Siauw Houwtjoe dari bisa yang menyerangnya, kemudian kita nanti menyusul kamu." Sin Tjoe menurut, maka ia lantas berlalu bersama puteri Iran. Hek Pek Moko juga sudah lantas bekerja, akan uruti Siauw Houwtjoe. Lekas sekali bocah ini merasakan hawa panas pindah dari tangan gurunya ke tubuhn ya sendiri, sudah panas, ia pun sampai bernapas memburu. "Mainkan napasmu," Hek Moko ajari muridnya. Siauw Houwtjoe menurut, ia menenangkan diri, ia bernapas dengan beraturan, denga n pelahan. Inilah sama dengan pelajarannya setiap hari, untuk merapikan jalan napa snya itu. Mulanya ia merasakan sulit akan mengendalikan napasnya itu, lama-lama baharulah ia merasa lega. Lewat lagi sekian lama, ia merasakan dalam perut seper ti ada kutu bergerak-gerak, perutnya itupun mengasi dengar suara gerijukan. "Sudah!" berkata Hek Moko setelah menyaksikan perubahan pada muridnya. "Nah, pergilah kau ke sana membuang air bes ar!" Siauw Houwtjoe menurut, ia pergi jongkok. Banyak ia mengeluarkan kotoran. Ketika ia kembali pada gurunya, ia diberikan obat makan. Tiga hari Siauw Houwtjoe mesti membuang tempo, untuk dirawat terus oleh kedua gurunya bergantian, selama itu ia terus bersamedhi, maka achir-achirnya bukan melainkan racunnya lenyap, tubuhnya pun menjadi semakin tangguh berkat latihan tenaga dalam itu. Sesudah itu bersama kedua gurunya itu s erta Toan Teng Tjhong, ia melanjuti perjalanan untuk menyusul Sin Tjoe dan puter i Iran. Sekeluarnya dari wilayah bangsa Biauw, Hek Pek Moko mengadakan pembicaraan setur uhnya. Mereka mengusulkan untuk pergi dahulu ke Tjhong San, guna mencari Tan Hong suami isteri. Di kaki gunung T jhong San itu pun ada wilayah Tali, negara atau kampung halamannya Toan Teng Tjh ong. Teng Tjhong setujui usul itu. Memang selama beberapa hari ber- gaul, dari Sin Tjoe dan Hek Pek Moko juga, ia telah dengar perihal Thio Tan Hong itu orang macam apa hingga ingin ia berkenalan dengan orang she Thio itu suami isteri. Ia merasakan, pengalaman dan hal ichwalnya sendiri sama dengan penghidup an yang penuh derita dari Tan Hong itu, yang juga pernah merantau di negara oran g. Setelah mendapat kesetujuan, Hek Moko mengusulkan pula untuk mereka memecah rombongan. Rupa mereka beda satu dari lain, saudaranya dan ia sendiri pun ada apa yang dinamakan "orang-orang yang dicari pemerintah," jadi dengan jalan mencar, mereka tidak bakal menarik perhatian umum dan akan bebas dari kecurigaan orang. Usul ini pun dapat kesetujuan umum. Maka mereka lantas memisah diri. Ie Sin Tjoe berjalan bersama Siauw Houwtjoe. Toan Teng Tjhong tetap bersama isterinya. Dan Hek Pek Moko tetap berdu a dengan mereka jalan paling belakang, untuk sekalian melindungi pasangan bangsawan itu. Kalau di depan ada musuh, Sin Tjoe akan memberi kisikan, dan apabila di belakang ada pengejar, dua saudara Moko yang akan bertahan. Hek Moko memberikan Sin Tjoe beberapa batang hiangtjian, yaitu panah bers uara. "Umpama kata kau menemui musuh di waktu siang, kau lepaslah panah putih ini," si Moko Hitam memesan, "Di waktu malam, kau mesti melepas ini panah hitam. Panah ini tidak melainkan suaranya dapat terdengar sejauh beberapa lie, juga akan mengeluarkan s inar api biru, hingga di waktu malam gampang terlihat dan dikenali." Sin Tjoe simpan anak-anak panah itu. Toan Teng Tjhong puas hatinya menyaksikan pelindung ini pandai bersiaga. Di waktu berangkat, Sin Tjoe ajak Siauw Houwtjoe bersama menaiki kuda putihnya. Mereka melintasi tanah datar perbatasan Inlam dan Koeitjioe, lalu masuk ke dalam propinsi Inlam. Mereka merasa beruntung tidak pernah mereka menemui sesuatu halangan hingga panah mereka tidak usah digunakan. Mereka senang dengan perjalanan ini. Dibanding dengan Sin Tjoe, usia Siauw Houwtjoe lebih muda tiga t ahun, tubuh- nya pun lebih kate sebatas pundak si nona. Di tengah jalan mereka omong banyak s atu dengan lain, mereka memanggil kakak dan adik. Mereka banyak bicara tentang i lmu silat, hingga mereka tidak perna kesepian. Lewat beberapa hari mereka mulai berjalan di jalan umum dari kota Koenbeng. Di s ini mereka jadi semakin tak berkuatir lagi. "Karena kuatir kita nanti terpisah terlalu jauh, dalam beberapa hari ini kita be rdua tidak berani membiarkan kemerdekaannya kuda kita, pasti si putih sudah pepa t pikirannya," berkata Nona Ie. Siauw Houwtjoe bersenyum. Sin Tjoe mengeprak kudanya dengan tali lesnya, yang ia terus kendorkan, maka t idak ayal lagi, kuda putihnya sudah lantas membuka ke empat kakinya, untuk berlompat lari, hingga di lain saat, mereka telah tinggalkan jauh di belakang pohon-pohon dan rumah-rumah yang berada di kedua tepi jalan besar. Siauw Houwtjoe mempeluki pinggang si nona. "Enak, enak!" serunya kegirangan disebabkan kaburnya kuda mereka. "Ha, kita menj adi mirip dengan dewa dewi yang melayang naik di udara!..." Sin Tjoe tertawa. Ketika kemudian nona ini menahan les kudanya, mereka telah berada di luar kota K oenbeng, ibukota propinsi Inlam. Tembok kota sudah ada di dalam pandangan matanya. Koenbeng adalah kota yang keadaannya cocok dengan pribahasa "Empat musim seperti musim semi." Itu waktu sudah di pert engahan bulan ke delapan tetapi di luar kota itu, pohon bunga ada bagaikan sulam an, sedang di dalam kota, suasana kota ramai sekali dan di mana-mana kedapatan p ohon-pohon bunga, sedang gunung See San nampak bagaikan seorang wanita cantik te ngah rebah miring. "Bagus sekali kota ini, kita harus pesiar di sini lebih lama dua hari!" berkata Siauw Houw-tjoe. "Mereka akan sampai di sini sedikitnya nusa, kau dapat pelesiran dengan puas," S in Tjoe bilang. Mereka masuk ke dalam kota setelah mengitarkan itu, untuk mempuaskan mata mereka , setibanya di dalam, mereka menuju ke pusat kota untuk lantas mencari rumah penginapan. Di luar hotel mereka meninggalkan tanda. Besoknya pagi Sin Tjoe sudah lantas dapat keterangan perihal tempat-tempat yang kesohor dari kota Koenbeng, maka sambil tertawa ia kata pada Siauw Houwtjoe: "Eh , bocah nakal, hari ini aku beri cuti satu hari padamu! Mari kita pergi ke taman Taykoan Wan, lohornya kita pergi ke See San! Hanya ingat, aku larang kau main g ila!" "Belum lagi aku mengangkat guru kepada Thio Tayhiap, kau sudah mau tunjuk pengar uhmu sebagai kakak seperguruan!" berkata Siauw Houwtjoe. "Aku justeru hendak main gila!" "Jikalau kau main gila, aku tidak akan ajak padamu!" mengancam si nona. "Aku pun tidak akan ajarkan kau ilmu dalam Hiankong Yauwkoat!" "Bagus!" seru bocah itu. "Belum-belum kau sudah mengancam tidak mau mengajarkan ilmu padaku! Baiklah, aku akan dengar perkataanmu!" Pesan terachir dari Thio Hong Hoe menghendaki Siauw Houwtjoe, puteranya itu, dit erima Tan Hong sebagai murid, ini pun maksudnya Hek Pek Moko mengantar puteri Ir an ke Tali, ialah sekalian menjenguk Thio Tan Hong. Hal ini diketahui Sin Tjoe b egitupun Siauw Houwtjoe, maka si bocah nakal sudah lantas akuh Sin Tjoe sebagai soetjie, kakak seperguruannya. Taykoan Wan ada taman terindah dari kota Koenbeng, begitu memasuki pintu lantas terlihat banyak bunga serta bau harumnya. Di situ ada dua buah telaga yang kedua tepinya ditanamkan pohon-pohon yanglioe di antara mana orang dapat mundar-mandir. Di situ juga ada dua buah pengempang teratai, yang bunganya harum semerbak. Gembira Sin Tjoe berada di taman indah ini setelah selama satu tahun ia berjoang saja. Ia merasa seperti ia telah kembali ke kampung halamannya di telaga Thayou w. Di dalam taman pun ada lauwteng atau ranggon Taykoan Lauw, berada di atas itu or ang dapat memandang ke sekitarnya sejauh lima ratus lie, untuk menikmati pemanda ngan alam yang luas dan menarik hati, yang mirip dengan keindahan di Kanglam. Sin Tjoe tersengsam hingga tanpa merasa ia ingat pertemuannya pertama kali denga n Tiat Keng Sim di sungai Tiangkang. Ia jadi bagaikan bermimpi... "Eh, entjie, kau kenapa?" Siauw Houw-tjoe menegur menyaksikan orang diam saja. "Tidak apa-apa," menyahut si nona, pelahan. "Sinar matamu ti- dak dapat mendustai aku, entjie1." kata si nakal. "Kau mesti t engah memikirkan sesuatu! Kenapa kau tidak sudi memberitahukan itu kepadaku?" Ia lantas bawa jari-jari tangannya ke mukanya, untuk goda kawan itu. Mau tidak mau, Sin Tjoe tertawa. Bocah nakal itu Jenaka sekali. "Anak kecil tahu apa tentang orang tua!" katanya. "Jangan main gila!" "Hai, berapa tua sih kau ada, entjie?" tanya bocah "Kau sudah lantas bawa lagakn ya si orang tua! Mari berdiri, untuk kita mengukur tubuh kita. Lihat, apakah kau bukan sama tingginya dengan aku?" Ia mendekati, untuk berdiri berendeng, guna mengukur tingginya mereka. Sin Tjoe menolak tubuh orang. "Siapa sedang memikirkan sesuatu!" katanya. "Jangan kau main gila!" Justeru itu di bawah ranggon terdengar suara gembreng ramai. "Ha, di sana ada yang main sulap!" kata Siauw Houwtjoe, yang sudah lantas melong ok ke bawah. "Mari kita lihat! Kau nanti hilang kemasgulanmu, entjie1." "Kemasgulan apa perlu aku melenyapkannya?" Sin Tjoe berkata. Meski ia berkata begitu, ia turut Siauw Houwtjoe turun di tangga. Bocah itu suda h mendahului ia lari turun. Di sebuah tanah terbuka ada, seorang tua dan seorang nona, yang rupanya ada ayah serta gadisnya. Orang tua itu menggubat kepalanya dengan sabuk putih dan si wanita muda memakai semacam sarung. Dandanannya mereka sebagai orang suku bangsa Ie. Si nona tengah mengasi pertunju kan makan pedang, ialah pedangnya yang panjang dia masuki ke dalam mulutnya seba tas gagangnya. Setelah mencabut keluar pedang itu, terus dia menyerang sebatang pohon, hingga pedang itu nancap dalam b eberapa dim. Inilah untuk menunjuki pedang itu bukannya pe- dang lemas. Semua penonton lantas saja bersorak. Si orang tua mengangkat nampannya dari kuningan. "Masih ada permainan yang terlebih menarik!" berkata dia, "Tuan-tuan penonton su dilah memberikan sedikit uang!" Penonton belum banyak, setelah jalan sekitaran, orang tua itu dapat uang saweran belum ada satu tail. Kemudian ia pergi ke depan Sin Tjoe. Nona Ie merogo sakunya, atau mendadak air mukanya menjadi merah. Nyata ia lupa m embawa uang dan di sakunya cuma ada belasan tangtjhie. Mana dapat ia menyawer de mikian sedikit? "Kasilah seberapa saja, nona," berkata si orang tua. Sin Tjoe likat, maka ia cabut tusuk kondenya, yang terbuat dari batu kumala, "Ambillah ini!" katanya seraya meletakkan tusuk konde itu ke dalam penampan, atau mendadak ia menjadi te rcengang. Itulah warisan ibunya. Bagaimana itu dapat diberikan kepada lain orang ? Si orang tua menjumput tusuk konde itu, ia pun agaknya heran. Seumurnya ia meran tau, belum pernah ia memperoleh saweran barang perhiasan, sedang kumala ini berh arga sedikitnya seratus tail perak. Tiba-tiba seorang muda tertawa dan berkata: "Nona ini loyar sekali! Sampai baran g pesalinnya pun dia dermakan!..." Nona kita memang sedang berduka, mendengar suara orang itu ia menjadi mendongkol . Ia memotes selembar daun yanglioe, ia mementil itu. Ia belum meyakinkan ilmu itu dengan sempurna tetapi ketika daun itu menyamber lengan si anak muda, dia berka ok "Aduh!" dan tangannya bertanda merah. Anak muda itu heran sekali, tidak tahu ia sebabnya itu, tapi lekas-lekas, ia angkat kaki pergi menyingkir. Si tukang sulap pegang tusuk konde, setelah mengawasi sekian lama, ia tertawa da n berkata: "Budakku ini tidak pantas memakai tusuk konde kumala ini. Usianya pun masih terlalu muda. Kalau tidak, cocok ini untuk dijadikan pesalinnya nanti. No na, kau baik sekali, aku sangat berterima kasih kepadamu, hadiahmu ini tidak berani aku terima. Baiklah nona mengasi aku beberapa boen saja." Sembari tertawa, ia menyerahkan pulang tusuk konde itu. Sin Tjoe menyambuti kulit mukanya bersemu dadu. Ia lantas merogo semua uang tang tjhie-nya, diletaki di dalam penampan. Atas itu para,penonton pada bersorak. Di samping tukang sulap ini ada seorang penjual mieshoa matang, ialah yang disebut mieshoa Inlam, dapurnya sedang marong apinya, si nona tukang sulap itu masuki pedangnya ke dalam api, setelah m enjadi merah, ia serahkan itu pada ayahnya. Ayah itu menyambuti. pedang itu ia kibasi, hingga letikan apinya beterbangan, ke mudian sambil tertawa, ia kata: "Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya! Lihat!" Ia masuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di b atas gagang. Ia memasukinya dengan pelahan- pelahan. Mendadak saja ia memuntahkannya atau pedang itu berloncat keluar. Denga n lantas ia masuki pedang itu ke dalam air di tahangnya si tukang mieshoa, lanta s air itu mendidih dan berbunyi, suatu tanda pedang itu masih panas sekali. Asap nya pun mengepul naik. Semua penonton kagum hingga mereka menjublak, hingga tidak lagi mereka perhatika n si nona. "Ah, ilmu apakah itu?" bertanya Sin Tjoe. "Ilmu sulap biasa, palsu," berbisik Siauw Houwtjoe di kuping orang. "Bagaimana bisa menjadi?" si nona tanya pula. Siauw Houwtjoe menarik tangan si nona, untuk diajak pergi sedikit jauh. "Sulap ini sering aku saksikan di India," katanya. "Ilmu itu ilmu palsu tetapi b enar untuk meyakinkan itu dibutuhkan waktu delapan sampai sepuluh tahun. Mereka dapat mempelajari segala macam senjata, asal turunnya di tenggoro-kan tidak bergoyang tidak nanti dia dap at melukakan orang." "Tetapi pedang itu telah dibakar hingga marong?" si nona menanya. "Tukang sulap itu lebih dulu, telah menyimpan sarung pedang di dalam tenggorokan nya itu," Siauw Houwtjoe menerangkan pula, "pedang dikasi masuk ke dalam sarung itu maka ia tidak terbakar." Sin Tjoe mau percaya keterangan ini tetapi ia tetap heran. Ilmu sulap itu adanya di India, dari mana si tukang sulap pelaja-rinya? Mereka ini pun ada orang Ie s edang ketika itu perhubungan India-Tiongkok belum maju. Memang jarak propinsi In lam dan India cuma terselang Birma tetapi orang yang mundar-mandir ada sangat ja rang. Orang Ie itu, dalam hal kepinda-han, ada terlebih kukuh daripada bangsa Tionghoa umumnya, apa mungkin dia melakukan perjalanan ribuan lie untuk mempelaj ari ilmu sulap itu? Meski ilmu menelan pedang itu tipu belaka tetapi gerak-gerik si orang Ie menandakan dia mengarti ilmu silat. Kalau dia mengandali main sulap saja, kenapa dia menampik tusuk konde? Selagi nona ini merasa aneh, si orang Ie sendiri merasa kecele. Ia sudah mengasi kan pertunjukan menelan pedang panas itu, penonton yang berkerumun tidak menjadi bertambah dan uang saweran di dalam penampannya cuma seratus boen lebih serta b eberapa potong perak hancur. "Apakah kau baharu pernah datang ke kota Koenbeng ini?" menanya seorang penonton . "Kenapa kau tidak ketahui hari ini ada hari rampungnya berhala Senghong bio? Sem ua penduduk Koenbeng pergi melihat keramaian. Baik kau pun pergi ke sana untuk m embuka pertunjukanmu." Sin Tjoe heran mendengar perkataan itu. Senghong bio berarti kuil dari si malaikat kota. Malaikat kota bukan malaikat yang terlalu agung. Ken apa seluruh penduduk kuil memerlukan sangat malaikat itu? Mungkinkah Senghong di Koenbeng beda dari Senghong lainnya? Hampir itu waktu terdengar ramai suara gembreng dan tambur tercampur terompet, b egitu juga berisiknya suara banyak orang. "Nah, Senghong merondai kota, mari kita lihat!" berseru satu orang. Itu artinya arak-arakan toapekong atau malaikat. Kali ini si tukang sulap lantas saja bebenah dan berlalu dari situ. "Entjie, mari kita pun melihat!" Siauw Houwtjoe mengajak. "Seng Hong di kolong langit ini semuanya sama, tidak lebih dari- Ayah itu menyambuti, pedang itu ia kebasi, hingga letikan apinya beterbangan, ke mudian sambil tertawa, ia berkata: "Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya ! Lihatlah!" Ia memasuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di batas gag ang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan. pada sepotong boneka kayu, ada apakah yang bagus dilihat?" sahut Sin Tjoe tertaw a. "Apakah di kampungmu belum pernah kau menyaksikan arak- arakan toapekong?" "Kita bukan melihat toapekong, kita melihat keramaian saja," Siauw Houwtjoe meng asi penjelasan. "Dasar bocah gemar ramai-ramai!" tertawa pula si nona. Sebenarnya Sin Tjoe pun ingin melihat, ia hanya ragu-ragu, karena ini, ia bersama Siauw Houwtjoe berlalu paling belakang dari taman itu. Ke sudahannya ia mesti mendesak-desak di antara orang banyak yang berjubalan. Kapan akhirnya Nona Ie mendapat lihat wajah Senghong atau malaikat kota itu, ham pir ia menjerit bahna herannya. Ia tampak suatu wajah bundar bagaikan rembulan penuh, jubahnya tersulam, tangannya memegang hoet atau tanda kepangkatan. Kedua mata bagaikan matanya orang hidup. Itulah suatu r oman halus tetapi agung. Dan itulah wajah dari ayahnya, almarhum Ie Kiam! (Menur ut keterangan, Senghong bio di Koenbeng Kunming memang besar dan agung hanya sek arang digunakan untuk lain keperluan, dan Senghong atau malaikatnya memang ditul iskan namanya Ie Kiam.) "Entjie, apakah kau kurang sehat?" tanya Siauw Houwtjoe heran. "Tidak," menyahut si nona. "Nah, kenapa kau menangis?" Sin Tjoe lekas me-nyusuti air matanya. "Aku biasa mengeluarkan air mata kalau terlalu girang," ia menjawab pula. Bocah itu lantas tertawa lebar. "Nah, kau suka katai aku, kau sendiri sebenarnya lebih suka menonton!" katanya. Kali ini bocah ini tidak mendapat jawaban, ia mendapatkan si nona masih terbengo ng mengawasi toapekong yang tengah diarak itu. *** "Siapakah Senghong Looya itu?" achirnya Sin Tjoe tanya seorang di sampingnya. "Senghong ialah Senghong yaitu malaikat," menyahut orang itu. "Nona, pertanyaanm u aneh!" Sin Tjoe melengak. "Toh malaikat ini ayahku!" pikirnya. "Mungkinkah orang tak leluasa menjelaskannya?" Maka ia tanya lainnya hal: "Siapakah yan g membangun Senghong bio?" "Yang menderma kebanyakan orang hartawan dan saudagar besar," sahut orang itu. " Siapa mereka itu, tidak jelas bagiku. Ada apa kau menanyakan ini?" Kembali Sin Tjoe mendapatkan pertanyaan yang tak dapat ia jawab. Tapi ia tetap heran. "Siapakah yang mengukir patung Senghong itu?" tanyanya pula. "Kau baik menanya pada kepala tukang kayu dan tukang batu tak sempat aku mela-ya nimu!" kata orang itu, yang lantas ngeloyor pergi. Toapekong pun sudah lantas diarak lewat. "Entjie, apakah kau sakit kepala?" tanya Siauw Houwtjoe, seraya ia terus raba dahi orang. Tapi ia merasaka n dahi yang dingin. Sin Tjoe singkirkan tangan orang. "Jangan ngaco!" katanya. "Kau yang ngaco!" kata Siauw Houwtjoe dalam hatinya. "Kau tanya orang yang tidak -tidak..." Tapi ia masgul melihat sikap luar biasa dari kawannya ini. Sebenarnya kacau pikirannya Sin Tjoe. Ayahnya toh dipandang sebagai pengchianat. Ayah itu dihukum mati dan harta bendanya disita. Dunia boleh penasaran tapi kai sar berkuasa, orang bisa bilang apa? Maka tidak disangka sekali, di Koenbeng ini orang justeru memuja Ie Kiam dan dihormat sebagai malaikat kota, patungnya dibi kin begitu mirip dan hidup, kuilnya dibangun secara besar. "Kota Koenbeng ini berada jauh di Selatan tetapi masih tetap dikuasai pemerintah kalau pemerintah ketahui ini, bukankah pembikin patung ini dan pendiri kuilnya bisa ditangkap dan disita rumah tangganya? Siapa itu orang yang nyalinya begini besar?" Sin Tjoe tanya dirinya sendiri. Ia tidak ingat kalau-kalau ayahnya ada punya sahabat di sini. Pikirnya pula: "Aku t idak sangka ayah dapat menjadi Senghong di kota ini..." Tanpa merasa nona Ie bertindak mengikuti arak-arakan itu terus sampai di kuilnya , yang besar berlipat kali daripada yang biasa terdapat di lain-lain kota. Undak an ruang depan pun ada tiga, setelah itu baharu sampai di toatian yaitu pendopo besar tempat bersemayamnya malaikat kota itu. Di sini segala apa ada mentereng, tangganya pun terbikin dari batu marmer, mulai d ari bawah payon ada belasan undak. Dari dalam pendopo, asap mengulak naik. Di si tu telah berjubal banyak orang. "Lihat, Siauwkongtia datang!" seru banyak orang begitu lekas terdeng arnya suara te-tabuan patim. "Siapa itu siauwkongtia?" tanya Sin Tjoe kepada seorang tua di dekatnya. Orang tua itu tertawa. "Di dalam kota Koenbeng ini memangnya ada berapa kokkong?" dia menyahuti. "Siauwkongtia itu berarti "paduka hertog yang muda" dan " kokkong" ialah hertog. Mendapat jawaban itu, Sin Tjoe terkejut. "Itukah Bhok Kokkong?" dia tanya pula. Orang tua itu mengangguk. "Tidak salah," sahutnya. "Senghong bio ini ialah Bhok Siauwkongtia yang memperbaharui." Di muka tangga batu segera terlihat dihentikan dan diturunkannya sebuah joli bes ar warna biru, dari dalam joli muncul satu anak muda yang romannya seperti pemuda bangsawan, bibirnya merah, giginya putih, usianya baharu tujuh atau delap an belas tahun, wajahnya masih wajah kekanak-kanakan. Setibanya pemuda ini, sira plah pendopo yang tadi ramai itu. Pengacara pun lantas berseru: "Bunyikan genta dan tambur! Silahkan Malai- kat yang agung naik atas kedudukannya!" Kiranya pangeran yang muda ini akan mengepalai upacara selesainya pembangunan ku il dan menyambutnya malaikat ke gedungnya yang baru rampung itu. Sin Tjoe heran hingga ia merasai ia tengah bermimpi. Keluarga Bhok ini turun menurun menjadi hertog Kimkokkong dengan kedudukannya di propinsi Inlam ini. Di antara banyak panglimanya Kaisar Tjoe Goan Tjiang dari a hala Beng, leluhurnya siauwkongtia ini, yaitu Bhok Eng, adalah yang paling berba hagia karena dia sekalian menjadi anak angkat dari kaisar itu. Setelah berhasil menumpas apa yang disebut "Pemberontakan Liang Ong," dia dikur-niakan gelaran ra ja muda Kimiengong. Habis dia, semua turunannya dijadikan hertog KimKokkong. Di a n t a ra putera atau cucu keluarga besar itu, ada beberapa yang menjadi hoema yaitu menantu raja. Hingga di dalam kalangan men teri- menteri, tidak ada keluarga lainnya yang dapat mengimbangi kebesarannya. Sin Tjoe mempunyai ayah suatu menteri, sendirinya ia mengarti hikayat pemerintah nya pemerintah Beng. Tjoe Goan Tjiang itu tidak mengenal budi, setelah menjadi r aja, dia suka membunuh menteri-menterinya yang berjasa, dia kejam tak kalah dari pada Han Khotouw Lauw Pang, pendiri dari ahala Han. Ada di antara menteri berjas a yang melebihkan Bhok Eng, umpama Tjie Tat, Siang Gie Tjoen dan Na Giok, tapi mereka sendiri atau anak cucunya, tidak langgeng kedudukannya. Na Giok didakwa b erontak, dia dihukum mati sampai kepada tiga tingkat keluarganya. Putera Siang G ie Tjoen terembet perkara Na Giok itu, dia dikurniakan kematian. Tjie Tat ada me nteri berjasa nomor satu, dia diangkat jadi raja muda Tiongsan Ong, dia punya me mpunyai surat bukti bebas dari hukuman mati, toh kemudian ketika pangeran Yan On g sebagai paman merampas kedudukan keponakannya (kaisar Beng Seng Tjouw) puteran ya, yaitu Tjie Hoei Tjouw, tak luput dari pemecatan pangkat dan kehormatan dan m esti mati mereras di dalam penjara. Cuma Keluarga Bhok ini, dengan kedudukannya di Inlam ini, paling ber- untung. "Kenapa siauwkongtia ini berani membangun Senghong bio ini?" Sin Tjoe heran. "Ap akah dia tidak takut pemerintah mengetahuinya dan nanti mendapat susah karenanya ? Ini toh ayahku yang dipuja, meskipun disebutnya malaikat kota? Bukankah pemban gunan ini dan upacaranya ada mentereng luar biasa? Di samping itu, herannya, bel um pernah aku mendengar ada hubungan apa-apa di antara ayahku dengan keluarga besar ini..." Siauwkongtia sudah lantas mengunjuki kehormatannya. Ia memasang tiga batang hio. Perbuatannya ini diturut oleh banyak orang. Kecuali si pangeran muda sendiri, di situ tidak ada pembesar lainnya. Sin Tjoe turut mem- beri hormatnya. Dari tangan biokong, pengurus bio, ia minta tiga batang hio. Lan tas ia menekuk lutut, air matanya pun mengem-beng. Sembari tunduk ia kata dalam hatinya: "Ayah, ayah dipuja sebagai malaikat, dihormati rakyat jelata, ayah mati bagaikan hidup!" Siauwkongtia lihat orang demikian ber-sungguh hati bersujut, dia heran. Dia mema nggil, terus dia tanya: "Kau ada punya kesukaran apa maka kau menyampaikannya it u kepada Senghong?" "Tidak apa-apa," menyahut Sin Tjoe seraya menepas air matanya. "Aku lihat kamu s angat menghormati Senghong, hatiku jadi tergerak sekali dan terharu, hingga tida k dapat aku menahan keluarnya air mataku." Siauwkongtia masih heran, ia sebenarnya hendak menanya pula ketika dari luar ter dengar suara gembreng pembuka jalan, lantas datang pemberitahuan: "Ong Hoetjiang koen tiba!" "Mau apa dia datang kemari?" kata siauwkongtia, yang keningnya mengkerut. Ia ber jalan keluar, untuk menyambut. Sin Tjoe menggunai ketika ini untuk mengundurkan diri. Ketika ia menoleh ke pojo k, ia dapatkan si tukang sulap dan gadisnya lagi melirik ke arahnya, rupanya ora ng mengawasi ia secara diam-diam. Ia terkejut, ia lantas ingat suatu apa. Ia ber kata dalam hatinya: "Setibanya Hek Pek Moko, aku mesti lantas berlalu dari sini. " Ia menduga orang mencurigai ia tetapi ia merasa berat untuk lantas meninggalkan patung ayahnya itu... Suara gembreng sudah lantas berhenti, satu pembesar kelihatan agung bertindak ma suk. "Ong Tjiangkoen juga datang untuk pasang hio?" Siauwkongtia menyamb ut. "Siauwkongtia, bagus betul usaha kesujutanmu ini," me-nyahuit si pan glima. Ia lantas memandangi patung. Kemudian ia tertawa dan berkata pula: "Pandai benar orang melukis, seper ti orang hidup saja! Hanya kenapa wajah Senghong ini beda dari Senghong yang per nah aku lihat di lain-lain kota?" "Sesuatu tempat ada malaikat kotanya masing-masing," siauwkongtia menjawab. "Ini tidak aneh, bukan?" Hoetjiang itu tertawa lebar. "Perkataan kau ini, siauwkongtia, membuka kecupatan pandanganku!" katanya. "Kiranya malaikat kota itu beda satu dari lain karena perbedaan kot anya... Haha! Pembangunan kuil ini serta pembuatan patungnya adakah atas k ehendaknya Bhok Kongya atau siauwkongtia sendiri?" "Inilah kehendakku sendiri," menyahut pangeran muda itu. "Adakah sesuatu yang ti dak dapat?" "Bagus! Bagus!" berkata Ong Hoetjiang tertawa menyeringai. "Di dalam wilayah ban gsa Ie memang tidak ada halangannya mengadakan pengajaran dengan perantaraan mal aikat. Nabi sendiri pernah membilangnya begitu." Semua orang di ruang itu mendongkol mende- ngar opsir ini menyebutkan propinsi Inlam sebagai tanah suku bangsa Ie, semuanya mengawasi dengan sinar mata kebencian. Rupanya si tjiangkoen dapat lihat sikap orang itu, lekas-l ekas dia tertawa dan menambahkannya: . "Maksudku, ya... ialah, perbuatan siauwko ngtia ini tepat dengan caranya seorang nabi!" "Ah, benarkah itu?" siau wkong tia t e rt a w a. "Bagus, bagus! Kalau begitu kau pun harus memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk tiga kali!" Perwira ini bernama Ong Tin Lam, pangkatnya yaitu Pengiam Hoetjiangkoen, tetapi di mana kekuasaan di Inlam berada di dalam tangannya Bhok Kongya , ia berada seb agai sebawahan saja dari hertog itu, ia sama sekali tidak punya kekuasaan, maka itu meskipun ia tidak puas dengan perkataan s i pangeran muda, ia toh terpaksa menurut menjalankan kehormatan. Ia bertekuk lutut, ia manggut tiga kali, ketika ia berba ngkit, ia likat sekali. Sin Tjoe tertawa di dalam hatinya. "Tjiangkoen ini tentulahh pernah lihat ayahku," pikirnya. "Ah, hebat permainan dari siauwkongtia ini, satu perwira tinggi diperintah memberi hormat kepada satu pemberontak!..." Ong Hoetjiang itu bicara lagi sedikit dengan siauwkongtia, terus dia berpamitan. Siauwkongtia membiarkan orang pergi, ia lebih memerlukan melihat kelilingan akan mencari Sin Tjoe. Justeru itu di luar sirap suara berisik dari banyak orang, lalu terlihat orang banyak membuka jalan, akan mengasi lewat pada seorang nona yang diiring dua budak wanita. Bhok Lin, ialah siauwkongtia, sudah lantas maju menyambut. "i Entjie pun datang!" katanya. Nona itu mengangguk. Ia adalah Bhok Yan puterinya Kimkokkong Bhok Tjong. Ia memp unyai alis yang panjang, romannya cantik, potongan tubuhnya halus, sikapnya pun agung. Lebih dahulu ia memberi hormat kepa da Senghong. "Adik, mari ikut aku pulang," ia berkata kemudian. "Ayah mencari kau." "Ada apa, entjie?" tanya pangeran itu terperanjat. Agaknya tidak leluasa nona itu menyahuti, tapi ia bersenyum. "Segala apa ada aku, kau pulanglah," ia berkata. Ia pun menarik tangan orang unt uk diajak berlalu. Sin Tjoe mencuri mengawasi. Ia lihat alis nona itu menunjuki hati pepat. Seberlalunya nona dan pangeran muda itu, pendopo kembali jadi ramai oleh orang b anyak, yang pada menghunjuk hormatnya. Sin Tjoe ajak Siauw Houwtjoe mengundurkan diri. Ia lihat si tukang sulap dan gad isnya, mereka itu rupanya tidak dapat melihat padanya. "Dari kata-kata dan sikapnya si nona, rupanya Bhok Kokkong tidak ketahui urusan pembaharuan kuil dan pembikinan patung Senghong ini," ia berpikir. "Anehlah si pangeran muda, ia ada muda belia, ia pun pasti belum melihat rupa ayahku, kenapa ia dapat membuatnya patung ayah begini bagus?" "Entjie benarkah kau tidak sakit?" Siauw Houwtjoe tanya. Ia heran akan roman tak wajar dari Nona Ie, yang sejak tadi menarik perhatiannya. "Eh apakah kau menyumpahi aku?" si nona balik menanya. "Aku lihat kau tidak wajar, entjie," berkata bocah itu. "Tidak keruan-ruan menga pa tadi kau menangis?" "Kau lihat bukankah orang banyak itu sangat menghormati Senghong?" kata si nona. "Sikap mereka itu membuatnya aku terharu. Aku sangat menghargai kesujutan mereka." Ia lalu tertawa. "Tidak, entjie, kau tentu ada memikirkan sesuatu," membandal si bocah. Kau cuma tidak sudi memberitahukan itu kepadaku..." Sin Tjoe mengkerut-kan keningnya. "Sudahlah, jangan ngaco belo di sini!" membentak si nona. "Anak kecil mana tahu urusan orang tua? Mari lekas pulang untuk bersantap tengah hari!" "Tidak, aku tidak mau pulang dulu! Kau telah menjanjikan aku pesiar ke See San. Sepatah katanya satu koentjoe..." Mau tak mau, Sin Tjoe tertawa. Ia menambahkan: "...bagaikan kuda dicambuk satu kali!" "Bagus! Itulah baharu tepat! Nah, lekas ajak aku ke See San!" "Apakah kau tidak lapar?" "Aku ada membekal uang beberapa puluh boen tangtjhie!" "Kenapa tadi kau tidak menyawer kepada si tukang sulap?" "Sengaja aku tinggalkan untuk kau nanti bersantap tengah hari!" si bocah tertawa . "Dengan melihat romanmu tadi, entjie, aku tahu kau lupa membawa uang..." Sin Tjoe melengak untuk kecerdikannya bocah ini. Justeru itu tangannya disamber, untuk ditarik. Sembari berbuat begitu, bocah itu tertawa lucu. Ia mengajak oran g untuk dahar mieshoa, hingga uang mereka tinggal dua boen! Sekeluarnya dari kota, hari sudah lewat tengah hari. Dengan tidak adanya mega, l angit menjadi cerah. Terbuka hatinya Sin Tjoe, apapula setelah ia menyaksikan ke indahan See San, Gunung Barat. Mengagumi untuk men- daki bukit, akan memandangi apa yang disebut "pintu naga," ialah semacam puncak yang menonjol, yang tingginya ribuan tombak, hingga kuil di atas itu mirip tergantung di udara. Di bawah itu ada tela ga Thian Tie yang kesohor, yang luas. Siapa mendaki tangga, bajunya berkibar-kibar tertiup angin, orang mirip menaiki tempat dewa-dewi, Sin Tjoe kag um hingga ia terbengong... Lorong dari pintu naga itu adalah batu gunung yang dibobok dan berliku-liku, hin gga ada bagian yang muat hanya satu orang. "Tempat ini tepat untuk main petak!" kata Siauw Houwtjoe tertawa. "Aku ajak kau ke gunung ini, lantas kau ingat main petak!" berkata Sin Tjoe, yan g pun tertawa. "Kau mensia-siakan pemandangan alam yang indah di sini!" Di atas "pintu naga" (jiongboeri) ada kedapatan ukiran ikan leehie yang luar bia sa, yang seperti dari udara berlompat terbang. Ikan itu bahagian bawahnya mirip ikan, bahagian atasnya seperti naga. Jadi inilah yang di dalam dongeng disebut " Ikan leehie melompati pintu naga." katanya, "sebab pintu naga terlalu tinggi, ap abila ikan leehie dari telaga Thiantie dapat meloncatinya, ikan itu dapat terus berubah menjadi naga untuk naik ke langit." "Aku lihat, walaupun orang paling liehay ringan tubuhnya, tidak nanti dia dapat melompati pintu naga ini!" berkata Siauw Houwtjoe. Sin Tjoe bersenyum. Di lain pihak, ia kagumi bocah ini, yang tak pernah melupai ilmu silat. Pantas Hek Pek Moko membilangnya dia sangat berbakat. Di atas iiongboen itu juga ada ukiran malaikat Kwee Seng dalam rupa patung batu, kecuali pit di tangannya yang terbuat dari kayu. Di situ ada tulisan singkat me ngenai sebuah dongeng. Ialah katanya seorang pemuda kehilangan kekasihnya, dia mendaki See San dan mengukir patung itu. Sayang di si tu dia tidak dapatkan batu yang cocok untuk membuat pit (alat tulis), hingga pat ungnya itu tidak lengkap. Habis itu ia terjun ke telaga Thiantie, hingga ia berk urban diri. Sin Tjoe ketarik, ia kagumi pemuda yang berkurban itu. Hanya, pikirnya kemudian, di dalam dunia tidak ada semacam pemuda... Memikir begini, me ndadak bayangan Tiat Keng Sim berpeta di hadapan matanya. Ia lantas tunduk, akan mengawasi telaga Thiantie itu (yang pun disebut Koenbeng ouw, telaga Koenbeng). Ia melihat banyak kapu-kapu, yang tertiup sang angin, sedang lembaran-lembaran bunga di muka air pun beterbangan buyar... Semua itu membuat si nona menjadi berduka sendirinya. "Dengar! Di bawah seperti ada orang berbicara!" Siauw Houwtjoe tiba-tiba berkata, suaranya pelahan. Selama mengikuti In Loei meyakinkan senjata rahasia kimhoa atau bunga emas, Sin Tjoe berbareng diajari latihan kuping untuk pendengarannya jadi terang dan mengarti suara. Itulah ilmu "mendekam di tanah me ndengari suara." maka ia sudah lantas menempelkan kupingnya di batu gunung. Sudah dibilang, lorong Liongboen berliku-liku, maka sejarak beberapa tindak saja , orang tidak dapat melihat satu pada lain. Tapi suara yang didengar si bocah da pat terdengar nyata oleh si nona. Terdengarlah seorang, yang suaranya dalam: "Ong Tjiangkoen memesan wanti-wanti, surat ini sangat penting, maka kau mesti dapat menyampaikan ke kota raja!" Seorang lain menyahuti, menanyakan kepada siapa surat itu dialamatkan. "Kau mesti serahkan kepada Tayiwee Tjong - koan Yang Tjong Hay," menerangkan suara yang pertama. "Kalau Yang Tjong Hay tida k ada, kau sampaikan kepada Gielimkoen Tjongtjiehoei Law Tong Soen. Umpama kata dua-dua tidak ada, kau serahkan saja kepada Ong Kongkong di dalam istana." Orang yang kedua menyahuti, "Aku mengarti." Hanya selang sejenak, ia menanya pul a: "Seandai kata di tengah jalan aku bertemu orangnya Bhok Kong tia?" "Jikalau kau dapat melawan, lawanlah, kalau tidak, lantas lari. Umpama kau mati jalan, kau telan saja suratnya. Tegasnya, surat ini tidak boleh terjatuh dalam t angan lain orang siapa juga!" "Aha, inilah tugas menjual jiwa!" seru orang yang kedua itu. "Kalau begitu, tidak dapat tidak, aku mesti pulang dulu, untuk pamitan dari iste riku..." "Thio Lootoa, kenapa kau begini takut mati?" tanya orang yang suaranya dalam itu . "Kau mesti berangkat malam ini juga, tentang enso, aku yang nanti urus, kau ja ngan buat kuatir." Sampai di situ, berhenti sudah pembicaraan itu, yang lalu disusul sama suara tin dakan kaki mereka. Hati Sin Tjoe berce-kat. "Ong Tjiangkoen itu tentulah perwira tadi di Senghong bio," ia berpikir. "Hebat, dalam waktu sebentar saja, dia sudah menulis surat rahasianya ini! Pastilah bun yinya surat tak baik bunyinya untuk Bhok Kongtia." Ia lantas tarik tangannya Sia uw Houwtjoe. "Kita sudah Sin Tjoe dan Siauw Houw Tjoe sedang menyaksikan keindahan pemandangan See San. pesiar cukup, sudah waktunya kita pulang!" Si bocah menurut. Ketika tiba di lorong, mereka bertemu dua orang ialah dua oran g yang tadi berbicara. Kedua orang itu terkejut mendengar ada suara orang lain, akan tetapi setelah melihat hanya satu nona dan satu bocah hati mereka lega. Di lain pihak, Thio Lootoa sudah lantas maju ke lorong yang sempit. "Hihi-hihi!" dia tertawa. "Nona, jalanan ini sukar dan berbahaya, maukah aku tun tun padamu?" "Minggir!" membentak Siauw Houwtjoe sambil ia berlompat maju. Ia bertindak tanpa menanti entjie-nya menjawab orang ceriwis itu. Ia membentur dengan pundaknya, t angan kirinya turut bergerak, karena ia ber- niat menggunakan pukulan Naga. Berbareng dengan itu, Sin Tjoe menarik kawannya itu. Dibentur Siauw Houwtjoe, Thio Lootoa miringkan tubuh, lantas dia hendak menangka p bocah itu dengan niat dibanting. Justeru itu, hidungnya dapat mencium bau haru m, sebab Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe segera lewati dia. Hendak dia menjambret te tapi sudah tidak keburu. Sahabatnya pun menarik padanya. "Thio Lootoa, jangan main-main!" ia mengasih nasihat. Orang ceriwis ini kecele, dia jadi meggerutu: "Hm kerbau cilik! Coba hari ini ak u tidak punya pekerjaan penting, tentu aku sudah hajar padamu!" Siauw Houwtjoe menoleh, ia menjawab: "Bagus! Tuan kecilmu memang hendak berkelahi!" Sin Tjoe tarik kawan itu, sembari tertawa, ia kata kepada dua orang itu: "Adikku ini sedikit aseran, aku minta paduka berdua tidak buat kecil hati." Senang si ceriwis mendengar suara orang yang halus dan manis. "Oh, nona kecil, kau baik sekali" katanya tertawa. "Apakah namamu, nona?" Sin Tjoe berpura-pura tidak mendengar, selagi orang berkata-kata, ia tarik tanga nnya Siauw Houwtjoe untuk diajak keluar dari lorong. Bocah itu tidak puas. "Machluk itu kurang ajar, dia menghina kau, kenapa kau mencegah aku menghajarnya ?" ia tanya. "Kalau dia hendak dihajar, apa kau kira aku tidak bisa mengha- jarnya?" si nona menyahuti. "Lekas!" Siauw Houwtjoe tidak berani membangkang, walaupun hatinya masih panas, ia jalan dengan cepat, terus lari. Dua orang itu ta-pinya mengejar. Belum lagi Sin Toe berdua tiba di ranggon Samtj eng Kok, napas mereka itu sudah memburu, tetapi mereka memaki: "Dua bangsat cili k, berhenti!" Nyatalah tadi selagi melewati Thio Lootoa, Sin Tjoe sudah keluarkan kepandaianny a memindah isi saku orang, ia telah samber suratnya Ong Tjiangkoen , karena mana ia lantas lari. Kepandaian itu ia peroleh dari Thio Tan Hong, siapa ketika dulu hari pertama kali bertemu sama In Loei, telah curi bersih uang orang. Sebenarny a Tan Hong tidak niat menurunkan kepandaian itu tetapi Sin Tjoe meminta dengan mendesak sebab nona ini ketarik mendengar soehoe itu menggoda soebo-nya. Thio Lootoa sadar dengan cepat. Katanya: "Kenapa satu bocah bisa membentur punda kku hingga aku merasa sakit?" Kemudian ia merabah ke sakunya, ia jadi kaget bukan main. Surat itu lenyap tidak keruan paran. Ia jadi menyangka si nona, maka itu ia ajak kawannya mengejar. Sin Tjoe berdua Siauw Houwtjoe tidak ambil jalan langsung, mereka mengitarkan Sa mtjeng Kok, lalu terus lari mendaki bukit. Melihat larinya mereka itu Thio Looto a tawar hatinya. Ia mengarti orang melebihi ia dalam hal ilmu lari cepat. Thio Lootoa ini sebenarnya adalah se- orang siewie, pengawal kaisar, namanya Tay Hong. Dia ditugaskan di Koenbeng, unt uk mengawasi sepak terjang Bhok Kokkong. Supaya orang tidak mencurigai, dia data ng dengan menyamar sebagai rakyat jelata dengan mengajak juga anak isterinya. Kawannya itu berna ma Ong Kim Piauw, orang kepercayaan Tjengiam Hoe-tjiangkoen O ng Tin Lam. Dia pun seorang siewie dan ikut Ong Tin Lam untuk juga menilik Bhok Kokkong. Bhok Kokkong ada menteri setia turun temurun, kaisar mempercayainya, tetapi adal ah aturan pemerintah yang telah berjalan lama, kaisar mesti mengirim orang untuk mengawasi semua menteri yang ditugaskan di pelbagai propinsi, maka propinsi Inlam tidak menjadi kecuali. Sudah sepuluh tahun lebih Ong Hoetjiang tinggal di Koenbeng, belum pernah ia mendapatkan apa-apa yang mencurigai pada pihak Bhok Ko kkong. Sampai timbullah urusan Ie Kiam dijadikan Senghong atau malaikat kota oleh siauw kongtia. Dua-dua Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw memang tidak puas dengan kedudukannya, k eamanan kota Koenbeng membikin mereka tidak dapat ketika untuk berbuat jasa, gun a mendapat kenaikan pangkat, kebetulan ada perbuatannya siauwkongtia ini, lantas mereka ambil ini sebagai ala san. Mereka berdamai sama Ong Hoetjiang, lantas perwira itu menulis laporan raha sianya, Ong Kim Piauw dititahkan menyampaikannya kepada Thio Tay Hong untuk dibawa ke kota raja, apa mau mereka b ertemu Ie Sin Tjoe dan suratnya lenyap. Mereka penasaran maka itu mereka mengejar terus. Sin Tjoe pandai lari, ia tidak menjadi soal. Tidak demikian dengan Siauw Houwtjo e. Bocah ini pandai silat tetapi dalam hal ringan tubuh, ia kurang latihan. Tida k lama, larinya mulai kendor, hingga Sin Tjoe terpaksa lari pelahan menantikan d ia. Thio Tay Hong mengejar hingga lagi kira tiga tombak, ia lantas menimpuk Siauw Ho uwtjoe dengan dua biji kongpiauw. Dalam hal menggunai kongpiauw, ia mempunyai la tihan belasan tahun. Tapi kuping si bocah terang, dia dapat mendengar suara samb eran angin, lantas dia men-dak dan lompat masuk ke dalam rujuk. Dengan bersuara nyari ng, kedua kongpiauw menghajar batu. "Tidak kena!" mengejek si bocah sambil ia keluar dari tempatnya berkelit. Ia pun mengejek dengan buat main jeriji tangannya di mukanya. Tapi karena ini, ia tela h kena susul hingga tinggal satu tombak. "Kau masih berniat lari, bangsat kecil?" berseru siewie itu seraya dia lantas berlompat menubruk dalam gerakan "Ngo Kim Na" atau "Tangan Men angkap Lima" dari kaum Keluarga Gak di Hoopak. Ketika itu Sin Tjoe terpisah kira sepuluh tombak dari Siauw Houwtjoe, sulit untu k ia menolongi. Sedang Tay Hong pernah dengan tangannya itu melukai tak sedikit orang. Siauw Houwtjoe tidak takut melihat ancaman bahaya itu, bahkan dia tertawa haha-h ihi dan berkata: "Kau menggerembengi tuan kecilmu meminta-minta, tidak bisa lain , terpaksa tuan kecilmu menderma kepadamu semua sisa uang beberapa tjhie lagi!" Kata-kata itu disusuli suara menggen-tring, lalu tiga biji tangtjhie melesat ke arah Tay Hong. Bocah ini menggunai itu sebagai senjata rahasia kimtjhie piauw, u ntuk menyerang ketiga jalan darah thayyang hiat di kepala, soankie hiat di dada dan yongtjoan hiat di kaki. Thio Tay Hong tengah berlompat, ia terkejut. Dengan kedua tangannya ia dapat men yambar dua biji piauw, yang satunya lagi tidak keburu, maka tepat kakinya kena terhajar, terus d ia roboh terbanting, saking sakitnya, dia mengeluarkan air mata. "Haha!" tertawa Siauw Houwtjoe. "Aku tidak niat membunuh padamu, perlu apa kau m enangis? Tubuhmu tinggi seperti kerbau dan besar seperti kuda, kau meluberkan ai r mata, apakah kau tidak malu?" Siapa kena dilukai jalan darahnya yong-tjoan hiat, dia mesti mengeluarkan air ma ta. Siauw Houwtjoe mengetahui itu tetapi sengaja ia mengejek. Ketika itu Ong Kim Piauw telah dapat menyandak, ia melihat semua, maka ia menjad i mendongkol sekali. Sambil berlompat, untuk menerjang, dia berseru: "Bocah yang baik, mari!" Ia menggunai sebatang poankoan pit, ialah senjata semacam alat tulis untuk menot ok jalan darah. Ia pun pandai menyambuti senjata rahasia. "Celaka!" mengeluh Siauw Houwtjoe. "Uangku sudah habis, kenapa kau mengemis padaku? Entjie, kau tolongi aku mengusi r dia!" Ia bebas dari to-tokan pertama, ia lantas diserang berulang-ulang, hingga ia menjadi terancam bahaya. "Baik, aku nanti menderma emas kepadanya!" terdengar suaranya Sin Tjoe, yang hab is berkata begitu terus tertawa. Ong Kim Piauw lantas saja terkejut. Di depan matanya berkelebat sinar kuning ema s. Segera ia menangkis pergi pulang dergan senjatanya, maka dua kali terdengar suara "traang." Ia berhasil membuat terbang dua biji bunga emas. Ia hendak membuka mulutnya, akan menegur penyerangnya, ketika bunga emas itu berbalik menyambar pu la, hingga ia menjadi gugup hendak ia menangkis pula, sudah kasep. Dua-dua bunga emas itu mengenai sasarannya, ia lantas roboh terguling dengan pingsan. Siauw Houwtjoe tertawa. "Dia mana sanggup menerima amal emasmu, entjie1." katanya Jenaka. Walaupun baharu lolos dari bahaya, bocah ini sudah bergurau pula. Ia pungut kedu a bunga emas, sembari melewati Thio Tay Hong, ia dupak jalan darah djoanma hiat dari siewie itu, habis mana bersama kawannya itu ia nge-loyor pergi. Sin Tjoe cuma bersenyum saja. Nona Ie gembira sekali. Ia berhasil meniru cara menimpuk dari Ismet, yang pandai menggunakan senjata rahasia yang merupakan bola emas. Habis itu mereka pulang ke rumah penginapan. Segera Sin Tjoe mengunci pintu kama rnya, untuk terus merobek surat rampasannya. Membaca laporan rahasia itu, ia ber duka. Di situ dibeber perbuatan siauwkongtia mengangkat Ie Kiam menjadi malaikat kota. Pada itu ditambahkan usul supaya siauwkongtia dipanggil ke kota raja, unt uk dipecat menjadi rakyat biasa, supaya dia diganti oleh lain putera atau kepona kan Bhok Kokkong . Tentang Bhok Kokkong sendiri diusulkan mencabut segala kekuasaannya. Bagus kesannya Sin Tjoe terhadap Bhok Lin, yang menghormati ayahnya, maka itu, ingin ia menolongi pangeran muda itu. Dengan cara bagaimana? Inilah yang menyulitkan ia. Hek Pek Moko belum tiba ia tidak dapat kawan untuk d iajak berdamai. Saking masgul, habis bersantap ia terus merebahkan diri. Ia samp ai tidak mempedulikan ketika Siauw Houwtjoe mengi-jang mengajaki ia pergi menont on keramaian tengloleng. Malam itu selagi Ie Sin Tjoe belum tidur, pemilik hotel datang padanya, mengasi tahu di luar ada orang mencari si nona. "Orang macam apa dia itu?" tanya Sin Tjoe. "Seorang muda yang romannya tampan," sahut pemilik hotel. Nona Ie heran. Ia mulanya menyangka Hek Pek Moko. Kalau Toan Teng Tjhong, tidak nanti dia datang sendirian. "Kenapa di sini ada orang mengenal aku?" pikirnya se telah berdiam sejenak. "Orang muda itu kelihatannya sebagai orang baik-baik. Apakah nona ingin menemui dia?" pemilik hotel menanya. Di Inlam, pergaulan wanita dengan priya tak terlalu keras, tetapi seorang priya mengunjungi seorang wanita di hotel di waktu malam buta rata, tidaklah biasa. Ta pi tuan hotel itu telah mendapat presen dari si pemuda, maka itu, ia bicara baik tentang pemuda itu. "Baiklah, silahkan ia masuk!" kata Sin Tjoe kemudian. Seberlalunya tuan rumah, Siauw Houwtjoe tertawa menghadapi kawannya. "Seorang muda yang tampan!" katanya. "Hihi! Kiranya kekasih entjie ada di sini!" "Ngaco!" membentak si nona, "Nanti aku robek mulutmu!" Lalu dengan roman sungguh , ia menambahkan: "Orang datang tengah malam, dia mesti mempunyai urusan penting sekali. Pergi kau bersembunyi." "Ah, kau tidak sukai aku berada di dalam kamar!" kata si nakal. "Malu?" Sin Tjoe mendelik terhadap bocah itu, atas mana dengan mengulur lidah dan jalan berindap-indap dia pergi ke kamarnya sendiri, yang sebelah menye-belah, maka itu lantas ia manjat tembok, untuk memasang kuping... Sin Tjoe lagi berpikir, ia tidak perhatikan bocah nakal itu. Pula ia segera deng ar suara tuan rumah di luar kamar: "Tetamu sudah datang!" Ia lantas membukai pin tu. Seorang muda, yang benar tampan, bertindak masuk. Ia mengenakan mantel bulu rase putih. Ia bertindak dengan pelahan. Sin Tjoe mengawasi, ia heran. Ia merasa seperti pernah lihat orang ini, entah di mana. Ia lantas menanyakan she dan nama orang serta maksud kedatangannya malam- malam itu. Tetamu itu mengawasi ke sekitar kamar. Selama itu, tuan rumah sudah mengundurkan diri. Tiba-tiba ia tertawa, terus ia mengunci pintu. Sin Tjoe terkejut. "Kau mau apa?" tegurnya. Pemuda itu tertawa, halus suaranya, maka Nona Ie menjadi curiga. Setelah tertawa, pemuda itu membuka kopianya, maka terlihatlah rambutnya yang ba gus. Ketika Sin Tjoe mengawasi, ia segera kenali budak keluarga Bhok yang tadi i a lihat di Senghong bio tengah mengiringin Nona Bhok, ia menjadi tertawa sendiri nya. Sudah dua tahun ia biasa menyamar, ia tidak dapat mengenali orang. "Maaf, Nona!" berkata si budak kemudian. "Kenapa kau ketahui she dan namaku dan aku tinggal di sini?" Sin Tjoe mena nya. Ia heran. Budak itu tidak menjawab, hanya ia berkata pula: "Nonaku mengundang nona. Sebentar nona akan mengetahui sendiri."fl Sin Tjoe menjadi bertambah heran. "Aku minta nona berangkat sekarang juga," berkata lagi si budak. "Nonaku lagi me ngalami perkara sulit sekali, ia mau minta pikiran nona." "Mungkinkah urusan yang ada sangkutannya dengan laporan rahasia ini?" Sin Tjoe l antas menduga-duga. "Kalau benar, baiklah surat ini kau berikan kepada Nona Bhok itu..." "Nona Ie, mari lekas!" mendesak pula si budak. "Sekarang sudah jam dua lewat, se le-watnya jam tiga, nanti orang mencurigai kita." Sin Tjoe melihat roman orang yang bergelisah. "Baik," katanya. "Tunggu sebentar..." Ia sebenarnya hendak memesan apa-apa kepad a Siauw Houwtjoe, atau mendadak seorang lompat turun dari atas tembok. Ia terkejut. Syukur ia segera mengenalinya. "Entjie, aku di sini!" berkata orang itu ialah si bocah nakal Siauw Houwtjoe. "Adikku nakal, kau tentu kaget?" katanya pada budak Nona Bhok. "Oh, tidak," sahut si budak. "Adikmu liehay, nona, guru silat di istanaku tak se pandai dia." Dia mengatakan tidak kaget, sebenarnya hatinya memukul. Sin Tjoe lantas kata pada Siauw Houwtjoe: "Kedua gurumu bakal datang besok, umpa ma aku belum pulang, kau beritahukan aku pergi ke Bhok Konghoe." "Aku mengarti." "Sebelum aku pulang, kau jangan pergi ke luar." "Apa kau kira aku bocah cilik hingga perlu dipesan lagi?" si nakal menyahuti. "Kau mesti jagai kudaku, jangan sampai orang curi!" pesan pula si nona. "Kuda itu ada kesayanganmu, aku pun menyukainya, kalau ada yang curi, aku nanti adu jiwaku!" "Siapa bisa mencuri kuda itu, dia mesti liehay sekali. Kau mungkin bukan tanding annya..." "Kalau begitu, apa perlunya kau pesan aku?" si nakal membaliki. "Kuda itu kenal aku, kalau kau yang menaikinya, dia tidak nanti membangkang. Tid ak demikian terhadap orang lain. Kalau ada yang mencuri dan kau tidak sanggup me lawan, kau kabur bersama kuda itu..." "Sudah, sudah, kau pergilah!" si nakal jadi habis sabar. "Selembar saja kuda itu lenyap bulunya, aku bertang-m gung jawab." Sin Tjoe lantas berlalu bersama si budak. Di jalan besar tinggal sedikit orang-o rang yang berlalu lintas. Ia diajak pergi ke pintu yang kecil dari kota timur, d ekat dengan luar kota. Suasana di situ sunyi sekali. Rembulan pun guram karena b aharu tanggal tiga bulan delapan. Hanya angin bersiur-siur. Ia tidak bergembira. Selagi mendekati pintu kota, tiba-tiba terdengar satu suara angin dibarengi berk ele-batnya bayangan orang di atas tembok kota. Ia lantas lompat mencelat, karena ia tahu ia tengah dibokong. Ia sudah siap dengan bunga emasnya tetapi ia tidak segera membalas menyerang. Hanya ia tampak tubuh si budak terangkat naik. Ia menjadi kaget sekali, tanpa ayal lagi, ia menimpuk dengan panah Tjoayam tjian pengasi Hek Moko, maka panah itu meluncur ke udara dengan me ngasi dengar suara tajam dan terus mengeluarkan api bersinar biru. Sekarang Nona Ie melihat seorang yang berpakaian hitam yang memakai topeng, dengan tali bandering dia mengangkat tubuh si budak naik ke atas tembok. Ia sege ra menyerang dengan dua buah bunga emasnya. Tembok kota tinggi tiga tombak. sedang orang itu gesit sekali, belum lagi ia ter serang, sudah ia lompat turun ke luar kota. Sin Tjoe bergelisah, ia hunus pedangnya, sambil lompat, ia tancap itu ke tembok kota, untuk dipakai menahan tubuhnya, maka di lain saat ia sudah berada di atas tembok. Ia melihat k e bawah, ia dapatkan orang sudah lari puluhan tombak jauhnya. Sinar rembulan yan g guram membikin ia tidak dapat melihat tegas. Ia cuma tahu orang dapat lari ker as. Terpaksa ia lompat turun, untuk mengejar. Sekian lama, ia melainkan bisa men dekati sepuluh tombak lebih. Tiga kali ia menimpuk, semuanya gagal. Maka ia mengejar terus. Orang itu lari ke lembah, di sana dia lenyap. Sebaliknya, Sin Tjoe melihat sebua h rumah besar dari mana terlihat sinar api. Itulah rumah satu-satunya, maka si n ona menyangka orang lari ke rumah itu. Dengan berani ia bertindak menghampir-kan . Ia lihat pintu seper- ti cuma dirapatkan, ia lantas mencoba menolak. Kedua daun pintu sudah lantas men jeblak. "Mungkinkah pintu tidak dikunci untuk memancing aku?" si nona berpikir. Ia perlu menolongi orang, ia lantas bertindak masuk. Baharu ia jalan belasan tindak, men dadak pintu di belakangnya bersuara nyaring, tertutup sendirinya. Ia jadi kaget berbareng gusar, hingga ia mengasi dengar suaranya: "A ku akan memasukinya walaupun ini sarang naga atau guha harimau!" Dari sebelah dalam terdengar suara tertawa samar-samar. Mengikuti itu, Sin Tjoe membuka tindakannya. Ia melintasi beberapa pintu, yang hanya dirapatkan, terus sampai di sebuah ruang besar. Di sana terlihat satu perwira tengah berduduk di kursi dan di depannya ada si budak, yang tubuhnya terbelenggu. "Ha, kiranya kau!" Sin Tjoe berseru. "Kau menjadi Tay/wee Tjongkoan tapi tengah malam buta rata kau menculik gadis orang! Tahukah apa dosamu?" Perwira itu, ia- lah Yang Tjong Hay, lantas tertawa. "Nona Ie," dia berkata, "tahukah kau akan dosamu di siang hari bolong melukai or ang?" dia balik menanya. Dia rupanya sudah ketahui perbuatan si nona tadi siang. "Kau tahu siapa dia ini?" Sin Tjoe menanya tanpa perdulikan perkataan orang. Yang Tjong Hay tertawa. "Lain orang jeri terhadap Bhok Kokkong, aku tidak!" katanya. Terus dia mengeprak meja. "Budak cilik, lekas serahkan suratmu!" Dia membentak si budak perempuan. "Surat apa?" budak itu tanya. "Surat rahasia dari Ong Tjiangkoen1." "Ong Tjiangkoen yang mana?" "Jangan kau berlagak gila! Nonamu suruh kau malam-malam mencari Nona Ie, apakah perlunya? Jikalau tidak serahkan itu, terpaksa aku berbuat kurang ajar! Lihat, a ku berani atau tidak menggeledah kau!" Mendadak dia usir tangannya menyambar baj u si budak. "Hai, kau berani menghina hambanya kongya?" budak itu membentak. N yata dia berani. Tapi Yang Tjong Hay melawan tertawa, sedang kedua tangannya bekerja. Dengan bers uara "Bret!" baju si Sin Tjoe tidak mau mengerti, ia menyerang terus dengan bunga emasnya, ia menggun ai hingga delapan belas biji, maka mau atau tidak, Yang Tjong Hay menjadi gentar juga nyalinya. Terpaksa tjongkoan ini mengurung diri dengan pedangnya. budak terbelah dua, maka terlihatlah baju dalamnya yang merah. Sin Tjoe menjadi mendongkol sekali. "Surat itu ada di tanganku!" ia berseru. "Kau menghina satu budak, sungguh tidak tahu malu!" Inilah tipunya Yang Tjong Hay, untuk memaksa orang membuka rahasia. Maka ia tert awa pula. "Kenapa kau tidak mengatakannya siang-siang?" katanya. "Serahkan surat itu padak u, perkara habis! Kalau tidak, jangan harap kau bisa keluar dari sini!" "Jikalau kau bisa, kau ambillah!" si nona menantang. Malah segera ia mendahul ui menyerang dengan pedangnya. Yang Tjong Hay mencelat dari kursinya, tapi tangannya menyambar, untuk men- coba merampas pedang penyerangnya itu. Tapi ia gagal, ia lantas diserang pula. Dengan lekas lewat sudah beberapa jurus. "Sungguh pesat kemajuannya satu anak muda!" berkata Tjong Hay, yang lihat si nonaa menjadi terlebih gagah. "Tapi, hm, untuk melayani aku, kau masih beda jauh!" Ia terus menyerang dengana kedua tangannya, dengan tipu silat "Naga terbang ke l angit," hingga Sin Tjoe mesti lompat mundur dua tindak. Ketika ini dipakai si pe rwira untuk menghunus pedangnya. Mengetahui ia terancam di mulut harimau, Sin Tjoe bersedia mengadu jiwa. Ia kelu arkan kepandaiannya menggunai pedangnya. Maka sembari berkelahi ia sempat mengso ntek putus belengguannya si budak, hingga dia ini menjadi kaget dan lemas, tidak dapat dia berlari. "Lekas lari, jangan pedulikan aku!" Sin Tjoe memberi ingat. Yang Tjong Hay tertawa lebar. "Sesudah sampai di sini kau memikir untuk lari? Hm! Kau mimpi?" katanya. Nyata di pintu ada mengandang beberapa orang, di antaranya siewie Thio Tay Hong yang tadi siang dirobohkan Siauw Houwtjoe. Dia tidak tahu tabiatnya Yang Tjong Hay, yang suka berkelahi satu sama satu, selagi yang lainnya berdiam saja, dia maju untuk membalas sakit hati. Sin Tjoe murka, ia berbalik sambil menangkis, berbareng dengan itu, tangan kirin ya terayun, maka bunga emasnya membuat liang di dahinya orang she Thio itu. Yang Tjong Hay mendongkol. "Gotong dia pergi!" ia menitah. "Kamu menjaga di luar pintu, jaga kalau ada yang nyelundup! Siapa pun tak boleh masuk ke dalam rumah ini!" Yang Tjong Hay mendongkol sebab tidak sempat ia mencegah serangan si nona. Ia pu n tidak menyangka bahwa tidak gampang untuknya membekuk nona itu. Justeru ia ber kata, mendadak si nona sudah bergerak dengan, tipunya "Menembusi bunga, mengitar i pohon." Segera dia bergerak cepat sekali, berlari-lari ke empat penjuru, berpu tar-putar. Yang Tjong Hay menyusul dan menikam, beberapa kali, tetapi ia gagal, meski nampa knya ia akan berhasil mengenai sasarannya. "Yang Tjong Hay liehay!" begitu memuji orang-orang di ambang pintu, untuk menjil at-jilat. Tjong Hay tetap gagal dengan penyerangannya, gagal dengan beberapa puluh tika-ma nnya, hingga selain ia menjadi jengah, pujian pun berhenti sendirinya, sebab sem ua orangnya menjadi heran sekali. Dalam mendongkolnya, Tjong Hay tertawa dingin. "Bagus muridnya Thio Tan Hong, sejurus juga dia tidak berani menangkis!" ia meng obor. Ia tidak tahu, karena kalah tenaga dalam, Sin Tjoe tidak dapat bertahan te rlalu lama dengan ilmunya "Menembusi bunga, mengitari pohon" itu. Nona itu memang tengah bergelisah, tetapi dapat ia mengendalikan diri. Ia mengerling, lalu ia pu n tertawa dingin, untuk membalas mengejek. "Sambut!" serunya tiba-tiba, segera pedangnya berkelebat, menyusuli mana, dua bunga emasnya, melesat dari bawah pedangnya itu. Dua kali terdengar suara nyaring, segera terlihat Yang Tjong Hay mundur beberapa tindak. Di luar dugaannya, pedangnya kena dihajar bunga emas si nona. Syukur, di a masih sempat menangkis. Sin Tjoe tidak berhenti sampai di situ. Bunga emasnya yang ketiga dan ke empat m enyerang pula saling susul. Dengan pedangnya, Tjong Hay punahkan dua senjata rahasia itu, terus ia tertawa, "Mutiara sebesar beras pun bersinar!" dia mengejek. Tapi dia dihujani bunga emas yang ke lima, ke enam, ke tujuh dan ke delapan. Untuk menjual lagak, dia berlom patan, pedangnya berkelebatan. Maka runtuhlah ke empat bunga emas si nona. Nyari ng suara beradunya kedua rupa senjata itu. Bukan kepalang puasnya orang she Yang ini, hingga ia tertawa terbahak- bahak. Di luar dugaannya, beberapa bunga emas yang tersampok mental itu tiba-tib a berbalik menyambar pula, mengarah jalan darahnya. Ia kaget, lekas-lekas ia mem bela dirinya. Ia melihat bagai-mana senjata rahasia itu mempunyai tenaga menyamb ar balik. Ia heran sekali. "Aneh senjata rahasianya budak ini..." ia berpikir. Sin Tjoe tidak mau mengarti, ia menyerang terus dengan bunga emasnya, ia menggun ai hingga delapan belas biji, maka mau atau tidak, Yang Tjong Hay menjadi gentar juga nyalinya. Terpaksa tjongkoan ini mengurung diri dengan pedangnya. Sayangnya untuk Sin Tjoe, belum sempurna latihannya menimpuk menurut cara Ismet itu dan belum sempurna latihan tenaga dalamnya, karenanya, bunga emasnya masih k urang cepat untuk Tjong Hay. Dalam murkanya, perwira itu berseru, atas mana empat pintu di ruang itu lantas t ertutup rapat. Itu artinya sudah tertutup jalan keluar si nona, maka ia pun menjadi nekat. Penerangan dalam ruang itu padam, sebagai gantinya terlihat sinarnya bunga emas, yang berkilauan di sana-sini. Yang Tjong Hay berkelahi sambil berseru, ia mencoba menjatuhkan semua bunga emas. Ia pun berbareng menggunai Pek kong tjiang, ialah serangan tangan kosong, yang anginnya saja yang menyampok ker as. Sin Tjoe heran untuk liehaynya orang ini, tetapi ia pun tidak takut, bahkan ia m erangsak. Tjong Hay lebih gagah tapi dia repot, mana mesti menjaga bunga emas, mana mesti menangkis pedang si nona. Pula ia jeri untuk pedang mustika nona itu. Mau atau t idak, sekarang ia terdesak juga. Di dalam hatinya, Tjong Hay mengeluh. Untuk menawan si nona, ia sebenarnya mempunyai daya lain tet api tadi ia telah pentang mulut hendak bertempur satu sama satu dan ia malu untu k menarik pulang perkataannya itu. Sementara itu telah terdengar keruyuknya ayam dan sinar fajar memasuki ruang rum ah. Rupanya sang waktu tiba pada jam empat. Tentu sekali, bertele-telenya pertempuran membuat kedua pihak sama-sama lelah. Si nona disebab kan kalah latihan tenaga dalam, Tjong Hay lantaran terlalu banyak menggunai tena ga untuk menyingkir dari bunga emas dan tajamnya pedang mustika. Mereka yang menanti di luar ruang pun heran dan cemas hatinya. Mereka tetap membungkam, sebab mereka tidak berani membuka mulut untuk pemimpinnya itu menyud ahi pertempuran satu sama satu itu. Lagi sejenak, suara napas Sin Tjoe terdengar nyata. Di lain pihak, dahi Tjong Ha y bermandikan keringat. Jago ini mendongkol berbareng bergelisah. Ia mesti terus menjagai keselamatan dirinya. Ia insaf, sedikit saja lambat, ia bisa celaka. Sebentar kemudian, dari jendela masuk sinar terang sang pagi. Tiba-tiba dari luar terdengar suara nyaring: "Yang Taydjin, Ong Tjiangkoen mengundang!" Inilah yang diharap Tjong Hay. Kali ini ia tidak menjadi gusar. Lantas ia mencob a mendesak si nona, hingga nona itu mundur dua tindak. "Budak cilik, aku membiarkan kau hidup lagi beberapa jam!" kata perwira itu. "Se bentar aku datang pula untuk membereskanmu!" " Tjongkoan yang maha agung hendak melarikan diri?" si nona mengejek. Habis berkata Tjong Hay mencelat tinggi, dia menyerbu genteng hingga berlobang dan tubuhnya keluar dari situ. Sin Tjoe berniat menyusul lawannya itu ketika mendadak ia merasakan rumah goyak bagaikan bumi gempa, berbareng dengan itu ia juga mendengar suaranya si budak pe rempuan: "Nona Ie! Nona Ie! Kau di mana?" Budak itu sembunyikan diri di antara m eja marmer yang besar. "Jangan takut, aku di sini!" si nona lekas menyahuti, lantas dia lompat, akan menyambar budak itu. Tapi berbareng dengan itu, tubuhnya terjeblos tanpa dia berdaya lagi, hingga di lain saat dia berada di tempat gelap hingga di a tak dapat melihat lima jari tangannya di depan matanya. Dia mendongkol hingga dia mengutuk Tjong Hay sebagai manusia tak terhormat. *** Selagi nona itu mementang mulut, kupingnya mendengar menderunya air seperti air banjir dan berbareng tubuhnya dirasai dingin. Dari atas liang pun terdengar suar a orang: "Yang Tjongkoan menitahkan kau menyerahkan pedang serta surat, kalau ti dak, jangan sesalkan kita tidak mengenal kasihan, ter- paksa kau akan direndam mati!" "Baiklah, kau buka pintu!" Sin Tjoe menyahuti. Di atas lantas tertampak sinar terang, tandanya liang dibuka. Sin Tjoe segera mencelat naik, tiga bunganya pun ditimpuki sekalian. Ia tidak me mikirkan, berapa tingginya pintu itu. Belum lagi ia sampai di atas, tutup sudah dirapatkan pula. Dari atas itu dengar tertawa dan kata-kata ejekan. Sin Tjoe mendongkol sekali. Budak itu pun terdengar giginya ber-catrukan. Air su dah merendam mereka hingga di lutut. "Apakah kau takut?" Sin Tjoe tanya. Ia memeluki tubuh orang. "Sebenarnya aku takut, tapi ada bersama nona, sekarang tidak lagi." sahut budak itu. "Kenapa?" Sin Tjoe tanya. Ia bersenyum. "Karena kau ada puterinya menteri setia nomor satu di dalam kerajaan kita." menj awab pula budak itu. "Dahulu hari ayahmu tidak takut mati, untuk membela negara ia telah berkurban, maka itu, kenapa mesti takut untuk penderitaan begini?" Sin Tjoe terharu, hingga ia berdiam saja. Ayahnya itu memang setia dan telah ber kurban. "Nona Ie," berkata pula si budak. "Aku dapat melihat dan bertemu denganmu, tidak lah sia-sia hidupku ini. Nonaku pun sangat mengagumi kau." "Aku pun bersyukur kepada tuanmu yang muda dan nonamu itu," kata Sin Tjoe. "Apa namamu?" "Aku Touw Kim Go, nona. Aku ada dari suku bangsa Pek di Tali dan sedari kecil ak u melayani Siotjia." "Dari mana kau ketahui halku?" "Nona majikanku yang membilangi. Siotjia pun ketahui kau sudah melukai Thi o Tay Hong dan Ong Kim Piauw." "Bagaimana dia ketahui kejadian itu?" "Kemarin mereka di-ketemukan serdadu peronda, mereka lantas digotong pulang. Kebetulan Bhok Kongya tidak ada di rumah, kami semua pergi keluar untuk me lihat. Siotjia kenali Ong Kim Piauww sebagai sebawahan Ong Tjiangkoen. Siotjia menanya kenapa mereka terluka, Ong Kim Piauw tidak mau memberi kete rangan. Kemudian mereka diambil Ong Tjiangkoen. Nonaku lantas kel uar sebentar, sekembalinya, ia menyuruh aku mencari kau di rumah penginapan." "Kenapa nonamu ketahui aku?" "Itulah sebab bunga emasmu, yang Siotjia kenal. Katanya di kolong langit ini, ke cuali isteri Thio Tayhiap dan kau, tidak lain orang yang menggunai senjata rahas ia semacam itu." Sin Tjoe heran bukan main. "Nona itu kelihatan lemah, kenapa dia tahu tentang senjata rahasia kaum Rimba Pe rsilatan?" ia berpikir. "Pula, kenapa dia tahu hotelku?" Memikir begini, ia jadi sangat ingin segera menemui nona Bhok itu. Maka ia menye sal sekali, sekarang dirinya terkurung dan ia tidak mempunyai sayap untuk terban g pergi. Si budak kedinginan dan kelaparan, hampir dia tidak dapat bicara. Sin Tjoe memeluki dan mengangkat, untuk mencegah orang keren-dam. Ia sendiri pun mulai lapar juga. Tiba-tiba terlihat sinar terang dari atas, lalu sebuah bungkusan jatuh. Sin Tjoe dapat lihat itu, ia menanggapi. Menyusul itu, sinar terang lenyap lagi. Memeriksa bungkusan, Sin Tjoe dapatkan itu adalah nasi yang terbungkus dengan daun teratai, baunya nasi dan harumnya teratai tercampur menjadi satu, membangki tkan selera orang. "Sungguh wangi!" kata si budak. Sin Tjoe sendiri heran bukan main, hingga ia menjadi curiga. "Bukankah tadi mereka mengancam aku? Kenapa sekarang mereka memberikan nasi? Mun gkinkah nasi ini dicampuri racun?" Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar suara pelahan dan halus: "Jangan takut, jan gan takut! Makanlah!" Si nona terkejut dan heran. Ia rasa kenal suara itu, yang datangnya dari sebelah tembok. Sukar akan dicari orang yang dapat bicara seperti orang itu. Ia terkeju t, karena kalau orang sudah sedemikian liehay tenaga dalamnya, sebenarnya tak su sah untuk orang itu membekuk ia. "Aku lapar, aku lapar sekali... Barang apa itu, nona?" si budak bertanya, suaran ya lemah. "Nasi pepes daun teratai," si nona menyahuti. Ia lantas pecah dua nasi itu, sepa ruh ia kasi si budak, separuhnya untuk ia sendiri. Berdua mereka berdahar dengan bernapsu, lezad sekali nasi itu! Kejadian luar biasa lainnya segera menyusul. Air yang naik semakin dekat, mendad ak surut, surut hingga habis. Sin Tjoe heran berbareng girang. "Apa artinya ini?" si nona menanya dirinya sendiri. "Dia musuh atau kawan?" Ia m aksudkan orang yang mengantarkan nasi pepes itu. Si bujang, yang lelah sekali, setelah bersantap, lantas tidur pulas. Sin Tjoe tidak mau mengganggu, ia hanya diam berpikir. Lagi selang sekian lama, di atas terdengar suara beradunya senjata, selang sekian lama, suara itu lenyap. Habis itu mendadak terlihat sinar terang. "Entjie Kim Go, kita ketolongan!" berseru Sin Tjoe. "Apa?" si budak mendusin, kaget. Ia mengucak-ngucak matanya. "Kau peluk aku erat-erat, jangan takut, aku akan bawa kau naik." Nona Ie membalas memeluk dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang pedangnya, terus ia mencelat naik. Untuk tiba di atas, ia mesti beberapa kali menancap ped ang di tembokan liang itu. Setibanya di atas, ia berdiri menjublak. Belasan orang laki-laki tampak di situ, dengan pelbagai sikapnya, seperti orang disihir. Ada yang lagi menikam dengan pedang, ada yang membungkuk untuk memanah, ada yang lagi membacok dan lainnya. Mata mereka itu ber-jelilatan, seperti mereka ketakutan dan tengah menderita. Sin Tjoe sadar setelah ia ingat orang tentu telah terkena totokan, akibat pertem puran tadi. Ia coba menotok bebas salah satu orang, untuk ditanyai keterangannya , tetapi ia tidak berhasil. Istimewa totokan orang yang tidak dikenal itu. "Apakah Hek Pek Moko yang datang atas tanda panahku?" kemudian Sin Tjoe menduga- duga. Ia lari keluar. Sunyi di sekitarnya, di situ tidak ada lain orang. Matahar i sudah bersinar layung. Tanpa merasa, sudah lohor lagi. Ia jadi bertambah heran . Hek Pek Moko tidak bakal meninggalkan padanya. "Nona Ie, di sini seram, mari kita lekas pergi!" si budak mengajak. "Satu malam aku tidak pulang, nonaku tentu berkuatir sekali." "Baik," kata Sin Tjoe, yang masih memeriksa rumah itu, yang semua pintunya terpe ntang, penghuninya semua masih berdiam bagaikan patung-patung. Ia pergi ke belak ang, ia melihat beberapa ekor kuda. Ia memilih dua ekor, dengan itu berdua Touw Kim Go ia kabur ke dalam kota, terus ke gedung Bhok Kokkong, tidak jauh dari pin tu kecil bahagian timur. Tiba di sana, orang sudah pasang lampu. Kim Go ajak Nona Ie masuk dari belakang. Di dalam tidak ada orang merintangi ia. Di depan sebuah kamar indah, ia mengetok pintu, ia berkata: "Siotjia, Nona Ie s udah datang!" Dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa. "Ah, ke mana siotjia pergi?" pikir budak ini. Selang sekian lama, baharu pintu dibuka, seorang budak lain muncul. "Eh, Kim Go, kenapa baharu sekarang kau pulang?" tanya dia, ialah Gin Koei, pela yan lain dari Bhok Siotjia. "Panjang untuk aku menutur. Mana siotjia?" "Siotjia sudah pergi." "Pergi? Pergi ke mana?" "Entahlah! Siotjia pergi tadi magrib, keluarnya dari taman. Romannya kesusu sekali. Aku tidak berani menyapa." Sembari berkata, budak itu menyilahkan Sin Tjoe masuk ke dalam kamar. Segera setibanya di dalam, Nona Ie heran atas sebuah pigura yang bermuatkan tuli san melulu. Ia mengenali baik sekali tulisan gurunya, Thio Tan Hong. Ia tidak mengarti, kenapa tulisan gurunya ada di situ. Gin Koei sendiri sudah lantas berkata: "Malam ini kongya menjamu tetamu, y ang katanya datang dari kota raja dan pangkatnya entah tjongkoan apa . Kongya pesan siotjia untuk menilik siauwya, katanya sebentar habis pesta, kongya hendak berbicara. Siapa tahu, siotjia sudah lan tas pergi." "Tjongkoan?" Sin Tjoe berpikir. "Diakah Yang Tjong Hay?" Ia lantas menanya, kena pa Bhok siotjia yang disuruh menilik siauwkongtia. Gin Koei bersangsi. "Inilah Nona Ie, yang diundang nona kita, kau boleh omong segala apa," Kim Go be ritahu. "Setahu kenapa, kemarin kongtia gusar, siauwya dikurung di kamar," menerangkan Gin Koei. "Karena tidak ada pahlawan yang menjaga, siotjia y ang diberi tugas..." Sin Tjoe menduga tentulah pangeran tua memarahi puteranya urusan Senghong. Itu waktu terdengar suara kuda kereta. "Nah, tetamu itu datang!" berkata Gin Koei. "Di mana pestanya dibikin?" Sin Tjoe tanya. "Di dalam taman sebelah barat." "Mari kau ajak aku melihat." Gin Koei kaget, dia ketakutan. "Mari aku yang mengantari," kata Kim Go tertawa. "Kita dapat bersembunyi di bela kang gunung palsu di tepi pengempang. Kalau orang pergoki kita, bilang saja kita lagi main petak, kongya tentu tidak marah." Budak ini lantas cari makanan buat Sin Tjoe dan ia sendiri, kemudian mereka sali n pakaian mereka yang basah. Secara diam-diam mereka pergi ke taman. Kebetulan perjamuan baharu di mulai. Dari tempat sembunyi , Sin Tjoe dapat melihat nyata sekali. Di kursi pertama duduk seorang berpangkat besar, mukanya putih tanpa kum is. Yang duduk di kursi kedua benarlah Yang Tjong Hay. Yang ketiga Sin Tjoe kenal sebagai Ong Tjiangkoen. Di sisi tuan rumah ada s eorang imam. Bhok Kongya panjang jenggotnya dan nampak agung. "Heran, kenapa kongya mengundang imam?" Kim Go berbisik. Itu waktu si pembesar pangkat tinggi terlihat bicara. Kim Go tidak dapat mendeng ar suaranya. Sin Tjoe lekas menempelkan kupingnya di batu gunung, ia mendapat mendengar dengan nyata. "Kabarnya si bocah suku bangsa Pek di Tali hendak berontak, yang mengepalai iala h keluarga Toan, semua pembesar pemerintah hendak diusir pergi. Adakah itu benar?" Suara pembesar ini kecil, mirip suara wanita. "Memang ada gerakan memberontak itu," Bhok Kokkong menyahuti. "Cuma menurut peng umuman mereka, mereka bukan berontak, mereka tidak menghendaki tanah daerah oran g Han. Rupanya mereka mau mengangkat diri menjadi raja." "Hm, mengangkat diri menjadi raja!" mengejek si pembesar tinggi. "Bukankah itu p emberontakan? Budi pemerin- tah kepada Keluarga Toan bukannya tipis. Ketika dulu leluhurmu, Kimlengong, memu snahkan negara Tali, untuk turun temurun keluarga Toan diangkat menjadi pengtjia ngsoe di Tali. Kenapa keluarga itu tidak kenal cukup?" "Memang. Tentang itu aku pun sudah mengirim laporan kepada Sri Baginda. Kebetula n Lauw Kongkong datang, inilah terlebih baik pula. Lauw Kongkong senantiasa mend ampingi Sri Baginda, justeru Kongkong ada orang Inlam, ingin aku menanya pikiran pikiranmu." Mendengar panggilan "kongkong" itu, Sin Tjoe baharu tahu bahwa orang ada seorang kebiri dari istana kaisar. Semenjak Kaisar Beng Thay Tjouw mendirikan kerajaann ya dia melarang orang kebiri (thaykam) mencampuri urusan pemerintahan, larangan ini berjalan beberapa turunan , lalu menjadi longgar, maka juga sering terjadi kaisar angkat seorang kebiri me njadi utusannya. Contoh nyata yaitu Kaisar Beng Seng Tjouw mengirim Thaykam The Hoo ke luar negeri hingga tujuh kali. Orang kebiri jaman Beng banyak terdiri dar i orang propinsi Inlam, The Hoo tak terkecuali, ada yang pandai, ada juga yang b uruk. Dan ini thaykam she Lauw, mendengar suaranya, ada orang Inlam. Senang dia mendengar Bhok Kokkong memohon pikirannya, ia bersenyum. "Kongtia sampai menanyakan, mana berani aku tidak mengutarakan segala apa-apa, " kata dia. "Menurut aku, mesti kongtia lekas mengirim pasukan perang untuk menindas. Sri Baginda pun memesan aku akan menyampa ikan kepada kongtia untuk mengawasi sepak terjang mereka itu, setelah sekarang terang ada tanda-tandanya pemberontakannya, tidak bisa lain, mereka harus ditindas!" Bhok Kokkong berpikir. "Mengangkat senjata bukankah itu mencelakai rakyat jelata?" katanya. Mendengar ini, Lauw Kongkong tidak puas. Tapi Keluarga Bhok besar kekuasaannya, raja pun memberi muka, ia tidak berani sembarang bicara. Ia tertawa. "Kongtia mulia hati dan welas asih, tidak kecewa kau menjadi ibu bapak rakyat," ia berkata. "Cuma di jaman kalut, orang mesti menggunai hukuman, tanpa mengangkat senjata, pemberontakan mana dapat ditindes? Sekarang bagaimana pikiran kongtia?" Bhok Kokkong bersenyum. "Hari ini ada dua tetamu jauh akan datang ke Koenbeng," ia berkata, "dengan meng gunai mereka aku memikir suatu tindakan yang lunak, hanya entahlah, aku bakal be rhasil atau tidak. Baiklah, sebelum aku menyampaikan itu kepada Sri Baginda, lebih dulu aku mengutarakan kepada kongkong." "Silahkan bicara, kongtia," kata si orang kebiri seraya meletaki cangkir nya. "Siapa kedua tetamu itu?" Yang Tjong Hay menanya. Di dalam hatinya ia kata: "Ken apa orang-orangku tidak ketahui ini? Mestinya mereka orang luar biasa..." Bhok Kokkong menyahuti: "Mereka ada puteri Iran serta suaminya." Semua hadirin heran. Tjong Hay lantas menanya: "Ada apa hubungan antara puteri I ran itu serta pemberontakan di Tali?" "Suami puteri itu bernama Toan Teng Tjhong," Bhok Kokkong menjawab. "Telah aku d apat keterangan pasti, dialah turunan dari Toan Pengtjiangsoe dari Tali itu, kak eknya pernah turut tentera Goan menyerang ke Barat, dia ketinggalan di Iran seta hu bagaimana, dia mendapat jodohnya, menjadi menantu raja Iran. Rupanya dia rind u akan kampung halamannya, dari tempat jauh itu dia pulang ke mari." "Datangnya tetamu jauh menandakan kebesarannya raja kita," berkata Lauw Kongkong . "Sekarang aku ingin tanya kongtia, cava bagaimana kongtia hendak menggunai mereka itu untuk siasatmu yang lunak?" "Dia itu dapat dianggap sederajat dengan pengtjiangsoe yang sekarang ini di Tali," berkata Bhok Kokkong, "maka aku hendak memohon Sri Baginda mengangkat dia menjadi pengtjiangsoe." "Dapatkah itu mencegah pemberontakan?" "Inilah yang diharap. Sebenarnya namanya saja dia diangkat jadi pengtjiangsoe, d ia kita tempatkan di Koenbeng sini. Aku percaya dia dapat mempengaruhi bangsanya di Tali itu. Dengan memberi pangkat ini, kita memberi muka pada keluarga Toan itu. Andaikata mereka berontak juga, ada alasan untuk kita menghukum mereka , untuk menghabiskan kekuasaannya turun-temurun itu." Mendengar penjelasan itu, Lauw Kongkong berpikir. Justeru itu muncul budak perempuan pelayan Bhok Hoedjin. "Tidak tahu aturan!" Bhok Kongya menegur. "Aku tidak panggil kau, perlu apa k au datang ke mari?" "Sio... siotjia..." sahut budak itu gugup. "Siotjia apa?" bentak pula kongtia. "Siotjia lari..." budak itu achirnya memberita-hu. Bhok Hoedjin tidak melihat puterinya, ia menjadi bingung. Memang, karena sakitan , ia memuja sang Buddha saja, ia tidak campur urusan di luar. Malah dengan kongtia, ia bertemu hanya beberapa hari sekali. Begitupun hari ini, ia tidak tahu suaminya lag i mengadakan pesta, ia lantas mengirim budaknya itu. "Ngaco belo!" bentak kongtia, yang air mukanya berubah. "Aku yang suruh siotjia pergi kepada Keluarga Yo untuk menyambut bibinya, mungkin bibinya menahan dia. Kenapa kau sibuk tidak keruan?" Kongtia berpura-pura saja. Tentu dia malu kalau orang luar ketahui puterin ya buron, sedang puteri itu tinggi kedudukannya. Budak itu melengak karena heran. Kalau siotjia pergi ke rumah keluarga Yo, mesti nya ibunya mendapat tahu. Ia ditegur, ia penasaran. "Hoe... hoedjin..." katanya pula. "Pergilah kau!" kongtia mengusir. "Suruh hoedjin matangi y an-oh ii Budak itu berlalu dengan air mata me-ngembeng. Hoetjiangkoen Ong Tin Lam heran, hingga ia jadi bercuriga. Kemarin toh ia lihat sendiri siotjia itu, Bhok Yan, telah pergi ke Senghong bio. Kongtia sendiri tak tenang hatinya. Heran ia puterinya buron. Ia lantas ingat ke pada perbuatan puteranya, Bhok Lin, maka ia menyangka mungkin ada hubungannya. Sampai di situ, Lauw Kongkong timbulkan pula pembicaraan mereka tadi. "Siasat lunak itu baik tetapi persiapan untuk menghukum tidak boleh diabaikan," katanya. "Tidakkah begitu, kongtia?"fO "Memang." "Kapan Toan Teng Tjhong dan puteri Iran itu akan tiba di sini?" Yang Tjong Hay t anya. "Cara bagaimana dia hendak diinsafkan akan kebaikan kongtia?" Bhok Kokkong tertawa. "Aku sudah mengirim orang memapak mereka," sahutnya. Terus ia menoleh, akan memb erikan titahnya: "Coba lihat, Poei Tongieng sudah pulang atau belum?" "Poei Tongieng kembali sejak satu jam yang lalu," menyahut satu hamba. "Dia bila ng tidak dapat dia lantas menghadap Kokkong." Kongtia melengak sejenak, lantas dia tertawa. "Di antara orang sendiri, kenapa dia malu-malu? Di sini ada Yang Tjongkoan, dia boleh sekalian memohon petunjuk. Lekas suruh dia datang menghadap!" "Poei Tongieng itu apa bukannya Poei Tee Kong yang menjadi orang kosen kenamaan di Inlam Selatan?" tanya Tjong Hay. "Telah aku dengar dengan tangan kosong dia s udah menaklukkan delapan belas tongtjoe di Lee Kang. Aku yang rendah mengagumi d ia, jadi tak tepat untuk dia mendapat petunjuk dari aku..." Bhok Kokkong senang mendengar sebawahannya dipuji. Tidak lama, Poei Tongieng muncul bersama empat pahlawan. Melihat mereka itu, sem ua orang terkejut bahna heran. Empat pahlawan itu matang biru mukanya dan dibalu t di sana-sini, mereka lesuh sekali. Tongieng sendiri berdarah pundaknya. "Apakah artinya ini?" tanya Bhok Kokkong, yang pun tercengang. "Kami pergi menyambut puteri Iran serta suaminya," menerangkan Poei To ngieng. "Mereka itu bukan cuma tidak sudi menerima kebaikan kongtia, me reka malah menyerang kami." "Dari mana Toan Teng Tjhong mendapat barisan serdadu?" Kongtia tanya. Dia heran sebab dia tahu kegagahannya tongieng ini serta empat pahlawannya itu, mereka dap at melawan seratus musuh. "Mereka cuma, berdua," sahut Poei Tee Kong tunduk. Kongtia heran berbareng gusar. "Apa? Cuma berdua?" dia menegasi, "Apakah kamu tahang-tahang nasi saja?" "Bagaimana macam- nya dua orang itu?" Tjong Hay turut bicara. "Mereka dua orang India, yang satu hitam, yang lainnya putih." Mendengar itu, Tjong Hay tertawa. "Jangan sesalkan mereka ini, kongtia1." ia kata kepada tuan rumah. "Dua orang it u bernama Hek Pek Moko, merekalah pencuri- pencuri mustika. Pada belasan tahun yang sudah, mereka sudah mencuri di istana d i kota raja. Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay kena mereka kalahkan, aku sendiri pun ragu-ragu. Hm, hm! Poei Tongieng sendiri dapat luka enteng, dia malah harus dipuji dan dihadiahkan!" Dia lantas menyuguhkan secawan arak pada tongieng itu. Heran Bhok Kokkong mendengar Tjong Hay membilang musuh demi- kian kosen, kegusarannya pun lantas lenyap. "Mungkinkah kamu bicara kurang jelas?" Lauw Thaykam tanya. "Jangan-jangan Toan T eng Tjhong sangsikan kau diutus oleh kongtia." Poei Tee Kong menyahuti dengan penasaran: "Aku telah menyerahkan surat yang ditu lis kongtia sendiri, sampulnya pun ada capnya Bhok Kokkong. Tanpa mem- baca lagi , mereka lantas merobek-robek. Kalau tidak, tidak nanti kami serang mereka itu." Toan Teng Tjhong telah terpedaya di Koeitjioe oleh si hoan ong palsu, maka itu i a suruh Hek Pek Moko jangan mengasi hati lagi kepada tongieng itu. "Lihat!" berkata Lauw Kongkong, tertawa. "Begitu bertemu muka mereka main hajar, itu tandanya mereka tidak memandang mata! Bagaimana sekarang dengan siasat lunak kongtia?" Bhok Tjong murka. "Toan Teng Tjhong tidak tahu diri, hm, tidak ada bicara lainnya lagi!" serunya. "Di harian tenteraku menindas pemberontakan, aku tawan dan hukum dia!" "Nah, begitu baharu betul!" Lauw Kongkong tertawa pula. "Dengan orang liar bagai mana kita dapat omong pakai aturan? Poei Tongieng, kamu terluka karena tugasmu, mari duduk bersama dan minum arak!" Thaykam ini dan Tjong Hay membaiki tongieng itu dengan maksud me ngambil orang berada di pihaknya. Bhok Kokkong cerdik, ia bisa menerka hati orang, ia menjadi tidak puas. "Hek Pek Moko begitu liehay, Vang Taydjin tidak bisa berdiam lama di Koenbeng, h abis siapa sanggup melawan mereka?" kemudian pangeran ini menanya. Yang Tjong Hay tertawa. "Biarpun Hek Pek Moko liehay, asal paman guruku turun tangan, mereka akan kena d ibekuk!" katanya. "Tjong Hay, kau terlalu memandang enteng kepada musuh!" berkata si imam, yang ba haru sekarang membuka mulut. "Kalau gurumu yang datang, Hek Pek Moko tidak bakal sanggup melawan satu gebrak saja! Tapi aku, mungkin aku mesti menggunai seratus jurus baharu aku bisa membikin mereka takluk..." "Kalau begitu aku mengandal kepada too tiang saja!" kata Bhok Kokkong girang. "Apakah too tiang ada Hong Giam Tootiang ?" tanya Tee Kong. "Maaf, maaf!" Ia pun berbangkit, akan mengisikan cangkir imam itu. Tjie Hee Toodjin mempunyai cuma satu adik perguruan ialah Hong Giam Toodjin ini. Dia ini kalah tersohor tetapi kalangan Rimba Persilatan tidak ada yang tidak ta hu dia. Dengan temberang Hong Giam minum kering arak suguhan Tee Kong itu. "Tjong Hay mengajak aku datang ke Inlam ini sebenarnya untuk aku menghadapi musu h yang terlebih liehay daripada Hek Pek Moko itu," katanya kemudian. Bhok Tjong heran. "Siapa musuh itu?" dia bertanya. "Dialah Thio Tan Hong!" Hong Giam omong terus terang. "Katanya dia telah nelusup ke Inlam dan sekarang ini sudah tiba di Tali. Apakah kongtia tidak mendapat tahu?" Bhok Kokkong terperanjat. Ia tahu dulu hari itu Thio Tan Hong telah membantu Ie Kiam mengalahkan Essen dan bersama In Tiong masuk ke negeri Watzu menyambut raja pulang ke negeri. " Too tiang b e rm u s u h bagaimana dengan Thio Tan Hong itu?" ia tanya. "Thio Tan Hong itu konconya Ie Kiam," Tjong Hay sambil tertawa menalangi menyahut. "Apakah kongtia tidak mengetahui itu? Dialah yang Sri Baginda hendak m enawannya! Dia luas pergaulannya, pandai dia mendengar kabar, untuk membekuk dia , kita tidak boleh banyak omong." Bho Kokkong ber- pikir: "Ie Kiam setia, dia mati secara menyedihkan. Hal itu membuat aku tidak pu as. Sekarang, Sri Baginda mencari Tan Hong. Bukankah itu budi dibalas jahat?" Ia berpikir begitu tetapi ia tidak berani kentarakan di air mukanya. Ia hanya kata : "Kiranya Yang Tjongkoan mengundang tootiang untuk membekuk pemberontak. Inilah untuk Sri Baginda, kamu harus dipuji!" Hong Giam Tootiang tertawa terbahak. "Thio Tan Hong malang melintang di Tionggoan, dia dapat julukan ahli pedang nomo r satu," katanya, "maka itu kalau bukan aku, mungkin tidak ada lain orang yang s anggup menawan dia!" Sin Tjoe di tempat sembunyinya mendengari semua pembicara- an itu, untuk mulut besar si imam, ia mengasi dengar ejekannya di hidung. Di hatinya ia kata: "Kalau si hidung kerbau ini bertemu gur uku, kalau hidungnya tidak dipapas, sungguh sayang!" Ia memang sangat memuja gur unya, saking mendongkol, ingin ia keluar untuk menghajar imam itu. Tapi ia tahu salatan. "Thio Tan Hong itu bagaimana romannya?" Bhok Kokkong menanya. "Apakah Yang Ta ydjin pernah melihat dia?" "Melihat belum tetapi aku ada membawa beberapa helai gambarnya," Tjong Hay menyahut. "Nah ini satu untuk kongtia, tolong nanti kongti a menjaga agar dia tidak masuk ke Koenbeng." Bhok Tjong menyam-buti gambar, untuk dibeber. Ia kaget hingga air mukanya berubah. "Kenapakah, kongtia ?" tanya Tjong Hay heran. Cepat sekali pangeran itu bersenyum. "Aku mengira Thio Tan Hong berkepala tiga bertangan enam, tidak tahunya dia cuma seorang mahasiswa yang lemah!" katanya. "Memang begitulah romannya, tidak heran kong tia t e rp e ra nj a t," ka ta Tjong Hay. Habis menenggak dua cawan pula, Lauw Kongkong berkata: "Katanya siauwkongtia tampan dan cerdik sekali, pula dia mengarti ilmu s urat dan ilmu silat, kenapa dia tidak diundang hadir di sini?" "Anakku justeru bandel, mana aku berani terima pujian kongkong ?" menyahut Bhok Kokkong. "Sekarang ini aku justeru menyuruh dia menyimpan diri dalam kamar tulisnya untuk memahamkan kitab-kitab, dari itu aku tidak berani menitah d ia menemui tetamu-tetamu agung." "Kongtia terlalu merendah," berkata Tjong Hay. "Bukankah peri bahasa tua membila ng, yang tahu anak hanyalah ayahnya! Siauwkongtia pintar, itulah berkat ajaran k ongtial" Bhok Tjong pikirkan perkataan tjongkoan itu, ia menyangsikan ada maksudnya yang lain. Justeru itu, Lauw Kongkong berkata pula: "Ya, kabarnya kemarin dulu siauwk ongtia mengepalai upacara pembukaan kuil Senghong bio, hal itu menggemparkan sel uruh kota ini. Dia masih muda sekali tapi sudah pandai bekerja, di belakang hari kemajuannya tak ada batasnya! Aku minta sukalah kongtia mengundang dia keluar menemui kami." Bhok Kokkong cuma berdiam sebentar, lantas dia suruh hambanya mengundang puteranya. Dia sudah pikir untuk berpura-pu ra pilon, sebentar di muka mereka ini, hendak ia menegur puteranya itu sekalian menyuruh membongkar pula kuil Senghong itu. Tidak lama, hamba itu balik sambil berlari tersipu-sipu dan gugup romannya. Ia bersendirian saja. "Kenapa siauwkongtia tidak datang bersama?" Bhok Tjong tanya, hatinya berdebaran . "Apakah dia lagi salin pakaian?" Hamba itu bersang-si, tapi ia toh menyahuti: "Siauw... siauwkongt ia... minggat!..." Bhok Kokkong kaget bukan main, sakit hatinya. Ia mempunyai cuma dua putera puteri itu, sekarang dua -dua anak itu buron. Lauw Kongkong memperlihatkan roman kaget dan heran. "Kenapa siauwkongtia minggat?" dia menanya. "Dia toh tidak berbuat salah, bukan? Ah, tentulah itu disebabkan pendidikan keras dari kongtia..." Kokkong menenangkan diri tetapi punggungnya mandi keringat. Ia lantas mengikuti salatan. Katanya: "Sudah kukatakan, anak itu bandel, sekarang kembali dia menerb itkan gara-gara, sungguh memalukan!" "Bagaimana sebenarnya?" Tjong Hay turut menanya. Dia sengaja memancing, untuk me lihat pangeran ini menyebut urusan Senghong bio atau tidak. Tapi Kokkong dengan gusar sekali berseru: "Dia tidak suka belajar! Sekarang tent u dia membolos melihat pesta tengloleng!" "Memang biasanya anak-anak gemar memain," Lauw Kongkong menghibur. Seb enarnya ia mengejek. "Anak itu memang bandel sekali," kata kokkong pula. "Umpama dalam urusan pendiri an Senghong bio itu, dia telah berbuat tidak selayaknya. Itulah perkuatan orang tolol! Malaikat kota malaikat tidak berarti, kenapa dia memasang i hio dan mengangguk-angguk di depan patungnya? Bukankah itu memalukan?" "Hanya aku dengar patung malaikat kota itu beda dari yang lainnya," Tjong Hay me ngatakan. "Siapa tahu dari mana dia dapatkan boneka itu!" kata Kokkong. "Benar-benar dia m embuat aku malu! Besok aku perintah orang membongkar kuil itu dan bakar bonekany a, kemudian aku nanti cari dia untuk dihajar!" Sekarang si thaykam memperlihatkan senyumnya. "Pasti siauwkongtia kena orang bujuki maka ia membangun kuil dan menghormati malaikat kota," katanya. "Aku minta baiklah kongtia jangan hukum dia, asa l boneka itu dihajar tiga ratus rotan, sesudah itu baharu dibakar! Dengan begitu tidaklah penduduk tolol kena dilagui lagi." "Memang," Tjong Hay campur bicara pula. "Boneka itu mesti dihajar hancur lebur d ulu baharu dibakar menjadi abu!..." Belum berhenti suaranya tjongkoan ini, di situ muncul seorang nona. Sangat gesit gerak-geriknya si nona, dia datang tanpa ketahuan lagi. Bhok Tjong lihat orang mengenakan pakaian yang biasa dipakai puterinya, orang lebih muda dua tahun dari puterinya itu, sedang tadinya ia menyangka budaknya. Nona ini cantik sekali, melebihkan pu terinya sendiri. Yang mengherankan, nona ini nampak agung dan keren, cuma kening nya lancip, seperti dia lagi murka. Dengan sepasang mata tajam, nona itu menyapu para hadiri n. Kalau lain orang heran, Tjong Hay terkejut. Dia kenali Ie Sin Tjoe yang dia kuru ng di liang jebakan yang terisi air. Kenapa nona ini bisa keluar pula de ngan selamat? Saking heran, dia jadi tidak berani sembarang bergerak. Sunyi sekali itu waktu. "Kau siapa?" Bhok Kongtia tanya achirnya. "Ayahku dijunjung berlaksa rakyat, dihormati bagaikan malaikat!" berkata Sin Tjo e dengan berani, suaranya dingin. "Dan kamu kamu machluk apa maka kamu hendak me mbakar patung ayahku?" Semua orang heran dan kaget, kokkong bahkan berjingkrak. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Aku bilang aku larang kamu merusak patung ayahku!" jawab Sin Tjoe nyaring. "Siapakah ayahmu?" kokkong menanya pula. "Ayahku ialah Lwee-kok Tayhaksu merangkap Pengpou Siangsie I e Kiam!" si nona menjawab meng musuh, untuk terus membacok. Dengan tameng, musuh lebih banyak menjaga di atas, dari itu kaki mereka tidak te rlindung sempurna, kaki merekalah yang diarah. Lekas sekali mereka roboh separuh nya, maka yang separuh lagi terpaksa lari menyingkir. Begitu lekas ia bebas dari kurungan, Tiat Keng Sim memburu ke arah gurunya, untu k membantu gurunya itu melabrak musuh. Adalah di itu saat, di luar kurungan musuh terdengar suara menggelegar dari meri am, berulang-ulang, menyusul mana terlihat menerjangnya satu pasukan tentera di bawah pimpinan satu orang yang bersenjatakan golok, yang kemu dian ternyata ada Vo Tjong Boe, salah satu pembantunya Yap Tjong Lioe. Dia itu berseru-seru: "Tentera perompak di bahagian luar sudah dilab rak musna, tinggal yang di sini saja, mari kita usir mereka ke laut!" Pemimpin perompak licin sekali. Sejak dua hari yang lalu mereka sudah dapat kaba r, di hari pertandingan ini bakal datang bala bantuannya, terdiri dari seribu ji wa lebih. Dia anggap bala bantuan ini masih kurang, maka dia mengatur tipu menan tang pieboe. Selagi orang adu kepandaian, dia mengatur serangan di tiga jurusan. Di barat Taytjioe, yaitu di pelabuan Samah, bala bantuannya akan menyerang bela kangnya tentera rakyat. Untuk maju di muka, dia pakai pasukannya sendiri. Lagi s atu ialah penyerangan dari pasisir di mana pieboe diadakan. terus terang. Muka Bhok Tjong pucat bagaikan mayat. "Kau ngaco-belo" membentak Tjong Hay. "Bekuk siluman ini!" "Kau benar tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal!" Bhok Tjong pun membentak. "Bagaimana kau berani mengaku menjadi anaknya pengchianat? Mustahil puteraku membuat patung ayahmu? Kau ngaco belo, le kas pergi keluar!" *** Bhok Kokkong kuatir sekali si nona benar-benar ada puterinya Ie Kiam, kalau ia m enawan dan memeriksa, pengakuannya nona itu mungkin nanti merembet-rembet puteranya, dari itu ia mengusirnya, supaya orang lekas pergi. Pu n dengan begitu diam- diam ia seperti menunjuki jalan lolos untuk nona itu. Yang Tjong Hay tahu pasti orang ada puteranya Ie Kiam tetapi malang kepada mukan ya orang bangsawan itu, ia tidak berani bertindak sembrono. Sin Tjoe sebaliknya seperti mengerti maksud orang bangsawan itu, ia tidak memperdulikan bahwa ia ditud uh memalsu, demikian dengan alisnya yang lantik bangun berdiri, ia berkata dengan nyaring: " Ayahku membela kerajaan Beng, dia sangat setia! Dengan mempunyai ayah semacam it u, aku justeru mesti bangga sekali, maka kenapa aku mesti malu mengakui ialah ay ahku? Beda adalah kamu, yang tidak menggubris penderitaan rakyat, yang cuma pandai bermuka-muka kepada raja! Sebenarnya malu kamu terhadap ayahku itu!" Bhok Tjong membungkam. Ia memang menghargakan Ie Kiam dan kata-kata si nona ini sangat menusuk hatinya yang agung. Sekalipun Yang Tjong Hay dan konco-konconya, wajah mereka menjadi pucat. "Hm!" Sin Tjoe memperdengarkan pula suaranya. "Sebenarnya kamu semua yang hadir di sini, siapakah di antara kamu yang tidak mengetahui, bahwa patung Senghong it u patung ayahku? Nah, kamu lihatlah surat ini!" Si nona mengeluarkan surat rahasia dari Ong Tin Lam untuk raja, ia serahkan itu pada Bhok Kokkong. Muka Tin Lam menjadi pucat sekali, tubuhnya bergerak bangun. Mungkin dia hendak merampas pulang suratnya itu. Berbareng dengan gerakannya itu, satu bayangan berkelebat kepadanya, lalu tubuhnya roboh tergulin g. Sebab Sin Tjoe sudah rabuh kakinya, setelah mana, dengan pedang terhunus, si nona berdiri di samping Bhok Kokkong , sembari bersenyum ewah, dia menanya: "Ber ani kamu mencegah Bhok Kokkong membaca surat ini?" Hong Giam Toodjin dan Yang Tjong Hay dapat melayani nona berkelahi tetapi kata-kata orang sudah mempengaruhi mereka hingga mereka mesti berdiam saja. Maka di saat itu, suasana menjadi sangat tegang. Rata-rata orang melirik atau mengaw asi Bhok Kokkong. Cepat sekali orang bangsawan itu membaca surat Ong Tin Lam, ia kaget tercampur murka. Baharu sekara ng ia mengetahui sikap raja terhadapnya, bahwa Ong Hoetjiang inilah mata-mata ra ja untuk mengawasi tindak- tanduknya. Ia murka karena Tin Lam secara diam-diam hendak mencelakakan padanya. Tapi ia adalah seorang yang banyak pengalamannya, lekas se kali ia dapat menenangkan diri, hingga ia tidak kentarakan rasa hatinya itu. Den gan tawar ia kata pada Tin Lam: "Ong Hoetjiangkoen, coba kau lihat surat ini! Ad a orang yang telah memalsukan tulisanmu dan menulis ngaco belo! Sungguh gila!" Lega hati Tin Lam dan Tjong Hay mendengar perkataan pangeran ini. Teranglah si p angeran masih mem- beri muka. Maka juga perwira itu, yang telah merayap bangun, berkata dengan nyar ing: 11 Kongtia, terima kasih untuk kepercayaanmu terhadapku. Surat itu boleh ta k usah dibaca lagi, baik robek saja! Tentulah ini siluman wanita cilik yang tela h memalsu tulisanku, yang tidak keruan-ruan menerbitkan gelombang! Aku percaya di belakang dia mesti ada penganjurnya, maka itu tolong kongtia menyelidikinya!" " Juga perwira ini hendak melindungi Bhok Kokkong sekalian ia menolong mukanya sendiri, maka itu ia damprat Sin Tjoe sebagai siluman, tidak berani ia menunjuk si nona sebagai puterinya Ie Kiam. Sin Tjoe gusar bukan main, ia tertawa dingin, sikapnya sangat mengejek. "Benar, perkara ini harus dicari tahu," kata kongya kemudian pelahan-lahan. Tapi inilah kata-kata yang ditunggu-tunggu Yang Tjong Hay. Maka d ia sudah lantas lompat ke depan. "Perempuan siluman, lekas kau mengaku!" ia membentak. "Siapakah penganjurmu?" Tapi itu bukan bentakan belaka, bentakan diikuti sambaran dahsyat. Sin Tjoe sudah nekat, ia sudah bersedia. Atas datangnya serangan itu, pedangnya berkelebat, tiga potong bunga emasnya pun menyambar! Hong Giam Toodjin lompat mencelat ke depan Tjong Hay, tangan bajunya yang geromb ongan dikebas-kan. Maka juga ketiga bunga emas itu kena ia masuki ke dalam tangan bajunya itu. Ia tertawa dan berkata: "Sungguh ilmu pedang yang bagus!" Dengan dua batang sumpitnya ia menjepit pedang si nona itu, dibawa ke arah meja, dengan begitu pedang itu nancap di meja itu. Sin Tjoe kaget dan mendongkol, ia kerahkan tenaganya untuk mencabut pedangnya it u. Si imam mempertahankan, ia menekan, maka sia-sia saja percobaan si nona, pedangn ya itu tidak dapat dicabut. Inilah menandakan tenaga dalam yang hebat dari imam itu. "Siluman perempuan, kau bukalah matamu!" berkata si imam, yang tidak mau lantas turun tangan terlebih jauh. Ia tertawa lebar. "Kau menyerah atau tidak? Lekas kau bilang, siapa itu yang berdiri di belakangmu?" Sin Tjoe tidak menjawab, sebaliknya jawaban datang dari luar, dalam rupa tertawa yang nyaring dan panjang, seumpama kata "mengalunnya naga" atau "menderum-nya harimau," suara mana seperti mengaung di kuping orang. Mendengar itu, Hong Giam Toodjin terkesiap hatinya. Segera juga terlihat orang yang terdengar suara tertawanya itu. Dialah seorang m ahasiswa. Sembari bertindak maju, dia bersenandung: "Seribu martil selaksa gempur, keluar dari dalam gunung, apinya yang berkobar me mbakar bukan buatan hebatnya! Tulang terbakar, tubuh hancur lebur, tak dibuat takut, asal dapat meninggalkan nama putih bersih di dalam duni a ini!" Itulah bunyinya salah sebuah syair paling terkenal dari Ie Kiam, yang telah diny anyikan di seluruh negeri, tetapi di bawah senandung mahasiswa itu, bukan main b ekerjanya pengaruhnya, hingga membikin orang malu sendirinya dan jerih hatinya. "Kau siapa?" Hong Giam menegur. Si mahasiswa tertawa. "Aku ialah orang di belakang layar yang kau tengah mencari tahu!" jawabnya t enang. Tanpa merasa, imam itu membuatnya kendor jepitan sumpitnya, maka juga Sin Tjoe segera dapat menarik pulang pedangnya. Ia pun sudah lantas berseru: "Soehoel" Mahasiswa itu bukan lain orang daripada orang yang namanya kesohor di empat penj uru lautan, yang kaum Rimba Persilatan mengakuinya sebagai ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, ialah Thio Tan Hong! Inilah di luar dugaan siapa juga, maka sunyilah di sekitar situ, umpama jarum ja tuh, mungkin suaranya dapat terdengar nyata. Air mukanya Bhok Kokkong lantas berubah, ia mengangkat tangannya memberi hormat. "Thio Sinshe datang, ada apakah pengajaranmu?" dia bertanya. "Aku datang karena mendengar kabar kau hendak menegur kong-tjoe," sahut Tan Hong yang dipanggil sinshe itu guru, sedang dengan kongtjoe ia maksudkan puteranya si orang bangsawan. "Turut penglihatanku, perbuatannya itu membuat patungnya Ie Kiam adalah tepat se kali! Laginya, akulah yang menyuruh kongtjoe membuatnya, dari itu sekarang senga ja aku datang untuk memohonkan ampun, jikalau kongtia hendak menegurnya, baiklah kongtia tegur aku!" "Sinshe b e rg u ra u!" kata Bhok Kokkong tertawa. Lalu lekas-lekas ia kata pada si thaykam she Lauw: "Inilah Thio Sinshe yang pernah menjadi gur unya anakku. Benar tak lebih dari satu bulan Thio Sinshe mengajar tetapi kepanda iannya aku sangat mengaguminya. Thio Sinshe ini paling gemar bergurau, dari itu haraplah Lauw Kongkong sudi memaklumkannya..." Baharu sekarang Sin Tjoe mengarti kenapa di kamarnya Nona Bhok ada tergantung pi gura tulisan gurunya itu, kiranya gurunya itu juga menjadi gurunya siauwkongtia. Ia tertawa dalam hatinya untuk kejenakaannya guru ini. Memang, ketika Tan Hong lewat di Koenbeng ini, kebetulan ia lihat Bhok Lin yang bagus bakatnya, ia suka bocah itu, dengan sendirinya ia ajukan diri sebagai guru , ia ambil orang sebagai calon murid. Ia tahu tentang keruwetan di antara pemeri ntah dan suku bangsa Pek dari Tali, dengan mengambil Bhok Lin sebagai murid, ia mengandung sesuatu maksud. Bhok Kokkong sendiri tidak ketahui, guru puteranya it u adalah Thio Tan Hong yang kenamaan itu, ia cuma ketahui orang ter- pelajar dan halus budi pekertinya. Cuma satu bulan Tan Hong berdiam sama muridny a itu, ia pergi dengan tergesa-gesa, hingga Bhok Kongtia menyayanginya. Kongtia mengenali Tan Hong setelah Yang Tjong Hay tunjuki dia gambar orang. Mulanya ia k aget dan merasa sulit. Ia bersangsi untuk mengakui Tan Hong itu, sebaliknya, unt uk menyangkal, ia juga tidak berani, sebab ia kuatir Tan Hong nanti tertawan Tjong Hay dan anaknya pastilah akan terembet-rembet. Untuk sementara, ia mengambil put usan akan mengilungi dulu hal Tan Hong itu. Ia mengharap-harap Tan Ho ng tidak akan memperkenalkan diri, dengan begitu ia percaya Tjong Hay tentu akan memandang kepada mukanya. Di luar dugaannya, sekarang Tan Hong munculkan dirinya. Tan Hong menyentil dengan jari tangannya, matanya melirik ke arah si orang kebir i. "Lauw Kongkong," tegurnya, "semenjak kita berpisahan, apakah kau ada banyak baik ? Kota Koenbeng bagaikan musim semi seluruh tahun, di sini meminum arak sambil m emandangi sang bunga, sungguh menarik hati, beda seperti langit dengan bumi deng an negara Ouw yang banyak saljunya!..." Orang kebiri she Lauw ini memanglah si thaykam yang tempo hari kaisar Kie Tin di tahan di Tobokpo ada bersama kaisarnya itu, maka bersama-sama rajanya pernah ia merasai penderitaan di negara asing. Itu juga sebabnya kenapa dia sekarang dap at keper- cayaannya Kie Tin. Tentu sekali ia kenal baik si mahasiswa. "Sebenarnya apakah maksudmu, Thio Sinshe ?" dia bertanya. "Sri Baginda pelupaan, aku tidak sangka kongkong pelupaan juga!" berkata Tan Hong. "Lauw Kongkong, kalau nanti kau pulang ke kota raja, to long kau tanya Sri Baginda, ia masih ingat atau tidak pembilanganku terhadapnya tempo kita masih berada di negara Watzu. Aku maksudkan itu jubah kulit rase? Mun gkin Sri Baginda sudah membuang jubah itu..." Selama Kie Tin dalam penjara, Tan Hong pernah menjenguknya dan ia dihadiahkan ba ju kulit itu untuk melawan hawa dingin. Ketika baju dipersembahkan, Lauw Thaykam melihatnya sendiri, dia menjadi saksi utama. Sekarang, mendengar perkataannya Tan Hong, dia bungkam. "Ah, Thio Sinshe sudah mabuk!" berkata Bhok Kongtia, yang masih hendak bersandiwara. Tan Hong mengangkat satu cawan besar, ia menenggak isinya, terus ia tertawa. "Di dalam Li Sao-nya, Khoet Goan menyesali diri, siapa tahu, dunia melupai segal a apa, cuma sendirilah yang tetap sadar!" katanya melenggak, "Haha! Aku kuatir, yang mabuk itu bukannya aku hanya Sri Baginda sendiri begitu-pun kamu sekalian!" Kata-kata ini membuatnya orang kaget, hingga muka mereka berubah, tetapi Tan Hon g sendiri, dia tetap tenang-tenang saja. Dia bicara secara wajar sekali. Katan ya pula: "Aku kuatir Sri Baginda dan Lauw Kongkong telah melupakan semua-mua! Sebenarnya peristiwa lama itu tak selayaknya ditimbulkan pula akan tetapi menyebutkan itu p ula sungguh besar faedahnya! Aku ingat dahulu hari itu tatkala Sri Baginda mengutus In Tjonggoan b ersama aku menyambut Sri Baginda pulang ke negeri, itu waktu Sri Baginda telah m engangkat sumpah bahwa asal dia dapat kembali naik di atas tachta, ingin dia men jadi kaisar bijaksana seperti Kaisar-kaisar Giauw dan Soen. Maka sungguh tidak d isangka sekali, Sri Baginda mendapatkan kembali tachtanya belum sepuluh hari, di a sudah lantas menghukum mati pada Ie Kokioo\ Orang yang dengan sendirinya mengg empur Tembok Besar, siapa berani tanggung dia tidak akan mengalami penderitaan yang kedua kal i di Tobokpo? Tidakkah dengan begitu dia membuatnya dingin hatinya menteri-menteri setia serta orang-or ang gagah perkasa? Haha, Bhok Kokkong, bukannya aku bergurau! Siauwkongtia telah membangun I uil menghormati Ie Kokfoo, tentang itu bukanlah aku yang merencanaka n, itu disebabkan dia telah mendengar ceritaku tentang riwayat Ie Kokfoo itu, di a menjadi sangat ketarik hatinya, dia membuatnya itu! Cobalah kamu menanya dirim u sendiri, orang setia dan besar nyali sebagai Ie Kokloo itu, menteri besar yang membangun negara, setelah dia menutup mata, tak tepatkah dia menjadi malail at ? Maka jikalau kamu berani membongkar \ uilrv, a dan merusak patungnya, yang hendak dib akar, aku kuatir sekali, langit dan bumi nanti tak dapat menem-patkanmu dan manu sia dan malaikat-malaikat bakal bergusar karena-ny E^1' Hatinya Bhok Kongtia berdebaran, kaki tari g a n n y a b e r g e m e t a t .j n. Hebat kata-kata itu, yang membuatnya cemas hatinya. Di sebelah itu, semangatnya pun terbangun sendirinya. Memang, per buatannya raja menghukum mati kepada Ie Kiam sudah me n dat angk a n penasaran dan gusarnya semua menteri seti a, cumalah mereka tidak berdaya. Maka kata-katanya Tan Hong ini seperti mewakilkan mereka mengutarakan penasarannya yang terpendam itu. Selang sekian lama baharulah Lauw Kongkong dapat menetapkan hatinya. "Kata-kata menghasut!" gerutunya. Bhok Kokkong pun berkata: "Lekas pimpin Thio Sinshe keluar, tolongi dia supaya diperiksa kesehatannya oleh thabib!" Tan Hong bersenyum ewah. "Ya, kata-kata menghasut!" katanya nyaring. "Ketahui olehmu, jikalau sekarang ini kamu tidak me ngijinkan aku mengucapkan kata-kataku, maka siapa berani menyentuh tubuhku sekali saja, jangan menyesalkan aku apabila aku t idak memandang-mandang lagi!" Tapi Hong Giam Toodjin gusar. "Kau machluk apa?" tegurnya. "Berani kau kurang ajar di sini?" "Kau sendiri machluk apa?' Tan Hong balik menegur. Dia tertawa lebar. "Raja send iri tidak nanti berani menegurku secara begini! Kau berani berlaku kurang ajar? Aku Thio Tan Hong, tidak pernah aku mengubah she dan namaku! Sekarang, mau apa kau?' Bhok Kokkong kaget sekali mendengar orang memperkenalkan diri, mukanya menjadi sangat pucat. "Celaka, celaka..." Ia mengeluh dalam hatinya. Selagi raja muda ini bingung bukan main. Yang Tjong Hay sebaliknya tertawa berkakak. "Yang Tjongkoan , kenapa kau tertawa?" tanya Bhok Kongtia heran, hatinya ce mas. "Hawa hari ini buruk, mungkin Thio Sinshe ini terganggu urat syaraf- nya!" kata orang yang ditanya. "Thio Tan Hong itu bersama-sama aku adalah dua di antara ke empat ahli pedang terbesar di jaman ini, bagaimana hebat ilmu kepanda iannya! Tapi sinshe ini adalah cuma seorang mahasiswa yang lemah gemulai haha! b agaimana dia berani aku diri sebagai Thio Tan Hong? Tidakkah ini sangat lucu?" Sengaja Tjong Hay berkata begini. Ia tahu siapa Tan Hong tetapi ia menelad Bhok Kongya , hendak ia membantu melindungi orang bangsawan ini. Jadi perbuatannya itu sama dengan perbuatan Bhok Kongya melindungi Sin Tjoe. Tan Hong berpaling kepada tjongkoan itu, matanya dibuka lebar. "Kaukah Yang Tjong Hay?" tanyanya tertawa dingin. "Memang ialah Yang Tay d jin tjongkoan dari istana," Bhok Kokkong mendahului menjawab. "Aku tidak peduli tjongkoan bukan tjongkoan!" kata Tan Hong keras. "Yang Tjong H ay, hendak aku tanya kau, siapa gelarkan kau kiamkek?" "Kiamkek" ialah ahli pedang. Tjong Hay termasuk satu di antara empat kiamkek ter besar. "Ah," sahut tjongkoan itu, "itulah gelaran yang diberikan kaum kangouw yang melihat mata padaku. Thio Sinshe, pertanyaan ini baharulah pantas kalau dimajukan oleh Thio Tan Hong." Tan Hong terta- wa lebar. "Tidak salah!" katanya. "Aku justeru hendak menanyakan, kau ada mempunyai kepand aian apa? Apakah kau tepat untuk direndeng-kan denganku sebagai salah satu dari empat kiamkek ter besar? Haha! Aku lihat kaulah si kiamkek tetiron!" "Kau masih hendak memalsukan dirimu Thio Tan Hong?" menegaskan Tjong Hay. Ia tid ak takut. Ia lawan ejekan dengan ejekan. "Baiklah! Karena kau mengaku dirimu Thio Tan Hong, kau mesti memperlihatkan satu atau dua jurus kepandaian silatmu dengan pedang!" "Tidak salah!" Hong Giam Toodjin menimbrung. "Jikalau kau dapat mengalahkan peda ng di tanganku baharulah suka aku mengakui kau sebagai Thio Tan Hong!" Imam ini membantui keponakan muridnya itu mengejek. "Haha, jangan repot, jangan repot!" Tan Hong tertawa. Ia ada sabar luar biasa hingga ia tidak mempan ejekan. "Aku mesti menga jar adat dulu kepada ini kiamkek tetiron si manusia tidak tahu malu! Yang Tjong Hay, jikalau kau bisa melayani aku sepuluh jurus banyaknya, aku nanti membiarkan kau dipandang sebagai salah satu kiamkek terbesar!" Tjong Hay tidak takut. Ia mengandal kepada paman gurunya itu, yang ada bersama d engannya, cuma ia menyesal, siasatnya gagal. Sebenarnya ia ingin paman gurunya i tu yang segera turun tangan, siapa tahu, Tan Hong desak ia hingga di pojok. Mau atau tidak, ia berkuatir juga. Tapi ia dapat menungkuli diri. "Biarnya Thio Tan Hong sangat liehay, mustahil aku tidak dapat melayani ia selama sepuluh jurus?" Maka ia menebalkan kulitnya. "Baiklah!" sahutnya. "Silahkan sinshe yang turun tangan lebih dulu! Sinshe adala h guru sekolah di istana kokkong ini, aku pun paling menghormati anak sekolah, karena sinshe mempunyai kegembiraanmu, suka aku menemaninya. Hanya hend ak aku menegaskan, batas kita adalah batas saling towel saja, supaya kita tak us ah menyebabkan hati kongtia menjadi tidak aman..." Tjong Hay seperti mengalah, ia seperti tetap memandang orang adalah guru sekolah yang terhormat, sedang sebenarnya ia mencoba untuk men gikat persahabatan... "Sudah, jangan ngo-ceh sajah!" Tan Hong membentak. "Hunuslah pedangmu!" Tjong Hay sudah lantas menghunus pedanguja, ia lompat ke gelanggang. Sin Tjoe segera menghunus juga pedangnya, pedang Tjengbeng kiam, untuk diangsurk an kepada gurunya. "Soehoe, pedangmu!" katanya. Guru itu tertawa. "Untuk melayani binatang ini perlu apa menggunai pedang?" sahutnya. Ia bertindak ke tepi pengempang di mana ada beberapa pohon yanglioe, dari sebatang cabangnya yang meroyot turun, ia potes satu tangkai, kemudian ia balik kembali, tindakann ya tenang. "Yang Toatjongkoan, inilah ketikanya yang paling baik untuk kau mengangkat namam u!" ia berkata. Sekarang ia menyebut-nyebut pang- kat orang. "Asal kau dapat melayani cabang yanglioe-ku ini sepuluh jurus, pastil ah sudah kau dapat menduduki terus tempatmu sebagai salah satu dari empat kiamke k terbesar!" Semua hadirin terperanjat saking heran, dan semua pahlawannya Bhok Kokkong memen tang lebar-lebar mata mereka. Umumnya mereka mendapat kesan Thio Tan Hong terlal u jumawa. Bhok Kokkong tidak tenang hatinya karena ia melihat wajahnya Yang Tjong Hay sepe rti diliputi hawa pembunuhan, tangannya yang memegang pedang bergerak-gerak bergemetaran. Ia berpikir: "Bukankah Thio Tan Hong lagi hendak me ngantarkan jiwanya?" Ia merasa berkasihan terhadap guru puteranya itu. Tapi ia t etap membungkam. Karena Tjong Hay hendak melindungi padanya, ia anggap biarlah ia tid ak campur bicara lagi. Ketika itu kedua jago sudah berdiri berhadapan, Tan Hong angkat cabang yanglioe- nya dengan apa ia menge-buti debu di pakaiannya. "Sin Tjoe, kau tolongi aku menghitung!" kata ia pada muridnya itu. Ia bicara sam bil tertawa. Tjong Hay mendongkol bukan main. Biar bagaimana, untuk belasan tahun ia telah menerima baik gelaran salah satu empat kiamkek besar. Pul a ia adalah tjongkoan dari istana kaisar. Tapi sekarang ia dipandang tak mata ol eh Tan Hong. Maka kegusarannya membikin ia melupakan jeri hatinya. Walaupun Tan Hong mencekal Tjengbeng kiam, ia masih tidak "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," kata pula Tang Hong. "Yang pertama ialah 'Memecah Bunga Mengebut Yanglioe1, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua ialah 'Phang Ie Memukul Tambur1, untuk mengarah tenggorokanmu. Yang ketiga iala h 'Bianglala Putih Menutupi Matahari', langsung menikam dadamu!" Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan muridnya, Tan Hong mulai penyerangannya dengan menggunai cabang pohon yanglioe. takut, hendak ia mengadu jiwa, apapula sekarang orang memegang hanya sebatang ya nglioe. Mendadak ia menggeraki pedangnya, dengan jurusnya "Membiak mega untuk mengendalikan kilat." Menggetar dan berbunyi pedangnya itu d isebabkan bekerjanya tenaga dalamnya. "Cuma luarnya saja, dalamnya tak terisi!" kata Tan Hong tertawa, Dan ia tidak me nggeraki kakinya untuk menyingkir dari tikaman yang nampaknya sangat dahsyat itu, ia melainkan menggeser sedikit tubuhnya, hingga ujung pedang lewat di tempat yang kosong. Selagi tubuhnya menggeser, tang annya tidak berdiam saja, cabang yanglioe diangkat, dipakai menikam ke depan, ke arah muka si penyerang. Aneh cabang yang lemas itu, karena dikerahkan, lantas menjadi lempang dan kaku dan juga mengasi dengar suara keras. Yang Tjong Hay kaget tidak kepalang, mau atau tidak, ia berkelit mundur. Untuk p ertama kali ia merasakan liehaynya lawan ini. "Jurus yang pertama!" Sin Tjoe berteriak, nyaring tapi halus. Dia pun mengasi de ngar tertawa yang empuk. Tjong Hay mundur sambil menangkis, habis itu ia memperbaiki dirinya. Segera ia d idesak, datanglah jurus yang kedua. Ia menjadi repot sekali, lagi-lagi ia berkel it. Belum sempat ia membalas, datang pula jurus yang ketiga. Dan Sin Tjoe saban- saban membacakan itu dengan keras. Biar bagaimana, tjongkoan ini ada satu jago. Di jurus ketiga itu, habis membela diri. Ia mencoba membalas menyerang. Ia tetap ada muridnya satu guru yang liehay, tidak terlalu gampang untuk merobohkan dia. Menghindarkan diri dari penyerangan pembalasan itu, Tan Hong tidak berkelit, ia hanya menyingkirkan ujung pedang lawan dengan mengetok belakang pedang orang hin gga Tjong Hay merasakan telapak tangannya tergetar dan sakit, pedangnya pun terpental, syukur tidak sampai terlepas dari c ekalan-nya. "Kali ini boleh juga," kata Tan Hong sambil tertawa, "melainkan penjagaannya, wa laupun rapat tetapi masih ada lowongannya, maka ini tak dapat disebut jurus yang liehay. Sekarang kau lihatlah lanjutannya tiga jurusku lagi!" Ketika itu Sin Tjoe sudah menghitung hingga jurus yang ke lima. "Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," berkata pula Tan Hong. "yang pertama ial ah Memecah Bunga Mengebut Yanglioe, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua ialah Phang Ie M emukul Tambur, unuk mengarah tenggorokanmu. Yang ketiga ialah Bianglala Putih Me nutupi Matahari, langsung menikam dadamu!" Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan muridnya, Tan Hong mulai dengan penyerangannya. Tjong Hay boleh merasa beruntung yang ia telah diberi pe tunjuk dulu. Serangan yang pertama dapat ia halau, begitu-pun yang kedua. Ia menggunakan tipu silat "Secara main-main membagi emas" dan "Tapalan pintu besi." Untuk ini ia menggunakan kecepatan dan t enaganya yang besar. Untuk yang ketiga, karena tidak dapat memikirkan jalan lain , ia menggunakan tipu silat "Kilat dan guntur saling menyambar." Inilah serangannya yang terhebat, dengan maksudnya membabat putus senjata cabang yanglioe di tangan lawan itu. Untuk ini ia bersedia bersama-sama rugi andaikata lawan dapat menggunakan siasat lain. Sin Tjoe pun dengan beruntun menyebutkannya: "Ke enam! Ke tujuh! Ke delapan! Ah, sayang, sayang! Coba soehoe tidak menyebutkannya lebih dulu, pasti dia tidak da pat menyambutinya... Seka- rang tinggal dua jurus lagi, maka kalau Yang Tjong Hay berlaku nekat, tidak nant i dia dapat dirobohkan dalam sepuluh jurus ..." Selagi nona ini melamun, mendadak ia berhenti dengan kaget. Tiba-tiba saja ia me ndengar suara sangat keras, dari terdobrak-nya jendela, di mana terlihat melayan gnya satu tubuh manusia, kaca jendela pecah hancur, air empang berbunyi berdebur an, airnya muncrat ke segala penjuru. Sebab tubuh Tjongkoan dari istana yang bes ar itu telah tercebur, mandi di pengempang itu! Dengan menggunakan pukulannya "Kilat dan guntur saling menyambar," Yang Tjong Hay sudah mengerahkan tenaganya sepenuhnya. Di luar dugaannya, ia menyabet tempat kosong. Cabang yanglioe lawan seperti lenyap tidak keruan paran. Atau tah u-tahu tubuhnya terlibat cabang itu, lalu terangkat, kemudian di luar segala kes adarannya, tubuhnya itu terlempar, mendobrak jendela, terus nyemplung di air! Tan Hong lantas tertawa. "Dapat melepas dapat menarik, itu namanya mendekati Tao!" ia berkata. "Begitu ju ga ilmu silat! Eh, Sin Tjoe, jurus ini jurus yang ke berapa?" "Jurus yang ke sembilan!" sahut Sin Tjoe setelah ia mengeluarkan napas lega. Sun gguh-sungguh ia tidak menyangka. Tan Hong mengham-pirkan jendela, untuk berkata: "Yang Tjong Hay, kau dengar! Sem enjak hari ini dan seterusnya, aku mela- rang kau menyebut lagi dirimu kiamkek yang terbesar!" Hong Giam Toodjin merasakan tubuhnya dingin tidak keruan, tetapi ia majukan diri nya. Ia berlompat. "Mari aku belajar kenal dengan Hian Kie Kiamhoat!" ia berkata. Ia melihat keheba tan orang tetapi ia penasaran. Bahkan segera ia menggunakan sepasang sumpit di t angannya untuk menjepit cabang yanglioe di tangan Tan Hong itu. Hong Giam ini ada soetee, yaitu adik seperguruan, dari Tjie Seng Tjoe. Dipadu um urnya dengan Hian Kie Itsoe, ia ada terlebih muda dua puluh tahun, akan tetapi b icara tentang tingkat atau derajat, dia seimbang sama Hian Kie Itsoe itu, maka d ipadu dengan Tan Hong, ia lebih tinggi dua tingkat, karenanya, malu ia melawan orang dari tingkat lebih mu da dengan menggunai pedang. Bahwa ia telah menggunai sepasang sumpit, itu pun ka rena ia ingin menguji tenaga dalam dari orang she Thio ini. Tan Hong tertawa. "Yang muda tidak maju, yang tua muncul?" katanya menggoda. Ia menggeraki tubuhnya, ia menggeser cabang yanglioe-nya. Hong Giam Toodjin menyangka orang hendak menyingkirkan diri, ia menjepit pula, untuk mana ia mengerahkan tenaganya . Justeru itu, Tan Hong berseru: "Tukarlah dengan pedang!" Sin Tjoe tidak melihat, tipu apa yang gurunya gunakan, tahu-tahu ia t ampak sepa- sang sumpit di tangannya Hong Giam sudah terlepas dari tangannya dan mencelat ke luar jendela, jatuh di empang! Tenaga dalam dari Tan Hong seimbang dengan tenaga dalam dari si imam, kalau ia t oh dapat mempermainkan imam itu, inilah disebabkan setelah pertempurannya sama Yang Tjong Hay, ia dapat mengenal baik ilmu silatnya lawan i ni dan kebetulan saja, si lawan temberang, maka ia menggunai cacad orang itu unt uk keuntungannya. Ketika itu Tjong Hay sudah merayap naik dari empang, pakaiannya kuyup basa h. Ia meng-hampirkan paman gurunya untuk segera mengangsurkan pedangnya. Ia kata: 11 Soesiok, silahkan paka i pedang ini!" Bahwa Tjong Hay hebat, itu telah terbukti. Walaupun ia terlempar dan tercebur, p edangnya tak lepas dari cekalannya itu. Jikalau ia ada orang lain, entah ke mana sudah terbangnya senjatanya itu. Hong Giam berdiri menyeringai. Ia telah menganggap derajatnya sudah tinggi sekal i, sudah semenjak ber-berapa tahun ini ia tidak pernah menggunai pedang, maka adalah di luar dugaannya, sepasang sumpitnya kena diterbangkan oran g malah orang yang tingkat derajatnya jauh terlebih rendah itu. "Silahkan menggunai pedang, soesiok1." Tjong Hay berkata pula. Walaupun ia mengasi dengar ejekan "Hm!" imam ini toh menyam-buti pedang keponaka n muridnya itu. Ketika ia mengawasi kepada Tan Hong, ia dapatkan orang tengah menggunai cabang yanglioenya mengebuti pakaiannya, sikapnya tenang sekali. Ia menjadi mendongkol, ia merasak an kulit mukanya panas. "Tan Hong, kau menukarlah dengan pedang!" katanya. Inilah yang pertama kali si imam menyebut nama Tan Hong, maka itu, berubah wajah Bhok Kokkong yang mendengar panggilan orang itu. "Bagus!" Tan Hong tertawa. "Sekarang kau tidak lagi mengatakannya aku telah mema lsu nama orang! Sin Tjoe, kau tolongi aku memotes lagi setangkai cabang yanglioe !" Si murid lincah sekali, cepat ia mengerjakan titah gurunya itu. Dengan menyekal sepasang cabang yanglioe, Tan Hong bersenyum. "Hong Giam Toodjin ," ia berkata, tenang, "kau adalah soetee-nya Tjie Seng Tjoe, jikalau aku menggunakan cuma sebatang yanglioe, itulah kurang hormat dari pihakku, maka sekarang aku memakai sepasang batang unt uk melayani pedangmu yang panjang. Dengan begini kita menjadi tidak kipa!" Dengan kata-katanya itu, Tan Hong cuma main resmi-resmian. Cabang yanglioe mana dapat dibanding dengan pedang? Sengaja ia mau angkat dirinya tetapi pun berbaren g mengangkat juga si imam... Hong Giam berdiam, cuma hatinya tegang sekali. Ia mesti dapat menguasai dirinya. Tapi toh ia tak dapat bungkam lama-lama. "Bocah, kau tidak tahu aturan! Lihat pedang!" ia membentak berbareng menikam. Thio Tan Hong tertawa. "Lootjianpwee, tika-manmu ini tidak kecelaannya!" katanya. "Dibanding dengan kep onakan muridmu, kau ada terlebih tinggi satu tingkat!" Itulah pujian tercampur sindiran. Dan kata-kata itu dikeluarkan be rbareng dengan gerakan cabang yanglioe di kiri dan kanan, dilintangkan satu dengan lain. Hong Giam terperanjat. Sederhana nampaknya serangan lawan ini tetapi sebenarnya berbahaya. Kalau ia membabat yanglioe yang kiri, iga kanannya sendiri lowong, ka lau sebaliknya, iga kirinya yang kosong. Karena itu terpaksa ia mengundur- kan dirinya, untuk membuat pembelaan saja. Tentu sekali ia dapat membela diri de ngan baik sekali, karena tidak percuma ia telah dididik kakak seperguruannya. "i Lootjianpwee," kata pula Tan Hong, tetap sambil tertawa, "dengan ini satu geb rak saja maka terlihatlah sudah hasilnya latihanmu beberapa puluh tahun. Kau tel ah memperoleh rahasianya kemahiran ilmu silat, hanya sayang, kau baharu saja mas uk sampai di ruang pendopo, kau belum lagi masuk ke dalam kamar, maka baiklah ka u pulang untuk belajar terlebih jauh dengan kakak seperguruanmu, mungkin kau nan ti dapat men-ciptakan suatu partai tersendiri! Sungguh, lootjianpwee, aku menaruh pengharapan besar terhadapmu!" Kembali pujian yang terselip ejekan yang terlebih hebat, mirip dengan guru yang tengah mengorek-ngorek kesalahan dalam buah kalam muridnya. Hong Giam merasakan dadanya hampir meledak, sebisa-bisa ia mengendalikan diri. Sebagai satu jago, satu ahli, ia menginsafinya baik-baik, di waktu bertanding, t idak boleh ia mengumbar hawa marahnya. Ia berlaku waspada sekali terhadap sepasa ng batang yanglioe lawannya ini, yang tidak dapat dipandang ringan. Sebentar saja, tiga puluh jurus sudah berlalu. Sepasang cabang yanglioe-nya Tan Hong bergerak-gerak lincah mirip sepasang naga tengah bermain-main, setiap seran gannya senantiasa di luar dugaan. Hong Giam menggunai sebatang pedang yang panjang, ia masih kewalahan, ia cuma dapat menang kis, tidak bisa ia membalas menyerang, dari itu dengan sendirinya pengaruh lingkaran pedangnya itu makin lama menjadi makin ringkas, hingga dengan sendirinya si imam bagaikan kehilangan pengaruhnya. Menyaksikan kepandaian gurunya itu, Sin Tjoe sadar. Ia baharulah insaf kefae-dah an dari Siangkiam Happek, gabungan sepasang pedang dari Hian Kie Kiamhoat. Ilmu itu nyata dapat digunakan tidak cum a oleh satu pasangan, wanita dan priya, juga dapat oleh satu orang sendiri yang mengandal kepada kedua tangannya. Pula ini membuktikan liehaynya Tan Hong. Mungkin Hian Kie Itsoe sendiri tidak sanggup menciptakan ilmu permainan sendiri itu. Ketika dulu hari Hian Kie Itsoe menurunkan ilmu silat pedangnya itu, ia cuma mew ariskan kepada dua muridnya tersayang, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, yang masi ng-masing diajarkan sebagian, separuh saja, kemudian Thian Hoa mewariskan pada T an Hong dan Eng Eng kepada In Loei, juga seorang separuh, supaya mereka dapat me nggabungkan itu, murid dan cucu murid itu berempat telah terbukti, tidak ada tan dingannya. Sekarang, Tan Hong mainkan itu sendiri saja. Inilah hasil kecerdasan dan keulatannya sesudah ia menikah sama In Loei, karena seorang diri terus ia me latih diri dan memahamkan. Maka tidak sia-sialah cape lelahnya itu. Ini pula sebab kenapa Tan Hong berani melaya ni Hong Giam yang bersenjatakan pedang dengan dua batang yanglioe. Lagi kira tiga puluh jurus, Hong Giam tetap cuma mampu membela diri. Hanya sekar ang, napasnya mulai memburu keras, sampai itu dapat didengar oleh para hadirin. Yang Tjong Hay senantiasa memasang mata, ia dapat mengarti suasana yang buruk it u untuk pihaknya. Kalau ia tidak segera bertindak, mungkin paman gurunya itu men ghadapi bahaya. Maka lantas ia bekerja. Paling dulu ia merampas sebatang pedang dari tangannya satu pahlawan, setelah itu, ia berseru: "Si penghianat telah terb ukti kesalahannya, maka hayolah bekuk dia, jangan membuang- buang tempo lagi!" Menimpali seruan itu, dari luar ruang muncul belasan orang dengan senjata mereka lengkap, pakaian mereka tak rata, ada yang sebagai pahlawan, ada yang seperti i mam. Sebab mereka ada murid-muridnya Tjie Seng Pay yang dipimpin Hong Giam Toodj in. Sengaja mereka di tempatkan di luar ruang, oleh karena mereka dianggap tidak berderajat untuk duduk bersama Bhok Kokkong. Mereka cuma dipesan untuk selalu s iap sedia, buat maju begitu lekas ada pertanda. Di luar, mereka ditemani oleh se jumlah pahlawannya tuan rumah, Semuncul-nya mereka, lantas mereka memernahkan di ri, hingga ruang jadi terkurung rapat. Bhok Kokkong tidak puas tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa, terpaksa ia berdiam saja, menonton sambil ia dilindungi beberapa pahlawannya. Yang Tjong Hay pun memberi tanda kepada orang-orangnya itu, untuk bersiap sedia. Kemudian Hong Giam Toodjin berlompat maju, untuk mengambil kedudukannya di tengah-tengah. Tan Hong bersenyum, kembali ia menggunai cabang yanglioe-nya untuk mengebuti bajunya. Kemudian dengan sabar baharulah ia berkata: "Sudah lama aku mendengar kabar perihal baris an pedang dari Tjie Seng Pay, bahwa barisan itu liehay sekali, baharu sekarang a ku dapat menyaksikannya, sungguh aku merasa sangat berbahagia!" Yang Tjong Hay ber- diam saja walaupun ia diejek. Ia hanya menantikan tanda dari paman gurunya untuk turun tangan mengepung musuhnya itu. Tan Hong pun tidak memperdulikannya lebih jauh, ia hanya menoleh kepada muridnya . Ia tertawa ketika ia berkata: "Pertempuran kali ini sedikitnya akan memakan wa ktu setengah jam, karena tidak ada perlunya untuk kau berdiam di sini, pergi kau berangkat lebih dulu. Jikalau kau bertemu sama Hek Pek Moko, sampaikanlah pengh arapanku agar mereka tak kurang suatu apa! Kau tidak usah menantikan aku, jangan kau mencari, hanya kau boleh berangkat lebih dulu ke Tali. Paling lambat selang satu dua hari aku akan dapat susul kamu!" Tenang bicaranya Tan Hong, meskipun barisan musuh berbahaya, ia seperti tak mem- perdulikannya. Sin Tjoe menjadi serba salah. Sebenarnya tidak puas ia meninggalkan gurunya, sed ikitnya ingin ia menyaksikan pertempuran guru itu. Tapi ia cerdas, mesti ada per lunya kenapa gurunya menitah ia pergi. Di sana pun ada Hek Pek Moko, dan ia perl u mencari mereka itu untuk diajak pulang bersama. Maka ia terpaksa menurut. Kata nya: "Baiklah, soehoe, muridmu akan berangkat lebih dulu." Ia menghunus pedangnya, untuk berlalu. Orang semua siap sedia, ia pun ingin bers iap. Tapi Tan Hong tertawa. "Kau simpan pedangmu, anak!" katanya. "Jangan kau membuatnya mereka kaget hingga nanti mengganggu barisan pedang mereka ini." Dengan barisan pedang itu dimaksudkan " kiam tin." Sin Tjoe heran hingga ia melengak. Bukankah hebat pengurungan musuh itu? Mungkin kah, kapan ia mengundurkan diri, mereka itu tidak akan menghalang- halangi? Dengan bertangan kosong, mana dapat ia melawan belasan musuh itu? Tapi ia percaya gurunya, maka ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya, dengan berani tetapi tenang, ia bertindak keluar, matanya diam-diam dipasang. Benarlah kesudahannya, tidak ada satu jua murid Tjie Seng Pay yang berani merint angi, mereka berdiri diam pada kedudukannya masing-masing, maka ia dapat keluar tanpa halangan. Umpama kata orang menggaplok nya mereka itu, tentu mereka berdiam terus kecuali ada tanda dari Hong Giam atau Tjong Hay... Tan Hong ketahui liehaynya musuh, ia tidak takut, tetapi ia tahu, ia mesti menar uh perhatian, maka itu, supaya ia tidak usah repot memikirkan Sin Tjoe, ia suruh muridnya itu mengangkat kaki terlebih dulu. Ia sudah menduga tidak nanti muridn ya itu dihalang-halangi musuh. Baharu saja Sin Tjoe tiba di gili-gili empang, ia sudah lantas dengar riuhnya su ara bente-rokan senjata. Itulah tanda yang gurunya sudah turun tangan. Ia merand ak, ia menoleh, ingin ia menyaksikan, tetapi di achirnya, ia mendengar kata, ia berjalan terus. Dengan siurannya angin, ia merasa hatinya ter buka. Selama dua hari ia menderita, tetapi bertemu gurunya, ia girang bukan main . Ia percaya, itulah gurunya yang sudah menolongi padanya. Sebenarnya ia ingin m inta keterangan pada gurunya itu tetapi ia sudah memasuki kota dan berada dekat hotelnya. "Entah bagaimana Siauw Houwtjoe memikirkan aku," pikirnya. Setahu bagaimana dengan Hek Pek Moko, mereka sudah tiba atau belum... Ia berjala n terus. Di tembok luar, ia dapatkan pertandaannya masih ada. Ketika ia masuk ke dalam, ia bertindak cepat. "Siauw Houwtjoe! Siauw Houwtjoe!" ia memanggil, gembira. 11 Soehoe datang!" Dari dalam kamar tidak ada penyahutan. Ia lantas mulai tak senang. "Kenapa Siauw Houwtjoe gemar sekali memain?" katanya. "Menantikan dua hari saja dia tidak cukup sabar! Dia harus diajar adat!..." Ia mau menyangka si bocah pesiar ke dalam kota. Ketika ia menolak daun pintu dan tiba di dalam, ia tercengang. Ia mendapatkan seperei kusut, tanda seperti Siauw Houwtjoe turun dari pembaringan secara kelabakan. Karena tidak mau memikir bany ak-banyak, ia lantas teriaki pelayan rumah penginapan. Ketakutan nampaknya ketika si pelayan muncul, belum lagi ditanya, ia sudah bicar a, suaranya tidak lancar. Katanya: "Kami dari pihak rumah pengi- napan, kami cuma mengurus tempat tinggal dan makanan tetamu, kalau ada barang yang hilang, kami tidak bertang-gun gjawab..." "Apa? Barang hilang?" tanya Sin Tjoe heran. "Di kota Koenbeng ini sudah lama tidak ada perampok atau pencuri," berkata si pelayan, menyahuti tak langsung, "maka sungguh lacur, kali ini kejadian justeru pada pemondokan kami ini. Inilah di lua r dugaan. Apakah nona ingin majikan kami turut nona pergi mengajukan laporan kep ada pembesar negeri?" Sin Tjoe jadi heran sekali. "Sudah, jangan banyak omong!" meme-gatnya. "Penjahat sudah curi barang apa kepunyaanku?" "Penjahat telah curi kuda putihmu, nona..." Nona Ie kaget bukan main. "Orang telah curi kudaku?" ia menegaskan. "Benar, nona. Sekarang adikmu tengah mengejar penjahat itu..." Tanpa menanya lagi, bagaikan angin puyuh, Sin Tjoe lari ke istal. Di sana tidak ada Tjiauwya Saytjoe ma, kudanya yang jempolan itu. Ia lari keluar, lari terus h ingga beberapa lie. Ia mendapat kenyataan, tapak kaki kudanya lenyap di luar kot a itu. Ia berdiri diam sekian lama, lalu lekas-lekas ia kembali ke hotel. Pelaya n penginapan masih berdiri menanti di istal, hatinya berkuatir. Ia takut nanti d imintai penggantian kerugian kuda jempolan itu... "Orang macam apa pencuri itu?" si nona menanya kemudian. Pelayan itu menggeleng kepala. "Kejadian tadi malam jam empat kira-kira," ia berkata. "Tiba-tiba kami mendapat dengar teriakannya tuan kecil, tatkala kami memburu keluar, tuan kecil sudah pergi meny usul si pencuri kuda, dia lari keras hingga kami tidak dapat menyusul. Kami cuma tahu tuan kecil tidak sampat merapikan pakaiannya lagi. Sebentar saja dia lenya p dari pandangan mata kami." Sin Tjoe mencoba menyabarkan diri. "Inilah heran," pikirnya. "Kudaku itu cuma mendengar perintahnya soehoe dan soeb o serta aku bertiga. Lain orang jangan harap dapat menungganginya, tidak segala pencuri biasa! Mungkinkah dia liehay sekali? Tidak, tidak! Tidak nanti Tjia uwya Saytjoe ma menyerah kepada siapa pun! Buktinya, larinya pun tid ak kacau? Mustahilkah soebo yang datang sendiri? Tapi tidak nanti soebo bergurau denganku! Soehoe pun tak mungkin, soehoe berada di kokkonghoe1. Siapa orang di kolong langit ini mampu mencuri kudaku itu dan dapat membikin kuda itu menurut saja?" Pecah rasanya otak si nona, tidak juga ia dapat menerka jitu. "Nona Ie, kau berniat mengajukan pengaduan atau tidak?" pelayan penginap an mengulangi pertanyaannya tadi. "Apa yang hendak diadukan?" sahut si nona, mendongkol. "Hanya, aku lagi pikirkan, bagaimana caranya untuk mengejar si pencuri itu..." "Tetapi, nona, jangan kau gelisah," kata pelayan itu, "Benar kau kehilangan kudamu tetapi ada seorang yang meninggalkan kuda lain untukmu..." Sin Tjoe heran. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Siapa orang itu?" "Dua orang bangsa asing," sahut si jongos. "Mereka ada priya dan wanita, pakaian nya mewah, bicaranya dengan lidah Inlam. Mereka berlalu belum lama. Mereka menga takan kenal kau, nona, waktu mereka dengar nona kehilangan kuda, mereka lantas m enitipkan kudanya itu." Sin Tjoe lantas menduga pada Toan Teng Tjhong dan puteri Iran. "Siapa lagi yang turut mereka?" ia menanya. "Mereka cuma berdua. Agaknya mereka dalam kesusu. Begitu mendapat tahu nona tida k ada di sini, mereka meninggalkan kudanya dan berangkat dengan lantas." "Mereka dirintangi orang-orangnya kokkonghoe, pantas mereka tidak mau berdiam la ma-lama di kota Koenbeng ini," Sin Tjoe kata dalam hatinya. "Kuda yang mereka ti nggalkan ada kuda dari Arabia, inilah lumayan." Maka ia lantas suruh si pelayan tuntun kuda itu, kemudian ia lantas lompat menai kinya. "Ke mana kaburnya si penjahat?" ia tanya. "Melihat mengejarnya tuan muda, ke selatan," sahut pelayan itu. Tanpa membilang apa-apa lagi, Sin Tjoe kaburkan kudanya ke arah yang disebutkan itu. Tentu saja ia membuatnya si pelayan ini heran dan gegetun. Pelayan ini berl ega hati bukan main, sedang tadinya ia ketakutan, kepalanya pun pusing, takut nanti disuruh mengganti harganya kuda jempolan itu. Sin Tjoe mengaburkan kudanya walaupun ia tahu tidak nanti ia dapat menyandak Tjiauwya Saytjoe ma. Ia mengharap-harap nanti menemukannya di tengah jalan. Buka nkah kudanya itu tidak suka menurut kecuali terhadap majikannya? Sore itu ia menumpang bermalam di rumah seorang petani, besoknya pagi-pagi ia ka bur pula. Di tengah jalan ia menemui beberapa orang, yang gerak-geriknya mencurigai, tetapi mereka tidak ada bersama Tjiauwya Saytjoe ma, ia membiarkannya saja. Ia terus kaburkan kudanya sampai satu kali ia dengar tindakan kaki kuda nyaring di sebelah belakangnya, apabila ia sudah menoleh, ia dapatkan seorang penunggang kuda yang muda usianya, matanya besar, alisnya gompiok, pakaiannya da ri cita kasar, romannya mirip petani yang polos. Dia nampaknya likat dan wajahny a bersemu dadu ketika si nona mengawasi padanya. "Apakah nona bersendirian saja?" ia menanya. "Kenapa?" Sin Tjoe balik bertanya. Ia tidak menyahuti. "Aku juga bersendirian," kata pemuda itu. "Perjalanan dari sini ke Inlam Selatan ada tidak aman, aku pikir baiklah kita jalan bersama, jadi kalau perlu dapat ki ta saling melindungi. Bagaimana pikiranmu?" Sin Tjoe tidak puas, coba orang tidak bersikap polos, pasti ia sudah mencambuk. "Biasanya tak senang aku berjalan bersama-sama lain orang," sahutnya tawar. "Terima kasih!" Dan ia jeterkan cambuknya, membuat kudanya berlompat lari, hingg a sesaat kemudian anak muda itu tak nampak lagi. "Sungguh aneh," nona kita pikir, ia tertawa di dalam hati. "Pemuda itu seperti t idak membawa barang berharga, biarnya tempat tidak aman, dia takuti apa? Mungkin kah romannya saja polos tetapi sebenarnya dia orang jahat? Fui! Biar dia jahat, kalau dia tidak ganggu, apa aku perduli?" Sin Tjoe kabur terus. Sampai magrib ia masih belum melihat kudanya. Hatinya mula i dingin. Ia merasa bahwa cara mencarinya ini tidak tepat. "Sekarang baik aku menuju langsung ke Tali akan menantikan soehoe di sana," piki rnya kemudian. Ia angkat kepalanya, memandang ke depan. Ia melihat banyak puncak bukit. "Orang bilang tempat yang indah ialah Koeilim, siapa tahu Inlam pun tidak kalah, " ia ngelamun. Ia pernah baca banyak buku dan mengenal ilmu bumi, mendadak ia in gat, bukankah pemandangan di depannya itu ada dari "Tjio Lim" atau Rimba Batu ya ng tersohor keindahan dan keanehannya (thian kay ek keng)? Ia ingat benar, Tjio Lim berada di kecamatan Louwlam di Inlam.5) Ia lantas melarikan kudanya mendekati rimba batu itu. Maka ia lihatlah sepotong batu besar yang bagaikan tergantung di udara dengan empat hurufnya warna merah: "Thian Kay Ek Keng," di samping mana ada bebe rapa pujian umpama "Pemandangan aneh buatan alam" dan "Buah kerjaan sakti dari k ampak hantu." Karena ini ia jadi ingin pesiar ke dalam rimba batu itu meskipun i a tahu, rimba istimewa itu katanya mirip dengan barisan Pattin Touw dari Tjoekat Boe Houw, ialah keletakan dan jalanannya yang dapat menyesatkan orang, bisa masuk tak bisa keluar. Ia pikir, p esiar dulu, baharu melanjuti perjalanannya ke Tali. Begitulah ia mencari rumah s atu penduduk, untuk menumpang singgah. Penduduk situ ada suku bangsa Ie yang ramah tamah, yang senang mendapat kunjunga n tetamu, maka itu, Sin Tjoe disambut dengan manis dan dilayani dengan telaten, hingga ia disaj ikan makanan yang istimewa yaitu "lengsan," barang makanan terbuat dari campuran susu kambing atau susu kerbau. Makanan itu berbau amis tapi Sin Tjoe paksa daha r juga beberapa potong. Habis bersantap sore, ia menanya kalau-kalau tuan rumah kenal baik jalanan di dalam rimba batu itu. "Aku tahu, aku tahu, cuma sekarang jalanan itu tak dapat dilalui," berkata tuan rumah. Sin Tjoe heran, ia menanyakan sebabnya. "Sebab sekarang di dalam rimba itu berdiam kawanan penjahat," menerangkan tuan r umah. "Umpama tahun yang lalu, dua orang Tionghoa masuk ke dalam rimba, selanjut nya mereka tidak pernah keluar pula. Karena itu, kami di sini tidak ada yang berani memasukinya." "Begitu?" kata si nona gusar. "Tempat begini luar biasa menarik, mana dapat penj ahat dibiarkan mendudukinya? Kau antari aku ke sana, nanti aku singkirkan manusi a-manusia jahat itu!" Tuan rumah menggeleng-geleng kepala dan menggoyang- goyangi tangannya. "Tidak bisa, nona," katanya. "Jangan kata nona seorang diri, sepasukan tentera p un tidak nanti berhasil membasmi mereka. Mereka kenal jalanan. Kalau lain orang dia dapat masuk tak dapat kembali." Sin Tjoe mendongkol, tapi sebab tuan rumah takut, ia tidak mau memaksa. Malam itu bulan muda baharu muncul, Sin Tjoe keluar dari rumah untuk menggadangi nya. Tuan rumah hendak menemani, ia menampik. Ia berjalan seorang diri. Ia cuma dipesan jangan pergi jauh-jauh. Di luar kampung itu ada sebuah telaga kecil, di tepi situ pun ada banyak batunya yang munjul tinggi, berbayang di permukaan air. Juga pemandangan ini cukup mera wankan hati. Nona ini ingat pembilangan hal adanya Kiam Tie, Pangempang Pedang, di dalam Tjio Lim, maka ia anggap, pangempang itu pastilah indah sekali. Karena ini tanpa merasa ia bertindak, berniat memasuki ri mba batu itu. Mendadak ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang belasan tombak di depannya. Ia heran. Di sana ada tanah datar yang berumput, di sana pun ada beberapa batu munj ul itu. Ke sana dua bayangan itu masuk, akan kemudian disusul dua yang lain. Dar i heran, ia menjadi mencurigai orang jahat. Maka ia lari ke sana, untuk menginta i. Untuk menyembunyikan diri, ia naik di atas puncak. Ia lihat bebarapa orang, d i antaranya seorang wanita. "Tang Lootoa, apakah kau merasa pasti?" terdengar seorang. "Benarkah si titik it u seorang diri?" Si "titik" ada kata-kata rahasia kaum penjahat, dimaksudkan orang yang di arah. "Benar-benar mereka penjahat yang hendak mencelakai orang," pikir Sin Tjoe. Maka terus ia mengintai, memasang mata dan kupingnya. "Aku tidak salah, dia seorang diri!", jawab si Tang Lootoa itu. Sin Tjoe terus memasang kupingnya, sampai ia terkejut. "Kalau dia benar bersendirian, jangan kita alpa," terdengar suara seorang tua, y ang nadanya dalam. "Tidak sembarang orang berani jalan sendirian untuk ribuan li e jauhnya." Herannya Sin Tjoe ialah ia seperti mengenal baik suara itu. Maka ia mengingat-in gat. "Ah, dialah Lie Ham Tjin," si nona achirnya ingat. Lie Ham Tjin ialah salah satu dari tujuh pahlawan dari istana kaisar, yang pernah menyateroni Thayouw Santjho eng. Dialah yang dapat lolos dari tangannya Hek Pek Moko, sedang yang lainnya te lah mendapat bagiannya. "Inilah aneh," Sin Tjoe berpikir lebih jauh. "Aku menyangka kepada orang-or ang jahat biasa, siapa tahu di sini ada turut campur hamba negeri..." Tentu sekali, ia menjadi semakin ketarik hati. "Jangan kuatir, looyatjoe," kata si wanita. "Kita jangan lawan dia berterang, ki ta pancing dia masuk ke dalam rimba batu. Dia bersendirian, biarnya dia liehay d an mempunyai sayap untuk terbang, tidak nanti dia lolos!" "Apakah kau merasa pasti?" Lie Ham Tjin menegaskan. "Tentu! Dengan satu akal, dia pasti bakal kena terpancing." Sin Tjoe ingin dengar akal itu, tetapi mereka itu hanya kasak-kusuk. "Benar bagus!" kata Lie Ham Tjin tertawa, "Habis membereskan si titik ini, kita baharulah membereskan juga si budak peremp uan!" "Apakah budak perempuan itu pun si titik yang tangguh?" si wanita menanya. "Turut katanya Vang Tjongkoan, dia telah mewariskan ilmu pedang gurunya dan senj ata rahasianya yang berupa bunga emas liehay luar biasa," menyahut si orang she Lie. "Sebenarnya, setiap muridnya Thio Tan Hong pastilah tak dapat dicelah, past i dia liehay." Sin Tjoe kaget sekali. Jadi ia pun lagi di arah. Hampir ia merabuh dengan bunga emasnya untuk menghajar rombongan itu. Baiknya ia dapat menyabarkan diri. Ia menduga-duga, siapa itu si titik, ingin ia mencari tahu. Untuk ini, ia mesti mengawasi terus gerak-gerik rom- bongan itu. "Budak itu mengambil satu jalan bersama si titik, jikalau kita ketemui mereka be rbareng, terhadap siapa kita mesti turun tangan terlebih dulu?" menanya si wanit a. "Tentu saja si titik lebih dulu!" sahut Lie Ham Tjin. "Mereka tak dapat dikumpul bersama. Sekarang mari kita bersiap sedia!" Sin Tjoe lekas-lekas mengundurkan diri, untuk mengawasi terlebih jauh. Ia memern ahkan diri di tempat tersembunyi di tepian empang. Belum terlalu lama, ia melihat gerakan serupa bayangan memasuki Tjio Lim. "Siapa titik itu?" si nona menduga-duga. "Lie Ham Tjin liehay dan kawannya banya k, mereka masih tidak berani menempur secara terang-terangan... Mungkin dia terlebih penting daripadaku..." Setelah itu, ia berjalan pulang, akan besoknya fajar, belum langit terang, ia su dah pamitan dari tuan rumah, yang ia beri alasan hendak lekas-lekas melanjuti pe rjalanannya. Tapi sebenarnya ia menyembunyikan diri di luar rimba batu itu. Ketika matahari sudah naik tinggi, beberapa orang kelihatan masuk ke dalam rimba , terus mereka lenyap, tidak terdengar juga suara apa-apa dari mereka. Ia menjad i bersangsi si titik datang hari itu. Hampir nona ini meninggalkan tempat sembunyinya tatkala kupingnya mendengar tind akan kaki kuda, lalu tak lama kemudian, muncullah si penung- gang, yang ternyata adalah si anak muda kemarin, yang mengajak ia jalan bersama. Dia pun rupanya tertarik keindahan rimba batu itu, dia turun dari kudanya, samb il menggendong tangan, dia mengangkat kepala, melihat langit dan sekitarnya. "Dia nampaknya tolol tetapi dia ketarik sama keindahan alam," berpikir si nona. Ia mengagumi juga pemuda itu, yang terang berperasaan halus. Justeru itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita. Si anak muda kaget , dia berpaling ke arah dari mana jeritan itu datang. Dia tampak seorang priya, yang romannya bengis, membawa lari seorang wanita masuk ke dalam rimba. Wanita i tu menjerit-jerit terus dan meronta-ronta kaki dan tangan. "Culik! Tolong! Culik! Tolong!" demikian teriakan si wanita berulang-ulang. Pemuda itu kaget, lalu dia menjadi gusar, maka dia lari untuk mengubar. Semua itu terkilas di matanya Sin Tjoe. Untuk sesaat ia berdiam, segera ia sadar , si titik itu pastilah ini anak muda. Karena ini ia berteriak-teriak: "Jangan kejar! Jangan kejar! Itulah akal belaka!" Sia-sia saja teriakan ini, si anak muda sudah mengejar masuk ke dalam rimba batu . Tapi keras keinginannya si nona untuk menolong, maka ia hunus pedangnya, ia me mburu. Segera ia dengar suara benterokan senjata. Ia lari terus, hingga ia menya ksikan si anak muda lagi dikepung beberapa orang, di antaranya seorang tua, ialah Lie Ham Tjin si pahlawan kaisar. Pula si "culik" dan wanita yang terculik itu ada bersama, bahakan kebetulan sek ali, wanita lagi berkata-kata sambil tertawa: "Lihat, looyatjoe, bagus tidak aka lku?" Hebat si anak muda. Ia gempur seorang musuhnya, hingga dia terdampar ke sebuah b atu sampai kepalanya borboran darah. Pukulan itu membuatnya si nona heran. Ia ke nali itulah jurus dari ilmu silat Kimkongtjiang Toasoet paytjioe, hajaran Tangan Arhat. Lie Ham Tjin mengasi dengar ejekan "Hm!" terus ia rangsak si anak muda. Dia meng gunai ilmu silat Thaykek koen, untuk memecahkan tipu silatnya pemuda itu. Si ana k muda benar hebat, walaupun dia gagah, Lie Ham Tjin tak dapat berbuat banyak. Bahkan habis itu, kem bali satu musuh dibikin terdampar roboh. Si wanita lantas berteriak: "Looyatjoe, jangan melayani dia mati-matian! B iarkan dia merasakan aku punya Tjoebo Lianhoan Ouwtiap piauw!" Itulah piauw yang berupa kupu-kupu. Sin Tjoe gusar hingga ia tak tahan sabar lagi. Ia lompat keluar dari tempatnya s embunyi sambil berseru, ia mengayun tangannya menyebar bunga emasnya, akan merun tuhkan setiap piauw kupu-kupu itu. Aneh senjata rahasia si wanita, sesudah runtuh, lalu terlihat menyambarnya banya k jarum. Karena ini Sin Tjoe segera nyerbu dengan putar tubuhnya berikut pedangnya, buat melindungi diri sambil menangkis. "Hati-hati!" si anak muda berseru, memperingati si nona, lalu ia mengeba s dengan sebelah tangannya, atas mana banyak jarum itu tersampok ke samping mengenai batu sedang semua orang, kawan dan lawan, pada menyingkir. "Buka!" berseru Lie Ham Tjin si orang tua. Itulah tanda rahasia, mendengar mana kawan-kawannya yang mengepung si anak muda, lantas kabur berpencaran. Si anak muda, be-gitupun Sin Tjoe, tidak perdulikan yang lain-lain, mereka menge jar si pahlawan raja, yang pun turut melarikan diri, telasap-telusup di antara b atu-batu munjul itu. Sembari mengejar Sin Tjoe sesalkan si anak muda: "Kenapa kau tidak dengar perkataanku? Terang-terang ada harimau tapi kau justeru lari hampirkan harimau itu? Memangnya kau tidak den gar teriakanku?" Si anak muda menyeringai, ia menyahuti: "Aku dengar suaramu tetapi aku ingin sek ali menolongi wanita itu, yang suaranya menyayatkan hati. Siapa tahu..." "Rupanya kau tidak perdulikan aku, kau tidak mempercayainya, kau menyangka aku m anusia jahat!" Merah mukanya si anak muda. "Tidak, tidak," ia menyangkal. Melihat roman orang, Sin Tjoe mendongkol berbareng lucu. Ia pun lantas mengingat bahwa mereka tidak kenal satu pada lain, bahwa ada wajar saja orang berkasihan terhadap wanita yang diculik itu, malah ini menandakan kemuliaan hati si anak mu da. Karena ini, tanpa merasa muncullah kesannya yang baik. "Masuk gampang, keluar sukar," kata ia kemudian. "Mari kita lihat." Si anak muda mengangguk. Mereka lantas mencari jalan keluar. Hati-hati mereka memeriksa tanda-tanda. Achi rnya mereka kembali ke tempat semula. Artinya, benar-benar mereka sudah tersesat jalan. Si nona lantas duduk di batu, nampaknya ia letih. Selama itu terus si anak muda membungkam saja. Baharu Sekarang ia mengeluarkan r angsum keringnya, ia membagi pada si nona. "Nona, kau tentu sudah lapar, kau daharlah," ia berkata. "Kau membekal berapa banyak rangsum?" Sin Tjoe tanya. "Hari ini dapat dilewatkan . Bagaimana besok? Bagaimana lusa? Kita sukar keluar dari sini, apa daya?" Sin Tjoe tidak bisa membilang lainnya. Sekarang mereka bersama-sama seperti duduk sebuah perahu, tidak dapat ia menyesa lkan pula si anak muda. Agaknya si anak muda terus tidak tenang hatinya. Mendelong ia mengawasi si nona. "Menyesal, aku telah mencelakai kau, nona," katanya kemudian. "Nona tahu ke sini orang dapat masuk tetapi tidak dapat keluar, mengapa kau masu k juga?" "Habis mana bisa aku mengawasi saja kau bercelaka?" si nona membaliki. "Nona baik sekali!" kata si pemuda. Ia memuji, ia pun mengucap terima kasih. Ia menjura dengan dalam. Melihat begitu, Sin Tjoe tertawa. Karena ini, tidak lama kemudian, lenyaplah kem endongkolannya. "Sekarang kita berada di sini, marilah kita sekalian melihat keindahannya rimba batu ini!" katanya kemudian. Ia benar-benar melupai bahaya yang tengah mengancam dirinya, dengan menyekal pedang terhunus, ia bertindak jalan. Anak muda itu mengikuti. Sekarang, dengan hati lega, dapat mereka memperhatikan batu-batu yang berdiri le mpang itu bagaikan pepohonan. Itulah yang menyebabkan didapatnya nama Tjio Lim atau Rimba Batu itu. Ada tempat yang sempit hingga memuat hanya satu tubuh, ada juga yang lebar di m ana dapat orang bersilat. Ketika mereka tiba pada suatu tempat di mana dua buah puncak seperti saling meng gencet, mendadak ada anak panah menyambar, suaranya nyaring. Dengan pedangnya si nona menangkis anak panah itu. Habis itu, sunyi sirap. Adalah sesaat kemudian, datang timpukan piauw. Gusar Sin Tjoe, sambil berkelit, ia berlompat, matanya mengawasi ke tempat dari mana senjata gelap itu datang. Sebat luar biasa, ia mengayun tangannya, lalu di sana terdengar suara jeritan, suatu tanda si pelepas piauw itu menjadi sasaran bunga emas. Lalu terdengar suara orang. "Budak itu liehay bunga emasnya, jangan layani dia! Biarkan saja dia kelaparan beberapa hari, baharu kita bereskan padanya!..." Dalam mendongkolnya, Sin Tjoe menimpuk pula dua kali tetapi kali ini tanpa hasil nya, bunganya itu terdengar mengenakan batu. Karena ini, kegembiraannya menjadi lenyap. "Nona, legakan hatimu, kau memandangilah segala apa dengan gembira," berkata si anak muda tertawa. "Kalau ada lagi tikus-tikus yang mengganggu padamu, nanti aku yang mengusirnya!" Benar saja, tidak jauh dari situ, terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Ta npa menanti si nona menyerang, si anak muda sudah menyentil jari tangannya. Ia menyentil sebutir batu. "Aduh!" terdengar jeritan di sana, disusul sama tindakan kaki kabur. "Inilah ilmu Tantjie Sinthong yang liehay!" berkata si nona dengan pujiannya. It ulah ilmu menyentil batu. Karena ini, ia jadi berpikir. Ia tahu, di dalam ilmu s emacam itu, orang terliehay adalah Tang Gak, yang menjadi soepehtjouw-ny a, Tang Gak itu ada soepeh atau paman seperguruan dari Tan Hong, gurunya sendiri. Cuma soepehtjouw itu berada jauh di gurun pasir. Hanya pada sepuluh tahun yang lampau , pernah soepehtjouw itu datang ke Tionggoan. Pemuda ini bicara dengan lagu suar a Kanglam, maka aneh dia mempunyai ilmu me- nyentil itu. Ia menjadi menanya dirinya sendiri: "Mungkinkah pengalamanku yang cupat hingga aku tidak ketahui di sebelah Soepehtjouw Tang Gak ada lagi lain orang yang pandai ilmu ini?" Sin Tjoe memikir untuk menanyakan keterangan pada si anak muda, tapi sementara i tu, mereka berjalan terus, hingga di depan mereka tertampak sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu ada tumbuh banyak pohon bunga, yang haru mnya semerbak. Di lamping bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya: "Kiam Hong," artinya, "Puncak Pedang." Maka tidak salah lagi, itulah telaga yang dinam akan Kiam Tie, artinya Pangempang Pedang. Di permukaan air itu berkacalah sang p uncak serta pepohonan lainnya, yang mendatangkan pemandangan yang menajubkan. Maka terbukalah hati pep at dari Sin Tjoe, hingga dapat ia bersenandung. "Sungguh tepat syairnya Lim Hoo Tjeng dipadukan dengan keindahan di sini!" berkata si anak muda. "Hanya dunia sedang kacau, mana dapat kita main bersenang-senang saja?" Terkejut Sin Tjoe mendengar si anak muda. "Dia mirip s eorang desa tolol tetapi toh dia mengarti Lim Hoo Tjeng..." pikirny a. Maka dengan sendirinya bertambahlah kesannya yang baik terhadap ini anak muda atau kawan baru yang dida patnya secara kebetulan sekali. Berdiri di tepian, Sin Tjoe bagaikan ngelamun. "Coba soehoe berada di sini, pastilah dia dapat bersyair..." pikirnya pula. Atau mendadak ia ingat Tiat Keng Sim. Pemuda s he Tiat itu pastilah akan ketarik juga dengan keindahan pengempang ini. "Sebenarnya kau bernama apa?" sekonyong-konyong ia tanya si anak muda kepada sia pa ia menoleh dan memandanginya. Sesudah berselang lama, baharu ia ingat menanya kan nama orang. "Aku she Yap dan namaku Seng Lim," menyahut pemuda itu. "Apakah kau orang Kanglam? Sin Tjoe menanya pula. "Tidak salah. Aku asal Sekhoen di Tjiatkang Barat." "Itu artinya kau melakukan perjalanan ribuan lie! Untuk apa kau datang ke Inlam ini?" Yap Seng Lim ragu-ragu, ia mengawasi si nona. "Aku hendak pergi ke Tali untuk mencari satu orang," sahutnya kemudian. "Untuk pergi ke Tali, inilah bukan jalanannya." Sin Tjoe beritahu. "Jalanan untu k ke Tali ada sebalikannya." Wajahnya pemuda itu menjadi merah. "Aku tidak menyangka kau pandai ilmu silat, nona, bahkan kau liehay sekali ," sahutnya, tak langsung. "Ah!" bersuara si pemudi. "Aku menanya kau kenapa kau justeru mengambil ini jala nan? Tentang ini toh tidak ada hubungannya dengan aku mengarti silat atau tidak? " Seng Lim likat. "Aku lihat kau berjalan seorang diri, nona, dan jalanan tak aman, aku... aku..." Sin Tjoe tertawa lebar. "Oh kiranya kau berkuatir untuk diriku, kau jadi hendak melindungi..." katanya. "Pantaslah kau mengajak aku jalan bersama-sama." "Mendengar lagu suaramu, nona, kau pun orang Kanglam," berkata si pemuda, yang m emutar haluan. "Aku numpang menanya kenapa nona juga membuat perjalanan ke Inlam ini?" "Aku juga hendak pergi ke Tali!" sahut si nona tertawa. "Tapi, jangan kau kesusu menanya aku! Hendak aku menanya terlebih dulu! Hendak mencari siapakah kau maka kau mau pergi ke Tali?" "Kau ada orang satu kaum, nona, tidak halangannya untuk aku memberitahukan," sah ut si anak muda. "Aku hendak mencari ahli pedang nomor satu di Mereka berjalan terus, hingga di depan mereka tertampak sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu ada tumbuh banyak pohon bunga, yang harumnya semerbak. Di lampin g bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya: "Kiam Hong," artinya "Puncak P edang." Maka tidak salah lagi, itulah telaga yang dinamakan Kiam Tie, artinya Pe ngempang Pedang. jaman ini yaitu Kiamkek Thio Tan Hong." Sin Tjoe berjingkrak. Tak dapat ia menguasai dirinya lagi. "Oh, kiranya kau hendak mencari guruku!" serunya. Sekarang adalah Seng Lim yang terkejut. "Apa?" katanya. "Thio Tan Hong itu gurumu?" Mendadak ia menjura kepada si nona d an menambahkan: "Kalau begitu kaulah soetjie-ku\" "i Soetjie" ialah kakak seperguruan yang wanita. "Siapa gurumu itu?" Sin Tjoe menanya. Ia seperti tak menggubris kata-kata orang. "Guruku ialah Soe Teng San," menyahut Seng Lim. Soe Teng San ada muridnya Tang Gak, belum pernah Sin Tjoe bertemu dengannya, ia hanya ingat ia mempu- nyai seorang paman guru yang pernah merantau di selatan dan utara sungai besar d an hidup sebagai tabib penolong rakyat jelata. "Sekarang ini berapa usiamu?" ia menanya. Tiba-tiba saja ia tertawa. Ditanya begitu, Seng Lim melengak. "Sekarang ini baharu dua puluh dua tahun," sahutnya polos. Kembali si nona tertawa. "Usiaku baharu tujuh belas, cara bagaimana kau memanggil soetjie padaku?" bil angnya. Kembali Seng Lim menjadi likat, tetapi achirnya, dia pun tertawa. "Soemoay!" ia memanggil. Soemoay ialah adik seperguruan yang wanita. "Untuk apa kau mencari guruku?" Sin Tjoe seperti tak pernah kehabisan pertanyaan. "Aku diperintah pamanku," menyahut Seng Lim. "Siapa itu pamanmu?" si nona menyerocos. "Pamanku itu ialah Vap Tjong Lioe." "Oh kiranya Yap Toakol" Sin Tjoe berteriak tanpa merasa. Di dalam kalangan tentera rakyat, orang semua menyebut Tjong Lioe sebagai toako, karenanya si nona ini menuruti kebiasaan itu, hingga tak dapat ia gampang-gampa ng mengubah panggilannya itu, Kemudian ia jengah sendirinya. Orang ini dan ia ad a soeheng dan soemoay, maka paman orang itu mana dapat ia panggil toako, kakak. "Memang, semua orang memanggil toako pada pamanku itu," berkata Se ng Lim. "Ah, apakah kau bukannya Nona Ie?" ia balik menanya. "Kenapa?" tanya Sin Tjoe heran. "Pamanku pernah memberitahukannya bahwa kau pernah membantu banyak padanya. Pama n mengatakan kaulah wanita gagah perkasa di jaman ini!" Wajahnya si nona menjadi bersemuh dadu. Terang sudah Tjong Lioe telah membuka ra hasia penyamarannya kepada keponakannya ini. "Kenapa selama berada dalam tentera rakyat tak pernah aku melihat kau?" ia menan ya, untuk menyimpangi. "Itulah karena aku datang terlambat. Tatkala aku dengar paman mengumpulkan tentera untuk melawan perompak kate, aku l antas pamitan dari guruku, tetapi ketika aku sampai ke tempat paman, kawanan perompak itu sudah diusir ke laut. Aku menyesal dan malu sudah ketinggalan..." "Ada urusan penting apa itu maka pamanmu menyuruh kau pergi ke Tali?" masih si n ona menanya tak hentinya. "Perlu apa kau hendak mencari guruku?" "Sesudah pamanku mengusir perompak, lantas dia menjunjung Pit Kheng Thian menjad i Toaliongtauw, yaitu pemimpin pusat dari rombongan dari delapan belas propinsie ..." "Hm!" Sin Tjoe perdengarkan suara dingin. "Tidak puas menjadi toaliongtauw dari lima propinsi Utara, sekarang dia mau menjadi juga toaliongtauw dari delapan belas propinsi!" Seng Lim heran, ia melengak. "Pit Toaliongtauw itu pintar dan gagah," katanya, "kedudukan itu pamank u yang mengalah dan menyerahkannya padanya." "Baiklah, kita jangan bicara tentang Pit Kheng Thian itu. Mari kita bicara tenta ng pamanmu." "Pit Kheng Thian hendak menghimpunkan semua tentera rakyat, untuk mengerek bende ra, buat merobohkan kerajaan Beng guna membangun suatu pemerintah baru..." "Dari siang-siang memang aku telah ketahui dia hendak mengangkat dirinya menjadi kaisar! Ah, mengapa kau masih membicarakan halnya dia itu?" "Tanpa membicarakan hal dia, tidak dapat kita bicara jelas." Heran ini anak muda, mengapa agaknya si nona membenci Kheng Thian. "Baiklah, kau boleh omong terus." "Sekarang ini angkatan perang rakyat itu tengah menantikan waktunya saja untuk bergerak," Seng Lim menjelaskan. "Kheng Thian bilang gurumu ada mempunyai sebuah peta, dengan mendapatkan itu, besar faedahnya untuk pergerakan tentera itu. Kheng Thian ketahui aku adalah keponakannya gurumu, dia minta pamanku mengutus aku kepada gurumu untuk meminjam peta itu." "Tentang itu sudah beberapa kali Kheng Thian bicara denganku, aku tidak melayani nya," kata Sin Tjoe, "sekarang rupanya dia hendak pinjam mukanya pamanmu itu!" "Soal peta ada soal yang nomor dua," Seng Lim melanjuti, "yang utama itulah soal menjungkalkan pemerintah Beng. Seumurnya pamanku paling menjunjung Thio Tayhiap, karenanya ia mau minta pikiran tayhiap d apatkan dia bertindak merobohkan pemerintah. Maka itu paman sekalian utus aku ke pada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap akur, baharulah peta diminta pinja m. Melihat keadaan sekarang ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya Pit Toaliongtauw pasti b akal menggeraki angkatan perangnya itu..." Dalam hal besar seperti itu. Sin Tjoe tidak dapat berpikir, hanya entah kenapa, ia senantiasa tidak berkesan baik terhadap Pit Kheng Thian. "Tahukah kau seorang she Tiat yang dipanggil Tiat Kongtjoe?" ia menanya sesudah ia berdiam sekian lama. "Apakah kau maksudkan Tiat Keng Sim puteranya Tiat Giesoe dari Taytjioe?" "Benar." "Semasa aku tiba di Taytjioe, dia masih ada di sana, pernah beberapa kali aku be rtemu dengannya." "Ah, apakah sekarang ia sudah pergi dari sana?" "Ya, semenjak permulaan bulan yang lalu. Kelihatannya ia kurang cocok de ngan Pit Toaliongtauw." Si nona berdiam. "Tiat Kongtjoe itu agaknya sedikit luar biasa..." "Kenapa?" Sin Tjoe heran. "Kabarnya tempo menghajar perompak, dia telah mengeluarkan banyak tenaga, hanya habis itu, setahu kenapa, dia kehilangan kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia duduk minum arak seorang diri, tak suka dia bergaul sama orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya perubahannya itu. Pada permulaan bulan yang lalu itu, setelah Pit Toaliongtauw menjadi pemimpin be sar dari delapan belas propinsi dan mulai berusaha untuk menggulingkan pemerinta h Beng, secara diam-diam kongtjoe itu mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw menjadi tidak senang, dia dicaci, dikatakan dia tak cocok dengan kita sebab dialah anakn ya orang berpangkat. Paman menyesal sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau k enal dia dengan baik?" Sin Tjoe memandang ke permukaan air, ia menjadi teringat kepada gelombangnya sungai Tiangkang. Ia membayangi pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim. Kemudian ia teringat juga peristiwa menyedihkan di hutan cemara di antara Keng To dan Keng S im, guru dan murid itu. Maka itu lama baharu ia menyahuti. "Ah, kita tidak mengenal baik. Aku menanya sepintas lalu saja. Baiklah kita jang an sebut-sebut pula dia itu," katanya. Seng Lim heran. "Kenapa dia berduka dengan disebutnya Keng Sim?" pikirnya. Ia menjadi dapat suatu perasaan aneh. Tapi ia menghiburkan diri. "Buat apa aku pikirkan urusan lain orang?" Maka ia angkat kepalanya, memandang ke antara batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di permu kaan air nampak sinar layung. "Sebelum langit menjadi gelap, mari kita melihat lain-lain bagian lagi," ia meng ajak. "Sekalian kita cari tempat di mana dapat kita beristirahat. Di sini benar indah tetapi terlalu terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita memb ela diri." Sin Tjoe ikut si pemuda berjalan tetapi dengan mulutnya bungkam. Mereka mengikut i seluk beluknya batu-batu gunung itu yang bagaikan berpesta. Masih si nona berdiam saja. Sampai di tempat di mana ada kali kecil yang airnya bening, ia berhenti untuk minum. "Ah, ada ikan di kali ini!" kata Seng Lim. "Nanti aku tangkap beberapa ekor." Ia lagi memandang ke muka air tempo di sebelah hulunya ada bayangan satu no na, bayangan mana lenyap dengan berombaknya air. Cepat sekali Seng Lim menjumput sep otong batu kecil, menimpuk ke arah dari mana bayangan itu datang. Atas itu terde ngar teriakannya satu nona, yang lantas saja muncul di antara mereka. Lagi sekal i Seng Lim menyerang, tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Si n Tjoe. "Jangan!" Nona Ie mencegah. Bahkan tubuhnya segera mencelat menghampirkan nona y ang baharu muncul itu. "Kiranya kau!" katanya tertawa. "Mana ayahmu?" Nona itu berdandan sebagai seorang wanita suku bangsa Ie. Ia mulanya kaget, tapi kemudian ia berkata dengan pelahan: "Ah entjie, kau masih mengenali aku?" Ia bi cara dalam bahasa Tionghoa. Memang ialah si nona yang bersama ayahnya pernah memberi pertunjukan sulap menelan pedang. Ia melihat ke sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi denga n pelahan: "Panjang untuk menutur. Mari aku ajak dulu kamu keluar dari rimba bat u ini." Sin Tjoe girang bukan kepalang. "Kau kenal jalanan rahasia di sini?" Si nona mengangguk. "Aku menjadi besar di sini, sekalipun dengan mata meram, dapat aku keluar dari sini," sahutnya. Seng Lim menghampirkan nona itu, untuk memberi hormat. "Maaf," katanya. "Aku menyangka kau ada konconya penjahat..." Si nona tertawa. "Siapa bilang bukannya?" ia menjawab. Seng Lim terkejut. "Kalau bukannya aku kenal Nona Ie, tidak nanti aku menempu bencana ini," berkata pula si nona. Sin Tjoe pun heran. Nona itu tertawa, ia menunjuk pada tusuk konde kumala di rambutnya. Sin Tjoe lih at itu, ia kenali itulah tusuk kondenya sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona . Maka sekarang mengartilah ia sudah. Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf Ie, tanda dari keluarga Ie. "Karena nona ketahui rahasia jalanan di sini, sekarang tak ingin aku lekas-lekas keluar dari sini," berkata Seng Lim kemudian. Mendengar itu sekarang si nonalah yang menjadi heran, "Kamu tidak mau le- kas berlalu dari sini, apakah kamu hendak menantikan kematian-mu?" dia menegaska n. "Aku ingin minta bantuanmu, nona," kata Seng Lim. "Aku ingin usir dulu kawanan p enjahat, supaya ini tempat indah tidaklah dinodai mereka itu!" Sin Tjoe sebaliknya berpikir: "Nona ini mengaku menjadi konco penjahat dan ia ag aknya bukan tengah bermain-main, kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terha dapnya?" Nona itu mengawasi si anak muda. "Apakah kamu cuma berdua?" ia tanya. "Kenapa?" "Mereka itu berjumlah besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di antaranya ada pahlawa n dari kota raja! Bukankah kamu berdua saja?" Mendengar itu, ber- ubahlah pandangannya Sin Tjoe. Ia menjadi girang sekali. "Memang aku tahu kau bukan orang busuk, nona," katanya. "Sekarang aku minta kau ajak aku pergi ke sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak usah memperduli-kannya." Nona itu tertawa. "Aku boleh tidak usah memperdulikannya, tidak demikian dengan Thio Tayhiapl" Kembali Sin Tjoe heran hingga ia berdiri melengak. "Thio Tayhiap yang mana?" ia bertanya. "Kecuali guru kau, nona, di kolong langit ini mana ada Thio Tayhiap lainnya ?" Benar-benar Sin Tjoe bingung sekali. "Sebenarnya, bagaimana duduknya hal?" tanyanya pula. Di dalam hatinya, ia kata: "Soehoe memang liehay, aku hanya tidak mengarti kenapa dia seperti dapat meramal kan? Mungkinkah dia sudah ketahui kami bakal tersesat di sini?" Nona suku Ie itu seperti dapat menerka hati orang, ia tertawa ketika ia berkata pula: "Adalah Thio Tayhiap yang menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Ki ta tidak menyangka akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!" "Oh, entjie yang baik, kau menjelaskannya padaku!" achirnya Sin Tjoe minta. Nona itu lantas bicara dengan sungguh-sungguh: "Kawanan penjahat di sini sebagia n besar ada orang-orang Ie, pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yan g menjadi pemimpin besar ialah begal tunggal dari Inlam Selatan yang namanya sangat kesohor yaitu Touw Koen. Touw Koen ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia mengajak Lang Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin yang gagah dari kaum Ie kami, tapi ia benci pemerintah yang memungut pajak dengan bengis, tidak senang ia melihat bangsanya diperas, maka ia kena dibujuk Touw Koen. Begitulah ia dapat mengumpul kira-kira dua ratus orang bangsanya, yang semua muda-muda. Karena ini juga, Lang Ying tida k mengganggu penduduk Ie di sekitar sini." Baharu sekarang Sin Tjoe mengarti sebabnya kenapa penduduk tahu ada penjahat tet api mereka tidak takut dan hidupnya tenang- tenang saja. Pantas juga tuan rumah yang ia tumpangi tidak suka menunjuki jalan, malah ia dilarang p ergi jauh dari rumahnya. "Touw Koen juga mengumpul konco- konconya sendiri," si nona suku Ie menerangkan lebih jauh. "Mereka berjumlah lebih sedikit tetapi mereka lebih tang guh, maka itu dialah yang berkuasa, hingga kejadian dia bukan cuma membegal teta pi pun membunuh orang, ialah kaum saudagar yang berlalu-lintas di sini. Karena i ni orang-orang suku Ie menjadi jeri dan tempat ini seperti terlarang untuk merek a. Lang Ying tidak puas tetapi ia tidak dapat berbuat suatu apa." Sin Tjoe tidak menyangka demikian kusut keadaan dalam dari kawanan penjahat itu. "Kami ayah dan anak asal Tjio Lim ini," berkata pula si nona suku Ie itu melanjuti keterangannya, "k emudian kami pindah ke Tali di kaki gunung Tjhong San. Di atas gunung itu kabarn ya ada tinggal beberapa orang perta-pa, yang penduduk di dekat-dekatnya menghorm atinya sebagai dewa-dewa..." Sin Tjoe menduga pada kakek gurunya, ialah Hian Kie Itsoe bersama Siangkoan Thia n Ya serta Siauw Loothaypo bertiga. Ia tidak menjelaskannya, ia hanya tanya apa si nona pernah melihat orang-orang pertapa itu. Nona itu menggeleng kepala, tetapi ia menyahuti: "Katanya mereka itu tinggal di puncak Inlong Hong, puncak tertinggi dari Tjhong San, puncak mana seluruh tahun ditutupi mega atau kabut dan tidak sembarang orang dapat mendakinya. Taruh kata orang dapat memenda -kinya, belum tentu dewa-dewa itu suka menemuinya. Hanya ada satu Ouw Toaya, mur idnya salah satu dewa itu, yang sering turun gunung untuk berbelanja dan dia suk a menolong mengobati orang sakit..." "Bukankah Ouw Toaya itu yang bernama Ouw Bong Hoe?" "Benar, itulah namanya Ouw Toaya itu. Aku mengetahuinya pun baharu tahun yang lampau. Kami menanam sayur, setiap kali turun gunung, Ouw Toaya b elanja kepada kami, karenanya kami jadi kenal dia. Sering Ouw Toaya itu singgah di rumah kami. Ayahku ketahui Ouw Toaya pandai, ia tela h minta supaya aku diterima menjadi muridnya. Ouw Toaya menampik, katanya ia masih mempunyai guru, ia jadi t idak dapat menjadi guru lain orang. Maka ia cuma mengajarkan kami beberapa rupa ilmu silat. Pun kebiasaan kami menelan pedang adalah pengajarannya Ouw Toaya itu di saat ia bergembira sekali..." Ouw Bong Hoe itu ada murid nomor dua dari Siangkoan Thian Ya. Dia tinggal lama s ekali bersama gurunya, maka itu ia mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak darip ada Tamtay Biat Beng (atau Tantai Mieh Ming) si murid kepala. Hanya ilmu menelan ped ang itu didapat Ouw Bong Hoe bukan dari gurunya tetapi dari Hek Pek Moko dengan siapa ia bersahabat erat sekali, dia mempelajarinya secara iseng-iseng. "Kamu tinggal aman dan berbahagia di kaki gunung Tjhong San, habis kenapa kamu p indah pula ke mari?" tanya Sin Tjoe. "Itulah sebab kami menerima titahnya gurumu, nona. Thio Tayhiap da tang ke Tjhong San baharu di musim semi tahun ini. Ia kenal baik dengan k ita. Tayhiap gemar sekali pesiar. Bahkan Toan Ongya sering mengundang dia datang ke istana." Keluarga Toan ini, pada sebelum jaman Goan Tiauw, ada menjadi raja di Tali, raja turun temurun, maka itu meski benar sekarang kedudukannya cuma sebagai tiepeng tjiang -soe, pegawai negeri, rakyatnya saking kebiasaan tetap memanggil ongya (r aja muda atau pangeran). "Selama yang paling belakang ini Toan Ongya hendak mengangkat dirinya menjadi ra ja," si nona suku Ie melanjuti keterangannya, "semua suku kami di Inlam menunjan g padanya. Karena ini, Toan Ongya ingat kepada rombongannya Lang Ying, maka disa yangi sekali ketika ketahuan Lang Ying menjadi penjahat. Tapi Thio Tayhiap menga tur daya upaya supaya Lang Ying suka datang ke Tali. Kami ada orang Tjio Lim sin i, dari itu Thio Tayhiap yang menugaskan ayah untuk dapat membujuk Lang Ying itu . Thio Tayhiap menugaskan kami datang ke Koenbeng dulu, untuk mengadakan perhubu ngan dengan siauwkongtia." Baharu sekarang Sin Tjoe sadar kenapa siauwkongtia ketahui alamatnya. "Tentulah kau yang membuka rahasiaku!" katanya. Nona itu bersenyum. "Harap nona maafkan aku yang telah menguntit kau," bilangnya. Hanya berhenti sebentar, si nona suku Ie berbicara pula: "Aku ada mempunyai satu kakak misan yang menjadi salah satu sebawahannya Lang Ying itu, dengan kakak it u kami membuat perhubungan. Sudah tiga hari kami berada di sini, masih kami belu m dapat menemui Lang Ying sendiri untuk berbicara dengannya. Kakak misanku itu b ilang Lang Ying dikekang Touw Koen, mungkin dia tidak berdaya. Baharu kemarin in i ada datang beberapa pahlawan dari kota raja, satu di antaranya yang bernama Ha n Thian ada saudara angkatnya Touw Koen. Touw Koen hendak dibujuk buat menjadi mata-matanya pahlawan -pahlawan itu. Tentang ini kakak misanku itu belum berani membebernya pada Lang Ying. Kamu telah dipancing masuk ke dalam rimba ini, itulah hasil tipu dayanya H an Thian suami isteri serta Touw Koen itu. Kabarnya semua pahlawan itu liehay ap apula yang menjadi kepala yang bernama Lie Ham Tjin..." "Cuma sebegitu saja!" kata Sin Tjoe, yang mendadak berhenti berkata. Sebab tiba-tiba ia ingat suatu apa. Keningnya lantas dikerutkan. "Musuh berjumlah besar, baik Nona Ie jangan sembarangan," kata si nona suku Ie, yang menyangka orang menyesal sudah omong besar tadi. "Tidak ada artinya beberapa pahlawan itu!" Sin Tjoe kata tertawa. "Bersama-sa ma Yap Toako, dapat aku melayani mereka. Apa yang aku kuatirkan ialah kami nanti melukai banyak orang bangsamu..." Nona suku Ie itu berpikir. "Kalau nona merasa pasti, suka aku membantu," kemudia n ia menawarkan diri. Ia mengeluarkan sehelai bendera kecil, yang bersulamkan du a ekor singa, terus ia serahkan itu kepada Sin Tjoe sambil menambahkan: "Inilah bendera Toan Ongya. Tidak ada suku bangsa di Inlam yang tidak mengenal ini. Kala u nona bisa mengalahkan Touw Koen serta beberapa pahlawan itu, bisalah kau gunai bendera ini untuk panggil me nakluk Lang Ying itu." Inilah bagus, Sin Tjoe girang menerima bendera itu. "Bagus!" katanya. "Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang mereka!" Kawanan Touw Koen itu bersarang di atas bukit Taykim Nia di dalam rimba batu itu , itulah bukit tertinggi. Ke sana si nona suku Ie mengajak Sin Tjoe dan Seng Lim . Mereka mesti berjalan berliku-liku dan naik dan turun, nyeplos di antara batu- batu tinggi seperti pedang atau tombak itu. Pula ada puncak-puncak yang dihubung i satu dengan lain dengan batu panjang aneh bagaikan jembatan. Syukur Sin Tjoe d an Seng Lim yang mengikuti si nona suku Ie itu, kalau tidak pastilah orang telah terhalang di tengah jalan saking sukarnya jalanan itu. Tatkala itu sang waktu sudah mulai magrib. Kagum Sin Tjoe menyaksikan keletakan tempat. "Tidak tepat tempat seindah ini dijadikan sarang penjahat," berkata ia. "Biarnya bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku membasmi mereka ini." Si nona suku Ie benar-benar mengenal baik rimba batu itu. Ia maju tanpa ragu-rag u sampai mereka berada di kaki bukit Taykim Nia itu. Di atas puncak terlihat sin ar api. Nona itu kuatir terlihat orang jahat, ia berkata: "Untuk sampai di puncak yang m enjadi sarang penjahat itu perhu dilewatkan tiga puncak yang kecilan yang berada di jalanan mendaki ini, maka itu sampai di sini, silahkan nona maju sendiri. Ak u doakan hasilmu! Setelah sarang penjahat pecah, nanti kita bertemu pula!" Sin Tjoe menerima baik. Memang tidak dapat nona itu turut menyerbu. Mereka berpisahan. Seberlalunya si nona, Sin Tjoe berbicara pada Seng Lim, untuk bermupakatan. Sela ma berbicara, mereka berduduk di tanah. Sin Tjoe setuju masuk langsung, untuk me labrak kawanan penjahat itu. "Lebih baik kita berpencar," Seng Lim memberi usul. Ia bicara sambil tertawa. "Musuh liehay, mereka pun berjumlah besar, jangan kita sembrono. Baik kau yang m enyerang dari depan, untuk melayani kawanan pahlawan kaisar itu. Aku akan masuk dari belakang, lebih dulu aku nanti membakar sarang mereka, supaya mereka bingung dan kacau, tanpa mereka ketahui berapa besarnya ju mlah kita. Dengan musnanya sarang mereka, Lang Ying lebih gampang dibujuk." Diam-diam Sin Tjoe mengagumi anak muda ini, yang pandai bekerja. Kalah Keng Sim kalau mereka berdua dipadu. Keng Sim lebih banyak temberang. Karena orang bicara dengan beralasan, ke-putusan lantas diambil. Maka itu, lantas juga mereka beker ja: Yang satu maju langsung dari depan, yang lain jalan ngitar ke belakang. Mere ka akan turun tangan begitu lekas masing-masing sudah tiba, tak usah mereka sali ng memberi pertandaan lagi. Sin Tjoe berjalan cepat, ia berlari-lari. Puncak pertama dilewatkan tanpa penjaganya dapat mengetahui. Di puncak kedua ia terpergok, ia p un dipanah, tetapi ia melawan, dengan bunga emasnya ia robohkan penjaga itu. Ia kaget ketika ia melihat panah, yang dipakai menyerangnya, nancap di batu, suatu tanda si penyerang bukan sembarang orang. Karena ini, ia jadi waspada. Ia lolosk an pakaian orang, untuk ia pakai. Dengan penyamarannya ini, ia menghampirkan pun cak yang ketiga. Tiba-tiba dua bayangan menghampirkan padanya. "Eh, Tjioe Toako, kenapa kau tidak menjaga di bawah?" ia ditegur. Ia terkejut. M ahir ilmu ringan tubuhnya tetapi orang masih dapat memper-gokinya. Ia tahu, si penjaga yang ia binasakan tadi rupanya orang she Tjioe dan ia disangka si Tjioe itu. Ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, maka sekejab saja, dua-dua mereka roboh karena bunga emasnya. Memang, di puncak kedua dan ketiga, pen-jaga-penjaganya adalah orang-orang yang diandalkan Touw Koen. Tetapi mereka semua masih tidak dapat merintangi si nona. Sin Tjoe maju terus hingga ia mendekati markas penjahat. Ia masih menyamar, cuac a pun suram, tidak gampang untuk orang mempergoki ia. Orang pun tidak menyangka musuh dapat memasuki Tjio Lim yang terahasia itu. Demikian ia dikasi lewat tanpa teguran. Dari dalam terdengar ramai orang berpesta, dari orang yang main tebak-tebakan tangan. "Puas mereka merayakan pesta kemenangannya!" Sin Tjoe kata dalam hatinya. Ia ber senyum ewah. Memang itulah pesta kemenangan. "Han Djieso, inilah jasamu yang besar!" terdengar suaranya Lie Ham Tjin, yang te rtawa lebar. "Mereka telah terkurung, tinggal dibekuknya saja, tidaklah apa, Han Djieko terluka sedikit." "Looyatjoe terlalu memuji!" terdengar jawaban seorang wanita. "Tidak berani aku menerima jasa. Sebenarnya jasa harus didap atkan oleh Touw Tjeetjoe, yang mengijinkan Tjio Lim dipakai sebagai gelanggang pancingan. Tapi dua titik itu sukar untuk dibekuknya..." Lie Ham Tjin tertawa pula. "Sebenarnya, semuanya berjasa!" katanya pula. "Sekarang ini Yang Tjongkoan sudah tiba di Koenbeng, maka kedua titik itu boleh kita serahkan saja padanya, lalu h abislah tanggung jawab kita. Bahkan kita boleh mengharapi pahala. Touw Tjeetjoe, jikalau dikehendaki olehmu, boleh kau minta Yang Tjongkoan bicarakan pada Bhok Kongtia supaya kaulah yang diangkat menjadi raja setempat di sini. Kalau itu sampai kejadian, sungguh tepat, jadi kau tidak usahlah menjadi raja dari rimba Tjio Lim ini!..." "Aku juga tidak mengharapi jasa atau pangkat!" terdengar suara nyaring dan kasar dari Touw Koen. "Hanya, aku tanya, boleh tidak kalau itu bocah she Ie diserahka n padaku?" Lie Ham Tjin si pahlawan kaisar tertawa. "Tahukah kau dia orang apa?" tanya pahlawan ini. "Dialah puterinya Ie Kiam! Dial ah si anak pemberontak yang dicari Sri Baginda! Bagaimana kau dapat menghendaki dia?" Agaknya Touw Koen terkejut. "Dia puterinya Ie KoklooV katanya. "Oh, celaka aku, celaka aku! Coba aku mengeta huinya siang-siang, tidak nanti aku memikir gila-gila demikian!..." Ie Kiam sangat dihormati orang banyak, sekalipun Touw Koen, dia masih menghargai nya. "Apa? Kau jeri untuk namanya Ie Kiam?" Lie Ham Tjin tanya. "Menurut undang-undan g pemerintah, siapa berdosa, kedosaannya turun kepada anak-anaknya, anak-anaknya itu akan dijadikan budak! Bocah itu sangat cantik, aku kuatir Sri Baginda sendir i yang nanti menghendakinya! Kalau tidak, dengan mengodol banyak uang, ada harap an kau mendapatkan dia..." Kembali pahlawan ini tertawa, hanya kali ini, tertawanya itu dibarengi sama suar a memberebet di tenda gubuk, lalu sebuah sinar emas melesat masuk. Menyusul itu orang yang dipanggil Han Djieso menjerit keras, tubuhnya roboh. Satu sinar pun menyambar ke arah Lie Ham Tjin, tetapi dia awas dan sebat, dia se mpat mencabut goloknya dan menangkis, hingga sinar emas itu mental. Hanya, berba reng dengan itu, Sin Tjoe lompat masuk, matanya mendelik, pedangnya diputar! Touw Koen kaget hingga ia duduk men-jublak. Kembali Nona Ie mengayun tangannya, kali ini tiga bunga emas melesat dari tangan nya. Han Djieko mengeluarkan teriakan mengerikan yang tertahan, tubuhnya lantas roboh, sebab sepotong kimhoa nancap di batang lehernya, hingga j iwanya segera melayang pergi. Kimhoa yang kedua mengenai Touw Koen di saat itu k epala begal hendak menggeraki toyanya guna maju menyerang si nona begitu lekas i a sadar, cuma orang she Touw ini tidak dirampas jiwanya, melainkan ilmu silatnya yang dibikin musna. Inilah sebab barusan dia masih menghargai Ie Kiam. Lie Ham Tjin menangkis kimhoa yang ketiga, terus ia tertawa terbahak-bahak. Ia dapatkan si nona seorang diri, ia tidak takut. "Kau manusia celaka!" Sin Tjoe menegur. "Hek Pek Moko memberi ampun padamu, supa ya kau insaf dan mengubah kelakuan, siapa tahu kau tetap menjadi kuku garuda, ba hkan kau mencelakai menteri setia! Sekarang kau tidak dapat ampun lagi!" Sin Tjoe pun berani, ia lantas menerjang. Lie Ham Tjin membuat perlawanan. Tiga kali ia membuyarkan serangan s i nona, lalu ia tertawa lebar. "Kau tidak hendak memberi ampun padaku, apakah kau kira aku sudi memberi ampun p adamu?" katanya, mengejek. "Sahabat-sahabat, mari maju! Dia inilah puterinya si pengchianat, dia mesti ditangkap hidup, jangan bikin dia mampus!" Lie Ham Tjin membawa empat siewie, pahlawan, kecuali Han Thian yang telah terbin asa itu, masih ada tiga yang lainnya, yang semuanya pilihan, maka ia menganjurka n mereka ini maju mengepung Nona Ie. Maka Sin Tjoe lantas saja terkurung. Nona itu bersenyum ewah. In mainkan pedangnya melayani empat musuh itu. Ia perli hatkan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat. Walaupun ketiga musuhnya gagah, ia membuat nya mereka itu repot. Syukur mereka mendapat bantuannya Lie Ham Tjin yang liehay itu, kalau tidak pastlah siang-siang senjata mereka sudah terbabat kutung. Lie Ham Tjin itu berpokok ilmu silat Thaykek Pay, ia telah memaham-kan ilmu tang an kosong dan golok untuk beberapa puluh tahun, hebat perlawanannya itu, hingga ia membikin si Nona Ie menjadi penasaran dan sebal. Maka Sin Tjoe menyera ng bukan main hebatnya. Pertempuran itu dahsyat sekali, seluruh markas menjadi gempar. Touw Koen merayap bangun, ia tidak dapat berkelahi lagi tetapi ia bisa mementang bacotnya. Maka ia teriaki Lang Ying, yang ia panggil Lang Tjeetjoe , untuk memba ntui dengan menggunakan barisan panah. Sin Tjoe dengar suara orang itu, ia menginsafinya bahaya. Ia mengarti tidak dapa t ia berlaku ayal. Maka kembali ia desak Lie Ham Tjin, yang sudah mulai kewalaha n, begitu lekas pahlawan tua itu mundur, ia mengayun tangannya menyambar-kan tiga buah kimhoa. Dari tiga pahlawan, yang dua roboh seketika terkena bunga emas itu. Yang ketiga, yang paling liehay di antaranya, dapat menyelamatkan diri. Setelah itu sambil menuding, si nona bentak Touw Koen: "Tela h aku mengampun-kan jiwamu, kau masih tidak sudi menerima kebaikan hatiku! Jikal au kau masih mementang bacot, lihatlah ini dua contoh!" Ia menunjuk kepada kedua pahlawan, dari yang mana yang satu terhajar matanya, yang satu lagi tertancap t enggorokannya. Setelah itu, tidak menghiraukan markas penjahat kalut, Sin Tjoe mendesak pula Ha m Tjin. Tapi sambil berkelahi, ia melihat kelilingnya. Ia mendapat kenyataan di pintu ada menghalang seorang suku Ie yang berewo-kan dan matanya ta jam beserta beberapa puluh tukang panah suku bangsa Ie. Ia menduga kepada Lang Y ing. Tidak tempo lagi, ia keluarkan bendera sulam dua kepala singa, ia kibarkan itu untuk dilihat orang banyak s ambil ia berkata dengan nyaring: "Lang Tjeetjoe, kaulah orang gagah bangsa Ie, mengapa kau membantu harimau mengganas? Kau tahu, Toa n Ongya menggundang kau datang ke Tali untuk melakukan usaha besar! Maka kau pikirlah masak-masak!" Kemu dian Ia lemparkan bendera itu kepada ketua suku Ie itu. Lang Ying berdiri menjublak setelah ia menanggapi bendera itu. "Lang TjeetjoeV Lie Ham Tjin berteriak, "jikalau kau menghendaki kekayaan dan pa ngkat mulia, akan aku mintakan Sri Baginda mengangkat kau menjadi touwsoe dari T jio Lim ini! Lekas bekerja sama untuk membekuk peng-chianat inil" Belum lagi berhenti suaranya pahlawan raja ini, segera terdengar suara sangat be risik dari belakang markas, di mana nampak api berkobar-kobar. Lang Ying kaget bukan main. Ia tidak menduga kepada perbuatan Yap Seng Lim seorang, ia percaya markasnya sudah diserbu dari belakang dan telah dobol, bahkan ia tengah terkurung. Untuk sejenak ia tercengang, lantas ia berteriak keras: "Siapa kesudian anugerah kamu bangsa Han?" Terus ia mengibaskan tangannya kepada pasukan panahnya: "Mundur kamu!" Habis itu, ia menghunus goloknya akan maju mene rjang, untuk membantui Sin Tjoe. Lie Ham Tjin kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka. Tapi ia sangat licin. Mendadak saja ia berlompat, tangan kirinya diulur. Ia mainkan jurus dari Kimna hoat, pukulan Menangkap. Hebat gerakannya itu, sejenak saja, Lang Ying telah kena ditawan olehnya. Sin Tjoe kaget, ia menikam, tetapi lawan itu memajukan tubuhnya si pemimpin suku Ie itu. Terpaksa si nona menarik pulang pedangnya. "Baiklah!" seru si pahlawan. "Mari kita mampus bersama!" Sin Tjoe menyerang terus, ia membabat kuping tetapi gagal. Saban-saban tubuh Lang Ying digunakan sebagai tameng. Senang Ham Tjin melihat kegagalan orang, bahwa orang sudah kewalahan, maka ia tertawa tergelak-gelak. Tengah pahlawan ini tertawa, mendadak ada seruan hebat di sebelah belakangnya, s eruan bagaikan guntur, lalu tenda tersingkap, terlihat bayangan satu orang lompat menerjang masuk. Belum sempat Ham Tjin melihat bayangan itu, ia sudah merasakan sakit hingga ke tulang-tulang . Sebab hanya dengan satu kali bergerak, selagi ia repot membela diri dari serangan bertubi-lubi dari Sin Tjoe, tiba-tiba saja lengannya ya ng kanan kena orang cekuk dan ditekuk! Pasti sekali baya- ngan itu Seng Lim adanya. Seng Lim mempunyai kepandaian Taylek kimkong tjioe, lima jarinya memegang keras sekali, maka juga, satu kali dia meng erahkan tenaganya, Lie Ham Tjin tidak sanggup mempertahankan diri lagi, bahkan g oloknya mental menghajar jidatnya sendiri. Untuk mencoba membela diri, terpaksa ia melepaskan cekalan-nya kepada Lang Ying. Orang Ie itu menjadi sangat gusar, begitu ia merdeka, ia ayun goloknya ke arah p ahlawan ini, maka pada detik itu juga, tubuh si pahlawan kena terbacok menjadi d ua potong! Dalam saat kacau itu, Touw Koen sudah menyingkirkan diri. Pahlawan yang terachir telah kena dibinasakan Sin Tjoe, yang meninggalkan Lie Ham Tjin selekasnya musuh ini dicekuk Seng Lim. Maka itu, dengan yang mati dan kabur, hab islah kawanan penjahat kecuali orang-orangnya Lang Ying. Mereka ini lantas mencoba memadamkan api. Tetapi Lang Ying tertawa berkakak: "Biarlah semua terbakar habis! Kita toh telah bebas dari kawanan anjing itu hing ga sekarang kita semua dapat pergi ke Tali kepada Toan Ongya1." "Memang, tidak selayaknya kita melanjuti pekerjaan kita ini, cuma-cuma kita dica ci dan dikutuk bangsa kita!" ada yang menimpali ketua itu. Dia ini ialah kakak m isan dari si nona suku Ie itu. Nona itu sudah lantas muncul, dalam kegirangannya ia tubruk Sin Tjoe yang ia ran gkul. Saking girang ia sampai tidak dapat berkata-kata. Malam itu juga Lang Ying hendak meninggalkan Tjio Lim. Kapan penduduk yang berdekatan memperoleh kabar, mereka datang berduyun-duyun. Di hadapan mereka itu Lang Ying mengutarakan keputusannnya untuk menukar cara hidup. Ia mendapat samb utan riuh rendah. Bahkan di depan rimba batu itu segera diadakan pesta besar, or ang menyembelih babi dan kambing, orang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi selama tiga hari! Semua penduduk di dekat-dekat situ turut ambil bagian dalam pesta bes ar yang sangat meriah itu. Adalah tiga hari kemudian, baharu rombongannya Lang Y ing itu berangkat menuju ke Tali. Seng Lim bersama Sin Tjoe tidak dapat menunggu sampai tiga hari, di hari pertama , sehabis menghadiri pesta, mereka pamitan dari Lang Ying semua, kemudian mereka berangkat terlebih dulu. Dari Tjio Lim ke Tali, perjalanan ada seribu lie lebih dan mesti melintasi pegun ungan atau tanah datar tinggi, perjalanan pun sukar, maka sudah empat lima hari, kedua orang muda itu masih berada di tanah pegunungan yang tinggi atau hutan be lukar. Selama itu Seng Lim bersikap sangat telaten terhadap Sin Tjoe hingga si n ona puas dengan teman seperjalanan ini. Si pemuda tidak menyebabkan orang gembira tetapi juga ia tidak menyebalkan... Sin Tjoe pun puas dengan perjalanan ini walaupun kawannya tidak pandai bernyanyi atau bersenandung, sebagai gantinya, di rimba-rimba ada burung-burung dengan pelbagai ragam bunyinya, ada bunga-bunga yang indah dan har um semerbak, ada sungai-sungai atau air yang indah. Ada sebuah pohon yang menarik perhatiannya Nona Ie selama perjalanannya ini. Pohon itu kedapatan di sepanjang jalan. Itulah pohon yang dinamakan taytjeng sie atau "hijau besar," yang penduduk setempat namakan "bongsoei sie" atau "pohon angin dan air," yang daunnya sangat lebat dan mendata ngkan keteduhan, yang batangnya mirip "cengkeraman naga," yang duduknya di tanah kuat sekali. Daunnya pun hijau d i empat musim. Hingga orang memandangnya sebagai alamat usia muda dan penghidupan. Memperhatikan pohon ini, Sin Tjoe mendapat suatu kesan baru. Pernah dia mengumpa mai Tiat Keng Sim dengan bunga mawar di dalam taman di Kanglam dan Yap Tjong Lio e seperti pohon cemara di dataran Inlam atau Koeitjioe, maka sekarang ia nampak Yap Seng Lim bagaikan pohon taytjeng itu, pohon yang angkar dan berjiwa. Hanya i a bimbang, ia lebih suka bernawung di pohon yang teduh nyaman itu atau berada di antara pohon bunga mawar untuk bersenandung... Achir-achirnya mereka mulai memasuki juga wilayah Tali. Masih jalanan pegunungan yang mesti ditempu. Demikian pada suatu hari, tibalah mereka di tempat yang dinamakan Anggaypo atau tanjakan Lembah Merah. Sin Tjoe menjadi girang, karena pernah ia memperoleh kete rangan, selewatnya lamping ini, lagi dua hari mereka bakal sampai di Tali. Ia gi rang dan lupa letihnya karena ia merasa bakal segera bertemu gurunya. Begitulah ia mendahului Seng Lim, untuk jalan di depan. Jalanan luar biasa sukar, manusia masih mending, tetapi kuda lelah bukan main. Maka kesudahannya, berdua mereka me nuntun kuda mereka. "Orang bilang Thian-tjoe biopo paling tinggi dan Anggaypo paling berbahaya, inil ah benar," si nona kata menghela napas. Seng Lim sebaliknya tertawa dan berkata: "Orang bilang Tali paling indah pemandangan alamnya, selewatnya tempat sukar ini orang akan melihat tempat indah seperti Taman Bunga Tho... Aku lihat inilah keh endak Thian, yang merencanakan manusia mesti bersusah paya dulu baharu beriang g embira. Demikian penghidupan manusia, demikian juga jalanan..." Sin Tjoe ketarik pada kata-kata si pemuda ini, ia merasakan itu ada filsafatnya. .. Biarnya sukar, orang pun dapat juga mendaki Anggaypo itu, maka setibanya di atas tanjakan, kuda mereka sengal-sengal, napasnya mengorong keras, mereka sendiripu n mesti duduk beristirahat. Di sini mereka merasa hati mereka terbuka. Di hadapa n mereka terbentang pemandangan alam yang menarik hari. "Kau benar," kata Sin Tjoe tertawa. "Lihat di sana, habis gunung-gunung tinggi l alu tanah rendah dan rata." Tiba-tiba saja si nona teringat pula pada Tiat Keng Sim, hanya kapan ia berpalin g, ia menampak Yap Seng Lim yang sederhana, polos bagaikan anak dusun. Sendiriny a ia merasakan mukanya panas, ia jengah walaupun Seng Lim tidak tahu apa yang or ang pikir dalam hatinya. Tidak pernah dia memikir kepada Keng Sim. Sin Tjoe bertunduk, ia merasakan pikirannya kacau. Di dalam otaknya, ia berkutat seorang diri. Ia menjadi sadar kapan kupingnya mendengar suara meringkiknya kuda di bawah tanjakan. Mendadak saja ia berseru- seru: "Tjiauwya Saytjoe! Tjiauwya Saytjoe!" Seng Lim heran. "Apa?" tanyanya. "Kudaku yang hilang! Kudaku yang hilang!" menyahut si nona. "Kau berdiam di sini melihat kuda kita, aku hendak pergi melihat ke sana!" Tanpa menanti jawaban si anak muda, ia lari turun tanjakan. Tepat di tengah-tengah tanjakan itu, Sin Tjoe meadapatkan sebuah rumah besar dengan tembokan merah dan genting hijau, pekarangan depannya luas di mana ada sejumlah orang, tetapi di situ tidak ada hewannya. Maka ia menj adi heran sekali. "Tidak nanti kupingku salah dengar, katanya di dalam hati. "Itulah ringkikannya kudaku! Ah, kuda, kudaku, kau mestinya telah ditambat dan di kurung orang jahat! Karena kau ketahui aku datang, kau perdengarkan suaramu supa ya aku datang menolongi..." Memikir begitu, si nona hampir kalap, hingga hampir saja ia lantas lari menghamp irkan orang banyak di muka rumah besar itu. Ia membatalkan niatnya karena ia mel ihat, lebih dulu daripada ia, ada seorang muda dengan pakaian putih sudah lari k e antara orang-orang itu. Mengawasi orang muda itu, ia seperti tengah bermimpi. Orang adalah Tiat Keng Sim, yang baharu saja ia buat pikiran..." Mau nona ini lari terus, ia merasakan kedua kakinya lemas. Mungkin ini disebabka n kegirangannya yang meluap-luap. Di lain pihak, ia berpikir pula untuk menyingk ir dari si pemuda, seperti di Taytjioe dulu hari itu... "Ah!" pikirnya achir-nya, "Baik aku lihat dulu apa dia mau bikin. Cuma aku tidak mengarti, kenapa dia pun datang ke mari..." *** Selagi Ie Sin Tjoe tidak menyangka Keng Sim dapat datang ke Anggaypo ini, ke Tal i, adalah Keng Sim sendiri, sengaja dia membuat perjalanan untuk mencari si nona. Berdasarkan kecerdasannya ia menduga, setelah meninggalkan tent era rakyat, pasti si nona pergi ke Tali untuk mencari gurunya, maka ia pun lanta s menyusul. Disebabkan si nona tertunda perjalanannya di daerah orang Biauw di K oeitjioe dan di Koenbeng, ia menjadi ketinggalan, sedang barusan pun te lah terjadi peristiwa di Tjio Lim itu. Maka Keng Sim telah mendahului ia. Keng Sim p un tidak nanti bermimpikan, si nona yang ia susul berada di Anggaypo dan sekaran g berada di dekatnya, di belakangnya, terpisahnya tak ada setengah lie... Sin Tjoe terus menyembunyikan diri di belakang satu batu besar, hatinya berde-ny utan, matanya terus mengawasi si anak muda. Keng Sim maju ke antara orang banyak di depan rumah itu. "Orang tua she Kok, lekas kau keluar menemui aku!" demikian suaranya nyaring. Orang-orang itu adalah tjhoengteng, yaitu pegawai- pegawainya rumah besar itu. Mereka maju untuk menghalangi si anak muda, tetapi mereka diterjang hingga beberapa di antaranya roboh terguling. Sin Tjoe heran sekali, sampai ia mendelong saja. Segera terlihat pintu pekarangan dibuka, di situ muncul seorang tua yang berewok an, yang memegang sebatang golok besar, tindakannya pun lebar dan tegap. "Bocah yang ba- ik!" dia berkata, nyaring, "berulang-ulang kau datang mengacau d i sini! Sebenarnya, apakah kehendakmu?" "Hendak apa? Aku justeru mau tanya kau, kau mau apa?" mem-baliki Keng Sim. "Kena pa kau mencegah aku bertemu sama Ie Siangkong?" Orang tua itu, tuan rumah, yang ada orang she Kok, hingga ia disebut Ko k Tjhoengtjoe, menyahuti: "Di sini ialah Kok keetjhoeng1. Di sini di mana ada Ie Si angkong yang kau cari itu?" "Jikalau di sini tidak ada Ie Siangkong, kenapa kuda tunggangannya berada di sin i?" Keng Sim membentak pula. Terus ia menambahkan, pelahan: "Sebenarnya, Ie Siangkong yang tidak sudi menemui aku atau kau sendiri yang tidak hendak membiarkan aku bertemu dengannya? Kau mesti menga si penjelasan padaku!" "He, jangan kau mengaco belo!" membentak Kok Tjhoengtjoe "Jikalau kau tetap mengacau, nanti aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi!" "Biar bagaimana, aku mesti dapat bertemu pada I e Siangkong1." Keng Sim membelar. "Tidak, tidak nanti dia tidak sudi menemui aku!" "Ayah," berkata seorang muda, yang berada di sampingnya si orang tua. Dia tadi t urut keluar bersama. "Buat apa ayah banyak bicara lagi sama ini bocah edan? Kau bacok saja padanya! Berulangkah dia mengacau di sini, kalau hal ini sampai tersi ar, bukankah pamor Kok keetjhoeng bakal turun?" Pemuda itu ada tuan rumah yang muda, siau w tjhoeng tjoe. Dia habis sabar. Sudah tiga hari Keng Sim datang mengacau, sudah dua kali ia bertempur sama tuan rumah yang tua itu. Maka dia pikir, baik menghajar saja, habis perkara. Keng Sim berkata pula: "Kau bilang di sini tidak ada Ie Siangkong. Baiklah! Seka rang coba kau suruh keluar orang yang menjadi pemiliknya kuda Tjiauwya Saytjoe ma itu! Aku ingin bertemu dengannya!" Kali ini dia bicara sabar, dia seperti memohon. Kok Tjhoengtjoe itu sebaliknya menjadi gusar. "Apa kuda Tjiauwya Saytjoe ma?" katanya. "Apa pemiliknya? Rumah ini rumahku! Di sini, di tempat sepuluh lie sekitarnya, semua sawah, rumah, binatang piaraan, semua milikku, akulah si pemiliknya! Rupa-rupany a kau mengarah kuda pilihanku itu? Hm, hm! Bangsat cilik, kau pentanglah matamu! Aku Kok Tiong Ho, aku tidak dapat orang perhinakan!" Mendengar begitu, Keng Sim pun menjadi panas pula hatinya. "Kau tidak sudi mengasi aku bertemu pada pemilik kuda Tjiauwya Saytjoe ma it u, kau rupanya si tukang merampas banda dan mencelakai jiwa orang! Pasti kau sudah memb unuh Ie Siangkong , kau merampas banda-nya!" Orang tua itu menjadi kalap. "Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco belo! Lihat golok!" Dia terus membacok. Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang disebabkan benteroknya dua r upa senjata. Keduanya lantas saja bertempur. Sesudah mendengari begitu lama, Sin Tjoe mengarti duduknya hal. Pasti karena ber adanya Tjiauwya Saytjoe ma di sini, Keng Sim menduga aku mesti berada bersama. D ia tidak tahu yang aku telah menyalin pakaian, sampai sekarang dia tetap memanggil Ie Siangkong kepadaku. Oh, Keng Sim, kiranya kau masih memikirkan aku..." Pertempuran berjalan seruh, sudah begitu itu diramaikan oleh seruan-seruannya ka wanan tjhoengteng. Tapi Sin Tjoe tidak menggubris itu. Ia hanya pikir: "Begini r upa Keng Sim memikirkan aku, aku sebaliknya senantiasa menyingkir daripadanya... " Hampir ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi, akan menghampirkan pemuda itu, atau ia ingat, bagaimana sulitnya keadaan nanti bila ia berkumpul pula sama itu pemuda. Dulu saja ia sudah merasa pusing. Mendadak ia dengar jeritan si anak muda, apabila ia menoleh, ia m enampak pemuda itu berdarah di pundaknya, tandanya dia telah kena tergores p edangnya Kok Tjhoengtjoe. "Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco-belo! Lihat golok!!" Dia terus membacok. Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang disebabkan bentroknya dua ru pa senjata. Keduanya lantas saja bertempur. "Inilah hebat!" pikirnya. Maka ia siapkan tiga tangkai bunga emasnya. Hanya di s aat ia hendak berlompat, ia pun dapat mendengar jeritannya Kok Tiong Ho, lengan siapa ternyata sudah dimam-pirkan pedang si anak muda. Keng Sim tertawa dan berkata dengan nyaring: "Ada datang tetapi tidak ada pergin ya, itulah bukan kehormatan! Lihat pedang!" Dan ia mengulangi serangannya. Kok Tiong Ho berkelit, tidak urung tali bajunya terlanggar kutung. Setelah terluka, Keng Sim menjadi ganas. Berbareng dengan itu, hati Sin Tjoe menjadi tenang pula. "Nyata Keng Sim dapat melayani orang tua itu, baiklah aku menanti dulu," ia mengambil putusan. Di lain pihak ia mengagumi orang she Kok itu, yang tua tetapi gagah. Ia pun tidak menyangka di tempat seperti itu bisa terdapat orang tua seperti dia i tu. "Hanya heran kudaku! Kenapa kudaku dapat berada di sini? Orang she Kok ini b oleh gagah tetapi tidak nanti dia dapat mencuri kuda...!" Sebentar kemudian, Kok Tiong Ho kembali kena ditikam, benar ia tidak roboh tetap i ia toh terluka. Sekarang ternyata, walaupun ia liehay, ia masih tidak dapat me nandingi Keng Sim yang liehay ilmu pedangnya "Keng To Kiamhoat." Sampai di situ si tuan muda mengambil sebatang tombak dari tangan satu tjhoengte ng -nya, dengan itu ia maju membantui ayahnya. "Anak Tjoen, mundur!" berseru si ayah. Tapi pemuda itu sudah menyerang ke punggung Keng Sim, tidak keburu ia menarik pu lang serangannya itu. Hebat Keng Sim. Se-bat sekali, ia menyabet ke belakang, menangkis tombak. Hanya satu kali benterok, tombak itu kena dibabat putus. Menyusul itu, kakinya si pemu da she Tiat ini melayang, maka "Bruk!" tubuh tuan muda itu tertendang hingga ter-pental dan jatuh terbanting. Kaget dan gusar si orang tua menyaksikan anaknya kena dibikin roboh, sambil bers eru ia lompat menyerang. Ia menjadi kalap. Tapi ini merugikan padanya. Karena me nuruti hawa marahnya, permainan silatnya menjadi kacau. Keng Sim menarik keuntun gan dari cacad lawan itu. Sambil ber-seru, anak muda ini menangkis. Ia telah mengerahkan tenaga nya, keras tangkisan-nya, maka goloknya jago tua itu terpental terlepas dari cek alan. Sesudah itu, dengan satu gerakan susulan, Keng Sim mengancam tenggorokan o rang. Ia membentak: "Kau mau ijinkan atau tidak aku bertemu pada Ie Siangkong?" Si orang tua tidak menyahuti, hanya ia menghela napas. Ia menanya anaknya: "Anak Tjoen, kau terluka atau tidak?" "Tidak," jawab si anak. "Baiklah!" berkata jago tua itu. "Semenjak dua puluh tahun, inilah kekalahanku y ang pertama! emdash Apakah namamu?" "Aku Tiat Keng Sim dari Taytjioe!" "Baik! Anak Tjoen, pergi kau undang kedua pemilik kuda itu untuk menemui T iat Siangkong ini!" "Apa?" Keng Sim heran. "Dua pemiliknya?" Tiong Ho tidak menyahuti. Ia hanya merobek ujung bajunya untuk membalut tiga luk anya. Sembari menghela napas, ia menambahkan pada anaknya: "Kau sekalian bawa ke luar itu kuda..." Si tuan muda menurut, ia lantas berlalu. Tidak lama ia sudah kembali bersama sep asang pemuda pemudi, yang usianya belum dua puluh tahun yang pakaiannya mewah, t andanya mereka anak-anak hartawan besar atau orang berpangkat tinggi. Melengak Keng Sim mengawasi sepasang muda-mudi itu. "Kau... kau... kamu siapa?" tanyanya. Itu sepasang muda-mudi pun heran. "Kau... kau... siapa?" mereka balik menanya. "Kenapa kau hendak menemui kami?" Bukan melainkan Keng Sim, yang heran tetapi juga Ie Sin Tjoe dari tempatnya semb unyi, karena ia kenali muda-mudi itu. Sekian lama ia menahankan hati, untuk meli hat siapa pencuri kudanya, siapa tahu sekarang ia dapatkan sepasang puteri dan p uterinya Bhok Kokkong. Kedua muda-mudi itu ada Bhok Lin dan Bhok Yan, yang telah meninggalkan rumahnya yang mewah untuk buron! Setelah datangnya Yang Tjong Hay ke istananya, Bhok Lin mengarti bahwa ia telah menerbitkan onar. Segera ia bermupakatan dengan Bhok Yan, saudarinya. Nyata si nona sudah sebal dengan cara hidup di istananya itu, ingin dia pesiar. Keduanya lantas mengambil keputusan untuk minggat, malah keputusan i tu segera dilaksanakan. Bahkan mereka menuju ke Tali, untuk mencari Thio Tan Hon g. Selama Tan Hong berada di istana dan mengajar ilmu surat, pernah ia omong sama k edua muridnya perihal adanya seekor pooma, yaitu kuda istimewa, yang jempolan, y ang keras larinya dan dapat mengarti maksud orang, namanya Tjiauwya SayTjoe ma, kuda mana diberikan pada muridnya yang bernama Ie Sin Tjoe, bahwa ku da itu cuma jinak kepada majikannya. Tan Hong menutur secara iseng-iseng, siapa tahu Bhok Yan mendengari itu secara sungguh- sungguh, maka tempo kemudian ia meninggalkan istana, si nona minta suatu tanda m ata ialah kipas emasnya. Tan Hong tidak menyangka apa-apa, ia memberikannya. Tempo itu hari Bhok Yan buron, ia belum memikir untuk mencuri kuda. Seberlalunya dari istana, mereka berdua pergi ke hotel untuk mencari Sin Tjoe. Mereka tidak ketahui Sin Tjoe dan budaknya tengah dikurung Tjong Hay di penjara air. Bhok Yan tidak menemui si nona, sebaliknya, da dapatkan Tjiauwya Saytjoe ma. Tiba-tiba da dapat satu pikiran, ialah untuk kabur bersama kuda jemp olan itu. Ia lantas keluarkan kipasnya Tan Hong dan pakai itu untuk membikin kud a itu jinak. Ia berhasil, karena kuda itu menurut. Maka berdua, dengan menunggang kuda itu, mereka kabur. Tanpa tiga h ari, tibalah mereka di Anggaypo. Karena sudah magrib, mereka mampir di Kok keetjhoeng, untuk menumpang bermal am. Di sini mereka tertahan. Ketua dari Kok keetjhoeng ada jago dari Inlam Barat, melihat kuda itu, timbullah keinginannya untuk memilikinya. Ia bersedia membayar seratus tail emas asal ia bisa mendapatkan kuda itu. Tentu saja Bhok Van dan Bhok Lin tidak memandang uang , sedang kuda itu milik guru mereka. Kok Tjhoengtjoe cerdik, karena pandainya ia b icara, ia bisa membikin kedua saudara itu membilanginya bahwa kuda itu bukan mil ik mereka. Karena ini semakin keras niatnya memiliki kuda itu. Tapi juga dua saudara itu tidak menyebu tkan diri mereka yang sebenarnya, mereka kuatir nanti di antar pulang ke rumahny a. Tiong Ho tidak berani membikin susah pada sepasang muda-mudi itu, yang gerak- geriknya luar biasa, tanda dari bukan sembarang orang. Maka itu dengan cara alus mereka ini ditahan, sedang di lain pihak, da mengirim orang ke Koenbeng untuk m embuat penyelidikan. Luar biasa kuda Tjiauwya Saytjoe ma sendiri. Kok Tiong Ho tidak dapat menjinaki- nya hingga sia-sia saja percobaannya untuk dapat menunggangi. Maka kejadianlah T iat Keng Sim kebetulan lewat di depan kampung dan melihat kuda itu, yang dia kenali. Dia lantas datang untuk minta bertemu pada Sin Tjoe, yang dia sangka berada di dalam rumah besar itu. Kesudahannya terjadilah satu salah mengarti, hingga mereka men gadu kekuatan. Keng Sim tidak kenal Bhok Yan dan Bhok Lin, ia heran. Kedua puteri dan puteranya Bhok Kokkong juga tidak kenal pemuda ini, mereka pun heran. "Kamu siapa?" achir-nya Keng Sim tanya. "Dari mana kamu curi kuda putih ini?" Bhok Yan heran dan berpikir: "Kenapa dia tahu kuda ini aku dapatinya dari mencur i?" Bhok Lin sebaliknya tidak senang. Dia seorang putera hertog, dia dikatakan m encuri, dia merasa keagungannya tersinggung. Kata dia dengan dingin: "Kuda ini b ukan kudaku, habis apakah kudamu, tuan? Siapa dapat menunggangi dia, ialah pemiliknya! Kamu s emua mengarah kuda ini, pergilah kamu coba menunggangi, kamu lihat, kuda ini suk a menurut atau tidak!" Keng Sim heran. Ia kenal Sin Tjoe cukup lama, hingga ia ketahui sifatnya kuda it u. Kenapa kuda itu menurut terhadap dua bocah ini? Untuk ini, ia mau minta keter angannya mereka itu. Hanya, belum lagi ia sempat menanya, ke situ terlihat datan gnya dua penunggang kuda, yang baharu saja tiba. Melihat mereka itu, Tiong Ho be rseru kegirangan. Sin Tjoe pun melihat dua orang baru itu, yang membuatnya ia terperanjat. Sebab merekalah Yang Tjong Hay dan Poan Thian Lo. Ia tentu tidak tahu, sebelum Yang Tjong Hay bekerja di istana, dia pernah menjadi jago di Inlam Selat an, sebagaimana Kok Tiong Ho ada jago dari Inlam Barat, dan bersama soeheng-nya, Poan Thian Lo, pernah Tjong Hay datang pada Tiong Ho hingga keduanya menjadi sahabat-sahabat kekal. "Katanya kau telah dapat seekor kuda istimewa..." kata Tjong Hay, yang berhenti dengan tiba-tiba, untuk segera menambahkan: "Eh, Bhok Siauwkongtia, kau berada d i sini?" tanyanya pada Bhok Kongtjoe. Tiong Ho berlompat, untuk menyingkir dari ancaman Keng Sim. Kaget ia mendengar p erkataan Tjong Hay itu. "Apa?" katanya, melengak. "Inikah Bhok Siauwkongtia? Kuda itu dialah yang me mbawa- nya..." "Bhok Siotjia, Bhok Kongtjoe," berkata pula Tjong Hay, "kamu minggat, apakah kam u tidak kuatir nanti mencelakai kongtia?" Ia menegur itu dua anak muda tetapi ma tanya menyapu Tiat Sim, melihat siapa, ia heran. Ia segera menegur juga. "Eh, Ti at Kongtjoe , kenapa kau pun berada di sini?" "Beberapa kali dia datang mengacau ke mari," Tiong Ho memotong, "dia minta berte mu sama apa yang dia katakan Ie Siangkong , dia memaksa sangat, dia pun mau mint a kuda istimewa itu! Apa? Apakah dia sahabatmu?" Tuan rumah ini menyesal. Ada kemungkinan tak dapat ia membalas sakit hati. Yang Tjong Hay tidak menjawab sahabatnya itu, ia melenggak dan tertawa lebar. "Tiat Kongtjoe, kenapa kau menuntut penghidupan dalam dunia kangouw dan bergaulan sama segala pengchianat?" ia tanya pemuda itu. "Ayahmu berada di kantor soenboe di Hangtjioe, ia mengharap-harap p ulangmu!" Setelah itu baharulah ia menoleh kepada Tiong Ho, untuk berkata: "Kok Tjhoengtjoe, tolong kau menyiapkan kuda untuk mengantarkan pulang pada Bhok Kongtjoe dan Bhok Siotjia ini. Tentang kuda ini, yang tidak a da pemiliknya, terhadapmu aku tidak berlaku malu-malu lagi!" Kata-kata yang ter-achir berarti si tjongkoan menghendaki kuda jempolan itu. Kok Tiong Ho mendongkol bukan main, akan tetapi sedetik saja, ia dapat mengen- dalikan diri, ia lantas mengubah sikapnya. Inilah ia ingat bahwa ia tidak sanggu p membikin jinak kuda itu. Bukankah bagus kalau ia melepas budi? Maka ia tertawa dan berkata: "Ada pepatah yang membilang, pedang mustika dihadiahkan kepada sat u tjongsoe, kuda kenamaan dihadiahkan kepada satu enghiong, maka itu sungguh tepat Yang Tjongkoan mendapatkan kuda bagus ini!" Dua-dua tjongsoe dan enghiong berarti orang gagah perkasa dan pendekar. Tapi Keng Sim lain daripada tuan rumah itu. Ia tertawa dingin. "Yang Tjong Hay, kau jadinya menghendaki kuda ini?" dia menanya. Tjong Hay berpaling seraya melirik. "Tiat Kongtjoe," katanya, mengancam, "bahwa aku sudah tidak melaporkan pergaulan mu dengan Yap Tjong Lioe, itulah suatu tanda persahabatan dari aku! Bukankah kud a ini bukan kepunyaanmu? Benarkah kau tidak sudi bersahabat denganku?..." Belum habis kata-kata itu diucapkan, pedang sudah berkelebat, ujung pedang telah menikam tjongkoan itu. Itulah serangannya Keng Sim, yang habis sabar. Tjong Hay berkelit sambil tertawa. "Tiat Kongtjoe, kau benar mirip dengan anjing yang menggigit dewa Lu Tong Pin, k au tidak mengenal kebaikan orang!" katanya, mengejek. "Hm! Golok dan pedang tida k mengenal budi, kau harus berhati-hati!" Keng Sim tidak pedulikan itu nasehat yang dicampur sama penghinaan, malah tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula, segera ia mendesak. Ia membuatnya Tjong Hay repot, hingga hampir lengan tjongkoan itu berkenalan pada pedangnya. "Kau tidak tahu liehay ku apabila kau tidak dikasi rasa!" kata Tjong Hay achirny a. Ia menjadi gusar. "Puteranya Bhok Kongtia tidak berani aku melukainya tetapi kau anaknya satu bekas giesoe, jikalau kau dibikin darahmu mengucur tidak ada ar tinya!" Sekarang Tjongkoan ini menggunai pedangnya untuk melayani orang berkelahi. Karen a dua-duanya ahli pedang kelas satu, hebat pertempuran mereka itu. Setelah banyak ju- rus, mendadak terdengar suara tertawa panjang dari Yang Tjong Hay, yang pun berk ata secara tem-berang: "Tiat Kongtjoe, apakah kau masih hendak bertempur pula?" Suara ini ada suara yang menyusuli bente-rokan keras dari dua senjata, yang lela tu apinya muncrat berhamburan, kedua lawan pun berpisahan, sebab Keng Sim mesti mundur dengan gera kan kakinya Ngoheng Pat-kwa. Sebab pedangnya telah kena dipapas sebelah hingga p edang itu menjadi podol. Tjong Hay mengatakan demikian tetapi dia maju pula, dia mengulangi serangannya, sedang Keng Sim, yang mundur terpaksa, kembali melakukan perlawanan, dengan begitu mereka jadi bertempur pula. Pemuda ini belum kalah tetapi ia kena terdesak, kalangan sinar pedangnya terus bertamba h ciut. Ia tidak lagi dapat sering menyerang seperti bermula, ia lebih banyak membela diri. Sin Tjoe bergelisah. Ia menonton dengan mencekal gagang pedangnya. Ia tidak dapat berpikir banyak kecuali harus maju untuk membantui Ken g Sim. Di pihak sana ada musuh. Di saat ia mau berlompat keluar dari tempatnya b ersembunyi, ia dengar tindakan kaki di belakangnya, ia lantas menoleh. Maka terl ihatlah Seng Lim, yang sudah lantas berada di belakangnya. Pemuda she Yap itu ag aknya heran. "Itu toh Tiat Keng Sim?" tanyanya. Tidak sabaran pemuda ini menanti lama-lama, justeru kupingnya mendengar suara senjata beradu, ia lantas lari menghampirkan si nona. Ia heran a kan mengenali Keng Sim, akan kemudian bertambah heran menyaksikan Nona Ie sepert i orang ngelamun. Di dalam hatinya ia menanya: "Mereka berdua toh telah bersahab at lama? Ia masih suka menanyakan aku tentang si pemuda, kenapa sekarang ia menonton saja?" Ia tidak tahu si nona justeru mau turun tangan. Sin Tjoe terperanjat. "Memang, dialah Tiat Ken, Sim!" sahutnya bagaikan orang tersadar. "Siapakah itu yang bertempur dengannya?" "Dialah Yang Tjong Hay, tjongkoan dari istana kaisar!" "Ah!" seru Seng Lim tertahan. "Mari lekas kita membantui dia!" Di mulut pemuda ini mengatakan demikian, dalam perbuatan ia mendahului si nona berlompat, untuk lari menghampirkan tempat pertempuran. Kalau tadinya ia berlaku hati-hati, setelah m engetahui orang itu ada pahlawan istana, ia tidak mau main ayal-ayalan lagi. Justeru itu kembali terdengar tertawa terkebur dari Tjong Hay. Kali ini disebabkan dia berhasil memapas ikat kepalanya Keng Sim. Kemudian dia berkata: "Tiat Kongtjoe, jikalau kau tidak mau meletaki pedangmu, aku si orang she Yang terpaksa akan melakukan kadosahan terhadapmu!" Itulah ancaman, yang diberikuti dengan desakan, hingga pemuda she Tiat itu, yang mendongkol bukan main, menjadi terdesak dan repot sekali. Sementara itu Sin Tjoe telah mengasi dengar seruannya yang dibarengi dengan ber- lompatnya tubuhnya, maka di lain saat ia sudah mendahului Seng Lim tiba di tanah datar. Keng Sim dengar seruan si nona, ia terperanjat. Dalam keadaan terancam bahaya itu, ia masih mengambil kesempatan untuk menoleh. Ia menjadi heran akan m enyaksikan datangnya satu nona yang cantik jelita, yang gerakannya sangat lincah itu. Tidak segera ia mengenali Sin Tjoe, yang di matanya masih tetap Ie Siangko ng. Ini pun yang pertama kali ia melihat orang dandan sebagai seorang nona. Kare na ini, ia menjadi kurban. Lengan kirinya di dekat pundak telah tergores pedangn ya Tjong Hay, yang menyerang ia dengan ganas. Ia terhuyung, sesudah mana, ia melawan pula dengan nekat, akan di lain saat ia lompat mundur, akan lari ke arah si nona. Ia pun memanggil-manggil: "Sin Tjoe! Sin Tjoe!" Sin Tjoe menjadi sangat terharu saking bersyukur terhadap si anak muda, yang dem ikian memperhatikannya. Sudah begitu, ia pun mendengar suaranya Tjiauwya Saytjoe ma. Kuda itu melihat majikannya, segera dia meringkik berulang-ulang dan berjingkrakan, untuk lari menghampirkan. Kok Tjhoengtjoe mendapatkan kuda istimewa itu tidak mau jinak, dia rantai ke empat kakinya kuda itu dengan rantai yang kasar, sedang empat tjhoengteng-nya diperintah memegangi rantai itu, guna mencegah binatang itu kabur. Tidak urung, saking kuat tenaganya, kuda itu bisa berontak. Empat tjhoengteng itu roboh sendirinya. Karena dirantai, kakinya kuda itu mengeluarkan darah. Untuk sedetik itu Sin Tjoe bersangsi. Ia terharu terhadap Keng Sim, yang telah m andi darah, ia pun terharu terhadap kuda kesayangannya. Tapi Keng Sim adalah man usia, ia anggap baiklah menolongi Keng Sim dulu. Selagi begitu, Yang Tjong Hay sudah maju padanya seraya mendahului menyerang. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Ia pun bertemu pada musuh lama. Tapi, belum lagi ia mengangkat pedangnya, Seng Lim di sebelah belakangnya sudah mendahului ianya. Pemuda she Yap ini berlompat dari samping, menyerang dengan pukulannya Taylek kimkong tjioe jurus "Benturan sepasang tangan." Tjong Hay terkejut dan kagum, hingga ia memuji. Tentu saja ia dapat membela diri nya dan membikin serangan itu tidak memberi hasil. Setelah itu, ia membalas meny erang. Seng Lim tidak jerih, dia melawan tanpa berkisar, sedang di sebelah dianya, Tiat Keng Sim sudah lantas membantu padanya. Menampak demikian, karena percaya Seng Lim berdua bakal dapat bertahan. Sin Tjoe mengawasi si pemuda she Tiat. Ia berkata dengan pelahan: "Baik-baiklah kau mela yani dia, hendak aku menolongi dulu kuda putihku." Habis berkata, si nona lompat ke arah kudanya, yang pun sudah tiba padanya. Ia lantas mengasi beke rja pedangnya yang tajam, membabat kutung empat utas rantai besi itu. Maka di lain saat, merdekalah Tjiauwya Saytjoe ma. C elaka adalah ke empat tjhoengteng, mereka sudah terseret-seret kuda itu, yang ra ntainya tak mau mereka lepaskan... Itu waktu Sin Tjoe dapat mendengar teriakannya Yang Tjong Hay: "Dua orang ini ada orang-orang jahat yang dicari Sri Baginda Raja, jangan kasi mereka merat!" Kata-kata itu ditujukan kepada Keng Si m dan Seng Lim. Sebab ia segera kenali si orang she Yap itu setelah ia menempur beberapa jurus. ia kenali orang yang diarah Lie Ham Tjin. Ia girang berbareng heran, sebab secara kebetulan ia dapat menemui orang she Yap in i yang ia kagumi ilmu silatnya yang liehay. Tapi ia tidak tahu yang Lie Ham Tjin sudah melayang jiwanya pergi menghadap kepada Raja Acherat. Sin Tjoe usap-usap kudanya, yang ia dapatkan tidak kurang suatu apa kecuali lece t di kakinya. Tentu sekali ia tidak dapat berdiam lama-lama, mesti ia maju untuk membantui Keng Sim dan Seng Lim. Hanya, belum lagi ia maju, tiba-tiba ia dengar suara orang tertawa lebar disusuli kata-kata: "Nona Ie, mana gurumu? Ha! Kali i ni tidak lagi ada orang yang dapat menolongi kau!" Kata-kata itu segera disusul dengan tibanya orangnya, yang menyekal cambuk dengan apa dia terus menyerang. Bagaikan bayangan, penyerang itu menggeraki tubu hnya. "Jangan ganggu kudaku!" berseru Sin Tjoe. Ia pun menangkis. Dua senjata benterok keras, karenanya si nona mundur tiga tindak. Penyerang itu ada Poan Thian Lo, murid kepala dari Tjie Hee Toodjin. Dia memang jauh lebih liehay daripada Yang Tjong Hay. Kuda putih itu melihat majikannya terancam bahaya, dia berjingkrak mendupak. "Binatang, kau mencari mampus!" membentak Poan Thian Lo, yang tangan kirinya dia ngkat, dipakai menekan kepala kuda itu. Tapi binatang itu kuat sekali. Sin Tjoe sudah lantas menyerang, guna meno- longi kudanya, maka Poan Thian Lo mesti memutar tubuh untuk melayani nona ini. I a menyambut dengan cambuknya. Sin Tjoe bersiul panjang sambil terus berkata: "Kudaku, pergi kau lari ke tanjak an sana menantikan aku!" Tjiauwya Saytjoe ma benar-benar cerdas, sambil meringkik dia berontak, lantas di a lari pergi menuju ke tempat yang ditunjuki. Berbareng dengan itu, dua orang pu n lari ke luar kalangan dengan niat menyamber kuda itu, untuk berlompat ke atasn ya guna lari bersama-sama atas seekor kuda. Merekalah Bhok Yan dan Bhok Lin, puteri-puteranya Bhok Kokkong Poan Thian Lo menyaksikan itu semua, dia bergerak sebat sekali. Dengan tinggalkan Sin Tjoe, dia ayun cambuknya pada sebuah pohon di sisinya, dia menarik dengan keras, hingga pohon itu tercabut ber ikut akarnya, lalu pohon itu dilemparkan guna menghalang- halangi kedua muda-mudi itu. "Siauwkongtia jangan lari-larian!" berkata dia sambil bersenyum ewah. "Kau tungg u saja, sebentar kita pulang bersama ke Koenbeng!" Kok Tjhoengtjoe pun sudah lantas mengepalai orang- orangnya untuk mengurung muda-mudi itu. Tapi mereka cuma mengurung, sebab setelah ketahui siapa dua orang itu, tidak berani mereka berlaku k urang ajar. Bahkan si tjhoengtjoe muda berkata dengan manis: "Silahkan siauwkongtia dan siotjia kembali ke gubukku!" "Aku mau berdiam di sini menonton keramaian!" kata Bhok Lin nyaring. Tjhoengtjoe itu merasa sudah cukup asal kedua orang itu tidak melarikan diri, ma ka itu ia tidak memaksa. Menampak aksinya Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Sin Tjoe hendak menghampirkan mereka akan tetapi dia dirintangi Poan Thian Lo. Dalam murkanya ia menyerang dengan li ma bunga emasnya. Poan Thian Lo memutar cambuknya membikin lima bunga emas itu jatuh, kemudian ia menyerang pula si nona. Sia-sia saja Sin Tjoe hendak membabat kutung cambuk lawa n itu, orang ada sangat lincah, ia bagaikan dikurung, karenanya terpaksa ia membela diri saja. Kuda putih itu lari terus, dia baharu berhenti setelah sampai di tempat yang dit unjuk. Di sini dia mengangkat kedua kaki depannya, berdiri bagaikan manusia, kemudian dia menoleh ke arah pertempuran. Kok Tiong Ho berdiri bengong. Ingin sekali ia mendapatkan kuda itu. Tetapi sesaa t kemudian, hatinya menjadi tawar sendirinya. Ia ingat, umpama ia sanggup menang kap, kuda itu toh achirnya bakal jadi kepunyaannya Yang Tjong Hay... Ketika itu Tjong Hay tengah dikepung Seng Lim berdua Keng Sim. Nampaknya ia kena terdesak. Maka juga, segera terdengar dia berseru: "Kok Tjhoengtjoe, inilah saa tnya untuk kau mendirikan jasa untuk pemerintah!" Orang she Kok ini berharta besar, ia tidak mementingkan pangkat, tetapi tiga kal i ia telah merasakan pedangnya Keng Sim, hatinya panas, dari itu kebetulan sekal i Tjong Hay meminta bantuannya. Pula, di hadapan banyak orangnya, ia hendak menu njuk kegagahannya. Demikianlah ia jumput goloknya yang besar dan maju menyerang Keng Sim. Maka kali ini, berimbanglah keadaan mereka itu. Hebat bagi Sin Tjoe untuk melayani Poan Thian Lo. Syukur untuknya, ia dapat bers ilat dengan baik dengan ilmu silat pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan ia main memb ela diri, masih bisa ia bertahan. Bhok Lin menyaksikan dua rombongan yang bertempur itu. "Entjie, lekas lihat!" ia serukan saudaranya. "Lihat, bagus sekali ilmu pedangny a Nona Ie! Ah, sayang, sayang! Oh, celaka, berbahaya sekali cambuk itu! Bagus, bagusnya Nona Ie dapat menyelamatkan dirinya!..." Bhok Yan sebaliknya mengawasi Tiat Keng Sim, ia seperti tidak mendengar teriakan adiknya itu. "Nah, itulah baharu ilmu pedang yang bagus sekali!" dia pun berseru. "Kau lihat, adikku, itulah serangan Burung Garuda Menyerbu Udara! Dan itulah tipu silat Men galungi Rembulan!" "Apa?" tanya Bhok Lin. Dia salah mengarti, dia membicarai Sin Tjoe tetapi entj ie-nya membicarakan Keng Sim. Keng Sim bergerak dengan lincah, ia mendatangkan kekagu- mannya Nona Bhok, hingga nona ini ngelamun: "Aku tadinya menyangka yang liehay a dalah ilmu pedangnya Thio Tayhiap seorang, yang tidak ada tandingannya, siapa ta hu dia ini pun liehay sekali, mungkin melebihkan-nya..." Tentu sekali pandangan nona ini tidak tepat, sebab sangat jauh bedanya kalau Ken g Sim dibanding dengan Thio Tan Hong. Kebetulan saja pemuda she Tiat ini dibantu Seng Lim, hingga ia jadi dapat berkelahi dengan baik, sedang pengetahuan si non a mengenai ilmu silat pedang masih hijau. Terus ini entjie dan adik menonton, saban-saban mereka memuji diseling sama jeri tan kaget kalau kebetulan melakukan penyerangan yang berbahaya. Jauh di tanjakan, mendadak terdengar Tjiauwya Saytjoe ma meringkik keras. Sin Tj oe dapat dengar itu, ia kaget dan heran, hingga ia sudah lantas menoleh. Ia liha t kudanya berjingkrak, terus lari ke arah jalan besar. Justeru karena itu hampir saja ia dirabuh cambuknya Poan Thian Lo. Setelah sadar, ia melayani pula dengan saksama, hingga untuk sementara ia mesti melupai kudanya. Tjiauwya Saytjoe ma pergi dengan lekas, tetapi sama lekasnya juga kembalinya. Ta pi ia bukan balik sendiri saja. Sekarang di punggungnya ada seorang yang telah p erdengarkan suara keras bagaikan guntur. Dia bertubuh besar, matanya biru, mukanya berewokan, dia mirip seorang Ouw (asing), sedang tubuhnya tertutup dengan baju seragam tersalut emas, tangannya menyekal sepasang gaetan Siangliong Hoktjioe kauw. "Paman Tamtay!" Sin Tjoe berseru apabila ia telah melihat penunggang kudanya itu . Memang benar penunggang kuda itu ada Tamtay Biat Beng, pahlawannya Thio Tan Hong , atau murid kepala dari Siangkoan Thian Va. Dibanding dengan Tan Hong, majikann ya, dia masih setingkat lebih tinggi derajatnya. Dia berasal orang Tionghoa teta pi lama dia hidup di Mongolia, maka dia mirip orang asing, sedang di Mongolia di a dikenal sebagai Tantai Mieh Ming. Sekarang dia sudah mendekati usia enam puluh tahun akan tetapi dia masih tetap gagah. Setibanya, setelah lompat turun dari kudanya, Tamtay Biat Beng membentak Poan Th ian Lo, lalu dia menyerang. Soeheng dari Yang Tjong Hay ini terkejut. Sebenarnya dia hendak menyerang Sin Tj oe, karena serangan itu, terpaksa ia mengubah haluan, ia menyambuti terjangan or ang ini. Maka berkelebatlah sepasang gaetan, yang terus dapat menggaet cambuknya itu. "Kau siapa?" membentak Biat Beng. "Besar nyalimu berani menghina keponakanku!" Poan Thian Lo mengerahkan tenaganya, untuk menarik cambuknya. Ia berhasil meloloskan diri tetapi cambuknya itu terkutung ujungnya! Sin Tjoe segera me- ngasi dengar suaranya: "Binatang ini muridnya Tjie Hee Toodjin, sudah sering sek ali dia menghina aku! Paman, tolong kau berikan tanda mata di tubuhnya!" "Baik!" berseru Biat Beng, yang lantas saja menggeraki sepasang gaetannya, yang nampak seperti sepasang naga emas. Repot Poan Thian Lo didesak secara begitu, tidak dapat ia membalas menyerang. Ia mesti menutup dirinya. Baru beberapa jurus, lantas terdengar satu suara keras. Itulah suara dari putusn ya pula cambuk! Hingga dari panjang setombak lebih, cambuk itu menjadi pendek ti nggal empat kaki kurang! Poan Thian Lo kaget, semangatnya seperti terbang. Ia lantas saja memikir untuk m engangkat kaki, sebab lawannya ini liehay luar biasa. Untuk ini ia segera mendapatkan ketikanya, sebab biar bagaimana, dia tetap seorang liehay. Tamtay Biat Beng tidak mengejar, dia hanya berkata nyaring: "Dengan memandang mu ka gurumu yang bersahabat dengan Hian Kie Lootjianpwee, suka aku mengasi ampun p adamu dari kematian! Kau ingatlah ini baik-baik!" Menyusul kata-katanya itu, sebelah gaetannya menyambar, maka tidak ampun lagi, s ebelah kupingnya Poan Thian Lo kena dipapas kutung! Tanpa membilang suatu apa, tanpa menjerit, Poan Thian Lo ngiprit terus. Sin Tjoe hendak membantui Keng Sim dan Seng Lim, akan tetapi Vang Tjong Hay sangat licik, ia telah mendengar dan menyaksikan segala apa, tanpa mensia-siakan tempo sedetik jua, ia meninggalkan kedua lawannya dan kabur. Keng Sim panas hatinya, hendak ia mengejar, akan tetapi kapan ia lihat si nona d atang, ia batalkan niatannya. "Kau baik, Nona Ie!" ia berkata pelahan. Sin Tjoe mengangguk dengan tawar. "Perlu apa kau pergi ke Inlam?" dia balik menanya. Mendadak saja Keng Sim merasa tawar hati, di dalam hatinya ia kata: "Dari tempat laksaan lie aku menyusul kau, mustahilkah kau tidak mengetahui rasa hatiku?" Te ntu saja, di hadapan banyak orang itu, ia tidak berani membeber rahasia hati nya itu. Maka dengan menyeringai ia menyahuti: "Aku dengar Thio Tayhiap..." Seng Lim melihat lagak orang, ia menyelak: "Memang, tentulah saudara Tiat mencari Thio Tayhiap, maka kebetulan, sekarang dapat kita berjalan bersama." Campur bicara orang ini menolong Keng Sim, hanya seterusnya, ia tetap merasa hat inya tidak tenteram, sebab si nona seperti tidak mempedulikan padanya, nona itu sebaliknya bicara dengan pemuda she Yap itu, asyik agaknya. Tamtay Biat Beng bekerja terus. Dengan gampang ia membubarkan orang-orang Kok ke etjhoeng hingga ia berhasil melepaskan Bhok Yan dan Bhok Lin dari kurungan. Biat Beng datang dengan tugas mencari itu anak-anaknya Bhok Kokkong, sebab Thio Tan Hong menduga pasti murid-muridnya itu tentulah menyingkir ke Tali. Ia sendiri, setelah mengusir Tjong Hay semua, s udah mendahului berangkat pulang. Di sepanjang jalan Biat Beng mendengar-dengar kabar, sampai kebetulan sekali di Anggaypo dia bertemu sama Tjiauwya Saytjoe ma. Kuda ini mengenali baik pahlawan itu, keetjiang dari majikannya, maka juga ia sudah lantas lari mengh ampiri, karena mana Biat Beng bisa sampai dengan cepat di gelanggang pertempuran. Kok Tiong Ho melihat gelagat jelek, dia lari masuk ke dalam rumahnya. Di depan r umah dia membuat semacam bentengan, untuk melindungi diri. Biat Beng menanyakan Bhok Lin tentang orang she Kok itu. "Aku kenal orang ini, satu jago di Inlam Barat," berkata Biat Beng kemudian samb il tertawa, "Dia hendak membeli kudamu dengan seratus tahil emas, tidak apa, mes ki dengan perbuatannya itu ternyata dia punya mata tetapi seperti buta. Dia belum melakukan kejahatan, baik lah kita memberi ampun padanya!" Karena ini, selamatlah orang she Kok itu. Sin Tjoe girang sekali mendapat pulang kudanya. "Marilah kita pergi, lekas!" katanya. Ingin ia segera mendaki gunung Tjhong San untuk menjenguk kakek gurunya serta gurunya sendiri. Bhok Lin dan Bhok Yan lega hatinya, keduanya menghampirkan Sin Tjoe dan Keng Sim. Hal ini ada baiknya bagi Sin Tjoe, yang bisa meloloskan diri dari Keng Sim. "Siauwkongtia, terima kasih!" katanya kepada putera hertog dari Koenbeng itu. "Kau yang datang menolongi aku, akulah yang mesti menghaturkan terima kasih pada mu!" berkata anak pangeran itu. "Buat apa terima kasihmu itu?" Kelihatan nyata kepolosannya anak ini, yang masih mirip kekanak-kanakan. "Kau toh telah membikin patung untuk ayahku!" berkata Sin Tjoe, girang berbareng terharu. "Bagaimana bisa aku tidak bersyukur kepadamu?" "Ayahmu jujur dan setia, dia berkurban untuk negara, dia dikagumi seluruh negara," berkata Bhok Lin. "Sebenarnya dengan membangun kuil saja aku masih belum dapat menunjuki hormatku terhadapnya. Nona Ie, perkataanmu ini membikin aku malu saja..." "Biar bagaimana, kau telah menunjuki nyalimu yang besar!" kata Sin Tjoe tertawa. "Aku ketahui apa yang terjadi di antara kau dan ayahmu." "Di dalam ini hal, aku menurut kepada kakakku saja," Bhok Lin mengaku. "Sebenarnya aku kuatir juga tetapi kakak mengan jurkan aku. Tanpa kakak, aku pun tidak berani buron. Ah, kau tidak tahu, kakakku paling pandai bekerja! Dia dapat membujuki ayah, katanya tidak bakal terjadi sesuatu, sampai ayah percaya padanya. Biasanya kakak lah yang mengatur segala apa, nyalinya besar sekali, cuma ia pun biasa bekerja di belakan g, akulah yang selalu dimajukan di depan!..." Bocah ini mau bicara dengan lagak tua bangka tetapi achirnya, ia balik kepada as alnya, sebagai bocah! Sin Tjoe bersenyum. Bhok Yan pun bersenyum, ia membiarkan adiknya itu bicara. "Ketika itu hari entjie menyuruh Kim Go memanggil aku, sayang sudah terlambat," kata Sin Tjoe kemudian. "Hari itu aku bertindak lancang sekali, harap entjie tidak buat kecil hati," ber kata Bhok Yan. "Siapa nyana achirnya terbit onar. Syukur sekarang kita dapat ber temu juga." Nona ini bicara dengan Nona Ie tetapi matanya melirik Keng Sim. "Inilah Tiat Kongtjoe , puteranya Giesoe Tiat Hong," Sin Tjoe memperkenalkan. Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan keningnya. "Oh, tentulah Tiat Giesoe yang dulu telah mendakwa si pengchia-nat Ong Tjin!" ka ta Nona Bhok kagum. "Ayah pun pernah menyebut-rjebut nama Tiat Giesoel" Senang Keng Sim si nona memuji ayahnya. "Tiat Kongtjoe dan Ie Siotjia, terima kasih yang kamu telah menolongi kami," kat a pula Bhok Van. "Dan kau sampai terluka, kongtjoe..." Mendadak ia pun ingat Sen g Lim, maka segera ia menambahkan: "Masih ada ini kakak. Kakak, terimalah hormat dan terima kasihku!" Ia memberi hormat kepada pemuda she Yap itu. Seng Lim mengangguk, terus ia dekati Tamtay Biat Beng dengan siapa ia bicara. Mendengar kata-katanya Bhok Yan, yang berterima kasih atas pertolongannya, Keng Sim berkata di dalam hatinya: "Sebenarnya aku tidak tahu kamu ditahan di dalam r umah ini, maka apakah artinya ucapan terima kasihmu?" Tapi orang mengingat budin ya, ia girang. Ia kata: "Jangan mengucap terima kasih. Tidak berarti luka kecil ini." "Kau bilang tidak berarti!" kata si nona, "Kau lihat, lukamu mengeluarkan darah! " "Aku ada punya obat luka, setelah aku pakaikan, tentu baik," katanya. "Sebenarny a, luka ini tidak berarti, Bhok Siotjia. Kau tidak tahu, selama pertempuran di T aytjioe melawan perompak asing, setiap hari aku membikin darah mengalir. Itulah baharu hebat! Ba hkan pada suatu hari, ketika aku menempur musuh dan tujuh dan delapan, lenganku hampir dibacok kutung mereka itu. Syukur aku keburu kelit dan achirnya menang juga." Agaknya Bhok Yan kagum bukan main. "Begitu?" katanya. "Ah, kongtjoe benar muda dan gagah! Eh ya, apa itu yang dinam akan dan tujuh dan delapan? Jangan, jangan bergerak, nanti aku balut lukamu!..." Sembari berkata si nona mengeluarkan sapu tangan suteranya, ia lantas ikat lukan ya pemuda itu. Senang Keng Sim mendapat perlakuan ini. Bukankah Sin Tjoe bersikap tawar ter ha- dapnya? Katanya dalam hatinya, "Hm, kau tidak pedulikan aku, ada lain orang yang memperhatikannya! Dia malah seorang nona agung! Dia tidak bertingkah seperti ka u!" Sebenarnya ia ingin menolak pertolongan Nona Bhok tetapi achirnya ia membiarkan saja. Inilah karena ia ingin "mengasi rasa" pada Sin Tjoe. Bahkan setiap kata si nona agung ia jawab dengan sepuluh kata, ialah dengan menutur lebih jauh periha l pertempurannya dengan perompak, sebagai juga ialah satu pendekar. Di luar dugaannya pemuda ini, Sin Tjoe tidak menjadi kurang senang. Malah nona i tu lantas membayangi lagi Yap Tjong Lioe. Tjong Lioe paling besar jasanya tetapi dia tidak membanggakan diri. Kemudian ia pun menoleh kepada Seng Lim, si pemuda polos, yang nampak tolol sepe rti anak dusun. Seng Lim pernah melakukan banyak usaha besar, tidak sedikit dia membantu pamannya, dia pun tidak temberang, sedik it omongnya. Maka sekarang ia mengarti semakin jelas. Pikirnya: "Ah, yang satu bunga mawar dari ta man di Kanglam, yang lain pohon taytjeng dari tanah datar tinggi di Inlam dan Ko eitjioe. Bunga mawar mempertontonkan diri pada orang-orang besar, pohon taytjeng berdiam saja meneduhkan orang-orang perjalanan." Jadi itulah dua sifat yang berlainan satu dari lain. Dapat membedakan itu, ia mual dan berduka. Toh ia masih kadang-kadang melirik pada Keng Sim, orang yang pertama kali seperti menarik hat inya, hanya setiap pemuda itu berpaling kepadanya, ia melengos dengan cepat. "Entjie, kau pikirkan apa?" menegur Bhok Lin, yang heran untuk sikap orang tak w ajar. "Tidak apa-apa," sahut Nona Ie sabar, "Aku lagi memikirkan ingin lekas tiba di T ali untuk menemui guruku." "Benar," kaa bocah agung itu. "Aku pun ingin lekas-lekas menemuinya!" Tamtay Biat Beng tertawa. "Kalau begitu, marilah lekas kita berangkat!" mengajaknya. Sin Tjoe lantas serahkan kudanya pada Bhok Yan dan Bhok Lin untuk mereka itu yan g menaiki bersama. Bhok Yan menampik dan mengatakan, Keng Sim terluka, baik pemuda itu yang menunggang kuda itu. Akan tet api kesudahannya, Keng Sim naik atas kuda dari Iran, Bhok Yan naik atas Tjiauwya Saytjoe ma, dan Bhok Lin berjalan kaki menemani si Nona Ie. Jarak Anggaypo dan Tali tidak ada tiga ratus lie, kalau Tjiauwya Saytjoe ma dibi arkan lari, tanpa setengah harian, orang akan sudah tiba di sana, tetapi sekaran g ada yang berjalan kaki, terutama Bhok Kongtjoe tidak biasa, perjalanan mesti m elewati sang malam. Begitulah mereka singgah di tengah jalan. Malam itu Sin Tjoe tidak dapat tidur pulas meski sebenarnya ia merasa letih beka s jalan dan bertempur. Ia gulak-gulik saja, di depan matanya berbayang Keng Sim dan Seng Lim. Ia sekarang telah bertambah penga lamannya, ia bukan lagi nona umur tujuh belas tahun yang kebanyakan. Setempo pun muncul bayangan Bhok Lin, tetapi dia ini masih terlalu muda. seimbang dengan Si auw Houwtjoe, maka di achirnya si nona bersenyum sendirinya. Besoknya perjalanan dilanjuti sejak pagi-pagi. Mereka berada di jalan pegunungan . Lalu lewat tengah hari mereka tiba di sebuah lembah. Di lain saat mereka sudah berada di kaki sebuah puncak. Di timur itu ada telaga yang airnya berkaca pada matahari. "Di bawah sana Heekwan, lantas Tali," Tamtay Biat Beng memberitahu sambil menunj uki. "Kamu lihat, itulah bukit Tjhong San serta laut Djiehay. Sin Tjoe, sebentar sore kau bakal be rtemu gurumu." Karena ini, orang percepat tindakan kaki mereka, hingga lekas juga mereka tiba d i Heekwan, yang duduknya di selatan Tjhong San dan Djiehay, seperti menyender pa da Sia Yang Hong, punyak terachir dari sembilan belas puncak gunung Tjhong San i tu. Tamtay Biat Beng menjelaskan empat keistimewaan dari wilayah situ, yaitu siuran angin dari Heekwan, bunga dari Sian gkwan, salju dari Tjhong San dan rembulan dari Djiehay, semua pemandangan alam y ang indah. Katanya angin dari Heekwan aneh sekali, angin itu bisa menyambar atas an rumah dan mementang jendela tetapi tak akan masuk ke dalam rumah. "Ah, lebih baik kita jalan lekasan!" kata Sin Tjoe, yang tidak tertarik hatinya. Ketika itu di bulan ke sembilan, musim rontok, di waktu tengah hari, hawa udara terik seperti di musim panas. Di jalan besar ada terdengar orang menjual salju. Bhok Yan tertawa menjebi, katanya pada Keng Sim: "Bagaimana keadaan di sini diba nding sama di Kanglam?" "Masing-masing ada kebagusannya," sahut si anak muda. "Aku sudah biasa dengan Ka nglam, aku senang dengan keadaan di sini." "Pernah aku membaca syair Menjual Salju karangannya seorang paderi dari Tali," b erkata Bhok Yan. "Bunyinya syair itu, 'Di dafam kota Sepasang Naga ratusan bunga harum, Laut Perak merangkul langit, di musim enam di jalan besar berteriakan menjual salju, orang yang berlalu lintas menyangka yang dijual itu ialah madu.' Di bawah syair itu ada keterangan bahwa di gunung Tjhong San di Tali ini, sampai di bulan enam, salju masih belum lumer, orang menjualnya di pasar, seperti di Gouw hee orang menjual es. Nah, bagaimana bedanya orang jual es itu dengan di sini or ang menjual salju?" "Di Souwtjioe dan Hangtjioe orang tak sepolos seperti di sini, sahut Keng Sim. Dengan Gouwhee, tanah Gouw, dimaksudkan dua kota Hangtjioe dan Souwtjioe itu. Bhok Yan seperti dapat menyelami hati Keng Sim, di sepanjang jalan itu terus ia pasang omong dengan itu anak muda, bicara hal ilmu surat dan syair. Keng Sim pun senang melayaninya, sebab orang pandai bicara, luas pengetahuannya, bicaranya manis, m eskipun sebenarnya orang belum dapat menggantikan Sin Tjoe... Selewatnya Heekwan orang mendapatkan tidak ada angin, maka terlihatlah pemandang an indah dari laut Djiehay. Sebenarnya inilah bukan laut, hanya telaga. Inilah d isebabkan di mata orang Inlam, telaga besar ialah laut, dan Djiehay ada sebuah t elaga besar di daratan. Di tepian ada tumbuh banyak pohon yanglioe, yang menamba h keindahan. Burung-burung pun beterbangan. Pemandangan di situ mirip dengan gamba r lukisan. "Nona ie, tidakkah pemandangan si sini indah sekali?" tanya Bhok Lin tertawa. "A ku pikir, kalau kita pilih suatu malam terang bulan dan kita main perahu di tela ga Djiehay ini, pasti sangat menarik hati!" "Memang!" Keng Sim mendahului menjawab. "Berdiam di sini, aku seperti tidak ingi n pulang lagi..." Sampai sebegitu jauh Seng Lim berdiam saja, tetapi sekarang tiba-tiba saja ia me rasa sifat Sin Tjoe sama dengan sifatnya. Ia menggemari keindahan gelombang sesu dah badai. Ia pikir: "Angin tenang ombak diam, meski itu indah, itulah biasa saj a. Keadaan itu tepat untuk orang-orang sebagai Keng Sim dan Nona Bhok Yan..." Sin Tjoe ada puterinya seorang menteri, dia agung tak kalah dengan Bhok Yan, entah bagaimana, Seng Lim tapinya merasa No na Ie itu adalah orang segolong dengannya, beda dari Nona Bhok itu. Toh berkenal an mereka berdua belum lama dan belum erat. Dari Heekwan sampai di Tali, tempo perjalanan yang diminta tak usah sampai satu jam, akan tetapi Tamtay Biat Beng membawa orang tak langsung, dia mengajak ke Hi etjioe tin dan melintasi "laut" Djiehay itu, maka berenam, berikut kuda mereka, mereka mesti menyewah dua buah perahu nelayan untuk menyeberangi telaga besar itu. Biat Beng bersama Sin Tjoe dan Seng Lim, dan Bhok Yan serta adiknya bersama Keng Sim. Bhok Lin ingin turut perahunya Sin Tjoe akan tetapi Biat Beng sudah mendahului menarik tanganny a Seng Lim, ia jadi malu untuk memaksa. Sumbernya Djiehay adalah gunung Tjhong San di mana air adalah salju yang lumer, lalu mengalir turun, berkumpul di telaga itu. Di situ ada banyak nelayan dan ban yak burung terbang berseliweran, untuk saban-saban menyerbu air akan menangkap i kan yang menjadi barang makanannya. Menyaksikan itu, Keng Sim menjadi gembira, s embari tertawa ia kata, itulah suasana seperti di Kanglam. Bhok Yan pun bergembira hingga ia bersenandung. "Sungguh mereka bergembira sekali," kata Seng Lim tertawa. Pikiran Sin Tjoe se- dang ruwet tetapi ia melirik kepada orang she Yap itu dan bersenyum, kemudian ia pun mengawasi ke permukaan air. Sebentar kemudian telaga telah di seberangi dan orang tiba di kaki bukit Tjhong San. Terlihat puncak gunung penuh dengan salju, di mana pun ada nampak cahaya ke hijau-hijauan. "Pantas Tjhong San dinamakan juga Tiamtjhong San, nama ini cocok dengan bukitnya," berkata Sin Tjoe. Di atasan pun cakpun nampak mega putih, yang bagaikan sehelai sabuk kumala mengitari sembilan belas puncak. "Orang bilang pemandangan alam di sini sangat indah tetapi aku tidak gembira unt uk mengicipinya, aku ingin lekas-lekas pulang!" berkata Tamtay Biat Beng yang terus saja melepaskan panah nyaring, yang berbunyi mengaung di tengah udara. Menyusul pertandaan panah itu, sebentar kemudian terlihat beberapa orang berlari -lari turun. Mereka itu segera dikenali adalah Hek Pek Moko bersama Siauw Houwtj oe si bocah bengal dan Jenaka, malah bocah ini lari mendahului dua orang India i tu, larinya sambil berjingkrakan, untuk paling dulu menghampirkan Sin Tjoe. "Ha, setan cilik!" Nona Ie berseru, sambil tertawa. "Hari itu kau membikin aku m ati memikirkan kau! Siapa tahu kau telah tiba lebih dulu di sini...!" Bocah itu tertawa. Kapan ia melihat Bhok Lin, ia membentur dengan sikutnya. "Eh, jangan kurang ajari" Sin Tjoe mencegah. "Inilah Bhok Siauwko ngtia1." "Aku pun tahu!" Siauw Houwtjoe tertawa seraya terus ia menyambar tangan orang un tuk ditarik. Ia kata: "Hai bocah, kenapa itu hari kau tidak menjelaskannya bahwa kaulah calon murid guruku, kalau tidak, pastilah aku sudah mengijinkan kamu men unggang kuda putih itu? Eh, eh, kenapa kau diam saja? Apakah kau merasa sakit be kas kesikut olehku? Sudah, jangan marah, mari aku ajak kau pergi mencari ikan!" Senang Bhok Lin dengan perlakuannya Siauw Houwtjoe. Di dalam gedungnya ia tidak kurang suatu apa, tetapi di sana cuma menghormat atau mengangkat-angkat ia, atau cuma kakaknya, Bhok Yan, yang dapat bergurau padanya tetapi di sini, ia mendapatkan satu sahabat yang sangat bergembira ini. Sebenarn ya ia merasa berat untuk meninggalkan Sin Tjoe tetapi toh ia turut juga pergi, a kan bermain-main dengan memetik bunga dan menangkap ikan. Sin Tjoe semua memberi hormat kepada Hek Pek Moko, yang ternyata sudah tiba lebi h dulu tujuh atau delapan hari. Mereka itu berdiam sama Thio Tan Hong. Sedang To an Teng Tjhong bersama isterinya, puteri Iran, tinggal di istana Toan Ongya. Ket ika itu Siauw Houwtjoe sudah diterima Tan Hong sebagai murid yang kedua. Setelah Biat Beng menitipkan kuda mereka di rumah seorang suku Ie, lantas bersama-sama mereka mendaki gunung mengikut Hek Pek Moko yang jalan d i depan. Sembilan belas puncak gunung Tjhong San serta delapan belas aliran solokannya ad alah pemandangan alam paling kesohor untuk Tali, semua air solokan gunung itu tu run ke Djiehay, airnya jernih dan indah dipandangnya, lebih-lebih di waktu sinar matahari memenuhi permukaan air, dasarnya sampai terlihat nyata di mana nampak batu-batu bagaikan mutiara. Di gunung Tjhong San ini, salju tak habisnya seluruh tahun, ta k lumer semuanya. Maka hawa udara di sini mirip dengan hawa udara di Kanglam. Ma ka juga pohon-pohon rumput yang hijau dan pohon bunga yang indah, hidup terus tahun ketemu tahun. Saking gembira, Keng Sim bersenandung: "Kalau dapat bunga indah sebagai kawan untuk selama-lamanya, tubuh ini biarlah m enjadi tua di Tjhong San..." Bhok Yan tertawa gembira. Ia menduga, dengan "bunga indah" itu tentulah si pemud a maksudkan dia. Hanya ketika ia menoleh kepada Sin Tjoe, hatinya terkesiap. Nona itu nampaknya masgul, sepasang alisnya mengkerut, matanya mendelong ke satu arah. Di atas gunung itu ada beberapa buah rumah batu, romannya kuno tetapi cocok deng an hati. "Kakek guru bersama kedua lootjianpwee Siangkoan Thian Ya dan Siauw Lootoanio tinggal di itu rumah di belakang gunung," Tamtay Biat Beng memberitahu kepada Sin Tjoe. "Sekarang kita pergi dulu ke itu rumah di sebelah depan untuk m enemui gurumu." Mereka berbicara sambil berjalan terus. "Itulah sepantasnya," berkata Sin Tjoe, malah dia mendahului menolak daun pintu. Tiba di dalam, terlihat In Tiong suami isteri tengah menantikan, Tan Hong tidak nampak. "Gurumu lagi pergi ke istana, ada urusan," In Tiong memberi keterangan. "Selama beberapa hari ini keadaan tegang, katanya Bhok Kokkong di Koenbeng sudah mengger aki pasukan perangnya." Mendengar itu hati Bhok Yan dan Bhok Lin tak tenang. Sin Tjoe mengangguk, ketika ia hendak menanyakan soebo-nya, ialah ibu gurunya, m endadak kupingnya mendengar suara bayi menangis, apabila ia menoleh dengan seger a, ia lihat ibu gurunya itu, In Loei, mendatangi dengan tangannya mengempo satu anak. Baharu kira setengah tahun soebo itu melahirkan anak. Segera Sin Tjoe menghampirkan, untuk memberi hormat sekalian memberi selamat. In Loei tarik tangan muridnya itu, ia mengusap-usap rambutnya yang bagus. "Sin Tjoe, selama satu tahun ini aku telah mensia-siakan kau," katanya manis. "S ebenarnya tidak tenang hatiku membiarkan kau merantau seorang diri. Syukurlah se karang kau telah kembali dengan tidak kurang suatu apa. Ah, kau sekarang telah menjadi ting gi seperti aku...!" Sin Tjoe terharu berbareng gembira. Sejenak itu ia ingat pengalamannya selama ia mengembara. Ia duduk berendeng sama ibu guru itu. Ia ingin bicara banyak tetapi tak tahu ia bagaimana harus mulai. Maka ia memain saja sama si bayi yang manis, ia mengemponya, tak ingin ia melepaskannya... Sementara itu ada terdengar suaranya panah, yang datangnya dari kaki gunung. "Nanti aku lihat, siapa yang datang," berkata Tamtay Biat Beng, yang terus mengu ndurkan diri. Atau di lain saat terdengar suara orang tertawa. "Soehoe pulang!" seru Sin Tjoe. Ia lompat bangun, unuk membukai pintu. Maka segera ia mendapatkan gurunya datang bersama O uw Bong Hoe suami isteri. Lekas-lekas ia memberi hormat. "Bagus kamu semua telah tiba!" kata Tan Hong tertawa. "Inilah tepat waktunya! Ke tika Toan Ongya mendengar sampainya kamu, dia gembira sekali. Besok kamu diundan g pergi ke istananya!" Semua orang segera memberi hormat pada tayhiap itu. Mengetahui Seng Lim adalah keponakannya Tjong Lioe, sembari tertawa Tan Hong ber kata: "Rupanya saudara Yap datang atas titahnya Yap Toako." "Benar," sahut Seng Lim dengan hormat. "Ada urusan yang menyulit kan untuk mana pamanku hendak memohon petunjuk dari tayhiap." "Apakah itu?" tanya Tan Hong. "Silahkan bicara." Seng Lim menuturkan pesannya Tjong Lioe. Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawa dan berkata kepada Keng Sim: "A ku bersahabat erat dengan gurumu. Adakah dia baik?" "Baik..." sahut si pemuda ringkas, mukanya bersemu merah. Habis itu baharulah Tan Hong berkata pula: "Mengenai keadaan tentera di Kanglam aku kurang jelas. Kamu berdua datang dari sana, bagaimana pandangan kamu?" "Aku kuatirkan kegagalannya..." menyahut Keng Sim. "Kenapa?" Tan Hong menanya. "Untuk menggeraki tentara, tiga pokok yang paling penting," Keng Sim menjawab. "Itulah temponya, keletakan tempat dan orangnya..." "Benar." "Sekarang ini belum saatnya untuk menggeraki tentera," menjelaskan Keng Sim. "Se karang ini negara lagi ngalami banyak kesulitan. Peperangan di Tobokpo menyebabk an semangat kita mendapati gempuran hebat. Baharu saja beberapa tahun kita beris tirahat, aku kuatir hati rakyat masih kacau. Pula semenjak dulu kala, gerakan ha rus di mulai dari Barat daya, jarang yang mulai dari pesisir laut. Dan bukannya aku memandang kecil, orang semacam Pit Kheng Thian itu, dia bukanlah orang yang dapat membangun negara. Itulah sebabnya mengapa aku bilang semua- nya tiga pokok tidak tepat." Lancar bicaranya Keng Sim ini. Di matanya Sin Tjoe, pembicaraan itu tepat dan ti dak tepat. Meski demikian, si nona tidak membilang suatu apa. Tan Hong bersenyum. "Dan kau, bagaimana pandanganmu?" ia menanya Seng Lim. "Untukku, kalah atau menang, tidak berani aku membilang suatu apa," sahut pemuda she Yap itu. "Untukku, soal adalah kita harus bekerja atau tidak, soal menang a tau kalah adalah urusan yang nomor dua." Keng Sim tertawa tawar. "Kalau bakal gagal, untuk apa kita bergerak? Cuma-cuma mencelakai diri sendiri" katanya. Mendengar ini, Tan Hong kata dalam hatinya: "Apabila semua orang sependapat denganmu, segala apa mesti sudah ada kepastiannya, pasti dulu hari itu leluhurku dan Tjoe Goan Tjiang boleh tidak usah bergerak menentang bangsa Mongolia!" Tapi ia tidak mengutarakan itu. Ia kata pula pada Seng Lim: "Coba kau omong lebih ja uh." Seng Lim berpikir sejenak, baharu ia berkata pula: "Sekarang ini bangsa Watzu te ngah membangun dan perompak asing berdiam untuk sementara waktu saja, ancaman da ri pihak mereka tetap ada, di balik itu pemerintah Beng tidak berani menentang musuh luar, sebaliknya, dia menggeraki tentera di dalam negeri, sikapnya itu mem bikin lenyap pengharapan rakyat. Menurut aku, rakyat bukannya me-nguatirkan kekacauan, mereka menguatirkan justeru keselamatan negara. Bicara tentang tempat, dulu hari juga Thaytjouw bergerak dari Kanglam m engusir bangsa Tartar, dia tidak mengukuhi dari Barat daya untuk mempersatukan negara. Perihal si pemimpin, asal bendera dikerek naik, rakyat ten tu dapat memilihnya sendiri." "Tidak, tidak demikian!" kata Keng Sim, mukanya merah. Ia terus membantah dengan menyebut-nyebut kitab. Tan Hong berdiam, ia mendengari orang berdebat. Biat Beng habis sabar. Katanya: "Urusan negara, yang demikian besar, tidakkah ba ik dibicarakan nanti saja? Aku libat yang paling penting sekarang ialah bagaimana kita harus melayani rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung kita!" Sin Tjoe heran hingga ia melengak. "Rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung?" dia menanya. "Apakah artinya itu? " "Tentang itu, paman Ouw kamu ada membawa berita," berkata Tan Hong. "Ya," berkata Ouw Bong Hoe. "Aku telah pergi ke Kanglam mencari Tjio Keng To. Ak u telah mencari ke mana-mana, tak berhasil aku. Ia sudah pulang tetapi segera ia lenyap. Karena itu aku kembali se kalian mencari Yang Tjong Hay. Aku dengar kabar dia sudah berhasil membujuk gurunya turun gunung, malah mereka sudah berhasil juga meminta bantuannya sejumlah iblis yang sejak sekian lama hidup menyendiri. Mereka itu hendak datang mengacau ke mari de ngan menggunai alasan memberi selamat hari ulangnya Hian Kie Tjianpwee." "Sebenarnya kawanan iblis apa itu?" Biat Beng bertanya. "Sebegitu jauh yang aku dengar," menjawab Ouw Bong Hoe, "ada Kioepoanpo Kongsoen Boe Houw dari Aylao San, ada Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe hay di Koenloen S an, dan ada lagi Touw Liong Tjoentjia dari pulau Benghee To di Tanghay serta Lio k Yang Tjinkoen dari Tjeksek San di propinsi Kamsiok. Kalau guru-guru kita turun tangan, mereka itu dapat dilayani, kalau tidak, sungguh mereka tidak dapat dipa ndang ringan." Thio Tan Hong ter- tawa. Ia berkata: "Sekarang ini ketiga lootjianpwee kita justeru tengah bersa-medhi untuk melatih dirinya, sampai nanti hari ulangnya kak ek guruku yang masuk usia delapan puluh tahun baharulah cukup samedhinya itu." Ouw Bong Hoe heran. "Ilmu apakah itu yang mereka yakinkan?" ia tanya. "Ilmu itu tidak ada batasnya," kata Tan Hong, "Mereka tengah memahamkan kepandai an masing-masing untuk nanti dipersatukan. Kapankah datangnya Tjie Hee Toodjin s erta rombongan iblisnya itu?" "Karena mereka menyebut hari ulang tahun, mestinya mereka bakal datang di harian yang tepat," menyahut Ouw Bong Hoe. "Bagus!" berseru Siauw Houwtjoe, yang menyelak. "Hari itu kita bakal melihat Thay-soetjouw mempertontonkan kepandaiann ya mengusir rombongan iblis itu! Sungguh rejeki mata kita bagus sekali!" Sin Tjoe tertawa, tetapi dia berkata: 11 Thaysoetjouw ialah tetua paling terhorm at kaum Rimba Persilatan, tidak nanti dia sembarang turun tangan!" Tan Hong tidak ambil mumat anak-anak itu. Ia kata: "Toasoepeh Tang Gak berada ja uh di perbatasan Tibet, aku kuatir dia tidak dapat datang untuk memberi selamat. Djiesoepeh Tiauw I m berada di Ganboenkwan tengah mengunjungi Kimtoo Tjeetjoe, aku kuatir dia pun tidak nanti keburu pulang. Melainkan guruku suami isteri yang pasti bakal datang dari Siauwhan San. Dengan adanya kedua guruku, dengan gabungan pedang mereka, aku percaya cukuplah sudah untuk melayani semua musuh itu." Siauw Houwtjoe gembira sekali. Ia tidak kenal bahaya, ia cuma tahu menonton. Dem i-kianpun itu beberapa pemuda segerombolan-nya. *** Tan Hong tertawa. "Kamu habis jalan jauh, tentu kamu letih, sekarang pergilah kamu beristirahat," ia berkata. "Besok pagi-pagi kita mesti pergi menghadap ongya.'1 Semua orang menurut, mereka mengundurkan diri untuk beristirahat. Keng Sim melir ik Seng Lim, agaknya ia belum puas. Ia pun merasa tidak enak mendapatkan sikap tawar dari Sin Tjoe, yang agaknya tidak mempedulikan perdebatan mere ka. Benar seperti dijanjikan, besoknya pagi-pagi Tan Hong mengajak lima anak-anak it u Bhok Yan dan Bhok Lin, Keng Sim, Sin Tjoe dan Seng Lim pergi ke istana Toan On gya yang berada di luar kota Tali dekat dengan Tjoakoet Ta, menara Tulang Ular. Di sepanjang jalan di situ ada tempat-tempat dengan pemandangan alam yang indah, umpama di Ouwtiap Tjoan, Sumber Kupu-kupu, di tepi itu ada sebuah pohon tua dan besar yang daunnya yang lebat meroyot turun ke air yang jernih. "Sayang sekarang sudah musim rontok," kata Tan Hong tertawa, "sekarang sudah tid ak ada kupu-kupunya. Coba kamu datang di musin semi atau musim panas, pasti kamu akan tampak banyak sekali binatang itu terbang berseliweran di sini, berkumpul di atas pohon besar ini. A papula pada tanggal tujuh belas bulan empat, kupu-kupu itu pada mencelok bergela ntungan di cabang-cabang pohon, sambung menyambung sampai di permukaan air. Itul ah pemandangan yang indah dan langka." Semua orang kagum, tetapi Bhok Yan kemudian menghela napas, ia berkata: "Hanya d ikuatir penghidupan manusia tak kekal. Sampai nanti musim semi lain tahun, entah kita bakal berpisahan ke mana..." Sembari berkata begitu, ia melirik Keng Sim. Pemuda itu terkesiap hatinya, ia lantas tunduk, agaknya ia seperti tak mengarti perkataannya nona itu. Jalan lebih jauh, mereka tiba di Samtah Sie, kuil Tiga Menara yang katanya diban gun oleh Jenderal Oettie Keng Tek, di jaman kerajaan Tong. Yang aneh dari menara ini ialah setiap saatnya matahari doyong ke barat, bayangan menara muncul di se buah kobakan air lima belas lie dari situ, berbayang menjadi tiga buah menara. Habis menara ini, tibalah mereka di Tjoakoet Tah, yang pun ada dongengnya, katan ya: Lama, lama sekali, di Djiehay itu ada seekor ular besar, yang suka menimbulk an angin menerbitkan gelombang hingga sawah-sawah kelam terendam, hingga manusia dan binatang bercelaka karenanya. Kemudian datang seorang gagah bernama Toan Tjie Seng, dengan membawa delapan buah golok, dia terjun ke dalam telaga Djiehay itu, sengaja dia mengasi dirinya ditelan ular itu, sesampainya di dalam perut baharulah dia menikam kalang kabutan hingga ular itu binasa. Sayangnya, dia tidak dapat bernapas, dia pun tur ut mati di dalam perut ular itu. Untuk memperingati budi dan jasanya Tjie Seng i tu, ular itu dibakar habis dan menara itu dibangun. Katanya Tjie Seng ini ialah leluhurnya keluarga Toan, sebab penduduk menghargainya, turunannya dijunjung sebagai raja t urun temurun. Bahwa istana Toan Ongya di-berdirikan di samping Tjoakoet Tah, pun katanya guna memperi- ngati leluhur yang gagah dan berani berkurban itu. Sampai pada, jaman Beng, kelu arga Toan diberi pangkat "Tiepeng tjiangsoe" tetapi rakyat setempat tetap memanggil ongya. Tiepeng tjiangsoe yang sekarang bernama Toan Teng Peng, dialah kakak sepupu dari Toan Teng Tjhong, kapan mereka berdua mendengar datangnya Ie Sin Tjoe, mereka m enyambut dengan manis dan menjamunya di dalam taman. Puteri Iran turut hadir ber sama. Banyak yang mereka bicarakan. Toan Teng Peng pun melayani Bhok Yan dan Bhok Lin dengan sempurna. Bhok Lin menj adi malu hati, maka ia beritahukan yang ayahnya bakal menyerang ke Tali. Mendengar itu sam- bil tertawa Sin Tjoe berkata: "Siauwkongtia, Toan Ongya baik sekali terhadap kam u, bagaimana ayahmu masih hendak menggeraki angkatan perangnya untuk datang menyerang?" Merah mukanya Bhok Kongtjoe. "Aku akan mencoba membujuk ayah, guna mencegah ia membawa tenteranya memasuki ko ta ini," katanya. Ia berkata demikian, hatinya sebenarnya bingung. Toan Teng Peng dan Tan Hong tertawa sambil saling mengawasi. "Terima kasih, siauwkongtia." kata mereka. Di saat pesta hendak ditutup, satu nona datang dengan paras bersenyum-senyum. "Anak Tjoe mari!" Toan Teng Peng memanggil seraya menggapai. "Mari mene- mui tetamu-tetamu kita!" Itulah puterinya Teng Peng yang bernama Tjoe Djie, usianya baru enam belas, seim bang sama usianya Bhok Lin. Dia cerdas dan manis budi, siapa pun senang bergaul dengannya. Bhok Yan menarik tangan orang. "Sungguh seorang nona yang cantik manis!" dia memuji. "Entjie-\ah yang seperti bidadari!" Tjoe Djie balik memuji. "Katanya Bhok Kongtia hendak mengirim tentera menyerang kita, kalau nanti negara kita musna dan rumah tangga kita lud as, mungkin aku ditawan dan dijadikan budak, sampai pada itu waktu, pasti entjie tidak akan sukai aku..." "Jangan mengucap begini, adikku," berkata Bhok Yan. "Ayahku tidak hendak memusuhi, itu adalah urusan negara." Teng Peng lantas menyelak sama tengah: "Sudah jangan bicarakan urusan itu! Jauh- jauh Bhok Kongtjoe dan Bhok Siotjia datang ke mari, kita adalah orang sendiri. A nak Tjoe, lebih baik kau menyanyi untuk mereka." Nona itu dengar kata, benar-benar ia lantas bernyanyi, antaranya ia menyebut-nye but si tukang jual salju. "Ya, kita mendengar tukang jual salju itu menjual saljunya!" Bhok Lin kata terta wa. "Memang, Tali dan Koenbeng tidak beda banyak," Tjoe Djie bilang. Ia tertawa mani s sekali. Kemudian ia melanjuti nyanyinya, tentang keindahan alam di Tali, yang rakyatnya bersedia untuk ber- perang. "Rakyat yang jempolan!" memuji Tan Hong. Tapi hati Bhok Lin tawar. Ia menyayangi kalau tempat indah ini menjadi medan per ang. Habis berjamu, Teng Peng ajak semua tetamunya melihat-lihat istananya, istana in dah yang usianya sudah beberapa ratus tahun. Di dalam taman pun ada pengempangny a yang bagus, yang dikitari loneng batu putih serta diperlengkapi jembatan batu marmer untuk orang menyeberanginya. Di situ pun ada paseban, ada ranggon, ada se buah batu besar mirip singa. Bhok Lin kagum, ia memuji. "Kau baharu sampai di Tali, kau belum sempat melihat kelen-ting Kwan Im Am," kat a Toan Tjoe Djie tertawa. "Kelenting itu dibangun atas sebuah batu besar, itulah baharu kelenting besar! B atu ini sangat kecil." "Bukankah kelenting Kwan Im Am itu yang dinamakan juga kelenting Tay Tjio Am?" t anya Bhok Yan. "Benar! Oh, entjie pernah pergi ke sana?" "Aku cuma pernah baca itu dalam catatan di Tian Lam Hong Boet Tjie," jawab Nona Bhok. "Berhubung dengan itu katanya ada sebuah dongeng. Katanya dulu kala itu ad a sekawanan berandal hendak menyerbu Tali, lantas Dewi Kwan Im muncul dengan men yamar menjadi seorang wanita tua, punggungnya menggen-dol itu batu besar. Melihat itu, kawanan berandal heran dan kaget. Dewi kata pada mereka, 'Aku sudah tua, aku cuma bisa menggen- dol batu kecil ini, tetapi anak-anak muda di dalam kota, mereka biasa menggendon g batu-batu yang jauh terlebih besar.' Kawanan berandal itu ketakutan, mereka kabur, tidak berani mereka masuk ke dalam kota. Itulah dongeng yang dinamakan 'M enggendong batu mengundurkan tentera.' Benarkah itu?" Sengaja Nona Bhok menunjuki pengatahuannya yang luas itu di depan Keng Sim. Tjoe Djie mengangguk. "Benar, entjie," katanya. "Luas pengatahuanmu, aku kagum sekali. Habis itu, karena penduduk kota bersyukur, mere ka membangun kelenting dewi itu di atas itu batu besar." Sin Tjoe ketahui hal- nya dongeng itu tetapi ia berdiam saja. Bhok Lin sebaliknya berpikir, entah dewi itu bisa atau tidak mencegah angkatan p erang ayahnya itu... Keng Sim diam-diam terus memperhatikan Sin Tjoe. Ia tahu hati orang adem. "Pemandangan di sini indah, bukannya kamu mengicipinya hanya kamu membicarakannya!" katanya. "Bukankah itu sama saja?" Bhok Yan tertawa. "Rupanya cuma kau yang paling pandai mengicipi pemandangan alam yang indah..." Itu waktu mereka sudah menyeberangi jembatan. Toan Teng Peng minta Tan Hong menulis sesuatu. Katanya, ia dengar tayhiap ini pu n pandai ilmu surat. "Biarlah anak-anak muda yang menulisnya!" Tan Hong tertawa. "Nah, siapa di antar a kamu yang hendak menulis tanda peringatan?" Bhok Yan ingin menulis tetapi ia tidak segera mendapatkan bahannya. Maka ia meng awasi Keng Sim. "Aku tidak berani bertingkah di depan Thio Tayhiap1." kata pemuda she Tiat itu. Ia tahu maksudnya si Nona Bhok. "Tiat Kongtjoe turunan pandai, kau pasti dapat menulis bagus!" Tan Hong memuji. "Ya, kau tulislah!" Bhok Yan mendesak. Keng Sim puas sekali. Ia lantas minta pit dan kertas, terus ia menulis, memuji k eindahan taman dan batu dalam dongeng itu, bahwa di malaman terang bulan, ujung jembatan bagaikan sepasang bianglala. Bhok Yan girang, ia memuji sambil bertepuk tangan. Teng Peng pun girang. Pujian kepada batu itu ada pujian untuk keluarga Toan juga . Karena ini, ia mengasi titah agar pujian itu diukir di alas batu, Tan Hong pun memuji, tetapi ia tahu, syairnya Keng Sim itu kurang lengkap, kurang kekerasan hati, seumpama kata ada kepala tidak ada ekornya... Kemudian orang duduk beristirahat di bawah batu. Gembira Toan Teng Peng, ia meny uruh pahlawan-pahlawannya mengadu gulat. "Inilah permainan bagus!" tertawa Bhok Yan, yang gembira sekali. "Tiat Kongtjoe, mengapa kau tidak hendak mencoba me- ngambil bagian?" "Oh, kiranya Tiat Kongtjoe mengarti ilmu surat dan ilmu silat juga!" berkata tua n rumah. "Nah, inilah ketika baik untuk kamu! Lekas kamu minta pengajaran dari T iat KongtjoeV Tidak dapat Keng Sim menampik anjuran Nona Bhok. Ia memang mau membanggakan kega gahannya. Maka ia pergi ke gelanggang. Ia melawan kedua pahlawan. Mereka itu mengira orang lemah lembut, tidak berani mereka mengeluarka n seantero tenaganya, tetapi kesudahannya, mereka kena dibikin jungkir balik! Ma lah jidat mereka munjul bengkak bekas terbanting. Menonton itu, Sin Tjoe mengerutkan kening. Bhok Yan pun agak kecewa. Toan Teng Peng, se- bagai tuan rumah, bertepuk tangan memuji. Mendengar ini, Keng Sim menjadi puas s ekali. Puas pesiar, sudah magrib, orang balik pulang. Selagi berjalan, Sin Tjoe membiar kan Keng Sim dan Bhok Yan jalan lebih dulu, ia berayal-ayalan, untuk bisa berjal an bersama Seng Lim. "Berhubung sama ilmu gulat, kepandaianmu Taylek kimkong tjioe adalah yang paling tepat," ia kata pada pemuda itu, coba tadi kau turun tangan, celakalah kedua pa hlawan itu." "Tetapi itu main-main saja, orang mesti mengenal batas," Seng Lim jawab. "Tiat K ongtjoe itu benar lincah, dia harus dipuji." Sin Tjoe bersenyum. "Eh, ya, mengapa hari ini kau berdiam saja?" ia tanya. "Sebenarnya aku tengah memikirkan kele-takan tempat," Seng Lim menyahut. "Istana mengandal gunung di tiga muka dan air di satu muka. Pendirian benar kuat, tetap i kalau orang menggunai perahu enteng menyerbu dari air, setibanya di tepian lantas orang menghadapi pem belaan di darat, inilah berbahaya. Tentera penjaga pasti tidak bakal keburu menc egahnya. Inilah berbahaya. Istana pun berada di luar kota, kurang erat hubungann ya dengan tentera di dalam kota, ini menambah ancaman bahaya. Umpama kata aku me njadi kepala perang musuh, pasti aku akan rampas dulu istana guna nanti merampas seluruh Tali." "Kiranya kau membungkam seluruh hari karena memikirkan soal peperangan," kata si nona. "Meskipun begitu, kalau musuh menyerang dari air, mereka cuma dapat mengirim jum lah yang kecil," Seng Lim menambahkan. "Hanya dengan jumlah yang kecil mereka da pat menyeberangi air. Oleh karenanya, apabila kita membuat penjagaan di muka air , cukup kita dengan beberapa ratus serdadu yang terlatih saja. Umpama di hulu te laga kita mengatur penjagaan, kita memancing musuh masuk, lantas mereka akan ken a dibekuk!" Kembali Sin Tjoe tertawa. "Pantaslah selama di dalam istana kau mengawasi tembok saja di mana ada terlukis peta bumi!" katanya pula. Pembicaraan mereka terputus tertawanya Bhok Yan. Ketika Sin Tjoe berpaling, ia melihat Nona Bhok jalan berendeng dengan Keng Sim, agaknya er at sekali pergaulan mereka. Tiba-tiba ia merasakan mukanya menjadi panas sendirinya. Belum sempat ia menoleh ke lain jurusan, Keng Sim sudah berpaling ke arahnya. Empat mata benter ok sinarnya, lantas keduanya sama-sama tunduk. Hati Sin Tjoe berdenyu-tan, ia me ndapatkan kemenyesalan pada sinar matanya anak muda itu. Malam itu Nona Ie mesti berpikir banyak. Sampai jauh malam baharulah ia dapat pu las. Selama itu ia ingat saja Keng Sim. Besoknya pagi ia pergi ke luar kamar gur unya, ia jalan mundar-mandir saja, tidak berani ia mengasi bangun gurunya itu. Selang sekian lama baharulah sang guru membuka pintu. "Eh, Sin Tjoe, kau memikirkan apa?" menegur Tan Hong, yang lihat roman orang bed a daripada biasanya. Ia tertawa. "Tidak, soehoe, muridmu cuma hendak memberi selamat pagi padamu," sahut si nona. Tan Hong bersenyum. Bersama murid itu ia pergi ke latar. Mereka menyender di lon eng untuk memandangi gunung Tjhong San dan telaga Djiehay. "Ah, sang hari lewat cepat sekali!" berkata sang guru. "Kau sekarang sudah berumur tujuh belas tahun. Benar bukan?" "Dari hari ulang telah lewat tiga bulan," sahut sang murid, mengangguk. "Ketika pertama kali kau datang ke Thayouw santjhoeng, kau baharu berusia tujuh tahun," berkata pula sang guru. "Ya, itu wa ktu kau masih mengeluarkan air dari hidungmu..." "Sementara itu belasan tahun sudah soehoe mendidik muridmu," sahut si nona. Guru itu tertawa pula. "Kau telah menjadi dewasa, aku lega hati. Hanya..." "Hanya apa, soehoe ?" "Semasa kau berumur tujuh tahun, kau tidak memikir suatu apa. Sekarang dalam usi a tujuh belas, kaulah satu nona remaja. Tidak dapat tidak, aku mesti memikirkan kau dalam suatu urusan..." Si nona berdiam. Hanya sebentar, ia mengangkat kepalanya. "Keindahan di sini dipadu sama Thayouw santjhoeng saling beri..." katanya. "Ya. Memang Djiehay dapat dibandingkan dengan Thayouw. Selama musim semi, seluru h gunung penuh bunga, pemandangannya sungguh indah." "Apakah di Tjhong San ada bunga mawarnya?" tanya Sin Tjoe tiba-tiba. Tan Hong tercengang. "Inilah aku tidak perhatikan," sahutnya. "Tapi di sini semua empat musim seperti musim semi, umpama kata benar tidak ada pohon mawarnya, kalau kita memindahkann ya dari Kanglam, pohon itu pastilah akan tumbuh di sini..." "Eh, soehoel" mendadak si murid menanya pula, soehoe menyukai bunga mawa r di Kanglam atau pohon taytjeng di sini?" Kembali guru itu ter- cengang. Ia memandang mata orang, hingga ia merasa melihat cahaya yang mengandun g sesuatu rahasia. Maka ia lantas bersenyum. "Untukku, aku menyukai dua-duanya!" sahutnya. "Bunga mawar dapat membikin orang senang dan gembira, dan pohon taytjeng bisa membikin orang meneduh dan berangin." "Tidak demikian, soehoe," si murid mendesak. "Umpama soehoe mesti memilih , yang mana soehoe akan pilihnya?" Kali ini ia menatap wajah gurunya itu. Ia mirip bocah yang menghadap soal sulit, yang meminta bantuan keputusan. Tan Hong berpikir, terus ia tertawa. "Dalam hal itu kita mesti melihat sifatnya sesuatu orang," ujarnya. "Diumpamakan Bhok Yan, dia pasti menyukai bunga mawar." Sin Tjoe mengangguk. "Kalau kita bicara tentang kefaedahannya untuk manusia, tentu saja pohon taytjen g yang terlebih baik," guru itu menambahkan. Kembali si nona mengangguk. "Sebenarnya," berkata guru itu kemudian, tertawa, "untukmu baiklah kau tunggu lagi dua tahun untuk memikirkan soal begini. Untukmu masih be lum lambat." Mukanya nona itu bersemu merah. "Sekarang pergilah kau memasang omong sama soebo-mul" kata pula sang guru, yang bersenyum. "Soebo-mu hendak mengetahui ke-pandaianmu menggunai senjata rahasia. Sekarang aku hendak pergi ke ke istana. Lusa ada harian thaysoetjouw membuka pintu kamarnya, di depannya kau boleh pertontonkan kepandaianmu." Seberlalunya guru itu, Sin Tjoe berpikir keras. Ia masgul. Maka ia lantas cari s oebo-nya, ibu guru. Tapi ia segera mendengar suara bayi menangis, ia membatalkan niatnya. Tentu sang ibu guru lagi menyus ui bayinya. Justeru itu ia tampak Siauw Houwtjoe mendatangi sambil lari berjingkrakan. Bocah nakal itu sudah lantas menyamber tangannya, untuk ditarik. "Sudah lama aku mencarinya, kiranya kau ada di sini," serunya. "Leka s, lekas! Mari kita menangkap ikan!" Segera dia menambahkan: di sana pun ada Bhok Siauwkongtia, dia menyuruh aku, mengajak kau!" Karena lagi masgul itu, Sin Tjoe turut bocah nakal itu. Girang Bhok Lin melihat datangnya nona ini. "Kau baik, Nona Ie?" ia menegur. "Cis" bentak Siauw Houwtjoe. "Memang ada apanya yang tidak baik sampai ka u mesti menyapanya?..." Mukanya Bhok Lin merah. "Inilah adat pera-datan, Siauw Houwtjoe," katanya. "Ah, kau mirip bocah liar!" "Ya, aku bocah liar dan kau bocah agung!" kata si nakal, mengangkat pundak. "Kau tidak suka main-main sama aku!" "Maaf, Siauw Houwtjoe, aku salah!" Bhok Lin lekas mengaku. "Aku tidak berani lag i..." Lenyap juga kegembiraannya Sin Tjoe melihat dua bocah itu bergurau. Mereka itu, kecil tidak dapat dikatakan masih kecil, besar belum besar . Yang digemarkan Houwtjoe adalah kionghie, ikan "panah," ikan istimewa di telaga Djiehay itu, yang bisa disebut j uga ikan paling aneh di kolong langit. Kalau ikan lain berenang mengikuti air, d ia justeru sebaliknya, dia berenang melawan air, untuk selamanya dia tidak kemba li ke hilir dari telaga Djiehay, dia berenang naik melawan delapan belas aliran kali kecil di Tjhong San itu, tubuhnya dapat mencelat maju. Demikian dia dapat n amanya, ikan panah. Untuk menangkap akan itu, Siauw Houwtjoe membikin lingkaran pada ujungnya sebuah cabang kayu kecil. Lingkaran itu digunai sebagai djoanpian, cambuk lemas. Setiap kali dia menyamber, ikan kena tersamber, untuk terus dikasi masuk ke dalam korang. Dia liehay, belum pernah samberannya gagal. Maka itu cep at sekali dia telah dapat menangkap banyak. Bhok Lin girang sekali, berulangkah ia bersorak. Kembali Siauw Houwtjoe menyamber. Mendadak ia menampak satu bayangan orang, lalu lingkarannya itu kesamber, ikannya terlepas, nyemplung pula ke air, hingga air muncrat. Pun korang-nya turut kesamb er, hingga ikannya pada terlepas, semua berenang terus ke hulu. Bayangan itu ialah Yap Seng Lim. Bocah itu jadi gusar. "Yap Toako, kau bikin apa?" dia menegur. "Jangan ganggu ikan ini," sahut Seng Lim tertawa. "Ikan ini besar semangatnya, d ia tidak kenal kesukaran. Lihat, dia terus maju ke hulu. Semangatnya itu harus d ikagumi. Sekarang kau main menangkapi, aku tidak puas..." Siauw Houwtjoe melengak, tapi cuma sebentar, dia kata "Baiklah, kau benar!" Ia b erbangkit, ia menepuk-nepuk tangan, untuk membersihkan tangannya itu. Sin Tjoe dan Bhok Lin tertawa. Tapi mendadak, tertawa mereka tertindih suara ter tawa seram dari lain orang, yang datangnya tiba-tiba. Tahu-tahu di dekat mereka muncul enam tujuh orang, yang semua beroman luar biasa . Yang satu berambut merah, kedua kakinya lempang jegar, ketika dia berlompat, dia berlompat tingginya tujuh delapan kaki dan jauhnya dua tiga tombak, kedua matanya besar seperti kelene-ngan. Dia mengawasi Nona Ie, se mbari tertawa dia kata: "Sungguh nona kecil yang cantik manis!" Seng Lim berempat terkejut, apapula ia sendiri dan Sin Tjoe. Turut pantas, sedik it saja orang berkerisik, mereka mesti mendengarnya. Tapi kali ini, tahu-tahu or ang sudah datang dekat. Sin Tjoe mendongkol atas kata-kata orang, akan tetapi belum ia sempat mengambil sikap, ia sudah dibikin terkejut pula. Orang luar biasa itu sudah berlompat kepa danya, tangannya menyamber. Hampir ia kena dicekuk, baiknya ia masih dapat berke lit. Siauw Houwtjoe menjadi gusar, mendadak saja ia menyerang. Ia berhasil, suara haj arannya berbunyi keras. Ia telah menggunai jurus dari Liongkoen, koentauw Naga. Ia masih kecil tetapi tenaganya sudah berat enam atau tujuh ratus kati. Hanya ka li ini ia gagal. Meski ia menghajar jitu, yang roboh bukan si orang berambut mer ah itu, ia sendiri yang tertolak mundur kira-kira tiga tombak, terus kecebur ke kali kecil! Seng Lim tidak ketahui, rombongan itu adalah orang-orang undanganny a Tjie Hee Toodjin. Merekalah yang disebut rombongan iblis. Dan si rambut merah ini ada Liok Yang Tjinkoen yan g ceriwis, yang gemar paras elok, maka juga datang-datang dia main gila terhadap Nona Ie. Selagi Siauw Houwtjoe terpelanting, Sin Tjoe sudah menghunus Tjengbeng kiam. Liok Yang Tjinkoen tidak menghiraukan pedang itu, kembali ia menjambret, karena ini, ia lantas bertempur sama si nona. Mengetahui musuh liehay, Sin Tjoe lantas menggunai ilmu silat "Menembusi bunga mengitarkan pohon." Ia berlompatan, ia melejit sana sini, tubuhnya sangat lincah . Tempo ia menyerang dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak," ia berhasil memapas ujung jubah si imam, hanya habis itu, pedangnya terpental. Liok Yang Tjinkoen tidak kaget, dia bahkan tertawa terbahak. "Pedang yang bagus!" serunya. "Pedang yang bagus dan nona yang cantik! Kalau aku mendapatkan dua- duanya, tidakkah itu bagus?" Kembali dia menyamber, kali ini ke tulang piepee di pundak si nona. Celaka siapa kena dijambak tulangnya itu. Selagi imam ini girang sekali sebab ia dapat mendesak si nona manis, mend adak terdengar suara "Buk!" lalu ia merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhuyu ng ke depan dua tindak. Berbareng dengan itu, ujung pedang si nona menyamber ke jalan darah tjietong hiat di bawah tetenya. Tapi ia bisa membebaskan diri, cuma hajaran tadi membikin ia kaget jug a. "Ha, kiranya kau pun mengarti silat?" tegurnya pada orang yang membokong punggun gnya. Sin Tjoe menyerang terus, tiga kali beruntun, tapi ia menggunai ketika akan menoleh kepada orang ya ng membantu ianya, ialah Seng Lim. Tangan si anak muda bengkak dengan tiba-tiba, tubuhnya pun bergulingan di tanah, sebab akibat serangannya, ia terpe ntal jatuh, ia mesti bergulingan di tanah. Liok Yang mendongkol karena kena dibo-kong sedang si nona tak dapat ia m embekuknya. Sin Tjoe yang cerdik lantas saja insaf bahwa ia kalah jauh, karena itu ia berkel ahi terus dengan tipu silatnya itu Menembusi Bunga Mengitari Pohon. Dengan begini ia dapat bergerak dengan lincah sekali, serangannya pun aneh. Ia m enggertak ke timur, sebenarnya ia menyerang ke barat, ia mengancam ke selatan, habisnya ia menikam ke utara. Ia sendiri tidak pernah kena dijambret. Cuma semua serangannya tidak memberi hasil. Lawan itu kebal, tidak mempan senjata tajam, t idak pun pedang mustika itu. "Yap Soeheng, lekas pergi mengundang soehoe1." kata si nona kemudian, sesudah ia melayani belasan jurus tanpa ada hasilnya. Seng Lim tidak mau pergi. Ia dapat kenyataan si nona terancam bahaya. Tangan kanannya bengkak dan sakit, sekarang ia gunai tangan kirinya. Tangannya terluka tetapi ia masih dapat berkelahi dengan baik. "Jangan lawan tenaga, dia kedot!" Sin Tjoe mengasi ingat. "Dia kuat sekali!" Ia berseru tetapi ia menyerang. Seng Lim panas hatinya. Ia lompat ke samping, dengan tangan kiri ia mencabut sebuah pohon kecil, dengan itu ia menyap u imam yang tangguh itu. Gagal serangan dengan pohon kayu ini. Liok Yang Tjinkoen dapat berkelit. Tapi di a mendongkol. Sekian lama dia tidak sanggup merebut kemenangan, dia malu sendiri nya. "Mesti aku mampusi dulu bocah ini, baharu aku bekuk si wanita!" pikirnya. Karena ini, ia lantas mengempos semangatnya. Ketika itu Tjie Hee Toodjin berseru: Tjinkoen, ampuni dia! Dialah m uridnya Thio Tan Hong!" Imam ini tidak kenal Sin Tjoe, tetapi bersama ia ada Poan Thian Lo dan muridnya itu yang memberitahukan. Poan Thian Lo meng-harap-harap Liok Yang Tjinkoen berha sil, sebab ia benci nona itu. Tadinya ia diam saja, adalah gurunya, yang minta keterangan padanya, sebab guru ini bercuriga melihat ilmu silat yang liehay dari nona itu. Ditanya gurunya, Poan Thian Lo tidak berani mendusta. Tjie Hee tidak takuti Tan Hong, ia tidak menyayangi Sin Tjoe, ia hanya merasa malu mengingat derajatnya me sti melayani orang dari tingkat rendah. "Oh, kiranya muridnya Thio Tan Hong!" Liok Yang Tjinkoen pun berseru. "Benar, ti dak dapat aku berlaku sembrono!" Tapi ia toh menggunai tenaganya, ia menyamber p ohonnya Seng Lim, ia menarik dan mematahkannya, sesudah mana, ia serang si anak muda. Seng Lim cerdik, dia membuang diri dengan lompatan "Ikan gabus meletik," dengan begitu ia selamat. Sin Tjoe tapinya tidak mundur, sekalian hendak menolongi Seng Lim, ia berkelahi secara nekat. Liok Yang Tjinkoen mengebas dengan tangan bajunya, untuk melibat pedang orang. Sembari tertawa dia kata: "Sebentar aku akan minta kepada gurumu! Aku menghendaki Thio Tan Hong menye-rahkanmu menja di muridku!" Panas hatinya Sin Tjoe, mukanya menjadi merah padam. Ia mengerahkan tenaganya te tapi tidak berhasil ia meloloskan pedangnya dari gubatan tangan baju imam itu. I a heran bahwa orang ada sedemikian liehay. Seng Lim sudah berlompat bangun, ia menahan sakit pada lukanya. Ia memikir un- tuk menyuruh Bhok Lin lari pulang, guna mengasi kabar pada Thio Tan Hong atau la innya. Ia kecele. Pangeran muda itu tidak ada, setahu ke mana perginya. Ia tidak tahu Liok Yang Tjinkoen tengah mempermainkan Nona Ie, menyaksikan nona itu tera ncam bahaya, lupa segala apa, ia lompat untuk menerjang. "Bocah busuk, kau mencari mampusmu?" Liok Yang Tjinkoen mengejek. Ia masih mengu bat pedang, si nona, dengan tangan baju yang lainnya ia mengebas pada ini anak m uda. Hebat Seng Lim terancam. Baharu saja samberan angin datang, ia sudah merasai kep alanya pusing. Tapi ia nekat, ia maju terus dengan serangannya. Atau mendada k ia Selagi Liok Yang Tjin-koen girang sebab ia dapat mendesak si nona manis, mendada k terdengar suara "Buk!" lalu ia merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhu yung ke depan dua tindak. Ternyata ia dibokong oleh Seng Lim! merasakan tubuhnya tertolak keras, sampai ia mundur beberapa tindak. Ia masih te rhuyung tatkala ia dengar teriakan girang dari Sin Tjoe. Beberapa bayangan orang terlihat berkelebat, menyusul itu tubuh Liok Yang Tjinko en terguling roboh hingga si imam berteriak keras, selagi dia roboh, dia disusul dua rupa benda yang berkelebat berkilauan. Seng Lim pun segera dapat melihat, dia menjadi girang sekali. Di situ muncul Hek Pek Moko! Dua orang Putih dan Hitam ini dipanggil Siauw Houwtjoe. Ke-cemplung di kali, boc ah nakal itu tidak segera mendarat. Ia ada sangat cerdik, tanpa timbul lagi, ia berenang sambil selulup. Ia baharu muncul sesudah terpisah jauh dari tempat kejadian. Dia mau pergi kepada Toan Teng Tjhong akan m encari gurunya, tempo ia bersomplokan sama Hek Pek Moko. Maka ia lantas minta ba ntuannya dua saudara ini. Mengetahui Sin Tjoe terancam bahaya, Hek Pek Moko data ng dengan lantas, bahkan dengan lantas mereka serang si imam ceriwis hingga dia itu roboh. Liok Yang Tjinkoen tidak terluka, dia lantas berlompat bangun. Ketika sepasang tongkat Hek Pek Moko menyamber pula, ia menangkis dengan mengerahkan tenaganya menurut ilmu kekuatannya Koengoan Itkhiekang. Hebat tolakan itu, kedua tongkat kena dibikin mental, setelah mana, imam ini men gulangi emposan semangatnya, untuk membalas menyerang. "Siluman dari mana berani mengganas di Tjhong San ini?" sekonyong-konyong Hek Mo ko berseru dengan suaranya bagaikan guntur. Mau atau tidak, Liok Yang Tjinkoen terperanjat. Ia tahu ia tengah menghadapi law an liehay. Akan tetapi ia sudah siap, ia meneruskan juga serangannya. Pek Moko turut maju, ia menyusul serangan saudaranya. Hebat Liok Yang Tjinkoen tetapi ia kewalahan melayani sepasang tongkat putih dan hijau, ia kena terkurung sinar kedua tongkat itu. Di antara beberapa iblis itu, Kioepoanpo Kongsoen Boe Houw adalah ya ng erat persahabatannya dengan Liok Yang Tjinkoen, hendak dia membantui, tetapi Tjie Hee Toodjin segera mencegah. "Jangan bertempur kalut dulu, marilah kita bicara!" berkata imam ini. Maka ia ma ju dengan tenang, kipasnya dikibaskan. Dengan sabar ia menanya kalau dua orang i tu Hek Pek Moko adanya. Hek Pek Moko merasakan samberan angin, mereka berhenti menyerang. Liok Yang Tjinkoen bernapas lega, tetapi bukannya dia mengundurkan diri, dia jus teru berlompat tinggi, sembari turun, ia menyerang. "Kurang ajar!" Hek Moko berseru. Saudaranya pun gusar. "Jikalau hari ini kami da pat melepaskan kau, iblis, coretlah nama Hek Pek Moko dari dunia kangouw1." Tjie Hee Toodjin maju pula. "Apakah tuan-tuan tidak hendak memberi muka padaku?" ia menanya dingin. Ia pun b erulang-ulang mengebasi kipasnya. Hek Pek Moko suka menahan tongkat mereka, setelah menangkis Liok Yang Tjinko en, hendak mereka menjawab Tjie Hee, atau mendadak ada suara lain yang mendahului mereka. Suara it u datang dari atas gunung, halus tetapi terang. Katanya: "Kiranya Tjie Hee Tooti ang yang datang! Maaf kami tidak dapat menyambut sebagai selayaknya. Dua saudara Hek Pek, sabar dulu, kita perlu bicara!" Sin Tjoe girang bukan main. Ia mengenali baik suara gurunya. Ia tadinya kuatir g urunya itu, masih berada jauh di istananya Toan Ongya Tjie Hee Toodjin terperanjat. "Hebat Thio Tan Hong,..." pikirnya. "Suaranya ini ada suara dari tenaga dalam yang liehay, sekali. Dia tidak ada di bawahan aku..." Ia tahu, Tan Hong ada murid Hian Kie Itsoe dari generasi ketiga. Karenanya ia lantas tarik mundur Liok Yang Tjinkoen sembari ia ber kata "Mari kita menemui tuan rumah!" Liok Yang mendongkol tetapi terpaksa ia menyabarkan diri. Sin Tjoe segera menghampirkan Seng Lim, yang ia pepayang. "Bagaimana?" ia tanya, menghibur. "Apakah lukamu berat?" Seng Lim pegangi tangannya yang bengkak, ia menahan sakit. "Tidak apa, cuma luka di luar," sahutnya. Sin Tjoe tetap mem-pepayang, karena mana, si anak muda tidak dapat mencegah. Hanya mukanya menjadi merah, saking jen gah. Sampai di atas gunung, di situ Bhok Lin muncul secara tiba-tiba. Ia kaget meliha t tangan Seng Lim bengkak besar. Tapi si anak muda tertawa dan menepuk-nepuk pun daknya, katanya: "Adik kecil, kau tidak kaget?" Kongtjoe ini malu sendirinya. "Ah, sayang aku tidak pandai silat..." katan ya. "Maka perlulah kau belajar padaku!" Siauw Houwtjoe bergurau. Bhok Lin ingin bicara sama Sin Tjoe tetapi ia likat, maka ia terus berjalan bers ama Siauw Houwtjoe. Di atas gunung Thio Tan Hong ada bersama isterinya, Ouw Bong Hoe dan isteri, In Tiong dan isteri jug a, serta Tamtay Biat Beng. Melihat Seng Lim terluka, ia lantas memberi obatnya. Tjie Hee Toodjin be-ramai sudah lantas tiba, Hek Pek Moko mengikuti di belakang mereka. Tan Hong menyambut sambil tertawa. "Tootiang datang ke mari, ada apakah pengajaranmu?" tanyanya. "Aku sengaja datang untuk memberi selamat ulang tahun pada Hian Kie Itsoe," meny ahut imam itu. "Hari ulang tahun kakek guruku lusa," Tan Hong memberitahukan. "Sengaja aku datang lebih dulu!" Tjie Hee kata. "Aku percaya dia tidak akan meng unci pintu menampik kami. Tolong kau mengabarkannya." "Menyesal," Tan Hong, menampik. "Kakek guruku itu bersama-sama Siangkoan Lootjianpwee tengah menutup diri di dalam kamarnya, sampai lusa baharulah mereka membuka pintu." "Benarkah itu?" menegasi Tjie Hee, yang air mukanya berubah. "Apakah kau sangka mereka jerih terhadapmu?" kata Hek Moko, yang gusar. Saudaran ya gusar juga. "Apakah kau mengira Hian Kie Lootjianpwee tidak berani menemuimu?" Mendadak dari mendongkol, Tjie Hee Toodjin menjadi kegirangan. "Sungguh tidak kebetulan!" katanya, tertawa. "Tapi Hian Kie Itsoe itu adalah sah abat kekalku, karena aku sudah tiba di sini, aku mesti bertemu padanya. Terpaksa aku mesti menantikan di sini..." Tan Hong tertawa dingin. Ia kata: "Sebelumnya kakek guruku menutup pintu, ia sud ah memesan melarang lain orang mengganggunya, oleh karena itu harap dimaafkan, a ku tidak dapat melayani tootiang beramai." Kembali air muka Tjie Hee berubah. Ia menjadi gusar kembali. "Ketika aku dan Hian Kie Itsoe mulai berkenalan, kau masih belum terlahir!" kata nya dingin. "Kalau begitu Thio Tan Hong tidak usah lagi memperdulikanmu!" berkata Tamtay Bia t Beng murka. "Jikalau kau hendak bicara dari hal persahabatan, lusa saja kau bi cara sendiri sama Hian Kie Loo tjianp wee. Apakah kau tidak kenal aturan kaum kangouw?" Tjie Hee menjadi bertambah gusar. "Tidak gampang kami yang dari tempat jauh datang ke mari!" katanya, menegur. "Dengan kata-katamu ini jadi benar-benar kau hendak menolak kami?" "Jikalau tootiang beramai datang untuk memberi selamat, lusa saja tootiang datan g pula ke gunung ini," berkata Tan Hong. "Nanti aku memberitahukan kakek guruku itu, nanti kami melayani tootiang sem ua. Hari ini maafkan saja!" Kioepoanpo membanting tongkat besinya. "Hm!" ia perdengarkan ejekannya. "Sungguh kepala besar!" Tjie Hee Toodjin mengibas kipasnya. Ia gusar tetapi mendadak ia tertawa. "Tahukah kau, hari ini aku datang selain untuk memberi selamat kepada Hian Kie Itsoe tetapi juga ada maksud lainnya?" ia menanya. "Kita bukannya cacing di dalam perutmu, mana kita ketahui hatimu?" sahut Pek Mok o. Wajahnya Tjie Hee menjadi merah padam. Ia menggoyang kipasnya. "Aku tidak mau bicara sama orang tidak keruan" katanya jumawa. "Thio Tan Hong, hendak aku menanya kau! Apakah gurumu dan paman gurumu j uga belum datang?" "Guruku pun mungkin akan tiba lusa," Tan Hong menjawab sejujurnya. Imam itu tertawa dingin. "Benar-benar kamu membikin dingin hati kami yang datang karena memangeni kamu!" katanya. Sampai di situ terdengar tertawanya Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe Hay dari Koenloen San. Sejak tadi dia berdiam saja, sekarang dia meleng -gak. Dia berkata: "Aku kuatir di sini cuma ada nama kosong belaka! Orang cuma s engaja mengerek naik papan biantjian pay!" Papan biantjian pay itu ada pemberitahuan menunda peperangan. Alisnya Tan Hong terbangun. "Apa?" menegaskannya. Tjie Hee Toodjin berkata pula: "Pada tiga puluh tahun yang lampau aku telah meya kinkan ilmu silat bersama-sama Hian Kie Itsoe, bukan sedikit aku telah menerima kefaedahannya. Selama yang belakangan ini aku mendengar kabar dia sudah memperol eh kemajuan yang besar, maka itu sekarang aku datang bersama ini beberapa saudara y ang berilmu, yang belum pernah berjodoh dapat menerima pelajaran dari kakek guru mu itu, karenanya mereka memerlukan datang berkunjung ke mari. Maksud kami ialah kesatu untuk memberi sel amat hari ulang tahunnya, dan kedua guna belajar kenal dengan kepandaiannya yang kesohor ke mana-mana!" Ia berhenti sebentar, lantas ia meneruskan sembari menga si dengar tertawa dingin: "Kami telah pikir, dengan memasuki usia delapan puluh tahun, bukan Hian Kie Itsoe sendiri yang memperoleh kemajuan pesat tetapi pun ke empat muridnya, yang masing-masing mewariskan serupa pelajaran, maka sayang sekali, mereka tidak berada di sini semua! Tidakkah ini membuatnya kami datang di tempat kosong?" Tan Hong tertawa. "Jikalau kau hendak belajar kenal sama ilmu kepandaiannya murid kakek guruku, it u pun gampang!" katanya sabar. "Di sini, ada beberapa murid- muridnya dari generasi ketiga, mereka itu tidak nanti membikin kamu hilang harap an!" Ouw Bong Hoe pun turut buka suara, katanya dengan nyaring: "Murid generasi kedua dari Siangkoan Thian Va juga berada di sini, maka kalau tuan-tuan hendak berlatih, kami suka melayaninya!" Hek Pek Moko juga turut bicara: "Kami dua saudara tidak termaksud partai mana juga, tetapi sebal kita melihat tingkah pola kamu ini! Eh, Tan Hong, dalam pertempuran ini kami hendak turut ambil bagian!" "Kedua tuan hendak membantu meramaikan, itulah bagus sekali!" berkata Tjie Hee T oodjin , menyahuti. "Dengan begitu kami jadi tidak usah nanti dikatakan yang tua menghina yang muda!" Sebenarnya girang Tjie Hee mengetahui ke empat muridnya Hian Kie Itsoe tidak had ir bersama. Memang dia sengaja datang hari ini, untuk mengacau lebih dulu. "Tootiang, silahkan kau menjelaskan caramu," kata Tan Hong tenang. "Kami bersedia untuk menerima pelajaran!" Tjie Hee Toodjin mengajak kawan- kawannya mundur sedikit, terus mereka kasak-kusuk, Tan Hong mengawasi mereka, maka ia mendapat l ihat gerak-geriknya Poan Thian Lo. Dia ini menunjuk sana dan menunjuk sini. Mena mpak itu, ia terkejut. "Hebat!" serunya mendadak. "Kenapa?" tanya Hek Pek Moko. "Yang Tiong Hay ada murid paling disayang dari Tjie Hee Toodjin, dia tidak datan g bersama ke mari," berkata Tan Hong. "Mereka ini membilang datangnya untuk memberi selamat tetapi mereka sengaja datang dua hari di muka. Mereka tentu ada mengandung sesuatu maksud! Mereka seperti membokong kita, mereka mestinya menggunai akal muslihat!" "Aku tidak mengarti," kata Hek Moko. "Coba kau menjelaskannya. Mereka hendak menggunai tipu apa?" "Aku mau menduga Yang Tjong Hay yang minta gurunya datang ke mari, untuk melibat kita, dia sendiri dengan diam-diam menyerbu ke istana Toan Ongya," Tan Hong mem beri keterangan. "Mereka ini benar liehay tetapi mestinya mereka jerih juga terh adap kakek guruku serta Siangkoan Lootjianpwee. Tentunya mereka sudah tahu kakek guruku lagi bersamedhi, sengaja mereka datang ke mari menantang kita. Hm! Lieha y akal mereka! Mereka tentu menduga kita berkumpul di sini, lantas di istana tid ak ada orang yang bisa melayani mereka, itu artinya mereka bakal menang!" "Benar," berkata Hek Pek Moko. "Aku tidak takuti mereka tetapi aku berkuatir untuk istana..." Dua saudara ini berniat lantas pergi tetapi mereka masih berat. Pergi artinya ba tal bertempur... "Di dalam ilmu silat, Yang Tjong Hay tidak usah dikuatirkan," kata Tan Hong lagi . "Hanya kalau dia menyerbu, dia mesti ambil jalan air. Untuk mencegah, inilah b ukan pekerjaan satu dua orang yang dapat mengadu kepandaian, kita mesti dapatkan seorang yang mengarti ilmu perang terutama perang di air, untuk dia memegang ta mpuk pimpinan. Di istana sudah tersedia cukup barisan air, tinggal yang menjadi pemim pinnya..." Segera orang she Tan ini melirik pada Seng Lim. Pemuda ini memang pernah menjelaskan padanya perihal cacad di istana, yang berbahaya kalau diserang dari jurusan air, dan hal itu ia setujui. Bahwa tadi pagi ia pergi ke istana, itu pun untuk memberi kisik an kepada Toan Ongya. Ia hanya tidak menyangka, orang datang begini cepat. Seng Lim harus pergi, tetapi tangannya lagi sakit. Maka habis melirik pemuda she Yap itu, ia melirik kepada Keng Sim. Ketika itu Keng Sim lagi bicara sama Sin Tjoe. Ia hendak mengambil hati si nona. "Ah, nona, kau pun terluka," katanya. "Lihat pundakmu itu! Nanti aku obati!" Sin Tjoe cuma robek bajunya di pundak, kulitnya lecet pun tidak. Ia tengah mende ngari gurunya, ia tidak perhatikan suara si anak muda itu. "Apa katamu?" tanyanya heran, seperti orang baru sadar. "Siapa yang terluka? Oh, soehoe, kau kuatir onghoe diserbu! Bukankah tentang itu Yap To ako telah memberitahukannya? Ya, pandangan soehoe dan pandangan Yap Toako tepat sekali!" Mendengar suara si nona, Seng Lim majukan diri. "Biarlah aku yang pergi ke sana!" katanya. "Aku hidup di wilayah air, aku pandai mengendalikan perahu!" Tan Hong bersenyum. "Apakah luka di tanganmu tidak berbahaya?" ia menanya. Seng Lim ayun tangannya itu. "Masih ada sebelah lagi yang dapat aku gunakan!" sahutnya. "Mungkin aku tidak da pat berkelahi benar-benar tetapi untuk menggayu, aku dapat!" Tan Hong segera mengambil putusan. "Baik!" katanya. "Biat Beng, pergi kau antar Seng Lim ke istana!" Kedua orang itu menurut. Sin Tjoe lekas dekati itu anak muda. "Yap Toako, jaga dirimu baik-baik!" ia memesan. Hati Keng Sim tidak enak. Ia pun kata di dalam hatinya: "Bocah ini mengarti apa tentang ilmu perang maka dia berani memegang pimpinan?" Coba tidak ada Tan Hong, tentulah ia sudah tertawa dingin. Di pihak Tjie Hee Toodjin, mereka itu sudah selesai berdamai. Mereka lantas kembali dengan berdiri berbaris. "Baiklah setiap dari kita bertempur satu kali!" katanya. "Hanya ingin aku menjel askan di muka. Beberapa sahabatku ini semua mempunyai kepandaian istimewa sendiri-sendiri, andaikata ada yang keterlepasan tangan, siapa terbinasa atau terluka, dia mesti terima nasib. Tentang aku sendiri, karena aku sahabat kekal dari kakek guru kamu, biarlah aku menanti sampai lusa akan main-main dengan kakek gurumu itu sendiri!" Tan Hong tertawa. "Tidak usah sungkan-sungkan!" katanya. "Sungguh girang hatiku yang lootjianpwee sudi memberi pengajaran. Cuma ada dua sahabatku, yang ada punya urusan penting, mereka hendak pergi turun gunung dulu." Begitu orang berhenti bicara, Biat Beng bersama Seng Lim sudah lantas bertindak pergi. Melihat mereka itu, rombongan Tjie Hee terperanjat, mereka mengawasi dengan sorot mata membenci. *** Tamtay Biat Beng bertindak terus dengan sebelah tangannya menarik tangannya Seng Lim, ia tidak mengambil mumat yang pihak sana tercengang. Tapi segera ia dibentak Tek Seng Siangdjin: "Sahabat, pelahan!" Bahkan tangan Siangdj in sudah lantas menyambar bagaikan kilat cepatnya. Akibatnya itu adalah benterokan tangan yang nyaring, disusul sama terpentalnya tubuh Biat Beng, siapa sebaliknya dengan tangannya yang lain memeluk Seng Lim, hingga tubuh pemuda she Y ap ini turut terbawa mental. Tek Seng Siangdjin itu, selama berdiamnya di Sengsioe Hay di Koenloen San, untuk bertahun-tahun telah melatih pukulan "Tek Seng Tjioe" atau "Tangan Memetik Bintang." Hebat pukulan itu, yang menyambarnya tak mengasi dengar suara dan tida k memperlihatkan diri saking cepatnya, maka heran ia akan mendapatkan kenyataan Tamtay Biat Beng dapat menyambutinya, cuma tubuh lawan saja yang terhajar terpental. Di pihak lain, ia segera merasakan tangannya sakit dan panas sekali. Di luar sangkaannya, selagi menangkis, Biat Beng menggunai jari tangannya yang kuat membarengi menotok, maka itu, jari tangannya itu meninggalkan tapak merah bagaikan bekas tersulut api. Dasar orang liehay, walaupun ia terkejut, Tek Seng Siangdjin dapat berlaku sebat sekali. Kembali ia bergerak. Pukulannya y ang kedua sudah lantas di kirim. Tapi kali ini ia bukan dilayani Biat Beng. Tiba-tiba saja Hek Pek Moko berlompat maju, tongkat mereka dilintangi, untuk men ghalang penyerangan ulangan itu. Hampir berbareng keduanya menegur: "Eh, apakah kau hendak bertarung? Di sini ada orangnya yang akan menemani padamu!" Thio Tan Hong pun segera menyelak. "Numpang tanya, Tjie Hee Tootiang, aturan ini aturan macam apakah?" tanya nya. Tjie Hee Toodjin mengibas dengan kipasnya. "Biarkan mereka pergi!" katanya. Ia jengah untuk teguran itu. Akan tetapi selagi imam ini berkata-kata, hoeitoo atau golok terbangnya Touw Lio ng Tjoentjia sudah melayang ke arah Tamtay Biat Beng punggung siapa dijadikan sa saran. Tentu sekali, karenanya, Tjie Hee menjadi mengerutkan alis. Golok terbang itu tidak dapat menemui sasarannya. Suara "Traang!" segera terdengar. Baharu sampai di tengah jalan, golok itu sudah terpe ntal balik. Oleh karena Tan Hong yang matanya tajam dan gerakannya sebat sekali sudah menyentilkan sepotong batu kecil kepada hoeito itu, untuk mana ia mengguna i tipu timpukan senjata rahasia "Memetik daun menerbangkan bunga." Tepat hoeito itu kena disentil balik! Hek Pek Moko men- jadi gusar, dengan berbareng mereka menyerang, ke kiri kepada Tek Seng Siangdjin, ke kanan ke pada Touw Liong Tjoentjia si tukang bokong itu. Tan Hong menjadi tidak puas sekali. Ia berseru dengan pertanyaannya yang mirip t eguran: "Sebenarnya kamu hendak mengadu ilmu silat atau hendak main keroyok?" Tjie Hee Toodjin menghadapi kesulitan di depan matanya itu. Ia ketahui baik seka li kepergiannya Tamtay Biat Beng berdua itu, ialah untuk menolongi onghoe. Tapi ia ada seorang terkemuka yang kenamaan, tidak dapat ia mengabaikan teguran Tan Hong itu. Di mana telah te rlihat Biat Beng berdua sudah turun gunung, terpaksa ia maju seraya mengge- raki kipasnya, menyelak di antara Hek Pek Moko dan dua kawannya, untuk memisahka n mereka. "Baiklah jangan kamu mengacau, tuan-tuan!" katanya. "Mari kita menggunai aturan kaum Rimba Persilatan untuk mengadu silat..." Dengan kata-kata itu, Tjie Hee tidak cuma menegur pihaknya tetapi juga Hek Pek Moko turut tertegur, maka itu dua saudara itu menjadi gusar. "Manusia tak dapat membedakan merah dan putih, siapakah yang mengacau?" mereka m embentak. "Baiklah, kami berdua saudara suka belajar kenal lebih dulu dengan kep andaian istimewa dari kau si orang terkemuka dan Tjie Seng Pay!" Liok Yang Tjinkoen menjadi tidak senang. Ia maju seraya melinta- ngi kedua belah tangannya di depan dadanya. "Untuk menyembelih ayam buat apa memakai golok peranti memotong kerbau?" teriakn ya. "Baiklah kita melanjuti pertempuran kita menurut cara tadi yang masih belum ada keputusannya menang atau kalah!" "Itulah bagus!" berseru Hek Pek Moko, yang hatinya panas. Mereka mengulapkan mas ing-masing tongkat mereka. Kioepoanpo Kong-soen Boe Houw, yang semenjak tadi berdiam saja di pinggiran, sek arang mengasi dengar suaranya yang dingin mengejek. "Liok Yang Tjinkoen bersendirian melayani dua lawan, apakah dengan begitu kau ti dak kuatir nanti merusak nama baikmu?" katanya. Hek Pek Moko tahu bahwa merekalah yang disindir, dalam murkanya, satu di antaranya berseru: "Kau maju sendiri, kami menyambut dengan du a bersaudara! Kamu maju sepuluh orang, kami tetap berdua saudara juga!" Adalah maksudnya Kioe Poan Po untuk dengan samar-samar membantui Liok Yang Tjink oen, tetapi imam ini sedang bergusar, ia memang beradat keras sekali, ia tidak d apat menangkap maksud baik dari kawannya itu. Maka dengan sengit ia berkata: "Bi arlah dengan sepasang tanganku yang berdarah daging ini aku menyambut sepasang tongkatnya Hek Pek Moko, untuk belaja r kenal dengan ilmu silat dari See Hek!" Kioepoanpo tidak mau mengarti, sembari tertawa, ia berkata pula: "Liok Yang Tjinkoen, kau adalah tokoh utama dari satu partai, walaupun kau bertempur satu melawan dua, hal itu masih kurang tepat, menang pun belum berarti kegagahan untukmu, dari itu baik kau membiarkan aku si perempuan tua mewakilkan lebih dulu padamu dalam satu pertempuran ini!" Dengan kata- katanya ini, Kioepoanpo bermaksud baik. Ia mengetahui memang ada semacam ilmu si lat yang mesti digunai berbareng oleh dua orang dan ia menduga Hek Pek Moko meng erti itu, maka mau ia percaya, Liok Yang Tjinkoen bukannya tandingan dari dua saudara Moko itu, karenanya, hendak ia memberikan bantuannya. Ia bersahabat kekal sama si imam, tidak puas ia andaikata kawan itu roboh di tangannya kedua musuh ini. Di dalam halnya ilmu silat, ia cuma kalah setingkat dari Tjie Hee Too djin, maka ia percaya bahwa ia akan sanggup melayani Hek Pek Moko. Maka itu ia m enyesali akan mendapatkan Liok Yang tetap sama kepala besar dan kejumawaan-nya, tak sudi kawan itu mengalah. Selagi saat tegang itu, sekonyong-konyong ada terdengar suaranya satu orang lain . Kata orang itu "Saudara-saudara Hek Pek dan Kongsoen Tjianpwee, silahkan kamu menanti giliranmu belakangan saja, sekarang ini biarkan aku yang lebih dulu bela jar kenal dengan Koengoan Itkhiekang dari Liok Yang Tjinkoen1." Segera ternyata, orang yang membuka suara itu ada Ouw Bong Hoe, salah satu di an tara Soe tay Kiamkek, Empat Jago Pedang, yang kedudukannya hanya berada di bawah Thio Tan Hong, tetapi mengenai derajatnya, dia ada lebih tinggi satu tingkat da ripada Tan Hong itu. Melihat siapa yang berbicara itu, Hek Pek Moko suka mengalah. "Baiklah, kali ini suka kami mengalah!" kata mereka. "Tapi ketahuilah, kami berdua sudah melepas kata-kata, tidak nanti kami sudi mengijink an orang ini berlalu dari ini gunung dengan masih berjiwa, dari itu kami minta, di waktu kau menurunkan tangan, janganlah kau berbelas kasihan!" Ouw Bong Hoe tertawa. "Aku tahu!" sahutnya gembira. "Tidak usah kau memesan, saudara-saudara yang baik , akan aku menghabiskan tenagaku untuk menunaikan tugasku!" Kemurkahannya Liok Yang Tjinkoen bukan kepalang. Hebat kata-kata orang yang meny inggung kehormatannya itu. Tapi ia tahu ia lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh, tidak berani ia terlalu mengumbar napsu amarahnya itu, hanya karenanya, cuma rambutnya yang pada bangun berdiri. S egera ia berjalan, tiga tindak di samping Ouw Bong Hoe, tiga tindak lempang, sik apnya bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya. Ouw Bong Hoe pun bersikap sungguh- sungguh, ia mengimbangi gerak-gerik orang. Di saat orang maju tiga tindak, ia mu ndur tiga tindak juga, matanya mengawasi tajam lawan itu, dan kapan orang mundur , ia berbalik maju, tetap tiga tindak. Ia mengambil sikap patkwa. Secara demikian mereka itu main maju mundur, kira-kira seperempat jam, masih belum ada yang turun tangan. Semua hadirin lainnya mengart i, kedua pihak sama-sama tengah mengerahkan tenaga mereka, maka juga, satu kali mereka bergerak, kesudaha nnya mesti hebat sekali. Sin Tjoe menyaksikan itu dengan masgul. Ia mengawasi ke bawah bukit. Di sana, sa mar-samar masih terlihat bayangan tubuh dari Tamtay Biat Beng dan Yap Seng Lim. Ia menjadi heran sekali. "Ah, mengapakah mereka jalan lambat sekali?" ia berpikir. Ia berkuatir untuk kes elamatan onghoe, istananya Toan Ongya, ia menyesal yang ia tidak dapat menganjur kan mereka jalan cepat. Entah kenapa, ia pun mengawasi punggungnya Seng Lim, men gawasi hingga beberapa kali... Ia ingat orang telah berkurban untuk menolongi ia , bahwa orang telah terluka karenanya, dan sekarang orang pergi dalam keadaan terluka itu untuk menolongi onghoe, setahu di a bakal berhasil atau tidak... "Ah, biarlah dia kembali dengan tidak kurang suatu apa!" pikirnya pula kemudian. Demikian Sin Tjoe berpikir, ia tidak tahu bahwa Biat Beng sebenarnya telah terluka karena tadi dia sudah menangkis seranga nnya Tek Seng Siangdjin, sedangkan Seng Lim karena lukanya tidak dapat menggunai ilmunya lari ringan tubuh. Sebenarnya mereka itu terlebih cemas hatinya daripada si nona sebab mereka pun ingin sekali lekas tiba di onghoe. Masih si nona berdiri menjublak ketika tubuhnya Biat Beng dan Seng Lim sudah tidak nampak lagi ketika kemudian ia berpa ling, sinar matanya benterok sama sinar matanya Tiat Keng Sim, yang tengah menga wasi kepadanya. Sinar matanya si anak muda itu lemah dan seperti mengandung penyesalan... Hanya sedetik itu, Sin Tjoe mendapati di depan matanya seperti berbayang tubuhnya Seng Lim serta tubuhnya Keng Sim, kemud ian bayangan Keng Sim itu seperti menindih bayangannya Seng Lim. Tanpa merasa, ia mengangkat kepalanya, memandang Keng Sim pula. Hanya ini kali ia mendapatkan roman tegang dari anak muda itu, yang matany a menjurus ke lain arah. Kapan ia sudah ikuti tujuan mata si anak muda, ia menda patkan Ouw Bong Hoe serta Liok Yang Tjinkoen lagi menghadapi saat-saat yang sang at membahayakan. Mereka itu tidak berputaran dengan setindak demi setindak, hanya tindakan mereka berubah menjadi sangat cepat, akan di lain saat terdengarlah bentakan Liok Yang Tjinkoen: "Jikalau bukannya kau tentulah aku!" Itulah berarti ancaman. Sampai di situ cukup sudah si imam mengumpul tenaganya, maka tibalah ketikanya u ntuk ia menyerang dengan ilmu silatnya Koengoan Itkhiekang, semangatnya yang dip ersatukan. Hebat serangan itu, angin seperti menderi, pasir dan batu bagaikan berterbangan. Berbareng dengan serangan itu, tubuh Ouw Bong Hoe seperti terhuyung, tetapi ia m enyambut dengan satu jari tangannya diangsurkan, maka sebagai kesudahan dari itu lantas terdengar suara beradu yang tajam menusuk kupi ng, seperti bola kena tertusuk jarum dan kempes sendirinya. Tubuhnya Liok Yang Tjinkoen juga lantas terhuyung beberapa tindak, mukanya menjadi pucat sekali. Ia runtuh seperti ayam jago terpecundangkan! Ouw Bong Hoe sudah menggunai "Ittjiesian" atau pukulan "Sebuah Jeriji," yang justeru ada penakluk untuk Koengoan Itkhiekang. Masih syukur untuk Liok Yang Tjinkoen, telah mahir latihann ya, kuat tenaga dalamnya, jikalau tidak, pastilah rusak anggauta-anggauta tubuh bagian dalamnya dan jiwanya akan melayang lantas. Begitulah kalau jago-jago saling bertempur, cukup dengan satu gebrakan yang memutuskan. Tapi Liok Yang Tjinkoen, bersifat lain dari umumnya jago-jago. Ia pe nasaran, ia tidak sudi segera mengaku kalah. Ia merasa hilang muka. Maka juga se jenak kemudian, setelah berlompat jumpalitan, ia berdiri dengan sebelah tangannya mencekal sebatang alat senjata yang luar biasa senjata itu panjang dan merah, di ujungnya ada tergantu ng dua batok kepala orang terbuat dari emas putih, hingga dilihat sekelebatan, m irip itu dengan tengkorak tulen. "Ouw Bong Hoe!" berseru si imam, "kau terkenal sebagai ahli pedang di Utara, sek arang ingin aku melihat kau sebenarnya ada mempunyai kepandaian apa!" Kata-kata ini tidak menantikan jawaban. Liok Yang Tjinkoen sudah lantas menggeraki senjatanya yang aneh itu, menjuju kepada lawannya. Yang lebih aneh ad alah mulutnya kedua tengi-korak itu bisa terbuka sendirinya, di situ terli- hat barisan gigi yang putih meletak, kedua baris gigi atas dan bawah itu hendak menggigit lawan! Ouw Bong Hoe tidak menjadi jeri, bahkan sebaliknya ia tertawa tawar. "Dengan senjatamu yang sesat ini kau hendak menggertak orang! Hm!" katanya. Liok Yang Tjinkoen bergerak dengan sangat gesit, tapi tak kalah gesitnya adalah jago pedang dari Utara itu, yang dalam sekejab saja sudah menghunus pedangnya de ngan apa ia menangkis. Kedua senjata benterok dengan menerbitkan suara, akibatnya cambuk si imam mental balik. Liok Yang Tjinkoen menggeraki balik tangannya, kembali senjatanya itu menyerang pula, bahkan sekali ini, ia menyerang beruntun-runtun tiga kali dengan serangannya berantai "Lianhoa n sampian," Tiga Cambuk Saling Susul. Senjata itu berputar keras, anginnya mendesir-desir. Ouw Bong Hoe berlaku celi dan sebat. Ketika kedua tengkorak menyambar kepadanya, Ia menyentil dengan dua jari tangannya yang kiri, membarengi mana pedangnya, pe dang Tjengkong kiam memapas tangan orang nyerepet di antara rujung itu. Liok Yang Tjinkoen berseru sambil dengan tangan kirinya menggempur, untuk mengha ncurkan jeriji orang, sedang cambuknya, yang ditarik pulang, ia pakai untuk meny erang pula, kembali secara berantai. Sebenarnya senja- tanya Lio Yang Tjinkoen ini, yaitu kolouw pian, atau cambuk tengkorak, biasa dig unai untuk menggempur merusak tenaga dalam dan jalan darah lawan, sedang kedua t engkoraknya sendiri ada mempunyai keistimewaan lain, maka beruntunglah Ouw Bong Hoe, dia telah mempunyai kepandaian yang mahir sekali hingga dapat dia melayani terus tak perduli senjata aneh itu. Tan Hong mengangguk-angguk melihat cara berkelahi kawannya itu. Di dalam hatinya , ia berkata: "Tidak kecewa Ouw Bong Hoe menjadi ahli warisnya Siangkoan Tjianpw ee, ternyata ilmu silatnya sudah melebihkan berlipat kali daripada Tamtay Biat B eng yang menjadi kakak seperguruannya. Makin lama pertem- puran menjadi makin hebat, hingga datang saatnya cambuknya si imam menyerang berulang-ulang ke kiri dan kanan, lalu kedua tengkoraknya, dengan masing-masing mulutnya terpentang, mengancam menggigit pundak kiri dan kanan dari Ouw Bong Hoe , sedang ujung cambuknya menyambar mengancam melilit ke kaki orang. Demikian satu gerakan dengan tiga macam tujuannya. Menampak serangan hebat itu, hampir-hampir Sin Tjoe menjerit bahna kaget nya. Selagi ancaman ada demikian dahsyat, hanya sedetik, tubuh Ouw Bong Hoe sudah bergerak, menggeser dari tempatnya menar uh kaki barusan. Ia telah berlompat tinggi satu kaki lebih, dengan gerakannya "Yantjoe tjoanin," atau "Burung walet menembusi awan." Ia bukan melainkan berkelit, sambil berlompat, kedua tangannya bergerak juga, pedang di tangan kiri, tangan kanan dengan jerijinya, d ari atas menyerang ke bawah. Maka terdengarlah dua kali suara nyaring! Kedua tengkorak emas putih itu telah kena terhajar, keduanya pecah, terbuka mulu tnya, dari situ menyembur sinar terang yang berwarna merah tua! Memang, cambuk dari Liok Yang Tjinkoen itu sebenarnya adalah Kolouw Liathoh pian atau Cambuk Tengkorak Api, sebab di dalam tengkorak itu, yang digunainya untuk menggigit urat-urat musuh, juga ada tersimpan api, yang dapat menyembur membakar lawan. Ini pula sebabnya kenapa imam ini berani me nantang Hek Pek Moko. Ia hendak mengandalkan senjatanya yang luar biasa situ. Semua terperanjat sebagai kesudahannya menyemburnya api itu. Ouw Bong Hoe sepert i terkurung api, hingga bajunya, dan rambutnya juga, telah kena terbakar. Karena ini di kedua pihak, ada orang-orang yang telah berlompat maju, untuk membantui masing-masing pihaknya. Orang berlompat maju dengan cepat sekali, tetapi di dalam gelanggang pertempuran , peristiwa berlaku dengan terlebih cepat pula. Dua kali lagi terdengar suara ja ngg keras, dengan kesudahannya kedua tengkorak terhajar hancur oleh Ouw Bong Hoe, yang seperti tidak jeri terhadap api, yang telah menggunai jari ta ngannya yang liehay. Touw Liong Tjoentjia baharu saja tiba ketika kupingnya mendengar jeritan hebat d ari Liok Yang Tjinkoen, kawannya itu yang main api. Sebab lagi sekali ia kena di serang pukulan Ittjiesian dari lawannya, dan kali ini hancurlah pertahanannya Ko engoan Itkhiekang, maka sambil menjerit, ia roboh ke tanah, dari mulutnya, kupin gnya, hidungnya, semua telah keluar darah. Ia merintih seraya bergulingan di tan ah... Kioepoanpo menjadi sangat gusar, dia berlompat dengan tongkatnya dengan apa dia menyapu, untuk menghajar Ouw Bong Hoe. Hek Pek Moko pun gusar bukan main dengan tongkatnya mereka menangkis. "Kau hendak main keroyok?" dua saudara ini menegur. Belum sempat Kioepoanpo menjawab teguran itu, Touw Liong Tjoentjia, yang sudah k epalang maju, mendahulukan menyerang. "Sabar, sahabat!" berseru In Tiong, yang maju menangkis serangan itu. Sampai di situ, Thio Tan Hong mengasi dengar pula suaranya: "Tjie Hee Tootiang1. Bukankah kau telah mengatakannya, siapa terluka atau terbinasa, dia cuma dapat menyesalkan nasib malangnya? Adakah perkataanmu ini tak masuk hitungan?" Ditegur begitu, Tjie Hee Toodjin pun mengasi dengar suaranya. "Kongsoen Tooyoe, tolong kau mundur dulu!" demikian ia berkata kepada kawannya. Kioepoanpo jadi sangat menyesal, maka juga dengan tongkatnya ia memukul tanah. "Kali ini aku roboh!..." ia mengeluh. Hek Pek Moko mendengar itu, mereka sebaliknya tertawa. "Kami berdua saudara pasti sekali akan menemani kau main-main!" katanya. Kioepoanpo tidak melayani bicara, ia hanya menghampirkan Liok Yang Tjinkoen. Imam sahabatnya itu rebah dengan napas empas-empis, darah mengalir keluar dari m ulut, hidung, mata dan kupingnya, nadinya berjalan dengan sangat pelahan. Itulah tanda bahwa dia tidak bakal hidup lebih lama pula karena telah rusak semua anggauta dalam tubuhnya. Itu waktu In Tiong dan Touw Liong Tjoentjia telah terus bertempur. Inilah disebabkan kawannya Liok Yang Tjinkoen itu tidak mau mengarti, tak sudi dia mund ur. Maka itu, In Tiong terus melayaninya. Touw Liong menggunakan sebilah golok yang luar biasa juga. Ujung golok itu terpe cah dua bagaikan gaetan, di waktu digeraki, dari dalam situ memancar sinar merah tua gelap. In Tiong luas pengalamannya, maka ia dapat menduga, mestinya golok itu telah pernah direndam dalam semacam racun. Karena ini ia berl aku waspada, ia melayani dengan ilmu goloknya Loohan Sintoo dengan apa ia sepert i menutup dirinya. Ilmu golok Loohan Sintoo, atau Golok Arhat, ada ciptaannya Hian Kie Itsoe, yang mengambil gerak- geriknya lima ratus Arhat. Di masa mudanya, dengan itu Hian Kie telah menjagoi. Tang Gak adalah murid kepalanya dan Tang Gak berhasil mewariskan ilmu golok itu. Paling belakang, In Tiong pun dapat memahamkan ilmu golok itu sesudah peryakina n belasan tahun, maka juga, tidak perduli Touw Liong Tjoentjia ada sangat liehay, melayani In Tiong ini, dia cuma bisa merampas kedudukan seri. Lama juga dua orang ini bertarung, sampai lewat seratus jurus. Rupanya Touw Lion g Tjoentjia penasaran, tiba-tiba terdengar seruannya yang nyaring, goloknya berkelebat bersinar. Ia telah menggunai jurus "Naga jahat keluar dari kedungnya," dengan it u ia mencoba memecahkan kurungan lawannya. Hek Pek Moko terkejut menyaksikan itu penyerangan sangat dahsyat, tanpa merasa m ereka mengeluarkan seruan. In Tiong sendiri telah menanti hingga golok sudah datang dekat kepada mukanya, dengan tiba-tiba ia berkelit, sambil berkelit itu tangannya dipakai membabat ber balik. Dengan begitu, dari membalas menyerang. Sasarannya adalah lengan lawannya itu. Touw Liong Tjoentjia dapat mengelahkan diri seanteronya. Goloknya itu benterok sama golok musuhnya. Dengan begitu maka gagallah serangann ya barusan yang memecah kurungannya In Tiong. "Bagus! Bagus!" Pek Moko membalas memuji. Akan tetapi Tan Hong menggeleng kepala dan mengatakannya, "Gerakan yang kedua kali kurang sempurna." Inilah disebabkan, ilm u golok Loohan Sintoo itu pertama mengutamakan penyerangan dan kedua pembelaan d iri, tetapi In Tiong menggunakannya pertama untuk membela diri, lalu sebagai pen yerangan. Belum rapat mulutnya Tan Hong atau Touw Liong Tjoentjia sudah menyerang pula den gan cepat sekali, umpamakata kilat menyambar. Itulah dia gerakan "Burung aneh berjumpalitan," goloknya bagaikan men yapu mengikuti gerakan tubuhnya itu. In Tiong melihat bahaya mengancam, ia berkelit sambil melemparkan goloknya. Itulah salah satu tipu dari Loohan Sintoo, untuk membebaskan diri dari ancaman bahaya. Goloknya itu, meskipun dilemparkan, dilemparkannya ke arah musuh, untuk menyeran g, sesudah mana, dapat menyambarnya pula, untuk menangkap. Touw Liong Tjoentjia kaget hingga dia berteriak. Dia mencoba berkelit. Kesudahan nya dia dapat menolong lehernya tetapi tidak pundaknya, yang keserepet golok, hingga dagingnya kena terpapas! Pek Moko kembali kaget, setelah itu ia bernapas lega. Ia menganggap In Tiong sud ah bebas dari ancaman bahaya. Sebenarnya hendak ia majukan dirinya. Tapi dugaannya itu keliru. Touw Liong Tjoentjia itu ganas sekali, tanpa memperdulikan yang dia sudah terluk a, begitu habis terpapas pundaknya, begitu dia membacok pula, hingga tahu-tahu g oloknya yang beracun itu sudah berkilau berkelebat di depan muka lawannya! Dalam saat sangat berbahaya itu, sebelah tangannya In Tiong berkelebat, lalu ter dengar suara yang nyaring keras. Sebab sebelah tangannya Touw Liong Tjoentjia te lah terpatah. Tapi di samping itu, lengan In Tiong sendiri mengeluarkan darah, k arena dagingnya telah tergores golok musuh, lukanya panjang tiga dim lebih! Dalam lukanya yang hebat itu, Touw Liong Tjoentjia masih sempat tertawa menyerin gai, seraya menarik tangannya yang patah itu, ia kata pada lawannya: "Kau membuatnya aku bercacad tetapi juga jiwamu tidak bakal terlindung lagi!" Mendengar itu orang semua kaget bukan main. In Tiong tidak menggubris kata-kata orang, dengan tindakan terhuyung ia berlari untuk pulang. Dari luka di lengannya itu, darah terlihat me netes jatuh. Touw Liong Tjoentjia itu terhajar pukulan Taylek Kimkong tjiang, lengannya tidak dapat dilindungi lagi, tetapi dia membalas dengan goresan goloknya yang beracun, racun yang terbuat dari campuran kotoran badak da n burung serta ilar ular berbisa dari pulau Benghee To di Laut Timur. Setahunya dia, tanpa obat pemunah dari dia sendiri, luka itu tidak dapat disembuhkan lain orang... Isterinya In Tiong, ialah Tamtay Keng Beng, segera memegangi suaminya itu, untuk diantar pulang. Lebih dulu ia sudah merobek ujung bajunya, untuk membalut luka suaminya. Telah terlihat sebuah garis hitam menaik pada lengan yang terluka itu. Menampak itu Tan Hong segera berkata kepada Tamtay Keng Beng: "Lekas ajak dia be ristirahat di kamar samedhi! Kau bantu dia mengempos semangatnya, untuk mencegah menjalarnya racun itu!" Tamtay Keng Beng pun seorang ahli, ia menginsafinya, garis hitam itu adalah racu n yang sedang bekerja, jikalau racun itu menyerang ke uluh hati, habis sudahlah lelakon suaminya. Maka itu ia berlari-lari pulang seraya mempepayang suaminya itu. Menyaksikan kesudahannya pertempuran itu, Tjie Hee Toodjin tertawa berkaka k. "Dalam babak ini dua-dua pihak sama-sama mendapat luka, kita boleh anggap ini se ri!" katanya. "Bagaimana dengan babak yang kedua?" Hek Pek Moko berlompat maju berbareng. "Kali ini kami berdua saudara yang menggantung merek!" berkata mereka. Kioepoanpo mengasi dengar tertawa dingin, dengan tindakan pelahan ia maju ke dalam gelanggang. "Hm!" katanya, tetap mengejek. "Telah lama aku mendengar tentang dua batang tong kat mustika dari Hek Pek Moko, tongkat mana berharga mahal seperti harganya sebu ah kota, maka itu sekarang aku si perempuan tua ingin main-main dengan kamu. Marilah kita bertaruh dua kali!" "Bertaruh apakah?" menanya dua saudara itu. "Yang pertama ialah bertaruh jiwa, dan yang kedua bertaruh hadiah!" menyahut Kio epoanpo dengan jumawa. "Hadiah itu ialah senjata-senjata di tangan kita! Aku sangat penuju dua batang tongkat kamu itu!" Hek Pek Moko tertawa dingin. "Jikalau kau ada mempunyakan kepandaian, kau ambillah senjata kami ini!" kata sa tu di antaranya. "Kami tidak memandang berharga kepada tongkat kami ini!" Kioepoanpo membawa sikapnya yang tenang. "Tentang tongkatku ini," katanya, pelahan, sabar, "meski ini bukannya tongkat ya ng dapat dipandang berharga, sebenarnya adalah benda mustika. Maka aku percaya pertaruhan ini tidak akan merugikan kamu! Jikalau kamu tidak percaya, kamu cobailah satu kali, nanti baharu kamu merasa!..." Hek Pek Moko tidak menjawab hanya mereka mengangkat tongkat mereka ke dada mereka. Kioepoanpo belum habis dengan kata-katanya itu tatkala tahu-tahu tongkatnya dika si melayang, maka itu terdengarlah satu suara benterokan seperti nyaringnya emas atau kumala, sedangkan sinar hijau dan putih berkelebat lenyap. Akibatnya itu ialah Hek Pek Moko dan Kioepoan- po sama-sama mundur sendirinya tiga tindak! Di antara mereka bertiga itu adalah Pek Moko yang tenaga dalamnya terlemah, ia l antas merasakan kedua belah lengannya sesemutan dan baal. Karena ini sekarang insaflah ia akan liehay nya Kioepoanpo K ongsoen Boe Houw dari bukit Aylao San. Kongsoen Boe Houw sendiri pun terkejut. Sebelumnya ini, belum pernah ia menghada pi lawan yang tenaga dalamnya seimbang dengan tenaga dalamnya sendiri, yang dapa t menangkis tongkatnya seperti kali ini, sampai ia mesti mundur tiga tindak. Kar enanya, ia pun menginsafi hebatnya kedua saudara Moko itu. Coba ia tidak mempertahankan diri dengan kuda-k uda berat badan "Seribu Kati," mungkin ia terhuyung roboh. Habis mundur itu, Hek Pek Moko sudah lantas bergerak pula. Hek Moko dengan tanga n kiri di depan menotok kepada nadi lawan, dan Pek Moko dengan tangan kanan, men otok ke jalan darah hiat-hay. Kedua tongkat, dengan sinarnya hijau dan putih, be rkelebat sama gesitnya, bagaikan halilintar. Selagi kawan- kawannya si wanita tua terperanjat untuk gerakan luar biasa sebat itu, si wanita tua sendiri memperdengarkan seruan nyari ng, tongkatnya dikasi bergerak turun. Itulah jurus "Pengsee lokgan," atau "Burung belibis turun di pas ir datar." Pertama dengan itu dihalau serangannya Pek Moko, lalu menyusul itu ujung tongkat menyambar ke atas, ke mukanya Hek Moko, totokan siapa telah dapat dihindarkan de ngan satu gerakan tadi. Tongkat yang berkepala seperti burung dara itu bahagian pacuhnya mematuk muka lawan yang berkulit hitam itu. Hebat serangannya Kioepoanpo ini. Ia pun percaya bahwa ia bakal berhasil. Ia han ya keliru menduga. Kalau ia menyerang Pek Moko, mungkin ia dapat mencapai maksud nya. Tapi ia sudah mengarah Hek Moko. Maka "Traang!" tongkatnya itu kena ditangk is tongkat Lekgiok thung. "Jangan mengharap terlalu banyak!" mengejek Hek Moko, habis mana tongkatnya itu terus bersatu pula dengan Pekgiok t hung, tongkat putih, dari Pek Moko, saudaranya. Maka kedua tongkat itu seperti mengurung tongkat lawannya. Segera setelah itu beberapa jurus berlangsung. Hebat perlawanan dari Kioepoanpo, yang berulang kali memperdengarkan seruan-seruan dari kemurkaan, ujung tongkatnya bergerak ke segala penjuru. Hek Pek Moko nampaknya berlaku sabar, mereka tidak menyerang hebat, lebih banyak mereka membela diri, karena itu, berselang sekian lama, kekuatan mereka berimbang saja. Hanya benar, sama-sama mereka itu tidak berani berlaku alpa. Semua hadirin menjadi kagum, mereka menonton dengan men-jublak. Dalam saat itu kembali terdengar benterokan yang nyaring, lalu suara itu sirap. Segera terlihat apa yang menyebabkan itu. Kioepoanpo memegang tongkatnya di tengah-tengah dengan kedua belah tangannya. Ujung tongkat itu, yang kiri menahan tongkat Lekgiok thung dari Hek Moko, yang kanan menahan tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko. Maka mereka merupakan segi tiga, sebab ketiga tongk at itu bagaikan nempel satu pada lain. Ketiga orang itu berdiri diam laksana patung. Mereka tapinya tidak usah berdiam lama, atau pada mereka segera terlihat perubahan. Masing-masing embun-embunan me reka sudah lantas mengeluarkan uwap seperti asap yang mengepul naik, warnanya pu tih. Tjie Hee Toodjin dan Thio Tan Hong terkejut bukan main. Mereka ketahui baik sekali ketiga orang itu, dalam dua rombongan, te ngah mengadu tenaga dalam. Kalau terus mereka saling berkuat hingga semangat hab is, mereka bakal bercelaka dua-dua pihak, yang menang bakal menderita sama seperti yang kalah. Sudah diketahui, liehaynya Kioepoanpo cuma di sebawahan Tjie Hee Toodjin. Dia di undang Tjie Hee, untuk membantui kalau-kalau Siangkoan Thian Ya turun tangan sen diri, supaya si imam mendapat tenaga bantuan yang berarti. Siapa tahu, wanita ko sen itu menemui tandingan dalam dirinya Hek Pek Moko. Inilah tidak disangka sama sekali. Hebat akibatnya apabila wanita itu dirobohkan Hek Pek Moko, karena itu berarti lenyapnya bantuan yang dibuat andalan. Thio Tan Hong bersenyum. "Kita tengah melatih silat, untuk itu tidak usalah kita main mati atau hidup!" k atanya. "Baiklah babak ini ditutup dalam keadaan seri." Tan Hong ketahui dengan baik, apabila pertempuran itu berlangsung, Hek Pek Moko pasti bakal menang dan Kioepoanpo akan mati letih tetapi pun dua saudara itu bak al mendapat sakit hebat mungkin bercacad karenanya. Inilah apa yang diharap-harap Tjie Hee Toodjin, maka itu segera ia m aju sambil membawa kipasnya. "Benar!" katanya. Ia bertindak dengan sabar, tetapi toh sebentar saja ia s udah berada di sisinya Kioepoanpo, cuma bersangsi sedetik, kipasnya itu dipakai menyelak di antara senjatanya orang -orang yang lagi berkutat itu. Hek Pek Moko bertiga ada orang-orang liehay, tubuh mereka berdiri tegar bagaikan gunung, ketika Tjie Hee mengerahkan tenaganya, mereka itu tetap tidak bergerak, adalah tubuh si imam sendiri yang bergoyang seperti terhuyung. Kejadian ini mem buat mukanya Tjie Hee menjadi merah. Ia lantas menyedot hawa, kembali ia majukan kipasnya, kali ini ia menggunai tenaga tak setengah hati seperti tadi. Ia penas aran, hendak ia memaksa memisahkan tiga orang itu. Justru itu pedangnya Thio Tan Hong melesat menyelak ke arah ketiga jago itu, dia sendiri sembari tertawa mem- perdengarkan suaranya: "Biarlah aku membantu kepada tootiang1." Tjie Hee Toodjin menggeraki kipasnya, untuk mengangkat tongkatnya Kongsoen Boe Houw, dan pedangnya Tan Hong menarik melepaskan kedua tongkatnya Hek Pek Moko. Dengan begitu, terpisahlah ketiga orang yang lagi mengu ji tenaga dalam mereka itu. Kioepoanpo dan Hek Pek Moko mengawasi satu kepada lain dengan muka mereka merah padam saking mendongkolnya, tetapi mereka bernapas sengal-sengal, tidak dapat mereka membuka suara, karenanya terpaksa mereka pada mengundurkan diri. Thio Tan Hong bersenyum pula. "Sungguh sukar dicari ketika baik seperti ini," berkata dia sabar, "karena itu, tootiang, berhubung dengan kedatangan tootiang ini, aku yang muda ingin sekali meminta pengajaran daripa damu." Tjie Hee Toodjin mengangkat kepala ber-dongak ke langit, terus ia tertawa. Iapun membawa sikap yang sabar sekali. "Dulu hari pernah hingga tiga kali pintoo memohon pengajaran dari kakek gurumu untuk memperoleh kemajuan," ia menyahuti, "sayang hingga kali ini tidak kuberjodoh menerima penga jaran itu. Katanya kamu suami isteri sudah mendapatkan pelajaran ilmu silat peda ng tergabung dari Hian Kie Itsoe, baiklah, silahkan kamu berdua maju, supaya den gan begitu pintoo jadi mendapat membuka pandangan mataku!" Tjie Hee mengetahui dengan baik Thio Tan Hong sudah maju jauh sekali, ia telah m elewati paman-paman gurunya, akan tetapi mengingat dalam soal derajat dia terleb ih tinggi dua tingkat dari orang she Thio itu, sengaja dia mengucapkan kata-kata nya itu. Dia tidak sudi yang di muka orang banyak itu dia nanti kehilangan kehor matan dirinya. In Loei tengah me-ngempo anaknya, ia menyender di pintu, apabila ia mendengar su aranya si imam, sepasang alisnya yang lentik bangun berdiri. "Sin Tjoe, mari kau empo adik seperguruanmu ini!" ia kata pada muridnya. Belum lagi Nona Ie menghampirkan, Tan Hong sudah mencegah. "Adik In, tak usah kau maju!" demikian katanya. Sin Tjoe pun ketahui, baharu habis melahirkan, tenaganya In Loei masih belum pul ih, maka itu, ia turut berkata: "Soebo, biarlah aku saja yang menggantikan kau, jikalau aku gagal, baharu soebo yang maju..." Keng Sim terkejut, hingga ia menanya: "Kau yang maju?" Ia tahu liehaynya Tjie He e Toodjin itu, yang ilmu silatnya sangat terkenal, yang derajatnya telah sama ti ngkat dengan Hian Kie Itsoe dan Siangkoan Thian Ya, maka itu, bagaimana dapat si nona mengajukan diri? Bukankah itu sama seperti cengcorang yang membentur kereta? Karenanya, hendak ia mencegah. Nona Bhok Yan di pinggiran menyaksikan lagaknya pemuda she Tiat ini, pada matanya lantas s aja nampak sinar tak puas. Tan Hong bersenyum pula ketika ia berkata kepada muridnya: "Sin Tjoe, tidak usah kau maju. Marilah berikan pedangmu padaku." Nona Ie bersangsi sejenak, lantas ia meloloskan pedangnya, dengan hormat dan pel ahan ia serahkan pedang itu kepada gurunya. Tan Hong menyam-buti Tjengbeng kiam, habis mana ia menghunus pedangnya sendiri, pedang Pekin kiam. Setelah ia mengebaskan kedua pedang itu, berkatalah ia dengan nyaring: "Ilmu silat pedang tergabung dari partaiku tidak selamanya mesti dimai nkan oleh dua orang, dapat juga oleh seorang orang bersendirian, maka itu silahkan tjianpwee memberikan pengajar an kepadaku." Semenjak beberapa tahun ini Thio Tan Hong sudah mencapai puncaknya kemahiran, ma ka itu apabila ia menghadapi musuh, tidak sudi ia menggunai senjata tajam, akan tetapi sekarang ia menghunusnya sampai dua batang, itulah menandakan lawannya, T jie Hee Toodjin, ia pandang tinggi. Meskipun demikian, Tjie Hee masih berlagak, dia menunjuki sikap juma-wa. Habis mengibas kipasnya, dia berkata dengan tawar: "Baiklah, kau boleh maju!" Tan Hong tidak segera menerjang. Ia sebaliknya berkata: "Kakek guruku pun pernah memuji ilmu silat pedang dari tootiang1. Silahkan tootiang menghunus pedangmu i tu supaya aku yang terlebih muda dapat belajar kenal!" "Benarkah?" bertanya Tjie Hee. "Benarkah kakek gurumu pernah memuji demikian? Ah , sayang ia sekarang tengah menutup diri. Sekarang dengan siapakah dapat aku men gadu pedang? Thio Tan Hong, sudah, jangan kau banyak bicara lagi, kau majulah!" Dengan menggoyang-goyang kipasnya, imam ini tetap menjual lagaknya. Dia nampak s angat jumawa. Tan Hong mendongkol juga, tetapi ia dapat mengendalikan diri, dari pada menunjuk i kemur-kahan, ia justru tertawa. Ia membalingkan pedangnya hingga terdengar sua ra mengaung. "Jikalau begitu, maafkan, aku yang muda berlaku kurang hormat!" katanya kemudian dengan dingin. Ia lantas saja menyerang dengan Tjengbeng kiam, mengarah jalan darah honghoe hiat. Tjie Hee membawa lagaknya sangat angku tetapi sebenarnya tidak berani ia memanda ng enteng kepada orang she Thio ini, maka itu ia sudah lantas pentang kipasnya. Itulah kipas bukan sembarang kipas, sebab terbuatnya daripada emas tercampur baj a yang telah berulang kali dileburnya, semua tulangnya berjumlah belasan batang, kecuali bulunya, yang merupakan kipas, tulan g-tulang itu tajam seperti jarum. Jadi itulah senjata yang istimewa sekali. Selagi Tjie Hee mengebas, maka ber-kelebatlah suatu sinar hijau. Imam itu te rus tertawa berkakak. "Sepasang pedang tergabung!" serunya. "Tidak, tidak! Ah!..." Dan ia menjadi terk ejut. Sebenarnya ia hendak membilang: "Sepasang pedang tergabung, kiranya sebegini saja!" Tapi tahu-tahu sinar hijau itu seperti sudah mengitarkan kepalanya, menyambar dan berba-lik, menyusul mana, sinar putih pun berkelebat, hingga semua jalan darahnya seperti telah terkurung kedua pedang itu. Dalam keadaan seperti itu, Tjie Hee memutar kipasnya ke kiri dan kanan, sambil m engempos semangat, ia membuat perlawanan. Sekarang tidak lagi ia membuka mulutny a. Thio Tan Hong berlaku bengis, satu kali ia sudah mendesak, ia ulangi itu tak hen tinya. Tjie Hee melawan, tiga kali ia membalas menyerang dengan "Pekkhong tjiang," pukulan "Memukul Udara," sia-sia saja, dia tidak dapat mengundurkan musuhnya, di a tetap didesak, malah semakin keras. "i Tjianpwee, apakah kau masih tidak hendak menghunus pedangmu untuk memberi pen gajaran padaku?" bertanya Tan Hong kemudian, sambil tertawa dingin. Pertanyaan i tu pun dibarengi sama serangan Tjengbeng kiam ke jalan darah siangkioe hiat dan pedang Pekin kiam ke jalan darah lengkie hiat. Tjie Hee menangkis dengan kipasnya, dengan tangan kirinya juga, tetapi justeru itu, sinar pedang lawan bagaikan bert ukar kedudukan, sinar hijau dan sinar putih berbelit, menyambar secara tidak disangka-sangka. Dalam keadaan seperti itu, cepat-cepat si imam menggeser tubuh dengan tipunya "Memindahkan wujud, menukar kedudukan." Kipasnya bergerak d engan sebat tetapi tidak urung ia merasakan sambaran hawa dingin kepada kepalany a, sebab pedangnya Tan Hong lewat di atasan kepalanya itu, hampir saja mengenai kulit kepalanya. Baharu sekarang imam ini terkejut, maka itu sembari memutar tubuh, dengan sendir inya ia menghunus pedangnya, yang sejak tadi tergantung saja dipinggangnya, teru s dengan pedang itu ia menangkis ke kiri dan kanan. Secara begini saja maka dapa tlah ia membuyarkan serangan bertubi-tubi. Diam-diam ia mengeluarkan pelu dingin. Selama itu Pek Moko sudah dapat beristirahat, ia menonton dengan asyik sekali, k apan ia telah menyaksikan si imam terdesak demikian rupa, ia bertepuk-tepuk tang an, ia tertawa besar, dari mulutnya keluar ejekan: "Hai, imam busuk hidung kerba u, kau masih banyak tingkah? Hahaha! Kau inilah yang dibilang, diundang minum ar ak kau tidak sudi minum, sekalinya, kau minum arak dendaan! Lihat, bukankah kau terpaksa dengan jinak menghunus pedangmu juga?" Tjie Hee Toodjin tidak dapat melayani orang yang menghinanya itu. Tan Hong sudah melanjuti serangannya yang hebat-hebat, terpaksa ia mesti melayani, untuk membela dirinya, guna menjaga kehormatannya... Walaupun ia berada di pihak terlebih unggul, Thio Tan Hong tidak berani berbesar hati hingga menjadi alpa. Bahkan di dalam hatinya ia berpikir: "Imam tua ini da pat melayani tiga belas jurusku yang istimewa hanya dengan menggunai kipasnya, p antaslah kakek guru menyebutkannya dia sebagai jago dari kalangan kelas satu." Pula Tjie Hee Toodjin, setelah tambah pedang di tangannya, kedudukannya tidak la gi lemah seperti seber-mula. Pedangnya itu hitam tetapi itulah bukan pedang semb arang, pedang itu terbuat dari besi pilihan, maka juga, meskipun Tan Hong bisa m emapasnya hingga bercacad tetapi tak dapat dibabat kutung. Tjie Hee berkelahi dengan memutar pedangnya itu yang seperti menggulung tubuhnya , dengan ilmu silatnya itu ia hendak membikin pedang lawan turut tergulung juga. Ia mempunyai tenaga dalam yang hebat sekali, maka juga dengan pedangnya itu jarang ia menikam, lebih banyak ia menggempur. Setiap menyerang, tenaganya jadi berlipat kali besarnya. Tan Hong bisa mengerti cara berkelahi dari lawannya ini, ia berlaku tenang tetap i gesit, setiap serangan ia buyarkan, saban-saban ia membuatnya pedang lawan men tal balik. Maka terkejutlah Tjie Hee. Maka imam ini jadi berlaku hati-hati, tena ganya senantiasa dikerahkan. Beberapa kali ter- tampak Tjie Hee lebih unggul, selalu ia mengurung, atau di lain pihak ia berbali k terdesak, hingga keduanya menjadi berimbang. Menyaksikan pertandingan itu, Hek Pek Moko dan Ouw Bong Hoe menjadi kagum bukan main. Di matanya ahli, terlihat Tjie Hee Toodjin lebih mahir di dalam ilmu dalam, berk at usianya yang tinggi dan latihannya lebih lama, akan tetapi di samping itu Tan Hong, menang dalam kemahiran meng-gunai pedang, dengar begitu, berselang lagi s etengah jam, mereka tetap berimbang. Selama itu Kioe-poanpo telah dapat beristirahat, sesudah kesegarannya pulih, ia habis sabar. Sambil menggederuk dengan tongkatnya, ia berseru: "Apakah pantas pe rbua- tan Thio Tan Hong ini, sebagai yang termuda dia menolak yang terlebih tua? Adaka h ini caranya menyambut tetamu? Marilah kita menyerbu ke dalam untuk menanya ket erangan kepada Hian Kie si tua bangka?" "Akur!" menyambut Touw Liong Tjoentjia. "Tjie Hee Tooyoe, marilah kita mencari H ian Kie, untuk bicara dengannya! Buat apa kau melayani segala anak muda?" Tjie Hee ada satu ketua partai dia melayani Tan Hong dan mereka sama tangguhnya, itu artinya ia sudah kehilangan muka, maka kalau nanti ia keliru menggeraki tangan atau kakinya, ia bisa mendapat malu besar. Karena ini, kawan-kawannya itu menggunai siasatnya itu, berteriak-teriak Baharu sekarang Tjie Hee Too-djin terkejut, maka itu sembari memutar tubuh, deng an sendirinya ia menghunus pedangnya, yang sejak tadi tergantung saja di pinggan gnya, terus dengan pedang itu ia menangkis ke kiri dan kanan. untuk menyerbu saja ke dalam. Dengan siasatnya ini, mereka itu hendak menolongi Tjie Hee berbareng menyerbu beramai-ramai, untuk mencoba mendapat kemenangan den gan cara mengeroyok itu. Hek Pek Moko gusar sekali. "Apakah kata-kata kamu tidak ada hitungannya?" mereka menegur. "Lootjianpwee Hia n Kie tengah bersamedhi, bukankah tentang itu sudah diterangkan semenjak siang-s iang? Sekarang kamu hendak menyerbu ke tempat suci, apakah kamu sengaja hendak m empermainkan orang?" Kioepoanpo meleng-gak, dia tertawa besar. "Tidak salah!" jawabnya nyaring. "Memang sengaja kami hendak mempermainkan kamu! " Lalu dengan galak ia menyerang. Maka dengan begitu, tongkatnya benterok pula dengan kedua to ngkat dua saudara Moko itu. Touw Liong Tjoentjia telah kehilangan sebelah tangannya, ia masih tetap gagah, ia pun lantas menerjang dengan sebelah tangannya yang lainnya, yang memegang golok. Tapi segera ia dirintangi oleh Kimk auw Siantjoe Lim Sian In, yang menangkis golok dengan gaetannya. Ouw Bong Hoe lantas maju, untuk membantui isterinya. Atau mendadak ia merasakan samberan angin yang keras sekali, lalu totokan jari tangannya kena dibikin menta l balik. Sebab ia segera dihalangi oleh Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe hay, Ko enloen San, siapa punya ilmu silat "Tek Seng Tjioe," atau "Tangan Memetik Bintang," liehay sekali. Ittjiesian dari Ouw Bong Hoe tidak dapat menakluki tangan yang liehay dari musuh itu. Sampai di situ, terjadilah pertempuran yang kacau itu. Untuk sementara, Hek Pek Moko dan Ouw Bong Hoe suami isteri kena didesak lawan. Musuh menyerang dengan sangat hebat, sampai mereka itu seperti sukar dihalang-halangi. Menampak demikian, Tan Hong bergelisah juga. Bukankah kakek gurunya tengah bersamedhi dan belum saatnya untuk mereka itu keluar dari kamar? Bagaimana jikal au samedhi mereka sampai kena dikacaukan musuh ini? Tengah ia berpikir itu, terden gar Tjie Hee Toodjin bersiul panjang, pedangnya menyabet, kipasnya menangkis, untuk membikin buyar lingkaran pedangnya . Lalu imam itu tertawa dan berkata: "Haha, Tan Hong! Jikalau kau tetap tidak he ndak memimpin aku menemui kakek gurumu, akan aku sendiri yang pergi menghunjuk h ormat padanya! Kau maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau lebih lama pula!" Inilah Tan Hong tidak menyangka. Siapa nyana, ini imam kenamaan juga hendak berl aku tak mengenal aturan! Ia menjadi mendongkol, ia tertawa dingin. Ia berkata de ngan nyaring: "Kau telah belajar kenal dengan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, unt uk apa kau mencari pula kakek guruku?" Itulah kata-kata yang berarti: "Aku sendiri kau tidak mampu robohkan, mana tepat untukmu menemui kakek guruku?" Lebih tegas, itulah sindiran. Mukanya Tjie Hee menjadi merah padam. Ia tertusuk sindiran itu, hatinya menjadi panas sekali. Justeru Tan Hong menikam padanya, ia menangkis, lalu ia membalas, untuk mendesak. Hendak ia nerobos terus. Sebisa-bisa Tan Hong hendak merintangi. Ia tidak bisa berbuat banyak, sebagaiman a Tjie Hee pun kewalahan. Nyata mereka berdua berimbang kekuatannya. Untuk kerugian pihaknya, Tan Hong kekurangan In Tiong suami isteri serta Tamtay Biat Beng. Menyaksikan semua itu, In Loei tidak melihat lain jalan dari pada turu t turun tangan. Musuh sudah merangsak mendekati pintu besar. Lantas ia menyerahkan bayinya pada Bhok Yan. Ia kata: "Ka u berdua adikmu pergi menyingkir ke dalam." Bhok Yan menyam-buti, sembari berbuat begitu, ia melirik kepada Keng Sim, juster u si anak muda menemani Sin Tjoe, bahkan pemuda itu berkata dengan halus: "Adik Tjoe, kau telah terluka, sebaliknya lawan begini ganas, tidak dapat kau berkelah i pula, baik kau pun menyingkir ke dalam..." Sin Tjoe seperti tidak mendengar perkataan anak muda itu, dengan berdiri di damp ing gurunya, ia memasang mata ke medan pertempuran. Tepat di itu waktu, sambil memperdengarkan seruannya, In Loei mengasi melayang t iga buah kimhoa atau bunga emasnya. Touw Liong Tjoentjia tengah membacok Lim Sian In ketika sebuah bunga emas menyam bar goloknya tanpa ia berdaya mengelakkannya. Cepat sekali menyambarnya bunga em as itu. Setelah terdengar suara "Traang!" golok itu mental sedikit. Lim Sian In berlaku cerdik dan sebat, batal menangkis bacokan, ia putar gaetanny a, karena mana tidak ampun lagi lengannya lawannya itu, Touw Liong Tjoentjia, kena tergores panjang. Bunga emas yang kedua dari In Loei menyambar kepada Tek Seng Siangd jin. Imam ini membalik sebelah tangannya, hendak ia membanggakan kepandaiannya menyambuti senjata rahasia. ia t erkejut tatkala kupingnya mendengar suara meraum dari senjata rahasia itu. Selagi hatinya terkesiap, tangannya dibalik pula. Maka batallah ia menyambuti, sebaliknya, menyerang denga n pukulan "Tangan Bintang kecil" semacam pukulan "Memukul Udara Kosong." Maka itu, dengan masih me raum, kimhoa itu mental ke lain jurusan, ke samping. Celaka adalah Poan Thian Lo, dia seperti kena dibokong. Tepat kimhoa itu mengena i jalan darahnya, hingga tidak ampun lagi, di itu detik juga dia roboh terguling . Tek Seng Siangdjin mengeluarkan peluh dingin menyaksikan liehaynya bunga emas itu. Coba tadi ia benar-benar menyambuti senjata rahasia it u, celakalah dirinya. Sementara itu bunga emas yang ketiga melesat ke arah Tjie Hee Toodjin. Imam ini liehay, ia dapat melihat senjata raha sia datang ke arahnya. Begitu kimhoa itu datang dekat, ia menabas dengan pedangn ya. Sedetik itu juga, kimhoa itu terbacok pecah menjadi dua potong. Walaupun dem ikian, sama-sama barang logam, bunga emas itu pecah dengan menghamburkan lelatu apinya. "Hebat!" pikir si imam. Sin Tjoe mendelong menyaksikan caranya gurunya itu menggunai senjata rahasianya. Ia tadinya menduga, guru itu akan menyerang ke satu jurusan saja. Ia pun kagum untuk tenaganya bunga emas itu, yang membuatnya musuh gentar. Biarnya ia tidak dapat mencapai maksud hatinya. In Loei dengan bunga emasnya itu dapat juga menghambat desakannya musuh. Sin Tjoe menjadi gatal tangan. Ia lantas saja menelad gurunya itu dan menimpuk d engan segenggam bunganya. Ia menimpuk dengan menyontoh timpukannya Ismet sebagaimana caranya Ismet melayani Hek Pek Moko baru-baru ini. Dua belas tangkai bunga emas segera menyambar musuh-musuhnya. Sayang tenaga dalamnya masih belum sempurna. Separuh bunga itu diruntuhkan Tjie Hee Toodjin, dan yang separuh pula oleh Kioepoanpo. H asilnya satu-satunya ialah ia pun mengacaukan lawan, yang rangsakan-nya kembali terhalang. In Loei melihat caranya muridnya itu menimpuk, ia girang berbareng kagum. "Kepandaianmu melepaskan senjata rahasia tak usah diajari aku terlebih jauh!" be rkata ia. Biar bagaimana, rintangan hanya untuk sementara. Dipimpin Tjie Hee Toodjin dan K ioepoanpo, pihak menyerang mulai merangsak pula. Lekas juga mereka tiba di depan In Loei. Bhok Yan lantas menyingkir ke dalam seraya memeluki bayinya In Loei it u, Bhok Lin mengikuti ia. Keng Sim memandang Sin Tjoe, ingin ia melihat aksinya nona itu. Di saat ia henda k membuka mulut, tahu-tahu si nona sudah merampas pedang ditangannya seraya nona itu membilang dengan tawar: "Pergi kau melindungi Nona B hok, pedangmu ini hendak aku pinjam sebentaran!" Heran Keng Sim hingga ia melengak. Tapi ia tidak bisa berdiam saja. Kioepoanpo t elah tiba di dekatnya, ia segera diserang, karena mana, lekas-lekas ia mengundur kan diri beberapa tindak. Hampir itu waktu, benterokan pedang yang keras terdengar nyaring. Dalam herannya, Keng Sim menoleh ke arah suara pedang itu. "Benterokan sudah terjadi di antara pedangnya Sin Tjoe dengan pedangnya Tjie Hee Toodjin. Imam ini dengan sengit menyerang Tan Hong, perintang satu-satunya yang menghambat penyerbuannya ini. Atas serangan itu, Tan Hong menggeraki sepasang pedangnya. Ju stru itu, Sin Tjoe tengah menikam ke dada si imam yang liehay. Kedua senjata segera ben-terok. Kesudahannya itu ialah Tjie Hee Toodjin terhuyung mund ur beberapa tindak. Itulah hebatnya siangkiam happek atau pedang tergabung dari Hian Kie Itsoe. Tan Hong bergerak, Sin Tjoe bergerak juga. Mereka tidak berjanji dulu tetapi sama tu juan mereka, dengan sendirinya mereka menggunai tipu silat pedang yang liehay it u. Maka Tjie Hee terancam bahaya, terpaksa ia menangkis sambil mundur, mundur se cara sangat kesusu, tanpa teratur, hingga ia terhuyung. Kalau umpama si imam men angkis Sin Tjoe, ada kemungkinan dia dapat mematahkan pedang Tjengkong kiam si nona, di lain pihak, d ia bakal menjadi kurbannya sepasang pedang Tan Hong. Kalau toh dia melayani Tan Hong sendiri, sukar dapat dicegah pedang si nona membuat liang di d adanya, menancap di jalan darah soankie hiat. Karena itu, terpaksa dia mengundur kan diri. "Bagus!" berseru Tan Hong, yang memuji muridnya itu. Walaupun kalah tenaga dalam , murid ini toh bisa merendengi Tan Hong, gurunya itu, untuk melayani Tjie Hee T oodjin. Setelah itu Nyonya Tan Hong mainkan kedua jari tangannya, ia melepaskan pula bun ga emasnya. Kali ini ia berhasil menghalang kembali rangsakan musuh. Bukankah se telah si imam terpegat, Kioepoanpo dan Tek Seng Siangdjin repot juga dengan rang sa-kannya itu? Sudah menghalang Tjie Hee Toodjin, Tan Hong mengambil kesempatan berlompat kepada Kioepoanpo , guna menolongi Lim Sian In dari desakan Kongsoen Boe Houw. Lalu, dengan suara nyaring dan lancar, ia perdengarkan suara seperti bersenandung: "Tega melihat di gunung tersohor hawa peperangan mengkedus naik! Maka saksikanlah bagaimana pedang mustika mengundurkan sekalian iblis! Tjie Hee Tootiang, apabila tetap kau tidak tahu mun dur dan tidak tahu maju, jangan sesalkan aku jikalau aku nanti berlaku tanpa sun gkan-sungkan lagi!" Tjie Hee Toodjin sudah seperti menunggang harimau, untuk turun sulit sekali. "Baiklah!" ia menjawab. "Ingin aku melihat kau dapat merintangi aku masuk ke dalam atau tidak!" Imam ini segera mengibas dengan kipasnya. Ia bukan segera menyerang hanya dengan itu mengatur diri, hingga kawan-kawannya lantas merupakan seperti ular ya ng panjang. Barisan itu Tiangtjoa Tin, sebuah barisan lantas dipimpin Kioepoanpo , yang maju di paling depan dengan Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia m erangsak dari kiri dan kanan. Tjie Hee sendiri menempatkan diri di tengah untuk memimpin lain-lain kawannya. Hebat cara menerjang ini, dalam serin-tasan, mereka berhasil maju hingga jauhnya tiga tombak. Menyaksikan rangsakan itu, Tan Hong tertawa dingin, berulangkah ia mengasi dengar ejekannya, "Hm!" Lalu dengan pedangnya ia menuding. Tepat tempo ia hendak melakukan penyera ngan membalas, kupingnya mendapat dengar siulan panjang yang berlaku umpama kata naga bersenandung. In Loei sudah lantas berseru: 11 Soehoe datang!" Belum berhenti suaranya In Loei ini, atau dua orang terlihat berlari-lari mendat angi, larinya sangat pesat. Mereka adalah sepasang priya dan wanita, ialah gurun ya Tan Hong dan In Loei itu, yaitu Tjia Thian Hoa dan Vap Eng Eng. Tjia Thian Hoa tiba paling dulu, pedangnya dihunus. Dengan nyaring ia berseru: "Siapa berani datang mengacau ke Tjhong San ini? Lekas menyi ngkir!" Hebat seruan itu, banyak orangnya Tjie Hee Toodjin yang merasa kupingnya sakit... Tek Seng Siangdjin berdua Touw Liong Tjoentjia tidak kenal Tjia Thia n Hoa dan Yap Eng Eng, mereka tertawa menghina, mereka menantang. "Sungguh jumawa!" kata mereka. "Kepandaian apa kau mempunyai maka kau berani men yuruh aku menyingkirkan diri?" Lalu, dengan masing-masing golok dan pedangnya, m ereka menyerang, menggencet Thian Hoa. Di samping Tjia Thian Hoa ada Yap Eng Eng, isterinya, yang bergelar Hoeithian Li onglie, si Puteri Naga Terbang ke Langit, yang ilmunya enteng tubuh paling jempo l, menyaksikan suaminya hendak digencet, ia berlompat maju seraya menggeraki pedangnya, hingga ia dapat mendahului suaminya. Touw Liong Tjoentjia mengutamakan Thian Hoa satu orang, ia tidak menduga atas da tangnya si nyonya, maka bukan main kagetnya ketika tahu-tahu lengannya telah tertusuk, hingga saking sakitnya, ia mesti melepaskan cekalannya kepada pedangnya di luar keinginannya. Tek Seng Siangdjin menyaksikan itu, ia terperanjat. Justeru itu, ia menjadi bert ambah kaget. Sebab Thian Hoa, tanpa menghiraukan gerakan isterinya, terus menyer ang, pedangnya membabat ke arah kepala lawan. Tabasan ini ditimpali serangan isteriny a. Dua-dua Tek Seng dan Touw Liong merasakan sambaran angin dingin di kepala dan muka mereka, lekas-lekas keduanya berkelit sambil men dak, meski begitu, ketika mereka merabah ke kepala mereka, nyata rambut mereka t elah terpapas kutung. Kioepoanpo terkejut, dia mainkan tongkatnya dengan niat menolongi kawan-kawannya itu. Atau dia lantas melihat lari mendatanginya seorang paderi yang tubuhnya gemuk, sembari berlari-lari paderi itu memperdengar kan suaranya yang seperti guntur: "Mari rasai tongkat aku si paderi!" Itulah murid nomor dua dari Hian Kie Itsoe, ialah Tiauw Im Hweeshio , yang hebat ilmunya bagian luar, Gwakang, yang tongkatnya berat seribu kati. Maka ketika ia menyerang Kongsoen Boe Houw, kedua tongkat mereka benterok keras sekali, sekejab itu juga, kedua tongkat sama-sama terkutung patah ! Tidak kenapa Tiauw Im kehilangan tongkatnya, karena tongkat itu tongkat biasa sa ja, tidak demikian dengan Kioepoanpo, yang merasakan hatinya sakit, lantaran tongkatnya itu adalah tongkat dari galih pohon lionghiat yang tu a dari gunung Aylao san, yang sangat sukar untuk didapatkannya. Kioepoanpo beroman luar biasa, Thian Hoa tidak kenal padanya, cuma ia pernah men dengar orang omong tentang wanita kosen itu, sekarang menyaksikan si wanita sanggup mematahka n tongkatnya Tiauw Im, dapatlah ia menduga, siapa adanya orang itu. Lantas saja bangun alisnya, lalu dengan nyaring ia kata: "Kongsoen Tjianpwee, bukannya kau bersamedhi di Aylao San, kau justeru bercampur gaul sama ini segala hantu dan datang mengacau ke Tjhong San i ni, apakah sebenarnya maksudmu?" Tapi Kioepoanpo sedang panas hatinya. "Hari ini aku hendak mengadu jiwa sama kamu, bocah-bocah cilik!" sahutnya sengit . Lalu dengan sisa tongkatnya ia menyerang dengan tipu silatnya "Membiak mega me ngendalikan kilat." Dengan begitu pacuh burung, yang lain dari tongkatnya lantas bergerak-gerak menyambar tak hentinya. Ia menyerang Thian Hoa dan Eng Eng. Serangan ini benar-benar luar biasa, sebab dengan itu Kioepoanpo pertaruhkan jiw anya. Menampak orang bagaikan kalap itu, Tiauw Im terkejut. Tjia Thian Hoa sebaliknya tidak jeri karenanya. "Mengingat usiamu yang sudah tinggi, kau pergilah!" katanya dingin. Lalu pedangnya bergerak berbareng pedangnya Eng Eng, isterinya. Cuma dua kali sinar-sinar pedang berkelebat, segera juga kedua kaki kiri dan kan an Kongsoen Boe Houw tertikam masing-masing satu kali, sedang tongkatnya yang bu ntung mental ke udara, pacuh burungnya terbabat kutung, menyusul mana, tubuhnya sendiri terlempar beberapa tombak jauhnya, jatuhnya di jalanan mudun. Habis itu, tanpa bersuara lagi, dengan tinda kan pincang, dia terus berjalan turun gunung... Syukur untuk wanita tua ini, Tjia Thian Hoa masih menaru belas kasihan terhadapn ya, jikalau tidak, tidak nanti dia dapat meloloskan jiwanya dari sepasang pedang yang tergabung bersatu padu. Kesudahan berlalunya Kioepoanpo ini hebat untuk Tjie Hee Toodjin. Ra t a - ra t a kawannya telah mendapat luka, mereka itu lantas pada lari turun gunung. Maka tinggal ia seorang diri. Ia tidak mau mengundurkan diri, ia terkekang oleh kedudukannya sebagai seorang tokoh utama. Ia pun malu untuk kerugiannya ini. Seumurnya belum pernah pihaknya terkalahkan begini rupa. Di saat Kioepoanpo roboh, ia menyerang dengan kipasnya, dengan pedangnya ke kiri kepada Eng Eng, ke kanan kepada Thian Hoa. Di saat itu, kedua suami isteri itu belum sempat mempersatukan pula pedang merek a. Atas serangan itu, tubuh mereka limbung. Tidak terkecuali Tjie Hee Toodjin se ndiri, si penyerang. "Siapa kau ?" menanya Thian Hoa terkejut. Ia tidak kenal imam ini. Tjie Hee pun menjadi kalap, tanpa menyahuti, ia mengulangi serangannya, kipas da n pedangnya bergerak hebat. "Soehoe, dialah Tjie Hee TootiangV Tan Hong lekas memberitahu. "Oh..." kata Thian Hoa, yang suaranya tertahan. Sebab lagi-lagi Tjie Hee menyera ng, tak hentinya. Thian Hoa menjadi masgul, ia mengerutkan alisnya. "Ini orang tidak tahu diri, adik Eng, jangan kau sungkan-sungkan terhadapnya!" i a kata kepada isterinya. Ia lantas menyerang. Yap Eng Eng menurut, maka itu, ia pun menyerang. Begitu lekas kedua batang pedang bersatu, pedang Tjie Hee kena dibikin terpental , tempo si imam memaksa bertempur terus, segera terdengar suara "Traang!" keras dan api meletik muncrat, sebab senjata mereka bertiga benterok k eras sekali. Thian Hoa tidak berhenti sampai di situ, setelah menyampok kipas lawan, pedangny a mendahului bergerak pula, memapas ke kepala orang. Tjie Hee berkelit, tetapi tidak urung, kopia sucinya kena terbabat kutung. Ia terkejut, tapi ia pun penasaran, dengan kipasnya itu ia membalas menyerang. Kali ini senjatanya itu bertemu sama pedangn ya Eng Eng. Celaka untuknya, pedang si wanita telah membabat kipasnya hingga terkutung dua potong tulangnya! Hebat pengalamannya Tjie Hee Toodjin. Tadi ia melayani Tan Hong seorang, ia suda h kewalahan, ketika Tan Hong dibantu Sin Tjoe sebentaran, ia tidak bisa berbuat apa-apa, sekarang ia mesti menghadapi pasangan Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, h atinya terkesiap. Tapi ialah satu jago tua, kedudukannya tinggi, dalam murka dan mendongkolnya, ia melupakan segala apa, ia menjadi hebat luar biasa. Ia berkelahi terus seperti melupai jiwanya sendiri. Ia ingin biarlah kedua pihak runtuh bersama... Sebenarnya, setelah mengetahui siapa lawannya, Thian Hoa dan Eng Eng memikir untuk memberi ampun seperti tadi mereka memberi ampun kepada Kioepoanpo Kongsoen Boe Houw, maka sulit untuk mereka, mere ka diserang secara demikian hebat, oleh karena terpaksa, mereka melayani sama kerasnya. Karena ini dapatlah diduga, sebelum lewat tiga puluh jurus, kalau tidak terbinasa, imam itu sedikitnya akan terluka parah. Di dalam halnya mereka, tidak ada orang yang dapat memisahkan mer eka bertiga. Tan Hong mendongkol tetapi pun cemas. "Tjie Hee keterlaluan, dia pantas diajar adat," pikirnya, "cuma kalau sampai dia terbinasa atau terluka, permusuhan kedua pihak tentulah tidak dapat didamaikan lagi..." Biasanya Tan Hong cepat berpikir mencari daya akan tetapi sekarang ia agaknya ti dak berdaya. Pertempuran berjalan terus dengan tetap dahsyatnya. Tjie Hee Toodjin sudah ter kurung sinar pedang tetapi ia tetap berkepala batu, ia melawan terus. I a terancam bahaya, begitu juga Thian Hoa dan Eng Eng asal mereka beralpa. Sebab biar bagaimana, Tji e Hee ada liehay sekali. Imam ini memang menghendaki mereka terluka atau terbina sa bersama. Pula Tan Hong gelisah karena tidak dapat ia datang sama tengah, untuk mem isahkan. Sebabnya adalah, ke satu tenaga dalamnya tidak cukup, kalau ia maju, ia sendiri bisa turut terancam hahaja, dan kedua, ia tidak berani melanggar keangkaran gurunya itu. Tentu sekali, tidak ingin ia kedua gurunya itu men dapat bahaya. Dengan mendatangkan suara nyaring, lagi dua tulang kipasnya Tjie Hee kena ditaba s kutung. Rupanya ini menyebabkan si imam meluap darahnya, mendadak ia menyerang hebat sekali, dengan jurusnya "Houw Tek memanah matahari." Inilah serangan dari kebinasaan. Thian Hoa dapat mengelakkan diri dari serangan itu, bersama Eng Eng, ia tetap me ngurung lawannya yang kosen itu dengan pedang mereka, yang sinarnya terus berkil au- kilau di sekitar tubuh orang. Di matanya Tan Hong, sang waktu tinggal ditunggu saja untuk runtuhnya jago tua i tu tatkala dengan tiba-tiba orang mendengar satu suara yang dalam, suaranya seorang tua yang berpengaruh: "Tjie He e Tooyoe, aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk perhatianmu sudah memerlukan menjenguk padaku. Aku minta sukalah kau tidak melayani segala anak-an ak yang tingkatnya lebih rendah! Sekarang kau telah bertemu sama sahabatmu, aku harap segala urusan dapat dibikin habis. Tooyoe, aku menghaturkan selamat kepada partaimu, yang telah memperoleh kemajuan pesat, dan aku pun menghaturkan sela mat kepadamu sendiri yang pertapaanmu telah berhasil! Sekarang ini aku minta sukalah tooyoe pulang kembali ke gunungmu, hara p kau memaafkan aku si tua, tidak dapat atau mengantarkan kau sampai di tempat yang jauh!..." Menyusul achirnya kata-kata itu adalah satu suara yang nyaring, sebab pedangnya Thian Hoa, pedangnya Eng Eng, begitupun pedangnya Tjie Hee, sudah dibikin terlep as dari cekalan mereka dan semuanya mental melesat! Semua orang sudah lantas berpaling ke arah dari mana suara itu datang. Untuk her annya mereka, mereka mendapatkan pintu rumah batu yang di belakang itu, yang kat anya dipakai bersamedhi oleh Hian Kie Itsoe bertiga, sudah terpentang lebar-lebar. Dan di depan pintu itu, di atas lapangan rumput, terlihat Hian Kie Itsoe tengah duduk bersila, di kiri dan kanannya, ia terapit o leh Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan. Roman mereka itu tenang tetapi angkar mirib dengan orang-orang suci yang telah mencapai pertapaannya. Orang pun segera mengarti, adalah sepotong batu yang ditimpuki Hian Kie Itsoe itu yang membuatny a ketiga batang pedang dari orang-orang yang lagi bergulat mengadu jiwa itu terb ang pergi! Bukankah di situ tidak ada lain orang yang dapat berbuat demikian itu ? Paras mukanya Tjie Hee Toodjin menjadi pucat pasi. Sudah beberapa puluh tahun ia menyekap diri, melatih ilmu silatnya, sekarang terbukti, ia tetap tidak cukup tangguh untuk melayani Hi an Kie Itsoe. Sekarang baharulah ia insaf. Ia menjemput pedangnya, ia berpaling kepada tuan rumah, untuk menjura. "Terima kasih untuk pengajaranmu, kiesoe," ia berkata. Lantas ia memutar tubuhny a, untuk turun dari gunung itu buat pulang ke gunungnya sendiri, gunung Ouwbong San di mana selanjutnya ia berdiam dengan tidak berani lagi mencampuri segala urusan luar. Tan Hong semua girang sekali urusan dapat diselesaikan secara demikian, sedang k akek guru itu pun muncul terlebih siang daripada mestinya. Dipimpin oleh Tjia Thian Hoa, semua murid dan cucu murid itu pada datang m enghadap guru dan kakek guru mereka, untuk memberi hormat. Sin Tjoe adalah yang terbelakang memberi hormatnya. (bersambung) CATATAN 3) halaman 331, Siangkoan Thian Va melarang Ouw Bong Hoe menikah agar Ouw Bong H oe dapat mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu silat, karena ilmu tenaga dalam Siangkoan Thian Va mengharuskan tubuh jejaka. Setelah Thio Tan Hong meminjamkan kitab tenaga dalam warisan Pheng Hweeshio, masalah itu teratasi dan Ouw Bong Ho e dapat menikah dengan Lim Sian In. Kisah ini diceritakan dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan). 4) halaman 334, Siauw Oen Lan adalah tokoh sepantaran dan seangkatan Hian Kie It soe (Tan Hian Kie) dan Siangkoan Thian Ya. Masa muda mereka diceritakan dalam ce rita Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika), dan kisah selanjutnya dapat d ibaca dalam cerita Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) 5) halaman 454, Di Tjio Lim atau Rimba Batu inilah kelak Thio Tan Hong mengasing kan diri setelah In Loei meninggal. Di sini pula Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko meninggal. Sebelum meninggal, Thio Tan Hong sempat menciptakan sebuah ilmu pedan g baru, dan diwariskan pada murid terakhirnya, Tan Ciok Sing, kejadian ini dapat diikuti dalam cerita Khong Ling Kiam (Pendekar Pemetik Harpa). Lama setelah itu , ilmu pedang tsb kembali ditemukan oleh Beng Hoa dalam kisah Anak Pendekar. PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA (SAN HOA LIE HIAP) Jilid 3 Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat Surabaya 2008 PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA (SAN HOA LIE HIAP) Jilid 3 Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat Surabaya 2008 Hian Kie Itsoe bersenyum menyaksikan semua murid, cucu murid dan buyut muridnya itu, ia berkata: "Hari ini aku menyaksikan ke empat turunan muridku berkumpul bersama, aku puas sekali!" Cuma berhenti sejenak, ia meneruskan: "Thia n Hoa, Eng Eng dan Tan Hong, ilmu silatmu sudah maju pesat sekali, aku tidak men guatikan apa-apa lagi, hanya hendak aku memberitahukan padamu, ilmu silat itu ad a bagaikan laut yang luas, dari itu janganlah kamu lantas sudah merasa puas." Dengan berdiri lurus dan tangan dikasi turun, Thian Hoa bertiga menghaturkan ter ima kasih kepada guru dan kakek guru itu. Hian Kie bersenyum, ia berkata pula: "Kami bertiga merasa malu sendiri yang kami telah hidup puluhan tahun di dalam dunia i ni tetapi tidak ada sesuatu yang kami lakukan yang ada faedahnya untuk negara atau sesama rakyat, kami hanya merasa beruntung bahwa perbuatan kami tidak sesat dan sedikit kepandaian kami telah dapat diwaris kan kepada kamu. Sekarang ini adalah harapan kami supaya kamu menggunai kepandaian kamu untuk memajukan ilmu silat kita serta berbareng melaku kan sesuatu yang ada baiknya untuk umum!" Siangkoan Thian Ya pun memberi pesan kepada Ouw Bong Hoe semua, untuk menganjurk an mereka menanam kebaikan. Habis itu, sendirinya Hian Kie Itsoe bersenandung: "Main-main di antara manusia beberapa puiuh tahun, sepatu bobrok dan kopia rusak menurut wajarnya." Siangkoan Thian Ya menyambuti: "Gangguan hati teiah pergi semua, tak ada iagi yang dibuat pikiran." Siauw Oen Lan pun menyambungi: "Kitab, pedang dan siiat teiah diwariskan untuk dunia yang mendatang!" Habis bersenandung, ketiga orang itu lalu berduduk diam, tubuhnya tak bergeming lagi, mata mereka dirapati. Segera juga ternyata mereka i tu sudah pulang ke dunia lain yang langgeng. Hek Pek Moko me-njura, mereka berkata: "Ketiga tjianpwee telah mencapai kebahagian dan usianya, mereka harus dibuat girang dan diberi selamat." Tjia Thian Hoa semua turut menghunjuk hormat mereka, kemudian mereka masuk ke dalam guha. Di sana, di empat penjuru tembok, mereka me ndapatkan penuh tulisan dan gambar-gambar tentang pelbagai macam ilmu silat berikut segala penjelasannya. Thio Tan Hong, mengawasi semua dengan perhatian, ia mendapatkan pelbagai penjela san terlebih jauh, sebagai seorang yang cerdas, ia segera menginsafinya. Maka sa mbil tertawa ia kata pada In Loei: "Dengan adanya semua penjelasan soetjouw ini, bukankah kita tak usah mencari lagi segala obat-obatan yang mustajab?" In Loei heran, ia melengak. "Apa kau bilang?" ia menanya. "Lihatlah itu ilmu duduk bersamedhi," kata Tan Hong menunjuk kepada sebuah gamba r. "Dengan tenaga dalam yang kakakmu memiliki sekarang, apabila dia bersamedhi p ula menuruti cara ini, tidak usah sampai tiga hari, pastilah dia akan sembuh sendiri nya dari racunnya, tak usah lagi ia makan obat." Baharu sekarang In Loei mengarti. "Kalau begitu," katanya, "baiklah sebentar kakakku diminta pindah ke mari untuk ia sekalian beristirahat beberapa hari." Tan Hong mengangguk. Lalu ia memperhatikan lebih jauh banyak gambar itu. Ketika ia memeriksa gambar ilmu pedang, yang terdiri dari tiga puluh enam buah, nyata pada ilmu pedang P ekpian Hian Kie Kiamhoat telah terdapat sejumlah perubahan dan penam bahan, hanya di achirnya, ada tembok yang masih kosong. Ia cuma berpikir sebentar, lantas ia dapat membade: Itulah tentu disebabkan kakek gurunya keluar lebih cepat satu hari dan disebabkan datangnya Tjie Hee Toodjin, gambar itu belum sempat dibikin lengkap. Ia merasa, kalau semua itu lengkap, pas tilah Hian Kie Kiamhoat bakal menjagoi di kolong langit ini, bakal tanpa ada tan dingannya lagi. Hian Kie Itsoe telah meninggalkan pesan mengenai tempat peku-burannya, maka itu Thian Hoa bersama Bong Hoe beramai sudah lantas mengurus jenazahnya sekalian juga jenazah Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan. Ketika orang tua itu menutup mata dalam usia delapanpuluh tahun, meskipun mereka telah meninggal dunia, mengingat caranya mereka menutup mata itu dan pesan mereka, murid-murid dan cucu murid mereka tida k terlalu bersedih. Selagi orang mengurus jenazah, angin gunung meniup keras dan dari laut Djiehay s amar-samar terdengar suara pertempuran, karena itu, mengingat keselamatannya ong hoe , Tan Hong lantas minta Hek Pek Moko pergi turun gunung untuk melihat. Ketika itu, Sin Tjoe seorang diri pergi ke tepi kali. Sebagai orang termuda, ia tidak berani campur bicara dalam urusan mengurus jenazah Hian Kie bertiga. Ia telah mendengar suara samar-samar d ari arah laut itu, dengan sendirinya ia memikirkan Seng Lim, lalu hatinya bersem angat berbareng berkuatir. Tatkala itu baharu saja lewat tengah hari, matahari telah melewati gunung dan si narnya menuju kepada permukaan air, memberi lihat cahaya seperti bianglala. Sin Tjoe mengawasi itu sa mbil ia menyenderkan tubuh kepada sebuah pohon taytjeng di tepian itu, yang berb ayang di muka air. Karenanya, kembali ia jadi berpikir. Tiba-tiba dalam chayalnya, ia melihat bayangan Keng Sim disusul bayangannya Seng Lim di antara s inar layung itu. Tidak tenang hatinya menyaksikan bayangan anak-anak muda itu. Selama dua hari itu, apa pula sehabis pertempuran dahsyat it u, ia sudah dapat melihat jelas bedanya sifat dari kedua itu pemuda, akan tetapi dasar anak dara, ia tidak bisa lantas mengambil keputusan. Tengah ia berdiri bengong itu, Sin Tjoe mendengar suara batuk-batuk di belakangnya. Segera ia berpaling. Maka ia melihat Keng Sim. Denga n sendirinya, kulit mukanya menjadi merah. "Bukan kau pergi menemani Nona Bhok, kau datang ke mari, apa perlunya?" ia menanya. Keng Sim menghela napas, agaknya ia masgul. "Sampai kapankah kau akan mengarti hatiku?" ia menyahut, pelahan. "Dia bukannya seperti kau, yang sem- purna ilmu silatnya, di waktu pertempuran, aku menerima titah gurumu untuk melin dungi dia, dengan begitu bisakah aku tidak menjagai padanya?" "Apakah aku menyuruh kau jangan menjagai dia?" Sin Tjoe balik menanya. "Kau angg ap aku orang macam apa?" Habis berkata, nona ini memutar kepalanya, hatinya penuh dengan kedukaan. Ia ber sangsi untuk anak muda itu. Ia merasa ada waktunya Keng Sim pandai melayani pada nya tetapi pun ada kalanya dia itu kurang perhatiannya... Keng Sim menghela napas. "Kalau tahu begini..." katanya, masgul, "tidaklah pada mulanya..." "Bagaimana sekarang, bagaimana dulu itu?" si nona menanya. "Dulu hari itu di Taytjioe," berkata Keng Sim, "kita berada di dalam sebuah kubu -kubu, pergaulan kita erat seperti tangan dan kaki. Ingatkah ketika kita berjanj i untuk saling melatih? Sekarang matamu sudah terbuka lebar, di sini kau tidak l agi melihat orang..." Sin Tjoe berdiam. "Umpama kata kau tidak ingat persahabatan kita dulu hari itu, kau pun mesti inga t bagaimana dari jauh-jauh aku sudah menyusul kau hingga di sini..." berkata pul a si anak muda. Hatinya Sin Tjoe tergerak juga. Memang, untuk mencari padanya, untuk meminta kud anya, Keng Sim itu sudah menderita di Kok keetjhoeng, orang berlaku seperti si t olol. Maka tanpa merasa, ia berpaling kepada pemuda itu. Melihat demikian, girang hatinya Keng Sim. Tapi ia tetap memperlihatkan roman ya ng dapat membangkitkan rasa kasihan orang. Katanya pelahan: "Kau lihat, untukmu itu, luka yang aku terima di Kok keetj hoeng, masih belum sembuh betul hingga sekarang ini..." Ia berkata seraya menggulung lengan bajunya, atau tiba-tiba ia ingat luka itu sudah kering, maka ia lalu menggulungn ya dengan ayal-ayalan, dan diam-diam ia melirik si nona. Adalah maksudnya Keng Sim dengan mengingatkan kejadian dulu hari itu agar si non a ingat itu semua, supaya hatinya menjadi tertarik, tidak tahunya, itu justeru m embuat nona itu ingat Seng Lim yang tadi terluka, luka mana dibanding sama lukanya Keng Sim ada jauh terlebih p arah. Karena lukanya itu, Seng Lim belum pernah membanggakan diri atau mengataka nnya itu kepada lain orang. "Kau tengah memikirkan apa?" menanya Keng Sim menampak orang berdiam saja. "Kau dengar suara pertempuran sudah berhenti," menyahut si nona. "Entah bagaiman a kesudahannya. Di sana Yap Toako bertempur selagi ia terluka..." Hatinya Keng Sim dingin separuhnya. Ia tidak menyangka, bukan melainkan si nona tidak sudi melihat bekas lukanya, bahkan dia justeru memikirkan Seng Lim. Ia ber diam hanya sejenak lalu sambil tertawa ia berkata: "Sebenarnya aku mesti pergi ke sana tetapi tidak suka aku berebut jasa dengan saudara Yap, maka itu aku membiarkannya pergi sendiri. Ah, kalau tahu begini, semestinya lebih baik aku yang pergi!" Si nona seperti mendapat cium bau apa-apa, alisnya lantas berkerut. Di dalam hat inya ia berkata: "Seng Lim pergi ke sana, siapa bilang itu untuk merebut jasa?" Tapi ia tidak membilang apa-apa. Keng Sim terus membungkam. Karena melihat sikap si nona, yang beda sekali daripa da biasanya, tak tahu ia harus membilang apa. Kesunyian di situ segera juga dipecahkan oleh suara tindakan kaki yang berisik d i sebelah depan mereka, disusul sama tertawanya Tamtay Biat Beng, yang berkata dengan nyaring: "Hancur lulunya Yang Tjong Hay kali ini hancur lulu seluruhnya semua itu disebab kan kau, saudara Seng Lim, telah tiba pada waktunya yang tepat!" "Ada apakah jasaku?" terdengar suaranya Seng Lim, merendah. "Yang Tjong Hay sung guh sangat kosen, djkalau bukannya kau, Tamtay Tjiangkoen, ada siapakah yang mam pu membinasakan dia?" Terdengar lagi suaranya Tamtay Biat Beng, yang tetap dipanggil "tjiangkoen" atau jenderal: 6) "Di dalam hal berperang aku sudah banyak melakukannya hanya berper ang di air ini baharu yang pertama kalinya. Kau tahu, sampai sekarang ini aku ma sih merasakan sisa pusingnya kepala sebab mabuk laut. Apakah artinya bacokan atau tikaman aku itu, mana itu dapat disebutnya jasa? Tetapi kau , saudara Yap, kepandaian kau memimpin pasukan perang air, sungguh itu membuatny a aku kagum sekali!" Sampai di situ lalu terdengar tertawa nyaring dari Hek Pek Moko. "Sudah, sudah, jangan kamu saling merendahkan diri!" berkata dua saudara itu. "yang benar adalah semua-mua telah berjasa! Eh, Sin Tjoe di sana?" Ketika itu mereka sudah muncul dan Hek Pek Moko segera mendapat lihat Nona Ie. Sin Tjoe lantas bertindak menghampirkan. Dengan lenyap kegembiraannya. Keng Sim bertindak di belakang nona itu. Sebenarny a ia sangat tidak puas, maka juga ia berkata di dalam hatinya: "Jikalau aku yang pergi, past ilah aku berperang secara cemerlang sekali!" Tapi segera ia mendapat pikiran lain, lantas ia menunjuk roma n gembira, bahkan dengan mendahulukan lari, dia menghampirkan Seng Lim untuk mem beri hormatnya. Seng Lim itu berpakaian tidak keruan, sebab bajunya robek di sana-sini dan lenga nnya yang kanan mendapat dua goresan luka, yang darahnya belum berhenti mengucur nya. Sin Tjoe melihat itu, dia kaget. "Kau kenapa?" tanyanya, hatinya cemas. "Tidak apa-apa!" menyahut Seng Lim sambil tertawa. "Yang Tjong Hay telah menikam aku dua kali! Kau lihat, bukankah bengkaknya sudah berkurang?" Sambil berkata begitu, cuma memandang sekelebatan kepada Nona Ie, Seng Lim terus berkata pada Thio Tan Hong: "Penyerbuannya Yang Tjong Hay menampak kegagalan ak an tetapi urusan belum berachir ante-ronya. Sekarang ini Toan Ongya tengah menan tikan buah pikiranmu." "Bagaimana sebenarnya?" Tan Hong menegaskan. "Bhok Kokkong sendiri sudah memimpin pasukan perangnya, dia sekarang mendirikan kubu-kubu di tempat tiga puluh lie dan kota," Seng Lim menjelaskan. "Baharu kita memukul mundur pada Yang Tjong Hay, lantas kita menerima surat tantangan perang dari Bhok Kokkong itu." "Apa bunyinya surat tantangan perang itu?" Tan Hong menanya pula. "Di dalam surat itu Toan Ongya dipersalahkan untuk tiga dosa besar. Yang pertama katanya ongya menjadi hamba pemerintah, tidak selayaknya dia mengangkat dirinya menjadi raja. Yang kedua ongya dikatakan tidak pantas sudah mengusir pembesar yang diutus pemerintah. Yang ketiga yang p aling aneh. Di sini ongya ditegur tidak selayaknya mengirim orang memasuki kota Koenbeng secara diam-diam untuk menculik putera dan puterinya." Mendengar itu, Tan Hong tertawa. "Kalau begitu, Bhok Kongya datang bersama angkatan perangnya bukan dengan maksud sebenar-benarnya untuk berperang," katanya. Seng Lim tidak mengarti. "Aku mengharap keterangan," bilangnya. "Bunyinya tantangan perang memang keras tetapi pada itu bukannya tidak ada jalan nya yang memutar," Tan Hong memberikan keterangan. "Umpama itu urusan ongya meng angkat diri menjadi raja. Kalau pemerintah sudi mengakui keangkatan itu dan lant as di kirim utusan dengan pengangkatan resmi, urusan itu dengan gampang dapat di selesaikan." "Dapatkah pemerintah menyetujui itu?" "Asal Bhok Kokkong , tidak menghendaki mengangkat senjata, apa mungkin pemerinta h sendiri nanti mengirim sebuah angkatan perang melakukan perjalanan laksaan l ie ke Tali untuk berperang? Maka di dalam hal ini kita lihat saja nanti bagaimana cara nya Bhok Kongya mengirim laporannya. "Sebenarnya Toan Ongya sendiri tidak menginginkan ia menjadi raja," Seng Lim pun menjelaskan. "Dia cuma mengharap supaya suku bangsa Pek tidak sampai tersiksa o leh pemerintah." "Dalam hal ini asal kedua pihak menghentikan pertempuran, urusan pemerintah sete mpat gampang didamaikannya. Turut penglihatanku, yang paling dipentingkan sekara ng ini oleh Bhok Kokkong adalah urusan putera dan puterinya, anak Lin dan anak Y an, maukah kamu pulang kepada ayahmu?" Bhok Lin sudah lantas menggeleng kepala. "Aku lebih suka tu- rut soehoe," ia bilang. Tan Hong tertawa. "Dengan begitu kau jadi tidak pikirkan keselamatannya rakyat Tali?" "Kalau begitu, aku suka mendengar titah soehoe." "Sekarang kamu menulislah surat kepada ayahmu, di dalamnya kamu memintakan perda maian untuk Toan Ongya" "Bagaimana surat itu harus ditulisnya?" Tan Hong segera mengajarinya. Bhok Kokkong mesti memenuhi beberapa syaratnya Toan Ongya, setelah itu Bhok Lin dan Bhok Yan akan d iantar pulang. Anak-anak itu pun mesti menjelaskan sesuatu supaya rakyat bebas d ari ancaman perang. Bhok Yan cerdas sekali, cepat sekali ia telah selesai menulis surat itu. "Hanya sekarang tinggal dibutuhkan seorang yang pandai bicara," katanya pelarian. "Dialah yang mesti menyampaikan s urat ini." Sembari berkata, si nona berpaling kepada Keng Sim, siapa sudah lantas menyingki r dari pandangan mata orang. Tapi Tan Hong segera terdengar suaranya: "Dalam hal ini aku mengharap Keng Sim s uka mencapaikan hati sedikit untuk membuat satu perjalanan." "Aku tidak sanggup," pemuda she Tiat itu menampik. "orang yang pandai bicara adalah kau," berkata Sin Tjoe. "Kenapa kau menampik?" Bhok Yan tertawa, ia pun berkata: "Benar! Kalau Tiat Kongtjoe yang pergi, itulah paling bagus!" Ada suatu penya- kitnya Keng Sim, dan sekarang Sin Tjoe dan Bhok Yan bicara demikian rupa, hatiny a menjadi terbuka, ia menjadi girang. "Kalau begitu, terpaksa aku mesti pergi," bilangnya. "Aku nanti coba saja." Dengan begitu, dengan membawa surat yang dibubuhi tanda tangan Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Keng Sim lantas berangkat turun gunung. Besoknya tengah hari, orang semua berkumpul di onghoe menantikan kembalinya Keng Sim itu. Sebentar kemudian, kapan utusan itu sudah kembali, ia memperlihatkan w ajah berseri-seri. Ketika ia dimintai keterangannya, jawabannya adalah bahwa Bho k Kokkong setuju untuk membuat pembicaraan damai, hanya panngeran itu meminta Toan Ongya mengirim utusan resmi serta diminta Bhok Lin dan Bhok Yan dia ntar pulang dulu ke markasnya. Toan Ongya memuji Keng Sim, yang terus diminta suka menjadi utusan yang sah itu. Bhok Yan segera mencari kesempatan akan menarik Keng Sim ke samping, untuk menan yakan dia bagaimana sikap ayahnya ketika pemuda ini bertemu sama ayahnya itu. Keng Sim memberikan keterangannya. Ada sebabnya yang istimewa kenapa ia pulang d engan air muka terang. Sebab itu ialah Bhok Kokkong mengetahui ayah Keng Sim ada lah seorang giesoe yang jujur, dan kemudian hertog itu mendapat kenyataan pemuda ini terpelajar, luas pengetahuannya, hingga dia telah dipuji-puji. Tentu sekali bukan main girangnya Keng Sim a tas sikapnya Bhok Kokkong itu. Mendengar keterangan si anak muda, bukan main girangnya Bhok Yan. Tidak demikian adalah Bhok Lin, yang alisnya lantas saja mengkerut. Sebabnya ialah ini putera hertog merasa berat untuk berpisahan dari Tan Hong. Tan Hong tertawa dan berkata: "Di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak b ubar! Apa pula kita, kita bukannya berpisah untuk nanti tidak bertemu pula! Anak Lin, buat apa kau berduka? Kamu berdua, kak ak dan adik, sebenarnya pun bukan orang kaum Rimba Persilatan. Tentang ilmu silat yang aku ajarkan kau dalam beberapa hari, asal selanjutnya kau meyakinkannya dengan sungguh-sungguh, sudah cukup untukmu!" "Soehoe benar," berkata Bhok Lin meringis, "tetapi di sini aku merdeka sekali, g embira hatiku, selekasnya aku pulang, aku bakal dike-ram di dalam gedung, itu su ngguh menyebalkan..." Mendengar itu, Ouw Bong Hoe tertawa berkakak. "Jadinya kau tidak sudi pulang sebab kau temahakan kehidupan merdeka di sini di mana kau dapat pelesiran dengan puas!" katanya. "Baiklah, sebentar malam kita pelesiran main perahu di laut Djiehay. Perang telah berachir, hal itu harus dirayakan. Kita main perahu, ke satu untuk membuatnya hatimu puas, kedua guna mengasi selamat jalan kepada kamu. Tan Hong, bukankah lagi beberapa hari kau bakal meninggalkan gunung Tjhong San?" Tan Hong menjawab dengan mengangguk. Mendengar itu, hatinya Sin Tjoe tergerak. Ia dapat mengingat-ingat sesuatu. Keti ka ia melirik kepada Seng Lim, paras pemuda itu menunjuki kegirangan, sebaliknya Keng Sim, pemuda she Tiat itu, agaknya likat. "Terang bulan di laut Djiehay" adalah pemandangan malam paling kesohor untuk wil ayah Tali. Malam itu orang pesiar di telaga yang luas itu dengan memecah diri da lam dua perahu yang terpajang. Rombongan pertama terdiri dari suami isteri Ouw B ong Hoe, pasangan Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, Hek Pek Moko berdua, serta Toan Teng Tjhong dengan isterinya si puteri Iran. Rombongan kedua ialah Th io Tan Hong dan In Loei, Tiauw Im Hweeshio, Tiat Keng Sim, Ie Sin Tjoe, Yap Seng Lim serta Bhok Yan dan Bhok Lin. Sungguh indah permukaan telaga, yang mirip dengan kaca bergemirlap, di situ sang rembulan memain bagaikan sehelai rantai perak. Luas telaga itu, di kejauhan tam pak layar-layar seperti bayangan yang sebentar nampak sebentar hilang dan kelak- keliknya api dari perahu-perahu nelayan yang seperti main-main dengan bintang-bintang di langit. Telaga pun tenang dan sunyi sekali, maka sungguh besar bedanya dengan du a hari yang baru lalu ketika terjadi pertempuran mati hidup di situ akibat penyerbuan secara membokong oleh rombongannya Yang Tjong Hay. Di dalam kendaraan, Bhok Yan mendampingi Keng Sim. Gembira ia, ia menunjuk sana dan menunjuk sini. Sin Tjoe menyaksikan kelakuannya nona bangsawan itu, ia mendapat perasaan aneh, ia seperti memperoleh firasat, kalau besok Keng Sim mengantarkan Bhok Yan dan Bh ok Lin itu ke markasnya Bhok Kokkong , dia bakal berpisahan dari ia. Entah kenap a, tiba-tiba ia merasa berduka... Keng Sim sendiri hari ini beda daripada biasanya. Dalam kegembiraannya, ia menga si dengar nyanyiannya, ia mengutib syairnya Thio Ie Ho. Tidak menanti sampai orang habis ber- nyanyi, Bhok Van sudah menepuk tangan dan berkata dalam kegirangannya: "Inilah n yanyian bagus dari Thio Ie Ho, yang memuji keindahan malam di telaga Tongteng ou w, maka sayang sekali, ia sendiri belum pernah main perahu di laut Djiehay ini." Tan Hong ketarik hatinya. "Thayouw dan Djiehay ini mirip dengan See Sie dan Ong Tjhong, masing-masing ada keindahan atau kecantikannya sendiri-diri," ia berkata. "Kita semua pernah menya ksikan kedua-dua telaga, pernah mengga-danginya di waktu malam, maka itu dibandi ng sama orang-orang dulu itu kita menang banyak..." Keng Sim berhenti sebentar, lalu ia melanjuti nyanyinya itu, kembali kutiban dari Thio Ie Ho. Dan kembali Bhok Van bertepuk tangan memuji kep adanya, memuji syair itu. Ia mengatakan, Thio Ie Ho beruntung mencapai gelar tjo nggoan, coba dia si mahasiswa melarat, pasti tidak dia bersyair demikian. Dengan kata-katanya ini diam-diam si nona menyadarkan Keng Sim, kalau nanti Keng Sim bekerja di bawah perintah ayahnya, dia mesti berdaya keras mencari jasa dan pangkat. Sin Tjoe bisa mengarti maskud orang, ia membungkam, melainkan keningnya meng-ker ut. Habis bernyanyi, Keng Sim menghirup araknya, lalu ia melirik kepada Nona Ie. Lekas-lekas Sin Tjoe bertunduk, mengawasi air yang indah. Tapi ia mendengar si anak muda berkata: "Memang indah malam terang bulan dari Djiehay in i, kendati begitu, aku lebih ketarik sama sungai Tiangkang. Hanya sayang sejak jaman dulu banyak jago-jago telah meng-gunainya Tiangkang seb agai medan perang, hingga ombak menjadi bergelombang dahsyat, sampai membuatnya banyak orang cerdik pandai mensia-siakan keindahan malamnya sungai itu." Sembari berkata, acuh tak acuh, kembali dia melirik Sin Tjoe. Nona Ie mengepriki, bajunya yang kecipratan ombak. Malam itu benar-benar indah. Mega memain di tengah udara berbayang di muka air. Muncratan air yang diterbitkan sang gelombang pun memberikan pemandangan lain. Maka itu, malam seindah itu, gampang membangkitkan pelbagai perasaan orang. Tapi untuk Sin Tjoe, keper-maian itu seperti dirusak nyanyiannya Keng Sim. Kecewa pemuda she Tiat itu, ia menimbulkan halnya sungai Tiangkang, untuk mengingatkan si nona kepada pengalaman mereka baru-baru ini, siapa tahu sebalikn ya, peringatan itu mendatangkan akibat yang lain. Selagi si anak muda melirik nona pujaannya itu, yang terus membungkam, tiba-tiba terdengar suaranya Seng Lim, yang sejak tadi pun berdiam saja. Berkata ini anak muda she Vap: "Siapakah yang tak menyukai malam yang indah permai, yang meriang kan hati? Hanya sayang rakyat di Tiangkang itu, di selatan dan utaranya, semua tenga h menderita lapar tidak ada yang harus didahar, dingin tidak ada yang dapat dipa kai, maka itu, aku kuatir mereka itu tidak ada segembira kau, Tiat Kong tjoe." Tidak senang Keng Sim mendengar perkataan itu, yang seperti mengejek padanya. Bhok Yan sudah lantas datang sama tengah. "Di malam seindah ini, di telaga yang begini permai, kita cuma dapat menenggak a rak dan bicara dari hal yang menggembirakan!" katanya. Ia pun mengawasi Keng Sim dan tertawa, alisnya memain secara menarik hati. Nona itu seperti hendak mengatakan kepada si anak muda itu: "Buat apa kau adu bicara sama seorang manusia biasa saja?" Menuruti hatinya yang panas, ingin Keng Sim membalas Seng Lim itu. Akan tetapi k ata-kata si nona dan gerak-geriknya itu membuatnya dapat menutup mulut. Seng Lim tidak mem-perdulikan air muka orang, ia melanjuti dengan kata-katanya: "Semenjak dulu kala hingga sekarang, ini, memang ada tak sedikit jago yang menja goi dengan menyiksa rakyat, akan tetapi pun bukannya tidak ada pendekar yang bermaksud mengangkat ra kyat dari marah bahaya!" "Kata-katamu benar," Sin Tjoe turut bicara. "Dalam segala apa orang tak dapat me nyama ratakan. Umpama pamanmu, aku lihat dia tidak mengandung maksud-maksud pribadi." Keng Sim menghormati Tjong Lioe, mendengar perkataan si nona, ia diam saja. "Thio Tayhiap," berkata Seng Lim kemudian, menegur Tan Hong, "di atas udara dari sungai Tiangkang masih merajalela mega peperangan, di mana urusan di sini sudah selesai dan aman, pamanku di sana mengharap jawabanmu..." Tan Hong berpikir. Ketika ia menjawab, sikapnya tenang sekali. "Memang dapat aku kembali ke Kanglam," demikian, sahutnya, "hanya untuk pergi ke sana, aku mesti menanti sampai Tiat Kongtjoe sudah bertemu dengan Bhok Kokkong. Sesudah segala apa beres di sini, baharulah hatiku lega." "Tiat Kongtjoe, kau bagaimana?" Bhok Yan tanya si anak muda. "Jikalau aku toh kembali ke Kanglam, tidak nanti aku mencampuri diri dengan oran g sebangsa Pit Keng Thian!" sahut Keng Sim. "Apakah terhadap Yap Toako kau pun tidak menghargai sedikit jua?" Sin Tjoe menan ya. "Toako Yap Tjong Lioe ada seorang jujur dan manis budi, aku sangat menghargai di a," menyahut Keng Sim, "hanya sayang dia jujur terlalu, aku kuatir dia nanti ken a dipermainkan orang sebangsa Pit Keng Thian itu. Aku si orang she Tiat mana dap at diperintah pergi datang oleh seorang kasar?" "Kau benar!" berkata Bhok Yan. "Habis kau... kau..." Nona ini berhenti, tak dapat ia meneruskan perkataannya itu. Sebenarnya ia hendak minta si anak muda berdiam tetap di Inlam, apa mau matanya Seng Lim, Sin Tjoe dan lainnya ditujukan kepadanya. Maka ia cuma bisa bersenyum. Sin Tjoe tidak berkesan baik terhadap Pit Keng Thian akan tetapi pandangannya Ke ng Sim terhadap toaliong-tauw itu pun hebat sekali, si anak muda ternyata terlal u mengagungkan diri sebagai seorang kongtjoe. "Turut penglihatanku, Pit Keng Thian itu tidak ada celaannya," berkata Tiauw Im. "Mengapa kamu agaknya tidak puas terhadapnya? Aku tahu dia sudah mengundang Tjioe San Bin suam i isteri datang berkumpul dengannya. Eh, ya, In Loei, Tjio Tjoei Hong sangat ing in bertemu denganmu!" In Loei tertawa. Tiba-tiba ia ingat halnya dulu hari ia telah menyamar sebagai pemuda dan sudah bergurau dengan Nona Tjio. "Kalau begitu, biarlah aku ikut Tan Hong pergi ke sana," sahutnya. "Bagus!" berkata Tan Hong. "Beginilah kepu-tusan kita. Sekarang mari kita jangan timbulkan urusan negara lagi, aku lihat Nona Bhok tidak gembira!" "Ah, soehoe main-main!" tertawa murid itu. "Tapi malam ada begini indah, memang baik kita menggadanginya..." Keng Sim melihat orang rada likat, ia turut tertawa, maka di lain saat, Nona Bho k itu telah mendapatkan kegembiraannya seperti biasa. Sin Tjoe sebaliknya tak tenteram hatinya, hatinya itu terus berdenyutan. Dengan lewatnya sang waktu, sang malam, sang telaga, menjadi tertambah-tambah indah. Beberapa burung laut pun beterbangan di sekitar mereka. Mungkin burung itu turut menggadangi si puteri malam atau dia menyangka sang faj ar lagi menyingsing hingga sudah waktunya dia keluar dari sarangnya... Mengawasi burung laut itu, Sin Tjoe ingat halnya itu hari ia meninggalkan kota Taytjioe. Itu hari, pagi, ia telah mengambil keputusan pasti untuk menjadi seper ti si burung laut, akan menempu gelombang, akan terbang ke udara. Malam ini, per asaan hatinya sama seperti pagi itu. Biar bagaimana, dalam usianya tujuh belas tahun, Sin Tjoe mirip bunga tengah ber -pusuh, menanti untuk mekar. Dia tidak bisa mengharap dirinya menjadi pohon tay-tjeng, yang semakin besar, akarnya masuk semakin dalam ke dala m tanah dan menjadi kokoh kuat. Dia hanya mesti bertahan melawan gelombang asmara, maka itu tidaklah heran pikirannya sering goncang. Malam itu, Nona ini tidak dapat tidur nyenyak. Di hadapannya seperti berbayang s aja Keng Sim dan Seng Lim. Hanya malam ini beda dari malam-malam yang telah berl alu. Kalau dulu pada achirnya bayangan Keng Sim yang menang, bayangan Seng Lim sirna terlebih dahulu, kali ini berbareng sama menembusnya sinar fajar dari jendelanya, bayangan Seng L im itu dapat melenyapkan bayangannya Keng Sim. Setelah itu, baharulah si nona da pat tidur nyenyak... Lewat sesaat, ketika Sin Tjoe mendusin dari tidurnya, Keng Sim sudah berangkat m engantarkan Bhok Yan dan Bhok Lin. Siauw Houwtjoe memberitahukan kepadanya bahwa Keng Sim telah datang menjenguk, untuk meminta diri, tetapi si nona tengah "bermimpi," maka pemuda itu berlalu dengan roman kecewa. "Sungguh aneh!" berkata Siauw Houwtjoe, menambahkan. "Perpisahan ini bukan perpi sahan mati atau untuk tak bertemu pula, tapi aku dapat melihat dia diam-diam men yusut air matanya..." Goncang hatinya Sin Tjoe. "Bukankah dia memikir untuk bicara sama aku, bicara untuk penghabisan kali?" ia menduga-duga. "Mungkinkah dia hendak omong dari lainnya hal?..." Nona ini pun merasa lebih pasti itulah "perpisahan untuk selamanya..." Lewat dua hari, Keng Sim masih belum kembali, yang datang adalah kabar dari Bhok Kokkong. Pangeran itu menyatakan akur dengah syaratnya Toan Ongya, cuma ia masih mau melapurkan dulu kepada junjungann ya serta menanti kepu-tusan rajanya itu. Di sebelah itu Bhok Kokkong mengusulkan supaya Toan Teng Tjhong, menantu raja Iran itu, memajukan permohonan sen diri kepada raja untuk dianugerahkan pangkat. Ia kata permohonan itu berguna sekali, sebab Teng Tjhong berkedudukan sebagai raja asing dan isterinya puteri asing pul a. Di achirnya Bhok Kokkong menyatakan, segala apa baiklah ditunggu saja sampai dia sudah kembali ke Koenbeng... Sementara itu, hari itu, Tan Hong panggil Sin Tjoe datang padanya. Ketika si non a tiba, da dapatkan Seng Lim dan Tiauw Im Hweeshio sudah berdandan rapi untuk su atu perjalanan. "Anak Tjoe," berkata si guru, lantas, "Sekarang ini aku belum dapat berangkat. A ku mesti menanti dulu kembalinya Keng Sim. Bagaimana denganmu: Kau ingin berangk at bersama-sama aku atau hendak berangkat sekarang juga?" Sebenarnya Sin Tjoe hendak menjawab, "Aku ingin berangkat bersama soehoe," tetap i mendengar disebutnya Keng Sim, ia bersangsi. Ia angkat kepalanya, lalu ia member ikan penyahutannya: "Terserah kepada soehoe." Tan Hong bersenyum. "Kalau begitu, kau berangkat sekarang!" katanya. "Aku telah membuat sebuah peta Kanglam, kau bawa itu dan serahkan kepada Yap Tjong Lioe. Pesan padanya untuk di a jangan temaha akan jasa, biarlah buat sementara dia membelai saja wilayahnya." Sin Tjoe menyambuti peta itu. Mendadak air matanya mengembeng. "Sekarang berangkatlah kamu!" berkata Tan Hong. "Eh, di sini ada bibit pohon tay-tjeng yang besar. Seng Lim, kau bawa ini ke Kanglam, coba li hat, dapat atau tidak dia tumbuh di kedua gili-gili sungai Tiangkang." Seng Lim tercengang sebentar, ia menyambuti bibit itu. Tan Hong tidak mem-perdulikannya, dia bahkan tertawa. Sin Tjoe menepas air matanya, segera ia berkemas, segera ia berkemas, lantas ia mengikuti Seng Lim dan Tiauw Im berangkat pergi... Sungai Tiangkang itu biar ada angin dan gelombangnya. Pohon taytjeng yang beraka r kuat toh dapat melindungi sang bunga. *** Selewatnya tiga bulan Seng Lim bertiga Tiauw Im Hweeshio dan Sin Tjoe sudah melintasi tanah datar Inlam dan Kwietjioe kedua propinsi, mereka mengambil jalan ke propinsi Ouwlam, terus memasuki tanah pegunungan propinsi Kangsee. Pusat tentaranya Yap Tjong Lioe berada di pesisir ketiga propinsi Tjiatkang, Kangsouw dan Hokkian, maka itu selewatnya Kangsee, mereka itu akan su dah tiba di Tjiatkang, di dalam lingkungan pengaruhnya Tjong Lioe itu. Tan Hong menyayangi muridnya, ia tetap mengasikan Sin Tjoe menunggang Tjiauwya S aytjoe ma. Kudanya Tiauw Im pun kuda pilihan, melainkan kudanya Seng Lim kuda biasa, tetapi kuda ini pun kuda pilihan dari Tali hadiah dari Toan Ongya. Maka itu, walaupun perjalanan sukar, ketiga ekor kuda itu dapat melakonin ya dengan baik. Tidak usah lagi sepuluh hari, mereka bertiga akan sudah masuk da lam wilayah Tjiatkang, maka itu, sesudah berjalan sepuluh bulan lebih, legalah h ati mereka. Selama puluhan hari yang dilewatkan itu, sangat jarang Sin Tjoe dan Seng Lim bic ara urusan pribadi, meskipun sebenarnya mereka siang dan malam terus berada berh adapan saja. Sebabnya ialah Seng Lim itu pendiam, dan di antara mereka ada Tiauw I m Hweeshio, orang dari tingkat terlebih tua. Yang mereka bicarakan kebanyakan mengenai urusan Rimba Persilatan. Sedikitpun tak pernah si nona mengu- tarakan rasa hatinya pada si pemuda, siapa sebaliknya tidak berani menanyakan se suatu kendati juga ia mendapat lihat alis si pemudi sering-sering berkerut. Sela ma si nona diam saja, Seng Lim pun turut membungkam. Setahu kenapa, sesudah berp isah dari Keng Sim, ada kalanya Sin Tjoe memikirkan pemuda itu, pula, kalau ia s edang bicara sama Seng Lim, suka bayangannya Keng Sim itu muncul di depan matany a... Setibanya di Kangsee, apa yang dikete-mukan di sepanjang jalan adalah rakyat jel ata yang berseng-sara, yang lagi pada mengungsi. Sebabnya ini ialah tentara peme rintah bersiap menggencet dari selatan dan utara, dan ada sebuah pasukan yang dari propinsi Ouwpak tengah menuju ke selatan, maka itu bagian timur laut d ari propinsi Kangsee, yang dekat dengan medan pertempuran, rakyatnya mengosongi sembilan dari sepuluh rumahnya. Pada suatu hari selewatnya Engbong, untuk memburu tempo, mereka berjalan terus, kesudahannya mereka mengasi lewat tempat mondok, dari itu, di waktu magrib merek a tiba di sebuah desa yang kosong, sebab setiap rumah ditutup rapat, tidak ada a pi atau asapnya. Terpaksa mereka singgah di sebuah kuil kosong. Hebatnya untuk m ereka, kebetulan saja rangsum kering mereka habis, hingga selagi mereka merasa l apar, mereka pun diserang bawa dingin. Waktu itu ada di permulaan musim dingin. Tadi di tengah jalan mereka tidak dapat membeli sesuatu untuk pembekal, tidak ada yang menjualnya. "Nanti aku mencoba mencari," berkata Seng Lim penasaran. "Mustahil di sini tidak ada satu rumah juga yang belum kosong untuk kita bermalam atau membeli barang m akanan!" "Biarlah aku yang pergi!" berkata Tiauw Im tertawa. "Mencari amal adalah pekerja an si paderi." Ia mengenakan jubahnya, terus ia bertindak pergi. Seng Lim mencari setumpuk cabang kering, ia menyalakan unggun. Ketika api sudah menyala, ia melihat Sin Tjoe muka siapa merah, entah karena cahayanya api entah dia lagi memikirkan apa-apa. Ia heran hingga ia bengong saja. "Hawa udara dingin, kita pun letih habis berjalan jauh," katanya kemudian. "Inilah tidak berarti," menyahut Sin Tjoe. "Aku juga bukannya satu nona yang tid ak biasa bepergian." Di mulut si nona mengatakan demikian, di hati ia lantas ingat kota Koenbeng di m ana ke empat musim berhawa udara seperti musim semi, di mana tentulah Keng Sim t engah minum arak sambil mengga-dangi bunga bwee di dalam taman istana Bhok Kokko ng. Kalau benar, sungguh beda keadaan mereka itu dengan ia di sini... "Rasanya lekas juga bakal terbit peperangan," berkata pula Seng Lim sejenak kemu dian, dan ia menghela napas. "Setahu kapan tibanya Thio Tayhiap. Sekarang in i tentu juga pamanku lagi sangat bergelisah..." "Memang, aku pun mengharap-harap soehoe lekas tiba," menimpali Sin Tjoe. "Dengan ia berada di antara kita, kita seperti dapat tambah beberapa kawan..." Seng Lim mengangkat kepalanya, melihat wajah si nona. Ia mendapatkan nona itu ce mas, dia mirip dengan bocah yang kesasar jalan... Karena tidak mengarti, ia mele ngak. Ia lantas memikirkan kata-kata nona itu. Sin Tjoe pun memandang pemuda itu, lantas ia tunduk pelahan-lahan. Ia seperti ada memikirkan sesuatu tetapi ia terus mengawasi api. "Ya, aku pun harap Keng Sim bisa datang bersama Thio Tayhiap," kata Sen g Lim kemudian. Ia bagaikan kehabisan pokok soal yang harus dibicarakan. "Keng Sim?... oh!" berkata si nona. "Aku kuatir dia tidak bisa datang bersama." "Pamanku menghargai dia itu," Seng Lim berkata pula. "Paman bilang dia pandai il mu silat dan ilmu surat dan mengarti juga ilmu perang. Dalam tentara rakyat kita memang kekurangan seorang pandai sebagai dia. Apa yang dikuatirkan ialah, sebag ai putera suatu menteri, tidak nanti dia kesudian bercampur baur sama kita rombo ngan orang-orang kasar." Mendengar orang memuji Keng Sim, Sin Tjoe menjadi ingat Keng Sim sebaliknya pern ah di depan ia sendiri menyindir Seng Lim itu kasar dan tidak pandai ilmu surat. Sebenarnya, menurut ia, walaupun Seng Lim tak sepandai Keng Sim, dia tidaklah demikian buruk sebagai sindirannya Keng Sim itu. Karena memikir begini, tiba-tiba ia mendapat perasaan luar biasa, ialah meskipun Seng Lim ada puteranya seorang kuli tambang, dia toh mirip asal t urunan sasterawan dan derajatnya masih lebih tinggi daripada derajatnya Keng Sim si jumawa itu... Selama itu cuaca menjadi semakin gelap, beberapa ekor kelelawar terbang berseliw eran sambil memperdengarkan suaranya. Sampai itu waktu, Tiauw Im masih belum kem bali. "Ah, kenapa dia masih belum juga balik?" kata Sin Tjoe menghela napas, "Mungkink ah dia menemui sesuatu yang berbahaya?" Nona ini mulai memikir yang tidak-tidak. "Soepeetjouw liehay sekali, mustahil di kampung semacam ini dia bisa menghadapi ancaman berbahaya?" Seng Lim bersangsi. "Bukannya begitu," menerangkan si nona sambil tertawa. Loodjink.ee itu ada rada sembrono dan dia gemar sekali usil urusan orang, aku jadi bukannya menguatirkan dia tertawan oleh apa yang disebut si berandal wanita pelangi merah... Aku berku atir dia tertahan urusan lain orang." Sin Tjoe menyebut-nyebut berandal pelangi merah itu sebab selama di tengah jalan ia mendengar orang mengatakan di antara garis pasukan rakyat dan tentara negeri ada berkeliaran ser ombongan berandal pelangi merah, seorang berandal perempuan yang tidak ketahuan namanya, yang katanya liehay sekali. Karena itu, ia bergurau meny ebutkan berandal itu. Belum berhenti suaranya si nona, mendadak terdengar tertawa Tiauw Im Hweeshio ya ng menolak pintu dan bertindak masuk sambil berkata dengan nyaring: "Eh kamu ber dua bocah, apa yang kamu omongkan di belakang orang lain?" "Tidak," Sin Tjoe menyangkal, lekas. Ia lantas mengangkat kepala, mengawasi paderi itu, siapa berjalan masuk seraya memegangi seorang pengemis yang pakaiann ya penuh tambalan, pengemis mana tindakannya limbung. Bahkan untuk herannya ia, ia mengenali orang adalah Pit Yan Kiong muridnya Pit Keng Thian. Pit Yan Kiong itu juga berlepotan darah dan paras mukanya hitam, rupanya dia ter luka parah, walaupun demikian, tidak lenyap romannya yang Jenaka. Segera dia men epuk sebelah kakinya, sambil tertawa haha-hihi dia berkata: "Kakiku si pengemis telah orang hajar rusak, karena itu tidak dapat aku bertekuk lutut terhadap kau, nona!" "Sebenarnya apakah telah terjadi?" Sin Tjoe menanya. Belum pengemis itu menyahuti, Tiauw Im telah rebahkan padanya, lalu dengan dua j ari tangannya, ia menjepit mencabut sebatang jarum panjang lima dim dari pahanya. "Ya, bagaimana sebenarnya duduknya perkara?" kemudian paderi ini pun menanya. "K enapa kau boleh terkena jarum beracun dari Kimtjiam Sengtjioe Han Loopiauwtauw?" "Panjang untuk aku menutur," menyahut Pit Yan Kiong. "Sekarang ini baiklah kau l ekas singkirkan dulu sebelah kakiku ini..." Ia masih hendak berkelakar tetapi ia toh meringis, suatu tanda ia mencoba menahan rasa sakitnya yang hebat. Tiauw Im mengerutkan keningnya. "Piauwtauw tua she Han iku ada seorang jujur dan terhormat," ia berkata. "Sebena rnya, kenapakah kau telah benterok dengannya? Dua-dua pihak ada sahabat-sahabat, inilah sukar... Eh, eh, kau kenapakah?" Paderi ini terkejut. Dia melihat Pit Yan Kiong mendelik matanya dan tangannya me nunjuk ke luar, sedang dari mulutnya keluar teriakan: "Lekas! Lekas!" Tiauw Im berlaku se-bat sekali. Ia membuka luka liang jarum, ia lantas memencet keras, untuk mengeluarkan darah yang warnanya hitam. Selagi berbuat begitu, ia b erkata pada Sin Tjoe: "Lekas kau pergi, kau mewakilkan aku melihat sudah terjadi onar apa di sana! Di sebelah depan, di mulut gunung, ada serombongan orang lagi bertempur! Kalau bisa, kau pisahkan mereka, supaya dapat diadakan perdamaian, k alau tidak, kau membiarkan saja, jangan kau campur tangan! Haha, kau lihat, aku si tu kang usilan atau bukan!" Sin Tjoe tertawa. "Jangan kuatir, soe-peetjouw1." katanya. "Aku tidak akan menerbitkan onar untukm u! Yap Toako, kau pandai bertindak, mari kau temani aku!" Seng Lim suka mengikut, maka itu keduanya lantas lari keluar. Setibanya mereka d i muka dusun, di depan gunung, benar-benar ada serombongan orang lagi berkelahi. Sampai di situ, Seng Lim bertindak dengan pelahan. "Kelihatannya aneh," katanya. "Mari kita melihat dulu." Sin Tjoe suka menurut. Sama-sama mereka bertindak maju, mata mereka mengawasi. Pertempuran berjalan secara luar biasa, pantas Seng Lim mengatakan aneh. Kawanan piauwsoe itu pada menunggang kuda tetapi kuda mereka pada rebah di tanah , suara meringkiknya mengiriskan. Sejumlah peti dan keranjang bermuatkan barang bertumpuk seperti bukit, dikurung oleh orang-orang piauwkiok yang melindunginya. Di atas sebuah pe ti duduk bersilah seorang piauw-soe tua, tangannya mencekal sebatang hoentjwee, yaitu pipa panjang, saban-saban dia menyedot pipanya itu dan mengepulkan asapnya . Si perampas piauw adalah serombongan pengemis, semua mereka menunggang kuda, s aban-saban mereka menerjang. Saban tiba saatnya rombongan piauwsoe terdesak, si piauwsoe tua mengayun tangann ya, lantas terdengar suara sar-ser. Saban diserang secara begitu, semua pengemis itu lari kabur, atau di lain saat mereka merangsak pula, akan mengulangi serangan mereka. Terang sudah mereka itu jeri terhadap si piauwsoe tua dan lagi memancing agar si piauwsoe kehabisan senjata ra hasianya itu. "Apakah kamu ada dari Kaypang?" kemudian si piauwsoe tua menanya. "Kaypang" itu berarti Partai Pengemis perkumpulan tukang minta-minta. Seorang pengemis yang rupanya menjadi kepada mengasi dengar tertawanya. "Kau telah mengenal kami, kenapa kau tidak hendak menjual persahabatanmu kepada kami?" sahutnya. "Kau keluarkan obat pemunah racun, kau serahkan piauw angkutanm u ini, percaya aku, kami tidak nanti membikin sulit padamu! Haha!" "Ngaco belo!" membentak si piauwsoe tua. "Pangtjoe dari Kaypang sekarang ini tel ah menjadi Toaiiongtauw dari delapan belas propinsi, mustahil dia bolehnya kepincuk oleh barang angkutanku yang begini sedikit? Teranglah kamu semua telah memalsukan diri, kamu menyamar j adi rombongan Kaypang itu! Siapakah pemimpinmu?" "Jikalau kau tidak percaya aku, aku pun tidak berdaya," berkata pengemis tadi. " Sekarang ini kau serahkan dulu barang-barangmu, baharu aku suka bicara denganmu! " Si piauwsoe tua menjadi gusar, ia membentak: "Piauwkiok keluarga Han mana dapat sembarang menyerahkan barang-barang yang berada di bawah perlindungannya? Hm! Hm! Memang b iasa orang merampas piauw tetapi aku belum pernah menyaksikan caramu yang sekeji ini kamu menggunai racun meracuni kuda orang! Tidakkah kamu kuatir, karena perbuatan hina kamu ini, orang kangouw nanti menter-tawakan kamu? Karena kamu menggunai nama Kaypang, hari ini mesti aku bek uk kamu untuk nanti dihadapkan kepada Pit Keng Thian! Sampai itu waktu, sekalipun aku suka memberi ampun padamu, Pit Keng Thian sendiri pastilah tidak!" Pengemis kepala itu tertawa bergelak-gelak. "Aku bersedia untuk dicekuk olehmu!" katanya mengejek. Ia keprak kudanya untuk dimajukan. Piauwsoe tua itu mengayun tangannya. Atas itu, si pengemis memutar kudanya untuk menyingkir jauh hingga senjata yang berupa jarum itu tidak dapat mengenakan pad anya. Dia pun pandai sekali mengendalikan kudanya. "Ah, benar-benar aneh!" berkata Sin Tjoe sesudah ia menonton sekian lama. "Kenap a Pit Keng Thian hendak merampas barang- barang angkutannya piauwkiok keluarga Han ini? Sungguh tidak sedap did engarnya cacian piauwsoe she Han yang tua itu terhadap Keng Thian!" "Benarkah mereka ini orang-orangnya Pit Keng Thian?" Seng Lim ragu-ragu. "Mereka pasti bukan orang-orang palsu!" menyahut Sin Tjoe. "Pit Van Kiong itu ad a orang kepercayaannya Pit Keng Thian. Ini pemimpin ada orang she Pek, aku kenal dia, sedang kepandaian membikin celaka kuda ini memang ada kepandaian istimewa dari Pit Keng Thian sendiri. Dulu hari aku pun pernah menjadi kurbannya. Dia h endak mendapatkan kuda Tjiauwya Saytjoe ma, lantas kudaku dikejar hampir tak dapat bertindak." Seng Lim menggeleng kepala. Merampas piauw dengan cara seperti itu benar-benar b ukan cara yang dapat dipuji. "Apakah kau kenal Han Loopiauwtauw itu?" kemudian si nona tanya kawannya. "Sebelum ini, belum pernah aku bertemu dengannya. Hanya menurut pamanku, dialah satu piauwsoe terhormat. Kecuali ilmu silatnya liehay, dia pun pandai bergaul da n menghargai persahabatan. Katanya dia mempunyai tiga macam syarat tidak melindu ngi. Ialah dia tidak suka melindungi piauw yang tidak terang asal usulnya, tidak suka melindungi piauw asal curian, dan tidak suka melindungi juga hartanya pembesar sekakar. Ada dibilang j uga, satu kali dia melindungi barang, tidak nanti terjadi kegagalan, sebab dua-dua golongan Hitam dan Putih ada menaruh hormat kepadanya. Setahu kenapa sekarang Pi t Keng Thian hendak membikin susah padanya..." "Kabarnya dia pun jarang sekali keluar sendiri melindungi piauw -nya," kata Sin Tjoe Magi. "Sekarang dia sampai turun tangan sendirinya, mestinya angkutan ini a da angkutan istimewa!" "Taruh kata benar dia lagi mengangkut harta besar sekali," berkata juga Seng Lim , "sebagai kepala dari tentara suka rela, tidak pantasnya Pit Keng Thian merampa s piauw orang." Keduanya menjadi bingung sekali, tidak dapat mereka menerka jelas. Hampir di itu waktu, kawanan pengemis itu pada tertawa riuh, lalu ada yang berse ru-seru: "Lihat, lihat! Tua bang-ka itu sudah melepas habis senjata rahasianya! Mari maju semua, menyerang! Pandanglah sedikit kepada mukanya, jangan rampas benderanya!" Kawanan pengemis itu melihat beberapa kali si piauwsoe mengayun tangannya tetapi tidak ada jarum rahasia yang menyambar mereka, maka itu mereka mau menyerbu pul a, akan tetapi mereka berlaku hati-hati, sambil majukan kuda mereka, mereka memu tar senjatanya masing- masing di depan muka dan dadanya. Tiba-tiba saja si piauwsoe tua mengasi dengar suara menggeledek: "Pengemis bangs at, berdiamlah kamu!" Menyusul itu sebelah tangannya diayun dan suara sar-ser te rdengar tak hentinya. Lalu dua pengemis di kiri dan kanan roboh terjungkal dari atas kudanya. Si pengemis she Pek sudah lantas memutar kudanya, untuk lari menyingkir. Hebat piauwsoe tua itu, dari atas peti di mana ia duduk bersila tubuhnya mencela t meleset, menyerang si pengemis she Pek itu, sebelah tangannya menyekal semacam senjata yang hitam mengkilap dengan apa dengan tipu "Lie Kong m emanah batu" ia menotok jalan darah soankie hiat! Pengemis she Pek itu, yang bernama Beng Tjoan, ada salah satu pengemis kenamaan di dalam partainya, ilmu silatnya tak ada di bawahan Pit Van Kiong, maka juga ke tika ia diserang, ia berkelit sebat sekali, tapi sembari berkelit, dia menjerit, "Oh, kau bangsat tua!..." Belum berhenti jeritannya itu, terlihat lelatu api me mercik, lalu tubuhnya terguling dari punggung kuda! Piauwsoe tua she Han itu selainnya pandai menggunai senjata rahasia jarum yang diberi nama Bweehoa Touwkoet tjiam juga liehay sekali ilmunya menotok jalan darah, alat peranti itu adalah sebatang hoentjwee-nya itu yang tidak pernah lepas dari tangannya, maka juga setiap kal i digunakan, api hoentjwee pun meletik muncrat, sekalian membakar baju atau kulit kurbannya. Pek Beng Tjoan luput dari t otokan, tidak luput ia dari api hoentjwee itu. Sebat kelitnya Beng Tjoan, lebih sebat adalah si piauwsoe tua. Tanpa berayal sed ikit juga, selagi orang jungkir balik, ujung hoentjwee-nya sudah menotok pula. B eng Tjoan berbalik, dengan cambuknya ia menangkis. Kosong tangkisan-nya itu, ata u mendadak, asap hoentjwee si orang tua mengepul ke mukanya! Asap itu membuatnya menjadi kepala p using dan matanya kabur, hingga karenanya, permainan cambuknya turut menjadi kacau juga. Karena ini, segera ia kena didesak . Hoentjwee itu, dengan asapnya mengepul berulang-ulang, mendesak untuk mencari sasaran jalan darah. Sampai di situ, Beng Tjoan tidak berdaya lagi untuk membalas menyerang, ia cuma dapat membela diri. Sin Tjoe tertawa menyaksikan pertempuran yang sifatnya lucu itu. "Sekarang apa sudah tiba waktunya kita pergi memisahkan?" dia menanya Seng Lim. "Tunggu dulu, kita lihat lagi sebentar!" menyahut si anak muda. Selagi dua orang itu bertempur secara kipa, kawanan pengemis tidak berani merangsak pula untuk mengulangi serbuan mereka. Selain Beng Tjoan n ampaknya tak berdaya, dua pemimpinnya yang lainnya pun telah terkena jarum beracun. Di lain pihak, orang-orang piauwkiok me njadi mendapat hati, mereka sekarang menyerang dengan panah mereka. Dengan begitu terl ihat tegas, pihak Kaypang lekas juga bakal kena dikalahkan. Dalam pada itu orang mendengar tertawanya Han Loopiauwtauw, yang mendesak Pek Beng Tjoan, hingga pemimpin Kaypa ng itu menjadi sangat terdesak dan repot sekali. Satu kali dia mencoba menyerang dengan cambuknya. Kali ini si piauwsoe tidak berkelit, ia justeru mengajukan ho entjwee-nya, mengasi pipa itu kena dilibat cambuk. Hanya, bukan cambuk yang meli bat terus, adalah si piauwsoe yang memutar senjatanya itu, yang membikin senjata nya terus terlibat, hingga cambuk menjadi semakin pendek dan semakin pendek. Di achirnya si piauwsoe berteriak: "Robohlah kau!" Hebat Pek Beng Tjoan, dia terhuyung, tubuhnya miring, tidak dia jatuh! Di dalam rombongan piauwsoe orang menjadi heran. "Ah, mungkin dia benar orang Kaypang?" ada yang berkata. Tapi si piauwsoe tua telah berpikir lain. "Tidak perduli dia siapa!" serunya. "Dia mesti dibekuk untuk dibawa menghadap Pi t Toaiiong tau w\ Jikalau toh benar dia orang Kaypang, tidak, usah kita yang men ghukumnya, pasti Pit Toaiiongtauw yang nanti membikin kutung kedua kakinya!" Piauwsoe ini masih tidak mau percaya orang ada dari Kaypang. Sin Tjoe dan Seng Lim bersembunyi di belakang batu besar dari mana mereka mengintai, mendengar per kataan si piauwsoe tua, mereka mengulur lidah mereka. Mereka heran dan kagum. Ke duanya pun menjadi ragu-ragu, hingga mereka saling menanya, kalau mereka maju untuk memisahkan, apa mereka mesti bila ng apa mereka mesti membenarkan bahwa Beng Tjoan ada dari pihak Kaypang?..." Piauwsoe itu mulutnya berbicara, tangannya tak berhenti bergerak. Ia memang lebi h kosen daripada Pek Beng Tjoan, maka itu, si pengemis terlihat nyata tengah ter ancam bahaya. Di saat bahaya mengancam itu, tiba-tiba perlawanannya kawanan piau wsoe itu seperti terpecah sendirinya, di antara mereka muncul satu orang yang gerakannya sebat bagaikan bayangan. Piauwsoe tua itu mendapat lihat orang datang, ia segera memukul mundur pada Beng Tjoan, untuk memasang mata kepada ini orang baru, yang ternyata ada satu toosoe atau imam dengan jubah kuning, tangannya mencekal hoedtim atau kebutan. Dia sud ah lantas berdiri di depannya si pengemis. "Apakah aku berhadapan sama Hian Eng Tootiangg dari kuil Siangtjeng Koan di Shoa tang?" si piauwsoe menanya sesudah ia melihat tegas orang di depannya itu. "Benar," menyahut si imam. "Sudah lama aku mendengar nama Han Loopiauwtauw, hari ini kita bertemu, aku merasa beruntung sekali." "Mohon tanya, too-tiang, untuk apakah kau datang ke Selatan ini?" piauwsoe tua itu menanya pula. "Pin too datang untuk meminta amal dari kiesoe," sahut imam itu. "Pintoo mohon sukalah kiesoe mendermakan piauw yang menjadi angkutanmu ini." Pintoo adalah "aku" untuk imam dan kiesoe adalah sebutan "kau" menghormat. Di waktu mengucap demikian, imam ini bersikap sungguh-sungguh, tidak sedikit tanda ia bergurau. Piauwsoe itu agaknya gusar sekali, tetapi ia mengendalikan diri. Saking gusar, tangannya yang mencekal hoentjwee sampai bergemetar. "Tootiang ada orang di luar manusia umum, apa perlunya tootiang dengan uang ini?" ia menanya, menahan sabar. "Di kolong langit ini, banyak sekali orang yang menanti untuk disuapi," menyahut si imam tenang. "Pintoo memohon amal karena ada keperluannya." Piauwsoe itu tertawa melenggak. "Sebenarnya, dengan memandang kepada tootiang, tidak dapat aku tidak menderma," ia bilang, "hanya sayang aku Han Tjin Ie, meskipun aku telah mengusahakan piauwk iok beberapa puluh tahun, tanganku tetap kosong, karenanya tidak sanggup aku mengganti uang piauw ini. Bagaimana aku dapat mengikuti kau, tootiang ? Di lain pihak lagi, seumur hidupku , belum pernah aku membikin gagal kepercayaannya langgananku terhadap- ku. Tootiang, apakah kau bukan memaksakan orang mendapatkan kesulitan?" Hian Eng Toodjin tetap dengan sikapnya yang tenang dan dingin. "Bicara pulang pergi, nyatanya kiesoe berat untuk mengamal, bukankah?" ia bertanya. Han Tjin Ie si piauwsoe tua pun rupanya habis sabarnya. Ia angkat hoentj wee-nya. "Begini saja, tootiang ," katanya singkat, "apabila tetap tootiang hendak melunc urkan tanganmu, silahkan kau singkirkan dulu itu bendera piauwkiok kami!" Ia menunjuk kepada benderanya. Itulah tanda pembicaraan sudah putus. Mukanya si imam menjadi keren, tanpa membilang suatu apa lagi, ia geraki kebutan -nya, menotok ke arah jalan darah tiongbeng dan pekhoay. Han Piauwsoe berkelit, tetapi ia tidak mundur, terus ia membalas menyerang. Maka itu, keduanya sudah lantas bergebrak. Bahkan semua gerakan mereka berbahaya sekali untuk pihak lawan. Munculnya Hian Eng secara tiba-tiba itu dan sikapnya itu, yang pun luar biasa, m embikin heran tidak cuma pihak piauwkiok dan Kaypang, juga Sin Tjoe dan Seng Lim . Hian Eng ada imam jujur dan alim, untuk lima propinsi Utara, namanya sangat terkenal. Sebagai imam, untuk apa ia merampas piauw, apapula piauw dari satu pia uwsoe yang demikian memegang derajat dan bersih? "Katanya ketika Pit Keng Thian mendapatkan kedudukan toaiiongtauw di lima propinsi Utara dia dapat bantuannya Hian Eng Toodjin ini, benarkah itu?" Seng Lim tanya kawan nya. "Benar," menjawab Sin Tjoe. "Mereka berdua bersahabat erat, maka itu kedatangannya ini mungkin karena dia menerima permintaan bantuan dari Pit Keng Thian. Hanya heran imam ini sendiri. Biasanya dia tidak turun tang an di dalam urusan yang benar, dia tidak usilan. Kenapa sekarang dia bersikap be gini keras? Mungkinkah ada terselip rahasia pada piauw dari Han Loopiauwtauw ini ?" Pertempuran berlangsung dengan seruh. Hoentjwee Han Tjin Ie pendek, totokannya h anya tiba di satu batas. Kebutan Hian Eng cukup panjang, ujung kebutan itu dapat bekerja terlebih merdeka. Maka juga si piauwsoe seperti kena dikurung. Syukur untuknya, ia kosen, ia cuma kalah di bawah angin. Rombongan piauwkiok menjadi kecil hatinya menampak pemimpin mereka terdesak. Mereka kuatir nama besar dari pemimpinnya nanti runtuh karenanya. Kalau kekuatiran itu berwujud, mereka pun akan turut bercelaka, mangkuk nasi mer eka bakal terbalik... Dalam saat itu men-dadakan terdengar satu suara nyaring. Nyata hoentjwee Tjin Ie , yang dipakai menyerang hebat, kena disampok kebutan Hian Eng. Itulah yang menerbitkan suara itu. Habis menangkis, Hian Eng membalas menyerang. Hebatnya untuknya, setiap lembar bulu ke butannya itu seperti berbangkit berdiri dan bagaikan jarum mengancam mukanya si piauwsoe. "Celaka!" Seng Lim berseru, hampir tubuhnya mencelat. Ia berniat menolong piauwsoe kenamaan itu. Di saat sangat mengancam itu, terlihat berkilauannya sinar seperti kilat, menyambar ke arah Hian Eng Toodjin, tubuh siapa lantas mencelat t inggi, lalu jumpalitan, terus turun di tanah jauhnya setombak lebih dari lawanny a. "Bagus!" berseru Sin Tjoe. Ia memuji dua-dua pihak, si penyerang dan lawannya. Si penyerang untuk serangannya yang liehay si lawan untuk caranya berkelit yang lincah itu. Di dalam saat jiwanya terancam, Han Tjin Ie sudah menggunakan tiga batang jarum emasnya, yang menjadi senjata rahasianya yang dimalui, yang membuatnya terjuluk-kan "Kimtjiam Sengtjioe" atau "Ahli Jarum Emas." Dia liehay untuk senjata rahasianya itu, Hian Eng liehay untuk ringan tu buhnya. Setelah itu, Han Piauwsoe tidak berlompat maju mengubar lawannya, un tuk merangsak, ia hanya berdiri tenang seperti lagi menantikan datangnya musuh. Hal ini membikin heran semua orang dari rombongannya, hingga mereka itu, dalam hatin ya, saling menanya, kenapa si piauwsoe mensia-siakan ketikanya yang baik itu. Me reka tidak tahu, saking liehaynya si imam, piauwsoe itu mau berlaku hati-hati. "Hian Eng Tootiang ," katanya kemudian, sesudah ia membuang napas, "sekarang sudikah kau memberi ampun kepadaku si orang tua?" Ia menanya sembari tertawa. Hian Eng mengibas dengan kebutannya, terus ia menyahuti dengan tawar: "Beberapa batang jarum emas tidak ada harganya, pintoo tetap hendak meminta amal dari kau, kiesoe." Lalu ia mengebut pula, untuk menyerang. " Too tiang," b e rk a t a Tjin Ie, "di kolong langit ini sangat jarang aku meli hat cara orang meminta derma sebagai kau ini, kau membuatnya aku si orang tua me njadi kewalahan..." Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama semburan asap hoentjwee. Memang tiga keistimewaan dari piauwsoe kenamaan ini adalah jarum rahasianya, hoentjwee-nya dan ini asap hoentjwee-nya itu. Asapnya ini yang terlebih luar bia sa. Kalau ia habis menyedot pipanya, asapnya dia dapat tahan di dalam mulutnya, di saatnya yang perlu, ia semburkan secara tiba-tiba, di luar sangkaan lawan. Demikian sudah terjadi serangan asap kepada i mam itu. Di dalam satu pertempuran, yang paling dimalui adalah pembo-kongan. Itu artinya, kita berada di tempat terang, lawan di tempat gelap. Hian Eng tidak menduga jel ek ketika tahu-tahu ia terserang asap hoentjwee, tidak perduli ia gagah dan taba h, hatinya toh terkesiap juga. Dalam kesehatannya, ia mengebut, bukan untuk menyerang, hanya untuk membela diri. Ia melindungi diri di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah, tipu silatnya ialah yan g dinamakan "Pathong hongie, atau "Hujan Angin di Delapan Penjuru." "Bagus!" Han Tjin Ie berseru dengan pujiannya. Mau atau tidak, ia mesti mengagum i imam itu. Tapi ia memuji bukan untuk berhenti berkelahi, pujiannya itu disusul pula sama semburan asapnya. Hian Eng menjadi panas hatinya. "Apakah ini namanya pertempuran?" dia menanya. Selagi orang sangat mendongkol, si piauwsoe tertawa. "Tetamu yang dihormati berkunjung datang, sudah selayaknya saja aku si orang tua menyambut dengan menyuguhkan hoentjwee dan teh!" ia berkata. "Tetapi kita di sini berada di tengah jalan, di sini tidak ada air teh, terpaksa aku menghormati kau dengan asap!" Sembari berkata begitu, piauwsoe ini melanjuti serangannya, hoentjwee-nya dipaka i menotok atau menikam seperti tombak. Ia selalu mencari jalan darah. Hian Eng membela diri dengan rapat. Ia mengeluarkan kepandaiannya hasil latihan beberapa puluh tahun. Ia terhalang dengan asap hoentjwee, yang membikin tubuh la wan seperti tertutup dan nampak samar-samar, akan tetapi ia dapat mengarahkan pa ndangan matanya. Tjin Ie kewalahan juga meskipun benar nampaknya ia lebih unggul. Sampai habis as apnya, ia masih belum berhasil merobohkan lawan, sedangkan hoentjwee-nya tidak pernah mengenai sasarannya. Ia masih mempunyai sisa jarumnya tetapi ia tidak mau pakai itu secara sembrono, kuatir keburu habis. Pertempuran juga terjadi di antara pihak pelindung piauw dan orang-orang Kaypang . Cambuknya Pek Beng Tjoan sudah patah, ia ganti itu dengar sebatang golok rampa san. Dengan bengis ia merobohkan dua piauwsoe kepala, lantas ia tertawa. "Han Loopiauwsoe ," ia berkata, "kau serahkan piauw dan benderamu! Air hijau, gu nung ribuan, maka itu masih ada waktunya untuk kita bertemu pula!" Perlawanan pihak piauwkiok runtuh sampai di situ, maka Pek Beng Tjoan dengan merdeka memerintahkan orang-orangnya mengang kut semua angkutan, yang dipindahkan ke kereta-kereta keledai yang mereka siapka n. Orang Kaypang berjumlah cukup banyak, mereka pun bekerja keras. Orang-orang piauwkiok cuma bisa mengawas i saja, untuk maju mencegah, mereka dihalangi Beng Tjoan. "Sekarang sudah waktunya kita turun tangan?" Sin Tjoe tanya Seng Lim. Orang yang ditanya tertawa. "Kita membantu Hian Eng merampas piauw atau membantu Han Loopiauwtauw membel ai barangnya itu?" ia balik menanya. "Kita datang sama tengah, untuk memisahkan dan mendamaikan," sahut si nona. Pertempuran berlangsung dengan seru. Hoentjwee Han Tjin Ie pendek, totokannya ha nya tiba disatu batas. Kebutan Hian Eng Toodjin cukup panjang, ujung kebutan itu dapat bekerja terlebih merdeka. Maka juga si piauwsoe seperti kena dikurung. Sy ukur untuknya, ia konsen, ia cuma kalah di bawah angin. "Sudah terang Hian Eng menghendaki piauw , mana dapat kita memisahkan mereka?" tanya si anak muda. Sin Tjoe berdiam. Urusan memang aneh sekali. Piauw apa piauw -nya Han Tjie Ie in i? Kenapa Pit Keng Thian hendak merampasnya? Kalau ia hendak mendamaikan, apa da sarnya atau alasannya untuk berbicara? "Habis bagaimana?" achirnya si nona tanya. "Jelas sudah, mereka hendak merampas piauw , mereka tidak berniat mencelakakan o rang," mengutarakan Seng Lim, "sekarang kita biarkan Hian Eng berlalu dengan bar ang rampasannya itu, kita pegat ia di lain tempat, untuk meminta penjelasan. Pit Toa ko bukan orang lain, kita dapat berbicara dengan baik, nanti kita keta hui duduknya hal yang benar." Sin Tjoe setujui sahabat ini, ia mengangguk. Sampai di situ, mereka mengawasi pula medan pertempuran. Di sana orang-orang Kaypang bekerja keras memindahkan semua piauw. "Kau dengar, suara apa itu?" berkata Seng Lim pada kawannya. Mendadak saja ia me ndengar semacam suara yang terbawa angin, ialah suara terompet. Segera juga suara itu terdengar pihak piauwkiok dan Kaypang, mereka heran, masin g-masing lantas memasang kuping. Suara terompet itu tercampur siulan. Semua orang memasang kuping sambil berbareng memasang mata ke arah dari mana suara itu datang. Mereka tidak usah menanti lama atau mereka tampak munculnya sa tu barisan serdadu wanita, yang dandanannya rapi. Di paling depan ada empat wani ta yang tangannya menenteng tengloleng, mengiringi seorang wanita lain yang berpelangi merah. Dari antara mereka itu pun terdengar suara tertawa. Semua orang menjadi heran, mereka mengawasi dengan menjublak. "Melihat dandanannya, mungkinkah dia yang orang sebut Angkin Lietjat?" tanya Sin Tjoe dalam hatinya sesudah ia mengawasi sekian lama. Angkin Lietjat itu berarti berandal wanita berpelangi merah, atau si Pelangi Merah. Setibanya, si pela- ngi merah itu menggapai dengan tangannya, dan dengan dingin dia berkata: "Piauw itu tinggalkan untuk aku!" Hian Eng Toodjin gusar mendengar kata-kata itu. "Apa?" dia menegaskan . Nona itu tertawa manis, tetapi mendadak dia berseru bengis: "Apakah kau tidak me mpunyakan kuping yang panjang? Aku bilang, piauw itu tinggalkan untuk aku!" Hian Eng mengebut kebutannya. "Alasan apa kau ada punya untuk aku menyerahkan piauw ini kepadamu?" dia menegas kan. "Oh, kiranya kau ingin bertempur?" si nona balik menegaskan. "Aku mengandalkan i ni maka aku menghendaki piauw ini!" Dengan hanya satu kelebatan, si nona sudah menghunus pedangnya yang tajam mengkilap, dengan itu ia menyerang tanpa ayal lagi. Untuk kagetnya Hian Eng Toodjin, ia mendapat kenyataan kebutannya telah terbabat ujungnya. Pastilah pedang si nona tajam luar biasa, kalau tidak, kebutan besi i tu tidak nanti kena dibikin bercacad. Tentu sekali ia menjadi gusar sekali. Ia p un menjadi heran sebab sehabis babatan-nya yang pertama itu, si nona terus menye rang ia dengan bengis. Itulah bukan cara umum untuk kaum Golongan Hitam. Mau atau tidak, terpaksa Hian Eng melayani nona itu. Ia menggunai ilmu silat keb utannya itu yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus. Belum habis sepa- ruhnya ia gunai ketika mendadak si nona, sambil berseru nyaring, menikam tenggor okan dengan pedangnya dan menotok kedua mata dengan dua jari tangan kirinya. Imam itu melihat serangan itu, ia segera menggeraki kebutannya untuk membela dir inya. Tetapi si nona liehay, belum sampai ia mengenakan sasarannya, mendadak ia mengubah gerakan, pedangnya diteruskan dengan babatan, hingga tubuh Hian Eng sep erti terkurung sinar pedang. Tapi ia pun bukan seorang lemah, ia juga mencari lo wongan. Demikian setelah datang ketikanya, ia membalas menyerang, ia menotok kepada enam jalan darah giok heng, kwangoan, thiankwan, soankie, yauwkong dan tionghoe. Secara begini ia memaksa si nona repot membela dirinya, hingga mereka menjadi se banding, sedang mulanya, si imam kelihatan terdesak. Pertempuran berlanjut terus. Hian Eng ingin melampiaskan kemen-dongkolannya, seb isa-bisa ia mencari jalan untuk memberi pengajaran kepada lawannya itu. Begitula h satu kali ia menyerang hebat sekali. Sekonyong-konyong si nona meniup keras, lalu dia tertawa dan berseru: "Hai, imam busuk, ilmu silatmu tidak ada kecelaannya, tetapi kau pergilah!" Dan dia menyam buti kebutan. Hian Eng tidak menghendaki kebutannya itu terbabat pula, ia lekas-lekas menarik pulang. Tapi justeru ia menarik pulang, justeru pedang si nona dibaliki, terus dipakai menyerang, maka dengan satu suara cukup n yaring, kopia suci imam ini kena terpapas kutung! Hian Eng kaget bukan kepalang. Sia-sia ia hendak melindungi dirinya, menangkis tidak bisa, berkelit tidak keburu. Inilah untuk kedua kalinya yang ia kena dipecundangi. Yang pertama kali ialah waktu ia membantui Pit Keng Thian memperebu-ti kedudukan toaiiong-tauw dari lima propinsi Utara, ia telah te rkalahkan Vang Tjong Hay. Ia tidak menyesal yang ia kena dirobohkan orang she Ya ng itu, sebab orang terkenal sebagai satu di antara empat kiamkek, ahli silat pe dang, terbesar. Tetapi kali ini, ia melayani nona itu belum sampai tiga puluh ju rus. Maka juga ia mendongkol berbareng malu sekali. Sampai di situ Han Tjin Ie maju mendekati. Ia nampak girang karena air mukanya b erseri-seri. Ia memberi hormat kepada si nona seraya ia menanya: "Nona, adakah k au liehiap Leng In Hong dari Hoeyong San? Aku si orang tua ada piauwsoe Han Tjin Ie dari Tjin wan Piauwkiok dari Pakkhia, aku lewat di wilayah nona tetapi belum sempat aku membuat kunjungan kehormatan, maka itu aku minta sukalah kau memaafk annya." Piauwsoe jago ini menyebutnya orang iiehiap, pendekar wanita, itulah untuk mengangkat saja. Ia sebenarnya bukan belum mengunjungi hanya tidak ada niatnya untuk itu. Ia ketahui nama besar si nona tet api nama itu didapat- nya belum ada satu tahun, dia jadinya tidak dilihat mata. Han Tjin Ie telah perg i menghormati tujuh kepala berandal lainnya tetapi tidak si nona ini, yang tak m asuk dalam hitungannya... Leng In Hong menyapu kepada wajahnya piauwsoe tua itu, jalu ia mengerutkan kenin g. Ia kata: "Loodjinkee, buat apa kau banyak omong? Aku toh tidak minta berkenal an denganmu atau memohon tanya riwayatmu?" Han Tjin Ie mele-ngak, ia mengawasi si nona, terus ia tertawa. "Nona, piauw ini berada di bawah perlindunganku," ia berkata, hormat, "maka itu aku minta sukalah nona berbuat baik. Aku akan menurut i aturan kaum kangouw kita, nanti aku akan mengirim bingkisan kepadamu." Piauwsoe ini percaya si nona bakal memberi muka padanya. Ia percaya, sebagai seo rang yang baru muncul, si nona tentunya membutuhkan nama kesohor. Ia pun percaya , ia akan dipandang juga sebab ia adalah pemimpin antara pelbagai piauwsoe kepal a. Tapi kesudahannya adalah di luar dugaannya. Leng In Hong memperlihatkan wajah dingin. "Apakah halangannya untuk mengambil piauw ini?" katanya tawar. "Untukku, aku tid ak mengambil perduli siapa yang menjadi pembelanya!" Pek Beng Tjoan tertarik mendengar kata-kata si nona, maka juga ia berjingkrak. "Tidak salah!" dia nimbrung. "Memang juga, apakah halangannya untuk mengamb il piauw ini? Kita ada orang dari sesama kaum, menurut aturan, dapat kita membagi r ata, seorang separuh!" "Adakah piauw ini kau yang turun tangan lebih dulu merampasnya?" si nona tanya. "Benar," menyahut Beng Tjoan. "Kami mendapat perintah dari Pit Pangtjoe. Ini... ini..." Ia hendak menuturkan asal-usulnya piauw itu, atau si nona dengan tak sabaran sud ah menggoyang-goyangi tangannya seraya berkata: "Hm! Kami bekerja di dalam daerah pengaruhku, turut pantas kamu harus diberi sedikit tanda mata, tetapi mengingat yang imam ini berkepandaian ta k tercela, suka aku membiarkan kamu pergi dengan cara baik! Apakah kamu masih ti dak mau mengangkat kaki?" Mendengar itu, Pek Beng Tjoan menjadi gusar. Ia sudah bicara dengan aturan, oran g nyata tidak menggubrisnya. Dalam gusarnya, ia membulang-balingkan goloknya. "Ha, bagus ya!" serunya. "Aku sudah memberikan muka kepadamu! Aku undang kau minum arak, kau menolak, kau justeru menerima arak dend aan! Baiklah, sekarang kau boleh merampasnya piauw ini dari tanganku!" "Kau, Han Tjin Ie, apa kau hendak bilang?" Hian Eng pun menanya si piauwsoe. Leng In Hong sementara itu menitahkan barisan perempuannya menggiring pia uw, untuk dibawa pergi, atas mana orang-orang piauwkiok menco ba menghalanginya. Pihak piauwkiok itu dibantu oleh orang-orang Kaypang, yang hendak mempertahankan piauw itu. Barisan wanita itu kosen, dalam benterokan, mereka tidak dapat dirintangi . "Baiklah!" ia berseru, menyambut Hian Eng. "Mari kita sama-sama naik sebuah pera hu! Mari kita hajar dulu ini rombongan berandal!" Kata-kata ini disusul serangannya dengan hoentjwee yang dibarengi sama semburan asap hoentjwee itu. Berbareng dengan itu, Hian Eng dan Pek Beng Tjoan juga turut menyerang, maka itu si nona, si Pelangi Merah, sudah lantas dikepung bertiga. *** Leng In Hong tertawa panjang melihat orang mengepung kepadanya, tubuhnya segera bergerak dengan lincah, menyelamatkan diri, setelah m ana pedangnya lantas menikam kepada Han Tjin Ie. Piauwsoe tua ini angkat tangan kirinya, untuk melind ungi dadanya, berbareng dengan itu dengan hoentjwee-nya ia menyerang seperti juga ia menggunai tombak. Inilah gerakan "Bianglala putih menu tupi matahari." Ia membela diri sambil menyerang, ujung pipanya menyam-ber ke tenggor okan. Si nona benar-benar gesit, cuma bergerak satu kali, dia sudah lantas lolos dari tikaman itu. Untuk membalas, ia menusuk lengannya s piauwsoe. Cepat serangan membalasnya ini. Coba si piauwsoe tidak liehay, pasti tangannya sudah kena terpanggang pedang. Ia kelit tangannya itu, yang ditarik terputar, berbareng den gan mana, kembali ia menyemburkan asapnya, ketika asap itu sudah seperti semacam tir ai, tangan kirinya pun diayun, menimpukkan jarum rahasianya. Malah saking sengit nya, ia menggunai semua sisa tujuh batang senjata rahasianya yang beracun itu. Hingga di situ nampak sinar berkilauan. "Bagus!" berseru si nona sambil terus ia tertawa panjang, sembari berseru, tubuh nya mencelat tinggi, hingga semua tujuh batang jarum lewat di bawahan kakinya. N yata ia sangat celi matanya dan gesit tubuhnya. Karena ia berlompat, ketika tubu hnya turun, ia berada dekat Hian Eng Toodjin, dari itu tanpa berayal lagi, ia menyerang imam itu dengan gerakannya "Burung walet menyambar om bak." Imam kosen ini ketahui dengan baik orang sangat liehay, ia tidak mau menangkis p edang dengan kebutannya itu. Untuk membela diri, ia tetap menggunai kebutannya. Hanya kali ini ia menggunakan jurus "Murid imam mengebut debu." Seca ra liehay sekali, ujung kebutannya dapat melilit ujung pedang. Pek Beng Tjoan dapat melihat pedang si nona seperti sudah mati kutunya, ia lanta s menggunai ketikanya yang baik itu, dengan hebat ia menyerang dengan goloknya. Golok itu berkelebat berkilau, begitu juga sinar pedang. Berbareng dengan itu, terdengar pula tertawa nyaring dari si nona, tertawa yang mengejek. Untuk herannya Beng Tjoan, ia kehilangan tu buh si nona, yang menjadi sasarannya itu. Di lain pihak, terdengar jeritan "Cela ka!" dari Hian Eng Toodjin, disebabkan kebutannya terlepas dari tangannya, terba ng mental. Beng Tjoan kaget sekali, hingga ia melengak. Justeru ia berdiam, mendadak ia men dengar siuran angin di belakangnya. Kembali da menjadi kaget. Ia menduga pada an caman bahaya. Sayang, belum lagi ia memutar tubuh atau menangkis ke belakang, ia sudah lantas merasakan sakit pada pundaknya. Nyatalah Leng In Hong, setelah mem-balingkan kebutannya Hian Eng Toodjin, sambil lalu, sudah menikam orang she Pek ini, tetapi ia masih menaruh belas kasihan, ia tidak menikam sekuat- kuatnya, ujung pedangnya cuma mengenakan daging piepee. Hian Eng sendiri telah melihat ke mana kebutannya melayang, dengan berlompat pes at ia menyambar, untuk mencekal pula itu, sesudah mana ia pernahkan diri berdamp ingan sama Han Tjin Ie. Hanya sekarang, dengan Beng Tjoan terluka, mereka menjad i kekurangan satu tenaga. Sebenarnya, dengan bekerja bersama bertiga, mereka ada cukup tangguh, sayangnya, Leng In Hong ada terlalu gesit. Sin Tjoe dan Seng Lim terus mengintai. Keduanya kagum untuk kelincahannya si Pel angi Merah. Bahkan si nona segera berpikir: "Ilmu pedang partai manakah ini, yang dia dapat mainkan secara begini bagus? Kelihatannya ilmu pedang ini ti dak ada bawahan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat dari kakek guruku..." Pertempuran sementara itu berjalan terus. Pek Beng Tjoan sudah menyerbu pula. Ia lah yang dianggap terlemah dan kembali ia menjadi kurban. Dengan bersuara nyarin g, lebih dulu goloknya kena dibabat kutung, belum sempat ia sadar dari kagetnya, menyusul melayangnya sebelah kaki si nona, tubuhnya pun roboh terguling! Habis itu, Leng In Hong mendesak si imam dan si piauwsoe, ia memaksa mereka itu. Juga orang-orang piauwkiok dan Kaypang mesti mundur dari serbuannya pasukan wanita dari si berandal Pelangi Merah, mereka itu kabur ke segala penjuru. Sampai di situ, pasukan wanit a itu lantas kembali, untuk membawa dan mengiringi barang rampasan mereka. Sekar ang mereka tidak terintang siapa juga. Leng In Hong mendesak terus pada Tjin Ie dan Hian Eng, ia membuatnya mereka itu berkuatir. Mereka itu tidak lagi mundur, mereka terpaksa memutar tubuh, secara demikian, beberapa kali mereka terpaksa memutar pula tubuh, untuk membela diri, sebab mereka merasai anginnya pedang di punggung mereka. Mereka cemas hati tapi saban-saban hati mereka lega kembali, ujung pedang si nona tidak mampir di tubuh mereka. Lagi satu kali, dua- dua Hian Eng dan Tjin Ie merasakan ancaman di belakang mereka. Mendadak mereka m endengar suara "Traang!" Hian Eng berbalik sambil menangkis dengan kebutannya. Ia melihat sinar kuning emas yang kecil sekali. Ia menduga Tjin Ie m elawan musuh dengan jarum rahasianya. Tapi Leng In Hong sendiri sudah terpisah sepuluh tombak lebih dari pada mereka, nona itu sambil tertawa berkata dengan nyaring: " Dengan memandang kepada biji senjata rahasia, aku melepaskan kamu pergi!" Hian Eng melengak, di dalam hatinya ia berkata: "Apaikah artinya jarum rahasia si tua bangka she Han hingga ini wanita iblis begini mengh argainya?" Leng In Hong itu cepat datangnya, cepat juga perginya. Dengan lekas ia bersama barisan tente-ranya, serta piauw yang mereka rampas, sud ah menghilang di dalam rimba yang lebat pepohonannya. Han Tjin Ie sangat penasaran, ia lari mengejar, untuk menyusul. Saking letih, na pasnya memburu. Hian Eng turut berlari-lari, tetapi sembari menyusul, imam ini berkata dengan ejekannya: "Bangsat wanita itu sudah pergi jauh, untuk apa kau repot tidak kerua n?" Suara ini ditambahkan tertawa yang dingin. "Dasar kamu semua!" membentak Tjin Ie dalam panasnya hatinya. "Kamu yang membiki n celaka hingga merek piauwkiok kami telah kena orang bikin rusak!" Lalu dengan hoentjwee-nya ia menyerang imam ini, yang ia arah jalan darahnya honghoe hiat. Saking murka, kelihatan urat-urat di d ahinya pada timbul. Hian Eng menangkis dengan kebutannya. Kembali dia tertawa mengejek. "Toh bukannya aku yang merampas piauw -mu itu!" berkata imam ini, dingin. "Toh kamulah yang menjadi gara-gara!" membentak pula si piauwsoe. Dalam sengitny a, ia menyerang pula, berulang-ulang. Sudah empat puluh tahun ia memimpin piauwk iok, mengangkut barang-barang orang, inilah yang pertama kali ia gagal nama baik nya rusak, barang orang mesti diganti! Dan tadi ia telah menerangkan, tidak nant i ia sanggup menggantinya... Sekarang ini Hian Eng tidak ada niatnya menempurpiauwsoe itu. Ia menyangka barusan adalah si piauw soe yang sudah menolong jiwanya dengan merintangi tikaman si nona berandal. Piau w pun sudah kena dirampas orang. Maka itu ia melainkan membela diri saja. Tapi s i piauwsoe tidak mengarti hati orang, ia bahkan bertambah penasaran, saking mend ongkolnya, ia menyerang makin hebat. Hian Eng pun mendongkol, tetapi ia masih dapat menguasai dirinya. "Tua bangka, kau benar-benar keterlaluan!" achirnya ia kata dengan sengit, "Sekarang aku hendak tanya kau, kau ingin atau tidak mencari piauw -mu itu?" Piauwsoe itu terbangun alisnya. "Tentu saja!" dia menjawab nyaring. "Bukankah piauw itu dirampas si berandal wanita?" Hian Eng menanya pula . "Jikalau bukannya kamu yang mengacau, pasti aku sudah dapat melewati ini gunung Hoeyong San?" menyahut Han Tjin Ie, yang jawabannya menyimpang. "Hutang tinggal hutang!" berkata si imam. "Sekarang mari kita bicara dari hal di depan mata!" "Bagaimana?" "Kau hendak merampas pulang piauw-mu itu! Aku sendiri, aku hendak merampasnya! D i dalam hal merampas, tujuan kita sama, karena itu, sudah selayaknya apabila kit a sama-sama naik sebuah perahu!" "Jadi kau maksudkan kita bekerja sama berdaya mencari pulang piauw itu?" "Benar!" Piauwsoe itu berpikir, hanya sebentar, lalu timbul pula kemurkahannya. "Aku tidak sudi bekerja sama kamu bangsa hina dina!" jawabnya. Hian Eng murka dikatakan hina. "Kenapa aku hina?" dia menanya. Justeru itu Pek Beng Tjoan mendatangi. Dia duduk atas seekor kuda, tubuhnya berg oyang-goyang seperti hendak roboh. Masih Tjin Ie gusar. Dia berkata: "Kamu telah menggunai racun terhadap kuda dan keledai kami hingga binatang itu roboh semua! Bukankah itu perbuatan sangat hina dina?" Di mulut piauwsoe ini berkata demikian, tubuhnya sendiri tahu-tahu berlompat mema-paki Beng Tjoan yang ia terus serang, dengan pipa panjangnya. Belum sampai ujung hoentjwee mengenai sasarannya, atau lebih benar, belum lagi B eng Tjoan dan kudanya tiba di dekat si piauwsoe, orang she Pek itu sudah roboh s endirinya, sebab kudanya mendadak meringkik dan berjingkrak. Hian Eng gusar sekali. Dia membentak: "Kau mengatakan aku hina dina! Sekarang ka u menyerang orang yang lagi terluka, apakah kau satu enghiong?" Dengan menggeraki kebutannya, imam ini menyerang si piauwsoe. Tjin Ie pun sadar atas teguran ini. Bukankah tadi Beng Tjoan bekerja sama melawa n si berandal wanita, hingga karenanya, orang she Pek itu mendapat luka terkena dua kali tikaman si nona? Ia menjadi likat sendirinya. Mes ki begitu, ia melawan terus kepada si imam, yang masih menyerang ia dengan sengi t. Pertempuran ini lebih seruh daripada yang bermula tadi. Di saat kedua orang itu berkutat hebat, mendadak ada terdengar seruan yang nyari ng tetapi halus: "Kedua tootjianpwee, sabar! Soepeetjouw kami Tiauw Im Hweeshio mengundang tootjianpwee untuk bertemu!" Seruan itu berpengaruh, kedua jago itu sudah lantas berhenti berkelahi. Dengan berdiri berpisahan, mereka berpaling ke arah dari mana suara itu datang. Maka mereka lantas mendapat lihat dua orang, yang satu adalah se- orang nona yang cantik, yang lain seorang muda yang romannya gagah. Teranglah, si nona yang barusan menyerukan mereka sabar. Tentu saja, mereka itu ialah Sin Tjoe dan Seng Lim. Hian Eng Toodjin sudah lantas mengenali Nona Ie. Ia pernah bertemu nona itu di d esa Boe keetjhoeng di waktu ia membantu Pit Keng Thian merebut kedudukan Toaiion gtauw lima propinsi Utara, bahkan ia ketahui orang adalah muridnya Thio Tan Hong . Maka ia lantas mengangkat tangannya memberi hormat kepada si nona. Han Tjin Ie tidak kenal Sin Tjoe tetapi mendengar suara orang dan menyaksikan sikapnya Hian Eng Toodjin kepada nona itu, ia pun tidak mau bersikap kasar. Ia bahkan ingat suatu apa, maka lekas-lekas ia berkata: "Ketika tadi pada permulaan kali aku bertempur sama ini rombongan pengemis, ada seekor k uda putih yang lari keras di luar rimbah, larinya cepat luar biasa, selagi aku m engubar si pemimpin pengemis, penunggang kuda itu telah menyambar padanya dan te rus dibawa pergi. Karena laratnya kuda, aku tidak dapat melihat nyata penunggang kuda itu. Itu waktu pun masih gelap. Adakah orang itu Tiauw I m Hweeshio?" "Benar," menyahut Sin Tjoe mengangguk. Mendapat jawaban itu, matanya si piauwsoe terbuka lebar, lalu dia berkata den gan nyaring: "Oh, beginilah satu sahabat lama membantu aku? Baiklah, aku mesti minta keadilan dari hweeshio itu!" "Kiranya Tiauw Im Taysoe pun datang ke mari?" berkata Hian Eng heran. "Dia melih at Pit Van Kiong mendapat luka, cara bagaimana dia dapat tidak menolongnya? Sebe narnya harus dari siang-siang piauw ini sudah kena dirampas, jadi tidak usahlah sampai terjadi hal bertele-tele seperti ini!" Sin Tjoe tidak mem-perdulikan bicara orang, ia tertawa dan berkata: "Oleh karena soepee-tjouw-ku itu bersahabat dengan kedua iootjianpwee, maka juga i a menitahkan aku mengundang kalian!" Dua-dua orang itu masih mendongkol, mereka memperdengarkan suara "Hm!" Tanpa mengucap kata-kata lain, mereka lantas mengikuti Sin Tjoe dan si pemuda, yang memimpin mereka sampai di kuil butut. Di sana terlihat Tiauw Im Hweeshio masih saja menolo ngi Pit Van Kiong. Melihat orang datang, paderi itu tertawa nyaring, terus ia berkata: "Han Laoko, bagus kau telah datang! Mari kau keluarkan obat pemu-nahmu, supaya aku tidak usa h berkutatan lagi menolongi ini pengemis!" Tapi Tjin Ie masih gusar. "Tiauw Im, kau membantu siapa?" ia tanya paderi itu, suaranya keras. Tiauw Im terus tertawa. "Aku tidak membantu siapa juga!" jawabnya. "Bocah wanita ini baru saja mengatakan aku usilan, suka campur urusan lain orang! Di ma na dua-dua pihak ada sahabat- sahabatku, jikalau aku membantu salah satu pihak, bukankah urusan bakal menjadi terlebih hebat lagi?" Napasnya Tjin Ie memburu. Ia masih tetap gusar. "Kau bilang tidak hendak membantu, mengapa kau memaksa aku untuk mengeluarkan obat pemunah?" dia tanya sengit . Tiauw Im tertawa, "Sabar, saudaraku!" ia berkata. "Aku hanya minta kau sukalah mengeluarkan obatmu itu. Aku minta, jikalau kau tidak melihat muka paderi, melihatlah muka Sang Bud dha!" "Hm!" bersuara pula si piauwsoe tua. "Tiauw Im Hweeshio, kau jadi menggunai peng aruhnya si kakak menindih si adik!" "Aku tidak demikian muka terang, aku cuma mau minta sukalah kau memandang kepada Toaiiongtauw Pit Keng Than dari delapan belas propinsi!" berkata pula si paderi tenang. Piauwsoe tua itu tercengang. "Apa kau bilang?" menegasi ia kemudian. "Pit Keng Thian? Pit Toaiiong t au w ?" "Tidak salah!" menjawab Tiauw Im. "Bukankah ada harganya untuk kau membeli mukan ya Pit Toaiiongtauw itu?" Han Piauwsoe agaknya heran. "Jadi menurut kau," katanya keras, "kawanan pengemis busuk barusan itu diperinta hkan Pit Keng Thian?" "Sedikitpun tidak salah!" Tiauw Im mengangguk. Kedua matanya si piauwsoe mencilak, dia duduk numprah di lantai. "Orang dengan kedudukan sebagai dia masih hendak merampas piauw-ku yang tidak berharga ini?..." katanya. "Dan ia pun membiarkan orang-orang sebawahannya itu menggunai akal keji sekali!" Napasnya kembali memburu. Hian Eng Toodjin turut campur bicara, suaranya dingin: "Jikalau bukannya kau yang dirampas, habis siapakah? Siapa suruh kau melindungi barang-barang angkutanmu itu?" Tjin Ie berjingkrak bangun. "Apa katamu?" dia menjerit. "Aku mengusahakan piauwkiok , jikalau aku tidak melindungi barang angkutan, apa aku m esti makan angin saja?" Ketika itu Pit Yan Kiong telah merasakan sakitnya kurangan, ia pun turut bicara. "Han Loapiau wsoe, apakah kau takut nanti tidak dapat makan?" dia tanya tertawa. "Justeru di pihak kami ada orang-orang yang perutnya kosong kelaparan!" "Kau artikan apa?" Tjin Ie menanya. "Tunggu dulu!" berkata Pit Van Kiong. "Aku numpang tanya, piauw ini siapaka h yang menyerahkannya padamu untuk dilindungi?" Piauwsoe itu mendongkol. "Mustahilkah kau tidak ketahui tiga syaratku pantang melindungi barang angkutan?" ia balik menanya. "Jikalau angkutanku kali ini angkutan tidak terang, apakah kau kira aku ada demik ian tolol mau melindunginya?" Kembali Hian Eng Toodjin menyelak. Ia kata: "Untukmu, kau memantang tiga baik, untuk tiga puluh tahun kau tidak melindungi piauw juga baik , tentang itu aku tidak ambil perduli! Aku cuma mau tanya kau, piauw -mu ini pia uw siapa?" "Bagus betul!" Tjin Ie kembali berteriak. "Kau seperti sedang memeriksa aku!" "Itulah aku tidak berani," menyahut Hian Eng. "Aku bilang terus terang, kau sudi mengasi keterangan atau tidak tentang pemilik barang-barang ini, terserah kepad a kau, tetapi kami, sudah pasti kami menghendakinya!" Mendengar semua itu, Sin Tjoe tertawa geli. "i Piauw toh ada di tangan lain orang, iootjianpwee, untuk apa kamu bers elisih?" dia bertanya. Pertanyaan ini mem- buatnya dua jago itu melengak, juga yang lainnya, hanya kemudian, mereka menjadi tertawa. Memang benar, mereka lagi memperebuti pepesan kosong! Karena ini, kedua pihak menjadi t erlebih sabar. Sekarang Seng Lim yang turut bicara. "Baik kalangan piauwkiok maupun golongan Hitam, masing-masing ada aturannya send iri-diri," demikian katanya. "Karena itu, apabila Han Loopiauwsoe tidak sudi mem beri keterangan, tidak apalah, urusan baik disudahi saja..." "Apa?" berseru Pek Beng Tjoan, yang sudah membalut luka-lukanya. "Sudah saja? Ka u siapa? Kami tidak mengundang kau untuk mengutarakan pikiranmu!" "Saudara Pek, aku minta sukalah kau tidak berlaku kurang hormat," Pit Van Kiong minta. "Tuan ini ada keponakannya Yap Tong nia." Beng Tjoan heran, hingga ia mengeluarkan suara tertahan. "Jikalau begitu," katanya kemudian, "tidaklah seharusnya dia berpihak kepada o rang luar..." Seng Lim tidak menjadi kurang senang. "Adakah barang-barang ini dikehendaki pasukan rakyat?" ia tanya. "Apakah aku memangnya mempunyai pencernaan demikian besar?" Beng Tjoan kata, mas ih rada mendongkol. "Pamanku..." kata Seng Lim, "apakah ia ketahui urusan ini?" "Ini... ini..." Suaranya Beng Tjoan berhenti setengah jalan. Perampasan piauw itu terjadi menurut titahnya Pit Keng Thian sendiri, kepada Yap Tjong Lioe belum diberitahukan atau dimintai persetujuannya. Han Tjin Ie lantas berkata: "Jikalau piauw ini dikehendaki Yap Tjong Lioe, mungk in terjadi aku nanti memberikan mukaku. Ha, kiranya kamu memalsukan namanya tent era rakyat!" Pek Beng Tjoan murka. "Apakah Pit Toa-iiongtauw tidak berhak?" dia berteriak. "Sekalipun, sekalipun..." Ia sebenarnya hendak meneruskan: "...sekalipun Yap Tjong Lioe, dia mesti mendeng ar titahnya Pit Toaiiong tau w!" Tapi ia tidak enak hati menyebutkannya, maka ia menambahkan: "Sekalipun Yap Tongnia berada di sini, piauw ini pastilah dia pun bakal merampasnya." Tiauw I m Hweeshio tidak setuju sama perkataan orang, ia pun polos sekali, maka ia campur bicara: "Kau bukannya Yap Tongnia, cava bagaimana kau bisa bicara deng an mewakilkan dia?" Coba lain orang yang bicara. akibatnya mungkin hebat, tetapi paderi ini berkedudukan tinggi dan ia pun baharu saja meno longi Pit Yan Kiong, orang terpaksa berdiam saja. Seng Lim tertawa, ia berkata pula: "Benarlah apa yang dibilang Nona Ie barusan! Justeru piauw sudah berada di tangan lain orang, apa perlunya kita masih mempere butinya? Lagi dua hari aku bakal bertemu sama pamanku dan Pit Toaiiongtauw, itu waktu aku nanti minta merekalah yang memberikan keputusan. Aku percaya dalam tempo beberapa hari ini, tidak nanti Len g In Hong dapat meludaskan habis semua piauw itu! Bukankah sama saja yang piauw itu dititipkan pada mereka di sana?" Kata-kata ini sebenarnya dapat menyabarkan kedua pihak. Han Tjin Ie mengangguk. "Baik," katanya, menyatakan akur, "aku bersedia akan mendengar kata-kata pamanmu." Pit Yan Kiong tapi-nya mengkerut alisnya, sedang Pek Beng Tjoan berubah air muka nya. "Tapi, tapi, bagaimana urusan dapat diperlambat?" katanya. Piauwsoe she Han itu mendongkol juga. "Habis?" katanya. "Apakah kau ada mempunyai kepandaian untuk mengambil pulang piauw itu? Kalau benar, aku si orang she Han nanti menghaturkannya kepadamu dengan kedua tanganku!" Beng Tjoan menjub-lak meskipun ia merasa sangat terhina. Ketika itu terdengar ketokan pada pintu kuil. Sin Tjoe membuka lebar matanya, ia tertawa. "Lihat, orang mendahului datang lebih dulu!" katanya. Seng Lim bertindak ke pintu, untuk membukakan. Yang datang itu dua nona muda yang mengenakan baju warna kuning gading serta pin ggang dilibat sabuk putih, yang satu membawa sebuah peti kecil, yang lain me-nen gteng tengloleng. Mereka bertindak masuk dengan pelahan-lahan. Mereka ialah pengiring-penginngnya Leng In Hong si berandal wanita berpelangi merah. Nona yang membawa peti itu menyapu semua orang di dalam ruang, habis itu sinar m atanya berhenti kepada Sin Tjoe. Ia lantas maju menghampirkan, ia mengangsurkan petinya itu. "Pemimpin kamu menitahkan mengundang siapa?" Nona Ie bertanya. "Kami dititahkan meminta nona membuka peti ini," sahut nona itu. Sin Tjoe bersangsi sebentar, achirnya ia membuka juga. Ia melihat di dalam situ ada terletak tiga biji kimhoa atau bunga emas, ditaruhnya rapi sekali. Pengiring itu segera berkata: "Pemimpin kami mengundang pemiliknya ketiga bung a emas ini." Sin Tjoe bersenyum, ia menjemput bunga emas itu. "Kepandaian tidak berarti pastilah telah membuatnya pemimpin-mu tertawa," ia ber kata. "Bunga emas nona hebat sekali," berkata pengiring itu, "pemim-pinku sangat menga guminya. Dengan memandang bunga emas ini, kami minta sukalah nona serta semua tu an-tuan di sini berangkat ke gunung kami." Sampai di situ baharulah Hian Eng Toodjin mendusin, dalam pertempuran tadi, selagi ia terancam bahaya, Sin Tjoe adalah orang yang telah menolongi pada nya. Ia tadinya menyangka si penolong adalah Han Tjin Ie si piauwsoe tua. Pit Van Kiong tertawa. "Nona, kali ini kami mendapat kehormatan dari kau!" ia berkata. "Saudara Pek, ka u tolong pepayang aku mendaki gunung!" "Kau baik beristirahat saja," Beng Tjoan bilang. Sebenarnya ia likat. "Nona Ie ada bersama kita, piauw itu pastilah ini hari akan didapat pulang!" kat a Pit Yan Kiong dengan kepercayaan penuh. "Hai, siapa berkelakar denganmu?" kata Sin Tjoe. Pit Yan Kiong tertawa pula. "Nona yang baik," katanya, "mana berani aku berlaku kurang ajar terhadapmu? Meng enai piauw ini, aku benar-benar mengharap pertolonganmu. Dengan melihat muka gur umu yang bersahabat erat dengan pemimpin kami, piauw itu tidak dapat kau tidak mengambilnya pulang..." Dengan bantuannya tembok Pit Yan Kiong lantas menekuk sebelah lututnya di depan Nona Ie. Ia bersikap sungguh-sungguh sekali, hingga ia membuatnya si nona kurang enak hati. "Biar bagaimana Pit Keng Thian bukan sembarang orang," nona ini berpikir. "Dan i ni Hian Eng Toodjin, dia ada dari golongan sadar. Mereka begini, keras menghenda ki piauw, mungkinkah ini ada hubungannya yang luar biasa?" "Eh, Han Toako, marilah obat pemunah-mu!" Tiauw Im meminta pula kepada Tjin Ie. "Aku akan berdiam di kuil butut ini mewakilkan kamu menjaga rumah sekalian menol ong mengobati ini beberapa tuan pengemis yang terluka." Han Tjin Ie lantas berpikir. Memang busuk perbuatannya Kaypang merampas piauw-ny a, tetapi mencelakai jiwa mereka pun perbuatan salah dari pihaknya. Tadinya ia tidak mengetahui duduknya hal, tapi sekarang, setelah duduknya sudah terang, sud ah sepantasnya kalau ia tidak mengambil sikap keras terus menerus. Maka itu, set elah berpikir sejenak, ia keluarkan obatnya, ia serahkan itu pada Pit Van Kiong. "Kau memberikan obat padaku, aku terima kebaikan kau," berkata Yan Kiong tertawa . "Hanya tentang piauw-mu itu, tidak dapat tidak, aku mesti mengambilnya." Tjin Ie mengasi dengar suara dingin. "Boleh!" jawabnya. "Lihat saja nanti bagai- mana kepandaianmu!" Sampai di situ, orang lantas berangkat. Cuma Tiauw Im dan mereka yang terluka ya ng tidak turut. Orang pun mengikuti kedua pengiring perempuan dari Leng In Hong. Gunung Hoeyong San itu ada salah satu cabang dari pegunungan Sianhee Nia. Keleta kan gunung tidak berbahaya tetapi setelah diatur In Hong, kedudukannya menjadi kuat. Di semua tempat penting ada b enteng yang kuat mirip dengan kota tembok. Menyaksikan itu, Seng Lim pun diam-di am memuji dan ia mengagumi si nona berandal. Sekarang ia mengarti, di atas gunun g pun ada orang yang tak kalah pandai dengan seorang panglima perang. Tiba di muka markas, kedua pengiring meminta tetamu-tetamunya menanti sebentar. Mereka lantas masuk ke dalam untuk memberi la puran. Orang tidak usah menanti lama akan mendengar suara tambur tiga kali, lalu pintu markas yang besar dipentang lebar-lebar. Atas itu, Seng Lim segera tarik tangann ya Sin Tjoe, untuk mendorong si nona maju di depan mereka. Itulah aturan kaum Rimba Persilatan, siapa yang diundang, dia mesti berada di mu ka, lain orang tidak dapat mendahului dia. Dari dalam gedung markas terlihat keluarnya dua barisan serdadu wanita, di tenga h-tengah muncul Leng In Hong, yang lengkap dengan seragam dan pedang di pinggangnya. Ia menyambut dengan hormat, sebagai Sin Tjo e juga bersikap toapan sekali. Paling dulu keduanya belajar kenal. "Nona Ie, bagaimana kau menyebutnya terhadap Tayhiap Thio Tan Hong?" tiba-tiba nona rumah menanya. "Tayhiap itu ialah guruku," Sin Tjoe menjawab merendah. Lantas In Hong tertawa. "Pantas bunga emas nona liehay sekali!" ia berkata. "Kalau begitu, tentulah nona yang kaum kangouw julukkan Sanhoa Liehiap?" Di waktu menanya demikian, sinar matanya nona ini menjadi sedikit luar biasa. "Semua itu ada bisanya tjianpwee kaum kangouw," Sin Tjoe merendah. "Aku sendiri tidak berani menyebutkan diriku iiehiap." Liehiap itu pendekar wanita dan "Sanhoa" berarti "Penyebar Bunga." "Orang punya nama sama seperti bayangan pohon," berkata pula In Hong, "begitu de ngan kau, nona. Kau ada dari keluarga setia dan berbakti, kau pun gagah sekali, aku sangat mengaguminya. Nona, harap kau suka terima hormatku." Orang heran akan sikapnya ini kepala berandal. Bukankah ia seorang ketua gunung yang gagah? Bukankah ia tengah mengundang tetamu? Bukankah pantas kalau ia perlakukan tetamunya sebagai sesamanya? Tapi sekarang tidak! Non a ini berlaku demikian merendahkan diri, inilah tidak umum. Sin Tjoe lekas-lekas menyingkir untuk pemberian hormat ratu berandal itu, yang m enjura terhadapnya, tetapi In Hong lebih sebat daripadanya, dia dapat merintangi dan dia terus saja menjura dengan dalam, maka mau atau tidak Sin Tjoe menerimanya sambil lekas-lekas membalas hormat. Ia menekuk sebelah kakinya. Selagi memberi hormat, In Hong mendadak mencekal kedua lengan Nona Ie. Kelihatan nya ia hendak memimpin bangun. Sin Tjoe terkejut, ia bercuriga. "Mungkinkah ia hendak sekalian menguji aku?" terkanya. Ia lantas bersedia. In Hong tetapinya tidak menguji, ia menjalankan kehormatan. Ketika ia mengangkat mukanya, kelihatan matanya merah. "Seumurku aku paling menghargai Ie Taydjin dan Thio Tayhiap," ia berkata. "Ketika dulu hari Ie Taydjin terfitnah dan terpenjara, aku menyesal sekali yang aku tidak dapat menolongi. Maka itu hormatku ini adalah ho rmatku untuk ayahmu almarhum itu, dan aku minta sukalah entjie mewakilkan ay ahmu itu menerimanya." Sin Tjoe malu kepada dirinya sendiri. Siapa nyana Angkin Lietjat yang umum menam akannya hantu wanita sebenarnya mempunyai sifatnya seorang ksatrya, bahkan dia memuji kepada ayahnya. Tentu sekali ia tidak dapat menolak hormat itu, ia menerimanya dengan air mata mengembeng. Ia menyekal keras tangannya Nona Leng, sebagai juga merekalah entjie dan adik yang sudah bertahun- tahun tidak pernah bertemu satu dengan lain. Menyaksikan itu, Han Tjin Ie dan Hian Eng Toodjin girang sekali. Keduanya ti dak menyangka juga si bandit wanita demikian menghormati Sin Tjoe. Karena ini timbul harapan mereka bahwa piauw gampang akan diminta pulang. Kemudian Leng In Hong undang Sin Tjoe duduk di kursi atas, ia terus berkat a: "Kali ini aku mengundang entjie mendaki gunungku ini kesatu karena aku mengagumi entjie sekalian untuk belajar kenal dan kedua aku in gin minta keterangan apa maksudnya entjie telah menggunai tiga bunga emasm u." Melihat nona itu berlaku jujur, Sin Tjoe tidak mendusta. "Buat bicara terus terang, itulah ada berhubung sama urusan piauw," sahutnya. "Ah, mengenai urusan piauw1." nona itu agak heran. "Benar! Piauw ini dilindungi oleh Han Loopiauwsoe." "Itulah aku pun sudah ketahui," berkata si nona berandal. "Tidak dapat tidak, pi auw ini mesti aku rampas!" "Piauw ini hebat sangkut pautnya," Sin Tjoe memberitahu. "Juga Pit Keng Thian berniat merampasnya. Ah, sungguh aku tidak mengarti, kenapa kalian semua hendak merampas piauw ini. Bukankah di dalam ini ada hubungannya y ang ruwet? Aku kira tidaklah halangannya jikalau kalian menjelaskan duduknya hal." Leng In Hong agaknya heran. "Apa?" katanya. "Pit Keng Thian yang mengangkat dirinya menjadi toaiiongtauw dar i dela- pan belas propinsi juga menghendaki piauw ini? Jadi ini serombongan pengemis ser ta si hidung kerbau adalah orang orang suruhannya? Hm! Dan mereka merampas piauw dengan menggunai cara yang rendah sekali! Jikalau kau tidak mengasi tahu, entji e, sungguh aku tidak dapat mempercayainya!" Tanpa tedeng aling, bandit wanita itu menyebutnya Hian Eng Toodjin si hidung kerbau. Mau atau tidak, Sin Tjoe merasakan mukanya panas. Hebat Pit Keng Thian dijengeki . Tetapi memang biasa toaiiongtauw itu bertindak tanpa memikir masak-masak. Maka itu, tidak dapat ia membilang suatu ap a. Akan tetapi Pit Yan Kiong memikir lain. Ia berjingkrak bangun. "Aku mohon tanya, tjeetjoe," katanya sambil tertawa hihi-hihi. "Kalau ada lain orang menandalkan golok dibatang lehermu, apakah nanti kau minta dulu orang itu meletaki goloknya, untuk undang ia secara laki-laki mengadu kepandaian? Atau segera saja kau berontak, untuk menghajar rob oh kepadanya?" "Kata-katamu ini apa artinya?" Leng In Hong menegaskan. Han Loopiauwsoe pun berjingkrak bangun, mukanya merah. "Ya, apakah artinya kata-katamu ini?" ia juga menanya. "Aku melindungi barang angkutanku, dengan kau ada apakah sangkutannya?" Pit Yan Kiong tertawa dingin. "Piauw-mu ini hendak diangkut ke Ouwpak," sahutnya, "itu artinya kau menolongi pemerintah menggosok tajam puluhan laksa golok yang hendak dipakai untuk mencelakai tentara rakyat di Kanglam." "Ngaco belo!" membantah Han Tjin Ie. "Tahukah kau, aku mengangkut piauw apa?" Leng In Hong melirik kepada piauwsoe itu. "Bagus!" katanya, mendahului Pit Yan Kiong. "Memang hendak aku melih atnya piauw -mu ini piauw apa!" Justeru itu sejumlah serdadu wanita masuk ke dalam ruang membawa peti-peti dan k eranjang-keranjang piauw yang mereka rampas kemarinnya, semua itu ditumpuk di ru ang itu. "Han Piauwtauw, cobalah kau bilang," berkata Leng, In Hong kepada Tjin Ie, "piauw apakah yang kau lindungi?" "Itulah bahan obat-obatan penting yang Keluarga Ghak dari Pakkhia minta aku meng antarnya ke Ouwpak," menjawab piauwsoe yang ditanya. "Obat-obatan itu ada untuk menolong orang banyak yang tengah menderita sakit. Ada apakah salahnya?" Keluarga Ghak di Pakkhia itu adalah toko obat-obatan yang paling kesohor dan untuk kota raja adalah keluarga terkaya, memang setiap tahun satu kali dia minta pertolongan piauwsoe akan m elindungi obat-obatannya yang di kirim ke Kanglam, maka juga dialah langganan paling bagus untuk setiap piauwkiok. Tahun ini katanya berharga sekali piauw-ny a itu maka j uga sengaja diminta bantuannya Han Loopiauwsoe yang kenamaan itu. Sin Tjoe heran. "Kalau benar obat-obatannya Keluarga Ghak, lebih tidak layak lagi piauw ini dira mpas," pikirnya. "Menolong orang banyak!" berkata Pit Yan Kiong dengan dingin. "Aku justeru bilan g untuk mengacau negara mencelakai manusia!" "Ah!" seru Han Piauwsoe, "rupanya di mulut anjingmu tidak tumbuh caling gajah!" Leng In Hong tidak mengambil mumat orang mengadu mulut. Ia angkat tangannya. "Buka semua peti ini!" ia memberi titah. Han Tjin Ie gusar bukan kepalang hingga tubuhnya bergemetar. "Apakah ini bukan berarti merusak obat-obatannya?" ia berteriak. Ketika ia diser ahkan piauw itu, pihak Keluarga Ghak telah memesannya, kebanyakan obat itu mesti ditutup rapat sekali, tidak bol eh terkena angin atau hawanya keluar. Tapi piauwsoe ini tidak dapat mencegah. Ka wanan serdadu wanita sudah lantas bekerja melakukan titah pemimpinnya. Dengan dibukanya peti-peti dan keranjang, obat-obatan itu jadi berhamburan, teta pi yang hebat, yang membuatnya orang tercengang, adalah di antara itu terlihat lempengan-lempengan emas yang kuning berkilauan. Pit Yan Kiong segera mengasi dengar pula tertawanya yang dingin. "Bagaimana?" dia berkata. "Inilah hartanya negara, untuk dipakai mengongkosi ang katan perangnya! Jumlah ini berharga tujuh ribu laksa tail perak! Inilah perbuatannya Kioeboen Teetok dari kota raja yang memak sa Keluarga Ghak itu mengirimkannya dengan memakai nama obat-obatan. Sepuluh laksa serdadu negara di Ouwpak kekurang an rangsum, jikalau mereka tidak ditolongi, mereka bakal bubar sendirinya tanpa berperang lagi! Sekarang kau mengantar piauw ini ke Ouwpak, bukankah itu berarti kau memberi makan obat penyambung jiwa kepada ratusan ribu serdadu itu, supaya dapat menggosok tajam puluhan laksa golo knya untuk nanti dipakai melawan kami?" Han Loopiauwsoe berdiri diam, ia merasakan tubuhnya dingin bagaikan es. Inilah i a tidak sangka sama sekali. Untuk seumurnya ia belum pernah mengangkut uang nega ra, tetapi kali ini, ia terpedayakan. Keluarga Ghak itu pengusaha obat-obatan yang sangat kesohor, siapa nyana dia telah dipaksa pembesar negeri untuk mendusta, hi ngga ia kena ditipu. Pek Beng Tjoan segera mengasi dengar suaranya yang nyaring, "Han Loopiauwsoe, te lah kau melihat nyatakah? Jadinya, pantas atau tidak jikalau kami memegatnya unt uk dirampas?" Han Tjin Ie tidak menjawab, hanya mendadak tubuhnya roboh terguling. Ia jatuh pi ngsan. "Pimpin dia bangun!" memerintah Leng In Hong. "Semprot dia dengan air dingin!" Sin Tjoe menghela napas. Ia menyesal bukan main. Ia ingat kesetiaannya ayahnya t erhadap pemerintah, siapa dapat menerka, pemerintah justeru bertindak secara begini hina dina memaksa sebuah perusahaan swasta main gila hin gga sua t u piauwsoe kenamaan turut menjadi kurbannya. Pula, begitu banyak obat di kirim ke Kanglam, tidaklah di Utara orang nanti kekurangan obat-obatan itu? Pit Yan Kiong sebaliknya puas sekali. "Syukur sekali kupingnya toaiiongtauw kami sangat tajam!" ia berkata. "Pemerinta h tentunya menganggap kami tidak membegal angkutan piauwkiok, dengan begitu hart a besar ini dapat diselundupkan. Haha! Achirnya toh kita mendapat tahu juga dan memegatnya!" Tidak senang Leng In Hong mendengar suara orang itu. "Tetapi piauw ini bukannya berada dalam tangan kamu!" katanya dingin. Melengak wakilnya Pit Keng Thian itu. "Apa?" dia menegaskan. "Duduknya harta ini sudah jelas sekali, apakah kau masih hendak merampasnya?" Si nona tertawa bergelak. Pit Keng Thian dapat merampasnya, apakah aku tidak?" dia menanya. "Entjie," Sin Tjoe turut bicara, "aku harap entjie suka memandang kepada tentara rakyat yang dipimpin Yap Tjong Lioe, sukalah kau mengangkat tanganmu dan melepa skannya." Nama Yap Tjong Lioe besar sekali, walaupun resminya Pit Keng Thian menjadi toaii ongtauw, pemimpin utama dari delapan belas propinsi, toh orang tetap menghormati dia itu. Mendengar disebutnya nama Yap Tjong Lioe, berubah air mukanya si nona, "bandit," dia bersenyum. "Ini rombongan pengemis jahat dan imam bau tak sudi aku memperdulikannya," ia be rkata, "tetapi terhadap Yap Toako serta kau, suka aku menjualnya!" "Oh, entjie, banyak-banyak terima kasih!" berkata Sin Tjoe girang sekali. Leng In Hong tertawa. "Yap Toako tidak ada di sini, kaulah menjadi si pelindung," ia berkata pula. "Ya, anggaplah aku yang melindunginya" berkata pula Nona Ie. Hian Eng Toodjin dan Pit Yan Kiong berubah air mukanya masing-masing. Hebat mere ka dicaci, mereka tak dipandang sama sekali. "Bagus, entjie," berkata pula In Hong. "Sekarang aku mohon entjie suka memberika n pelajaran kepadaku. Aku memang ingin sekali menyaksikan ilmu pedang yang diturunkan Thio Tayhiap." Mendengar itu, Sin Tjoe tidak menjadi heran. Ia mengarti maksudnya "bandit" wani ta ini, yang hendak memegang teguh aturan Rimba Persilatan, yaitu mereka mesti bertanding dulu. "Kalau begitu, entjie , maaf," berkata Nona Ie, yang terus menghunus pedang nya. In Hong pun bersiap, maka keduanya lantas berdiri berhadapan. "Entjie datang dari jauh, entjie-\ah si tetamu," berkata Nona Leng. "Karena tuan rumah tidak dapat melancangi tet amu, silahkan entjie yang mulai." Sin Tjoe tidak mau memakai banyak aturan lagi. "Baiklah, aku memperlihatkan kejelekan-ku," ia kata, merendah. Ia lantas menyera ng. Karena ia kagumi nona berandal itu, ia cuma menikam asal saja. Beda daripada Nona Ie, Leng In Hong berlaku sungguh- sungguh. Ia berkelit dari tikaman. Hampir berbareng dengan itu, ia melesat ke sa mping. Maka di lain detik ia sudah berada di belakang lawannya. Sangat gesit ger akan tubuhnya itu. Di sini tanpa bersangsi lagi ia menikam punggung lawannya. Sin Tjoe terkejut. "Oh, kiranya dia bertanding benar-benar," pikirnya. Ia lantas memutar tubuhnya, pedangnya dipakai menangkis. Ia menggunakan jurus "Burung belibis pulang ke Sela tan," salah satu dari Hian Kie Kiamhoat, ilmu pedang dari Hian Kie Itsoe. Dengan ini ia dapat menggagalkan serangan lawan. Karena ia juga menjadi bersungguh-sun gguh, lantas ia membalas menyerang dengan jurusnya "Bidadari melempar torak," hi ngga sekarang ialah jadi si penyerang, seperti tetamu yang berbalik menjadi tuan rumah. Yang menjadi sasaran ada jalan darah honghoe hiat dari Nona Leng. "Bagus!" berseru In Hong dengan pujiannya. Ia berkelit, ia pun memutar tubuhnya, dalam gerakannya "Burung rajawali menembusi rimba" serta sikapnya "Souw Tjin menggendol pedan g," setelah mana, belum lagi tubuhnya mutar semua, pedangnya sudah menikam. Ia pun membalasnya. Sin Tjoe melihat satu lowongan, ia mengangkat pedangnya dengan jurusnya "Mengangkat obor menyuluhi langit." Atau tiba-tiba ia ingat pedangnya ada pedang mustika. Jelek k alau ia menabas kutung pedang lawannya itu. Tengah ia berpikir, angin pedang law an sudah menyamber. Segera ia berkelit. Lantas ia merasa pedang nona itu seperti lewat di atasan ram but di samping kupingnya. Ia lantas menjejak, untuk mencelat menyingkir dua tomb ak. Leng In Hong benar-benar gesit. Dalam sekejab itu ia pun sudah lompat menyusul. "Entjie, jangan sungkan-sungkan!" kata nona Leng ini. Selagi mulut mengucap demikian, ia pun men yerang pula. Ia benar-benar tidak berlaku sungkan, beruntun ia mendesak dengan t iga jurus "Kera putih menghaturkan buah", "Dewa menunjuki jalan," dan "Burung ga ruda mementang sayap." Mau atau tidak, Sin Tjoe dipaksa bangun semangatnya untuk melayani. Kalau tidak, ia bakal terdesak. Selang dua puluh jurus, baharulah ia dapat meloloskan diri d ari rangsakan lawannya. Ia merasa ilmu pedang In Hong luar biasa. Sampai itu wak tu, kekuatan mereka nyata berimbang. In Hong menang sedikit di atas angin, karen a pedangnya ada pedang biasa, bukan pedang mustika. Lewat lagi tiga puluh jurus, lalu terlihat perubahan pada In Hong. Tubuh nona it u bergerak lebih lincah dan gesit lagi. Sin Tjoe terus melayani dengan sama sehatnya, dengan hati-hati sekali. Ia heran, sampai kira-kira seratus jurus, ia masih belum bisa menerka nona itu ada dari partai persilatan mana. Ia menginsafinya, coba selama dua tahun ini ia tidak memperoleh kemajuan pesat, mungkin sukar ia melayani Nona Leng itu. Pertandingan berlangsung terus. Karena perhatiannya yang sungguh-sungguh, kemudian Sin Tjoe mulai dapat merabah-rabah juga ilmu silat law annya itu. Ia melihat tiga dasar: Boetong Pay, Siauwlim Pay atau Siongyang Pay. Hian Eng Toodjin dan Pit Goan Kiong sekalian berhati cemas. Mereka mengharap-har ap Nona Ie yang menang, tetapi pertandingan itu nampaknya bertele-tele, hingga tak tahu mereka kapan bakal achirnya. Tetapi mereka tidak u sah menunggu lama lagi. Mendadak terdengar suara "Traang!" sebagai akibat dari perubahan serangan In Hon g. Tiba-tiba saja nona ini merangsak hebat, hingga Sin Tjoe pun mesti mempertahankan diri. Suara itu berbunyi setelah Nona I e menangkis satu serangan dahsyat. Akibatnya ialah pedang In Hong kena dibikin k utung. Tetapi di lain pihak, dia masih dapat menyampok, maka itu pedang Sin Tjoe pun terpental, terlepas dari cekalan. Mulanya Hian Eng semua girang melihat Nona Ie menang, hanya belum sempat mereka bersorak, mereka pun mesti menyaksikan pedang si nona terbang, hingga mereka menjadi kecele. Sampai di situ pertandingan itu. "Entjie, telah aku belajar kenal dengan ilmu pedangmu," berkata In Hong sambil b ersenyum. "Sungguh hebat kepandaianmu itu! Tetapi, entjie, aku berminat berlebih - lebihan. Sekarang aku ingin sekali belajar kenal dengan senjata rahasiamu." Sin Tjoe senang dengan tantangan itu. Kesudahan tadi seri, ia tidak puas. Biar b agaimana, ia menang karena Tjengbeng kiam pedang mustika dan Tjengkong kiam peda ng biasa. "Entjie sudah memberi pengajaran, inilah minta pun aku tak dapat," sahutnya. "Silahkan entjie tunjuki caranya." "Aku pikir lebih baik kita mulai dengan pieboen, lalu dengan pieboe," In Hong mengutarakannya. Sin Tjoe heran juga dalam hal mengadu senjata rahasia ada pieboen da n piehoe. Yang pertama ada cara halus atau sipil (poen), dan yang kedua car a keras atau militer (boe). Selagi ia berpikir, Nona Leng sudah menjelaskan pula : "Entjie datang dari tempat jauh, entjie adalah tetamu, maka itu suka aku mengalah membiarkan entjie menyerang lebih dulu dengan tiga buah senjata rahasiamu, umpama kata aku beruntung berhasil meloloskan diri, aku baharu akan minta entjie mengalah untuk aku menyerang padamu. Ini yang dinamakan pieboen . Jikalau dua-dua tidak ada yang gagal, hah, baharulah kita pieboe. Kit a saling menyerang dengan merdeka, baharu kita berhenti sesudah ada keputusan siapa lebih kuat dan lebih lemah." Mendengar itu, Sin Tjoe tertawa. "Dengan begitu bukankah aku jadi menang di atas angin?" tanyanya. "Berlaku hormat tak ada yang lebih baik daripada menurut perintah," Hian Eng Too djin menyelak. "Nona Ie, baiklah kau jangan menampik." Sin Tjoe pun percaya tidak nanti In Hong suka menyerang terlebih dulu, maka itu ia lantas menyiapkan tiga buah kembang emasnya. Ia memberi hormat seraya berkata: "Baiklah, entjie. Harap maafkan aku berlaku ku rang hormat!" Dengan satu suara, Nona Ie menggeraki dua jari tangannya membikin menyambar sebu ah kimhoa. Atas itu, tubuh In Hong pun bergerak memutar, membikin kimhoa itu lewat di samping kupingnya. Hanya berbareng dengan itu, nona ini tela h menarik turun pelangi merahnya. Sin Tjoe mengulangi serangan yang kedua. Leng In Hong tidak lagi berkelit sebagai tadi, hanya pelanginya diangkat bagaika n diayun, atas mana kimhoa lenyap seperti nyemplung di laut, tanpa suara, tanpa be kas. Terperanjat Sin Tjoe. Tapi ia sadar, maka ia menimpuk pula. Sudah tentu sekarang kecuali berlaku sebat ia pun menambah tenaganya. Ia mengara h jalan darah kioktie hiat dari si nona. "Bagus!" berseru In Hong memuji. "Nama Sanhoa Liehiap bukan nama belaka!" Mulutnya berseru memuji, tubuh Nona Leng itu berputar dengan lincah sekali, pela nginya pun berkelebat kemerah-merahan. Menyusul itu terdengar benterokan dari du a rupa benda keras. Sebab In Hong, dengan meminjam kimhoa yang ia tanggapi tadi, menangkis kimhoa yang ketiga itu, tepat tangkisannya, hingga kedua kimhoa bersu ara nyaring, lalu dua-duanya mental jatuh di lantai! Kimhoa atau bunga emasnya Sin Tjoe, lembaran bunganya tajam seperti pisau, In Hong dapat menangkapnya itu dengan pelangi merah, itulah hebat, sekarang ia dapat pakai menangkis, itulah terlebih hebat pula. Hian Eng semua melengak menyaksikan kepandaian bandit wanita itu. Tak usah dibilang kekagumannya Sin Tjoe sendiri. In Hong sudah lantas memakai pula pelanginya. "Terima kasih untuk mengalahmu, entjie1." katanya tertawa. Tapi ia bukan cuma be rkata merendah itu, tangannya terayun secara mendadak, lalu tanpa menerbitkan su ara apa juga, senjata rahasianya sudah menyerang. Sin Tjoe celi matanya. Ia menunggu sampainya senjata, baharu dengan hebat dan li ncah ia berkelit. Ia sudah paham dengan gerakan "Menembusi bunga mengitarkan pohon," ia dapat bertindak dengan gesit sek ali. Kelincahannya itu tak kalah dengan kelincahan In Hong. Semua serdadu wanita kagum, mereka bersorak memuji. Selagi serdadu-serdadu itu bersorak, In Hong sudah menyerang untuk kedua kalinya . Kali ini senjatanya itu mengasi dengar satu suara nyaring, sebelum tiba kepada sasarannya, berputar dulu di udara, baharu berbalik menyambar Nona Ie. Sekarang Sin Tjoe mendapat kenyataan orang menggunai Ouwtiap piauw, atau piauw "Kupu-kupu," yang dapat bersuara. Sambil memuji "Bagus !" ia berkelit pula, berkelit dengan gerak-geriknya "Burung walet menyambar gelombang" dan "Cecapung menowel air." Tiga kali piauw itu berputar balik mengubar dia, tiga-ti ga kalinya gagal, achirnya jatuh. "Sungguh kau liehay sekali, entjie1." memuji In Hong. Kembali, membarengi pujian nya, menyambarlah senjatanya yang kedua. Sin Tjoe berkelit dengan segera, lalu ia menjaga. Karena sekarang ia sudah ketah ui gerak berbalik dari piauw itu, yang seperti boomerang, begitu piauw berbalik, segera ia menyerang dengan sebuah bunganya, maka tepat kedua sen jata rahasia itu benterok satu pada lain, suaranya nyaring. Kimhoa mental. Tapi, kebetulan sekali, mentalnya itu menyambar piauw ketiga yang Nona Leng melepaskannya dengan segera, maka ini kedua senjata pun berbareng jatuh. Kali ini Sin Tjoe menggunai kimhoa menurut ajaran ilmu Ittjiesian, Sebuah Jeriji, dari Ouw Bong Hoe. Sebenarnya ia baru memahamkannya tiga bagian kepandaian itu tetapi buktinya sekarang dapat ia gunakan itu untuk melayani In Hong. "Pieboen berkesudahan tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah," berkata Nona Leng. "Sekarang marilah kita pieboe1." "Baik!" menyahut Nona Ie bersedia melayani. "Sekarang silahkan entjie yan g memberi petunjuk padaku." Tubuh In Hong bergerak dengan lantas, disusul sama terayunnya tan gannya. Ia menyerang dengan Ouwtiap piauw, piauw Kupu-kupunya itu, bahkan sekali ini, ia menggunai berbareng seraup terdiri dari dua belas biji, hingga senjata rahasiany a itu, setelah penyerangan yang pertama, lalu beterbangan saling menyambar. Mulanya Sin Tjoe berkelit, habis itu ia lawan semua piauw dengan bunga emas. Ia tidak saja menggunai ilmu kepandaiannya Ouw Bong Hoe, ia menelad juga pelajaran dari persaudaraan Achmad. Maka dengan melesatnya tak hentinya bunganya, suara "Trang-trang!" tak hentinya terdengar, disebabkan bentroknya kedua senjata rahasia itu. Ia juga men ggunai dua belas kimhoa. Keras serangannya kimhoa, Ouwtiap piauw terserang menta l kalang kabutan. Leng In Hong kaget bukan main apapula ketika sebuah kimhoa melesat ke arahnya. Ia masih sempat berkelit, tetapi selagi ia mendak, kimhoa menyambar pelangi merahnya, hingga separuh dari pelangi itu putus dan terbawa terbang! Selagi orang banyak agaknya bingung, karena mata mereka seperti kabur, Leng In Hong lompat ke luar gelanggang sambil ia tertawa bergelak-gelak. "Ilmu menyebar bunga sungguh tidak ada tandingannya dalam dunia ini!" demikian d ia berseru dengan pujiannya, "i Entjie, kali ini benar-benar adikmu kagum sekali, ia takluk!" "Kau terlalu memuji, entjie," Nona Ie merendahkan diri, sedang hatinya girang se kali mendapatkan nona itu polos. Pit Goan Kiong dan Pek Beng Tjoan girang Leng In Hong si berandal wanita dari gunung Hoe-yong-san, sedang mengadu kepanda ian dengan Ie Sin Tjoe, pendekar wanita penjebar bunga. luar biasa karena kemenangannya Sin Tjoe itu, mereka sampai lompat berjingkrak. "Hai, kamu merepoti apa?" In Hong menegur. Tanpa menanti jawaban, ia menyuruh serdadu-serdadunya merapikan pula peti-peti obat-obatan atau harta i tu, kemudian sambil tertawa, ia berpaling kepada Sin Tjoe dan berkata: "Entjie, menuruti aturan kita kaum kangouw, piauw ini harus diserahkan padamu!" Pit Goan Kiong lantas saja menjura. "Nona, terima kasih banyak!" ia berkata. Tetap pengemis ini bergirang. "Nona Ie," berka- ta Pek Beng Tjoan kepada Sin Tjoe, "belum lagi kau tiba di dal am markas kita, sudah kau membuat ini jasa besar luar biasa, sungguh kau harus diberi selamat!" Sin Tjoe tidak ambil mumat apa yang orang bilang, ia melainkan bersenyum. "Yap Toako, ke mari!" sebaliknya ia memanggil Seng Lim kepada siapa ia berpaling. Seng Lim menyahuti dan menghampirkan. Semenjak tadi orang bicara dan adu kepanda ian, pemuda ini berdiam saja, ia melainkan waspada. "Piauw ini aku serahkan kepada kau, toako," berkata Sin Tjoe pula. "Dan kau, ter serah kepada putu-sanmu sendiri, kau hendak menghaturkan-nya kepada pamanmu atau langsung kepada Pit Keng Thian. Setelah aku menyerahkannya kepadamu, aku tidak mau mengambil tahu lagi!" Pit Goan Kiong dan Pek Beng Tjoan sudah girang sekali, mereka menduga piauw itu bakal diserahkan kepada mereka, dari itu bukan main kecewanya mereka akan mendapatkan si nona men yerahkannya kepada si pemuda she Yap. Mereka pun menganggap, kecuali mereka, Pit Keng Thian turut hilang muka karenany a. Tapi, memikir lebih jauh, Yap Tjong Lioe juga ada orang sendiri, mereka dapat melegakan hati mereka. Terpaksa mereka membungkam. Sementara itu muncul seorang budak yang mengenakan baju warna gading. Ia memberi tahu bahwa "si orang tua sudah sadar dan tengah memukuli dada sambil berulang-ul ang menghela napas panjang pendek." In Hong menyambut warta itu dengan ter- tawa. "Dia kehilangan piauw -nya seharga tujuh puluh laksa tahil, tidak heran jikalau dia jadi sangat berduka!" katanya. Pergi kau berikan dia uang beberapa tail untu k ongkos jalan, kau antar dia turun gunung..." Belum berhenti suara si nona ini, Han Tjin Ie tampak lari mendatangi, tubuhnya l imbung. "Aku mempunyai mata tetapi tidak bijinya!" terdengar suaranya yang keras tetapi serak. "Sudah empat puluh tahun aku melindungi piauw, achirnya kali ini aku robo h! Saudara Hian Eng, kau jujur, maka itu tolong kau perhatikan keluargaku di Pak khia!" Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama mencelatnya tubuhnya ke arah tihang d i ruang itu! Adalah aturan di dalam kalangan piauwkiok, siapa melindungi barang dan barangnya itu lenyap, si piauwsoe mesti mengganti kerugian. Di dalam kejadian ini, Han Tj in Ie tidak kuat mengganti. Ia ada punya rumah dan simpanan, akan tetapi jumlah piauw yang lenyap ini besar luar biasa, terang ia tidak mampu menggantinya. Ia pun sangat m alu karena robohnya itu. Maka itu, pepat hatinya, ia menjadi pendek pikirannya. Demikian dengan nekat ia membenturkan kepalanya ke tihang. Semua orang mengarti kesulitannya Han Piauwsoe, bahwa di sembarang waktu ia dapa t melakukan yang tidak-tidak, hanya itu ketika orang tengah bergirang, tidak ada orang yang menyangka sesuatu. Baharulah semua orang kaget akan melihat piauwsoe itu berlompat. Hian Eng Toodjin berteria k tetapi tanpa berdaya, tak keburu ia memberi pertolongan. Di saat kepalanya Han Piauwsoe hampir mengenai tihang, terdengarlah suara yang k eras sekali, tahu-tahu tihang itu telah patah dua, kepalanya piauwsoe itu, berik ut tubuhnya, molos di antara patahan tihang itu, atau di lain saat ia sudah terp eluk satu orang, yang segera ternyata Seng Lim adanya. Pemuda ini sangat celi matanya dan sebat gerakannya, menampak si piauwsoe nekat, ia berlompat sambil menghajar tihang dengan pukulannya Taylek Kimkong Tjioe, ilmu silat Tangan Arhat, dengan begitu dapat ia menolongi jiwanya Tjin Ie. Sambil bersenyum, Seng Lim mengasi turun tubuhnya Han Piauwsoe , kemudian ia men ghadapi Leng In Hong untuk memberi hormat sambil berkata: "Oleh karena sangat terpaksa, aku telah membikin rusak tihang tjeetjoe ini, aku mohon sukalah diberi maaf." Tjin Ie sendiri agaknya tidak puas. "Kenapa kau tolongi aku?" dia menanya. Seng Lim tidak menjawab, hanya dia berkata: "i Piauw ini silahkan kau bawa ke Ou wpak!" Mendengar itu, semua orang terperanjat, mereka saling mengawasi. Semua berdiam, hingga umpama kata sebatang jarum jatuh ke lantai, akan orang dapat mendengarnya . Hanya sesaat orang menjublak, lalu terdengarlah suara riuh. "Ini... ini... bagaimana aku dapat berkata?..." katanya bingung. Pek Beng Tjoan sebaliknya mendongkol. "Kau, kau mengandal apa maka kau berani mengambil putusan ini?" dia menegur Seng Lim. "Harta ini hendak diserahkan kepada tentera negeri, bukankah itu berarti m embantu musuh menghajar orang sendiri?" Pit Goan Kiong sendiri tidak membilang suatu apa. Ia hanya bersenyum mengejek ta k hentinya. Adalah kemudian, ia tertawa lebar, beda dari biasanya, lalu ia menge prak meja. "Engko she Yap, tindakanmu berlebih-lebihan!" dia berteriak. "Apakah kau hendak serahkan jiwa banyak orang ke dalam tangannya tentera negeri?" Seng Lim bersikap tenang, wajahnya pun tak berubah. Ia berdiam saja. Beberapa orang lain pun memperdengarkan suara mereka, ada yang menggerutu dan mencaci, akan tetapi tempo si anak muda terus berlaku sabar, mereka lalu berdiam sendirinya. Semua mata tetap diarahkan kepada pemuda itu, yang sepak terjangnya mengherankan mereka. Sampai itu waktu baharulah Seng Lim bertindak ke gelanggang, ia memandang semua orang sambil bersenyum. "Harta besar ini kita rampas," katanya, "dengan begitu tentera negeri yang berjumlah sepuluh laksa jiwa di Ouwpak, yang tengah kekurangan belanja, bakal bubar sendirinya, bukan?" "Ya, tentera itu bakal bubar tanpa berperang lagi!" berkata Pek Beng Tjoan nyari ng. "Tidakkah itu menguntungkan pihak kita?" "Tidak salah!" sahut Seng Lim. "Akan tetapi sepuluh laksa perut toh perlu makan, bukan?" "Ah, engko Yap, sungguh hatimu pemurah!" Pit Goan Kiong mengejek. "Kau menaruh belas kasihan terhadap tentera negeri!" Seng Lim mengebas dengan tangan bajunya. "Aku hanya berkasihan terhadap rakyat jelata di Ouwpak!" katanya nyaring. "Kalau itu sepuluh laksa serdadu bubar tanpa berperang, sedang waktu ini hawa udara sangat dingin, bukankah mereka bakal merampok rakyat? Kalau bukan rakyat, siapa lagi mereka bakal ganggu? Apakah yang mereka bakal gegaras? Apakah yang mereka bakal pakai? Si orang hartawan mungkin dapat melindungi dirinya, si rakyat jelata bakal malang sekali nasibnya! Tidakkah kamu pernah berpikir ancam an bencana hebat itu terhadap anak negeri?" Mukanya Hian Eng Toodjin dan Pit Goan Kiong menjadi pucat sekali, mereka bungkam bagaikan bola kempes. Pek Beng Tjoan melotot matanya, dia agaknya hendak mement ang bacot tetapi Seng Lim mendahulukan dia. "Piauw ini telah diminta pulang oleh Nona Ie," kata si pemuda ini, "dan Nona Ie menyerahkannya kepadaku. Dengan begitu aku mempunyai kekuasaan penuh atas- nya. Benar bukan?" "Sedikitpun tidak salah!" In Hong yang pertama menyahuti. "Bagus!" kata Seng Lim pula. "Sekarang ini, siapa pun tidak dapat banyak bicara! Han Loopiauwtauw, piauw ini silahkan kau bawa ke Ouwpak, kau serahkan pada tent era negeri di sana! Bagaimana besar juga tanggung jawabnya, aku sendiri yang nan ti mempertahankannya!" Hati Sin Tjoe ber-denyutan keras dan tak hentinya. Ia tidak menyangka Seng Lim, yang demikian sederhana dan tidak pandai bicara, sekarang dapat berpikir demikian serta dapat mengambil putusan yang luar biasa itu dia mirip dengan satu panglima besar yang tengah memimpin angkatan perang, sikapnya demikian gagah. Kembali Seng Lim memandang semua orang matanya bersinar tajam. Tapi ketika ia berbicara, suaranya sabar dan teran g. "Kita bergerak untuk rakyat, kenapa kita mesti menyebabkan rakyat bercelaka?" demikian tanyanya. "Pasukan rakyat suka rela ialah pasukan yang di kolong langit ini tidak tandingannya, maka itu kenapa kita mesti jeri baharu terhadap sepuluh laksa atau sejuta serdadu? Kita berlaku benar, untuk kebaikan umum, semu a orang ketahui itu. Sepuluh laksa serdadu itu, andaikata mereka sudah gegaras kenyang, masih belum pasti mereka sudi menjual jiwa mereka! Jikalau kamu takut k epada sepuluh laksa serdadu negeri itu, nanti aku yang menjadi pelopor, aku ada punya daya untuk membuat mereka menakluk, atau kalau mereka tid ak sudi akan aku hajar mereka hingga mereka kalah! Apa yang harus dibuat takut? Untuk berperang orang mesti menghitung jauh! Tujuan kita yang maha suci berharga lebih daripada sepuluh laksa serdadu!" Tiba-tiba saja Leng In Hong tertawa dengan nyaring dan panjang, lalu jempolnya d iangkat tinggi-tinggi. "Sungguh gagah!" berseru nona "bandit" ini. "Inilah baharu semangatnya satu pend ekar! Tenteraku, lekas kau antar piauw turun gunung, kembalikan pada pihak piauwkiok1. Mari, mari, Yap Toako1." ia memanggil Seng Lim, "mari aku hormati kau dengan tiga cawan arak!" Ia benar-benar lan- tas mengisi penuh tiga buah cangkir, ia sendiri minum lebih dulu. Seng Lim tertawa lebar. "Kau tidak menghendaki aku mengganti tihangmu ini!" ia berkata. "Baiklah, akan a ku minum arakmu!" Sunyi seluruh ruang itu, cuma terdengar tertawanya si nona dan si pemuda. *** Ie Sin Tjoe berdiri diam di samping. Ia menyaksikan gerak-gerik In Hong, ujung p elangi siapa bergerak-gerak, semangatnya nona itu terbangun, dia demikian gembir a hingga nampaknya dia jumawa. Diam-diam ia ingat sesuatu. Ialah ia ingat, sepas ang muda-mudi itu berdiri berendeng, mirip dengan pasangan di dalam gambar ialah pasangan merpati Lie Tjeng bersama A ng Hoet si Nona Kebutan Merah. Dua-dua gagah, sama-sama tampan dan cantik, seman gat mereka bersatu padu, tidakkah mereka itu sangat sepadan? Memikir ini, tanpa mera sa ia diam menjublak. Leng In Hong masih saja tertawa lebar. "Nona Ie, kau juga mengeringkan tiga cawan!" dia berseru kepada Sin Tjoe. "Adikmu tidak kuat minum, tidak berani aku menemani," si nona menjawab. "Kalau arak ketemu sahabat akrabnya, untuk apa jeri akan mabuk sinting," berkata nona rumah si kepala berandal wanita . "Nona Ie, ini satu cawan tidak dapat kau tidak meminumnya!" Ketarik Sin Tjoe untuk sikap polos dan gembira serta bersemangat nona itu, ia ti dak menampik terlebih jauh, ia keringkan cawan yang diangsurkan kepadanya. "Nah, inilah baharu mempuaskan!" berseru In Hong. Ia hendak meminta Seng Lim min um pula atau si anak muda telah mendahuluinya: "Aku tidak dapat minum lebih jauh , aku sudah mabuk!" Memang Seng Lim tidak biasa minum, atas desakan In Hong, ia mengeringkan tiga cawan, ia telah memaksakan diri, maka itu kakinya lantas berdiri tak tetap, ia t erhuyung seperti mau jatuh. In Hong melihat orang tidak berpura-pura, ia tertawa pula, nyaring dan panjang, lalu ia melemparkan cawannya ke lantai. "Baiklah, sebentar malam kita minum pula !" katanya, "Hengdjie, pergi kau siapka n pembaringan di kamar samping untuk Yap Toako beristirahat. Dan kau, Nona Ie, m ari kau turut aku pergi ke gunung depan!" Ia mengajak Sin Tjoe. Pek Beng Tjoan be-ramai menjadi jengah sendirinya karena In Hong tidak memperdul i-kan mereka, karena itu mereka lantas memberi hormat untuk pamitan. "Jangan kesusu!" berkata si nona tertawa. "Di kaki gunung hanya dusun kosong, ka barnya orang kamu kaum Kaypang banyak yang terluka, baik kamu kirim orang untuk mengundang mereka semua datang ke mari! Tempatku kecil tetapi ini masih terlebih baik daripada pondokan di kampungan." Pek Beng Tjoan dan Pit Goan Kiong heran. "Aneh nona ini..." pikir mereka. "Kenapa baharu sekarang dia menghormat kita?" In Hong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir, lagi-lagi ia tertawa. "Kamu dalam tentera rakyat ada orang besarnya, bagus!" katanya pula nyaring. "Tadinya aku tidak melihat mata, sekarang lain. Ada kepona kan semacam ini, mestinya Yap Tjong Lioe sang paman bukan sembarang orang, maka di belakang hari hendak aku pergi mengunjungi dia!" Mendengar ini, Hian Eng Toodjin dan Pit Goan Kiong girang. Memang bagus sekali j ikalau si nona suka menggabungkan diri. Dengan begitu usaha mereka di Ka ngsee tentulah akan maju pesat. Karena ini, lenyaplah kelikatan mereka tadi. Dengan rada sinting, In Hong lantas mengajak Sin Tjoe pergi. Mereka berpegangan tangan. Nona rumah, sambil tanjak-tunjuk, menerangkan sesuatu kepada tetamunya, tentang keletakan gunungnya serta penjagaannya. Ia pun bicara dari hal urusan tentera. Sin Tjoe ada rada asing untuk ketente-raan tetapi dapat juga ia menemani bicara. Ia mendapat kenyataan nona ini masih lebih luas pandangannya daripada Keng Sim. Ia mendapatkan orang rada jumawa, akan tetapi mengingat In Hong sedang sinting, ia tidak memperdulikan itu, ia malah menjadi suka kepada orang. Ketika itu di achir musim ke empat, di atas gunung kedapatan banyak salju, dipandang dari jauh, salj u itu bagaikan perak yang berkilauan. Lewat sebuah tikungan, di sana tertampak bunga bwee warna putih dan merah sedang mekar nya dan baunya harum semerbak. "Aku pernah mendengar tentang bunga bwee di gunung Tengoet San yang dikenal seba gai bunga hiangsoat hay atau Laut Salju Wangi, sayang belum pernah aku pergi ke sana," berkata In Hong. "Pohon bwee di sini telah ditanam setelah aku berdiam di sini, aku menyuruh orang- orangnya pergi mencari di lembah-lembah untuk ditanam di sini." "Kau nyata gemar seni, entjie1." Sin Tjoe memuji. In Hong tertawa. "Seni apa!" katanya. "Aku menanam bunga bwee ini karena aku menyukai harumnya ya ng halus." "Entjie, kau sungguh mengagumkan," Sin Tjoe memuji pula. "Tadinya aku menyangka diriku besar, tidak tahunya aku kalah jauh daripada kau! Pohon bwee memang tahan melawan hawa dingin." "Bicara tentang menahan dingin, di gunung Thian San baharulah hawa udara dingin luar biasa!" berkata In Hong. Agaknya ia mengingat secara tiba-tiba. "Musim ding in di sini bukan mirip-miripnya musim dingin." Mendengar itu, Sin Tjoe lantas mengingat satu orang. Itulah hal omongan gurunya, yang pada suatu hari bercerita kepadanya selagi mereka bicarakan halnya pelbagai partai persilatan ilmu pedang. Katanya di Thian San berdiam seor ang yang hidup menyendiri, she Hok namanya Heng Tiong, siapa telah berminat meng gabung ilmu silat pedang semua partai untuk dijadikan suatu partai baru. Dia itu menyendiri semenjak usia pertengahan, tidak lagi dia menginjak tanah Tionggoan, dia hidup di wilayah Hweekiang di suatu tempat ke mana tak ada lain orang tiba, hingga sangat sedikit orang yang mengetahui hal ichwalnya. Cuma Hian Kie Itsoe, sebelum dia mengundurkan diri, pernah satu kali bertemu dengannya. Hian Kie puj i semangat Heng Tiong itu, hanya ia anggap itulah terlalu berlebihan. Bagaimana gampang untuk mengumpul pelbagai cabang ilmu silat pedang, untuk dipahamkan dan kemudian menciptakan satu cabang baru dari antaranya ? Seja k pertempuran itu, tidak pernah mereka bertemu pula, maka Hian Kie tidak ketahui orang sudah mati atau masih hidup, apa dia berhasil atau gagal. Atau kalau dia masih hidup, juga orang tidak tahu sampai di mana kemahiran ilmu pedangnya itu. "Apakah entjie pernah pergi ke Thian San?" menanya Sin Tjoe. Ia ingat suatu apa karena disebutnya nama gunung itu. Ia pun menanya seperti keterlepasan. "Aku menjadi besar di Thian San," menyahut orang yang ditanya. "Aku mohon tanya, pernah apakah entjie dengan iootjianpwee Hok Heng Tiong?" Sin Tjoe menanya pula. "Dialah pamanku," sahut pula In Hong, yang memberitahukan hal engk oe-nya (paman). "Pantas ilmu pedang entjie begini liehay, kiranya kau mewariskan langsung ilmu pedangnya Hok Lootjianpwee itu. Ya, aku ingat, lootjianpwee telah mengumpulkan ilmu silat pedang pelbagai partai dan ia mempersatukan itu, untuk m enciptakan partai baru. Sungguh hebat!" Selagi Nona Ie berkata demikian, pada wajahnya In Hong tertampak sinar guram, ba gaikan langit terang dilintasi awan gelap tetapi, hanya sebentar saja, air mukan ya itu tenang seperti sediakala. Sin Tjoe sedang bergembira, ia tidak dapat meli hat perubahan air muka orang. Bahkan ia melanjuti pertanyaannya. "Apakah Thian San itu indah, senang untuk pesiar? Apakah Hok Lootjianpwee masih tinggal di sana?" demikian pertanyaannya terlebih jauh. In Hong memandang salju di puncak. "Pamanku itu telah meninggal dunia," sahutnya tawar. "Tentang keindahannya gunun g Thian San, karena aku meninggalkannya sudah lama, aku tidak ingat lagi." Sin Tjoe melengak. Ia merasa heran atas sikapnya Nona Leng itu. Maka ia mengawas i, hingga ia tampak air muka orang tak wajar. "Kenapa, dengan disebutnya Thian San, agaknya dia kurang senang?" ia tanya dirin ya sendiri. "Dia seperti mempunyai suatu urusan yang mendukakan hatinya..." Sebenarnya Sin Tjoe masih hendak menanya banyak terutama tentang sebabnya si nona menjadi berandal di gunung Hoeyong San ini, sebab sikap orang itu, ia menjadi membatalkan niatannya itu. Mereka lalu bertindak melintasi rimba pohon bwee itu. "Yap Toako itu besar cita-citanya," mendadak In Hong berkata selang sekian lama. Sin Tjoe heran, air mukanya berubah menjadi merah. "Aku kenal dia baru beberapa bulan," ia berkata. "Bicara tentang dia, dia sebena rnya ada dari satu rumah perguruan denganku." In Hong tertawa. "Dia sangat memperhatikan kau, entjie1." katanya. "Di waktu kita mengadu p edang aku melihat itu dari sinar matanya." Sin Tjoe likat, ia tunduk. "Ada orang yang memperhatikan, itulah hal yang sangat mem-beruntungkan," kata No na Leng seraya menghela napas. "Ah, Yap Toako kau itu mirip dengan seorang yang aku kenal baik..." Hati Sin Tjoe tidak tenteram. "Benarkah?" katanya. "Siapakah dia?" Sekonyong-konyong In Hong tertawa besar. "Ah, aku sudah sinting!" katanya. "Sekarang sudah tidak siang lagi, mari kita pu lang. Ya, ada orang yang karena peristiwa yang sudah-sudah dia suka menjadi berd uka, apakah sebabnya itu?" Hati Sin Tjoe terkesiap. Ia lantas ingat Tiat Keng Sim. Karena ini, ia tidak m enjawab, ia berdiam saja. Malam itu In Hong mengajaki Sin Tjoe tidur dalam sebuah pembaringan untuk mereka memasang among. Hanya di waktu bersantap malam, In Hong minum banyak sekali air kata-kata, hingg a begitu ia menjatuhkan diri di pembaringan, lantas ia pulas. Sin Tjoe gulak-gulik, ia tidak lantas dapat tidur pulas. Ia seperti melayang-lay ang. Ia merasa seperti berada di pesisir laut Djiehay di mana ada sebuah pohon t aytjeng yang besar, yang daunnya teduh sekali. Selagi ia berpikir untuk pergi ke bawah pohon itu, mendadak di situ tumbuh muncul sebuah pohon taytjeng lain yang besar. Atau di lain saat, matanya menampak di bawah pohon taytjeng itu ada sepasang muda-mudi menyembunyikan diri. Yang berdiri di sebelah kiri adalah Yap Seng Lim, dan yang berdiri di sebelah kanan ada Leng In Hong. "Yap Toakol" sananya Sin Tjoe berseru seraya berlompat kepada pemuda itu. Sekonyong-konyong terdengar guntur di tengah udara, lalu Seng Lim lenyap seketik a. Tinggal pohon taytjeng, yang bergoyang- goyang keras. "Entjie Leng!" sananya ia memanggil In Hong. In Hong tertawa dan datang menghampirkan. Sin Tjoe pun lari kepada nona itu. Hen dak ia menanya, "Mana Yap Toako?" atau ia melihat tiba-tiba alis In Hong berbang kit berdiri, dengan pedangnya dia terus menikam. "Entjie Leng, aku, aku!" Sin Tjoe berteriak-teriak kaget, ia pun segera mundur, atau "Plug!" ia tercebur ke laut Djiehay. Itu waktu di kupingnya ia mendengar su ara halus: "Jangan takut... Jangan takut... Aku di sini!" Sin Tjoe mementang kedua matanya. in Hong berdiri di hadapannya. Kiranya ia jatu h dari pembaringan. Barusan ia sudah bermimpi. In Hong mengenakan yahengie, yait u pakaian untuk keluar malam, tangannya mencekal pedangnya yang tajam. Ia terkej ut, hingga ia bersangsi ia masih mengimpi atau sudah sadar. "Di luar seperti ada orang," In Hong berbisik. "Kau jangan kuatir, nanti aku per gi untuk melihat." Si nona melihat daun jendela sudah terpentang, lantas dia berlompat ke luar. Dia seperti tidak dapat mensia-siakan tempo lagi. Sin Tjoe lantas berpikir. Ia mengarti sekarang bahwa barusan ia sudah mimpi. Dal am kesunyian, ia mendengar tindakan kaki bukan dari satu orang. Ia menduga kepad a orang-orang yang tak sembarang kepandaiannya ringan tubuh. "Mana dapat aku membiarkan entjie Leng menempu bahaya?" pikirnya. Maka ia lekas berdandan, dengan membawa pedangnya, ia lari keluar untuk menyusul. Sampai di gunung depan baharu Sin Tjoe melihat bayangannya In Hong. Ia lari teru s. Setelah lewat setengah lie, di depan tertampak samar-samar beberapa orang bagaikan bayangan. Benar-benar mereka itu mahir ilmunya ringan tubuh. Ia h eran, tidak dapat ia menerka siapa mereka itu. Kalau mereka bermaksud baik, kena pa mereka tidak datang secara berterang? Kalau mereka berniat jahat, kenapa mere ka kabur pula, kenapa mereka tidak menempur Nona Leng?" Tepat di waktu Sin Tjoe menduga-duga demikian, beberapa bayangan dtu menghentikan larinya. "Siapa kamu ?" terdengar tegurannya In Hong. "Kami ialah sahabat-sahabat akrab dari Hok Thian Touw," menyahut seorang yang ja ngkung kurus. "Oh, Nona Leng, benarkah kau tidak mengenali aku? Aku Hwee kielin Hek In Tay. Bukankah pada lima tahun dulu kita pernah bertemu di atas gunung Thian San di puncak tinggi sebelah selatan? Mereka ini adalah saudara-saudara angkatku." Pada lima tahun yang lalu itu, In Hong baharu berumur lima belas tahun. Samar-sa mar ia ingat orang jangkung kurus sebagai sahabatnya Hok Thian Touw. "Kalau begitu, kenapa kau datang malam-malam dan main sembunyi-sembunyi?" ia tan ya. "Kami tidak hendak membikin kaget orang-orang lain," sahut Hek In Tay. "Eh, siap akah orang itu?" Ia menunjuk ke arah Sin Tjoe. In Hong segera menoleh. "Dialah kakakku. Jikalau kau hendak bicara, bicaralah, tidak ada halangannya." Sin Tjoe dapat mendengar pembicaraan mereka itu, hatinya menjadi lega. "Kiranya kenalan-kenalannya entjie Leng..." pikirnya. Ia tidak mau lantas datang dekat, supaya ia tidak usah mendengari pembicaraan mereka itu. Ia bahkan hendak mundur pula tatkala ia mendengar pertanyaan keras dari In Hong: "Apa? Kamu jadi nya diperintah datang oleh Hok Thian Touw? Dia di mana? Di mana?" Nadanya suara itu nada dari orang sangat tertarik hatinya, seperti seorang yang berdahaga sekali untuk suatu kabaran. "Hok Thian Touw berada di suatu tempat di Siamsay," sahut si jangkung kurus Hwee kielin, si Kielin Api. "Dia minta Nona suka pergi untuk menemui dia." "Thian Touw ketahui aku berada di ini gunung, kenapa dia tidak datang sendiri ke padaku?" In Hong menanya. "Apakah dia sakit? Atau apakah dia terluka?" "Letaknya tempat terpisah ribuan lie, tidak leluasa untuk dia datang ke mari," s ahut pula Hek In Tay. "Kalau nona sudah pergi ke sana nanti kau akan ketahui sen diri sebabnya." In Hong tertawa menyeringai. "Letaknya tempat jauh ribuan lie, aku juga tidak leluasa pergi kesana," ia menya huti, menelad suara orang. "Untuk menyuruh aku meninggalkan tempatku ini juga ma sih memerlukan tempo beberapa hari guna mengatur sesuatu." Memang semenjak dua tahun, In Hong sering berhadapan sama tentera negeri yang hendak menumpas padanya, ia telah dipandang sebagai satu berandal yang berbahaya, maka itu, kala u ia pergi meninggalkan gunungnya, itulah sungguh berbahaya untuk Hoeyong San. Ia pun tidak ichlas meninggalkan tenteranya dengan siapa ia telah hidup bersama, senang dan susah, sebagai entjie dan adik. "Kalau begitu, benar sukar," Hek In Tay berkata pula. "Thian Touw menanya kau, a pakah kau masih ingat akan janji lama?" "Habis kenapa?" "Sekarang ini dunia kacau, sekarang ini waktunya untuk menyendiri meyakinkan ilmu pedang. Thian Touw menanyakan kau, apakah kau masih m enyimpan itu kitab ilmu pedang?" In Hong melirik. "Adakah ini kata-katanya Thian Touw sendiri?" "Dia mempunyakan surat yang dia tulis sendiri di sini. Silahkan kau lihat sendir i." Hek In Tay menyerahkan surat yang ia sebutkan itu. Sin Tjoe melihat wajahnya In Hong ramai hingga dia menjadi terlebih cantik dan m anis. Maka maulah ia menduga tentang hati si nona. Maka berkatalah ia di dalam h atinya: "Ini nona gagah berpelangi merah, melihat surat kekasihnya, dia likat ba gaikan nona pengantin..." Tangan In Hong bergemetaran sedikit ketika ia memegang surat, untuk dibuka denga n perlahan-perlahan. Begitu ia melihat, ia membaca dengan perlahan: "Adik Hong, terimalah suratku ini seperti kita bertemu sendiri... Adik Hong, ter ima/ah suratku ini seperti kita bertemu sendiri... bertemu sendiri..." Mendengar itu, hampir Sin Tjoe tertawa. Bukankah lucu In Hong ini, yang membacan ya berulang-ulang surat kekasihnya itu bagian pertama? In Hong tidak membaca terus. Mendadak air mukanya berubah menjadi sungguh- sungguh dan dengan mendadak juga ia tertawa lebar. "Benar saja Thian Touw telah menduga bahwa aku tidak dapat segera berangkat maka dia telah mengutus kamu beberapa tuan-tuan yang ilmu silatnya tinggi untuk datang mengambil kitab ilmu silat itu untuk dibawa kepadanya. Ha, s ungguh sukar dicari orang yang demikian matang pikirannya!" "Sebenarnya ilmu silat kami biasa saja," berkata Hak In Tay, "akan tetapi kami t elah menerima baik permintaannya saudara Thian Touw, terpaksa kami mesti melakuk an kewajiban kami, biarnya mesti membuang jiwa, tentu kami akan antarkan kitab itu kepada saudara Thian Touw." In Hong melirik, ia tertawa pula. "Sungguh sahabat-sahabat yang baik!" ia berkata. "Kitab pedang itu asalnya ada k epunyaan Keluarga Hok, sekarang Thian Touw menghendaki itu, tidak dapat aku tida k mengembalikannya, dan sekarang kamu yang mengantarkan, itulah bagus sekali. In Tay, mari!" Hek In Tay tercengang, ia mengawasi. "Apakah kitab itu kau senantiasa bawa-bawa, Nona Leng?" tanyanya. "Ya," menyahut si nona, yang merogo ke dalam sakunya. In Tay maju dua tindak. Sekonyong-konyong si nona tertawa, berbareng dengan mana pedangnya terhunus, ter us dipakai menikam orang di depannya itu. Berbareng dengan itu, tangan kirinya t erayun, menerbangkan tiga biji Ouwtiap piauw. Sebab dia bukannya mengeluarkan ki tab hanya menjumput senjata rahasianya itu. In Tay kaget tetapi ia masih dapat berkelit, hanya ia kalah sebat, pundaknya ken a juga tertikam, syukur tulang piepee-nya tak sampai kena dibikin tembus. "Kami bermaksud baik, kenapa kau menurunkan tangan jahat?" In Tay berteriak. In Hong berlompat, untuk menikam pula, hingga dua kali beruntun. "Ya, sungguh baik hatimu!" dia berkata, dingin. "Hm! hm! Apakah kamu menyangka a ku sebagai bocah enam tahun yang lampau ketika aku masih belum mengarti apa-apa? Lekas bilang, sebenarnya apakah kamu perbuat terhadap Thian Touw? Kamu meniru tu lisannya itu! Mana dapat kamu mengelabui aku?" In Tay berkelit terus. "Kau lihatlah biar terang!" ia masih berkata. "Surat itu tulisan tangannya T hian Touw sendiri! Mengapa kau bilang surat tiruan?" In Hong tertawa dingin. "Kau masih mendustai" bentaknya. "Nanti aku bikin picak matamu!" Kali ini si nona menyerang dengan empat biji senjata rahasianya. Menyusul itu terdengarlah suara "traang!" beberapa kali dan ke empat senjata rah asia itu terhajar hancur, oleh seorang Uighur sahabatnya Hek In Tay. In Tay send iri menghunus senjatanya, sepasang poankoan pit, senjata mirip alat tulis, denga n apa ia menangkis Tjengkong kiam. Ia menangkis dengan tangan kirinya sebab deng an tangan kanan ia membalas menyerang, menotok ke arah buah dada. Ia murka, kare na ia pun berseru: "Sebenarnya kami memandang kepada saudara Thian Touw! Apakah kau sangka kami jeri terhadapmu? Perempuan ini tidak tahu aturan, mari kita bereskan dia dulu!" Dan ia menyerang pula. Kawannya In Tay ada tiga, dua di antaranya orang-orang Uighur, yang masing-masin g bergegaman gembolan kuningan serta golok bulan sabit, sedang yang ketiga bersenjatakan sepotong kongpian panj ang setombak, ketika dia menyerang, merabuh ke bawah, cambuk itu memperdengarkan siu -ran angin keras. Yang terliehay adalah In Tay sendiri, walaupun dia sudah terlu ka pundaknya, sepasang pit-nya hebat sekali, senantiasa mencari jalan darah. In Hong melayani dengan tabah, bahkan ia tertawa panjang. Ia tidak mengambil mumat yang ia dikepung berempat, ia bergerak ke segala penjuru d engan gesit sekali. Kedua orang Uighur itu mengandal betul kepada senjatanya masing-masing, yang berat, mereka berdaya akan membentur pedang si nona, tetapi nona itu memperlihatkan kelincahannya, jangan kata pedangnya, ujung bajunya pun tak dapat dilanggar, bahkan pedangnya berkelebatan di muka orang. Demikian ketik a si nona berseru, si orang Uighur yang memegang gembolan kena tertikam. "Jangan mengadu jiwa!" In Tay berteriak. "Kurung saja padanya!" Ia pun mendesak terlebih hebat, sepasang pit-nya bergerak gesit ke kiri dan kanan. Orang yang memegang kongpian berkelahi secara renggang, ia menjauhkan diri kira-kira satu tombak. Cuma In Tay yang mend esak rapat. Kedua orang Uighur itu pun tidak merapatkan diri, mereka bersikap he ndak meme-gat jalan mundur lawannya. Sin Tjoe menonton sejak tadi, kemudian ia menjadi tak sabaran. "Entjie Leng, apakah kau hendak bikin picak si kurus ini?" ia menanya. "Benarkah?" "Benar!" In Hong memberikan penyahu-tannya. "Baik!" berkata Sin Tjoe. "Tidak usah entjie turun tangan, nanti aku lebih d ulu membikin buta mata kirinya!" In Tay telah berjaga-jaga terhadap nona itu, hanya melihat usia orang lebih muda daripada In Hong, ia tidak memandang mata. Maka juga ia tertawa berkakak ketika ia mendengar nona itu memperdengarkan suaranya, yang ia anggap o mong besar belaka. "He, budak cilik!" ia membentak. "Tuan besarmu ini semua ada ahli senjata rahasda, maka lihatlah siapa yang terlebih du lu matanya picak!" Dengan melindungi mukanya dengan sebelah senjatanya, orang she Hek itu mendahulu kan menyerang dengan panah tangannya, yang dia sembunyikan di dalam tangan bajun ya. Sin Tjoe menyingkir dari penyerangan itu, sambil menyingkir ia membalas, maka meluncurlah bunga emasnya, yang cahayanya berkilauan. Hek In Tay menangkis dengan poankoan pit, tetapi bunga emas itu luar bisa, setelah tertangkis lalu berbalik menyambar pula. Kaget In Tay, hendak ia menangkis pula seraya bertindak mundur. Justeru itu, In Hong maju mendesak, dengan jurus "Mega melintang di gunung Tjin Nia," dia membuatnya sepasang poankoan pit musuh kena tertutup. Maka kimhoa meny ambar tanpa rintangan, dan benar saja, bunga itu menancap di mata kiri orang! Bukan main In Tay merasakan sakit, sambil menjerit keras, ia menyerang dengan menimpuk dengan sepasang senjatanya, atas mana In Hong berlompat mundur. Nona ini masih dapat melihat tubuh orang roboh dan menggelinding. "Ini aku kembalikan panah tanganmu!" berseru Sin Tjoe seraya menimpuk. Sebab tadi sambil berkelit, ia menanggapi panah tangan orang she Hek i tu. Sebab In Tay bergulingan, panah tangannya itu gagal mengenai tubuhnya. Kedua orang Uighur itu melihat bahaya, mereka juga menyerang dengan senjata mere ka seperti caranya In Tay, habis mana mereka menjatuhkan diri untuk menyingkir sambil menggulingkan diri juga. Tinggallah satu musuh, yang bersenjatakan kongpian. Dia pun hendak menyingkir tetapi dia kena dihalangi Sin Tjoe. Dia adalah Ouw Hong, satu berandal kuda di t apal batas. Dia gagah, melihat si nona masih sangat muda dan senjatanya pun peda ng, ia tidak memandang mata. Di lain pihak, cambuknya panjang. Maka itu, dengan berkelahi renggang, ia menyerang bertubi-tubi. Hebat desiran ca mbuknya itu. Dia mengharap si nona terluka, atau sedikitnya orang membuka jalan untuknya. Sin Tjoe tidak mengasi dirinya dipermainkan. Melayani musuh itu, ia keluarkan il mu silatnya "Menembusi bunga mengitarkan pohon," dengan lincah ia bergerak-gerak menyingkir dari setiap ujung cambuk. Achirnya, Ouw Hong bercekat sendirinya. Ia tidak menyangka si nona ada demikian liehay. Karena ini ia memikir untuk mengangkat kaki saja. Ia mau segera mengundu rkan diri. Tapi untuknya sudah kasep. Sin Tjoe dengan berani mendesak rapat, han ya dengan dua kali berkelebat pedangnya, pedang Tjengbeng kiam itu telah memapas kutung cambuk orang hingga menjadi tiga potong, sesudah mana dengan tikaman "Ular putih memuntahkan bisa," ia menikam te ng-gorokan musuh itu. "Tahan, entjiel" berseru In Hong seraya tertawa. "Kasilah dia hidup, hendak aku menanyakan keterangannya!" Sembari berkata begitu, ia lompat akan menotok jalan darahnya Ouw Hong. "Suratnya Hok Thian Touw itu, bukankah kamu yang memalsukannya?" Nona Leng menan ya dengan bengis. "Itu bukan urusanku," sahut Ouw Hong. "Itulah pekerjaan Hek Toako." "Kenapa kamu dapat meniru tulisannya Thian Touw," In Hong menanya pula. "Hek Toako telah memancing seorang bekas soeya dari Liang-tjioe, dengan mengguna kan tempo satu bulan, bisalah si soeya meniru tulisan tangan orang," Ouw Hong me nerangkan. In Hong tertawa dingin. "Sungguh hebat kamu berpikir," katanya. "Bagaimana dengan Thian Touw? Dia sebena rnya ada di mana? Cara bagaimana kamu dapat mencuri suratnya untuk ditiru tulisa nnya itu?" "Hok Thian Touw..." kata si berandal kuda perlahan, "Hok Thian Touw sudah mati.. ." In Hong kaget hingga mukanya menjadi pucat. "Mati!" teriaknya. "Kenapa dia mati?" "Dia dibunuh Hek In Tay," Ouw Hong menjawab pula. Kembali In Hong tertawa dingin. "Dengan kepandaiannya itu In Tay dapat membinasakan Thian Touw!" katanya. "Hm! K au ngaco belo? Apakah maksudmu dengan mendusta?" Bergeraklah dua jari tangan si nona, mengancam ke kedua biji mata si berandal. "Tahan, tjeetjoel" menjerit Ouw Hong. "Nanti aku omong terus terang!" "Kau bicaralah!" si nona berkata dengan mata mendelik. "Asal kau mendusta, akan aku kutungi lidahmu!" "Pada suatu hari Hok Thian Touw itu di kaki bukit Hoasan telah bertemu sama Tayb ok Sinlong Hamutu," menerangkan Ouw Hong. "Hamutu hendak merampas kitab ilmu pedang. Keduanya jadi bertempur, keduanya sama-sama mendapat luka. Menggunai saat orang terluka, Hek I n Tay mengusir Taybok Sinlong, kemudian dia meminta kitab pedang kepada Thian To uw, katanya sebagai pembalasan budi. Thian Touw menolak. Karena ini, mereka jadi berkelahi. Karena k eterlepasan tangan, Hek Toako dapat menotok Hok Thian Touw, kemudian hendak ia m enolongi tetapi, sudah kasep. Ia menyesal pun tidak berguna." Taybok Sinlong Hamutu itu si Srigala Sakti Dari Gurun Pasir adalah satu hantu di tapal batas, dan keterangannya Ouw Hong itu agaknya masuk di akal. Mendengar it u, In Hong kaget bukan main. Mendadak ia memuntahkan darah. Sin Tjoe kaget, ia menubruk untuk pepa-yang sahabatnya itu. "Entjie Leng, sabar!" ia berkata, menghibur. "Mari kita menanya dulu biar jelas. " Baharu Nona Ie berkata demikian, atau mendadak kupingnya mendengar suara tubuh r oboh, tatkala ia menoleh, ia menampak Ouw Hong bergulingan ke bawah gunung. Seba b berandal ini, yang dapat membebaskan dirinya sendiri, sudah lantas melarikan d iri. Dalam kagetnya Sin Tjoe hendak mengejar musuh itu, tetapi In Hong, yang mandi ai r mata, telah berseru: "Thian Touw mati! Tidak, aku tidak percaya!" "Memang, tidak seharusnya kau percaya!" Sin Tjoe bilang. "Va, pikiranku kalut, otakku tidak mau dengar kata!" kata si Nona Leng. "Aku akan mendengar kau, entjie yang baik, kau bicaralah." Sin Tjoe tahu bagaimana harus memperlakukan orang. "Entjie, kau tutur-kanlah," ia berkata, halus. In Hong mengangkat kepalanya, ia memandang salju di puncak gunung, yang ia menga nggapnya seperti gunung Thian San, dan di dalam sinarnya salju itu seperti berba yang tubuhnya Thian Touw... "Kita kedua keluarga Leng dan Hok bersahabat turun temurun," ia berkata, memulai . "Kita sama-sama berasal dari Kanglam dan bertetangga juga. Kira-kira seratus tahun yang lampau, ialah di achir kerajaan G oan atau di permulaan kerajaan Beng, selagi jago-jago berbangkit bangun memperebuti kota-kota dan daerah, hingga Tionggoan menjadi kacau sekali dan rakyat menderita, kita kedua keluarga mengungsi ke Hweekiang ya ng jauh itu. Kita kedua keluarga lalu diikat dengan pernikahan satu dengan lain. Sampai kepada ayahku dan pamanku, ayah mempunyai cuma aku seorang anak perempua n dan engkoe Hok Heng Tiong juga mempunyai Thian Touw yang menjadi kakak misanku itu. Ayah menutup mata siang-siang, dari itu aku menumpang tinggal pada engkoe, yang merawatku hingga besar. Kedua keluarga kita memang keluarga yang mengarti ilmu silat, maka juga engkoe Heng Tiong berhasil mewariskan ilmu silat kedua kel uarga. Dia gagah dan bera- ni, di masa mudanya pernah dia merantau ke Tionggoan, untuk mengumpulkan ilmu silat pedang dari pelbagai partai. Ketika dia mendapat kenyata an Tionggoan masih diganggu peperangan, dia pulang ke Thian San untuk hidup meny endiri. Di sini dia membangun partai persilatan Thian San Pay. Dia sudah mencoba mengumpulkan pelbagai ilmu silat, hingga rambutnya putih, dia masih belum puas, tapi dia tidak putus asa, dia bekerja terus. Rupany a dia terlalu bekerja keras, belum berumur lima puluh tahun, dia menutup mata. D ia memesan Thian Touw untuk melanjuti usahanya itu, memesan juga untuk semua tur unannya meyakinkan terus, supaya Thian San Pay berdiri sebagai pengum- pul ilmu silatnya pelbagai partai." Ketarik hati Sin Tjoe mendengar keterangan itu. "Hebat semangatnya Hok Heng Tiong," pikirnya, "Dia dapat disamakan Gie Kong yang hendak memindahkan gunung. Kalau Thian Touw masih hidup, aku nanti minta soehoe membantu hingga dia mencapai cita-cita leluhurnya itu." Habis hening sebentar, In Hong melanjuti ceritanya: "Ketika engkoe menutup mata, usiaku baharu dua belas tahun. Thian Touw lebih tua empat tahun. Dasarnya ilmu silatku adalah engkoe yang menanamnya, tetapi ilmu silat pedangnya aku dapatkan dari Thian Touw. Kita sama-sama tidak mempunyakan orang tua, kita hidup bersama melebihkan rapatnya saudara- saudara kandung. Thian Touw itu bagus segala apanya, dia polos dan sederhana sep erti kau punya Yap Toako itu, cuma semangatnya rada besar, dia tidak sudi untuk selama-lamanya mendekam di Thian San. Sama sekali engkoe telah mengumpul kitab i lmu silat dua belas partai, sedang sebenarnya, semua partai ada tiga puluh enam, maka itu, ia baharu mendapatkan satu per tiga bagian. Thian Touw hendak pesiar, untuk mewujudkan cita-cita ayahnya itu. Kalau sebegitu jauh dia belum juga perg i merantau, itulah disebabkan usiaku masih terlalu muda. Empat tahun telah lewat tatkala pangeran dari Watzu memimpin tentera menyerang Hweekiang hingga bagian selatan dan utara dari Thian San menjadi tidak aman. Karena itu pada suat u hari Thian Touw mengajak aku pulang ke Tionggoan, tempat asal kita. Ketika itu aku ingat keindahannya Tionggoan. Sebenarnya ayahku memberi nama Bok Hoa kepada ku, maksudnya supaya aku jangan melupakan Tionggoan. Karena itu, aku setuju ajakan itu." "Oh, begitu..." kata Sin Tjoe perlahan. "Sekarang kau tahu, entjie, kenapa begitu melihat surat Thian Touw aku ketahui k epalsuannya," berkata pula In Hong. "Nama In Hong aku pakai semenjak aku tiba di Tionggoan ini, Thian Touw tidak ketahui namaku ini. Ia selalu memanggil aku Adi k Hoa, Adik Hoa..." "Entjie berjalan ber- dua, kenapa entjie berpisah daripadanya?" Sin Tjoe menanya. "Kamu orang Tionggoan mana kenal hebatnya gurun pasir," menyahut In Hong. "Gurun itu luas seperti tak ada ujung pangkalnya. Kita jalan sepuluh hari atau setenga h bulan, kadang-kadang kita belum sampai kepada tujuan kita. Demikian kita terpisah di te ngah-tengah gurun. Itu hari kita kehabisan air, lantas Thian Touw pergi ke sebua h gunung kecil akan mencari sumber air. Hari itu langit terang, bukit pun terlet ak dekat. Aku letih, aku membiarkan dia pergi seorang diri. Apa lacur, seperginy a dia, datanglah angin besar, membuat pasir beterbangan. Di jarak sepuluh tindak , tidak dapat kita melihat satu pada lain. Aku kaget, aku lari-larian untuk menyusul Thian Touw, tetapi aku sala h jalan, makin lama aku nyasar makin jauh. Achirnya aku roboh terdampar angin. K etika aku sadar sendirinya, aku lihat hanya pasir bertumpuk-tumpuk bagaikan buki t-bukit kecil. Bukit yang dipergikan Thian Touw tidak nampak pula. Masih untung untukku, aku bertemu sama rombongan saudagar gurun pasir, aku ikut mereka keluar dari gurun pasir itu. Thian Touw hendak pergi ke Tionggoan, aku lantas menuju k e mari. Sejak itu beberapa tahun sudah lewat, tidak pernah aku mendengar halnya Thian Touw, sampai datanglah hari ini. Inilah warta pertama untukku. Aku menyaks ikan kabar ini, aku tidak tahu ia benar sudah mati atau masih hidup..." Sin Tjoe mendengeri dengan pikiran bekerja keras. "Aku lihat dia gagah dan bersemangat, siapa tahu, hatinya pun lemah juga," ia be rpikir. "Dia mempunyakan Thian Touw yang gagah, yang dia buat andalkan, yang dapat dia memikirkannya, ump ama kata toh terjadi hal tidak beruntung bagi Thian Touw itu, tidaklah kecewa hi dupnya. Tapi aku..." Ia menjadi berduka sendirinya. Ia pun hidup sebatang kara, ayahnya terfitnah dan terbinasa, sekarang ia hidup sendirian, belum mempunyai andalan... Maka ia mengasihani In Hong berbareng ia memikirkan nasib sendiri... In Hong melanjuti ceritanya: "Ketika kita berangkat bersama dari Hweekiang, Thian Touw titipkan kitab ilmu silat engkoe, yang terdiri dari dua be las jilid, katanya untuk aku yang menyimpannya. Pernah secara bergurau ia bilang , umpama kata satu hari kita ngalami malang dan berpisahan, ia pesan untuk aku m eyakinkannya sendiri. Ia sendiri, bilangnya, sudah paham semua. Ia kata juga bah wa aku dapat melangsungkan cita-cita engkoe. Siapa nyana, berguraunya itu sekara ng menjadi kenyataan. Ia kata ia sudah paham isi kitab, ini pun salah satu sebab kenapa aku lantas ketahui kedustaannya surat dari In Tay. Bukankah Thian Touw tak membutuh kan lagi kitab ilmu pedang itu? Kemudian, ketika aku tiba di Tionggoan, aku mend apatkan keamanan tetap terganggu, di sini rakyat bersengsara melebihkan penduduk Hweekiang. Seorang diri aku merantau, tan pa merasa aku menjadi seorang kasar. Aku telah tolongi sejumlah anak-anak peremp uan yang bercelaka itu, tetapi itu bukan cara yang baik, maka achirnya aku memba ngun sarangku ini, angkat diriku menjadi tjeetjoe. Aku percaya, jikalau Thian To uw mengetahui sepak terjangku, dia pasti menyetujuinya. Ah, sayang aku tidak bakal bertemu pula dengannya..." "Hatimu mulia, entjie, Thian pasti akan melindungi kau dan akan membuat kamu nan ti bertemu pula satu sama lain," Sin Tjoe menghibur. "Itulah pengharapanku," In Hong tertawa sedih, "Hanya aneh rombongan In Tay itu. Kenapa mereka ketahui kitab berada di tanganku? Kenapa mereka ketahui tulisannya Thian Touw. Maka itu aku kuatir benar-benar Thian Touw terancam bahaya..." Tanpa merasa, air mata si nona mengalir turun. Sin Tjoe bingung. Sukar untuk menghiburnya. "Kedukaan dapat membuat orang celaka," katanya kemudian. "Di depan mat amu, entjie, ada satu usaha besar, maka itu baik kau tenangkan diri dan ingat usahamu ini. Aku harap entjie bisa menjaga kesehatanmu." Kembali In Hong tertawa sedih. Habis itu, benar ia nampak tenang. "Aku mengarti, entjie ," katanya, sungguh-sungguh. "Kau baik sekali! Kaulah yang mengetahui hatiku. Aku tidak punya kakak atau adik, aku angg ap Thian Touw sebagai kakakku, maka itu sekarang dan selanjutnya, aku pun ingin pandang kau sebagai saudaraku!" "Inilah yang mengharapnya pun aku tidak berani!" sahut Sin Tjoe, yang menjadi gi rang sekali. Mereka lantas saling mengasi tahu umur mereka. Nyata In Hong lebih tua dua tahun , maka ia menjadi kakak. Untuk mengangkat saudara, mereka gunai tanah sebagai gantinya hio. Lalu Sin Tjoe memanggil "Entji e1." dan In Hong memanggil "Adik!" Upacara sangat sederhana itu ditutup dengan b ercucurannya air mata mereka saking terharunya hati mereka itu, saking girang di achirnya. Tidak lama setelah itu, mereka melihat Seng Lim mendatangi, keluar dari antara p ohon bwee yang lebat. "Apakah tidak terjadi sesuatu?" anak muda itu menanya. "Tentera-mu tidak melihat kau, nona, dan mereka mendengar banyak tindakan kaki, mereka jadi ribut sendirinya." "Tidak apa-apa!" menyahut In Hong sambil tertawa. Siang-siang ia sudah menepas k ering air matanya. "Malam ini indah, bersama Nona Ie ini aku jalan-jalan ke sini . Kalau mereka bingung, baik aku lantas pulang. Karena malam permai, kau sendiri baiklah menemani nona ini me-nggadanginya sebentar." Ia berkata seraya terus bertindak pergi. Sin Tjoe hendak mencegah tetapi sudah t idak keburu. Sejenak itu, hati nona ini berdenyutan. "Sungguh kamu gembira sekali!" berkata Seng Lim tertawa. Sin Tjoe berdiam, ia ingat kebaikannya In Hong. Ia juga mengagumi nona itu, yang hatinya kuat, yang dapat mengatasi penderitaannya. Seng Lim bertindak mendekati. Ia melihat orang tunduk, samar-samar ia mendapatka n orang sering melirik kepadanya, maka mukanya menjadi merah sendirinya. Ia mundur dua tindak. "Nona Ie, kau tengah memikirkan apa?" ia menanya. Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya. "Yap Toako," katanya, "bagaimana kau lihat tjeetjoe ini?" Seng Lim melengak, lalu ia tertawa. "Dia gagah dan pintar," ia menyahut. "Dialah wanita sejati, wanita jantan!" Hati si nona tergerak. Ia membuat main cabang dan daun bwee. "Apa katanya Leng Tjeetjoe kepadamu?" Seng Lim menanya. "Tidak apa-apa. Eh, Yap Toako, aku ingin tanya kau satu hal." "Silahkan." "Orang dulu bilang, dua perasaan saling suka, keras emas atau batu, benarkah itu ?" Air mukanya Seng Lim merah hatinya goncang. "Begitulah katanya orang dulu. Umpama Tjiok Eng Tay, yang sesudah mati menjadi k upu-kupu, atau Beng Kiang Lie yang menangiskan Tembok Besar. Perasaan atau cinta mereka itu dapat menggeraki langit dan bumi. Itu dia yang dibilang keras seperti emas dan batu. Kau baca lebih banyak buku dari aku, nona, kau mengarti lebih banyak lagi." "Orang dulu demikian, bagaimana orang jaman sekarang?" Seng Lim bersenyum. "Aku lihat, dulu dan sekarang sama saja." "Tapi toh ada bedanya dengan perbuatan orang yang bersangkutan sendiri..." "Memang, siapa cocok satu pada lain, di antara mereka baharu ada cinta." Sin Tjoe berpikir. "Diumpamakan orang menyinta satu kepada lain, lalu satu sebab membikin mereka berpisahan, terpisahnya jauh, kabar ceritanya tidak ada, tak tahu juga sampai ka pan mereka bakal bertemu pula, kalau begitu, pantas atau tidak apabila hati Selagi mengangkat saudara, Leng In Hong dan Ie Sin Tjoe melihat Seng Lim mendata ngi, keluar dari pohon bwee yang lebat. mereka tak berubah sampai di achirnya?" Seng Lim heran. Ia tidak ketahui hal ichwalnya In Hong. Ia pikir: "Kiranya si no na sangat jatuh hati kepada Keng Sim, kalau begitu tak boleh aku lancang... Maka sambil tertawa tawar ia menyahut: "Itulah bukan soal pantas atau tidak, itulah soal cintanya. Menurut aku, setelah mereka saling menyintai, pasti hati mereka tidak berubah." "Bagaimana kalau salah satu pihak telah menutup mata?" "Mana orang muda demikian gampang mati? Kau bicara dari hal siapa?" Pemuda ini menjadi heran. "Aku lagi bicara saja, Yap Toako. Adat peradatan kita membilang, wanita itu waji b mengikuti suaminya sampai di hari achirnya, tetapi kalau mereka belum menikah dan bakal suaminya su dah mati lebih dulu, apakah dia mesti tetap bersetia pada bakal suaminya itu?" Melihat orang bicara dengan sungguh- sungguh, Seng Lim tidak berani omong sembarangan. "Ini pun terserah kepada orang yang bersangkutan sendiri. Kalau dia mau bersetia , dia setia terus, kalau tidak, dia boleh berubah hatinya." "Menurut kau, toako , mana lebih baik, tetap setia atau berubah?" "Kalau orang itu diumpamakan aku, setelah aku mati dan aku ketahui halnya, aku pasti mengharap kekasihku itu mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku," sahut Seng Lim. " Inilah untuk menjaga jangan dia menjadi sebatang kara dan kesepihan hidupnya. Eh, menga pa malam ini kau menanyakan urusan seaneh ini?" Si nona tertawa. "Terima kasih untuk keteranganmu ini," katanya. "Kau membuatnya hatiku terbuka. Benar, dia tak dapat dibikin sebatang k ara dan sepih hidupnya!..." Seng Lim menjadi terlebih heran. "Eh, kau bicara dari hal siapa?" ia mananya. "Dari halnya satu entjie-ku yang baik. Nanti kau ketahui sen diri." Seng Lim tidak usi-lan, meskipun ia heran, ia tidak menanya lebih jauh. Ia hanya mengawasi si nona, yang memandang ke arah jauh, agaknya nona itu berduka berbar eng girang. "Ah, di sini dingin, dingin sekali..." kata si nona kemudian. "Memang hawa udara di sini tak dapat dibanding dengan hawa udara di Koenbeng," b erkata Seng Lim. "Coba bilang," mendadak si nona kata, "Tiat Keng Sim itu bakal kembali atau tida k?" Seng Lim heran. Itulah pertanyaannya kepada si nona, sekarang di pakai untuk men anya padanya. Ia menyesal, tetapi ia menjawab: "Tentang Tiat Kongtjoe, kau menge tahui lebih dalam daripada aku. Benar, hawa dingin sekali, mari kita pulang." Pemuda ini tidak ketahui hati si nona, ia menyangka orang tak dapat melupakan pe muda she Tiat itu, Sin Tjoe dapat menerka Seng Lim menduga tetapi sesaat itu ia tidak hendak memberikan penjelasannya. Besoknya, setelah Tiauw I m Hweeshio memperoleh obat pemunah dari Han Tjin Ie dan ia berhasil mengobati semua orang Kaypang yang terl uka, ia mendaki gunung, untuk bertemu sama Leng In Hong dan lainnya. Di situ dil akukan pembicaraan soal keberangkatan tentera wanita dari Hoeyong San ini untuk menggabungkan diri dengan tentera rakyat di bawah pimpinan Vap Tjong Lioe. In Hong berduka, halnya itu cuma Sin Tjoe seorang yang mendapat tahu, tetapi ia dapat menguati hati, ia tidak memberi kentara dari kedukaannya itu. Ia mencoba b ersikap seperti biasa. Di tengah jalan, Sin Tjoe sengaja mengatur dengan diam-diam agar nona itu berjalan sama-sama Seng Lim. Keduanya bicara seca ra umum, karena keduanya tidak mengetahui akalnya Nona Ie. Bicara dari hal ilmu perang, keduanya cocok sekali satu dengan lain. Kapan Sin Tjoe memandang mereka berdua, mendadak ia membayangi pula impiannya. Ia dapat merasa Seng Lim dan In H ong adalah orang-orang mirip pohon taytjeng. Ia girang dan masgul, masgul seoran g diri, tanpa In Hong dan Seng Lim mengetahuinya. Setengah bulan kemudian rombongan tentera suka rela ini tiba di pusat tentera ra kyat di Tjiatkang. Sin Tjoe berduka kapan ia mengingat jauh ke depan, ingat hari -hari yang telah lalu. "Dulu hari di Tay-tjioe," berkata Seng Lim tertawa, "kaulah satu-satunya pendekar wanita, sekarang kau dikawani oleh Leng Tjeetjoe serta ten tera-nya, maka itu lain kali kau tidak usah menyamar lagi sebagai seorang pemuda !" Sin Tjoe bersenyum walaupun hatinya pepat. Itu waktu terli- hat satu pasukan tentera mendatangi ke arah mereka, yang menjad i pemimpin masing- masing ada seorang priya dan seorang wanita. Mereka itu ialah Seng Hay San dan T jio Boen Wan. Heran Seng Lim, hingga ia berkata: "Aneh, kenapa mereka sudah lantas mendapat ka bar hingga mereka dapat ketahui hari ini kita bakal tiba di sini?" Ia berkata be gitu karena menyangka Pit Keng Thian mengutus pasukan untuk menyambut mereka. Dari jauh-jauh Tjio Boen Wan sudah lantas mengenali Sin Tjoe, maka itu ia kaburk an kudanya, hingga ia lantas sampai kepada Nona Ie, tangan siapa ia jabat keras- keras. "Entjie Sin Tjoe, kau pulang asalmu, kau bertambah cantik!" memuji Nona Tjio itu. "Apakah kau bertemu sama aku punya Tiat Soeko?" Nona Ie mengangguk. "Panjang untuk menutur," sahutnya, "tetapi sekarang ia berbahagia berdiam di ist ana Bhok Kokkong di Koenbeng, hingga tak usah kau menguatirkan-nya, tak usah kau memikirkannya lagi. Bagaimana ayahmu?" "Semenjak peristiwa itu malam, sampai sekarang ayah belum pulang," menyahut Boen Wan. Sin Tjoe berdiam, air mukanya guram. Ketika kemudian ia mengangkat kepala, ia li hat Seng Hay San dan Seng Lim tengah bicara dengan tangan dan kakinya bergerak-g erak, melihat wajahnya, dia tidak puas. Ia pun mengawasi Boen Wan, yang dari ker utan alisnya nyata dia berduka. "Apakah Vap Tongnia baik?" Sin Tjoe menanya. Ia ingat suatu apa. "Bukankah kamu datang ke mari untuk menyambut kami?" "Kami dititahkan Pit Toaiiongtauw untuk pergi berperang," menjawab Nona Tjio. "Hm! Hm! Jikalau kami tidak memandang kepada Yap Tongnia, tidak nanti kami suka mentaati titahnya!" *** Ie Sin Tjoe tertawa. "Tentera rakyat sudah bergerak, mana dapat kita luput dari peperangan?" kata ia. "Kita bukannya takut berperang, hanya medan perangnya tak terpilih tepat," berkata Tjio Boen Wan. "Bagaimana?" "Tentera kita terdiri dari kaum nelayan," Seng Hay menjelaskan, "dari Taytjioe k ita dipindahkan ke Oen-tjioe, selama setahun lebih kita berperang di air, saban- saban kita beroleh kemenangan, sekarang kita harus berkelahi di tanah datar, kit a pun mencil sendiri dan masuk ke perdalaman. Kita dititahkan maju ke Sianggiauw, Kangsee. Bukankah itu tak tepat, bahkan melanggar pantangan ilmu perang?" "Laginya dengan ke-barangkatan kita. Oentjioe menjadi kosong"" menambahkan Boen Wan. "Umpama kata tentera negeri menyerang dengan ambil jalan air, berbahayalah kota itu." Seng Lim mengerutkan kening. "Pit Kheng Thian mengarti baik ilmu perang," ia berkata, "tempo dulu ia masih me njadi berandal di Shoatang, tak kurang daripada seratus kali ia bertempur sama t entera negeri, baik pertempuran kecil maupun pertempuran besar, ia selalu menang , maka kenapa ia mengatur begini rupa? Pernahkah kamu bicarakan ini dengan paman ku?" "Sudah. Tapi Pit Kheng Thian telah mengeluarkan titahnya, tak mau ia menarik pulang. Dua kali Yap Tongnia bicara, t idak ada hasilnya, achirnya ia menasihati kami untuk menurut saja, guna mencegah benterokan. Yap Toako, sekarang kau pulang, coba kau tolong omongkan. Sebenarny a kami tidak ingin meninggalkan kampung halaman kami..." "Baik, nanti aku menemui Pit Kheng Thian," menyahut Seng Lim. "Cuma titah telah dikeluarkan, dalam ketenteraan, aturan yang dimuliakan, maka baiklah kamu bekerja terus. Jikalau ak u berhasil bicara dengan Pit Kheng Thian, nanti aku mengirim warta cepat untuk m enarik pulang pada kamu." Seng Lim bersama Sin Tjoe pulang ke markas besar. Di sana Pit Kheng Thian dan Yap Tjong Lioe lagi berunding, kapan ia mendengar kabar kembalinya mereka, lekas-lekas ia keluar menyambut. "Yap Laotee, banyak capai!" katanya, tertawa. "Pergi kau beristirahat dulu! Ah, Nona Ie, kau pun pulang! Aku memang l agi memikir untuk membangun satu pasukan wanita, pulangmu ini bagus sekali." Mat anya lantas melihat semua orang. Pek Beng Tjoan lantas mengajar kenal: "Inilah tjeetjoe Leng In Hong dari gunung Hoeyong San di Kangsee!" Kheng Thian mengangkat tangannya, akan memberi hormat pada In Hong. "Sudah lama aku mendengar nama besar dari Leng Tjeetjoe1." katanya. In Hong tertawa. "Aku pun telah mendengar namamu!" sahutnya. "Kau telah mengirim orang merampas piauw-ny a Han Tjin Ie, cara yang kau pakai hebat sekali, hingga aku ta k dapat menerkanya bahwa itulah perbuatannya Toaiiongtauw dari delapan belas propinsi yang namanya kesohor di kolong langit ini!" Selagi mereka berbicara, mereka telah sampai di dalam. Yap Tjong Lioe mendapat dengar perkataannya Nona Leng itu. "Apa?" tanyanya. "Siapakah yang merampas piauw-nya Han Tjin Ie?" Parasnya Kheng Thian berubah, tetapi ia menyahuti, secara tawar. "Akulah yang mengirim orang untuk merampasnya," ia mengakui. "Piauw itu ada keperluannya tentera negeri di Ouwpak. Ah, Goan Kiong, berhasilkah kau merampas piauw itu?" "Pit Toaiiongtauw, siauwtee datang untuk memohon maaf!" Seng Lim mendahul ui Pit Goan Kiong menyahut. Kheng Thian heran. Ia menentang kedua matanya. "Untuk apakah?" ia tanya. "Oleh karena siauwtee telah membayar pulang piauw itu." Seng Lim menjelask an. "Sepuluh laksa serdadu negeri itu, tanpa rang-sum, bakal mencelakai rakyat jelat a. Karena kita menyebut diri tentera rakyat, maka untuk bertindak kita harus mel ihat salatan." "Sungguh murah hatimu!" kata Kheng Thian yang tertawa dingin. "Pembilangannya Seng Lim beralasan," berkata Tjong Lioe. "Kita ada rakyat jelata , kita berperang untuk rakyat jelata, sudah tentu paling dulu kita mesti melindu ngi kepentingan rakyat jelata juga. Laginya piauwsoe tua itu seorang laki-laki s ejati, tak tega hatiku kalau karena piauw itu ia mesti mengurbankan rumah tangga dan mungkin jiwanya juga." Wajahnya Kheng Thian menjadi gelap sejenak, kemudian ia tertawa lebar. "Yap Laoteel" katanya, "kau muda dan gagah, pandanganmu pun jauh, aku kagum untu kmu! Tentang piauw itu, aku tidak hendak menarik panjang, sudah dilepaskan, suda h saja. Bagaimana tentang kepergianmu ke Tali, dapatkah kau bertemu dengan Thio Tan Hong? Apa katanya dia? Dan mana itu peta, sudah didapat atau belum?" "Thio Tayhiap pun menyampaikan hormatnya untuk paman," berkata Seng Lim, menyahu ti. "Peta itu ada di sini." Tidak puas Kheng Thian mengetahui Tan Hong cuma memperhatikan Tjong Lioe, tetapi ia tidak membilang suatu apa, hanya ia mengulurkan tangannya guna menyambuti pe ta dari tangan Seng Lim itu. Justeru tangan orang diulur, Sin Tjoe berkata dengan cepat: "Peta guruku ini ada untuk Yap Tongnia1." Seng Lim tercengang, akan tetapi hanya sejenak, ia terus berpaling kepada pamannya kepada siapa ia serahkan peta itu. Parasnya Kheng Thian menjadi bermuram durja, saking mendongkolnya. Ia baharu hendak mengasi dengar suaranya, ketika Tj ong Lioe menoleh kepadanya. "Pit Laotee, kau terimalah ini!" katanya sambil tertawa. Ia pun mengangsurkan pe ta itu, yang ia baru terima dari keponakannya. Kheng Thian segera membeber peta itu. "Kenapa ini hanya peta lima propinsi di Kanglam?" ia bertanya. "Karena maksudnya Thio Tayhiap supaya kita jangan terburu napsu untuk maju," Sen g Lim menerangkan. "Kalau kita dapat melindungi wilayah Kanglam dan hidup bersama rakyat sambil beristirahat, itu artinya kita membangun dasar untuk tak dapat dikalahkan." Kembali wajahnya Kheng Thian menjadi suram. Ia sangat tak setujui sikap menanti itu. Sebelum ia sempat membuka mulut, Seng Lim sudah berkata pula. "Barusan di luar tangsi aku bertemu sama Seng Hay San, katanya Pit Toaiiongtauw mengirim ia ke Sianggiauw. Benarkah itu?" ' "Habis kenapa?" "Pasukannya Seng Hay San itu terlatih untuk peperangan di air, sekarang ia di ki rim ke tanah pegunungan, aku lihat itu kurang tepat," menjawab Seng Lim. "Laginya menurut pandangannya Thio Tayhiap, memperkuat Kanglam a da tindakan paling utama, kalau kita memecah tenaga, untuk merampas daerah , Tayhiap kuatir kita nanti diserbu musuh!" "Hm!" Kheng Thian mengasi dengar suara- nya yang dingin. "Thio Tayhiap, Thio Tayhiap1. Kedudukan toaiiongtauw ini toh bukannya Thio Tan Hong yang mendudukinya!" Sin Tjoe gusar mendengar itu. "Pit Kheng Thian, apa kau bilang?" ia menanya. Tidak bisa si nona mengendalikan diri lagi. Tidakkah gurunya, yang ia puja itu, telah diperhina? Kheng Thian memandang si nona dengan mata mendelik, setelah itu ia menoleh kepad a Yap Seng Lim. "Thio Tan Hong banyak sekali pendapatnya!" katanya. "Kenapa dia tidak datang sen diri ke mari?" "Karena sekarang ini Thio Tayhiap lagi mengantar puteri Iran ke kota raja," si anak muda menjawab. Kembali Kheng Thian mengasi dengar tertawanya yang dingin. "Pada sepuluh tahun dulu Thio Tan Hong pergi menyambut kaisar dari negera Watzu, " katanya, "dan sekarang ia pergi pula ke kota raja menghadap sri baginda! Ha, t entulah bagiannya ada pangkat tinggi dan kebahagiaan!" Sin Tjoe murka sekali hingga ia merabah gagang pedangnya. "Jikalau guruku kemaruk sama kedudukan tinggi, negara Beng ini siang-siang sudah menjadi kepunyaannya Keluarga Thio!" ia berkata keras. "Mana ad a bagianmu si orang she Pit!" Menampak demikian, Tjong Lioe segera maju sama tengah. "Thio Tayhiap bekerja untuk rakyat jelata, pasti dia bukannya seorang yang kemar uk sama kedudu- kan agung!" ia menerangkan. "Ah, nona Ie, kau kurang sabar..." Pit Kheng Thian tertawa. "Nona Ie masih sangat muda, mustahil aku hendak menentangi dia?..." Hatinya Sin Tjoe masih panas tetapi ia ingat Kheng Thian pernah melepas budi sud ah mengubur jenazah ayahnya, maka ia berdiam. Cuma di dalam hatinya, ia kata: "K arena budimu itu, baiklah, aku tidak akan melayani padamu!" "Thio Tan Hong memang seorang pandai," berkata pula Pit Kheng Thian, "akan tetap i ia berada jauh di Inlam Selatan, mana dia ketahui urusan dalam pasukan perang? Tentera negeri seratus lipat lebih besar daripada pasukan perang kita, jikalau kita tidak menyerang untuk merampas tempat atau kota, untuk lebih dulu mendapatkan be berapa kemenangan, mana dapat semangat rakyat dibuatnya terbangun? Mana bisa kita membikin seluruh negar a menyambut gerakan kita? Dengan mengirim Seng Hay San ke Sianggiauw maksudku iala h kita menyerang untuk membuat perlindungan diri sendiri, guna membataskan penga ruh musuh yang tangguh. Tentera memang mesti pelajarkan ilmu perang di air, teta pi mesti dipelajari juga ilmu perang di darat, kalau tidak, dia cuma bisa menjag oi di laut." Sebenarnya Seng Lim hendak membantah, tetapi menampak orang sudah mulai bergusar , ia terpaksa menyabarkan diri. "Tentang mengatur siasat, akulah seorang kasar, aku tak dapat membilang suatu ap a," berkata Tjong Lioe tertawa, "tetapi apa yang dibilang Toaiiongtauw dan Thio Tayhiap, masing-masing ada alasannya sendiri, maka itu sekarang ini baiklah kita bersabar sampai lagi beberapa hari, kita nanti minta pertimbangan dari semua pemimpin kita. Pepatah pun membilangnya, seorang pikirannya pendek, dua or ang pikirannya panjang. Singkatnya biarlah kita beramai sama-sama memikirkan sua tu daya yang sampurna." Dengan kata- katanya Tjong Lioe itu, mukanya Kheng Thian menjadi terang pula. Karena itu, uru sannya Seng Hay San jadi tak dibicarakan lagi. Ketika malam itu orang bersantap, rata-rata mereka tidak bergembira. Setelah lagi dua hari, Pit Kheng Thian sudah mengirim lagi dua pasukan untuk per gi berperang. Dua-dua pasukan itu ada pasukan-pasukan seba-wahannya Yap Tjong Li oe. Menampak begitu, Leng In Hong berkata kepada Sin Tjoe. "Aku lihat urusan rada aneh. Kenapa yang di kirim selalu pasukannya Yap Tongnia ?" Nona Leng tanya. Sin Tjoe tidak bisa bilang suatu apa. Ia heran tetapi ia tidak bercuriga. Ia han ya percaya Keng Thian berbuat demikian karena dia kemaruk sama pahala. Syukur tentera yang di kirim itu dapat berkelahi dengan baik. Tentera negeri dapat ditolak hingga ke luar batas gunung Sianhee Nia. Dua propinsi Kangsouw dan Tjiatkang serta Hokkian Utara telah kena diduduki. Karena itu Kheng Thian saban- saban dapat mengadakan pesta kemenangan. Pula ada saja orang-orang Rimba Hijau y ang datang mempersatukan diri, semua mereka ini memuji toaiiongtauw itu, si "kep ala naga," hingga dia menjadi besar hati. Dengan lewatnya sang waktu tibalah musim semi dengan bunga-bunganya yang mekar. Itu waktu sepuluh laksa serdadu di Ouwpak, yang telah memperoleh rangsum, benar saja berangkat ke timur, barisan depannya sudah lantas sampai di Toenkee. Kheng Thian lantas mengirim Seng Lim untuk menahan lajunya tentera pemerintah itu. Kembali yang di kirim ini, sejumlah selaksa jiwa, pasukannya Yap Tjong Lioe, hin gga hampir habislah tenteranya si pemimpin rakyat ini. Di harian keberang-katan Seng Lim, Kheng Thian sendiri pergi mengantar, Sin Tjoe dan In Hong turut bersama. Sampai jauhnya lima lie, Seng Lim minta pemimpin itu suka kembali saja. "Aku akan menantikan kabar baik dari kau, hiantee1." berkata Kheng Thian. "Kali ini musuh berjumlah besar dan kita sedikit, aku mengandal kepada kepan-daianmu. Kalau nanti tentera rakyat dari pelbagai daerah sudah berkumpul, akan aku mengir imkan bala bantuan untukmu." "Tempat ini ada pokok dasar kita, sudah seharusnya persiapan diperkokoh," berkat a Seng Lim, "maka itu tak usahlah aku di kirimkan bala bantuan. Karena musuh bes ar dan kita sedikit, aku tidak berniat segera menem-pur musuh, hendak aku meliha t dahulu keadaan tempat, guna membela diri saja, guna menggempur semangat mereka , supaya walaupun jumlah mereka banyak, tak ada niat mereka untuk berkelahi. Aku harap mereka bubar sendiri karena sang waktu." Kheng Thian bertepuk tangan memuji pemuda she Yap ini. "Kau pintar, hiantee , kau pasti bakal menang!" katanya. "Setelah kau peroleh kemenangan nanti, akan aku ganjarkan kau sebagai pangeran Itdjie Pengkin Ong\" Seng Lim mengerutkan kening. "Mana kita mengharapi ganjaran raja muda..." katanya. Ia belum bicara terus, ata u Kheng Thian telah memotong: "Benar, kita memang berkelahi untuk menolongi raky at jelata dari marah bahaya!" Coba kata-kata itu keluar dari mulut Seng Lim, itulah tidak aneh, tetapi sekaran g keluarnya dari mulut Kheng Thian, untuk kupingnya Sin Tjoe dan In Hong, itu tak sedap didengarnya. "Pit Toako, silahkan kembali!" berkata Seng Lim sambil mengangkat kedua tanganny a. "Untukku tak usah kau menambah bantuan, asal sudilah kau menerima satu permintaanku." "Silahkan sebutkan, hiantee." "Peperangan kali ini mungkin tak bakal selesai di dalam tempo yang pendek, karen a itu aku minta rangsum untuk tentera nanti di kirim berangsur-angsur dengan tet ap." Kheng Thian tertawa lebar. "Tentang itu tak usah hiantee pesan lagi!" katanya Kheng Thian gembira. "Belum l agi tentera berangkat, rangsum sudah di kirim. Sekalipun rangsum tentera negeri hiantee telah lepaskan, mustahil aku nanti menahan rangsu m untukmu?" Sampai di situ, Seng Lim berangkat. Tiba-tiba Sin Tjoe merasakan sesuatu. "Entjie Leng, mari kita mengantar satu rintasan lebih jauh!" ia mengajak In Hong . Nona Leng setuju, maka mereka jalankan kuda mereka berendeng. Tapi mendadak nona ini kata: "Ah, aku lupa satu hal, maka pergilah kau sendiri y ang mengantarnya!" Sin Tjoe merasakan mukanya merah, akan tetapi, ia jalan terus. Karena ini, ia ja di mengantar sampai sepuluh lie lebih. "Nona Ie, silahkan kembali!" kemudian Seng Lim minta. Sin Tjoe berduka melihat sikap orang tawar, tetapi di lain pihak, inilah yang ia harap. Maka ia menyesal In Hong tidak berada bersama. Seng Lim heran. Ia melihat si nona berdiam saja. "Nona Ie, kau hendak omong apa?" ia menanya, menduga-duga. "Yap Toako, dengan kepergian kau ini baiklah kau berhati-hati!" achirnya Sin Tj oe bisa juga mengeluarkan perkata- annya. "Terima kasih, nona. Tentang itu, dapat aku memikir, jangan nona buat kuatir." "Bukannya begitu, kuatir..." "Kau kuatirkan apa, nona?" "Kau lihat Pit Kheng Thian itu orang macam apa?" Sin Tjoe tanya. "Kenapa?" Seng Lim membaliki. "Aku lihat hatinya Kheng Thian terlalu besar," mengutarakan si nona. "Bukankah d i dalam sebuah gunung tak seharusnya ada dua ekor harimau? Aku kuatir dia sirik terhadap kau dan pamanmu." Sena Lim tertawa. "Tak mungkin, kurasa. Aku toh tidak berebutan dengannya?" "Meski begitu, berhati-hati ada terlebih baik," kata pula si nona. "Kita mesti b erjaga-jaga untuk akal muslihatnya. Seumpama di dalam urusan rangsum..." "Tentang ini telah ada rencanaku," Seng Lim bilang. "Umpama kata dia lambat meng irimnya, akan aku mengatur diri di setempat. Karena kita berperang untuk rakyat, aku percaya rakyat jelata tidak nanti membuatnya kita mati kelaparan. Kita adal ah orang sendiri, aku minta kau jangan bercuriga, terutama jangan kau kentarakan itu supaya di antara kita tak terjadi keretakan." Di dalam hatinya, Sin Tjoe menghela napas. Di dalam hatinya juga ia berkata, "Ak u hanya kuatir di kolong langit ini lain orang tak sebagai kamu paman dan kepona kan berdua..." Karena ia tidak dapat membilang lainnya lagi, ia berdiam saja, ia cuma memberi selamat jalan. Ketika ia mengasi jalan kudanya, ia lesuh sekali. Belum jauh, ia mendengar suara larinya kuda. Ia mengawasi ke depan. Untuk herann ya, ia melihat Pit Kheng Thian kabur mendatangi. "Pit Toaiiongtauw, Yap Seng Lim sudah pergi jauh," kata si nona memapaki. "Kau a da punya urusan penting apa? Kudaku keras larinya, nanti aku tolong mewakilkan k au." Kheng Thian tertawa. "Aku bukannya menyusul dia, aku menyambut kau!" katanya. Mukanya si nona menjadi padam. "Aku tidak berani membikin toaiiongtauw capai," ia bilang. Kembali Kheng Thian tertawa. "Aku lihat erat sekali hubungan kau dengan Yap Seng Lim," katanya. "Kali ini kau mengantarkan dia, agaknya kau terlebih berduka daripada waktu mengantarkan Tiat Keng Sim." Mukanya si nona menjadi merah. Ia gusar. "Pit Toaiiongtauw, hargakanlah dirimu!" ia berkata. "Apakah kau tengah mempermainkan aku?" Kheng Thian melarikan kudanya mundur. "Tidak, tidak!" katanya tertawa. "Aku bicara untuk kebaikanmu!" Sin Tjoe terta- wa dingin. "Sungguh kau baik, toaliongtauw!" katanya. "Untuk kebaikan apakah itu?" "Jikalau aku tidak memikirkan kau, nona," menyahut pemimpin itu, "dulu hari tida k nanti aku menerjang bahaya besar menyelundup ke kota raja untuk mengurus jenazah ayahmu." Nona Ie mengasi lihat sikapnya yang dingin. "Budimu itu sangat besar, tidak nanti aku dapat melupakannya," ia berkata, "maka itu tak usahlah kau me-nimbulkannya berulang-ulang. Dengan perlahan-perlahan pa stilah aku akan membalasnya." Kheng Thian jengah, ia menghela napas. "Aku si orang she Pit mana mengharapi balasan?" katanya, untuk menutupi diri. "Tak lain tak bukan, aku melainkan mengutarakan utarakan apa yang aku pikir..." "Baiklah, aku mengarti!" ujar Sin Tjoe. "Nah, Toaiiongtauw, silahkan!" Kheng Thian masih menahan kudanya. "Aku lagi memikir untuk kebaikan kau, nona," ia berkata pula. "Untukku tidak hab is dengan aku mengurus saja jenazah ayahmu, aku bahkan hendak membantu kau memba laskan sakit hatimu yang besar itu!" "Sakit hati apakah yang besar itu?" Sin Tjoe tanya. "Ayahmu telah dibunuh oleh kaisar, maka aku menggeraki angkatan perang buat merobohkan pemerintah, guna memusnakan kerajaan Beng! Bukankah itu untuk membalaskan sakit hatimu yang besar itu?" "Tidak salah!" kata si nona dingin. "Kau merobohkan pemerintah, lantas kau menggantikannya menjadi raja! Adakah itu cuma untuk memb alaskan sakit hatiku?" "Kau ketahui itu, itulah terlebih baik lagi. Aku berpikir untuk kebaikanmu. Vap Seng Lim itu di belakang hari paling juga menjadi satu menteri yang membantu mem bangun negara, mana dia mempunyai pengharapan sebagai aku yang bakal menjadi jun jungan yang maha agung? Mengapa kau begitu memandang tinggi terhadapnya?" Hampir Sin Tjoe mendamprat orang "Tidak tahu malu!" Sekarang tahulah ia maksud orang, karena tanpa diminta, orang telah membuka rahasia hatinya. Ia jadi hendak dibujuk dengan kedudukan tinggi, dengan kemuliaan. Maka ia merasa sangat muak. Ia lantas mencambuk kudanya. "Aku minta calon baginda raja membagi jalan padaku!" katanya keras. "Apakah kau menghendaki aku memaksa menerjang?" Mukanya Kheng Thian menjadi merah, ia malu sekali. Tengah ketegangan itu, mendadak terdengar tindakan kaki kuda kabur mendatangi, y ang mana disusul sama suara tertawa yang nyaring serta kata-kata yang tegas seka li: "Ah, Toaliong tau w\ Kau masih ada di sini?" Kheng Thian me-ngeprak kudanya. Ia menyeringai ketika ia menjawab: "Aku melihat Nona Ie belum juga kembali, aku kira ia masih mempunyai urusan apa-apa dengan Yap Seng Lim, maka itu aku memapak dia. Leng Tjeetjoe, kau pun datang?" In Hong tertawa. "Aku kira ada urusan penting bagaimana yang lagi dibicarakan, sampai hampir aku tidak berani datang karena kuatir aku nanti mengganggu kamu!" sahut si nona. "Memang ada urusan besar yang sangat penting!" kata Sin Tjoe dengan dingin. "Pit Toaiiongtauw tengah memikir bagaimana harus mengganjari menteri-menteri besarnya bila nanti ia sudah naik atas singgasana kerajaan!" Leng In Hong tertawa pula dengan nyaring, di atas kudanya ia memegang pedangnya untuk memberi hormat. "Siauwlie menghadap kepada Sri Baginda!" katanya. "Siauwlie minta Sri Baginda su di apalah mengganjarkan-nya!" Dengan "siauwlie" ia menyebutkan dirinya "perempuan yang rendah." In Hong sangat polos, begitulah ia perlihatkan kepolosannya itu. Inilah hebat un tuk Kheng Thian, karena gusar tak dapat ia bergusar, tertawa tak bisa ia tertawa , terpaksa ia membalas hormat seraya berkata, "Ah, tjeetjoe bisa saja..." Ia lantas membaliki kudanya untuk berlalu. In Hong tidak membilang apa-apa lagi, kecuali ia tertawa bergelak. Setibanya di tangsi, Sin Tjoe tuturkan kawannya apa yang dikatakan Kheng Thian t adi, mendengar mana, Nona Leng tak dapat tertawa lebih jauh. "Habis, bagaimana sekarang?" ia tanya. "Aku benar-benar tidak menyangka beginilah sifatnya Pit Kheng Thian," menyahut S in Tjoe. "Aku pikir untuk berlalu saja." "Menurut aku, kita justeru tidak dapat berlalu," kata In Hong. "Bagaimana, eh?" Sin Tjoe heran. "Begitu kita pergi, Yap Tongnia bakal mencil sendirian," In Hong mengutarakan pikirannya. "Aku kuatir nanti terjadi ha l-hal di luar sangkaan kita." Sebenarnya Sin Tjoe telah melihat bahwa secara diam-diam Pit Kheng Thian sedang mencoba merebut pengaruh, ia hanya belum pikirkan kepada bahaya yang mengancam, sekarang setelah mendengar In Hong, ia terkejut. Dengan lantas ia menginsafi bahaya itu. Karena i ni segera juga ia mengubah pikirannya. Maka batallah ia mengangkat kaki. Sang hari berlalu dengan cepat. Sebentar saja sudah lewat sebulan lebih. Selama itu, Kheng Thian tidak berani lagi main gila terhadap Sin Tjoe. Dengan begini amanlah markas besar tentera rakyat itu. Tidak demikian deng an keadaan di medan perang lain. Kecuali di pihak Seng Lim, yang mengambil sikap sa ling bertahan di Toenkee, pelbagai pihak lainnya mengalami kesukaran lebih-lebih pasukannya Seng Hay San. Dua kali dia sudah bertempur dengan musuh, dua-dua kal inya ia kena dikalahkan hingga kerugiannya kira-kira separuh. Sebagai tentera air, sulit untuk mereka bertempur di darat, di tanah pegunungan. Pada suatu hari selagi In Hong dan Sin Tjoe berada di dalam tangsi mereka, merek a mendengar suara berisik dari luar tangsi. In Hong perintah seorang serdadu wanitanya, untuk melihat. Tidak lama serdadu itu kembal i dengan lapurannya bahwa di tangsi kiri "serdadu-serdadu tengah memaki-maki toaiiongtauw." "Apakah katanya mereka?" Sin Tjoe tanya. "Apakah sebabnya?" "Mereka mengatakan Pit Toaiiongtauw tidak suka mengirim rangsum untuk Yap Seng L im," serdadu itu menerangkan. Nona Ie kaget. "Begitu?" katanya. "Katanya Yap Seng Lim telah tiga kali mengirim utusan, toaiiongtauw selalu mengg unai alasan untuk menampik. Yang terang The Tongnia ketahui kita masih mempunyai persediaan rangsum selaksa pikul, ketika toaiiongtauw ditanya- kan, dia bilang untuk markas besar disediakan lima ribu dan lima ribu lagi untuk tentera di Oentjioe. Sebenarnya keadaan di Oentjioe tidak berbahaya. Nyata sekali Pit Toaiiongtauw tidak suka membantu. Maka itu ket ika The Tongnia pulang ke tangsinya, ia menangis menggerung-gerung..." Yang dipanggil The Tongnia itu ialah Teng Gie Tjit, orang sebawahannya Yap Tjong Lioe yang menjadi kepala dari pasukan tangsi kiri. Karena itu, serdadu-serdadu di situ menjadi mendongkol dan mengumbar napsu amarahnya. "Benarlah dugaanku!" kata Leng In Hong dingin. Sin Tjoe pun mendongkol sekali. "Mari kita ketemukan toaliong tau w\" ia mengajak, In Hong berpikir sebentar, lalu ia memberikan pesan pada komandan barisannya, ha bis mana dengan membawa pedangnya, ia turut Sin Tjoe pergi ke markas besar. Penjagaan di markas besar keras sekali, beda dengan hari-hari biasa. Ketika baru sampai di muka tangsi besar, Sin Tjoe dan In Hong dicegah oleh tente-ranya Pit Kheng Thian. Tiongkoen, yang menjadi orang kepercayaan Kheng Thian, memberikan keterangan: "Pit Toaiiongtauw tengah merundingkan urusan tentera bersama Yap Tongnia, tanpa ijin atau panggila n, siapa juga dilarang lancang masuk ke dalam markas besar." In Hong gusar hingga sepasang alisnya berdiri. "Kami ada punya urusan penting hendak didamaikan!" ia berseru. "Siapa berani rin tangi kami?" Tiongkoen itu mundur keberapa tindak. "Kami mau masuk menghadap Pit Toaliong tau w\" b e rk a t a Sin Tjoe. "Kalau dia mau menegur, biar dia menegur kami, dengan kamu tidak ada sangkutannya!" Tiongkoen itu beserta belasan kawannya memang tahu toaiiongtauw mereka sangat menghargai Nona Ie, melihat demikian, mereka tidak berani mencegah terlebih jauh. In Hong bersama Sin Tjoe lantas lompat turun dari kuda mereka, dengan cepat mere ka bertindak ke markas besar. Segera juga mereka dapat dengar suara berisik dari dalam markas, lalu terdengar bentakannya Teng Gie Tjit: "Pit Kheng Thian, sebenarnya kau menghendaki apa?" "Berbahaya!" berseru Sin Tjoe di dalam hatinya. Dengan segera ia menyingkap tend a, maka terlihatlah apa yang terjadi di dalam markas itu. Pit Theng Thian bersama Pek Beng Tjoan dan Pit Goan Kiong dan yang lainnya, berj umlah belasan orang, lagi mengurung Yap Tjong Lioe dan Teng Gie Tjit. Tjong Lioe tidak membawa pengiring kecuali Gie Tjit seorang. Dengan mengangkat kedua tangannya, untuk memberi hormat, Pit Kheng Thian menjawab Gie Tjit. Ia kata: "Yap Tongnia t elah bekerja berat bertahun-tahun dan tahun ini usianya sudah tinggi, aku tidak tega melihat ia bekerja berat terlebih jauh, dari itu untuknya aku telah sediakan satu tempat yang tenang untu k ia tinggal sambil beristirahat hingga di hari tuanya. Mana aku memikir niat yang tidak baik?" "Kedudukan toaiiongtauw adalah Yap Toako yang mengalah dan menyerahkannya kepada kau, sekarang kau hendak merampas kekuasaan orang!" berkata Gie Tjit, tetap keras. "Sekarang kau hendak menahan Yap Toako secara hal us! Hm! Yap Toako baru masuk usia lima puluh tahun, sekarang dia disuruh beristi rahat, bukankah ini lucu?" Tjong Lioe sendiri tidak gusar, bahkan sambil tertawa ia kata: "Pit Hiantee gaga h dan pintar, dia menang seratus kali daripada aku, maka itu kalau Pit Hiantee dapat memberikan tenaga lebih, suka aku menyerahkan tanggung jawabku yang berat kepadanya. Ini memang baik sekali. Saudara Teng, unt uk urusan ini kau menarik urat, orang lain tidak tahu duduknya hal yang benar, b isa-bisa mereka mengatakan aku berebut kekuasaan dengan Pit Hiantee1. Bukankah itu bakal membikin kita ditertawai orang?" "Yap Toako, kau... kau..." kata Gie Tjit masih mendongkol, "kau tega membiarkan usaha kita banyak tahun, yang telah teguh kokoh dasarnya, dirusak di tangan dia satu orang? Kau... kau tidak perdulikan dirimu, apakah kau juga tidak memperdulikan semua saudara kita?" Kata-kata ini dibarengi dengan air mata yang meleleh turun. Yap Tjong Lioe hendak menjawab orang sebawahannya itu tatkala ia mendengar suara sangat berisik dari luar tangsi, suaranya terompet. "Pit Toaiiongtauw, apakah itu?" ia tanya Kheng Thian. Toaiiongtauw itu agaknya likat, tetapi ia mengeraskan hati. Ia menjawab dengan suara dalam: "Tentara di tangsi kiri tidak mau menurut perint ah untuk diperbaiki, aku menitahkan mereka dilucuti senjatanya!" Mendengar ini, habis sabarnya Tjong Lioe. "Pit Kheng Thian, dalam hal ini kau tidak benar!" ia berkata nyaring. "Kau mengh endaki aku menyerahkan kekuasaan atas tentera, itulah urusan gampang. Kenapa kau menerbitkan perang saudara?" "Aku kuatir saudara-saudara di tangsi kiri itu tak sependapat dengan kau, Yap To ako," kata ia dengan ragu-ragu, "maka itu..." Ia mau mengatakannya, "lebih baik kau menasihati mereka untuk menyerah padaku..." tetapi belum sempat ia meneruska nnya, Teng Gie Tjit sudah membentak: "Bagus! Hari ini baru aku kenal kau, bangsat yang berhati serigala berpeparu anjing!" Pit Kheng Thian menjadi gusar. "Bekuk ini bangsat pengacau yang berani melawan orang atasannya!" ia memberi per intah. "Jangan bergerak!" Yap Tjong Lioe berseru. Di dalam tangsi itu semua ada orang-orang kepercayaannya Pit Kheng Thian, meski begitu, Tjong Lioe dapat penghargaan mereka, maka itu, atas seruan itu, mereka jadi saling mengawasi. Kheng Thian menjadi bertambah gusar, ia mengawasi Pek Beng Tjoan, ia mengedipi s eraya berkata: "Perlu apa aku dengan adanya kau?" Beng Tjoan lantas saja mengasi dengar tertawa dornanya. "Yap Toako, jangan gusar!" ia berkata. "Baik toako jaga dirimu baik-baik! Mari k au pergi beristirahat di Oentjioe!" Kata ini ditutup sama lompatannya orang she Pek ini, untuk mencekuk Tjo ng Lioe. Justeru itu terdengarlah satu suara nyaring. Leng In Hong telah melayangkan sebuah Ouwtiap piauw, piauw kupu-kupunya, yang mengenakan jitu jidat Beng Tjoan hingga dia ini mengeluarkan darah. Sampai di situ, hebatlah keadaan. Beberapa orangnya Pit Kheng Thian lantas maju untuk menawan Tjong Lioe. In Hong yang bersama Sin Tjoe telah menyaksikan itu semua, lantas berseru: "Sin Tjoe, kau pegat kawanan pendurhaka itu, aku akan melindungi Yap Tongnia keluar d ari sini!" Kheng Thian melihat datangnya dua nona itu, ia kaget. "Sin Tjoe!" ia berseru, "kenapa kau memusuhkan aku?" "Kau sendiri, mengapa kau memusuhkan Paman Yap?" Sin Tjoe balik menanya. "Oh, begini lekas kau melupakan budiku sudah mengurus jenazah ayahmu?" toaiiongtauw itu menegur, mengejek. "Dan kau sendiri, begini lekas kau melupakan budi Paman Yap sudah menunjang pada mu?" Sin Tjoe kembali membaliki. Kheng Thian berdiam, bahkan dia mundur dua tindak. "Kau merdekakan atau tidak Yap Tongnia ?" tanya Sin Tjoe seraya ia memegang pedangnya. Sepasang matanya Pit Kheng Thian menjadi menyala. Ia mengangkat toyanya, toya lo nggee pang. "Tangkap ini dua bocah wanita yang tak tahu urusan?" ia berteriak menitahkan. Sin Tjoe tertawa dingin, segera ia menikam. Kheng Thian menangkis dengan toyanya itu. Nona Ie ketahui orang bertenaga besar, ia lantas menarik pulang pedangnya, untuk dengan sebat dipakai membabat ke samping. Kheng Thian terperanjat. "Baru satu tahun aku tidak lihat dia, begini cepat majunya ilmu pedangnya," ia b erpikir. Karena ini ia putar toyanya, untuk membela diri. Sin Tjoe merebut kedudukan, bertubi-tubi ia menyerang, hingga ia memaksa Pit Khe ng Thian main mundur, meski begitu, karena toaiiongtauw ini menang tenaga dalam, walaupun terdesak, dia tidak dapat segera dikalahkan, tak dapat si nona lantas m erampas kemenangan. Leng In Hong pun sudah menyerang hebat, ia berhasil merobohkan tiga pahlawannya Kheng Thian, akan tetapi tidak lama kemudian, ia dan Yap Tjong Lioe kena didesak ke suatu pojok, sebab di antara orang-orangnya Kheng Thian banyak orang Rimba Hijau kelas satu. Dalam kekacauan itu mendadak terdengar jeritannya Teng Gie Tjit, yang menteriaka n Tjong Lioe: "Yap Toako, aku berangkat lebih dulu! Jangan lepaskan usaha kita!" Gie Tjit kena dihajar cambuknya Pek Beng Tjoan, ketika dia roboh, dia disusuli d ua bacokan, hingga dia tak dapat bertahan lagi. Kebinasaan ini sahabat dan kawan seperdjuangan membuatnya Yap Tjong Lioe yang sa bar dan memuja kerukunan menjadi gusar sekali, sambil berteriak ia merampas sebatang golok besar, lalu dengan itu ia membacok pahlawannya Kheng Thian yang me- rampas jiwanya Gie Tjit. Ia menabas hingga tubuh pahlawan itu terkutung dua. "Pit Kheng Thian, kau dengar aku!" ia berteriak. Kheng Thian menangkis serangannya Sin Tjoe, lalu sambil tertawa lebar ia berkata : "Setelah sampai di sini, tidak ada kata-kata yang dapat diomongkan lagi!" Kemudian ia berseru "Maju semua!" Inilah seruan untuk orang-orangnya, yang tadi dibikin merandak oleh pengaruhnya Tjong Lioe. Kali ini mereka maju pula. Tjong Lioe putus asa, karena perdamaian tak bakal didapatkan pula. Ia menjadi be rkelahi dengan hebat. Ia telah berhasil merobohkan dua musuh tetapi ia sendiri k ena terluka pundaknya. Ie Sin Tjoe yang mencoba untuk menawan atau merobohkan Pit Kheng Thian, sebalikn ya ialah yang kena dirintangi oleh toaiiongtauw itu, ia menjadi gusar dan bingun g. Ia telah dipaksa terpisah dari In Hong dan Tjong Lioe. Maka dalam murkanya, i a berkelahi mati-matian. Pit Kheng Thian melihat orang kalap, dia melawan sambil mundur. Dengan begitu si nona seperti diberikan ketika untuk bernapas. Tidak ayal lagi, ia meraup bunga emasnya, lalu sambil berseru ia menyerang kalang kabutan. Beberapa orang lantas saja terluka. Maka si nona terus maju, untuk membuka jalan . Kheng Thian maju pula, untuk kembali merintangi. Tapi ia disambut si nona dengan tiga buah bunga emasnya. Ia liehay, ia dapat menyampok jatuh bunga emas itu. Kar ena ini ia tidak berani merangsak lebih jauh. Pek Beng Tjoan maju, untuk membantui ketuanya itu. Ia berlompat. Justeru itu, Si n Tjoe menimpuk pula. Tepat sekali bunga emas mengenai jalan darah yongtjoan di kakinya orang she Pek ini, hingga tak ampun pula, dia terguling roboh. Ketika itu Tjong Lioe dan In Hong dapat mempersatukan diri dengan Nona Ie, dan T jong Lioe dengan bengis membacok tihang tenda hingga tenda itu roboh me-nungkrap Kheng Thian semua, dengan begitu bertiga mereka nerobos keluar. Akan tetapi di luar markas telah menanti berlapis-lapis barisan- nya Kheng Thian. Tjong Lioe menjadi putus asa. "Untuk seorang, mengapa kamu berbuat begini?" katanya menghela napas, habis mana dia perseru: "Saudara-saudara, dengar! Tentera negeri lagi mendesak dari segala penjuru, kita sudah kena dikurung, karena itu tidak d apat kita saling bunuh! Aku tahu aku kurang bijaksana dan tak berpengartian, tid ak dapat aku membantu toaiiongtauw kamu untuk bekerja sama, aku malu sekali, maka sekarang aku beritahu kepada kamu, hen dak aku mengundurkan diri! Kamu sendiri, aku harap kamu dapat membawa dirimu mas ing-masing! Karena di dalam tangsi sudah tidak ada kerjaan apa-apa, baiklah kamu bubar!" Semua serdadu itu ada orang-orangnya Pit Kheng Thian dan mereka tahu toaiiongtau w mereka hendak merampas kekuasaannya Tjong Lioe, akan tetapi sekarang, mendengar putusannya ini pemimpin, hati mereka tergerak, hampir tanpa berpikir l agi, delapan atau sembilan dari sepuluh, lantas berseru-seru dan bubaran! Sin Tjoe mengasi dengar siulannya yang nyaring dan panjang, atas mana kuda Tjiau wya Saytjoe ma lari datang padanya. "Paman Yap, lekas naik atas kuda!" Nona Ie teriaki Tjong Lioe. "Mari kita pergi ke Toenkee untuk berkumpul sama Seng Lim." Tjong Tjioe tidak lantas lompat naik ke atas kuda, sebaliknya, dengan roman keren ia berkata: "Pergi kamu kepada Seng Lim, suruh dia melawan te ntera negeri tetapi jangan benterok sama Kheng Thian!" Sin Tjoe terperanjat. "Kau sendiri, paman?" ia menanya. "Aku hendak pergi ke tangsi kiri!" "Jangan!" berseru In Hong. Tapi nona ini tak sempat berkata lebih jauh, terlihat Kheng Thian beramai telah keluar dari tendanya, mereke lari kepada kuda mereka masing-masing untuk memburu . Tjong Lioe lompat naik atas kudanya Sin Tjoe. Binatang itu, tanpa menanti perint ah lagi, sudah lantas lari kabur. Sin Tjoe bersama In Hong merampas dua ekor kud a, untuk lari bersama. Tjong Lioe kabur tanpa rintangan, semua serdadu membuka jalan, tidak ada seorang jua yang melepas kan panah kepadanya. Cuma Pit Kheng Thian yang mengejar bersama beberapa ratus serdadu pengiringnya. Sin Tjoe merintangi dengan menimpuk dengan dua bunga emasnya, ia membikin kuda Kheng Thian roboh terjung kal, maka tempo toaiiongtauw itu mengambil ketika akan naik atas seekor kuda lain, kedua nona itu sudah pergi jau h. Dalam tempo yang pendek, Tjiauwya Say-tjoe ma telah melalui beberapa lie. "Pit Kheng Thian mempunyai banyak tentera, dengan pergi ke tangsi kiri, Yap Tongnia seperti membunuh diri," kata In Hong pada Sin Tjoe. "Mari kita susul Ie Sin Tjoe bersama-sama Leng In Hong, yang hendak melindungi Yap Tjong Lioe dan Teng Gie Tjit dari kepungannya Pit Kheng Thian dan orang-orangnya, telah bertem pur dengan mati-matian. padanya!" Nona Ie menurut, maka mereka pun kabur ke arah tangsi kiri. Tangsi itu berada di tempat enam atau tujuh lie, sebentar saja Tjong Lioe sudah sampai di sana di mana seorang diri ia menerjang masuk. Ia segera disambut oleh tentera tangsi kiri itu ialah barisannya Teng Gie Tjit. Di saat sangat genting itu, Tjong Lioe mengasi dengar suaranya yang nyaring: "Ti dak ada terjadi sesuatu! Saudara- saudara tangsi kiri, silahkan kamu kembali ke tangsimu! Aku hendak mengundurkan diri, buat hidup bertani di kampung halamanku, maka itu baik-baik saja kamu mend engar titahnya Pit Toaiiongtauw1. Sekarang ini bukan saatnya untuk kita saling bunuh diri!" Mendengar itu, semua serdadu tangsi kiri itu pada menangis, mereka membuatnya be ngong barisannya Kheng Than yang mengurung, tidak ada yang berani turun tangan. Tjong Lioe tidak berdiam lama di situ, ia larikan kudanya keluar dari kurungan. Menampak demikian, In Hong dan Sin Tjoe terus menyusul. Ada banyak serdadu rakyat, yang untuk banyak tahun mengikuti Tjong Lioe, menyaks ikan pemimpin mereka pergi, mereka tak sudi ditinggal pergi, mereka pun lari men yusul. Ketika Pit Kheng Thian tiba bersama barisannya, Tjong Lioe sudah kabur jauh. Sem ua serdadu Kheng Thian, yang tadi mengurung tangsi kiri, telah berpencaran untuk membuka jalan, maka itu, untuk mengumpulkan mereka, Kheng Thian mesti menggunai waktu sekian lama. Kuda Sin Tjoe dan In Hong lari keras, Tjiauwya Saytjoe ma tidak dapat disusul, m eski begitu di belakang mereka, musuh telah ketinggalan jauh. Mereka kabur terus , hingga mereka menampak pesisir laut di mana terlihat sebuah perahu kecil menda tangi ke tepian. Sin Tjoe menteriaki berulang-ulang kepada Tjong Lioe tetapi paman itu s eperti tidak mendengarnya, dia lompat turun dari kudanya, untuk naik ke perahu kecil itu, ketika kemudian Nona Ie dan In Hong tiba, dia sudah berlalu dengan perahunya itu. Dari atas perahunya, dengan mengulapkan tangannya, pemimpin tentera rakyat itu berkata nyaring: "Pergi kamu menaiki kuda putih, pergi ke Toenkee!" "Paman Vap, kenapa kau tidak hendak kembali?" Sin Tjoe menanya. "Aku sudah menduga akan kejadian hari ini," menyahut Tjong Lioe, "apabila aku ti dak pergi, keadaan bakal menjadi terlebih buruk pula! Biarlah Pit Kheng Thian be rkuasa sendiri, itulah terlebih baik daripada kita saling bunuh! Dengan saling b unuh, kita bakal terbinasa dua-duanya! Kheng Thian buruk hatinya tetapi dia gaga h dan pandai, pergilah kamu membantu dia, umpama kata kamu tidak dapat bekerja s ama, tinggalkanlah tetapi jangan menyaterukan padanya!" Dengan habisnya kata-kata itu, perahu pun berlayar terus, akan di lain saat menjadi kecil dan achirhja nampak hanya se bagai satu bayangan! In Hong menepas air mata. "Setelah berpisah dari Thian Touw, inilah yang pertama kali aku menangis," berka ta Nona Leng. "Yap Tongnia baharulah satu orang besar, satu penyint a negara sejati!" Sin Tjoe menghela napas, ia tak dapat membilang suatu apa. Ia ada sangat menyesa l dan terharu. "Mari kita cari Pit Kheng Thian!" In Hong berseru kemudian. "Aku memang sangat membenci dia, ingin aku menikam padanya, tapi paman Yap telah memesannya..." menyahut Nona Ie. "Tapi adik Tjoe, aku ingin kau membantui aku..." Sin Tjoe heran. "Apakah itu?" "Aku bukan hendak membunuh dia, aku hanya hendak merampas kekuasaannya!" Nona Ie berpikir dengan cepat. "Untuk diserahkan pada Seng Lim?" ia menanya. In Hong tertawa. "Benar! Mustahilkah kau tidak memikirkan dia!" Ketika itu terlihat pasukan pengejar mendatangi. In Hong menarik Sin Tjoe untuk menaiki kuda putih, sambil tertawa ia pun berkata : "Pada saat ini pasukan wanitaku sudah berada di Oentjioe di mana mereka menyia pkan rangsum, maka itu marilah malam ini kita merampas tanda kekuasaannya Pit Kheng Thian! Kita mainkan itu sandiwara Sin Leng Koen m enolongi negara Tio!" Sampai di situ, Sin Tjoe tidak bersangsi lagi. Dengan perginya Tjong Lioe, tentera tangsi kiri, yang tetap tidak mau dilucutkan senjatanya, tidak melawan lebih jauh. Atas sikap mereka itu, Pit Kheng Thian tidak terus mengambil tindakannya yang bengis. Ia pun puas karena maksudnya merampas kekuasaan sudah kesampaian. Ia melainkan menyesal tidak bisa mendapatkan pasukannya In Hong. Kar ena ia tahu, Sin Tjoe tentu turut In Hong, ia kehilangan kegembiraannya, sebab i a sebenarnya mengharapi nona yang gagah itu. Malam it u Kheng Thian mengadakan pesta besar, untuk merayakan kemenangannya itu. Ketika ia kembali ke markasnya , ia sudah rada-rada sinting. Justeru ia hendak beristirahat, satu serdadu pengawa lnya melaporkan "Nona Ie datang untuk mohon menghadap Toaiiongtauw1." Ia heran h ingga ia melengak. "Dia datang untuk menghadap aku?" ia menegaskan. Tapi ia tidak berlaku ayal. Ia memberikan perintahnya: "Suruh dia menghadap dengan meloloskan dulu pedangnya!" Serdadu pengawal itu berkata dengan perlahan: "Nona Ie datang dengan sikapnya yang damai, ia pun tidak membawa pedang, maka itu juga hamba berani dat ang melaporkannya." Mendengar itu, Kheng Thian tertawa. "Kiranya dia tahu aturan!" katanya. "Baiklah, kau suruh dia masuk!" Selagi pengawalnya itu mengundurkan diri, Kheng Thian berpikir. Ia menghendaki S in Tjoe tetapi berbareng ia merasa jeri. Ia menduga-duga, "Yap Tjong Lioe sudah pergi, mungkinkah dia telah berubah pikirannya?" Kemudian ia menetapkan hatinya. Dengan si nona tidak membekal senjata, ia percaya bila perlu ia dapat melayanin ya. Sebentar kemudian nampak Sin Tjoe bertindak masuk dengan perlahan dan sabar, cum a ketika ia mengasi dengar suaranya, suara itu mirip ejekan. Ia kata: "Perempuan yang rendah Ie Sin Tjoe menghadap Toaiiong-tauwl" Kheng Thian tertawa. Ia berkata: "Syukur tadi aku tidak sampai kena ditikam oleh mu! Bagaimana sebenarnya? Aku menyangkanya kau turut Yap Tjong Lioe pergi!" Ketika ia menyahuti, Sin Tjoe berkata sambil tertawa: "Yap Tongnia relah mengala h padamu, kau tentunya puas, bukan?" Kheng Thian mengerutkan kening. "Agaknya kau tidak puas terhadapku. Benarkah?" tanyanya. "Peristiwa telah terjadi, perlu apa kau memperdulikan orang puas tidak?" menyahu ti si nona. "Bukankah kedudukan Toaiiongtauw kau ini sudah pasti sekarang? Hm! K alau bukannya Yap Tongnia lapang hati dan ia berulang kali menasihati aku, dia m elarang kami saling bunuh, sungguh aku penasaran, ingin aku menikam tembus dadam u!" Kheng Thian tertawa berkakak. "Benar!" katanya gembira. "Sekarang segala apa sudah pasti! Siapa mengenal sala-tan, dialah seorang gagah, dan kaula h wanita yang gagah, tak usah aku menyebutnya lagi. Sekarang kau datang ke mari, apakah kehendakmu?" "Kau sendiri, apakah kau hendak perbuat?" Dengan bangga Kheng Thian menjawab: "Aku akan maju ke Utara! Aku akan memerintah dunia, merampas negara! Sin Tjoe, kau berdiam di sini, kau membangun pasukan wanita, ak u akan tidak ingat lagi perselisihan kita!" Sin Tjoe masih tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya: "Taruh kata di la in hari kau naik atas singgasana kerajaan, aku kuatir belum tentu aku dapat me nghamba kepadamu! Tapi..." ia meneruskan, suaranya tenang, "jikalau benar kau hendak men dapatkan dunia ini, suka aku menghaturkan kau suatu barang supaya tercapailah cita-citamu!" "Apakah itu?" Kheng Thian ketarik hatinya. "Itulah petanya Pheng Hweeshio1." sahut si nona. "yang kau telah dapati itu adalah peta untuk wi layah Kanglam saja, dan yang aku bawa ini ialah yang lengkap." Inilah Kheng Thian tidak sangka. Ia memang sangat menginginkan peta itu. Ia tela h mengharap-harap itu entah buat beberapa banyak bulan dan tahun. Sekarang Sin T joe hendak menghadiahkannya kepadanya. Hampir-hampir ia tidak percaya kupingnya sendiri. Sin Tjoe berkata pula dengan dingin: "Kalau bukan Yap Tongnia dipaksa angkat kak i olehmu, hingga tanpa kau tentera rakyat ini bakal kehilangan pemimpinnya, tida k nanti peta ini jatuh dalam tanganmu!" Kheng Thian percaya ia kenal baik tabiatnya Nona Ie. Ia tidak percaya si nona he ndak mengambil hatinya. Tapi nona itu bersikap demikian macam, suka damai tetapi ia pun ditegur dan disindir berulang-ulang, ia mau perc aya orang benar-benar hendak menyerahkan peta bumi kepadanya. Tengah pemimpin ini menanti tindakan lebih jauh dari si nona, di atas tenda terd engar suara sangat perlahan. Kecuali oleh Kheng Thian dan Sin Tjoe, suara itu tidak nanti dapat didengar. Kheng Thian lantas saja mengangkat kepadanya, berdongak. Sin Tjoe sebaliknya dengan sabar mengeluarkan peta, untuk dibeber dengan perlahan-perlahan. "Peta ini harus diperhatikan secara saksama," berkata si nona, suaranya dingin. "Mari kau lihat! Aku tidak sabaran untuk berdiam lama-lama di sini!" "Tak usah aku kuatir," pikir Kheng Thian selagi otaknya rada sinting. Ia tahu di luar tangsi ada Pit Goan Kiong serta banyak pahlawannya yang gagah, sedang tentera-nya berlapis tiga. Maka itu ia bertindak menghampirkan. Selagi Sin Tjoe membeber lepitan terachir dari peta itu, di situ terlihat pisau belati yang tajam mengkilap menyilaukan mata. Nyata nona ini mau memerankan lelakonnya Kheng Ko di jaman dulu, selagi Kheng Ko hendak membunuh raja Tjin. Peta itu ialah palsu. Ia menggunai itu sebagai alasa n untuk dapat mendekati toaiiongtauw itu. Sebat luar biasa, pisau belati itu telah mengancam tenggorokannya Kheng Thian. T api juga toaiiongtauw itu sangat gesit. Dengan berani ia bergerak untuk menggigi t tangan si nona. Sin Tjoe menarik pulang tangannya, terus ia menikam, tapi seme ntara itu, tangannya Kheng Thian sudah menyambar, maka tangan si nona kena digempur dan pisau belatinya terlepas, jatuh di tanah. Kepandaianmu ma- cam begini tak dapat dipakai terhadapku!" kata Kheng Thian dingin. Belum berhenti suaranya toaiiongtauw ini, tenda di atasan kepalanya terdengar me mberebet dan berlobang besar, dan belum sempat dia mengangkat kepalanya untuk melihat, ujung pedang sudah mengancam punggungnya. Cepat luar biasa Leng In Hong, yang sudah me nanti di atas tenda, berlompat turun. Ia pun menggunai pedang mustika Tjengbeng kiam kepunyaan Sin Tjoe. *** Di bawah ancaman In Hong itu, Kheng Thian nampaknya putus asa. "Kau mau apa?" ia menanya. "Serahkan penghoe !" menitah In Hong. Nona ini menghendak tanda keku asaan atas tentera, yaitu penghoe yang berupa kimpay. "Baik!" jawab Kheng Thian. "Penghoe itu ada di sakuku, nanti aku keluarkan!" Kata-kata ini disusul sama diangkatnya tangannya, untuk dikasi masuk ke dalam sa ku, tetapi gesit luar biasa, sikutnya bekerja, membentur pedang, disusul sama gerakan tipu silat "Membuka jubah meloloskan baju lapis." Inilah In Hong tidak menyangka, pedangnya terlepas dari tangannya jatuh ke tanah . Setelah itu, Kheng Thian hendak berteriak memanggil orang. Ia sebat tetapi Sin T joe tak kalah sehatnya, selagi dia menyerang In Hong, guna menjatuhkan pedang, nona Ie pun menyerang padanya, menotok jalan darahnya tanpa dia dapat me ngelakkannya lagi. Maka berdiamlah dia, habis tenaganya. "Dia sangat licin!" kata In Hong tertawa dingin, sedang sebelah tangannya melaya ng ke kuping orang. Matanya Kheng Thian mendelik, hatinya sangat panas, tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya. In Hong terus bekerja, menggeledah saku orang. Di situ tidak ada penghoe yang di cari. Ia kata: "Adik Tjoe, penghoe tidak ada, tentu ada di mejanya, tunggu dia, pergi kau cari di sana!" Sin Tjoe lantas bekerja. Ia memeriksa meja. Penghoe itu tidak ada. Ia menjadi bi ngung. Justeru itu di luar terdengar suara berisik disusul sama ini kata-kata: "Pit Kheng Thian, kau sangat bertingkah! Kenapa kau berani tidak menemui aku? Nona Ie, akulah yang datang, lekas kau keluar!" Itulah suaranya Tiat Keng Sim. Sin Tjoe tercengang. Sungguh tidak disangka-sangka, Keng Sim muncul di tengah malam seperti itu. "Lekas cari!" In Hong menyadarkan kawannya. "Lekas!" Sin Tjoe sadar, bahkan ia terus berpikir. Ia ingat, walaupun romannya kasar, Kheng Thian sebenarnya terliti. Penghoe tidak ada di tubuhnya, s edang baju luarnya telah diloloskannya. Segera ia merabah ke bawah bantal, yang menindih baju luarnya itu. Di situ ia kena bentur kimpay1. "Sudah dapat!" berseru si nona kegirangan. Kembali di luar terdengar bentakannya Keng Sim: "Pit Kheng Thian, kalau kau teta p tidak hendak memerdekakan Nona Ie, aku akan menerjang masuk!" Hampir itu waktu terdengar dua orang jatuh roboh, tetapi di lain pihak, tenda te rpentang dan pemimpin barisan pengawalnya Kheng Thian muncul! Sebenarnya aturan ketenteraan Kheng Thian sangat keras, tanpa ijinnya, siapa juga tidak dapat lancang memasuki tendanya, tetapi pemimpin ini adalah lain. Ia bernama Kouw Beng Tjiang. Ia satu penjahat di Shoatang, yang sama terkenalnya dengan Kheng Thian, dan Kheng Thian percaya betul. Ia pun cerdik, maka ia heran, Keng Sim berteriak-teriak tapi Kheng Thian diam saja, tidak ada jawabannya. Karena curiga, ia jadi berani melan ggar aturan. Tapi ia pun memakai alasan. Katanya: "Tiat Keng Sim mohon mengadap, hara p toaliong tau w..." Ia b a ru berkata begitu atau ia kaget, sebab ia melihat Kh eng Thian diam saja dan In Hong tengah mengawasi padanya. Tengah ia terheran-her an, Nona Leng menyerang padanya. Ia terkejut, tetapi ia berkelit. Ia memang lieh ay. Segera ia membalas menyerang, sekalipun ia bertangan kosong. Ke kiri ia meny erang In Hong, ke kanan kepada Sin Tjoe. Kedua nona itu tidak mempunyai keinginan untuk bertempur di dalam tenda itu. In Hong berkelit untuk segera menyontek tenda, untuk mengangkat kaki, sedang Sin Tjoe menyebar seraup bunga emasnya, untuk membuka jalan sambil merintangi musuh. Selekasnya musuh pada menyingkir atau menjaga diri, kedua nona lari keluar. Hany a setibanya di luar, mereka mendapatkan Keng Sim lagi dikurung beberapa pahlawan nya Kheng Thian, karena mana, pemuda itu berkelahi mati-matian. Menampak demikian, mencelos hatinya Nona Ie. Ia kata di dalam hatinya, "Aku meny angka ia hidup bersenang-senang di Bhok Kokkonghoe, kiranya dia tetap masih memi kir-kanku..." Karena ini, tak dapat ia ingat kemuakannya pemuda itu, terpaksa ia maju untuk mencoba memecahkan kurungan. Bukankah pemuda itu menempuh bahaya untuk menolongi mereka? Melihat Sin Tjoe, sembari berkelahi Keng Sim berseru: "Nona Ie, aku datang! Mari kita berlalu dari ini tempat tidak keruan! Jangan kita perdulikan lagi Pit Khen g Thian!..." Sedangkan ia berseru, Keng Sim alpa, maka toya lawannya mengenai pundaknya. Ketika itu Kouw Beng Tjiang pun berlompat keluar sambil b e rs e ru: " Toaliong tau w telah dibokong tiga orang ini, jangan kasi mereka lolos!" Dengan cambuknya , ia terus menyabet punggung Sin Tjoe. Sin Tjoe tahu orang liehay, ia memutar diri untuk membuat perlawanan. Benar-benar Beng Tjiang liehay. Ia hanya menggunai siasat. Belum lagi Nona Ie mela- yani ia, ujung cambuknya sudah menyambar lebih jauh, kepada Keng Sim, justeru an ak muda itu lompat guna membantui Nona Ie. Maka terlibatlah ia, dan begitu cambu k digentak, ia roboh terguling, atas mana beberapa orang lompat menubruk, membekuk padanya. Sin Tjoe kaget berbareng guear, maka ia menyerang. Ia tidak perdulikan musuh liehay, tidak jeri ia untuk cambuk lawan itu. Di pihak lain, Beng Tjiang memang hendak merintangi nona ini, ia melayani dengan sungguh-sungguh, ia mencoba menutup jalan mundur orang. "Adik Tjoe, kau bikin apa?" In Hong menegur. "Kenapa kau tidak menyingkir?" Sin Tjoe terkejut. Ia ingat bahwa, ia datang untuk penghoe. Tapi, dapatkah ia meninggalkan Keng Sim? In Hong melihat orang ragu-ragu, ia maju menyerang. Dengan lantas ia membabat kutung goloknya seorang pahlawan, akan di lain pihak, memapas kutung ujung cambuknya Beng Tjiang. Sebab pedangnya ialah Tjengbeng kiam dari Sin Tjoe. Ilmu pedang In Hong kalah daripada Sin Tjoe tetapi ia cerdik dan banyak tipu-tip unya, dari itu ia liehay sekali, sedang pedangnya pun pedang mustika. Begitu, ke cuali Beng Tjiang, tiga pahlawan itu kena ia lantas lukakan, hingga mereka roboh terguling untuk tak dapat merayap bangun pula. Dalam tempo yang pendek, kedua n ona ini dapat meloloskan diri, ketika Sin Tjoe menoleh ke belakang, kembali hatinya mencelos. Ia melihat Keng Sim tengah digiring masuk ke dalam tendanya Kheng Thian... Sekeluarnya dari kalangan tentera musuh, kedua nona kabur dengan Tjiauwya Saytjoe ma, maka di dalam tempo yang pendek sekali, mereka sudah berada jauh lim a puluh lie. In Hong menghela napas lega tapi ketika ia menoleh pada Sin Tjoe, ia menjadi her an, Nona Ie itu berlinang air mata. "Eh, adik Tjoe, kau kenapa?" ia tanya. "Tidak," menyahut orang yang ditanya. "Siapa pemuda tadi?" In Hong menanya pula. "Tiat Keng Sim." "Oh, puteranya Tiat Giesoe1. Pernah aku mendengar namanya, ia benar tamp an!" Mukanya Sin Tjoe merah, dd dalam hatinya tapi ia berkata "Sayang Keng Sim kosong seperti kantung kulit besar, dia mana dapat melawan keponakannya paman Yap?..." In Hong heran melihat orang diam saja. "Adikku, kau memikirkan sesuatu?" ia menanya pula. Sin Tjoe tidak menjawab, hanya ia mengeluarkan penghoe seraya berkata: "Entjie, pergi kau memegat rangsum, terus kau antar kepada Yap Seng Lim di Toenkee! Aku t idak jadi pergi ke sana!" "Apakah kau tidak pergi menemui Seng Lim?" "Dengan adanya penghoe ini, ponggawa yang membawa rangsum tidak nanti membantah kau," kata pula Nona Ie. "Kau naiki Tjiauwya Saytjoe ma, kau, memegat di Oentjioe, lalu terus kau pergi ke Toenkee. Umpma kata Kheng Thian menyusul, ia bakal terlambat. Aku tidak dapat membantu ka u pula!" In Hong heran tetapi ia dapat menduga. "Kau hendak kembali untuk menolongi Tiat Keng Sim itu?" ia menanya. "Benar. Dia datang untukku, mana dapat aku membiarkan dia terjatuh di dalam tang an Kheng Thian? Aku ada mempunyai daya untuk menolongi dia, dari itu entjie jang an kuatirkan aku." Sudah selayaknya saja Sin Tjoe menolongi Keng Sim, hanya air matanya, dan matany a, yang mengandung sinar kekuatiran, membikin In Hong heran. Nona ini berpikir: "Aku menduga ia dan Seng Lim ada satu pasangan yang setimpal, adakah dugaanku keliru? Mungkin kah orang yang ia cintai bukan Seng Lim hanya Keng Sim?" Ia anggap sayang kalau Sin Tjoe melepaskan Seng Lim. "Seng Lim mencil sendirian, ia berada dalam kedudukan sulit. Apakah kau tidak ku atirkan dia, adikku?" ia menanya, untuk mencoba hatinya nona itu. "Dalam keadaan seperti ini, tidak dapat aku memecah diri," menjawab Sin Tjoe. "K ita terpaksa mesti berpencaran. Entjie, kau pergi ke Toenkee, aku balik ke tangs i Kheng Thian. Seng Lim dibantu entjie, hatiku lega." Habis berkata begitu, merah matanya nona ini. Dengan lantas ia lompat turun dari kudanya, untuk lari balik. Di dalam keadaan biasa, pasti In Hong akan menyusul Nona Ie, tetapi sekarang, ia tidak bisa berbuat lain. Bukankah ia perlu menolongi Seng Lim? Di dalam markasnya, Kheng Thian tengah berkuatir. Ia telah mahir tenaga dalamnya , setelah lewat satu malam, ia bisa membebaskan sendiri tiga jalan darahnya, karena itu, i a sudah bisa bicara, bisa menggeraki kaki tangannya. Tinggal empat lagi jalan da rahnya, yaitu soankie, tionghoe, thiankwat dan teetjhong, yang belum bebas. Untuk ini, yang membebaskan mesti ahli. Sebab Sin T joe menotok menurut ajaran Hian Kong Yauwkoat. Kheng Thian menjadi kecil hati, ia tahu ia bakal bercacad. Percuma ia menjadi raja apabila tubuhnya tidak sampurna. Mengingat begitu, hatinya mencelos. Semua orang bingung mendapatkan toaiiongtauw mereka lain daripada biasanya. Mere ka datang untuk menanyakan keselamatannya pemimpin itu, di luar dugaan, si pemim pin agaknya menjadi berangasan. Pit Goan Kiong dan Kouw Beng Tjiang tahu pemimpin itu mendongkol karena dia tela h dipermainkan kedua nona terutama Sin Tjoe, dalam hal itu, mereka tidak berani menanyakan, mereka kuatir Kheng Thian malu dan gusar. Maka itu, mereka berkumpul saja sambil merundingkan soal peperangan. Setelah terselang sekian lama, Beng Tjiang menjadi curiga, tapi ketika ia hendak mengutarakan dugaannya, satu serdadu datan g melaporkan: "Nona Ie datang pula..." Beng Tjiang terperanjat. Ia lantas menoleh kepada pemimpinnya, wajah siapa menja di bermuram durja. Hanya sebentara n, toaiiongtauw itu menjadi tenang pula, bahkan waktu ia memberi titahnya, ia omong dengan sabar sekali: "Suruh dia masuk..." Sin Tjoe bertindak masuk dengan perlahan, ia tidak mengambil mumat puluhan pasan g mata mengawasi ia dengan tajam. "Ha, nona Ie, sungguh besar nyalimu!" kata Kheng Thian nyaring. "Hm!" Nona itu tertawa dingin. "Kau hendak meminta sesuatu dari aku, aku takut apa?" ia menjawab. Kheng Thian tertawa terbahak. "Aku kuatir kaulah yang hendak meminta sesuatu dari aku!" ia membaliki. "Baiklah, mar i kita bicara dengan mementang jendela!" berkata si nona. Ia tak m au membuang tempo. "Mari kita jual beli dengan cara pantas!" "Kau bicaralah!" "Mana Keng Sim?" "Ah, kiranya kau datang untuk bocah itu!" Kheng Thian ketahui maksud kedatangan si nona, akan tetapi mendengar nona itu me nyebut nama si anak muda, timbul iri hatinya, ia bercemburuan seorang diri. "Memang, aku datang untuk Keng Sim!" kata si nona terus terang. "Tapi aku datang untuk toaiiongtauw juga!" "Bagaimana itu?" "Cuma Tiat Keng Sim yang dapat membebaskan kau dari totokanku, untuk memulihkan kesehatanmu. Jikalau kau tidak merdekakan dia, maka kau bersedialah untuk nanti menjadi raja yang bercacad anggauta tubuhnya!" Mendengar itu, semua punggawa baru tahu hal yang sebenarnya. Maka Kheng Thian pun menjadi merah. "Baik, pergi merdekakan Keng Sim!" kata toaiiongtauw itu. "Tunggu dulu. Kau biarkan aku bertemu dulu dengannya!" Kheng Thian memberi ijinnya. Ia dapat menduga, Sin Tjoe mau mengajari Keng Sim i lmu membebaskan totokan. Sin Tjoe tentu malu untuk menyentuh tubuhnya, beda daripada waktu dia menotoknya. Hal ini membuat ha tinya panas tetapi ia tak bisa bilang suatu apa. Pit Goan Kiong diperintah menga ntari si nona. Keng Sim ditahan di belakang tenda, di dalam sebuah rumah kayu. Tiba di muka kam ar tahanan itu, Goan Kiong menggoda Sin Tjoe. Ia tertawa. "Nona, mengapa kau menentang toaiiongtauw kami?" "Dan kau, kenapa kau turut-turutan toaiiongtauw memusuhkan Yap Toako ?" si nona membaliki. Goan Kiong jengah, hingga tak dapat ia tertawa pula. "Baik, nona, aku takut padamu..." katanya, kembali mengejek. "Ini kunci untuk me mbukai borgolan Keng Sim, kau masuklah sendiri!" Di dalam kamar tahanannya itu, Keng Sim mendongkol bukan main, ketika ia dapat dengar orang bicara, lantas ia pentang mulutnya: "Pit Khen g Thian, kau machluk apa? Aku Tiat Keng Sim, aku laki-laki sejati, mana aku kesu dian takluk padamu? Kau pergilah!" "Keng Sim, inilah aku..." kata Sin Tjoe seraya bertindak masuk. Keng Sim heran. Sekian lama, belum pernah ia mendengar suara si nona demikian ha lus. Ia angkat kepalanya, ia mengawasi si nona sambil bersenyum. Sin Tjoe lantas membukai borgolan orang. Keng Sim menghela napas. "Apakah aku bukan lagi bermimpi?" katanya perlahan. "Kenapa Kheng Thian mengijinkan kau datang ke mari?" Lalu ia kaget tiba-tiba, maka cepat ia me nanya pula: "Adakah kau takluk kepada Kheng Thian?" Sin Tjoe memandang tajam. "Apakah kau lihat aku wanita demikian hina?" ia balik menanya. "Cis" "Habis, bagaima- na kau dapat datang ke mari?" tanya si anak muda. Ia girang men dapat itu jawaban, tidak perduli itu ada satu teguran. Ia senang akan mendapatka n Kheng Thian tidak dapat dibandingkan dengannya. "Aku datang ke mari untuk kau menolongi Kheng Thian." Anak muda itu heran. "Menolongi Kheng Thian?" tegaskannya. "Benar, supaya kau menolongi dia!" Nona ini lantas memberitahukan yang Kheng Thian telah kena ia totok, maka Keng S im mesti membebaskannya, dengan jalan tukar dengan kemerdekaannya. Ia kata ia na nti ajari ilmu totok pembebasan itu. Mendengar itu, lega hati Keng Sim, hingga ia menjadi girang sekali. "Memang juga, aku datang ke mari untukmu, supaya kau bisa menyingkir dari ini te mpat buruk. Secara begini, kesampaianlah maksud hatiku!" "Sebenarnya, kenapa kau datang ke mari?" si nona menanya. "Kau tidak tahu bagaimana aku sangat memikirkan kau," menyahut si anak muda. "Ak u minta perkenan dari Bhok Kongya untuk pergi dari Koenbeng, lantas langsung aku menuju ke mari." "Kau dititahkan untuk apa?" "Aku ditugaskan pergi ke kota raja, guna menyampaikan laporan Bhok Kokkong dalam urusan di Tali." Keng Sim mengatakan demikian tanpa ia ketahui maksud hati dari Bhok Kongya. Sebe tulnya utusan sudah di kirim, tapi sengaja Keng Sim di kirim pula. Itulah guna p uterinya, yang ia tahu menyukai pemuda itu dan ia pun setujui si pemuda. Keng Si m pintar dan gagah tetapi belum punya kedudukan, maka itu di dalam laporannya, i a pujikan pemuda itu pada raja dengan pengharapan raja nanti memberikan pangkat padanya. Keng Sim ketahui samar-samar maksudnya Bhok Kokkong, tentang itu tidak berani dia menjelaskan pada Sin Tjoe. "Dan mana guruku?" si nona tanya pula kemudian. "Thio Tayhiap suami isteri juga telah pergi ke kota raja. Mereka mengantar puter i Iran. Ia berangkat lebih dulu sepuluh hari, maka mungkin sekarang mereka sudah tiba di sana." "Apakah kau sudah ketahui bagaimana Pit Kheng Thian mendesak Yap Tjong Lioe?" "Itulah sebabnya kenapa aku datang mencari kau. Sedari siang-siang aku sudah mel ihatnya Kheng Thian machluk busuk. Yap Tjong Lioe benar pandai berperang tetapi dia tetap asal kuli tambang yang tolol, mana dia dapat melawan Kheng Thian yang licin? Pantas kalau dia kena didesak! Sayang kau bercam-puran dengan dia itu, hi ngga aku jadi berkuatir, maka aku datang ke mari untuk mengadu jiwa. Biar bagaimana, aku ingin kau menyingkir dari tempat ini!" "Benarkah itu?" tanya si nona, tawar. "Ah, mengapa kau masih belum ketahui hatiku?" "Mendengar suara kau, rupanya di kolong langit ini kaulah satu-satunya satu engh iong!" kata Sin Tjoe dingin. "Aku ada seorang wanita biasa, mana aku mengarti ap a yang kau pikir itu?" "Ah, segala-galanya aku lakukan untuk kau. Kau perlakukan aku tawar masih tidak apa, kenapa kau lantas menyindir aku?" tanya pemuda itu. "Kaulah seorang dengan tulang kumala dan hati es, kau bercampur sama segala orang kasar, apakah itu tid ak mengotorkan dirimu? Setelah kita berlalu dari sini, kita dapat tinggal bersama, di Hangtjioe atau di Koenbeng di mana kita dapat membangun sebuah rumah indah, di mana juga kita dapat meyakinkan kitab atau ilmu pedang, u ntuk melewatkan hari-hari yang tenang dan berbahagia. Dengan begitu, sekalipun d ewa-dewi bakal mengagumi kita..." "Aku tidak tepat untuk menjadi dewi, aku juga tidak sudi menjadi dewi itu!" berk ata Sin Tjoe, romannya sungguh-sungguh. "Aku hanya memikir, untuk sementara ini janganlah kau pergi ke kota raja. Guruku sudah berangkat ke sana, dengan begitu apakah kau masih kuatir kan raja bakal tak ketahui urusan di Tali itu?" Mendengar itu, Keng Sim girang sekali. "Asal kita dapat tinggal bersama, tidak usah pergi ke kota raja ya tidak usah!" ia berkata. "Ah, mengapa kau masih belum mengarti jelas?" ujar si nona. "Aku menasihati kau untuk sementara waktu jangan pergi ke kota raja, maksudku supaya kau pergi ke To enkee." Keng Sim heran. "Untuk apakah aku pergi ke Toenkee?" ia menanya. "Yap Seng Lim di sana seorang diri menghadapi sepuluh laksa serdadu pemerintah, dia membutuhkan bantuan!" menjelaskan Sin Tjoe. Pemuda itu menjadi putus harapan. "Yap Seng Lim, itu bocah, berharga untuk kau pikirkan sampai begini?" katanya. " Apa itu Yap Seng Lim? Apa itu Pit Kheng Thian? Mana dapat mereka bekerja besar hingga mereka berharga untuk aku pergi membantun ya? Terhadap mereka itu, aku muak sekali! Sin Tjoe, mengapa kau jadi semakin ber ubah?" Keng Sim putus asa, ia tak tahu, Sin Tjoe terlebih putus asa pula. Ia menyesali Sin Tjoe semakin berubah, si nona sebaliknya menyesali dia pun tak berubah sama sekali, bahwa dia tidak memikirkan lain orang kecuali diri sendiri. Sebenarnya S in Tjoe sudah mengambil putusan untuk melepaskan Yap Seng Lim, supaya Seng Lim itu diserahkan kepada Len g In Hong, siapa tahu sekarang kembali ia menghadapi sikap Keng Sim yang hanya m ementingkan diri sendiri ini. Maka tanpa merasa di depan mata- nya berbayang pula Seng Lim yang demikian polos dan jujur, bayangan yang mengalingi Keng Sim di depannya ini. Achirnya nona ini menghela napas dan berkata dengan masgul: "Sesuatu orang ada c ita-citanya sendiri, tidak dapat aku memaksakan kau. Baiklah, kita tak usah bica ra panjang-panjang lagi." Sendirinya Keng Sim menggigil. "Sin Tjoe, Sin Tjoe, kau... kau dengarlah aku!" katanya. "Tak usah," menjawab si nona, dingin. "Kalau kau ingin berlalu dari sini, lekas kau mempelajari ilmu membebaskan totokanku. Aku kuatir Pit Kheng Thian juga suda h tidak sabaran menantikanmu!" Keng Sim mengawasi itu nona, sinar matanya benterok sama sinar mata orang, pada sinar mata si nona ia mendapat suatu pengaruh hingga ia tidak berani banyak omong lagi. Ia lantas menerima pengajaran si nona. Ilmu membebaskan totokan itu bukan sembarang ilmu tetapi Keng Sim suda h punya dasar tenaga dalam dan ia pun berotak terang sekali, ia dapat mempelajar i itu dalam tempo yang pendek sekali. Benar-benar Pit Kheng Thian sudah tidak sabaran, ia melihat munculnya pemuda dan pemudi itu, ia girang sekali, tetapi ia sengaja bersikap keren. "Keng Sim!" katanya, nyaring. "Dengan memandang Nona Ie, hari ini hendak aku mem erdekakan kau, maka itu jikalau kau main gila, hm! jangan kau nanti sesalkan aku!" Keng Sim tidak takut diancam, bahkan ia tertawa sambil berle-ngak. "Kau kuatir aku nanti mempermainkanmu dengan totokanku?" dia tanya. "Aku justeru kuatirkan kata-katamu tidak berarti! Sebenarnya kau manusia macam apa hingga ka u ada harganya untuk aku permainkan? Apakah, kau kira aku ada sehina kau? Baikla h, mari di depan banyak orang ini kita omong biar jelas! Aku akan menotok bebas padamu, kau merdekakan aku pergi, siapa yang salah janji dialah si telur anjing! " Mendengar itu, Pit Kheng Thian menyeringai saking jengahnya. Kouw Beng Tjiang semua turut merasa tidak enak hati yang pemimpin mereka diperlakukan demikian macam. Wajah Kheng Thian seperti mateng biru, wajah itu bermuram durja saking murkanya, akan tetapi kendati semua itu, ia tidak dapat berbuat suatu apa. Ia masih mengh arapi kebebasannya, agar ia tidak jadi bercacad seumur hidup... "Bagaimana?" Keng Sim mendesak. Pemuda ini tidak sudi melepaskan ketikanya yang baik itu. Kheng Thian me-ngertak gigi. "Baik, aku berjanji!" sahutnya nyaring. Keng Sim gembira sekali. "Kamu semua telah dengar!" ia berkata pada orang banyak. "Hendak aku membebaskan totokan atas diri toaiiongtauw kamu, kalau sebentar aku berlalu dari sini, siap a pun di antara kamu tidak dapat merintangi aku! Benarkah begitu, Pit Kheng Thian?" "Benar begitu," Kheng Thian terpaksa mengangguk. Keng Sim tertawa lebar. Ia mau percaya, biar bagaimana, Kheng Thian tidak bakal menarik pulang kata-katanya, maka lantas ia menotok toaiiongtauw itu. Kheng Thian sempurna tenaga dalamnya, selagi Keng Sim menotok, ia membantu denga n tenaga dalamnya itu, maka tidak lama, ia merasakan napasnya jalan dengan lurus , jalan darahnya tak tertutup pula, kecuali jalan darah teetjhong, tiga yang lai n, ialah soankie, tionghoe dan Thiank-wat, semua pulih dengan lantas. Justeru it u, mendadak terdengar suara berisik di luar tangsi, yang mana disusul dengan lari masuknya Pit Goan Kiong dengan tergesa-ges a, romannya gelisah. "Tiauw Im Taysoe datang ke mari, dia mau lantas masuk, dengan membabi buta d ia main mendamprat dan menghajar orang!" ia melaporkan. Kheng Thian terkejut, ia mengerutkan alisnya. "Beng Tjiang, pergi kau menahan dia serintasan!" titahnya. Baru pahlawan itu pergi, mendadak Keng Sim menghajar Kheng Thian hingga dia ini, menyusuli jeritannya, roboh. Semua orangnya Kheng Thian kaget, lantas mereka semua maju. Keng Sim, sebaliknya, tertawa terbahak-bahak. "Selesai sudah!" berkata dia. "Sekarang kau sudah bebas betul-betul, Keng Thian! Apakah kau tidak sudi memegang janjimu?" Kheng Thian berdiam sejenak, lantas dia mengasi dengar suaranya: "Biarkan mereka pergi! Goan Kiong, Tjiang Tjin, kamu semua keluar membantui Beng Tjiang merinta ngi si hweeshio edan!" "Mana dapat kamu merintangi paman kakek guruku?" berkata Sin Tjoe, yang tidak la ntas mengangkat kaki. "Nanti aku berbuat baik terhadap kamu, untuk membujuki dia pergi!" Tanpa menanti jawaban, dengan tertawa manis, nona ini bertindak keluar. Keng Sim sudah lantas membuka tindakan lebar, untuk mengintil di belakang orang. Setibanya mereka di luar tenda, terlihat Tiauw I m Hweeshio, yang bersenjata ton gkatnya, tengah mengamuk dengan senjatanya itu, ia menghajar roboh sejumlah pahl awan yang maju mengepungnya. Di situ pun dua ekor kuda putih, satu di antaranya ialah Tjiauwya Saytjoe ma. Beng Tjiang bersama Tjiang Tjin lantas maju. Tjiang Tjin itu pemimpin pasukan pe ngawal pribadi dari Pit Kheng Thian. Dia menggunakan sepasang kampak besar, suatu tanda dari tangannya yang besar juga. Begitu datang dekat, dia lantas menyerang. Di pihak sana, Tiauw Im adalah jago ahli luar, tempo dia mengadu kepandaian sama Kioepoanpo di gunung Thiamtjhong San, nyonya yang bertenaga raksasa itu masih tidak dapat melawannya, maka itu dia mana memandang mata kepada musuh ini. "Bagus!" dia berseru seraya dia menggeraki tongkatnya menyambut kampak. Keras sekali ketiga senjata benterok, sampai kuping ketulian. Sebagai kesudahan dari itu, kedua kampak mental terbang dan Tjiang Tjin merasakan kedua telapakan tangannya sakit sekali, sebab telapaka n tangan itu pecah dan tubuhnya pun terhuyung-huyung. Beng Tjiang gusar, ia maju. Tiauw Im berkelit, terus ia membalas menyerang. Tiga kali ia menyapu. Orang she Kouw itu terus dapat menghindarkan diri. Ia menjadi sangat mendongkol. Maka ia lantas maju, memapaki satu cambukan, hingga cambuk Beng Tjiang melibat lengannya. Justeru itu ia berseru, ia mengerahkan tenaganya, waktu ia mengibas, cambuk itu putus menjadi dua potong. "Kelihatannya kau seorang gagah, aku tidak hendak membunuh kau!" berkata Tiauw I m selagi orang tercengang. "Lekas kau suruh Kheng Thian keluar untuk bicara deng anku!" Sampai di situ, Sin Tjoe maju ke depan. "Soepeetjouw, kau baik!" ia menegur seraya memberi hormat dengan lia mdjim, dengan merangkap kedua tangannya. "Ha, kiranya kau semua ada di sini!" berkata paderi itu tertawa lebar. "Bagus! A ku toh tidak salah, bukan? Yang salah ialah Pit Kheng Thian! Eh, binatang, kenapa kau masih tidak hendak menyuruh Pit Kheng Thian keluar menemui aku?" Bentakan itu ditujukan kepada Kouw Beng Tjiang. "Untuk apa soepeetjouw hendak menemui Kheng Thian?" Sin Tjoe menanya. "Sebegitu jauh aku menganggap dia satu enghiong!" m e nj a w a b paman kakek-gur u itu. "Tapi hari ini, setelah aku kembali dari Oentjioe dan bertemu Nona Leng d i tengah jalan, baru aku dapat ketahui dialah seorang busuk. Hm! Kenapa dia mema ksa Yap Tjong Lioe mengangkat kaki? Kenapa dia membinasakan Teng Gie Tjit? Benar kah telah terjadi demikian?" "Semua benar!" menyahut Sin Tjoe. "Bagus!" berseru Tiauw Im. "Untuk dua hal ini aku hendak menegur kedosaannya!" "Jikalau dia tidak mau menerima salah?" si nona menanya. "Aku akan hajar dia mampus dengan tongkatku ini!" Sin Tjoe tertawa. "Gampang untuk menghajar dia mampus!" ia berkata. "Habis, siapa nanti mengurus tugasnya? Apakah soepeetjouw yang bakal menggantikan dia menjadi toaiiongtauw?" Paderi itu mementang lebar matanya. "Siapa kesudian kedudukan toaiiongtauw ini?" katanya. "Aku pun tidak sanggup!" "Memang begitu!" kata pula si nona, tetap tertawa. "Dengan didesaknya Yap Toako hingga dia mengangkat kaki, hati tentera rakyat sudah tidak tenang kalau sekarang Pit Kheng Thian dihajar mampus, apakah tidak dikuatir nant i mereka menjadi kacau sendirinya? Tidakkah beberapa laksa serdadu rakyat ini na nti bubar tidak keruan paran? Ketika Yap Toako mau pergi, dia memesan wanti-want i supaya kami memandang kepada kepentingan umum, jangan kita saling bunuh. Soepe etjouw bertemu sama Entjie Leng di tengah jalan, dalam keadaan kesusu itu, tentu lah Entjie Leng belum sempat menuturkan pesan Yap Toako itu. Benarkah begitu?" Tiauw Im melengak. "Ya, kau benar juga," katanya sesaat kemudian. Sin Tjoe tertawa, ia menyimpangi pembicaraan. "Soepeetjouw, terima kasih banyak yang kau telah membawakan kudaku ini," katanya. "Nah, marilah kita pergi!" Melihat kesudahan itu, Beng Tjiang beramai senang juga hatinya. Tidak dinyana, h anya dengan sedikit kata-kata, Sin Tjoe dapat meredahkan kemarahannya paderi itu . Di lain pihak, memahamkan kata-kata si nona, mereka malu juga yang mereka suda h membantu toaiiongtauw mereka yang pandangannya cupat itu, yang hanya mementing kan diri sendiri. Tiauw Im tidak kata apa-apa lagi, ia putar kudanya untuk berlalu. Keng Sim merampas seekor kuda, dengan itu ia menyusul si nona dan si paderi hing ga belasan lie, di situ baru ia melihat mereka mengasi jalan kuda mereka dengan perlahan- perlahan. Ketika ia sudah menyandak, ia dengar suaranya si nona. "Soepeetjouw, kau hendak pergi ke mana?" demikian Sin Tjoe. "Entahlah!" sahut Tiauw Im. "Yang terang tidak dapat aku berdiam di sini!" "Benar!" Keng Sim campur bicara. "Mereka saling rebut kekuasaan hingga keadaan m enjadi kacau seperti langit roboh dan bumi melesak, kita baiklah jangan keciprat an kekotoran mereka itu, paling benar kita mengangkat kaki jauh-jauh, supaya dir i kita menjadi putih bersih!" Sin Tjoe melirik tajam pemuda itu, hatinya tak puas. Ia sebenarnya mau membujuk paderi itu pergi ke Toenkee, untuk membantui Seng Lim, tetapi melihat hati orang masih belum tenang dan Keng Sim pun mengatakan demikian, terpaksa ia membungkam. Selagi mereka berdiam, dari samping mereka, di mana ada tikungan gunung, tiba-ti ba muncul satu barisan serdadu. Menampak itu, Tiauw Im menjadi gusar. "Bagus betul!" serunya. "Aku telah lepaskan Pit Kheng Thian, sekarang dia menyur uh orang menyusul aku!" Ia angkat tongkatnya ia memandang tajam. Tapi segera ternyata, itulah Seng Hay San dan Tjio Boen Wan bersama hanya belasa n serdadu berkuda, yang pakaiannya tidak keruan macam, yang romannya lesuh. Tera nglah mereka tengah kucar-kacir. "Eh, kenapa kamu jadi begini?" paderi itu menegur, heran. Seng Hay San lebih dulu memberi hormat. "Kami yang muda tidak punya guna, kami merasa sangat malu," ia menyahut. "Pasuka n rakyat kami telah kena dikalahkan tentara pemerintah, dari dua ribu jiwa, kita ketinggalan hanya tujuh belas orang..." "Jikalau kita bertempur di air, kita dapat satu melawan sepuluh!" kata Boen Wan dengan penasaran. "Kita justeru disuruh Pit Kheng Thian berperang di tanah pegun ungan. Semua saudara kita, menunggang kuda pun tak mampu, maka itu mereka berkel ahi cuma mengandalkan semangat mereka!" "Meski begitu kami dapat bertahan sampai beberapa bulan," Hay San menambahkan. " Tapi kerusakan kita hebat sekali, sudah tidak ada bala bantuan, rangsum juga tidak ada. Apa kita bisa bikin? Aku hanya malu un tuk bertemu orang-orang tua dari kampung halaman kita, karena aku pergi dengan d ua ribu saudara tetapi sekarang kembali hanya dengan tujuh belas orang..." "Hm, ini juga perbuatan bagus dari Pit Kheng Thian!" berkata Tiauw Im sengit. "Syukur kamu bertemu sama kita!" Keng Sim turut bicara. "Kamu tak usah pulang la gi kepada Pit Kheng Thian! Dia sudah memaksa Yap Tjong Lioe pergi, kamu dipandan g orangnya Tjong Lioe, dengan pergi ke sana kamu seperti mengantari diri masuk k e dalam jala!" Seng Hay San melengak. "Ah, sayang ayahku tidak ada di sini!" Boen Wan mengeluh. Soeheng, kau pergi ke mana, sudah sekian lama kau tidak kelihatan? Apakah kau tahu tentang ayahku?" Parasnya Keng Sim merah sendirinya. "Aku telah pergi ke Tali menemui Thio Tayhiap, baharu beberapa hari yang lalu aku kembali," jawabnya. "Aku belum bertemu sama soehoe." Tapi ia melihat pedang di pinggang Hay San, ia heran, hingga ia menanya: "Eh, m engapa pedang soehoe ada pada kau?" "Pedang ini Nona Ie yang berikan padaku," menjawab Boen Wan. "Karena aku tidak b ertemu ayah, aku berikan itu kepada soeheng untuk ia yang menggunainya. Sebenarn ya malam itu sudah terjadi apakah? Kenapa ayah pergi dengan cara demikian mendadak? Kenapa pedang ini terjatuh ke dalam tangan Nona Ie? Sungguh a ku tidak mengarti? Nona Ie, kau tentu dapat bicara sekarang?" achirnya ia tanya Sin Tjoe. "Pedang ini dirampas oleh Ouw Bong Hoe dari tangannya Law Tong Soen yang menjadi komandan barisan pengawal raja," Sin Tjoe menerangkan. "Ouw Peepee menyuruhnya aku menyampaikan kepada ayahmu. Sayang ayahmu itu sudah pergi. Taruh kata aku berikan pedang ini pada ayahmu, mungkin dia tidak sudi men erimanya..." Boen Wan heran bukan main. "Kenapa pedang ini terjatuh ke tangan Law Tong Soen?" ia tanya. "Kenapa ayahku boleh tak menginginkan pula pedang ini?" "Tentang itu baik kamu tanyakan toasoeheng kamu," menyahut Sin Tjoe singkat. Mendengar perkataan Sin Tjoe itu, mukanya Keng Sim menjadi merah. Memang kejadia n mengenai pedang itu sangat membuatnya tak enak hati. Pedang itu ia memintanya dari guruny a dan diserahkan kepada Law Tong Soen karena Tong Soen memaksa ayahnya. Pedang itu jadi ditukar dengan keselamatan jiwa ayahnya itu. Karena itu, hati Tj io Keng To menjadi tawar, maka, juga ia tak sudi aku lagi Keng Sim sebagai murid nya. Sudah satu tahun lebih Keng Sim berduka karena itu, ia malu sendirinya, di luar dugaan- nya, sekarang Sin Tjoe menimbulkan itu di depan kedua adik seperguruannya itu. I a menjadi tidak puas terhadap Sin Tjoe. Ia kata di dalam hatinya: "Aku rindu kep adamu, untukmu beberapa kali aku pertaruhkan jiwaku, siapa tahu, sudah kau berla ku tawar terhadapku, sekarang kau bicara begini di sini, membikin aku malu terha dap kedua adik seperguruanku ini..." Meski mendongkol, tetapi karena mengharap Nona Ie nanti berbalik pikir, ia tidak berani mengutarakan kemendongkolannya itu. Boen Wan cerdik, melihat romannya toasoeheng itu, ia menduga kepada sesuatu raha sia, karena ia memangnya jeri terhadap toasoeheng itu, ia tidak berani menanyaka nnya. Cuma karena itu ia menjadi bercuriga. Keng Sim pun kacau pikirannya, tetapi kemudian ia kata pada Hay San: "Seng Soetee, baiklah kau serahkan pedang itu pad aku, nanti apabila aku bertemu sama soehoe, akan aku yang menyerahkannya." Sin Tjoe hendak mencegah tetapi Hay San sudah berkata: "Usiaku muda, aku tidak b ijaksana, kepandaianku pun masih rendah, dengan membawa-bawa pedang ini, hatiku tidak tenteram setiap siang dan malam, maka kalau sekarang soeheng yang menyimpa nnya, itulah paling baik." "Inilah pusaka keluarga Tjio," Sin Tjoe menyelak juga. "Boen Wan, kau berada di dalam pasukan tentara, baiklah kau yang memegangnya untuk kau membela dirimu..." Bukan main mendongkolnya Keng Sim, hatinya sangat panas. Nona Ie jadinya menyate rukan dia. Tapi Boen Wan, setelah bersangsi sebentar, memberikan penyahutannya. "Terima kasih, entjie ," katanya. "Ayah pernah bilang, walaupun Tiat Soeheng dari lain she, dia pintar melebihkan aku, maka itu ay ah pesan, pedang ini di belakang hari baik diserahkan kepada soeheng da n aku dipesan untuk jangan pikirkan itu. Kata-kata ayah itu mungkin telah diucapkan juga kepada Tiat Soeheng. Jadi adalah maksud ayah yang pedang ini harus diserahkan kepada Tiat Soeheng. N ah, soeheng , kau terimalah ini!" Nona Tjio lantas ambil pedang dari tangannya Hay San. Inilah Keng Sim tidak sangka sekali. Siapa sangka, soemoay ini, adik seperguruan wanita, demikian menghormati ianya. Hal ini membuatnya ingat budi gurunya. Ini kembali membikin ia malu sendirinya, hampir saja air matanya mengalir keluar. Ka rena ini, ia tidak dapat segera menyambuti pedang itu. Boen Wan sendiri, yang memegang gagang pedang, mengangsurkan pedang itu. Sin Tjoe lantas berkata dengan lebih dulu tertawa dingin: "Dengan mengandal kepa da pedang ini, Tjio Looenghiong telah melakukan banyak perbuatan mulia, maka itu, Tiat Kongtjoe, semoga kau tidak mensia-siakannya!" Kembali mukanya Keng Sim bersemu merah. Tapi segera ia berpikir: "Memang tepat orang gagah bersenjatakan pedang mustika! Dengan memegan g pedang ini, kaum Rimba Persilatan pastilah memandang aku. Aku harap, dengan mengandali ini, di belakang hari aku dapat melakukan sesuatu yang besar dan berharga, kalau kemudian aku bertemu soehoe, bisalah aku bicara dengannya." Karena ini ia ulur tangannya menyambuti pedang mustika itu. "Boen Wan, Hay San, bagaimana sekarang pikiranmu?" Sin Tjoe tanya pemuda dan pemudi itu. "Kejadian ada begini di luar dugaan, aku pun tak tahu mesti berbuat apa sekarang ," menyahut Nona Tjio. "Aku hendak pergi ke kota raja, dengan begitu aku bakal melewati rumahku di Hangtjioe," Keng Sim turut bicara. "Di mana di sini pasti ba kal terbit kekacauan hebat, sebab Pit Kheng Thian tentunya bakal kalah dan runtuh, baik kamu jangan pernahka n diri pula di dalam air keruh, baiklah kamu turut aku, untuk buat sementara wak tu berdiam di rumah itu. Sesudah keamanan pulih, baru kamu pergi cari soehoe." Sepasang alisnya Hay San terbangun. Nyata ia tak setujui pikiran Keng Sim itu. Keng Sim masih hendak bicara tetapi Sin Tjoe telah dului ia. "Memang Pit Kheng Thian tidak dapat didampingi pula," berkata nona ini. "Yap Sen g Lim berada di Toenkee sekarang, dia lagi menghadapi sepuluh laksa serdadu peme rintah, baik kamu pergi ke Toenkee sana." "Dengan Yap Toako aku belum pernah bergaul rapat," berkata Hay San, "tetapi aku tahu dia laki-laki sejati dan setia kepada negara, kalau dia membutuhkan bantuan , baiklah, aku nanti pergi ke sana untuk memberikan bantuanku. Adik Boen Wan, ba gaimana dengan kau?" "Kau pergi ke sana, aku tentu turut kau!" menyahut Nona Tjio tanpa bersangsi sed ikit juga. Keng Sim tidak mencegah meskipun ia kembali tak puas terhadap Sin Tjoe, bahkan i a diam saja. Hay San dan Boen Wan lantas memberi hormat, untuk mengambil selamat berpisah, la lu dengan tujuh belas serdadu sisanya itu, mereka pergi menuju ke Toenkee. Tjio Boen Wan sendiri, yang memegang gagang pedang, mengangsurkan pedang itu. Dan Tiat Keng Sim ulur tangannya menyambuti pedang mustika itu. "Dan kau, Sin Tjoe?" Tiauw Im lantas tanya Nona Ie. Sin Tjoe berpikir sejenak. "Soehoe dan soebo telah pergi ke kota raja, aku ingin menemui mereka," ia menyah ut. Mendengar ini, Keng Sim girang bukan kepalang. "Kalau begitu, kita baiklah berjalan bersama-sama!" katanya. Ia menyangka si nona suka mendengar pikirannya, untuk me nyingkir dari kekacauan, ia tidak tahu. Sin Tjoe sebenarnya berpikir lain. "Aku juga ingin bertemu sama Tan Hong, kalau begitu baik kita berjalan bersama," Tiauw Im pun berkata. Sin Tjoe menyatakan akur meski tadinya ia memikir untuk minta soepeetjouw ini pergi ke Toenkee untuk membantui Seng Lim, ia lantas mengubah pikiran kapan ia ingat Seng Lim cukup dengan dibantu In Hong dan Hay San serta Boen Wan, sedang Tiauw Im, meskipun gagah, tabiatnya keras, mungk in di sana dia nanti mengumbar hatinya tanpa ada orang yang dapat mengendalikann ya. Ia juga ingat, dengan pergi ke kota raja, gurunya suami isteri itu bukannya tidak menghadapi ancaman bahaya. Pula, dengan Tiauw Im ada bersama, Keng Sim ten tulah tidak berani melibat padanya... Demikian bertiga mereka menuju ke kota raja. Keng Sim tidak mau mensia-siakan ketika-nya, ia lantas mencari alasan untuk bisa berbicara sama Nona Ie. Akan tetapi Sin Tjoe melayani ia dengan tawar, si nona membawa sikapnya yang toapan, setiap diajak bicara mengenai dirin ya, ia menyimpangkannya. Keng Sim menganggap dirinya pintar tetapi menghadapi si kap si nona, ia putus asa. Ia mendongkol berbareng berduka. Lama-lama, hatinya m enjadi tawar sendirinya. Biasanya ia memikirkan si nona, sekarang si nona ada di dampingnya, ia tidak berdaya... Pernah Keng Sim mencoba menyebut-nyebut Seng Lim. Atas itu, Sin Tjoe tetap memba wa sikap tawar, acuh tak acuh, hanya setiap kali nama Seng Lim disebut, matanya memperlihatkan sinar terang. Sinar ini dapat dilihat Keng Sim, pemuda ini menjad i tidak enak hati. Ia menjadi jelas. Ia menduga hati si nona ada pada Seng Lim. Bukankah Sin Tjoe selalu berdaya akan membantui Seng Lim itu? Karena perlakuan Nona Ie ini, kadang-kadang ia ingat Bhok Yan, si nona puteri pangeran. Nona Bhok itu nampakny a mengarti ia, si nona suka bergaul dengannya. Puteri Bhok Kokkong itu pun canti k dan pintar. Dibanding dengan Sin Tjoe, Bhok Yan lebih mentereng. Sin Tjoe mend atangkan kehormatan, Bhok Yan menyebabkan orang suka kepadanya. Pula, berada ber sama Sin Tjoe, ia seperti merasa dirinya rendah, sebaliknya mendampingi Bhok Yan, ia merasakannya agung. Dan karena riang, hatiny a pun berbareng menjadi tenang. Dengan lewatnya hari-hari, dengan perja- lanan makin jauh, atau lebih benar, perjalanan makin dekat kepada tujuan, Keng S im merasa ia terpisah makin jauh dari Sin Tjoe, mereka agaknya makin renggang. Cuma Tiauw Im yang tidak tahu apa-apa yang tidak bercuriga, ia hanya menganggap muda-mudi itu sebagai Kimtoong dan Gioklie, muda-mudi suci yang polos. Pada suatu hari tibalah mereka di perbatasan Tjiatkang. Itu pun batas di antara tentera pemerintah dan pasukan rakyat suka rela. Karena itu, tempat itu menjadi sunyi, sangat jarang orang berlalu-lintas di situ. Lama mereka berjalan, baru me reka menemui sebuah kedai teh. Kedai itu miliknya seorang nyonya tua, yang anakn ya laki-laki ditarik jadi tukang urus kuda serdadu pemerintah. Nyonya ini sudah tua, sulit untuk ia m elarikan diri. Tadi-tadinya pun sudah sering ia mengungsi, ia telah merasakan ke sengsaraan, maka kali ini ia berdiam saja. Tiauw Im bertiga mampir di kedai ini, untuk membasahkan tenggorokan yang sudah kering. Sembari minum, mereka pasang omong sama si pemilik yang tua. Tiba-tiba ada dua orang lewat di depan kedai itu. "Kuda yang bagus! Kuda yang bagus!" satu di antaranya berkata-kata. Suaranya ada suara orang Utara yang kaku. Sin Tjoe mengangkat kepalanya, untuk menoleh. Ia lihat seorang dengan dandannya bangsa Mongolia, tubuhnya kasar dan keren. Dia ada bersama seorang kate dan kecil, yang dandan se bagai pesuruh atau oppas. *** Nona Ie segera berpikir. Ia seperti mengenali oppas itu, entah di mana ia pernah bertemu dengannya. Tak lama ia berpikir. Ia ingat kejadian dua tahun dulu, di s ebuah rumah makan di tepian utara sungai Tiangkang. Lantas ia ingat kepada Tie H ian, siewie atau pahlawan raja yang bersenjatakan golok, yang pernah membantu Gi elimkoen Tongnia Law Tong Soen coba menawan Tjioe San Bin suami isteri. Tie Hian juga segera mengenali Nona Ie, ia terkejut. Ia pernah merasakan tangannya nona itu. Tapi ia mencoba berlaku tenang, dengan tidak mengentarakan sesuatu, ia ikut si orang Mongolia mampir unt uk minum teh di kedai itu. Begitu sudah berduduk, mata si orang Mongolia terus diarahkan kepada Nona Ie. Ti ba-tiba dia tertawa dan berkata: "Kamu kaum wanita di Selatan Tionggoan sangat cantik dan halus, jikalau kamu berada di gurun pasir kami, pastilah kamu diangka t dibawa terbang angin gurun!" Tiauw Im memandang tajam, ia mendongkol. Sin Tjoe melihat itu, ia melirik, mengedipi, untuk mencegah. "Adakah kamu datang dari gurun pasir?" nona ini menanya sambil tertawa. "Sung guh suatu perjalanan yang jauh!" Gembira si orang Mongolia karena si nona suka melayani ia bicara. "Benar!" sahutnya. "Aku datang sengaja untuk menyaksikan keindahannya Tionggoan, maka sayang sekali aku bertemu sama saat peperangan. Non a, adakah kau datang dari Selatan?" "Benar," menyahut si nona. "Apakah kau tidak kuatir penjahat nanti tangkap dan bawa kau lari untuk dijadika n ratu gunung?" "Siapa bilang, mereka kawanan penjahat? Merekalah tentera rakyat suka rela, yang terhadap rakyat bersikap ramah tamah!" "Benarkah itu? Ada orang bilangnya demikian kepadaku, aku masih kurang percaya.. . Eh, ya, katanya pula ada seorang berandal wanita berpelangi merah, yang liehay sekali. Benarkah itu?" Untuk sejenak, Sin Tjoe heran, tetapi ia lekas memberikan jawabannya. "Benar! Aku sendiri pernah bertemu dengannya. Dialah yang dipanggil Leng In Hong . Apakah kau kenal dia?" "Aku sendiri tidak kenal dia," menjawab orang Mongolia itu sambil berbangkit berdiri, "tapi ada beberapa sahabatku yang bulan lalu berangkat ke Selatan untuk mencari dia." "Siapa-siapakah beberapa sahabatmu itu? Mengapa mereka mau mencari dia?" "Ah, nona, kau sangat ketarik sama hal-hal aneh! Perlu apa kau usil segala urusa n kaum kangouw? Ah, kau yang bertubuh begini lemah hingga angin pun akan meniup roboh padamu, kau pun membawa-bawa pedang? Apakah kau mengarti ilmu silat?" "Mengarti sih tidak, hanya di kolong langit ini banyak sekali manusia busuk, mak a itu aku membawa-bawa pedang untuk membela diriku. Ini toh baik bukan?" Orang Mongolia itu tertawa. "Hanya kecewa pedang itu! Bicara terus terang, coba kau bukannya seorang nona ma nis, hingga tak suka aku mengganggunya mungkin aku pun bakal jadi si orang busuk , untuk satu kali ini saja." Sin Tjoe berpura-pura terkejut. "Apa?" tanyanya. "Kau seorang manusia busuk?" "Kami orang-orang gagah bangsa Mongolia, kami paling gemarn de- ngan golok atau pedang mustika. Untuk kami, merampas pedang dan golok, adalah pe kerjaan paling umum. Tetapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku merampas pedang i ni." Sembari berkata begitu, orang Mongolia ini bertindak mendekati, dengan kedua mat anya yang tajam, ia menatap wajah orang. "Kau begini cantik manis sedap dipandang," katanya pula, "kau mirip apa yang dik atakan dalam dongeng kami, ialah bidadari dari gunung Himalaya." Sementara itu ia telah datang dekat ke meja si nona. "Ah, kau ngaco belo!" kata Keng Sim nyaring. Tidak senang ia dengan omongan dan tingkah orang Mongolia ini. "Kau berani mengganggu anak gadis orang?" "Pandanganmu cupat sekali!" menyahut si orang Mongolia tertawa. "Di tempat kami di sana, siapa mempunyai isteri cantik, jikalau lain orang memandangnya, yang me njadi suaminya justeru girang sekali! Adakah kau suaminya nona ini?" "Sudah, jangan ngaco belo!" Sin Tjoe menyelak. "Ya, hendak aku tanya kau." Orang Mongolia itu mengawasi Keng Sim. "Ah, kiranya kau bukan suami dia!" katanya. "Dengan begitu, toh tidak ada halangannya untukmu untuk aku memandangi dia, bukan? Eh, k au satu anak sekolah yang bertubuh lemah, kau pun membawa-bawa pedang?" Keng Sim bangkit berdiri. "Apakah? Apakah matamu panas?" dia menanya. Orang Mongolia itu tertawa lebar. "Tidak salah!" sahutnya. "Aku tidak berniat merampas pedangnya si nona, aku just eru ingin merampas pedangmu!" Keng Sim tertawa dingin, lantas ia menggeraki tangan kirinya, untuk mem-bangkol lengan orang. Inilah satu jurus terliehay dari tiga p uluh enam jurus ilmu silat "Taykim Tjioe." Dengan ini ia hendak membanting roboh orang Mongolia itu sambil berbareng membikin patah tangannya. Ia bertindak cepa t sekali dan telengas. Tapi ia membentur sebuah lengan yang keras bagaikan besi, tempo si orang Mongolia mengibas, ia lompat ser aya terus menyambar sebuah bangku untuk dipakai menangkis. Maka "Brak!" bangku itu kena terhajar patah! Orang Mongolia itu tertawa terbahak. "Ha, kau kiranya mengerti juga ilmu silat!" katanya. "Inilah bagus!" Ia segera maju satu tindak, tangannya menyerang. Keng Sim mencelat melompati loneng, maka itu, kepalan si orang Mongolia mengenai tihang, hingga tihang itu menerbitkan suara nyaring dan miring. Menampak demikian, Tiauw Im mengangkat tongkatnya dengan apa ia menahan tihang i tu untuk terus ditolak, maka tihang itu tidak sampai roboh. "Eh, binatang, kau tidak memakai aturan!" kata paderi ini mendongkol. "Sudah tid ak seharusnya kau hendak merampas pedang orang, kau juga merusak kedainya wanita tua ini!..." Tiauw Im tentu sudah turun tangan kalau tidak Sin Tjoe lekas mengedipi mata padanya. Si orang Mongolia tercengang menampak gerakan si paderi. Tapi cuma sebentar, lan tas ia berkata nyaring: "Apakah soal layak atau tidak layak? Lihatlah harimau di bumi, dia menerkam kambing! Tuhan menghidupi berlaksa benda atau machluk, itulah diperan-tikan untuk dirampas si menang dan s i kuat! Bagus, kau tidak senang, tetapi tunggu sebentar, hendak aku membereskan dulu bocah ini, baru kita main-main!" Tubuh orang Mongolia ini besar dan kasar, tetapi nyata dia gesit sekali, dengan satu lompatan dia melewati loneng, dia seperti telah l antas berada di belakangnya Keng Sim. Keng Sim tidak berdiam saja, dengan sebat ia menghunus pedangnya, pedang mustika Tjio Keng To yang didapat dari istana kaisar, dengan itu ia membabat ke kepala orang, sedang sinarnya pedang berkelebatan menyilaukan mata. Orang Mongolia itu terkejut, ia berkelit mendak, tetapi walaupun ia sangat gesit , tidak urung rambutnya kena dibabat kutung. "Pedang yang bagus!" ia memuji setelah kagetnya itu. "Ya, pedang yang bagus!" jawab Keng Sim. "Kalau kau bisa, kau rampaslah!" Beruntun tiga kali, anak muda ini menyerang pula. Orang Mongolia itu mengelakkan diri, ia tidak takut, masih ia dapat berkata: "Di antara orang Han, ilmu silatmu ini jarang tandingannya, meski demikian, kau mas ih tidak tepat memegang pedang itu!" Setelah itu, ia membalas menyerang. Ia pun menyerang saling susul hingga tiga ka li, hingga Keng Sim tidak dapat merangsak maju. Dua-dua pihak menjadi heran dan saling mengagumi. Keng Sim kagum untuk kepandaia n si orang Mongolia, dan si orang Mongolia heran si anak sekolah yang nampaknya lemah itu sebenarnya liehay ilmu pedangnya. Mereka bertempur terus, hingga sebentar kemudian lewat sudah lima puluh jurus. S ekarang terlihat nyata si orang Mongolia semakin garang sedang Keng Sim, tak perduli ia bersenjatakan p edang mustika, kena terdesak, hingga ia kewalahan sekali. Setelah itu si orang M ongolia mengasi dengar suaranya yang nyaring dan aneh, kedua matanya pun merah s eperti api, dengan bengis dia berlompat maju! Sin Tjoe melihat cara berlompatnya si orang Mongolia, ia terkejut hingga ia bers eru: "Toamo Sinlong!" Mendengar seru- an itu, si orang Mongolia heran, tetapi justeru itu, Keng Sim me ndapat bernapas, hingga ia dapat menghalau ancaman bahaya. Kalau tidak, celakalah lengannya, yang disambar lawannya itu. Me ski begitu, ia toh kena juga terbentur, hingga ia merasakan panas seperti dibakar, hingga hampir ia membuatnya pedangnya terlepas. Orang Mongolia itu berhenti menyerang, bahkan dia mundur tiga tindak. "Eh, kau siapakah?" ia tanya si nona. "Toamo Sinlong!" menyahut Sin Tjoe. "Kau tidak kenal aku, aku sebaliknya kenal k au!" Orang Mongolia ini memanglah Hamutu yang dikenal dengan julukannya itu. Toamo Si nlong berarti Serigala Sakti dari Gurun Pasir. Dia memang sangat terkenal di gur un Utara tetapi sampai di Tionggoan barulah ini kali. Dia heran yang nona itu me ngenali padanya. Karena ini, batal ia merampas pedang Keng Sim, dia terus kembal i ke ruang dalam, matanya mengawasi si nona. Sin Tjoe berbangkit, ia bersenyum. "Apakah kau ingin ketahui aku siapa?" ia menanya. "Memang aku ingin ketahui, nona, mengapa kau kenal aku," menyahut orang Mongolia itu. "Baiklah. Maukah kita bertaruh?" "Bagaimana?" "Kita main-main!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Bukankah kau mentertawai aku seorang nona yang tak kuat menahan tiupan angin? Bukankah kau telah memikir untu k merampas pedangku? Nah, begitulah kita bertaruh! Jikalau kau dapat merampas pe dang di tanganku, aku akan menyerahkan pedangku ini padamu. Kalau kau yang kalah, maka kau mesti menjawab aku, satu pat ah demi satu patah tak boleh kau mendusta setengah patah juga!" Toamo Sinlong tertawa lebar. "Nona kecil, kau berani main-main denganku? Sebenarnya siapakah kau? Kalau ini b apak paderi yang main-main denganku, tak ada yang dapat dibilang lagi, tetapi ka u? Haha! Walaupun aku Toamo Sinlong ada kalahnya tidak mengenal aturan, tetapi tidaklah sampai aku menghina satu nona kecil!" Sin Tjoe tertawa menyindir. "Bapak paderi ini jauh terlebih kuat daripadamu!" katanya. "Kalau kau menempur d ia, belum habis sepuluh jurus, jiwamu pastilah lenyap. Maka lebih baik kau berta ruh denganku ! Beranikah kau tidak memandang mata padaku? Oh, sia-sia belaka tenagamu yang besar, gelaranmu sebagai jago dari gurun pasir! Aku tidak takut padamu! Cob a tidak ada pertanyaan, yang aku hendak ajukan kepadamu, sungguh, tak sudi aku b ertaruh denganmu!" Toamo Sinlong menjerit bahna mendongkolnya. Ia percaya betul atas tenaganya yang besar dan kepandaian ilmu silatnya. Di masa mudanya ia telah bertemu seorang pa ndai, ia dididik dalam ilmu tenaga dalam, ilmu silat tangan kosong dan bersenjat a, selama dua puluh tahun menjagoi di gurun, belum pernah ia menemui tandinganny a, siapa sangka sekarang ia dilihat tak mata oleh ini nona. "Baiklah, nona kecil!" serunya. "Kau tidak mengetahui langit tinggi dan bumi t ebal, nanti aku rampas dulu pedangmu, baru aku melayani itu paderi!" Dari kata-kata dan sikapnya, orang Mongolia ini sangat memandang enteng si nona. "Eh, Sin Tjoe, kau jangan bikin dia terluka parah!" pesan Tiauw Im kepada si non a. "Sebentar biarlah aku dapat bermain-main dengannya!" Kata-kata ini pun suatu hinaan untuk jago gurun itu, yang tak dipandang mata sed ikit juga. Maka itu, bukan main gusarnya ia. Dengan lantas ia mementang kedua tangannya, untuk menubruk si nona. "Di sini toyamu!" berkata Tie Hian, si orang kate yang menjadi kawannya, yang hendak memperingati kawannya untuk jangan berkelahi dengan tangan kosong. Tapi dia belum sempat menghentikan kata-katanya itu ketika suatu sinar kuning emas berkelebat, menyusuli gerakan tangan kirinya Sin Tjoe, lalu dia kena dihajar kimhoa pada dengkulnya, seketika itu juga dia roboh terguling hingga dia tak dapat mer ayap bangun pula. Tie Hian memperdengarkan suaranya seraya melemparkan longgee pang, toyanya si or ang Mongolia, karena serangannya Sin Tjoe itu, toya itu meluncur terus. Dengan s ebat Sin Tjoe berlompat maju, untuk menanggapi senjata orang, setelah mana ia be rkata dengan dingin: "Sekarang aku mengasi kau tinggal hidup, untuk kau menjadi saksi! Eh, Toamo Sinlong, apakah kau menyangka aku senang melayani kau dengan kau bertangan kosong? Nah, ini toyamu, kau ambillah!" Toamo Sinlong terkejut. Di luar dugaannya, tubrukan-nya barusan mengenai sasaran kosong. Dan sekarang ia melihat, di samping robohnya Tie Hian, toyanya pun dise rahkan padanya. Dengan sendirinya, muka dan kupingnya menjadi merah. Dalam kesan gsiannya, untuk menyambuti toyanya itu, ia menampak ber-kelebatnya si nona, yang berlompat maju dengan pedangnya diarahkan ke dadanya. Ia terkejut pula, karena ia mengarti ancaman bahaya itu. Dengan sebat ia bergerak untuk menutup diri berb areng membangkol tangan si nona. Hanya kembali ia kecele. Sin Tjoe tertawa, ia menarik pulang pedang- nya, di sebelah itu, ia menyodorkan toya orang, maka mau atau tidak, Toamo Sinlong mencekalnya itu! "Bagus!" seru si nona. "Kita sekarang sama-sama memegang senjata! Jadi kita tida k kipa! Nah, kau berhati-hatilah menyambut aku!" Sin Tjoe segera menyerang dengan Tjengbeng kiam, ujung pedangnya itu dengan sali ng susul mencari dua jalan darah tjiangboen di kiri dan hoantiauw di kanan. Heba tnya gerakan itu bagaikan berbareng. "Bagus!" Hamutu berseru. "Kau berani pentang mulut besar, kiranya ilmu pedangmu berada di atasannya bocah itu!" Dia terus mainkan toyanya, hingga anginnya menderu-deru. Bukan saja toya itu terbuat daripada baja pilihan, jurusnya pun terdiri dari seratus delapan semuanya bersifat keras, maka toya itu tak takuti pedang mustika. Sin Tjoe tidak sudi keras melawan keras, ia main berkelit. Ia menggunai tipu sil at "Tjoanhoa djiauwsie," atau "Menembusi bunga, memutarkan pohon." Ia bergerak sangat lincah seperti cecapung menyambar-nyambar air. "Kenapa kau tidak berani menyambuti?" tanya Hamutu berseru. Tapi baru ia membuka mulutnya, atau ia mesti memutar tubuhnya, karena si nona, yang tidak melayani i a bicara, mendadak berlompat ke samping terus ke belakangnya. Maka perlu ia membela diri seraya terus menyerang juga, untuk menghajar peda ng lawannya. Kembali ia keboge- han. Toyanya itu menangkis angin, sedang si nona, yang berlompat ke sampingnya, lagi-lagi menyerang padanya. Demikian Sin Tjoe berlompat, berputaran, gesit dan lincah. Dalam sengitnya, Toamo Sinlong menghajar dengan toyanya. Untuk kesekian kalinya, si nona dapat berkelit, maka sekarang mejalah yang menjadi sasaran toya, hingga meja itu ambruk! Si nyonya pemilik kedai terkejut, ia sangat menyayangi mejanya itu, maka di sebe lah menjerit-jerit, ia pun memaki dan mengutuk kalang kabutan. Hamutu tidak mem-perdulikan si nyonya tua, hanya ia lebih memerlukan berlompat k e luar loteng. "Mari kita bertempur di luar!" ia menantang sambil menggapai. "Baik!" menyambut Sin Tjoe. "Akan aku membuatnya kau puas takluk!" Dan ia lompat menyusul. Bahkan terus ia menikam ke punggung. Hamutu dapat belajar cerdik sekarang. Ia menutup diri. Di atas ia mainkan "Soath oa kayteng," atau "Bunga salju menutup embun-embunan," di bawah ia menancap diri de ngan "Kouwsie poankin," atau "Pohon kering melingkar akar." Tetap Sin Tjoe dengan caranya berkelahi perputaran, saban ada ketikanya, baru ia menyerang. Karena ini, tetapi Hamutu lebih banyak membela diri. Lama-lama kewal ahan juga jago gurun pasir ini, tak dapat lagi ia membalas menyerang, malah sete lah seratus jurus lewat, napasnya mulai sengal-sengal. Keng Sim menonton dengan melengak. Tidak ia sangka Nona Ie maju demikian pesat. Tadi ia tidak senang mendengar orang Mongolia mengatakan ilmu silatnya kalah daripada si nona, sekarang ia menjadi heran dan kagum, ia likat s endirinya. Sin Tjoe sendiri berkelahi sambil otaknya bekerja. "Toamo Sinlong benar liehay tetapi dia mana dapat menjadi lawannya entjie In Hong?" demikian pikirnya. "Ilmu pedang entjie In Hong ada buah pengajarannya Hok Thian Touw, maka itu, mustahil dia ini dapat membinasakan pemuda she Hok itu? La ginya dia ini, walaupun suka dia berbuat tak pantas, dia bukannya seorang jahat..." Tengah si nona berpikir, terdengarlah seruan Tiauw Im: "Eh, jangan kau bikin dia mampus karena letihnya! Aku masih hendak main-main dengannya!" Sin Tjoe tertawa. "Baiklah!" ia memberi penyahutan. "Di dalam tempo tiga jurus, akan aku bikin dia berlutut dan minta-minta ampun!" Toamo Sinlong mendongkol bukan kepalang, hingga ia berkaok-kaok. Ia merasa sanga t dihina. Dengan gerakan "Loeitian kauwhong" atau "Guntur dan kilat bertempur," ia membuatnya senjatanya bergerak satu seperti sepuluh, dengan begitu rapat seka li ia mengurung dirinya. Ia berseru: "Baiklah! Hendak aku lihat bagaimana dalam tiga jurus kau merobohkan aku! Kecuali akulah s atu mayat!" "Jangan kau gusar tidak keruan!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Kau menjagalah baik- baik!" Nona ini lantas menyerang, sinar pedangnya berkelebatan. "Kau hedak keras lawan keras, itu artinya kau cari mampus!" pikir Hamutu. Ia ter us mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membikin gerakan toyanya bertambah hebat. Mendadak sinar kuning emas menyilaukan mata Hamutu. "Hai, bocah, banyak sekali tingkahmu!" berseru Toamo Sinlong. Ia menggunakan toyanya menghajar jatoh tiga kuntum bunga emas. Lantas ia tertawa dan kata dengan nyaring: "Kau menggunai senjata rahasia? Tidak, aku tidak takut!" Selagi orang mem- buka mulut, Sin Tjoe menyerang pula. Dengan pedangnya ia menikam berbareng dengan itu tangan kirinya mengayun lima bu ah kimhoa, bunga emasnya itu. Sebuah kimhoa melesat ke atas kepalanya Hamutu, membikin kulit kepalanya lecet. Kaget orang Mongolia ini, meskipun empat yang lainnya dapat ia singkirkan. Ia te rkesiap hatinya tapi ia berpikir: "Tinggal lagi satu jurusnya. Baiklah aku menja ga saja senjata rahasianya, aku menyingkir dari pedangnya..." Sin Tjoe tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya itu. Sambil berseru, kemba li ia menyerang, pedang bareng dengan bunga emas. Karena kali ini ia menggunai t ipu "Thianlie sanhoa," atau "Bidadari menyebar bunga," maka bunga emasnya itu terdiri dari satu raup. Sebagaimana biasa, Hamutu membela dirinya, mengurungnya dengan toyanya. Maka tak hentinya suara benterokan, toya terhajar bunga emas, atau bunga emas tersampok toya dan runtuh. "Tiga jurus telah lewat, bagaimana?" bertanya Hamutu sambil tertawa. Tapi, baru ia menanya demikian, atau untuk kagetnya ia mendapatkan, bunga-bunga emas yang t ersampok toya itu pada balik kembali menyerang padanya. Ia kaget, sedang itu wak tu baru saja ia habis menggunai seluruh tenaganya. Ia mencoba mengurung diri pula hanya kali ini ia gaga l. Sebuah kimhoa tepat mengenai lutut- nya, di jalan darah hoantiauw, maka itu tidak tempo lagi, kedua lututnya itu men jadi lemas, hilang tenaganya, tanpa merasa, ia jatuh dengan berlutut. Ia tentu t idak ketahui si nona kali ini menyerang dengan ilmunya seperti boomerang. "Bagaimana?" tanya si nona, tertawa. "Aku membilangnya tiga jurus, tetapi sebenarnya baru dua jurus setengah!" Hamutu tidak lantas menjawab, ia hanya mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membeb askan diri dari totokan bunga emas, setelah mana ia berlompat bangun. Tentu saja ia merasa sangat tidak puas. Sin Tjoe mengawasi dengan tertawa dingin. "Kelihatannya kau tidak puas!" ia berkata. "Kau bertenaga besar, Ie Sin Tjoe tengah bertarung dengan si orang Mongol, Toa-Mo Sin Long.apakah kau suka main-main sama bapak suci ini?" "Memang aku ingin belajar kenal dengannya!" sahut Hamutu nyaring. "Kalau aku kem bali kena dikalahkan, aku akan pulang ke Gurun Utara, untuk selama-lamanya tidak nanti aku datang pula ke Tionggoan!" Tiauw Im pandang orang Mongolia itu. "Kau sudah sangat letih, baik kau beristirahat dulu," ia bilang. "Laginya kau te lah merusaki perabotnya nyonya tua ini, baiklah kau berhitungan dulu dengannya, untuk membayar gantian kerugiannya. Dia berdagang secara kecil, dia tentu bakal rugi besar..." Hamutu gusar sekali. "Keledai botak, kau berani menghina aku?" ia berteriak. Ia merogo sakunya, ia me ngeluar- kan sepotong perak besar, ketika ia timpuki itu ke meja, perak itu melesak masuk ke kayu meja. "Bukankah perak itu cukup untuk membayar kerugiannya? Nah, marila h kita mulai! Mari kita mengadu tenaga!" Tiauw I m Hweeshio tidak lantas menyahuti, hanya dengan perlahan ia menepuk ke m eja, atas mana potongan perak tadi mencelat naik. "Apakah sekarang juga kita mulai?" ia menanya, sabar. "Baiklah! Aku tidak mau menang sendiri. Begini saja..." Ia menancap tongkatnya k e tanah, lalu dengan sebelah tangannya ia memegangi gagang tongkatnya itu, ia me nambahkan: "Kau gunai kedua tanganmu, kau cabut ini, asal kau bisa mencabut hingga separuhnya saja, kaulah yang menang!" Hamutu gusar sekali. Ia merasa sangat terhina. "Perlu apa sampai menggunai dua tangan?" katanya. Ia menyampok dengan sebelah tangannya. Tongkat itu tidak bergeming, bahkan ada seperti tenaga balik, tangannyalah yang bergemetar sesemuatan. "Lebih baik kau menggunai dua-dua tanganmu!" kata Tiauw Im tertawa. Mukanya Hamutu menjadi merah. Sekarang ia memasang kuda-kudanya. Sambil berbuat begitu, ia mengerahkan tenaganya, lalu dengan kedua tangannya, ia memegang tongk at itu. Ia sudah mencabut dengan semua tenaganya, tongkat tetapi tak bergeming. "Jikalau kau sangat memaksakan tenagamu, kau bakal mendapat luka di dalam," Tiau w Im memberi ingat. "Kelihatannya kau satu laki-laki sejati, maka kau pergilah!" Paderi ini menyentuh tongkatnya itu, yang masih dipegangi si orang Mongolia, ata s mana jago gurun pasir ini terpelanting jatuh. Dia menjadi gusar, dia menyambar toyanya. "Mari!" dia menantang. Tiauw Im tertawa tetapi ia menggeleng kepala. "Sungguh kau galak!" katanya. "Inilah yang dibilang, tak ada obat untuk mengobat inya! Kau telah diberi ampun, kau masih tak sadar!" Mendadak paderi ini mengulur tangannya, menyambar ke arah toya. Liehay Hamutu tetapi tak berdaya ia meng- hindarkan diri, toyanya itu kena dirampas. Tiauw Im bawa toya itu ke dengkulnya, terus ia menekan, maka sekejab saja, baja potongan itu menjadi bengkok melengkung. Lalu, sambil tertawa, ia melemparkannya ke tanah, hingga toya itu masuk ke dalam tanah hampir mendam semua! Baru sekarang Toamo Sinlong menjadi sangat lesuh. Habis sudah kegagahannya. Insa flah ia sekarang, orang gagah ada lagi yang melebihkan gagahnya. "Baik," katanya menghela napas. "Kau hendak tanya apa? Tanyakanlah!" "Ada seorang bernama Hok Thian Touw," tanya Sin Tjoe. "Benarkah kau yang membunu h dia itu?" "Siapa itu Hok Thian Touw?" jawab Hamutu, "Aku tidak kenal dia!" "Benarkah kau tidak kenal dia?" tanya Sin Tjoe, yang menjadi kegirangan. Tapi ia masih bersangsi. "Bukankah Hek In Tay itu sahabatmu?" "Kalau dia, benar." "Bukankah kau yang menghendaki dia mencari Leng In Hong?" "Mereka sendiri yang pergi mencarinya." "Apakah kau tahu kenapa mereka pergi cari Leng In Hong?" "Hek In Tay itu mau berjual beli denganku." "Jual beli apakah itu?" "Aku mendapat sebuah kitab ilmu pedang, kelihatannya bagus ilmu itu, tetapi kita bnya aku tidak mengarti. Aku periksa itu bersama Hek In Tay beramai. In Tay bila ng itulah sarinya ilmu pedang. Ia bilang juga, kalau semua belasan kitab itu bis a didapatkan dan dipelajari, tak sukar untuk menciptakan sebuah ilmu pedang yang menjagoi sendiri di kolong langit ini. Aku t anya, bagaimana bisa dapat lengkap kitab itu. In Tay mengarti huruf Tionghoa. Ia membilangi aku, menurut catatan di bagian belakang kitab itu ada penjelasan bah wa kitab yang lainnya berada di tangannya seorang wanita bernama Leng In Hong. N ona itu ia kenal. Karena ini ia membuat perjanjian dengan aku, jual beli seperti aku katakan barusan. Ialah ia pergi mencari kitab yang berada di tangannya Leng In Hong, apabila ia berhasil, kita akan sama-sama me-mahamkannya." Sin Tjoe girang berbareng berduka. "Kau sendiri, bagaimana caranya kau mendapatkan kitab pedang itu?" ia tanya, suaranya rada menggetar. "Itulah kejadian pada suatu hari. Di tengah-tengah gurun pasir aku bertemu seora ng muda. Dia keurukan pasir. Aku lantas menolongi dia. Sayang sudah terlalu lama dia terurukan, napasnya tinggal setarikan-setarikan saja. Dia rupanya mengarti yang dia tidak bakal hidup lebih lama, maka di saat ajalnya itu, dia menyerahkan kitab itu padaku dengan minta ak u menyampaikan ke Pataling kepada seorang... Ia belum menyebutkannya nama orang itu, napasnya sudah berhenti. Karena aku tidak tahu, siapa itu yang mesti dicari , aku simpan saja kitab itu. Aku hendak rampas pedangnya ialah supaya aku bisa m eyakinkan kitab ilmu pedang itu, agar aku menjadi ahli pedang tanpa tandingan." Sin Tjoe menggigil sendirinya, ia merasakan hatinya sangat dingin. "Mana kitab itu?" ia menanya pula. Hamutu bersangsi tetapi ia merogo juga ke sakunya. Ia mengeluarkan sejilid buku. "Aku telah terkalahkan olehmu, jikalau kamu menghendaki kitab ini, aku tidak bisa bilang apa-apa," katanya. Tanpa banyak omong lagi, Sin Tjoe menyambuti kitab itu, ia membalik-baliknya dengan cepat. Ia mendapat kenyataan, semua huruf kitab sama dengan huruf-huruf dalam surat palsunya Hek In Tay. Jadi benar katanya In Hong bahwa itulah surat palsu. Jadi kitab ini benar tulisannya Hok Thian Touw sendiri. "Benarkah Hok Thian Touw telah menutup mata?" ia menanya dirinya sendiri. Ia mau percaya Hamutu tetapi ia tetap ragu-ragu. Maka terus ia pegangi kitab itu, hati nya yang dingin bagai membeku itu bekerja terus. Ia seperti kehilangan semangatnya. "Sin Tjoe, kau kenapa?" tanya Keng Sim kaget. Sin Tjoe mendengar seperti tidak mendengar, dengan mende-long ia mengawasi Toamo Sinlong. "Dia... dia benarkah telah mati?" achirnya ia menanya. Ia menanya Hamutu tetapi seperti menanya dirinya sendiri. Suaranya pun menggetar. Toamo Sinlong mengawasi, ia heran bukan main. Melihat orang demikian b erduka, ia terharu. "Adakah orang itu sanakmu yang terdekat?" ia menanya. "Ah, orang sudah mati mana dapat hidup pula? Nona, jangan kau terlalu bersusah hati..." Sin Tjoe menahan keluarnya air matanya. Ia mengangkat tangannya. "Aku sudah selesai bicara, kau pergilah!" ia bilang. "Orang yang si anak muda mi nta kau cari benar sahabatku, kitab ini mesti dikembalikan padanya, nanti aku ya ng mengembalikannya." "Baiklah," menyahut si orang Mongolia. "Aku memang tidak mengarti kitab itu, kau justeru mempunyai pedang, biarlah kau dapat menyampai maksudmu. Aku tidak perdu li kau serahkan itu kitab kepada lain orang atau kau sendiri yang meng- gunainya." Hamutu ini membawa sikapnya satu laki-laki. Sebenarnya tidak ingin ia menyerahka n kitab itu, tetapi dua kali ia dikalahkan secara mutlak, semangatnya menjadi runtuh, maka ia suka mengalah. Itu waktu terdengarlah suaranya Tie Hian, si taydjin atau orang besar yang menja di siewie atau pahlawan yang bersenjatakan golok yang kelasnya kelas empat. Kata nya: "Hamutu, bukankah kau hendak pergi ke Selatan? Aku telah menemani kau sampa i di sini, habis sekarang kau hendak pergi seorang diri..." Tie Hian ini tidak liehay sekali ilmu silatnya, lebih liehay ialah mulutnya. Mak a itu ia membantui Yang Tjong Hay dengan me-ngandali mulutnya itu, untuk membujuki orang-orang kangouw yang kenamaan. Dan tahun dulu pernah ia memb ujuki Liauw Hian, seorang paderi murtad dari Siauwlim Sie, hanya kemudian, Liauw Hian itu menjauhkan diri, karena mana, Tjong Hay telah sesalkan dan tegur padan ya. Sekarang ia mendengar kabar Hamutu mau ke Tionggoan, ia tahu orang liehay, ia me ncari dan menemuinya, untuk ditempel sebagai sahabat. Ia pandai bicara, ia berha sil. Maka ia menemaninya, untuk mencari Hek In Tay. Ia percaya, kalau ia berhasi l membawa Hamutu kepada Yang Tjong Hay, ia dapat menebus kesalahannya mengenai urusan Liau w Hian itu. Maka cemaslah hatinya, disebabkan telah berhati tawar, orang Mongoli a itu ber- jalan terus saja, tak menoleh sekali jua. "Kitab ilmu pedang juga aku tidak menghendakinya lagi, maka perlu aku apa pergi terus ke Selatan?" sahutnya dingin. "Jikalau kau nanti bertemu sama Hek In Tay, tolong bilangi saja bahwa jual beli kita aku telah bikin habis, umpama kata dia berhasil memperoleh itu tiga belas jilid kitab lainnya dari tangan Leng In Hong, biarlah itu dipunyakan dia sendiri." Cepat jalannya orang Mongolia ini, sebentar saja ia sudah melalui satu lie lebih . "Eh! eh!" berseru Tie Hian. "Kau sudah pergi, bagaimana dengan aku?" Siewie ini takut bukan main. Sin Tjoe tengah berduka dan tak sabaran, mendengar itu, ia berkata: "Jikalau selanjutnya kau suka menjadi orang baik-baik dan tidak lagi menjadi gundalnya Ya ng Tjong Hay, suka aku memberi ampun pada jiwamu!" "Terserah kepadamu, liehiap1." menyahut Tie Hian. Sin Tjoe geraki pedangnya, dengan itu ia menyontek putus tulang piepee si pahlaw an kaisar, kemudian ia membebaskan totokan-nya seraya berkata: "Pergilah kau!" Tie Hian dapat bergerak pula tetapi karena tulang piepee-nya sudah putus, walaup un jiwanya ketolongan, ilmu silatnya telah musnah, maka itu, ia tinggal hidup dengan tidak lagi mun cul dalam dunia kangouw. "Sungguh mempuas-kan!" achirnya Keng Sim tertawa. Sebaliknya Sin Tjoe tidak dapat menahan kesedihannya, air matanya turun berc ucuran. "Sebenarnya siapa yang telah menutup mata maka kau menjadi begini berduka?" menanya Tiauw Im Hweeshio heran. "Karena Hok Thian Touw benar-benar telah meninggal dunia," sahut si nona samb il menangis terus. Ia sesenggukan. "Siapa itu Hok Thian Touw?" Keng Sim tanya, hatinya dingin. Ia mau percaya Hok T hian Touw itu tentu ada mempunyai hubungan sangat erat dengan si nona. Sin Tjoe menepas air mata. "Dialah sahabatnya erttjie In Hong semenjak mereka sama-sama kecil," ia menyahut sesaat kemudian. "Kau maksudkan Tjeetjoe Leng In Hong itu?" Keng Sim menegasi. "Benar. Sampai sekarang entjie In Hong masih menantikan dia." Keng Sim merasa lega hingga hampir ia tertawa. Ia menguasai dirinya. "Kalau begitu, pantaslah kalau Leng In Hong yang menangis sedih untuknya," ia ka ta kemudian. "Dia mungkin orang gagah, tetapi di kolong langit yang luas ini, ba nyak yang mati muda. Mana bisa kau tangisi mereka itu? Apakah kau kenal orang sh e Hok itu?" Sin Tjoe mendongkol mendengar pertanyaan itu. Ia memang lagi sangat berduka. "Dengannya belum pernah aku bertemu muka!" sahutnya keras. "Dia jangkung atau ka te, dia gemuk atau kurus, aku tidak tahu! Tapi aku mengagumi untuk semang atnya untuk menciptakan suatu partai baru dan aku bersedih karena terpisahnya dia dari entjie Leng. Dia menutup mata di luar tahunya entjie Leng. Kenapa kau melarang aku menangis?" Nona ini menjadi mendongkol. "Kalau begitu, kau menangislah!" kata Keng Sim, yang paksakan diri tertawa. "Syukur asal kau tidak merusak kesehatanmu ..." Di dalam hatinya, ia menambahkan: "Kiranya dia berduka untuk kekasihnya lain orang..." Ia tidak kuatir lagi, ia cu ma heran. Keng Sim tidak tahu, Sin Tjoe menangis, sebagian untuk nasib malang dari In Hong , sebagian untuk nasibnya sendiri. Benar ia relah menyerahkan Seng Lim kepada In Hong, di dalam h atinya ia tetap masih merasa berat, ia mengharap Thian Touw tidak mati. Hanya sekarang harapannya itu sudah ludas. Ia menangis sambil memujinya kebahagian-nya In Hong dengan Seng Lim, di lain pihak, ia menangisi dirinya sendiri. Sebagai seorang lain, Keng Sim tak dapat mengarti sifatnya seorang anak dara... Sejak hari itu, hilanglah kegembiraannya Sin Tjoe. Keng Sim ketahui itu, ia teru s membungkam, tidak berani ia membangkitkan rasa tak senang si nona. Lewat dua hari, tibalah mereka di Hangtjioe. Rumah Keng Sim adanya di tepi Seeou w, Telaga Barat, ia mengundang Sin Tjoe untuk mampir buat dua hari. Mulanya Sin Tjoe hendak menolak, tetapi kapan ia ingat pemuda itu sudah lama berpisah dari rumahn ya, sekarang mereka pun mau menuju ke kota raja, sedang Tiauw Im juga ingin meny ambangi sahabat di kuil Lengin Sie, ia menerimanya juga undangan itu. Tiat Hong ialah ayahnya Keng Sim, yang ada lepasan giesoe , dan namanya jadi ter kenal karena berani menentang dorna Ong Tjin, berada di rumahnya. Ia girang meli hat puteranya pulang dengan mengajak seorang nona cantik. Tapi ia terkejut akan mengetahui nona itu ada puterinya Ie Kiam. Maka ia menerima si nona dengan terpaksa. Sesudah bicara sama si nona, yang berlaku polos, Tiat Hong berpikir banyak. Ia memang tidak senang pemerintah mempercayai segala dorna, tetapi ia pun tidak setujui sikapnya orang- orang seperti Yap Tjong Lioe dan Pit Kheng Thian, yang menggunai kekerasan melawan pemerintah. Ia tetap sama sifatnya, setia kepada pemerintah, s ebab siapa makan gaji dari kaisar, dia mesti bekerja untuk kaisar. Ia mengagumi Ie Kiam, yang binasa untuk negara, ia menyesali kematian itu, meski begitu, tak setuju ia orang memberontak. Maka ia menasihati si nona untuk membawa diri baik- baik, supaya dia tidak sampai terjatuh di dalam tangan dorna. Ia juga menganjuri puteranya membawa diri dan jalan di jalan yang benar, supaya putera ini tidak t ersesat, agar dia tetap berada di dalam keluarga sasterawan, jangan sampai hidup sebagai orang kangouw... Sin Tjoe kagumi Tiat Hong sebagai rekan ayahnya almarhum tetapi ia tidak setuju cita-cita atau cara hidupnya bekas giesoe i ni, yang berkukuh setia kepada pemerintah meskipun tindakan kaisar sesat. Ia tentu saja tidak mau membantah tuan rumah ini, maka itu, habis bersantap malam, dengan alasan letih, ia meminta diri untuk lantas beristirahat. Tiat Hong menyediakan sebuah kamar yang jendelanya menghadapi telaga, menghadapi gunung Kouw San. Si nona tengah berduka, malam itu sukar ia mendapat pulas, mak a itu ia pergi ke jendela, memandang jauh ke telaga, ke gunung yang mencil sendi rian itu. Ia melihat si Puteri Malam berkaca di permukaan telaga, yang airnya bening, sedang gunung Kouw San ada seumpama seorang wanita cantik lagi rebah di telaga itu. Kei ndahan malam dari Seeouw tak usah kalah dengan keindahan laut Djiehay atau gunun g Tjhong San di Tali. Menghadapi semua pemandangan malam ini, Sin Tjoe jadi teringat halnya itu malam ia main perahu di laut Djiehay, mengingat hutan batu yang luar biasa, halnya sol okan yang airnya mengalir, hanya sekarang ia telah berpisah ribuan lie dari Seng Lim, rekannya itu. Ia lantas ingat kegagahannya Seng Lim, yang melawan tentera negeri, ia berkuatir untuk itu anak muda, yang semangatnya ia puja. Kemudian ia ingat cita-citanya Keng Sim, untuk tinggal menyendiri di telaga Seeouw ini. B agaimana jauh bedanya cita-cita Keng Sim itu dari Seng Lim yang berangan-angan b esar dan mulia... Tengah nona ini kusut pikirannya, mendadak ia mendapat dengar suara orang di baw ah lauwteng. Tidak nyata suara itu tapi tak lolos dari kuping liehay dari si non a. Itulah suara orang mengundang tetamu masuk. Nyata terdengar tindakan kaki di tangga batu. "Heran di waktu tengah malam begini masih ada tetamu datang?" berpikir nona ini. "Ah, mengapa aku tidak dengar suaranya bujang? Kenapa tidak terdengar juga tert awanya tuan rumah dan tetamunya?" Terus Sin Tjoe heran, achirnya ia jadi curiga. Karena ini, ia jadi semakin susah tidur. Di achirnya, ia merapikan pakai annya, ia pergi ke luar, untuk melihat, atau sedikitnya mencuri dengar pembicara an orang. Dengan ringannya tubuhnya, ia dapat keluar secara diam-diam. Di luar r uang tetamu, ia bergelantungan di payon rumah. Begitu ia mengintai ke dalam, beg itu ia terkejut. Berduduk di dalam ruangan itu adalah tiga orang. Yang pertama ialah tuan rumah. Yang kedua yaitu Tjiehoei Law Tong Soen dari pasukan Gielimkoen. Dan yang ketiga Tiat Keng Sim. "Jangan sungkan, Tiat Taydjin," terdengar suaranya Tong Soen, sangat perlahan. " Tentang teh atau arak, tak usahlah disediakan, karena datangku cuma untuk minta beberapa keterangan dari kongtjoe , habis bicara, hendak aku segera berangkat, tidak berani aku membuat kaget tetamumu yang terhormat itu." Agaknya Tiat Hong terkejut. "Kau ada mempunyai pengajaran apa, Law Taydjin?" ia menanya. "Silahkan kau membe rikan titahmu kepada anakku ini." Mendengar begitu, Tong Soen tertawa. "Untuk memerintahkan, itulah aku tidak berani," sahutnya. "Hal yang sebenarnya adalah begini: Yang Toatjongkoan baru kembali dari Koenbeng, ia mendapat kabar yang Tiat Kongtjoe telah dapat pengharg aan dari Bhok Kokkong, karena mana sekarang Tiat Kongtjoe hendak pergi ke kota raja untuk menyampaikan laporannya Bhok Kokkong itu. Untuk Tiat Kongtjoe, inilah suatu jala n kemajuan yang penuh dengan pengharapan. Sri Baginda sendiri baru-baru ini pern ah bicara dengan kami, Sri Baginda telah menyebut-nyebut nama taijin, maka itu, kalau nanti Sri Baginda melihat kongtjoe, pasti Sri Baginda bakal jadi girang sekali. Apabila Tiat Kongtjoe mendapat anug erah pangkat, mungkin taydjin bakal turut keluar lagi." "Aku telah berusia lanjut, aku tidak mengharapi pangkat lagi," berkata Tiat Hong . "Mengenai puteraku ini, aku mengharap bantuan taydjin semua." "Kata-kata yang baik, taydjin1. Hanya satu hal hendak aku men gatakannya kepada kongtjoe, apabila kongtjoe dapat menghadap Sri Baginda, sekali-kali janganlah ia membawa pedang ya ng berada di pinggangnya." Tiat Hong heran. "Pedang apakah itu?" ia tanya. Tong Soen menunjuk kepada Keng Sim. "Pedang di tubuh kongtjoe itu ialah pedang asal dari istana," ia memberitahu. Ayah itu menjadi kaget. "Keng Sim, dari mana kau dapatkannya itu?" ia menanya. "Benar begitu," Tong Soen menimbrung. "Inilah justeru yang aku hendak mohon penj elasannya dari kongtjoe1." Keng Sim tidak menjadi heran atau gentar atas pertanyaan komandan Gielimkoen itu. "Baiklah," sahutnya. "Law Taydjin mau menanyakan aku dari mana aku peroleh ini, tetapi hendak aku menanya dulu, di tempat manakah taydjin telah membuatnya pedang ini lenyap?" Ditanya begitu, Tong Soen tertawa lebar. Nyata ia tak dapat digertak. "Pedang dari istana ini mulanya dicuri oleh penjahat terbang yang bernama Tjio K eng To," ia menyahut, lancar. "Aku berterima kasih, kongtjoe, yang tahun dulu ka u dapat memintanya dari Keng To itu dan menyerahkannya padaku. Apa lacur, pedang ini kemudian dapat dirampas Ouw Bong Hoe yang menjadi koncohnya Thio Tan Hong. Sekarang pedang ini kembali ada pada kongtjoe. Inilah terang kecuali kongtjoe ad a mempunyakan ikatan guru dan murid dengan Tjio Keng To, kongtjoe pun ada hubu ngannya dengan Thio Tan Hong." Tiat Hong terkejut hingga ia melengak. "Anakku ini belum tahu apa-apa, tanpa sadar ia berhubungan sama orang jahat, ini lah benar," ia berkata. "Tentang ini, aku minta sukalah taydjin memaafkannya. Ka rena pedang ada milik istana, Keng Sim, lekas kau kembalikan itu kepada Law Tayd jin agar Law Taydjin dapat menunaikan tugasnya." "Inilah milik guruku," berkata Keng Sim, "maka itu, biarnya aku dibunuh, akan ak u bertanggung jawab. Tentang ini tidak ada hubungannya sama ayahku." "Keng Sim, kau... kau... kenapa kau bicara begini rupa?" ayah itu menegur. Tong Soen tertawa. "Tiat Kongtjoe omong dari hal yang benar," ia berkata. "Memang pedang ini milik istana, tetapi artinya tidak sebera pa, maka itu asal kongtjoe dapat membantu aku di dalam soal yang kedua, biarlah pedang ini tetap ada pada kongtjoe, aku akan tidak melaporkannya kepada Sri Bagi nda." Bagi Keng Sim, ia mengharap urusan tidak menyangkut ayahnya, sebaliknya, ia bera t untuk menyerahkan pedang itu, sekarang komandan Gielimkoen ini bicara lunak, i a pun bersikap sama lunaknya. Ia memberi hormat ketika ia menjawab, "Silahkan bicara, taydjin ii Tong Soen tertawa. "Hendak aku menanya, siapa itu tetamu kongtjoe?" tanyanya. Pertanyaan ini membuatnya Tiat Giesoe menjadi terlebih kaget lagi. Tetapi sa ng putera sebaliknya tertawa. "Law Taydjin adalah tjiehoei dari kelas dua, tetapi toh Taydjin sendiri yang mel akukan tugas mengunci dari mencari rahasianya segala orang kangouw1." Tong Soen tertawa pula. "Kalau dia orang kangouw biasa, memang tidak usah aku turun tanga n sendiri," ia menyahut terus terang, "tetapi dialah nona berharga puter inya Ie Kokioo, inilah lain, dengan menguntit dia, kehormatanku tidak menjadi terhina. Tiat Taydjin, kau niscaya ketahui baik tentang tetamumu yang terhormat itu. Taydjin sendiri toh yang melayani dia!" Mendengar ayahnya didesak secara demikian, Keng Sim menjadi gusar. Ia memegang g agang pedangnya. "Law Taydjin, kau menghendaki apa?" ia tanya. "Untuk ini hendak aku melihat dulu, kongtjoe sendiri hendak berbuat bagaimana?" balik bertanya komandan Gielimkoen itu. "Jikalau kau hendak menawan dia di dalam rumahku ini," berkata Si anak muda, mem berikan jawabannya, "aku kenal kau tetapi pedangku ini tidak!" Mendengar jawaban itu, hati Sin Tjoe tergerak juga. Ia mendengari terus. "Kongtjoe, walaupun pedangmu tajam, aku Law Tong Soen, aku tidak jeri!" berkata komandan itu sambil tertawa. "Umpama kata kau dapat membunuh aku, kau pun tidak bakal bebas dari hukuman rumah tangga dan keluargamu bakal dihukum mati sem ua. Apakah kamu keluarga Tiat tidak memikirkan itu semua?" Tiat Hong pun sudah memikir nekat, tetapi mendengar kata-kata Tong Soen ini, yan g masih memberi nasihat, ia merubah pula pikirannya. "Law Taydjin," ia berkata, "aku minta sukalah kau mengangkat tanganmu, nanti aku Tiat Hong akan membalas budimu ini." Tong Soen tertawa. "Biarnya pangkatku pangkat miskin, aku masih tidak mengharap pembalasan budimu, taydjin," ia berkata, sikapnya agung. "Mengenai urusan ini, j ikalau bantuanku hendak diminta, maka hendak aku minta Tiat Kongtjoe, sukakah dia membant u aku atau tidak..." "Untuk itu baiklah disebutkan dulu, sebe- narnya urusan apa itu," kata Keng Sim. "Aku dengar kongtjoe baru kembali dari Selatan," berkata Tong Soen, "katanya kau bersahabat erat dengan Yap Tjong Lioe dan Pit Kheng Thian." Kembali Tiat Hong kaget. Satu gelombang belum tenang, datang gelombang lain. "Anakku telah membaca kitab syair semenjak dia kecil," ia berkata, "meski benar ia suka merantau, yang bersih akan tetap bersih, yang kotor akan tetap kotor, da ri itu aku percaya dia tidaklah nanti bergaul sama segala orang jahat..." "Tentang kongtjoe, aku mengetahui juga sedikit. Karena itu, tidak nanti sekarang aku bicara dengan kongtjoe sendiri." "Sebenarnya dalam hal apa kau mau minta ban- tuanku?" Keng Sim menanya tegas. "Biarlah aku omong terus terang. Dua pemberontak she Yap dan she Pit itu dipanda ng pemerintah sebagai penyakit berat di dalam perut, maka itu sekarang telah dik erahkan beberapa rombongan tentera untuk membasmi mereka. Di Tjiatkang, pasukan perang dipimpin sendiri oleh Soenboe Thio Kie. Pada itu aku si orang she Law tur ut memberikan bantuanku. Sekarang ini pemerintah lagi membutuhkan bantuannya ora ng-orang gagah yang mengetahui jelas perihal kaum pemberontak itu. Apakah kongtj oe berminat untuk mendirikan jasa?" Keng Sim mengerutkan kening. Di dalam hatinya ia berpikir: "Biarnya aku tidak menghargai Tjong Lioe dan Kheng Thian, dengan aku membawa tentera menyerang mereka, apakah aku tidak bakal melukai hatinya Sin Tjoe?" Tapi ia mesti menjawab , maka lekas ia menyahuti: "Tidak ada minatku untuk mendirikan jasa dari kalangan ketenteraan. L aginya aku tengah menerima tugas dari Bhok Kokkong untuk untuk pergi ke kota raj a." "Bhok Kokkong sudah mengirimkan laporannya," berkata Tong Soen. "Bahwa kongtjoe diutus pula, tak lain tak bukan, ia hendak mpmujikan kongtjoe kepada Sri Baginda . Lebih dulu membasmi pemberontak, habis itu baru pergi ke kota raja, bukankah i tu terlebih sampurna?" "Tidak, aku tidak dapat berbuat begitu!" kata Keng Sim, yang sebenarnya ketarik hati sebab orang toh puji padanya. Ia mem ang gemar diangkat-angkat. Tong Soen tertawa tawar. "Kalau kongtjoe tidak mau pergi, aku tidak dapat memaksa," ia berkata. "Sekarang bagaimana dengan halnya pedang milik istana dan puterinya Ie Kiam itu? Ah, begini saja: Bukankah kongtjoe pandai ilmu surat? Maka silahkan kongtjoe menulis tentang keadaan kaum pemberontak, sebegitu jauh yang kongtjoe dapat ketahui, lalu kongtjoe menjelaska n caranya kita menyerang mereka." Keng Sim tertawa dingin. "Pit Kheng Thian itu machluk apa hingga dia dapat penghargaan begini dari kamu?" ia tanya. "Tentang Yap Tjong Lioe, dia telah didesak pergi oleh Pit Kheng Thian itu. Apakah kamu masih belum tahu Kheng Thian sekarang adalah sebagai sepotong balok yang tak dapat men ahan sebuah gedung?" "Benarkah begitu?" tanya Tong Soen girang. "Ah, inilah penting sekali! Kongtjoe , coba kau menjelaskan pula beberapa hal lainnya." Mendengar pembicaraan itu, Sin Tjoe gusar berbareng bingung. Rahasianya Kheng Th ian itu jadinya sudah dibeber. Ia mendengar lebih jauh, ia tidak mendengar pembi caraan, hanya kupingnya dapat menangkap suara pit bekerja. Ia gusar hampir ia ti dak dapat menguasai dirinya lagi. Achirnya, ia menghela napas. Tidak sudi ia men gintai pula, lantas ia kembali ke kamarnya, akan menyalin pakaian, setelah mana ia menulis surat perpis ahan kepada Keng Sim. Pernah Nona Ie ber-susah hati, pernah ia hilang harapan atas Keng Sim, tetapi se karanglah yang paling hebat. Sungguh ia tidak sangka Keng Sim relah menjual raha sia militer kaum pejuang kebang-saan, untuk pemerintah dapat menumpas tentera rakyat suka rela. Benar Keng Sim berbuat begitu untuk melindungi ia, tet api itulah tindakan yang membuat hatinya sakit. Memang ia tidak puas terhadap Kh eng Thian tetapi hatinya tetap berada di pihak tentera rakyat. Benar-benar ia ti dak mengarti Keng Sim. Seorang diri, dengan diam-diam, Sin Tjoe keluar dari kamarnya. Ia cari kudanya, lantas ia pergi. Ia pergi tanpa menoleh pula ke belakang. Maka juga, ketika Keng Sim ketah ui kepergiannya, si nona sudah pergi jauh, tak dapat ia disusul lagi. Setengah bulan kemudian, Nona Ie telah tiba di kota raja. Itulah kota tak asing untuknya, karena da dibesarkan di Pakkhia. Hanya dulu ia adalah puterinya seoran g menteri besar, yang besar juga jasanya untuk negara, sekarang ia menjadi seorang kangouw perantauan. Bahkan ia pulang dengan diam-diam, sebab ia pun terhitung sebagai "penjahat yang tengah dicari" pemerintah. Menging at tentang dirinya, nona ini menyesal, hatinya risau. Syukur, karena menyamar sebagai seorang pemuda, tidak ada orang yang menge- nalinya. Langsung ia menuju ke rumah Tjo An, sahabat kekal dari ayahnya. Tjo An itu ada seorang kebiri yang sudah lanjut usianya, yang telah mengundurkan diri. Ketika dulu ia melayani raja almarhum, ia berjasa. Itu sebabnya ia diijin kan mengundurkan diri, supaya dirawat anak cucunya. Tatkala Ie Kiam dihukum mati, sekalipun menteri- menteri yang pernah ditunjang olehnya, pada menutup mulut, adalah Tjo An seorang , yang berani meminta kepada kaisar untuk mengurus jenazahnya. Raja menerima bai k permintaan itu karena kebetulan kepala Ie Kiam dicuri Pit Kheng Thian. Sebagai alasan raja ini menunjuk bahwa Ie Kiam adalah menteri dari dua kaisar. Kemudian lagi, Kheng Thian pun dapat bantuan orang kebiri ini maka tubuh dan kepala Ie Kokloo dapat d ipersatukan dan dikubur di Hangtjioe. Berhubung dengan itu, Kheng Thian membangg akan jasanya kepada Sin Tjoe, sebenarnya ia mendapat bantuan berharga dari orang kebiri ini. Bukan main girangnya Tjo An melihat Nona Ie. Nona ini menerangkan ia ingin menum pang tinggal tetapi ia kuatir nanti merembet-rembetnya. Atas itu dengan berseman gat Tjo An kata: "Beruntun aku telah melayani tiga kaisar, sekarang ini aku ting gal dimasuki ke dalam peti, umpama kata aku ditangkap, paling banyak aku toh mati sekali. Apalagi sekarang aku belum dihadiahkan kematian!" Dengan memperoleh jawaban itu, maka tenanglah hati si nona menumpang pada itu sa habat ayahnya. Tjo An tinggal di dekat pintu kota barat, rumahnya itu terpisah jauh dari bagian kota yang ramai, tetapi meski begitu, walaupun usianya sudah tua, ia suka pergi ke kota untuk mendengar- dengar kabar untuk kebaikannya si nona, bahkan ia pergi memasuki istana bertemu sama bekas rekannya yang menjadi kepala, dari siapa ia mengharap kabar penting. Hanya mengenai datangnya puteri Iran ke kota raja, tidak ada kabar ceritanya. Hi ngga Sin Tjoe menjadi heran dan gelisah sendirinya. Bukankah Keng Sim membilang gurunya mengantar puteri itu ke kota raja? Bukankah mereka cuma ketinggalan kira satu bulan? Sudah seharusnya gurunya itu dan si puteri Iran tiba di kota raja ini. Satu bulan Sin Tjoe berdiam sama Tjo An. Kecuali memikirkan gurunya, ia pun memikirkan Seng Lim. Ia menguatirkan keselamatan pemuda itu, yan g diserang oleh angkatan perang negara. Mestinya Kheng Thian tidak sudi membantu si pemuda. Pada suatu hari, saking pepat pikiran, si nona berjalan seorang diri. Tiba di lu ar kota, ia mendengar riuh suara tetabuan. Setelah menanya-nanya orang yang hendak pergi menonton, baru ia ketahui di sana ada seor ang hartawan yang lagi merayakan pernikahan puterinya. Saking isang, ia bertinda k ke tempat keramaian itu, untuk menyaksikan. *** Tuan rumah rupanya berharta besar. Di dalam pekarangannya ia membangun sebuah pa nggung yang besar, untuk wayang yang ditanggapnya. Di sana terlihat sererotan pengemis bertindak masuk ke dalam pekarangan itu. Sebab biasanya hartawan-hartaw an di kota raja, dalam pesta nikah atau tengah kematian anggauta keluarganya, suka mengamal pada kaum pengemis. Kawanan pengemis itu pun tahu diri, mereka memegang tata tertib, setelah menerima amal, dengan rapi mere ka mengundurkan diri, tidak pernah mereka datang untuk kedua kalinya atau membikin ribut. Penduduk Pakkhia mengenal aturan, sampaikan pengemisnya tak jadi kecuali. Sin Tjoe dari kecil hidup di Pakkhia, ia ketahui baik kebiasaan ini, maka ia tidak menjadi heran. Selagi si nona berdiri mengawasi, ia tampak satu pengemis muda, usianya kurang l ebih dua puluh tahun, mendatangi dengan tindakan cepat. Bungkusan yang dia gendo l beda daripada buntalan pengemis yang umum. Buntalannya ini terbikin dari tiga potong cita masing-masing berwarna merah, hitam dan putih, pada itu ada tujuh bu ntalan benangnya. Banyak pengemis yang lebih tua, yang mengalah pada dia ini. Meski si nona heran tetapi ia tahu aturan kaum pengemis. Pengemis dengan dan danan sebagai itu terang tengah menjalankan tugas menyampaikan berita penting dari pem impinnya. Tujuh buntalan benang itu menandakan dialah murid pengemis tingkat tujuh. Di dalam kalangan pengemis, kecuali pangtjoe, yang buntalannya sembilan, ialah yang paling dihormati, bahkan yang berbuntal tujuh ini pun langka. Dalam herannya itu, Sin Tjoe berpikir: "Pit Kheng Thian, sebagai pangtjoe dari P artai Pengemis di Utara, juga menjadi toaliongtauw dari delapan belas propinsi, dia bangun di Selatan, tidak lama lagi dia bakal mengangkat dirinya menjadi raja . Karena orang-orang penting dari Partai Pengemis di Utara berduyun-duyun pada p ergi ke Selatan. Maka juga kenapa sekarang di kota raja ini masih ada seorang pengemis tingkat ke tujuh yang belum pergi ke Selatan itu?" Diam-diam Nona Ie perhatikan gerak- geriknya pengemis muda itu. Dia berdesakan maju ke depan, dia berbisik dengan seorang pengemis tua dan bercacat, lalu tanpa menerima amal, dia mengundurkan diri cepat-cepat. Tera ng sudah bahwa dia hendak pergi ke tempat yang kedua untuk menyampaikan beritany a. Masih Sin Tjoe menguntit. Pengemis itu keluar dari kota, menuju langsung ke See San, Gunung Barat. Setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, Nona Ie melekaskan tindakannya, melewati pengemis itu, akan di lain saat ia memutar tubuh, untuk menghalangi perjalanan orang. Terkejut pengemis muda itu akan menyaksikan ada orang yang menguntit padanya. "Siangkong, mengapa kau memegat aku?" dia menanya seraya mementang lebar matanya. "Aku adalah pelayan tetamu dari keluarga hartawan tadi," Sin Tjoe memberikan pe- nyahutannya, "tugasku yaitu membagi-bagi uang arak dan makanan kepada kamu, maka kenapa, walaupun sudah masuk ke dalam, kau tidak menerima amal? Apakah itu bukan berarti kau tida k memandang hormat kepada tuan rumah?" Pengemis itu tercengang, lalu ia memberi hormat dan menyahuti: "Sebenarnya datan gku terlambat, dari itu tidak- lah mentaati peraturan yang aku maju ke depan. Ada sebabnya mengapa aku berbuat demikian. Hari ini terlalu banyak pengemis yang hadir, aku tidak sabaran menanti sampai giliranku, karena itu aku mendesak ke depan untuk berbicara dengan beberapa reka nku, untuk memesan buat mereka tolong mewakilkan aku menerima amal bagianku itu." "Jikalau begitu, mari kembali kau turut aku, aku akan lantas mendahului yang lai n memberikan amalmu," berkata si nona sengaja. "Terima kasib, terima kasih, aku tak berani membikin susah," menampik pengemis m uda itu. "Tidak dapat kau bersikap begini. Dengan menampik berarti kau melanggar aturan!" Pengemis itu heran hingga ia menjadi tidak senang. "Tidak pernah aku mendengar semacam aturan!" katanya keras. "Aku sendiri tidak m enghendakinya, dapatkah kau memaksa aku?" "Benar, aku justeru hendak memaksa kau menerimanya!" jawab Sin Tjoe. "Ah, kau rupanya sengaja hendak mempermainkan aku si pengemis melarat!" ia meneg ur. "Aku tidak mempunyai luang tempo untuk pasang omong denganmu! Kau hendak mem beri aku jalan atau tidak?" "Tidak mempunyai luang tempo?" tanya si nona. "Ha! Sampai pun menerima amal tida k ada tempo! Sebenarnya kenapa kau bagini tergesa-gesa?" "Urusan kami si pengemis melarat ada apa sangkutannya dengan kaum orang hartawan?" pengemis itu balik menanya. Ia gusar sekali. "Ah, jikalau kau tidak membagi jalan, maaf, aku terpaksa berlaku tak hormat kepada kau, tuan! " Dia lantas mengangkat tongkatnya hingga terdengar siuran angin. Nampak nyata dia mengarti ilmu silat. Nona Ie bersenyum. "Belum pernah aku menampak pengemis dengan kelakuan seper-timu ini," katanya sab ar. "Kau tidak menghendaki amal! Tidak, aku, justeru ingin kau kembali!" Mendadak Sin Tjoe menolak ujung tongkat si pengemis, atas mana pengemis itu terh uyung mundur beberapa tindak. Tentu sekali, dia menjadi kaget. "Aku juga belum pernah menemui orang semacam kau yang memaksakan hendak memberi amal!" katanya sengit. "Kau orang macam apakah?" Sin Tjoe tertawa geli, sambil tertawa ia angkat tangan kirinya menunju k kepada langit, dengan tangan kanannya ia menunjuk pada bumi, kemudian kedua tangannya itu membuat sebuah ling karan bundar, sembari berbuat demikian, ia berkata-kata dengan nyaring: "Dengan langit sebagai tutup dan bumi sebagai gubuk, dengan lima telaga dan empat lautan menjadi rumah, aku si pengemis malas memangku pangkat, maka itu dengarlah aku m enyanyikan lagi Lianhoa Lok." Lagu "Lianhoa Lok" ialah lagu kaum pengemis. Dan kata-kata si nona ini adalah ka ta-kata rahasia di dalam Partai Pengemis. Sin Tjoe mendengarnya itu dari Pit Kheng Thian. Kheng Thian memberikan berapa ru pa keterangan untuk membuat senang hatinya si nona, siapa tahu sekarang Sin Tjoe dapat menggunai itu . Pengemis itu terkejut. "Kau... kau juga ang-gauta Partai kami?" dia menanya. Dia mementang mata lebar-l ebar sebab dia melihat pakaian orang yang bagus. Sin Tjoe tertawa. "Kau heran melihat pakaian bagus dari aku?" ia tanya. "Partai Pengemis sekarang tak dapat dibandingkan dengan masa yang telah lampau. Pit Toal iongtauw kami tak seberapa lama lagi akan mengenakan jubah naga! Selama aku berdiam di Selatan, aku memakai kepangkatanku! Ada apakah y ang aneh?" "Kau pun datang dari Selatan?" pengemis itu tanya, dia tetap heran. "Ah, habis k enapa kau bicara bagini denganku?" "Aku ini diutus oleh Pit Toaliongtauw untuk menyerap-nyerapi kabar," Sin Tjoe me ngarang cerita. "Sudah dua bulan aku tiba di sini, tidak berani aku sembarang me mperlihatkan diri asalku. Hari ini aku melihat kau saudara dari tingkat ke tujuh membawa berita, aku kuatir ada terjadi sesuatu yang penting, dari itu aku menan yakan kepadamu." Mendengar keterangan si nona, kesang-siannya pengemis muda itu lenyap delapan at au sembilan bagian. "Tengah malam ini di Pitmo Giam," katanya sesaat kemudian. "Di Pitmo Giam untuk apa?" Sin Tjoe tanya. "Kau murid ke tujuh, siapakah kau?" Mendadak saja, pengemis muda itu menjadi gusar. "Kiranya kau si kuku garuda!" dia membentak. Lalu dengan tongkatnya, dia menyera ng. Adalah aturan kaum pengemis itu, kalau ada rapat, seorang anggau-ta dilarang men anyakan melit-melit, Sin Tjoe tidak ketahui itu, ia membuka rahasia sendiri. Nona Ie berkelit. "Maafkan aku!" katanya tertawa. "Aku bukan hamba negeri tetapi aku pun tidak aka n mengijinkan kau mengangkat kaki!" Pengemis itu menyerang pula, tetapi kali ini untuk menggertak saja. Dia mendapat kenyataan dia tidak sanggup melawan perintang jalan itu, dari itu, setelah gertakannya itu, dia memutar tubuh untuk melarikan diri. Tapi Sin Tjoe sangat liehay, ia dapat mendahului men otok orang hingga orang menjadi tidak berdaya, sesudah mana, ia bawa pengemis mu da ini ke sebuah guha di kaki bukit. Ia menotok dengan totokan yang dapat bertah an dua belas jam, selewatnya itu pengemis ini bakal bebas sendirinya. Ketika ia hendak berlalu, ia meninggalkan rangsum dan uang perak satu potong, sembari tertawa ia berkata: "Kalau sebentar malam kau merdeka, setibanya di Pitmo Giam m asih dapat kau menemukan aku. Tidak apa sekarang kau menderita sedikit, toh poto ngan perak ini cukup sebagai upahmu..." Pitmo Giam itu, jurang Hantu ialah suatu tempat tersembunyi di gunung See San ini. Di situ ada sebuah batu besar mirip patung, yang romannya be ngis, di bawah itu ada sebuah lubang yang dalam, maka itu dinamakan Pitmo Giam. Sin Tjoe bernyali besar, maka itu sekalipun di waktu magrib, seorang diri ia per gi ke sana. Ia mengenakan yahengie, pakaian peranti jalan malam, dan sebelum ten gah malam tibalah ia di tempat rahasia itu. Ketika ia tiba, ia tidak melihat seo rang juga, maka itu, ia menantikan. Ia melihat si Puteri Malam sudah mendekati t engah- tengah langit. Itu waktu ia menampak atasan sebuah pohon di atas jurang bergerak sedikit, lalu diam pula. "Tak sembarang ilmu ringan tubuh orang itu," nona ini berpikir. "Kalau dia dari Partai Pengemis, dia mesti berada di bawah, kenapa sekarang dia bersembunyi di atas pohon?" Nona ini hendak pergi mencari tahu ketika, "Plok! Plok!" ia mendengar dua kali t epukan tangan, disusul sama sambutan empat kali di sebelah selatan, setelah mana terlihat sejumlah pengemis tiba di Pitmo Giam. Suara mereka itu lan tas terdengar cukup berisik. Sin Tjoe memasang kuping, hingga ia mendapat dengar: "Lao Pit, sekarang ini kau berbahagia!" "Seorang pengemis malas menjadi orang berpangkat, tetapi Lao Pit, cobalah kau bi lang, mana lebih senang, menjadi pengemis atau memangku pangkat?" Itulah pertany aan bergurau. "Eh, ya, Lao Pit, benarkah keadaan di Selatan kurang bagus? Apakah Toaliongtauw mengirim kau ke mari untuk minta bala bantuan?" Lalu terdengar suara yang Nona Ie kenal baik sekali: "Saudara-saudara, jangan kamu main-main. Hari ini aku mengundang kamu berkumpul justeru disebabkan ada urusan penting untuk mana aku, mengharap pengajaran dari kamu." Itulah suara Pit Goan Kiong. Dia biasa omong lucu tetapi kali ini suaranya sungg uh-sungguh. Sin Tjoe heran sekali. "Kiranya Pit Goan Kiong yang menitahkan anggauta Partai Pengemis tingkat ke tuju h itu memanggil rapat rahasia ini," pikirnya. "Pit Goan Kiong menjadi orang kepe rcayaannya Pit Kheng Thian, sekarang keadaan tentera sangat gentingnya, kenapa dia dapat dipisahkan dan diutus ke mar i?" Ia lantas mendengar pula suaranya Pit Goan Kiong itu: "Toaliongtauw mengutus aku datang ke kota raja untuk suatu tugas penting, kecuali aku dan Toaliongtauw sen diri, tidak ada lain orang lagi yang boleh mendapat tahu." Kata-kata ini membuat kaum pengemis heran hingga mereka bungkam Semua. Maka suny ilah tempat rapat rahasia ini. Dengan begitu terdengar jelas ketika seorang yang nadanya tua berkata: "Pit Laotee, kalau begitu, tak selayaknya kau menghimpun rapat ini. Semua saudara di sini aku perca ya betul, meski begitu kita mesti berjaga, maka siapa tidak harusnya mende- ngar, tidak harus dia mendengarnya!" "Mustahil aku tidak mengarti aturan kita?" kata Pit Goan Kiong menyeringai. "Tap i urusan ada sangat penting, aku tidak berdaya, terpaksa aku mengundang kamu ke ra pat ini, untuk kita berdamai." "Kalau begitu penting, baik, kau bicaralah!" berkata orang tua tadi. "Apakah Toaliongtauw melakukan sesuatu kekeliruan?" "Sebenarnya urusan lebih hebat daripada hidup atau matinya Partai kita," menyahu t Pit Goan Kiong. Semua orang menjadi semakin heran, mereka tetap membungkam, cuma semua mata diar ahkan kepada wakil ketua mereka. Goan Kiong menghela napas, lalu ia berkata dengan perlahan. "Setibanya Toaliong-btauw di Selatan, dia telah melakukan sesuatu yang maha besar," demikian katanya. "Itulah usaha yang semenjak dulu kala belum pernah dilakukan oleh Parta i kita." "Memang," berkata satu orang, "dengan Toaliongtauw menjadi kaisar, kaum pengemis menjadi dari bumi yang datar naik ke langit!" Kata yang lain lagi: "Benar Tjoe Goan Tjiang asal pengemis tetapi dia belum mema suki Partai kita, maka itu Toaliongtauw kita ialah orang yang pertama kali dapat merampas dunia!" Akan tetapi Pit Goan Kiong menghela napas. "Walaupun demikian, dunia ini sukar dirampasnya," ia berkata. 11 Toaliongtauw te lah benterok sama Yap Tjong Lioe, dengan begitu sebatang tiang tak dapat menahan sebuah gedung..." Mendengar ini, sejumlah pengemis mengajukan pertanyaan meminta keterangan. Pit Goan Kiong memberikan penjelasannya, sesudah mana, ramailah pengemis-pengemi s itu dengan pelbagai pikirannya. Ada mereka yang membenarkan Pit Kheng Thian, katanya, Kheng Thian pi ntar dan gagah, kalau Yap Tjong Lioe tidak akur dengannya, pantas Tjong Lioe dik esampingkan. Tapi ada juga yang tidak setujui ketua Kaypang itu, sebab alasannya , selagi musuh besar berada di depan mata, tidak layak orang benterok dalam kalangan sendiri. "Hal ini baiklah kita jangan bicarakan dulu," kata suara tua yang tadi. "Layak a tau tidak, kejadian toh sudah berlaku. Menurut aku, soal belum dapat menentukan runtuh atau hidupnya Partai kita." "Benar!" berkata seorang lain. "Sebenarnya Toaliongtauw mengutus kau ke mari unt uk apa hingga kau tidak mentaati aturan kita dan terpaksa mengadakan rapat ini?" Goan Kiong berdiam sekian lama, baru menyahuti, suaranya rada menggetar. "Sekarang ini tentera negeri menyerang dari tiga jurusan," katanya. "Barisan ter depan dari pasukan tengah yang dipimpin oleh Soenboe Thio Kie dari Tjiatkang sud ah melewati kota Oentjioe. Maka itu pasukannya Toaliongtauw sendiri sudah terkur ung di sama tengah. Di timur, pasukannya Yap Seng Lim telah putus perhubungannya, untuk menolong diri sudah sulit baginya, jangan kata untuk pulan g buat memberikan bantuannya..." Orang tua tadi terdengar tertawa lebar. "Apakah artinya itu?" katanya, tenang. Toaliongtauw kita telah mengerek bend era maha mulia, dia sudah membuat peristiwa menggemparkan, kalau dia berhasil, dialah satu enghiong, kalau dia gagal, dia te tap seorang hookiat1. Sekarang ini belum terbukti kita bakal berhasil atau gagal , mengapa kau begini bingung, laoteel" "Benar!" banyak suara menyambut orang tua itu. "Kita semua suka pergi ke Selatan akan masuk menjadi serdadu, kita suka bekerja sama Pit Toaliongtauw, guna sama- sama menghadapi kebahagiaan atau kecelakaan! Kita akan mati puas andaikata kita sudah melakukan sesuatu yang besa r!" Goan Kiong menghela napas pula. "Sayang Toaliongtauw tidak mendengar sendiri suara saudara-saudara ini," katanya masgul. "Bukankah benar itu pembilangan, air yang jauh tak dapat memadamkan api yang dekat? Kamu t ahu, Thio Kie sudah mengirim utusan ke dalam kota yang terkurung untuk memanggil Toaliongtauw menakluk!" "Memanggil menakluk?" tanya si orang tua. "Tidak salah, memanggil menakluk!" Goan Kiong membenarkan. "Thio Kie menjamin pa ngkat Tjongpeng untuk Toaliongtauw." "Habis bagaimana Pit Kheng Thian?" tanya pula si orang tua. " Toaliong tau w kita belum memberikan jawabannya..." "Memang Toaliongtauw kita bukannya orang yang tak bertulang !" seru orang banyak. "Satu pangkat Tjongpeng mana dapat memancing Toaliongt auw kami!" "Memang juga Toaliongtauw tidak melihat mata pada pangkat Tjongpeng," Pit Goan K iong membenarkan. "Hanya dia telah menulis sepucuk surat rahasia, dia memerintah nya aku membawa ke kota raja ini. Itulah untuk minta bantuannya Yang Tjong Hay, guna minta Tjong Hay menyampaikannya kepada raja, kalau raja ingin dia menakluk, supaya raja sendiri yang memanggilnya menakluk, dan dia minta sedikitnya satu p angkat tokboe, gubernur sebuah propinsi!" Keterangan ini membuatnya rapat sangat sunyi, kalau ada sebatang jarum jatuh, pa sti suaranya akan dapat didengar. Semua orang merasakan hatinya pepat. "Yap Seng Lim dengan pasukannya di Toenkee telah menang dua kali," Pit Goan Kion g melanjuti keterangannya, "karena itu, penyerangan pasukan negeri kepadanya tel ah diperkeras. Benar kota Oentjioe telah dikurung tetapi keadaannya tak sedemiki an genting. Dalam keadaan begini, Pit Toaliongtauw telah mengambil keputusan-nya itu. Di mana urusan tak dapat dihindarkan pula, ia anggap, daripada dimusnakan tentera negeri, untuk sementara baiklah kita tinggal hidup..." "Benar-benarkah dia beranggapan demikian?" menegasi si orang tua. "Aku menguatirkan sebaliknya," sahut Pit Goan Kiong. "Akulah keponakannya, biasa nya aku sangat dipercaya dia. Ini rupanya maka aku diutus secara rahasia begini. Dia meminta perantaraannya Yang Tjong Hay supaya dia dapat bicara sendiri denga n raja. Di antara permohonannya itu, kecuali supaya tentera rakyat diubah menjad i tentera negeri, juga dia berjanji untuk membereskan pasukannya Yap Seng Lim it u. Inilah jalan untuk dia dapat berbuat jasa, guna menebus dosanya itu." "Begitu?" suara ber-gemuru di empat penjuru. "Kalau begitu kami kaum Kaypang, ma na kami ada punya muka akan bertemu sama orang?" "Benar! Memang Toaliongtauw mengatakannya, setelah menakluk, kita orang-orang pe nting dari Kaypang bakal mendapat pangkat, bahwa dengan memangku pangkat kita ta k menyalahi leluhur kita. Ini justeru yang aku tidak sanggup. Maka itu setibanya aku di sini, sudah tiga hari, aku masih tetap ragu-ragu, aku masih belum berani menunaikan tugas yang diberikan Toaliongtauw kepadaku. Demikianlah sekarang aku mohon saudara-saudara memberi petunjuk kepadaku." Mendengar semua itu, Sin Tjoe kaget berbareng girang. Ia kaget sebab mimpi pun t idak yang Pit Kheng Thian kesudian menerima panggilan menakluk dari pemerintah d an dia hendak membikin celaka Yap Seng Lim. Ia girang sebab sekalipun Pit Goan Kiong, s eorang sebawahan yang dipercaya, dapat membedakan kebenaran dari kesesatan, bahkan dia berani membeber rahasia toaliong tauw itu. Si orang tua menepuk tangannya tiga kali, ia membikin rapat sunyi kembali. "Memang benar urusan ini lebih penting daripada hidup atau matinya kita," ia ber kata. "Kita harus memikir masak-masak. Nah, kirimlah orang ke empat penjuru untu k memasang mata!" Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon di atas jurang itu. Si orang tua kaget. "Siapa itu yang mencuri dengar rapat kita!" ia membentak. Sin Tjoe terkejut, ia menyangka ia dapat terlihat mereka itu, tapi kagetnya cuma sebentar, di sana nampak satu bayangan berlompat turun dari atas pohon. Sesaat k emudian, ia dibuatnya heran bukan kepalang sesudah ia melihat tegas bayangan itu , satu bocah yang berlarian kepada kaum pengemis itu. Sebab dialah Siauw Houwtjo e! Hampir ia berteriak memanggil bocah itu. Syukur ia bisa mengendalikan diri, t erus ia bersembunyi dan memasang kupingnya. Siauw Houwtjoe sudah berumur enam belas tahun, tetapi ia tetap kekanak-kanakan d an binal seperti di masa kecilnya. "Hai, kamu hendak makan empat penjuru, aku si tuan kecil sebaliknya lima!" demik ian katanya, suaranya gembira. "Kamu telah memanggang ayam, kamu hendak mengundang aku turut berdahar atau tidak?" Semua pengemis itu menyangka kepada musuh besar, tidak tahunya cuma satu bocah, mereka menjadi melengak. Melainkan s i orang tua, yang mengarti bocah itu bukan sembarang bocah, maka ia berlompat maju, untuk mencekuk. "Kau siapa?" ia membentak. Siauw Houwtjoe menarik pundaknya, kakinya berputar, dengan begitu bebaslah ia dari cengkeraman, tidak perduli si orang tua telah men ggunai tipu silat Tay kim na tjioe hoat, ilmu menangkap tangan. Menyaksikan itu, semua orang terkejut. "Oh, mata-mata cilik!" mereka berseru. "Siapa mengirimmu ke mari?" Siauw Houwtjoe tidak takut, dia bahkan tertawa menghadapi si orang tua. "Kau tidak kenal aku, aku kenal kau!" katanya Jenaka. "The Tiangloo, guruku me nyuruh aku menyatakan kesehatanmu!" Pengemis tua itu ialah pengemis pengurus kaum pengemis di kota raja, kedudukanny a lebih tinggi dari pada kedudukannya Pit Goan Kiong, Kedudukannya ialah tingkat ke delapan. Orang tua itu mengawasi si bocah dengan keheran- heranan. Tidak pernah ia ingat ada sahabatnya kaum kangouw yang mempuny ai murid semacam bocah ini. Karena itu ia berlaku waspada, dengan tangan melindungi dadanya, dengan mata menatap tajam, ia membentak menanya: "Siapakah gurumu itu?" "Thio Tan Hong dari Souwtjioe!" sahut Siauw Houwtjoe singkat. Orang tua itu nampak kaget. "Oh, Thio Tayhiapl" katanya. "Kapankah datangnya Tayhiapl Mata dan kupingku tidak lengkap lagi, tayhiap datang ke kota raja, aku tidak tahu, sampai aku tidak dapat memberi selamat datang padanya, sampai kaulah yang diutus, engko kecil! Harap dimaafkan!" "Jangan kau sungkan, ioodjinkee1." berkata Siauw Houwtjoe tertawa. "Hendak aku o mong terus terang. Tahukah ioodjinkee apa perlunya guruku menyuruh aku mencuri dengar rapatmu ini? Bahkan guruku memesan aku untuk berhati - hati, agar kamu tidak menyangka aku sebagai si maling cilik! Ha! Barusan Tay kim na tjioe hoat dari ioodjinkee hampir saja mengenakan tulang piepee-ku! Ya, ya, kau hendak undang aku atau tidak dahar ayam panggangmu?" The Tiangioo tidak mengambil mumat kejenakaan bocah ini. Ia diliputi kegirangannya mendengar beradanya Thio Tan Hon g di kota raja. Ia kenal baik nama orang yang tersohor cerdik itu. "Baiklah, silahkan, si-lahkan!" sahutnya. "Aku mohon tanya di mana Thio Tayhiap mondok? Tolong engko kecil ajak aku pergi menemuinya." "Guruku lagi repot, kunjunganmu ini baik ditunda dulu," berkata Siauw Houwtjoe. "Di dalam rapatmu ini, kecuali aku, masih ada seorang lain di dalam rimba, kau hendak turut mengundang dia atau tidak?" Sin Tjoe berpikir: "Ah, kiranya bocah ini telah dapat melihat aku." Ia hendak la ntas keluar dari tempat sembunyinya ketika ia batal karena ia lantas mendapat de ngar suaranya The Tiangioo: "Engko kecil datang bersama siapa? Tentu saja a ku pun mengundang dia!..." Siauw Houwtjoe tertawa ketika ia menjawab: "Orang itu tidak datang bersama aku! Melihat tubuhnya yang tinggi dan besar, mungkin dia satu penjahat besar dari sun gai atau laut, dia tak mirip-miripnya dengan satu maling cilik!" Tiangioo itu terperanjat, lekas-lekas ia menghadap ke empat penjuru seraya m eng- angkat tangan untuk memberi hormat. Ia berkata: "Sahabat dari kalangan manakah i tu? Silahkan sahabat keluar untuk kita saling bertemu!" Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring di belakang batu besar, dari situ n ampak munculnya suatu tubuh tinggi besar, yang terus bertindak ke arah rapat. Ia berkata dengan keras: "Ini dia yang dibilang, air banjir menyerbu kuilnya si raja naga! Sebenar nya kita ada orang-orang sendiri!" Pit Goan Kiong terkejut. "Toako Kouw Beng Tjiang!" ia berseru. "Kau pun datang?" Goan Kiong heran bukan main. Beng Tjiang terpercaya Kheng Thian melebihkan ianya. Ia sudah diutus, maka kenapa Beng Tjiang diutus juga? Beng Tjiang tidak menyahuti, hanya sembari tertawa ia berkata: "Pit Toako, semua pembicaraan kamu telah aku dengar. Pit Laotee, luas pandanganmu, kau bersemangat, aku si Kouw tua kagum untukmu!" Goan Kiong menjadi terlebih heran, tetapi hatinya lega. "Kiranya dia sama tujuannya denganku," pikirnya. Maka ia ulur tangannya untuk berjabatan. Ia berkata pula: "Sikapku ini benar atau salah, tolong toako menunju ki..." Belum habis kata-katanya itu atau ia mendengar Beng Tjiang berteriak, tangannya diputar, maka sejenak itu juga, tangannya itu kena ditelikung ke belakang: "Kece wa kau menjadi keponakannya Toaliongtauw1. Bagaimana kau berani mendurhaka?" Goan Kiong merasakan tubuhnya lemas, tidak dapat ia meronta. Beng Tjiang telah m engerahkan Engdjiauw lat, tenaga dari Kuku Garuda, maka nadi si pengemis terceka l hingga dia mati kutunya. Inilah kejadian luar biasa, maka kagetlah semua pengemis itu. Bahkan The Tiangio o terus berseru sambil dia berlompat maju, untuk menerjang. "Lagi satu tindak kau maju, akan aku bikin kau bercacad!" Beng Tjiang mengancam sambil tertawa berkakak. Hanya belum lagi suaranya habis, satu sinar kuning emas telah menyambar tangannya, hingga dia menjerit dan cekalannya dilepaskan, tubuh nya pun terhuyung tiga tindak. Sebab Sin Tjoe dengan bunga emasnya sudah menyerang lengan orang, menyusul mana ia muncul dari tempatnya sembunyi. Beng Tjiang ada pahlawan nomor satu dari Pit Kheng Thian, benar ia telah dibokon g hingga ia memerdekakan Goan Kiong tetapi ia tidak terluka, begitu ia dapat ber diri tegak, segera ia mengeluarkan cambuknya, cambuk Hongliong pian. "Kiranya semua ada di sini!" katanya, seram. "Haha! Kamu semua kena terkurung da n terbekuk berbareng, sungguh tak usahlah aku berabe lagi!" Dua kali jago ini mengibas cambuknya, hingga terdengar suara nyaring dua kali ju ga, setelah mana dari empat penjuru, dari pepohonan lebat, ber- lompat keluar belasan orang dengan dandanan serba hitam. Juga dari dalam jurang Pitmo Giam meluncur sejumlah anak panah, hingga beberapa pengemis roboh karenany a. Seorang berpakaian hitam lompat kepada The Tiangioo sambil dia berseru: "Hoetong nia Tonghong Lok dari Gielimkoen di sini! Kaum pemberontak, masih kamu tidak mau menerima dibekuk? Apakah kamu hendak menanti sampai tuanmu turun tangan sendiri ?" The Tiangioo tidak menyahut hanya dengan tongkatnya, ia menerjang, dengan begitu ia jadi bertempur sama komandan kedua dari pasukan raja itu. Pit Kheng Thian kasar romannya saja, sebenarnya dia cerdik. Benar Goan Kiong kep onakannya sendiri, tetapi menghadapi urusan penting, hatinya tidak tenang, maka itu ia mengutus pula Beng Tjiang untu k memata-matainya keponakan itu. Ia mau percaya, umpama kata ada seorang yang berchianat, rencananya untuk menakluk pada pemerintah tidak bakal gagal. Beng Tj iang asal penjahat, untuknya menjadi pemimpin tentera rakyat atau pembesar negeri, sama saja, maka itu ia bersetia kepada Khen g Thian, ia bekerja keras menyelidiki sepak terjang kaum pengemis hingga ia mendapat tahu hal rapat rahasia itu. Sebelum per gi mengintai, ia sudah mengasi kisikan pada Yang Tjong Hay, dari itu Tjong Hay s udah lantas mengirim Tonghong Lok serta belasan komandan Kimiewie bersama belasan anggauta Gielimkoen yang terpilih. Beng Tjiang liehay, sesudah merobohkan beberapa pengemis, menerjang ke arah Pit Goan Kiong, tetapi ia dirintangi Siauw Houwtjoe, yang lincah gerakannya, tubuhnya licin bagaikan ikan. "Kecewa kau bertubuh tinggi seperti kerbau dan besar seperti kuda, kau tidak tah u malu!" bocah ini menegur. "Kenapa aku tidak tahu malu?" tanya Beng Tjiang heran. "Sebab kau makan di dalam, merayap di luar!" jawab Siauw Houwtjoe. "Untuk mencar i pangkat, kau menjual sahabat!" Beng Tjiang gusar berbareng merasa lucu, sebab bocah ini berani omong seperti seorang kangouw. "Bocah cilik, kau ngaco belo!" ia membentak. Dengan cambuk kanan ia menangkis se rangan Goan Kiong, dengan tangan kiri hendak ia membekuk bocah nakal ini. Ia tid ak memandang mata kepada bocah. Maka kecewalah ia tempo cengkeramannya tak menge nai sasarannya. Siauw Houwtjoe turunan panglima perang, dia juga telah memperoleh pelajaran dari Hek Pek Moko, dalam ilmu silat, ia telah memenangin orang kangouw yang kebanyakan, maka itu, ia lincah dan gesit sekali. Tempo ia disambar, ia mendak a kan meloloskan diri, sambil molos, ia menghajar pinggang orang. Tepat ia dapat m engenai pinggang lawan. Ia telah menggu- nai pukulan Koentauw Naga dari Ngoheng Loohan koen ajarannya Hek Pek Moko. Beng Tjiang merasakan sakit sekali, sampai ia terbongkok-bongkok. "Sekarang sambut lagi Koentauw Harimauku!" berseru Siauw Houwtjoe sambil tertawa . Ia menarik pulang tangan kanannya, tangan kirinya dimajukan. Justeru itu Sin Tjoe berseru: "Lekas menggunai tipu Hoenhoa Hoetlioe Tjioehoat! Lalu Poanlong Djiauwsie, berkelit ke kiri!" Belum berhenti suara si nona, kaki Beng Tjiang sudah melayang, ke arah dada si b ocah. Kalau ia terus menyerang, pasti ia bakal tertendang hebat. Ia lantas batal menyerang, ia berkelit, tapi tak urung ia kelanggar juga sedikit hingga ia jumpalitan. Gusar bocah ini, ia berlompat bangun, hendak ia menyerang pula. Tapi sekarang ia lihat Beng Tjiang tengah melayani Non a Ie. Ia lantas mencabut Bianto, golok lemasnya. "Dua kepalan ditukar sama satu kaki, kau sudah menang unggul, apakah kau masih b elum puas?" tanya Sin Tjoe kepada bocah itu. Ia tertawa. "Pergi kau bantui The T iangioo1." "Baik!" seru Siauw Houwtjoe mengarti. "Nah, kau tolongi aku mengorek matanya!" Dengan masih mendongkol ia menerjang ke arah The Tiangioo, siapa lagi bertempur sama Tonghong Lok, pembantunya Yang Tjong Hay. Pengemis ini cukup liehay, sayang usianya sudah lanj ut. Selama belasan jurus, ia masih dapat bertahan, selewatnya itu, napasnya memburu, ia tersengal-sengal. Maka beruntung sekali, Si auw Houwtjoe datang membantu padanya. Dalam jumlah, pihak Partai Pengemis kalah banyak, sudah begitu, pihak Kimiewie d an Gielimkoen semuanya pilihan, maka selang sedikit lama, terlihatlah pihak mana yang terlebih unggul. Sebenarnya sama banyaknya orang kedua pihak yang roboh, h anya karena kalah jumlah, Kaypang kena terdesak. Sin Tjoe melayani Beng Tjiang tanpa hasil. Ia menang liehay pedangnya tetapi lawannya mahir tenaga dalamnya, dari itu, kekuatan mereka jadi berimbang. Di pihak Kaypang, lagi dua anggauta tingkat enam kena dirobohkan. Goan Kiong berkelahi dengan hebat, ia penasaran Kheng Thian tidak menghargai lag i padanya. Selagi berkelahi ia mendengar suaranya The Tiangioo'. "Selama masih ada gunung hijau, j angan takut kekurangan kayu bakar!" Itulah tanda kaum Kaypang, artinya, lolos pun bagus. Maka itu, hebat Goan Kiong menyerang musuhnya, hingga satu pahlawan roboh. Beng Tjiang tertawa seram melihat lagaknya Goan Kiong, ia kata dengan dingin: "P eng-chianat, kau masih memikir untuk kabur? Hm!" Mendadak ia meninggalkan Sin Tj oe, dengan cambuknya ia menyerang pengemis she Pit ini. Cambuknya itu apabila di ulur menjadi panjang setombak lebih. Goan Kiong tidak menyangka ketika sekonyong-konyong ia kaget sekali. Suaranya Beng Tjiang disusul lantas cambuknya , hingga ia kena kelibat. Di lain pihak, tiga pahlawan merintangi Sin Tjoe. Ia lan tas kena ditarik, hampir ia terguling. Pit Goan Kiong bukan tandingan Beng Tjiang, tetapi juga ketiga pahlawan bukan la wannya Sin Tjoe. Beng Tjiang mengharap si nona dapat dilibat, supaya ia keliru m erobohkan Goan Kiong, setelah mana hendak ia melawan pula si nona. Di luar dugaannya, Sin Tjoe berlaku cepat. Tepat Goan Kiong terlibat cambuk, ia telah membabat putus senjata nya ketiga musuhnya, menyusul mana ia mengeluarkan bunga emasnya dengan apa ia menimpuk. Beng Tjiang putar cambuknya untuk membela diri, ia berhasil menyampok jatuh dua kuntum bunga emas itu, hanya karen a itu Goan Kiong dapat meloloskan diri, terus dia menerobos ke luar kurungan. Beng Tjiang liehay berimbang sama Tjong Hay, dengan cambuknya ia bisa membela di ri, tapi cuma bisa membela dirinya sendiri, tidak demikian dengan orang-orangnya . Sin Tjoe menggunai ketikanya ini, ia meraup pula bunga emasnya dan menyerang ke segala penjuru deng an tipu "Thianlie sanhoa," atau "Bidadari menyebar bunga." Sebagai kesudahan dari itu, terdengarlah jeritan saling susul, sebab enam atau tujuh ops ir Gielimkoen kena terhajar jalan darahnya, mereka roboh kesakitan untuk terus tak dapat merayap bangun lagi . Siauw Houwtjoe mendapat hati menyaksikan berhasilnya Nona Ie, ia lantas menyeran g hebat dengan ilmu goloknya Ngohouw Toanboen too. Dengan berani ia mendesak. Tonghong Lok girang melihat majunya si bocah. Ia memang memegang golok gaetan peranti menggaet senjata lawan. Ia menyambut bacokan sambil berseru: "Lepaskan tanganmu!" Siauw Houwtjoe pun liehay. Ia kelit goloknya, sambil berkelit, dari bawah ia membabat. Inilah Tonghong Lok tidak sangka sama sekali, maka kagetlah dia tempo tahu-tahu golok l awan mengenai lengannya, hingga lengan itu tergores berdarah! Dasar dia liehay, dia tidak menghiraukan lukanya itu, terus dia mencoba membangk ol golok si bocah. The Tiangioo melihat ancaman bahaya untuk Siauw Houwtjoe, ia maju menyerang. Ia sebenarnya sudah letih, maka tempo kedua senjata benterok, tongkatnya kena dibikin mental, lengannya terus terlukakan. Bagusnya, si bocah d apat meloloskan diri dari malapetaka. Sampai di situ, karena kedua pihak sama-sama terluka, Tonghong Lok tidak berani ngotot terus, sedang Siauw Houwtjoe, dengan melindungi The Tiangioo , membuka jalan noblos. Ia menggabungi diri denga n Sin Tjoe. Beng Tjiang penasaran, ia menyusul. Sin Tjoe dapat me- lihat tingkah orang, dia mengedipi mata pada Siauw Houwtjoe. Bocah ini mengarti, maka ia lantas bersiap. Mendadak saja keduanya berlompat balik, pedang dan golo k mereka menyerang dengan berbareng, pedang membabat, golok menyontek! Hebat kesudahannya serangan tiba-tiba ini, cambuknya Beng Tjiang menjadi kurban, kutung menjadi empat potong. Inilah sebab Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe menggunai serangan tergabung Pekpian Hian Kie Kiamhoat. "Aku hendak melihat, kau masih dapat mengejar kami atau tidak!" Sin Tjoe tertawa menantang, sedang tangan kirinya diayun, menimpuk dengan tiga bunga emas. Beng Tjiang memegangi cambuk kutung, dengan itu ia membela dirinya. Dua bunga emas dapat dihalau, tetapi yang ketiga molos dan nancap di matanya yang kiri, hingga ia kelabakan! Siauw Houwtjoe tertawa berkakak, dengan dibantu Sin Tjoe, ia terus pepay ang The Tiangioo untuk menyingkir dari tempat berbahaya itu, menyusul Pit Goan Kiong. Mereka kabur di b elakang gunung See San itu. Hebat kesudahannya pertempuran ini. Di pihak Tonghong Lok, dari sepuluh, tujuh a tau delapan bagian yang roboh, di pihak Kaypang, cuma lolos The Tiangioo berdua Pit Goan Kiong. Maka itu, Goan Kiong berduka hingga ia menangis sedih. "Nona, oh, bukan, Ie Liehiap, banyak-banyak terima kasih!" ia mengucap kepada Sin Tjoe. Dasar ia Jenaka, ia toh bersenyu m. Ia biasa memanggil nona, sekarang ia robah itu dengan liehiap, nona yang gagah. Sin Tjoe tertawa, tetapi ia toh terharu, sebab Goan Kiong bersenyum hanya serintasan. "Jangan berduka, Pit Toako," ia menghibur. "Kalau aku sudah dapat menemui guruku, aku nanti membalaskan sakit hatimu ini!" Ia menoleh kepada Siauw Houwtjoe, untuk menanya: "Kapannya soehoe datang? Sekarang soehoe berdiam di mana?" "i Soehoe sampai kemarin dulu. Segera soehoe ketahui hal rapatnya kaum Kaypang. Lantaran soehoe tidak dapat memecah diri, aku diperintah menyerapi kabar. Ha, entjie tahu, soebo dan In Tayhiap pun dat ang bersama, mereka memecah diri di dua tempat. In Tayhiap di rumahnya Han Gie soe , dan soehoe bersama soebo di dalam piauwkiok dekat istana. Sungguh ramai dan!" Dari berduka, Sin Tjoe menjadi gembira. "i Soebo dan paman pun datang!" katanya girang. "Kalau begitu, kita tidak usah b erkuatir lagi!" "Sebenarnya, kalau bukan In Tayhiap terluka di Tjhong San di tangan Touw L iong Tjoentjia yang bersenjatakan golok beracun hingga ia mesti beristirahat hampir satu bulan di da lam guha, pasti kita telah datang ke sini terlebih siang lagi," Siauw Houwtjoe m enerangkan. Sin Tjoe masih hen- dak menanya ketika ia lihat wajah The Tiangioo berubah menjadi pucat, alisnya hi tam, tubuhnya pun terhuyung. Ia menjadi kaget sekali. " Tiangioo, kenapa?" ia menanya. "Aku tak tahan," menyahut pengemis tua itu seraya menggoyangi kepada. "Kamu leka s cari Thio Tayhiap, tak usah kamu perdulikan aku lagi. Kau, Pit Goan Kiong, kau umumkan saudara-saudara kita bahwa aku terbinasa oleh golok beracun dari Tongho ng Lok, mintalah mereka membalaskan sakit hatiku!" "Golok beracun?" tanya Goan Kiong heran. Ia lantas melihat lukanya tertua itu di mana darah telah berubah menjadi hitam. Ia ambil selembar daun, ia celup itu ke pada darah itu, lantas daun itu berubah menjadi kuning hangus. Hebat racun itu, apa pula bekerjanya di tubuh yang tua. Tidak dapat Sin Tjoe meninggalkan orang tua itu, ia mencoba meno-longi dengan me ngobati lukanya dengan obatnya pemunah racun, bubuk Kietok san. Sayang obat itu tidak dapat melumakan racun goloknya Tonghong Lok. "Kenapa kamu tidak mau lekas berlalu?" kata The Tiangioo menguati diri. "Apa kam u hendak menanti hingga disapu bersih barisan Gielimkoen?" "Lebih suka aku mati bersama daripada meninggalkan kau!" sahut Goan Kiong. The Tiangioo menjadi gusar sekali, ia mengangkat kepalanya. Ia sebenarnya hendak menggunai titah Kaypang, untuk menyu- ruh kawan ini pergi, tempo ia melihat sinar matahari muncul di timur hingga ia p un nampak tembok Banlie Tiangshia di arah barat laut yang berlugat-legot di daer ah pegunungan itu. "Tempat apakah ini?" ia menanya. "Kita berada dekat selat Holow Kok di utara See San," menjawab Goan Kion g. "Bagus!" berkata Tiangioo. "Mari pimpin aku ke dalam lembah, untuk melihat di sa na ada rumah orang atau tidak..." Suaranya perlahan tetapi terang. Mendengar suara orang lain dari bia-sanya, Goan Kiong bersama Siauw Houwtjoe lan tas menuju ke lembah. The Tiangioo nampak bersenyum, tetapi kedua matanya dirapatkan perlahan-lahan. Tiba di dalam lembah, di sana kedapatan sebuah rumah. Itulah gubuk bertembokkan tanah liat, dan itu pun rumah satu-satunya di lembah yang luas itu. "Rumah ini rada aneh!" Sin Tjoe kata dalam hatinya. Goan Kiong segera mengetok pintu, yang terus dibuka oleh seorang sasterawan tua yang mengenakan baju panjang warna biru dan kepalanya digubat sabuk, hingga tak mirip-miripnya ia dengan satu petani. Sebenarnya, rombongan The Tiangioo sendiri tidak keruan macamnya. Mereka pengemis, pakaian mereka bersih, tetapi banyak tambalannya. Pakaian mereka bersih kecuali keciprat an darah. Di antara mereka ada seorang bocah serta seorang pemuda, yang belakangan ialah Sin Tjoe dalam penyamaran. Maka mereka pun aneh. Si tuan rumah tidak heran itu tidak kaget atas kedatangan merek a. "Kami bertemu begal," Siauw Houwtjoe mendusta, "dan orang tua ini terluka parah, maka itu kami mohon suka diberi menu mpang untuk beristirahat." Tuan rumah itu tertawa. "Ada semacam penjahat yang membegal pengemis?" katanya. "Aku sudah berusia lanju t begini tetapi belum pernah aku mendengar pembegalan seperti ini!" "Kita kebetulan bertemu tuan kecil ini di gunung," Goan Kiong mencoba menjelaska n. "Penjahat hendak membegal tuan ini, kita tidak tega hati melihatnya, kita membantui dia, karenanya kita mendapat luka." "Kalau begitu, tuan berdua ialah pengemis-pengemis gagah dan budiman!" kata tuan rumah itu. "Maaf, maaf!" Tuan rumah ini agaknya tidak percaya tapi toh ia memper-silahkan tetamu- tetamunya itu masuk. Rumah itu terperl-gkap sederhana sekali, meja dan kursinya cuma beberapa buah ak an tetapi segalanya bersih resik. Di tembok pun ada gambar lukisan. Jadi itulah bukan rumah orang tani. Selagi Sin Tjoe mengawasi rumah orang, tuan rumah tertawa dingin. "Kamu berdua membantu dia ini melawan penjahat?" katanya. "Haha! Jangan kamu mem buatnya aku tertawa hingga perutku mulas! Aku lihat, kau menjadi muridnya pun pantas, cuma sayang usianya tidak tepat. Laginya seorang, n ona tak leluasa menerima pengemis tua menjadi muridnya..." Mukanya Sin Tjoe menjadi merah. Selagi ia hendak membuka mulutnya, mendadak tuan rumah itu merampas tongkatnya The Tiangioo, sedang tanga nnya yang sebelah lagi dipakai mengusap-usap kantung guninya. The Tiangioo adalah ketua Partai Pengemis di Pakkhia, tongkatnya dari bambu yang berbuku delapan, yang disebut Pattjiat Tekpang, adalah senjata keramat bagi partainya itu, sekarang si sasterawan tua berbuat demikian, itulah perlanggaran atas kesuciannya Partai Pengemis, maka juga Pit Goan Kiong menjadi tidak senang. "He, kau berbuat apa?" dia menegor. Dia lantas menyambar dengan tangannya, guna merampas pulang tongkat itu. Goan Kiong ini pernah meyakinkan ilmu silat Kimna hoat, dia pun terpisah dekat s ekali dengan tuan rumah, tidak ada alasan kenapa dia tidak dapat merampas pulang tongkat itu, tetapi kejadian yang benar tidaklah demikian. Si sasterawan berkeli t sekelebatan atau pengemis itu telah menyambar tempat kosong! The Tiangioo telah merapati matanya sekian lama, sekarang ia membukanya, lalu dengan perlahan ia berkata: "See San I ein Yap Toaya, aku The Kok Yoe sengaja datang berkunjung untuk meminta kau mengobatinya, maka aku harap sukalah kau member ikan pertolonganmu!" Mendengar itu, tuan rumah tertawa terbahak. "Aku mengira siapa, tidak tahunya The Tiangioo dari Kaypang!" katanya. "Kita sam a-sama tinggal di kota Pakkhia, seharusnya kita telah bertemu sejak siang-siang. Baiklah, aku Yap Goan Tjiang tidak mengobati segala pangeran, aku tukang mengob ati orang-orang luar biasa. Kau? Kau berharga untuk aku mengobati padamu!" Kata-kata ini membuatnya Sin Tjoe dan Goan Kiong kaget berbareng girang. Memang semasa muda mereka, pernah mereka dengar di kota raja ada hidup seorang t abib yang tinggalnya di gunung See San, bahwa katanya tabib itu bertabiat aneh sekali, kalau orang sakit mengundang dia dan memohon dengan sangat, dia tidak dapat diundang, sebaliknya kalau dia suka menolong, dia akan d atang berkunjung sendirinya. Sin Tjoe menduga tabib itu sudah meninggal dunia, tidak tahunya dial ah ini sasterawan tua di hadapannya! Sekarang si nona melihat twielian yang tergantung di tembok, ia jadi semakin her an. Itulah liari yang merupakan syairnya Souw Tong Po. Yang heran ialah tulisan liari itu sangat mirip sama tulisannya Hok Thian Touw. Tanpa sengaja, ia mengasi dengar seruan dari ke heranannya itu. Yap Goan Tjiang te- ngah memotong daging rusak dari The Tiangioo ketika ia mendapat dengar suara si nona. Ia mengerutkan alis, ia berkata: "Kenapa kau heran tidak keruan? Mustahilk ah tulisan lian itu buruk?" "Sebaliknya, bagus! Bagus!" Sin Tjoe memuji. "Jikalau bagus, janganlah kau bersuara," berkata tabib itu. "Dengan kau bersuara , nanti tak dapat aku mengobati kawanmu..." Mukanya Sin Tjoe kembali menjadi merah. Ia menyesalkan diri, karena ingat orang dengan siapa ia mempunyai hubungan erat, ia sampai melupakan The Tiangioo yang l agi ditolongi itu. Ia lantas berdiam. Tidak lama selesailah sudah Yap Goan Tjiang mengobati Tie Tiangioo, pengemis itu terus tidur pulas. Di waktu itu, mukanya pengemis ini nampak merah. Perubahan ini membikin hati si nona lega, hingga sekarang, ia tidak dapat menaha n desakan hatinya lagi. "Syair ini tidak ada tanda tangannya, sebenarnya siapakah yang menulisnya?" demikian ia menanya. "Melihat romanmu, kaulah wanita gagah," berkata tuan rumah, "maka kenapa kau omo ng seperti orang biasa saja? Kalau cita-cita cocok dan kita bertemu, itu artinya sahabat kekal. Karena itu, perlu apa kau menanyakan nama orang?" Sin Tjoe mendongkol. Inilah yang pertama kali ia mendengar orang menyebut ia "or ang biasa." Akan tetapi ia menguasai dirinya. "Inilah sebab aku merasa tulisan ini mirip sama tulisannya sahabatku," ia menjawab. "Karena itu aku menanyakan kau, lootian g." "Kalau dialah sahabatmu, kau tentunya ketahui namanya. Perlu apa kau menanyakan aku?" balik tanya si tabib. "Dengan dia itu sudah lama aku tidak bertemu. Setahu kapannya dia datang ke mari. Aku pun ingin menegaskan, dia sebenarnya sahabatku itu atau bukan..." "Jikalau kau datang sebulan di muka, kau pasti dapat bertemu dengannya, bahkan d apat kau membantu aku mencegah keberangkatannya." Sin Tjoe heran, ia terperanjat. Menurut keterangannya Leng In Hong dan Toamo Sin long, In Hong berpisah dari Hok Thian Touw pada tahun yang lalu selama angin hebat di gurun pasir, sedang Toamo Sinlong mengubur seorang mu da yang mati di gurun pada tiga tahun yang lampau. Kalau Hok Thian Touw benar te lah menutup main tiga tahun yang lalu, kenapa baru satu bulan yang lalu dia bera da di sini? Siapa sebenarnya pemuda penulis syair ini? Saking heran, Nona Ie menanya pula, menanya bagaimana cara dat angnya penulis liari itu. Yap Goan Tjiang tertawa ketika ia menyahuti: "Bukannya dia datang mencari aku, a kulah yang pergi mencari dia. Dia mendapat serupa penyakit aneh, penyakit itu belum pernah aku menemuinya, tetapi dia memaksa mint a aku mengobatinya. Di luar dugaanku, dia dapat disembuhkan. Maka itu dia menulis liari ini untuk membalas budiku itu. Sekarang mari kita bicara. Kedua pengemis ini tidak punya apa-apa, karena mereka sahabatm u, kau ada punya apa untuk dipakai membalas budiku ini?" "Aku hanya kuatir aku nanti mengeluarkan kembali yang biasa saja..." sahut si no na. "Yang biasa atau tidak, mari aku lihat dulu, baru ketahuan," kata Goan Tjiang. Didesak begitu, Sin Tjoe mengeluarkan tiga kuntum kimhoa, ia tancap itu di tembo k, di atas huruf pertama dari lian itu. Sembari tertawa ia tanya: "Ini toh emas dan perak yang bukannya biasa, bukan?" Kelihatannya tuan rumah itu heran, lalu ia mengubah air mukanya. "Memang, bukan yang biasa, bukan yang biasa!" katanya. "Kiranya kau Sanhoa Liehiap! Pemuda itu pernah menyebut namamu!" "Eh, mengapa dia menyebut namaku?" tanya si nona heran. "Telah aku bilang aku sudah berhasil mengobati pemuda itu," menerangkan Yap Goan Tjiang. "Dia tidak mempunyakan apa-a pa untuk membalas pertolonganku, karena dia ketahui aku gemar lukisan surat dan gambar serta ilmu pedang, kecuali dia menulis lian-nya ini, dia pun bersilat unt ukku, untuk memujikan aku panjang umur. Dia bersilat di waktu malam bulan terang dan suasana tenang. Hebat ilmu silatnya itu. Gerak-geriknya mirip dengan guntur menggelegar atau ombak bergelombang. Pernah aku melihat ilmu silat pedang pelbagai partai pe rsilatan tetapi ini kali aku toh mesti memuji dia, hingga aku menepuk-nepuk meja . Habis bersilat, dia tanya aku tentang ahli-ahli silat pedang di Tionggoan. Aku bilang, kecuali Tayhiap Thio Tan Hong, mungkin dia tidak ada tandingannya. Pemu da itu lantas tertawa. Dia kata dia datang ke Tionggoan justeru untuk mencari Ta yhiap Thio Tan Hong untuk meminta pengajaran. Aku mengasi tahu, menurut pendengaran, mungkin Thio Tayhiap tidak akan menemui dia, sebab sudah lama Tayhiap menutup diri. Dia kata dia pun telah dengar hal itu, ak an tetapi dia telah mendengar juga hal murid wanita dari Thio Tayhiap, murid yang dijuluki Sanhoa Liehiap, maka dia mengharap, kalau dia tidak bisa menemui Thio Tayhiap sendiri, agar dia dapat bertemu sama murid wanit anya itu." Inilah Sin Tjoe tidak sangka. Jadinya namanya telah sangat terkenal. Diam-diam i a girang juga. "Pemuda itu," berkata pula tuan rumah, "habis dia menyebut namamu, lantas dia me nghela napas panjang..." Sin Tjoe heran. "Kenapa begitu?" tanya ia. Sebab dia ada punya seorang nona tunangan dengan siapa ia telah terpisah tiga ta hun lamanya dan ia tak tahu, tunangan itu masih hidup atau telah meninggal dunia . Dari sahabatnya kaum Rimba Persilatan ia pernah mendengar namamu, nona, karena kau seorang wanita gagah, menyebut namamu ia jadi ingat tunangannya itu, karenanya ia menjadi berduka." Hatinya Sin Tjoe tergerak. Di depan matanya kembali berpeta bayangannya Yap Seng Lim. Ia jadi berpikir. "Kalau begini, pemuda itu me sti Hok Thian Touw, bukan lain orang lagi. Jikalau dia masih hidup... jikalau di a masih hidup... ah! Aku hendak menggabungi jodoh In Hong dengan jodoh Seng Lim, tidakkah itu bakal jadi cade?" Maka kacaulah pikirannya nona ini. "Sayang aku tidak dapat menahan keberangkatannya pemuda itu," Yap Goan Tjiang me nambahkan. "Pada satu bulan yang sudah, dia telah pergi ke Pataling, katanya dia hendak mencari seorang Rimba Persilatan yang luar biasa yang telah meng undurkan diri." Sin Tjoe heran. Bukankah Toamo Sinlong telah bertemu si anak muda yang pun mau p ergi ke Pataling mencari orang pandai? Siapa pemuda itu kalau bukannya Hok Thian Touw? Karena bingung, ia berpikir baiklah ia pergi mencari ke Pataling. Hanya s ekarang ia lagi menghadapi urusan Kaypang dan gerakan tentera rakyat, mana ia bi sa membagi temponya? Ia pun mesti bertemu dulu sama gurunya. The Tiangioo tertolong jiwanya, meski begitu ia tidak dapat segera melakukan perjalanan. Ini hal membuatnya Sin Tjoe minta tuan rumah sudi ketumpangan lebih jauh pengemis tua itu, ia sendiri lantas pamitan dari tuan rumah. Ia mengajak Siauw Houwtjoe dan Pit Goan Kiong bersama. Siauw Houwtjoe yang mengantarkan ia mencari gurunya di Hoeiliong Piauwkiok. Piauwkiok itu terletak di dekat kota raja, pemiliknya ialah Liong Teng, salah se orang sahabat akrab dari Thio Tan Hong. Begitu si nona bertindak di ambang pintu , ia sudah lantas dapat mendengar suara tertawa gurunya. Pegawai piauwkiok yang menyambut si nona memimpin nona itu dan dua kawannya mema suki ruang dalam terus jalan memutari sebuah paseban, sampai di pekarangan di mana ada sebuah kamar luar. Di sini Sin Tjoe mendengar s uara gurunya, katanya: "Tan Hong berada di sini, dia hanya membikin Liong Piauwsoe kaget!" Seorang yang suaranya keras, tertawa dan berkata: "Apa kata Thio Tayhiap? Aku si orang she Liong justeru bersyukur yang Tayhiap memandang aku sebagai sahabatnya yang dapat dipercaya. Dengan Tayhiap sudi menginjak gubukku i ni, aku sudah kegirangan bukan main, tidaklah kecewa hidupku ini. Hanya aku berk uatir, karena nama Tayhiap yang besar, kau nanti diintai orang jahat, jikalau ad a terjadi sesuatu, bagaimana aku dapat bertanggung jawab? Maka itu harus kita waspada!" Tan Hong tertawa. "Aku lihat sahabat-sahabat yang mengantar bingkisan itu mesti ada orang-orang gagah dari ini jaman," terdengar dia berkata pula. "Mana dapat kita sembarang menerka mereka itu? Aku si orang she Thio telah meran tau bersama sebatang pedangku, mana dapat aku perlakukan sembarangan kepada orang-orang gagah itu? Maka itu Liong Piauwsoe , tolong kau t erimakan itu pelbagai bingkisan, nanti aku menuliskan surat tanda terima kasihku ." Sin Tjoe jadi berpikir: "Soehoe datang ke Pakkhia secara diam-diam, sekarang ada datang orang-orang yang mengirim bingkisan dan mereka tidak diketahui siapa, pa ntas kalau Liong Piauwsoe jadi berkuatir..." Tapi ia tidak berpikir lama, ia lan tas memanggil Soehoe1." seraya ia menyingkap sero dan bertindak masuk. Karena ini ia lantas melihat seorang bermuka merah berduduk menghadapi gurunya. "Sin Tjoe, kau pun datang?" menyambut sang guru. "Eh, ini tuan siapa?" "Inilah Pit Toako dari Kaypang," Sin Tjoe lekas memperkenalkan. Goan Kiong memberi hormat, ia berlaku merendah. "Kamu kaum Kaypang, hebat usahamu!" Tan Hong memuji. "Kamu membuatnya Tan Hong s angat kagum. Inilah Liong Piauwsoe. Bukankah kau belum pernah bertemu dengannya?" Goan Kiong memberi hormat pada tuan rumah. Sin Tjoe pun turut memberikan hormatnya. Kedua pihak lantas saling memuji. Kemudian tuan rumah berkata: "Thio Tayhiap, silahkan kau bicara sama Tuan Pit ini, aku sendiri ingin mengundurkan diri sebentar." Tan Hong membiarkan orrang berlalu. Sin Tjoe tahu tuan rumah hendak berbuat apa e mdash tentu untuk mengurus barang- barang bingkisan. Hanya ia heran tuan rumah nampak berduka. Maka ia menjadi menduga-duga. Setelah berada di antara kawan sendiri, Tan Hong kata sambil tertawa: "Kamu kaum Kaypang telah membuat rapat di Pitmo Giam, sayang aku tidak dapat datang sendir i untuk memberi selamat. Aku cuma bisa mengirim ini muridku yang nakal. Apakah d ia tidak mengganggu kamu?" "Bahkan aku berterima kasih untuk bantuan siauwhiap," kata Goan Kiong samb il menjura. "Jikalau siauwhiap tidak datang, mungkin sekarang aku tidak dapat bertemu sama Tayhiap." Karena ia memanggil Tan Hong "Tayhiap," pendekar yang tua, Goan Kiong mene ruskan menyebut Siauw H o u w t j o e "siau whiap." pendekar yang muda, yang kecil. Siauw Houwtjoe merendahkan diri, ia lantas berkata: "Sebenarnya itulah jasanya b unga emas dari entjie Ie, aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa." "Sebenarnya, apakah sudah terjadi?" tanya Tan Hong. "Tidak beruntung partai kami, kami telah mendapat halangan, kami menghadapi keja dian yang tidak diharap-harap," berkata Goan Kong. "Mengenai itu, aku mengharap petunjukmu, Tayhiap." Pengemis ini tuturkan hal rapat yang menyedihkan itu. Ia Jenaka tetapi sekarang di depan Tan Hong ia berduka sangat, sampai ia tak dapat mencegah turunnya air matanya. Tan Hong heran. "Aku dengan pangtjoe kamu yang tua, Pit Too Hoan, bersahabat kekal," ia berkata, "maka itu, apa juga urusan kamu, cobalah kamu menuturkannya." Goan Kiong tidak bersangsi untuk menjelaskan sepak terjang Pit Kheng Thian, yang sudah mengchianati pergerakan kebangsaan dengan sudi menakluk kepada pemerintah , dan semua itu cuma untuk pangkat dan kebahagiaan. Mendengar itu, Tan Hong menghela napas. "Inilah yang dibilang, penderitaan mempe rlihatkan wajahnya seorang enghiong," ka-tnya. "Pit Kheng Thian mengagulkan diri, sekarang ia menjadi berubah begini rupa, sungguh aku tidak san gka. Bagaimana agungnya Tjinsamkay Pit Too Hoan semasa hidupnya, maka itu bagaim ana nanti Pit Kheng Than dapat bertemu ayahnya di alam baka?" Ia berhenti sejena k, lalu ia menambahkan: "Karena Kouw Beng Tjiang sudah bertemu sama Yang Tjong H ay, sekarang tidak ada jalan untuk mencegah Pit Kheng Thian menghamba kepada raj a. Meski begitu, pelaksanaannya penaklukan itu masih memerlukan tempo beberapa hari, dari itu kamu kaum Kaypang, baik kamu lekas-lekas berangkat ke Se latan untuk di sana membantu kawan- kawanmu serta Yap Seng Lim, umpama kata kita tidak berhasil, kita sedikitnya dapat mencegah keruntuhan. Biar kita menanti ketika baik, untuk nanti aku mencoba memb antu kamu memilih seorang pangtjoe baru." Pit Goan Kiong tidak melihat jalan lain, maka itu, tanpa menanti kembalinya tuan rumah, ia mengucap terima kasih, segera ia berpamitan dari Tan Hong, Sin Tjoe d an Siauw Houwtjoe. Sin Tjoe sendiri tidak lantas dapat melenyapkan herannya, tempo ia hendak menany akan itu kepada gurunya, tiba-tiba ia mendengar suara soebo-nya: "Anak Tjoe, kau pun datang?" Lalu kere disingkap dan In Loei bertindak perlahan, tapi melihat N ona Ie, ia segera merangkul. Sin Tjoe pun membalas merangkul, ia sesapkan kepalanya di dalam rangkulan gurunya itu. Ia mirip seorang anak manja yang sudah lama tak bertemu dengan ibun ya. Ia mengucurkan air mata saking terharu. In Loei mengusap-usap rambutnya anak dara itu. "Anak Tjoe, kau kenapa?" tanya soehoe ini halus. "Tidak apa-apa," si nona menjawab. "Mana Keng Sim? Kabarnya dia datang bersama kau ke kota raja ini? Kenapa dia tid ak kelihatan?" "Dia... dia... dia jalan pisah dengan aku..." Kembali air mata si nona turun deras. "Anak tolol!" kata In Loei tertawa. "Anak-anak muda berselisih, itulah hal lumra h. Adakah harganya untuk menangiskan itu? Aku sendiri dengan gurumu dulu hari telah benterok banyak kali hingga hampir rusak segalanya!" Selama di gunung Tjhong San, In Loei telah melihat sikap manis dari Keng Sim ter hadap Sin Tjoe, ia menyangka pemuda itu ialah pemuda pujaan muridnya ini. Ia men ganggap mereka itu pasangan yang setimpal. Maka heran ia sekarang melihat sikap murid ini. "Tapi, soebo, itulah bukan perselisihan yang umum," kata Sin Tjoe sambil menangi s. "Dia telah membuka rahasia tentera rakyat kepada pemerintah!" Tan Hong terkejut. "Keng Sim adalah seorang kutu buku, tetapi aku sangsi dia demikian hina," katanya. "Sebenarnya apakah telah terjadi?" Sin Tjoe tuturkan apa-apa yang telah terjadi di Hangtjioe. "Kalau begitu dia berbuat demikian karena dia hendak melindungi ayahnya dan kau," kata Tan Hong kemudian. "Dulu kau perumpamakan dia seperti bunga mawar dalam taman di Kanglam, itu menandakan kau berpandangan jauh . Memang, setelah hujan dan angin ribut, bunga mawar itu jatuh rontok. Nah, baga imana dengan Vap Seng Lim?" "Dia berada di Toenkee lagi menghadang sepuluh laksa jiwa serdadu pemerintah!" Di waktu mengatakan demikian, mata si nona mengeluarkan sinar bergembira. "Bagus!" berkata sang guru tertawa. "Bunga mawar sudah rontok, di sana masih ada pohon taytjeng yang dapat melawan badai dan hujan hebat!" Sin Tjoe menguatir-kan keselamatannya Seng Lim, sinar gembira dari matanya lanta s berubah menjadi kedukaan. Tan Hong tertawa pula. "Tunggu sampai semua beres di sini, aku nanti temani kau pergi mencari Seng Lim! " katanya. Lega juga hati si nona mendengar janji gurunya itu. Ia hanya menyesal untuk tela h terjadinya sekian banyak salah faham. "Seorang muda mengalami penderitaan pun ada baiknya," berkata In Loei, sang soeb o, ibu guru. "Eh, katanya ada orang mengantar bingkisan untukmu barang apakah it u?" Pertanyaan itu diajukan kepada Tan Hong, sang suami. "Aku juga belum tahu," sahut Tan Hong. "Nah, lihat itu, Liong Piauwsoe membawa bingkisan itu!" Memang Liong Teng datang dengan sebuah kotak cat merah di mana ada tulisan air e mas bunyinya: "Dihaturkan dengan hormat kepada Thio Tayhiap." "Mana si pembawa bingkisan?" In Loei tanya. "Ketika pagi ini pintu piauwkiok dibuka, bingkisan ini sudah berada di atas meja," menyahut Liong Piauwso e. Di dalam hatinya, In Loei terkejut juga. Pikirnya, "Di dalam piauwkiok ini ada b anyak orang pandai, orang itu dapat menaruh bingkisan tanpa diketahui siapa juga, ah, inilah rada sesat..." Tan Hong sebaliknya tak mencurigai sesuatu. "Sudah dibingkiskan dengan kecintaan, mana dapat kita menampik?" katanya tertawa. Dan belum lagi Liong Teng memperinga ti untuk waspada, ia sudah membuka tutup kotak itu. Di situ ada empat macam phia atau kuwe buatan Souwtjioe. "Sahabat itu sungguh menarik!" kata Tan Hong pula, tertawa. "A Loei, tadi malam aku menyebut-nyebut padamu tentang kuwe Souwtjioe, bahwa lezadnya dengan kuwe di kota raja berlainan, dan kau mengatakan kau lebih menyuk ai kuwe Souwtjioe, siapa tahu sekarang datanglah kuwe ini!" Liong Teng terkejut. Tan Hong dan In Loei itu orang-orang macam apa toh masih ada orang mencuri dengar pembicaraannya tanpa mereka mengetahui. T idakkah itu aneh? Selagi piauwsoe ini berpikir seraya matanya mengawasi tetamunya, Tan Hong sudah menjumput sepotong kuwe untuk dikasi masuk ke dalam mulutnya. "Benar, inilah benar kuwe Souwtjioe!" katanya. "Adik In, mari kau mencobai!" Matanya Sin Tjoe liehay, ia melihat karcis nama merah yang besar di dalam tempat kuwe itu, bunyinya "Pata Sanjin." Diam-diam ia terkejut. Belum lagi ia mengatak an sesuatu, di luar terdengar suara orang berisik sekali dan satu pegawai lantas masuk memberitahukannya: "Ada seorang pembesar mohon bertemu sama Thio Tayhiapl' Liong Teng tidak dapat mencegah terkejutnya sedang In Loei mengerutkan kening. "Mustahilkah si pengantar kuwe datang sendiri!" menduga-duga nyonya ini. "Apa be nar di dalam istana ada orang sedemikian liehay?" Nyonya ini memegang sepotong kuwe tetapi ia tidak berani lantas memakann ya. Tan Hong sebaliknya, bersikap tetap tenang. "Adik In," katanya bersenyum, "sebenarnya kali ini kita datang ke kota raja tanp a ingatan akan membikin repot pada sahabat-sahabat kita, siapa tahu toh ada oran g pandai yang telah membingkiskan kuwe kepada kita! Dan sekarang pula ada pembes ar negeri datang mengunjungi, sungguh inilah suatu kebahagia- an!" In Loei tercengang. Di dalam hatinya ia kata: "Mengapa kau ketahui itu adalah da ri dua rombongan orang?" Tan Hong tidak mengambil mumat tercengangnya isterinya itu, sambil memandangi Li ong Teng, sambil tertawa ia berkata: "Seorang pembesar datang berkunjung, aku ti dak keluar menyambut saja sudah berarti kepala besar, maka itu bagaimana dia dap at dicegah? Tolonglah supaya dia diantar masuk!" Tenang juga hatinya Liong Teng mendapatkan sahabatnya ini tabah, maka itu, ia la ntas suruh pegawainya mempersilahkan tetamunya masuk. Tan Hong sendiri menjumput pit dengan apa ia lantas menulis surat balasan peng ha- turan terima kasih. Sambil tertawa ia berkata: "Terpaksa, janjinya Pata Sanjin h arus ditunda untuk beberapa hari!" Lalu ia mengambil lengkeng dari tempat kuwe, yang mana ia jejalkan di tangannya Siauw Houwtjoe, si bocah yang sedari tadi berdiam saja. Sambil berbuat begitu, s ambil tertawa ia berkata: "Eh, bocah doyan makan, mengapa kau menghentikan mulut mu? Pergilah kau makan ini di dalam!" Sengaja Tan Hong berbuat demikian, untuk menyingkirkan bocah itu. Ia melihat ket egangan orang piauwkiok sedang si bocah terlihat sudah mengepal-ngepal tangannya , dari itu hendak ia meredahkan suasana tak diingin itu. Pintu kamar sudah lantas dipentang, lalu nampak seorang dengan seragam Gielimkoen mendatangi dengan tindakan sepatunya ya ng berat, hingga setiap tindaknya itu meninggalkan bekas dari melesaknya jubin. Tan Hong melihat itu, ia tahu orang hendak mempamerkan kepandaiannya, ia menyamb utnya itu dengan hanya bersenyum. Nyatalah pahlawan Gielimkoen itu bernama Tjee Hong, salah satu dari Lima Harimau Istana. Dalam ilmu silat ia hanya berada di bawahan Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen dan di atasannya Tonghong Lok. Setelah menindak di tangga, ia menanya deng an nyaring: "Yang mana Tuan Thio Tan Hong? Lekas mengundurkan orang-orang di kiri k anan, untuk menyambut firman Sri Baginda!" Belum berhenti suara jumawa itu, menyusullah suara tertawa dingin dari luar jend ela, yang mana pun disusul lagi dengan suara senjata rahasia yang mengaung yang mendenyutkan hati, sebab beberapa buah senjata rahasia yang berupa piauw menyamb ar masuk. "Berontak! Berontak!" berseru Tjee Hong dengan murka. Ia lantas menggera ki kedua tangannya ke arah dari mana senjata-senjata rahasia itu datang, untuk menangkis. Ia memang pandai Hokhouw Tjiang, koentauw Tangan Menaklukkan Harimau, maka itu tak memandang mata segala piauw yang umum, ia meny angka tangkisan-nya itu akan membuatnya senjata rahasia meluruk jatuh. Tapi ia t elah keliru menduga. Keras suaranya piauw itu tetapi datangnya lambat, datangnya pun di arah lima pen juru, empat merupakan pesegi, yang ke lima datang di sama tengah. Dengan begitu Harimau Gielimko en itu dibuatnya kaget. Selagi tetamunya terancam bahaya itu, Tan Hong bersenyum, tangannya menjumput beberapa butir biji lengkeng, terus tangannya itu diayun sam bil ia sendiri berkata dengan nyaring: "Terima kasih untuk perhatianmu, sahabat di luar kamar! Thio Tan Hong dapat melayaninya!" Hampir berbareng dengan itu terdengarlah empat suara bentero-kan, yang berakibat empat buah piauw jatuh ke tanah terhajar biji-biji lengkeng, hingga tinggal yan g ke lima yang meluncur terus kepada Tjee Hong, mengarah pempilingan. "Tjee Taydjin jangan bergerak, agar kau tak kesalahan terlukai" berkata In Loei sambil tertawa seraya tangannya menimpuk dengan kuwe yang berada di dalam genggemannya. Piauw terkena kuwe, benterokannya tak memberikan suara, keduanya jatuh di atas meja teh, meja itu tidak lecet. Demikian Tan Hong dan isteri memperlihatkan kepandaiannya hingga karenanya Tjee Hong yang tadi demikian besar kepala, sekarang menjadi berdiri menjublak hingga sekian lama... Tan Hong sendiri sudah lantas mengangkat surat penghaturan terima kasihnya, ia bawa itu ke depan mulutnya, untuk ditiup, atas mana kert as itu terbawa angin terbang keluar tembok pekarangan dari mana lantas terdengar suara: "Sungguh liehay! Baiklah, di tiamtjiang tay saja kita nanti bertemu pula!" Tiamtjiang tay itu ialah panggung perwira peranti mendaftarkan nama. Tan Hong tidak membilang suatu apa atas suara orang itu, ia hanya tertawa. "Tjee Taydjin kaget..." katanya. "Silahkan duduk!" Harimau Gielimkoen itu tidak berani duduk, bahkan tubuhnya bergemetar. Ketika ia berkata, suaranya pun sabar: "Tjee Hong tongni a dari Gielimkoen membawa firman Sri Baginda untuk menghadap Thio Tayh iap, maka itu tolong tayhiap menitahkan mundur orang-orang di ki ri kanan!" "Aku bukannya se-atasanmu, untuk apa kau menghadap padaku?" berkata Tan Hong sabar. "Kau duduklah! Adik In, pergi kau bersama Sin T joe masuk ke dalam." Ia mengulurkan sebelah tangannya, memegang pelahan tangan isterinya seraya ia menambahkan: "Kuwe Souwtjioe ini lezad sekali, tolong kau ti nggalkan dua potong untukku sebentar." "Aku tahu!" sahut sang isteri tertawa, lalu dengan menuntun Sin Tjoe ia pergi ke dalam. Liong Teng heran menyaksikan sikapnya Nyonya Thio itu. Tadinya si nyonya bersika p tegang akan tetapi sekarang ia tabah, bahkan tenang luar biasa. "Inilah Liong Piauwsoe yang menjadi sahabat karibku," kata Tan Hong kemudian memperkenalkan tuan rumah yang menjadi sahabatn ya itu, "maka itu, harap Tjee Taydjin menanti sebentar, hendak aku bicara dulu dengannya, setelah itu baru aku menyambut firma n. Toh belum terlambat, bukan?" Tjee Hong tidak berani mencegah, dengan tidak banyak omong, ia berduduk. "Jangan sungkan, Tjee Taydjin," Tan Hong berkata pula. "Silahkan minum tehnya da n dahar kuwenya!" Kemudian ia berpaling kepada tuan rumah seraya berkata: "Liong Toako, aku ada mempunyai serupa barang untuk dipersembah kepadamu." Dan ia mero go sakunya mengasi keluar sepucuk surat, yang mana ia serahkan pada itu piauwsoe . Liong Teng menyam-buti untuk segera mengundurkan diri. Di luar ia periksa surat itu yang diberikuti cheque dari sebuah bank paling terkenal di kota Souwtjioe, j umlahnya tiga puluh ribu tail perak. Suratnya berbunyi ringkas saja: "Di daiam tempo tiga hari, piauwkiok ini terjamin keselamatannya." Liong Teng terkejut akan tetapi ia mengarti. Itu artinya, di dalam tempo tiga ha ri itu ia mesti membubarkan sekalian pegawainya, untuk menutup perusahaannya itu , sedang uang itu mesti segera ditukar di sebuah bank di kota Pakkhia itu, untuk dipakai seperlunya ia tidak berani menerima itu uang tetapi ia memang lagi keku rangan, terpaksa ia menerimanya juga. "Biarlah lain kali aku membalas budinya," pikirnya. Ia berterima kasih kepada Ta n Hong, kecerdikan siapa ia kagumi. Tan Hong seperti dapat meramalkan segala apa dan selalu telah siap sedia untuk melayani sesuatu. Hal ini membuatnya berhati lega. Tidak lama berselang terlihat Tan Hong keluar bersama-sama Tjee Hong, sambil ter tawa riang ia berkata kepada tuan rumahnya: "Kau lihat datangku ke kota raja kal i ini, sungguh aku beruntung! Bukan saja ada sahabat yang mengantarkan kuwe kepa daku, bahkan Sri Baginda juga mengundang aku menghadirkan pesta di istana! Ha ha , Liong Toako, kau gemar minum arak, nanti pulangnya aku membawakan sebotol arak istana untukmu mengicipinya!" Terus ia menepuk-nepuk bajunya, tingkahnya se derhana, mirip dengan orang yang hendak mengunjungi pesta sahabatnya. Dengan wajar ia terus pergi bersama Harimau Geliemkoen itu. Sebenarnya, dengan kedatangannya ke kota raja itu, Tan Hong memikir mencari keti ka yang baik untuk menemui Kaisar Kie Tin. Ia mau mendayakan terhapusnya bahaya perang yang merusak itu sekalian untuk mengadakan persekutuan Tiongkok Iran. Ada lagi dua maksudnya yang lain. Tapi ia tahu baik kaisar membenci padanya, maka i tu selama setengah bulan berada di Pakkhia ini, ia sudah mengatur segala apa. Ia hanya tidak menyangka, mata-mata raja sudah lantas dapat mengetahui kedatangannya itu dan ia segera ditemui untuk diundang ke istana. Perjalanan dari piauwkiok ke istana cuma meminta tempo tak lebih setengah jam, m aka di lain saat Tjee Hong sudah mangantar orang undangannya jalan di dalam tama n raja, terus melintasi beberapa istana hingga tiba di ranggon Bansioe Kok, yang pernahnya di ujung timur dari taman itu. Itulah tempat peranti raja menjamu men teri-menteri kepercayaannya. Ketika itu sudah magrib, api dinyalakan terang-terang. Maka segala apa nampak te gas. Di situ diatur tiga buah meja. Meja kaisar ialah yang di tengah. Di kiri ta mpak In Tiong. Meja sebelah kanan masih kosong. Terang itu untuknya, pikir Tan Hong. Di kiri dan kanan berdiri sejumlah pahlawan , melihat siapa, hati orang she Thio ini berdenyut juga. Di kiri dan kanan Kaisar Kie Tin berdiri pula empat orang lain. Mere ka itu tidak mengenakan seragam. Vang satu ialah seorang imam, dan Tan Hong kenali Tek Seng Siangdjin. O ra n g di sampingny a dia ini, yang memakai baju kasar dengan makwa besar, yang tang annya cuma satu, Touw Liong Tjoentjia adanya. Tangan kanannya itu lenyap dalam pertempuran di Thiamtjhong San, dibikin patah o leh In Tiong yang menggunai tenaga besar Taylek Kimkong Tjioe. Karena ini tidak heran kalau dia mengawasi si orang she In dengan mata tajam. Dari dua orang yang lainnya, yang satu berusia kurang lebih empat puluh tahun, t ubuhnya besar dan kekar, bajunya baju panjang sutera tetapi dandannya tidak keru an, bukan sasterawan bukan imam. Orang ini tak dikenal Tan Hong. Orang yang ke empat, yang berdiri paling dekat dengan kaisar ialah seorang tua d engan romannya istimewa, karena jidatnya menjulang tinggi, pempilingannya munjul, sedang hidung nya bengkung, matanya celong dan tajam. Yang lebih menyolok mata ialah kedua tangann ya merah sebagai tjoesee, sepuhan. Diam-diam Tan Hong memikir. Ia tidak usah kuatir untuk Tek Seng Siangdjin dan To uw Liong Tjoentjia, tidak perduli mereka ini orang kosen kelas satu. Yang ia mesti perhatikan ialah orang tua itu. Ia menduga diala h Tjio Hong Po, satu guru silat yang menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, yang tersohor untuk ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet tjioe, ilmu silat Memecah Otot Mem atahkan Tulang. Pula si orang yang ketiga tak dapat dipandang ringan. Maka itu, ia bersiaga, tetapi pada wajahnya ia tidak mengentarakan sesuatu. Dengan sabar i a bertindak memasuki Bansioe Kok. Dengan lantas Kaisar Kie Tin kata sambil tertawa pada Yang Tjong Hay, yang turut hadir bersama pahlawan-pahlawan rekan atau sebawahannya: "Aku telah bilang Thio Sianseng pasti bakal datang, kau lihat sekarang, dugaanku tidak salah!" "Firman Sri Baginda..." menyahut Yang Tjong Hay. Sebenarnya pahlawan ini hendak memuji junjungannya itu dengan menyebut pengaruh firmannya, tetapi ia dipegat tertawanya raja, yang tertawa berkakak, ya ng pun berkata pula: "Thio Sianseng ada enghiong besar, hookiat besar dari ini j aman, mana ada aturan dia tidak bakal datang!" Mendengar itu, Tan Hong bersenyum. "Tidak berani hambamu menerima sebutan enghiong dan hookiat besar!" ia berkata. "Hanya benar pada sepuluh tahun dulu Tan Hong berani datang ke negeri Watzu untu k menghadap Sri Baginda, sedang hari ini, di dalam wilayah negara sendiri, denga n menerima panggilan firman, mana dapat Tan Hong jeri untuk datang juga?" Wajah Kie Tin ber-semu merah karena disebutnya peristiwa sepuluh tahun itu. Tapi ia menetapkan hati, ia paksakan diri untuk tertawa. "Benar!" katanya. " Tim dengan Thio Sianseng memang ada sahabat-saha bat karib!" Tan Hong tertawa lebar. "Itulah pujian yang tak berani kuterima!" katanya. "Jaman sekarang ini lain dari pada jaman dahulu itu. Dahulu hari Sri Baginda tinggal di dalam penjara dari neg ara musuh, baju yang dipakai baju tipis, yang didahar pun beras kasar, tetapi se karang ini Sri Baginda tinggal di dalam istana dengan loneng-loneng batu kumala yang terukir, jubahnya pun jubah naga yang tersulam indah, yang didahar ialah masakan-masakan istimewa yang lezad ! Haha! Inilah perbedaan bagaikan langit dan bumi! Maka syukur sekali Sri Bagind a masih mengingat persahabatan dahulu hari itu!" Kata-kata itu membuatnya pias wajahnya semua hadirin di ruang istana itu. Kaisar gusar bukan main, tetapi ia mencoba menguasai dirinya. Ia mesti pegang te guh keagungannya sebagai raja. Maka juga ia tertawa, walaupun dengan kering. Ia kata: "Sepuluh tahun sudah kita tidak bertemu, Thio Sianseng, tetap jumawa tak kalah daripada dahulu hari itu! Hong Po, ambilkanlah kursi untu k mengundang Thio Sianseng berduduk!" Diam-diam Tan Hong mengerutkan kening. Benar saja orang tua itu Tjio Hong Po adanya, ialah gurunya Tayiwee Tjongkoan Law Tong Soen. Dengan diam-diam juga ia lantas memperhatikan g erak-geriknya jago Hoenkin Tjokoet Tjioe itu. Dengan sikapnya hati-hati sekali, Tjio Hong Po mengangkat sebuah kursi, ia bawa itu untuk diletaki dengan perlahan-lahan. "Sri Baginda menghadiahkan tempat duduk!" katanya dengan nyaring. Sebagai ahli, Thio Tan Hong mengetahui orang telah mengerahkan tenaga dalam, den gan itu kursi itu telah dibikin rusak bagian dalamnya, bagai tauwhoe empuknya, m aka kalau ia duduk di situ, pasti kursi itu akan ambruk sendirinya. Tapi ia be rpura-pura tidak mengetahui itu. "Terima kasih!" katanya seraya melirik kursi itu. Ia pun berkata dengan menghada pi kursi, maka suara napasnya mengenakan alat tempat duduk itu. Segeralah terjadi sesuatu yang menajubkan. Agaknya Tan Hong meniup debu kursi itu, akan tetapi akibatnya luar biasa sekali. Bukan debu-debu yang terbang berhamburan, hanya kursinya sendiri yang ambruk menjadi setumpukan debu, antaranya ada yang melayang-layang! Kaisar kaget hingga mukanya pucat, sedang Tjio Hong Po menjadi sangat likat. Memang Tan Hong merusak kursi dengan meminjam tenaga dalamnya Hong Po, akan tetapi tiupan itu memang dahsyat, maka juga Kie Tin, yang tidak mengetahui itu, hatinya goncang. Bukan main mendongkolnya Tjio Hong Po mendapatkan Tan Hong menggunai kecerdikannya itu untuk membuatnya mendapat malu, tetapi di dalam keadaan sepert i itu, tidak dapat ia mengumbar hawa marahnya, maka dengan terpaksa ia mengambil sebuah kursi lain. Tan Hong tertawa dan berkata: "Kursi-kursi yang sudah tua di istana harus dituka r dengan yang baru! Tapi ah, ini satu nampaknya masih cukup kuat..." Dan dengan toapan ia bercokol di atas kursi itu. "Terima kasih!" ia berkata pada Hong Po kepada siapa ia mengangguk. Mukanya jago she Tjio itu merah, tetapi ia berdiam saja. Lantas ia mengambil tempat di belakang orang, matanya saban-saban melirik kepada kaisar, s upaya, asal kaisar itu mengedipi mata, ia bisa turun tangan, untuk mematahkan tu lang-tulangnya Tan Hong! Kaisar menanti sampai tetamunya sudah berduduk, baru ia membuka mulutnya. "Thio sianseng," katanya, dingin, "kabarnya kau telah menerima seorang murid wan ita yang kau sangat menyayanginya, ialah puterinya Ie Kiam, apakah kau mengajak datang ke kota raja ini?" "Tunggu saja nanti setelah penasarannya Ie Kokioo dapat dilampiaskan, hingga seg ala apa menjadi terang jelas di seluruh negara, akan aku bawa dia menghadap Sri Baginda," menjawab Tan Hong tenang. "Hm!" Kie Tin mengejek. "Apakah kau tidak ketahui Ie Kiam itu mendurhak a terhadap timi Sudah bagus yang tim telah membebaskan dia dari hukum picis!" "Akan tetapi, Sri Baginda," berkata Tan Hong, pun dengan tawar. "Ingatkah peristiwa dahulu hari itu ketika Ie Kokioo datang menyambut Sri Baginda pulang k e negara? Bukankah Sri Baginda yang mengatakannya sendiri, berjanji bahwa untuk selama-lamanya Ie Kokioo tidak bakal dihukum mati?" "Thio Tan Hong, kau sangat kurang ajar!" Yang Tjong Hay membentak tanpa menanti tanda atau titah dari rajanya. Raja pun lantas berkata: "Ie Kiam itu sudah mendurhaka, karena selagi tim dalam kesusahan dia sudah Tjee Hong sudah mengantar orang undangannya, Thio an Hong, hingga tiba di ranggo n Ban Sioe Kok. Ketika itu sudah maghrib, api dinyalakan terang-terang. Maka seg ala apa nampak tegas. Disitu diatur tiga buah meja. Meja kaisar ialah yang di te ngah. Di kiri tampak In Tiong. Meja sebelah kanan masih kosong. Terang itu untuk nya pikir Tan Hong. Di kiri dan kanan berdiri sejumlah pahlawan, melihat siapa, hati orang she Thio ini berdenyut juga. mengangkat seorang raja baru, maka itu meskipun ia mempunyai kimpay, dia tidak d apat bebas dari dosa tak berampun! Thio Sianseng , sungguh tim tidak mengarti, m engapa kau tetap hendak menya-terukan timi" Tan Hong kembali tertawa dingin. "Jikalau aku menya-terukan Sri Baginda," katanya nyaring, "maka aku kuatir sampa i hari ini Sri Baginda masih merasakan tusukannya angin dingin dari negara Watzu yang merajuk ke tulang-tulang hingga tak tertahan sakitnya!" Berubah air mukanya kaisar. "Dahulu hari itu kau telah melepas budi terhadap tim\" katanya, keras. "Budi itu telah tim catat, dari itu tak usahlah kau mengungkat-ungkatnya pula." "Baiklah!" Tan Hong tertawa tawar. "Segala apa sudah lewat, segala kejadian dulu itu jangan ditimbulkan pula! Karena itu, mari kita bicara dari hal sekarang..." "Baiklah," berkata raja. "Yap Tjong Lioe paman dan keponakan bersama-sama Pit Kheng Thian sudah menerbitkan huru hara di Kanglam, syukur Pit Kheng Thian itu i nsaf akan kekeliruannya, dia telah menyatakan suka menakluk terhadap tim. Tidak demikianlah Tjong Lioe, benar dia sudah menyingkirkan diri entah ke mana tetapi di Toenkee masih ada Yap Seng Lim yang berkepala batu. Tim dengar Yap Seng Lim i tu keponakan muridmu, maka sekarang, kalau benar kau tidak menyaterukan aku, tim minta sukalah kau menulis surat kepadanya supaya dia suka datang menakluk." Tan Hong tertawa. "Kiranya sepucuk surat dari Thio Tan Hong ada sedemikian berharga hingga dia men dapatkan hadiah pesta ini!" katanya. "Inilah perbuatan yang bisa membikin Tan Ho ng kaget karena sangat dimanjainya! Tetapi, Sri Baginda, Tan Hong pun ada mempun yai tiga syarat untuk diajukan kepada Sri Baginda." Kie Tin tahu ia d-isindir, ia merasa sangat tidak senang. "Kau bilanglah!" katanya, suaranya dalam, tanda ia menahan sabar. "Syarat yang pertama tadi telah disebutkan," berkata Tan Hong. "Ialah aku mohon Sri Baginda mengumumkan kepada seluruh negara supaya penasarannya Ie Kokioo dapat dicuci bersih." "Yang kedua?" kaisar tanya. "Yang kedua ialah aku bersedia akan menulis surat kepada Yap Seng Lim untuk mint a ia datang menakluk," kata Tan Hong, "tetapi dalam hal ini aku percaya tidak na nti Seng Lim suka menyerah. Maka itu untuk kebaikannya kedua pihak, baik Seng Lim dibiarkan membawa pasukan perangnya sendiri menyingki r ke kepulauan Tjouwsen untuk dia berdiam di sana. Dengan begitu, tenaganya itu dapat dipakai untuk membela negara, guna dia menahan serbuannya perompak-perompa k bangsa kate. Keuntungan lainnya ialah pemerintah tak usah memberi gaji dan ran gsum kepada pasukan pembela negara itu. Umpama kata Sri Baginda hendak melindungi muka pemerintah, bolehlah dia dia nugerahkan sesuatu pangkat, agar di kepulauan itu dia dapat mengangkat dirinya m enjadi raja muda. Tidakkah itu namanya dialah suatu menteri dari kerajaan Beng y ang terbesar? Bukankah ini daya kebaikan untuk kedua belah pihak?" Tergerak juga Kie Tin atas usul ini. Tetapi hanya sejenak, ia sudah memikir lain nya lagi. Ia terpengaruh, hingga ia berkuatir, oleh kata-kata, "Memelihara harim au berarti bencana mengeram di dalam." Maka itu, ia lantas berdiam. "Sekarang syarat yang ketiga," kata Tan Hong tanpa ia perdu-likan raja itu. "Ah, mulut Thio Sianseng tentu sudah kering bekas bicara saja, baiklah kau minum secangkir arak untuk membasahkannya, " berkata raja. "In Tjonggoan , kau pun silahkan minum bersama!" Kie Tin sendiri mengangkat poci arak, menuang isinya ke dalam tiga buah cawan, k emudian ia menitahkan Yang Tjong Hay membawakan itu kepada Tan Hong dan In Tiong . Tan Hong yang dibawakan lebih dulu, selagi menyambuti arak untuknya, ia merampas juga arak untuk In Tiong itu, sambil berbuat begitu, ia kata sembari tertawa: " In Tjonggoan tidak kuat minum, biarlah aku yang mewakilkannya!" Dengan lantas ia mencegluk araknya, atau dengan lantas juga ia membuka mulutnya menyemburkan arak itu, hingga di antara bau harumnya, arak meluncur kepada Yang Tjong Hay! Tjio Hong Po sebat, ia membentur Tjong Hay hingga orang tertolak ke samping dan karenanya dia tak kena tersembur. "Thio Tan Hong!" menegur Hong Po, "di depan Sri Baginda kau berani berlaku kuran g ajar!" Sementara itu arak itu mengenai seorang pahlawan di belakang Tjong Hay, muka dia itu lantas saja melepuh seperti bekas kena api. Poci arak itu ada sebuah poci rahasia, di dalamnya terbagi dua, arak untuk raja sendiri arak istana, yang bersih, tetapi yang untuk Tan Hong, telah dicampurkan racun. Tan Hong bercuriga, maka ia ambil tindakannya itu. Syukur Tjong Hay d i- tolongi Hong Po, kalau tidak tentulah ia menjadi kurban. Menyusul tegurannya Hong Po itu, terdengar lagi bentakan lain dibarengi sama ber -kelebatnya golok. Itulah Touw Liong Tjoentjia, yang menghunus goloknya seraya terus menyerang. Thio Tan Hong tertawa bergelak dan berkata: "Aku tidak sangka aku seorang rakyat jelata telah begini dicintai raja hingga diundang menghadirkan pesta Hongboen H wee!" Sembari berkata begitu, ia mengebut dengan tangan bajunya, menyampok golok nya Touw Liong Tjoentjia, sebuah golok beracun, sedang lain tangannya, tangan ki ri, menangkis sambarannya Tjio Hong Po, yang pun terus menjambak kepadanya, untuk dicengkeram. Touw Liong Tjoentjia menjerit keras, goloknya mental terbang, tubuhnya terguling roboh akibat sampokan itu. Tek Seng Siangdjin sudah bersiap untuk membantu menyerang dengan kebutannya, aka n tetapi menyaksikan liehaynya Tan Hong, ia tidak berani berlaku sembrono. Tjio Hong Po tidak berhenti sampai di situ setelah sambarannya tidak mengenai sa sarannya, ia membalik telapakan tangannya, untuk terus menyerang lebih jauh. Kedua tangan ben-terok dengan keras, tubuh Tan Hong mundur dua tindak. Sebenarnya Tan Hong hendak menguji tenaganya Hong Po, tetapi sebab ia berbareng melayani Touw Liong Tjoentjia, tenaganya itu terbagi, sedang tenaga dalam mereka berdua hampir berimbang. Hong Po seorang ahli silat liehay, ia mengarti sebab mundurnya Tan Hong itu. Ia kata dalam hatinya: "Tan Hong baru menggunai lima bagian dari tenaganya, dengan itu ia dapat membebaskan diri dari tenagaku seribu kati, benar dia liehay, panta s dia dihormati banyak jago tua." "Sayang, sayang..." lalu terdengar suaranya Tan Hong. "Sayang apa?" tanya Hong Po heran. "Sayang kau seorang ahli silat kenamaan di Utara dan sudah berusia lanjut juga, kau kena dipedayakan muridmu, hingga kau menjadi budak orang!" menyahut Tan Hong. Hong Po menjadi gusar, hingga ia membentak: "Sekalipun gurumu, Tjia Thian Hoa, bertemu dengan ak u dengan hormat ia memanggil aku tjianpwee ! Tahukah kau itu?" "Maka itu juga, seorang harus bisa menempatkan dirinya!" sahut Tan Hong. "Orang mesti berhati-hati. Tetapi kau, dalam usia lanjutnya ini, kau berpikiran gelap, kau kesudian menjadi budak orang! Kau sendiri yang membuatnya dirimu dipandang rendah lebih dulu, ha bis, ada sangkutan apakah dengan aku?" Tan Hong berkata-kata dengan nasihat campur sindiran, Tjio Hong Po tidak dapat m enguasai dirinya lagi, sambil berseru ia menyerang pula, dengan tangan kirinya. Tan Hong berkelit dengan menggeser kaki- nya menurut jurus "Sang naga jalan mutar," atas mana ia disambar lebih jauh deng an tangan kanan si orang tua. Tan Hong membela diri dengan sebelah tangan menjaga dadanya, tangan yang lain me nghalau serangan. Ia menggunai ilmu silat "Siemie Tjianghoat" yang dapat membeba skan diri dari tiga serangan beruntun. Selagi membela diri, ia melirik ke arah I n Tiong, ia mendapatkan tjonggoan itu, berbangkit dengan tegar tetapi berkata dengan suara sedih: "Sri Baginda, aku mohon tanya, keluarga In bersetia turun temurun, maka apakah salah dosanya maka dua kali kami dihadia hkan arak beracun?" Pertanyaan ini disebabkan In Tjeng, ialah kakek In Tiong, ketika dulu diutus ke negeri Watzu, di sana ia menampak kesengsa raan, akan tetapi ketika ia kembali dengan selamat, Kie Tin menghadiahkan dia ar ak tercampur racun dan terbinasa karenanya. Maka itu sekarang di depan raja send iri, In Tiong menegur. Kie Tin terbengong menyaksikan Tan Hong tidak kena diracuni, bahkan dia dapat me nyerang Yang Tjong Hay dan sekarang jadi bertarung seruh sama Tjio Hong Po, seda ng ia kaget dan heran itu, ia mendengar tegurannya In Tiong ini. "Apa kau bilang?" ia tanya, terkejut, matanya di pentang lebar. In Tiong tengah bersedih dan mendongkol, maka ia menyahuti dengan keras: "Aku nu mpang tanya tentang undang-undang pemerintah, apakah siapa bersetia membela negara dia mesti menerima hukuman mati dengan diminumkan arak beracun?" "Eh, apakah kau bilang?" raja menanya, air mukanya berubah keren. "Kakekku diutus ke negara asing, buat dua puluh tahun dia hidup sengsara dengan menggembala kuda di sana," kata In Tjonggoan, "atas jasanya itu, seluruh pemerintah memuji kakekku itu, yang telah dibandingkan dengan Souw Boe, hingga namanya pantas dica tat dalam hikayat, akan tetapi begitu dia pulang, dia disambut sama arak raja ya ng dicampuri racun! Aku In Tiong, aku tidak berjasa benar seperti kakekku itu, a ku toh pernah bekerja untuk Sri Baginda, aku telah diutus ke negeri Watzu menyambut Sri Baginda pulang, maka itu aku mau tanya, kenapa Sri Baginda berbuat terhadapku seperti terhadap kakekku itu?" Ditanya begitu, Kie Tin tidak dapat menjawab. Justeru itu si orang tua, yang dandan sebagai anak sekolah, yang romannya kasar membentak: "In Tiong mengucapkan penasarannya, dia harus dibikin mati!" In Tiong menjadi sangat gusar hingga ia berjingkrak. Selagi suasana sangat tegang itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari beradun ya gelang, mendengar apa semua boesoe menjadi berdiam, hingga ruang menjadi sang at sunyi. Si pelajar yang kasar itu pun berdiri diam dengan sikapnya sangat menghormat. Di situ segera tertampak munculnya dua pasang priya dan wanita, yang jalan di de pan ialah seorang muda usia dua puluh lebih, pakaiannya perlente, sedang yang berjalan di tengah, mirip sepasang suami isteri, yang wani ta berambut merah sebagai orang asing. Yang jalan di paling belakang ialah seora ng wanita usia pertengahan yang romannya cantik, yang In Tiong kenali sebagai In Loei, adiknya. Sekonyong-konyong Kaisar Kie Tin tertawa. "In Tjonggoan, kau salah paham!" katanya nyaring. "Kakekmu itu difitnah oleh dor na Ong Tjin, sakit hatinya itu telah tim cuci bersih! Arak tim hari ini adalah a rak obat Siptjoan Toapouwtjioe, kenapa kau curiga tidak keruan? Apakah kau tidak melihat yang tim sendiri pun telah min um itu?" "Apakah kau sangka aku satu bocah cilik?" kata In Tiong dalam hatinya. Ia sudah hendak mengambil sikap keras itu tatkala ia melihat Tan Hong melirik padanya ber ulang- ulang, memberi tanda untuk ia jangan sembrono. Tan Hong memberi isyaratnya sambi l dia terus melayani Tjio Hong Po. Setibanya itu empat orang, si anak muda lantas menekuk lutut untuk mendekam meng hadap raja: "Hoeong Bans wee, sindjie datang menghadap!" "Kau, Kian Tjim!" berkata raja. "Ada apa kau datang ke mari?" Anak muda itu menyahuti: "Puteri dari Iran dari tempat yang jauh datang berkunju ng, sindjie menemani dia menghadap hoeong," ( Sindjie ialah anak raja membasahkan di rinya sendiri, dan hoeong ialah panggilan untuk ayah yang menjadi raja). Anak muda itu memang thaytjoe, putera mahkota dari Kie Tin. Ia muncul dengan mak sud sengaja. Lebih dulu daripada itu, guna mencapai maksudnya menghadap raja, Ta n Hong telah memikirkan jalannya. Ia ingat putera mahkota itu, seorang anak muda yang polos, yang katanya bercita-cita besar, maka ia hendak mengandali putera i tu. Ia pun mengharap, kalau thaytjoe dan pihak Iran sudah berserikat, mereka bersama dapat menyerang bangsa Tartar. Thaytjoe suka bekerja sama Tan Hong, hanya, belum dia semp at menghadap ayahnya, Tan Hong sudah lebih dulu kena diundang raja. Sebelum Tan Hong berangka t ke istana, ia sudah memberi kisikan pada In Loei, supaya isterinya segera mene mui thaytjoe. Maka itu, thaytjoe bisa muncul di saat ketegangan. Puteri Iran dan suaminya, Toan Teng Tjhong, memang dari siang-siang telah tinggal secara rahasi a di dalam istana thaytjoe itu. Puteri Iran pun segera memberi hormatnya pada kaisar, dengan suara merdu ia berk ata: "Puteri Iran bersama menantu raja, Toan Teng Tjhong, menghadap Sri Baginda Raja Kerajaan Beng yang maha agung, kami mewakilkan Raja Iran menyampaikan horma t sehormatnya kepada Sri Baginda serta juga memujikan Sri Baginda berbahagia dan panjang umur, rakyatnya selamat santausa dan negaranya makmur!" Puteri ini bicara dalam bahasa Tionghoa, yang ia telah apalkan setahu berapa rat us kali, maka itu ia bisa mengucapkannya dengan baik, hingga, mendengar itu, sen ang hatinya kaisar. Ia juga girang ada negara besar yang menghunjuk hormat padan ya, sedang pada masa itu, selagi pemerintah Beng lemah, ada negeri-negeri kecil yang sungkan membayar upeti. Toan Teng Tjhong pun lantas memberi hormat, bahkan sambil berlutut. Ia menjadi m enantu raja Iran tetapi ia tetap rakyat kerajaan Beng, maka itu ia tidak hendak berlaku kurang hormat. Habis itu, thaytjoe pun berkata: "Toan Hoema ini ialah buyut generasi ke delapan dari Toan Pengtjiangsoe dari Tali dan ia adalah saudara dari Toan Teng Peng, pengtjiangsoe yang sekarang, T oan Hoema sendiri, semenjak tujuh turunan, telah tinggal di Iran dan baru sekara ng ia kembali ke negerinya." Mendengar keterangan itu, hati Kie Tin tergerak juga. "Kongtjoe bersama hoema datang menghadap, ada urusan apakah?" ia menanya. Ia memanggil "kongtjoe (tuan pu teri), kepada puteri Iran itu. Puteri itu tidak paham bahasa Tionghoa, ia kurang mengarti, maka itu Toan Teng T jhong lantas menyalin perkataan raja. Mendengar demikian, ia tertawa, sambil menunjuk Thio Tan Hong, ia memberikan jaw abannya dalam bahasanya sendiri, maka lagi sekali suaminya mesti menjadi juru bahasa. Kata Teng Tjhong: "Puteri Iran telah memberikan kekuasaan kepada Thio Sianseng untuk Thio Sianseng menjadi wakilnya dengan kekuasaan penuh untuk berbicara dengan Sri Baginda merundingkan soal persahabatan dan perserikatan di antara kedua negara Tiongkok dan Iran." Thaytjoe juga lantas mendekati ayahnya untuk berkata dengan perlahan: "Kerajaan Iran ada kerajaan yang nomor satu besar di Asia, kekuatannya tidak lebih lemah d aripada negara kita, maka itu haraplah hoeong perlakukan dengan hormat pada utus annya itu." Kata-kata putera ini sebenarnya ada menurut ajarannya Tan Hong, tetapi kata-kata itu diturut raja, maka itu, pertempuran sudah lantas berhenti d an Thio Tan Hong diundang duduk pula. Malah raja lantas menanya pendapat yang luhur dari utusan Iran ini. Tan Hong bersenyum. "Inilah justeru itu urusan yang ketiga yang tadi hendak aku menjelaskannya," ia berkata. "Itulah aku minta istimewa kepada Sri Baginda untuk menganugerahkan Toa n Teng Tjhong menjadi hoan ong, atau raja muda turun temurun di Tali, supaya dia menguasai semua suku bangsa dan pembesar-pembesr di dalam seluruh wilayah Tali itu, sesudah itu barulah di kirim utusan ke negeri Iran untuk mewartakan agar ra ja Iran mendapat tahu yang puteri dan menantunya telah men- dapatkan perlakuan yang dihormati di Tiongkok." "Hal ini dapat didamaikan," berkata Kie Tin mengangguk, "hanya propinsi Inlam itu, semenjak Thaytjouw Hong tee membangun negara, telah t urun menurun diserahkan kepada Keluarga Bhok, kalau sekarang Tali hendak diangkat, dipisahkan dari kekuasaannya , firman harus dikeluarkan untuk memberitahukan dia serta mesti dinantikan jawab annya dulu, agar dengan begitu menjadi ternyata, terhadap menteri berjasa dan tu runannya, tim ada menaruh penghargaan." Tan Hong berkata pula: "Dulu hari Iran pernah diilas angkatan perang Mongolia, m aka kalau di sana orang menyebutnya 'bahaya kuning,1 orang takut bukan main. Dan sekarang bangsa Tartar, yaitu negara Watzu, sedang kuatnya, pengaruhnya sampai di Asia Tengah, b erbatasan dengan negeri Iran, maka jikalau Sri Baginda mengirim utusan ke Iran, untuk mengadakan perserikatan, untuk sama-sama menjaga diri dari ancaman Tartar itu, pastilah raja Iran akan menyatakan persetujuannya. Secara begitu juga, anca man bahaya untuk Tiongkok di bagian barat daya jadi dapat diperkecil. Itu pun ad a menguntungkan kedua belah pihak." Kie Tin mengangguk, tidak perduli sebenarnya ia tak menyenangi Tan Hong. "Nyata Thio Sianseng memikir keselamatan negara," ia berkata. "Maafkan pada tim. Silahkan minum tiga cawan arak!" Setelah itu raja pun, menitahkan hambanya menyiapkan presenan untuk Tan Hong. Mendengar perkataan raja itu, muka In Tiong pucat, ia kuatir raja nanti main gil a lagi. Ketika dia ini tertawa dan menjawab kaisar: "Tentang hadiah aku tidak da pat menerima, tetapi arak tidaklah apa, untuk membasakan tenggorokan!" Lalu tanpa bersangsi-sangsi, ia mencegluk kering tiga cawan beruntun. Hati In Tiong berde-nyutan, akan tetapi setelah mendapatkan Tan Hong tidak kuran g suatu apa, baru ia merasa tenang pula. Sekarang dapat ia memikir: "Kie Tin hen dak membuat perserikatan dengan Iran, ia mesti berlaku baik pada puteri Iran ini, karena Tan Hong sangat dipercayai puteri Iran, apabila dia dibikin cel aka, sama juga jembatan dirusak. Benarlah, tidak dapat raja tidak berhati-hati." Sebenarnya In Tiong membade hanya separuhnya. Kie Tin jeri berbareng mengagumi Tan Hong. Ia tidak menyangka Tan Ho ng demikian liehay, bahkan puteri negara asing dapat dipergunakan sebagai senjat a olehnya. Tan Hong lantas maju lagi satu tindak. Ia kata: "Sekarang ini anca man bencana tetap ada. Sudah bangsa Tartar menjagoi di barat daya, juga ada gangguan bajak-b ajak kate di tenggara, meski benar dia telah dilabrak tentera rakyat, setiap wak tu dia dapat mengacau pula. Dulu di timur daya ada ancaman bangsa Manchu, yang mengumpul kekuatan tenteranya di luar Sanhaykwan, senantiasa dia mengintai Tionggoan, maka itu jikalau Sri Baginda tidak meluaskan kebijaksanaan Sri Baginda serta pandai menggunai tenaga tentera dan rakyat, aku kuatir nanti terulang peristiwa Tobokpo yang kedua kali." "Walaupun tim kurang bijaksana, tim rasa tim bukanlah raja tolol," berkata Kie T in, "maka kalau Thio Sianseng sudi membantu pemerintah, inilah hal yang meminta pun tim tidak berani. Sebaliknya, umpama Thio Sianseng tidak sudi membantu tim , tim mengharap Sianseng tidak memb antu memperluas pengaruhnya kaum pemberontak." Dengan ini kaisar menimbulkan pula soal gerakan tentera rakyat di Kanglam. Mendengar itu, wajah Tan Hong tidak berubah, bahkan sambil tertawa ia berkata: "Jikalau Sri Baginda mau menangkis serangan da ri luar dan memperbaiki pemerintahan di dalam, rakyat negeri tentulah menunjang Sri Baginda, kalau tidak , meskipun ada satu Pit Kheng Than yang datang menakluk, di sana masih ada Yap T jong Lioe yang kedua yang nanti bangun pula!" Kie Tin berdiam. "Tiga syarat yang aku ke mukakan, semuanya tak sedap untuk kuping," Tan Hong kat a pula, "tetapi semua itu untuk kepentingan Sri Baginda sendiri. Dengan berserikat sama Iran, pastilah Tartar dapat dipengaruhkan..." "Bukankah dalam hal ini tim sudah menerima baik?" tanya raja. "Aku mohon Sri Baginda membiarkan Yap Seng Lim membelai semua kepulauan dan supa ya dihentikan pergerakan tentera menyerang tentara rakyat," kata Tan Hong langsung tanpa mem-perdulikan perkataan raja itu. Kie Tim mengerutkan kering. "Hal ini baiklah dibicarakan lagi nanti," ujarnya. Tetapi Tan Hong tidak memperdulikannya, ia berkata pula: "Untuk mencuci penasara nnya Ie Kokioo, haruslah Sri Baginda mengeluarkan permakluman, supaya rakyat sem ua mengetahui yang Sri Baginda sudah menginsafi kekeliruan dan dapat memperbaiki kekeliruan itu, hingga Sri Baginda menjadi seorang raja yang bijaksana. Dengan begitu saja maka pastilah rakyat aka n bersetia mati untuk rajanya." Kie Tin murka bukan main, hingga wajahnya menjadi guram. Maka dengan dingin ia k ata: "Kelihatannya sudah selayaknya tim mengangkat Sianseng menjadi juru penasih at!" Terus ia memandang ke kiri dan kanan, kemudian seraya menunjuk In Loei, ia menanya: "Adakah dia pembesar wanita yang menemani puteri Iran?" Atas pertanyaan itu, putera mahkota yang memberikan jawabannya. "Nyonya ini ialah Nyonya Thio Sianseng," katanya. "Benar nyonya inilah y ang menemani puteri Iran." In Loei bertindak maju, ia berkata: "Cucu wanita dari In Tjeng, In Loei, menghadap Sri Baginda, dan aku pun menghaturkan t erima kasih untuk budi Sri Baginda kepada keluarga kami beberapa turunan." Kie Tin jengah. "Kiranya ialah adik perempuanmu," katanya kepada In Tiong. "Pantaslah kau lebih suka meninggalkan kedudukanmu sebagai tjonggoan dan bersedia mengikuti iparmu pergi merantau. " In Tiong mendongkol sekali akan tetapi ia menahan sabar. Kie Tin tertawa, terus ia kata: "Baiklah, mari kita minum. Urusan negara boleh d ibicarakan pula lain kali!" Tan Hong masih hendak membuka mulut ketika satu orang kebiri muncul menyampaikan kata-kata perlahan kepada raja, atas mana raja lantas berkata: "Permaisuri mendengar kedatangan puteri Iran, ia menjadi gi rang sekali, maka itu ia mengundang tuan puteri serta suaminya masuk ke keraton untuk membuat pertemuan. Kian Tjim, pergilah kau menemani mereka bertemu sama ib umu." Puteri Iran tidak tahu apa-apa, ia girang dengan undangan itu, Tan Hong tetapi b erkuatir, hanya dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat mencegah. Setelah puteri itu dan suaminya masuk ke keraton, Kie Tin tertawa. "Kenapa Thio Sianseng tidak minum lebih jauh?" katanya. Selagi Tan Hong belum menyahuti, Tjio Hong Po sudah berkata: "Thio Sianseng adal ah ahli silat terbesar di jaman ini, tadi hamba sudah menerima pengajaran dari padanya, akan tetapi kita belum mendapat kegembir aan sepenuhnya, dari itu biarlah budakmu mempertunjuki lagi sesuatu guna membantu menggembirakan pesta ini." Kata-kata ini segera diiring perbuatannya. Dengan beruntun ia menyentil tiga can gkir terisi arak di hadapannya, hingga semua cangkir itu mental ke arah muka Thi o Tan Hong. Tan Hong tahu orang lagi membanggakan tenaga jeriji tangannya, ia bersenyum, lek as-lekas ia membilang: "Aku si orang she Thio mana berani menerima pemberian ara k kehormatan dari Lootjianpwee, maka itu dengan meminjam arak ini aku membalas menyuguhkan." Ia pun menggunai kepandaian Ittjiesian dengan apa ia mengembalikan ketiga cawan arak itu tanpa cangkirnya miring atau araknya mengeplok, melihat mana para hadir in pada memuji di dalam hatinya. Akan tetapi itulah belum semua. Tjio Hong Po hendak membaliki pula ketiga cawan itu tapi mendadak, tepat di hada pannya, cawan-cawan pada pecah sendirinya, sedang semua cawan itu terbuat dari batu kumala yang kuat. Inilah ia tidak pernah sangk a, terpaksa ia mengibas dengan tangan bajunya, menyam-pok araknya hingga arak it u muncrat ke empat penjuru. Semua boesoe terkejut, semua lantas pada berkelit, k arena cipratan arak itu keras menyambernya, seperti butir-butir peluru. *** "Sungguh liehay!" Kie Tin memuji, terpaksa. "Seorang mempertunjuki kepandaiannya tak sama dengan dua orang berbareng, karena kamu sama-sama pandai, Tjio Loosoe, coba lah kau main-main sebentar sama Thio Sianseng, supaya semua orang di sini, dapat membuka matanya." "Baiklah!" sahut Hong Po nyaring, menerima titah itu, bahkan ia lantas berlompat , melewati meja di depannya, untuk terus menendang, gerakannya itu sangat gesit. Walaupun orang bergerak dengan garang dan cepat itu, orang melihatnya Thio Tan Hong, duduk tenang di kursinya, hingga mereka menduga, tenda ngan itu pasti akan mengenai sasarannya, sebab itulah yang dinamakan "Serangan Jantung." Karena ini, walaupun semua boesoe tela h dikisiki, Tan Hong itulah musuh, mereka toh berseru sendirinya. Sebagai akibat dari tendangan dahsyat itu, di situ terdengar suara "Braak!" yang nyaring sekali, lalu tertampak kursinya Tan Hong kena ditendang terlempar dan j atuh hancur di lorak tangga, Tan Hong sendiri terlihat berdiri tenang-tenang saj a di dekat kursinya itu. Semua orang heran sebab tidak kelihatan sama sekali car anya Tan Hong itu mengelit diri. "Sungguh satu pesta Hongboen Hwee yang menggembirakan!" Tan Hong berseru sambil tertawa. "Sungguh sri baginda sangat me nghormati aku!" Belum lagi berhenti tertawanya orang she Thio ini, atau Tjio Hong Po sudah mener jang pula kepadanya, menerjang sambil berlompat, tangan kiri langsung dari depan , tangan kanan dari samping. Tan Hong mengenal itulah serangan untuk "memisah otot dan mematahkan tulang" ia tidak berani berlaku ayal-ayalan, dengan sebat ia membalik telapakan tangannya, untuk membarengi menghajar. Hong Po liehay sekali, dengan merangkap dua tangannya, ia membebaskan diri dari hajaran itu, lalu dengan tidak kalah sebatnya, ia mengajukan terus tangannya itu, untuk menjambak dengan semua sepuluh jari tangannya yang kuat, sebab ia menggunai tipu silat Engdjiauw kang, Kuku Burung Garuda. Siapa terkena tercengkeram, pastilah ototnya putus dan tulang-tulangnya patah. Atas serangan itu, Tan Hong mengundurkan diri, setelah mana, ia membalas menyera ng, dengan tipu silatnya dari Tiangkoen, Silat Panjang, kedua tangannya bergerak dari kiri dan kanan bagaikan "kampak membuka gunung" atau "martil besar menghajar batu." Hebat anginnya serangan itu, sampai para boesoe pada mengundurkan diri, hingga ruang menjadi luas, sedang ruang Bansioe Kok itu memang lebar di mana dap at diatur seratus meja perjamuan. Karena bergeraknya para boesoe itu, piring dan mangkok pada jatuh ke tanah, hanya karen a terbuat dari logam atau batu kumala, tidak sampai ada yang pecah hancur. Hoenkin Tjokoet Tjioe dari Tjio Hong Po ialah yang terliehay di jamannya itu aka n tetapi ditolak oleh angin kepalannya Tan Hong, dia toh tidak dapat mendesaki t ubuh untuk datang dekat kepada lawannya, dari itu, meski ia sudah menyerang beru lang-ulang sampai tiga puluh jurus, ia belum berhasil mengalahkan lawannya itu. Ia merasa jengah sendirinya ia telah membuka mulut besar di hadapan raja. Ia pun lantas menjadi gelisah sendirinya. Dalam sengitnya ia berseru, tubuhnya berlompat maju. "Duk!" demikian suara yang terdengar, tetapi bukan ia yang mengenakan sasarannya dalam rupa tubuh Tan Hong yang terpental, sebaliknya pundaknya sendir i yang kena terhajar kepalan orang yang diserangnya itu. Karena ia sudah merangs ak, ia menyambar terus tangan Tan Hong itu, untuk dicekuk. Atas ini, Tan Hong me narik pulang tangannya itu seraya ia menolak dengan tangan yang lain, maka terja dilah ia mundur beberapa tindak. Hong Po sudah mendesak, artinya ia berhasil merapatkan diri, maka hebatlah seran gan-serangannya lebih jauh, sampai Tan Hong nampak terdesak, melihat mana para b oesoe mendapatkan jagonya lebih unggul. Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen girang sebab gurunya menang di atas angin, ia sampai berse ru-seru dengan pujiannya. Selagi pertempuran berlangsung terus, Tan Hong yang nampaknya terdesak mendadak membalas menyerang tiga kali saling susul, karena ini, dadanya menjadi terbuka sendirinya. Tong Soen melihat kekosongan itu, ia berkata di dalam hatinya: "Sung guh lucu kau yang dinamakan ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, kau tid ak mengarti ilmu silat Hoenkin Tjokoet Tjioe dari guruku! Di hadapan musuh tangg uh kau membuka dirimu secara begini, itu tandanya kau cari malumu sendiri!" Hampir komandan Gielimkoen ini berseru keras ketika pertempuran itu, yang berlan gsung terus, memperli- hatkan gerakan tangan kanan Hong Po, sedang tangan kirinya menahan tangannya Tan Hong, tangan kanan itu membacok lengan lawannya. Kelihatannya lengan Tan Hong itu bakal terhajar hingga patah, sedang dadanya pun seperti terjambret tangan kiri lawannya, yang sudah bergerak lebih jauh menyusuli tangan kanannya i tu. "Bagus!" Tong Soen berseru saking gembiranya. Cuma sebegitu dia berseru, atau lantas terdengar jeritan "Oh!" dari Tjio Hong Po , yang kedua tangannya tertarik pulang dan tubuhnya mundur tiga tindak, setiap tindakannya berat hingga mengasi dengar suara, suatu tanda ia mundur sambil mempertahankan diri untuk tidak roboh. Mukanya pun menunjuki dia jengah sekali. Apakah yang sebenarnya telah terjadi? Thio Tan Hong menginsafi lawannya hendak mengerjakan pukulan dari Hoenkin Tjokoe t Tjioe yang liehay itu, untuk membikin otot-ototnya putus dan tulang-tulangnya patah atau remuk, ia melihat kesulitannya untuk bertahan tanpa tipu daya, maka i tu sesudah melayani sekian lama itu, ia lantas menggunai akal. Itulah dengan sen gaja ia menyerang dengan dua tangan berbareng, hingga kelihatannya ia membuat lo wongan. Sambil memasang umpan itu, ia mengumpulkan tenaganya di dada, untuk meli ndungi diri, guna mengerahkan tenaga itu. Sedang jalan darahnya soankie hiat, ia tutup, guna menghindari diri dari totokan. Justeru tepat dugaannya, jari tangan kiri Hong Po menyambar ke tempat yang berbahaya itu di da da. Tapi segera Hong Po menjadi kaget sendirinya. Dada itu lembek bagaikan kapas, bukannya dia yang dapat menjambak, justeru jari-jari tangannya itu yang kena terbetot, lalu telapakan tangannya dir asakan sakit, hingga tubuhnya terhuyung. Ia menjambret tangan kanan Tan Hong, un tuk mempertahankan diri. Tapi Tan Hong meronta melepaskan tangannya itu, sedang tangan kirinya dipakai menyambar ke teng-gorokan lawan, jeriji tangannya mengancam ke bagian leher yang berbahaya itu. Hong Po kaget bu- kan main melihat ancaman itu, sebab ia telah mengenal dengan baik hebatnya Ittji esian dari lawannya itu. Dengan terpaksa ia menarik pulang kedua tangannya, untu k mengundurkan diri. Karena ia kesusu, ia bertindak cepat tetapi berat. Tan Hong sendiri tidak maju untuk menggunai ketika untuk menyerang lawannya itu, ia malah bersenyum, tangannya cuma menolak. Di dalam hatinya ia berkata: "Inila h sungguh berbahaya, baiknya dia tidak melihat tipu daya aku... kalau dia menjambak tiga d im saja di luar batas jalan darah soankie hiat, kita bisa celaka berdua..." Kare na berkasihan kepada orang tua itu, yang sudah sedemikian liehay, ia tidak membalas menyerang, Sambil bersenyum, ia kata: "Tjio Lootjianpwee, sungguh liehay kau p unya Hoenkin Tjokoet Tjioe itu, di dunia ini tidak ada tandingannya, karena aku sudah takluk, baiklah kita tidak usah mencoba-coba terlebih jauh. Akurkah, lootjianpwee?" Hong Po bermuka merah, ia tidak dapat berkata-kata. Lalu si orang kasar, yang memakai jubah panjang dan kopiah seperti mahasiswa, berlompat maju ke depan, tangannya, yang memegang kipas, mengibaskan kipasnya itu. Ia pun berkata dengan nyaring: "T hio Tan Hong, aku si orang she Tjiok yang bodoh, kebetulan aku dapat menghadiri pesta ini, maka itu tidak dapat tidak, mesti aku belajar dengan ilmu silatmu yan g nomor satu di kolong langit ini!" Suara itu sangat menantang lalu itu diteruskan dengan tikamannya dengan kipasnya itu, yang sebenarnya terbuat dari besi. Mendengar orang menyebut dirinya she Tjiok, In Tiong bersama In Loei lantas mend apat tahu bahwa orang adalah Thiesie Sieseng Tjiok Tay Tjee, si Mahasiswa Berkip as Besi. Dialah si mahasiswa kebantul di tengah jalan, lalu dia mempelajari ilmu silat, dia beroman kasar tetapi dia berdandan sebagai mahasiswa , maka itu, romannya jadi tidak keruan. Dalam ilmu silat, dia berhasil, maka jad ilah dia seorang yang liehay. In Tiong menjadi gusar sekali. Terang Tan Hong hendak dikepung berdua. Maka ia maju seraya mementang kedua tangannya, hingga ia membuatnya beberapa boesoe di depannya menjadi terpelanting, sambil maju terus, ia menanya nyaring: "Benarkah ini pesta Hongboe n Hwee?" sedang dengan tangannya ia menyampok kipas besi si orang she Tjiok. Seb enarnya ia hendak menyerang tapi ia batalkan itu sebab segera ia mendengar terta wa lebar dari Tan Hong sambil berseru: "Pertanyaan itu harus diajukan kepada Sri Baginda!" Sambil berseru itu, tubuhnya Tan Hong melesat tinggi, ke arah mejanya kaisar. Semua boesoe terkejut, segera mereka bergerak, untuk melindungi kaisar mereka, m eskipun mereka belum tahu niatnya Tan Hong. Hanya, belum lagi mere- ka bergerak, Tan Hong sudah tiba di depan raja. Tetapi, waktu Tan Hong mengulur tangan nya kepada raja, mendadak tembok di belakang raja itu terbuka sendirinya, lantas raja ngelepot masuk ke dalam tembok itu, yang menjadi pintu rahasia. Di itu saat juga, Touw Liong Tjoentjia dan Tek Seng Siangdjin, yang mendampingi raja, lantas maju menghadapi Tan Hong, untuk merintangi. Dari dalam pintu, yang sudah lantas tertutup pula, terdengar suaranya Kie Tin: " Thio Tan Hong hendak membinasakan raja, dia mendurhaka, maka tim memerintahkan m embekuk dia, dia mesti segera dihukum mati tanpa ampun lagi! In Tiong juga menga ndung penasaran, dia pun berdosa tak berampun, maka dia harus ditangkap bersama!" Mendengar itu Tan Hong tertawa dan berkata: "Sekalipun Ie Kokioo yang berjasa ma sih dihukum mati karena tuduhan memberontak, maka itu kalau Tan Hong menerima do sa ini, sungguh dia beruntung sekali, dia tidak dapat menampik kematiannya!" Di mulut Tan Hong mengatakan demikian, di hati ia menyesal sekali, sebab maksudn ya menawan raja, untuk dijadikan manusia tanggungan, gagal. Ia mengarti, ia baka l mesti berkelahi hebat menghadapi pahlawan-pahlawan raja itu. Tek Seng Siangdjin liehay ilmu silatnya yang dinamakan "Tek Seng Tjioe," Tangan Memetik Bintang, dengan tangan yang satu ia menyerang Tan Hong, disusul oleh tangannya yang lain, tetapi kenyataanny a, serangannya yang belakangan yang sampai terlebih dulu. Tan Hong tertawa dingin. Atas datangnya serangan itu, ia tidak menangkis, ia tid ak berkelit, hanya ia mengulur tangannya, untuk memapaki telapa-kan tangan si pe nyerang itu memapaki dengan jari tengah, yang disentilkan. Siapa kena sentilan ini, biasanya tulangnya patah dan remuk. Tek Seng Siangdjin melihat jerijinya lawan, ia menginsafi bahaya, maka ia lekas tarik pulang tangan nya itu ke samping, untuk dengan tangan yang lain menyambar pula ke arah tulang piepee Tan Hong. "Sungguh hebat!" kata Tan Hong tertawa. "Kalau kau meyakinkan ilmu silatmu lagi sepuluh tahun maka kau bakal tanpa tandingan di kolong langit ini!" Ia lantas me ngangkat pundaknya, sembari membentur tangan lawan itu ia memutar tubuh, tangannya diayun. Dengan begitu, ia membebaskan diri sambil berbareng menyambar tangannya si penyerang. Kalau benturan dilakukan dengan tenaga keras, sambaran itu memakai te naga lunak. Maka repotlah Tek Seng Siangdjin walaupun ia seorang liehay. Di dalam saat ia terancam bahaya itu, Touw Liong Tjoentjia membacok ke ar ah pundak Tan Hong. Inilah serangan golok yang berbahaya, sebab kendatipun Touw Liong Tjoentjia mempunyai cuma sebelah tangan, semenjak tangannya itu bercacad di tangan In Tiong di Tjhon g San, dia telah melatihnya itu dengan sungguh- sungguh. Atas datangnya serangan itu. Tan Hong tidak berkelit juga tidak menangkis, ia ha nya melangsungkan penyerangannya terhadap Tek Seng Siangdjin, karena sambil maju terus, ia seperti menghalau diri sendiri dari ancaman bahaya itu. Touw Liong Tj oentjia pun heran, ia bercuriga orang menggunai tipu daya, ia tidak meneruskan b acokannya itu. Justeru di detik itu, terdengarlah jeritan dari Tek Seng Siangdji n, yang tubuhnya pun roboh. Masih syukur untuknya, ia masih mencoba berkelit, ji kalau tidak tentulah patah tulang-tulang tangan- nya. Tan Hong tidak sudah dengan merobohkan Tek Seng saja, sembari maju, ia mem bentur satu boesoe yang berada di dekatnya, hingga boesoe itu terpelanting ke arah Touw Liong Tjoentjia. Besar tubuhnya boesoe itu, ketika Touw Long Tjoentjia kena dilanggar, dia terhuyung, hampir dia menubruk lantai. Hanya celaka boesoe itu, goloknya Touw Liong menancap di tubuhnya yang malang. Selagi Tek Seng Siangdjin belum sempat merayap bangun dan Touw Liong Tjoentjia belum keburu mencabut goloknya dari tubuh si boesoe, yang tertikam ulu hatinya, Tan Hong sudah bergerak terlebih jauh. Sebab dengan berbaren g ia diserang dari kiri kanannya, oleh dua boesoe. Ia berkelit dari serangan dari pihak kiri, ia memutar tangannya menangkap boesoe yang datang dari arah kanan, tepat ia memegang di bagian nadi, menyusul mana, ia angkat tub uh si boesoe, untuk menggunai tubuh itu sebagai alat senjata. Ia memutarnya deng an keras, merobohkan beberapa boesoe lainnya lagi, kemudian sembari berseru, ia lemparkan tubuh si boesoe kepada boesoe-boesoe lainnya, hingga lagi beberapa ora ng kena dibikin terhuyung jatuh. Dengan tindakannya ini, Tan Hong dapat membuka jalan untuk menyingkir dari ruang istana itu, hanya ketika ia berpaling kepada In Tiong, ia mendapatkan tjonggoan itu, si ipar, lagi bertempur sama Thiesie Sieseng Tjiok Tay Tjee. Guru dari In Tiong ialah Tang Gak, orang satu-satunya yang mewariskan ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe dari Hian Kie Itsoe, ilmu itu merangk ap dua-dua ilmu luar dan ilmu dalam, dan ia, yang mewariskan pula dari gurunya i tu, sudah melatih diri sepuluh tahun, maka itu ia percaya, meski ia tidak semahi r gurunya, ia sudah mewariskan delapan atau sembilan bagian, ia merasa dapat ia merobohkan orang she Tjiok ini, tidak tahunya, Tay Tjee itu liehay dan juga gerak-gerakannya luar bia sa. Tiga kali ia menyerang dengan Taylek Kimkong Tjioe, tiga-tiga kalinya ia men yerang sasaran kosong, kepalanya seperti terbetot kipas besinya lawan itu. Tan Hong telah menyaksikan liehaynya Tjiok Tay Tjee, segera ia teriaki iparnya itu: "Keras dan lunak bersama, dengan tangan im membela diri, dengan tangan yang membalas menyerang!" Tangan "im" itu ialah tangan dibalik ke bawah, dan tangan " yang" ialah tangan d ibalik ke atas. Dalam ilmu dalam, Tay Tjee kalah dari In Tiong, ia hanya liehay kipas besinya it u. Dalam ilmu silat Thaykek Koen pun ada sarinya pelajaran yang mengumpamakan, " dengan kekuatan empat tahil mengalahkan kekuatan seribu kati." Itu dia yang dise but ilmu lunak, lemas lawan keras. Kipasnya Tay Tjee liehay, kalau ia geraki itu , bukan saja ia bisa membebaskan diri dari serangan, ia pun bisa menyebabkan mus uh kehilangan keseimba- ngannya, hingga dapat ia meneruskan menyerang musuhnya. In Tiong mahir tenaga da lamnya, dia tidak sampai digempur keseimbangan tubuhnya itu. Begitu lekas mendengar pemberian ingat dari Tan Hong, In Tiong segera merubah ca ra berkelahinya itu. Dengan sebelah tangan ia melindungi dadanya, dengan tangan yang lain ia memperta hankan diri. Secara demikian, ia bergerak dengan lunak dan keras dengan berbaren g. Benar saja, Tjiok Tay Tjee lantas tidak berani mendesak sebagai semula. Ia bersi lat dengan mainkan saja kipasnya, sebentar dipentang, sebentar ditutup, kalau di tutup, ia menotok kepada jalan darah, kalau dipentang, ia membabat atau menikam. Setiap batang, yang menjadi tulang kipas itu, tajam sekali. Itulah benar semacam senjata yang i stimewa, maka juga In Tiong terpaksa kena didesak, tidak bisa ia membalas menyer ang. In Loei menyaksikan saudaranya itu jatuh di bawah angin, ia lantas lompat maju. Tay Tjee mementang kipasnya, membabat, atau segera matanya menjadi seperti kabur , sebab di depannya lantas terlihat empat atau lima orang wanita muda berbareng menerjang padanya, hingga cepat sekali hampir saja kipasnya kena dirampas nyonya itu. Ia baru berkelit, atau pundaknya kena dihajar tinjunya In Loei. Syukur ia mahir tenaga dalamnya, ia pun masih mencoba berkelit, maka ia jadi tidak terhajar hebat. Dalam pertempuran ini bukannya In Loei jauh terlebih liehay daripada kakaknya, i a hanya terlebih gesit, ia ditolong dengan kepandaiannya "Tjoanhoa djiauwsie" at au "Menembusi bunga melibat pohon." In Tiong mengutamakan kekerasan, menghadapi kelincahan, seperti Tay Tjee, ia menampak kesulitan, walaupun tidak kalah, ia su sah menang di atas angin. Tidak demikian dengan adiknya, yang tubuhnya sangat en teng dan pesat, bahkan dalam halnya enteng tubuh, In Loei memenangi suaminya, Ta n Hong. Maka janganlah Tay Tjee mengharap kipasnya bisa melanggar tubuh si nyony a. Dalam tempo pendek, ia kalah unggul, ia terdesak untuk membela diri saja. Tjio Hong Po berdiri menjublak di pinggir gelanggang. Dialah seorang sangat kenamaan, dia sudah kalah dari Tan Hong, seharusnya kalau dia tid ak membunuh diri, dia mesti kabur pulang ke kampungnya, untuk mencuci tangan, bu at menutup pintu. Itulah tindakan paling tepat untuknya. Tengah dia berpikir itu , Law Tong Soen menghampirkan padanya, untuk memberi hormatnya yang sehormat-hor matnya. "Harap soehoe membantui Tjio Soesiok ," murid ini memohon. Guru itu mengerutkan kening. "Tong Soen, mustahilkah kau tidak tahu aturan kaum kangouw?" ia menanya. "Harap soehoe ketahui, di sini ialah di istana kaisar, bukan di dalam dunia kangouw," berkata pula si murid. Hong Po melengak. "Benar," katanya, "aku diundang Sri Baginda, meski aku tidak memangku pangkat, a ku toh sama dengan sudah menerima gaji. Kenapa aku tidak harus membantu Sri Bagi nda? Laginya, jikalau aku mengangkat kaki, bisakah Sri Baginda memberi ampun padaku?" "Soehoe baru sekali keliru tangan, itu tidak berarti," Tong Soen membujuk pula. "Itu pun tidak terlihat lain orang kecuali aku dan Tjiok Soesiok. Kalau soehoe m engaku kalah dan lantas mencuci tangan dan menutup pintu, apakah itu tidak menge cewakan kaum kita? Laginya... laginya, kalau Sri Baginda bercuriga, apa jadinya dengan rumah tangga dan banda soehoe di Thaygoan?" Air mukanya Hong Po berubah, lalu ia menghela napas. "Sudah, jangan banyak bicara, aku sudah mengarti," katanya. Ketika ia menoleh ke arah pertempuran, ia mendapatkan Tay Tjee terdesak mundur In Tiong dan In Loei keadaannya berbahaya. "In Tjonggoan!" orang she Tjio ini lantas menegur, "kaulah hamba negeri, kenapa kau berani melawan Sri Baginda?" Kata-kata ini dibarengi sama majunya tubuh, dengan menyambarnya lima jari tangan sebagai kuku menyengkeram. In Tiong memutar tubuh, ia menghajar cengkeraman itu. Kedua tangan ben-terok, hingga terdengar suaranya yang nyaring, lalu keduanya sa ma-sama mundur tiga tindak. "Nanti aku layani dia!" Tjiok Tay Tjee berkata. "Kau bereskan ini bangsat wanita !" Orang she Tjiok ini jeri terhadap In Loei, sebaliknya ia merasa pasti akan dapat mengalahkan In Tiong, maka itu ia mengasi dengar suaranya itu. Hong Po mengerutkan keningnya. Ia bukannya takuti In Loei tetapi untuk menggunai ilmu silatnya, Hoenkin Tjokoet Tjioe, guna membetot otot-otot dan mematahkan tu lang, ia mesti dapat mencekal tangan, maka cara bagaimana ia bisa menyentuh tubu h seorang wanita? Tapi Tay Tjee sudah lantas menerjang In Tiong, terpaksa ia mesti melayani juga In Loei. Nyonya Tan Hong tidak mensia-siakan ketika. Ketika sebelah tangannya melayang, tiga lembar kimhoa, bunga emasnya, menyambar ke arah jago tu a itu, kepada Tay Tjee, kepada Tong Soen juga. Hong Po mengibas tangan bajunya, ia dapat menyambuti bunga emas itu. Tay Tjee menyampok dengan kipasnya hingga bunga emas mental. Cel aka Tong Soen, pundaknya kena tertancap senjata rahasia itu, ia lantas mengucurk an darah hingga ia tidak berani maju menyerang, bahkan dia lompat ke luar kalang an, mulutnya mengeluarkan gerutuan: "Meskipun kamu bertiga kosen seperti malaika t, hari ini tidak nanti kamu dapat lolos dari jaring langit dan jala bumi ini!" Ia lantas lari ke taman, untuk mengatur pengurungannya. Tjio Hong Po dapat menyambuti kimhoa, tetapi hatinya berce-kat. Katanya dalam ha tinya itu, "Kalau dia menyerang saling susul, aku tentunya tidak berdaya..." Kar ena ini ia merangsak, ia mengambil sikap untuk tidak memberikan si nyonya ketika buat menggunai lagi senjata rahasianya itu. Ia mengibas berulang-ulang dengan g erakannya "Siangliong kipsoei," atau "Sepasang naga menghisap air," dan dengan " Hoeisioe lioein," atau "Mengibas mega dengan tangan baju," ia hendak membikin la wannya roboh terguling. Di luar sangkaannya, ia mendapatkan nyonya itu sangat gesit, tu buhnya tak pernah kena disampok, bahkan ia sendiri yang sering-sering diserang s ecara tiba-tiba, di saat si nyonya berkelit. Tibalah saatnya In Loei menyerang. "Robohlah kau!" membentak Hong Po sambil ia menyambuti, tangannya meluncur kelua r dari dalam tangan bajunya. In Loei terkejut. Segera ia ingat musuh adalah ahli Hoenkin Tjokoet Tjioe, yang tidak dapat dilawan rapat. Maka itu, dengan satu jumpalitan yang sebat dan manis , ia lompat menyingkir. Setelah terpisah, keduanya sama-sama menyebut "Sungguh berbahaya!" di dalam hati masing-masing. Sebab In Loei hampir bercelaka, Hong Po sama juga kalau ia sampa i kena terhajar si nyonya. Setelah ini, jago she Tjio itu jadi penasaran, hatiny a panas, karena mana, ia mendesak tanpa sungkan-sungkan lagi, kedua tangannya bagaikan terbang saling sambar, sepuluh ja rinya pun saban-saban me-nyengkeram secara bengis. Ia bertekad bulat untuk membu at In Loei terbetot otot-ototnya dan terpa- tahkan remuk tulangtulangnya... In Loei tetap berkelahi dengan ilmu silatnya "Tjoanhoa djiauwsie." Ia berkelebatan, senantiasa berkelit dari serangan, hingga sekalipun ujung bajunya, tidak pernah dilanggar. Sembari bertempur, ia juga berpikir. Ia merasa percuma ia main berkelit terus. Maka itu, sesudah lagi beberapa kali ia m endesak dan lalu mundur, sekonyong-konyong ia berseru seraya tangannya yang puti h halus bagaikan kumala terayun! Segera setelah itu, di tangannya tambah sehelai ikat pinggang sulam, ia lah ikat pinggangnya sendiri, yang ia mau gunakan sebagai senjata. Hong Po terkejut ketika mukanya disambar berulang-ulang. Ikat pinggang itu bagai kan naga berkelebatan. Ia kata di dalam hatinya, "Ikat pinggang ini dia dapat pe rgunakan begini rupa, meski dia kalah tenaga dalam dari suaminya, dia sudah hebat sekah." Ia lantas melawan, sekarang ia ingin dapat menjambret ikat pinggang itu, untuk dihajar seperti otot-otot dibetot dan tulang-tulang dipatahkan. Beberapa kali Hong Po menjambret dengan sia-sia, atau satu kali, ujung ikat ping gang menyambar ke pundaknya. Sebab ikat pinggang itu, selain dapat dipergunakan sebagai djoanpian, cambuk lemas, bisa dipakai juga untuk menotok jalan darah. Jago tua itu berkelit. Sekarang ia semakin tidak berani memandang ringan kepada musuh wanita ini. Ia pun berlaku gesit untuk berlompatan. Maka itu, selama dua p uluh jurus, in Loei tidak bisa merobohkan dia, dia pun tak dapat menyambar ikat pinggang lawannya. In Tiong dengan Tjio Tay Tjee juga bertarung seruh. In Tiong terpaksa meloloskan golok lemasnya, yang dilibat di pinggangnya, dengan menggunai ilmu silat golok Ngohouw Toanboen too, ia menempur kipasnya lawan, maka goloknya itu berkelebatan , berkilauan tak hentinya, setiap gerakannya gesit tetapi berat. Tay Tjee benar liehay. Ia terus dapat melayani. Agaknya In Tiong mendesak, seben arnya ialah yang menanti waktu. Ia mau menggunai ketikanya guna menotok di saat si orang she In telah menjadi letih. Ia mengintjar tiga puluh enam jalan darah d ari In Tiong. Ia ini telah dapat pelajaran Taylek Kimkong Tjioe dari Tan Hong, ilmu itu dipindahkan ke golok, dengan begitu dia da pat bertahan. Tan Hong sendiri, habis merobohkan Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia, ia lantas menerjang sekalian boesoe. Dengan sampokannya, dengan jari tangannya, ia robohkan setiap m usuh yang menghalang dihadapannya. Dengan cepat ia merobohkan belasan boesoe, yang semuanya liehay. Tapi jumlah boesoe tak kurang dari seratus orang, mereka tetap mengurung, tidak gampang mereka diundurkan. Kemudian Tan Hong melirik kepada In Tiong dan isterinya, ia melihat mereka itu k ecantol lawan-lawannya, maka ia merasa, keadaan tidak bisa dibiarkan berlarut se cara demikian. Justeru ia hendak menerjang sambil berlompat, dua boesoe yang bersenjatakan gembolan segi delapan menyerang ke arah nya, menyerangnya berbareng, gembolannya turun bersama. Ia menanti hampir sampai nya kedua gembolan, mendadak ia berseru, tubuhnya mendak, kedua tangannya menyam bar. Tepat ia dapat menangkap tubuh mereka berdua, yang ia lantas ayun, untuk dibenturkan satu pada lain, hingga mereka menjerit, sedang gembolan mereka benterok satu dengan lain. Kedua, boesoe itu berkepala pusing, dan bermata berkunang-kunang, mereka r ebah tidak berdaya. Tan Hong membiarkan gembolan itu, sembari tertawa ia menerjang pula. Ia dapat ma ju setombak lebih. Segera ia dipegat oleh dua boesoe, yang ada muridnya Long Goa t Hweeshio dari Koenloen Pay, yang keduanya pandai menggunai pedang, yaitu Koenloen Kiamhoat, ilmu pedang Koenloen Pay. Mereka ini terhitung dalam Tay i wee Pattjioe. Delapan Jago Istana. Mereka pun maju dengan berbareng, yang satu menikam pundak kiri, yang lain pundak kanan. "Bagus!" berseru Tan Hong. "Mari kupinjam pedang kamu!" Belum lagi kedua boesoe itu tahu apa-apa, sudah "plak-plok," pipi mereka kena di hajar pulang pergi, dan pedang mereka segera kena dirampas. "Dengan memandang Long Goat Hweeshio, aku beri ampun jiwa kamu!" kata Tan Hong n yaring. Ia mengenali dua murid hweeshio itu. "Kamu belum pantas menggunai pedang , pergi pulang ke gunungmu untuk belajar lagi sepuluh tahun!" Setelah itu, dengan sepasang pedang rampasan itu, jago she Thio ini menerjang pu la. Ia mempergunakan ilmu silatnya yang kenamaan, Siangkiam happek, yaitu Sepasa ng Pedang Bersatu Padu, saban-saban ia menusuk lengan lawan, untuk membuat senjata lawan dilepaskan. Dengan sepasang pedang ini, kira-kira tiga puluh boesoe lantas mati kutunya. Ket ika Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia mencoba mengejar, ia sudah lolos dari kurungan. In Loei melihat suaminya itu, ia girang bukan main. Justeru itu, ikat pinggangny a kena disambar Hong Po, hingga kena ditarik dan putus. Biar bagaimana, ia terke jut juga. Sedangnya begitu, Tan Hong menteriaki: "In Loei, sambut pedang!" Dan sebatang pedang dilemparkan. Tjio Hong Po melihat datangnya senjata itu, ia hendak menanggapi, untuk merampas nya, tetapi In Loei menang sebat, si nyonya yang mendapatkan itu. Tapi Hong Po tidak mau mengarti, ia menya mbar terus, ke arah lengan si nyonya. Hampir ia berhasil, atau dengan sebat luar biasa, sambil tertawa lebar, Tan Hong lompat menerjang, gerakan mana disambut i sterinya, yang segera dapat memperbaiki diri, maka sejenak itu juga, bersatu pad ulah pedang mereka berdua, bagaikan dua ekor ular perak, sepasang pedang menyambar ke kiri dan ke kanan, dan berputaran juga, hingga Hong Po lanta s kena dikurung. Biarnya ia liehay dan nyalinya besar, Hong Po pun kaget. Itulah kurungan hebat untuknya. Mana dapat ia bertahan lama? Maka itu, ia berlaku nekat. Dengan mengam bil satu jurusan, ia berlompat, tangannya diulur, hendak ia merampas pedangnya In Loei. Ia berlompat menjumpalit dengan gerakannya "Yan Tjeng Sippat Hoan" ialah koentauw "Yan Tjeng berjumpalitan delapan belas k ali." Dengan diancam serangan itu, In Loei berkelit, justeru dia berkelit, Hong Po bis a meajauhkan diri kira tiga tombak, tetapi di antara seruan pujian "Bagus!" dari Tan Hong, Hong Po merasakan sesuatu yang adem kepada kepalanya. Segera ia mendapat kenyataan, rambut kepalanya sudah kena dibabat gundul oleh Thio Tayhiap! Bukan kepalang, murkanya guru Law Tong Soen. "Thio Tan Hong, kau sangat menghina aku!" ia menjerit. "Baiklah aku serahkan pad amu beberapa tulang-tulang tuaku!" Sebenarnya Tan Hong memuji dengan sejujurnya, karena lawan yang tua ini liehay, akan tetapi dalam malu dan murkanya. Hong Po mengangg ap lain, dia menyangka dia diperhi-na. Maka dia lantas lompat menerjang. Tan Hong mengerutkan kening. Ia sudah berlaku murah hati, sikapnya itu salah dit erima. Terpaksa ia berkata kepada isterinya, "Adik Loei, tua bangka ini beradat keras, kau tusuklah sambungan tangan di lengannya!" Sambil berkata begitu, Tan Hong membalas menyerang, diiringi In Loei. Sebab mema ng demikian cara mereka bersilat dengan Siangkiam happek, sepasang pedang bers atu padu. Serangan datang berbareng dari kiri dan kanan. Kembali Hong Po kena didesak. Ia mengibas dengan kedua tangannya, ia ingin membi kin terpental pedang- pedang lawan itu, tetapi "Sret!" maka tahu-tahu kedua ujung bajunya kena dibabat kutung pedang kedua lawannya itu! Inilah yang diinginkan Hong Po, yang hendak menggunakan tipu. Selagi orang mendapat hati, ia hendak membarengi menyerang dengan tiba-tiba. Ia hanya telah keliru menduga keliehayan dari Siangkiam Hiappek, yang sudah mencapa i puncaknya kesempurnaan. Ia baru berniat, tetapi fihak lain sudah bekerja. Ia t elah didahului diserang pula oleh sepasang suami isteri itu, yang pedang- nya seperti bekerja sendirinya. Bukan main kagetnya ia tatkala tahu-tahu ikat pi nggangnya kena disontek putus ujung pedang Tan Hong. Ia kaget sebab kalau pingga ngnya yang ditikam, celakalah ia. Ia bersyukur bahwa ia masih sempat bekelit. "Bagus!" Tan Hong memuji pula sesudah keadaan orang menjadi rudin, kepala gundul , ujung baju buntung dan ikat pinggang terlepas. "Tjio Lootjianpwee, kau berhasi l melayani tiga jurus di bawah ancaman Siangkiam happek, kau sungguh liehay, di jaman ini cuma beberapa orang saja yang dapat merende-ngimu! Lootjianpwee, aku y ang muda benar-benar kagum sekali! Lootjianpwee, kau tua dan gagah, namamu terma shur, kenapa kau masih rela menempatkan dirimu dalam kalangan budak-budak hina dina ini, dan memb iarkan dirimu diperintah pergi datang, hingga kau membuat dirimu terhina juga? Lootjianpwee, s ukalah kau dengar perkataanku, sebaiknya lekas-lekas kau pergi pulang!" Hong Po menyedot hawa dingin. Tepat ucapan Tan Hong itu. Memang juga ia turun gu nung bukan untuk mencari nama atau pangkat, ia sekedar menerima undangan. Pula i a tidak ingin menjadi jago. Maka sungguh tidak beruntung, setelah berada di dala m istana, pertama kali bertempur, ia menghadapi Thio Tan Hong suami isteri. Menu rut tingkat derajat, Tan Hong berdua berada dua tingkat lebih rendah darip adanya, tetapi toh ia hanya bisa melayani tiga jurus saja, bahkan ia hampir menjual jiwa di bawah sepasang pedang suami isteri itu. Karena ia insaf, tawarlah sudah hati nya, maka setelah menghela napas panjang-panjang, ia lompat melewati loneng, untuk terus menyingkir dari istana. Dan semenjak itu, benar-benar ia menuruti nasihat Tan Hong. Ia telah menjual rum ahnya, dan membawa keluarganya pergi ke tanah pegunungan yang sunyi, untuk hidup menyendiri, tak lagi ia memperdulikan urusan dunia. Di pihak sana, pertempuran antara In Tiong dan Tjiok Tay Tjee sudah tiba pada sa at yang memutuskan. Baru saja In Tiong habis menjalankan tiga puluh enam jurusny a, Ngohouw Toanboen too, baru ia hendak memulainya pula, mendadak Tay Tjee merubah siasatnya, dari membela diri menjadi menyerang, kipasn ya dipentang untuk menempel golok lawan. In Tiong terkejut, goloknya itu seperti disedot, hingga tubuhnya kena tertarik, dan ia kehilangan keseimbangannya sampai terhuyung. Justeru itu Tay Tjee menurun kan tangan jahatnya, sebelah tangannya menyambar dahsyat sekali. Justeru itu sinar pedang pun berkelebat, pedang Tan Hong tiba, meluncur ke arah telapak tangan orang she Tjiok itu! "Bagus betul!" dia berteriak sengit. "Inilah cara membokong!" Ia batal menyerang terus pada In Tiong, dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri dari tusukan itu. Tan Hong tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Jikalau seorang pandai bertempur, matanya mesti dipentang ke empat penjuru, kupingnya mesti dibuka ke delapan jurusan, tetapi kau, aku telah tiba di depanmu, kau masi h belum tahu! Dengan begitu, apakah kau masih menganggap dirimu gagah perkasa da n liehay? Jikalau aku niat membinasakan kau, pedangku tidak akan menjurus ke tel apak tanganmu tetapi ke tenggorokanmu, langsung! Kau kira, dapatkah kau memutar balik kipas besimu itu? Laginya mari kita bicara tentang aturan kaum kangouwl Di sini aku cuma bertiga, tetapi kamu jago-jago dari istana ini, telah keluar semu a seperti burung- burung meluruk dari sarangnya, maka itu, mengenai ini, apakah kau hendak kata?" Tjiok Tay Tjee mengeluarkan keringat dingin, diam-diam ia berpikir: "Memang, kalau pedangnya mampir di tenggorokanku, pasti sekali tidak dapat aku berkelit l agi..." Tapi, terpaksa, ia berkata: "Thio Tan Hong, aku tidak hendak mengadu bic ara denganmu! Mari, marilah kita mencoba-coba!" Tan Hong menyam-buti tantangan itu. "Saudara In, tolong kau halangi itu kawanan budak-budak, untuk sementara waktu s aja!" ia berkata kepada In Tiong, toakoe-nya. Kemudian dengan tindakan Poanliong Djiauwpou, ia menempatkan diri di damping In Loei, habis mana, ia kata nyaring pada Tjiok Tay Tjee: "Tjiok Tay Tjee, jikalau kau sanggup melayani kami berdua dua jurus saja, kami a kan mengikat tangan kami, untuk membikin kau mendapatkan pahalamu!" Setelah mengucapkan perkataannya itu, Tan Hong tidak menanti jawaban lagi, dan d engan cepat ia bergerak berbareng bersama In Loei, maka sekejab itu juga, Tay Tj ee telah kena dikurung mereka! Di saat bergeraknya Tan Hong berdua isterinya, di situ pun terdengar suara nyari ng dua kali, sebab In Tiong, dengan Taylek kimkong tjioe, telah membanting dua b oesoe yang coba merangsak kepadanya! Ilmu silat Siangkiam happek itu adalah ilmu pedang istimewa dari Hian Kie Itsoe. Ketika dulu Tan Hong dan In Loei belum berlatih bersama, dapat mereka mengalahkan Hek Pek Moko, maka sekaran g, sesudah latihan belasan tahun, mereka telah menginsafi kemahirannya itu. Hong Po kena mereka pecundangi, maka itu, Tay Tjee lantas kena mereka kurung rapat. Tay Tjee kaget bukan kepalang, terpaksa ia berkelahi dengan menggunai antero kepandaiannya, memasang mata dan kupingnya. Ia mau percaya In Loei lemah, ia men desak si nyonya. Tapi justeru ia menyerang nyonya itu, "Crok!" maka sapatlah pin ggiran kipasnya terpapas pedang Tan Hong! "Sayang!" In Loei mengeluh. Karena Tan Hong hendak berunding sama kaisar, ia tid ak mau membawa pedang, coba mereka membawa pedang mereka, Tjengbeng dan Pekin, tentulah kipas Tay Tjee akan sudah terpapas kutung! "Tangkisan kau ini tidak ada kecelanya!" berkata Tan Hong sambil tertawa. Tapi i a mendesak, hingga Tay Tjee mundur tiga tindak. Justeru orang mundur, In Loei mendesak, pedangnya meluncur. Tay Tjee tidak berdaya untuk menangkis, terpaksa ia merobohkan tubuhnya, tetapi meski begitu, ia tidak bebas seluruhnya, ikat kepalanya kena dipapas pedang si nyonya. Tan Hong tertawa berkakak. "Hayo merayap bangun!" ia berkata. "Mari sambut pula jurus yang ketiga!" Sebenarnya Tan Hong dapat mengambil jiwa orang apabila ia menghendaki itu tetapi ia sengaja berlaku lunak, supaya In Loei dapat membuat ma lu lawannya itu. Tay Tjee mendongkol bukan main. Ia tahu ia tidak akan sanggup melawan lagi tapi ia nekat. Dengan terpaksa ia berlompat bangun, untuk menyerang dengan kipasnya, menyerang In Loei. ia mengarah tujuh atau delapan jalan darah. Ia berlaku cepat luar biasa. Ia percaya bahwa ia telah mencapai puncaknya kesehatan, tetapi ia ti dak menyangka, lain orang masih dapat melebihinya. Tan Hong dan In Loei menggerakan pedang mereka, mereka menyambut dengan berbareng terjangan kipas itu walaupun se rangan diarahkan kepada In Loei seorang. Tay Tjee kaget tidak terkira ketika ia merasakan kipasnya terbentur pedang lawan , dalam sekejab kipas itu kutung menjadi empat potong, tangan kanannya hilang du a jerijinya, tubuhnya tertikam di tujuh tempat, sebab sambil memapas kipas, suami isteri itu terus men ikam berulang-ulang. "Aku mengasi ampun jiwamu!" membentak Tan Hong. "Apakah kau masih tidak hendak l ari merat?" Ketika ini Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia muncul bersama puluhan bo esoe , maka Tan Hong dan In Loei lantas menerjang mereka. Dengan cepat beberapa kurban roboh di pihak kawanan boesoe itu. "Mundur dari ruang, lalu kurung pula mereka!" Tek Seng Siangdjin berseru mengatur siasatnya. Ia masih mengharap dapat mengepung Tan Hon g bertiga. Tan Hong dan In Loei merangsak kepada Tek Seng Siangdjin, mereka menikam. Tek Seng Siangdjin liehay, sambil berkelit ia menyambar dua boesoe , masing-masi ng dengan sebelah tangannya, kedua boesoe itu dipakai memapak pedang, maka tertembuslah tubuh mereka oleh pedang suami isteri itu. "Sungguh kejam!" Tan Hong berseru sengit. Ketika ia hendak menyerang pula, Tek S eng sudah lari ke luar ruangan. Kawanan boesoe itu melihat sikapnya Tek Seng, yang takut mati, mereka pun lari m embubarkan diri, lari serabutan. Di mana rintangan sudah tidak ada, Tan Hong mengajak isteri dan iparnya keluar dari Ban Sioe Kok, terus menuju ke taman bunga. Di sini mereka lantas disambut tertawa nyaring Tong Soen yang terus berkata: "Thio Tan Hong, biarpun kau pandai seperti malaikat, h ari ini tidak nanti kau dapat lolos dari jaring langit dan jala bumiku!" Benar saja, di dalam taman itu, di antara pohon-pohon bunga, terlihat sangat ban yak bayangan orang, karena Law Tong Soen telah mengatur sembunyi seribu tukang p anah dari tangsi panah Sintjian eng Tangsi Panah Sakti. Dan begitu ia memberikan titahnya, turunlah hujan anak panah! Tan Hong dan In Loei mengerti bahaya, mereka tidak menjadi gentar. Dengan pedang mereka, mereka menghalau setiap anak panah. In Tiong pun turut menggunai Taylek kimkong tjioe, dengan apa ia sampok jatuh sesuatu anak panah yang meluncur ke arahnya. Hanyalah saja, ancaman bencana bukannya berkurang. Semua tukang panah itu adalah anggauta-anggauta pasukan Gielimkoen yang terpilih, tenaga mereka besar, panahan mereka jitu. Siapa saja y ang terkena panah, walaupun sebatang, ada harapan jiwanya melayang dengan segera. Menyaksikan hebatnya kepungan, Tan Hong tertawa getir. "Saudara kecil," katanya, "mungkin hari ini ialah hari terachir yang pedang kita bersatu padu menghadapi musuh, maka itu bilanglah, apakah kita harus merampas beberapa ratus jiwanya ini kawanan kuku garuda atau k ita menyerahkan diri secara begini saja?" Ketika belasan tahun yang lalu, Tan Hong pertama bertemu sama In Loei, yang meny amar sebagai seorang pemuda, ia memanggil saudara kecil kepada isterinya itu, panggilan itu telah men jadi kebiasaan, sampai mereka sudah menikah baru sang suami mengubah dan memangg ilnya "adik Loei." Cuma kadang-kadang saja, di dalam rumah, sedang gembiranya, T an Hong masih suka memanggil "saudara kecil." Mendengar panggilan saudara kecil itu, sedetik hati In Loei terkesiap, tapi sege ra juga dia memberikan penyahutannya "Engko, terserah padamu!" Jawaban ini menyatakan kepercayaannya yang besar sekali kepada Tan Hong yang ia puja. Biar bagaimana, Tan Hong menghadapi kesulitan besar. Kalau mereka nerobos keluar, ada harapan mereka kena terpanah. Kalau mereka bertahan terus, mereka bisa melindungi diri, tetapi sampai berapa l ama mereka dapat bertahan jikalau terus-terusan mereka terkurung? Maka itu, ia b ersangsi. Justeru mereka berbicara, dua batang panah menerobos masuk. Tan Hong segera meng ibaskan tangan bajunya. Ia merasakan serangan panah itu kuat sekali, suatu tanda si tukang panah adalah orang yang terlatih dan tenaganya besar. Gusar dan gelisah, Tan Hong mengertak gigi. Ia menjadi bulat tekadnya untuk menyerbu keluar. Di saat ia hendak menyeru kan, "Terjanglah!" mendadak dua batang anak panah meluncur naik dengan bersuara. "Hweeyam tjian!" ber seru Tan Hong begitu lekas ia melihat anak panah itu. Benarlah, setelah meluncur ke atas, dua batang anak panah itu mengasi dengar sua ra meletus nyaring, pecah dengan berhamburan lelatunya, mirip dengan kembang api , muncrat ke segala penjuru. "Eh, mengapa mereka melepaskan panah api?" In Loei tanya heran. "Itulah panah dari luar!" Tan Hong menjawab. Menyusul dua batang panah api itu, segera terlihat meluncurnya yang lainnya , belasan batang. Di antaranya ada Tjoayam tjian, ialah anak panah yang dapat melu ncur berliku-liku sebagai ular sebagaimana namanya anak panah itu menunjuki. "Tj oa" ialah "ular." Anak panah ini biasa meledak setelah turun dekat, apinya jahat , ke mana menyambarnya, di situ api itu menyala, membakar kalau mengenai rambut dan pakaian. Sekalipun pepohonan dapat terbakar panah ini. Maka nyatalah, hweeyam tjian dipakai untuk melawan musuh, da n tjoayam tjian untuk membakar benda. Law Tong Soen menjadi cemas sekali. Kalau hanya Gielimkoen yang terbakar, masih tidak apa, akan tetapi kalau taman yang terbakar habis bersama sekalian bangunan nya yang di dalam situ, bagaimana nanti jadinya? Maka segera ia memecah orangnya untuk me-nempur api, guna membasm inya hingga padam. Hanya celakanya, kalau di sini dapat ditumpas, di sana nyala lagi dan berkobar. Sudah begitu, taman sangat luas dan seribu serdadu Gielimkoen mengurung hanya di bagian Bansioe Kok, cuma di satu pojokan saja. Sebentar kemudian terlihatlah orang-orang kebiri lari serabutan sambil ramai ber teriak-teriak, karena api berkobar di sana sini. "Lekas nerobos!" berteriak Tan Hong begitu menyaksikan kekacauan itu. Inilah ket ikanya yang paling baik, sebab juga serangan anak panah lantas menjadi jarang, t ak lagi lebat seperti semula. Tek Seng Siangdjin muncul bersama tiga puluh kawannya, untuk mencegah, tetapi Ta n Hong menyerbu terus, malah dia mendekati pendeta itu, untuk menyambar padanya. Sambaran itu mengenai sasarannya dan terdengarlah suara mem-berebet, sebab robe klah kasee dari si pendeta. Syukur untuk Tek Seng Siangdjin, ia seorang liehay, maka dalam ancaman bahaya itu ia masih dapat berkelit, jikalau t idak, celakalah tulang pundaknya, sekarang jubahnyalah yang menjadi kurban menggantikan nyawanya. "Mengingat kepan-daianmu dapat ngelepot sebagai kura-kura, baiklah aku mengasi ampun satu kali lagi padamu!" berkata Tan Hong tertawa. Semb ari berkata begitu, ia meng- gerakan tangannya merobohkan beberapa boesoe yang berada paling de kat. Ketika itu terbit lagi kebakaran di beberapa tempat di dalam taman itu, yang mem buat kekacauan bertambah. Di situ memang ada tempat-tempat kediamannya selir-sel ir raja dan dayang-dayang, lauwteng atau ranggonnya, semua indah-indah melebihkan toathia, pendopo istana. Maka celakalah kalau semua bangunan itu habis dimakan api! Di saat sekalian orang kebiri dan dayang-dayang menjerit-jerit dalam kela-bakann ya itu, di arah barat daya terdengar satu seruan yang panjang dan lama, disusul sama seruan yang serupa yang keras dan nyaring di arah tenggara, lalu seruan itu terdengar seperti saling sautan. Segera menyusul suara lonceng tanda bahaya dari pelbagai menara di dalam taman itu, ialah dari penjaga-penjaga yang disiapkan m emberi tanda kalau ada ancaman bahaya. Itulah tanda ada orang jahat. Maka itu se kalian boesoed\ dalam taman itu menjadi kacau saking bingungnya. "Mereka itu cerdik sekali!" berkata Tan Hong tertawa, ia menyebutkan orang dari pihak luar itu. "Kecuali dengan melepas api, seruan mereka adalah jalan satu-sat unya untuk mengacaukan dan mengundurkan ini tentera Gielimkoen yang berjumlah besar!" "Berapa jumlah mereka, engko?" In Loei bertanya. "Terdengarnya telah datang beberapa orang, tetapi sebenarnya cuma dua," menyahut sang suami. "Kalau begitu, kepandaian mereka berdua tak ada di bawahan kita," berkata In Loe i. " Engko, belum pernah aku mendengar darimu bahwa kau mempunyai sahabat-sahaba t sebangsa mereka ini." "Mungkin sekali kita belum kenal mereka," berkata Tan Hong, yang ingat suatu apa . "Bisa jadi merekalah orang-orang yang ingin mengikat tali persahabatan dengan kita. Ah, bingkisan mereka berharga sangat besar, maka tak dapat tidak kita mesti membalasnya!" Dengan adanya perubahan itu, Tan Hong bertiga dapat menghembuskan napas lega, ti dak demikian dengan rombongan Law Tong Soen dan Vang Tjong Hay beramai. Bahaya a pi itu menggelisahkan mereka, dalam bingungnya itu, terpaksa mereka melonggarkan kurungan mereka, supaya tenaga dapat dipecah untuk memadamkan api. "Padamkan api paling dulu!" Tjong Hay berteriak. "Melindungi Sri Baginda nomor satu!" Tong Soen pun berseru. "Mari turut aku menangkap orang jahat!" berteriak Tek Seng Siangdjin, yang masih tidak kapok. Maka ramailah teriakan-teriakan mereka untuk memadamkan api, untuk menolong raja dan menangkap penjahat, mereka saling berteriak untuk saling memberitahukan kaw an-kawan. Dengan begitu juga, seribu serdadu Gielimkoen itu menjadi tercerai ber ai. "Tek Seng Siangdjin menghadiahkan aku jubahnya ini, sekarang dapatlah aku menggunakannya!" berkata T an Hong tertawa. Ia masih menyekal jubah si pendeta, yang ia kena robek dan ramp as. Lalu ia berlompat sambil mengibas-ngibas dengan jubah itu, menyebabkan api seperti ditiup dan menjadi berkobar. In Loei dan In Tiong bergerak mengikuti itu suami dan ipar, mereka menjaga diri dari setiap anak panah. Empat atau lima tumpukan api mereka lewatkan, selama itu, jubah suci itu telah kena terbakar api. Tapi sekarang mereka sudah t iba di pintu belakang dari taman. Di sana Touw Liong Tjoentjia bersama belasan boesoe lagi repot memadamkan api, mereka tidak menyangka yang Tan Hong bertiga dapat datang demikian lekas. Mulanya ia menyangka orang sendiri, sebab bergulungnya asap membuat mata mereka tidak dapat melihat tegas. Maka kagetlah ia kapan ia mengenali Tan Hong, hingga ia berseru tertahan. Tentu sekali, sudah kasep untuknya membela atau menyingkirkan diri. Tan Hong dengan be ngis menungkrap dengan jubahnya yang menyala dan In Tiong menghajar dengan Tayle k kimkong tjioe, maka di lain detik tubuhnya telah kena dilemparkan ke arah api yang berkobar-kobar itu! Belasan boesoe itu kaget, tidak berani mereka melawan, dalam sekejaban mereka la ri serabutan. In Tiong berlompat ke pintu taman, sambil berseru ia menyerang pintu itu, yang ia gempur dengan tenaganya yang dikerahkan. Hebat penyerangan Taylek Kimkong tjioe itu, pintu terdobrak terbuka walaupun ter buatnya daripada besi, maka dari situ Tan Hong bertiga menerobos ke luar, hingga mereka berada di bukit Keng San, bukit yang terletak di bagian belakang dari ta man itu. Dari atas bukit mereka memandang ke arah taman, ke arah istana, di mana kebakaran tidak dapat segera dipadamkan. In Tiong mendongkol sekali hingga ia berkata dengan sengit: "Sungguh satu raja g oblok yang tak dapat membedakan kesetiaan dari kedurhakaan! Kita hendak membela mereka, kita justeru diperlakukan begini rupa! Biarlah api ini membakar ludas semua istananya yang indah-indah itu! Beginilah baru aku puas!" Tan Hong tertawa, "Istana ini pun terbangunkan oleh peluh dan darahnya rakyat!" ia berkata, "maka sayanglah kalau semuanya dijadikan kurban api... Laginya, deng an sekarang terbakar, apa lain kali tidak dapat dibangun pula? Itu justeru akan menambah kesengsaraannya rakyat..." "Tetapi aku sangat membenci kaisar tolol itu!" kata In Tiong tetap sengit. Ia in gat masanya ia sangat bersetia kepada negara, kepada kaisar, tetapi begini macam nasib keluarga In, maka itu sembari mengawasi api, rupa-rupa perasaan datang me nyandingi otaknya. Dulu ia setia, berkobar semangatnya untuk bekerja untuk negara, tetapi sekarang, semangat itu seperti terbakar tumpas oleh api yang lagi berkobar-kobar itu... "Kau menyebutnya raja tolol, yang gelap pikirannya," berkata Tan Hong, yang tak lenyap kegembiraannya, "aku menaksir dia tentulah menganggap dirinya cerdik seka li! Bukankah kita semua dipandang dia sebagai orang-orang yang dapat mencelakai kedudukan kaisarnya? Pantas saja kita membangkitkan kebencianny a itu!" Lalu moayhoe ini menghibur iparnya itu. Sekarang In Loei ingat puteri Iran. "Coba bilang, engko," ia tanya suaminya, "pu teri Iran dan suaminya berada di dalam istana, mungkin mereka ditahan, apakah mereka terancam bahaya atau tidak?" "Bukan saja mereka tidak terancam bahaya," menyahut Tan Hong tertawa, "bahkan sebaliknya, mereka pasti akan diperlakukan hormat sekali oleh Kie Tin! Mereka itu bukannya seperti kita. Pasti sekali Kie Tin senang dapat berserikat sama satu negara asing. Bukan kah ia mengharapkan keselamatan tachta kerajaannya?" In Loei pun tertawa. Ia kata: "Dengan masuknya kita kali ini ke istana, kita tel ah mengajar adat kepadanya. Pasti dia kecewa yang dia tidak dapat menyingkirkan kau, engko. Sekarang tidak dapat tidak, ia mesti turut salah satu dari tiga jala n yang ditunjuki olehmu, untuk berserikat sama negara asing." Selama itu, api nampak mulai reda. "Kita jangan omong saja di sini," kata Tan Hong, memperingati, "kalau api sudah padam semua, ada kemungkinan mereka nanti mencari dan menyusul kita. Mari kita l ekas pulang!" "Pulang ke manakah?" sang isteri tanya. Tan Hong berpikir, lalu dia tertawa. "Lupakah kau orang yang mengantar kuwe kepada kita?" ia tanya. "Biarlah, malam-m alam juga kita berangkat ke Patatleng, untuk membalas kunjungannya itu! Dua sahabat itu berharga untuk kita mengi kat persahabatan dengannya." "Baik," sahut In Loei, setuju. "Kau biasanya tidak menduga keliru. Aku hanya tid ak mengerti, kenapa mereka ketahui alamat kita dan pun datang menolong di saat yang tepat. Kenapa mereka ketahui kita tera ncam bahaya? Kenapa mereka dapat berdaya meno-longi kita?" Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Tan Hong. In Tiong juga tidak dapat memikirny a. Maka itu ingin mereka lekas-lekas tiba di gunung Patatleng, untuk mendapatkan pemecahannya. Sementara itu mereka tidak menyangka yang murid mereka, untuk sesuatu hal, sudah mendahului mereka pergi ke gunung Patatleng itu . Di Hoeiliong Piauwkiok, seberlalunya Tan Hong, Liong Teng sudah lantas menga mbil tindakannya. Ia telah membubarkan semua pegawainya, ia tutup perusahaannya itu. Dengan begitu, Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe pun turut mengangkat kaki. Tadinya Sin Tjoe ingin menumpang sama Tjo Thaykam, untuk melihat perkembangan terlebih jauh, tetapi setelah memikir lainnya, ia mengambil lain pendapat. Maka dengan menunggang kuda putih, bersama Siauw Houwtjoe ia keluar dari pintu kota barat, untuk menuju ke k ota Kieyongkwan, hingga mereka tiba di luar kota itu. "Eh, entjie Sin Tjoe, perlu apa kau ajak aku ke tanah pegunungan ini?" Siauw Hou wtjoe menanya. "Anak nakal!" Sin Tjoe tertawa. "Kau paling gemar memain, sekarang aku ajak kau ke tempat di mana ada pemandangan yang paling aneh di kolong langit ini, ialah B anlie Tiangshia, itu tembok besar dan panjang yang katanya selaksa lie! Apakah kau tidak gembira?" Lantas si nona men-joroki orang turun dari kudanya, dengan kudanya itu terus dil epas dibiarkan mencari makan sendirinya. Ketika itu sudah magrib, di antara sinar layung, sungguh indah nampaknya Tembok Besar, yang bagaikan ular panjang dengan sinarnya kekuning- kuningan berlugat-legot di atas tanah pegunungan. Banlie Tiangshia ialah bangunan paling besar dalam hikayat Tiongkok, dari kota K eedjoekwan dia menyambung sampai di kota Sanhaykwan, berliku-liku di antara gunung-gunung sejauh dua belas ribu lie lebih. Di bagian kota Kieyongkwan ini ialah daerah yang menyam- paikan gunung Patatleng (Pataling), maka itu Sin Tjoe mengajak Siauw Houwtjoe pe rgi ke kota Kieyongkwan ini. Mereka mendaki bukit dari selatan kota, mereka naik ke atas Tembok Besar, maka dari sana mereka menyaksikan gunung-gunung yang sepe rti tak ada ujung pangkalnya, tembok kota panjang seperti ular terlihat kepalany a tidak ekornya. Berada di atas tembok dan tertiup angin, Siauw Houwtjoe bergembira sekali, hingg a ia berseru-seru kegirangan. Tetapi kapan ia ingat suatu apa, ia lantas mengawa si nona kawannya. "Entjie Sin Tjoe, benarkah cuma untuk aku memandangi tembok dan bukit ini maka kau mengajak aku ke mari?" dia bertanya. Nona Ie tertawa. "Apa? Tidakkah ini indah?" ia balik menanya. "Memang indah," sahut Siauw Houwtjoe. "Hanya sekarang sudah sore, kalau kita pul ang, pintu kota tentunya telah ditutup. Ah, aku tidak percaya hari ini kau mempu nyai kegembiraan mengajak aku pesiar ke mari" Si nona tertawa geli. "Malam ini, kita mencari pondokan di atas gunung Patatleng," ia berkata. "Eh, Si auw Houwtjoe, apakah kau takut nanti digegares srigala? Benarkah kau hendak pula ng kembali ke kota raja?" "Aku takut srigala? Ha! Aku justeru hendak mencari seekor untuk dipakai menangsa l perutku! Hanya guru kita, mereka tentu menantikannya di rumah Tjo Thaykam, kalau mereka tidak mendapatkan kita, bagaimana? Ah, entjie Sin Tjoe, kau biasanya sang at mendengar kata terhadap soehoe, kenapa sekarang kau berkuasa sendiri, kau men gajaknya aku kemari? Tentu ada sebabnya! Nah, entjie, apabila kau tidak menjelaskannya padaku , nanti aku mengadu pada soehoe1." Sin Tjoe tertawa. "Aku ajak kau ke mari justeru untuk menantikan soehoel" jawabnya mana. "Apakah kau lupa yang soehoe pernah berjanji sama orang yang menyebut dirinya Pa tat Sandjin itu, yang menjanjikan pertemuan di atas panggung Tiamtjiang Tay?" "Akan tetapi soehoe tidak menjanjikan temponya," Siauw Houwtjoe kata. "Sekeluarnya dari istana, soehoe tentu bakal terus menuju kemari, "Sin Tjoe mene rangkan. "Aku sendiri ingin lekas menemui Patat Sandjin itu, maka itu aku mendah ului datang ke mari untuk menyelidikinya. Aku percaya soehoe tidak bakal menegur aku." "Apakah kau kenal Patat Sandjin itu?" tanya Siauw Houwtjoe heran. "Tidak." "Habis kenapa kau mencari dia? Dia pun tidak berjanji bertemu soehoe malam ini? Mana kau tahu pasti yang dia akan menantikan di Tiamtjiang Tay?" "Kita cari dia di seluruh Patatleng, aku percaya kita dapat menemukannya." "Sebenarnya siapakah dia maka kau merasa perlu sekali menemukannya?" "Aku mengharap-harap dialah sahabatku yang telah lama aku dengar namanya tapi ya ng aku belum pernah menemuinya. Sudah, Siauw Houwtjoe, kau jangan banyak tanya l agi! Mari kita turun dari tembok panjang ini, kita masuk ke dalam rimba." Siauw Houwtjoe heran bukan buatan. "Sahabat yang kau belum pernah ketemui itu, dia laki-laki atau wanita?" tanyanya . "Laki-laki." Siauw Houwtjoe makin heran. "Ah!" serunya. "Jadi kau tidak sukai engko Seng Lim?" "Cis" muka Sin Tjoe bersemu dadu. "Kau iblis cilik, otakmu tidak jernih! Kau nga co belo lagi, nanti aku hajar kau!" Bocah nakal itu mengulur lidahnya keluar, ia terus bungkam. Orang yang Sin Tjoe ingin cari itu ialah Hok Thian Touw. Dia telah mendengar ket erangannya Yap Goan Tjiang si tabib ia dari See San bahwa si "pemuda gagah" berd iam di Patatleng, sedang orang yang mengantar kuwe kepada gurunya menyebut dirinya Patat Sandjin. Ia menc urigai bahwa dua orang itu hanya satu orang belaka, bahwa mungkin sekali dialah Hok Thian Touw. Ia mesti mendapatkan kepastiannya, Thian Touw benar sudah mening gal dunia atau masih hidup. Sin Tjoe menjadi besar di kota raja tetapi Banlie Tiangshia juga menjadi tempat pesiarnya, meski begitu ia belum tahu di mana letaknya panggung peranti apel panglima perang, ialah Tiamtjiang Tay, maka itu sekarang, sesudah sang malam mendatangi dan cuaca menjadi remang- remang, ia sibuk sendirinya. Untuk beberapa puluh lie si nona mengajak Siauw Houwtjoe berputaran, jangan kata Tiamtjiang Tay, sebuah gubuk pun mereka tidak mendapatkannya. Cuaca, semakin ge lap, si Puteri Malam pun mulai muncul. Di hutan terdengar suara angin malam, yan g membawa datang juga pekiknya orang hutan atau srigala. "Syukur malam ini bulan terang!" berkata Siauw Houwtjoe, yang nyalinya besar. "K alau tidak sungguh berbahaya apabila kita dibokong srigala? Bagaimana eh, apa malam ini kita terus pesiar di rimba ini sampai besok pagi?" Sin Tjoe tidak men- jawab hanya ia tertawa sambil melengak, lalu dari mulutnya keluar suara senandun g: "Terbang memutari tangi t untuk mencari burung pieek! Entahiah Leng In dan It Ho ng menclok di rumah siapa?..." "Ah entjie Sin Tjoe!" berkata Siauw Houwtjoe. "Di waktu begini kau masih mempunyai kegembiraanmu!" Tenaga dalam Sin Tjoe telah mempunyai dasarnya, maka itu sebutannya "Leng In" da n "In Hong" itu telah mendengung, berkumandang di dalam rimba itu, mungkin dapat didengar orang hingga jauhnya belasan lie. Hanya, sampai suara itu sirap, tidak ada terdengar jawaban untuknya. Malam itu rembulan terang dan jernih sekali, bunga-bunga hutan terlihat memain d i antara sampokan sang angin. Indah pemandangan itu. Suasana pun tenang dan tent eram, hingga itu merupakan kesunyian yang berbareng dapat menciutkan hati orang- orang yang nyalinya tidak besar. Tiba-tiba Sin Tjoe ingat pengalaman itu malam ketika bersama Leng In Hong ia ber ada di gunung Hoeyong San, bagaimana mereka memasang omong dengan asyik sekali pada malam indah seperti malam ini. Adalah di itu malam yang untuk pertama kali ia mendengar dari mulutnya In Hong tentang Hok Thian Touw, s edang ini malam dia lagi mencari Hok Thian Touw itu. Maka diam-diam ia memuji di dalam hatinya: "Semoga In Hong dapat mencari kawannya itu, agar mereka dapat ter bang bersama seperti si burung pie-ek! (Menurut kitab Djie Nge, burung pieek ini adanya di Selatan, namanya kiam-kiam, karena burung ini tidak terbang apabila tidak berpasangan, maka itu disebut pieek, sepa sang sayap.) Tengah si nona memuji itu, sekonyong-konyong terdengar suara "ser" dari me-nyamb ernya sesuatu, yang memecah kesu-nyiannya sang malam atau rimba itu, yang pun me nghentikan pujian si nona, menyusul itu sebutir batu jatuh tepat di depannya non a ini, Siauw Houwtjoe terkejut. "Ah, adakah dia manusia atau hantu?" katanya. "Aku seperti melihat berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus leny ap cepat sekali..." Belum berhenti suara bocah ini atau sebutir batu lain jatuh di depan mereka. Sebat luar biasa, Sin Tjoe berlompat ke arah dari mana batu itu datang. Ia mahir dalam ilmu enteng tubuh, akan tetapi setelah mengejar sekian lama, ia tidak ber hasil menyandak, ia tidak mendapatkan bekas-bekas orang. Ia mulai mendongkol juga, maka dengan rada sengit ia kata dal am hatinya: "Untuk entjie In Hong aku bercapai-capai mencari kau, kenapa kau seb aliknya hendak menguji kepan-daianku?" Ia lantas menghentikan tindakannya, atau lagi-lagi sepotong batu lantas jatuh di depan- nya. Dengan tiba-tiba Sin Tjoe mencelat dengan gerakannya "Cecapung menyambar air tig a kali beruntun," dengan tiga kali juga ia mencelat tak putusnya, setelah belasa n tombak, ia menampak satu bayangan orang di sebelah depannya. Ia baru mengempos pula, akan menukar napas, atau bayangan itu lenyap seketika. Dengan penasaran Nona Ie mengejar terus, kali ini ia mendapatkan bayangan itu se bentar nampak sebentar tidak, sampai achirnya ia tiba di sebuah batu bundar yang besar luar biasa, yang licin mengkilap, dan di antara sinarnya si Puteri Malam, batu itu bagaikan kaca rasa. Segera ia melihat tiga ukiran huruf di atas batu i tu, bunyinya "Tiamtjiang Tay." Ia me- lengak, karena itulah yang dinamakan batu peranti menyebut nama-nama panglima perang. Ia melengak tetapi ia sadar. "Nyatalah dia sengaja memancing aku sampai di sini," pikirnya. "Tepat di sinilah dia berjanji akan bertemu sama guruku. Rupanya dia kuatir, kalau soehoe sampai di sini, soehoe nanti tidak dapat mencarinya." Karena ini segera ia berseru nyar ing: "Sahabatnya Leng In Hong, muridnya Thio Tan Hong, Ie Sin Tjoe dan Thio Giok Houw datang ke mari mengunjungi Patat Sandjinl" Sin Tjoe kuatir orang bukannya Hok Thian Touw, maka sengaja dia menyebut namanya In Hong terlebih dulu. Setelah itu, ia menantikan jawaban. Batu Tiamtjiang Tay ini terletak di tempat di mana pepohonan tumbuhnya jarang, di waktu terang bulan seperti itu, segala apa nampak nyata, akan tetapi menantikan sekian lama, si nona tidak memperoleh jawaban, ia menjadi kurang senang. Ia memikir unt uk mengangkat kaki dari situ, tetapi Siauw Houwtjoe belum me-nyandak padanya. Terpaksa ia berdiam terus. Ia mengawasi ke sekitarnya, sampai ia melihat sebuah tjiopay kecil di pinggiran Tiamtjiang Tay itu, ada huruf-hurufnya yang halus, ya ng mana, ia baca, menunjuki Bok Koei Eng, wanita gagah yang menjadi kepala peran g dari ahala Song, pernah mengepalai panglima-panglima perangnya di situ. "Entjie In Hong gagah dan pintar, dia dapat dibandingkan Bok Koei Eng," Sin Tjoe berpikir, "hanya jaman dan suasana be rbeda, peruntungan mereka berbeda juga. Ah, apakah orang ini bukannya Hok Thian Touw?" Tiba-tiba ada tindakan kaki di sebelah belakang, Sin Tjoe berpal ing dengan cepat, hingga ia melihat Siauw Houwtjoe tengah meng-hampirkan. Mukanya bocah itu beda daripada tadi-tadinya, dia agaknya berkuatir atau bergelisah. "Entjie," berkata dia, tangannya menunjuk ke samping Tiamtjiang Tay, "adalah orang itu sahabatmu? Kenapa kau tidak pergi padanya?" Sin Tjoe berpaling dengan cepat, melihat ke arah yang ditunijuk bocah itu. Benar situ, di atas batu, ada seorang tengah rebah tidur. Ia heran bukan main. Ia berkuping terang dan bermata celi, a kan tetapi heran, ia tidak mengetahui ada orang datang untuk tidur di situ. Mau atau tidak, ia melengak. "Hok... Hoo... Patat Sandjin," katanya, masih gugup, "bukankah kau yang menjanjikan guruku datang ke mari?" Orang itu lagi tidur, dia berdiam saja. Dia mengenakan baju biru yang gerombonga n, karena cara rebahnya, mukanya tak kelihatan. Siauw Houwtjoe habis sabar. Dengan satu kali mencelat, ia telah naik di atas bat u besar itu. "Eh, orang kurang ajar " bentaknya seraya tangannya menyambar, untuk membaliki t ubuh orang, akan menyingkap bajunya. Sin Tjoe menjadi he- ran bukan main. Ia bukan mendapatkan satu anak muda, yang romannya tampan, hanya seorang tua dengan rambut ubanan, yang hidungnya merah. Dia tidak beroman terlalu jelek, tetapi dia pasti bukan kekasihnya Leng In Hong. Orang tua itu me-ngulet. "Eh, dari mana datangnya si bocah nakal?" katanya. "Kenapa kau mengganggu orang tengah asyik bermimpi?" Siauw Houwtjoe pun melengak. "Kau siapa?" ia menanya. "Kau mau cari siapa?" orang tua itu balik menanya. "Apakah kau bukannya Patat Sandjin?" Siauw Houwtjoe menanya pula. "Apa? Kau mencari aku?" tanya pula si orang tua. "Eh, eh, aku si orang tua tidak kenal kau bocah yang nakal." Ia menarik bajunya yang gerombongan itu, ia rebah pula. Siauw Houwtjoe memanggil pula, mengajak bicara, ia tidak dilayani. Orang tua itu bahkan terdengar gerosan napasnya! Bocah itu jadi mendongkol. "Aku tidak akan bikin kau enak tidur!" katanya sengit. Ia ulur tangannya, dengan dua jari tangannya itu ia menjepit hidung orang! Siauw Houwtjoe paling gemar bergurau, hidung besar dan merah dari si orang tua m embuatnya gembira. Ia mau percaya, kalau hidungnya dijepit, orang tua itu bakal tidak bernapas dan akan mengeluarkan suara kaget. Sin Tjoe hampir ter- tawa melihat kenakalan kawannya, meskipun begitu, hendak ia mencegah. Tiba-tiba tubuh si orang tua bergerak miring, dengan begitu gagallah jepitan tangannya Siauw Houwtjoe. Bocah ini penasaran, ia menjepitnya pula. Ia muda tetapi ilmu silatnya sudah cuk up sempurna, di dalam dunia kangouw ada sedikit orang yang dapat menandinginnya, sedang kali ini ia berlaku sangat sebat, ia percaya ia bakal berhasil. Hanya di luar dugaannya, di saat jeriji tangannya bakal mengenai hidung si orang tua, mendadak orang tua itu memiringkan pula tubuhnya! Siauw Houwtjoe menggunai tenaga, karena tidak mengenai sasarannya, ia terjeru- nuk, kedua jerijinya mengenai batu, tubuhnya sendiri hampir ngusruk! Sin Tjoe melihat itu, ia terkejut. Belum pernah ia menyaksikan orang lincah demi kian rupa. Tidak ayal lagi ia pun lompat naik ke atas Tiamtjiang Tay. Justeru itu si orang tua menegur: "Bocah nakal, kau kurang ajar! Kau harus diran gket!" Tepat Sin Tjoe berlompat naik, ia melihat satu bayangan melejit dari sebelah kan an, mendahului si nona, atau di lain saat, "Plok!" maka kempolan Siauw Houwtjoe kena dihajar hingga dia terguling jatuh dari batu besar yang bundar dan licin it u! Sin Tjoe paling menyayangi Siauw Houwtjoe, maka itu melihat gerakan orang, yang ia tidak tahu bakal jadi hebat atau tidak, karena kuatir Siauw Houwtjoe terluka ,ia lantas menolongi . Dengan pedangnya ia menikam ke arah orang itu. Tapi Siauw Houwtjoe sudah mendahulukan jatuh. Karena diserang, orang itu menangkis. Nyata ia memegang sebatang cabang pohon ya ng ia gunakan dalam caranya ilmu golok, Sin Tjoe batal dengan tikamannya itu, ba hkan hampir ia tergores golok cabang kayu itu... Dengan lekas Sin Tjoe menyerang pula. Tidak bersangsi lagi, ia menggunai gerakan dari Siangkiam happek. Pedangnya itu seperti bergerak dari kiri dan kanan dengan berbareng. "Ah!" berseru orang itu, pelahan suaranya. "Tidaklah kecewa murid- nya ahli pedang nomor satu di kolong langit ini!" Sembari bicara, dia selalu men yingkir dari ujung pedang yang menyambar-nyambar. Ia lincah sekali menggunai cab ang kayunya itu. Sekarang Sin Tjoe dapat melihat tegas roman orang, ialah seorang muda dengan sep asang alis gompiok dan matanya besar meski dia tidak setampan Tiat Keng Sim, dia toh cukup menarik. Ia lantas saja menduga, tidak salah lagi, pemuda ini mestiny a Hok Thian Touw. Sementara itu si orang tua sudah ber-bangkit untuk bercokol di atas Tiamtjiang T ay. Seorang diri ia mengoceh: "Mengadu pedang di bawah sinar rembulan indah, sungguh menarik hati! Dengan begitu dapatlah aku menonton ilmu pedang yang istimewa! Ah, aku si orang tua jadi tidak kepingin tidur lagi..." Sebenarnya Sin Tjoe telah memikir untuk menghentikan pertempuran itu, tetapi tib a-tiba ia ingat apa-apa. Maka ia kata di dalam hatinya. "Baiklah aku lihat dulu ilmu silatnya Hok Thian Touw ini..." Maka ia geraki terus pedangnya, pedang Tjen gbeng kiam, menyerang anak muda itu. Si anak muda melayani terus. Dia pun agaknya mengandung serupa maksud. Maka di a tas batu itu mereka bertarung. Si anak muda menggunai hanya secabang pohon tetap i gerak-gerakannya mendatangkan juga suara angin, suatu tanda yang tenaga dalamn ya sudah mahir. Sin Tjoe tidak berani berlaku alpa, ia keluarkan kepandaiannya menurut ajaran gurunya. Karena ia mengg unai pedang dan pedangnya pun pedang mustika, ia seperti membuat si anak muda te rkurung sinar pedangnya itu. Ia hendak menabas kutung cabang kayu itu, maka ia b ekerja keras sekali. Si anak muda ada sangat lincah, gerakannya gesit, tubuhnya licin. Ilmu silatnya pun tidak seperti yang kebanyakan. Setelah terdesak demikian rupa, ia merubah ca ra bersilatnya. Ia membebaskan diri dari kurungan, cabang kayunya bergerak bagaikan ular perak. Maka di lain saat, di empat penjuru, di delapan jurusan, ya ng nampak hanya bayangannya saja. Sebentar ia bersilat dengan ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay, sebentar lagi dengan Thaykek Sipsam kiam, atau i tu lantas ditukar dengan Twiehoen Kiamsoet dari Khongtong Pay. Masih ada lainnya macam ilmu pedang, seperti dari Djiuin Kiamsoet dari Tjengyang Pay dan Soanhong Kiamsoet dari Thianliong Pay. Menyaksikan ilmu silat orang yang banyak ragamnya itu, Sin Tjoe menguasai diri, untuk berlaku tenang dan mantap. Ia pecahkan setiap serangan, ia tidak kasi diri nya didesak. Di lain pihak masih sia-sia saja percobaannya akan membikin kutung pedang cabang pohon dari lawannya itu. Sedangnya orang bertarung dengan seruh itu, mendadak Siauw Houwtjoe mengaca u. Dengan dua butir batu ia menimpuk, kepada si anak muda, kepada si orang tua juga . Menampak itu, si orang tua tertawa lebar, tangannya diangkat, jari tangannya dip akai menyentil, maka batu yang menimpa kepadanya terpental, justeru menghajar ba tu yang meluncur kepada si anak muda, hingga dia ini tak usah repot-repot berkel it atau menangkis boko-ngan itu. Cuma, sebab ada datang serangan, baik si anak m uda maupun si nona, mereka sama-sama berkelit, hingga mereka jadi renggang satu dari lain. Habis itu, baru mereka sama-sama maju pula. Dengan lantas ujung pedang Sin Tjoe menyambar ke arah pundak, di lain pihak ujun g cabang pohon si pemuda meluncur ke lengan si nona! Itulah saat yang sangat genting, karena dua-duanya bakal bercelaka. Justeru itu terdengarlah dua seruan berbareng: "Sudah cukup! Sudah cukup!" Berbareng dengan itu, dua-dua Sin Tjoe dan si anak muda merasakan tangannya lema s, di luar tahu mereka, senjata mereka masing-masing kena orang rampas, kapan ke duanya menoleh, mereka dapatkan Thio Tan Hong dan si orang tua berdiri berendeng , bergandengan tangan, berlompat turun dari atas Tiamtjiang Tay! Di dua-dua tangan kedua orang itu ada tercekal pedang dan cabang kayu, ialah Thi o Tan Hong memegang Tjengbeng kiam muridnya, dan si orang tua memegang cabang kayu si anak muda. "Loo tjianp wee !" berkata Thio Tan Hong tertawa, "bukankah kau Patpie Lotjia Tj ioe Kok In yang banyak tahun dulu telah menggetarkan dunia Rimba Persilatan?" "Maaf, maaf," menyahut si orang tua. "Aku tidak berani menerima pujian itu! Aku juga tidak mau menyebut-nyebut segala peristiwa dulu, karena sekarang aku hidup menyendiri di gunung belukar yang sunyi, maka sekarang aku ialah Patat Sandjin." Justeru itu In Tiong dan In Loei pun tiba, maka keduanya lantas memberi hormat k epada jago tua itu. Memang, di masa jayanya, orang tua itu ada sama kenamaannya seperti Hian Kie Its oe. Di waktu muda, seorang diri pernah ia meroboh- kan delapan belas orang kosen bangsa Mongolia. Ia terkenal untuk kegagahannya, k elincahannya. Ia bergelar Patpie Lotjia, ialah Lotjia Bertangan Delapan. Ia mengangkat saudara dengan Hok Tiong Eng. Ketika Hok Tiong Eng pergi menyendiri di tapal batas, ia sembunyi di Patatleng. Maka itu, kaum muda tak ada yang pernah mendengar namanya. Tan Hong menjalankan kehormatan kepada orang tua itu. "Lootjianpwee, Tan Hong sangat berterima kasih untuk bingkisan kuwemu itu!" ia b erkata. Tjioe Kok In tertawa terbahak. "Sebenarnya aku si orang tua tiada biasanya berlaku sungkan!" ia berkata. "Aku m engantar barang padamu karena aku mengharap pembalasannya!" Tan Hong melengak. Setelah memandang si orang tua, ia berpaling kepada si anak m uda. Dia itu djustru lagi mengawasi pedang di tangannya. Karena ia sangat cerdas , ia lantas dapat menduga. "Ini tuan..." katanya. Tapi Patat Sandjin telah memotongnya: "Dia Hok Thian Touw, anaknya Hok Tiong Eng , adik angkatku yang telah marhum!" Benarlah pemuda itu Hok Thian Touw, maka Sin Tjoe girang bukan main. Kalau tadi ia masih menerka-nerka, sekarang ia memperoleh kepastian. Ia kata di dalam hatin ya. "Sungguh sembabat entjie Leng dipasangi dengan dia ini." Tapi, mengingat Len g In Hong dan Yap Seng Lim, kekuatiran menerkam padanya. Bukankah mereka itu tengah menghadapi bahaya peperangan, di saat itu tak ketahua n mati atau hidupnya? Mereka itu pun berada bersama dan Leng In Hong tidak tahu Thian Touw masih hidup, sedang Seng Lim tidak sadar bahwa dia dicintai secara di am-diam. Memikir itu, hatinya gentar. Maka ia berpikir pula. "Apakah tindakanku tidak bak al membuat urusan cade? Aku mengalah tetapi sekarang aku menambah keruwetan..." Tengah si nona bingung, ia mendengar gurunya tertawa dan berkata: "Baiklah, hanya aku kuatir pembalasanku terlalu sedikit hingga tidak cukup aku membalas bu di!" Habis itu, ia lihat gurunya menyerahkan Tjeng-beng kiam ke tangan Thian Tou w. Ia menjadi heran sekali. Pikirnya, "Kenapa soehoe serahkan pedang soetjouw kepad a lain orang?" Juga Thian Touw heran atas sikapnya Tan Hong, mukanya menjadi merah, ketika ia h endak mengatakan sesuatu, ia lihat Tan Hong mengambil cabang pohon dari tangan T jioe Kok In, lalu sambil bersenyum, Tan Hong berkata: "Sin Tjoe, kau lihat dan p erhatikan ilmu silat pedang dari Hok Sieheng." Baru sekarang Thian Touw mengerti, maka itu lantas terlihat air mukanya yang ter ang. Tidak selayaknya Tan Hong menempur ia, tepat adalah kalau tayhiap itu membe ri petunjuk kepadanya. Bersama-sama ayahnya ia telah mengambil putusan akan meya kinkan ilmu silat pedang pelbagai partai, untuk membangun satu partai baru, yaitu Thiansan Pay, dalam hal ini ia menghadapi kesulitan karena ia tidak memperoleh petunjuknya seorang ahli . Maka sekarang, kalau Tan Hong hendak mengajari ia, itulah lebih menang daripad a ia dihadiahkan pedang mustika. Di sebelah Thian Touw, Patat Sandjin pun telah bekerja keras akan mencari Thio T an Hong, bahkan setelah ia mengantar kuwe, ia juga membantui jago itu meloloskan diri dari kepungan di dalam istana, setelah mana orang dipancing untuk datang k e Tiamtjiang Tay ini. Maksudnya yang utama ialah untuk membantu Hok Thian Touw m encapai angan-angannya itu. Dari itu ia girang sekali mendapatkan Tan Hong sendi ri yang hendak menempur Thian Touw. Katanya dalam hatinya: "Kalau Thian Touw berhas il menjadi jago pedang di jamannya ini, pastilah adik angkatku di dunia baka bak al dapat memeramkan matanya." Lantas ia kata, "Thian Touw, Thio Tayhiap hendak m emberi petunjuk padamu, mengapa kau tidak lantas menggeraki pedangmu?" "Maaf!" berkata Thian Touw, yang benar-benar sudah lantas menyerang Tan Hong. Serangan itu ada dengan jurus dari Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay, jara k di antara mereka pun dekat, maka hebatnya itu dapat di mengerti. Sinar pedang mustika juga berkilau ke empat penjuru, seperti hendak menutup jalan mundur dari pihak sana. Selagi Sin Tjoe memikir, cara bagaimana orang harus menangkis serangan itu, guru nya sudah mengangkat tangannya, menggeraki cabang kayunya, hingga terlihatlah berke-lebatnya satu sin ar hijau. Sebab tahu-tahu pedang Tjengbeng kiam di tangan Thian Touw sudah terpe ntal tinggi. "Bagus!" Siauw Houwtjoe berseru kegirangan. "Bagus!" "Apanya yang bagus?" tanya Sin Tjoe tertawa. "Coba kau jelaskan." "Bagus ya bagus, apanya yang mesti dijelaskan lagi?" sahut si nakal. "Kalau buka nnya bagus, kenapa dengan satu kali menangkis saja pedang dapat terlepas dan ter bang?" "Cis" Sin Tjoe mengejek. "Cuma sebegini pengetahuanmu! Apakah kau tidak t akut nanti orang mentertawainya hingga orang copot giginya?" Hok Thian Touw sendiri menjadi merah mukanya. Ia pergi memungut pedang itu. "Jurus ini tidak masuk hitungan!" kata Tan Hong tertawa. "Mari coba lagi! Mari!" "Eh, mengapa tidak masuk hitungan?" tanya si nakal, berani. Ia tak mengerti. "Sebab tangkisanku ini tidak bagus," sahut Tan Hong. "Siauw Houwtjoe, kau tidak mengerti apa-apa, tetapi kau mau berlagak tahu saja! Ingat, lain kali jangan banyak lagak!" Bocah itu berdiam. "Thio Tayhiap," Thian Touw menanya, "bukankah barusan aku telah terlalu mengeluarkan tanganku?" Tan Hong mengangguk. "Siauw How Tjoe, kau dengar!" ia bilang pada si murid nakal itu. "Ini barulah perkataannya seorang ahli. Barusan aku bukan mendapat kemenangan karena menganda l ilmu pedang belaka, hanya aku menggunai tenaga dalamku membuat pedang terpenta l, hanya benar, tikamannya barusan kurang tepat. Jurus barusan ada jurus 'Guntur dan kilat berbunyi bersina r berbareng,' serangan itu dapat ditujukan kepada lawan biasa, tetapi terhadap ora ng yang tenaga dalamnya liehay, tidak ada faedahnya. Tenaga kuat saja tidak dapa t melawan kecerdikan." "Kalau lain orang terlebih liehay daripada kau, soehoe, apa pun kecerdikan masih dapat dipergunakan?" Siauw Houwtjoe tanya. "Sebenarnya tenaga dalam serta kepandaian harus seimbang," Tan Hong jelaskan. "K alau ilmu pedang kita sudah sempurna, dengan itu kita dapat meminjam tenaga lawa n untuk mengalahkan lawan itu. Aturan ini telah disebut dalam ilmu silat pedang partai mana juga. Aku tahu Hek Pek Moko pun telah mengajari kau." "Benar aku telah diajari tetapi aku belum mengerti," si bocah akui. Tan Hong tertawa, ia memandang Thian Touw. "Baiklah, Hok Sieheng , kau boleh mulai lagi," ia berkata. "Kau gunai jurus yang sama. Kau, Siauw Houwtjoe, kau lihat!" Hok Thian Touw menurut, dengan mendadak ia menyerang dengan jurusnya yang tadi. Tan Hong membuat gerakan yang sempurna, ia membikin serangan itu gagal, cuma sekarang pedang tidak dibikin terpental ter bang, sebaliknya, dengan ujung cabangnya ia mencoba menowel lengan si anak muda. Thian Touw mundur, terus ia membalas membacok. Dengan gerakan berkelitnya itu, i a bebas dari towelan. "Bagus!" Tan Hong memuji. "Kau berbakat!" Kali ini Thian Touw menyerang dengan menyimpan tenaga terachir, maka itu ia bisa berkelit seraya terus membalas menyerang pula, dengan begitu tidaklah ia sampai kena didesak. Pertempuran lantas berlanjut. Tan Hong hendak menyaksikan lebih jauh kepandaian si anak muda, ia mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras. Thian Touw bertem- pur dengan hati-hati tetapi sebat, sesudah belasan jurus, ia jadi semakin mantap hatinya, maka bedalah dari saat ia melayani Sin Tjoe tadi. Ia telah men geluarkan kepandaiannya. Siauw Houwtjoe berkunang-kunang matanya menyaksikan pertempuran itu. Ia menjadi kagum dan gembira sekali. Ia menonton terus sampai mendadak terdengar jeritannya , sebab saking pusing, ia roboh sendirinya! Sin Tjoe tertawa, ia mengasi bangun kawannya itu, kemudian dengan sapu tangannya, ia menutup mata orang, ia sen diri menonton terus. Cabang pohon dari Tan Hong liehay sekali. Cabang itu seperti mengiringi setiap serangan Thian Touw, gerakannya tepat dan enteng. Percuma Thian Touw mencoba berkali-kali, tidak bisa ia membabat cabang itu. Kalau ia terlambat, sebaliknya cabang itu menikam kepad anya. Sin Tjoe melihat gurunya bersilat dengan ilmu pedang yang pernah diturunkan kepadanya, tetapi menghadapi Thian Touw, ilmu pedang itu seperti berubah sendirinya. Tidak lain, itulah disebabkan kegesitan yang luar biasa. Pertempuran itu berlangsung sampai seratus jurus, habis mana, Tan Hong lalu meng gunai akalnya. Ia memukul lowongan untuk Thian Touw menyerang. Tapi Thian Touw c erdik, ia menyerang ke kiri, menyerang ke kanan, lalu ke depan. Dengan bergantian ia menggunai jurus-jurus dari empat partai Boetong, Siauwlim, Koenloen dan Khongtong Pay. Selagi Sin Tjoe memikirkan, cara bagaimana serangan itu dapat dihalau, mendadak ia melihat cabang pohon di tangan gurunya lempang meluncur, mengenai lengannya Thian Touw, menyusul mana pedang si anak muda terba ng seperti tadi. Itu hanya serangan "Pekhong koandjit" atau "Bianglala putih menutupi matahari," tetapi walaupun sederhana, dengan Tan Hong yang menggeraki, sehatnya luar biasa, Thian Touw tidak dapat menghindarkan diri. Sin Tjoe pungut pedangnya itu. "Bagus! Bagus!" ia memuji. Siauw Houwtjoe lekas-lekas membuka sapu tangan yang menutupi matanya tetapi pertempuran sudah berhenti, hanya sekarang guru itu, dengan pedang cabangnya, lagi memberi keterangan pada si anak muda. "Ah dasar kau!" ia sesalkan Sin Tjoe. "Kau sih menutup mataku!" Si nona tidak menyahut, ia mengganda tertawa. "Kau telah berhasil menyangkok ilmu pedang dari tiga belas partai," terdengar Tan Hong berkata kepada Hok Thian Touw , "kau pun telah dapat menjalankannya dengan baik, maka sekarang kau tinggal mey akinkan lebih jauh untuk mencapai kemahirannya. Kau membutuhkan tenaga dalam unt uk dapat membangun satu partai baru. Kalau kau berlatih terus lagi tiga puluh atau lima puluh tahun, kau bakal jadi ahli pedang tanpa tandingan. Karena segala apa tergantung sama kau sendiri, di antara kita tidak ada soal guru denga n murid." Mendengar begitu, Tjioe Kok In kagum sekali. "Dasar seorang tayhiap1." pikirnya. Kata-kata Tan Hong memang benar. Kalau kemudian Thian Touw dapat membangun partai sendiri, ia mendapatkan itu tanpa bantuan guru lagi. Hanya ia memperoleh bukan sedikit faedah karena kebaikannya Tan Hong ini. Karena ini juga pada enam puluh tahun kemudian bersama muridnya yang terpandai, Gak Beng Kie, yang kemudian menjadi Hoei Beng Siansoe d ari achir ahala Beng, ia berhasil membangun partai Thiansan Pay. 7) Sin Tjoe tidak sa-baran mendengar gurunya terus pasang omong sama Thian Touw. "Entjie Leng sangat pikirkan dia, sekarang dia asyik bicara saja tentang ilmu pe dang," pikirnya. "Ah, dia keterlaluan..." Tan Hong bermata celi, walaupun ia tengah bicara, matanya diarahkan ke segala pe njuru, demikian ia menampak sikap tak tenang dari muridnya yang wanita itu. "Eh, Sin Tjoe, kau hendak membilang apa?" ia menanya. "Hok Toako lagi asyik sekali, mana dapat aku menyelak?" sang murid menyahut. "Oh, Hok Toako, kau sungguh kuat hati, kau sangat tenang!" Thian Touw tercengang, ia heran. "Kenapakah?" ia bertanya. "Aku kuat dan tenang bagaimana?" "Kecuali ilmu pedang, tidak ada apa juga yang dapat memecah perhatianmu, bukankah?" Kembali pemuda itu tercengang. Tapi kali ini hanya sebentar, lantas ia seperti m engingat suatu apa. Segera ia menanya, "Ya, nona Ie, aku justeru hendak menanyak an sesuatu padamu. Kau tadi menyebut-nyebut Leng In dan It Hong, apakah itu arti nya?" "Apakah benar-benar kau tidak mengerti?" Sin Tjoe membaliki. Thian Touw agaknya bingung. "Leng In It Hong... Leng In It Hong..." ia mengulanginya beberapa kali. Atau: "A h! Apakah kau membilang tentang... ten- tang..." Sin Tjoe pun ber-n bareng sadar. Nama In Hong sebenarnya Bok Hoa dan nama In Hong itu dipakai setelah dia menjadi iietjeetjoe, kepala berandal wanita. Maka ia lantas bersenyum. "Tidak salah!" sahutnya. "Yang aku sebutkan itu ialah burung hong yang mencil se ndirian, yang kehilangan kawan, yang terbang dari padang pasir!" "Ah, heran!" nyeletuk Siauw Houwtjoe. "Benarkah di padang pasir ada burung hong?" Thian Touw kaget sekali. "Kau kenal Leng Bok Hoa?" ia menanya, menegaskan. "Dialah adik misanku! Benar ka u bicara tentang dia?" Sin Tjoe mengangguk. "Benar! Dia sekarang telah mengubah namanya jadi Leng In Hong." "Di mana adanya dia sekarang?" tanya Thian Touw cepat. "Dia sekarang berada di antara tentera rakyat di Kanglam," Sin Tjoe menerangkan. "Sering sekali entjie Leng membicarakan tentangmu dengan aku. Tahukah kau bahwa ia, dalam impian dan dalam sadarnya, selalu memikirkan kau?" Air mukanya Thian Touw menjadi merah. "Benarkah itu?" ia coba tertawa. "Aku berada bersama dengannya sampai dia membesari, tidak heran dia memikirkan aku. Ketika aku terpi sah dari ia di padang pasir, dialah satu nona umur enam belas tahun yang belum t ahu apa-apa. Sekarang dia telah dewasa, bukan?" Sin Tjoe tertawa. "Sekarang ini entjie Leng menjadi wanita kosen yang menggemparkan Kanglam!" kata nya, "Apakah kau masih menyangka dia seorang nona yang tidak tahu apa-apa? Karen a dia tidak berhasil mencari keterangan tentang kau, setahu berapa banyak air ma ta dia telah kucurkan? Apa benar kau tidak kangan dengannya?" "Ah, aneh!" Siauw Houwtjoe nyeletuk. "Sudah gagah tapi toh masih menangis!" Mendengar itu Sin Tjoe tak tahan tak tertawa. "Orang tua lagi bicara, kau tidak boleh campur-campur!" katanya seraya me narik tangan orang. Thian Touw girang berbareng berduka. Ia memandang In Hong sebagai adik, tidak tahu adik itu mengandung maksud lain terhadapnya. "Tentu saja aku kangan terhadapnya," ia menyahut. "Dan kau telah menangis atau tidak?" lagi-lagi Siauw Houwtjoe nyeletuk. Thian Touw tertawa. "Rupanya, dia menduga aku mati di padang pasir, dia jadi berduka," bilangnya. "A ku sendiri tahu dia belum mati, dari itu aku tidak pernah menangisi dia. Ketika itu hari kami menghadapi bencana di padang pasir, aku sendiri berada di tengah a ngin puyu, dia berada di pinggiran, maka aku percaya, dengan kega-gahannya, dia dapat menolong dirinya sendiri." "Kau sendiri, bagaimana kau dapat meno- long dirimu?" Sin Tjoe tanya. "Hampir saja aku mati terpendam pasir. Syukur aku bertemu dua orang, dengan begi tu aku ketolongan." "Apakah kau bertemu sama Toamo Sinlong Hamutu serta Seesan Iein Yap Goan Tjiang? " Sin Tjoe menegaskan. Thian Touw terkejut bahkan heran. "Kau ketahui itu?" tanyanya. "Ya," sahut si nona, yang terus menuturkan halnya ia bertemu Hamutu dan Yap Goan Tjiang si tabib pandai. Kemudian ia menceritakan juga hal penipuannya Hek In Ta y, yang mau mendapati kitab ilmu pedang In Hong. Mendengar semua itu, Thian Touw tertawa. "Kiranya telah terjadi peristiwa-peristiwa de- mikian!" katanya. Ia pun lantas menuturkan pengalamannya. Memang ketika hari itu Thian Touw diserang badai pasir di gurun, ia roboh dan ke urukan pasir kuning karenanya. Setelah angin berhenti, hampir ia mati kepen-dam, baiknya Toamo Sinlong lewat di situ, dia lantas ditolongi. Ketika itu napasnya sudah empas-empis. Ia sendiri merasa bahwa ia bakal tidak ketolongan lagi. Tapi ia masih ingat saudara angkat dari ayahnya, yaitu Tjioe Kok In yang tinggal di d ekat panggung Tiamtjiang Tay di gunung Patatleng. Dengan paman itu sudah banyak tahun ia tidak pernah bertemu, ia tidak tahu sang paman masih hidup atau sudah menutup mata, tapi karena tidak ada orang lain, ia minta Pertempuran lantas berlanjut, Tan Hong hendak menyaksikan lebih jauh kepandaian Hok Thian Touw, ia mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras. Toamo Sinlong menyampaikan kitab ilmu pedangnya kepada Tjioe Kok In. Ketika ia habis mengucapkan pesannya, ia pingsan. "Cocok!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Toamo Sinlong menduga kau sudah mati, maka k emudian bersama-sama Hek In Tay ia mencoba meyakinkan kitab ilmu pedang itu. Pad a kitab itu ada tulisanmu, dari itu kemudian lagi Hek In Tay meniru tulisanmu it u, dia menulis surat pada entjie In Hong yang dia hendak tipu." "Setelah pingsan, aku memang ada bagian mati," Thian Touw menutur lebih jauh. "T api telah terjadi sesuatu yang kebetulan. Besoknya telah turun hujan besar. Itul ah hujan yang orang bilang dalam seratus tahun tak turun satu kali. Aku kuyup kehujanan, aku sadar sendiri karenanya. Karena kena terserang an gin, ketimpa panas dan lalu ketimpa hujan, aku mendapat sakit di dalam tubuh, sering aku kedinginan atau kepanasan. Dengan susah payah aku berangkat ke Patatleng men cari Tjioe Siepee. Beruntung sekali, aku bertemu sama Seesan Iein Yap Goan Tjiang. Untuk beberapa bulan aku t inggal menumpang di rumahnya, dan ia telah berhasil mengobati aku hingga aku sem buh." Habis Thian Touw menutur, Ie Sin Tjoe menggantikan bercerita segala apa mengenai Leng In Hong, mendengar mana, anak muda ini jadi bergelisah. "Aku mesti segera berangkat ke sana!" katanya. "Marilah kita pergi bersama," mengajak Ie Sin Tjoe. Maka mereka lantas mengambil putusan akan berangkat besok. Di belakang Tiamtjiang Tay itu, Tjioe Kok In membangun sebuah rumah batu yang te rdiri dari tiga kamar, dari itu malam itu mereka berkumpul di dalam satu rumah. Banyak yang mereka bicarakan, dan semuanya gembira sekali. Itulah pertemuan yang membahagiakan mereka. Tjioe Kok In girang, bahwa Thio Tan Hong mau memberi petunjuk ilmu pedang kepada Hok Thian Touw, ia lantas membalas budi dengan menyatakan suka mengajari Ie Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe ilmu meringankan tubuh yang istimewa, y ang dinamakan "Ieheng hoaneng," "Memindahkan wujud, menukar bayangan." Itulah ilmu yang tadi diperlihatkannya, hingga tubuhny a, yang bagaikan bayangan, sebentar terlihat dan sebentar lenyap, dan Sin Tjoe y ang telah mahir ilmu meringankan tubuhnya masih bisa dipermainkan. Sebenarnya Siauw Houwtjoe mendongkol karena Thian Touw telah menghajar kempo-lan nya tetapi setelah si jago tua mengajarkannya ilmu ini, maka lenyaplah kemendong -kolannya. Lama mereka berbicara, terutama tentang ilmu silat, sehingga sampai jam lima bar u mereka semua masuk tidur. Hanya Sin Tjoe seorang, yang tidak bisa pulas. Hatin ya sangat gelisah. Ia senantiasa memikirkan Seng Lim. Bagaimana dengan pemuda pujaannya itu? Bagaimana pula dengan Leng In Hong? Bukankah ia yang berda ya merangkapkan jodoh mereka berdua? Kini bingunglah ia... Juga Yap Seng Lim dan Leng In Hong di Toenkee, selalu memikirkan Nona Ie ini. Sudah lewat beberapa bulan semenjak mereka melayani tent era negeri. Beberapa kali mereka menang bertempur, tetapi pengurungan tentera negeri tidak menjadi berkurang, bahkan tentera negeri itu bertambah banyak. Mereka men jadi gelisah, karena tidak adanya bala bantuan. Rangsum sudah habis, hingga kuda -kuda mereka pun disembelih setiap hari dan dagingnya dijadikan makanan mereka beramai. Itulah daya yang tidak sempurna. Juga jumlah mereka, dari selaksa jiwa, sudah tinggal empat ribu serdadu saja. Pada suatu hari tengah Yap Seng Lim berpikir keras, seorang serdadunya datang me laporkan bahwa Pit Goan Kiong datang minta bertemu. Ia menjadi heran sekali, kar ena sedikitpun ia tidak menyangka akan memperoleh kunjungan itu. "Undang ia masuk!" perintahnya. Pit Goan Kiong muncul dengan muka penuh debu, hingga tidak lagi tampak romannya yang Jenaka. Dengan heran berkatalah Seng Lim dalam hatinya: "Pit Goan Kiong ini adalah kemen akan Pit Kheng Thian dan ialah orang yang paling dipercayanya. Kenapa sekarang d ia datang ke mari? Bukankah Pit Kheng Thian telah benterok dengan pamanku?" Segera juga Goan Kiong masuk. Tanpa menanti sampai orang membuka mulutnya, Seng Lim mendahului bertanya: "Apa kabar dengan keadaan peperangan di sana? Sekarang pelbagai pihak membentuk persatuan untuk melawan musuh, perselisihan di antara saudara sendiri baik dikesamping kan dulu. Itulah sebabnya kenapa aku hendak mengirimkan utusan kepada Pit Toaliongtauw untuk mohon petunjuk, hanya sayang, karena sedang terkur ung hebat, aku belum mendapatkan kesempatannya. Hari ini kau datang ke mari, Pit Toako, aku girang sekali! Adakah toako membawa surat toaliongtauw? Kapankah bala bantuan akan tiba di sini?" Seng Lim bertanya demikian karena ia percaya Goan Kiong datang sebagai utusan Kh eng Thian. Tapi segera juga jadi melengak. Air mata Pit Goan Kiong segera tampak mengalir, dan dengan tertawa sedih ia berkata: "Memang aku membawa surat toalio ngtauw, akan tetapi bukan untukmu! Tenteranya juga sudah berangkat tetapi juga bukannya untuk membantumu!" "Eh, kenapa begitu?" tanya In Hong dengan heran. Seng Lim sendiri tidak dapat bi cara. Ia hanya membuka matanya lebar-lebar. "Baiklah kamu ketahui," sahut Goan Kiong dengan sedih. "Pit Toaliongtauw sudah m enerima panggilan menakluk kepada pemerintah! Ketika aku men- curi lewat di Oentjioe, bendera di sana sudah ditukar! Kabarnya tentera suka rela di sana sudah bergabung dengan tentera negeri. Kabar yang kute rima, ialah bahwa toaliongtauw akan mengepalai pasukannya kemari untuk menyerang kamu..." Seng Lim tidak menyangka akan kejadian ini. Saking kagetnya, terlepaslah cawan t eh di tangannya, hingga cawan itu jatuh hancur. "Benarkah itu?" tegasnya. "Kau lihat saja surat ini!" sahut Goan Kiong. Itulah surat Pit Kheng Thian untuk Yang Tjong Hay, isinya memberitahukan penaklu kannya kepada pemerintah, dan syarat-syaratnya. Dia minta dijanjikan pangkat yang besar. Surat itu membuat Seng Lim bagaikan gagu. "Apakah kau telah pergi ke Pakkhia?" tanya Seng Lim. "Aku baru kembali dari Pakkhia untuk mana siang dan malam tak pernah aku berhent i di tengah jalan!" sahut yang ditanya. "Ya, memang aku telah sampai di Pakkhia tetapi di sana tak pernah aku menginjak gedung Taylwee Tjongkoan1." Seng Lim merangkul, tubuh orang. "Saudara Pit, kau sungguh-sungguh laki-laki sejati!" pujinya. "Inilah yang diseb ut, angin dahsyat membuat orang mengenal rumput, kekalutan dunia memperlihatkan hati orang! Baru hari ini aku mengenalmu dengan benar! Saudara Pi t, terimalah hormatku!" Dan kepala tentera suka rela ini menjura. Pit Goan Kiong men- cegah. "Sudah, janganlah membicarakan urusan demikian!" katanya. "Selama di Pakkhia aku telah bertemu dengan Thio Tayhiap. Tayhiap minta aku menyampaikan pesannya kepa damu, supaya kau segera mundur, katanya semakin banyak kita dapat melindungi ora ng kita, semakin baik kelak hasilnya." "Baiklah, sekarang juga aku akan bekerja," kata Seng Lim. "In Hong, kau dan saud ara Pit, coba bicarakanlah segala kemungkinan." Dengan lantas pemuda she Yap ini meninggalkan mereka. In Hong menghela napas. "Selama hari-hari yang terachir saudara Yap sangat memeras tenaga dan pikiran," ia berkata. "Sayang entjie Sin Tjoe tidak ada di sini, hingga tidak ada yang membantu bertanggung jawab." "Nona Ie di kota raja, aku telah bertemu dengannya," Goan Kiong memberit ahukan. Hati In Hong bercekat. "Bukankah ia bersama seorang pemuda she Tiat?" tanyanya. "Apakah nona maksudkan Tiat Keng Sim?" Goan Kiong menegaskan. "Aku tidak melihat nya." Nona Leng bernapas lega. "Entah kapan beresnya urusan mereka di kota raja," katanya. "Aku ingin sekali be rtemu dengan entjie Sin Tjoe..." Kemudian Nona Leng menanyakan urusan perang. "Ketika aku memasuki wilayah Tjiatkang, di sana tentera sedang bergerak tak putu snya," Goan Kiong menjelaskan. "Aku lalu mengambil jalan kecil di sepanjang jalan tidak berani aku ayal-ayalan. Sementara itu kudengar Soenboe Thio Kie dari Tjiatkang memegang sendiri pimpinan atas tentera, tentang yang lainnya, entahlah." Tengah mereka berbicara, jauh di luar terdengar tembakan meriam beberapa kali. " Saudara Pit, mari kita lihat!" In Hong mengajak. "Apakah kau tidak letih? Aku ma u naik ketembok kota untuk sama-sama melakukan penjagaan." Baru si nona ber-bangkit atau Seng Lim muncul. Dia datang bagaikan terbang. "Dinding kota telah pecah!" katanya segera. "Bukankah baru beberapa hari yang lalu diperbaiki mengapa baru terkena beberapa tembakan saja sudah pecah?" tanya In Hong. "Karena yang datang menyerang ialah Pit Keng Thian sendiri," sahut Seng Lim. "Sa udara-saudara kita tidak tahu dia sudah menakluk pada musuh, dia dibukakan pintu . Beberapa tembakan itu hanya tembakan untuk memperlihatkan keangkaran! Sekarang mari kita mundur dari pintu timur!" In Hong menurut, bersama Goan Kiong, mereka berlalu. Di dalam kota, di beberapa tempat, tampak api berkobar-kobar. Syukur Seng Lim dapat berlaku tabah dan sebat, tenter anya telah lantas dipusatkan, kalau tidak, tentu bukan main akibatnya penyerbuan Kheng Thian itu. In Hong gusar bukan kepalang hingga ia mengertak gigi. "Oh, Pit Kheng Thian!" ia berseru. "Adakah kau mempunyai muka bertemu denganku?" Pada saat itu datanglah sepasukan tentera dan pemimpinnya justeru Pit Kheng Thia n sendiri. Kheng Thian tertawa lebar seketika melihatnya. "Leng Tjeetjoe!" katanya girang. "Siapa mengenal salatan dialah si orang gagah p erkasa! Kenapa kau kesudian menyertai si bocah Seng Lim mengantarkan jiwa?" "Benar, Pit Toaliongtauw1." berkata si nona. "Kemarilah kau!" In Hong menyambar sebatang busur dan lantas saja memanah toaliongtauw itu. Kheng Thian melihat serangan itu, ia menangkis dan menjatuhkan an ak panah itu. Oleh karena mereka berdekatan, In Hong segera maju untuk menyerang dengan pedangnya, ia menikam tiga kali beruntun. Pit Kheng Thian gagah, tetapi didesak si nona, hatinya gentar juga. Maka syukurl ah ia segera dibantu sejumlah pengawalnya, yang senantiasa mendampinginya. Karena dikepung, pundak In Hong segera sudah kena tercambuk tetapi ujung pedangn ya juga berhasil memapas kutung ujung baju pengchianat itu, yang meninggalkan ci ta- citanya, dan mengchia-nati kawan-kawan seperdjuangannya. Yap Seng Lim tengah memimpin pertempuran di gang-gang kecil ketika ia kehilangan In Hong, ia menjadi kaget sekali, lekas-lekas ia kembali, maka segera ia meliha t si nona tengah dikurung musuh. "Yap Toako, lekas kau pergi!" seru In Hong, yang melihatnya hendak membantu. Tentu sekali Seng Lim tidak menghiraukan anjuran itu. Sebaliknya, ia putar golok nya, untuk maju menyerang. Dengan cepat ia dapat merobohkan beberapa di antara b elasan pengawal Kheng Thian, hingga ia berhadapan dengan si pengchianat sendiri. "Hm, seorang toaliongtauw yang jempolan!" katanya mengejek. "Kau malu atau tidak?" Pit Kheng Thian benar-benar tidak kenal malu. Dia justeru tertawa terbahak- bahak. "Yap Seng Lim!" serunya, "kematianmu sudah tiba, kau masih mentertawai aku? Hm ! Kau harus tahu, seorang laki-laki mesti mendirikan jasa besar, supaya bisa menja di raja muda! Apakah artinya toaliongtauw dari delapan belas propinsi?" Seng Lim mendongkol, ia tidak memper-dulikan perkataan orang. Kembali ia merobohkan dua orang musuh. Akan tetapi jumlah musuh demikan b esar, setelah bisa menerobos masuk, sulit untuk ia membuka jalan keluar. "Siapa bernyali besar mari bertempur mati-matian denganku!" Seng Lim menanta ng. "Kau tolol!" bentak Kheng Thian. "Apakah kau masih menyangka aku orang dari Jala n Hitam atau Rimba Hijau? Sekarang ini akulah panglima besar dari pemerintah agu ng! Siapa kesudian berpan- dangan sama denganmu?" Mengenai kepandaian, Kheng Thian tidak kalah dari Seng Lim atau In Hong, tetapi sekarang, setelah menjadi panglima pemerintah, ia sungkan mengadu jiwa secara laki-laki kaum Rimba Persilatan. Seng Lim mendongkol bukan main, ia menerjang hebat sekali. Kheng Thian tidak sudi melayani, ia hanya menuding dengan tangannya, maka lagi-lagi beberapa pengawalnya maju, untuk mengepung pemimpin te ntera rakyat itu. Seng Lim mengenali beberapa orang seba-wahan Tjong Lioe, maka ia berseru kepada mereka itu: "Bagaimanakah dulu kamu dididik oleh Yap Tongnia ? Kenapa sekarang k amu berchianat? Di belakang hari bagaimana kamu dapat bertemu muka dengan Yap Tongnia?" Beberapa pengawal itu tidak mau mundur. Mereka menghadapi Seng Lim. Meski begitu , ketika mereka menyerang, serangan itu hanya separuh hati. Kheng Thian dapat melihat lagak orang-orangnya itu. "Kamu mundur!" ia membentak mereka. Sebaliknya, ia menitahkan pengawal-pengawal sendiri maju. Seng Lim mengalami kesukaran. Sulit baginya untuk menerobos keluar. Ia pun melih at tentera musuh makin bertambah. Achirnya ia berteriak kepada tenteranya: "Kamu lekas menyingkir! Satu jiwa lolos artinya kita masih punya satu tenaga!" Justeru karena berseru, ia menjadi alpa, maka dua bacokan mengenai pundaknya. Sementara itu terlihat barisan tentera nege ri membuka jalan, dan segera tampak Pit Goan Kiong mendatangi. Dia bagaikan mand i darah, tindakannya pun terhuyung. Kheng Thian heran dan kaget. "Eh, kenapa kau ada di sini?" tanyanya. "Kau telah tiba di Pakkhia atau belum? K enapa, dalam suratnya, Yang Tjongkoan tidak menyebut-nyebut kun-junganmu?" Tidaklah heran, bahwa Kheng Thian tidak tahu tentang Goan Kiong. Goan Kiong mema ng berangkat langsung dari kota raja ke tempat Seng Lim. Tempo surat rahasia dari Kouw Beng T jiang sampai di kota Oentjioe, Kheng Thian sudah meninggalkan kota itu. Maka tak tahulah toaliongtauw ini, bahwa Goan Kiong telah berbal ik mengchianatinya. "Panjang ceritera-nya!" kata Goan Kiong setelah ia datang dekat. "Ada rahasia ya ng hendak kusampaikan kepadamu!..." Hanya sejenak Kheng Thian bersangsi, lalu ia mengulapkan tangannya. "Baiklah!" katanya kepada orang- orangnya. "Pergi kamu membantu bertempur! Seng Lim mesti dapat dibekuk!" Demikianlah perintahnya kepada pengawal-pengawalnya. Justeru pasukan pelindung itu berlalu, Goan Kiong melompat, menyambar lengan ora ng, tepat ia memegang nadi, sedang tangan kirinya menghunus pisau belati yang di ancamkan ke tenggorokan peng- chianat itu. "Lekas lepaskan dua orang itu!" ia memerintah sambil mengancam. "Goan Kiong, kau... kau sudah angot?" teriak Kheng Thian. Goan Kiong terus menyekal dengan keras dan pisaunya ditempel ke tenggorokan. "Lekas lepaskan mereka berdua!" ia tetap mengancam. "Kau toh kemenakanku yang telah kuangkat?" kata Kheng Thian pula. Ia lantas saja berontak, untuk mengelakan diri. Goan Kiong tidak per-dulikan paman itu, pisaunya dikasi bekerja hingga dia mengg ores kulit orang, mengenakan sedikit daging... "Jikalau kau tidak merdekakan dia, mari kita sama binasa!" dia mengancam pula. Kheng Thian menjadi takut. "Lekas membuka jalan!" teriaknya. "Kasi mereka berlalu!" Setelah bebas dari kepungan, Seng Lim megawasi Goan Kiong. Ia sangsi. "Kalau masih ada gunung hijau, jangan takut kekurangan kayu bakar!" Goan Kiong b erteriak. "Thio Tayhiap menitahkan kamu mengangkat kaki!" Bukan main terharunya Seng Lim. Seumurnya ia belum pernah menangis tetapi sekara ng ia mengucurkan air mata. Bersama In Hong ia lantas berlalu. Goan Kiong mengawasi orang berlalu sampai lenyap di antara pasukan rakyat, lanta s ia menghela napas panjang. "Paman, aku telah melakukan kewajibanku terhadap leluhur kami kaum keluarga Pit," katanya, menyesal. "Semoga kau pun nanti menghargakan nama b esar dari Tjinsamkay supaya kalau nanti kamu bertemu di alam baka, kau dapat ber tanggung jawab terhadapnya..." Mendadak ia menarik pulang pisau belatinya, untuk ditumblaskan ke dadanya sendir i, maka itu ia roboh tanpa berjiwa lagi, tubuhnya melintang, darahnya berhambura n! Kheng Thian berdiri menjublak. Pikirannya kacau. Banyak ia pikirkan. Sikapnya Go an Kiong itu membuatnya berpikir keras. Sementara itu semua pahlawannya pun berd iri diam, menantikan titahnya. "Bagian mampus!" teriaknya kemudian seraya ia mengertak gigi. "Lekas kutun gin lehernya Pit Goan Kiong ini, pancar kepalanya! Inilah contoh seorang pengchianat dan pendurhaka!" Kemudian, dengan memberikan titahnya lebih jauh, tenteranya lantas maju pula, un tuk menyerang pula kepada musuh. Seng Lim bersama empat ribu sisa serdadunya berkelahi sambil mundur. Di waktu ma grib, ia telah mundur jauh tiga puluh lie lebih. Tentu saja ia mengalami kerusak an besar sekali, hingga tenteranya tinggal seribu jiwa lebih kurang. Di situ ada sebuah bukit dengan rimbanya yang lebat, di situ tentara rakyat itu dipernahkan. Dengan adanya rimba sebagai pelindung, tentera negeri tidak berani mendaki bukit untuk melanjuti penyerangan mereka. Ketika Pit Kheng Thian menyusul sampai di kaki bukit, ia menitahkan tenteranya m emasang obor, untuk menjaga di apa yang dinamakan leher gunung, guna memegat jal anan. "Yap Seng Lim!" Kheng Thian berseru dari atas kuda tunggangnya. "Kamu adalah bag aikan ikan di bawah jaring, maka lekas-lekas kamu menyerah! Dengan begitu saja kamu dapat menyelamatkan jiwa kamu!" "Seorang laki-laki boleh terbinasa tetapi tidaklah sebagai kau!" Seng Lim membal iki. "Kau telah meninggalkan saudara-saudara setengah jalan, kau telah berchiana t! Sungguh kau tidak tahu malu!" Dengan lantas pemuda ini mengangkat busurnya, untuk memanah hingga tiga kali beruntun. Dengan pandai ilmu Taylek Kimkong Tjioe, tari kan panahnya itu dengan tenaga besar luar biasa. Kheng Thian gagah dan liehay, ia menangkis dengan toyanya. Akan tetapi panah yan g kedua datang cepat luar biasa dan anak panah itu mengenai kudanya tanpa ia sem pat menangkis, maka sambil meringkik kuda itu roboh, hingga dia roboh bersama. Justeru itu meny usul anak panah yang ketiga, yang mengarah si kepala perang sendiri. Dalam keada an sangat mengancam itu, terpaksa Kheng Thian membuang diri sambil terus bergulingan dengan tipu silatnya "Yan Tjeng Sippat hoan," ialah "Yan Tjeng bergulingan delapan belas kali." Maka itu, anak panah itu menancap di tubuhnya seorang pahlawan yang berada di belakangnya hingga dia ini tembus uluh hatinya! Ketika dia merayap bangun, Kheng Thian menjadi kecil nyalinya, maka itu ia tidak berani mementang pula mulutnya lebar-lebar, hanya dia lantas mengundurkan diri, untuk mengambil putusan besok akan melakukan penyerangan secara besar-besaran. Di waktu malam, dengan rembulan guram dan bintang kelak-kelik suram, kedua pihak tidak berani berlaku semberono. Burung-burung di dalam rimba pun terbang kabur hingga jagat menjadi sunyi-senyap . Menyaksikan suasana itu, matanya In Hong mengeluarkan sinar tajam. "Yap Toakol" katanya. "Justeru sekarang lagi gelap petang, pergilah kau menyingk ir!" Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala. "Dapatkah aku menolong jiwaku seorang dengan meninggalkan semua saudara?" ia men anya. "Bukankah kita harus hidup atau mati bersama?" "Tetapi bukankah Thio Tayhiap yang membilangnya, molos satu orang berarti satu orang ketolongan?" berkata si nona, mendesak. "Kaulah si kepala perang, jikalau kau dapat lolos, ma ka di belakang hari kau masih dapat bangun pula! Bukankah itu ada terlebih baik daripada berdiam terus di sini menantikan kematian?" Seng Lim terus menggoyangi kepala. "Jikalau adik Sin Tjoe di Pakkhia mendengar kabar Kheng Thian telah berchianat, entah bagaimana dia berkuatir memikirkan kau!" kata pula si nona. Pemuda itu berdiam. "Ah, Yap Toakol" si nona mendesak. "Apakah kau tidak memikir untuk bertemu pula dengannya?" "Jikalau aku menyingkir dengan cara begini, mana aku mempunyai muka untuk bertem u sama dia?" Seng Lim menanya. "Bukan begitu, toako !" kata si nona dengan desakannya. "Kau telah bertahan deng an sekuat tenagamu, kau bukannya menyingkir karena takut! Kau jangan kuatir, kau se rahkan semua saudara di sini kepadaku, kapan sebentar sudah terang tanah, aku na nti mencoba melakukan peperangan yang me- mutuskan! Mustahil tidak ada jalan hidup untuk kita!" Seng Lim mengerti si nona mau berkurban untuk membantu dia, dia jadi sangat bers yukur, maka tanpa likat lagi dia menjabat tangannya nona itu, dia memegangnya er at-erat. "Entjie Leng, terima kasih!" mengucapnya. "Apakah faedahnya untuk kematiannya satu orang lebih banyak seperti kau?" berkat a pula In Hong. "Pula, jikalau kau tidak berlalu dari sini, adik Sin Tjoe bakal menyesal seumur hidupnya! Benarkah kau tidak memikirkan dia?" "Aku tahu dia pasti bakal berduka sekali," berkata Seng Lim. "Hanya, kenapa dia mesti menyesal seumur hidupnya? Dia toh dari siang-siang telah mempunyai orang yang menjadi idam-idamann- ya? Sebenarnya, hatiku justeru lega sekali." "Apakah katamu, toako?" tanya In Hong, heran. "Siapakah yang kau maksudk an?" "Tiat Keng Sim itu boenboe siangtjoan, dengan dia ia setimpal sekali!" "Ah!" seru si nona. " Toako, mengapa kau masih belum mengetahui hatinya adik Sin Tjoe? Aku dengan dia ada bagaikan saudara kandung, walaupun dia tidak membilang apa-apa akan tetapi aku tahu hatinya! Di sebelah itu, sudah sering dia mengentar a-kannya!" Tanpa bersangsi lagi, In Hong tuturkan hal ichwalnya Sin Tjoe yang sampaikan dal am mimpinya suka mengigau menyebut-nyebut nama si pemuda. Ia juga mengerti maksu dnya Sin Tjoe mengirim dia pergi pada Seng Lim, supaya mereka berdua merangkap jodoh mereka. Tetapi ia telah punyakan cita-citanya sendiri, tidak dapat ia meng ubahnya itu. Maka sebaliknya, ingin sekali ia merekoki jodoh Sin Tjoe dengan jod oh Seng Lim itu. Dan inilah saatnya yang terachir! Mendengar keterangannya In Hong itu, Seng Lim membungkam. Ia memikirkan hatinya Sin Tjoe. Mungkin sekali hati si nona ada padanya hanya nona itu keras hatinya, dia tidak sembarang menum-plakkan rasa hatinya itu. Samar-samar Seng Lim mendapatkan alisnya In Hong berkerut, menandakan si nona berduka. Maka ia memegang pula kera s tangannya nona itu. "Entjie Leng," katanya,"sekarang ini malam gelap, kalau kita menerobos ramai-ramai, itulah sulit, tetapi kau, yang gagah da n cerdik, kau dapat meloloskan dirimu! Entjie, kau berangkatlah! Kalau nanti kau ketemu Sin Tjoe, kau tolong, kau tolong menyampai- kannya supaya dia tidak usah memikirkan pula padaku..." "Tidak, toakol" si nona menolak. "Untukku, tidak ada orang yang aku buat pikiran, maka baiklah kau sendiri yang p ergi!" "Di sana, aku memang memikirkan dia seorang," Seng Lim akui. "Akan tetapi di sin i, di sini aku memikirkan keselamatannya jiwa lebih daripada seribu saudara-saudara kita! Maka, entjie Leng, sudahlah, kau jangan omong lebih banyak lagi, pergilah kau me- nyingkir!" Mendengar itu tahulah In Hong bahwa orang telah berkepu-tusan tetap, maka percum alah andaikata ia membujuki terus. Ia seorang yang berhati keras belum pernah ia mengucurkan air mata, akan tetapi sekarang air matanya itu mengem-beng, karena ia terharu sekali untuk kekerasan hati pemuda ini, yang menyinta negara, menyinta kawan seperjuangan melebihkan kecintaan kepada kekasihnya! "Dialah benar laki-laki sejati!" katanya dalam hatinya. "Tidaklah kecewa yang adik Sin Tjoe menyintai dia! Ah, apa kata denganku sendiri ? Bukankah aku pun mempunyai orang yang menjadi idam-idamanku? Cumalah ent ah ia masih ada di dalam dunia atau tidak?... Kalau dia masih ada, di manakah adanya dia dan bagaimanakah keadaann ya sekarang?..." Segera juga berpe-tahlah bayangannya Hok Thian Touw. "Semoga dia kuat dan keras hati seperti toako Seng Lim ini," ia ngelamun. "Umpam a kata tanpa aku, biarlah ia berhasil menciptakan suatu partai persilatan baru!. .." Mengingat ini, karena leganya hatinya, ia bersenyum tanpa merasa. "Yap Toako," katanya kemudian, "karena kau tidak mau pergi, aku juga tidak!" Seng Lim masih berdiam, tangannya tetap masih mencekal keras. Setelah bergaul be rsama sekian lama, ia ketahui sifatnya nona ini, yang keras hati seperti ia send iri, yang tidak pernah menarik pulang putusannya. Si nona pun membalas mencekal keras, ia juga berdiam saja. Peperangan berhenti bukannya berhenti. Benar pasukan pemerintah tidak berani men erjang naik akan tetapi kadang-kadang mereka masih menghujani anak panah. Maka i tu dalam kesunyian sang malam, di situ terdengar berulang-ulang mengaungnya anak -anak panah itu. Dua-dua Seng Lim dan In Hong berpikir keras, dua-duanya memikirkan orang yang menjadi idam-idaman mereka... Tengah mereka ini ngelamun, mendadak hujan anak panah berhenti sendirinya. Tentu sekali mereka menjadi heran. Maka keduanya segera memasang mata. Di depan mereka berkelebat satu bayangan, yang gerakannya sangat pesat. "Siapa?" Seng Lim menegur, tangannya merabah goloknya. "Aku!" sahut bayangan itu, yang berhenti berlari, hingga di lain saat ia sudah tiba di depan mereka berdua. Di antara samar-samarnya sinar si Puteri Malam dan bintang-bintang masih dapat d ikenali bayangan itu ialah Keng Sim yang tampangnya tampan. "Oh, kau Keng Sim!" seru Seng Lim. "Benar!" menyahut itu anak muda. "Kecuali aku siapa lagi yang berani datang kema ri di waktu begini!" Masih tetap menantu Hertog Bhok ini membawa sikapnya yang jumawa. In Hong mengawasi, hingga ia melihat tegas orang masih dandan sebagai seorang agung-agungan, bahkan pada pakaiannya tidak ada setitik juga darah, hingga dari heran ia menjadi bercuriga. "Mau apa kau datang ke mari?" ia menanya, tangannya di gagang pedang. "Aku hendak membantu kamu meloloskan diri dari kepungan!" Keng Sim jawab. "Kenapa tentera negeri mengijinkan kau melewatkan mereka?" Seng Lim tanya. "Apak ah Pit Kheng Thian bertemu denganmu?" Keng Sim tertawa dingin. Ia beradat angku. Ia pun menduga sikap orang. "Jikalau kau percaya aku, mari turut padaku!" katanya. "Jikalau kamu tidak perca ya, baik jangan banyak bicara lagi! Pit Kheng Thian itu machluk apa hingga dia ada harganya untuk aku menemuinya?" In Hong mengawasi dengan tajam. Ia melihat orang mendongkol berbareng jengah. Wajah pemuda itu beda daripada biasa. "Baik, Keng Sim, aku percaya kau!" kata si nona kemudian. "Hanya hendak aku mena nya dulu padamu, sepatah kata saja! Kenapa kau berani menempu bahaya besar ini u ntuk menolongi kami?" Keng Sim tetap membawa lagaknya yang tinggi. Dia tertawa dingin. "Aku tidak mau menerima kebaikan dari kamu!" sahutnya tawar. "Aku datang kemari melulu untuk Nona Ie!" Itulah suara dari kepala gedeh yang bernadakan sedih... Pemuda ini telah dapat hajaran hingga dia menjadi menyesal dan malu kepada dirinya sendiri. Ketika itu hari di rumahnya di Hangtjioe dia telah membuka rahasia tentera kepada Law Tong Soen, dia malu seka li mendapatkan di hari kedua Sin Tjoe berlalu dengan diam-diam sambil meninggalkan surat dengan apa dia ditegur sudah menjual sahabat dan nona itu ber sumpah tidak mau bertemu pula dengannya. Itulah kejadian di luar dugaannya, dia menyesal dan malu, dia pun panasaran. Dia mengatakan Sin Tjoe tidak tahu hatinya. Keng Sim menyesal karena sudah membuka rahasia tentera rakyat. Ia kuatir, kalau tentera rakyat itu gagal, semua orang bakal mengutuk ia seperti telah diperbuat Sin Tjoe. Tapi juga ia berpikir, "Tidak nanti tentera rakyat itu sanggup bertahan terhadap tentera pemerintah. Aku membocorkan rahasia atau tidak, bukanlah soal. Tanpa rahasianya terbuka, tidak nanti mereka menjadi menang. Mereka tetap bakal kalah! Tapi entjie Sin Tjoe telah menegur aku, tid ak dapat tidak, aku mesti memberikan keterangan, aku mesti menjelaskan hatiku, biarnya aku terbinasa dan namaku busuk, mesti aku memb ersihkan diri, supaya dia ketahui aku sebenarnya seorang enghiong!" Maka, karena putusannya ini, hendak ia melakukan sesuatu, yalah agar Seng Lim lo los dari bahaya! Keng Sim pintar, dapat ia mengatur ceritera. Begitulah ia per gi ke kantor soenboe dari Tjiatkang. Ketika itu Pit Kheng Thian sudah menakluk dan pasukan perangnya Thio Kie sudah menuju k e Toenkee. Thio Kie adalah murid dari Tiat Hong, ayah dari Keng Sim, dan berhasi lnya ia mendapatkan menak-luknya Kheng Thian pun sebagian disebabkan Keng Sim me mbocorkan rahasia tentera rakyat itu, maka itu pemuda ini dipercaya soenboe itu, bahkan dia girang sekali anak gurunya datang kepadanya. Thio Soenboe pun sudah memikir, kalau nanti pemberontak sudah dapat ditindas dan wilayah aman, hendak d ia memujikan pemuda itu kepada pemerintah. Demikian malam itu, selagi tentera Seng Lim dikurung tentera negeri, Keng Sim me ngajukan permintaan akan pergi menemui Seng Lim itu, guna membujuki si pem- berontak menyerah dan menakluk. Thio Kie tidak curiga sedikit juga, ia memberika n persetujuannya, ia bahkan membekali surat yang ditulisnya sendiri. Demikianlah dengan gampang Keng Sim dapat naik ke gunung serta hujan anak panah dihentikan dengan tiba-tiba. Tentu sekali Seng Lim tidak dapat membade hatinya Keng Sim itu. "Jikalau kamu berniat meloloskan diri, jalannya ada dua," begitu Keng Sim member itahu selagi orang berpikir keras. "Coba kau jelaskan," Seng Lim minta. "Yang pertama yaitu menuruti teledannya Pit Kheng Thian, menakluk kepada pemerin tah," Keng Sim kasi tahu. "Nanti soenboe Thio Kie dapat menjanjikan kau pangkat komandan angkatan perang air. Nah, inilah suratnya soenboe itu dengan apa dia memanggil kau menyerah." "Hm!" bersuara Seng Lim dengan gusar. "Kau sangka aku orang macam apa?" Keng Sim tertawa berkakak, dengan lantas ia merobek suratnya Thio Soenboe itu. "Aku juga tahu kau bukannya seperti Kheng Thian yang bertulang anjing itu!" kata nya. "Kalau tidak, tidak nanti aku datang ke mari! Hanya, kau toh bukannya seora ng tolol! Kenapa kau hendak membela mati Toenkee sebuah tempat?" Sepasang alisnya In Hong berkerut. "Tiat Kongtjoe, adakah kau datang untuk menghina kami?" ia menanya. "Ataukah kau benar-benar hendak membantu kita meloloskan diri dari kepungan ini? Kaulah seorang pandai yang berb akat panglima perang, setelah kami lolos, nanti kami angkat kau menjadi toaliongtauw dar i delapan belas propinsi!" Keng Sim tertawa. "Mana aku mengha rapi kedudukan toaliongtauw kamu itu!" katanya. "Tel ah aku membilangnya, aku datang ke mari melulu karena aku memandang Nona Ie!" Sebenarnya tak puas In Hong menyaksikan lagak luguknya Keng Sim ini akan tetapi untuk kebaikannya Seng Lim, dapat ia bersabar. "Baiklah!" katanya. "Sekarang kami mohon keterangan tentang tipu dayamu itu." "Oleh karena kamu tidak sudi menyerah, sekarang tinggal jalan yang kedua," berkata Keng Sim pula. "Itulah kita mengguna i ketika sang malam untuk menyerang menerobos!" "Pasukan negeri mengurung berlapis-lapis, taruh kata kita dapat menoblos turun, kita tetap berada dalam kurungannya!" Seng Lim bilang. "Untuk itu aku ada dayanya, tak usah kamu buat kuatir," Keng Sim bilang. "Asal k amu suka mendengar titahku, aku tanggung kamu akan dapat molos!" "Pantaslah adik Sin Tjoe tidak menyukainya!" pikir In Hong. "Dia menempuh bahaya datang kemari untuk menolong kami, perbuatannya ini dapat membikin orang mengagumi dia, akan tetapi sikapnya ini menyatakan terang-terang, dia hendak me- nonjolkan budinya! Inilah dapat menimbulkan kesan sebaliknya! Hm, kalau bukan un tuk Yap Toako dan seribu lebih saudara-saudaranya ini, sungguh tak sudi aku mene rima budinya ini!" Seng Lim sebaliknya bersikap lain. Dengan kedua, tangannya dengan cara hormat ia menghaturkan bendera kekuasaannya. "Inilah iengkiel" katanya. "Segala apa dapat kongtjoe mengaturnya!" Pada romannya pemimpin tentera rakyat itu tidak nampak roman mendongkol. Menyaks ikan itu, Nona Leng menjadi sangat kagum. Keng Sim menyam-buti lengkie itu. "Di belakang gunung ini ada sebuah jalanan kecil," katanya, "dan jalanan itu nem bus ke Boegoan. Di sanalah penjagaan paling lemah dari tentera negeri ini." "Jalanan kecil itu ada jalanan pegunungan yang sulit sekali, telah aku melihatny a," menerangkan Seng Lim. "Jalanan tembusan itu sempit dan penuh dengan duri, sa ngat sukar untuk lewat di situ.. Kalau di sana di tempatkan saja beberapa ratus serdadu, kita sama juga ikan di dalam bubuh!" Agaknya Keng Sim kurang puas. "Ilmu perang membilang, di saat berbahaya menggunailah bahaya itu," katanya. "Ad a pula kata-kata yang membilang, kosong itu berisi, berisi itu kosong. Tentera negeri telah menduga ka mu tidak nanti berani menoblos dari jalanan kecil itu, maka mereka tidak menempa tkan pasukan yang kuat. Di beberapa tempat lain, yang meru- pakan jalanan bagus, di sana telah disembunyikan tukang-tukang panah serta tukan g-tukang menggaet, di sana semuanya berbahaya. Nah, terserahlah kepada kamu, kamu suka menerima baik usulku ini atau tidak!" Memang, selama di dalam pasukannya Thio Soenboe, Keng Sim telah melihat jelas re ncana perangnya soenboe itu. Bahwa ia menyebut-nyebut kitab ilmu perang itu melu lu guna mempertontonkan temberangnya. Dengan cara angku itu ia hendak mencoba menakluki Seng Lim. Kedua matanya pemimpin tentera rakyat itu bersinar. Sejenak kemudian, ia memberi hormat seraya berkata: "Kongtjoe, pandanganku memang cupat sekali. Memang jug a, siapa bodoh dia banyak kecurigaannya. Aku harap kongtjoe tidak menjadi kecil hati." Seng Lim berpandangan tajam. Ia telah dapat menduga kenapa Keng Sim dapat masuk ke dalam pasukan tentara negeri itu Tentulah itu disebabkan pengaruh ayahnya, se orang bekas giesoe, penasihat negara. Dengan berada di dalam pasukan tentara, tidaklah aneh kalau dia menjadi mendapat tahu keadaan dalam dari tentara itu. Di mata soenboe, Keng Sim bukannya seorang rendah, pantas kalau dia dipercaya habis. Hanya Seng Lim tidak pernah menyangka yang Keng Sim pernah membocorkan rahasianya tentara rakyat, salah satu sebab yan g membuatnya dia sangat dipercaya itu. Melihat Seng Lim suka mengalah, Keng Sim bersenyum. "Kamu masih mempunyai berapa banyak kuda?" ia tanya. "Kamu kumpulkanlah itu. Kam u kumpulkan juga semua sisa tentara, bersiap untuk segera bekerja!" Menyedihkan adalah tentara rakyat ini. Karena kekurangan rangsum, mereka terpaksa memakan daging kuda, dari itu, sisa kudanya tinggal tig a puluh ekor kurang lebih. Karena ini, Seng Lim lantas menggunai akal. Ia perint ahkan tentaranya mengumpul rumput, untuk membuat anak-anakan, yang semuanya diik at di punggung kuda. Sudah begitu, setiap ekor kuda itu dipasangi dadung yang pa njang, yang ditambat kepada pohon. Ketika mereka mau berangkat, ujungnya dadung itu disulut menyala. Di lain pihak, semua seribu lebih serdadu rakyat itu dengan cara sembunyi mengambil jalan kecil yang disebutkan itu. Benar sekali, jalanan kecil itu, jalanan selat, sangat sukar dilalui, sudah semp it, banyak pohon durinya pula. Keng Sim maju di muka. Ia telah menghunus pedang mustika Tjiehong kiam hadiah da ri gurunya, dengan itu ia membabat setiap rintangan. Ia tidak memperdulikan juba hnya yang panjang tersangkut robek dan jari tangan serta jari kakinya baret dan mengeluarkan darah. Menyaksikan kesungguhannya si anak muda, lenyap separuh dari kemendongkolan-nya In Hong. Ia membulang-balingkan sepasang pedangnya, guna membantu membuka jalan. Keng Sim bekerja terus, ia maju dengan cepat. Senang hatinya menyaksikan pihak tentera rakyat itu taat kepada pimpinannya. Maka itu di dalam hatinya ia berkata : "Sayang Sin Tjoe tidak ada di sini! Entahlah jasaku ini, mereka bakal memberit ahukannya Sin Tjoe atau tidak..." Baru saja tentara rakyat ini keluar dari mulut lembah, di belakang mereka terden gar hikuk-pikuknya kuda meringkik dan suara manusia serta tambur perang yang men ulikan kuping, kapan orang menoleh ke belakang, terlihat di sana, di atas rimba, mengepulnya asap dari api yang berkobar naik. Dadung penambat kuda telah terbak ar putus, kudanya semua kepa- nasan dan kesakitan, mereka lari serabutan sambil meringkik-ringkik. Karena itu, di beberapa puluh tempat timbullah bahaya api. Kuda cuma tiga puluh lebih tetap i mereka bagaikan terdiri dari satu pasukan perang besar. Di dalam malam yang gelap petang itu tetapi yang diterangkan cahaya api, tentara negeri melihatnya banyak serdadu berkuda, sebab itu waktu, semua anak-anakan rumput belum kena ter bakar. Mereka itu menduga tentara rakyat bergerak hendak menerobos kepungan, semua lantas bersiap sedia. Thio Kie ada seorang yang mengerti ilmu perang, maka tahulah ia yang musuh mogok tidak dapat dilawan keras dengan keras, dari itu ia menitahkan tenteranya berjaga-jaga. Barisan panah bersiap dengan panahnya, dan barisan tukang gaet dengan alat-alat gaetannya. Ia memesan, apabil a sudah tiba saatnya baru pihaknya menghujani, anak panah dan menggaet. Ia sendiri memasang mata. Saking lama ia telah menanti, tidak juga ia menampak musuh menye rbu turun gunung. Ia menjadi heran. "Mereka menggunai api membakar gunung, kenapa mereka belum juga menyerbu?" katanya dalam hatinya. "Mungkinkah mereka berduduk diam saja menantikan terbakar hangus?" Karena herannya itu, ia masih menantikan ketika. Tidak lama, api dadung telah memakan dadung hingga di anak- anakan rumput, maka terbakarlah anak- anakan itu, karena mana kudanya jadi semakin kalap, semuanya lari tidak keruan t ujuan. Ada kuda yang mati terbakar, ada juga yang roboh terserimpat hingga dia m ati terinjak-injak kawan-kawannya. Belasan kuda lainnya nerobos turun gunung. Sampai itu waktu barulah pihak tentera negeri menduga kepada kejadian yang seben arnya tetapi sudah kasap, tidak saja musuh sudah lolos, juga gunung telah terbak ar, tidak dapat mereka menyerang naik. Keng Sim menyaksikan api berkobar-kobar, ia bertepuk-tepuk tangan, ia tertawa lebar. Seng Lim pun memuji, katanya: "Di jaman dulu Thian Tan menggunai kerbau api memukul pecah pasukan perang negeri Tjee tetapi sekarang Ti at Kongtjoe menggunai kuda api mengacau musuh, mencegah mereka itu mengubar hingga kita dapat lolos! Inilah sungguh suatu tipu daya yang bagus!" Keng Sim puas sekali, saking bangganya, ia tidak mencoba merendahkan diri. Ia me nerima semua pujian itu. Bahkan dengan melirik, ia memandang ke sekitarnya. Di d alam hatinya ia kata: "Apakah bisanya Yap Seng Lim? Kenapa Ie Sin Tjoe demikian menghargai dia?" Keng Sim tidak mau memikir bagaimana Seng Lim seorang diri, dengan tentara mencil, sudah mempertahankan diri di Toenk ee untuk beberapa bulan. In Hong berpanda- ngan lain. Maka itu, melihat tegas perbedaan di antara Keng Sim dan Seng Lim itu , lagi-lagi ia memuji Sin Tjoe yang matanya tajam. Ketika terang tanah, tentera rakyat telah melintasi Boegoan. Selama itu tidak pernah mereka bersomplok sama tentara negeri. Di beberapa tempat ada tentara musuh yang menjaga tetapi mereka itu tidak berani muncul untuk memegat atau menerjang, sedang tentara rakyat pun tidak suka mengg anggu mereka. Selewatnya Boegoan orang tiba di jalan datar. Sampai di sini, Seng Lim mengucurk an air mata. Ia tahu, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat mereka berkumpul te rus. Sembarang waktu tentara negeri dapat menyerang atau mengurung pula pada mereka. Maka dengan terpaksa ia membubarkan pasukannya itu, ia menyuruh tenteranya mengambil jalan masing-masing, supaya mereka dapat m enolong jiwa sendiri. Ia menjanjikan untuk di lain waktu mereka nanti bergerak p ula. Oleh karena terpaksa, tentera rakyat itu suka membubarkan diri. Setelah pembubaran, Seng Lim jadi tinggal bertiga bersama In Hong dan Keng Sim. Mereka lantas kembali ke daerah pegunungan. Naik di tempat tinggi dan memandang jauh, pemuda she Yap ini menghela napas. "Suatu usaha besar dan bagus dikucar-kacirkan Pit Kheng Thian satu orang!" katan ya, sengit dan masgul. Dengan tertawa di- ngin, Keng Sim berkata: "Semasa di Tali pun aku telah mengatakan kamu tidak baka l berhasil! Apakah salah kataku itu? Sekarang, setelah kita berhasil lolos, aku hendak mengundurkan diri, aku hendak memohon sesuatu..." "Bilanglah, T iat Kongtjoe," berkata Seng Lim lekas. "Aku kuatir seumurku aku bakal tidak bertemu pula sama Ie Sin Tjoe," berkata pem uda she Tiat itu, "maka itu, kalau nanti kamu bertemu dengannya, tolong kamu men yampaikan sepatah dua patah kepadanya..." Seng Lim tercengang. "Ah, kiranya dia bekerja untuk Sin Tjoe melulu..." pikirnya. Tentu saja ia menjadi tidak enak hati. In Hong menyelak: "Kalau Sin Tjoe ketahui perbuatan kau kali ini, dia tentu girang sekali! Kamu toh sahabat-sahabat kekal, kenapa kamu tidak bakal bertemu pula satu dengan lain? Tapi baiklah! Apakah pesan itu? Nanti aku yang m enyampaikannya! Asal itu bukannya yang bukan-bukan, tentu dia bakal menerimanya! " "Kau tolong memberitahukan," berkata Keng Sim, "apa yang dia harap aku melakukan nya, biarnya itu yang tak aku sukai, aku sudah melakukannya. Dan, biar apa juga dia menganggap tentang diriku, dengan perbuatanku ini, dia tentu telah mengetahu inya..." Tidak enak In Hong mendengar kata-kata itu. Pikirnya, "Oh, kiranya perbuatannya ini ialah perbuatan yang dia tak sudi melakukannya! Jadi dia melakukannya untuk memenuhi pengharapannya adik Sin Tjoe! Orang ini beroman agung tetapi sebenarnya dialah seorang manusia biasa saja! Apakah bedanya dia dengan seorang saudagar?" Meski ia tahu orang bersifat rendah, Nona Leng tidak mau mengejek. Biar bagaimana, kali ini Keng Sim berjasa. Maka ia mengangguk dan kata: "Baiklah, aka n aku menyampaikan perkataan kau ini kepada adik Sin Tjoe. Apakah masih ada lagi pesan lainnya?" "Aku hanya mengharap dia dapat hidup selamat dan beruntung, supaya dia jangan me rantau pula dalam dunia kangouw," Keng Sim menambahkan. "Bukan saja orang semacam Pit Kheng Thian itu harus dijauh- kan, juga urusan menentang pemerintah agung baiklah ia jangan campur pula. Peker jaan berebut kekuasaan adalah pekerjaan orang kasar, bukan pekerjaan dia yang bertubuh halus!" In Hong merasa sangat tidak puas. Terang sekali perbedaannya di antara cita-cita mereka kedua pihak. Seng Lim pun tidak puas, tetapi ia dapat berbicara dengan sabar. "Nona Ie itu ada mempunyai pendiriannya sendiri," katanya. "Apa yang dia harus l akukan, apa yang tidak, dia pasti mengerti baik sekali. Tapi pesanmu ini akan ak u menyampaikannya." In Hong masih hendak bicara pula ketika dari kejauhan ia menampak mendatanginya belasan penunggang kuda. Ia batal bicara, ia mengawasi mereka itu. "Nah, pergilah kamu!" berkata Keng Sim. "Aku tidak dapat turut kamu. Biarlah lag i sekali aku mengundurkan pasukan pengejar itu!" "Kita hidup sama-sama, baik mati maupun susah," berkata Seng Lim, "maka itu, mar ilah kita pergi bersama!" "Apa?" kata Keng Sim, matanya membelalak. "Kau tahu apa? Mana dapat kau mengajak aku? Aku ada mempunyai daya untuk mengundurkan musuh! Kau tahu, kalau kau mati, tidak apa, tetapi bagaimana nanti dengan Sin Tjoe? Pasti dia bakal sesalkan aku!" Seng Lim tidak hendak meladeni, maka ia lantas menjauhkan diri. In Hong tahu pasti, Keng Sim ada mempunyai hubungan sama tentara negeri, karen a "Nah, pergilah kamu!" berkata Keng Sim kepada Seng Lim dan In Hong. "Aku tidak d apat turut kamu. Biarlah lagi sekali aku mengundurkan pasukan pengejar itu!" itu, ia pun tidak mau bertindak apa-apa, ia lantas ikut Seng Lim mengangkat kaki . Mereka baru jalan beberapa puluh tindak atau mereka dengar Keng Sin tertawa nyar ing dan lama dan lantas lari ke arah belasan penunggang kuda itu, yang mestinya ada dari pihak tentara negeri. In Hong berdua tidak dapat menerka pikirannya Keng Sim itu. Pikiran pemuda itu s ebenarnya kacau sekali. Dia ingin melakukan sesuatu, untuk Sin Tjoe, tetapi di lain pihak, dia i ngat ayahnya, yang masih ada di Hangtjioe. Dia juga tidak mempunyai keinginan ak an turut Seng Lim buron. Belasan orang yang mendatangi itu ada rombongan dari Taylwee Tjongkoan Yang Tj ong Hay dan Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen. Mereka itu heran menyaksikan kelakuann ya Keng Sim, yang tertawa nyaring demikian lama. "Bagaimana dengan sisa tenteranya Yap Seng Lim?" Tjong Hay tanya. "Mereka semua mati terbakar di atas gunung!" sahut si anak muda. "Orang benar tidak bicara dusta," berkata Law Tong Soen. "Aku mendengar dari Thi o Soenboe bahwa kau pergi kepada mereka untuk memanggil mereka menakluk. Kalau m ereka mampus terbakar, kenapa kau sendiri dapat lolos?" Keng Sim tertawa pula. "Bagus!" katanya. "Orang benar tidak bicara dusta! Baiklah aku beritahu ke pada kamu! Mereka itu telah aku lepaskan!" Yang Tjong Hay terkejut hingga matanya mencilak. Ia kaget bukan main. "Apakah itu bukannya mereka?" ia tanya nyaring, tangannya menunjuk. Seng Lim dan In Hong baru jalan menikung tetapi mereka susah pergi jauh. Law Tong Soen lantas mengeprak kudanya, berniat mengejar. Tiat Keng Sim menghunus pedangnya, dengan itu ia membabat. Tong Soen kaget, ia berkelit sambil berlompat turun. Maka naas kudanya, yang ken a terbabat hingga kutung kedua kaki depannya, tentu sekali ia menjadi sangat gus ar. "Tiat Keng Sim!" serunya. "Kau turun-temurun menerima budi negara, kenapa se ka- rang kau berchianat?" "Siapa bilang aku berchianat?" Keng Sim tanya. "Nah kenapa kau melepaskan mereka?" "Apakah kau tidak tahu pembilangan kitab ilmu perang, binatang mogok tak dapat d ilawan? Kalau mereka diubar terus-terusan, Seng Lim boleh menjadi nekat! Aku jus teru tidak suka melihat kamu terbinasa sama-sama! Kalau seorang panglima pandai mengepalai tentera, dia mesti dapat membuka suatu jalan! Tenteranya Yap Seng Lim sudah bubar, apakah halangannya aku melepaskan mereka satu atau dua orang?" "Ha, siapakah yang bicara denganmu tentang ilmu perang?" menegur Yang Tong Hay. " Keng Sim tertawa pula. Ia memang lagi ngoceh untuk menang tempo, supaya Seng Lim dan In Hong dapat pergi jauh hingga t ak dapat disusul lagi. "Jikalau kamu tidak hendak bicara dari ilmu perang, habis kamu hendak bicarakan urusan apa?" ia menanya. Ia tertawa pula. Law Tong Soen menjadi sengit sekali, sebelah tangannya menyambar. Itulah jurus "Kimpa tamdjiauw" atau "Macan tutul emas menyengkeram," suatu jurus dari ilmu silat Taykimna, untuk mencekuk nadinya si anak muda. "Seorang budiman membuka mulutnya tidak tangannya!" berkata Keng Sim sambil berkelit. "Aku akan turut kamu, maka buat apa ka mu turun tangan!" Lalu ia menyodorkan gagang pedangnya kepada komandan Gielimkoen itu. Tong Soen heran hingga ia melengak. Ia tidak menyambuti, karena mana pedang itu jatuh berkontrang ke tanah. "Satu laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab!" kata pula Keng Sim. "Aku m elepaskan mereka itu, maka kau boleh tangkap aku untuk dibawa menghadap kepada T hio Kie! Bukankah dengan begitu kamu dapat bertanggung jawab? Pedang ini pedang dari gudang di istana, kau boleh sekalian bawa pulang buat di pulangkan ke gudan g istana itu! Di dalam satu hari kau dapat melakukan dua pahala besar, tidakkah itu mempuaskan kau?" Habis mengucap, Keng Sim membawa kedua tangannya, untuk membiarkan kedua tangannya itu ditelikung. Tong Soen masih melengak, ia heran sekali. Orang ada puteranya satu bekas menter i, ia tidak berani berlaku kurang ajar. "Sudahlah, mari!" kata Tjong Hay achir-nya. *** Setengah bulan kemudian selesailah sudah pembasmian kepada kaum pemberontak. Sem ua sisa tentera rakyat sudah nelusup pula di antara rakyat jelata, dan Vap Seng Lim bersama Leng In Hong telah hidup menyendiri di dalam pegunungan Yangbwee Lim di utara Hangtjioe, di tempat yang disebut "Kioekee Sippat kian," ialah "sembil an kali dan delapan belas solokan gunung." Kota Hangtjioe adalah kota di mana Thio Soenboe memusatkan pasukan perangnya dan Kioekee Sippat kian terpisah dekat dari kota itu, akan tetapi Seng Lim mengambi l tempat itu, inilah artinya ia berdiam di tempat yang berbahaya, akan tetapi ad a maksudnya kenapa ia memilih tempat itu. Nyatanya Seng Lim dan In Hong telah mendengar kabar yang Tiat Keng Sim sudah "di kurung" di kota Hangtjioe dan perkaranya itu tinggal menanti saja firman kaisar yang akan memberikan putusan, entah hukuman apa, karena mana, hati pemimpin tent era rakyat ini menjadi tidak tenteram. Sebenarnya ia telah dibujuki oleh kawan-kawan nya, un- tuk, menyingkir jauh-jauh tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia telah berketetapan untuk menolongi Keng Sim, yang sudah melepas budi terhadapnya. Di dalam hal ini ia tidak memikirkan kejumawaannya putera giesoe itu. Mengenai ini In Hong tidak bisa membilang suatu apa, sebab ia juga menginsafi budi Keng Sim itu sudah melol oskan seribu lebih jiwanya sisa tentera rakyat. Seng Lim tinggal menumpang di rumahnya seorang petani pemetik daun teh. Kedua an aknya petani itu pernah menjadi serdadu suka rela maka itu ia percaya mereka itu , bahkan bantuan si petani yang diharapkan untuk menyerap- nyerapi kabaran dari kota. Telah didapat keterangan, penjagaan kota kuat sekali dan Keng Sim entah di mana ditahannya. Dua kali Seng Lim dan In Hong pernah masuk ke dalam kota, menyatroni penjara dan kantor soenboe, tidak juga mereka memperoleh endusan, bahkan satu ka li mereka kepergok, hampir mereka kena ditawan atau terluka, syukur liehay ilmu ringan tubuh mereka, mereka bebas dari hujan anak panah. Dengan lewatnya sang hari. Seng Lim dan In Hong menjadi bergelisah, cemas hati m ereka, itu artinya, kalau menanti terlalu lama, firman kaisar bakal keburu sampa i dan Keng Sim pastilah terancam jiwanya. "Jikalau firman kaisar tiba, cuma dua kemungkinannya," kata Seng Lim suatu hari kepada In Hong. "Pertama ialah dia dapat dihukum mati di kota Hangtjioe juga atas tuduhan sudah berkongkol sama kaum pemberontak. Kemungkinan yang kedua ialah, karena dia ada p uteranya seorang giesoe, dia bakal dibawa ke kota raja, entah hukuman apa bakal dijatuhkan di sana, tetapi sedikitnya dia bakal di penjarakan sepuluh tahun. Den gan begitu dia tertolong jiwanya hanya satu kali dia dijebloskan dalam penjara d i kota raja, itu artinya dia sulit ditolong karena penjara di kota raja sukar di bongkar." "Dua kali kita telah memasuki kota Hangtjioe hingga kita menghadapi bahaya," ber kata In Hong, "habis sekarang ada daya apa lagi?" "Hanya pada itu ada hal yang membuatnya aku heran," berkata Seng Lim. "Katanya penjagaan dilakukan keras sekali, toh dua kali kita sudah pergi ke sana, tidak pernah kita dirintangi oleh orang-orang ko sen kelas satu. Pit Kheng Thian pun ada di dalam kota itu. Kenapa dia tidak pern ah muncul?" "Mungkinkah Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen yang menjagai Keng Sim?" In Hong ta nya. "Itu pun suatu kemungkinan." "Apakah kemungkinan yang lainnya?" "Setelah dua kali kita mengacau kota, tersiar kabar bakal dilakukan penggeledaha n umum hingga ke desa-desa," menyatakan Seng Lim. "Itulah kabar belaka, sampai s ekarang buktinya belum ada. Tidakkah, karenanya, sebenarnya Thio Kie ada mengandung maksud lain? Siasat apakah mereka itu tengah mengaturnya?" "Apakah kau menyangka itu ada hubungannya sama Keng Sim?" Seng Lim mengangguk. "Maka itu kalau dugaanku benar, baiklah lagi sekali kita pergi ke kota," katanya. "Tetapi kita tak boleh sembrono," si nona memberi ingat, "Kaulah pemimpin tentar a rakyat, tidak dapat kau menempuh bahaya!" "Apakah Keng Sim telah tidak menempuh bahaya untuk menolongi kita?" In Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak setuju tetapi ia bungkam. Alasannya pemuda ini kuat. "Aku mengerti pandanganmu," kata Seng Lim. "Keng Sim memang bukannya orang kaum kita. Hanya kita tidak boleh memandang dari sudutnya itu. Ki ta boleh tidak setuju dengannya tetapi satu hal sudah terang, dia telah melepas budi besar terhadap kita, untuk itu dia tidak takuti bahaya yang mengancam dirinya. Apakah kita mesti menjadi manusia-manusia yang melupakan budi orang?" In Hong kena didesak. "Baiklah!" katanya achirnya. "Mari kita pergi!" Selagi mengatakan begitu, Nona Leng berpikir: "Terang Seng Lim ketahui Keng Sim bertindak melulu untuk Sin Tjoe, toh dia mau mengurbankan jiwanya untuk menolong i pemuda itu, jikalau aku tidak mengiringi dia, maka terlihatlah pandanganku yang cupat" "Kita sekarang baik pergi membuat penyelidikan ke rumahnya Keng Sim," berkata Se ng Lim. "Aku tahu di mana letak rumahnya itu. Aku pun telah mendengar kabar Tiat Hong sudah mengajukan surat permohonan guna menolongi puteranya Thio Kie ada mu ridnya Tiat Hong, dia pasti tidak berani mempersulit Keng Sim, maka mungkin seka li Keng Sim ditahan di rumahnya itu. Yang pasti ialah Tiat Hong tentu ketahui ba ik di mana adanya puteranya. Kalau si anak di penjarakan, tentulah Tiat Hong per nah menjenguknya di tempat tahanan." In Hong setuju. Pergi ke rumahnya Tiat Hong, ia anggap, pastilah tak begitu berb ahaya seperti menyatroni penjara kota Hangtjioe. Maka sore itu ia lantas dandan, menukar pakaian dengan yahengie, pakaian hitam peranti keluar malam. Segera juga keduanya meninggalkan pondokan mereka, untuk menuju ke telaga Seeouw . Di telaga itu rumahnya Keluarga Tiat menghadapi bukit Kouw San. Pada waktu ten gah malam, telaga dan tepiannya telah menjadi sangat sunyi. Di telaga itu sudah tidak ada perahu nelayan! Rumahnya Tiat Hong tertutup rapat dan api pun dipadamk an semua. Kelihatannya tidak ada penjagaan di rumah itu. Maka juga Seng Lim mera sa aneh. "Mari kita masuk," ia mengajak In Hong setelah bersangsi sejenak. Di dalam, pekarangan tidak terawat, rontokan bunga berserakan di tanah. Para-par a bunga pun ada yang roboh. Rumput di situ tidak pernah kenal gunting. Maka juga keadaan ada sunyi sekali, s angat sepi. Untuk berlaku hati-hati. In Hong yang masuk ke dalam Seng Lim yang menjaga di lu ar. Tidak lama si nona ke luar dengan tangan kosong, dia merasa sangat heran. "Aneh sekali, di dalam tidak ada seorang juga!" katanya Nona Leng. Seng Lim pun heran, hingga ia berpikir keras. "Apakah mungkin Tiat Hong kabur meninggalkan rumah tangganya?" ia menduga-duga. Segera juga Seng Lim membantah dugaannya itu. Bukankah Tiat Hong hanya seorang p embesar sipil, yang tidak mengerti ilmu silat? Mana dapat dia lari menyingkir, apa pula menyingkir seluruh rumah tangga? Juga adalah beral asan kalau Tiat Hong pun diawasi, tidak perduli Thio Kie masih memandang mata pa danya. Biar bagaimana, puteranya itu tersangkut perkara besar. Maka itu, kedua muda mudi menjadi berdiri diam saja. Percuma mereka mengasah ota k mereka, tidak bisa mereka menerka dengan jitu. Tengah mereka berpikir itu, men dadak mereka dikejutkan satu suara keras sekali. Ialah suara dari pintu depan ya ng digempur men-jeblak, lalu satu orang nampak nerobos masuk. Mereka terkejut, keduanya lantas lompat ke atas genting. Mereka menyangka orang pemerintah. Setibanya di atas, setelah mengawasi, mereka menjadi heran sekali. Cuma satu orang yang menyerbu itu dan dialah Tiauw Im Hweeshio. Pe ndeta itu mencekal tongkat sucinya, tubuhnya bermandikan darah. Bahkan beberapa batang anak panah masih menancap di tubuhnya. Meskipun ia kaget, Seng Lim dan In Hong pun lompat turun. Si pendeta segera mendapat lihat dua orang itu. "Eh, mengapa kamu ada di sini?" ia menanya, heran. "Mana dia Tiat Hong si tua ba ngka?" Muda-mudi itu mendekati, untuk lebih dulu memberi hormat. "Kita pun lagi mencari Tiat Hong," kemudian In Hong menjawab, "Di sini tidak ada seorang jua. Mungkin orang sudah buron. Taysoe, mengapa kau ada di sini dan kenapa terluka?" "Aku lagi mencari Tiat Keng Sim," menyahut pendeta itu singkat. "Apakah dia telah dapat diketemukan?" Seng Lim menanya. "Tidak! Beberapa hari yang lalu aku memperoleh keterangan dari mulutnya Tiat Hon g sendiri bahwa puteranya ditahan di dalam menara Liok Hap Tah. Aku hendak pergi ke menara itu tetapi si orang tua menahan, dia mencegah aku secara mati-matian. Karena itu aku menahan sabar beberapa hari, hingga hari ini aku mendengar kabar firman raja sudah tiba. Kalau aku tidak segera menolongi, tentulah Keng Sim diangkut ke kota raja, paling lambat besok. Karena ini aku tid ak memperdulikan apa juga, aku tidak pergi berda-mai pula sama tua bangka itu. Aku hendak menggempur Liok H ap Tah dengan tongkatku ini guna menolongi itu bocah. Di dalam menara itu ada di tahan beberapa orang lain tetapi Keng Sim tidak berada di sana, maka itu sia-sia belaka aku menghajar mampus beberapa siewie1." "Soesioktjouw, baiklah kau beristirahat dulu!" Seng Lim minta. In Hong pun maju untuk mencabuti beberapa batang anak panah itu, guna membalut l uka-lukanya. "Apakah Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen ada di Liok Hap Tah?" si nona menanya. "Jangan perdulikan lukaku!" tiba-tiba si pendeta berkata, tangannya dikibaskan. "Paling benar, lekas kamu menyingkirkan diri!" In Hong dan Seng Lim heran. "Kami telah memeriksa, di sini tidak ada tentera sembunyi," Kata si nona. "Di luar kota tidak ada tentera sembunyi tetapi di dalam kota sudah dilakukan pe rtempuran di jalan-jalan besar dan di ganggang!" kata pendeta itu. Seng Lim heran dan kaget. "Bagaimana itu, Soesioktjouw?" ia menanya. "Pasukan dari manakah itu yang melawan tentera negeri?" "Tentang itu aku tidak tahu jelas, dan aku juga tidak tahu jelas, dan aku juga t idak sudi mencari keterangan!" berkata si pendeta yang tabiatnya keras itu. "Hm, kamu tahu! Karena aku tidak dapat mencari Keng Sim, hatiku semakin panas! Semua ini terjadi karena gara-garanya Pit Kheng Thian! Maka aku segera pergi menyantroni tangsinya itu. Siapa tahu, aku bersomptokan sama kedua tentera yang lagi bertaru ng di dalam gang. Di dalam pertempuran kalut itu, beberapa anak panah ini menyas ar ke tubuhku! Sebaliknya bayangannya Pit Kheng Thian tidak aku melihatnya! Syuk ur tongkatku ini cukup berat, dengan ini aku dapat membuka jalan untuk keluar dari kota. Tentara negeri itu repot berkelahi, mereka tidak sempat mengejar aku. Demi kian aku tiba di sini..." Baru sekarang tampaknya si pendeta letih. "Benar-benar soe-sioktjouw sembrono..." pikir Seng Lim. "Lekas pergi, lekas pergi!" kata Tiauw Im berulang-ulang, tepat sehabisnya semua anak panahnya dapat dicabut In Hong, yang masih hendak menanyakan sesuatu kepadanya. "Jangan takut, aku tidak bakal mati karena luka-lukaku ini! Tapi, kalau tentara negeri sampai d i sini, mungkin aku sudah tidak kuat berkelahi lagi..." Baru pendeta ini menutup mulutnya, atau dari jurusan kota terdengar letusan meriam beberapa kali. Seng Lim lantas saja mempepayang pendeta itu, untuK diajak menyingkir dari rumahnya Tiat Hong. Atau hampir berbareng dengan itu tibalah satu pasukan tentar a negeri. Seng Lim masih dapat melihat nyata, ia menjadi heran sekali, hingga ia menyangsi kan matanya. Orang yang kabur dikejar adalah Pit Kheng Thian, dia menunggang kuda yang tidak ada pelananya, dia pun tanpa memakai serag am. Dia dilindungi kira-kira tiga puluh pahlawannya. Di belakang dia menyusul ba gaikan arus satu pasukan besar dengan kepala perananya ialah Taylwee Tjongkoan Y ang Tjong Hay bersama Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen. Pasukan negeri itu berse ru-seru. Bahkan Yang Tjong Hay telah menggunakan panah. "Ser!" demikian sebatang anak panah menyambar, dan Pit Kheng Thian roboh terguli ng dari kudanya, sebab binatang tunggangan itu telah kena terpanah jitu! Menyaksikan itu semua, Seng Lim lantas dapat menduga duduknya hal. Pemerintah memanggil menakluk kepada Pit Kheng Thian hanya suatu akal belaka, un tuk menang tempo. Bukankah Pit Kheng Thian telah mengajukan syarat supaya dia se dikitnya di angkat menjadi tokboe atau gubernur militer dari satu propinsi? Mana dapat permintaan itu diluluskan? Itulah menyinggung kehormatannya seorang raja. Raja lantas mengetahui sifat orang, dari itu tidak suka raja membiarkannya saja . Maka di harian dikeluarkan firman tjiauw an, memanggil Kheng Thian menakluk, b erbareng dikeluarkan firman lain, firman rahasia untuk Soenboe Thio Kie. Soenboe itu diberi perintah, setelah pemberontakan tertindas, jalan mesti dicari untuk mengurangi kekuasaannya Kheng Thian, agar achirnya Kheng Thian diringkus dan dibawa ke kota raja, untuk diperi ksa dan dijatuhkan hukuman. Tampaknya Kheng Thian seorang kasar akan tetapi dia dapat berpikir, matanya tajam. Ia lantas dapat melihat dan merasakan tindakannya pihak soenboe terhadapn ya, dari itu ia menjadi bercuriga. Begitu ia masuk ke dalam kota Hangtjioe, Thio Soenboe lantas mengatur pasukannya itu, yang dipindahkan ke sana sini. Itulah siasat yang ia kenal baik, sebab dulu pun ia berbuat demikian terhadap tenteranya Yap Tjong Lioe. Sudah begitu, ia seperti menanti angin. Pangkat atau karunia yang dijanjikan pemerintah tidak juga kunjung tiba. Kalau dulu ia merasa puas berhasil memecah-mecah pasukannya Yap Tjong Lioe, sekarang ia merasa perih yang tenterany a sendiri digeser sedikit demi sedikit. Maka itu ia jadi berpikir keras, hatinya merasa tidak enak, hingga di waktu malam ia menjadi kurang tidur. Ia selalu ter benam dalam kekua-tiran. Thio Soenboe bukannya seorang tolol. Ia dapat melihat kegelisahannya Pit Kheng T hian itu. Tentu saja, ia man bertindak cepat. Itulah tugasnya. Ia pun tidak mau dipersalahkan pemerintah. Demikian itu hari, Thio Kie mempersilahkan Pit Kheng Thian berangkat ke kota raj a, alasannya ialah agar Kheng Thian sendiri yang menghadap kepada kaisar guna me laporkan berhasilnya penindasannya terhadap kaum pemberontak. Kheng Thian merasa bahwa ia hendak ditipu, ia menolak berangka t dengan mengemukakan alasan ia lagi sakit. Itulah akal belaka. Bahkan ia menola k menemui utusannya Thio Soenboe. Thio Soenboe menjadi gusar, ia lantas bertindak. Pasukan serdadu segera di kirim untuk menyerang Kheng Thian, yang dituduh membangk ang. Begitulah terjadi pertempuran. Di dalam tempo tidak ada satu jam, tumpaslah kekuatannya Kheng Thia n itu. Tidak saja dia tidak bersedia, juga tenaganya memang sudah berkurang bany ak. Dia gagah tetapi dia seperti bersendirian saja, dia tidak bisa berbuat banya k, dan lantas terkurung. Tapi dia dapat membobol kuru- ngan dan dapat kabur bersama kira-kira tiga puluh pengiringnya, atau setibanya d i tepi telaga Thayouw itu, kudanya kena dipanah roboh oleh Yang Tjong Hay. Taylwee Tjongkoan itu segera berseru-seru: "Titahnya pemerintah agung ialah cuma Pit Kheng Thian seorang yang berdosa yang hendak ditawan! Yang lain-lainnya tid ak bakal dihukum! Sebaliknya, siapa dapat menangkap Kheng Thian hidup-hidup, dia bakal dikasi presen uang emas seribu tail dan pangkat tjongpeng1. Siapa yang da pat membunuhnya, ia juga bakal dikasi presen uang emas tiga ratus tail serta pan gkat kelas lima!" Begitu seruan itu terdengar, dua pahlawannya Kheng Thian lantas berbalik pikir an. Dengan masing-masing tombaknya, mereka menikam bekas pemimpin mereka i tu, si bekas toaliongtauw dari delapan belas propinsi. Kheng Thian tengah berlompat bangun ketika serangan itu dilakukan. Dengan mementang kedua tangannya yang kuat, ia menangkis kedua tombak itu. Ia lantas pungut toyanya, to ya longgee pang, dengan itu ia menangkis patah dua batang tombak lain yang ditik amkan kepadanya! Beberapa pengiring itu kaget meskipun mereka tahu ini bekas pemimpin memangnya k osen sekali. Kalau kini mereka berani berontak, itu disebabkan Kheng Thian sudah roboh dan mereka temaha akan janjinya Tjong Hay yang hebat itu. Tapi mereka sud ah kepalang, maka dengan berani mereka kata: "Dulu juga Yap Tongnia perlalukan baik padamu kenapa kau berontak terhadapnya?" Ditegur begitu, Kheng Thian melengak. Hanya sejenak, lantas bangkit hawa amarahnya. Maka dia lan tas menerjang hebat. Dengan sekali hajar saja, dia telah membikin remuk batok kepalanya dua pengiring nya. Menampak itu, yang lain-lain menjadi takut dan berteriak untuk kabur mencar. Kheng Thian tahu bahaya, dia tidak mau berdiam lama-lama di situ, maka dia lanta s lari. Dia melintasi jembatan Seeleng Kie, dan mendaki bukit Kouw San. Tentera negeri terus mengejarnya, menghujani dia dengan anak panah. Ketika itu Seng Lim bertiga Tiauw Im dan In Hong juga sudah tiba di atas bukit, mereka menyaksikan tentera negeri mendaki bu kit itu dari empat penjuru, dengan sikap mengurung. Tentu saja mereka menjadi be rkuatir, apapula Seng Lim yang melihat Tiauw Im, yang terluka itu, sudah kurang merdeka larinya. Juga Leng In Hong tak kurang kuatirnya. Ia ini takut tentera ne geri dapat melihat Seng Lim. Itulah berbahaya sekali. Bukankah Seng Lim tengah dicari? "Lekas! Lekas!" berseru nona ini berulang-ulang, sedang Seng Lim seperti juga me nyeret si pendeta. Tiauw Im seorang yang beradat keras. Mendadak ia meronta. "Aku dapat berlari!" teriaknya. "Tak usah kau membantu aku!" Seng Lim jengah. Ia tidak menyangka orang demikian kepala besar. Tiauw Im membuktikan kata-katanya. Ia berlompat berulang-ulang, ia berhasil menjauhkan diri. Maka di lain saat tibalah mereka di belakang kuil Gak Ong Bio, di atas bukit. Malam gelap sekali, mereka maju terus. Jalanan sukar dan banyak tikungannya juga . Meski begitu, di depan mereka tertampak samar-samar sebuah batu besar sekali. Mendadak Tiauw Im berlompat. Apa celaka, kakinya sakit, luka-lukanya pun pecah, ia lantas saja roboh hingga ia tidak mampu bangun lagi. Seng Lim lompat untuk mengasi bangun. "Pergi kamu menyingkir!" berkata pendeta itu. "Gunung begini luas, tidak nanti tentera negeri dapat mencari aku!...11 Pemuda itu tertawa. "Kalau begitu, mereka pun tak nanti dapat mencari aku!" katanya. Lalu, tanpa ban yak bicara lagi, ia pondong tubuhnya si pendeta, buat dibawa pergi ke belakang b atu besar. In Hong memeriksa luka-lukanya pendeta itu. Belasan luka itu telah mengucurkan darah hidup. Ia lantas kata: "Tentera negeri lagi mencari kita, tetapi kalau jum lah mereka kecil, taruh kata mereka dapat mencari kita, kita tidak takut! Taysoe , mari aku balut dulu lukamu!" Ketika itu benar-benar terlihat api di sana sini, ialah obornya tentera negeri y ang lagi mencari Pit Kheng Thian. Seng Lim membantu membalut Tiauw Im. Selagi bekerja, ia memi- kirkan Keng Sim. Ia tidak bisa melupakan itu anak muda, yang telah melepas budi kepada mereka. "Soesiok tjou w," tanyanya, "kenapa kau ketahui Keng Sim terjatuh di tangan tent era negeri?" "Sebab sekian lama aku berdiam di rumahnya Tiat Hong!" menyahut si hweeshio tert awa. "Aku tahu halnya Nona Leng dan Sin Tjoe mencoba membunuh Kheng Thian!" "Kita bukannya hendak membunuh dia," In Hong mengasi keterangan. "Sebenarnya adi k Ie mau memaksa Kheng Thian menyerahkan penghoe supaya dia dapat mengatur kirim an rangsum untuk menolong Yap Toako. Kemudian sesudah itu. Adik Ie menghendaki a ku pergi ke Toenkee. Rupanya dia sendiri pulang untuk menolong Keng Sim." "Benar," berkata Tiauw Im. "Habis menolong Keng Sim, dia bertemu sama aku. Kita bersama-sama pergi ke Pakkhia." "Tetapi," kata Seng Lim, "menurut katanya Pit Goan Kiong, dia di kota raja telah bertemu Sin Tjoe, maka kenapa kau bersama Keng Sim berada di sini?" "Itulah anehnya!" kata si pendeta. "Aku tidak tahu bagaimana sikapnya mereka si anak-anak muda! Aku lihat Keng Sim senantiasa memperhatikan Sin Tjoe tetapi Sin Tjoe sendiri selalu menjauhkan diri, bahkan dia pergi tanpa pamitan lagi!" Seng Lim merasa tidak enak hati. "Begitulah orang banyak melihatnya," pikirnya. "Orang banyak menganggap merekalah pasangan yang sangat setimpal! Keng Sim melepas budi kepada ku, mana dapat aku me-nyelak di antara mereka berdua?" Karena berpikir begini, ia menjadi tak tenteram hatinya. "Sebenarnya, bagaimana terjadinya itu?" In Hong menanya. "Kita bertiga berangkat bersama ke kota raja," Tiauw Im menjelaskan. "Setibanya di Hangtjioe, Keng Sim memaksa Sin Tjoe dan aku singgah di rumahnya untuk berapa hari. Maka kita berdiam di sana. Aku ada mempunyai seorang sahabat yang mengepa lai kuil Lengin Sie, maka pada suatu hari aku pergi ke kuil itu menyambangi saha batku itu. Aku tinggal satu malam di dalam kuil. Ketika besoknya aku pulang ke rumah Keng Sim, nyata Sin Tjoe telah berangkat dengan diam-diam pada malamnya. D ia pergi dengan meninggalkan sepucuk surat untuk Keng Sim. Tempo Keng Sim member itahukan aku kepergian Sin Tjoe, dia masih memegangi suratnya nona itu beberapa lembar. Ah, aku tidak tahu, apa yang Sin Tjoe tulis, demikian banyak, suratnya b egitu panjang. Nah, terkalah kamu, bagaimana dengan Keng Sim si bocah?" "Dia kenapa?" tanya In Hong heran. "Dia remas surat itu dan menggumpalnya menjadi satu, habis itu dia masukkan ke d alam mulutnya dan telan!" sahut Tiauw Im. In Hong benar-benar heran. "Apakah artinya itu?" ia tanya pula. "Aku juga tidak mengerti!" sahut pula Tiauw Im. "Masih ada lagi lain keanehannya ! Habis menelan surat itu dia lantas menangis seperti anak kecil!" "Apakah katanya selama dia menangis?" In Hong masih menanya. Di dalam hatinya ia kata, banyak lagaknya Keng Sim itu. "Dia ngoceh tidak keruan," berkata Tiauw Im. "Dia kata dia malu terhadap Nona Ie , bahwa Nona Ie tidak mengerti kepadanya! Aku lantas menasihati dia bahwa persel isihan di antara anak muda lumrah saja, dan aku menjanjikan dia akan membujuki N ona Ie. Atas itu sampai sekian lama dia berdiam saja. Kemudian barulah dia membe ri hormat padaku, dia menggunai kehormatan besar..." In Hong tertawa. "Kenapa dia berbuat begitu?" "Dia kata padaku bahwa untuk Nona Ie dia hendak melakukan suatu usaha besar, sup aya Nona Ie puas, cuma dia kuatir, dengan kepergiannya itu, dia tidak bakal kemb ali, maka itu dia minta aku tolong melihat-lihat ayahnya. Aku telah tanya dia ap a yang dia hendak lakukan, dia tidak mau memberikan keterangan. Sekarang barulah aku tahu, dia pergi ke Toenkee untuk memberikan bantuannya yang berharga itu un tuk tentera rakyat!" Mendengar itu, hatinya Seng Lim tidak tergerak, hanya ia berpikir, "Entah ada sa lah paham apa di antara dia dan Sin Tjoe..." Hanya, karena dia berani berkurban untuk menolong kami, kenapa aku pun tidak mau berkurban untuknya?" In Hong berpendapat lain daripada pemuda she Yap ini. Ia mau percaya, bukan tida k ada sebabnya yang besar, kenapa Sin Tjoe meninggalkan surat dan juga meninggal kan Keng Sim itu. Bahkan urusan itu mestinya penting sekali. Urusan apakah itu? Ia hanya tidak pernah menyangka bahwa itulah sebab Keng Sim membocorkan rahasia tentera rakyat. Tiauw Im melanjuti keterangannya: "Baru satu bulan yang lalu, Keng Sim dibawa pu lang ke Hangtjioe. Kejadian itu membuat Tiat Hong sangat berkuatir. Karena aku telah berjanji akan menjaga orang tua itu, tidak pernah aku berlalu d ari Hangtjioe. Untungnya, Thio Soenboe mengirim orang untuk mengawasi Tiat Hong tetapi tidak pernah dia datang mengacau. Pernah Tiat Hong pergi ke men ara Liok Hap Tah menemui puteranya, ia melakukan itu di luar tahuku. Apa yang an eh ialah kemudiannya! Ketika aku ketahui kepergian Tiat Hong kepada puteranya it u aku pun lantas pergi ke menara itu. Di sana aku mengacau. Aku heran sekali ket ika aku tidak mendapatkan Keng Sim! Hari ini aku pulang, maka heranku menjadi be rtambah! Tiat Hong tidak ada, rumahnya kosong! Entah ke mana mereka sudah pergi? Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?" In Hong dan Seng Lim menduga-duga. Sia-sia belaka. Mereka tidak bisa mendapatkan jawabannya yang tepat. Ketika mereka manjat ke tempat tinggi, untuk melihat kesekitar-nya, obor tentera negeri masih terlihat b agaikan berlugat-legot. Ketika itu In Hong sudah selesai membalut luka terachir dari Tiauw Im. "Soesioktjouw, mari kita pergi!" Seng Lim mengajak. "Mari aku gendong kau!" Pendeta itu menggeleng kepala. Justeru itu waktu mereka melihat berke-lebatnya beberapa bayangan orang ke arah mereka, maka Seng Lim lantas tarik si pendeta, untuk diaj ak bersembunyi di belakang sebuah batu karang besar. Hanya sedetik itu, mereka mendengar satu jeritan keras, menyusul mana tertampak seorang, yang punggungnya tertancap anak panah, yang tubuhnya bermandikan darah, lompat ke arah mereka, melompati karang itu. Rupanya dia itu lari untuk mencari tempat sembunyi. Tepat sekali, dia tiba dihadapan Seng Lim. "Pit Kheng Thian!" berseru si anak muda, yang segera mengenali orang. Ia kaget d an heran. Justeru itu, mendadak sekali, entah dari mana datangnya tenaga si pendeta, tahu-tahu ia telah mengangkat tongkatnya dengan apa ia menyer ang toaliongtauw itu! "Tahan!" berseru Seng Lim kaget. Hebat terdengarnya suara benterokan! Sebagai kesudahan dari itu, toyanya Kheng Thian terpatah dua dan tongkatnya Tiau w Im mental ke udara! Sebenarnya tenaga Tiauw Im besar luar biasa tetapi itu waktu ia lagi terluka parah, maka itu Kheng Thian dapat menangk is, sedang bekas toaliongtauw ini juga sudah mengerahkan semua tenaganya, hingga kekuatan mereka jadi berimbang. Hebatnya untuk Tiauw Im, karena ia menggunai se mua tenaganya, habis itu ia jatuh sendirinya. "Jangan kasi dia lari!" In Hong berteriak. Tapi dia tidak maju, karena dia perca ya Seng Lim seorang dapat melayani pengchianat itu. Ia sendiri lebih memerlukan lompat kepada Tiauw Im. Pit Kheng Thian berdiri menjublak, tangannya memegang kutu-ngan toyanya. Melihat Seng Lim, yang diketemukan di tempat tidak disangka-sangka ini, pelbagai perasa an mengulak di dalam batok kepalanya. Ia malu, ia gusar, ia jeri, ia pun mendongkol dan jelus. Seng Lim telah men hunus goloknya tetapi ia tidak lantas menyerang, ia hanya men gawasi dengan tajam. Sekonyong-konyong Kheng Thian berteriak: "Saudara Yap, tolong aku!" Teriakan ini dikeluarkan karena di dekat mereka terlihat berlom-patnya satu baya ngan, yang bukan lain daripada bayangannya Yang Tjong Hay, yang dapat menyusul b ekas toaliongtauw itu! Seng Lim berlompat maju, ia menghadang di depannya Kheng Thian. Yang Tjong Hay segera menyerang, beruntun hingga dua kali, sinar pedangnya berke redepan. Sebab pedang yang ia gunai itu pedang mustika yang ia pinjam dari Law Tong Soen. Karena itulah pedang mustika dari istana. Kaget dan girang Tjong Hay, ketika di antara sinar pedangnya itu ia mengenali Se ng Lim. "Ha, kiranya kau!" ia berseru. Di dalam hatinya, Tay I wee Tjongkoan ini lantas berpikir: "Dapat membekuk Yap S eng Lim berarti jasa jauh terlebih benar daripada dapat menawan Pit Kheng Thian. " Maka itu, ia lantas mengulangi serangannya. Kalau tadi ia hanya main berkelit, sekarang Seng Lim menangkis. Tapi tangkisanny a ini, yang pertama, membuatnya kaget sekali. Ketika kedua senjata benterok, gol oknya kena terbabat kutung ujungnya! Menggunakan ketika yang baik itu, Pit Kheng Thian lompat untuk lari. Ia tidak mau berdiam saja di situ, tidak perduli Seng L im lagi berkelahi untuknya. Hanya begitu ia melihat menyambarnya satu bayangan, tangan bayangan itu sudah lantas menyengkeram pundaknya, hingga ia merasakan sangat sak it sampai ke ulu hatinya. Penyerangnya itu, yang muncul tiba-tiba, adalah Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen , yang telah tiba di situ bersama-sama Yang Tjong Hay, bahkan komandan pasukan raja ini segera menggunai ilmu silatnya, Hoenkin Tjokoet Tjioe! "In Hong, tolonglah dia!" Seng Lim teriaki kawannya. In Hong mendengar itu tetapi ia bersangsi. "Inilah perintah tentera!" teriak Seng Lim. Kali ini Nona Leng tidak ragu-ragu lagi, dengan satu lompatan ia menikam punggun gnya Tong Soen. Diserang secara begitu, Tong Soen hendak membela dirinya, terpaksa ia melepaskan cekalannya kepada Kheng Thian, atas mana tubuhnya bekas toaliongtauw itu roboh terguling, orangnya pun tak sadarkan diri. Tepat dia rebah di sampingnya Tiauw Tm. Seng Lim menempur terus pada Tjong Hay. Sungguh ia tidak menyangka yang tjongkoa n ini menggunai pedang mustika, karena mana hampir saja goloknya gerumpung. Dengan bersenjatakan pedang mustika itu, Tjong Hay lantai berada di atas angin. Dengan bengis ia mendesak. Ia telah menggunai ilmu silat "Tjittje thianlam" atau "Lempang menuding ke langit selatan." Yang ia arah ialah lengannya lawan. Dengan terpaksa Seng Lim main mundur. "Yap Seng Lim!" berkata tjongkoan dari istana kaisar itu sambil tertawa lebar. "Sekarang ini kau telah buntu jalanmu! Perlu apa kau melawan aku? Paling benar l ekas kau ringkus Pit Kheng Thian, kau sendiri menyerah kepada Pemerintah agung! Aku tanggung kau bakal dianugerahkan pangkat tjongpeng !" Tawar an itu, yang berupa bujukan, disambut Seng Lim dengan seruan keras dibarengi bacokan hebat yang disusuli sambaran tangan kiri. Begitu hebat, hingga si tjongkoan kage t. Ia menangkis, ia menikam, toh sambaran anginnya serangan itu membuat pundaknya terasa sakit. Maka ia jadi sangat murka. "Bocah yang baik!" jeritnya. "Kau tidak tahu diri! Kau pun harus dibasmi sekalia n!" Maka dengan Tjiehong kiam, ia menyerang dengan hebat. Dialah salah satu dari empat jago peda ng besar, meski benar, ialah yang terlemah, ia toh liehay sekali, ia masih ada d i atasan Seng Lim, apapula sekarang ia bergegaman pedang mustika. Dalam tempo ya ng pendek, pemuda she Yap itu kena dia kurung. Seng Lim juga bukan sembarang orang, ilmu goloknya, dan ilmu tangan kosongnya, t elah mencapai puncak kemahiran, maka dengan ilmu goloknya, Ngohouw Toanboen too, ia melakukan perlawanan tidak kurang dahsyatnya. Dengan tangan kirinya yang kosong saban-saban ia menyerang dengan il mu silatnya Taylek Kimkong tjioe! Menghadapi perlawanan Seng Lim itu, Tjong Hay tidak berani berlaku sembrono. Ia bahkan berlaku waspada. Karena ini, meskipun ia lebih unggul, sampai seratus jur us lebih, ia masih belum bisa berbuat banyak. Ia melainkan dapat mengurung. Di lain pihak Leng In Hong, dengan pedang Tjengkong kiam, melayani Law Tong Soen si ahli Hoenkin Tjokoet Tjioe, si tukang membikin otot pa tah dan tulang keseleo. Juga mereka ini seimbang, meski sebenarnya Tong Soen ada terlebih liehay. Mereka tampaknya bertempur lebih hebat daripada pasa- ngan Tjong Hay dan Seng Lim itu. Selagi orang bertarung seru itu, rombongan tentera terus masih mencari, obor mer eka tampak makin dekat. Tjong Hay melihat cahaya api itu, mendadak ia bersiul pa njang, untuk memberi isyarat. Maka di lain saat terdengarlah suara sahutan yang berupa bunyinya terompet tentera. Telah ada rombongan serdadu yang sudah sampai di muka Oeyliong Tong, guha Naga K uning dan melewatinya. "Tjong Hay! Apakah kau di atas?" kemudian terdengar satu suara keras. "Ya, toasoekol" Tiong Hay menyahut sambil berkelahi terus. "Aku tengah melibat Yap Seng Lim! Lekas kau bantu aku!" Orang yang menanya itu adalah Poan Thian Lo, murid kepala dari Tjie Hee Toodjin. Dialah yang menjadi pemimpin tentera pengejar itu, sebab sengaja dia diundang d ari wilayah suku bangsa Biauw. Seng Lim terkejut. Ia mengerti bahaya yang lagi mengancam mereka. Bukankah Tiauw Im Hweeshio lagi terluka parah dan Pit Kheng Thian sedang pingsan? Bukanka h ia benar-benar lagi dilibat Tjong Hay dan In Hong pun dirintangi Law Tong Soen ? Jangan kata untuk menolong kawan, ia sendiri juga sulit untuk membebaskan diri dari desakan musuh! Yang Tjong Hay menjadi mendapat hati, maka itu serangannya menjadi bertambah heb at. Ia lantas menggunai siasat, menggertak ke timur menyerang ke barat, atau menunjuk ke selatan tetapi menggempur ke utara . Dengan satu jurus "Memutar dan melintasi bintang-bintang," kembali ia memapas kutung ujung goloknya Seng Lim! Pemuda she Yap itu menjadi seperti kalap. Percuma ia bersenjata kalau itu hanya golok buntung, maka sambil berseru keras, ia menimpuk dengan puntung goloknya it u! Yang Tjong Hay tertawa mengejek. "Siapa mau adu jiwa denganmu?" katanya. Ia menangkis dengan pedangnya, membuat g olok buntung itu terpental. Tapi justeru ia menangkis, justeru tibalah serangan tangan kosong dari lawannya itu! Berbareng sama serangan dahsyat dari Seng Lim ini maka terdengarlah suara nyaring bagaikan gunung ambruk, lantas terlihat beberapa biji batu yang besar jatuh bergeluntunga n dari atas gunung di atas mereka. Semua serdadu menjadi kaget dan ketakutan, sambil berteriak atau menjerit ketakutan, mereka lari serabutan untuk menyingkirkan diri dari bahaya. Mampuslah siapa ketimpa batu-batu besar itu, yan g jatuhnya ke jurang atau lembah dengan menerbitkan suara lebih hebat lagi. Jatuhnya batu-batu itu pun tidak serintasan saja hanya saling susul. Maka teranglah di puncak ada orang yang membantu Seng L im. Tjong Hay kaget. Ia menginsafi bahaya. Maka ia tidak lagi men- desak Seng Lim, ia menggunai ketika akan dongak, untuk melihat ke atas di mana s egera terlihat dua bayangan orang berlari-lari turun, larinya sangat pesat. Seng Lim pun menggunai ketikanya ini untuk mengawasi dua bayangan itu. Atau sege ra dia berseru dengan pertanyaannya: "Adik Sin Tjoe! Benarkah kau di sana?" Memang benar itulah Ie Sin Tjoe yang datang! Sangat pesat dia lari turun, bajuny a berkibar-kibar. Dia datang bagaikan seorang bidadari yang terbang melayang turun. Dalam tempo yang pendek sekali, dia telah tiba di dekat Seng Lim. Di bela kang dia, ialah itu bayangan yang kedua, ada satu anak muda yang tubuhnya jangku ng. Seng Lim melengak. "Siapakah dia?" pikirnya. "Dia begini liehay..." Sin Tjoe tidak segera menjawab pemuda she Yap itu, hanya terlebih dulu dia terta wa lebar, habis mana baru dia mengasi dengar suaranya yang nyaring tapi halus: "Benar, inilah aku! Eh, entjie Leng! Sia pakah ini yang aku ajak datang kemari?" In Hong menggunai ketika untuk melirik, karena ia pun lantas mengenali Nona Ie. Kapan ia sudah melihat tegas, kegirangannya meluap-luap, sampai ia merasa bahwa ia tengah bermimpi. Pemuda itu ialah pemuda idam-idamannya, yang senantiasa ia rindukan. "Engko Hok!" ia berseru. Hanya satu kali, lantas ia seperti terkancing tenggorok annya meski sebenar- nya ia hendak memanggil berulang-ulang. Di saat In Hong kegirangan itu, Law Tong Soen sudah melakukan penyerangannya yan g berbahaya. Ia mendesak dengan tikaman bertubi-tubi, lalu selagi si nona repot, mendadak ia mengulur tangannya dengan jurusnya "Wankauw tekko" atau "Sang kera memetik buah," untuk merampas pedangnya nona itu ! Tentu sekali, In Hong menjadi kelabakan. Tapi Sin Tjoe sudah bersedia, dengan sebat ia menimpuk dengan tiga kuntum bunga emasnya, mengarah ke mata, ke dada dan ke dengkul musuh. Tidak tanggung-tanggung ia menggunai kimhoa bunga emasnya. Law Tong Soen melihat datangnya senjata rahasia, tidak ingat lagi ia kepada lawannya yang hendak ia bikin celaka itu, dengan menjejak tanah, dengan mengenjot tubuhnya ia berlompat jumpalitan untuk menyingkir dari bunga-bu nga emas yang berbahaya itu. Saking liehaynya, ia bisa berlompat jauh tiga tombak. Di lai n pihak, ia pun telah berhasil menyambar pedang In Hong, pedang mana ia lantas b ikin patah dengan satu tekukan Hoenkin Tjokoet Tjioe, sedang ujungnya pedang ia lemparkan ke arah lawannya itu hingga In Hong tidak berani melompat ma ju untuk mencoba merampas pulang pedangnya itu. Tong Soen sudah gesit sekali, tetapi Sin Tjoe lebih pesat pula. Habis menimpuk, nona ini berlompat maju, guna menyusul, maka dengan pedangnya, pedang Tjengbeng kiam, dapat ia menikam komandan Gielimkoen it u. Tong Soen pun sudah bersedia, menangkis dengan putaran tangannya, untuk merampas juga pedangnya nona ini, maka itu, keduanya lantas jadi bertempur. Sambil bertempur, Sin Tjoe tertawa dan berkata: "Entjie Leng, sudah lama kamu be rpisah dan sekarang setelah bertemu pula, maka kau serahkanlah jahanam ini padak u!" "Engko Hok!" berkata Nona Leng tanpa menjawab Sin Tjoe. Tapi belum sempat ia ber kata lebih jauh, sambil bersenyum Thian Touw sudah kata padanya: "Adik Leng, kau mengasolah!" Kemudian, menghadapi Seng Lim, ia meneruskan berkata: "Yap Toako, kau juga beristirahat! Kau serahkan jahanam ini padak u!" Kata-kata ini diikuti gerakan tangan dan tubuhnya. Dengan pedangnya Hok Thian Touw menempel pedang Yang Tjong Hay, maka dengan cepat ia te lah menggantikan Seng Lim, yang terus mundur tanpa sungkan-sungkan. In Hong berdiri tercengang, ia kecele berbareng girang. Kecele karena orang tidak melayaninya atau datang menghampirkan, tetapi ia giran g dengan ini pertemuan. Dengan begini pun berarti mereka mendapat pertolongan. "Ah, engko Hok-ku ini benar-benar seorang ksatriya!" pikirnya kemudian "Diumpamakan aku, aku juga tentu akan menggantikan dulu toako Sen g Lim! Urusan pribadi ada urusan kedua, yang utama ialah urusan negara! Bukankah musuh dahsyat ada di depan mata? Tapi Yang Tjong Hay ialah salah satu dari empat kiamk ek terbesar, dapatkah engko Hok melawan dia?..." Karena ini, ia lantas mengawasi engko-nya itu... Yang Tjong Hay bertempur tanpa mem-perdulikan siapa musuhnya. Ia berkelahi makin lama makin hebat. Ia insaf bahwa ia tengah menghada pi lawan tangguh. Ia pun berlaku cerdik sekali. Ketika ia menggunai tipu silat " Tiangho lokdjit," atau "Matahari turun di sungai panjang," ia menggunai akal "ko song ialah berisi, berisi ialah kosong." Sambil mengancam ia menikam pundak lawannya. Hok Thian Touw tidak membiarkan dirinya digertak. Ia tidak menangkis atau berkel it, ia hanya menanti sampai ujung pedang hampir mampir di pundaknya itu, yang me njadi sasaran. Mendadak saja ia menggeser tubuhnya ke samping seraya pedangnya d ipakai membabat lengannya lawan. Itulah tipu silat "Kimpeng tiantjie," atau "Garuda ema s mementang sayap." Yang Tjong Hay menjadi sangat kaget. Kalau ia melanjuti tika-mannya, pastilah le ngannya bakal terbabat kutung. Inilah ia tidak sangka dari lawannya yang muda it u. Dengan gesit ia menggeser tubuhnya berikut tangannya yang ditarik pulang, dengan begitu batallah ia menjadi si tangan kutun g sebelah! Habis itu tjongkoan ini berkelahi dengan waspada. Ia menggunai pedang mustika ta pi ia seperti tidak berdaya, bukan seperti tadi ia merangsak terus- terusan kepada Yap Seng Lim. Percuma pedangnya itu, yang sekarang hanya dipakai untuk melindungi diri. Hok Thian Touw berkelahi dengan keras tetapi tenang. Ia mengendalikan pedangnya dengan baik sekali. Tidak tampak ia kesusu, tetapi serangannya bagaikan gelomban g sungai Tiangkang, saling susul tak hentinya. Beberapa kali Tjong Hay membabat pedangnya lawan itu, saban-saban percobaannya gagal. Maka itu lama-lama Thian Touw membuat jago ista na itu menjadi kewalahan. In Hong menonton dengan heran dan kagum, dengan kegirangan. "Aku tidak sangka sekarang ini ilmu silat pedang engko Hok maju begini rupa," ka tanya dalam hati. "Sekarang aku ingat akan sumpahnya dulu hari ketika kita masih kecil dan sama-sama belajar di gunung Thian San. Engko Hok telah mengangkat sum pah bahwa ia hendak mewujudkan cita-cita ayahnya akan membangun suatu partai bar u dalam ilmu silat pedang. Ketika itu secara main-main aku telah menyindir dia b ahwa aku pun nanti membangun suatu partai lain. Barusan ia telah melihat pedangk u kena dibabat musuh, entah dia mentertawai aku atau tidak..." Ia memandang ujung pedangnya yang terletak di tanah, ia menjadi malu sendirinya. Tapi, biar bagaimana, ia toh girang. Ia memang seorang nona yan g beradat tinggi. Ini pun sebabnya di belakang hari, meski ia sudah menikah sama Thian Touw dan keduanya sangat saling menyinta, karena tabiat berlainan, mereka tidak dapat hidup berkumpul dengan kekal, hingga kejadian, beberapa puluh tahun kemudian, ia dapat membangun satu partai silat pedang lainnya... 8) Pertempuran di antara Sin Tjoe dan Tong Soen juga berjalan tidak kurang hebatnya, Sin Tjoe telah memperoleh kemajuan pesat selama ia mendampingi gurunya, maka itu dengan i a pun menggunai pedang pusaka dari Hian Kie Itsoe, ia membuat daya Law Tong Soen sia-sia belaka dengan ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet Tjioe yang liehay itu. Komandan Gielimkoen ini selanjutnya cuma bisa membela dir i, tidak mampu dia membuat penyerangan membalas. Ketika itu obornya tentera negeri terlihat semakin dekat. Mereka itu mendatangi dari gunung Kouw San. Mereka mulai mendaki Tjiathee Nia. Di lain pihak dari atas puncak Tjiathee Nia masih saja ada batu-batu gunung yang digulingkan ke bawah. Itulah tanda, kecuali telah datang bala bantuan dalam dirinya Ie Sin Tjoe dan Ho k Thian Touw, di sana masih ada kawan-kawannya, bahkan kawan atau kawan-kawan ya ng liehay sebagaimana dapat dibuktikan dengan dijatuhkannya batu-batu besar itu tak hentinya. "Bukankah Thio Tayhiap pun tela da- tang bersama?" Seng Lim menduga-duga. Seng Lim ini tidak dapat membantu Thian Touw atau In Hong, ia lebih memerlukan m eng-hampirkan Tiauw Im Hweeshio. Cuma sebentar hweeshio itu pingsan, lantas ia mendusin. Juga Pit Kheng Thian sadar dengan cepat, tetapi dia roboh sebagai kurbannya Law Tong Soen, setelah mendusin dari pingsannya, sebagai gantinya, ia merasakan sakit sekali pada tulang-tulangnya dan tenaganya menjadi habis. Ketika ia membuka kedua matanya, ia kaget tidak terkira. Ia justeru duduk berhadapan sama Tiauw I m Hwee shio, mata siapa yang besar dan tajam diarahkan kepadanya. Hampir saja semangatnya terbang. "Hm!" Tiauw Im me- ngasi dengar suaranya yang seram apabila ia mengenali Kheng Thian. Ia juga menge pal keras kedua tangannya. Katanya dengan bengis: "Ini dia yang dibilang, jaring langit pulih, jarang tetap i tidak bocor! Inilah dia, keadilan Thian! Achir-achirnya kau berada juga di dep anku!" Tanpa bangun lagi, hweeshio ini mengirim tinjunya! "Tahan, soesioktjouw !" berseru Seng Lim mencegah. Tapi tinju telah di kirim, tidak dapat itu ditarik pulang. Justeru itu terdengar suara tertawa yang diiringi kata-kata: Soepee, benar-benar lah kau bertabiat jahe, makin tua makin pedas! Janganlah bergusar karena jahanam ini!" Itulah Tan Hong, yang tiba dengan men- dadak, mulanya cuma terlihat baju putihnya berkibar-kibar. Tan Hong sampai di antara mereka dengan dua-dua tangannya dikasi bekerja. Tangan yang kiri menahan tinjunya Tiauw Im, tangan yang lain menekan Kheng Thian. Deng an begitu bekas toaliongtauw itu jadi ketolongan dari hajaran yang hebat. "Tan Hong, apakah artinya ini?" menanya itu soepee, sang paman guru. "Keponakan muridmu hendak berbicara, soepee1." sahut Tan Hong bersenyu m. Lantas sepasang matanya yang tajam menyapu Kheng Thian. Ia tertawa ketika ia ber kata: "Aku mendengar kabar kau hendak meminta peta buminya Pheng Hoosiang dari t anganku, supaya kau dapat merampas kera-jaannya si orang she Tjoe, maka itu heran sekali mengapa kau jadinya begini tidak mempunyai semangat? Bagaimana nanti kau dapat bertemu ayah mu di alam baka?" Kheng Thian malu bukan kepalang. Kalau bisa, ingin ia menyelusup masuk ke dalam tanah. Ia malu berbareng menyesal sekali. Tapi dasarnya bertabiat keras dan kasa r, dengan mengertak gigi, dengan tawar, ia menyahut: "Setelah segala apa menjadi begini rupa, tak usahlah itu dibicarakan pula banyak-banyak! Thio Tan Hong, kau bunuhlah aku dengan pedangmu!" Tan Hong tertawa melengak. Atau sekejab kemudian, ia memperlihatkan wajah sunggu h-sungguh. "Jikalau aku hendak membinasakan kau, tidak usahlah aku menanti sampai hari ini! " katanya tenang. "Biar bagaimana aku masih ingat baik-baik leluhurmu! Bukankah kamu keluarga Pit keluarga gagah perkasa turun temurun? Lihatlah buyutmu Pit Tjeng Tjoan yang telah membangun partai pengemis Kaypang! Tengoklah kakekmu Pit Leng Hie yang telah membantu Thio Soe Seng mengusir tentera Mongolia ! Yang paling belakang kau ingatlah ayahmu, Tjinsamkay Pit Too Hoan yang namanya menggetarkan dunia orang gagah, yang dipuji kaum Rimba Persilatan! Coba kau kenangkan leluhurmu itu, apakah kau tidak meras a malu dan menyesal?" Mukanya Kheng Thian menjadi pucat dan padam, mendadak saja ia menangis meng-geru ng-gerung, kemudian ia berlompat bangun, untuk menub-ruki kepalanya ke batu besa r di sampingnya! Tan Hong menyambar tangan orang, untuk ditarik dengan perlahan. "Di masa kau kecil pernah aku merampas kau, menolongmu dari tangannya tentera negeri," kata tayhiap ini dengan sabar. 9) "Tapi hari ini kau telah melakukan ke keliruanmu yang besar sekali. Inilah perbuatanmu, yang kau mesti tanggung sendir i. Sebenarnya kau tidak seharusnya hidup lebih lama lagi, akan tetapi aku memiki r lain, meski semestinya kau tidak dapat ditolong lagi, sukalah aku menolong bua t kedua kalinya. Aku memandang kakekmu dan ayahmu aku menyayangi ilmu silat kamu kaum keluarga Pit, y ang mesti mewariskan kaum Kaypang, tidak pantas kepandaianmu itu tumpas bersama kau! Kali ini aku menolong pula kau dari tangan tentera musuh!" Mendengar perkataannya Tan Hong itu, Tiauw Im menarik pulang tinjunya. Ia memang menghargai leluhur keluarga Pit itu, sedang sekarang ia melihat air matanya ini bekas toaliongtauw yang tersesat. Akan tetapi ia masih sangsi. Maka ia kata pad a Tan Hong, keponakan muridnya itu: "Dapatkah dia mengubah perbuatannya? Tidakka h di belakang hari dia berbuat sesat pula?" "Dia telah mendapat pelajaran, mungkin dia tidak akan terjeblos pula," menyahut Tan Hong. "Dia pun telah terhajar Hoenkin Tjokoet Tjioe dari Law Tong Soen, semua dua belas urat nadinya sudah rusak, deng an begitu habislah sudah semua ilmu silatnya. Selanjutnya ia cuma bisa mengajari orang ilmu silat dengan petunjuk saja, ia sendiri tidak dapat berkelahi lagi." Kheng Thian berdiam saja mendengar perkataan Tan Hong itu. Itulah benar. Sudah h abis semua kepandaiannya itu. Bahkan sekarang ia masih merasakan sangat sakit ak ibat hajarannya Tong Soen. Ia pun mengeluarkan keringat yang menetesnya bagaikan butir-butir mutiara... Melihat keadaan orang itu, Tan Hong mengeluarkan obat pelnya yang berwarna hijau. "Ini obat Siauwyang Siauwhoan Tan buatan-ku sendiri," ia berkata seraya memberik an satu butir, "obat ini dapat menahan sakitmu selama tiga hari, maka itu sekarang pergilah kau lari turun gunung, kami nanti m encegah tentera negeri itu mengejarmu! Kau ambil jalan dari belakang gunung!" "Baik!" sahut Kheng Thian, yang tetap berkepala besar: "Hari ini aku telah mati dan hidup pula! Pit Kheng Thian yang kemarin sudah dikubur!" Ia lantas berlutut dan mengangguk tiga kali kepada Tan Hong, lantas ia memutar t ubuhnya, untuk lari pergi. Semua mata mengawasi kepergiannya bekas toaliongtauw itu, mereka terharu. Hampir berbareng dengan itu terlihat Siauw Houwtjoe datang sambil lari berjingkr akan. "Ada lagi serombongan tentera negeri mendaki gunung!" katanya nyaring. "Soehoe, apakah soehoe tidak mau pergi membantu soesiok?" Dengan "soesiok," atau paman guru, Siauw Houwtjoe maksudkan In Tiong. Tan Hong p un datang bersama saudaranya In Loei itu, yang menjadi iparnya. Dan In Tiong ada orang yang saban-saban menggulingkan batu besar untuk merintangi tentera itu, untuk itu ia telah menggunakan tenaga besar dari Taylek Kimkong tji oe. Tan Hong tertawa kepada muridnya itu. "Kau tunggu saja sebentar!" katanya tenang. "Soetjie-mu dan Hok Toako-mu itu lagi bekerja! Baik kau perhat ikan ilmu pedangnya Hok Toako itu!" Siauw Houwtjoe menurut, ia lantas mengawasi orang yang lagi bertempur itu. Yang Tjong Hay telah menjadi ciut nyalinya begitu lekas ia tampak munculnya Thio Tan Hong. Karena itu permainan pedangnya menjadi kacau sendirinya. Sebenarnya i a sudah lantas memikir untuk mengangkat kaki, maka ia menyesal sekali yang lawan nya, yaitu Hok Thian Touw, sudah mencegah ia dapat mewujudkan pikirannya itu. Ia telah didesak hingga ia terus kewalahan. Maka sekarang ia cuma bisa berdaya men olong jiwanya. Thian Touw mende- sak untuk memegat jalan mundur lawannya itu. Tan Hong menonton sambil mengangguk-angguk, katanya pada Tiauw I m Hweeshio: "Se jak sekarang dan selanjutnya maka akan muncul suatu partai ilmu silat pedang yan g baru!" "Ilmu pedang entjie Sin Tjoe pun tidak kalah dari ilmunya!" berkata Siauw Houwtj oe. Bocah ini tetap tidak puas karena pertama kali bertemu sama Thian Touw, dia kena dipermainkan. Ia pun melihat Tjengbeng kiam digeraki secara sangat liehay o leh Sin Tjoe. Malah mungkin pertempuran Sin Tjoe dengan Tong Soen lebih menarik ditonton daripada petarungan Thian Touw dengan Tjong Hay, karena Tjong Hay tinggal membela diri saja. "Memang juga entjie-mu telah maju sangat pesat," kata Tan Hong kepada muridnya i tu. "Mengenai Thian Touw, ilmu pedangnya itu terdiri dari banyak partai dan seka rang ia telah dapat mempersatukannya, maka di belakang hari, aku mungkin tidak d apat dibandingkan dengannya... In Hong sementara itu mengawasi terus pertempuran kekasihnya, bahkan ia segera m elihat Tjong Hay berkelahi dengan beringas sekali, beruntun dia sudah menggunai dua jurus yang liehay, yaitu "Ombak kemarahan menggulung mega" dan "Pasir kuning menutupi matahari." Tan Hong melihat orang berlaku nekat itu, ia tertawa. "Yang Tjong Hay hendak mengadu jiwanya, perbuatannya itu mempercepat kekalahannya!" katanya. Hampir berbareng dengan kata-kata itu, tampak tubuhnya Hok Thian Touw terhuyung, kakinya menindak ke tengah, ke arah yang dinamakan pintu hongboen," setelah man a sekonyong- konyong dia berseru sangat nyaring: "Lepas pedangmu!" Dan teriakan itu diiringi sama benterokan yang keras dari barang logam, lalu Tjiehon g kiam, pedang mustika dari istana kaisar, yang dicekal Yang Tjong Hay, mental s eperti terbang. Belum lagi pedang itu jatuh ke tanah, tubuhnya Thian Touw sudah mencelat seperti terbang melayang, untuk menangkap itu, hingga pedang itu menjad i berganti tangan! Yang Tjong Hay tidak menghiraukan pedangnya itu, justeru pedangnya mental dan la wannya berlompat akan menyambar itu, ia sendiri pun lompat jumpalitan dengan tip u silatnya "Burung kapinis membalik badan," dia lompat ke bawah gunung, habis ma na dia lari ngiprit tanpa memperdulikan lagi Law Tong Soen! Thio Tan Hong tertawa berkakak. "Pedang mustika telah bertukar tangan!" katanya nyaring. "Maka itu empat kiamkek terbesar di kolong langit ini juga telah bertukar orang baru!" Sin Tjoe mendapat tahu kemenangannya Thian Touw itu, ia menjadi tidak enak hati. Bukankah ia terus mesti berkutat sama Law Tong Soen? Karena itu, ia lantas meng ubah cara bersilatnya, hingga ia membuat tubuhnya seperti terkurung cahaya hijau dari peda ngnya itu. Melihat demikian, Tong Soen menjadi bingung. Bagaimana ia bisa melayani terus? T api dasar ia menang tenaga dalam, ia masih dapat bertahan, saban-saban ia bisa m enyam-pok mental pedang lawannya itu, sedang di mana ia bisa, ia membalas menyer ang. Ingin ia membikin si nona tercengkeram nadinya atau tulangnya terpatahkan. Siauw Houwtjoe menonton sampai habis sabarnya. "Soetjiel" ia memanggil. "Kau dijuluki Sanhoa Liehiap, kenapa kau tidak hendak m enggunai kimhoa?" Bocah ini memperingatkan orang kepada julukannya, "Nona gagah penyebar bunga ," supaya dia menggunai kimhoa, bunga emasnya itu. Belum lagi berhenti suara anak ini atau tangannya Sin Tjoe telah terayun, disusu l berkilaunya sinar kuning emas. Sebab tiga kuntum bunga emasnya segera ditimpuk kan! Law Tong Soen melihat datangnya timpukan senjata rahasia, dia memperlihatkan kel incahan tubuhnya. Kimhoa yang pertama lewat di samping dadanya, yang kedua kena ia sampok, sedang yang ketiga ia kasi lewat dengan satu lompatan sambil mengenjot tubuh. "Bagus!" berseru Sin Tjoe tertawa dingin. "Aku mau lihat kau dapat berkelit bera pa lama..." Lantas ia menimpuk pula, saling susul, karena sekarang ia hendak menggunai tiga puluh enam kuntum bunga emasnya itu, menyerang ke pelbagai jurusan, tidak ada ke tentuannya. Bahkan ada bunga yang membentur satu dengan lain hingga menerbitkan suara nyaring. Meski penyerangan itu demikian rupa, setiap bunga emas tadi mencari jalan darahnya si lawan. Menyaksikan itu, diam-diam Tan Hong memuji muridnya itu. Sebab ilmu menimpuk kim hoa dari Sin Tjoe bukan lagi ilmu melulu pelajarannya In Loei hanya itu sudah ke campuran dan dibikin menjadi lebih sempurna dengan pelajarannya si orang luar bi asa dari See Hek, wilayah Barat Hingga ia sebenarnya dapat melebihkan gurunya... Law Tong Soen telah mengeluarkan semua tenaganya, ia telah mempergunakan kelincahannya, tetapi tidak lama, terdengarlah jeritannya yang hebat. Biar gesit bagaimana juga, dia tidak bisa membebaskan dir i dari hujan kimhoa itu. Maka segera juga dia kena terhajar dada dan punggungnya , lutut dan mata kakinya. Itulah yang menyebabkan dia memperdengarkan jeritannya itu. "Anak Tjoe, cukup sudah!" Tan Hong menyerukan. Sin Tjoe berhenti dengan lantas dengan penyerangannya itu, ketika ia memandang T ong Soen, ia mendapatkan komandan Gielimkoen itu telah mandi darah, sebab semua bunganya, kecuali dapat menotok jalan darah, lembarannya pun tajam dan bisa melu kai kulit dan daging. "Dengan memandang kepada gurumu, aku suka memberi ampun padamu!" berkata Tan Hon g ke pada komandan itu. "Apakah kau masih tidak mau mengangkat kaki?" Tanpa membilang suatu apa, Tong Soen ngeloyor pergi dengan tindakan dingkluk- dingkluk. Dia telah rusak tulang piepee-nya, terluka dengkulnya dan putus urat nadinya, maka seperti Pit Kheng Thian, dia tel ah musna semua kepandaian silatnya. 10) Ketika itu pasukan serdadu sudah mendatangi dekat, pemimpinnya ialah Poan Thian Lo. Kakak seperguruan dari Yang Tjong Hay ini membulang-balingkan cambuknya yang bergigi, untuk memimpin barisannya menyerbu. Ia sendiri maju di muka. "Dialah seorang kasar!" berkata Tan Hong. "Siauw Houwtjoe, pergi kau gaplok dia pulang pergi, habis itu kau suruh dia lari kabur!" Poan Thian Lo dapat mendengar suaranya Tan Hong itu, yang ia kenali baik sekali, lantas saja nyalinya ciut, tetapi ketika Siauw Houwtjoe datang meng-hampirkan, untuk menyerang padanya, ia jadi mendongkol dan gusar, tidak menanti sampai kena digaplok, ia mendahulukan menyapu dengan cambuknya. Ia mengarah pinggang lawan sebagai sasarannya. Mendadak, belum lagi cambuknya mengenai musuh, Poan Thian Lo merasakan lengannya kesemutan, hingga cambuknya itu tidak dapat digunai lagi, lalu menyusul itu, benar-benar ia digapl ok pulang pergi oleh lawannya hingga ada giginya yang copot. Tempo di tanah suku bangsa Biauw, Siauw Houwtjoe pernah dihina Poan Thian Lo, se karanglah ketikanya untuk ia membikin pembalasan. Setelah merasa puas, ia memben tak: "Guruku menitahkan kau lari kabur, kenapa kau masih tidak mau lari?" Pertanyaan ini dibarengi sama satu gaplokan yang terlebih keras. Kali ini Poan Thian Lo merasakan sakit yang hebat, benar-benar dia dengar kata, lantas dia memutar tubuhnya dan lari pergi. Karena mana, ia lantas diikuti pasuk annya... Siauw Houwtjoe mengawasi sambil tertawa berkakak. Sampai di situ, Tan Hong mengajak rombongannya itu pergi kepada In Tiong. Masih mereka merobohkan beberapa buah pohon, untuk digulingkan ke bawah, hingga musuh kabur semua. Tanpa pimpinan, tentera itu tidak punya guna . "Mari!" kemudian Tan Hong mengajak, untuk berlalu dari belakang gunung. Tempat itu terpisah hanya kira-kira tiga puluh lie dari Kioekee Sippat kan, yang menjadi tempat kediamannya Yap Seng Lim. Ketika mereka sampai di Yangbwee ouw, waktu sudah jam tiga, maka di sini mereka berjalan dengan perlahan- perlahan. Selama itu Thian Touw dan In Hong berjalan berendeng, tangan mereka saling berpe gangan. Mereka bicara dengan asyik tentang perpisahan mereka. Seng Lim berkumpul sama Sin Tjoe tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memasang omong, karena ia merasa pikirannya kacau. Tempo si nona hendak menanyakan keadaannya selama di Toenkee, mendadak ia menanya: "Apakah kau ketahui di mana adanya Keng Sim sekarang?" Ditanya begitu, si nona mengerutkan alis. "Baru kita bertemu, kau justeru menyebut-nyebut dia, sungguh menyebalkan!" kata si nona masgul, hatinya, mendelu. Seng Lim heran hingga dia tercengang. "Kalau bukan karena Keng Sim itu, aku dan entjie In Hong tidak akan bertemu pula denganmu..." katanya perlahan. Lantas ia ceritakan bahaya yang mengancamnya sam pai Keng Sim datang meno- long, untuk mana Keng Sim itu mengurbankan dirinya. Mendengar itu, Sin Tjoe melengak. "Aku tidak menyangka dia dapat berbuat demikian rupa!" katanya sesaat kemudian. "Ah, kalau begitu, dia masih mirip dengan seorang manusia! Sebenarnya aku memand ang dia sudah mati, tetapi sekarang aku mengharap dia masih hidup..." Seng Lim heran untuk perkataannya nona ini. Mulanya ia menerka si nona akan memu ji tinggi-tinggi pemuda itu. "Ketika di Hangtjioe..." kata pula Sin Tjoe perlahan, sehabis-nya dia menghela n apas. Tiba-tiba Tan Hong menyelak: "Kalau orang dapat memperbaiki kesalahannya, kalau dia baru sekali salah tindak saja, baiklah soalnya jangan ditimbulkan pula... Eh, Seng Lim, benar-benarkah kau hendak menemui Keng Sim?" Mendengar pertanyaan paman gurunya itu, Seng Lim mendadak menjadi girang. "Soesiok, tahukah kau di mana adanya dia sekarang?" ia menanya, cepat. Tan Hong tertawa. "Malam ini pergilah kamu tidur dengan nyenyak, besok akan aku ajak kamu pergi me nemui dia," sahutnya. Seng Lim menjadi bertambah girang. Sin Tjoe sebaliknya heran, tak tahulah ia, gu runya mempunyai kepandaian mujijad apa. Tapi ia percaya betul gurunya itu, maka ia percaya juga besok tentulah mereka akan melihat Keng Sim. Sin Tjoe tidur bersama In Hong, maka banyaklah yang mereka bicarakan. In Hong jadi mengetahui segala halnya Thian Touw, bahkan paling belakang Thian Touw sudah memperoleh petunjuk p enting dari Tan Hong tentang ilmu silat pedang. Ketika ia mendengar cerita halny a Keng Sim membuka rahasia militer, ia mencaci pemuda itu untuk ketololannya. Se telah itu, ia tertawa. "Keng Sim memperoleh pelajaran, inilah bukan tak ada faedahnya untuknya," katany a. "Karena insaf akan kesalahannya itu, dia telah menolong tentera rakyat, perto longannya itu membuat orang berterima kasih kepadanya. Benarlah kata Thio Tayhia p, bagus kalau orang bersalah dan dapat memperbaikinya, bahwa kesalahan itu tak usahlah disebut-sebut pula. Ya, aku, lihat dia baik sekali sama kau, adikku..." Sin Tjoe menghela napas. "Soehoe cuma bermaksud menyembunyikan keburukan untuk menyiarkan kebaikan," kata nya. "Menurut penglihatanku, orang semacam Keng Sim itu tidak dapat diperbaiki cuma dengan sat u atau dua kali pengajaran saja. Aku merasa dialah bukannya orang yang termasuk dalam golongan kita. Kali ini pun ia berbuat keliru bukannya tanpa di sengaja." Demikian keduanya pasang omong, sampai mereka sudah letih betul barulah mereka t idur pulas. Ketika besoknya pagi mereka mendusin, mereka dengar suara Siauw Houwtjoe, yang kemudian ternyata sedang asyik pasang omong de ngan Bhok Lin. "Entjie Sin Tjoe, benar-benar kau di sini!" berkata Bhok Lin melihat Nona Ie. "K au lihat, bukankah aku telah jadi lebih tinggi?" Tapi Sin Tjoe heran "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya. "Mana entjie-mu?" "i Entjie lagi menantikan kau", jawab Bhok Lin, "hanya soehoe menitahkan aku unt uk mengajak dulu kau menemui Keng Sim." "Apa? Kau yang akan mengajak aku menemui Keng Sim?" si nona tanya. Belum lagi Bhok Lin menyahut, Tan Hong sudah muncul. Guru ini tertawa dan ia kat a: "Nah, Sin Tjoe, bukankah aku tidak memperdayakan kau? Aku bilang hari ini kau bakal bertemu sama Keng Sim dan benar-benar kau bakal bertemu dengannya!" Sin Tjoe benar-benar heran akan tetapi lekas juga ia menjadi mengerti. Bhok Kongya melihat Keng Sim pergi lama sekali, hatinya menjadi tidak tenteram, maka itu ia telah mengutus pula lain wakilnya ke kota raja, untuk menyampaikan k epada raja bahwa Keng Sim itu membantu banyak padanya mengurus wilayah Tali hingga kekacauan jadi tidak meluas, karena mana ia mengusulkan agar Keng Sim itu diangkat menjadi pembantunya dengan pangkat tjhamkoen. Berhubung ayahnya hendak mengirim utusan itu, Bhok Yan dan Bhok Lin menyatakan s uka turut bersama. Permintaan mereka ini diluluskan. Segera juga di dapat keterangan bahwa Tiat Keng Sim telah ditahan di Hangtjioe. Untuk menolong, utusan Bhok Kokkong itu lantas minta bantuan menteri sahabatnya hertog itu untuk m embela Keng Sim, supaya anak muda itu dibebaskan. Ketika itu laporan dari Soenboe Thio Kie belum sampai di kota raja, maka juga Tayhaksoe Y o Soan, yang menjadi sanaknya Thio Kie itu dan sahabat kekal dari Bhok Kokk ong, lantas bertindak. Usul kepada raja segera disampaikan, di lain pihak laporannya Thio Kie terus dibekap. Kepada Thio Kie dituliska n surat oleh Yo Soan supaya soenboe itu suka memberi muka kepada Bhok Kokkong. T hio Kie dapat diajak bekerja sama, dari itu Keng Sim dipindahkan tem pat tahanannya dan diperlakukan baik sekali. Thio Tan Hong ber- kuping terang, begitu ia sampai di Hangtjioe lantas ia mendapat tahu hal ichwaln ya Keng Sim itu. Ketika Bhok Yan dan Bhok Lin pun tiba di Hangtjioe, ia mengetah ui segala apa terlebih jelas. Katanya raja bakal mengutus utusannya Bhok Kokkong guna menyambut Keng Sim itu. Dua saudara Bhok itu tinggal di dalam gedung soenboe, secara diam-diam Tan Hong pergi menemui mereka. Tentu sekali, Sin Tjoe tidak mengetahui sepak terjang guru nya itu. Pada mulanya, Keng Sim sendiri gelap tentang duduknya perkara. Ia telah ditahan di menara Liok Hap Tah, lalu pada suatu hari datang orangnya soenboe, ialah tieh oe dari Hangtjioe, yang menyambut ia dan mengajak ia pindah ke sebuah balai istirahat di tepinya sungai Tjiantong. Di sini ia dapat makan dan pakai baik sekali, perlayanan sangat manis . Ia heran, ia minta keterangan pada tiehoe tetapi tiehoe menganjurkan ia tingga l saja dengan tenang. Pula di sini Keng Sim merdeka, kalau ia mau, ia bisa mingg at, tetapi karena ingat kepada ayahnya, ia tidak mau buron. Di lain pihak sudah bulat tekadnya untuk berkurban untuk Sin Tjoe. Maka dalam herannya dan masgul itu, tenang-tenang saja ia tinggal di tempat kediamannya ini. Pada suatu hari Keng Sim mendusin pagi-pagi. Ia telah menghitung tanggal dan tah ulah ia bahwa ia sudah tinggal di gedung itu lima hari. Sama sekali ia tidak men erima kabar apa juga, ia menjadi tidak sabaran. Ia muncul di lauwteng dan memandang ja uh, melihat pemandangan alam yang indah, tetapi tetap ia merasakan sepi. Karena ini, pikirannya jadi bekerja. Ia ingat Sin Tjoe, ia ingat juga sikap Nona Ie itu . "Aku baik dengannya, untuknya aku melakukan segala apa, tapi tahukah dia hatiku itu?" ia ngelamun. "Apa mungkin aku bakal tak bertemu pula dengannya, putus perh ubungan kita berdua?" Pemuda ini merasakan pasti, kalau nanti tiba firman raja, habis sudah lelakon hi dupnya. Ia mengharap raja ingat jasa ayahnya dan akan meringankan hukumannya, te tapi ia, menginsafi juga kedosaannya yang besar sekali itu, maka lenyap pula har apannya. Tengah ia melamun itu, Keng Sim mendengar tindakan kaki perlahan di tangga lauwteng. Dengan lantas ia berpaling, sedang kupingnya segera mendengar suara panggilan yang halus: "Keng Sim..." Itu lah suara yang ia kenal baik maka juga hatinya berde-nyutan. Hampir ia tidak mau percaya kupingnya sendiri. Selang sesaat barulah hatinya menjadi tenang dan ia menyahut: "Sin Tjoe! Bagaimana kau dapat datang ke mari?" Nona Ie muncul untuk lantas berkata: "Yap Seng Lim telah menuturka n aku segala apa mengenai kau..." Sepasang alisnya anak muda itu bergerak. "Apakah dia telah menuturkan bagaimana aku berkurban untuk membebaskan dia dari mara bahaya?" ia mena- nya. "Dia menuturkan semua tanpa ada yang lolos. Sebaliknya aku, aku menutupi perbuat anmu selama di Hangtjioe. Mereka sangat berterima kasih kepadamu." "Hm!" Keng Sim tertawa. Lalu ia menambahkan: "Kalau bukan untukmu, Sin Tjoe, tak sudi aku memperdulikan dia. Sin Tjoe, suratmu itu mencaci aku hebat sekali. Sek arang, kau tentunya telah melihat jelas aku ini orang macam apa!" "Memang, sekarang aku telah melihat jelas," berkata si nona. "Kau takut aku tidak memandang mata padamu, kau kuatir dunia nanti menterta-waimu dan mengatakan kau sudah menjual s ahabat, maka itu, kau mencoba melakukan satu perbuatan bagus. Kau rada tolol tetapi kau pun masih insaf." Mendengar itu, Keng Sim menjadi tidak puas. "Cuma sebegitu saja?" katanya, hatinya panas. Sin Tjoe tertawa. "Apakah kau ingin aku memuji kau sebagai seorang gagah perkasa satu-satunya, di jaman dulu dan di jaman sekarang juga?" ia membaliki. "Oh, tidak, tidak!" kata Keng Sim, tertawa dingin. Bangkit pula keangkuhannya. " Pasti aku bukannya si orang gagah perkasa. Tapi Seng Lim itu, tanpa aku, dia pas ti telah ditawan tentera negeri, dan tentu sekali yang ditahan sekarang ini buka nnya aku hanya dia!" Sin Tjoe mengerutkan alisnya. "Jikalau bukannya kau berbuat demikian, apa kau sangka aku sekarang masih memandang kau sebagai satu manusia?" katanya. "Jikalau kau tidak membocorkan rahasia tentera rakyat, mereka pasti tidak bakal runtuh seperti seka rang ini! Keng Sim, seorang angkuh juga mesti menegur dirinya sendiri!" Parasnya Keng Sim menjadi pucat. Tidak ia sangka, si nona datang bukan untuk men gutarakan rasa syukurnya hanya justeru untuk menegur padanya! Untuk sejenak, keduanya berdiam. "Mustahilkah mereka itu sekawanan gerombolan, telah menjadi begini rupa karena a ku satu orang?" kemudian Keng Sim berkata pula. Ia tertawa dingin. "Tentu sekali bukan disebabkan perbuatan kau seorang!" sahut si nona. "Hanya per buatanmu membocorkan rahasia itu membantu tentera negeri menjo-roki mereka kecemplung ke dalam sumur di saat mereka menghadapi bahaya!" Pemuda itu penasaran. "Aku lakukan semua itu untuk kau!" katanya sengit. "Sekarang ini aku tidak tahu jiwaku tinggal berapa hari lagi, tetapi sekarang kau datang, di saat kematianku ini, untuk menegur aku!" Sebaliknya dari gusar, Sin Tjoe bersenyum. "Keng Sim," katanya, "aku hendak berbuat baik untukmu, sayang kau tidak tahu. Ta pi, tenangkanlah dirimu, kau tidak bakal mati, bahkan sebaliknya, kau bakal dapa t pangkat besar! Inilah kabar baik yang didapat guruku! Kau tunggu sedikit waktu lagi, nanti ada orang yang datang menyambut kau!" Keng Sim mau percaya itu, ia girang, tetapi ia menguasai dirinya. Ia masih henda k mencoba, untuk kali yang terachir, guna merebut hatinya si nona. Maka ia mengh ela napas. "Biar umpama kata kabarmu ini benar dan aku tidak bakalan mati," katanya, "toh s egala apa telah menjadi terang, untukmu, aku tidak takut mati!" "Itulah sebabnya maka sekarang aku menjenguk kau," bilang si nona. "Ah, Keng Sim , kau harus dikasihani, masih kau tidak mengerti. Coba aku mengangkat kau, mengumpak-umpakmu setinggi langit, mungkin kau jadi masgul karenanya... Keng Sim , aku lihat, kita bukanlah orang dari satu golongan..." Keng Sim menghela napas. "Benar-benar aku tidak mengerti!" ujarnya. "Sin Tjoe, setiap kali aku melihat ka u, kau agaknya semakin berubah! Makin lama aku jadi makin tidak mengerti, makin lama kau membuat aku merasa bahwa kau makin asing bagiku!..." Sin Tjoe mengawasi pemuda itu, kemudian ia memandang ke luar lauwteng. "Sin Tjoe, ingatkah kau ketika kita sama-sama berada di sungai Tiangkang?" Keng Sim tanya "Bukankah itu waktu terlihat gelombang itu yang seperti mengejar burun g walet?" Memang, jauh di depan mereka tampak sungai Tjiantong berombak, di sana ada beter bangan beberapa ekor burung laut. Sin Tjoe mengang- guk. "Benar," sahutnya. "Memang sungai Tjian-tong ini bukannya sungai Tiangkang tetap i dua-duanya sama-sama mengalir ke laut." Keng Sim masgul. Tidak dapat ia menjajaki hati si nona. "Ya," katanya kemudian, kembali ia menghela napas, "hari-hari yang telah lalu mi rip dengan air sungai, sesudah mengalir lewat lalu tidak kembali lagi. Sin Tjoe, benar-benar aku tidak mengerti kenapa kau makin lama terpisah makin jauh dari a ku?..." Nona Ie tertawa, tertawa sedih. "Kau lihat di sana!" katanya kemudian, tiba-tiba. "Orang yang mengerti kau telah datang! Aku mesti pergi sekarang." Keng Sim heran hingga ia melengak, tetapi hanya sejenak, segera ia menoleh. Di sana, di tangga, tampak Bhok Yan berlari-lari naik, wajahnya tersungging seny uman. Lantas saja nona itu menghadapi Keng Sim dan berkata dengan gembira: "Ya, pemandangan di sini benar indah! Cuma, kalau dibandingkan sama musim semi di Koen-beng, di sana masih terlebih indah! Sekarang ini bunga toh, b ung lie, juga bunga kupu-kupu, tentu sedang pada mekarnya! Eh, Keng Sim, ayahku telah menanggungkan dirimu! Utusan, yang membawa firman raja, bakal lekas tiba, maka sebentar lagi kita, kau dan aku, bisa lantas berangkat ke Koenbeng! Oh, Non a Ie, soehoe bersama Yap Toako ada di bawah! Eh, eh, apakah kau tidak mau berdia m lebih lama di sini, kau hendak pergi turun?" Baru sekarang ia menegur Sin Tjoe. Nona Ie tertawa. "Baiklah kamu berdua kumpul di sini mengicipi keindahan sang bunga, aku tidak ma u meng-gerecoki kamu!" sahutnya. "Lihat taman itu, di sana ada kedapatan segala macam pohon bunga, cuma sayang tidak ada pohon taytjeng..." Ia lantas turun di tangga lauwteng. Keng Sim mengawasi hingga ke bawah lauwteng, di mana, di bawahnya sebuah pohon besar, terlihat Seng Lim lagi berdiri seraya tangannya menggapai ke arahnya. Tiba-tiba hatinya mencelos. Sebenarnya ia hendak lari menyusul nona itu, atau suara tertawa yang h alus dan manis dari Bhok Yan mencegah ia... Nona Bhok lantas berceritera, menuturkan semua dengan jelas. Maka sekarang, baga ikan orang baru sadar dari mimpinya, Keng Sim mengerti segala apa. Pantas ia dip indahkan ke tempat ini dan diperlakukan baik sekali. "Bagaimana dengan ayahku?" kemudian ia tanya. "Ayahku ketahui ayahmu pintar, maka ia pun diminta supaya dipindah ke Koenbeng," jawab si nona. Keng Sim jadi sangat bersyukur. Hatinya pun lega. "Aku tidak sangka keluarga Bhok menghargai aku..." katanya di dalam hati. "Achir -achirnya toh ada juga orang yang mengenal aku..." Bhok Yan memandang sekeliling kamar. Keng Sim bagaikan melamun memandang Seng Lim dan Sin Tjoe berjalan bergandengan, meninggalkan taman. Tiba-tiba terdengar suara Bhok Yan disampingnya. "Ah, barang-barangmu kalut sekali!" katanya bersenyum. "Kita bakal lekas berangk at, mari aku benahkan!" Ia mengajak anak muda itu masuk ke dalam kamar, untuk bekerja. "Mereka itu ada di bawah, apakah kau tidak mau turun untuk menemui mereka?" kemudian tanya si nona. Keng Sim mengangguk, lantas ia bertindak keluar. Justeru di saat itu terdengar suara nyaring dari Bhok Lin: "i Entjie, lekas kau memberi selamat kepada entjie Sin Tjoe! Kita semua bakal lekas minum arak kegira ngannya!" Bocah ini baru saja mendengar dari Siauw Houwtjoe bahwa Tan Hong telah meregoki jodohnya Sin Tjoe dengan Seng Lim. Sebenarnya dia rada kecewa tetapi toh dia gembira sekali. Mendengar itu, Bhok Yan tertawa. "Benarkah itu?" tanyanya. Sin Tjoe, yang berada di antara mereka, lantas memegat. "Kau jangan dengari ocehannya si setan cilik! Eh, Bhok Lin, baiklah kau minum du lu arak kegirangannya entjie-mu\ Eh, kamu tak usah turun, aku hendak pergi kepad a guruku!" Keng Sim berdiam, pikirannya kusut. Ia melihat Sin Tjoe, dengan berendeng sama Seng Lim, bertindak keluar dari taman. Mereka itu mengulapkan tangan kepada nya. Selagi pemuda ini masih berdiam, ia dengar suaranya Bhok Yan: "Semua telah aku b ereskan, mari kita juga pergi!" CATATAN 6. hal 553, Tamtay Biat Beng dulunya adalah seorang jendral bawahan ayah Thio Ta n Hong, kisahnya dapat dibaca dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) 7. hal 753, Kisah tentang Gak Beng Kie atau Hui Bing Siansoe dapat diikuti di ce rita Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Chau Guan Enghiong (Pahlawan Padang Rumput) da n Thian San Tjitkiam. 8. hal 792, Bibit-bibit perpecahan Leng In Hong dan Hok Thian Touw mulai muncul dalam kisah Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu), setelah itu mereka be nar-benar berpisah dan mendirikan aliran masing-masing, kisah selengkapnya dapat diikuti dalam Lian Kiam Hong In, Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Chau Guan Enghion g dan Thian San Tjitkiam. 9. hal 794, Diceritakan dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan), bagian aw al, ketika Thio Tan Hong hendak dikerubut orang banyak di rumah Tjinsamkay Pit T o Hoan, lalu rumah tsb diserbu pasukan pemerintah yang dipimpin Thio Hong Hoe (a yah Siauw Houwtjoe). 10.hal 798, Law Tong Soen ternyata bernasib baik, cacatnya berhasil disembuh kan oleh gurunya dalam beberapa tahun, sehingga ilmu silatnya dapat kembali pulih dan melakukan k ejahatan lagi, tokoh ini muncul kembali dalam kisah selanjutnya, Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu). Cuplikan bagian awal Lian Kiam Hong In {Kisah Pedang Bersatu Padu) Itulah kira-kira jam tiga pagi ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke ar ah barat, masih menyinari sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu merah indah. Sang malam pun sunyi sekali. Gedung itu yalah jang dikenal sebagai Koenmahoe, gedung menantu Bhok Kokkong. Malam sudah larut demikian rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu , di atas lauwteng, ada seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan emdash sambi l menyender kepada loneng emdash tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirann ya bergelombang. Siapakah dia? Tak lain tak bukan, dialah Koenma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong emdash y alah Tiat Keng Sim. emdash bagian ini dipotong Demikianlah seorang diri itu, di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti m enggadangi si Puteri Malam. Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil menghela napas, ia berkata seorang diri: "Dengan tahun ini maka sudah tujuh musim semi ak u lalui di dalam istana Koenmahoe ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat syair dan karangan, ada apakah lagi?" Maka terkenanglah ia kepada masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia kangouw, bagaimana itu menggembirakannya. IKUTI KISAH SELANJUTNYA: LIAN KIAM HONG IN KISAH PEDANG BERSATU PADU karya OKT Bagaimana kelanjutan kisah Ie Sin Tjoe, Vap Seng Lim, Siauw Houwtjoe (Thio Giok Houw), Tiat Keng Sim dan Pit Keng Thian? Thio Tan Hong mendapat musuh paling tangguh dalam seumur hidupnya, yaitu Kiauw P ak Beng, dengan ilmunya Sioelo Im Sat Kang. Bagaimana akhirnya? Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) menceritakan beberapa hal yang aka n muncul kembali di serial Thian San lainnya, yaitu Perjodohan Busur Kumala. Beb erapa hal tsb adalah Kiauw Pak Beng, Le Khong Tian, ilmu Sioelo Im Sat Kang, kit ab Pek Tok Tjinkeng. Wastu Lanas Grafika - Surabaya Telah Terbit Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) Peng Tjhong Hiap Eng (Dua Musuh Tur unan) Akan Terbit See Yoe (Perjalanan Ke Barat) Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) Hiat Hay Tjie Kioe Panca Satva - Semarang Telah Terbit Thian San Tjhit Kiam (Tujuh Pendekar dari Thian San) Sam Po Tju (Tiga Mutiara Me stika) Chau Guan Eng Hiong (Pahlawan Padang Rumput) Pak Yu Dapat diperoleh di: * Ding Tjahyono * 031-60102638 - 0816523857 TP III Lt. Ill (Depan Manly International) * Wastu Lanas Grafika * Gayungsari Timur III Blok MGI No. 22 031-8291398 * Toko Duku Toga Mas * Surabaya - Malang - Semarang - Yogyakarta - Jember