Anda di halaman 1dari 525

PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA

(SAN HOA LIE HIAP)


Jilid l
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid l
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Boe Beng Tjoe (Oey An Siok), 1915 - ?
Pendekar Wanita Penjebar Bunga (San Hoa Lie Hiap)/ Boe Beng Tjoe (Oey
An Siok), Surabaya: Tjerita Silat bekerja sama dengan Masyarakat Tjerita Silat,
2005.
809 halaman; 18 cm
ISBN 979-3743-13-1 (Nomor Jilid Lengkap) ISBN 979-3743-14-X (Jilid I)
1. Cerita Silat
2. Judul
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA (San Hoa Lie Hiap)
Cetakan pertama: Mekar Djaja, Djakarta, 1962.
Cetakan kedua: Wastu Lanas Grafika, Surabaya, Maret
2005.
Cetakan ketiga: Wastu Lanas Grafika, Surabaya, Maret 2008, Edisi E-Book
wastu lanas grafika
Jl. Gayungsari Timur III Blok MGI No. 22 Telp./Fax. +62-31-8291398 Surabaya 6023
4 www.wastulanas.com
Suara tertawanya sekawanan anak nakal telah memecahkan kesunyian suatu dusun peg
unungan.
Pesta Goan-siauw (Tjapgomeh) baru lewat tiga hari, tapi sang bunga sudah mekar d
i seluruh lembah. Entah gunung Tjouwlay san yang menahan angin utara barat, enta
h musim semi memangnya datang terlalu siang, tapi kenyataannya adalah daerah peg
unungan itu seakan-akan sudah ditutup dengan rangkaian bunga yang beraneka warna
. Tjouwlay san terletak di propinsi Shoatang,
sebelah utara Sungai Besar (Tiangkang),
akan tetapi keadaannya pada waktu itu adalah seperti suasana dalam musim semi di
daerah Kanglam (sebelah selatan Sungai Besar).
Di sana-sini orang da-
pat melihat beberapa rumah penduduk yang bersembunyi di antara pohon-pohon yang
rindang daunnya. Di luar dusun, di sebidang tanah yang agak datar, terdapat satu
empang besar, entah milik siapa.
Kawanan anak nakal itu sedang bermain-main di pinggir empang, dengan disoroti ol
eh matahari lohor yang hawanya hangat. Ada yang sedang menangkap kutu-kutu kecil
tanpa memakai baju, ada yang berlari-lari main petak dan se-bagainya.
Di antara mereka terdapat seorang anak yang macamnya agak luar biasa. Anak itu b
erusia kira-kira dua belas tahun, mukanya yang hitam agak berminyak di bawah sin
ar matahari, kedua kakinya yang telanjang memperlihatkan urat-urat
yang berwarna hijau, badannya tegap, sedang paras mukanya yang seperti jagoan me
mberi kesan bahwa dia itu adalah pemimpin dari kawan-kawannya.
Mendadak ia membuka baju. "Hei!" ia berseru. "Siapa berani turut aku turun ke em
pang menangkap ikan?"
Meskipun dihangatkan sinar matahari, tapi tanpa baju kapas, hawa dingin masih te
rlalu hebat. Kawanan anak nakal itu saling mengawasi, tak satu pun yang berani m
enurut contohnya si Hitam. Salah seorang berjongkok dan mencelupkan sebelah tang
annya ke dalam air. "Fui!" ia berseru. "Siauw Houwtjoe (si Harimau Kecil), otakm
u benar-benar miring! Air luar biasa dinginnya, kau mau menyebur, nyebur-lah sen
diri."
Si Hitam yang dina-
makan "Siauw Houwtjoe" mesem tawar, kedua matanya menyapu kawan-kawannya. "Setan
-setan pengecut!" ia berteriak. "Tak ada satu yang berani nyebur?"
Kawan-kawannya semua menggelengkan kepala sembari tertawa.
Siauw Houwtjoe mengawasi satu kawannya dan berseru: "Siauw-liong (si Naga Kecil)
! Kau saja turut aku!"
"Aku lebih suka berlutut tiga kali dihada-panmu!" jawab Siauw-liong.
"Baiklah," kata si Hitam. "Mari sini kau!" Ia jambret bajunya Siau-wliong yang l
antas didorong. "Plung!",
Siauwliong kecebur, lalu disusul olehnya. Ia ambil segenggam lumpur yang lalu di
poleskan di mukanya Siauwliong. Kawan-kawannya lantas saja menepuk-
nepuk tangan sambil
berteriak-teriak
kegirangan.
"Dingin! Mati aku!" berteriak Siauwliong, badannya menggigil.
"Justa!" berteriak si Hitam sembari nyengir. "Kau pakai baju kapas, mana bisa di
ngin?"
"Baju ini baju baru," kata Siauwliong, meringis. "Baru dijahit oleh ibu."
Siauw Houwtjoe tidak menggubris, ia terus mengeduk lumpur yang langsung dipolesk
an ke muka dan bajunya Siauwliong.
Selagi ramai bersen-da gurau, kawanan anak nakal yang berada di daratan mendadak
menengok ke belakang dan suara tertawa tiba-tiba berhenti.
Siauw Houwtjoe meno-ngolkan kepalanya dari dalam air dan melihat, dari dalam sel
at gunung muncul tiga orang yang
menunggang kuda.
Di sebelah barat Tjouwlay san terdapat jalan raya yang menerus sampai di kota Tj
eelam. Dahulu, antara jalan raya tersebut dan dusunnya Siauw Houwtjoe terdapat s
ebuah jalan gunung yang cukup baik. Akan tetapi, oleh karena diserang banjir dan
lama tak pernah dibikin betul, maka sekarang jalan gunung itu sudah jadi rusak
sekali. Penduduk dusun yang berjalan kaki masih dapat juga menggunakan jalan itu
, akan tetapi, bagi orang luar, terutama yang menunggang kuda, jalan tersebut su
ngguh sukar dilewati.
Dusun tersebut yang dikurung gunung-gunung, sebegitu jauh belum pernah kedatanga
n tetamu. Maka dapatlah di mengerti, jika kawanan anak nakal
itu menjadi sangat heran melihat kedatangannya tiga penunggang kuda itu, dua ant
aranya adalah perwira tentara yang memakai sepatu tinggi, sedang yang satunya la
gi adalah seorang laki-laki brewokan yang kedua matanya bersinar terang dan beru
sia tiga puluh tahun lebih.
Sebaliknya ketiga tetamu itu pun tak kurang herannya melihat kawanan anak nakal
tersebut, terlebih pula ketika Siauw Houwtjoe muncul dari dalam air dengan celan
a kuyup.
Pakaian ketiga penunggang kuda itu, walaupun terbuat dari sutera, kelihatan comp
ang-camping dan penuh debu, seperti juga mereka baru habis berkelahi. Kedua perw
ira itu agaknya lelah sekali dan pada bajunya terlihat noda-noda da-
rah.
Pada jalan gunung di mulut dusun terdapat lubang akibat banjir, yang lebarnya ki
ra-kira dua tombak. Lubang itu belum ditutup dan di atasnya hanya dipasangkan be
berapa lembar papan kayu, yang selalu bergoyang-goyang jika ditiup angin dan tak
mungkin dapat dilewati kuda yang badannya berat. Begitu tiba di depan lubang, m
ereka loncat turun dari kudanya dengan niatan turun ke bawah untuk melewati solo
kan itu.
Siauw Houwtjoe yang berdiri di tengah empang, mengawasi tiga tetamu itu dengan s
orot mata tajam, tanpa berkata suatu apa. Melihat sikapnya si Hitam, perwira yan
g jalan paling dulu berpaling ke belakang. "Loohoan," katanya
kepada lelaki brewokan. "Mula-mula aku sunguh tak percaya bahwa di dalam dusun i
ni bersembunyi orang pandai. Tapi sekarang ternyata, bahwa mungkin sekali di sin
i terdapat naga atau harimau yang menyembunyikan dirinya."
Orang yang dipanggil "Loohoan" mesem lebar sembari tuntun kudanya turun ke solok
an.
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar ber-bengernya kuda.
Larinya binatang itu luar biasa cepat. Barusan saja, ditaksir dari suaranya, dia
masih berada kira-kira setengah lie jauhnya, tapi di lain detik, binatang itu t
ahu-tahu sudah
berada di belakang mereka! Sebelum sempat menengok, mereka merasakan kesiuran an
gin yang sangat tajam dan satu bayangan hitam loncati kepala mereka,
akan kemudian hinggap di seberang solokan! Ternyata, kuda itu bersama penunggang
nya sudah meloncati solokan itu yang lebarnya kira-kira dua tombak.
Kedua perwira dan "Loo-hoan" saling mengawasi dengan perasaan terkejut, sedang k
awanan anak nakal itu bersorak-sorai dengan girangnya.
Begitu tiba di seberang, si penunggang kuda lantas saja turun dari tunggangannya
yang ke empat kakinya putih bagaikan salju, sedang badannya penuh dengan totol-
totol putih. Kedua perwira itu adalah orang-orang yang banyak pengalamannya dan
pernah melihat beribu-ribu kuda jempolan, tapi mereka sungguh belum pernah melih
at kuda yang sebagus itu. Orang yang dipanggil "Loohoan"
lebih-lebih kaget. "Apakah dia kembali munculkan diri dalam dunia Kangouw?" ia m
enanya dalam hatinya.
Begitu melihat tegas macamnya si penunggang kuda, mereka terkesiap. Ia itu adala
h seorang pemuda yang baru berusia kira-kira enam belas tahun, badannya kurus da
n mukanya cakap luar biasa, dengan kulit yang putih laksana batu pualam. Sembari
menuntun kuda, perlahan-lahan, dengan tindakan ayu, ia menghampiri kawanan anak
nakal itu. Gerakan-gerakan badannya ada sedemikian rupa, sehingga, jika ia tida
k mengenakan baju boesoe (orang yang pandai silat), orang tentu akan menduga, ba
hwa ia itu adalah wanita cantik yang menyamar sebagai lelaki. Kawanan bocah
na-
kal yang barusan lari berpencaran akibat "terbangnya" si penunggang
kuda, sekarang sudah berkumpul
kembali. Mereka jadi hilang takutnya oleh karena melihat penunggang kuda itu ada
lah seorang muda yang usianya cuma lebih tua sedikit dari mereka dan pada bibirn
ya yang merah, tersungging me-seman ramah tamah.
Sembari menggapai ke tengah empang,
pemuda itu berkata: "Eh, sahabat kecil! Kau naiklah!"
Siauw Houwtjoe merangkak naik ke darat, sikapnya yang kaku berbeda dengan lain-l
ain kawannya. "Eh, aku tidak mengenal kau, untuk apa kau panggil-panggil aku?" i
a menanya sembari men-delikkan matanya. Badan Siauw Houwtjoe yang jangkung ha
nya
lebih kate sedikit dari pemuda itu.
Melihat sikap menantang itu, si pemuda jadi tertawa, suaranya merdu nyaring, bag
aikan kelenengan perak.
"Tertawa apa kau?" menanya Siauw Houwtjoe, agak kaget. "Kau tertawai mukaku jele
k, bukan?"
Dengan mukanya yang seperti pantat kuali dan badannya yang telanjang, Siauw Houw
tjoe kelihatan sangat lucu, terutama ketika ia membetulkan celananya yang meroso
t turun.
Mukanya si pemuda bersemu dadu dan kemudian ia berkata pula: "Siapa kata, mukamu
jelek? Sebaliknya,
mukamu sungguh menarik. Apa tak dingin menangkap ikan di empang itu?"
"Tidak", jawabnya. "Hanya kawanan setan pengecut yang takut
dingin. Hm! Aku malahan kepanasan!"
Pemuda itu mesem-mesem urung. "Benar," katanya. "Aku pun merasa gerah. Orang-ora
ng gagah memang tak takut dingin." Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sebua
h kipas indah dan segera berkipas-kipas dengan perlahan, sambil mengusap-usap mu
kanya yang berkeringat.
Sikap Siauw Houwtjoe berobah, ia mengawasi sembari tertawa-tawa.
"Yah", katanya. "Boleh juga kau mendapat julukan orang gagah. Eh, untuk apa kau
panggil aku?"
"Aku mau tanya, di mana rumahnya Thio Toasiok (Paman Thio)?" kata si pemuda.
Pertanyaan si pemuda disambut dengan suara tertawa oleh kawanan anak nakal i
tu. "Thio Toasiok?" berka-
ta salah seorang anak. "Thio Toasiok adalah ayahnya sendiri. Kau tak tahu?"
Pemuda itu jadi girang sekali. "Ha!" ia berseru. "Kalau begitu, dugaanku tepat s
ekali. Siapa namamu?"
"Namanya Thio Houwtjoe. Siauw Houwtjoe." seorang anak mendahului.
"Oh, Siauw Houwtjoe?" kata si pemuda. "Siauw Houwtjoe! Tolong kau antarkan kepad
a ayahmu."
Siauw Houwtjoe tidak tertawa lagi. Ia mengawasi dengan
mata dibuka lebar-lebar. "Kau ingin bertemu dengan ayahku?" menanya ia.
"Benar," jawab si pemuda. "Antarlah aku. Sebentar aku persen kembang gula."
Mendadak si Hitam angkat kedua tangannya yang penuh lumpur,
dan sebelum orang dapat menduga, ia berbuat apa, kedua tangan itu sudah me-nyamb
er ke arah muka si pemuda! Kawan-kawannya
mengeluarkan seruan tertahan. Semua orang mengetahui, bahwa si Hitam nakal luar
biasa. Akan tetapi, bahwa dia berani berlaku begitu kurang ajar terhadap seorang
tetamu, adalah di luar dugaan kawan-kawannya.
Si pemuda pun kelihatan agak terkejut, tapi pada bibirnya terus tersungging seny
uman manis. "Siauw Houwtjoe, aku tak mempunyai tempo buat main-main dengan kau,"
katanya sembari
mengipas. Kipasan itu mengeluarkan sambaran angin tajam dan air berlumpur lantas
saja berbalik menghantam mukanya si Hitam.
Kedua perwira dan "Loohoan" kaget bukan main. Sedikitpun mereka tidak menduga, b
ahwa pemuda itu mempunyai tenaga dalam yang begitu kuat dan dapat mengeluarkan i
lmu menimpuk dengan senjata rahasia yang sedemikian indah.
"Plung!" Siauw Houwtjoe sudah menyebur lagi ke dalam air. "Aku juga tak mempunya
i tempo untuk mengantar kau," ia berseru. "Hm! Ayahku tak sudi menemui siapa jug
a. Apa pula kau!"
"Tapi mungkin ayahmu suka menemui aku," kata si pemuda sembari tertawa.
"Tidak! Tidak!" berteriak Siauw Houwtjoe. "Ayahku tak suka bertemu dengan siapa
juga. Pergi! Pergi kau!"
"Siauw Houwtjoe, jangan kau terlalu nakal," kata si pemuda. "Antar-
lah aku. Kau lihat! Aku mempunyai sebotol
kembang gula."
"Apa anehnya kembang gula?" menjawab si nakal. "Jangan ganggu aku! Kalau nyalimu
besar, turun kemari!" Ia tepuk-tepuk air yang pada muncrat ke atas.
Si pemuda mengerutkan kedua alisnya. Ia agaknya merasa sedikit mendongkol. "Siau
w Houwtjoe, jika kau membandel, aku akan paksa kau naik!" kata ia.
"Setan kecil!" memaki si Hitam, "Jangan sombong! Kakekmu
sekali kata tak naik, tetap tak naik!"
"Kau tak percaya?" kata si pemuda sembari tertawa. "Aku kata kau naik, kau mesti
naik!"
Ia membungkuk dan memungut beberapa batu kecil. Ia mengayun tangannya dan menimp
uk air empang dengan sebutir batu.
Heran sungguh, orangnya begitu muda, tenaga dalamnya si pemuda begitu kuat. Begi
tu mengenakan air, batu itu menerbitkan gelombang hebat dan kemudian air kotor m
enyambar ke arah si Hitam. Buru-buru Siauw Houwtjoe selulup, tapi begitu lekas i
a meno-ngolkan kepala, si pemuda lalu menimpuk pula dengan batunya. Dengan cepat
, Siauw Houwtjoe terdesak ke pinggir empang, Siauw Houwtjoe bukan saja tidak dap
at selulup terlalu lama, akan tetapi, walaupun berada di dalam air, ia selalu ha
rus berjaga-jaga jangan sampai kesambar batu.
Siauwliong menonton pertunjukan itu dengan hati berdebar-debar. Meskipun batu-ba
tu itu bukan ditujukan kepadanya, akan tetapi,
sebagai seorang kawan, ia sangat kuatirkan keselamatannya si Hitam.
Tiba-tiba Siauw Houwjoe menggapai ia. Tanpa perdulikan sambaran batu, ia berenan
g menghampiri kawannya itu. Si pemuda yang rupanya kuatir Siauwliong kena tertim
puk, segera menghentikan timpukannya. Sesudah berbisik-bisik di kuping kawannya,
Siauw
Houwtjoe mendadak angkat badannya
Siauwliong yang lalu dilemparkan ke daratan, sedang ia sendiri lalu selulup. Ses
udah berenang kira-kira setombak, ia menongolkan kepalanya di atas air seraya be
rteriak: "Aku tak akan naik!"
"Aku tetap mau kau naik!" membalas si pemuda. Oleh karena di empang hanya keting
galan Siauw Houwtjoe seorang, pemuda itu
menimpuk semakin gencar dan dalam tempo sekejap, si Hitam sudah terdesak ke ping
gir.
Selagi pemuda itu menimpuk dengan gembira, tiba-tiba di belakangnya terdengar be
ntakan: "Menghina anak kecil! Benar tak tahu malu!"
Kedatangan pemuda itu membikin semua orang jadi terkejut. Ia berparas sangat cak
ap dan menunggang seekor kuda bulu putih yang sangat garang. Begitu loncat turun
dari tunggangannya, ia mengga-pe Siauw Houwtjoe. "Hei Sahabat kecil! Kau naikla
h." kata ia. Siauw Houwtjoe segera
merangkak naik kedarat.
Si pemuda memutar badan dan dihadapan-nya berdiri seorang lelaki brewokan yang b
ukan lain daripada "Loohoan".
Barusan, kedua per-
wira itu terkejut ketika lihat "Loohoan" menghampiri si pemuda dengan paras muka
gusar. Mereka mau mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi.
"Aku hanya main-main, kenapa kau begitu usilan?" si pemuda balas membentak. "Kau
lihat, apa aku lukakan seujung rambutnya?"
"Dia memang anak nakal, tapi apa kau juga bukan bocah liar?" kata "Loohoan". "He
i, Siauw Houwtjoe! Gebuk padanya atau jangan?"
Si pemuda mengeluarkan suara di hidung. "Hm!" katanya. "Orang gagah dari mana un
juk lagak di sini? Masih basah kuyup, sudah berani berkokok lagi. Dasar ayam!"
Mukanya "Loohoan" lantas saja berobah merah. "Binatang kecil! Jangan rewel!" ia
membentak sembari men-
jotos dengan ilmu pukulan Siauwlim pay.
Si pemuda menutup kipasnya yang segera digunakan untuk me-nyampok sang lawan. "L
oohoan" pasang
kuda-kuda dan mengecas dengan lengannya. Buru-buru si pemuda membuat satu lingka
ran dengan kipasnya dan kemudian secara
mendadak menyodok ke depan. "Loohoan"
mundur setindak dan dengan menggunakan tenaga dalam, tangan kirinya menyodok den
gan gerakan Toeitjho-eng bonggoat (Mendorong jendela melihat bulan). Dalam segeb
-rakan itu, kedua belah pihak mengetahui,
bahwa sang lawan bukan sembarang
orang. Tapi jika dibandingkan, ilmunya "Loohoan" masih sedikit lebih rendah dari
si pemuda dan itulah
sebabnya, kenapa barusan ia sudah menggunakan tenaga dalamnya.
Melihat kedua orang sudah bertempur,
kawanan anak nakal itu pada berpencaran dan menonton dari tempat yang agak jauh.
Mereka bersorak-sorai dan
menepuk-nepuk tangan untuk menambah
semangatnya kedua orang yang sedang bertempur.
Siauwliong yang basah kuyup juga turut berdiri menonton di antara kawan-kawannya
. Tiba-tiba Siauw Houwtjoe yang masih merendam di air, men-deliki ia.
Siauwliong mendadak menangis keras. "Aku pulang!" ia berseru. "Aku pulang berita
hukan ibu. Siauw Houwtjoe mesti ganti pakaianku!" Sembari berteriak-teriak begit
u, ia lari pulang.
Kawan-kawannya me-
rasa heran. Mereka tahu, meskipun Siauwliong tidak begitu kepala batu seperti Si
auw Houwtjoe, tapi dia sedikitnya bukan satu pengecut "cengeng" yang sedikit-sed
ikit segera mengeluarkan air mata. Sungguh mereka belum pernah melihat Siauwlion
g berlaku
begitu rupa. Tapi mereka tak dapat memikir banyak-banyak, perhatian mereka sudah
tertarik kembali oleh jalannya pertempuran.
Ketika itu, tiga serangan berantai dari "Loohoan" semuanya sudah dapat dipunahka
n oleh si pemuda, sedang beberapa
totokan si pemuda pun telah diegos oleh "Loohoan". Setiap kali "Loohoan" maju du
a tindak, ia terpaksa mundur kembali tiga tindak, sedang si pemuda pun begitu j
uga,
saban-saban menyerang selalu dipukul mundur kembali.
Kedudukannya si pemuda berada di atas angin, tapi ia belum berhasil mendapat
kemenangan yang
memutuskan.
Diam-diam "Loohoan" mengeluh. Sebagai
seorang kenamaan
dalam kalangan
Kangouw, ia merasa malu sekali masih belum dapat menjatuhkan satu bocah sesudah
bertempur begitu lama. Dalam jengkel nya, lantas saja ia mengambil putusan untuk
mengeluarkan ilmu silat Lohan koen guna bertarung mati hidup dengan pemuda itu.
Tapi sebelum ia me-robah cara bersilatnya, si pemuda mendadak menutup kipasnya d
an berkata dengan suara nyaring: "Aku sungkan berpemandangan seperti
Kedatangan pemuda itu membikin semua orang jadi terkejut. Ia berparas sangat cak
ap dan menunggang seekor kuda bulu putih yang sangat garang. Begitu loncat turun
dari tunggangannya, ia menggape Siauw-houw-tjoe. "Hei Sahabat kecil! Kau naikla
h", kata ia. Siauw-houw-tjoe segera merangkak naik ke darat.
kau! Aku tak mempunyai tempo lagi untuk meladeni kau!" Dengan sekali mengenjot b
adan, ia sudah duduk di atas punggung kuda yang lantas dilarikan keras sekali.
Kedua perwira itu dan "Loohoan" sendiri
merasa sangat heran. Terang-terangan, si pemuda berada di atas angin. Tapi, kena
pa ia mabur dengan begitu saja?
Siauw Houwtjoe sudah merangkak naik ke daratan. Ia menepuk-nepuk tangan dan berk
ata sembari tertawa: "Bagus! Pertempuran bagus sekali!"
Mukanya "Loohoan" jadi berobah merah. "Siauw Houwtjoe," kata ia. "Apa ayahmu ada
di rumah?"
"Kau pun tanyakan ayah?" kata si Hitam sembari mendelik dan menepuk dadanya
"Loohoan" dengan
tangannya yang kotor.
"Loohoan" menyampok dengan tangannya, berbareng menggaet dengan kakinya dan si H
itam segera jatuh celentang. Tapi, begitu jatuh, dengan gerakan Leehie Tateng (I
kan gabus meletik), begitu ia loncat berdiri kembali.
"Apa kau Hoan Toa-ko?" menanya Siauw Houwtjoe.
Si brewok manggut-manggutkan kepalanya. "Benar," katanya
sembari tertawa. "Kau masih ingat?"
Yah, si Hitam masih ingat padanya. Pada empat tahun berselang, ia pernah mengina
p semalaman di rumah ayahnya Siauw Houwtjoe. Ketika itu, ia pernah mengajarkan i
lmu menggaet Houw-wiekak (Ilmu menggaet buntut harimau) kepada Siauw
Houwtjoe. Barusan, waktu digaet dengan ilmu Houwwiekak,
ingatlah Siauw Houwtjoe kepada Hoan Toako, si kakak bere-wokan yang pada empat t
ahun berselang, brewoknya tidak
setebal sekarang.
Si Hitam lantas saja tertawa haha hihi. "Hoan Toako," katanya. "Bagus betul kau
punya pukulan berantai tiga kali beruntun. Hoan Toako, tolong kau ajarkan aku ti
ga pukulan itu."
"Loohoan" mengawasi cap tangan lumpur di dadanya akibat pukulan Siauw Houwtjoe.
Ia terbahak-bahak seraya berkata: "Siauw Houwtjoe! Kau benar jempol! Lagi dua ta
hun, Hoan Toako tak dapat mengajar kau lagi. Baiklah. Mari kita berangkat sekara
ng." "Kalian bertiga?" me-
nanya si Hitam.
"Benar," jawab "Loohoan". "Kedua Taydjin (panggilan menghormat untuk orang berpa
ngkat) ini adalah sahabatku."
Mendengar pembicaraan itu, kedua perwira itu merasa kagum oleh karena si Hitam y
ang masih begitu kecil rupanya sudah mengerti baik ilmu silat. Mereka menghampir
i dan
sembari mesem-mesem, mereka mengangsurkan tangan. Tapi sambutannya si nakal tak
diduga-duga. Ia hanya melirik dan tidak meladeni. "Baiklah," katanya kepada "Loo
hoan". "Dengan memandang mukamu, aku akan antarkan kalian. Akan tetapi, kalau ay
ahku tak suka menemui, jangan kau menyalahkan aku." "Loohoan" merasa geli
dalam hatinya mendengar perkataan si Hitam, yang meskipun masih begitu kecil, su
dah berbicara seperti seorang Kangouw
kawakan. Di lain pihak, kedua perwira itu yang kena "membentur
tembok", sudah merasa mendongkol sekali, tapi mereka tentu saja tak dapat melamp
iaskan rasa gusarnya terhadap satu bocah cilik.
Sambil menuntun kuda, ketiga tetamu itu lantas saja jalan mengikuti Siauw Houwtj
oe. Sesudah berjalan kira-kira sejam dengan melewati jalanan
gunung yang sukar dan berbiluk-biluk, tibalah mereka di depan sebuah rumah batu
yang dibuat di lamping gunung. Rumah batu itu ber-bentuk sebagai benteng dan tin
gginya hampir dua tombak, pekarangannya cukup luas,
sedang di depannya terdapat beberapa
pohon siong tua.
Sesudah menambat tunggangan mereka, "Loohoan" dan kedua kawannya segera
menghampiri pintu,
yang dirapati. Siauw Houwtjoe sudah mendahului masuk dengan berlari-lari. "Thia!
" ia berseru. "Si Brewok, Hoan Toako, datang berkunjung." Tapi dari dalam sama s
ekali tidak terdengar jawaban. "Hoan Toako!" si Hitam berseru sembari menggapai.
"Mari! Mari sini!"
Hoan Toako dan kedua perwira itu lantas saja masuk ke ruangan depan. Pada tembok
batu, di ruangan itu, mereka lihat tiga kuntum bunga bwee yang berwarna merah.
Bunga ternyata merupakan ukiran, beberapa dim dalamnya di dalam batu itu.
"Loohoan"
terkesiap. Ia masuk ke beberapa kamar, tapi tak dapat menemui tuan rumah atau ta
nda-tanda lain. Segala perabotan tetap berada di tempatnya, sama sekali tidak te
rdapat tanda-tanda bekas diganggu.
"Mungkin tanda itu adalah tandanya seorang Kangouw," berkata salah seorang perwi
ra. "Mungkin
penjahat yang liehay sekali."
Siauw Houwtjoe men-jebi, seperti juga mau mengatakan, bahwa hal itu tak usah dis
ebutkan lagi, sebab sudahlah terang bagaikan siang.
"Mungkin tanda yang ditinggalkan oleh pemuda tadi," kata perwira yang satunya la
gi.
"Loohoan" mendadak menepuk kedua tangannya. "Benar," berseru ia. "Sepul
uh sembilan
mestinya dia!"
"Pemuda itu sangat liehay," berkata pula perwira yang pertama. "Apakah tak bisa
jadi, sahabatmu sudah kena dibinasakan olehnya?"
"Kentut!" berteriak Siauw Houwtjoe sembari mendelik. "Ayahku
sudah binasakan entah berapa banyak orang gagah! Walaupun kepandaiannya bocah it
u dua kali lipat lebih tinggi, ayahku tak pandang sebelah mata. Berani benar kau
ngaco belo!"
Perwira itu jadi naik darah, tapi sebelum ia unjuk kegusarannya, "Loohoan" buru-
buru menarik Siauw Houwtjoe ke samping dan berkata dengan suara membujuk: "Maksu
dnya Taydjin baik sekali. Ia tak pernah katakan, ayahmu tidak mempunyai kepandai
an tinggi."
Siauw Houwtjoe te-
tap merengut, hatinya tetap mendongkol.
"Siauw Houwtjoe," kata "Loohoan" sembari tertawa. "Coba lihat! Lihat apa ayahmu
sudah pulang atau belum. Kami menunggu di sini. Besok pagi, aku akan ajarkan kau
pukulan berantai tiga kali. Eh, Siauw Houwtjoe! Toako datang, kau tak menyuguhk
an apa-apa? Kalau kau terus main marah-marahan, lain kali aku tak akan datang la
gi di sini."
Mendengar omongan itu, Siauw Houwtjoe jadi tertawa. "Hoan Toako," katanya. "Aku
ingat, kau suka sekali minum arak. Waktu itu, diam-diam kau ajarkan aku minum, h
ampir-hampir diketahui ayah. Baiklah. Aku akan menyuguhkan dua botol arak dan ti
ga kati daging macan. Macan itu adalah hasil perburu-
nku, kau tahu?"
"Aduh! Macan Kecil binasakan macan tua!" memuji "Loohoan" sambil mengacungk
an jempolnya. "Benar-benar jempol!"
Si Hitam jadi bunga sekali hatinya, sembari haha hihi ia berjalan keluar.
"Kerbau kecil itu besar benar ambeknya!" kata salah seorang perwira sembari meng
geleng-gelengkan kepala. "Eh, Loohoan, kau kata, Looenghiong itu adalah ayahnya?
"
"Tak salah," sahutnya. "Coba kau lihat. Anaknya saja sudah begitu liehay! Kau bo
leh legakan hati."
"Siapa namanya?" menanya perwira yang satunya lagi. "Kenapa kau masih belum mau
memberitahukan?" "Sedari delapan tahun berselang, jago tua itu sudah menutup
pintu
dan menyimpan golok," menerangkan "Loohoan". "Ia tak suka orang menyebut-nyebut
pula namanya. Sebentar, sesudah mendapat permisi, ia sendiri bisa memberitahukan
namanya pada kalian."
"Kalau ia sudah menutup pintu, guna apa kau mengajak kami ke sini?" menanya perw
ira itu. "Urusan kita perlu pertolongan lekas. Jika ia menampik, bukankah seante
ronya akan
menjadi gagal?"
"Mungkin sekali, dengan memandang mukaku, ia suka mengadakan kecualian," kata "L
oohoan". "Manakala djiwie Taydjin merasa kurang tepat, baiklah kalian mencari or
ang lain saja. Aku, si orang she Hoan, tak dapat melihat jalan yang lain."
Kedua perwira itu saling mengawasi tanpa berkata apa-apa lagi.
Sesudah menunggu sekian lama Siauw Houwtjoe belum juga muncul, kedua perwira lal
u membuka baju luarnya untuk menukar obat pada luka di pundak mereka.
"Penjahat bertopeng itu sungguh liehay," kata satu antaranya. "Loohoan, antara
beberapa ratus orang, mungkin hanya kau seorang yang tidak mendapat luka."
"Aku pun hampir-hampir kesabet toyanya," jawab si Brewok.
"Apa dengan seorang diri Looenghiong itu bisa berhasil?" menanya pula perwira it
u dengan perasaan sangsi.
"Jika ia sudi meluluskan, tenaganya melebihi laksaan tentara." sahut "Loohoan" d
engan suara tetap.
Kedua perwira itu lalu saling menceritakan
liehaynya penjahat
bertopeng itu.
"Jika gagal, habislah jiwa kita serumah tangga," kata satu antaranya.
"Sekarang tak ada lain jalan daripada
mengandalkan padanya," kata yang lain, "Ie Toako, dalam keadaan begini,
janganlah kau mengeluarkan kata-kata yang kurang baik."
"Loohoan" tutup mulutnya. Ia merasa agak mendongkol melihat sikap kedua orang it
u.
Mendadak pintu yang hanya dirapati itu, didorong orang dan Siauw Houwtjoe
meloncat masuk ke dalam. Mulut bocah itu ditutup rapat-rapat, parasnya sangat ta
k enak dilihatnya.
"Loohoan" terkejut. Siauw Houwtjoe kembali dengan tangan kosong, tidak membawa a
rak dan
daging yang dijanjikan olehnya.
"Hoan Toako! Apa kau cinta sahabat atau tidak?" menanya ia.
"Kenapa, Siauw
Houwtjoe?" tanya "Loohoan".
"Jika kau menyinta sahabat, beritahukanlah maksud kedatanganmu," sahut si Hitam.
"Kalau tidak, aku akan berita-hukan ayah, supaya ia tidak meladeni kau."
"Kau tahu, ayahmu berada di mana?" menanya pula "Loohoan."
"Tentu saja," jawabnya. "Lekas katakan! Dengan siapa kau mau ajak ia bertempur?"
Sebenar-benarnya, Siauw Houwtjoe tidak mengetahui, kenapa ayahnya mendadak mengh
ilang. Selama tujuh delapan tahun, ayahnya tidak pernah keluar dari rumah pada w
aktu begitu. Dalam otak kecilnya, Siauw
Houwtjoe merasa,
bahwa menghilangnya sang ayah mempunyai hubungan rapat dengan beberapa orang asi
ng yang baru datang itu, antaranya si pemuda yang bersenjata kipas. Barusan ia t
elah mencuri dengar pembicaraan antara "Loohoan" dengan kedua perwira itu dan ia
merasa, bahwa kedatangan mereka dapat mendatangkan akibat jelek bagi ayahnya. I
tulab sebabnya kenapa ia sudah menjustai si Brewok.
Untuk sementara, "Loohoan" kelihatan bersangsi. Beberapa kali ia melirik kedua p
erwira itu. "Baiklah," katanya sesudah berselang
beberapa saat. "Siauw Houwtjoe, kau bukan seperti bocah yang kebanyakan. Aku aka
n beritahukan kau secara terus terang."
Ia mendehem dan kemudian menyambung perkataannya sambil menunjuk kedua perwira i
tu: "Taydjin itu adalah Ie Tongleng, yang ini adalah Liok Koantay. Aku telah ban
tu mereka melindungi barang
angkutan. Dari Ouwpak, kami antar tiga puluh laksa tahil perak, ke kota raja. Se
tibanya di Shoatang, yaitu
kemarin dulu, di sebelah selatan gunung Thay-san, perak itu sudah kena dirampok
oleh seorang penjahat
bertopeng."
"Hoan Toako, kau tak dapat melawan padanya?" menanya Siauw Houwtjoe.
"Kalau aku dapat melawan ia, tak perlu kami datang kemari," sahutnya. "Kedua
Taydjin ini kena dibikin luka. Beberapa ratus serdadu sudah disapu bersih olehny
a, ditawan
atau dibunuh. Hanya kami bertiga yang dapat meloloskan diri."
"Ha! Liehay benar penjahat itu!" kata si Hitam yang jadi ketarik sekali.
"Benar," kata "Loohoan". "Jika bukan begitu, aku tentu tidak berani sembarangan
mengganggu ayahmu. Aku datang kemari untuk memohon bantuan ayahmu guna membekuk
penjahat itu dan ambil pulang perak yang sudah dirampas itu."
Begitu habis "Loohoan" menutur, Siauw Houwtjoe menarik
tangannya yang dipegang oleh si Brewok.
"Hoan Toako," katanya. "Kau ternyata tidak cinta sahabat!"
"Kenapa tak menyinta sahabat?" si Brewok balas menanya dengan perasaan heran.
Siauw Houwtjoe tertawa dingin. "Hm! Kata-
nya dengan suara di hidung. "Thia thia paling benci segala pembesar anjing! Seka
rang kau mau ajak ia keluar untuk menjadi budak pula dari kawanan pembesar. Hm!
Tidak! Aku tak dapat meluluskan!"
"Loohoan" dan kedua perwira itu menjadi bengong, mereka kesi-ma mendengar kata-k
ata yang tidak diduga-duga itu.
Tiba-tiba dengan satu suara keras, kedua daun pintu batu ditutup oleh Siauw Houw
tjoe yang sudah meloncat keluar sebelum tiga tetamunya sadar dari kagetnya. Daun
pintu itu dibuat dari batu yang tebalnya tidak kurang dari satu kaki, sehingga
satu orang yang tidak mempunyai kekuatan kira-kira lima ratus kati, tidak akan d
apat menutupnya.
Di lain saat, di luar
kamar terdengar suara tindakannya Siauw
Houwtjoe yang berlari-lari dengan cepat sekali.
"Penjahat cilik!" memaki kedua perwira itu sembari coba
mendorong pintu. Tapi percobaan itu sia-sia belaka, oleh karena sudah dikunci da
ri luar oleh si Hitam. Kamar batu itu tak mempunyai jendela, hanya di atasnya te
rdapat beberapa lubang kecil untuk keluar masuknya hawa. Kedua perwira itu gusar
bukan main, mereka memaki kalang kabut, sambil menyesalkan juga si Brewok yang
sudah mengajak mereka datang kesitu. "Kau sudah tahu sahabatmu sangat membenci p
embesar negeri, tapi kau toh sudah mengajak juga kami datang ke sini," kata sala
h satu antaranya.
"Dia juga tentu bang-
sa penjahat!" kata yang lain. "Eh, Loohoan! Apa sih maksudmu yang sebenarnya?"
Paras mukanya "Loohoan" berubah gusar. "Djiewie Taydjin tak usah mencaci," katan
ya dengan suara keras. "Majikan rumah ini pernah menjabat pangkat yang lebih tin
ggi dari atasanmu!"
Kedua perwira itu berhenti serentak.
"Siapa ia?" mereka menanya hampir berbareng. Mereka kaget, tercampur sangsi.
"Loohoan" mesem. "Majikan rumah ini pernah menjadi Tongleng (pemimpin) barisan
Gielimkoen (barisan
yang menjaga keselamatan pribadi kaizar)," menerangkan ia dengan suara perlahan.
"Ia pun pernah menjabat
pangkat Tjiongtjiehoei (pemimpin) dari pasukan Kimiewie (pasukan
pahlawan kaizar yang mengenakan seragam sulam) dan pada sepuluh tahun berselang,
ia dikenal sebagai ahli silat nomor satu di seluruh kota raja. Ia bukan lain da
ripada Thio Hong Hoe, Thio Taydjin!"
"Thio Hong Hoe, ahli silat utama di seluruh kota raja?" menegasi kedua perwira i
tu dengan suara terkejut.
"Tak salah! Ahli silat nomor satu di seluruh kota raja!" mengulangi "Loohoan". M
ukanya kedua perwira itu berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya
.
Thio Hong Hoe adalah pahlawan utama yang paling diandalkan oleh Kie Tin, Kaizar
Engtjong dari kerajaan Beng. Ia pernah berkuasa atas barisan Gielimkoen dan Kimi
ewie dan beberapa kali pernah berjasa besar dalam medan pe-
perang. Berhubung
dengan kegagahannya, namanya sudah menggetarkan seluruh Tiongkok. Dahulu, dalam
peperangan dengan negeri Watzu di Tobok-po, seantero tentara Beng boleh dibilang
musna semuanya, sedang Kie Tin sendiri telah ditawan musuh.
Dalam kekalahan yang hebat itu, seorang diri dan dengan menunggang seekor kuda,
tujuh kali Thio Hong Hoe menerjang masuk ke dalam tentara musuh dan tujuh kali i
a dapat menoblos keluar pula dengan selamat.
Walaupun gagal dalam usaha menolong kaizar, namanya sudah berhasil membikin peca
h nyali musuh dan orang-orang gagah di seluruh negara tidak ada satupun yang tid
ak kagum padanya.
Belakangan, Ie Kiam, seorang menteri yang
sudah berhasil menolong kerajaan Beng dari kemusnaan, telah
mengirim In Tiong ke Watzu sebagai utusan istimewa guna mengadakan perdamaian. I
n Tiong berhasil dan Kie Tin dapat dibawa pulang ke Tiongkok dengan selamat. Aka
n tetapi adiknya Kie Tin yang bernama Kie Giok, atau Kaizar Bengtay-tjong, sungk
an menyerahkan kembali tachta kerajaan kepada
kakaknya itu. Ia penjarakan sang kakak di Istana Lamkiong dan memberi gelar keho
rmatan Thaysianghong kepada Kie Tin.
Mulai waktu itulah, Thio Hong Hoe menghilang. Ada yang mengatakan, ia tak dapat
melupakan majikan yang lama (Kie Tin) dan sungkan bekerja di bawah perintah kaiz
ar baru. Ada juga yang
bercerita, ia sudah merasa tawar akan segala keduniawian dan pergi bertapa di pe
gunungan yang sunyi. Tapi hal yang sebenarnya adalah: Ia sudah mengundurkan diri
atas nasehat sahabatnya yang bernama Thio Tan Hong. Dengan rasa sakit dalam hat
inya, ia telah menyaksikan segala keburukan dalam kalangan pemerintahan kaizar y
ang baru. Segala penghianat dan dorna memegang kekuasaan besar, sedang orang-ora
ng pandai dan bijaksana tidak mendapat kedudukan yang sesuai dengan kepandaianny
a. Bahkan Ie Kiam sendiri, seorang menteri yang jasanya luar biasa besar dalam m
embangun kembali kerajaan Beng, hanya mendapat pangkat Pengpo Siangsi
e
(Menteri Pertahanan), tanpa kekuasaan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, sesudah
mendapat nasehat Thio Tan Hong, ia segera menutup pintu dan menyimpan golok, lal
u hidup mengasingkan diri di pegunungan Tjouwlay san.
Kedua perwira itu sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa
majikan dari rumah itu adalah Thio Hong Hoe yang namanya menggetarkan seluruh ke
rajaan Beng. Mengingat sikapnya tadi dan cacian "penjahat" yang
barusan diucapkan, hati mereka benar-benar merasa tidak enak. "Loohoan" hanya
mesem-mesem melihat laga mereka dan lalu menyandar pada tembok tanpa bicara lagi
.
Sesudah melirik beberapa kali, hati mereka jadi semakin tidak enak.
tidak enak. "Saudara Hoan," kata satu antaranya. "Kami mempunyai mata, tapi tak
dapat melihat gunung Thaysan yang besar. Kami tak tahu, bahwa Hoan-heng (Saudara
Hoan) sebenarnya
adalah seorang Tjindjin (orang berilmu) yang sungkan menonjolkan muka. Kami sung
guh merasa menyesal, bahwa di sepanjang jalan, kami sudah berlaku kurang hormat
terhadap Saudara."
Permintaan maaf itu mempunyai latar belakang. Untuk mengangkut tiga puluh laksa
tahil perak uang negara itu, Khoan Kie, Vamoen-soe (pembesar yang berkuasa atas
pengangkutan garam) dari Ouwpak-Ouwlam, telah minta bantuan Soenboe Ouwpak, yang
segera perintahkan dua panglimanya yang paling
dibuat andelan pergi menjalankan tugas
tersebut. Kedua perwira itu lantas saja menyiapkan lima ratus serdadu pilihan un
tuk bantu mengantar, dan menurut dugaan mereka, dengan pasukan sekuat itu, tugas
tersebut akan dapat diselesaikan secara mudah. Tak dinyana, sebelum berangkat,
Yamoensoe Khoan Kie sudah pujikan seorang piauwsoe (ahli silat yang biasa mengan
tar barang angkutan) dan piauwsoe itu adalah Hoan Eng. Kedua perwira itu lantas
saja jadi mendongkol lantaran menganggap Hoan Eng sebagai saingan yang mau mereb
ut sebagian jasa mereka yang sudah kelihatan di depan mata.
Secara diam-diam kedua perwira itu menyelidiki. Mereka
mendapat kenyataan, bahwa dalam sejumlah piauwkiok (perusahaan yang mengantar ba
rang dari satu ke lain tempat) di beberapa propinsi Tiongkok Selatan, sama sekal
i tidak terdapat orang yang bernama Hoan Eng. Oleh karena itu, mereka menyangsik
an, apakah Hoan Eng benar-benar adalah seorang piauwsoe. Akan tetapi, walaupun m
erasa kurang senang, mereka tidak dapat menolak, oleh karena Hoan Eng adalah ora
ng yang dipujikan oleh
Vamoensoe.
Di luar dugaan, Hoan Eng mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Pada waktu ter
jadinya perampokan, hanya dia seorang yang dapat bertempur sehingga puluhan juru
s dengan si perampok bertopeng, tanpa dapat
dilakukan. Sekarang, ia pun ternyata mempunyai hubungan rapat dengan Thio Hong H
oe. Mengingat itu, kedua perwira itu saling mengawasi dengan perasaan sangsi dan
berkuatir. Mereka tak dapat menebak asal usulnya si Brewok.
Hoan Eng mesem mendengar penghaturan maaf kedua perwira itu. "Djiewie Taydjin ja
nganlah bicara begitu," katanya. "Aku hanya seorang piauwsoe
biasa. Mana berani menganggap diri sebagai Tjindjin?" Sehabis berkata begitu, ia
menyandar pula pada tembok dan meramkan kedua matanya.
Kedua perwira itu merasa lebih tidak enak. Mereka sebenarnya ingin menanyakan hu
bungan antara Hoan Eng dan Hong Hoe, akan tetapi, sesudah
mendapat jawaban yang tawar itu, mereka tak berani membuka mulut lagi.
Sembari menyandar, otak Hoan Eng bekerja keras. Ia tidak nyana, bahwa sesudah me
ngundurkan diri, Thio Hong Hoe jadi begitu membenci segala apa yang berbau pembe
sar negeri. Ia merasa menyesal sudah meluluskan permintaan Khoan Kie untuk bantu
melindungi perak negara itu. Ia berkuatir, bukan saja kawan-kawan kalangan Kang
ouw akan mencurigai dirinya, tapi Thio Hong Hoe pun akan menganggap ia sebagai s
eorang manusia yang mengejar harta dan pangkat.
"Hai!" katanya di dalam hati, sembari menghela napas panjang. "Kenapa juga aku m
encari penyakit sendiri? Kedua manusia ini
tak mengetahui asal-usulku, tapi kawan-kawan Kangouw sedikit banyak mengenal
namanya Soanhoahoe Hoan Eng. Yah, kenapa juga aku rela menjadi orang suruhannya
pembesar negeri? Siapa suruh aku menjadi keponakannya Hoan Tiong? Siapa suruh ak
u menjadi saudara angkatnya Yamoensoe Khoan Kie?"
* * *
Dahulu, Thio Hong Hoe, Hoan Tiong dan Khoan Tiong dikenal sebagai tiga serangkai
jagoan utama di kota raja. Belakangan, Thio Hong Hoe telah mengikat tali persah
abatan dengan musuh besar kaizar Beng, yaitu Thio Tan Hong. Secara diam-diam, Kh
oan Tiong telah menjual saudara angkatnya dan mem-
beritahukan rahasia itu kepada kaizar. Thio Tan Hong yang mengetahui penghianata
n itu, sudah turun tangan dan membinasakan Khoan Tiong, sehingga menimbulkan sal
ah mengerti di pihaknya Thio Hong Hoe.
Dalam pertempuran di Tobokpo, Hoan Tiong telah membinasakan menteri dorna penjua
l negara yang bernama Ong Tjin, tapi ia juga harus mengorbankan jiwa dalam perte
mpuran itu. Khoan Kie, pute-ranya Khoan Tiong, belakangan berkecimpung dalam kal
angan pembesar negeri, dan berkat bantuan sahabat-sahabat mendiang ayahnya, ia m
endapat pangkat Yamoensoe bagian wilayah Ouw-pak-Ouwlam. Pangkat Yamoensoe, atau
pengurus garam, adalah pangkat yang mendatangkan keuntungan
besar. Adiknya Hoan Tiong yang bernama Hoan Tjoen dahulu pernah menjadi pahlawan
istana. Sesudah kakaknya mengorbankan jiwa untuk negara, ia lalu menurut contoh
nya Thio Hong Hoe dan menyembunyikan diri di rumah leluhurnya di Ouwpak. Thio Ho
ng Hoe, Hoan Tiong dan Khoan Tiong adalah saudara-saudara angkat, sedang hal pen
ghianatan Khoan Tiong hanya diketahui oleh Thio Tan Hong dan Thio Hong Hoe berdu
a. Mereka adalah ksatria-ksatria yang sungkan menguarkan kejelekan orang, sehing
ga kejadian itu jadi tertutup rapat. Itulah sebabnya kenapa perhubungan baik ant
ara ketiga keluarga tetap tidak berubah.
Sebagai Yamoensoe, Khoan Kie berkedudukan
di kota Boetjiang. Dalam pengiriman tiga puluh laksa tahil perak ke kota raja, s
atu jumlah yang bukan main besarnya, hatinya tetap menyangsikan kepandaian dua p
anglima Soenboe Ouwpak itu. Oleh karena itu, beberapa kali ia memohon bantuannya
Hoan
Tjoen. Berhubung dengan usianya yang sudah lanjut, Hoan Tjoen menolak permohonan
itu dan mengirim saja puteranya, yaitu Hoan Eng, untuk memberi bantuan.
Dalam kalangan Hek-to (Jalanan hitam, atau kalangan penjahat), Hoan Eng mempunya
i banyak hubungan. Secara diam-diam ia sudah mengadakan hubungan dengan sahabat
dan kenalannya di sepanjang jalan, sehingga sebegitu jauh pengangkutan itu dapat
berlangsung dengan selamat. Tapi, siapa nyana, baru saja menginjak wilayah propi
nsi Shoatang, di sebelah selatan gunung Thaysan, mereka telah dicegat oleh seora
ng penjahat bertopeng yang sudah berhasil menyikat bersih Seantero angkutan.
Waktu itu, "Perayaan Tahun Baru" baru saja lewat. Di sepanjang jalan, dengan ria
ng gembira, kedua perwira itu terus mengagul-agulkan diri sendiri. Secara tember
ang mereka mengatakan, bahwa kawanan penjahat pada lari sipat kuping akibat kean
gkeran
tentara negeri. Mereka tidak mengetahui,
bahwa keselamatan mereka sudah terjamin sampai di situ, berkat perlindungan Hoan
Eng. Tapi mereka pun sebenarnya mempunyai
alasan untuk merasa gembira. Sesudah melewati Shoatang, mereka akan segera masuk
ke propinsi Hopak yang berada dalam wilayah kekuasaan tentara
kaizar dan perjalanan antara Hopak dan kota raja boleh tidak usah dikuatirkan la
gi.
Hari itu, mereka bermalam di satu kota kecil yang terpisah kira-kira lima puluh
lie dari kota Bongim. Pada malamnya, beberapa pengemis datang ke tempat penginap
an dan minta sedekah. Liok Koantay segera perintah beberapa serdadu untuk gebuk
dan mengusir mereka. Apa yang agak luar biasa, adalah ketika mau berlalu, bebera
pa pengemis itu tertawa terbahak-bahak. Hoan Eng yang sudah kawakan dalam kalang
an Kangouw, lantas saja merasa
lantas saja merasa tidak enak dalam hatinya. Dan benar saja, pada besok harinya,
ketika mereka tiba di sebelah selatan Thaysan, tiba-tiba
terdengar suara tertawa dan segerom-bolann perampok menerjang keluar, dengan, di
kepalai oleh beberapa pengemis itu. Kawanan perampok itu semuanya menunggang ku
da dan dengan sekali menyerbu, pasukan negeri lantas saja menjadi kalut.
Sebelum Hoan Eng sempat membuka mulut, beberapa pengemis itu sudah dapat merubuh
kan kedua perwira itu. Oleh karena terpaksa, Hoan Eng turun tangan juga dan melu
kakan dua orang pengemis. Tiba-tiba, diiringi dengan tertawa nyaring, seorang pe
njahat bertopeng kaburkan kuda-
nya dan menerjang bagaikan kilat.
Dengan sekali menyabet dengan toya-nya, seorang perwira rendahan rubuh binasa. P
erwira Ie dan Liok, yang ilmu silatnya lebih tinggi dan otaknya lebih cerdik, bu
ru-buru panjangkan langkah, tapi meskipun begitu, tak urung pundak mereka kena j
uga dihantam toya. Hoan Eng majukan kudanya dan menyambut toya musuh dengan kamp
aknya
yang dibuat dari logam-logam pilihan. Begitu kedua senjata itu berbentrok, satu
suara nyaring segera terdengar. Sesudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus, ka
mpaknya Hoan Eng sudah menjadi gompal.
Penjahat itu tertawa terbahak-bahak. "Kau boleh dihitung sebagai orang gagah," k
atanya.
"Pergilah!"
Sehabis berkata begitu, ia mengedut kendali kuda untuk menyingkir dari hadapan H
oan Eng dan menghampiri kereta-kereta besi yang terisi perak. Setelah tiga kali
menghantam dengan toyanya, lapisan besi setebal beberapa dim menjadi pecah dan i
sinya jatuh berhamburan di atas tanah. Dengan beruntun ia merusakkan tiga kereta
dan kemudian perintah anak buahnya mengumpulkan dan mengisi perak itu dalam kar
ung-karung yang lalu di tempatkan di atas punggung kuda. Antara lima ratus serda
du negeri itu, yang binasa ada kira-kira enam tujuh bagian, yang luka dua tiga b
agian, sedang sisanya, yaitu serdadu-serdadu yang paling gagah, telah ditawa
n.
Hanya perwira Ie dan Liok serta Hoan Eng yang dapat meloloskan diri.
Hoan Eng memutar otaknya, tapi ia tidak dapat menebak siapa adanya penjahat bert
openg itu. Ia ingat, antara begitu banyak orang-orang gagah
yang ia kenal, hanya Thio Hong Hoe yang mungkin dapat menaklukkan penjahat itu.
Tetapi sekarang, bukan saja Thio Hong Hoe tak ketahuan ke mana perginya, tapi ia
sendiri pun sudah kena dikurung dalam kamar batu oleh si nakal.
* * *
Selagi melamun sambil bersandar, kuping Hoan Eng mendadak mendengar suaranya si
perwira: "Si... si nakal belum juga balik. Bisa-bisa kita mati kelapa-
ran!" Ia sebenarnya mau menggunakan istilah "si penjahat", tapi urungkan niatann
ya dan menggunakan saja
perkataan "si nakal".
Hoan Eng tertawa dan membuka matanya. Keadaan dalam kamar gelap gulita, di luban
g-lubang kecil juga tidak kelihatan sinar terang, mungkin siang sudah berganti m
alam. Ia pun merasa lapar, tapi berbeda dengan kedua perwira itu yang tak hentin
ya menggerutu, ia lalu bersila dan melatih Iweekang-nya.
Diam-diam Hoan Eng berkuatir. Dusun itu tidak berapa besar. Kenapa Siauw Houwtjo
e pergi begitu lama? Apa ia tidak dapat mencari ayahnya? Dan apakah Thio Hong Ho
e menemui bencana? Tapi segera juga ia membantah sendiri pertanyaan itu, oleh ka
rena mengingat
kegagahannya orang tua itu. Sebaliknya, kenapa ia belum juga pulang ke rumah?
Sesudah berselang beberapa jam, hawa udara jadi semakin dingin, sebagai tanda su
dah jauh malam. Kedua perwira itu mepet di sudut tembok dengan kelaparan dan
kedinginan.
"Hoan Toako!" berbisik perwira yang satu.
"Ada apa?" menanya Hoan Eng.
"Bagaimana sih hubunganmu dengan Thio Taydjin?" menanya perwira she Ie.
"Empat tahun berselang, aku pernah berjumpa dengan ia," jawabnya.
"Celaka!" Ie Koantay mengeluh. "Kalau begitu, kau tidak mempunyai hubungan rapat
! Aku kuatir, bukan saja ia sungkan menolong, malahan kita sendiri
bisa mati kelaparan di sini. Kenapa ia begitu membenci kaizar?
Mungkin ia ingin mencelakakan kita."
Hoan Eng mendongkol tercampur geli. "Thio Taydjin adalah ksatria sejati," katany
a dengan suara tawar. "Jika ia maui jiwa kalian, tak nanti ia menggunakan segala
akal bulus."
Kedua perwira itu jadi ketakutan setengah mati dan gemetar sekujur badannya. "Ka
u... kau maksudkan, ia benar-benar maui jiwa kita?" mereka menanya dengan suara
terputus-putus.
Hoan Eng tertawa besar. "Orang-orang yang binasa dalam tangannya adalah orang ya
ng namanya besar," katanya. "Orang-orang seperti kita ini mungkin belum cukup be
rharga untuk mati dalam tangannya!"
"Tapi kenapa ia tak mau pulang untuk melepaskan kita?" menanya perwira she Liok.
"Malahan si bocah nakal juga tak kelihatan mata hidungnya."
"Bagaimana aku bisa tahu?" Hoan Eng balas menanya dengan hati mendeluh.
Baru saja kedua perwira itu mau membuka mulut, di lubang-lubang kecil mendadak k
elihatan sinar terang. Semangat mereka lantas saja terbangun. Tiba-tiba terdenga
r suara tertawa aneh yang kedengarannya seperti juga jeritan setan, sehingga bul
u badan mereka menjadi bangun.
"Thio Taydjin," demikian terdengar suara satu orang. "Enak benar kau hidup sembu
nyi di tempat yang nyaman ini! Tapi sungguh sengsara kami berdua
saudara mencari kau."
Hoan Eng tahu Thio Hong Hoe sudah pulang. "Kenapa suara orang itu begitu tak sed
ap didengarnya? Apa ia musuh Thio Siepeh (Paman Thio)?" menanya ia dalam hatinya
.
Sebagai seorang yang berpengalaman dalam dunia Kangouw, ia mengetahui adanya mar
a bahaya. Ia menekan tangan kedua perwira itu, supaya mereka jangan mengeluarkan
suara, dan kemudian ia merayap ke atas dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjian
g (Cecak
merayap di tembok). Ia menempelkan matanya pada sebuah lubang dan mengintip ke k
amar sebelah.
Kamar itu adalah kamar buku. Di tengah-tengah kamar terdapat sebuah meja batu bu
ndar di mana ke-
lihatan berduduk tiga orang, satu antaranya, yang menghadap ke arah Hoan Eng, ad
alah Thio Hong Hoe sendiri. Waktu itu Thio Hong Hoe sudah berusia lima puluh tah
un lebih, akan tetapi, keangkerannya masih tetap seperti di waktu muda. Orang ya
ng duduk di sebelah kiri mempunyai kepala yang luar biasa besarnya, tapi badanny
a kate dan kecil, sehingga kelihatannya aneh sekali. Yang duduk di sebelah kanan
adalah seorang yang berparas tawar dan kedua pipinya menonjol ke atas. Dilihat
dari parasnya, dapat diketahui, bahwa ia mempunyai Iweekang (tenaga dalam) yang
sangat kuat. Di sebelah belakang meja itu terdapat dua lemari besar yang penuh d
engan buku-buku. Dahulu, Thio
Hong Hoe hanya mengenal sedikit mata surat, akan tetapi, berkat pengaruhnya Thio
Tan Hong, semen- jak hidup menyendiri, ia banyak mempelajari ilmu surat.
"Apakah maksud kedatangan kedua Taydjin?" menanya Thio Hong Hoe sesudah mendehem
beberapa kali.
"Taydjin sudah hidup menyendiri delapan tahun lamanya, dan selama itu, Hongsiang
(kaizar) selalu memikirkan kau," kata orang yang paras mukanya tawar. "Tiga kal
i aku coba mencari, tiga kali gagal. Tak tahunya, Taydjin hidup senang di tempat
ini. Aku mengetahui, tanpa ikatan pangkat, Taydjin dapat hidup bebas, akan teta
pi, sesudah delapan tahun hidup bahagia, rasanya kini sudah tiba
saatnya akan Taydjin membantu Hongsiang."
Thio Hong Hoe mengawasi dengan mata berkilat, seakan-akan ingin melihat isi peru
t dua orang itu.
Orang yang kepalanya besar tertawa haha hehe dan lalu menyambung perkataan kawan
nya "Benar.
Sekarang negara sedang menghadapi banyak sekali urusan. Mendengar tambur perang,
Hongsiang jadi ingat panglimanya dan aku kuatir beliau tak dapat mengijinkan Ta
ydjin terus hidup secara begini."
"Djiewie Taydjin mungkin keliru," menjawab Thio Hong Hoe dengan sikap tenang. "A
ku mengetahui, bahwa kini dalam dewan kerajaan berjejer penuh menteri-menteri si
pil dan militer yang berkepandaian tinggi, seperti
Djiewie Taydjin yang merupakan tihangnya negara. Apakah kegunaannya manusia sepe
rti aku, yang sudah tua dan jompo, sehingga Hongsiang mau mencapekan hati untuk
memikirinya? Di sebelahnya itu, aku pun mengetahui, bahwa pada waktu ini, seluru
h negara sudah aman, sedang di dalam negeri Watzu justru lagi timbul kerusuhan d
an Yasian sendiri sudah disingkirkan. Maka itu, menurut pendapatku, adalah kelir
u jika dikatakan, bahwa negara tengah menghadapi banyak urusan.
Sungguh aku kurang mengerti maksud omongan Djiewie Taydjin."
Kata-kata itu yang dikeluarkan secara sopan santun, bukan main tajamnya.
Orang yang bermuka tawar lantas saja ter-
tawa terbahak-bahak. "Thio Taydjin," katanya sembari mendongakkan kepala. "Kami
adalah orang-orang yang isi perutnya lurus dan tidak biasa bicara terputar-putar
. Apakah Taydjin mengetahui, bahwa sekarang Thay-sianghong (Kie Tin) sedang bers
ekutu untuk merebut tachta?
Apakah Taydjin mengetahui, bahwa dalam tempo belakangan ini, ia sudah mem
bentuk
suatu persekutuan yang cukup kuat?"
"Selama delapan tahun, semenjak menuntut penghidupan sebagai seorang rakyat peng
unungan. aku tak pernah mencampuri urusan luar, lebih-lebih urusan keluarga kaiz
ar," jawab Thio Hong Hoe. "Oleh karena itu, urusan ini sama sekali berada di lua
r pengetahuanku."
"Ada yang kata, Tay-
djin mengundurkan diri oleh karena tak dapat melupakan majikan lama dan tak sudi
mengeluarkan tenaga untuk kepentingan Hong-
siang," kata pula si muka tawar. "Apa benar omongan itu?"
Paras muka Thio Hong Hoe lantas saja berubah. Dengan satu tangan menyekal pinggi
r meja, ia menyahut dengan suara menyeramkan: "Jika Hongsiang menyangsikan aku,
dengan secarik firman, ia dapat menghadiahkan kebinasaan pada diriku! Guna apa m
engirim Djiewie Taydjin datang ke sini untuk mengadakan penyelidikan menggelap!"
Selagi berkata begitu, Hong Hoe teringat riwayat In Tjeng, seorang menteri setia
yang sudah "dihadiahkan" hukuman mati oleh kaizarnya, dan me-
ngingat itu, suaranya yang penuh perasaan mendongkol menjadi keras dan sedikit g
e-meter.
"Thio Taydjin bicara terlampau berat," kata si muka tawar. "Adalah karena percay
a kepadamu, maka Hongsiang sudah perintah kami pergi mencari Taydjin. Itulah mer
upakan tindakan mulia dari seorang junjungan
dalam usaha mencari menteri yang pandai, dan oleh karena itu, tidaklah dapat Tay
djin menggunakan istilah penyelidikan menggelap."
Sesudah berdiam beberapa saat, si muka tawar lantas sambung pula perkataannya: "
Barusan Boen Tongleng telah mengatakan,
bahwa negara sedang menghadapi banyak urusan. Yang dimaksudkan bukannya urusan d
ari luar, akan te-
au sebagai orangnya, sudah tentu beliau akan melarang aku
memberikan keterangan ini kepada Taydjin."
Thio Hong Hoe yang darahnya semakin lama naik semakin tinggi, duduk menjublek ta
npa mengeluarkan sepatah kata. Hanya kedua matanya semakin
berkilat-kilat!
Si kepala gede lantas saja tertawa haha hehe dan berkata dengan suara dibuat-bua
t:
"Dahulu, ketika Taydjin menyembunyikan diri, kami berdua saudara terpaksa memiku
l tanggungan yang sangat berat. Kini, setelah Taydjin keluar pula, kami dapat me
lepaskan pikulan itu. Sungguh beruntung! Thio Taydjin! Janganlah Taydjin berlaku
sungkan dan menolak jabatan yang diserahkannya. Lihatlah! Inilah firman r
ahasia
dari Hongsiang! Di atas firman, terang-terangan ditulis: 'Mengangkat Thio Hong H
oe ke dalam jabatannya yang semula, yaitu Tongleng barisan Gielimkoen
merangkap Tjiongtjie-hoei pasukan Kimiewie.1 Lihatlah, Thio Taydjin! Kami tak be
rjusta. Terhadap Taydjin, budinya Hongsiang besar bagaikan gunung!"
Hoan Eng yang mendengarkan pembicaraan tersebut, menjadi kaget. Kedua orang itu
ternyata adalah pemimpin-pemimpin Gielimkoen dan Kimiewie.
Memang juga, mereka berdua adalah ahli-ahli silat kelas berat pada jaman itu. Or
ang yang paras mukanya tawar bernama Tjian Sam San, Tjiongtjiehoei dari pasukan
Kimiewie, atau pasukan ahli-ahli silat yang menjaga keselamatan pribadi kaizar.
Ia
mahir dalam ilmu Hoen-kin tjokoet tjhioe (ilmu memecah otot memindahkan tulang),
serupa ilmu tunggal dalam Rimba Persilatan. Ketika baru datang di kota raja, ia
pernah mengadu silat di Giewan (taman dalam istana kaizar). Dalam tempo sehari,
dengan menggunakan Hoenkin tjokoet tjhioe, ia berhasil mematahkan lengannya dua
belas boesoe (pahlawan)
kelas satu, dan berhubung dengan itu, namanya sudah menggetarkan seluruh kerajaa
n.
Si kepala gede yang bernama Boen Tiat Seng juga tidak kurang liehaynya, meskipun
potongan badannya agak aneh dan lucu. Ia mahir dalam ilmu pedang Ngoheng kiam y
ang bukan saja dapat menikam, tapi juga dapat menotok jalan darah
musuh. Ia pun pandai melepaskan senjata rahasia beracun dan paham ilmu silat tan
gan kosong Teetong koen dari Pakpay (Partai Utara). Kini ia menjabat pangkat Ton
gleng, atau pemimpin, barisan Gielimkoen, yaitu tentara yang menjaga istana kaiz
ar. Bahwa kaizar sudah perintah mereka membujuk Thio Hong Hoe, adalah kejadian y
ang sebenarnya.
Paras muka Thio Hong Hoe segera berubah menjadi merah padam.
"Firman itu aku tak berani menerima," katanya dengan suara perlahan.
"Apa pangkatnya terlalu rendah?" menanya Boen Tiat Seng.
"Seorang menteri tak boleh menuruti kekeliruan rajanya, tapi haruslah menuntun r
ajanya ke jalanan yang
benar," menyahut Hong Hoe. "Aku mohon menanya Djiewie Taydjin. Bila Taydjin meli
hat 'tulang dan daging' (saudara-saudara sekandung) saling bunuh membunuh, apaka
h kalian akan membujuk agar mereka rukun kembali, ataukah kalian akan mengipas a
pi yang sedang berkobar-kobar dan membantu salah satu pihak?"
Kedua pembesar itu terkejut. Mereka tak menduga, Thio Hong Hoe berani berkata be
gitu, yang sedalam-dalamnya merupakan kritik terhadap kaizar yang masih bertacht
a.
Begitu hilang kagetnya, Boen Tiat Seng lantas saja tertawa terbahak-bahak seraya
berkata: "Aku tak duga, Thio Taydjin sudah meninggalkan boe
(silat) dan mengambil boen (ilmu surat) serta
sudah dapat berbicara seperti seorang saste-rawan lemah. Thio Taydjin! Jangan gu
sar jika aku berterus terang. Perundinganmu yang barusan menyeleweng jauh dari k
epantasan."
"Apa?" membentak Thio Hong Hoe sembari mendelik.
"Perebutan tachta antara Thaysianghong dan Hongsiang merupakan kenyataan yang ta
k dapat dicegah, baik olehmu, maupun
olehku," menjawab Boen Tiat Seng dengan suara keras. "Menurut kebiasaan, seo
rang menteri haruslah bersetia
kepada satu majikan. Thio Hong Hoe! Sekarang aku mau menanya: Siapakah yang kau
anggap sebagai majikanmu?"
"Aku ini tak lebih dan tak kurang hanya seorang rakyat kecil dari
daerah pegunungan," sahut Hong Hoe dengan suara dingin. "Bagiku, siapa yang menj
adi kaizar tak merupakan soal. Siapa juga yang bercokol di singgasana, aku tetap
membayar pajak."
Boen Tiat Seng garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia benar-benar kewalahan
menghadapi orang gagah yang adatnya keras itu. Achirnya, dengan suara terpaksa i
a berkata pula: "Thio Taydjin, kau memang mempunyai hak sepenuhnya untuk mengamb
il keputusan sendiri. Tapi cara bagaimana kami berdua saudara harus memberi lapo
ran kepada Hongsiang?"
Sebelum Hong Hoe menyahut, Tjian Sam San tiba-tiba tertawa sembari berkata: "Lai
n hal aku tak dapat meramalkan, hanya satu
yang aku berani pastikan sedari sekarang. Jika Thaysianghong berhasil dalam usah
anya, ada seorang besar yang tak akan dapat menyelamatkan jiwanya!"
"Siapa?" tanya Hong Hoe.
"Ie Kokloo," sahutnya. (Kokloo adalah panggilan menghormat kepada seorang perdan
a menteri. Dengan Ie Kokloo dimaksudkan Ie Kiam).
"Sungai dan gunung (negara) dari kerajaan Beng sudah tertolong dari kemusnaan be
rkat jasanya Ie Kokloo seorang," berkata Hong Hoe. "Siapakah yang tidak mengetah
ui kenyataan ini?"
Boen Tiat Seng tertawa bergelak-gelak. "Hongsiang yang sekarang sudah dinaikkan
ke atas tachta oleh Ie Kiam dan oleh karena
tindakan Ie Kiam itu, Thaysianghong jadi kehilangan tachtanya," kata Boen Tiat S
eng. "Siapakah yang tidak mengetahui kenyataan ini?"
"Akan tetapi tindakan itu sudah diambil lantaran keadaan yang memaksa dan hal in
i sudah dimaklumi oleh seantero rakyat di seluruh negeri," berkata pula Thio Hon
g Hoe. "Waktu itu Thaysianghong masih jadi tawanan di negara lain, sedang di dal
am negeri tidak boleh ada satu hari tanpa jungjungan."
"Hanya aku kuatir ada satu manusia yang sungkan mengerti,"
berkata Tjian Sam San. "Dan orang itu adalah Thaysianghong sendiri."
Boen Tiat Seng tertawa dan menyambung perkataan rekannya: "Thio Taydjin! Tak gun
anya kau membela Ie
Kokloo di tempat ini. Jalan satu-satunya adalah menerima baik panggilan Hongsian
g dan dengan segala kesetiaan, mencegah usahanya Thaysianghong. Hanya dengan beg
itu saja barulah Taydjin dapat menolong jiwanya Ie Kokloo."
Hatinya Hong Hoe berdebar-debar dan mukanya segera berubah pucat. Ia tak menguca
pkan sepatah kata, rupa-rupa pikiran datang ke dalam otaknya. "Sebagai seorang y
ang sudah menolong negara dari kemusnaan, Ie Kokloo dipuja oleh rakyat seluruh n
egeri," katanya di dalam hati. "Andaikata Thaysianghong berhasil dalam usaha mer
ebut tachta, belum tentu ia berani menentang rakyat
dengan membunuh Ie Kokloo." Tapi memikir sampai di situ, tiba-tiba
ia ingat perkataan Thio Tan Hong dahulu hari. Waktu itu, adalah Thio Tan Hong be
rsama In Tiong yang telah pergi ke Watzu untuk mengambil pulang
Thaysianghong. Menurut pendapat Thio Tan Hong, Thaysiang- hong adalah seorang ma
nusia "bongim pweegie"
(manusia yang tak ingat budi orang), sehingga apa yang dikatakan oleh Tjian Sam
San dan Boen Tiat Seng bukanlah suatu hal yang mustahil. Sementara itu, Hong Hoe
pun mengetahui, bahwa kaizar yang sekarang juga bukannya manusia baik-baik. Seb
agai
seorang yang pernah berdiam lama di istana, ia mengetahui betapa kejamnya seoran
g
kaizar. Dari kata-katanya Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng, ia mengetahui, bahwa
me-
reka berusaha memaksa padanya dengan menggunakan keselamatan Ie Kokloo sebagai a
lasan. Mengingat itu, ia jadi bergidik dan tak dapat mengambil keputusan.
"Thio Taydjin," kata Tjian Sam San sembari mendorong firman yang terletak di ata
s meja. "Lebih baik kau menerima saja."
Tiba-tiba paras muka Hong Hoe berubah, sedang Tjian Sam San memasang kupingnya.
"Ah, tak dinyana semalaman ini aku harus menerima dua rombongan tetamu," kata Ho
ng Hoe sambil menghela napas.
Hoan Eng yang sedang mendengarkan dengan penuh perhatian, sekonyong-konyong meli
hat Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng sambar firman itu yang lalu dimasukkan ke d
alam saku dan kemu-
dian berkata dengan suara berbisik: "Thio Taydjin, celaka atau selamat, semua te
rserah kepadamu." Sehabis berbisik begitu, buru-buru mereka lari ke belakang lem
ari buku.
Hoan Eng merasa sangat heran. Ketika itu, Thio Hong Hoe sudah membuka pintu dan
di bawah sinarnya obor kayu siong, mukanya kelihatan menyeramkan sekali.
Sekonyong-konyong, berbareng dengan suara kresekan, dari luar pintu meloncat mas
uk dua orang yang mengenakan seragam boesoe (pahlawan istana)
berwarna hitam. Gerakan mereka luar biasa cepatnya dan kepandaian mereka juga ti
dak berada di sebelah bawah Tjian Sam San atau Boen Tiat Seng.
Thio Hong Hoe rangkapkan kedua tangan-
nya dan memberi hormat. Kedua tamu itu tertawa terbahak-
banak. "Antara sahabat lama, buat apa menggunakan segala pera-datan," kata yang
satu.
"Lama sekali aku sudah mendapat dengar nama besarnya Thio Taydjin dan baru sekar
ang dapat kesempatan untuk bertemu muka," kata yang lain.
Sembari menyekal lubang tembok, Hoan Eng mengangkat naik
badannya sedikit dan mengintip keluar. Orang yang masuk lebih dulu berbadan lang
sing dan mukanya cakap.
"Liok-heng," kata Thio Hong Hoe. "Siapakah adanya sahabat ini? Mataku yang lamur
tak dapat mengenali."
Orang yang kedua itu berbadan tinggi besar, justru sebaliknya dari kawannya. Sem
bari me-
rangkapkan kedua tangannya, ia berkata: "Saudara Tian Peng adalah sahabat lamaku
. Dengan Thio Taydjin, baru kali ini aku bertemu muka. Mungkin sekali saudara Ti
an Peng pernah menyebutkan namaku yang rendah."
Thio Hong Hoe tertawa seraya berkata: "Ah! Tak dinyana, Peklek tjhioe (si Tangan
Geledek) Tong Samko yang aku sudah dengar lama nama besarnya."
Hoan Eng kembali terkejut. Kedua orang itu sama-sama mempunyai nama besar. Orang
yang berbadan langsing bernama Liok Tian Peng, soetee-nya (adik seperguruan) Ko
ng
Tiauw Hay, Tjongkoan (kepala pengurus)
istana. Pada Tjengtong tahun kel3. Ia pernah turut dalam ujian Boet-jonggoan. Da
lam baba-
kan-babakan pendahuluan, ia telah menjatuhkan banyak sekali ahli-ahli silat tern
ama dan achirnya harus berhadapan
dengan In Tiong dalam perebutan gelar
Boetjonggoan. Sesudah bertempur ratusan
jurus, mereka tetap setanding, sampai
akhirnya, berkat bantuan Thio Tan Hong, In Tiong dapat menjatuhkan orang she Lio
k ini dan merebut gelar tersebut. Berhubung dengan pertandingan itu, walaupun ka
lah, namanya Liok Tian Peng jadi kesohor dan belakangan ia ditarik ke istana seb
agai pahlawan. Jika di hitung-hitung, ia adalah rekannya Thio Hong Hoe.
Orang yang bertubuh tinggi besar adalah Tong Kee Tjoen. Sebelum Liok Tian Peng m
asuk ke istana, me-
reka berdua sudah berkawan lama dan pernah bersama-sama malang melintang di daer
ah Kanghoay dan mendapat julukan
Kanghoay Djiepa (Dua jago dari daerah Kanghoay). Ilmu silatnya Tong Kee Tjoen cu
kup tinggi dengan mempunyai Toksee
tjiang dan Kimkong tjioe, sehingga dalam kalangan hekto (penjahat), ia terkenal
sebagai manusia yang tangannya sangat beracun.
Tong Kee Tjoen kembali tertawa. "Thio Taydjin," katanya.
"Mulai dari sekarang, kita adalah menteri-menteri dari satu kerajaan dan aku men
gharap bisa mendapat banyak petunjuk dari Taydjin. Sekarang ijin-kanlah aku memb
eri hormat."
Thio Hong Hoe ter-
kesiap dan meloncat ke samping untuk menolak pemberian hormatnya.
"Tong Soehoe! Apa artinya ini?" ia menanya.
"Firman rahasia
Hongsiang ada di sini Harap Thio Taydjin suka menerima," berkata Liok Tian Peng
dengan suara nyaring.
Hoan Eng menjadi bingung. "Eh, eh! Kenapa ada lagi firman rahasia?" katanya di d
alam hati. "Bukankah tadi Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng sudah membawa firman?
"
Ketika itu, dengan kedua tangannya Thio Hong Hoe menjunjung firman tersebut dan
dengan sikap menghormat lalu berlutut tiga kali. "Aku mengharap kalian sudi mema
afkan, bahwa aku tidak dapat menerima firman ini," katanya. "Dan aku memohon Lio
k-heng sudi memberi penjelasan
yang baik dihadapan Thaysianghong."
Sekarang Hoan Eng sadar. Orang yang dipanggil "Hongsiang" (kaizar) oleh Liok Tia
n Peng bukannya Kaizar Kie Giok yang sekarang memerintah, akan tetapi Thaysiangh
ong Kie Tin yang telah ditahan dalam istana Lamkiong oleh Kie Giok.
Liok Tian Peng lantas saja membuat lagu seperti orang terkejut dan berkata: "Ora
ng kata: Satu hari menjadi menteri, mengabdi seumur hidup. Sekarang Tjoekong (ma
jikan) sedang memerlukan tenaga Thio-heng, kenapa Thio-heng menolak firman?"
Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, ialah jaman kerajaan Beng, dalam perhubun
gan antara raja dan menteri terdapat suatu peraturan yang sangat
keras. Thio Hong Hoe adalah menteri lama dari Kaizar Kie Tin dan di samping itu,
tugas melindungi keselamatan Kie Tin jatuh di atas pundaknya sebagai
Tjiongtjiehoei pasukan Kimiewie dan Tongleng barisan Gielimkoen. Menurut peratur
an waktu itu, walaupun Thio Hong Hoe sudah meletakkan jabatannya, ia tak dapat m
enolak firman kaizarnya.
"Sekarang ini Tjoekong adalah orang yang paling dihormati di seluruh negeri dan
telah dirawat secara baik oleh Hongtee (kaizar)," kata Hong Hoe. "Ada ketidak pu
asan apakah, sehingga beliau perintah Djiewie mengunjungi rumah gubuk ini di ten
gah malam buta?"
Liok Tian Peng tertawa dingin. "Aku tak tahu, apa Thio Taydjin benar-benar tid
ak me-
ngetahui, atau hanya berlaga tidak mengetahui," ia menyindir. "Tachta kerajaan
sebenarnya adalah
miliknya Tjoekong, tapi Ek-ong (gelaran Kie Giok sebelum menjadi kaizar) sungkan
mengundurkan diri dan secara tidak patut terus menduduki tachta dan perbuatanny
a itu, tidaklah beda dengan merebut tachta secara paksa. Lebih hebat lagi, Tjoek
ong sendiri telah di penjarakan di istana Lamkiong. Apakah orang bisa bersabar t
erhadap perlakuan itu? Kita semua adalah menteri-menteri tua dan menurut kepanta
san, kita haruslah membantu Tjoekong untuk merampas pulang tachta kerajaan. Hany
a dengan begitu saja barulah kita tidak melanggar
peraturan antara raja dan menterinya."
Thio Hong Hoe kerutkan alisnya dengan perasaan mendongkol sekali. Sungguh ia mer
asa sangar sebal jika harus mencampur urusan perebutan
tachta dalan satu keluarga. Memikir begitu segera ia berkata dengan suara tawar:
"Bukan sekali-kali Hong Hoe melupakan budinya Tjoekong dahulu hari, akan tetapi
dengan sungguh-sungguh aku tak dapat mencampuri urusan pribadi dari keluarga ka
izar."
"Apa ini urusan pribadi?" Tong Kee Tjoen menyindir.
Liok Tian Peng membuka firman itu seraya berkata: "Thio Taydjin, baca dulu firma
n ini."
Dengan terpaksa, Hong Hoe membaca firman tersebut yang mengatakan, bahwa ia dibe
ri pangkatnya yang lama dengan ditambah
pangkat Engboepek dan bahwa ia harus segera berangkat ke kota raja untuk melapor
kan diri.
"Thio Taydjin, apa kau sudah mengerti maksudnya?" menanya Liok Tian Peng.
Thio Hong Hoe membungkuk dan menjawab dengan sikap menghormat: "Banyak terima ka
sih untuk budi Thaysianghong yang sangat besar, akan tetap hamba tak berani mene
rima firman."
"Masih kau menolak?" menegasi Liok Tian Peng dengan suara keras.
"Hong Hoe tak berani mengacau," jawabnya dengan suara tetap. "Pangkat Tjiongtjie
hoei dari Kimiewie dan pangkat Tongleng dari barisan Gielimkoen sudah ada lain o
rang yang memegangnya." (Hong Hoe berkata begitu, oleh karena dalam fir-
man tersebut di tulis, bahwa ia diberi pangkatnya yang lama yaitu pangkat Tjiong
tjiehoei Kimiewie merangkap Tongleng dari Gielimkoen. Sepengetahuan Hong Hoe sam
pai pada saat itu, kedua pangkat tersebut
dijabat oleh Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng yang sedang bersembunyi di belak
ang lemari buku.)
"Thio Taydjin," berkata Tong Kee Tjoen. "Apa benar-benar kau sudah baca firman i
tu dengan teliti!"
Mendengar pertanyaan begitu diajukan berulang-ulang, Hong Hoe jadi bercuriga.
"Apa?" ia menegasi.
Liok Tian Peng tertawa dingin dan menyahut: "Tjoekong sekarang sudah bukan Thays
ianghong lagi! Aku memberitahukan kau sebenar-benarnya: De-
ngan didukung oleh para menteri, kemarin Tjoekong sudah kembali pada tachtanya!"
Itulah pernyataan tak diduga-duga, bagaikan halilintar di tengah hari bolong! Th
io Hong Hoe jadi kesima dan untuk beberapa saat, tak dapat mengeluarkan sepatah
kata. Kedua matanya yang berkilat-kilat mengawasi Liok Tian Peng dan Tong Kee Tj
oen, seolah-olah ingin menembuskan isi perutnya kedua orang itu.
"Kau tak percaya?" menanya Liok Tian Peng. "Di dalam hati, mungkin kau berkata:
Dari kota raja ke sini, dengan menunggang kuda masih harus menggunakan tempo tig
a hari. Cara bagaimana kamu berdua dapat mengetahui kejadian yang terjadi kemari
n?"
Benar! Bukan saja Hong Hoe, tapi Hoan Eng pun memikir begitu.
Sesudah berkata begitu, Tian Peng mengawasi Hong Hoe dengan mata tajam dan kemud
ian menyambung pula perkataannya: "Akan tetapi, perhitungan Hongsiang adalah tep
at bagaikan perhitungan malaikat, yang tak akan dapat ditaksir oleh orang-orang
sebangsa kau. Siang-siang beliau sudah membuat persiapan yang tak dapat meleset
lagi. Sesudah itu, barulah beliau perintah aku pergi mencari kau. Jika Hongsiang
masih merasa sangsi, beliau tentu tak akan menulis terang-terangan, bahwa kau d
ikasi kembali pangkatmu yang dulu. Thio Hong Hoe! Sesudah memberi keterangan jel
as, apakah kau masib tak mau
menerima firman?"
Tong Kee Tjoen dan Liok Tian Peng lantas saja membentang firman itu dan menunggu
jawaban Hong Hoe.
Hong Hoe berdiri tegak bagaikan patung, seakan-akan kehilangan semangatnya. Diam
-diam Liok Tian Peng tertawa dalam hatinya. "Hm! Ada juga takutnya, kau!" pikir
ia.
Tiba-tiba Hong Hoe membuka mulutnya. "Bagaimana dengan Ie Kokloo?" ia menanya.
Liok Tian Peng kaget, tapi lantas saja ia tertawa tengal. "Oh! Kalau begitu, di
matamu hanya ada Ie Kiam seorang?" katanya. Ia saling melirik dengan Tong Kee Tj
oen dan lalu berkata pula: "Urusan ini, kau tanya saja sendiri kepada Hongsiang.
Kami hanya ingin mendapat kepastian, kau menerima atau ti-
dak menerima firman ini."
Thio Hong Hoe do-ngakkan kepalanya. "Tidak terima!"
jawabnya.
"Thio Toako adalah laki-laki yang sekali kata satu tidak berubah dua," kata Liok
Tian Peng dengan suara lunak. "Kalau begitu putusan Toako, kami berdua ingin pa
mitan saja dengan mengharap supaya Toako menjaga kesehatan baik-baik."
Heran benar Thio Hong Hoe mendengar perkataan itu. Itulah kata-kata berpisahan a
ntara sahabat-
sahabat kekal, sedang ia dan Liok Tian Peng sedari dulu tak dapat hidup rukun.
Dengan perlahan Liok Tian Peng menggulung firman itu. Hong Hoe merasa terharu, s
ehingga kedua matanya mengembeng air. "Liok-heng," katanya.
"Aku memohon
pertolonganmu untuk menanyakan kesehatannya Ie Taydjin. Di samping itu, aku pun
memohon supaya dihadapan Hongsiang, kau sudi bicara baik untuk alamatnya Ie Tayd
jin."
"Tentu saja," kata Tian Peng sembari menyoja, sedang Hong Hoe pun segera membala
s pemberian hormat itu.
Pada saat itulah, tangannya Tong Kee Tjoen mendadak berkelebat dan menghantam pu
ndak Thio Hong Hoe!
Ternyata, kedua orang itu sudah menerima perintah rahasia Kie Tin untuk membinas
akan Thio Hong Hoe, jika ia menolak firman!
Sebagai seorang yang ilmu silatnya tinggi, walaupun dibo-kong, secara otomatis H
ong Hoe dapat mengerahkan tenaga
dalamnya. Dengan satu suara "buk!", si pem-bokong terpelanting di atas lantai!
"Manusia tak mengenal malu!" membentak Hong Hoe. "Berani benar kau membokong aku
!"
Sementara itu, Liok Tian Peng sudah mencabut keluar Kimsie Djoanpian (Pecut
lemas) yang segera disabetkan ke pundak Hong Hoe.
Melihat serangan pengecut itu, Hoan Eng gusar bukan main. Ia hanya menyesal tak
dapat mendobrak pintu untuk membantu pamannya.
Begitu terguling, Tong Kee Tjoen meloncat bangun dengan gerakan Leehie Tateng (I
kan gabus meletik) dan lalu mengayun kedua tangannya. Dengan suara-suara "srr, s
rr, srr" yang sangat
halus, belasan jarum Ngotok tjiam beracun menyambar Hong Hoe. "Thio Hong Hoe!" i
a berseru. "Meskipun kau mempunyai kepandaian menembus langit, malam ini kau jan
gan harap dapat meloloskan diri!"
Dengan tangan kiri menindih pecut musuh, Hong Hoe mengebas dengan tangan kananny
a dan belasan jarum lantas saja berbalik menghantam pihak
tuannya.
Pecut Liok Tian Peng adalah senjata istimewa, dibuat dari benang emas yang dilil
itkan kepada urat harimau dan rotan gunung yang usianya ribuan tahun, sehingga s
enjata itu mempunyai keulatan dan kekuatan yang luar biasa. Sesudah menindih, Ho
ng Hoe membetot pecut itu, tetapi senjata ini tak menjadi putus, meskipun tangan
Liok Tian Peng sampai terbeset dan berdarah akibat betotan yang sangat hebat itu
. Dalam kagetnya, Tian Peng mendengar suara menyambarnya jarum dan buru-buru ia
menundukkan kepala dengan gerakan Honghong
Tiamtauw (Burung Hong manggutkan kepala). Belasan jarum lewat di atas kepalanya,
tetapi satu antaranya sudah menembuskan lengannya!
Bukan main kagetnya Liok Tian Peng. Ia tak menyana, jika dalam tempo belum cukup
delapan tahun, tenaga dalamnya Hong Hoe sudah mendapat kemajuan begitu jauh.
"Liok-heng!" berseru Tong Kee Tjoen. "Tempel pundak! Dia sudah kena Toksee tjian
g (Tangan pasir beracun). Desak terus sampai dia mampus."
Sesaat itu Hong Hoe merasakan pundaknya kesemutan dan lengannya agak kaku. Buru-
buru ia bernapas dalam-dalam untuk menahan naiknya racun.
Tong Kee Tjoen membuat satu "loncatan harimau" dan sembari berseru "heh!", ia me
nghantam pula dengan tangan beracunnya. Tapi kali ini Hong Hoe sudah siap sedia.
Ia berlaga kebingungan dan membiarkan musuhnya datang dekat padanya. Mendadak,
ia membalikkan tangannya dan menghantam sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Deng
an kaget, Tong Kee Tjoen coba mundur, tapi sudah terlambat. Pada pergelangan tan
gannya yang kena dihajar dengan kontan timbul lima tapak jari yang berwarna m
erah dan
tangan itu tak dapat digunakan lagi.
Dengan beruntun Liok Tian Peng menyabet tiga kali dengan pecutnya dan kemudian m
emutarkan badan
untuk melarikan diri.
"Jangan kasi dia bernapas!" berseru Tong Kee Tjoen. "Kalau hari ini dia tak mamp
us, kita berdua sukar menyelamatkan jiwa di belakang hari." Sehabis berkata begi
tu, ia melemparkan dua butir yowan (pel) dan menyambung perkataannya: "Sambut in
i obat pemunah!"
Hong Hoe menggeram bagaikan harimau ter-luka, tangan kanannya memapas, tangan
kirinya menyambut yo wan itu. Liok Tian Peng menyampok dengan pecutnya, sembari
menyambut yo wan itu dengan sebelah tangannya, tapi ia hanya
dapat satu butir, sedang sebutir lainnya sudah kena dirampas Hong Hoe. Tian Peng
yang lengannya ditembuskan Ngotok tjiam buru-buru menelan yo wan itu, sedang Ho
ng Hoe pun segera caplok obat rampasannya.
Sesaat itu, Hong Hoe sudah berdiri di tengah pintu dan mencegat jalan mundur ked
ua musuhnya. "Binatang!" ia membentak. "Kenapa kau orang membokong aku? Lekas bi
lang! Jika tidak, jangan harap kau orang bisa meloloskan diri!"
Liok Tian Peng ketakutan setengah mati, mukanya pucat bagaikan kertas. Tiba-tiba
Tong Kee Tjoen mengeluarkan teriakan "aduh!" Ternyata,
pukulan Hong Hoe tadi yang luar biasa hebatnya sudah men-
copotkan tulang
pergelangan tangannya, dan barusan, ia menggeser tulang itu kete
mpat asalnya.
Dapat di mengerti, bahwa penggeseran itu sudah menerbitkan
kesakitan yang sangat hebat, sehingga tanpa merasa ia mengeluarkan teriakan "adu
h!"
Liok Tian Peng memberi tanda kepada kawannya dengan lirikan mata, supaya mereka
segera angkat kaki.
"Liok-heng," berkata Kee Tjoen. "Tak dapat kita melepaskan dia. Lebih baik mati
bertiga. Obatku adalah pemunah Ngotok tjiam, bukan obat Toksee tjiang. Hayolah!
Kita desak terus sampai dia mampus!"
Tian Peng menganggap perkataan kawannya memang ada benarnya. Thio Hong
Hoe bukan main liehay-nya. Dengan Iweekang-nya yang sudah sempurna, dalam sepulu
h hari saja ia sudah akan dapat menyembuhkan luka akibat pukulan Toksee tjiang.
Sesudah sembuh, Hong Hoe tentu akan membalas sakit hatinya. Meskipun Toksee tjia
ng dan Ngotok tjiam menggunakan racun yang sama, akan tetapi cara bekerjanya
berlainan sekali. Jarum Ngotok tjiam yang halus terutama digunakan untuk menyera
ng jalan darah. Pukulan Toksee tjiang, dapat mengakibatkan luka di dalam dan di
luar pada tubuh musuh. Di samping itu, sebuah tangan adalah beberapa puluh kali
lebih besar daripada jarum, sehingga racunnya pun puluhan kali lebih hebat. Oleh
karena itu, yo wan
yang dimaksudkan untuk memunahkan racun jarum dan yang sudah ditelan sebutir ole
h Hong Hoe, tak akan menolong banyak.
Dalam pada itu, Hong Hoe sendiri sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan
naiknya racun. Dapat di mengerti, bahwa usaha itu sudah sangat mengurangkan ten
aganya yang harus digunakan untuk
melawan dua musuhnya. Maka sebab itulah, dengan dua lawan satu, walaupun Liok Ti
an Peng dan Tong Kee Tjoen masih jatuh di bawah angin, Hong Hoe sendiri merasa s
angat kepayahan.
Mati-matian mereka bertempur. Sesuatu pukulan adalah pukulan yang membinasakan.
Dalam sekejap, belasan jurus sudah lewat.
Liok Tian Peng ber-
kelahi secara licik sekali. Ia tak berani datang dekat dan menggunakan siasat "g
erilya". "Thio Hong Hoe!" ia berseru. "Jika benar kau seorang gagah, kau harus m
embunuh diri sendiri jangan sampai ditertawai oleh orang-orang gagah di kolong l
angit."
"Kentut!" membentak Hong Hoe. "Satu hoohan (orang gagah) harus menyerah disem-be
leh olehmu? Bagus!"
"Thio Hong Hoe!" berteriak pula Liok Tian Peng dengan suara mengejek. "Malam ini
kami berdua menjalankan perintah Hongsiang. Sebagai seorang menteri, jika raja
perintah kau mampus, kau mesti mampus. Kau mengerti?"
Perkataan Liok Tian Peng, walaupun ejekan, bukannya tidak beralasan. Pada jaman
itu, kekuasaan kaizar tiada
batasnya. Jika kaizar menghendaki jiwa
menterinya, menteri itu harus segera menyerahkan jiwanya, tanpa banyak rewel. Ak
an tetapi, Liok Tian Peng tidak mengetahui,
bahwa sesudah bergaul dengan Thio Tan Hong, alam pikiran Hong Hoe sudah sangat d
ipengaruhi oleh sahabatnya itu. Ia sudah menjadi sadar dan sungkan mengorbankan
jiwanya untuk satu keluarga yang sedang berebut kekayaan dunia,
walaupun keluarga itu adalah keluarga kaizar.
Mendengar ejekan itu, darahnya Hong Hoe naik tinggi. "Liok Tian Peng!" ia memben
tak. "Manusia rendah yang tak mengenal malu! Kau ingin menggunakan
darahku untuk menaikkan pangkatmu? Bagus! Tak malu kau, mengatakan begitu!" Se
mbari
memaki, kedua
tangannya menghantam bagaikan hujan dan angin. Mendadak terdengar suara "buk!" d
an badannya Tong Kee Tjoen terpental menubruk tembok, sampai hampir-hampir dia p
ingsan.
Liok Tian Peng buru-buru menghadang di tengah jalan guna menolong kawannya. "Thi
o Hong Hoe!" ia pentang bacotnya lagi. Hongsiang benar cerdik. Siang-siang belia
u
sudah tahu, kau mempunyai tulang
penghianat. Thio Hong Hoe! Kau tahu satu penghianat harus
mendapat hukuman apa? Jika kau menyerah dibelenggu, hanya kau seorang yang mampu
s. Tapi jika kau melawan, serumah tanggamu
akan dibasmi habis!"
Mendengar perkataan itu, Hong Hoe me-
rasakan dadanya mau meledak. Belasan tahun ia melindungi Kie Tin. Dalam peperang
an di Tobokpo, ia bela kaizar itu tanpa memperduli-kan keselamatan
jiwanya sendiri. Kesetiaannya sudah tak dapat disangkal pula dan kegagahannya di
kagumi orang sejagat. Maka, oleh sebab itu cara bagaimana ia tidak gusar ketika
mendapat cap "penghianat"?
Dengan hebat ia mengirim tiga pukulan berantai, sehingga Kee Tjoen dan Tian Peng
terpaksa mundur beberapa tindak. "Waktu Vasian menyerang, di mana kau? Hm! Seka
rang, kaulah menteri setia, sedang aku satu penghianat. Bagus!
Bagus betul!"
"Thio Hong Hoe, kau tak rela dicap penghianat?" Tian Peng mengejek terus. "Kau k
ira
orang tak tahu segala gerak-gerikmu? Perhubunganmu dengan Thio Tan Hong sudah di
ketahui Hongsiang. Siapa Thio Tan Hong? Apa kau tak tahu? Dalam undang-undang ke
rajaan terang-terang ditulis: Siapa juga yang bersekutu dengan
pemberontak, mendapat hukuman yang sama dengan pemberontak itu. Apa lagi kau mau
kata? Selainnya itu, ketika Ie Kiam menco-kolkan kaizar baru, kau menjadi isi p
erutnya (orang sebawahan yang setia) Ie Kiam. Apa itu bukannya berhianat?"
Baru habis perkataan itu diucapkan, biji mata Hong Hoe berputar dan rambutnya be
rdiri,
bahna gusarnya.
"Kalau begitu, Ie Kokloo juga penghianat?" ia membentak sekuat
suaranya.
"Apa lagi?" jawab Liok
Tian Peng sembari mesem-mesem dingin. "Hongsiang sudah
mengatur rapih. Begitu ia naik tacha, begitu Ie Kiam masuk penjara. Diserahkan k
epada
Makamah Agung, diumumkan kedosaannya dan dicabut jiwanya! Haha! Thio Hong Hoe! S
ekarang juga, aku kuatir kau punya Ie Kokloo sudah hilang kepalanya!"
Mata Hong Hoe berkunang-kunang, hampir-hampir ia rubuh pingsan. Melihat kesempat
an baik, Tong Kee Tjoen dan Liok Tian Peng lantas saja menyerang sehebat-hebatny
a.
Tiba-tiba Thio Hong Hoe mendelik. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berteriak. "Jika Ie K
okloo dianggap penghianat, guna apa aku hidup terus? Baiklah! Aku sekarang
mem-
berontak! Hm! Tindakan pertama adalah ambil jiwa anjingmu!"
Berbareng dengan perkataannya, Thio Hong Hoe, jago nomor satu di kerajaan Beng,
segera menerjang
dengan menggunakan seantero kepandaiannya dan seluruh tenaga dalamnya! Seram ben
ar terjangan itu!
Tong Kee Tjoen yang belum mengenai sampai di mana lieha-ynya Hong Hoe, segera me
rangkap kedua
tangannya di depan dada untuk coba me-nyampok sambaran
tangannya Hong Hoe. Begitu kebentrok, tulang lengan Kee Tjoen di bawah pundak, k
ontan patah dua!
Tapi Tong Kee Tjoen benar-benar bandel. Sesudah lengannya patah dan darah mengal
ir tak hentinya, mulutnya masih berte-
riak: "Jangan kasi dia bernapas. Racunku
sudah bekerja!"
Panjang pecut Liok Tian Peng ada lebih dari setombak. Dengan mengandalkan senjat
anya yang panjang, ia terus berkelahi secara licik, lari berputar-putar di selur
uh kamar dan menyerang bila mendapat kesempatan baik. Dilawan secara itu, sediki
tnya untuk sementara, Hong Hoe tak dapat menghantam si licik ini.
Toksee tjiangnya Tong Kee Tjoen liehay luar biasa. Waktu baru kena, berkat Iweek
ang-nya yang dalam, Hong Hoe masih dapat menahan menjalarnya racun tersebut. Aka
n tetapi, sesudah lewat berapa lama, lengan kanannya mulai kesemutan dan semakin
lama jadi semakin kaku.
Melihat musuhnya
mulai kepayahan, Liok Tian Peng lantas saja tertawa terbahak-
bahak. "Thio Hong Hoe!" ia berteriak. "Kalau kau mempunyai pesanan apa-apa, leka
s-lekas beritahukan kepadaku. Mengingat kecintaan sebagai rekan untuk banyak tah
un, aku pasti akan menolong kau!"
Ejek-ejekan yang tak henti-hentinya itu
mempunyai satu tujuan berbahaya. Jika seorang yang terkena racun, naik darahnya,
racun itu akan menjalar terlebih cepat dan sang korban akan rubuh terlebih sian
g pula.
Dalam gusarnya, Thio Hong Hoe menendang meja batu, yang lantas saja terpental da
n melintang di tengah pintu. Sesudah itu, ia menghantam kalang kabut segala pera
botan, seperti sekosol, meja, kursi dan seba-
gainya, sehingga
barang-barang itu pada menggeletak di atas lantai. Setelah menyingkirkan rintang
an-tangan itu, sembari menggeram, Thio Hong Hoe menubruk Tian Peng, yang jadi te
rbang semangatnya dan coba menolong jiwanya
dengan lari berputar-putar, bagaikan tikus diubar kucing.
Dengan satu bentakan keras, Hong Hoe berhasil menyekal pecut musuh. Tian Peng me
lepaskan senjatanya dan menggulingkan diri sampai di bawah lemari buku.
Thio Hong Hoe menendang dengan sekuat tenaga. Dengan suara gedubrakan, kakinya m
ampir di lemari buku yang menjadi dobrak dan roboh. Di antara ramai suara itu, t
erdengar teriakan: "Awas!" Dan hampir ber-
bareng, Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng munculkan diri.
Sembari tertawa seram, tangannya Tjian Sam San mendadak menyambar tulang
pundaknya Hong Hoe. "Saudara Boen! Mam-puskan padanya!" ia berseru.
Hong Hoe benar-benar kaget. Ia tak pernah mengimpi bisa terjadi peristiwa begitu
. Sebagai pemimpin
Gielimkoen dan Kimiewie dari Kie Gok, Tjian Sam San dan Boen Tiat Seng adalah mu
suh-musuh Liok Tian Peng dan Tong Kee Tjoen yang menjadi orang kepercayaannya Ki
e Tin. Menurut dugaan Hong Hoe, walaupun tidak membantu padanya, Tjian Sam San d
an Boen Tiat Seng sedikitnya tidak akan membantu pihak musuh. Hoenkin tjokoet
tjhioe dari Tjian Sam San adalah ilmu silat kelas utama dalam Rimba Persilatan.
Dengan lima jerijinya yang seperti jepitan besi, ia menyengkeram tulang pundak H
ong Hoe yang lantas saja merasakan bagian atas badannya lemah tidak bertenaga.
Sementara itu, Boen Tiat Seng sudah mengeluarkan Djoan-kiam (pedang lemas) dari
pinggangnya. "Thio Taydjin, hari ini adalah hari kebinasaanmu!" katanya sembari
tertawa dan menyabetkan pedangnya ke arah kepala Hong Hoe. Hampir berbareng, Lio
k Tian Peng pun sudah bangun dan pungut lagi pecutnya. "Tjian-heng dan Boen-heng
," kata ia sembari tertawa benar. "Seorang gagah memang harus bisa melihat salat
an. Mulai dari sekarang, kita semua
adalah menteri dari satu kerajaan." Sembari
berkata begitu, ia menyabet Hong Hoe dengan senjatanya.
Selama beberapa detik, Hong Hoe coba menggunakan beberapa macam ilmu silat untuk
meloloskan diri. Akan tetapi, Hoenkin tjokoet thjioe sungguh-sungguh ilmu istim
ewa. Lima jerijinya Tjian Sam San seperti juga lengket pada tulang pundak Hong H
oe dan tak dapat dibikin terlepas. Sesaat itu, Djoankiam dan Djoanpian menyambar
hampir berbareng.
Pada detik yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba saja Thio Hong Hoe membentak. He
bat sungguh bentakan itu! Bagaikan guntur atau bagaikan geram harimau yang masuk
dalam jebakan! Pada detik-detik itu, keangkeran-nya Thio Hong Hoe ber-
kumpul menjadi satu.
Boen Tiat Seng dan Liok Tian Peng jadi kesima. Tanpa merasa, pecut dan pedang te
rhenti di tengah udara. Pada saat itulah, kaki kiri dan kaki kanannya Hong Hoe m
enendang dengan berbareng dan dengan kontan kedua musuhnya jatuh terpelanting!
Sehabis menendang, ia menyikut dengan sikut kiri dan menyengkeram musuh dengan t
angan kanan.
* * *
Tjian Sam San adalah seorang manusia licik. Tadi, selagi bersembunyi di belakang
lemari, ia sudah dapat mendengar segala pembicaraan dan mengetahui, bahwa Kie T
in sudah berhasil merebut tachta. Pada saat itu juga, ia segera
mengambil putusan
buat tinggalkan majikan lama (Kie Giok) dan menghamba kepada majikan baru (Kie T
in). "Thaysianghong paling membenci Ie Kiam, Thio Tan Hong dan Thio Hong Hoe," p
ikir dia. "Ie Kiam sudah dibekuk, Thio Tan Hong yang berkepandaian paling tinggi
tak ketahuan berada di mana, maka yang ketinggalan hanya Thio Hong Hoe seorang.
Thaysianghong coba pancing dia dengan pangkat tinggi, tapi dia menolak, sehingg
a
tidaklah heran jika beliau maui jiwanya. Jika aku bisa membinasakan Hong Hoe, pa
hala itu akan dapat digunakan untuk
menebus dosa dihada-pan majikan baru." Akan tetapi, ia pun merasa jeri terhadap
Hong Hoe yang kepandaiannya tinggi. Sesudah me-
ngasah otak liciknya beberapa detik, lantas saja ia mendapat jalan yang sangat b
aik. "Lebih baik menonton dulu perkelahian antara harimau-harimau itu," katanya
di dalam hati. "Sesudah mereka rusak, barulah aku turun tangan. Jika tidak mampu
s, Liok Tian Peng dan Tong Kee Tjoen tentu mesti luka berat. Dan siapa lagi yang
bakal kantongi pangkat Tongleng Gielimkoen? Ha-ha! Inilah yang dinamakan sebuti
r batu menghasilkan tiga ekor burung!"
Demikianlah ia menunggu sambil memasang mata. Apa mau, gelanggang pertempuran pi
ndah ke tempat bersembunyinya dan lemari buku kena ditendang oleh Thio Hong Hoe,
sehingga mau tidak mau ia mesti keluar juga. Ia menge-
tahui, bahwa pundak kanan Hong Hoe sudah terkena pukulan Toksee tjiang, sehingga
lengan kanannya tak dapat digunakan lagi. Maka itu, ia menyengkeram tulang pund
ak kiri Hong Hoe, supaya dua-dua lengannya tak dapat bergerak dan dengan gampang
dapat dibinasakan.
* * *
Akan tetapi, perhitungannya Tjian Sam San ternyata meleset, oleh karena, dalam d
etik yang sangat berbahaya, Hong Hoe masih mempunyai tenaga untuk balas menyeran
g. Begitu kena disikut, ia merasakan kesakitan hebat pada dadanya, dan hampir be
rbareng, tangannya Hong Hoe menyengkeram nadinya. Dengan satu teriakan hebat, ia
berontak sembari melepaskan cengkeramannya pada tulang pundak Hong Hoe, dan di l
ain saat, mereka berdua sudah jatuh terguling di atas lantai.
Pada detik yang sama, dalam kamar sebelah terdengar suara gedubrakan, seperti ju
ga ada orang jatuh dari atas ke bawah.
Suara itu adalah akibat jatuhnya Hoan Eng. Teriakan "Awas!" tadi adalah teriakan
Hoan Eng. Tak dinyana, oleh karena teriakannya itu, tempat bersembunyinya sudah
diketahui oleh Tong Kee Tjoen. Walaupun satu
lengannya patah, Tong Kee Tjoen masih dapat menggunakan tangan yang satunya lagi
. Sebagai seorang ahli senjata rahasia yang dapat mencari musuhnya dengan hanya
mendengar suaranya
musuh itu, ia segera mengayun tangannya dan melepaskan
sebatang Ngotok tjiam ke arah lubang tembok. Meskipun Hoan Eng masih keburu miri
ngkan kepalanya sehingga jarum itu tidak mengenakan matanya, tapi satu jerijinya
yang memegang pinggir
tembok, tak urung menjadi korban.
Sesudah bertahan beberapa saat, ia roboh terguling ke bawah.
"Dikamar sebelah ada orang!" berseru Tong Kee Tjoen sesudah menimpuk.
Dengan gerakan Lee-hie Tateng (Ikan gabus meletik), Tian Peng loncat bangun. Tap
i, sebelum ia dapat bergerak, Hong Hoe sudah menghadang di tengah jendela seraya
membentak: "Mau lari ke mana, kau!" Berba-
reng dengan bentakannya, ia menyapu dengan tangannya. Dengan cepat Tian Peng ber
kelit, tapi Hong Hoe terlebih cepat lagi dan tangannya mengenakan jitu pada ping
gang musuh. Di waktu biasa, tenaga tangan Hong Hoe dapat membelah batu besar, ma
ka tidaklah heran, begitu kehantam, mata Tian Peng berkunang-kunang.
"Matilah aku!" ia berteriak.
Tiba-tiba terdengar suara tertawanya Boen Tiat Seng. "Liok-heng," katanya. "Jang
an takut. Dia sudah terluka hebat. Tenaganya
sangat berkurang. Mari kita kepung padanya!"
Mendengar perkataan itu, Liok Tian Peng menjadi sadar. Benar juga, biarpun sakit
bukan main, badannya masih dapat bergerak.
Buru-buru ia menarik napas dalam-dalam dan merangkak bangun.
Ia melihat lengan kanan Hong Hoe sudah seperti tergantung pada pundaknya dan tid
ak dapat bergerak-gerak lagi, sedang bajunya penuh darah. Lengan kirinya masih d
apat digunakan, tapi gerakannya sudah sangat kaku.
Sesudah terkena pukulan Toksee tjiang, tangan kanan Hong Hoe memang sudah menjad
i kaku. Tadi, dalam keadaan mati hidup, bagaikan api lilin yang bersinar terang
sebelum padam, tangan itu dapat memecahkan cengkeraman Hoenkin tjokoet tjhioe. T
api, oleh karena gerakan itu, lengan tersebut copot dari tempatnya dan tak dapat
bergerak lagi.
Waktu kena dicengkeram, beberapa
dalamnya. Dengan satu suara "bukl", si pem-bokong terpelanting di atas lantai!
"Manusia tak mengenal malu!" membentak Hong Hoe. "Berani benar kau membokong aku
!"
Sementara itu, Liok Tian Peng sudah mencabut keluar Kimsie Djoanpian (Pecut
lemas) yang segera disabetkan ke pundak Hong Hoe.
Melihat serangan pengecut itu, Hoan Eng gusar bukan main. Ia hanya menyesal tak
dapat mendobrak pintu untuk membantu pamannya.
Begitu terguling, Tong Kee Tjoen meloncat bangun dengan gerakan Leehie Tateng (I
kan gabus meletik) dan lalu mengayun kedua tangannya. Dengan suara-suara "srr, s
rr, srr" yang sangat
lembar urat lengan kiri Hong Hoe telah menjadi putus, sehingga tenaganya jadi sa
ngat berkurang. Itulah
sebabnya kenapa, walaupun mendapat pukulan telak, Liok Tian Peng tidak sampai me
njadi binasa.
Sambil menahan sakit, Tian Peng segera pungut lagi pecutnya dan kembali maju men
erjang. Sesaat itu, muka Tjian Sam San kelihatan pucat bagaikan mayat, sedang ba
dannya bergoyang-goyang. Boen Tiat Seng pun pincang-pincang jalannya dan tidak b
erani loncat menyerang.
Lima orang yang berada di dalam kamar itu, sebenarnya sudah
terluka semua. Tong Kee Tjoen patah sebelah lengannya dan keadaannya payah
sekali. Boen Tiat Seng
terluka kakinya akibat tendangan, Tjian Sam San patah tulang dadanya lantaran ke
na disikut, sedang Liok Tian Peng sendiri mendapat luka berat pada isi perutnya.
Akan tetapi, jika dibandingkan, Thio Hong Hoe-lah yang mendapat luka paling ber
at.
Di lain saat, mereka sudah bertempur pula untuk mendapat ke-putusan mati atau hi
dup. Sesudah melayani belasan jurus, Hong Hoe merasa tak dapat bertahan lebih la
ma lagi. Di antara kawan-kawannya, adalah Boen Tiat Seng yang lukanya paling rin
gan. Oleh karena kakinya sakit, lantas saja ia menggulingkan diri dan menyerang
dengan ilmu Koentee-tong dari Partai Utara. Sembari bergulingan, Djoankiam-nya
diputar
bagaikan titiran untuk menyabet kedua kaki Hong Hoe.
Hong Hoe jejek kedua kakinya dan badannya melesat
tinggi untuk meloloskan diri dari babatan pedang, dan ketika melayang turun, ia
menubruk Tjian Sam San yang lantas saja terpental. Tjian Sam San mementang kedua
tangannya dengan
niatan memeluk musuhnya dengan menggunakan ilmu Hoenkin tjokoet tjhioe. Akan tet
api, tangan Hong Hoe cepat luar biasa. Bagaikan kilat, ia cekal pergelangan tang
an musuhnya sambil membentak: "Rasakan bagaimana enaknya lengan copot!"
Tjian Sam San mengeluarkan teriakan menyayatkan hati,
badannya berguling-guling sampai di kaki
tembok, dengan satu tangannya memegang tangan yang lain, yang sudah putus hubung
an dengan lengannya!
Sementara itu, badan Thio Hong Hoe kembali melesat tinggi dan sebelah tangannya
sudah menyekal sebatang golok mustika yang mengeluarkan sinar dan hawa dingin. S
emenjak mengundurkan diri, ia tak pernah menggunakan goloknya, yaitu golok Biant
o, yang selalu digantung dalam lemari buku. Sekarang, dalam pertarungan mati hid
up, ia mengambil goloknya itu, dan dalam sekejap, keadaannya jadi berobah, bagai
kan harimau bertambah
sayap.
Bukan main kagetnya Liok Tian Peng. Dengan muka pucat, ia mundur beberapa tindak
.
"Binatang!" membentak Hong Hoe. "Jika hari ini
kau orang bisa keluar dari pintuku, aku akan menulis terbalik nama Thio Hong Hoe
!"
Baru saja Liok Tian Peng memutar badan untuk coba melarikan diri, kesiuran angin
tajam menyambar
punggungnya dan
bajunya sudah kena dirobek golok. Pada detik mati hidup, selagi Liok Tian Peng m
au membalikkan badan untuk menangkis
serangan yang menyusul, tiba-tiba Thio Hong Hoe berteriak dan mundur beberapa ti
ndak dengan sempoyongan.
"Tikus!" membentak Hong Hoe. "Kau belum mampus?" Sembari
berteriak, ia menendang. Hampir berbareng, Tong Kee Tjoen mengeluarkan jeritan h
ebat, tubuhnya bergulingan beberapa kali dan terus tidak bergerak lagi, rochny
a
pulang ke alam baka! Ternyata, barusan
waktu mengubar Liok Tian Peng, Hong Hoe sudah tidak memperhatikan Tong Kee Tjoen
yang sudah menggeletak di atas lantai dengan luka berat. Meskipun sebelah
lengannya patah, ia ternyata masih dapat menggunakan tangan yang satunya lagi. D
emikianlah, ketika
Hong Hoe lewat di dekatnya, dengan
sekuat tenaga ia menimpuk dengan
sepuluh batang jarum beracun, yang semuanya menancap pada lutut Hong Hoe!
Melihat musuhnya sudah tinggal matinya, Boen Tiat Seng jadi girang. "Tjian-heng!
Tjian-heng!" ia berseru. "Hayo bantu sepukulan lagi!"
Dengan terpaksa, Tjian Sam San, yang
sudah copot sebelah tangannya, maju
menyerang. Keadaan Hong Hoe benar-benar sudah payah sekali. Kaki tangannya terlu
ka berat, ditambah dengan racun hebat yang sudah mulai naik sampai di jantungnya
.
Sambil kertek gigi, dengan menggunakan seantero tenaga yang masih ketinggalan, i
a terjang tiga musuhnya dengan ilmu golok Ngohouw toanboen tohoat (ilmu golok li
ma harimau). Sungguh tak usah malu Thio Hong Hoe bergelar Jagoan Nomor Satu di s
eluruh kota raja. Walaupun sudah empas-empis, serangannya masih
tetap hebat dan ketiga musuhnya terpaksa mundur dengan terpencar.
"Jangan melawan rapat!" berseru Tjian Sam San. "Paling lama
dia bisa tahan setengah jam lagi!"
Thio Hong Hoe tentu saja mengetahui keadaannya sendiri. Tapi ketika itu ia sudah
menghitung dirinya mati dan tujuannya adalah mati bersama-sama tiga musuhnya. M
aka itulah, tanpa menjaga diri, ia menyerang bagaikan harimau edan.
Antara ketiga musuhnya, adalah Boen Tiat Seng yang lukanya paling ringan. Dengan
dilindungi oleh orang she Boen itu, Tjian Sam San dan Liok Tian Peng berkelahi
sembari lari berputar-putar dan menyerang apabila ada lowongan. Tujuan mereka ad
alah "mengikat" Hong Hoe dengan serangan-serangan "gerilya", sampai musuh itu ru
buh sendirinya.
Semakin lama, kedua matanya Hong Hoe jadi semakin kabur. Seka-
rang ia sudah tak dapat melihat tegas musuh-musuhnya, yang dilihatnya hanya sepe
rti gundukan-gundukan bayangan hitam.
Sekarang marilah kita tengok Hoan Eng yang jatuh dari atas tembok lantaran jerij
inya disambar jarum beracun. Sesaat kemudian, ia merasa jerijinya kesemutan dan
sebagai seorang yang banyak pengalaman, lantas saja ia mengetahui, bahwa ia suda
h dilanggar senjata beracun.
Buru-buru ia mencabut goloknya dan menggurat ujung jerijinya, akan kemudian meme
ncet keluar darah beracun yang berwarna hitam. Sesudah itu ia beset bajunya untu
k
membalut lukanya.
"Loohoan, bagaimana kita?" menanya perwira yang satu.
"Thio Hong Hoe su-
dah memberontak.
Bagaimana kita?" menanya yang lain.
Hoan Eng tak meladeni mereka. Ia tempelkan kupingnya di tembok, mendengarkan sua
ra beradunya
senjata. Ia bingung sekali, tak tahu siapa yang menang siapa yang kalah. Menging
at kekejaman kaizar, mengingat di pengarakannya Ie Kiam dan dikepungnya Hong Hoe
, darahnya jadi meluap. Bagaikan kalap, ia angkat goloknya dan membacok tembok
berulang-ulang.
Suara bacokan itu terdengar di gelanggang pertempuran. Boen Tiat Seng dan dua ka
wannya tentu saja tak tahu, bahwa kamar sebelah sudah dikunci oleh Siauw Houwtjo
e. Mereka menduga,
bahwa pembantu Thio Hong Hoe sedang
membuka pintu untuk memberi bantuan.
Antara mereka, adalah Liok Tian Peng yang nyalinya paling kecil. Dialah yang pal
ing dulu loncat keluar dari gelanggang dan sambil menyeret pecut, ia coba melomp
ati jendela. Hong Hoe menarik napas dalam-dalam. Buat sesaat, kedua matanya tera
ng kembali. Sambil membentak keras, ia membacok. Sekali ini orang she Liok itu t
ak dapat singkirkan dirinya lagi. Golok Hong Hoe mampir tepat di pundaknya dan i
a roboh dengan tidak bernyawa lagi!
Tjian Sam San bengong sedetik, saking kagetnya. Sebelum
mencabut Bianto dari tubuh musuhnya, Hong Hoe mengirim satu tendangan dengan kak
i kirinya. Kali ini pun ia berhasil, kakinya mnge-
nakan tepat pada dadanya Tjian Sam San.
"Boen-heng..." berseru Tjian Sam San dengan suara lemah dan rubuh tanpa berkutik
lagi.
Selagi Hong Hoe "membereskan" kedua musuhnya. Boen Tiat Seng loncat dan menikam
punggungnya Hong Hoe dengan Djoankiam-nya. Pada saat ujung pedang menempel pada
punggung musuhnya dan selagi ia mau menyodok ke depan, mendadak ia dengar teriak
annya Tjian Sam San yang menyayatkan hati. Ia terkesiap, sehingga gerakan
Djoankiam jadi agak lambat. Pada detik itu, Hong Hoe sudah meloncat ke depan, ak
an kemudian memutarkan badannya.
"Hm! Sekarang hanya ketinggalan kau seorang!" membentak Hong
Hoe dengan suara menyeramkan.
"Thio Taydjin, ampuni aku!" memohon Boen Tiat Seng dengan suara gemetar. Thio Ho
ng Hoe mendelik sambil menimpuk dengan goloknya. Dengan disertai sinar dingin, B
ianto menyambar ke uluatinya Boen Tiat Seng dan terus menembus sampai di punggun
gnya! Tanpa mengeluarkan suara, dia roboh celentang.
Sembari tertawa terbahak-bahak, Hong Hoe memungut senjatanya dan menyingkirkan m
eja batu yang melintang di tengah pintu. Ia menghampiri pintu batu dan membentak
: "Siapa di dalam? Keluar semuanya!"
Hoan Eng dorong keluar kedua perwira itu dan ia sendiri pun mengikuti dari belak
ang.
Melihat Hoan Eng, sambil melintangkan
senjata, Hong Hoe menanya: "Hoan Eng, ada urusan apa kau datang ke sini? Siapa y
ang kirim dua perwira ini?"
Kedua perwira itu pucat mukanya.
"Kami... kami datang untuk memohon pertolongan Taydjin," jawab salah satu antara
nya dengan suara terputus-putus.
"Apa?" membentak Hong Hoe. "Kau rasa boleh keluar masuk sesukamu di rumahku?"
Sedang kedua perwira itu gemetar sekujur badan, Hoan Eng mengawasi jago tua itu
dengan hati duka. Ketika itu, seluruh badannya Hong Hoe berlumuran darah, tapi k
eangkerannya masih tetap seperti sediakala. Tanpa merasa, Hoan Eng mengucurkan a
ir mata dan menyekal tangannya orang tua
itu. "Thio Pehpeh, bagaimana keadaanmu?" ia menanya dengan suara terharu. "Kenap
a kau?" membentak Hong Hoe. "Kenapa kau ajak orang luar datang ke sini?"
"Pehpeh," jawabnya. "Kau mengaso dulu. Sebentar aku akan ceritakan."
"Baiklah," kata Thio Hong Hoe yang lantas masuk ke kamar batu dan duduk bersila.
Buru-buru Hoan Eng mengeluarkan obat luka untuk mengobati pamannya. Hong Hoe men
delik. "Taroh!" ia memerintah. "Siapa
perintah kau bikin laga seperti nenek-nenek. Lekas bilang! Siapa dua pembesar it
u?"
"Apa yang dikatakan mereka adalah hal yang sebenarnya," menjawab Hoan Eng sesuda
h menjalankan kehormatan. "Dari Ouwpak,
mereka mengantar uang negara sebanyak tiga puluh laksa tahil perak. Di tengah ja
lan, perak itu kena dirampok. Mereka datang ke sini buat memohon pertolongan Peh
peh."
"Ada sangkut paut apa dengan kau?" menanya sang paman.
"Aku turut melindungi uang itu," sahutnya.
"Kenapa kau begitu tolol!" membentak Hong Hoe.
Hoan Eng buru-buru berlutut dan berkata: "Uang itu adalah kiriman Khoan Samtee.
Aku tak dapat menolak mengingat hubungan mendiang ayahanda... Pehpeh, bagaimana
kau rasakan?"
Tadi, ketika belum mengetahui maksud kedatangan Hoan Eng dan kedua perwira itu,
untuk sementara, Hong Hoe dapat mempertahankan dirinya. Seka-
rang, sesudah
mengetahui mereka tak bermaksud jahat, perasaan tegangnya hilang dan mukanya lan
tas saja berobah pucat dan badannya bergoyang-goyang.
Hoan Eng bangun dan coba memberi
pertolongan.
"Tak usah," berkata Hong Hoe. "Selagi aku masih dapat bicara, kau dengarlah omon
ganku."
Hoan Eng merasa tak tega dan mau juga coba memegang badannya orang tua it
u.
"Kau mau dengar perintahku atau tidak!" membentak sang paman. "Hm! Kau kena Ngot
ok tjiam. Lekas ambil obat pemunah dari badannya Tong Kee Tjoen."
Hoan Eng mengawasi lukanya. Warna merah ternyata sudah melebar sampai di telapak
an tangannya. Ia terkejut
oleh karena tidak menduga racun Ngotok tjiam sedemikian liehay. Mengingat, bahwa
Hong Hoe pun kena racun serupa, buru-buru ia menggeledah mayatnya Tong Kee Tjoe
n dan mendapat sebungkus yowan, yang lantas saja diserahkan kepada Hong Hoe.
"Benar," kata sang paman. "Kau telan tiga butir."
"Thio Pehpeh, kau juga harus makan obat itu," kata Hoan Eng.
Hong Hoe tertawa sedih seraya berkata: "Jika satu jam lebih siang, mungkin masih
ada harapan. Tapi sekarang, meskipun mendapat obat dewa, sudah tidak menolong l
agi!"
Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kangouw, Hoan Eng tak membantah o
mongan paman-
nya.
Dengan hati bergon-cang ia mengawasi mukanya jago tua itu, yang dari berwarna ab
u-abu sekarang
sudah berobah menjadi hitam. Tanpa merasa, bungkusan obat itu terlepas dari
cekalannya dan jatuh di atas lantai. "Thio Pehpeh," katanya sembari berlutut. "P
esanan apakah yang Pehpeh hendak berikan kepada siauwtit (kepo-
nakan)?"
Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak. "Budi dan sakit hati sudah terbalas semuan
ya, ada apa lagi yang aku dapat memesan?" kata ia. "Hm! Hanya satu! Kau dengarla
h!"
"Bret!" ia membeset bajunya yang penuh darah. "Bawalah sobekan baju ini dan golo
kku dan pergilah
kau mencari Thio Tan Hong!" kata sang paman. "Sesudah perak dapat diambil pulang
, suruh Khoan Kie segera meletakkan jabatannya!"
Dengan air mata bercucuran. Hoan Eng menyambuti sobekan baju dan golok mustika i
tu. "Ada apa lagi?" ia menanya.
"Ketika datang di sini, apakah kau tidak bertemu Siauw Houwtjoe?" menanya Hong H
oe.
"Siauw Houwtjoe pergi mencari Pehpeh," jawabnya.
Tubuhnya Hong Hoe bergemetar, tapi
parasnya tetap tenang. Dalam menghadapi
maut, orang gagah itu sama sekali tak menjadi gentar dan Hoan Eng merasa kagum s
ekali.
Bagaikan api lilin yang mendadak terang sebelum padam sama sekali, Hong Hoe tiba
-
Thio Hong Hoe angsurkan sobekan baju yang berlumuran darah dan golok Bian-to, ya
ng diterima sambil berlutut oleh Hoan Eng. "Bawalah sobekan baju ini dan golokku
dan pergilah kau mencari Thio Tan Hong," ia memesan. "Sesudah perak dapat diamb
il
tiba membuka kedua matanya. "Jika Siauw Houwtjoe masih hidup," katanya dengan su
ara terburu-buru, seolah-olah kuatir keburu mati. "Serahkanlah golokku kepadanya
dan suruhlah ia mengangkat Thio Tan Hong sebagai guru." Sehabis berkata begitu,
ia mengebas tangannya dan menyambung perkataannya: "Dengan penduduk dusun, aku
mempunyai hubungan yang sangat baik. Jenazahku tentu dirawat baik-baik oleh mere
ka. Kau sendiri boleh segera berangkat. Dengan tangan sendiri, aku telah membala
s segala sakit hatiku, sehingga meskipun
mati, aku mati dengan mata meram. Hanya... satu... penyesalan... aku tak dapat..
. bertemu pula... dengan Ie Kokloo... Thio Tan Hong..."
Suaranya semakin lama, semakin lemah dan sesudah mengucapkan perkataan "Hong", i
a meramkan kedua matanya. Hoan Eng loncat dan meraba dadanya. Ahli Silat Nomor S
atu di seluruh kota raja sudah tiada lagi dalam dunia! Hoan Eng menangis tersedu
-sedu. Ia tak nyana, bahwa jago yang begitu disegani orang, harus menutup mata d
alam sebuah kamar batu, tanpa disaksikan oleh pute-ranya sendiri.
Sesudah kenyang menangis, Hoan Eng segera berlutut diha-dapan jenazahnya sang pa
man, sebagai pemberian hormat yang penghabisan kali.
Mendadak, kupingnya jang tajam mendengar suara kresekan. "Ah, memang juga aku ta
k boleh berdiam lama-lama di sini." katanya di
dalam hati. Buru-buru ia masukkan sobekkan bajunya Hong Hoe ke dalam saku dan sa
mbil menenteng Bianto, ia berjalan keluar dari kamar itu.
Suara yang didengar Hoan Eng, ternyata adalah suaranya kedua perwira itu, yang s
esudah menunggu lama di luar dengan tidak sabaran, coba
melongok-longok ke dalam buat mencari tahu, bagaimana kesudahan pertemuan Hoan E
ng dengan Thio Hong Hoe. Melihat Hoan Eng berjalan keluar dengan menenteng golok
yang sinarnya berkilauan, mereka terkejut.
"Loohoan, bagaimana?" menanya satu antaranya.
"Sebulan kemudian, kalian tunggui aku di tepi telaga Thayouw," jawabnya dengan p
endek.
"Apa?" menegasi mereka.
"Thio Taydjin sudah meluluskan permohonanmu," sahutnya. "Satu bulan kemudian, di
hitung dari hari ini, kalian berdua tunggui aku di tepi telaga Thayouw untuk men
dapat tahu kesudahannya."
"Sebulan kemudian? Bagaimana kami dapat menunggu begitu lama?" kata merek
a.
Hoan Eng jadi naik darah. "Jika kalian tak dapat menunggu, aku pun tak dapat men
olong lagi," katanya dengan suara keras. Sehabis berkata begitu, ia lantas berja
lan dengan tindakan cepat.
Kedua perwira itu mengudak sembari berteriak-teriak, tapi, sesaat kemudian, di b
awah sinar rembulan, mereka hanya dapat melihat bayangan Hoan Eng yang k
aburkan
dalam hati. Buru-buru ia masukkan sobekkan bajunya Hong Hoe ke dalam saku dan sa
mbil menenteng Bianto, ia berjalan keluar dari kamar itu.
Suara yang didengar Hoan Eng, ternyata adalah suaranya kedua perwira itu, yang s
esudah menunggu lama di luar dengan tidak sabaran, coba
melongok-longok ke dalam buat mencari tahu, bagaimana kesudahan pertemuan Hoan E
ng dengan Thio Hong Hoe. Melihat Hoan Eng berjalan keluar dengan menenteng golok
yang sinarnya berkilauan, mereka terkejut.
"Loohoan, bagaimana?" menanya satu antaranya.
"Sebulan kemudian, kalian tunggui aku di tepi telaga Thayouw," jawabnya dengan p
endek.
"Apa?" menegasi mereka.
"Thio Taydjin sudah meluluskan permohonanmu," sahutnya. "Satu bulan kemudian, di
hitung dari hari ini, kalian berdua tunggui aku di tepi telaga Thayouw untuk men
dapat tahu kesudahannya."
"Sebulan kemudian? Bagaimana kami dapat menunggu begitu lama?" kata merek
a.
Hoan Eng jadi naik darah. "Jika kalian tak dapat menunggu, aku pun tak dapat men
olong lagi," katanya dengan suara keras. Sehabis berkata begitu, ia lantas berja
lan dengan tindakan cepat.
Kedua perwira itu mengudak sembari berteriak-teriak, tapi, sesaat kemudian, di b
awah sinar rembulan, mereka hanya dapat melihat bayangan Hoan Eng yang k
aburkan
kudanya keras sekali.
Mereka tak berani balik ke rumah Hong Hoe dan dengan menunggang kuda, mereka cob
a menyusul, tapi Hoan Eng sudah meninggalkan mereka jauh sekali dan terus kaburk
an tunggangannya ke arah utara.
Mereka kaget tercampur heran. "Dia kata, di pinggir Thayouw, tapi kenapa dia per
gi ke utara dan bukan ke selatan?" kata satu antaranya. "Apa bukan dia guyon-guy
on?" Mereka tahan tunggangannya dengan perasaan duka sekali. Sungguh mereka tak
mengerti perkataan Hoan Eng.
* * *
Empat hari kemudian, kota raja mendapat kunjungan seorang
tamu yang pakaiannya
penuh debu. Orang itu adalah Hoan Eng. Dengan membedal kudanya siang malam, dala
m empat hari, ia sudah tiba di kota raja.
Di jalan-jalan di seluruh kota Pakkhia, ia melihat berdiri pintu-pintu gerbang i
ndah dengan tengloleng
beraneka warna. Pada saban pintu gerbang, terdapat tulisan yang bunyinya seperti
berikut: "Sianghong kembali ke atas tachta, seantero rakyat
memberi selamat."
Akan tetapi, paja-ngannya adalah pajangan pesta, suasananya adalah suasana kesed
ihan. Siapa yang tak buta akan dapat melihat paras duka pada mukanya setiap oran
g.
Hoan Eng naik ke loteng sebuah rumah makan besar. Di atas tembok, ia melihat pem
-
beriantahu dengan tulisan:
"Jangan bicarakan urusan negara."
Di situ hanya terdapat beberapa tamu yang sedang bicara satu dengan yang lain sa
mbil berbisik-bisik.
Hoan Eng teriaki pelayan dan minta arak putih dengan dua kati daging sapi. Sambi
l makan, ia memasang kupingnya. Beberapa tamu itu ternyata sedang membicarakan h
alnya Ie Kiam. Pem-beriantahu di atas tembok ternyata tidak digubris mereka.
Dari rumah makan itu, Hoan Eng pergi ke beberapa tempat yang biasanya ramai. Dar
i penyelidikannya itu, kasar-kasar ia sudah mendapat satu gambaran tentang keada
an di kota raja pada waktu
itu.
Apa yang dikatakan oleh Liok Tian Peng, adalah benar. Sesuai dengan rencananya,
Kie Tin sudah berhasil merebut kembali tachta kerajaan.
Sebagaimana diketahui, sedari pulang ke Tiongkok, ia sudah di penjarakan di Lamk
iong oleh adiknya (Kie Giok), yang sungkan mengembalikan tachta itu kepadanya.
Untuk menjaga kakaknya, Kie Giok merasa perlu menggunakan tenaganya seorang jend
eral yang berpangkat Tjengwanpek, Ong Kie namanya.
Tapi, tak dinyana, semua kewaspadaan itu tak dapat mencegah persekutuan Kie Tin.
Perlahan-lahan, Kie Tin bersekutu dengan para menteri dan pada achirnya, ia mal
ahan berhasil menarik Ong Kie
ke dalam persekutuannya. Demikianlah, pada Kengthay tahun ke-8, yaitu tahun ke d
elapan semenjak Kie Giok naik ke tachta, pada malam kedua dari perayaan Goansiau
w (Capgomeh), Ong Kie membuka pintu Lamkiong lebar-lebar dan membiarkan tentaran
ya Kie Tin masuk, yang lantas saja mengepung keraton kaizar. Pada besok hari, Ki
e Tin sudah kembali ke tachtanya dengan didukung oleh menteri-menteri yang sudah
bersekutu dengan ia. Berbareng dengan itu, ia mengumumkan, bahwa Kie Giok sudah
"wafat".
Kie Tin bertindak cepat. Ia mengumumkan nama "Thiansoen" sebagai nama pemerintah
annya, memberi pengampunan umum kepada persakitan di seluruh negeri, dan
pada hari pengampunan itu, ia jebluskan Ie Kiam ke dalam penjara istana!
Rakyat di kota raja berduka bukan main. Banyak, banyak sekali rakyat, secara dia
m-diam memasang meja sembahyang di rumahnya untuk memohon kepada Tuhan, agar kes
elamatan Ie Kiam dilindungi.
Macam-macam desas-desus tersiar di seluruh kota. Banyak orang mengatakan, bahwa
sejumlah hiapsoe (pendekar) sedang bersiap-siap untuk membongkar penjara.
* * *
Malam itu, di dekat penjara istana kelihatan berkelebat bayangan orang. Orang it
u adalah Hoan Eng.
Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga mundar-mandir tak
henti-hentinya. Hoan Eng mengawasi dengan mata tajam, sedang otaknya diasah guna
mencari jalan untuk masuk ke dalam. Tiba-tiba terdengar suara terompet. Berbare
ng dengan itu, di atas genteng muncul banyak bayangan hitam yang segera menuju k
e arah utara barat dengan berbondong-bondong. Hoan Eng merasa heran. Ia tak tahu
, apa artinya itu semua. Akan tetapi, itu adalah kesempatan luar biasa baginya.
Buru-buru ia mengeluarkan dua butir batu hoei-hongsek dari sakunya dan melontark
an batu-batu itu ke tengah-tengah udara. Begitu berbentrok, kedua batu itu menge
luarkan suara keras. Dua penjaga loncat keluar untuk menyelidiki suara itu. Tanp
a bersangsi, Hoan
Eng mengenjot badan dan hinggap di atas tembok.
Malam itu adalah malam tak berbintang. Dengan pakaiannya yang berwarna hitam dan
dengan ilmu en-tengkan badannya yang cukup tinggi, gerakan Hoan Eng sama sekali
tak dapat dilihat oleh kedua penjaga itu yang kepandaiannya masih sangat rendah
.
Hati-hati, Hoan Eng merangkak di atas genteng. Sayup-sayup ia mendengar teriakan
-teriakan di tempat jauh. Baru saja melewati dua wuwungan, tiba-tiba ia dibentak
dengan
perkataan "Thiansoen". Hoan Eng tahu, bahwa "Thiansoen" adalah
kata-kata rahasia yang digunakan pada malam itu. Dengan suara tak terang, ia men
jawab dengan dua perkataan pula.
"Apa?" membentak orang itu. "Lebih keras sedikit!"
Hoan Eng meloncat, panah tangannya menyambar tenggorokan orang itu. Tanpa bersua
ra ia roboh di atas genteng.
Hoan Eng lalu membuka pakaian
penjaga itu yang lantas saja dipakai olehnya sendiri. Sesudah itu, ia loncat tur
un dan bersembunyi di tempat gelap.
Beberapa saat kemudian, seorang penjaga lain mendatangi sambil menengteng
lentera. Hoan Eng meloncat dan kebaskan goloknya di muka orang itu. "Di mana Ie
Kokloo di penjarakan?" ia membentak dengan suara perlahan.
Penjaga penjara yang tadi kaget setengah mati, mendadak tertawa girang. "Ka
u
mau menolong Ie Kokloo?" ia menegasi. "Di kamar (sel) persa-kitan yang mendapat
hukuman mati, kamar nomor delapan. Dari sini jalan terus, sampai di ujung biluk
ke kanan. Hitung saja, kamar yang ke delapan adalah kamarnya Ie Kokloo."
Hoan Eng masukkan Bianto ke dalam sarung, tapi, selagi ia mau bertindak, penjaga
penjara itu berkata pula: "Eh, tanda rahasia malam ini adalah Thiansoen Banlian
(Thiansoen berlaksa tahun). Ingatlah!"
Sesuai dengan petunjuk itu, dengan hati tetap, Hoan Eng masuk ke dalam. Setiap b
entakan "Thiansoen", dijawabnya dengan "Banlian" dan dapat berjalan terus tanpa
rintangan. Antara sipir-sipir itu, terdapat satu dua orang yang merasa
curiga oleh karena suara Hoan Eng yang agak asing, akan tetapi, mere
ka diam-diam saja.
Di depan kamar nomor delapan berdiri seorang penjaga dengan menyekal pedang terh
unus. Mendadak, Hoan Eng menubruk, sambil mengayun golok. Tapi orang itu gesit l
uar biasa. Walaupun di-bokong, ia mash dapat berkelit. "Celaka!" Hoan Eng mengel
uarkan
seruan tertahan.
Penjaga itu memutar badan, tapi aneh sungguh, sebaliknya dari menyerang ia berse
nyum!
"Lekas bacok diriku, di tempat yang tidak membinasakan," katanya.
Hoan Eng terkesiap, tapi lantas saja ia menjadi sadar.
Penjaga penjara itu pun ingin menolong Ie Kiam!
Mengingat kemulian orang. Hoan Eng jadi terharu, sehingga ia tak tega untuk menu
runkan tangan.
"Lekas!" kata penjaga itu. "Setengah jam lagi, tukar penjaga."
Sambil mengeraskan hati, Hoan Eng mengangkat goloknya dan menggurat kaki orang i
tu. "Jangan begitu! Lebih dalam sedikit!" kata penjaga itu sembari cekal tangann
ya Hoan Eng yang memegang golok dan membacok dengkulnya sendiri. Sesudah itu, ia
menotok jalan darah Ahhiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) di pin
ggangnya sendiri. Di lain saat, ia roboh sambil menahan sakit, tapi mukanya terl
ukis senyuman!
Sembari menghela napas panjang, Hoan Eng membacok kunci yang lantas saja jatuh
berarakan di atas lantai, tiba-tiba ia dengar suara seorang tua yang bersyair de
ngan suara perlahan:
"Di antara taksaan serangan 'ku munculkan diri, api membakar 'ku tak perduii, ba
dan hancur 'ku tak takuti, asai nama bersih dalam dunia ini."
Itulah suatu syair, yang pada peristiwa "Tobokpo", telah digunakan oleh Ie Kiam
untuk memperlihatkan kebersihan dirinya.
Dengan perlahan Hoan Eng menolak pintu, kedua tangannya meraba-raba kamar yang g
elap itu.
"Siapa? Apa Tjoe-djie (anak Tjoe)?" menanya Ie Kiam. "Kenapa kau tak turut omong
an ayah dan kembali datang ke sini?"
Oleh karena keadaan
mendesak, Hoan Eng tak sempat menanyakan siapa adanya "Tjoe-djie". Buru-buru ia
menyalakan bahan api yang dibawanya dan berbisik: "Ie Kokloo, apa kau terluka? I
jinkanlah aku menggendong kau untuk keluar dari sini."
Di bawah penerangan yang remang-remang, Ie Kiam, yang rambutnya sudah putih semu
a, duduk bersila dengan kedua tangan diborgol. Dalam keadaannya yang menyedihkan
itu, kedua matanya tetap bersinar dan keangkerannya tetap tidak berkurang.
"Siapa?" ia membentak.
Hati Hoan Eng berdebar keras, air matanya mengucur deras. Sambil menekuk lututny
a, ia menjawab dengan suara perlahan: "Ayahku adalah Siewie Hoan Tjoen, d
ahulu
pernah jadi pengikut Kokloo."
"Oh!" berkata Ie Kiam. "Kalau begitu, kau adalah keponakannya Hoan Tiong, putera
nya Hoan Tjoen. Untuk apa kau datang kemari?"
"Aku datang untuk menolong Kokloo keluar dari tempat ini," sahutnya sembari menc
abut Bianto untuk membabat borgolan.
"Inilah pekakas menghukum dari kerajaan, tak dapat sembarangan diganggu,"
berkata
orang tua itu.
Hoan Eng menjadi bingung. "Jika borgolan tidak diputuskan, cara bagaimana kita d
apat melarikan diri?" kata ia.
"Aku adalah seorang menteri besar dari kerajaan Beng!" Ie Kiam membentak dengan
mata melotot. "Cara bagaimana aku dapat melarikan diri dengan jalan kabur dari
penjara?"
Hoan Eng tak menduga, orang tua itu sedemikian "tolol".
"Taydjin!" ia berkata dengan suara bingung. "Jika Taydjin sungkan kabur, penasar
anmu akan tetap merupakan suatu penasaran."
Ie Kiam tertawa terbahak-bahak. "Jika aku takut mati, dahulu hari aku tentu tida
k perintah In Tiong pergi ke Watzu untuk menyambut
Hongsiang," katanya dengan suara nyaring. "Aku memang sudah menduga bakal ada ke
jadian seperti di ini hari. Hoan Hiantit! Kau pergilah!"
Tetapi manalah Hoan Eng mau
gampang-gampang berlalu.
"Aku sudah mengambil putusan pasti," berkata Ie Kiam dengan gusar. "Aku bersumpa
h tak akan melarikan diri!"
"Kokloo!" berkata
Hoan Eng dengan suara memohon. "Apakah
Kokloo tidak merasa kasihan kepada rakyat di seluruh negeri?"
"Usiaku sekarang sudah enam puluh tahun lebih, sehingga
meskipun tidak lantas mati, aku adalah seperti lampu yang sudah kehabisan minyak
,"
berkata orang tua itu sambil menghela napas. "Di antara putera dan puteri Tiongk
ok, jumlah ksatria tak dapat dihitung berapa banyaknya. Satu Ie Kiam mati, ratus
an atau ribuan Ie Kiam munculkan diri. Tak dapat kau bicara begitu."
"Akan tetapi, mati secara Kokloo, adalah mati secara tidak berharga!" berkata
Hoan Eng dengan ber-napsu.
"Kenapa tidak berharga?" menanya Ie Kiam. "Jika matiku tidak
berharga, maka matinya Gak boebok ong (Gak Hoei) juga tidak berharga. Ketika itu
, dalam tangannya ia memegang kekuasaan atas ratusan laksa serdadu, tapi ia toh
masih sungkan melanggar
undang-undang kerajaan dan rela menerima hukuman. Meskipun aku tak berani menela
d contohnya, tapi sedikitnya aku pun sungkan melanggar undang-undang!"
Harus diingat, bahwa semenjak muda sehingga menjabat pangkat yang sangat tinggi,
dalam alam pikirannya, Ie Kiam hanya mengetahui, bahwa seorang menteri yang set
ia harus tunduk pada kemauan sang jungjungan. Cara berpikir yang sedemikian suda
h melekat dalam otaknya selama beberapa puluh tahun, se-
hingga Hoan Eng tentu saja tidak dapat meru-bahnya dalam tempo yang sangat pende
k itu.
Hoan Eng masih ingin membujuk terus, akan tetapi, kupingnya mendadak mendengar s
uara bergulingan dari si penjaga penjara yang barusan sudah melukai dirinya send
iri. Ia mengetahui, bahwa itu adalah satu peringatan, supaya ia bekerja terlebih
cepat.
"Taydjin... Taydjin..." ia mengeluh.
"Pergi!" membentak Ie Kiam. "Jika kau tak menurut, aku akan benturkan kepala di
tembok, supaya binasa di hadapanmu!"
Hoan Eng menghela napas panjang. "Kokloo," katanya dengan suara duka sekali. "Ap
a Kokloo mempunyai
pesanan apa-apa?"
"Aku tak pernah berdosa terhadap Tu-
han, tak pernah menyakiti sesama manusia," kata orang tua itu dengan suara tenan
g. "Ada apa yang aku harus memesan? Pergilah!"
Dengan air mata mengucur, Hoan Eng memutar badan dan bertindak keluar.
"Ada satu urusan, harap kau tolong menyampaikannya,"" Ie Kiam mendadak berkata.
Hoan Eng hentikan tindakannya.
"Pergilah ke telaga Thayouw dan cari Thio Tan Hong," memesan Ie Kiam. "Suruh ia
lekas-lekas melarikan diri."
"Kokloo legakan hati," kata Hoan Eng. "Pesanan ini aku akan segera jalankan."
Baru habis ia berkata begitu, pintu penjara kedengaran ditendang terpental. "Ada
orang membongkar penjara!" demikian teriakan bebe-
rapa orang.
Begitu loncat keluar dari kamar Ie Kiam, Hoan Eng putarkan goloknya dan menerjan
g beberapa musuh yang sudah tiba dihadapan-nya. Dengan suara "trang!" senjata be
berapa orang itu sudah terbabat putus oleh Bianto yang tajam luar biasa. Mereka
mundur dengan kaget, dan tanpa sia-siakan ketika bagus, Hoan Eng loncat naik ke
atas genteng.
"Jangan lari!" satu bentakan terdengar, disusul dengan kesiuran angin tajam di b
elakang kepala Hoan Eng.
Hoan Eng berkelit sembari menyampok dengan goloknya. Dengan satu suara keras, le
latu api berhamburan. Hoan Eng terkesiap oleh karena bukan saja Bianto tak dapat
menguntungkan senjata musuh, malahan tangannya sen-
diri terasa sakit dan kesemutan. Ia mengawasi dan ternyata musuhnya adalah seora
ng Wiesoe (pahlawan istana) yang berseragam hitam dan bersenjata golok besar yan
g beratnya kira-kira lima puluh kati.
Golok itu adalah senjata yang biasanya digunakan dalam
peperangan dengan menunggang kuda.
Bahwa Wiesoe tersebut dapat menggunakannya dalam pertempuran di atas genteng yan
g memerlukan loncatan-loncatan tinggi, dapatlah dibayangkan berapa liehaynya pah
lawan itu.
Hoan Eng kaget, tapi musuhnya pun tidak kurang kagetnya. ia adalah seorang Gietj
ian Siewie (pengawal pribadi kaizar) kelas satu yang ditugaskan untuk menjaga pe
njara istana.
Begitu golok besarnya kebentrok dengan
Bianto yang tipis kecil, ia merasakan tangannya kesemutan dan goloknya pun sempo
ak sebagian. "Hei! Mana yang lain! Lekas datang!" ia berteriak.
Dengan gerakan Tiangtjoa Tjoeeng (Ular keluar dari lubang), Hoan Eng membacok. S
ekonyong-konyong, berbareng dengan satu bentakan, dua bola besi menyambar mukany
a. Hoan Eng menundukkan kepalanya dengan gerakan Honghong Tiam-tauw (Burung Hong
manggutkan kepala) sambil menyampok dengan goloknya. Dengan satu suara "trang!"
kedua bola besi itu sudah ditarik pulang. Dengan satu lirikan, Hoan Eng dapat k
enyataan, bahwa di sebelah kirinya sudah muncul seorang Wiesoe
lain yang berseragam hitam. Dua bola besi itu bukan senjata rahasia, tapi kepala
nya senjata Liantjoe toei, atau ban-dringan. Liantjoe toei adalah semajam senjat
a yang sukar digunakan. Bahwa Wiesoe itu dapat menggunakannya secara begitu lelu
asa, dapatlah dibayangkan, bahwa ia itu bukannya seorang lawan enteng.
Dalam jarak kurang lebih setombak, Wiesoe itu segera menyerang dengan bandringan
nya. Panjang rantai Liantjoe toei ada delapan kaki lebih dan jika diputar, kedua
bola besinya dapat menghantam segala apa yang berada dalam jarak satu tombak. O
leh karena itu, untuk sementara, Hoan Eng tak dapat menoblos keluar.
Sementara itu,
Wiesoe yang bersenjata golok sudah menyabet
pinggangnya. Hoan Eng berkelit, sembari menyampok dengan Bianto.
Tiba-tiba di sebelah kanan kembali terdengar bentakan dan lagi bayangan hitam be
rkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Begitu musuh baru itu menggerakk
an tangannya, dua
kesiuran angin tajam menyambar jalan darah Kiankeng hiat, di kedua pundak Hoan E
ng. Dengan gerakan Hoeihong paylioe (Angin meniup pohon lioe), Hoan Eng buru-bur
u membungkuk, goloknya menyampok Liantjoe toei, kakinya menendang golok musuh, d
isusul dengan satu loncatan ke samping.
Musuh ketiga yang baru datang itu adalah seorang yang berbadan kecil dan kate, s
edang dalam kedua tangannya ia menyekal sepasang
Poankoan pit yang panjang hanya delapan dim. Tak usah disangsikan lagi, bahwa se
orang yang dapat menggunakan senjata sedemikian kecil, pastilah seorang ahli men
otok jalan darah.
Andaikata kepandaian Hoan Eng dua kali lipat lebih tinggi, ia masih tak akan gam
pang-
gampang meloloskan diri. Ketiga Wiesoe itu adalah Gietjian siewie kelas satu, se
dang masing-masing senjatanya mempunyai ke-liehayan yang berbeda-beda. Golok bes
ar adalah senjata berat yang tak takut membentur golok
mustika, Liantjoe toei adalah senjata yang dapat menghantam dari jauh dan dari d
ekat, sedang Poankoan pit selalu menyambar jalan darah. Tiga rupa senjata itu, d
engan tiga
"Pergi," membentak Ie Kiam. "Jika kau tidak menurut, aku akan benturkan kepala d
itembok, supaya binasa dihadapanmu!" Hoan Eng menghela napas dan paras mukanya s
edih sekali.
macam serangannya, sudah membikin Hoan Eng bingung sekali.
Sesudah bergebrak kurang lebih tiga puluh jurus, Hoan Eng sudah merasa tak tahan
lagi. Sementara itu, di bawah genteng sudah terdengar teriakan-teriakan dari pa
ra penjaga penjara. Belasan orang yang dapat meloncat tinggi, sudah naik ke gent
eng dan mengurung di empat penjuru.
Hoan Eng kertek giginya dan berkelahi bagaikan banteng edan tanpa memperdulikan
lagi keselamatan dirinya. Pada detik yang sangat berbahaya, di wuwungan sebelah
tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang mengenakan pakaian serba putih dan meli
hat gerakan-gerakannya, Hoan Eng merasa seperti sudah pernah
bertemu dengan orang itu.
Saat itu, Wiesoe yang bersenjata
Poankoan pit mendadak menghantam dengan senjatanya sembari berseru: "Kena!" Oleh
karena goloknya sedang menyampok Liantjoe toei, Hoan Eng tidak sempat menyambut
Poankoan pit musuh, dan dalam keadaan kedesak, buru-buru ia mengerahkan pernapa
sannya guna menutup semua jalan darahnya. Di lain saat, pinggangnya kesemutan ol
eh karena jalan darah Tjengpek hiat sudah terkena totokan.
Dan, berbareng dengan itu, Wiesoe yang bersenjata golok besar membacok kepalanya
dengan senjatanya
yang berat.
Walaupun mengerti ilmu Piekie hoehiat (Menutup hawa melin-
dungi jalan darah), tenaga dalam Hoan Eng belum mencapai puncaknya. Maka itu, be
gitu pinggangnya terkena totokan, tenaga lengannya segera berkurang. Ia mengetah
ui, bahwa tenaganya tidak cukup untuk menyambut golok
musuh yang beratnya kira-kira lima puluh kati. Akan tetapi, lantaran tiada jalan
lain, apa boleh buat ia mengangkat Bianto untuk menyambut. "Matilah aku!" ia me
ngeluh.
Tapi, pada detik Bianto dan golok besar hampir beradu, tak diduga-duga Wiesoe it
u mengeluarkan teriakan kesakitan dan goloknya terpental dari tangannya. Dan sec
ara kebetulan sekali, golok yang terpental itu menghantam Liantjoe toei dan, ber
bareng dengan satu suara keras, bandringan
itupun jatuh ke bawah genteng.
Satu suara tertawa nyaring yang sangat merduh tiba-tiba terdengar. Hoan Eng meng
awasi dan mendapat kenyataan, bahwa bayangan putih yang barusan berkelebat di wu
wungan seberang adalah seorang pemuda. Di lain saat, pemuda itu mengayun tangann
ya dan belasan Kimhoa (Bunga emas) yang berkredep melesat ke tengah-tengah udara
yang gelap itu. Para Wiesoe tak pernah mengimpi, bahwa dalam dunia terdapat sen
jata rahasia yang begitu liehay. Siapa juga yang kelanggar Bunga emas itu, badan
nya lantas lemas dan roboh di atas genteng. Dalam tempo sekejap, sebagian besar
dari belasan Wiesoe yang mengurung sudah pada rebah tanpa ber-
kutik. Bunga emas itu ternyata tak membedakan kawan atau lawan. Satu antaranya m
enyambar lengan
Hoan Eng dan tangan kanannya lantas saja tak dapat digunakan lagi.
"Lekas panggil Yo Taydjin!" berseru
Wiesoe yang bersenjata Poankoan pit. Baru habis ia berseru begitu, sekuntum bung
a menyambar dan ia rubuh sesudah sempoyongan beberapa tindak.
Hoan Eng tak berani berlaku ayal. Sambil memindahkan goloknya ke tangan kiri, ia
menarik napas dalam-dalam dan lalu kabur dengan menggunakan ilmu entengkan bada
n. Sesudah melewati dua wuwungan, ia menoleh ke belakang.
Di atas genteng kelihatan dua bayangan yang sedang ubar-
ubaran dan satu antaranya adalah si pemuda, pemuda
penyebar Kimhoa.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah
menghilang ke jurusan utara barat.
Hoan Eng berdiam sejenak sambil meng-mengingat-ingat. Tertawa yang nyaring, gera
kan yang bagaikan kilat... ah, ia sekarang ingat! Pemuda itu bukan lain dari pad
a si anak sekolah berkuda putih yang telah mempermainkan Siauw Houwtjoe!
Saat itu, ratusan obor sudah dipasang terang-terang, sedang di atas genteng keli
hatan berlari-lari puluhan orang, beberapa antaranya sudah memburu ke arahnya. H
oan Eng menghela napas. Dengan lengan mendapat luka dan ke-
pandaian yang masih sangat rendah, ia tahu tak akan dapat berbuat apa-apa.
"Ah, biarlah tugas menolong Kokloo aku serahkan kepada si pemuda penyebar bunga,
" katanya di dalam hati dan lain kabur dengan menggunakan ilmu entengkan badan L
ioktee hoeiteng (Terbang di atas bumi).
Ia tiba di rumah penginapan pada jam empat pagi. Ia membuka bajunya dan untung,
lukanya hanya luka di luar. Baru saja memakai obat luka, tiba-tiba kepalanya puy
eng dan matanya berkunang-kunang, lalu rubuh di atas pembaringan.
Tak tahu sudah lewat berapa lama, barulah Hoan Eng sadar dari pingsannya. Ia mem
buka mata dan melihat api lampu yang
kelak-kelik. Di lain saat, ia terkesiap sebab Tiamsiauwdjie (pelayan) dengan men
genakan pakaian berkabung, sedang berdiri di kepala ranjang sambil mengucurkan a
ir mata.
"Eh, aku toh belum mati! Kenapa kau menangis?" ia menanya.
"Ie Taydjin..." sahutnya. "Ie Taydjin sudah pulang kealam baka!"
"Apa benar?" Hoan Eng berseru, matanya dibuka lebar-lebar.
"Pagi ini beliau berpulang," sahut si pelayan sambil mang-gutkan kepalanya. "Sel
uruh penduduk Pakkhia, kecuali kawanan menteri bangsat, berkabung semuanya!"
Dengan satu teriakan menyayatkan hati, Hoan Eng kembali pingsan!
Setelah sadar, si pelayan ternyata masih
duduk di kepala ranjang.
"Jam berapa ini?" menanya Hoan Eng.
"Kau pingsan sehari dan setengah malam," jawabnya. "Ini adalah malam hari kedua.
"
Hati Hoan Eng seperti diiris-iris. Ia tak nyana, bahwa kaizar bebodoran itu bera
ni mengambil jiwa Ie Kiam, seorang menteri utama yang sudah menolong kerajaan Be
ng dari kemusnaan.
"Hoan Giesoe (ksatria)," kata si pelayan. "Bagaimana kau rasakan? Jika bisa jala
n, baik kau segera meninggalkan kota raja ini."
Mendengar si pelayan memanggil ia "Giesoe", Hoan Eng terkejut. "Apa kau kata?" i
a menanya.
"Giesoe, jangan kau berkuatir," sahutnya. "Kemarin malam, ketika kau pulang, gol
okmu masih bernoda darah."
Berita tentang percobaan membongkar penjara pada malamnya, sudah tersiar luas pa
da besok paginya. Melihat pingsannya
Hoan Eng dan goloknya yang bernoda darah, ditambah dengan
pertanyaannya mengenai Ie Kiam pada siang harinya, si pelayan lantas saja mendug
a, bahwa tetamunya itu adalah orang yang sudah menyatroni penjara. Ia segera min
ta pertolongan seorang tabib yang dapat dipercaya, guna memeriksa keadaan Hoan E
ng. Tapi Hoan Eng hanya mendapat luka di luar yang tidak berbahaya. Bahwa ia pin
gsan begitu lama, adalah lantaran kelelahannya yang melewati batas. Sesudah meng
aso sehari dan setengah malam, keadaannya segera pulih
kembali.
Hoan Eng segera mengambil goloknya yang lantas dibersihkan dari segala tanda-tan
da darah. "Hm!" ia meng-gerendeng. "Sungguh sayang aku tak dapat mampuskan lebih
banyak manusia jahat."
"Giesoe," berbisik si pelayan. "Hebat benar desas-desus di luaran. Katanya, sega
la orang yang mempunyai hubungan dengan Ie Kokloo sudah ditangkap.
Giesoe, lebih baik kau menyingkirkan diri."
Hoan Eng menghela papas sambil mengusap-usap Bianto. "Dengan membikin ribut di p
enjara, sebaliknya dari menolong, aku sudah mempercepat ke-binasaannya Ie Kokloo
," katanya. "Ah, apa guna aku hidup lebih lama lagi!"
"Giesoe tak boleh berpikir begitu," kata
pula si pelayan. "Matinya satu ksatria berarti negara kehilangan satu tenaga ber
harga. Ie Kokloo yang sudah meninggal dunia, tak akan bisa hidup lagi. Giesoe ya
ng masih hidup, haruslah menjaga diri baik-baik."
Mendengar kata-kata si pelayan, Hoan Eng jadi kaget. "Siapa kau?" ia menanya.
"Aku hanya satu pelayan rendah dari rumah penginapan ini," jawabnya.
Lagi-lagi si Brewok menarik napas. "Ah! Dalam dewan kerajaan hanya berjajar kawa
nan penjilat, sebaliknya di antara rakyat jelata, orang masih dapat menemukan ks
atria-ksatria sejati," katanya. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: "Apa
jenazah Ie Kokloo sudah dirawat?"
"Menurut katanya
orang, Hongsiang sudah perintah Tan Koei merawat jenazah Ie Kokloo, tapi kepalan
ya masih terpancer di pintu kota sebelah timur," menerangkan si pelayan.
Hoan Eng berjingkrak sambil mengeluarkan teriakan keras. Kedua matanya terputar
dan badannya gemetar, saking gusarnya.
"Berikan aku sedikit makanan," ia memerintah.
Si pelayan segera berjalan keluar dan balik dengan membawa
sekati arak putih dan dua kati daging sapi. Tanpa berkata suatu apa, Hoan Eng sa
pu bersih makanan itu dan kemudian lalu membayar uang sewa kamar dan makanan.
"Terima kasih untuk segala budi kebaikanmu, harap saja di lain hari kita aka
n dapat ber-
temu pula," kata ia sembari membuka jendela dan di lain saat, ia sudah menghilan
g di antara gelapnya sang malam.
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, Hoan Eng menuju ke pintu kota sebelah t
imur. Malam itu adalah malam yang gelap, sang rembulan yang melengkung bagaikan
alisnya seorang gadis, hanya memberi
penerangan remang-remang. Hoan Eng dongakkan kepalanya. Ia melihat, di atas temb
ok kota berdiri sebatang tihang
bendera dan di ujung tihang tergantung
serupa benda bundar yang bentuknya seperti kepala manusia.
Hoan Eng tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Ia lantas menangis tersedu-sedu.
Tanpa memperdulikan segala
bahaya yang mengancam, sekali mengenjot badan ia sudah hinggap di atas tembok da
n lalu menyabet tihang bendera itu dengan goloknya.
"Digantungnya kepala Ie Kiam di atas pintu kota, merupakan satu jebakan yang dip
asang oleh Kie Tin yang kejam. Maka itu, manalah Hoan Eng bisa gampang-gampang m
encapai maksudnya. Baru saja ia mengangkat golok, berbareng dengan suara tertawa
dingin, dua bayangan hitam sudah menerjang dari tempat gelap. Hoan Eng meloncat
tinggi untuk menghindari sepasang Kautiam tjhio (tombak yang ada gae-tannya), s
edang goloknya memapas ke bawah untuk menyampok sambarannya sebatang tongkat bes
i.
"Ha-ha!" tertawa se-
orang lawannya. "Tepat sekali perhitungannya Vo Taydjin. Satu kodok buduk bau su
dah masuk ke dalam jaring!"
Bukan main gusarnya Hoan Eng. Dengan gerakan Pekho liangtjie (Bango putih mement
ang sayap), ia mengirim dua bacokan hebat.
"Bagus benar golokmu!" berkata orang yang bersenjata Kauw-liam tjhio. "Aku ampun
i jiwamu, jika kau menyerahkan golokmu dan menaluk."
"Kau mau golok?" membentak Hoan Eng. "Nih!" Ia membacok dengan sepenuh tenaga, s
ehingga lawannya terpaksa menggulingkan diri.
Dengan mengandalkan senjatanya yang berat, orang yang bersenjata tongkat besi se
gera maju menerjang. Tapi, begitu kedua senjata kebentrok, ta-
ngannya kesemutan dan hampir-hampir
tongkatnya terlepas. Hoan Eng mendesak, sambil menendang.
Mendadak, betisnya sakit luar biasa. Ternyata, Siewie yang barusan menggulingkan
diri, sudah menggait betisnya dengan Kauw-liam tjhio.
Pada saat yang sangat berbahaya, tanpa memperdulikan keselamatannya lagi, Hoan E
ng mengenjot badannya, sembari memapas dengan goloknya. Orang yang menggait tida
k menduga, bahwa Hoan Eng masih dapat mengirim serangan
membalas yang begitu hebat, dalam bingungnya, ia melepaskan senjatanya dan mengg
ulingkan diri. Sambil merapatkan gigi, Hoan Eng mencabut Kauwliam tjhio itu dari
betisnya dan lantas ditimpukkan
ke arah Siewie yang bersenjata tongkat. Siewie itu berkelit dan Kauwliam tjhio m
embentur tembok, akan kemudian jatuh ke bawah.
Melihat musuhnya berkelahi seperti harimau edan, Siewie yang bersenjata tongkat,
jadi merasa gentar.
"Masa kau takut kodok buduk pincang!" berseru kawannya yang bersenjata Kauwliam
tjhio. "Tempel pundak dan hantam padanya!" Walaupun sudah kehilangan sebelah sen
jatanya, tapi serangan Siewie itu tak berkurang hebatnya. Sesudah mendapat bantu
an
semangat dari kawannya. Siewie yang bersenjata tongkat besi jadi lebih mantap ha
tinya dan ia pun segera menyerang
secara dahsyat. Dikepung secara begitu,
Hoan Eng yang sudah terluka, lambat laun jatuh di bawah angin.
Hoan Eng berkelahi dengan mata merah. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, ia seng
aja membuka satu lowongan untuk memancing musuhnya. Sembari tertawa menyeramkan,
Siewie yang bersenjata Kauwliam tjhio segera menyodok dada Hoan Eng. Bagaikan k
ilat, Hoan Eng mengegos dan, dibarengi dengan
bentakan keras, ia membacok sekuat
tenaga. "Trangl", suara beradunya senjata
memecah kesunyian malam. Siewie itu terkesiap. Ternyata ujung Kauwliam tjhio mel
engkung, sedang tangannya berdarah! Tapi ia pun bukan orang sembarangan, sebab,
meskipun dihantam begitu keras, senjatanya
masih tetap tercekal dalam tangannya.
Hoan Eng menggeram bagaikan harimau terluka dan segera menerjang pula. Sekonyong
-konyong dari tempat gelap, di bawah tihang bendera, meloncat keluar seorang lai
n.
"Manusia tolol!" ia membentak. "Kodok buduk pincang saja kau orang tak mampu ber
eskan. Mundur!"
Hoan Eng mengawasi. Musuh itu mengenakan seragam perwira Gielimkoen dan tanganny
a menyekal sebilah golok melengkung, model golok Arab.
Tiba-tiba ia meran-dek dan berkata: "Eh! Bianto Thio Hong Hoe cara bagaimana bis
a berada dalam tanganmu?"
"Thio Hong Hoe pinjamkan senjatanya kepadaku dan perintah aku
ambil jiwamu!" jawabnya, sembari membacok.
Perwira itu bukan main gusarnya. "Kebinasaan sudah berada depan matamu, kau masi
h berani ngaco belo!" ia berseru.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Hoan Eng segera menyerang
dengan seru. Beruntun-runtun ia mengirim bacokan-bacokan yang membinasakan, tapi
semuanya dengan gampang sudah dipunahkan oleh lawannya.
"Kalau tidak diberi sedikit hajaran, kau tak tahu liehaynya Tong-hong Lok," kata
perwira itu dengan suara dingin.
Dengan penuh amarah, Hoan Eng mengerahkan tenaga dalamnya dan lalu membacok seku
at tenaga. Secara tenang, Tonghong Lok mengangkat goloknya untuk menyambut golok
musuh. Tenaganya Hoan
Eng luar biasa besar dan dalam perhitungannya, bacokannya yang hebat itu tak aka
n dapat disambut oleh musuhnya. Tapi tak dinyana, begitu kedua golok kebentrok,
goloknya Tonghong Lok terus menempel kepada Bianto.
Hoan Eng terkesiap. Tonghong Lok tertawa berkakakan, sedang goloknya yang dibula
ng balingkan ke kiri kanan terus "mengikat" Bianto, Hoan Eng yang belum mahir da
lam ilmu silat golok, tak mengetahui cara bagaimana harus melepaskan goloknya da
ri "ikatan" itu. Mau tak mau, goloknya terus mengikuti golok musuh berputar-puta
r dan, dalam sekejap, kedua matanya sudah-sudah berkunang-kunang.
Dalam bingungnya, secara mendadak Hoan Eng menendang dua kali
beruntun dengan kaki kanan dan kiri, dan berbareng dengan itu, tangan kirinya me
mbabat musuh. Senjata yang biasa digunakan Hoan Eng adalah kampak dan pukulan te
rsebut, yang membabat bagaikan babatan kampak adalah pukulan simpanannya, sedang
tendangannya yang barusan adalah
Lianhoan toei (Tendangan berantai) yang sangat hebat.
Tonghong Lok terkejut, ia tak menduga lawannya mempunyai "beka-lan" yang serupa
itu.
Tonghong Lok adalah Hoetongleng Gielimkoen, yaitu pembantunya Liok Tian Peng yan
g telah dibinasakan oleh Thio Hong Hoe. Walaupun pangkatnya lebih
rendah setingkat, tapi kepandaiannya kira-kira setanding dengan Lio Tian Peng
dan berada
jauh di atas Hoan Eng.
Untuk menyambut serangan Hoan Eng, sebenarnya ia dapat menggunakan tipu
Bengtek hianto (Beng-tek mempersembahkan golok), yaitu membalik tangannya dan me
nyabet lehernya musuh. Akan tetapi, jika ia menggunakan tipu
tersebut, Hoan Eng pasti akan binasa. Ia bengong sejenak dan lalu berkelit ke sa
mping.
Dengan berlaku begitu, bukan sekali-kali Tonghong Lok merasa kasihan atau sengaj
a mengampuni Hoan Eng. Yang menjadi sebab adalah golok Bianto. Ia mengetahui, ba
hwa Bianto adalah miliknya Thio Hong Hoe yang tidak nanti meminjamkan golok must
ikanya kepada orang lain. Kemungkinan satu-
satunya ialah Hong Hoe sudah binasa dan golok
itu jatuh ke dalam tangannya Hoan Eng. Perginya Liok Tian Peng guna mencari Hong
Hoe, tentu saja diketahui oleh Tonghong Lok. Maka itu, demikian ia memikir, jik
a Hong Hoe sudah binasa, golok itu tentulah jatuh ke dalam tangannya Liok Tian P
eng. Tapi kenapa Bianto sekarang berada ditangannya si Brewok?
Ia memang sedang bercuriga, kenapa
sampai sekarang Liok Tian Peng belum juga balik ke kota raja. Apa ia celaka? Dal
am kesangsiannya itu,
Tonghong Lok segera mengambil putusan
untuk menangkap Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan dari mulutnya.
Akan tetapi, dengan berkelahi secara nekat, tidaklah gampang-
gampang Hoan Eng dapat ditawan. Sesu-
dah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, Tonghong Lok berhasil menggores pund
ak
lawannya dengan
goloknya dan berbareng dengan itu, tendangannya mengenakan jitu lutut Hoan Eng.
Sembari berteriak, Hoan Eng segera menggulingkan diri.
"Bekuk padanya!" Tonghong Lok memintah kedua Wiesoe tadi.
Akan tetapi, sebelum mereka bergerak, satu suara nyaring yang luar biasa hebat,
mendadak terdengar. Suara itu ternyata disebabkan oleh seorang yang gerakannya c
epat
bagaikan kilat. Begitu munculkan diri, dengan beberapa loncatan saja, ia sudah b
erada di atas tembok, dan dengan sekali menghantam
dengan toyanya, tihang bendera patah dua dengan mengeluarkan
suara yang sangat nyaring itu.
Tihang bendera itu dibuat dari tembaga murni yang tak akan dapat diputuskan
dengan bacokan kampak atau golok. Bahwa dengan sekali hantam saja, orang itu dap
at merobohkan tihang
tersebut, dapatlah
dibayangkan berapa besar tenaga dalamnya!
Dua Wiesoe yang hendak membekuk Hoan Eng, telah dibikin ke-sima oleh suara itu,
dan tanpa sia-siakan kesempatan baik, dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus m
eletik), Hoan Eng loncat bangun sembari mengayun golok. Tapi, ia terkejut bukan
main oleh karena pundaknya, yang barusan kena digores, sakit luar biasa dan leng
annya tidak menurut kemauannya lagi.
Sesaat itu, Wiesoe yang bersenjata Kauwliam tjhio dan tongkat besi sudah menerja
ng padanya. Dengan
sebelah lengan yang baru sembuh dari lukanya dan lengan lain tak dapat digerakka
n lagi, Hoan Eng mengawasi menyambarnya senjata musuh dengan hati mencelos dan m
enduga, bahwa sekali itu, ia tak akan lolos pula dari kebinasaan.
Akan tetapi, di luar segala dugaan, pada detik yang sangat berbahaya, kedua
Wiesoe itu mendadak mengeluarkan jeritan dan rubuh di atas genteng. Di lain saat
, Hoan Eng dapat kenyataan, bahwa Tonghong Lok sudah bertempur seru dengan seora
ng bertopeng di kaki tihang bendera.
Hoan Eng heran ber-
bareng kagum. "Siapa ia?" ia menanya dirinya sendiri. "Cara bagaimana, dari situ
senjata rahasianya masih dapat melukakan musuh?"
Harus diketahui, bahwa jarak antara Hoan Eng dan tihang bendera, paling sedikit
ada empat tombak. Ia sungguh tidak mengerti, dari jarak begitu jauh, cara bagaim
ana orang itu masih dapat membinasakan kedua Wiesoe dengan senjata rahasianya! S
elain daripada itu, dalam pertempuran antara jago dan jago, masing-masing pihak
tidak dapat memecah perhatiannya ketempat lain. Maka itu, ia jadi lebih-lebih me
rasa kagum, cara bagaimana, sedang dirinya sendiri tengah dikurung oleh sinar go
lok Tonghong Lok, orang itu masih dapat melepas-
kan senjata rahasia yang menyambarnya begitu jitu!
Mendadak saja semangat Hoan Eng terbangun. Ia memindahkan Bianto dari tangan kan
an ke tangan kiri dan berniat lantas menyerbu ke gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan
Tonghong Lok yang terbirit-birit loncat ke bawah tembok, akan kemudian menghilan
g di tempat gelap.
Orang bertopeng itu tertawa terbahak-
bahak. Dengan tangan kanan menengteng toya dan tangan kiri menyekal kepala Ie Ko
kloo, ia mengenjot badannya dan tubuhnya melayang ke bawah bagaikan seekor burun
g.
Hoan Eng terkesiap. Didengar dari suara tertawanya dan dilihat gerak-gerakannya,
orang itu adalah si penjahat bertopeng yang telah merampas tiga puluh laksa tahi
l perak di propinsi Shoatang!
Hoan Eng kemudian menunduk dan mengawasi kedua Wiesoe itu yang menggeletak
tanpa berkutik lagi. Begitu melihat, hatinya jadi lebih kaget lagi. Pada jalan d
arah Tayyang hiat mereka, terlihat nyata bekas Kimhoa! Bunga emas, atau Kimhoa,
adalah senjata rahasia si pemuda baju putih. Apakah pemuda baju putih itu adalah
si penjahat bertopeng? Akan tetapi, hal itu tak mungkin, oleh karena potongan b
adan si baju putih berbeda dengan badan si penjahat. Apakah si penjahat juga dap
at menggunakan senjata rahasia Kimhoa? Demikianlah Hoan Eng
berdiri bengong, tanpa dapat memecahkan "cangkeriman" itu.
Tiba-tiba, kesunyian sang malam dipecahkan suara bentrokan dua kuntum Kimhoa! Da
n hampir berbareng dengan itu, dihadapan Hoan Eng berdiri si pemuda baju putih!
Hoan Eng adalah seorang yang berkepandaian cukup tinggi dan sudah kawakan dalam
dunia Kangouw. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mengetahui, dari mana datangnya
pemuda itu. Begitu terdengar suara bentrokan senjata rahasia, begitu ia muncul
dihadapannya! Dapatlah dibayangkan, betapa cepat gerakan orang itu.
Pemuda itu tertawa nyaring, nyaring bagaikan kelenengan perak.
"Apakah orang bertopeng itu sahabatmu?" ia menanya.
"Bukan!" jawab Hoan Eng.
Paras muka si baju putih berobah dengan mendadak. "Ah!" katanya sembari memutark
an badan dan menjejek kedua kakinya.
"Hiapkek (pendekar)! Bolehkah kau memberitahukan she dan namamu yang mulia?" ber
seru Hoan Eng.
Tapi ia tidak menjawab, badannya sudah melayang turun ke bawah tembok.
* * *
Pada besok paginya, masih remang-remang, dengan seekor kuda dan sebatang golok,
Hoan Eng sudah berangkat. Sesudah kepala Ie Kokloo dicuri orang, atas nasehat si
pelayan hotel, Hoan Eng meninggalkan
Pakkhia secepat mungkin untuk pergi ke
Thayouw guna mencari Thio Tan Hong.
Tunggangannya adalah kuda pilihan yang larinya cepat sekali dan kira-kira tengah
hari, ia sudah melalui seratus lie lebih. Sesudah melewati Lamwan, lalu lintas
tidak begitu ramai lagi dan ia dapat kaburkan tunggangannya tanpa banyak rintang
an.
Selagi larikan kudanya, ia mendapat kenyataan, bahwa di belakangnya mengikuti se
orang lain. Dilihat dari dandanannya, orang itu adalah seorang saudagar. Ia menu
nggang seekor kuda belang dan pada pelana tergantung dua tas kulit yang tidak te
rlalu besar. Semula Hoan Eng tidak memperhatikannya dan menduga, bahwa ia itu ad
alah seorang saudagar biasa.
Di waktu magrib, ia
tiba disuatu kota kecil, yaitu kota Lioelieho, yang terpisah dua ratus lima pulu
h lie lebih dari Pakkhia.
Sesudah Hoan Eng masuk ke dalam kota dan berhenti di depan sebuah rumah penginap
an, secara tidak di sengaja ia menoleh ke belakang dan melihat saudagar itu seda
ng mengikuti dari sebelah kejauhan. Ia terkejut. Cara bagaimana, tunggangan saud
agar itu, yang kelihatan seperti kuda pasaran, dapat menyusul ia? Ketika masuk k
e dalam hotel, ia sangat berwaspada, tapi segera juga ia tertawa sendiri oleh ka
rena saudagar itu mengambil penginapan lain.
Hoan Eng adalah seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kangouw. Walaupun saudaga
r itu tidak ter-
lalu menyurigakan, akan tetapi, pikirnya lebih berhati-hati ada lebih baik. Memi
kir begitu, sesudah mengobati lukanya, yang untung juga hanya luka di luar, ia b
ersamedhi untuk memelihara semangat dan kemudian tidur dengan menggunakan golokn
ya sebagai bantal kepala. Besoknya, sebelum jam lima pagi, ia sudah bangun, baya
r uang sewa kamar dan lalu berangkat.
Pada jaman itu terdapat satu nasehat untuk mereka yang melakukan perjalanan: "Se
belum malam mengasolah di rumah penginapan, sesudah terang tanah barulah berjala
n." Maka itu, si pelayan merasa agak heran melihat Hoan Eng sudah berangkat sebe
lum fajar menyingsing.
Sekeluarnya dari kota kecil itu, Hoan Eng men-
Repot sekali Hoan Eng dikerubuti oleh tiga musuh yang masing-masing bersenjata P
oan-koan-pit, Lian-tjoe-toei- dan golok. Selagi keadaannya berada dalam bahaya,
tiba-tiba muncul seorang pemuda yang menolong ia dengan melepaskan senjata rahas
ia yang merupakan bunga-emas.
dongak. Bulan sabit dan beberapa bintang masih memancarkan sinarnya yang remang-
remang, sedang kawanan burung masih tidur nyenyak dalam sarangnya. Ia mesem dan
lalu kaburkan tunggangannya.
Kira-kira tengah hari, ia sudah berada di tempat yang terpisah kurang lebih sera
tus lima puluh lie dari Lioelieho. Ia menahan kudanya dan menengok ke belakang.
Ia kaget oleh karena saudagar itu ternyata sedang mengikuti dari jauh. "Apakah i
a sengaja menguntit aku?" ia menanya pada diri sendiri. Muka orang itu agak berm
inyak, kepalanya memakai topi kulit, sedang di punggungnya menggemblok sebentuk
tudung. Dilihat dari mukanya dan dipandang dari kudanya, ia hanyalah se-
orang saudagar biasa. Hoan Eng sangat ber-sangsi. Siapa orang itu dan apa maunya
?
Sesudah melirik lagi sekali, ia menyabet kudanya dan binatang itu lantas saja ka
bur sekeras-kerasnya. Si saudagar tenang-
tenang saja, sama sekali tidak mengunjukkan keinginan untuk sengaja menyusul Hoa
n Eng. Dalam sekejap, saudagar itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi
dan Hoan Eng menjadi lega hatinya.
Hoan Eng adalah seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah larikan lagi kudanya b
eberapa lama, ia mem-biluk ke suatu jalan kecil dan di waktu magrib, tibalah ia
di kota Pekkouw yang terletak seratus lie lebih di sebelah timur kota Poteng. Da
lam kota itu,
yang terlebih kecil daripada Lioelieho,
hanya terdapat sebuah rumah penginapan.
Sesudah mendapat kamar dan bersantap malam, ia merasa pasti si saudagar tidak ak
an mengikutinya ke kota kecil itu. Tapi, tak dinyana, baru saja ia memikir begit
u, di luar sudah terdengar suara berbengernya kuda dan saudagar itu sudah berada
di depan pintu hotel.
Sekarang benar-benar ia kaget. Sudah tak dapat disangsikan lagi, orang itu sedan
g menguntit ia. Sebelum orang itu masuk, dengan cepat ia masuk ke dalam kamarnya
, di mana ia mendengar saudagar itu memesan makanan dan minta air cuci muka, tia
da beda dengan seorang pelancong biasa. Sesudah makan, saudagar itu ma-
suk ke kamarnya yang berhadapan dengan kamar Hoan Eng.
Hoan Eng merasa sangat tidak enak hatinya, ia bersamedhi sembari menyekal golok.
Tapi sesudah menung-kuli setengah malam, sama sekali tidak terjadi kejadian lua
r biasa. "Jika orang itu mempunyai niatan kurang baik, dalam dua hari ia tentu s
udah menyerang," pikirnya. "Jika maksudnya baik,
siang-siang tentu ia sudah menegur aku. Tapi kenapa, tanpa menyerang atau
menegur, ia menguntit terus menerus? Apa kawan, apa lawan?"
Jam tiga sudah lewat, tapi tetap tak ada pembahan luar biasa. Mendadak Hoan Eng
ingin kencing dan sembari menengteng golok, ia pergi ke kakus yang terletak di
pojok
pekarangan hotel.
Selagi kencing, dari sela-sela pintu kakus, ia melihat satu bayangan manusia men
dekam di atas genteng. Begitu ia keluar dari kamar kecil, bayangan itu menghilan
g dengan gerakan cepat luar biasa.
"Sahabat dari mana di situ?" membentak Hoan Eng dengan suara perlahan. "Lekas ke
luar!" Ia menimpuk dengan sebutir batu kecil, tapi bayangan itu tetap tak muncul
lagi.
Dengan penuh kecurigaan, cepat-cepat Hoan Eng kembali ke kamarnya dan membesarka
n api lampu. Pembahan besar tak ada tapi toh ia terkejut bukan main, oleh karena
buntalannya yang tadi berada di tengah-tengah meja sekarang sudah berkisar ke k
iri dan bentuk ikatan bun-talan pun sudah bero-
bah. Sebagai seorang yang biasa berkelana di kalangan Kangouw, ia selalu berhati
-hati dan semua barangnya
ditaroh di tempat tertentu, malah ada juga yang diberi tanda, sehingga tergeser
sedikit saja, ia pasti akan mengetahuinya. Ia
yakin, bahwa dalam tempo yang sangat pendek, yaitu selagi ia pergi ke kakus, bun
talannya sudah dibuka orang. Buru-buru ia membuka buntalan itu dan ternyata bebe
rapa stel pakaiannya tidak diganggu.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Hoan Eng mengambil putusan buat mabur s
ecepat mungkin. Ia meninggalkan sepotong perak di atas meja sebagai pembayaran s
ewa kamar dan kemudian cemplak kudanya yang lantas saja
dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah berjalan kurang lebih setengah jam, di sebe
lah depan kelihatan hutan yang melintang menutup jalan. Ia loncat turun dari tun
ggangannya dan masuk ke dalam hutan dengan menuntun kudanya.
Belum berapa lama ia berjalan, ketika tiba-tiba di sebelah belakangnya terdengar
suara berbengernya seekor kuda. Ternyata si saudagar sudah mengubar sampai di s
itu dan tanpa menghiraukan larangan Kangouw yang berbunyi: "Bertemu hutan, janga
nlah masuk", dikepraknyalah kudanya yang lantas menerobos masuk ke dalam hutan.
Melihat orang itu tidak berkawan, hati Hoan Eng jadi mantep. Ia memutarkan badan
dan sambil menyekal
goloknya keras-keras, ia menanya: "Kenapa tuan terus menerus menguntit
aku?"
Orang itu tertawa dingin. Dengan sekali menggoyangkan tangan kirinya, ia menyala
kan bahan api yang lantas dilemparkan kerumput kering, sehingga rumput itu lanta
s jadi terbakar. Sesudah menyapu
dengan matanya ke kiri kanan, barulah ia berkata: "Kau jalan di jalanmu, akupun
jalan di jalanku sendiri. Kenapa tuan menjadi curiga?"
Hoan Eng mengetahui orang itu membakar rumput lantaran kuatir adanya musuh yang
bersembunyi. Dari sini dapat diketahui, bahwa orang itu benar-benar sudah kawaka
n dalam kalangan Kangouw dan dapat memikir begitu cepat dalam tempo yang begitu
pendek.
Sambil melintangkan
goloknya, Hoan Eng lantas saja tertawa terbahak-bahak.
"Bahwa tuan meneruskan perjalanan di tengah malam buta, adalah satu kejadian yan
g sungguh-sungguh mengherankan aku!" katanya dengan suara nyaring.
Orang itu turut tertawa berkakakan seraya berkata: "Kalau begitu, apakah kelakua
n tuan yang juga kaburkan kuda di tengah malam buta, tidak sama mengherankannya?
"
"Sekarang lebih baik kita bicara terus terang saja," berkata Hoan Eng. "Aku adal
ah seorang pemburon. Dan siapakah adanya kau?"
"Kau pemburon, aku adalah orang yang menguntit pemburon!" jawabnya.
"Jika begitu, kau tentunya orang dari is-
tana," kata Hoan Eng sembari tertawa tawar. "Baiklah! Aku siap sedia untuk melay
ani kau!"
"Bukan aku, tapi kau yang berkata begitu," kata orang itu. "Siapa yang mau berke
lahi denganmu? Jika kau pemburon, kenapa tidak cepat-cepat kabur?"
Hoan Eng terkejut. "Siapa sebenarnya
kau?" ia membentak.
"Di hadapan ksatria, orang tidak berjusta." kata si saudagar. "Dan kau, siapa se
benarnya kau?"
"Bukankah aku sudah memberitahukan?" jawab Hoan Eng.
"Lantaran apa kau menjadi pemburon?" menanya pula orang itu. "Kedosa
an apakah yang sudah kau lakukan?"
"Aku menyatroni penjara istana untuk menolong Ie Kiam!" jawabnya dengan berani.
"Siapa yang curi ke-
pala Ie Kiam?" orang itu menanya lagi.
"Aku sudah bicara terus terang, sekarang adalah giliranmu. Siapa kau?" tanya Hoa
n Eng dengan perasaan mendongkol oleh karena orang itu terus mencecer dengan
pertanyaan-pertanyaan, tanpa ia sendiri mau berterus terang.
"Aku adalah seorang yang secara diam-diam sudah melindungi kau," jawabnya. "Kita
semua adalah sahabat-
sahabat dari satu jalan. Aku ingin sekali bertemu dengan Giesoe
(pendekar) yang sudah mencuri kepala Ie Kiam dan dengan memandang persahabatan,
aku
mohon kau suka mengantarkan aku kepada orang itu."
Biji mata Hoan Eng bergerak beberapa kali, hatinya sungguh merasa sangsi. "Dilih
at dari
gerak-geriknya, ia
bukan mau menangkap aku," katanya di dalam hati. "Tapi kenapa ia begitu ingin me
nemui si pencuri kepala?"
"Apa kau masih merasa sangsi?" tanya orang itu. "Cobalah pikir. Jika aku orang p
emerintah, masakah sesudah menguntit dua hari dua malam, aku belum juga turun ta
ngan?"
Hoan Eng tak menyahut, tapi lantas mendekati kuda orang itu, yang sedang makan r
umput. Melihat seorang asing datang padanya, hewan itu mengangkat kepalanya dan
berbe-nger keras.
"Macam tunggangan tuan tidak terlalu garang, tapi sungguh cepat larinya," memuji
Hoan Eng sembari mengangsurkan sebelah tangannya dan membetot les.
"Mau apa kau?" bentak orang itu.
Begitu dibetot, kuda itu berjingkrak dan menendang. Hoan Eng berjongkok dan mena
ngkap satu kakinya. Sekali melirik saja, ia sudah melihat, bahwa pada besi kaki
kuda tertjetak empat huruf: "Toalwee Giema" (Kuda Istana Kaizar). Hampir berbare
ng, ia menggulingkan diri dan molos di antara kaki kuda itu.
"Ha-ha-ha!" Hoan Eng tertawa berkaka-kan. "Sekarang aku tahu siapa adanya tuan!"
Sebagaimana diketahui, ia adalah seorang yang sangat berhati-hati. Dengan matany
a yang sangat tajam, ia menduga, bahwa kuda itu sudah mendapat latihan istimewa.
Ia mengetahui, bahwa semua kuda istana diberi tanda pada besi kakinya. Maka itu
, ia segera
mengambil putusan
untuk mencoba dan benar saja
percobaannya berhasil.
Orang itu adalah pahlawan istana yang dengan menyamar
sudah menguntit Hoan Eng. Ia tidak lantas turun tangan oleh karena menduga, bahw
a si pencuri kepala adalah kawan Hoan Eng dan dari Hoan Eng, ia mengharap akan m
endapatkan keterangan yang diingininya, supaya dengan sekali menyapu, ia bisa me
mbinasakan kedua-duanya.
Ia bukan Wiesoe (pahlawan) biasa dan setelah kedoknya di-locoti, sebaliknya dari
ketakutan, ia tertawa terbahak-bahak. "Mata tuan sungguh awas sekali!" katanya.
"Dari ini saja, tuan sudah cukup berharga untuk menjadi sahabatku." Ia berhenti
sejenak dan
kemudian membentak: "Apakah kau pernah mendengar nama Yang Tjong Hay? Jika kau i
ngin aku berlaku murah hati, lekas antarkan aku kepada penjahat yang mencuri kep
ala Ie Kiam!"
Hoan Eng terkesiap. Pada jaman itu, kiamkek (ahli pedang) yang kesohor di wilaya
h Tiongkok adalah: "Di Selatan Thio Tan Hong, di Utara Ouw Bong Hoe, di Barat Ya
ng Tjong Hay, sedang di Timur adalah Tjio Keng Tauw. Thio Tan Hong dan Ouw Bong
Hoe sudah lama mengundurkan diri dari pergaulan umum, Tjio Keng Tauw kabur ke se
berang laut sebagai pemburon lantaran merampok pedang mustika dari istana dan ha
nya Yang Tjong Hay yang masih malang melintang di daerah Tiongkok Barat daya, di
mana ia sudah melakukan ba-
nyak perbuatan terkutuk. Sepanjang warta, ia adalah jago Tjengshia pay (Partai k
ota hijau), tapi para tetua partai itu ternyata tak sanggup mengendalikan lagi t
ingkah lakunya. Dengan menunggang seekor Toalwee Giema, sudah terang ia sekarang
menjadi kaki tangan kaizar dan "Yang Taydjin" itu yang disebut-sebut oleh para
Wiesoe, tentulah ia adanya.
Hoan Eng menyedot napas dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya. "Baiklah!" kata
nya. "Aku akan mengantar kau!" Ia maju setindak dan sekali membalik tangan, golo
k Bianto sudah menyambar. Bacokan itu yang dilakukan secara tidak diduga-duga, s
udah cepat luar biasa, tapi Yang Tjong Hay tidak kalah cepatnya. Sem-
bah tertawa dingin, ia mementil dengan kedua jerijinya. Beratnya sabetan Hoan En
g ada beberapa ratus kati, tapi, begitu terpentil, golok itu mental! Dan pada sa
at itu, Yang Tjong Hay sudah menghunus pedangnya seraya membentak: "Rasakan peda
ngku!"
Hoan Eng yang sudah kenyang menghadapi lawan-lawan berat, lalu melancarkan seran
gan berantai, dengan tendangan, sabetan tangan dan bacokan yang semua merupakan
serangan mati-matian. Yang Tjong Hay kembali tertawa dingin dan berkelit sembari
menikam. "Bret", pundak Hoan Eng tergores pedang! Dengan tikaman itu, Yang Tjon
g Hay sudah berlaku murah hati lantaran ia ingin sekali dapat mem-
bekuk Hoan Eng hidup-hidup guna mengorek keterangan dari mulutnya. Jika mau, den
gan mudah ia dapat menobloskan tulang pundak musuh.
Dulu, paman Hoan Eng mempunyai kedudukan setingkat dengan Thio Hong Hoe dan dike
nal sebagai salah seorang dari "Tiga Jago Kota Raja." Dengan mewarisi ilmu silat
turunan, ia mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Begitu pundaknya tergores,
ia meloncat mundur dan selagi Yang Tjong Hay mau menikam pula, tiba-tiba ia memb
entak keras sambil membacok dan menendang. Pukulan ini sangat tersohor dan dinam
akan pukulan Houwwiekak Tiongmato (Tendangan buntut harimau bacokan kuda kabur).
Orang yang bisa mengelit bacokannya,
tak nanti mampu mengegosi tendangannya. Akan tetapi, Yang Tjong Hay bukan lawan
biasa dan dengan meloncat mundur, ia dapat menyingkir dari dua serangan itu.
Di lain pihak, sembari membacok dan menendang, Hoan Eng terus menubruk ke depan
dan menerobos keluar dari kurungan api. Selagi meloncat, ia menyembat dua batang
cabang pohon yang berkobar-kobar untuk menimpuk musuhnya. Yang Tjong Hay me-nge
bas dengan tangannya dan kedua batang itu jatuh di tempat yang terpisah kira-kir
a tujuh kaki dari badannya. Akan tetapi, perbuatan Hoan Eng ini ada hasilnya jug
a, yaitu sudah membikin binal kuda Yang Tjong Hay. Ketika achirnya hewan itu dap
at dibikin jinak,
Hoan Eng sudah lari agak jauh.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Yang Tjong Hay bernyali besar dan ia
lantas saja mengubar.
"Kawan! Hayo membantu!" berseru Hoan Eng.
"Keluar! Aku tak takut!" berteriak Yang Tjong Hay dengan suara mengejek.
Sekonyong-konyong di luar hutan terdengar suara berbengernya kuda. Yang Tjong Ha
y mengeluarkan suara "hm" dan menduga, Hoan Eng benar-benar mempunyai kawan. Ia
mengempos semangat dan mengubar seperti kilat cepatnya, dengan tujuan lebih dulu
membinasakan Hoan Eng dan kemudian baru melayani musuh yang masih berada di lua
r hutan.
Dengan mengguna-
kan siasat "main petak" dan lari membiluk-biluk di antara pohon-pohon, Hoan Eng
dapat menyelamatkan diri. Beberapa kali, lantaran terdesak, ia terpaksa melawan
sejurus dua jurus, akan kemudian kabur lagi. Meskipun ilmu silat Yang Tjong Hay
jauh lebih tinggi, ia tak akan dapat merobohkan Hoan Eng dalam hanya dua atau ti
ga jurus.
Bukan main gusarnya Tjong Hay. Dengan mata merah, ia mengudak terus sembari meng
eluarkan seraup Thielian tjie (Biji teratai besi) yang lantas ditimpukkan ke ara
h dua belas jalan darah musuh. Dengan lari berbelit-belit, Hoan Eng dapat menyin
gkir dari sejumlah senjata rahasia itu. Tiba-tiba, sambil membentak
"kenal", Tjong Hay menendang rubuh sebatang pohon kecil. Begitu
pohon itu, yang merupakan tedeng bagi badan Hoan Eng rubuh, ia menimpuk dengan b
eruntun dan sebuah Thielian tjie tepat mengenakan jalan darah Thianhian hiat, di
punggung Hoan Eng.
Hoan Eng berteriak kesakitan sembari meloncat dan menyampok beberapa Thielian tj
ie lain dengan goloknya. Ketika itu, ia sudah sampai di tengah-tengah hutan leba
t yang penuh dengan pohon-pohon berduri. Dengan nekat ia menerobos terus dan mem
buka jalan dengan Bianto-nya. Yang Tjong Hay mengejar terus, sering pakaiannya
tercangkol duri. Lantaran pedangnya tidak setajam Bianto, ia harus mengg
unakan lebih
banyak tempo untuk membabat pohon-pohon duri itu, sehingga sema-
kin lama ia jadi ketinggalan semakin jauh. Selain itu, sebab gelap gulita ia sek
arang tak dapat melihat lagi di mana adanya Hoan Eng. Dengan gusar ia menyalakan
bahan api yang lantas dilemparkan dan begitu mengenakan cabang-cabang kering, a
pi lantas berkobar-kobar. Sesudah itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan bada
n Tengpeng touw-soei (Menginjak rumput menyeberang sungai), ia mengubar dengan b
erlari-lari di atas pohon-pohon berduri, tanpa memperdulikan pakaian dan kakinya
yang tertusuk duri. Saban kali keadaan sudah terlalu gelap, ia lalu membakar hu
tan lagi sehingga tidak lama kemudian, di beberapa belas tempat sudah terbit keb
akaran.
Semakin lama, Yang
Tjong Hay sudah semakin dekat pada korbannya. Sementara itu, beberapa kali terde
ngar suara berbengernya kuda di luar hutan. Secara mati-matian, achirnya Hoan En
g dapat juga menerobos ke luar dari hutan itu yang panjangnya kira-kira tiga lie
. Melihat musuhnya sudah berada di tempat terbuka, Yang Tjong Hay tertawa bergel
ak-gelak. "Sekarang mau lari ke mana kau?" ia berseru sembari menimpuk
dengan tiga butir Thielian tjie.
Hoan Eng menyampok jatuh peluru pertama dengan goloknya dan berkelit dari peluru
kedua yang menyambar tenggorokannya, tapi Thielian tjie yang ketiga tak dapat d
ielakkan lagi dan tepat mengenakan lututnya, sehingga ia jatuh berlutut seketi
ka
itu juga.
Ketika itu, dengan adanya sinar api dan sinar bulan, keadaan di situ menjadi cuk
up terang. Yang Tjong Hay bergirang hati dan kembali ia tertawa besar, akan kemu
dian menghampiri korbannya untuk ditelikung.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara tindakan kuda yang berlari cepat sek
ali. Yang Tjong Hay terkesiap dan mengawasi ke jurusan itu. Bagaikan kilat sesos
ok bayangan putih melesat mendatangi dan dalam sekejap mata, seekor kuda berbulu
putih sudah berada dihada-pannya dan penunggangnya, seorang pemuda berbaju puti
h, segera meloncat turun. Dilihat dari mukanya yang sangat cakap, pemuda itu bar
u berusia kurang lebih tujuh belas
tahun, badannya langsing kecil, sehingga jika dipandang sekelebatan, seolah-olah
ia hanya satu bocah yang baru keluar dari rumah sekolah.
Pemuda itu melirik dan berkata: "Ah! Tak tahunya Yang
Toatjongkoan, Yang Taydjin! Untuk apa kau mengubar-ubar ia?"
Yang Tjong Hay terkejut sebab sekali membuka mulut, si bocah sudah melocoti kedo
knya.
"Siapa kau?" bentaknya sembari menuding dengan pedangnya. "Jangan menyampuri uru
san orang lain!"
Si pemuda mesem tawar dan menjawab: "Urusan dalam dunia harus diurus oleh manusi
a yang hidup dalam dunia. Siauwya-mu
(Siauwya = Tuan kecil) paling senang menyam-
puri urusan ganjil!"
Yang Tjong Hay mendongkol tercampur geli mendengar kata-kata itu. "Urusan ganjil
apa?" ia menanya sembari tertawa.
"Yang besar menindas yang kecil, kau sudah menghinakan orang!" jawabnya.
Perkataan si bocah yang belum hilang bau pupuknya itu sudah mengilik-ngilik hati
Yang Tjong Hay. Ia lantas meladeni terus dan sama sekali tidak kuatir Hoan Eng,
yang sudah kena Thielian tjie akan melarikan diri. "Ah! Perkataanmu tak masuk d
iakal," katanya sembari tertawa geli. "Dia sudah cukup besar dan bukan seperti k
au yang masih bau daun deringo. Tak dapat kau mengetakan: Yang besar menindas ya
ng kecil!"
Si baju putih tertawa tawar.
"Sebagai kiamkek kenamaan dan seorang yang bergelar Taydjin, kau sudah melukakan
seorang piauwkek biasa dengan senjata rahasia," katanya dengan suara mengejek.
"Apakah ini bukan yang kuat menghina yang lemah, yang besar menindih yang kecil?
Sesudah dilihat olehku, urusan ganjil ini tak dapat aku tak menyampuri!"
Sembari menggosok-gosok lututnya dan mengempos semangat untuk membuka jalan dara
hnya, Hoan Eng mendapat kenyataan bahwa si baju putih adalah pemuda yang sudah m
empermainkan Thio Houwtjoe dan yang sudah melukakan dua Siewie dengan senjata ra
hasia bunga emas. Ia jengah bukan main ketika mendengar dirinya dinamakan se
-
bagai "piauwkek biasa".
Hati Vang Tjong Hay jadi seperti semakin dikitik-kitik. "Jika aku sampai turun t
angan terhadapmu, bukankah soal yang besar menindas yang kecil-kecil jadi terula
ng pula?" katanya sembari tertawa berka-kakan.
"Sebagai kiamkek kenamaan, kau sungguh mengecewakan aku," kata si baju putih. "S
ungguh aku tak nyana, otakmu kosong me-longpong!"
"Apa?" menegasi Yang Tjong Hay.
"Apa gunanya mempunyai badan yang seperti kerbau atau kuda besarnya?" kata pula
pemuda itu. "Apakah kuat dan lemah, besar atau kecil, diukur dengan ukuran usia?
Aku sekarang bicara terus terang kepadamu: Jika kau bukannya seorang Toatjon
gkoan
(Pengurus besar dalam istana kaizar), masih sungkan aku mengadu tanganku dengan
cecongormu!"
Mendengar omongan temberang itu yang menyebut-nyebut juga soal tingkatan, Yang T
jong Hay jadi lebih-lebih sungkan bertempur dengan si bocah. Harus diketahui, ba
hwa dalam Rimba Persilatan, soal tingkatan diperhatikan benar. Jika, sebagai seo
rang yang mempunyai tingkatan tinggi, ia sampai mengukur tenaga dengan satu boca
h, semua orang gagah dalam Rimba Persilatan tentu akan mentertawakan-nya.
"Hayo!" membentak si baju putih sembari menghunus sebatang pedang pendek. Begitu
dihunus, pedang itu mengeluarkan sinar
yang menyilaukan, se-
hingga Yang Tjong Hay jadi terkesiap. Jika tidak melihat dengan mata sendiri, su
ngguh ia tak percaya bahwa bocah yang belum hilang bau pupuknya itu mempunyai ku
da dan pedang mustika.
Tapi biar bagaimanapun juga, ia tentu tak memandang sebelah mata si bocah itu. "
Benar-benar kau mau turut campur urusan ini?" ia menanya.
"Jangan rewel!" si baju putih membentak. "Hayo, seranglah sesukamu!"
"Bocah!" berkata Yang Tjong Hay yang sudah mulai mendongkol. "Pergilah pulang ke
pada gurumu dan belajar lagi beberapa tahun. Seorang yang seperti aku sebenarnya
tidak harus mempunyai pandangan seperti kau bocah cilik."
"Eh! Kau mau me-
nyerang atau tidak?" mendesak si baju putih. "Kalau kau tetap tidak bergerak, ak
u tak akan berlaku sungkan lagi."
"Coba kau bersilat sejurus, aku mau lihat siapa gurumu," kata Yang Tjong Hay akh
irnya.
"Baik. Awas!" berseru pemuda itu, sembari menikam. Dengan tenang Tjong Hay menga
ngkat dua jerijinya untuk mementil senjata yang sedang menyambar. Tak dinyana, t
ikaman itu yang kelihatan seperti tikaman biasa, aneh sekali perobahan-nya. Di t
engah jalan, pedang itu mendadak berobah arahnya, dari menikam jadi membabat dan
jika kedua jeriji Yang Tjong Hay tidak ditarik kembali, sudah pasti dua-dua aka
n terbabat putus.
Tak malu Yang Tjong Hay dikenal sebagai
kiamkek kawakan.
Pada saat pe- dang itu hanya tinggal terpisah lima dim dari jerijinya, ia masih
keburu membalik tangannya dan dengan gerakan Liongheng tjoantjiang (Gerakan naga
menembus tangan), ia coba merampas pedang itu.
Hampir pada detik itu juga, pedang si baju putih lewat di pinggir kuping Yang Tj
ong Hay, sedang tangan Tjong Hay menyambar lengan si baju putih. Dalam pertempur
an antara jago melawan jago, menang kalah hanya berdasarkan perbedaan bagai ramb
ut sehelai dibelah tujuh. Pada detik itu, dari berada di bawah angin, Yang Tjong
Hay berbalik berada di atas angin, sehingga, dengan sekali menyodok, lengan si
baju putih akan dapat dirusaknya. Hoan Eng
terkesiap dan berteriak: "Celaka!" Tanpa mem-perdulikan lututnya
yang masih lemas, ia menepuk tanah dengan kedua tangannya dan badannya lantas me
lesat ke dalam gelanggang pertempuran.
Tapi, sedang badan Hoan Eng masih berada di tengah udara, tiba-tiba Yang Tjong H
ay berteriak: "Ih!" Ternyata, pada detik itu, si baju putih sudah menarik pulang
tangannya dan menggunakan gagang pedang untuk menotok lengan lawannya. Jika Yan
g Tjong Hay tidak menghentikan pukulannya, lengan
kedua belah pihak tentu akan patah bersama-sama. Cepat bagaikan kilat, Yang Tjon
g Hay loncat minggir dan kedua lawan itu sama-sama terlolos dari bahaya. Sesaat
itu, Hoan Eng hinggap di
atas tanah, dengan napas lega.
Tapi siapa nyana, satu gelombang baru lewat, lain gelombang sudah menyusul. Menu
rut kebiasaan, jika dalam satu pertempuran, dua musuh berpencar, masing-masing p
ihak lebih dulu memperbaiki kedudukannya, kemudian baru maju lagi untuk bertempu
r pula. Akan tetapi, baik Yang Tjong Hay, maupun si baju putih ketika itu mempun
yai pikiran yang sama, yaitu: Mendahului menyerang sebelum sang lawan dapat memp
erbaiki kedudukannya. Dalam hal ini, Tjong Hay yang mempunyai lebih banyak penga
laman, sudah bertindak lebih cepat dari pada lawannya. Baru saja pedang si baju
putih bergerak, kedua tangan Tjong
Hay sudah membuat satu lingkaran dan menerobos masuk ke dalam garis pembelaan si
baju putih, yang kedua tangannya lantas saja "terkunci" dan tak dapat mengerahk
an tenaga lagi.
Yang Tjong Hay adalah ahli waris Tjengshia pay yang sudah mendapat segala rahasi
a ilmu silat partai tersebut. Setiap
pukulannya mengandung "kekerasan" dan "kelembekan" serta
dapat berubah-ubah secara di luar dugaan. Walaupun tak mengenal rahasia ilmu sil
at Tjengshia pay, akan tetapi Hoan Eng mengetahui, bahwa dengan sekali menggerak
kan tangan. Yang Tjong Hay dapat mencelakakan si baju putih. Ia tahu, biar bagai
manapun juga, ia tak akan dapat memberi
pertolongan dan tanpa merasa, sekali lagi ia berteriak: "Celaka!"
Dan hampir berbareng dengan teriakan Hoan Eng, Yang Tjong Hay dan si baju putih
bersama-sama menjerit. Mata Hoan Eng kabur, ia tak tahu kedua pihak menggunakan
pukulan apa. Ia hanya melihat lengan baju Tjong Hay robek dan badannya sempoyong
an."Sahabat kecil! Bagus! Sungguh bagus!" Hoan Eng berteriak bagaikan kalap lant
aran kegirangan. Ia tidak mengetahui, bahwa pergelangan tangan si pemuda juga su
dah terpukul dan jika dihitung-hitung, adalah si baju putih yang menderita kerug
ian terlebih besar.
Sekarang muka Toatjongkoan itu berubah merah padam, ia merasakan dadanya seperti
mau meledak
lantaran gusarnya. Me-ngimpi pun ia tak pernah, bahwa tangan bajunya bisa dirobe
k oleh satu bocah yang belum hilang bau pupuknya.
Selagi lawannya ber-gusar, si baju putih lantas saja mencecer dengan serangan-
serangan hebat. Dalam keadaan tenang, sebenarnya Tjong Hay masih dapat melayani
pemuda itu dengan tangan kosong. Tapi begitu darahnya naik,
semangatnya tak dapat lagi dipusatkan dan dalam sekejap, ia sudah terdesak, sehi
ngga ia jadi kaget dan bingung. Tanpa memperdulikan lagi tingkatannya yang tingg
i, ia segera menghunus pedangnya yang menggemblok di punggungnya.
"Nah! Sedari tadi aku sudah perintahkan kau mencabut senjata," me-
ngejek si baju putih sembari tertawa. "Tapi kau tetap membandel. Sekarang bagaim
ana?" Sedang mulutnya berbicara, tangannya bekerja terus dan menikam tenggorokan
Yang Tjong Hay bagaikan kilat. Pedang si baju putih cepat, tapi gerakan Tjong H
ay lebih cepat lagi. Dengan sekali mengegos, ia sudah mengelit tikaman itu dan l
alu balas menyerang.
Sesudah bergebrak beberapa-apa jurus, dengan gerakan
Souwtjin pweekiam
(Souwtjin menggendong pedang), Tjong Hay menggerakan pedangnya, yang dengan meng
eluarkan suara mengaung, sudah
"mengunci" bagian atas, tengah dan bawah pemuda itu. "Bagus!" berseru si baju pu
tih. Bukannya berkelit atau
mengegos, sebaliknya dengan ilmu Lie Kong siatjiok (Lie Kong memanah batu), ia m
alah menikam dada Yang Tjong Hay.
Gerakan itu sungguh-sungguh di luar dugaan. Menurut ilmu pedang yang biasa, seor
ang yang sudah "dikunci" secara begitu, harus berusaha menolong diri. Tapi dalam
keadaan yang sangat berbahaya itu, si pemuda sudah balas menyerang. Saat itu, T
jong Hay terkesiap, sebab ia mendadak teringat, bahwa pedang lawannya adalah ped
ang mustika. Menurut perhitungan, dalam bentrokan antara kedua pedang itu, pedan
g si baju putih mesti jatuh terpental. Tapi pedang Tjong Hay bukan pedang mustik
a, sehingga, dalam bentrokan itu, meskipun pe-
dang si baju putih mungkin terpental
jatuh, tapi pedangnya sendiri pasti akan putus menjadi dua. Sebagai seorang yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan, ia tentu akan menjadi buah t
ertawaan umum, jika pedangnya sampai diputuskan oleh satu bocah.
Biar bagaimanapun juga, bentrokan antara kedua pedang itu sudah tak dapat dielak
kan lagi. Berbareng dengan suara "trangl", kedua lawan itu segera berpencar. Bar
usan, begitu kedua pedang mereka beradu, Tjong Hay menarik pulang tenaga Yangkon
g (tenaga
"keras") dan mengeluarkan tenaga Imdjioe (tenaga "lembek"),
sehingga pedangnya hanya menempel pedang lawan dan lalu mental kembali. Akan te-
tapi, walaupun begitu, pedang Yang Tjong Hay somplak juga sedikit.
Demikianlah, dalam gebrakan itu, si baju putih telah mendapat kemenangan gemilan
g.
Tapi sebagai seorang muda, ia tak mengenal batas. Dengan cepat, ia membacok lagi
dan berusaha untuk mengadu pula pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu berbent
rok, tapi... aneh sungguh, sekali ini bentrokan itu tidak mengeluarkan suara!
Hoan Eng kaget dan heran. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar untuk mencari tah
u, apa sebabnya.
Di lain saat, pedang si baju putih seolah-olah sudah kena "dihisap" oleh pedang
Yang Tjong Hay. Beberapa kali ia berkutet, tapi pedang itu tetap tak dapat dit
arik pulang.
Ternyata, kali ini Yang Tjong Hay sudah mengerahkan tenaga Imdjioe yang sangat t
inggi guna "menghisap" pedang lawannya.
Beberapa saat kemudian, keringat sudah mengucur dari dahi si baju putih.
"Bagaimana?" mengejek Tjong Hay.
"Tak apa!" sahut si baju putih sembari mesem tawar. Tak tahu dengan ilmu apa, ti
ba-tiba badan si baju putih mencelat dap pedangnya sudah terlepas dari "ikatan"
musuh. Kejadian itu adalah karena salah Yang Tjong Hay sendiri. Barusan, sesudah
berhasil "menghisap" senjata musuh, dalam sejenak ia memandang rendah lawannya d
an lalu mengejek, dan selagi bicara, perhatiannya terpecah. Si baju putih, yang
liehay
luar biasa, sungkan mensia-siakan ketika baik ini dan dengan sekali membetot, ia
melepaskan pedangnya dari "hisapan" tenaga Imdjioe. Berbareng dengan itu ia mel
oncat ke samping Tjong Hay dan menikam sekali.
Dengan sangat menyesal, Yang Tjong Hay berkelit dengan gerakan Toeipo lianhoan (
Mundur berantai) dan kemudian membabat dengan pedangnya
dalam usaha untuk "menghisap" pula pedang musuh. Tapi kali ini si baju putih tak
dapat dijebak lagi. Dengan gerakannya yang sangat gesit, bagaikan kupu-kupu yan
g berterbangan di antara bunga-bunga, ia melayani Toatjongkoan itu. Yang Tjong H
ay menjadi kaget, heran dan kagum dengan berbareng. Beberapa ka-
li, pedangnya hampir menempel pedang si baju putih, akan tetapi, pada detik yang
terachir bocah itu selalu dapat meloloskan senjatanya dari "ikatan". Mendadak T
jong Hay tergoncang hatinya. Sesudah memperhatikan ilmu pedang si bocah, mendada
k ia ingat akan seorang Tayhiap
(pendekar) yang sekarang sudah mengundurkan diri dari pergaulan umum. Apakah boc
ah ini ahli waris dari pendekar tersebut?
Sesudah bertempur lagi beberapa lama, Yang Tjong Hay menjadi sadar dan mendapat
jalan untuk menghadapi musuhnya. Ia segera merobah cara bersi-latnya dan menguta
makan pembelaan diri. Akan tetapi, dalam pembelaan diri itu, ia berlaku sangat a
was dan segera balas me-
nyerang, begitu ada kesempatan. Dilayani secara begitu, dengan perlahan si baju
putih menjadi lelah dan napasnya mulai tersengal-sengal.
Sementara itu, Hoan Eng mengawasi jalannya pertempuran dengan hati berdebar-deba
r. Kedua orang itu sedang bertempur dengan menggunakan ilmu pedang yang paling t
inggi dan sekali salah tangan, jiwa bisa melayang. Walaupun tidak terlalu paham
akan ilmu pedang, ia mengetahui, bahwa si baju putih berada di bawah angin. Keti
ka itu, dengan mengatur jalan pernapasannya, Hoan Eng sudah pulihkan kembali ali
ran darahnya dan perasaan kesemutan sudah menjadi hilang. Maka itu, sambil membe
ntak keras, ia menjumput Bianto-nya
dan bergerak untuk menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran.
Sebagai seorang berpengalaman, Yang Tjong Hay sangat awas matanya. Begitu Hoan E
ng bergerak, ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri dan merogo sakunya dengan tan
gan kanan. Sembari membacok dengan tangan kiri sehingga si baju putih terpaksa m
undur dua tindak, ia mengayun tangan kanannya dan melepaskan sejumlah Thielian t
jie ke arah kedua lawannya. Sekarang Toatjongkoan ini sudah tidak menghiraukan l
agi soal tingkatan dan dalam kekuatirannya akan dikerubuti, ia malah tidak meras
a malu untuk menggunakan juga senjata rahasia. Hoan Eng, yang baru terluka kakin
ya, tak be-
gitu gesit gerakannya, sehingga dua butir Thielian tjie mampir di lehernya dan i
a kembali jatuh terguling.
Begitu rubuh, ia meloncat bangun lagi dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus m
eletik) dan pada detik itu, ia mendengar si baju putih berteriak: "Bagus!"
Di lain saat, seperti hujan gerimis, belasan bunga emas yang berbentuk Bweehoa m
enyambar ke arah Yang Tjong Hay.
"Bagus!" teriak Hoan Eng, kegirangan.
Dengan gerakan Pe-kho tjiongthian (Burung Ho putih menembus awan), Tjong Hay mel
oncat ke atas sambil mengebas dengan pedangnya. Dengan suara "tring! trang!", se
jumlah bunga emas kena dibikin terpental, tapi dua antaranya menyambar
terus. "Kena kau!" berteriak si baju putih sambil meloncat
menikam.
Biar bagaimana liehay pun, Tjong Hay tak dapat berkelit lagi dari dua bunga emas
itu yang menyambar kedua pundaknya. "Bagus!" ia berseru sambil mengerahkan tena
ga dalamnya dan menggoyang pundaknya. Dua bunga emas itu tepat mengenakan sasara
nnya, tapi lantas jatuh ke tanah lantaran kena ditolak tenaga dalam Yang Tjong H
ay, yang, berbareng dengan itu sudah mengangkat
pedangnya untuk menyambut serangan si baju putih.
Si pemuda kaget tak kepalang. Bahwa sepuluh antara dua belas bunga emasnya kena
dipukul jatuh, sudah cukup mengagumkan. Tapi menolak
senjata rahasia itu dengan tenaga dalam, adalah kejadian yang tak pernah diduga-
duganya. "Nama besar Yang Tjong Hay sungguh bukan nama kosong," ia memuji dalam
hatinya. "Tak heran, dalam dunia Kangouw ia mempunyai nama yang berendeng dengan
nama guruku."
Melihat keadaan yang berbahaya, tanpa memperdulikan lukanya, Hoan Eng kembali pu
tarkan goloknya dan maju ke medan pertempuran.
Sekonyong-konyong si baju putih bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat, bagai
kan terbang, kuda putih itu sudah lari ke arah mereka. Sembari menjambret baju H
oan Eng, si pemuda menjejek kedua kakinya dan badannya melesat ke atas, akan
kemudian
hinggap tepat di atas punggung kuda yang terus kabur bagaikan kilat!
Buru-buru Yang Tjong Hay cemplak tunggangannya dan mengubar. Kuda itu bukan kuda
sembara-ngan, akan tetapi, dibanding dengan kuda putih si pemuda, ia masih kala
h terlalu jauh. Semakin lama jarak antara mereka jadi semakin jauh dan achirnya
Yang Tjong Hay hanya dapat melihat satu titik putih yang dengan cepat lalu mengh
ilang dari pemandangan. Tentu saja Toatjongkoan tidak dapat berbuat lain daripad
a menghela
napas berulang-ulang dan menahan kudanya.
Tiba-tiba ia merasakan pundaknya sakit. Buru-buru ia turun dari tunggangannya da
n pergi ke sebuah kolam
sambil membuka bajunya. Dengan berkaca di air, ia melihat dua tapak bunga yang b
erwarna merah di kedua pundaknya. Masih untung senjata-senjata itu tidak beracun
. Kalau beracun, kedua lengannya tentu tak akan dapat digunakan lagi. Ia menggel
eng-gelengkan kepala dan dalam jengkelnya, ia masih boleh merasa syukur.
* * *
Hoan Eng yang menggemblok di punggung kuda, merasakan seperti juga dibawa terban
g di udara. Hatinya berdebar-
debar, ia tak nyana seekor kuda dapat berlari sedemikian
cepat. Selagi ia mau menengok ke belakang untuk menghaturkan terima kasih kepada
penolongnya, kuda itu
melompati suatu solokan dan hampir-hampir ia jatuh terpelanting. Buru-buru ia me
njepit perut kuda terlebih keras dan tidak berani menengok ke belakang.
"Jangan bicara! Hati-hati!" membentak si baju putih sembari memecut udara dan ku
da itu lantas saja lari terlebih keras.
Tak lama kemudian, fajar sudah menyingsing dan si baju putih menahan kudanya.
"Sekarang sudah boleh berhenti," katanya sembari meloncat turun dari kudanya den
gan paras muka tidak berobah dan napasnya juga tidak tersengal-sengal.
"Kuda ini benar-benar kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia," memuji Hoa
n Eng. "Apa sekarang aku boleh mengetahui nama tuan yang mulia?"
Ia tak menyahut.
Mendadak tangannya dilonjorkan dan golok Bianto yang tergantung di pinggangnya H
oan Eng, sudah pindah ke dalam tangannya. Bagi seorang ahli silat, melindungi se
njatanya adalah satu kebiasaan yang otomatis. Begitu tangan si baju putih menyam
bar, tangan Hoan Eng pun bergerak. Tapi ia kalah cepat dan di lain saat, pemuda
itu sudah menyekal Bianto dan mengawasi senjata itu dengan paras muka bersangsi.
Hoan Eng terkejut.
"Dari mana kau dapat golok mustika ini?" menanya si baju putih.
"Ini adalah golok Thio Hong Hoe," jawabnya.
"Kenapa Thio Hong Hoe menyerahkan goloknya kepadamu?" menanya pula pemuda itu.
Secara terus terang Hoan Eng segera menceritakan kejadian pada
malam itu, bagaimana Thio Hong Hoe binasa lantaran kekejeman kaizar. "Hanya meny
esal aku Hoan Eng tak punya guna dan tak dapat menolong Thio Pehpeh," kata ia se
mbari menangis.
"Sesudah itu aku pergi ke kota raja dan lagi-lagi gagal dalam usaha menolong Ie
Kokloo yang kepalanya belakangan kena dicuri orang."
Tiba-tiba si baju putih menghunus Bianto yang lalu disabetkan keudara beberapa k
ali. Ia mendongak dan tertawa berkakakan, tertawa yang nadanya menyayatkan hati.
"Bagus!" ia berseru. "Biar bagaimanapun juga, Thio Hong Hoe tidak binasa secara
mengecewakan. Ia
tidak... ia tidak mensia-siakan penghargaan Ie Kokloo."
Hoan Eng tergoncang hatinya dan air matanya berhenti mengucur. Didengar perkataa
nnya, si baju putih agaknya mempunyai hubungan rapet dengan Ie Kiam dan Thio Hon
g Hoe.
Pemuda itu lalu masukkan Bianto ke dalam sarungnya dan gantung senjata itu di pi
nggangnya sendiri.
"Mohon tuan sudi kasi pulang golok itu kepadaku," kata Hoan Eng. "Kenapa?" ia me
nanya.
"Aku dapat mengerti jika Indjin (tuan penolong) menyukai golok ini," kata Hoan E
ng. "Semenjak dulu orang kata: Golok mustika harus diserahkan kepada orang gagah
, pupur wangi harus dipersembahkan kepada wanita cantik. Menurut pantas, memang
aku harus mempersembahkan senjata itu kepada Indjin. Hanya
sayang, sungguh sayang, waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, Thio
Pehpeh sudah memesan aku, supaya menyerahkan golok itu kepada orang lain, dan di
sebelah itu, di dalamnya tersembunyi satu urusan besar."
"Urusan apa?" menanya si baju putih dengan suara tawar.
"Golok ini harus kuserahkan kepada Thio Tayhiap, Thio Tan Hong!" jawabnya.
Pada jaman itu, nama Thio Tan Hong sangat kesohor dan setiap orang yang pandai s
ilat, tentu mengenal namanya. Jika orang lain yang mendengar perkataan Hoan Eng,
sepuluh sembilan ia akan segera mengembalikan golok itu dengan segala kehormata
n. Akan tetapi, pemuda itu hanya melirik dan lalu
berkata: "Untuk apa diserahkan kepada Thio Tayhiap?"
"Selain golok, masih ada baju yang berlumuran darah," jawabnya. "Thio Hong Hoe d
an Thio Tan Hong adalah sahabat rapat. Pada waktu mau menutup mata, Thio Pehpeh
ingat sahabatnya itu. Ia memesan aku supaya menyerahkan baju itu kepada Thio Tan
Hong agar, dengan melihat
bajunya, Thio Tayhiap jadi ingat sang sahabat yang sudah meninggal dunia sebagai
korban seorang kaizar kejam. Di samping itu, Thio Pehpeh juga ingin minta supay
a Thio Tayhiap berusaha mencari pute-ranya dan jika bertemu, supaya Thio Tayhiap
sudi mengambil putera itu sebagai muridnya, dan di belakang hari, supaya golok
mustika itu
diserahkan kepada
puteranya itu."
"Apakah putera Thio Hong Hoe adalah itu anak nakal yang tempo hari bertemu denga
n aku di pinggir kolam?" tanya si baju putih.
"Benar, namanya Thio Houwtjoe," jawab Hoan Eng.
"Mana itu baju berdarah" pemuda itu menanya pula.
"Ini dia," kata Hoan Eng sembari
memperlihatkan baju itu.
Di luar dugaan, si baju putih mendadak menjambret dan
merampas baju itu.
"Kau... kau!" berseru Hoan Eng dengan suara kaget. "Apa maksudmu? Kau adalah pen
olongku, tapi tak mungkin aku menyerahkan golok dan baju itu!"
Dengan tenang si pemuda melipat baju itu yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
"Thio Tan Hong sungkan bertemu dengan orang luar," katanya. "Biarlah aku yang me
nyerahkan golok dan baju ini kepadanya."
Hoan Eng jadi bingung dan berkata dengan suara terputus-putus: "Ini... ini..." I
a tak dapat meneruskan perkataannya oleh karena si baju putih sudah mendorong de
ngan
tangannya dan menggaet dengan kakinya, sehingga tak ampun lagi ia jatuh celentan
g. Pada saat itu, si baju putih loncat maju dan sebelum badan Hoan Eng mengenaka
n tanah, ia kembali mendorong. Begitu didorong, badan Hoan Eng terputar beberapa
kali dan kemudian berdiri tegak di tempat tadi. Dua gerakan itu luar biasa cepa
tnya dan Hoan Eng menjadi kaget berbareng gusar.
"Itulah Hiankie
Tjianghoat (Ilmu pukulan tangan kosong dari Hiankie)," kata si baju putih dengan
suara tawar. "Meskipun kau belum pernah menyaksikan, rasanya kau sudah pernah m
endengar."
Hoan Eng terkesiap dan ingat penuturan Thio Hong Hoe, bahwa Thio Tan Hong mempun
yai ilmu silat Hiankie Tjianghoat yang sangat dashyat.
"Bolehkah aku menanya, pernah apakah kau dengan Thio Tayhiap?" menanya Hoan Eng.
Si baju putih tidak menjawab langsung pertanyaan orang, ia hanya berkata: "Sesud
ah melihat Hiankie Tjianghoat, apakah kau masih menyangsikan aku? Golok dan baju
biarlah aku yang menyampaikan."
"Ini... ini..." kata Hoan Eng, tergugu.
"Ini apa?" membentak pemuda itu.
"Dengan membawa baju dan golok itu sebagai bukti, aku ingin memohon pertolongan
Thio Tayhiap untuk mengambil pulang uang negara," menerangkan Hoan Eng.
Si pemuda mengerutkan alisnya dan menanya: "Uang apa?"
Dengan menahan sabar Hoan Eng lalu mengisahkan semua kejadian, cara bagaimana ia
sudah terpaksa membantu melindungi uang itu dan achirnya cara bagaimana uang te
rsebut sudah dirampas oleh seorang perampok bertopeng di wilayah Shoatang.
"Apa benar di Shoatang ada perampok semacam itu?" tanya si baju putih.
"Perampok bertopeng
itu adalah orang yang sudah mencuri kepala Ie Taydjin," menerangkan Hoan Eng. "T
ak dapat aku menebak asal-usulnya dan oleh karena itu, mesti juga aku minta pert
olongan Thio Tayhiap."
Sekonyong-konyong paras muka pemuda itu berubah. "Dia yang mencuri kepala Ie Kok
loo?" katanya sembari berjingkrak. "Baik. Urusan ini pun kau serahkan saja kepad
aku. Mari kita cari padanya. Naik!"
Selagi Hoan Eng bersangsi, badannya sudah diangkat dan di dudukkan di atas pungg
ung kuda yang lantas saja dikaburkan.
Kira-kira tengah hari, mereka tiba di satu kota kecil. "Tempat ini sudah termasu
k dalam wilayah Shoatang," kata si baju putih. "Tak usah tiga hari lagi, kita
akan tiba di Bongim. Biar aku membeli seekor kuda untukmu." Sesudah memesan supa
ya Hoan Eng menunggu di rumah penginapan, ia lantas berjalan keluar.
Baru saja Hoan Eng selesai bersantap, si baju putih sudah kembali dengan tangan
menuntun seekor kuda yang cukup bagus dengan totol-totol putih pada empat kakiny
a.
Hoan Eng merasa sangat heran, cara bagaimana dalam tempo begitu cepat, ia sudah
dapat membeli seekor kuda yang baik.
"Hoan Toako," kata si baju putih. "Sebenarnya kita dapat bersama-sama menunggang
seekor kuda, akan tetapi, oleh karena jalan akan menjadi terlebih ramai, aku ku
atir orang akan men-tertawai kita."
Bagi Hoan Eng, uru-
san itu tak menjadi soal dan mendengar keterangan si pemuda, hatinya merasa geli
. Semenjak bertemu, ia berusaha untuk mencari tahu siapa adanya si baju putih, t
api sebegitu jauh ia belum berhasil. Sebagai seorang yang mengenal baik kebiasaa
n dalam kalangan Kangouw, ia tidak berani menanya melit-melit.
Pada hari ketiga, tibalah mereka di Bongim, yaitu tempat di mana uang pemerintah
telah dirampas oleh si perampok bertopeng. Hoan Eng memberi keterangan, bahwa p
erampok itu tak mungkin masih berada di Bongim, tapi si baju putih tetap kukuh d
an mau juga menyelidiki di kota itu. Benar saja, tiga hari mereka membuang
tenaga dengan percuma.
Pada hari ke empat,
si baju putih masih juga mau menyelidiki di daerah sekitar Bongim. "Tak gunanya
kita berdiam lama-lama di sini," berkata Hoan Eng dengan suara kesal.
Pemuda itu mendelik dan berkata dengan suara tawar: "Kalau begitu, biarlah kau y
ang memimpin aku untuk mencarinya."
"Seorang perampok yang seperti dia, biasanya tak mempunyai tempat yang tentu," k
ata Hoan Eng. "Cara bagaimana aku bisa mengetahui tempat sembunyinya?"
"Kalau begitu, biarlah sekali lagi kita pergi ke tempat perampokan," kata si baj
u putih. Hoan Eng merasa tidak enak untuk membantah terus dan lantas saja mang-g
utkan kepalanya.
Tempat terjadinya perampokan itu adalah di pinggir hutan. Si baju
putih mencabut pedangnya yang digunakan untuk menulis beberapa baris huruf-huruf
besar di batang sebuah pohon besar. Hoan Eng mengawasi tindak-tanduknya dan lan
tas saja tertawa besar. Huruf-huruf itu berarti:
"Namanya saja penjahat besar, hatinya kecii seperti tikus. Sesudah bekerja,
tak berani munculkan
kepala."
Caranya benar-benar seperti bocah.
Hari itu cape lelah mereka juga terbuang tanpa hasil.
Pada hari ke lima, pemuda itu mendadak berkata: "Tempat ini adalah sebelah selat
an gunung Thaysan. Menurut pendapatku, sarang perampok bertopeng itu adalah
di
puncak gunung ini."
"Aku rasa tidak begitu," kata Hoan Eng. "Daerah di sekitar gunung Thaysan adalah
tanah datar. Walaupun tinggi, gunung itu tidak mempunyai tempat-tempat yang ber
bahaya, sehingga semenjak dulu, jarang sekali perampok-perampok besar bersarang
di situ. Jika ingin menyaksikan pemandangan indah, memang boleh pergi ke Thaysan
. Akan tetapi, jika mau mencari penjahat, aku rasa bukan tempatnya."
Tapi pemuda itu kukuh akan pendapatnya, sehingga dengan terpaksa, Hoan Eng menur
uti juga.
Thaysan adalah salah satu dari Ngogak (Lima gunung suci). Dibandingkan dengan be
berapa gunung besar dalam wilayah Tiongkok, Thaysan sebenarnya
tidak seberapa tinggi. Akan tetapi, oleh karena terletak dalam propinsi Shoatang
yang tanahnya datar, gunung itu dianggap luar biasa angkernya dan jumlah kuil y
ang terdapat di situ adalah lebih banyak daripada di gunung-gunung lain. Setiap
tahun, banyak sekali pelancong mendaki
gunung itu untuk bersembahyang atau menikmati pemandangan alam yang indah. Di ka
ki gunung terdapat banyak sekali rumah penginapan dan restoran untuk menampung p
ara pelancong itu.
Begitu tiba di kaki gunung, Hoan Eng dan si pemuda segera memilih sebuah rumah p
enginapan dan
mengambil dua kamar.
Begitu membuka mulut, pemuda itu menanya: "Apa aman di atas gunung?"
Ditanya begitu, pelayan hotel terkejut dan menjawab: "Kenapa tidak aman? Jika ta
k aman, apa kami bisa berusaha terus di sini? Jika tuan-tuan ingin mendaki gunun
g untuk melihat-lihat pemandangan, kami mempunyai penunjuk jalan yang meminta up
ah sangat ringan. Dengan lima uang perak saja, tuan-tuan akan diantar ke berbaga
i tempat yang indah pemandangannya."
Hoan Eng manggut-manggutkan kepalanya sembari mesem. Si pemuda pun turut mang-gu
tkan kepala seraya berkata: "Bagus! Bagus!"
Waktu itu adalah permulaan musim semi. Ratusan macam kembang sedang mekarnya dan
ke mana juga orang pergi, ia akan mengendus bau-bauan yang sangat harum. Sa
mbil
mengikuti si penunjuk jalan, Hoan Eng dan pemuda itu putar kayun ke tempat-tempa
t yang bersejarah dan indah pemandangannya. Mereka menyeberangi Patsian kio (Jem
batan delapan dewa), melihat-lihat Ongbo tie (Pengempang Ong Bo Nionio), menyaks
ikan Tjoeiliam tong (Guha tirai air), mendaki puncak Goanpo hong dan sebagainya.
Si pemuda yang tidak mempunyai kegembiraan untuk menikmati semua pemandangan it
u, saban-saban mendesak supaya si penunjuk jalan berjalan terlebih cepat.
Sesudah melewati pintu Tiongthian boen, tibalah mereka di Ngotay hoesiong (lima
pohon siong yang berpangkat Tayhoe). Sepanjang cerita, pada waktu mendaki Thaysa
n,
kaizar Tjinsiehong pernah berdiri di bawah lima pohon siong itu guna berlindung
dari serangan hujan,
sehingga belakangan kaizar tersebut menganugerahkan pangkat Tayhoe kepada lima p
ohon tersebut. Lima pohon itu katanya sudah mati lama sekali, sedang lima pohon
yang ditanam belakangan untuk menggantikannya, juga hanya ketinggalan tiga. Kecu
ali pohon, di tempat itu tidak terdapat pemandangan lain yang berharga, sehingga
si pemuda jadi merasa sangat tidak sabar. Selagi ia mau berjalan pergi, di sebe
lah belakang mendadak terdengar suara tertawa dingin.
Hoan Eng menengok. Ia melihat seorang toosoe (imam) sedang mengawani seor
ang
yang kelihatannya
seperti saudagar hartawan serta sedang berbicara sembari tunjak-tunjuk, seperti
juga ia lagi menceritakan
sejarah lima pohon siong itu.
"Ada orang mendaki gunung seperti juga sedang mengubar
maling," kata saudagar itu. "Daripada jalan-jalan secara begitu, ada lebih baik
tidur di rumah. Saudara Goan Djim, benar tidak perkataanku?" Perkataan yang pali
ng belakang ditujukan kepada seorang kawannya.
"Benar! Benar!" sahut orang yang dipanggil Goan Djim. "Sesudah berada di atas gu
nung, orang harus menikmati alam permai sepuas hati."
Si pemuda baju putih mendadak mendelik dan berkata: "Aku pergi sebentar."
"Jangan bikin gara-gara," kata Hoan Eng dengan terkejut.
Si pemuda sudah berlari-lari tanpa tercegah lagi, tapi ia ternyata bukan mau men
cari kerewelan, ia pergi kesuatu tempat sepih, di belakang batu-batu gunung.
"Guna apa pergi jauh-jauh," gerendeng si penunjuk jalan. "Mau kencing, boleh ken
cing saja di sembarang tempat."
Melihat lagak pemuda itu, Hoan Eng jadi merasa geli dalam hatinya.
Begitu kembali, si pemuda menarik Hoan Eng ke tempat yang agak jauh dan kemudian
menanya: "Eh, kau tahu mereka manusia bagaimana?"
"Dalam matamu, setiap orang adalah kawan si penjahat bertopeng," sahut Hoan Eng
sembari tertawa.
Pemuda itu turut tertawa dan bungkam untuk beberapa saat. "Manusia tak bisa dili
hat dari macamnya," akhirnya ia berkata. "Bukankah Yang Tjong Hay pun berdandan
seperti satu saudagar?"
Hoan Eng terkejut. Ia menengok, akan tetapi beberapa orang itu sudah pergi ke la
in tempat.
Sesudah melewati pintu Lamthian boen, mereka mendaki puncak Thiantjoe hong, yait
u puncak tertinggi dari gunung Thaysan, di mana terdapat kuil Giok Hong Koan yan
g sangat indah dan biasa digunakan sebagai tempat penginapan para pelancong.
Mereka tiba pada waktu magrib dan lantas saja minta tempat untuk bermalam di kui
l itu. Diam-diam Hoan
Eng berwaspada, akan tetapi orang-orang tadi ternyata tidak datang di situ.
Pada besok paginya, si pemuda sebenarnya ingin lantas turun gunung, tapi keingin
an itu sudah dicegah si penunjuk jalan, yang mengatakan, bahwa siapa juga yang s
udah tiba di situ, tak boleh tidak harus menikmati pemandangan matahari terbit y
ang luar biasa indahnya. Hoan Eng menunjang usul penunjuk jalan itu, sehingga, s
esudah berpikir sebentar, si pemuda terpaksa menyetujui juga.
Memandang matahari terbit dari puncak Thaysan, sesungguhnya cukup berharga. Pada
waktu Hoan Eng bertiga tiba di tempat memandang sang matahari, di sebelah timur
hanya terlihat sinar putih seperti warna perut
ikan, sedang di antara awan terdapat sinar yang berwarna merah dadu. Jauh di seb
elah bawah, mereka melihat gelombang Laut Tong-hay yang bermain di permukaan air
bagaikan ribuan ikat pinggang sutera berwarna putih.
Mendadak, mendadak saja, sang matahari yang bundar dan berwarna merah
seakan-akan meloncat keluar dari dalam laut. Dalam sekejap, ia memencarkan sinar
nya yang gilang gemilang, sehingga seluruh jagat seperti juga mengenakan kerodon
g merah pengantin perempuan.
Hoan Eng sudah kenyang berkelana di kalangan Kangouw, akan tetapi, ia belum pern
ah menyaksikan pemandangan yang begitu luar biasa. Ia melirik kawannya dan seger
a juga ia tertawa
dalam hatinya. Pemuda baju putih itu ternyata sedang mengawasi
pemandangan yang sangat indah itu tanpa berkesip, sedang dari ujung kedua matany
a mengetel turun dua butir air mata.
"Ah, bocah ini masih seperti seekor anak burung yang belum pernah terbang jauh,"
kata Hoan Eng dalam hatinya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa ramai. Hoan Eng menengok. Mereka itu t
ernyata adalah
rombongan lain yang juga ingin menyaksikan matahari terbit dan di antara mereka,
terdapat si saudagar kemarin. Hoan Eng agak terkejut dan meneliti orang-orang it
u, tapi ia tidak mendapatkan
apa-apa yang luar biasa dan tidak lama kemudian, mereka sudah
naik ke tempat yang lebih tinggi.
Sesudah makan pagi, Hoan Eng bertiga lantas turun gunung dan tiba di rumah pengi
napan kira-kira pada waktu magrib.
"Apa tuan-tuan mendapat banyak kegembiraan?" tanya pelayan hotel. "Bagaimana
dengan penunjuk jalan yang aku pujikan? Apakah tuan-tuan merasa puas?"
Si pemuda hanya menggerendeng, sedang Hoan Eng menjawab dengan
gembira: "Puas, puas sekali!"
Begitu masuk ke kamar, pemuda itu lantas mencaci si penjahat bertopeng yang
dikatakan pengecut dan tidak berani muncul.
Hoan Eng menghampiri dan berkata dengan suara membujuk: "Saudara, aku tahu
kau
mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi. Akan tetapi, rupanya kau belum mempunya
i banyak pengalaman di kalangan Kangouw. Orang kata, tembok mempunyai kuping..."
"Hm!" si pemuda memutuskan
perkataannya. "Jika aku takut aku tentu tidak cari padanya. Aku sungguh ingin ba
ngsa tikus itu yang dikatakan penjahat besar, mendengar perkataanku ini." Suaran
ya semakin lama jadi semakin keras, sehingga Hoan Eng tidak dapat berbuat lain d
aripada tertawa getir.
Tiba-tiba di luar kamar terdengar suara ribut.
"Eh, ada apa?" kata Hoan Eng. "Galak benar suara tamu itu. Mari kita keluar." Ia
berkata begitu untuk menhen-tikan cacian kawannya. Tiga tamu yang baru
datang itu adalah seorang toosoe dan dua pengemis. Mereka
berteriak-teriak oleh karena pelayan hotel menolak untuk menerima mereka.
"Eh, kau ini rupanya hanya melihat pakaian, tidak melihat manusia," kata si toos
oe dengan suara gusar. "Kenapa kami tidak boleh menginap di sini?"
"Tooya," kata pelayan hotel. "Jika ingin menginap di sini, kau boleh minta kamar
. Akan tetapi, menurut peraturan hotel kami, kami tak dapat menerima kedua tuan
ini."
"Dusta!" toosoe itu membentak. "Dalam dunia di mana ada begitu?"
Kedua pengemis itu tertawa terbahak-
bahak. "Tooya," kata satu di antaranya. "Benar juga orang berkata, mata anjing h
anya dapat meman-
dang rendah kepada orang." Sehabis berkata begitu, mukanya
berobah dan ia membentak: "Tuan besarmu tidak memakai sutera, ada sangkut paut a
pakah dengan kau!"
"Plak!" ia melemparkan sepotong perak ke atas meja. "Perak pengemis juga sama pu
tihnya seperti perak tuan-tuan besar," ia membentak. "Buka
matamu!"
Meskipua tidak ada peraturannya, akan tetapi dapatlah di mengerti jika rumah-rum
ah penginapan sungkan menerima tamu pengemis. Selain itu, sebegitu jauh belum pe
rnah, atau sedikitnya jarang sekali, seorang pengemis minta menginap di dalam ho
tel.
Melihat potongan perak yang beratnya kira-kira sepuluh tahil, si pelayan jadi te
rperanjat.
Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berkata: "Jika kedua Toaya (tuan)
mau menginap juga di sini, boleh juga dibikin pengecualian."
"Pengecualian apa?" bentak pengemis itu. "Bilang terus terang: Mau atau tidak ma
u kau merawati tuan
besarmu?"
"Mau! Mau!" jawabnya dengan cepat.
Tanpa banyak rewel lagi, ia lantas mengantar tiga tamunya ke kamar kelas satu.
Dengan rasa geli, si pemuda kembali ke kamarnya bersama
Hoan Eng. "Sungguh menarik kedua pengemis itu," katanya. "Enak benar
ia memaki orang."
"Kalau bukan pendekar, orang semacam itu tentulah juga penjahat besar," kata Hoa
n Eng dengan suara perlahan. "Lebih baik kita jangan
merundingkan mereka."
"Apa?" pemuda baju putih itu menegasi. "Kau menduga, bahwa mereka kawan si p
enjahat bertopeng?"
"Mungkin," jawabnya.
"Bagus! Kalau begitu, sekarang juga aku mau mencaci mereka." kata si pemuda.
"Dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang luar biasa," kata Hoan Eng dengan
cepat. "Belum tentu mereka adalah konco-konco si penjahat bertopeng."
"Ah! Bagaimana sih!" kata pemuda itu dengan suara jengkel. "Bicaramu sebentar
lain, sebentar lain."
"Dengan sesungguhnya aku tak tahu, apa mereka konco si penjahat atau bukan," kat
a Hoan Eng dengan suara sabar. "Maksudku satu-satunya adalah, supaya kau jangan
me-
maki orang yang berdosa."
"Baiklah, aku tak memaki mereka," kata si pemuda sembari tertawa. "Biar aku mema
ki saja bangsa cecurut itu yang menamakan
dirinya penjahat besar." Sehabis berkata begitu, dengan suara keras ia mencaci h
abis-habisan, sehingga Hoan Eng tidak dapat berbuat lain daripada tertawa getir.
Pada besok paginya, si pelayan datang dikamar pemuda baju putih itu untuk minta
uang sewa kamar. Saat itu, Hoan Eng juga datang dengan me-nengteng buntalannya.
Tiba-tiba si pelayan mengangsurkan sebuah Payhap (kotak kayu yang berisi surat u
ndangan) seraya berkata: "Barusan datang orang yang memberikan
Payhap ini untuk diserahkan kepada kedua
Toaya."
"Siapa yang kirim?" tanya Hoan Eng.
"Orang dari Boe keetjhoeng," jawabnya.
"Hm," gerendeng Hoan Eng, tapi ia tidak membuka kotak itu dan lantas membereskan
uang sewa kamar.
"Terima kasih, terima kasih," kata si pelayan. "Harap Toaya berdua selamat dalam
perjalanan. Apakah masih ada perintah untukku?"
"Tidak," kata Hoan Eng, tapi pelayan itu belum juga mau berlalu.
"Eh," kata si pemuda. "Apa dua pengemis itu masih berada di sini?"
"Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat," jawabnya, "Ah! Belum pernah aku berte
mu dengan tamu yang begitu loyar. Sepuluh tahil perak, tak mau mengambil pulanga
nnya, semua dikasikan kepadaku."
Mendengar begitu,
Hoan Eng segera mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata: "Nah, i
ni untuk kau."
Si pelayan menjadi girang sekali dan lantas berlalu sesudah menghaturkan terima
kasih berulang-ulang.
"Hoan Toako," kata si pemuda sembari tertawa. "Kau rupanya mau adu keloyaran den
gan pengemis itu."
"Semenjak mencari penjahat bertopeng itu, dalam dua hari ini kita telah bertemu
dengan orang-orang luar biasa dan kejadian-kejadian luar biasa," kata Hoan Eng s
embari membalik-balik kotak merah.
"Kenapa tidak lantas dibuka?" tanya si pemuda dengan suara tak mengerti.
Tanpa menyahut, Hoan Eng menutup pintu dan meletakkan kotak
itu di atas meja. Ia menarik pemuda itu ke pojok kamar dan mengeluarkan sebilah
belati.
"Hoan Toako, mau apa kau?" tanya pemuda itu.
Hoan Eng terus bungkam. Ia membuat setengah lingkaran dan menimpuk dengan belati
itu. Dengan satu suara "trak!" kotak itu terbuka dan tutupnya terlempar jatuh d
i atas lantai.
Si pemuda merasa sangat tidak mengerti, kenapa kawannya
sudah berlaku begitu rewel untuk membuka kotak tersebut.
Hoan Eng menghampiri meja dan memungut surat undangan yang terletak di dalam kot
ak. "Tulen," katanya sembari tertawa.
"Tulen apa?" tanya si pemuda. "Dari siapa undangan itu?"
"Undangan Siauwkim-
liong (si Naga emas kecil) Boe Tjin Tong," jawab Hoan Eng. "Sungguh mengherankan
. Dengan dia, aku hanya mengenal sele-watan, tapi ia sudah mengundang aku untuk
datang di rumahnya dan malahan mengundang kau juga."
Boe Tjin Tong adalah seorang kaya raya di Shoatang selatan.
Sepanjang warta, di waktu muda ia adalah perampok besar, tapi sesudah mencapai u
sia pertengahan, ia mencuci tangan dan berusaha seperti seorang rakyat baik-baik
. Belakangan ia menjadi terkenal
sebagai yang paling kaya di daerah itu. Demikianlah cerita
orang yang belum dapat dipasti-pastikan benar tidaknya.
Boe Tjin Tong adalah seorang yang tangannya terbuka dan suka
bergaul. Seluruh tahun, tidak hentinya kawan-kawan dalam kalangan Kangouw datang
berkunjung untuk meminta bantuan ini atau itu, yang sedapat mungkin selalu dilul
uskannya. Itulah sebabnya kenapa ia sudah dijuluki nama si Naga Emas Kecil, dala
m artian bahwa seekor naga selalu menyemburkan hujan untuk menolong ummat manusi
a.
Si pemuda baju putih, yang juga sudah pernah mendengar
nama Boe Tjin Tong, lantas saja berkata: "Jika itu benar surat undangan Boe Tjin
Tong, apa mungkin ada permainan gila?"
"Ada hal yang tidak di mengerti oleh saudara," Hoan Eng menerangkan. "Boe Tjin T
ong tentu saja tak mungkin main gila. Akan tetapi, selalu terdapat
kemungkinan, bahwa orang lain, dengan menggunakan nama Boe Tjin Tong, yang mengi
rim surat undangan ini. Maka itu, untuk berjaga-jaga, aku
sudah membukanya dengan timpukan belati. Jika orang mau main gila, dalam kotak i
a tentu akan menyembunyikan senjata rahasia, yang begitu kotaknya terbuka, akan
menyambar. Sesudah mendapat kenyataan, bahwa
kotak itu tidak terisi senjata rahasia, barulah aku berani mengatakan, undangan
itu adalah tulen."
Mendengar keterangan itu, si pemuda jadi merasa sangat kagum akan hati-hatinya H
oan Eng.
"Masih ada satu hal yang menyurigakan," kata pula Hoan Eng.
"Apa?" tanya pemuda itu.
"Dari sini ke Boe keetjhoeng masih ada seratus delapan puluh lie," Hoan Eng mene
rangkan. "Dalam undangannya, ia minta kita menghadiri perjamuan pada malam ini.
Cara bagaimana ia mengetahui kita mempunyai dua ekor kuda bagus? Lauwtee, kudamu
,
seekor kuda mustika, sehari berlari seribu lie, masih belum mengherankan. Tapi b
agi kuda biasa, sehari seratus delapan puluh lie adalah tugas yang hampir tak mu
ngkin dilakukan."
Si pemuda baju putih tertawa. "Jika surat undangan itu tak palsu, apakah mungkin
tanpa sebab Siauwkimliong ingin mencelakakan kita?" katanya sembari tertawa. "H
oan Toako, berhati-hati memang baik sekali, tapi janganlah keterlaluan seperti k
au. Hayolah, kita
berangkat."
Walaupun kuda yang dibeli binatang semba-rangan, larinya cepat dan ulet sekali.
Sesudah lari sehari, sebelum matahari menyelam ke barat, mereka sudah berada di
depan Boe keetjhoeng.
Dalam jarak tiga lie dari gedung Boe Tjin Tong, Hoan Eng dan si pemuda sudah tur
un dari kudanya dan meneruskan perjalanan sambil menuntun tunggangan masing-masi
ng. Itulah peraturan Kangouw untuk mengunjukkan hormat kepada tuan rumah.
Sepanjang jalan mereka bertemu dengan banyak sekali orang yang semua berjalan me
nuntun tunggangannya, Hoan Eng menjadi heran. Dilihat tanda-tandanya, Boe Tjin T
ong akan mengadakan pesta besar. Di antara
orang-orang itu terdapat juga: si saudagar dengan siapa mereka pernah bertemu di
atas puncak Thaysan, orang yang dipanggil "Goan Djim", si toosoe dan kedua peng
emis yang pernah cekcok dengan pelayan hotel.
Si pemuda mengge-rendeng.
"Sst!" bentak Hoan Eng dengan suara perlahan. "Bersikaplah secara tenang!"
Si baju putih melirik, dari paras mukanya seperti juga ia mau mengatakan, masaka
n soal begitu saja ia tidak mengerti? Orang-orang itu pun terus berjalan tanpa m
enengok ke jurusan Boe keetjhoeng.
Begitu tiba di Boe keetjhoeng, Hoan Eng dan si pemuda disambut beberapa penyambu
t yang lantas mengantar mereka ke taman bunga yang sangat luas, di
mana sudah diatur beberapa puluh meja perjamuan.
Di tengah-tengah taman tersebut terdapat lapangan untuk berlatih silat dan di ke
dua sisi lapangan itu berdiri rak-rak senjata. Hoan Eng dan si pemuda diantar ke
sebuah meja yang letaknya di sebelah timur. Mereka tak mengenal tamu-tamu lain
yang sedang kasak-kusuk saling menanya, karena apa Boe Tjin Tong mengadakan
perjamuan besar. Media mereka terpisah jauh dari meja tuan rumah dan rupanya mer
eka dianggap sebagai tamu biasa saja yang boleh di tempatkan di sembarang tempat
.
Duduk belum lama, perjamuan segera
dimulai. Seorang tua yang jenggotnya bercabang tiga dan berusia
kurang lebih enam puluh tahun berbangkit dan berkata sambil memberi hormat kepad
a hadirin: "Terlebih dulu aku hanturkan terima kasih kepada saudara-
saudara yang sudah memberi muka kepada aku si tua. Dalam mengirimkan Enghiong ti
ap (surat undangan untuk orang gagah) kali ini, kecuali Goan Ham Tiangloo yang t
idak bisa datang lantaran mempunyai urusan penting lain, Lioe Teng Am Soehoe yan
g sedang sakit dan Han Kang Tootiang yang belum kembali dari Ouwlam, yang lainny
a semua sudah sudi datang berkunjung. Dengan demikian, pertemuan kita ini dapat
dikatakan pertemuan besar para orang gagah di lima propinsi Utara. Sebagai perny
ataan terima kasih kepada Saudara-
saudara, terlebih dulu aku minta kalian mengeringkan tiga cawan arak."
Hoan Eng terkejut. Mengirim Enghiong-tiap bukannya urusan kecil. Boe Tjin Tong y
ang sudah berusia lanjut, sudah lama mengundurkan diri dari segala urusan Kangou
w.
Apakah sekarang ia mempunyai maksud tertentu yang sangat besar?
Sesudah semua tamunya minum tiga cawan arak. Boe Tjin Tong segera meneruskan pid
atonya dengan suara nyaring:
"Saudara-saudara yang hadir di sini adalah sahabat-sahabat kekal. Dengan tak mal
u-malu aku mengakui, bahwa di waktu muda, aku pernah berusaha tanpa modal. Pada
waktu belakangan ini, dengan merasa sangat menye-
sal, aku mendengar di antara jago-jago
banyak yang bertengkar. Inilah satu kejadian yang tidak baik. Menurut pendapatku
, tanpa kepala seekor ular tak dapat berjalan. Itulah sebabnya mengapa aku sudah
mengundang para orang gagah datang ke sini dengan tujuan untuk mengangkat 'Toal
iong-tauw1 (pemimpin) yang perintahnya harus
ditaati oleh kita bera-mai. Jika ini dapat tercapai, pertama, kita boleh tidak u
sah bertengkar lagi, kedua, kita boleh tidak usah takut lagi kepada tentara nege
ri dan ketiga, kita dapat melindungi daerah
sendiri, jika ada serangan dari luar. Sebagaimana Saudara-saudara mengetahui, an
caman negeri Watzu belum dapat disingkirkan, se-
dang di sebelah utara timur, suku Lietjin juga katanya sudah bersiap-siap untuk
menggerayang ke wilayah Tionggoan. Sekianlah adanya usulku yang aku harap suka d
ipertimbangkan oleh Saudara-saudara sekalian."
Tujuh delapan bagian dari para tamu adalah orang-orang Lioklim (Rimba Hijau, per
ampok), yang lainnya terdiri dari jago-jago Rimba Persilatan yang berusaha secar
a jujur dan beberapa orang kepala polisi.
Pidato tuan rumah telah mendapat
macam-macam sambutan. Ada yang berteriak menyatakan persetujuannya, ada yang bis
ik-bisik dengan
kawan-kawannya dan ada pula yang tidak mengeluarkan suara.
Boe Tjin Tong menyapu semua tamu-
nya dengan matanya dan kemudian mengetok meja, sehingga suara ribut lantas berhe
nti.
"Saudara-saudara," ia meneruskan pidatonya. "Walaupun kita sudah mengadakan pers
erikatan dan mempunyai pemimpin, akan tetapi, sesudah masuk dalam perserikatan,
sahabat-sahabat dari jalanan putih (bukan perampok) dapat meneruskan
usahanya sendiri dengan leluasa dan mereka hanya diminta jangan menyusahkan kawa
n-kawan kalangan Lioklim, seperti air sumur jangan mengganggu air sungai. Jika m
uncul urusan, semua pihak harus berdamai dengan pemimpin kita yang akan menjaga
agar tidak ada pihak yang dirugikan."
Mendengar keterangan itu, beberapa kepala polisi yang kena-
maan lantas saja merasa setuju. Dengan adanya peraturan
begitu, jika di belakang hari terjadi perampokan dan pembesar atasan memperintah
mereka untuk mengambil pulang barang-barang rampokan itu, mereka jadi tak usah
turun tangan sendiri dengan mati-matian. Harus diketahui, bahwa biarpun kepala-k
epala polisi itu harus mempunyai ilmu silat sangat tinggi, akan tetapi, biar bag
aimana pun juga, mereka harus
mempunyai hubungan dengan pentolan-
pentolan kalangan
RimbaHijau, supaya, jika kejepit, mereka masih bisa meminta pertolongan dari pen
tolan-pentolan itu. Dengan demikian, usul Boe Tjin Tong untuk mengangkat Toalion
gtauw yang
akan mengurus segala
sengketa, pada hake-katnya sangat menguntungkan kepala-kepala polisi itu. Maka i
tu, mereka lantas saja mengangkat tangan dan memberi persetujuan.
"Boe Lootjhoengtjoe!" seru seorang. "Kalau begitu, biarlah kedudukan Toaliongtau
w diduduki Lootjhoengtjoe sendiri."
Boe Tjin Tong tertawa seraya berkata: "Sudah dua puluh tahun, aku si tua menutup
pintu dan menyimpan golok. Mana aku mempunyai napsu lagi untuk tampil ke muka?
Sekarang ini aku hendak mengusulkan seorang yang rasanya cukup cakap untuk mendu
duki kursi Toaliongtauw. Pit Lauwtee! Harap kau suka bangun untuk berkenalan
dengan para orang gagah."
Begitu mendengar
perkataan Boe Tjin Tong, semua orang segera mengulurkan leher untuk melihat, sia
pa adanya orang itu yang dipujikan tuan rumah.
Di lain saat, seorang pemuda yang duduk di samping tuan rumah, berdiri. Ia berba
dan tinggi besar, alisnya tebal, matanya besar, berewoknya pendek dan kaku, seda
ng usianya belum cukup tiga puluh tahun. Dengan matanya yang tajam, ia menyapu p
ara hadirin. Banyak orang merasa terkejut dan heran, oleh karena mereka tidak me
ngetahui, siapa adanya pemuda itu. Antara mereka, adalah Hoan Eng yang paling be
sar rasa kagetnya, lantaran, dilihat dari potongan badan dan gerak-geriknya, pem
uda itu bukan lain daripada si penjahat bertopeng! "Saudara-saudara,"
demikian Boe Tjin Tong berkata pula. "Meskipun belum cukup dua tahun Pit Lauwtee
menerjunkan diri ke dalam kalangan Lioklim,
namanya sudah cukup menggetarkan dan
sudah melakukan beberapa pekerjaan yang mengejutkan. Dengan seorang diri, ia per
nah merubuhkan Lokho
Samliong (Tiga naga dari Lokho), tanpa berkawan ia pernah menggulingkan Han
Tjhoeng Djiehouw (Han dan Tjhoeng, dua macan), dengan sebelah tangan ia pernah m
enyambut dua belas golok terbang Tjong-piauwtauw (pemimpin) Tjinwie Piauwkiok da
n ia juga pernah merampas emas intan raja muda Sengtjinong yang
berharga dua puluh laksa tahil perak. Akan tetapi, dalam melakukan peker
jaannya, Pit Lauw-
tee selalu sungkan memperlihatkan mukanya dan di kalangan pembesar negeri, ia ha
nya dikenal sebagai si perampok bertopeng!"
Keterangan Boe Tjin Tong disambut dengan suara kaget dan heran oleh para hadirin
. Dalam Rimba Persilatan, si penjahat bertopeng sudah sangat tersohor, tapi hany
a berapa gelintir orang saja yang pernah melihat mukanya.
"Saudara-saudara," Boe Tjin Tong melanjutkan keterangannya. "Paling belakang, Pi
t Lauwtee kembali sudah melakukan dua pekerjaan yang benar-benar hebat. Pertama,
ia sudah merampas uang negara yang besarnya tiga puluh laksa, sehingga Koan Kie
, si manusia busuk dari Rimba Persilatan yang sudah kaya raya, jadi kerupukan!"
Hoan Eng berdebar hatinya. Mendengar adik angkatnya dinamakan manusia busuk yang
kaya raya, mukanya menjadi panas lantaran malu.
Sesudah berdiam beberapa saat, Boe Tjin Tong berkata pula. "Pekerjaannya yang ke
dua adalah pekerjaan yang terlebih hebat lagi. Sebagaimana kalian mengetahui, Ie
Kiam adalah tihang negara yang putih bersih. Sungguh menyedihkan, beliau sudah
dibunuh mati oleh kaizar bebodoran, sehingga semua orang gagah di kolong langit
jadi mendidi darahnya.
Belum lama berselang, Pit Lauwtee sudah mengaduk di ibukota dan dengan beruntun
sudah membinasakan tujuh Wiesoe (pengawal)
istana kaizar. Meskipun tidak berhasil menolong
Ie Kiam, ia sudah dapat merampas kepala menteri berjasa itu, sehingga beliau dap
at dikubur dengan anggau-ta badan lengkap. Menurut pendapatku, pekerjaan itu saj
a sudah cukup berharga untuk kita mengangkat ia sebagai Toaliongtauw."
Hoan Eng melirik dan melihat si pemuda baju putih berobah paras mukanya, sedang
tangan kanannya menyekal gagang pedang.
"Hiantee (adik), jangan terburu napsu," ia berbisik. "Dengarkan dulu apa yang di
katakannya."
Baik juga, waktu itu semua orang sedang bersorak sorai, sehingga tidak ada yang
memperhatikan mereka. Si pemuda melepaskan tangannya, tapi kedua matanya masih t
erus mengawasi orang she
Pit itu tanpa berkesip. Sifat kebocahan yang biasanya terdapat
dalam sikapnya, mendadak lenyap. Melihat laga-lagu pemuda itu, Hoan Eng jadi mer
asa heran sekali. Si baju putih agaknya sangat bernapsu untuk
mengambil pulang kepala Ie Kiam. Tujuan mencari si penjahat bertopeng kelihatann
ya adalah untuk mencari tahu maksud pencurian kepala itu. Ada hubungan apakah an
tara si baju putih dan Ie Kiam? Pertanyaan itu tak dapat dijawab Hoan Eng.
Sementara itu, Boe Tjin Tong sudah berkata pula: "Meskipun Pit Lauwtee belum lam
a menerjunkan diri ke dalam kalangan Rimba Hijau, akan tetapi, ia bukan seorang
yang tidak mempunyai asal usul besar. Aku merasa, saudara-saudara yang
hadir di sini tentunya sudah pernah mendengar nama ayahnya."
"Siapa? Siapa?" demikian terdengar teriakan dari segala peloksok.
"Tiga puluh tahun berselang, ayahnya adalah seorang yang kenamaan dalam dunia Ka
ngouw," kata Boe Tjin Tong. "Tjianpwee itu bukan lain daripada Tjinsamkay (Mengg
etarkan tiga benua) Pit To Hoan!" Sekarang ia mewarisi kedudukan ayahnya sebagai
Pang-tjoe dari Kaypang (partai pengemis) di Utara barat dan ia pun menjadi adik
angkat Tjioe San Bin, Kimtoo Siauwtjeetjoe di luar kota Ganboenkwan. Namanya ad
alah Pit Kheng Thian!"
Mendengar itu, biji mata si baju putih bergerak dua kali dan paras mukanya luar
biasa.
Hoan Eng jadi tambah bersangsi. "Kau kenal ia?" tanyanya.
Pemuda itu yang sedang memusatkan perhatiannya kepada Pit Kheng Thian, menyahut
secara menyimpang: "Hm! Kalau begitu, dia putera Tjinsamkay? Kenapa dia tidak me
njadi paderi? Kenapa dia kesudian menjadi Toaliongtauw?"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan keluarga Pit To Hoan, setiap anak lelak
i yang sudah dewasa harus menjadi pengemis untuk sepuluh tahun lamanya, kemudian
menjadi hweeshio untuk sepuluh tahun lagi dan sesudah itu, baru ia dapat memelih
ara
rambut, menikah dan berusaha seperti orang biasa. Jika Pit Kheng Thian mentaati
peraturan keluarga itu, dalam usianya kira-kira belum
cukup tiga puluh tahun, semestinya ia tengah menjalankan tugas
sebagai paderi.
Hoan Eng merasa sangat heran. Si baju putih yang belum mengenal seluk-beluk kala
ngan Kangouw, agaknya banyak mengetahui asal usul banyak orang ternama.
Meskipun Pit To Hoan sudah meninggal dunia lama berselang, namanya masih cemerla
ng. Baru saja Boe Tjin Tong memperkenalkan jagonya itu, seluruh ruangan lantas s
aja menjadi ramai dengan suara orang yang masing-masing berunding dengan kawan-k
awannya. Semua orang gagah yang berada di situ sangat mengagumi Tjinsamkay, akan
tetapi terhadap puteranya yang baru saja dia tahun tampil ke muka, mereka
belum
merasa ta'luk, meskipun pemuda itu pernah melakukan beberapa pekerjaan yang meng
gemparkan.
"Orang-orang Lioklim yang masing-masing menganggap dirinya jagoan, tak gampang-g
ampang mau bertekuk lutut," pikir Hoan Eng. "Dilihat begini, Pit Kheng Thian ras
anya harus lebih dulu membuktikan kepandaiannya."
Pit Kheng Thian menyapu semua orang itu dengan matanya yang angkar bagaikan mata
harimau. "Sebagaimana saudara-saudara mengetahui, waktu ini dunia sudah mulai k
alut," katanya dengan suara nyaring. "Dikatakan orang, dalam jaman begitu, enghi
ong hidup menderita, yang hidup mewah kebanyakan adalah manusia-
manusia rendah. Jika kita sekarang mengha-
rapkan tangan kaizar untuk membereskan negara, adalah seperti mengharapkan embun
tengah hari. Maka itu, usul Boe Lootjhoengtjoe untuk mengangkat seorang pemimpi
n Rimba Hijau adalah usul yang harus diselesaikan
secara lekas. Akan tetapi, penunjukan supaya aku menjadi Toaliongtauw benar-bena
r merupakan kejadian yang dapat ditertawakan orang. Bukankah di tempat ini terda
pat banyak sekali orang yang lebih tepat?"
Baru habis ia mengucapkan perkataannya, di seluruh taman lantas saja terdengar t
eriakan banyak orang berlomba-lomba mengutarakan pendapatnya.
"Kenapa Pit Lauwtee berlaku begitu
sungkan?" kata Boe Tjin Tong.
"Sedari dulu, eng-
hiong muncul daripada kalangan orang-orang muda," seru seorang lain. "Kedudukan
Toaliongtauw memang pantas di tempati Pit Tjeetjoe."
"Siapa lagi yang berani merampas uang Yamoensoe?" tanya seorang.
"Apakah orang lain berani mengacau di ibukota? Benar sekali perkataan Boe
Lootjhoengtjoe, bahwa dua pekerjaan itu saja sudah mencukupi syarat untuk men
jadi pemimpin kita."
"Kedudukan Toaliongtauw bukan usia pentingnya!" teriak seorang yang duduk pada m
eja sebelah belakang.
"Meskipun ia gagah, pengalamannya dalam Rimba Hijau masih agak kurang!"
"Siapa merasa tak puas, boleh main-main sedikit dengan aku!" te-
riak orang lain yang rupanya menjadi penunjang Pit Kheng Thian.
Tiba-tiba, dari antara orang banyak meloncat keluar seorang, yang lantas saja be
rkata sembari tertawa ha-ha hi-hi: "Siapa yang berhak menjadi
Toaliongtauw, bagiku bukan soal penting. Tapi siauwtee adalah seorang pedagang.
Sebelum rela menjadi pegawai toko, siauwtee harus mengetahui dulu berapa besar m
odal sang majikan."
Hoan Eng mengawasi. Orang itu ternyata adalah si saudagar, dengan siapa ia perna
h bertemu di atas gunung Thaysan.
Baru selesai si saudagar berbicara, seorang lain sudah meloncat keluar. "Harta o
rang tidak boleh sembarang dipertunjukkan di depan orang ba-
nyak," kata orang itu. "Orang yang bermodal besar, mana mau membeber hartanya di
hadapanmu? Aku si pengemis hanya mempunyai dua tangtjhie (uang tembaga), yang h
anya cukup untuk membeli phia bakar atau bubur dingin. Maukah kau menengok harta
ku itu?"
Orang ini ternyata adalah salah seorang pengemis yang kemarin membikin ribut di
rumah penginapan. Jawabannya yang diucapkan secara lucu, sudah membikin semua or
ang tertawa bergelak-gelak.
"Baiklah!" kata si saudagar dengan suara mendongkol. "Tapi,
apakah dua tangtjhie itu cukup untuk melayani tamu?" Sehabis berkata begitu, ia
segera mengeluarkan senjatanya.
Senjata itu berwar-
na kuning dengan sinar berkilauan. Banyak
orang terkejut, karena senjata tersebut adalah sebuah shoeiphoa (alat hitung Tio
nghoa) yang dibuat dari emas murni!
"Ah! Kenapa dia tampil ke muka?" kata seorang yang duduk berdekatan dengan Hoan
Eng.
"Siapa?" tanya si baju putih.
"Siauwko (saudara kecil), kau masih berusia sangat muda, tidak mengherankan jika
kau tidak mengenal ia," kata orang itu. "Seperti Boe Tjhoengtjoe, ia pernah men
jadi perampok. Sesudah melakukan beberapa pekerjaan besar, tiba-tiba ia cuci tan
gan dan lalu berusaha. Merampok, dia pandai, berdagang, dia lebih pandai lagi. B
elum cukup sepuluh tahun, hartanya sudah hitung ratusan laksa. Tiekoan
dan Tiehoe semua mempunyai hubungan yang sangat baik dengan ia. Yang tahu ia per
nah menjadi perampok hanya beberapa orang dan sekarang, semua orang menyebut ia
Tjian Pek Ban (si Kaya raya dengan harta ratusan laksa). Jika Siauwko mau tahu n
amanya, ia adalah Tjian Thong Hay."
"Sungguh heran," seorang lain menyeletuk. "Dia begitu kaya, tetapi tak mau duduk
diam di rumah. Guna apa rewel-rewel di sini?"
Si baju putih melirik kepada Hoan Eng dan bersenyum simpul.
Diam-diam Hoan Eng merasa jengah, oleh karena, dengan segala pengalamannya, ia m
asih tidak dapat mengenali seorang seperti Tjian Thong Hay.
"Siapakah pengemis itu?" tanya lagi si pe-
muda.
"Dia adalah Hoepang-tjoe (wakil pemimpin) Partai pengemis, namanya Pit Yan Kiong
," jawab orang tadi. "Ia adalah keponakan jauh Pit To Hoan."
"Nama orang itu menarik sekali," kata si baju putih sembari bersenyum. Tak ingin
miskin (poet yan kiong), benar-benar menjadi miskin."
Senjata si pengemis adalah sebatang tongkat bambu yang agaknya biasa digunakan u
ntuk menggebah anjing, jika ia sedang mengemis. Senjata
kedua lawan itu berbeda bagaikan langit dan bumi, yang satu mewah luar biasa, ya
ng lain memperlihatkan kemiskinan yang sangat. Begitu berhadapan, tanpa bicara l
agi, mereka lantas saja bertempur.
Dengan senjatanya yang aneh, Tjian Thong Hay mempunyai
pukulan-pukulan yang aneh pula dan shoeiphoa itu terutama digunakan untuk merebu
t senjata musuh. Di lain pihak, tongkat Pit Yan Kiong licin luar biasa dan selal
u melejit setiap kali akan "dikunci" senjata lawan.
Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Tjian Thong Hay mendadak menghantam
ke depan sehingga biji-biji shoeiphoa-nya mengeluarkan suara kerotakan.
"Ha! Berapa besar jumlah duit baumu?" Pit Yan Kiong mengejek.
Dengan sekali memukul dan sekali menarik, Tjian Thong Hay coba merebut tongkat s
i pengemis. Mendadak dengan suara "krok", Pit Yan Kiong menyemburkan riaknya.
Tjian
Thong Hay sekarang bukan Tjian Thong Hay dulu, waktu masih berkelana dalam dunia
Kangouw dan tak takut akan segala kotoran. Kuatir badannya ke-sambar riak, buru
-buru ia menarik pulang senjatanya dan berkelit ke samping. Pit Yan Kiong menyab
et dan dengan bunyi "trangl", shoeiphoa itu kena terpukul. Si saudagar membalik
tangannya untuk merebut senjata musuh, tapi si pengemis kembali menyemburkan ria
knya, sehingga ia terpaksa berkelit lagi.
Sesudah memperhatikan jalan pertempuran si baju putih dan Hoan Eng mengetahui, b
ahwa dalam ilmu silat, si saudagar lebih unggul, tapi dalam tenaga, ia kalah dar
i lawannya.
Selama kurang lebih tiga puluh jurus, Pit Yan
Kiong mempertahankan diri dengan mengandalkan riaknya, sehingga Tjian Thong Hay
semakin lama jadi semakin gusar.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, ketika Pit Yan Kiong menghantam dengan tongka
tnya, Tjian Thong Hay mendadak menggetarkan shoeiphoa-nya dan entah dengan gerak
an apa, dua biji alat hitung itu tiba-tiba menyambar. Berbareng dengan itu, si p
engemis mengeluarkan teriakan kesakitan dan jatuh berlutut di atas tanah. Ternya
ta jalan darah di kedua lututnya telah disambar biji-biji
shoeiphoa itu.
"Kau menyerah?" tanya Tjian Thong Hay sembari tertawa. Ia maju setindak sambil m
engangkat sebelah kakinya sebagai akan menendang dan kemu-
dian niat memungut dua biji shoeiphoa itu yang terbuat dari emas murni.
Mendadak Pit Yan Kiong loncat bangun, tangan kirinya memungut dua biji emas itu,
sedang tangan kanannya menyekal tongkat, dan dengan terpincang-pincang, ia kemb
ali ke mejanya. "Ha-ha-ha!" ia tertawa terbahak-
bahak. "Dalam dunia ini banyak sekali orang yang berlutut dihada-pan uang. Denga
n memandang muka emas, aku sudah ber- lutut dihadapanmu."
Baru saja ia berkata begitu, dari antara meja-meja perjamuan sekonyong-konyong m
eloncat keluar seorang toosoe (imam) yang mengenakan juba pertapaan kuning.
Dengan gerakan gesit, lebih gesit daripada Pit Yan Kiong, ia meloncat ke dalam g
elanggang.
"Hoan Toako, lihatlah!" bisik si baju putih. "Dia adalah toosoe bau itu, yang ke
marin menginap di hotel."
Tjian Thong Hay agak terkejut, ia melintangkan senjatanya di depan dada dan berk
ata: "Ah! Apakah Hian Eng Tootiang juga mau turut serta dalam keramaian?"
Disebutkannya nama itu sudah mengejutkan banyak orang. Hian Eng Toodjin adalah k
epala kuil Siangtjeng koan di propinsi Shoatang.
Menurut kata orang, ia mempunyai silat yang luar biasa tingginya dan sampai sebe
gitu jauh, ia belum pernah berkelana dalam dunia Kangouw, sehingga tampilnya ke
dalam gelanggang pertempuran, sudah mengherankan sangat banyak orang.
Hian Eng Toodjin mendongak dan tertawa
besar. "Kedatangan pin-too di sini adalah untuk minta sedekah,"
katanya dengan suara tawar. "Di antara begini banyak orang, Lauwko-lah yang terh
itung paling beruang. Maka itu, sudah sepantasnya jika aku memohon sedikit derma
dari kau."
"Bagus! Bagus!" kata Tjian Thong Hay. "Apakah Tootiang perlu uang perak?"
"Lauwko adalah seorang gagah yang tangannya terbuka," sahut Hian Eng. "Aku tak p
erlu uang perak, yang kubutuhkan
adalah emas. Lauwko pun tak usah berabe pulang untuk mengambil emas. Biji-biji e
mas dari shoeiphoa itu sudah mencukupi keperluanku."
Tjian Thong Hay mendongkol bukan
main, ia mesem tawar seraya berkata: "Jika
begitu, biarlah Tootiang mengambil sendiri." Ia mengebas dengan senjatanya yang
lantas saja mengeluarkan
suara kerotakan.
"Baiklah," kata Hian Eng. "Kau tak sekaker, aku pun tak usah berlaku sungkan." B
erbareng dengan perkataannya, ia mengeluarkan hoedtim (kebutan yang biasa dimili
ki orang pertapaan) dan lalu mengebut.
Tjian Thong Hay pa-paki senjata itu dengan shoeiphoa-nya untuk "dikunci" dan dib
etot. Akan tetapi hoedtim adalah benda lemas dan dengan sekali meng-gentak, Hian
Eng sudah meloloskankan senjatanya dari ikatan. Tjian Thong Hay membalik tangan
nya dan menggulung hoedtim itu di tihang shoeiphoa.
"Bagus! Kasi!" seru si imam sembari membetot.
Tjian Thong Hay merasakan tangannya kesemutan dan tiga biji shoeiphoa sudah dire
but si imam.
Ia terkejut bukan main, tak berani ia menyerang lagi secara sembarangan. Sambil
menyekal senjatanya erat-erat, ia bersilat dengan taktik membela diri, sehingga
untuk sementara waktu, Hian Eng tidak dapat berbuat banyak.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, hati Tjian Thong Hay mulai tenteram pula.
Tiba-tiba Hian Eng tertawa dan berkata dengan suara mengejek: "Kau sudah kehilan
gan beberapa biji emas, apa kau tidak merasa sakit hati?"
Sehabis mengejek, ia membalikkan senjatanya dan dengan kecepatan kilat, lalu men
otok alis Tjian Thong Hay dengan
gagang hoedtim. Buru-buru Tjian Thong Hay manggut dengan
gerakan Honghong
Tiamtauw (Burung Hong manggut) dan berbareng menghantam dengan shoeiphoa-nya. Ta
pi tak dinyana, totokan itu hanya gertakan untuk memancing serangan si saudagar.
Begitu lekas shoeiphoa itu menyambar, Hian Eng mengebut dan dua biji emas kemba
li terpental keluar dari dalam alat hitung itu. Dengan sekali menjambret, dan bi
ji emas itu sudah berada dalam tangannya.
Sampai di situ, Tjian Thong Hay sebenarnya ingin segera mengachiri pertandingan
itu, tapi ia terus didesak oleh Hian Eng, sehingga tak dapat meloloskan diri. Da
lam tempo sekejap, belasan biji shoeiphoa kembali kena direbut.
Sembari mencecer lawannya, Hian Eng terus menghitung: "Satu,
dua, tiga, empat, lima..." Tidak lama kemudian, empat puluh sembilan biji sudah
dikantongi si imam. Sebuah shoeiphoa
mempunyai tiga belas tihang yang masing-masing terisi tujuh bijinya.
Sesudah dua biji direbut Pit Van Kiong, dalam shoeiphoa itu ketinggalan delapan
puluh sembilan biji dan dari jumlah itu sudah hilang pula empat puluh sembilan b
iji.
Tjian Thong Hay merasakan dadanya sesak.
"Baiklah! Sekarang aku mau mengadu jiwa!" ia berteriak.
Sekonyong-konyong sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menggoyangkan senjatany
a dan... loh! Empat
puluh biji itu terbang berbareng dan menyambar Hian Eng dari berbagai jurusan. I
tulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang sangat istimewa, yang dinamakan Boant
hian Hoaie Saykim tjhie (Di selebar langit turun hujan bunga, menyebar uang emas
). Melihat itu, semua penonton jadi merasa kagum.
Tapi Hian Eng Toodjin bersikap tenang sekali. Ia tertawa besar seraya berkata: "
Tjian Toaya sungguh royal dan aku pun tidak usah sungkan-sungkan lagi." Sebalikn
ya dari berkelit, ia mengebas kalang kabut dengan kedua tangan jubahnya yang san
gat panjang dan dalam tempo sekejap, seantero biji shoeiphoa itu sudah masuk ke
dalam tangan jubahnya!
Muka Tjian Thong Hay menjadi pucat ba-
gaikan mayat. Ia berdiri terpaku di tengah gelanggang sambil menyekal shoeiphoa-
nya yang sudah kosong.
Tampik sorak bergemuruh terdengar di seluruh taman. Hian Eng membungkuk sembari
bersenyum, tapi sebelum ia sempat membuka suara, di antara sorak sorai, mendadak
terdengar suara orang yang menyeramkan: "Guna apa berlaku begitu kejam? Aku sun
gguh tak tega melihatnya!" Suara itu tidak begitu keras, tapi sangat menusuk kup
ing dan sudah menindih sorakan ramai itu.
Hian Eng Toodjin terkejut dan di lain saat, seorang tinggi besar sudah loncat ma
suk ke dalam gelanggang dengan melompati kepala sekian banyak tamu.
"Tjian Lauwtee!" kata orang itu. "Jangan pergi dulu. Aku akan mengambil pulang b
iji emasmu!"
Orang itu juga berdandan seperti saudagar dan begitu melihat, Hoan Eng terkesiap
lantaran orang itu bukan lain daripada Vang Tjong Hay. Si baju putih juga kaget
dan tangannya merasa gagang pedangnya.
"Yang Toako," kata Boe Tjin Tong dengan suara manis. "Kau juga datang? Hian Eng
Tootiang adalah kawan kita!"
Pada jaman itu, Yang Tjong Hay adalah salah satu dari empat ahli pedang utama di
seluruh Tiongkok. Nama besarnya sudah menggetarkan Rimba Persilatan, tapi karen
a ia hanya berkelana di daerah Soetjoan, Hoenlam dan Kwitjioe,
maka di antara orang-orang gagah di wilayah Tionggoan, banyak
sekali yang belum pernah bertemu muka dengan ia. Begitu she-nya disebutkan Boe T
jin Tong, semua orang jadi terperanjat.
"Kawan apa?" kata Yang Tjong Hay dengan suara tawar. "Tjian Lauwtee adalah seora
ng saudagar jujur. Tujuanku hanya untuk mengambil pulang
modalnya!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia menghunus pedang.
Mendengar perkataan yang tidak segan-segan itu, Hian Eng, lantas saja naik darah
nya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia mengebut dan coba menggulung gagang peda
ng Yang Tjong Hay dengan hoedtim-nya. Pukulan itu yang diberi nama Ouwliong djia
uw-
tjoe (Naga hitam melibat tihang) adalah salah satu pukulan paling berbahaya dari
Thiankong Hoedtim
tjhioe (ilmu bersilat dengan kebutan) yang mempunyai tiga puluh enam jalan. Deng
an sekali membalik tangan, ia membuat suatu gerakan yang sangat sukar ditebak ar
ahnya. Hian Eng sangsi, ia tidak tahu, apakah musuh akan menikam ke sebelah kiri
atau ke sebelah kanan. Di saat ia bersangsi, pedang Yang Tjong Hay mendadak ber
kelebat bagaikan kilat cepatnya dan dengan bunyi "bret!", tangan jubah si imam d
itembusi pedang dan biji-biji shoeiphoa yang tersimpan di dalamnya lantas saja j
atuh berarakan di atas tanah!
Hian Eng gusar bukan main. Dengan gerakan
Poanliong djiauwpo
(Naga bertindak), ia loncat ke samping kanan Yang Tjong Hay sembari mengiram ser
angan.
"Hidung kerbau!" kata Yang Tjong Hay sembari tertawa dingin. "Apa kau masi
h mau berku-kuh mengangkangi
segala harta rampasan?" Berbareng dengan itu, ia menikam tulang pundak Hian Eng
yang lantas mengegos
sembari memapaki pedang itu dengan hoedtim-nya. Tapi
gerakan pedang Yang Tjong Hay sangat aneh dan tidak dapat diduga terlebih dulu.
Di tengah jalan, pedang tersebut mendadak berobah
arahnya dan dengan bunyi "bret" untuk kedua kalinya, tangan juba kiri Hian Eng t
elah dirobek, dan biji-biji shoeiphoa yang tersimpan di situ tentu saja
jatuh berantakan.
Kejadian itu sudah membikin semua orang terkesiap. Dalam mata mereka, Hian Eng T
oodjin adalah seorang ahli silat kelas utama yang jarang ada tandingannya. Tapi
siapa nyana, dalam dua gebrakan saja, kedua tangan jubahnya sudah dirobek semua.
Hian Eng jadi mata gelap.
Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Ngoheng Patkwa, ia menyerang dengan
hoedtim-nya secara mati-matian. Sebenarnya, meskipun kepandaian Hian Eng masih k
alah setingkat dari Yang Tjong Hay, akan tetapi bedanya tidak begitu besar. Tadi
, lantaran kedua tangan jubahnya penuh biji shoeiphoa, ia tidak dapat bergerak d
engan leluasa, sehingga Yang
Tjong Hay dapat menarik banyak keuntungan. Sekarang, sesudah
semua biji emas itu jatuh berarakan, gerakannya menjadi terlebih gesit, ia dapat
membela diri dan balas menyerang.
Sesudah lewat beberapa jurus, Yang Tjong Hay mendadak berseru: "Kenal", dan peda
ngnya menyambar. Hian Eng loncat dengan perasaan heran. Pukulan itu bukan pukula
n luar biasa dan gampang sekali dipunahkan. Ia tidak mengerti, kenapa lawannya b
erteriak: "Kena!" Sekonyong-konyong suatu sinar emas berkelebat di depan matanya
. Ternyata, dengan gerakan yang indah sekali, dengan ujung pedangnya, Yang Tjong
Hay sudah menyontek
sebuah biji shoeiphoa yang lantas terbang ke
arah Tjian Thong Hay. Ia ini lantas saja menyambuti dan memasukkan biji emas itu
ke dalam alat hitungnya.
Sorakan riuh kembali menggetarkan seluruh taman. Dengan sikap bangga, Yang Tjong
Hay terus mencecer Hian Eng dengan pukulan-pukulan hebat dan setiap kali imam i
tu loncat minggir, ia menyontek sebuah biji shoeiphoa yang segera disambuti si s
audagar she Tjian. Dalam tempo sekejap, delapan puluh sembilan biji shoeiphoa ya
ng tadi berhamburan di atas tanah, sudah kembali ke dalam shoeiphoa Tjian Thong
Hay.
Dengan paras muka pucat bagaikan kertas, Hian Eng menarik pulang hoedtim-nya dan
menghampiri Pit Kheng Thian. "Pintoo tak mempunyai kemampuan, se-
hingga Tjeetjoe menjadi hilang muka," katanya sembari membungkuk. "Sekarang aku
meminta diri dan mohon Tjeetjoe sudi memaafkan."
Boe Tjin Tong dan Pit Kheng Thian coba mencegah, tapi orang pertapaan itu sudah
berlalu dengan tindakan lebar.
Perkataan Hian Eng menggenggam permintaan supaya Pit Kheng Thian turun tangan un
tuk menolong mukanya. Semua mata sekarang ditujukan kepada pemuda itu untuk meli
hat gerakannya.
Yang Tjong Hay sama sekali tidak memperduli-kan. Sambil menyentil pedangnya, ia
berpaling kepada Tjian Thong Hay seraya berkata: "Hian-tee, apakah modalmu sudah
dapat diambil pulang semuanya?"
Tiba-tiba Pit Yan Kiong tertawa terbahak-
bahak. Ia muncul dari antara orang banyak dan berkata: "Orang kaya mengeduk kant
ong sama mustahilnya seperti naik ke langit. Baiklah! Oleh karena Yang Toaya sud
ah tampil ke muka, maka aku si pengemis tak dapat berbuat lain daripada muntahka
n kembali makanan yang sudah berada di dalam muiut." Sehabis berkata begitu, ia
menyentil dengan jerijinya dan dua buah biji shoeiphoa lantas saja melesat di te
ngah udara. Ilmu Tjian Thong Hay lebih tinggi daripada si pengemis dan ia sungka
n menyia-nyiakan kesempatan untuk memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengangkat
shoeiphoa-nya untuk menyambuti dan dua biji itu jatuh tepat sekali di tihan
g yang masih belum lengkap isinya.
Dengan sekali menekuk tihang itu, isi shoeiphoa tersebut sudah penuh kembali sep
erti sediakala.
"Toaya yang kaya-raya," kata Pit Yan Kiong. "Sekarang modalmu sudah kembali semu
a. Apakah masih membutuhkan bunganya?"
Dengan berkata begitu, si pengemis ingin Yang Tjong Hay lantas berlalu dari temp
at itu.
Tapi Yang Tjong Hay tetap tidak berkisar dari tempatnya di tengah gelanggang. Ia
kembali menyentil pedangnya dan berkata dengan suara tawar: "Benar! Orang dagan
g selamanya mengharapkan bunga untuk uangnya."
Pernyataan itu sudah mengejutkan semua orang. "Apa ia mau merebut kedudukan Toal
iongtauw?" tanya Boe Tjin Tong di dalam
hatinya. "Ilmu silatnya cukup tinggi, hanya sepak terjangnya tidak begitu bagus.
Jika ia menjadi pemimpin kalangan Lioklim di lima propinsi Utara, kita bakal ja
di berabe."
Orang yang berpendapat sama dengan Boe Tjin Tong berjumlah besar, maka sorakan y
ang terdengar hanya keluar dari beberapa gelintir orang yang mungkin juga konco
Yang Tjong Hay.
Sementara itu, dengan tindakan perlahan, Pit Kheng Thian berjalan masuk ke dalam
gelanggang. Begitu berhadapan dengan Yang Tjong Hay, ia mengawasi dengan kedua
matanya yang tajam bagaikan pedang.
"Toaliongtauw," kata Yang Tjong Hay dengan suara dingin. "Pengajaran apakah yang
kau mau berikan kepadaku?"
Pit Kheng Thian mendongak dan terbahak-bahak. "Aku adalah seorang houwpwee (oran
g yang tingkatannya rendah) dengan kepandaian yang
sangat cetek," katanya. "Mana berani aku memikul tugas sebagai Toaliongtauw? Sau
daraku ini adalah seorang pengemis yang sangat miskin dan tidak mempunyai uang u
ntuk membayar bunga. Maka itu, apa boleh buat, aku saja yang tolong membayarnya.
"
"Bagus! Bagus!" kata Yang Tjong Hay. "Kalau begitu, aku pun boleh tidak usah sun
gkan-sungkan lagi." Berbareng dengan perkataannya, ia menikam jalan darah Hianki
e hiat, di bawah tenggorokan Pit Kheng Thian.
Dengan cepat, Pit Kheng Thian menangkis
pedang musuh dengan toyanya yang sebesar mangkok. Tanpa me-robah kuda-kuda,
tangkisan itu ia susul dengan pukulan Boe Siong pahhouw (Boe Siong pukul harimau
), yaitu membabat lutut musuh.
"Sungguh cepat!" seru Yang Tjong Hay, sembari menyampok dengan pedangnya. Berbar
eng dengan suara bentrokan senjata, Pit Kheng Thian terhuyung ke depan beberapa
tindak, sedang Yang Tjong Hay mundur ke belakang dengan sempoyongan.
Ternyata, dalam sampokannya, Yang Tjong Hay telah menggunakan tenaga Imdjioe (te
naga "lembek") dan dengan meminjam
tenaga Yangkong (tenaga "keras") dari Pit Kheng Tian, ia niat merubuhkan lawanny
a itu.
Jika tenaga antara kedua orang itu tidak berbeda seberapa,
tujuan Yang Tjong Hay pasti akan terwujud. Akan tetapi, Pit Kheng Thian mempunya
i
"tenaga malaikat", pe-ngasi Tuhan. Pukulan Boe Siong pahhouw itu luar biasa heba
tnya dan biarpun Yang Tjong Hay berhasil menyampok toya Pit Kheng Thian, ia send
iri telah dibikin terpental dan sempoyongan ke belakang beberapa tindak. Di lain
pihak, begitu lekas toyanya kebentrok
dengan ujung pedang, Pit Kheng Thian mengetahui adanya bahaya. Buru-buru ia meny
ontek dengan toyanya, miringkan badannya dan meloncat beberapa
tindak ke depan dengan agak sempoyongan. Demikianlah, yang satu mundur, yang lai
n maju, masing-masing tidak
mempunyai kesempatan untuk membarengi dengan serangan membalas. Maka itu, dalam
gebrakan tersebut,
mereka dapat dikatakan seri.
Sesudah kedua belah pihak memperbaiki
kedudukan masing-masing, mereka lalu mulai bertempur pula dengan hebatnya.
Pedang Yang Tjong Hay selulup timbul di tengah udara bagaikan naga yang sedang m
emain di lautan, sedang toya Pit Kheng Thian ber-kelebat-kelebat, seakan-akan bu
rung Hong tengah berterbangan. Semua orang gagah yang menyaksikan pertempuran it
u jadi terpesona. Mereka
merasa kagum sekali melihat seorang muda yang usianya belum cukup tiga puluh tah
un, sudah dapat menandingi kiamkek kenamaan.
Dengan cepat lima puluh jurus sudah lewat dan belum ada yang keteter.
Tiba-tiba, berbareng dengan suatu siulan panjang, Yang Tjong Hay merubah cara be
rsilatnya. Sinar pedangnya berkelebat-kelebat bagaikan kilat menyambar dan
sebatang pedang itu, bahna cepatnya
bergerak-gerak, kelihatan seperti ratusan pedang yang
menyambar-nyambar di sekitar badan Pit Kheng Thian, seakan-akan turunnya rontoka
n
bunga ditiup angin. Dikurung secara begitu, perlahan-lahan Pit
Kheng Thian jatuh di bawah angin.
Tjian Thong Hay kelihatan girang sekali, ia menyentil-nyentil biji shoeiphoa-nya
sembari berkata seorang diri: "Bunganya pasti akan
segera dibayar!"
Pit Yan Kiong yang berdiri di pinggir gelanggang lantas saja tertawa ha-ha hi-hi
. "Memang juga bunganya akan lantas dibayar," katanya. "Tapi belum tentu, pihak
mana akan membayarnya!"
Tjian Thong Hay melirik dengan paras gusar. "Toaya yang kaya raya!" kata Pit Yan
Kiong sembari tertawa. "Jangan gusar." Ia menyelesap dan lalu menghilang di ant
ara orang banyak.
Sekonyong-konyong jalan pertempuran
kembali berubah. Untuk melayani pedang
musuh, Pit Kheng Thian sudah merubah cara bersilatnya. Jika tadi ia bersilat den
gan tenaga Yangkong yang agresif, adalah sekarang
toyanya berputar-putar di sekitar badannya,
dalam gerakan membela diri dan sama sekali tidak mengandung serangan pembalasan.
Akan tetapi, ahli-ahli yang ilmunya tinggi, mengetahui, bahwa sekarang Pit Khen
g Thian sedang bersilat dengan tenaga Imdjioe dan gerakan toyanya merupakan gera
kan lingkaran atau setengah lingkaran, sehingga
toya yang keras dan lempang itu seolah-olah djoanpian, atau pecut lemas.
Dalam pelajaran ilmu silat, terdapat kata-kata seperti berikut: "Tombak takut ke
pada lingkaran, pecut mengenai kelurusan." Tombak dan toya adalah senjata yang k
egunaannya sama. Jika seorang dapat menggunakan tombak atau toya seperti pecut d
an membuat gerakan-gerakan melingkar, maka
lawannya harus berlaku hati-hati.
Demikianlah, begitu lekas Pit Kheng Thian merubah cara bersilatnya, pedang Yang
Tjong Hay lantas saja dapat ditindih dan gerak-gerakannya tidak begitu cepat lag
i. Akan tetapi, dalam gerakannya yang lebih perlahan itu, Yang Tjong Hay kelihat
an menggunakan lebih banyak tenaga, seperti juga berat pedangnya bertambah serib
u kati.
"Hm! Yang Toatjongkoan sekarang menggunakan Iweekang yang sangat tinggi," geren-
deng si baju putih. "Aku mau lihat, bagaimana ia melayani ilmu toya itu."
Baru habis perkataan itu diucapkan, suatu bentrokan senjata yang sangat nyaring
memecahkan kesunyian taman itu. Di antara lelatu api, toya Pit Kheng
Thian kelihatan terbang di tengah udara, sehingga semua orang mengeluarkan serua
n kaget. Dalam detik yang sama, Yang Tjong Hay agaknya seperti orang kesima, ia
terpaku dan tidak bergerak untuk menyerang. Gesit sungguh gerakan Pit Kheng Thia
n. Di saat itu juga, badannya melesat dan tangannya menyambuti toyanya yang seda
ng melayang turun kembali. Dan sebelum kedua kakinya hinggap di atas tanah, ia m
emutar toyanya dan laksana seekor elang, ia menghantam kepala Yang Tjong Hay.
Dalam pertempuran antara kedua jago itu, Pit Kheng Thian menang tenaga, sedang Y
ang Tjong Hay lebih unggul dalam Iweekang dan pengalaman. Ia mahir sekali dalam
ilmu meminjam tenaga musuh
untuk menjatuhkan musuh. Barusan, selagi Pit Kheng Thian menghantam dengan toyan
ya, ia membarengi menyerang dengan pedangnya
dengan menggunakan sembilan bagian
tenaganya. (Dalam pertandingan antara jago-jago kelas utama, seseorang tidak bol
eh menggunakan tenaganya 1DD persen untuk menjaga serangan
membalas yang mendadak. Digunakannya sembilan bagian tenaga adalah ukuran yang p
aling tinggi). Dalam perhitungannya, pukulan tersebut pasti akan dapat mematahka
n toya Pit Kheng Thian. Tapi ia tidak mengetahui, bahwa toya itu adalah senjata
mustika, warisan dari leluhur keluarga Pit. Toya itu dikenal sebagai Hang-liong
pang (Toya menaklukkan naga), di-
Selagi Pit Kheng Thian dan Vang Tjong Hay mengadu tenaga dalam dalam satu pertem
puran mati hidup, mendadak terdengar suara "tring!" dan sekuntum bunga emas tepa
t mengenakan ujung pedang Yang Tjong Hay, yang lantas saja terpukul miring.
buat dari pohon Hang-liong soe yang tumbuh di atas gunung Lamthian san. Walaupun
dibuat dari kayu, toya itu lebih keras dan ulet daripada emas maupun besi. Dulu
dalam pertempuran
antara Thio Tan Hong dan Pit To Hoan, pedang mustika Tan Hong masih belum dapat
mengutungkan Hangliong pang itu.l) Maka itu, dapat di mengerti jika pedang Yang
Tjong Hay, yang hanya lebih baik sedikit dari pedang biasa, tidak dapat berbuat
banyak terhadap toya mustika tersebut. Dalam
bentrokan itu, berkat tenaga dalamnya, Yang Tjong Hay berhasil melontarkan toya
Pit Kheng Thian, akan tetapi, berbareng dengan itu, pedangnya juga somplak dan t
angannya terbeset se-
hingga mengeluarkan darah.
Sabetan toya Pit Kheng Thian yang di kirim selagi tubuhnya masih berada di tenga
h udara, sudah mengejutkan semua orang. Dengan cepat, Yang Tjong Hay mengerahkan
tenaga dalamnya dan memapaki toya itu. Semua orang menduga, bentrokan senjata k
ali ini, akan sepuluh kali lebih hebat daripada bentrokan yang pertama. Tapi di
luar dugaan, bentrokan
antara kedua senjata itu sama sekali tidak mengeluarkan suara dan lebih menghera
nkan lagi, toya itu seperti juga menempel di ujung pedang, sedang tubuh Pit Khen
g Thian masih terus berada di tengah udara. Yang Tjong Hay membentak keras dan m
aju tiga tindak, sambil menggentak pedangnya.
Tapi... toya itu terus menempel di ujung pedang dan tubuh Pit Kheng Thian tetap
menggelantung di
tengah udara! Semua orang terkesiap, sedang mereka yang ilmunya belum seberapa t
inggi, tidak mengetahui
apakah artinya semua itu.
Si baju putih, Boe Tjin Tong dan beberapa jago lain yang ilmunya tinggi, tentu s
aja mengerti, bahwa kedua lawan itu sedang mengadu tenaga dalam. Barusan, waktu
mema-paki toya lawannya, Yang Tjong Hay telah menggunakan Liankin dan Pengkin de
ngan berbareng (tenaga
untuk menempel dan tenaga untuk melontarkan), semacam ilmu Iweekang yang sangat
tinggi. Di lain pihak, walaupun Iweekang-nya masih kalah setingkat,
sabetan Pit Kheng Thian, yang dilakukan dari atas ke bawah, sudah menambah tenag
anya, sedikitnya separoh lebih. Ditambah lagi dengan berat badannya, tenaga toya
itu (yang menindih ke bawah) tidak kurang dari seribu kati! Maka itu, meskipun
Yang Tjong Hay sudah berhasil memunahkan tenaga yang menyabet, ia masih merasaka
n beratnya tenaga yang menindih itu. Liankin-nya sudah berhasil menempel senjata
musuh, tapi dengan Pengkin-nya, ia gagal untuk melontarkan
lawannya.
Sembari jalan mengitari gelanggang, Yang Tjong Hay menggoyang-goyangkan pedangny
a dalam usaha untuk melontarkan lawannya yang menempel bagaikan lintah.
Tapi sebegitu jauh ia belum berhasil dan dalam sekejap saja badan kedua orang it
u sudah basah dengan keringat.
Boe Tjin Tong mengeluh di dalam hatinya.
Jika keadaan itu dipertahankan dalam tempo yang agak lama, ia mengetahui, Pit Kh
eng Thian bisa celaka. Keadaan Pit Kheng Thian agak lemah, oleh karena ia belum
dapat menarik pulang tenaga pukulannya dan tidak bisa mengerahkan tenaga lagi, s
ebab badannya masih berada di tengah udara.
Sambil mengerutkan alisnya, Boe Tjin Tong berjalan masuk ke dalam gelanggang. Ia
menyoja seraya berkata: "Jika dua harimau berkelahi terus menerus, salah satu m
esti celaka. Yang Toako dan
Pit Hiantee sekarang kalian boleh berhenti saja."
Tapi mereka tidak menyahut, agaknya karena sedang memusatkan seluruh semangat da
n menggunakan semua tenaga mereka.
"Yang Toako," kata pula Boe Tjin Tong. "Kau adalah seorang kiamkek yang sudah me
ndapat nama besar. Pit Hiantee adalah enghiong yang tingkatannya terlebih rendah
. Yang Toako! Kau biasanya berkelana di daerah Selatan barat dan jika kau mempun
yai niatan untuk berusaha di wilayah Utara, kedudukan Toaliongtauw dapat kita ru
ndingkan terlebih jauh."
Boe Tjin Tong sudah berkata begitu lantaran ia belum mengetahui Yang Tjong Hay s
udah menjabat pangkat
Toatjongkoan di dalam
istana kaizar. Ia menduga, orang she Yang itu benar-benar mau merebut kedudukan
Toaliongtauw dari tangan Pit Kheng Thian.
Dibujuk dengan kata-kata manis, sedikitpun Yang Tjong Hay tidak menggubris. Sesu
dah berada di atas angin, tentu saja ia sungkan melepaskan korbannya. Ia berjala
n semakin cepat mengitar gelanggang, sehingga Pit Kheng Thian seperti juga sebua
h perahu kolek yang sedang ditiup angin. Boe Tjin Tong tidak berdaya, ia ingin m
enolong, tapi kepandaiannya tidak mencukupi.
Selagi semua orang mengawasi dengan hati berdebar-debar dan sedang Boe Tjin Tong
berada dalam kebingungan hebat, mendadak saja terdengar suara seseorang yang sa
ngat
nyaring: "Kalian tidak tahu diri! Yang Toatjongkoan mana memandang sebelah mata
segala kedudukan
Toaliongtauw!"
Hampir berbareng dengan suara itu, sekuntum bunga emas melesat di tengah udara,
yang dengan menerbitkan bunyi
"ering!", menghantam ujung pedang Yang Tjong Hay!
Senjata rahasia itu yang dilepaskan dengan tenaga yang tepat sekali, sudah memuk
ul miring ujung pedang itu dan di lain saat, sesudah memutar
badan satu kali, Pit Kheng Thian hinggap di atas bumi.
Kejadian itu disusul dengan loncat masuknya seorang pemuda baju putih, ke dalam
gelanggang. Tak usah dikatakan lagi, bunga emas itu adalah miliknya.
Semua orang, tak terkecuali Boe
Lootjhoengtjoe sendiri, merasa sangat kaget. Mereka tak nyana, bahwa seorang yan
g usianya masih begitu muda, sudah mempunyai tenaga dalam yang sedemikian tinggi
.
Perlu diterangkan, bahwa untuk timpu-kannya itu, si baju putih telah
menggunakan tenaga Kiauwkin
(tenaga yang dikeluarkan secara tepat, pada saat yang tepat pula). Selagi Iweeka
ng Yang Tjong Hay beradu dengan Iweekang Pit Kheng Thian, ia menghantam di tenga
h-tengah yang kosong di antara kedua tenaga yang besar itu. Dalam pelajaran ilmu
silat, pukulan itu dinamakan Sieniu potjiankin
(dengan tenaga empat tahil menjatuhkan tenaga ribuan kati). Itulah
sebabnya, kenapa dengan sekali menghantam saja, si baju putih sudah berhasil.
Mengetahui itu, Pit Kheng Thian jadi merasa kagum sekali.
Dengan tindakan tenang, si baju putih berjalan mendekati
Yang Tjong Hay. Ia menyapu semua orang dengan sepasang
matanya yang bersinar bening dan kemudian mengawasi Yang Tjong Hay. "Yang Toatjo
ngkoan," katanya. "Kau mengabdi kepada
Hongsiang (Kaizar), kurasa kau masih sangat kekurangan tempo. Mana kau mempunyai
tempo untuk menjadi Toaliongtauw dari kaum Rimba Hijau. Bukankah begitu?"
Baru habis si pemuda mengucapkan perkataannya, seluruh taman lantas menjadi gemp
ar. Harus diketahui, bahwa
belum cukup sebulan Yang Tjong Hay memegang jabatan Toatjongkoan. Ia menerima ja
batan tersebut sebelum Kie Tin merebut pulang tachta kerajaan. Ketika itu, Kie T
in masih dikurung di dalam istana Lamkiong dan belum diketahui, apakah
usahanya akan berhasil. Oleh karena itu, pengangkatan Yang Tjong Hay sangat dira
hasiakan dan hanya diketahui oleh beberapa orang. Tak usah dikatakan lagi, orang
-orang kalangan Kangouw tak ada satu pun yang mengetahui kejadian tersebut.
Begitu lekas si baju putih membuka rahasia, orang yang paling dulu mengajukan pe
rtanyaan adalah Boe Tjin Tong. "Yang Toako, benarkah itu?" tanyanya.
Sementara itu, semua orang gagah lantas
saja berlomba-lomba menyatakan pendapat. Ada yang merasa sangsi, ada yang gusar,
ada yang lantas mengejek... sehingga seluruh taman menjadi ramai sekali.
"Kamu di sini mengangkat Liongtauw, siapa yang paling kuat, dia yang menjadi jag
o," sahut Yang Tjong Hay. dengan suara angkuh. "Apa yang aku sendiri kerjakan, a
da sangkut paut apa dengan kamu semua?"
Paras muka Boe Tjin Tong lantas saja berubah. Ia mendongak dan tertawa terbahak-
bahak. "Air sumur tidak mengganggu air kali," katanya. "Orang gunung tak berani
melayani orang mulia. Yang Toatjongkoan! Maafkan aku yang tidak bisa melayani ka
u lagi!"
Yang Tjong Hay melirik, ia melihat semua
orang sudah menyekal gagang senjata dan semua mata mengawasi ia dengan sorot gus
ar. Meskipun Boe Tjin Tong tidak berani terang-terangan memberontak terhadap kai
zar, akan tetapi ia mengetahui, bahwa berbagai
tjeetjoe itu adalah orang-orang yang tak takut mati dan bisa berbuat segala apa.
Walaupun ilmu silatnya sangat tinggi, tak urung ia gentar juga. Ia masukkan ped
angnya ke dalam sarung dan tertawa tengal untuk menutupi goncangan hatinya.
"Baiklah," katanya kepada Tjian Thong Hay. "Sekarang baru aku tahu, kedudukan To
aliongtauw bukan direbut dengan kepandaian. Orang tak bermodal juga dapat berdag
ang besar. Guna apa kita berdiam lama-
lama lagi di sini? Saudagar tulen lebih baik berlalu!"
"Apa artinya saudagar tulen?" kata Pit Yan Kiong dengan suara tawar. "Saudagar t
ulen tentu dimaksudkan
manusia yang bisa mengurut-urut lutut Hongtee (kaizar) supaya bisa lekas-lekas n
aik pangkat."
"Jangan sombong kau!" bentak seorang. "Kau sama sekali belum dapat menjatuhkan P
it Tjeetjoe. Kalau mau, boleh menjajal-jajal lagi!"
Suara cacian menjadi semakin ramai, sehingga tanpa menengok pula, sembari menunt
un tangan Tjian Thong Hay, Yang Tjong Hay buru-buru berlalu bersama beberapa
konconya. Sekarang baru orang mengetahui, bahwa si kaya raya Tjian Thong Hay sud
ah bersekutu dengan
Toatjongkoan itu,
dengan niatan menjadi orang berpangkat.
Baru saja Boe Lootjhoengtjoe ingin membuka mulut, si baju putih mendadak menghun
us sebatang pedang pendek yang sinarnya berkilauan.
Boe Tjin Tong terkejut.
"Apa bocah yang masih bau susu itu juga ingin merebut kedudukan Toaliongtauw?" t
anyanya di dalam hati.
Sementara itu, sembari menuding Pit Kheng Thian dengan
pedangnya, si baju putih berkata: "Bahwa kau menjadi Liongtauw, sama sekali tak
ada sangkut pautnya
dengan aku. Tapi benda yang kau curi sebelum menjadi Liongtauw, harus dipulangka
n kepadaku!"
Boe Tjin Tong heran bukan main. Sepanjang
pengetahuannya, harta yang berharga kurang dari selaksa tahil perak, sedikitpun
tidak menarik hati Pit Kheng Thian. Di samping itu, pekerjaannya tak dapat dikat
akan "mencuri", tapi "merampok"
terang-terangan. Mendengar perkataan si baju putih, Boe Tjin Tong menduga, ia se
dang minta kembali sejumlah uang yang telah dirampas Pit Kheng Thian. Maka itu,
lantas saja ia menyahut: "Gampang, urusan ini gampang diselesaikan. Aku yang ber
tanggung jawab, aku akan membayar pulang
seanteronya."
Pemuda itu tertawa dingin seraya berkata: "Ia berhutang sebuah kepala manusia. A
pakah kau bisa membayarnya?"
Boe Tjin Tong terkesiap. Ia mengawasi si
baju putih dengan mata melotot.
"Apakah kepala itu milik keluargamu?" tanya Pit Kheng Thian.
Mata pemuda itu segera menjadi merah, seperti orang yang hampir mengucurkan air
mata. "Kau mau mengembalikan atau tidak?" ia membentak.
"Tapi sekarang sukar sekali, walaupun aku ingin
mengembalikannya," jawab Pit Kheng Thian.
Paras muka si baju putih lantas saja berubah pucat. Tanpa mengeluarkan sepatah k
ata, tiba-tiba ia menikam. Pit Kheng Thian loncat mundur sambil menangkis dengan
toyanya, tapi pemuda itu, yang gerakannya cepat luar biasa, dalam sekejap saja s
udah mengirimkan sembilan tikaman, sehingga Pit Kheng Thian lantas saja
kena didesak.
Serangan-serangan si baju putih menyambar-nyambar bagaikan kilat dan jika dinila
i dari kiamhoat-nya, kepandaiannya malah masih lebih tinggi daripada Yang Tjong
Hay.
"Saudara kecil, janganlah terburu napsu," kata Boe Tjin Tong dengan suara membuj
uk. "Jika kau mempunyai ganjelan apa-apa, cobalah tuturkan
kepada kami secara terang. Jika Pit Tjeetjoe sudah kesalahan
tangan, aku akan minta ia mengadakan sebuah meja perjamuan untuk meminta maaf."
Dengan berkata begitu, Boe Tjin Tong menduga, Pit Kheng Thian telah membinasakan
seorang yang mempunyai hubungan erat dengan si baju putih dan ia ini sekarang d
atang untuk mem-
balas sakit hati. Dalam dunia Kangouw kejadian itu adalah kejadian lumrah dan Bo
e Tjin Tong berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Tapi pemuda itu tidak menjawab dan terus menyerang semakin hebat. Sesudah lewat
beberapa jurus lagi, Pit Kheng Thian segera bersilat dengan ilmu Kimliong hiesoe
i (Naga emas memain di air). Dengan kesiuran angin yang menderu-deru, Hangliong
pang-nya berkelebat-kelebat di sekitar badan si baju putih yang pedang pendeknya
lantas saja dapat ditindih.
"Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Khen
g Thian sembari tertawa.
"Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!" bentak
pemuda itu. "Kau mau mengembalikan atau tidak?"
Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "A
ku bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku
sudah kerjakan secara sempurna."
"Benarkah?" tanya si baju putih sembari menarik pulang pedangnya.
"Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Th
ian dengan suara sungguh-sungguh. "Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara ma
in-main?"
Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suar
a perlahan. "Kau adalah
Indjin-ku (tuan
penolong). Kita tak usah bertempur lagi."
Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di ta
man itu, terhitung juga Boe Tjin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh kar
ena pemuda itu adalah orang yang baru dikenal, Boe Tjin Tong merasa tidak enak u
ntuk menanya terlebih jauh.
Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah
mulai gelap, Boe Lootjhoengtjoe lantas saja berkata: "Pit Tjeetjoe adalah seora
ng yang berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan
saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi
Toaliong-
tauw, apakah ada saudara yang merasa tidak puas?"
Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba m
enolak, Boe Tjin Tong sudah mendului:
"Sedang para tjeetjoe sudah menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungk
an lagi."
"Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih
ada satu urusan yang aku ingin ke mukakan."
Boe Tjin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan ya
ng tidak enak.
"Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang
harus diselesaikan dengan kau."
Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian
tertawa besar. "Saudara kecil," katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada a
sal mulanya, hutang piutang ada tuan uangnya, pedang pendeknya lantas saja dapat
ditindih.
"Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai bangsa tikus?" tanya Pit Kheng
Thian sembari tertawa.
"Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!" bentak pemuda itu. "Kau m
au mengembalikan atau tidak?"
Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada gunanya," katanya. "A
ku bersedia untuk mengembalikan seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku
sudah kerjakan secara sempurna."
"Benarkah?" tanya si baju putih sembari me-
narik pulang pedangnya.
"Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala orang," sahut Pit Kheng Th
ian dengan suara sungguh-sungguh. "Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara ma
in-main?"
Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau begitu," katanya dengan suar
a perlahan. "Kau adalah Indjin-ku (tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi.
"
Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya, semua orang yang berada di ta
man itu, terhitung juga Boe Tjin Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh kar
ena pemuda itu adalah orang yang baru dikenal, Boe Tjin Tong merasa tidak enak u
ntuk menanya terlebih jauh.
Mengingat bahwa
urusan Toaliongtauw belum dapat diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bo
e Lootjhoengtjoe lantas saja berkata: "Pit Tjeetjoe adalah seorang yang berpenge
tahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan
saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia diangkat menjadi Toa
liongtauw, apakah ada saudara yang merasa tidak puas?"
Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan selagi Pit Kheng Thian coba m
enolak, Boe Tjin Tong sudah mendului:
"Sedang para tjeetjoe sudah menyetujui, aku rasa Hiantee tak perlu berlaku sungk
an lagi."
"Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil menghunus pedang. "Masih
ada satu urusan yang
aku ingin ke mukakan."
Boe Tjin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian akan muncul urusan ya
ng tidak enak.
"Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai suatu perhitungan yang
harus diselesaikan dengan kau."
Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar. "Saudara kecil," katanya "
Kau benar-benar rewel! Sakit hati ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan uang
nya. Sedang tuan uang berada di sini, guna apa kau yang mewakili bicara?"
Boe Tjin Tong kaget. Dari perkataannya, Pit Kheng Thian ternyata sudah mengetahu
i
perhitungan apa yang hendak diselesaikan dan sudah mengundang orang yang berke
pen-
tingan langsung tampil ke muka.
Di lain saat, seorang laki-laki yang berbadan kasar loncat masuk ke dalam gelang
gang.
Orang itu mempunyai brewok yang kaku seperti kawat dan kedua matanya bersinar
terang sekali. Orang yang mengenal ia segera berseru: "Ah! Itulah Soanhoahoe
Hoan Eng!"
Hoan Eng nmerang-kap kedua tangannya untuk memberi hormat dan berkata dengan sua
ra nyaring: "Pit Tjeetjoe! Kau barangkali masih ingat pertemuan kita di sebelah
selatan gunung Thaysan.
Sekarang beruntung kita dapat bertemu muka pula. Sudikah kau membayar pulang uan
g itu yang berjumlah tiga puluh laksa tahil?"
Begitu Hoan Eng habis bicara, seluruh ta-
man lantas saja ramai.
"Kenapa Soanhoahoe Hoan Eng melindungi uang pembesar negeri?" tanya seorang.
"Sungguh luar biasa!" kata yang lain.
Hoan Eng adalah turunan ahli silat yang ternama dan dalam kalangan Kangouw, ia t
erkenal sebagai seorang jujur dan dihormati. Begitu lekas persoalan itu muncul,
semua orang segera merasakan sukarnya memecahkan soal itu. Dilihat dari sudut pe
rsahabatan dengan Hoan Eng, uang itu harus dikembalikan. Akan
tetapi, menurut peraturan Lioklim, uang pembesar negeri yang sudah dirampas, tak
boleh dipulangkan
dengan begitu saja. Di samping itu, Yamoensoe Koan Kie dikenal sebag
ai seorang busuk dalam Rimba Persilatan
yang sangat serakah akan segala kemewahan. Maka itu, jika Pit Kheng Thian mengem
balikan uang tersebut, ia tidak berlaku adil dan mengecewakan harapan kalangan L
ioklim.
Semua mata mengawasi jago muda itu tanpa berkesip, sedang paras muka Hoan Eng se
bentar merah dan sebentar pucat. Melihat Pit Kheng Thian belum juga menjawab, de
ngan suara terputus-putus Hoan Eng berkata pula: "Urusan ini... sebenarnya agak
memalukan. Akan tetapi... dengan sesungguhnya siauwtee telah didesak keadaan. Ak
u sebenarnya ingin minta pertolongan
Thio... Thio..."
Mendadak perkataan itu diputuskan dengan suara tertawanya Pit Kheng Thian. "Aku
tahu," katanya. "Aku tahu pembesar anjing itu
adalah keponakan Thio Hong Hoe. Tapi andaikata urusan ini diberitahukan Thio Hon
g Hoe, belum tentu Thio Hong Hoe sudi mengakui dia sebagai keponakan. Selain itu
, aku mempunyai serupa adat. Sekali bekerja, aku tidak akan meladeni segala
permintaan dikembalikan hasil pekerjaan itu, biarpun yang datang mendamaikan ada
lah pentolan Boelim yang paling jempol. Meski orang menggunakan gunung Thaysan u
ntuk menindih aku, aku toh tak akan menyerah!"
Yang dimaksudkan Hoan Eng sebenarnya adalah Thio Tan Hong, tapi sudah salah dita
fsirkan oleh Pit Kheng Thian. Hoan Eng menjadi semakin jengah, sedang si pemuda
baju putih kembali meraba gagang pedangnya.
Sekonyong-konyong Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Tapi," katanya. "Meng
ingat kau sudah dapat menyambut tiga hantaman toyaku, urusan ini masih dapat did
amaikan."
"Kalau begitu, aku menyerahkannya kepada pertimbangan Tjeetjoe," kata Hoan Eng d
engan hati sedikit lega.
Pit Kheng Thian menepuk kedua tangannya sembari berteriak: "Bawa kemari!" Semua
orang yang sedang mengawasi Pit Kheng Thian sudah tidak memperhatikan Pit Yan Ki
ong yang entah dari mana datangnya, sudah muncul sembari menggusur seorang yang
mengenakan pakaian pembesar negeri.
"Pengadilan bersidang!" katanya sembari tertawa. "Inilah Yamoensoe
Toalooya (tuan besar)!"
Hoan Eng terperanjat. Orang itu bukan lain daripada saudara
angkatnya, Koan Kie! Muka Koan Kie pucat bagaikan mayat, badannya gemetar, matan
ya, yang bersorot ketakutan, sebentar mengawasi Pit Kheng Thian, sebentar meliri
k Hoan Eng, gerak-geriknya tak beda dengan seorang peran-taian yang sudah dijatu
hi hukuman mati.
"Hoan Toako!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Aku sudah mengundang saudar
a angkatmu datang
kemari dari kantor Yamoensoe. Apakah perbuatanku ini tidak cukup menghormat
terhadap sahabat?"
Hoan Eng kaget berbareng gusar. Ia kaget lantaran Pit Kheng Thian sudah berhasil
menawan Koan Kie yang
berada di tempat begitu jauh, harus diingat, bahwa ilmu silat Koan Kie bukan ilm
u sem-barangan, sedang
kantor Yamoensoe
biasanya mempunyai penjagaan yang sangat kuat. Penculikan itu sungguh bukan peke
rjaan gampang. Berbareng dengan itu, ia merasa gusar oleh karena Pit Kheng Thian
sedikit pun tidak "memberi muka" kepadanya. Sebaliknya dari mengembalikan uang
itu, ia sudah menggusur saudara angkatnya
dihadapan orang
banyak.
"Koan Taydjin!" kata Pit Kheng Thian. "Dalam beberapa hari ini aku sudah berlaku
kurang pantas terhadapmu!"
Melihat dirinya sukar terlolos dari bahaya, Koan Kie jadi berbalik tenang. "Aku
adalah pembesar kerajaan,"
katanya dengan suara keras. "Aku boleh mati, tapi sungkan menerima hinaan. Mau d
ibunuh, kau boleh bunuh. Guna apa banyak rewel! Hoan Toako! Aku hanya ingin meni
nggalkan suatu pesan kepadamu.
Tolong kau memberitahukan hal ini kepada Thio Siepek."
Demikianlah, dalam menghadapi bahaya maut, ia menggunakan nama Thio Hong Hoe unt
uk coba menggertak Pit Kheng Thian. Ia tidak mengetahui,
bahwa orang tua itu sudah meninggal dunia bersama-sama dengan empat pahlawan ist
ana.
Sebenarnya Hoan Eng sendiri tidak dapat menghargakan sepak terjang Koan Kie. Aka
n tetapi, mengingat persaudaraan yang sudah turun menurun, hatinya merasa pilu d
an tanpa merasa, ia mengucurkan
air mata. Selagi ia hendak bicara, mendadak terdengar suara tertawa Pit Kheng Th
ian.
"Hm! Pembesar kerajaan apa?" kata Pit Kheng Thian. "Agaknya kau belum mengetahui
, bahwa kau sedang dicari majikanmu! Jika sekarang aku melepaskan kau dan kau ta
k mampu mengembalikan tiga puluh laksa tahil perak itu, bukankah seluruh keluarg
amu
akan dihukum mati? Ha! Jika hanya kau seorang yang mampus, sedikit pun tak usah
dibuat menyesal! Akan tetapi, kematianmu itu akan menyeret juga anak isterimu. I
nilah yang dinamakan "budi" kerajaan!"
Khoan Kie terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian bukan gertak sambal belaka. Meman
g benar, kalau ia tidak bisa mengadakan uang
itu, seluruh rumah tangganya akan menghadapi bahaya termus-na. Mengingat begitu,
mukanya lantas saja berubah pucat. Tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlah
an: "Aku mohon belas kasihan Tjeetjoe."
Pit Kheng Thian melirik Hoan Eng dan berkata pula sembari tertawa: "Tiga tahun k
au menjabat pangkat Yamoensoe. Berapa banyak harta sudah dikeduk olehmu?"
"Ti... dak... tidak banyak," jawabnya dengan tergugu. Sama sekali ia tak nyana,
Pit Kheng Thian akan mengajukan pertanyaan itu. "
Pit Kheng Thian kembali tertawa besar. "Menurut pengetahuanku, seluruhnya kau su
dah mengeduk lima belas laksa enam ribu empat ratus tahil perak,"
katanya. "Jumlah ini belum terhitung gedung besar yang kau bangunkan di kampung
kelahiranmu. Benar
tidak?"
Lagi-lagi Koan Kie terkejut. Ia sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa Pit Khe
ng Thian bisa mengetahui kekayaannya secara begitu terang. Ia tak dapat berbuat
lain daripada menyahut: "Benar!"
Pit Kheng Thian bersenyum mendengar pengakuan itu. "Sekarang," katanya pula. "De
ngan memandang muka Hoan Toako, aku sudah mengirimkan
uang itu ke kota raja. Kau tak mempunyai sangkutan apa-apa lagi!"
Itulah suatu pernyataan yang tidak diduga-duga. Koan Kie terpaku, ia berdiri ben
gong seperti tak percaya kupingnya sendiri.
Mendadak paras
muka Pit Kheng Thian kembali berubah menyeramkan. "Akan tetapi," katanya. "Harta
yang tidak halal itu, kau tak dapat menggunakan sesuka hatimu. Dari tiga puluh
laksa tahil perak, aku hanya menyerahkan separoh, sedang kekurangan yang separoh
lagi aku sudah tutup dengan uangmu sendiri. Untukmu, aku tinggalkan gedung besa
r itu dan enam ribu empat ratus tahil perak. Jumlah ini, kurasa sudah cukup untu
k digunakan sampai di hari tuamu. Selain itu, kau sudah dipecat dari pangkatmu d
an kurasa, mulai dari sekarang kau tak dapat menjadi pembesar negeri lagi. Tinda
kanku itu sebenar-benarnya adalah untuk menolong dirimu. Apakah kau merasa puas?
"
Perkataannya diucapkan kepada Koan
Kie, tapi maksudnya yang benar adalah menanya Hoan Eng. Mendengar itu, Hoan Eng
merasa kagum dan ta'luk terhadap kebijaksanaan Toaliongtauw itu. Beberapa kali i
a pernah membujuk Koan Kie supaya berhenti menjadi pembesar
negeri, tapi nasehatnya itu tak pernah diladeni sang adik. Tak dinyana dengan me
nggunakan caranya sendiri, Pit Kheng Thian sudah berhasil membikin Koan Kie tak
bisa memegang pangkat lagi untuk seumur hidupnya. Tindakan itu sedalam-dalamnya
memang merupakan "pertolongan". Perampasan sebagian besar hartanya itu, tentu sa
ja dirasakan sakit oleh Koan Kie, tapi dalam keadaan sekarang, ia sudah merasa g
irang, bahwa jiwanya selamat.
Maka itu, sambil memanggut-manggutkan kepalanya ia berkata: "Puas, aku puas!"
"Koan Taydjin," kata Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Sekarang kau boleh berlal
u. Seragam pembesar yang kau pakai itu, rasanya sudah tidak begitu cocok lagi. M
aka, sekeluarnya dari sini, kurasa baik kau menukar pakaian. Yan Kiong! Tolong a
ntarkan Koan Taydjin keluar dari sini."
Koan Kie yang sudah lama menjadi pembesar negeri hingga kebiasaan seorang pembes
ar
sudah melekat dalam dirinya, tanpa merasa segera menjawab:
"Baiklah. Terima kasih atas budi Baginda! Eh, salah! Terima kasih atas budi
Tjeetjoe!"
Kesalahan berbicara itu tentu saja disambut dengan tertawa ramai oleh segenap ha
dirin.
"Aku juga ingin mengantarkan Djietee," kata Hoan Eng.
Pit Kheng Thian melirik dan berkata sembari bersenyum: "Loohoan, harap kemudian
kau kembali lagi. Aku menunggu di sini."
Hoan Eng kaget karena kata-kata itu menggenggam maksud yang dalam. Ia mendongak
dan tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja aku akan kembali," katanya. "Pit Tjeetjo
e! Kau tak usah kuatir!"
Setibanya di pintu luar, Hoan Eng menyekal Koan Kie dan berkata dengan mata basa
h: "Hiantee, sekali ini, dalam penderitaan kau menemui kebahagiaan. Mulai sekara
ng, tuntutlah penghidupan sebagai orang baik."
Mendengar itu dan mengingat bantuan Hoan Eng, Koan Kie jadi terharu. "Nasehat to
ako,
siauwtee akan perhatikan," jawabnya dengan suara perlahan.
Sementara itu, sambil tertawa ha-ha hi-hi, Pit Yan Kiong berkata: "Harap Taydjin
menukar pakaian." Ia mengangsurkan sebuah bungkusan yang terisi pakaian rakyat
biasa. Sebagai seorang yang sudah dipecat dari pangkatnya, Koan Kie tak boleh me
makai lagi seragam pembesar. Maka itu, walaupun ia merasa sangat jengah, hatinya
berterima kasih
terhadap Pit Kheng Thian yang sudah mengatur segala sesuatu dengan begitu sempur
na.
Waktu Hoan Eng kembali kemeja perjamuan, Pit Kheng Thian sudah menduduki kursi T
oaliongtauw secara resmi. Di situ juga ia segera membereskan beberapa sengketa,
an-
taranya soal pencurian topi mutiara oleh seorang perampok besar yang bernama Lou
w Poet Sia. Raja muda itu telah menugaskan
seorang kepala polisi untuk mengambil pulang barangnya. Kepala polisi itu minta
pertolongan Pit Kheng Thian yang lantas saja mengambil tindakan dan memulangkan
barang berharga itu. Beberapa urusan lain juga sudah diputuskan secara adil oleh
Toaliongtauw itu, sehingga semua orang jadi merasa puas.
Malam itu, Hoan Eng dan si baju putih menginap dalam gedung Boe Tjin Tong. Seant
ero malam, Hoan Eng gulak-gulik di atas pembaringan tanpa bisa pulas karena diga
nggu rupa-rupa pikiran.
Ada beberapa hal yang ia benar-benar tak dapat pecahkan. Seba-
gai contoh, kenapa si baju putih rela melalui perjalanan ribuan lie untuk mengam
bil kembali kepala Ie Kiam? Kenapa pemuda itu menutupi asal-usulnya begitu rapat
? Sikap Pit Kheng Thian juga sangat meragukan. Ia seperti mengenal si baju putih
, tapi pura-pura tidak mengenalnya. Dengan meminjam nama Boe Tjhoengtjoe, Kheng
Thian sudah mengundang mereka datang kesitu. Apakah maksudnya?
Besoknya, pagi sekali Pit Kheng Thian sudah memerintah orang
mengundang ia. Setibanya di taman, ia melihat Pit Kheng Thian, si baju putih, Bo
e Tjin Tong dan beberapa tetua dari Rimba Persilatan, sudah menunggu di situ.
"Aku sengaja mengundang beberapa saudara datang ke sini
untuk menjadi saksi," kata Pit Kheng Thian. "Siauwko ini telah minta sebuah kepa
la orang yang memang benar sudah dicuri olehku. Akan tetapi, sekarang tak dapat
aku mengembalikannya. Sebagai gantinya, aku ingin menyerahkan sebuah peti mati y
ang berisi jenazah lengkap. Kalau Siauwko ini masih juga merasa tidak puas, aku
pun tak dapat berbuat lain."
Selain Hoan Eng dan Boe Tjin Tong, semua orang tidak mengerti apa yang dimaksudk
an oleh Pit Kheng Thian.
Dengan diikuti oleh semua orang, Kheng Thian segera menuju ke bagian belakang ta
man dengan melalui jalan kecil yang berliku-liku. Di situ, di suatu sudut taman,
berdiri sebuah bangunan kecil berwarna abu-abu. Dari jende-
lanya yang terbuka, lapat-lapat kelihatan mengepulkan asap hio. Semua orang menj
adi kaget. Pit Kheng Thian menolak pintu dan berkata dengan suara terharu: "Liha
tlah! Bukankah aku sudah mengurusnya baik-baik?"
Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang dibuat dari tembaga,
sedang di depan peti itu dipasang meja sembahyang dengan hiolouw dan beberapa b
atang hio yang asapnya naik keudara dengan
perlahan. Di atas meja itu terdapat sebuah papan dengan tulisan: "Kokpo Taysin I
e Kiam" (Menteri besar Ie Kiam). Di samping meja itu kelihatan berdiri seorang T
haykam (orang kebiri dalam istana kaizar) tua yang rambutnya sudah putih semua.
Ia agak terkejut
melihat masuknya begitu banyak orang dan ketika melihat paras si baju putih, ia
mengeluarkan seruan tertahan.
Dengan sikap menghormat, Pit Kheng Thian menghampiri peti
tembaga itu, yang tutupnya lantas saja diangkat dengan kedua tangannya yang kuat
. Dalam peti itu ternyata terdapat peti mati lain yang dibuat dari kristal. Di d
alam peti kristal itu berbaring jenazah
seorang tua yang mengenakan pakaian kebesaran seorang pembesar tertinggi. Jenaza
h itu agaknya dipakaikan obat sehingga tidak bisa rusak. Jenazah itu bukan lain
daripada jenazah Ie Kiam, seorang menteri besar yang sudah menolong kerajaan Ben
g dari kemusnaan, tapi, kemudian sudah dibinasakan oleh kaizar kejam
yang sudah ditolongnya itu!
Paras muka si baju putih berubah pucat bagaikan kertas. Ia meloncat dan menubruk
peti mati itu. "Thia thia (ayah)! Sungguh jelek nasibmu !" ia menangis dengan m
enyayatkan hati.
Sekarang semua orang mengetahui, bahwa pemuda itu adalah putera Ie Kiam. Berbare
ng dengan itu, beberapa pertanyaan muncul di dalam hati beberapa orang. Ie Kiam
adalah seorang menteri besar, tapi kenapa puteranya berkelana di kalangan Kangou
w. Siapakah guru pemuda itu yang ternyata mempunyai kepandaian yang sangat tingg
i.
Sebagai orang yang sudah menolong negara, Ie Kiam dihormati
oleh segenap rakyat.
Kecuali Pit Kheng Thian, semua orang lantas saja menekuk lutut dan memberi horma
t di hadapan jenazah Ie Kiam. Sesudah kenyang menangis, si baju putih mengangkat
kepalanya dan matanya mendadak melihat sebuah syair yang artinya kira-kira sepe
rti berikut:
Menghadapi iaksaan serangan, 'ku turun gunung,
Lautan api, 'ku tak per-duiikan,
Badan hancur, 'ku tak takut,
Asai nama bersih dalam dunia!
Syair yang digantung pada tembok itu, adalah syair mendiang ayahnya yang digubah
berdasarkan syair Engsekhwee (Syair debu batu), untuk memperlihatkan isi
hatinya. Ia heran dan tak mengetahui, dari mana Pit Kheng Thian mendapat syair t
ersebut.
Mendadak, di antara sesenggukan, si baju putih tertawa berkaka-kan bagaikan oran
g edan. "Badan hancur, 'ku tak takut, asal nama bersih dalam dunia!" ia berteria
k. "Oh, ayahku! Kebinasaanmu akan tercatat ribuan tahun. Tapi sungguh, kau sudah
binasa secara cuma-cuma!"
Sesudah tertawa, ia mengulun, dan dalam tangisnya, ia tertawa pula. Laganya sepe
rti orang berotak miring, suatu tanda dari kedukaan yang melewati batas!
Pit Kheng Thian tidak berlutut dan juga tidak menangis. Ia menyalakan hio yang l
alu ditancapkan di hiolouw sambil manggutkan ke-
palanya. Kedua matanya terus mengawasi si baju putih. Mendadak ia berkata: "Tjo
Kongkong, dari mana Ie Kiam mempunyai anak lelaki?"
Thaykam itu mengawasi si baju putih, bibirnya bergerak, tapi ia tak lantas bicar
a.
Sekonyong-konyong putera Ie Kiam ini meloncat bangun dengan wajah gusar. "Kau su
dah mengurus jenazah ayahku, budi itu selama hidupku tak dapat kulupakan,"
katanya. "Tapi, apa kau katakan barusan? Di kolong langit, di manakah pernah ter
jadi, seorang anak mengakui ayah terhadap orang yang bukan ayahnya?"
Semua orang yang menyaksikan kesedihan si baju putih, di dalam hati menyalahkan
Pit Kheng Thian yang, sebaliknya dari membujuk, sudah mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung perasaan.
Thaykam tua itu mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara perlahan: "Tak sal
ah. Ayahnya adalah Ie Taydjin."
Barusan, oleh karena seantero perhatiannya ditujukan kepada jenazah Ie Kiam, si
baju putih tidak memperhatikan Thaykam tua itu. Begitu dua pasang mata mereka be
rbentrok, pemuda itu kelihatan terkejut, mulutnya
terbuka, tapi lantas tertutup lagi. Hoan Eng melihat itu semua, tapi Pit Kheng T
hian, yang berdiri membelakangi si baju putih, sudah tidak melihat perubahan
paras muka pemuda itu. Pit Kheng Thian kaget berbareng heran dan ia lantas saja
berkata: "Ie-heng, harap kau sudi memaafkan perkataanku yang tidak pada
tempatnya. Bolehkah aku mentanyakan, di mana Ie-heng ingin menempatkan jenazah m
endiang ayahmu?"
Pemuda itu yang dapat dikatakan belum mengerti urusan, tak dapat menjawab pertan
yaan Pit Kheng Thian.
"Menurut keterangan Tjo Kongkong, semasa hidupnya, mendiang ayahmu senang sekali
kepada kota Hangtjioe," kata pula Pit Kheng Thian. "Sebelum meninggal dunia, be
liau telah meninggalkan
pesan, supaya jenazahnya dikubur di Hangtjioe, di kaki gunung berdekatan dengan
kuburan Gak Hoei. Jika Ie-heng dapat mempercayai diriku, aku bersedia untuk
mengurus penguburan beliau di Hangtjioe, sesuai dengan pesannya itu."
Mendengar perkata-
an itu, si baju putih lantas saja menekuk lutut dan memanggil: "Inkong (tuan pen
olong)."
Kheng Thian buru-buru menyekal lengan pemuda itu seraya berkata: "Bukan terhadap
aku, tapi terhadap Kongkong yang kau harus menghaturkan terima kasih."
Si baju putih mengawasi Thaykam tua itu dan di dalam matanya terdapat sorot kesa
ngsian.
"Tjo Kongkong adalah Thaykam isana yang bertugas mengajar ilmu surat kepada Thay
tjoe (putera mahkota),"
Kheng Thian menerangkan. "Ia sudah berdiam di istana kurang lebih empat puluh ta
hun. Dulu, saban kali kaizar ingin memberi tugas atau hadiah kepada menteri besa
rnya,
orang yang diperintah
menyampaikannya kebanyakan adalah Tjo Kongkong. Apakah ia belum pernah datang di
rumahmu?"
Si baju putih tergugu. Lewat beberapa saat, baru ia menjawab: "Tak heran, jika a
ku rasanya mengenal ia. Mungkin sekali, kita sudah pernah bertemu sekali dua kal
i."
"Tjo Kongkong adalah seorang yang sangat mengagumi ayahmu," Pit Kheng Thian mene
ruskan penuturannya. "Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri, ia telah
memohon kepada kaizar bebodoran itu supaya ia diijinkan mengurus
jenazah mendiang
ayahmu. Sementara itu, aku sendiri sudah beruntung dapat
mencuri kepala Ie Taydjin. Kaizar itu yang mengetahui adanya pergolakan di
antara
rakyat, sudah mengalah sedikit untuk menenteramkan hati orang-orang yang sedang
gusar. Katanya:
Mengingat Ie Kiam adalah Goanloo (menteri tua) dari dua kaizar, maka ijin itu di
berikan. Demikianlah, Tjo Kongkong berhasil membawa keluar jenazah
mendiang ayahmu.
Sesudah itu, baru kepala Ie Taydjin dapat dipersatukan dengan tubuhnya dan kita
semua sudah berbuat begitu hanya untuk mengunjukkan rasa
cinta kita kepada Ie Taydjin. Tjo Kongkong pun sudah mengambil putusan untuk tid
ak kembali lagi ke istana."
Sedang Pit Kheng Thian berceritera, air mata si baju putih mengucur deras sekali
. Diam-diam ia merasa menyesal, bahwa ia sudah mencurigai dan
berlaku kasar terhadap orang gagah itu. Oleh karena Pit Kheng Thian sungkan mene
rima
pemberian hormat besar (berlutut), ia hanya dapat menghaturkan terima kasihnya b
erulang-ulang. (Belakangan, Pit Kheng Thian benar-benar sudah
memerintahkan orang mengantarkan peti mati Ie Kiam ke kota Hangtjioe di mana pet
i itu dikubur sesuai dengan pesan orang tua itu.)
"Kesetiaan Ie Taydjin memang pantas dicatat dalam kitab sejarah," kata pula Pit
Kheng Thian. "Akan tetapi, menurut pendapatku, ia bukan seorang yang berpengetah
uan tinggi dan lebih-lebih bukan seorang gagah (hokiat)!"
Muka si baju putih lantas saja berubah merah, sedang hatinya mendongkol sekali.
Hoan Eng yang juga merasa Pit Kheng Thian sudah keterlepasan bicara, buru-buru
berkata: "Pit Toaliongtauw, apa artinya perkataanmu itu?"
Pit Kheng Thian tertawa besar dan berkata: "Sungguh
sayang! Ia hanya seorang menteri setia. Jika ia benar-benar seorang enghiong ata
u hokiat, tak nanti ia mau binasa secara cuma-cuma!"
Sesudah berkata begitu, ia menghela napas berulang-ulang. "Jika Ie Taydjin sudah
menyelami sejarah sampai di dasar-dasarnya, ia
tentu mengetahui,
bahwa dunia ini adalah dunia (milik) penghuni dunia," katanya pula. "Dunia ini b
ukan milik pribadi suatu keluarga tertentu. Dulu, waktu Tjinsiehong berlaku sewe
nang-wenang, Hang
Ie telah bangkit dan merubuhkan kaizar bebodoran itu. Orang yang semacam itulah,
baru boleh dinamakan enghiong atau hokiat sejati!"
Hoan Eng terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian hebat bukan main. Dalam kata-kata
itu bersembunyi suatu maksud yang sangat besar, yaitu maksud untuk merebut Tiong
kok dari tangan kaizar Beng!
"Hm!" kata si baju putih dengan suara tawar. "Kalau begitu, kau ingin menjadi ka
izar? Orang yang ingin menjadi raja, juga belum tentu benar-benar seorang enghio
ng sejati."
Sekarang adalah giliran Pit Kheng Thian yang berubah paras mukanya. "Ada orang y
ang mempunyai kesempatan untuk menjadi hongtee (kaizar), tapi
sungkan menggunakan kesempatan itu," si baju putih berkata pula. "Orang begitu b
aru boleh disebut seorang gagah tulen."
"Itulah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong!" Hoan Eng menyeletuk tanpa merasa.
Paras muka Pit Kheng Thian lantas saja berubah pucat. Melihat ketegangan itu, Bo
e Tjin Tong buru-buru menyelak. "Dulu adalah lain dari pada sekarang," katanya.
"Thio Tan Hong memang benar seorang gagah. Akan tetapi, di ini waktu, belum tent
u ia sudi membantu kerajaan Beng."
Mata si baju putih kesap kesip, seperti juga ia sedang berpikir. Tiba-tiba, Pit
Kheng Thian berteriak dengan suara gusar: "Enghiong apakah Thio Tan Hong itu? Me
nurut aku, dia
adalah anak yang tidak berbakti. Aku kata, dia adalah hiapkek
(pendekar) palsu yang licik!"
Di jaman itu, nama Thio Tan Hong kesohor di seluruh negeri dan dihormati semua o
rang. Maka itu, cacian Pit Kheng Thian ini sudah membikin setiap orang jadi kesi
ma. Muka si baju putih merah padam, bahna gusarnya. "Manusia macam apakah kau in
i, hingga berani mencaci Thio Tayhiap!" ia membentak. Bagaikan kilat, ia menghun
us pedangnya yang lalu ditikamkan ke mulut Pit Kheng Thian.
Harus diketahui, bahwa sesudah melihat ilmu silat si baju putih yang sedemikian
tinggi dan mengetahui
pemuda itu adalah putera Ie Kiam, Pit Kheng Thian sudah sengaja mengeluarkan
kata-kata yang membakar, supaya si baju putih mau bekerja sama dengan ia
dalam usaha merebut tachta
kerajaan. Dan ia sama sekali tidak menduga, jika pemuda itu akan mendadak menika
m. Jarak antara mereka sangat dekat dan ia tak keburu berkelit lagi!
"Bagus!" seru Pit Kheng Thian, sembari membuka mulutnya.
Hoan Eng mengeluarkan teriakan tertahan dan dalam detik yang sama, tangan Boe Tj
in Tong menyambar untuk menangkis
pedang itu. Di saat itu, badan si baju putih sedikit condong ke depan. Boe Tjin
Tong, yang berdiri di sampingnya, sebenarnya ingin memukul lengannya untuk menan
gkis tikaman itu, tapi oleh karena, ketika itu, badan si baju putih con-
dong ke depan, maka pukulan Boe Tjin Tong menyambar ke arah kepalanya.
Mereka bertiga berdiri berderet, dan lantaran itu, meskipun mau, yang lainnya su
dah tidak keburu menolong lagi. Di lain detik, Pit Kheng Thian menyemburkan dara
h dari mulutnya dan memaki: "Apakah kau sudah lupa akan sakit hati ayahmu? Pedan
gmu sebenarnya harus digunakan untuk menikam kaizar anjing itu, bukannya berbali
k menyerang aku. Mana ada aturan begitu?"
Ternyata, begitu ditikam, Pit Kheng Thian sudah papaki dengan mulutnya dan mengg
igit pedang itu. Si baju putih yang tidak mempunyai niatan jahat, tidak menyerta
kan
tenaga dalamnya pada serangan itu. Tapi, oleh karena pedang itu masuk
ke dalam mulut, mau tak mau, mulut Pit Kheng Thian terluka juga. Si baju putih b
uru-buru menarik pulang senjatanya dan di detik itu, tangan Boe Tjin Tong menyam
bar.
"Ayal" Pit Kheng Thian berteriak, sehabis mencaci. Semua mata dengan serentak me
ngawasi kepala si baju putih!
Topi pemuda itu ternyata sudah jatuh di lantai, sedang ikat kepalanya juga sudah
terlepas dan terlihatlah rambut yang hitam jengat! Barusan, meskipun sedapat mu
ngkin Boe Tjin Tong menarik pulang pukulannya, tapi sambaran angin
pukulannya sudah
cukup untuk menggulingkan topi si baju putih. Semua orang yang tadinya hanya mem
perhatikan Pit
Kheng Thian yang terlu-
ka, baru menjadi sadar sesudah mendengar teriakan Toaliongtauw itu. Sekarang mer
eka baru mengetahui, bahwa si baju putih adalah seorang gadis jelita!
Semua orang jadi kesima, mereka berdiri terpaku, tanpa dapat mengeluarkan sepata
h kata.
"Sin Tjoe! Sin Tjoe!" mendadak terdengar suara Tjo Thaykam. "Benar-benar kau
adanya! Kau berhutang budi besar dengan Pit Tjeetjoe. Tak boleh kau menyerang ia
!"
"Sesudah bengong untuk berapa saat, si nona menyontek topinya dengan pedangnya d
an lalu dipakai lagi di kepalanya. Ia merangkap kedua tangannya dan berkata deng
an suara perlahan: "Pit Tjeetjoe, budimu yang besar tak akan kulupakan. Jika d
i hari
kemudian, kau memerlukan tenagaku, biarpun mesti berenang di air atau masuk di a
pi, tak akan aku menolak segala perintahmu.
Hanya jika kau mencaci Thio Tayhiap. janganlah kau menyesalkan aku sebagai tidak
mengenal budi." Sehabis berkata begitu, ia masukkan pedangnya ke dalam sarung d
an lalu berjalan keluar dengan tindakan cepat.
"Ie-heng! Tahan dulu!" seru Kheng Thian. Ia masih menggunakan perkataan "neng" (
saudara lelaki) lantaran belum dapat mengubah panggilan itu.
Tapi si nona tak meladeni teriakan itu. Setibanya di luar, ia bersiul panjang da
n nyaring. Kuda putihnya yang memang berada dalam taman tersebut lantas menghamp
iri dan
dengan sekali meloncat, ia sudah berada di atas punggung binatang itu. Sungguh j
empol kuda itu! Sekali ditepuk, ia melompati tembok yang tingginya setombak lebi
h. Di lain saat, di luar tembok terdengar derap kaki kuda yang semakin lama jadi
semakin jauh.
* * *
"Si baju putih" adalah puteri tunggal mendiang Ie Kiam dan diberi nama Sin Tjoe.
Tjo Thaykam pernah memberitahukan Pit Kheng Thian, bahwa Ie Kiam tidak mempunya
i putera, dan itulah sebabnya, kenapa tadi ia sudah memperlihatkan perasaan sang
si. Dulu, di gedung Ie Kiam, In Loei pernah bertemu dengan Sin Tjoe yang cantik
dan cerdas sekali otaknya, sehingga
pendekar wanita itu sangat sayang kepada
nona cilik itu. Belakangan, sesudah menikah dengan Thio Tan Hong, In Loei mengam
bil Sin Tjoe sebagai muridnya yang lalu diajak tinggal bersama-sama di dekat tel
aga Thayouw. Dalam tempo beberapa tahun saja, di bawah pimpinan suami isteri yan
g gagah itu, dari seorang gadis lemah, Ie Sin Tjoe sudah berubah menjadi jago wa
nita yang ilmu silatnya tinggi. Mereka bukan saja sudah menurunkan kiamhoat Hian
Kie Itsoe yang luar biasa, tapi In Loei pun sudah mengajar ilmu menimpuk senjat
a
rahasia yang sangat liehay dan dikenal sebagai Hoeihoa tahhiat (bunga terbang me
nghantam jalan darah) kepadanya. Sesudah keluar dari rumah perguruan, berkat sen
jata rahasianya itu, Sin Tjoe sudah mendapat julukan
sebagai Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita
Penyebar Bunga). Sesudah berlatih hampir sepuluh tahun, dapat dikatakan Ie Sin T
joe sudah mencapai puncak pelajaran silat yang sangat tinggi. Oleh karena ia sen
diri hanya berkelana di kalangan Kangouw selama dua tiga tahun, lalu menyingkir
dan hidup bersembunyi di daerah Thayouw, In Loei menginginkan supaya muridnya it
u bukan saja mewarisi ilmu silatnya, tapi juga meneruskan pekerjaannya sebagai s
eorang pendekar
wanita.
Dalam beberapa tahun itu, di samping meyakinkan ilmu silat, Ie Sin Tjoe juga san
gat dipengaruhi oleh
sifat-sifat Tan Hong suami isteri. Ketika itu, Thio Tan Hong dan In Loei berus
ia kira-kira
tiga puluh tahun, sedang Sin Tjoe baru saja belasan tahun. Dengan adanya perbeda
an usia yang begitu besar, perhubungan antara mereka bukan hanya merupakan perhu
bungan antara guru dan murid, tapi juga seperti antara orang tua dan anak sendir
i. Maka itu, demi mendengar gurunya dicaci, Sin Tjoe tak dapat menguasai diri la
gi, biarpun yang mencaci itu adalah tuan penolongnya.
Dalam sekejap mata, ia sudah terpisah belasan lie dari Boe keetjho
eng. Hatinya yang mendongkol
dengan perlahan sudah menjadi tenang pula. Ia memikirkan perbuatannya tadi dan b
erulang-ulang menanya dirinya sendiri: "Apakah aku benar? Apakah aku keliru?"
Dengan hati pepat,
ia menjalankan kudanya. Ia ingat akan Pit Kheng Thian yang kasar dan gagah, deng
an keangkeran seorang enghiong. Akan tetapi, dengan segala kega-gahannya itu, sa
ma sekali ia tidak merasa takluk. Sebab apa ia tidak merasa takluk, ia sendiri t
idak mengerti. Mengenai serangannya tadi, ia pun tidak tahu, apakah itu benar at
au salah. Apakah sakit hati ayahnya harus dibalas? Jika harus dibalas, bagaimana
membalasnya? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat mengusutkan pikiran si nona.
Harus diingat, bahwa waktu itu, Ie Sin Tjoe baru saja berusia enam belas tahun.
Dalam usia sebegitu, orang lain mungkin belum tahu, apa artinya penderitaan. Tap
i oleh karena ia pernah mengalam
beberapa kejadian yang menggoncangkan hati, maka ia sudah lebih dewasa daripada
nona-nona lain sepan-tarannya. Saat itu, tujuan satu-satunya adalah buru-buru
pulang ke rumah gurunya, untuk menye-sapkan kepalanya di pangkuan sang Soebo (ib
u guru, In Loei) dan kemudian minta petunjuk Soehoe-nya.
Tiba-tiba, tunggangannya yang biasa berlari bagaikan angin, entah kenapa, jadi s
emakin lambat larinya. Sin Tjoe menepuk-nepuk punggung hewan itu dan berkata den
gan suara halus: "Kudaku, hayolah lari lebih cepat."
Kuda itu berbenger dua kali, mulutnya mengeluarkan busa
putih dan berjalan semakin perlahan. Si nona merasa heran, belum pernah ia menga
-
lami peristiwa seperti itu. Kuda putih itu sebenarnya adalah
tunggangan Thio Tan Hong yang dinamakan Tjiauwya Saytjoe (si singa yang menerang
i malam), seekor kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia. Dalam sehari dia
bisa berlari seribu lie, sehingga di waktu menungganginya, Sin Tjoe sering-seri
ng
merasa larinya terlalu cepat. Dengan perasaan heran, si nona loncat turun. Ia me
lihat kuda itu seperti sedang sakit dan mulutnya terus mengeluarkan busa. Ia men
jadi bingung karena tidak mengerti penyakit kuda. Dengan perasaan
menyayang, ia memeluk leher hewan itu dan berkata dengan suara halus: "Hayolah,
kita jalan lagi beberapa lie. Sebentar, di kota
sebelah depan, aku akan memberikan kau makan kenyang-
kenyang dan kemudian mengundang thabib untuk mengobati pe-nyakitmu."
Kuda itu seperti juga mengerti apa yang dikatakan majikannya. Tiba-tiba ia berbe
nger keras dan mengangkat-angkat kedua kaki depannya. Begitu si nona loncat ke p
unggungnya, lantas saja ia kabur bagaikan terbang. Tapi sebelum berlari berapa j
auh, tindakannya kembali berubah perlahan,
seperti sedang lelah dan dari mulutnya keluar lebih banyak busa. Selagi Ie Sin T
joe akan loncat turun, mendadak di sebelah belakangnya terdengar tindakan kaki k
uda.
"Ie Kouwnio (nona Ie)!" teriak seseorang. "Kudamu tak dapat ber-
jalan lagi. Mari kita bercakap-cakap sebentar."
Si nona menengok dan melihat, orang yang mendatangi itu bukan lain daripa
da Pit Kheng Thian.
"Mau membicarakan apa lagi?" tanya Sin Tjoe uring-uringan.
"Barusan aku sudah memaki Thio Tan Hong sehingga kau menjadi gusar," kata Pit Kh
eng Thian. "Kau tahu kenapa aku mencaci ia?"
Ie Sin Tjoe lantas saja naik darahnya. "Aku tak mau
mendengarkan segala alasanmu!" ia membentak sambil meraba gagang pedangnya. Sesu
dah membentak, ia merasa agak menyesal dan lalu berkata pula: "Kau sudah menguru
s jenazah ayahku, budi itu bukan main besarnya dan aku merasa berterima kasih ta
k ha-
bisnya. Tapi sebagaimana sudah kukatakan tadi, kau tak boleh menyebut-nyebut pul
a nama Thio Tayhiap1."
"Ah! Sungguh heran!" kata Kheng Thian. "Ada hubungan apakah
antara Thio Tan Hong dan kau?"
"Tak usah tahu!" Sin Tjoe membentak pula. "Pit Toaliongtauw1. Biarlah kita masin
g-masing mengambil jalan sendiri. Mengenai budimu, di belakang hari aku pasti ak
an membalasnya."
"Baiklah!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa besar. "Kau sungkan mendengarkan
, aku pun tak perlu bicara. Tapi aku mempunyai sebuah cerita istimewa. Apakah ka
u suka mendengarnya?"
Sin Tjoe yang masih mempunyai sifat
kekanak-kanakan, lantas saja merasa ketarik. "Baiklah! Kalau ceritanya
bagus, aku suka mendengarkan," jawabnya sembari bersenyum.
"Dahulu, dahulu kala," Kheng Thian mulai menutur. "Di negara ini hidup seorang h
weeshio (paderi) yang mempunyai ilmu luar biasa tingginya. Ia bukan saja pandai
ilmu silat, tapi juga mahir dalam ilmu perang. Paderi itu mempunyai tiga murid.
Murid pertamanya
adalah seorang pengemis, murid yang kedua adalah seorang penyelundup garam, seda
ng si murid ketiga adalah seorang yang pernah menjadi paderi dan juga pernah men
jadi pengemis.
Belakangan, murid pertama dan murid kedua itu menjadi raja dan kaizar, keturunan
mereka hidup dalam kemewahan dan
kemuliaan. Hanya murid ketiga itu yang paling
bangpak. Guna kedua saudara seperguruannya, ia sudah bertempur mati-matian di se
panjang Sungai Besar dan belakangan ia sudah mengorbankan jiwanya dalam peperang
an, tanpa diketahui di mana mayatnya. Keturunannya hidup terombang-ambing dalam
dunia Kangouw, menjadi pengemis, menjadi hweeshio dan selalu berada dalam ketaku
tan, sebab sembarang waktu bisa dibekuk oleh kaki tangan kaizar.
"Akan tetapi, sebelum binasa dalam peperangan, murid ketiga itu pernah melakukan
suatu pekerjaan penting
bersama-sama gurunya. Ia tak kepingin menjadi raja atau kaizar dan selalu mengaw
ani sang guru berkelana ke berbagai tempat.
Sesudah menjelajah ke gunung dan ketempat-
tempat berbahaya yang penting artinya bagi ketentaraan, guru dan murid itu lalu
membuat sebuah peta bumi yang lengkap dan sempurna, di mana tercantum petunjuk-p
etunjuk untuk menggunakan tentara dan peperangan. Siapa juga yang dapat menganto
ngi peta itu, dialah yang mempunyai harapan untuk menjadi raja atau kaizar. Bala
kangan, sesudah murid ketiga dan murid kedua binasa dalam peperangan di Sungai B
esar, peta bumi tersebut lenyap tak ketahuan ke mana atau oleh siapa disembunyik
annya.
"Achir-achirnya, murid pertamalah, yaitu si pengemis, yang berhasil mempersatuka
n negara dan naik ke atas tachta. Tapi hatinya masih selalu berkuatir dan ia men
inggalkan pe-
san dalam surat wasiatnya, supaya kaizar-kaizar anak cucunya terus
berusaha untuk membasmi turunan
kedua keluarga itu dan berusaha pula untuk merebut peta bumi itu.
Menurut pantas, peta bumi tersebut adalah milik bersama dua keluarga, keturunan
murid kedua dan ketiga, apa pula jika diingat, bahwa murid ketiga ini telah meng
eluarkan tenaga terlebih banyak, seharusnya keturunan murid ketigalah yang lebih
berhak atas peta itu. Kira-kira seratus tahun kemudian, peta bumi tersebut munc
ul pula, dan berada dalam tangan keturunan murid kedua. Tak diduga-duga, orang i
tu sudah menyerahkan peta
tersebut kepada musuh, sehingga anak cucu musuh itu bisa terus mener
us bercokol di atas
tachta. Coba katakan: pantas atau tidak?"
Ie Sin Tjoe tertawa dingin. "Hm!" ia meng-gerendeng. "Bicara ke barat, bicara ke
timur, achirnya yang kau bicarakan adalah Tayhiap Thio Tan Hong juga! Kejadian
itu adalah kejadian yang sudah lama sekali, si hweeshio tua adalah Pheng Eng Gio
k, si pengemis adalah Tjoe Goan Tjiang, si penyelundup garam Thio Soe Seng, seda
ng murid ketiga, yang pernah menjadi hweeshio dan pengemis, mungkin
adalah leluhurmu yang bernama Pit Leng Hie. Pit Toaliongtauw1. Guna apa kau meny
ebut-nyebut hutang yang sudah begitu lama?" 2)
"Biarpun orang memuji Thio Tan Hong setinggi langit, aku tetap menganggap perbua
tannya tidak adil,"
kata Pit Kheng Thian.
Ie Sin Tjoe jadi mendongkol. "Apakah kau tak tahu, bahwa waktu itu negara Watzu
sedang menyerang?" tanyanya dengan suara aseran. "Apakah percekcokan antara bang
sa sendiri lebih penting daripada menolak musuh yang datang dari luar!"
"Peta itu adalah milik bersama keluarga Thio dan keluarga Pit," kata Kheng Thian
. "Malah, menurut pantas, keluarga Pit mempunyai hak yang lebih besar. Dan Thio
Tan Hong! Tanpa berunding dulu dengan pihak kami, sudah menyerahkan peta tersebu
t kepada kaizar!"
"Tidak!" bantah Sin Tjoe. "Ia menyerahkan itu kepada ayahku."
Biji mata Kheng Thian berputar dan tanpa menggubris bantahan
si nona, ia berkata pula: "Itulah kesalahannya yang pertama. Menolak bahaya dari
luar memang benar urusan penting. Tapi, biar bagaimana pun juga, sedikitnya ia
harus minta persetujuan keluargaku."
Si nona tertawa dingin seraya berkata: "Ah! Kalau begitu kau datang ke sini untu
k mengadu lidah!"
Pemuda itu masih tetap tidak meladeni dan terus melanjutkan bicaranya: "Selain i
tu, menurut pantas, peta tersebut harus ada salinannya (copy),
atau, sesudah tentara Watzu dipukul mundur, peta aselinya harus diambil pulang.
Biar bagaimana pun juga, Thio Tan Hong pasti menyimpan salinannya. Sebelum ayahk
u menutup mata, ia pernah minta pertolongan bebe-
rapa saudara Partai Pengemis untuk minta peta itu dari Thio Tan Hong, tapi dia k
ata, tidak ada. Dengan demikian, sedikit pun ia tidak memperdulikan persahabatan
lama
antara kedua keluarga kami. Apakah ini bukan perbuatan tidak adil yang kedua?"
Ie Sin Tjoe tertawa dingin. "Thio Tayhiap tak ingin menjadi raja." katanya. "Gun
a apa ia menyimpan salinan peta itu atau memintanya pulang dari tangan ayahku? K
alau ia kata tidak ada, tentu tidak ada. Apakah kau berani menyangsikan kejujura
nnya?"
Kheng Thian lagi-lagi tertawa besar. "Kalau kau membela ia secara begitu, sudahl
ah, aku pun tak perlu bicara lagi." katanya.
"Hayo! Hayo katakan apa yang kau mau ka-
takan!" kata si nona sambil melotot.
Kheng Thian bersenyum dan berkata: "Andaikata benar ia tidak menyimpan salinanny
a." katanya. "Tapi, orang sekolong langit mengetahui, bahwa Thio Tan Hong adalah
manusia cerdas luar biasa, yang sekali membaca tak dapat melupakan lagi apa yan
g dibacanya. Apakah ia tak bisa menolong membuatkan salinan peta itu tanpa melih
at contoh?"
Mendengar gurunya dipuji, si nona jadi merasa senang dan hawa amarahnya mulai re
da. Ia mesem dan tidak berkata apa-apa.
"Sungguh celaka, kalau benar-benar ia tidak menyembunyikan peta tersebut," kata
pula Kheng Thian. "Aku sudah menyelidiki dengan terliti dan menda-
pat kepastian bahwa peta itu tidak berada dalam rumahmu. Maka itu, kesimpulan sa
tu-satunya adalah peta bumi yang sangat penting itu sekarang sudah berada dalam
istana kaizar."
Paras si nona lantas berubah dan ia mengeluarkan seruan tertahan. Kheng Thian te
rtawa seraya
berkata: "Apakah kau heran? Apakah kau belum insyaf, bahwa kaizar yang tak menge
nal budi itu, dapat melakukan segala rupa perbuatan busuk? Dia sudah membunuh
ayahmu, sudah menggeledah rumahmu, apakah kau mengira ia sudi melepaskan peta bu
mi itu?"
Tapi, yang di saat itu dipikirkan si nona, bukannya hal ini. Sesudah mendengar k
eterangan Pit Kheng Thian,
ia mengetahui, pemuda itu sudah memeriksa rumahnya untuk mencari peta tersebut.
Sebelum Pit Kheng Thian datang, rumahnya mungkin sudah lebih dulu digeledah oleh
kaki tangan kaizar dan segala apa yang berharga sudah dirampas. Kumpulan syair
ayahnya mungkin tak dipandang sebelah mata oleh orang-orang kaizar itu dan sudah
dibuang-buang dengan begitu saja, sehingga belakangan dapat dikete-mukan oieh p
emuda itu. Sebelum Pit Kheng Thian mengemukakan soal peta bumi itu, ia mengangga
p sepak
terjang pemuda itu, yakni mengacau di ibu kota dan belakangan mencuri kepala aya
hnya, adalah semata-mata untuk kepentingan ayahnya. Tapi sesudah mendengar ket
erangan
pemuda itu, ia mengetahui, bahwa Pit Kheng Thian sebenar-
benarnya mempunyai tujuan yang lebih penting untuk dirinya sendiri, yaitu merebu
t kembali peta tersebut. Ie Sin Tjoe adalah seorang gadis yang polos dan bersih.
Tadi, meskipun hatinya
mendongkol mendengar cacian terhadap gurunya, sedalam-dalamnya ia merasa sangat
berterima kasih kepada pemuda itu. Tapi sesudah mengetahui maksud Pit Kheng Thia
n sesungguhnya, rasa terima kasih itu jadi banyak berkurang. Dan sebagai orang y
ang polos, perasaan kecewanya lantas saja terlukis pada wajahnya.
Sesudah Kheng Thian selesai berbicara, ia menyoja seraya berkata: "Jika Pit-ya t
idak mau bicara apa-apa lagi,
aku ingin segera berlalu." Mukanya tenang, suaranya manis, tapi sikapnya dingin
luar biasa. Sebagai seorang cerdas, Kheng Thian tentu saja merasakan ketawaran i
tu. Ia mengeluh di dalam hatinya dan merasa putus asa.
Sin Tjoe mengusap-usap punggung kudanya yang lalu dituntun pergi.
"Kembali!" mendadak terdengar teriakan Pit Kheng Thian.
"Ada apa lagi?" tanya si nona sembari memutar badan.
"Kau melupakan satu hal," kata Pit Kheng Thian, Ie Sin Tjoe berdiam sejenak dan
kemudian berkata: "Hm! Benar! Lekas pulangkan kumpulan syair ayahku."
Pit Kheng Thian tertawa berkakakan. "Benar-benar anak berbakti!" katanya. "Kecua
li syair Engsekhwee yang ditempel di sam-
ping peti mati ayahmu, yang lain semuanya berada di sini."
Ie Sin Tjoe segera menyambut kumpulan syair itu dan menghaturkan terima kasih de
ngan suara tawar.
"Kau menyintai ayahmu dan mewarisi pelajarannya, itu semua memang merupakan kewa
jiban dalam menjalankan kebaktian," kata Pit Kheng Thian sembari mengawasi si no
na. "Hanya sayang, kau masih belum merupakan anak yang benar-benar berbakti!"
"Kenapa begitu?" tanya Ie Sin Tjoe.
"Ayahmu mati dengan penuh penasaran, seluruh rakyat, tak ada satu pun yang tidak
gusar," kata Pit Kheng Thian. "Tapi kenapa kau sendiri justru masih tenang-tena
ng saja?"
"Apa katamu?" bentak si nona, matanya
melotot.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Pit Kheng Thian balas menanya. "Kenapa kau tak mau
membalas sakit hati? Sekarang orang-orang gagah di lima propinsi Utara sudah be
rserikat, kenapa kau sungkan berdiam di sini untuk bersama-sama mengerjakan usah
a besar?"
"Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu kau ingin menahan aku
untuk menjungjung kau sebagai Toaliongtauw1."
Kheng Thian mengerutkan alisnya dan ia berkata pula dengan suara kecewa: "Rakyat
di seluruh negeri sedang bergolak. Apakah kau mengira aku bertindak untuk kepen
tinganku pribadi?"
"Dari dulu sampai sekarang, orang yang ingin menjadi kaizar se-
lalu menyanyikan lagu begitu," kata si nona.
Pit Kheng Thian tertawa dingin. "Sekarang aku tahu, kau sungguh-sungguh puteri I
e Kiam, menteri yang setia kepada kerajaan Beng," katanya, menyindir. "Dan aku p
un tahu, bahwa kau bukannya seorang
pendekar wanita yang berbakti dan luhur pribadinya!"
Didesak begitu, Ie Sin Tjoe menjadi bingung. Harus diingat, bahwa dalam usia yan
g masih begitu muda, sukar untuk ia segera mengambil putusan
dalam memilih antara dua soal penting yang bersangkut paut dengan seluruh penghi
dupannya ini.
Sementara itu, Pit Kheng Thian sudah berkata pula dengan suara mengejek: "Apakah
dengan berdiam da-
lam pesanggerahanku, kedudukanmu sebagai Tjiankim Siotjia (nona yang berharga ri
buan uang emas) akan ternoda?"
"Selama hidupnya, ayahku adalah seorang yang putih bersih!" bentak Sin Tjoe deng
an gusar sekali. "Ia menambal pakaian dan membetulkan kerusakan rumah dengan tan
gannya sendiri. Kenyataan ini diketahui oleh manusia sedunia.
Dengan bicaramu itu, kau menganggap aku sebagai manusia apa sih?"
"Kalau begitu, baiklah kita bicara secara ringkas saja," kata Kheng Thian. "Apak
ah kau ingin membalas sakit hati atau tidak? Apakah kau bersedia berdiam bersama
-sama kami atau tidak?"
"Soal membalas sakit hati dan soal berdiam
sama-sama kau, adalah dua soal yang tak dapat dicampur
adukkan," jawabnya. "Mengenai itu, aku akan minta nasehat guruku."
Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa kau a
dalah murid Thio Tan Hong," katanya. "Tak heran, jika kau membela gurumu mati-ma
tian."
"Sesudah mengetahui, bahwa Thio Tayhiap adalah guruku,
sepantasnya tak boleh kau mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung beliau diha-dapanku," kata si nona.
"Sakit hatinya sendiri, Thio Tan Hong belum dapat membalas." kata Kheng Thian. "
Bagaimana ia bisa membantu kau?"
Alis Ie Sin Tjoe berdiri, ia gusar, ia gusar bukan main. "Untuk melawan musuh
dari
luar, guruku sudah menyampingkan sakit hati pribadinya," kata Sin Tjoe dengan su
ara keras. "Orang begitu baru dapat disebut hokiat sejati."
"Dulu lain dan sekarang lain," bantah Kheng Thian. "Sekarang ini, orang-orang ga
gah di seluruh negeri bangkit dengan serentak oleh karena kaizar sewenang-wenang
. Apakah kau mau mengatakan, bahwa mereka memberontak untuk membalas sakit hati
pribadi dan tidak dapat dinamakan hokiat ?"
Sin Tjoe melirik seraya berkata: "Dalam soal itu, kau tak dapat menyama ratakan
semua orang. Apakah kau seorang gagah atau bukan, harus ditunggu dulu buktinya d
ikemu-dian hari!"
Perkataan itu yang
dikeluarkan si nona secara terus terang sudah membikin Kheng Thian jengah dan mu
- kanya dirasakan panas. Ie Sin Tjoe kembali memberi hormat dan bergerak untuk b
erlalu.
"Tahan dulu!" kata Kheng Thian.
"Maaf, Pit Toaliongtauw," kata si nona, tidak sabar. "Aku harus berangkat
sekarang juga."
"Biar pun mau, kau tetap tidak dapat lantas berlalu," kata Kheng Thian sembari t
ertawa. "Kudamu menolak untuk membawa kau!"
Sembari berkata begitu, ia mendekati kuda putih itu. Mendadak saja, Tjiauwya Say
tjoe berbenger keras dan menendang! Pit Kheng Thian meloncat pergi dan berkata s
embari tertawa: "Benar-benar kuda mustika! Lagi sakit,
masih begitu garang."
Sebagai seorang yang sangat cerdas, si nona lantas saja teringat suatu hal. "Pit
Toaliong tau w!" katanya dengan suara sungguh. "Kau adalah pemimpin Rimba Hijau
dari lima propinsi Utara. Apakah kau tak malu sudah menghina seorang wanita?"
"Kenapa begitu?" tanya Kheng Thian.
"Apakah kudaku benar-benar sakit?
Apakah sakitnya bukan akibat permainan gila seorang manusia?"
tanyanya.
Pit Kheng Thian terkejut. Walaupun dalam menghadapi urusan besar, nona itu masih
ragu-ragu, tapi ia ternyata mempunyai otak yang sangat cerdas. Memang benar jug
a penyakit Tjiauwya
Saytjoe adalah perbuatan Kheng Thian. Me-
lihat nona itu yang berparas sangat cantik dan berilmu silat sangat tinggi, dita
mbah lagi ia adalah puteri Ie Kiam dan murid Thio Tan Hong, sedapat mungkin Khen
g Thian ingin menahan ia untuk dijadikan pembantu. Maka itu, diam-diam ia memeri
ntahkan orang menambahkan semacam obat dalam makanan kudanya. Obat itu bukan rac
un, hanya semacam obat yang memabukkan dengan perlahan. Kuda yang telah makan ob
at itu, cepat letih dan achir-nya tidak kuat lari lagi. Untuk
menyembuhkannya, harus digunakan obat yang dibuatnya sendiri.
Demikianlah untuk menahan si nona, dengan melupakan kedudukannya sebagai pemimpi
n, Pit Kheng Thian sudah menggunakan siasat yang kurang bagus itu. Tapi sedalam-
dalamnya ia bebas dari maksud jahat dan tujuannya, dilihat dari sudutnya, adalah
baik sekali. Tidak dinyana, si nona sudah menanya secara begitu, sehingga, deng
an segala kegagahan dan kepintarannya, Pit
Kheng Thian jadi tergugu.
Ia melengos untuk mengegosi sorot mata Ie Sin Tjoe dan kemudian mengambil sebuah
kantong kulit yang dicantelkan pada pelana kudanya.
"Benar-benar kau mau pergi?" kata Kheng Thian dengan suara menyesal. "Baiklah.
Minumkan air dalam kantong ini pada kudamu dan belum setengah jam, kesehatannya
akan baik kembali."
"Kalau begitu, benar kerjaan dia!" kata Sin
Tjoe di dalam hatinya.
Sesudah berdiam sejenak, Kheng Thian berkata pula: "Ie Kouwnio, d
engan
setulus hati, aku coba menahan kau. Tapi karena kau mau berlalu juga, aku pun ta
k dapat berbuat lain. Aku hanya seorang kasar yang tidak mengerti cara-cava mena
han tamu, sehingga dalam beberapa hal, perbuatanku sudah menggusarkan kau. Ie Ko
uwnio1. Dapatkah kita menjadi sahabat?"
Kata-kata itu diucapkan dengan lemah lembut, sebagian untuk menjelasikan kenapa
ia sudah main gila terhadap Tjiauwya Saytjoe dan sebagian pula untuk mengunjuk r
asa cintanya. Di lain pihak, mendengar perkataan halus yang keluar dari mulut se
orang yang begitu kasar, Ie Sin Tjoe
yang masih bebas dari segala rasa cinta antara lelaki dan perempuan, jadi merasa
geli dalam hatinya. Akan tetapi, mendengar
suara itu yang keluar dari lubuk hati, tanpa merasa jantung si nona jad
i berdebar juga. "Pit Toaliong tau w," katanya. "Kau adalah Indjin -ku (
tuan penolong). Kecuali jika kau mencaci guruku, aku selalu merasa
berterima kasi terhadapmu. Dari jauh aku mendoakan, agar kau berhasi
l dalam usaha yang mulia."
Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya, sebagai tanda ia bersedia me
njadi sahabat pemuda itu. Dengan heran ia merasakan gemeternya tangan pemuda
tersebut. Buru-buru ia melepaskan tangannya yang sedang dijabat dan lalu memberi
kan "Guruku tak
obat Kheng Thian kepada kuda putihnya.
"Jika kau bertemu gurumu, tak ada halangan, kalau kau menyampaikan perkataanku k
epadanya," kata Pit Kheng Thian. "Jika ia sudi melukiskan peta bumi itu di luar
kepala, aku mohon kau sudi membawa itu kemari. Sebenar-benarnya aku tak mempunya
i maksud jelek terhadap gurumu. Hanya oleh karena peta tersebut adalah milik dua
keluarga, maka dapatlah di mengerti jika aku menagih padanya."
"Baiklah," Sin Tjoe menyanggupi. "Aku
akan menyampaikan perkataanmu kepada Soehoe." Ia loncat ke punggung kuda yang, s
esudah minum obat, mulai memperoleh
kembali tenaganya dan tanpa diperintah, lantas saja mementang ke
empat kakinya.
"Sampai bertemu pula!" seru Pit Kheng Thian dengan suara sedih. Sang kuda lari s
emakin cepat dan dalam sekejap mata, si nona sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi.
***
Sepuluh hari kemudian, seorang diri, dengan menunggang Tjiauwya Saytjoe, Ie Sin
Tjoe masuk ke dalam kota Souwtjioe, di mana Thio Tan Hong mempunyai suatu
usaha. Usaha tersebut adalah taman Koay-walim, yang telah dimenangkan Thio Tan H
ong dalam perjudian dari tangan Kioetauw Saytjoe In Thian Kian (si Singa Sembila
n Kepala). Koaywalim sebenarnya adalah Heng-
kiong (istana di luar kota raja yang biasa digunakan oleh kaizar yang sedang pes
iar) yang telah dibuat oleh Thio Soe Seng (leluhur Thio Tan Hong), di waktu ia m
enjadi kaizar di Souwtjioe. Sesudah Thio Soe Seng kalah dalam peperangan dan har
ta bendanya dirampas, istana itu dijual kepada keluarga In dan belakangan dijadi
kan sarang judi. Sesudah kembali ke dalam tangan Thio Tan Hong, istana dan taman
itu segera diperbaharui dengan seksama.
Akan tetapi, Thio Tan Hong adalah seorang yang tidak suka akan keramaian. Ia mem
buat sebuah rumah di atas gunung Tongteng san, di telaga Thayouw, dan hidup meng
asingkan diri bersama isterinya, sedang pengurusan Koaywalim, diserahkan kepa-
da In Tiong dan isterinya, Tantay Keng Beng. Beberapa kali Ie Sin Tjoe pernah me
ngunjungi Koaywalim dan begitu tiba di
Souwtjioe, ia segera menuju ke taman tersebut untuk menyambangi suami isteri In
Tiong.
Tapi lekas juga ia menjadi terkejut lantaran pintu taman tertutup dan di atas pi
ntu ditempel pembe-riantahu yang bunyinya seperti berikut:
Taman ini teiah dibeli
olehku. Ditutup untuk
sementara waktu, guna
diperbaharui.
Liong Thian Soe, Pemilik
Koaywalim.
"Guruku tak kekurangan uang, kenapa ia sudah menjual Koaywalim?" tanya Sin Tjoe
dalam hatinya. "Siapa itu Liong Thian Soe?
Selain si nona, di depan pintu taman itu terdapat beberapa
orang lain yang luntang-lantung.
"Ha-ha!" tertawa seorang. "Koaywalim akan pulang asal, jadi tempat judi! Saudara
kita bakal mempunyai pencarian lagi. Liong Pangtjoe sudah minta bantuanku."
Dilihat romannya dan didengar perkataannya, orang itu tentunya seorang buaya dar
at.
Sin Tjoe jadi semakin tidak mengerti. "Kalau toh Soehoe mau menjualnya, ia harus
memilih pembelinya," katanya di dalam hati. "Kenapa dijual kepada gembong judi?
"
"Ah!" kata seorang lain sambil menghela napas. "Kalau ada judi, tempat ini bakal
tak aman lagi. Menurut cerita orang-orang tua, sepuluh tahun berselang, waktu
Koaywalim
menjadi sarang judi, setiap hari tentu mesti terjadi pencurian,
perampokan dan
perkelahian. Anak-anak muda menjadi rusak."
"Memang juga lebih baik dalam tangan In Tjonggoan," o ra n g
ketiga menyeletuk.
"Waktu ia masih mengurus taman ini, meskipun kita tak dapat sembarang keluar mas
uk, tapi sebulan dua kali, saban Tjeeit dan Capgo (tanggal 1 dan tanggal 15 menu
rut penanggalan Imlek), orang dapat pesiar dengan leluasa dan tenteram. Orang bi
sa melihat-lihat
kembang, melihat-lihat ikan, mengobrol di bawah pohon siong dan sebagainya. Ah!
Kalau sudah menjadi sarang judi, untuk kita si miskin, tak ada tempat lagi untuk
menghibur hati." Dilihat dari romannya, orang itu mes-
tinya seorang Sioetjay (gelar seorang sastera-wan) miskin.
"Apakah dulu, pemilik taman ini seorang Tjonggoan?" tanya Sin Tjoe.
"Siauwko, apakah kau datang dari tempat lain?" tanya si sastera-wan. "Masa kau b
elum pernah mendengar nama Boetjonggoan In Tiong yang kesohor? Boetjonggoan itu
bukan saja paham ilmu silat dan pernah jadi jenderal, tapi juga tinggi ilmu sura
tnya. Coba lihat! Bagaimana ia menghias taman ini! Angker dan indah!"
Ie Sin Tjoe tertawa. "Mana kau tahu, bahwa pemilik taman ini adalah guruku," kat
anya di dalam hati. "Segala sesuatu dalam mengatur dan menghias taman ini, semua
-muanya menurut petunjuk Soehoe."
"Kenapa Siauwko
tertawa?" tanya
Sioetjay itu.
"Kalau benar Tjonggoan, tentu tidak kekurangan uang," jawabnya. "Kenapa taman in
i dijual kepada orang yang mau membuka tempat judi?"
"Siauwko," kata Sioetjay miskin itu. "Ada sesuatu yang kau tak tahu. In Tjo
nggoan sekeluarga sudah
pindah semua. Dan Liong Pangtjoe itu... hm..."
Si buaya darat mendelik sehingga saste-rawan itu jadi keder dan berkata pula den
gan suara perlahan: "Sudah lama Liong Pangtjoe ingin membuka tempat judi dan keb
etulan ada tempat yang cocok, ia lantas membelinya."
Ie Sin Tjoe heran bukan main. Kenapa In Tiong sekeluarga pindah ke lain tempat?
"Ke mana In Tjonggoan pindah?" tanyanya.
Si buaya darat tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Apakah kau kira
dia ini pentolan, sehingga In Tjonggoan sudah begitu perlu memberitahuka
n ia ini ke mana pindahnya? Jika begitu jempol, dia ini tentu tidak berkawan den
gan orang-orang seperti kami."
Sioetjay miskin itu kelihatan jengkel sekali. "Meskipun sudah pernah menjabat pa
ngkat
tinggi, In Tjonggoan tidak banyak tingkah," katanya. "Bahwa In Tjonggoan
dan aku pernah bercakap-
cakap, sama sekali bukan kejadian luar biasa." Tapi Sioetjay ini memang tak tahu
ke mana In Tiong pindah dan si buaya darat jadi tertawa terlebih besar dan teru
s mengejeknya.
Ie Sin Tjoe yang tidak mempunyai kegembiraan untuk mende-
ngarkan pertengkaran mereka, lantas saja berlalu dengan pikiran kusut. Ketika me
mbiluk di ujung jalan, mendadak ia melihat dua orang, yang rasanya tak asing lag
i baginya, sedang membuntutinya. Si nona menghentikan tindakannya dan
mengawasi mereka. Segera juga ia mengenali, bahwa mereka adalah dua perwira itu
yang bersama Hoan Eng telah berkunjung ke kampung Thio Hong Hoe.
Kedua perwira itu lantas saja mendekati dan sesudah mengawasi beberapa saat, mer
eka mengenali si baju putih. "Ah! Siauwko," kata perwira she Liok. "Bukankah kau
yang pernah bertempur
dengan Loohoan?"
"Kenapa?" kata si nona. "Apa kamu mau tolong membalaskan sakit hatinya?"
Mereka tak meladeni pertanyaan Sin Tjoe yang garang. "Apa belakangan kau pernah
bertemu lagi dengan Loohoan?" tanya perwira she Ie.
Ie Sin Tjoe merasa geli dalam hatinya dan balas menanya: "Kalau ketemu kenapa? D
an kalau tidak ketemu, kenapa?"
"Loohoan telah menjanjikan kami untuk bertemu pula di tepi telaga
Thayouw, tapi sesudah kami menunggu belasan hari, belum juga muncul," perwir
a she Liok menerangkan.
"Untuk apa ia berjanji begitu?" si nona sengaja menanya.
Kedua perwira itu jadi gaga gugu, mereka tak berani bicara terus terang.
Dalam hati Sin Tjoe lantas saja timbul rasa kasihan. Ia mengetahui, mereka sedan
g berada
dalam ketakutan hebat. Maka itu, sembari tertawa ia lantas saja berkata: "Hoan E
ng menjanjikan kalian
bertemu di sini untuk bersama-sama mencari Thio Tan Hong dalam usaha mengambil p
ulang uang negara yang berjumlah tiga puluh laksa perak. Bukankah begitu?"
Mereka terkesiap mendengar perkaraan itu. Mengingat liehay-nya si baju putih, me
reka mengetahui "pemuda" itu bukan orang sembarangan. Maka itu, sesudah dapat me
netapkan
jantungnya yang ber-goncang keras, si perwira she Ie segera menyahut: "Benar.
Sesudah bertempur, kau dan Loohoan lalu mengikat tali persahabatan, bukan? Apaka
h Loohoan yang memberitahukan hal ini kepada-
mu?"
"Apa kalian sudah bertemu dengan Thio Tan Hong?" Ie Sin Tjoe balas menanya.
Mereka lantas saja mengatakan, bahwa tanpa diantar oleh Hoan Eng, mereka tidak b
erani menemui Thio Tan Hong.
Sin Tjoe bersenyum dan berkata: "Sudahlah kalian tak usah menunggu lagi. Tiga pu
luh laksa tahil itu sudah dibayar pulang dan sudah diantar oleh orang lain kepad
a yang harus menerimanya. Tapi atasanmu sudah dipecat, sehingga kalian harus bur
u-buru pulang ke Ouwpak. Jika Yamoensoe baru sudah menjabat pangkatnya dan kalia
n belum melaporkan diri, mungkin kalian juga akan dipecat."
Mereka kaget berbareng girang dan hampir-
hampir tak percaya apa yang dikatakan Sin Tjoe.
"Malam ini kalian boleh tidur dengan tenang," kata pula Sin Tjoe sembari berseny
um dan lantas meninggalkan kedua perwira itu. Di luar tahunya, pembicaraan merek
a sudah dapat didengar oleh dua pahlawan istana yang dengan diam-diam
segera membuntuti
puteri Ie Kiam ini.
Besok paginya, dengan menunggang si putih, Sin Tjoe pergi ke pinggir telaga, di
mana biasanya terdapat banyak sekali perahu, tapi sekarang hanya kelihatan sebua
h perahu kecil yang ditambat di bawah pohon yanglioe.
Si nona heran dalam hatinya. Waktu itu adalah buntut musim semi yang sangat coco
k untuk pesiar di telaga, yang biasanya ramai sekali. Kenapa sekarang
begitu sunyi?
Begitu melihat Ie Sin Tjoe, si pemilik perahu, seorang yang alisnya tebal, matan
ya besar dan badannya tinggi kasar, lantas membuka tambatan dan menanya sembari
tertawa: "Apa Siangkong (tuan) mau pesiar?"
"Benar," jawah Sin Tjoe. "Antar aku ke sebelah barat Tongteng san."
"Bagus! Bagus!" kata orang itu. "Kudamu benar bagus. Mari aku tuntun."
Indah sungguh pemandangan telaga Thayouw. Dengan dikipasi angin musim semi yang
sejuk, sambil memandang gelombang yang berwarna biru dan puncak-puncak di tengah
telaga tersebut, seorang pelancong seakan-akan berada di tempat dewa-dewa. Tapi
si nona tak mempu-
nyai kegembiraan untuk menikmati pemandangan alam itu lantaran hatinya berdebar-
debar mengingat ia sudah berada dekat sekali dengan Soehoe dan Soebo-nya. Ia ber
diri bengong, ia melamun. Mendadak matanya melihat dua buah perahu besar yang se
dang berlayar ke arah perahunya. Dua perahu itu bukan perahu pesiar dan di setia
p kepala perahu berdiri seorang lelaki yang berbadan tinggi dan yang terus menga
wasi Sin Tjoe. Si nona terkejut, ia tak mengerti kenapa dua orang itu begitu kur
ang ajar.
Tiba-tiba si pemilik perahu berkata dengan suara menyeramkan: " Loohoe selamanya
hidup di pinggir telaga, tak suka bergaul, paling suka uang. Ha-ha! Sungguh muju
r, pagi ini
bertemu dengan
kambing gemuk!"
Ie Sin Tjoe terperanjat, "Apa katamu?" tanyanya.
"Siangkong," jawabnya. "Numpang tanya: Kau lebih suka mie golok atau mie pa
ngsit."
"Apa artinya mie golok? Apa artinya mie pangsit?" tanya si nona.
Si pemilik perahu lalu membuka papan perahu dan mengambil sebatang golok. "Mie g
olok adalah ini, sekali sabet, kau menjadi dua potong," katanya sembari menyabet
kan goloknya diudara. "Mie pangsit yaitu: Kau diikat keras-keras dan plung, kau
masuk ke dalam air!"
"Binatang! Tengah hari bolong kau berani merampok dan membunuh?" bentak Sin Tjoe
dengan suara gusar.
"Lekas keluarkan semua milikmu!" si peram-
pok balas membentak. "Baiklah, aku mengampuni jiwamu, tapi kau mesti mengikut ak
u."
Dua perahu besar itu semakin lama jadi semakin dekat.
"Hei! Mau apa rewel-rewel!" teriak si lelaki tinggi besar yang berdiri di kepala
perahu. "Lempar saja ke air, biar dia setengah mampus! Ha-ha! Kemudian baru dis
erahkan pada Yang Toatjongkoan."
"Baiklah, kasi dia makan mie pangsit dulu," jawab si perampok. Dengan tangan kir
i menyekal golok dan tangan kanan memegang tambang, ia mendekati Ie Sin Tjoe.
Tiba-tiba saja, berbareng dengan diayunnya tangan si nona, suatu sinar emas meny
ambar dan, tanpa mengeluarkan suara, si pemilik perahu kecebur ke dalam air! Ter
nyata
lehernya sudah ditembuskan sekuntum bunga emas. Dia berdiri yang lebih dulu maka
n "mie pangsit"!
Ie Sin Tjoe sebenarnya sungkan menurunkan tangan kejam. Akan tetapi, sesudah men
dengar teriakan si lelaki tinggi besar, ia mengetahui, bahwa kawanan itu bukan p
erampok biasa dan dalam gusarnya, ia tak main kasihan lagi. Badan si pemilik per
ahu tenggelam timbul beberapa kali dan kemudian lenyap dari permukaan air.
"Bagus! Liehay juga bocah itu!" seru si tinggi besar. Ia lalu memerintah anak bu
ah kedua perahu itu agar menggayuh lebih cepat dan menjepit perahu Sin Tjoe deng
an dua perahu besar itu.
Begitu si pemilik kecebur, perahunya terputar beberapa kali.
Sin Tjoe tak pandai berenang dan juga tak dapat mengemudikan perahu. Dalam gusar
nya, ia mengayun kedua tangannya,
masing-masing melepaskan tiga kuntum bunga emas yang menyambar ke arah tiga jala
n darah setiap lelaki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu.
Mereka adalah Wie-soe (pahlawan) kelas satu dari istana kaizar. Yang berdiri di
perahu sebelah kiri adalah Yo Tjian Kin, sedang yang di sebelah kanan adalah Kim
Ban Liang. Yo Tjian Kin yang bertenaga besar segera menyam-pok jatuh tiga bunga
emas itu dengan rantai besinya. Kim Ban Liang yang pandai berkelit, sudah menan
g- kis dengan goloknya sambil mengegos ke kiri kanan. Ia menyampok jatuh sekuntu
m bunga emas
dengan goloknya dan mengelit dua bunga lainnya, yang kemudian menancap di papan
perahu. Ie Sin Tjoe melepaskan senjata rahasianya dari jarak belasan tombak dan
bahwa dari jarak begitu jauh ia masih dapat menimpuk begitu jitu, sudah membikin
kedua Wiesoe itu menjadi kaget dan tak berani datang terlalu dekat.
Tapi di lain saat, mereka sudah mengetahui, si baju putih tidak mengenal ilmu be
renang. Yo Tjian Kin tertawa berkakakan, "Kunjungan harus dibalas dengan kunjung
an!" ia membentak sambil menimpuk dengan
Tiattha ("Nyali-besi"), yang ditujukan bukan ke arah Sin Tjoe, tapi ke perahunya
. Tiattha itu yang beratnya beberapa kati, lantas saja membikin papan pe-
rahu berlubang dan air telaga mulai mengalir masuk. Sin Tjoe terkejut dan Tiatth
a kedua sudah menyambar pula. Buru-buru ia mengeluarkan dua bunga emas dan menim
puk dengan menggunakan seantero tenaga dalamnya.
Tiattha itu ketahan di tengah udara dan jatuh ke dalam air di pinggir perahu, se
hingga air telaga muncrat tinggi dan berombak keras. Perahu itu terputar-putar b
eberapa kali dan Sin Tjoe merasakan matanya berkunang-kunang, hampir-hampir ia
muntah.
Yo Tjian Kin kembali tertawa berkakakan. "Ambil batu penindih perahu!" ia berter
iak. "Lebih dulu aku mau menenggelamkan perahu bocah itu."
Sebagaimana diketahui, perahu-perahu
yang muatannya sedikit, bergoncang keras jika bertemu angin dan ombak besar. Mak
a itu, anak buah perahu yang berpengalaman selalu menaruh batu-batu besar di das
ar perahu yang muatannya
enteng, untuk meneguhkan kedudukan perahu itu. Disetiap perahu besar yang sedang
menggenjet perahu Ie Sin Tjoe, hanya terdapat tiga orang, yaitu dua pemegang ke
mudi dan seorang melayani si nona. Selain itu, kedua perahu tersebut tidak memba
wa barang. Maka di saban perahu terdapat batu-batu besar yang beratnya sama seka
li dua tiga ribu kati.
Begitu diperintahkan, anak buah perahu itu lantas saja menggotong naik beberapa
batu besar.
Yo Tjian Kin tertawa
berkakakan seraya
berteriak: "Bocah!
Sambutlah ini!" Ia mengerahkan tenaga dalamnya, membuat sebuah lingkaran
dengan kedua lengannya dan kemudian melontarkan sebuah batu yang beratnya hampir
seratus kati. Batu itu jatuh ke dalam air, di dekat perahu Sin Tjoe. Air telaga
berombak keras sehingga perahu Sin Tjoe terputar dan miring. Buru-buru si nona
mengerahkan ilmu
Tjiankin toei dan memusatkan seluruh tenaga kepada kedua kakinya yang menginjak
perahu itu keras-keras. Untuk menetapkan
perahu yang didampar ombak dengan menggunakan ilmu Tjiankin toei, orang harus me
mpunyai Iweekang dan gwakang yang sama tingginya. Ie Sin Tjoe sudah mewarisi
ilmu Iweekee (ilmu dalam) dari Thio Tan Hong, tapi oleh karena usianya masih san
gat muda, gwakang-nya belum dapat menyamakan tenaga dalamnya ( Iweekang). Maka i
tu, perahunya masih terus terputar-putar dan
miring ke kiri kanan, sehingga si nona merasakan kepalanya pusing.
Lagi-lagi Yo Tjian Kin mengeluarkan tertawa girang dan melontarkan pula sebuah b
atu besar yang jatuh di sebelah kiri perahu Sin Tjoe. Air telaga muncrat, sehing
ga pakaian si nona menjadi basah dan ombak jadi semakin hebat. Sambil membentak
keras, Yo Tjian Kin melemparkan batu
ketiga yang jatuh di sebelah kanan perahu Sin Tjoe!
Dapat dibayangkan hebatnya ombak itu yangn menggencat dari
kiri dan kanan. Perahu Sin Tjoe terputar, miring, tenggelam timbul, beberapa kal
i hampir-hampir ditelan ombak. Mata si nona
berkunang-kunang, kepalanya pusing. "Wah!" ia muntahkan semua makanan yang telah
dimakan pagi tadi. Ia kaget dan gusar, tapi seluruh badannya lemas. Sementara i
tu, Yo Tjian Kin sudah mengangkat batu yang ke empat. Jika batu itu dilemparkan,
perahu Sin Tjoe pasti akan tenggelam.
Di saat yang sangat genting itu, berbareng dengan suatu siulan panjang dan nyari
ng, di tengah telaga mendadak munjul sebuah perahu kecil yang mendatangi bagaika
n anak panah yang baru terlepas dari busurnya. Dengan cepat, perahu itu sudah me
nyelak di
antara perahu Sin Tjoe dan dua perahu besar itu.
"Apakah kau mau cari mampus?" teriak Yo Tjian Kin.
Dari dalam perahu itu sekonyong-konyong muncul seorang yang berkata sembari tert
awa: "Di siang hari bolong, kau berani merampok dan membunuh! Apakah kau kira du
nia ini milikmu sendiri?" Suara itu nyaring sekali, seperti suara anak kecil.
Mendengar suara itu, yang agaknya tak asing baginya, Sin Tjoe yang sedang mabuk
jadi bergoncang hatinya. Ia membuka kedua matanya dan ternyata yang muncul dari
perahu itu adalah bocah yang mengenakan
pakaian serba hitam, dengan tudung hitam dan lantaran mukanya juga berwarna
hitam,
kedua matanya yang bersinar terang kelihatan menyolok sekali. Sebab kepalanya
pusing, Sin Tjoe tidak dapat lantas mengenali siapa adanya bocah itu.
"Binatang kecil yang tak kenal mampus!" Yo Tjian Kin membentak. "Kau juga gegare
s sebuah batu!" Dengan suara "jebiur!", batu ke empat dilontarkan ke arah perahu
si hitam yang lantas saja terbalik dan tenggelam di antara ombak-ombak besar.
Ie Sin Tjoe terperanjat.
Sekonyong-konyong ia merasakan seakan-akan perahunya didorong orang, sekali mele
sat belasan tombak dan dalam sekejap mata sudah keluar dari lingkungan ombak-omb
ak besar. Itulah suatu kejadian yang benar tidak diduga-duganya.
Begitu berada di air tenang, mabuknya
lantas agak reda dan sesudah menjalankan pernapasannya, tenaganya segera juga ke
mbali. Buru-buru ia menjembat penggayuh dan menggayuh
secepat mungkin. Walaupun tidak mengerti ilmu main perahu, akan tetapi di air te
nang dan karena perahu itupun bergerak mengikuti
aliran air, dapat juga ia menjalankannya.
Mengingat si bocah, Sin Tjoe menengok ke belakang. Ia melihat perahu si hitam me
ngambang terbalik di atas permukaan air, sedang si hitam sendiri tidak kelihatan
bayang-bayangannya, mungkin sudah tenggelam di dasar telaga. Si nona berduka sa
ngat dan berkata dalam hatinya: "Hai! Dengan kenakalannya itu, secara kebe-
tulan ia sudah menolong jiwaku, tapi ia sendiri harus mengorbankan ji
wa."
Tiba-tiba Yo Tjian Kin berteriak-teriak
dengan kegusaran hebat. Ternyata perahunya sedang terputar-putar dan miring ke s
ana sini.
"Ada orang main gila di bawah air!" seru salah seorang anak buahnya dan seorang
antaranya lantas loncat ke air.
"Kim Toakol" teriak Yo Tjian Kin. "Tolong kau mengubar bocah yang sedang kabur i
tu!"
Saat itu, jarak antara perahu Kim Ban Liang dan Ie Sin Tjoe kira-kira dua puluh
tombak. Tenaga orang she Kim itu tidak sebesar kawannya, sehingga ia tak mampu m
enimpuk musuh dengan batu besar. Tetapi ia pandai main perahu
dan dalam tempo tak lama, ia sudah mengubar semakin dekat. Ie Sin Tjoe segera me
ngayun tangannya dan melepaskan lima bunga emas yang menyambar ke beberapa jurus
an. Sekuntum bunga emas yang menyambar Kim Ban Liang kena dipukul jatuh dengan g
oloknya, tapi dua bunga lainnya mengenakan jitu pada tambang layar yang lantas p
utus dan layarnya jatuh, sehingga lajunya perahu itu jadi tertahan. Berbareng de
ngan itu, dua kuntum bunga emas lain menyambar ke arah dua pengemudi perahu.
Pengemudi yang berdiri di sebelah kiri masih dapat berkelit, tapi yang di sebela
h kanan kena disambar jitu, sehingga tanpa mengeluarkan suara, ia terguling ke d
alam air. Kim
Ban Liang terkesiap dan sementara itu, perahu Sin Tjoe sudah terpisah lebih dari
dua puluh tombak. Dengan gusar, Kim Ban Liang mengambil penggayuh untuk coba me
ngubar lagi. Tapi mendadak ia mendengar teriakan Yo Tjian Kin: "Kim Toako\ Balik
!"
Ia menengok dan melihat air telaga berwarna merah, sedang mayat anak-buah perahu
yang tadi terjun dan menyelam ke dalam air, ketika itu sudah mengambang di atas
air. Lebih celaka lagi, air telaga mengalir masuk ke dalam perahu itu yang sege
ra mulai tenggelam dengan
perlahan. Ternyata
anak buah perahu itu telah dibinasakan si hitam yang juga sudah membocorkan pera
hu tersebut, Yo Tjian Kin yang tidak pandai be-
renang, jadi ketakutan dan buru-buru mente-riaki kawannya.
Dengan terpaksa, Kim Ban Liang melepaskan si baju putih dan membilukkan perahuny
a untuk menolong Yo Tjian Kin. Dengan sekuat tenaga, Kim Ban Liang dan seorang a
nak buahnya menggayuh perahunya, yang terpisah kira-kira lima puluh tombak dari
perahu Yo Tjian Kin.
Ketika sudah berdekatan, perahu Yo Tjian Kin sudah hampir tenggelam seluruhnya d
an kaki orang she Yo itu yang berdiri di kepala perahu, sudah kerendam air. Peng
emudi perahu yang satunya lagi buru-buru terjun ke dalam air, tapi beberapa saat
kemudian, air telaga mendadak berubah merah dan ia mengalami nasib seperti kawa
nnya.
Begitu kesambar bunga emas di tenggorokannya, tukang perahu itu lantas terjungka
l ke dalam air. Sesudah itu, dengan hati berdebar, Ie Sin Tjoe mengawasi dua per
ahu besar itu yang semakin lama jadi semakin dekat.
Melihat keadaan mendesak, sembari melemparkan papan, Kim Ban Liang bert
eriak "Yo Toakol Lihat ini!"
Yo Tjian Kin loncat dan kedua kakinya hinggap di atas papan. Sekonyong-konyong b
ocah hitam itu muncul di permukaan air dan menarik papan yang sedang diinjak Yo
Tjian Kin. "Orang gede!" katanya sembari tertawa ha-ha hi-hi. "Mari turun main-m
ain!"f2
Dengan mata merah, Yo Tjian Kin menghantam sekuat tenaganya. Pukulan itu hebat l
uar biasa, air telaga muncrat tinggi.
"Tak kena!" teriak si hitam sembari menyelam.
Tak usah malu Yo Tjian Kin menjadi pahlawan kelas satu di istana kaizar! Pada de
tik yang sangat berbahaya itu, ujung kaki-
nya menotol papan dan badannya segera melesat ke atas setombak lebih! Selagi ber
ada di tengah udara, ia memutarkan badan dan di lain saat, kedua kakinya hinggap
di atas perahu Kim Ban Liang!
"Bangsat kecil itu benar-benar seperti setan air," katanya, tersengal-sengal. "K
im Toako\ Coba kau turun !"f2
Sambil menyekal sumpitan anak panah, Kim Ban Liang segera terjun dan selulup. Ia
berdiam di dalam air tanpa bergerak, dengan niatan membokong si hitam dengan an
ak panahnya. Tidak lama kemudian, dalam jarak beberapa tombak, ia melihat berkel
ebatnya bayangan hitam yang gerakannya gesit luar biasa, seperti juga seekor ika
n terbang. Bayangan itu lewat di
depannya dan menuju ke arah perahu Ie Sin Tjoe. Kim Ban Liang coba mengubar, tap
i kepandaiannya ternyata masih kalah jauh, sehingga sesudah mengu-dak beberapa l
ama, dengan mendongkol ia terpaksa kembali ke perahunya.
Di lain pihak, sesudah terlepas dari bahaya, perlahan-lahan Ie Sin Tjoe menggayu
h perahunya. Ia menengok dan dengan terkejut, ia mendapat kenyataan bahwa sebuah
antara dua perahu besar itu sudah tenggelam. Sekarang ia mengetahui, bahwa itu
semua adalah pekerjaan si bocah hitam. Ia merasa kagum dan tidak mengerti, bagai
mana bocah itu bisa memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Lapat-lapat ia ing
at bahwa ia pernah bertemu dengan bo-
cah tersebut, akan tetapi ia lupa bila dan di mana. Selagi mengingat-ingat, pera
hunya mendadak bergoncang dan di lain saat, perahu itu mendadak melesat ke depan
, didorong orang dari dalam air.
"Hei! Anak nakal! Lekas naik!" teriak si nona. Tapi teriakan itu tidak diladeni,
sedang perahunya laju bagaikan terbang.
Dalam tempo sekejap, perahu itu sudah tiba di kaki Tongteng san barat. Baru saja
perahu itu menempel pada tepi telaga, Tjiauwya Saytjoe ber-benger keras.
"Sudah hampir sampai rumah," kata Sin Tjoe sembari tertawa. "Untuk apa kau berte
riak-teriak?" Dengan menuntun si putih, ia lantas naik ke darat. Sekonyong-konyo
ng sesosok bayangan hitam
loncat keluar dari dalam air, yang bagaikan kilat sudah mengusap kepala dan muka
Sin Tjoe dengan kedua tangannya yang berlumpur!
Si nona menyampok dengan tangannya, tapi bayangan itu sudah melesat ke gili-gili
.
"Hayo, udak jika kau bisa!" ia berteriak sembari tertawa haha hi-hi.
"Hm! Baru sekarang aku tahu, kau bukan bocah, tapi nona besar!"
Ie Sin Tjoe mengawasi dan segera juga ia mengenali, bahwa si nakal bukan lain da
ripada Siauw Houwtjoe, putera Thio Hong Hoe! Girangnya si nona tidak kepalang. "
Waktu mau menutup mata, Thio Hong Hoe telah minta Hoan Eng menyampaikan kepada g
uruku, supaya ia mencari anak itu dan mengambilnya sebagai murid," kata Sin Tjoe
di dalam hatinya.
"Ketika itu, aku tak tahu sampai kapan bisa dapat menemukan ia. Tak dinyana, seb
aliknya dialah, yang sudah lebih dulu berada di sini."
Kegusaran Sin Tjoe lantas saja seperti ditiup angin. "Siauw Houwtjoe!" ia berter
iak. "Bocah nakal! Aku mau lihat, ke mana kau mau lari?" ia mengudak untuk membe
kuk si hitam.
"Aku tak suka main dengan anak perempuan!" teriak si hitam sembari kabur dan bag
aikan seekor kera dalam sekejap mata ia sudah merghilang di antara pohon-pohon y
ang rindang.
Ie Sin Tjoe bengong. Sekarang baru ia mengetahui, bahwa ikat kepalanya telah dit
arik oleh si nakal, sehingga rambutnya awut-awutan, muka dan pakaiannya juga sud
ah kotor penuh lum-
pur. Sesaat itu, dua orang dusun kelihatan mendatangi dari kejauhan. Sin Tjoe ya
ng merasa malu untuk bertemu orang dengan muka dan pakaian kotor, buru-buru kemb
ali ke perahu untuk membereskan rambutnya, mencuci muka dan tukar pakaian. Waktu
ia keluar lagi, bukan saja Siauw Houwtjoe, tapi dua orang itu juga sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Dengan penuh kesangsian, si nona mendaki gunung. "Biar pun Siauw Houwtjoe pintar
, tapi jika tak ada yang menuntun, mana bisa ia mencari sampai di sini?" pikir S
in Tjoe. "Baru berselang sebulan lebih, ilmu silatnya sudah maju begitu jauh. Ta
k salah lagi, ia tentu telah mendapat
petunjuk-petunjuk se-
orang berilmu. Tapi siapakah orang itu? Apakah guruku sendiri? Mungkinkah Soehoe
sudah mengetahui segala kejadian dan lalu mencari si nakal yang lantas diambil
sebagai muridnya?"
Sembari berpikir, si nona berjalan terus dan tanpa merasa ia sudah tiba di tenga
h-tengah gunung. Tongteng san barat adalah gunung yang penuh dengan bunga dan bu
ah-buahan. Di kaki gunung, sawah berderet-deret, di atas gunung, pohon buah samb
ung menyambung. Waktu itu adalah buntut musim semi, musim yang sangat repot untu
k petani. Akan etapi di sepanjang jalan, di kaki gunung si nona tidak melihat pe
tani yang menggarap sawah dan di lereng gunung, ia tidak mendengar suara
nyanyian nona-nona pemetik teh. Kecuali dua orang dusun itu, baik di sawah maupu
n di kebun buah-buahan, keadaan sunyi senyap dan tak tampak manusia lain. Itulah
keadaan yang luar biasa, yang sudah membikin hati Sin Tjoe tidak enak sekali. I
a mempercepat tindakannya, menuju ke arah perkampungan di mana rumah gurunya ber
diri.
Tongteng santjhoeng dahulu adalah milik Tantay Tiong Goan, mertua In Tiong. Bela
kangan, sesudah in Tiong suami isteri berdiam di Koaywalim, rumah itu diserahkan
kepada keluarga Thio Tan Hong. Santjhoeng (rumah di daerah pegunungan) tersebut
berdiri di lereng gunung yang penuh dengan pohon-pohon dan meskipun tidak sea
ngker Koay-
walim, tapi dengan ranggon-ranggonnya dan pemandangan
alamnya yang sangat indah, rumah tersebut mempunyai keindahan yang sukar dicari
bandingannya.
Begitu tiba di depan rumah, hati si nona lapang dan lega, dengan perlahan ia men
getuk pintu. "Aku pulang!" ia berseru dengan suara nyaring.
Sebagai seorang yang menjadi besar di Tongteng santjhoeng, suaranya dikenal oleh
semua orang di sekitar situ.
Tapi, kali ini, sesudah memanggil-manggil tiga kaii, belum juga ia mendapat jawa
ban. Sin Tjoe sangat heran. Ia menolak pintu yang lantas saja terbuka, tapi di d
alam tidak terdapat seorang manusia pun.
"Soehoe1. Aku pu-
lang!" teriak si nona. Suaranya yang nyaring berkumandang dalam taman Santjhoeng
yang sunyi senyap. Sin Tjoe bergidik dan mengawasi sekitarnya. Ia melihat bunga
-bunga, pohon-pohon, beberapa pen-dopo, air yang mengalir di sela-sela batu... s
eluruhnya tiada bedanya dengan keadaan biasa. Hati si nona jadi berdebar-debar.
Ia
jalan mengi-tari sebuah gunung-gunungan, melewati sebuah lorong panjang dan teru
s menuju ke kamar berlatih silat Soebo-nya (In Loei). "Soehoe1. Aku pulang!" ia
memanggil sembari mengetuk
pintu, tapi tetap tidak mendapat jawaban. Ia menolak pintu itu dan mendapat keny
ataan, bahwa kamar itu kosong melongpong, malah
tulisan-tulisan dan
gambar-gambar juga
sudah hilang.
"Apakah Soehoe juga pindah?" ia menanya dirinya sendiri dan kemudian berlari-lar
i ke kamar buku Thio Tan Hong. Ia menolak pintu dan hatinya lagi-lagi terkejut.
Kecuali gambar "Sungai Tiangkang di Musim Rontok", lukisan Thio Tan Hong, dalam
kamar itu tidak terdapat suatu apa lagi. Di atas gambar itu terdapat sebuah syai
r yang ia belum pernah lihat dan yang agaknya baru saja ditambahkan pada gambar
itu. Syair tersebut kira-kira
berarti seperti berikut:
Siapakah, yang menyanyikan lagu-lagu Souw-hang (Souwtjioe dan Hangtjioe) yang pe
nuh kesedapan?
Bunga teratai sepuluh iie, bunga Kwi di musim rontok,
Siapa nyana bunga dan
pobon yang tak berperasaan,
Dapat menyeret lembah Tiangkang ke dalam kesengsaraan,'
Itulah syair yang sering sekali dihafalkan gurunya. Sering sekali, sesudah mengh
afalkan syair tersebut, Thio Tan Hong tertawa
berkakakan, akan
kemudian menangis sesenggukan. Membaca tulisan sang guru yang melukiskan penderi
taannya, Sin Tjoe jadi merasa lebih tidak enak di dalam hatinya.
"Apakah Soehoe telah menemui bencana?" ia menggerendeng seorang diri. Tapi seger
a juga ia membantah pertanyaannya sendiri. "Tak bisa! Hal itu tak mungkin terjad
i,"
katanya di dalam hati. Sama sekali ia tidak percaya, bahwa gurunya yang berkepan
daian
begitu tinggi, bisa menemui bahaya yang di luar dugaan.
Tapi, biar bagaimana pun juga, semakin lama ia jadi semakin bingung. Ia masuk ke
luar kamar, pergi ke berbagai peloksok, tapi tetap tak dapat menemui siapa juga.
la berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi yang menyahut hanya kumandang suara
nya sendiri. Paling achir, ia pergi ke kamar tidur Thio Tan Hong. Begitu tiba di
depan kamar, dari sela-sela pintu, ia mengendus harumnya kayu garu yang sangat
disukai In Loei dan sering-sering dibakar dalam kamar tidurnya.
"Kenapa siang hari bolong, Soehoe dan Soebo masih mengumpat dalam kamar?" tanya
si nona dalam hatinya. Ia menanya begitu hanya untuk menghibur dirinya sen-
diri. Ia sudah melihat perubahan aneh dan dalam hati kecilnya ia merasa, bahwa p
asti sudah terjadi sesuatu yang luar biasa.
Beberapa saat ia berdiri bengong di luar kamar dan kemudian mengetuk pintu denga
n perlahan. "Soehoe1." ia memanggil. "Aku sudah pulang."
Oleh karena tidak mendapat jawaban, ia menempelkan kupingnya pada pintu. Ia hera
n bukan main lantaran lapat-lapat. kupingnya menangkap suara orang bernapas.
"Apakah Soehoe sedang tidur siang?" tanyanya di dalam hatinya dan sesudah bersan
gsi beberapa saat, perlahan-perlahan ia menolak pintu.
Begitu masuk, Ie Sin Tjoe yang tabah dan gagah berani, hampir-hampir mencelat ba
hna
kagetnya. Di atas dua pembaringan, masing-masing terdapat manusia yang duduk ber
sila. Orang yang bersila di pembaringan sebelah kiri hitam mukanya dan hitam pul
a kulitnya, sedang yang bersila di pembaringan sebelah kanan, putih sekujur bada
nnya,
malah kedua alisnya juga putih meletak dan kelihatannya sungguh menakutkan. Kecu
ali perbedaan warna kulit, potongan badan dan roman kedua orang itu sangat sama,
seperti juga saudara kembar. Rambut mereka ikal, hidung mereka bengkok, mulut m
ereka seperti mulut singa, sedang mata mereka celong ke dalam. Dengan sekali mel
irik, si nona mengetahui, bahwa mereka adalah orang asing. Badan mereka mengelua
rkan bau seperti kam-
bing yang tidak dapat ditindih dengan harumnya kayu garu.
Masuknya Ie Sin Tjoe seperti juga tidak diketahui mereka yang tetap bersila di a
tas ranjang. Mereka berdua tidak memakai sepatu dan di atas sprei yang putih ter
lihat tapak-tapak kaki kotor.
Ie Sin Tjoe jadi sangat gusar dan sembari menuding ia membentak: "Hei! Siapa kam
u? Kenapa begitu tak tahu adat?"
Mereka terus me-ramkan mata dan tak menggubris bentakan si nona. Sin Tjoe jadi s
emakin gusar. "Hei!" ia membentak pula. "Kamar ini adalah kamar tidur guruku. Si
apa memperkenankan kamu masuk dan mengotorkan ranjang itu?"
Kedua orang aneh itu membuka mata mereka dan empat sinar
tajam menyapu Ie Sin Tjoe, tapi di lain saat, mereka kembali meram-kan mata.
Thio Tan Hong dan In Loei adalah orang-orang yang sangat memperhatikan kebersiha
n dan kamar mereka selalu dirawat dengan seksama. Melihat lagak kedua orang itu,
si nona tak dapat menahan sabar lagi. "Kalau kamu masih tetap tak meladeni, aku
tidak akan berlaku sungkan lagi," katanya sembari mendorong orang yang bermuka
hitam. Seketika itu juga, si nona terkesiap karena
tangannya hanya menyentuh sesuatu yang lembek sebagai kapas. Sekarang ternyata,
manusia aneh itu mempunyai Iweekang yang luar biasa tingginya. Selagi memutar ba
dan, ia mendengar si orang aneh di
sebelah kanan tertawa terbahak-bahak. Dengan gusar, ia menghantam jalan darah Dj
oanma hiat di pinggang orang itu. Lagi-lagi, dengan terkejut, ia menarik pulang
tangannya, karena kali ini, tangan itu seperti kebentrok dengan
papan besi yang sangat panas. Tapi badan orang yang terus tertawa itu juga bergo
yang sedikit. Dengan gusar, si nona lalu menghunus pedang.
"Pergi!" ia membentak. "Mana boleh kau mengotorkan kamar Thio Tayhiap1." Pedangn
ya berkelebat dan menikam pinggang si muka hitam.
Senjata Sin Tjoe adalah pedang mustika yang telah dihadiahkan oleh In Loei kepad
anya. Pedang tersebut dinamakan Tjengbeng Pokiam dan dengan Pekin Pokiam milik T
hio
Tan Hong, merupakan pasangan setimpal. Yang satu pedang untuk pria dan yang lain
pedang perempuan. Sepuluh tahun lamanya Hian Kie Itsoe telah mengolah kedua sen
jata tersebut yang tajamnya luar biasa dan dapat memapas besi seperti membacok l
umpur.
Berkat ketajamannya, kedua pedang itu dapat menobloskan tubuh orang-orang yang m
empunyai ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk).
Karena darahnya meluap, si nona sudah menikam si muka hitam dengan pedang mustik
anya. Akan tetapi, baru saja tangannya meluncur, hatinya
sudah agak menyesal dan ia lalu menikam ke bagian tubuh yang tidak berbahaya den
gan hanya menggunakan tiga bagian tenaganya.
Tapi, baru saja ujung pedangnya melanggar pakaian orang itu, si nona merasakan s
enjatanya "terpeleset" dan melejit ke samping.
Si muka hitam tertawa terbahak-bahak. "Jika kau ingin tolong menggaruk badanku y
ang gatal, gunakanlah tenaga yang lebih besar!" katanya. Sin Tjoe menjadi kalap
tanpa memikir pula, ia mendorong senjatanya dengan sepenuh tenaganya.
"Bret!" baju orang itu robek dan si nona terkesiap, kuatir kalau orang aneh itu
jadi binasa. Buru-buru ia menarik pulang senjatanya, tapi lagi-lagi ia terkejut
oleh karena Tjengbeng kiam seperti juga kena dijepit sesuatu yang lembek tapi ku
at sekali dan tak dapat dicabut keluar! Separoh dari pedang itu
yang panjangnya dua kaki delapan dim, sudah terjepit otot-otot dada orang itu! S
i nona mengerahkan seantero tenaga dalamnya, tapi ia masih tidak berhasil.
Muka Sin Tjoe menjadi merah seperti kepiting direbus.
Sekonyong-konyong ia merasa batang lehernya ditiup orang dan hampir berbareng de
ngan itu, terdengar suara tertawa Siauw Houwtjoe.
"Kau memang paling suka berkelahi!" kata si nakal. "Tapi bertemu dengan guruku,
kau menubruk tembok. Perlu bantuan?"
Si muka hitam mendadak mengendorkan otot-ototnya dan pedang si nona segera juga
terlepas dari jepitan. "Sungguh tak usah malu kau menjadi murid suami isteri Thi
o Tan Hong," katanya sembari tertawa. "Ke-
pandaianmu sudah cukup tinggi. Siauw Houwtjoe! Jangan kau besar mulut. Biarpun b
erlatih siang malam, dalam tiga tahun kau tak akan dapat menyusul ia. Di kemudia
n hari, ia bakal menjadi Soeheng-mu. Mari!
Lekas memberi hormat!"
Ie Sin Tjoe membuka matanya lebar-lebar, hatinya heran bukan main. "Siapa kau?"
tanyanya.
"Apakah gurumu belum pernah menyebut-nyebut nama kami?" tanya si muka hitam. "Ka
mi adalah Hek Pek Moko (si Hantu Hitam dan si Hantu Putih)!"
Hek Moko dan Pek Moko adalah saudara kembar. Mereka terlahir di India, tapi berd
agang emas intan di Tiongkok. Mereka adalah sahabat Thio Tan Hong, tapi sesudah
Tan Hong meng-asingkan diri di
yangkan tubuh Pek Moko dengan dorongannya dan bahwa ia dapat merobek
baju Hek Moko, adalah suatu kejadian luar biasa.
Mendengar nama kedua orang itu, kegusaran Sin Tjoe lantas saja reda, tapi ia mas
ih tetap mendongkol. "Biar pun kamu menjadi sahabat Soehoe, tak pantas kamu meng
otorkan kamar tidurnya," katanya di dalam hati.
"Bocah! Kau benar tak tahu diri!" kata Hek Moko sembari tertawa. "Jika kami buka
n sahabat kekal gurumu, apa kau kira kami kesudian berdiam dalam kamar ini yang
menyesakkan napas?"
"Apa?" tanya Sin Tjoe.
"Apa, apa?" kata Pek Moko sembari menunjuk si nona. "Bukankah tadi kau telah ber
tempur dengan dengkul anjing
(kaki tangan kaizar)?"
"Dihajar pulang pergi!" Siauw Houwtjoe menyambungi. "Lihat! Bajunya sampai kotor
." Sembari berkata begini ia mengusap tangan jubanya si nona yang lantas saja me
njadi kotor. Sin Tjoe menangkap tangan si nakal dan lalu memencetnya sehingga ia
berteriak-teriak.
"Semua gara-garamu!" Sin Tjoe menyo-mel. "Jika kau nakal lagi, akan kuha
jar kau sampai terkuing-kuing."
"Dulu kau sudah membikin sekujur
badanku penuh lumpur," kata Siauw Houwtjoe sembari nyengir. "Hari ini hanya pemb
alasan."
"Sedang kau saja masih diubar-ubar,
bagaimana kawanan dengkul anjing itu bisa membiarkan gurumu hidup tenang?" kata
pula Hek Moko.
Sin Tjoe terkejut, ia teringat nasib Thio Hong Hoe. "Kalau begitu, bukankah guru
ku sudah angkat kaki karena kuatir kaizar menurunkan tangan jahat?" tanyanya. Si
n Tjoe yang biasa mendewa-dewakan gurunya dan menganggap sang guru dapat mengata
si kejadian apa pun juga, sama sekali tidak mengerti,
mengapa gurunya bisa didesak orang sehingga mesti menyingkir.
"Gurumu tak ingin rewel," sahut Pek Moko. "Tapi kami berdua justru ingin
menalangi ia melampiaskan kemendongkolannya ini."
"Ke mana perginya guruku ?" tanya pula si nona.
"Jauh, jauh sekali..." jawab Hek Moko yang mendadak
menghentikan bicaranya dan memasang kuping.
Sesaat kemudian, ia berkata lagi sembari tertawa: "Siauw
Houwtjoe! Apakah kau masih ingat pelajaran Koenkeng (Kitab ilmu silat)
yang kuajarkan kemarin dulu?"
"Ingat," jawabnya. "Apakah perlu aku menghafal?"
"Hanya bisa menghafal, apa gunanya?" kata Hek Moko. "Yang penting, harus dapat m
enggunakannya jika berhadapan dengan musuh. Sebentar aku akan mengajarkan kau il
mu itu dalam prakteknya, bagaimana harus menggunakan Lohan Sinkoen terhadap
musuh yang jumlahnya lebih besar."
"Bagus!" seru si nakal. "Apakah kita berlatih di lapangan belakang?"
"Bukan, dalam kamar ini." jawab Hek Moko. "Sebentar kau harus
memperhatikan dengan terliti. Nah! Sekarang kamu berdua mengumpat di atas lemari
pakaian."
Heran sungguh hati si nakal, tapi sebelum ia sempat menanya, di luar sudah terde
ngar tindakan banyak orang. Ie Sin Tjoe buru-buru menarik tangannya dan mereka l
alu meloncat ke atas lemari. "Bakal ada tontonan menarik," bisik si nona sembari
tertawa. "Gurumu ingin menggunakan musuh untuk berlatih silat, supaya kau dapat
mempelajarinya."
Tiba-tiba di luar kamar terdengar teriakan: "Thio Tan Hong diperintahkan menerim
a firman Hongsiang (Kaizar)
dengan berlutut!"
"Aku si tua tak sudi menerima firman kaizar kentut anjing!" sahut Hek Moko denga
n me-niru suara Thio Tan
Hong.
Mereka berdua adalah orang India yang belum paham benar bahasa Tionghoa. Maka it
u, meskipun suaranya mirip dengan suara Thio Tan Hong, tapi bahasanya kaku dan k
acau balau. Sin Tjoe tidak tahan untuk tidak tertawa. "Benar-benar kentut anjing
," katanya di dalam hati. "Guruku belum pernah menggunakan kata-kata yang begitu
kasar."
Orang-orang yang berada di luar tentu merasa sangat heran mendengar jawaban yang
berani mati itu.
"Thio Tan Hong!" demikian terdengar
mereka membentak. "Mengapa kau berani berlaku begitu kurang ajar? Apakah kau tak
takut serumah tanggamu ditumpas seantero-nya?"
"Dak!" pintu diten-
dang dan terpental!
Di depan pintu berjejer sejumlah orang, antaranya Yo Tjian Kin dan Kim Ban Liang
. Mereka itu adalah pahlawan-pahlawan istana yang menerima perintah kaizar Kie T
in untuk menangkap Thio Tan Hong. Kie Tin yang mengetahui Tan Hong mempunyai kep
andaian sangat tinggi, sebenarnya ingin mengirim pasukan laut untuk mengepung To
ngteng san barat, tapi, karena kuatir gerakan pasukan laut itu akan membikin Thi
o Tan Hong mencium bau, maka ia mengurungkan niatannya dan lalu mengirim tujuh W
iesoe kelas satu yang dianggapnya cukup untuk membekuk pendekar gagah itu bersam
a isterinya. Tapi di luar dugaan, meskipun berdiam di tempat sepih, hidung Tan H
ong
tajam luar biasa dan niatan Kie Tin sudah lebih dulu diendusnya. Demikianlah, ke
tika
orang-orang itu datang di Thayouw, mereka mendapat kenyataan, bahwa burung yang
mau dijaring itu sudah terbang jauh. Mereka jadi penasaran dan setiap hari secar
a bergiliran dua orang meronda di telaga Thayouw. Hari itu, Yo Tjian Kin dan Kim
Ban Liang yang sedang bertugas sudah bertemu dengan Ie Sin Tjoe dan sebagaimana
diketahui, mereka telah menubruk tembok gara-gara Siauw Houwtjoe.
Begitu pintu terpental, orang-orang Kie Tin itu terkesiap melihat Hek Pek Moko y
ang beroman aneh dan menakutkan.
"Siapa kau?" bentak seorang.
Pek Moko tertawa
ha-ha he-he dan kemudian menyahut: "Kami adalah Hek Pek Boesiang (si Hitam dan s
i Putih) yang menugaskan diri untuk mencabut jiwa kawanan dengkul anjing!"
"Ah! Dua bangsat kecil itu juga berada di sini!" seru Yo Tjian Kin sembari mengh
antam pintu kamar dengan rantai besinya, sehingga pintu itu hancur lebur.
"Ha-ha!" tertawa Pek Moko. "Aku justru sedang mencari-cari rantai untuk merantai
setan. Bagus juga kau sendiri yang membawanya!"
Kim Ban Liang tertawa seram seraya berkata: "Di hadapan malaikat, jangan kau cob
a menakut-nakutkan orang dengan berlaga menjadi setan." Ia adalah seorang ahli s
enjata rahasia dan ber-
bareng dengan perkataannya, ia mengayun tangannya serta
menundukkan kepala. Dengan serentak, belasan senjata rahasia, seperti panah tang
an, batu Hoeihong sek dan Thielian tjie (biji teratai besi), menyambar ke arah H
ek Pek Moko. Luas kamar tidur Thio Tan Hong tidak lebih dari dua tombak dan keti
ka itu, Hek Pek Moko sedang bersila di atas pembaringan
sehingga menurut perhitungan, senjata rahasia itu tidak bisa meleset lagi.
Hek Pek Moko tertawa bergelak-gelak. "Ha!" kata seorang antara mereka. "Terima k
asih. Badanku memang sedang gatal. Enak benar garukanmu!"
Semua senjata rahasia itu tepat mengenai badan Hek Pek Moko dan kemudian
jatuh
meluruk di atas pembaringan, sedang kedua orang itu sama sekali tidak bergeming.
"Lagi! Lagi!" mereka berteriak sembari tertawa terbahak-bahak.
Kim Ban Liang terkesiap, ia bengong seperti orang kesima.
Yo Tjian Kin gusar bukan main, sembari menggereng seperti harimau, ia loncat mas
uk.
Begitu sudah datang agak dekat, ia membabat pinggang Hek Moko dengan rantai besi
nya, yang panjangnya satu tombak tujuh kaki, sedang buntut rantai itu digunakan
untuk melibat badan Pek Moko.
"Bagus!" seru Hek Moko sambil mengebaskan lengannya dan rantai itu lantas saja t
erpental balik. Terkena hantaman tenaga dalam yang hebat itu, Yo Tjian
Kin yang sedang menggunakan seantero tenaganya, lantas saja jadi terhuyung.
Sementara itu, dengan tenang Pek Moko menangkap buntut
rantai itu yang segera digunakannya untuk melilit kedua tangan Vo Tjian Kin. "Na
h! Satu setan kecil sudah dirantai!" katanya sembari tertawa.
Sesaat itu, enam Wiesoe yang lain hampir berbareng turut meloncat ke dalam kamar
. Sekonyong-konyong tubuh Hek Moko melesat dari atas pembaringan dan hinggap di
tengah-tengah pintu, sehingga semua pahlawan istana itu tercegat jalan mundurnya
.
"Siauw Houwtjoe!" ia berseru, "Perhatikanlah baik-baik!"
Para Wiesoe menjadi agak keder, tapi mengingat jumlah mere-
ka yang besar, lantas saja mereka maju menyerang. Sambil
membentak keras, seorang Wiesoe menghantam kepala Pek Moko, yang sedang bersila
di tengah ranjang, dengan tongkat besinya.
Bagaikan kilat, Pek Moko menangkis dengan tangan kirinya dan mem
babat dengan
tangan kanannya.
"Krek!" pergelangan tangan Wiesoe itu sudah menjadi patah!
"Inilah Houwkoen (Ilmu silat harimau)!" Pek Moko berseru.
Hampir berbareng dengan itu, Wiesoe yang kedua sudah menerjang. Pek Moko berkeli
t sembari mengirim
tinjunya yang tepat mampir di hidung orang. Telak sungguh jotosan itu! Hidung it
u amblas dan kedua mata si Wiesoe melotot keluar.
"Itulah Pakoen (Ilmu
silat macan tutul)!" teriak Hek Moko. "Eh! Kau jangan memukul begitu cepat. Perl
ahan sedikit, supaya Siauw Houwtjoe dapat melihat lebih terang."
"Cukup terang!" si nakal berseru kegirangan.
Melihat gelagat tidak baik, salah seorang Wiesoe buru-buru balik dan coba k
abur. Wiesoe itu mahir dalam ilmu tendangan Tantoei
yang mempunyai tiga puluh enam jalan. Untuk melewati Hek Moko yang menghadang di
depan pintu, ia segera mengirimkan tendangan berantai.
"Koko," kata Pek Moko. "Sekarang giliranmu."
Hek Moko merapatkan lima jerijinya yang, bagaikan pacul, meno-tok lutut Wiesoe i
tu. Dengan teriakan mengerikan, si Wiesoe sem-
poyongan karena tulang lututnya sudah hancur. Hek Moko lantas membarengi menjoto
s dengan tinju kirinya dan tubuh Wiesoe itu
kembali terpental ngus-ruk ke dalam kamar.
"Itulah Hokoen (ilmu silat bangau)!" teriak Pek Moko. "Eh! Kau pun tak boleh mem
ukul begitu cepat."
"Ha-ha-ha!" Siauw Houwtjoe tertawa
berkakakan sembari menepuk-nepuk tangan. "Toasoehoe (gu ru
pertama) benar-benar seperti seekor bangau. Hanya sayang bukan bangau putih. Jik
a pukulan itu digunakan oleh Djiesoehoe (guru kedua), barulah mirip benar sepert
i bangau putih!"
Selagi Pek Moko bicara, Yo Tjian Kin mengerahkan tenaga dalamnya dan dengan seka
li berontak, rantai
yang mengikat kedua
tangannya segera
menjadi putus. Begitu
tangannya bebas,
dengan sekuat tenaganya ia menjotos ketiak Pek Moko.
Dengan tinju kiri Pek Moko memakai tinju musuh, sedang telapak tangan kanannya
menghantam dari atas ke bawah. Meskipun Yo Tjian Kin bertenaga besar, tak dapat
ia melawan tenaga lweek.ee (tenaga dalam) Pek Moko. Dengan terdengarnya teriakan
menyayatkan hati, tangannya berdarah dan lima jerijinya remuk!
"Itulah Liongkoen (Ilmu silat naga)!" Hek Moko berseru. Mulutnya berbicara, tang
annya terus bekerja. Dengan gerakan Tiangtjoa
tjoettong (Ular keluar dari guha), ia menghantam dengan telapakan tangannya, dis
usul de-
ngan tinjunya dan lagi-lagi seorang Wiesoe jungkir balik.
"Aku kenal pukulan itu!" teriak Siauw Houwtjoe. "lulah Tjoa-koen (ilmu silat ula
r)!"
"Benar," sahut Hek Moko. "Coba lihat, apakah ini?" Bagaikan kilat ia menggerakka
n kedua tinjunya dan menghantam seorang Wiesoe lain dengan gerakan mengacip,
sebuah tinju menjotos punggung dan tinju yang lain memukul perut Wiesoe itu. Sam
bil menyedot napasnya untuk mengempeskan perut, Wiesoe itu berkelit dengan gerak
an Thaykek koen (Ilmu silat Thaykek) dan ia berhasil meloloskan diri, tapi biarp
un begitu, tak urung ia terputar-putar beberapa kali sebagai akibat sambaran ang
in tenaga iweekee.
"Itulah Liongkoen!"
teriak Siauw Houwtjoe. "Hanya sayang,
kenanya tidak telak."
Wiesoe tersebut adalah kepala rombongan yang terdiri dari tujuh Wiesoe itu. Ia b
ernama Lie Ham Tjin dan merupakan salah seorang tangan kanan Yang Tjong Hay. Jik
a Hek Moko menggunakan seantero tenaganya, ia pasti akan rubuh, tapi karena tuju
an si iblis hitam hanya untuk memberi pelajaran
kepada Siauw Houwtjoe, maka ia hanya menggunakan tiga
bagian tenaganya.
Sebagai ahli Thaykek, Lie Ham Tjin mengetahui itu dan ia tidak berani menyambut
pukulan yang kedua. Buru-buru ia loncat minggir dan bersembunyi di belakang sala
h seorang kawannya.
Hek Moko tertawa terbahak-bahak. "De-
ngan dapat menyambut sebelah tinjuku, kau boleh dibilang ahli yang bandingannya
sukar ditemukan," katanya. "Aku mengampuni jiwamu, lain kali tak boleh kau datan
g lagi di sini."
Sembari berkata begitu, dengan sekali menggentak, ia membikin Wiesoe yang berdir
i di depan Lie Ham Tjin "terbang" dan jatuh ngusruk di atas pembaringan. Hek Mok
o bekerja terus, tangan kirinya menjambak Lie Ham Tjin yang lantas dilempar kelu
ar, seperti melempar seekor itik. Segera terdengar bunyi gedubrakan dan pecahnya
genteng. Mungkin sekali Wiesoe itu jatuh di atas genteng kamar sebelah.
"Bagus! Bagus!" teriak Siauw Houwtjoe. "Tapi itu bukan Lohan Sinkoen (Ilmu silat
Lohan). Soehoe1. Hebat
benar ilmu melontarkan itu!"
"Benar!" kata Hek Moko. "Nah, sekarang, muncul lagi Lohan Sinkoen!" Berbareng de
ngan perkataannya, ia menjotos Wiesoe yang baru merangkak bangun di atas pembari
ngan, sehingga ia ini kembali rubuh di tengah ranjang.
Demikianlah Hek Pek Moko menghajar ke tujuh Wiesoe itu pulang pergi, sehingga me
reka jadi babak belur dan mata mereka berkunang-kunang. Mereka ingin melarikan d
iri, tapi tak bisa oleh karena Hek Moko menghadang di tengah pintu.
Lohan Sinkoen yang digunakan Hek Pek Moko adalah semacam ilmu silat yang merupak
an gabungan lima macam ilmu, yaitu Liongkoen, Houwkoen, Pakoen, Tjoakoen dan Hok
oen (Ilmu silat Naga,
Harimau, Macan tutul, Ular dan Bangau).
Menurut Koenkeng (Kitab Ilmu silat), Liongkoen adalah untuk "melatih semangat,"
yang terutama memperhatikan pianhoa (pero-bahan-perobahan) dan tenaga dalam.
Houwkoen "melatih tulang" untuk melakukan serangan-serangan keras, dengan tujuan
melukakan musuh.
Pakoen "melatih tenaga" dan mengutamakan kegesitan serta kegarangan. Tjoakoen ad
alah untuk "melatih hawa", dengan tujuan memperpanjang umur. Hokoen "melatih ten
aga batin" supaya pukulan-
pukulan jatuh tepat pada bagian badan musuh yang berbahaya.
Sumber lima macam ilmu silat itu adalah Siauwlim, sedang pen-cipta ilmu silat Si
auwlim sie adalah Tatmo
Tjouwsoe dari India. Hek Pek Moko adalah orang India dan mereka sudah menyelami
pelajaran Tatmo yang tersebar di negaranya sendiri. Belakangan
sesudah datang di Tiongkok, mereka mempelajari pula lima macam ilmu silat dari S
iauwlim itu. Meskipun Lohan Sinkoen yang dikenal di India agak berbeda dengan Lo
han Sinkoen di Tiongkok, tapi oleh karena bersumber satu, pada dasarnya tidak be
rbeda banyak. Achir-nya mereka menggodok dan mempersatukan kedua macam Lohan Sin
koen itu, sehingga mereka memperoleh semacam Lohan Sinkoen yang benar-benar isti
mewa.
Thio Hong Hoe adalah ahli Siauwlim pay dan sedari kecil Siauw Houwtjoe sudah bel
ajar Lohan koen di bawah
pimpinan mendiang
ayahnya. Maka sesudah ia diambil sebagai murid, Hek Pek Moko lalu menye
rahkan Koenkeng kepadanya. Akan
tetapi, karena usianya masih sangat muda, ia belum mengerti pelajaran dalam kita
b tersebut. Sekarang, dengan menyaksikan pukulan-pukulan yang "dipraktekkan" ole
h
kedua gurunya terhadap para Wiesoe itu, dengan sendirinya ia menjadi lebih faham
dan dapat menangkap
bagian-bagian yang tadinya gelap baginya. Dalam pelajaran praktek itu, bukan saj
a Siauw Houwtjoe, tapi Ie Sin Tioe pun sudah menarik keuntungan tidak sedikit.
Selagi Ie Sin Tjoe memuaskan seantero perhatiannya kepada pertempuran, mendadak
Siauw Houwtjoe mena-
nya: "Eh, apakah hari itu kau bertemu dengan ayahku?"
Hati Si nona men-celos. Saat itu baru ia tahu, bahwa bocah itu belum mengetahui
kebinasaan ayahnya.
Di antara tujuh Wiesoe itu, Yo Tjian Kin sudah setengah mati, Lie Ha
m Tjin sudah dilemparkan keluar
kamar, sedang lima Wiesoe lainnya, kecuali Kim Ban Liang, sudah mendapat luka-lu
ka berat. Bahwa Kim Ban Liang terlolos dari luka berat, sama sekali bukan karena
kepandaiannya yang lebih tinggi, tapi lantaran kelicikannya. Ia selalu main pet
ak dan bersembunyi di belakang kawan-kawannya. Sesaat itu, dengan Hokoen, Hek Mo
ko memukul rubuh dua Wiesoe dan Kim Ban Liang pun telah dibikin
terguling ke kolong ranjang. Selagi merangkak bangun, mendadak ia melihat Siauw
Houwtjoe sedang berbicara
dengan Ie Sin Tjoe di atas lemari. Dengan gergetan, secara mendadak ia melepaska
n dua batang panah tangan.
Siauw Houwtjoe yang sedang menanyakan hal ayahnya, terkesiap
ketika melihat menyambarnya dua batang anak panah itu. Buru-buru ia mengangkat t
angannya untuk coba menyampok dua senjata gelap itu. Tapi Ie Sin Tjoe sudah mend
ahuluinya. Dengan sekali mencentil, dua batang anak panah itu terpental, dan ham
pir berbareng, sekuntum bunga emas menyambar tenggorokan Kim Ban Liang. Dengan t
eriakan menyayatkan hati, Kim Ban Liang loncat setom-
bak lebih, kepalanya hampir-hampir mengenakan langit-langit kamar.
Pek Moko tertawa besar dan tangannya menyambar. Di lain saat, badan Kim Ban Lian
g sudah terlempar keluar kamar dengan tulang remuk akibat remasan ilmu Hoenkin t
jokoet (Memecah otot memindahkan tulang).
Gerakan Ie Sin Tjoe dalam menyentil anak panah dan melepaskan bunga emasnya, cep
at luar biasa, sehingga Siauw Houwtjoe jadi merasa kagum sekali.
"i Tjietjie yang baik," katanya. "Kepandaian Soehoe sukar ditulad, tapi jika aku
dapat menyusul Tjietjie, hatiku sudah merasa puas sekali."
Mendengar perkataan itu, Hek Pek Moko yang tadinya menduga Ie Sin Tjoe adalah se
-
orang laki-laki, baru mengetahui, bahwa mereka sudah salah mata. Mereka merasa k
agum berbareng mengiri dan segera mengambil putusan
untuk mendidik Siauw Houwtjoe sebaik-
baiknya dan kemudian, sesudah anak itu memperoleh kepandaian tinggi, baru akan d
iserahkan kepada Thio Tan Hong.
Sesudah berhasil me-lukakan musuh, sedang Siauw Houwtjoe
menepuk-nepuk tangan bahna girangnya, Ie Sin Tjoe sendiri mengerutkan alisnya, s
eperti sedang berduka.
"i Tjietjie, kau kenapa?" tanya si nakal. "Sampai di mana barusan kita bicara? Y
a! Hari itu apakah kau bertemu dengan ayahku?"
"Ia meninggalkan dua rupa barang, sebentar
akan kuserahkan kepadamu," sahut si nona.
"Kalau begitu, kau telah bertemu dengan ia," kata pula Siauw Houwtjoe. "Barang i
tu sebentar saja dikasikan kepadaku. Eh, coba lihat! Sungguh indah pukulan Soeho
e1."
Sesaat itu, Hek Pek Moko sedang menghujani empat Wiesoe yang masih agak segar de
ngan pukulan. Mereka mengirim pukulan-
pukulan dengan tenaga yang diperhitungkan, setiap pukulan membikin seorang Wieso
e kejeng-kang di tengah ranjang dan begitu lekas badan Wiesoe itu membal bangun,
mereka mema-pakinya dengan pukulan lagi yang membikin pahlawan istana itu kemba
li terpelanting di atas pembaringan.
"Siauw Houwtjoe! Perhatikanlah ini!" seru Hek Moko. "Inilah Lohan
Ngoheng koen. Semuanya ada seratus delapan jalan. Lihat! Akan kujalankan dari ke
pala sampai dibuntut."
Sungguh sial ke empat Wiesoe itu! Badan mereka dijadikan semacam karung pasir un
tuk melatih pukulan.
Sebagaimana diketahui, seorang yang berkepandaian ilmu silat, secara otomatis
mengerahkan tenaganya untuk melawan, jika ia mendapat serangan. Dari sebab
itu, dalam menghadapi hujan
pukulan, penderitaan empat Wiesoe tersebut bahkan lebih hebat daripada orang bia
sa. Sebelum Hek Pek Moko menjalankan separoh Lohan Ngoheng koen, tenaga dalam me
reka sudah musna sama sekali, keringat mereka membasahi sprei dan kasur, keadaan
mereka seolah-olah lampu yang
sudah kehabisan minyak dan tinggal matinya saja. Dua di antara mereka terkencing
-kencing, sehingga kamar itu jadi penuh dengan bau-bauan yang kurang sedap.
"Bau!" seru si nona. "Hei! Jangan
mengotorkan kamar Soehoe-ku! Lekas
lempar mereka keluar!"
Hek Pek Moko kembali tertawa terbahak-bahak. Saling berganti mereka menyambar ba
dan Wiesoe-wiesoe itu yang seorang demi seorang segera dilemparkan keluar. Palin
g belakang Hek Moko menyengkeram punggung Vo Tjian Kin sambil menggunakan dua
bagian tenaga dalamnya dan sesaat itu, tulang punggung orang she Vo itu lantas m
enjadi patah. Sembari melontarkan tubuh
kurbannya, Hek Moko
membentak: "Pergi
pulang dan beritahukan kepada kaizar anjingmu! Jika dia berani memerintah orang
datang lagi untuk mengganggu Thio Tayhiap, dia akan mendapat nasib seperti kamu
tadi!"
Dulu Hek Pek Moko adalah orang-orang yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip.
Belakangan, sesudah lanjut usianya, adat mereka yang berapi-api telah menjadi le
bih sabar. Kali ini, kecuali Vo Tjian Kin dan Kim Ban Liang yang telah dihajar s
ehingga menjadi orang bercacad, empat Wiesoe lainnya masih dapat menuntut penghi
dupan sebagai manusia biasa, meskipun ilmu silat mereka telah dibikin musna. Di
antara tujuh Wiesoe itu, Lie Ham Tjin-lah yang paling beruntung, karena sesuda
h kelak
lukanya sembuh, ilmu silatnya tidak akan menjadi hilang. Bahwa antara ke tujuh W
iesoe itu tak satu pun yang diambil jiwanya, dilihat dari sudut Hek Pek Moko, be
rarti bahwa mereka sudah berbelas kasihan yang luar biasa.
Sesudah menyapu bersih semua musuh, Pek Moko berkata sembari tertawa:
"Siauw Houwtjoe, hari ini kau kurang mujur. Lohan Sinkoen kita hanya dapat dilat
ih separah."
"Yang separah lagi, biarlah ditunda sampai di lain hari," sahut si nakal dengan
suara gembira. "Yang separah ini sudah cukup untuk dipelajari dalam tempo bebera
pa bulan."
"Anak otak!" ka- ta Hek Moko. "Lain kali mana bisa ada kesempatan yang
begitu baik?"
"Eh, jangan rewel lama-lama dalam kamar ini," kata Ie Sin Tjoe. "Jika guruku mel
ihat kamarnya begini kotor, tak tahu ia bakal bagaimana marahnya!"
Sembari mesem, Hek Pek Moko berjalan keluar, diikuti si nona dan Siauw Houwtjoe.
"Paling sedikitnya tiga tahun kemudian barulah gurumu bisa kembali ke rumah ini,
" kata Hek Moko. "Aku berani tanggung, ia tak akan menjadi gusar."
"Apa kalian pernah bertemu dengan guruku?" tanya Sin Tjoe. "Apa ia ada memesan a
pa-apa? Ke mana ia pergi?"
"Aduh! Benar-benar jempol murid Thio Tan Hong!" kata Hek Moko. "Kami berdua menj
ual jiwa untuk gurumu, tapi kau hanya ingat gurumu dan sama sekali tidak ingat u
ntuk menghatur-
kan terima kasih."
Si nona monyongkan mulutnya seraya berkata: "Jual jiwa apa? Barusan kalian berke
lahi untuk memberi pelajaran kepada murid sendiri. Sama sekali bukan untuk kepen
tingan guruku."
"Ha! Benar-benar manusia tak mengenal budi!" kata Pek Moko sembari tertawa. "Kau
tahu? Aku mengajar murid juga untuk gurumu sendiri!"
"Sudahlah," kata Hek Moko. "Kami datang di sini tiga hari berselang dan waktu it
u, gurumu baru saja mau berangkat. Ia mendesak supaya kami juga buru-buru menyin
gkir, tapi kami justru sengaja berdiam di sini untuk mengurus urusan orang lain.
"
"i Toasoehoe omong besar," kata Siauw Houwtjoe sembari nye-
ngir. "Bukankah di tengah jalan Soehoe berkata akan meminjam serupa barang dari
Thio Tayhiap? Dan hanya secara kebetulan kita menemui urusan ini."
"Aduh!" kata Hek Moko sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Belum mengangkat Thi
o Tan Hong menjadi guru, kau sudah membantu calon gurumu. Benar-benar aku merasa
mengiri! Benar! Gurumu sudah menduga, bahwa kau akan kembali kemari dan ia meme
san, supaya kau saja yang memberikan barang itu kepada kami."
"Barang apa?" tanya si nona.
"Pokiong (gendewa mustika) dari keluarga Thio," sahut Hek Moko.
Dulu, di waktu Thio Soe Seng, leluhur Thio Tan Hong, menjadi kaizar di Souwtjioe
, ia telah membuat sebuah
gendewa raksasa yang beratnya kira-kira lima ratus kati. Ketika itu, Thio Soe Se
ng menduga pasti, bahwa ia akan dapat merebut seluruh Tiongkok dan gendewa terse
but dimaksudkan untuk dijadikan mustika negara, sebagai semacam nasehat, supaya
anak cucunya yang menjadi kaizar tidak melupakan gendewa dan kuda. Sesudah ia ka
lah perang, gendewa itu disembunyikan dalam guha batu di Koaywalim. Belakangan,
setelah Thio Tan Hong mendapat kembali istana dan taman tersebut, ia mengangkut
gendewa itu ke atas gunung.
Mendengar Hek Pek Moko ingin meminjam gendewa itu, Sin Tjoe menjadi sangat heran
. "Untuk apa kalian meminjam gendewa rak-
sasa itu?" tanyanya.
"Anak kecil jangan menyampuri urusan orang," kata Pek Moko. "Serahkan saja kepad
a kami."
"Jika kau tak berterus terang, aku tidak nanti keluarkan," kata si nona. "Di sam
ping itu, bagaimana kau bertemu guruku dan apakah yang telah dikatakan guruku? S
esudah kalian memberitahukan, baru aku menyerahkan gendewa itu."
Hek Moko mendongak mengawasi cuaca, parasnya seperti orang tidak sabar. "Benar g
ila! Hayolah!" katanya.
"Perempuan memang rewel sekali. Baiklah. Sembari jalan, aku akan menceritakan. H
ayolah, cepatan!"
Melihat kesungguhan kedua orang tua itu, Ie Sin Tjoe tidak berani banyak bicara
lagi dan lalu bertindak lebih
cepat, diikuti Hek Pek Moko dan Siauw Houwtjoe.
"Aku sama sekali tidak menjustai kau," kata Hek Moko sembari jalan. "Sebenarnya
aku mencari gurumu untuk menghadapi musuh
besar. Tapi begitu tiba di sini, gurumu justru sedang ketakutan
diubar kaki tangan si kaizar anjing dan bersiap untuk kabur bersama keluarganya.
Hari itu, kita bertemu di pinggir telaga. Sesudah aku menceritakan
duduknya persoalan, ia mengajarkan aku suatu tipu untuk menghadapi musuh dengan
menggunakan gendewa itu. Ketika itu, gurumu sudah kesusu mau lekas-lekas berangk
at. Kami datang ke sini dengan membawa
Siauw Houwtjoe dan niatan kami adalah untuk menyerahkan anak
itu kepadanya, tapi karena ia begitu terburu-buru, kami tak sempat lagi membicar
akan hal itu."
Heran sungguh hati si nona, mendengar
keterangan itu. Thio Tan Hong pernah menceritakan padanya, bahwa dengan kepandai
annya Hek Pek Moko sukar dicari tandingannya dalam dunia. Jika satu lawan satu.
Thio Tan Hong sendiri pun paling banyak hanya setanding dengan
kedua orang tua itu. Siapakah adanya musuh itu, yang agaknya disegani oleh merek
a?
Pek Moko mendongak melihat cuaca. "Celaka!" katanya. "Dua musuh itu akan se
gera datang. Lekas serahkan
gendewa itu kepadaku!"
Sebenarnya Sin Tjoe masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan, akan tetapi, men
dengar
Dengan suara "ung!", sebatang anak panah emas yang dilepaskan Hek Moko, menyamba
r ke bawah.
desakan itu, ia mengurungkan niatannya dan buru-buru menuju ke gudang mustika ya
ng terletak di gunung belakang. Gudang
tersebut yang berada di dalam guha, dulunya adalah tempat menyimpan mustika Thio
Soe Seng. Sesudah Thio Tan Hong menyerahkan semua mustika dan emas permata kepa
da kaizar Beng, dalam gudang tersebut hanya tersimpan beberapa alat senjata dan
barang-barang peringatan. Ie Sin Tjoe yang pernah beberapa kali masuk ke dalam g
udang tersebut, mengetahui cara membuka pintunya. Sesudah memutarkan sebuah batu
tiga kali ke kiri dan tiga kali ke kanan, pintu guha itu lantas saja terbuka le
bar.
Pek Moko segera menyalakan bahan api dan masuk ke dalam. Di
tengah-tengah ruangan itu terletak gendewa raksasa dan di sampingnya terdapat ti
ga batang anak panah yang bersinar kuning, yang ternyata dibuat dari emas murni.
Hek Moko membungkuk dan mengangkat gendewa itu. "Ha-ha-ha!" ia tertawa. "Cocok
sekali untuk digunakan olehku." Pek Moko lantas saja mengambil tiga anak panah i
tu dan mereka lalu berjalan keluar.
"Sebenarnya aku ingin minta bantuan gurumu," kata Hek Moko kepada Sin Tjoe. "Tap
i karena gurumu tidak berada di sini, maka aku ingin minta bantuan kau berdua. B
olehkah?"
Siauw Houwtjoe yang tahu akan terjadi "keramaian", menjadi sangat girang dan lan
tas saja menyanggupi sembari bertepuk tangan. Tapi
Sin Tjoe merasa heran dan berkata: "Dengan cara apa kami berdua dapat melawan mu
suh kalian?"
"Menurut keterangan Thio Tan Hong," Hek Moko menjelaskan. "Di sebelah bawah perk
ampungan ini terdapat suatu barisan batu, yang diatur menurut Pattintouw Tjoekat
Boehouw (Tjoekat
Liang, panglima besar dari kaizar Lauw Pie, pada jaman Samkok). Apakah kau tahu?
"
"Tahu," jawab si nona. "Waktu mengikut Soehoe pertama kali datang di sini, hampi
r-hampir saja aku kesasar di dalam barisan itu."
"Apakah kau paham seluk beluk barisan itu?" tanya Pek Moko.
"Aku hanya mengetahui, bagaimana orang harus keluar dari pintu hidup," jawabnya.
"Cara menggunakannya, tak
tahu."
"Cukup," kata Hek Moko. "Aku hanya minta kau turun gunung dan memancing kedua mu
suh kami itu ke dalam tin (barisan). Mereka
adalah orang Arab, sekali melihat, kau akan lantas mengenali. Hayo, lekas!"
Tanpa berkata suatu apa, Siauw Houwtjoe lantas saja berlari-lari seperti terbang
dan tidak lama kemudian, Ie Sin Tjoe sudah menyusul. "Eh, Siauw Houwtjoe!" kata
si nona. "Bagaimana kita harus memancingnya? Kita mesti berdamai dulu."
"Mau berdamai apa?" kata si nakal sembari nyengir. "Ikut aku saja." Dari sikapny
a, agaknya ia sudah mempunyai siasat yang baik. Baru saja si nona hendak menanya
pula, di kaki gunung sudah kelihatan berkelebatnya dua ba-
yangan manusia.
Kedua orang itu mengenakan jubah panjang dari sutera kuning, pundak mereka ditut
up dengan sutera putih, kepala mereka diikat dengan ikatan kepala, hidung mereka
mancung, mata mereka dalam dan sekali melihat saja, orang segera mengetahui, ba
hwa mereka adalah orang Arab. Apa yang luar biasa adalah: Mereka bukan saja berp
akaian sama, tapi muka mereka pun seperti pinang dibelah dua. Perbedaan satu-sat
unya adalah: Yang satu tidak mempunyai kuping kiri, sedang yang lain hilang kupi
ng kanannya.
"Luar biasa!" kata Siauw Houwtjoe sembari tertawa. "Aku lihat, mereka sama benar
dengan kedua guruku. Tak bisa salah lagi, mereka adalah saudara
kembar. Ha! Dua saudara kembar bermusuhan dengan dua saudara kembar.
Sungguh aneh!"
Walaupun gunung Tongteng san Barat tidak seberapa tinggi, tapi dari kaki sampai
di lerengnya, masih ada ratusan tombak.
Dengan jalan yang berbelit-belit, untuk naik sampai di lereng, sedikitnya orang
harus menggunakan tempo setengah jam. Tapi entah bagaimana,
dalam sekejap mata, kedua orang itu sudah tiba di lereng.
Baru habis Siauw Houwtjoe mengucapkan perkataannya, dua
orang Arab itu sudah tiba di lembah sebelah kiri barisan batu itu dan dilihat da
ri arah jalan mereka, mereka bisa naik ke atas gunung, tanpa melewati barisan ba
tu itu.
Ie Sin Tjoe menjadi bingung. "Nah, sekarang akan kupancing
mereka," kata si nakal. "Bunga emasmu harus dilepaskan pada saat yang tepat. Sek
arang aku pergi." Lantas saja ia berlari-lari dan naik ke atas sebuah pohon pipa
.
Si nona tak tahu apa yang hendak dilakukan oleh si nakal, tapi ia segera mengiku
tinya dan bersembunyi dalam jarak beberapa tombak dari pohon itu.
Di lain saat, kedua orang itu sudah masuk ke dalam hutan pohon buah-buahan. Deng
an mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tentu saja mereka segera mengetahui,
bahwa di atas pohon bersembunyi seorang manusia. Tapi oleh karena melihat, yang
"nangkring" di atas itu hanya satu bocah, me-
reka tidak memperhatikannya dan menduga, bahwa bocah itu mau memetik buah pipa.
Sembari jalan mereka berbicara dalam bahasa Arab. Tepat selagi mereka lewat di b
awah pohon pipa tersebut, ketika mendadak ada air mancur ke bawah. Ternyata di s
aat itu Siauw Houwtjoe sengaja kencing.
Mereka terkejut dan loncat minggir dengan berbareng, tapi tak urung, muka mereka
masih juga kecipratan air kencing.
"Bocah nakal!" bentak salah seorang dari mereka dalam bahasa Tionghoa. "Apa
kah kau mau mencari mampus?"
Hampir berbareng mereka menyerang, yang satu mengebas dengan tangan kirinya, yan
g lain menghantam dengan tangan kanannya, dari jarak kira-kira
dua tombak dari pohon itu. Itulah Pekkong tjiang (Pukulan menghantam udara)! Dig
empur dua kali sambaran angin yang sangat tajam, daun-daun
pohon itu rontok, cabang-cabangnya, bahkan batang pohon pipa itu sekali jadi ber
goyang-goyang semua!
Ie Sin Tjoe terkesiap dan segera mengayun kedua tangannya. Enam bunga emas seger
a melesat dari setiap tangannya dan menyambar ke arah jalan darah kedua orang it
u.
"Ih!" terdengar mereka mengeluarkan seruan tertahan, yang satu loncat ke kiri, y
ang lain loncat ke kanan, masing-masing menggerakkan tangannya, saling menolong
menangkap bunga-bunga emas itu. Bunga emas Sin Tjoe sebenarnya
tajam luar biasa, tapi mereka sama sekali tidak menghiraukan itu dan dengan seka
li bergerak, semua bunga tersebut sudah masuk ke dalam tangan mereka. Di lain sa
at, sembari tertawa besar, mereka membuka tangan mereka dan loh... bunga emas it
u sudah hancur menjadi pasir emas yang berkredepan!
Sementara itu, sambil jungkir balik, Siauw Houwtjoe sudah hinggap di atas tanah
dan segera lari terbirit-birit. Barusan, biar pun sedang gusar, tapi karena meli
hat Siauw Houwtjoe hanya satu bocah cilik, kedua orang itu masing-masing hanya m
enggunakan tiga
bagian tenaganya di waktu menggunakan Pekkong tjiang, dengan tujuan supaya si na
kal jatuh untuk kemudian dicaci maki. Jika ketika
itu seluruh tenaga mereka dikerahkan, Siauw Houwtjoe tentu sudah binasa.
Kedua orang itu memang benar sepasang saudara kembar. Yang tertua bernama Ismet,
adiknya Achmad.
Mereka pernah menjelajah benua-benua Eropa dan Asia. Pada waktu itu, mereka menj
adi Koksoe (guru negara) dari Raja Iran. Oleh sebab terjadinya suatu peristiwa a
neh di istana ratu, dalam mana malah terselip juga perkara pencurian mustika, ya
ng bersangkut paut dengan Hek Pek Moko, maka dari Iran sampai di India dan dari
India sampai di Tiongkok, Ismet dan Achmad mengubar-ubar Hek Pek Moko. Kepandaia
n kedua belah fihak agaknya berimbang, si Hitam dan si Putih tak dapat mengalahk
an dua sauda-
ra itu, sedang dua orang Arab itu juga tak dapat menyekal Hek Pek Moko.
Seperti Hek Pek Moko, kepandaian kedua saudara itu pun didapat dari berbagai sum
ber, dari Eropa dan dari Asia. Pukulan Pekkong tjiang mereka merupakan gabungan
dari Gwakang (Ilmu luar) Arab dan Djioekang (Ilmu "lembek") dari Bittjong pay di
Tibet, sehingga pukulan
tersebut mengeluarkan tenaga "keras" dan "lembek" dengan berbareng dan hebatnya
luar biasa. Barusan, kedua saudara itu sudah memastikan, bahwa si bocah nakal ak
an jatuh semaput di bawah pohon dan mereka heran bukan main, ketika Siauw Houwtj
oe berhasil melarikan diri. Keheranan itu jadi bertambah besar, ketika
Ie Sin Tjoe melepaskan bunga emasnya yang sangat dahsyat.
Ismet tertawa dan berkata dalam bahasa Arab: "Ah! Tak nyana, di tempat ini muncu
l bocah-bocah yang berkepandaian tinggi. Eh, aku mengambil yang besar, kau menga
mbil yang kecil." Dengan berkata begitu, ia bermaksud mengambil Ie Sin Tjoe dan
Siauw Houwtjoe sebagai murid.
"Bagus!" jawab Achmad menyetujui usul saudaranya dan dengan sekali menjejek kaki
, badan mereka sudah melesat enam tujuh tombak jauhnya. Berbareng dengan itu, me
reka lalu melancarkan pulah pukulan Pekkong tjiang dengan menggunakan lima
bagian tenaga mereka.
Ie Sin Tjoe yang sedang lari terbirit-birit, mendadak merasakan
sambaran angin yang sangat tajam. Secara otomatis, ia loncat minggir. Meskipun p
ukulan itu dilancarkan dari tempat yang agak jauh, badannya tak urung bergoyang-
goyang juga beberapa kali.
Ismet jadi semakin heran, setelah mendapat kenyataan, bahwa pukulannya yang lebi
h berat itu, masih belum dapat merubuhkan si bocah. Sesudah mengubar enam tujuh
tombak lagi, tiba-tiba ia menghantam dengan kedua tangannya, kali ini ia menggun
akan delapan bagian tenaganya.
Mendengar kesiuran angin, si nona mengetahui, bahwa ia sendiri masih dapat mempe
rtahankan diri, tapi kawannya pasti akan rubuh. Sungguh tak usah malu Ie Sin Tjo
e menjadi murid yang disayang suami isteri
Thio Tan Hong. Pada saat yang genting itu, sambil menyambar badan si nakal, ia m
eloncat kira-kira dua tombak tingginya dengan gerakan Itho tjiongthian (Burung H
o menembusi langit). "Biar tetap!" ia berseru di tengah udara dan angin pukulan
Pekkong tjiang itu lewat di bawah kaki mereka! Segera setelah itu, si nona melem
parkan tubuh Siauw Houwtjoe masuk ke dalam barisan batu, sedang ia sendiri pun,
dengan gerakan yang sangat indah, melayang turun di depan pintu tin (barisan) te
rsebut.
Sementara itu, Ismet dan Achmad juga sudah menyusul. "Tak kenal malu!" si nona m
engejek. "Bisanya menghina anak kecil."
"Angkatlah aku menjadi gurumu dan kau akan beruntung sekali,"
bujuk Ismet.
"Punya kepandaian apa kau, berani menawarkan diri untuk menjadi guru?" si nona m
enyindir.
Tangan Ismet menyambar dan coba menyengkeram si nona. Bagaikan kilat Ie Sin Tjoe
menikam pedangnya yang berkeredapan menyambar ke arah jalan darah Hiankie hiat
di dada dan Koangoan hiat di bawah ketiak Ismet. Tikaman itu adalah serangan mem
binasakan menurut Hian Kie Kiamhoat.
Melihat serangan yang sehebat itu, Ismet agak terkejut. Ia tak menduga, jika pem
uda yang masih kekanak-kanakan itu mempunyai kiamhoat yang begitu liehay.
Ia tak berani berlaku ayal, sembari mengegos ia menyentil dengan jerijinya. De
ngan ber-
bunyi "tring!", Tjengbeng kiam itu hampir-hampir terbang dari tangan Ie Sin Tjoe
.
Oleh karena tujuannya adalah untuk memancing musuh,
maka gerakan Sin Tjoe itu, walaupun hebat, tetapi di samping menyerang juga meng
andung persiapan untuk mundur. Demikianlah dengan meminjam tenaga musuh, begitu
pedangnya
terpental balik, ia lantas loncat mundur dan masuk ke dalam barisan batu. Ismet
yang tidak menduga jelek, lantas saja mengubar, diikuti saudaranya.
Barisan batu itu dulu dibuat Pheng Hweeshio menurut rencana
Pattintouw Tjoekat Boehouw dan mempunyai delapan pintu, yaitu pintu Hioe (Berunt
ung), Seng (Hidup), Siang (Luka), Ton w
(Buntu), Sie (Mati), Keng (Besar), Kheng (Kaget) dan Kay (Buka). Seorang
yang tidak mengenal barisan itu, meski mempunyai
kepandaian bagaimana tinggi juga, sekali masuk, tak usah mengharap akan bisa kel
uar lagi.
Dengan perasaan tidak mengerti, Ismet bersama saudaranya berputar-putar di
antara batu-batu itu. Sebentar-sebentar, entah dari mana Ie Sin Tjoe dan Siauw H
ouwtjoe muncul, tapi begitu diserang, mereka menghilang, tak tahu ke mana. Merek
a tak usah kuatir akan keselamatan mereka, akan tetapi, dipermainkan secara begi
tu, mata mereka jadi berkunang-kunang dan semakin lama, mereka masuk semakin dal
am.
Ismet terkejut. "Tu-
juan kita adalah untuk mencari dua siluman tua itu, tapi kenapa kita sendiri ber
balik kena dipermainkan oleh dua bocah cilik itu?" katanya kepada saudaranya. Be
rputar-putar, mereka mencari jalan keluar, tapi tidak bisa berhasil.
"Hei!" teriak Siauw Houwtjoe, mengejek. "Kamu mau mengambil aku sebagai murid. A
ku sekarang berada di sini, kenapa kau tak berani mendekati?"
Dengan gusar kedua saudara itu mengubar. Si nakal buru-buru lari mendekati Ie Si
n Tjoe dan mengikuti si nona lari beberapa putaran. Ismet dan Achmad mengejar te
rus dan achirnya kena dipancing masuk ke pintu Mati.
Biar tinggi ilmu mereka, kedua saudara itu mulai menjadi bingung juga. Sementara
itu, Sin
Tjoe dan si nakal mengejek terus. Achmad jadi gusar bukan main. Ia memeluk sebua
h pilar batu dan sembari membentak keras ia mencabut pilar itu yang beratnya rat
usan kati. Tinggi setiap pilar sedikitnya beberapa tombak dan bagi orang biasa,
untuk merubuhkan sebuah saja sudah bukan pekerjaan
enteng. Sesudah mengeluarkan banyak keringat dan badannya lemas kecapean, Achmad
baru berhasil merubuhkan beberapa pilar saja dan bersama saudaranya, ia masih b
elum dapat mencari jalanan keluar.
Ismet minta saudaranya berhenti mencabut pilar-pilar itu dan lalu mengasah otak
untuk mencari daya lain yang lebih baik. Beberapa saat kemudian, ia minta saudar
anya ber-
diam di bawah untuk berjaga-jaga terhadap serangan senjata rahasia Ie Sin Tjoe,
sedang ia sendiri segera memanjat salah sebuah pilar. Pinggiran pilar dtu tajam
bagaikan pisau, tapi Ismet yang seakan-akan mempunyai tulang besi dan urat kawat
, tidak takut akan ketajaman batu itu.
Dalam sekejap mata, ia sudah tiba di ujung pilar. Baru saja matanya memandang
ke empat penjuru, kupingnya
mendadak mendengar suara tertawa yang nyaring dan aneh, di puncak gunung.
Ternyata orang yang berada di puncak itu bukan lain daripada Hek dan Pek Moko. H
ek Moko kelihatan sedang memeluk sebuah gendewa raksasa, sedang Pek Moko menyeka
l anak panah. Dengan badan
mereka yang tinggi besar, dua saudara hitam putih itu seakan-akan dua malaikat y
ang sedang berdiri di puncak gunung.
Ismet dan Achmad kaget bukan main dan sebelum mereka membuka suara, Hek Moko sud
ah tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Muridku saja kamu masih tak sanggup m
elayani,
bagaimana kamu berani banyak berlagak di sini? Lebih baik kamu lekas-lekas pergi
!"
"Manusia yang memancing musuhnya dengan segala akal bulus, bukan seorang gagah!"
Ismet membentak dengan gusar. "Jika kau benar-benar mempunyai nyali, turunlah d
an bertempur dengan kami sampai ada yang binasa!"
"Baiklah, jika kamu tidak mau menyerah ka-
lah, kita boleh bertempur lagi," sahut Hek Moko sembari tertawa. "Sambutlah anak
panahku!"
Meskipun Ie Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe tidak mengerti cacian-cacian yang diucap
kan dalam bahasa Arab itu, hati mereka berdebar-debar mendengar suara orang-oran
g aneh itu yang nyaring dan angker luar biasa, seolah-olah menggetarkan seluruh
gunung.
Ketika itu mereka berdua bersembunyi disuatu sudut pintu Seng (Hidup). Mendadak,
berbareng dengan terdengarnya bunyi "ung!", sebatang anak panah menyambar ke ba
wah dari puncak gunung dan tubuh Ismet tergelincir dari atas pilar. Bagaikan kil
at, Achmad loncat ke atas sambil mementang kedua tangannya untuk menyambut k
akaknya
yang sedang melayang jatuh. Hampir pada saat itu juga, kembali terdengar "ung!"
dan tubuh Achmad juga terpelanting ke bawah. Susul-menyusul kedua saudara itu ru
buh di atas tanah, di pundak masing-masing terdapat satu tanda merah. Hampir pad
a detik yang sama, menyusul berke-lebatnya sinar kuning yang berkeredep, dua ana
k panah menancap pada batu, dengan batang bergoyang-goyang tak hentinya.
Kepandaian Hek Pek Moko dan kedua orang Arab itu kira kira setanding. Jika merek
a bertempur secara biasa di atas tanah datar, dalam tempo tiga hari tiga malam b
elum tentu ada yang kalah atau menang. Tapi tadi, dengan mengandalkan tenaga gen
dewa raksasa itu dan juga karena
Hek Pek Moko memanah dari tempat yang lebih tinggi, maka Ismet maupun Achmad yan
g sudah pusing dipermainkan Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe, tak dapat berkelit lagi
dan segera rubuh ketika anak panah itu mengenai pundak
mereka. Masih untung. Hek Pek Moko tidak berlaku kejam dan hanya memanah bagian
pundak yang tidak membahayakan jiwa. Akan tetapi, maskipun begitu, hantaman anak
panah itu sudah memecahkan khie (hawa) mereka dan untuk memperoleh kembali tena
ga dalam yang hilang karenanya,
mereka harus berlatih sedikitnya setahun.
Siauw Houwtjoe adalah bocah nakal yang tak kenal takut. Tapi, menyaksikan peradu
an tenaga yang demikian
hebat, ia terkesiap dan hanya dapat mengawaskan dengan mulut ternganga. Dengan h
ati kagum, ia menyaksikan bagaimana Ismet dan Achmad "menyambut" kedua anak pana
h itu dengan pundak mereka. Tanpa mempunyai
tenaga dalam yang sudah mencapai puncak kesempurnaan, tulang serta otot-otot pun
dak mereka tentu sudah ditembusi dan dihancurkan dua anak panah itu. Dengan Iwee
kang mereka yang luar biasa dahsyatnya, Ismet dan Achmad sudah dapat membuat ter
pentalnya kedua anak panah itu, yang masih mempunyai tenaga begitu besar, sehing
ga menancap di batu. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan, bagaimana hebatnya pe
raduan tenaga yang terjadi barusan. Begitu kagum Siauw Houwtjoe
dibuatnya sehingga ia tak dapat mengeluarkan ejekan pula. Sebaliknya, buru-buru
ia mendekati kedua saudara itu dan membangunkan mereka.
Ismet mendelik dan loncat bangun. "Bocah! Hatimu baik sekali," katanya sembari m
enjambret si nakal yang lalu diputar beberapa kali, sedang dengan tangan kirinya
ia menepuk punggung si bocah.
Ie Sin Tjoe jadi terkejut, buru-buru ia loncat untuk menolong. Tapi tangan Ismet
cepat luar biasa, dalam sekejap mata sudah tiga kali ia menepuk punggung Siauw
Houwtjoe yang lalu didorongnya pergi.
Mendadak saja, si nakal merasakan perutnya mulas dan gegerugukan. Ia lari dan be
rsembunyi di belakang sebuah batu besar.
"Kenapa kau?" tanya Sin Tjoe.
Siauw Houwtjoe me-nongolkan kepalanya dan menjawab: "Jangan kemari. Aku mau buan
g air."
Si nona mendongkol berbareng geli hatinya, tetapi di samping itu, demi melihat p
aras muka Siauw Houwtjoe tidak berubah, hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba terdengar teriakan Hek Moko: "Sin Tjoe! Dengan memandang budi yang dil
epasnya kepada Soetee-mu ( Soetee berarti adik seperguruan, yaitu
Siauw Houwtjoe),
antarlah mereka keluar."
"Hek Moko!" kata Ismet dengan suara mendongkol. "Tak sudi aku menerima budimu!"
"Jika kau masih ingin mengadu tenaga, sedikitnya kau harus menunggu setahun
lagi." kata Hek Moko.
"Lihatlah! Aku masih mempunyai sebatang anak panah. Biarlah aku menggunakan ini
untuk membuka jalan."
Berbareng dengan diucapkannya perkataan itu, sebatang anak panah emas menyambar
pilar batu yang berada di depan Ismet dan pilar itu lantas saja terbelah dua. Is
met mengarti, bahwa dengan anak panah itu, Hek Moko ingin memperlihatkan keangke
rannya. Ia tertawa dingin seraya berkata: "Sungguh
angker! Tapi keangke-ranmu hanya untuk satu tahun." Sehabis berkata begitu, ia m
enuntun saudaranya dan berjalan keluar dari barisan batu itu dengan diantar oleh
Ie Sin Tjoe.
Sesudah keluar dari tin (barisan) sembari memandang si nona, Ismet
menanya: "Apakah kau murid dua silu-
man itu?"
Guruku adalah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong," jawabnya.
"Hm! Thio Tan Hong!" kata Ismet. "Baiklah. Aku menerima baik budimu ini. Aku tak
akan melupakannya."
Sesudah kedua saudara itu berlalu, Sin Tjoe segera masuk pula ke dalam barisan b
atu, dari mana ia mengambil pulang tiga anak panah emas itu. Waktu tiba di pintu
Seng, ia bertemu dengan Siauw Houwtjoe yang, sungguh mengherankan, telah menjad
i pucat mukanya dan agak lebih kurus.
"Kenapa kau?" tanya Sin Tjoe.
"Tak apa-apa," jawabnya. "Aku tadi buang-buang air, tapi badanku sekarang rasany
a nyaman sekali."
Harus diketahui, bahwa Ismet mempunyai semacam ilmu mengurut
yang sangat liehay, yang dapat menyembuhkan macam-macam penyakit. Waktu Siauw Ho
uwtjoe bermula
belajar Iweekang, ia telah berlatih secara melewati batas karena ingin mendapat
kemajuan pesat. Sebagai akibatnya, kadang-kadang ia merasakan dadanya mendeluh,
tapi ia sendiri tidak menyadari, bahwa ia menderita semacam penyakit dalam. Seba
gai seorang ahli, dengan sekali melirik saja, Ismet sudah mengetahui
penyakit bocah itu. Dengan menepuk tiga kali ia menjalankan darah Siauw Houwtjoe
, sehingga semua "hawa kotor" turun ke bawah dan keluar sebagai kotoran dan "haw
a bersih" naik ke atas. Bantuan Ismet itu sangat besar faedahnya dan akan banyak
mem-
bantu latihan Siauw Houwtjoe di hari kemudian.
"Tak heran, jika kedua guruku sudah meminjam kamar gurumu untuk berlatih," kata
Siauw Houwtjoe.
"Ternyata, mereka harus bertempur dengan dua siluman itu."
"Lagi kapan kau bertemu dengan kedua gurumu?" tanya Sin Tjoe.
"Malam itu, sesudah mengurung Hoan Eng di dalam kamar, aku keluar untuk mencari
ayah," cerita si nakal. "Setibanya di mulut dusun, aku bertemu kedua guruku itu.
Aku kenal mereka, karena mereka pernah berkunjung di rumahku. Begitu bertemu, T
oa-soehoe Hek Moko lantas saja berkata: "Siauw Houwtjoe, ada orang jahat yang ma
u mencari ayahmu. Lebih baik kau jangan pulang. Aku se-
gera mengatakan, bahwa, jika benar ada orang jahat mau mencari ayahku, lebih-leb
ih aku perlu buru-buru pulang untuk memberitahukannya. Djiesoehoe Pek Moko lanta
s saja membujuk. Katanya: Siauw Houwtjoe, kepandaianmu masih sangat cetek, tak d
apat kau membantu ayahmu. Jika kau pulang, ayahmu berbalik harus melindungi kau
dan kau sendiri pun mungkin dilukakan
orang. Aku tahu, dua orang jahat itu bukan tandingan ayahmu.
Lebih baik kau mengikut kami. Aku akan membawa kau pergi menemui Thio Tan Hong.
Dulu, ayahmu pernah mengatakan kepadaku, bahwa ia ingin sekali kau belajar silat
kepada Thio Tan Hong. Kedatangan kami kali ini, adalah untuk menga-
jak kau pergi, tapi tak dinyana, ayahmu kebetulan menemui urusan penting. Di lai
n pihak, kami juga tak dapat berayal lagi dan perlu buru-buru mencari Thio Tan H
ong. Maka itu, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak menemui ayahmu dulu da
n meninggalkan suatu tanda saja di depan rumahmu. Malam ini, sesudah mengusir ke
dua orang jahat itu, ayahmu pasti akan menyusul kita. Sekian bujukan Djiesoehoe
dan aku segera menurut. Hm! Sin Tjoe Tjietjie, kau sudah bertemu dengan ayahku,
kenapa ia tidak datang bersama-sama kau?"
Mendengar cerita itu yang ditutup dengan pertanyaan, si nona jadi sangat berduka
. "Ah, sungguh sayang Hek Pek Moko hanya melihat dua orang yang datang
lebih dulu," katanya di dalam hati. "Sungguh sayang, mereka hanya melihat Tjian
Sam San dan Boen Tiat Seng yang di kirim Kie Giok. Mereka tak mengetahui, bahwa
dua orang kaki tangan Kie Tin belakangan juga menyusul. Jika mereka tahu, biar b
agaimana juga, mereka tentu akan membantu."
"i Tjietjie!" kata Siauw Houwtjoe dengan tidak sabar, karena si nona bungkem ter
us. "Kau kenapa? Kenapa matamu merah? Apakah kau dimaki ayahku yang sungkan mene
rima kau? Benarkah begitu? Ah, sudahlah! Jangan menangis! Ayahku pernah mengatak
an, biar darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak keluar..."
Hati Siauw Houwtjoe sangat heran melihat air mata Sin Tjoe berketel-ketel. Ia te
ringat, bah-
wa Sin Tjoe bukan seorang laki, sehingga perkataan ayahnya tidak
sesuai untuk tjietjie itu.
Mendadak Sin Tjoe membuka mulutnya dan berkata dengan suara terputus-putus: "Aya
hmu... telah... telah... dibinasakan orang!"
Bagi telinga Siauw Houwtjoe kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari bol
ong.
"Apa?" teriaknya. "Dibinasakan orang?"
Si nona manggut dan menjawab dengan suara serak: "Dibinasakan
kawanan manusia keparat itu!"
Siauw Houwtjoe ternganga. Tiba-tiba ia berteriak dengan suara tak wajar: "Justa!
Ayahku jarang ada tandingannya. Mana mungkin ia dibinasakan orang?"
Sambil menahan air mata, Ie Sin Tjoe me-
ngeluarkan golok Bianto dan sobekan baju Thio Hong Hoe yang berlumuran darah unt
uk diserahkan kepada
Siauw Houwtjoe.
"Siauw Houwtjoe, benar katamu," katanya dengan suara sedih. "Ayahmu adalah seora
ng jago yang jarang tandingannya. Orang-orang jahat itu semuanya sudah dibinasak
an-nya sendiri, sakit hatinya semua sudah dibalas dengan
tangannya sendiri."
Muka bocah itu mendadak menjadi pucat bagaikan kertas. Ia hanya dapat mengeluark
an sepatah kata: "Ayahku..."
"Biar pun mati, ayahmu mati dengan mata meram," Sin Tjoe membujuk. "Golok mustik
a itu ditinggalkan untukmu."
Kedua mata Siauw Houwtjoe menjadi me-
rah bagaikan darah, ia mengawasi Sin Tjoe dengan mata beringas. Tiba-tiba ia men
gangkat tinjunya dan menumbuk dadanya sendiri serta kemudian menangis
menggerung-gerung.
Si nona mengeluarkan saputangannya dan menyusuti air mata bocah itu dengan hati
penuh kedukaan.
"Siauw Houwtjoe,"
katanya dengan lemah lembut serta perlahan. "Ayahmu bukankah
pernah berkata, biarpun darahnya mengucur, air mata seorang laki-laki tidak akan
keluar."
Sekonyong-konlong bocah itu menghunus Bianto itu dan membacok beberapa kali di u
dara. "Baiklah! Aku memang tak boleh menangis," katanya, tapi air matanya masih
terus mengucur.
"Aku bersumpah
akan membinasakan semua orang jahat dalam dunia dengan golok ini!" kata Siauw Ho
uwtjoe dengan suara gergetan. "i Tjietjie, aku mohon kau mengajarkan aku ilmu si
lat."
"Asal mau dan rajin belajar, di kemudian hari kau pasti akan mempunyai ilmu yang
sangat tinggi," kata si nona. "Kedua gurumu dan guruku sendiri sudah tentu akan
menurunkan segala kepandaian
mereka kepadamu."
Sedang mulutnya membujuk bocah itu, hati si nona sendiri justru seakan-akan diir
is-iris. Ia ingat, bahwa sakit hati Thio Hong Hoe sudah terbalas himpas, tapi sa
kit hati ayahnya sendiri, siapa yang akan dapat mem-balaskannya? Ia menghibur Si
auw Houwtjoe, tapi air matanya sendiri terus berketel-ketel
turun.
"Ah! Mengapa kamu menangis berdua-dua?" demikian terdengar
pertanyaan Hek Moko yang tanpa diketahui sudah berada di damping mereka.
"Thio Hong Hoe Peh-peh telah meninggal dunia, aku sedang membujuk
supaya ia jangan terlalu bersedih," kata Sin Tjoe.
"Ha? Thio Hong Hoe mati? Apakah gara-gara urusan malam itu?" tanya Hek Moko deng
an suara terkejut.
Sin Tjoe lantas saja menuturkan, bagaimana Thio Hong Hoe sudah binasa secara lak
i-laki, sesudah, dengan tangan sendiri, membunuh semua penyerangnya.
"Bagus! Dia hidup sebagai laki-laki, mati juga sebagai laki-laki," kata Hek Moko
. "Siauw Houwtjoe! Kau harus merasa bangga mempu-
nyai ayah seperti ia." Ia berpaling kepada Sin Tjoe dan berkata pula: "Sebenarny
a aku harus membiarkan kau mengajak Siauw Houwtjoe pergi mencari gurumu. Tapi, m
engingat ilmu silat bocah itu masih sangat cetek, sehingga akan membikin kau ber
abe saja dalam perjalanan jauh, maka lebih baik aku akan mengajaknya ke India un
tuk dua tahun lamanya. Sesudah ia mempunyai kepandaian yang agaknya cukup tinggi
, baru aku akan mengirimnya kepada gurumu. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku setuju," sahut si nona. "Rencana kalian adalah untuk kebaikan Siauw Houwtjo
e. Hm! Sekarang aku minta kau menceritakan hal
guruku."
"Gurumu telah memberitahukan, bahwa ia
ingin pergi ke Taylie, di Hoenlam," Hek Moko menerangkan, "i Thay-soetjouw-mu ya
ng
berdiam di gunung Tiamtjong san di Taylie, tahun ini akan merayakan hari ulang t
ahunnya yang ke delapan puluh satu. Maka, kepergian gurumu kali ini mempunyai du
a tujuan, yaitu untuk menyingkir dari bencana dan berbareng untuk memberi selama
t
panjang umur kepada Thaysoe tjou w - m u."
Thaysoetjouw I e Sin Tjoe adalah Hian Kie Itsoe yang dulu pernah bermusuhan deng
an Siangkoan Thian Ya. Sepuluh tahun berselang, sesudah kedua lawan itu berbalik
menjadi kawan, mereka bersama-sama mengundurkan diri dan hidup bersembunyi di p
egunungan. Hal itu sudah diketahui Sin Tjoe dari
cerita gurunya, tapi baru sekarang ia mengetahui bahwa kedua orang tua itu berdi
am di Tiamtjong san.
"Gurumu menunggu tiga hari lamanya dan karena kau belum juga pulang, ia terpaksa
lantas berangkat," kata Hek Moko pula. "Menurut katanya, dalam kamar buku ia te
lah meninggalkan sepucuk surat untukmu."
Mendengar, bahwa sang guru sudah menunggu ia tiga hari lamanya, Sin Tjoe jadi le
bih-lebih merasakan kecintaan guru itu dan jadi sangat menyesal, bahwa ia tidak
pulang lebih cepat.
"Menurut dugaanku, sesudah mendapat hajaran keras, untuk sementara, Wiesoe-wieso
e itu tentu tidak berani menyatroni pula," kata Hek Moko lagi se-
sudah berdiam beberapa saat. "Perjalanan ke Hoenlam bukan
perjalanan dekat. Maka itu, kuharap kau berlaku hati-hati di tengah jalan. Di ke
mudian hari, kami juga ingin menyambangi gurumu di Hoenlam dengan
mengambil jalan dari Birma. Nanti, kalau kau bertemu dengan gurumu, harap kau me
nanyakan keseha- tannya atas nama kami."
Sesudah berkata begitu, bersama
saudaranya dan Siauw Houwtjoe, Hek Moko segera berangkat.
Setelah berada seorang diri, dengan hati duka si nona pergi ke kamar buku Thio T
an Hong. Oleh karena sering melayani sang guru menulis surat, ia mengetahui bahw
a gurunya biasa menyimpan surat-surat pribadinya di dalam laci tengah
meja tulisnya. Benar saja, begitu menarik keluar laci tersebut, di dalamnya terd
apat dua pucuk surat, satu untuknya sendiri, yang lain untuk Tjioe San Bin, di s
amping itu terdapat sepasang bendera
merah kecil, sehelai tersulam matahari, sedang yang lain bulan sabit.
Ie Sin Tjoe lantas saja merobek amplop surat dengan namanya. Dalam amplop itu, s
elain sepucuk surat, terdapat sebuah lukisan seorang laki-laki dan seorang perem
puan setengah tua yang berparas cakap dan angker. Si nona lantas saja membaca su
rat itu yang isinya kira-kira seperti berikut:
Dipersembahkan untuk muridku Sin Tjoe: Sungguh kaget hatiku, ketika mendengar
beri-
ta wafatnya ayahmu. Sungguh aku berduka, jika mengingat, bagaimana Kaizar Beng s
udah memusnakan Tembok Besar dengan tangannya sendiri dan jika mengingat, bahwa
aku sendiri sudah kehilangan seorang guru, seorang sahabat. Satu hai aku tahu, b
ahwa orang yang bersedih hati, bukan hanya kau dan aku berdua saja.
Aku hanya mengharap, supaya dengan mengingat adanya kekalutan dalam dunia dan ke
sukaran dalam
negara kita, kau jangan terlalu bersedih. Aku berharap supaya kau dapat menerusk
an
cita-cita mendiang
ayahmu, agar tak mengecewakan penghargaan seluruh rakyat. Aku tahu, bahwa Taysia
nghong ada/ah manusia kejam dan bah-
wa, begitu lekas ia naik lagi ke atas tachta, ia tentu akan membasmi menteri-men
teri yang berjasa.
Gunung ini yang gampang disatroni pasukan kaizar, bukan tempat yang sentosa. Aku
sebenarnya tidak
memikirkan keselamatan jiwa sendiri. Tapi sebagaimana kau tahu, suku Lie tjin (l
eluhur orang Boan) telah bergerak di daerah Utara timur, sedang orang-orang Jepa
ng sering menyatroni pasi-sir Tenggara, sehingga pada waktu ini, kita seharusnya
bersatu padu untuk menghadapi bahaya dari luar. Kau tentu tahu, bahwa keharusan
bersatu itu merupakan cita-citaku semenjak dulu. Aku selamanya tidak mau bersat
u dengan pihak kerajaan.
Itulah sebabnya, mengapa, guna menyingkir dari mara bahaya, untuk sementara wakt
u aku ingin bersembunyi di Hoenlam selatan. Berbareng dengan itu, akupun ingin m
emberi selamat panjang umur kepada Thaysoetjouw-mu.
Aku tahu kau tentu akan segera menyusul. Akan tetapi, sekarang ini ada suatu uru
san penting yang kuminta kau mengerjakannya. Sepasang bendera yang terlampir di
sini harus disimpan baik-baik
olehmu, sebagai semacam pertandaan. Dengan membawa surat yang kutinggalkan, kau
harus segera berangkat ke Utara. Jika bertemu dengan pasangan suami is teri yang
romannya mirip dengan gambar terlampir, kau harus mengetahui, bahwa pa-
sangan itu adalah suami is teri Kim too Siauwtjeetjoe Tjioe San Bin.
Sekian surat itu.
Sesudah selesai membaca, walaupun masih sedih, si nona agak terhibur juga oleh p
esan sang guru yang ia cintai itu. Tanpa berayal lagi, ia segera menyemplak kuda
nya dan turun gunung.
Tentang riwayat Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian, sudah sering ia mendengar gurunya be
rceritera. "Tjioe Kian sudah tua dan segala urusan katanya diserahkan kepada put
e-ranya," pikir si nona. "Tapi kenapa suami isteri Tjioe San Bin berani masuk ke
wilayah Tionggoan? Dan dengan cara apa guruku bisa mengetahui itu?" Hatinya san
gsi, tapi karena
ia percaya, bahwa gurunya tidak akan bicara sembarangan, ia
meneruskan perjalanannya ke Utara dengan hati tetap.
Setibanya di tepi telaga, Sin Tjoe merasa agak bingung, karena di atas telaga ya
ng luas itu, tidak kelihatan sebuah perahu pun. Selagi diliputi kejengkelan, tib
a-tiba dari antara cabang-cabang pohon Yanglioe yang tumbuh di pinggir air, munc
ul sebuah perahu kecil.
"Ie Kouwnio (Nona Ie)." kata seorang penangkap ikan yang mengemudikan perahu itu
. "Apakah kau mau pergi ke Boesek? Apakah kau tidak mengenali aku? Aku adalah Si
e Loosam yang tinggal di Pipa lim di lereng gunung."
Di gunung Tongteng san Barat terdapat ra-
tusan keluarga. Sesudah berdiam delapan tahun lamanya di gunung itu, walaupun ti
dak dapat mengingat semua nama, Sin Tjoe mengenal sebagian
besar penduduk di situ. Demikianlah, begitu si penangkap ikan menyebut namanya.
Sin Tjoe segera mengenalnya kembali.
"Tadi waktu aku mendaki gunung, bukankah kau juga berada di atas gunung?" tanya
Sin Tjoe dengan rasa agak jengah. "Tak mengherankan jika kau tidak mengenali, ka
rena aku mengenakan pakaian lelaki. Benar besar nyalimu. Orang lain semua pada b
ersembunyi."
"Aku tahu kau ingin menyeberang, maka aku sudah sengaja menunggu di sini," kata
Sie Loosam. "Nona, kau naiklah."
Sembari berkata be-
gitu, ia menuntun si Putih ke perahu dan sesudah Sin Tjoe loncat turun, ia seger
a menggayuti perahunya. "Baik juga kalian dapat mengalahkan orang-orang jahat it
u," kata si penangkap ikan. "Jika tidak, kami semua tentu tak berani muncul. Thi
o Tayhiap benar-benar baik. Sebelum berangkat ia sudah mengetahui akan datangnya
manusia-manusia itu dan menasehatkan kami untuk menyingkir sementara waktu. Hm!
Ke mana ia pergi? Kapan pulangnya?"
Perahu itu laju cepat sekali. Mengingat
pengalaman-pengalaman yang membahagiakan selama delapan tahun berdiam di Tongten
g Santjhoeng, hati si nona jadi terharu dan dengan mata mende-long, ia mengawasi
puncak-puncak gunung
yang semakin lama menjadi semakin jauh. "Ya!" katanya sambil menghela napas. "Gu
ruku telah pergi ke tempat jauh, jauh sekali. Tapi ia sangat menyintai tempat in
i. Kurasa beberapa tahun kemudian, lama atau cepat, ia tentu akan kembali."
Sembari bercakap-cakap, tidak lama kemudian, perahu itu sudah tiba di Boesek. Se
sudah menghaturkan terima kasih pada Sie Loosam, Sin Tjoe segera meneruskan perj
alanannya dengan menunggang kuda.
Pada hari kedua, sembari jalan, hati Sin Tjoe merasa heran karena di sepanjang j
alan ia bertemu dengan orang-orang yang
kelihatan menyurigakan. Di waktu magrib, selagi ingin mempercepat lari kudanya
supaya bisa
buru-buru tiba di sebuah kota kecil, dua penunggang kuda tiba-tiba melewatinya,
yang seorang brewokan
mukanya, yang lain seorang pengemis.
Pengemis itu, yang pakaiannya penuh
tambalan, menunggang seekor kuda besar yang garang, sedang pelananya pun indah s
ekali. Begitu melewati si nona, Ia menengok dan berkata sembari
tertawa: "Ie Siangkong ... Ie Kouwnio, Toa-iiongtauw kami tak dapat
melupakan kau. Bagus! Kau juga datang ke sini. Atas nama Toaiiongtauw
, aku menanyakan keselamatanmu." Sembari berkata begitu, ia mengangkat
tongkatnya dan
memberi hormat dengan cara yang lucu sekali.
Si nona lantas saja mengenali, bahwa pengemis itu adalah Pit
Van Kiong. Dengan rasa malu dan gusar, ia menimpukkan sekuntum bunga emas seraya
membentak: "Siapa ke-sudian menerima hormat segala pengemis jorok!" Senjata rah
asia itu menyambar jitu sekali dan Tahkauw pang (tongkat pemukul
anjing) si pengemis terlepas dari tangannya. Tubuh Pit Yan Kiong melesat dari at
as pelana dan dengan suatu gerakan indah, menangkap tongkatnya yang sedang melay
ang jatuh, akan kemudian, dengan sekali jungkir balik, ia sudah duduk lagi di at
as pelana.
"Umumnya, jika kita berlaku hormat, semua orang akan merasa senang," katanya sem
bari nyengir. "Tapi kau sebaliknya. Biarpun kau jempol, tak pantas kau menghajar
seorang
yang berlaku begitu hor-
mat terhadapmu. Hm! Nona mantu itu benar-benar sukar diurus!" Sembari mengejek,
buru-buru ia mengeprak kudanya yang lantas saja lari kabur.
Bukan main gusarnya Sin Tjoe. Jika menuruti adatnya, ia tentu sudah menyusul dan
memberi persen si mulut jail dengan dua bunga emas. Akan tetapi, karena sungkan
diketahui orang, bahwa ia sebenarnya adalah
seorang wanita yang menyamar sebagai pria dan juga karena merasa malu, jika dipa
nggil "nona mantu", maka sebaliknya dari mengubar, ia menahan-nahan les kudanya
supaya jangan berdekatan dengan pengemis itu.
Sesudah melarikan kudanya beberapa
lama, kota kecil itu sudah terlihat di depan mata. Sekonyong-
konyong di belakang Sin Tjoe kembali terdengar kelenengan kuda dan bagaikan kila
t seekor kuda lewat di sampingnya. Si penunggang kuda agaknya sedang kesusu dan
tak hentinya menyambuk tunggangannya itu. Entah disengaja atau tidak, selagi lew
at, cambuknya sudah
menghantam kuda si nona.
Tjiauwya Saytjoe adalah seekor kuda mustika yang belum pernah dicambuk oleh maji
kannya. Demikianlah, begitu kecambuk, adatnya keluar. Sembari berbenger, ia mene
ndang dengan kaki depannya. Si penunggang kuda, seorang hweeshio (paderi) yang b
erbadan gemuk,
memutarkan badan dan menahan kaki kuda itu dengan sebelah
tangannya, sehingga
Tjiauwya Saytjoe mundur terhuyung beberapa tindak.
Ie Sin Tjoe terkesiap. Harus diketahui bahwa tendangan si Putih mempunyai
tenaga lima atau enam ratus kati dan dari sini dapat dibayangkan, betapa besar t
enaga si paderi gemuk.
Sin Tjoe tak sempat berpikir banyak-banyak. Sekali mengayun tangan, sekuntum bun
ga emas lantas menyambar. Sesaat itu, si hweeshio sudah berada dalam jarak belas
an tombak. Begitu mendengar suara menyambarnya senjata rahasia, ia menyabet deng
an pecutnya yang jitu mengenai bunga emas itu.
"Oleh karena terburu-buru, aku sudah kesalahan menyabet kuda mestikamu," katanya
sembari memberi
hormat. "Kuharap Siauwko sudi memaafkan."
Ie Sin Tjoe yang sudah bersiap untuk bertempur, menjadi
sabar lagi sesudah mendengar permintaan maaf itu. Di samping itu, ia pun ingat,
bahwa ia sendiri mempunyai tugas yang sangat penting. Maka, urusan itu lantas sa
ja menjadi beres sampai di situ.
Ketika Sin Tjoe tiba di dalam kota, siang sudah berganti malam. Selagi mau masuk
di sebuah rumah penginapan, mendadak ia melihat kuda Pit Yan Kiong tertambat di
depan gedung. Melihat begitu, lantas saja ia berubah pikiran dan mengambil putu
san
untuk meneruskan perjalanan. Tapi di lain saat, ia jadi terpaku dan m
atanya mengawasi serupa benda yang
menarik seluruh perhatiannya.
Rumah penginapan itu adalah sebuah gedung dua tingkat yang sangat indah dan berb
entuk delapan pa-segi. Kamar-kamar tamu terletak di atas loteng, sedang di bawah
loteng terdapat ruangan besar yang diperaboti indah dan digunakan sebagai resto
ran. Bahwa dalam sebuah kota kecil terdapat rumah makan yang begitu indah, sudah
merupakan suatu keheranan. Tapi apa yang mengagetkan Sin Tjoe adalah dua gambar
yang ditempelkan di tembok, di kiri kanan pintu tengah, sebuah gambar merupakan
matahari merah yang bundar, gambar yang lain berupa bulan sabit. Sekali melihat,
ia mengetahui, bahwa kedua gambar itu belum lama dilukisnya. Terang-
terangan, itu adalah Djitgoat Siangkie (Sepasang bendera matahari bulan) Tjioe S
an Bin.
Sesudah bersangsi sebentar, Sin Tjoe turun dari kudanya yang lalu ditambat pada
sebuah tihang. Begitu masuk di ruangan restoran, ia melihat belasan orang yang d
uduk pada lima enam meja.
Menurut kebiasaan, jika begitu banyak orang makan minum dalam suatu restoran, ri
butnya tak kepalang. Sungguh heran, ruangan itu sunyi senyap dan semua orang mem
perlihatkan paras sungguh-sungguh, seolah-olah mereka berada disuatu tempat kera
mat. Pit Yan Kiong dan kawannya yang brewokan, duduk pada sebuah meja di dekat j
endela sebelah barat.
Melihat Sin Tjoe, ia mesem, sehingga hati si nona jadi berdebar-debar, tapi syuk
ur ia tidak mengeluarkan kata yang gila-gila. Si hweeshio gemuk duduk sendirian
pada sebuah meja dan untuk beberapa saat, matanya mengawasi Sin Tjoe.
Dengan rasa tertindih, Sin Tjoe mengambil tempat duduk, yang berdekatan dengan j
endela. Ketika pelayan restoran mengampiri, dengan sikap acuh tak acuh, ia menge
luarkan Djitgoat Siangkie dari sakunya. Pelayan itu manggut-manggutkan kepalanya
dan berkata dengan suara perlahan: "Tuan ingin makan apa?"
Si nona lantas saja minta setengah kati daging kerbau asin dan satu kati arak pu
tih. Pelayan itu mengawasi dan paras mukanya mengunjuk perasaan
sangsi.
Sesaat itu, Sin Tjoe menyapu beberapa
meja dengan matanya. Tiba-tiba saja ia menjadi heran karena di atas setiap meja
terdapat semangkok sayur ikan masak kuwa yang asapnya masih
mengebul-ngebul. Kenapa mereka dengan serentak memesan makanan yang sama?
Mendadak si hweeshio gemuk yang sedang minum arak sendirian, berteriak: "Hei! Ma
na makanan yang kupesan?"
"i Taysoe pesan apa?" tanya pelayan restoran.
"Begitu datang, aku lantas memesan,"
jawabnya dengan suara mendongkol. "Aku minta Angsio kaki babi. Bagaimana sih? Ba
ru dipesan, sudah lantas lupa?"
"Maaflah," kata si pelayan sembari ter-
tawa. "Kawanku yang barusan melayani taysoe , sedang ke dapur. Biarlah kutengok.
"
Para tamu mengawasi hweeshio itu, tapi mereka tidak berkata suatu apa. Beberapa
saat kemudian, salah orang bangun dan terus naik ke loteng, entah ingin menengok
kawan, entah dia sendiri menginap di kamar atas. Lewat lagi beberapa detik, seo
rang lain menyusul ke atas. Tanpa sebab, si hweeshio gemuk mendadak tertawa ding
in.
Setelah itu, seorang pelayan keluar dengan semangkok ikan masak kuwa yang masih
mengebul dan membawa masakan itu ke meja Pit Yan Kiong.
Tiba-tiba si paderi berbangkit dan berteriak: "Hei! Aku memesan lebih dulu, kena
pa dia yang lebih dulu dilayani!"
"Jangan gusar, taysoe," kata si-pelayan sembari tertawa. "Pesanan taysoe
akan segera datang."
Paderi itu segera meninggalkan mejanya dan berjalan dengan
tindakan lebar. Sin Tjoe mula-mula menduga bahwa ia ingin memprotes kepada pengu
rus restoran, tapi tak dinyana, begitu
berdekatan, ia menyikut si pelayan yang kontan jatuh kejengkang dan semangkok sa
ntapan itu berhamburan di lantai. Pit Yan Kiong dan kawannya yang
berbadan kasar, loncat menyingkir, tapi tak urung kecipratan kuwa juga.
"Kalde gundul!" bentak kawan Pit Yan Kiong. "Benar-benar kau mau cari-cari?" Sem
bari mencaci, tinjunya menyambar.
"Tanganku sedang ga-
tal," jawab si paderi. "Tak menghajar kau, mau menghajar siapa lagi? Dengan tang
an kiri, ia menangkap tinju yang menyambar itu, sedang tangan kanannya, dengan g
erakan Toeitjhoeng bonggoat (Menolak jendela
memandang rembulan), menyanggapi sikut
lawannya yang lantas didorong dengan keras. Saat itu juga, badan orang yang besa
r itu "terbang" ke arah meja pengurus restoran.
Pengurus restoran itu adalah seorang tua yang berkumis putih. Selagi tubuh orang
itu melayang ke arahnya, ia mengangkat shoei-phoa (alat menghitung Tionghoa) da
n mendorong. "Celaka! Kalian merusakkan perabotan di sini!" ia berseru. Kelihata
nnya, orang tua itu mendorong tanpa bertenaga, tapi... be-
gitu didorong, tubuh kawan Pit Van Kiong terpental kembali!
Ie Sin Tjoe terke-m siap. Itulah suatu ilmu menyerang dengan meminjam tenaga mus
uh, yaitu ilmu dari tingkatan atas. Lelaki itu juga ternyata bukan
sembarang orang. Dengan meminjam tenaga mendorong dari si pengurus restoran, ia
jungkir balik di tengah udara, akan kemudian menendang sebuah meja yang lantas s
aja terbelah menjadi empat potong, satu di antara menyambar Ie Sin Tjoe yang seg
era menyam-poknya. Tiga potongan lain yang melesat ke arah beberapa orang, juga
sudah terpukul jatuh. Dengan demikian, dapatlah diketahui,
bahwa semua orang yang berada di situ, berikut pengurus
restoran itu juga, mem-
punyai ilmu silat yang tidak cetek.
Sementara itu, si hweeshio sudah
menyerang pula secara bertubi-tubi dan orang itu segera jadi keteter. "Siapa-sia
pa yang tak tahu malu, boleh maju ke sini!" tantang si gemuk. Para tamu jadi men
dongkol, tapi oleh karena mereka itu adalah orang-orang Ka-ngouw yang berkeduduk
an tinggi, walaupun mendeluh, tiada satu yang turun tangan.
Beberapa saat kemudian, Pit Van Kiong bangun dan berkata sembari tertawa: "Aku s
i pengemis adalah seorang yang paling tidak memperdulikan soal muka." Berbareng
dengan ucapan itu, ia menotok pinggang si paderi dengan tongkatnya.
Biarpun berbadan gemuk, paderi itu gesit se-
kali. Sembari memutarkan tubuh, ia menyam-pok totokan itu dengan tangan kanan, s
edang tangan kirinya menepuk dada si pengemis. Pit Van Kiong mengetahui, bahwa p
ukulan itu adalah pukulan Tiat pipee (Pipee, semacam alat musik Tionghoa, besi)
dari Siauwlim pay, yang disertai dengan tenaga dalam, sehingga, jika kena, tulan
g dadanya pasti akan menjadi patah.
Tanpa berayal pula, sesudah memunahkan pukulan itu, Pit Van Kiong segera menyera
ng dengan ilmu tongkat keluarga Pit. Dibantu dengan silat Ngoheng koen dari kawa
nnya, ia menyerang bagaikan hujan dan angin, sehingga pertempuran menjadi hebat
luar biasa.
Si pengurus restoran tak hentinya teriak, tapi
ketiga orang itu yang sedang berapi-api,
tentu saja tidak menggubris.
Sementara itu, dari luar kembali masuk dua tamu laki-laki, seorang tua dan seora
ng muda. Vang tua berbadan seperti seorang dusun dengan tangan menye-kal hoentjw
ee (pipa panjang), sedang muda, yang berusia tiga puluh tahun lebih, berbadan ka
te gemuk, seperti juga buah labu. Begitu mereka masuk, semua mata lantas ditujuk
an ke arah mereka.
Si orang tua melirik ke sekitarnya, lalu ia menyedot hoentjwee-nya, habis mana,
seraya menuding
dengan pipa panjangnya itu, ia menegur pengurus restoran.
"Keadaan kacau begini, tuan pengurus, mengapa kau diamkan saja?" demikian tany
a-
nya.
Pengurus itu memberi hormat.
"Menyesal, Kwee Lootiatjoe dan Beng Toatia," menyahut dia. "Kami yang membuka ru
mah makan tidak berani mendapat salah dari tetamu-tetamu kami..."
Hatinya Sin Tjoe tergerak mendengar disebutnya she dari kedua orang itu. Ia pern
ah dengar dari gurunya bahwa di antara orang-orang kosen di lima propinsi Utara
ada Kwee Seng Tay, begal tunggal dari propinsi Shoatang, yang romannya mirip ora
ng dusun, yang senjatanya ada sebatang hoen-tjwee, yang sebenarnya diperantikan
menotok jalan darah, sedang muridnya, Beng Tiang Seng namanya, bertubuh kate gem
uk bagaikan labu, dia pandai
ilmu silat bergulingan Teetong koen. Rupanya mereka inilah dua orang itu.
Mendengar jawaban itu, si orang tua mengkerutkan kening.
"Tetamu yang pantas dihormati mesti dihormati, tetapi yang suka menerbitkan onar
mesti diurus," katanya. "Nah, kau uruslah mereka, untuk segala akibatnya aku si
orang tua yang akan bertanggung jawab!"
Pengurus itu ber-sangsi sejenak, lantas ia maju ke kalangan.
"Tuan-tuan," ia berkata, "dengan memandang kepada Kwee Lootiatjoe, aku minta suk
alah kamu menghentikan pertempuran, aku yang rendah suka menghaturkan maaf kepad
a kamu..."
"Apa sih Kwee Lootiatjoe?" berkata si paderi. "Jikalau kau hen-
dak menghaturkan
maaf, nah kau berlututlah tiga kali dan mengangguk-angguk hingga k
epalamu
berbunyi nyaring serta kau memanggil engkong kepadaku!" Ia berkata demikian akan
tetapi kedua tangannya tidak berhenti bekerja, hingga beruntun dua kali terdeng
ar suara
nyaring. Dengan tangan kini ia hajar si orang bertubuh kasar hingga dia terjungk
al dan dengan tangan kanannya menyampok terbang tongkatnya Pit Yan (Goan) Kiong.
Ie Sin Tjoe menyaksikan itu, ia terkejut. Terang orang telah menggunai jurus-jur
us "Liongkoen" dan "Pakoen" atau kepalan-kepalan "Naga" dan "Macan tutul" dari i
lmu silat "Lo Han Koen," yang Hek Pek Moko telah ajarkan kepada
Siauw Houwtjoe. Mestinya si paderi hendak mencari onar, di saat ada orang yang m
encampur tangan, baharu dia keluarkan kepandaiannya itu.
Kwee Seng Tay mengurut kumisnya dan si pengurus restoran
batuk-batuk.
"i Toasoehoe, kau mengacau, aku yang rendah terpaksa meminta kau p
ergi keluar!" berkata pengurus
restoran ini seraya kedua tangannya diulur kepada pundaknya paderi gemuk itu. Ia
tua dan kurus tetapi kedua tangannya itu
memainkan ilmu silat Eng Djiauw Kong si Kuku Garuda.
Si paderi mendak, untuk membebaskan diri, tapi tidak urung ia merasakan pundakny
a sakit dan pedas, maka itu, ia menjadi terkejut, sedang si pengurus res-
toran heran yang cengkeramannya itu lolos.
"Uangku bukan uang bau amis, kau membuka rumah makan, mengapa kau larang aku dah
ar?" si hweeshio tanya. "Hm, kau hendak usir aku, maka biarlah aku rabuh dulu ru
mah makanmu ini!"
Kata-kata ini ditutup dengan serangan kepada si pengurus restoran, malah dia men
yerang terus saling susul, dengan tiga jurus lainnya dari Lo Han Koen yaitu Houw
koen, Tjoakoen dan Hookoen, ialah kepalan-kepalan Naga, Ular dan burung Hoo. Mak
a walaupun dia mengarti Eng Djiauw Kong, tuan rumah itu lantas saja keteter.
Pit Goan Kiong pungut tongkatnya, hendak ia turun tangan, akan tetapi kapan ia l
ihat kawannya masih
rebah saja, ia lantas menghampirkan. Ia ingin menolongi andaikata kawan itu terl
uka.
Si labu ialah Beng Tiang Seng, menjadi habis sabar. Dia lompat kepada si paderi,
untuk menerjang, atas mana, paderi itu geraki sebelah tangannya. Sin Tjoe lihat
tangan itu tidak mengenai sasarannya tetapi heran, Tiang Seng lantas saja rubuh
terguling seperti cupu-cupu menggelinding.
"Dia kesohor kenapa dia begini tidak punya guna?" tanya nona itu dalam hatinya.
"Mustahil dia roboh hanya terkena anginnya
kepalan?"
***
Segera ternyata, Tiang Seng hanya bersilat dengan
"Laylouw takoen" atau
"Keledai malas bergulingan," dan setelah berguling menghampirkan si paderi, ia s
amber kaki orang. Paderi itu sudah lantas menarik kakinya itu. Atas itu, ia disu
sul dengan sambe-ran lain, yang menjejak dengkulnya. Ia lantas saja menjadi repo
t.
Tiang Seng bukan roboh sewajarnya, dia hanya sembari
menjatuhkan diri untuk bersilat dengan kepandaiannya, Teetong koen. Sangat linca
h tubuhnya itu, yang bergulingan tak hentinya, malah ada kalanya, tubuhnya diban
tu sama tangannya, sama pundaknya juga.
Sampai di situ, Ie Sin Tjoe tertawa seorang diri. Lucu cara bersilatnya si orang
she Beng itu, sedang si paderi, yang tadi kosen sekali, sekarang terpak-
yang panjangnya dua kaki delapan dim, sudah terjepit otot-otot dada orang itu! S
i nona mengerahkan seantero tenaga dalamnya, tapi ia masih tidak berhasil.
Muka Sin Tjoe menjadi merah seperti kepiting direbus.
Sekonyong-konyong ia merasa batang lehernya ditiup orang dan hampir berbareng de
ngan itu, terdengar suara tertawa Siauw Houwtjoe.
"Kau memang paling suka berkelahi!" kata si nakal. "Tapi bertemu dengan guruku,
kau menubruk tembok. Perlu bantuan?"
Si muka hitam mendadak mengendorkan otot-ototnya dan pedang si nona segera juga
terlepas dari jepitan. "Sungguh tak usah malu kau menjadi murid suami isteri Thi
o Tan Hong," katanya sembari tertawa. "Ke-
sa main mundur.
Tiba-tiba ada seorang yang berkata-kata seorang diri, kata-katanya itu berupa se
ruan: "Putar kaki, tendang punggungnya! Ambil kedudukan kam, injak belakang tang
annya! Ambil jalan lie, sontek hidungnya!"
Kwee Seng Tay heran hingga segera ia berpaling. Ia dapatkan orang bertubuh kecil
tetapi lincah agaknya. Ia mengarti bahwa orang tengah mengajari si paderi untuk
bersilat dengan "Wanyo
Lianhoan twie" atau "Tendangan berantai burung Wanyo" untuk memecahkan Teetong k
oen dari si labu itu. Ia menjadi mendongkol.
Si p aderi memang ada terlebih kosen daripada Beng Tiang Seng, begitu ia diberi
petunjuk, ia lantas mela-
kukan serangan membalas. Di atas ia mainkan Lo Han Ngoheng koen, di bawah dengan
Wanyo Lianhoan twie itu. Tiang Seng menjadi repot berkelit, akan satu kali ia k
ena didupak hingga jungkir balik!
Bukan main mendongkolnya Kwee Seng Tjay, hingga ia urut-urut kumisnya dengan sen
git. Mengingat
derajatnya, tapinya tidak dapat ia lantas turun tangan.
Pit Goan Kiong sementara itu telah dekati si orang bertubuh kecil lincah itu. Ia
sudah tolong mengasi bangun kawannya, yang tidak terluka, maka itu ia sempat me
nghampirkan orang. Ia kata: "Kalau tuan gatal tangan, aku si pengemis suka sekal
i menemani kau main-main..."
Orang kecil lincah itu
menyahuti: "Satu budiman menggunai mulutnya, tidak tangannya. emdash Va, nyam-pin
g ke kedudukan soen, kasi dia satu tendangan pula, aku tanggung dia bakal tak be
rkutik lagi!"
Perkataan yang belakangan ini ditujukan kepada si paderi, yang turut petunjuk, t
erus dia ambil tempatnya dan menendang, maka kali ini, setelah tertendang terjun
gkir, hingga ia membentur dua buah meja, Beng Tiang Seng benar-benar tak dapat b
erkutik lagi!
Pit Goan Kiong menjadi mendelu. Ia tukang mempermainkan orang, sekarang ialah ya
ng kena dipermainkan. Ia mau lantas turun tangan, atau tiba-tiba ia merandak. Ia
dengar tindakan kaki nyata di tangga, turun dari undakan atas. Ruang
pun lantas menjadi sunyi. Apabila ia telah menoleh, ia pun lantas turut berdiam
seraya menghunjuki sikap
menghormat.
Ie Sin Tjoe heran sekali, ia pun berpaling ke tangga lauwteng. ia melihat sepasa
ng priya dan wanita umur pertengahan tengah menindak turun. Pakaian mereka itu i
ndah dan roman mereka gagah. Pantas ruangan lantas menjadi sunyi.
"Siapakah mereka ini, yang besar pengaruhnya?" Sin Tjoe tanya dirinya sendiri. M
aka ia lantas mengawasi
dengan tajam. Baharu sekarang ia mengenalinya. Merekalah yang Tan Hong suruh ia
mencarinya, yang
romannya tertera di dalam gambar lukisan emdash ialah suami isteri K
imtoo Siauw-tjeetjoe Tjioe San Bin
serta Tjio Tjoei Hong.
Pengurus restoran hendak keluar dari gelanggang, tetapi si paderi menghalangi.
"Pengurus tua bang-ka, tidak dapat kau berlalu!" kata dia, yang terus saja menye
rang, dengan tangan kiri yang disusul tangan kanan. Maka pengurus restoran itu l
antas saja terguling pula. Tapi kali ini ia roboh karena alpa, ia hendak mengham
pirkan San Bin, ia tidak sangka bakal diserang.
Kejadian itu, yang dianggap curang, membuat banyak orang menjadi penasaran. Mala
h Kwee Seng Tay, yang matanya menjadi merah, tak dapat menguasai diri lagi, ia s
udah lantas maju ke gelanggang.
"Oh, Kwee Lootiatjoe , kau pun datang?" terdengar suaranya San Bin. "Maaf, tidak
berani
aku membuat kau cape..."
Wajahnya Seng Tay menjadi merah. Ia ingat kepada derajatnya. Memang tidak pantas
ia melayani si hweeshio. Ia pun berada di depan Kimtoo Siauwtjeetjoe.
San Bin memandang si paderi dan lainnya.
"Sebenarnya urusan apakah yang tak dapat didamaikan?" berkata ia sambil tertawa.
"Marilah semua duduk, untuk pasang omong! Bukankah ini bagus?"
"Kamu berkawan membantu si pengurus restoran, aku tidak takut!" berteriak si pad
eri.
"Bagaimana kau bisa bilang aku membantui tuan rumah?" tanya San Bin tertawa. "Co
ba kau berikan alasanmu, agar orang ramai menimbang."
Dua anak muda tak tahan sabar, selagi San Bin berkata-kata, me-
reka hendak tarik si paderi, tetapi begitu lekas paderi itu kibasi kedua tangann
ya, mereka terjungkal roboh!
"Bagus betul!" berseru Seng Tay di achirnya. "Masih tidak apa kau menghina aku s
i orang tua tetapi sekarang kau pun menghinai Kim..."
Belum sempat orang tua ini bicara terus, San Bin sudah mengulapkan tangan kepada
nya. Dia rupanya mengarti yang San Bin tidak ingin perkenalkan diri, maka dia te
rus membentak: "Jikalau aku tidak ajar adat padamu, keledai gundul, aku bukannya
si orang she Kwee!"
Lantas dia lari kepada si paderi.
Paderi itu tertawa.
"Aku justeru i ngin belajar kenal sama hoentjwee-mu peranti menotok jalan darah!
" dia kata menantang.
Hanya, belum sampai dia dapat menyambut Seng Tay, satu bayangan sudah berlompat
ke depannya seraya bayangan itu berseru: "Apakah kau kira kau tepat untuk melaya
ni Kwee Lootjianpwee?" Dan seruan itu dibarengi serangan.
Si paderi menjadi heran.
"Ah, dia pun mengarti Loohan koen..."
pikirnya. Dia lantas menangkis dengan Tiat piepee tjioe tangan kiri dan dengan t
angan kanan, dengan Hoo-koen, dia membarengi menyerang.
Bayangan itu, yang ada satu anak muda, berkelit ke kiri, berbareng dengan mana,
dengan lima jari tertekuk, ia menyambuti serangan Hookoen. Ia menggunai Hookoen
juga.
Si paderi kembali
menjadi heran, hanya kali ini, ia alpa dan kurang gesit. Di luar dugaannya, habi
s me-nyambuti, anak muda itu membalas menyerang dengan sebat sekali. Dia menggun
ai Tiangkoen, Kepalan Panjang, yang dia susuli dengan sapuan kaki. Maka tanpa am
pun lagi, paderi itu terguling roboh.
Anak muda itu ialah Ie Sin Tjoe.
Paderi itu merayap bangun dengan muka merah, ia awasi Sin Tjoe dengan mata melot
ot, habis mana, ia ngeloyor pergi. Ia tidak tahu bahwa ia telah kalah cerdik dar
i Sin Tjoe. Ia pandai Loo Han Koen, Sin Tjoe pun menggunai ilmu silat itu, bedan
ya, Sin Tjoe menggunai pelajaran dari Hek Moko, yang disambung dengan
Tiangkoen.
Kwee Seng Tay majukan dirinya.
"Eh, apakah da- pat kau berlalu dengan begini saja?" si orang tua menegur.
Paderi itu berhenti bertindak.
"Engko kecil ini liehay, aku menyerah kalah terhadapnya!" dia menyahuti. "Tapi k
au? Aku belum belajar kenal denganmu! Kalau kau hendak melarang aku, kau mesti k
eluarkan kepandaianmu seperti engko kecil ini!"
Dengan "engko kecil" ia maksudkan Ie Sin Tjoe.
Seng Tay gusar sekali.
"Aku tidak punya kepandaian apa-apa, kalau kau hendak coba, kau cobalah!" ia bil
ang. "Jikalau kau bisa molos dari bawah hoentjwee-ku ini, selanjutnya aku tidak
akan merantau lagi di dunia kangouw1."
San Bin heran. Terang si paderi hendak mengacau tetapi dia jujur, dia bukan miri
pnya orang jahat. Ia lantas maju di tengah mereka itu.
"Di antara empat lautan, kita semua bersaudara," ia berkata. "Urusan apakah yang
demikian besar hingga untuk itu kita mesti mengadu jiwa?"
Beng Tiang Seng sudah lantas merayap bangun, untuk berdiri di samping gurunya, d
engan napas masih sengal-sengal, ia tuding si paderi dan mengatakannya: "Keledai
gundul ini, begitu dia datang dia lantas mengacau, semua orang dapat melihat it
u, maka itu, buat apa kau main tanya lagi?"
Matanya si paderi mencilak.
"Kita semua datang ke mari untuk minum
arak dan bersantap," dia bilang, sengit, "karena itu, kenapa di sini orang main
membeda-bedakan? Coba tanya pemilik restoran, aturan apakah ini?"
Tiang Seng tidak mau mengarti, ia buka pula mulutnya, dengan begitu ia jadi adu
mulut dengan si paderi, karena itu, perlahan-lahan San Bin mengarti duduknya hal
. Lantas saja dia tertawa.
"Kiranya karena urusan kecil sekali!" katanya. "Tuan rumah, lekas atur meja kurs
i, lantas kau sajikan barang hidangan, hari ini hendak aku mengundang tetamu. Kw
ee Lootiatjoe, toasoehoe, dan kau, engko kecil, dengan melihat mukaku, mari kita
minum satu cangkir!"
Suaranya San Bin berpengaruh, si paderi lantas tutup mulutnya,
hanya kepada sahabatnya, si kate dan kecil, ia mengedipkan mata, lalu dia berkat
a: "Kita ada orang-orang yang baharu saling mengenal, tidak pantas kami menggere
cok, maka itu biarlah kami pergi saja."
San Bin tertawa, ia kata: "i Toako, kau bicara bukan seperti orang kangouw1. Apa
kah kau tidak dengar bahwa bunga merah dengan daun hijau asalnya satu? Secangkir
arak tawar, apakah artinya? Aku harap, toako, janganlah kau malu-malu sebagai s
eorang perempuan."
Tjio Tjoei Hong memandang suaminya, matanya terbuka lebar.
"Apakah semua wanita malu-malu?" dia bertanya.
San Bin tertawa besar.
"Ya, aku salah omong, aku harus diden-
da tiga cangkir!" katanya.
Melihat orang demikian polos, si paderi jatuhkan diri ke atas kursi.
"Baiklah, aku pun mendenda diriku tiga cawan!" katanya.
Si kate dan kecil mendelik kepada kawannya itu, tetapi dia lantas ditarik San Bi
n, yang mengatakan:
"Mari, kau pun minum barang satu cawan!"
Justeru itu dari luar pintu terdengar suara orang tertawa seraya terus berkata:
"Bagus! Kami juga hendak minum bersama!" Habis itu terlihatlah orangnya, ialah d
ua orang perwira, yang tubuhnya besar dan kekar, yang di pinggangnya tergantungk
an pedang.
Ie Sin Tjoe cuma melihat sekelebatan, lantas ia kenali perwira yang jalan di dep
an ialah
Taylwee Tjongkoan Yang Tjong Hay, sedang semua orang lainnya,
melihat tjongkoan dari istana kaisar itu, pada berubah air mukanya.
Tjioe San Bin berlaku tenang, ia angkat kedua tangannya akan memberi hormat kepa
da dua orang baru itu seraya mengatakan: "Bagus! Sungguh kebetulan yang kedua ta
ydjin telah datang ke mari. Ini dia yang dibilang, bertemu sama orang agung, yan
g diundang pun tak dapat datang!"
Di mana pengurus restoran sudah siap sedia, Yang Tjong Hay berdua lantas ambil t
empat duduknya tanpa sungkan lagi, hanya setelah berduduk, hampir tak hentinya i
a menoleh akan mengawasi San Bin, siapa sebaliknya menguasai dirinya.
"Aku mohon tanya she dan nama yang mulia dari kedua taydjin ," ia mohon
.
"Aku she Yang,
namaku yang rendah Tjong Hay," menjawab Tay i wee Tjongkoan itu. "Dan in
i ada Tongnia dari Gielimkoen, namanya Law Tong Soen."
Mendengar ini, semua hadirin terkejut. Yang Tjong Hay itu ada salah satu dari em
pat kiamkek , ahli pedang, yang kenamaan di jaman itu, sedang Law Tong Soen ada
soeheng, kakak seperguruan, dari Tjian Sam San, bekas tjong-tjiehoei atau kepala
dari pasukan Kimiewie, sedang guru mereka, Tjio Hong Pok, guru silat kenamaan d
i Shoasay Utara, terkenal untuk ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet hoat. Malah Tong S
oen ini dapat mewariskan kepandaian gurunya melebihkan adik
seperguruannya. Kalau Yang Tjong Hay menjadi Taylwee Tjongkoan adalah aneh, maka
sungguh tak disangka-angka Tong Soen menjadi kepala Gielim-koen, barisan pelind
ung raja.
Duduknya hal adalah sebagai berikut: Setelah Tjian Sam San terbinasakan Thio Hon
g Hoe, Kaisar Kie Tin perintah orang pergi mengundang Tjio Hong Pok, gurunya kep
ala Kimiewie itu. Dijelaskan bahwa Tjiam Sam San terbinasakan Thio Tan Hong dan
Tjio Hong Pok diminta suka menuntut balas untuk muridnya itu. Tjio Hong Pok mena
mpik undangan dengan alasan usianya yang telah lanjut, tetapi ia percaya saja ke
terangannya Kie Tin itu, ia jadi membenci Thio Tan Hong, maka, sekalian untuk
mema-
merkan ilmu kepandaiannya, ia kirim murid kepalanya itu. Kie Tin lantas angkat L
aw Tong Soen menjadi kepala Gielimkoen.
Para hadirin tak tenteram hatinya kapan mereka lihat Yang Tjong Hay berdua menga
mbil meja di dekat pintu, sebagai juga mereka itu hendak memegat jalan.
Si kate kecil cerdik sekali, diam-diam ia tarik si paderi, untuk memilih meja de
kat pintu besar, hingga mereka jadi seperti menyaingi kedudukannya Yang Tjong Ha
y itu.
Kwee Seng Tay tidak puas sama suasana di situ, berulangkah ia kasi dengar tertaw
a yang bernada ejekan.
Yang Tjong Hay duduk dengan tidak berdiam saja, dengan matanya yang tajam ia men
yapu semua hadirin, apabila matanya ben-
terok sama matanya Ie Sin Tjoe, ia agaknya heran. Sin Tjoe sebaliknya tak gentar
hatinya, dia justeru mengawasi dengan
tajam.
Tiba-tiba saja Yang Tjong Hay tertawa, lalu ia berbicara seorang diri: "Sungguh,
inilah yang dibilang, mencari sampai sepatu besi pecah, yang dicari tidak kedap
atan, sebaliknya, yang dicari itu kedapatan tanpa susah payah! Semua hadirin ada
lah orang-orang kosen, maka itu hari ini kita mesti minum hingga puas!" Lalu tan
pa orang mengundangnya lagi, ia tenggak kering tiga cawannya secara
beruntun.
San Bin angkat kedua tangannya memberi hormat kepada kedua perwira itu.
"Kedua taydjin sedang menjalankan tugas,
aku tidak berani memintanya untuk minum banyak-banyak," ia berkata, "sekarang ta
ydjin sudah minum tiga cawan, maka para hadirin, persilahkan
emdash siapa hendak bersantap, siapa ingin minum, baiklah masing-masing memilihny
a sendiri!"
"Tugasku telah mendapat bantuan kau, saudara, itu tidak menjadi soal lagi," berk
ata Yang Tjong Hay. "Dengan tiga cawan ini, terimalah ucapan terima kasihku!"
Mau atau tidak, San Bin heran. Ia menahan cawan araknya.
"i Taydjin, apakah artinya kata-katamu ini?" ia menanya.
"Sri Baginda mengundang saudara datang ke kota raja!" menyahut Yang Tjong Ha
y tanpa pakai tedeng aling lagi.
San Bin menjadi tam-
bah heran untuk keberaniannya tjongkoan itu. Ia mau percaya orang telah ketahui
tentang dirinya, tetapi di situ toh banyak orang lainnya.
"Aku ada satu mahasiswa tolol," ia berkata, tetapi suaranya dingin, "untuk menca
pai tingkat sioetjay saja, beberapa kali aku turut ujian, selalu aku jatuh, maka
itu mana aku ada punya peruntungan bagus untuk menghadap Sri Baginda Raja? Yang
Taydjin, bukankah kau sedang berkelakar?"
Yang Tjong Hay tertawa terbahak-bahak.
"Aku harap di hadapan orang yang mengetahuinya jangan kita omong dari hal yang t
idak benar!" ia bilang, "i Siauwtjeetjoe, kau adalah seorang boenboe siangtjoan
dan Sri Baginda Raja sangat memangeni kepadamu!"
Kali ini Yang Tjong Hay memanggil orang sebagai siauwtjeetjoe, yaitu tjeetjoe mu
da. "i Tjeetjoe" ialah pemimpin dari suatu rombongan. Dan ia pun sengaja memuji
orang ada "i boenboe siangtjoan" emdash pandai ilmu surat dan silat dengan berbar
eng.
Tiba-tiba si paderi gemuk menyelak.
"Yang Taydjinl" katanya, "ini engko kecil juga bagus sekali ilmu silatnya, kau h
arus sekalian mengundang padanya!"
Paderi ini sembrono sekali, ia tidak kenal salatan, ia menyangka Yang Tjong Hay
mulia hatinya telah mengundang orang datang ke kota raja, untuk diberi pangkat,
maka itu ia pujikan Ie Sin Tjoe, ia sampai tidak mau memikir bahwa ia kenal baik
atau tidak dengan
orang she Yang itu.
Yang Tjong Hay tertawa pula.
"Liauw Yan Taysoe benar!" katanya,
gembira. "Semua orang gagah di sini, wanita dan priya, aku undang bersama!"
Biar bagaimana, dari sikapnya, Yang Tjong Hay seperti tidak memandang mata semua
hadirin di situ, maka juga Kwee Seng Tay, satu jago Rimba Hijau dari beberapa p
uluh tahun, menjadi tak dapat mengendalikan diri lagi.
"Bagus!" dia berseru seraya dia geser kursinya, "Yang Taydjin telah membuat unda
ngan, maka hendak aku si tua berangkat terlebih dulu!"
Yang Tjong Hay tengah memandang Tjioe San Bin, ia tidak ambil mumat jago tua itu
ketika ia berkata pula:
"Bagus! Saudara Tjoe, kau layanilah semua tetamu!"
Si orang kate dan kecil yang lincah sudah lantas menyahuti sambil ia berbangkit,
ia tolak tubuhnya si paderi sambil ia berkata: "Liauw Yan Taysoe, mari kita ber
sama-sama menyambut tetamu!" Seng Tay tidak perdu-likan segala apa, ia bertindak
ke pintu, sambil berbuat begitu, ia lonjorkan hoentjwee-nya ke arah si kate kec
il itu, yang berdiri menghalang, maka tidak ampun lagi, orang itu menjadi lemas
kakinya dan robohlah tubuhnya. Akan tetapi dia roboh untuk meneruskan
mencabut sebatang golok, lalu sambil bergulingan, ia babat kakinya si ora
ng she Kwee.
Nyata ia mengarti ilmu silat golok yang harus dimainkan di waktu ia
bergulingan. Itulah ilmu Koenteetong Tohoat dari partai persilatan Utara.
"Hm!" Kwee Seng Tay kasi dengar suaranya yang tawar. "Di depan pintu Khong Hoe T
joe orang menjual kitab Pek Kee She! 11 Ia lantas menyontek dengan
hoentjwee-nya, yang ia gunakan sebagai
tombak pendek.
Dengan menerbitkan suara, ujung hoentjwee membentur tulang lakop dengkul dari la
wannya yang lincah itu, yang kali ini gagal bergulingan untuk menghindarkan diri
.
Melihat kawannya roboh, si paderi berseru: "Ah! Yang Taydjin mengundang tetamu,
mengapa kau berlaku kasar?" ia lantas memburu kawan itu, untuk menolongi.
Kwee Seng Tay benci paderi ini, yang tadi
telah mempecundangi muridnya, dari itu begitu lekas si paderi datang cukup dekat
, ia menusuk pinggang
orang. Tusukannya ini bisa menjadi tusukan biasa juga totokan.
"Sungguh liehay!" berseru si paderi sambil dia memutar tubuhnya, menyusul mana k
edua tangannya bergerak, emdash tangan kiri dengan Liongkoen, tangan kanan dengan
Houwkoen, emdash akan menggempur
musuh.
Seng Tay sudah lanjut usianya, tidak mau ia melawan keras dengan keras, dari itu
, setelah totokannya gagal, ia berkelit.
"Hahaha!" tertawa si paderi. "Kau nyata cuma pandai meniup mengepul, kau tidak b
erani mengadu tangan denganku!" Lalu dia maju, akan menyerang
pula, untuk mendesak.
Seng Tay tetap tidak hendak melayani kekerasan, ia
menggunai kelincahan tubuhnya, dengan
begitu, selama tujuh atau delapan jurus, ia selalu menyingkir dari kepalan dahsy
at dari hweeshio itu. Satu kali saja si paderi berhasil dengan tinjunya, ia dapa
t menyebabkan patahnya tulang-tulang.
Tapi Seng Tay tidak melainkan berkelit saja, di mana ada kesempatan, ia juga mem
balas menyerang, dengan tikamannya, dengan totokannya. Dengan begitu, mereka jad
i berimbang.
"Kiranya kau liehay juga!" berkata lagi si paderi. "Nyata aku telah keliru melih
at, aku tadinya menyangka kau cuma pandai meniup mengepul!"
Sebagai seorang
sembrono, paderi ini jujur, ia memuji dengan sesungguhnya hati. Meski begitu, ia
menyebabkan murkanya Kwee Seng Tay, maka juga dia ini lantas mencoba membalas m
erangsak.
Pertempuran itu membuat Yang Tjong Hay menjadi habis sabar.
"Nyatalah kamu menampik undangan karena menghendaki dihukum denda!" dia berseru.
"Kalau begitu, aku tidak hendak berlaku sungkan-sungkan lagi!"
Baharu saja tjongkoan ini perdengarkan suaranya itu atau Tjioe San Bin, yang tel
ah menghunus goloknya, golok Kimtoo, seraya bulang balingkan goloknya ke atas, b
erseru dengan nyaring:
"Saudara-saudara, serbu pintu! Yang Taydjin, arak dendaanmu kami terima!"
Yang Tjong Hay telah kasih dengar suaranya tetapi matanya tetap ditujukan kepada
Tjioe San Bin, orang lain-lainnya ia tidak perdulikan, melihat aksinya San Bin
itu, ia hunus pedangnya, maka juga sejenak saja, golok dan pedang telah benterok
. Kesudahannya benterokan ini ada luar biasa. Golok berat, pedang enteng, tetapi
golok kena dibikin terpental.
Tjio Tjoei Hong sudah lantas menghunus goloknya, golok Lioeyap to, dengan itu ia
maju menyerang, tidak peduli ia terhalang dengan sebuah meja, sedang San Bin, s
uaminya, menyerang pula.
Yang Tjong Hay tertawa dingin.
"Kamu suami isteri yang manis maju bersama, bagus!" ia berkata. "Hal ini aku si
orang she Yang tidak berani memintanya!" Ia lantas dupak meja di depannya, untuk
merintangi goloknya si nyonya, di lain pihak, ia maju untuk menikam perutnya Sa
n Bin.
Kimtoo tjeetjoe sedang tanggung gerakan goloknya, tidak dapat ia menangkis, maka
itu kebetulan ada pot kuningan, yang dipakai tempat kuwa panas, ia samber pot i
tu, untuk disambitkan kepada tjongkoan itu.
Tjong Hay lihat serangan itu, ia menangkis, begitu keras, hingga pot terbelah du
a, hingga kuwanya muncrat kepada koen -nya Tjoei Hong, yang justeru maju untuk m
embantu suaminya. Tanpa mempedulikan itu, si nyonya lompat naik ke atas meja, un
tuk membacok terus.
Tjong Hay menang-
kis, hingga kedua senjata benterok keras, nyaring suaranya, habis mana, ia pun t
angkis goloknya San Bin, yang menyusuli isterinya itu, dengan begitu dua-dua bac
okan dapat
disingkirkan.
Di pihak lain, para hadirin, yang berada di pihaknya San Bin, sudah maju ke amba
ng pintu, hanya pintu sudah dikunci Law Tong Soen, yang berdiri menghalang di ha
dapan itu. "
Dua anak muda maju paling depan, untuk menyerbu.
Law Tong Soen melihat aksi orang, ia tertawa dingin.
"Semua rebah!" serunya tiba-tiba, tangannya membarengi bergerak sebat sekali.
Orang belum sempat melihat tegas atau senjatanya kedua anak muda itu emda
sh
masing-masing sebatang gembolan emdash telah kena dibikin terlepas dari cekalanny
a, sedang kedua anak muda itu sendiri, sambil menjerit, benar-benar roboh ke lan
tai.
Kemudian ternyata, dua pemuda itu sudah terhajar ilmu silat Hoenkin Tjokoet hoat
dari tongnia Gielimkoen itu, hingga tangan mereka itu kena dipatahkan.
Berbareng dengan kagetnya, beberapa orang maju untuk menolongi dua pemuda itu, a
kan tetapi mereka disambut Tong Soen, yang terus kerjakan pula kepandaiannya, hi
ngga sebentar saja roboh lagi beberapa kurban. Tong Soen liehay kedua tangannya,
asal ia dapat menyamber tangan orang, ia berhasil. Ilmu
silatnya itu memang menghendaki pertempuran rapat, agar ia bisa samber sana samb
er sini tanpa orang dapat berkelit dengan
merdeka. Karena ini, orang tidak berani merangsak pula, maka tongnia itu dapat b
ertahan di depan pintu. Ketika itu, kursi meja telah terjungkir balik dan kusut
letaknya. Begitupun pertempuran, yang terpecah dalam tiga rombongan. Yang pertam
a yaitu si hweeshio gemuk
dengan Kwee Seng Tay bertarung seruh sekali. Yang kedua ialah Law Tong Soen yang
mempertahan pintu. Dan yang ketiga, San Bin serta isterinya yang mengepung Yang
Tjong Hay.
Si orang kate kecil yang lincah sudah merayap bangun, untuk balut sendiri dengku
lnya,
terus dia berdiri di dampingnya Law Tong Soen, untuk menyerang musuh-musuhnya de
ngan panah pelurunya. Beberapa orang, yang berniat membantu San Bin suami isteri
terpaksa mundur karena serangan panah peluru itu.
Di antara tiga rombongan itu, San Bin dan isterinya yang terancam bahaya walaupu
n
berdua mereka mengepung seorang lawan. Yang Tjong Hay liehay sekali, dengan peda
ngnya saban-saban ia menggertak sambil
menyerang dengan
sungguh-sungguh, ia bikin San Bin berdua repot sekali, hingga terpaksa mereka in
i bertempur rapat, untuk membela diri saja.
Tidak lama terdengarlah satu suara nyaring, lalu San Bin menjadi terkejut. Karen
a lambat sedikit, golok
emasnya kena disamber pedang lawannya dan bercacad ujungnya. Tjong Hay tidak men
ggunai pedang mustika tetapi berkat liehaynya ilmu dalamnya, tabasa-nnya kaget s
ekali dan tepat. Tjoei Hong turut kaget karenanya.
Yang Tjong Hay menang angin, ia tidak sudi mengasi hati. Ia menyerang terns
dengan desakannya, di kiri ia arah jalan darah yangpek hiat dari San Bin, di kan
an ia menikam jalan darah lengkioe hiat dari Tjoei Hong. Maka lagi-lagi suami is
teri itu kena dibikin kelabakan.
Dalam saat kacau itu, tiba-tiba terdengar suara tingtong beberapa kali. Ie Sin T
joe lompat maju dengan tangannya terayun, atas mana tiga batang kimhoa, bunga em
asnya, terbang menyam-
ber, menyebabkan pelurunya si orang kate kecil dan lincah itu tidak berdaya. Set
elah itu dengan berkelebat berkilauan, pedang Tjengbeng kiam si nona menyamber k
epada Yang Tjong Hay, kepada siapa nona itu berlompat terlebih jauh.
Ie Sin Tjoe tidak jeri walaupun Tjong Hay liehay sekali.
Tjong Hay geraki pedangnya, untuk menyambut pedang Sin Tjoe itu, dengan niat dit
empel. Ketika ini digunai oleh San Bin dan Tjoei Hong untuk berbareng membacok l
awannya yang tangguh itu.
Sin Tjoe pun geraki terus pedangnya, yang tidak kena ditempel lawan, dengan mene
rbitkan suara nyaring, ia menyebabkan ujung baju Tjong Hay terbabat putus.
Ia telah
menggunai ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan adanya serangan berbareng dari S
an Bin berdua, serangannya itu jadi memberi hasil.
Tjong Hay kaget sekali. Ia ada salah satu dari empat jago silat. Thio Tan Hong p
un ada salah satu dari ke empat jago itu. Sekarang bajunya kena dirobek muridnya
Tan Hong itu, bagaimana ia tak menjadi malu sendirinya? Tapi ia berpengalaman,
walaupun ia malu dan kaget, dapat ia menguasai dirinya. Sekarang ia tidak mendes
ak lagi. Nampaknya Sin Tjoe bertiga menang di atas angin, tapi buktinya pahlawan
kaisar itu dapat mempertahankan diri, di sebelah pembelaan, ia masih bisa memba
las menyerang. Ie Sin Tjoe bertem-
pur di tengah, di antara San Bin dan Tjoei Hong. Ia selalu dapat memecahkan sera
ngannya Yang Tjong Hay. Tjio Tjoei Hong dapat lihat ilmu silat orang, ia menjadi
heran.
"Eh, kau pernah apa dengan Thio Tan Hong?" tanya Nyonya San Bin ini.
"Dialah guruku," sahut Sin Tjoe terus terang.
"Apakah soebo-mu baik?" Tjoei Hong tanya pula, tentang isterinya Tan Hong, yang
menjadi ibu guru dari Sin Tjoe. Ia memang bergaul rapat sekali dengan In Loei da
n erat perhubungannya. Dengan melihat ilmu silat Sin Tjoe, ia menduga kepada Tan
Hong dan ingat Tan Hong, wajar saja ia lantas ingat In Loei. Hanya, saking gemb
ira, ia alpa, hampir saja ia tertikam Tjong
Hay, yang menyerang selagi ia tanya Sin Tjoe.
"Soebo baik!" Sin Tjoe jawab. "Soehoe dan soebo pun kangen padamu! Ah, baik kita
singkirkan dulu binatang ini baharu kita pasang omong!"
Kata-katanya nona ini disusuli dorongannya.
Yang Tjong Hay terus menenangkan diri, maka itu, ia tetap dapat bertahan meskipu
n mereka sudah bertempur lagi dua puluh jurus lebih. Malah satu kali ia tertawa
dan kata: "Apa? Kamu berniat membinasakan aku? Hahaha! Kamu bermimpi! Kamu tahu,
sekarang ini aku telah siapkan lima ratus serdadu panah, yang pun sudah menguru
ng kamu! Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu, lekas letaki senjatamu, lalu satu pe
r satu dari kamu turut aku pergi ke
kota raja!"
Sin Tjoe memasang kuping, ia benar dengar suara tindakan dan banyak kaki kuda di
luar rumah makan itu.
Sementara itu si paderi terkejut ketika ia dengar
disebut-sebutnya nama Tan Hong. Dia memang lagi bertempur seru dengan Kwee Seng
Tay, perhatiannya menjadi terganggu, maka tidak heran dengkulnya lantas kena keb
entur ujung hoentjwee-nya Seng Tay. Ia kesakitan dan kaget, hingga ia berjingkra
k. Syukur ia tidak kena tertotok jalan darahnya.
"Eh, bagaimana sih caranya kau mengundang tetamu?" ia tanya Yang Tjong Hay.
"Liauw Yan Taysoe, kau jangan banyak usil!" kata Tjong Hay sambil tertawa. "Untu
kmu
sudah cukup asal kau
dapat melibat si tua bangka itu dan jaga baik-baik pintu! Itulah jasamu!"
Si paderi gemuk ini agaknya heran dan bingung, kupingnya pun dengar suara datang
nya pasukan tentera, tindakan kaki kuda terdengar semakin
dekat.
"Saudara kecil, serbu pintu!" San Bin berseru. Ia menginsafi bahaya yang menganc
am mereka. Apa jadinya kalau lima ratus serdadu menghujani anak panah kepada mer
eka?
Ie Sin Tjoe pun insaf ancaman bahaya itu, ia lantas maju ke pintu, tapi ketika i
ni dipakai Tjong Hay untuk mendesak pula San Bin dan Tjoei Hong, karena mana ter
paksa ia kembali, akan bantui suami isteri itu.
"Aku akan memegat di belakang!" Sin Tjoe
berteriak, sesudah beberapa kali ia menyerang hebat, untuk desak mundur orang sh
e Yang itu.
San Bin dan isterinya lantas menggantikan Sin Tjoe maju ke pintu.
Tjong Hay hendak mencegah suami isteri itu, akan tetapi Sin Tjoe rintangi ia, wa
laupun ia kosen, tidak dapat ia pukul mundur si nona hanya dalam tiga atau empat
puluh jurus. Maka itu, suami isteri itu lantas mendekati pintu besar.
"Liauw Yan Taysoe, mereka hendak mengepung, jangan takut, aku nanti bantu kau!"
kata orang yang menjaga pintu. "Aku nanti hajar mereka dengan panah peluru!" ial
ah si kate kecil dan lincah.
Si paderi gemuk agaknya menjadi habis sabar, dengan geraki kedua tangannya,
ia
serang hebat pada Seng Tay, setelah itu, hendak ia serang suami isteri itu. Atas
itu San Bin berdua sudah lantas bersiap.
Seng Tay juga tidak berdiam saja, dengan gunai hoentjwee-nya sebagai tombak, ia
tikam perutnya si paderi, pada jalan darah djiekhie hiat. Ia menggunai jurusnya
"Sinliong djiphay" atau "Naga sakti terjun ke laut."
Si paderi menjadi repot, ke satu ia memang berimbang
kepandaiannya dengan Seng Tay, kedua sekarang San Bin berdua mengancam kepadanya
. Selagi ia terancam bahaya, tiba-tiba ada orang yang berlompat ke arahnya, oran
g mana menyampok hoentjwee hingga terpental dan menarik si paderi hingga dia ini
terbetot ke pintu.
Orang yang liehay
ini ialah Yang Tjong Hay, yang telah gunai kelincahannya akan meninggalkan Sin T
joe, buat tolongi si paderi, untuk sekalian menjaga agar pintu tak kena diserbu
pihak lawannya yang ia hendak bekuk. Ia pun lantas mendahulukan lompat ke pintu
itu.
Maka sekarang pintu dijaga oleh empat orang, ialah Yang Tjong Hay, Law Tong Soen
, si paderi gemuk serta itu orang yang memegang panah peluru. Tjong Hay berlaku
bengis dengan pedangnya, juga Tong Soen dengan ilmunya membikin tulang patah ata
u urat keseleo. Si paderi juga memperlihatkan tenaganya yang besar serta ilmu si
latnya Lo Han Koen yang liehay, sedang kawannya dapat dengan leluasa menggunai
lagi panah
pelurunya.
Di pihak San Bin, ia cuma berada berempat bersama isterinya, Sin Tjoe dan Kwee S
eng Tay, yang lainnya bukan lagi tandingan rombongannya Tjong Hay itu, karena ma
na, mereka tak dapat berbuat banyak untuk menyerbu pintu.
Di lain pihak lagi, pasukan tentera sudah tiba di muka pintu luar.
Yang Tjong Hay lantas tertawa besar.
"Kimtoo Tjeetjoe, terimalah nasibmu!" ia kata kepada San Bin, mengejek. "Ini sec
awan arak dendaan, tidak dapat kau tidak minum! Liauw Yan Taysoe, kau ubah kepal
anmu dengan Houwkoen, lebih dulu kau hajar terlepas golok emasnya!"
Ketika itu San Bin sedang menangkis dengan goloknya, untuk membalas menyerang
,
Tjong Hay dapat melihat itu, pahlawan ini lantas beri petunjuknya kepada si pade
ri. Ia ingin menawan hidup-hidup kepada tjeetjoe itu.
Menyusul suaranya Yang Tjong Hay itu, satu suara keras sekali segera terdengar.
Untuk herannya semua orang, mereka lihat daun pintu menjeblak. Sebab si paderi b
ukannya menghajar San Bin atau goloknya ia ini, dia justeru menyerang daun pintu
dengan kepalannya yang dahsyat. Untuk itu, dari menghadapi San Bin, dia memutar
tubuh dengan tiba-tiba, serangannya pun secara mendadak.
"Liauw Yan Taysoe, kau bikin apa?" tanya Tjong Hay heran. "Lekas pe
gat musuh!"
"Liauw Yan Taysoe, apakah bilangmu tempo
kau turut aku datang ke mari?" menanya kawannya. "Bukankah kau berniat me
naruh kakimu di kota raja?"
Si paderi menyahuti dengan suaranya yang nyaring: "Aku tidak mengarti jelas apa
yang kamu tengah lakukan ini! Siapakah musuh? Aku tidak sudi anggap Kimtoo Tjeet
joe sebagai musuhku!"
Kedua matanya Yang Tjong Hay mendelik, tanpa bilang suatu apa, ia tjende-rungkan
tubuhnya
seraya terus mengge-raki pedangnya
menikam pusarnya si paderi terokmok itu. Inilah gerakannya,
"Dengan busur beng-kung memanah harimau."
Ie Sin Tjoe dapat lihat gerakan orang itu, ia menghajar pedang orang dengan peda
ngnya, hingga gagallah tikaman seperti boko-
ngan itu.
Berbareng dengan itu dengan belakang goloknya, San Bin hajar roboh orang yang me
nghalang di pintu, sedang Seng Tay menyambuti tubuh
orang, untuk dilemparkan. Maka semua orang lantas memburu keluar dari pintu.
Orang kate kecil yang lincah itu benar-benar lincah, ia dilemparkan tetapi begit
u ia menginjak tanah, ia mencelat pula dengan gerakannya "Ikan gabus meletik." I
a dilemparkan ke arah pasukan tentara, yang hendak menyambut ia dengan tikaman,
maka ia tangkap dua batang tombak sambil ia membentak: "Apakah kamu buta? Inilah
aku!"
Atas itu, pemimpin tentera yang mengepalai pasukan panah itu lantas berseru:
"Inilah
Tie Taydjin1. Jangan lepas panah!"
Titah itu tidak ada perlunya, sebab
serdadu-serdadu yang berada di muka sudah mengenali orang yang dipanggil Tie Tay
djin itu taydjin atau pembesar she Tie kalau tidak, panah dan tombak mereka pasti
tidak dapat dicegah lagi.
Menyusul terlemparnya tubuh si Tie Taydjin , paling dulu muncul si paderi gemuk.
Ada beberapa serdadu yang kenali paderi ini sebagai sahabatnya Tie Taydjin, mer
eka berseru-seru: "Inilah Liauw Yan Taysoe ! Orang sendiri!"
Si paderi tidak ambil mumat apa orang bilang, hanya sambil maju dengan murka sek
ali, hingga ia berteriak keras, ia hajar terjungkal seorang
perwira yang berada di dekatnya, habis mana
ia rampas kuda orang, untuk lompat ke atas punggungnya, guna terus dikasi kabur!
Perwira pasukan panah menjadi heran, hingga ia berdiam saja. Adalah si Tie Taydj
in, yang lantas memberikan perintahnya: "Paderi itu berkongkol sama
musuh, panah dia!"
Sementara itu Kwee Seng Tay serta rombongannya sudah menerjang keluar, tentera n
egeri mencoba
merintangi, di lain pihak, sejumlah serdadu panah telah menjalankan
tugasnya memanah si paderi, ialah Liauw Yan Taysoe. Paderi ini liehay, ia buka j
ubah sucinya, dengan itu ia sampok jatuh setiap anak panah.
Pihak Seng Tay tidak kenal Liauw Yan Taysoe itu, yang sebenarnya ada satu
murid dari Siauwlim Sie cabang
Pouwthian. Ia polos dan jujur, ia sangat disayangi gurunya yaitu Kak Hoei Sianso
e. Hanya ketika Kak Hoei berpulang ke Tanah Barat, karena bersalah dahar daging
anjing, oleh kakak seperguruannya, ia ditegur. Ia menjadi tidak puas, ia merasa
berat hidup di dalam kuil, diam-diam ia buron. Ia berniat untuk berhenti menjadi
paderi. Kalau ia berdiam di Selatan, ia kuatir nanti bertemu sama salah satu sa
udara seperguruannya, dari itu, ia kabur jauh sekali. Kemudian ia ingin menyaksi
kan keindahannya kota raja. Di kota raja ia ada punya kenalan, yaitu si Tie Tayd
jin, yang bernama Hian, yang menjadi siewie atau pengiring kelas tiga pembawa go
lok.
Tatkala itu Yang
Tjong Hay bersama Law Tong Soen tengah bertugas, mereka dapat selentingan Kimtoo
Tjeetjoe San Bin sudah memasuki wilayah
Tionggoan, mereka
lantas pergi menyelidiki, untuk dapat menawan. Dalam perjalanan ini, kebetulan s
ekali di propinsi Shoatang, Tie Hian bertemu sama Liauw Yan Taysoe dan Liauw Yan
tuturkan niatnya pergi ke kota raja. Liauw Yan buka rahasia juga bahwa dia buro
n dari kuilnya.
"Aku nanti bantu kau," berkata Tie Hian, yang menjanjikan sesuatu pekerjaan umpa
ma menjadi piauw-soe, kemudian dia ajak si paderi berjalan bersama, sampai di ru
mah makan itu. Di sini Tie Hian yang anjurkan Liauw Yan membawa aksinya itu tanp
a si paderi ketahui ia telah
dijadikan perkakas guna memancing keluar pada San Bin dan isteri.
Walaupun ia sembrono dan polos, Liauw Yan masih dapat membedakan hal yang benar
dan tidak-tidak. Pula ia sangat menghargai dua orang, ialah ke satu Thio Tan Hon
g, dan kedua Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian, yang di Ganboenkwan telah menghalangi
pasukan perang bangsa Watzu. Maka itu timbullah kecurigaannya setelah dengar Ie
Sin Tjoe ada muridnya Tan Hong. setelah mana ia dengar lagi halnya San Bin puter
a dari Tjioe Kian. Sebaliknya, Yang Tjong Hay berniat menawan San Bin itu serta
Sin Tjoe. Tentu saja ia menjadi murka yang ia telah diperdayakan, maka itu ia te
rjang pintu, ia hajar si perwira, lantas ia kabur.
San Bin dan isterinya serta Sin Tjoe turut Seng Tay beramai nyerbu keluar. Seng
Tay semua berhasil tapi mereka bertiga kena dirintangi Yang Tjong Hay dan Law To
ng Soen. Sebabnya ini adalah karena merekalah yang di arah Tjong Hay. Mereka lan
tas merasakan
kesulitan mereka. Bertiga mereka sukar melawan Tjong Hay seorang, sekarang tjong
koan dari Tay I wee itu dibantu tongnia dari Gielimkoen serta di belakang dua or
ang itu masih ada lima ratus serdadu, benar-benar mereka terancam bahaya.
Dalam bingung dan kuatirnya, Sin Tjoe ingat kudanya, maka ia lantas kasi dengar
siulannya yang nyaring. Lantas saja kuda Tjiauwya Saytjoe ma
datang atas panggilan itu. Untuk ini dia menyerbu barisan serdadu, yang dia tida
k perduli-kan berapa besarnya.
Yang Tjong Hay segera dapat lihat itu kuda putih, ia mengarti pentingnya kuda it
u, lantas ia berteriak: "Jangan lukai kuda itu! Tangkap hidup-hidup!"
Beberapa serdadu lantas maju, untuk menangkap, tapi lacur mereka, kuda itu mener
jang dan menjen-til, hingga mereka roboh dengan kesakitan.
Sambil meringkik-ringkik, kuda itu menerjang terus ke arah Sin Tjoe.
Law Tong Soen panas hatinya, ia tinggalkan Sin Tjoe, ia memburu kepada kuda itu.
Sebaliknya binatang itu dapat berlari-lari dengan merdeka,
karena tidak ada satu serdadu yang berani melukainya.
Selama itu, rombongannya Kwee Seng Tay sudah lolos dari kepungan. Beng Tiang Sen
g mengetahui San Bin bertiga belum dapat menerjang keluar, ia kata pada gurunya:
11 Soehoe, silahkan soehoe lindungi semua orang, untuk pergi dari sini, aku hen
dak kembali akan menyambut mereka itu bertiga!" Tanpa menanti jawaban lagi, ia l
ari balik, untuk terus menggulingkan tubuhnya di tanah, untuk segera menyerang
tentera, guna membabat kakinya siapa yang berada dekat.
Semua serdadu itu heran dengan ini cara berkelahi, mereka tidak berani merintang
i.
Tong Soen sudah lantas datang dekat kuda putih, ia memikir akan gunai ilmu silat
nya Hoenkin Tjokoet hoat, untuk melukai kuda itu,
supaya gampang ia tangkap, akan tetapi belum lagi ia mewujudkan pikirannya itu,
tiba-tiba ia tampak satu tubuh bergulingan ke arahnya. Ia menjadi kaget dan lant
as saja repot sendirinya, sebab ia segera diserang orang itu. Terhadap orang yan
g bergulingan, ia tidak berdaya, benar ia dapat berlompatan, untuk berkelit, tid
ak urung satu kali tulang kakinya kena terhajar hingga ia kesakitan dan berkaok-
kaok.
Kuda putih, yang tidak ada yang menghalangi, kembali men-jentil roboh dua serdad
u, dengan maju terus, dia mencoba menghampirkan majikannya.
Tong Soen sementara itu panas hatinya. Biar bagaimana, ia jauh terlebih liehay d
aripada Tiang Seng, maka untuk
melayani terlebih jauh, ia bergerak dengan ilmu silatnya tindakan patk-wa, delap
an penjuru. Sekarang Tiang Seng tidak dapat lagi menyerang kaki lawannya, malah
sebaliknya, setelah beberapa kali berlompat, Tong Soen dapat menendang
lawannya sampai terpental dan jatuh tidak berkutik lagi. Maka di lain saat ia su
dah kena diringkus serdadu.
Dengan begitu, Tong Soen dapat lari pula ke arah kuda putih.
Yang Tjong Hay sedang layani Sin Tjoe bertiga ketika ia dapat lihat sepak terjan
gnya Tong Soen, ia jadi berkuatir kuda itu nanti dapat ditangkap kawannya itu. M
aka ia kata dalam hatinya: "Baiklah aku tangkap dulu kuda itu! Masih ada tempo a
kan membekuk San Bin..."
Dalam kekacauan itu, tiba-tiba terdengar bunyi "ting-tong" beberapa kali. Ie Sin
Tjoe mengayun tangannya sambil melompat maju dan tiga buah bunga emasnya, menye
babkan peluru si kate runtuh semua.
Ie Sin Tjoe dapat menduga hati orang ketika ia dapatkan tjongkoan ini saban-saba
n menoleh ke arah Tong Soen dan kuda putihnya, maka justeru orang berayal, ia en
jot tubuhnya untuk lompat melesat, guna menjauhkan diri, habis mana ia menoleh s
ambil layangkan sebelah
tangannya, hingga tiga bunga emasnya me-nyamber tjongkoan itu.
Yang Tjong Hay liehay, ia menangkis dengan pedangnya, setelah mana ia lompat, un
tuk susul nona itu. Biarnya begitu, ia toh terlambat juga disebabkan tangkisanny
a itu, dan sang kuda putih sudah tiba di depan majikannya.
Tanpa ayal, malah dengan lincah sekali, Sin Tjoe lompat naik ke punggung kuda. D
i waktu ia baharu duduk,
satu serdadu menikam ia dengan sebatang tombak panjang. Ia berlaku sebat, dengan
tangan kiri ia samber tombak itu, dengan tangan kanan ia membabat. Maka
kutunglah lengan si serdadu, hingga tombaknya kena terampas.
Justeru itu, San Bin dan isterinya pun tiba ke situ. Tanpa Tjong Hay merintangi
tapi mereka bisa membuka jalan di antara banyak serdadu.
"Ke mari!" Sin Tjoe teriaki suami isteri itu, sedang kudanya ia putar, guna mema
paki mereka itu.
Tong Soen sekarang sudah datang dekat, dia maju untuk pegat si nona.
"Saudara Law, tangkap dulu pemberontak!" Tjong Hay teriaki kawan itu. Dengan pem
berontak ia maksudkan San
Bin suami isteri.
San Bin sendiri sudah maju jauh, bagaikan harimau lolos dari dalam kerangkeng, i
a menyerang hebat ke kanan dan kiri, setelah merobohkan belasan serdadu, ia data
ng semakin dekat pada Sin Tjoe. Karena ini, ia pun jadi datang dekat sama Tong S
oen.
Orang she Law ini mengarah kuda, tetapi ada titah dari Tjong Hay, ia tidak dapat
tentangi itu. Benar kedudukan mereka berimbang tapi Tjong Hay minta ia menawan
"pemberontak," alasan itu kuat.
Dengan berlompat, Tong Soen dekati San Bin dan Tjoei Hong, dengan geraki kedua t
angannya, ia menyerang berbareng kepada suami isteri itu. Dengan tangan kiri ia
hajar San Bin, dengan tangan
kanan ia ingin robohkan si nyonya.
Atas serangan itu, San Bin berdua kena dipaksa mundur. Tapi San Bin tidak melain
kan mundur, setelah per-nahkan diri, ia membalas membabat. Ia ingin menabas kedu
a-dua tangannya lawan itu, ia membacok dari kiri terus ke kanan, dalam gerakanny
a "Soentjioe twietjioe" atau "Mengikuti tangan menolak perahu."
Tong Soen benar-benar liehay. Serangannya tadi sebenarnya di arahkan kepada San
Bin seorang, lalu ia meneruskan kepada Tjoei Hong. Serangan kepada si nona ini a
da gertakan belaka. Begitu ia dibabat, ia berkelit seraya mendak, tetapi begitu
ia angkat pula tubuhnya, ia ulangi serangannya kepada Tjoei Hong. San Bin ter-
kejut, hendak ia membantu isterinya, dengan cepat ia membacok pula. Kali ini Ton
g Soen sudah bersedia. Begitu golok lewat, tangan kirinya menyerang San Bin, cep
atnya luar biasa, hingga Kimtoo Tjeetjoe tidak sempat mengegos tubuh, maka dadan
ya kena tertekan, bajunya sampai robek, di dadanya itu lantas berpetah tapak lim
a jari, tubuhnya pun terhuyung.
Tjoei Hong tidak sempat menolongi
suaminya itu.
Berbareng itu waktu, dari arah rumah makan datang satu rombongan orang yang di k
epalai oleh perwira yang tadi. Rombongan itu terdiri dari orang-orang restoran b
erikut pengurusnya yang usianya sudah lanjut. Perwira ini tidak bercuriga terhad
ap si pengurus, dari itu, ia
cuma membelenggu tangannya beberapa jongos. Ia tawan mereka itu untuk dibawa ke
tangsi, guna diperiksa. Si orang tua bukan cuma tidak diborgol, diikat dengan ta
mbang pun tidak, dan ia jalan dekat si perwira.
Rombongan ini datang dekat Tong Soen sejarak beberapa
tindak, justeru tongnia dari Gielimkoen itu hendak mengulangi serangannya kepada
San Bin, selagi tjeetjoe ini terhuyung. Mendadak saja si orang tua berseru, tub
uhnya diputar, kedua tangannya bergerak sebat sekali. Si perwira menjadi kaget,
sebab tahu-tahu kedua tangannya kena dicekal keras, lalu badannya terangkat, bad
an itu terlempar, tepat ke arah Tong Soen!
Karena San Bin ter-
ancam bahaya, orang tua itu tidak dapat berpura-pura lebih
lama, terpaksa ia turun tangan, guna menolongi tjeetjoe itu.
Tong Soen kaget tetapi ia masih keburu membela diri. Ia batal menyerang terus
kepada San Bin, seraya memutar tubuh, ia tanggapi tubuh si perwira, untuk ditola
k kembali, hingga tubuh orang disamakan
dengan bola.
"Siauwtjoedjin, lekas lari!" berteriak si pengurus restoran kepada San Bin
, yang ia panggil siauwtjoedjin atau
majikan muda. Sembari berteriak, ia hampirkan Tong Soen, untuk dirintangi.
San Bin tahu si orang tua bukan tandingan dari Tong Soen, ia hendak memberikan b
antuannya, maka ia geraki golokaya. Tidak
beruntung, tangannya tidak sudi dengar kata. Begitu ia kerahkan tenaganya, guna
mengayun golok, ia rasakan dadanya sakit, goloknya turun sendirinya.
Justeru itu Sin Tjoe bersama kudanya telah datang dekat.
"Lekas lompat naik!" ia teriaki tjeetjoe itu.
Tjoei Hong menginsafi pentingnya ketika, tanpa tunggu suaminya menyahuti, ia sam
ber tubuh suami itu, terus ia angkat, untuk dibawa lompat, ke punggung kuda.
Sin Tjoe dengan sebat menggeser tubuh ke belakang, untuk memberi tempat kepada s
uami isteri itu, sambil berbuat begitu, ia mainkan tombak di tangan kiri dan ped
ang di tangan kanan, guna menghalau setiap
musuh, untuk nerobos
keluar kepungan.
Yang Tjong Hay telah saksikan itu semua, dia berlompat memburu. Dia ada sangat l
incah, gerakannya sangat
pesat. Kepandaiannya ilmu enteng tubuh memang istimewa.
Sin Tjoe dapat lihat orang datang, ia memapaki dengan satu tikaman tombak.
"Crok!" demikian satu suara benterokan, dan ujung tombak itu terbabat kutung!
Tanpa menghiraukan tombaknya buntung, Sin Tjoe mengeprak kudanya, supaya binatan
g itu berlompat maju, guna pergi menyingkir lebih jauh.
"Awas!" teriak Tjong Hay, yang sudah lantas menimpuk dengan ujung tombak lawanny
a itu.
Sin Tjoe menangkis, tetapi tombak itu terpental ke samping, tepat nancap di pund
ak-
nya Tjoei Hong, hingga darahnya si nyonya lantas saja bercucuran keluar.
"Panah!" Tjong Hay berteriak pula, mengasi titahnya.
Ie Sin Tjoe putar tombak buntungnya, untuk mengeprak jatuh setiap anak panah. Da
n kudanya, di lain pihak, sambil meringkik keras, sudah berlompat, untuk kabur.
Dia dapat lari keras walaupun punggungnya memuat tiga orang. Sama sekali binatan
g ini tidak menjadi kaget dengan datangnya anak-anak panah.
Tiba-tiba saja San Bin ingat suatu apa dan terus berseru: "Mari kita tolon
gi si pengurus rumah makan!"
"Lambat sedikit saja, kita semua tidak bakal lolos!" Sin Tjoe bilang.
"Toako, kau perlu lolos terlebih dulu," Tjoei
Hong pun bilang.
"Dia telah tolongi kita, apa boleh kita tidak menolongi dia?" tanya San Bin kera
s.
Justeru itu terdengar teriakan aneh dari Law Tong Soen, kapan San Bin menoleh ke
belakang, ia tampak si tongnia Gielimkoen
tengah mengangkat tubuhnya pengurus rumah makan itu, kedua tangan siapa telah te
r-telikung, setelah mana orang dilemparkan
kepada satu perwira berpangkat geetjiang. Habis itu, Tong Soen lari
memburu.
Saking gusar dan mendongkol, San Bin berseru keras, hingga ia memuntahkan darah,
habis mana ia pingsan, tubuhnya terjatuh ke belakang, syukur Tjoei Hong lantas
menyamber untuk dipeluki. Dengan tangannya yang sebelah lagi, nyonya ini main-
kan goloknya, untuk melindungi diri. Di waktu begitu, ia melupakan luka di punda
knya.
Kuda putih lari terus, akan membuka jalan di antara serdadu-serdadu tukang panah
itu. Di mana kuda sampai, orang lari menyingkir. Maka sebentar kemudian, kuda j
empolan ini sudah meninggalkan jauh tentera negeri itu, malah Yang Tjong Hay pun
tidak sanggup mengejarnya, hanya ia penasaran dan menyayangi yang kuda itu dapa
t lolos. Achirnya ia menjadi seperti nekat, ia siapkan panahnya, dengan mengerta
k gigi, ia menarik tali panah. Di saat itu, ia bersangsi pula, maka sejenak kemu
dian, kuda putih itu dan penunggangnya semua telah pergi jauh...
Untuk beberapa lie, kuda itu kabur terus, sampai di jurusan timur-
nya terdengar suara tambur dan terompet tentera. Ie Sin Tjoe tidak ingin bertemu
pula sama tentera negeri, ia tarik les kuda, untuk lari ke arah barat, hingga d
i lain saat mereka berada di mana tak ada seorang lain jua. Di sini kuda lari di
jalanan gunung yang sempit dan berliku-liku.
Sampai di situ, lega hatinya Tjoei Hong, tetapi justeru itu, ia seperti kehabisa
n
semangat, hingga ia rasai tubuhnya lemah, tubuh itu bergoyang-goyang seperti hen
dak jatuh dari atas kuda.
Sin Tjoe lihat orang lelah, ia lantas memeluk. Ia sekarang melihat tegas darah d
i pundak nyonya itu, yang masih mengalir. Tidak ayal lagi, ia buka baju si nyony
a, untuk di atas kuda juga mengobati lukanya itu.
Sampai di situ, San Bin pun sadar dengan pelahan-lahan. Ia
terkejut akan menyaksikan Sin Tjoe tengah mengolah tubuh
isterinya. Ia lantas ulur sebelah tangannya, guna merangkul isterinya itu, denga
n hawa amarah naik, ia membentak: "Eh, kau bikin apa?"
Sin Tjoe terkejut akan mendapati orang bergusar. Dalam sesaat itu, ia lupa bahwa
ia dandan sebagai satu anak muda.
Tjoei Hong tertawa tiba-tiba. Ia kata: 11 Toako, kau bikin berisik apa? Dia adal
ah satu nona!"
Ia ingat halnya dulu In Loei, yang telah permainkan padanya, maka itu, setelah p
engalamannya itu, ia lantas ketahui Sin Tjoe adalah satu nona.
Sin Tjoe pun terta-
wa, terus ia kasi turun kopianya, hingga terlihat rambutnya yang bagus.
"Tjioe Tjeetjoe, untuk apa kau bercem-buru?" ia pun menanya sambil tertawa.
San Bin tahu ia kecele, ia jengah sendirinya, tetapi lekas ia menghaturkan maaf.
Ketika itu matahari sudah doyong rendah ke barat, manusia dan kuda letih bersama
. Sin Tjoe lompat turun dari kudanya, ia membantui suami isteri itu turun. Ia pu
n lantas periksa lukanya San Bin, Kalau luka Tjoei Hong tidak mengenai urat atau
tulang, luka itu tidak berbahaya, tidak demikian dengan tjeetjoe ini, jeriji ta
ngannya Tong Soen membuatnya ia terluka parah. Sin Tjoe lantas kasi ia makan dua
butir pil Siauwyang Siauwhoan tan dan
menitahkannya dia beristirahat.
Berselang lama juga, San Bin merasakan kesegarannya pulih
sedikit. Ingat kepada lukanya, ia jadi sengit. Katanya: "Pernah aku berperang sa
ma tentera Watzu, sampai beratus kali, belum pernah aku terkalahkan sebagai ini.
Sakit hati ini mesti aku balas!"
Tjoei Hong hiburkan suami itu.
"Mana gurumu?" kemudian San Bin tanya Nona Ie. "Oleh karena kami mendengar kabar
pemerintah bermaksud tidak baik terhadapnya, kami sengaja datang untuk menyambu
t
padanya. Apakah dia tidak kurang suatu apa?"
"Soehoe sudah menyingkir sejak siang-siang," sahut Sin Tjoe. "Untukmu ia telah t
itipkan sepucuk surat."
Nona itu lantas ke-
luarkan surat gurunya itu.
San Bin sambuti surat itu, untuk dibuka dan dibaca, habisnya, ia menghela napas:
"Ah! Gurumu melarang aku menuntut balas!"
"Apakah yang Thio Tan Hong tulis?" Tjoei Hong tanya.
"Dia bilang di pesisir timur selatan keamanan tengah terganggu oleh perompak-per
ompak bangsa kate, jikalau aksinya kawanan
perompak itu tidak dicegah, mereka bisa menjadi bencana besar di belakang hari,"
sahut San Bin. "Karena ini ia menghendaki aku
memecah sebahagian tenteraku, guna dipindahkan ke Kanglam, untuk bekerja sama ka
wan sepaham di pesisir timur selatan itu untuk menentang pengaruhnya perompak-pe
rompak bangsa kate
itu. Inilah bukan pekerjaan gampang."
"Apakah yang sulit?" Sin Tjoe menanya.
"Pertama-tama kita orang Utara tidak bisa berenang," jawab San Bin. "Kedua kita
telah lama bermusuh sama pemerintah, sekarang kita mesti bawa pasukan tentera me
lintasi tempat-tempat jagaan pemerintah, sulitnya bukan main. Ketiga, dengan beg
ini apa kita bukan seperti juga membantu pemerintah si orang she Tjoe itu?"
"Kau telah belajar silat, apakah kau anggap belajar berenang lebih sukar daripad
a belajar silat itu?" Sin Tjoe tanya.
"Tentu saja belajar silat ada terlebih sukar."
Si nona lantas tertawa.
"Kalau begitu, kesu-karanmu yang pertama itu tidak beralasan!" ia
berkata. "Siapa pun tak bisa begitu dilahirkan lantas dapat berenang. Orang Utar
a juga, satu kali dia sampai di Selatan, dia bakal bisa berenang. Kita bisa bela
jar berperang di air."
"Dan tentang kesulitan tentera kita berangkat ke selatan," Tjoei Hong turut bica
ra, "untuk bisa melintasi tempat jagaan tentera negeri, baiklah kita atur supaya
mereka menyamar sebagai pelbagai golongan penduduk, jalannya pun dengan berpenc
aran. Kita mesti masuk ke Selatan dengan menyelundup."
San Bin tertawa.
"Kamu berdua membilang begini, aku jadinya tak seperti kamu kaum wanita!" ia kat
a. "Aku bukannya tidak mengarti maksudnya Thio Tan Hong, bahwa menolongi rakyat
dari ancaman bahaya
adalah tugas kita. Memang tidak dapat aku menampik. Aku hanya tidak puas kita ke
luarkan tenaga untuk pemerintah si orang she Tjoe. Pemerintahlah yang mesti tolo
ng rakyat di Selatan itu. Kalau sekarang kita yang menolongi, habisnya, pemerint
ah bakal melabrak musna pada kita!"
"Tetapi kau harus ingat, toako, Thio Tan Hong sendiri tidak mengutarakan penasar
an seperti kau ini," berkata Tjoei Hong, sang isteri. "Bicara perihal sakit hati
, dia sebenarnya lebih membenci dan mendendam kepada pemerintah!"
San Bin memang mengarti soal itu.
"Baiklah!" katanya. "Asal kita bisa pulang ke tempat kita, akan aku kerahkan t
enteraku..."
San Bin bicara
keras-keras, lukanya terasa sakit, maka ia menjadi lesu pula.
"Mari kita cari rumah penduduk, untuk menumpang menginap barang semalam," Tjoei
Hong menyarankan.
Tapi mereka berada di tempat pegunungan yang sunyi. Di situ di mana ada rumah or
ang?
Sin Tjoe berniat mencari tetapi ia kuatir untuk meninggalkan suami isteri itu.
Tengah mereka bingung, Sin Tjoe tiba-tiba mendengar suara kuda meringkik, lalu k
udanya meringkik keras dan panjang, terus berjingkrakan dan lari. Itulah aksi ku
da menyambuti suara
bangsanya. Nona Ie menjadi heran. Tidak biasanya kuda putih itu menjadi binal. I
a memanggil, kuda itu tidak kembali. Terpaksa ia lari, untuk menyusul.
Baharu saja Sin Tjoe muncul di sebuah tikungan, sekonyong-konyong ia dengar bent
akan terhadapnya: "Bangsat bernyali besar! Kudanya Thio Tan Hong juga kau berani
curi?" Lalu bentakan itu disusuli satu serangan hebat dengan sebatang sianthung
, tongkatnya seorang suci.
Sin Tjoe terkejut dan heran. Di bawah sinar rembulan, ia dapatkan si penyerang a
dalah satu paderi yang alisnya gompiok dan matanya besar, dan tongkatnya, yang
panjang, besar umpama kata sebesar mangkok. Untuk melindungi diri, terpaksa ia m
enangkis. Sebenarnya ia hendak menegur, guna meminta keterangan, apa mau, si pad
eri sudah lantas mengulangi serangannya dan, secara hebat sekali.
Kali ini Nona Ie tidak berani menangkis, ia berkelit, tetapi justeru ia berkelit
, ia menjadi kena didesak paderi itu, yang bengis sekali, yang tak mau berhenti
dengan dua kali serangannya itu. Ia melayani dengan tunjuki kegesitannya. Segera
ia dapat kenyataan orang ada terlebih liehay banyak daripada Liauw Van Taysoe.
"i Toasoeheng, dengar dulu aku!" achirnya ia berseru setelah terdesak
berulang-
ulang. Ia pun heran sekali atas sikap keras dari paderi ini.
"Kau hendak omong apa?" membentak paderi itu. Ia lompat minggir. Lebih dulu dari
pada itu, ia sudah sampok pedang orang hingga pedang itu terlepas dan mental.
"Ah, kiranya kau muridnya Thio Tan Hong!"
kemudian paderi itu berkata dengan nyaring sambil ia tertawa, sedang Sin Tjoe be
rdiri tercengang saking
herannya.
"Sungguh, satu jaman dengan satu jaman, orang menjadi terlebih pandai, maka kita
dari tingkat terlebih tua harus mati karena malu!..."
Sin Tjoe lompat untuk pungut pedangnya, setelah itu, ia awasi paderi itu, seoran
g berusia mendekati enam puluh tahun, mukanya merah segar, matanya sedang memeri
ksa
tongkatnya, yang
ujungnya bercacad
bekas benterok sama pedangnya. Paderi itu pun mengawasi ia sambil bersenyum
berseri-seri, tidak lagi bengis seperti tadi. Sedang tak jauh dari mereka, ia li
hat, kudanya emdash kuda
Tjiauwya Saytjoe ma emdash tengah bergurau sama seekor kuda putih lainnya, yang s
egalanya mirip dengan kudanya itu, kecuali bulu putih di badannya kecampuran ban
yak titik-titik hitam.
Tjiauwya Saytjoe ma menekuk sebelah
kakinya di depan kuda putih itu, kepalanya digosok-gosoki, dan kedua kuda berbun
yi tak hentinya. Mereka mirip orang yang ketemu sanaknya yang terdekat.
Menyaksikan semua itu, Sin Tjoe ingat suatu apa. Itu waktu pun lantas terdengar
suara nyaring dari Tjioe San Bin: "Oh, kiranya Tiauw Im Taysoe1."
Sin Tjoe segera menoleh, ia dapatkan Tjoei Hong tengah mempepa-yang suaminya itu
. Mereka rupanya menyusul karena ia tidak se-
gera kembali. Tidak tempo lagi, ia bertekuk lutut di depan paderi itu seraya men
gatakannya: "i Soepeetjouw, cucu muridmu Ie Sin Tjoe memberi hormat."
"Kau bangunlah," berkata paderi itu, yang memang Tiauw Im adanya, murid kedua da
ri Hian Kie Itsoe, yang kesohor ilmu silat tongkatnya yaitu
Thianmo Thunghoat, dan terhadapnya, Thio Tan Hong mesti memanggil djiesoepee, pe
-man guru yang kedua, sedang kuda putihnya itu adalah biangnya Tjiauwya Saytjoe
ma, maka juga kedua binatang itu erat sekali perhubungannya satu dengan lain.
"i Siauwtjeetjoe, kenapa kau terluka?" Tiauw Im tanya San Bin.
"Kita dikepung musuh," sahut Tjoei Hong, yang tuturkan jalannya
pertempuran melawan rombongannya Yang Tjong Hay.
"Kiranya kamu juga sedang mencari Thio Tan Hong!" berkata paderi itu. Ia terus t
ertawa dan menambahkannya: "Aku pun lagi cari dia supaya dia balaskan sakit hati
nya dua bacokan ini!" Ia robek jubah di betulan pundaknya yang kiri, akan mengas
i lihat dua tapak bacokan yang bersilang. Luka itu telah ditempeli kouwyoh.
Sin Tjoe heran sekali.
"Pantas soehoe membilangnya hebat gwakang dari soepeetjouw ini, dia t
erluka pundaknya begini hebat tetapi ia masih sanggup bersilat dengan dahsyat se
kali." pikirnya.
"Siapakah yang telah makan hati harimau dan nyalinya macan tutul maka dia berani
memu-
suhkan taysoe?" San Bin tanya. Tjeetjoe ini pun heran.
"Siapa yang membacok taysoe?" Tjoei Hong bertanya.
"Mereka itu bukan melainkan memusuhkan aku!" menyahut Tiauw Im, sengit. "Mereka
juga membinasakan ribuan penduduk di sepanjang pesisir timur selatan! Syukur unt
ukku, tongkatku ini bukan tongkat sembarang, kalau tidak pastilah tubuhku juga t
elah tercingcang mereka itu! Dua lukaku ini ada luka bacokannya perompak-perompa
k kate!"
Lantas paderi ini menuturkan hal ichwalnya. Ia memang gemar membelai perkara-per
kara tidak adil, waktu ia dengar kabar perompak kate di pesisir timur selatan me
ncelakai
rakyat, yang mereka garong dan bunuh-
bunuhi, ia lantas pergi ke Tjiatkang, di kota Taytjioe, untuk membantu pasukan s
uka rela rakyat. Dalam satu pertempuran besar, tentera rakyat itu kena dikalahka
n, sebab
jumlah mereka hanya beberapa ratus tetapi perompak kate tiga ribu jiwa, benar mu
suh banyak yang terbinasa tapi pihak rakyat sendiri menderita kerugian
separuhnya. Ketika
Tiauw Im melindungi pemimpin pasukan, Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit, dalam p
ergumulan, dua kali ia kena terbacok. Demikian ia peroleh luka-lukanya itu.
Sampai di situ Ie Sin Tjoe mengatakan bahwa gurunya sudah berangkat ke Taylie.
"Tentulah dia berniat mengundang toasoeheng turun gunung," Tiauw Im mengutarakan
duga-
annya.
"Katanya dia hendak memberi selamat hari ulangnya toasoetjouw," kata Sin Tjo
e.
"Ah, aku sampai lupa!" seru Tiauw Im seraya ia ketok kepalanya sendiri. "Memang
tahun ini soehoe memasuki usia delapan puluh tahun!" Ia tertawa dan menambahkan:
"Memang nampaknya Tan Hong si bocah hendak menyingkirkan diri dari dunia ramai
tetapi sebenarnya hatinya panas bergolak, dia melebihi aku dalam hal gemar mengu
rus segala peristiwa tidak adil. Begitulah pernah dia menulis surat kepada Yap T
jong Lioe menganjurkan Tjong Lioe berserikat bersama San Bin dan lain-lain rombo
ngan suka rela lagi di Shoatang. Sekarang dia pergi memberi selamat kepada soeho
e,
mestinya dia ada mengandung lain maksud pula. Aku lihat, paling lambat lain tahu
n, dia pasti akan sudah kembali ke Kanglam."
Sin Tjoe mengangguk. Ia lantas tanya lukanya San Bin.
"Setelah makan obatmu, aku merasa baikan," sahut Kimtoo Tjeetjoe sambil tertawa,
"dan setelah mendengar penuturan taysoe barusan, aku jadi semakin gembira. Aku
percaya lukaku ini tidak bakal jadi hebat."
Mendengar pembicaraan itu, Tiauw Im tegur dirinya sendiri.
"Lihat, bagaimana aku tolol!" katanya. "Seharusnya kamu beristirahat!"
"Di mana ada tempat beristirahat di sini?" Tjoei Hong tanya.
"Di kaki gunung sana ada rumahnya seorang pemburu , ia ada orang
sendiri," menyahut
Tiauw Im. "Mari kita pergi ke sana!"
San Bin bertiga akur, maka Tiauw Im lantas jalan di depan. Sin Tjoe membantui Tj
oei Hong yang mempepayang suaminya untuk naik atas kuda putih, yang Nona Ie tela
h panggil datang.
Baharu saja kuda mereka bertindak,
tiba-tiba San Bin pesan Sin Tjoe: "Nona Ie, tolong kau meninggalkan tanda untukk
u. Setiap kira-kira sepuluh tindak, bikinlah tanda itu di batang pohon."
"Tanda apakah itu?" Sin Tjoe tegaskan.
"Djitgoat Siangkie serta satu toya besar," sahut San Bin. Djitgoat Siangkie iala
h sepasang bendera dengan lukisan matahari dan rembulan.
Mendengar itu, Sin Tjoe ingat apa-apa.
"Bukankah tanda un-
tuk Pit Keng Thian?" ia tanya.
"Benar. Maksud perjalananku ini kecuali untuk memapak gurumu juga sekalian untuk
mencari orang she Pit itu, adalah niatku untuk kita menggabungkan diri. Dialah
adik angkatku. Taysoe, dialah seorang gagah, yang polos, dia sama tabiatnya sama
taysoe."
Tidak enak Sin Tjoe mendengar disebut-sebutnya Pit Keng Thian. Setahu kenapa, ia
merasa sebal terhadap orang itu dan roman orang yang kasar seperti berpeta di d
epan matanya. Tiauw Im Taysoe sebaliknya gembira sekali dan ia menanyakan San Bi
n tentang orang she Pit itu.
San Bin beritahu siapa orang itu.
"Haha, kiranya dia puteranya Pit Too
Hoan!" berkata si paderi sambil tertawa. "Dengan begitu, dia harus memangg
il siesiok kepadaku!"
"i Siesiok" ialah paman. Karena di masa hidupnya, Pit Too Hoan bersahabat erat s
ekali dengan Tiauw Im. Paderi ini pun girang sekali mengetahui pute-ra sahabatny
a telah menjadi toaiiongtauw, kepala dari orang-orang kosen di lima propinsi Uta
ra.
Mereka berbicara sambil berjalan, tak lama lewatlah mereka di sebuah tikungan da
ri mana lantas terlihat sebuah rumah.
"i Siauwtjeetjoe," berkata Tiauw Im, "lukamu ini, dikata berat tidak berat, dibi
lang enteng tidak enteng, mungkin kau perlu beristirahat beberapa bulan karenany
a. Kebetulan untukmu untuk
singgah di sini, tuan rumahnya mengerti ilmu ketabiban."
Baharu Tiauw Im berkata begitu, tiba-tiba terlihat sinar obor di kaki gunung, da
ri mana tertampak satu penunggang kuda
sedang lari mendaki.
"Hebat ilmunya orang itu menunggang kuda!" berkata hweeshio ini kagum. "Dan kuda
nya pun jempol! Saudara Tjioe, coba lihat, adakah dia Pit Keng Thian?"
Sin Tjoe berpaling dengan cepat.
"Yang Tjong Hay!" ia mendahulukan berkata. Dengan matanya yang celi, ia sudah la
ntas mengenali penunggang kuda itu.
"Yang Tjong Hay yang mana?" bertanya Tiauw Im. "Apakah dia Yang Tjong Hay si jag
o pedang dari Soetjoan Barat?"
"Dialah Tay i wee
Tjongkoan Yang Tjong Hay!" Tjoei Hong menyahuti. "Dialah si bangsat anjing Yang
Tjong Hay yang telah melukai aku!"
Memang jempol kudanya Yang Tjong Hay itu, yang ada kuda dari istana. Dengan menu
nggang kuda ia mencoba mengikuti
jejaknya Ie Sin Tjoe dan ia dapat menyan-dak di tempat ini. Ia sudah lantas angk
at tinggi obornya untuk memandang ke depan. Tiba-tiba saja ia tertawa lebar.
"Tjioe Tjeetjoe, kau kiranya masih ada di sini?" ia berkata nyaring. "Aku si ora
ng she Yang hendak menawan kau, tuan yang mulia!"
Ie Sin Tjoe lantas menghunus pedangnya, sedang San Bin tidak sahuti orang.
"Kau serahkan bang-
sat itu padaku!" berkata Tiauw Im, dengan suaranya dalam. "Kau lin
dungi saja Tjioe Tjeetjoe!"
Habis berkata, dengan tiba-tiba paderi ini berseru keras, tubuhnya pun mencelat
maju, begitu ia menginjak tanah, tongkatnya me-nyamber kaki kudanya Tjong Hay.
Kuda itu liehay, dia kaget dan berlompat.
Tjong Hay menjadi gusar sekali, dengan obornya ia menimpuk.
Tiauw Im lihat datangnya obor itu, ia menyampok. Maka bagaikan seekor ular api,
obor itu terpental jauh beberapa tombak.
Luar biasa gesitnya paderi ini, menyusuli tangkisannya itu kepada obor, ia sudah
lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya kepada tjongkoan dari istana kai
sar itu.
Tjong Hay I ompat turun dari kudanya, setelah itu dengan pedangnya ia membalas m
enyerang dengan
jurusnya "Ular berbisa memuntahkan bisanya."
"Sungguh lincah!" si paderi memuji menyaksikan kegesitan orang. Ia menangkis den
gan keras, hingga pedang dan tongkat beradu dengan nyaring,
orangnya pada mundur sendirinya.
"Siapa kau?" Tjong Hay tanya sambil membentak.
"Akulah melaikat Hang Mo Thiantjoen yang biasa mengemplang anjing jahat!" sahut
Tiauw Im. "Kau bocah tidak punya malu, kau berani sebut dirimu satu jago pedang,
mari kaii coba tiga ratus kemplangan tongkatku!"
Jawaban itu dibarengi dengan serangan
bertubi-tubi.
Yang Tjong Hay men-jad repot sekali. Ia tidak mau keras melawan keras, ia terpak
sa menggunai kelincahannya, kelit sana dan kelit sini, berlompatan,
baharu setelah dapat ketikanya, ia mencoba membalas menyerang.
Mereka bertempur sekian lama, Tiauw Im tidak dapat segera merobohkan lawan, ia m
enjadi sibuk sendirinya, karena ini ia menjadi sengit, ia berkelahi dengan hebat
sekali, hingga tongkatnya bergerak bagaikan "ular naga keluar dari gunanya" ata
u "harimau kelaparan turun dari gunung."
Yang Tjong Hay terpaksa main mundur, sambil mundur ia terus menutup dirinya.
Saban-saban ia berhasil melenyapkan ancaman bahaya tongkatnya si
paderi yang ia tidak kenal itu, yang ia heran ada demikian kosen.
Ie Sin Tjoe menyaksikan itu pertempuran, ia mengerutkan keningnya, ia masgul.
"Heran kenapa soe-peetjouw tidak insaf bahwa orang tengah menungkuli dia..." ia
kata dalam hati kecilnya. "Kenapa soepeetjouw menjadi demikian sembrono? Coba gu
ruku yang lagi bertempur, tidak nanti ia sudi memberikan ketika begini kepada Ya
ng Tjong Hay..."
Memang di antara murid-muridnya Hian Kie Itsoe, Tiauw Im adalah yang paling kuat
tenaganya tetapi paling rendah ilmu silatnya, dibanding sama Thio Tan Hong, kep
onakan muridnya, dia masih kalah.
Dengan kepandaiannya itu, kalau Tiauw Im
berkelahi dengan sabar, ia masih dapat mengimbangi Yang Tjong Hay, sekarang ia m
ain hantam kromo, sedang juga sebelah lengannya sakit, selewatnya tiga puluh jur
us, gerak-gerakannya menjadi kendor sendirinya.
Yang Tjong Hay pun telah kasi dengar tertawanya yang dingin.
"Aku kira siapa orangnya yang dapat menggunai ilmu tongkat Thian Mo Thunghoat be
gini liehay, kiranya soepee dari Thio Tan Hong!" ia berkata, mengejek. "Sayang d
ia ada bagaikan kerbau dungkul, sama sekali dia tidak mengarti rahasianya ilmu s
ilat yang luhur! Kau sabar! Maukah kau aku berikan petunjuk? Ah, tidak seharusny
a kau menyapu secara begini! Tidak tepat kau menggunai tenagamu!"
Tjongkoan ini hendak mengundang hawa
amarah orang dan ia berhasil. Tiauw Im kena dibikin panas hatinya, hingga ingin
dia menghajar mampus lawannya ini dengan satu kali kemplang saja. Adalah pantang
an orang liehay untuk bertempur
dengan hati bergusar dan Tiauw Im sudah kena langgar pantangan itu. Ia masih men
yerang dengan hebat akan tetapi ilmu silatnya mulai kacau.
Yang Tjong Hay tertawa terbahak-bahak menampak perubahan lawannya ini, sekarangl
ah ia mainkan pedangnya secara dahsyat, untuk memulai serangan pembalasannya, hi
ngga pedangnya jadi
berkelebatan bagaikan bianglala.
Tiauw Im lantas menjadi repot, dari pihak menyerang, kontan ia
menjadi pihak yang membela diri.
Sin Tjoe goncang hatinya menyaksikan perubahan itu. Ia ingin maju, untuk ia memb
antui, ia cuma beringin tapi ia tidak berani mewujudkan itu. Tiauw Im berderajat
lebih tinggi, kalau ia maju, ia kuatir soepeetjouw itu merasa tersinggung keang
kuhannya. Terpaksa ia berdiri mengawasi dengan tajam, sebelah tangannya ditaruh
di gagang pedangnya, tangan yang lain menyiapkan tiga potong kimhoa, senjata rah
asianya itu yang bermodel bunga emas. Ia memikir untuk membantu dengan senjata r
ahasia tetapi ini pun ia masih sangsikan...
Justeru itu terdengar meringkiknya si kuda putih.
"Ada orang jahat ma-
in gila!" San Bin berseru.
Sin Tjoe menoleh dengan cepat, hingga matanya kabentrok sama aksinya Tie Hian si
orang kate kecil yang lincah. Entah kapan datangnya dia, tahu-tahu dia muncul d
ari belakangnya sebuah batu besar, dari situ dia menyiapkan busur pelurunya, unt
uk membokong San Bin, dia dipergoki si kuda putih, yang terus meringkik. Karena
ini, dia berbalik mengincar kuda putih itu. "
Si nona Ie menjadi gusar, lantas saja ia menimpuk, bukan
kepada Tjong Hay, hanya kepada si orang she Tie itu. Bahkan ia menyerang tiga ka
li saling susul. Bunga emas yang pertama berhasil mematahkan busurnya Tie Hian,
karena busur menjepret, tangannya terluka
dan mengeluarkan darah. Bunga emas yang kedua menyamber ke kepala, Tie Hian masi
h sempat berkelit tetapi tidak urung rambutnya kena terbabat, hingga kulit kepal
anya lecet. Dalam takutnya, ia jatuhkan diri, untuk bergulingan di tanah. Dengan
caranya ini ia dapat menolong jiwanya, sebab bunga emas yang ketiga lewat tepat
lagi lima dim dari batok kepalanya.
Sin Tjoe masih hendak mengulangi serangannya dengan bunga emas kepada Tie Hian s
i taydjin atau pahlawan raja kelas tiga tatkala ia dengar suara kuda yang dilari
kan keras ke arah mereka, ialah ke arah Tie Hian yang bergulingan terus ke kaki
bukit. Ia lantas melihat satu penunggang kuda yang tubuhnya besar dan kekar. Ses
ampainya
di dekat Tie Hian, orang itu lompat turun dari kudanya, tanpa ayal lagi, dia dup
ak si orang she Tie. Tie Hian masih sempat berkelit, hanya di lain saat, dia sud
ah lantas kena dibekuk orang bertubuh besar itu.
"Pit Hiantee di sana?" menanya San Bin sambil berseru, agaknya ia girang sekali.
"Tjioe Toako?" orang itu membalasi. Ia memberi penyahutan kepada San Bin tetapi
tangannya tak berhenti bekerja. Dengan keras ia mencekek lehernya Tie Hian, hing
ga dia ini mengeluarkan teriakan tertahan, lalu tubuh orang dilemparkan ke dalam
jurang tanpa Tie Hian dapat membuka suara pula.
Yang Tjong Hay sedang menang di atas angin ketika ia dapat lihat perbuatannya
si
orang she Pit itu, yang dalam segebrakan saja dapat merobohkan Tie Hian yang lin
cah, ia menjadi terkejut. Ia lantas berpikir: "Di sini ada Pit Keng Thian, Tiauw
Im Hweeshio dan Ie Sin Tjoe, kalau mereka bertiga mengepung aku, inilah berbaha
ya. Kalau kita berkelahi satu sama satu itulah lain."
Sebagai seorang yang berpengalaman dan pandai berpikir, ia lantas desak Tiauw Im
Hweeshio, begitu paderi itu mundur dengan terpaksa, ia pun lompat mundur, untuk
terus memutar tubuhnya, guna mengangkat kaki.
Tiauw Im mendongkol bukan main, ia menantang sambil
menjerit-jerit tanpa ada faedahnya, sebab Tjong Hay menyingkir terus, malah
dengan naik atas kuda istana yang jempol
itu, sedetik kemudian dia sudah menghilang di kaki gunung.
Pit Keng Thian sudah lantas datang pada mereka. Ia dan Tiauw Im pernah bertemu,
mereka kenal satu dengan lain, hanya sebagai kenalan baru, mereka saling mengagu
mi.
"Pit Hiantee, cara bagaimana kau bisa datang ke mari?" San Bin menanya.
"Aku dengar kabar toako datang ke Selatan, aku girang bukan main," sahut toaiio
ng-tauw itu, "melainkan aku menyesal yang tak dapat aku siang-siang da
tang menyambut. Karena itu aku telah utus lebih dulu kepada Pit Goan
Kiong. Apakah toako telah bertemu dengannya?"
"Ya," sahut San Bin, yang tapinya berduka. "Kali ini kita nampak
kerugian tak sedikit."
"Jangan berduka, toako." Keng Thian menghibur. "Kecuali beberapa orang, yang lai
nnya telah berhasil aku menolonginya."
San Bin girang mendengar ke terangan ini.
"Cara bagaimana hiantee menolonginya?" ia tanya.
"Aku datang cepat sekali bersama tiga belas tjeetjoe lainnya," menjawab Keng Thi
an. "Kebetulan kami bertemu sama pasukan negeri. Kita lantas bertempur. Di dalam
tentera negeri itu ada Law Tong Soen yang liehay sekali, yang lainnya tak dapat
menentangi kami. Tong Soen tahu diri, ia sudah lantas mundur. Karena itu sebagi
an besar saudara-saudara yang tertawan pasukan
negeri itu dapat kami bebaskan. Aku dengar
toako menyingkir ke jurusan ini, aku lantas menyusul kemari."
"Bagaimana dengan si pengurus rumah makan yang tua?"
"Dia pun telah dapat ditolongi."
"Bagus! Bagaimana dengan Beng Tiang Seng? Dia muridnya Kwee Looenghiong."
"Dia terluka parah, dia dimasuki ke dalam kerangkeng, Tong Soen sendiri yang jag
a padanya, dia tak dapat ditolongi," sahut Keng Thian pula.
San Bin menjadi berduka, berduka tercampur girang. Ia berdiam.
Keng Thian tertawa besar.
"Asal kita dapat bersatu, negara Beng pun bakal dapat kita rampas!" kata dia. "J
adi bukannya cuma satu Beng Tiang Seng!"
San Bin masih berdiam.
Sin Tjoe dengar suara jumawa itu, tak senang hatinya, ia sudah hendak membuka mu
lutnya, syukur ia lantas dapat menguasai diri.
Justeru itu matanya Keng Thian melihat si Nona Ie.
"Ah, Nona Ie, kita bertemu kembali,"
katanya sabar. "Sungguh kita berjodoh! Kali ini kau toh memasuki ikatan kita, bu
kan?"
Tiauw Im mengawasi Sin Tjoe, ia tertawa.
"Lagi-lagi satu nona menyamar!" katanya. "Kau mirip In Loei dulu hari itu. Apaka
h senjata rahasia kau ini dia yang mengajarinya?"
Keng Thian tidak puas yang Tiauw Im menyelak bicara, tetapi ia dapat bersabar sa
mpai si nona sudah menjawab paderi itu. Ia kata pula dengan sabar seperti tadi
: "Apakah
nona telah tanyakan gurumu tentang peta bumi itu? Itulah peta bumi yang mengenai
kepentingan negara!"
Sin Tjoe menyahuti dengan dingin. Ia tanya: "Mana lebih perlu, merebut negara at
au menolongi rakyat jelata?"
Ditanya begitu, Keng Thian melengak.
"Apakah artinya pertanyaan ini?" ia balik menanya.
"Benar," Tiauw Im menyelak pula, "perkataannya Sin Tjoe cocok dengan suara gurun
ya. Tan Hong menghendaki kamu lebih dulu menolongi penduduk di pesisir timur sel
atan. Di sana itu selama yang belakangan ini perompak-perompak bangsa kate ada s
angat mengganas, apakah kau tidak ketahui itu?"
"Perompak-perompak kate itu adalah penyakit
di kulit belaka!" sahut Keng Thian.
"Sekalipun kurap, jikalau tidak lekas diobati, penyakit itu bisa merembet menjad
i berbahaya!" kata Tiauw Im pula. "Laginya belum tentu itu hanya penyakit kurap!
Saudara Pit, aku baharu kembali dari Taytjioe, hendak aku menjelaskan kau tenta
ng perompak bangsa kate itu. Ah, keadaan di sana sungguh hebat dan mengenaskan..
." Ia berhenti sebentar, lalu ia ketok kepalanya yang gundul. "Kau lihat, bagaim
ana aku tolol. Tjioe Tjeetjoe dan isteri perlu beristirahat! Mari kita kembali d
ulu ke rumahnya pemburu itu."
Pikiran ini lantas diwujudkan, maka sebentar lagi mereka sudah berada di dalam r
umah si pemburu yang dimaksud itu. Sin Tjoe mengatakan letih dan
ngantuk, ia pergi beristirahat lebih dulu. San Bin dapat menguatkan hati, ia dud
uk pasang omong sama Tiauw Im dan Keng Thian, membicarakan urusan perompak bangs
a kate. Suara mereka itu membuat si Nona Ie sukar pulas.
"Pit Laotee," berkata Tiauw Im, suaranya keras, "asal kau tiba di pesisir timur
selatan itu dan dapat melihat keadaan di sana, tidak dapat tidak perutmu pasti m
eledak dan matamu tentulah pecah dan rambutmu bangun berdiri! Kawanan
perompak itu bukannya manusia lagi, mereka main bunuh orang atau menawan, tapi y
ang paling hebat, sekalipun anak-anak kecil mereka bunuh juga! Di waktu mereka m
enganiaya, mereka dapat bertepuk tangan dan bersorak-
sorai. Sayang di mala-man aku menyaksikan kekejaman mereka, aku datang terlambat
,
benar aku bisa labrak mereka tetapi
anak-anak itu tidak dapat ditolong lagi. Karena itu untuk beberapa malam aku tid
ak dapat tidur pulas. Perompak itu, saban habis membajak, lantas kabur pula deng
an bawa rakyat yang diculik, sedang yang lain mereka bunuh dan wanitanya diperko
sa. Di waktu mau pergi, mereka main membakar kampung! Coba bilang, laotee, siapa
saja yang bersemangat, bisakah dia diam saja? Kau sendiri, apa kau bakal kerahk
an pasukanmu atau tidak?"
Keng Thian berdiam, hatinya berpikir.
"Mengerahkan pasukan, itulah tentu," sahutnya kemudian,
"Hanya, paman Tiauw Im, di bahagian apakah liehaynya kawanan
perompak itu? Apakah di antara mereka ada yang liehay ilmu silatnya? Sebelumnya
bertindak, kita harus ketahui diri sendiri dan mengenal mereka itu."
"Kawanan perompak itu biasa memecah diri dalam rombongan-
rombongan kecil, kalau mereka bergerak,
nampaknya mereka
bukan gerombolan
belaka," menyahut
Tiauw Im. "Mereka pergi ke segala tempat yang mereka suka. Tentera negeri menjag
a masing-masing wilayahnya, mereka tidak merintangi. Jadinya perlawanan menganda
lkan saja
pada pasukan suka rela rakyat, yang tidak terpimpin sempurna. Inilah ruginya pih
ak kita. Kawanan perompak itu ada punya golok
buatannya sendiri yang tajam luar biasa, terutama di waktu bergumul, pihak kita
tidak dapat mempertahankan diri. Maka itu aku anggap, kita mesti punya pasukan y
ang terlatih, seperti
pasukanmu itu. Tentang ilmu silat, kawanan itu mengarti yudo dan kendo. Yudo mir
ip dengan silat tangan kosong Thaykek Koen kita. Kendo ialah ilmu pedang, yang b
eda dengan ilmu pedang kita. Kabarnya ahli yudo dan kendo mereka dibagi dalam se
mbilan dan. Pernah aku mengalahkan dua musuh dari tingkat dan ke lima, dengan da
n ke
sembilan, belum pernah aku bertemu."
Keng Thian kembali diam berpikir.
"Kalau begitu," berkata San Bin, "tidak perduli kawanan perom-
pak itu liehay sekali, tidak dapat kita tidak pergi ke sana! Tiauw Im Taysoe, ku
damu dapat lari keras, kau saja yang menolongi membawa /eng tjian serta suratku
ke pesanggrahanku di luar kota Ganboenkwan, untuk menitahkan mereka itu nyelusup
masuk ke sini, guna berkumpul di Gieouw, Tjiatkang. Aku percaya itu waktu lukak
u tentu sudah sembuh, nanti aku yang pimpin sendiri kepada mereka itu. Untuk men
jaga pesanggrahan, cukup dengan meninggalkan satu atau dua per sepuluh."
"Baik," jawab Tiauw Im, setuju. "Kau, Pit Hiantee?"
"Pasti aku akan turut," sahut Pit Keng Thian. "Cuma satu hal harus didamaikan du
lu."
"Apakah itu?"
"Menurut katamu ta-
di, rakyat suka rela dan badan keamanan setempat di pesisir timur selatan itu be
kerja sendiri-sendiri, inilah tidak bagus," berkata Keng Thian. "Aku pikir perlu
kita angkat satu pemimpin dan orangnya ialah Tjioe Toako yang paling tepat, han
ya tak tahu kita bagaimana dengan Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit, mereka akur
atau tidak."
"Untuk aku, siapa menentang perompak, aku turut padanya," berkata Tiauw Im, "mak
a juga, siapa menjadi pemimpin, itulah bukannya soal."
"Bukannya begitu," Keng Thian tertawa. "Dalam urusan peperangan, tanpa pemimpin,
itulah tak dapat. Bukankah kita bukan cuma untuk membasmi perompak saja? Tidakk
ah demikian, Tjioe Toako?"
"Memang ular tanpa kepala tak dapat jalan, inilah benar," kata pula si paderi, "
hanya soal siapa mesti jadi kepala, aku tidak tahu..."
"Pemimpin itu mestinya Tjioe Toako," Keng Thian tegaskan. "Siapa tidak tahu nama
besar dan pengaruhnya Kimtoo Tjeetjoe?"
"Tidak, hiantee," berkata San Bin. "Mengenai kepintaran, kau menang banyak darip
ada aku dan kau juga toaiiongtauw dari lima propinsi Utara. Bukankah semua orang
Rimba Hijau dan pelbagai perkumpulan telah mendengar kau? Maka kaulah yang mest
i jadi pemimpin."
"Aku menjadi toaiiongtauw karena orang sudi menjunjung aku," Keng Thian masih me
nolak, "di samping itu, toako bersama, mana dapat aku melewati kau?
Laginya, Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit ada terlebih berpengaruh daripada aku
."
Melihat orang saling tolak, Tiauw Im tertawa.
"Kamu bukan bakal jadi raja, kenapa kamu main saling dorong?" kata ia. "Menurut
aku, Pit Hiantee, kau terlebih tepat. Bukankah kau tuan rumah dan Tjioe Tjeetjoe
tetamu?
Tentang Yap Tjong Lioe dan Teng Bouw Tjit, mereka telah nyatakan padaku, baik Tj
ioe Toako atau Pit Hiantee, pasti mereka akan menjunjungnya. Pit Hiantee, sekali
pun kau menjadi raja, Tiauw Im akan tunjang padamu!"
Paderi itu tertawa, begitu juga San Bin dan Keng Thian. Mereka berdua kagum untu
k kepolosannya paderi ini.
Di achirnya Sin Tjoe di dalam kamar dengar Keng Thian menerima
baik kedudukannya. Ia masgul sekali. Ia tak puas dengan suara kaku dari orang sh
e Pit itu. Tapi ia berpikir: "Dia beroman kasar, siapa tahu, dia bisa berpikir.
Terang dia ingin menjadi kepala tetapi dia berpura-pura. Dia suka menjadi kepala
penentang perompak, ini ada baiknya juga..."
Kemudian terdengar pula suaranya Tiauw Im, yang mengatakan hendak berangkat
besok, sebab pertolongan sangat penting. Ia pun menganjurkan Keng Thian berangka
t lebih duluan ke Taytjioe bersama rombongannya.
"Tindakan untukku tidak ada sedemikian sederhana, saudaraku yang baik," berkata
Keng Thian. "Pertama, sepulangku ke Shoa-tang, aku mesti panggil berkumpul semua
tiong-tauw dari pelbagai pen-
juru, kita mesti berapat dulu, lalu setelah itu aku mesti cari pengganti, untuk
mewakilkan aku. Tidak dapat aku meninggalkan kedudukanku dengan begitu saja."
"Tidak dapatkah kau mengirim orang saja untuk menyampaikan segala titahmu?"
"Dalam urusan begini mana bisa kita main wakil-wakilan?" Keng Thian tertawa pula
.
"Tapi usaha melawan perompak di Taytjioe penting sekali," Tiauw Im mendesak. "Ki
ta mesti kirim utusan untuk mengasi kabar, supaya mereka tidak keburu runtuh, se
baliknya, agar mereka dapat semangat."
"Habis, siapakah yang pergi?" menanya San Bin. Ia tertawa.
"Aku!" sahut Tjoei Hong.
"Kau perlu merawat
toako, mana dapat kau pergi?" Tiauw Im tak akur.
Keng Thian pun ber-sangsi, sampai tiba-tiba terdengar suara nyaring: "Aku yang p
ergi!"
Itulah suara Ie Sin Tjoe, yang terus muncul.
Keng Thian mengawasi, sinar matanya benterok sama sinar mata si nona, hatinya la
ntas berpikir: "Memang baik sekali kalau ia dapat mendampingi aku dan membantu."
"Bagus!" Tiauw Im pun tertawa lebar. "Ah, kenapa aku tidak ingat kau, nona kecil
? Kau suka pergi, tak ada yang terlebih baik!"
Keng Thian disadarkan tertawanya paderi itu. Ia lantas mendapatkan Ie Sin Tjoe m
engawasi ia dengan sinar mata dingin. Si nona juga lantas berkata dengan sabar
:
"Pit Toaliongtauw, silahkan kau tulis suratmu untuk pemimpin penentang perompak
di Taytjioe itu, supaya mereka dapat ketahui bala bantuan segera bakal tiba. Aku
segera berangkat ke sana."
Tuan rumah bukan pemburu biasa, ia mengarti ilmu tabib, maka itu, ia sedia perab
ot tulis, mendengar perkataan si nona, ia lantas siapkan perabotnya itu di depan
Keng Thian, siapa sebaliknya terus menyapu semua orang, hingga ia dapat tahu me
reka itu tengah memandangi si nona.
Sin Tjoe bersikap tenang, wajahnya
membuat orang menghormati dia. Juga Keng Thian merasa menyayangi dan mengaguminy
a. Ia berpikir: "Dia satu wanita dan masih muda sekali, dia berani pergi
ke tempat ribuan lie untuk membawa surat, dia tak takut memasuki daerah harimau
dan srigala, apa kata denganku satu laki-laki? Mustahil aku mesti kalah daripada
nya?" Pikiran ini menyadarkan ia bahwa keliru untuk mengharap si nona nanti teru
s mendampingi padanya. Ketika ia memandang pula nona itu, matanya kebente-rok pu
la sama sinar mata bagaikan pedang dari nona itu, lekas-lekas ia tunduk, mukanya
pun dirasakan panas. Dengan lekas ia menulis suratnya.
"Pit Laotee, kau juga perlu menulis dua surat untukku," Tiauw Im minta.
"Untuk siapa?"
"Satu untuk Yap Tjong Lioe, guna me-ngasi tahu bahwa aku pergi ke Kwangwa buat m
encari bala bantuan,
agar hatinya tetap, yang satu pula untuk seorang tukang perahu di Tiangkang..."
Keng Thian heran.
"Seorang tukang perahu?" ia menegaskan.
"Sin Tjoe asing di sana, ia mesti dapatkan satu penunjuk jalan untuk dapat berte
mu sama Tjong Lioe," Tiauw Im mengasi keterangan. "Tukang perahu itu bernama Thi
o Hek, tinggalnya di Tjeng-kang. Dia ditugaskan Tjong Lioe untuk jadi penghubung
. Kau tulis bahwa nona ini ada muridnya Thio Tan Hong, keponakan muridku itu, da
n minta ia melayaninya baik-baik."
Keng Thian tidak menanya lagi, ia tulis pula dua pucuk surat itu.
Justeru itu fajar sudah menyingsing. Orang sebenarnya tak tidur tapi mereka tak
merasa kantuk, malah Sin Tjoe,
setelah simpan surat-suratnya, lalu memberi hormat kepada kawan-kawan itu. Ia pu
n kata: "Terima kasih, Pit Toaliong tau w\ T e ri m a kasih, Tjioe Tjeetjoe dan
soepeetjouw1. Aku berangkat lebih dulu!"
"Kau berangkat sekarang juga?" Keng Thian tanya, heran.
"Ya," sahut si nona. "Mencari bala bantuan ada seperti menolong bahaya kebakaran
!
Sekarang langit sudah terang tanah, aku hendak tunggu sampai kapan lagi?"
Orang lantas antar si nona keluar di mana dia lompat naik atas kuda putihnya, ma
ka di lain saat ia sudah lenyap di jalanan yang masih remang-remang. Ia menuju k
e timur.
Keng Thian merasa sayang tapi tak dapat ia membuka mulut untuk mencegahnya...
Dua hari kemudian, tibalah kuda Tjiauwya Saytjoe ma dan penunggangnya di tepian
sungai Tiangkang, di mana air sangat lebar dan luas, hingga ujungnya bagaikan
nempel sama langit. Gelombang pun men-dampar-dampar.
Menyaksikan kebesaran alam itu, terbuka hatinya Sin Tjoe hingga tanpa merasa ia
bernyanyi pelahan. Ia pun jadi ingat halnya dahulu hari Thio Soe Seng dan Tjoe G
oan Tjiang melakukan peperangan yang memutuskan di sungai ini, ia menjadi terhar
u sendirinya.
Di hari kedua setelah itu, Sin Tjoe sampai di Tjengkang. Ia menuju langsung ke l
uar kota timur, untuk mencari Thio Hek si tukang perahu. Ia berhasil menemuinya
dengan
gampang.
Bukan main girangnya tukang perahu ini menerima suratnya
Tiauw I m Hweeshio.
"Ie Siangkong, kau datang di saat yang tepat!" ia berkata. Ia memanggil siangkon
g tuan muda karena Sin Tjoe tetap dandan sebagai seorang pemuda. "Sepanjang pesi
sir Taytjioe baharu saja didatangi dua rombongan baru perompak-perompak bangsa k
ate itu dan keadaannya tentera rakyat sedang terancam. Benar bala bantuan masih
belum sampai tetapi surat ini, kabar dari Pit Toaliongtauw, pastilah akan merupa
kan obat penenang hati mereka. Asal pasukan kita mendapat semangat maka tak usah
lah kita berkuatir lagi!"
Lantas Thio Hek siapkan perahu kecilnya,
untuk mengantarkan pembawa surat ini.
Kuda putih ditunda di rumahnya tukang perahu ini lantaran binatang itu tidak dap
at dinaiki ke dalam perahu yang kecil itu.
Pandai Thio Hek memegang kemudi, kendaraannya itu laju pesat sekali.
Sin Tjoe berdiri di kepala perahu, matanya memandang ke depan. Kembali ia merasa
kan hatinya terbuka. Tapi ia sekarang mendapat kawan, ia ambil kesempatan akan b
erbicara sama Thio Hek mengenai sepak terjang kaum perompak.
"Tukang perahu! Tukang perahu!" demikian panggilan dari tepian selagi perahu laj
u.
Itulah seorang mahasiswa muda yang memanggil-manggil, yang tangannya meng
gape-gape.
Thio Hek tahu tugasnya, ia berpura-pura tidak mendengar, ia menggayu terus
perahunya itu.
Mahasiswa itu berlari-lari, kembali ia memanggil-manggil.
"Tolongilah dia," kata Sin Tjoe, yang tak sampai hati. "Kami kaum perjalanan har
us menolongi satu sama lain..."
"Tetapi dunia ka-ngouw banyak bahayanya, siangkong," Thio Hek bilang. "Tugas kit
a penting sekali, kalau yang naik ada satu telur busuk, apakah itu tidak berbaha
ya dan kita bisa gagal?"
"Segala mahasiswa lemah, apakah yang dibuat takut?" Sin Tjoe tertawa.
Mendengar begitu, Thio Hek ke pinggirkan perahunya.
Mahasiswa itu lari terus ke pinggiran, ia singsatkan jubahnya
yang panjang, lalu ia pegang ujung penggayu yang Thio Hek ulur kepadanya, sambil
pegangan, ia lompat ke lantai perahu. Kendaraan air itu bergerak, tubuh si mahas
iswa terhuyung, sebelah
kakinya kejeblos, hampir dia kecemplung ke air, tapi Sin Tjoe samber tangannya,
sengaja dipegang keras, untuk menguji. Karena tubuhnya terhuyung, hampir mahasis
wa itu nubruk dada si nona dalam penyamaran. Baharu setelah itu, dia dapat berdi
ri tetap.
"Dia bukan cuma tak mengerti silat, dia pun lemah sekali," Sin Tjoe berpikir. "T
hio Hek berkuatir berlebihan..."
Anak muda itu bernapas memburu, mukanya bermandikan peluh, ia keluarkan sapu tan
gannya untuk menyeka peluhnya itu.
"Terima kasih!" katanya kemudian.
Sin Tjoe undang orang berduduk, lalu ia memberi hormat sekalian menanyakan she d
an nama orang serta maksudnya menyeberang.
"Siauwtee Tiat Keng Sim," menyahut anak muda itu. "Ayahku lagi sakit, hendak aku
menjenguknya. Kami tinggal di Taytjioe."
Sin Tjoe tertawa di dalam hatinya.
"Mahasiswa ini lemah lembut, ia tak surup dengan she-nya," pikir ia. Pemuda itu
she Tiat yang artinya besi. Ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berkata: "Kebetu
lan, siauwtee juga hendak menuju ke Taytjioe."
"Kalau begitu kebetulan sekali!" berkata si mahasiswa. "Dengan begini, setelah m
endarat, tujuan kita tetap
sama. Bolehlah aku mengetahui she mulia dan nama besar dari hengtay?
" Ia memanggil hengtay, artinya kakak yang dihormati.
Tanpa kuatirkan apa-apa, Sin Tjoe perkenalkan diri. Baharu setelah itu, ia seper
ti ingat suatu apa. Ia lantas saja menanya: "Katanya perompak lagi mengacau di T
aytjioe, aku kuatir tidak aman di jalanan?"
"Memang juga aku telah dengar perompak kate lagi mengganas di pesisir Taytjioe,"
sahut si mahasiswa, "dan walaupun betul kota Taytjioe masih berada di tangan te
ntera negeri, bahaya bukannya tidak ada. Ayahku lagi sakit, sebagai anak, tidak
dapat aku tidak menjenguknya..."
Sin Tjoe terharu, ia jadi ingat ayahnya sendiri. Diam-diam ia
menghela napas.
"Kenapa kau menghela napas, hengtay?" si mahasiswa menanya.
"Aku terharu untuk nasibnya penduduk
pesisir timur selatan," menjawab Sin Tjoe. "Di sana kaum perompak mengganas, pem
erintah tidak dapat menolongi mereka..."
"Kau mulia sekali, hengtay," kata si anak muda, yang memuji kebaikan hati orang.
Ia berkata seraya menoleh ke lain arah.
"Apakah hengtay gemar menikmati pemandangan alam indah di sini?" kemudia
n Sin Tjoe menanya lain hal.
Mahasiswa itu mengusap mukanya dengan tangan bajunya, ia berpaling kembali.
"Maafkan aku," ia menyahut. "Mataku kurang sehat, terkena angin sungai, aku tela
h mengeluarkan air mata."
Sin Tjoe lihat mata orang merah dan masih ada sisa air matanya. Ia sebenarnya ti
dak
perhatikan itu, sampai ia dibikin bercuriga oleh nada orang yang agaknya berbica
ra seperti menahan tangisan. Kapan ia mengawasi pula, ia tampak satu muka yang t
ampan, kecuali alisnya menunjuki tekukan dari kedukaan.
"Mungkin ia berduka karena ia memikirkan sakitnya ayahnya," pikir Sin Tjoe.
Nona Ie ingin menghibur mahasiswa ini ketika ia batal karena perhatiannya tertar
ik sebuah perahu, yang mendatangi dari hulu sungai. Perahu itu besar sekali dan
kepalanya berukiran naga-nagaan. Tubuh perahu juga tinggi, karena undakannya, ya
ng merupakan lauwteng di atas mana
rupanya ada terdapat banyak penumpangnya. Dari atas itu terdengar suara tetabuan
berikut nyanyiannya. Mungkin orang tengah berpesta.
Gurunya Sin Tjoe terpelajar dalam segala hal, si nona sedikitnya dapat mewariska
n kepandaian guru itu, maka juga ia bisa mengenali suara tetabuan itu, yang buka
nnya tetabuan Tionghoa.
Kapan perahu besar itu sudah datang terlebih dekat, terlihat nyata di atas lauwt
eng-nya ada banyak orang, yang semua bertubuh kasar.
"Ini toh orang-orang Nippon?" Sin Tjoe kata sambil tertawa. "Dari mana datangnya
mereka begini banyak?"
Terdengarlah suara nyanyian, yang kasar tetapi berirama sedih. Si nona memasang
kupingnya, sia-sia saja,
ia tidak mengarti, samar-samar ia mendengarnya.
Tiba-tiba saja si mahasiswa nyanyi seorang diri:
"Bunga itu walaupun harum tetapi ia terbang terbawa angin tanpa perlindungan...
Inilah nyanyian Nippon bunga sakura..."
Thio Hek sudah lantas berhenti menggayu.
"Tidak salah, inilah perahu upeti bangsa kate!" katanya.
Sin Tjoe terperanjat saking heran.
"Kenapa perahu mereka dapat berlayar dengan merdeka di sungai Tiangkang?" katany
a.
"Siangkong tidak tahu," sahut Thio Hek. "Bangsa kate itu sangat licin, di satu p
ihak mereka membajak, di lain pihak dengan ber-
pura-pura mengantar upeti mereka berusaha dengan menyelundup." "Begitu?"
Si tukang perahu menghela napas.
"Malah pembesar pabean kita telah memperlakukan mereka sebagai tetamu yang dihor
mati!"
Di jaman kerajaan Beng itu, sewaktu tahun Tjengtong atau Kaisar Eng Tjong, untuk
Nippon adalah "jaman perang saudara" dan di pelbagai tempat di mana ada raja mu
da yang berkuasa dengan angkatan perangnya, raja-raja muda itu berebut mengirim
upeti ke Tionggoan, dengan mengangkutnya dengan perahu-perahu besarnya itu. Menu
rut aturan kerajaan Beng di masa itu, kalau utusan asing datang mengantar upeti,
barang-barang pribadinya bebas dari cukai.
Ketika ini dipakai pelbagai raja muda itu untuk menyelundupi barang-barangnya. K
alau pemerintah Beng menegur pemerintah Nippon tentang kawanan perompaknya, dija
wabnya mereka itu ada golongan bangsa 11 ronin" yang pemerintah Nippon tidak ber
daya untuk mengurusnya. Sedang sebenarnya, rombongan ronin itu dapat tunjangan p
elbagai raja muda itu atau yang langsung ditugaskan membajak.
"Mereka itu merampok, membakar dan membunuh, kenapa
pembesar negeri setempat membiarkan saja?" tanya pula Sin Tjoe.
"Bukankah itu disebabkan hasil keuntungan besar?" Thio Hek balik bertanya. "Mere
ka itu menggunai kedudukannya sebagai utusan pengantar upeti. Telah
ditetapkan pemerintah, waktu mengantar upeti adalah tiga tahun sekali dan jumlah
rombongan utusan pun dibataskan, tetapi pelbagai raja muda itu berebut menganta
r upeti dan semua rombongan itu menyogok pembesar maka mereka dapat datang dan p
ergi dengan merdeka."
Si nona menggeleng-geleng kepala, ia menjadi sangat masgul.
"Mari kita menyingkir," kata Thio Hek selagi perahu di depan datang semakin deka
t.
Darahnya si nona menjadi naik.
"Kenapa kita mesti menyingkir?" katanya sengit. "Kita justeru papaki dia!"
Thio Hek mengedipi mata.
"Siangkong," ia
memberi ingat, "bukankah kau hendak me-nyebrang untuk satu
urusan? Perahu upeti itu biasanya galak dan jahat, satu kali kita papaki dia, on
ar bakal terbit dan itulah bukannya permainan."
Nona Ie murka tapi nasihat Thio Hek membuatnya ia diam.
Thio Hek lantas mengubar tujuannya, tetapi di lain pihak belasan tombak dari per
ahu upeti itu, ada sebuah perahu nelayan yang muatannya adalah seorang nelayan t
ua serta seorang anaknya perempuan, perahu
nelayan itu dapat dilihat orang-orang dari perahu besar, lantas mereka berk
aok-kaok menggunai penggayu, untuk mengejar.
"Celaka!" seru si mahasiswa, kaget. "Mereka hendak tangkap itu nona nelaya
n!"
Kembali naik darahnya Sin Tjoe.
"Thio Hek, biar ba-
gaimana juga, mari kita hampirkan mereka!" dia berteriak. "Lekas kau menggayu ba
lik!"
Di pihak sana, perahu besar sudah mendekati perahu nelayan, ada dilemparkan dua
rantai gaetan, untuk mem-bangkol perahu nelayan itu. Justeru itu, perahunya Thio
Hek dapat menyandak, dan Sin Tjoe, dengan pedangnya, lantas
membabat kutung rantainya gaetan seperti jangkar itu.
Di atas perahu besar, orang kaget dan gusar, lalu terdengar teriakan mereka "Bag
ero\" berulang-ulang. Bahkan dua orang, yang membekal golok, sudah lantas lompat
turun ke perahunya Thio Hek.
Ie Sin Tjoe memang sudah bersiap sedia, ia menyambut mereka dengan ayunan tangan
, yang membuatnya dua
bunga emasnya terbang menyamber. Satu ronin kena dihajar, dia roboh ke dalam air
, kawannya dapat menaruh kaki di perahu tapi dia ini segera dibabat dengan pedan
g. Dia gunai goloknya, untuk menangkis. Untuk kagetnya, goloknya terpapas
kutung, sedang tadinya dia tertawa lebar.
Ronin itu ada dan ke empat, ia percaya goloknya yang tajam, ia tidak pandang mat
a kepada nona ini, yang macamnya sebagai seorang pemuda lemah, baharu ia kaget s
esudah goloknya itu terkutung.
Selagi orang tercengang, sambil membentak, Sin Tjoe kirim tikaman mautnya seraya
kakinya membarengi menendang, maka
selain dada orang itu ditembuskan pedang hingga di punggungnya,
dia pun roboh ke dalam air, tubuhnya dibawa hanyut air yang menjadi merah karena
darahnya.
Dari atas perahu besar segera terdengar pula riuh teriakan bagero tapi sekarang
dibarengi pujian, pujian untuk caranya Sin Tjoe merobohkan kedua
lawannya, tidak perduli lawan itu ada kawan atau bangsanya sendiri.
Thio Hek memutar pula kepala perahunya, untuk mencoba menyingkir, atau lagi dua
musuh lompat ke atas perahunya itu, mereka ini sangat lincah, dan ketika mereka
telah menaruh kaki di lantai perahu, perahu lantas saja kelam sedikit.
Hatinya Sin Tjoe menjadi besar menyaksikan bagaimana dengan gampang sekali ia be
rhasil menyingkirkan dua lawan yang pertama itu, ia terus
menyambut lawan yang baru ini. Dengan gerakan pedangnya "Secara mendusta membagi
emas," ia menikam mereka saling susul, berganti dari yang satu kepada yang lain.
Kedua lawan itu berseru, mereka membabat dengan pedang mereka yang panjang.
Dengan terpaksa, Sin Tjoe menarik pulang pedangnya seraya
mundur. Hampir berbareng dengan itu, ia dengar jeritan, terus ia tampak tubuh Th
io Hek terlempar ke air.
Tukang perahu itu hendak membantui si nona, selagi kedua musuh menyerang, ia mem
bokong satu musuh dengan penggayunya. Musuh itu kebetulan ada jago dan ke enam,
dia lihat serangan, dia berkelit, justeru tubuh Thio Hek terjerunuk ke arahnya,
dengan meng-
gunai satu jurus yudo, dia tangkap tangannya Thio Hek untuk diteruskan dilempark
an. Saking kaget, Thio Hek menjerit.
Sin Tjoe lantas menyerang pula, tempo ia diserang kembali, ia punahkan serangan
mereka itu. Kedua musuh ini, yang ada dan ke enam dan ke lima, menjadi kagum men
getahui si nona liehay, karenanya, mereka
berkelahi dengan ati-ati.
Nona Ie didesak, ia tidak mau mundur, sebaliknya, ia membalas merangsak. Ia berh
asil membuatnya orang
mundur ke kepala perahu tetapi ia tidak dapat lantas merobohkan mereka itu. Mere
ka itu cerdik, tahu si nona memegang pedang
mustika, mereka selalu menghindarkan benterokan senjata.
Selagi begitu, perahu
besar mulai mendekati perahu Thio Hek. Dari atas perahu besar itu segera dilonjo
rkan
belasan batang gaetan. Asal saja kedua perahu telah datang dekat sekali, pasti g
aetan akan bekerja dan perahunya si nona bakal kena tergaet. Inilah berbahaya. P
erahu kecil itu tanpa tukang kemudinya. Si nona sendiri tidak pandai berenang.
Tanpa kemudi, perahu kecil itu terumbang-ambing, dan dengan di atasnya ada tiga
orang lagi bertarung, terum-bang ambingnya
menjadi terlebih keras. Gubuk perahu juga telah terbabat golok -goloknya musuh.
Lantas juga Sin Tjoe menjadi berkuatir.
Goncangan keras dari perahu membuatnya repot, kesatu untuk melayani musuh, kedua
guna memperteguh
kuda-kudanya. Celakanya, kepalanya terasa pusing, hingga matanya pun bagaikan ka
bur. Ia terganggu apa yang dinamakan "mabuk laut."
Di perahu besar, rombongan ronin berteriak-teriak, belasan gaetan mereka digerak
-geraki. Melihat gaetan itu, Sin Tjoe menjadi bingung. Justeru itu, sambil berse
ru, dua lawannya menyerang dengan berbareng. Bahkan musuh yang di kiri. habis me
nggertak, hendak menyergap, guna menangkap
tangan si nona, guna dilemparkan ke sungai.
Dalam saat yang berbahaya itu, Sin Tjoe masih dapat melihat tegas. Ia lantas mem
-bulang-balingkan pedangnya, guna menangkis. Ia geraki jurusnya "Kuda sungai men
ggendol gambar."
Tiba-tiba musuh yang
di kanan menjerit keras, sebelah tangannya
lantas dikasi turun. Ketika baik ini digunai Sin Tjoe untuk berkelit dari musuh
yang di kiri, yang hendak mencekuk padanya. Setelah berkelit, ia menikam ke bawa
h. Musuh itu lantas menjerit, karena perutnya menjadi sasaran pedang. Syukur
untuknya, dia tidak terluka parah, maka bisa dia terjun ke air untuk menolong di
rinya. Dia lantas ditelad kawannya, yang tangannya terus dibabat pula si nona hi
ngga kutung.
Untuk sejenak, hatinya Sin Tjoe lega, tetapi segera ia diancam belasan
gaetan, yang bisa-bisa menyamber tubuhnya atau perahunya. Sekonyong-konyong saja
perahu kecil itu memutar
tujuan, lalu melesat menjauhkan diri beberapa tombak, hingga ancaman itu buyar!
Dengan cepat Sin Tjoe berpaling ke belakang, hingga ia bisa tampak wajahnya si m
ahasiswa, yang bagaikan bersenyum, hanya begitu lekas sinar mata mereka benterok
,
pemuda itu lantas tunduk, tinggal kedua tangannya saja yang memegang kemudi,
mengendalikan perahu mereka.
"Terima kasih!" berkata Sin Tjoe, hatinya ingat sesuatu.
"Terima kasih apa," sahut si mahasiswa, tenang. "Lekas masuk ke dalam gubuk!"
Kata-kata ini disusuli damparannya gelombang, hingga perahu menjadi miring.
Dengan sekonyong-konyong dari dalam gelombang terlihat satu
orang lompat mencelat, di mulutnya tergigit sebatang golok Nippon, kedua tangann
ya
menengteng masing-masing sebuah kepala orang. Dia lompat naik ke perahu kecil ka
rena dialah Thio Hek si tukang perahu.
Sebelum membilang apa-apa kepada si nona atau si pemuda, Thio Hek pelemparkan ke
dua kepala manusia itu ke perahu besar, lalu setelah ambil golok dari mulutnya,
ia berseru: "Siapa berani menyusul kami, inilah contohnya!" Kemudian baharu ia m
enoleh, sembari tertawa ia kata: "Ini dia yang dibilang, orang tulen tidak menge
nta-rakan diri, yang me-ngentarakan diri
bukanlah orang tulen! Tiat Siangkong, kaulah si orang gagah yang menyimpan kepan
daian liehay!"
Thio Hek adalah tukang perahu, sebagai tukang perahu pastilah ia pandai berenang
, maka itu tempo ia dilemparkan ke sungai, ia tidak mendapat bahaya apa-apa. Ia
hanya tidak segera muncul pula di permukaan air, hanya dari dalam air, ia ikuti
perahunya, sampai ia dapatkan dua musuh nyebur ke sungai. Ia lantas serang merek
a itu, yang sudah terluka, dengan gampang ia bisa bunuh mereka, yang kepalanya i
a kutungi. Selama di dalam air, ia dapatkan dua batang pisau belati nancap di da
da kedua musuh itu, karena ia tahu, Sin Tjoe menggunai bunga emas, ia lantas men
duga si mahasiswa.
Thio Hek terus ambil penggayunya, untuk membantui si mahasiswa, dengan begitu, p
e-
rahu kecil itu lantas laju pesat.
Baharu saja Sin Tjoe merasa lega
betul-betul, atau ia telah menjadi kaget pula.
"Celaka!" tiba-tiba Thio Hek berseru, matanya mendelong ke dasar perahu.
Si nona mengikuti tujuan mata orang, maka itu ia mendapat lihat papan perahu pec
ah di dua tempat dan air merubul masuk.
Thio Hek lepaskan penggayunya, ia me-nimbakan air.
Di lain pihak, perahu besar, yang memasang layar, datang menyusul. Di kepala per
ahu, seorang yang tubuhnya besar perdengarkan suaranya yang nyaring dan bengis.
Orang tidak mengarti apa yang dia bilang, sedang sebenarnya dia mencaci: "Telur
busuk yang besar!"
Menyusul itu, dengan menghitung "it ni san," dia menimpuk dengan sebuah
jangkar besar ke arah perahu kecil.
Berat jangkar mungkin dua tiga ratus kati, tidak dapat Sin Tjoe tanggapi itu ata
u menangkisnya. Tapi jangkar sudah melayang datang, dengan terpaksa si nona berl
ompat, untuk pergi ke kepala perahu, guna paksa menanggapi juga.
Justeru itu, ia merasakan ada orang tarik ia dari belakang, lalu seorang melesat
mendahulukan dia,
tepat itu waktu, jangkar pun tibalah!
Dalam ancaman bahaya itu, orang yang mendahulukan Sin Tjoe, ialah si mahasiswa,
sudah lantas mengulur kedua tangannya, dengan tenang ia menganggapi jangkar, lan
tas ia berseru: "Kehormatan
tidak dibalas itulah bukan kehormatan!" Menyusuli itu, ia ayun kedua tangannya,
maka sekejab saja, jangkar telah terlempar balik ke arah perahu besar!
Orang-orang di perahu besar, yang pada berdiri di tepian, menjadi kaget, serenta
k mereka lari mundur karena ancaman jangkar mereka itu. Tapi seorang, yang terny
ata ada dari dan ke tujuh, majukan diri untuk pasang kuda-kuda,
guna mengulur kedua tangannya, guna me-nyanggapi jangkar. Tanpa dia berbuat demi
kian, jangkar itu dapat merusak lantai perahu mereka. Dia berhasil menyanggapi,
dia terus letaki jangkar itu, hanya, berbareng dengan terlepasnya jangkar dari t
angannya, ia muntahkan darah hidup dari dalam mulut-
nya!
Itulah karena lemparan yang disebabkan tenaga besar luar biasa dari si pemuda.
Semua orang di dalam perahu besar itu menjadi kaget sekali.
Di dalam perahu itu ada sama sekali dua jago dan ke tujuh, dua dari dan ke
enam, dan enam atau tujuh lainnya dari dan ke empat dan dan ke lima, deng
an dari dan ke enam telah terbinasa satu orang, dari dan ke lima satu
orang, dan dari dan ketiga atau ke empat dua orang, sekarang dari dan ke tuju
h luka parah satu orang, semua penghuni perahu besar itu menjadi
bingung. Lantas banyak suara mengusulkan untuk
berhenti mengejar.
"Jangan!" berteriak jago dari dan ke tujuh yang tinggal satu-satunya. Dia be
rmata
awas dan dia dapat melihat perahunya Thio Hek kemasukan air. "Apakah pahlawan-pa
hlawannya Tenno mesti kehilangan keang-karannya? Kejar mereka, lepaskan panah!"
Sin Tjoe tidak mengarti apa yang orang ucapkan itu, tidak demikian dengan Thio H
ek dan si mahasiswa, yang hidup di sepanjang pesisir. Mereka ini menjadi kaget.
Perahu mereka bocor dan menjadi semakin besar, kalau mereka dihujani anak panah,
mana mereka dapat membela diri? Sedikitnya perahu kecil itu bakal karam!
Thio Hek mengertak
gigi.
"Mari kita adu jiwa!" katanya kemudian, sengit. "Sayang kabaran kita tidak dapat
sampai di kuping Yap Toako1...."
"Yap Toako yang mana?" bertanya si ma-
hasiswa.
"Toako Yap Tjong Lioe pemimpin dari tentera suka rela di Taytjioe," sahut si tuk
ang perahu. "Kita hendak menyampaikan kabar kepadanya."
Thio Hek omong secara terbuka. Ia percaya si mahasiswa adalah orang kaum sendiri
.
Mahasiswa itu me-ngasi dengar suara tertahan, lalu ia mengibas tangannya.
"Lekas menggayu dan menyingkir!" ia berkata. "Pergi kamu mengambil jalan kecil u
ntuk tiba di Taytjioe!"
Ia lantas menepuk kepada pinggangnya, dari mana ia loloskan sebatang djoangin ki
am atau pedang lemas, setelah itu ia mencelat hingga tubuhnya terlihat berkeleba
t seperti terbangnya seekor burung ho.
Sementara itu riuh
Terpaksa Sin Tjoe hendak meloncat untuk menyambut jangkar itu, tetapi mendadak i
a merasakan tubuhnya ditarik ke belakang dan berbareng dengan itu, si mahasiswa
sudah mendahului meloncat menyambut jangkar itu.
suara teriakan di perahu besar, panah mereka lantas ditarik dan dilepaskan ke ar
ah perahu kecil itu, tetapi si mahasiswa putar pula gegamannya itu yang istimewa
, ia membuatnya setiap batang anak panah mental balik dan jatuh ke air. Perahu b
esar pun telah datang dekat, maka tubuh si anak muda sudah mencelat naik ke atas
nya, di tingkat yang kedua.
Penumpang-penumpang perahu besar itu menjadi heran menyaksikan kepandaian orang
hingga mereka jadi berdiri tercengang, kecuali dua jago dari dan ke empat, merek
a maju untuk memapaki lawan, yang mereka terus serang.
Si mahasiswa berlaku awas dan sebat sekali. Ia sebenarnya seperti dibokong, kare
na orang
tidak hendak berikan ia ketika untuk menaruh kaki. Syukur saking gesitnya, kakin
ya itu telah mendahului tiba, maka ia bisa lantas menangkis serangan itu. Ia tid
ak melainkan menangkis, dengan kecepatan yang luar biasa, ia membalas menyerang.
Kedua musuh itu tidak menyangka, mereka kaget, tetapi justeru mereka tergugu, me
reka lantas menjadi kurbannya pedang perak yang lemas dari lawannya ini. Mereka
roboh dengan lukanya masing-masing.
Jago dan ke tujuh menjadi gusar sekali. Ia justeru ada murid terpandai dari Eguc
hi Fujiki, dan ke sembilan dan jago kendo kenamaan dari Nippon. Ia lantas menghu
nus pedangnya, sambil memasang kuda-kuda, ia
menantang.
Melihat sikapnya jago ini, yang lain-lain, dengan senjata mereka terhunus juga,
lantas mengambil sikap
mengurung, siap sedia untuk mengeroyok bila saatnya telah tiba.
Si mahasiswa tidak menjadi jeri walaupun ia sudah terkurung,
dengan matanya yang bersinar tajam dan bengis, ia menyapu semua lawan itu. Sikap
nya ini membuat musuh-musuh gentar hati. Bukankah tadi mereka telah
menyaksikan sendiri orang telah menyambuti jangkar dan melemparnya balik serta b
arusan saja dia telah menghalau hujan anak panah?
***
"Panggillah juru bahasa kamu!" membentak si mahasiswa. Ia me-
ngarti bahasa Nippon akan tetapi dihadapan bangsa itu ia tidak suka menggunai ba
hasa
orang itu.
Di antara rombongan ronin itu ada sejumlah yang mengarti bahasa Tionghoa, sa
lah satu di antaranya lantas
menyahuti.
"Aku lihat kau ada satu orang kosen," katanya, "maka kalau kau ada pesan apa-apa
, sampaikanlah itu kepada kami! Perlu apa mesti pakai juru bahasa lagi?"
Si m ahasiswa pentang lebar kedua matanya, ia tertawa bergelak.
"Aku telah naik ke atas perahu kamu ini, itu artinya aku sudah mengambil ketetap
an untuk pulang tanpa nyawa!" ia menyahuti. "Hanya untuk berpulang itu, mesti ak
u mengundang dan mengajak
kamu pergi bersama ke noraka!"
Kata-kata ini ditutup dengan berkelebatnya pedangnya dengan
tiba-tiba, maka itu dua jago dan ke empat, yang pedangnya diajukan ke depan, ken
a terbabat kutung, hingga mereka itu menjadi kaget.
Jago dan ke tujuh itu menjadi murka sekali, sambil berseru, ia menikam.
Si anak muda menangkis, hingga senjata mereka benterok hingga memuntahkan lelatu
api. Anak muda ini tidak cuma menangkis, ia pun mesti berlompat, karena hampir
berbareng beberapa pedang lain membabat kakinya!
Jago dan ke tujuh itu tidak hendak mensia-siakan ketika-nya, selagi orang belum
menaruh kaki, ia menyerang.
Si mahasiswa dapat melihat orang menyerang, sembari turun ia menangkis, lalu den
gan sebat ia membalas menyerang. Maka itu ia lantas jadi bertempur sama penyeran
gnya itu.
Banyak musuh menjadi kagum terhadap si mahasiswa, bukannya berkelahi, mereka jus
teru menonton. Adalah kemudian, beberapa di antaranya maju pula.
Dengan sekonyong-konyong, si mahasiswa berseru keras. Ia bertubuh kecil dan kuru
s, romannya juga lemah, akan tetapi sekali ia berseru, ia perdengarkan suara men
gguntur, sampai orang kaget, tak terkecuali si jago dan ke tujuh. Semua orang me
rasakan telinga
mereka seperti berbunyi mengaung...
Mahasiswa itu pandai menggunai ketikanya. Tempo ia didesak rapat
oleh dua musuh dan ketiga, ia sampok senjata mereka, ia mendesak, lalu tangan ki
rinya menyamber seraya
terus dilemparkan. Dua kali ia bergerak secara demikian, dua musuh kena ditangka
p dan dilempar, celaka untuk mereka ini, mereka dilemparkan ke arah jago dan ke
tujuh, justeru selagi dia ini menerjang. Sia-sia saja dia mencoba mengelakkan pe
dangnya, dua
kawannya itu kena tertikam urat kakinya hingga urat-urat itu putus.
Walaupun ia telah berhasil, si mahasiswa tidak berhenti sampai di situ. Bukankah
ia berada di dalam perahu musuh dan musuh itu berjumlah besar? Maka ia mesti be
kerja terus. Begitulah selagi me-rangsak, ia dapat menendang dua musuh
hingga mereka itu terjungkal ke luar perahu, tercebur ke dalam sungai.
Jago dan ke tujuh itu pun maju terus, tapi sekarang ia tampak musuh tengah menye
nder di loneng besi, tangannya dibulang-balingkan tak hentinya, hingga pedangnya
itu mengasi dengar suara angin santer, mengaung tak hentinya.
"Baiklah, siapa akan temani aku pergi ke noraka!" teriak pemuda itu, sikapnya me
nantang. Ia jadi semakin berani karena di belakangnya ada hanya sungai Tiangkang
, tak usah kuatir ia nanti ada yang bokong.
Pihak penyerang itu beragu-ragu. Mereka kuatir, umpama kata musuh dapat disingki
rkan, mungkin di pihak mereka sendiri bakal jatuh terlalu banyak kur-
ban. Ini pun menjadi pikirannya utusan yang mengantar upeti.
Selagi keadaan mandek itu, dari dalam perahu terlihat munculnya satu orang denga
n seragamnya sebagai pembesar kerajaan
Beng. Ia memang ada utusannya tiehoe atau wedana dari Taytjioe untuk menyambut d
an mengawani si utusan, yang akan menuju ke kota raja. Kapan pembesar ini telah
melihat nyata si mahasiswa, mukanya lantas saja berubah menjadi pucat.
"Tiat Kongtjoe..." katanya pelahan.
"Siapa kau?" membentak si mahasiswa yang dipanggil Tiat Kongtjoe itu seraya dia
menuding dengan pedangnya.
Pembesar itu memberi hormat.
"Aku adalah Sioepie Oey Tay Keng dari Tay-
tjioe," ia menyahut, memperkenalkan diri sebagai sioepie atau kapten. "Aku kenal
ayahmu untuk banyak tahun..."
"Itulah terlebih baik lagi!" berkata si anak muda. "Kabarnya kamu tengah mencari
aku?"
"Aku tidak berani," menyahut sioepie itu seraya menjura.
"Kenapa kau tidak berani? Sekarang ini aku justeru hendak menyerahkan diri! Kau
berita-hu kepada budak-budak kate ini, karena aku hendak menyerahkan diri ke Tay
tjioe, suruh mereka sediakan aku sebuah perahu kecil, untuk mengantarkan aku. Um
pama kau tidak bertenteram hati, kau boleh utus beberapa pahlawan untuk mereka m
enemani aku! Sebaliknya, jikalau mereka hendak menangkap dan membunuh aku di s
ini,
boleh saja, aku bersedia untuk melayani mereka! Asal kau maklum bahwa pedang tid
ak ada matanya dan tidak mengenal kasihan, seandainya aku mesti membuang jiwa di
sungai Tiangkang ini, utusan ini juga jangan harap dia dapat tertanggung kesela
matannya hingga di Pakkhia untuk mempersembahkan upetinya!"
Kembali si mahasiswa kebaskan pedangnya, yang lalu berbunyi pula.
Utusan pembawa upeti itu mengarti sedikit bahasa Tionghoa, ia kaget berbareng gi
rang. Ia tarik si kapten ke samping, lalu ia kata dengan pelahan sekali: "Kirany
a dia ini si pembunuh dan perampas, yang nyalinya besar berani merobek bendera m
atahari kami? Dia ini Tiat Keng Sim?"
"Dia bilang..." berkata
si sioepie.
"Aku tahu apa yang dia bilang!" si utusan memotong. "Aku hendak tanya kau, apaka
h benar-benar dia hendak menyerahkan diri?"
"Sasterawan Tionghoa paling menjunjung rajanya dan berbakti kepada orang tuanya,
aku lihat dia rupanya bersungguh-sungguh hati," menyahut si soepie.
Utusan itu mengangguk.
"Baik," .bilangnya. "Aku pun menghargai dia sebagai seorang kosen. Sekarang kita
atur begini saja. Sebentar aku sediakan sebuah perahu kulit, Otonoe dan kau bol
eh bawa padanya. Sekarang undang dulu dia bersantap."
Otonoe adalah si jago dan ke tujuh.
Oey Sioepie sampaikan perkataannya si
utusan kepada si mahasiswa, dia ini lantas tertawa lebar.
"Mati pun aku tidak takut, kenapa aku mesti jeri untuk arak kamu?" katanya. "Nah
, suruhlah dia keluarkan barang makanannya dan dia boleh temani aku minum!"
Nyaring tertawanya pemuda ini hingga itu terdengar jauh, sampai juga di t
elinganya Ie Sin Tjoe.
Sebenarnya perahu kecil si nona, yang digayu Thio Hek, sudah terpisah jauh dari
perahu besar, akan tetapi mendengar suara tertawa itu, nona ini berdiri di kepal
a perahu, ia memandang ke arah perahu besar itu. Ia heran waktu ia dapat lihat s
amar-samar si anak muda, yang dikurung perompak, tengah menenggak poci arak.
"Kenapa barusan dia
berkelahi mati-matian dan sekarang dia minum arak bersama musuh?" ia tanya dirin
ya sendiri saking heran. Ia jadi berkuatir yang si pemuda telah kena diakali mus
uh. "Mari kita kembali!" ia mengajak si tukang perahu.
"Kita ada punya urusan penting, mana dapat kita kembali?" jawab Thio Hek sambil
tertawa. "Laginya
perahu kita bocor, untuk menyingkir jauh saja masih belum tentu kita keburu, apa
pula untuk balik kembali..."
Dengan sebenarnya, air sungai nerobos semakin besar. Thio Hek tidak tahu bocor i
tu disebabkan tadi dua musuh memakai sepatu yang ada pakunya dan di waktu menaru
h kaki, mereka itu sengaja menginjak dengan keras. Di tengah sungai itu tidak ad
a jalan untuk
menutup liang itu.
Sin Tjoe tidak bisa berenang sekarang pun sepatunya telah basah kerendam air, ha
tinya gentar juga. Karena ini, ia tidak berani memaksa. Tentu saja ia menjadi me
rasa tak enak bukan main mengingat si mahasiswa berada di tangan musuh...
Belum lagi perahu ini laju jauh, tiba-tiba terlihat sebuah perahu kecil lagi men
datangi dengan pesat, malah segera ternyata, itulah perahunya si nelayan tua.
Begitu perahu itu sudah datang dekat, si nelayan menjura kepada Sin Tjoe.
"Siangkong, terima kasih banyak-banyak untuk budimu sudah menolongi kami," ia be
rkata, "Silahkan
siangkong pindah ke perahu kami untuk kami ayah dan anak meng-
hunjuk hormat padamu."
Di waktu begitu, Sin Tjoe tidak dapat menampik pertolongan. Thio Hek pun segera
mengajak ia pindah.
Tak lama dari kepin-dahan mereka, perahu mereka lantas karam.
Perahu nelayan itu lantas digayu oleh Thio Hek dibantu si nona nelayan, Sin Tjoe
sendiri duduk di dalam gubuk ditemani si nelayan tua.
Nelayan itu ada penduduk asli dari Taytjioe, tempo Sin Tjoe omong perihal peromp
ak asing, ia menghela napas. Ia kata: "Kota Taytjioe sekarang ini, walaupun di s
ini ada tiehoe yang menjadi wakil pemerintah, sebenarnya si perompak kate yang m
enjadi rajanya! Jangan kata rakyat jelata, sekalipun pembesar negeri jeri terhad
ap mereka itu..."
"Sampai begitu ganasnya perompak itu?" Sin Tjoe tanya.
"Memang! Baharu bulan yang sudah terjadi satu peristiwa. Sebuah perahu penyelund
up kate berlayar ke Hayleng. Di Hayleng itu ada seorang saudagar yang kemaruk, d
ia berhubungan sama
pihak penyelundup itu, lantas dia kena makan pancing. Selama pembicaraan di pela
buan sudah dijelaskan,
mereka kedua pihak akan saling tukar barang, tetapi kenyataannya, pihak sana mai
n gila. Caranya ialah, barang mereka dipasang harganya
tinggi sekali, barang si saudagar sebaliknya ditaksir rendah.
Saudagar itu tidak mau mengarti. Berani sekali pihak penyelundup itu. Mereka men
uduh si saudagar melanggar jan-
ji, lantas mereka menganiaya hingga saudagar itu setengah mati, barangnya diramp
as, perahunya ditenggelamkan! Tapi itu belum semua. Di dalam perahu ada isteri d
an gadisnya si saudagar, nyonya dan nona itu diambil mereka, katanya sebagai bar
ang pengganti kerugian. Saudagar itu tidak berdaya, saking putus asa, dia terjun
ke sungai dan binasa karenanya. Kejadian itu membangkitkan amarah umum, banyak
orang berseru-seru untuk
menyerbu. Berbareng dengan itu, pihak penyelundup pun berselisih sama belasan ku
li Tionghoa, yang upahnya tak hendak diperhitungkan, hingga kesudahannya kuli-ku
li itu bersatu sama orang banyak. Ada ronin di dalam perahu penyelundup itu, mer
eka achirnya
menghunus golok, sembari menunjuk benderanya, yang dipancar di kepala perahu, me
reka buka mulut besar, sambil tertawa mereka kata: "Dengan ada bendera ini, kami
dapat malang melintang di pelbagai tempat dari Tiongkok! Pembesar-besar kamu, k
apan mereka lihat bendera kami ini, mereka lantas menyambut kami
dengan segala kehormatan! Beranikah kamu membikin ribut di depan bendera ini?" K
awanan kuli itu dan orang banyak tidak mau mengarti, mereka tetap berkeras. Roni
n itu
benar ganas, mereka lantas turun tangan, mereka menyerang
kalang kabutan. Pihak kuli tidak bersenjata, mereka terpukul mundur, belasan yan
g terluka. Pihak ronin masih hendak mengejar,
sampai di antara orang ramai ada satu pemuda yang muncul seraya membentak: "Apak
ah benar dengan adanya bendera kamu ini boleh kamu malang melintang?" Dia lantas
lompat maju, dia lompat naik ke perahu penyelundup, bagaikan kera, dia panjat t
ihang bendera, untuk mengasi turun benderanya, yang terus dirobek empat! Seorang
ronin membacok, goloknya ditangkis hingga kutung menjadi dua potong. Setelah it
u si pemuda menghajar roboh belasan ronin, golok mereka dibabat kutung, kutungny
a
dibuang ke sungai! Setelah itu, isteri dan gadisnya si saudagar ditolongi. Di ac
hirnya, sembari tertawa, dia angkat kaki."
Sin Tjoe gembira mendengar penuturan itu, meskipun mulanya ia
mendongkol.
"Bagus, bagus!" serunya. "Siapakah pemuda gagah itu?"
"Sebenarnya kita semua tidak tahu siapa pemuda itu, sampai belakangan, setahu de
ngan jalan bagaimana, satu pengchianat telah dapat mengusutnya," sahut si nelaya
n tua. "Dia adalah puteranya satu bekas giesoe yang telah pulang berpensiun di T
aytjioe. Giesoe itu she Tiat, namanya Hong. Untuk kota Taytjioe ialah penduduk k
enamaan, memang telah turun temurun ia memangku pangkat. Giesoe itu katanya ada
dari tingkat kedua. Ia baharu saja tahun yang selam meletaki jabatannya dan pula
ng ke kampung halamannya. Pengchianat itu lantas memberi kisikan kepada wakil
bangsa kate di
Taytjioe itu, yang biasa mengurus soal-soal perdagangan bangsanya. Wakil perdaga
ngan itu lantas mendesak kepada tiehoe dari
Taytjioe, meminta anak muda itu. Ketika itu, si anak muda telah lenyap tak kerua
n paran. Tapi tiehoe tidak kurang akal, dia tangkap giesoe tua itu, yang terus d
ia tahan secara halus, untuk memaksa si giesoe menyerahkan puteranya. Perkara it
u menggemparkan kota Taytjioe, sampai sekarang masih belum beres. Lihat, bukanka
h perompak kate itu menjadi raja di sini, sampai tiehoe pun jeri terhadapnya?"
Habis menutur, nelayan itu menghela napas pula.
Sin Tjoe lantas ingat si mahasiswa, ia terkejut.
"Bukankah dia putera
giesoe itu?" serunya seorang diri.
"Kau bicara dari dia siapa, siangkong?" tanya si nelayan, heran.
"Dialah si pemuda yang tadi menempur bangsa kate," jawab Sin Tjoe.
"Kalau begitu, dia benar-benar gagah!" berkata si nelayan. "Di bawah desakan ban
gsa kate, tiehoe memang berniat menawan dia, sekarang dia pulang dan sendirian s
aja dia menaiki perahu musuh, apa itu bukan berarti dia antari diri ke dalam per
angkap?"
Sin Tjoe berdiam. Entah kenapa, ia menjadi pepat hatinya.
Setibanya di seberang, Sin Tjoe berpisah dari si nelayan dan gadisnya, bersama T
hio Hek, ia lantas mendarat, untuk melakukan perjalanannya. Selang beberapa
hari,
tibalah ia di kota Taytjioe, yang letaknya di pesisir propinsi Tjiatkang, dan di
desa-desa sekitarnya justeru lagi dikacau perompak, penduduk terbenam dalam ket
akutan, pasar menjadi sepi, walaupun di siang hari, dari sepuluh toko atau warun
g, enam atau tujuh yang menutup pintunya.
Thio Hek bawa Sin Tjoe langsung ke rumah kawannya, bersiap
untuk berangkat nanti setelah ada perhubungan sama pihak tentera rakyat.
Baharu saja Ie- wat dua hari, kota Taytjioe gempar dengan warta bahwa Tiat Kongt
joe, yaitu puteranya Tiat Hong si bekas giesoe atau censor raja, telah datang me
nyerahkan diri di kewedanaan, tetapi ada juga yang bilang dia dibawa datang
oleh bangsa Nippon.
"Coba tolong mencari keterangan," Sin Tjoe minta kepada Thio Hek.
Tukang perahu itu pergi dengan cepat. Ia ada punya banyak kenalan sekalipun di k
antor negeri. Sesudah sore baharulah ia pulang, dengan kabar yang memastikan, ia
pun dapat keterangan, sekarang ini kongtjoe itu ditahan di dalam kantor, sebab
ada kemungkinan, lagi tiga hari dia bakal diserahkan pada pihak Nippon. Katanya,
sebab kongtjoe itu ada puteranya Tiat Hong, dia tidak ditahan di penjara hanya
di sebuah ingin aku ketahui, penahanan itu dilakukan atas undang-undang fatsal k
e berapa?"
Kembali mukanya si wedana menjadi merah. Ia rangkapi kedua tangannya, untuk menj
ura.
"Harap kau tidak gusar, kongtjoe," ia bilang. "Apa yang aku lakukan ini sebenar-
benarnya saking terpaksa. Kongtjoe, haraplah kau, kau maafkan kesuli- tanku..."
"Sebenarnya kau pembesarnya pemerintah atau hambanya si perompak kate?" Tiat Ken
g Sim menanya pula.
"Terang aku ada pembesarnya pemerintah," sahut si tiehoe cepat. "Tetapi, k
ongtjoe, kau sendiri bukannya tak ketahui, bahagian luar dari kota Tay
tjioe sekarang ini adalah dunianya
perompak kate itu sedang di bahagian dalamnya, perwakilan Nippon telah sangat me
ndesak padaku.
Pemerintah kita sama sekali tidak mengirim pasukan perang untuk menindas kaum pe
rompak itu. Di samping itu,
pembesar pabean telah menyambut hormat sekali kepada utusan perupetian Nippon it
u. Maka, kongtjoe, kau, kau hendak suruh aku berbuat bagaimana? Ah, siapakah yan
g dapat mengarti kesulitanku ini?"
Menampak wajahnya tiehoe, biar bagaimana, Sin Tjoe berkasihan juga kepada pembes
ar lemah ini yang tidak berdaya, kalau tadinya ia ingin memenggal batang leher o
rang, sekarang kemarahannya, kebenciannya, tumplak semua kepada perompak kate.
"Ya, aku mengarti!" berkata Keng Sim, tapi hatinya panas. "Sekarang kau hendak b
erbuat apa terhadapku?"
Tiehoe mengurut-urut kumisnya yang sudah ubanan.
"Perwakilan Nippon di kota ini pasti sekali
ingin mendapatkan kau, kongtjoe," ia menyahut, pelahan, "maka itu dengan memanda
ng kepada keselamatannya penduduk Taytjioe, aku minta sukalah kongtjoe sedikit m
erendahkan diri untuk besok pindah tempat..."
Keng Sim tertawa dingin ketika ia bilang: "Aku ada rakyatnya kerajaan Beng, jika
lau aku bersalah, seharusnya kaulah yang memeriksa! Kau menyebut-nyebut undang-u
ndang negara, sekarang aku tanya padamu, mana undang-undangmu itu? Apakah menuru
t
undang-undang itu
boleh bangsa asing yang memeriksa rakyat negara kita?"
Dengan tergesa-gesa tiehoe itu menjura.
"Kongtjoe, meskipun benar katamu itu, aku minta kau sukalah ingat kesul
itan-
ku," ia berkata. "Jikalau aku tidak iringkan kehendak mereka itu, pihak perwakil
an Nippon itu bisa memerintahkan kawanan perompak kate di luar kota datang mener
jang kota kita ini. Kalau itu terjadi, tidakkah penduduk kota menjadi bercelaka?
Kongtjoe, kau ada seorang yang sadar dan mengarti segala apa, aku minta sukalah
kau, kau, memaafkan kesu-karanku ini..."
Keng Sim mendongkol bukan main.
"Kenapa aku tidak mengarti?" katanya dalam hatinya. "Inilah semua sebab kau hend
ak lindungi kopia kebesaranmu, karena kau bernyali kecil, kau kasi dirimu didesa
k-desak!"
Melihat roman orang, pemuda ini toh tidak tega untuk menegur lebih jauh. Ia dapa
tkan
tiehoe itu, dengan sorot mata minta dikasihani, terus mengawasi
padanya. Achirnya ia angkat kepalanya.
"Baiklah kau ketahui, aku tidak menyayangi jiwaku, tetapi dengan kau serahkan ak
u kepada si budak kate, ke mana kau hendak letaki kehormatannya pemerintah kita?
" ia berkata. "Tapi kau berada dalam kesulitan. Baik begini saja: Maukah kau aku
carikan jalan yang ada dua kebaikannya untukmu?"
"Suka aku mendengarnya, kongtjoe," menyahut tiehoe cepat.
"Dayaku itu begini," berkata pula Keng Sim, menjelaskan. "Perkaraku ini kau send
iri yang periksa, kau ijinkan perwakilan Nippon itu turut hadir untuk menyaksika
n. Mereka itu mencari aku, biarlah dia memanggil datang saksi-
saksinya untuk menuduh dan mendakwa aku. Di waktu dilakukan peperiksaan, rakyat
jelata penduduk Taytjioe mesti diijinkan turut menyaksikan juga."
"Ini... ini..."
"Ini, ini apa?" memotong si anak muda. "Inilah cara untuk melindungi undang-unda
ng pemerintah sekalian untuk memberi muka kepada perwakilan Nippon itu! Dengan b
egini kau dapat membersihkan dirimu dari tanggung jawab terhadap pihak asing itu
. Tidakkah ini bagus? Jikalau kau tidak setuju, sudah, hendak aku mengangkat kak
i dari sini! Apakah kau kira ratusan atau ribuan perompak kate itu dapat mencega
h aku? Apakah kau juga dapat menghalanginya?"
Sengit ini anak muda hingga ia hajar ujung
meja teh dengan tangannya.
Tiehoe menjadi ketakutan. Ia memang tahu anak muda ini liehay dan telah dengar b
agaimana orang telah tempur musuh. Dengan cepat ia menjura.
"Baiklah kalau kongtjoe memikir demikian," katanya, terpaksa.
"Besok akan aku bicarakan urusan ini dengan pihak sana. Aku hanya harap sukalah
kongtjoe ingat keselamatannya penduduk kota kita."
Wajahnya tiehoe ini menjadi sangat kucel, dengan lesu ia mengundurkan diri.
Seberlalunya pembesar itu, Sin Tjoe lompat turun dari payon, tanpa bersangsi pul
a, ia lompat menem-brak jendela untuk masuk ke dalam kamar.
Keng Sim tidak jadi kaget, bahkan ia menyambut sambil ter-
tawa. Katanya: "Bukankah telah lama kau datang ke mari dan telah mendengar pembi
caraan barusan?"
Sin Tjoe merasa heran dan kagum.
"Aku anggap aku datang di luar tahu siapa juga, tidak dinyana dia telah mengetah
uinya..." pikirnya. Belum lagi ia menyahuti, anak muda itu sudah menambahkan: "K
au telah dengar segala apa, untuk apa kau datang juga padaku?"
"Aku hendak menjenguk kau!" sahut si nona, agaknya ia kurang puas.
Keng Sim bersenyum.
"Itu hari di sungai Tiangkang kau telah sudi mengajak aku menumpang perahumu," i
a berkata, "sekarang selagi aku dalam tahanan, kau pun men-
jenguk aku, saudara Ie, kau sangat baik, aku berterima kasih padamu."
Habis berkata, dia menjura.
Sin Tjoe mendongkol, tetapi mendengar perkataan orang dan melihat tingkahnya itu
, ia tertawa.
"Kau bilang tidak perlu aku datang ke mari, tetapi aku anggap tidak perlu kau be
rdiam di sini!" ia kata.
"Eh, kenapa?" tanya pemuda itu.
"Ayahmu sudah dimerdekakan, kenapa kau kesudian berdiam di sini untuk menjadi me
ndelu saja?" berkata si nona. "Apakah benar-benar kau sudi menerima hinaan denga
n membiarkan si budak kate bercokol di atas menyaksikan kau diperiksa?"
Mendengar itu, Keng Sim membalas: "Apakah
kurang jelas bagimu maksudnya si tiehoe?"
"Dia ketakutan sangat terhadap perompak kate, dia sampai hilang semangatnya! Apa
kah kita, kau dan aku, jeri juga? Bukankah sejak dahulu ada dibilang, Tentera
datang, panglima menangkisnya Air melanda, kita pakai tanah membendungnya? Jikal
au benar-benar perompak kate berani datang menyerang, apakah kita tak dapat berd
aya untuk memukul mundur pada mereka?"
Keng Sim tertawa. Ia mengawasi.
"Kita berdua memang tidak takuti perompak kate itu!" ia menyahut. "Tetapi kita b
erdua saja, dapatkah kita memukul mundur pada mereka? Aku mohon tanya, umpama ka
ta kawanan perompak itu menerjang kota secara
besar-besaran, saudaraku ada punya daya apa untuk menghancurkan mereka?"
Ie Sin Tjoe bicara dengan menuruti suara hatinya, hati yang muda, ia tidak perna
h memikir sampai begitu jauh. Tapi ia tidak mau menyerah kalah
mentah-mentah.
"Apakah kau benar rela diperiksa mereka?" ia tanya. "Apakah kau telah punyakan d
aya untuk menghajar kawanan perompak itu?"
Tiat Keng Sim tertawa.
"Menarik melengkung busur untuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok p
edang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay," ia berkata. "Untuk memana
h harimau dan menyingkirkan ular naga kita perlu lebih dulu menarik busur
dan
menggosok pedang, dari itu apa pula untuk mengusir perompak yang terlebih garang
daripada harimau dan ular naga itu?"
Sin Tjoe menjadi berpikir mendengar
jawab orang, yang seperti telah mempu-nyakan daya upaya. Ia kata di dalam hatiny
a: "Mungkinkah kerelaannya diperiksa ini disebabkan dia seperti hendak menarik b
usur dan menggosok pedang, yaitu dia telah menyiapkan sesuatu? Sungguh dia tak d
apat diterka hatinya..."
Ia awasi pemuda itu, ia dapatkan sinar mata yang tenang.
"Terima kasih yang kau telah datang menjenguk aku,"
berkata pula si anak muda sambil bersenyum. "Sekarang sudah waktunya untuk kau k
embali pulang! Nanti
saja di hari peperiksaan, kau datang pula melihat aku!"
Sin Tjoe masih merasa berat.
"Saudara Tiat, kau ada pesan apa lagi?" ia tanya. "Aku suka berikan tenagaku yan
g lemah..."
Heran juga Keng Sim menyaksikan kelakuan orang itu.
"Baik sekali ini anak muda," ia berpikir. "Kita baharu saja bertemu, dia sudah l
antas memandang aku sebagai sahabat kekal."
Ia menatap, hingga sinar mata mereka benterok, hanya sejenak saja, Sin Tjoe lant
as melengos,
wajahnya menjadi merah sendirinya.
"Dasar bocah cilik!" kata Keng Sim di dalam hatinya. Ia merasa lucu. "Barusan di
a omong tampan, seperti orang dewasa, sekarang
dia malu sendirinya..."
Pemuda ini masih belum menduga bahwa orang ada satu pemudi.
"Terima kasih, saudaraku," katanya pula kemudian, sembari
tertawa. "Kalau begitu baiklah saudaraku tolong bawa saja pesanku."
"Untuk siapakah itu?" Sin Tjoe tanya.
"Terpisah tujuh atau delapan lie di timur kota ini ada sebuah desa kecil yang di
panggil Peksee tjoen," menjawab Keng Sim. "Di sebelah barat desa itu, seperti me
nyender pada bukit, ada sebuah rumah. Di depan rumah itu ada tiga pohon pekyang
dan di depan pintunya ada sepasang singa batu. Ada sangat gampang untuk mengenal
i rumah itu. Kalau nanti saudaraku telah bertemu sama tuan rumah, tolong kau t
u-
turkan kepada dia semua apa yang kau dengar dan lihat malam ini."
"Siapakah tuan rumah itu?" Sin Tjoe tanya. "Orang apakah dia?"
"Asal saudaraku bertemu dengannya, saudaraku bakal ketahui sendiri," sahut Keng
Sim. Dia bersenyum, agaknya dia aneh.
Sin Tjoe terima pesan itu, ia lantas berlalu. Sampai di pondoknya, ia masih tida
k dapat menerka artinya senyuman pemuda itu.
Besoknya, Sin Tjoe masih belum menerima balasan kabar dari orang yang diutus Thi
o Hek untuk menghubungi pihak tentera rakyat. Ia tidak menanti lebih lama, seora
ng diri ia menuju ke Peksee tjoen, desa Pasir Putih.
Ketika itu ada di per-
mulaan musim rontok, sawah-sawah di luar kota memperlihatkan wajah kuning emas,
tandanya tanaman
telah masak. Pemandangan alam itu ada menarik hati, maka Sin Tjoe merasa puas. H
anya ketika itu, di situ terdapat jarang sekali orang yang berlalu lintas. Ia me
nghela napas, di dalam hatinya ia kata: "Coba tidak ada gangguan perompak kate,
tempat ini mirip dengan dunia punya Taman Bungah Toh..."
Peksee tjoen terpisah dari kota tak ada sepuluh lie, maka itu dengan tanya-tanya
orang, Sin Tjoe lekas tiba di desa itu. Itulah sebuah kampung kecil, yang pendu
duknya terdiri dari belasan rumah, yang mencar satu dari lain. Ia jalan terus di
jalan pegunungan yang berliku-liku, sampai di
selat di mana ia dapatkan sebuah rumah yang berdiri di lamping bukit
. Rumah itu tidak punya tetangga. Di tanjakan terlihat tanaman bunga
koeihoa, yang harumnya terbawa siuran angin gunung. Lega akan mendapat
kan bau harum itu. Maka Sin Tjoe duga penghuni rumah itu seorang yang halu
s budi pekertinya.
Setelah melintasi kebun bunga, Sin Tjoe dapat lihat sepasang tjiosay atau singa-
singaan dari batu, yang bercokol di undakan tangga rumah, dan di depan pintu rum
ah itu benar ada tiga buah pohon pekyang, yang mengalingi satu pojoknya lauwteng
rumah.
"Tidak salah lagi inilah rumah yang Keng Sim pesan aku mesti cari," memikir pemu
di ini selagi ia mengawasi ke arah rumah itu. "Kenapa
Keng Sim tidak hendak memberitahukan aku siapa pemilik rumah ini?"
Ia bertindak meng-hampirkan pintu,
tindakannya pelahan, niatnya untuk mengetok. Tiba-tiba ia merasakan samberan ang
in di belakangnya, lalu ia dengar teguran yang nadanya halus: "Siapa yang datang
celingukan ke mari?" Ia lantas menoleh, maka di hadapannya tampak satu nona yan
g manis, bajunya bertangan
pendek, warnanya kuning marong, rambutnya dijadikan konde dua. Nampaknya nona it
u masih kebocah-bocahan walaupun usianya, ia taksir, tak berjauhan dengan usiany
a sendiri. Nona itu bawa lagaknya seorang dewasa. Untuk kagetnya, nona itu terus
menyerang padanya, dengan satu jurus Kimna tjioe. Rupa-
nya orang telah pandang ia sebagai seorang panca longok!
Sebenarnya cukup untuk Sin Tjoe untuk berkelit seraya menyebutkan nama Keng Sim,
urusan sudah tidak ada lagi, siapa tahu, ia pun bawa tabiatnya, ingin ia mencob
a nona itu. Ia lantas membikin punah serangan si nona itu dengan jurusnya "Mega
merah menampa
rembulan." Kalau si nona menyerang ia dengan tangan kiri seraya tangan kanan dip
akai melindungi diri, ia justeru menangkis dengan tangan kiri sambil menjambak d
engan tangan kanan.
Nona itu kaget hingga ia mengeluarkan seruan pelahan, sebab sikutnya kena dibent
ur. Atas ini, ia lantas saja menyerang pula dengan jurusnya "Tujuh bintang," m
engarah dada
orang, karena mana, Sin Tjoe mesti menarik pulang tangannya. Ia menjadi kagum un
tuk kegesitannya nona itu. Lantas ia mengubah jurusnya tadi dengan jurus "Menari
k busur untuk memanah burung rajawali." Ia belum dapat menguasai ilmu silat tang
an kosong tetapi gurunya telah ajari ia ilmu silat pedang "Pekpian Hian Kie Kiam
hoat," maka itu, ia lincah luar biasa. Begitulah selagi dengan tangan kiri ia ta
ngkis serangan si nona, dengan tangan kanan ia menyamber dada orang, pada jalan
darah lengkioe hiat.
Nona itu terkejut, mukanya menjadi
merah, tetapi ia tidak menangkis atau berkelit, ia buka mulutnya, untuk menggigi
t tangan lawannya itu.
Melihat itu, Sin Tjoe
pun terperanjat. Ia lantas ingat bahwa ia tengah menyamar sebagai satu pemuda se
dang lawannya itu satu nona remaja. Ia jadinya telah bersikap ceriwis!
Pun luar biasa sekali cara bersilatnya nona itu, yang main menggigit. Syukur Sin
Tjoe sebat menarik pulang tangannya, kalau tidak dua jerijinya bisa kutung terk
acip gigi! Hanya, biar bagaimana, ia merasa Jenaka juga...
Di saat Nona Ie memikir untuk bicara, nona itu sudah menyerang pula padanya, sec
ara bertubi-tubi, kedua tangannya, kiri dan kanan, menyamber-nyamber saling susu
l, kedua kakinya turut bergerak dengan cepat dan tetap untuk mengimbangi hujan
serangannya itu. Ia terpaksa menunjuki ke-
lincahannya akan
menyingkir dari semua serangan itu, ia main berkelit, dengan mengegos tubuh atau
berlompat. Tapi ia terus dirangsak, hingga tanpa merasa telah berlalu empat pul
uh sembilan jurus, hingga, umpama kata, ia tak dapat bernapas...
"Heran," pikirnya. Nona itu kalah tenaga dalam tetapi ilmu silatnya itu seperti
melebih padanya.
Banyak sudah gurunya, Thio Tan Hong, menuturkan ia tentang pelbagai macam ilmu s
ilat partai lain tetapi belum pernah ada yang semacam ini.
Baharu setelah itu, Sin Tjoe "menutup" kedua tangannya si nona dengan ilmu silat
nya "Siauwthian tjee" atau "Bintang kecil."
"Bagus!" ia pun me-
muji. "Sudah, sampai di sini saja, tidak usah kita bertarung pula. Aku dat
ang untuk membawa kabar bagimu."
Nona itu berontak, tidak dapat ia membebaskan kedua tangannya. Ia telah kerahkan
tenaganya, masih
sia-sia saja. Sin Tjoe telah berhasil mewariskan kepandaian gurunya, siapa
sebaliknya telah dapat mengatasi warisan
Pheng Hweeshio, yang sudah meninggalkan surat wasiatnya yang berisi pelajaran is
timewa, pelajaran mana Tan Hong yakinkan selama belasan tahun.
"Eh, kau bawa surat?" tanya nona itu heran. "Surat apakah?"
"Surat yang berupa pesan lisan dari Tiat Keng Sim," Sin Tjoe menjawab.
"Tiat Keng Sim me-ninggali pesan untukku?"
si nona menegaskan. "Di mana kau bertemu dengannya?"
"Di kantornya tiehoe. Besok dia bakal diserahkan tiehoe kepada orang
Nippon."
Nona itu agaknya terkejut, lalu nampak ia berduka, alisnya berkerut.
Setahu kenapa, menampak roman itu, Sin Tjoe merasa sedikit iri hati...
"Benarkah Tiat Keng Sim meninggalkan
pesan?" tiba-tiba si nona menanya. "Kau siapa? Apakah namamu?"
"Aku she Ie dan namaku Sin Tjoe. Kau?"
"Ie Sin Tjoe? Belum pernah aku dengar..." kata nona itu.
"Kita ada sahabat-sahabat baru," Sin Tjoe jelaskan.
Tiba-tiba nona itu tertawa dingin.
"Mustahil Tiat Keng Sim mempunyai sahabat
semacam kau!" katanya. "Kau ceriwis! Kau tentu penipu! Rasai pedangku!"
Sin Tjoe melayani orang bicara tanpa curiga, maka ketika nona itu berontak denga
n tiba-tiba, terlepaslah "tutupannya." Cepat luar biasa, nona itu sudah menghunu
s pedangnya, dan sama cepatnya, dia buktikan ancamannya, yang
berupa tikaman!
Mau atau tidak, Sin Tjoe mesti berkelit, malah terus hingga tiga kali sebab nona
itu tikam ia berulang-ulang. Achirnya, ia jadi mendongkol juga. Di dalam hatiny
a ia kata: "Ilmu pedangmu boleh liehay, apakah kau sangka aku jeri terhadapmu?"
Di saat Nona Ie hendak mencabut pedangnya, guna melayani, kupingnya dengar tinda
kan berlari-lari di
arah belakangnya, suara berlari-lari dari belakang bukit. Belum sempat ia menole
h, si nona sudaha" menghentikan serangannya sambil terus berseru: "Seng Djiekol"
"Djieko" itu ialah kakak yang nomor dua.
Ketika ini digunai oleh Sin Tjoe untuk berpaling ke belakang, maka itu ia lantas
dapat melihat dua orang tengah berlari, yang satu di depan, yang lain di belaka
ng, keduanya laki-laki, yang di sebelah belakang adalah seorang perwira, dengan
pedang di tangan, dia tengah mengejar orang di depannya itu.
Laki-laki yang lagi diubar-ubar itu adalah seorang muda yang alisnya gompiok dan
matanya besar, bajunya tak terkancing hingga nampak dadanya. Dia berkulit hit
am. Segera
dia dapat dikenali sebagai seorang nelayan. Dia bersenjatakan sebatang toya, den
gan itu saban-saban dia berpaling untuk menyerang pengejarnya itu.
Si perwira bersenjatakan sebatang golok melengkung, bagus ilmu silat goloknya, s
elalu ia bisa singkirkan
serangannya si pemuda, ia cuma kalah ilmu ringan tubuh, karena di jalanan pegunu
ngan seperti itu, ia kalah cepat larinya. Maka setiap menemui jalan yang sulit,
ia mesti lari nyimpang ke lain arah untuk dapat menyandak.
Si nona sudah lantas saja lari untuk mema-paki, karena mana, Sin Tjoe turut berl
ari juga. Cepat sekali, mereka sudah datang dekat satu pada lain. Kapan si perwi
ra melihat Sin Tjoe, ia menjadi heran.
"Hm, binatang, kau
pun di sini?" dia menegur. "Kau pernah apakah dengan si tua bangka she Tjio?"
Sin Tjoe segera mengenali perwira itu, ialah Tonghong Lok, hoetongnia atau kepal
a yang kedua dari pasukan Gielimkoen, ketika di kota raja ia mencuri kepala ayah
nya, ia telah bertemu dan bertempur dengannya, jadi ia mengetahui orang ada lieh
ay. Ia tidak tahu siapa itu yang disebut tua bangka she Tjio, tetapi ia percaya
datangnya kepala Gielimkoen ini niscaya bukan bermaksud baik, ia lantas bersiap
akan bersama si nona menempur
padanya.
Nona itu sebat luar biasa, baharu Sin Tjoe berpikir, dia sudah mendahulukan berl
ompat, terus menikam perwira itu, hanya ber-
bareng menyerang, ia teriaki si pemuda yang dikejar-kejar perwira itu: "Seng Dji
eko, kau layani itu bocah, dia berani datang menghina aku, dia bukannya satu man
usia baik-baik!"
Mendengar ini, Sin Tjoe tercengang.
Si anak muda dengar perkataannya si nona, ia tinggalkan si perwira, ia lantas me
ngham-pirkan nona kita, untuk lantas menekan pedang orang.
Tentu saja nona kita menjadi mendongkol.
"Kenapa kau begini sembrono?" ia menegur. "Aku datang untuk membantu kamu!"
Ia lantas geraki pedangnya, akan bebaskan diri dari tekenan.
Pemuda itu heran, tetapi ia mengawasi dengan tajam.
"Kau siapa?" ia tanya, bengis.
"Seng Djieko, ja-
Menuruti adatnya, Sin Tjoe segera menangkis dengan tangan kirinya dan menjambret
dengan tangan kanannya. Ia ingin mencoba-coba kepandaian nona itu.
ngan dengari bujukannya!" si nona berkata, sekalipun ia tengah melayani si perwi
ra. "Tadi dia berlaku kurang ajar terhadapku! Hajar dulu padanya!"
Pemuda itu menjadi gusar, ia lantas menyerang pula.
Sin Tjoe menjadi mendongkol sekali. Atas datangnya serangan, ia bergerak dalam
jurusnya "Menggeser tubuh, menukar tindakan." Gesit luar biasa, ia mendak, akan
nyelusup di bawah toya. Ia ada bagaikan seekor ikan yang licin. Habis itu, ia me
mbalas menyerang, dengan sabetannya. Ia hanya tidak menikam tubuh atau lain angg
auta tubuh dari anak muda itu, ia cuma membikin putus dua buah kancing baju!
Pemuda itu terkejut, justeru mana, Sin Tjoe tarik pulang pe-
dangnya, sambil tertawa dingin, si nona berkata: "Ini dia yang dibilang, anjing
menggigit Lu Tong Pin, kamu tidak kenal kebaikan orang! Coba aku tidak mengharga
i Tiat Keng Sim, pastilah aku telah membikin liang di dalam tubuhmu!"
Pemuda itu terkejut, ia heran.
"Tiat Keng Sim?" ia mengulangi. "Tiat Keng Sim yang mana?"
Sin Tjoe tertawa dingin.
"Mana ada Tiat Keng Sim lainnya lagi selainnya Tiat Keng Sim yang sekarang tenga
h
ditahan di kantor tiehoe kota Taytjioe!" ia menyahut tawar.
"Jangan dengari ocehannya!" si nona mendahulukan si anak muda. Ia lagi berkelahi
, ia pun memasang kupingnya. "Tiat Soeko tidak nanti mempunya-
kan sahabat seperti dia ini!"
"Traang!" demikian suara yang menyusuli perkataan si nona dan nona itu menjadi k
aget. Justeru ia perdengarkan suaranya, Tonghong Lok sudah hajar pedangnya, hing
ga tangannya tergetar dan pedangnya itu terlepas dan terpental!
Pemuda itu terperanjat, ia tinggalkan Sin Tjoe, untuk membantui si nona.
"Jangan peduli- kan aku!" nona itu berseru, mencegah. "Aku dapat bertahan! Kau h
ajar saja pemuda ceriwis itu!"
Nyata nona itu besar kepala dan tak suka menyerah kalah.
Si anak muda ber-sangsi sebentar, achir-nya ia mendengar kata. Maka kembali ia h
adapi Nona Ie, ia lantas merabu ke bawah.
Sin Tjoe benar-benar
mendongkol, ia berlompat, terus ia membalas menyabet dengan tipu silat "Menjahit
dengan jarum emas." Ia ingin memapas pula kancing baju orang.
Kali ini si anak muda waspada, ia dapat egoskan tubuhnya. Ia kalah gesit tapi me
nang tenaga, maka itu, ia lantas kurung dirinya dengan toyanya.
Dalam mendongkolnya, Sin Tjoe menyerang dengan sengit, sampai ia lewatkan belasa
n jurus, baharu ia papas ujung toyanya pemuda itu. Ia membarengi berkata: "Jikal
au kau tidak percaya aku, kau mesti percaya soeheng-mu Tiat Keng Sim!"
Walaupun ia seorang kasar, pemuda itu tidak besar kepala seperti si nona, adik s
eperguruannya itu. Ia pun polos. Maka ia berpikir: "Ilmu
silat orang ini tak ada di bawahan Tiat Soeheng, kalau dia bermaksud jahat, baru
san mana dapat aku membebaskan diri dari dua tikamannya?"
"Sebenarnya kau datang untuk urusan apa?" ia achirnya tanya. Ia tidak menyerang
lebih jauh, ia berdiri sambil mengawasi dengan tajam.
"Aku datang untuk menyampaikan pesan lisan dari soeheng-mu\" sahut Sin Tj
oe.
"Pesan apakah itu?" si anak muda bertanya.
"Dia ditahan di kantor tiehoe, besok dia hendak diserahkan pada orang Nippon!" S
in Tjoe beritahu.
"Hm! Cuma sebegitu saja pesannya?" anak muda itu menegasi. Agaknya ia seperti su
dah ketahui kejadian atas diri si anak muda.
"Kau hendak mena-
nya apa lagi?" Sin Tjoe balik menanya.
Anak muda itu berpikir, lalu ia angkat kepalanya.
"Menurut kau, jadinya Tiat Soeheng-ku itu ditahan di kantor tiehoe ?" katanya.
"Benar!" sahut Sin
Tjoe.
"Soeheng-ku itu mempunyai kepandaian untuk menakluki naga dan menundukkan
harimau, dia pun pandai ilmu enteng tubuh Terbang di atas rumput, kenapa
dia bolehnya membiarkan dirinya
ditangkap tiehoe untuk diserahkan pada orang Nippon?" dia tanya pula.
"Itu adalah pikirannya sendiri, apa maksudnya, aku tidak dapat tahu," menjawab n
ona Ie. "Dia cuma membacakan dua baris syair kepadaku, ialah Menarik melengkung
busur untuk memanah harimau dari
gunung Lam San, menggosok pedang guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay.
Rupa-rupanya dia sudah ketahui baik apa yang dia harus lakukan."
Mendengar itu, si anak muda lantas berseru: "Soemoay, perkataannya orang ini ben
ar! Benar-benar dia datang membawa pesan lisan dari soeheng kita!"
Nona itu tidak menjawab, maka Sin Tjoe menjadi heran. Ia lantas berpaling.
Nyata nona itu tengah bertempur hebat sekali dengan Tonghong Lok, gerakan tubuh
mereka pesat sekali, sinar pedang berkilauan. Tidak ada suara dari beradunya sen
jata, cuma suara angin yang bersiuran keras. Sebab si nona berkelahi dengan tang
an kosong, melayani musuh yang bersenjata. Dia mainkan
sepasang kepalannya sama seperti pedangnya tadi, dia menyerang bertubi-tubi, sep
erti tak hentinya. Ilmu silatnya itu tetap tidak dapat dikenali Sin Tjoe. Mengha
dapi nona itu, Tonghong Lok agaknya kewalahan, bukan
karena ia kalah, hanya sebab sukar untuk ia memecahkan serangan berantai dari si
nona.
"Coba tenaga dalam si nona lebih sempurna sedikit saja, terang sudah Tonghong Lo
k bukan tandingannya," berpikir Sin Tjoe kemudian. Ia terus memasang mata, hingg
a di achirnya, ia berseru kepada si anak muda di depannya: "Kamu toh muridnya Tj
io Keng To?"
Anak muda itu terperanjat.
"Cara bagaimana kau kenal guru kami?" tanyanya heran.
Di jaman itu ada ter-
dapat empat kiamkek atau ahli ilmu silat pedang. Di selatan ialah Thio Tan Hong.
Di utara yaitu Ouw Bong Hoe. Di barat yakni Yang Tjong Hay, itu tjongkoan kesoh
or dari istana kaisar. Dan di timur adalah Tjio Keng To yang disebutkan Sin Tjoe
ini. Di antara mereka itu berempat, Tan Hong yang usianya paling muda tetapi na
manya paling
terkenal. Tjio Keng To adalah yang tertua, sebaliknya yang mengenal dia,
tak banyak jumlahnya. Inilah
disebabkan pada dua puluh tahun yang lampau ia telah mencuri pedang di dalam ist
ana kaisar hingga ia menjadi melakukan perlanggaran pidana besar, ia kabur ke lu
ar batas negara dan seterusnya mengumpatkan diri, hingga selama dua puluh tahun
orang tak dengar pula. Lantaran ini kaum muda tidak banyak yang ketahui namanya.
Tan Hong ketahui Keng To pandai ilmu pedang "Keng To Kiamhoat" karena pernah Tj
io Keng To datang berkunjung kepada kakek gurunya, untuk sebagai yang muda memoh
on pengajaran. Tatkala itu Hian Kie Itsoe kebetulan telah selesai meyakinkan dua
pedang Pekin kiam dan Tjengbeng kiam, maka dengan sembarangan ia gunai Tjengben
g kiam
melayani Keng To. Di dalam sepuluh jurus pedangnya Keng To kena dibikin sapat. H
abis itu, di samping memuji Keng To, Hian Kie pun menjelaskan kekurangan orang.
Hian Kie bicara dengan polos, ia membeber dengan tedas, ia pun memberi peneranga
n de-
ngan jujur. Keng To malu atas kekalahannya itu, tapi berbareng ia kagumi pedang
orang. Ia percaya Hian Kie liehay, tetapi ia kurang puas dengan kekalahannya. Ia
anggap ia kalah disebabkan ia kalah pedang. Ia tidak menginsafi akan latihan se
mpurna dari Hian Kie, bahwa dengan pedang biasa juga, pedangnya itu dapat dibiki
n kutung. Karena ini timbullah niatnya mencuri pedang di istana kaisar itu.
Tadi telah Sin Tjoe lihat ilmu silatnya si nona, yang bergerak bagaikan "gelomba
ng kaget" (keng to) atau " "ombak mengejutkan," ia kemudian dengar Tonghong Lok
menyebut-nyebut "si tua bangka she Tjio," ia lantas ingat Tjio Keng To dan dugaa
nnya itu ternyata tepat. Hanya, belum lagi ia jawab per-
tanyaan si anak muda, berdua mereka berpaling dengan cepat ke arah pertempuran
karena keduanya
dengar suara beradunya senjata nyaring sekali. Mereka masih sempat melihat lelat
u api, lalu si nona terdesak mundur. Terang rupanya pedang si nona kena terhajar
hebat goloknya hoetongnia dari pasukan raja.
Liehay permainan pedang dari si nona, kurang latihannya dalam tenaga dalam, kare
na itu ia kalah ulet dari Tonghong Lok. Hoetongnia itu mungkin dapat melihat cac
at si nona, dia menunggu sampai nona itu selesai memainkan empat puluh sembilan
jurus, dengan mendadak dia melakukan penyerangan membalas dan menghajar pedang o
rang itu. Pedang telah mental ba-
lik, hampir si nona terlukai pedangnya
sendiri.
"Celaka!" berseru si anak muda, yang melihat adik seperguruannya terancam bahaya
. Ia baharu hendak berlompat maju, guna membantui nona itu, atau Tonghong Lok te
lah kerjakan pula goloknya, kali ini dia berhasil membuatnya ujung baju si nona
tersontek bolong!
Golok Tonghong Lok ada punya gigi bengkung model rembulan, semacam gaetan, maka
itu golok itu bisa dipakai sebagai alat membangkol. Si nona sedang terdesak, ia
tidak berdaya menghadapi ancaman itu, ujung bajunya terus tercantel.
Sin Tjoe pun kaget tetapi ia tertawa, terus ia berseru: "Adik yang baik, pergila
h kamu dua
saudara seperguruan memasang omong, akan aku gantikan kau!" Habis itu, selagi su
ara tertawanya belum
lenyap di udara, ia mengayun tangannya, menerbangkan bunga emasnya.
"Traang!" demikian satu suara nyaring dan goloknya Tonghong Lok terhajar hingga
miring. Lalu datang bunga emas yang kedua, yang membuatnya ujung baju si nona te
rbabat putus, hingga baju itu terlepas dari cantalan gigi golok.
Si nona gunai keti-kanya akan menarik tangannya, untuk terus menikam lawannya.
Tonghong Lok kaget, ia berlompat ke samping. Tapi di sini ia dirintangi Sin Tjoe
, yang sehabisnya
menimpuk sudah lantas berlompat maju. Ketika si nona hendak mengulangi serang
annya, ia
menjadi tercengang sebab ia dapatkan musuhnya sudah bertempur dengan si pemuda..
.
Hebat cara berkelahinya Sin Tjoe, sejenak saja ia sudah melalui tujuh atau delap
an jurus.
Si anak muda menyeka peluhnya, lalu ia tarik tangan si nona.
"Aku lihat anak muda ini benar-benar hendak membantu kita," ia kata pada itu soe
moay atau adik seperguruan.
"Hm!" si nona perdengarkan suaranya, tetapi mukanya merah. Ia membungkam.
"Dia membilangnya dia ada sahabat kekal dari Tiat Soeko, mungkin dia tidak mendu
sta," kata pula si anak muda.
"Bagaimana kau ketahui itu?" si nona menyahuti juga, tapi suaranya menyataka
n
dia masih mendongkol.
Si anak muda tarik pula tangan soemoay ini, lalu ia bicara pelahan sekali, bi
sik-bisik.
Sin Tjoe berkelahi dengan saban-saban menggunai ketika akan melirik itu soeheng
dan soemoay berdua, ia lihat tingkah laku orang, diam-diam ia tertawa di dalam h
atinya. Tahulah dia ada hubungan apa di antara soeheng dan soemoay itu. Karena i
ni, kalau tadinya ia mendongkol kepada si nona, yang perlakukan ia kasar, sekara
ng ia mendapatkan kesan yang baik. Ia merasa orang seperti kebocah-bocahan dan i
a jadi menyukainya. Ia hanya tidak memikir bahwa ia sendiri pun masih membawa ad
atnya satu bocah...
Tidak benar untuk Nona Ie memecah perhatiannya selagi ia
menempur satu lawan yang tangguh, justeru lawan itu berkelahi dengan sungguh-
sungguh. Begitu ketika Tonghong Lok melakukan penyerangan membalas, satu kali uj
ung goloknya hampir mampir di tenggorokannya.
Si anak muda dapat lihat ancaman hanya untuk nona itu, ia kaget hingga ia berser
u, terus ia lompat maju, guna menolongi. Tapi, belum ia sampai kepada si nona, i
a dengar satu suara nyaring, yang dibarengi dengan
muncratnya lelatu api.
Nyata Sin Tjoe telah dapat membebaskan diri dari ancaman malapetaka itu, malah d
engan membabat podol dua buah giginya goloknya lawannya itu.
Sin Tjoe masih muda, belum sempurna tenaga dalamnya, akan
tetapi di samping itu, sudah sering ia melakukan pertempuran, pengalamannya jadi
bertambah. Kepandaiannya pun bertambah setelah ia peroleh pengajaran ilmu silat
Ngoheng Koen dari Hek Pek Moko, maka itu, ia tidak lagi dapat disamakan sama wa
ktu pertama kali ia bertempur sama Tonghong Lok. Dulu hari itu, selama sepuluh j
urus, keadaan mereka berimbang. Karena ini, Tonghong Lok menjadi memandang ringa
n kepada nona ini, biarnya mulanya ia didesak, ia dapat membela diri dengan baik
. Sebagai seorang berpengalaman, hoetongnia ini dapat mengambil ketikanya yang b
aik. Demikian ia menyerang hebat sedangnya si nona melirik itu soeheng dan soemo
ay. Ia percaya bah-
wa ia bakal berhasil. Di luar dugaannya, si nona liehay, matanya tajam, gerakann
ya gesit, maka goloknya kena dipapas giginya. Coba ia tidak berlaku sebat, mungk
in ujung goloknya yang terbabat buntung.
"Bagus!" berseru si anak muda, yang dari kaget berbalik menjadi memuji.
Si nona tidak turut memuji, akan tetapi di dalam hatinya, diam-diam ia kagum.
"Kamu soeheng dan soemoay sudah letih, baiklah kamu beristirahat!" berkata Sin T
joe, yang melihat mereka itu menonton dengan asyik. Ia pun tertawa.
Mukanya si anak muda menjadi merah, ia melirik kepada soemoay -nya, ya
ng berdiam saja.
Pertempuran berjalan terus. Tanpa mera-
sa, mereka sudah melalui kira-kira seratus jurus. Keduanya telah menggunai tenag
a
tetapi mereka nampaknya berimbang. Sin Tjoe tetap lincah seperti bermula,
pedangnya berkelebatan tak
hentinya, sinarnya
menyilaukan mata.
Di achirnya, si nona menjadi kagum.
"Aku menyangka ilmu pedang Keng To Kiamhoat tidak ada keduanya di kolong langit
ini, siapa tahu sekarang ada yang menandingi," pikirnya. Ia kagum tetapi toh ia
merasakan hatinya
dingin, karena kejuma-waannya terguyur.
Tonghong Lok penasaran tidak dapat menjatuhkan lawannya, yang ia pandang enteng
itu. Ia heran kenapa sekarang orang ada begini liehay. Di dalam halnya latihan d
an pe-
ngalaman, ia menang setingkat daripada si nona, yang membuatnya ia sulit adalah
pedang yang tajam dari nona itu, hingga ia sungkan mengadu
senjata. Untuk selalu mengegos golok dari tabasan pedang ada meminta kecelian ma
ta dan kegesitan gerakan tangan, dan ini meminta banyak dari hoetongnia itu.
Setelah seratus jurus, kelincahannya Sin Tjoe tidak jadi berkurang. Sekarang ia
menang di atas angin. Ia lantas perkeras serangannya yang
bertubi-tubi.
Si nona, yang terus menonton dengan
perhatian, tanpa ia merasa, lenyap kemen-dongkolannya terhadap itu pemuda ceriwi
s. Ia sekarang dipengaruhkan kekagumannya untuk kegagahan orang.
Si anak muda sebaliknya, di sebelah kekagumannya, hatinya menjadi sangat lega. B
ukankah pemuda itu sudah bebas dari ancaman bahaya maut? Maka itu ia sempat tany
a si nona: "Soemoay, benarkah soehoe sudah pulang?"
"Ya! ya!" si nona menyahut, tanpa ia berpaling, karena ia sedang ketarik sekali
menyaksikan gerakan terachir dari Sin Tjoe. Kelihatannya pedang si "pemuda" berg
erak dari kiri ke kanan, tetapi nyatanya, sebaliknya, ialah dari kanan ke kiri.
Gerakan ini sudah terjadi melulu disebabkan kelincahan.
Tonghong Lok tengah bertempur, akan tetapi ia dapat dengar perkataannya itu pemu
da dan pemudi, ia terkejut. Di dalam hatinya, ia berkata: "Sudah
terang ini beberapa binatang ada murid-muridnya Tjio Keng To, kalau mereka sudah
begini liehay, apapula si tua bangka sendiri! Kalau sekarang dia sudah pulang,
tidakkah aku menghadapi
ancaman bencana?" Dengan sendirinya, hatinya menjadi ciut.
Tonghong Lok datang dengan tugas untuk menawan Tjio Keng To, ia menerima titah l
angsung dari junjungannya. Ia datang dengan hati besar, sebab ia percaya betul k
egagahannya. Benar ia ketahui Tjio Keng To liehay tetapi orang telah berusia lan
jut, belum tentu jago tua itu dapat menandingi padanya. Setibanya, ia lantas men
dapat pengalaman yang membuatnya ia mesti berpikir. Pertama-tama ia tidak sanggu
p bekuk
si anak muda walaupun anak muda itu sudah keteter. Kedua ia lantas mengadu kepan
daian sama si nona, yang ternyata bukan tandingan sembarang. Dan sekarang ia men
ghadapi pula lain "pemuda," hatinya menjadi
goncang. Jangan kata untuk memperoleh
kemenangan, guna
membela diri saja ia merasa sulit. Maka itu, mengetahui Tjio Keng To sudah pulan
g, ia kaget.
Justeru kepala Gielimkoen itu kaget, justeru Sin Tjoe kirim tusukannya yang lieh
ay. Sia-sia saja Tonghong Lok membela diri, pundaknya kena juga ditusuk, hingga
tulang
pundaknya terpapas sebagian. Ia lantas berlompat, dengan
melupakan sakitnya, ia membuang dirinya ke tanah, untuk lari berguli-
ngan di tanah mudun.
Itulah tanda jeri yang berlebihan, sebab Sin Tjoe tidak menguber, hanya sembari
tertawa, dia putar tubuhnya untuk menghampirkan si muda-mudi.
"Nah, sekarang tentulah kau percaya aku!" katanya pada si nona.
Nona itu tidak menyahuti, ia hanya mendelik!
Si pemuda maju, untuk memberi hormat.
"Terima kasih untuk bantuan kau!" ia berkata.
"Kita repot bertempur, sampai kita tak sempat belajar kenal!" kata Sin Tjoe semb
ari ia membalas hormat. Ia bicara sambil bersenyum.
Nona itu tetap membungkam. Adalah si pemuda, yang menyahuti dengan cepat.
"Inilah soemoay-ku, Tjio Boen Wan," ia mem-
perkenalkan. "Aku sendiri Seng Hay San. Soemoay-ku ini adalah puterinya
Tjio Lookiam-kek, guruku."
Boen Wan menoleh dengan cepat.
"Kau toh bukan hendak berbesan dengannya, untuk apa kau menjelaskan hal keluarga
ku!" katanya kepada si anak muda.
Sin Tjoe tidak menjadi kurang senang, sebaliknya, ia tertawa geli.
Boen Wan rupanya merasa bahwa ia sudah terlepasan bicara,
wajahnya lantas menjadi merah sendirinya.
Seng Hay San tidak layani soemoay itu.
"Orang toh sudah mengetahui namanya soehoe?" katanya,
pelahan. "Ia pun bukannya orang lain, ada apa halangannya untuk memberi penjelas
an?"
"Aku bernama Ie Sin Tjoe," Sin Tjoe berkata, tak memperdulikan soeheng dan soemo
ay itu, yang ia anggap Jenaka lagak lagunya. "Guruku ialah Thio Tan Hong. Dengan
sebenarnya kita bukanlah orang luar!"
Seng Hay San terkejut hingga ia mengeluarkan suara tertahan dan lompat mencelat.
"Pantas kau begini liehay, kiranya kau muridnya Thio Tayhiap1." ia be
rseru.
Si nona pun he- ran, ia sampai angkat kepalanya, akan awasi "pemuda" itu.
"Thio Tan Hong kesohor gagah dan mulia, kenapa dia ambil murid begini ceriwis?"
ia kata dalam hati kecilnya.
Sin Tjoe tidak ambil perduli sikapnya dua orang itu.
"Guruku sudah lama mengagumi gurumu yang
kesohor," ia berkata, "sampai sebegitu jauh guruku tidak berjodoh untuk membuat
pertemuan dengan gurumu, maka itu sekarang hendak aku mewakilkannya untuk mengha
dap Tjio Lookiamkek. Aku minta entjie Boen Wan sukalah mengajak aku menemuinya."
"Terima kasih, sebenarnya kita tidak berani menerima
kunjunganmu," berkata Hay San, yang mendahului si Nona Tjio.
Thio Tan Hong benar masih muda dibanding sama gurunya tetapi Sin Tjoe omong demi
kian merendah, Hay San menjadi malu hati. Ia memang jujur dan polos sekali. Ia p
un heran atas sikap soemoay -nya. Katanya di dalam hati: "Ini orang she Ie begin
i halus dan sopan, kenapa soemoay bilang dia ceriwis?"
"Tamlah kata ayahku ada di rumah, dia pasti tidak nanti menemui kau!" kata Nona
Tjio dingin. Agaknya hatinya menjadi panas pula.
"Soemoay, kau kenapa..."
Hay San heran, ia tanya adik seperguruan itu, tapi ia dipotong si soemoay. "Kau.
.. kau apa?" Si nona pun mendelik.
Sebenarnya Hay San hendak menanya,
kenapa adik itu bersikap tak manis, karena ia dipegat, ia lantas merubah haluan.
"Bukankah soehoe sudah pulang ?" demikian ia tanya. "Kenapa soehoe tidak ada
di rumah?"
"Siapa yang bilang ayah sudah pulang?" si nona membaliki, suaranya tawar.
"Toh kau yang mengatakannya tadi..." katanya.
"Kau melihat memedi barangkali! Kapannya aku bilang begitu?"
Hay San menjadi heran sekali.
"Rupanya aku salah dengar," ia bilang. "Kuku garuda tadi bilang soehoe s
udah pulang maka juga dia telah datang ke mari."
"Memang beberapa hari yang lalu ayah telah minta pertolongan membawa surat,
katanya lagi beberapa hari dia bakal pulang dengan naik kapal," berkata si nona.
"Sampai sekarang ayah belum balik. Hm, kuku garuda itu liehay kupingnya, maka p
antaslah dia dapatkan tikamannya!..."
Tiba-tiba si nona berhenti bicara. Ia ingat bahwa yang menikam si kuku gar
uda adalah si pemuda ceriwis...
"Jikalau begitu, aku tidak berjodoh untuk
menemui Tjio Lookiamkek," b e rk a t a Sin Tjoe. Ia agaknya me
nyesal.
Boen Wan masih bersikap tawar, ia tidak memberikan penyahutan.
Sin Tjoe berdiri dengan hati tak enak. Ia tahu sebabnya sikap dingin dari si non
a. Tadi ia telah kesalahan berbuat kurang manis. Karena terpaksa, ia rangkap ked
ua tangannya seraya berkata: "Pesan lisan dari Tiat Keng Sim telah aku sampaikan
, di sini sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, aku meminta diri."
"Terima kasih untuk bantuan kau ini, saudara Ie," berkata Hay San sambil ia memb
alas hormat.
"Tentang Tiat Soeheng, kami sudah mendapat tahu. Memang sengaja Tiat Soehe
ng meminta kau menyampaikan pe-
sannya itu, supaya kami dapat berkenalan denganmu. Itu pun menandakan, Tiat Soeh
eng pandang kau bukan seperti orang luar. Mengenai urusan Tiat Soeheng itu, dari
terancam bahaya dia pasti bakal mendapatkan keselamatannya, tentangnya tak usah
saudara buat kuatir."
Ada maksudnya kenapa Hay San menyebutkan Sin Tjoe bukan orang lain. Perkataannya
itu sebenarnya ditujukan kepada Tjio Boen Wan.
Sin Tjoe sebaliknya menjadi heran. Kenapa Tiat Keng Sim menyuruh ia menyampaik
an
pesannya itu? Mengenai urusannya Keng Sim sendiri, rupanya pemuda itu sudah meng
atur segala apa. Apakah siasatnya itu? Ia tidak tahu, Keng Sim ingin ia datang k
e Peksee tjoen,
untuk belajar kenal sama Tjio Boen Wan. Hanya sayang, kejadiannya ada di luar du
gaan Keng Sim. Sebab ia justeru benterok sama Nona Tjio...
Sin Tjoe kembali ke kota, bertemu sama Thio Hek, ia tuturkan pengalamannya selam
a dua hari.
Thio Hek pun heran atas sikapnya Keng Sim itu, tak dapat ia menerkanya.
"Tentang Vap Toako , sudah datang beritanya," kemudian ia pun memberi keterangan
. Katanya nusa lagi bakal ada datang orang untuk berhubungan sama kita. Cuma nus
a lagi itu ada harian peperiksaan atas dirinya Tiat Keng Sim oleh tiehoe bersama
pihak Nippon...
Sin Tjoe ketarik hati, ia agaknya heran.
"Bagaimana kau bisa ketahui halnya peperiksaan itu?" ia tanya.
"Tentang itu telah ada permaklumannya," menjawab Thio Hek. "Banyak orang telah m
embilang hendak
menonton sidang itu."
Pemeriksaan secara terbuka itu ada keinginannya Tiat Keng Sim, ia menang dari ti
ehoe. Pihak Nippon menerima baik permintaan itu karena kepercayaannya tak bakal
terjadi sesuatu.
"Kalau begitu," berkata Sin Tjoe kemudian, "di harian sidang itu, kau baik berdi
am di rumah, untuk menanti orang yang akan berhubungan dengan kita. Aku hendak p
ergi menonton."
Thio Hek terima baik pengaturan itu.
Sidang yang bakal dibuka itu adalah hal baru untuk kota Tay-
tjioe. Ada luar biasa yang tiehoe hendak periksa perkara bersama-sama pihak asin
g, dan peperiksaan itu terbuka untuk chalayak ramai. Tapi untuk kebanyakan pendu
duk, yang mengarti keadaan, mereka itu mendongkol dan penasaran. Mereka membenci
pihak asing itu, mereka tak puas terhadap tiehoe, yang dikatakan pengecut sebab
sudah membiarkan pihak asing mencampuri tahu wewenangnya.
Demikian di harian peperiksaan, sejak pagi sudah berkumpul banyak orang di muka
kantor, untuk menyaksikan sidang. Di antara orang banyak itu, Sin Tjoe menyelipk
an
dirinya.
Kira tengah hari, tiehoe dari Taytjioe muncul bersama seorang pemb
esar Nippon
yang tubuhnya gemuk. Melihat orang asing itu, banyak orang mengangkat tangannya
untuk menunjuk.
"Dialah wakil Nippon, namanya Takahashi!" kata seorang.
Takahashi itu datang bersama dua pengiring, salah satu di antaranya Sin Tjoe ken
ali sebagai Eguchi, dan ke tujuh. Yang satunya lagi, menurut katanya seorang pen
duduk, adalah Segochi, perwakilan militer Nippon di Taytjioe, dan dia katanya ad
a dan ke enam.
Kapan tiehoe sudah duduk di muka meja pengadilan, ia bawa aksinya. Ia menepuk me
ja, lantas ia mencabut sebatang tjiam, yang ia terus lemparkan.
"Bawa menghadap si orang jahat!" ia memberi titah. Tjiam itu ada tanda kekuasaan
nya un-
tuk memanggil persaki-tan atau terdakwa.
Perintah itu di jalankan seorang hamba polisi, maka tak lama kemudian, Tiat Keng
Sim telah dibawa menghadap.
Pemuda itu bersikap gagah. Dia tidak bertekuk lutut, sebaliknya dia berdiri tega
r, sepasang matanya yang bersorot bengis mengawasi ke arah si orang asing.
Takahashi gentar hatinya menyaksikan sikap gagah itu. Tapi ia menggeprak meja.
"Orang jahat yang bernyali besar! Tahukah kau kesalahanmu?" ia menegur. Ia menda
hulukan tiehoe. Ia bicara dalam bahasanya, lalu ada juru bahasa yang menterjemah
kannya.
"Tidak tahu!" sahut Keng Sim keras.
"Kau telah membunuh orang dan merampas barang!" bentak Taka-
hashi. "Kau sudah pukul mati seorang kapten kapal Nippon, kau telah rampas baran
g-barang dari kapal itu! Kau juga sudah begitu berani merobek-robek bendera Mata
hari Terbit kita! Kesalahanmu telah
nyata, kau mesti dihukum berat! Eh, tiehoe, aku bilang, Tidak usah kau memeriksa
lagi. Biarlah Kolonel Segoshi yang menjalankan hukuman potong kepadanya!"
Jumawa wakil ini. Kata-katanya yang belakangan itu ditujukan kepada tiehoe.
Keng Sim tertawa dingin. Ia kata: "Kau harus ketahui, lebih dulu daripada itu Ka
pten kamu sudah bunuh orang Tionghoa, sudah merampas
barang-barangnya, dan di sebelah itu ada belasan orang lain yang sudah dilukak
an! Aku
lakukan perbuatanku itu untuk membela keadilan, umpama benar aku telah membunuh
orang, itu berarti satu jiwa ganti satu jiwa! Barang-barang yang aku rampas itu
asalnya ada barang-barangnya kapal Tionghoa. Kapalmu sendiri itu hari juga sudah
lari menyingkir, mana dapat kamu menampak kerugian!"
Takahashi menjadi gusar sekali, dia menoleh kepada tiehoe.
"Tiehoe, apakah boleh satu penjahat mengacau di muka pengadilan?" ia menegur. "B
awa dia pergi!"
***
Tiehoe kaget dan ketakutan, mukanya menjadi pucat dan tubuhnya gemetaran. Ia tel
ah cabut pula sebatang tjiam tetapi tidak berani ia melem-
parkannya, karena ia ditatap dengan mata bengis oleh Tiat Keng Sim.
"Di muka sidang orang bicara dari hal keadilan!" Keng Sim berkata. "Sebelum
perkara jadi terang dan keadilan didapat, siapa berani menangkap aku?"
Suara itu keren dan berpengaruh. Di antara orang banyak pun terdengar seruan
pujian, suatu tanda pemuda itu telah peroleh bantuan semangat.
Takahashi mendongkol hingga mukanya menjadi merah padam.
"Baik!" ia berseru. "Kau bilang kapten kapal kami membunuh orang! Apakah buktiny
a? Dan kau, kenapakah kau merobek bendera Matahari kami?"
Keng Sim kasi dengar suaranya yang nyaring: "Kapal Nippon datang ke Tiongkok, di
a mesti turut
aturan kita! Kaptennya itu telah membunuh orang dan merampas barang, juga telah
menyelundupi barang gelap, maka itu, kapal itu mesti dipandang sebagai kapal per
ompak! Aku percaya, negaranya juga tidak bakal akuhi kapal semacam itu sebagai k
apal pemerintahmu! Kapal itu kapal bajak, dia tapinya mengerek bendera Nippon, i
tu artinya dia menghinakan negaramu sendiri! Aku wakilkan kamu menyingkirkan ben
dera itu, itu berarti aku telah melindungi kehormatan negaramu! Maka itu selayak
nya kamu
berterima kasih padaku!"
Takahashi menepuk-nepuk meja.
"Kau mendustai Kau membela ngawur!" dia berteriak-teriak.
Keng Sim tidak pedulikan bentakan itu.
"Bukankah barusan kau menyebut-nyebut tentang bukti?" dia bertanya. "Aku ada pun
ya buktinya! Di sini ada saksi-saksinya!"
Baharu si anak muda tutup mulutnya, dari antara orang banyak muncul seorang wani
ta yang rambutnya kusut awut-awutan, sembari menangis ia jalan di antara orang b
anyak untuk maju ke depan sidang.
"Aku mohon keadilan paduka!" ia berkata, masih ia menangis. "Suamiku telah dibun
uh mati, aku juga dilukai! Barang-barangku telah dirampas semua, yang dapat dira
mpas pulang tidak ada separahnya!...11
Dialah jandanya pemilik perahu yang kena dibajak.
Menyusuli nyonya ini, yang terus mengu-lun, ada belasan orang
lain yang maju ke muka sidang, setiap dua orang dari mereka ada menggotong bale-
bale papan di atas mana ada rebah kurban-kurban pembajakan, ada yang tangannya k
utung, ada yang kakinya singkal, ada yang luka-lukanya masih mengucurkan darah.
Itulah kurban-kurban pembajakan dan penganiayaan yang dimaksudkan.
"Inilah semua bukti!" seru Keng Sim. "Apa lagi kamu hendak bilang?"
Takahashi tidak pernah menyangka orang bisa menghadapkan bukti-bukti semacam itu
, matanya menjadi terpentang lebar. Sebenarnya ia masih hendak pentang aksi lagi
, untuk menegur, atau lantas datang lagi serombongan orang dengan dakwaan mereka
masing-masing. Satu nenek ubanan mengadu
anaknya kena dibunuh. Ada satu nyonya yang mendakwa suaminya telah dibinasakan.
Yang lainnya lagi mengadu puteranya dianiaya
hingga mati, anak gadisnya dirampas. Pula ada yang mendakwa rumahnya sudah dibak
ar musna. Suara mereka itu berisik, wanitanya pada menangis.
Takahashi gusar, bingung dan berkuatir. Inilah hebat.
"Usir ini semua babi!" tiba-tiba ia berteriak. Rupanya ia telah lantas dapat pul
ang ketabahannya.
Segoshi sudah lantas lompat bangun dari kursinya, untuk meng-hampirkan para saks
i itu, dengan bengis ia hajar roboh seorang tua, setelah mana ia hampirkan si ne
nek-nenek.
Di lain pihak Eguchi lompat seraya menghu-
nus pedangnya dengan apa ia membabat Keng Sim.
Pemuda itu lihat bahaya mengancam, dengan gesit ia berkelit, hingga pedang memba
bat tempat kosong. Ia tidak lantas layani penyerangnya ini,
hanya dengan berlompat, ia hampirkan Segoshi, dengan dua tangannya ia jambak beb
okongnya orang yang hendak mencelakai si nenek, hingga nenek itu menjadi dapat d
itolong.
Segoshi pandai jujit-su, ia lantas melenggak, kedua tangannya
dibuang ke belakang, untuk menyekal keras atasan sikut penyerangnya. Atas ini Ke
ng Sim rapatkan tubuhnya.
Sejenak saja terlihat Keng Sim menggemblok di punggungnya Segoshi, itu tandanya
ia segera bakal dibanting
musuhnya itu. Celaka kalau ia terbanting ke undakan tangga batu.
Ie Sin Tjoe melihat tegas, ia kaget, dengan sendirinya ia lompat, untuk menolong
i si anak muda.
Eguchi melihat semua itu, ia girang bukan main. Ia tertawa dan kata: "Binatang c
ilik, kiranya ada harinya yang kau roboh di tangan jagoanku!" Ia tidak cuma meng
ejek, ia lantas geraki pedangnya untuk membacok pemuda itu.
Sin Tjoe masih terpisah jauh, sia-sia ia mencoba menolong. Orang banyak pun bert
eriak bahna kagetnya.
Hanya sekelebatan saja, terlihatlah tubuh Segoshi terjerunuk ke arah Eguchi, men
yambut datangnya pedang dan ke tujuh itu.
Eguchi tengah menyerang, tidak dapat ia
menarik pulang pedangnya, maka itu tidak dapat dicegah lagi yang ujung pedang na
ncap di dadanya Segoshi.
Segera terdengar tertawanya Keng Sim, yang tubuhnya mencelat, menyusul mana kedu
a tangannya
melayang ke kedua kuping orang kupingnya Eguchi!
"Di muka sidang negaraku kau berani mengacau, apakah di matamu masih ada undang-
undang pemerintahku?" pemuda itu menegur.
Dalam keadaan
tanggung seperti itu, tidak keburu Eguchi menarik pedangnya untuk menangkis sera
ngan. Ia pun kaget dengan kesudahan itu. Ia tidak menyangka bahwa Keng Sim berha
sil membebaskan diri dan berbalik menjadi si pemenang.
Keng Sim ketahui lawan liehay, ketika kedua tangannya
ditangkap, ia sengaja segera menempelkan tubuhnya, berbareng dengan itu, belum l
agi ia sempat dibanting jeriji tangannya sudah menotok punggungnya Segoshi, hing
ga dia ini kaget, dia merasakan punggungnya itu sakit, gatal dan kaku. Tentu saj
a, karenanya, tidak dapat dia meneruskan gerakannya, untuk
mengangkat dan membanting. Sebaliknya, dia tidak berdaya sama sekali ketika si a
nak muda dorong tubuhnya ke arah Eguchi. Maka jadilah dia kurban pedang bangsany
a itu.
Habis dihajar kupingnya baharulah Eguchi dapat mencabut pedangnya. Atas itu Sego
shi memperdengarkan jeritan hebat, dari dadanya darah muncrat
menyembur, tubuhnya terus roboh.
Eguchi kaget dan murka, maka ia lantas tumplaki kemarahannya kepada Keng Sim. Ta
pi anak muda itu tidak ada di hadapannya. Ia kaget bukan main.
"Celaka!" serunya. Ia tahu musuh sudah menggeser ke belakangnya, dari itu dengan
sebat ia memutar tubuh. Hanya sayang untuknya, ia terlambat, selagi ia terlamba
t, selagi ia berputar, tangannya yang memegang pedang telah didulukan disamber
Keng Sim. Cuma sekejab saja, tangan itu sudah menjadi teklok, hi
ngga pedangnya jatuh menggontrang di lantai!
Keng Sim berlaku cerdik dan sebat, setelah bikin Segoshi mati kutunya, ia tolak
tubuhnya orang itu ke arah Eguchi, untuk pa-
kai dia sebagai tameng hidup, lalu selagi pedang nancap dan sukar ditarik, ia me
lesat ke belakang dan ke tujuh itu, untuk tanpa menangkis ketika menyamber denga
n orang di saat ia diserang.
Justeru musuh sudah tidak berdaya, dengan satu sontekan dengan kakinya, Keng Sim
bikin pedang musuh itu meletik naik, untuk ia sambut dengan tangannya. Tapi ia
tidak gunai pedang itu sebagai senjata, hanya dengan memegang itu dengan kedua t
angannya, ia mematahkannya, hingga pedang menjadi dua potong.
Eguchi roboh karena kesakitan, ia merayap bangun, justeru itu, ia menyaksikan pe
dangnya dibikin patah, maka habislah dayanya.
Keng Sim lemparkan kedua kutungan pedang.
"Budak-budak kate ini ada sangat kurang ajar!" ia lantas berkata dengan nyaring.
"Mereka bernyali sangat besar, berani menggunai pedang di muka pengadilan, beran
i
menganiaya orang di muka chalayak ramai! Maka itu, taydjin, aku minta keadilanmu
!"
Tiehoe kaget dan takut sampai tubuhnya gemetaran, mulutnya bungkam.
Justeru itu Takahashi menggeprak-geprak meja.
"Terbalik! Terba- lik!" dia berteriak-teriak.
Menyusuli suaranya wakil Nippon itu, dari pintu belakang kantor itu muncul denga
n mendadak sebarisan serdadu Nippon yang semua bersenjatakan pedang yang panjang
dan mengkilap, sambil berseru mereka terus menerjang ke arah Keng
Sim.
Barisan itu ada barisan pengawalnya Takahashi. Tidak dapat mereka itu turut munc
ul di muka sidang, dari itu mereka telah diatur bersembunyi di belakang kantor,
apabila ada tanda baharulah mereka boleh keluar. Mereka memang bangsa galak, beg
itu dengar suara Takahashi, mereka lantas menyerbu.
Di muka sidang itu, terus sampai di muka kantor, ada berkumpul ratusan penduduk.
Semua mereka panas hatinya semenjak mereka saksikan kejumawa-an pihak asing itu,
yang tidak menghormati tiehoe dan tidak mengindahkan pengadilan. Mereka gusar m
elihat si aki dan si nenek dianiaya, maka syukur mereka dapatkan Keng Sim
turun
tangan. Mereka puas dengan kesudahannya pertempuran itu. Tapi mereka kaget atas
datangnya itu barisan serdadu asing, bahkan beberapa anak muda lantas mendidih
darahnya, melupakan segala apa, mereka maju, untuk bantu Keng Sim, guna menerjan
g pasukan asing itu.
Keng Sim tidak berdiam saja yang ia dikepung, ia membuat perlawanan. Dengan cepa
t ia robohkan lima atau enam orang. Tapi musuh berjumlah kira tiga puluh orang,
semuanya bersenjata, tidak gampang untuk cepat-cepat merobohkan mereka semua. Di
antara anak-anak muda yang maju, beberapa orang pun terluka, malah satu orang t
erbacok kutung
sebelah lengannya.
Di dalam saat itu,
Sin Tjoe telah maju menyerang. Lebih dulu ia ayun sebelah tangannya melayangkan
lima buah bunga emasnya. Satu musuh dapat berkelit, empat yang lainnya roboh seb
agai kurban senjata rahasia itu.
Setelah itu, Sin Tjoe menghunus pedangnya, ia membekal senjata rahasianya dalam
jumlah berbatas, tidak dapat ia obral itu. Maka ia lantas menggunai pedang. Dala
m saat kacau itu, dari arah pintu timur terdengar suara berisik, lalu tertampak
membuinya banyak orang, yang di kepalai oleh satu nona dengan baju merah, yang t
angannya
mencekal pedang. Atas datangnya mereka itu, orang banyak menyingkir ke kedua bel
ah, untuk memberi jalan. Rombongan itu terdiri
dari orang-orang yang dandan sebagai nelayan, senjata mereka adalah tempuling da
n joran pancing besar. Pula lantas terlihat cara berkelahi mereka yang luar bias
a. Setiap dua nelayan menjadi satu gabungan. Satu yang memegang tempuling menang
kis golok musuh, lantas yang satunya lagi merabu kaki musuh itu dengan pancingny
a, segera musuh itu roboh terguling. Cara ini tidak pernah gagal, maka dalam tem
po yang pendek, semua musuh itu dapat diringkus, hingga pertempuran lantas berac
hir. Cuma pemimpinnya pasukan itu, yang nampaknya kosen, mesti dirobohkan si non
a dengan sebelah tangannya ditabas
kutung sesudah pertempuran beberapa jurus.
Sin Tjoe lantas saja
kenali nona baju merah itu, ialah Tjio Boen Wan. Maka mengartilah ia sekarang ak
an duduknya hal. Pantas Seng Hay San membilangi ia untuk ia jangan berkuatir,
kiranya mereka itu sudah siap sedia.
Baharu sekarang Takahashi ketakutan. Ia berniat melarikan diri tetapi kedua kaki
nya tidak sudi menuruti suara hatinya. Selagi ia bergemetaran, Keng Sim seret ia
dari kursinya, untuk ditelikung, buat dihadapkan kepada tiehoe.
"Budak-budak kate ini menghina
undang-undang negara kita, di muka sidang pengadilan mereka
mengacau dan menyerbu, maka itu tiehoe taydjin, yang berwenang membelai neg
ara, tidak dapat taydjin tidak mengurus mereka!"
demikian suara nyaring dari pemuda she Tiat ini.
Tiehoe kaget dan ketakutan, sekian lama ia tidak dapat bersuara.
"Ini... ini..." katanya kemudian, suaranya terputus-putus. "Bagaimana sekarang..
.? Kalau nanti perompak kate datang menyerbu kota, bagaimana kita bisa menangkis
nya? Tentera kita berjumlah sedikit sekali..."
Keng Sim tertawakan wedana itu.
"Di sini ada begini banyak orang, kenapa masih berkuatir tidak ada orang yang me
nangkis mereka?" ia berkata.
Gedung pengadilan itu, atau lebih benar kantor tiehoe, telah dirumung banyak sek
ali orang.
"Kita bersedia untuk melawan mereka!"
banyak suara berseru. Tapi juga ada yang
berteriak: "Jikalau tiehoe taydjin takut perompak, nah lekaslah angkat kaki, kab
ur dari sini, urusan di Taytjioe itu, kita yang nanti membereskannya!"
Tiehoe berdebaran hatinya. Tahu ia, kalau ia berlaku penakut terus, rakyat bakal
berontak.
"Tiat Siangkong," ia lantas berkata, "urusan hari ini aku serahkan saja padamu u
ntuk menyelesaikannya."
"Untuk membela negara dan lindungi rakyat, itulah tugas setiap manusia," berkata
Keng Sim, "tetapi taydjin adalah bapak rakyat, dari itu tidak dapat ta
ydjin menyimpang dari tugasmu. Sekarang
marilah kita bekerja sama."
Tiehoe tidak punya daya, ia menurut saja.
Keng Sim segera pilih beberapa penduduk
yang kenamaan, yang ia tahu hatinya jujur, maka mereka itu bersama-sama tiehoe l
antas diajak berunding, mendamaikan cara
untuk melawan kalau ada serbuan musuh. Sedang semua musuh yang ditawan berikut T
akahashi, dijebluskan dalam penjara untuk ditahan.
Tiehoe ingin Keng Sim terus berada bersama ia tetapi si anak muda menolak.
"Aku masih ada punya urusan lain," pemuda itu memberi alasan.
Tiehoe ingat orang sudah ditahan beberapa hari, mungkin dia ingin menemui sahaba
t-
sahabatnya, ia tidak dapat memaksa. Lagi-nya ia kuatir hati si anak muda berubah
kalau ia menggunai paksaan.
Keng Sim segera ber-
tindak keluar, diikuti oleh barisan nelayan yang tadi dipimpin Tjio Boen Wan. Me
reka itu bersorak-sorai karena kegembiraannya. Rakyat pun turut bergembira, seda
ng tadinya mereka berkuatir sekali menyaksikan aksi pihak musuh yang garang itu.
Tanpa merasa Ie Sin Tjoe mengikuti keluar.
Boen Wan tidak perhatikan itu "pemuda," adalah Keng Sim yang melihat orang, tang
an siapa ia lantas tarik. Lebih dulu daripada itu ia mengawasi dengan wajah ters
enyum.
"Mari kita pergi bersama!" mengajak Keng Sim.
Karena orang berbicara, Boen Wan menoleh.
Melihat si nona berpaling, Sin Tjoe bersenyum kepadanya.
Boen Wan membalas mengangguk, ia hanya
tetap tawar sikapnya. Sama sekali ia tidak sudi bicara, hingga Sin Tjoe pun tida
k dapat membuka mulutnya.
Sin Tjoe sendiri jengah, merah mukanya. Belum pernah tangannya dipegangi seorang
priya dan sekarang Keng Sim mencekalnya dan ditarik. Syukur untuknya, mereka
berada di antara banyak orang dan Keng Sim juga tidak memperhatikan padanya.
Tiga muda-mudi ini berjalan bersama.
Mereka diawasi penduduk, yang berkumpul di jalan-jalan besar.
Mereka itu penduduk yang berdekatan, yang baharu saja mendengar kabar perihal hu
ru-hara di kantor tiehoe. Rata-rata orang puji Keng Sim dan caci bangsa kate.
Supaya tidak terganggu orang banyak
itu, Keng Sim ajak dua kawannya ambil jalan kecil, untuk menghindarkan diri. Sam
pai jauh ia masih dengar suara riuh dari rakyat jelata itu.
"Semakin perompak kejam, semakin naik amarahnya rakyat," bilang Keng Sim sembari
jalan. "Peristiwa hari ini ada bukti nyata."
Mendengar itu, Ie Sin Tjoe berkata di dalam hatinya: "Inilah rupanya sebab kenap
a pemuda ini suka serahkan dirinya ditawan. Dia hendak membangunkan semangat rak
yat, dia mengatur siasatnya itu."
Cuma Nona Ie masih belum tahu apa sebabnya selagi tiehoe dan panitya penduduk be
runding di dalam kantor, untuk membicarakan daya akan menghadapi musuh
nanti, pemuda itu meninggalkannya. Adakah
urusan lebih penting daripada daya perlawanan terhadap musuh?
Selagi Sin Tjoe ingin minta keterangan pada Keng Sim, pemuda itu sendiri mengawa
si ia dan Boen Wan sambil tertawa. Dia kata: "Apakah kamu berdua telah saling be
rkenalan?"
"Hm, bagus sahabatmu!" menyahut si Nona Tjio.
Keng Sim heran.
"Saudara Ie ini sungguh satu sahabat sejati," ia bilang. "Kita berdua berkenalan
di permukaan sungai.
Pertama kali aku bertemu dia selagi dia melupakan segala bahaya untuk menolong s
eorang nelayan ayah dan gadisnya."
"Dengan begitu dia benar seorang gagah dan mulia hatinya, cuma..."
Boen Wan tidak melanjuti kata-katanya itu.
"Cuma?..." tanya Keng Sim.
"Cuma dia rada ceriwis..." si nona hendak menyahuti, hanya
karena memandang toasoeheng itu, batal membuka mulutnya. Ia kata saj
a: "Cuma dia terlalu muda sedikit..."
Keng Sim terta- wa. Ia sebenarnya mengandung maksud, ialah supaya soemoay itu me
ngikat jodoh dengan "pemuda" ini, ia hanya tidak tahu, soemoay itu sudah menanam
bibit asmaranya terhadap Seng Hay San.
"Saudara Tiat, kau hendak pergi ke mana?" tanya Sin Tjoe, yang tidak perdulikan
sikapnya Boen Wan.
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" pemuda itu balik menanya.
"Pasti sekali, aku hendak pulang ke rumahku," jawab Sin Tjoe.
"Kalau begitu, aku juga hendak pergi ke rumahmu!" ujar si anak muda.
Sin Tjoe heran. Ia lihat orang tidak tengah bergurau. Ia berpikir: "Dia kata kep
ada tiehoe dia punya urusan penting, kenapa
sekarang dia punyakan tempo luangnya untuk ikut padaku?" Ia masgul tetapi ia pun
girang. Ia jalan terus, ke rumahnya Thio Hek.
Tidak lama, tibalah mereka. Ketika Sin Tjoe dipapak Thio Hek, yang baharu keluar
dari rumahnya, ia heran, bahkan terperanjat, sebab nelayan itu ada bersama seor
ang yang ia tidak sangka-sangka.
"Kau di sini?" katanya pada orang itu, siapa pun menegur: "Oh, kiranya kau?"
"Ya, kiranya kau?" Keng Sim pun berkata.
Orang itu ada Seng
Hay San, yang tetap dengan dandanannya sebagai nelayan yang sederhana.
"Ini Seng Toako adalah utusannya Toako Yap Tjong Lioe," Thio Hek lantas
mengajar kenal. "Seng Toako yang bakal mengajak kita pergi kepada Yap Toak
o itu."
"Kapan kau kenal Yap Toako?" Keng Sim tanya soetee-nya itu. "Kenapa aku tidak ta
hu? Soemoay membilangi aku, Yap Toako ada mengirim utusan, aku tanya siapa utusa
n itu, ia tidak hendak memberitahukan. Kiranya kau!"
"Selama beberapa bulan ini aku bersama soemoay berada di tempatnya
Yap Toako," Hay San memberikan jawaban, "bahkan
beberapa kali kita sudah pernah bertempur sama rombongan perompak.
Baharu beberapa hari yang lalu kita pulang. Sudah beberapa bulan kau pesiar, soe
ko, tidak ada ketikanya untuk kita memberi keterangan padamu."
Keng Sim tertawa.
"Kamu telah menjadi dewasa, sekarang kamu pandai bekerja!" ia bilang. "Aku tadin
ya menduga kamu masih berdiam tetap di rumah, memain menangkap burung dan mengai
l ikan!..."
Hay San pun tertawa.
"Dalam beberapa hari ini kita memang berdiam di rumah," ia mengasi tahu. "Syukur
soeko tidak ketahui yang kita pernah meninggalkan rumah, jikalau tidak, kau ten
tu tidak bakal mengutus ini saudara Ie datang ke Peksee tjoen untuk mencari kita
. Di samping itu aku juga menyangka yang sauda-
ra Ie ini adalah bala bantuan yang diundang Yap Toako. Baharu tadi aku terima su
aranya Yap Toako, yang menyuruh aku datang ke mari untuk menyambut seorang gagah
dari Shoatang yang toako undang. Tadinya aku menduga kepada Toaiiongtauw Pit Kh
eng Thian, siapa tahu sebenarnya ini saudara Ie! Sungguh kebetulan! Coba kemarin
ini aku tidak bertemu sama saudara Ie ini, pastilah aku dan soemoay telah kena
dibekuk si kuku garuda!"
"Apakah kau pun kenal Pit Kheng Thian?" Sin Tjoe menyelak.
"Belum pernah aku bertemu sama dia," jawab Hay San, "hanya namanya toaliongtauw
dari lima propinsi Utara begitu terkenal, siapakah yang belum pernah mendengarny
a?"f2
Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan kening.
"Nama orang, bayangan pohon," katanya, seperti kepada dirinya sendiri, "kata-kat
a ini beralasan juga. Hanya belum tentu semua orang sama dengan namanya yang kes
ohor itu. Maka itu, janganlah kasi diri kita digetarkan oleh nama lain orang. Ak
u dengar Pit Kheng Thian ada pemimpin partai Kay-pang di Utara, sekarang dia men
jadi kepala kaum kangouw, rupanya dia berhak juga memangku kedudukannya i t u."
f2
Seng Hay San tidak kenal Kheng Thian, ia berdiam saja, tidak demikian dengan Ie
Sin Tjoe. Biar ia tak berkesan baik terhadap pemimpin kaum
pengemis itu, ia kurang senang atas pandangannya Keng Sim ini. Ia kata dalam hat
inya:
"Kau belum pernah ketemu Pit Kheng Thian, kenapa kau menimbang secara begini sem
brono? Apa mungkin seorang pemimpin
pengemis tak dapat menjadi pemimpin kaum kangouw seumumnya?"f2
Keng Sim ada dari keluarga berpangkat, ia pun pandai ilmu surat berbareng ilmu s
ilat, maka itu, pandangannya mengenai orang kangouw ada sedikit berlainan, rada
memandang enteng. Sin Tjoe adalah lain. Nona ini benar ada puteri tunggal dari s
atu menteri, tetapi Ie Kiam bukan sembarang orang berpangkat, ia beda dari mente
ri-menteri lainnya. Ie Kiam telah jadi menteri, tapi di rumahnya ia suka bekerja
kasar, ia tidak bawa lagaknya si menteri yang agung dan
mulia. Sin Tjoe mewariskan sifat ayahnya ini. Sudah begitu, ia pun terpengaruh T
hio Tan Hong, gurunya yang sederhana, yang kenyang mengumbara dan pernah merasai
pelbagai penderitaan, sedang sahabat-sahabatnya adalah kaum kangouw. Mungkin Si
n Tjoe tidak cocok dengan semua orang kangouw tetapi sedikitnya ia sangat mengha
rgai mereka yang gagah dan mulia hatinya.
Biar bagaimana, Sin Tjoe hargai sepak terjangnya Keng Sim, maka itu, cuma sebent
ar, lantas lenyap perasaannya tak puas barusan.
"Kuku garuda apa itu?" Keng Sim tanya Hay San. "Kenapa mereka ganggu kamu?"f2
"Katanya kuku garuda itu, dia mendengar kabar soehoe sudah
pulang, dia lantas datang untuk melakukan penangkapan," Hay San menerangkan.
Keng Sim heran.
"Apakah artinya ini?" katanya. "Memangnya soehoe bersalah
apa?"f2
"Itulah aku tidak tahu," jawab Hay San.
Keng Sim melirik pada Boen Wan.
"Aku juga tidak tahu," berkata si nona, suaranya kurang tegas.
Sin Tjoe pun heran sekali.
"Tjio Keng To mencuri pedang di dalam istana di mana dia mengacau, karenanya dia
kabur ke luar negeri," ia berpikir. "Tiat Keng Sim ada murid kepalanya,
kenapa sebagai murid dia tidak ketahui itu? Nampaknya Boen Wan tahu duduknya hal
, mengapa ia tidak mau memberi keterangan pada soeheng-nya ini?"
Segoshi melengak, kedua tangannya bergerak ke belakang, menangkap siku Keng Sim
untuk segera dibanting. Tetapi Keng Sim merapatkan tubuhnya dan menotok punggung
musuh.
Coba Sin Tjoe menghadapi ini setahun berselang, tentu ia sudah membeber
rahasia kepada Keng Sim, tetapi sekarang ia telah punyakan pengalaman, ia mulai
mengenal dunia, dapat ia mengendalikan diri. Ia berpikir pula: "Tjio Keng To men
utup rahasia terhadap muridnya, mesti ada sebabnya. Halnya Keng To mencuri pedan
g di istana, sedikit sekali orang yang mengetahuinya, cuma thaysoetjouw serta be
berapa orang lain. Soehoe percaya aku, maka itu ia tuturkan aku rahasianya sejum
lah orang kangouw , dari itu mana boleh aku bicara sembara-ngan."
Karena ini, ia terus menutup mulut.
Hay San pun berkata pula: "Maksudnya Yap Toako yaitu aku me-
ngantarkan kedua saudara ini ke sana, habis itu, sepulangnya aku, aku mesti memb
antu tentera rakyat di sini membelai kota Taytjioe. Kau sendiri, soeheng, bagaim
ana sikapmu?"
"Itu pun baik," berkata Keng Sim. "Nanti aku pujikan kau kepada tiehoe. Kau,
Tjio Soemoay, kau bagaimana?"
"Aku juga ingin berdiam di sini membantu Seng Soeko," sahut si nona.
"Yap Toako sangat mengharap bantuan kau, soeko," kata Hay San. Keng Sim berpi
kir. "Begitupun baik," ia menjawab. "Tentang ini aku mesti pulang dulu, untuk me
mberikan tahu ayahku. Katanya Yap Toako lagi menghadapi kesulitan, di
mana urusan menentang musuh penting sekali, seharusnya saja aku pe
rgi ke sana."
Pemuda ini bicara secara tawar, sikap ini tidak mempuaskan Sin Tjoe. Keng Sim se
perti beranggapan, asal ia pergi, urusan akan beres. Tapi kapan Sin Tjoe ingat o
rang liehay dan berani, sekejab itu juga lenyap lagi perasaan tak puasnya itu.
Sampai di situ, mereka berpisahan.
Di waktu magrib Keng Sim kembali, agaknya ia kecewa.
"Begitu lekas ayah dibebaskan, dia lantas berangkat menuju ke ibukota propinsie,
" ia beritahu. "Ah, jauh-jauh aku pulang, untuk menolongi ayah, tapi sekarang ak
u tidak dapat bertemu dengannya..."
Ia menjadi sangat masgul.
Kembali Ie Sin Tjoe menjadi heran.
"Hubungan antara ayah dan anak sangat erat," ia pikir, "kenapa Tiat Hong pergi t
anpa tunggu lagi selesainya perkara puteranya ini? Adakah orang yang memaksakan
kepergian-nya itu atau ia pergi karena saking kuatirnya berdiam di sini lebih la
ma pula?"
Hay San tidak tahu apa yang si "pemuda" pikir.
"Habis sekarang apa soeheng hendak turut kami pergi bersama?" ia tanya kakak sep
erguruan itu. "Kita berangkat besok."
Keng Sim angkat kepalanya, sambil dongak, ia bersenanjung:
"Orang gagah itu, darahnya disiarkan ke daiam debu, maka kaiau negara di daiam s
usah, mana sempat dia mengurus rumah tangga? Pergi, tentu
pergi!"
Demikian besoknya Sang Hay San berangkat bersama-sama Ie Sin Tjoe, Thio Hek dan
Tiat Keng Sim. Mereka meninggalkan Taytjioe, Hay San yang menjadi penunjuk jalan
. Baharu dua hari, sampai sudah mereka di tempat yang termasuk daerah
pengaruh tentera
rakyat. Itulah sebuah gunung di tepi laut, gunung yang menjadi cabangnya gunung
Sian Hee Nia, cukup tinggi dan lebat hutannya, markasnya berada di dalam rimba.
Selagi memasuki gunung,
mereka lihat tentera rakyat tengah memotong kayu dan atau menanam sayur, pakaian
mereka cumpang-camping, tandanya
mereka hidup sengsara, tetapi mereka bekerja dengan gembira, sem-
bari pasang omong atau tertawa.
Sin Tjoe kagumi mereka itu.
Keng Sim sebaliknya memikir lain. Katanya dalam hatinya: "Mereka ada hanya serom
bongan yang tak teratur, tidak heran mereka tidak dapat melawan kaum perompak. A
ku harus membantui Yap Tjong Lioe mengatur rapi mereka ini..."
Kapan Yap Tjong Lioe dengar hal kedatangan tetamu-tetamunya, ia girang bukan mai
n. Ia lantas mengundang ke markasnya, ialah sebuah tenda terbuat dari kulit kerb
au. Tenda itu paling jempol tapi toh ada bocornya...
Kapan Sin Tjoe berempat sudah berada di dalam tenda, mereka disambut beberapa
orang, satu di antaranya berkumis pendek
dan kaku, mukanya hitam mengkilap,
bajunya ada beberapa tambalannya. Dia mirip kuli tani yang kenyang panas kepanas
an dan hujan kehujanan. Dia lantas menyodorkan dua tangannya yang hitam seraya b
erkata: "Setiap hari aku memikirkan kamu, hampir aku mati karenanya! Inikah Tiat
Kongtjoe?" Dengan kedua
tangannya, ia tepuk pundaknya si anak muda. Terang ia hendak menunjuk kegirangan
nya yang luar biasa. Hanya begitu ia menepuk, di pundaknya Keng Sim bertapak sep
asang tangan hitam!
Di antara empat pemuda itu Keng Sim yang berdandan paling
perlente dan bersih, tapi sekarang baju itu kena dibikin kotor.
Orang hitam itu insaf akan perbuatannya itu.
"Ah, aku membuat kotor pakaiannya tetamu agungku!" katanya, tertawa. Ia lantas s
aja mengebuti pakaiannya pemuda itu, gerak tangannya pelahan-pelahan, tetapi
tangannya itu kotor, ia membuatnya baju orang semakin kotor lagi!
Keng Sim menjadi jengah sendirinya. Ia memberi hormat.
"Adakah ini Yap Tongnia?" ia tanya.
"i Tongnia" itu artinya komandan, di sini diartikan komandan tentera suka rela,
tentera rakyat, bukannya komandan yang
diangkat pemerintah, maka itu, si orang hitam tertawa berkakakan.
"i Tongnia... tongnia ... tongnia apakah?" katanya. "Aku adalah Yap Tjong Lioe,
semua saudara memanggil aku Yap Loohek si Hitam atau Yap Toako saja,
maka itu janganlah kamu sungkan-sungkan! Ada terlebih tua beberapa tahun dari ka
mu semua, baiklah aku aguli ketuaanku itu, jadinya kamu semua panggillah aku Yap
Toako saja!"
Keng Sim kata di dalam hatinya: "Di kota Taytjioe setiap hari orang dengar nama
besar dari Yap Tjong Lioe, semua orang bilang dialah seorang luar biasa, siapa s
angka dialah seorang dusun tua..."
Pemuda ini menyebutnya orang dusun, ia tidak tahu Yap Tjong Lioe berasal kuli pa
rit yang umum paling pandang enteng dan orang-orang sebawa-hannya kebanyakan ada
kuli-kuli parit yang menjadi kawan sekerjanya.
Ie Sin Tjoe lantas menyampaikan suratnya
Pit Kheng Thian dan Tjioe San Bin.
Yap Tjong Lioe buka itu surat dan
membebernya di
hadapannya.
"Ah!" katanya, "banyak surat yang kenal aku, aku tidak kenal mereka! Kau saja ya
ng membacakannya!"
Dengan sembarangan saja ia angsurkan surat itu pada seorang di sampingnya, orang
mana bertubuh melengkung, dan pakaiannya, walaupun ada tambe-lannya, cukup bersi
h. Rupanya dialah si soeya atau ahli pemikir. Dia ini menyambut surat itu, terus
dia membaca.
Bunyi surat melainkan memberitahu rombongan bala bantuan akan datang lagi bebera
pa hari, bahwa mereka bersedia akan bekerja sama guna melawan musuh. Cuma di s
uratnya Pit Kheng
Thian ditambahkan
kata-kata ini: "Sudah lama aku kagumi nama besar saudara. Penduduk pesisir timur
selatan bebas dari ilas-ilasan perompak, semua itu mengandal pada tenagamu. Aku
diangkat jadi toaiiong-tauw, sebenarnya aku malu sekali, karena aku tidak punya
kepandaian apa-apa, maka itu aku nanti berdiam di bawah perintah saudara-
saudara, untuk menanti segala titahmu."
Mendengar itu, Yap Tjong Lioe tertawa terbahak.
"Pit Kheng Thian menulis surat, kenapa bunyinya begini macam? Tentulah ini surat
ditulis oleh soeya-nya! Dia kepala pengemis, aku kepala kuli parit, bukankah ki
ta sem-babat? Dia lebih liehay daripada aku, aku justeru hendak angkat
dia menjadi toako, hendak aku serahkan semua saudara di sini untuk dia suruh-sur
uh, kenapa dia begini sungkan? Tidakkah ini lucu? Hahaha! Pasti ini bukan tulisa
nnya Pit Kheng Thian sendiri!"
Tjong Lioe tidak tahu, surat itu ada buah kalam sendiri dari Pit Kheng Thian. Ke
pala pengemis itu di luar terlihat kasar, pikirannya tapi tajam dan halus. Leluh
urnya dulu ada panglima di bawahan Thio Soe Seng. Anak cucu leluhur ini diwajibk
an menjadi hweeshio atau paderi lamanya sepuluh tahun, selama sepuluh tahun itu
mereka mesti hidup dari mengemis. Jadi Kheng Thian bukan sembarang pengemis, mak
a juga dia mengarti ilmu surat.
Keng Sim tidak puas dengan kata-katanya
pemimpin tentera
rakyat ini. Ia bukannya hendak memperebuti pengaruh. Hanya sebab Tjong Lioe sang
at memandang tinggi
kepada Pit Kheng Thian. Kenapa, belum lagi orang tiba, Tjong Lioe sudah
hendak menyerahkan kedudukannya?
Di sini, pandangan Ie Sin Tjoe beda lagi dari orang she Tiat ini. Sin Tjoe juste
ru memikir: "Pit Kheng Thian sebenarnya memikir jauh, dia ingin menjadi kepala,
tetapi dia berpura-pura merendahkan diri, dia tak sejujur Yap Tjong Lioe."
Tentera r akyat ini bersarang di atas gunung, di dalam rimba, barang makanan mer
eka setiap hari ada beras kasar dan sayur hutanan, tapi malam ini, untuk menyamb
ut Keng Sim beramai, istimewa mereka menyembelih se-
ekor babi hutan. Tapi nasinya tetap ada pesaknya, maka sulit Sin Tjoe memakannya
. Tetapi Yap Tjong Lioe sangat ramah tamah, ia jepit potongan-
potongan daging babi yang besar, ia letaki itu ke dalam mangkoknya Keng Sim dan
Sin Tjoe.
Nona Ie menjadi malu hati, mau atau tidak, terpaksa ia dahar banyak juga...
Malamnya Sin Tjoe berempat dipernahkan di tenda yang baharu dibangun. Itu pun te
nda kulit kerbau, tapi semuanya baru, maka itu tidak ada bahagiannya yang bocor,
tak usah mereka takuti hujan. Berempat mereka masing-masing mengambil satu pojo
kan.
Malam itu Nona Ie sukar mendapat pulas. Ia gulak-gulik, di depan matanya seperti
berbayang beberapa orang.
Pertama-tama petaan Thio Tan Hong, gurunya, lalu Tiat Keng Sim, si pemuda sahaba
t yang baru. Habis itu bayangannya Pit Kheng Thian. Yang terachir ialah Yap Tjon
g Lioe. "Ya, Tiat Keng Sim rada mirip guruku," ia berpikir. Tiba-tiba ia tertawa
dalam hati. Sedetik saja, lalu ia merasakan ada perbedaannya juga, entah di bah
agian mana... ia merasa kepalanya berat akan memikirkan
perbedaan itu.
"Yap Tjong Lioe tolol di mata Tiat Keng Sim, ia tapinya sedikit mirip dengan gur
uku," ia berpikir pula, kapan petaan pemimpin
tentera rakyat itu lewat di depan matanya. Juga ia tak dapat jelaskan kemiripan
itu. Nampaknya Tjong Lioe kasar tetapi dia jujur dan polos, dia tak pandai
mengatur kata-kata.
Mengenai Pit Kheng Thian, kalau dia dibanding sama Tan Hong, Keng Sim atau Tjong
Lioe, dia agaknya kalah. Petaan orang she Pit ini lantas kealingan bayangannya
Keng Sim. Orang she Tiat ini justeru masih muda dan tampan, dan tingkatnya pun b
erimbang dengan ia, tak seperti Tan Hong dan Tjong Lioe.
Berselang dua hari ada datang serombongan nelayan, jumlahnya dua tiga ratus oran
g. Mereka di kirim Tjio Boen Wan, yang pernah didik mereka. Seng Hay San pun per
nah turut mendidiknya. Mereka ini bawa berita bahwa di kota Taytjioe sudah berdi
ri barisan suka rela tetapi kurang pemimpinnya.
"Kalau begitu, baiklah saudara Seng yang pulang." Tjong Lioe me-
ngasi pikiran.
Hay San suka pulang.
Keng Sim juga ingin kembali, tapi ia dicegah Tjong Lioe, yang minta ia mendidik
barisan nelayan itu. Maka ia jadi berdiam terus.
Setelah rapi mengatur barisannya, Keng Sim minta ijin dari Tjong Lioe untuk mula
i menggempur musuh. Komandan itu menolak. Ketika ia majukan lagi permintaannya,
sampai beberapa kali, tetap ia ditolak. Ia menjadi kurang puas. Diam-diam ia kat
a pada Sin Tjoe: "Tentera ini berdiam lama di gunung, makan dan pakainya sulit,
dengan terus berdiam saja, apakah kita bukan mencari kemusnaan sendiri? Kita dat
ang ke mari untuk memerangi perompak, sekarang sudah lewat setengah bulan, kita
terpekur saja, apakah artinya ini?"
Sin Tjoe tidak habis sabar seperti
sahabatnya ini. Ia tenang-tenang saja.
"Yap Toako tidak hendak memberi persetujuan, mungkin ada sebabnya," ia bilang.
"Sebab apakah itu? Hm! Ia tentunya jeri!"
Biasanya Sin Tjoe hargakan pemuda ini, sekarang ia dapatkan orang seperti memand
ang enteng kepada Yap Tjong Lioe, ia tidak puas. Maka dengan dingin ia kata: "Ap
akah cuma kau yang bisa berpikir dan lain orang tidak? Menarik beng-kung busur u
ntuk memanah harimau dari gunung Lam San, menggosok pedang
guna menyingkirkan ular naga dari laut Pak Hay. Apakah artinya itu? Untuk melawa
n
perompak, tidak perlu kita terlalu tergesa-gesa. Bukankah kau per-
nah berkata begini? Siapa tahu kalau Yap Toako tengah bersiap-siap untuk menarik
panahnya dan mengasah pedangnya?"
Melihat orang tidak puas dan kata-katanya dipakai memukul padanya, Keng Sim terp
aksa bungkam. Tapi tetap ia tidak puas, maka ia berpikir: "Aku pandai membaca ki
tab perang, dapatkan Yap Tjong Lioe dibandingkan denganku?"
Tjong Lioe tidak menggeraki pasukan perangnya, itu bukan berarti ia berdiam saja
. Setiap hari ia ada mengirim mata-mata untuk mencari tahu gerak-gerik perompak.
Demikian itu hari, seorang mata-matanya pulang dengan berita perompak hendak me
nyerbu gunung dari tiga jurusan, bahwa ten-teranya akan sampai di
kaki gunung.
Komandan itu bersikap tenang sekali.
"Untuk dapat merayap naik, perompak mesti gunai temponya setengah harian," ia bi
lang, "Sekarang kita tengok dulu gerak-gerik mereka, sesudah itu baharu kita men
damaikan daya untuk menyambut mereka itu..."
Lantas ia ajak Sin Tjoe dan Keng Sim mendaki puncak, untuk dari tempat tinggi it
u mengawasi musuh.
Sin Tjoe dan Keng Sim pandai ilmu enteng tubuh, malah Keng Sim hendak pertontonk
an kepandaiannya itu.
Sebentar saja mereka berdua sudah sampai di atas puncak. Kapan Keng Sim menoleh,
ia dapatkan Tjong Lioe ada bersama. Komandan ini tidak bermuka merah, napasnya
tidak memburu. Keng Sim
menjadi kagum, maka hilanglah beberapa
bahagian dari pandangannya terhadap pemimpin itu, tidak lagi ia tak melihat mata
.
Kaum perompak benar maju dari tiga jurusan timur, barat dan utara. Dua yang di t
imur dan utara, barisannya panjang bagaikan ular. Mereka menyebabkan debu mengep
ul naik dan binatang liar lari sera-butan. Vang di barat sebaliknya berjumlah se
dikit, mungkin cuma tiga sampai lima ratus jiwa. Selagi barisan ini mendaki, di
atas udara ada sekumpulan burung terbang lewat, makin lama makin tinggi, sampai
lenyap dari pemandangan.
Sesudah menyaksikan sekian lama, Tjong Lioe ajak kawan-kawannya pulang. Terus
ia mengadakan
rapat.
Keng Sim bilang: "Kita harus terjang musuh dengan pakai ilmu perangnya Soen Tjoe
. Kalau tentera kita berlipat sepuluh kali, kita mengurung, kalau cuma lima kali
, kita menerjang, dan bila hanya satu kali, mesti kita mencoba memecah tenaga mu
suh itu. Jikalau tenaga kita berimbang, kita harus rebut kemenangan, tapi kalau
jumlah kita lebih sedikit, harus kita mundur teratur. Begitu juga kalau kita leb
ih lemah, kita mesti menyingkir dari pertempuran."
Tjong Lioe semua mengawasi. Sejumlah tauwbak, ialah
pemimpin rombongan-rombongan kecil, menjadi heran yang orang sempat mengapali bu
ku kitab perang.
"Dasar dia mahasiswa, dia pandai mengapal!" kata satu tauwbak, b
erbisik.
"Siapa itu Soen Tjoe? Dia umur berapa?" lain tauwbak berbisik. "Kalau Soen Tjoe
pasti tidak salah, Loo Tjoe lebih-lebih!..."
Keng Sim nampaknya bangga, ia kata pula: "Sekarang ternyata tenaga musuh lebih b
esar daripada kita, kalau kita memecah diri untuk melayani mereka, pasti kita ka
lah. Rombongan musuh di barat lebih lemah, kalau kita lawan mereka, kita jadi te
rlebih kuat. Maka mari kita serang bahagian baratnya itu, kemudian baharu kita t
erjang yang di timur, kita pasti menang."
"Oh, begitu!" kata si soeya. "Kau menyebut-nyebut Soen Tjoe, aku jadi bingung."
Tjong Lioe berkata:
"Kita bangsa kasar, kita tidak mengarti ilmu perangnya Soen Tjoe. Kalau menurut
aku, kalau si perompak kate datang, kita boleh main-main dengan
mereka secara menggiling berputaran..."
"Apakah itu cara menggiling berputaran?" Sin Tjoe tanya.
"Pernahkah kau lihat keledai menarik penggilingan?" Tjong Lioe balik menanya. "K
eledai itu lari terputar-putar
menarik penggilingan, lama-lama matanya kabur dan kepalanya pusing, apabila kita
lepaskan dia, dia masih lari berputaran terus..."
"Apa hubungannya itu dengan cara menyerang si perompak?" Sin Tjoe tanya pula.
"Ha, penting hubungannya!" sahut komandan itu, tertawa. "Kita mesti bikin perom-
pak itu menjadi si keledai tolol, kita pancing mereka supaya mereka lari-larian
dan berputaran di atas gunung ini. Kita jangan bertempur dengan
mereka, kita hanya berputaran, main petak. Kita kenal baik gunung kita, kita dap
at lari lebih cepat. Secara begitu kita nanti bikin mereka mati letih."
Pemimpin ini bicara secara biasa, perkataannya gampang di mengarti, maka semua t
auwbak, besar dan kecil, menjadi kegirangan.
"Akur!" seru mereka. "Mari kita bekerja menuruti akalnya tongnia1. Kit
a bikin perompak itu mampus kecapean!"
"Kitab perang dahulu kala tidak pernah mencacat cara berperang ini," kata Keng S
im tawar, "Rangsum kita tidak cukup, apakah bu-
kan kita yang bakal mati lelah?"
"Musuh datang dari tempat jauh, mereka bisa bawa berapa banyak rangsum?"
seorang berkata, "Kita hidup bagaikan mengandal gunung makan gunung, mengandal a
ir meminum air, kita pun dibantu rakyat jelata, kenapa kita mesti takut main pen
ggilingan
dengan mereka itu?"
Keng Sim tidak per-dulikan orang itu.
"Kalau turut caramu ini, berapa lama kita akan main petak sama perompak kate itu
?" ia tanya Tjong Lioe.
"Tentang temponya tidak dapat dipastikan," pemimpin itu menyahuti. "Mungkin se
puluh hari, mungkin setengah
bulan. Atau mungkin juga satu bulan..."
"Kalau begitu, sampai kapan dapat kita gebos mereka hingga ke
laut?" Keng Sim tanya pula, tetap dengan tawar. "Kau takut lawan musuh keras den
gan keras, kau dapat menyingkir dari mereka. Tapi bagaimana jadinya dengan rakya
t yang bersengsara? Apakah kau tidak hendak tolong mereka? Nah, pergilah kau mai
n petak, aku sendiri hendak
berperang!"
Semua tauwbak menjadi kaget. Tjong Lioe mengedipi mata pada mer
eka itu.
Seorang lantas berkata, keras: "Di antara kita, siapakah yang tidak berani mati
dan jeri menempur musuh? Kau... kau..."
"Cukup!" Tjong Lioe menyelak. "Tiat Kongtjoe juga memikir untuk negara dan rakya
t, kita jangan berisik. Ada alasannya kenapa Tiat Kongtjoe ingin segera menggemp
ur musuh kita.
Cuma perompak itu licik bagaikan rase, kita mesti perhatikan itu."
"Perduli apa mereka licik sebagai rase, garang seperti srigala atau harimau, aku
tidak takut!" Keng Sim berkata pula. "Aku akan bawa barisanku untuk serang mere
ka!"
Tjong Lioe menyeringai.
"Kalau begitu, baik, aku nanti kirim orang untuk membantu,"
katanya.
"Tidak usah!" Keng Sim menampik. "Kau sendiri baiklah main petak sama mereka itu
!"
Tjong Lioe antar pemuda itu keluar dari tenda, ia cekal keras tangan orang.
"Tiat Kongtjoe, kau hendak berperang, aku tidak dapat melarang kau," katanya. "A
ku cuma harap kau berhati-hati dalam satu hal..."Pemimpin ini berkata dengan
sungguh-sungguh, hati Keng Sim tergerak juga. Maka maulah ia mend
engar apa pesan tongnia itu.
***
"Perompak kate itu licik, mereka pandai menggunai tipu daya, kita harus berhati-
hati," berkata Tjong Lioe. "Kita mesti jaga tentara sembunyi mereka."
Di dalam hatinya, Keng Sim berpikir: "Inilah pengetahuan umum dalam urusan peran
g, tak usahlah kau mengingatinya. Laginya dari puncak telah aku melihat tegas-te
gas, di garis ini jumlah musuh paling juga lima atau enam ratus jiwa, mana ada t
entara sembunyinya?" Maka itu ia menjawab dengan sem-barangan saja: "Aku
tahu."
"Di waktu berperang, baiklah pasukanmu ini jangan dipersatukan," Tjong Lioe meme
san pula. "Kita mesti bernyali besar tetapi terliti, kita mesti memikir untuk me
rebut kemenangan, terutama kita mesti menjaga jangan sampai kalah. Maka itu baik
lah kau memecah barisan, yaitu satu barisan kecil dijadikan pelopor, untuk maju
di paling depan, guna mencari tahu tenaga musuh. Kau sendiri boleh ambil keduduk
an di tengah. Biarlah Iie Siangkong paling belakang, untuk menjadi pembantu.
Secara begini, andaikata benar kita menghadapi tentara sembunyi, tidak nanti kit
a sampai kena dikurung musuh."
Mendengar itu, Keng Sim tertawa.
"Walaupun aku bodoh, tahu jugalah aku sedikit tentang ilmu perang!" ia berkata.
"Tentang itu tak usahlah saudaraku memberi petunjuk padaku."
Sebenarnya Yap Tjong Lioe masih hendak memesan lagi tetapi satu tauwbak telah da
tang sambil berlari-lari padanya mengundang ia lekas kembali ke markas. Maka itu
, selagi hendak berlalu, ia hanya memesan: "Umpama kata benar saudara sampai ber
temu tentera bersembunyi musuh, lekaslah kau mundur ke timur selatan."
"Aku tahu," sahut Keng Sim tawar, ia mengangguk pelahan.
Jumlah tentera Keng Sim ini ada dua ratus jiwa lebih, ia kumpul mereka jadi satu
pasukan besar, ia titahkan lekas menuju ke
lembah barat, untuk lantas menyambut
musuh.
"Tadi Yap Toako pesan..." berkata Ie Sin Tjoe, untuk menyadarkan.
"Dia tahu apa!" jawab Keng Sim. "Di depan takut pada harimau, di belakang jeri p
ada srigala, apakah itu namanya perang? Aku sudah lihat tegas musuh berjumlah cu
ma lima ratus jiwa, tentara kita dua ratus, jadi satu lawan dua, sudah cukup! Lu
cu Yap Tjong Lioe, dia menyuruh aku memecah pasukanku menjadi tiga barisan. Juml
ah kita sudah sedikit, lalu hendak dipecah tiga pula, habis bagaimana kita dapat
berperang?"
Besar nyalinya anak muda ini, ia percaya akan kemenangannya emdash kemenangan bes
ar emdash ia sam-
pai tak memikirkan kemungkinan bisa
kalah...
Jalanan sukar tetapi Keng Sim desak barisannya maju dengan cepat. Dalam tempo du
a jam, tibalah mereka di lembah barat itu. Kecuali Keng Sim sendiri bersama Sin
Tjoe, semua orang telah mulai bernapas sengal-
sengal. Baharu tiba di mulut lembah, mereka sudah dapat lihat satu pasukan musuh
, yang mendatangi dalam
rombongan-rombongan dari empat lima orang. Keng Sim berada di sebelah atas, mere
ka itu berada di sebelah bawah, maka itu, mereka itu tengah mendaki.
"Mari maju!" berseru Keng Sim dengan titahnya, sambil ia kibaskan pedangnya, pun
mendahulukan berlompat maju, guna mulai
menyerang.
Tentara suka rela nelayan itu memang benci perompak kate itu, yang biasa sangat
mengganggu mereka, hati mereka panas, sekarang mereka menyaksikan kepala perang
mereka sudah maju, mereka pun lantas menyerbu, tanpa takut mati, tanpa menghirau
kan mereka masih lelah.
Hebat serangannya Keng Sim. Sejumlah musuh lantas putus tangannya atau kutung ka
kinya, atau mereka itu terdupak roboh bergeluntungan ke
dalam lembah. Setelah belasan menjadi kurban, yang lainnya ketakutan dan lari ba
lik. Tentara nelayan pun menyerbu mereka secara hebat.
Keng Sim tertawa lebar.
"Bagaimana?" tanyanya kepada Sin Tjoe.
Saking puas, ia menjadi bangga.
Sin Tjoe juga tidak menyangka musuh
demikian tra punya guna, ia menjadi gembira sekali, maka tempo si anak mudah men
gejar, ia turut memburu.
Tentara perompak itu lari sampai di tempat di mana ada hutan alang-alang atau
rumput, yang tinggi sependirian, mereka lari serabutan masuk ke dalam situ.
"Biar mereka kabur ke sarangnya, mereka mesti diserbu dan diseret keluar!" berse
ru Keng Sim. Ia terus memberi contoh.
Tentera nelayan itu berani tapi tanpa pengalaman, mereka memang tengah gembira d
an sengit, mereka terus ikuti pemimpinnya yang kosen itu. Hanya begitu lekas mer
eka sudah masuk ke dalam
rimba itu, tiba-tiba ada terdengar dentuman meriam, yang disusul sama teriakan-t
eriakan riuh dari empat penjuru. Nyatalah tentera
perompak telah
mengatur siasat, di situ mereka
menyembunyikan diri, setelah memancing
lawan, sekarang mereka keluar untuk membalas menerjang.
Keng Sim dan barisannya lantas kena dikurung.
Dua perampok, yang tubuhnya tinggi dan besar, lompat kepada Keng Sim, untuk meny
erang dengan goloknya. Dengan dua kali tangkisan beruntun, si anak muda dapat me
nyingkirkan ancaman bahaya itu.
Salah satu musuh itu adalah Otonoe dan ke tujuh, yang pernah diketemukan
di dalam kapal upeti, dan kawan-
nya adalah Sakada Eio, juga dan ke tujuh, maka tidak heran, habis itu, Keng Sim
kena dikurung mereka.
Tentera sembunyi musuh itu berjumlah kira-kira seribu orang, sama mereka yang ta
di memancing, jumlah
semua ada seribu lima ratus lebih, dari itu bisalah di mengerti yang barisannya
Keng Sim jadi kalah lima enam lipat. Maka juga sia-sia saja tentara nelayan itu
mencoba
berulang-ulang, mereka tidak dapat menoblos kurungan. Sebaliknya, mereka terdesa
k hingga mereka terkurung makin rapat.
Keng Sim menjadi gusar berbareng cemas. "Awas!" ia berteriak, lalu ia menyerang
hebat dengan jurusan "Batu pecah, langit gentar." Pedangnya menikam kepada kedua
lawannya,
bergantian tetapi
sangat cepat.
Sakada Eio berlaku ayal, lengannya
bahagian atas kena ketikam. Otonoe dapat berkelit, terus ia hendak menolong kawa
nnya, tetapi ia kena terbentur hingga terhuyung,
hampir ia jatuh. Keduanya tidak mau mundur, meski yang satu sudah terluka. Lekas
juga mereka dibantui beberapa kawannya lagi. Maka Keng Sim kembali kena terkuru
ng.
Ie Sin Tjoe dapat melihat kawannya
terancam, ia hendak membantu, untuk ini, lebih dulu ia robohkan dua musuhnya, ya
ng mengepung padanya. Belum lagi sampai pada Keng Sim, bunga emasnya, lima buah,
sudah menyamber. Lima musuh terserang semua, yang roboh hanya dua. Untuk sejena
k, Sin
Tjoe tercengang, tapi segera ia ingat, musuh ada mengenakan baju lapis. Dua musu
h yang roboh itu kebetulan terhajar tenggorokannya. Musuh yang lain mesti disera
ng jalan darahnya, baru mereka bisa dibikin jatuh.
Karena ini, ketika Nona Ie menyerang pula, kembali dengan lima buah bunga emasny
a, kali ini ia arah tenggorokan. Ia berhasil merobohkan tiga musuh. Dua yang lai
n bebas ialah Otonoe dan Sakada Eio. Hanya celaka Otonoe, karena dia menangkis s
enjata rahasia, dia kena dibarengi Keng Sim, meski benar dia bisa menangkis, heb
at lengannya terhajar, hingga tak dapat dia geraki tangannya itu, terpaksa dia l
ari pergi. Sakada Eio lantas turut menyingkir.
Keng Sim terlepas dari kurungan, tetapi pasukannya tidak,
mereka masih tetap terkepung, bersama Sin Tjoe ia mencoba menyerbu hebat, hanya,
tertoblos yang selapis, masih ada lapisan yang lainnya, demikian seterusnya. Ma
na dapat mereka membunuh habis
ratusan musuh itu?
Tentara nelayan merasakan kesukaran hebat. Sudah mesti menangkis musuh, mereka j
uga menderita dari tusukan ujung rumput dan duri, hingga banyak yang terluka.
Sakit hatinya Keng Sim menyaksikan penderitaan tentaranya itu.
"Biar aku terbinasa di sini, akan aku dayakan agar kamu lolos dari kurungan!" di
a berseru. Ia putar pedangnya untuk menyerang hebat sekali.
Musuh membuka jalan untuk ini pemuda yang gagah, sebaliknya, tentera nelayan mer
eka pegat terus. Maka itu, ketika kemudian Keng Sim menoleh ke belakang, ia dapa
tkan ia berada sendirian saja, di sana Ie Sin Tjoe lagi bertempur seru sama musu
h, guna membuka jalan untuk barisannya yang tetap terkurung.
"Setan alas!" ia mengutuk dalam hatinya. "Aku menyerbu seorang diri, aku lolos,
siapa tahu tenteraku tetap terkurung!
Bukankah mereka itu bisa dapat susah?"
Tidak ayal lagi, ia kembali, akan menyerang balik. Segera ia merasakan kesulitan
dengan pedangnya, yang bukan pedang mustika. Pedangnya itu lekas menjadi puntul
.
"Menyesal aku tidak dengar perkataannya Yap Tjong Lioe..." katanya masgul.
Sekarang ia menginsafi kekeliruannya.
Ketika itu Oto- noe dan Sakada Eio, yang sudah dapat beristirahat, datang pula.
Maka itu, pengurungan musuh jadi bertambah kuat, kurungan menjadi
terlebih ringkas.
Keng Sim sangat berduka dan mendongkol karena sia-sia saja ia menyerang balik, i
a tidak sanggup mendekati Sin Tjoe atau pasukannya, saking kuatnya pertahanan la
wan, yang merintangi kembalinya itu.
Dalam saat barisan nelayan terancam
bahaya kemusnaan itu, tiba-tiba ada terdengar riuh suara anak panah yang lewat m
engawung di tengah udara, habis mana terlihat datangnya
satu pasukan penolong. Bahkan sekilas lalu saja, satu lapis kurungan musuh sudah
lantas kena didobrak.
Musuh ada menyiapkan dua buah meriam, yang bisa menembak jauh beberapa puluh tom
bak, menampak
datangnya bala batuan lawan itu, mereka lantas menembak dengan meriamnya itu.
Tentara penolong itu mendengar suara mengguntur, mereka pada jatuhkan diri untuk
bersetiarap, dengan begitu mimis lewat bagaikan hujan di atasan tubuh mereka. B
enar mereka tidak kena tertembak tetapi majunya mereka jadi terhalang.
Keng Sim menyaksikan itu semua.
"Saudara Ie, akan aku membuka jalan untukmu, pergi kau bikin mampus
dua tukang
tembak meriam itu" ia kata pada Sin Tjoe, habis mana ia menyerang ke arah meriam
. Ia lemparkan pedangnya, ia cekuk dua musuh, untuk diangkat tubuhnya, buat dibu
lang-balingkan bagai senjata.
Pusing kepalanya dua perompak itu, dengan goloknya mereka
menyerang kalang
kabutan, tapinya yang kena diserang justeru kawan mereka sendiri, kemudian merek
a pun terbacok golok ngawur, hingga mereka
terbinasa.
Keng Sim lemparkan kedua mayat musuh, ia bekuk dua yang lain, ia pakai pula mere
ka itu sebagai senjata. Siasat ini ia pakai berulangkah. Dengan begini ia berhas
il membuka jalan, dan Sin Tjoe dapat mengikuti. Dari itu setelah datang dekat ke
pada meriam, untuk
menyerang, si nona segera gunai bunga emasnya.
Sedetik saja, dua tukang meriam itu roboh binasa, maka bungkam juga kedua
meriamnya.
Di lain saat, barisan penolong dan tentera nelayan berhasil saling mendekati sat
u sama lain, untuk menggabungkan diri, karena ini, mereka lantas bisa bekerja sa
ma.
Barisan penolong itu dipimpin Teng Bouw Tjit, atau hoetongnia, pemimpin ya
ng kedua.
Keng Sim girang berbareng likat.
"Mana Yap Toako?" ia tanya.
"Yap Toako menitahkan aku datang menyambut," Bouw Tjit menjawab. "i Toako sendir
i membawa pasukannya pergi ke tenggara, mungkin
sekarang ia pun tengah menempur musuh di ju-
rusan sama."
Keng Sim terkejut. Ia tahu jumlah mereka semua, sekarang Bouw Tjit membawa empat
atau lima ratus orang, pasti jumlahnya
pasukannya Tjong Lioe menjadi kecil sekali, tinggal separuhnya. Dapat mereka mel
awan musuh di dua jurusan di sana itu?
"Bagaimana ini bisa?" katanya. "Dia membagi separuh tenteranya, bagaimana dia bi
sa melayani dua rombongan musuh di dua jurusan?"
"Yap Toako bilang, berapa bisa kita lindungi, kita lindungi," menerangkan Bouw T
jit. "i Toako kenal baik wilayah ini, kau adalah orang baru, maka itu toako ingi
n menolong dulu pada pihakmu. Toako pesan untuk jangan berkuatir."
Keng Sim malu dan
menyesal sendirinya.
"Mari kita lantas mundur ke tenggara!" katanya.
Dengan adanya bala bantuan ini, jumlah tentera suka rela tetap ada terlebih keci
l, tetapi Keng Sim membuka jalan, Bouw Tjit mengikuti dia. Sin Tjoe ambil tempat
di tengah. Orang berkelahi sambil mundur.
Berselang setengah jam mereka berhasil keluar dan rimba alang-alang itu. Tapi ma
sih mereka berkelahi terus. Lagi setengah jam baharulah mereka tiba di mulut gun
ung. Pihak musuh masih mengejar, karena mana, Keng Sim berkuatir. Mereka telah b
erkelahi lama dan tujuan masih jauh. Sampai kapan mereka bisa tiba di tenggara i
tu akan menggabungi diri dengan pasukannya Tjong
Lioe?
Sakada Eio dan Otonoe kedua dan ke tujuh, telah dapat beristirahat, dengan sejum
lah tenteranya, mereka hendak mengurung. Untuk itu mereka ambil jalan samping, g
una tiba lebih dahulu di sebelah depan. Lantas mereka pegat jalannya Keng Sim, h
ingga si anak muda menjadi mendongkol, ia segera menyerang.
"Kalau ia tak selelah itu, dapat Keng Sim pukul mundur kedua musuh, sekarang ia
cuma dapat membikin keadaan berimbang. Meski begini, ia mesti berkelahi mati-mat
ian. Karena ia terhalang, Sin Tjoe turut terhalang juga.
Selagi pertempuran itu berlangsung dahsyat sekali, terlihat debu menge
pul, satu pasukan mendatangi cepat sekali,
maka segera tertampak satu orang dengan toyanya yang besar. Dia hebat sekali, be
lasan perompak lantas kena dibikin terjungkal.
"Pit Kheng Thian!" Sin Tjoe berseru apabila ia telah melihat tegas roman orang.
Kheng Thian itu memandang si nona, ia tertawa dan mengangguk, lalu terus ia meng
hajar musuh.
Cepat sekali ia telah datang dekat. Tanpa membilang suatu apa, ia haj
ar Sakada Eio dengan toyanya.
Sakada Eio menangkis dengan goloknya. Dia bersilat dengan ilmu golok Angin Keram
at, yang liehay. Dia memang bertenaga besar sekali. Habis menangkis, dia bakal m
embalas menyerang. Dia percaya tangkisannya itu akan membuatnya senjata lawan te
rpental. Kali ini
tapinya dia menduga keliru. Begitu kedua senjata benterok, dia menjadi kaget sek
ali, hingga dia menjerit dan tangannya kesakitan. Telapakan tangannya pecah dan
berdarah akibat benterokan itu. Inilah disebabkan tenaga besar luar biasa dari s
i orang she Pit.
Kheng Thian penasaran yang ia cuma bisa membikin mental golok musuh, ia terus me
ngulangi serangannya, dengan tenaga yang dikerahkan.
"Bagus! Kau terima lagi satu toya!" ia berseru.
Sakada Eio menjadi jeri, ia balik tubuhnya, untuk menyingkirkan diri. Ia dipegat
Keng Sim, yang menendang padanya, lantas saja ia terhuyung, karena
dengkulnya adalah yang kena ditendang itu. Justru itu, datang pula
samberannya Kheng Thian. Tidak ampun lagi, ia roboh dengan polonya pecah berarak
an.
Otonoe licik, melihat kawannya terbinasa, ia lantas lari.
Jumlah tenteranya Pit Kheng Thian ini ada seribu lebih, digabung menjadi satu de
ngan tenteranya Tiat Keng Sim, jumlah mereka jadi melebihkan tentera
musuh, maka itu, sebentar kemudian, keadaan jadi terbalik, ialah sekarang musuh
yang kena dilabrak hingga mereka buyar dan lari kucar-kacir, banyak yang terbina
sa dan luka.
Kheng Thian hendak mengejar, untuk
melabrak terus tetapi Sin Tjoe cegah padanya.
"Lebih baik kita pergi membantui Vap Tongnia ," Sin Tjoe usulkan.
"Jangan kuatir,"
Kheng Thian mengasi keterangan. "Aku sudah perintah Pit Goan Kiong membawa serib
u
serdadu pergi ke sana."
Sin Tjoe tetap berkuatir, karena ia tahu musuh berjumlah besar.
Melihat ia sudah menang, Kheng Thian tidak memaksakan kehendaknya.
Keng Sim segera kumpuli tenteranya dan menghitung. Yang terbinasa dan terluka ad
a kira-kira enam puluh orang. Jumlah kurban ini kecil kalau diingat hebatnya per
tempuran, tetapi ia berduka, karena ia insaf inilah tentera nelayan yang dilatih
baik sekali oleh Seng Hay San. Ia cekal tangannya Sin Tjoe, sembari menghela
napas ia berkata: "Aku pandai membaca kitab ilmu perang, nyatanya kepandaian i
tu tidak
dapat dipakai dalam perang yang sebenarnya, buktinya telah terbinasa dan terluka
begini banyak saudara... Ah, mana aku ada punyai muka untuk pulang dan menemui
Yap Toako?"
Pit Kheng Thian lihat pergaulan orang yang erat itu, tak se-
nang hatinya, tetapi ia bisa mengendalikan diri. Maka sambil tertawa lebar ia ka
ta: "Menang atau kalah adalah umum dalam peperangan, buat apa kau pikirkan itu?
Kau bertentera beberapa ratus jiwa, kau bisa layani seribu lebih serdadu musuh,
itu pun sudah bagus! Saudara, apakah she-mu?"
(bersambung)
CATATAN
1) hal 104, pertempuran itu diceritakan dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Tur
unan). Dalam cerita tsb juga diceritakan hubungan antara keluarga Pit dan keluar
ga Thio Tan Hong.
2) hal 125, pertikaian tiga murid Peng Hweeshio diceritakan dalam Hoan Kiam Kie
Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) dan Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan). Sete
lah sekian lama menghilang, peta dan harta peninggalan Thio Soe Seng, yang petun
juknya berupa lukisan, akhirnya ditemukan oleh Thio Tan Hong dalam cerita Peng T
jong Hiap Eng
PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid 2
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid 2
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
Kheng Thian lihat orang gagah, ia menyangka Keng Sim menduduki tempat
penting dalam tentera rakyat, ingin bergaul erat dengannya.
Keng Sim perkenalkan dirinya, bahwa ia datang dari Taytjioe untuk menggabungi di
ri dengan Vap Tjong Lioe. Kemudian ia menambahkan: "Pit Toaliongtauw, syukur kau
keburu datang. Terima kasih untuk bantuanmu ini."
Teng Bouw Tjit lalu memperkenalkan terlebih jauh, katanya: "Tuan ini ada putera
dari Giesoe Tiat Hong, yang di Taytjioe terkenal untuk ilmu silat dan ilmu surat
nya. Baiklah kamu bersahabat."
"Oh, kiranya satu kongtjoe..." kata Kheng Thian di dalam hatinya seraya ia lirik
anak muda itu. Karena ia melirik, ia dapatkan Sin
Tjoe, yang sudah lepaskan tangannya yang dicekal Keng Sim, masih berdiri di damp
ing si pemuda. Kembali timbul rasa tak puasnya. Maka dengan tertawa tawar ia kat
a dalam hatinya: "Ie Sin Tjoe ada satu wanita gagah, kenapa dia boleh penujui ma
hasiswa begini macam?"
Berbareng dengan itu. Kheng Thian lantas ingat bahwa orang yang Sin Tjoe paling
puja adalah Thio Tan Hong, dan Tan Hong pun seorang mahasiswa. Mengingat ini, ka
lau tadinya ia cuma tak senang terhadap Keng Sim, dengan tiba-tiba saja ia jadi
bersikap "bermusuh" terhadap pemuda itu...
Sebaliknya adalah Tiat Keng Sim. Ia mulanya memandang enteng kepada orang sebang
sa Kheng Thian ini, tapi setelah kekalahannya
apa yang orang bilang, ia menyangka saja mereka itu sahabat-sahabat erat, dari i
tu, ia turut tertawa.
Malam itu semua orang bergembira, maka juga Yap Tjong Lioe melakukan keistimewaa
n, ialah ia menitahkan menyembelih belasan ekor babi untuk mereka berpesta, guna
memberi selamat atas kemenangan mereka.
Keng Sim telah gunai satu ketika akan secara pribadi menghaturkan maaf kepada Tj
ong Lioe.
Pemimpin itu tertawa, ia kata: "Tidak ada artinya! Aku cuma pernah lebih sering
benterok sama perompak kate itu, aku jadi terlebih berpengalaman sedikit. Setela
h aku pikirkan, kata-katamu tentang ilmu perang Soen Tjoe itu benar beralasan. B
ukankah kau telah bilang, menu-
rut kitab Soen Tjoe itu, kalau musuh banyak dan kita sedikit kita mesti menyingk
ir dari perang mati-matian? Aku pikir, memang satu kali kita toh mesti bertempur
secara
memutuskan dengan musuh perompak ini! Untuk itu, kita mesti me
ncari daya yang paling menguntungi kita. Laoko, lain kali akan aku minta
kau menutur kepadaku tentang ilmu perang Soen Tjoe itu. Sudikah kau,
Laoko, menerima murid setolol aku ini?"
Keng Sim jengah sendirinya. Ia lihat Tjong Lioe pandai merendah, meski sudah ber
jasa besar, dia tidak jumawa, dia tidak mengagulkan diri. Ia kata: "Sekarang bah
arulah aku insaf, membaca kitab perang saja masih belum berarti. Aku berlag
ak
pintar, aku main kunya kata-kata Soen Tjoe, aku pakai bukan di tempatnya! Pantas
aku kalah. Cuma satu hal aku minta toako sudi menerangkan padaku..."
Tjong Lioe tetap merendahkan diri.
"Baiklah Tiat Siang-kong yang memperka-takan itu, nanti kita merunding bersama,"
ia bilang. Ia lantas saja ketahui tabiat pemuda ini, maka itu, ia lantas bawa l
agaknya merendah.
"Toako," Keng Sim menanya, "kenapa kau ketahui musuh mengatur tentera sembunyi?"
Tjong Lioe bertindak ke luar tenda sambil tertawa. Ia lihat di luar tangsi, anak
buahnya lagi repot menyembelih babi dan kambing, suara mereka riuh. Jauh di ata
s rimba terlihat burung-burung berter-bangan, masih ada yang
belum terbang jauh. Ia kata: "Tadi pagi di waktu kita memeriksa di atas puncak,
bukankah di sana tertampak banyak burung berter-bangan?" Ia maksudkan hutang ala
ng-alang.
Tiba-tiba saja Keng Sim sadar.
"Ya!" sahutnya. "Jikalau di sana tidak ada tentera sembunyi, tidak nanti burung-
burung itu kabur terbang. Yap Toako, kau pandai sekali memikir!"
"Inilah tidak berarti!" Tjong Lioe masih tertawa. "Setiap orang tani mengetahui
tentang ini, aku cuma pakai itu dan memindahkannya ke medan perang..."
Keng Sim malu sendirinya. Ia mengarti sekarang bahwa kepandaian tidak terdapat d
i buku saja.
Besoknya selagi berpesta, Yap Tjong Lioe
mengajukan usul mengangkat Pit Kheng Thian menjadi tjongtjiehoei, yaitu pemimp
in umum, untuk pergerakan
mereka menentang perompak kate. Ia sendiri rela menjadi pembantu saja. Tentang i
ni, ia sudah mengasi penjelasan kepada orangnya, yang tidak menyatakan sesuatu.
Kheng Thian sangat setujui usul itu, meskipun di mulutnya, di muka orang banyak
berulang-ulang ia
menampik. Ia menanti saja saatnya untuk menerima "dengan terpaksa." Adalah juste
ru sejenak itu, Keng Sim campur bicara.
"Tidak, inilah tidak dapat!" katanya. "Yap Toako sudah sering menempur musuh, ka
u telah ketahui baik perihal musuh itu, toako juga ada penduduk setempat, untukm
u jadi
lebih banyak yang me-nguntungi. Kalau toako ditukar lain orang, kendati
dia pandai sekali, dalam hal pengalaman, dia kalah dari toako."
"Tapi Pit Toaliongtauw mengepalai lima propinsi Utara, sudah beratus kali dia be
rperang sama tentera negeri, pengalaman perangnya itu lebih menang daripada aku.
" berkata Tjong Lioe. "Laginya dalam hal menghadapi perompak, kita harus bekerja
sama, kita harus sering berunding. Aku menjadi pembantunya toaliongtauw, apakah
halangannya? Toaliongtauw beratus kali lebih pandai daripada aku, baiklah dia d
iminta menjadi pemimpin besar."
Keng Sim tidak mau mengarti. Ia tahu tindakannya Kheng Thian yang bakal di
ambil: Lagi sekali dia berpura-pura
mengalah, lantas ia bakal menerima. Maka ia berkata pula: "Memang, buat melawan
perompak kita mesti bekerja sama, bersatu padu! Kalau begitu, buat apa kita sali
ng mengalah?
Laginya, berperang
melawan tentera negeri beda dengan berperang melawan perompak ini. Sekarang ini
di pesisir dari beberapa propinsi, siapa juga mengetahui toako adalah pemimpin u
tama tentera rakyat, kalau toako ditukar
sama lain orang, banyak ruginya, sedikit kebaikannya. Toako hendak menyer
ahkan kedudukan, itu tandanya toako pandai menghormati orang sebawaha
n, dan Pit Toaliongtauw suka mengalah, menampik kedudukan itu, ini pu
n menandakan toaliongtauw jujur. Dua-dua toako dan toaliongtauw
adalah orang-orang yang harus dihargakan. Toako, sudah selayaknya toako menerima
baik penampikan toaliongtauw, dari itu harap toako tidak
mengalah terlebih jauh!"
Berpengaruh suaranya Keng Sim ini, maka juga beberapa orang, yang tadinya setuju
pemimpin mereka menyerahkan kedudukan kepada Pit Kheng Thian, sekarang pada men
ahan pula pemimpinnya itu.
Bukan main mendongkolnya Kheng Thian atas cegahannya Keng Sim ini. Tentu saja ia
tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dasar ia pandai membawa diri, lantas ia terta
wa lebar.
"Dasar Tiat Kongtjoe seorang sekolahan," katanya, "pandangannya menjadi jauh dan
luas, apa yang kukatakan, telah ia mendahuluinya menguraikan.
Ya, Yap Toako, kaulah harapan orang ramai, jangan kau mengalah pula! Bukankah pe
rlawanan kepada perompak juga bakal ada hari penutupnya? Di
belakang hari masih banyak sekali urusan besar dalam mana kita bisa bergandeng t
angan dan bekerja sama!"
Mendengar ini, Sin Tjoe tergerak hatinya. Ia heran. "Kenapa Pit Kheng Thian lepe
hkan pula bahpauw yang sudah masuk ke dalam mulutnya?" ia kata dalam hatinya. "M
ungkinkah ia telah merubah tabiatnya? Teranglah sudah ia ada mengandung sesuatu
maksud..."
Yap Tjong Lioe jujur, tidak pernah ia memikir curang, maka itu, mendengar perkat
aannya Kheng Thian itu, ia bilang: "Kalau Pit Toaliongtauw memaksanya, baiklah,
aku terima
perintah. Toaliongtauw benar, kecuali perlawanan kita sekarang terhadap pemberon
tak, di belakang hari masih ada banyak urusan dalam mana kita harus bekerja sama
. Aku lihat, baiklah atur begini saja! Sekarang aku tetap menjadi pemimpin
tentera rakyat melawan perompak, tapi toaliongtauw mesti jadi bengtjoe, k
epada
ikatan. Bukankah toaliongtauw telah menjadi bengtjoe di lima propinsi Utara? Mak
a lain kali, akan aku kumpulkan semua orang gagah kaum Rimba Hijau di dua propin
si Kangsouw dan Tjiatkang supaya
mereka memasuki ikatan toaliongtauw itu. Kalau nanti perompak sudah dapat diusir
pergi dan pesisir aman sentosa, kami semua suka mendengar segala titah toaliong
tauw1."
Ini pun ada keinginannya Pit Kheng Thian, tapi untuk sesaat ia masih menampik, s
etelah ia dibujuk, baharulah ia menerima, maka itu perjanjian lantas diperkuat.
Mengenai ikatan itu, Keng Sim tidak ketarik hati, dari itu, ia tidak campur bica
ra. Ia pun tidak menyangka bahwa Pit Kheng Thian ada menyimpan maksud yang dalam
, bahwa Tjong Lioe hendak dipakai tenaganya nanti.
Habis upacara perserikatan, Kheng Thian tarik Tjong Lioe ke samping, untuk diaja
k bicara berdua saja. Mereka kasak-kusuk.
Sin Tjoe dapat lihat kelakuan orang itu, ia tidak dapat menduga apa-apa, ia hany
a terkejut sendirinya tempo ia dapatkan Tjong Lioe mengawasi padanya sambil bers
enyum.
"Apakah bisa jadi mereka bukan sedang berdamai hanya lagi membicarakan urusan-ku
?" si nona menduga-duga. Ia jadi bercuriga. Ia memandang kepada Kheng Thian, ia
pun dapat orang lagi mengawasi padanya. Lantas saja ia kata dalam hatinya: "Di a
ntara semua orang ini, yang ketahui aku wanita cuma Pit Kheng Thian dan Pit Goan
Kiong, jikalau mereka itu membuka rahasia, terang sudah tidak dapat aku berdiam
lebih lama pula di sini."
Hatinya si nona menjadi lega pula kapan kemudian ia dapatkan Tjong Lioe bicara t
erus secara wajar, terhadapnya pemimpin itu tidak mengubah sikap.
Semenjak perginya Seng Hay San, Ie Sin Tjoe berdiam di dalam sebuah tenda be
rtiga
bersama Thio Hek dan Tiat Keng Sim, tetapi malam itu, Yap Tjong Lioe menitahkan
orangnya membangun tiga tenda lagi, terus dia minta si nona dan Keng Sim masing-
masing
menempati sebuah
tenda, sebuah tenda lagi untuk Pit Kheng Thian. Thio Hek tetap menempati tenda y
ang lama. Alasan dari ini adalah supaya masing-masing merdeka.
Keng Sim paling senang kalau orang hargakan padanya, ia senang dengan ini cara p
erlayanan. Sin Tjoe tapinya bercuriga. Dia halus perasaannya, lantas dia dapat m
enduga inilah pasti ada buahnya kasak-kusuk Kheng
Thian dengan Tjong Lioe tadi. Dia menjadi tidak puas. Dia anggap Kheng Thian kur
ang terhormat. Di lain pihak, dia senang mendapatkan
sebuah tenda. Memang dia kuatir, kalau lama-lama tinggal bersama Keng Sim, pemud
a itu nanti curigai atau pergoki dia. Maka itu dengan gembira dia menghaturkan t
erima kasih kepada Tjong Lioe.
Tjong Lioe telah mengatur pula pasukannya dengan rapi, ia pun berserikat sama te
ntera rakyat di lain-lain tempat. Selama itu, dia menjadi repot sekali. Pula sel
ama itu, sikapnya terhadap Sin Tjoe tidak pernah berubah, hingga si nona ragu-ra
gu kalau orang telah mengetahui rahasia penyamarannya itu.
Lewat setengah bulan, selesai sudah segala pengaturannya Tjong Lioe, perhubungan
nya dengan lain-lain pasukan rakyat pun sudah erat, maka mulailah ia menggeraki
pasukan perangnya
menggempur kawanan perompak. Dalam
beberapa kali pertempuran, musuh bisa didesak balik ke arah pesisir, sampai di S
eeouw, sepuluh lie dari tepi laut. Di sini perompak itu dapat bertahan sebab mer
eka dapat bantuan serombongan ronin, yang baru tiba dari negerinya.
Selagi kedua pihak berhadapan, Tjong Lioe ambil sikap mengacip atau mengurung, h
ingga jalanan keluar musuh tinggallah jalan ke tepi laut. Secara begitu, mereka
tidak dapat molos ke lain wilayah di mana mereka dapat mengacau pula rakyat pesi
sir. Di saat Tjong Lioe hendak menjanjikan satu hari yang memutuskan, tiba-tiba
saja datanglah utusan
perompak, terdiri dari dua orang, yang mengajak pihak tentera
rakyat itu mengirim wakil untuk menghadiri pesta mereka, katanya pesta musim ron
tok, di waktu mana sekalian diadakan pertandingan besar. Di achirnya ditegaskan,
apa pihak tentera rakyat itu suka mengambil bagian.
Membaca surat undangan itu, Keng Sim tidak puas terhadap bunyinya. Terang surat
itu mesti ditulis oleh satu pengchianat, yang menyerah kepada pihak perompak itu
. Ia lantas jelaskan bunyinya surat kepada Tjong Lioe semua.
"Mereka mengundang kita mengadu kepandaian, pasti mereka mengandung maksud tidak
baik," Keng Sim mengutarakan dugaannya. "Di jaman Tjoen Tjioe dahulu, memang bi
asa terjadi, selagi kedua negara berperang, peperangan suka
ditunda, ialah di musim rontok, untuk kedua pihak turut ambil bagian dalam perta
ndingan memanah sambil menunggang kuda. Sekarang mereka gunai alasan ini, untuk
menunda pertempuran, buat mengadu kepandaian dengan lain cara. Dulu orang berper
ang saudara, sekarang lain, malah sekarang, yang berperang bukan pemerintah Nipp
on sendiri, hingga tidak dapat kita menerima mereka sebagai musuh resmi. Menurut
pikiranku, baik kita jangan perdulikan surat undangan ini dan si utusan kita ra
ngket masing-masing lima puluh rotan, habis kita usir mereka!"
"Bagus kau masih ada punya kesabaran untuk berbicara panjang
lebar," berkata Pit Kheng Thian. "Paling benar robek saja surat-
nya itu!"
Yap Tjong Lioe berpikir.
"Memang perompak kate banyak akal bulusnya," berkata ia, "tetapi tenaga kita cuk
up, tidak usah kita berkuatir. Aku pikir, dia menggunai akal, kita baik mengguna
i akal juga, ialah akal lawan akal. Artinya kita terima undangannya dan pergi me
ngambil bagian dalam pertandingan itu."
"Toako ada punya daya apa?" Keng Sim tanya.
Tjong Lioe bersenyum.
"Kita lihat gelagat saja!" sahutnya. "Sekarang kita kirim wakil kita, yang nyali
nya besar, yang umpama kata dapat membuka jalan dan menyingkir dari kurungan ser
ibu atau selaksa serdadu musuh..."
"Kalau begitu, aku suka pergi bersama saudara Ie Sin Tjoe!" Keng Sim paling dulu
mencatatkan namanya.
Kheng Thian melirik kepada anak muda itu, ia tertawa.
"Tiat Siangkong, ini urusan mengadu jiwa!" katanya. "Ini tak dapat dibanding den
gan membuat syairmu..."
Tidak senang Keng Sim mendengar suara itu, air mukanya sampai berubah.
Tjong Lioe dapat lihat roman orang, ia segera campur bicara.
"Tiat Kongtjoe lie hay, pastilah dia tidak bakal gagal," katanya. "Laginya ada ba
ik apabila yang pergi lebih banyak lagi. Pit Toako, apakah kau ada minat mengiku
t pergi, untuk turut ambil bagian? Dengan kau turut, segala apa pasti menjadi te
rlebih baik lagi."
Mulanya tidak ada niatnya Kheng Thian untuk mengambil bagian, tetapi mendengar K
eng Sim hendak pergi bersama Sin Tjoe dan si nona setuju, ia menjadi jelus, ingi
n ia segera memberikan namanya, hanya malang malang sama kedudukannya sebagai be
ngtjoe, terpaksa ia diam saja. Sekarang Tjong Lioe membuka suara, ia lantas guna
i ketikanya itu.
"Toako menitahkan aku, mana berani aku membantah?" ia
memberi alasan.
Habis ini ditetapkan lagi dua nama, ialah Teng Bouw Tjit dan The Kan Louw, dua p
emimpin sebawahan dan tauwbak tentera
rakyat. Jawaban diberikan kepada utusan musuh bahwa besok mereka akan memenuhi j
anji.
Demikian besoknya, Keng Sim berlima pergi ke tempat musuh, yang berupa sebuah la
pangan terbuka di tepi laut. Gelanggang luas tetapi seperti penuh oleh beberapa
ribu perompak kate. Di tengah gelanggang
terlihat belasan jago Nippon tengah berlatih. Mereka ini lantas menyambut tetamu
-tetamunya.
Seorang, yang rupanya menjadi kepala, yang bertubuh tinggi besar, mengulurkan ta
ngannya, sembari dia berkata dalam bahasanya: "Orang-orang gagah Tiongkok harus
dipuji, marilah kita bersahabat!"
Kheng Thian majukan dirinya ke depan, ia sambut tangan orang itu. Ia meyakinkan
tenaga kimkong tjie, ingin ia membejak tangan lawan hingga tulang-
tulang tangannya
remuk, tetapi waktu ia memencet, ia merasakan jeriji orang bagaikan jari besi
. Tentu saja ia menjadi heran.
Di pihak lain, tuan rumah pun terperanjat. Ia adalah Ishii Taro, seorang dan ke
delapan yang baharu tiba dari negerinya, yang liehay yudo dan kendonya, sedang t
ubuhnya kebal, kuat bagaikan baja atau besi akibat latihan semenjak dari kecil t
ubuhnya direndam
obat. Ia pun ingin menghancurkan tangan tetamunya, ia menjadi kaget merasakan ta
ngan orang keras sekali, jari tangannya terasakan sakit. Maka lekas-lekas ia lep
askan cekalannya dan menarik pulang tangannya itu. Ia tapinya penasaran, ingin i
a berjabat tangan sama Sin Tjoe.
"Tak usah pakai adat peradatan!" berkata si nona, yang tetap menyamar sebagai pe
muda sambil tertawa manis, berbareng dengan mana sebelah kakinya menjejak sepoto
ng batu di depannya, hingga batu itu hancur.
Ishii dapat lihat itu, ia terkejut.
"Benarkah pemuda tampan dan halus ini lebih liehay dari pada kawannya si tubuh k
asar ini?" tanya ia dalam hatinya. Karena ini, ia batal mencoba tenaga tangannya
si nona. Ia tidak menduga Sin Tjoe sebenarnya menggunai akal, karena nona ini t
ak sudi berpegang tangan dengan tangannya yang kasar dan berbulu. Sin Tjoe meman
g mengenakan sepatu yang berlapisan besi, dan gerakan kakinya dibarengi sama aks
i seperti ia salah
angkat kaki dan terje-runuk.
Tanpa banyak bicara lagi, Ishii pimpin tetamu-tetamunya ke tengah gelanggang di
mana ada seorang, yang roman atau sikap dedaknya menyolok mata sekali. Kedua pem
pilingannya naik, romannya jelek, sepasang matanya tajam bersinar.
"Inilah wasit dalam pertandingan ini," Ishii memperkenalkan. "Ia ada Hasegawa, d
an ke sembilan paling terkenal di negeri kami!"
Diam-diam Keng Sim beramai terkejut. Tidak disangka musuh mendatangkan jago dan
ke sembilan. Maka bisa di mengerti liehaynya jago ini.
Hasegawa ini bersikap temberang. Dia ada dan ke sembilan, dia tak ingin turut d
alaan pertandingan, dari itu dia
angkat diri sebagai wasit, untuk memimpin pertandingan. Dia
mengangguk acuh tak acuh.
"Bagus!" katanya. "Sekarang ini kita tengah berlatih, yang menang sampai
sekarang ini ada Konoe Saburo, maka siapa di antara kamu yang hendak bertanding
dengannya?"
Dia omong Nippon, lantas ada yang salin.
Teng Bouw Tjit kata pada Pit Kheng Thian: "Lainnya ilmu silat aku tidak mengarti
, untuk tenaga, aku mempunyai beberapa kati, coba aku yang melayani dia." Lantas
ia tindak meng-hampirkan Konoe
Saburo.
Cuma saling mengangguk saja, kedua jago itu sudah lantas mulai bertempur. Mereka
bergulat. Tiba-tiba saja, Bouw Tjit kena
dibanting.
Semua orang Nippon bersorak-sorai.
Keng Sim mengke-rutkan kening, pikirnya: "Teng Bouw Tjit ada hoetongnia, kenapa
dia begini tidak punya guna?" Ia menjadi masgul.
Bouw Tjit terbanting untuk segera merayap bangun, untuk bergulat pula. Lagi seka
li ia kena dirobohkan, tapi lekas juga ia berbangkit pula akan menantang lagi. K
ejadian ini diulangkan hingga tujuh delapan kali.
Konoe kewalahan sedang maksudnya
adalah membikin terluka musuh, agar dia tak dapat berbangkit pula. Bouw Tjit seb
aliknya satu jago gwak.ee, bahagian luar, dan selama bekerja sebagai kuli tamban
g beberapa
puluh tahun tubuhnya jadi kuat dan ulat sekali, baharu dibanting
pulang pergi sebagai itu, ia bagaikan baharu merasa gatal. Ia tidak lantas dinya
takan
kalah, sebab menurut aturan pertandingan itu, siapa terbanting dan dapat lompat
bangun pula, dia berhak untuk melanjuti bergulat.
Lagi sekali mereka bergulat. Hati Konoe keder sendirinya. Bouw Tjit sebaliknya t
etap tabah. Kali ini ia dapat mencekal kedua lengan lawannya, sembari
berseru, ia kerahkan tenaganya. Segera
tubuh Konoe terlempar, jatuh terbanting.
Malang untuknya, kepalanya mengenai batu, kepala itu berlobang dan men
geluarkan
darah, maka juga jangan kata berlompat bangun, bergeming pun ia tidak dapat.
Pihak Nippon kaget, mereka bersuara riuh. Lalu seorang masuk ke
kalangan seraya
memutar goloknya dan berseru: "Lebih baik kita gunai senjata tajam!"
Ie Sin Tjoe tertawa haha hihi, ia bertindak masuk ke dalam gelanggang. Ia tidak
menghunus pedangnya, ia hanya loloskan angkinnya, ialah ikat pinggang terbuat da
ri sutera.
Pihak tuan rumah menjadi heran, tidak kecuali jagonya, yang memegang golok itu,
ialah Koso, dan ke
tujuh. Ia heran menyaksikan si pemuda memutar-mutar angkin -nya itu.
"Eh, kau bikin apa?" tegurnya.
"Bukankah kamu yang bilang hendak mengadu kepandaian?" Sin Tjoe membaliki.
"Kalau begitu kenapa kau tidak menghunus pedang?"
"Menurut aturan ber-
tanding bangsaku,
untuk mengadu kepandaian kita mesti melihat pihak lawan," sahut Sin Tjoe tenang,
"setelah itu baharu kita tetapkan cara me- layaninya. Untuk melayani kau? Tidak
ada harganya untuk aku menghunus pedang!..." Ia putar pula angkin-nya, hingga
berkibar dan melilit. "Inilah senjataku!" ia tambahkan sambil
tertawa.
Pembicaraan mereka selalu diterjemahkan tukang salin, karenanya, sifat mengejek
dari Sin Tjoe menjadi kurang hebat, dia melainkan dapat dilihat dari aksinya, ma
ka itu Koso merasa bahwa orang pandang tak mata kepadanya. Ia menjadi gusar seka
li.
"Baik, pakailah sabukmu!" dia membentak, lantas goloknya menyabat, cepat dan
bengis.
"Hure!" bersorak jago-jago Nippon.
Sin Tjoe berlaku ayal-ayal gesit, ialah tepat golok hampir mengenakan dadanya, b
aharu ia berkelit. Bagus gerakan tubuhnya, yang lemas tetapi sebat.
Keng Sim kagum hingga ia berseru memuji nona itu. Tapi segera ia dapat perasaan
aneh, hingga ia kata di dalam hatinya: "Gesit tetapi halus dan lemas sekali tubu
h saudara Ie ini, kenapa dia mirip sama gerak-geriknya satu nona?" Karena ini, k
alau tadinya ia tidak mencurigai apa-apa, sekarang ia menjadi berpikir. Ia ingat
tidak pernah orang membuka baju luar dan di waktu mandi, Thio Hek dan ia selalu
diminta menanti di luar. Ia mau percaya
atas kebiasaan orang akan tetapi sekarang? Karena berpikir, ia menjadi diam saja
. Justeru itu ia dapatkan Pit Kheng Thian memandang kepadanya dengan mata dibuka
lebar, ia terperanjat. Ia pun lantas mendapat dengar sorak yang ramai.
Nyata Sin Tjoe untuk kedua kali berkelit secara manis dari bacokan lawannya.
Segera datang serangan yang ketiga kali dari Koso. Itulah ilmu silat golok "Sufu
" atau "Angin Keramat." Sinar golok berkilauan. Sin Tjoe seperti kena dikurung k
iri kanannya, ke mana tubuhnya berkelit, ke situ golok menyusul.
Dengan gerakannya "Burung ho mencelat ke langit," Sin Tjoe berloncat tinggi be
berapa
kaki, dengan begitu golok lewat di bawah kakinya ketika Koso menyerang ia yang t
erachir.
Kembali sorak ramai, juga dari pihak lawan, karena mereka ini belum pernah menya
ksikan cara berlompat demikian indah.
Belum lagi Koso sempat menarik goloknya, Sin Tjoe sudah turun menaruh kaki sejar
ak setombak lebih dari padanya. Nona kita bersenyum, sabuknya dikibaskan. Ia ber
kata: "Tiga kali sudah kau menyerang, sekarang datang giliranku!"
Kata-kata ini sudah lantas dibuktikan.
Koso membabat, tetapi sabuk melayang lewat, lalu kembali, maka ia terus ulur tan
gan kirinya, guna menyambar, niatnya untuk membetot. Ia berlaku sangat cepa
t
tetapi buktinya, sabuk terlebih cepat pula, tidak dapat ia mencekal.
Setelah itu, ikat pinggang itu menyambar pula.
Berulang-ulang Koso disambar pergi datang, ia menangkis, ia gagal. Ia mau menang
kap, ia gagal pula. Sabuk menyambar berulang-ulang, tidak pernah mengenai sasara
nnya, akan tetapi dengan begitu Koso repot sendiri, hingga sebentar kemudian, ia
bermandikan keringat.
Di matanya para hadirin, sabuk Sin Tjoe bergerak bagus sekali, manis untuk diton
ton, di mata Koso, hebatnya bukan main, karena saban-saban ia terancam bahaya ba
kal kena disambar dan dililit. Kalau ia kena menjadi sasaran, pasti celakalah ia
. Paling untung ia bakal terlempar tubuh-
nya.
Lagi sesaat, dari bermandikan peluh, Koso menjadi pusing
kepalanya dan kabur matanya. Terlalu hebat mesti mengikuti gerak-geriknya sabuk,
ia mesti berputaran tak tuasnya.
Ie Sin Tjoe terdengar tertawa terkekeh, lalu itu ditutup dengan seruannya: "Kena
!"
Kali ini sabuk me-nyamber golok, golok lantas ditarik keras. Terlepaslah senjata
itu dari tangannya Koso, terus terlempar tinggi, hingga sinar peraknya berkilau
an di antara sorot matahari, memperlihatkan suatu bayangan.
Cepat terbangnya golok itu, cepat juga melayang turunnya. Orang semua kaget, ada
di antaranya yang mencoba menyingkir. Tapi golok jatuh lempang ke arah Koso
sendiri.
"Hebat!" memuji Keng Sim. Ia mendapatkan sabuk Sin Tjoe bukan cuma membuatnya
golok terpental, itupun diberikuti ilmu melepas senjata rahasia. Tidak demikian
golok tak akan kembali ke arah pemiliknya.
Sin Tjoe pandai menggunai kimhoa,
bunga emasnya, dan kali ini, golok Koso ia terbangkan menuruti gerakan ilmunya i
tu melepas senjata rahasia, maka golok turun menyamber menuruti kehendaknya. Itu
lah kepandaian ajarannya In Loei yang liehay.
Sampai di situ orang lantas dengar satu suara tertawa yang rada luar biasa, sege
ra terlihat munculnya
seorang Nippon, yang terus mendekati gelanggang. Dia membawa sehelai tambang,
yang
ujungnya dikalak hidup, tambang itu segera diayun, dilemparkan ke arah golok, ma
ka sekejap saja, golok itu kena disambar, terus ditarik. Di lain saat, goloknya
Koso sudah berada di dalaan genggamannya.
Keng Sim kagum untuk caranya menggunai bandring atau lasso itu. Tapi itu pun men
jadi tanda, pihak Nippon tidak dapat dipandang ringan, di antara mereka itu ada
orang-orang yang liehay.
Pihak Nippon bersorak-sorai, antaranya ada yang menyebut nama jagonya itu. Keng
Sim mengarti bahasa orang, maka tahulah ia, pelempar lasso jempolan itu bernama
Kagawa Ryuki, dan ke delapan.
Dalam bala bantuan Nippon itu ada satu jagonya dari dan sembilan dan dua dan del
apan. Dan sembilan ialah
Hasegawa, dia tidak turun bertanding. Dan delapan yakni yang satu adalah penyamb
ut tetamu tadi, Ishii Taro, dan yang lainnya Kagawa Ryuki ini. Mereka ini berdua
disiapkan untuk melawan musuh paling tangguh, mereka bakal keluar di saat terak
hir, siapa tahu, dua kali pihak lawannya menang beruntun dan Sin Tjoe mempertont
onkan sabuknya yang liehay itu hingga mau atau tidak, Kagawa mesti lantas maju.
Setelah menanggapi golok, Kagawa Ryuki lilitkan lassonya di lengannya.
"Mari kita mencoba-coba!" dia menantang. "Kau boleh gunai senjata apa kau suka,
aku siap sedia untuk melayaninya!"
Penterjemah segera salin kata-kata yang
menantang itu.
Belum lagi Sin Tjoe memberikan
jawabannya, tahu-tahu sabuknya telah disambar lasso orang dan terus ditarik, hin
gga ia kena terbetot dua tindak. Ia menjadi kaget sekali.
Kagawa tidak berhenti sampai di situ. Dia tertawa terkekeh,
tetapi tangan kirinya bergerak. Dengan begini dia membuatnya lassonya, yang panj
ang tiga tombak lebih, menjadi pendek. Di pihak lain, dengan satu gerakan yang m
enyusuli itu, dia membuatnya golok Koso di tangannya melesat menyambar lawan!
Semua gerakan terjadi cepat bagaikan kilat berkelebat, tetapi juga Sin Tjoe tida
k mau menyerah kalah.
Setelah kena terbetot, hatinya menjadi tenang dan mantap. Bagaikan
kilat ia bergerak, sebelah tangannya turut bergerak pula, lalu "Tas!" putuslah
lassonya Kagawa sebelum lasso itu sempat ditarik pulang. Sekarang orang lihat di
tangan Sin Tjoe terdapat sebuah pedang pendek yang tajam mengkilap.
Tubuhnya Kagawa berputar, lantas golok Nippon itu terkutung dua, karena Sin Tjoe
kembali menggunai
pedangnya yang tajam itu. Tapi ia pun bukannya tidak berkurban. Ujung sabuknya k
ena disambar musuh, yang menariknya keras sekali, hingga sabuk itu putus!
Kegagalan Kagawa ini membuatnya masgul dan malu, hingga ia berdiri diam di pingg
iran gelanggang itu.
Sin Tjoe putus sabuknya tetapi ia merasa puas sekali.
"Awas!" sekonyong-konyong terdengar peringatannya Keng Sim.
Nona Ie terkejut, sebab tahu-tahu Kagawa, dengan sebatang golok, sudah menerjang
tanpa tanda apa juga. Sedang barusan saja dia berdiri diam.
Sin Tjoe boleh gagah tetapi dalam hal pengalaman dan
kelicinan, ia kalah dari lawannya ini, yang sebagai dan delapan, telah ulung dal
am pelbagai pertempuran. Dia berdiam hanya menggunai akal, setelah lihat lawanny
a alpa, dia lantas membokong. Dia membekal goloknya yang tajam, sedang tadi dia
pakai goloknya Koso.
Kaget Sin Tjoe mendengar suaranya Keng Sim. Syukur ia tabah dan dapat berlaku te
nang dan gesit. Tidak ada jalan lain, ia lantas
melenggak sebatas
pinggang, berkelit dengan gerakan "Jembatan papan besi," rambutnya hampir
mengenakan tanah. Dengan begitu, golok lewat cuma sedikit di atasan mukanya.
Kembali riuh sorak-sorainya pihak Nippon, yang bergembira
berbareng
menganjurkan jagonya.
Tentu sekali nona kita menjadi mendongkol sekali. Ia menekan ujung pedangnya tan
ah. Selewatnya golok di mukanya, ia geraki kedua kakinya, untuk berlompat bangun
,
untuk berdiri pula, sembari berlompat,
tangannya diayun.
Dengan ujung pedangnya ia membabat lengan lawannya itu.
Kagawa pun sebat sekali, dapat ia berkelit, cuma karena ayal sedikit, ikat pin
ggang-
nya, sehelai ban kulit, kena terlanggar ujung pedang hingga putus.
"Bagus!" berseru Pit Kheng Thian, nyaring suaranya, hingga ia membuatnya pihak
Nippon bungkam, sedang tadi mereka girang bukan kepalang, suara mereka sangat ri
uh. Selagi Kheng Thian berteriak itu, teriakannya Keng Sim telah menyusulinya.
"Celaka!" demikian suaranya si orang she Tiat ini.
"Apa?" tanya Kheng Thian kaget, suaranya pun tergandet.
Nyatanya Kagawa Ryuki tidak berhenti sampai di situ. Ia belum mau menyerah kalah
. Dengan tiba-tiba tangan kirinya menyambar lengan Sin Tjoe, tangan kanannya, ya
ng memegang golok, membacok ke pundak si nona.
Sebenarnya Sin Tjoe
hendak membikin
kutung golok lawan, ia cuma berhasil memutuskan tali pinggang saja, sekarang ia
dibarengi lawannya itu ia terancam bahaya. Dalam hal ilmu golok, Kagawa ada jago
nomor tiga di negerinya. Ilmu goloknya itu pun dapat dipakai menyerang
terus menerus. Inilah justeru hebatnya.
Dengan terpaksa Sin Tjoe berkelit sambil mengentak tangannya dengan tiba-tiba,
dengan begitu ia menjadi lolos dari bahaya, tetapi waktu ia hendak membalas meny
erang, ia segera dirabu, dihujani bacokan-bacokan yang dahsyat sekali. Ia menjad
i repot membela diri. Dengan begitu, ia menjadi terdesak.
Kagawa menang di
atas angin tetapi ia tidak dapat lantas merebut kemenangan terachir. Sia-sia saj
a rangsakannya itu, percuma beberapa puluh bacokannya, tidak ada satu yang menge
nai sasarannya.
Maka kemudian ia campur pakai ilmu silat "Tanpa golok." Artinya ia bisa berkelah
i dengan tangan kosong dan dengan tangan kosong itu dapat merampas senjata musuh
. Ini ilmu mirip sama ilmu "Tangan kosong memasuki rimba golok" dari ilmu silat
Tionghoa, melainkan cara bergeraknya yang berlainan.
Nona Ie kena didesak, karenanya, ia mengandal kepada
keringanan tubuhnya, kepada kegesitannya berkelit atau bergerak.
Menampak pihaknya kembali menang di atas angin, orang-orang
Nippon membuka pula suaranya, untuk memuji jagonya, buat membantu menganjurkan s
emangat orang.
Keng Sim dan Kheng Thian mulai berkuatir untuk Sin Tjoe. Orang pun terdesak.
Sin Tjoe tapinya tidak terdesak hingga ia tidak berdaya. Melainkan sebentar saja
ia kalah angin, atau segera terjadi perubahan pula. Ialah di dalam rangsakannya
Kagawa, ia terus bergerak cepat, melesat sana dan melesat sini, saban ia berada
dekat lawannya, ia mulai main menotok. Perubahan ini membuat hatinya Keng Sim d
an Kheng Thian menjadi lega.
Biar bagaimana, Sin Tjoe adalah muridnya Thio Tan Hong, ia pun cerdas sekali den
gan melihat keadaan, ia le-
kas dapat mengimbanginya. Ia mencari bahagian-bahagian yang lemah dari musuh. Bi
ar bagaimana sebat orang mainkan
goloknya, ia masih menang lincah, maka kemenangan bahagian ini ia pergunakan. Ia
berkelebatan menggunai ilmu silat ajaran In Loei ialah "Menembusi bunga mengita
rkan pohon."
Ilmu silat In Loei ini berdasarkan gerakan tubuh "memindahkan wujud, menukar ked
udukan," tubuh bergerak seperti menari, cepat dan halus, menarik dipandangnya. K
eng Sim menjadi sangat ketarik hatinya, hingga ia memuji.
Mendengar ini, Kheng Thian mengkerutkan alisnya dan mengawasi orang dengan mata
tajam...
Kagawa juga bukan seorang bodoh. Ia tidak
mau mengikuti orang berputaran secepat itu, sebaliknya ia gunakan kecepatannya d
i lain pihak. Ialah ia menyerang dengan bengis, maksudnya untuk
mendahului turun
tangan dengan berhasil.
Beberapa puluh jurus lewat pula. Habis ini, Sin Tjoe nampak kendor gerakannya.
"Kau berputaran pesat sekali, tenagamu habis sendirinya," pikir Kagawa. Ia lanta
s menanti ketika yang baik, atau mendadak ia membacok hebat.
Kelihatan tubuh Sin Tjoe terhuyung ke depan, seperti yang hendak jatuh. Melihat
itu, semua orang Nippon sudah lantas bersorak. Belum lagi suara mereka berhenti,
atau suara "Buk!" menyusulnya, terlihatlah tubuh Kagawa yang besar itu terlempa
r dan terbanting
setombak lebih,
goloknya pun berada di tangan lawannya, yang terus mematahkannya menjadi dua pot
ong. Sin Tjoe telah menggunai tipu daya, selagi ia disusuli serangan, ia mendak
berkelit, tangannya menotok jalan darah kwangoan hiat dari musuh, hingga sejenak
saja, kaku tubuh Kagawa, dengan begitu, setelah goloknya dirampas, tubuhnya itu
ditolak naik dengan kaget dan keras.
Sampai dia telah terbanting. Kagawa masih tidak mengarti akan kekalahannya itu.
Pihak Nippon menjadi heran dan membuatnya berisik, lalu satu di antaranya majuka
n diri, untuk menantang berkelahi. Dialah Ishii Taro, dan delapan.
Pit Kheng Thian tahu Nippon ini mesti lebih liehay daripada Kagawa,
ia berniat maju guna menggantikan Sin Tjoe, tapi belum lagi ia maju, ia ingat di
sana masih ada Hasegawa dan sembilan. Sebagai toaliongtauw, kepala ikatan, pant
as kalau ia melayani dan sembilan itu. Ia cuma tidak tahu aturan bertanding cara
Nippon, kalau bukan sama tingkat, dan sembilan tidak dapat turun tangan.
Tengah Kheng Thian bersangsi itu, Keng Sim telah bertindak ke gelanggang. Ia mej
adi girang berbareng
berkuatir. Kata ia di dalam hatinya: "Ishii Taro sebanding dengan aku, mana Keng
Sim bisa menjadi tandingannya?" Sejenak kemudian ia berpikir pula: "Pihak kita
sudah menang tiga babak, kalah satu babak tidak apa. Biarlah ini anak sekolah to
lol dapat bagiannya, su-
paya lenyap
temberangnya!..."
Ishii Taro dan Keng Sim sudah lantas bertanding. Hebat pukulannya Ishii berat da
n dahsyat anginnya. Di depan dia, Keng Sim berlaku ringan dan gesit. Setelah bel
asan jurus dan merasa mengetahui ilmu silat orang, Keng Sim mulai mendesak, kedu
a
tangannya keluar saling susul dengan lincah.
Pihak Nippon kembali menjadi heran. Mereka agulkan ilmu silat golok mereka palin
g jempol, sekarang mereka lihat orang yang bisa melayani jago mereka itu.
Hebat keduanya saling serang.
Beberapa waktu lagi telah lewat. Tiba-tiba terdengar seruannya Keng Sim: "Kena!"
Dan bebokongnya Ishii kena ditepuk, hingga jago itu
terhuyung. Dia tidak roboh. Cepat sekali dia menahan tubuhnya, terus dia membali
k diri dan tertawa. Adalah itu waktu, mendadak dia membalas menyerang.
Keng Sim menyerang tetapi ialah yang merasakan tangannya sakit. Ia seperti mengh
ajar besi. Tentu saja, karenanya ia terkejut atas datangnya serangan, yang dimul
ai dengan suara tertawa. Lekas-lekas ia berkelit ke kiri, sikutnya diangkat naik
, dengan begitu, pundaknya
cuma terbentur sambil lalu, ia hanya terhuyung sedikit.
Ishii heran bukan main, sedang ia percaya ia bakal menghajar ringsak musuhnya in
i.
Sekarang Keng Sim tahu orang kuat dan kebal, rupanya kekebalan itu sama dengan
Kimtjiongtiauw atau Lonceng Emas atau Tiatpousan atau Baju Besi. Sementara Ishii
ingat akan ilmu silat Tionghoa bahagian
dalam, Iweekang, yang keistimewaannya gesit dan dapat meminjam tenaga lawan. Ia
pikir: "Siapa nyana mahasiswa lemah ini sempurna ilmu dalamnya..." Meski dia mem
ikir begitu, dia tidak jeri. Dia percaya betul ketangguhan tubuhnya sendiri.
Segera keduanya bergebrak pula.
Setelah beberapa puluh jurus, beberapa kali Keng Sim dapat menghajar tubuh
lawannya, tidak dapat ia membuat orang roboh atau kesakitan, hanya ia sendiri ya
ng merasa tangannya sakit. Percuma saja serangannya itu, ia malah membikin Ishii
murka dan berkao-
kan. Ia sendiri dua kali kena diserang tetapi ia dapat mengegos
tubuhnya, ia lolos dari bahaya.
Setelah lagi beberapa jurus mereka masih tetap seri, mendadak Keng Sim lompat ke
luar kalangan seraya
berseru dalam bahasa Nippon: "Tahan!"
"Kenapa?" Ishii tanya.
"Bukankah kita seri saja?" Keng Sim balik menanya.
"Benar."
"Kalau begitu percuma kita bertanding terus, tidak ada artinya."
"Habis kau hendak menyudahi saja? Tidak, tidak dapat! Pihakmu telah menang tiga
kali dan kali ini belum ada keputusannya."
"Dengan bertempur secara begini, tidak bakal ada achirnya."
Keng Sim bersenyum.
"Habis kau ingin ber-
buat apa?" Ishii menegaskan.
"Baik kita gunai lain cara. Kau pukul aku tiga kali, aku pukul kau tiga kali jug
a. Di waktu aku hajar kau, kau tidak dapat berkelit, kau tidak boleh membalas. D
emikian juga aku."
"Tapi, kalau tetap tidak ada yang kalah juga?"
"Usul aku yang majukan, kalau kita seri, anggaplah aku yang kalah," Keng Sim kas
i kepastian.
Ishii girang, ia terima baik cara bertanding begini. Ia benar tangguh tetapi set
elah kenyang dihajar lawannya, sedikitnya ia merasakan sakit juga di tubuh bagia
n dalamnya, hingga ia pikir: "Kalau aku terus bertempur, mungkin aku achirnya ka
lah. Syukur dia adalah satu telur busuk!" Lantas dia tanya:
"Siapa yang memukul lebih dulu?"
Keng Sim tertawa ketika ia memberikan jawabannya: "Kami ada bangsa terhormat dan
menghormati tetangga, maka pastilah sekali suka aku mengalah untuk kau yang mem
ukul lebih dulu." Ia lantas gunai kakinya membuat guratan
bundar di tanah, dua lingkaran, untuk mereka seorang satu. Ia pun menambahkan: "
Siapa yang keluar dari lingkaran dia pun terhitung kalah."
"Bagus!" seru Ishii. "Aku berterima kasih yang kau suka mengalah."
Keduanya lantas mengambil lingkarannya masing-masing, berdiri berhadapan.
Ishii bernapsu sekali, segera ia ayun kepalannya dan menyerang. Ia mengarah muka
orang. Ia pikir: "Biar Iweekang kau liehay, kau toh tidak bis
a melatih dirimu menjadi berkepala besi!"
Keng Sim mendak, maka kepalan lewat di atasan
embun-embunannya.
Hebat serangan Ishii, karena ia tidak mengenai sasarannya, tubuhnya maju ke depa
n hampir roboh. Keng Sim sebaliknya berdiri diam, tubuhnya tidak miring, kakinya
tidak bergerak, maka itu bukan dinamakan berkelit.
"Masih ada dua lagi!" kata Keng Sim sambil tertawa. "Kau incarlah biar tepat!"
Ishii pikir perkataan orang benar, ia harus mengincar biar betul.
Keng Sim sudah lantas mengerahkan tenaga dalamnya, ia pasang dadanya.
Ishii memasang ma-
ta, terus ia menyerang. Kesudahannya, ia menjadi sangat heran, ia seperti mengha
jar besi, kepalannya itu mental balik.
"Tubuhnya kuat seperti besi, seperti tubuhku saja," pikirnya.
"Nah, tinggal satu lagi!" berkata Keng Sim tertawa. "Kau hajarlah!"
Ishii tidak membilang suatu apa, sembari menekuk dengkul, untuk memasang kuda-ku
da, ia menyerang perut lawannya. Ia telah kerahkan tenaganya. Ia pikir, perut le
mah, tidak nanti perut dapat dibikin kuat seperti besi. Ketika kepalannya
mengenai sasarannya, kembali ia terkejut. Kepalan itu seperti memukul kapok, lal
u kena tersedot. Belum lagi ia sempat menarik pulang kepalannya itu, Keng Sim su
dah mengeropos semangatnya,
perutnya dibikin melem-bung kaget. Maka Ishii kena tertolak keras, dia terpental
mundur
beberapa kaki.
"Nah, sekarang giliranku!" kata Keng Sim tertawa. Ia angkat tinggi kepalanya.
Ishii berdiri tercengang, herannya bukan buatan. Ia sampai memikir musuh menggun
ai ilmu siluman. Tentu sekali, sekarang hatinya gentar. Tempo ia pandang Keng Si
m, ia melihat sepasang alis yang berdiri, dua biji mata yang tajam, kepalan yang
diangkat tinggi tetapi tidak segera dikasi turun...
Bagaikan persakitan, Ishii diam saja, hatinya ciut. Beberapa kali pundaknya dian
gkat. Cuma sebentar ia jeri, lantas ia besarkan hatinya. Ia tetap dan delapan.
"Telur busuk, kau
hendak memukul atau tidak?" achirnya ia menegur. Ia jadi mendongkol.
Keng Sim tidak menjadi gusar, bahkan dia tertawa.
"Aku akan segera memukul!" katanya, tetap tertawa. Ia benar lantas memukul, teta
pi, belum lagi mengenai tubuh orang, ia sudah menarik pulang. ia menggertak.
Ishii pengkeratkan lehernya, tubuhnya minggir sedikit, pundak kirinya diangkat n
aik, seperti untuk membentur kepalan. Tapi kepalan Keng Sim telah ditarik pulang
, percuma segala gerakannya itu untuk membela diri. Malah kaki kanannya menggese
r setindak.
"Bagerol" dia mendamprat saking sengit.
Justeru ia bersuara, justeru serangan datang, tepat kepada
pundak kanannya, di tulang piepee, karena tidak bersiap sedia, ia mesti mundur d
ua tindak, hampir ia keluar dari lingkaran. Ia terkesiap, peluhnya mengucur kelu
ar ketika ia lihat kakinya hampir keluar dari rel...
Keng Sim cerdik, ia menduga bahagian
lemah dari lawan ada di punggungnya, ia lalu mencari ketika untuk menyerang ke b
ahagian anggauta itu. Tapi Hasegawa pun cerdik sekali, dia dapat menduga hati mu
suh. Malah dia lantas memberi peringatan kepada
kawannya: "Awas, si telur busuk hendak menggunai akal! Jagalah pun
ggungmu, berdiri tegar, jangan miring!"
Keng Sim mengarti bahasa Jepang, ia kagum untuk Hasegawa. Tetapi, berbareng deng
an itu, ia pun
sadar, maka dengan lantas ia menyerang. Tangannya dibawakan dari samping, ia jug
a tidak meninju hanya menekan jalan darah soankie hiat di dada. Yang hebat adala
h kesehatannya.
Ishii sudah lantas berdiri pula di tengah-tengah lingkaran begitu ia menginsafi
ia hampir keluar dari situ, ia menjaga diri akan tetapi ia masih merasakan sakit
pada pundaknya. Ia telah mendengar peringatannya Hasegawa, ia mau berhati-hati.
Begitulah ia menyingkir dari serangan dengan memutar tubuhnya. Inilah justeru y
ang dikehendaki Keng Sim. Tepat bebokong orang menghadapi ianya,
segera ia melanjuti serangannya ke jalan darah thiantjoe hiat, jalan darah yang
terlemah. Sekalipun orang
berlatih Kimtjiongtiauw atau Tiatpousan, siapa tertotok jalan darahnya itu, dia
mesti celaka.
Demikianlah Ishii Taro, lantas saja dia menjerit, dari mulutnya menyembur darah
hidup. Dia tertotok tepat, tubuhnya terus roboh.
Jago-jago Nippon menjadi kaget, mereka memburu untuk meno-longi. Ishii berwajah
pucat, napasnya
empas-empis. Dia telah terluka di bahagian dalam.
Jago-jago Nippon itu menjadi panas hatinya, mereka maju mengham-pirkan Keng Sim,
wajah mereka menunjuki
kemarahan mereka.
Keng Sim dapat lihat sikap mengancam itu, ia gendong kedua tangannya di punggung
nya, sembari tertawa, ia kata: "Adakah ini semangat bushido dari
Nippon?"
Mendengar itu, Hasegawa berseru: "Semua mundur!"
Sejenak itu, sunyilah gelanggang itu. Semua jago Nippon berhenti beraksi.
Dengan tindakan tetap, Hasegawa meng-hampirkan. Ia berwajah bermuram durja.
"Kau juga mundur!" berkata Hasegawa pada Keng Sim selagi orang hendak menegur
padanya."Tahukah kau, siapa aku? Aku ada dan sembilan, kau bukan tandingan
ku! Siapa
pemimpinmu?"
Mendahului Keng Sim, Pit Kheng Thian sudah lantas majukan dirinya. Ia bukannya p
emimpin akan tetapi ia anggap dirinya begitu. Ia maju begitu lekas perkataan Has
egawa diterjemahkan.
"Kau cari aku?" dia kata sambil tertawa.
"Bagus, bagus sekali! Hendak aku belajar dari kau, dan sembilan!"
Hasegawa memperlihatkan jempolnya.
"Kaulah si pemimpin besar?" dia tanya. Di pihak Nippon terdapat pengchianat, mak
a itu mereka ketahui siapa jadi toaliongtauw di lima propinsi Utara. Cuma Hasega
wa tidak tahu apa itu toaliongtauw, yang ia ketahui hanya pemimpin besar.
Kheng Thian puas sekali. "Kiranya kau ketahui namaku yang besar?" pikirnya. Teru
s ia tertawa. Lalu ia menjawab: "Orang
gagah kita banyak, tidak sedikit yang menangi aku, tetapi kau tidak usah menemui
pemimpin kami..."
"Jadi kau bukan si pemimpin besar?"
Hasegawa mengawasi, matanya mendelik.
"Maaf untuk pujian-
mu? Tidak berani aku mengangkat diriku
menjadi pemimpin besar!" ia menjawab.
"Bangsa kamu tidak jujur! Apa perlu kamu merendah tidak keruan?" menegur Hasegaw
a. "Baiklah, sebagai dan sembilan, aku tantang pemimpin
besarmu!"
Seluruh gelanggang sunyi senyap. Terutama di pihak Nippon, hati mereka kebat-keb
it. Mereka senang jago mereka maju, tapi di sebelah itu, mereka kuatir jago ini
pun gagal dan mereka bisa dapat malu besar. Di sini terletak kehormatan mereka!
Maka mereka mengawasi dengan
mata dibuka lebar-lebar.
Hasegawa dan Pit Kheng Thian saling mengawasi. Keduanya sudah siap sedia tetapi
tidak ada satu yang hendak mulai turun
tangan.
Juga Sin Tjoe dan Keng Sim kurang tenang pikirannya. Mereka
sudah bertempur,
mereka insaf sulitnya merobohkan musuh dan delapan. Sekarang Pit Kheng Thian men
ghadapi dan sembilan. Kheng Thian pun mengaku sebagai pemimpin mereka. Tidak bai
k kalau sahabat ini gagal.
Selagi banyak mata mengawasi mereka
berdua, tiba-tiba Kheng Thian dan Hasegawa berseru berbareng,
tubuh mereka sama-sama dimajukan, untuk menyerang. Keng Thian sudah lantas mengg
unai ilmu silat Toasoet paytjioe, Tangan Bantingan. Ia memang bertenaga besar, i
lmu silat ini cocok untuknya.
Keng Sim kagum menyaksikan kawan itu mengerahkan tenaganya. Di pihak Hasegawa,
dia pun menyambut serangan itu. Baharu mereka bergebrak, atau keduanya telah mun
dur sendirinya, dengan
terhuyung tiga tindak. Kejadian ini mengherankan para penonton. Cuma Keng Sim ya
ng terkejut untuk caranya Hasegawa. Dia ini nyata menggunai tipu meminjam tenaga
lawan. Hanya saking hebatnya Kheng Thian, dia pun turut mundur.
Hasegawa menggunai Jujitsu, yang asal mulanya adalah ilmu silat Thaykek Koen yan
g dibawa masuk ke Nippon di mana ilmu itu diolah pula hingga menjadi sedikit ber
beda. Di puncaknya kemahiran, dengan itu orang bisa meminjam tenaga lawan untuk
melayani atau merobohkan lawan.
Kheng Thian kehilangan keseimbangan tubuhnya ketika ia ditim-
pali Hasagawa itu, sedang ia telah kerahkan seluruh tenaganya, syukur untuknya,
ia pun paham /weekang dengan baik, ia masih sempat mempertahankan diri, hingga t
idaklah ia sampai roboh. Tadi itu, ia maju menyerang dengan tangan
kanannya mengancam, dengan tangan kiri ia bekerja, menotok
jidatnya lawan di jalan darah pekhouw hiat. Ia gagal, tubuhnya maju ke depan, ta
pi segera ia menahan diri seraya terus mundur, maka juga ia mundur dengan terhuy
ung.
Segera setelah bergerak pula, Kheng Thian bersilat dengan ilmu silat Hangliong T
jiang, atau Menaklukkan
Naga, tangan kirinya keras, tangan kanannya lemas. Ia tidak sudi merapatkan diri
. Sebaliknya, Hasegawa ingin
bertempur rapat, supaya ia bisa menyekal lawan, untuk dibanting atau dibikin ter
pental. Maka kedua pihak tidak lantas dapat mewujudkan pengharapan mereka.
Lagi beberapa puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya.
Pihak Nippon menjadi heran. Kenapa jago mereka tidak juga berhasil? Inilah tidak
biasanya. Pertandingan ini pun tidak seseru tadi. Mereka tidak mau pikir, siapa
lawannya jago mereka itu.
Sebaliknya, Keng Sim dan Sin Tjoe ketahui, pertempuran lagi mendekati sa
at terachir, puncaknya kehebatan.
Kheng Thian sebenarnya cemas sendirinya. Keng Sim dan Sin Tjoe menang dengan gam
pang, hasil mereka gemilang. Ia sendiri? Kalau ia kalah, sungguh
memalukan, apa pula ia telah menempati diri sebagai toaliongtauw... Ia tahu, dua
-dua Keng Sim merobohkan lawan mereka itu dengan ilmu totok. Ia sudah mencobanya
, ia selalu gagal. Ia sendiri, sebaliknya, tidak dapat kasi dirinya ditempel law
an itu.
Lagi beberapa jurus, baharulah Sin Tjoe dan Keng Sim berlega hati. Keng Sim kata
pada kawannya: "Pit Toako dapat berlaku keras dan halus, dengan begini, walaupu
n ia tak dapat menang, tidak nanti ia kalah. Dan asal seri, pihak kita menang."
Sin Tjoe mengangguk.
"Dalam halnya kepandaian, kelihatannya Hasegawa menang
setingkat," ia kata. "Syukur Pit Toako liehay ia punya Hangliong
Tjiang dan tenaga dalamnya lebih sempurna.
Dengan berlaku tenang, ia tidak bakal kalah, yang aku kua-tirkan ialah ia kurang
sabar..."
Baharu Sin Tjoe mengatakan demikian, sudah terlihat Kheng Thian mengubah cara be
rkelahinya, ia menyerang hebat sekali umpama kata bagaikan gelombangnya sungai T
iangkang yang
menggulung saling susul.
Hasegawa terdesak, ia mesti main mundur, hingga kawan-
kawannya mengawasi dengan hati memukul.
"Inilah berbahaya..." kata Keng Sim pelahan.
Segera terlihat Kheng Thian berlompat maju, tangan kirinya dimajukan, untuk
mementang lengan
Hasegawa, terus satu jeriji tangannya dipakai menotok jalan darah tionghoe hiat.
Serangan itu hebat tetapinya pun
berbahaya untuk si penyerang sendiri.
Sin Tjoe kurang mengarti.
"Kau artikan bagaimana?" ia tanya Keng Sim.
Belum lagi si orang she Tiat menyahuti, Hasegawa nampak
sudah beraksi. Dia membebaskan diri,
sebaliknya dengan
sebat, dengan kedua tangannya, dia pegang lengan Kheng Thian, untuk terus diteli
kung ke belakang. Di kalangan Jujitsu, itulah yang dinamakan tipu "Membalik tang
an,
melempar sendiri." Di mana lengan Kheng Thian sudah dipegang, asal Hasegawa meng
erahkan tenaganya, mesti Kheng Thian kena dibanting roboh.
Di luar dugaan, kedua lawan itu nampak berdiri tegar bagaikan patung batu. Haseg
ewa
tetap memegangi, ia tidak angkat tubuh orang untuk dibanting. Kheng Thian menanc
ap kedua kakinya bagaikan ia sebuah tunggak, tubuhnya tidak
bergeming.
Kedua pihak saling mengawasi, sinar mata mereka bengis,
tandanya keduanya gusar satu pada lain. Di mata penonton, mereka itu nampaknya l
ucu.
Kheng Thian telah menggunai kesehatan tangannya, hendak ia menotok. Percobaannya
itu gagal. Ketika ia dapat menotok, ia rasai perut lawan menjadi ciut, serangan
nya gagal sendirinya. Ia terkejut, ia tahu ia terancam bahaya terbanting,
maka ia lantas tabahkan hati seraya memasang kuda-kuda memberatkan tubuhnya. Den
gan begitu ia tidak dapat diangkat, untuk
dibanting.
Hasegawa memikir untuk membanting
lawannya, ia tidak dapat mewujudkan itu. Ia memegang lengan Kheng Thian tetapi l
engan itu lembek. Untuk dapat membanting, ia mesti pinjam tenaga lawan, sekarang
lawan itu seperti hilang tenaganya. Ia pun tidak dapat mengangkat, lantaran kud
a-kudanya Kheng Thian teguh sekali.
Maka keduanya saling berdiam, mereka sama-sama tidak berani melepaskan lengan
lawannya atau menggeser kakinya.
Pihak Nippon berdiam bengong, habis itu, mereka terbenam dalam kekuatiran.
Keng Sim pun cemas. Ketika Sin Tjoe lihat sikap orang, kesan baiknya ter
hadap orang she Tiat itu bertambah,
karena ia tahu, di antara Keng Sim dan Kheng Thian itu ada ganjalan tak terkenta
-rakan.
Dalam kekuatirannya, pihak Nippon membikin banyak berisik. Sin Tjoe tidak tahu a
pa yang mereka perkatakan, sebab ia tidak mengerti bahasa Nippon. Ia lantas mint
a keterangan dari Keng Sim.
"Mereka itu tidak puas," sahut Keng Sim. "Mereka kalah, mereka bilang pihak kita
menggunai ilmu siluman begitupun sekarang Kheng Thian terhadap Hasegawa."
Sin Tjoe bersenyum ewah.
"Mereka umumnya tidak tahu liehaynya ilmu silat kita, apa begitu cupat juga pand
angan dan mereka yang ke tujuh dan ke delapan?" dia bertanya.
Keng Sim pun ce-
mas.
"Mungkin pemimpin mereka di belakang layar hendak menggunai akal busuk," katanya
. "Rupanya dia hendak mengasut supaya
orang-orangnya menyerang kita secara serampangan. Biasanya semangat bushido meng
alah sesudahnya kalah. Ketika ini mungkin mereka pakai untuk mengacau..."
Dugaan Keng Sim ini tepat. Malah segera terlihat orang-orang yang berjalan meng-
hampirkan. Di antara mereka ada Kagawa dan delapan, yang tadi dirobohkan Sin Tjo
e, tapi habis dipale, dia dapat pulang tenaganya.
Keng Sim jadi mendongkol.
"Beginilah semangat bushido kamu!" ia menegur.
Dasar dan delapan,
Kagawa jengah
sendirinya, ia merandak.
Adalah di saat itu, di kejauhan terdengar suara berisik bagaikan guntur. Segera
setelah suara itu, satu perompak yang dandan sebagai opsir berkata dengan nyarin
g: "Orang China tidak dapat dipercaya! Di satu pihak mereka kirim orang bertandi
ng sama kita, di lain pihak mereka menyerang tangsi kita! Kita mesti bunuh habis
semua telur busuk ini!"
"Telur-telur busuk ini memakai ilmu siluman menjatuhkan jago-jago kita, mereka m
esti dibasmi!" berseru beberapa orang di antara rombongan Nippon itu. "Maju!"
Benar-benar beberapa orang, yang bersenjatakan golok dan tombak, sudah lantas ma
ju.
Keng Sim jadi men-
dongkol sekali. Ia menyampok tombaknya dua orang yang maju paling depan, hingga
tombak itu mental tinggi dan jauh. Setelah itu ia cabut pedangnya
seraya berseru: "Kamu menghendaki ilmu silat sejati?" Terus ia membabat dengan
pedangnya itu, maka beberapa golok Nippon lantas kena ditabas kutung!
Mereka itu berjumlah besar, mereka pun tidak jeri, mereka merangsak terus. Di ac
hirnya, Keng Sim dan Sin Tjoe menjadi repot juga. Bahkan Keng Sim segera kena di
kurung.
Beberapa musuh menuju ke arah Kheng Thian. Melihat sikap mereka itu, Sin Tjoe te
rkejut. Keng Sim terancam bahaya tetapi tak sehebat ancaman Kheng Thian, karena
toaliongtauw itu lagi me-
layani Hasegawa.
Umpamakata, satu
bocah pun bisa serang Kheng Thian tanpa dia ini dapat mengelakkannya. Maka tidak
bersangsi pula, Sin Tjoe berlompat melewati kepala beberapa orang, untuk menolo
ng Kheng Thian itu.
Sejumlah musuh berteriak-teriak melihat orang berlompat tinggi. Malah musuh yang
bersembunyi, yang bersenjatakan panah, sudah lantas menyerang. Karena ini, sela
gi mendekati Kheng Thian, Sin Tjoe kena terhalang anak panah. Terpaksa, lantaran
bisa berlompat lebih jauh, ia gunai pedangnya menangkis anak-anak panah itu.
Ketika itu terlihat Kagawa dengan golok di tangan, lari mendatangi. Kelihatannya
dia gusar sekali, dari mulutnya terdengar
kata-kata keras. Sin Tjoe tidak mengarti bahasa Nippon, ia tidak tahu apa yang o
rang bilang. Ia cuma menduga, orang tentu benci ia sebab ialah yang merobohkan o
rang itu.
Cuma sebentar saja, Kagawa sudah lantas bertempur sama si Nona Ie.
Beberapa musuh yang tadi memburu kepada Kheng Thian, karena tidak ada yang halan
gi, telah datang dekat kepada lawannya Hasegawa itu. Sin Tjoe lihat ini, ia jadi
berkuatir bukan main. Sebab tidak ada lain jalan untuk menolongi kawan itu, ter
paksa ia berlompat menyingkir dari Kagawa, terus ia menimpuk dengan tiga buah ki
mhoa kepada mereka itu. Justeru itu, Kagawa lompat membacok, maka terpaksa Sin T
joe memutar tubuh,
untuk menangkis.
Hasegawa masih berkutat sama Pit Kheng Thian, ia dapat melihat orang hendak memb
antui padanya, tentu membantu dengan cara mengepung. Dasar ia dan sembilan, ia t
idak senang sama cara mengeroyok itu.
"Kamu semua mundur!" ia bentak mereka itu.
Adalah itu waktu, dua buah kimhoa menyamber dua orang Nippon. Tidak ampun lagi,
mereka itu roboh. Hebat adalah kimhoa yang ketiga, yang menyamber ke arah Hasega
wa. Untuk
menolong diri, terpaksa jago ini melepaskan pegangannya kepada Kheng Thian, samb
il berseru, ia menangkis serangan senjata rahasia itu dengan satu sampokan. Ia b
erhasil, kimhoa mental jauh.
"Bagus!" Kheng Thian berseru. "Kau tidak sudi orang bantui, begitu juga aku! Mar
i kita bertempur terus!"
Sebenarnya selagi orang melepaskan
cekalannya dan membentak kawannya, Kheng Thian bisa membarengi menghajar musuh i
ni, tetapi sebab ia dapatkan orang satu laki-laki, ia tidak ingin berlaku curang
. Ia juga hendak jaga baik namanya sebagai toaliongtauw.
"Bagus! Kau benar seorang gagah!"
berkata Hasegawa, dalam bahasa Tionghoa yang tidak lancar. Ia menepuk ke pinggan
gnya, dari mana segera ia mencabut keluar sebatang golok yang tajam mengkilap. Y
ang luar biasa ialah golok itu lemas hingga dapat dilibatkan di pinggang.
Senjata Kheng Thian adalah toya Hangliong pang, karena ia bertanding dengan tang
an kosong, ia tidak bekal senjatanya itu.
Hasegawa telah tidak mengasi ketika padanya, dua kali beruntun ia diserang hebat
, hingga ia mesti berlompatan mundur.
Menampak orang terdesak, Hasegawa tertawa berkakakan. Dengan tiba-tiba saja ia s
amber golok seorang kawannya, golok mana terus ia lempar pada lawannya itu.
"Sambutlah! Kita bertempur dengan bersenjata golok!" katanya. Ia berlaku adil te
tapi sebenarnya, imbangan kipa. Ia memegang goloknya sendiri. Kheng Thian sebali
knya asing dengan golok orang itu. Maka itu, ia kembali terdesak.
Oleh karena mereka
terpecah tiga, Kheng Thian, Sin Tjoe dan Keng Sim tidak dapat berhubungan satu d
engan lain. Kheng Thian melayani satu musuh, walaupun ia terdesak, ia tidak tera
ncam bahaya langsung. Sin Tjoe liehay pedangnya, ia dapat membela diri. Berbahay
a adalah Keng Sim, yang dikepung enam musuh. Syukur Teng Bouw Tjit dan The Kan L
ouw, yang berada paling dekat, sudah lantas menyerbu
mendekati dia, maka sebentar kemudian, mereka bertiga bisa merapatkan diri melay
ani musuh yang mengeroyok itu. Bouw Tjit bersenjatakan cambuk djoanpian, ia dapa
t menyerang jauh begitu juga Kan Louw, yang gegamannya bandring gembolan, maka s
iapa terbandring, kepalanya hancur, tubuhnya re-
muk. Mereka ini segera meminta kurban. Begitu juga Keng Sim, yang mengambil kedu
dukan di tengah, yang main papas jari tangan orang, hingga orang tidak dapat ter
us memegang senjatanya masing-masing.
Melihat tiga musuh liehay, pihak Nippon tidak berani merapatkan diri, mereka mai
n mengurung saja.
"Kita mesti lab- rak mereka!" kata Keng Sim achirnya. "Dapat satu sudah pulang m
odal, dapat dua sudah untung, tetapi kita mesti dapat membinasakan lebih!" Dan s
egera dia mulai menerjang hebat. Ia ingin membuka jalan.
"Tiat Siangkong, jangan terburu napsu," Bouw Tjit memberi ingat. "Yap Toako suda
h mengatur siasatnya, dari itu kita bertiga
jangan mengacau
siasatnya itu."
Keng Sim suka percaya keterangan ini, karena ia ketahui ketjermatannya ketua itu
. Karenanya, hatinya jadi lega. Dengan berhati lega, ia dapat emposan semangat.
Ketika itu dua musuh dan enam hendak membokong Bouw Tjit. Mereka maju dari belak
ang Keng Sim, yang kebetulan maju ke depan. Bouw Tjit tidak ketahui itu. Tapi Ke
ng Sim bermata celi. Mendadak saja ia putar tubuhnya dan pedangnya menyambar. Te
pat ia dapat membabat jeriji tangan kedua musuh itu!
Bouw Tjit ketolo-ngan, ia lantas ambil kesempatan akan
melepaskan dua batang tjoayam tjian, panah ular api, yang meluncur ke atas denga
n mengeluarkan sinar biru.
Dengan pertandaan ini ia minta bantuan.
Melihat panah itu, kawanan perompak
menyiapkan pasukan yang bertameng rotan, mereka ini membantu dengan maju di muka
, tamengnya diatur rapi. Jumlah tameng ada beberapa puluh buah, semuanya menjadi
tedengan atau tirai, untuk melindungi sambil maju setindak demi setindak.
Sekarang ini sulit untuk Keng Sim membabat jari tangan musuh. Tameng menjadi rin
tangan. Kalau toh ada serdadu tameng yang roboh, segera datang gantinya. Karena
ini, mereka bertiga mulai terdesak. Barisan tameng itu berjumlah seratus jiwa le
bih.
Dalam saat sangat mengancam itu untuk Keng Sim bertiga, mendadak terdengar sua
ra
sangat berisik di luar lapisan kurungan, menyusul mana, tertampak tentera peromp
ak
menjadi kacau, di antara mereka segera tertampak lebih jauh datangnya satu pasuk
an serdadu.
"Bala bantuan datang!" Keng Sim berseru setelah ia melihat tegas kepada pasukan
yang baharu sampai itu.
Pasukan itu kecil saja, jumlahnya tak sampai seratus jiwa. Pakaian mereka juga a
neh ragamnya, ialah dandanan dari segala nelayan. Jadi mereka bukannya pasukan
rakyat suka rela, menampak mana, Keng Sim kehilangan kegembiraannya.
Segera setelah datang terlebih dekat, dari dalam pasukan itu terlihat
munculnya
seorang tua yang jenggotnya panjang, yang
tangannya menyekal senjata seperti boneka rumput, tetapi dengan itu, satu kali i
a menyerang musuh,
lantas ada beberapa musuh yang terpelanting dan roboh. Sebab gerakannya itu adal
ah gerakan Toasoet
paytjioe, dalam hal mana, orang tua itu ada terlebih mahir daripada ini
pemuda she Tiat.
Keng Sim kagum bukan main tetapi kekagumannya itu
segera berubah menjadi kegirangan tidak terkira, sebab sejenak kemudian, ia dapa
t mengenali orang tua kosen itu yang bukan lain daripada gurunya. Kalau pada mul
anya ia tidak menyangka, inilah
disebabkan ia tak pernah memikirnya.
Di antara guru dan murid ini, perpisahannya lebih banyak daripada pertemuannya,
apa pula
selama beberapa tahun yang belakangan ini gurunya itu, ialah Tjio Keng To, sudah
mengangkat kaki pergi jauh ke luar negara hingga Keng Sim tidak ketahui lagi ge
rak-geriknya. Maka sekarang munculnya sang guru secara tiba-tiba ini sungguh di
luar terkaannya. Maka juga ia heran berbareng girang sekali.
Pasukan nelayan itu berjumlah kecil tetapi mereka hebat, mereka dapat satu melaw
an sepuluh, maka itu setelah mendobolkan kurungan lapis luar, mereka sudah lanta
s menerjang barisan
tameng, hingga barisan tameng ini mesti membalik diri guna melawan mereka.
Si orang tua segera memberi tanda kepada muridnya, yang ia kenali, setelah mana
dia
maju terus, untuk menghampirkan Pit
Kheng Thian dan Hasegawa, justeru dua musuh itu lagi menghadapi saatnya yang dah
syat. Kheng Thian menyerang
dengan goloknya, Hasegawa menangkis. Hebat tangkisan ini, Kheng Thian sampai kag
et hampir menjerit, disebabkan telapakan tangannya dirasakan sangat sakit, sampa
i goloknya terlepas dari cekalan dan terlempar, terus disamber lawannya, yang de
ngan lantas membikinnya patah dua, setelah mana, jago asing itu meneruskan menik
am lawannya!
Di saat mati hidup itu, belum sempat Kheng Thian berdaya, tiba-tiba ia merasa ad
a orang sambar tubuhnya dan terus diangkat, hingga di lain detik,
tubuhnya itu terlempar di udara, berjumpalitan dua kali, lalu turun ke tanah. Ka
rena ia membantu menggeraki tubuhnya, ia jatuh berdiri dengan tidak kurang suatu
apa. Kapan ia melihat ke depan, ia tampak seorang tua tengah menghadapi Hasegaw
a dengan si orang tua bersenyum dingin.
"Hai, orang tua, apakah yang kau tertawakan?" Hasegawa membentak, murka.
"Aku tertawakan kau bangsa udang dari negara pulau!"
menyahut si orang tua, ialah Tjio Keng To. "Kau meniru kepandaian
Tiongkok, baharu mengerti beberapa jurus ilmu silat golok, lantas kau aguli diri
mu!"
Tjio Keng To bicara dalam bahasanya sendiri, Hasegawa dapat mengarti dengan ba
ik.
Dia memang lebih mengarti mendengar daripada berbicara
dalam bahasa Tionghoa. Dia gusar atas teguran itu walaupun ia menginsafi, pelaja
ran silatnya benar ada cangkokan dari Tiongkok. Oleh bangsanya, kepandaian itu d
ianggap milik sendiri, bangsanya tak mengaku menjadi murid malah sebaliknya me-n
gagulkan diri. Dia ada dan sembilan, belum pernah dia memperoleh penghinaan, mak
a itu tanpa banyak omong lagi, dia menantang: "Kau hunus golokmu, mari kita bert
anding!"
Keng To ada menggantung pedang di pinggangnya akan
tetapi ia tidak hunus itu.
Itulah hinaan hebat untuk Hasegawa, dia murka tak terkira. Dalam murkanya itu ia
tapinya masih dapat tertawa bergerak. Ia
kata dengan nyaring: "Baiklah! Sebenarnya tidak biasa aku membinasakan orang tak
ternama, aku juga tidak niat membunuhmu, akan tetapi kali ini kaulah yang menye
rahkan dirimu kepada golok!" Lantas saja ia maju menyerang, dengan lebih dulu me
nekuk bengkok pedang lemasnya itu.
Keng To berkelit, sembari berkelit ia menyusuli dua jari tangannya untuk menindi
h belakang golok, hingga Hasegawa menjadi
heran, sebab ia tidak menyangka orang
demikian sebat dan tekenannya pun berat. Tapi goloknya lemas, ia lekas menarik p
ulang, guna dipakai membacok.
"Jikalau kau dapat melayani aku tiga jurus, suka aku mengasi ampun pada jiwamu!"
kata Keng To, yang
kagum untuk kegagahan orang. Ia berkata sambil tertawa. Ia berkelit pula dari ba
cokan itu.
Hasegawa tidak gubris ancaman itu. Ia lihat orang tua dan tidak bersenjata, kala
u ia kalah, atau jatuh di bawah angin, ia malu sekali, maka itu dalam murkanya,
tanpa
berpikir pula, ia ulangi serangannya.
Menyaksikan sikap orang itu, Keng To tertawa lebar. Sekarang ia tidak berkelit l
agi. Dengan kibaskan tangan bajunya, ia menangkis. Tangan baju itu, yang lebar,
pun dapat membuat
matanya Hasegawa kealingan. Di lain pihak, dengan tangan kirinya, dengan jari ta
ngan, ia menyentil. Dengan
memperdengarkan suara "Trang!" maka golok itu mental balik, hampir saja
membentur jidat
majikannya sendiri.
Maka Hasegawa mesti mendak, untuk berkelit.
Justeru itu, Keng To mengibas pula dengan tangan bajunya, kali ini Hasegawa mera
sakan sakit pada telapakan tangannya. Tempo ia mencoba untuk meng-geraki golokny
a, ia terkejut. Golok itu seperti dililit tangan baju, tidak dapat dikasi berger
ak.
"Masih kau tidak hendak melepaskan golokmu?" Keng To membentak dengan ancamannya
. Tapi ia bukan cuma mengancam, ia terus menarik tangannya, dengan begitu tangan
bajunya ikut bersama.
Hasegawa masih tidak mau melepaskan cekalannya, dengan begitu dengan sendirinya
tubuhnya kena ditarik maju. Tentu saja ia kaget tidak terkira. Ia
tahu orang menggunai tenaga pinjaman, dan tenaga orang itu jauh lebih menang dar
ipada tenaganya sendiri.
Celakanya ia telah mencoba akan meloloskan goloknya itu, kesudahannya sia-sia be
laka. Maka terpaksa ia melepaskan cekalannya, tubuhnya sendiri
berlompat mundur untuk terus lari.
Dengan demikian, dalam tempo ancamannya Keng To, sebagai dan sembilan, satu jago
, ia kalah dengan kecewa, meninggalkan golok dan lari...
"Golok yang jempolan!" berkata Keng To. "Pantas golok ini dihadiahkan kepada mur
idku! Eh, aku telah beri ampun pada jiwamu, mari serahkan sarung golok itu!"
Hasegawa dengar suara itu tetapi ia lari terus, atau mendadak ia
rasa ada orang menepuk pundaknya. Ia lantas memutar tubuh seraya menyerang ke be
lakang. Gagal serangannya itu. Ia lihat Keng To terpisah dari ia setombak lebih
dan di tangannya orang tua itu tercekal sarung goloknya, yang di luar tahunya ru
panya telah diloloskan dari
pinggangnya.
Semua kawannya Hasegawa kaget sekali. Tadinya mereka tidak berani membantui,
sebab Hasegawa ada dan sembilan. Sekarang pemimpin itu kena dikalahkan secara de
mikian mengecewakan, terpaksa mereka itu memburu.
Hasegawa menanti sampai kawan-
kawannya itu tiba, terus ia merampas sebatang golok.
"Sudahlah!" serunya, yang mana disusuli dodetannya kepada
perutnya merupakan silang empat, maka selagi darahnya berhamburan, tubuhnya robo
h, jiwanya melayang. Dia telah menjalankan harakiri menepati kebiasaan bushido.
Lebih baik terbinasa daripada terhina!
Pihak perompak kate menjadi murka sekali. Kagawa Ryuki dan delapan sudah lantas
tinggalkan Ie Sin Tjoe, untuk memimpin kawan-kawannya guna mengurung Tjio Keng T
o.
"Sekarang bolehlah aku mencoba-coba
pedangku sendiri!" kata Keng To dengan berani, sembari tertawa. Dan ia hunus ped
angnya, ia bulang-balingkan itu ke arah musuh, hingga di antara suara trang-tren
g-trong, banyak golok musuh yang terbabat kutung.
Pedang Keng To ini ada pedang curian dari
istana, yang membuatnya ia dicari pemerintah. Pedang itu tak usah kalah dengan p
edang Tjengbeng kiam dan Pekin kiam buatan Hian Kie Itsoe. Dengan bersenjatakan
pedang, ia bagaikan harimau tumbuh sayap. Ia lantas bekerja sama dengan Ie Sin T
joe, yang telah menghubungi diri kepadanya.
Pit Kheng Thian juga bekerja keras untuk melabrak musuhnya, cuma disebabkan musu
h berjumlah besar dan mereka nekat, mereka hendak menuntut balas untuk Hasegawa,
mereka jadi berani luar biasa. Yang satu roboh, yang lain merubul merangsak.
Barisan nelayan yang dipimpin Keng To pun gagah sekali. Mereka itu bersenjat
akan gaetan dan golok, dengan itu mereka menggaet ta-
meng musuh, untuk terus membacok.
Dengan tameng, musuh lebih banyak menjaga di atas, dari itu kaki mereka tidak te
rlindung sempurna, kaki merekalah yang diarah. Lekas sekali mereka roboh separuh
nya,
maka yang separuh lagi terpaksa lari menyingkir.
Begitu lekas ia bebas dari kurungan, Tiat Keng Sim memburu ke arah gurunya, untu
k membantu gurunya itu melabrak musuh.
Adalah di itu saat, di luar kurungan musuh terdengar suara menggelegar dari meri
am, berulang-ulang, menyusul mana terlihat menerjangnya satu
pasukan tentera di bawah pimpinan satu orang yang bersenjatakan golok, yang kemu
dian ternyata ada Vo Tjong Boe, salah satu pembantunya Yap
Tjong Lioe. Dia itu berseru-seru: "Tentera perompak di bahagian luar sudah dilab
rak musna, tinggal yang di sini saja, mari kita usir mereka ke laut!"
Pemimpin perompak licin sekali. Sejak dua hari yang lalu mereka sudah dapat kaba
r, di hari pertandingan ini bakal datang bala bantuannya, terdiri dari seribu ji
wa lebih. Dia anggap bala bantuan ini masih kurang, maka dia mengatur tipu menan
tang pieboe. Selagi orang adu kepandaian, dia mengatur serangan di tiga jurusan.
Di barat Taytjioe, yaitu di pelabuan Samah, bala bantuannya akan menyerang bela
kangnya tentera rakyat. Untuk maju di muka, dia pakai pasukannya sendiri. Lagi s
atu ialah penyerangan dari pasisir di mana pieboe diadakan.
Di sini jumlah serdadunya seribu jiwa lebih. Mengenai pieboe, Hasegawa percaya d
ia bakal menang. Dia anggap pihaknya kuat sekali. Dia tidak sangka, dia kalah da
n dia sendiri mesti harakiri. Dua
tentera sayapnya
siang-siang sudah kena dibasmi.
Hagasegawa licin, Yap Tjong Lioe lebih cerdik lagi. Tjong Lioe mencurigai musuh,
maka supaya tidak terbokong, dia mengatur penjagaan. Syukur untuknya, dia pun se
cara kebetulan dapat bantuannya Tjio Keng To dengan seratus lebih nelayannya yan
g
tangguh, yang asalnya ada tentera rakyat di pelbagai pulau Laut Timur. Tjong Lio
e dapat tahu datangnya Keng To, dia segera minta jago tua langsung membantu
pihaknya
yang lagi pieboe.
Demikian pihak perompak dilabrak, hingga sisanya kabur ke pesisir. Dari seribu j
iwa lebih, mereka ini tinggal seratus lebih. Dengan naik perahu mereka, mereka k
abur ke tengah laut.
***
Sin Tjoe puas sekali dengan kemenangan itu. Dengan sapu tangannya ia susuti dara
h di pedangnya yang ia sayang itu. Tjengbeng kiam benar istimewa, cuma sedikit d
arah yang nempel, dan sinarnya tetap ber-gemirlapan. Keng To pun ketarik, ia ter
us mengawasi pedang
orang. Di saat Sin Tjoe mau masuki itu ke dalam sarungnya,
tiba-tiba ia menyambar, hingga si nona terperanjat.
"Tjio Lootjianpwee, mengapa kau
main-main?" ia tanya, heran.
Keng To tidak segera menyahuti, hanya ia saling bacoki Tjengbeng kiam dengan ped
angnya sendiri, hingga kedua senjata bentrok keras tetapi tidak ada yang rusak.
Menampak itu, Sin Tjoe heran berbareng sadar. "Ya," pikirnya. "Dia pernah kalah
oleh pedang Thaysoetjouw, lantaran itu, dia curi pedang di istana, sekarang dia
coba kedua pedang itu..."
Keng To tertawa terbahak, terus kembalikan pedang si nona, yang menyamar sebagai
seorang pemudi. Ia pun tanya: "Kau pernah apa dengan Hian Kie Itsoe?"
"Ialah Thaysoetjouw -ku," Sin Tjoe jawab.
"Jadi gurumu ialah Thio Tan Hong?"
"Benar. Soehoe sering menyebut-nyebut lootjianpwee, yang ia kagumi," kata pula S
in Tjoe, yang terus memberi hormat, katanya, untuk sekalian mewakilkan gurunya.
Keng To kagum hingga ia menghela napas. Ia kata: "Muridnya begini sempurna, maka
dapatlah diketahui
tentang gurunya. Orang kangouw merendengi aku dengan Thio Tan Hong, kami disebut
empat ahli pedang besar, sebenarnya, aku malu sekali." Ia tertawa, ia meneruska
n: "Ini dia yang dibilang, gelombang sungai
Tiangkang yang di belakang mendampar yang di depan orang muda di dunia mengganti
kan mereka yang tua. Kamu muda dan gagah, aku malu, tetapi aku pun girang sekali
!"
Keng To ini lebih tinggi tingkat derajatnya dibanding sama Thio Tan Hong, sebali
knya guru Tan Hong serta Tiauw Im Hweeshio dan Tang Gak, tidak ia pandang mata,
maka ia tidak puas yang orang rendengi ia sama Tan Hong itu, tetapi sekarang men
yaksikan kegagahan Sin Tjoe, berubahlah pandangannya, sekarang ia insaf, Tan Hon
g memang lebih liehay daripadanya. Dengan begitu pun padam pula minatnya mencari
Hian Kie Itsoe untuk bertanding pula.
Pit Kheng Thian berlari-lari kepada jago tua itu, guna menghaturkan terima kasih
, akan tetapi belum sempat ia mengucap sepatah
kata, orang she Tjio itu sudah dului ia.
"Tidak usah, tidak ada artinya," kata Keng
To, tertawa. "Hoohan toh..."
"Inilah Pit Toaliongtauw dari lima propinsi Utara," Bouw Tjit mendahul
ui memberi keterangan.
"Ha, kiranya toaliongtauw Pit Kheng Thian!" kata Keng To. "Sudah dua tahun aku s
i tua berada di perantauan, toh pernah aku dengar, namamu yang besar. Dari murid
-muridku, kelihatannya cuma Tiat Keng Sim yang dapat dibanding denganmu. Ya, per
nahkah kau bertemu sama murid-muridku?"
Kheng Thian girang mendengar ia dipuji, tapi lantas merasa tidak puas yang ia di
samakan dengan murid orang, tak kepuasan itu segera terutara pada paras mukanya.
Justeru itu, Keng Sim muncul, maka Keng To berkata: "Nah, ini
dianya! Apakah kamu telah kenal satu dengan lain?"
Kheng Thian paksakan diri tertawa ketika ia menyahuti: "Murid lootjianpwee muda
dan gagah, dalam penumpasan perompak ini, banyak aku menerima bantuannya."
Keng To girang sekali, ia cekal tangan orang, yang ia ajak bicara tak hentinya,
hingga Keng Sim tidak sempat menyelak. Maka anak muda itu lantas pasang omong sa
ma Sin Tjoe, keduanya girang, mereka pun
tertawa-tertawa.
Melihat sikap mereka itu, Kheng Thian tak enak sendirinya. Ia ingin dekati
mereka, guna membuyarkan, tapi
Keng To terus mengajak ia bicara.
Di sepanjang jalan pulang, Keng Sim pikirkan Sin Tjoe. Ia sudah
curiga, sekarang ia lihat orang menyusuti pedang dengan sapu tangan, tambah kecu
rigaannya itu. Tidak ada priya lain yang memakai semacam sapu tangan. Sembari ja
lan, mereka bicarakan hal pieboe tadi. Jauh di tengah laut masih terlihat titik-
titik hitam, ialah perahu-perahu perompak yang sudah berlayar jauh sekali.
"Ie Siangkong, tadi kau melayani musuh dan delapan, tubuhmu
enteng sekali, gerak-gerakanmu sangat
lincah dan indah, apakah namanya ilmu silatmu itu?" Keng Sim tanya kemudian.
"Itulah ilmu ajarannya soebo-ku," sahut Sin Tjoe. "Namanya ialah Menembusi Bunga
Mengitarkan Pohon. Kau tidak tahu, rumah kita di Thayouw indah sekali dan soebo
gemar bunga,
di depan rumah ia
banyak menanam pohon
mawar, lie, tho dan
bwee. Setiap musim
semi, semua bunga itu
berkembang permai. Di
situlah aku ikuti soebo
belajar ilmu enteng
tubuh. Selama dua
tahun bukan saja aku
tidak dapat susul soebo
malah aku sering
tertusuk duri, baharu
sesudah tiga empat
tahun aku dapat
nelasap-nelusap dengan
baik. Di tahun ke lima
baharulah aku bisa
sambar koen-nya soebo ii
Keng Sim tertawa.
"Soebo-mu itu baik sekali terhadap kau!" katanya. "Kau membikin orang kagum dan
mengiri. Rupanya kau dipandang sebagai anak kandung sendiri."
Dengan "anak kandung," Keng Sim maksudkan anak kandung perempuan. Sedang
"i soebo" itu ialah guru wanita.
Selagi orang bicara, Sin Tjoe mengawasi. Ia tampak wajah orang bersenyum bukanny
a bersenyum, dan wajah itu mirip sama wajah gurunya, Thio Tan Hong, hatinya sedi
kit terkesiap. Berbareng dengan itu ia pun sadar bahwa ia telah terle-pasan omon
g mengenai soebo-nya itu. Mustahil murid priya demikian erat hubungannya sama is
teri gurunya, sekalipun soebo itu benar turut mengajari ia ilmu silat. Karena in
i sendirinya parasnya bersemu
merah.
"Bagus sekali nama ilmu enteng tubuh itu. Menembusi Bunga Mengitarkan Pohon," Ke
ng Sim berkata pula. "Memang, ketika kau permainkan musuh tadi, kau seperti kupu
-kupu memain di antara bunga-
bunga, kau bukan seperti sedang pieboe, kau mirip tengah menarikan tarian Puteri
Kahyangan Menyebar Bunga. Ya, sungguh indah!"
"Ah, kau memuji saja," kata Sin Tjoe. "Kalau kau main puji terus, tak suka aku b
icara terlebih jauh!"
"Memangnya aku salah omong?" Keng Sim tanya. "Taruh kata pujianku kurang, kau ta
k usah gusar. Sebenarnya, aku memikir untuk minta kau mengajari aku..." Sin Tjoe
tertawa. "Kau lebih tua daripa-daku, ilmu silatmu tinggi, pengetahuanmu luas, j
ikalau aku yang meminta pengajaran dari kau, baharulah pantas!" kata dia. "Kenap
a kau begini sungkan?"
"Bukan begitu, Ie Siangkong," Keng Sim
kata. "Di kalangan Rimba Persilatan, pantas orang saling mengajari. Kau ajari ak
u apa yang kau bisa, aku ajari kau kebisaanku, bagus bukan? Maka sebentar malam,
kau datanglah ke kemahku, kita nanti pasang omong selama satu malam, tentang il
mu silat. Tidakkah itu bagus? Orang dulu pun bilang, 'Mendengar tuan berbicara s
atu malam, lebih menang daripada membaca buku sepuluh tahun!1 Demikian kita, pas
ti kita akan peroleh banyak kefaedahan."
Kembali merah parasnya Sin Tjoe.
"Ah, kau ngaco!" katanya. "Siapa mau berada dengan kau dalam sebuah kemah di wak
tu malam? Jikalau kau datang ke kemahku, akan aku tikam kau!"
"Oh!" Keng Sim ber-
pura kaget. "Saudara, kenapa kau begini marah? Bukankah di waktu pertama kali ki
ta datang, kita sama-sama mengambil sebuah
kemah?"
Sin Tjoe sadar bahwa kembali ia bersikap keliru, lalu sebisa-bisa ia tenangi hat
inya.
"Sebenarnya aku paling tidak suka berdiam dalam sebuah kemah dengan orang lain,"
ia menerangkan, sabar. "Di waktu kita pertama datang, itulah lain. Aku terpaksa
karena
tempatnya buruk..."
Ia ingin berlaku tenang supaya tidak membuka rahasia,
tetapi ia tetap likat.
Keng Sim tertawa. Ia bukan satu pemuda ceriwis. Ia mengajak Sin Tjoe pasang omon
g seantero malam untuk menguji saja. Melihat sikap orang, tahulah ia pemuda di d
epannya ini
sebenarnya seorang pemudi. Karena ini, ia tidak mau mendesak lebih jauh.
"Karena kau menampik aku si bau, saudara, pasti aku tidak berani datang ke kemah
mu," katanya bersenyum. "Biarlah selang dua hari lagi, kita pasang omong di sini
saja. Perompak telah membikinkan kita gelanggang luas ini, di sini aku nanti mi
nta pengajaranmu."
Sin Tjoe tetap tidak tenang hatinya. Tahulah ia sekarang yang Keng Sim sudah ket
ahui rahasianya. Syukur
untuk ianya, pemuda itu tidak mengganggu
padanya.
Sebentar lagi mereka sudah tiba di wilayah gunung. Di sana pasukan-pasukan yang
menang telah berkumpul. Keng Sim dapat melihat soetee dan soemoay-nya, adik se-
perguruan priya dan wanita, ia lekas menemui mereka itu.
Seng Hay San dan Tjio Boen Wan sudah membantu tentera
rakyat membelai kota Taytjioe. Selama dua bulan, beberapa kali mereka berhasil m
emukul mundur kaum perompak kate. Karena pergerakannya Tjong Lioe dan pihak pero
mpak membantu pihaknya yang menghadapi Tjong Lioe itu, kota Taytjioe menjadi tid
ak terancam bahaya lagi. Maka mereka berdua dapat kesempatan membawa pasukan rak
yatnya
membantu Tjong Lioe. Kebetulan untuk mereka, Tjio Keng To pun pulang, maka guru
dan murid-murid dapat
bertemu dan lantas bekerja sama.
Boen Wan masih ingat Sin Tjoe, yang telah permainkan pada-
nya, ia bersikap tawar, ia tak memperdulikan-nya. Sin Tjoe tidak mendongkol, bah
kan dalam hatinya, ia tertawai nona itu. Diam-diam ia menyingkir dari Keng Sim,
ketika Keng To cari ia, untuk diajak bicara ia sudah nelusup di antara orang ban
yak.
Sementara itu di antara tentera rakyat ada seorang yang rupanya ada asal kota Ta
ytjioe, dia senantiasa mengawasi Tiat Keng Sim. Sin Tjoe dapat lihat kelakuan or
ang itu, ia menjadi heran, tetapi karena ia lagi
menyingkir, orang itu lantas lenyap dari pandangan matanya.
Malam itu tangsi tentera rakyat ramai bukan main. Penduduk berdekatan pun datang
berduyun-duyun menggotong daging babi dan kerbau yang mereka
sembelih, beras dan arak, untuk menghadiahkan tentera itu. Vap Tjong Lioe mem-pe
rsilahkan Tjio Keng To, Pit Kheng Thian, Tiat Keng Sim dan Ie Sin Tjoe duduk di
kursi tetamu, ia sendiri menemani dengan
duduk di sebelah bawah. Kemenangan itu ia anggap ada jasa besar dari empat tetam
u itu.
Keng Sim berdua Sin Tjoe merasa tidak selayaknya menerima jasa, hati mereka tida
k tenang. Kheng Thian sebaliknya omong
banyak sama Tjong Lioe mengenai rencana
mereka selanjutnya. Bahkan habis menenggak beberapa cawan arak, hingga ia rada s
inting, toaliongtauw ini kata sambil tertawa: "Yap Toako, pandai sekali kau meng
atur tentera, maka di bela-
kang hari, kita semua sangat mengandal
padamu!" Ia memuji orang tetapi itulah saran tak langsung agar orang nanti beker
ja sama dengannya.
Keng Sim tidak puas dengan pernyataan orang itu tetapi karena orang lagi dipenga
ruhi air kata-kata dan dia pun memuji kemenangan mereka, sedang itu waktu mereka
lagi berpesta, ia tidak bilang suatu apa. Untuk menghibur diri, ia pun minum ar
aknya. Ia berada di samping Sin Tjoe, diam-diam ia senantiasa melirik si nona.
Sin Tjoe tahu kelakuan orang, ia masgul, maka itu, dengan alasan tidak dapat min
um banyak, ia minta perkenan untuk undurkan diri, guna beristirahat. Di kemahnya
, ia tidak dapat tidur,
pikirannya terus tidak tenang. Ia malu mendongkol sendirinya karena kata-kata Ke
ng Sim. Ia hendak menjaga supaya orang tidak datang ke kemahnya itu, karena itu,
ia tidak membuka pakaian lagi dan pedangnya diletakkan di bawah bantal. Ia berc
okol di atas pembaringan dengan hatinya terus bekerja.
Beberapa kali bayangan Thio Tan Hong, Tiat Keng Sim dan Pit Kheng Thian seperti
berkelebat di depan matanya. Ia membandingkan gurunya dengan Keng Sim dan Kheng
Thian itu. Ia anggap gurunya bagai gelombang laut dan Keng Sim seperti air telag
a yang mati. Dan Kheng Thian bagaikan air curuk yang tumpah ke bawah. Air tumpah
itu mungkin mengalir ke laut, mungkin juga ke
telaga, hingga jadi air mati juga. Mungkin ada yang menyukai air tumpah tapi ora
ng itu bukanlah ia. Ia merasa Kheng Thian itu menjemukan tetapi juga Keng Sim ta
k mendatangkan rasa sukanya, apapula Keng Sim telah mengetahui rahasia penyamara
nnya.
Ruwet pikirannya nona umur tujuh belas tahun ini. Sampai jam tiga, ia masih belu
m tidur pulas. Maka ia ketahui, berisiknya
pesta mulai sirap dan itu diganti dengan derupnya angin laut, dengan damparannya
gelombang. Ia sampai ngelamun bagaikan
gurunya menggapai kepadanya, hingga ia merasa di dalam dunia ini, kecuali guruny
a itu, tidak ada lagi orang yang "berdekatan"
dengannya. Puas ia kapan ia ingat gurunya.
Tiba-tiba Sin Tjoe ingat: "Hari ini perompak telah dilabrak hampir musna,
walaupun di beberapa tempat masih ada beberapa rombongannya, jumlah mereka kecil
sekali, mereka tidak dapat dikuatirkan pula. Di pihak kita ada bala bantuan dar
i Tjioe San Bin, apabila bantuan itu sudah tiba, kekuatiran sudah tidak ada lagi
. Maka itu apa perlunya aku berdiam di sini lebih lama? Kenapa aku tidak mau per
gi mengikuti soehoel Tentu saja, tidak dapat aku pergi dengan berterang, Tjong L
ioe tentulah bakal menahan dan Keng Sim serta Kheng Thian pasti akan menggerecok
i aku..."
Ia berdiam, lalu berpikir, berdiam pula, berpikir kembali. Ia terganggu ragu-rag
unya. Di achirnya, ia turun
dari pembaringannya, ia rapikan pakaiannya, kemudian ia benahkan juga buntalanny
a. Sebelum berlalu dengan diam-diam, ia menulis sepucuk surat perpisahan untuk T
jong Lioe.
Malam itu rembulan guram.
Kemah Sin Tjoe dekat dengan kemah Keng Sim, jaraknya tidak ada setengah lie. Itu
waktu, si nona lihat ada sinar api di kemah sahabat itu. Ia pikir, rupanya pemu
da itu pun belum tidur. Maka ia pikir pula, baik ia lewat di sana dan meninggalk
an tapak kakinya di luar kemah orang. Biar bagaimana, Keng Sim toh
kenalannya. Ia lantas menuju ke kemah itu. Untuk tidak meninggalkan suara, ia la
ri dengan ilmu ringan tubuh. Anehnya, ia ingin melihat bayangan pemuda itu...
Di samping kemah ada pepohonan lebat, selagi lewat di situ, Sin Tjoe dengar suar
a orang bicara pelahan. Ia pun segera mengenali suaranya Keng Sim. Ia jadi terle
bih heran pula. Pikirnya: "Sudah malam begini dia belum tidur, dia pun kasak-kus
uk sama orang lain, apa dia bikin?"
Karena ingin ketahui, Sin Tjoe lompat naik ke sebatang cabang
pohon. Ia tidak mengasi dengar suara apa-apa. Untuk ringan tubuh, ia menang jauh
daripada pemuda she Tiat itu. Segera ia kenali kawan bicara Keng Sim itu adalah
orang dari Taytjioe tadi.
"Ong An, kau bukan berdiam di Taytjioe melayani looya, mau apa kau datang kemari
?" demikian suaranya Keng Sim. "Pasukan rakyat toh tidak memer-
lukan seorang sebagai kau?"
"Looya yang mengirim aku untuk menyampaikan pesan lisan," sahut Ong An itu. "Tad
i siang ada banyak orang tidak leluasa untuk kita berbicara."
"Kabar apa itu yang kau bawa?" Agaknya dia heran.
"Looya pesan
jangan kongtjoe ber-campuran sama tentera rakyat," menerangkan Ong An. "Looya bi
lang di dalam pasukan rakyat terdapat segala macam orang sampaipun segala penjah
at, mereka itu berkumpul cuma dengan alasan melawan perompak."
"Tentera negeri tidak lawan perompak, kalau sekarang rakyat bertindak sendiri, b
ukankah itu baik?"
"Walaupun demikian tetapi pembesar negeri tidak memikir begitu.
Looya bilang, Keluarga Tiat keluarga berpangkat, tak perlu kita bercampuran sama
penjahat, kalau mereka menerbitkan huru hara, kita bakal kena terembet-rembet, i
tulah berbahaya. Maka Looya ingin kongtjoe mengarti jelas."
Keng Sim berdiam, tetapi hatinya memikiri Tjong Lioe beramai, yang ternyata juju
r dan bekerja sungguh untuk rakyat jelata dan negara. Ia kagumi Tjong Lioe itu m
eski benar ia merasa, ia bukan golongannya. Lain lagi adalah Kheng Thian. Ingat
Kheng Thian, ia ingat kata-kata orang tadi di medan pesta. Ia menerka: "Dia jang
an-jangan bukan seperti orang jahat yang kebanyakan, mungkin dia bercita-cita me
rampas kerajaan Beng. Dalam hal ini, kekuatiran
ayah beralasan, ayah berpandangan jauh..."
"Looya ingin kongtjoe segera pulang," Ong An kata pula. "Sekarang perompak sudah
dapat disapu, maka aku pikir, seperti kata kongtjoe tadi, pasukan rakyat juga t
idak memerlukan kongtjoe satu orang. Baiklah kongtjoe pulang agar looya tidak bu
at pikiran."
Keng Sim berdiam, dia bersangsi. Dia bukan tidak ingin meninggalkan tentera
rakyat, dia hanya pikirkan Sin Tjoe.
"Baiklah kongtjoe cepatan mengambil putusan," Ong An si hamba mendesak.
"Nanti aku pikir dulu. Apakah looya di
Hangtjioe baik?"
"Looya berdiam di kantor boetay. Dia bernama Wie Tjoen Teng. Ingatkah kongtjoe a
kan dia?"
"Ya. Dialah muridnya
looya. Dia juga murid looya yang pangkatnya paling tinggi."
"Benar. Syukur dia masih ingat Looya, mengetahui looya tinggal di Hangtjioe, dia
lantas menyambut dan mengajak looya tinggal di kantornya. Sempurna sekali rawat
annya."
"Itu bagus, Ong An. Sekarang pergilah kau pulang. Umpama kata aku hendak berangk
at, sedikitnya mesti lagi dua hari."
"Dua hari pun baik. Looya masih memesan satu hal lagi."
"Apakah itu?" Keng Sim lantas membade-bade.
"Looya telah dapat menerima firman rahasia dari Sri Baginda, maksudnya agar looy
a menitahkan kongtjoe membantu komandan Gielimkoen menawan seorang penjahat yang
dicari Sri Baginda..."
"Ini aneh! Apa hubungannya itu dengan aku? Aku bukannya hamba negeri. Raja pinta
r, kenapa dia berbuat setolol ini? Mungkin kau salah dengar..."
"Tidak salah, kongtjoe. Penjahat itu bukan lain hanya guru kongtjoe , si orang s
he Tjio,"
"Apa, guruku penjahat yang dicari raja?"
"Benar. Firman itu dibawa sendiri oleh Law Tong Soen, komandan Gielimkoen, dia m
enyerahkan kepada boetay dan boetay menyampaikan kepada looya. Katanya Tjio Loos
oe itu pada tiga puluh tahun yang lampau pernah mengacau keraton dan sudah mencu
ri pedang mustika. Sekarang dia sedang dicari."
Keng Sim menjublak seperti dikageti guntur. Segera ia ingat gurunya, dengan si
apa
baharu saja ia bertemu pula. Segera ia ingat kejadian pada sepuluh tahun bersela
ng. Ketika itu ia adalah bocah umur dua belas tahun, ayahnya memangku pangkat gi
esoe atau censor di kota raja. Tidak ada orang yang kendalikan padanya, maka di
samping belajar surat, ia belajar silat sama cintengnya. Dia tinggal di dalam ko
ta tetapi dia pun punya pila di luar kota, ke sana dia pergi beristirahat bersam
a saudaranya sepupu. Dia pergi di musim panas, di musim rontok dia kembali ke ko
ta. Di pila dia semakin merdeka. Yang terbelakang, dia ada punya dua guru silat
baru, yang satu ahli toya Djielong pang, yang lain pandai Tiatsee tjiang, Tangan
Pasir Besi. Keng Sim pernah lihat orang
menghajar batu dengan tangannya hingga batu itu hancur lebur. Dia gemar sekali b
elajar silat, walaupun sudah sampai musim rontok, dia berat meninggalkan pilanya
itu, yang pernahnya di pesisir.
Pada suatu malam terjadilah suatu perampokan. Beberapa cinteng kena dikalahkan.
Kedua guru silat yang baru tak nampak. Keng Sim hendak dibekuk tapi dia lincah,
dia bisa lari-larian. Satu penjahat habis sabar, dia hendak dipanah. Justeru itu
terdengar satu seruan panjang, tiba-tiba di situ muncul seorang nelayan tua yan
g kumisnya panjang. Cuma dengan satu gerakan, ia dapat merampas busurnya si penj
ahat. Penjahat itu dan kawan-kawannya menjadi gusar, mereka menyerang. Nelayan i
tu
menghunus pedangnya, ia melawan. Dalam beberapa gebrakan
saja, habis sudah semua senjata penjahat, kena ditabas kutung pedang nelayan tua
itu.
"Pedangku tidak membinasakan segala kurcaci, lekas kamu pergi!" ia membentak.
Takut semua penjahat itu, mereka mengangkat kaki. Tinggallah cinteng-cinteng, ya
ng rebah merintih di tanah, tidak dapat bangun.
Nelayan tua itu tertawa, ia pegangi tangan Keng Sim untuk diawasi, lalu ia mengh
ela napas dan berkata: "Sayang,
sayang, bakat begini baik dibikin gagal oleh segala guru tidak keruan..."
Justeru muncullah kedua guru silat yang baru, dengan roman
sungguh-sungguh mereka kata: "Loosoehoe benar, kita memang datang unt
uk gegares. Selayaknya kita
mengangkat kaki dari sini tetapi kita tidak tahu diri, kita mohon loosoehoe suka
membuka mata kita." Mendadak mereka
menyerang dari kiri dan kanan, senjatanya yang satu ialah tongkat kayu diarahkan
ke batok kepala, yang lain dengan tangan besinya ke bebokong. Si nelayan tua me
nangkis tongkat, hingga tongkat itu patah dua dan penyerangnya roboh. Serangan y
ang satunya mengenai tepat.
Keng Sim masih bocah tetapi ia tahu membedakan perbuatan jahat dan baik, dia men
jadi gusar, dia lantas tegur guru silat Tiatsee tjiang itu. Sebaliknya guru
itu
memegangi tangannya seraya mulutnya
mengeluh kesakitan.
"Engko kecil, tidak usah kau damprat dia, dia sudah cukup menerima bagiannya," k
ata si nelayan sambil tertawa.
Sekarang terlihat nyata, tangan guru silat itu bengkak, tangannya itu dikasi mer
oyot turun, sedang lima jarinya kaku, tidak dapat ditekuk-tekuk. Tidak saja tang
an itu tidak dapat digunai lagi, seluruh kepandaian silatnya pun telah musna.
Setelah itu, semua guru silat pergi. Keng Sim minta si nelayan jadi gurunya teta
pi si nelayan mengajukan satu syarat. Ia sebenarnya bersedia sekalipun untuk sep
uluh syarat. Nyatanya, syarat itu pun enteng, ialah si nelayan ingin Keng Sim j
angan buka
rahasia dia menjadi gurunya, rahasia mesti ditutup sekalipun terhadap ayah ibu d
an saudara-saudaranya, atau ia tidak bakal datang lagi.
Keng Sim tanya kalau-kalau si nelayan menghendaki ia turut guru itu pergi ke sua
tu tempat, si nelayan tertawa dan kata: "Mana bisa aku ajak-ajak kau satu kongtj
oe, puteranya seorang berpangkat? Tidakkah aku disangka menculikmu?"
Lantas Keng Sim tanya, bagaimana dia hendak diajari silat.
"Aku tahu kau bakal pulang ke kota, sekarang aku ajarkan kau pokok dasarnya saja
," menerangkan si nelayan. "Selama satu tahun, kau terus pelajarkan ini, nanti l
ain tahun, kau datang pula ke mari, aku nanti datang juga menemui kau."
Keng Sim memegang janji, ia menutup mulut. Di lain tahunnya, ia pergi ke pila de
ngan mengajak satu budak kepercayaan. Benarlah, si nelayan pun muncul. Tapi dia
tidak mengajari silat di pila hanya di gubuknya di tepi laut. Keng Sim dipesan m
emakai alasan pesiar untuk datang ke gubuknya itu.
Nelayan itu ada punya satu anak perempuan umur delapan tahun, anak itu disuruh b
elajar sama-sama
Keng Sim. Baharu itu waktu, Keng Sim ketahui gurunya itu she Tjio dan namanya Ke
ng To dan si nona bernama Boen Wan.
Sejak itu setiap tahun tiga bulan lamanya Keng Sim belajar sama si orang tua, da
n waktu selebihnya ia pakai berlatih di rumah sendiri. Cuma kadang-
kadang saja guru itu tengok ia di waktu malam di pilanya. Ke rumah di kota, tida
k pernah sekali jua guru itu datang.
Selama itu, tujuh tahun berselang. Banyak perubahan telah terjadi. Di antaranya,
Keng To menerima lagi satu murid, ialah Seng Hay San anak nelayan. Ayah Keng Si
m berhenti bekerja dan pulang ke rumahnya. Keng Sim pun lulus ujian sebagai sioe
tjay. Setiap tahun Keng Sim tetap pergi ke pilanya, di sana terus ia belajar sil
at. Di rumahnya ia ada punya guru silat yang baru, hanya dengan pelabi saja, ia
belajar sama guru itu. Sampai sebegitu jauh, tidak ada orang yang ketahui ia pan
dai silat.
Adalah di musim semi di tahun ke tujuh itu baharulah kaum
perompak mulai mengganggu keamanan di pesisir. Suatu hari Keng Sim melabrak sero
mbongan perompak yang lagi mengganas, karena itu baharu orang tahu ia gagah. Lan
tas namanya tersiar sampai pun ayahnya, Tiat Hong, mengetahuinya. Maka pada suat
u malam ia dipanggil ayah dan ditanyakan. Ia memang berbakti, ia lupa pesan guru
nya, ia membuka rahasia. Ayahnya girang dan kaget. Girang sebab anaknya liehay,
dan kaget sebab ia kuatir anak itu bersahabat sama kaum kangouw yang sesat.
Di musim panas tahun itu, Keng Sim pergi ke pilanya seperti biasa. Tapi kali ini
gurunya tidak ada. Ketika ia tanya Boen Wan, nona itu bilang memang ayahnya suk
a pergi tanpa ketentuan, entah
kapan pulangnya. Tiga bulan Keng Sin, menanti di pilanya, ia menanti dengan sia-
sia saja. Demikian seterusnya, baharu sekarang ia bertemu guru itu di medan pert
empuran. Pula, baharu sekarang ia tahu rahasia gurunya, yang telah dicari pemeri
ntah karena
mencuri pedang di dalam istana.
Demikianlah, mendengar kata-kata Ong An, Keng Sim berdiam. Ia cerdik tetapi ia m
ati daya. Dalam Rimba Persilatan, melawan guru adalah kejahatan tak berampun. Se
baliknya, titah kaisar tidak dapat ditentang.
Sin Tjoe dari tempat sembunyinya terus
memasang mata. Ia lihat orang jalan mundar-mandir, tanda dari ruwetnya pikiran.
Dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar
dehem-nya Ong An. Dia berkata: "Kongtjoe telah banyak membaca kitab, pastilah ko
ngtjoe ketahui baik perihal perbedaan tingkat derajat manusia."
"Bocah umur tiga tahun pun mengetahui tingkatnya langit dan bumi, raja, orang tu
a dan guru," sahut Keng Sim. "Perlu apa kau menanyakan itu?"
"Dengan begitu, kecuali langit dan bumi, rajalah yang teratas," berkata Ong An.
"Habis itu baharu persanakan antara ayah dan anak, dan pertalian di antara guru
dan murid ialah yang terendah." Mendengar itu, Keng Sim menggigil.
"Jadi kau hendak mengajari aku melawan guruku?" ia membentak. Dia pun heran buda
k ini bisa bicara demikian rupa. Dia tidak tahu, Ong An telah diajari
ayahnya.
"Mana budakmu berani mengajari kongtjoe menjadi manusia tidak berbudi?" berk
ata budak itu. "Hanya budakmu tidak sudi melihat kongtjoe menjadi
satu menteri tidak setia berbareng satu anak poethauw1."
"Jadi kau maksudkan, kalau aku tidak menjalankan bunyi firman, ayahku akan teran
cam bahaya?" Keng Sim tanya. Ia pun tidak sudi jadi anak poethauw atau tidak ber
bakti.
"Memang dikuatirkan rumah kita disita atau entengnya kita kena terembet," Ong An
jawab.
Mukanya Keng Sim menjadi pucat, ia jadi semakin bingung.
"Sebenarnya sekarang ini looya pun telah ditahan secara halus di kantor boetay,"
Ong An berkata pula. "Keselama-
tan looya itu
bergantung kepada kongtjoe seorang."
"Bukankah kau bilang boetay ada murid ayah yang terbaik?" Keng Sim tanya.
"Sudah tiga puluh tahun budakmu mengikuti looya, aku ketahui baik penghidupan di
kalangan pembesar
negeri," berkata Ong An. "Kalau bahaya mengancam, makin tinggi pangkat seseorang
, makin kentara orang tak menghiraukan persahabatan. Pikir saja, raja tinggal di
dalam keraton, mana dia ketahui Tjio Keng To itu guru kongtjoe?"
"Benar. Habis, adakah firman itu firman palsu?"
"Mana bisa firman itu palsu? Adalah kongtjoe yang tidak tahu kenyataan dalam uru
san pembesar negeri. Law Tong Soen itu mendapat tugas menangkap
orang jahat dalam kedudukannya sebagai komandan Gielimkoen, sudah pasti ia bawa
bersamanya kertas
kosong yang sudah dicap dengan cap kerajaan, untuk tinggal di
isi saja. Kabarnya Law Tong Soen yang ketahui halnya Tjio Loosoe
serta di mana adanya Tjio Loosoe itu. Law Tong Soen sendiri tidak berani me
nangkap Tjio Loosoe, dia pakai pengaruh firman untuk desak boetay sert
a looya. Maka kalau kongtjoe tidak suka membantu, bukan cuma looya b
akal susah tapi juga boetay. Bahkan mungkin Law Tong Soen bakal datang ke
mari."
"Kalau aku chianati soehoe, pasti aku bakal dicaci orang gagah di kolong lang
it ini..." Keng Sim berkata.
"Dan kalau looya dapat susah, dosa kong-
Sembari mengangsurkan pedangnya, Keng To mengangkat tangan kirinya, supaya begit
u muridnya menerima pedang tersebut, ia bisa segera menghajar ubun-ubunnya untuk
membuatnya bercacat.
tjoe sebagai anak poethauw tidak dapat dicuci bersih dengan air sungai
Tiangkang,"
berkata Ong An.
"Sudah, jangan bicara pula!" Keng Sim membentak, tangannya dikibaskan. "Pergi ka
u pulang, urusan ini aku hendak pikirkan pula masak-masak."
Sin Tjoe kagum dan berkuatir.
"Malam ini akan ada putusannya, Keng Sim seorang gagah sejati atau satu manusia
hina dina!" pikirnya.
Sin Tjoe paling menghormati gurunya, maka itu, biar bagaimana, perbuatan menjual
guru untuk mendapatkan pangkat besar adalah dosa tak berampun. Apapula Tjio Ken
g To itu orang gagah kenamaan yang seimbang dengan gurunya.
Dalam kesunyian
sang malam itu tiba-tiba terdengar siulan yang panjang disusul dengan nyanyian y
ang tedas: "Tidak mengecewakan pedang tajam tiga kaki setelah tua jantung nyali
jadi semakin dingin!" Lalu terlihat orangnya, yang tangannya menyentil-nyentil p
edang. Dialah Tjio Keng To!
Hati Keng Sim gon-cang. Ia lantas menyambut.
"Soehoe belum tidur?" tanyanya.
"Aku merasa sangat puas dengan peperangan hari ini!" sahut guru itu sambil terta
wa, tangannya masih
menyentil pedangnya. "Aku gembira hingga aku tidak dapat tidur pulas. Kita berdu
a pun sudah tiga tahun tidak pernah bertemu, tadi siang tidak sempat kita berbic
ara, sekarang sengaja aku tengok.
Kiranya kau pun belum tidur. Ah, kau kenapa-kah? Aku lihat kau kurang sehat. Mun
gkinkah tadi berperang letih sekali?"
"Ya, aku merasa letih, soehoe," sahut Keng Sim, hatinya memukul. "Tapi tidak apa
. Soehoe, adakah pedangmu pedang mustika?"
Keng To tertawa terbahak.
"Apakah kau suka pedang ini?" dia tanya. "Ilmu pedangmu maju banyak, tidak demik
ian dengan Boen Wan dan Seng Hay. Aku tidak nyana ilmu pedang keluarga Tjio terw
a-riskan kepada lain she\" Ia berhenti sebentar. "Selama dua tahun ini, aku tela
h dapat menciptakan beberapa jurus istimewa. Besok, bila ada waktunya yang luang
, akan aku turunkan semua itu
kepada kau, supaya kau dapat mewariskannya."
Di antara tiga muridnya, berikut gadisnya, Keng To paling menyayangi Keng Sim. T
adinya, karena orang ada anak orang berpangkat, tidak mau Keng To omong terus te
rang, tetapi tadi ia telah menyaksikan sendiri kegagahan muridnya itu, sedang Ya
p Tjong Lioe pun telah memuji tinggi, ia anggap ia tidak salah melihat, maka hen
dak ia mewariskan semua kepandaiannya, untuk angkat murid ini jadi tjiangboendji
n, murid kepala yang mewariskan ilmu silat Keluarga Tjio.
Biasanya Keng Sim girang bukan main mendapat pelajaran baru dari gurunya, tentu-
tentu ia lantas paykoei menghaturkan terima kasihnya, kali ini ia merasa tidak t
enang,
ia malu sendirinya, punggungnya serasa ditusuk-tusuk. Keng To lihat itu, ia nenj
adi heran murid ini bagaikan hilang semangat.
"Apakah kau kurang sehat?" ia tanya, halus.
Keng Sim tidak menjawab, hanya
dengan hati
kebat-kebit, ia balik menanya: "Soehoe, dari mana soehoe dapatkan pedangmu ini?"
Keng To terkejut.
"Perlu apa kau menanyakan ini?" ia pun balik menanya.
"Tidak, tidak apa-apa..." sahut murid itu tidak lancar.
"Siapa yang suruh kau menanyakan?"
tanya lagi sang guru, keras.
"Tidak, tidak ada yang suruh, soehoe," sahut Keng Sim.
Keng To segera menatap muridnya itu.
"Ketika pertama kali
kau angkat aku jadi guru, kau pernah bilang kau akan dengar segala perkataan gur
umu!" ia berkata. "Masihkah kau ingat itu?"
"Ingat, soehoe."
"Kalau begitu, kenapa sekarang kau hendak mendustakan gurumu? Kenapa kau menanya
kan tentang pedangku ini?"
"Soehoe, maafkan muridmu," kata Keng Sim kemudian. "Benarkah pedang ini dapat di
curi dari istana?"
"Memang! Memang barang curian!" sahut Keng To terus terang. "Benda mustika disim
pan saja di dalam istana, itulah artinya mensia-siakan. Apakah tidak tepat aku m
engambil ini?"
Keng Sim tidak berani bersuara.
Keng To sentil pedang di tangannya. Segera pedang itu me-
ngasi dengar suara nyaring dan panjang bagaikan naga bersenandung dan harimau me
nggeram. Terus ia dongak dan tertawa lebar. Ia pun kata: "Buat guna pedang ini a
ku telah buron ke empat penjuru dunia, tidak pernah aku menyesal!..." Habis itu,
ia mengawasi muridnya. Ia kata: "Lekas bilang, siapa yang suruh kau menanyakan?
"
" Tongnia La w Tong Soen dari Gielimkoen," sahut Keng Sim achirnya.
"Dia ada di mana?" Keng To tanya. "Suruh dia yang datang sendiri padaku!"
"Dia paksa ayah- ku dan ayahku memaksa aku," sahut sang murid. "Ayah suruh aku m
enangkap Soehoe..."
Keng To tertawa dingin.
"Menangkap aku?" dia mengulangi. Segera dia sadar, maka dia menambahkan: "Aku me
ngarti sekarang!
Jikalau kau tidak tangkap aku, dia bakal bikin ayahmu celaka! Benarkah begitu?"
Keng Sim menangis.
"Benar," sahutnya.
"Sekarang ini ayahku
telah ditahan secara
halus di kantor boetay ii
"Bagus, beginilah lelakon kita guru dan murid!" berkata Keng To. "Sekarang kau b
icara terus terang, kau hendak berbuat bagaimana? Benarkah kau hendak ambil dara
h di leherku untuk dipakai menyemir merah kopia hitam di batok kepala ayahmu?"
Keng Sim menangis terus.
"Teetjoe tidak
berani," ia menyahuti.
"Satu laki-laki me-
ngucurkan darah tidak mengalirkan air mata!" berkata Keng To kemudian. "Aku Tjio
Keng To, aku telah berani mengacau di istana, biarpun langit ambruk, aku tidak
takut! Buat apa kau menangis? Kenapa kau takut? Lekas bilang, sebenarnya kau hen
dak bertindak bagaimana?"
"Soehoe," m e nj a w a b murid itu. "Kepandaian soehoe sudah sampai di batasnya
kemahiran, orang yang dapat merendengi kegagahan kau, tidak ada seberapa lagi, d
ari itu, soehoe sudah tidak membutuhkan pedang lagi. Soehoe , kenapa untuk semac
am pedang kau sudi menerima dosa sebagai pemberontak?"
Keng Sim menangis terus.
Keng To berdiam.
"Kita bukan orang luar, tidak usah kita bicara
banyak lagi!" katanya, bengis. "Sekarang
bilang, kalau menurut kau, aku harus bertindak bagaimana?"
"Soehoe," jawab murid itu, "baiklah soehoe serahkan pedang
padaku, nanti aku mengembalikannya ke istana, untuk minta sri baginda menarik pu
lang titahnya. Tidakkah itu baik untuk kedua belah pihak?"
"Bagus, sungguh pikiran yang bagus!" kata Keng To dingin. Sementara itu, ia ada
sangat berduka. Ia sudah pikir untuk menyerahkan pedang kepada muridnya ini, sia
pa sangka rahasianya terbuka dan muridnya itu anggap perbuatannya perbuatan mend
urhaka, memberontak, hingga ia diminta menyerahkan pulang pedangnya itu melulu
untuk kesem-
purnaan hidup mereka. Tentu saja penyerahan berarti pelanggaran kepada pantangan
Rimba Persilatan. Ia sudah memikir untuk menolongi Tiat Hong, guna ajak dia dan
Keng Sim pergi buron, siapa tahu, Keng Sim telah mengutarakan sarannya ini.
Keng Sim mengawasi gurunya itu, yang ia lihat seperti sudah berubah menjadi seor
ang lain, romannya bermuram durja,
sebagai juga guru itu sudah tidak mengenali dia. Ia jadi merasa sangat tidak ten
ang.
"Soehoel..." katanya.
"Aku bukan gurumu lagi!" jawab Keng To, suaranya tapinya tenang, mungkin saking
murkanya yang tertahan.
"Soehoe, kau..." kata pula si murid.
"Jangan banyak
omong!" menyanggapi guru itu. "Kau bawa pergi pedang ini!" Ia cekal gagang pedan
g, ia angsurkan itu ke muka muridnya hingga mata orang kabur dan hatinya terkesi
ap. Keng Sim tidak berani me-nyambuti.
"Kau ambil!" Keng To membentak. "Biarlah kau jadi orang setia dan berbakti yang
sempurna! Kenapa kau belum mau ambil juga?"
Dengan hati kebat-kebit, Keng Sim angkat sebelah tangannya.
Keng To segera berkata: "Pedang ini aku serahkan pada kau, maka ilmu silat yang
aku ajarkan kau, kau mesti kembalikan
padaku!"
Di kolong langit ini tidak ada guru yang meletaki senjata kepada muridn
ya. Hal ini baharulah Keng Sim ketahui.
Pantas gurunya mengatakan bahwa dia bukannya guru lagi.
Murid itu mengucurkan air mata deras, ia menangis sesenggukan.
"Muridmu bersalah, pantas soehoe menegurkan," ia
berkata. "Aku minta soehoe jangan usir aku dari rumah perguruan..."
"Hh!" guru itu bersuara, bengis, wajahnya merah padam. "Mana aku ada punya rejek
i mendapatkan murid bagus semacam kau! Kau tentunya menganggap tidak berarti itu
sedikit pelajaran yang aku telah berikan padamu... Akan aku ambil pulang pengaj
aran yang aku berikanmu, selanjutnya, kita
masing-masing ambil jalan sendiri. Pedang ini kau persembahkan
kepada raja, hitunglah ini sebagai barang presenanku yang ter-
achir untukmu. Seumurku, aku membilang satu, tidak dua! Kenapa kau masih tidak m
au ambil pedang ini?"
Keng Sim sangat berduka ia menjadi serbah salah. Kalau ia tidak menyambuti
pedang, ia menjadi tidak berbakti, biarnya keluarganya tidak
disita, sedikitnya ayahnya bakal kerembet dan mendapat malu. Kalau ia menyambuti
, maka habislah perhubungan guru dengan murid, dan habis juga ilmu silatnya. Pad
a otaknya segera berbayang aksi gurunya yang memberi hajaran kepada cintengnya.
Ia lantas menggigil sendirinya.
"Orang terhormat mesti pandai mengambil putusan!" Keng To berkata pula. "Kau ken
apa begini cupat pikiranmu? Kau ambil pedang ini, kau kembali-
kan pelajaranku! Apakah kau merasa dirugikan aku?"
Guru ini balingkan pedang di muka muridnya dan tangan kirinya diangkat, supaya b
egitu Keng Sim menyambuti pedang, ia bisa menghajarnya. Asal ia dapat menepuk, h
abislah kepandaiannya Keng Sim, dia akan jadi manusia bercacad..."
Selagi begitu, Sin Tjoe di atas pohon pun bergidik. Hebat pemandangan itu. Ia ti
dak bersimpati kepada Keng Sim tetapi ia pun tidak tega menyaksikan ilmu silat o
rang hendak dibikin musna. Ia melihat tangannya Keng To turun dengan pelahan-pel
ahan, siap untuk menepuk embun-embunan Keng Sim begitu lekas Keng Sim menyambuti
pedang mustika. Saking ngeri, hampir nona ini menjerit.
Ia lantas merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur, hingga sendirinya ia men
utup rapat kedua matanya.
Sunyi waktu itu, atau tiba-tiba terdengar Keng To menghela napas panjang. Sin Tj
oe terkejut, belum lagi ia membuka matanya, ia sudah dengar bergon-trangnya suar
a pedang jatuh. Tempo ia sudah melek, ia tidak lihat lagi Keng To, sedang Keng S
im berdiri menjublak di bawah pohon, pedang menggeletak di pinggir kakinya. Untu
k sejenak si nona tercengang, tetapi segara ia sadar. Keng To masih ingat ikatan
guru dengan murid, tidak tega dia menurunkan tangan telengas. Mengingat dia men
ghela napas panjang, bisalah dimengarti kedudukannya yang hebat.
Masih lewat sekian
lama tempat sunyi senyap itu terbenam dalam kesunyian,
baharu kelihatan tubuh Keng Sim bergerak, dengan pelahan-pelahan ia membungkuk u
ntuk menjumput pedang.
Hati Sin Tjoe kusut sendirinya. Ia merasa jemu tercampur kasihan terhadap pemuda
gagah itu. Ia merasa orang ia kenal erat tetapi di lain pihak asing sekali... I
a menjadi serba salah.
Kembali sang waktu lewat. Atau mendadak, dari antara pepohonan, muncul dua orang
. Keng Sim merasa atas datangnya orang itu, ia segera menoleh seraya mengangkat
kepala.
Itulah Ong An si hamba setia serta seorang umur empat puluh lebih, yang tubuhnya
besar, yang mengenakan baju tentera suka rela kota Taytjioe, muka siapa
memperlihatkan wajah kelicikan, sedang kedua matanya ditujukan
kepada pedang mustika.
Si anak muda tidak kenal orang itu, sebaliknya dengan Sin Tjoe, yang turut menga
wasi. Nona ini terperanjat. Dia kenali Tongnia Law Tong Soen dari pasukan pengaw
al raja pasukan Gielimkoen dengan siapa ia pernah bertarung!
Sambil tertawa haha-hihi, Law Tong Soen menghampirkan Keng Sim, ia ulur sebelah
tangannya
akan menepuk-nepuk pundak pemuda itu.
"Tiat Kongtjoe, kau telah berhasil?" katanya, seperti ia ada satu sahabat kekal.
"Kenapa itu bangsat tua kabur?"
Keng Sim mendelik. "Kau siapa?" ia tanya. "Barusan aku lihat Tjio Loosoe datang,
" Ong An mendahului orang men-
jawab, "oleh karena kuatir kongtjoe mendapat celaka, aku sudah lantas
mengundang Law Taydjin datang ke mari. Law Taydjin ini memang datang bersama
aku dari Taytjioe. Harap kongtjoe maafkan aku yang telah tidak lantas
memberitahukannya. Apakah Tjio Loosoe benterok sama kongtjoe ? Apakah dia
tidak turun tangan?"
Keng Sim terkejut.
"Kaulah Law Tong Soen?" dia tanya.
"Itulah aku yang rendah," sahut Tong Soen sembari tertawa.
Tiba-tiba saja tangan Keng Sim terayun, hingga pedangnya
melesat.
"Pergi kau bawa pedang ini!" ia berseru. "Mulai sekarang hingga selanjutnya, jan
gan kau datang pula menemui aku!" "
Tong Soen berkelit,
tangannya menyamber pedang, terus ia menyabet ke sampingnya di mana ada sebuah p
ohon, maka batang besar pohon itu kutung. Ia tertawa dan memuji: "Benar-benar pe
dang mustika dari istana! Ha, Tiat Kongtjoe, jasamu ini bukan main besarnya!"
"Pedang telah ada ditanganmu, apakah kau masih tidak mau pergi?" pemuda itu mene
gur.
Tong Soen tidak lantas pergi. Agaknya ia membelar. Lantas ia tertawa.
"Memang pedang telah aku dapatkan akan tetapi penjahatnya
masih belum tertawan," ia kata. "Tiat Kongtjoe, aku harap kau bekerja tidak kepa
lang tanggung, untuk mengantar Sang Buddha harap kau mengantarnya sampai di Lang
it Barat!"
"Apa katamu?" Keng Sim tegaskan.
"Tay gie biat tjin, kongtjoe1." menjawab kommandan Gielimkoen itu. "Apapula inil
ah cuma di antara guru dan murid. Bangsat tua she Tjio itu telah kehilangan peda
ngnya, dengan mengandal
tenaga kita berdua, dapat kita melayani dia. Haha!"
Belum lagi kommandan itu sempat tutup mulutnya, matanya
Keng Sim sudah mendelik, kedua biji matanya seperti mau lompat keluar.
Kata-kata "tay gie biat tjin" itu yang berarti, sekalipun orang tua sendiri pun
boleh dibinasakan membuatnya murka bukan buatan.
Melihat wajah orang yang bengis itu, Tong Soen merasa jeri, tetapi sejenak saja,
ia sudah
tertawa pula.
"Ayahmu di dalam gedung soenboe siang dan malam memikirkan kau saja, kongtjo
e," ia
berkata pula, suaranya, tingkahnya,
dibikin-bikin. "Kalau ada sesuatu yang membikin kau murka sebagai ini, hingga ke
sehatanmu terganggu, pastilah ia akan berduka bukan main!"
Mendengar itu, Keng Sim ingat bahwa ayahnya masih di tangan boetay. Ia jadi ber-
sangsi, hingga tangannya yang hendak dipakai menyerang
menjadi didiamkan saja.
Tong Soen tertawa pula.
"Kongtjoe ada seorang yang cerdik, jikalau sekarang kongtjoe mendirikan suatu ja
sa besar, maka untuk kau selanjutnya, tak usah lagi kau kuatirkan urusan pan
gkat dan
penghidupan yang berbahagia!" katanya lagi.
Dengan pengaruh kekuasaan, dengan
pancingan kedudukan mulia, Tong Soen hendak membikin pemuda itu jatuh di bawah p
engaruhnya, tetapi sampai di situ, ia berhenti membuka
mulutnya. Ia melihat wajah orang yang muram dan lalu menjadi pucat.
"Oh, Thian!" berseru itu anak muda, seraya ia menepuk dadanya, "kedosaan apa tel
ah hambamu lakukan maka sekarang orang pandang aku sebagai manusia hina dina?"
Tong Soen terkejut. Inilah ia tidak sangka.
"Jikalau aku temahai pangkat dan kesenangan!" pemuda itu kata dengan nyaring,
"kenapa aku tidak mau bawa sendiri pedang ini ke kota raja kepada
raja? Sudah cukup, jikalau lagi kau ngaco belo, aku nanti adu jiwaku denganmu, b
iarlah aku menjadi hamba tidak setia dan anak tidak berbakti!"
"Sabar, kongtioe." kata Tong Soen dengan berani. "Bukankah kita dapat bicara sec
ara baik-baik? Kenapa kau bicara keras-keras, berkaok-kaok?"
Keng Sim tidak gubris komandan Gielimkoen itu, hanya seorang diri ia berseru: "S
oehoe, soehoe1. Kapankah aku bisa bertemu pula denganmu untuk
membeber hatiku ini?"
Sampai di situ, Tong Soen juga menjadi habis sabar, hingga ia menyesal tidak bis
a lantas mencekek leher orang, meskipun begitu, tidak berani ia sembarang turun
tangan, karena ia tahu, dalam lima puluh jurus, belum
tentu ia dapat merobohkan pemuda itu yang liehay. Ia pun kuatir suara berisik na
nti mengasi bangun banyak orang di sekitarnya. Bukankah ia telah mendapatkan
pedang? Dengan membawa pedang itu, kendati si penjahat belum tertawan, ia sudah
dapat bertanggung jawab.
Ong An sementara itu masgul sekali. Belum pernah ia saksikan majikan mudanya dem
ikian bersusah hati.
"Kongtjoe, mari kita pulang menemui looya," ia berkata membujuk. "Baiklah kalau
siang-siang kongtjoe menyingkir dari ini tempat buruk...?"
"Kau juga pergi!" membentak si kongtjoe tiba-tiba. "Semenjak hari i
ni, jangan kau melihat aku pula!"
Lantas pemuda ini
menangis seraya menepuk-nepuk dada.
Ong An menjadi bingung.
"Kongtjoe-mu telah jadi gila, mari kita lekas pergi!" berkata Law Tong Soen meny
aksikan kelakuan orang itu. Tapi ia sebenarnya kuatir Keng Sim menyebabkan bangu
nnya banyak
orang, hingga Ong An bisa dibekuk. Ia lantas sambar tangan Ong An itu untuk dita
rik diajak pergi.
Keng Sim menangis hingga ia merasa sangat letih melebihkan pertempuran sama
musuh tadi siang. Ia merasa telah mendapat cacad yang seumurnya sukar ia singkir
kan.
Sin Tjoe di tempat bersembunyi pun terharu. Ia lihat orang num-pra di tanah, keh
ilangan semangat, hingga
pemuda itu mirip dengan sebuah patung
batu. Diam-diam ia menghela napas. Tak tahu ia, ia merasa kasihan atau muak...
Ketika itu terdengar suara berisik yang mendatangi. Mungkin dari pelbagai kemah
datang orang yang tadi mendengar suaranya keras dari si anak muda. Mendengar itu
, Sin Tjoe pun insaf akan halnya dirinya sendiri. Bukankah ia hendak pergi menyi
ngkir? Maka,
tanpa ayal lagi, ia lompat turun, untuk mengangkat kaki.
Keng Sim mendapat dengar suara pelahan sekali, segera ia mengawasi, maka sekaran
g baharu ia ketahui, di sana ada seorang lain. Ia lantas mengawasi, samar-samar
ia kenali Sin Tjoe. Ia menjadi menjublak sendirinya.
Sin Tjoe lari terus turun gunung. Ia dapat-
kan sinar rembulan dan bintang-bintang guram. Fajar belum lagi menyingsing akan
tetapi di tengah laut terlihat dua tiga ekor burung laut sudah berterba-ngan men
cari makanan. Di tepian, sang gelombang mendampar gili-gili tak hentinya. Menamp
ak itu, hatinya pun ruwet. Ia ingat ia datang dengan gembira tapi sekarang pergi
dengan lesu. Ia menoleh ke arah Keng Sim, ia seperti dengar pemuda itu memanggi
l-manggil padanya...
Kemudian pemudi ini memungut sebutir batu, ia timpuki itu ke air laut, seperti k
ias bahwa ia membuang segala macam kesannya...
***
Setelah fajar, air laut nampak bergelombang hebat, suaranya berge-
Mau tidak mau, Tong Soen harus melepaskan lengan Sin Tjoe, yang
tanpa menyia-nyiakan waktu
segera menyerangnya dengan kedua-dua pedang itu.
muruh, setiap kali tepian digempur, muncratlah letikannya, bagaikan air hujan at
au hancuran mutiara. Sin Tjoe berada di tepian, bajunya terkena muncratan air. H
awa dingin membikin hatinya terbuka. Maka tanpa merasa, ia bersenandung dengan s
yairnya Su Tung Po "Pergi ke Kang Tong." Ia ingat belum pernah ia menemui orang
yang cocok dengan hatinya. Ia bayangkan Keng Sim dan Kheng Thian, keduanya lenya
p di dalam rupa bayangan. Tjong Lioe gagah tetapi dia bukanlah priya yang menjad
i idam-idamannya wanita. Maka di achirnya ia merasa, adalah soebo-nya, gurunya y
ang wanita, yang berbahagia sekali.
Di timur, cuaca makin lama makin terang, ge-
lombang pun menghebat terus. Kelihatan laut dan langit seperti nempel. Luas air
laut, yang seperti tak berujung pangkal.
Kagum Sin Tjoe menyaksikan kebesaran sang laut dengan gelombangnya. Cuma burung-
burung laut yang dapat terbang mundar-mandir di
atasnya dengan
kadang-kadang binatang itu terjun menyamber ke muka air.
Mengawasi burung itu, Sin Tjoe tertawa sendirinya dan berkata: "Burung laut itu
menyerbu lautan, dia mementang sayap dan berterbangan, maka mustahil sekali aku
tidak dapat seperti dia?"
Ia ngelamun teta- pi ia jadi bersemangat, maka tempo ia membuka tindakannya, ia
dapat berjalan dengan cepat.
Fajar membuat laut terlihat tegas, gunung-gunung pun turut berpeta, muncul dari
antara uwap gempal. Terbukalah hati memandangi gunung-gunung itu.
Selagi si nona terbenam dalam keindahan sang alam itu, tiba-tiba kupingnya mende
ngar suara tindakan yang keras, yang tengah mendatangi. Ia
terkejut. Segera ia menduga apa Tjong Lioe mengirim orang menyusul padanya. Ia m
emasang kuping, ia dapat kenyataan suara itu bukan datang dari arah belakang. Ma
ka ia memikir pula: "Benarkah di waktu pagi buta begini sudah ada orang yang mel
akukan perjalanan?"
Makin lama tindakan kaki itu terdengar makin dekat, sekarang pun terdengar jug
a suara
napas orang yang disusuli dengan kata-kata: "Dengan bersembunyi di tempat gelap
membokong orang,
apakah itu perbuatannya satu laki-laki? Jikalau kau ada punya nyali, mari muncul
di tempat terbuka di bawahnya matahari untuk kita main-main!"
Itulah tantangan. Tapi yang menarik perhatian ialah suara itu Sin Tjoe rasanya k
enal baik. Ia tidak usah memikir lama akan ingat suaranya Law Tong Soen si koman
dan Gielimkoen. Ia menjadi heran. Bukankah komandan itu gagah sekali? Siapakah y
ang berani membokong
padanya?
Segera juga terlihat orang yang berlari-lari dan berkata-kata itu muncul di sebu
ah tikungan. Dia memang Tong Soen adanya!
Sin Tjoe lantas saja menyembunyikan diri di antara dua batu besar di tepi jalan.
Di situ orang tidak dapat lihat ia sebaliknya ia dapat mengintai orang. Ia lant
as memasang mata.
Tong Soen itu riap-riapan rambutnya,
mukanya mateng biru di sana-sini dan pakaiannya penuh kotoran tanah, dia bagaika
n seorang rudin.
Melihat keadaan orang itu, Sin Tjoe heran bukan main. Ia berpikir: "Walaupun Loo
tjianpwee Tjio Keng To tidak nanti dapat membikin ini komandan Gielimkoen yang g
agah menjadi rusak begini macam... Untuk Tjio Lootjianpwee, ini pun tidak mungki
n, karena ia sudah tidak suka memusingkan kepala lagi terhadap segala urusan..."
Oleh karena ia insaf
ia bukan tandingan Law Tong Soen, Sin Tjoe tetap bersembunyi, ia hanya mengawasi
saja. Bahkan napasnya ia sampai tahan, kuatir nanti kedengaran
musuh itu. Ia tetap heran kenapa orang menjadi serudin itu.
Tong Soen telah mendapatkan pedang mustika, ia kabur, bahkan dengan meninggalkan
Ong An ketika ia dengar suara orang mencari Keng Sim. Ia memilih jalan kecil, l
antaran ia sungkan menemui
tentera rakyat. Ia tidak takuti tentera itu tetapi ia segan mendapat kesulitan d
igerembengi mereka. Karena ia pilih jalan kecil itu, ia mesti melewati sebuah
tanjakan atau bukit kecil. Ketika kemudian ia memasuki sebuah tempat dengan pepo
honan yang lebat bagai-
kan rimba, ia kendorkan tindakannya. Ia menduga bahwa ia sudah terpisah tiga pul
uh lie lebih dari tangsi tentera rakyat.
Di sini ia mengambil kesempatan untuk
menghunus pedang mustika, yang segera mengasi lihat sinar berkilauan, cahayanya
mirip dengan cahaya mutiara. Sejarak lima tindak, ia bisa melihat segala apa den
gan nyata. Bukan main girangnya ia.
"Pantaslah pedang dari istana!" ia memuji di dalam hati saking kagum. "Tidak ane
h yang untuk ini Tjio Keng To sampai mengacau istana!..."
Gembira Tong Soen hingga seorang diri ia tertawa tak hentinya. Ia sudah membayan
gkan bahwa ia telah mendapatkan hadiah istimewa dari raja untuk
jasanya sudah mendapatkan pedang itu.
"Syukur Yang Tjong Hay tidak turut bersama aku," ia ngelamun terlebih jauh. Tiba
-tiba saja ia ingat rekannya itu. "Kalau tidak, jikalau sampai dia yang mendapat
kan ini, pasti sekali dia tidak menghiraukan lagi pangkat Tay i wee Tjongkoan, k
uasa istana! Pasti dia bakal buron dengan pedang ini! Sayang dahulu hari aku tid
ak meyakinkan ilmu pedang, coba sebaliknya, sekarang ini tentulah aku tidak kesu
dian mengantarkan pedang ke istana!..."
Tong Soen mengatakan ia tidak mempelajari ilmu silat pedang, tetapi sedikit-sedi
kit ia bisa juga, maka itu, dengan pedang mustika itu, ia terus bersilat dengan
caranya sendiri.
"Traang!" demikian sekonyong-konyong terdengar suara nyaring.
Komandan Gielimkoen ini menjadi kaget sekali. Itulah pedangnya yang mengasi deng
ar suara nyaring itu. Pedang itu telah kena ditimpuk batu, keras serangannya hin
gga tangannya sedikit gemetar.
"Sahabat siapa itu?" dia lantas menegur. "Silahkan kau keluar, sahabat?"
Dardalam rimba tidak terdengar suatu apa, suasana di situ tetap sunyi.
Tong Soen heran dan penasaran, ia
memandang kelilingan, pedangnya disiapkan untuk melindungi tubuhnya.
Tiba-tiba ada terdengar suara tertawa pelahan di sebelah timur. Gesit sekali ia
berlompat, akan lari ke arah dari mana suara
itu datang. Ia pun menegur: "Di sini Law Tong Soen menanti pengajaran!" Ia perca
ya, orang golongan Jalan Hitam atau Jalan Putih, sedikitnya tentu pernah mendeng
ar
namanya itu.
Belum lagi suara tantangan itu lenyap di udara, kembali ada sebutir batu yang me
nyambar, jauh lebih keras daripada yang tadi. Kali ini pedang berbunyi nyaring d
an getarannya terasa
hingga telapakan
tangan komandan
Gielimkoen itu menjadi seperti kesemutan.
Tong Soen ketahui ia dipermainkan, ia
menjadi sangat gusar, maka ia lantas lompat ke arah timur itu, dengan niat memas
uki rimba guna mencari orang yang mempermainkan padanya. Ketika ia baharu sampai
di muka rimba, mendadak kupingnya mendengar suara tertawa di sebelah barat. Ia m
engenali suara yang sama.
"Setan alas!" ia mendamprat. "Jikalau kau tetap tidak mau keluar, nanti aku meng
upat caci padamu!"
Tengah ia membuka mulutnya itu, tiba-tiba ada sepotong tanah yang menyambar masu
k tanpa ia dapat mencegah, saking hebatnya timpukan tanah itu. Ia kaget sekali,
sampai hampir ia ketelak. Dengan luar biasa cepat, ia memuntahkannya. Tentu saja
, meluap kemurkaannya, hendak ia membuktikan ancamannya, akan
mengupat caci. Tapi kali ini, timpukan datang pula dan mengenai mukanya, hingga
ia merasakan sakit dan perih, hampir berbareng
dengan mana, ia dengar suara tertawa di arah selatan!
"Inilah hebat," kemudian Tong Soen berpikir. Ia ada satu jago tetapi dua kali ia
kena orang timpuk. Bahwa pedangnya yang kena diserang, itulah tidak terlalu her
an, yang belakangan tapinya mulutnya dan mukanya. Ia menjadi mendongkol berbaren
g jeri.
"Siapakah orang liehay ini? Mungkinkah dia iblis rimba ini?"
Sekarang ia tidak berani membuka mulut pula jangan kata mendamprat atau
menegur. Sudah tentu, ia pun tidak berani membuktikan ancamannya akan mengupat c
aci. Bahkan ia pikir, menyingkir dari tempat ini adalah paling baik. Ia baharu j
alan beberapa tindak tatkala ia dengar suara bengis: "Kembali!"
suara mana disusuli mengaungnya suara senjata rahasia menyambar.
Dengan terpaksa jago ini mencelat mundur, dengan begitu ia lolos dari serangan.
Untuk herannya ia memperoleh kenyataan, ia ditimpuk dengan batu yang terlebih ke
cil daripada telur burung. Maka itu menyatakan liehaynya si penyerang. Kalau ia
kena ditimpuk, mungkin tulangnya patah.
Penyerang batu itu tidak berhenti dengan yang pertama itu, lalu itu disusul deng
an yang kedua dan ketiga, seterusnya. Dengan begitu juga Tong Soen terpaksa mest
i kembali ke tempat dari mana ia datang. Sebab setiap datang serangan itu, ia me
sti berkelit mundur. Serangan batu pun tercampur sama tanah atau gumpalan lump
ur,
maka itu, tidak dapat ia membebaskan diri
anteronya, hingga
sekarang pakaiannya menjadi kotor begitupun muka dan kepalanya.
Percuma ia ada satu jago atau kepala dari pasukan tentera
kerajaan, sekarang ini Tong Soen tidak berani membuka mulutnya, ia mesti membung
kam tidak perduli kemen-dongkolan dan kegusarannya meluap-luap. Sebagai satu jag
o silat, ia ada cacadnya, ialah ia tidak pernah meyakinkan mata, untuk dapat mel
ihat tegas di waktu malam gelap petang, sedang
keistimewaannya, ialah ilmu silat Hoenkin Tjokoet tjioe, untuk mematahkan tulang
lawan, cuma dapat dipakai dalam perkelahian rapat.
Sementara itu langit telah mulai menjadi
terang, angin laut meniup-niup dengan santar, dari kepala pusing, Tong Soen mend
apat pulang
kesegarannya. Ketika ia memandang ke sekitarnya, ia mendapat kenyataan yang ia t
elah dipaksa mundur kembali ke jalanan di tepi laut. Ia menjadi heran dan kaget
sendirinya.
"Lagi beberapa lie, aku pasti akan tiba di tangsi tentera rakyat," ia berpikir.
"Syukurlah langit keburu terang, jikalau tidak, tentulah aku akan dipaksa mundur
sampai di sana. Pasti di sana orang bakal jadikan aku buah tertawaan..."
Dengan cuaca menjadi terang, Tong Soen terbangun semangatnya. Sekarang orang tid
ak bisa main sembunyi seperti tadi untuk saban-saban menyerang ia dengan
timpukan. Kembali ia memandang ke
sekitarnya. Di waktu fajar seperti itu, di situ belum ada orang yang berlalu lin
tas. Ia tidak lihat siapa juga, hingga ia jadi penasaran sekali. Penyerangnya it
u tetap tidak pernah
memunculkan diri.
Sekarang baharulah Tong Soen merasakan letih, maka itu ia cari sebuah batu besar
di tepi jalanan itu, untuk duduk beristirahat. Ia pun segera merasakan perutnya
lapar. Maka ia tancap pedang di sampingnya, terus ia keluarkan rangsum
keringnya untuk didahar. Ia tidak meneliti lagi tempat duduknya itu, ia tidak ta
hu batu itu ada pasangannya dan di antara kedua batu itu ada satu nona tengah me
ngintai ia...
Sin Tjoe tetap sembunyi di sela batu itu.
Ia mengintai selama matanya masih dapat melihat. Ia sembunyi di situ sampai oran
g tiba kembali. Ia terkejut akan mendapatkan
orang duduk di dekatnya, hingga ia dapat mendengar suara
bernapas orang. Ia baharu merasa sedikit lega setelah mendapat kenyataan rupanya
orang tidak ketahui sembunyinya di situ. Ia terus berdiam, dengan ati-ati ia me
ngintai. Begitulah ia lihat pedang itu, yang kalau mau, dapat ia sambar dengan t
angannya.
"Kenapa aku tidak mau curi pedangnya ini, untuk diteruskan
menikam padanya?" si nona dapat pikiran. Ia nyata bernyali besar, begitu ia berp
ikir, begitu ia bekerja. Tangannya menyambar dan pedang tercekal. Hanya di saat
ia baharu mencabut,
Tong Soen mendapat tahu, jago ini dengar suara angin, maka dengan kesehatannya y
ang luar biasa, tangannya menyambar, tepat ia kena cekal lengan si nona.
Sin Tjoe kaget bukan main, ia pun merasakan sakit pada tangannya itu, yang bagai
kan terjepit besi.
Law Tong Soen sudah lantas tertawa terbahak.
"Kiranya kau?" katanya. Ia telah lantas berpaling kepada si nona, yang ia pun ta
rik.
Sin Tjoe cerdik, belum sampai ia tertarik, ia mendahulukan berlompat, di waktu m
ana pun, "Sret!" terdengarlah suara pedang dicabut. Dasar muridnya Thio Tan Hong
, ia cerdik sekali, ia tidak gugup. Tangan
kanannya benar telah orang cekuk tetapi
tangan kirinya masih bebas maka dengan tangan kiri itu ia menghunus pedangnya, b
ahkan tanpa ayal sedetik jua, ia terus menikam ke tenggorokannya komandan Gielim
koen itu.
Tong Soen liehay, ia tarik tangannya si nona hingga tubuh nona ini tergerak, hin
gga tentu saja serangannya
mengenakan sasaran yang keliru, ialah mengenakan pedang dari istana itu.
Syukur untuk si nona, ia tidak sampai menikam tangannya sendiri yang kanan itu.
Ia menjadi kaget berbareng penasaran, ia mendongkol bukan
main. Dengan berani ia ulangi serangannya, kali ini ia membacok ke arah lenganny
a sendiri yang dipegangi Tong Soen itu!
Inilah hebat! Tong Soen tidak sempat ber-
daya, walaupun sebenarnya, kalau ia cukup cerdas, dapat ia membikin patah tangan
nona itu. Ia telah didului, ia menjadi kaget. Kalau ia tidak lepaskan cekalanny
a, bukan melainkan tangan si nona, tangannya sendiri bakal terbabat kutung, ia t
idak sempat merampas pedang
istana itu, yang Sin Tjoe tidak mau melepaskannya tidak perduli tangannya dipenc
et keras. Ia menahan sakit sebisa-bisa.
Serangan Sin Tjoe ini ada maksudnya, dan nyata ia berhasil. Mau atau tidak
, Tong Soen mesti melepaskan
cekalannya, maka itu, si nona menjadi merdeka. Tidak mensia-siakan tempo lagi, N
ona Ie segera menyerang dengan kedua pedang di tangannya itu.
"Binatang licin!" Tong Soen berseru saking mendelu. Ia tidak takut, ia lawan si
nona dengan bertangan kosong. Ia harap dapat melanggar atau memegang tangan nona
itu, untuk dibikin keseleo atau patah. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Hoenkin
Tjokoet Tjioe itu yang liehay. Maka ia dapat melayani dengan baik. Dengan sangat
lincah ia saban-saban menyingkir dari sabetan atau tikaman pedang. Hanya ia rep
ot juga, ia mesti berlaku ati-ati luar biasa.
Sin Tjoe berkelahi dengan ilmu pedangnya Hian Kie Itsoe, dengan begitu, walaupun
ia kalah kosen, ia masih dapat bertahan,
apapula sekarang ia memegang dua batang pedang mustika.
Mereka telah bertempur sampai kira-kira
lima puluh jurus, itu artinya meminta tempo. Keduanya lantas
merasa tidak aman sendirinya. Law Tong Soen kuatir munculnya lawan yang sembunyi
kan diri itu, yang belum ketahuan siapa adanya, kalau dia itu datang, ia bisa da
pat susah. Sin Tjoe sebaliknya kuatir-kan munculnya Kheng Thian, yang bisa mengg
erecoki padanya. Maka itu keduanya sama-sama ingin lekas-lekas mengachiri pertem
puran itu.
Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari Hian Kie Itsoe mengutamakan sepasang pedang yang
dipegang masing-
masing oleh satu orang, sekarang Sin Tjoe menggunainya sendiri ini kurang tepat,
tangan kirinya kalah lincah dengan tangan kanannya. Lama-lama kekurangan ini
dapat dilihat
Tong Soen yang liehay itu, maka selang lagi sekian lama, ini komandan Gielimkoen
lantas mendesak di sebelah kiri.
"Lepas!" berseru Tong Soen tatkala ia dapat membikin mental Tjengbeng kiam di ta
ngan kiri si nona sambil tangan kanannya menyambar ke pedang istana, untuk mana
ia gunai dua jarinya, tengah dan telunjuk, untuk menjepit pedang mustika itu. Ia
benar-benar liehay, karena berbareng sama
seruannya itu, pedang itu terlepas dari tangan Sin Tjoe, pindah ke tangannya. La
ntas ia tertawa berkakak.
"Lepas!" kembali ko-manan Gielimkoen ini berseru setelah beberapa jurus lagi. Ka
li ini dengan tangan kiri ia menyamber tangan si nona dengan maksud
merampas juga pedang Tjengbeng kiam. Tapi kali ini ia keliru menyangka. Dengan h
anya memegang sebuah
pedang, Sin Tjoe jadi terlebih liehay daripada ia mencekal dua. Ia meloloskan di
ri dari sambaran, ia terus membalas menikam ke uluhati lawannya dengan jurusnya
"Ular putih muntahkan bisa."
Tong Soen bukan ahli pedang, ia dapat menangkis, akan tetapi ia kalah tindih, ka
renanya ujung
Tjengbeng kiam terus mengarah dadanya. Tentu saja ia menjadi terkejut, perlu ia
lebih dahulu membela dirinya, hingga gagal ia dengan serangannya itu.
Sin Tjoe menjadi dapat hati, maka itu, berulang-ulang ia
mendesak. Dengan
terpaksa, Tong Soen main mundur. Achirnya,
saking penasaran,
komandan itu berseru: "Jikalau aku tidak dapat rampas pedangmu, aku bukan si ora
ng she Law lagi!"
Dengan teriakannya itu, Tong Soen hendak menyimpan pedang
mustika ke dalam sarungnya. Sebab ingin ia merampas pedang si nona dengan tangan
kosong, dengan menggunai ilmu silat andalannya ialah
Hoenkin Tjokoet Tjioe.
Justeru itu sekonyong-konyong terdengar seruan "Ilmu pedang yang bagus!" Lalu se
butir batu menyambar keras sekali kepada kedua pedang yang lagi saling tindih it
u, hingga kedua pedang itu terpisah sendirinya.
Tong Soen terkejut,ia lantas berlompat mundur seraya berpaling ke arah dari ma
na
suara datang. Ia kenali suara yang tadi mengganggu padanya. Ia mendapat lihat, d
i tempat terpisah belasan tindak dari ia, dua orang tengah berdiri menonton. Mer
eka itu priya dan wanita, umurnya umur pertengahan, masing-masing dengan sikapny
a sangat tenang. Rupanya sudah sekian lama mereka itu menonton pertempuran. Si p
riya dandan sedikit luar biasa, ialah ia mengenakan pakaian orang Hweekiang. Dan
si wanita, di bebokong siapa ada tergendol sepasang gaetan, juga dandan bukan s
ebagai orang Han.
Kembali Tong Soen menjadi kaget, ini kali disebabkan ia tidak ketahui datangnya
orang. Ia percaya dirinya sangat liehay dan mengetahui segala apa. Ia pun lantas
menduga
pasti, si priya adalah orang yang dari dalam rimba menggodai
padanya...
Dengan Tong Soen berlompat mundur, Sin Tjoe menjadi berhenti berkelahi. Tentu sa
ja ia pun heran atas datangnya batu yang memisahkan perkelahian mereka. Justeru
itu si priya menunjuk padanya seraya menanya: "Eh, nona, apakah kau muridnya Thi
o Tan Hong?"
Sin Tjoe heran bukan main hingga ia melengak.
"Kenapa sekali melihat saja dia ketahui aku wanita?" pikirnya.
"Kenapa dia pun mengenali ilmu silatku?" Tapi ia tidak melengak lama, segera ia
sadar. Bukannya menjawab, ia justeru menanya:
"Bukankah kau Peehoe Ouw Bong Hoe?"
Orang itu berse-
nyum. Ia memang Ouw Bong Hoe, muridnya Siangkoan Thian Ya, yang mewariskan ilmu
silat gurunya itu dan kepandaiannya jauh terlebih liehay daripada Tamtay Biat Be
ng, kakak seperguruannya yang tertua. Sedang wanita itu adalah adik seperguruann
ya. Kimkauw Siantjoe Lim Sian In si Dewi Gaetan Emas.
Siangkoan Thian Ya, sama kesohornya
dengan Hian Kie Itsoe, ia hanya bertabiat aneh, ialah ia melarang pernikahan di
antara murid-muridnya priya dan wanita. Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In terkena lar
angan itu, mereka menyinta satu pada lain tetapi tidak dapat mereka merangkap jo
doh. Adalah kemudian, sesudah
dibantu Thio Tan Hong, yang membikin Siang-
koan Thian Ya kagum terhadap orang she Thio itu, baharu pantangan itu ditiadakan
dan mereka dapat menikah. Karena ini, tanpa perdulikan lagi tingkat derajat. Ou
w Bong Hoe suami isteri jadi bersahabat erat dengan Thio Tan Hong. 3)
Sin Tjoe sering mendengar gurunya bercerita tentang Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In
itu, maka lekas juga ia ingat mereka dan lantas mengenalinya. Tentu saja datang
nya mereka itu membuat hatinya lega, hingga ia menjadi girang sekali.
Adalah Ouw Bong Hoe yang bersama-sama Thio Tan Hong, Tjio Keng To dan Yang Tjong
Hay yang disebut Thianhee Soetay Kiam-kek yaitu jago pedang paling besar di kol
ong langit di jamannya itu. Maka juga kaget sekali
Law Tong Soen apabila ia dengar Sin Tjoe yang ia sangka seorang pemuda menyebut
namanya jago itu. Tapi dasar ia sangat percaya ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet Tji
oe, ia tidak menjadi berkecil hati.
"Ouw Bong Hoe," ia lantas berkata, dengan dingin, "kaulah seorang kenamaan, meng
apa kau senantiasa bermain di tempat gelap, sampai kau tidak berani memperlihatk
an dirimu? Hari ini aku si orang she Law telah belajar kenal denganmu!"
Ouw Bong Hoe melirik orang dengan sikapnya yang dingin sekali.
"Tahukah kau siapa binatang ini?" ia tanya Sin Tjoe. "Tahukah kau perlu apa dia
datang ke mari?"
"Dialah tongnia dari Gielimkoen," menjawab Sin Tjoe, "dia sedang menerima fir
man raja
Lekas-lekas Tong Soen membalikkan pedangnya, tetapi sebaliknya dari berhasil mem
bebaskan pedangnya, ia bahkan merasakan, bahwa pedang bambu musuhnya semakin ber
at, mungkin seribu kati lebih.
untuk menawan Lootjianpwee Tjio Keng To sekalian dia hendak merampas pedangku! D
ialah satu telur busuk paling besar!"
Ouw Bong Hoe tertawa dingin, ia lantas berpaling kepada komandan Gielimkoen itu.
"Tadi malam aku tidak ketahui asal-usulmu maka itu aku berlaku murah terhadapmu,
" ia berkata. "Hm! Kenapa kau justeru mencaci aku? Kau berniat keras sekali mera
mpas pedang orang, sekarang aku juga ingin merampas pedang di tanganmu itu! Mari
, mari kita main-main!"
Habis mengucap kata-katanya yang
terachir itu, Ouw Bong Hoe mengulur sebelah tangannya ke sampingnya di mana ada
pohon bambu, ia menjambret sebatang yang masih muda, ia patahkan itu,
dengan tangannya ia belah dan merautnya hingga menjadi seperti pedang bambu panj
ang tak ada tiga kaki, kemudian menyabet dengan itu, ia kata dengan nyaring: "Ka
u gunakanlah pedang mustikamu itu! Jikalau kau dapat mengalahkan pedang bambuku
ini, segera aku kembali ke gurun pasir di Utara dan untuk selanjutnya tidak nant
i aku kembali ke Kanglam ini!"
Tong Soen mendongkol tidak terkira.
"Bagaimana jikalau pedang bambumu itu kena aku babat kutung?" dia tanya.
"Dengan begitu akulah yang kalah!" menjawab Ouw Bong Hoe.
Tong Soen segera berpikir: "Aku punya ilmu pedang tidak sempurna tetapi pedang i
ni tajam luar biasa, rambut ditiup di tajam-
nya pedang putus, mustahil segala pedang bambu tidak akan terpapas buntung?" Lan
tas ia menerima baik, serunya: "Baiklah! Kau ada seorang kenamaan, kata-kata kit
a adalah janji! Jikalau aku kalah, dengan kedua tanganku akan aku persembahkan p
edang mustika dari istana ini kepadamu!"
Baharu Tong Soen menutup mulutnya atau tangannya sudah bergerak menikam seraya s
ebelah kakinya dimajukan dengan cepat. Ia mengarah pinggang orang.
Ouw Bong Hoe tertawa.
"Hm! Sungguh sebati" katanya, mengejek. Sembari tertawa, ia berkelit ke samping
terus ke belakang penyerangnya itu,
untuk menotok jalan darah honghoe hiat dari
komandan Gielimkoen itu.
"Celaka!" Tong Soen berseru di dalam hatinya, karena ia tengah menyerang dan tid
ak dapat ia lekas-lekas menarik pulang pedangnya itu untuk menangkis. Tapi meski
pun begitu, ia gunai tangan kirinya guna menyambar tangan lawan. Itulah gerakan
dari Hoenkin Tjokoet Tjioe.
Diserang dengan sambaran itu, Ouw Bong Hoe tertawa. "Namanya mengadu pedang teta
pi ceker anjing pun dikeluarkan!" katanya.
Mukanya Tong Soen menjadi merah dan ia merasakan panas
sendirinya. Bukan saja sambarannya itu tidak memberi hasil juga ejekan lawan mem
buatnya malu sekali. Memang tidak ada dibikin
perjanjian, mengadu pedang tak boleh dicampur baur dengan lain macam ilmu silat,
akan tetapi sama-sama orang kenamaan sebagaimana ia anggap ia pun tersohor suda
h sepantasnya ia hilang muka.
Setelah ini, dalam mendongkol dan sengitnya, Tong Soen mendesak lawannya itu. Be
rulang-ulang ia membacok atau membabat, dengan niat keras membikin sapat pedang
bambu dari si lawan. Pedang bambu itu, asal benterok sedikit saja, mesti putus.
Ouw Bong Hoe ada sangat lincah, ia berkelit atau berlompat mengegos tubuh
menyingkir dari setiap serangan, ia selalu dapat membebaskan diri dari ancaman,
sambil menolong diri, di mana ada kesempatan, ia juga
membalas menyerang, hingga satu dua kali, hampir Tong Soen kena ditotok ujung pe
dang bambu itu, yang di tangannya Bong Hoe, menjadi liehay sekali.
"Jikalau terus begini jalannya, mungkin aku nanti salah tangan atau kena dipanci
ng," pikir Tong Soen kemudian dengan hatinya gon-cang. Karena ini, terus ia puta
r pedangnya. Ia tidak pandai mainkan pedang untuk menyerang tetapi untuk membela
diri, melindungi tubuhnya, ia cukup mahir. Bagaikan
lingkaran perak demikian tubuhnya tertutup sinar pedangnya itu. Di dalam hatinya
ia kata: "Aku hendak lihat dengan cara bagaimana kau dapat menyerang aku! Asal
pedangku dapat mengenai sedikit saja, pedangmu tentu bakal terkutung..."
Komandan Gielimkoen ini berpikir demikian, hatinya puas. Ia tidak menduga, juste
ru di saat ia membuat perubahan siasat, dari menyerang menjadi menjaga diri seke
jap itu Ouw Bong Hoe telah menggunai ketika-nya dengan baik, dia ulur pedang bam
bunya dan membentur pedang mustika dari istana raja itu.
Dengan lekas-lekas Tong Soen membalik pedangnya, dengan harapan supaya ia dapat
menempel pedang lawan dengan pedangnya bagiannya yang tajam, akan tetapi kesudah
annya ia heran sekali. Pedang bambu itu seperti nempel sama pedangnya sendiri,
tidak dapat ia membalik pedangnya itu. Belasan kali ia geraki pedangnya, dengan
pelbagai tipu, tetap kedua pe-
dang tak dapat terpisah. Yang membikin hatinya jadi kecil adalah ket
ika kemudian ia merasakan pedang
bambu berubah sifatnya, tadinya enteng, sekarang menjadi berat, berat hingga ser
ibu kati, hingga hampir ia tidak dapat berdaya lagi. Ia menginsafi akan tenaga d
alam yang luar biasa dari lawannya ini.
"Sekarang kau hendak membilang apa lagi?" Ouw Bong Hoe menanya.
Tong Soen mengertak giginya.
"Aku serahkan pedang padamu!" sahutnya sengit. Sambil menolak keras, ia lepas ga
gang pedangnya dengan
ujung pedang yang tajam menjurus ke jantung lawannya itu.
Sin Tjoe dapat melihat perbuatan orang itu, ia kaget hingga ia menjerit.
Ouw Bong Hoe tidak
menjadi kaget karena kelicikan lawannya. Ia menarik pedangnya selagi Tong Soen m
enolaknya, tangan kirinya membarengi maju
bekerja, maka sebelum ujung pedang mampir di tubuhnya, gagang
pedang sudah dapat ia cekal. Begitu cepat gerakan tangan jago ini, sampai Sin Tj
oe tidak dapat melihat orang menggunai tipu silat apa. Maka ia menjadi kagum lua
r biasa.
"Pantas dia sama kesohornya seperti soehoe1." pikirnya.
Nona ini mengatakan demikian tanpa ia menginsafi bahwa dalam tingkat derajat, Ou
w Bong Hoe ada terlebih tinggi setingkat daripada gurunya itu, sedang ilmu menan
ggapi pedang itu, Ouw Bong Hoe dapat menurunkan dari Liehiap Siauw Oen Lan, sa
habat gurunya.
Untuk jamannya itu, Siauw Liehiap itu adalah yang tingkat derajatnya paling atas
. Dahulu harinya pernah dengan sebatang pedang
bambu dia melayani Tjia Thian Hoa dan Vap Eng Eng yang mengepung ia berbareng de
ngan
pedang mereka dengan kesudahannya seri. 4)
Begitu lekas ia menyekal pedang
mustika gegamannya lawannya itu, Ouw Bong Hoe tertawa lebar, hingga wajahnya Law
Tong Soen menjadi bermuram durja saking mendongkol dan malunya dia.
"Dengan pedang bambu kau merampas pedangku, itulah tidak aneh!" berkata komandan
Gielimkoen ini terkebur. "Kau lihat bagaimana dengan
tangan kosong aku rampas pulang pedang itu!"
Tanpa memberi ketika lagi, komandan ini segera menyerang. Ia menggunai kedua tan
gannya dengan berbareng.
"Cis, tidak tahu malu!" Sin Tjoe berludah. Ia muak menyaksikan kelicikan orang.
Ouw Bong Hoe berkelit mundur, sambil tertawa, ia kata: "Jikalau dia tidak diberi
kan ketika untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, biarnya dia kalah dia
tidak bakal puas! emdash Baiklah, mari aku belajar kenal sama ilmu silatmu yang
katanya paling liehay di kolong langit ini ialah Hoenkin Tjokoet Tjioe!"
Selagi ia berkata-kata, Bong Hoe sudah diserang dengan hebat. Rupanya adalah keb
iasaannya Tong Soen untuk menutup kata-
katanya sendiri dengan serangan, untuk separuh membokong kepada lawannya, guna
membikin lawan kaget dan gelagapan. Tujuh atau delapan kali dia menyerang saling
susul.
"Baiklah kita main-main dengan tangan kosong!" berkata Ouw Bong Hoe kemudian ser
aya ia ambil kesempatan membawa pedangnya ke mulut, untuk digigit. Hingga dengan
begitu ia jadi melawan tangan kosong tanpa senjata. Ia sudah lantas menbuyarkan
setiap serangan si lawan. Tentu saja, dengan sikapnya ini, ia jadi sudah mengal
ah terhadap Law Tong Soen.
Komandan Gielimkoen itu tidak ambil mumat orang bilang apa, dengan membungkam ia
melanjutkan serangannya, dengan pelbagai
jurusnya, mencoba
yang satu dari yang lain, karena sampai sebegitu jauh semua serangannya dapat di
punahkan lawan. Ia juga menggunai kedua kakinya di mana ada kesempatan. Nampakny
a ia liehay sekali, hebat setiap serangannya itu.
Ouw Bong Hoe berlaku sangat lincah. Ia menyingkir setiap kali serangan datang. I
a pun tidak sudi kasi dirinya dirapatkan.
Kalau ada ketikanya baharulah ia menyerang.
Tanpa merasa dengan lekas mereka telah lewatkan kira lima puluh jurus.
Hati Tong Soen menjadi panas berbareng cemas. Tidakkah sia-sia belaka semua peny
erangannya yang sudah-sudah itu?
"Ouw Bong Hoe, kau tidak berani menyambuti
tanganku!" kemudian ia berkata dengan sengit. "Dengan bertempur cara begini,
sampai kapan nanti achirnya?"
Ouw Bong Hoe tidak menjadi gusar, sebaliknya ia tertawa.
"Aku mengalah dengan membiarkan kau main-main lebih banyak dari selayaknya!" ia
menyahuti dengan
manis. "Apakah kau tidak sudi terima kebaikanku ini? Jikalau aku berniat meroboh
kan kau, tidak usah sampai aku gunai satu tanganku!"
Oleh karena mulutnya sedang menggigit pedang, suaranya Ouw Bong Hoe tidak terden
gar terang, dan karena ia berbicara saja, dadanya telah terbuka. Ketika itu ia t
engah mengegos tubuh ke samping.
"Kena!" Tong Soen berseru seraya kedua
tangannya dikeluarkan, tangan kirinya lebih dulu, tangan kanannya menyusul, teta
pi kenyataannya, tangan kananlah yang menyerang hebat. Lagi-lagi dia gunai ketik
anya separuh membokong itu, sebab lawannya tengah membuka suara. Tangan kanannya
itu, yang jari-jarinya dibuka, menyambar bagaikan cengkraman. Sebab inilah sala
h satu serangan terliehay dari ilmu silatnya itu, Hoenkin Tjokoet Tjioe, ilmu pe
ranti mematahkan tulang. Siapa terkena itu, kontan dia bakal bercacad.
Kembali Sin Tjoe kaget. Ia merasakan berbahayanya serangan orang she Law itu. Ia
pun tidak mengarti kenapa Ouw Bong Hoe menjadi demikian alpa, berbicara tanpa k
ewaspadaan.
Law Tong Soen berseru kena membarengi serangannya itu, tepat seruannya itu. Ia b
erhasil mengenai
sasarannya. Hanya, ketika jari-jari tangannya baharu nempel di baju, dia telah d
ipapaki sentilan oleh Ouw Bong Hoe, yang tidak berkelit atas serangan yang lieha
y itu.
"Aduh!" Tong Soen menjerit seraya dia lompat mundur setombak lebih.
Ouw Bong Hoe mengawasi orang,
sembari tertawa ia kata: "Kau dapat bertahan untuk sebuah jeriji tanganku ini, k
au hebat. Baiklah, aku beri ampun padamu dari kematian! Sekarang pergi kau pulan
g, untuk merawat diri selama tujuh hari. Mengenai pedang ini, suka aku meneriman
ya!"
Ia angkat tangan
kirinya, di situ nyata tambah sebuah sarung pedang. Ialah sarung pedang mustika
dari istana, yang tadi tergantung di pinggangnya komandan Gielimkoen itu. Sebab
barusan, selagi sebelah tangannya menyentil, tangan yang lain menjambret ke ping
gang lawan itu.
Law Tong Soen kaget bukan main ia mati kutunya, di saat Ouw Bong Hoe memasuki pe
dang ke dalam sarung, ia telah kabur hingga bayangannya pun lantas tak nampak la
gi.
Sin Tjoe girang tidak terhingga, ia lantas bertindak cepat meng-hampirkan orang
she Ouw itu untuk mengunjukkan hormatnya, begitupun kepada Lim Sian In.
Kimkauw Siantjoe tertawa ketika ia ulur
tangannya menarik
tangan si nona.
"Kau menjadi besar hingga mirip dengan In Loei dahulu hari!" berkata nyonya ini.
"Juga soebo-mu itu dulu senantiasa menyamar sebagai pemuda, dia merantau sepert
i kau sekarang ini! Lihat, Bong Hoe, bagaimana bagus muridnya Tan Hong! Kita sen
diri sayang tidak punya rejeki sebagai dia. Bagi kita seperti juga dunia ini leb
ar luas akan tetapi murid yang berbakat baik dirampas lain orang!..."
Sin Tjoe tidak perhatikan pembicaraan suami isteri itu, ia hanya heran kenapa or
ang segera mengenali ia sebagai pemudi.
"Peehoe dan peebo ," ia tanya, "soehoe dan soebo pergi ke Tjhong San, apakah pee
hoe dan peebo bertemu de-
ngan mereka?"
Ouw Bong Hoe tertawa.
"Jikalau kami tidak bertemu sama mereka itu, tidak nanti kami datang ke Kanglam
ini," sahutnya. "Kau tahu, soebo-mu itu telah mendengar kabar kau, turut dalam p
asukan rakyat suka rela, ia menjadi girang berbareng kuatir. Ia berkuatir karena
hatinya
memikirkan kau, takut-takut kalau kau gagal. Aku tidak nyana, semuda kau ini, ka
u telah dapat mewariskan kepandaian gurumu, sampai Law Tong Soen si bangsat tua
itu barusan tidak sanggup berbuat apa-apa terhadapmu. Sungguh, kau harus diberi
selamat!"
Lim Sian In sembari tertawa pun berkata: "Kalau nanti kami pulang akan
aku mengasi keterangan pada soehoe
dan soebo-mu itu
tentulah mereka bakal jadi girang sekali, hingga selanjutnya so
ebo-mu itu tak usah bercemas hati lagi."
Sin Tjoe tertawa, ia gembira sekali.
"Aku pun berniat pergi ke gunung Tjhong San di Inlam itu untuk memberi selamat p
ada thaysoetjouw di harian ulang tahunnya!"
katanya.
"Itulah baik," mengatakan Lim Sian In.
"Aku berniat mencari Tjio Keng To," kata Ouw Bong Hoe kemudian. "Kabarnya dia be
rada di dalam pasukan rakyat, benarkah itu?"
"Benar," Sin Tjoe menjawab lekas.
"Sebenarnya aku belum pernah bertemu muka dengan dia itu," Bong Hoe berkata pula
. "Kedatanganku ini
adalah Tan Hong yang
menyuruhnya aku pergi ke Kanglam untuk menemui dia, maka kebetulan sekali sekara
ng aku dapat merampas pulang pedangnya itu, pedang ini dapat dijadikan persembah
an perkenalan untuknya. Bagaimana kalau aku minta kau yang mengantarkan aku meng
unjungi dia?"
"Aku kuatir sekarang ini Tjio Lootjianpwee sudah tidak ada di sini," Sin Tjoe me
ngutarakan dugaannya. "Mungkin sekali ia telah pulang ke rumahnya di Taytjioe."
"Kenapa maka pedangnya ini bisa berada di tangannya Law Tong Soen?" tanya Bong H
oe tak mengarti.
"Itulah ada sebabnya," sahut Sin Tjoe, yang terus menuturkan duduknya hal.
Ouw Bong Hoe tertawa.
"Memang juga heran, dengan kepandaiannya itu, Law Tong Soen dapat merampas pedan
g dari tangan Tjio Keng To," ia berkata. "Tadi malam karena aku belum tahu hal i
chwalnya Tong Soen itu, aku cuma giring dia dengan paksa ke wilayah tentera raky
at ini, untuk mencari keterangan, maka beruntung aku bertemu denganmu. Karena Tj
io Keng To tidak ada di sini, percuma aku mensia-siakan tempo."
Sin Tjoe pun beranggapan itu benar.
"Peehoe," katanya kemudian. Tiba-tiba ia ingat suatu apa. "Kalau Peehoe
kembalikan
pedang ini kepada Tjio Lootjianpwee, pasti sekali ia tidak dapat menerimanya, it
u malah menambahkan kedukaannya."
"Habis bagaimana?" Ouw Bong Hoe tanya. Ia tua tetapi tidak sungkan ia menanya ya
ng terlebih muda. "Pedang ini pedang mustika, mesti ada pemiliknya yang cocok. A
ku sendiri tidak membutuhkan ini."
"Kalau peehoe sudi, serahkan saja padaku," Sin Tjoe minta langsung. "Nanti aku s
erahkan pada orang yang tepat."
Bong Hoe setuju.
"Kau benar," katanya. "Menurut katamu tadi, Tjio Keng To ada punya satu murid sh
e Tiat, apakah pemuda itu pantas memiliki pedang ini?"
Wajahnya Sin Tjoe merah sendirinya.
"Aku tidak akan berikan pedang ini kepadanya," ia kata.
Ouw Bong Hoe lantas serahkan pedang mustika itu.
"Sekarang mari lekas kita berangkat!" Lim Sian In mengajak. "Lebih dulu kita car
i Tjio Keng To, baharu Yang Tjong Hay. Kita harus lekas-lekas menyelesaikan tuga
s kita supaya kita tidak terlambat pulang untuk memberi selamat kepada Hian Kie
Itsoe."
Sin Tjoe heran.
"Peehoe dan peebo hendak cari Yang Tjong Hay?" ia bertanya.
"Benar," Bong Hoe menyahuti. "Orang she Tjio dan orang she Yang itu,
bersama-sama kita, menjadi apa yang disebut Soetay Kiamkek. Tentu sekali, j
ulukan itu adalah pujian kaum kangouw belaka, maka itu, kami ingin seka
li membuktikan
benar atau tidaknya pujian itu."
Mendengar itu, dengan menjebi, Sin Tjoe kata: "Yang Tjong Hay
itu tidak layak menjadi salah satu Tay kiamkek, jago silat yang terbesar seperti
peehoe bertiga!"
"Benarkah itu?" Bong Hoe menegaskan.
"Apakah kau pernah bertempur dengannya?"
"Menurut pandanganku, dia hanya kurang lebih sama dengan Law Tong Soen," kata si
nona tanpa menjawab langsung.
"Kalau begitu, urusan sulit!" kata Bong Hoe, yang romannya jadi bersungguh-sungg
uh.
Sin Tjoe menja- di heran sekali.
"Kenapa begi- tu, peehoe?" ia tanya. "Sebenarnya ada urusan apakah?"
"Kalau dia sudah demikian kosen, pasti orang yang berdiri di belakangnya liehay
luar biasa!" sahut Bong Hoe, kembali tidak langsung.
Sin Tjoe menjadi bertambah heran.
"Apakah benar ada orang yang terlebih liehay daripada Siangkoan Lootjianpwee?" i
a tanya lagi.
Ouw Bong Hoe tertawa.
"Kau harus keta- hui itu pembilangan, di luar langit ada langit lainnya, di samp
ing orang gagah ada lagi yang terlebih gagah. Tentang ini sukar diberikan kepast
iannya," ia menjawab. "Yang Tjong Hay itu ada orang dari partai Tjekseng Pay tin
gkat kedua, bahwa dia berani main gila, di belakangnya mesti ada orang yang dia
buat andalan..."
Hati Sin Tjoe terkesiap. Memang gurunya pernah omong tentang Tjekseng Tjoe pendi
ri dari partai Tjekseng Pay itu, bahwa Tjek Seng Tjoe ada seorang Rimba Persilat
an yang liehay, bahwa tiga kali Tjek
Seng Tjoe pernah datangi Hian Kie Itsoe, thaysoetjouw-nya itu. Tentang kunjungan
itu Tan Hong, gurunya, menerangkan: Pertama kali dia datang, Tjek Seng Tjoe tel
ah diajak Hian Kie Itsoe, kakek guru itu, masuk ke kamar samedhi, di sana satu h
ari dia diajak berdiam. Pada kunjungannya yang kedua, dia diajak bersamedhi dua
hari. Dan pada yang ketiga kali, dia diajak mengeram diri tiga hari. Ketika itu
dari murid-muridnya Hian Kie Itsoe, cuma ada Tang Gak seorang tetapi murid ini d
iperintah menanti di luar saja ia dilarang masuk ke dalam kamar katanya nanti me
ngganggu mereka berdua. Maka itu Tang Gak pun tidak ketahui apa yang gurunya dan
Tjek Seng Tjoe itu lakukan. Kalau mereka
mengadu ilmu silat, dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa. Yang jelas a
dalah, setiap kali Tjek Seng Tjoe keluar dari kamar samedhi, dia selalu tunduk d
an romannya kucel. Sejak kunjungan yang ketiga kali itu, tidak pernah Tjek Seng
Tjoe datang pula. Di kunjungan yang ketiga kali itu, di waktu mana mereka berdia
m tiga hari di dalam kamar, keduanya tidak pernah minum air seceguk juga.
"Mungkinkah orang liehay yang Ouw Peehoe bilang ini Tjek Seng Tjoe adanya?" Sin
Tjoe menduga. Tapi karena orang agaknya terburu-buru, ia tidak berani menanyakan
keterangan.
Bertiga mereka lantas berpisah. Seberlalunya suami isteri itu, baharu Sin Tjoe p
eriksa pedang mustika dari istana itu.
Ia dapatkan dua ukiran huruf "Tjie Hong." Itulah rupanya, namanya
pedang itu, yang samar-samar mengeluarkan sinar biru muda.
Kapan ia ingat kejadian semalam, nona ini menghela napas. Ia lihat hari sudah ja
di terang sekali, matahari mulai naik tinggi, di laut tertampak sinar berkilauan
seperti emas. Dari tangsi tentera rakyat ia pun mendengar suara terompet. Ia ti
dak mau berdiam lebih lama, lantas ia berangkat.
Belum lama, Sin Tjoe mendapat dengar suara tindakan kaki kuda mendatangi dari ar
ah belakangnya, ia lantas saja menoleh. Ia lihat sepasang muda-mudi, yang lari m
engaburkan kudanya ke arahnya. Ia pun lantas mengenali Seng Hay San dan Tjio Boe
n Wan. Karena di antara mereka tidak ada
Yap Tjong Lioe atau Pit Kheng Thian, hatinya menjadi lega, ia lantas memutar tub
uh, untuk menyambut mereka itu.
"Aku bilang bocah ini bukan orang baik-baik, soeko, kau masih tidak percaya!" te
rdengar suaranya Nona Tjio. "Eh, mengapa kau pergi dengan diam-diam?"
Justeru orang telah datang dekat padanya, Sin Tjoe dengar nyata suaranya nona it
u. Ia mengarti perkataan serta pertanyaan itu diartikan dan dimajukan kepadanya.
Ia lantas angkat pedangnya, ia tertawa sedih, karena tak tahu ia bagaimana haru
s memulai membuka pembicaraan.
Setibanya, Boen Wan agaknya tercengang, dia mengawasi saja pemudi yang menyamar
sebagai pemuda itu.
"Apa? Kau seorang wanita?" kemudian dia
tanya, heran.
Sin Tjoe terkejut. Ia lekas memeriksa dirinya. Segera ia dapat kenyataan, ujung
rambut di dekat kupingnya telah meroyot turun. Setahu kapan, ikat kepalanya tela
h terbuka di pinggiran itu. Mungkin itu disebabkan
terjambret Law Tong Soen atau kebentur sela-sela batu tadi. Sekarang pun ia sada
r kenapa Ouw Bong Hoe mengenali penyamarannya itu, ialah dari rambutnya itu.
Boen Wan sekarang mengarti kenapa orang berlaku ceriwis kepadanya.
Achir-achirnya Sin Tjoe bersenyum. Tenang hatinya sekarang.
"Adik, kau ambil pedang ini," kata ia, manis. Dengan "adik" ia artikan adik pere
mpuan.
Boen Wan heran. Ia kenali pedang ayahnya
itu. Ia sampai lupa menegaskan orang sebenarnya priya atau wanita.
"Kenapa pedang ayah berada di tanganmu?" dia menanya kemudian.
"Janganlah kau menanya, kau terima saja pedang ini," Sin Tjoe bilang. "Kau angga
p saja bahwa ini ada persembahanku untukmu. Sekarang ini ayahmu ada sangat berdu
ka, ia memerlukan kau mendampinginya untuk menghiburi. Baik kau lekas pulang unt
uk menjenguknya. Aku pun hendak pergi. Adik Boen Wan, kau harus baik-baik merawa
ti ayahmu itu, kau mesti
menghiburi dia hingga hatinya menjadi lega..."
Sin Tjoe bicara dengan sungguh-sungguh, hingga ia mirip dengan gadisnya Keng To
sendiri, maka itu, hati Boen Wan tergerak,
lenyaplah kecurigaannya. Ia jadi ingat ayahnya hingga ia berkuatir, ingin ia seg
era pulang. Ia menyambuti pedang itu.
"Terima kasih!" ia mengucap, lalu ia ajak Hay San mengasi lari kuda mereka.
Sin Tjoe mengawasi orang pergi sampai mereka itu lenyap dari pandangan mata, lal
u ia menghela napas.
"Bocah ini tajam matanya," katanya di dalam hatinya. "Seng Hay San ini menang da
ripada soeheng-nya\"
Hay San nampaknya tolol, ia tak secerdik Keng Sim, yang romannya pun tampan. Tad
inya Sin Tjoe heran kenapa Boen Wan pilih pemuda itu, sekarang baharu ia mengart
i. Sendirinya ia menjadi berduka. Beberapa
bulan ia berada bersama Keng Sim, sekarang
semua itu lenyap bagaikan impian...
Nona ini angkat kepalanya, dongak melihat langit, ia dapatkan matahari merah tel
ah naik semakin tinggi. Ia berpaling ke arah laut, ia tampak air laut bergemirla
p bagaikan kaca. Hari itu benar-benar indah. Di antara langit biru terlihat buru
ng-burung walet laut berterbangan.
Sedetik itu, ia sadar akan dirinya, maka lantas ia buka tindakan kakinya, untuk
melanjuti perjalanannya yang telah tertunda sekian lama.
Beberapa hari kemudian, Sin Tjoe mulai menyeberang di sungai Tiangkang. Ia naik
sebuah perahu yang menyusur gelombang. Di tengah-tengah sungai, pikirannya melay
ang. Di luar kehendaknya, ia terbayang kepada saat-
saat pertama dari pertemuannya dengan Tiat Keng Sim. Saat-saat itu telah lantas
lenyap mengikuti aliran sungai...
Kuda Tjiauwya Say-tjoe ma telah dititipkan di rumah Thio Hek di tepi sungai Tian
gkang, setibanya di seberang, Sin Tjoe sudah lantas menuju ke rumah orang she Th
io itu. Ia girang akan mendapatkan
kudanya tidak kurang suatu apa, malah nampaknya lebih segar, berkat rawatan yang
sempurna. Binatang itu pun gembira menemui majikannya. Maka Sin Tjoe girang ber
bareng terharu. Ia tahu, begitu banyak ia kenal orang, sahabatnya paling kekal a
dalah kuda jempolan ini.
Keluarga Thio Hek menanyakan urusan melawan kaum perompak, mereka girang akan
mendengar keterangan bahwa kawanan penjahat itu sudah diusir ke laut. Mereka pun
girang waktu diberitahukan, Thio Hek sendiri akan pulang tidak lama kemudian. M
ereka
lantas memuji kaum penyinta negara yang mengambil bagian dalam penindasan peromp
ak terutama mereka puji Sin Tjoe, mendengar mana si nona sendiri terharu berbare
ng
jengah.
Di rumah Thio Hek ini si nona tidak berdiam lama, cuma semalaman, lalu besoknya
pagi ia berangkat menuju ke barat, meninggalkan wilayah Kanglam yang permai itu.
Selang sebulan lebih, tibalah ia di daerah pegunungan Kioe Leng di barat daya.
Di sini ia melihat pemandangan alam
yang beda dengan Kanglam. Kalau Kanglam
ada bagaikan nona-nona manis, barat daya ini seperti pemuda-pemuda sederhana. Ti
ba-tiba ia dapat suatu perasaan aneh. Ia ingat Keng Sim dan Tjong Lioe, ia umpam
akan Keng Sim sebagai bunga bouwtan di taman di Kanglam, dan Tjong Lioe seperti
pohon cemara di tanah datar kedua propinsi Inlam atau Koeitjioe.
Nona ini melanjutkan perjalanannya. Ia hendak melintasi Koeitjioe menuju ke Inla
m. Di Koeitjioe ia tampak gunung jauh terlebih banyak, puncaknya berentet-rentet
begi-tupun rimbanya, rimba cemara yang lebat. Di mana saja, ia dapat mendengar
nyanyian kaum wanita suku bangsa Biauw dan melihat wanita bangsa itu bekerja di
sawah ladang, bekerja rajin dan
ulat seperti priya. Mereka itu sangat berbeda dari nona-nona Kanglam yang sepert
i tak pernah keluar rumah.
Sin Tjoe dandan sebagai pemuda, melihat sikap wajar dari wanita Biauw itu, ia li
kat sendirinya, maka ia cari tempat sunyi di mana ia salin pakaiannya, untuk kem
bali menjadi seorang nona.
Orang Biauw senang sekali menyambut tetamu asing, di tengah jalan di mana ada pe
seban peranti beristirahat, tentu-tentu ada disediakan air minum yang diambil da
ri sumber di kaki gunung serta tjauwee, ialah sepatu rumput, untuk kaum pelancon
g melenyapkan dahaganya atau menukar sepatunya yang rusak. Sekalipun keluarga
miskin, kalau mereka kedatangan tetamu,
perlu sekali mereka melayani tetamunya supaya menjadi puas. Karena ini, sebagai
satu pemudi, Sin Tjoe tidak nampak kesulitan dalam perjalanannya ini.
Setelah berjalan
setengah bulan, ia tiba di barat Koeitjioe di tempat yang disebut Yamatjoan. Dar
i situ, lagi enam atau tujuh hari, ia akan melintasi wilayah bangsa Biauw itu da
n akan sampai di batas propinsi Inlam.
Sore itu Sin Tjoe menumpang di rumah seorang Biauw di mana cuma ada dua penghuni
nya, ibu dan puteranya, tetapi si putera bekerja di rumah touwsoe, kepala suku b
angsa, maka itu, tinggallah si ibu seorang diri. Nyonya ini menyembelih seekor a
yam semengga-mengganya untuk menyuguhkan tetamunya. Sin Tjoe
malu hati, ia membantui memasak beras.
Di Koeitjioe Barat, orang Han dan Biauw hidup bercampuran, dari itu ada banyak o
rang Biauw yang dapat berbicara Tionghoa, demikian nyonya rumah ini, meskipun ia
tidak dapat bicara lancar, perkataannya masih dapat di mengerti Sin Tjoe. Dari
itu mereka dapat memasang omong.
Habis bersantap, nyonya rumah dan tetamunya duduk di luar rumah di bawah sebuah
pohon. Nyonya itu senang sekali terhadap tetamunya, ia cekal tangan si nona sera
ya berkata : "Banyak aku melihat nona-nona
bangsa Han, cuma kau yang melebihkan cantiknya wanita Biauw yang tercantik! Liha
t tanganmu, begini halus dan putih, seperti kepunyaan tuan puteri
dalam ceritera saja?"
Sin Tjoe likat dipuji, dengan bersenyum
malu-malu ia kata: "Mana dapat aku dibanding sama nona-nona bangsamu? Mereka itu
pandai sekali bekerja, masak nasi, bercucuk tanam dan bersulam. Aku justeru san
gat mengagumi mereka..."
Nyonya itu tertawa.
"Berapa usia kau, nona?" ia tanya.
"Tujuh belas tahun," menjawab Sin Tjoe.
"Sudah punya mertua atau belum?"
"Tidak," sahut Sin Tjoe, mukanya merah.
"Kita di sini, pemudi umur tujuh atau delapan belas tahun jarang sekali yang bel
um menikah," berkata
nyonya rumah, "apa pula yang cantik seperti kau, yang melamar tentulah siang-sia
ng datang mendobrak pintu!"
"Masih begitu muda sudah menikah?"
Sin Tjoe menanya begitu tanpa ia mengetahui, di jamannya itu, sudah umum nona Ha
n menikah dalam usia seperti itu. Ia tidak tahu sebab ia mengutamakan ilmu silat
, perhatian tidak sampai kepada soal usia pernikahan.
Tengah mereka memasang omong, tiba-tiba kuping mereka mendengar suara
tetabuan yang merdu, yang tercampur nyanyian nona-nona Biauw. Sin Tjoe tidak men
garti kata-kata nyanyian itu tetapi lagunya menarik hatinya, lagu itu seperti be
rirama asmara.
"Pernahkah kau menyaksikan upacara nikah orang Biauw?" si nyonya tanya. Ia terta
wa.
"Belum," menya- hut Sin Tjoe, dengan hati-
nya ketarik. "Mari kita lihat!"
Nyonya itu lantas ajak tetamunya pergi ke jalan dari mana suara tetabuan d
atang.
Melewati sebuah bukit, di sana ada satu tanah datar berumput yang luas, di tanah
datar itu, mengitari segerombolan pohon bunga, sejumlah nona Biauw berlari-lari
mengitarinya, menari dan bernyanyi gembira sekali. Di antaranya ada yang memain
kan
tetabuan berikut seruling, yang lagunya merdu.
Selagi Sin Tjoe mengawasi dengan hati tertarik, tiba-tiba dua pemuda Biauw meng-
hampirkan ia, mereka membungkuk dan
bersenyum, terus
mereka pentang kedua tangan mereka seraya datang lebih dekat dengan berebut.
"Apakah artinya ini?"
Sin Tjoe tanya heran.
Sebelum mereka itu menyahuti, si nyonya sudah bicara dalam bahasa Biauw kepada m
ereka itu, lantas mereka berlalu, romannya kecele.
Si nyonya memetik dua tangkai bunga putih ia tancap itu di rambut si nona dekat
kupingnya, sembari bersenyum ia kata: "Siapa suruh kau begini cantik, sampai boc
ah-bocah itu berebutan mengajak kau menarikan bunga?"
"Apa itu menarikan bunga?" Sin Tjoe tanya.
"Bukankah itu menarikan bunga?" si nyonya balik menanya seraya tangannya
menunjuk ke depan, kepada nona-nona dan pemuda-pemuda yang tengah menari di anta
ra bunga-bunga seraya memainkan tetabuan. Malah segera juga mereka itu berpa
sangan,
terus menari dan bernyanyi.
"Sungguh menarik!" kata Sin Tjoe tertawa. "Sayang aku tidak bisa bernyanyi dan m
enari!"
"Aku tahu kamu nona-nona Han pema-luan, maka itu aku tancapi bunga di rambutmu!"
berkata si nyonya sambil tertawa.
"Dengan menaruh tanda bunga ini, orang jadi tidak datang mengajak menari?" Sin T
joe tanya pula.
"Benar. Itu artinya orang sudah punya kekasih tetapi kekasihnya tidak hadir di s
ini, kau jadi cuma datang untuk menonton.
Jangan kau gusar, nona, tanpa kau berbuat begini, bagaimana juga kau tidak dapat
menampik bocah-bocah itu, pasti mereka tidak mau mengarti. Eh ya, sebenarnya ka
u sudah punya kekasih atau
belum?"
Parasnya Sin Tjoe merah dengan mendadak. Tanpa merasa, ia menjadi kesepian. Tapi
tetabuan dan nyanyian menggema di kupingnya. Tidak lama, ia menjadi biasa pula,
ia kembali bergembira.
Sang Puteri Malam makin lama naik makin tinggi. Jumlah pasangan muda-mudi pun ta
mbah makin banyak. Saban-saban ada pasangan, yang bergandengan tangan masuk ke t
empat pepohonan lebat, seperginya mereka, tempatnya lantas
diambil lain pasangan. Begitu seterusnya,
bergantian.
"Beginilah kebiasaan kami mencari pasangan!" kata si nyonya sambil tertawa. "Ini
pun tanda dari suatu pernikahan."
Sin Tjoe likat tetapi ia tertarik hatinya.
"Pernikahan?" tanyanya. "Mana nona pengantinnya?"
"Segera dia akan muncul!"
Lewat sesaat lalu tertampak dua orang laki-laki dengan baju kembang dan panjang
muncul seraya menuntun seekor kerbau, mereka jalan mengitari gelanggang, lantas
mereka disambut tampik sorak, terus mereka dirubungi sejumlah
priya, yang mengepung kerbau itu, yang diikat ke empat kakinya, kemudian muncul
seorang sebagai dukun, dengan kampak dia mengampak tiga kali kepala kerbau itu,
setelah binatang itu tak sadarkan diri, pemuda-pemuda itu lantas berebut mengese
t
kulitnya, memotong dagingnya, untuk dipanggang di situ juga. Sebab inilah u
pacara
mereka yang disebut "Memukul kerbau."
"Habis memukul kerbau, sepasang mempelai segera akan datang!" si nyonya
berkata kepada tetamunya.
"Siapa itu yang ada hajat?" tanya si nona. "Begini ramai!"
"Orang miskin mana bisa menyembelih
kerbau demikian gemuk? Inilah touwsoe kami yang menikahkan
puterinya."
Baharu sekarang si nyonya mengasi keterangan, maksudnya akan menggirangkan tetam
unya.
Sin Tjoe benar-benar bergembira. Ia lantas memasang mata, menanti mempelai.
Tiba-tiba tetabuan berhenti, tanah datar menjadi sunyi. Lalu terlihat delapan pa
sang bocah priya dan wanita mengiringi sepasang mempelai. Pengantin
perempuan memegang payung kertas kembang mentereng, dan
pengantin laki-laki memakai bunga besar di dadanya, hingga separuh mukanya kena
teralingi. Di tanah datar, mereka disambut dengan tampik sorak. Pengantin peremp
uan lantas menyerahkan payungnya pada pengiringnya, dan pengantin laki-laki ada
orang yang menyingkirkan bunganya itu, untuk dikasi pakai pada bakal isterinya.
Sekarang terlihat tegas wajah si mempelai laki-laki itu. Melihat dia, Sin Tjoe b
erdiri terbengong, hingga hampir ia tidak mempercayai
matanya. Pengantin itu adalah Siauw Houwtjoe!
Baharu satu ta- hun Sin Tjoe tidak melihat Siauw Houwtjoe, dia telah jadi lebih
tinggi dan besar banyak, akan
tetapi dibanding sama pengantin perempuan, dia masih terlebih kate.
Nona Ie menjadi heran sekali. Siauw Houwtjoe menjadi
pengantin orang Biauw! Coba suasana tidak demikian rupa, mau ia percaya bocah it
u tengah bersandiwara. Bukanlah Siauw
Houwtjoe memangnya gemar bergurau? Kenapa si bocah menikah? Bukankah dia telah p
ergi mengikuti Hek Pek Moko? Kenapa dia berada di sini dan sendirian saja? Ke ma
na perginya Hek Pek Moko? Kenapa puteri touwsoe menikah sama Siauw Houwtjoe?
Pusing kepala si nona. Tidak dapat ia menjawab semua
pertanyaan itu.
"Kenapa, eh?" si nyonya tanya, tertawa. "Kau sangat heran? Mempelai laki-laki it
u ada
orang bangsamu!"
"Kenapa bocah itu datang kemari?" Sin Tjoe tanya. "Kenapa touwsoe menikahkan put
erinya dengannya? Tahukah kau sebabnya?"
Nyonya itu menggeleng kepala sambil tertawa.
"Kami penduduk biasa, mana kami dapat campur tahu urusan keluarga touwsoe?" dia
menjawab. "Dulu-dulu memang tidak banyak pernikahan campuran Han dan Biauw tetap
i sekarang sudah umum, tidak aneh lagi!"
Tentu saja, Sin Tjoe bukan heran akan halnya pernikahan
campuran, hanya kenapa Siauw Houwtjoe berada sendirian dan kenapa dia menikah sa
ma puteri ketua suku Biauw itu.
"Kau bilang mempelai laki-laki bocah bukankah di kalangan bangsa-
mu ada isteri bakal sejak masih kecil?" tanya si nyonya. Tapi pun kebiasaan ini
berlaku di antara bocah umur dua tiga tahun sudah dinikahkan dan bakal isterinya
lebih tua belasan tahun, "isteri" itu diambil, untuk merawati suami ciliknya, h
ingga ia mirip ibu merawati anak.
"Puteri touwsoe tahun ini berusia enam belas," berkata pula si nyonya, "dia dini
kahkan sebab menurut dukun, jodohnya cocok sekali. Mempelai ini berumur empat be
las, jadi usia mereka tidak beda banyak."
Pemuda-pemuda Biauw itu telah memanggang matang daging kerbaunya, mereka
dahar itu sambil minum arak, mereka gembira sekali, saban-saban mereka bersorak.
"Dalam pesta pernikahan kami, tetamu tak usah diundang lagi," berkata si nyonya.
"Kau pun boleh turut dahar daging panggang itu."
"Ah, aku tidak lapar."
"Kalau kau tidak dahar daging atau tidak minum arak, itu artinya kau tidak membe
ri muka pada tuan rumah," si nyonya mengasi tahu. "Baiklah, kau tentu malu berca
mpuran sama
anak-anak itu, nanti aku yang ambilkan."
Sin Tjoe tidak per-dulikan nyonya itu, ia hanya mengawasi
Siauw Houwtjoe. Ia menjadi lebih heran mendapatkan bocah itu diam saja, matanya
juga mengawasi hanya kesatu jurusan. Siauw Houwtjoe tidak lincah lagi seperti bi
asanya, dia malah mirip boneka kayu, dia dapat orang perbuat sesukanya. Dari her
an, si nona jadi ber-
cunga.
Tiba-tiba seorang pemuda Biauw bernyanyi dalam bahasa Tionghoa:
"Puteri Malam di atas langit dikawani mega dadu yang indah permai, burung hong d
i muka bumi bagaimana dapat dipasangi burung gaok? Haha! Nona yang begini cantik
kenapa dijodohkan baba begini jelek?"
Sebagai sambutan, seluruh hadirin bersorak ramai.
Sembari bernyanyi, orang itu muncul dari antara orang banyak. Melihat dia itu, S
in Tjoe kata dalam hatinya: "Hm! Kau katakan Siauw Houwtjoe si baba jelek tapi s
ebenarnya dia jauh lebih ganteng dari padamu!"
Pemuda itu bermuka merah tidak keruan
akibat banyak minum arak, rupanya menjadi jelek. Dia mengham-pirkan Siauw Houwtj
oe, dia mengusap pipi orang seraya berkata: "Baba kecil, mari aku lihat gigimu s
udah tumbuh semua atau belum?"
Siauw Houwtjoe diam saja, cuma mendadak tangannya terangkat.
"Plok!" demikian satu tamparan, atas mana pemuda jail itu menjerit kesakitan, tu
buhnya terpental roboh, dua buah giginya copot berdarah!
Para hadirin ribut tertawa.
Lalu seorang lagi bernyanyi:
"Inilah binatang kielin dipasangi dengan
burung hong, bukannya burung hong direndengi dengan gaok!"
Sin Tjoe bisa melihat, kalau tadinya orang ber-
sikap menggoda Siauw Houwtjoe, sekarang mereka itu dipengaruhi rasa heran dan ka
gum.
Si nyonya sementara itu telah membawa datang sebuah lodong arak serta sepotong d
aging kerbau. Ia serahkan semua itu kepada tetamunya.
"Bocah itu sudah sinting, kalau tidak, tidak nanti dia main gila seperti barusan
," katanya.
"Siapa bocah itu?"
"Dia anaknya salah satu kepala di bawahan touwsoe. Memang
sudah lama dia gilai puteri touwsoe malah pada tahun yang lalu, dia telah menari
bunga sama puteri itu. Nampaknya puteri pun menyukai bocah itu. Setahu kenapa s
ekarang mendadak touwsoe jodohkan puterinya
pada bocah Han ini yang tidak terang asal-
usulnya. Bocah ini rupanya tidak puas, dia minum banyak arak, lalu dia menggoda.
Ha, bocah Han itu liehay! Kau tidak tahu, nona, bocah jail itu ada seorang kose
n di antara pemuda-pemuda kami!"
Sin Tjoe berdiam tetapi kecurigaannya bertambah. Siauw
Houwtjoe baru berumur empat belas tahun, tak tahu dia urusan pernikahan. Kalau d
ia tidak setuju, dengan kepandaian yang ada padanya, siapa dapat memaksa dia? Se
karang kenapa dia diam saja? Kenapa dia mau diren-dengi sama pengantin perempuan
ini? Kenapa dia bisa menghajar pemuda jail itu?
Itu waktu ada terdengar orang meniup terompet tanduk kerbau yang panjang, hingga
beberapa kali, lalu tertampak sebarisan
tukang musik.
"Upacara nikah sudah dimulai!" berkata si nyonya.
Seorang tetua Biauw mengambil dua buah cawan tanduk, semuanya diisikan arak dica
mpur darah kerbau, lalu orang tua itu berseru sebagai
menyanyi: "Minum arak perpaduan dua cawan, saling menyinta sampai di hari tua!"
Terus dua cawan itu dibagi kepada mempelai.
Nona pengantin menyambut dengan malu-malu, baba pengantin tetapi menyentil cawan
seraya berkata dengan nyaring: "Ayahku telah memesan, sebelum aku dewasa, aku d
ilarang minum arak!" Dan cawan itu mental tinggi, araknya tumpah berhamburan. Ma
ka basahlah si orang tua pemimpin upacara itu!
Tak tahan lagi, Sin
Tjoe tertawa. Bukankah lucu Siauw Houwtjoe masih ingat pesan ayahnya itu?
Tetua itu terkejut. Tumpahnya arak campur darah itu beralamat buruk.
Sin Tjoe terus tertawa di dalam hati, ingin ia menyaksikan lebih jauh.
"Kasikan lagi dia satu cawan!" tiba-tiba satu suara dalam dan seram, lalu orangn
ya muncul. Dia mirip orang Han akan tetapi dandan sebagai orang Biauw, usianya e
mpat puluh lebih, romannya bengis. Dia yang memerintah tetapi dia sendiri yang m
enyiapkan arak
campur darah itu, ia sendiri juga yang membawa ke depan si baba pengantin, terus
dia mengangsurkannya.
"Aku bilang aku tidak minum arak!" Siauw Houwtjoe bilang. Menda-
dak ia menyentil pula dengan dua jari tangannya.
"Jangan main gila!" membentak si orang bengis, yang menyingkir dari itu sentilan
, menyusul mana, cangkir disesapkan ke tangan Siauw Houwtjoe, terus ia paksa men
uang ke mulut orang selagi si baba pengantin berseru.
Siauw Houwtjoe gelagapan, ia lekas menyemburkan keluar arak campur darah itu, me
ski demikian, ia dapat minum juga sedikit. Semua itu terjadi dengan cepat, hingg
a para hadirin menyangka baba pengantin meminumnya sendiri. Melainkan Sin Tjoe y
ang melihat nyata. Maka nona ini jadi terkejut. Orang itu liehay sekali, dia sud
ah menggunai tipu silat "Meminjam tenaga untuk membunuh orang," yang lebih
hebat dari tipu "Meminjam tenaga menyerang lawan."
Semua anak muda, priya dan wanita, bersorak-sorai seraya berjingkrakan. Pengirin
g pengantin lantas membuka payung, untuk memayungi pengantin perempuan, untuk
berjalan berlalu dari tanah datar itu. Siauw Houwtjoe, seperti ada yang mendoron
g,
berjalan di samping pengantinnya itu.
"Selesai sudah upacara ini!" kata si nyonya. "Sebentar di rumah touwsoe orang ak
an menggodai kedua mempelai!"
***
Sin Tjoe nelusup di antara orang banyak, untuk mengikuti kedua mempelai itu.
"Apa? Kau hendak turut mengacau di kamar
pengantin?" si nyonya tanya, tertawa. "Aku sudah tua bangka, rambutku sudah puti
h semua, tidak dapat aku turut-turutan bergurau sebagai kamu
anak-anak muda!"
"Kau letih, nyonya silahkan kau pulang lebih dulu," kata Sin Tjoe. "Upacara ini
menarik hati, sukar aku menemuinya lain kali, maka ingin aku menonton mereka men
gacau kamar kemantin..."
Upacara menggoda pengantin bangsa Biauw lebih banyak ragamnya daripada cara oran
g Han. Kedua mempelai mesti sama-sama
menggigit sebuah pinang. Mempelai laki-laki mesti membukai tutup muka mempelai w
anita. Mempelai wanita mesti bernyanyi untuk
menghaturkan terima kasih kepada tetamu-tetamunya. Dan lain-lain
lagi.
Sin Tjoe di antara orang banyak terus memperhatikan Siauw Houwtjoe saja. Ia dapa
t kenyataan sinar mata orang mendelong saja, bagai orang hilang semangatnya. Boc
ah itu menurut saja apa yang orang suruh dia lakukan.
Habis bergurau sekian lama, laki-laki yang tadi memaksa Siauw Houwtjoe minum ara
k berkata: "Cukup sudah! Mempelai laki-laki tipis kulit mukanya, kalau dia digod
a terus, nanti dia menangis!"
Orang semua tertawa riuh.
Wanita pengiring mengambil kipas, dia kasikan itu kepada Siauw Houwtjoe, yang di
suruh mengetok
pundak mempelai
wanita tiga kali.
Tiba-tiba Siauw Houwtjoe mengasi lihat roman sungguh-
sungguh.
"Dia baik sekali terhadapku, kenapa aku mesti ketok dia?" tanyanya, keras.
Mendengar itu, kembali orang banyak tertawa riuh. Wanita pengiring berbisik di k
uping mempelai laki-laki: "Inilah upacara. Kau ketok saja pelahan-pelahan tiga k
ali."
Bisikan itu seperti tidak didengar nyata Siauw Houwtjoe, sebaliknya seorang muda
di sampingnya mendengarnya, dia ini lantas berseru: "Tidak boleh! Tidak boleh.
Mesti mengetok dengan
keras, kalau tidak, itu artinya takut bini!"
Kembali orang tertawa gempar.
Matanya Siauw
Houwtjoe bersinar,
agaknya ia cemas hatinya. Mungkin ia ketahui artinya "takut bini" itu, bahwa i
tu memalui. Ia
lantas angkat kipasnya, tiga kali ia pukul pundak pengantinnya. Hebat pukulannya
itu, setiap kalinya, pengantin itu berjengit. Bahkan setelah pukulan yang ketig
a, dia berlompat, kedua matanya mengeluarkan air, parasnya berubah pucat.
Kembali orang banyak tertawa, semua memuji: "Bagus!"
Sin Tjoe terkejut. Ia tahu pukulan Siauw Houwtjoe itu hebat, pantas nona pengant
in kesakitan, melainkan dia mencoba menahan
sakit, dia dapat tidak menjerit.
Suara tertawa baharu berhenti kapan orang melihat baju di pundaknya nona pengant
in itu pecah robek, hingga terlihat kulit pundaknya. Mereka tidak berani menggod
a pula. Hanya seorang mengambil air labu, untuk disiramkan
kepada kedua mempelai bergantian.
"Ha, kau berani siram aku?" membentak Siauw Houwtjoe. Ia terus menyampuk sama
kipasnya, maka air labu itu berbalik menjeblok muka si penyiram, muncrat kepada
mereka yang berdekatan.
Kali ini suara orang riuh bahna kaget dan heran. Menyiram
dengan air labu itu ada adat kebiasaan orang Biauw, tanda pemberian selamat, mak
in basah pakaian pengantin,
makin beralamat baik katanya.
Si orang lelaki memegang lengan Siauw Houwtjoe, ia membisiki, lalu air labu disi
ramkan untuk kedua kali, kali ini basah bajunya Siauw Houwtjoe. Meski begini, it
ulah alamat tak baik. Menurut kepercayaan orang Biauw, maka di belakang kali, ka
lau bu-
kan si lelaki tentulah si perempuan, yang bakal menikah pula.
Sampai di situ selesai sudah upacara mengacau pengantin, berkesudahan dengan kac
au dan kecewa, orang semua lesu.
Selagi orang bubaran, diam-diam Sin Tjoe sembunyi di gunung-gunungan di dalam pe
karangan rumah si kepala suku, kemudian ia naik ke atas genteng kamarnya Siauw
Houwtjoe, untuk mengintai. Ia lihat dua-dua mempelai duduk di atas pembaringan,
keduanya berdiam saja, tidak ada roman gembiranya.
Baharu kemudian mempelai perempuan memecahkan kesunyian.
"Eh, kau bilang kau suka aku, nyata kau mendustai" katanya.
"Siapa bilang dusta?" Siauw Houwtjoe menjawab. "Terhadap Siauw-
liong aku tidak sebaik terhadapmu." "Siapa itu Siauwliong?" si nona tanya.
"Siauwliong itu anaknya tetanggaku yang aku panggil paman yang nomor dua," jawab
Siauw Houwtjoe. "Dari masih kecil sekali kita biasa bermain-main berdua, cuma d
ia bernyali sedikit kecil. Begitulah di bulan ketiga, dia tidak berani turun ke
empang untuk menangkap ikan. Dia takut dingin!"
Sin Tjoe ingat ketika pertama kali ia ketemu Siauw Houwtjoe, anak ini lagi mengg
anggu satu bocah nakal. Bocah itulah rupanya si Siauwliong. Diam-diam ia tertawa
dalam hatinya.
Nona pengantin rupanya merasa lucu.
"Mana dapat aku dibanding dengan Siauwliong!" katanya. "Aku ini
isterimu!"
"Isteri? Isteri itu apa?" Siauw Houwtjoe tanya.
"Isteri yaitu orang paling terdekat
denganmu."
"Oh..." agaknya Siauw Houwtjoe bingung atau linglung, ia seperti tak aku si nona
ada orang terdekat dengannya.
"Sebenarnya kau akui aku sebagai isterimu atau tidak?" sang isteri menanya pula.
"Eh, kenapa sih kau mendesak aku dengan pertanyaanmu ini?"
Siauw Houwtjoe tanya.
"Habis, kenapa kau tidak mau saling tukar minum arak denganku?"
"Usiaku masih muda sekali, aku tidak minum arak."
Nona itu sangat mendongkol dan berduka, dia menangis.
"Kenapa kau menangis?" Siauw Houwtjoe agaknya cemas. "Aku
toh tidak menghina kau?"
"Kau berani menyebut tidak menghinaku?
Kenapa kau pukul aku tiga kali dengan keras? Sampai sekarang
pundakku masih sakit."
"Sebab mereka itu bilang, jikalau aku tidak memukul, aku takut bini! Oh, kiranya
kau gusar karena itu. Nah, kau pukullah aku tiga kali! Maukah kau? Jikalau masi
h kurang, kau boleh pukul sampai enam kali!"
Selagi berkata, sinar mata Siauw Houwtjoe bercahaya. Sin Tjoe lihat dia seperti
kembali kepada kenakalannya. Ia bersenyum, di dalam hatinya ia kata: "Di mana di
kolong langit ini ada mempelai laki-laki bicara seperti bocah cilik?" Karena me
mikir begini, timbul pula kecurigaannya. Maka ia berpikir lagi: "Siauw
Houwtjoe sangat cerdik jarang ada bandingannya, kenapa sekarang dia jadi tolol,
mirip anak desa yang dungu? Kenapa dia kasi dirinya diperbuat sesukanya oleh ora
ng lain? Inilah bukan sifatnya!
Mungkinkah dia telah kehilangan sifat
nuraninya?" Ia ingat Tan Hong pernah membilang, siapa terlalu bergirang atau ter
lalu berduka, sifat aslinya bisa hilang atau berubah. Tapi Siauw Houwtjoe masih
bocah, dia belum kenal asam garamnya dunia. Kenapa dia agaknya berubah?
"Apa benar?" si nona tanya.
"Kenapa tidak benar? Kalau kau senang, kau pukullah!"
Si rona mengambil kipas.
Siauw Houwtjoe buka bajunya.
"Mulailah! Aku buka
bajuku supaya kau memukul sepuasnya!"
"Plok!" demikian suara pukulan. Si nona benar-benar memukul dada orang.
"Eh, kenapa nona ini pun bersifat kekanak-kanakan?" Sin Tjoe heran. Ia mengawasi
lalu ia menjadi kaget. Ia dapatkan cara memukul si nona ada menurut gerakan men
otok jalan darah, sasarannya pun jalan darah soankie hiat. Dalam kagetnya, ia si
apkan bunga emasnya, siap akan menolong kalau Siauw Houwtjoe dihajar hingga ping
san.
Ia mengawasi terus. Ia dapatkan Siauw Houwtjoe menarik
napas dalam-dalam. Si nona menyerang pula, menotok hingga tiga kali, semua itu m
elejit, seperti dada itu ada minyaknya dan licin. Nona itu menyerang
dengan totokan hebat tetapi Siauw Houwtjoe merasakannya sebagai garukan.
Menampak itu Sin Tjoe heran berbareng girang. Baharu satu tahun tidak bertemu, b
ocah itu sudah maju pesat ilmu Iweekang-nya. Memang, siapa latihannya ilmu itu s
udah sempurna, dia tak takuti totokan jalan darah lagi. Ilmu itu bisa dicapai de
ngan latihan sedikitnya sepuluh
tahun. Di India ada ilmu Yoga, yang pun bisa menutup jalan darah, caranya berlai
nan dan tempo pelajarannya sedikitnya dua tiga tahun untuk yang telah ada dasarn
ya. Siauw Houwtjoe mengikuti Hek Pek Moko baharu satu tahun, dia telah dapatkan
ilmu menutup diri itu, sungguh langka.
"Tiga kali kau membalas menyerang
aku, kau puas bukan?" Siauw Houwtjoe kata pada kemantinnya.
"Tidak!" sahut si isteri. "Tadi kau pukul aku sampai aku merasa sakit hingga air
mataku keluar, kau sendiri, mengkerutkan alis pun tidak, jadi kau tidak merasa
sakit sedikit juga."
"Ya, habis apa daya?" kata Siauw Houwtjoe. "Ilmu ini aku diajarkan guruku, bagai
mana pun kau pukul aku, aku tidak akan merasa sakit. Ilmu ini tidak dapat dipela
jari lain orang."
"Kau dapat belajar, kenapa lain orang tidak ?"
Siauw Houwtjoe mementang lebar kedua matanya. Ia rupanya anggap pertanyaan itu b
eralasan.
"Eh, kau ajari aku ilmu itu, bolehkah?"
Ditanya begitu, sinar mata Siauw Houwtjoe
berubah, agaknya ia cemas. Ia lantas menggeleng kepala.
"Tidak dapat!" sahutnya.
Si nona heran. Ia menanya kenapa.
"Sebab ini... ini tidak dapat diajarkan kepada lain orang..."
"Ngaco! Lain orang boleh kau tidak ajari, aku lain, aku isterimu! Suami isteri a
da seperti satu tubuh! Bagaimana kau tidak sudi mengajari aku?"
"Beginikah liehaynya satu isteri?" tanya Siauw Houwtjoe meringis.
"Benar! Apa yang isteri minta suaminya mesti memberinya!"
"Ah, kalau begitu seumurku aku tidak mau beristeri!..."
"Tapi kita sudah menikah! Mana dapat kau menyangkal!"
Kelihatannya Siauw Houwtjoe berkuatir, dia
duduk bengong saja.
"Begini saja," katanya kemudian. "Aku ajari ilmu ini tetapi kau tidak dapat menj
adi isteriku! Dapatkah begitu?"
"Tidak!" sahut si isteri.
Sin Tjoe heran mengapa Siauw Houwtjoe jadi demikian tolol. Ia menduga nona penga
ntin itu bakal gusar. Tidak tahunya si nona menunjang djanggut dan berpikir. Kem
udian dia kata: "Baiklah, karena kau tidak sudi jadi suamiku, tidak dapat aku pa
ksa. Sekarang kau ajari aku ilmumu, tidak apa aku tidak jadi isterimu. Berapa la
ma aku mesti belajar?"
"Lamanya tiga tahun atau cepatnya cuma satu tahun," sahut Siauw Houwtjoe.
"Hanya, setelah mempelajari rahasianya, selanjutnya orang mesti
berlatih sendiri."
"Berapa lamanya tempo belajar rahasianya itu?"
"Kurang lebih sepuluh hari."
"Baik! Dalam sepuluh hari kau ajarkan aku sampai bisa, sepuluh hari sehabisnya i
tu, aku akan melepaskan mengasih kau pergi!"
"Benarkah itu?" Siauw Houwtjoe kelihatan
girang sekali.
"Kita bangsa Biauw tidak pernah mendustai"
"Baiklah! Sekarang juga aku mengajari kau!"
Sin Tjoe heran bukan main.
"Rupanya nona ini bukan menikah dengan sesungguhnya," ia berpikir. "Dia terlebih
muda daripada aku tetapi dia cerdik sekali. Apakah dia telah diajari oleh orang
tua? Ah, hebat! Apakah ini bukan semacam jebakan, perangkap guna memper-
dayakan Siauw
Houwtjoe?"
Ilmu silat ada golongannya
masing-masing. Ilmu silat rahasia sesuatu golongan, atau perguruan, tidak dapat
diajarkan kepada orang luar, kecuali orang dapat perkenan dari gurunya. Sekarang
Siauw Houwtjoe hendak obral ilmunya itu, pasti Sin Tjoe berkuatir. Tidak dapat i
a menguasai diri lagi, ia lompat turun ke bawah, terus ia lompat masuk ke dalam
kamar.
Nona pengantin kaget bukan main melihat ada orang berlompat masuk ke kamarnya, d
ia ternganga hingga tak dapat dia mengucapkan sesuatu.
Siauw Houwtjoe pun menjublak mengawasi Nona Ie, hatinya gelisah.
"Siauw Houwtjoe, kau kenali aku atau tidak?"
Sin Tjoe tanya si bocah tanpa ia gubris nona pengantin.
Bocah itu mundur dua tindak. Ia mengawasi.
"Kau... kau siapa?" ia tanya. "Di mana kita pernah bertemu?" ia bingung, ia sepe
rti lagi berpikir keras, mengingat-ingat sesuatu yang ia lupakan.
Sin Tjoe masgul sekali. Ia mau percaya, bocah itu telah makan semacam obat hingg
a dia tak sadar akan dirinya. Kasihan bocah demikian lincah kena dibikin jadi du
ngu begini. Ia ulur tangannya, ia pegang pundak orang.
"Aku ialah entjie Sin Tjoe-mu!" katanya. "Apakah kau sudah lupa?"
"Entjie Sin Tjoe?" Siauw Houwtjoe
mengulangi, suaranya pelahan. Ia seperti ingat
tetapi tidak berani segera mengutarakannya.
Sin Tjoe menatap bocah itu, sampai mendadak ia ingat pengajarannya gurunya, Thio
Tan Hong, tentang ilmu menyadarkan orang yang lupa ingatan. Dengan mendadak saj
a ia menotok djintiong dari Siauw Houwtjoe tanpa bocah itu sempat berkelit atau
menangkis. Atas itu, Siauw Houwtjoe menjerit
kaget.
Sin Tjoe menyambar kipas di atas pembaringan, seraya membeber dan mengibaskan it
u, ia tanya si bocah: "Ingatkah kau siapa aku?"
Siauw Houwtjoe mementang kedua matanya lebar-lebar.
"Inilah ilmu yang kau ajarkan aku!" sahutnya lekas. "Entjie Sin Tjoe!"
Memang di musim semi tahun itu, waktu
pertama kali mereka bertemu, si nona telah menggunakan kipasnya mengipas air di
tubuhnya Siauw Houwtjoe dan sekarang Siauw Houwtjoe ingat gerakan tangan orang i
tu.
Sin Tjoe girang bukan main mendapatkan orang telah sadar.
"Kau telah dapat mengingatnya, bagus!" katanya. "Sekarang lekas ikut aku pergi!"
Ia pun menarik tangan orang.
Tiba-tiba Siauw Houwtjoe nampaknya bergelisah, rupanya dia jeri.
"Tidak, tidak!" katanya. "Tidak dapat aku pergi. Apakah kau juga ingin menjadi i
steriku ?"
Bocah ini telah makan obat pelupa ingatan, totokannya Sin Tjoe kurang tepat, tot
okan itu tidak dapat dipakai mengobatinya, mendadak saja Siauw
Houwtjoe ingat "entjie Sin Tjoe," habis itu, ia tak sadar pula.
Sin Tjoe mendongkol berbareng geli hatinya. Ia tidak menyangka bahwa orang belum
sadar anteronya.
"Tidak dapat aku menjadi isterimu," ia berkata. "Aku hanya hendak menolongi kau!
Kau takut apa?" Ia sambar pula tangan orang, untuk ditarik, buat diajak pergi b
erlari. Justeru itu ia merasakan sambaran angin di belakangnya. Itulah si nona p
engantin yang dengan sebilah pisau tajam di tangannya sudah menikam sambil mempe
lai itu mendamprat: "Perempuan tidak tahu malu! Kenapa kau merampas suamiku?"
Sin Tjoe tidak menjadi kaget atau bingung, sembari menarik sedikit tubuhnya, ia
memutar diri, sebelah
tangannya diulur, maka sedetik saja ia sudah dapat merampas pisaunya si nona, ya
ng ia terus lemparkan keluar kamar.
"Kau yang tidak tahu malu!" ia balik mendamprat. Ia mendongkol didamprat nona it
u. "Kau toh menikah bukan dengan sesungguhnya hati? Kau masih begini muda, kenap
a kau begini licik? Kenapa kau hendak mengakali
kepandaian orang?"
Nona pengantin itu mendadak menangis, dia menjatuhkan diri berguling di tanah, l
alu dengan kedua kakinya dia menendang kalang kabutan kepada Nona Ie. Dia nyata
telah bersilat dengan ilmu silat tendangan berantai.
"Benar! Kau pun mengatakan kau tidak dapat menjadi isteriku!" tiba-tiba Siauw
Houwtjoe berkata. Ia nampaknya bingung melihat nona pengantin menangis dan menye
rang hebat itu.
Sin Tjoe berjaga diri dari serangan nona pengantin, satu kali, ia menyabat kaki
orang.
"Jangan lukai dia!" Siauw Houwtjoe berseru seraya ia menarik tangan si nona. Boc
ah ini ketahui itulah serangan berbahaya. "Dia sebenarnya orang baik!"
"Orang baik apa!" berkata Sin Tjoe. Kembali ia ayun tangannya.
"Jangan!" Siauw Houwtjoe mencegah pula. "Baik aku akan turut kau pergi!"
Inilah jawaban yang diharap Sin Tjoe, maka ia tarik tangan orang, ia biarkan si
nona pengantin. Keduanya sudah lantas keluar dari rumah.
Baharu mereka tiba di pekarangan, menda-
dak mereka dengar suara yang seram: "Perempuan siluman yang bernyali besar! Baga
imana kau berani datang ke mari merampas baba pengantin?" Kata-kata itu disusul
sama menghalangnya satu orang.
Sin Tjoe segera mengenali orang yang memaksa Siauw
Houwtjoe minum arak pengantin. Dia mengenakan pakaian orang Biauw, di kedua leng
annya masing-masing ada lima buah gelang perak, ketika ia berbicara, ia mengangk
at kedua tangannya, maka sepuluh buah gelang itu memperdengarkan suara beradunya
yang nyaring dan berisik.
Sin Tjoe tidak mem-punyakan kegembiraan untuk berbicara, ia lantas ayun sebelah
tangannya melayangkan tiga tangkai bunga
emas, yang ia telah genggam di tangannya itu. Ia menyerang orang itu di tiga jal
an darah tjianbie hiat, yangpek hiat dan hiathay hiat.
Orang itu tertawa berkakak, dia mengibas tangannya yang kiri. Entah tipu silat a
pa itu yang dia gunakan selagi dia mengibas, terdengar suaranya yang rada aneh,
lantas sebuah gelang di tangannya itu melesat, melayang
menyamber, tak lurus, tetapi kesudahannya, semua tiga bunga emas terjatuh ke dal
am tangan bajunya. Yang aneh, gelang perak itu pun kembali ke tangan pemiliknya.
Inilah kejadian di saat Sin Tjoe hendak menghunus pedangnya guna menangkis gelan
g itu.
Orang itu mengasi keluar ketiga bunga emas, apabila dia sudah
melihat nyata, dia menunjuki roman heran.
Sin Tjoe pun tercengang. Ia dapat kenyataan, caranya orang menggunai gelang adal
ah dengan bantuan kekuatannya tenaga dalam, jadi orang ini benar-benar liehay.
"Siauw Houwtjoe!" ia lantas menyadarkan bocah itu. "Jikalau kau hendak berlalu d
ari sini mari kita bekerja sama!" Ia mengucap demikian karena ia pikir: "Siauw H
ouwtjoe telah maju banyak dalam satu tahun ini, kalau dia membantu, aku pasti da
pat melayani ini orang aneh..."
Di luar dugaannya, ia tidak dapat jawaban dari bocah itu. Ia dapatkan Siauw
Houwtjoe berdiri men-jublak, sedikit juga tidak ada tandanya dia h
endak menyambut ajakannya itu. Ia heran
dan merasa kecele.
"Siauw Houwtjoe, kau kenapa?" ia tanya, membentak.
Bocah itu tidak menjawab, jawaban datang justeru dari si orang aneh, dengan tert
awanya yang dingin dan seram.
"Merampas baba pengantin juga mesti dengan persetujuannya si baba pengantin send
iri!" dia berkata, dingin. "Fui! Kau main tarik-tarik orang,
sungguh kau tidak tahu malu barang sedikit juga!"
Sin Tjoe menjadi gusar sekali.
"Kamulah yang merampas baba pengantin!" ia membaliki. "Cis Kamu memperdaya kan s
atu bocah! Tidak tahu malu!"
Kembali orang itu mengasi dengar tertawa dingin.
"Kau hendak bawa lari orang, di sini banyak calonnya!" dia berkata. "Tapi dia in
i tidak sudi ikut padamu! Perlu apa kau masih berdiam di sini menggerembengi dia
? Dengan memandang kepada tiga buah bunga emasmu ini, aku tidak hendak melukai p
adamu. Nah, kau pergilah! Jikalau kau sudah pulang, kau beritahu pada soebo -mu,
kau kau bilang bahwa Bong Goan Tjoe murid dari Tjekseng Pay menahan tiga buah b
unga emasmu ini! Jikalau dia hendak mengambilnya pulang, dia boleh datang ke Ouw
bong San!"
Sin Tjoe murka bukan kepalang. Belum pernah ia terhina sebagai ini. Parasnya pun
berubah pucat. Tidak ayal lagi, ia cabut pedangnya, pedang Tjengbeng kiam.
"Siauw Houwtjoe, mari kau turut aku pergi!" ia berseru seraya ia geraki tubuhnya
untuk menerobos pergi.
"Tinggalkan Siauw Houwtjoe! Kau pergi sendiri!" membentak Bong Goan Tjoe si oran
g aneh itu dengan suaranya yang keras dan seram. Ia pun mengibaskan sebelah tang
annya yang panjang, atas mana dua buah gelangnya molos dari tangannya dan menyam
ber sambil
berputar ke arah nona kita.
Sin Tjoe terkejut berbareng gusar. Ia menjejak dengan kedua ujung kakinya, untuk
mencelat lompat, ketika kedua gelang tiba padanya, ia menyabet dua kali beruntu
n.
Di dalam ilmu h- ngan tubuh dan menggunai pedang, kecuali kurang mendalam la
tihannya,
Sin Tjoe jarang tandingannya. Hal ini di luar dugaannya si orang aneh, maka juga
, dia kaget bukan kepalang tempo tahu-tahu dua buah gelangnya itu kena terbacok
hingga putus menjadi empat potong! Tentu sekali dia tidak keburu menarik pulang.
..
Sin Tjoe tidak berhenti sampai di situ, sudah kepalang tanggung, ia mencelat pul
a, maju kepada orang aneh itu, untuk menyerang dia, hingga dalam sekejap, sinar
pedangnya sudah berkelebat di depan mata orang.
"Pedang yang bagus!" Bong Goan Tjoe berseru, sedang tangannya mengibas. Dia buka
nnya menangkis, dia hanya memapaki, untuk
menyamber, menyeng-keram lengan orang. Dia bergerak tak kalah
dengan dengan kesehatannya Law Tong Soen.
Hebat ancaman bahaya untuk Sin Tjoe itu, karena serangan
pedangnya sudah berjalan, untuk menariknya pulang, sudah tidak ada tempo lagi. S
egera lengannya bakal kena dilanggar tangan musuh dan mungkin bakal patah.
Siauw Houwtjoe rupanya dapat melihat ancaman itu, dia berseru kaget.
Sin Tjoe sendiri tidak mau menyerah
lengannya dibikin patah untuk menolong diri, ia kasi bekerja tangannya yang kiri
. Dengan dua jari tengah dan telunjuk, ia menotok kepada tangan lawannya itu!
Bong Goan Tjoe tidak menyangka sama sekali, dia kaget tidak terkira. Syukur untu
knya, dapat dia membatalkan sera-
ngannya sambil tubuhnya juga dimundurkan, dengan begitu, serangannya gagal, dia
sendiri tertolong.
"Itulah Hookoen!" berseru Siauw
Houwtjoe, yang dapat melihat serangan si nona. Hookoen ialah ilmu silat Burung H
oo.
"Tidak salah!" Sin Tjoe menyahuti bocah ini. Tapi ia membuka mulut untuk terus b
erdiam. Kembali ia meneruskan serangannya kepada orang aneh dari Ouw Bong San it
u. Ia menyerang dengan
ujung pedangnya, di bawah itu ikut bergerak tangannya yang kiri, yang dikasi mel
engkung sedikit.
"Itulah Pakoen!" Siauw Houwtjoe berseru pula. Ia lantas ingat tipu silat itu Pak
oen atau Macan tutul. Ketika dulu hari Hek Pek Moko di Thayouw mengajarkan
dia ilmu silat "Loohan Ngoheng Koen," kedua saudara Moko itu sudah gunai sasaran
hidup dalam dirinya tujuh pahlawan dari istana. Itu waktu, Siauw Houwtjoe ada b
ersama Sin Tjoe, keduanya memperhatikannya hingga sekarang merasa dapat menginga
tnya dengan baik.
Siauw Houwtjoe telah kena makan obat akan tetapi ia tak lenyap antero kesadarann
ya, masih ada sisa ingatannya, maka itu, melihat penyerangannya Sin Tjoe itu, ia
ingat samar-samar
pengajaran gurunya. Ia lantas saja berpikir keras, untuk mengingat-ingat terlebi
h jauh. Sayang, dalam sesaat itu, ia tidak cukup kuat untuk mengatasi dirinya.
Itu waktu Bong Goan Tjoe telah kerjakan
tangan dan kakinya, dia mulai menyerang si nona, selagi kedua tangannya menyeran
g saling susul, kedua kakinya mengikuti maju merangsak. Nampaknya dia berlaku be
ngis sekali.
Sin Tjoe lantas terdesak, terpaksa ia main mundur.
"Kenapa kau tidak hendak menggunai
Liongkoen?" tanya
Siauw Houwtjoe. Ia terus memperhatikan jalannya pertempuran itu, ia melihat kefa
eda-hannya "Liongkoen" ilmu silat "Naga".
"Aku lupa!" menyahuti si nona sengaja. Sebenarnya ia bukannya lupa, ia hanya tid
ak berani mengadu tenaga, keras lawan keras, karena ia tahu ia kalah kuat. Di an
tara Loohan Ngoheng Koen ilmu silat Lima Macam Hewan Liongkoen adalah yang memer
lukan
tenaga besar sedang ia sendiri bertenaga kecil, di lain pihak, musuhnya sangat t
angguh.
Bong Goan Tjoe juga telah dapat melihat kelemahan orang, ia mendesak di bagian y
ang lemah itu, ia menggunai ilmu silat "Kimna tjioe" Menangkap Tangan dibantu "K
oengoan lat" Tenaga Sejati.
Beruntung buat Sin Tjoe, liehay ilmu pedangnya dan enteng sekali tubuhnya, ia da
pat bergerak dengan lincah, sedang Tjengbeng kiam, pedangnya itu, ada pedang mus
tika yang bisa merusak ilmu tubuh kedot semacam Kimtjiongtiauw dan
Tiatpousan. Ia bersilat dengan Hookoen,
Pakoen dan juga Tjoakoen ilmu silat Ular, karena itulah ilmu yang paling tepat u
ntuknya, tak usah ia
menggunakan tenaga berlebihan. Begitu, dengan pedang ia mainkan ilmu silat Pekpi
an Hian Kee Kiamhoat, dengan tangan kiri dengan Ngoheng Loohan koen. Ia terdesak
tetapi ia masih dapat bertahan.
Si nona pengantin juga selama itu telah turut menonton pertempuran, ia berdiri d
i samping. Sampai itu waktu, mendadak ia menegur Siauw
Houwtjoe: "Siauw
Houwtjoe, perkataanmu dapat dipercaya atau tidak?"
Justeru itu, Sin Tjoe pun menyerukan:
"Siauw Houwtjoe, kenapa kau masih tidak mau mengangkat kaki? Dia nanti memaksa k
au menjadi suaminya!"
Karena ia berbicara, hampir saja Nona Ie kena dihajar Bong Goan Tjoe, yang telah
menjambak secara hebat
sekali.
"Kenapa kau tidak hendak menggunai
Houwkoen?" berteriak Siauw Houwtjoe. Ia lihat si nona terancam, ia sampai tidak
menghiraukan pertanyaan pengantinnya atau
peringatannya Nona Ie itu. Houwkoen ialah ilmu silat "Harimau."
"Ah, Houwkoen pun aku lupa!" Sin Tjoe menjerit dengan jawabannya.
Kembali Bong Goan Tjoe menyerang, kali ini ia membuatnya si nona terhuyung tiga
tindak. Saking cepatnya
peristiwa berlaku, Siauw Houwtjoe tidak tahu nona itu terluka atau ti
dak. Hanya, saking kaget, sekonyong-
konyong dia berlompat dengan terjangannya, tepat dia mengenai pundak bagian bela
kang dari Bong Goan Tjoe, sembari menghajar dia
berseru: "Houwkoen begini bukan?"
Orang aneh dari Ouw Bong San itu tidak menyangka sekali-kali bahwa Siauw Houwtjo
e bakal menyerang
padanya, ia tidak dapat menangkis atau berkelit, maka itu ia merasakan sangat
sakit. Tentu saja ia menjadi sangat murka.
"Siauw Houwtjoe! Kau berontak?" dia membentak, bengis.
Sin Tjoe menggunai ketikanya yang baik, yang ia memang sedang cari. Ia tidak mau
mengasi ketika bocah itu terpengaruh si orang aneh.
"Betul!" ia berseru. "Kau gunai lagi Liongkoen!"
Di mulut nona kita menganjurkan Siuw Houwtjoe, gerakannya adalah lain. Sekonyong
-konyong saja ia mencelat, meninggalkan
lawannya, berlompat kepada nona kemantin, yang ia segera totok urat gagunya, men
yusul mana, ia berseru pula: "Siauw Houwtjoe, mari kita bekerja sama! Kita roboh
kan ini manusia jahat! Dia tentu tidak bakal menjadi isterimu!"
Dengan "dia," Sin Tjoe maksudkan nona pengantin.
Serangannya ini tepat waktunya, sebab itu waktu si nona justeru hendak mempengar
uh-kan pula Siauw Houwtjoe, supaya
Siauw Houwtjoe mengajarkan dia rahasia ilmu silatnya.
Siauw Houwtjoe terpengaruh kata-katanya Sin Tjoe. Dia benar-benar takut takut na
nti menjadi suaminya nona pengantin itu. Di lain pihak, ia mulai merasa semakin
mengingat Sin Tjoe, kesannya bertambah
baik. Karena ini, ia serang pula Bong Goan Tjoe.
Lihat, apakah ini bukannya Liongkoen?" katanya membarengi serangannya itu.
"Benar! Itulah
Liongkoen!" berseru Sin Tjoe seraya ia tertawa terbahak-bahak. Ia pun membarengi
menyerang dengan pedangnya, dengan gerakannya Menggulung Sungai Perak. Itulah t
ikaman dari atas ke bawah.
Bicara dari hal il- mu silat, Siauw Houwtjoe masih kalah jauh daripada Bong Goan
Tjoe dan walaupun serangannya Ie Sin Tjoe sangat liehay, dapat si orang asing m
engelakkannya, hanya kali ini dia menghadapi dua serangan berbareng. Dapat dia b
erkelit dari kepalan, tidak dapat dari pedang, dapat dari pedang, mes-
tilah ia kena tertinju. Tentu saja dia tidak sudi kena ditikam dadanya atau dido
det perutnya, dia lebih suka merasakan bogem
mentahnya si bocah. Demikian sudah terjadi, selagi dia berkelit dari si nona, "D
uk!" maka dia merasakan pinggangnya terhajar hebat, sampai dia terhuyung beberap
a kali. Masih dia bersyukur yang dia bisa menyingkir dari ujung pedang Tjengbeng
kiam.
Siauw Houwtjoe baharu berusia empat belas tahun, tetapi sebagai bocah, ia telah
terlatih baik sekali. Sejak umur satu tahun ketika ia mulai belajar jalan, ia su
dah mulai dilatih urat-urat dan tulangnya, ialah dengan setiap waktu dipakaikan
rendaman obat kuat dan setelah ia mulai mengarti ini dan itu, ia mulai diberikan
pelajaran
silat pokok, untuk menanam dasar. Thio Hong Hoe mengarti dua-dua ilmu dalam dan
ilmu luar, maka Siauw Houwtjoe pun dididik dalam dua rupa ilmu kepandaian itu, m
ulanya ilmu luar, lalu ilmu dalam. Maka itu, di antara Sin Tjoe dan Siauw Houwtj
oe, si nona menang ilmu silat, si bocah menang tenaga. Demikianlah, hebat Bong G
oan Tjoe merasakan pukulan
bocah itu, meskipun dia tidak roboh, dia hampir menjerit "Aduh!"
"Bagus!" berseru Sin Tjoe, yang tak berhenti dengan penyerangannya, malah dia pe
rhebat. Setelah
menikam tiga kali saling susul, ia serukan si bocah: "Bagus, Siauw Houwtjoe! Mar
i kita bertaruh! Mari lihat, kau punya Lohan Ngoheng Koen lebih liehay atau
aku punya Hian Kie Kiamhoat!"
Bocah-bocah umumnya suka menang sendiri, Siauw Houwtjoe tidak menjadi kecuali. B
ukankah ia telah berhasil menggebuk Bong Goan Tjoe sampai dua kali? Maka itu ia
lantas tertawa berka-kakan.
"Pastilah tinjuku lebih liehay!" dia menjawab. Dengan tinju dia maksudkan ilmu s
ilatnya Loohan Ngoheng Koen itu. "Kau lihat tua bangka ini, dia tidak dapat berk
elit! Lihat, akan aku hajar pula hidungnya dengan
Pakoen!" Dia terus lempangkan pinggangnya, dia menyambar dengan kepalan kirinya,
berbareng dengan
mana, kepalan kanannya menindju!
Itulah gerakan Pakoen atau ilmu silat Macan Tutul.
Berbareng dengan itu, Ie Sin Tjoe juga menyerang dengan
pedangnya, bagaikan "Bianglala Perak Menyamber Melintang," guna memegat jalan mu
ndur lawan mereka.
Dikepung begitu rupa, jago dari Ouwbong San itu terpaksa mesti berlompat ke depa
n. Tidak dapat ia mundur, dan kalau ia diam saja, ia bakal dihajar pula si bocah
! Walaupun
begitu, meski juga ia berlaku gesit sekali, ia masih kalah cepat dari Siauw Houw
tjoe.
Dengan menerbitkan suara dalam, batang hidungnya terhajar
tepat hingga kembali ia merasakan sakit.
Girangnya Siauw Houwtjoe bukan alang kepalang.
"Lihat, akan aku serang pula dia dengan Hokoen!" dia berseru pula.
Bong Goan Tjoe mendongkol sekali,
sedang hidungnya telah mengucurkan darah!
"Kali ini tidak nanti kau dapat menindju aku," pikirnya. Ia berkelit dari serang
annya Sin Tjoe, yang telah mendesak pula, sembari menangkis, ia angkat sebelah k
akinya untuk menendang si bocah, menendang
kepalan orang. Di waktu melawan demikian, ia tidak pernah pikir liehaynya Loohan
Ngoheng Koen, yang mengutamakan kecepatan. Maka juga, cepat gerakannya kaki, leb
ih cepat pula melesatnya tinju.
Hanya, disebabkan kaki itu menghalang di tengah jalan, maka bagian dengkulnya ya
ng kena dihajar! Mau atau tidak, jago Ouw Bong San itu mesti menekuk kaki beriku
t tubuhnya.
"Hai, kau berlutut di depanku memohon
ampun?" berseru Siauw Houwtjoe yang melihat gerak-gerik orang itu. "Ah, tidak en
ak hatiku untuk menghajar pula padamu!..."
Pertempuran itu telah mengejutkan orang-orang di rumah touwsoe itu ser
ta dekat-dekatnya, yang termasuk satu halaman kampung, begitupun sejum
lah penari-penari bunga yang masih belum berlalu. Mereka itu lant
as lari mengham-pirkan.
"Tidak bagus!" Sin Tjoe teriaki Siauw Houwtjoe apabila ia tampak mendatanginya b
anyak orang. "Jikalau kau tidak hajar tua bangka ini, kita pasti tidak bisa lolo
s dari sini!"
Siauw Houwtjoe kena dipengaruhkan pula.
"Baiklah, akan aku hajar pula dia dengan
Liongkoen!" ia berseru menyahuti, terus dengan mengerahkan tenaganya, ia menyera
ng pula Bong Goan Tjoe.
Jago Ouwbong San itu tengah tak berdaya, maka itu kembali ia kena dihajar. Ini k
ali ia tidak dapat bertahan lebih lama pula, begitu terserang, ia menjerit, tubu
hnya roboh
terguling, tidak dapat ia lantas merayap bangun pula.
Sin Tjoe tidak mau bekerja kepalang
tanggung. Meninggalkan Bong Goan Tjoe itu, ia lompat memapaki orang banyak, ia s
erang mereka itu tanpa memilih bulu. Ia tidak menggunai pedangnya, hanya ia meno
tok setiap orang yang berada paling dekat dengannya,
hingga orang tidak dapat berdaya lagi kecuali nanti, selang dua
belas jam, mereka itu akan bebas sendirinya. Setelah itu, dengan menyekal lengan
ya
Siauw Houwtjoe, ia tarik bocah itu untuk dibawa lari kabur dari rumahnya touwsoe
.
Sesudah lewat tengah malam itu suasana jadi sunyi sekali. Ketika Sin Tjoe berdua
sampai di tanah datar di mana tadi orang menarikan bunga dan kedua mempelai men
jalankan upacara, di sana pun sunyi senyap, tinggal sisa api bekas memanggang da
ging kerbau serta berserakannya bunga-bunga. Di situ si nona memandang
kawannya, ia lantas saja tertawa.
Siauw Houwtjoe masih mengenakan pakaian pengantin!
Habis itu, nona ini berdiri diam. Aneh pengalamannya malam ini, ia merasakan sep
erti
habis bermimpi. Ia pun merasakan dunia sangat luas tetapi sepi...
Siauw Houwtjoe sendiri juga merasa ia tengah bermimpi, kedua matanya celingukan
ke sekitarnya. Sekian lama ia mengawasi Sin Tjoe. Achir-achirnya ia membuka mulu
tnya. Ia tanya: "Ke mana kau hendak membawa aku?"
"Kau sendiri hendak pergi ke mana?" si nona balik menanya. Ia lihat orang bingun
g atau belum sadar betul.
"Aku tidak tahu," menyahut anak itu, ke tolol-toloan.
"Kenapa kau dapat datang kemari?" Sin Tjoe menanya pula. "Aku tidak tahu!
"
"Kenapa kau tidak tahu? Mustahilkah kau jatuh dari atas langit? Coba kau pikir b
aik-baik. Kapan pengantinmu itu muncul di dampingmu? Mustahil dia
muncul dari dalam tanah?"
Habis berkata, si nona tertawa manis.
Siauw Houwtjoe tunduk. Ia rupanya berpikir. Ketika ia mengangkat kepalanya, mata
nya
memperlihatkan sinar berkuatir, suatu tanda hatinya tidak tenang.
"Aneh sekali!" katanya kemudian. "Dia memang seperti muncul dari dalam tanah! Ra
sanya, begitu aku mendusin, dia sudah berada di dampingku, lagi melayani aku..."
Sin Tjoe pun heran.
"Mana gurumu?" ia tanya. Ia menanya tetapi hatinya mengatakan: "Hek Pek Moko itu
beroman sangat luar biasa, tidak nanti Siauw Houwtjoe dapat
melupakan mereka."
"Guru? Guru apa?" Siauw Houwtjoe balik menanya.
"Apakah ilmu silatmu didapat sejak kau dilahirkan?" berkata si nona, menanya.
"Siapakah yang telah ajarkan kau ilmu silat itu? Kau ingatkah?"
Siauw Houwtjoe berpikir pula. Agaknya ia pusing.
"Seperti ada banyak orang yang mengajari aku..." sahutnya kemudian. "Ha, aku ing
at sekarang! Kau juga pernah mengajarkan aku! Aku menyampok arak dengan kipas, s
ampokan itu adalah ajaranmu! Ya, kaulah guruku!"
Sin Tjoe berduka sekali berbareng merasa lucu, mau ia tertawa, tetapi tidak dapa
t. Bocah ini lupa akan dirinya, dia harus dikasihani.
"Entah dia telah di-kasi makan obat apa sampai gurunya pun dia lupakan," pikirny
a.
"Walaupun demikian, ia agaknya belum melupakan semua-mua. Bukankah tadi setelah
melihat aku, dia rada-rada masih mengingatnya?"
"Entjiel" berkata Siauw Houwtjoe,
menanya. "Eh, soehoe1. Sekarang kita hendak pergi ke mana?" Dia memang
gil entjie dan soehoe dengan
beruntun. Rupanya dia masih ingat nona itu pun gurunya (soehoe).
Sin Tjoe juga tidak tahu ke mana ia harus ajak bocah ini tetapi ia tertawa.
"Aku bukannya gurumu, akulah entjie-mu1." ia bilang. "Gurumu adalah dua orang In
dia yang parasnya masing-masing hitam dan putih!"
Kedua matanya
Siauw Houwtjoe menci-lak, ia seperti ingat suatu apa.
"Ah, aku takut!..." katanya.
"Kau takut apa?" si nona tanya.
"Aku takut padamu!"
Nona itu tertawa.
"Kenapa kau takut padaku?"
"Sebab dia telah bilang padaku, kecuali dia, tidak ada lagi orang lain yang hati
nya baik. Tadi kau telah serang dia, aku takut..." Dengan "dia," terang bocah in
i maksudkan pengantinnya. Inilah Sin Tjoe bisa duga.
"Benar-benarkah kau percaya dia?" ia tanya, tertawa.
Siauw Houwtjoe tidak menjawab, dia cuma mengawasi.
"Habis dia itu hendak jadi isterimu! Apakah kau tidak takut?"
Tubuh Siauw
Houwtjoe menggigil.
"Benar, kelihatannya setiap orang pun menakuti!..." katanya.
Nyata dia jeri.
"Bagaimana aku mesti berbuat untuk membikin dia mempercayai aku?" Sin Tjoe tanya
dirinya sendiri. Ia berpikir keras. Tiba-tiba ia kena raba sesuatu di pinggangn
ya. Segera ia menanya: "Ayahmu
telah wariskan kau golok Bianto apakah golokmu itu masih ada?"
Siauw Houwtjoe mengawasi dengan bengong.
"Masih ada!" sahutnya sesaat kemudian. Goloknya itu ada golok lemas, yang dia li
bat di pinggangnya bagaikan sabuk, sampai si nona pengantin pun tidak mendapatka
nnya. Dia lantas lepaskan golok itu dari pinggangnya, terus dua kali dia membaco
k ke udara.
"Bukankah ini golok itu?" dia tanya. Dia ada begitu gembira, di situ juga dia la
ntas bersilat,
memainkan ilmu golok Ngohouw Toanboen too. Dia tertawa, terus dia tanya: "Kau li
hat, aku masih belum lupa!"
"Betul!" Sin Tjoe menyahuti.
"Kuat ingatanmu! Sekarang coba kau mengingat-ingat pula. Siapakah yang ajari kau
ini ilmu golok?"
"Pasti sekali ayah!" sahut Siauw Houwtjoe, cepat dan bangga. "Ayahku a
da satu enghiong terbesar, satu hoohan sejati!"
"Mana baju yang berlumuran darah dari ayahmu itu?" tiba-tiba Sin Tjoe menanyakan
lain hal.
Kembali Siauw Houw menjublak.
"Baju yang berlumuran darah?" katanya, bagaikan mendumal.
"Benar, baju berdarah!" Sin Tjoe memberi kepastian. "Mustahil kau lupai baju ay
ahmu itu?"
Siauw Houwtjoe berdiam, pikirannya bekerja. Erat sekali perhubungan di antara ay
ah dan anak, tidak gampang untuk melupakan itu. Sebagaimana Sin Tjoe tidak dapat
melupakan Tan Hong, gurunya, yang ia sangat puja. Siauw Houwtjoe sebaliknya san
gat menghargakan dan memuliakan
ayahnya itu. Pelahan-lahan ingatannya itu seperti terbangun.
"Eh, mengapa ayahku memberikan aku baju berdarah itu?" katanya, habis menjublak
lagi sekian lama. "Ayah penasaran kenapakah?"
"Ayahmu itu orang baik atau bukan?" Sin Tjoe tanya mendadak.
"Apa perlunya untuk menyebutkan itu lagi?" Siauw Houwtjoe menjawab, membentak. I
a terlihat murka.
"Ini golok Bianto serta baju berdarah itu, siapakah yang kasikan padamu?" Sin Tj
oe tanya pula tanaa pedulikan kemarahan orang.
Bocah itu mementang lebar matanya.
"Itulah kau!" serunya. "Ya! Entjie Sin Tjoe, sekarang aku percaya kau, kau meman
g orang baik! Bilangi aku, entjie, kenapa ayahku serahkan baju berdarah padaku?"
Sin Tjoe menatap, ia bersenyum.
"Kau percaya aku, itulah bagus," sahutnya. "Tentang ayahmu itu nanti saja aku tu
turkan padamu.
Sekarang coba kau pikirkan, kenapa kau dapat tiba di sini. Dan kedua gurumu itu,
ke mana mereka sudah pergi?"
Sengaja Sin Tjoe menanya begini, supaya orang tidak "terpukul"
urusan hebat dari ayahnya dia itu. Ia pun mencoba menggempur ingatan orang yang
kabur.
Sia-sia usahanya ini. Siauw Houwtjoe, tidak dapat lantas mengingatnya.
Sin Tjoe menanti, ia mencoba menanya, hasilnya tidak ada. Hingga ia ingat: "Pern
ah aku dengar di wilayah orang Biauw ini ada kedapatan beberapa rupa rumput obat
yang mujijad, sekarang
baiklah aku ajak Siauw Houwtjoe ke rumah si nyonya yang rumahnya aku tumpangi, u
ntuk menanyakan keterangannya."
Untuk pulang dengan mengajak Siauw
Houwtjoe, Sin Tjoe tidak menampak kesukaran. Siauw Houwtjoe benar-benar telah
mempercayai ia, tempo ia mengajak, bocah itu
mengikuti dengan jinak
Nyonya rumah sudah tidur ketika Sin Tjoe mengetok pintu. Ia mendusin dengan kage
t.
"Apakah sudah bubaran orang mengacau di kamar pengantin?" menanya nyonya itu sam
bil ia turun dari pembaringannya. "Aku menyangka kau akan pulang di waktu terang
tanah!"
Ia membuka pintu, tangannya memegang sebatang obor cabang cemara. Lantas saja ia
terkejut kapan ia melihat si nona datang berdua dan bersama siapa. Ia sampai te
rgugu.
"Kau... kau..." katanya kepada Siauw Houwtjoe. "Bukankah kau si mempelai laki-la
ki? Ha, perawan yang bernyali besar! Kenapa kau bawa pulang baba mantunya
touwsoe
kami?"
Perkataan itu, pertanyaan itu, ditujukan kepada si bocah dan si nona berbareng.
Sin Tjoe bersikap tenang.
"Dia ini ialah adikku," ia menjawab. "Entah dia makan obat apa, ingatannya menja
di kacau hingga dia lupa segala apa. Sebenarnya dia sungkan menjadi baba mantuny
a touwsoe !"
Nyonya itu heran.
"Ha? Benarkah itu?" katanya. Ia lantas menyuluhi mukanya Siauw Houwtjoe. Mendada
k ia ketakutan, mukanya menjadi pucat. Ia lantas tarik Sin Tjoe ke samping.
"Celaka!" serunya. "Dia bukan cuma telah makan obat lupa ingatan, dia pun terken
a buatan orang! Lewat satu tahun habis ini, kalau dia tidak ditolong
dengan obatnya orang yang mencelakai dia, dia pasti bakal mati! Mungkin ini ada
perbuatan puterinya touwsoe, yang kuatir adikmu berubah hatinya. Sudah obat pelu
pa itu sukar disembuhkannya, obat racun itu terlebih sukar lagi seperti aku katak
an, cuma pembuatnya yang dapat menolongnya...
Sin Tjoe terkejut. Ia mau percaya
keterangannya nyonya ini. Selang sesaat baharu ia dapat kembali ketenangannya. M
enurut nyonya itu, daya pertolongannya bukannya tidak ada. Ia lantas minta si ny
onya tolong mengobati itu penyakit lupa ingatan.
Nyonya itu berdiam sekian lama, lalu dengan cepat ia pergi keluar rumahnya. Ia p
ergi tidak lama atau ia telah kembali, tangan-
nya membawa segeng-gam rumput, ialah daun obat yang ia maksudkan. Ia lantas saja
masak air, untuk menyeduh rumput itu, yang terus diminumkan kepada Siauw Houwtj
oe.
"Pahit!" kata si bocah habis dia menenggak seceglukan.
"Satu enghiong, satu hoohan, dia tidak takut langit atau bumi!" berkat
a Sin Tjoe. "Masa dia takut rasa pahit?"
"Akur!" menimpali Siauw Houwtjoe, lantas dia cegluk habis air obat yang pahit it
u. Hanya, habis itu, ia kata: "Ah, aku kepingin tidur!"
Nyonya rumah menepuk punggung orang dua kali.
"Baiklah, pergi kau tidur!" katanya.
Siauw Houwtjoe tapi-nya bukan tidur, dia hanya duduk bersila, kedua matanya d
ime-
ramkan. Nyata ia duduk bersamedhi.
Sin Tjoe mengeluarkan sepotong perak, ia angsurkan itu kepada si nyonya.
Nyonya itu agaknya tidak senang, dia menampik uang itu.
"Aku lihat kau baik, aku suka membantu padamu," Ia berkata. "Apakah ka
u sangka aku mengharap uangmu?"
"Maaf, maaf!" berkata Sin Tjoe lekas. Ia simpan pula uangnya.
Nyonya itu menghela napas.
"Aku juga tidak merasa pasti obatku akan berhasil atau tidak," katanya kemudian.
Sin Tjoe terperanjat.
"Kenapa begitu?"
"Obatku ada obat yang umum," menerangkan si nyonya. "Racun yang dimakan adikmu i
ni sebaliknya mirip dengan racun terhebat yang sulit
didapatnya di wilayah kita ini. Namanya racun itu ialah Bongyoe tjauw rumput lup
a kedukaan. Lagi pula ia kena buatan orang, maka setelah makan obatku, mungkin d
ia tak sadar seluruhnya.
Hanya, melihat keadaannya sekarang ini, mungkin ingatannya akan kembali."
Keduanya lantas berdiam. Sin Tjoe dengan pikiran kurang tenang.
Berselang lagi sekian lama, Siauw Houwtjoe kelihatan menggeraki pinggangnya dibi
kin lempang. Terus saja dia membuka matanya.
"Aku merasa lega," katanya. "Aku ingat sekarang! Kedua guruku telah bertempur sa
ma satu orang, bertempurnya di dalam sebuah rumah yang luar biasa..."
Sin Tjoe terkejut.
"Tunggu!" katanya. Terus ia menghadapi
nyonya rumah, akan berkata: "Nyonya,
terima kasih untuk kebaikan kau. Sekarang juga aku mesti berangkat pergi..."
"Benar," berkata si nyonya, yang mengarti maksud orang. "Memang kamu mesti lekas
pergi menyingkir. Begitu lekas sang fajar datang, sukar untuk kamu melarikan di
ri!"
Lagi sekali Sin Tjoe mengucap terima kasih, terus ia ajak Siauw Houwtjoe lari ke
luar.
"Dengan siapa kedua gurumu itu berkelahi?" si nona tanya, sesudah mereka sedikit
jauh dari rumah si nyonya. "Bagaimana caranya kau berpisah dengan kedua gurumu
itu?"
"Aku merasa aku dan kedua soehoe datang dari tempat yang jauh sekali," Siauw Hou
Tjoe menyahut. Ia agaknya berpikir. "Pada suatu
hari, setahu kenapa, kami memasuki sebuah rumah tua semacam bentengan. Di sana s
edang diadakan pesta. Para hadirin di situ, semuanya beroman luar biasa. Yang le
bih menakuti adalah seorang di antaranya. Dia lanang kepalanya, tubuhnya sangat
kurus, kulitnya kering, dia mirip dengan mayat hidup. Meski begitu, terhadap ked
ua guruku, nampaknya mereka hormat sekali, mereka mengundang minum arak. Habis i
tu, entah kenapa, mendadak mereka berkelahi. Aku membantu kedua guruku melawan
mereka. Tiba-tiba aku kena dijambak si mayat hidup, lantas aku tak sada
r lagi. Ketika kemudian aku mendusin, aku rebah di rumah si touwsoe
tadi. Puteri touwsoe itu mengasi aku minum secangkir teh
panas. Setelah itu, kacaulah ingatanku. Tapi dia berlaku sangat baik padaku, set
iap hari dia merawat dan melayani aku dengan telaten sekali. Sesudah aku sembuh,
lantas dia menggerembengi aku, dia bilang dia mau menjadi isteriku. Coba aku ta
hu dia bukannya isteri yang baik, tidak nanti aku menerima baik untuk menjadi su
aminya."
Sin Tjoe tak tahan tertawa. Bukan saja ceritera Siauw
Houwtjoe lucu, ia pun senang yang ingatan orang telah pulih kembali, meskipun be
lum seluruhnya.
"Kalau benar dia mempunyakan tempo satu tahun untuk dapat disembuhkan dari racun
buatan orang itu," ia berpikir, "masih ada tempo untuk mendaya-kan memaksa si p
erem-
puan siluman menyerahkan obat pemunah-nya. Sekarang ini perlu dicari tahu dulu d
i mana adanya Hek Pek Moko." Maka ia lantas tanya Siauw Houwtjoe: "Di mana letak
nya benteng tua itu? Apakah kau masih ingat?"
"Nanti aku coba mencarinya," menyahut bocah itu. "Kalau tidak salah adanya di le
mbah di gunung depan itu..."
Sin Tjoe suka mengiringi, maka sekarang dialah yang dipimpin Siauw Houwtjoe perg
i ke gunung di depan mereka. Jalanan sukar dan banyak tikungannya tetapi bocah i
tu dapat mengingatnya. Tidak selang lama, tiba sudah mereka di sebuah lembah yan
g gelap di mana cahaya rembulan tak dapat menembus masuk. Cuma ada cahaya yang k
ecil sekali yang molos di antara
sela-sela batu. Dari atas gunung sering terdengar suaranya si burung malam dan a
ngin gunung yang dingin saban-saban meniup bersilir. Hawa dingin itu dan suasana
lembah itu dapat membuat orang bangun bulu romanya. Sin Tjoe sendiri sampai mer
asa seram.
Lagi sekian lama, lalu Siauw Houwtjoe menghentikan tindakannya.
"Sudah sampai!" katanya. "Lihat, itulah benteng tua itu!"
Sin Tjoe mengawasi benteng yang ditunjuk si bocah. Bangunan itu memang luar bias
a. Di empat penjuru tembok semua. Di kiri dan kanannya ada bangunan seperti mena
ra bundar. Sebuah pintu sempit sekali kedapatan di situ, sempit hingga cuma muat
satu orang untuk keluar dan masuk. Dari dalam pintu
itu terlihat sinar terang dari api. Sebab pintu itu terbuka. Pula dari dalam ter
dengar suara orang bicara sambil tertawa-tertawa, meskipun
lapat-lapat.
Ketika itu sudah jam empat, di dalam benteng masih ada api menyala dan pula suar
a orang pasang omong, benar-benar luar biasa.
Cuma sedetik saja Sin Tjoe bersangsi, lantas ia tarik tangannya Siauw Houwtjoe,
buat diajak mengham-pirkan pintu itu, untuk ke dalamnya, terus ke sebuah ruang b
esar. Di situ ada sebuah meja panjang, di atasnya tersajikan rupa-rupa barang hi
dangan berikut araknya. Duduk di meja tuan rumah ada seorang yang kepalanya gund
ul licin, tubuhnya kurus sekali dan kulitnya kering, benar mirip satu mayat hidu
p.
Di tempat tetamu, semua kursi kosong. Adalah di lorongnya, di kiri dan kanan, ad
a berbaris pelayan priya dan wanita.
"Itulah dia si orang aneh!" berkata Siauw Houwtjoe menunjuk si mayat hidup. Ia a
gaknya tidak jeri, sebagaimana juga Sin Tjoe. Kalau tidak, tidak nanti mereka be
rani masuk sampai di ruang besar itu.
Melihat Siauw Houwtjoe, kelihatan si mayat hidup itu kaget, sampai ia mengeluark
an
sepatah kata tertahan. Kemudian baharulah ia berkata terus.
"Kenapa kau tidak jadi mempelai di rumahnya touwsoe?" demikian pertanyaannya. "M
au apa kau datang ke mari?"
"Aku tidak meng-inginan isteri!" teriak Siauw Houwtjoe dengan
jawabannya. "Aku
menghendaki guruku!"
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Soehoe apa kau ada punya?"tanyanya.
"Kenapa aku tidak punya soehoe?" Siauw Houwtjoe membentak pula. "Guruku bukan cu
ma satu! Bukankah itu hari aku punya Hek Soehoe telah berkelahi denganmu di sini
? Lekas kembalikan guruku!"
Wajahnya orang aneh itu jadi semakin tak enak dilihat.
"Siapakah yang telah memberi obat pemunah kepadanya?" dia
menanya bengis pada seorang di sampingnya, ialah muridnya. "Lekas bekuk dia!"
Murid yang diperintah itu bergerak maju, akan tetapi baharu ia bertindak, ia sud
ah diserang Sin Tjoe dengan setangkai bunga emas, tepat mengenai
jalan darahnya, bukan dia roboh, dia hanya menindak seraya kedua tangannya diang
kat, seperti mengancam hendak menerjang.
Orang aneh itu mengasi dengar suara tertawa terkekeh yang menyeramkan.
"Kiranya ada Thio Tan Hong yang menjadi tulang punggungmu!" katanya bengis, meng
ejek. "Pantas kamu berani datang ke mari meminta orang!" Dia melenggak, dia tert
awa tiga kali, terus dia berkata nyaring: "Thio Tayhiap kesohor di dunia ini, me
ngapa kau menyembunyikan kepala dan mengumpatkan ekor? Kenapa kau cuma kirim dua
bocah datang mengacau di sini? Kau sembunyi saja, apakah kau tidak kuatir nanti
ditertawakan orang? Diundang tidak sama dengan bertemu secara
kebetulan, maka itu silahkanlah masuk ke mari. Aku silahkan kau minum tiga buah
cangkir! Tidak ada halangannya bukan?"
Sin Tjoe melihat orang menggerakki tubuh dan tangan seperti orang yang mempersi-
lahkan tetamunya
masuk dan duduk, mau atau tidak, ia menjadi tertawa berkakakan.
"Apakah kau melihat hantu?" di menegur sekalian mengejek.
"Guruku ada di Tali di gunung Tjhong San! Jikalau kau hendak mengundang dia
menghadiri pestamu ini, lekas kau menulis surat undangannya, kau
serahkan itu padaku, nanti aku yang tolong membawa dan
menyampaikannya!"
Orang aneh itu mengawasi dengan perasaan sangat heran. Dia tidak menyangka sekal
i
orang ada demikian berhati besar. Ia menduga Thio Tan Hong datang bersama. Ia pu
n mau percaya Siauw Houwtjoe ditolongi Tan Hong. Karenanya tidak berani ia lanca
ng turun tangan. Sekarang mendengar Tan Hong berada jauh di gunungnya, wajahnya
lantas saja menjadi berubah bengis.
"Kau dengar tidak perkataanku?" dia tanya Siauw Houwtjoe. Kedua matanya pun menc
orong menatap bocah itu. Kemudian dia menyapu dengan
matanya yang berpengaruh itu kepada Sin Tjoe.
Tanpa merasa, kedua orang itu bergidik sendirinya. Sin Tjoe merasa mata orang me
mpunyai pengaruh iblis, yang membuatnya hati orang goncang. Maka ia lantas saj
a menguasa
dirinya, kepada Siauw Houwtjoe ia membisiki: "Lekas pusatkan pikiranmu, jangan k
au awasi dia!"
Siauw Houwtjoe sudah menjublak seperti ia terkena pengaruh ilmu sihir, mendengar
kisikan si nona, mendadak ia sadar. Malah segera ia membentak: "Siapa sudi deng
an perkataanmu? Aku cuma dengar perkataan guruku! Mana kedua guruku itu?"
"Kedua gurumu itu bukan tandinganku," menyahut si orang aneh. "Mereka telah aku
hajar hingga mereka lari kabur!"
"Ngaco!" Siauw Houwtjoe membentak. "Kedua guruku ada enghiong-enghiong di jaman
ini, mana dapat kau menghajar mereka!"
"Baik!" seru orang aneh itu. "Jikalau kau tidak percaya, mari aku ajak kau pergi
melihat-
nya!" Sembari mengatakan demikian, setindak demi setindak dia menghampirkan si b
ocah, kedua matanya dengan sinarnya yang tajam terus menatap, mukanya memperliha
tkan senyum aneh.
"Celaka!" berseru Sin Tjoe di dalam hatinya seraya terus ia menimpuk dengan tiga
buah bunga emasnya.
Orang aneh itu tertawa dingin.
"Segala mutiara sebesar biji beras juga mengeluarkan sinar!" mengejeknya. Ia men
gibaskan tangannya, jari-jarinya menyentil. Dengan menerbitkan suara nyaring, ke
tiga bunga emas terpental nyamping tinggi, nancap di balok penglari merupakan ti
ga segi seperti huruf "i pin." Coba serangan itu mengenai tubuh manusia, sasar
annya ialah
tiga jalan darah lengtjioe hiat di kiri buah susu serta pusar.
Hebat sentilannya orang aneh itu, Sin Tjoe kaget hingga parasnya berubah menjadi
pucat, karena ia tahu, bunga emasnya itu tajam di empat penjuru, tidak dapat se
njata rahasia itu membentur daging. Tapi sekarang si orang aneh menyentilnya! Ma
lah sentilan itu mengasi dengar suara nyaring, itu menyatakan tangannya bukan se
perti berdarah daging...
"Siauw Houwtjoe lekas gunai Liongkoen!" ia segera serukan
kawannya. Meski ia kaget dan gentar hatinya, ia masih ingat akan bahaya yang men
gancam mereka. Ia sendiri pun sudah lantas menghunus Tjengbeng kiam.
Siauw Houwtjoe berada di sebelah depan,
dia sudah lantas menyerang.
"Bus!" demikian serangannya mengenai jitu tetapi suaranya seperti ia memukul rum
put layu dan tubuh orang pun tidak bergeming jangan kata terhuyung. Malah si ora
ng aneh pun sudah lantas mengibas mental pedangnya si nona.
"Haha!" dia tertawa lebar. Biarpun pedangmu tajam, apa dia bisa bikin terhadap a
ku?" Dia mengejek Sin Tjoe, matanya tapinya melirik tajam kepada Siauw Houwtjoe,
suaranya yang bengis diperdengarkan: "Hm! Kau berani tidak dengar kataku!"
Siauw Houwtjoe bergidik, ia mengigil.
Sin Tjoe penasaran kembali ia menyerang dengan hebat, tiga kali beruntun.
Orang aneh itu sa-
ngat terkebur, dia tetap membawa sikapnya yang sangat memandang enteng kepada si
nona, dia pun menggunakan pula kibasannya untuk menghalau
pedang, supaya pedang itu terpental seperti tadi. Akan tetapi kali ini dia kelir
u menduga, dia tidak menginsafi
liehaynya ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat dari Hian Kee Itsoe. Tanpa keliehayannya
itu, Hian Kee Kiamhoat tidak nanti menjadi sangat tersohor.
Dua serangan Sin Tjoe yang pertama gertakan belaka, yang ketiga kali adalah sera
ngan sungguh-sungguh, dan gerakannya pun diubah sedikit di saat ujung pedang mel
uncur. Maka "Bret!" robek dan kutunglah ujung bajunya si orang aneh itu!
"Sayang!..." Sin Tjoe mengeluh. Sebenarnya
ia mengarah lengan si orang aneh, untuk dibikin putus, saking lincahnya musuh, i
a tidak dapat mencapai maksud hatinya itu. Cuma, karenanya, ia membikin buyar be
berapa bahagian dari kejumawaan orang.
Di saat si orang aneh menyingkir dari pedang si nona, yang membuatnya ia terpera
njat, kembali pukulannya Siauw Houwtjoe mengenakan perutnya hingga terdengar sua
ra keras "Buk!" Sebab bocah itu menyerang selagi Sin Tjoe membabat.
Hanya akibat serangan bocah ini ada hebat. Dia mengenai sasarannya tetapi dia ti
dak mampu segera menarik pulang kepalanya itu, yang seperti nancap atau nempel d
i perut orang.
"Entjiel" dia berteriak, dengan mukanya menjadi merah bahna malu dan kaget. Kage
t karena mendadak tubuhnya lantas terangkat naik dan terlempar!
Sin Tjoe pun kaget akan tetapi ia cukup tabah dan sebat, begitu kaget begitu ia
menyerang, membabat lengan si orang aneh itu.
Lagi sekali si orang aneh mengibas dengan tangan bajunya, kali ini dia bukannya
hendak membikin mental tetapi untuk melibat. Tapi si nona liehay sekali, ia lant
as berontak seraya menegakkan tangannya, maka itu, ia dapat lolos dengan tangan
bajunya lawan lagi-lagi terbabat kutung!
Si nona tidak berhenti sampai di situ, kecerdasannya membuat ia sadar. Maka meng
gunai ketikanya itu, hendak ia menusuk
ke dadanya lawan. Akan tetapi bertepatan dengan itu mendadak ia mendapat cium se
macam bau yang asing untuknya, bau itu keluar dari tangan baju si orang aneh. Ia
kaget, buru-buru ia menahan napas, guna menyingkir dari bau itu. Karena ini, be
lum sempat ia menikam. Di saat itu, tahu-tahu ia telah kena ditotok si orang ane
h!
"Haha!" orang aneh itu tertawa. "Sebenarnya aku ingin menyaksikan Hian Kie Kiamh
oat di jalankan habis, untuk menyaksikan keliehayannya, sayang aku mesti melayan
i tetamu agung, sukar untuk aku menemani kau lebih lama pula!..."
Hampir berbareng dengan itu, Siauw Houwtjoe juga telah kena ditotok hingga berdu
a Sin Tjoe ia
menjadi mati daya, berdua mereka lantas dibawa ke barisan murid-muridnya si oran
g aneh.
Nona Ie tidak dapat menggeraki kaki tangannya tetapi pikirannya sadar. Ia heran
bukan main, hatinya menjadi goncang. Ia heran atas keliehayan orang, ia pun mend
uga-duga siapa tetamu agung dari orang itu. Adakah si tetamu juga orang aneh sem
acam dia?
Orang aneh itu berlalu sebentar, untuk menyalin pakaian,
ketika ia muncul pula, ia menitahkan tetabuan dibunyikan. Cuma sebabak, musik be
rhenti, lantas terlihat datangnya dua orang.
Sin Tjoe mementang matanya. Ia dapatkan dua orang itu adalah seorang priya dan s
eorang wanita, dan si
wanita adalah orang asing yang berambut berwarna keemas-
emasan, wajahnya cantik, romannya agung. Dia mengenakan rok yang panjang hingga
mengenai lantai.
Kembali Sin Tjoe heran melihat wanita agung ini. Kenapa dia datang ke tempat sem
acam benteng tua ini?
Si orang priya be-roman tampan, tubuhnya tinggi, nampaknya pun agung. Ia tidak b
isa lantas dikenali apa ia orang Barat atau orang Han. Tapi ia mengenakan pakaia
n orang asing. Ia berhidung mancung dan kedua matanya bersinar
tajam. Kulitnya berwarna kuning tetapi rambutnya hitam. Ia berjalan dengan berpe
gang tangan dengan si wanita, keduanya
nampak akrab sekali
perhubungannya.
Siauw Houwtjoe mengawasi dengan bengong. Sin Tjoe sebaliknya menduga-duga, merek
a itu berdua suami isteri atau bukan.
"Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk perlayanan ongya di sini," te
rdengar si priya berkata kepada si orang aneh, yang dipanggil "ongya" atau "tuan
ku raja" atau "tuanku pangeran."
Untuk banyak hari kami sudah menggerecok di istanamu ini, tidak dapat kami berdi
am lebih lama pula, maka itu hari ini kami mohon pamitan."
Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa yang kaku, seperti juga orang yang sudah
lama meninggalkan kampung halamannya, yang
baharu pulang kembali, tinggal lagu suara asalnya yang belum
berubah.
Sin Tjoe berpikir keras. Orang aneh ini ongya dari mana? Biar bagaimana ia ada p
uterinya satu menteri dan luas juga pengetahuannya. Kerajaan Beng, semenjak diba
ngun Kaisar Tjoe Goan Tjiang, meskipun banyak menganugerahkan raja-raja muda di
pelbagai propinsi tetapi belum pernah ia dengar ada pangeran yang diangkat menja
di raja atau raja muda di propinsi Koeitjioe ini. Orang ini dipanggil ongya maka
heran dia punya " onghoe" alias istana adalah macam ini benteng tua dan juga ti
dak seharusnya dibangun di tanah pegunungan sepi sunyi seperti ini. Bukankah ong
ya ini ongya palsu?
Si mayat hidup itu bersikap sangat menghormat kepada kedua
tetamunya itu, wajahnya senantiasa tersungging senyuman manis. Ketika ia menyahu
ti, ia pun menjura dalam-dalam.
"Sungguh siauw ong sangat berbahagia telah mendapat kunjungan dari kongtjoe dan
hoema ini," demikian katanya. "Oleh karena hoema berkeras hendak berangkat, siau
w ong tidak dapat menahannya terlebih jauh. Perjalanan ini ke kota raja Tiongkok
adalah jauh, jalannya banyak sungai dan gunungnya, keamanannya pun
kurang, maka itu perlu sekali ada orang pandai yang mengiringinya, baharu hatiku
tenteram..."
Kembali Sin Tjore heran. Si orang aneh dipanggil ongya, selayaknya saja dia memb
asahkan diri siauw ong," yaitu "raja yang kecil." Wanita itu
dipanggil "kongtjoe" artinya puteri, dan si priya dipanggil "hoema," yaitu suami
nya puteri atau menantu raja. Tidakkah itu aneh?
"Benarlah mereka sepasang suami isteri," nona kita berpikir. "Entah dia kongtjoe
dari raja atau negara mana. Dia menjadi kongtjoe, kenapa dia tidak punya pengir
ing? Apa perlunya tuan puteri ini berkunjung ke Tiongkok? Meski Tiongkok ada neg
ara besar, sudah lama lemah kedudukannya, sudah lama tak pernah datang utusan da
ri negara lain, maka itu, dari mana tuan puteri ini? Umpama kata benar dia mewak
ilkan negaranya dan hendak datang ke Tiongkok untuk membayar upeti, bukankah tak
perlu dia mengambil jalan dari Koeitjioe ini terutama mengambil jalan pegunu-
ngan yang jauh dan sulit hingga dia mesti mampir di sini? Bukankah dia juga tuan
puteri palsu? Hanya, kalau dikata palsu, suami isteri ini nampaknya benar-benar
agung..."
Maka itu, pusing Sin Tjoe memikirkannya.
Priya yang dipanggil hoema itu kelihatannya rada bersangsi.
"Sebenarnya kami telah diantar oleh dua orang pandai, hanya dengan mereka itu ka
mi berpisah di tengah jalan," berkata dia kemudian. "Lama kami menantikan mereka
, tidak juga mereka kunjung tiba, dari itu terpaksa kami lantas berangkat terleb
ih dulu."
"Kalau begitu, tidak dapat kongtjoe dan hoema berangkat
sendiri," berkata si orang aneh, "Baiklah siauw ong saja yang
mengiringi pengantar.
Baiklah surat kepercayaan dan barang hadiah diserahkan dia yang bawa. Dia ada se
orang gagah yang kenamaan, ilmu silatnya tinggi, orangnya pun jujur dan setia, k
arenanya hoema boleh tidak usah menguatirkan apa-apa lagi."
Hoema itu menggeleng kepala.
"Tidak usah," bilangnya. "Tentang surat kepercayaan dan
barang hadiah itu, semua telah diserahkan kepada dua orang pengantar kami itu. K
ami berjalan dengan tubuh kosong, kami tidak kuatirkan apa juga. Umpama kata di
tengah jalan ada gangguan segala kurcaci, rasanya dapat aku melayani mereka!"
Orang asing itu tertawa.
"Hoema pandai surat dan silat, siauw ong
memang sangat mengagumi kau," katanya, "Beda dengan kongtjoe, seorang tuan puter
i yang lemah lembut hingga kaget saja tidak dapat kongtjoe mendapatkannya. Oh, y
a, hoema barusan menyebutkan kedua orang pandai yang menjadi pengantar, bukankah
mereka ada dua saudagar bangsa India yang mukanya masing-masing hitam dan putih
, ialah kedua saudara kembar yang dipanggil Hek Pek Moko?"
Hoema itu nampaknya heran.
"Mengapa ongya ketahui mereka itu?" ia balik bertanya.
"Mereka pernah mengirim satu muridnya datang ke mari, siauw ong kurang percaya,"
sabut orang aneh itu. "Kiranya benar-benar mereka adanya."
"Mana dia muridnya Hek Pek Moko itu?" si hoema tanya.
"Dia ada di sini..."
Sembari menyahuti, si orang aneh meng-hampirkan Siauw
Houwtjoe, yang ia tarik dari antara murid-muridnya.
Sin Tjoe bermata celi, dia mendapat tahu orang aneh itu telah menggunai ilmu tot
okan yang luar biasa untuk membebaskan si bocah, hanya sementara itu, sembari me
ncekal
tangan orang dia sebenarnya memencet nadi.
Siauw Houwtjoe bergidik, dengan jinak dia mengikuti orang aneh itu. "
Sin Tjoe heran menyaksikan bocah itu demikian jinak.
"Siauw Houwtjoe beradat keras dan berani, biar nadinya dipen
cet, tidak selayaknya ia jinak begini?" ia
berpikir. Maka ia mengawasi terus. Siauw Houwtjoe tetap jinak dan si orang aneh
memperlihatkan kedua matanya yang bersinar sangat tajam dan berpengaruh menatap
bocah itu.
"Bukankah kau datang bersama kedua gurumu, Hek Soehoe dan Pek Soehoe
itu?" tanya si orang aneh.
"Benar," Siauw
Houwtjoe menjawab.
"Kau datang ke mari mencari gurumu, benarkah?" tanya pula si orang aneh.
"Benar, tidak salah," jawab pula Siauw Houwtjoe. Ia seperti terpengaruh tetapi i
a dapat menjawab rapi.
"Eh, Siauw Houwtjoe, apakah kau masih kenali kami?" si hoema turut bertanya.
Siauw Houwtjoe menjublak mengawasi hoema dan kongtjoe itu,
ia rupanya mengingat secara samar-samar saja.
Si orang aneh tertawa.
"Ingatannya anak kecil kurang kuat," ia bilang. "Berapa kalikah hoema
pernah bertemu sama Siauw Houwtjoe?"
"Heran!" berkata hoema itu. "Ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Kalim-
pong, dia nampaknya sangat cerdik."
"Setibanya di sini, karena udara tidak cocok, dia lantas dapat sakit," berkata s
i ongya , "Sudah beberapa hari dia jatuh sakit, baharu sekarang dia sembuh sedik
it." Dia lantas menepuk-nepuk tangannya dan berkata nyaring: "Undang Bong Goan T
joe datang ke mari!"
Titah itu rupanya ada yang lakukan, maka sebentar saja dari dalam
terlihat munculnya satu orang dengan dandanan sebagai bangsa Biauw. Dialah itu o
rang yang di rumah touwsoe telah memale Siauw
Houwtjoe, yang kemudian ditinggal lari Siauw Houwtjoe dan Sin Tjoe sehabisnya di
a dihajar roboh.
"Siauw Houwtjoe, apakah kau masih kenali orang ini?" si orang aneh tanya sambil
menunjuk Bong Goan Tjoe.
"Aku ingat," sahut Siauw Houwtjoe. "Tadi malam kita masih ada bersama."
Si orang aneh menghadapi hoema, lalu sambil menunjuk Bong Goan Tjoe, dia kata: "
Ini orang bersahabat kenal dengan Hek Pek Moko. Hek Pek Moko itu lagi beberapa h
ari bakal datang ke mari. Umpama kata hoema ingin cepat-cepat be-
rangkat, boleh siauw ong menitahkan Bong Goan Tjoe yang mengantarkan, biar Hek P
ek Moko menyusul belakangan."
Setelah melihat
Siauw Houwtjoe, hoema itu nampaknya mulai percaya si ongya. Ia mengangguk.
"Baiklah kalau begitu!" katanya.
"Bagus!" kata si ongya pula. "Sekarang mari siauw ong memberi perjamuan
selamat
berpisah kepada kongtjoe dan hoema1." Ia lantas menuangi arak ke dalam cawa
n kumala putih, araknya berwarna hijau. Lebih dulu ia menyuguhkan kepada hoem
a.
Itulah arak Biauw yang dicampuri obat pengacau asabat.
Hoema itu
menyambuti cawan itu, yang ia terus antar ke mulutnya. Baharu pinggi-
ran cangkir nempel pada bibir, atau satu sinar kuning emas berkelebat, segera
terdengar suara nyaring dari pecahnya cangkir. Sebab cangkir di tangan hoema itu
pecah terbelah empat, terlepas dari tangan, mental jauh. Berbareng dengan itu t
erdengar juga suara nyaring tetapi halus: "Arak itu ada racunnya! Binatang ini b
ukannya orang baik-baik!"
Itulah Sin Tjoe, yang telah menimpuk dengan kimhoa, bunga emasnya. Selama itu di
samping memasang mata dan kuning, ia pun sudah kumpul semangatnya, ia empos itu
. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya,
berhasil ia membebaskan diri dari totokannya si orang aneh. Tentu sekali, kejadi
an ini ada di luar dugaan mayat hidup itu. Malah saatnya
pun sangat tepat, hingga Sin Tjoe bisa menolong si hoema tanpa o
rang aneh itu dapat mencegah.
Setelah itu Sin Tjoe berlompat maju dan dengan pedangnya ia serang pula si mayat
hidup. Ia ada sangat berani.
Orang aneh itu menggeraki tangannya, dari dalam tangan bajunya lantas menghembus
pula bau aneh yang tadi menyerang hidungnya si nona. Tapi sekarang Sin Tjoe dap
at menahan napas, dia pun menahas tangan baju orang. Dengan berpaling
cepat, ia melepaskan napasnya yang tertahan itu.
"Lepas pedangmu!" tiba-tiba si mayat hidup berseru.
Sin Tjoe merasakan tenaga kuat sekali menekan pedangnya. Ia
dapatkan orang aneh itu telah menjepit dan menekan pedangnya dengan sepasang
sumpit yang dia dengan sebat telah samber dari atas meja, dengan itu dia menangk
is serangan membarengi menjepit. Pasti sekali Sin Tjoe kalah tenaga hingga ia ti
dak berdaya.
"Jangan takut, entjie Sin Tjoe!" Siauw Houwtjoe berteriak. "Aku akan bantui kau!
"
Juga bocah ini sadar akan dirinya, malah kata-katanya disusuli serangannya, deng
an begitu "Buk!" si orang aneh kena terhajar kepalan Liongkoen. Tapi serangan in
i tidak mengenai seluruhnya, sebab dari samping Bong Goan Tjoe sudah menyambar t
angan orang.
Bong Goan Tjoe telah kena orang hajar, dia bersakit hati, maka
itu sekarang dia turun tangan tidak kepalang tanggung, hendak dia membikin remuk
tulang orang, hingga Siauw Houwtjoe merasakan tangannya sakit tidak terkira. Ta
pi ia bandal, ia menahan sakit, tidak sudi ia menjerit kesakitan.
Menyaksikan kejadian itu, si hoema mengke-rutkan keningnya. Di saat ia hendak pe
rdengarkan suaranya, mendadak dari pintu luar terdengar suara tertawa yang luar
biasa yang disusul seruan: "Siapa berani menghina muridku!"
Tertawa dan seruan itu segera disusul pula sama suara hebat bagaikan guntur, yan
g disusul lagi dengan gempur robohnya daun pintu, yang mendatangkan angin sampai
api lilin tertiup bergoyang-goyang.
Orang menjadi kaget, apapula setelah itu segera mereka melihat munculnya dua ora
ng yang romannya keren sekali, ialah Hek Pek Moko, dua saudara kembar yang mukan
ya hitam dan putih itu, malah lagu suaranya sama juga.
Bong Goan Tjoe terperanjat, ia segera melepaskan cekalannya. Tapi ia sudah terla
mbat, serangannya Hek Moko telah tiba tanpa dia sanggup menangkis atau berkelit
dari itu. Tidak ampun lagi dia kena terhajar hebat sampai tubuhnya
terlempar ke meja panjang di atas mana ada banyak rupa barang makanan.
Kaget
jatuhnya tubuh, sebuah kaki meja tidak dapat menahannya, meja itu turut ambruk b
ersama, piring mangkoknya pada pecah dan hancur,
bekas ketindihan dan jatuh belarakan,
menambahkan berisik.
Hek Moko sudah lantas tertawa berkakakan.
"Beginilah Liongkoen harus digunakan, baharu tenaganya cukup besar!" ia kata, su
aranya nyaring,
"Siauw Houwtjoe, kau lihat tegas-tegas! Aku hendak mengajarkan pula kepadamu!"
Tangannya si hitam ini segera terayun pula, terayun dengan memperdengarkan suara
anginnya. Kepalan itu melayang ke arah si orang aneh yang terpisah cukup jauh d
engan penyerang ini, sasarannya adalah
muka orang.
Berbareng dengan itu, Sin Tjoe merasakan pedangnya enteng. Itulah sebab dua bata
ng sumpitnya si orang aneh, yang dipakai menjepit pedang,
telah kena dibikin patah oleh sampokan ujung baju Hek Moko.
Si orang aneh kaget dan cemas. Untuk menangkis, ia menyamber dua muridnya yang b
erada paling dekat dengannya, dia angkat tubuh orang, untuk dipakai sebagai tame
ng.
Kedua murid itu kalah pandai daripada Bong Goan Tjoe, pasti mereka tidak berdaya
. Masih beruntung untuk mereka, Hek Moko tidak gunai seantero
tenaganya setelah ia lihat kelicikan si orang aneh. Kesudahannya mereka terhajar
terpental, yang satu patah tulang rusuknya, yang lain patah lengannya, keduanya
rebah di lantai sambil merintih.
Kejadian itu membikin ciut hatinya murid-murid lainnya dari orang aneh itu, bany
ak yang menyingkir, kuatir nanti
digunai gurunya sebagai tameng lagi.
"Hek Pek Moko, jikalau mau bicara, bicaralah dengan baik!" berseru si orang aneh
.
"Ada bicara baik apa!" menjawab Pek Moko. "Kepalanku ini masih belum laku! Eh, S
iauw Houwtjoe, kau lupa atau tidak ilmu silatmu Loohan Koen?" dia menanya muridn
ya.
Murid itu berjengit.
"Soehoe, tanganku ini tidak dapat digunai," dia menjawab.
"Ngaco!" bentak Pek Moko. "Kenapa tidak dapat digunai?" Dia menghampirkan, dia j
ambret tangan yang sakit dari muridnya itu, setelah menekan, dia menarik pelahan
-
pelahan.
Cuma sekejap itu saja, lenyap rasa sakitnya Siauw Hou Tjoe.
"Bagus!" berseru pula Pek Moko, si guru. "Dia
membikin luka lenganmu, sekarang kau hajar dia sepuluh kali!"
Bong Goan Tjoe lagi merayap bangun ketika Siauw Houwtjoe, yang menghampirkan pad
anya, sudah melayangkan sebuah kepalannya, maka tidak ampun lagi, dia terhuyung
beberapa tindak, hampir dia terguling. Dia terluka hingga kulitnya pecah.
Hek Pek Moko tertawa berbareng.
"Bagus!" mereka membentak. "Sekarang kau, hantu bangkotan, mari kau rasai kepala
nku!"
Dengan berbareng dua saudara kembar itu berlompat kepada si orang aneh, kepalan
mereka menyambar. Orang itu menjambret meja batu marmer, dengan itu ia menangkis
. Maka hancurlah batu marmer itu.
"Soehoe, jangan sembrono!" si hoema berteriak, kepada kedua pengantarnya.
"Apa?" kedua Moko berpaling dan menanya. "Kamu mengundang kami untuk mengantar k
amu, kenapa sekarang kamu melarang kami menghajar orang?"
"Dialah seorang raja Hoan!" hoema menyahuti.
"Raja apa!" berseru Hek Moko, tertawa. "Dia ini adalah Poan Thian Lo si silum
an dari Ouwbong San. Dia sekarang lagi main gila di sini!"
Lantas dua saudara kembar itu maju pula.
"Hek Pek Moko!" berkata si orang aneh. "Aku bermaksud baik mengajak kamu berda-m
ai! Apakah kamu sangka aku jeri terhadapmu?"
Dia lantas meraba ke pinggangnya, maka di lain saat dia telah
mencekal serupa
senjata yang aneh. Senjata itu mirip dengan djoanpian, ruyung lemas, akan tetapi
seputar badannya
penuh duri bagaikan gergaji. Sebab itu adalah kiesit pian, ruyung lemas bergigi.
Itulah senjata yang cuma dapat digunai partai persilatan Tjie Hee Toodjin dari
Ouwbong San, keistimewaannya ialah melibat merampas senjata
lawan serta menghajar pecah siapa yang tubuhnya kebal, yang tidak mempan senjata
.
Kedua Moko tertawa lebar melihat senjata itu.
"Lihat, senjata mustikanya Ouwbong San telah dikeluarkan!"
mereka berseru. "Kamu ada punya cambuk mustika, kami juga ada punya tongkat seru
pa! Sekarang kami ingin saksikan, cambuk atau
tongkat yang terlebih liehay!"
Hek Moko sudah lantas menarik tongkatnya, Lekgiok thung, dan Pek Moko, Pekgiok t
hung, masing-masing tongkat hijau dan putih mengkilap, bila diputar keras, kedua
nya dapat mengeluarkan suara nyaring berirama.
Poan Thian Lo melihat dan mendengar suara senjata lawan itu, dia bergidik sendir
inya, tetapi terpaksa dia lantas melayani berkelahi. Oleh karena mereka sama-sam
a kosen, lekas sekali mereka sudah bertempur sekira dua puluh jurus. Hanya hebat
kedua tongkat dari saudara kembar itu. Dulu hari melawan Thio Tan Hong, tongkat
itu membuat Tan Hong kewalahan sebab pedang Tjengbeng kiam tidak dapat merusakn
ya,
maka juga sekarang, senjatanya si orang aneh sudah lantas saja menjadi gompal!
Hebat Hek Pek Moko, dengan pelahan-
pelahan, dengan
teratur, mereka mulai mendesak, kedua
tongkat mustika mereka seperti menjadi satu.
Ruyung lemasnya Poan Thian Lo panjang setombak lima kaki, kalau itu digunai, dip
utar, senjata itu seperti dapat menyamber dua lipat jauhnya, biasanya tidak ada
orang yang berani menghampirkan dia
sampai dekat, akan tetapi sekarang dia bertemu batunya,
bukan saja dalam hal ilmu silat dia kalah, mengadu senjata pun dia keteter, dari
itu kalangan pembelaan dirinya semakin lama jadi semakin ciut. Agaknya segera p
ertempuran
itu akan sampai di achirnya.
"Eh, Siauw Houwtjoe!" tiba-tiba Sin Tjoe berseru. "Kenapa kau diam saja?"
Pek Moko dapat dengar pertanyaan itu, ia heran, hingga ia lantas berpaling kepad
a muridnya. Ia menjadi bertambah heran. Ia dapatkan Siauw Houwtjoe berdiri diam
di hadapannya Bong Goat Tjoe, matanya mendelong, kedua tangannya dikasi turun. D
i lain pihak Bong Goan Tjoe dengan matanya yang tajam terus menatap bocah itu, t
idak pernah dia menoleh ke kiri dan kanan.
"Siauw Houwtjoe, kau mesti turut perkataanku!" demikian Bong Goan Tjoe berkata s
uaranya bengis.
Menampak itu dengan mendadak guru yang putih itu berlompat
keluar dari kalangannya mengepung Poan Thian Lo, dia berlompat kepada muridnya.
"Siauw Houwtjoe, kau kenapa?" dia berseru dengan pertanyaannya. "Apakah kau suda
h lupa ilmu silat Loohan Ngoheng Koen yang aku ajari padamu?"
Sin Tjoe berteriak kepada orang India itu: "Siauw Houwtjoe telah kena makan obat
jahat dari mereka hingga urat sarafnya terganggu!"
"Oh begitu!" seru Pek Moko. Lantas dia tarik tangan muridnya, terus dia tepuk em
bun-embunannya, beboko-ngnya dan rusuknya yang kiri, beruntun tiga kali. Habis i
tu ia berseru menyuruh: "Lekas kau hajar dia! Dialah orang jahat!"
Itulah cara mengobatinya Pek Moko menurut ilmu yoga, untuk menolong siapa y
ang
urat sarafnya terganggu hingga dia menjadi pelupaan. Pengobatan itu sangat musta
jab, Siauw Houwtjoe sudah lantas sadar, hingga bagaikan satu manusia baru, dia s
egera ingat segala apa seperti sediakala. Bagaikan berbayang di depan matanya, i
a ingat baik-baik bagaimana Bong Goan Tjoe telah perlakukan padanya. Tentu sekal
i ingatan itu membangkitkan hawa amarahnya, maka juga tanpa Sin Tjoe mente-riaki
nya lagi, seperti harimau ganas, dia berlompat kepada Bong Goan Tjoe, untuk meny
erang pula tanpa mengucapkan sepatah kata, malah terus ia menyerang saling susul
dengan Loohan
Ngoheng Koen, ialah ilmu silat Naga, Harimau, Macan Tutul, Burung Hoo dan Ular.
Tadi diserang Hek Pek Moko, kepandaiannya Bong Goan Tjoe telah lenyap separuh-ny
a, sekarang dia dirabuh si bocah, dia menjadi kewalahan, dia tidak sanggup melay
ani lama-lama. Maka lewat lagi sekian lama dia sudah roboh di lantai, kulit dan
dagingnya pada pecah dan hancur, urat-uratnya putus, tulang-tulangnya patah, den
gan napas empas-empis, dengan tubuh berlumuran
darah, ia rebah tanpa mampu merayap bangun lagi!
Selama Pek Moko menolongi muridnya, Hek Moko mesti menyerang Poan Thian Lo seora
ng diri, dengan begitu Poan Thian Lo menjadi seperti dapat napas separuh, tetapi
di bawah desakan orang India ini, dia tetap keteter, dia tetap kena
didesak. Sudah begitu, segera Pek Moko datang pula dengan tongkat putihnya, saki
ng terdesak, dia sampai tak malu-malu untuk berkaok-kaok...
Dua-dua Moko tertawa lebar.
"Baiklah!" berkata mereka. "Aku mengasi ketika untuk kau memanggil bala bantuan!
"
Lantas mereka tancap tongkat mereka, mata mereka memandang ke kiri dan kanan.
Menyusul kaokannya Poan Thian Lo itu di ruang besar itu sudah lantas muncul dua
orang aneh lain!
***
Dua orang yang baharu datang itu masing-masing mengenakan baju kuning yang panja
ng, rambut mereka digubat, sudah hidung mereka mancung, mata
mereka celong. Tapi yang aneh adalah, di samping pakaian mereka yang berseragam
itu, rupa mereka pun sangat mirip satu dengan lain, kecuali, yang satu hilang ku
ping kirinya, yang kanan lenyap kuping kanannya.
Di dalam ruang itu orang sudah heran melihat Hek Pek Moko si saudara kembar, sek
arang itu ditambah dengan keheranannya atas dua orang baru ini. Benar-benar duni
a
aneh, dalam sekejap, di sini muncul dua pasang saudara kembar.
Akan tetapi dua orang aneh ini dikenal oleh Hek Pek Moko, juga oleh Sin Tjoe dan
si bocah, malah mereka pernah dilukai dengan panah oleh kedua saudara Moko itu.
Mereka dilukai pada tahun yang lalu di gunung Tongteng san di telaga Thayouw.
Sebab merekalah itu dua saudara kembar bangsa Arab, Ismet dan Achmad.
Melihat mereka itu, mulanya Hek Pek Moko tercengang, lalu segera mereka tertawa
lebar. Lekas-lekas mereka merangkap kedua tangan mereka untuk memberi hormat.
"Saudara-saudara, sungguh kamu memegang kepercayaan!" kata Hek Moko. "Tapi sekar
ang ini untuk sampai kepada janji satu tahun masih kurang tiga hari!"
"Hm!" Ismet bersuara seraya ia membalas hormat. Tapi ia tidak melayani orang bic
ara hanya lebih dulu dia berpaling kepada si wanita asing yang cantik, untuk mem
bungkuk memberi hormat dari mulutnya terdengar kata-kata yang tidak di mengerti
Sin Tjoe dan
Siauw Houwtjoe dan yang lainnya, malah Hek Pek Moko juga mengarti tak sepe
nuhnya.
Habis mendengar perkataan orang,
wanita cantik itu meng-kerutkan keningnya, d ujung matanya lantas terlihat air m
engem-beng, parasnya turut berubah pias, akan kemudian dia menjadi tak wajar lag
i.
Ismet bersikap semakin menghormat, tetapi di samping itu, ia masih berkata-kata
tak hentinya.
Sin Tjoe sangat heran hingga ia berpikir: "Ismet dan Achmad ada kosen sekali, me
reka sekarang berlaku begini hormat terhadap ini wanita asing, terang benarlah i
a ada seorang wanita agung, satu tuan puteri. Hanya, kenapa mereka ini ada sangk
utannya sama Hek Pek Moko dan ini orang
aneh dari benteng tua ini?"
Sin Tjoe tidak mengarti tetapi dugaannya itu tidak meleset.
Wanita cantik itu memang ada puterinya raja Iran, suaminya ialah itu priya yang
berdiri di dampingnya, yang romannya separuh orang Tionghoa dan separuh orang Ar
ab. Sebenarnya dia adalah seorang dari suku bangsa Pek dari Tali, namanya Toan T
eng Tjhong. Untuk negara Tali itu. Keluarga Toan adalah keluarga besar dan kenam
aan. Semenjak sebelum kerajaan Song, keluarga itu menjadi raja turun temurun. Ad
alah sejak kerajaan Goan memus-nakan negara Tali itu, turunan keluarga Toan diub
ah kedudukannya dari raja menjadi " pengtjiang" yaitu kedudukan perdana menteri.
Toan Kong itu pandai bekerja, dia dapat mendirikan jasa di Tali melebihkan leluh
urnya, hingga penduduk propinsi Inlam dalam mana Tali berada, memuji tinggi pada
nya. Dan Toan Teng Tjhong ini adalah generasi yang ke tujuh. Ketika dulu hari te
ntera Mongolia
menerjang ke Eropah, Asia dan Afrika, ada satu puteranya Toan Kong yang menjadi
perwira dan turut dalam angkatan perang itu. Kemudian, setelah
kerajaan Goan runtuh, keluarga putera Toan Kong itu berdiam terus di Iran (Persi
a) dan turun temurun menikah sama wanita Iran. Karena keluarga Toan ada keluarga
orang peperangan, mereka pandai ilmu silat pedang. Demikian Toan Teng Tjhong in
i, yang di masa mudanya telah
menjadi ahli pedang nomor satu untuk seluruh Iran, hingga raja Iran undang dia m
enjadi guru silat pedang, hingga karenanya dia dicintai puteri Iran itu. Untuk b
eberapa tahun mereka berasmara secara diam-diam. Kemudian baharulah raja Iran me
ndengar selentingan. Ia tidak setujui perjodohan itu, sebabnya ialah
keagungan raja, tak pantas puteri menikah sama satu guru silat pedang. Raja itu
ada kakaknya puteri, ia lantas mendesak
adiknya menikah sama lain pemuda. Puteri tidak setuju, dia menjadi nekat, dia mi
nggat bersama Toan Teng Tjhong. Di waktu pergi, puteri itu membawa banyak barang
berharga dari istana. Raja menjadi gusar sekali, perintah dikeluarkan
akan cari puteri itu. Dua saudara Ismet dan Achmad berkedudukan sebagai guru neg
ara, merekalah yang diutus pergi mencari, dibebankan tanggungan mesti dapat mena
wan dan membawa pulang
sepasang merpati yang terbang kabur itu. Toan Teng Tjhong merasa ia tidak sanggu
p melawan kedua guru negara itu, ketika dia dan puteri lari sampai di India, den
gan perantaraan orang, ia minta bantuannya Hek Pek Moko. Mereka ini menerima bai
k permintaan tolong itu. Sebagai saudagar-saudagar barang permata, dua saudara M
oko biasa mengitari seluruh India, Iran dan Tiongkok. Isteri mereka pun orang ba
ngsa Iran. Maka itu, mereka mengantarkan Toan Teng Tjhong dan sang puteri ke Tio
ngkok.
Ismet dan Achmad telah menyusul puteri sampai di India, di Kalimpong mereka
bertemu sama Hek Pek Moko, kedua pihak bertempur seruh tanpa ada yang kalah atau
menang. Tidak berhasil Ismet dan Achmad mendapatkan tuan
puterinya. Hek Pek Moko berhasil menyembunyikan puteri itu di rumah seorang saha
batnya bangsa India juga, mereka sendiri menyingkir guna menyesatkan kedua orang
Iran itu. Mereka ini menyusul terus menerus hingga ke Tiongkok. Hal ini membuat
dua saudara Moko itu sangat mendongkol, hingga mereka pernah memikir meminta ba
ntuannya Thio Tan Hong untuk menghajar dua orang itu, agar keduanya kapok dan ka
bur. Ketika mereka tiba di Tongteng
san, Thayouw, Thio Tan Hong sudah berlalu dari gunung di tengah telaga itu dan p
indah ke Inlam. Di Tongteng san, Hek Pek Moko bertemu sama Sin Tjoe, maka mereka
lantas pinjam panah pusaka dari Thio Soe Seng, dengan tiga batang panah itu mer
eka berhasil meluka-kan Ismet dan Achmad, yang kena dipukul mundur. Karena luka
itu, satu tahun lamanya dua jago Iran itu mesti memelihara diri untuk mempulihka
n kesehatannya.
Dari gunung Tongteng san, Hek Pek Moko kembali ke India, untuk menyambut tuan pu
teri dan Toan Teng Tjhong berangkat ke Tiongkok. Puteri itu suka pergi ke Tiongk
ok karena ia sekalian mempunyai suatu maksud.
Mongolia itu semenjak Perdana Menteri
Vasian(Essen) bangkit pula kembali telah menjadi kuat. Yasian telah membantu Tot
o Puhwa membangun
negara Watzu, hingga dalam peperangan di Tobokpo hampir dia dapat memusnakan Tio
ngkok, Kemudian dari itu Yasian sendiri kena dibasmi oleh suatu suku lain bangsa
Mongolia, akan tetapi putera Toto Puhwa dapat bangun lagi. Dia inilah yang peme
rintah Beng sebut " siauw ong tjoe" atau "raja kecil". Siauw ong-tjoe ini menjad
i kuat pelahan-pelahan, pengaruhnya sampai di Asia Tengah hingga hampir berhubun
gan sama Persia. Persia itu dulu pernah diilas-ilas bangsa Mongolia, maka juga k
alau mereka mendengar disebutnya "Bahaya Kuning," mereka jeri sekali. Maka itu w
alaupun puteri Iran
(Persia) itu lari dari negaranya, dia tetap masih memikirkan keselamatan negaran
ya. Dari itu dengan kedudukan sebagai puteri Iran, ingin ia berkunjung ke Pakkhi
a untuk menghadap kaisar
Tiongkok, untuk mencoba mengadakan persahabatan di antara Iran dan Tiongkok, mak
sudnya ialah untuk menjaga diri dari ancaman bangsa Tartar (ialah siauw ongtjoe
itu). Yang dimaksudkan Tartar di sini adalah pemimpin bangsa Watzu, yang disebut
nya "khan Tartar."
Puteri itu berminat demikian, ia tapinya belum ketahui keadaan yang sebenarnya d
ari kerajaan Beng, yang kusut di dalamnya. Toan Teng Tjhong pun ada sama tidak m
engetahuinya, karena ia, semenjak beberapa
turunan, berada di luar negeri. Ia hanya ingin sekalian pulang ke Tiongkok denga
n maksud serupa seperti isterinya, untuk dapat melakukan sesuatu
guna kebaikan Tiongkok dan Iran.
Di dalam tugasnya mengantar suami isteri bangsawan itu ke Pakkhia, Hek Pek Moko
ada mengalami sedikit kesulitan, ialah mereka tidak berani berjalan sama-sama se
cara
berterang, mereka cuma dapat mengawasi secara sembunyi.
Sebabnya ialah pada belasan tahun yang lalu, mereka pernah mencuri batu-batu
permata di istananya pangeran Seng Tjin Ong di Pakkhia, sedang pergaulannya deng
an Tan Hong, menyebabkan mereka juga dicari Kaisar Kie Tin yang telah kembali
ke atas
tachta kerajaannya. Sebenarnya mereka bukan takut dibekuk pemerintah, mereka han
ya tidak ingin sebab urusan pribadi mereka nanti merembet-rembet puteri Iran dan
Toan Teng Tjhong. Mulanya mereka berniat pergi dahulu ke Tali di Inlam, kesatu
untuk mengunjungi Thio Tan Hong untuk mendamaikan sesuatu, kedua supaya Toan Ten
g Tjhong dapat menengok kampung halamannya, apa mau di tengah jalan di tanah dat
ar Koeitjioe itu kedua pihak berpencaran, hingga kesudahannya mereka mencari put
eri Iran dan Toan Teng Tjhong itu di tempatnya Poan Thian Lo.
Poan Thian Lo adalah murid kepala dari Tjie Hee Toodjin dari gunung Ouwbong San.
Tjie Hee ada punya tiga
murid tetapi murid kepala inilah yang paling pandai, cuma nama Poan Thian Lo tid
ak tersohor secara umum disebabkan dia tidak pernah ke luar dari propinsi Koeitj
ioe dan ia senantiasa melayani gurunya. Yang Tjong Hay adalah murid yang ketiga,
ialah yang paling disayang gurunya maka itu ia mewariskan ilmu silat pedang Tje
k Seng Kiamhoat dan di wilayah Barat daya ia menjagoi hingga namanya sama terken
alnya seperti nama Thio Tan Hong. Bong Goan Tjoe ada murid yang nomor dua dan ia
lah yang kepandaiannya paling lemah.
Dua saudara Ismet dan Achmad itu, setelah mereka terluka panah oleh Hek Pek Moko
, mereka sudah lantas pergi pada Poan Thian Lo, untuk memohon bantuan g
una
menghadapi pula musuhnya, yaitu kedua saudara Moko. Mereka dapat persetujuannya
Poan Thian Lo. Maka itu mereka lantas mengatur rencana. Perjanjian
mereka yaitu, Ismet dan Achmad cuma menghendaki membawa pulang puteri Iran ke ne
gerinya, sedang Poan Thian Lo boleh dapatkan semua kekayaannya puteri itu. Poan
Thian Lo mengatur rencananya sebab, biar bagaimana, ia jeri terhadap Hek Pek Mok
o.
Partai Tjek Seng Pay itu berpengaruh di propinsi Koeitjioe, maka juga Poan Thian
Lo dapat bekerja dengan leluasa. Mulanya Poan Thian Lo mengirim sejumlah muridn
ya me-megat puteri Iran itu di tengah jalan. Hal ini terjadi sebelum Hek Pek Mok
o dapat menyusul puteri itu suami isteri.
Di lain pihak Poan Thian Lo sendiri memimpin sejumlah orangnya pergi "menolongi"
puteri Iran itu. Ia mengaku diri sebagai Hoan ong atau raja muda, maka ia dipan
ggil pangeran.
Setelah menolongi, ia sambut puteri itu serta suaminya ke bentengnya itu di mana
ia melayani orang dengan cara hormat dan telaten sekali. Ketika pertama kali He
k Pek Moko datang menyusul, mereka gagal, malah Siauw Houwtjoe kena ditawan.
Ismet dan Achmad serta Poan Thian Lo memang jeri terhadap Hek Pek Moko, yang mer
eka malui terutama ilmu yoganya, maka setelah Siauw Houwtjoe tertawan mereka, Po
an Thian Lo hendak mengorek pelajaran yoga itu dari murid orang ini, tetapi Si
auw Houwtjoe
cerdik sekali, ia tidak kena dibujuk atau dipedayakan, karenanya oleh Poan Thian
Lo dan Bong Goan Tjoe ia dikasi makan obat yang melemahkan urat sarafnya hingga
ia jadi pelupaan dan tolol sekali, sesudah mana ia dinikahkan dengan puteri tou
wsoe, puteri mana ada muridnya Bong Goan Tjoe dan touwsoe pun sudi menerima boca
h itu sebagai baba mantunya.
Itulah apa yang Sin Tjoe dapat menyaksikan di kamar pengantin.
Hek Pek Moko tidak puas mendengar Ismet dan Achmad, Hek Moko lantas saja tertawa
dingin dan menegur: "Tuan puterimu tidak suka pulang, perlu apa kamu masih meng
oceh saja? Kalau kau lantas pulang, kau justeru masih dapat melindungi kedudukan
mu sebagai
guru negara! Ketahui olehmu, apabila kamu tetap tidak tahu gelagat, kami tidak n
anti sudi berlaku sungkan lagi! Dulu kamu kehilangan kepandaianmu satu tahun, ka
li ini bisa untuk beberapa tahun, dengan begitu, apakah kamu masih dapat mendudu
ki kursi kebesaranmu?"
Dua saudara itu merasa sangat terhina mereka sudah kena terpanah, sekarang merek
a diperingati hal lukanya itu, yang meminta perawatan satu tahun, keduanya
menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka menghunus golak mereka yang meleng
kung model bulan sabit, maka di situ terlihatlah sinarnya kedua golok itu yang b
erkilauan.
Hek Pek Moko pun menggeraki tongkat mereka hingga terdengar
suaranya yang nyaring. Maka itu kedua pihak sudah lantas bertempur. Cepat sekali
belasan jurus telah dikasi lewat.
"Sungguh golok yang bagus." Hek Moko memuji senjata lawannya, berbareng dengan m
ana ia menyapu dengan tongkatnya, Lekgiok thung.
Ismet membalas menyerang hingga tiga kali beruntun.
Sin Tjoe telah menyaksikan dan delapan Nippon menggunai
goloknya, sekarang ia lihat cara berkelahinya orang Iran ini, ia merasa orang ad
a terlebih liehay. Ismet pun menyerang sambil berseru.
Achmad menyontoh saudaranya, ia
menyerang tidak kurang hebatnya, tetapi goloknya dihalau Pekgiok thung, tongkatn
ya Pek Moko, maka habis itu, ia
menjaga hingga senjata mereka tidak benterok pula. Demikian juga dengan Ismet.
Tadi Hek Moko memuji lawannya tetapi benterokan senjata mereka merugikan Ismet,
yang gigi goloknya pada patah, dari itu ia mendahului saudaranya berkelahi denga
n menghindarkan peraduan senjata.
Di dalam halnya tenaga, dua saudara Ismet dan Achmad itu merasa mereka kalah, di
sebabkan tenaga dan keulatan mereka belum pulih anteronya, oleh karenanya, untuk
dapat melawan, mereka
mengandal kepada ilmu silat golok mereka.
Hek Pek Moko juga berkelahi dengan sabar, daripada mendesak, mereka lebih banyak
membela diri. Mereka mau menanti ketika. Meskipun demikian,
hebatnya pertempuran tidak jadi berkurang.
Semua orang menonton dengan kagum.
Setelah lewat sekian lama, terlihat sinar hijau dari tongkat mengalahkan sinar p
utih dari golok, melihat itu Siauw Houwtjoe sudah lantas berseru kegirangan: "Gu
ruku menang!"
Bocah ini tidak melihat keliru. Belum lagi seruannya berhenti, sudah terdengar s
eruan hebat dari Ismet dan Achmad, lalu di luar tahu Sin Tjoe keduanya telah lom
pat keluar dari gelanggang, menyingkir dari pengaruhnya tongkat, sesudah mana te
rdengar Ismet bersumpah: "Hari ini aku bersumpah mesti membalas sakit hati panah
dahulu hari!" Menyusul itu sebelah tangannya terayun!
Semua orang lantas menampak sebuah sinar
terang kuning emas meluncur, sinar yang keluar dari tiga bola yang pun memperden
garkan suara me-ngaung. Ketiga bola itu menyambar ke arah Hek Moko.
"Sungguh suatu senjata rahasia yang temberang!" Hek Moko tertawa setelah ia liha
t serangan itu, "Eh, berapa banyak juga senjatamu ini, suka aku membelinya! Bera
pa harga yang kau minta?"
Dua saudara kembar India ini ada saudagar-saudagar barang permata, maka sifat da
gangnya itu tidak gampang-gampang lenyap.
"Aku kuatir kau tidak sanggup membelinya!" Ismet mengejek. Ia kembali menyerang
dengan tiga bolanya, karena tiga yang pertama dapat dikelit musuhnya.
Berbareng dengan itu, Acmad juga menyerang Pek Moko dengan tiga bola yang sama.
Setelah menyaksikan senjata rahasia orang Iran itu, Sin Tjoe kata di dalam hati
kecilnya: "Apakah yang aneh dari senjata ini? Sama saja dengan bunga emasku, yan
g bisa menyerang jalan darah! Mana bisa senjata begini melukai Hek Pek Moko?"
Dua saudara Moko itu telah menggunai tongkat mereka, mereka menyampok serangan h
ingga senjata rahasia itu mental balik kepada lawannya masing-
masing.
Ismet dan Achmad memunahkan senjatanya itu sendiri dengan lain bola mereka, sesu
dah itu mereka mengulangi serangan mereka, beruntun beberapa kali, hingga mereka
telah membikin habis
semuanya tiga puluh enam bola emas mereka. Bola-bola emas itu benterok satu deng
an lain, hingga suaranya menjadi sangat nyaring dan berisik, berkumandang di
tengah udara, hebat didengarnya, hati orang menjadi goncang, hingga orang lekas-
lekas menekap kuping.
"Kiranya suaranya bola ini begini berpengaruh..." berpikir pula Sin Tjoe. "Cuma
suara ini pasti tidak bakal mempengaruhi mereka yang tenaga dalamnya tangguh."
Memang juga perhatian Hek Pek Moko tak terganggu suara hebat itu. Mereka cuma re
pot menangkis setiap bola, sebab Ismet dan Achmad memungut pula yang jatuh, buat
dipakai menyerang lagi, atau menanggapi yang mental balik, yang terus
dipakai menimpuk pula.
Sekarang Sin Tjoe mengagumi bola emas itu. Sebab nyata setiap sasarannya adalah
jalan darah yang berbahaya.
"Entjie, lihat!" berkata Siauw Houwtjoe.
Sin Tjoe tengah mengagumi senjata rahasia musuh, ia seperti tidak dengar suara b
ocah itu.
"Entjiel" Siauw
Houwtjoe memanggil pula, terus hingga tiga kali.
"Jangan berisik! Jangan berisik!" kata Sin Tjoe achirnya. "Aku lagi melihat!"
Memang benar Nona Ie ini lagi memperhatikan cara menyerang dari Ismet dan Achmad
itu, ia pikirkan cara itu untuk dipakai dengan bunga emasnya sendiri, kalau ia
dapat meniru, bunga emas itu dapat dipakai menotok berbareng melukai karen
a
lembaran-lembaran bunganya tajam.
"Itulah tidak aneh!" kata pula Siauw Houwtjoe. "Guruku
terlebih liehay lagi! Kau lihat! Kau lihat!"
Mau atau tidak, Sin Tjoe menjadi tertarik hatinya, maka ia lantas memasang mata
terhadap Hek Pek Moko. Ia mendapatkan kedua sinar hijau dan putih dari dua sauda
ra itu bersinar bundar sebagai roda, menutupi tubuh mereka itu, maka setiap kali
bola emas menerjang, masuk ke dalam bundaran sinar,
masuknya itu bagaikan kerbau tanah kecem-plung ke laut, tidak dapat keluar pula
seperti tadi. Lalu tak berselang lama, kedua tongkat kedua saudara Moko itu tela
h tergantungkan banyak bola emas dengan sinarnya kuning mengkilap.
Semua bola emas itu tadi dapat mental balik, kesatu karena cara menyerangnya Ism
et dan Achmad, dan kedua disebabkan dihajar
mental oleh kedua lawannya. Tapi sekarang, semua bola itu tidak dihajar, hanya d
isambuti sinar bundar seperti roda itu, sinar yang seperti merupakan jala perang
kap,
dibiarkan dapat masuk, tidak diijinkan keluar lagi.
Sin Tjoe kagum hingga ia berdiri men-jublak. Ismet dan saudaranya hebat
caranya menyerang, dan dua saudara Moko ini hebat kepandaiannya menyambuti
itu.
"Sekalipun nelayan menebar jala, masih ada ikannya yang molos," ia berpikir. "Ta
pi dua saudara ini membuatnya bola emas bergantung di tongkat mereka... Sungguh
hebat!"
Tiba-tiba Sin Tjoe ingat kepandaian
menggunai pedang dari suami isteri gurunya.
"Sepasang pedang soehoe dan soebo liehay sekali apabila keduanya telah tergabung
," demikian pikirnya pula. "Pasti kepandaian soehoe dan soebo lebih liehay dari
dua saudara Moko ini. Sayang ilmu pedang itu tidak dapat dipelajari satu orang s
endiri, tidak demikian, apabila itu digabung dengan kepandaiannya Hek Pek Moko i
ni, tentu senjata rahasia yang paling liehay di kolong langit ini dapat dipunahk
an juga..."
Girang Sin Tjoe dapat menyaksikan ini kepandaian dari Hek Pek Moko dan Ismet dan
Achmad itu, ia dapat melihat kefaedahannya, yang ia hendak menela-dannya. Selam
a sepuluh tahun ia mengikuti kedua
gurunya, banyak pengetahuannya dan kecerdasannya bertambah, hingga ia gampang me
ngarti, gampang menerima pelajaran.
Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring dari Hek Pek Moko.
"Pembicaraan dagang kita ini sudah dibicarakan putus jadi!" demikian mereka itu
berseru. "Haha! Kiranya di kolong langit ini ada juga kejadian tanpa modal sepes
er tetapi dapat kita memperoleh begini banyak emas kuning! Perdagangan serupa in
i, seumur hidupnya satu manusia, satu kali juga sungguh sukar diketemukannya! Ya
, kamu masih mempunyai berapa banyak emas lagi? Mari, ada berapa banyak juga kam
i suka menerimanya!"
Ismet dan Achmad berdiri bengong di dalam
gelanggang itu. Mereka masih mempunyai sisa enam biji bola emasnya tetapi mereka
tidak berani pakai itu untuk menyerang pula.
Mereka cuma memegangi saja golok bulan sabit mereka.
Poan Thian Lo menonton semenjak tadi, ia perhatikan pertempuran dan segala apa d
i sekitarnya. Ia kagum untuk jalannya pertempuran, ia bercemas hati untuk kesuda
hannya itu. Sudah ia tidak sanggup berbuat
apa-apa, juga dua saudara kembar itu yang diharapkan bantuannya, gagal. Tapi ia
ada sangat cerdik dan licik, maka juga tengah Ismet berdua berdiam saja dan kedu
a saudara Moko bergurau, ia perdengarkan pekik yang aneh, tubuhnya lantas berlom
pat ke arah Siauw Houwtjoe.
Hebat akibat pekik dan gerakan Hoan ong palsu ini, bagaikan orang tersadar, Isme
t dan Achmad segera bergerak pula, dengan memutar goloknya
masing-masing, mereka menerjang pula Hek Pek Moko.
Hebat adalah gerakannya Poan Thian Lo. Cambuknya yang luar biasa sudah lantas me
nyambar ke arah si bocah, yang dia niat lilit.
Sin Tjoe berada di damping Siauw
Houwtjoe, ia sebenarnya gesit tetapi ia masih kalah sebat. Ia pun tidak menyangk
a sama sekali atas serangan mendadak ini. Ketika ia menyabet dengan pedangnya, u
jung cambuknya Poan Thian Lo sudah menyamber robek ujung bajunya si bocah.
Tidak berhasil sean-teronya terhadap Siauw
Houwtjoe, Poan Thian Lo memutar cambuknya yang istimewa terhadap dadanya Sin Tjo
e, nona yang merintangi
usahanya itu. Ia menyerang dengan jurusnya "Naga berbisa keluar dari sarangnya."
Sin Tjoe menangkis serangan itu dengan sama kerasnya, maka itu kedua senjata ben
terok hebat, hingga muncratlah lelatu apinya. Setelah benterok, cambuk itu tidak
berhenti hanya masih mencoba melilit.
Cambuk panjang setombak lebih, dengan begitu seperti juga si nona dirintangi jal
annya di samping kiri atau kanan, sedang ujung cambuk mencari
bajunya, untuk digaet dengan gigi-giginya cambuk yang istimewa itu.
Dalam saat sangat terdesak maka terlihat-
lah satu tubuh mencelat tinggi bagaikan terbang, membarengi mana sinar hijau dar
i pedang pun berkelebat ke empat penjuru, diikuti dengan suara nyaring dari satu
benterokan.
"Bagus, ilmu pedang yang bagus!" berseru Poan Thian Lo. "Nah, sambutlah lagi!"
Nyatalah Sin Tjoe dapat meloloskan diri dari cambuk dengan ia mencelat tinggi sa
mbil tangannya membabat, maka pedangnya itu telah membabat habis gigi-gigi cambu
knya si pangeran tetiron. Semua itu terjadi dengan sangat cepat.
Dengan gerakannya ini yang luar biasa, Sin Tjoe telah mempergunakan banyak sekal
i tenaganya. Dalam ilmu silat dan tenaga, ia kalah jauh dari Poan Thian Lo,
siapa ada
menangi Yang Tjong Hay sedikitnya satu lipat, maka itu ia bukanlah satu tandinga
n. Bahwa ia sudah membuat perlawanan, itulah saking terpaksa, untuk melindungi S
iauw Houwtjoe. Dan bahwa ia dapat membabat putus giginya cambuk, itu melulu kare
na ia andalkan liehaynya Hian Kie Kiamhoat yang ia telah fahamkan itu dibantu sa
ma tajamnya Tjengbeng kiam, pedang mustikanya itu.
Segera datang pula sambaran cambuknya Poan Thian Lo, cepat dan berat. Sin Tjoe t
erkejut. Itu waktu ia sudah lelah dan tela-pakan tangannya pun sakit. Meski ia d
apat membabat, benterokan senjata buatnya tangannya tergetar dan sakit. Kalau se
karang ia melayani keras dengan keras, ada kemungkinan
pedangnya bakal terlepas dari cekalannya dan terlempar.
Siauw Houwtjoe bukannya berdiam saja ketika tadi ia diserang Poan Thian Lo, ia s
udah gunai kelincahannya untuk berkelit dengan menjatuhkan diri dan bergulingan,
sesudah mana dengan gerakannya "Ikan gabus meletik," ia lantas berlompat bangun
.
Justeru itu, ia melihat bahaya mengancam si nona kawannya itu.
"Entjie, jangan bingung, aku datang!" ia lantas berseru.
"Mana kau dapat?" berseru Sin Tjoe dengan pertanyaannya, agaknya ia terperanjat.
Ia baharu menanya atau ia dengar suara angin menyambar,
sebab dengan berani bocah itu berlompat kepada musuh, yang ia serang dengan mend
a-
dak itu.
Poan Thian Lo repot, karena ia lagi menyerang Sin Tjoe. Kalau ia menyerang terus
, mesti ia kena dihajar bocah itu. Inilah ia tidak menghendakinya. Maka itu ia t
arik cambuknya, untuk dipakai membela diri.
Ketika ini digunai Sin Tjoe untuk menolong dirinya. Dengan pedang di depan dada,
ia turun, untuk menaruh kaki. Tapi Poan Thian Lo benar-benar sebat, dia dapat m
enyerang pula, ke arah jalan darah soankie hiat, setelah mana ujung cambuknya me
nyambar terus ke arah Siauw Houwtjoe.
Berbahaya sekali bocah itu, dalam halnya ilmu enteng tubuh, ia kalah dari Sin Tj
oe, maka sulit untuk ia membebaskan diri. Si nona pun kaget bukan main, hatinya
cemas.
Adalah di saat sangat mengancam itu, tiba-tiba cambuk Poan Thian Lo mental nyam-
ping. Di antara mereka lantas terlihat Hek Moko, yang sembari tertawa terbahak-
bahak memuji si bocah: "Bagus, Siauw Houwtjoe! Pukulan Naga kau ini benar-benar
ada ajaran gurumu!"
Memang juga Siauw Houwtjoe menyerang dengan Liongkoen,
pukulan Naganya itu, hanya sebab kalah tenaga, ia kena dibikin terpental lawanny
a, ia justeru malu sendirinya, karena ia anggap gurunya itu menterta-wai padanya
, ia dapatkan tubuh lawannya miring. Jadi ia telah kena menghajar musuh jago itu
, meski tidak hebat. Sekarang
baharulah ia tahu, gurunya memuji ia dengan sebenar-benarnya.
Pertarungan berjalan terus. Hek Pek Moko telah mendesak Poan Thian Lo dan Ismet
dan Achmad. Dua saudara ini, dengan mendapatkan bantuannya Poan Thian Lo, menjad
i mendapat hati, hingga mereka sanggup
membuat perlawanan dengan sama serunya.
Poan Thian Lo tidak puas, maka tanpa memikir panjang lagi, ia memberikan tanda
dengan siulannya, atas mana murid-muridnya di kedua pinggiran lantas menghunus s
enjatanya masing-masing, semua meluruk untuk mengepung.
Hek Moko melihat ancaman bahaya itu.
"Sin Tjoe, kau lindungi tuan puteri, kau menerjang keluar!" ia teriaki si nona.
"Marilah kita berlalu bersama-sama!" mengajak Toan Teng
Tjhong.
"Tidak!" menyahut Hek Moko. "Tidak dapat tidak, aku mesti menghajar dulu binatan
g ini!"
Sin Tjoe sudah lantas mendampingi puteri Iran itu, dengan pedang di tangan ia me
nunjuki roman bengis.
Puteri itu pun agung, ia tidak jadi kecil hati karena bahaya yang mengancam itu.
Untuk beberapa tahun, ia pernah belajar silat di bawah pimpinan suaminya. Bahka
n sambil bersenyum, ia kata pada suaminya itu: "Kau tidak usah pedulikan aku! Ap
akah kau senang membiarkan satu bocah membantu kau menerjang?"
Siauw Houwtjoe memang telah berpisah pula. Ia sudah lantas menghunus goloknya go
lok Bianto yang ia cekal di tangan kiri, karena dengan ta-
ngan kanannya ia bersilat dengan Loo Han Koen ajarannya Hek Pek Moko. Dengan gol
ok itu ia bersilat dengan ilmu golok Ngohouw Toan-boen too. Ia berkelahi dengan
bengis sekali hingga murid-muridnya Poan Thian Lo tidak berani merapatkan dia. S
ayangnya untuk ia, ia masih belum cukup ulat. Maka kemudian ia kena dirintangi j
uga oleh banyak musuh, yang bersenjatakan tombak. Tapi ia tidak kenal mundur, wa
laupun
sudah mandi keringat, ia bertempur terus.
"Sungguh, tidak kecewa dia menjadi puteranya Thio Hong Hoe!" Sin Tjoe memuji deg
an kekaguman menyaksikan kegagahan orang.
Toan Teng Tjhong telah menerima baik anjuran isterinya,
begitu ia menghunus
pedangnya, begitu ia lompat maju menerjang. Dan begitu lekas juga, beberapa musu
h roboh di ujung pedangnya.
"Dengan baik hati aku melayani kau, kenapa kau melukai pengi
kut-pengikutku?" Poan Thian Lo menegur.
"Terima kasih, Hoan ong\" menjawab Teng Tjhong. "Kalau benar Hoan ong
bermaksud baik, mengapa kau tidak membubarkan sekalian pengiringmu ini? Kena
pa kau merintangi kami? Tentang kebaikanmu, nanti saja setibany
a kami di Pakkhia, kami melaporkannya kepada sri baginda raja!"
Teng Tjhong bicara dengan bahasa Tionghoa yang kaku, maka kata-katanya ini yang
bersifat menyindir
terasa lebih menusuk kuping, dari itu, Poan Thian Lo menjadi gusar bukan main.
Tapi ia
mesti mendongkol saja, untuk menghampirkan orang dan menyerangnya, ia tidak sang
gup. Kedua tongkatnya Hek Pek Moko tetap tengah mengurung padanya.
Toan Teng Tjhong tersohor sebagai ahli pedang nomor satu di Iran, ia merangkap k
edua kepandaian Timur dan Barat, ia menjadi hebat sekali. Sebentar kemudian, lag
i beberapa orang roboh sebagai kurban pedangnya.
San Tjoe dapat lihat orang menggunai
pedang dengan jarang sekali menyabet, selalu dengan menikam, maka gerakannya Ten
g
Tjhong ada cepat sekali. Ia anggap ilmu silat orang ada baik sekali walaupun, ti
dak dapat dibandingkan dengan Pekpian Hian Kie Kiamhoat dari gurunya.
Dalam pertempuran dahsyat itu, tiba-tiba
terdengar mengaungnya senjata rahasia. Segera ternyata, itulah serangannya Bong
Goan Tjoe, adik seperguruan dari Poan Thian Lo. Dia telah menggunai gelang perak
di lengannya. Tapi dia menyerang dengan tubuhnya rebah di tanah. Tinjunya Hek M
oko membikin dia tidak dapat merayap bangun. Meskipun dia tidak bisa jalan, tang
annya masih dapat menggunai
senjata rahasianya itu. Begitulah kedua tangannya menyerang dengan enam buah gel
ang peraknya.
Toan Teng Tjhong kaget sekali waktu tahu-tahu ada senjata rahasia yang menyambar
ke arahnya. Ia lekas-lekas menangkis dengan pedangnya. Senjata rahasia itu kena
terpukul, lalu mental. Celakanya, dengan mengasi dengar
suaranya yang luar biasa, gelang itu mental nyambar puteri Iran. Tentu sekali, i
a menjadi bertambah kaget. Di saat ia hendak berlompat, akan menolongi isterinya
, mendadak tiga buah gelang yang lain menyambar pula ke arahnya.
"Celaka!" ia mengeluh.
Akan tetapi, tidak usah pangeran ini menangkis atau berkelit, enam buah gelang i
tu telah runtuh sendirinya, jatuh ke tanah. Sebab Ie Sin Tjoe sudah menolongi di
a menimpuknya hingga semua senjata rahasia itu jatuh. Dan caranya si nona menimp
uk tepat menuruti caranya Ismet dan Achmad tadi!
Bukan main gembiranya Sin Tjoe yang ia dapat meniru cara orang itu. Mengikuti ke
gembiraannya itu, ia
lantas gunai semuanya tujuh puluh dua biji bunga emasnya, untuk terus menyerang
murid-muridnya Poan Thian Lo. Mereka itu berjumlah kira lima puluh orang, kecual
i yang dirobohkan Toan Teng Tjhong dan Siauw Houwtjoe, masih ada sisa tiga puluh
lebih orang dan mereka ini, semua roboh di tangannya si nona. Hingga ia cuma me
nggunai tak ada separuh dari senjata rahasianya itu.
Habis menyerang dengan cepat Sin Tjoe jalan mengitari kalangan, untuk memungut p
ulang semua bunga emasnya itu.
Pertempuran di antara Hek Pek Moko melawan musuh-
musuhnya berlangsung terus, keadaan mereka kedua pihak agaknya berimbang. Maka
juga,
menyaksikan itu, Sin Tjoe tidak mendapat duga kapan akan achirnya itu.
" Tjianp wee m a ri I a h kita berlalu!" achirnya Sin Tjoe menyerukan dua saudar
a Moko itu, mengajak mengangkat kaki.
Kedua saudara Moko itu tertawa bergelak, keduanya menyahuti dengan berbareng:
"Inilah tandingan yang setimpal! Inilah pertandingan yang seumur hidupku mungkin
sukar diketemukan meski juga satu kali saja! Maka itu baik kamu membiarkan kami
bertempur sepuas-puasnya!"
Kata-kata mereka ini di achirkan dengan satu tangkisan tergabung dari kedua tong
kat hijau dan putih dan golok bengkung dari Ismet lantas saja terhajar terlepas
mencelat ke atas. Akan tetapi Ismet
benar-benar liehay, belum sampai datang serangan kepadanya, ia sudah mencelat me
nyambuti goloknya itu, hingga bersama
saudaranya dapat ia merapatkan diri untuk bertempur terlebih jauh. Kedua golok m
ereka terus bergerak-gerak mengimbangi kedua tongkat, kadang-
kadang mereka membalas menyerang juga.
Poan Thian Lo adalah yang terendah ilmu silatnya akan tetapi dengan dapat bantua
nnya dua saudara kembar yang menjadi kawannya itu, ia bisa bergerak dengan gesit
untuk memberikan
bantuannya mengepung dua saudara Moko itu. Hingga berlima mereka menjadi bertaru
ng rapat sekali.
Sin Tjoe mendapat perasaan sayang untuk tidak menyaksikan per-
tempuran yang istimewa itu, akan tetapi kapan ia melihat cuaca, ia menginsafi pe
rlunya mereka mengangkat kaki. Kalau umpama touwsoe mengirim bala bantuan, tentu
lah sulit untuk mereka menyingkir. Dari itu di achirnya ia berseru kepada dua sa
udara Moko itu: "Baiklah, kami akan menantikannya di selat selatan sana!"
Di mana di situ sudah tidak ada lainnya musuh dengan merdeka Sin Tjoe beramai da
pat menyingkir dari benteng itu. Sin Tjoe menarik tangannya si puteri, sedang To
an Teng Tjhong mendahulukan mereka untuk mengambil kudanya yang bulu merah atas
mana ia sudah terus menyem-plak, sedang tangannya menuntun seekor kuda lain yang
sama warna bulunya.
"Baik aku bersama Siauw Houwtjoe menaiki kuda ini," Toan Teng Tjhong bilang. "Ka
u naiki itu kuda untuk sekalian melindungi tuan puteri."
Kedua kuda ada kuda Persia kenamaan,
larinya pesat, jalanan pegunungan yang sukar di jalani itu tidak menjadikan rint
angan untuknya. Sebentar kemudian mereka sudah tiba di selat di sebelah selatan
itu.
Toan Teng Tjhong lompat turun dari kudanya.
"Bagaimana kau lihat kedua ekor kuda ini?" sembari tertawa ia menanya Siauw
Houwtjoe. "Jikalau kau suka kuda ini, lain hari boleh aku menghadiahkan padamu!"
Sin Tjoe bersenyum.
"Kedua kuda ini memang tidak dapat dicelah," menjawab si
bocah, "hanya kalau mereka hendak diadu dengan kudanya entjie -ku,
bedanya masih jauh sekali!"
"Benarkah itu?" menanya Teng Tjhong kurang percaya.
Belum lagi Siauw Houwtjoe menyahuti, Sin Tjoe sudah mengasi dengar siulannya yan
g nyaring halus yang panjang, yang berkumandang di selat itu.
Mendengar suara itu, Teng Tjhong terperanjat.
"Leluhurku beberapa turunan pernah membilang hebatnya ilmu silat Tionghoa, sekar
ang aku percaya kebenarannya itu," ia berkata kagum. "Sekalipun kau, nona, kau t
elah mempunyai tenaga dalam yang liehay ini."
Sin Tjoe tidak membilang suatu apa, ia cuma bersenyum, jawabannya tela
h diwakilkan
suara meringkik yang nyaring dan keras dan panjang, lalu tertampak lari mendatan
ginya
seekor kuda putih, lari pesat dan melompati beberapa solokan, akan sebentar saja
tiba di hadapan mereka.
Itulah Tjiauwya Say-tjoe ma, yang datang atas panggilan majikannya.
Toan Tjeng Tjhong menghela napas.
"Orang Eropah membilang Persia mempu-nyakan banyak mustika, aku bilang, Tiongkok
kita, baharulah negara kaya raya," ia berkata. "Lihat saja, sekalipun kudanya p
un begini istimewa!"
Ie Sin Tjoe tertawa. Ia pondong puteri untuk dikasi turun dari kudanya.
Puteri itu menyekal tangan orang erat-erat.
"Terima kasih!" katanya dalam bahasa
Tionghoa, yang sedikit-sedikit ia dapat pelajari dari suaminya. Suaranya itu kak
u tetapi toh enak didengarnya.
Sin Tjoe bersenyum.
Lalu, dengan kata-kata Tionghoa yang ia tahu, dibantu sama gerakan tangannya, pu
teri itu mencoba memasang omong dengan nona kita.
Sin Tjoe menanyakan kenapa puteri ini datang ke Tiongkok. Tidak dapat puteri mem
beri keterangan jelas, maka ia minta Teng Tjhong membantu bicara. Ia agaknya sen
ang sekali dengan suami asingnya ini, karena memang ada biasa untuk wanita Persi
a yang berbesar hati mempunyai kekasih, sedikitpun ia tidak malu atau likat.
Sin Tjoe pun girang, ia gembira melihat suami isteri itu bicara
sambil dicampur sama tanda-tanda dengan tangan, tetapi kemudian, ia masgul seora
ng diri. Lain orang telah berpasangan, hidupnya berbahagia, tetapi ia sendiri, i
a masib sebatang kara...
Siauw Houwtjoe tidak dapat kawan bicara. Ia lari sana lari sini, akan mencari ke
senangannya sendiri, ia pun sering menoleh ke arah dari mana tadi mereka datang.
Lama rasanya sudah lewat, mendadak dia berseru: "Lihat, kedua guruku telah data
ng. Kelihatannya mereka gembira sekali, pasti mereka telah peroleh kemenangan!"
Dan ia lantas tertawa terbahak-
bahak.
Memang di sana terlihat Hek Pek Moko mendatangi dengan laratkan kuda mereka. Dar
i jauh cambuk mereka
itu telah dibulang-balingkan, kemudian terdengar suara
tertawa mereka riang gembira.
Sin Tjoe semua berpaling, lantas ia lari bersama Siauw
Houwtjoe untuk mema-paki.
Segera juga kedua saudara Moko telah sampai, keduanya
lantas lompat turun dari kuda mereka. Mereka pun tertawa dengan gembira sekali.
"Kali ini pertempuran baharulah mempuaskan sekali!" keduanya
berseru. "Sudah belasan tahun yang kami belum pernah menemui
tandingan seperti kali ini!"
"Ceritakanlah, soehoe , untuk kami mendengarnya!" berkata Siauw Houwtjoe yang pu
n girang luar biasa.
Hek Moko menoleh kepada Sin Tjoe.
"Pada sepuluh tahun yang lalu kami dua saudara pernah bertarung dengan gurumu su
ami isteri," ia berkata. "Kami kena dikalahkan tetapi kami kalah dengan puas. Ka
li ini kami bertempur, kami menang dan Ismet dan Achmad dua saudara juga kalah d
engan puas juga!"
"Dua saudara itu ada harganya untuk dijadikan sahabat!" berkata Pek Moko. "Cuma
sayang mereka tidak berpandangan luas
sebagai guru kamu nona, setelah kalah mereka lantas bersumpah akan pulang ke neg
erinya untuk tidak mencampuri lagi segala urusan nganggur!"
"Yang paling mempuaskan adalah Poan Thian Lo si jahanam itu!" berkata pula Hek M
oko, "Dia kena kuhajar dengan tongkatku hing-
ga tulang kakinya patah! Siauw Houwtjoe, kau pun boleh merasa puas!"
"Kabarnya Poan Thian Lo itu bersama-sama Yang Tjong Hay ada murid-muridnya Tjie
Hee Toodjin," berkata Sin Tjoe.
Hek Pek Moko tertawa terbahak.
"Habis Tjie Hee itu bagaimana?" tanya mereka. "Mustahilkah kami dan gurumu berdu
a jeri terhadapnya? He,
Siauw Houwtjoe, mengapa kau diam saja?"
"Kepalaku sedikit pusing," menyahut murid itu.
Hek Moko menyambar tangan orang untuk memeriksa nadinya.
"Ah tidak beres!" katanya.
"Dia telah kena makan obat pengganggu urat saraf, sesudah itu dia pun kena makan
bisa yang diberikan oleh
gadisnya touwsoe," Sin Tjoe memberitahukan.
"Obat pengganggu urat saraf itu sudah dipunahkan," berkata Hek Mako. "Bagaimana
dengan bisa itu?"
"Turut apa yang aku dengar," Sin Tjoe memberi keterangan, "bangsa Biauw suka mem
elihara pelbagai macam binatang berbisa mereka taruh semua binatang itu dalam se
buah paso besar, semuanya dibiarkan saling membunuh hingga tinggal semacam binat
ang yang hidup sendiri. Binatang itu ditumbuk dijadikan bubuk, bubuk itu dibikin
menjadi semacam obat, jikalau itu dicampur dalam air teh atau di dalam sayur at
au nasi dan dikasikan orang minum atau makan, di dalam waktu yang tertentu, umpa
manya seratus hari atau satu tahun, bisa itu
akan bekerja, dengan begitu celakalah si kurban kecuali dia ditolong oleh orang
yang mera-cuninya sendiri."
Pek Moko menjadi gusar sekali.
"Kalau begitu mari kita kembali!" ia berseru. "Kita mesti ubrak-abrik rumahnya t
ouwsoe itu dan paksa si wanita siluman mengeluarkan obat pemu-nahnya!"
"Bukan, dia bukannya wanita siluman," Siauw Houwtjoe bilang, "Ketika itu hari ak
u dilukai oleh Poan Thian Lo dan Bong Goan Tjoe, selama setengah bulan, aku dira
wat nona itu."
Sin Tjoe segera menaruh jari tangannya di mukanya.
"Siauw Houwtjoe ada punya liangsim yang baik sekali," katanya, menggoda, "dia me
nyayangi isterinya itu!..."
"Siapa bilang dialah isteriku?" Siauw
Houwtjoe membentak. "Bukankah kita telah membilangnya bahwa kami telah putus hub
ungan?"
"Eh, bagaimana duduknya hal ini?" Hek Pek Moko tanya heran.
"Dia telah dipeda-yakan dan dinikahkan," berkata Sin Tjoe yang terus menuturkan
duduknya hal. Tapi, ketika menutur sampai di bagian mengacau kamar pengantin, no
na ini jengah sendirinya.
Hek Pek Moko lantas tertawa lebar.
"Jikalau menuruti adatku dulu-dulu, touwsoe itu mesti diubrak-abrik!" berkata He
k Pek Moko kemudian, romannya sungguh-sungguh, "tetapi sejak aku bersahabat deng
an gurumu itu, perangaiku dapat aku ubah banyak.
Mendengar keterangan kau, rupanya gadis touwsoe itu juga dijadikan pekakasnya Po
an Thian Lo, maka itu, tidak perlu kita mengganggu padanya. Aku tidak percaya di
dalam dunia ini ada racun yang tidak dapat dipunahkan!"
Hek Pek Moko pernah mengidarkan seluruh India, sudah merantau luas di Persia, Ti
ongkok dan beberapa negara timur lainnya, mereka telah perhatikan
pelbagai macam obat di negara-negara itu,
lebih-lebih Hek Pek Moko, ia paling memperhatikan penyakit-penyakit yang aneh, i
a jadi lebih mengarti daripada saudaranya itu. Maka ia lantas menyuruh Siauw
Houwtjoe duduk bersila, terus ia memeriksa pula. Di achirnya ia tertawa.
"Bisa ini benar
"Bisa ini benar berbahaya tetapi dia tidak dapat mencelakai orang yang faham yog
a," katanya. "Sin Tjoe, pergi kau lebih dahulu bersama tuan puteri, nanti aku be
baskan Siauw Houwtjoe dari bisa yang menyerangnya, kemudian kita nanti menyusul
kamu."
Sin Tjoe menurut, maka ia lantas berlalu bersama puteri Iran.
Hek Pek Moko juga sudah lantas bekerja, akan uruti Siauw Houwtjoe.
Lekas sekali bocah ini merasakan hawa panas pindah dari tangan gurunya ke tubuhn
ya sendiri, sudah panas, ia pun sampai bernapas memburu.
"Mainkan napasmu," Hek Moko ajari muridnya.
Siauw Houwtjoe menurut, ia menenangkan diri, ia bernapas dengan beraturan, denga
n
pelahan. Inilah sama dengan pelajarannya setiap hari, untuk merapikan jalan napa
snya itu. Mulanya ia merasakan sulit akan mengendalikan napasnya itu, lama-lama
baharulah ia merasa lega. Lewat lagi sekian lama, ia merasakan dalam perut seper
ti ada kutu bergerak-gerak, perutnya itupun
mengasi dengar suara gerijukan.
"Sudah!" berkata Hek Moko setelah
menyaksikan perubahan pada muridnya. "Nah, pergilah kau ke sana membuang air bes
ar!"
Siauw Houwtjoe menurut, ia pergi jongkok. Banyak ia mengeluarkan kotoran. Ketika
ia kembali pada gurunya, ia diberikan obat makan.
Tiga hari Siauw Houwtjoe mesti membuang tempo, untuk dirawat terus oleh kedua
gurunya bergantian, selama itu ia terus bersamedhi, maka
achir-achirnya bukan melainkan racunnya lenyap, tubuhnya pun menjadi semakin
tangguh berkat latihan tenaga dalam itu. Sesudah itu bersama kedua gurunya itu s
erta Toan Teng Tjhong, ia melanjuti perjalanan untuk menyusul Sin Tjoe dan puter
i Iran.
Sekeluarnya dari wilayah bangsa Biauw, Hek Pek Moko mengadakan pembicaraan setur
uhnya. Mereka mengusulkan untuk
pergi dahulu ke Tjhong San, guna mencari Tan Hong suami isteri. Di kaki gunung T
jhong San itu pun ada wilayah Tali, negara atau kampung halamannya Toan Teng Tjh
ong.
Teng Tjhong setujui usul itu. Memang selama beberapa hari ber-
gaul, dari Sin Tjoe dan Hek Pek Moko juga, ia telah dengar perihal Thio Tan Hong
itu orang macam apa hingga ingin ia berkenalan dengan orang she Thio itu suami
isteri. Ia merasakan, pengalaman dan hal ichwalnya sendiri sama dengan penghidup
an yang penuh derita dari Tan Hong itu, yang juga pernah merantau di negara oran
g.
Setelah mendapat kesetujuan, Hek Moko mengusulkan pula untuk mereka memecah
rombongan. Rupa
mereka beda satu dari lain, saudaranya dan ia sendiri pun ada apa yang dinamakan
"orang-orang yang dicari pemerintah," jadi
dengan jalan mencar, mereka tidak bakal menarik perhatian umum dan
akan bebas dari kecurigaan orang.
Usul ini pun dapat kesetujuan umum. Maka mereka lantas memisah diri. Ie Sin Tjoe
berjalan bersama Siauw
Houwtjoe. Toan Teng Tjhong tetap bersama isterinya. Dan Hek Pek Moko tetap berdu
a dengan mereka jalan paling belakang, untuk sekalian melindungi
pasangan bangsawan itu. Kalau di depan ada musuh, Sin Tjoe akan memberi kisikan,
dan apabila di belakang ada pengejar, dua saudara Moko yang akan bertahan.
Hek Moko memberikan Sin Tjoe beberapa batang hiangtjian, yaitu panah bers
uara.
"Umpama kata kau menemui musuh di waktu siang, kau lepaslah panah putih ini," si
Moko Hitam memesan, "Di waktu malam, kau mesti melepas ini panah hitam. Panah
ini tidak
melainkan suaranya dapat terdengar sejauh beberapa lie, juga akan mengeluarkan s
inar api biru, hingga di waktu malam gampang terlihat dan dikenali."
Sin Tjoe simpan anak-anak panah itu.
Toan Teng Tjhong puas hatinya menyaksikan pelindung ini pandai bersiaga.
Di waktu berangkat, Sin Tjoe ajak Siauw Houwtjoe bersama menaiki kuda putihnya.
Mereka melintasi tanah datar perbatasan Inlam dan Koeitjioe, lalu masuk ke dalam
propinsi Inlam. Mereka merasa beruntung tidak pernah mereka menemui
sesuatu halangan hingga panah mereka tidak usah digunakan. Mereka senang dengan
perjalanan ini. Dibanding dengan Sin Tjoe, usia Siauw Houwtjoe lebih muda tiga t
ahun, tubuh-
nya pun lebih kate sebatas pundak si nona. Di tengah jalan mereka omong banyak s
atu dengan lain, mereka memanggil kakak dan adik. Mereka banyak bicara tentang i
lmu silat, hingga mereka tidak perna kesepian.
Lewat beberapa hari mereka mulai berjalan di jalan umum dari kota Koenbeng. Di s
ini mereka jadi semakin tak berkuatir lagi.
"Karena kuatir kita nanti terpisah terlalu jauh, dalam beberapa hari ini kita be
rdua tidak berani membiarkan kemerdekaannya kuda kita, pasti si putih sudah pepa
t pikirannya," berkata Nona Ie.
Siauw Houwtjoe bersenyum.
Sin Tjoe mengeprak kudanya dengan tali lesnya, yang ia terus kendorkan, maka t
idak
ayal lagi, kuda putihnya sudah lantas membuka ke empat kakinya, untuk berlompat
lari, hingga di lain saat, mereka telah tinggalkan jauh di belakang pohon-pohon
dan rumah-rumah yang berada di kedua tepi jalan besar.
Siauw Houwtjoe mempeluki pinggang si nona.
"Enak, enak!" serunya kegirangan disebabkan kaburnya kuda mereka. "Ha, kita menj
adi mirip dengan dewa dewi yang melayang naik di udara!..."
Sin Tjoe tertawa.
Ketika kemudian nona ini menahan les kudanya, mereka telah berada di luar kota K
oenbeng, ibukota propinsi Inlam. Tembok kota sudah ada di dalam pandangan
matanya.
Koenbeng adalah kota yang keadaannya
cocok dengan pribahasa "Empat musim seperti musim semi." Itu waktu sudah di pert
engahan bulan ke delapan tetapi di luar kota itu, pohon bunga ada bagaikan sulam
an, sedang di dalam kota, suasana kota ramai sekali dan di mana-mana kedapatan p
ohon-pohon bunga, sedang gunung See San nampak bagaikan seorang wanita cantik te
ngah rebah miring.
"Bagus sekali kota ini, kita harus pesiar di sini lebih lama dua hari!" berkata
Siauw Houw-tjoe.
"Mereka akan sampai di sini sedikitnya nusa, kau dapat pelesiran dengan puas," S
in Tjoe bilang.
Mereka masuk ke dalam kota setelah mengitarkan itu, untuk mempuaskan mata mereka
, setibanya di dalam, mereka menuju
ke pusat kota untuk lantas mencari rumah penginapan. Di luar hotel mereka
meninggalkan tanda.
Besoknya pagi Sin Tjoe sudah lantas dapat keterangan perihal tempat-tempat yang
kesohor dari kota Koenbeng, maka sambil tertawa ia kata pada Siauw Houwtjoe: "Eh
, bocah nakal, hari ini aku beri cuti satu hari padamu! Mari kita pergi ke taman
Taykoan Wan, lohornya kita pergi ke See San! Hanya ingat, aku larang kau main g
ila!"
"Belum lagi aku mengangkat guru kepada Thio Tayhiap, kau sudah mau tunjuk pengar
uhmu sebagai kakak seperguruan!" berkata Siauw
Houwtjoe. "Aku justeru hendak main gila!"
"Jikalau kau main gila, aku tidak akan ajak
padamu!" mengancam si nona. "Aku pun tidak akan ajarkan kau ilmu dalam Hiankong
Yauwkoat!"
"Bagus!" seru bocah itu. "Belum-belum kau sudah mengancam tidak mau mengajarkan
ilmu padaku! Baiklah, aku akan dengar perkataanmu!"
Pesan terachir dari Thio Hong Hoe menghendaki Siauw Houwtjoe, puteranya itu, dit
erima Tan Hong sebagai murid, ini pun maksudnya Hek Pek Moko mengantar puteri Ir
an ke Tali, ialah sekalian menjenguk Thio Tan Hong. Hal ini diketahui Sin Tjoe b
egitupun Siauw
Houwtjoe, maka si bocah nakal sudah lantas akuh Sin Tjoe sebagai soetjie, kakak
seperguruannya.
Taykoan Wan ada taman terindah dari kota
Koenbeng, begitu memasuki pintu lantas terlihat banyak bunga serta bau harumnya.
Di situ ada dua buah telaga yang kedua tepinya ditanamkan pohon-pohon yanglioe
di antara mana orang dapat mundar-mandir. Di situ juga ada dua buah pengempang
teratai, yang bunganya harum semerbak.
Gembira Sin Tjoe berada di taman indah ini setelah selama satu tahun ia berjoang
saja. Ia merasa seperti ia telah kembali ke kampung halamannya di telaga Thayou
w.
Di dalam taman pun ada lauwteng atau ranggon Taykoan Lauw, berada di atas itu or
ang dapat memandang ke sekitarnya sejauh lima ratus lie, untuk menikmati pemanda
ngan alam yang luas dan menarik hati, yang mirip dengan keindahan di Kanglam.
Sin Tjoe tersengsam hingga tanpa merasa ia ingat pertemuannya pertama kali denga
n Tiat Keng Sim di sungai Tiangkang. Ia jadi bagaikan bermimpi...
"Eh, entjie, kau
kenapa?" Siauw Houw-tjoe menegur menyaksikan orang diam saja.
"Tidak apa-apa," menyahut si nona, pelahan.
"Sinar matamu ti- dak dapat mendustai aku, entjie1." kata si nakal. "Kau mesti t
engah memikirkan sesuatu! Kenapa kau tidak sudi memberitahukan itu kepadaku?" Ia
lantas bawa jari-jari tangannya ke mukanya, untuk goda kawan itu.
Mau tidak mau, Sin Tjoe tertawa. Bocah nakal itu Jenaka sekali.
"Anak kecil tahu apa tentang orang tua!" katanya. "Jangan main gila!"
"Hai, berapa tua sih kau ada, entjie?" tanya bocah "Kau sudah lantas bawa lagakn
ya si orang tua! Mari berdiri, untuk kita mengukur tubuh kita. Lihat, apakah kau
bukan sama tingginya dengan aku?"
Ia mendekati, untuk berdiri berendeng, guna mengukur tingginya mereka.
Sin Tjoe menolak tubuh orang.
"Siapa sedang memikirkan sesuatu!" katanya. "Jangan kau main gila!"
Justeru itu di bawah ranggon terdengar
suara gembreng ramai.
"Ha, di sana ada yang main sulap!" kata Siauw Houwtjoe, yang sudah lantas melong
ok ke bawah. "Mari kita lihat! Kau nanti hilang kemasgulanmu, entjie1."
"Kemasgulan apa perlu aku melenyapkannya?" Sin Tjoe berkata.
Meski ia berkata begitu, ia turut Siauw Houwtjoe turun di tangga. Bocah itu suda
h mendahului ia lari turun.
Di sebuah tanah terbuka ada, seorang tua dan seorang nona, yang rupanya ada ayah
serta gadisnya. Orang tua itu menggubat kepalanya dengan
sabuk putih dan si wanita muda memakai semacam sarung.
Dandanannya mereka sebagai orang suku bangsa Ie. Si nona tengah mengasi pertunju
kan makan pedang, ialah pedangnya yang panjang dia masuki ke dalam mulutnya seba
tas gagangnya. Setelah mencabut keluar
pedang itu, terus dia menyerang sebatang pohon, hingga pedang itu nancap dalam b
eberapa dim. Inilah untuk menunjuki pedang itu bukannya pe-
dang lemas.
Semua penonton lantas saja bersorak.
Si orang tua mengangkat nampannya dari kuningan.
"Masih ada permainan yang terlebih menarik!" berkata dia, "Tuan-tuan penonton su
dilah memberikan sedikit uang!"
Penonton belum banyak, setelah jalan sekitaran, orang tua itu dapat uang saweran
belum ada satu tail. Kemudian ia pergi ke depan Sin Tjoe.
Nona Ie merogo sakunya, atau mendadak air mukanya menjadi merah. Nyata ia lupa m
embawa uang dan di sakunya cuma ada belasan tangtjhie. Mana dapat ia menyawer de
mikian sedikit?
"Kasilah seberapa saja, nona," berkata si orang tua.
Sin Tjoe likat, maka
ia cabut tusuk kondenya, yang terbuat dari batu kumala, "Ambillah ini!" katanya
seraya meletakkan tusuk konde itu ke dalam penampan, atau mendadak ia menjadi te
rcengang. Itulah warisan ibunya. Bagaimana itu dapat diberikan kepada lain orang
?
Si orang tua menjumput tusuk konde itu, ia pun agaknya heran. Seumurnya ia meran
tau, belum pernah ia memperoleh saweran barang perhiasan, sedang kumala ini berh
arga sedikitnya seratus tail perak.
Tiba-tiba seorang muda tertawa dan berkata: "Nona ini loyar sekali! Sampai baran
g pesalinnya pun dia dermakan!..."
Nona kita memang sedang berduka, mendengar suara orang itu ia menjadi mendongkol
.
Ia memotes selembar daun yanglioe, ia mementil itu. Ia belum meyakinkan ilmu itu
dengan sempurna tetapi ketika daun itu menyamber lengan si anak muda, dia berka
ok "Aduh!" dan tangannya bertanda merah. Anak muda itu heran sekali, tidak tahu
ia sebabnya itu, tapi lekas-lekas, ia angkat kaki pergi menyingkir.
Si tukang sulap pegang tusuk konde, setelah mengawasi sekian lama, ia tertawa da
n berkata: "Budakku ini tidak pantas memakai tusuk konde kumala ini. Usianya pun
masih terlalu muda. Kalau tidak, cocok ini untuk dijadikan pesalinnya nanti. No
na, kau baik sekali, aku sangat berterima kasih
kepadamu, hadiahmu ini tidak berani aku terima. Baiklah nona mengasi
aku beberapa boen saja."
Sembari tertawa, ia menyerahkan pulang tusuk konde itu.
Sin Tjoe menyambuti kulit mukanya bersemu dadu. Ia lantas merogo semua uang tang
tjhie-nya, diletaki di dalam penampan.
Atas itu para,penonton pada bersorak.
Di samping tukang sulap ini ada seorang penjual mieshoa
matang, ialah yang disebut mieshoa Inlam, dapurnya sedang
marong apinya, si nona tukang sulap itu masuki pedangnya ke dalam api, setelah m
enjadi merah, ia serahkan itu pada ayahnya.
Ayah itu menyambuti. pedang itu ia kibasi, hingga letikan apinya beterbangan, ke
mudian sambil tertawa, ia kata: "Pertunjukan yang lebih menarik
inilah dianya! Lihat!" Ia masuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di b
atas gagang. Ia memasukinya dengan pelahan-
pelahan. Mendadak saja ia memuntahkannya atau pedang itu berloncat keluar. Denga
n lantas ia masuki pedang itu ke dalam air di tahangnya si tukang mieshoa, lanta
s air itu mendidih dan berbunyi, suatu tanda pedang itu masih panas sekali. Asap
nya pun mengepul naik.
Semua penonton kagum hingga mereka menjublak, hingga tidak lagi mereka perhatika
n si nona.
"Ah, ilmu apakah itu?" bertanya Sin Tjoe.
"Ilmu sulap biasa, palsu," berbisik Siauw Houwtjoe di kuping orang.
"Bagaimana bisa menjadi?" si nona tanya
pula.
Siauw Houwtjoe menarik tangan si nona, untuk diajak pergi sedikit jauh.
"Sulap ini sering aku saksikan di India," katanya. "Ilmu itu ilmu palsu tetapi b
enar untuk meyakinkan itu dibutuhkan waktu delapan sampai sepuluh tahun. Mereka
dapat mempelajari segala
macam senjata, asal turunnya di tenggoro-kan tidak bergoyang tidak nanti dia dap
at melukakan orang."
"Tetapi pedang itu telah dibakar hingga marong?" si nona menanya.
"Tukang sulap itu lebih dulu, telah menyimpan sarung pedang di dalam tenggorokan
nya itu," Siauw Houwtjoe menerangkan pula, "pedang dikasi masuk ke dalam sarung
itu maka ia tidak
terbakar."
Sin Tjoe mau percaya keterangan ini tetapi ia tetap heran. Ilmu sulap itu adanya
di India, dari mana si tukang sulap pelaja-rinya? Mereka ini pun ada orang Ie s
edang ketika itu perhubungan India-Tiongkok belum maju. Memang jarak propinsi In
lam dan India cuma terselang Birma tetapi orang yang mundar-mandir ada sangat ja
rang. Orang Ie itu, dalam hal kepinda-han, ada terlebih kukuh daripada bangsa
Tionghoa umumnya, apa mungkin dia melakukan perjalanan ribuan lie untuk mempelaj
ari ilmu sulap itu? Meski ilmu menelan pedang itu tipu belaka tetapi gerak-gerik
si orang Ie menandakan dia mengarti ilmu silat. Kalau dia mengandali main sulap
saja, kenapa
dia menampik tusuk konde?
Selagi nona ini merasa aneh, si orang Ie sendiri merasa kecele. Ia sudah mengasi
kan pertunjukan menelan pedang panas itu, penonton yang berkerumun tidak menjadi
bertambah dan uang saweran di dalam penampannya cuma seratus boen lebih serta b
eberapa potong perak hancur.
"Apakah kau baharu pernah datang ke kota Koenbeng ini?" menanya seorang penonton
.
"Kenapa kau tidak ketahui hari ini ada hari rampungnya berhala Senghong bio? Sem
ua penduduk Koenbeng pergi melihat keramaian. Baik kau pun pergi ke sana untuk m
embuka pertunjukanmu."
Sin Tjoe heran mendengar perkataan itu. Senghong bio berarti
kuil dari si malaikat kota. Malaikat kota bukan malaikat yang terlalu agung. Ken
apa seluruh penduduk kuil memerlukan sangat malaikat itu? Mungkinkah Senghong di
Koenbeng beda dari Senghong lainnya?
Hampir itu waktu terdengar ramai suara gembreng dan tambur tercampur terompet, b
egitu juga berisiknya suara banyak orang.
"Nah, Senghong merondai kota, mari kita lihat!" berseru satu orang.
Itu artinya arak-arakan toapekong atau malaikat.
Kali ini si tukang sulap lantas saja bebenah dan berlalu dari situ.
"Entjie, mari kita pun melihat!" Siauw Houwtjoe mengajak.
"Seng Hong di kolong langit ini semuanya sama, tidak lebih dari-
Ayah itu menyambuti, pedang itu ia kebasi, hingga letikan apinya beterbangan, ke
mudian sambil tertawa, ia berkata: "Pertunjukan yang lebih menarik inilah dianya
! Lihatlah!" Ia memasuki pedang panas itu ke dalam mulutnya, sampai di batas gag
ang. Ia memasukinya dengan pelahan-pelahan.
pada sepotong boneka kayu, ada apakah yang bagus dilihat?" sahut Sin Tjoe tertaw
a. "Apakah di kampungmu belum pernah kau menyaksikan arak-
arakan toapekong?"
"Kita bukan melihat toapekong, kita melihat keramaian saja," Siauw Houwtjoe meng
asi penjelasan.
"Dasar bocah gemar ramai-ramai!" tertawa pula si nona.
Sebenarnya Sin Tjoe pun ingin melihat, ia hanya ragu-ragu,
karena ini, ia bersama Siauw Houwtjoe berlalu paling belakang dari taman itu. Ke
sudahannya ia mesti mendesak-desak di antara orang banyak yang berjubalan.
Kapan akhirnya Nona Ie mendapat lihat wajah Senghong atau malaikat kota itu, ham
pir ia menjerit bahna herannya. Ia tampak suatu
wajah bundar bagaikan rembulan penuh, jubahnya tersulam, tangannya memegang hoet
atau tanda kepangkatan. Kedua mata bagaikan matanya orang hidup. Itulah suatu r
oman halus tetapi agung. Dan itulah wajah dari ayahnya, almarhum Ie Kiam! (Menur
ut keterangan, Senghong bio di Koenbeng Kunming memang besar dan agung hanya sek
arang digunakan untuk lain keperluan, dan Senghong atau malaikatnya memang ditul
iskan namanya Ie Kiam.)
"Entjie, apakah kau kurang sehat?" tanya Siauw Houwtjoe heran.
"Tidak," menyahut si nona.
"Nah, kenapa kau menangis?"
Sin Tjoe lekas me-nyusuti air matanya.
"Aku biasa mengeluarkan air mata kalau terlalu girang," ia menjawab pula.
Bocah itu lantas tertawa lebar.
"Nah, kau suka katai aku, kau sendiri sebenarnya lebih suka menonton!" katanya.
Kali ini bocah ini tidak mendapat jawaban, ia mendapatkan si nona masih terbengo
ng mengawasi toapekong yang tengah diarak itu.
***
"Siapakah Senghong Looya itu?" achirnya Sin Tjoe tanya seorang di sampingnya.
"Senghong ialah Senghong yaitu malaikat," menyahut orang itu. "Nona, pertanyaanm
u aneh!"
Sin Tjoe melengak.
"Toh malaikat ini ayahku!" pikirnya.
"Mungkinkah orang tak
leluasa menjelaskannya?" Maka ia tanya lainnya hal: "Siapakah yan
g membangun Senghong bio?"
"Yang menderma kebanyakan orang hartawan dan saudagar besar," sahut orang itu. "
Siapa mereka itu, tidak jelas bagiku. Ada apa kau menanyakan ini?"
Kembali Sin Tjoe mendapatkan pertanyaan yang tak dapat ia jawab. Tapi
ia tetap heran.
"Siapakah yang mengukir patung Senghong itu?" tanyanya pula.
"Kau baik menanya pada kepala tukang kayu dan tukang batu tak sempat aku mela-ya
nimu!" kata orang itu, yang lantas ngeloyor pergi.
Toapekong pun
sudah lantas diarak lewat.
"Entjie, apakah kau sakit kepala?" tanya
Siauw Houwtjoe, seraya ia terus raba dahi orang. Tapi ia merasaka
n dahi yang dingin.
Sin Tjoe singkirkan tangan orang.
"Jangan ngaco!" katanya.
"Kau yang ngaco!" kata Siauw Houwtjoe dalam hatinya. "Kau tanya orang yang tidak
-tidak..." Tapi ia masgul melihat sikap luar biasa dari kawannya ini.
Sebenarnya kacau pikirannya Sin Tjoe. Ayahnya toh dipandang sebagai pengchianat.
Ayah itu dihukum mati dan harta bendanya disita. Dunia boleh penasaran tapi kai
sar berkuasa, orang bisa bilang apa? Maka tidak disangka sekali, di Koenbeng ini
orang justeru memuja Ie Kiam dan dihormat sebagai malaikat kota, patungnya dibi
kin begitu mirip
dan hidup, kuilnya dibangun secara besar.
"Kota Koenbeng ini berada jauh di Selatan tetapi masih tetap dikuasai pemerintah
kalau pemerintah ketahui ini, bukankah pembikin patung ini dan pendiri kuilnya
bisa ditangkap dan disita rumah tangganya?
Siapa itu orang yang nyalinya begini besar?" Sin Tjoe tanya dirinya sendiri. Ia
tidak ingat kalau-kalau ayahnya ada punya sahabat di sini. Pikirnya pula: "Aku t
idak sangka ayah dapat menjadi Senghong di kota ini..."
Tanpa merasa nona Ie bertindak mengikuti arak-arakan itu terus sampai di kuilnya
, yang besar berlipat kali daripada yang biasa terdapat di lain-lain kota. Undak
an ruang depan pun ada tiga, setelah itu baharu
sampai di toatian yaitu pendopo besar tempat bersemayamnya malaikat kota itu. Di
sini segala apa ada mentereng, tangganya pun terbikin dari batu marmer, mulai d
ari bawah payon ada belasan undak. Dari dalam pendopo, asap mengulak naik. Di si
tu telah berjubal banyak orang.
"Lihat, Siauwkongtia datang!" seru banyak orang begitu lekas terdeng
arnya suara te-tabuan patim.
"Siapa itu siauwkongtia?" tanya Sin Tjoe kepada seorang tua di dekatnya.
Orang tua itu tertawa.
"Di dalam kota Koenbeng ini memangnya ada berapa kokkong?" dia menyahuti.
"Siauwkongtia itu berarti "paduka hertog yang muda" dan " kokkong" ialah hertog.
Mendapat jawaban itu, Sin Tjoe terkejut.
"Itukah Bhok Kokkong?" dia tanya pula.
Orang tua itu mengangguk.
"Tidak salah," sahutnya. "Senghong bio ini ialah Bhok Siauwkongtia yang
memperbaharui."
Di muka tangga batu segera terlihat dihentikan dan diturunkannya sebuah joli bes
ar warna biru, dari dalam joli muncul satu anak muda yang romannya seperti
pemuda bangsawan, bibirnya merah, giginya putih, usianya baharu tujuh atau delap
an belas tahun, wajahnya masih wajah kekanak-kanakan. Setibanya pemuda ini, sira
plah pendopo yang tadi ramai itu. Pengacara pun lantas berseru: "Bunyikan genta
dan tambur! Silahkan Malai-
kat yang agung naik atas kedudukannya!"
Kiranya pangeran yang muda ini akan mengepalai upacara selesainya pembangunan ku
il dan menyambutnya malaikat ke gedungnya yang baru rampung itu.
Sin Tjoe heran hingga ia merasai ia tengah bermimpi.
Keluarga Bhok ini turun menurun menjadi hertog Kimkokkong dengan kedudukannya di
propinsi Inlam ini. Di antara banyak panglimanya Kaisar Tjoe Goan Tjiang dari a
hala Beng, leluhurnya siauwkongtia ini, yaitu Bhok Eng, adalah yang paling berba
hagia karena dia sekalian menjadi anak angkat dari kaisar itu. Setelah berhasil
menumpas apa yang disebut "Pemberontakan Liang Ong," dia dikur-niakan gelaran ra
ja muda Kimiengong. Habis dia,
semua turunannya
dijadikan hertog KimKokkong. Di a n t a ra putera atau cucu keluarga besar itu,
ada beberapa yang menjadi hoema yaitu menantu raja. Hingga di dalam kalangan men
teri-
menteri, tidak ada keluarga lainnya yang dapat mengimbangi kebesarannya.
Sin Tjoe mempunyai ayah suatu menteri, sendirinya ia mengarti hikayat pemerintah
nya pemerintah Beng. Tjoe Goan Tjiang itu tidak mengenal budi, setelah menjadi r
aja, dia suka membunuh menteri-menterinya yang berjasa, dia kejam tak kalah dari
pada Han Khotouw Lauw Pang, pendiri dari ahala Han. Ada di antara menteri berjas
a yang melebihkan Bhok Eng, umpama Tjie Tat, Siang Gie Tjoen dan Na Giok, tapi
mereka sendiri atau anak cucunya, tidak langgeng kedudukannya. Na Giok didakwa b
erontak, dia dihukum mati sampai kepada tiga tingkat keluarganya. Putera Siang G
ie Tjoen terembet perkara Na Giok itu, dia dikurniakan kematian. Tjie Tat ada me
nteri berjasa nomor satu, dia diangkat jadi raja muda Tiongsan Ong, dia punya me
mpunyai surat bukti bebas dari hukuman mati, toh kemudian ketika pangeran Yan On
g sebagai paman merampas kedudukan keponakannya (kaisar Beng Seng Tjouw) puteran
ya, yaitu Tjie Hoei Tjouw, tak luput dari pemecatan pangkat dan kehormatan dan m
esti mati mereras di dalam penjara. Cuma Keluarga Bhok ini, dengan kedudukannya
di Inlam ini, paling ber-
untung.
"Kenapa siauwkongtia ini berani membangun Senghong bio ini?" Sin Tjoe heran. "Ap
akah dia tidak takut pemerintah mengetahuinya dan nanti mendapat susah karenanya
? Ini toh ayahku yang dipuja, meskipun disebutnya malaikat kota? Bukankah pemban
gunan ini dan upacaranya ada mentereng luar biasa? Di samping itu, herannya, bel
um pernah aku mendengar ada
hubungan apa-apa di antara ayahku dengan keluarga besar ini..."
Siauwkongtia sudah lantas mengunjuki
kehormatannya. Ia
memasang tiga batang hio. Perbuatannya ini diturut oleh banyak orang. Kecuali si
pangeran muda sendiri, di situ tidak ada pembesar lainnya.
Sin Tjoe turut mem-
beri hormatnya. Dari tangan biokong, pengurus bio, ia minta tiga batang hio. Lan
tas ia menekuk lutut, air matanya pun mengem-beng. Sembari tunduk ia kata dalam
hatinya: "Ayah, ayah dipuja sebagai malaikat,
dihormati rakyat jelata, ayah mati bagaikan hidup!"
Siauwkongtia lihat orang demikian ber-sungguh hati bersujut, dia heran. Dia mema
nggil, terus dia tanya: "Kau ada punya kesukaran apa maka kau menyampaikannya it
u kepada Senghong?"
"Tidak apa-apa," menyahut Sin Tjoe seraya menepas air matanya. "Aku lihat kamu s
angat menghormati Senghong, hatiku jadi tergerak sekali dan terharu, hingga tida
k dapat aku menahan keluarnya air mataku."
Siauwkongtia masih heran, ia sebenarnya hendak menanya pula ketika dari luar ter
dengar suara gembreng pembuka jalan, lantas datang pemberitahuan: "Ong Hoetjiang
koen tiba!"
"Mau apa dia datang kemari?" kata siauwkongtia, yang keningnya mengkerut. Ia ber
jalan keluar, untuk menyambut.
Sin Tjoe menggunai ketika ini untuk mengundurkan diri. Ketika ia menoleh ke pojo
k, ia dapatkan si tukang sulap dan gadisnya lagi melirik ke arahnya, rupanya ora
ng mengawasi ia secara diam-diam. Ia terkejut, ia lantas ingat suatu apa. Ia ber
kata dalam hatinya: "Setibanya Hek Pek Moko, aku mesti lantas berlalu dari sini.
" Ia menduga orang mencurigai ia tetapi ia
merasa berat untuk lantas meninggalkan patung ayahnya itu...
Suara gembreng sudah lantas berhenti, satu pembesar kelihatan agung bertindak ma
suk.
"Ong Tjiangkoen juga datang untuk pasang hio?" Siauwkongtia menyamb
ut.
"Siauwkongtia, bagus betul usaha kesujutanmu ini," me-nyahuit si pan
glima. Ia lantas memandangi
patung. Kemudian ia tertawa dan berkata pula: "Pandai benar orang melukis, seper
ti orang hidup saja! Hanya kenapa wajah Senghong ini beda dari Senghong yang per
nah aku lihat di lain-lain kota?"
"Sesuatu tempat ada malaikat kotanya
masing-masing," siauwkongtia menjawab. "Ini tidak aneh, bukan?"
Hoetjiang itu tertawa lebar.
"Perkataan kau ini, siauwkongtia, membuka kecupatan pandanganku!" katanya.
"Kiranya malaikat kota itu beda satu dari lain karena perbedaan kot
anya... Haha! Pembangunan kuil ini serta pembuatan patungnya adakah atas k
ehendaknya Bhok Kongya atau siauwkongtia sendiri?"
"Inilah kehendakku sendiri," menyahut pangeran muda itu. "Adakah sesuatu yang ti
dak dapat?"
"Bagus! Bagus!" berkata Ong Hoetjiang tertawa menyeringai. "Di dalam wilayah ban
gsa Ie memang tidak ada halangannya mengadakan pengajaran dengan perantaraan mal
aikat. Nabi sendiri pernah membilangnya begitu."
Semua orang di ruang itu mendongkol mende-
ngar opsir ini menyebutkan propinsi Inlam sebagai tanah suku bangsa Ie, semuanya
mengawasi dengan
sinar mata kebencian. Rupanya si tjiangkoen dapat lihat sikap orang itu, lekas-l
ekas dia tertawa dan menambahkannya: . "Maksudku, ya... ialah, perbuatan siauwko
ngtia ini tepat dengan caranya seorang nabi!"
"Ah, benarkah itu?" siau wkong tia t e rt a w a. "Bagus, bagus! Kalau begitu kau
pun harus memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk tiga kali!"
Perwira ini bernama Ong Tin Lam, pangkatnya yaitu Pengiam Hoetjiangkoen, tetapi
di mana kekuasaan di Inlam berada di dalam tangannya Bhok Kongya , ia berada seb
agai sebawahan saja dari hertog itu, ia sama
sekali tidak punya kekuasaan, maka itu meskipun ia tidak puas dengan perkataan s
i pangeran muda, ia toh terpaksa menurut
menjalankan kehormatan. Ia bertekuk lutut, ia manggut tiga kali, ketika ia berba
ngkit, ia likat sekali.
Sin Tjoe tertawa di dalam hatinya.
"Tjiangkoen ini
tentulahh pernah lihat ayahku," pikirnya. "Ah, hebat permainan dari siauwkongtia
ini, satu perwira tinggi diperintah memberi hormat kepada satu pemberontak!..."
Ong Hoetjiang itu bicara lagi sedikit dengan siauwkongtia, terus
dia berpamitan.
Siauwkongtia membiarkan orang pergi, ia lebih memerlukan melihat kelilingan akan
mencari Sin Tjoe. Justeru itu di luar sirap suara berisik dari banyak
orang, lalu terlihat orang banyak membuka jalan, akan mengasi lewat pada seorang
nona yang diiring dua budak wanita.
Bhok Lin, ialah siauwkongtia, sudah lantas maju menyambut.
"i Entjie pun datang!" katanya.
Nona itu mengangguk. Ia adalah Bhok Yan puterinya Kimkokkong Bhok Tjong. Ia memp
unyai alis yang panjang, romannya cantik,
potongan tubuhnya halus, sikapnya pun agung. Lebih dahulu ia memberi hormat kepa
da Senghong.
"Adik, mari ikut aku pulang," ia berkata kemudian. "Ayah
mencari kau."
"Ada apa, entjie?" tanya pangeran itu terperanjat.
Agaknya tidak leluasa nona itu menyahuti, tapi ia bersenyum.
"Segala apa ada aku, kau pulanglah," ia berkata. Ia pun menarik tangan orang unt
uk diajak berlalu.
Sin Tjoe mencuri mengawasi. Ia lihat alis nona itu menunjuki hati pepat.
Seberlalunya nona dan pangeran muda itu, pendopo kembali jadi ramai oleh orang b
anyak, yang pada menghunjuk hormatnya.
Sin Tjoe ajak Siauw Houwtjoe mengundurkan diri. Ia lihat si tukang sulap dan gad
isnya, mereka itu rupanya tidak dapat melihat padanya.
"Dari kata-kata dan sikapnya si nona, rupanya Bhok Kokkong tidak ketahui urusan
pembaharuan kuil dan pembikinan patung
Senghong ini," ia berpikir. "Anehlah si pangeran muda, ia ada muda belia, ia pun
pasti
belum melihat rupa ayahku, kenapa ia dapat membuatnya patung ayah begini bagus?"
"Entjie benarkah kau tidak sakit?" Siauw Houwtjoe tanya. Ia heran akan roman tak
wajar dari Nona Ie, yang sejak tadi menarik perhatiannya.
"Eh apakah kau menyumpahi aku?" si nona balik menanya.
"Aku lihat kau tidak wajar, entjie," berkata bocah itu. "Tidak keruan-ruan menga
pa tadi kau menangis?"
"Kau lihat bukankah orang banyak itu sangat menghormati Senghong?" kata si nona.
"Sikap mereka itu membuatnya aku
terharu. Aku sangat menghargai kesujutan mereka." Ia lalu tertawa.
"Tidak, entjie, kau tentu ada memikirkan sesuatu," membandal si
bocah. Kau cuma tidak sudi memberitahukan itu kepadaku..."
Sin Tjoe mengkerut-kan keningnya.
"Sudahlah, jangan ngaco belo di sini!" membentak si nona. "Anak kecil mana tahu
urusan orang tua? Mari lekas pulang untuk bersantap tengah hari!"
"Tidak, aku tidak mau pulang dulu! Kau telah menjanjikan aku pesiar ke See San.
Sepatah katanya satu koentjoe..."
Mau tak mau, Sin Tjoe tertawa. Ia menambahkan:
"...bagaikan kuda
dicambuk satu kali!"
"Bagus! Itulah baharu tepat! Nah, lekas ajak aku ke See San!"
"Apakah kau tidak lapar?"
"Aku ada membekal uang beberapa puluh boen tangtjhie!"
"Kenapa tadi kau tidak menyawer kepada si tukang sulap?"
"Sengaja aku tinggalkan untuk kau nanti bersantap tengah hari!" si bocah tertawa
. "Dengan melihat romanmu tadi, entjie, aku tahu kau lupa membawa uang..."
Sin Tjoe melengak untuk kecerdikannya bocah ini. Justeru itu tangannya disamber,
untuk ditarik. Sembari berbuat begitu, bocah itu tertawa lucu. Ia mengajak oran
g untuk dahar mieshoa, hingga uang mereka tinggal dua boen!
Sekeluarnya dari kota, hari sudah lewat tengah hari. Dengan tidak adanya mega, l
angit menjadi cerah. Terbuka hatinya Sin Tjoe, apapula setelah ia menyaksikan ke
indahan See San, Gunung Barat. Mengagumi untuk men-
daki bukit, akan memandangi apa yang disebut "pintu naga," ialah semacam puncak
yang menonjol, yang tingginya ribuan
tombak, hingga kuil di atas itu mirip tergantung di udara. Di bawah itu ada tela
ga Thian Tie yang kesohor, yang luas. Siapa mendaki tangga, bajunya
berkibar-kibar tertiup angin, orang mirip menaiki tempat dewa-dewi, Sin Tjoe kag
um hingga ia terbengong...
Lorong dari pintu naga itu adalah batu gunung yang dibobok dan berliku-liku, hin
gga ada bagian yang muat hanya satu orang.
"Tempat ini tepat untuk main petak!" kata Siauw Houwtjoe
tertawa.
"Aku ajak kau ke gunung ini, lantas kau ingat main petak!" berkata Sin Tjoe, yan
g
pun tertawa. "Kau mensia-siakan pemandangan alam yang indah di sini!"
Di atas "pintu naga" (jiongboeri) ada kedapatan ukiran ikan leehie yang luar bia
sa, yang seperti dari udara berlompat terbang. Ikan itu bahagian bawahnya mirip
ikan, bahagian atasnya seperti naga. Jadi inilah yang di dalam dongeng disebut "
Ikan leehie melompati pintu naga." katanya, "sebab pintu naga terlalu tinggi, ap
abila ikan leehie dari telaga Thiantie dapat meloncatinya, ikan itu dapat terus
berubah menjadi naga untuk naik ke langit."
"Aku lihat, walaupun orang paling liehay ringan tubuhnya, tidak nanti dia dapat
melompati pintu naga ini!" berkata Siauw Houwtjoe.
Sin Tjoe bersenyum. Di lain pihak, ia kagumi bocah ini, yang tak pernah melupai
ilmu silat. Pantas Hek Pek Moko membilangnya dia sangat berbakat.
Di atas iiongboen itu juga ada ukiran malaikat Kwee Seng dalam rupa patung batu,
kecuali pit di tangannya yang terbuat dari kayu. Di situ ada tulisan singkat me
ngenai sebuah
dongeng. Ialah katanya seorang pemuda
kehilangan kekasihnya, dia mendaki See San dan mengukir patung itu. Sayang di si
tu dia tidak dapatkan batu yang cocok untuk membuat pit (alat tulis), hingga pat
ungnya itu tidak lengkap. Habis itu ia terjun ke telaga Thiantie, hingga ia berk
urban diri.
Sin Tjoe ketarik, ia kagumi pemuda yang berkurban itu. Hanya,
pikirnya kemudian, di dalam dunia tidak ada semacam pemuda... Memikir begini, me
ndadak bayangan Tiat Keng Sim berpeta di hadapan matanya. Ia lantas tunduk, akan
mengawasi telaga Thiantie itu (yang pun disebut Koenbeng ouw, telaga Koenbeng).
Ia melihat banyak kapu-kapu,
yang tertiup sang angin, sedang
lembaran-lembaran bunga di muka air pun beterbangan buyar...
Semua itu membuat si nona menjadi berduka sendirinya.
"Dengar! Di bawah seperti ada orang berbicara!" Siauw
Houwtjoe tiba-tiba berkata, suaranya pelahan.
Selama mengikuti In Loei meyakinkan senjata rahasia kimhoa atau bunga emas, Sin
Tjoe berbareng diajari latihan kuping untuk
pendengarannya jadi terang dan mengarti suara. Itulah ilmu "mendekam di tanah me
ndengari suara."
maka ia sudah lantas menempelkan kupingnya di batu gunung.
Sudah dibilang, lorong Liongboen berliku-liku, maka sejarak beberapa tindak saja
, orang tidak dapat melihat satu pada lain. Tapi suara yang didengar si bocah da
pat terdengar nyata oleh si nona.
Terdengarlah seorang, yang suaranya dalam: "Ong Tjiangkoen memesan wanti-wanti,
surat ini sangat penting, maka kau mesti dapat menyampaikan ke kota raja!"
Seorang lain menyahuti, menanyakan kepada siapa surat itu dialamatkan.
"Kau mesti serahkan kepada Tayiwee Tjong -
koan Yang Tjong Hay," menerangkan suara yang pertama. "Kalau Yang Tjong Hay tida
k ada, kau sampaikan kepada Gielimkoen Tjongtjiehoei Law Tong Soen. Umpama kata
dua-dua tidak ada, kau serahkan saja kepada Ong Kongkong di dalam istana."
Orang yang kedua menyahuti, "Aku mengarti." Hanya selang sejenak, ia menanya pul
a: "Seandai kata di tengah jalan aku bertemu orangnya Bhok Kong tia?"
"Jikalau kau dapat melawan, lawanlah, kalau tidak, lantas lari. Umpama kau mati
jalan, kau telan saja suratnya. Tegasnya, surat ini tidak boleh terjatuh dalam t
angan lain orang siapa juga!"
"Aha, inilah tugas menjual jiwa!" seru orang yang kedua itu.
"Kalau begitu, tidak dapat tidak, aku mesti pulang dulu, untuk pamitan dari iste
riku..."
"Thio Lootoa, kenapa kau begini takut mati?" tanya orang yang suaranya dalam itu
. "Kau mesti berangkat malam ini juga, tentang enso, aku yang nanti urus, kau ja
ngan buat kuatir."
Sampai di situ, berhenti sudah pembicaraan itu, yang lalu disusul sama suara tin
dakan kaki mereka.
Hati Sin Tjoe berce-kat.
"Ong Tjiangkoen itu tentulah perwira tadi di Senghong bio," ia berpikir. "Hebat,
dalam waktu sebentar saja, dia sudah menulis surat rahasianya ini! Pastilah bun
yinya surat tak baik bunyinya untuk Bhok Kongtia." Ia lantas tarik tangannya Sia
uw
Houwtjoe. "Kita sudah
Sin Tjoe dan Siauw Houw Tjoe sedang menyaksikan keindahan pemandangan See San.
pesiar cukup, sudah waktunya kita pulang!"
Si bocah menurut. Ketika tiba di lorong, mereka bertemu dua orang ialah dua oran
g yang tadi berbicara. Kedua orang itu terkejut mendengar ada suara orang lain,
akan tetapi setelah melihat hanya satu nona dan satu bocah hati mereka lega. Di
lain pihak, Thio Lootoa sudah lantas maju ke lorong yang sempit.
"Hihi-hihi!" dia tertawa. "Nona, jalanan ini sukar dan berbahaya, maukah aku tun
tun padamu?"
"Minggir!" membentak Siauw Houwtjoe sambil ia berlompat maju. Ia bertindak tanpa
menanti entjie-nya menjawab orang ceriwis itu. Ia membentur dengan pundaknya, t
angan kirinya turut bergerak, karena ia ber-
niat menggunakan pukulan Naga.
Berbareng dengan itu, Sin Tjoe menarik kawannya itu.
Dibentur Siauw Houwtjoe, Thio Lootoa miringkan tubuh, lantas dia hendak menangka
p bocah itu dengan niat dibanting. Justeru itu, hidungnya dapat mencium bau haru
m, sebab Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe segera lewati dia. Hendak dia menjambret te
tapi
sudah tidak keburu. Sahabatnya pun
menarik padanya.
"Thio Lootoa, jangan main-main!" ia mengasih nasihat.
Orang ceriwis ini kecele, dia jadi meggerutu: "Hm kerbau cilik! Coba hari ini ak
u tidak punya pekerjaan penting, tentu aku sudah hajar padamu!"
Siauw Houwtjoe menoleh, ia menjawab:
"Bagus! Tuan kecilmu memang hendak
berkelahi!"
Sin Tjoe tarik kawan itu, sembari tertawa, ia kata kepada dua orang itu: "Adikku
ini sedikit aseran, aku minta paduka berdua tidak buat kecil hati."
Senang si ceriwis mendengar suara orang yang halus dan manis.
"Oh, nona kecil, kau baik sekali" katanya tertawa. "Apakah namamu, nona?"
Sin Tjoe berpura-pura tidak mendengar, selagi orang berkata-kata, ia tarik tanga
nnya Siauw Houwtjoe untuk diajak keluar dari lorong.
Bocah itu tidak puas.
"Machluk itu kurang ajar, dia menghina kau, kenapa kau mencegah aku menghajarnya
?" ia tanya.
"Kalau dia hendak dihajar, apa kau kira aku tidak bisa mengha-
jarnya?" si nona menyahuti. "Lekas!"
Siauw Houwtjoe tidak berani membangkang, walaupun hatinya masih panas, ia jalan
dengan cepat, terus lari.
Dua orang itu ta-pinya mengejar. Belum lagi Sin Toe berdua tiba di ranggon Samtj
eng Kok, napas mereka itu sudah memburu, tetapi mereka memaki: "Dua bangsat cili
k, berhenti!"
Nyatalah tadi selagi melewati Thio Lootoa, Sin Tjoe sudah keluarkan kepandaianny
a memindah isi saku orang, ia telah samber suratnya Ong Tjiangkoen , karena mana
ia lantas lari. Kepandaian itu ia peroleh dari Thio Tan Hong, siapa ketika dulu
hari pertama kali bertemu sama In Loei, telah curi bersih uang orang. Sebenarny
a Tan Hong tidak niat menurunkan kepandaian itu
tetapi Sin Tjoe meminta dengan mendesak
sebab nona ini ketarik mendengar soehoe itu menggoda soebo-nya.
Thio Lootoa sadar dengan cepat. Katanya: "Kenapa satu bocah bisa membentur punda
kku hingga aku merasa sakit?"
Kemudian ia merabah ke sakunya, ia jadi kaget bukan main. Surat itu lenyap tidak
keruan paran. Ia jadi menyangka si nona, maka itu ia ajak kawannya mengejar.
Sin Tjoe berdua Siauw Houwtjoe tidak ambil jalan langsung, mereka mengitarkan Sa
mtjeng Kok, lalu terus lari mendaki bukit. Melihat larinya mereka itu Thio Looto
a tawar hatinya. Ia mengarti orang melebihi ia dalam hal ilmu lari cepat.
Thio Lootoa ini sebenarnya adalah se-
orang siewie, pengawal kaisar, namanya Tay Hong. Dia ditugaskan di Koenbeng, unt
uk mengawasi sepak terjang Bhok Kokkong. Supaya orang tidak mencurigai, dia data
ng dengan menyamar sebagai
rakyat jelata dengan mengajak juga anak isterinya. Kawannya itu berna
ma Ong Kim Piauw, orang kepercayaan Tjengiam Hoe-tjiangkoen O
ng Tin Lam. Dia pun seorang siewie dan ikut Ong Tin Lam untuk juga menilik Bhok
Kokkong.
Bhok Kokkong ada menteri setia turun temurun, kaisar mempercayainya, tetapi adal
ah aturan pemerintah yang telah berjalan lama, kaisar mesti mengirim orang untuk
mengawasi semua menteri yang ditugaskan di pelbagai propinsi, maka propinsi
Inlam tidak menjadi kecuali. Sudah sepuluh tahun lebih Ong Hoetjiang tinggal di
Koenbeng, belum pernah ia mendapatkan apa-apa yang mencurigai pada pihak Bhok Ko
kkong. Sampai
timbullah urusan Ie Kiam dijadikan Senghong atau malaikat kota oleh siauw
kongtia.
Dua-dua Thio Tay Hong dan Ong Kim Piauw memang tidak puas dengan kedudukannya, k
eamanan kota Koenbeng membikin mereka tidak dapat ketika untuk berbuat jasa, gun
a mendapat kenaikan pangkat,
kebetulan ada perbuatannya siauwkongtia ini, lantas mereka ambil ini sebagai ala
san. Mereka berdamai sama Ong Hoetjiang, lantas perwira itu menulis laporan raha
sianya, Ong Kim Piauw dititahkan
menyampaikannya kepada Thio Tay Hong untuk dibawa ke kota raja, apa mau mereka b
ertemu Ie Sin Tjoe dan suratnya lenyap.
Mereka penasaran maka itu mereka mengejar terus.
Sin Tjoe pandai lari, ia tidak menjadi soal. Tidak demikian dengan Siauw Houwtjo
e. Bocah ini pandai silat tetapi dalam hal ringan tubuh, ia kurang latihan. Tida
k lama, larinya mulai kendor, hingga Sin Tjoe terpaksa lari pelahan menantikan d
ia.
Thio Tay Hong mengejar hingga lagi kira tiga tombak, ia lantas menimpuk Siauw Ho
uwtjoe dengan dua biji kongpiauw. Dalam hal menggunai kongpiauw, ia mempunyai la
tihan belasan tahun. Tapi kuping si bocah terang, dia dapat mendengar suara samb
eran
angin, lantas dia men-dak dan lompat masuk ke dalam rujuk. Dengan bersuara nyari
ng, kedua kongpiauw menghajar batu.
"Tidak kena!" mengejek si bocah sambil ia keluar dari tempatnya berkelit. Ia pun
mengejek dengan buat main jeriji tangannya di mukanya. Tapi karena ini, ia tela
h kena susul hingga tinggal satu tombak.
"Kau masih berniat lari, bangsat kecil?" berseru siewie itu
seraya dia lantas berlompat menubruk dalam gerakan "Ngo Kim Na" atau "Tangan Men
angkap Lima" dari kaum Keluarga Gak di Hoopak.
Ketika itu Sin Tjoe terpisah kira sepuluh tombak dari Siauw Houwtjoe, sulit untu
k ia menolongi. Sedang Tay Hong pernah dengan
tangannya itu melukai tak sedikit orang.
Siauw Houwtjoe tidak takut melihat ancaman bahaya itu, bahkan dia tertawa haha-h
ihi dan berkata: "Kau menggerembengi tuan kecilmu meminta-minta, tidak bisa lain
, terpaksa tuan kecilmu menderma kepadamu semua sisa uang beberapa tjhie lagi!"
Kata-kata itu disusuli suara menggen-tring, lalu tiga biji tangtjhie melesat ke
arah Tay Hong. Bocah ini menggunai itu sebagai senjata rahasia kimtjhie piauw, u
ntuk menyerang ketiga jalan darah thayyang hiat di kepala, soankie hiat di dada
dan yongtjoan hiat di kaki.
Thio Tay Hong tengah berlompat, ia terkejut. Dengan kedua tangannya ia dapat men
yambar dua biji
piauw, yang satunya lagi tidak keburu, maka tepat kakinya kena terhajar, terus d
ia roboh terbanting, saking sakitnya, dia mengeluarkan air mata.
"Haha!" tertawa Siauw Houwtjoe. "Aku tidak niat membunuh padamu, perlu apa kau m
enangis? Tubuhmu tinggi seperti kerbau dan besar seperti kuda, kau meluberkan ai
r mata, apakah kau tidak malu?"
Siapa kena dilukai jalan darahnya yong-tjoan hiat, dia mesti mengeluarkan air ma
ta. Siauw Houwtjoe mengetahui itu tetapi sengaja ia mengejek.
Ketika itu Ong Kim Piauw telah dapat menyandak, ia melihat semua, maka ia menjad
i mendongkol sekali.
Sambil berlompat, untuk menerjang, dia berseru: "Bocah yang baik, mari!"
Ia menggunai sebatang poankoan pit, ialah senjata semacam alat tulis untuk menot
ok jalan darah. Ia pun pandai menyambuti senjata rahasia.
"Celaka!" mengeluh Siauw Houwtjoe.
"Uangku sudah habis, kenapa kau mengemis padaku? Entjie, kau tolongi aku mengusi
r dia!"
Ia bebas dari to-tokan pertama, ia lantas diserang
berulang-ulang, hingga ia menjadi terancam bahaya.
"Baik, aku nanti menderma emas kepadanya!" terdengar suaranya Sin Tjoe, yang hab
is berkata begitu terus tertawa.
Ong Kim Piauw lantas saja terkejut. Di depan matanya berkelebat sinar kuning ema
s. Segera ia menangkis pergi pulang dergan
senjatanya, maka dua kali terdengar suara "traang." Ia berhasil membuat terbang
dua biji bunga emas. Ia hendak membuka
mulutnya, akan menegur penyerangnya, ketika bunga emas itu berbalik menyambar pu
la, hingga ia menjadi gugup hendak ia menangkis pula, sudah kasep. Dua-dua bunga
emas itu mengenai sasarannya, ia lantas roboh terguling dengan pingsan.
Siauw Houwtjoe tertawa.
"Dia mana sanggup menerima amal emasmu, entjie1." katanya Jenaka.
Walaupun baharu lolos dari bahaya, bocah ini sudah bergurau pula. Ia pungut kedu
a bunga emas, sembari melewati Thio Tay Hong, ia dupak jalan darah djoanma hiat
dari siewie itu, habis mana bersama
kawannya itu ia nge-loyor pergi. Sin Tjoe cuma bersenyum saja.
Nona Ie gembira sekali. Ia berhasil meniru cara menimpuk dari Ismet, yang pandai
menggunakan senjata rahasia yang merupakan bola emas.
Habis itu mereka pulang ke rumah penginapan. Segera Sin Tjoe mengunci pintu kama
rnya, untuk terus merobek surat rampasannya. Membaca laporan rahasia itu, ia ber
duka. Di situ dibeber perbuatan siauwkongtia mengangkat Ie Kiam menjadi malaikat
kota. Pada itu ditambahkan usul supaya siauwkongtia dipanggil ke kota raja, unt
uk dipecat menjadi rakyat biasa, supaya dia diganti oleh lain putera atau kepona
kan Bhok Kokkong . Tentang Bhok Kokkong sendiri diusulkan
mencabut segala kekuasaannya.
Bagus kesannya Sin Tjoe terhadap Bhok Lin, yang menghormati
ayahnya, maka itu, ingin ia menolongi pangeran muda itu. Dengan cara bagaimana?
Inilah yang menyulitkan ia. Hek Pek Moko belum tiba ia tidak dapat kawan untuk d
iajak berdamai. Saking masgul, habis bersantap ia terus merebahkan diri. Ia samp
ai tidak mempedulikan ketika Siauw Houwtjoe mengi-jang mengajaki ia pergi menont
on keramaian tengloleng.
Malam itu selagi Ie Sin Tjoe belum tidur, pemilik hotel datang padanya, mengasi
tahu di luar ada orang mencari si nona.
"Orang macam apa dia itu?" tanya Sin Tjoe.
"Seorang muda yang romannya tampan,"
sahut pemilik hotel.
Nona Ie heran. Ia mulanya menyangka Hek Pek Moko. Kalau Toan Teng Tjhong, tidak
nanti dia datang sendirian. "Kenapa di sini ada orang mengenal aku?" pikirnya se
telah berdiam sejenak.
"Orang muda itu kelihatannya sebagai orang baik-baik. Apakah nona ingin menemui
dia?" pemilik hotel menanya.
Di Inlam, pergaulan wanita dengan priya tak terlalu keras, tetapi seorang priya
mengunjungi seorang wanita di hotel di waktu malam buta rata, tidaklah biasa. Ta
pi tuan hotel itu telah mendapat presen dari si pemuda, maka itu, ia bicara baik
tentang pemuda itu.
"Baiklah, silahkan ia masuk!" kata Sin Tjoe kemudian.
Seberlalunya tuan
rumah, Siauw Houwtjoe tertawa menghadapi kawannya.
"Seorang muda yang tampan!" katanya. "Hihi! Kiranya kekasih entjie ada di sini!"
"Ngaco!" membentak si nona, "Nanti aku robek mulutmu!" Lalu dengan roman sungguh
, ia menambahkan:
"Orang datang tengah malam, dia mesti mempunyai urusan
penting sekali. Pergi kau bersembunyi."
"Ah, kau tidak sukai aku berada di dalam kamar!" kata si nakal. "Malu?"
Sin Tjoe mendelik terhadap bocah itu, atas mana dengan mengulur lidah dan jalan
berindap-indap dia pergi ke kamarnya sendiri, yang sebelah menye-belah, maka itu
lantas ia manjat tembok, untuk memasang
kuping...
Sin Tjoe lagi berpikir, ia tidak perhatikan bocah nakal itu. Pula ia segera deng
ar suara tuan rumah di luar kamar: "Tetamu sudah datang!" Ia lantas membukai pin
tu.
Seorang muda, yang benar tampan, bertindak masuk. Ia mengenakan mantel bulu rase
putih. Ia bertindak dengan pelahan.
Sin Tjoe mengawasi, ia heran. Ia merasa seperti pernah lihat orang ini, entah di
mana. Ia lantas menanyakan she dan nama orang serta maksud kedatangannya malam-
malam itu.
Tetamu itu mengawasi ke sekitar kamar. Selama itu, tuan rumah sudah mengundurkan
diri. Tiba-tiba ia tertawa, terus ia mengunci pintu.
Sin Tjoe terkejut. "Kau mau apa?"
tegurnya.
Pemuda itu tertawa, halus suaranya, maka Nona Ie menjadi curiga.
Setelah tertawa, pemuda itu membuka kopianya, maka terlihatlah rambutnya yang ba
gus. Ketika Sin Tjoe mengawasi, ia segera kenali budak keluarga Bhok yang tadi i
a lihat di Senghong bio tengah mengiringin Nona Bhok, ia menjadi tertawa sendiri
nya.
Sudah dua tahun ia biasa menyamar, ia tidak dapat mengenali orang.
"Maaf, Nona!" berkata si budak kemudian.
"Kenapa kau ketahui she dan namaku dan aku tinggal di sini?" Sin Tjoe mena
nya. Ia heran.
Budak itu tidak menjawab, hanya ia berkata pula: "Nonaku mengundang nona.
Sebentar nona akan mengetahui sendiri."fl
Sin Tjoe menjadi bertambah heran.
"Aku minta nona berangkat sekarang juga," berkata lagi si budak. "Nonaku lagi me
ngalami perkara sulit sekali, ia mau minta pikiran nona."
"Mungkinkah urusan yang ada sangkutannya dengan laporan rahasia ini?" Sin Tjoe l
antas menduga-duga. "Kalau benar, baiklah surat ini kau berikan kepada Nona Bhok
itu..."
"Nona Ie, mari lekas!" mendesak pula si budak. "Sekarang sudah jam dua lewat, se
le-watnya jam tiga, nanti orang mencurigai kita."
Sin Tjoe melihat roman orang yang bergelisah.
"Baik," katanya. "Tunggu sebentar..." Ia sebenarnya hendak memesan apa-apa kepad
a Siauw Houwtjoe, atau mendadak seorang
lompat turun dari atas tembok. Ia terkejut. Syukur ia segera mengenalinya.
"Entjie, aku di sini!" berkata orang itu ialah si bocah nakal Siauw Houwtjoe.
"Adikku nakal, kau tentu kaget?" katanya pada budak Nona Bhok.
"Oh, tidak," sahut si budak. "Adikmu liehay, nona, guru silat di istanaku tak se
pandai dia." Dia mengatakan tidak kaget, sebenarnya hatinya memukul.
Sin Tjoe lantas kata pada Siauw Houwtjoe: "Kedua gurumu bakal datang besok, umpa
ma aku belum pulang, kau beritahukan aku pergi ke Bhok Konghoe."
"Aku mengarti."
"Sebelum aku pulang, kau jangan pergi ke luar."
"Apa kau kira aku bocah cilik hingga perlu dipesan lagi?" si nakal
menyahuti.
"Kau mesti jagai kudaku, jangan sampai orang curi!" pesan pula si nona.
"Kuda itu ada kesayanganmu, aku pun menyukainya, kalau ada yang curi, aku nanti
adu jiwaku!"
"Siapa bisa mencuri kuda itu, dia mesti liehay sekali. Kau mungkin bukan tanding
annya..."
"Kalau begitu, apa perlunya kau pesan aku?" si nakal membaliki.
"Kuda itu kenal aku, kalau kau yang menaikinya, dia tidak nanti membangkang. Tid
ak demikian terhadap orang lain. Kalau ada yang mencuri dan kau tidak sanggup me
lawan, kau kabur bersama kuda itu..."
"Sudah, sudah, kau pergilah!" si nakal jadi habis sabar. "Selembar saja kuda
itu lenyap
bulunya, aku bertang-m gung jawab."
Sin Tjoe lantas berlalu bersama si budak. Di jalan besar tinggal sedikit orang-o
rang yang berlalu lintas. Ia diajak pergi ke pintu yang kecil dari kota timur, d
ekat dengan luar kota. Suasana di situ sunyi sekali. Rembulan pun guram karena b
aharu tanggal tiga bulan delapan. Hanya angin bersiur-siur. Ia tidak bergembira.
Selagi mendekati pintu kota, tiba-tiba terdengar satu suara angin dibarengi berk
ele-batnya bayangan orang di atas tembok kota. Ia lantas lompat mencelat, karena
ia tahu ia tengah dibokong. Ia sudah siap dengan bunga emasnya tetapi ia tidak
segera membalas menyerang. Hanya ia tampak tubuh si budak terangkat naik.
Ia menjadi kaget sekali, tanpa ayal lagi, ia menimpuk dengan
panah Tjoayam tjian pengasi Hek Moko, maka panah itu meluncur ke udara dengan me
ngasi dengar suara tajam dan terus mengeluarkan api bersinar biru.
Sekarang Nona Ie melihat seorang yang berpakaian hitam yang memakai topeng,
dengan tali bandering dia mengangkat tubuh si budak naik ke atas tembok. Ia sege
ra menyerang dengan dua buah bunga emasnya.
Tembok kota tinggi tiga tombak. sedang orang itu gesit sekali, belum lagi ia ter
serang, sudah ia lompat turun ke luar kota.
Sin Tjoe bergelisah, ia hunus pedangnya, sambil lompat, ia tancap itu ke tembok
kota, untuk dipakai
menahan tubuhnya, maka di lain saat ia sudah berada di atas tembok. Ia melihat k
e bawah, ia dapatkan orang sudah lari puluhan tombak jauhnya. Sinar rembulan yan
g guram membikin ia tidak dapat melihat tegas. Ia cuma tahu orang dapat lari ker
as. Terpaksa ia lompat turun, untuk mengejar. Sekian lama, ia melainkan bisa men
dekati sepuluh
tombak lebih. Tiga kali ia menimpuk, semuanya gagal. Maka ia mengejar terus.
Orang itu lari ke lembah, di sana dia lenyap. Sebaliknya, Sin Tjoe melihat sebua
h rumah besar dari mana terlihat sinar api. Itulah rumah satu-satunya, maka si n
ona menyangka orang lari ke rumah itu. Dengan berani ia bertindak menghampir-kan
. Ia lihat pintu seper-
ti cuma dirapatkan, ia lantas mencoba menolak. Kedua daun pintu sudah lantas men
jeblak.
"Mungkinkah pintu tidak dikunci untuk memancing aku?" si nona berpikir. Ia perlu
menolongi orang, ia lantas bertindak masuk. Baharu ia jalan belasan tindak, men
dadak pintu di belakangnya bersuara nyaring, tertutup
sendirinya. Ia jadi kaget berbareng gusar, hingga ia mengasi dengar suaranya: "A
ku akan memasukinya walaupun ini sarang naga atau guha harimau!"
Dari sebelah dalam terdengar suara tertawa samar-samar. Mengikuti itu, Sin Tjoe
membuka tindakannya. Ia melintasi beberapa pintu, yang hanya dirapatkan, terus
sampai di sebuah ruang besar. Di sana terlihat satu perwira tengah
berduduk di kursi dan di depannya ada si budak, yang tubuhnya
terbelenggu.
"Ha, kiranya kau!" Sin Tjoe berseru. "Kau menjadi Tay/wee Tjongkoan tapi tengah
malam buta rata kau menculik gadis orang! Tahukah apa dosamu?"
Perwira itu, ia- lah Yang Tjong Hay, lantas tertawa.
"Nona Ie," dia berkata, "tahukah kau akan dosamu di siang hari bolong melukai or
ang?" dia balik menanya. Dia rupanya sudah ketahui perbuatan si nona tadi siang.
"Kau tahu siapa dia ini?" Sin Tjoe menanya tanpa perdulikan perkataan orang.
Yang Tjong Hay tertawa.
"Lain orang jeri terhadap Bhok Kokkong, aku tidak!" katanya. Terus
dia mengeprak
meja. "Budak cilik, lekas serahkan suratmu!" Dia membentak si budak perempuan.
"Surat apa?" budak itu tanya.
"Surat rahasia dari Ong Tjiangkoen1."
"Ong Tjiangkoen yang mana?"
"Jangan kau berlagak gila! Nonamu suruh kau malam-malam mencari Nona Ie, apakah
perlunya? Jikalau tidak serahkan itu, terpaksa aku berbuat kurang ajar! Lihat, a
ku berani atau tidak menggeledah kau!" Mendadak dia usir tangannya menyambar baj
u si budak.
"Hai, kau berani menghina hambanya kongya?" budak itu membentak. N
yata dia berani.
Tapi Yang Tjong Hay melawan tertawa, sedang kedua tangannya bekerja. Dengan bers
uara "Bret!" baju si
Sin Tjoe tidak mau mengerti, ia menyerang terus dengan bunga emasnya, ia menggun
ai hingga delapan belas biji, maka mau atau tidak, Yang Tjong Hay menjadi gentar
juga nyalinya. Terpaksa tjongkoan ini mengurung diri dengan pedangnya.
budak terbelah dua, maka terlihatlah baju dalamnya yang merah.
Sin Tjoe menjadi mendongkol sekali.
"Surat itu ada di tanganku!" ia berseru. "Kau menghina satu budak, sungguh tidak
tahu malu!"
Inilah tipunya Yang Tjong Hay, untuk memaksa orang membuka rahasia. Maka ia tert
awa pula.
"Kenapa kau tidak mengatakannya siang-siang?" katanya. "Serahkan surat itu padak
u, perkara habis! Kalau tidak, jangan harap kau bisa keluar dari sini!"
"Jikalau kau bisa, kau ambillah!" si nona menantang. Malah segera ia mendahul
ui menyerang dengan pedangnya.
Yang Tjong Hay mencelat dari kursinya, tapi tangannya menyambar, untuk men-
coba merampas pedang penyerangnya itu. Tapi ia gagal, ia lantas diserang pula.
Dengan lekas lewat sudah beberapa jurus. "Sungguh pesat kemajuannya satu
anak muda!" berkata Tjong Hay, yang lihat si nonaa menjadi terlebih gagah.
"Tapi, hm, untuk melayani aku, kau masih beda jauh!"
Ia terus menyerang dengana kedua tangannya, dengan tipu silat "Naga terbang ke l
angit," hingga Sin Tjoe mesti lompat mundur dua tindak. Ketika ini dipakai si pe
rwira untuk menghunus pedangnya.
Mengetahui ia terancam di mulut harimau, Sin Tjoe bersedia mengadu jiwa. Ia kelu
arkan kepandaiannya menggunai pedangnya. Maka sembari berkelahi ia sempat mengso
ntek putus belengguannya si
budak, hingga dia ini menjadi kaget dan lemas, tidak dapat dia berlari.
"Lekas lari, jangan pedulikan aku!" Sin Tjoe memberi ingat.
Yang Tjong Hay tertawa lebar.
"Sesudah sampai di sini kau memikir untuk lari? Hm! Kau mimpi?" katanya.
Nyata di pintu ada mengandang beberapa orang, di antaranya siewie Thio Tay Hong
yang tadi siang dirobohkan Siauw
Houwtjoe. Dia tidak tahu tabiatnya Yang Tjong Hay, yang suka berkelahi satu sama
satu, selagi yang lainnya berdiam saja, dia maju untuk membalas sakit hati.
Sin Tjoe murka, ia berbalik sambil menangkis, berbareng dengan itu, tangan kirin
ya terayun, maka
bunga emasnya membuat liang di dahinya orang she Thio itu.
Yang Tjong Hay mendongkol.
"Gotong dia pergi!" ia menitah. "Kamu menjaga di luar pintu, jaga kalau ada yang
nyelundup! Siapa pun tak boleh masuk ke dalam rumah ini!"
Yang Tjong Hay mendongkol sebab tidak sempat ia mencegah serangan si nona. Ia pu
n tidak menyangka bahwa tidak gampang untuknya membekuk nona itu. Justeru ia ber
kata, mendadak si nona sudah bergerak dengan, tipunya "Menembusi bunga, mengitar
i pohon." Segera dia bergerak cepat sekali, berlari-lari ke empat penjuru, berpu
tar-putar.
Yang Tjong Hay menyusul dan menikam, beberapa kali, tetapi ia gagal, meski nampa
knya
ia akan berhasil mengenai sasarannya.
"Yang Tjong Hay liehay!" begitu memuji orang-orang di ambang pintu, untuk menjil
at-jilat.
Tjong Hay tetap gagal dengan penyerangannya, gagal dengan beberapa puluh tika-ma
nnya, hingga selain ia menjadi jengah, pujian pun berhenti sendirinya, sebab sem
ua orangnya menjadi heran sekali.
Dalam mendongkolnya, Tjong Hay tertawa dingin.
"Bagus muridnya Thio Tan Hong, sejurus juga dia tidak berani menangkis!" ia meng
obor. Ia tidak tahu, karena kalah tenaga dalam, Sin Tjoe tidak dapat bertahan te
rlalu lama dengan ilmunya
"Menembusi bunga, mengitari pohon" itu. Nona itu memang
tengah bergelisah, tetapi dapat ia mengendalikan diri. Ia mengerling, lalu ia pu
n tertawa dingin, untuk membalas mengejek. "Sambut!" serunya
tiba-tiba, segera pedangnya berkelebat, menyusuli mana, dua bunga emasnya,
melesat dari bawah pedangnya itu.
Dua kali terdengar suara nyaring, segera terlihat Yang Tjong Hay mundur beberapa
tindak. Di luar dugaannya, pedangnya kena dihajar bunga emas si nona. Syukur, di
a masih sempat menangkis.
Sin Tjoe tidak berhenti sampai di situ. Bunga emasnya yang ketiga dan ke empat m
enyerang pula saling susul.
Dengan pedangnya, Tjong Hay punahkan dua senjata rahasia itu, terus ia tertawa,
"Mutiara sebesar beras pun bersinar!" dia mengejek. Tapi dia dihujani bunga emas
yang ke lima, ke enam, ke tujuh dan ke delapan. Untuk menjual lagak, dia berlom
patan, pedangnya berkelebatan. Maka runtuhlah ke empat bunga emas si nona. Nyari
ng suara beradunya kedua rupa senjata itu. Bukan kepalang puasnya orang she Yang
ini, hingga ia tertawa terbahak-
bahak. Di luar dugaannya, beberapa bunga emas yang tersampok mental itu tiba-tib
a berbalik menyambar pula, mengarah jalan darahnya. Ia kaget, lekas-lekas ia mem
bela dirinya. Ia melihat bagai-mana senjata rahasia itu mempunyai tenaga menyamb
ar
balik. Ia heran sekali.
"Aneh senjata rahasianya budak ini..." ia
berpikir.
Sin Tjoe tidak mau mengarti, ia menyerang terus dengan bunga emasnya, ia menggun
ai hingga delapan belas biji, maka mau atau tidak, Yang Tjong Hay menjadi gentar
juga nyalinya. Terpaksa tjongkoan ini mengurung diri dengan pedangnya.
Sayangnya untuk Sin Tjoe, belum sempurna latihannya menimpuk menurut cara Ismet
itu dan belum sempurna latihan tenaga dalamnya, karenanya, bunga emasnya masih k
urang cepat untuk Tjong Hay.
Dalam murkanya, perwira itu berseru, atas mana empat pintu di ruang itu lantas t
ertutup rapat.
Itu artinya sudah tertutup jalan keluar si nona, maka ia pun menjadi nekat.
Penerangan dalam
ruang itu padam, sebagai gantinya
terlihat sinarnya bunga emas, yang berkilauan di sana-sini.
Yang Tjong Hay berkelahi sambil
berseru, ia mencoba menjatuhkan semua bunga emas. Ia pun berbareng menggunai Pek
kong tjiang, ialah serangan tangan kosong, yang anginnya saja yang menyampok ker
as.
Sin Tjoe heran untuk liehaynya orang ini, tetapi ia pun tidak takut, bahkan ia m
erangsak.
Tjong Hay lebih gagah tapi dia repot, mana mesti menjaga bunga emas, mana mesti
menangkis pedang si nona. Pula ia jeri untuk pedang mustika nona itu. Mau atau t
idak, sekarang ia terdesak juga.
Di dalam hatinya,
Tjong Hay mengeluh. Untuk menawan si nona, ia sebenarnya mempunyai daya lain tet
api tadi ia telah pentang mulut hendak bertempur satu sama satu dan ia malu untu
k menarik pulang perkataannya itu.
Sementara itu telah terdengar keruyuknya ayam dan sinar fajar memasuki ruang rum
ah. Rupanya sang waktu tiba pada jam empat.
Tentu sekali,
bertele-telenya pertempuran membuat kedua pihak sama-sama lelah. Si nona disebab
kan kalah latihan tenaga dalam, Tjong Hay lantaran terlalu banyak menggunai tena
ga
untuk menyingkir dari bunga emas dan tajamnya pedang mustika.
Mereka yang menanti di luar ruang pun heran dan cemas hatinya. Mereka tetap
membungkam, sebab mereka tidak berani membuka mulut untuk pemimpinnya itu menyud
ahi pertempuran satu sama satu itu.
Lagi sejenak, suara napas Sin Tjoe terdengar nyata. Di lain pihak, dahi Tjong Ha
y bermandikan keringat. Jago ini mendongkol berbareng bergelisah. Ia mesti terus
menjagai keselamatan dirinya. Ia insaf, sedikit saja lambat, ia bisa celaka.
Sebentar kemudian, dari jendela masuk sinar terang sang pagi.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara
nyaring: "Yang Taydjin, Ong Tjiangkoen mengundang!"
Inilah yang diharap Tjong Hay. Kali ini ia tidak menjadi gusar. Lantas ia mencob
a mendesak si nona, hingga nona itu mundur dua tindak.
"Budak cilik, aku membiarkan kau hidup lagi beberapa jam!" kata perwira itu. "Se
bentar aku datang pula untuk membereskanmu!"
" Tjongkoan yang maha agung hendak melarikan diri?" si nona mengejek.
Habis berkata Tjong Hay mencelat tinggi, dia menyerbu genteng
hingga berlobang dan tubuhnya keluar dari situ.
Sin Tjoe berniat menyusul lawannya itu ketika mendadak ia merasakan rumah goyak
bagaikan bumi gempa, berbareng dengan itu ia juga mendengar suaranya si budak pe
rempuan: "Nona Ie! Nona Ie! Kau di mana?" Budak itu sembunyikan diri di antara m
eja marmer yang besar.
"Jangan takut, aku di sini!" si nona lekas menyahuti, lantas dia
lompat, akan menyambar budak itu. Tapi berbareng dengan itu, tubuhnya terjeblos
tanpa dia berdaya lagi, hingga di lain saat dia berada di tempat gelap hingga di
a tak dapat melihat lima jari tangannya di depan matanya. Dia mendongkol hingga
dia mengutuk Tjong Hay sebagai manusia tak terhormat.
***
Selagi nona itu mementang mulut, kupingnya mendengar menderunya air seperti air
banjir dan berbareng tubuhnya dirasai dingin. Dari atas liang pun terdengar suar
a orang: "Yang Tjongkoan menitahkan kau menyerahkan pedang serta surat, kalau ti
dak, jangan sesalkan kita tidak mengenal kasihan, ter-
paksa kau akan direndam mati!"
"Baiklah, kau buka pintu!" Sin Tjoe menyahuti.
Di atas lantas tertampak sinar terang, tandanya liang dibuka.
Sin Tjoe segera mencelat naik, tiga bunganya pun ditimpuki sekalian. Ia tidak me
mikirkan, berapa
tingginya pintu itu. Belum lagi ia sampai di atas, tutup sudah dirapatkan pula.
Dari atas itu dengar tertawa dan kata-kata ejekan.
Sin Tjoe mendongkol sekali. Budak itu pun terdengar giginya ber-catrukan. Air su
dah merendam mereka
hingga di lutut.
"Apakah kau takut?" Sin Tjoe tanya. Ia memeluki tubuh orang.
"Sebenarnya aku takut, tapi ada bersama nona, sekarang tidak lagi." sahut budak
itu.
"Kenapa?" Sin Tjoe tanya. Ia bersenyum.
"Karena kau ada puterinya menteri setia nomor satu di dalam kerajaan kita." menj
awab pula budak itu. "Dahulu hari ayahmu tidak takut mati, untuk membela negara
ia telah berkurban, maka itu, kenapa mesti takut untuk penderitaan
begini?"
Sin Tjoe terharu, hingga ia berdiam saja. Ayahnya itu memang setia dan telah ber
kurban.
"Nona Ie," berkata pula si budak. "Aku dapat melihat dan bertemu denganmu, tidak
lah sia-sia hidupku ini. Nonaku pun sangat mengagumi kau."
"Aku pun bersyukur kepada tuanmu yang muda dan nonamu itu," kata Sin Tjoe. "Apa
namamu?"
"Aku Touw Kim Go, nona. Aku ada dari suku bangsa Pek di Tali dan sedari kecil ak
u melayani Siotjia."
"Dari mana kau ketahui halku?"
"Nona majikanku yang membilangi. Siotjia pun ketahui kau sudah melukai Thi
o Tay Hong dan Ong Kim Piauw."
"Bagaimana dia ketahui kejadian itu?"
"Kemarin mereka di-ketemukan serdadu peronda, mereka lantas digotong pulang.
Kebetulan Bhok Kongya tidak ada di rumah, kami semua pergi keluar untuk me
lihat. Siotjia kenali Ong Kim Piauww sebagai sebawahan Ong Tjiangkoen. Siotjia
menanya kenapa mereka terluka, Ong Kim Piauw tidak mau memberi kete
rangan. Kemudian mereka diambil Ong Tjiangkoen. Nonaku lantas kel
uar sebentar,
sekembalinya, ia menyuruh aku mencari kau di rumah penginapan."
"Kenapa nonamu ketahui aku?"
"Itulah sebab bunga emasmu, yang Siotjia kenal. Katanya di kolong langit ini, ke
cuali isteri Thio Tayhiap dan kau, tidak lain orang yang menggunai senjata rahas
ia semacam itu."
Sin Tjoe heran bukan main.
"Nona itu kelihatan lemah, kenapa dia tahu tentang senjata rahasia kaum Rimba Pe
rsilatan?" ia berpikir. "Pula, kenapa dia tahu hotelku?"
Memikir begini, ia jadi sangat ingin segera menemui nona Bhok itu. Maka ia menye
sal sekali, sekarang dirinya terkurung dan ia tidak mempunyai sayap untuk terban
g pergi.
Si budak kedinginan dan kelaparan, hampir
dia tidak dapat bicara. Sin Tjoe memeluki dan mengangkat, untuk
mencegah orang keren-dam. Ia sendiri pun mulai lapar juga.
Tiba-tiba terlihat sinar terang dari atas, lalu sebuah bungkusan jatuh. Sin Tjoe
dapat lihat itu, ia menanggapi. Menyusul itu, sinar terang lenyap lagi.
Memeriksa bungkusan, Sin Tjoe dapatkan itu adalah nasi yang terbungkus dengan
daun teratai, baunya nasi dan harumnya teratai tercampur menjadi satu, membangki
tkan selera orang.
"Sungguh wangi!" kata si budak.
Sin Tjoe sendiri heran bukan main, hingga ia menjadi curiga.
"Bukankah tadi mereka mengancam aku? Kenapa sekarang mereka memberikan nasi? Mun
gkinkah nasi ini
dicampuri racun?"
Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar suara pelahan dan halus: "Jangan takut, jan
gan takut! Makanlah!"
Si nona terkejut dan heran. Ia rasa kenal suara itu, yang datangnya dari sebelah
tembok. Sukar akan dicari orang yang dapat bicara seperti orang itu. Ia terkeju
t, karena kalau orang sudah sedemikian liehay tenaga dalamnya, sebenarnya tak su
sah untuk orang itu membekuk ia.
"Aku lapar, aku lapar sekali... Barang apa itu, nona?" si budak bertanya, suaran
ya lemah.
"Nasi pepes daun teratai," si nona menyahuti. Ia lantas pecah dua nasi itu, sepa
ruh ia kasi si budak, separuhnya
untuk ia sendiri. Berdua mereka berdahar dengan
bernapsu, lezad sekali nasi itu!
Kejadian luar biasa lainnya segera menyusul. Air yang naik semakin dekat, mendad
ak surut, surut hingga habis.
Sin Tjoe heran berbareng girang.
"Apa artinya ini?" si nona menanya dirinya sendiri. "Dia musuh atau kawan?" Ia m
aksudkan orang yang mengantarkan nasi pepes itu.
Si bujang, yang lelah sekali, setelah bersantap, lantas tidur pulas.
Sin Tjoe tidak mau mengganggu, ia hanya diam berpikir.
Lagi selang sekian lama, di atas terdengar suara beradunya
senjata, selang sekian lama, suara itu lenyap. Habis itu mendadak terlihat sinar
terang.
"Entjie Kim Go, kita ketolongan!" berseru Sin Tjoe.
"Apa?" si budak mendusin, kaget. Ia mengucak-ngucak matanya.
"Kau peluk aku erat-erat, jangan takut, aku akan bawa kau naik."
Nona Ie membalas memeluk dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang pedangnya,
terus ia mencelat naik. Untuk tiba di atas, ia mesti beberapa kali menancap ped
ang di tembokan liang itu. Setibanya di atas, ia berdiri menjublak.
Belasan orang laki-laki tampak di situ, dengan pelbagai sikapnya, seperti orang
disihir. Ada yang lagi menikam dengan
pedang, ada yang membungkuk untuk
memanah, ada yang lagi membacok dan lainnya. Mata mereka itu ber-jelilatan,
seperti mereka ketakutan dan tengah
menderita.
Sin Tjoe sadar setelah ia ingat orang tentu telah terkena totokan, akibat pertem
puran tadi. Ia coba menotok bebas salah satu orang, untuk ditanyai keterangannya
, tetapi ia tidak berhasil. Istimewa
totokan orang yang tidak dikenal itu.
"Apakah Hek Pek Moko yang datang atas tanda panahku?" kemudian Sin Tjoe menduga-
duga. Ia lari keluar. Sunyi di sekitarnya, di situ tidak ada lain orang. Matahar
i sudah bersinar layung. Tanpa merasa, sudah lohor lagi. Ia jadi bertambah heran
. Hek Pek Moko tidak bakal meninggalkan padanya.
"Nona Ie, di sini seram, mari kita lekas pergi!" si budak mengajak. "Satu malam
aku tidak pulang, nonaku tentu berkuatir
sekali."
"Baik," kata Sin Tjoe, yang masih memeriksa rumah itu, yang semua pintunya terpe
ntang, penghuninya semua masih berdiam bagaikan patung-patung. Ia pergi ke belak
ang, ia melihat beberapa ekor kuda. Ia memilih dua ekor, dengan itu berdua Touw
Kim Go ia kabur ke dalam kota, terus ke gedung Bhok Kokkong, tidak jauh dari pin
tu kecil bahagian timur.
Tiba di sana, orang sudah pasang lampu.
Kim Go ajak Nona Ie masuk dari belakang. Di dalam tidak ada orang merintangi ia.
Di depan sebuah kamar indah, ia mengetok pintu, ia berkata: "Siotjia, Nona Ie s
udah datang!"
Dari dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa.
"Ah, ke mana siotjia pergi?" pikir budak ini.
Selang sekian lama, baharu pintu dibuka, seorang budak lain muncul.
"Eh, Kim Go, kenapa baharu sekarang kau pulang?" tanya dia, ialah Gin Koei, pela
yan lain dari Bhok Siotjia.
"Panjang untuk aku menutur. Mana siotjia?"
"Siotjia sudah pergi."
"Pergi? Pergi ke mana?"
"Entahlah! Siotjia pergi tadi magrib, keluarnya dari taman. Romannya kesusu
sekali. Aku tidak berani menyapa."
Sembari berkata, budak itu menyilahkan Sin Tjoe masuk ke dalam kamar.
Segera setibanya di dalam, Nona Ie heran atas sebuah pigura yang bermuatkan tuli
san melulu. Ia mengenali baik sekali tulisan gurunya, Thio Tan Hong. Ia
tidak
mengarti, kenapa
tulisan gurunya ada di situ.
Gin Koei sendiri sudah lantas berkata: "Malam ini kongya menjamu tetamu, y
ang katanya datang dari kota raja dan pangkatnya entah tjongkoan apa
. Kongya pesan siotjia untuk menilik siauwya, katanya
sebentar habis pesta, kongya hendak berbicara. Siapa tahu, siotjia sudah lan
tas pergi."
"Tjongkoan?" Sin Tjoe berpikir. "Diakah Yang Tjong Hay?" Ia lantas menanya, kena
pa Bhok siotjia yang disuruh menilik siauwkongtia.
Gin Koei bersangsi.
"Inilah Nona Ie, yang diundang nona kita, kau boleh omong segala apa," Kim Go be
ritahu.
"Setahu kenapa, kemarin kongtia gusar, siauwya dikurung di
kamar," menerangkan Gin Koei. "Karena tidak ada pahlawan yang menjaga, siotjia y
ang diberi tugas..."
Sin Tjoe menduga tentulah pangeran tua memarahi puteranya urusan Senghong.
Itu waktu terdengar suara kuda kereta.
"Nah, tetamu itu datang!" berkata Gin Koei.
"Di mana pestanya dibikin?" Sin Tjoe tanya.
"Di dalam taman sebelah barat."
"Mari kau ajak aku melihat."
Gin Koei kaget, dia ketakutan.
"Mari aku yang mengantari," kata Kim Go tertawa. "Kita dapat bersembunyi di bela
kang gunung palsu di tepi pengempang. Kalau orang pergoki kita, bilang saja kita
lagi main petak, kongya tentu tidak marah."
Budak ini lantas cari makanan buat Sin Tjoe dan ia sendiri, kemudian mereka sali
n pakaian mereka yang basah. Secara diam-diam
mereka pergi ke taman. Kebetulan perjamuan baharu di mulai. Dari tempat sembunyi
, Sin Tjoe dapat melihat nyata sekali.
Di kursi pertama duduk seorang berpangkat besar, mukanya putih tanpa kum
is. Yang duduk di kursi kedua benarlah Yang Tjong Hay. Yang
ketiga Sin Tjoe kenal sebagai Ong Tjiangkoen. Di sisi tuan rumah ada s
eorang imam. Bhok Kongya panjang jenggotnya dan nampak agung.
"Heran, kenapa kongya mengundang imam?" Kim Go berbisik.
Itu waktu si pembesar pangkat tinggi terlihat bicara. Kim Go tidak dapat mendeng
ar
suaranya. Sin Tjoe lekas menempelkan
kupingnya di batu gunung, ia mendapat mendengar dengan
nyata.
"Kabarnya si bocah suku bangsa Pek di Tali hendak berontak, yang mengepalai iala
h
keluarga Toan, semua pembesar pemerintah hendak diusir pergi. Adakah itu benar?"
Suara pembesar ini kecil, mirip suara wanita.
"Memang ada gerakan memberontak itu," Bhok Kokkong menyahuti. "Cuma menurut peng
umuman mereka, mereka bukan berontak, mereka tidak menghendaki tanah daerah oran
g Han. Rupanya mereka mau mengangkat diri menjadi raja."
"Hm, mengangkat diri menjadi raja!" mengejek si pembesar tinggi. "Bukankah itu p
emberontakan? Budi pemerin-
tah kepada Keluarga Toan bukannya tipis. Ketika dulu leluhurmu, Kimlengong, memu
snahkan negara Tali, untuk turun temurun keluarga Toan diangkat menjadi pengtjia
ngsoe di Tali. Kenapa keluarga itu tidak kenal cukup?"
"Memang. Tentang itu aku pun sudah mengirim laporan kepada Sri Baginda. Kebetula
n Lauw Kongkong datang, inilah terlebih baik pula. Lauw Kongkong senantiasa mend
ampingi Sri Baginda, justeru Kongkong ada orang Inlam, ingin aku menanya pikiran
pikiranmu."
Mendengar panggilan "kongkong" itu, Sin Tjoe baharu tahu bahwa orang ada seorang
kebiri dari istana kaisar. Semenjak Kaisar Beng Thay Tjouw mendirikan kerajaann
ya dia
melarang orang kebiri
(thaykam) mencampuri urusan pemerintahan, larangan ini berjalan beberapa turunan
, lalu menjadi longgar, maka juga sering terjadi kaisar angkat seorang kebiri me
njadi utusannya. Contoh nyata yaitu Kaisar Beng Seng Tjouw mengirim Thaykam The
Hoo ke luar negeri hingga tujuh kali. Orang kebiri jaman Beng banyak terdiri dar
i orang propinsi Inlam, The Hoo tak terkecuali, ada yang pandai, ada juga yang b
uruk. Dan ini thaykam she Lauw, mendengar suaranya, ada orang Inlam. Senang dia
mendengar Bhok Kokkong memohon pikirannya, ia bersenyum.
"Kongtia sampai menanyakan, mana berani aku tidak mengutarakan segala apa-apa,
" kata dia. "Menurut aku, mesti kongtia lekas mengirim
pasukan perang untuk menindas. Sri Baginda pun memesan aku akan menyampa
ikan kepada kongtia untuk mengawasi sepak terjang mereka itu,
setelah sekarang terang ada tanda-tandanya pemberontakannya, tidak bisa
lain, mereka harus ditindas!"
Bhok Kokkong berpikir.
"Mengangkat senjata bukankah itu mencelakai rakyat jelata?" katanya.
Mendengar ini, Lauw Kongkong tidak puas. Tapi Keluarga Bhok besar kekuasaannya,
raja pun memberi muka, ia tidak berani sembarang bicara. Ia tertawa.
"Kongtia mulia hati dan welas asih, tidak kecewa kau menjadi ibu bapak rakyat,"
ia berkata. "Cuma di jaman kalut, orang mesti
menggunai hukuman, tanpa mengangkat
senjata, pemberontakan mana dapat ditindes? Sekarang bagaimana pikiran
kongtia?"
Bhok Kokkong bersenyum.
"Hari ini ada dua tetamu jauh akan datang ke Koenbeng," ia berkata, "dengan meng
gunai mereka aku memikir suatu tindakan yang lunak, hanya entahlah, aku bakal be
rhasil atau tidak. Baiklah, sebelum aku menyampaikan itu
kepada Sri Baginda, lebih dulu aku mengutarakan kepada kongkong."
"Silahkan bicara, kongtia," kata si orang kebiri seraya meletaki cangkir
nya.
"Siapa kedua tetamu itu?" Yang Tjong Hay menanya. Di dalam hatinya ia kata: "Ken
apa orang-orangku
tidak ketahui ini? Mestinya mereka orang luar biasa..."
Bhok Kokkong menyahuti: "Mereka ada puteri Iran serta suaminya."
Semua hadirin heran. Tjong Hay lantas menanya: "Ada apa hubungan antara puteri I
ran itu serta pemberontakan di Tali?"
"Suami puteri itu bernama Toan Teng Tjhong," Bhok Kokkong menjawab. "Telah aku d
apat keterangan pasti, dialah turunan dari Toan Pengtjiangsoe dari Tali itu, kak
eknya pernah turut tentera Goan menyerang ke Barat, dia ketinggalan di Iran seta
hu bagaimana, dia mendapat jodohnya, menjadi menantu raja Iran. Rupanya dia rind
u akan kampung halamannya, dari tempat jauh itu dia pulang ke mari."
"Datangnya tetamu jauh menandakan kebesarannya raja kita," berkata Lauw Kongkong
. "Sekarang aku ingin tanya kongtia, cava bagaimana kongtia hendak menggunai
mereka itu untuk siasatmu yang lunak?"
"Dia itu dapat dianggap sederajat dengan pengtjiangsoe yang sekarang
ini di Tali," berkata Bhok Kokkong, "maka aku hendak memohon
Sri Baginda mengangkat dia menjadi pengtjiangsoe."
"Dapatkah itu mencegah pemberontakan?"
"Inilah yang diharap. Sebenarnya namanya saja dia diangkat jadi pengtjiangsoe, d
ia kita tempatkan di Koenbeng sini. Aku percaya dia dapat mempengaruhi bangsanya
di Tali itu. Dengan memberi pangkat ini, kita memberi muka pada keluarga
Toan itu. Andaikata mereka berontak juga, ada alasan untuk kita menghukum mereka
, untuk menghabiskan kekuasaannya turun-temurun itu."
Mendengar penjelasan itu, Lauw Kongkong berpikir.
Justeru itu muncul budak perempuan
pelayan Bhok Hoedjin.
"Tidak tahu aturan!" Bhok Kongya menegur. "Aku tidak panggil kau, perlu apa k
au datang ke mari?"
"Sio... siotjia..." sahut budak itu gugup.
"Siotjia apa?" bentak pula kongtia.
"Siotjia lari..." budak itu achirnya memberita-hu.
Bhok Hoedjin tidak melihat puterinya, ia menjadi bingung. Memang, karena sakitan
, ia memuja sang Buddha saja, ia tidak campur urusan di luar. Malah
dengan kongtia, ia
bertemu hanya
beberapa hari sekali. Begitupun hari ini, ia tidak tahu suaminya lag
i mengadakan pesta, ia lantas mengirim
budaknya itu.
"Ngaco belo!" bentak kongtia, yang air mukanya berubah. "Aku yang suruh siotjia
pergi kepada Keluarga Yo untuk menyambut
bibinya, mungkin bibinya menahan dia. Kenapa kau sibuk tidak keruan?"
Kongtia berpura-pura saja. Tentu dia malu kalau orang luar ketahui puterin
ya buron,
sedang puteri itu tinggi kedudukannya.
Budak itu melengak karena heran. Kalau siotjia pergi ke rumah keluarga Yo, mesti
nya ibunya mendapat tahu. Ia ditegur, ia penasaran.
"Hoe... hoedjin..." katanya pula.
"Pergilah kau!" kongtia mengusir. "Suruh
hoedjin matangi y an-oh ii
Budak itu berlalu dengan air mata me-ngembeng.
Hoetjiangkoen Ong Tin Lam heran, hingga ia jadi bercuriga. Kemarin toh ia lihat
sendiri siotjia itu, Bhok Yan, telah pergi ke Senghong bio.
Kongtia sendiri tak tenang hatinya. Heran ia puterinya buron. Ia lantas ingat ke
pada perbuatan puteranya, Bhok Lin, maka ia menyangka mungkin ada hubungannya.
Sampai di situ, Lauw Kongkong timbulkan pula pembicaraan mereka tadi.
"Siasat lunak itu baik tetapi persiapan untuk menghukum tidak boleh diabaikan,"
katanya. "Tidakkah begitu, kongtia?"fO
"Memang."
"Kapan Toan Teng Tjhong dan puteri Iran itu akan tiba di sini?" Yang Tjong Hay t
anya. "Cara bagaimana dia hendak diinsafkan akan kebaikan kongtia?"
Bhok Kokkong tertawa.
"Aku sudah mengirim orang memapak mereka," sahutnya. Terus ia menoleh, akan memb
erikan titahnya: "Coba lihat, Poei Tongieng sudah pulang atau belum?"
"Poei Tongieng kembali sejak satu jam yang lalu," menyahut satu hamba. "Dia bila
ng tidak dapat dia lantas menghadap Kokkong."
Kongtia melengak sejenak, lantas dia tertawa.
"Di antara orang sendiri, kenapa dia malu-malu? Di sini ada Yang Tjongkoan, dia
boleh sekalian memohon
petunjuk. Lekas suruh dia datang menghadap!"
"Poei Tongieng itu apa bukannya Poei Tee Kong yang menjadi orang kosen kenamaan
di Inlam Selatan?" tanya Tjong Hay. "Telah aku dengar dengan tangan kosong dia s
udah menaklukkan delapan belas tongtjoe di Lee Kang. Aku yang rendah mengagumi d
ia, jadi tak tepat untuk dia mendapat petunjuk dari aku..."
Bhok Kokkong senang mendengar sebawahannya dipuji.
Tidak lama, Poei Tongieng muncul bersama empat pahlawan. Melihat mereka itu, sem
ua orang terkejut bahna heran. Empat pahlawan itu matang biru mukanya dan dibalu
t di sana-sini, mereka lesuh sekali. Tongieng sendiri berdarah pundaknya.
"Apakah artinya ini?" tanya Bhok Kokkong, yang pun tercengang.
"Kami pergi menyambut puteri Iran serta suaminya," menerangkan Poei To
ngieng. "Mereka itu bukan cuma tidak sudi menerima kebaikan kongtia, me
reka malah menyerang kami."
"Dari mana Toan Teng Tjhong mendapat barisan serdadu?" Kongtia tanya. Dia heran
sebab dia tahu kegagahannya tongieng ini serta empat pahlawannya itu, mereka dap
at melawan seratus musuh.
"Mereka cuma, berdua," sahut Poei Tee Kong tunduk.
Kongtia heran berbareng gusar.
"Apa? Cuma berdua?" dia menegasi, "Apakah kamu tahang-tahang nasi saja?"
"Bagaimana macam-
nya dua orang itu?" Tjong Hay turut bicara.
"Mereka dua orang India, yang satu hitam, yang lainnya putih."
Mendengar itu, Tjong Hay tertawa.
"Jangan sesalkan mereka ini, kongtia1." ia kata kepada tuan rumah. "Dua orang it
u bernama Hek Pek Moko, merekalah pencuri-
pencuri mustika. Pada belasan tahun yang sudah, mereka sudah mencuri di istana d
i kota raja. Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay kena mereka kalahkan, aku sendiri
pun ragu-ragu. Hm, hm! Poei Tongieng sendiri dapat luka enteng, dia malah harus
dipuji dan dihadiahkan!"
Dia lantas menyuguhkan secawan arak pada tongieng itu.
Heran Bhok Kokkong mendengar Tjong Hay membilang musuh demi-
kian kosen, kegusarannya pun lantas lenyap.
"Mungkinkah kamu bicara kurang jelas?" Lauw Thaykam tanya. "Jangan-jangan Toan T
eng Tjhong sangsikan kau diutus oleh kongtia."
Poei Tee Kong menyahuti dengan penasaran: "Aku telah menyerahkan surat yang ditu
lis kongtia sendiri, sampulnya pun ada capnya Bhok Kokkong. Tanpa mem- baca lagi
, mereka lantas merobek-robek. Kalau tidak, tidak nanti kami serang mereka itu."
Toan Teng Tjhong telah terpedaya di Koeitjioe oleh si hoan ong palsu, maka itu i
a suruh Hek Pek Moko jangan mengasi hati lagi kepada tongieng itu.
"Lihat!" berkata Lauw Kongkong, tertawa. "Begitu bertemu muka mereka main hajar,
itu tandanya
mereka tidak memandang mata! Bagaimana sekarang dengan siasat lunak kongtia?"
Bhok Tjong murka.
"Toan Teng Tjhong tidak tahu diri, hm, tidak ada bicara lainnya lagi!" serunya.
"Di harian tenteraku menindas pemberontakan, aku tawan dan hukum dia!"
"Nah, begitu baharu betul!" Lauw Kongkong tertawa pula. "Dengan orang liar bagai
mana kita dapat omong pakai aturan? Poei Tongieng, kamu terluka karena tugasmu,
mari duduk bersama dan minum arak!"
Thaykam ini dan Tjong Hay membaiki tongieng itu dengan maksud me
ngambil
orang berada di pihaknya. Bhok Kokkong cerdik, ia bisa menerka hati
orang, ia menjadi tidak puas.
"Hek Pek Moko begitu liehay, Vang Taydjin tidak bisa berdiam lama di Koenbeng, h
abis siapa sanggup melawan mereka?" kemudian
pangeran ini menanya.
Yang Tjong Hay tertawa.
"Biarpun Hek Pek Moko liehay, asal paman guruku turun tangan, mereka akan kena d
ibekuk!" katanya.
"Tjong Hay, kau terlalu memandang enteng kepada musuh!" berkata si imam, yang ba
haru sekarang membuka
mulut. "Kalau gurumu yang datang, Hek Pek Moko tidak bakal sanggup melawan satu
gebrak saja! Tapi aku, mungkin aku mesti menggunai seratus
jurus baharu aku bisa membikin mereka
takluk..."
"Kalau begitu aku mengandal kepada too tiang saja!" kata
Bhok Kokkong girang.
"Apakah too tiang ada Hong Giam Tootiang ?" tanya Tee Kong. "Maaf, maaf!" Ia pun
berbangkit, akan mengisikan cangkir imam itu.
Tjie Hee Toodjin mempunyai cuma satu adik perguruan ialah Hong Giam Toodjin ini.
Dia ini kalah tersohor tetapi kalangan Rimba Persilatan tidak ada yang tidak ta
hu dia.
Dengan temberang Hong Giam minum kering arak suguhan Tee Kong itu.
"Tjong Hay mengajak aku datang ke Inlam ini sebenarnya untuk aku menghadapi musu
h
yang terlebih liehay daripada Hek Pek Moko itu," katanya kemudian.
Bhok Tjong heran.
"Siapa musuh itu?" dia bertanya.
"Dialah Thio Tan Hong!" Hong Giam omong terus terang.
"Katanya dia telah nelusup ke Inlam dan sekarang ini sudah tiba di Tali.
Apakah kongtia tidak mendapat tahu?"
Bhok Kokkong terperanjat. Ia tahu dulu hari itu Thio Tan Hong telah membantu Ie
Kiam mengalahkan Essen dan bersama In Tiong masuk ke negeri Watzu menyambut raja
pulang ke negeri.
" Too tiang b e rm u s u h bagaimana dengan Thio Tan Hong itu?" ia tanya.
"Thio Tan Hong itu konconya Ie Kiam," Tjong Hay sambil tertawa menalangi
menyahut. "Apakah kongtia tidak mengetahui itu? Dialah yang Sri Baginda hendak m
enawannya! Dia luas pergaulannya, pandai dia mendengar kabar, untuk membekuk dia
, kita tidak boleh banyak omong."
Bho Kokkong ber-
pikir: "Ie Kiam setia, dia mati secara menyedihkan. Hal itu membuat aku tidak pu
as. Sekarang, Sri Baginda mencari Tan Hong. Bukankah itu budi dibalas jahat?" Ia
berpikir begitu tetapi ia tidak berani kentarakan di air mukanya. Ia hanya kata
: "Kiranya Yang Tjongkoan mengundang tootiang untuk membekuk pemberontak. Inilah
untuk Sri Baginda, kamu harus dipuji!"
Hong Giam Tootiang tertawa terbahak.
"Thio Tan Hong malang melintang di Tionggoan, dia dapat julukan ahli pedang nomo
r satu," katanya, "maka itu kalau bukan aku, mungkin tidak ada lain orang yang s
anggup menawan dia!"
Sin Tjoe di tempat sembunyinya mendengari semua pembicara-
an itu, untuk mulut besar si imam, ia mengasi dengar
ejekannya di hidung. Di hatinya ia kata: "Kalau si hidung kerbau ini bertemu gur
uku, kalau hidungnya tidak dipapas, sungguh sayang!" Ia memang sangat memuja gur
unya, saking mendongkol, ingin ia keluar untuk menghajar imam itu. Tapi ia tahu
salatan.
"Thio Tan Hong itu bagaimana romannya?" Bhok Kokkong menanya. "Apakah Yang Ta
ydjin pernah melihat dia?"
"Melihat belum tetapi aku ada membawa beberapa helai
gambarnya," Tjong Hay menyahut. "Nah ini satu untuk kongtia, tolong nanti kongti
a menjaga agar dia tidak masuk ke Koenbeng."
Bhok Tjong menyam-buti gambar, untuk dibeber. Ia kaget hingga
air mukanya berubah.
"Kenapakah, kongtia ?" tanya Tjong Hay heran.
Cepat sekali pangeran itu bersenyum.
"Aku mengira Thio Tan Hong berkepala tiga bertangan enam, tidak tahunya dia cuma
seorang mahasiswa yang lemah!" katanya.
"Memang begitulah romannya, tidak heran kong tia t e rp e ra nj a t," ka
ta Tjong Hay.
Habis menenggak dua cawan pula, Lauw Kongkong berkata:
"Katanya siauwkongtia tampan dan cerdik sekali, pula dia mengarti ilmu s
urat dan ilmu silat, kenapa dia tidak diundang hadir di sini?"
"Anakku justeru bandel, mana aku berani terima pujian kongkong ?" menyahut Bhok
Kokkong. "Sekarang ini aku justeru menyuruh dia menyimpan diri dalam
kamar tulisnya untuk memahamkan kitab-kitab, dari itu aku tidak berani menitah d
ia menemui
tetamu-tetamu agung."
"Kongtia terlalu merendah," berkata Tjong Hay. "Bukankah peri bahasa tua membila
ng, yang tahu anak hanyalah ayahnya! Siauwkongtia pintar, itulah berkat ajaran k
ongtial"
Bhok Tjong pikirkan perkataan tjongkoan itu, ia menyangsikan ada maksudnya yang
lain. Justeru itu, Lauw Kongkong berkata pula: "Ya, kabarnya kemarin dulu siauwk
ongtia mengepalai upacara pembukaan kuil Senghong bio, hal itu menggemparkan sel
uruh kota ini. Dia masih muda sekali tapi sudah pandai bekerja, di belakang hari
kemajuannya tak ada batasnya! Aku minta
sukalah kongtia mengundang dia keluar menemui kami."
Bhok Kokkong cuma berdiam sebentar,
lantas dia suruh hambanya mengundang puteranya. Dia sudah pikir untuk berpura-pu
ra pilon, sebentar di muka mereka ini, hendak ia menegur puteranya itu sekalian
menyuruh
membongkar pula kuil Senghong itu.
Tidak lama, hamba itu balik sambil berlari tersipu-sipu dan gugup romannya. Ia
bersendirian saja.
"Kenapa siauwkongtia tidak datang bersama?" Bhok Tjong tanya, hatinya berdebaran
. "Apakah dia lagi salin pakaian?"
Hamba itu bersang-si, tapi ia toh menyahuti: "Siauw... siauwkongt
ia... minggat!..."
Bhok Kokkong kaget
bukan main, sakit hatinya. Ia mempunyai cuma dua putera puteri itu, sekarang dua
-dua anak itu buron.
Lauw Kongkong
memperlihatkan roman kaget dan heran.
"Kenapa siauwkongtia minggat?" dia menanya. "Dia toh tidak berbuat salah, bukan?
Ah, tentulah itu disebabkan pendidikan keras dari kongtia..."
Kokkong menenangkan diri tetapi punggungnya mandi keringat. Ia lantas mengikuti
salatan. Katanya: "Sudah kukatakan, anak itu bandel, sekarang kembali dia menerb
itkan gara-gara, sungguh memalukan!"
"Bagaimana sebenarnya?" Tjong Hay turut menanya. Dia sengaja memancing, untuk me
lihat pangeran ini menyebut urusan Senghong bio atau tidak.
Tapi Kokkong dengan gusar sekali berseru: "Dia tidak suka belajar! Sekarang tent
u dia membolos melihat pesta tengloleng!"
"Memang biasanya anak-anak gemar memain," Lauw Kongkong menghibur. Seb
enarnya ia mengejek.
"Anak itu memang bandel sekali," kata kokkong pula. "Umpama dalam urusan pendiri
an Senghong bio itu, dia telah berbuat tidak selayaknya. Itulah
perkuatan orang tolol! Malaikat kota malaikat tidak berarti, kenapa dia memasang
i hio dan mengangguk-angguk di depan patungnya?
Bukankah itu memalukan?"
"Hanya aku dengar patung malaikat kota itu beda dari yang lainnya," Tjong Hay me
ngatakan.
"Siapa tahu dari mana dia dapatkan boneka itu!" kata Kokkong. "Benar-benar dia m
embuat aku malu! Besok aku perintah orang membongkar kuil itu dan bakar bonekany
a,
kemudian aku nanti cari dia untuk dihajar!"
Sekarang si thaykam memperlihatkan senyumnya.
"Pasti siauwkongtia kena orang bujuki maka ia membangun kuil dan menghormati
malaikat kota," katanya. "Aku minta baiklah kongtia jangan hukum dia, asa
l boneka itu dihajar tiga ratus rotan, sesudah itu baharu dibakar! Dengan begitu
tidaklah penduduk tolol kena dilagui lagi."
"Memang," Tjong Hay campur bicara pula. "Boneka itu mesti dihajar hancur lebur d
ulu baharu dibakar menjadi abu!..."
Belum berhenti suaranya tjongkoan ini, di situ muncul seorang nona. Sangat gesit
gerak-geriknya si nona, dia datang tanpa ketahuan lagi.
Bhok Tjong lihat orang mengenakan
pakaian yang biasa dipakai puterinya, orang lebih muda dua tahun dari puterinya
itu, sedang tadinya ia menyangka budaknya. Nona ini cantik sekali, melebihkan pu
terinya sendiri. Yang mengherankan, nona ini nampak agung dan keren, cuma kening
nya lancip,
seperti dia lagi murka. Dengan sepasang mata tajam, nona itu menyapu para hadiri
n.
Kalau lain orang heran, Tjong Hay terkejut. Dia kenali Ie Sin Tjoe yang dia kuru
ng di liang jebakan yang terisi air. Kenapa nona ini bisa keluar pula de
ngan
selamat? Saking heran, dia jadi tidak berani sembarang bergerak.
Sunyi sekali itu waktu.
"Kau siapa?" Bhok Kongtia tanya achirnya.
"Ayahku dijunjung berlaksa rakyat, dihormati bagaikan malaikat!" berkata Sin Tjo
e dengan berani, suaranya dingin. "Dan kamu kamu machluk apa maka kamu hendak me
mbakar patung
ayahku?"
Semua orang heran dan kaget, kokkong bahkan berjingkrak.
"Apa kau bilang?" tanyanya.
"Aku bilang aku larang kamu merusak patung ayahku!" jawab Sin Tjoe nyaring.
"Siapakah ayahmu?" kokkong menanya pula.
"Ayahku ialah Lwee-kok Tayhaksu merangkap Pengpou Siangsie I e Kiam!" si nona
menjawab
meng musuh, untuk terus membacok.
Dengan tameng, musuh lebih banyak menjaga di atas, dari itu kaki mereka tidak te
rlindung sempurna, kaki merekalah yang diarah. Lekas sekali mereka roboh separuh
nya,
maka yang separuh lagi terpaksa lari menyingkir.
Begitu lekas ia bebas dari kurungan, Tiat Keng Sim memburu ke arah gurunya, untu
k membantu gurunya itu melabrak musuh.
Adalah di itu saat, di luar kurungan musuh terdengar suara menggelegar dari meri
am, berulang-ulang, menyusul mana terlihat menerjangnya satu
pasukan tentera di bawah pimpinan satu orang yang bersenjatakan golok, yang kemu
dian ternyata ada Vo Tjong Boe, salah satu pembantunya Yap
Tjong Lioe. Dia itu berseru-seru: "Tentera perompak di bahagian luar sudah dilab
rak musna, tinggal yang di sini saja, mari kita usir mereka ke laut!"
Pemimpin perompak licin sekali. Sejak dua hari yang lalu mereka sudah dapat kaba
r, di hari pertandingan ini bakal datang bala bantuannya, terdiri dari seribu ji
wa lebih. Dia anggap bala bantuan ini masih kurang, maka dia mengatur tipu menan
tang pieboe. Selagi orang adu kepandaian, dia mengatur serangan di tiga jurusan.
Di barat Taytjioe, yaitu di pelabuan Samah, bala bantuannya akan menyerang bela
kangnya tentera rakyat. Untuk maju di muka, dia pakai pasukannya sendiri. Lagi s
atu ialah penyerangan dari pasisir di mana pieboe diadakan.
terus terang.
Muka Bhok Tjong pucat bagaikan mayat.
"Kau ngaco-belo" membentak Tjong Hay. "Bekuk siluman ini!"
"Kau benar tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal!" Bhok Tjong pun membentak.
"Bagaimana kau berani mengaku menjadi
anaknya pengchianat? Mustahil puteraku membuat patung ayahmu? Kau ngaco belo, le
kas pergi keluar!"
***
Bhok Kokkong kuatir sekali si nona benar-benar ada puterinya Ie Kiam, kalau ia m
enawan dan memeriksa,
pengakuannya nona itu mungkin nanti
merembet-rembet puteranya, dari itu ia mengusirnya, supaya orang lekas pergi. Pu
n dengan begitu diam-
diam ia seperti menunjuki jalan lolos untuk nona itu.
Yang Tjong Hay tahu pasti orang ada puteranya Ie Kiam tetapi malang kepada mukan
ya orang
bangsawan itu, ia tidak berani bertindak
sembrono.
Sin Tjoe sebaliknya seperti mengerti
maksud orang bangsawan itu, ia tidak memperdulikan bahwa ia ditud
uh memalsu,
demikian dengan alisnya yang lantik bangun berdiri, ia berkata dengan nyaring: "
Ayahku membela kerajaan Beng, dia sangat setia! Dengan mempunyai ayah semacam it
u, aku justeru mesti bangga sekali, maka kenapa aku mesti malu mengakui ialah ay
ahku? Beda adalah kamu, yang tidak menggubris penderitaan rakyat, yang
cuma pandai bermuka-muka kepada raja! Sebenarnya malu kamu terhadap ayahku itu!"
Bhok Tjong membungkam. Ia memang menghargakan Ie Kiam dan kata-kata si nona ini
sangat menusuk hatinya yang agung. Sekalipun Yang Tjong Hay dan konco-konconya,
wajah mereka menjadi pucat.
"Hm!" Sin Tjoe memperdengarkan pula suaranya. "Sebenarnya kamu semua yang hadir
di sini, siapakah di antara kamu yang tidak mengetahui, bahwa patung Senghong it
u patung ayahku? Nah, kamu lihatlah surat ini!"
Si nona mengeluarkan surat rahasia dari Ong Tin Lam untuk raja, ia serahkan itu
pada Bhok Kokkong.
Muka Tin Lam menjadi pucat sekali, tubuhnya bergerak
bangun. Mungkin dia hendak merampas pulang suratnya itu. Berbareng dengan
gerakannya itu, satu bayangan berkelebat kepadanya, lalu tubuhnya roboh tergulin
g. Sebab Sin Tjoe sudah rabuh kakinya, setelah mana, dengan pedang terhunus, si
nona berdiri di samping Bhok Kokkong , sembari bersenyum ewah, dia menanya: "Ber
ani kamu mencegah Bhok Kokkong membaca surat ini?"
Hong Giam Toodjin dan Yang Tjong Hay dapat melayani nona berkelahi tetapi
kata-kata orang sudah mempengaruhi mereka hingga mereka mesti berdiam saja. Maka
di saat itu, suasana menjadi sangat tegang. Rata-rata orang melirik atau mengaw
asi Bhok Kokkong.
Cepat sekali orang
bangsawan itu membaca surat Ong Tin Lam, ia kaget tercampur murka. Baharu sekara
ng ia mengetahui sikap raja terhadapnya, bahwa Ong Hoetjiang inilah mata-mata ra
ja untuk mengawasi tindak-
tanduknya. Ia murka karena Tin Lam secara diam-diam hendak
mencelakakan padanya. Tapi ia adalah seorang yang banyak pengalamannya, lekas se
kali ia dapat menenangkan diri, hingga ia tidak kentarakan rasa hatinya itu. Den
gan tawar ia kata pada Tin Lam: "Ong Hoetjiangkoen, coba kau lihat surat ini! Ad
a orang yang telah memalsukan tulisanmu dan menulis ngaco belo! Sungguh gila!"
Lega hati Tin Lam dan Tjong Hay mendengar perkataan pangeran ini. Teranglah si p
angeran masih mem-
beri muka. Maka juga perwira itu, yang telah merayap bangun, berkata dengan nyar
ing: 11 Kongtia, terima kasih untuk kepercayaanmu terhadapku. Surat itu boleh ta
k usah dibaca lagi, baik robek saja! Tentulah ini siluman wanita cilik yang tela
h memalsu tulisanku,
yang tidak keruan-ruan menerbitkan gelombang! Aku percaya di belakang dia mesti
ada penganjurnya, maka itu tolong kongtia menyelidikinya!" "
Juga perwira ini hendak melindungi Bhok Kokkong sekalian ia menolong
mukanya
sendiri, maka itu ia damprat Sin Tjoe sebagai siluman, tidak berani ia menunjuk
si nona sebagai puterinya Ie Kiam.
Sin Tjoe gusar bukan main, ia tertawa dingin, sikapnya sangat
mengejek.
"Benar, perkara ini harus dicari tahu," kata kongya kemudian
pelahan-lahan. Tapi inilah kata-kata yang ditunggu-tunggu Yang Tjong Hay. Maka d
ia sudah lantas lompat ke depan.
"Perempuan siluman, lekas kau mengaku!" ia membentak. "Siapakah penganjurmu?"
Tapi itu bukan bentakan belaka, bentakan diikuti sambaran dahsyat.
Sin Tjoe sudah nekat, ia sudah bersedia. Atas datangnya serangan itu, pedangnya
berkelebat, tiga potong bunga emasnya pun menyambar!
Hong Giam Toodjin lompat mencelat ke depan Tjong Hay, tangan bajunya yang geromb
ongan dikebas-kan. Maka juga ketiga bunga emas itu kena ia
masuki ke dalam tangan bajunya itu. Ia tertawa dan berkata: "Sungguh ilmu pedang
yang bagus!" Dengan dua batang sumpitnya ia menjepit pedang si nona itu, dibawa
ke arah meja, dengan begitu pedang itu nancap di meja itu.
Sin Tjoe kaget dan mendongkol, ia kerahkan tenaganya untuk mencabut pedangnya it
u.
Si imam mempertahankan, ia menekan, maka sia-sia saja percobaan si nona, pedangn
ya itu tidak dapat dicabut. Inilah menandakan tenaga dalam yang hebat dari imam
itu.
"Siluman perempuan, kau bukalah matamu!" berkata si imam, yang tidak mau lantas
turun tangan terlebih jauh. Ia tertawa lebar. "Kau menyerah atau tidak?
Lekas kau bilang, siapa itu yang berdiri di belakangmu?"
Sin Tjoe tidak menjawab, sebaliknya jawaban datang dari luar, dalam rupa tertawa
yang nyaring dan panjang, seumpama kata "mengalunnya
naga" atau "menderum-nya harimau," suara mana seperti mengaung di kuping orang.
Mendengar itu, Hong Giam Toodjin terkesiap hatinya.
Segera juga terlihat orang yang terdengar suara tertawanya itu. Dialah seorang m
ahasiswa. Sembari bertindak maju, dia bersenandung:
"Seribu martil selaksa gempur, keluar dari dalam gunung, apinya yang berkobar me
mbakar bukan buatan hebatnya! Tulang terbakar, tubuh hancur
lebur, tak dibuat takut, asal dapat meninggalkan nama putih bersih di dalam duni
a ini!"
Itulah bunyinya salah sebuah syair paling terkenal dari Ie Kiam, yang telah diny
anyikan di seluruh negeri, tetapi di bawah senandung mahasiswa itu, bukan main b
ekerjanya pengaruhnya, hingga membikin orang malu sendirinya dan jerih hatinya.
"Kau siapa?" Hong Giam menegur.
Si mahasiswa tertawa.
"Aku ialah orang di belakang layar yang kau tengah mencari tahu!" jawabnya t
enang.
Tanpa merasa, imam itu membuatnya kendor jepitan sumpitnya,
maka juga Sin Tjoe segera dapat menarik pulang pedangnya. Ia pun sudah
lantas
berseru: "Soehoel"
Mahasiswa itu bukan lain orang daripada orang yang namanya kesohor di empat penj
uru lautan, yang kaum Rimba Persilatan
mengakuinya sebagai ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, ialah Thio Tan
Hong!
Inilah di luar dugaan siapa juga, maka sunyilah di sekitar situ, umpama jarum ja
tuh, mungkin suaranya
dapat terdengar nyata.
Air mukanya Bhok Kokkong lantas berubah, ia mengangkat tangannya
memberi hormat.
"Thio Sinshe datang, ada apakah pengajaranmu?" dia bertanya.
"Aku datang karena mendengar kabar kau hendak menegur kong-tjoe," sahut Tan
Hong yang dipanggil sinshe itu guru, sedang
dengan kongtjoe ia
maksudkan puteranya si orang bangsawan.
"Turut penglihatanku, perbuatannya itu membuat patungnya Ie Kiam adalah tepat se
kali! Laginya, akulah yang menyuruh kongtjoe membuatnya, dari itu sekarang senga
ja aku datang untuk memohonkan ampun, jikalau kongtia hendak
menegurnya, baiklah kongtia tegur aku!"
"Sinshe b e rg u ra u!" kata Bhok Kokkong tertawa. Lalu lekas-lekas ia
kata pada si thaykam she Lauw: "Inilah Thio Sinshe yang pernah menjadi gur
unya anakku. Benar tak lebih dari satu bulan Thio Sinshe mengajar tetapi kepanda
iannya aku sangat mengaguminya. Thio Sinshe ini paling gemar bergurau,
dari itu haraplah Lauw Kongkong sudi memaklumkannya..."
Baharu sekarang Sin Tjoe mengarti kenapa di kamarnya Nona Bhok ada tergantung pi
gura tulisan gurunya itu, kiranya gurunya itu juga menjadi gurunya siauwkongtia.
Ia tertawa dalam hatinya untuk kejenakaannya guru ini.
Memang, ketika Tan Hong lewat di Koenbeng ini, kebetulan ia lihat Bhok Lin yang
bagus bakatnya, ia suka bocah itu, dengan sendirinya ia ajukan diri sebagai guru
, ia ambil orang sebagai calon murid. Ia tahu tentang keruwetan di antara pemeri
ntah dan suku bangsa Pek dari Tali, dengan mengambil Bhok Lin sebagai murid, ia
mengandung sesuatu maksud. Bhok Kokkong sendiri tidak ketahui, guru puteranya it
u adalah Thio Tan Hong yang kenamaan itu, ia cuma ketahui orang ter-
pelajar dan halus budi pekertinya. Cuma satu bulan Tan Hong berdiam sama muridny
a itu, ia pergi dengan tergesa-gesa, hingga Bhok Kongtia menyayanginya. Kongtia
mengenali Tan Hong setelah Yang Tjong Hay tunjuki dia gambar orang. Mulanya ia k
aget dan merasa sulit. Ia bersangsi untuk mengakui Tan Hong itu, sebaliknya, unt
uk
menyangkal, ia juga tidak berani, sebab ia kuatir Tan Hong nanti tertawan Tjong
Hay dan anaknya pastilah akan terembet-rembet. Untuk sementara, ia mengambil put
usan
akan mengilungi dulu hal Tan Hong itu. Ia mengharap-harap Tan Ho
ng tidak akan memperkenalkan diri, dengan begitu ia percaya Tjong Hay tentu akan
memandang kepada mukanya. Di luar dugaannya,
sekarang Tan Hong munculkan dirinya.
Tan Hong menyentil dengan jari tangannya, matanya melirik ke arah si orang kebir
i.
"Lauw Kongkong," tegurnya, "semenjak kita berpisahan, apakah kau ada banyak baik
? Kota Koenbeng bagaikan musim semi seluruh tahun, di sini meminum arak sambil m
emandangi sang bunga, sungguh menarik hati, beda seperti langit dengan bumi deng
an negara Ouw yang banyak saljunya!..."
Orang kebiri she Lauw ini memanglah si thaykam yang tempo hari kaisar Kie Tin di
tahan di Tobokpo ada bersama kaisarnya itu, maka bersama-sama rajanya pernah ia
merasai penderitaan di negara asing. Itu juga sebabnya kenapa dia sekarang dap
at keper-
cayaannya Kie Tin. Tentu sekali ia kenal baik si mahasiswa.
"Sebenarnya apakah maksudmu, Thio Sinshe ?" dia bertanya.
"Sri Baginda pelupaan, aku tidak sangka kongkong pelupaan
juga!" berkata Tan Hong. "Lauw Kongkong, kalau nanti kau pulang ke kota raja, to
long kau tanya Sri Baginda, ia masih ingat atau tidak pembilanganku terhadapnya
tempo kita masih berada di negara Watzu. Aku maksudkan itu jubah kulit rase? Mun
gkin Sri Baginda sudah membuang jubah itu..."
Selama Kie Tin dalam penjara, Tan Hong pernah menjenguknya dan ia dihadiahkan ba
ju kulit itu untuk melawan hawa dingin. Ketika baju dipersembahkan, Lauw Thaykam
melihatnya sendiri, dia menjadi
saksi utama. Sekarang, mendengar perkataannya Tan Hong, dia bungkam.
"Ah, Thio Sinshe sudah mabuk!" berkata Bhok Kongtia, yang
masih hendak bersandiwara.
Tan Hong mengangkat satu cawan besar, ia menenggak isinya, terus ia tertawa.
"Di dalam Li Sao-nya, Khoet Goan menyesali diri, siapa tahu, dunia melupai segal
a apa, cuma sendirilah yang tetap sadar!" katanya melenggak, "Haha! Aku kuatir,
yang mabuk itu bukannya aku hanya Sri Baginda sendiri begitu-pun kamu sekalian!"
Kata-kata ini membuatnya orang kaget, hingga muka mereka berubah, tetapi Tan Hon
g sendiri, dia tetap tenang-tenang saja. Dia bicara secara wajar sekali. Katan
ya pula:
"Aku kuatir Sri Baginda dan Lauw Kongkong telah melupakan semua-mua! Sebenarnya
peristiwa lama itu tak selayaknya ditimbulkan pula akan tetapi menyebutkan itu p
ula sungguh besar
faedahnya! Aku ingat dahulu hari itu tatkala Sri Baginda mengutus In Tjonggoan b
ersama aku menyambut Sri Baginda pulang ke negeri, itu waktu Sri Baginda telah m
engangkat sumpah bahwa asal dia dapat kembali naik di atas tachta, ingin dia men
jadi kaisar bijaksana seperti Kaisar-kaisar Giauw dan Soen. Maka sungguh tidak d
isangka sekali, Sri Baginda mendapatkan kembali tachtanya belum sepuluh hari, di
a sudah lantas menghukum mati pada Ie Kokioo\ Orang yang dengan sendirinya mengg
empur Tembok
Besar, siapa berani tanggung dia tidak akan mengalami penderitaan yang kedua kal
i di Tobokpo? Tidakkah
dengan begitu dia membuatnya dingin hatinya menteri-menteri setia serta orang-or
ang gagah perkasa? Haha, Bhok Kokkong, bukannya aku bergurau! Siauwkongtia telah
membangun I uil menghormati Ie Kokfoo, tentang itu bukanlah aku yang merencanaka
n, itu disebabkan dia telah mendengar ceritaku tentang riwayat Ie Kokfoo itu, di
a menjadi sangat ketarik hatinya, dia membuatnya itu! Cobalah kamu menanya dirim
u sendiri, orang setia dan besar nyali sebagai Ie Kokloo itu, menteri besar yang
membangun negara, setelah dia menutup mata, tak tepatkah dia menjadi malail at
? Maka
jikalau kamu berani membongkar \ uilrv, a dan merusak patungnya, yang hendak dib
akar, aku kuatir sekali, langit dan bumi nanti tak dapat menem-patkanmu dan manu
sia dan malaikat-malaikat bakal bergusar karena-ny E^1'
Hatinya Bhok Kongtia berdebaran, kaki tari g a n n y a b e r g e m e t a
t .j n. Hebat kata-kata itu, yang membuatnya
cemas hatinya. Di sebelah itu, semangatnya pun terbangun sendirinya. Memang, per
buatannya raja
menghukum mati
kepada Ie Kiam sudah me n dat angk a n penasaran dan gusarnya semua menteri seti
a, cumalah mereka tidak berdaya. Maka
kata-katanya Tan Hong ini seperti mewakilkan mereka mengutarakan penasarannya
yang
terpendam itu.
Selang sekian lama baharulah Lauw Kongkong dapat
menetapkan hatinya.
"Kata-kata menghasut!" gerutunya.
Bhok Kokkong pun berkata: "Lekas pimpin Thio Sinshe keluar,
tolongi dia supaya diperiksa kesehatannya oleh thabib!"
Tan Hong bersenyum ewah.
"Ya, kata-kata
menghasut!" katanya nyaring. "Ketahui olehmu, jikalau sekarang ini kamu tidak me
ngijinkan aku mengucapkan
kata-kataku, maka
siapa berani menyentuh tubuhku sekali saja, jangan menyesalkan aku apabila aku t
idak memandang-mandang lagi!"
Tapi Hong Giam Toodjin gusar.
"Kau machluk apa?" tegurnya. "Berani kau
kurang ajar di sini?"
"Kau sendiri machluk apa?' Tan Hong balik menegur. Dia tertawa lebar. "Raja send
iri tidak nanti berani menegurku secara begini! Kau berani berlaku kurang ajar?
Aku Thio Tan Hong, tidak pernah aku mengubah she dan
namaku! Sekarang, mau apa kau?'
Bhok Kokkong kaget sekali mendengar orang memperkenalkan diri, mukanya menjadi
sangat pucat. "Celaka, celaka..." Ia mengeluh dalam hatinya.
Selagi raja muda ini bingung bukan main. Yang Tjong Hay sebaliknya tertawa
berkakak.
"Yang Tjongkoan , kenapa kau tertawa?" tanya Bhok Kongtia heran, hatinya ce
mas.
"Hawa hari ini buruk, mungkin Thio Sinshe ini terganggu urat syaraf-
nya!" kata orang yang ditanya. "Thio Tan Hong itu bersama-sama aku adalah dua di
antara ke empat ahli pedang terbesar di jaman ini, bagaimana hebat ilmu kepanda
iannya! Tapi sinshe ini adalah cuma seorang mahasiswa yang lemah gemulai haha! b
agaimana dia berani aku diri sebagai Thio Tan Hong? Tidakkah ini sangat lucu?"
Sengaja Tjong Hay berkata begini. Ia tahu siapa Tan Hong tetapi ia menelad Bhok
Kongya , hendak ia membantu melindungi orang
bangsawan ini. Jadi perbuatannya itu sama dengan perbuatan Bhok Kongya
melindungi Sin Tjoe.
Tan Hong berpaling kepada tjongkoan itu, matanya dibuka lebar.
"Kaukah Yang Tjong Hay?" tanyanya tertawa
dingin.
"Memang ialah Yang Tay d jin tjongkoan dari istana," Bhok Kokkong mendahului
menjawab.
"Aku tidak peduli tjongkoan bukan tjongkoan!" kata Tan Hong keras. "Yang Tjong H
ay, hendak aku tanya kau, siapa gelarkan kau kiamkek?"
"Kiamkek" ialah ahli pedang. Tjong Hay termasuk satu di antara empat kiamkek ter
besar.
"Ah," sahut tjongkoan itu, "itulah gelaran yang diberikan kaum kangouw yang
melihat mata padaku. Thio Sinshe, pertanyaan ini baharulah pantas
kalau dimajukan oleh Thio Tan Hong."
Tan Hong terta- wa lebar.
"Tidak salah!" katanya. "Aku justeru hendak menanyakan, kau ada mempunyai kepand
aian apa? Apakah kau
tepat untuk direndeng-kan denganku sebagai salah satu dari empat kiamkek ter
besar?
Haha! Aku lihat kaulah si kiamkek tetiron!"
"Kau masih hendak memalsukan dirimu Thio Tan Hong?" menegaskan Tjong Hay. Ia tid
ak takut. Ia lawan ejekan dengan ejekan.
"Baiklah! Karena kau mengaku dirimu Thio Tan Hong, kau mesti memperlihatkan satu
atau dua jurus kepandaian silatmu dengan pedang!"
"Tidak salah!" Hong Giam Toodjin menimbrung. "Jikalau kau dapat mengalahkan peda
ng di tanganku baharulah suka aku mengakui kau sebagai Thio Tan Hong!"
Imam ini membantui keponakan muridnya itu mengejek.
"Haha, jangan repot, jangan repot!" Tan Hong
tertawa. Ia ada sabar luar biasa hingga ia tidak mempan ejekan. "Aku mesti menga
jar adat dulu kepada ini kiamkek tetiron si manusia tidak tahu malu! Yang Tjong
Hay, jikalau kau bisa melayani aku sepuluh jurus banyaknya, aku nanti membiarkan
kau dipandang sebagai salah satu kiamkek terbesar!"
Tjong Hay tidak takut. Ia mengandal kepada paman gurunya itu, yang ada bersama d
engannya, cuma ia menyesal, siasatnya gagal. Sebenarnya ia ingin paman gurunya i
tu yang segera turun tangan, siapa tahu, Tan Hong desak ia hingga di pojok. Mau
atau tidak, ia berkuatir juga. Tapi ia dapat menungkuli diri. "Biarnya Thio Tan
Hong sangat liehay, mustahil aku tidak dapat melayani ia selama sepuluh
jurus?" Maka ia menebalkan kulitnya.
"Baiklah!" sahutnya. "Silahkan sinshe yang turun tangan lebih dulu! Sinshe adala
h guru sekolah di istana kokkong ini, aku pun paling menghormati anak
sekolah, karena sinshe mempunyai kegembiraanmu, suka aku menemaninya. Hanya hend
ak aku menegaskan, batas kita adalah batas saling towel saja, supaya kita tak us
ah menyebabkan hati kongtia menjadi tidak aman..."
Tjong Hay seperti mengalah, ia seperti tetap memandang
orang adalah guru sekolah yang terhormat, sedang sebenarnya ia mencoba untuk men
gikat persahabatan...
"Sudah, jangan ngo-ceh sajah!" Tan Hong membentak. "Hunuslah
pedangmu!"
Tjong Hay sudah lantas menghunus
pedanguja, ia lompat ke gelanggang.
Sin Tjoe segera menghunus juga pedangnya, pedang Tjengbeng kiam, untuk diangsurk
an kepada gurunya. "Soehoe, pedangmu!" katanya.
Guru itu tertawa.
"Untuk melayani binatang ini perlu apa menggunai pedang?" sahutnya. Ia bertindak
ke tepi pengempang di mana ada beberapa pohon yanglioe, dari sebatang cabangnya
yang meroyot turun, ia potes satu tangkai, kemudian ia balik kembali, tindakann
ya tenang.
"Yang Toatjongkoan, inilah ketikanya yang paling baik untuk kau mengangkat namam
u!" ia berkata. Sekarang ia menyebut-nyebut pang-
kat orang. "Asal kau dapat melayani cabang yanglioe-ku ini sepuluh jurus, pastil
ah sudah kau dapat menduduki terus tempatmu sebagai salah satu dari empat kiamke
k terbesar!"
Semua hadirin terperanjat saking heran, dan semua pahlawannya Bhok Kokkong memen
tang lebar-lebar mata mereka. Umumnya mereka mendapat kesan Thio Tan Hong terlal
u jumawa.
Bhok Kokkong tidak tenang hatinya karena ia melihat wajahnya Yang Tjong Hay sepe
rti diliputi hawa pembunuhan, tangannya yang memegang pedang
bergerak-gerak bergemetaran. Ia berpikir: "Bukankah Thio Tan Hong lagi hendak me
ngantarkan jiwanya?" Ia merasa berkasihan terhadap guru puteranya itu. Tapi ia t
etap
membungkam. Karena Tjong Hay hendak melindungi padanya, ia anggap biarlah ia tid
ak campur bicara lagi.
Ketika itu kedua jago sudah berdiri berhadapan, Tan Hong angkat cabang yanglioe-
nya dengan apa ia menge-buti debu di pakaiannya.
"Sin Tjoe, kau tolongi aku menghitung!" kata ia pada muridnya itu. Ia bicara sam
bil tertawa.
Tjong Hay mendongkol bukan main. Biar bagaimana, untuk
belasan tahun ia telah menerima baik gelaran salah satu empat kiamkek besar. Pul
a ia adalah tjongkoan dari istana kaisar. Tapi sekarang ia dipandang tak mata ol
eh Tan Hong. Maka kegusarannya membikin ia melupakan jeri hatinya. Walaupun Tan
Hong mencekal Tjengbeng kiam, ia masih tidak
"Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," kata pula Tang Hong. "Yang pertama ialah
'Memecah Bunga Mengebut Yanglioe1, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua
ialah 'Phang Ie Memukul Tambur1, untuk mengarah tenggorokanmu. Yang ketiga iala
h 'Bianglala Putih Menutupi Matahari', langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan muridnya, Tan Hong mulai
penyerangannya dengan menggunai cabang pohon yanglioe.
takut, hendak ia mengadu jiwa, apapula sekarang orang memegang hanya sebatang ya
nglioe. Mendadak ia menggeraki pedangnya, dengan jurusnya
"Membiak mega untuk mengendalikan kilat." Menggetar dan berbunyi pedangnya itu d
isebabkan bekerjanya tenaga dalamnya.
"Cuma luarnya saja, dalamnya tak terisi!" kata Tan Hong tertawa, Dan ia tidak me
nggeraki kakinya untuk menyingkir dari tikaman yang nampaknya
sangat dahsyat itu, ia melainkan menggeser sedikit tubuhnya,
hingga ujung pedang lewat di tempat yang kosong. Selagi tubuhnya menggeser, tang
annya tidak berdiam saja, cabang yanglioe diangkat, dipakai
menikam ke depan, ke arah muka si penyerang.
Aneh cabang yang lemas itu, karena dikerahkan, lantas
menjadi lempang dan kaku dan juga mengasi dengar suara keras.
Yang Tjong Hay kaget tidak kepalang, mau atau tidak, ia berkelit mundur. Untuk p
ertama kali ia merasakan liehaynya lawan ini.
"Jurus yang pertama!" Sin Tjoe berteriak, nyaring tapi halus. Dia pun mengasi de
ngar tertawa yang empuk.
Tjong Hay mundur sambil menangkis, habis itu ia memperbaiki dirinya. Segera ia d
idesak, datanglah jurus yang kedua. Ia menjadi repot sekali, lagi-lagi ia berkel
it. Belum sempat ia membalas, datang pula jurus yang ketiga. Dan Sin Tjoe saban-
saban membacakan itu dengan keras.
Biar bagaimana,
tjongkoan ini ada satu jago. Di jurus ketiga itu, habis membela diri. Ia mencoba
membalas menyerang. Ia tetap ada muridnya satu guru yang liehay, tidak terlalu
gampang untuk merobohkan dia.
Menghindarkan diri dari penyerangan pembalasan itu, Tan Hong tidak berkelit, ia
hanya menyingkirkan ujung pedang lawan dengan mengetok belakang pedang orang hin
gga Tjong Hay merasakan telapak tangannya
tergetar dan sakit, pedangnya pun terpental, syukur tidak sampai terlepas dari c
ekalan-nya.
"Kali ini boleh juga," kata Tan Hong sambil tertawa, "melainkan penjagaannya, wa
laupun rapat tetapi masih ada lowongannya, maka ini tak dapat disebut jurus
yang liehay.
Sekarang kau lihatlah lanjutannya tiga jurusku lagi!"
Ketika itu Sin Tjoe sudah menghitung hingga jurus yang ke lima.
"Perhatikan tiga jurusku beruntun ini," berkata pula Tan Hong. "yang pertama ial
ah Memecah Bunga
Mengebut Yanglioe, mengarah pundakmu kiri dan kanan. Yang kedua ialah Phang Ie M
emukul Tambur, unuk mengarah tenggorokanmu. Yang ketiga ialah Bianglala Putih Me
nutupi Matahari, langsung menikam dadamu!"
Sembari berkata-kata itu, seperti guru lagi mengajarkan muridnya, Tan Hong mulai
dengan penyerangannya. Tjong Hay boleh merasa beruntung yang ia telah diberi pe
tunjuk dulu. Serangan yang pertama dapat ia halau, begitu-pun yang kedua.
Ia
menggunakan tipu silat "Secara main-main
membagi emas" dan "Tapalan pintu besi." Untuk ini ia menggunakan kecepatan dan t
enaganya yang besar. Untuk yang ketiga, karena tidak dapat memikirkan jalan lain
, ia menggunakan tipu silat "Kilat dan guntur saling menyambar." Inilah
serangannya yang
terhebat, dengan
maksudnya membabat putus senjata cabang yanglioe di tangan lawan itu. Untuk ini
ia bersedia bersama-sama rugi andaikata lawan dapat menggunakan siasat lain.
Sin Tjoe pun dengan beruntun menyebutkannya: "Ke enam! Ke tujuh! Ke delapan! Ah,
sayang, sayang! Coba soehoe tidak menyebutkannya lebih dulu, pasti dia tidak da
pat menyambutinya... Seka-
rang tinggal dua jurus lagi, maka kalau Yang Tjong Hay berlaku nekat, tidak nant
i dia dapat dirobohkan dalam sepuluh jurus ..."
Selagi nona ini melamun, mendadak ia berhenti dengan kaget. Tiba-tiba saja ia me
ndengar suara sangat keras, dari terdobrak-nya jendela, di mana terlihat melayan
gnya satu tubuh manusia, kaca jendela pecah hancur, air empang berbunyi berdebur
an, airnya muncrat ke segala penjuru. Sebab tubuh Tjongkoan dari istana yang bes
ar itu telah tercebur, mandi di pengempang itu!
Dengan menggunakan pukulannya "Kilat dan guntur saling menyambar," Yang
Tjong Hay sudah mengerahkan tenaganya sepenuhnya. Di luar dugaannya, ia menyabet
tempat kosong. Cabang yanglioe lawan seperti lenyap tidak keruan paran. Atau tah
u-tahu tubuhnya terlibat cabang itu, lalu terangkat, kemudian di luar segala kes
adarannya, tubuhnya itu terlempar, mendobrak jendela, terus nyemplung di air!
Tan Hong lantas tertawa.
"Dapat melepas dapat menarik, itu namanya mendekati Tao!" ia berkata. "Begitu ju
ga ilmu silat! Eh, Sin Tjoe, jurus ini jurus yang ke berapa?"
"Jurus yang ke sembilan!" sahut Sin Tjoe setelah ia mengeluarkan napas lega. Sun
gguh-sungguh ia tidak menyangka.
Tan Hong mengham-pirkan jendela, untuk berkata: "Yang Tjong Hay, kau dengar! Sem
enjak hari ini dan seterusnya, aku mela-
rang kau menyebut lagi dirimu kiamkek yang terbesar!"
Hong Giam Toodjin merasakan tubuhnya dingin tidak keruan, tetapi ia majukan diri
nya. Ia berlompat.
"Mari aku belajar kenal dengan Hian Kie Kiamhoat!" ia berkata. Ia melihat keheba
tan orang tetapi ia penasaran. Bahkan segera ia menggunakan sepasang sumpit di t
angannya untuk menjepit cabang yanglioe di tangan Tan Hong itu.
Hong Giam ini ada soetee, yaitu adik seperguruan, dari Tjie Seng Tjoe. Dipadu um
urnya dengan Hian Kie Itsoe, ia ada terlebih muda dua puluh tahun, akan tetapi b
icara tentang tingkat atau derajat, dia seimbang sama Hian Kie Itsoe itu, maka d
ipadu dengan Tan Hong, ia
lebih tinggi dua tingkat, karenanya, malu ia melawan orang dari tingkat lebih mu
da dengan menggunai pedang. Bahwa ia telah menggunai sepasang sumpit, itu pun ka
rena ia ingin menguji tenaga dalam dari orang she Thio ini.
Tan Hong tertawa.
"Yang muda tidak maju, yang tua muncul?" katanya
menggoda. Ia menggeraki tubuhnya, ia menggeser cabang
yanglioe-nya.
Hong Giam Toodjin menyangka orang
hendak menyingkirkan diri, ia menjepit pula, untuk mana ia mengerahkan tenaganya
.
Justeru itu, Tan Hong berseru: "Tukarlah dengan pedang!"
Sin Tjoe tidak melihat, tipu apa yang gurunya gunakan, tahu-tahu ia t
ampak sepa-
sang sumpit di tangannya Hong Giam sudah terlepas dari tangannya dan mencelat ke
luar jendela, jatuh di empang!
Tenaga dalam dari Tan Hong seimbang dengan tenaga dalam dari si imam, kalau ia t
oh dapat mempermainkan imam itu, inilah disebabkan setelah
pertempurannya sama Yang Tjong Hay, ia dapat mengenal baik ilmu silatnya lawan i
ni dan kebetulan saja, si lawan temberang, maka ia menggunai cacad orang itu unt
uk keuntungannya.
Ketika itu Tjong Hay sudah merayap naik dari empang, pakaiannya kuyup basa
h. Ia meng-hampirkan paman
gurunya untuk segera mengangsurkan pedangnya. Ia kata: 11 Soesiok, silahkan paka
i pedang ini!"
Bahwa Tjong Hay hebat, itu telah terbukti. Walaupun ia terlempar dan tercebur, p
edangnya tak lepas dari cekalannya itu. Jikalau ia ada orang lain, entah ke mana
sudah terbangnya
senjatanya itu.
Hong Giam berdiri menyeringai. Ia telah menganggap derajatnya sudah tinggi sekal
i, sudah semenjak ber-berapa tahun ini ia tidak pernah menggunai
pedang, maka adalah di luar dugaannya, sepasang sumpitnya kena diterbangkan oran
g malah orang yang tingkat derajatnya jauh terlebih rendah itu.
"Silahkan menggunai pedang, soesiok1." Tjong Hay berkata pula.
Walaupun ia mengasi dengar ejekan "Hm!" imam ini toh menyam-buti pedang keponaka
n muridnya itu. Ketika ia
mengawasi kepada Tan Hong, ia dapatkan orang tengah menggunai cabang yanglioenya
mengebuti pakaiannya, sikapnya tenang sekali. Ia menjadi mendongkol, ia merasak
an kulit mukanya panas.
"Tan Hong, kau menukarlah dengan pedang!" katanya.
Inilah yang pertama kali si imam menyebut nama Tan Hong, maka itu, berubah wajah
Bhok Kokkong yang mendengar panggilan orang itu.
"Bagus!" Tan Hong tertawa. "Sekarang kau tidak lagi mengatakannya aku telah mema
lsu nama orang! Sin Tjoe, kau tolongi aku memotes lagi setangkai cabang yanglioe
!"
Si murid lincah sekali, cepat ia mengerjakan titah gurunya itu.
Dengan menyekal sepasang cabang yanglioe, Tan Hong
bersenyum.
"Hong Giam Toodjin ," ia berkata, tenang, "kau adalah soetee-nya Tjie Seng Tjoe,
jikalau aku menggunakan cuma sebatang yanglioe,
itulah kurang hormat dari pihakku, maka sekarang aku memakai sepasang batang unt
uk melayani pedangmu yang panjang. Dengan begini kita menjadi tidak kipa!"
Dengan kata-katanya itu, Tan Hong cuma main resmi-resmian. Cabang yanglioe mana
dapat dibanding dengan pedang? Sengaja ia mau angkat dirinya tetapi pun berbaren
g mengangkat juga si imam...
Hong Giam berdiam, cuma hatinya tegang sekali. Ia mesti dapat menguasai dirinya.
Tapi toh ia tak dapat bungkam lama-lama.
"Bocah, kau tidak tahu aturan! Lihat pedang!" ia membentak berbareng menikam.
Thio Tan Hong tertawa.
"Lootjianpwee, tika-manmu ini tidak kecelaannya!" katanya. "Dibanding dengan kep
onakan muridmu, kau ada terlebih tinggi satu tingkat!"
Itulah pujian tercampur sindiran. Dan kata-kata itu dikeluarkan be
rbareng dengan gerakan cabang
yanglioe di kiri dan kanan, dilintangkan
satu dengan lain.
Hong Giam terperanjat. Sederhana nampaknya serangan lawan ini tetapi sebenarnya
berbahaya. Kalau ia membabat yanglioe yang kiri, iga kanannya sendiri lowong, ka
lau sebaliknya, iga kirinya yang kosong. Karena itu terpaksa ia mengundur-
kan dirinya, untuk membuat pembelaan saja. Tentu sekali ia dapat membela diri de
ngan baik sekali, karena tidak percuma ia telah dididik kakak seperguruannya.
"i Lootjianpwee," kata pula Tan Hong, tetap sambil tertawa, "dengan ini satu geb
rak saja maka terlihatlah sudah hasilnya latihanmu beberapa puluh tahun. Kau tel
ah memperoleh rahasianya kemahiran ilmu silat, hanya sayang, kau baharu saja mas
uk sampai di ruang pendopo, kau belum lagi masuk ke dalam kamar, maka baiklah ka
u pulang untuk belajar terlebih jauh dengan kakak seperguruanmu, mungkin kau nan
ti dapat men-ciptakan suatu partai tersendiri! Sungguh, lootjianpwee, aku
menaruh pengharapan besar terhadapmu!"
Kembali pujian yang terselip ejekan yang terlebih hebat, mirip dengan guru yang
tengah mengorek-ngorek kesalahan dalam buah kalam muridnya.
Hong Giam merasakan dadanya hampir meledak, sebisa-bisa ia mengendalikan diri.
Sebagai satu jago, satu ahli, ia menginsafinya baik-baik, di waktu bertanding, t
idak boleh ia mengumbar hawa marahnya. Ia berlaku waspada sekali terhadap sepasa
ng batang yanglioe lawannya ini, yang tidak dapat dipandang ringan.
Sebentar saja, tiga puluh jurus sudah berlalu. Sepasang cabang yanglioe-nya Tan
Hong bergerak-gerak lincah mirip sepasang naga tengah bermain-main, setiap seran
gannya senantiasa di luar dugaan. Hong Giam
menggunai sebatang pedang yang panjang, ia masih kewalahan, ia cuma dapat menang
kis, tidak bisa ia membalas menyerang, dari itu dengan sendirinya
pengaruh lingkaran
pedangnya itu makin lama menjadi makin ringkas, hingga dengan sendirinya si imam
bagaikan kehilangan pengaruhnya.
Menyaksikan kepandaian gurunya itu, Sin Tjoe sadar. Ia baharulah insaf kefae-dah
an dari Siangkiam Happek, gabungan
sepasang pedang dari Hian Kie Kiamhoat. Ilmu itu nyata dapat digunakan tidak cum
a oleh satu pasangan, wanita dan priya, juga dapat oleh satu orang sendiri yang
mengandal kepada kedua
tangannya. Pula ini membuktikan liehaynya Tan Hong. Mungkin Hian
Kie Itsoe sendiri tidak sanggup menciptakan ilmu permainan sendiri itu.
Ketika dulu hari Hian Kie Itsoe menurunkan ilmu silat pedangnya itu, ia cuma mew
ariskan kepada dua muridnya tersayang, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, yang masi
ng-masing diajarkan sebagian, separuh saja, kemudian Thian Hoa mewariskan pada T
an Hong dan Eng Eng kepada In Loei, juga seorang separuh, supaya mereka dapat me
nggabungkan itu, murid dan cucu murid itu berempat telah terbukti, tidak ada tan
dingannya. Sekarang, Tan Hong mainkan itu sendiri saja. Inilah hasil kecerdasan
dan keulatannya sesudah ia menikah sama In Loei, karena seorang diri terus ia me
latih diri dan memahamkan. Maka
tidak sia-sialah cape lelahnya itu. Ini pula sebab kenapa Tan Hong berani melaya
ni Hong Giam yang bersenjatakan pedang dengan dua batang yanglioe.
Lagi kira tiga puluh jurus, Hong Giam tetap cuma mampu membela diri. Hanya sekar
ang, napasnya mulai memburu keras, sampai itu dapat didengar oleh para hadirin.
Yang Tjong Hay senantiasa memasang mata, ia dapat mengarti suasana yang buruk it
u untuk pihaknya. Kalau ia tidak segera bertindak, mungkin paman gurunya itu men
ghadapi bahaya. Maka lantas ia bekerja. Paling dulu ia merampas sebatang pedang
dari tangannya satu pahlawan, setelah itu, ia berseru: "Si penghianat telah terb
ukti kesalahannya, maka hayolah bekuk dia,
jangan membuang-
buang tempo lagi!"
Menimpali seruan itu, dari luar ruang muncul belasan orang dengan senjata mereka
lengkap, pakaian mereka tak rata, ada yang sebagai pahlawan, ada yang seperti i
mam. Sebab mereka ada murid-muridnya Tjie Seng Pay yang dipimpin Hong Giam Toodj
in. Sengaja mereka di tempatkan di luar ruang, oleh karena mereka dianggap tidak
berderajat untuk duduk bersama Bhok Kokkong. Mereka cuma dipesan untuk selalu s
iap sedia, buat maju begitu lekas ada pertanda. Di luar, mereka ditemani oleh se
jumlah pahlawannya tuan rumah, Semuncul-nya mereka, lantas mereka memernahkan di
ri, hingga ruang jadi terkurung rapat.
Bhok Kokkong tidak
puas tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa, terpaksa ia berdiam saja, menonton
sambil ia dilindungi beberapa pahlawannya.
Yang Tjong Hay pun memberi tanda kepada orang-orangnya itu, untuk bersiap sedia.
Kemudian Hong Giam Toodjin berlompat maju, untuk mengambil
kedudukannya di
tengah-tengah.
Tan Hong bersenyum, kembali ia menggunai cabang yanglioe-nya untuk mengebuti
bajunya. Kemudian
dengan sabar baharulah ia berkata: "Sudah lama aku mendengar kabar perihal baris
an pedang dari Tjie Seng Pay, bahwa barisan itu liehay sekali, baharu sekarang a
ku dapat
menyaksikannya, sungguh aku merasa sangat berbahagia!"
Yang Tjong Hay ber-
diam saja walaupun ia diejek. Ia hanya menantikan tanda dari paman gurunya untuk
turun tangan mengepung musuhnya itu.
Tan Hong pun tidak memperdulikannya lebih jauh, ia hanya menoleh kepada muridnya
. Ia tertawa ketika ia berkata: "Pertempuran kali ini sedikitnya akan memakan wa
ktu setengah jam, karena tidak ada perlunya untuk kau berdiam di sini, pergi kau
berangkat lebih dulu. Jikalau kau bertemu sama Hek Pek Moko, sampaikanlah pengh
arapanku agar mereka tak kurang suatu apa! Kau tidak usah menantikan aku, jangan
kau mencari, hanya kau boleh berangkat lebih dulu ke Tali. Paling lambat selang
satu dua hari aku akan dapat susul kamu!"
Tenang bicaranya Tan Hong, meskipun barisan musuh berbahaya, ia seperti tak mem-
perdulikannya.
Sin Tjoe menjadi serba salah. Sebenarnya tidak puas ia meninggalkan gurunya, sed
ikitnya ingin ia menyaksikan pertempuran guru itu. Tapi ia cerdas, mesti ada per
lunya kenapa gurunya menitah ia pergi. Di sana pun ada Hek Pek Moko, dan ia perl
u mencari mereka itu untuk diajak pulang bersama. Maka ia terpaksa menurut. Kata
nya: "Baiklah, soehoe, muridmu akan berangkat lebih dulu."
Ia menghunus pedangnya, untuk berlalu. Orang semua siap sedia, ia pun ingin bers
iap. Tapi Tan Hong tertawa.
"Kau simpan pedangmu, anak!" katanya.
"Jangan kau membuatnya mereka kaget hingga nanti mengganggu barisan
pedang mereka ini."
Dengan barisan pedang itu dimaksudkan " kiam tin."
Sin Tjoe heran hingga ia melengak. Bukankah hebat pengurungan musuh itu? Mungkin
kah, kapan ia mengundurkan diri, mereka itu tidak akan menghalang-
halangi? Dengan bertangan kosong, mana dapat ia melawan belasan musuh itu? Tapi
ia percaya gurunya, maka ia masuki pedangnya ke dalam sarungnya, dengan
berani tetapi tenang, ia bertindak keluar, matanya diam-diam dipasang.
Benarlah kesudahannya, tidak ada satu jua murid Tjie Seng Pay yang berani merint
angi, mereka berdiri diam pada kedudukannya
masing-masing, maka ia dapat keluar tanpa halangan. Umpama kata orang menggaplok
nya mereka itu, tentu mereka berdiam terus kecuali ada tanda dari Hong Giam atau
Tjong Hay...
Tan Hong ketahui liehaynya musuh, ia tidak takut, tetapi ia tahu, ia mesti menar
uh perhatian, maka itu, supaya ia tidak usah repot memikirkan Sin Tjoe, ia suruh
muridnya itu mengangkat kaki terlebih dulu. Ia sudah menduga tidak nanti muridn
ya itu dihalang-halangi musuh.
Baharu saja Sin Tjoe tiba di gili-gili empang, ia sudah lantas dengar riuhnya su
ara bente-rokan senjata. Itulah tanda yang gurunya sudah turun tangan. Ia merand
ak, ia menoleh, ingin ia menyaksikan, tetapi di achirnya, ia
mendengar kata, ia berjalan terus. Dengan siurannya angin, ia merasa hatinya ter
buka. Selama dua hari ia menderita, tetapi bertemu gurunya, ia girang bukan main
. Ia percaya, itulah gurunya yang sudah menolongi padanya. Sebenarnya ia ingin m
inta keterangan pada gurunya itu tetapi ia sudah memasuki kota dan berada dekat
hotelnya.
"Entah bagaimana Siauw Houwtjoe memikirkan aku," pikirnya.
Setahu bagaimana dengan Hek Pek Moko, mereka sudah tiba atau belum... Ia berjala
n terus. Di tembok luar, ia dapatkan pertandaannya masih ada. Ketika ia masuk ke
dalam, ia bertindak cepat.
"Siauw Houwtjoe! Siauw Houwtjoe!" ia memanggil, gembira. 11 Soehoe datang!"
Dari dalam kamar tidak ada penyahutan. Ia lantas mulai tak senang.
"Kenapa Siauw
Houwtjoe gemar sekali memain?" katanya.
"Menantikan dua hari saja dia tidak cukup sabar! Dia harus diajar adat!..."
Ia mau menyangka si bocah pesiar ke dalam kota. Ketika ia menolak daun pintu dan
tiba di dalam, ia tercengang. Ia mendapatkan seperei kusut, tanda seperti Siauw
Houwtjoe turun dari pembaringan secara kelabakan. Karena tidak mau memikir bany
ak-banyak, ia lantas teriaki pelayan rumah penginapan.
Ketakutan nampaknya ketika si pelayan muncul, belum lagi ditanya, ia sudah bicar
a, suaranya tidak lancar. Katanya: "Kami dari pihak rumah pengi-
napan, kami cuma mengurus tempat
tinggal dan makanan tetamu, kalau ada barang yang hilang, kami tidak bertang-gun
gjawab..."
"Apa? Barang hilang?" tanya Sin Tjoe heran.
"Di kota Koenbeng ini sudah lama tidak ada perampok atau
pencuri," berkata si pelayan, menyahuti tak langsung, "maka
sungguh lacur, kali ini kejadian justeru pada pemondokan kami ini. Inilah di lua
r dugaan. Apakah nona ingin majikan kami turut nona pergi mengajukan laporan kep
ada pembesar negeri?"
Sin Tjoe jadi heran sekali.
"Sudah, jangan banyak omong!" meme-gatnya. "Penjahat
sudah curi barang apa kepunyaanku?"
"Penjahat telah curi kuda putihmu, nona..."
Nona Ie kaget bukan main.
"Orang telah curi kudaku?" ia menegaskan.
"Benar, nona. Sekarang adikmu tengah mengejar penjahat itu..."
Tanpa menanya lagi, bagaikan angin puyuh, Sin Tjoe lari ke istal. Di sana tidak
ada Tjiauwya Saytjoe ma, kudanya yang jempolan itu. Ia lari keluar, lari terus h
ingga beberapa lie. Ia mendapat kenyataan, tapak kaki kudanya lenyap di luar kot
a itu. Ia berdiri diam sekian lama, lalu lekas-lekas ia kembali ke hotel. Pelaya
n penginapan masih berdiri menanti di istal, hatinya berkuatir. Ia takut nanti d
imintai penggantian kerugian kuda jempolan itu...
"Orang macam apa pencuri itu?" si nona
menanya kemudian.
Pelayan itu menggeleng kepala.
"Kejadian tadi malam jam empat kira-kira," ia berkata. "Tiba-tiba kami mendapat
dengar
teriakannya tuan kecil, tatkala kami memburu keluar, tuan kecil sudah pergi meny
usul si pencuri kuda, dia lari keras hingga kami tidak dapat menyusul. Kami cuma
tahu tuan kecil tidak sampat merapikan pakaiannya lagi. Sebentar saja dia lenya
p dari pandangan mata kami."
Sin Tjoe mencoba menyabarkan diri.
"Inilah heran," pikirnya. "Kudaku itu cuma mendengar perintahnya soehoe dan soeb
o serta aku bertiga. Lain orang jangan harap dapat menungganginya, tidak segala
pencuri biasa! Mungkinkah dia liehay sekali? Tidak, tidak! Tidak nanti Tjia
uwya
Saytjoe ma menyerah kepada siapa pun! Buktinya, larinya pun tid
ak kacau? Mustahilkah soebo yang datang sendiri? Tapi tidak nanti soebo
bergurau denganku! Soehoe pun tak mungkin, soehoe berada di kokkonghoe1.
Siapa orang di kolong langit ini mampu mencuri kudaku itu dan dapat membikin
kuda itu menurut saja?"
Pecah rasanya otak si nona, tidak juga ia dapat menerka jitu.
"Nona Ie, kau berniat mengajukan pengaduan atau tidak?" pelayan penginap
an mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa yang hendak diadukan?" sahut si nona, mendongkol.
"Hanya, aku lagi pikirkan, bagaimana caranya untuk mengejar si pencuri itu..."
"Tetapi, nona, jangan kau gelisah," kata pelayan itu, "Benar kau
kehilangan kudamu
tetapi ada seorang yang meninggalkan
kuda lain untukmu..."
Sin Tjoe heran. "Apa kau bilang?" tanyanya. "Siapa orang itu?"
"Dua orang bangsa asing," sahut si jongos. "Mereka ada priya dan wanita, pakaian
nya mewah, bicaranya dengan lidah Inlam. Mereka berlalu belum lama. Mereka menga
takan kenal kau, nona, waktu mereka dengar nona kehilangan kuda, mereka lantas m
enitipkan kudanya itu."
Sin Tjoe lantas menduga pada Toan Teng Tjhong dan puteri Iran.
"Siapa lagi yang turut mereka?" ia menanya.
"Mereka cuma berdua. Agaknya mereka dalam kesusu. Begitu mendapat tahu nona tida
k ada di sini, mereka meninggalkan kudanya
dan berangkat dengan lantas."
"Mereka dirintangi orang-orangnya kokkonghoe, pantas mereka tidak mau berdiam la
ma-lama di kota Koenbeng ini," Sin Tjoe kata dalam hatinya. "Kuda yang mereka ti
nggalkan ada kuda dari Arabia, inilah lumayan."
Maka ia lantas suruh si pelayan tuntun kuda itu, kemudian ia lantas lompat menai
kinya.
"Ke mana kaburnya si penjahat?" ia tanya.
"Melihat mengejarnya tuan muda, ke selatan," sahut pelayan itu.
Tanpa membilang apa-apa lagi, Sin Tjoe kaburkan kudanya ke arah yang disebutkan
itu. Tentu saja ia membuatnya si pelayan ini heran dan gegetun. Pelayan ini berl
ega hati bukan main, sedang tadinya ia ketakutan,
kepalanya pun pusing, takut nanti disuruh mengganti harganya kuda jempolan itu.
Sin Tjoe mengaburkan kudanya walaupun ia tahu tidak nanti ia dapat menyandak
Tjiauwya Saytjoe ma. Ia mengharap-harap nanti menemukannya di tengah jalan. Buka
nkah kudanya itu tidak suka menurut kecuali terhadap majikannya?
Sore itu ia menumpang bermalam di rumah seorang petani, besoknya pagi-pagi ia ka
bur pula. Di tengah jalan ia menemui beberapa
orang, yang gerak-geriknya mencurigai, tetapi mereka tidak ada bersama Tjiauwya
Saytjoe ma, ia membiarkannya saja. Ia terus kaburkan kudanya sampai satu kali ia
dengar tindakan kaki kuda nyaring di sebelah belakangnya, apabila ia
sudah menoleh, ia dapatkan seorang
penunggang kuda yang muda usianya, matanya besar, alisnya gompiok, pakaiannya da
ri cita kasar, romannya mirip petani yang polos. Dia nampaknya likat dan wajahny
a bersemu dadu ketika si nona mengawasi padanya.
"Apakah nona bersendirian saja?" ia menanya.
"Kenapa?" Sin Tjoe balik bertanya. Ia tidak menyahuti.
"Aku juga bersendirian," kata pemuda itu. "Perjalanan dari sini ke Inlam Selatan
ada tidak aman, aku pikir baiklah kita jalan bersama, jadi kalau perlu dapat ki
ta saling melindungi. Bagaimana pikiranmu?"
Sin Tjoe tidak puas, coba orang tidak bersikap polos, pasti ia sudah mencambuk.
"Biasanya tak senang aku berjalan bersama-sama lain orang," sahutnya tawar.
"Terima kasih!" Dan ia jeterkan cambuknya, membuat kudanya berlompat lari, hingg
a sesaat kemudian anak muda itu tak nampak lagi.
"Sungguh aneh," nona kita pikir, ia tertawa di dalam hati. "Pemuda itu seperti t
idak membawa barang berharga, biarnya tempat tidak aman, dia takuti apa? Mungkin
kah romannya saja polos tetapi sebenarnya dia orang jahat? Fui! Biar dia jahat,
kalau dia tidak ganggu, apa aku perduli?"
Sin Tjoe kabur terus. Sampai magrib ia masih belum melihat kudanya. Hatinya mula
i dingin. Ia merasa bahwa cara mencarinya ini tidak tepat.
"Sekarang baik aku menuju langsung ke Tali akan menantikan soehoe di sana," piki
rnya kemudian. Ia angkat kepalanya, memandang ke depan. Ia melihat banyak puncak
bukit.
"Orang bilang tempat yang indah ialah Koeilim, siapa tahu Inlam pun tidak kalah,
" ia ngelamun. Ia pernah baca banyak buku dan mengenal ilmu bumi, mendadak ia in
gat, bukankah pemandangan di depannya itu ada dari "Tjio Lim" atau Rimba Batu ya
ng tersohor keindahan dan keanehannya (thian kay ek keng)? Ia ingat benar, Tjio
Lim berada di kecamatan Louwlam di Inlam.5)
Ia lantas melarikan kudanya mendekati rimba batu itu. Maka ia lihatlah sepotong
batu besar yang bagaikan tergantung di udara
dengan empat hurufnya warna merah: "Thian Kay Ek Keng," di samping mana ada bebe
rapa pujian umpama "Pemandangan aneh buatan alam" dan "Buah kerjaan sakti dari k
ampak hantu." Karena ini ia jadi ingin pesiar ke dalam rimba batu itu meskipun i
a tahu, rimba istimewa itu katanya mirip dengan barisan Pattin Touw dari Tjoekat
Boe Houw, ialah keletakan dan
jalanannya yang dapat menyesatkan orang, bisa masuk tak bisa keluar. Ia pikir, p
esiar dulu, baharu melanjuti perjalanannya ke Tali. Begitulah ia mencari rumah s
atu penduduk, untuk menumpang
singgah.
Penduduk situ ada suku bangsa Ie yang ramah tamah, yang senang mendapat kunjunga
n tetamu, maka
itu, Sin Tjoe disambut dengan manis dan dilayani dengan telaten, hingga ia disaj
ikan makanan yang istimewa yaitu "lengsan," barang makanan terbuat dari campuran
susu kambing atau susu kerbau. Makanan itu berbau amis tapi Sin Tjoe paksa daha
r juga beberapa potong. Habis bersantap sore, ia menanya kalau-kalau tuan rumah
kenal baik jalanan di dalam rimba batu itu.
"Aku tahu, aku tahu, cuma sekarang jalanan itu tak dapat dilalui," berkata tuan
rumah.
Sin Tjoe heran, ia menanyakan sebabnya.
"Sebab sekarang di dalam rimba itu berdiam kawanan penjahat," menerangkan tuan r
umah. "Umpama tahun yang lalu, dua orang Tionghoa masuk ke dalam rimba, selanjut
nya
mereka tidak pernah keluar pula. Karena itu, kami di sini tidak ada yang berani
memasukinya."
"Begitu?" kata si nona gusar. "Tempat begini luar biasa menarik, mana dapat penj
ahat dibiarkan mendudukinya? Kau antari aku ke sana, nanti aku singkirkan manusi
a-manusia jahat itu!"
Tuan rumah menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-
goyangi tangannya.
"Tidak bisa, nona," katanya. "Jangan kata nona seorang diri, sepasukan tentera p
un tidak nanti berhasil membasmi mereka.
Mereka kenal jalanan. Kalau lain orang dia dapat masuk tak dapat kembali."
Sin Tjoe mendongkol, tapi sebab tuan rumah takut, ia tidak mau memaksa.
Malam itu bulan muda baharu muncul, Sin Tjoe keluar dari rumah untuk menggadangi
nya. Tuan rumah hendak menemani, ia menampik. Ia berjalan seorang diri. Ia cuma
dipesan jangan pergi jauh-jauh.
Di luar kampung itu ada sebuah telaga kecil, di tepi situ pun ada banyak batunya
yang munjul tinggi, berbayang di permukaan air. Juga pemandangan ini cukup mera
wankan hati.
Nona ini ingat pembilangan hal adanya Kiam Tie, Pangempang Pedang, di dalam Tjio
Lim, maka ia anggap, pangempang itu
pastilah indah sekali. Karena ini tanpa merasa ia bertindak, berniat memasuki ri
mba batu itu.
Mendadak ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang belasan tombak di depannya.
Ia
heran. Di sana ada tanah datar yang berumput, di sana pun ada beberapa batu munj
ul itu. Ke sana dua bayangan itu masuk, akan kemudian disusul dua yang lain. Dar
i heran, ia menjadi mencurigai orang jahat. Maka ia lari ke sana, untuk menginta
i. Untuk menyembunyikan diri, ia naik di atas puncak. Ia lihat bebarapa orang, d
i antaranya seorang
wanita.
"Tang Lootoa, apakah kau merasa pasti?" terdengar seorang. "Benarkah si titik it
u seorang diri?"
Si "titik" ada kata-kata rahasia kaum penjahat, dimaksudkan orang yang di arah.
"Benar-benar mereka penjahat yang hendak mencelakai orang," pikir Sin Tjoe. Maka
terus ia mengintai, memasang mata dan kupingnya.
"Aku tidak salah, dia seorang diri!", jawab si Tang Lootoa itu.
Sin Tjoe terus memasang kupingnya, sampai ia terkejut.
"Kalau dia benar bersendirian, jangan kita alpa," terdengar suara seorang tua, y
ang nadanya dalam. "Tidak sembarang orang berani jalan sendirian untuk ribuan li
e jauhnya."
Herannya Sin Tjoe ialah ia seperti mengenal baik suara itu. Maka ia mengingat-in
gat.
"Ah, dialah Lie Ham Tjin," si nona achirnya ingat. Lie Ham Tjin ialah salah satu
dari tujuh pahlawan dari istana kaisar, yang pernah menyateroni Thayouw Santjho
eng. Dialah yang dapat lolos dari tangannya Hek Pek Moko, sedang yang lainnya te
lah mendapat bagiannya.
"Inilah aneh," Sin Tjoe berpikir lebih jauh. "Aku menyangka kepada orang-or
ang jahat
biasa, siapa tahu di sini ada turut campur hamba negeri..."
Tentu sekali, ia menjadi semakin ketarik hati.
"Jangan kuatir, looyatjoe," kata si wanita. "Kita jangan lawan dia berterang, ki
ta pancing dia masuk ke dalam rimba batu. Dia bersendirian, biarnya dia liehay d
an mempunyai sayap untuk terbang, tidak nanti dia lolos!"
"Apakah kau merasa pasti?" Lie Ham Tjin menegaskan.
"Tentu! Dengan satu akal, dia pasti bakal kena terpancing."
Sin Tjoe ingin dengar akal itu, tetapi mereka itu hanya kasak-kusuk.
"Benar bagus!" kata Lie Ham Tjin tertawa,
"Habis membereskan si titik ini, kita baharulah membereskan juga si budak peremp
uan!"
"Apakah budak perempuan itu pun si titik yang tangguh?" si wanita menanya.
"Turut katanya Vang Tjongkoan, dia telah mewariskan ilmu pedang gurunya dan senj
ata rahasianya yang berupa bunga emas liehay luar biasa," menyahut si orang she
Lie. "Sebenarnya, setiap muridnya Thio Tan Hong pastilah tak dapat dicelah, past
i dia liehay."
Sin Tjoe kaget sekali. Jadi ia pun lagi di arah. Hampir ia merabuh dengan bunga
emasnya untuk menghajar
rombongan itu. Baiknya ia dapat menyabarkan diri. Ia menduga-duga, siapa itu si
titik, ingin ia mencari tahu. Untuk ini, ia mesti mengawasi terus gerak-gerik
rom-
bongan itu.
"Budak itu mengambil satu jalan bersama si titik, jikalau kita ketemui mereka be
rbareng, terhadap siapa kita mesti turun tangan terlebih dulu?" menanya si wanit
a.
"Tentu saja si titik lebih dulu!" sahut Lie Ham Tjin.
"Mereka tak dapat dikumpul bersama. Sekarang mari kita bersiap sedia!"
Sin Tjoe lekas-lekas mengundurkan diri, untuk mengawasi terlebih jauh. Ia memern
ahkan diri di tempat tersembunyi di tepian empang.
Belum terlalu lama, ia melihat gerakan serupa bayangan memasuki Tjio Lim.
"Siapa titik itu?" si nona menduga-duga. "Lie Ham Tjin liehay dan kawannya banya
k,
mereka masih tidak berani menempur secara
terang-terangan... Mungkin dia terlebih penting daripadaku..."
Setelah itu, ia berjalan pulang, akan besoknya fajar, belum langit terang, ia su
dah pamitan dari tuan rumah, yang ia beri alasan hendak lekas-lekas melanjuti pe
rjalanannya. Tapi sebenarnya ia menyembunyikan diri di luar rimba batu itu.
Ketika matahari sudah naik tinggi, beberapa orang kelihatan masuk ke dalam rimba
, terus mereka lenyap, tidak terdengar juga suara apa-apa dari mereka. Ia menjad
i bersangsi si titik datang hari itu.
Hampir nona ini meninggalkan tempat sembunyinya tatkala kupingnya mendengar tind
akan kaki kuda, lalu tak lama kemudian, muncullah si penung-
gang, yang ternyata adalah si anak muda kemarin, yang mengajak ia jalan bersama.
Dia pun rupanya tertarik keindahan rimba batu itu, dia turun dari kudanya, samb
il menggendong tangan, dia mengangkat kepala, melihat langit dan sekitarnya.
"Dia nampaknya tolol tetapi dia ketarik sama keindahan alam," berpikir si nona.
Ia mengagumi juga pemuda itu, yang terang berperasaan halus.
Justeru itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan seorang wanita. Si anak muda kaget
, dia berpaling ke arah dari mana jeritan itu datang. Dia tampak seorang priya,
yang romannya bengis, membawa lari seorang wanita masuk ke dalam rimba. Wanita i
tu menjerit-jerit terus dan meronta-ronta kaki
dan tangan.
"Culik! Tolong! Culik! Tolong!" demikian teriakan si wanita berulang-ulang.
Pemuda itu kaget, lalu dia menjadi gusar, maka dia lari untuk mengubar.
Semua itu terkilas di matanya Sin Tjoe. Untuk sesaat ia berdiam, segera ia sadar
, si titik itu pastilah ini anak muda. Karena ini ia berteriak-teriak:
"Jangan kejar! Jangan kejar! Itulah akal belaka!"
Sia-sia saja teriakan ini, si anak muda sudah mengejar masuk ke dalam rimba batu
. Tapi keras keinginannya si nona untuk menolong, maka ia hunus pedangnya, ia me
mburu. Segera ia dengar suara benterokan senjata. Ia lari terus, hingga ia menya
ksikan si anak muda lagi dikepung
beberapa orang, di antaranya seorang tua, ialah Lie Ham Tjin si pahlawan kaisar.
Pula si "culik" dan wanita yang terculik itu ada bersama, bahakan kebetulan sek
ali, wanita lagi berkata-kata sambil tertawa: "Lihat, looyatjoe, bagus tidak aka
lku?"
Hebat si anak muda. Ia gempur seorang musuhnya, hingga dia terdampar ke sebuah b
atu sampai kepalanya borboran darah. Pukulan itu membuatnya si nona heran. Ia ke
nali itulah jurus dari ilmu silat Kimkongtjiang Toasoet paytjioe, hajaran
Tangan Arhat.
Lie Ham Tjin mengasi dengar ejekan "Hm!" terus ia rangsak si anak muda. Dia meng
gunai ilmu silat Thaykek koen, untuk memecahkan tipu silatnya pemuda itu. Si ana
k muda benar hebat,
walaupun dia gagah, Lie Ham Tjin tak dapat berbuat banyak. Bahkan habis itu, kem
bali satu musuh dibikin terdampar roboh.
Si wanita lantas berteriak: "Looyatjoe, jangan melayani dia mati-matian! B
iarkan dia merasakan aku punya Tjoebo Lianhoan
Ouwtiap piauw!"
Itulah piauw yang berupa kupu-kupu.
Sin Tjoe gusar hingga ia tak tahan sabar lagi. Ia lompat keluar dari tempatnya s
embunyi sambil berseru, ia mengayun tangannya menyebar bunga emasnya, akan merun
tuhkan setiap piauw kupu-kupu itu.
Aneh senjata rahasia si wanita, sesudah runtuh, lalu terlihat menyambarnya banya
k jarum. Karena ini Sin Tjoe segera nyerbu dengan putar tubuhnya
berikut pedangnya, buat melindungi diri sambil menangkis.
"Hati-hati!" si anak muda berseru, memperingati si nona, lalu ia mengeba
s dengan
sebelah tangannya, atas mana banyak jarum itu tersampok ke samping mengenai batu
sedang semua orang, kawan dan lawan, pada menyingkir.
"Buka!" berseru Lie Ham Tjin si orang tua.
Itulah tanda rahasia, mendengar mana
kawan-kawannya yang mengepung si anak muda, lantas kabur berpencaran.
Si anak muda, be-gitupun Sin Tjoe, tidak perdulikan yang lain-lain, mereka menge
jar si pahlawan raja, yang pun turut melarikan diri, telasap-telusup di antara b
atu-batu munjul itu.
Sembari mengejar Sin
Tjoe sesalkan si anak muda: "Kenapa kau tidak dengar perkataanku? Terang-terang
ada harimau tapi kau justeru lari hampirkan harimau itu? Memangnya kau tidak den
gar teriakanku?"
Si anak muda menyeringai, ia menyahuti: "Aku dengar suaramu tetapi aku ingin sek
ali menolongi wanita itu, yang suaranya menyayatkan hati. Siapa tahu..."
"Rupanya kau tidak perdulikan aku, kau tidak mempercayainya, kau menyangka aku m
anusia jahat!"
Merah mukanya si anak muda.
"Tidak, tidak," ia menyangkal.
Melihat roman orang, Sin Tjoe mendongkol berbareng lucu. Ia pun lantas mengingat
bahwa mereka tidak kenal satu pada lain,
bahwa ada wajar saja orang berkasihan
terhadap wanita yang diculik itu, malah ini menandakan kemuliaan hati si anak mu
da. Karena ini, tanpa merasa muncullah kesannya yang baik.
"Masuk gampang, keluar sukar," kata ia kemudian. "Mari kita lihat."
Si anak muda mengangguk.
Mereka lantas mencari jalan keluar. Hati-hati mereka memeriksa tanda-tanda. Achi
rnya mereka kembali ke tempat semula. Artinya, benar-benar mereka sudah tersesat
jalan. Si nona lantas duduk di batu, nampaknya ia letih.
Selama itu terus si anak muda membungkam saja. Baharu Sekarang ia mengeluarkan r
angsum keringnya, ia membagi pada si
nona.
"Nona, kau tentu sudah lapar, kau daharlah," ia berkata.
"Kau membekal berapa banyak rangsum?" Sin Tjoe tanya. "Hari ini dapat dilewatkan
.
Bagaimana besok?
Bagaimana lusa? Kita sukar keluar dari sini, apa daya?"
Sin Tjoe tidak bisa membilang lainnya.
Sekarang mereka bersama-sama seperti duduk sebuah perahu, tidak dapat ia menyesa
lkan pula si anak muda.
Agaknya si anak muda terus tidak tenang hatinya. Mendelong ia mengawasi si nona.
"Menyesal, aku telah mencelakai kau, nona," katanya kemudian.
"Nona tahu ke sini orang dapat masuk tetapi tidak dapat keluar, mengapa kau masu
k juga?"
"Habis mana bisa aku mengawasi saja kau bercelaka?" si nona membaliki.
"Nona baik sekali!" kata si pemuda. Ia memuji, ia pun mengucap terima kasih. Ia
menjura dengan dalam.
Melihat begitu, Sin Tjoe tertawa. Karena ini, tidak lama kemudian, lenyaplah kem
endongkolannya.
"Sekarang kita berada di sini, marilah kita sekalian melihat keindahannya rimba
batu ini!" katanya kemudian. Ia benar-benar melupai bahaya yang tengah mengancam
dirinya, dengan menyekal
pedang terhunus, ia bertindak jalan.
Anak muda itu mengikuti.
Sekarang, dengan hati lega, dapat mereka memperhatikan batu-batu yang berdiri le
mpang itu bagaikan
pepohonan. Itulah yang menyebabkan didapatnya nama Tjio Lim atau Rimba Batu itu.
Ada tempat yang sempit hingga memuat hanya satu tubuh, ada juga yang lebar di m
ana dapat orang bersilat.
Ketika mereka tiba pada suatu tempat di mana dua buah puncak seperti saling meng
gencet, mendadak ada anak panah menyambar, suaranya nyaring. Dengan pedangnya si
nona menangkis anak panah itu. Habis itu, sunyi sirap. Adalah sesaat kemudian,
datang timpukan piauw.
Gusar Sin Tjoe, sambil berkelit, ia berlompat, matanya mengawasi ke tempat dari
mana senjata gelap itu datang. Sebat luar biasa, ia mengayun tangannya, lalu di
sana terdengar suara jeritan, suatu tanda si pelepas
piauw itu menjadi sasaran bunga emas.
Lalu terdengar suara orang. "Budak itu liehay bunga emasnya, jangan layani dia!
Biarkan saja dia kelaparan beberapa hari, baharu kita bereskan padanya!..."
Dalam mendongkolnya, Sin Tjoe menimpuk pula dua kali tetapi kali ini tanpa hasil
nya, bunganya itu terdengar mengenakan batu.
Karena ini, kegembiraannya menjadi lenyap.
"Nona, legakan hatimu, kau memandangilah segala apa dengan gembira," berkata si
anak muda tertawa. "Kalau ada lagi tikus-tikus yang mengganggu padamu, nanti aku
yang mengusirnya!"
Benar saja, tidak jauh dari situ, terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Ta
npa menanti si nona menyerang, si anak muda
sudah menyentil jari tangannya. Ia
menyentil sebutir batu.
"Aduh!" terdengar jeritan di sana, disusul sama tindakan kaki kabur.
"Inilah ilmu Tantjie Sinthong yang liehay!" berkata si nona dengan pujiannya. It
ulah ilmu menyentil batu. Karena ini, ia jadi berpikir. Ia tahu, di dalam ilmu s
emacam itu, orang terliehay adalah Tang Gak, yang menjadi soepehtjouw-ny a, Tang
Gak itu ada soepeh atau paman seperguruan dari Tan Hong, gurunya sendiri. Cuma
soepehtjouw itu berada jauh di gurun pasir. Hanya pada sepuluh tahun yang lampau
, pernah soepehtjouw itu datang ke Tionggoan. Pemuda ini bicara dengan lagu suar
a Kanglam, maka aneh dia mempunyai ilmu me-
nyentil itu. Ia menjadi menanya dirinya sendiri: "Mungkinkah
pengalamanku yang cupat hingga aku tidak ketahui di sebelah Soepehtjouw Tang Gak
ada lagi lain orang yang pandai ilmu ini?"
Sin Tjoe memikir untuk menanyakan keterangan pada si anak muda, tapi sementara i
tu, mereka berjalan terus, hingga di depan mereka tertampak
sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu ada tumbuh banyak pohon bunga, yang haru
mnya semerbak. Di lamping bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya: "Kiam
Hong," artinya, "Puncak Pedang." Maka tidak salah lagi, itulah telaga yang dinam
akan Kiam Tie, artinya Pangempang Pedang. Di permukaan air itu berkacalah sang p
uncak serta pepohonan
lainnya, yang mendatangkan pemandangan yang menajubkan. Maka terbukalah hati pep
at dari Sin Tjoe, hingga dapat ia bersenandung.
"Sungguh tepat syairnya Lim Hoo Tjeng dipadukan dengan
keindahan di sini!" berkata si anak muda. "Hanya dunia sedang kacau, mana dapat
kita main bersenang-senang saja?"
Terkejut Sin Tjoe mendengar si anak muda.
"Dia mirip s eorang desa tolol tetapi toh dia mengarti Lim Hoo Tjeng..." pikirny
a. Maka dengan sendirinya
bertambahlah kesannya yang baik terhadap ini anak muda atau kawan baru yang dida
patnya secara kebetulan sekali.
Berdiri di tepian, Sin Tjoe bagaikan ngelamun.
"Coba soehoe berada di sini, pastilah dia
dapat bersyair..." pikirnya pula. Atau mendadak ia ingat Tiat Keng Sim. Pemuda s
he Tiat itu pastilah akan ketarik juga dengan keindahan pengempang ini.
"Sebenarnya kau bernama apa?" sekonyong-konyong ia tanya si anak muda kepada sia
pa ia menoleh dan memandanginya. Sesudah berselang lama, baharu ia ingat menanya
kan nama orang.
"Aku she Yap dan namaku Seng Lim," menyahut pemuda itu.
"Apakah kau orang Kanglam? Sin Tjoe menanya pula.
"Tidak salah. Aku asal Sekhoen di Tjiatkang Barat."
"Itu artinya kau melakukan perjalanan ribuan lie! Untuk apa kau datang ke Inlam
ini?"
Yap Seng Lim ragu-ragu, ia mengawasi si
nona.
"Aku hendak pergi ke Tali untuk mencari satu orang," sahutnya kemudian.
"Untuk pergi ke Tali, inilah bukan jalanannya." Sin Tjoe beritahu. "Jalanan untu
k ke Tali ada sebalikannya."
Wajahnya pemuda itu menjadi merah.
"Aku tidak menyangka kau pandai ilmu silat, nona, bahkan kau liehay sekali
," sahutnya, tak langsung.
"Ah!" bersuara si pemudi. "Aku menanya kau kenapa kau justeru mengambil ini jala
nan? Tentang ini toh tidak ada hubungannya dengan aku mengarti silat atau tidak?
"
Seng Lim likat.
"Aku lihat kau berjalan seorang diri, nona, dan jalanan tak aman, aku... aku..."
Sin Tjoe tertawa lebar.
"Oh kiranya kau berkuatir untuk diriku, kau jadi hendak melindungi..." katanya.
"Pantaslah kau
mengajak aku jalan bersama-sama."
"Mendengar lagu suaramu, nona, kau pun orang Kanglam," berkata si pemuda, yang m
emutar haluan. "Aku numpang menanya
kenapa nona juga membuat perjalanan ke Inlam ini?"
"Aku juga hendak pergi ke Tali!" sahut si nona tertawa. "Tapi, jangan kau kesusu
menanya aku! Hendak aku menanya terlebih dulu! Hendak mencari siapakah kau maka
kau mau pergi ke Tali?"
"Kau ada orang satu kaum, nona, tidak halangannya untuk aku memberitahukan," sah
ut si anak muda. "Aku hendak mencari ahli pedang nomor satu di
Mereka berjalan terus, hingga di depan mereka tertampak sebuah telaga kecil. Di
tepi telaga itu ada tumbuh banyak pohon bunga, yang harumnya semerbak. Di lampin
g bukit pun ada ukiran dua huruf besar, bunyinya: "Kiam Hong," artinya "Puncak P
edang." Maka tidak salah lagi, itulah telaga yang dinamakan Kiam Tie, artinya Pe
ngempang Pedang.
jaman ini yaitu Kiamkek Thio Tan Hong."
Sin Tjoe berjingkrak. Tak dapat ia menguasai dirinya lagi.
"Oh, kiranya kau hendak mencari guruku!" serunya.
Sekarang adalah Seng Lim yang terkejut.
"Apa?" katanya. "Thio Tan Hong itu gurumu?" Mendadak ia menjura kepada si nona d
an menambahkan: "Kalau begitu kaulah soetjie-ku\"
"i Soetjie" ialah
kakak seperguruan yang wanita.
"Siapa gurumu itu?" Sin Tjoe menanya. Ia seperti tak menggubris kata-kata orang.
"Guruku ialah Soe Teng San," menyahut Seng Lim.
Soe Teng San ada muridnya Tang Gak, belum pernah Sin Tjoe bertemu dengannya, ia
hanya ingat ia mempu-
nyai seorang paman guru yang pernah merantau di selatan dan utara sungai besar d
an hidup sebagai tabib penolong rakyat jelata.
"Sekarang ini berapa usiamu?" ia menanya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
Ditanya begitu, Seng Lim melengak.
"Sekarang ini baharu dua puluh dua tahun," sahutnya polos.
Kembali si nona tertawa.
"Usiaku baharu tujuh belas, cara bagaimana kau memanggil soetjie padaku?" bil
angnya.
Kembali Seng Lim menjadi likat, tetapi achirnya, dia pun tertawa.
"Soemoay!" ia memanggil. Soemoay ialah adik seperguruan yang wanita.
"Untuk apa kau mencari guruku?"
Sin Tjoe seperti tak
pernah kehabisan
pertanyaan.
"Aku diperintah pamanku," menyahut Seng Lim.
"Siapa itu pamanmu?" si nona menyerocos.
"Pamanku itu ialah Vap Tjong Lioe."
"Oh kiranya Yap Toakol" Sin Tjoe berteriak tanpa merasa.
Di dalam kalangan tentera rakyat, orang semua menyebut Tjong Lioe sebagai toako,
karenanya si nona ini menuruti kebiasaan itu, hingga tak dapat ia gampang-gampa
ng mengubah panggilannya itu, Kemudian ia jengah sendirinya. Orang ini dan ia ad
a soeheng dan soemoay, maka paman orang itu mana dapat ia panggil toako, kakak.
"Memang, semua orang memanggil toako pada pamanku itu," berkata Se
ng Lim. "Ah, apakah kau bukannya
Nona Ie?" ia balik menanya.
"Kenapa?" tanya Sin Tjoe heran.
"Pamanku pernah memberitahukannya bahwa kau pernah membantu banyak padanya. Pama
n mengatakan kaulah wanita gagah perkasa di jaman ini!"
Wajahnya si nona menjadi bersemuh dadu. Terang sudah Tjong Lioe telah membuka ra
hasia penyamarannya kepada keponakannya ini.
"Kenapa selama berada dalam tentera rakyat tak pernah aku melihat kau?" ia menan
ya, untuk menyimpangi.
"Itulah karena aku datang terlambat.
Tatkala aku dengar paman mengumpulkan tentera untuk melawan perompak kate, aku l
antas pamitan dari guruku, tetapi ketika aku
sampai ke tempat paman, kawanan perompak itu sudah diusir ke laut. Aku menyesal
dan malu sudah ketinggalan..."
"Ada urusan penting apa itu maka pamanmu menyuruh kau pergi ke Tali?" masih si n
ona menanya tak hentinya. "Perlu apa kau hendak mencari guruku?"
"Sesudah pamanku mengusir perompak, lantas dia menjunjung Pit Kheng Thian menjad
i Toaliongtauw, yaitu pemimpin pusat dari rombongan dari delapan belas propinsie
..."
"Hm!" Sin Tjoe perdengarkan suara dingin. "Tidak puas menjadi toaliongtauw
dari lima propinsi Utara, sekarang dia mau menjadi juga toaliongtauw dari
delapan belas propinsi!"
Seng Lim heran, ia melengak.
"Pit Toaliongtauw itu pintar dan gagah," katanya, "kedudukan itu pamank
u yang
mengalah dan menyerahkannya padanya."
"Baiklah, kita jangan bicara tentang Pit Kheng Thian itu. Mari kita bicara tenta
ng pamanmu."
"Pit Kheng Thian hendak menghimpunkan semua tentera rakyat, untuk mengerek bende
ra, buat merobohkan kerajaan Beng guna membangun suatu
pemerintah baru..."
"Dari siang-siang memang aku telah ketahui dia hendak mengangkat dirinya menjadi
kaisar! Ah, mengapa kau masih membicarakan halnya dia itu?"
"Tanpa membicarakan hal dia, tidak dapat kita bicara jelas."
Heran ini anak muda, mengapa agaknya si nona membenci Kheng
Thian.
"Baiklah, kau boleh omong terus."
"Sekarang ini angkatan perang rakyat itu tengah menantikan
waktunya saja untuk bergerak," Seng Lim menjelaskan. "Kheng Thian bilang gurumu
ada mempunyai sebuah peta, dengan mendapatkan itu, besar faedahnya untuk
pergerakan tentera itu. Kheng Thian ketahui aku adalah keponakannya gurumu, dia
minta pamanku mengutus aku kepada gurumu untuk meminjam peta itu."
"Tentang itu sudah beberapa kali Kheng Thian bicara denganku, aku tidak melayani
nya," kata Sin Tjoe, "sekarang rupanya dia hendak pinjam mukanya pamanmu itu!"
"Soal peta ada soal yang nomor dua," Seng Lim melanjuti, "yang
utama itulah soal menjungkalkan pemerintah Beng. Seumurnya
pamanku paling menjunjung Thio Tayhiap, karenanya ia mau minta pikiran tayhiap d
apatkan dia bertindak merobohkan pemerintah. Maka itu paman sekalian utus aku ke
pada gurumu itu. Paman pesan, jikalau tayhiap akur, baharulah peta diminta pinja
m. Melihat keadaan
sekarang ini, pamanku bersangsi sekali, sebab nampaknya Pit Toaliongtauw pasti b
akal menggeraki angkatan perangnya itu..."
Dalam hal besar seperti itu. Sin Tjoe tidak dapat berpikir, hanya entah kenapa,
ia senantiasa tidak
berkesan baik terhadap Pit Kheng Thian.
"Tahukah kau seorang she Tiat yang dipanggil Tiat Kongtjoe?"
ia menanya sesudah ia berdiam sekian lama.
"Apakah kau maksudkan Tiat Keng Sim puteranya Tiat Giesoe dari Taytjioe?"
"Benar."
"Semasa aku tiba di Taytjioe, dia masih ada di sana, pernah beberapa kali aku be
rtemu dengannya."
"Ah, apakah sekarang ia sudah pergi dari sana?"
"Ya, semenjak permulaan bulan yang lalu. Kelihatannya ia kurang cocok de
ngan Pit Toaliongtauw."
Si nona berdiam.
"Tiat Kongtjoe itu agaknya sedikit luar biasa..."
"Kenapa?" Sin Tjoe heran.
"Kabarnya tempo menghajar perompak, dia telah mengeluarkan banyak tenaga, hanya
habis itu, setahu kenapa, dia kehilangan
kegembiraannya, dia menjadi lesuh, sering dia duduk minum arak seorang diri, tak
suka dia bergaul sama orang. Tidak ada yang ketahui sebabnya perubahannya itu.
Pada permulaan bulan yang lalu itu, setelah Pit Toaliongtauw menjadi pemimpin be
sar dari delapan belas propinsi dan mulai berusaha untuk menggulingkan pemerinta
h Beng, secara diam-diam kongtjoe itu mengangkat kaki. Pit Toaliongtauw menjadi
tidak senang, dia dicaci, dikatakan dia tak cocok dengan kita sebab dialah anakn
ya orang berpangkat. Paman menyesal sekali atas kejadian itu. Nona, apakah kau k
enal dia dengan baik?"
Sin Tjoe memandang ke permukaan air, ia menjadi teringat kepada gelombangnya
sungai
Tiangkang. Ia membayangi pertemuannya pertama kali dengan Keng Sim. Kemudian ia
teringat juga peristiwa menyedihkan di hutan cemara di antara Keng To dan Keng S
im, guru dan murid itu. Maka itu lama baharu ia menyahuti.
"Ah, kita tidak mengenal baik. Aku menanya sepintas lalu saja. Baiklah kita jang
an sebut-sebut pula dia itu," katanya.
Seng Lim heran. "Kenapa dia berduka dengan disebutnya
Keng Sim?" pikirnya. Ia menjadi dapat suatu perasaan aneh. Tapi ia menghiburkan
diri. "Buat apa aku pikirkan urusan lain orang?" Maka ia angkat kepalanya,
memandang ke antara batu-batu tinggi. Sinar matahari sudah mulai suram. Di permu
kaan air nampak sinar layung.
"Sebelum langit menjadi gelap, mari kita melihat lain-lain bagian lagi," ia meng
ajak. "Sekalian kita cari tempat di mana dapat kita beristirahat. Di sini benar
indah tetapi terlalu terbuka, apabila musuh menyerbu kita, sulit untuk kita memb
ela diri."
Sin Tjoe ikut si pemuda berjalan tetapi dengan mulutnya bungkam. Mereka mengikut
i seluk beluknya batu-batu gunung itu yang bagaikan berpesta.
Masih si nona berdiam saja. Sampai di tempat di mana ada kali kecil yang airnya
bening, ia berhenti untuk minum.
"Ah, ada ikan di kali ini!" kata Seng Lim. "Nanti aku tangkap beberapa ekor."
Ia lagi memandang ke muka air tempo di sebelah hulunya ada bayangan satu no
na,
bayangan mana lenyap dengan berombaknya air. Cepat sekali Seng Lim menjumput sep
otong batu kecil, menimpuk ke arah dari mana bayangan itu datang. Atas itu terde
ngar teriakannya satu nona, yang lantas saja muncul di antara mereka. Lagi sekal
i Seng Lim menyerang, tapi kali ini batunya itu terhajar runtuh bunga emasnya Si
n Tjoe.
"Jangan!" Nona Ie mencegah. Bahkan tubuhnya segera mencelat menghampirkan nona y
ang baharu muncul itu. "Kiranya kau!" katanya tertawa. "Mana
ayahmu?"
Nona itu berdandan sebagai seorang wanita suku bangsa Ie. Ia mulanya kaget, tapi
kemudian ia berkata dengan pelahan: "Ah entjie, kau masih mengenali aku?" Ia bi
cara
dalam bahasa Tionghoa.
Memang ialah si nona yang bersama ayahnya pernah memberi pertunjukan sulap
menelan pedang. Ia melihat ke sekitarnya, kemudian ia berkata pula, tetapi denga
n pelahan: "Panjang untuk menutur. Mari aku ajak dulu kamu keluar dari rimba bat
u ini."
Sin Tjoe girang bukan kepalang.
"Kau kenal jalanan rahasia di sini?"
Si nona mengangguk.
"Aku menjadi besar di sini, sekalipun dengan mata meram, dapat aku keluar
dari sini," sahutnya.
Seng Lim menghampirkan nona itu, untuk memberi hormat.
"Maaf," katanya. "Aku menyangka kau ada konconya penjahat..."
Si nona tertawa.
"Siapa bilang bukannya?" ia menjawab.
Seng Lim terkejut.
"Kalau bukannya aku kenal Nona Ie, tidak nanti aku menempu bencana ini," berkata
pula si nona.
Sin Tjoe pun heran.
Nona itu tertawa, ia menunjuk pada tusuk konde kumala di rambutnya. Sin Tjoe lih
at itu, ia kenali itulah tusuk kondenya sendiri yang ia hadiahkan kepada si nona
. Maka sekarang mengartilah ia sudah. Pada tusuk konde itu ada ukiran huruf Ie,
tanda dari keluarga Ie.
"Karena nona ketahui rahasia jalanan di sini, sekarang tak ingin aku lekas-lekas
keluar dari sini," berkata Seng Lim kemudian.
Mendengar itu sekarang si nonalah yang menjadi heran,
"Kamu tidak mau le-
kas berlalu dari sini, apakah kamu hendak menantikan kematian-mu?" dia menegaska
n.
"Aku ingin minta bantuanmu, nona," kata Seng Lim. "Aku ingin usir dulu kawanan p
enjahat, supaya ini tempat indah tidaklah dinodai mereka itu!"
Sin Tjoe sebaliknya berpikir: "Nona ini mengaku menjadi konco penjahat dan ia ag
aknya bukan tengah bermain-main, kenapa Seng Lim berani bicara begini rupa terha
dapnya?"
Nona itu mengawasi si anak muda. "Apakah kamu cuma berdua?" ia tanya.
"Kenapa?"
"Mereka itu berjumlah besar, sedikitnya dua ratus jiwa, di antaranya ada pahlawa
n dari kota raja! Bukankah kamu berdua saja?"
Mendengar itu, ber-
ubahlah pandangannya Sin Tjoe. Ia menjadi girang sekali.
"Memang aku tahu kau bukan orang busuk, nona," katanya. "Sekarang aku minta kau
ajak aku pergi ke sarangnya penjahat itu. Tentang segala peristiwanya kau tidak
usah memperduli-kannya."
Nona itu tertawa.
"Aku boleh tidak usah memperdulikannya, tidak demikian dengan Thio Tayhiapl"
Kembali Sin Tjoe heran hingga ia berdiri melengak.
"Thio Tayhiap yang mana?" ia bertanya.
"Kecuali guru kau, nona, di kolong langit ini mana ada Thio Tayhiap lainnya
?"
Benar-benar Sin Tjoe bingung sekali.
"Sebenarnya, bagaimana duduknya hal?" tanyanya pula. Di dalam hatinya, ia
kata:
"Soehoe memang liehay, aku hanya tidak mengarti kenapa dia seperti dapat meramal
kan? Mungkinkah dia sudah ketahui kami bakal tersesat di sini?"
Nona suku Ie itu seperti dapat menerka hati orang, ia tertawa ketika ia berkata
pula: "Adalah Thio Tayhiap yang menitahkan kami ayah dan anak datang ke mari. Ki
ta tidak menyangka akan menemui nona di sini, sungguh kebetulan!"
"Oh, entjie yang baik, kau menjelaskannya padaku!" achirnya Sin Tjoe minta.
Nona itu lantas bicara dengan sungguh-sungguh: "Kawanan penjahat di sini sebagia
n besar ada orang-orang Ie, pemimpinnya pun suku Ie, namanya Lang Ying, tapi yan
g menjadi pemimpin besar ialah begal tunggal dari
Inlam Selatan yang namanya sangat
kesohor yaitu Touw Koen. Touw Koen ini ketarik pada rimba yang istimewa ini, ia
mengajak Lang Ying bekerja sama. Asalnya Lang Ying ada pemimpin yang gagah dari
kaum Ie kami, tapi ia benci pemerintah yang memungut pajak dengan bengis, tidak
senang ia melihat bangsanya
diperas, maka ia kena dibujuk Touw Koen. Begitulah ia dapat mengumpul kira-kira
dua ratus orang bangsanya, yang semua muda-muda. Karena ini juga, Lang Ying tida
k mengganggu penduduk Ie di sekitar sini."
Baharu sekarang Sin Tjoe mengarti sebabnya kenapa penduduk tahu ada penjahat tet
api mereka tidak takut dan hidupnya tenang-
tenang saja. Pantas
juga tuan rumah yang ia tumpangi tidak suka menunjuki jalan, malah ia dilarang p
ergi jauh dari rumahnya.
"Touw Koen juga mengumpul konco-
konconya sendiri," si nona suku Ie
menerangkan lebih jauh. "Mereka berjumlah lebih sedikit tetapi mereka lebih tang
guh, maka itu dialah yang berkuasa, hingga kejadian dia bukan cuma membegal teta
pi pun membunuh orang, ialah kaum saudagar yang berlalu-lintas di sini. Karena i
ni orang-orang suku Ie menjadi jeri dan tempat ini seperti terlarang untuk merek
a. Lang Ying tidak puas tetapi ia tidak dapat berbuat suatu apa."
Sin Tjoe tidak menyangka demikian kusut keadaan dalam dari kawanan penjahat itu.
"Kami ayah dan anak
asal Tjio Lim ini," berkata pula si nona suku Ie itu melanjuti keterangannya, "k
emudian kami pindah ke Tali di kaki gunung Tjhong San. Di atas gunung itu kabarn
ya ada tinggal beberapa orang perta-pa, yang penduduk di dekat-dekatnya menghorm
atinya sebagai dewa-dewa..."
Sin Tjoe menduga pada kakek gurunya, ialah Hian Kie Itsoe bersama Siangkoan Thia
n Ya serta Siauw Loothaypo bertiga. Ia tidak menjelaskannya, ia hanya tanya apa
si nona pernah melihat orang-orang pertapa itu.
Nona itu menggeleng kepala, tetapi ia menyahuti: "Katanya mereka itu tinggal di
puncak Inlong Hong, puncak tertinggi dari Tjhong San, puncak mana seluruh tahun
ditutupi mega atau
kabut dan tidak sembarang orang dapat mendakinya. Taruh kata orang dapat memenda
-kinya, belum tentu dewa-dewa itu suka menemuinya. Hanya ada satu Ouw Toaya, mur
idnya salah satu dewa itu, yang sering turun gunung untuk berbelanja dan dia suk
a menolong mengobati orang sakit..."
"Bukankah Ouw Toaya itu yang bernama Ouw Bong Hoe?"
"Benar, itulah namanya Ouw Toaya itu. Aku mengetahuinya pun baharu
tahun yang lampau. Kami menanam sayur, setiap kali turun gunung, Ouw Toaya b
elanja kepada kami, karenanya kami jadi kenal dia. Sering Ouw Toaya
itu singgah di rumah kami. Ayahku ketahui Ouw Toaya pandai, ia tela
h minta supaya aku diterima
menjadi muridnya. Ouw Toaya menampik, katanya ia masih mempunyai guru, ia jadi t
idak dapat menjadi guru lain orang. Maka ia cuma mengajarkan kami beberapa rupa
ilmu silat. Pun kebiasaan kami menelan pedang adalah
pengajarannya Ouw Toaya itu di saat ia bergembira sekali..."
Ouw Bong Hoe itu ada murid nomor dua dari Siangkoan Thian Ya. Dia tinggal lama s
ekali bersama gurunya, maka itu ia mendapatkan pelajaran jauh lebih banyak darip
ada
Tamtay Biat Beng (atau Tantai Mieh Ming) si murid kepala. Hanya ilmu menelan ped
ang itu didapat Ouw Bong Hoe bukan dari gurunya tetapi dari Hek Pek Moko dengan
siapa ia bersahabat erat sekali, dia mempelajarinya secara iseng-iseng.
"Kamu tinggal aman dan berbahagia di kaki gunung Tjhong San, habis kenapa kamu p
indah pula ke mari?" tanya Sin Tjoe.
"Itulah sebab kami menerima titahnya gurumu, nona. Thio Tayhiap da
tang ke Tjhong San baharu di musim semi tahun ini. Ia kenal baik dengan k
ita. Tayhiap gemar sekali pesiar. Bahkan Toan Ongya sering mengundang
dia datang ke istana."
Keluarga Toan ini, pada sebelum jaman Goan Tiauw, ada menjadi raja di Tali, raja
turun temurun, maka itu meski benar sekarang kedudukannya cuma sebagai tiepeng
tjiang -soe, pegawai negeri, rakyatnya saking kebiasaan tetap memanggil ongya (r
aja muda atau pangeran).
"Selama yang paling belakang ini Toan Ongya hendak mengangkat dirinya menjadi ra
ja," si nona suku Ie melanjuti keterangannya, "semua suku kami di Inlam menunjan
g padanya. Karena ini, Toan Ongya ingat kepada rombongannya Lang Ying, maka disa
yangi sekali ketika ketahuan Lang Ying menjadi penjahat. Tapi Thio Tayhiap menga
tur daya upaya supaya Lang Ying suka datang ke Tali. Kami ada orang Tjio Lim sin
i, dari itu Thio Tayhiap yang menugaskan ayah untuk dapat membujuk Lang Ying itu
. Thio Tayhiap menugaskan kami datang ke Koenbeng dulu, untuk mengadakan perhubu
ngan dengan siauwkongtia."
Baharu sekarang Sin Tjoe sadar kenapa siauwkongtia ketahui
alamatnya.
"Tentulah kau yang membuka rahasiaku!" katanya.
Nona itu bersenyum.
"Harap nona maafkan aku yang telah menguntit kau," bilangnya.
Hanya berhenti sebentar, si nona suku Ie berbicara pula: "Aku ada mempunyai satu
kakak misan yang menjadi salah satu sebawahannya Lang Ying itu, dengan kakak it
u kami membuat perhubungan. Sudah tiga hari kami berada di sini, masih kami belu
m dapat menemui Lang Ying sendiri untuk berbicara dengannya. Kakak misanku itu b
ilang Lang Ying dikekang Touw Koen, mungkin dia tidak berdaya. Baharu kemarin in
i ada datang beberapa pahlawan dari kota raja, satu di antaranya yang bernama Ha
n Thian ada saudara
angkatnya Touw Koen. Touw Koen hendak dibujuk buat menjadi mata-matanya pahlawan
-pahlawan itu. Tentang ini kakak misanku itu belum berani membebernya pada Lang
Ying. Kamu telah dipancing masuk ke dalam rimba ini, itulah hasil tipu dayanya H
an Thian suami isteri serta Touw Koen itu. Kabarnya semua pahlawan itu liehay ap
apula yang menjadi kepala yang bernama Lie Ham Tjin..."
"Cuma sebegitu saja!" kata Sin Tjoe, yang mendadak berhenti
berkata. Sebab tiba-tiba ia ingat suatu apa. Keningnya lantas dikerutkan.
"Musuh berjumlah besar, baik Nona Ie jangan sembarangan," kata si nona suku Ie,
yang menyangka orang menyesal sudah omong
besar tadi.
"Tidak ada artinya beberapa pahlawan itu!" Sin Tjoe kata tertawa. "Bersama-sa
ma Yap Toako, dapat aku melayani mereka. Apa yang aku kuatirkan
ialah kami nanti melukai banyak orang bangsamu..."
Nona suku Ie itu berpikir. "Kalau nona merasa pasti, suka aku membantu," kemudia
n ia menawarkan diri. Ia mengeluarkan sehelai bendera kecil, yang bersulamkan du
a ekor singa, terus ia serahkan itu kepada Sin Tjoe sambil menambahkan: "Inilah
bendera Toan Ongya. Tidak ada suku bangsa di Inlam yang tidak mengenal ini. Kala
u nona bisa mengalahkan Touw
Koen serta beberapa pahlawan itu, bisalah kau gunai bendera ini untuk panggil me
nakluk
Lang Ying itu."
Inilah bagus, Sin Tjoe girang menerima bendera itu.
"Bagus!" katanya. "Sekarang kau pimpinlah aku ke sarang mereka!"
Kawanan Touw Koen itu bersarang di atas bukit Taykim Nia di dalam rimba batu itu
, itulah bukit tertinggi. Ke sana si nona suku Ie mengajak Sin Tjoe dan Seng Lim
. Mereka mesti berjalan berliku-liku dan naik dan turun, nyeplos di antara batu-
batu tinggi seperti pedang atau tombak itu. Pula ada puncak-puncak yang dihubung
i satu dengan lain dengan batu panjang aneh bagaikan jembatan. Syukur Sin Tjoe d
an Seng Lim yang mengikuti si nona suku Ie itu, kalau tidak pastilah orang telah
terhalang di tengah jalan saking sukarnya jalanan itu.
Tatkala itu sang waktu sudah mulai magrib.
Kagum Sin Tjoe menyaksikan keletakan tempat.
"Tidak tepat tempat seindah ini dijadikan sarang penjahat," berkata ia. "Biarnya
bukan untuk Toan Ongya, pasti suka aku membasmi mereka ini."
Si nona suku Ie benar-benar mengenal baik rimba batu itu. Ia maju tanpa ragu-rag
u sampai mereka berada di kaki bukit Taykim Nia itu. Di atas puncak terlihat sin
ar api.
Nona itu kuatir terlihat orang jahat, ia berkata: "Untuk sampai di puncak yang m
enjadi sarang penjahat itu perhu dilewatkan tiga puncak yang kecilan yang berada
di jalanan mendaki ini, maka itu sampai di sini, silahkan nona maju sendiri. Ak
u
doakan hasilmu! Setelah sarang penjahat pecah, nanti kita bertemu pula!"
Sin Tjoe menerima baik. Memang tidak dapat nona itu turut menyerbu. Mereka
berpisahan.
Seberlalunya si nona, Sin Tjoe berbicara pada Seng Lim, untuk bermupakatan. Sela
ma berbicara, mereka berduduk di tanah. Sin Tjoe setuju masuk langsung, untuk me
labrak kawanan penjahat itu.
"Lebih baik kita berpencar," Seng Lim memberi usul. Ia bicara sambil tertawa.
"Musuh liehay, mereka pun berjumlah besar, jangan kita sembrono. Baik kau yang m
enyerang dari depan, untuk melayani kawanan pahlawan
kaisar itu. Aku akan masuk dari belakang, lebih dulu aku nanti
membakar sarang
mereka, supaya mereka bingung dan kacau, tanpa mereka ketahui berapa besarnya ju
mlah kita. Dengan musnanya sarang mereka, Lang Ying lebih gampang dibujuk."
Diam-diam Sin Tjoe mengagumi anak muda ini, yang pandai bekerja. Kalah Keng Sim
kalau mereka berdua dipadu. Keng Sim lebih banyak temberang. Karena orang bicara
dengan beralasan, ke-putusan lantas diambil. Maka itu, lantas juga mereka beker
ja: Yang satu maju langsung dari depan, yang lain jalan ngitar ke belakang. Mere
ka akan turun tangan begitu lekas masing-masing sudah tiba, tak usah mereka sali
ng memberi pertandaan lagi.
Sin Tjoe berjalan cepat, ia berlari-lari.
Puncak pertama
dilewatkan tanpa penjaganya dapat mengetahui. Di puncak kedua ia terpergok, ia p
un dipanah, tetapi ia melawan, dengan bunga emasnya ia robohkan penjaga itu. Ia
kaget ketika ia melihat panah, yang dipakai menyerangnya, nancap di batu, suatu
tanda si penyerang bukan sembarang orang. Karena ini, ia jadi waspada. Ia lolosk
an pakaian orang, untuk ia pakai. Dengan penyamarannya ini, ia menghampirkan pun
cak yang ketiga.
Tiba-tiba dua bayangan menghampirkan padanya.
"Eh, Tjioe Toako, kenapa kau tidak menjaga di bawah?" ia ditegur. Ia terkejut. M
ahir ilmu ringan tubuhnya tetapi orang masih dapat memper-gokinya. Ia tahu,
si
penjaga yang ia binasakan tadi rupanya orang she Tjioe dan ia disangka si Tjioe
itu. Ia menyambut mereka dengan ayunan tangan, maka sekejab saja, dua-dua mereka
roboh karena bunga emasnya.
Memang, di puncak kedua dan ketiga, pen-jaga-penjaganya adalah orang-orang yang
diandalkan Touw Koen. Tetapi mereka semua masih tidak dapat merintangi si nona.
Sin Tjoe maju terus hingga ia mendekati markas penjahat. Ia masih menyamar, cuac
a pun suram, tidak gampang untuk orang mempergoki ia. Orang pun tidak menyangka
musuh dapat memasuki Tjio Lim yang terahasia itu. Demikian ia dikasi lewat tanpa
teguran. Dari dalam terdengar ramai orang berpesta, dari orang yang main
tebak-tebakan tangan.
"Puas mereka merayakan pesta kemenangannya!" Sin Tjoe kata dalam hatinya. Ia ber
senyum ewah.
Memang itulah pesta kemenangan.
"Han Djieso, inilah jasamu yang besar!" terdengar suaranya Lie Ham Tjin, yang te
rtawa lebar. "Mereka telah terkurung, tinggal
dibekuknya saja,
tidaklah apa, Han Djieko terluka sedikit."
"Looyatjoe terlalu memuji!" terdengar
jawaban seorang
wanita. "Tidak berani aku menerima jasa. Sebenarnya jasa harus didap
atkan oleh Touw Tjeetjoe, yang
mengijinkan Tjio Lim dipakai sebagai
gelanggang pancingan. Tapi dua titik itu sukar untuk dibekuknya..."
Lie Ham Tjin tertawa pula.
"Sebenarnya, semuanya berjasa!" katanya pula. "Sekarang ini Yang Tjongkoan sudah
tiba di Koenbeng, maka kedua titik itu boleh kita serahkan saja padanya, lalu h
abislah tanggung jawab kita. Bahkan kita boleh mengharapi
pahala. Touw Tjeetjoe, jikalau dikehendaki
olehmu, boleh kau minta Yang Tjongkoan bicarakan pada Bhok Kongtia supaya kaulah
yang diangkat menjadi raja setempat di sini. Kalau itu sampai kejadian, sungguh
tepat, jadi kau tidak usahlah menjadi raja dari rimba Tjio Lim ini!..."
"Aku juga tidak mengharapi jasa atau pangkat!" terdengar suara nyaring dan kasar
dari Touw Koen. "Hanya, aku tanya, boleh tidak kalau itu bocah she Ie diserahka
n padaku?"
Lie Ham Tjin si pahlawan kaisar tertawa.
"Tahukah kau dia orang apa?" tanya pahlawan ini. "Dialah puterinya Ie Kiam! Dial
ah si anak pemberontak yang dicari Sri Baginda! Bagaimana kau dapat menghendaki
dia?"
Agaknya Touw Koen terkejut.
"Dia puterinya Ie KoklooV katanya. "Oh, celaka aku, celaka aku! Coba aku mengeta
huinya siang-siang, tidak nanti aku memikir gila-gila demikian!..."
Ie Kiam sangat dihormati orang banyak, sekalipun Touw Koen, dia masih menghargai
nya.
"Apa? Kau jeri untuk namanya Ie Kiam?" Lie Ham Tjin tanya. "Menurut undang-undan
g pemerintah, siapa
berdosa, kedosaannya turun kepada anak-anaknya, anak-anaknya
itu akan dijadikan budak! Bocah itu sangat cantik, aku kuatir Sri Baginda sendir
i yang nanti menghendakinya! Kalau tidak, dengan mengodol banyak uang, ada harap
an kau mendapatkan dia..."
Kembali pahlawan ini tertawa, hanya kali ini, tertawanya itu dibarengi sama suar
a memberebet di tenda gubuk, lalu sebuah sinar emas melesat masuk. Menyusul itu
orang yang dipanggil Han Djieso menjerit keras, tubuhnya roboh.
Satu sinar pun menyambar ke arah Lie Ham Tjin, tetapi dia awas dan sebat, dia se
mpat mencabut goloknya dan menangkis, hingga sinar emas itu mental. Hanya, berba
reng dengan itu, Sin Tjoe lompat masuk, matanya mendelik,
pedangnya diputar!
Touw Koen kaget hingga ia duduk men-jublak.
Kembali Nona Ie mengayun tangannya, kali ini tiga bunga emas melesat dari tangan
nya. Han Djieko mengeluarkan teriakan mengerikan yang tertahan,
tubuhnya lantas roboh, sebab sepotong kimhoa nancap di batang lehernya, hingga j
iwanya segera melayang pergi. Kimhoa yang kedua mengenai Touw Koen di saat itu k
epala begal hendak menggeraki toyanya guna maju menyerang si nona begitu lekas i
a sadar, cuma orang she Touw ini tidak dirampas jiwanya, melainkan ilmu silatnya
yang dibikin musna. Inilah sebab barusan dia masih menghargai Ie Kiam.
Lie Ham Tjin menangkis kimhoa yang ketiga, terus ia tertawa
terbahak-bahak. Ia
dapatkan si nona seorang diri, ia tidak takut.
"Kau manusia celaka!" Sin Tjoe menegur. "Hek Pek Moko memberi ampun padamu, supa
ya kau insaf dan mengubah kelakuan, siapa tahu kau tetap menjadi kuku garuda, ba
hkan kau mencelakai menteri
setia! Sekarang kau tidak dapat ampun lagi!"
Sin Tjoe pun berani, ia lantas menerjang.
Lie Ham Tjin membuat perlawanan. Tiga kali ia membuyarkan serangan s
i nona, lalu ia tertawa lebar.
"Kau tidak hendak memberi ampun padaku, apakah kau kira aku sudi memberi ampun p
adamu?" katanya,
mengejek. "Sahabat-sahabat, mari maju! Dia inilah puterinya si pengchianat, dia
mesti ditangkap hidup, jangan
bikin dia mampus!"
Lie Ham Tjin membawa empat siewie, pahlawan, kecuali Han Thian yang telah terbin
asa itu, masih ada tiga yang lainnya, yang semuanya pilihan, maka ia menganjurka
n mereka ini maju mengepung Nona Ie. Maka Sin Tjoe lantas saja terkurung.
Nona itu bersenyum ewah. In mainkan pedangnya melayani empat musuh itu. Ia perli
hatkan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat. Walaupun ketiga musuhnya gagah, ia membuat
nya mereka itu repot. Syukur mereka mendapat bantuannya Lie Ham Tjin yang liehay
itu, kalau tidak pastlah siang-siang senjata mereka sudah terbabat kutung.
Lie Ham Tjin itu berpokok ilmu silat Thaykek Pay, ia telah memaham-kan ilmu tang
an kosong
dan golok untuk beberapa puluh tahun, hebat perlawanannya itu,
hingga ia membikin si Nona Ie menjadi penasaran dan sebal. Maka Sin Tjoe menyera
ng bukan main hebatnya.
Pertempuran itu dahsyat sekali, seluruh markas menjadi gempar.
Touw Koen merayap bangun, ia tidak dapat berkelahi lagi tetapi ia bisa mementang
bacotnya. Maka ia teriaki Lang Ying, yang ia panggil Lang Tjeetjoe , untuk memba
ntui dengan menggunakan barisan panah.
Sin Tjoe dengar suara orang itu, ia menginsafinya bahaya. Ia mengarti tidak dapa
t ia berlaku ayal. Maka kembali ia desak Lie Ham Tjin, yang sudah mulai kewalaha
n, begitu lekas pahlawan tua itu mundur, ia mengayun
tangannya menyambar-kan tiga buah kimhoa.
Dari tiga pahlawan, yang dua roboh seketika terkena bunga emas itu. Yang ketiga,
yang paling liehay di antaranya, dapat
menyelamatkan diri. Setelah itu sambil menuding, si nona bentak Touw Koen: "Tela
h aku mengampun-kan jiwamu, kau masih tidak sudi menerima kebaikan hatiku! Jikal
au kau masih mementang bacot, lihatlah ini dua contoh!" Ia menunjuk kepada kedua
pahlawan, dari yang mana yang satu terhajar matanya, yang satu lagi tertancap t
enggorokannya.
Setelah itu, tidak menghiraukan markas penjahat kalut, Sin Tjoe mendesak pula Ha
m Tjin. Tapi sambil berkelahi, ia melihat kelilingnya. Ia mendapat
kenyataan di pintu ada menghalang seorang suku Ie yang berewo-kan dan matanya ta
jam beserta beberapa puluh tukang panah suku bangsa Ie. Ia menduga kepada Lang Y
ing. Tidak tempo lagi, ia keluarkan bendera
sulam dua kepala singa, ia kibarkan itu untuk dilihat orang banyak s
ambil ia berkata dengan nyaring: "Lang Tjeetjoe, kaulah orang gagah
bangsa Ie, mengapa kau membantu harimau mengganas? Kau tahu, Toa
n Ongya menggundang kau
datang ke Tali untuk melakukan usaha besar! Maka kau pikirlah masak-masak!" Kemu
dian Ia lemparkan bendera itu kepada ketua suku Ie itu.
Lang Ying berdiri menjublak setelah ia menanggapi bendera itu.
"Lang TjeetjoeV Lie Ham Tjin berteriak, "jikalau kau menghendaki kekayaan dan pa
ngkat mulia, akan aku mintakan Sri Baginda mengangkat kau menjadi touwsoe dari T
jio Lim ini! Lekas bekerja sama untuk membekuk peng-chianat inil"
Belum lagi berhenti suaranya pahlawan raja ini, segera terdengar suara sangat be
risik dari belakang markas, di mana nampak api berkobar-kobar.
Lang Ying kaget bukan main. Ia tidak menduga kepada
perbuatan Yap Seng Lim seorang, ia percaya markasnya sudah
diserbu dari belakang dan telah dobol, bahkan ia tengah terkurung. Untuk sejenak
ia tercengang, lantas ia berteriak keras: "Siapa kesudian anugerah
kamu bangsa Han?"
Terus ia mengibaskan tangannya kepada
pasukan panahnya: "Mundur kamu!" Habis itu, ia menghunus goloknya akan maju mene
rjang, untuk
membantui Sin Tjoe.
Lie Ham Tjin kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka. Tapi ia sangat licin.
Mendadak saja ia berlompat, tangan kirinya diulur. Ia mainkan jurus dari Kimna
hoat, pukulan Menangkap. Hebat
gerakannya itu, sejenak saja, Lang Ying telah kena ditawan olehnya.
Sin Tjoe kaget, ia menikam, tetapi lawan itu memajukan tubuhnya si pemimpin suku
Ie itu. Terpaksa si nona menarik pulang pedangnya.
"Baiklah!" seru si pahlawan. "Mari kita mampus bersama!"
Sin Tjoe menyerang terus, ia membabat
kuping tetapi gagal. Saban-saban tubuh Lang Ying digunakan sebagai tameng.
Senang Ham Tjin melihat kegagalan
orang, bahwa orang sudah kewalahan, maka ia tertawa tergelak-gelak.
Tengah pahlawan ini tertawa, mendadak ada seruan hebat di sebelah belakangnya, s
eruan bagaikan guntur, lalu tenda tersingkap,
terlihat bayangan satu orang lompat menerjang masuk. Belum sempat Ham
Tjin melihat bayangan itu, ia sudah merasakan sakit hingga ke tulang-tulang
. Sebab hanya dengan satu kali bergerak, selagi ia repot membela diri
dari serangan bertubi-lubi dari Sin Tjoe, tiba-tiba saja lengannya ya
ng kanan kena orang cekuk dan ditekuk!
Pasti sekali baya-
ngan itu Seng Lim adanya.
Seng Lim mempunyai kepandaian Taylek
kimkong tjioe, lima jarinya memegang keras sekali, maka juga, satu kali dia meng
erahkan tenaganya, Lie Ham Tjin tidak sanggup mempertahankan diri lagi, bahkan g
oloknya mental menghajar jidatnya sendiri. Untuk mencoba membela diri, terpaksa
ia melepaskan cekalan-nya kepada Lang Ying.
Orang Ie itu menjadi sangat gusar, begitu ia merdeka, ia ayun goloknya ke arah p
ahlawan ini, maka pada detik itu juga, tubuh si pahlawan kena terbacok menjadi d
ua potong!
Dalam saat kacau itu, Touw Koen sudah menyingkirkan diri.
Pahlawan yang terachir telah kena dibinasakan Sin Tjoe, yang meninggalkan Lie
Ham Tjin
selekasnya musuh ini dicekuk Seng Lim. Maka itu, dengan yang mati dan kabur, hab
islah kawanan penjahat
kecuali orang-orangnya Lang Ying. Mereka ini lantas mencoba memadamkan api.
Tetapi Lang Ying tertawa berkakak:
"Biarlah semua terbakar habis! Kita toh telah bebas dari kawanan anjing itu hing
ga sekarang kita semua dapat pergi ke Tali kepada Toan Ongya1."
"Memang, tidak selayaknya kita melanjuti pekerjaan kita ini, cuma-cuma kita dica
ci dan dikutuk bangsa kita!" ada yang menimpali ketua itu. Dia ini ialah kakak m
isan dari si nona suku Ie itu.
Nona itu sudah lantas muncul, dalam kegirangannya ia tubruk Sin Tjoe yang ia ran
gkul. Saking girang ia
sampai tidak dapat berkata-kata.
Malam itu juga Lang Ying hendak meninggalkan Tjio Lim. Kapan penduduk yang
berdekatan memperoleh kabar, mereka datang berduyun-duyun. Di hadapan mereka itu
Lang Ying mengutarakan keputusannnya untuk menukar cara hidup. Ia mendapat samb
utan riuh rendah. Bahkan di depan rimba batu itu segera diadakan pesta besar, or
ang menyembelih babi dan kambing, orang menari-nari dan bernyanyi-nyanyi selama
tiga hari! Semua penduduk di dekat-dekat situ turut ambil bagian dalam pesta bes
ar yang sangat meriah itu. Adalah tiga hari kemudian, baharu rombongannya Lang Y
ing itu berangkat menuju ke Tali.
Seng Lim bersama Sin Tjoe tidak dapat menunggu sampai tiga hari, di hari pertama
, sehabis menghadiri
pesta, mereka pamitan dari Lang Ying semua, kemudian mereka
berangkat terlebih dulu.
Dari Tjio Lim ke Tali, perjalanan ada seribu lie lebih dan mesti melintasi pegun
ungan atau tanah datar tinggi, perjalanan pun sukar, maka sudah empat lima hari,
kedua orang muda itu masih berada di tanah pegunungan yang tinggi atau hutan be
lukar. Selama itu Seng Lim bersikap sangat telaten terhadap Sin Tjoe hingga si n
ona puas dengan teman seperjalanan ini. Si pemuda tidak
menyebabkan orang gembira tetapi juga ia tidak menyebalkan...
Sin Tjoe pun puas dengan perjalanan ini
walaupun kawannya tidak pandai bernyanyi atau bersenandung, sebagai gantinya, di
rimba-rimba ada
burung-burung dengan pelbagai ragam bunyinya, ada bunga-bunga yang indah dan har
um semerbak, ada sungai-sungai atau air yang indah.
Ada sebuah pohon yang menarik perhatiannya Nona Ie selama perjalanannya ini.
Pohon itu kedapatan di sepanjang jalan. Itulah pohon yang dinamakan taytjeng sie
atau "hijau besar," yang penduduk setempat namakan
"bongsoei sie" atau "pohon angin dan air," yang daunnya sangat lebat dan mendata
ngkan keteduhan, yang batangnya mirip
"cengkeraman naga," yang duduknya di tanah kuat sekali. Daunnya pun hijau d
i empat
musim. Hingga orang memandangnya sebagai alamat usia muda dan penghidupan.
Memperhatikan pohon ini, Sin Tjoe mendapat suatu kesan baru. Pernah dia mengumpa
mai Tiat Keng Sim dengan bunga mawar di dalam taman di Kanglam dan Yap Tjong Lio
e seperti pohon cemara di dataran Inlam atau Koeitjioe, maka sekarang ia nampak
Yap Seng Lim bagaikan pohon taytjeng itu, pohon yang angkar dan berjiwa. Hanya i
a bimbang, ia lebih suka bernawung di pohon yang teduh nyaman itu atau berada di
antara pohon bunga mawar untuk bersenandung...
Achir-achirnya mereka mulai memasuki juga wilayah Tali. Masih jalanan pegunungan
yang mesti ditempu.
Demikian pada suatu hari, tibalah mereka di tempat yang dinamakan Anggaypo atau
tanjakan Lembah Merah. Sin Tjoe menjadi girang, karena pernah ia memperoleh kete
rangan, selewatnya lamping ini, lagi dua hari mereka bakal sampai di Tali. Ia gi
rang dan lupa letihnya karena ia merasa bakal segera bertemu gurunya. Begitulah
ia mendahului Seng Lim, untuk jalan di depan. Jalanan luar biasa sukar, manusia
masih mending, tetapi kuda lelah bukan main. Maka kesudahannya, berdua mereka me
nuntun kuda mereka.
"Orang bilang Thian-tjoe biopo paling tinggi dan Anggaypo paling berbahaya, inil
ah
benar," si nona kata menghela napas.
Seng Lim sebaliknya tertawa dan berkata:
"Orang bilang Tali paling indah pemandangan alamnya, selewatnya tempat sukar ini
orang akan melihat tempat indah seperti Taman Bunga Tho... Aku lihat inilah keh
endak Thian, yang merencanakan manusia mesti bersusah paya dulu baharu beriang g
embira.
Demikian penghidupan manusia, demikian juga jalanan..."
Sin Tjoe ketarik pada kata-kata si pemuda ini, ia merasakan itu ada filsafatnya.
..
Biarnya sukar, orang pun dapat juga mendaki Anggaypo itu, maka setibanya di atas
tanjakan, kuda mereka sengal-sengal, napasnya mengorong keras, mereka sendiripu
n mesti duduk beristirahat. Di sini mereka merasa hati mereka terbuka. Di hadapa
n mereka terbentang pemandangan
alam yang menarik hari.
"Kau benar," kata Sin Tjoe tertawa. "Lihat di sana, habis gunung-gunung tinggi l
alu tanah rendah dan rata."
Tiba-tiba saja si nona teringat pula pada Tiat Keng Sim, hanya kapan ia berpalin
g, ia menampak Yap Seng Lim yang sederhana, polos bagaikan anak dusun. Sendiriny
a ia merasakan mukanya panas, ia jengah walaupun Seng Lim tidak tahu apa yang or
ang pikir dalam hatinya. Tidak pernah dia memikir kepada Keng Sim.
Sin Tjoe bertunduk, ia merasakan pikirannya kacau. Di dalam otaknya, ia berkutat
seorang diri. Ia menjadi sadar kapan kupingnya mendengar suara
meringkiknya kuda di bawah tanjakan. Mendadak saja ia berseru-
seru: "Tjiauwya Saytjoe! Tjiauwya Saytjoe!"
Seng Lim heran. "Apa?" tanyanya.
"Kudaku yang hilang! Kudaku yang hilang!" menyahut si nona. "Kau berdiam di sini
melihat kuda kita, aku hendak pergi melihat ke sana!"
Tanpa menanti jawaban si anak muda, ia lari turun tanjakan.
Tepat di tengah-tengah tanjakan itu, Sin Tjoe meadapatkan
sebuah rumah besar dengan tembokan merah dan genting hijau, pekarangan depannya
luas di mana ada sejumlah orang, tetapi di situ tidak ada hewannya. Maka ia menj
adi heran sekali.
"Tidak nanti kupingku salah dengar, katanya di dalam hati. "Itulah ringkikannya
kudaku! Ah, kuda, kudaku, kau mestinya telah ditambat dan di kurung orang
jahat! Karena kau ketahui aku datang, kau perdengarkan suaramu supa
ya aku datang menolongi..."
Memikir begitu, si nona hampir kalap, hingga hampir saja ia lantas lari menghamp
irkan orang banyak di muka rumah besar itu. Ia membatalkan niatnya karena ia mel
ihat, lebih dulu daripada ia, ada seorang muda dengan pakaian putih sudah lari k
e antara orang-orang itu. Mengawasi orang muda itu, ia seperti tengah bermimpi.
Orang adalah Tiat Keng Sim, yang baharu saja ia buat pikiran..."
Mau nona ini lari terus, ia merasakan kedua kakinya lemas. Mungkin ini disebabka
n kegirangannya yang meluap-luap. Di lain pihak, ia berpikir pula untuk menyingk
ir dari si pemuda, seperti di
Taytjioe dulu hari itu...
"Ah!" pikirnya achir-nya, "Baik aku lihat dulu apa dia mau bikin. Cuma aku tidak
mengarti, kenapa dia pun datang ke mari..."
***
Selagi Ie Sin Tjoe tidak menyangka Keng Sim dapat datang ke Anggaypo ini, ke Tal
i, adalah Keng Sim sendiri, sengaja dia membuat perjalanan untuk
mencari si nona. Berdasarkan kecerdasannya ia menduga, setelah meninggalkan tent
era rakyat, pasti si nona pergi ke Tali untuk mencari gurunya, maka ia pun lanta
s menyusul. Disebabkan si nona tertunda perjalanannya di daerah orang Biauw di K
oeitjioe dan di Koenbeng, ia menjadi ketinggalan, sedang barusan pun te
lah
terjadi peristiwa di Tjio Lim itu. Maka Keng Sim telah mendahului ia. Keng Sim p
un tidak nanti bermimpikan, si nona yang ia susul berada di Anggaypo dan sekaran
g berada di dekatnya, di
belakangnya, terpisahnya tak ada setengah lie...
Sin Tjoe terus menyembunyikan diri di belakang satu batu besar, hatinya berde-ny
utan, matanya terus mengawasi si anak muda.
Keng Sim maju ke antara orang banyak di depan rumah itu.
"Orang tua she Kok, lekas kau keluar menemui aku!" demikian suaranya nyaring.
Orang-orang itu adalah tjhoengteng, yaitu pegawai-
pegawainya rumah
besar itu. Mereka maju untuk menghalangi si
anak muda, tetapi mereka diterjang hingga beberapa di antaranya roboh terguling.
Sin Tjoe heran sekali, sampai ia mendelong saja.
Segera terlihat pintu pekarangan dibuka, di situ muncul seorang tua yang berewok
an, yang memegang sebatang golok besar, tindakannya pun lebar dan tegap.
"Bocah yang ba- ik!" dia berkata, nyaring, "berulang-ulang kau datang mengacau d
i sini! Sebenarnya,
apakah kehendakmu?"
"Hendak apa? Aku justeru mau tanya kau, kau mau apa?" mem-baliki Keng Sim. "Kena
pa kau mencegah aku bertemu sama Ie Siangkong?"
Orang tua itu, tuan rumah, yang ada orang she Kok, hingga ia disebut Ko
k Tjhoengtjoe,
menyahuti: "Di sini ialah Kok keetjhoeng1. Di sini di mana ada Ie Si
angkong yang kau cari itu?"
"Jikalau di sini tidak ada Ie Siangkong, kenapa kuda tunggangannya berada di sin
i?" Keng Sim membentak pula. Terus ia
menambahkan, pelahan: "Sebenarnya, Ie Siangkong yang tidak sudi menemui aku atau
kau sendiri yang tidak hendak membiarkan aku bertemu dengannya? Kau mesti menga
si penjelasan padaku!"
"He, jangan kau mengaco belo!" membentak Kok Tjhoengtjoe
"Jikalau kau tetap mengacau, nanti aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi!"
"Biar bagaimana, aku mesti dapat bertemu pada I e Siangkong1." Keng Sim
membelar. "Tidak, tidak nanti dia
tidak sudi menemui aku!"
"Ayah," berkata seorang muda, yang berada di sampingnya si orang tua. Dia tadi t
urut keluar bersama. "Buat apa ayah banyak bicara lagi sama ini bocah edan? Kau
bacok saja padanya! Berulangkah dia mengacau di sini, kalau hal ini sampai tersi
ar,
bukankah pamor Kok keetjhoeng bakal turun?"
Pemuda itu ada tuan rumah yang muda, siau w tjhoeng tjoe. Dia habis sabar. Sudah
tiga hari Keng Sim datang mengacau, sudah dua kali ia bertempur sama tuan rumah
yang tua itu. Maka dia pikir, baik menghajar saja, habis perkara.
Keng Sim berkata pula: "Kau bilang di sini tidak ada Ie Siangkong. Baiklah! Seka
rang coba kau suruh keluar orang yang menjadi pemiliknya
kuda Tjiauwya Saytjoe ma itu! Aku ingin bertemu dengannya!"
Kali ini dia bicara sabar, dia seperti memohon.
Kok Tjhoengtjoe itu sebaliknya menjadi
gusar.
"Apa kuda Tjiauwya Saytjoe ma?" katanya. "Apa pemiliknya? Rumah ini rumahku! Di
sini, di tempat sepuluh lie sekitarnya, semua
sawah, rumah, binatang piaraan, semua milikku, akulah si pemiliknya! Rupa-rupany
a kau mengarah kuda pilihanku itu? Hm, hm! Bangsat cilik, kau pentanglah matamu!
Aku Kok Tiong Ho, aku tidak dapat orang perhinakan!"
Mendengar begitu, Keng Sim pun menjadi panas pula hatinya.
"Kau tidak sudi mengasi aku bertemu pada pemilik kuda Tjiauwya Saytjoe ma it
u, kau
rupanya si tukang merampas banda dan mencelakai jiwa orang! Pasti kau sudah memb
unuh Ie Siangkong , kau merampas banda-nya!"
Orang tua itu menjadi kalap.
"Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco belo! Lihat golok!" Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang disebabkan benteroknya dua r
upa senjata. Keduanya lantas saja bertempur.
Sesudah mendengari begitu lama, Sin Tjoe mengarti duduknya hal. Pasti karena ber
adanya Tjiauwya Saytjoe ma di sini, Keng Sim menduga aku mesti berada bersama. D
ia tidak tahu yang aku telah menyalin pakaian, sampai
sekarang dia tetap memanggil Ie Siangkong kepadaku. Oh, Keng Sim,
kiranya kau masih memikirkan aku..."
Pertempuran berjalan seruh, sudah begitu itu diramaikan oleh seruan-seruannya ka
wanan tjhoengteng. Tapi Sin Tjoe tidak menggubris itu. Ia hanya pikir: "Begini r
upa Keng Sim memikirkan aku, aku sebaliknya senantiasa menyingkir daripadanya...
"
Hampir ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi, akan menghampirkan pemuda itu,
atau ia ingat, bagaimana sulitnya keadaan nanti bila ia berkumpul pula sama itu
pemuda. Dulu saja ia sudah merasa pusing.
Mendadak ia dengar jeritan si anak muda, apabila ia menoleh, ia m
enampak pemuda itu berdarah di pundaknya, tandanya dia telah kena tergores p
edangnya Kok Tjhoengtjoe.
"Bocah edan!" dia berteriak. "Kau ngaco-belo! Lihat golok!!" Dia terus membacok.
Keng Sim menangkis, maka muncratlah lelatu api yang disebabkan bentroknya dua ru
pa senjata. Keduanya lantas saja bertempur.
"Inilah hebat!" pikirnya. Maka ia siapkan tiga tangkai bunga emasnya. Hanya di s
aat ia hendak berlompat, ia pun dapat mendengar jeritannya Kok Tiong Ho, lengan
siapa ternyata sudah dimam-pirkan pedang si anak muda.
Keng Sim tertawa dan berkata dengan nyaring: "Ada datang tetapi tidak ada pergin
ya, itulah bukan kehormatan! Lihat
pedang!" Dan ia mengulangi serangannya.
Kok Tiong Ho berkelit, tidak urung tali bajunya terlanggar
kutung.
Setelah terluka, Keng Sim menjadi ganas.
Berbareng dengan itu, hati Sin Tjoe menjadi tenang pula.
"Nyata Keng Sim dapat melayani orang tua itu, baiklah aku menanti dulu," ia
mengambil
putusan. Di lain pihak ia mengagumi orang she Kok itu, yang tua tetapi gagah. Ia
pun tidak menyangka di tempat seperti itu bisa terdapat orang tua seperti dia i
tu. "Hanya heran kudaku! Kenapa kudaku dapat berada di sini? Orang she Kok ini b
oleh gagah tetapi tidak nanti dia dapat mencuri kuda...!"
Sebentar kemudian, Kok Tiong Ho kembali kena ditikam, benar ia tidak roboh tetap
i ia toh terluka. Sekarang ternyata, walaupun ia liehay, ia masih tidak dapat me
nandingi Keng Sim yang liehay ilmu pedangnya "Keng To Kiamhoat."
Sampai di situ si tuan muda mengambil sebatang tombak dari tangan satu tjhoengte
ng -nya, dengan itu ia maju membantui
ayahnya.
"Anak Tjoen, mundur!" berseru si ayah.
Tapi pemuda itu sudah menyerang ke punggung Keng Sim, tidak keburu ia menarik pu
lang serangannya itu.
Hebat Keng Sim. Se-bat sekali, ia menyabet ke belakang, menangkis tombak. Hanya
satu kali benterok, tombak itu kena dibabat putus. Menyusul itu, kakinya si pemu
da she Tiat ini melayang, maka "Bruk!" tubuh tuan muda itu tertendang hingga
ter-pental dan jatuh terbanting.
Kaget dan gusar si orang tua menyaksikan anaknya kena dibikin roboh, sambil bers
eru ia lompat menyerang. Ia menjadi kalap. Tapi ini merugikan padanya. Karena me
nuruti hawa marahnya, permainan silatnya menjadi kacau. Keng Sim menarik keuntun
gan dari cacad
lawan itu. Sambil ber-seru, anak muda ini menangkis. Ia telah mengerahkan tenaga
nya, keras tangkisan-nya, maka goloknya jago tua itu terpental terlepas dari cek
alan. Sesudah itu, dengan satu gerakan susulan, Keng Sim mengancam tenggorokan o
rang. Ia membentak: "Kau mau ijinkan atau tidak aku bertemu pada Ie Siangkong?"
Si orang tua tidak menyahuti, hanya ia menghela napas. Ia menanya anaknya:
"Anak Tjoen, kau terluka atau tidak?"
"Tidak," jawab si anak.
"Baiklah!" berkata jago tua itu. "Semenjak dua puluh tahun, inilah kekalahanku y
ang
pertama! emdash
Apakah namamu?"
"Aku Tiat Keng Sim dari Taytjioe!"
"Baik! Anak Tjoen, pergi kau undang kedua pemilik kuda itu untuk menemui T
iat Siangkong ini!"
"Apa?" Keng Sim heran. "Dua pemiliknya?"
Tiong Ho tidak menyahuti. Ia hanya merobek ujung bajunya untuk membalut tiga luk
anya. Sembari menghela napas, ia menambahkan pada anaknya: "Kau sekalian bawa ke
luar itu kuda..."
Si tuan muda menurut, ia lantas berlalu. Tidak lama ia sudah kembali bersama sep
asang pemuda pemudi, yang usianya belum dua puluh tahun yang pakaiannya mewah, t
andanya mereka anak-anak hartawan besar atau orang berpangkat tinggi.
Melengak Keng Sim mengawasi sepasang muda-mudi itu.
"Kau... kau... kamu
siapa?" tanyanya.
Itu sepasang muda-mudi pun heran.
"Kau... kau... siapa?" mereka balik menanya. "Kenapa kau hendak menemui kami?"
Bukan melainkan Keng Sim, yang heran tetapi juga Ie Sin Tjoe dari tempatnya semb
unyi, karena ia kenali muda-mudi itu. Sekian lama ia menahankan hati, untuk meli
hat siapa pencuri kudanya, siapa tahu sekarang ia dapatkan sepasang puteri dan p
uterinya Bhok Kokkong. Kedua muda-mudi itu ada Bhok Lin dan Bhok Yan, yang telah
meninggalkan
rumahnya yang mewah untuk buron!
Setelah datangnya Yang Tjong Hay ke istananya, Bhok Lin mengarti bahwa ia telah
menerbitkan onar.
Segera ia bermupakatan dengan Bhok Yan,
saudarinya. Nyata si nona sudah sebal dengan cara hidup di istananya itu, ingin
dia pesiar. Keduanya lantas mengambil keputusan untuk minggat, malah keputusan i
tu segera dilaksanakan. Bahkan mereka menuju ke Tali, untuk mencari Thio Tan Hon
g.
Selama Tan Hong berada di istana dan mengajar ilmu surat, pernah ia omong sama k
edua muridnya perihal adanya seekor pooma, yaitu kuda istimewa, yang jempolan, y
ang keras larinya dan dapat mengarti maksud orang, namanya Tjiauwya
SayTjoe ma, kuda mana diberikan pada muridnya yang bernama Ie Sin Tjoe, bahwa ku
da itu cuma jinak kepada majikannya. Tan Hong menutur secara iseng-iseng, siapa
tahu Bhok Yan mendengari itu
secara sungguh-
sungguh, maka tempo kemudian ia meninggalkan istana, si nona minta suatu tanda m
ata ialah kipas emasnya. Tan Hong tidak menyangka apa-apa, ia memberikannya.
Tempo itu hari Bhok Yan buron, ia belum memikir untuk mencuri kuda. Seberlalunya
dari istana, mereka berdua pergi ke hotel untuk mencari Sin Tjoe. Mereka tidak
ketahui Sin Tjoe dan budaknya tengah dikurung Tjong Hay di penjara air. Bhok Yan
tidak menemui si nona, sebaliknya, da dapatkan Tjiauwya
Saytjoe ma. Tiba-tiba da dapat satu pikiran, ialah untuk kabur bersama kuda jemp
olan itu. Ia lantas keluarkan kipasnya Tan Hong dan pakai itu untuk membikin kud
a itu jinak. Ia berhasil, karena kuda
itu menurut. Maka berdua, dengan menunggang kuda itu, mereka kabur. Tanpa tiga h
ari, tibalah mereka di Anggaypo. Karena
sudah magrib, mereka mampir di Kok keetjhoeng, untuk menumpang bermal
am. Di sini mereka tertahan.
Ketua dari Kok keetjhoeng ada jago dari Inlam Barat, melihat kuda itu, timbullah
keinginannya untuk memilikinya. Ia bersedia membayar seratus tail emas asal ia
bisa mendapatkan kuda itu. Tentu saja Bhok Van dan Bhok Lin tidak memandang uang
,
sedang kuda itu milik guru mereka. Kok Tjhoengtjoe cerdik, karena pandainya ia b
icara, ia bisa membikin kedua saudara itu membilanginya bahwa kuda itu bukan mil
ik mereka. Karena ini
semakin keras niatnya memiliki kuda itu. Tapi juga dua saudara itu tidak menyebu
tkan diri mereka yang sebenarnya, mereka kuatir nanti di antar pulang ke rumahny
a. Tiong Ho tidak berani membikin susah pada sepasang muda-mudi itu, yang gerak-
geriknya luar biasa, tanda dari bukan sembarang orang. Maka itu dengan cara alus
mereka ini ditahan, sedang di lain pihak, da mengirim orang ke Koenbeng untuk m
embuat penyelidikan.
Luar biasa kuda Tjiauwya Saytjoe ma sendiri. Kok Tiong Ho tidak dapat menjinaki-
nya hingga sia-sia saja percobaannya untuk dapat menunggangi. Maka kejadianlah T
iat Keng Sim kebetulan lewat di depan kampung dan melihat kuda itu, yang dia
kenali. Dia
lantas datang untuk minta bertemu pada Sin Tjoe, yang dia sangka berada di dalam
rumah besar itu. Kesudahannya terjadilah satu salah mengarti, hingga mereka men
gadu
kekuatan.
Keng Sim tidak kenal Bhok Yan dan Bhok Lin, ia heran. Kedua puteri dan puteranya
Bhok Kokkong juga tidak kenal pemuda ini, mereka pun heran.
"Kamu siapa?" achir-nya Keng Sim tanya. "Dari mana kamu curi kuda putih ini?"
Bhok Yan heran dan berpikir: "Kenapa dia tahu kuda ini aku dapatinya dari mencur
i?" Bhok Lin sebaliknya tidak senang. Dia seorang putera hertog, dia dikatakan m
encuri, dia merasa keagungannya tersinggung. Kata dia dengan dingin: "Kuda ini b
ukan kudaku,
habis apakah kudamu, tuan? Siapa dapat menunggangi dia, ialah pemiliknya! Kamu s
emua mengarah kuda ini, pergilah kamu coba menunggangi, kamu lihat, kuda ini suk
a menurut atau tidak!"
Keng Sim heran. Ia kenal Sin Tjoe cukup lama, hingga ia ketahui sifatnya kuda it
u. Kenapa kuda itu menurut terhadap dua bocah ini? Untuk ini, ia mau minta keter
angannya mereka itu. Hanya, belum lagi ia sempat menanya, ke situ terlihat datan
gnya dua penunggang kuda, yang baharu saja tiba. Melihat mereka itu, Tiong Ho be
rseru kegirangan.
Sin Tjoe pun melihat dua orang baru itu, yang membuatnya ia terperanjat. Sebab
merekalah Yang Tjong Hay dan Poan Thian Lo. Ia tentu tidak tahu,
sebelum Yang Tjong Hay bekerja di istana, dia pernah menjadi jago di Inlam Selat
an, sebagaimana Kok Tiong Ho ada jago dari Inlam Barat, dan bersama soeheng-nya,
Poan
Thian Lo, pernah Tjong Hay datang pada Tiong Ho hingga keduanya menjadi
sahabat-sahabat kekal.
"Katanya kau telah dapat seekor kuda istimewa..." kata Tjong Hay, yang berhenti
dengan tiba-tiba, untuk segera menambahkan: "Eh, Bhok Siauwkongtia, kau berada d
i sini?" tanyanya pada Bhok Kongtjoe.
Tiong Ho berlompat, untuk menyingkir dari ancaman Keng Sim. Kaget ia mendengar p
erkataan Tjong Hay itu.
"Apa?" katanya, melengak. "Inikah Bhok Siauwkongtia? Kuda itu dialah yang me
mbawa-
nya..."
"Bhok Siotjia, Bhok Kongtjoe," berkata pula Tjong Hay, "kamu minggat, apakah kam
u tidak kuatir nanti mencelakai kongtia?" Ia menegur itu dua anak muda tetapi ma
tanya menyapu Tiat Sim, melihat siapa, ia heran. Ia segera menegur juga. "Eh, Ti
at Kongtjoe , kenapa kau pun berada di sini?"
"Beberapa kali dia datang mengacau ke mari," Tiong Ho memotong, "dia minta berte
mu sama apa yang dia katakan Ie Siangkong , dia memaksa sangat, dia pun mau mint
a kuda istimewa itu! Apa? Apakah dia sahabatmu?"
Tuan rumah ini menyesal. Ada kemungkinan tak dapat ia membalas sakit hati.
Yang Tjong Hay tidak menjawab sahabatnya itu, ia melenggak
dan tertawa lebar.
"Tiat Kongtjoe, kenapa kau menuntut penghidupan dalam
dunia kangouw dan bergaulan sama segala pengchianat?" ia tanya pemuda
itu. "Ayahmu berada di kantor soenboe di Hangtjioe, ia mengharap-harap p
ulangmu!" Setelah itu baharulah ia menoleh kepada Tiong Ho, untuk berkata:
"Kok Tjhoengtjoe, tolong kau menyiapkan kuda untuk mengantarkan
pulang pada Bhok Kongtjoe dan Bhok Siotjia ini. Tentang kuda ini, yang tidak a
da pemiliknya, terhadapmu aku tidak berlaku malu-malu lagi!"
Kata-kata yang ter-achir berarti si tjongkoan
menghendaki kuda jempolan itu.
Kok Tiong Ho mendongkol bukan main, akan tetapi sedetik saja, ia dapat mengen-
dalikan diri, ia lantas mengubah sikapnya. Inilah ia ingat bahwa ia tidak sanggu
p membikin jinak kuda itu. Bukankah bagus kalau ia melepas budi? Maka ia tertawa
dan berkata: "Ada pepatah yang membilang, pedang mustika dihadiahkan kepada sat
u tjongsoe, kuda
kenamaan dihadiahkan kepada satu enghiong, maka itu sungguh tepat Yang Tjongkoan
mendapatkan kuda bagus ini!"
Dua-dua tjongsoe dan enghiong berarti orang gagah perkasa dan pendekar.
Tapi Keng Sim lain daripada tuan rumah itu. Ia tertawa dingin.
"Yang Tjong Hay, kau jadinya
menghendaki kuda ini?" dia menanya.
Tjong Hay berpaling seraya melirik.
"Tiat Kongtjoe," katanya, mengancam, "bahwa aku sudah tidak melaporkan pergaulan
mu dengan Yap Tjong Lioe, itulah suatu tanda persahabatan dari aku! Bukankah kud
a ini bukan kepunyaanmu? Benarkah kau tidak sudi bersahabat denganku?..."
Belum habis kata-kata itu diucapkan, pedang sudah berkelebat, ujung pedang telah
menikam tjongkoan itu. Itulah serangannya Keng Sim, yang habis sabar.
Tjong Hay berkelit sambil tertawa.
"Tiat Kongtjoe, kau benar mirip dengan anjing yang menggigit dewa Lu Tong Pin, k
au tidak mengenal kebaikan orang!" katanya, mengejek. "Hm! Golok dan pedang tida
k mengenal budi, kau harus berhati-hati!"
Keng Sim tidak pedulikan itu nasehat yang dicampur sama penghinaan, malah
tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula, segera ia mendesak. Ia membuatnya
Tjong Hay repot, hingga hampir lengan tjongkoan itu berkenalan pada
pedangnya.
"Kau tidak tahu liehay ku apabila kau tidak dikasi rasa!" kata Tjong Hay achirny
a. Ia menjadi gusar. "Puteranya Bhok Kongtia tidak berani aku melukainya tetapi
kau anaknya satu bekas giesoe, jikalau kau dibikin darahmu mengucur tidak ada ar
tinya!"
Sekarang Tjongkoan ini menggunai pedangnya untuk melayani orang berkelahi. Karen
a dua-duanya ahli pedang kelas satu, hebat pertempuran mereka itu.
Setelah banyak ju-
rus, mendadak terdengar suara tertawa panjang dari Yang Tjong Hay, yang pun berk
ata secara tem-berang: "Tiat Kongtjoe, apakah kau masih hendak bertempur pula?"
Suara ini ada suara yang menyusuli bente-rokan keras dari dua senjata, yang lela
tu apinya muncrat
berhamburan, kedua lawan pun berpisahan, sebab Keng Sim mesti mundur dengan gera
kan kakinya Ngoheng Pat-kwa. Sebab pedangnya telah kena dipapas sebelah hingga p
edang itu menjadi podol.
Tjong Hay mengatakan demikian tetapi dia maju pula, dia mengulangi serangannya,
sedang Keng Sim, yang mundur terpaksa, kembali melakukan
perlawanan, dengan begitu mereka jadi bertempur pula. Pemuda
ini belum kalah tetapi ia kena terdesak, kalangan sinar pedangnya terus bertamba
h ciut. Ia tidak lagi dapat sering menyerang
seperti bermula, ia lebih banyak membela diri.
Sin Tjoe bergelisah. Ia menonton dengan mencekal gagang
pedangnya. Ia tidak dapat berpikir banyak kecuali harus maju untuk membantui Ken
g Sim. Di pihak sana ada musuh. Di saat ia mau berlompat keluar dari tempatnya b
ersembunyi, ia dengar tindakan kaki di belakangnya, ia lantas menoleh. Maka terl
ihatlah Seng Lim, yang sudah lantas berada di belakangnya. Pemuda she Yap itu ag
aknya heran.
"Itu toh Tiat Keng Sim?" tanyanya.
Tidak sabaran pemuda ini menanti lama-lama, justeru kupingnya
mendengar suara senjata beradu, ia lantas lari menghampirkan si nona. Ia heran a
kan mengenali Keng Sim, akan kemudian bertambah heran menyaksikan Nona Ie sepert
i orang ngelamun. Di dalam hatinya ia menanya: "Mereka berdua toh telah bersahab
at lama? Ia masih suka menanyakan aku tentang si pemuda, kenapa
sekarang ia menonton saja?" Ia tidak tahu si nona justeru mau turun tangan.
Sin Tjoe terperanjat.
"Memang, dialah Tiat Ken, Sim!" sahutnya bagaikan orang tersadar.
"Siapakah itu yang bertempur dengannya?"
"Dialah Yang Tjong Hay, tjongkoan dari istana kaisar!"
"Ah!" seru Seng Lim tertahan. "Mari lekas kita membantui dia!"
Di mulut pemuda ini
mengatakan demikian, dalam perbuatan ia mendahului si nona berlompat, untuk lari
menghampirkan tempat pertempuran. Kalau tadinya ia berlaku hati-hati, setelah m
engetahui orang itu ada pahlawan istana, ia tidak mau main ayal-ayalan lagi.
Justeru itu kembali terdengar tertawa
terkebur dari Tjong Hay. Kali ini disebabkan dia berhasil memapas ikat kepalanya
Keng Sim. Kemudian dia berkata: "Tiat Kongtjoe, jikalau kau tidak mau meletaki
pedangmu, aku si orang she Yang terpaksa akan melakukan kadosahan terhadapmu!"
Itulah ancaman, yang diberikuti dengan desakan, hingga pemuda she Tiat itu, yang
mendongkol bukan
main, menjadi terdesak dan repot sekali.
Sementara itu Sin Tjoe telah mengasi dengar seruannya yang dibarengi dengan ber-
lompatnya tubuhnya, maka di lain saat ia sudah mendahului Seng Lim tiba di tanah
datar.
Keng Sim dengar seruan si nona, ia terperanjat. Dalam
keadaan terancam
bahaya itu, ia masih mengambil kesempatan untuk menoleh. Ia menjadi heran akan m
enyaksikan datangnya satu nona yang cantik jelita, yang gerakannya sangat lincah
itu. Tidak segera ia mengenali Sin Tjoe, yang di matanya masih tetap Ie Siangko
ng. Ini pun yang pertama kali ia melihat orang dandan sebagai seorang nona. Kare
na ini, ia menjadi kurban. Lengan kirinya di dekat pundak telah tergores pedangn
ya Tjong Hay, yang menyerang ia
dengan ganas. Ia terhuyung, sesudah mana, ia melawan pula dengan nekat, akan di
lain saat ia lompat mundur, akan lari ke arah si nona. Ia pun memanggil-manggil:
"Sin Tjoe! Sin Tjoe!"
Sin Tjoe menjadi sangat terharu saking bersyukur terhadap si anak muda, yang dem
ikian memperhatikannya. Sudah begitu, ia pun mendengar suaranya Tjiauwya
Saytjoe ma. Kuda itu melihat majikannya, segera dia meringkik berulang-ulang dan
berjingkrakan, untuk lari menghampirkan.
Kok Tjhoengtjoe mendapatkan kuda
istimewa itu tidak mau jinak, dia rantai ke empat kakinya kuda itu dengan rantai
yang kasar, sedang empat tjhoengteng-nya diperintah memegangi rantai
itu, guna mencegah binatang itu kabur. Tidak urung, saking kuat tenaganya, kuda
itu bisa berontak. Empat tjhoengteng itu roboh sendirinya. Karena
dirantai, kakinya kuda itu mengeluarkan darah.
Untuk sedetik itu Sin Tjoe bersangsi. Ia terharu terhadap Keng Sim, yang telah m
andi darah, ia pun terharu terhadap kuda kesayangannya. Tapi Keng Sim adalah man
usia, ia anggap baiklah
menolongi Keng Sim dulu. Selagi begitu, Yang Tjong Hay sudah maju padanya seraya
mendahului menyerang. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Ia pun bertemu
pada musuh lama. Tapi, belum lagi ia mengangkat pedangnya, Seng Lim di sebelah
belakangnya sudah mendahului ianya. Pemuda she
Yap ini berlompat dari samping, menyerang dengan pukulannya Taylek kimkong tjioe
jurus "Benturan sepasang tangan."
Tjong Hay terkejut dan kagum, hingga ia memuji. Tentu saja ia dapat membela diri
nya dan membikin serangan itu tidak memberi hasil. Setelah itu, ia membalas meny
erang.
Seng Lim tidak jerih, dia melawan tanpa berkisar, sedang di sebelah dianya, Tiat
Keng Sim sudah lantas membantu padanya.
Menampak demikian, karena percaya Seng Lim berdua bakal dapat bertahan. Sin Tjoe
mengawasi si pemuda she Tiat. Ia berkata dengan pelahan: "Baik-baiklah kau mela
yani dia, hendak aku menolongi dulu kuda putihku."
Habis berkata, si
nona lompat ke arah kudanya, yang pun sudah tiba padanya. Ia lantas mengasi beke
rja pedangnya yang tajam, membabat kutung
empat utas rantai besi itu. Maka di lain saat, merdekalah Tjiauwya Saytjoe ma. C
elaka adalah ke empat tjhoengteng, mereka sudah terseret-seret kuda itu, yang ra
ntainya tak mau mereka lepaskan...
Itu waktu Sin Tjoe dapat mendengar
teriakannya Yang Tjong Hay: "Dua orang ini ada orang-orang jahat yang dicari Sri
Baginda Raja, jangan kasi mereka merat!" Kata-kata itu ditujukan kepada Keng Si
m dan Seng Lim. Sebab ia segera kenali si orang she Yap itu setelah ia menempur
beberapa jurus. ia kenali orang yang diarah Lie Ham Tjin. Ia
girang berbareng heran, sebab secara kebetulan ia dapat menemui orang she Yap in
i yang ia kagumi ilmu silatnya yang liehay. Tapi ia tidak tahu yang Lie Ham Tjin
sudah melayang jiwanya pergi menghadap kepada Raja Acherat.
Sin Tjoe usap-usap kudanya, yang ia dapatkan tidak kurang suatu apa kecuali lece
t di kakinya. Tentu sekali ia tidak dapat berdiam lama-lama, mesti ia maju untuk
membantui Keng Sim dan Seng Lim. Hanya, belum lagi ia maju, tiba-tiba ia dengar
suara orang tertawa lebar disusuli kata-kata: "Nona Ie, mana gurumu? Ha! Kali i
ni tidak lagi ada orang yang dapat menolongi kau!"
Kata-kata itu segera disusul dengan tibanya orangnya, yang
menyekal cambuk
dengan apa dia terus menyerang. Bagaikan bayangan, penyerang itu menggeraki tubu
hnya.
"Jangan ganggu kudaku!" berseru Sin Tjoe. Ia pun menangkis.
Dua senjata benterok keras, karenanya si nona mundur tiga tindak.
Penyerang itu ada Poan Thian Lo, murid kepala dari Tjie Hee Toodjin. Dia memang
jauh lebih liehay daripada Yang Tjong Hay.
Kuda putih itu melihat majikannya terancam bahaya, dia berjingkrak mendupak.
"Binatang, kau mencari mampus!" membentak Poan Thian Lo, yang tangan kirinya dia
ngkat, dipakai
menekan kepala kuda itu. Tapi binatang itu kuat sekali.
Sin Tjoe sudah lantas menyerang, guna meno-
longi kudanya, maka Poan Thian Lo mesti memutar tubuh untuk melayani nona ini. I
a menyambut dengan cambuknya.
Sin Tjoe bersiul panjang sambil terus berkata: "Kudaku, pergi kau lari ke tanjak
an sana menantikan aku!"
Tjiauwya Saytjoe ma benar-benar cerdas, sambil meringkik dia berontak, lantas di
a lari pergi menuju ke tempat yang ditunjuki. Berbareng dengan itu, dua orang pu
n lari ke luar kalangan dengan niat menyamber kuda itu, untuk berlompat ke atasn
ya guna lari bersama-sama atas seekor kuda.
Merekalah Bhok Yan dan Bhok Lin, puteri-puteranya Bhok Kokkong
Poan Thian Lo menyaksikan itu semua, dia bergerak sebat
sekali. Dengan tinggalkan Sin Tjoe, dia ayun cambuknya pada
sebuah pohon di sisinya, dia menarik dengan keras, hingga pohon itu tercabut ber
ikut akarnya, lalu pohon itu dilemparkan guna menghalang-
halangi kedua muda-mudi itu.
"Siauwkongtia jangan lari-larian!" berkata dia sambil bersenyum ewah. "Kau tungg
u saja, sebentar kita pulang bersama ke Koenbeng!"
Kok Tjhoengtjoe pun sudah lantas mengepalai orang-
orangnya untuk
mengurung muda-mudi itu. Tapi mereka cuma mengurung, sebab
setelah ketahui siapa dua orang itu, tidak berani mereka berlaku k
urang ajar. Bahkan si tjhoengtjoe muda
berkata dengan manis:
"Silahkan siauwkongtia dan siotjia kembali ke gubukku!"
"Aku mau berdiam di sini menonton keramaian!" kata Bhok Lin nyaring.
Tjhoengtjoe itu merasa sudah cukup asal kedua orang itu tidak melarikan diri, ma
ka itu ia tidak memaksa.
Menampak aksinya Bhok Yan dan Bhok Lin itu, Sin Tjoe hendak menghampirkan mereka
akan tetapi dia dirintangi Poan Thian Lo. Dalam murkanya ia menyerang dengan li
ma bunga emasnya.
Poan Thian Lo memutar cambuknya membikin lima bunga emas itu jatuh, kemudian ia
menyerang pula si nona. Sia-sia saja Sin Tjoe hendak membabat kutung cambuk lawa
n itu, orang ada sangat lincah, ia bagaikan dikurung, karenanya
terpaksa ia membela diri saja.
Kuda putih itu lari terus, dia baharu berhenti setelah sampai di tempat yang dit
unjuk. Di sini dia mengangkat kedua kaki depannya, berdiri
bagaikan manusia,
kemudian dia menoleh ke arah pertempuran.
Kok Tiong Ho berdiri bengong. Ingin sekali ia mendapatkan kuda itu. Tetapi sesaa
t kemudian, hatinya menjadi tawar sendirinya. Ia ingat, umpama ia sanggup menang
kap, kuda itu toh achirnya bakal jadi kepunyaannya Yang Tjong Hay...
Ketika itu Tjong Hay tengah dikepung Seng Lim berdua Keng Sim. Nampaknya ia kena
terdesak. Maka juga, segera terdengar dia berseru: "Kok Tjhoengtjoe, inilah saa
tnya untuk kau mendirikan
jasa untuk pemerintah!"
Orang she Kok ini berharta besar, ia tidak mementingkan pangkat, tetapi tiga kal
i ia telah merasakan pedangnya Keng Sim, hatinya panas, dari itu kebetulan sekal
i Tjong Hay meminta bantuannya. Pula, di hadapan banyak orangnya, ia hendak menu
njuk
kegagahannya. Demikianlah ia jumput goloknya yang besar dan maju menyerang Keng
Sim.
Maka kali ini, berimbanglah keadaan mereka itu.
Hebat bagi Sin Tjoe untuk melayani Poan Thian Lo. Syukur untuknya, ia dapat bers
ilat dengan baik dengan ilmu silat pedang Hian Kie Kiamhoat, dengan ia main memb
ela diri, masih bisa ia bertahan.
Bhok Lin menyaksikan dua rombongan
yang bertempur itu.
"Entjie, lekas lihat!" ia serukan saudaranya. "Lihat, bagus sekali ilmu pedangny
a Nona Ie! Ah, sayang, sayang! Oh, celaka, berbahaya
sekali cambuk itu! Bagus, bagusnya Nona Ie dapat menyelamatkan dirinya!..."
Bhok Yan sebaliknya mengawasi Tiat Keng Sim, ia seperti tidak mendengar teriakan
adiknya itu.
"Nah, itulah baharu ilmu pedang yang bagus sekali!" dia pun berseru. "Kau lihat,
adikku, itulah serangan Burung Garuda Menyerbu Udara! Dan itulah tipu silat Men
galungi Rembulan!"
"Apa?" tanya Bhok Lin. Dia salah mengarti, dia membicarai Sin Tjoe tetapi entj
ie-nya membicarakan Keng Sim.
Keng Sim bergerak dengan lincah, ia mendatangkan kekagu-
mannya Nona Bhok, hingga nona ini ngelamun: "Aku tadinya menyangka yang liehay a
dalah ilmu pedangnya Thio Tayhiap seorang, yang tidak ada tandingannya, siapa ta
hu dia ini pun liehay sekali, mungkin melebihkan-nya..."
Tentu sekali pandangan nona ini tidak tepat, sebab sangat jauh bedanya kalau Ken
g Sim dibanding dengan Thio Tan Hong. Kebetulan saja pemuda she Tiat ini dibantu
Seng Lim, hingga ia jadi dapat berkelahi dengan baik, sedang pengetahuan si non
a mengenai ilmu silat pedang masih hijau.
Terus ini entjie dan adik menonton, saban-saban mereka memuji diseling sama jeri
tan kaget kalau kebetulan melakukan penyerangan yang berbahaya.
Jauh di tanjakan, mendadak terdengar Tjiauwya Saytjoe ma meringkik keras. Sin Tj
oe dapat dengar itu, ia kaget dan heran, hingga ia sudah lantas menoleh. Ia liha
t kudanya berjingkrak, terus lari ke arah jalan besar. Justeru karena itu hampir
saja ia dirabuh cambuknya Poan Thian Lo. Setelah sadar, ia melayani pula dengan
saksama,
hingga untuk sementara ia mesti melupai kudanya.
Tjiauwya Saytjoe ma pergi dengan lekas, tetapi sama lekasnya juga kembalinya. Ta
pi ia bukan balik sendiri saja. Sekarang di punggungnya ada seorang yang telah p
erdengarkan suara keras bagaikan guntur. Dia bertubuh besar,
matanya biru, mukanya berewokan, dia mirip
seorang Ouw (asing), sedang tubuhnya
tertutup dengan baju seragam tersalut emas, tangannya menyekal sepasang gaetan
Siangliong Hoktjioe
kauw.
"Paman Tamtay!" Sin Tjoe berseru apabila ia telah melihat penunggang kudanya itu
.
Memang benar penunggang kuda itu ada Tamtay Biat Beng, pahlawannya Thio Tan Hong
, atau murid kepala dari Siangkoan Thian Va. Dibanding dengan Tan Hong, majikann
ya, dia masih setingkat lebih tinggi derajatnya. Dia berasal orang Tionghoa teta
pi lama dia hidup di Mongolia, maka dia mirip orang asing, sedang di Mongolia di
a dikenal sebagai Tantai Mieh Ming. Sekarang dia sudah mendekati usia enam puluh
tahun akan
tetapi dia masih tetap gagah.
Setibanya, setelah lompat turun dari kudanya, Tamtay Biat Beng membentak Poan Th
ian Lo, lalu dia menyerang.
Soeheng dari Yang Tjong Hay ini terkejut. Sebenarnya dia hendak menyerang Sin Tj
oe, karena serangan itu, terpaksa ia mengubah haluan, ia menyambuti terjangan or
ang ini. Maka berkelebatlah sepasang gaetan, yang terus dapat menggaet cambuknya
itu.
"Kau siapa?" membentak Biat Beng. "Besar nyalimu berani menghina keponakanku!"
Poan Thian Lo mengerahkan tenaganya, untuk menarik
cambuknya. Ia berhasil meloloskan diri tetapi cambuknya itu
terkutung ujungnya!
Sin Tjoe segera me-
ngasi dengar suaranya: "Binatang ini muridnya Tjie Hee Toodjin, sudah sering sek
ali dia menghina aku! Paman, tolong kau berikan tanda mata di tubuhnya!"
"Baik!" berseru Biat Beng, yang lantas saja menggeraki sepasang gaetannya, yang
nampak seperti sepasang naga emas.
Repot Poan Thian Lo didesak secara begitu, tidak dapat ia membalas menyerang.
Ia mesti menutup dirinya.
Baru beberapa jurus, lantas terdengar satu suara keras. Itulah suara dari putusn
ya pula cambuk! Hingga dari panjang setombak lebih, cambuk itu menjadi pendek ti
nggal empat kaki kurang!
Poan Thian Lo kaget, semangatnya seperti terbang. Ia lantas saja memikir untuk m
engangkat kaki, sebab
lawannya ini liehay luar biasa. Untuk ini ia segera mendapatkan ketikanya, sebab
biar bagaimana, dia tetap seorang liehay.
Tamtay Biat Beng tidak mengejar, dia hanya berkata nyaring: "Dengan memandang mu
ka gurumu yang bersahabat dengan Hian Kie Lootjianpwee, suka aku mengasi ampun p
adamu dari kematian! Kau ingatlah ini baik-baik!"
Menyusul kata-katanya itu, sebelah gaetannya menyambar, maka tidak ampun lagi, s
ebelah kupingnya Poan Thian Lo kena dipapas kutung!
Tanpa membilang suatu apa, tanpa menjerit, Poan Thian Lo ngiprit terus.
Sin Tjoe hendak membantui Keng Sim dan Seng Lim, akan tetapi Vang Tjong Hay
sangat licik, ia telah mendengar dan menyaksikan segala apa, tanpa mensia-siakan
tempo sedetik jua, ia meninggalkan kedua lawannya dan kabur.
Keng Sim panas hatinya, hendak ia mengejar, akan tetapi kapan ia lihat si nona d
atang, ia batalkan niatannya.
"Kau baik, Nona Ie!" ia berkata pelahan.
Sin Tjoe mengangguk dengan tawar.
"Perlu apa kau pergi ke Inlam?" dia balik menanya.
Mendadak saja Keng Sim merasa tawar hati, di dalam hatinya ia kata: "Dari tempat
laksaan lie aku menyusul kau, mustahilkah kau tidak mengetahui rasa hatiku?" Te
ntu saja, di hadapan banyak orang itu, ia tidak berani membeber rahasia hati
nya itu.
Maka dengan menyeringai ia menyahuti: "Aku dengar Thio Tayhiap..."
Seng Lim melihat lagak orang, ia menyelak: "Memang, tentulah
saudara Tiat mencari Thio Tayhiap, maka kebetulan, sekarang dapat kita berjalan
bersama."
Campur bicara orang ini menolong Keng Sim, hanya seterusnya, ia tetap merasa hat
inya tidak tenteram, sebab si nona seperti tidak mempedulikan padanya, nona itu
sebaliknya bicara dengan pemuda she Yap itu, asyik agaknya.
Tamtay Biat Beng bekerja terus. Dengan gampang ia membubarkan orang-orang Kok ke
etjhoeng hingga ia berhasil melepaskan Bhok Yan dan Bhok Lin dari kurungan.
Biat Beng datang dengan tugas mencari
itu anak-anaknya Bhok Kokkong, sebab Thio Tan Hong menduga pasti murid-muridnya
itu tentulah menyingkir ke Tali. Ia sendiri, setelah mengusir Tjong Hay semua, s
udah mendahului berangkat pulang. Di sepanjang jalan Biat Beng mendengar-dengar
kabar, sampai kebetulan sekali di Anggaypo dia bertemu sama Tjiauwya Saytjoe ma.
Kuda ini mengenali baik
pahlawan itu, keetjiang dari majikannya, maka juga ia sudah lantas lari mengh
ampiri, karena mana Biat Beng bisa sampai dengan cepat di gelanggang
pertempuran.
Kok Tiong Ho melihat gelagat jelek, dia lari masuk ke dalam rumahnya. Di depan r
umah dia membuat semacam bentengan, untuk melindungi diri.
Biat Beng menanyakan Bhok Lin tentang orang she Kok itu.
"Aku kenal orang ini, satu jago di Inlam Barat," berkata Biat Beng kemudian samb
il tertawa, "Dia hendak membeli kudamu dengan seratus tahil emas, tidak apa, mes
ki dengan perbuatannya itu
ternyata dia punya mata tetapi seperti buta. Dia belum melakukan kejahatan, baik
lah kita memberi ampun padanya!"
Karena ini, selamatlah orang she Kok itu.
Sin Tjoe girang sekali mendapat pulang kudanya.
"Marilah kita pergi, lekas!" katanya. Ingin ia segera mendaki gunung Tjhong San
untuk menjenguk kakek
gurunya serta gurunya sendiri.
Bhok Lin dan Bhok Yan lega hatinya,
keduanya menghampirkan Sin Tjoe dan Keng Sim. Hal ini ada baiknya bagi Sin Tjoe,
yang bisa meloloskan diri dari Keng Sim.
"Siauwkongtia, terima kasih!" katanya kepada putera hertog dari Koenbeng itu.
"Kau yang datang menolongi aku, akulah yang mesti menghaturkan terima kasih pada
mu!" berkata anak pangeran itu. "Buat apa terima kasihmu itu?"
Kelihatan nyata kepolosannya anak ini, yang masih mirip kekanak-kanakan.
"Kau toh telah membikin patung untuk ayahku!" berkata Sin Tjoe, girang berbareng
terharu. "Bagaimana bisa aku tidak bersyukur kepadamu?"
"Ayahmu jujur dan setia, dia berkurban untuk negara, dia dikagumi seluruh
negara," berkata Bhok Lin. "Sebenarnya
dengan membangun kuil saja aku masih belum dapat menunjuki
hormatku terhadapnya. Nona Ie, perkataanmu ini membikin aku malu saja..."
"Biar bagaimana, kau telah menunjuki nyalimu yang besar!" kata Sin Tjoe tertawa.
"Aku ketahui apa yang terjadi di antara kau dan ayahmu."
"Di dalam ini hal, aku menurut kepada
kakakku saja," Bhok Lin mengaku. "Sebenarnya aku kuatir juga tetapi kakak mengan
jurkan aku. Tanpa kakak, aku pun tidak berani buron. Ah, kau tidak tahu, kakakku
paling pandai bekerja! Dia dapat membujuki ayah,
katanya tidak bakal terjadi sesuatu, sampai ayah percaya padanya. Biasanya kakak
lah yang
mengatur segala apa, nyalinya besar sekali, cuma ia pun biasa bekerja di belakan
g, akulah yang selalu dimajukan di depan!..."
Bocah ini mau bicara dengan lagak tua bangka tetapi achirnya, ia balik kepada as
alnya, sebagai bocah!
Sin Tjoe bersenyum.
Bhok Yan pun bersenyum, ia membiarkan adiknya itu bicara.
"Ketika itu hari entjie menyuruh Kim Go memanggil aku, sayang sudah terlambat,"
kata Sin Tjoe kemudian.
"Hari itu aku bertindak lancang sekali, harap entjie tidak buat kecil hati," ber
kata Bhok Yan. "Siapa nyana achirnya terbit onar. Syukur sekarang kita dapat ber
temu juga."
Nona ini bicara dengan Nona Ie tetapi matanya melirik Keng Sim.
"Inilah Tiat Kongtjoe , puteranya Giesoe Tiat Hong," Sin Tjoe memperkenalkan.
Mendengar itu, Keng Sim mengerutkan keningnya.
"Oh, tentulah Tiat Giesoe yang dulu telah mendakwa si pengchia-nat Ong Tjin!" ka
ta Nona Bhok kagum. "Ayah pun pernah menyebut-rjebut nama Tiat Giesoel"
Senang Keng Sim si nona memuji ayahnya.
"Tiat Kongtjoe dan Ie Siotjia, terima kasih yang kamu telah menolongi kami," kat
a pula Bhok Van. "Dan kau sampai terluka, kongtjoe..." Mendadak ia pun ingat Sen
g Lim, maka segera ia menambahkan: "Masih ada ini kakak. Kakak, terimalah hormat
dan terima kasihku!" Ia memberi hormat kepada pemuda she Yap itu.
Seng Lim mengangguk, terus ia dekati Tamtay Biat Beng dengan siapa ia bicara.
Mendengar kata-katanya Bhok Yan, yang berterima kasih atas pertolongannya, Keng
Sim berkata di dalam hatinya: "Sebenarnya aku tidak tahu kamu ditahan di dalam r
umah ini, maka apakah artinya ucapan terima kasihmu?" Tapi orang mengingat budin
ya, ia girang. Ia kata: "Jangan mengucap terima kasih. Tidak berarti luka kecil
ini."
"Kau bilang tidak berarti!" kata si nona, "Kau lihat, lukamu mengeluarkan darah!
"
"Aku ada punya obat luka, setelah aku pakaikan, tentu baik," katanya. "Sebenarny
a, luka ini tidak berarti, Bhok Siotjia. Kau tidak tahu, selama pertempuran di T
aytjioe melawan
perompak asing, setiap hari aku membikin darah mengalir. Itulah baharu hebat! Ba
hkan pada suatu hari, ketika aku menempur musuh dan tujuh dan delapan, lenganku
hampir
dibacok kutung mereka itu. Syukur aku keburu kelit dan achirnya menang juga."
Agaknya Bhok Yan kagum bukan main.
"Begitu?" katanya. "Ah, kongtjoe benar muda dan gagah! Eh ya, apa itu yang dinam
akan dan tujuh dan delapan? Jangan, jangan bergerak, nanti aku balut lukamu!..."
Sembari berkata si nona mengeluarkan sapu tangan suteranya, ia lantas ikat lukan
ya pemuda itu.
Senang Keng Sim mendapat perlakuan ini. Bukankah Sin Tjoe bersikap tawar ter
ha-
dapnya? Katanya dalam hatinya, "Hm, kau tidak pedulikan aku, ada lain orang yang
memperhatikannya! Dia malah seorang nona agung! Dia tidak bertingkah seperti ka
u!"
Sebenarnya ia ingin menolak pertolongan Nona Bhok tetapi achirnya ia membiarkan
saja. Inilah karena ia ingin "mengasi rasa" pada Sin Tjoe. Bahkan setiap kata si
nona agung ia jawab dengan sepuluh kata, ialah dengan menutur lebih jauh periha
l pertempurannya dengan perompak, sebagai juga ialah satu pendekar.
Di luar dugaannya pemuda ini, Sin Tjoe tidak menjadi kurang senang. Malah nona i
tu lantas membayangi lagi Yap Tjong Lioe. Tjong Lioe paling besar jasanya tetapi
dia tidak membanggakan diri.
Kemudian ia pun menoleh kepada Seng Lim, si pemuda polos, yang nampak tolol sepe
rti anak dusun. Seng Lim pernah melakukan banyak
usaha besar, tidak sedikit dia membantu pamannya, dia pun tidak temberang, sedik
it omongnya. Maka
sekarang ia mengarti semakin jelas. Pikirnya: "Ah, yang satu bunga mawar dari ta
man di Kanglam, yang lain pohon taytjeng dari tanah datar tinggi di Inlam dan Ko
eitjioe. Bunga mawar mempertontonkan diri pada orang-orang besar, pohon taytjeng
berdiam saja meneduhkan
orang-orang perjalanan."
Jadi itulah dua sifat yang berlainan satu dari lain.
Dapat membedakan itu, ia mual dan berduka. Toh ia masih
kadang-kadang melirik pada Keng Sim, orang yang pertama kali seperti menarik hat
inya, hanya setiap pemuda itu berpaling kepadanya, ia melengos dengan cepat.
"Entjie, kau pikirkan apa?" menegur Bhok Lin, yang heran untuk sikap orang tak w
ajar.
"Tidak apa-apa," sahut Nona Ie sabar, "Aku lagi memikirkan ingin lekas tiba di T
ali untuk menemui guruku."
"Benar," kaa bocah agung itu. "Aku pun ingin lekas-lekas menemuinya!"
Tamtay Biat Beng tertawa.
"Kalau begitu, marilah lekas kita berangkat!" mengajaknya.
Sin Tjoe lantas serahkan kudanya pada Bhok Yan dan Bhok Lin untuk mereka itu yan
g menaiki bersama. Bhok Yan menampik dan
mengatakan, Keng Sim terluka, baik pemuda itu yang menunggang kuda itu. Akan tet
api kesudahannya, Keng Sim naik atas kuda dari Iran, Bhok Yan naik atas Tjiauwya
Saytjoe ma, dan Bhok Lin berjalan kaki menemani si Nona Ie.
Jarak Anggaypo dan Tali tidak ada tiga ratus lie, kalau Tjiauwya Saytjoe ma dibi
arkan lari, tanpa setengah harian, orang akan sudah tiba di sana, tetapi sekaran
g ada yang berjalan kaki, terutama Bhok Kongtjoe tidak biasa, perjalanan mesti m
elewati sang malam. Begitulah mereka singgah di tengah jalan.
Malam itu Sin Tjoe tidak dapat tidur pulas meski sebenarnya ia merasa letih beka
s jalan dan bertempur. Ia gulak-gulik saja, di
depan matanya berbayang Keng Sim dan Seng Lim. Ia sekarang telah bertambah penga
lamannya, ia bukan lagi nona umur tujuh belas tahun yang kebanyakan. Setempo pun
muncul bayangan Bhok Lin, tetapi dia ini masih terlalu muda. seimbang dengan Si
auw
Houwtjoe, maka di achirnya si nona bersenyum sendirinya.
Besoknya perjalanan dilanjuti sejak pagi-pagi. Mereka berada di jalan pegunungan
. Lalu lewat tengah hari mereka tiba di sebuah lembah. Di lain saat mereka sudah
berada di kaki sebuah puncak. Di timur itu ada telaga yang airnya berkaca pada
matahari.
"Di bawah sana Heekwan, lantas Tali," Tamtay Biat Beng memberitahu sambil menunj
uki. "Kamu lihat,
itulah bukit Tjhong San serta laut Djiehay. Sin Tjoe, sebentar sore kau bakal be
rtemu gurumu."
Karena ini, orang percepat tindakan kaki mereka, hingga lekas juga mereka tiba d
i Heekwan, yang duduknya di selatan Tjhong San dan Djiehay, seperti menyender pa
da Sia Yang Hong, punyak terachir dari sembilan belas puncak gunung Tjhong San i
tu.
Tamtay Biat Beng menjelaskan empat
keistimewaan dari wilayah situ, yaitu siuran angin dari Heekwan, bunga dari Sian
gkwan, salju dari Tjhong San dan rembulan dari Djiehay, semua pemandangan alam y
ang indah. Katanya angin dari Heekwan aneh sekali, angin itu bisa menyambar atas
an
rumah dan mementang jendela tetapi tak akan
masuk ke dalam rumah.
"Ah, lebih baik kita jalan lekasan!" kata Sin Tjoe, yang tidak tertarik hatinya.
Ketika itu di bulan ke sembilan, musim rontok, di waktu tengah hari, hawa udara
terik seperti di musim panas. Di jalan besar ada terdengar orang menjual salju.
Bhok Yan tertawa menjebi, katanya pada Keng Sim: "Bagaimana keadaan di sini diba
nding sama di Kanglam?"
"Masing-masing ada kebagusannya," sahut si anak muda. "Aku sudah biasa dengan Ka
nglam, aku senang dengan keadaan di sini."
"Pernah aku membaca syair Menjual Salju karangannya seorang paderi dari Tali," b
erkata Bhok Yan. "Bunyinya syair itu, 'Di dafam kota Sepasang Naga ratusan
bunga
harum, Laut Perak merangkul langit, di musim enam di jalan besar berteriakan
menjual salju, orang yang berlalu lintas menyangka yang dijual itu ialah madu.'
Di
bawah syair itu ada keterangan bahwa di gunung Tjhong San di Tali ini, sampai di
bulan enam, salju masih belum lumer, orang menjualnya di pasar, seperti di Gouw
hee orang menjual es. Nah, bagaimana bedanya orang jual es itu dengan di sini or
ang menjual salju?"
"Di Souwtjioe dan Hangtjioe orang tak sepolos seperti di sini, sahut Keng Sim.
Dengan Gouwhee, tanah Gouw, dimaksudkan dua kota Hangtjioe dan Souwtjioe itu.
Bhok Yan seperti dapat menyelami hati Keng Sim, di sepanjang jalan itu terus ia
pasang
omong dengan itu anak muda, bicara hal ilmu surat dan syair. Keng Sim pun senang
melayaninya, sebab orang pandai bicara, luas pengetahuannya, bicaranya manis, m
eskipun sebenarnya orang
belum dapat menggantikan Sin Tjoe...
Selewatnya Heekwan orang mendapatkan tidak ada angin, maka terlihatlah pemandang
an indah dari laut Djiehay. Sebenarnya inilah bukan laut, hanya telaga. Inilah d
isebabkan di mata orang Inlam, telaga besar ialah laut, dan Djiehay ada sebuah t
elaga besar di daratan. Di tepian ada tumbuh banyak pohon yanglioe, yang menamba
h
keindahan. Burung-burung pun beterbangan. Pemandangan di situ mirip dengan gamba
r lukisan.
"Nona ie, tidakkah pemandangan si sini indah sekali?" tanya Bhok Lin tertawa. "A
ku pikir, kalau kita pilih suatu malam terang bulan dan kita main perahu di tela
ga Djiehay ini, pasti sangat menarik hati!"
"Memang!" Keng Sim mendahului menjawab. "Berdiam di sini, aku seperti tidak ingi
n pulang lagi..."
Sampai sebegitu jauh Seng Lim berdiam saja, tetapi sekarang tiba-tiba saja ia me
rasa sifat Sin Tjoe sama dengan sifatnya. Ia menggemari keindahan gelombang sesu
dah badai. Ia pikir: "Angin tenang ombak diam, meski itu indah, itulah biasa saj
a. Keadaan itu tepat untuk orang-orang sebagai Keng Sim dan Nona Bhok Yan..."
Sin Tjoe ada puterinya seorang menteri,
dia agung tak kalah dengan Bhok Yan, entah bagaimana, Seng Lim tapinya merasa No
na Ie itu adalah orang segolong dengannya, beda dari Nona Bhok itu. Toh berkenal
an mereka berdua belum lama dan belum erat.
Dari Heekwan sampai di Tali, tempo perjalanan yang diminta tak usah sampai satu
jam, akan tetapi Tamtay Biat Beng membawa orang tak langsung, dia mengajak ke Hi
etjioe tin dan melintasi "laut" Djiehay itu, maka berenam, berikut kuda mereka,
mereka mesti
menyewah dua buah perahu nelayan untuk menyeberangi telaga besar itu. Biat Beng
bersama Sin Tjoe dan Seng Lim, dan Bhok Yan serta adiknya bersama Keng Sim. Bhok
Lin ingin
turut perahunya Sin Tjoe akan tetapi Biat Beng sudah mendahului menarik tanganny
a
Seng Lim, ia jadi malu untuk memaksa.
Sumbernya Djiehay adalah gunung Tjhong San di mana air adalah salju yang lumer,
lalu mengalir turun, berkumpul di telaga itu. Di situ ada banyak nelayan dan ban
yak burung terbang berseliweran, untuk saban-saban menyerbu air akan menangkap i
kan yang menjadi barang makanannya. Menyaksikan itu, Keng Sim menjadi gembira, s
embari
tertawa ia kata, itulah suasana seperti di Kanglam.
Bhok Yan pun bergembira hingga ia bersenandung.
"Sungguh mereka bergembira sekali," kata Seng Lim tertawa.
Pikiran Sin Tjoe se-
dang ruwet tetapi ia melirik kepada orang she Yap itu dan bersenyum, kemudian ia
pun mengawasi ke permukaan air.
Sebentar kemudian telaga telah di seberangi dan orang tiba di kaki bukit Tjhong
San. Terlihat puncak gunung penuh dengan salju, di mana pun ada nampak cahaya ke
hijau-hijauan.
"Pantas Tjhong San dinamakan juga
Tiamtjhong San, nama ini cocok dengan bukitnya," berkata Sin Tjoe. Di atasan pun
cakpun nampak
mega putih, yang bagaikan sehelai sabuk kumala mengitari
sembilan belas puncak.
"Orang bilang pemandangan alam di sini sangat indah tetapi aku tidak gembira unt
uk mengicipinya, aku ingin lekas-lekas pulang!" berkata Tamtay Biat
Beng yang terus saja melepaskan panah
nyaring, yang berbunyi mengaung di tengah udara.
Menyusul pertandaan panah itu, sebentar kemudian terlihat beberapa orang berlari
-lari turun. Mereka itu segera dikenali adalah Hek Pek Moko bersama Siauw Houwtj
oe si bocah bengal dan Jenaka, malah bocah ini lari mendahului dua orang India i
tu, larinya sambil berjingkrakan, untuk paling dulu menghampirkan Sin Tjoe.
"Ha, setan cilik!" Nona Ie berseru, sambil tertawa. "Hari itu kau membikin aku m
ati memikirkan kau! Siapa tahu kau telah tiba lebih dulu di sini...!"
Bocah itu tertawa. Kapan ia melihat Bhok Lin, ia membentur dengan sikutnya.
"Eh, jangan kurang ajari" Sin Tjoe mencegah. "Inilah Bhok Siauwko
ngtia1."
"Aku pun tahu!" Siauw Houwtjoe tertawa seraya terus ia menyambar tangan orang un
tuk ditarik. Ia kata: "Hai bocah, kenapa itu hari kau tidak menjelaskannya bahwa
kaulah calon murid guruku, kalau tidak, pastilah aku sudah mengijinkan kamu men
unggang kuda putih itu? Eh, eh, kenapa kau diam saja? Apakah kau merasa sakit be
kas kesikut olehku? Sudah, jangan marah, mari aku ajak kau pergi mencari ikan!"
Senang Bhok Lin dengan perlakuannya Siauw Houwtjoe. Di dalam gedungnya ia tidak
kurang suatu apa, tetapi di sana cuma menghormat atau
mengangkat-angkat ia,
atau cuma kakaknya, Bhok Yan, yang dapat bergurau padanya
tetapi di sini, ia mendapatkan satu sahabat yang sangat bergembira ini. Sebenarn
ya ia merasa berat untuk meninggalkan Sin Tjoe tetapi toh ia turut juga pergi, a
kan bermain-main dengan memetik bunga dan menangkap ikan.
Sin Tjoe semua memberi hormat kepada Hek Pek Moko, yang ternyata sudah tiba lebi
h dulu tujuh atau delapan hari. Mereka itu berdiam sama Thio Tan Hong. Sedang To
an Teng Tjhong bersama isterinya, puteri Iran, tinggal di istana Toan Ongya. Ket
ika itu Siauw Houwtjoe sudah diterima Tan Hong sebagai murid yang kedua.
Setelah Biat Beng menitipkan kuda mereka di rumah seorang suku
Ie, lantas bersama-sama mereka mendaki gunung mengikut Hek Pek Moko yang jalan d
i depan.
Sembilan belas puncak gunung Tjhong San serta delapan belas aliran solokannya ad
alah pemandangan alam paling kesohor untuk Tali, semua air solokan gunung itu tu
run ke Djiehay, airnya jernih dan indah dipandangnya, lebih-lebih di waktu sinar
matahari memenuhi permukaan air, dasarnya sampai terlihat nyata di mana nampak
batu-batu
bagaikan mutiara. Di gunung Tjhong San ini, salju tak habisnya seluruh tahun, ta
k lumer semuanya. Maka hawa udara di sini mirip dengan hawa udara di Kanglam. Ma
ka juga pohon-pohon rumput yang hijau dan pohon bunga yang indah, hidup
terus tahun ketemu tahun.
Saking gembira, Keng Sim bersenandung:
"Kalau dapat bunga indah sebagai kawan untuk selama-lamanya, tubuh ini biarlah m
enjadi tua di Tjhong San..."
Bhok Yan tertawa gembira. Ia menduga, dengan "bunga indah" itu tentulah si pemud
a maksudkan dia. Hanya ketika ia menoleh kepada Sin Tjoe, hatinya terkesiap.
Nona itu nampaknya masgul, sepasang
alisnya mengkerut,
matanya mendelong ke satu arah.
Di atas gunung itu ada beberapa buah rumah batu, romannya kuno tetapi cocok deng
an hati.
"Kakek guru bersama kedua lootjianpwee
Siangkoan Thian Ya dan Siauw Lootoanio tinggal di itu rumah di belakang gunung,"
Tamtay Biat Beng memberitahu
kepada Sin Tjoe. "Sekarang kita pergi dulu ke itu rumah di sebelah depan untuk m
enemui gurumu."
Mereka berbicara sambil berjalan terus.
"Itulah sepantasnya," berkata Sin Tjoe, malah dia mendahului menolak daun pintu.
Tiba di dalam, terlihat In Tiong suami isteri tengah menantikan, Tan Hong tidak
nampak.
"Gurumu lagi pergi ke istana, ada urusan," In Tiong memberi keterangan. "Selama
beberapa hari ini keadaan tegang, katanya Bhok Kokkong di Koenbeng sudah mengger
aki pasukan perangnya."
Mendengar itu hati Bhok Yan dan Bhok Lin
tak tenang.
Sin Tjoe mengangguk, ketika ia hendak menanyakan soebo-nya, ialah ibu gurunya, m
endadak kupingnya mendengar suara bayi menangis, apabila ia menoleh dengan seger
a, ia lihat ibu gurunya itu, In Loei, mendatangi dengan tangannya mengempo satu
anak. Baharu kira setengah tahun soebo itu melahirkan anak.
Segera Sin Tjoe menghampirkan, untuk memberi hormat sekalian memberi selamat.
In Loei tarik tangan muridnya itu, ia mengusap-usap rambutnya yang bagus.
"Sin Tjoe, selama satu tahun ini aku telah mensia-siakan kau," katanya manis. "S
ebenarnya tidak tenang hatiku membiarkan kau merantau seorang diri. Syukurlah se
karang kau
telah kembali dengan tidak kurang suatu apa. Ah, kau sekarang telah menjadi ting
gi seperti aku...!"
Sin Tjoe terharu berbareng gembira. Sejenak itu ia ingat pengalamannya selama ia
mengembara. Ia duduk berendeng sama ibu guru itu. Ia ingin bicara banyak tetapi
tak tahu ia bagaimana harus mulai. Maka ia memain saja sama si bayi yang manis,
ia mengemponya, tak ingin ia melepaskannya...
Sementara itu ada terdengar suaranya panah, yang datangnya dari kaki gunung.
"Nanti aku lihat, siapa yang datang," berkata Tamtay Biat Beng, yang terus mengu
ndurkan diri. Atau di lain saat terdengar suara orang tertawa.
"Soehoe pulang!" seru Sin Tjoe. Ia lompat
bangun, unuk membukai pintu. Maka segera ia mendapatkan gurunya datang bersama O
uw Bong Hoe suami isteri. Lekas-lekas ia memberi hormat.
"Bagus kamu semua telah tiba!" kata Tan Hong tertawa. "Inilah tepat waktunya! Ke
tika Toan Ongya mendengar sampainya kamu, dia gembira sekali. Besok kamu diundan
g pergi ke istananya!"
Semua orang segera memberi hormat pada tayhiap itu.
Mengetahui Seng Lim adalah keponakannya Tjong Lioe, sembari tertawa Tan Hong ber
kata: "Rupanya saudara Yap datang atas titahnya Yap Toako."
"Benar," sahut Seng Lim dengan hormat. "Ada urusan yang menyulit
kan untuk mana pamanku hendak
memohon petunjuk dari
tayhiap."
"Apakah itu?" tanya Tan Hong. "Silahkan bicara."
Seng Lim menuturkan pesannya Tjong Lioe.
Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawa dan berkata kepada Keng Sim: "A
ku bersahabat erat dengan gurumu. Adakah dia baik?"
"Baik..." sahut si pemuda ringkas, mukanya bersemu merah.
Habis itu baharulah Tan Hong berkata pula: "Mengenai keadaan tentera di Kanglam
aku kurang jelas. Kamu berdua datang dari sana, bagaimana pandangan kamu?"
"Aku kuatirkan kegagalannya..." menyahut Keng Sim.
"Kenapa?" Tan Hong menanya.
"Untuk menggeraki tentara, tiga pokok yang paling penting,"
Keng Sim menjawab. "Itulah temponya,
keletakan tempat dan orangnya..." "Benar."
"Sekarang ini belum saatnya untuk menggeraki tentera," menjelaskan Keng Sim. "Se
karang ini negara lagi ngalami banyak kesulitan. Peperangan di Tobokpo menyebabk
an semangat kita mendapati gempuran hebat. Baharu saja beberapa tahun kita beris
tirahat, aku kuatir hati rakyat masih kacau. Pula semenjak dulu kala, gerakan ha
rus di mulai dari Barat daya, jarang yang mulai dari pesisir laut. Dan bukannya
aku memandang kecil, orang semacam Pit Kheng Thian itu, dia bukanlah orang yang
dapat membangun negara. Itulah sebabnya mengapa aku bilang semua-
nya tiga pokok tidak tepat."
Lancar bicaranya Keng Sim ini. Di matanya Sin Tjoe, pembicaraan itu tepat dan ti
dak tepat. Meski demikian, si nona tidak membilang suatu apa.
Tan Hong bersenyum.
"Dan kau, bagaimana pandanganmu?" ia
menanya Seng Lim.
"Untukku, kalah atau menang, tidak berani aku membilang suatu apa," sahut pemuda
she Yap itu. "Untukku, soal adalah kita harus bekerja atau tidak, soal menang a
tau kalah adalah urusan yang nomor dua."
Keng Sim tertawa tawar.
"Kalau bakal gagal, untuk apa kita bergerak? Cuma-cuma mencelakai diri sendiri"
katanya.
Mendengar ini, Tan Hong kata dalam
hatinya: "Apabila semua orang sependapat
denganmu, segala apa mesti sudah ada kepastiannya, pasti dulu hari itu leluhurku
dan Tjoe Goan Tjiang boleh tidak usah bergerak menentang bangsa Mongolia!" Tapi
ia tidak mengutarakan itu. Ia kata pula pada Seng Lim: "Coba kau omong lebih ja
uh."
Seng Lim berpikir sejenak, baharu ia berkata pula: "Sekarang ini bangsa Watzu te
ngah membangun dan perompak asing berdiam untuk sementara waktu saja, ancaman da
ri pihak mereka tetap ada, di balik itu pemerintah Beng tidak berani menentang
musuh luar, sebaliknya, dia menggeraki tentera di dalam negeri, sikapnya itu mem
bikin lenyap pengharapan rakyat. Menurut aku,
rakyat bukannya me-nguatirkan kekacauan, mereka menguatirkan justeru keselamatan
negara. Bicara tentang tempat, dulu hari juga Thaytjouw bergerak dari Kanglam m
engusir bangsa Tartar, dia tidak mengukuhi dari Barat daya untuk
mempersatukan negara. Perihal si pemimpin, asal bendera dikerek naik, rakyat ten
tu dapat memilihnya sendiri."
"Tidak, tidak demikian!" kata Keng Sim, mukanya merah. Ia terus membantah dengan
menyebut-nyebut kitab.
Tan Hong berdiam, ia mendengari orang
berdebat.
Biat Beng habis sabar. Katanya: "Urusan negara, yang demikian besar, tidakkah ba
ik dibicarakan nanti saja? Aku libat yang paling penting sekarang ialah
bagaimana kita harus melayani rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung kita!"
Sin Tjoe heran hingga ia melengak.
"Rombongan iblis yang hendak menyerbu gunung?" dia menanya. "Apakah artinya itu?
"
"Tentang itu, paman Ouw kamu ada membawa berita," berkata Tan Hong.
"Ya," berkata Ouw Bong Hoe. "Aku telah pergi ke Kanglam mencari Tjio Keng To. Ak
u telah mencari ke mana-mana, tak
berhasil aku. Ia sudah pulang tetapi segera ia lenyap. Karena itu aku kembali se
kalian
mencari Yang Tjong Hay. Aku dengar kabar dia sudah berhasil membujuk gurunya
turun gunung, malah mereka sudah berhasil juga meminta bantuannya sejumlah iblis
yang
sejak sekian lama hidup menyendiri. Mereka itu hendak datang mengacau ke mari de
ngan menggunai alasan
memberi selamat hari ulangnya Hian Kie Tjianpwee."
"Sebenarnya kawanan iblis apa itu?" Biat Beng bertanya.
"Sebegitu jauh yang aku dengar," menjawab Ouw Bong Hoe, "ada Kioepoanpo Kongsoen
Boe Houw dari Aylao San, ada Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe hay di Koenloen S
an, dan ada lagi Touw Liong Tjoentjia dari pulau Benghee To di Tanghay serta Lio
k Yang Tjinkoen dari Tjeksek San di propinsi Kamsiok. Kalau guru-guru kita turun
tangan, mereka itu dapat dilayani, kalau tidak, sungguh mereka tidak dapat dipa
ndang ringan."
Thio Tan Hong ter-
tawa. Ia berkata: "Sekarang ini ketiga lootjianpwee kita
justeru tengah bersa-medhi untuk melatih dirinya, sampai nanti hari ulangnya kak
ek guruku yang masuk usia delapan puluh tahun baharulah cukup
samedhinya itu."
Ouw Bong Hoe heran.
"Ilmu apakah itu yang mereka yakinkan?" ia tanya.
"Ilmu itu tidak ada batasnya," kata Tan Hong, "Mereka tengah memahamkan kepandai
an masing-masing untuk nanti dipersatukan. Kapankah datangnya Tjie Hee Toodjin s
erta rombongan iblisnya itu?"
"Karena mereka menyebut hari ulang tahun, mestinya mereka bakal datang di harian
yang tepat," menyahut Ouw Bong Hoe.
"Bagus!" berseru
Siauw Houwtjoe, yang
menyelak. "Hari itu kita bakal melihat Thay-soetjouw mempertontonkan kepandaiann
ya mengusir rombongan iblis itu! Sungguh rejeki mata kita bagus sekali!"
Sin Tjoe tertawa, tetapi dia berkata: 11 Thaysoetjouw ialah tetua paling terhorm
at kaum Rimba Persilatan, tidak nanti dia sembarang turun tangan!"
Tan Hong tidak ambil mumat anak-anak itu. Ia kata: "Toasoepeh Tang Gak berada ja
uh di perbatasan Tibet, aku kuatir dia tidak dapat datang untuk memberi selamat.
Djiesoepeh Tiauw I m berada di Ganboenkwan tengah mengunjungi Kimtoo Tjeetjoe,
aku kuatir dia pun tidak nanti keburu pulang. Melainkan guruku suami isteri yang
pasti bakal datang dari Siauwhan San. Dengan adanya
kedua guruku, dengan gabungan pedang
mereka, aku percaya cukuplah sudah untuk melayani semua musuh itu."
Siauw Houwtjoe gembira sekali. Ia tidak kenal bahaya, ia cuma tahu menonton. Dem
i-kianpun itu beberapa pemuda segerombolan-nya.
***
Tan Hong tertawa.
"Kamu habis jalan jauh, tentu kamu letih, sekarang pergilah kamu beristirahat,"
ia berkata. "Besok pagi-pagi kita mesti pergi menghadap ongya.'1
Semua orang menurut, mereka mengundurkan diri untuk beristirahat. Keng Sim melir
ik Seng Lim, agaknya ia belum puas. Ia pun merasa tidak enak mendapatkan sikap
tawar dari Sin Tjoe, yang agaknya tidak mempedulikan perdebatan mere
ka.
Benar seperti dijanjikan, besoknya pagi-pagi Tan Hong mengajak lima anak-anak it
u Bhok Yan dan Bhok Lin, Keng Sim, Sin Tjoe dan Seng Lim pergi ke istana Toan On
gya yang berada di luar kota Tali dekat dengan Tjoakoet Ta, menara Tulang Ular.
Di sepanjang jalan di situ ada tempat-tempat dengan pemandangan alam yang indah,
umpama di Ouwtiap Tjoan, Sumber Kupu-kupu, di tepi itu ada sebuah pohon tua dan
besar yang daunnya yang lebat meroyot turun ke air yang jernih.
"Sayang sekarang sudah musim rontok," kata Tan Hong tertawa, "sekarang sudah tid
ak ada kupu-kupunya. Coba
kamu datang di musin semi atau musim panas, pasti kamu akan tampak banyak sekali
binatang itu terbang berseliweran di sini, berkumpul di atas pohon besar ini. A
papula pada tanggal tujuh belas bulan empat, kupu-kupu itu pada mencelok bergela
ntungan di cabang-cabang pohon, sambung menyambung sampai di permukaan air. Itul
ah pemandangan yang indah dan langka."
Semua orang kagum, tetapi Bhok Yan kemudian menghela napas, ia berkata: "Hanya d
ikuatir penghidupan manusia tak kekal. Sampai nanti musim semi lain tahun, entah
kita bakal berpisahan ke mana..." Sembari berkata begitu, ia melirik Keng Sim.
Pemuda itu terkesiap hatinya, ia lantas tunduk, agaknya ia seperti
tak mengarti perkataannya nona itu.
Jalan lebih jauh, mereka tiba di Samtah Sie, kuil Tiga Menara yang katanya diban
gun oleh Jenderal Oettie Keng Tek, di jaman kerajaan Tong. Yang aneh dari menara
ini ialah setiap saatnya matahari doyong ke barat, bayangan menara muncul di se
buah kobakan air lima belas lie dari situ, berbayang menjadi tiga buah menara.
Habis menara ini, tibalah mereka di Tjoakoet Tah, yang pun ada dongengnya, katan
ya: Lama, lama sekali, di Djiehay itu ada seekor ular besar, yang suka menimbulk
an angin menerbitkan gelombang hingga sawah-sawah kelam terendam, hingga manusia
dan binatang bercelaka
karenanya. Kemudian
datang seorang gagah bernama Toan Tjie Seng, dengan membawa delapan buah golok,
dia terjun ke dalam telaga Djiehay itu, sengaja dia mengasi dirinya ditelan ular
itu, sesampainya di dalam perut baharulah dia menikam kalang
kabutan hingga ular itu binasa. Sayangnya, dia tidak dapat bernapas, dia pun tur
ut mati di dalam perut ular itu. Untuk memperingati budi dan jasanya Tjie Seng i
tu, ular itu dibakar habis dan menara itu dibangun. Katanya Tjie Seng ini ialah
leluhurnya
keluarga Toan, sebab penduduk menghargainya, turunannya dijunjung sebagai raja t
urun temurun. Bahwa istana Toan Ongya di-berdirikan di samping Tjoakoet Tah, pun
katanya guna memperi-
ngati leluhur yang gagah dan berani berkurban itu. Sampai pada, jaman Beng, kelu
arga Toan diberi pangkat "Tiepeng tjiangsoe" tetapi rakyat setempat tetap
memanggil ongya.
Tiepeng tjiangsoe yang sekarang bernama Toan Teng Peng, dialah kakak sepupu dari
Toan Teng Tjhong, kapan mereka berdua mendengar datangnya Ie Sin Tjoe, mereka m
enyambut dengan manis dan menjamunya di dalam taman. Puteri Iran turut hadir ber
sama. Banyak yang mereka bicarakan.
Toan Teng Peng pun melayani Bhok Yan dan Bhok Lin dengan sempurna. Bhok Lin menj
adi malu hati, maka ia beritahukan yang ayahnya bakal menyerang ke Tali.
Mendengar itu sam-
bil tertawa Sin Tjoe berkata: "Siauwkongtia, Toan Ongya baik sekali terhadap kam
u, bagaimana ayahmu masih hendak menggeraki
angkatan perangnya untuk datang menyerang?"
Merah mukanya Bhok Kongtjoe.
"Aku akan mencoba membujuk ayah, guna mencegah ia membawa tenteranya memasuki ko
ta ini," katanya. Ia berkata demikian,
hatinya sebenarnya bingung.
Toan Teng Peng dan Tan Hong tertawa sambil saling mengawasi.
"Terima kasih, siauwkongtia." kata mereka.
Di saat pesta hendak ditutup, satu nona datang dengan paras bersenyum-senyum.
"Anak Tjoe mari!" Toan Teng Peng memanggil seraya
menggapai. "Mari mene-
mui tetamu-tetamu kita!"
Itulah puterinya Teng Peng yang bernama Tjoe Djie, usianya baru enam belas, seim
bang sama usianya Bhok Lin. Dia cerdas dan manis budi, siapa pun senang bergaul
dengannya.
Bhok Yan menarik tangan orang.
"Sungguh seorang nona yang cantik manis!" dia memuji.
"Entjie-\ah yang
seperti bidadari!" Tjoe Djie balik memuji. "Katanya Bhok Kongtia hendak mengirim
tentera menyerang kita, kalau nanti negara kita musna dan rumah tangga kita lud
as, mungkin aku ditawan dan dijadikan budak, sampai pada itu waktu, pasti entjie
tidak akan sukai aku..."
"Jangan mengucap begini, adikku," berkata Bhok Yan. "Ayahku tidak
hendak memusuhi, itu adalah urusan negara."
Teng Peng lantas menyelak sama tengah: "Sudah jangan bicarakan urusan itu! Jauh-
jauh Bhok Kongtjoe dan Bhok Siotjia datang ke mari, kita adalah orang sendiri. A
nak Tjoe, lebih baik kau menyanyi untuk
mereka."
Nona itu dengar kata, benar-benar ia lantas bernyanyi, antaranya ia menyebut-nye
but si tukang jual salju.
"Ya, kita mendengar tukang jual salju itu menjual saljunya!" Bhok Lin kata terta
wa.
"Memang, Tali dan Koenbeng tidak beda banyak," Tjoe Djie bilang. Ia tertawa mani
s sekali. Kemudian ia melanjuti nyanyinya, tentang keindahan alam di Tali, yang
rakyatnya bersedia untuk ber-
perang.
"Rakyat yang jempolan!" memuji Tan Hong.
Tapi hati Bhok Lin tawar. Ia menyayangi kalau tempat indah ini menjadi medan per
ang.
Habis berjamu, Teng Peng ajak semua tetamunya melihat-lihat istananya, istana in
dah yang usianya sudah beberapa ratus tahun. Di dalam taman pun ada pengempangny
a yang bagus, yang dikitari loneng batu putih serta diperlengkapi jembatan batu
marmer untuk orang menyeberanginya. Di situ pun ada paseban, ada ranggon, ada se
buah batu besar mirip singa.
Bhok Lin kagum, ia memuji.
"Kau baharu sampai di Tali, kau belum sempat melihat kelen-ting Kwan Im Am," kat
a Toan Tjoe Djie tertawa.
"Kelenting itu dibangun atas sebuah batu besar, itulah baharu kelenting besar! B
atu ini sangat kecil."
"Bukankah kelenting Kwan Im Am itu yang dinamakan juga kelenting Tay Tjio Am?" t
anya Bhok Yan.
"Benar! Oh, entjie pernah pergi ke sana?"
"Aku cuma pernah baca itu dalam catatan di Tian Lam Hong Boet Tjie," jawab Nona
Bhok. "Berhubung dengan itu katanya ada sebuah dongeng. Katanya dulu kala itu ad
a sekawanan berandal hendak menyerbu Tali, lantas Dewi Kwan Im muncul dengan men
yamar menjadi
seorang wanita tua, punggungnya menggen-dol itu batu besar. Melihat itu, kawanan
berandal heran dan kaget. Dewi kata pada mereka, 'Aku sudah tua, aku cuma bisa
menggen-
dol batu kecil ini, tetapi anak-anak muda di dalam kota, mereka biasa menggendon
g batu-batu yang jauh terlebih besar.' Kawanan berandal itu ketakutan, mereka
kabur, tidak berani mereka masuk ke dalam kota. Itulah dongeng yang dinamakan 'M
enggendong batu mengundurkan tentera.' Benarkah itu?"
Sengaja Nona Bhok menunjuki
pengatahuannya yang luas itu di depan Keng Sim.
Tjoe Djie mengangguk.
"Benar, entjie," katanya. "Luas
pengatahuanmu, aku kagum sekali. Habis itu, karena penduduk kota bersyukur, mere
ka
membangun kelenting dewi itu di atas itu batu besar."
Sin Tjoe ketahui hal-
nya dongeng itu tetapi ia berdiam saja.
Bhok Lin sebaliknya berpikir, entah dewi itu bisa atau tidak mencegah angkatan p
erang ayahnya itu...
Keng Sim diam-diam terus memperhatikan Sin Tjoe. Ia tahu hati orang adem.
"Pemandangan di sini indah, bukannya kamu mengicipinya
hanya kamu membicarakannya!" katanya.
"Bukankah itu sama saja?" Bhok Yan tertawa. "Rupanya
cuma kau yang paling pandai mengicipi pemandangan alam yang indah..."
Itu waktu mereka sudah menyeberangi jembatan.
Toan Teng Peng minta Tan Hong menulis sesuatu. Katanya, ia dengar tayhiap ini pu
n pandai ilmu surat.
"Biarlah anak-anak muda yang menulisnya!" Tan Hong tertawa. "Nah, siapa di antar
a kamu yang hendak menulis tanda
peringatan?"
Bhok Yan ingin menulis tetapi ia tidak segera mendapatkan bahannya. Maka ia meng
awasi Keng Sim.
"Aku tidak berani bertingkah di depan Thio Tayhiap1." kata pemuda she Tiat itu.
Ia tahu maksudnya si Nona Bhok.
"Tiat Kongtjoe turunan pandai, kau pasti dapat menulis bagus!" Tan Hong memuji.
"Ya, kau tulislah!" Bhok Yan mendesak.
Keng Sim puas sekali. Ia lantas minta pit dan kertas, terus ia menulis, memuji k
eindahan taman dan batu dalam dongeng itu, bahwa di malaman terang bulan,
ujung
jembatan bagaikan
sepasang bianglala.
Bhok Yan girang, ia memuji sambil bertepuk tangan.
Teng Peng pun girang. Pujian kepada batu itu ada pujian untuk keluarga Toan juga
. Karena ini, ia mengasi titah agar pujian itu diukir di alas batu, Tan Hong pun
memuji, tetapi ia tahu, syairnya Keng Sim itu kurang lengkap, kurang kekerasan
hati, seumpama kata ada kepala tidak ada ekornya...
Kemudian orang duduk beristirahat di bawah batu. Gembira Toan Teng Peng, ia meny
uruh pahlawan-pahlawannya mengadu gulat.
"Inilah permainan bagus!" tertawa Bhok Yan, yang gembira sekali. "Tiat Kongtjoe,
mengapa kau tidak hendak mencoba me-
ngambil bagian?"
"Oh, kiranya Tiat Kongtjoe mengarti ilmu surat dan ilmu silat juga!" berkata tua
n rumah. "Nah, inilah ketika baik untuk kamu! Lekas kamu minta pengajaran dari T
iat KongtjoeV
Tidak dapat Keng Sim menampik anjuran Nona Bhok. Ia memang mau membanggakan kega
gahannya. Maka ia pergi ke gelanggang. Ia melawan kedua
pahlawan. Mereka itu mengira orang lemah lembut, tidak berani mereka mengeluarka
n seantero tenaganya, tetapi kesudahannya, mereka kena dibikin jungkir balik! Ma
lah jidat mereka munjul bengkak bekas terbanting.
Menonton itu, Sin Tjoe mengerutkan
kening. Bhok Yan pun agak kecewa.
Toan Teng Peng, se-
bagai tuan rumah, bertepuk tangan memuji. Mendengar ini, Keng Sim menjadi puas s
ekali.
Puas pesiar, sudah magrib, orang balik pulang. Selagi berjalan, Sin Tjoe membiar
kan Keng Sim dan Bhok Yan jalan lebih dulu, ia berayal-ayalan, untuk bisa berjal
an bersama Seng Lim.
"Berhubung sama ilmu gulat, kepandaianmu Taylek kimkong tjioe adalah yang paling
tepat," ia kata pada pemuda itu, coba tadi kau turun tangan, celakalah kedua pa
hlawan itu."
"Tetapi itu main-main saja, orang mesti mengenal batas," Seng Lim jawab. "Tiat K
ongtjoe itu benar lincah, dia harus dipuji."
Sin Tjoe bersenyum.
"Eh, ya, mengapa hari ini kau berdiam saja?" ia tanya.
"Sebenarnya aku tengah memikirkan kele-takan tempat," Seng Lim menyahut. "Istana
mengandal gunung di tiga muka dan air di satu muka. Pendirian benar kuat, tetap
i kalau orang menggunai
perahu enteng menyerbu dari air, setibanya di tepian lantas orang menghadapi pem
belaan di darat, inilah berbahaya. Tentera penjaga pasti tidak bakal keburu menc
egahnya. Inilah berbahaya. Istana pun berada di luar kota, kurang erat hubungann
ya dengan tentera di dalam kota, ini menambah ancaman bahaya. Umpama kata aku me
njadi kepala perang musuh, pasti aku akan rampas dulu istana guna nanti merampas
seluruh Tali."
"Kiranya kau membungkam seluruh hari karena memikirkan soal
peperangan," kata si nona.
"Meskipun begitu, kalau musuh menyerang dari air, mereka cuma dapat mengirim jum
lah yang kecil," Seng Lim menambahkan. "Hanya dengan jumlah yang kecil mereka da
pat menyeberangi air. Oleh karenanya, apabila kita membuat penjagaan di muka air
, cukup kita dengan beberapa ratus serdadu yang terlatih saja. Umpama di hulu te
laga kita mengatur penjagaan, kita memancing musuh masuk, lantas mereka akan ken
a dibekuk!"
Kembali Sin Tjoe tertawa.
"Pantaslah selama di dalam istana kau mengawasi tembok saja di mana ada terlukis
peta bumi!" katanya pula.
Pembicaraan mereka terputus tertawanya Bhok Yan. Ketika Sin
Tjoe berpaling, ia melihat Nona Bhok jalan berendeng dengan Keng Sim, agaknya er
at sekali pergaulan
mereka. Tiba-tiba ia merasakan mukanya menjadi panas sendirinya. Belum sempat ia
menoleh ke lain jurusan, Keng Sim sudah berpaling ke arahnya. Empat mata benter
ok sinarnya, lantas keduanya sama-sama tunduk. Hati Sin Tjoe berdenyu-tan, ia me
ndapatkan kemenyesalan pada sinar matanya anak muda itu.
Malam itu Nona Ie mesti berpikir banyak. Sampai jauh malam baharulah ia dapat pu
las. Selama itu ia ingat saja Keng Sim. Besoknya pagi ia pergi ke luar kamar gur
unya, ia jalan mundar-mandir saja, tidak berani ia mengasi bangun
gurunya itu.
Selang sekian lama baharulah sang guru membuka pintu.
"Eh, Sin Tjoe, kau memikirkan apa?" menegur Tan Hong, yang lihat roman orang bed
a daripada biasanya. Ia tertawa.
"Tidak, soehoe, muridmu cuma hendak memberi selamat pagi padamu," sahut si nona.
Tan Hong bersenyum. Bersama murid itu ia pergi ke latar. Mereka menyender di lon
eng untuk memandangi gunung Tjhong San dan telaga Djiehay.
"Ah, sang hari lewat cepat sekali!" berkata sang guru. "Kau sekarang sudah
berumur tujuh belas tahun. Benar bukan?"
"Dari hari ulang telah lewat tiga bulan," sahut sang murid, mengangguk.
"Ketika pertama kali kau datang ke Thayouw
santjhoeng, kau baharu berusia tujuh tahun," berkata pula sang guru. "Ya, itu wa
ktu kau masih mengeluarkan air dari hidungmu..."
"Sementara itu belasan tahun sudah soehoe mendidik muridmu,"
sahut si nona.
Guru itu tertawa pula.
"Kau telah menjadi dewasa, aku lega hati. Hanya..."
"Hanya apa, soehoe
?"
"Semasa kau berumur tujuh tahun, kau tidak memikir suatu apa. Sekarang dalam usi
a tujuh belas, kaulah satu nona remaja. Tidak dapat tidak, aku mesti memikirkan
kau dalam suatu urusan..."
Si nona berdiam. Hanya sebentar, ia mengangkat kepalanya.
"Keindahan di sini dipadu sama Thayouw santjhoeng saling beri..."
katanya.
"Ya. Memang Djiehay dapat dibandingkan dengan Thayouw. Selama musim semi, seluru
h gunung penuh bunga, pemandangannya sungguh indah."
"Apakah di Tjhong San ada bunga mawarnya?" tanya Sin Tjoe tiba-tiba.
Tan Hong tercengang.
"Inilah aku tidak perhatikan," sahutnya. "Tapi di sini semua empat musim seperti
musim semi, umpama kata benar tidak ada pohon mawarnya, kalau kita memindahkann
ya dari Kanglam, pohon itu pastilah akan tumbuh di sini..."
"Eh, soehoel" mendadak si murid menanya pula, soehoe menyukai bunga mawa
r di Kanglam atau pohon taytjeng di sini?"
Kembali guru itu ter-
cengang. Ia memandang mata orang, hingga ia merasa melihat cahaya yang mengandun
g sesuatu rahasia. Maka ia lantas bersenyum.
"Untukku, aku menyukai dua-duanya!" sahutnya. "Bunga
mawar dapat membikin orang senang dan gembira, dan pohon taytjeng bisa membikin
orang meneduh dan berangin."
"Tidak demikian, soehoe," si murid mendesak. "Umpama soehoe mesti memilih
, yang mana soehoe akan
pilihnya?" Kali ini ia menatap wajah gurunya itu. Ia mirip bocah yang menghadap
soal sulit, yang meminta bantuan keputusan.
Tan Hong berpikir, terus ia tertawa.
"Dalam hal itu kita mesti melihat sifatnya sesuatu orang," ujarnya.
"Diumpamakan Bhok Yan, dia pasti menyukai bunga mawar."
Sin Tjoe mengangguk.
"Kalau kita bicara tentang kefaedahannya untuk manusia, tentu saja pohon taytjen
g yang terlebih baik," guru itu menambahkan.
Kembali si nona mengangguk.
"Sebenarnya," berkata guru itu kemudian, tertawa, "untukmu
baiklah kau tunggu lagi dua tahun untuk memikirkan soal begini. Untukmu masih be
lum lambat."
Mukanya nona itu bersemu merah.
"Sekarang pergilah kau memasang omong sama soebo-mul" kata pula sang guru, yang
bersenyum. "Soebo-mu hendak mengetahui ke-pandaianmu menggunai senjata rahasia.
Sekarang aku hendak pergi
ke ke istana. Lusa ada harian thaysoetjouw membuka pintu
kamarnya, di depannya kau boleh pertontonkan kepandaianmu."
Seberlalunya guru itu, Sin Tjoe berpikir keras. Ia masgul. Maka ia lantas cari s
oebo-nya, ibu guru. Tapi ia segera mendengar
suara bayi menangis, ia membatalkan niatnya. Tentu sang ibu guru lagi menyus
ui bayinya.
Justeru itu ia tampak Siauw Houwtjoe mendatangi sambil lari berjingkrakan. Bocah
nakal itu sudah lantas menyamber tangannya, untuk ditarik.
"Sudah lama aku mencarinya, kiranya kau ada di sini," serunya. "Leka
s, lekas! Mari kita menangkap ikan!" Segera dia menambahkan: di sana pun ada
Bhok Siauwkongtia, dia menyuruh aku, mengajak
kau!"
Karena lagi masgul itu, Sin Tjoe turut bocah nakal itu.
Girang Bhok Lin melihat datangnya nona ini.
"Kau baik, Nona Ie?" ia menegur.
"Cis" bentak Siauw Houwtjoe. "Memang ada apanya yang tidak baik sampai ka
u mesti menyapanya?..."
Mukanya Bhok Lin merah.
"Inilah adat pera-datan, Siauw Houwtjoe," katanya. "Ah, kau mirip bocah liar!"
"Ya, aku bocah liar dan kau bocah agung!" kata si nakal, mengangkat pundak. "Kau
tidak suka main-main sama aku!"
"Maaf, Siauw Houwtjoe, aku salah!" Bhok Lin lekas mengaku. "Aku tidak berani lag
i..."
Lenyap juga kegembiraannya Sin Tjoe melihat dua bocah itu
bergurau. Mereka itu, kecil tidak dapat dikatakan masih kecil, besar belum besar
.
Yang digemarkan Houwtjoe adalah
kionghie, ikan "panah," ikan istimewa di telaga Djiehay itu, yang bisa disebut j
uga ikan paling aneh di kolong langit. Kalau ikan lain berenang mengikuti air, d
ia justeru sebaliknya, dia berenang melawan air, untuk selamanya dia tidak kemba
li ke hilir dari telaga Djiehay, dia berenang naik melawan delapan belas aliran
kali kecil di Tjhong San itu, tubuhnya dapat mencelat maju. Demikian dia dapat n
amanya, ikan panah.
Untuk menangkap akan itu, Siauw Houwtjoe membikin lingkaran pada ujungnya sebuah
cabang kayu kecil. Lingkaran itu digunai sebagai djoanpian,
cambuk lemas. Setiap kali dia menyamber, ikan kena tersamber, untuk terus dikasi
masuk ke dalam korang. Dia liehay, belum pernah samberannya gagal. Maka itu cep
at sekali dia telah dapat menangkap banyak.
Bhok Lin girang sekali, berulangkah ia bersorak.
Kembali Siauw
Houwtjoe menyamber. Mendadak ia menampak satu bayangan orang, lalu lingkarannya
itu kesamber, ikannya
terlepas, nyemplung pula ke air, hingga air muncrat. Pun korang-nya turut kesamb
er, hingga ikannya pada terlepas, semua berenang terus ke hulu.
Bayangan itu ialah Yap Seng Lim.
Bocah itu jadi gusar.
"Yap Toako, kau bikin apa?" dia menegur.
"Jangan ganggu ikan ini," sahut Seng Lim tertawa. "Ikan ini besar semangatnya, d
ia tidak kenal kesukaran. Lihat, dia terus maju ke hulu. Semangatnya itu harus d
ikagumi. Sekarang kau main menangkapi, aku tidak puas..."
Siauw Houwtjoe melengak, tapi cuma sebentar, dia kata "Baiklah, kau benar!" Ia b
erbangkit, ia
menepuk-nepuk tangan, untuk membersihkan tangannya itu.
Sin Tjoe dan Bhok Lin tertawa. Tapi mendadak, tertawa mereka tertindih suara ter
tawa seram dari lain orang, yang datangnya tiba-tiba.
Tahu-tahu di dekat mereka muncul enam tujuh orang, yang semua beroman luar biasa
. Yang satu berambut merah, kedua kakinya lempang jegar,
ketika dia berlompat, dia berlompat tingginya tujuh delapan kaki dan jauhnya dua
tiga tombak, kedua matanya besar seperti kelene-ngan. Dia mengawasi Nona Ie, se
mbari tertawa dia kata: "Sungguh nona kecil yang cantik manis!"
Seng Lim berempat terkejut, apapula ia sendiri dan Sin Tjoe. Turut pantas, sedik
it saja orang berkerisik, mereka mesti mendengarnya. Tapi kali ini, tahu-tahu or
ang sudah datang dekat.
Sin Tjoe mendongkol atas kata-kata orang, akan tetapi belum ia sempat mengambil
sikap, ia sudah dibikin terkejut pula. Orang luar biasa itu sudah berlompat kepa
danya, tangannya menyamber. Hampir ia kena dicekuk, baiknya ia masih dapat berke
lit.
Siauw Houwtjoe menjadi gusar, mendadak saja ia menyerang. Ia berhasil, suara haj
arannya berbunyi keras. Ia telah menggunai jurus dari Liongkoen, koentauw Naga.
Ia masih kecil tetapi tenaganya sudah berat enam atau tujuh ratus kati. Hanya ka
li ini ia gagal. Meski ia menghajar jitu, yang roboh bukan si orang berambut mer
ah itu, ia sendiri yang tertolak mundur kira-kira tiga tombak, terus kecebur ke
kali kecil!
Seng Lim tidak ketahui, rombongan itu adalah orang-orang undanganny
a Tjie Hee Toodjin. Merekalah
yang disebut rombongan iblis. Dan si rambut merah ini ada Liok Yang Tjinkoen yan
g ceriwis, yang gemar paras elok, maka juga datang-datang dia main
gila terhadap Nona Ie.
Selagi Siauw Houwtjoe terpelanting, Sin Tjoe sudah menghunus Tjengbeng kiam.
Liok Yang Tjinkoen tidak menghiraukan pedang itu, kembali ia menjambret, karena
ini, ia lantas bertempur sama si nona.
Mengetahui musuh liehay, Sin Tjoe lantas menggunai ilmu silat "Menembusi bunga
mengitarkan pohon." Ia berlompatan, ia melejit sana sini, tubuhnya sangat lincah
. Tempo ia menyerang dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak," ia berhasil
memapas ujung jubah si imam, hanya habis itu, pedangnya terpental.
Liok Yang Tjinkoen tidak kaget, dia bahkan tertawa terbahak.
"Pedang yang bagus!" serunya. "Pedang yang bagus dan nona
yang cantik! Kalau aku mendapatkan dua-
duanya, tidakkah itu bagus?" Kembali dia menyamber, kali ini ke tulang piepee di
pundak si nona. Celaka siapa kena dijambak tulangnya itu.
Selagi imam ini girang sekali sebab ia dapat mendesak si nona manis, mend
adak
terdengar suara "Buk!" lalu ia merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhuyu
ng ke depan dua tindak. Berbareng
dengan itu, ujung pedang si nona menyamber ke jalan darah tjietong hiat di bawah
tetenya. Tapi ia bisa membebaskan diri, cuma hajaran tadi membikin ia kaget jug
a.
"Ha, kiranya kau pun mengarti silat?" tegurnya pada orang yang membokong punggun
gnya. Sin Tjoe menyerang
terus, tiga kali beruntun, tapi ia menggunai ketika akan menoleh kepada orang ya
ng membantu ianya, ialah Seng Lim. Tangan si anak muda bengkak dengan tiba-tiba,
tubuhnya pun bergulingan di tanah, sebab akibat serangannya, ia terpe
ntal jatuh, ia mesti bergulingan di tanah.
Liok Yang mendongkol karena kena dibo-kong sedang si nona tak dapat ia m
embekuknya.
Sin Tjoe yang cerdik lantas saja insaf bahwa ia kalah jauh, karena itu ia berkel
ahi terus dengan tipu silatnya itu Menembusi Bunga Mengitari Pohon.
Dengan begini ia dapat bergerak dengan lincah sekali, serangannya pun aneh. Ia m
enggertak ke timur, sebenarnya ia menyerang ke barat, ia mengancam ke selatan,
habisnya ia menikam ke utara. Ia sendiri tidak pernah kena dijambret. Cuma semua
serangannya tidak memberi hasil. Lawan itu kebal, tidak mempan senjata tajam, t
idak pun pedang mustika itu.
"Yap Soeheng, lekas pergi mengundang soehoe1." kata si nona kemudian, sesudah ia
melayani belasan jurus tanpa ada hasilnya.
Seng Lim tidak mau pergi. Ia dapat kenyataan si nona terancam bahaya. Tangan
kanannya bengkak dan sakit, sekarang ia gunai tangan kirinya. Tangannya terluka
tetapi ia masih dapat berkelahi dengan baik.
"Jangan lawan tenaga, dia kedot!" Sin Tjoe mengasi ingat. "Dia kuat sekali!"
Ia berseru tetapi ia menyerang.
Seng Lim panas hatinya. Ia lompat ke
samping, dengan tangan kiri ia mencabut sebuah pohon kecil, dengan itu ia menyap
u imam yang tangguh itu.
Gagal serangan dengan pohon kayu ini. Liok Yang Tjinkoen dapat berkelit. Tapi di
a mendongkol. Sekian lama dia tidak sanggup merebut kemenangan, dia malu sendiri
nya.
"Mesti aku mampusi dulu bocah ini, baharu aku bekuk si wanita!" pikirnya. Karena
ini, ia lantas mengempos
semangatnya.
Ketika itu Tjie Hee Toodjin berseru: Tjinkoen, ampuni dia! Dialah m
uridnya Thio Tan Hong!"
Imam ini tidak kenal Sin Tjoe, tetapi bersama ia ada Poan Thian Lo dan muridnya
itu yang memberitahukan. Poan Thian Lo meng-harap-harap Liok Yang Tjinkoen berha
sil, sebab
ia benci nona itu. Tadinya ia diam saja, adalah gurunya, yang minta keterangan
padanya, sebab guru ini bercuriga melihat ilmu silat yang liehay dari nona itu.
Ditanya gurunya, Poan Thian Lo tidak berani mendusta. Tjie Hee tidak takuti Tan
Hong, ia tidak menyayangi Sin Tjoe, ia hanya merasa malu mengingat derajatnya me
sti melayani orang dari tingkat rendah.
"Oh, kiranya muridnya Thio Tan Hong!" Liok Yang Tjinkoen pun berseru. "Benar, ti
dak dapat aku berlaku sembrono!" Tapi ia toh menggunai tenaganya, ia menyamber p
ohonnya Seng Lim, ia menarik dan mematahkannya, sesudah mana, ia serang si anak
muda. Seng Lim cerdik, dia membuang diri dengan lompatan "Ikan gabus
meletik," dengan begitu ia selamat.
Sin Tjoe tapinya tidak mundur, sekalian hendak menolongi Seng Lim, ia berkelahi
secara nekat.
Liok Yang Tjinkoen mengebas dengan
tangan bajunya, untuk melibat pedang orang. Sembari tertawa dia kata: "Sebentar
aku akan minta kepada gurumu! Aku menghendaki Thio Tan Hong menye-rahkanmu menja
di
muridku!"
Panas hatinya Sin Tjoe, mukanya menjadi merah padam. Ia mengerahkan tenaganya te
tapi tidak berhasil ia meloloskan pedangnya dari gubatan tangan baju imam itu. I
a heran bahwa orang ada sedemikian liehay.
Seng Lim sudah berlompat bangun, ia menahan sakit pada lukanya. Ia memikir un-
tuk menyuruh Bhok Lin lari pulang, guna mengasi kabar pada Thio Tan Hong atau la
innya. Ia kecele. Pangeran muda itu tidak ada, setahu ke mana perginya. Ia tidak
tahu Liok Yang Tjinkoen tengah mempermainkan Nona Ie, menyaksikan nona itu tera
ncam bahaya, lupa segala apa, ia lompat untuk menerjang.
"Bocah busuk, kau mencari mampusmu?" Liok Yang Tjinkoen mengejek. Ia masih mengu
bat pedang, si nona, dengan tangan baju yang lainnya ia mengebas pada ini anak m
uda.
Hebat Seng Lim terancam. Baharu saja samberan angin datang, ia sudah merasai kep
alanya pusing. Tapi ia nekat, ia maju terus dengan serangannya. Atau mendada
k ia
Selagi Liok Yang Tjin-koen girang sebab ia dapat mendesak si nona manis, mendada
k terdengar suara "Buk!" lalu ia merasakan punggungnya sakit, tubuhnya pun terhu
yung ke depan dua tindak. Ternyata ia dibokong oleh Seng Lim!
merasakan tubuhnya tertolak keras, sampai ia mundur beberapa tindak. Ia masih te
rhuyung tatkala ia dengar teriakan girang dari Sin Tjoe.
Beberapa bayangan orang terlihat berkelebat, menyusul itu tubuh Liok Yang Tjinko
en terguling roboh hingga si imam berteriak keras, selagi dia roboh, dia disusul
dua rupa benda yang berkelebat berkilauan.
Seng Lim pun segera dapat melihat, dia menjadi girang sekali.
Di situ muncul Hek Pek Moko!
Dua orang Putih dan Hitam ini dipanggil Siauw Houwtjoe. Ke-cemplung di kali, boc
ah nakal itu tidak segera mendarat. Ia ada sangat cerdik, tanpa timbul lagi, ia
berenang sambil selulup. Ia baharu muncul sesudah
terpisah jauh dari tempat kejadian. Dia mau pergi kepada Toan Teng Tjhong akan m
encari gurunya, tempo ia bersomplokan sama Hek Pek Moko. Maka ia lantas minta ba
ntuannya dua saudara ini. Mengetahui Sin Tjoe terancam bahaya, Hek Pek Moko data
ng dengan lantas, bahkan dengan lantas mereka serang si imam ceriwis hingga dia
itu roboh.
Liok Yang Tjinkoen tidak terluka, dia lantas berlompat bangun.
Ketika sepasang tongkat Hek Pek Moko menyamber pula, ia menangkis dengan
mengerahkan tenaganya menurut ilmu kekuatannya Koengoan Itkhiekang.
Hebat tolakan itu, kedua tongkat kena dibikin mental, setelah mana, imam ini men
gulangi emposan
semangatnya, untuk membalas menyerang.
"Siluman dari mana berani mengganas di Tjhong San ini?" sekonyong-konyong Hek Mo
ko berseru dengan suaranya bagaikan
guntur.
Mau atau tidak, Liok Yang Tjinkoen terperanjat. Ia tahu ia tengah menghadapi law
an liehay. Akan tetapi ia sudah siap, ia meneruskan juga
serangannya.
Pek Moko turut maju, ia menyusul serangan saudaranya.
Hebat Liok Yang Tjinkoen tetapi ia kewalahan melayani sepasang tongkat putih dan
hijau, ia kena terkurung sinar kedua tongkat itu.
Di antara beberapa iblis itu, Kioepoanpo Kongsoen Boe Houw adalah ya
ng erat persahabatannya dengan Liok
Yang Tjinkoen, hendak dia membantui, tetapi Tjie Hee Toodjin segera mencegah.
"Jangan bertempur kalut dulu, marilah kita bicara!" berkata imam ini. Maka ia ma
ju dengan tenang, kipasnya dikibaskan. Dengan sabar ia menanya kalau dua orang i
tu Hek Pek Moko adanya.
Hek Pek Moko merasakan samberan angin, mereka berhenti menyerang.
Liok Yang Tjinkoen bernapas lega, tetapi bukannya dia mengundurkan diri, dia jus
teru berlompat tinggi,
sembari turun, ia menyerang.
"Kurang ajar!" Hek Moko berseru. Saudaranya pun gusar. "Jikalau hari ini kami da
pat melepaskan kau, iblis, coretlah nama Hek Pek Moko dari dunia kangouw1."
Tjie Hee Toodjin maju pula.
"Apakah tuan-tuan tidak hendak memberi muka padaku?" ia menanya dingin. Ia pun b
erulang-ulang mengebasi kipasnya.
Hek Pek Moko suka menahan tongkat mereka, setelah menangkis Liok Yang Tjinko
en, hendak mereka
menjawab Tjie Hee, atau mendadak ada suara lain yang mendahului mereka. Suara it
u datang dari atas gunung, halus tetapi terang. Katanya: "Kiranya Tjie Hee Tooti
ang yang datang! Maaf kami tidak dapat menyambut sebagai selayaknya. Dua
saudara Hek Pek, sabar dulu, kita perlu bicara!"
Sin Tjoe girang bukan main. Ia mengenali baik suara gurunya. Ia tadinya kuatir g
urunya itu, masih berada jauh
di istananya Toan Ongya
Tjie Hee Toodjin terperanjat.
"Hebat Thio Tan Hong,..." pikirnya.
"Suaranya ini ada suara dari tenaga dalam yang liehay, sekali. Dia tidak ada di
bawahan aku..." Ia tahu, Tan Hong ada murid Hian Kie Itsoe dari generasi ketiga.
Karenanya ia lantas tarik mundur Liok Yang Tjinkoen sembari ia ber
kata "Mari kita menemui tuan rumah!"
Liok Yang mendongkol tetapi terpaksa ia menyabarkan diri.
Sin Tjoe segera menghampirkan Seng Lim, yang ia pepayang.
"Bagaimana?" ia tanya, menghibur. "Apakah lukamu berat?"
Seng Lim pegangi tangannya yang
bengkak, ia menahan sakit.
"Tidak apa, cuma luka di luar," sahutnya.
Sin Tjoe tetap mem-pepayang, karena
mana, si anak muda tidak dapat mencegah. Hanya mukanya menjadi merah, saking jen
gah.
Sampai di atas gunung, di situ Bhok Lin muncul secara tiba-tiba. Ia kaget meliha
t tangan Seng Lim bengkak besar. Tapi si anak muda tertawa dan menepuk-nepuk pun
daknya, katanya: "Adik kecil, kau tidak kaget?"
Kongtjoe ini malu sendirinya. "Ah, sayang aku tidak pandai silat..." katan
ya.
"Maka perlulah kau belajar padaku!" Siauw Houwtjoe bergurau.
Bhok Lin ingin bicara sama Sin Tjoe tetapi ia likat, maka ia terus berjalan bers
ama Siauw Houwtjoe.
Di atas gunung Thio
Tan Hong ada bersama isterinya, Ouw Bong Hoe dan isteri, In Tiong dan isteri jug
a, serta Tamtay Biat Beng. Melihat Seng Lim terluka, ia lantas memberi obatnya.
Tjie Hee Toodjin be-ramai sudah lantas tiba, Hek Pek Moko mengikuti di belakang
mereka.
Tan Hong menyambut sambil tertawa.
"Tootiang datang ke mari, ada apakah pengajaranmu?" tanyanya.
"Aku sengaja datang untuk memberi selamat ulang tahun pada Hian Kie Itsoe," meny
ahut imam itu.
"Hari ulang tahun kakek guruku lusa," Tan Hong memberitahukan.
"Sengaja aku datang lebih dulu!" Tjie Hee kata. "Aku percaya dia tidak akan meng
unci pintu menampik kami. Tolong kau mengabarkannya."
"Menyesal," Tan Hong, menampik. "Kakek guruku itu
bersama-sama Siangkoan Lootjianpwee tengah menutup diri di dalam kamarnya,
sampai lusa baharulah mereka membuka pintu."
"Benarkah itu?" menegasi Tjie Hee, yang air mukanya berubah.
"Apakah kau sangka mereka jerih terhadapmu?" kata Hek Moko, yang gusar. Saudaran
ya gusar juga. "Apakah kau mengira Hian Kie Lootjianpwee tidak berani
menemuimu?"
Mendadak dari mendongkol, Tjie Hee Toodjin menjadi
kegirangan.
"Sungguh tidak kebetulan!" katanya, tertawa. "Tapi Hian Kie Itsoe itu adalah sah
abat kekalku, karena aku sudah tiba di sini, aku mesti bertemu
padanya. Terpaksa aku mesti menantikan di sini..."
Tan Hong tertawa dingin. Ia kata: "Sebelumnya kakek guruku menutup pintu, ia sud
ah memesan melarang lain orang mengganggunya, oleh karena itu harap dimaafkan, a
ku tidak dapat melayani tootiang beramai."
Kembali air muka Tjie Hee berubah. Ia menjadi gusar kembali.
"Ketika aku dan Hian Kie Itsoe mulai berkenalan, kau masih belum terlahir!" kata
nya dingin.
"Kalau begitu Thio Tan Hong tidak usah lagi memperdulikanmu!" berkata Tamtay Bia
t Beng murka. "Jikalau kau hendak bicara dari hal persahabatan, lusa saja kau bi
cara sendiri sama Hian Kie Loo tjianp wee. Apakah kau tidak kenal aturan
kaum kangouw?"
Tjie Hee menjadi bertambah gusar.
"Tidak gampang kami yang dari tempat jauh datang ke mari!" katanya, menegur.
"Dengan kata-katamu ini jadi benar-benar kau hendak menolak kami?"
"Jikalau tootiang beramai datang untuk memberi selamat, lusa saja tootiang datan
g pula ke gunung ini," berkata Tan Hong.
"Nanti aku memberitahukan kakek guruku itu, nanti kami melayani tootiang sem
ua. Hari ini maafkan saja!"
Kioepoanpo membanting tongkat besinya. "Hm!" ia perdengarkan ejekannya. "Sungguh
kepala besar!"
Tjie Hee Toodjin mengibas kipasnya. Ia gusar tetapi mendadak ia tertawa.
"Tahukah kau, hari ini aku datang selain
untuk memberi selamat kepada Hian Kie Itsoe tetapi juga ada maksud lainnya?" ia
menanya.
"Kita bukannya cacing di dalam perutmu, mana kita ketahui hatimu?" sahut Pek Mok
o.
Wajahnya Tjie Hee menjadi merah padam. Ia menggoyang kipasnya.
"Aku tidak mau bicara sama orang tidak keruan" katanya
jumawa. "Thio Tan Hong, hendak aku menanya kau! Apakah gurumu dan paman gurumu j
uga belum datang?"
"Guruku pun mungkin akan tiba lusa," Tan Hong menjawab
sejujurnya.
Imam itu tertawa dingin.
"Benar-benar kamu membikin dingin hati kami yang datang karena memangeni kamu!"
katanya.
Sampai di situ terdengar tertawanya Tek Seng Siangdjin dari
Sengsioe Hay dari Koenloen San. Sejak tadi dia berdiam saja, sekarang dia meleng
-gak. Dia berkata: "Aku kuatir di sini cuma ada nama kosong belaka! Orang cuma s
engaja mengerek naik papan biantjian pay!"
Papan biantjian pay itu ada pemberitahuan menunda peperangan.
Alisnya Tan Hong terbangun. "Apa?"
menegaskannya.
Tjie Hee Toodjin berkata pula: "Pada tiga puluh tahun yang lampau aku telah meya
kinkan ilmu silat bersama-sama Hian Kie Itsoe, bukan sedikit aku telah menerima
kefaedahannya. Selama yang belakangan ini aku mendengar kabar dia sudah memperol
eh
kemajuan yang besar, maka itu sekarang aku datang bersama ini beberapa saudara y
ang berilmu, yang belum pernah berjodoh dapat menerima pelajaran dari kakek guru
mu itu, karenanya mereka
memerlukan datang berkunjung ke mari. Maksud kami ialah kesatu untuk memberi sel
amat hari ulang tahunnya, dan kedua guna belajar kenal dengan kepandaiannya yang
kesohor ke mana-mana!" Ia berhenti sebentar, lantas ia meneruskan sembari menga
si dengar tertawa dingin: "Kami telah pikir, dengan memasuki usia delapan puluh
tahun, bukan Hian Kie Itsoe sendiri yang memperoleh kemajuan pesat tetapi pun ke
empat muridnya, yang masing-masing mewariskan serupa pelajaran, maka
sayang sekali, mereka tidak berada di sini semua! Tidakkah ini membuatnya kami
datang di tempat kosong?"
Tan Hong tertawa.
"Jikalau kau hendak belajar kenal sama ilmu kepandaiannya murid kakek guruku, it
u pun gampang!" katanya sabar. "Di sini, ada beberapa murid-
muridnya dari generasi ketiga, mereka itu tidak nanti membikin kamu hilang harap
an!"
Ouw Bong Hoe pun turut buka suara, katanya dengan
nyaring: "Murid generasi kedua dari Siangkoan Thian Va juga berada di sini, maka
kalau tuan-tuan hendak
berlatih, kami suka melayaninya!"
Hek Pek Moko juga turut bicara: "Kami dua saudara tidak termaksud partai mana
juga,
tetapi sebal kita melihat tingkah pola kamu ini! Eh, Tan Hong, dalam pertempuran
ini kami hendak turut ambil bagian!"
"Kedua tuan hendak membantu meramaikan, itulah bagus sekali!" berkata Tjie Hee T
oodjin , menyahuti. "Dengan begitu kami jadi tidak usah nanti dikatakan yang tua
menghina yang muda!"
Sebenarnya girang Tjie Hee mengetahui ke empat muridnya Hian Kie Itsoe tidak had
ir bersama. Memang dia sengaja datang hari ini, untuk mengacau lebih dulu.
"Tootiang, silahkan kau menjelaskan
caramu," kata Tan Hong tenang. "Kami bersedia untuk menerima
pelajaran!"
Tjie Hee Toodjin mengajak kawan-
kawannya mundur
sedikit, terus mereka kasak-kusuk, Tan Hong mengawasi mereka, maka ia mendapat l
ihat gerak-geriknya Poan Thian Lo. Dia ini menunjuk sana dan menunjuk sini. Mena
mpak itu, ia terkejut. "Hebat!" serunya
mendadak.
"Kenapa?" tanya Hek Pek Moko.
"Yang Tiong Hay ada murid paling disayang dari Tjie Hee Toodjin, dia tidak datan
g bersama ke mari," berkata Tan Hong. "Mereka ini membilang datangnya untuk
memberi selamat tetapi mereka sengaja datang dua hari di muka. Mereka tentu ada
mengandung sesuatu maksud! Mereka seperti membokong kita,
mereka mestinya menggunai akal muslihat!"
"Aku tidak mengarti," kata Hek Moko. "Coba
kau menjelaskannya. Mereka hendak menggunai tipu apa?"
"Aku mau menduga Yang Tjong Hay yang minta gurunya datang ke mari, untuk melibat
kita, dia sendiri dengan diam-diam menyerbu ke istana Toan Ongya," Tan Hong mem
beri keterangan. "Mereka ini benar liehay tetapi mestinya mereka jerih juga terh
adap kakek guruku serta Siangkoan Lootjianpwee. Tentunya mereka sudah tahu kakek
guruku lagi bersamedhi, sengaja mereka datang ke mari menantang kita. Hm! Lieha
y akal mereka! Mereka tentu menduga kita berkumpul di sini, lantas di istana tid
ak ada orang yang bisa melayani mereka, itu artinya mereka bakal menang!"
"Benar," berkata Hek Pek Moko. "Aku tidak
takuti mereka tetapi aku berkuatir untuk istana..."
Dua saudara ini berniat lantas pergi tetapi mereka masih berat. Pergi artinya ba
tal bertempur...
"Di dalam ilmu silat, Yang Tjong Hay tidak usah dikuatirkan," kata Tan Hong lagi
. "Hanya kalau dia menyerbu, dia mesti ambil jalan air. Untuk mencegah, inilah b
ukan pekerjaan satu dua orang yang dapat mengadu kepandaian, kita mesti dapatkan
seorang yang mengarti ilmu perang terutama perang di air, untuk dia memegang ta
mpuk
pimpinan. Di istana sudah tersedia cukup barisan air, tinggal yang menjadi pemim
pinnya..."
Segera orang she Tan ini melirik pada Seng Lim. Pemuda ini memang pernah
menjelaskan padanya
perihal cacad di istana, yang berbahaya kalau diserang dari jurusan air, dan hal
itu ia setujui. Bahwa tadi pagi ia pergi ke istana, itu pun untuk memberi kisik
an kepada Toan Ongya. Ia hanya tidak menyangka, orang
datang begini cepat.
Seng Lim harus pergi, tetapi tangannya lagi sakit. Maka habis melirik pemuda she
Yap itu, ia melirik kepada Keng Sim.
Ketika itu Keng Sim lagi bicara sama Sin Tjoe. Ia hendak mengambil hati si nona.
"Ah, nona, kau pun terluka," katanya. "Lihat pundakmu itu! Nanti aku obati!"
Sin Tjoe cuma robek bajunya di pundak, kulitnya lecet pun tidak. Ia tengah mende
ngari gurunya, ia tidak perhatikan suara si anak muda itu.
"Apa katamu?" tanyanya heran, seperti orang baru sadar. "Siapa
yang terluka? Oh, soehoe, kau kuatir onghoe diserbu! Bukankah tentang itu Yap To
ako telah memberitahukannya? Ya, pandangan soehoe dan pandangan
Yap Toako tepat sekali!"
Mendengar suara si nona, Seng Lim majukan diri.
"Biarlah aku yang pergi ke sana!" katanya. "Aku hidup di wilayah air, aku pandai
mengendalikan perahu!"
Tan Hong bersenyum. "Apakah luka di tanganmu tidak berbahaya?" ia menanya.
Seng Lim ayun tangannya itu.
"Masih ada sebelah lagi yang dapat aku gunakan!" sahutnya. "Mungkin aku tidak da
pat berkelahi benar-benar tetapi untuk
menggayu, aku dapat!"
Tan Hong segera mengambil putusan.
"Baik!" katanya. "Biat Beng, pergi kau antar Seng Lim ke istana!"
Kedua orang itu menurut.
Sin Tjoe lekas dekati itu anak muda. "Yap Toako, jaga dirimu baik-baik!"
ia memesan.
Hati Keng Sim tidak enak. Ia pun kata di dalam hatinya: "Bocah ini mengarti apa
tentang ilmu perang maka dia berani memegang pimpinan?" Coba tidak ada Tan Hong,
tentulah ia sudah tertawa dingin.
Di pihak Tjie Hee Toodjin, mereka itu sudah selesai berdamai. Mereka
lantas kembali dengan berdiri berbaris.
"Baiklah setiap dari kita bertempur satu kali!" katanya. "Hanya ingin aku menjel
askan di muka. Beberapa
sahabatku ini semua mempunyai kepandaian istimewa sendiri-sendiri, andaikata ada
yang keterlepasan tangan, siapa terbinasa atau terluka, dia mesti terima nasib.
Tentang aku sendiri, karena aku sahabat kekal dari kakek guru kamu, biarlah aku
menanti sampai lusa akan main-main dengan kakek gurumu itu sendiri!"
Tan Hong tertawa.
"Tidak usah sungkan-sungkan!" katanya. "Sungguh girang hatiku yang lootjianpwee
sudi memberi pengajaran. Cuma ada dua sahabatku, yang ada punya urusan penting,
mereka hendak pergi turun gunung dulu."
Begitu orang berhenti bicara, Biat Beng bersama Seng Lim sudah lantas bertindak
pergi.
Melihat mereka itu, rombongan Tjie Hee
terperanjat, mereka mengawasi dengan sorot mata membenci.
***
Tamtay Biat Beng bertindak terus dengan sebelah tangannya menarik tangannya Seng
Lim, ia tidak mengambil mumat yang pihak sana tercengang. Tapi
segera ia dibentak Tek Seng Siangdjin: "Sahabat, pelahan!" Bahkan tangan Siangdj
in sudah lantas menyambar
bagaikan kilat cepatnya.
Akibatnya itu adalah benterokan tangan
yang nyaring, disusul sama terpentalnya
tubuh Biat Beng, siapa sebaliknya dengan
tangannya yang lain memeluk Seng Lim, hingga tubuh pemuda she Y
ap ini turut terbawa mental.
Tek Seng Siangdjin itu, selama berdiamnya
di Sengsioe Hay di Koenloen San, untuk bertahun-tahun telah melatih pukulan "Tek
Seng Tjioe" atau "Tangan Memetik
Bintang." Hebat pukulan itu, yang menyambarnya tak mengasi dengar suara dan tida
k memperlihatkan diri
saking cepatnya, maka heran ia akan mendapatkan kenyataan Tamtay Biat Beng dapat
menyambutinya, cuma tubuh lawan saja yang terhajar terpental. Di pihak lain, ia
segera merasakan tangannya sakit dan panas sekali. Di luar sangkaannya, selagi
menangkis, Biat Beng menggunai jari tangannya yang kuat membarengi menotok, maka
itu, jari tangannya itu meninggalkan tapak merah bagaikan bekas tersulut api.
Dasar orang liehay, walaupun ia terkejut,
Tek Seng Siangdjin dapat berlaku sebat sekali. Kembali ia bergerak. Pukulannya y
ang kedua sudah lantas di kirim. Tapi kali ini ia bukan dilayani Biat Beng.
Tiba-tiba saja Hek Pek Moko berlompat maju, tongkat mereka dilintangi, untuk men
ghalang penyerangan ulangan itu. Hampir berbareng keduanya menegur: "Eh, apakah
kau hendak bertarung? Di sini ada orangnya yang akan menemani padamu!"
Thio Tan Hong pun segera menyelak.
"Numpang tanya, Tjie Hee Tootiang, aturan ini aturan macam apakah?" tanya
nya.
Tjie Hee Toodjin mengibas dengan
kipasnya.
"Biarkan mereka pergi!" katanya. Ia jengah untuk teguran itu.
Akan tetapi selagi imam ini berkata-kata, hoeitoo atau golok terbangnya Touw Lio
ng Tjoentjia sudah melayang ke arah Tamtay Biat Beng punggung siapa dijadikan sa
saran. Tentu sekali, karenanya, Tjie Hee menjadi mengerutkan alis.
Golok terbang itu tidak dapat menemui sasarannya. Suara
"Traang!" segera terdengar. Baharu sampai di tengah jalan, golok itu sudah terpe
ntal balik. Oleh karena Tan Hong yang matanya tajam dan gerakannya sebat sekali
sudah menyentilkan sepotong batu kecil kepada hoeito itu, untuk mana ia mengguna
i tipu timpukan senjata
rahasia "Memetik daun menerbangkan bunga." Tepat hoeito itu kena disentil balik!
Hek Pek Moko men-
jadi gusar, dengan berbareng mereka
menyerang, ke kiri kepada Tek Seng Siangdjin, ke kanan ke
pada Touw Liong Tjoentjia si tukang bokong itu.
Tan Hong menjadi tidak puas sekali. Ia berseru dengan pertanyaannya yang mirip t
eguran: "Sebenarnya kamu hendak mengadu ilmu silat atau hendak main keroyok?"
Tjie Hee Toodjin menghadapi kesulitan di depan matanya itu. Ia ketahui baik seka
li kepergiannya Tamtay Biat Beng berdua itu, ialah untuk menolongi onghoe. Tapi
ia ada seorang terkemuka
yang kenamaan, tidak dapat ia mengabaikan teguran Tan Hong itu. Di mana telah te
rlihat Biat Beng berdua sudah turun gunung, terpaksa ia maju seraya mengge-
raki kipasnya, menyelak di antara Hek Pek Moko dan dua kawannya, untuk memisahka
n
mereka.
"Baiklah jangan kamu mengacau, tuan-tuan!" katanya. "Mari kita menggunai aturan
kaum Rimba Persilatan untuk mengadu silat..."
Dengan kata-kata itu, Tjie Hee tidak cuma menegur pihaknya
tetapi juga Hek Pek Moko turut tertegur, maka itu dua saudara itu menjadi gusar.
"Manusia tak dapat membedakan merah dan putih, siapakah yang mengacau?" mereka m
embentak. "Baiklah, kami berdua saudara suka belajar kenal lebih dulu dengan kep
andaian istimewa dari kau si orang terkemuka dan Tjie Seng Pay!"
Liok Yang Tjinkoen menjadi tidak senang. Ia maju seraya melinta-
ngi kedua belah tangannya di depan dadanya.
"Untuk menyembelih ayam buat apa memakai golok peranti memotong kerbau?" teriakn
ya. "Baiklah kita melanjuti pertempuran kita menurut cara tadi yang masih belum
ada keputusannya menang atau kalah!"
"Itulah bagus!" berseru Hek Pek Moko, yang hatinya panas. Mereka mengulapkan mas
ing-masing tongkat mereka.
Kioepoanpo Kong-soen Boe Houw, yang semenjak tadi berdiam saja di pinggiran, sek
arang mengasi
dengar suaranya yang dingin mengejek.
"Liok Yang Tjinkoen bersendirian melayani dua lawan, apakah dengan begitu kau ti
dak kuatir nanti merusak nama baikmu?" katanya.
Hek Pek Moko tahu bahwa merekalah yang disindir, dalam
murkanya, satu di antaranya berseru: "Kau maju sendiri, kami menyambut dengan du
a bersaudara! Kamu maju sepuluh orang, kami tetap berdua saudara juga!"
Adalah maksudnya Kioe Poan Po untuk dengan samar-samar membantui Liok Yang Tjink
oen, tetapi imam ini sedang bergusar, ia memang beradat keras sekali, ia tidak d
apat menangkap maksud baik dari kawannya itu. Maka dengan sengit ia berkata: "Bi
arlah
dengan sepasang
tanganku yang
berdarah daging ini aku menyambut sepasang tongkatnya Hek Pek Moko, untuk belaja
r kenal dengan ilmu silat dari See Hek!"
Kioepoanpo tidak
mau mengarti, sembari tertawa, ia berkata pula: "Liok Yang Tjinkoen, kau adalah
tokoh utama dari satu partai, walaupun kau bertempur satu
melawan dua, hal itu masih kurang tepat, menang pun belum berarti kegagahan
untukmu, dari itu baik kau membiarkan aku si perempuan tua
mewakilkan lebih dulu padamu dalam satu pertempuran ini!"
Dengan kata-
katanya ini, Kioepoanpo bermaksud baik. Ia mengetahui memang ada semacam ilmu si
lat yang mesti digunai berbareng oleh dua orang dan ia menduga Hek Pek Moko meng
erti itu, maka mau ia percaya, Liok Yang Tjinkoen bukannya
tandingan dari dua saudara Moko itu, karenanya, hendak ia
memberikan bantuannya. Ia bersahabat kekal sama si imam, tidak puas ia andaikata
kawan itu roboh di tangannya kedua
musuh ini. Di dalam halnya ilmu silat, ia cuma kalah setingkat dari Tjie Hee Too
djin, maka ia percaya bahwa ia akan sanggup melayani Hek Pek Moko. Maka itu ia m
enyesali akan mendapatkan Liok Yang tetap sama kepala besar dan kejumawaan-nya,
tak sudi kawan itu mengalah.
Selagi saat tegang itu, sekonyong-konyong ada terdengar suaranya satu orang lain
. Kata orang itu "Saudara-saudara Hek Pek dan Kongsoen Tjianpwee, silahkan kamu
menanti giliranmu belakangan saja, sekarang ini biarkan aku yang lebih dulu bela
jar kenal dengan Koengoan
Itkhiekang dari Liok Yang Tjinkoen1."
Segera ternyata, orang yang membuka suara itu ada Ouw Bong Hoe, salah satu di an
tara Soe tay Kiamkek, Empat Jago Pedang, yang kedudukannya hanya berada di bawah
Thio Tan Hong, tetapi mengenai derajatnya, dia ada lebih tinggi satu tingkat da
ripada Tan Hong itu.
Melihat siapa yang berbicara itu, Hek Pek Moko suka mengalah.
"Baiklah, kali ini suka kami mengalah!" kata mereka. "Tapi
ketahuilah, kami berdua sudah melepas kata-kata, tidak nanti kami sudi mengijink
an orang ini berlalu dari ini gunung dengan masih berjiwa, dari itu kami minta,
di waktu kau menurunkan tangan, janganlah kau berbelas kasihan!"
Ouw Bong Hoe tertawa.
"Aku tahu!" sahutnya gembira. "Tidak usah kau memesan, saudara-saudara yang baik
, akan aku menghabiskan tenagaku untuk menunaikan
tugasku!"
Kemurkahannya Liok Yang Tjinkoen bukan kepalang. Hebat kata-kata orang yang meny
inggung kehormatannya itu. Tapi ia tahu ia lagi menghadapi lawan-lawan yang
tangguh, tidak berani ia terlalu mengumbar
napsu amarahnya itu, hanya karenanya, cuma rambutnya yang pada bangun berdiri. S
egera ia berjalan, tiga tindak di samping Ouw Bong Hoe, tiga tindak lempang, sik
apnya
bagaikan seekor singa hendak menerkam
mangsanya.
Ouw Bong Hoe pun
bersikap sungguh-
sungguh, ia mengimbangi gerak-gerik orang. Di saat orang maju tiga tindak, ia mu
ndur tiga tindak juga, matanya mengawasi tajam lawan itu, dan kapan orang mundur
, ia berbalik maju, tetap tiga tindak. Ia mengambil sikap patkwa.
Secara demikian mereka itu main maju mundur, kira-kira
seperempat jam, masih belum ada yang turun tangan. Semua hadirin lainnya mengart
i, kedua pihak sama-sama
tengah mengerahkan tenaga mereka, maka juga, satu kali mereka bergerak, kesudaha
nnya mesti hebat sekali.
Sin Tjoe menyaksikan itu dengan masgul. Ia mengawasi ke bawah bukit. Di sana, sa
mar-samar masih terlihat bayangan tubuh dari Tamtay Biat Beng dan
Yap Seng Lim. Ia menjadi heran sekali.
"Ah, mengapakah mereka jalan lambat sekali?" ia berpikir. Ia berkuatir untuk kes
elamatan onghoe, istananya Toan Ongya, ia menyesal yang ia tidak dapat menganjur
kan mereka jalan cepat. Entah kenapa, ia pun mengawasi punggungnya Seng Lim, men
gawasi hingga beberapa kali... Ia ingat orang telah berkurban untuk menolongi ia
, bahwa orang telah terluka karenanya, dan
sekarang orang pergi dalam keadaan terluka itu untuk menolongi onghoe, setahu di
a bakal berhasil atau tidak...
"Ah, biarlah dia kembali dengan tidak kurang suatu apa!" pikirnya pula kemudian.
Demikian Sin Tjoe berpikir, ia tidak tahu
bahwa Biat Beng sebenarnya telah terluka karena tadi dia sudah menangkis seranga
nnya Tek Seng Siangdjin, sedangkan Seng Lim karena lukanya tidak dapat menggunai
ilmunya lari ringan tubuh. Sebenarnya
mereka itu terlebih cemas hatinya daripada si nona sebab mereka pun ingin sekali
lekas tiba di onghoe.
Masih si nona berdiri menjublak ketika
tubuhnya Biat Beng dan Seng Lim sudah tidak nampak lagi ketika kemudian ia berpa
ling, sinar matanya benterok sama sinar matanya Tiat Keng Sim, yang tengah menga
wasi
kepadanya. Sinar
matanya si anak muda itu lemah dan seperti mengandung penyesalan...
Hanya sedetik itu, Sin Tjoe mendapati di
depan matanya seperti berbayang tubuhnya Seng Lim serta tubuhnya Keng Sim, kemud
ian bayangan Keng Sim itu seperti menindih
bayangannya Seng Lim. Tanpa merasa, ia mengangkat kepalanya, memandang Keng Sim
pula. Hanya ini kali ia mendapatkan roman tegang dari anak muda itu, yang matany
a menjurus ke lain arah. Kapan ia sudah ikuti tujuan mata si anak muda, ia menda
patkan Ouw Bong Hoe serta Liok Yang Tjinkoen lagi menghadapi saat-saat yang sang
at membahayakan.
Mereka itu tidak berputaran dengan
setindak demi setindak, hanya tindakan mereka berubah menjadi sangat cepat, akan
di lain saat terdengarlah bentakan Liok Yang Tjinkoen: "Jikalau bukannya
kau
tentulah aku!"
Itulah berarti ancaman.
Sampai di situ cukup sudah si imam mengumpul tenaganya, maka tibalah ketikanya u
ntuk ia menyerang dengan ilmu silatnya Koengoan Itkhiekang, semangatnya yang dip
ersatukan.
Hebat serangan itu, angin seperti menderi, pasir dan batu bagaikan berterbangan.
Berbareng dengan serangan itu, tubuh Ouw Bong Hoe seperti terhuyung, tetapi ia m
enyambut dengan satu jari tangannya diangsurkan, maka
sebagai kesudahan dari itu lantas terdengar suara beradu yang tajam menusuk kupi
ng, seperti bola kena tertusuk jarum dan kempes sendirinya.
Tubuhnya Liok Yang Tjinkoen juga lantas terhuyung beberapa
tindak, mukanya
menjadi pucat sekali. Ia runtuh seperti ayam jago terpecundangkan!
Ouw Bong Hoe sudah menggunai "Ittjiesian" atau pukulan "Sebuah Jeriji,"
yang justeru ada penakluk untuk
Koengoan Itkhiekang. Masih syukur untuk Liok Yang Tjinkoen, telah mahir latihann
ya, kuat tenaga dalamnya, jikalau tidak, pastilah rusak anggauta-anggauta tubuh
bagian dalamnya dan jiwanya akan melayang lantas.
Begitulah kalau jago-jago saling bertempur, cukup dengan satu gebrakan yang
memutuskan. Tapi Liok Yang Tjinkoen, bersifat lain dari umumnya jago-jago. Ia pe
nasaran, ia tidak sudi segera mengaku kalah. Ia merasa hilang muka. Maka juga se
jenak kemudian, setelah
berlompat jumpalitan, ia berdiri dengan sebelah tangannya mencekal sebatang alat
senjata yang luar biasa senjata itu panjang dan merah, di ujungnya ada tergantu
ng dua batok kepala orang terbuat dari emas putih, hingga dilihat sekelebatan, m
irip itu dengan tengkorak tulen.
"Ouw Bong Hoe!" berseru si imam, "kau terkenal sebagai ahli pedang di Utara, sek
arang ingin aku melihat kau sebenarnya ada mempunyai kepandaian apa!"
Kata-kata ini tidak menantikan jawaban. Liok Yang Tjinkoen sudah lantas
menggeraki senjatanya yang aneh itu, menjuju kepada lawannya. Yang lebih aneh ad
alah mulutnya kedua tengi-korak itu bisa terbuka sendirinya, di situ terli-
hat barisan gigi yang putih meletak, kedua baris gigi atas dan bawah itu hendak
menggigit lawan!
Ouw Bong Hoe tidak menjadi jeri, bahkan sebaliknya ia tertawa tawar.
"Dengan senjatamu yang sesat ini kau hendak menggertak orang! Hm!" katanya.
Liok Yang Tjinkoen bergerak dengan sangat gesit, tapi tak kalah gesitnya adalah
jago pedang dari Utara itu, yang dalam sekejab saja sudah menghunus pedangnya de
ngan apa ia menangkis.
Kedua senjata benterok dengan menerbitkan suara, akibatnya cambuk si imam mental
balik.
Liok Yang Tjinkoen menggeraki balik
tangannya, kembali senjatanya itu menyerang pula, bahkan sekali
ini, ia menyerang beruntun-runtun tiga kali dengan serangannya berantai "Lianhoa
n sampian," Tiga Cambuk Saling Susul. Senjata itu berputar keras, anginnya
mendesir-desir.
Ouw Bong Hoe berlaku celi dan sebat. Ketika kedua tengkorak menyambar kepadanya,
Ia menyentil dengan dua jari tangannya yang kiri, membarengi mana pedangnya, pe
dang Tjengkong kiam memapas tangan orang nyerepet di antara rujung itu.
Liok Yang Tjinkoen berseru sambil dengan tangan kirinya menggempur, untuk mengha
ncurkan jeriji orang, sedang cambuknya, yang ditarik pulang, ia pakai untuk meny
erang pula, kembali secara berantai.
Sebenarnya senja-
tanya Lio Yang Tjinkoen ini, yaitu kolouw pian, atau cambuk tengkorak, biasa dig
unai untuk menggempur merusak tenaga dalam dan jalan darah lawan, sedang kedua t
engkoraknya sendiri ada mempunyai keistimewaan lain, maka beruntunglah Ouw Bong
Hoe, dia telah mempunyai kepandaian yang mahir sekali hingga dapat dia melayani
terus tak perduli senjata aneh itu.
Tan Hong mengangguk-angguk melihat cara berkelahi kawannya itu. Di dalam hatinya
, ia berkata: "Tidak kecewa Ouw Bong Hoe menjadi ahli warisnya Siangkoan Tjianpw
ee, ternyata ilmu silatnya sudah melebihkan berlipat kali daripada Tamtay Biat B
eng yang menjadi kakak seperguruannya.
Makin lama pertem-
puran menjadi makin hebat, hingga datang saatnya cambuknya si imam menyerang
berulang-ulang ke kiri dan kanan, lalu kedua tengkoraknya, dengan masing-masing
mulutnya terpentang, mengancam menggigit pundak kiri dan kanan dari Ouw Bong Hoe
, sedang ujung cambuknya menyambar mengancam melilit ke kaki orang.
Demikian satu gerakan dengan tiga macam tujuannya.
Menampak serangan hebat itu, hampir-hampir Sin Tjoe menjerit bahna kaget
nya.
Selagi ancaman ada demikian dahsyat,
hanya sedetik, tubuh Ouw Bong Hoe sudah bergerak, menggeser dari tempatnya menar
uh kaki barusan. Ia telah berlompat tinggi satu kaki lebih, dengan
gerakannya "Yantjoe tjoanin," atau "Burung walet menembusi
awan." Ia bukan melainkan berkelit, sambil berlompat, kedua
tangannya bergerak juga, pedang di tangan kiri, tangan kanan dengan jerijinya, d
ari atas menyerang ke bawah. Maka terdengarlah dua kali suara nyaring!
Kedua tengkorak emas putih itu telah kena terhajar, keduanya pecah, terbuka mulu
tnya, dari situ menyembur sinar terang yang berwarna merah tua!
Memang, cambuk dari Liok Yang Tjinkoen itu sebenarnya adalah Kolouw Liathoh pian
atau Cambuk Tengkorak Api, sebab di dalam tengkorak itu, yang digunainya untuk
menggigit urat-urat musuh, juga ada tersimpan api,
yang dapat menyembur membakar lawan. Ini pula sebabnya kenapa imam ini berani me
nantang Hek Pek Moko. Ia hendak mengandalkan senjatanya yang luar biasa situ.
Semua terperanjat sebagai kesudahannya menyemburnya api itu. Ouw Bong Hoe sepert
i terkurung api, hingga bajunya, dan rambutnya juga, telah kena terbakar. Karena
ini di kedua pihak, ada orang-orang yang telah berlompat maju, untuk membantui
masing-masing pihaknya.
Orang berlompat maju dengan cepat sekali, tetapi di dalam gelanggang pertempuran
, peristiwa berlaku dengan terlebih cepat pula. Dua kali lagi terdengar suara ja
ngg keras, dengan kesudahannya kedua tengkorak terhajar hancur oleh
Ouw Bong Hoe, yang seperti tidak jeri terhadap api, yang telah menggunai jari ta
ngannya yang liehay.
Touw Liong Tjoentjia baharu saja tiba ketika kupingnya mendengar jeritan hebat d
ari Liok Yang Tjinkoen, kawannya itu yang main api. Sebab lagi sekali ia kena di
serang pukulan Ittjiesian dari lawannya, dan kali ini hancurlah pertahanannya Ko
engoan Itkhiekang, maka sambil menjerit, ia roboh ke tanah, dari mulutnya, kupin
gnya, hidungnya, semua telah keluar darah. Ia merintih seraya bergulingan di tan
ah...
Kioepoanpo menjadi sangat gusar, dia berlompat dengan
tongkatnya dengan apa dia menyapu, untuk menghajar Ouw Bong Hoe.
Hek Pek Moko pun
gusar bukan main dengan tongkatnya mereka menangkis.
"Kau hendak main keroyok?" dua saudara ini menegur.
Belum sempat Kioepoanpo menjawab teguran itu, Touw Liong Tjoentjia, yang sudah k
epalang maju, mendahulukan menyerang.
"Sabar, sahabat!" berseru In Tiong, yang maju menangkis
serangan itu.
Sampai di situ, Thio Tan Hong mengasi dengar pula suaranya: "Tjie Hee Tootiang1.
Bukankah kau telah mengatakannya, siapa terluka atau terbinasa, dia cuma dapat
menyesalkan nasib
malangnya? Adakah perkataanmu ini tak masuk hitungan?"
Ditegur begitu, Tjie Hee Toodjin pun mengasi dengar suaranya.
"Kongsoen Tooyoe, tolong kau mundur dulu!" demikian ia berkata kepada kawannya.
Kioepoanpo jadi sangat menyesal, maka juga dengan tongkatnya ia memukul tanah.
"Kali ini aku roboh!..." ia mengeluh.
Hek Pek Moko mendengar itu, mereka sebaliknya tertawa.
"Kami berdua saudara pasti sekali akan menemani kau main-main!" katanya.
Kioepoanpo tidak melayani bicara, ia hanya menghampirkan Liok Yang Tjinkoen.
Imam sahabatnya itu rebah dengan napas empas-empis, darah mengalir keluar dari m
ulut, hidung, mata dan kupingnya, nadinya berjalan dengan sangat pelahan. Itulah
tanda bahwa dia tidak bakal hidup lebih lama pula karena telah rusak
semua anggauta dalam tubuhnya.
Itu waktu In Tiong dan Touw Liong Tjoentjia telah terus bertempur.
Inilah
disebabkan kawannya Liok Yang Tjinkoen itu tidak mau mengarti, tak sudi dia mund
ur. Maka itu, In Tiong terus melayaninya.
Touw Liong menggunakan sebilah golok yang luar biasa juga. Ujung golok itu terpe
cah dua bagaikan gaetan, di waktu digeraki, dari dalam situ memancar sinar merah
tua gelap.
In Tiong luas pengalamannya, maka ia dapat menduga,
mestinya golok itu telah pernah direndam dalam semacam racun. Karena ini ia berl
aku waspada, ia melayani dengan ilmu goloknya Loohan Sintoo dengan apa ia sepert
i menutup dirinya.
Ilmu golok Loohan Sintoo, atau Golok Arhat, ada ciptaannya Hian Kie Itsoe, yang
mengambil gerak-
geriknya lima ratus Arhat. Di masa mudanya, dengan itu Hian Kie telah menjagoi.
Tang Gak adalah murid kepalanya dan Tang Gak berhasil mewariskan ilmu golok itu.
Paling belakang, In Tiong pun dapat memahamkan ilmu golok itu sesudah peryakina
n belasan
tahun, maka juga, tidak perduli Touw Liong Tjoentjia ada sangat liehay, melayani
In Tiong ini, dia cuma bisa merampas kedudukan seri.
Lama juga dua orang ini bertarung, sampai lewat seratus jurus. Rupanya Touw Lion
g Tjoentjia penasaran, tiba-tiba terdengar seruannya yang nyaring, goloknya
berkelebat
bersinar. Ia telah menggunai jurus "Naga jahat keluar dari kedungnya," dengan it
u ia mencoba memecahkan kurungan lawannya.
Hek Pek Moko terkejut menyaksikan itu penyerangan sangat dahsyat, tanpa merasa m
ereka mengeluarkan seruan.
In Tiong sendiri telah menanti hingga golok sudah datang dekat kepada mukanya,
dengan tiba-tiba ia berkelit, sambil berkelit itu tangannya dipakai membabat ber
balik. Dengan begitu, dari membalas menyerang. Sasarannya adalah
lengan lawannya itu.
Touw Liong Tjoentjia dapat mengelahkan diri seanteronya.
Goloknya itu benterok sama golok musuhnya. Dengan begitu maka gagallah serangann
ya barusan yang memecah
kurungannya In Tiong.
"Bagus! Bagus!" Pek Moko membalas memuji.
Akan tetapi Tan Hong menggeleng
kepala dan
mengatakannya, "Gerakan yang kedua kali kurang sempurna." Inilah disebabkan, ilm
u golok Loohan Sintoo itu pertama mengutamakan penyerangan dan kedua pembelaan d
iri, tetapi In Tiong menggunakannya pertama untuk membela diri, lalu sebagai pen
yerangan.
Belum rapat mulutnya Tan Hong atau Touw Liong Tjoentjia sudah menyerang pula den
gan cepat sekali, umpamakata kilat
menyambar. Itulah dia gerakan "Burung aneh berjumpalitan," goloknya bagaikan men
yapu mengikuti gerakan
tubuhnya itu.
In Tiong melihat bahaya mengancam, ia
berkelit sambil melemparkan goloknya. Itulah salah satu tipu dari Loohan Sintoo,
untuk membebaskan diri dari ancaman bahaya.
Goloknya itu, meskipun dilemparkan, dilemparkannya ke arah musuh, untuk menyeran
g,
sesudah mana, dapat menyambarnya pula, untuk menangkap.
Touw Liong Tjoentjia kaget hingga dia berteriak. Dia mencoba berkelit. Kesudahan
nya dia dapat menolong lehernya tetapi tidak pundaknya, yang
keserepet golok, hingga dagingnya kena
terpapas!
Pek Moko kembali kaget, setelah itu ia bernapas lega. Ia menganggap In Tiong sud
ah bebas dari ancaman bahaya.
Sebenarnya hendak ia majukan dirinya. Tapi dugaannya itu keliru.
Touw Liong Tjoentjia itu ganas sekali, tanpa memperdulikan yang dia sudah terluk
a, begitu habis terpapas pundaknya, begitu dia membacok pula, hingga tahu-tahu g
oloknya yang beracun itu sudah berkilau berkelebat di depan muka lawannya!
Dalam saat sangat berbahaya itu, sebelah tangannya In Tiong berkelebat, lalu ter
dengar suara yang nyaring keras. Sebab sebelah tangannya Touw Liong Tjoentjia te
lah terpatah. Tapi di samping itu, lengan In Tiong sendiri mengeluarkan darah, k
arena dagingnya telah tergores golok musuh, lukanya panjang tiga dim lebih!
Dalam lukanya yang hebat itu, Touw Liong Tjoentjia masih sempat tertawa menyerin
gai, seraya menarik tangannya yang patah itu, ia
kata pada lawannya: "Kau membuatnya aku bercacad tetapi juga jiwamu tidak bakal
terlindung lagi!"
Mendengar itu orang semua kaget bukan main.
In Tiong tidak menggubris kata-kata orang, dengan tindakan
terhuyung ia berlari untuk pulang. Dari luka di lengannya itu, darah terlihat me
netes jatuh.
Touw Liong Tjoentjia itu terhajar pukulan Taylek Kimkong tjiang, lengannya tidak
dapat dilindungi lagi, tetapi dia membalas dengan
goresan goloknya yang beracun, racun yang terbuat dari campuran kotoran badak da
n burung serta ilar ular berbisa dari pulau Benghee To di Laut Timur. Setahunya
dia, tanpa obat pemunah dari dia sendiri, luka itu tidak dapat disembuhkan
lain orang...
Isterinya In Tiong, ialah Tamtay Keng Beng, segera memegangi suaminya itu, untuk
diantar pulang. Lebih dulu ia sudah merobek ujung bajunya, untuk membalut luka
suaminya. Telah terlihat sebuah garis hitam menaik pada lengan yang terluka itu.
Menampak itu Tan Hong segera berkata kepada Tamtay Keng Beng: "Lekas ajak dia be
ristirahat di kamar samedhi! Kau bantu dia mengempos semangatnya, untuk mencegah
menjalarnya racun itu!"
Tamtay Keng Beng pun seorang ahli, ia menginsafinya, garis hitam itu adalah racu
n yang sedang bekerja, jikalau racun itu menyerang ke uluh hati, habis sudahlah
lelakon suaminya. Maka itu ia berlari-lari pulang seraya
mempepayang suaminya itu.
Menyaksikan kesudahannya pertempuran itu, Tjie Hee Toodjin tertawa berkaka
k.
"Dalam babak ini dua-dua pihak sama-sama mendapat luka, kita boleh anggap ini se
ri!" katanya. "Bagaimana dengan babak yang kedua?"
Hek Pek Moko berlompat maju berbareng.
"Kali ini kami berdua saudara yang menggantung merek!" berkata mereka.
Kioepoanpo mengasi dengar tertawa dingin, dengan tindakan
pelahan ia maju ke dalam gelanggang.
"Hm!" katanya, tetap mengejek. "Telah lama aku mendengar tentang dua batang tong
kat mustika dari Hek Pek Moko, tongkat mana berharga mahal seperti harganya sebu
ah kota,
maka itu sekarang aku si perempuan tua ingin main-main dengan
kamu. Marilah kita bertaruh dua kali!"
"Bertaruh apakah?" menanya dua saudara itu.
"Yang pertama ialah bertaruh jiwa, dan yang kedua bertaruh hadiah!" menyahut Kio
epoanpo dengan jumawa.
"Hadiah itu ialah senjata-senjata di
tangan kita! Aku sangat penuju dua batang tongkat kamu itu!"
Hek Pek Moko tertawa dingin.
"Jikalau kau ada mempunyakan kepandaian, kau ambillah senjata kami ini!" kata sa
tu di antaranya. "Kami tidak memandang berharga kepada
tongkat kami ini!"
Kioepoanpo membawa sikapnya yang tenang.
"Tentang tongkatku ini," katanya, pelahan, sabar, "meski ini bukannya tongkat ya
ng dapat dipandang
berharga, sebenarnya adalah benda mustika. Maka aku percaya pertaruhan ini tidak
akan merugikan kamu! Jikalau kamu tidak percaya, kamu cobailah satu kali, nanti
baharu kamu merasa!..."
Hek Pek Moko tidak menjawab hanya
mereka mengangkat tongkat mereka ke dada mereka.
Kioepoanpo belum habis dengan kata-katanya itu tatkala tahu-tahu tongkatnya dika
si melayang, maka itu terdengarlah satu suara benterokan seperti nyaringnya emas
atau kumala, sedangkan sinar hijau dan putih berkelebat lenyap.
Akibatnya itu ialah Hek Pek Moko dan Kioepoan-
po sama-sama mundur sendirinya tiga tindak!
Di antara mereka bertiga itu adalah Pek Moko yang tenaga dalamnya terlemah, ia l
antas merasakan kedua belah lengannya
sesemutan dan baal. Karena ini sekarang insaflah ia akan liehay nya Kioepoanpo K
ongsoen Boe Houw dari bukit Aylao San.
Kongsoen Boe Houw sendiri pun terkejut. Sebelumnya ini, belum pernah ia menghada
pi lawan yang tenaga dalamnya seimbang dengan tenaga dalamnya sendiri, yang dapa
t menangkis tongkatnya seperti kali ini, sampai ia mesti mundur tiga tindak. Kar
enanya, ia pun menginsafi
hebatnya kedua saudara Moko itu. Coba ia tidak mempertahankan diri dengan kuda-k
uda berat badan "Seribu
Kati," mungkin ia terhuyung roboh.
Habis mundur itu, Hek Pek Moko sudah lantas bergerak pula. Hek Moko dengan tanga
n kiri di depan menotok kepada nadi lawan, dan Pek Moko dengan tangan kanan, men
otok ke jalan darah hiat-hay. Kedua tongkat, dengan sinarnya hijau dan putih, be
rkelebat sama gesitnya, bagaikan halilintar.
Selagi kawan-
kawannya si wanita tua terperanjat untuk
gerakan luar biasa sebat itu, si wanita tua sendiri memperdengarkan seruan nyari
ng, tongkatnya dikasi
bergerak turun. Itulah jurus "Pengsee lokgan," atau "Burung belibis turun di pas
ir datar." Pertama dengan itu dihalau serangannya Pek Moko, lalu menyusul itu
ujung tongkat
menyambar ke atas, ke mukanya Hek Moko, totokan siapa telah dapat dihindarkan de
ngan satu gerakan tadi. Tongkat yang berkepala seperti burung dara itu bahagian
pacuhnya mematuk muka lawan yang berkulit hitam itu.
Hebat serangannya Kioepoanpo ini. Ia pun percaya bahwa ia bakal berhasil. Ia han
ya keliru menduga. Kalau ia menyerang Pek Moko, mungkin ia dapat mencapai maksud
nya. Tapi ia sudah mengarah Hek Moko. Maka "Traang!" tongkatnya itu kena ditangk
is tongkat Lekgiok thung.
"Jangan mengharap terlalu banyak!"
mengejek Hek Moko, habis mana tongkatnya itu terus bersatu pula dengan Pekgiok t
hung, tongkat putih, dari Pek Moko, saudaranya.
Maka kedua tongkat itu
seperti mengurung
tongkat lawannya.
Segera setelah itu beberapa jurus berlangsung. Hebat perlawanan dari Kioepoanpo,
yang berulang kali memperdengarkan seruan-seruan dari
kemurkaan, ujung
tongkatnya bergerak ke segala penjuru.
Hek Pek Moko nampaknya berlaku sabar, mereka tidak menyerang hebat, lebih banyak
mereka
membela diri, karena itu, berselang sekian lama, kekuatan mereka berimbang saja.
Hanya benar, sama-sama
mereka itu tidak berani berlaku alpa.
Semua hadirin menjadi kagum, mereka menonton dengan men-jublak.
Dalam saat itu kembali terdengar benterokan yang nyaring, lalu suara itu sirap.
Segera
terlihat apa yang menyebabkan itu.
Kioepoanpo memegang tongkatnya di
tengah-tengah dengan kedua belah tangannya. Ujung tongkat itu, yang kiri menahan
tongkat Lekgiok thung dari Hek Moko, yang kanan menahan tongkat
Pekgiok thung dari Pek Moko. Maka mereka merupakan segi tiga, sebab ketiga tongk
at itu bagaikan nempel satu pada lain.
Ketiga orang itu berdiri diam laksana patung. Mereka tapinya tidak usah berdiam
lama, atau pada mereka segera terlihat perubahan. Masing-masing embun-embunan me
reka sudah lantas mengeluarkan uwap seperti asap yang mengepul naik, warnanya pu
tih.
Tjie Hee Toodjin dan Thio Tan Hong terkejut
bukan main. Mereka ketahui baik sekali ketiga orang itu, dalam dua rombongan, te
ngah mengadu tenaga dalam. Kalau terus mereka saling berkuat hingga semangat hab
is, mereka bakal bercelaka
dua-dua pihak, yang menang bakal menderita sama seperti yang kalah.
Sudah diketahui, liehaynya Kioepoanpo cuma di sebawahan Tjie Hee Toodjin. Dia di
undang Tjie Hee, untuk membantui kalau-kalau Siangkoan Thian Ya turun tangan sen
diri, supaya si imam mendapat tenaga bantuan yang berarti. Siapa tahu, wanita ko
sen itu menemui tandingan dalam dirinya Hek Pek Moko. Inilah tidak disangka sama
sekali. Hebat akibatnya apabila wanita itu dirobohkan Hek Pek Moko, karena itu
berarti
lenyapnya bantuan
yang dibuat andalan.
Thio Tan Hong bersenyum.
"Kita tengah melatih silat, untuk itu tidak usalah kita main mati atau hidup!" k
atanya. "Baiklah babak ini ditutup dalam keadaan seri."
Tan Hong ketahui dengan baik, apabila pertempuran itu berlangsung, Hek Pek Moko
pasti bakal menang dan Kioepoanpo akan mati letih tetapi pun dua saudara itu bak
al mendapat sakit hebat mungkin bercacad
karenanya.
Inilah apa yang diharap-harap Tjie Hee Toodjin, maka itu segera ia m
aju sambil membawa kipasnya.
"Benar!" katanya. Ia bertindak dengan sabar, tetapi toh sebentar saja ia s
udah berada di sisinya Kioepoanpo,
cuma bersangsi sedetik, kipasnya itu dipakai menyelak di antara senjatanya orang
-orang yang lagi berkutat itu.
Hek Pek Moko bertiga ada orang-orang liehay, tubuh mereka berdiri tegar bagaikan
gunung, ketika Tjie Hee mengerahkan tenaganya, mereka itu tetap tidak bergerak,
adalah tubuh si imam sendiri yang bergoyang seperti terhuyung. Kejadian ini mem
buat mukanya Tjie Hee menjadi merah. Ia lantas menyedot hawa, kembali ia majukan
kipasnya, kali ini ia menggunai tenaga tak setengah hati seperti tadi. Ia penas
aran, hendak ia memaksa memisahkan tiga orang itu.
Justru itu pedangnya Thio Tan Hong melesat menyelak ke arah ketiga jago itu,
dia sendiri sembari tertawa mem-
perdengarkan suaranya: "Biarlah aku membantu kepada tootiang1."
Tjie Hee Toodjin menggeraki kipasnya, untuk mengangkat
tongkatnya Kongsoen Boe Houw, dan pedangnya Tan Hong menarik melepaskan kedua
tongkatnya Hek Pek Moko. Dengan begitu, terpisahlah ketiga orang yang lagi mengu
ji tenaga dalam mereka itu.
Kioepoanpo dan Hek Pek Moko mengawasi satu kepada lain dengan muka mereka merah
padam saking mendongkolnya, tetapi mereka bernapas
sengal-sengal, tidak dapat mereka membuka suara, karenanya
terpaksa mereka pada mengundurkan diri.
Thio Tan Hong bersenyum pula.
"Sungguh sukar dicari ketika baik seperti
ini," berkata dia sabar, "karena itu, tootiang, berhubung dengan
kedatangan tootiang ini, aku yang muda ingin sekali meminta pengajaran daripa
damu."
Tjie Hee Toodjin mengangkat kepala ber-dongak ke langit, terus ia tertawa. Iapun
membawa sikap yang sabar sekali.
"Dulu hari pernah hingga tiga kali pintoo memohon pengajaran dari
kakek gurumu untuk memperoleh
kemajuan," ia menyahuti, "sayang hingga kali ini tidak kuberjodoh menerima penga
jaran itu. Katanya kamu suami isteri sudah mendapatkan pelajaran ilmu silat peda
ng tergabung dari Hian Kie Itsoe, baiklah, silahkan kamu berdua maju, supaya den
gan begitu pintoo jadi mendapat membuka pandangan
mataku!"
Tjie Hee mengetahui dengan baik Thio Tan Hong sudah maju jauh sekali, ia telah m
elewati paman-paman gurunya, akan tetapi mengingat dalam soal derajat dia terleb
ih tinggi dua tingkat dari orang she Thio itu, sengaja dia mengucapkan kata-kata
nya itu. Dia tidak sudi yang di muka orang banyak itu dia nanti kehilangan kehor
matan dirinya.
In Loei tengah me-ngempo anaknya, ia menyender di pintu, apabila ia mendengar su
aranya si imam, sepasang alisnya yang lentik bangun berdiri.
"Sin Tjoe, mari kau empo adik seperguruanmu ini!" ia kata pada muridnya.
Belum lagi Nona Ie menghampirkan, Tan Hong sudah mencegah.
"Adik In, tak usah kau maju!" demikian katanya.
Sin Tjoe pun ketahui, baharu habis melahirkan, tenaganya In Loei masih belum pul
ih, maka itu, ia turut berkata: "Soebo, biarlah aku saja yang menggantikan kau,
jikalau aku gagal, baharu soebo yang maju..."
Keng Sim terkejut, hingga ia menanya: "Kau yang maju?" Ia tahu liehaynya Tjie He
e Toodjin itu, yang ilmu silatnya sangat terkenal, yang derajatnya telah sama ti
ngkat dengan Hian Kie Itsoe dan Siangkoan Thian Ya, maka itu, bagaimana dapat si
nona mengajukan diri? Bukankah itu sama seperti cengcorang yang
membentur kereta? Karenanya, hendak ia mencegah.
Nona Bhok Yan di
pinggiran menyaksikan lagaknya pemuda she Tiat ini, pada matanya lantas s
aja nampak sinar tak puas.
Tan Hong bersenyum pula ketika ia berkata kepada muridnya: "Sin Tjoe, tidak usah
kau maju. Marilah berikan pedangmu padaku."
Nona Ie bersangsi sejenak, lantas ia meloloskan pedangnya, dengan hormat dan pel
ahan ia serahkan pedang itu kepada gurunya.
Tan Hong menyam-buti Tjengbeng kiam, habis mana ia menghunus pedangnya sendiri,
pedang Pekin kiam. Setelah ia mengebaskan kedua pedang itu, berkatalah ia dengan
nyaring: "Ilmu silat pedang tergabung dari partaiku tidak selamanya mesti dimai
nkan oleh dua orang, dapat juga oleh
seorang orang bersendirian, maka itu silahkan tjianpwee memberikan pengajar
an kepadaku."
Semenjak beberapa tahun ini Thio Tan Hong sudah mencapai puncaknya kemahiran, ma
ka itu apabila ia menghadapi musuh, tidak sudi ia menggunai senjata tajam, akan
tetapi sekarang ia menghunusnya sampai dua batang, itulah menandakan lawannya, T
jie Hee Toodjin, ia pandang tinggi. Meskipun demikian, Tjie Hee masih berlagak,
dia menunjuki sikap juma-wa. Habis mengibas kipasnya, dia berkata dengan tawar:
"Baiklah, kau boleh maju!"
Tan Hong tidak segera menerjang. Ia sebaliknya berkata: "Kakek guruku pun pernah
memuji ilmu silat pedang dari tootiang1. Silahkan tootiang menghunus pedangmu i
tu supaya aku yang terlebih muda dapat belajar kenal!"
"Benarkah?" bertanya Tjie Hee. "Benarkah kakek gurumu pernah memuji demikian? Ah
, sayang ia sekarang tengah menutup diri. Sekarang dengan siapakah dapat aku men
gadu pedang? Thio Tan Hong, sudah, jangan kau banyak bicara lagi, kau majulah!"
Dengan menggoyang-goyang kipasnya, imam ini tetap menjual lagaknya. Dia nampak s
angat jumawa.
Tan Hong mendongkol juga, tetapi ia dapat mengendalikan diri, dari pada menunjuk
i kemur-kahan, ia justru tertawa. Ia membalingkan pedangnya hingga terdengar sua
ra mengaung.
"Jikalau begitu, maafkan, aku yang muda berlaku kurang hormat!"
katanya kemudian
dengan dingin. Ia lantas saja menyerang dengan Tjengbeng kiam,
mengarah jalan darah honghoe hiat.
Tjie Hee membawa lagaknya sangat angku tetapi sebenarnya tidak berani ia memanda
ng enteng kepada orang she Thio ini, maka itu ia sudah lantas pentang kipasnya.
Itulah kipas bukan sembarang kipas, sebab terbuatnya daripada emas tercampur baj
a yang telah berulang kali dileburnya, semua
tulangnya berjumlah belasan batang, kecuali bulunya, yang merupakan kipas, tulan
g-tulang itu tajam seperti jarum. Jadi itulah senjata yang istimewa sekali.
Selagi Tjie Hee mengebas, maka ber-kelebatlah suatu sinar hijau. Imam itu te
rus
tertawa berkakak.
"Sepasang pedang tergabung!" serunya. "Tidak, tidak! Ah!..." Dan ia menjadi terk
ejut. Sebenarnya ia hendak membilang: "Sepasang pedang tergabung,
kiranya sebegini saja!" Tapi tahu-tahu sinar hijau itu seperti sudah mengitarkan
kepalanya, menyambar dan berba-lik, menyusul mana, sinar putih pun berkelebat,
hingga
semua jalan darahnya seperti telah terkurung kedua pedang itu.
Dalam keadaan seperti itu, Tjie Hee memutar kipasnya ke kiri dan kanan, sambil m
engempos semangat, ia membuat perlawanan. Sekarang tidak lagi ia membuka mulutny
a.
Thio Tan Hong berlaku bengis, satu kali ia sudah mendesak, ia ulangi itu tak hen
tinya. Tjie Hee melawan, tiga
kali ia membalas menyerang dengan
"Pekkhong tjiang,"
pukulan "Memukul Udara," sia-sia saja, dia tidak dapat mengundurkan musuhnya, di
a tetap didesak, malah semakin keras.
"i Tjianpwee, apakah kau masih tidak hendak menghunus pedangmu untuk memberi pen
gajaran padaku?" bertanya Tan Hong kemudian, sambil tertawa dingin. Pertanyaan i
tu pun dibarengi sama serangan Tjengbeng kiam ke jalan darah siangkioe hiat dan
pedang Pekin kiam ke jalan darah lengkie hiat.
Tjie Hee menangkis dengan kipasnya,
dengan tangan kirinya juga, tetapi justeru itu, sinar pedang lawan bagaikan bert
ukar
kedudukan, sinar hijau dan sinar putih berbelit,
menyambar secara
tidak disangka-sangka. Dalam keadaan seperti itu, cepat-cepat si imam menggeser
tubuh dengan tipunya "Memindahkan wujud, menukar kedudukan." Kipasnya bergerak d
engan sebat tetapi tidak urung ia merasakan sambaran hawa dingin kepada kepalany
a, sebab
pedangnya Tan Hong lewat di atasan kepalanya itu, hampir saja mengenai kulit
kepalanya.
Baharu sekarang imam ini terkejut, maka itu sembari memutar tubuh, dengan sendir
inya ia menghunus pedangnya, yang sejak tadi tergantung saja dipinggangnya, teru
s dengan pedang itu ia menangkis ke kiri dan kanan. Secara begini saja maka dapa
tlah ia membuyarkan serangan bertubi-tubi. Diam-diam
ia mengeluarkan pelu dingin.
Selama itu Pek Moko sudah dapat beristirahat, ia menonton dengan asyik sekali, k
apan ia telah menyaksikan si imam terdesak demikian rupa, ia bertepuk-tepuk tang
an, ia tertawa besar, dari mulutnya keluar ejekan: "Hai, imam busuk hidung kerba
u, kau masih banyak tingkah? Hahaha! Kau inilah yang dibilang, diundang minum ar
ak kau tidak sudi minum, sekalinya, kau minum arak dendaan! Lihat, bukankah kau
terpaksa dengan jinak menghunus pedangmu juga?"
Tjie Hee Toodjin tidak dapat melayani orang yang menghinanya itu. Tan Hong sudah
melanjuti serangannya yang hebat-hebat, terpaksa ia mesti melayani, untuk
membela dirinya, guna menjaga
kehormatannya...
Walaupun ia berada di pihak terlebih unggul, Thio Tan Hong tidak berani berbesar
hati hingga menjadi alpa. Bahkan di dalam hatinya ia berpikir: "Imam tua ini da
pat melayani tiga belas jurusku yang istimewa hanya dengan menggunai kipasnya, p
antaslah kakek guru menyebutkannya dia sebagai jago dari kalangan kelas satu."
Pula Tjie Hee Toodjin, setelah tambah pedang di tangannya, kedudukannya tidak la
gi lemah seperti seber-mula. Pedangnya itu hitam tetapi itulah bukan pedang semb
arang, pedang itu terbuat dari besi pilihan, maka juga, meskipun Tan Hong bisa m
emapasnya hingga bercacad tetapi tak
dapat dibabat kutung.
Tjie Hee berkelahi dengan memutar pedangnya itu yang seperti menggulung tubuhnya
, dengan ilmu silatnya itu ia hendak membikin pedang lawan turut tergulung juga.
Ia mempunyai tenaga
dalam yang hebat sekali, maka juga dengan pedangnya itu jarang ia menikam, lebih
banyak ia menggempur. Setiap menyerang,
tenaganya jadi berlipat kali besarnya.
Tan Hong bisa mengerti cara berkelahi dari lawannya ini, ia berlaku tenang tetap
i gesit, setiap serangan ia buyarkan, saban-saban ia membuatnya pedang lawan men
tal balik. Maka terkejutlah Tjie Hee. Maka imam ini jadi berlaku hati-hati, tena
ganya senantiasa dikerahkan.
Beberapa kali ter-
tampak Tjie Hee lebih unggul, selalu ia mengurung, atau di lain pihak ia berbali
k terdesak, hingga keduanya menjadi berimbang.
Menyaksikan pertandingan itu, Hek Pek Moko dan Ouw Bong Hoe menjadi kagum bukan
main.
Di matanya ahli, terlihat Tjie Hee Toodjin lebih mahir di dalam ilmu dalam, berk
at usianya yang tinggi dan latihannya lebih lama, akan tetapi di samping itu Tan
Hong, menang dalam kemahiran meng-gunai pedang, dengar begitu, berselang lagi s
etengah jam, mereka tetap berimbang.
Selama itu Kioe-poanpo telah dapat beristirahat, sesudah kesegarannya pulih, ia
habis sabar. Sambil menggederuk dengan tongkatnya, ia berseru: "Apakah pantas pe
rbua-
tan Thio Tan Hong ini, sebagai yang termuda dia menolak yang terlebih tua? Adaka
h ini caranya menyambut tetamu? Marilah kita menyerbu ke dalam untuk menanya ket
erangan kepada Hian Kie si tua bangka?"
"Akur!" menyambut Touw Liong Tjoentjia. "Tjie Hee Tooyoe, marilah kita mencari H
ian Kie, untuk bicara dengannya! Buat apa kau melayani segala anak muda?"
Tjie Hee ada satu ketua partai dia melayani Tan Hong dan mereka sama tangguhnya,
itu artinya ia sudah kehilangan muka, maka kalau nanti ia keliru menggeraki
tangan atau kakinya, ia bisa mendapat malu besar. Karena ini, kawan-kawannya itu
menggunai siasatnya itu, berteriak-teriak
Baharu sekarang Tjie Hee Too-djin terkejut, maka itu sembari memutar tubuh, deng
an sendirinya ia menghunus pedangnya, yang sejak tadi tergantung saja di pinggan
gnya, terus dengan pedang itu ia menangkis ke kiri dan kanan.
untuk menyerbu saja ke dalam. Dengan siasatnya ini, mereka itu hendak menolongi
Tjie Hee berbareng menyerbu beramai-ramai, untuk mencoba mendapat kemenangan den
gan cara mengeroyok itu.
Hek Pek Moko gusar sekali.
"Apakah kata-kata kamu tidak ada hitungannya?" mereka menegur. "Lootjianpwee Hia
n Kie tengah bersamedhi, bukankah tentang itu sudah diterangkan semenjak siang-s
iang? Sekarang kamu hendak menyerbu ke tempat suci, apakah kamu sengaja hendak m
empermainkan orang?"
Kioepoanpo meleng-gak, dia tertawa besar.
"Tidak salah!" jawabnya nyaring. "Memang sengaja kami hendak mempermainkan kamu!
" Lalu dengan
galak ia menyerang. Maka dengan begitu, tongkatnya benterok pula dengan kedua to
ngkat dua saudara Moko itu.
Touw Liong Tjoentjia telah kehilangan
sebelah tangannya, ia masih tetap gagah, ia pun lantas menerjang dengan sebelah
tangannya yang lainnya, yang memegang golok. Tapi segera ia dirintangi oleh Kimk
auw Siantjoe Lim Sian In, yang menangkis golok dengan gaetannya.
Ouw Bong Hoe lantas maju, untuk membantui isterinya. Atau mendadak ia merasakan
samberan angin yang keras sekali, lalu totokan jari tangannya kena dibikin menta
l balik. Sebab ia segera dihalangi oleh Tek Seng Siangdjin dari Sengsioe hay, Ko
enloen San, siapa punya ilmu
silat "Tek Seng Tjioe," atau "Tangan Memetik Bintang," liehay sekali. Ittjiesian
dari Ouw Bong Hoe tidak dapat menakluki tangan yang liehay dari musuh itu.
Sampai di situ, terjadilah pertempuran yang kacau itu.
Untuk sementara, Hek Pek Moko dan Ouw Bong Hoe suami isteri kena didesak lawan.
Musuh menyerang
dengan sangat hebat, sampai mereka itu seperti sukar dihalang-halangi.
Menampak demikian, Tan Hong bergelisah juga. Bukankah kakek gurunya tengah
bersamedhi dan belum saatnya untuk mereka itu keluar dari kamar? Bagaimana jikal
au
samedhi mereka sampai kena dikacaukan musuh ini? Tengah ia berpikir itu, terden
gar Tjie Hee Toodjin bersiul panjang,
pedangnya menyabet, kipasnya menangkis, untuk membikin buyar lingkaran pedangnya
. Lalu imam itu tertawa dan berkata: "Haha, Tan Hong! Jikalau kau tetap tidak he
ndak memimpin aku menemui kakek gurumu, akan aku sendiri yang pergi menghunjuk h
ormat padanya! Kau maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau lebih lama pula!"
Inilah Tan Hong tidak menyangka. Siapa nyana, ini imam kenamaan juga hendak berl
aku tak mengenal aturan! Ia menjadi mendongkol, ia tertawa dingin. Ia berkata de
ngan nyaring: "Kau telah belajar kenal dengan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat, unt
uk apa kau mencari pula kakek guruku?"
Itulah kata-kata yang berarti: "Aku
sendiri kau tidak mampu robohkan, mana tepat untukmu menemui kakek guruku?"
Lebih tegas, itulah sindiran.
Mukanya Tjie Hee menjadi merah padam. Ia tertusuk sindiran itu, hatinya menjadi
panas sekali. Justeru Tan Hong menikam padanya, ia menangkis, lalu ia membalas,
untuk mendesak. Hendak ia nerobos terus.
Sebisa-bisa Tan Hong hendak merintangi. Ia tidak bisa berbuat banyak, sebagaiman
a Tjie Hee pun kewalahan. Nyata mereka berdua berimbang
kekuatannya. Untuk kerugian pihaknya, Tan Hong kekurangan In Tiong suami isteri
serta Tamtay Biat Beng.
Menyaksikan semua itu, In Loei tidak melihat lain jalan dari pada turu
t turun tangan. Musuh sudah merangsak
mendekati pintu besar. Lantas ia menyerahkan bayinya pada Bhok Yan. Ia kata: "Ka
u berdua adikmu pergi menyingkir ke dalam."
Bhok Yan menyam-buti, sembari berbuat begitu, ia melirik kepada Keng Sim, juster
u si anak muda menemani Sin Tjoe, bahkan pemuda itu berkata dengan halus: "Adik
Tjoe, kau telah terluka, sebaliknya lawan begini ganas, tidak dapat kau berkelah
i pula, baik kau pun menyingkir ke dalam..."
Sin Tjoe seperti tidak mendengar perkataan anak muda itu, dengan berdiri di damp
ing gurunya, ia memasang mata ke medan pertempuran.
Tepat di itu waktu, sambil memperdengarkan seruannya, In Loei mengasi melayang t
iga buah kimhoa atau bunga
emasnya.
Touw Liong Tjoentjia tengah membacok Lim Sian In ketika sebuah bunga emas menyam
bar goloknya tanpa ia berdaya mengelakkannya. Cepat sekali menyambarnya bunga em
as itu. Setelah terdengar suara "Traang!" golok itu mental sedikit.
Lim Sian In berlaku cerdik dan sebat, batal menangkis bacokan, ia putar gaetanny
a,
karena mana tidak ampun lagi lengannya lawannya itu, Touw Liong Tjoentjia, kena
tergores panjang.
Bunga emas yang kedua dari In Loei menyambar kepada Tek Seng Siangd
jin. Imam ini membalik sebelah
tangannya, hendak ia membanggakan kepandaiannya menyambuti senjata rahasia. ia t
erkejut tatkala kupingnya mendengar suara
meraum dari senjata rahasia itu. Selagi hatinya terkesiap,
tangannya dibalik pula. Maka batallah ia menyambuti, sebaliknya, menyerang denga
n pukulan "Tangan
Bintang kecil" semacam pukulan "Memukul Udara Kosong." Maka itu, dengan masih me
raum, kimhoa itu mental ke lain jurusan, ke samping.
Celaka adalah Poan Thian Lo, dia seperti kena dibokong. Tepat kimhoa itu mengena
i jalan darahnya, hingga tidak ampun lagi, di itu detik juga dia roboh terguling
.
Tek Seng Siangdjin mengeluarkan peluh dingin menyaksikan
liehaynya bunga emas itu. Coba tadi ia benar-benar menyambuti senjata rahasia it
u, celakalah dirinya.
Sementara itu bunga emas yang ketiga
melesat ke arah Tjie Hee Toodjin. Imam ini liehay, ia dapat melihat senjata raha
sia datang ke arahnya. Begitu kimhoa itu datang dekat, ia menabas dengan pedangn
ya. Sedetik itu juga, kimhoa itu terbacok pecah menjadi dua potong. Walaupun dem
ikian, sama-sama barang logam, bunga emas itu pecah dengan menghamburkan lelatu
apinya.
"Hebat!" pikir si imam.
Sin Tjoe mendelong menyaksikan caranya gurunya itu menggunai senjata rahasianya.
Ia tadinya menduga, guru itu akan menyerang ke satu jurusan saja. Ia pun kagum
untuk tenaganya bunga emas itu, yang membuatnya musuh gentar.
Biarnya ia tidak dapat mencapai maksud hatinya. In Loei dengan bunga emasnya
itu
dapat juga menghambat desakannya musuh.
Sin Tjoe menjadi gatal tangan. Ia lantas saja menelad gurunya itu dan menimpuk d
engan segenggam bunganya. Ia menimpuk dengan menyontoh
timpukannya Ismet
sebagaimana caranya Ismet melayani Hek Pek Moko baru-baru ini. Dua belas tangkai
bunga emas segera menyambar musuh-musuhnya. Sayang tenaga dalamnya masih belum
sempurna. Separuh
bunga itu diruntuhkan Tjie Hee Toodjin, dan yang separuh pula oleh Kioepoanpo. H
asilnya satu-satunya ialah ia pun mengacaukan
lawan, yang rangsakan-nya kembali terhalang.
In Loei melihat caranya muridnya itu menimpuk, ia girang berbareng kagum.
"Kepandaianmu melepaskan senjata rahasia tak usah diajari aku terlebih jauh!" be
rkata ia.
Biar bagaimana, rintangan hanya untuk sementara. Dipimpin Tjie Hee Toodjin dan K
ioepoanpo, pihak menyerang mulai merangsak pula. Lekas juga mereka tiba di depan
In Loei. Bhok Yan lantas menyingkir ke dalam seraya memeluki bayinya In Loei it
u, Bhok Lin mengikuti ia.
Keng Sim memandang Sin Tjoe, ingin ia melihat aksinya nona itu. Di saat ia henda
k membuka mulut, tahu-tahu si nona sudah merampas pedang
ditangannya seraya nona itu membilang dengan tawar: "Pergi kau melindungi Nona B
hok, pedangmu ini hendak aku pinjam sebentaran!"
Heran Keng Sim hingga ia melengak. Tapi ia tidak bisa berdiam saja. Kioepoanpo t
elah tiba di dekatnya, ia segera diserang, karena mana, lekas-lekas ia mengundur
kan diri beberapa tindak.
Hampir itu waktu, benterokan pedang yang keras terdengar nyaring.
Dalam herannya, Keng Sim menoleh ke arah suara pedang itu.
"Benterokan sudah terjadi di antara pedangnya Sin Tjoe dengan pedangnya Tjie Hee
Toodjin. Imam ini dengan sengit
menyerang Tan Hong, perintang satu-satunya yang menghambat
penyerbuannya ini. Atas serangan itu, Tan Hong menggeraki sepasang pedangnya. Ju
stru itu, Sin Tjoe tengah menikam ke dada si imam yang liehay. Kedua
senjata segera ben-terok. Kesudahannya itu ialah Tjie Hee Toodjin terhuyung mund
ur
beberapa tindak.
Itulah hebatnya siangkiam happek atau pedang tergabung dari Hian Kie Itsoe. Tan
Hong bergerak, Sin Tjoe bergerak juga. Mereka tidak berjanji dulu tetapi sama tu
juan mereka, dengan sendirinya mereka menggunai tipu silat pedang yang liehay it
u. Maka Tjie Hee terancam bahaya, terpaksa ia menangkis sambil mundur, mundur se
cara sangat kesusu, tanpa teratur, hingga ia terhuyung. Kalau umpama si imam men
angkis Sin Tjoe, ada
kemungkinan dia dapat mematahkan pedang Tjengkong kiam si nona, di lain pihak, d
ia bakal menjadi kurbannya
sepasang pedang Tan Hong. Kalau toh dia
melayani Tan Hong sendiri, sukar dapat dicegah pedang si nona membuat liang di d
adanya, menancap di jalan darah soankie hiat. Karena itu, terpaksa dia mengundur
kan diri.
"Bagus!" berseru Tan Hong, yang memuji muridnya itu. Walaupun kalah tenaga dalam
, murid ini toh bisa merendengi Tan Hong, gurunya itu, untuk melayani Tjie Hee T
oodjin.
Setelah itu Nyonya Tan Hong mainkan kedua jari tangannya, ia melepaskan pula bun
ga emasnya. Kali ini ia berhasil menghalang kembali rangsakan musuh. Bukankah se
telah si imam terpegat, Kioepoanpo dan Tek Seng Siangdjin repot juga dengan rang
sa-kannya itu?
Sudah menghalang
Tjie Hee Toodjin, Tan Hong mengambil kesempatan berlompat kepada Kioepoanpo
, guna
menolongi Lim Sian In dari desakan Kongsoen Boe Houw. Lalu, dengan suara nyaring
dan lancar, ia perdengarkan suara seperti bersenandung: "Tega melihat di gunung
tersohor hawa peperangan
mengkedus naik! Maka saksikanlah bagaimana pedang mustika
mengundurkan sekalian iblis! Tjie Hee Tootiang, apabila tetap kau tidak tahu mun
dur dan tidak tahu maju, jangan sesalkan aku jikalau aku nanti berlaku tanpa sun
gkan-sungkan lagi!"
Tjie Hee Toodjin sudah seperti menunggang harimau, untuk turun sulit sekali.
"Baiklah!" ia menjawab. "Ingin aku melihat kau dapat merintangi
aku masuk ke dalam atau tidak!"
Imam ini segera mengibas dengan kipasnya. Ia bukan segera menyerang hanya
dengan itu mengatur diri, hingga kawan-kawannya lantas merupakan seperti ular ya
ng panjang. Barisan itu Tiangtjoa Tin, sebuah barisan lantas dipimpin Kioepoanpo
, yang maju di paling depan dengan Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia m
erangsak dari kiri dan kanan. Tjie Hee sendiri menempatkan diri di tengah untuk
memimpin lain-lain kawannya.
Hebat cara menerjang ini, dalam serin-tasan, mereka berhasil maju hingga jauhnya
tiga tombak.
Menyaksikan rangsakan itu, Tan Hong tertawa dingin,
berulangkah ia mengasi
dengar ejekannya,
"Hm!" Lalu dengan pedangnya ia menuding. Tepat tempo ia hendak melakukan penyera
ngan membalas, kupingnya mendapat dengar siulan panjang yang berlaku umpama kata
naga bersenandung. In Loei sudah lantas berseru: 11 Soehoe datang!"
Belum berhenti suaranya In Loei ini, atau dua orang terlihat berlari-lari mendat
angi, larinya sangat pesat. Mereka adalah sepasang priya dan wanita, ialah gurun
ya Tan Hong dan In Loei itu, yaitu Tjia Thian Hoa dan Vap Eng Eng.
Tjia Thian Hoa tiba paling dulu, pedangnya dihunus. Dengan
nyaring ia berseru: "Siapa berani datang mengacau ke Tjhong San ini? Lekas menyi
ngkir!"
Hebat seruan itu,
banyak orangnya Tjie Hee Toodjin yang
merasa kupingnya
sakit...
Tek Seng Siangdjin berdua Touw Liong Tjoentjia tidak kenal Tjia Thia
n Hoa dan Yap Eng Eng, mereka tertawa menghina,
mereka menantang.
"Sungguh jumawa!" kata mereka. "Kepandaian apa kau mempunyai maka kau berani men
yuruh aku menyingkirkan diri?" Lalu, dengan masing-masing golok dan pedangnya, m
ereka menyerang,
menggencet Thian Hoa.
Di samping Tjia Thian Hoa ada Yap Eng Eng, isterinya, yang bergelar Hoeithian Li
onglie, si Puteri Naga Terbang ke Langit, yang ilmunya enteng tubuh paling jempo
l, menyaksikan suaminya hendak digencet, ia berlompat
maju seraya menggeraki pedangnya, hingga ia dapat mendahului
suaminya.
Touw Liong Tjoentjia mengutamakan Thian Hoa satu orang, ia tidak menduga atas da
tangnya si nyonya, maka bukan main kagetnya ketika tahu-tahu
lengannya telah tertusuk, hingga saking sakitnya, ia mesti melepaskan cekalannya
kepada pedangnya di luar keinginannya.
Tek Seng Siangdjin menyaksikan itu, ia terperanjat. Justeru itu, ia menjadi bert
ambah kaget. Sebab Thian Hoa, tanpa menghiraukan gerakan isterinya, terus menyer
ang,
pedangnya membabat ke arah kepala lawan. Tabasan ini ditimpali serangan isteriny
a.
Dua-dua Tek Seng dan Touw Liong merasakan sambaran
angin dingin di kepala dan muka mereka, lekas-lekas keduanya berkelit sambil men
dak, meski begitu, ketika mereka merabah ke kepala mereka, nyata rambut mereka t
elah terpapas kutung.
Kioepoanpo terkejut, dia mainkan tongkatnya dengan niat menolongi kawan-kawannya
itu. Atau dia lantas melihat lari mendatanginya
seorang paderi yang tubuhnya gemuk, sembari berlari-lari paderi itu memperdengar
kan suaranya yang seperti guntur: "Mari rasai tongkat aku si paderi!"
Itulah murid nomor dua dari Hian Kie Itsoe, ialah Tiauw Im Hweeshio , yang hebat
ilmunya bagian luar, Gwakang, yang tongkatnya berat seribu kati. Maka ketika ia
menyerang Kongsoen Boe Houw, kedua tongkat mereka
benterok keras sekali, sekejab itu juga, kedua tongkat sama-sama terkutung patah
!
Tidak kenapa Tiauw Im kehilangan tongkatnya, karena tongkat itu tongkat biasa sa
ja, tidak demikian dengan Kioepoanpo, yang
merasakan hatinya
sakit, lantaran tongkatnya itu adalah tongkat dari galih pohon lionghiat yang tu
a dari gunung Aylao san, yang sangat sukar untuk didapatkannya.
Kioepoanpo beroman luar biasa, Thian Hoa tidak kenal padanya, cuma ia pernah men
dengar orang
omong tentang wanita kosen itu, sekarang menyaksikan si wanita sanggup mematahka
n tongkatnya Tiauw Im, dapatlah ia menduga, siapa adanya orang itu. Lantas saja
bangun alisnya, lalu dengan
nyaring ia kata: "Kongsoen Tjianpwee, bukannya kau bersamedhi di Aylao San, kau
justeru bercampur gaul sama ini segala hantu dan datang mengacau ke Tjhong San i
ni, apakah sebenarnya maksudmu?"
Tapi Kioepoanpo sedang panas hatinya.
"Hari ini aku hendak mengadu jiwa sama kamu, bocah-bocah cilik!" sahutnya sengit
. Lalu dengan sisa tongkatnya ia menyerang dengan tipu silatnya "Membiak mega me
ngendalikan kilat." Dengan begitu pacuh burung, yang lain dari tongkatnya lantas
bergerak-gerak menyambar tak hentinya. Ia menyerang Thian Hoa dan Eng Eng.
Serangan ini benar-benar luar biasa, sebab dengan itu Kioepoanpo pertaruhkan jiw
anya.
Menampak orang bagaikan kalap itu, Tiauw Im terkejut.
Tjia Thian Hoa sebaliknya tidak jeri karenanya.
"Mengingat usiamu yang sudah tinggi, kau pergilah!" katanya
dingin. Lalu pedangnya bergerak berbareng pedangnya Eng Eng, isterinya.
Cuma dua kali sinar-sinar pedang berkelebat, segera juga kedua kaki kiri dan kan
an Kongsoen Boe Houw tertikam masing-masing satu kali, sedang tongkatnya yang bu
ntung mental ke udara, pacuh burungnya terbabat kutung, menyusul mana, tubuhnya
sendiri terlempar beberapa tombak
jauhnya, jatuhnya di jalanan mudun. Habis itu, tanpa bersuara lagi, dengan tinda
kan
pincang, dia terus
berjalan turun gunung...
Syukur untuk wanita tua ini, Tjia Thian Hoa masih menaru belas kasihan terhadapn
ya, jikalau tidak, tidak nanti dia dapat meloloskan jiwanya dari sepasang pedang
yang tergabung bersatu padu.
Kesudahan berlalunya Kioepoanpo ini hebat untuk Tjie Hee Toodjin. Ra t
a - ra t a
kawannya telah
mendapat luka, mereka itu lantas pada lari turun gunung. Maka tinggal ia seorang
diri. Ia tidak mau mengundurkan diri, ia terkekang oleh kedudukannya
sebagai seorang tokoh utama. Ia pun malu untuk kerugiannya ini. Seumurnya belum
pernah pihaknya terkalahkan begini rupa. Di saat Kioepoanpo roboh, ia menyerang
dengan kipasnya, dengan
pedangnya ke kiri
kepada Eng Eng, ke kanan kepada Thian Hoa.
Di saat itu, kedua suami isteri itu belum sempat mempersatukan pula pedang merek
a. Atas serangan itu, tubuh mereka limbung. Tidak terkecuali Tjie Hee Toodjin se
ndiri, si penyerang.
"Siapa kau ?" menanya Thian Hoa terkejut. Ia tidak kenal imam ini.
Tjie Hee pun menjadi kalap, tanpa menyahuti, ia mengulangi serangannya, kipas da
n pedangnya bergerak hebat.
"Soehoe, dialah Tjie Hee TootiangV Tan Hong lekas memberitahu.
"Oh..." kata Thian Hoa, yang suaranya tertahan. Sebab lagi-lagi Tjie Hee menyera
ng, tak hentinya.
Thian Hoa menjadi masgul, ia mengerutkan
alisnya.
"Ini orang tidak tahu diri, adik Eng, jangan kau sungkan-sungkan terhadapnya!" i
a kata kepada isterinya. Ia lantas menyerang.
Yap Eng Eng menurut, maka itu, ia pun menyerang.
Begitu lekas kedua batang pedang bersatu, pedang Tjie Hee kena dibikin terpental
, tempo si imam memaksa bertempur terus, segera terdengar suara
"Traang!" keras dan api meletik muncrat, sebab senjata mereka bertiga benterok k
eras sekali.
Thian Hoa tidak berhenti sampai di situ, setelah menyampok kipas lawan, pedangny
a mendahului bergerak pula, memapas ke kepala orang.
Tjie Hee berkelit, tetapi tidak urung, kopia sucinya kena terbabat kutung.
Ia
terkejut, tapi ia pun penasaran, dengan
kipasnya itu ia membalas menyerang. Kali ini senjatanya itu bertemu sama pedangn
ya Eng Eng. Celaka untuknya, pedang si wanita telah membabat kipasnya hingga
terkutung dua potong tulangnya!
Hebat pengalamannya Tjie Hee Toodjin. Tadi ia melayani Tan Hong seorang, ia suda
h kewalahan, ketika Tan Hong dibantu Sin Tjoe sebentaran, ia tidak bisa berbuat
apa-apa, sekarang ia mesti menghadapi pasangan Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, h
atinya terkesiap. Tapi ialah satu jago tua, kedudukannya tinggi, dalam murka dan
mendongkolnya, ia
melupakan segala apa, ia menjadi hebat luar biasa. Ia berkelahi terus
seperti melupai jiwanya sendiri. Ia ingin biarlah kedua pihak runtuh bersama...
Sebenarnya, setelah mengetahui siapa
lawannya, Thian Hoa dan Eng Eng memikir untuk memberi ampun seperti tadi mereka
memberi ampun kepada Kioepoanpo Kongsoen Boe Houw, maka sulit untuk mereka, mere
ka diserang secara
demikian hebat, oleh karena terpaksa,
mereka melayani sama kerasnya. Karena ini dapatlah diduga,
sebelum lewat tiga puluh jurus, kalau tidak terbinasa, imam itu sedikitnya akan
terluka parah. Di dalam halnya mereka, tidak ada orang yang dapat memisahkan mer
eka bertiga.
Tan Hong mendongkol tetapi pun cemas.
"Tjie Hee keterlaluan, dia pantas diajar
adat," pikirnya, "cuma kalau sampai dia terbinasa atau terluka, permusuhan kedua
pihak tentulah tidak dapat didamaikan lagi..."
Biasanya Tan Hong cepat berpikir mencari daya akan tetapi sekarang ia agaknya ti
dak berdaya.
Pertempuran berjalan terus dengan tetap dahsyatnya. Tjie Hee Toodjin sudah ter
kurung sinar pedang tetapi ia tetap berkepala batu, ia melawan terus. I
a terancam bahaya,
begitu juga Thian Hoa dan Eng Eng asal mereka beralpa. Sebab biar bagaimana, Tji
e Hee ada liehay sekali. Imam ini memang menghendaki mereka terluka atau terbina
sa bersama.
Pula Tan Hong gelisah karena tidak dapat ia datang sama tengah, untuk mem
isahkan.
Sebabnya adalah, ke satu tenaga dalamnya tidak cukup, kalau ia maju, ia sendiri
bisa turut terancam hahaja, dan kedua, ia tidak berani melanggar
keangkaran gurunya itu. Tentu sekali, tidak ingin ia kedua gurunya itu men
dapat bahaya.
Dengan mendatangkan suara nyaring, lagi dua tulang kipasnya Tjie Hee kena ditaba
s kutung. Rupanya ini menyebabkan si imam meluap darahnya,
mendadak ia menyerang hebat sekali, dengan jurusnya "Houw Tek memanah matahari."
Inilah serangan dari kebinasaan.
Thian Hoa dapat mengelakkan diri dari serangan itu, bersama Eng Eng, ia tetap me
ngurung lawannya yang kosen itu dengan pedang mereka, yang sinarnya terus berkil
au-
kilau di sekitar tubuh orang.
Di matanya Tan Hong, sang waktu tinggal ditunggu saja untuk runtuhnya jago tua i
tu tatkala dengan tiba-tiba orang
mendengar satu suara yang dalam, suaranya seorang tua yang berpengaruh: "Tjie He
e Tooyoe, aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk perhatianmu sudah
memerlukan menjenguk padaku. Aku minta sukalah kau tidak melayani segala anak-an
ak yang tingkatnya lebih rendah! Sekarang kau telah bertemu sama sahabatmu, aku
harap segala urusan dapat dibikin habis. Tooyoe, aku menghaturkan
selamat kepada
partaimu, yang telah memperoleh kemajuan pesat, dan aku pun menghaturkan sela
mat
kepadamu sendiri yang pertapaanmu telah
berhasil! Sekarang ini aku minta sukalah tooyoe pulang kembali ke gunungmu, hara
p kau memaafkan aku si tua, tidak dapat atau mengantarkan kau
sampai di tempat yang jauh!..."
Menyusul achirnya kata-kata itu adalah satu suara yang nyaring, sebab pedangnya
Thian Hoa, pedangnya Eng Eng, begitupun pedangnya Tjie Hee, sudah dibikin terlep
as dari cekalan mereka dan semuanya mental melesat!
Semua orang sudah lantas berpaling ke arah dari mana suara itu datang. Untuk her
annya mereka, mereka mendapatkan pintu rumah batu yang di belakang itu, yang kat
anya dipakai bersamedhi oleh Hian Kie Itsoe bertiga,
sudah terpentang
lebar-lebar. Dan di depan pintu itu, di atas lapangan rumput,
terlihat Hian Kie Itsoe tengah duduk bersila, di kiri dan kanannya, ia terapit o
leh Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan. Roman mereka itu tenang tetapi angkar
mirib dengan orang-orang suci yang telah mencapai pertapaannya. Orang pun segera
mengarti, adalah sepotong batu yang ditimpuki Hian Kie Itsoe itu yang membuatny
a ketiga batang pedang dari orang-orang yang lagi bergulat mengadu jiwa itu terb
ang pergi! Bukankah di situ tidak ada lain orang yang dapat berbuat demikian itu
?
Paras mukanya Tjie Hee Toodjin menjadi pucat pasi. Sudah beberapa
puluh tahun ia menyekap diri, melatih
ilmu silatnya, sekarang terbukti, ia tetap tidak cukup tangguh untuk melayani Hi
an Kie Itsoe. Sekarang baharulah ia insaf. Ia menjemput pedangnya, ia berpaling
kepada tuan rumah, untuk menjura.
"Terima kasih untuk pengajaranmu, kiesoe," ia berkata. Lantas ia memutar tubuhny
a, untuk turun dari gunung itu buat pulang ke gunungnya sendiri,
gunung Ouwbong San di mana selanjutnya ia berdiam dengan tidak berani
lagi mencampuri segala urusan luar.
Tan Hong semua girang sekali urusan dapat diselesaikan secara demikian, sedang k
akek guru itu pun muncul terlebih siang daripada mestinya.
Dipimpin oleh Tjia Thian Hoa, semua murid dan cucu murid itu pada datang m
enghadap guru
dan kakek guru mereka, untuk memberi hormat.
Sin Tjoe adalah yang terbelakang memberi hormatnya.
(bersambung)
CATATAN
3) halaman 331, Siangkoan Thian Va melarang Ouw Bong Hoe menikah agar Ouw Bong H
oe dapat mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu silat, karena ilmu tenaga dalam
Siangkoan Thian Va mengharuskan tubuh jejaka. Setelah Thio Tan Hong meminjamkan
kitab tenaga dalam warisan Pheng Hweeshio, masalah itu teratasi dan Ouw Bong Ho
e dapat menikah dengan Lim Sian In. Kisah ini diceritakan dalam Peng Tjong Hiap
Eng (Dua Musuh Turunan).
4) halaman 334, Siauw Oen Lan adalah tokoh sepantaran dan seangkatan Hian Kie It
soe (Tan Hian Kie) dan Siangkoan Thian Ya. Masa muda mereka diceritakan dalam ce
rita Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika), dan kisah selanjutnya dapat d
ibaca dalam cerita Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
5) halaman 454, Di Tjio Lim atau Rimba Batu inilah kelak Thio Tan Hong mengasing
kan diri setelah In Loei meninggal. Di sini pula Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko
meninggal. Sebelum meninggal, Thio Tan Hong sempat menciptakan sebuah ilmu pedan
g baru, dan diwariskan pada murid terakhirnya, Tan Ciok Sing, kejadian ini dapat
diikuti dalam cerita Khong Ling Kiam (Pendekar Pemetik Harpa). Lama setelah itu
, ilmu pedang tsb kembali ditemukan oleh Beng Hoa dalam kisah Anak Pendekar.
PENDEKAR WANITA PENJEBAK BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid 3
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
PENDEKAR WANITA PENJEBAR BUNGA
(SAN HOA LIE HIAP)
Jilid 3
Dituturkan oleh: Boe Beng Tjoe
Diterbitkan untuk Masyarakat Tjerita Silat
Surabaya 2008
Hian Kie Itsoe bersenyum menyaksikan semua murid, cucu murid dan buyut muridnya
itu, ia berkata: "Hari ini aku menyaksikan ke empat turunan muridku
berkumpul bersama, aku puas sekali!" Cuma berhenti sejenak, ia meneruskan: "Thia
n Hoa, Eng Eng dan Tan Hong, ilmu silatmu sudah maju pesat sekali, aku tidak men
guatikan apa-apa lagi, hanya hendak aku memberitahukan padamu, ilmu silat itu ad
a bagaikan laut yang luas, dari itu janganlah kamu lantas sudah merasa puas."
Dengan berdiri lurus dan tangan dikasi turun, Thian Hoa bertiga menghaturkan ter
ima kasih kepada guru dan kakek guru itu.
Hian Kie bersenyum, ia berkata pula: "Kami
bertiga merasa malu sendiri yang kami telah hidup puluhan tahun di dalam dunia i
ni tetapi tidak ada sesuatu yang kami lakukan yang ada faedahnya untuk
negara atau sesama rakyat, kami hanya merasa beruntung
bahwa perbuatan kami tidak sesat dan sedikit kepandaian kami telah dapat diwaris
kan
kepada kamu. Sekarang ini adalah harapan kami supaya kamu
menggunai kepandaian kamu untuk memajukan ilmu silat kita serta berbareng melaku
kan sesuatu yang ada baiknya untuk umum!"
Siangkoan Thian Ya pun memberi pesan kepada Ouw Bong Hoe semua, untuk menganjurk
an mereka menanam kebaikan.
Habis itu, sendirinya Hian Kie Itsoe bersenandung:
"Main-main di antara manusia beberapa
puiuh tahun, sepatu bobrok dan kopia rusak menurut wajarnya."
Siangkoan Thian Ya menyambuti:
"Gangguan hati teiah pergi semua, tak ada iagi yang dibuat pikiran."
Siauw Oen Lan pun menyambungi:
"Kitab, pedang dan siiat teiah diwariskan untuk dunia yang mendatang!"
Habis bersenandung, ketiga orang itu lalu berduduk diam,
tubuhnya tak bergeming lagi, mata mereka dirapati. Segera juga ternyata mereka i
tu sudah pulang ke dunia lain yang langgeng.
Hek Pek Moko me-njura, mereka berkata: "Ketiga tjianpwee telah
mencapai kebahagian dan usianya, mereka harus dibuat girang dan diberi selamat."
Tjia Thian Hoa semua turut menghunjuk hormat mereka,
kemudian mereka masuk ke dalam guha. Di sana, di empat penjuru tembok, mereka me
ndapatkan penuh tulisan dan gambar-gambar tentang pelbagai
macam ilmu silat berikut segala penjelasannya.
Thio Tan Hong, mengawasi semua dengan perhatian, ia mendapatkan pelbagai penjela
san terlebih jauh, sebagai seorang yang cerdas, ia segera menginsafinya. Maka sa
mbil tertawa ia kata pada In Loei: "Dengan adanya semua penjelasan soetjouw ini,
bukankah kita tak usah mencari lagi segala obat-obatan yang mustajab?"
In Loei heran, ia melengak.
"Apa kau bilang?" ia menanya.
"Lihatlah itu ilmu duduk bersamedhi," kata Tan Hong menunjuk kepada sebuah gamba
r. "Dengan tenaga dalam yang kakakmu memiliki sekarang, apabila dia bersamedhi p
ula
menuruti cara ini, tidak usah sampai tiga hari, pastilah dia akan sembuh sendiri
nya dari racunnya, tak usah lagi ia makan obat."
Baharu sekarang In Loei mengarti.
"Kalau begitu," katanya, "baiklah sebentar kakakku diminta pindah ke mari untuk
ia sekalian beristirahat beberapa hari."
Tan Hong mengangguk. Lalu ia memperhatikan lebih jauh banyak gambar itu. Ketika
ia memeriksa gambar ilmu pedang,
yang terdiri dari tiga puluh enam buah, nyata pada ilmu pedang P
ekpian Hian Kie Kiamhoat telah terdapat sejumlah perubahan dan penam
bahan, hanya di achirnya, ada tembok yang masih kosong. Ia cuma berpikir
sebentar, lantas ia dapat membade: Itulah tentu disebabkan kakek
gurunya keluar lebih cepat satu hari dan disebabkan datangnya Tjie Hee Toodjin,
gambar itu belum sempat dibikin lengkap. Ia merasa, kalau semua itu lengkap, pas
tilah Hian Kie Kiamhoat bakal menjagoi di kolong langit ini, bakal tanpa ada tan
dingannya lagi.
Hian Kie Itsoe telah meninggalkan pesan mengenai tempat peku-burannya, maka itu
Thian Hoa bersama Bong Hoe beramai sudah lantas mengurus
jenazahnya sekalian juga jenazah Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan.
Ketika orang tua itu menutup mata dalam usia delapanpuluh
tahun, meskipun mereka telah meninggal dunia, mengingat caranya
mereka menutup mata itu dan pesan mereka, murid-murid dan cucu murid mereka tida
k terlalu bersedih.
Selagi orang mengurus jenazah, angin gunung meniup keras dan dari laut Djiehay s
amar-samar terdengar suara pertempuran, karena itu, mengingat keselamatannya ong
hoe , Tan Hong lantas minta Hek Pek Moko pergi turun gunung untuk melihat.
Ketika itu, Sin Tjoe seorang diri pergi ke tepi kali. Sebagai orang termuda, ia
tidak berani campur bicara dalam
urusan mengurus jenazah Hian Kie bertiga. Ia telah mendengar suara samar-samar d
ari arah laut itu, dengan sendirinya ia memikirkan Seng Lim, lalu hatinya bersem
angat berbareng berkuatir.
Tatkala itu baharu saja lewat tengah hari, matahari telah melewati gunung dan si
narnya menuju kepada
permukaan air, memberi lihat cahaya seperti bianglala. Sin Tjoe mengawasi itu sa
mbil ia menyenderkan tubuh kepada sebuah pohon taytjeng di tepian itu, yang berb
ayang di muka air. Karenanya, kembali ia jadi berpikir. Tiba-tiba dalam
chayalnya, ia melihat bayangan Keng Sim disusul bayangannya Seng Lim di antara s
inar layung itu. Tidak tenang hatinya
menyaksikan bayangan
anak-anak muda itu. Selama dua hari itu, apa pula sehabis pertempuran dahsyat it
u, ia sudah dapat melihat jelas bedanya sifat dari kedua itu pemuda, akan tetapi
dasar anak dara, ia tidak bisa lantas mengambil keputusan.
Tengah ia berdiri bengong itu, Sin Tjoe mendengar suara
batuk-batuk di belakangnya. Segera ia berpaling. Maka ia melihat Keng Sim. Denga
n sendirinya, kulit mukanya menjadi merah.
"Bukan kau pergi menemani Nona Bhok, kau datang ke mari, apa perlunya?"
ia menanya.
Keng Sim menghela napas, agaknya ia masgul.
"Sampai kapankah kau akan mengarti hatiku?" ia menyahut, pelahan. "Dia bukannya
seperti kau, yang sem-
purna ilmu silatnya, di waktu pertempuran, aku menerima titah gurumu untuk melin
dungi dia, dengan begitu bisakah aku tidak menjagai padanya?"
"Apakah aku menyuruh kau jangan menjagai dia?" Sin Tjoe balik menanya. "Kau angg
ap aku orang macam apa?"
Habis berkata, nona ini memutar kepalanya, hatinya penuh dengan kedukaan. Ia ber
sangsi untuk anak muda itu. Ia merasa ada waktunya Keng Sim pandai melayani pada
nya tetapi pun ada kalanya dia itu kurang perhatiannya...
Keng Sim menghela napas.
"Kalau tahu begini..." katanya, masgul, "tidaklah pada mulanya..."
"Bagaimana sekarang, bagaimana dulu itu?" si nona menanya.
"Dulu hari itu di Taytjioe," berkata Keng Sim, "kita berada di dalam sebuah kubu
-kubu, pergaulan kita erat seperti tangan dan kaki. Ingatkah ketika kita berjanj
i untuk saling melatih? Sekarang matamu sudah terbuka lebar, di sini kau tidak l
agi melihat orang..."
Sin Tjoe berdiam.
"Umpama kata kau tidak ingat persahabatan kita dulu hari itu, kau pun mesti inga
t bagaimana dari jauh-jauh aku sudah menyusul kau hingga di sini..." berkata pul
a si anak muda.
Hatinya Sin Tjoe tergerak juga. Memang, untuk mencari padanya, untuk meminta kud
anya, Keng Sim itu sudah menderita di Kok keetjhoeng, orang berlaku seperti si t
olol. Maka tanpa merasa, ia
berpaling kepada pemuda itu.
Melihat demikian, girang hatinya Keng Sim. Tapi ia tetap memperlihatkan roman ya
ng dapat membangkitkan rasa kasihan orang. Katanya
pelahan: "Kau lihat, untukmu itu, luka yang aku terima di Kok keetj
hoeng, masih
belum sembuh betul hingga sekarang ini..." Ia berkata seraya menggulung lengan
bajunya, atau tiba-tiba ia ingat luka itu sudah kering, maka ia lalu menggulungn
ya dengan ayal-ayalan, dan diam-diam ia melirik si nona.
Adalah maksudnya Keng Sim dengan mengingatkan kejadian dulu hari itu agar si non
a ingat itu semua, supaya hatinya menjadi tertarik, tidak tahunya, itu justeru m
embuat nona itu ingat Seng Lim
yang tadi terluka, luka mana dibanding sama lukanya Keng Sim ada jauh terlebih p
arah. Karena lukanya itu, Seng Lim belum pernah membanggakan diri atau mengataka
nnya itu
kepada lain orang.
"Kau tengah memikirkan apa?" menanya Keng Sim menampak orang berdiam saja.
"Kau dengar suara pertempuran sudah berhenti," menyahut si nona. "Entah bagaiman
a kesudahannya. Di sana Yap Toako bertempur selagi ia terluka..."
Hatinya Keng Sim dingin separuhnya. Ia tidak menyangka, bukan melainkan si nona
tidak sudi melihat bekas lukanya, bahkan dia justeru memikirkan Seng Lim. Ia ber
diam hanya sejenak lalu sambil tertawa ia berkata: "Sebenarnya aku mesti pergi
ke sana tetapi
tidak suka aku berebut jasa dengan saudara Yap, maka itu aku membiarkannya pergi
sendiri. Ah, kalau tahu begini, semestinya lebih baik aku yang pergi!"
Si nona seperti mendapat cium bau apa-apa, alisnya lantas berkerut. Di dalam hat
inya ia berkata: "Seng Lim pergi ke sana, siapa bilang itu untuk merebut jasa?"
Tapi ia tidak membilang apa-apa.
Keng Sim terus membungkam. Karena melihat sikap si nona, yang beda sekali daripa
da biasanya, tak tahu ia harus membilang apa.
Kesunyian di situ segera juga dipecahkan oleh suara tindakan kaki yang berisik d
i sebelah depan mereka, disusul sama tertawanya
Tamtay Biat Beng, yang berkata dengan nyaring:
"Hancur lulunya Yang Tjong Hay kali ini hancur lulu seluruhnya semua itu disebab
kan kau, saudara Seng Lim, telah tiba pada waktunya yang tepat!"
"Ada apakah jasaku?" terdengar suaranya Seng Lim, merendah. "Yang Tjong Hay sung
guh sangat kosen, djkalau bukannya kau, Tamtay Tjiangkoen, ada siapakah yang mam
pu membinasakan dia?"
Terdengar lagi suaranya Tamtay Biat Beng, yang tetap dipanggil "tjiangkoen" atau
jenderal: 6) "Di dalam hal berperang aku sudah banyak melakukannya hanya berper
ang di air ini baharu yang pertama kalinya. Kau tahu, sampai sekarang ini aku ma
sih merasakan sisa pusingnya kepala sebab mabuk laut. Apakah
artinya bacokan atau tikaman aku itu, mana itu dapat disebutnya jasa? Tetapi kau
, saudara Yap, kepandaian kau memimpin pasukan perang air, sungguh itu membuatny
a aku kagum sekali!"
Sampai di situ lalu terdengar tertawa
nyaring dari Hek Pek Moko.
"Sudah, sudah, jangan kamu saling merendahkan diri!"
berkata dua saudara itu. "yang benar adalah semua-mua telah
berjasa! Eh, Sin Tjoe di sana?"
Ketika itu mereka sudah muncul dan Hek Pek Moko segera mendapat lihat Nona Ie.
Sin Tjoe lantas bertindak menghampirkan.
Dengan lenyap kegembiraannya. Keng Sim bertindak di belakang nona itu. Sebenarny
a ia sangat
tidak puas, maka juga ia berkata di dalam hatinya: "Jikalau aku yang pergi, past
ilah aku berperang secara
cemerlang sekali!" Tapi segera ia mendapat pikiran lain, lantas ia menunjuk roma
n gembira, bahkan dengan mendahulukan lari, dia menghampirkan Seng Lim untuk mem
beri hormatnya.
Seng Lim itu berpakaian tidak keruan, sebab bajunya robek di sana-sini dan lenga
nnya yang kanan mendapat dua goresan luka, yang darahnya belum berhenti mengucur
nya. Sin Tjoe melihat itu, dia kaget.
"Kau kenapa?" tanyanya, hatinya cemas.
"Tidak apa-apa!" menyahut Seng Lim sambil tertawa. "Yang Tjong Hay telah menikam
aku dua kali! Kau lihat, bukankah
bengkaknya sudah
berkurang?"
Sambil berkata begitu, cuma memandang sekelebatan kepada Nona Ie, Seng Lim terus
berkata pada Thio Tan Hong: "Penyerbuannya Yang Tjong Hay menampak kegagalan ak
an tetapi urusan belum berachir ante-ronya. Sekarang ini Toan Ongya tengah menan
tikan buah pikiranmu."
"Bagaimana sebenarnya?" Tan Hong menegaskan.
"Bhok Kokkong sendiri sudah memimpin pasukan perangnya, dia sekarang mendirikan
kubu-kubu di tempat tiga puluh lie dan kota," Seng Lim menjelaskan. "Baharu kita
memukul mundur pada Yang Tjong Hay, lantas kita menerima surat
tantangan perang dari Bhok Kokkong itu."
"Apa bunyinya surat tantangan perang itu?" Tan Hong menanya pula.
"Di dalam surat itu Toan Ongya dipersalahkan untuk tiga dosa besar. Yang pertama
katanya ongya menjadi hamba pemerintah,
tidak selayaknya dia mengangkat dirinya menjadi raja. Yang kedua ongya dikatakan
tidak pantas sudah mengusir pembesar yang diutus pemerintah. Yang ketiga yang p
aling aneh. Di sini ongya ditegur tidak selayaknya mengirim orang memasuki kota
Koenbeng secara diam-diam untuk menculik putera dan puterinya."
Mendengar itu, Tan Hong tertawa.
"Kalau begitu, Bhok Kongya datang bersama angkatan perangnya bukan dengan maksud
sebenar-benarnya untuk berperang," katanya.
Seng Lim tidak mengarti.
"Aku mengharap keterangan," bilangnya.
"Bunyinya tantangan perang memang keras tetapi pada itu bukannya tidak ada jalan
nya yang memutar," Tan Hong memberikan keterangan. "Umpama itu urusan ongya meng
angkat diri menjadi raja. Kalau pemerintah sudi mengakui keangkatan itu dan lant
as di kirim utusan dengan pengangkatan resmi, urusan itu dengan gampang dapat di
selesaikan."
"Dapatkah pemerintah menyetujui itu?"
"Asal Bhok Kokkong , tidak menghendaki mengangkat senjata, apa mungkin pemerinta
h sendiri nanti mengirim sebuah angkatan perang melakukan perjalanan laksaan l
ie ke
Tali untuk berperang? Maka di dalam hal ini kita lihat saja nanti bagaimana cara
nya Bhok Kongya mengirim laporannya.
"Sebenarnya Toan Ongya sendiri tidak menginginkan ia menjadi raja," Seng Lim pun
menjelaskan. "Dia cuma mengharap supaya suku bangsa Pek tidak sampai tersiksa o
leh pemerintah."
"Dalam hal ini asal kedua pihak menghentikan pertempuran, urusan pemerintah sete
mpat gampang didamaikannya. Turut penglihatanku, yang paling dipentingkan sekara
ng ini oleh Bhok Kokkong adalah urusan putera dan puterinya, anak Lin dan anak Y
an, maukah kamu pulang kepada ayahmu?"
Bhok Lin sudah lantas menggeleng kepala.
"Aku lebih suka tu-
rut soehoe," ia bilang.
Tan Hong tertawa.
"Dengan begitu kau jadi tidak pikirkan keselamatannya rakyat Tali?"
"Kalau begitu, aku suka mendengar titah soehoe."
"Sekarang kamu menulislah surat kepada ayahmu, di dalamnya kamu memintakan perda
maian untuk Toan Ongya"
"Bagaimana surat itu harus ditulisnya?"
Tan Hong segera mengajarinya. Bhok Kokkong mesti
memenuhi beberapa syaratnya Toan Ongya, setelah itu Bhok Lin dan Bhok Yan akan d
iantar pulang. Anak-anak itu pun mesti menjelaskan sesuatu supaya rakyat bebas d
ari ancaman perang.
Bhok Yan cerdas sekali, cepat sekali ia telah selesai menulis
surat itu.
"Hanya sekarang tinggal dibutuhkan
seorang yang pandai bicara," katanya pelarian. "Dialah yang mesti menyampaikan s
urat ini."
Sembari berkata, si nona berpaling kepada Keng Sim, siapa sudah lantas menyingki
r dari pandangan mata orang.
Tapi Tan Hong segera terdengar suaranya: "Dalam hal ini aku mengharap Keng Sim s
uka mencapaikan hati sedikit untuk membuat satu perjalanan."
"Aku tidak sanggup," pemuda she Tiat itu menampik.
"orang yang pandai bicara adalah kau," berkata Sin Tjoe. "Kenapa kau menampik?"
Bhok Yan tertawa, ia pun berkata: "Benar! Kalau Tiat Kongtjoe yang pergi,
itulah paling bagus!"
Ada suatu penya-
kitnya Keng Sim, dan sekarang Sin Tjoe dan Bhok Yan bicara demikian rupa, hatiny
a menjadi terbuka, ia menjadi girang.
"Kalau begitu, terpaksa aku mesti pergi," bilangnya. "Aku nanti coba saja."
Dengan begitu, dengan membawa surat yang dibubuhi tanda tangan Bhok Yan dan Bhok
Lin itu, Keng Sim lantas berangkat turun gunung.
Besoknya tengah hari, orang semua berkumpul di onghoe menantikan kembalinya Keng
Sim itu. Sebentar kemudian, kapan utusan itu sudah kembali, ia memperlihatkan w
ajah berseri-seri. Ketika ia dimintai keterangannya, jawabannya adalah bahwa Bho
k Kokkong setuju untuk membuat pembicaraan damai, hanya panngeran itu
meminta Toan Ongya mengirim utusan resmi serta diminta Bhok Lin dan Bhok Yan dia
ntar pulang dulu ke markasnya.
Toan Ongya memuji Keng Sim, yang terus diminta suka menjadi utusan yang sah itu.
Bhok Yan segera mencari kesempatan akan menarik Keng Sim ke samping, untuk menan
yakan dia bagaimana sikap ayahnya ketika pemuda ini bertemu sama ayahnya itu.
Keng Sim memberikan keterangannya. Ada sebabnya yang istimewa kenapa ia pulang d
engan air muka terang. Sebab itu ialah Bhok Kokkong mengetahui ayah Keng Sim ada
lah seorang giesoe yang jujur, dan kemudian hertog itu mendapat kenyataan pemuda
ini terpelajar, luas pengetahuannya,
hingga dia telah dipuji-puji. Tentu sekali bukan main girangnya Keng Sim a
tas sikapnya Bhok Kokkong itu.
Mendengar keterangan si anak muda, bukan main girangnya Bhok Yan. Tidak demikian
adalah Bhok Lin, yang alisnya lantas saja mengkerut. Sebabnya ialah ini putera
hertog merasa berat untuk berpisahan dari Tan Hong.
Tan Hong tertawa dan berkata: "Di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak b
ubar! Apa pula kita, kita bukannya berpisah
untuk nanti tidak bertemu pula! Anak Lin, buat apa kau berduka? Kamu berdua, kak
ak dan adik, sebenarnya pun bukan orang kaum Rimba Persilatan.
Tentang ilmu silat yang aku ajarkan kau dalam beberapa hari, asal
selanjutnya kau
meyakinkannya dengan sungguh-sungguh, sudah cukup untukmu!"
"Soehoe benar," berkata Bhok Lin meringis, "tetapi di sini aku merdeka sekali, g
embira hatiku, selekasnya aku pulang, aku bakal dike-ram di dalam gedung, itu su
ngguh menyebalkan..."
Mendengar itu, Ouw Bong Hoe tertawa berkakak.
"Jadinya kau tidak sudi pulang sebab kau temahakan kehidupan merdeka di sini di
mana kau dapat pelesiran dengan puas!" katanya. "Baiklah, sebentar
malam kita pelesiran main perahu di laut Djiehay. Perang telah berachir, hal itu
harus dirayakan. Kita main perahu, ke satu untuk membuatnya hatimu puas, kedua
guna mengasi selamat jalan
kepada kamu. Tan Hong, bukankah lagi beberapa hari kau bakal meninggalkan gunung
Tjhong San?"
Tan Hong menjawab dengan mengangguk.
Mendengar itu, hatinya Sin Tjoe tergerak. Ia dapat mengingat-ingat sesuatu. Keti
ka ia melirik kepada Seng Lim, paras pemuda itu menunjuki kegirangan, sebaliknya
Keng Sim, pemuda she Tiat itu, agaknya likat.
"Terang bulan di laut Djiehay" adalah pemandangan malam paling kesohor untuk wil
ayah Tali. Malam itu orang pesiar di telaga yang luas itu dengan memecah diri da
lam dua perahu yang terpajang. Rombongan pertama terdiri dari suami isteri Ouw B
ong Hoe, pasangan Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng, Hek Pek Moko berdua,
serta Toan Teng Tjhong dengan isterinya si puteri Iran. Rombongan kedua ialah Th
io Tan Hong dan In Loei, Tiauw Im Hweeshio, Tiat Keng Sim, Ie Sin Tjoe, Yap Seng
Lim serta Bhok Yan dan Bhok Lin.
Sungguh indah permukaan telaga, yang mirip dengan kaca bergemirlap, di situ sang
rembulan memain bagaikan sehelai rantai perak. Luas telaga itu, di kejauhan tam
pak layar-layar seperti bayangan yang sebentar nampak sebentar hilang dan kelak-
keliknya api dari perahu-perahu
nelayan yang seperti main-main dengan
bintang-bintang di
langit. Telaga pun tenang dan sunyi sekali, maka sungguh besar bedanya dengan du
a hari yang baru lalu ketika terjadi pertempuran mati hidup di situ
akibat penyerbuan secara membokong oleh rombongannya Yang Tjong Hay.
Di dalam kendaraan, Bhok Yan mendampingi Keng Sim. Gembira ia, ia menunjuk sana
dan menunjuk sini.
Sin Tjoe menyaksikan kelakuannya nona bangsawan itu, ia mendapat perasaan aneh,
ia seperti memperoleh firasat, kalau besok Keng Sim mengantarkan Bhok Yan dan Bh
ok Lin itu ke markasnya Bhok Kokkong , dia bakal berpisahan dari ia. Entah kenap
a, tiba-tiba ia merasa berduka...
Keng Sim sendiri hari ini beda daripada biasanya. Dalam kegembiraannya, ia menga
si dengar nyanyiannya, ia mengutib syairnya Thio Ie Ho.
Tidak menanti sampai orang habis ber-
nyanyi, Bhok Van sudah menepuk tangan dan berkata dalam kegirangannya: "Inilah n
yanyian bagus dari Thio Ie Ho, yang memuji keindahan malam di telaga Tongteng ou
w, maka sayang sekali, ia sendiri belum pernah main perahu di laut Djiehay ini."
Tan Hong ketarik hatinya.
"Thayouw dan Djiehay ini mirip dengan See Sie dan Ong Tjhong, masing-masing ada
keindahan atau kecantikannya sendiri-diri," ia berkata. "Kita semua pernah menya
ksikan kedua-dua telaga, pernah mengga-danginya di waktu malam, maka itu dibandi
ng sama orang-orang dulu itu kita menang banyak..."
Keng Sim berhenti sebentar, lalu ia melanjuti nyanyinya itu,
kembali kutiban dari Thio Ie Ho. Dan kembali Bhok Van bertepuk tangan memuji kep
adanya, memuji syair itu. Ia mengatakan, Thio Ie Ho beruntung mencapai gelar tjo
nggoan, coba dia si mahasiswa melarat, pasti tidak dia bersyair demikian.
Dengan kata-katanya ini diam-diam si nona menyadarkan Keng Sim, kalau nanti Keng
Sim bekerja di bawah perintah ayahnya, dia mesti berdaya keras mencari jasa dan
pangkat.
Sin Tjoe bisa mengarti maskud orang, ia membungkam, melainkan keningnya meng-ker
ut.
Habis bernyanyi, Keng Sim menghirup araknya, lalu ia melirik kepada Nona Ie.
Lekas-lekas Sin Tjoe bertunduk, mengawasi air yang indah. Tapi ia
mendengar si anak muda berkata: "Memang indah malam terang bulan dari Djiehay in
i, kendati begitu, aku lebih ketarik sama sungai Tiangkang.
Hanya sayang sejak jaman dulu banyak jago-jago telah meng-gunainya Tiangkang seb
agai medan perang, hingga ombak menjadi bergelombang dahsyat, sampai membuatnya
banyak orang cerdik pandai mensia-siakan keindahan malamnya sungai itu."
Sembari berkata, acuh tak acuh, kembali dia melirik Sin Tjoe.
Nona Ie mengepriki, bajunya yang kecipratan ombak.
Malam itu benar-benar indah. Mega memain di tengah udara berbayang di muka air.
Muncratan air yang diterbitkan sang gelombang pun memberikan
pemandangan lain.
Maka itu, malam seindah itu, gampang membangkitkan pelbagai perasaan orang. Tapi
untuk Sin Tjoe, keper-maian itu seperti dirusak nyanyiannya Keng Sim.
Kecewa pemuda she Tiat itu, ia menimbulkan halnya sungai
Tiangkang, untuk
mengingatkan si nona kepada pengalaman mereka baru-baru ini, siapa tahu sebalikn
ya, peringatan itu mendatangkan akibat yang lain.
Selagi si anak muda melirik nona pujaannya itu, yang terus membungkam, tiba-tiba
terdengar suaranya Seng Lim, yang sejak tadi pun berdiam saja. Berkata ini anak
muda she Vap: "Siapakah yang tak menyukai malam yang indah permai, yang meriang
kan
hati? Hanya sayang rakyat di Tiangkang itu, di selatan dan utaranya, semua tenga
h menderita lapar tidak ada yang harus didahar, dingin tidak ada yang dapat dipa
kai, maka itu, aku kuatir mereka itu tidak ada segembira kau, Tiat Kong tjoe."
Tidak senang Keng Sim mendengar perkataan itu, yang seperti mengejek padanya.
Bhok Yan sudah lantas datang sama tengah.
"Di malam seindah ini, di telaga yang begini permai, kita cuma dapat menenggak a
rak dan bicara dari hal yang menggembirakan!" katanya. Ia pun mengawasi Keng Sim
dan tertawa, alisnya memain secara menarik hati. Nona itu seperti hendak
mengatakan kepada si anak muda itu: "Buat apa kau adu bicara
sama seorang manusia biasa saja?"
Menuruti hatinya yang panas, ingin Keng Sim membalas Seng Lim itu. Akan tetapi k
ata-kata si nona dan gerak-geriknya itu
membuatnya dapat menutup mulut.
Seng Lim tidak mem-perdulikan air muka orang, ia melanjuti dengan kata-katanya:
"Semenjak dulu kala hingga sekarang, ini, memang ada tak sedikit jago yang menja
goi dengan menyiksa
rakyat, akan tetapi pun bukannya tidak ada pendekar yang bermaksud mengangkat ra
kyat dari marah bahaya!"
"Kata-katamu benar," Sin Tjoe turut bicara. "Dalam segala apa orang tak dapat me
nyama ratakan.
Umpama pamanmu, aku lihat dia tidak mengandung maksud-maksud
pribadi."
Keng Sim menghormati Tjong Lioe, mendengar perkataan si nona, ia diam saja.
"Thio Tayhiap," berkata Seng Lim kemudian, menegur Tan Hong, "di atas udara dari
sungai Tiangkang masih merajalela mega peperangan, di mana urusan di sini sudah
selesai dan aman, pamanku di sana mengharap jawabanmu..."
Tan Hong berpikir. Ketika ia menjawab, sikapnya tenang sekali.
"Memang dapat aku kembali ke Kanglam," demikian, sahutnya, "hanya untuk pergi ke
sana, aku mesti menanti sampai Tiat Kongtjoe sudah
bertemu dengan Bhok Kokkong. Sesudah
segala apa beres di sini, baharulah hatiku lega."
"Tiat Kongtjoe, kau bagaimana?" Bhok Yan
tanya si anak muda.
"Jikalau aku toh kembali ke Kanglam, tidak nanti aku mencampuri diri dengan oran
g sebangsa Pit Keng Thian!" sahut Keng Sim.
"Apakah terhadap Yap Toako kau pun tidak menghargai sedikit jua?" Sin Tjoe menan
ya.
"Toako Yap Tjong Lioe ada seorang jujur dan manis budi, aku sangat menghargai di
a," menyahut Keng Sim, "hanya sayang dia jujur terlalu, aku kuatir dia nanti ken
a dipermainkan orang sebangsa Pit Keng Thian itu. Aku si orang she Tiat mana dap
at diperintah pergi datang oleh seorang kasar?"
"Kau benar!" berkata Bhok Yan. "Habis kau... kau..."
Nona ini berhenti, tak dapat ia meneruskan perkataannya itu.
Sebenarnya ia hendak minta si anak muda berdiam tetap di Inlam, apa mau matanya
Seng Lim, Sin Tjoe dan lainnya ditujukan kepadanya. Maka ia cuma bisa bersenyum.
Sin Tjoe tidak berkesan baik terhadap Pit Keng Thian akan tetapi pandangannya Ke
ng Sim terhadap toaliong-tauw itu pun hebat sekali, si anak muda ternyata terlal
u mengagungkan diri sebagai seorang kongtjoe.
"Turut penglihatanku, Pit Keng Thian itu tidak ada celaannya," berkata Tiauw Im.
"Mengapa kamu
agaknya tidak puas terhadapnya? Aku tahu dia sudah mengundang Tjioe San Bin suam
i isteri datang berkumpul dengannya. Eh, ya, In Loei, Tjio Tjoei Hong sangat ing
in bertemu denganmu!"
In Loei tertawa. Tiba-tiba ia ingat halnya dulu hari ia telah menyamar sebagai
pemuda dan sudah bergurau dengan Nona Tjio.
"Kalau begitu, biarlah aku ikut Tan Hong pergi ke sana," sahutnya.
"Bagus!" berkata Tan Hong. "Beginilah kepu-tusan kita. Sekarang mari kita jangan
timbulkan urusan
negara lagi, aku lihat Nona Bhok tidak gembira!"
"Ah, soehoe main-main!" tertawa murid itu. "Tapi malam ada begini indah, memang
baik kita menggadanginya..."
Keng Sim melihat orang rada likat, ia turut tertawa, maka di lain saat, Nona Bho
k itu telah mendapatkan
kegembiraannya seperti biasa.
Sin Tjoe sebaliknya tak tenteram hatinya, hatinya itu terus berdenyutan.
Dengan lewatnya sang waktu, sang malam, sang telaga, menjadi
tertambah-tambah indah. Beberapa burung laut pun beterbangan di sekitar mereka.
Mungkin burung itu turut menggadangi si puteri malam atau dia menyangka sang faj
ar lagi menyingsing hingga sudah waktunya dia keluar dari sarangnya...
Mengawasi burung laut itu, Sin Tjoe ingat halnya itu hari ia meninggalkan kota
Taytjioe. Itu hari, pagi, ia telah mengambil keputusan pasti untuk menjadi seper
ti si burung laut, akan menempu gelombang, akan terbang ke udara. Malam ini, per
asaan hatinya sama seperti
pagi itu.
Biar bagaimana, dalam usianya tujuh belas tahun, Sin Tjoe mirip bunga tengah ber
-pusuh, menanti untuk mekar. Dia tidak bisa mengharap dirinya
menjadi pohon tay-tjeng, yang semakin besar, akarnya masuk semakin dalam ke dala
m tanah dan menjadi kokoh kuat. Dia hanya mesti bertahan
melawan gelombang asmara, maka itu tidaklah heran pikirannya sering goncang.
Malam itu, Nona ini tidak dapat tidur nyenyak. Di hadapannya seperti berbayang s
aja Keng Sim dan Seng Lim. Hanya malam ini beda dari malam-malam yang telah berl
alu. Kalau dulu pada achirnya bayangan
Keng Sim yang menang, bayangan Seng Lim sirna terlebih dahulu,
kali ini berbareng sama menembusnya sinar fajar dari jendelanya, bayangan Seng L
im itu dapat melenyapkan bayangannya Keng Sim. Setelah itu, baharulah si nona da
pat tidur nyenyak...
Lewat sesaat, ketika Sin Tjoe mendusin dari tidurnya, Keng Sim sudah berangkat m
engantarkan Bhok Yan dan Bhok Lin. Siauw Houwtjoe memberitahukan kepadanya bahwa
Keng Sim telah datang menjenguk, untuk
meminta diri, tetapi si nona tengah "bermimpi," maka pemuda itu berlalu dengan
roman kecewa.
"Sungguh aneh!" berkata Siauw Houwtjoe, menambahkan. "Perpisahan ini bukan perpi
sahan mati atau untuk tak bertemu pula, tapi aku dapat melihat dia diam-diam men
yusut air matanya..."
Goncang hatinya Sin Tjoe.
"Bukankah dia memikir untuk bicara sama aku, bicara untuk penghabisan kali?" ia
menduga-duga. "Mungkinkah dia hendak omong dari lainnya hal?..."
Nona ini pun merasa lebih pasti itulah "perpisahan untuk
selamanya..."
Lewat dua hari, Keng Sim masih belum kembali, yang datang adalah kabar dari Bhok
Kokkong. Pangeran itu menyatakan akur
dengah syaratnya Toan Ongya, cuma ia masih mau melapurkan dulu kepada junjungann
ya serta menanti kepu-tusan rajanya itu. Di sebelah itu Bhok Kokkong mengusulkan
supaya Toan Teng Tjhong, menantu raja Iran itu, memajukan permohonan sen
diri
kepada raja untuk dianugerahkan pangkat. Ia kata permohonan itu berguna sekali,
sebab Teng Tjhong berkedudukan sebagai raja asing dan isterinya puteri asing pul
a. Di achirnya Bhok Kokkong menyatakan, segala apa baiklah ditunggu saja sampai
dia sudah kembali ke Koenbeng...
Sementara itu, hari itu, Tan Hong panggil Sin Tjoe datang padanya. Ketika si non
a tiba, da dapatkan Seng Lim dan Tiauw Im Hweeshio sudah berdandan rapi untuk su
atu perjalanan.
"Anak Tjoe," berkata si guru, lantas, "Sekarang ini aku belum dapat berangkat. A
ku mesti menanti dulu kembalinya Keng Sim. Bagaimana denganmu: Kau ingin berangk
at bersama-sama aku atau hendak berangkat
sekarang juga?"
Sebenarnya Sin Tjoe hendak menjawab, "Aku ingin berangkat bersama soehoe," tetap
i
mendengar disebutnya Keng Sim, ia bersangsi. Ia angkat kepalanya, lalu ia member
ikan penyahutannya: "Terserah kepada soehoe."
Tan Hong bersenyum.
"Kalau begitu, kau berangkat sekarang!" katanya. "Aku telah membuat sebuah peta
Kanglam, kau bawa itu dan serahkan kepada Yap Tjong Lioe. Pesan padanya untuk di
a jangan temaha akan jasa, biarlah buat sementara dia membelai saja wilayahnya."
Sin Tjoe menyambuti peta itu. Mendadak air matanya mengembeng.
"Sekarang berangkatlah kamu!" berkata Tan Hong. "Eh, di sini
ada bibit pohon tay-tjeng yang besar. Seng Lim, kau bawa ini ke Kanglam, coba li
hat, dapat atau tidak dia tumbuh di kedua gili-gili sungai Tiangkang."
Seng Lim tercengang sebentar, ia
menyambuti bibit itu.
Tan Hong tidak mem-perdulikannya, dia
bahkan tertawa.
Sin Tjoe menepas air matanya, segera ia berkemas, segera ia berkemas, lantas ia
mengikuti Seng Lim dan Tiauw Im berangkat pergi...
Sungai Tiangkang itu biar ada angin dan gelombangnya. Pohon taytjeng yang beraka
r kuat toh dapat melindungi sang bunga.
***
Selewatnya tiga bulan Seng Lim bertiga
Tiauw Im Hweeshio dan Sin Tjoe sudah melintasi tanah datar Inlam dan Kwietjioe
kedua
propinsi, mereka
mengambil jalan ke propinsi Ouwlam, terus memasuki tanah
pegunungan propinsi Kangsee. Pusat
tentaranya Yap Tjong Lioe berada di pesisir ketiga propinsi
Tjiatkang, Kangsouw dan Hokkian, maka itu selewatnya Kangsee, mereka itu akan su
dah tiba di Tjiatkang, di dalam lingkungan
pengaruhnya Tjong Lioe itu.
Tan Hong menyayangi muridnya, ia tetap mengasikan Sin Tjoe menunggang Tjiauwya S
aytjoe ma. Kudanya Tiauw Im pun kuda pilihan, melainkan
kudanya Seng Lim kuda biasa, tetapi kuda ini pun kuda pilihan dari Tali hadiah
dari Toan
Ongya. Maka itu, walaupun perjalanan sukar, ketiga ekor kuda itu dapat melakonin
ya dengan baik. Tidak usah lagi sepuluh hari, mereka bertiga akan sudah masuk da
lam wilayah Tjiatkang, maka itu, sesudah berjalan sepuluh bulan lebih, legalah h
ati mereka.
Selama puluhan hari yang dilewatkan itu, sangat jarang Sin Tjoe dan Seng Lim bic
ara urusan pribadi, meskipun sebenarnya mereka siang dan malam terus berada berh
adapan saja. Sebabnya ialah Seng Lim itu pendiam, dan di antara mereka ada Tiauw
I m Hweeshio, orang dari tingkat terlebih tua. Yang mereka bicarakan kebanyakan
mengenai urusan Rimba Persilatan. Sedikitpun tak pernah si nona mengu-
tarakan rasa hatinya pada si pemuda, siapa sebaliknya tidak berani menanyakan se
suatu kendati juga ia mendapat lihat alis si pemudi sering-sering berkerut. Sela
ma si nona diam saja, Seng Lim pun turut membungkam. Setahu kenapa, sesudah berp
isah dari Keng Sim, ada kalanya Sin Tjoe memikirkan pemuda itu, pula, kalau ia s
edang bicara sama Seng Lim, suka bayangannya Keng Sim itu muncul di depan matany
a...
Setibanya di Kangsee, apa yang dikete-mukan di sepanjang jalan adalah rakyat jel
ata yang berseng-sara, yang lagi pada mengungsi. Sebabnya ini ialah tentara peme
rintah bersiap
menggencet dari
selatan dan utara, dan ada sebuah pasukan
yang dari propinsi Ouwpak tengah menuju ke selatan, maka itu bagian timur laut d
ari propinsi Kangsee, yang dekat dengan medan pertempuran, rakyatnya mengosongi
sembilan dari sepuluh rumahnya.
Pada suatu hari selewatnya Engbong, untuk memburu tempo, mereka berjalan terus,
kesudahannya mereka mengasi lewat tempat mondok, dari itu, di waktu magrib merek
a tiba di sebuah desa yang kosong, sebab setiap rumah ditutup rapat, tidak ada a
pi atau asapnya. Terpaksa mereka singgah di sebuah kuil kosong. Hebatnya untuk m
ereka, kebetulan saja rangsum kering mereka habis, hingga selagi mereka merasa l
apar, mereka pun diserang bawa dingin. Waktu itu ada di permulaan musim
dingin. Tadi di tengah jalan mereka tidak dapat membeli sesuatu untuk pembekal,
tidak ada yang menjualnya.
"Nanti aku mencoba mencari," berkata Seng Lim penasaran. "Mustahil di sini tidak
ada satu rumah juga yang belum kosong untuk kita bermalam atau membeli barang m
akanan!"
"Biarlah aku yang pergi!" berkata Tiauw Im tertawa. "Mencari amal adalah pekerja
an si paderi."
Ia mengenakan jubahnya, terus ia bertindak pergi.
Seng Lim mencari setumpuk cabang kering, ia menyalakan unggun. Ketika api sudah
menyala, ia melihat Sin Tjoe muka siapa merah, entah karena cahayanya api entah
dia lagi memikirkan apa-apa. Ia heran hingga ia bengong saja.
"Hawa udara dingin, kita pun letih habis berjalan jauh," katanya kemudian.
"Inilah tidak berarti," menyahut Sin Tjoe. "Aku juga bukannya satu nona yang tid
ak biasa bepergian."
Di mulut si nona mengatakan demikian, di hati ia lantas ingat kota Koenbeng di m
ana ke empat musim berhawa udara seperti musim semi, di mana tentulah Keng Sim t
engah minum arak sambil mengga-dangi bunga bwee di dalam taman istana Bhok Kokko
ng. Kalau benar, sungguh beda keadaan mereka itu dengan ia di sini...
"Rasanya lekas juga bakal terbit peperangan," berkata pula Seng Lim sejenak kemu
dian, dan ia menghela napas. "Setahu kapan tibanya Thio Tayhiap. Sekarang in
i
tentu juga pamanku lagi sangat bergelisah..."
"Memang, aku pun mengharap-harap soehoe lekas tiba," menimpali Sin Tjoe. "Dengan
ia berada di antara kita, kita seperti dapat tambah beberapa
kawan..."
Seng Lim mengangkat kepalanya, melihat wajah si nona. Ia mendapatkan nona itu ce
mas, dia mirip dengan bocah yang kesasar jalan... Karena tidak mengarti, ia mele
ngak. Ia lantas memikirkan kata-kata nona itu.
Sin Tjoe pun memandang pemuda itu, lantas ia tunduk pelahan-lahan. Ia
seperti ada memikirkan sesuatu tetapi ia terus mengawasi api.
"Ya, aku pun harap Keng Sim bisa datang bersama Thio Tayhiap," kata Sen
g Lim kemudian. Ia bagaikan
kehabisan pokok soal yang harus dibicarakan.
"Keng Sim?... oh!" berkata si nona. "Aku kuatir dia tidak bisa datang bersama."
"Pamanku menghargai dia itu," Seng Lim berkata pula. "Paman bilang dia pandai il
mu silat dan ilmu surat dan mengarti juga ilmu perang. Dalam tentara rakyat kita
memang kekurangan seorang pandai sebagai dia. Apa yang dikuatirkan ialah, sebag
ai putera suatu menteri, tidak nanti dia kesudian bercampur baur sama kita rombo
ngan orang-orang kasar."
Mendengar orang memuji Keng Sim, Sin Tjoe menjadi ingat Keng Sim sebaliknya pern
ah di depan ia sendiri menyindir Seng Lim itu kasar dan tidak pandai ilmu surat.
Sebenarnya, menurut ia, walaupun
Seng Lim tak sepandai Keng Sim, dia tidaklah demikian buruk sebagai sindirannya
Keng Sim itu. Karena memikir begini, tiba-tiba ia mendapat perasaan luar biasa,
ialah meskipun Seng Lim ada puteranya seorang kuli tambang, dia toh mirip asal t
urunan sasterawan dan derajatnya masih lebih tinggi daripada derajatnya Keng Sim
si jumawa itu...
Selama itu cuaca menjadi semakin gelap, beberapa ekor kelelawar terbang berseliw
eran sambil memperdengarkan suaranya. Sampai itu waktu, Tiauw Im masih belum kem
bali.
"Ah, kenapa dia masih belum juga balik?" kata Sin Tjoe menghela napas, "Mungkink
ah dia menemui sesuatu yang berbahaya?"
Nona ini mulai memikir yang tidak-tidak.
"Soepeetjouw liehay sekali, mustahil di kampung semacam ini dia bisa menghadapi
ancaman berbahaya?" Seng Lim bersangsi.
"Bukannya begitu," menerangkan si nona sambil tertawa. Loodjink.ee itu ada rada
sembrono dan dia gemar sekali usil urusan orang, aku jadi bukannya menguatirkan
dia tertawan oleh apa yang disebut si berandal wanita pelangi merah... Aku berku
atir dia tertahan urusan lain orang."
Sin Tjoe menyebut-nyebut berandal pelangi merah itu sebab selama di tengah jalan
ia mendengar orang
mengatakan di antara garis pasukan rakyat dan tentara negeri ada berkeliaran ser
ombongan berandal pelangi merah, seorang berandal perempuan yang
tidak ketahuan namanya, yang katanya liehay sekali. Karena itu, ia bergurau meny
ebutkan berandal itu.
Belum berhenti suaranya si nona, mendadak terdengar tertawa Tiauw Im Hweeshio ya
ng menolak pintu dan bertindak masuk sambil berkata dengan nyaring: "Eh kamu ber
dua bocah, apa yang kamu omongkan di belakang orang lain?"
"Tidak," Sin Tjoe menyangkal, lekas. Ia lantas mengangkat
kepala, mengawasi
paderi itu, siapa berjalan masuk seraya memegangi seorang pengemis yang pakaiann
ya penuh tambalan, pengemis mana tindakannya limbung. Bahkan untuk herannya ia,
ia mengenali orang adalah Pit Yan Kiong muridnya Pit Keng Thian.
Pit Yan Kiong itu juga berlepotan darah dan paras mukanya hitam, rupanya dia ter
luka parah, walaupun demikian, tidak lenyap romannya yang Jenaka. Segera dia men
epuk sebelah kakinya, sambil tertawa haha-hihi dia berkata: "Kakiku si pengemis
telah orang hajar rusak, karena itu tidak dapat aku bertekuk lutut terhadap kau,
nona!"
"Sebenarnya apakah telah terjadi?" Sin Tjoe menanya.
Belum pengemis itu menyahuti, Tiauw Im telah rebahkan padanya, lalu dengan dua j
ari tangannya, ia menjepit mencabut
sebatang jarum panjang lima dim dari pahanya.
"Ya, bagaimana sebenarnya duduknya perkara?" kemudian paderi ini pun menanya. "K
enapa kau boleh
terkena jarum beracun dari Kimtjiam Sengtjioe Han Loopiauwtauw?"
"Panjang untuk aku menutur," menyahut Pit Yan Kiong. "Sekarang ini baiklah kau l
ekas singkirkan dulu sebelah kakiku ini..." Ia masih hendak berkelakar
tetapi ia toh meringis, suatu tanda ia mencoba menahan rasa sakitnya yang hebat.
Tiauw Im mengerutkan keningnya.
"Piauwtauw tua she Han iku ada seorang jujur dan terhormat," ia berkata. "Sebena
rnya, kenapakah kau telah benterok dengannya? Dua-dua pihak ada sahabat-sahabat,
inilah sukar... Eh, eh, kau kenapakah?"
Paderi ini terkejut. Dia melihat Pit Yan Kiong mendelik matanya dan tangannya me
nunjuk ke luar, sedang dari mulutnya keluar
teriakan: "Lekas! Lekas!"
Tiauw Im berlaku se-bat sekali. Ia membuka luka liang jarum, ia lantas memencet
keras, untuk mengeluarkan darah yang warnanya hitam. Selagi berbuat begitu, ia b
erkata pada Sin Tjoe: "Lekas kau pergi, kau mewakilkan aku melihat sudah terjadi
onar apa di sana! Di sebelah depan, di mulut gunung, ada serombongan orang lagi
bertempur! Kalau bisa, kau pisahkan mereka, supaya dapat diadakan perdamaian, k
alau
tidak, kau membiarkan saja, jangan kau campur tangan! Haha, kau lihat, aku si tu
kang usilan atau bukan!"
Sin Tjoe tertawa.
"Jangan kuatir, soe-peetjouw1." katanya. "Aku tidak akan menerbitkan onar untukm
u! Yap Toako, kau pandai bertindak, mari kau
temani aku!"
Seng Lim suka mengikut, maka itu keduanya lantas lari keluar. Setibanya mereka d
i muka dusun, di depan gunung, benar-benar ada serombongan orang lagi berkelahi.
Sampai di situ, Seng Lim bertindak dengan pelahan.
"Kelihatannya aneh," katanya. "Mari kita melihat dulu."
Sin Tjoe suka menurut. Sama-sama mereka bertindak maju, mata mereka mengawasi.
Pertempuran berjalan secara luar biasa, pantas Seng Lim mengatakan aneh.
Kawanan piauwsoe itu pada menunggang kuda tetapi kuda mereka pada rebah di tanah
, suara meringkiknya
mengiriskan. Sejumlah peti dan keranjang bermuatkan barang
bertumpuk seperti
bukit, dikurung oleh orang-orang piauwkiok yang melindunginya. Di atas sebuah pe
ti duduk bersilah seorang piauw-soe tua, tangannya mencekal sebatang hoentjwee,
yaitu pipa panjang, saban-saban dia menyedot pipanya itu dan mengepulkan asapnya
. Si perampas piauw adalah serombongan pengemis, semua mereka menunggang kuda, s
aban-saban
mereka menerjang.
Saban tiba saatnya rombongan piauwsoe terdesak, si piauwsoe tua mengayun tangann
ya, lantas terdengar suara sar-ser. Saban diserang secara begitu, semua pengemis
itu lari kabur, atau di lain saat mereka merangsak pula, akan mengulangi
serangan mereka.
Terang sudah mereka itu jeri terhadap si
piauwsoe tua dan lagi memancing agar si piauwsoe kehabisan senjata ra
hasianya itu.
"Apakah kamu ada dari Kaypang?" kemudian si piauwsoe tua menanya. "Kaypang" itu
berarti Partai Pengemis perkumpulan tukang minta-minta.
Seorang pengemis yang rupanya menjadi kepada mengasi dengar tertawanya.
"Kau telah mengenal kami, kenapa kau tidak hendak menjual persahabatanmu kepada
kami?" sahutnya. "Kau keluarkan obat pemunah racun, kau serahkan piauw angkutanm
u ini, percaya aku, kami tidak nanti membikin sulit padamu! Haha!"
"Ngaco belo!" membentak si piauwsoe tua. "Pangtjoe dari Kaypang sekarang ini tel
ah menjadi Toaiiongtauw dari delapan belas
propinsi, mustahil dia bolehnya kepincuk oleh barang angkutanku
yang begini sedikit? Teranglah kamu semua telah memalsukan diri, kamu menyamar j
adi rombongan Kaypang itu! Siapakah pemimpinmu?"
"Jikalau kau tidak percaya aku, aku pun tidak berdaya," berkata pengemis tadi. "
Sekarang ini kau serahkan dulu barang-barangmu, baharu aku suka bicara denganmu!
"
Si piauwsoe tua menjadi gusar, ia membentak: "Piauwkiok keluarga
Han mana dapat sembarang
menyerahkan barang-barang yang berada di bawah perlindungannya? Hm! Hm! Memang b
iasa orang merampas piauw tetapi aku belum pernah menyaksikan caramu yang sekeji
ini kamu menggunai racun meracuni kuda
orang! Tidakkah kamu kuatir, karena perbuatan hina kamu ini, orang kangouw nanti
menter-tawakan kamu? Karena kamu menggunai nama Kaypang, hari ini mesti aku bek
uk kamu untuk nanti dihadapkan
kepada Pit Keng Thian! Sampai itu waktu, sekalipun aku suka memberi ampun
padamu, Pit Keng Thian sendiri pastilah tidak!"
Pengemis kepala itu tertawa bergelak-gelak.
"Aku bersedia untuk dicekuk olehmu!"
katanya mengejek. Ia keprak kudanya untuk dimajukan.
Piauwsoe tua itu mengayun tangannya. Atas itu, si pengemis memutar kudanya untuk
menyingkir jauh hingga senjata yang berupa jarum itu tidak dapat mengenakan pad
anya. Dia pun pandai sekali mengendalikan kudanya.
"Ah, benar-benar aneh!" berkata Sin Tjoe sesudah ia menonton sekian lama. "Kenap
a Pit Keng Thian hendak merampas barang-
barang angkutannya piauwkiok keluarga Han ini? Sungguh tidak sedap did
engarnya
cacian piauwsoe she Han yang tua itu terhadap Keng Thian!"
"Benarkah mereka ini orang-orangnya Pit Keng Thian?" Seng Lim ragu-ragu.
"Mereka pasti bukan orang-orang palsu!" menyahut Sin Tjoe. "Pit Van Kiong itu ad
a orang kepercayaannya Pit Keng Thian. Ini pemimpin ada orang she Pek, aku kenal
dia, sedang kepandaian membikin celaka kuda ini memang ada kepandaian istimewa
dari Pit Keng Thian sendiri. Dulu hari aku pun pernah menjadi kurbannya. Dia h
endak
mendapatkan kuda
Tjiauwya Saytjoe ma, lantas kudaku dikejar hampir tak dapat bertindak."
Seng Lim menggeleng kepala. Merampas piauw dengan cara seperti itu benar-benar b
ukan cara yang dapat dipuji.
"Apakah kau kenal Han Loopiauwtauw itu?" kemudian si nona tanya kawannya.
"Sebelum ini, belum pernah aku bertemu dengannya. Hanya menurut pamanku, dialah
satu piauwsoe terhormat. Kecuali ilmu silatnya liehay, dia pun pandai bergaul da
n menghargai persahabatan. Katanya dia mempunyai tiga macam syarat tidak melindu
ngi. Ialah dia tidak suka melindungi piauw yang tidak terang asal usulnya, tidak
suka melindungi piauw asal
curian, dan tidak suka melindungi juga hartanya pembesar sekakar. Ada dibilang j
uga, satu kali dia melindungi barang, tidak nanti terjadi kegagalan,
sebab dua-dua
golongan Hitam dan Putih ada menaruh hormat kepadanya. Setahu kenapa sekarang Pi
t Keng Thian hendak membikin susah padanya..."
"Kabarnya dia pun jarang sekali keluar sendiri melindungi piauw -nya," kata Sin
Tjoe Magi. "Sekarang dia sampai turun tangan sendirinya, mestinya angkutan ini a
da angkutan istimewa!"
"Taruh kata benar dia lagi mengangkut harta besar sekali," berkata juga Seng Lim
, "sebagai kepala dari tentara suka rela, tidak pantasnya Pit Keng Thian merampa
s piauw
orang."
Keduanya menjadi bingung sekali, tidak dapat mereka menerka jelas.
Hampir di itu waktu, kawanan pengemis itu pada tertawa riuh, lalu ada yang berse
ru-seru: "Lihat, lihat! Tua bang-ka itu sudah melepas habis senjata rahasianya!
Mari maju semua, menyerang! Pandanglah sedikit
kepada mukanya, jangan rampas benderanya!"
Kawanan pengemis itu melihat beberapa kali si piauwsoe mengayun tangannya tetapi
tidak ada jarum rahasia yang menyambar mereka, maka itu mereka mau menyerbu pul
a, akan tetapi mereka berlaku hati-hati, sambil majukan kuda mereka, mereka memu
tar senjatanya masing-
masing di depan muka dan dadanya.
Tiba-tiba saja si piauwsoe tua mengasi dengar suara menggeledek: "Pengemis bangs
at, berdiamlah kamu!" Menyusul itu sebelah tangannya diayun dan suara sar-ser te
rdengar tak hentinya. Lalu dua pengemis di kiri dan kanan roboh terjungkal dari
atas kudanya. Si pengemis she Pek
sudah lantas memutar kudanya, untuk lari menyingkir.
Hebat piauwsoe tua itu, dari atas peti di mana ia duduk bersila tubuhnya mencela
t meleset, menyerang si pengemis she Pek itu, sebelah tangannya
menyekal semacam senjata yang hitam mengkilap dengan apa dengan tipu "Lie Kong m
emanah batu" ia menotok jalan darah soankie hiat!
Pengemis she Pek itu, yang bernama Beng Tjoan, ada salah satu pengemis kenamaan
di dalam partainya, ilmu silatnya tak ada di bawahan Pit Van Kiong, maka juga ke
tika ia diserang, ia berkelit sebat sekali, tapi sembari berkelit, dia menjerit,
"Oh, kau bangsat tua!..." Belum berhenti jeritannya itu, terlihat lelatu api me
mercik, lalu tubuhnya terguling dari punggung kuda!
Piauwsoe tua she Han itu selainnya pandai menggunai
senjata rahasia jarum yang diberi nama Bweehoa Touwkoet tjiam juga liehay sekali
ilmunya menotok jalan darah, alat peranti itu adalah sebatang
hoentjwee-nya itu yang tidak pernah lepas dari tangannya, maka juga setiap kal
i digunakan,
api hoentjwee pun meletik muncrat,
sekalian membakar baju atau kulit kurbannya. Pek Beng Tjoan luput dari t
otokan, tidak luput ia dari api hoentjwee itu.
Sebat kelitnya Beng Tjoan, lebih sebat adalah si piauwsoe tua. Tanpa berayal sed
ikit juga, selagi orang jungkir balik, ujung hoentjwee-nya sudah menotok pula. B
eng Tjoan berbalik, dengan cambuknya ia menangkis. Kosong tangkisan-nya itu, ata
u
mendadak, asap
hoentjwee si orang tua mengepul ke mukanya! Asap itu membuatnya menjadi kepala p
using dan matanya kabur, hingga karenanya,
permainan cambuknya turut menjadi kacau juga. Karena ini, segera ia kena didesak
. Hoentjwee itu, dengan asapnya mengepul
berulang-ulang, mendesak untuk mencari sasaran jalan darah. Sampai di situ, Beng
Tjoan tidak berdaya lagi untuk membalas menyerang, ia cuma dapat membela diri.
Sin Tjoe tertawa menyaksikan pertempuran yang sifatnya lucu itu.
"Sekarang apa sudah tiba waktunya kita pergi memisahkan?" dia
menanya Seng Lim.
"Tunggu dulu, kita lihat lagi sebentar!" menyahut si anak muda.
Selagi dua orang itu bertempur secara kipa, kawanan pengemis
tidak berani merangsak pula untuk mengulangi serbuan mereka. Selain Beng Tjoan n
ampaknya tak berdaya, dua pemimpinnya yang
lainnya pun telah terkena jarum beracun. Di lain pihak, orang-orang piauwkiok me
njadi
mendapat hati, mereka sekarang menyerang dengan panah mereka. Dengan begitu terl
ihat tegas, pihak Kaypang lekas juga bakal kena dikalahkan.
Dalam pada itu orang mendengar
tertawanya Han Loopiauwtauw, yang mendesak Pek Beng Tjoan, hingga pemimpin Kaypa
ng itu menjadi sangat terdesak dan repot sekali. Satu kali dia mencoba menyerang
dengan cambuknya. Kali ini si piauwsoe tidak berkelit, ia justeru mengajukan ho
entjwee-nya, mengasi pipa itu kena dilibat cambuk. Hanya, bukan cambuk yang meli
bat terus, adalah si piauwsoe yang memutar senjatanya itu, yang membikin senjata
nya terus terlibat, hingga cambuk menjadi
semakin pendek dan
semakin pendek. Di achirnya si piauwsoe berteriak: "Robohlah kau!"
Hebat Pek Beng Tjoan, dia terhuyung, tubuhnya miring, tidak dia jatuh!
Di dalam rombongan piauwsoe orang menjadi heran.
"Ah, mungkin dia benar orang Kaypang?" ada yang berkata.
Tapi si piauwsoe tua telah berpikir lain.
"Tidak perduli dia siapa!" serunya. "Dia mesti dibekuk untuk dibawa menghadap Pi
t Toaiiong tau w\ Jikalau toh benar dia orang Kaypang, tidak, usah kita yang men
ghukumnya, pasti Pit Toaiiongtauw yang
nanti membikin kutung kedua kakinya!"
Piauwsoe ini masih tidak mau percaya orang ada dari Kaypang.
Sin Tjoe dan Seng
Lim bersembunyi di belakang batu besar dari mana mereka mengintai, mendengar per
kataan si piauwsoe tua, mereka mengulur lidah mereka. Mereka heran dan kagum. Ke
duanya pun menjadi ragu-ragu, hingga
mereka saling menanya, kalau mereka maju untuk memisahkan, apa mereka mesti bila
ng apa mereka mesti membenarkan bahwa Beng Tjoan ada dari pihak Kaypang?..."
Piauwsoe itu mulutnya berbicara, tangannya tak berhenti bergerak. Ia memang lebi
h kosen daripada Pek Beng Tjoan, maka itu, si pengemis terlihat nyata tengah ter
ancam bahaya. Di saat bahaya mengancam itu, tiba-tiba perlawanannya kawanan piau
wsoe itu seperti terpecah sendirinya, di antara mereka
muncul satu orang yang gerakannya sebat
bagaikan bayangan.
Piauwsoe tua itu mendapat lihat orang datang, ia segera memukul mundur pada Beng
Tjoan, untuk memasang mata kepada ini orang baru, yang ternyata ada satu toosoe
atau imam dengan jubah kuning, tangannya mencekal hoedtim atau kebutan. Dia sud
ah lantas berdiri di depannya si pengemis.
"Apakah aku berhadapan sama Hian Eng Tootiangg dari kuil Siangtjeng Koan di Shoa
tang?" si piauwsoe menanya sesudah ia melihat tegas orang di depannya itu.
"Benar," menyahut si imam. "Sudah lama aku mendengar nama Han Loopiauwtauw, hari
ini kita bertemu, aku merasa beruntung
sekali."
"Mohon tanya, too-tiang, untuk apakah kau datang ke Selatan ini?" piauwsoe
tua itu menanya pula.
"Pin too datang
untuk meminta amal dari kiesoe," sahut imam itu. "Pintoo mohon sukalah kiesoe
mendermakan piauw yang menjadi angkutanmu ini."
Pintoo adalah "aku" untuk imam dan kiesoe adalah sebutan "kau" menghormat.
Di waktu mengucap demikian, imam ini bersikap sungguh-sungguh, tidak sedikit
tanda ia bergurau.
Piauwsoe itu
agaknya gusar sekali, tetapi ia mengendalikan diri. Saking gusar, tangannya yang
mencekal hoentjwee sampai
bergemetar.
"Tootiang ada orang di luar manusia umum, apa perlunya tootiang
dengan uang ini?" ia menanya, menahan sabar.
"Di kolong langit ini, banyak sekali orang yang menanti untuk disuapi," menyahut
si imam tenang. "Pintoo memohon amal karena ada keperluannya."
Piauwsoe itu
tertawa melenggak.
"Sebenarnya, dengan memandang kepada tootiang, tidak dapat aku tidak menderma,"
ia bilang, "hanya sayang aku Han Tjin Ie, meskipun aku telah mengusahakan piauwk
iok beberapa puluh tahun, tanganku tetap kosong, karenanya tidak
sanggup aku mengganti uang piauw ini.
Bagaimana aku dapat mengikuti kau, tootiang ? Di lain pihak lagi, seumur hidupku
, belum pernah aku membikin gagal kepercayaannya langgananku terhadap-
ku. Tootiang, apakah kau bukan memaksakan orang mendapatkan kesulitan?"
Hian Eng Toodjin tetap dengan sikapnya yang tenang dan dingin.
"Bicara pulang pergi, nyatanya kiesoe berat untuk mengamal,
bukankah?" ia bertanya.
Han Tjin Ie si piauwsoe tua pun rupanya habis sabarnya. Ia angkat hoentj
wee-nya.
"Begini saja, tootiang ," katanya singkat, "apabila tetap tootiang hendak melunc
urkan tanganmu, silahkan kau singkirkan dulu itu bendera piauwkiok kami!"
Ia menunjuk kepada benderanya. Itulah
tanda pembicaraan
sudah putus.
Mukanya si imam menjadi keren, tanpa membilang suatu apa lagi, ia geraki kebutan
-nya, menotok ke arah jalan darah tiongbeng
dan pekhoay.
Han Piauwsoe berkelit, tetapi ia tidak mundur, terus ia membalas menyerang. Maka
itu, keduanya sudah lantas bergebrak. Bahkan semua gerakan mereka berbahaya
sekali untuk pihak lawan.
Munculnya Hian Eng secara tiba-tiba itu dan sikapnya itu, yang pun luar biasa, m
embikin heran tidak cuma pihak piauwkiok dan Kaypang, juga Sin Tjoe dan Seng Lim
. Hian Eng ada imam jujur dan alim, untuk lima propinsi Utara, namanya sangat
terkenal. Sebagai imam, untuk apa ia merampas piauw, apapula piauw dari satu pia
uwsoe yang demikian memegang derajat dan bersih?
"Katanya ketika Pit Keng Thian mendapatkan kedudukan toaiiongtauw di
lima propinsi Utara dia dapat
bantuannya Hian Eng Toodjin ini, benarkah itu?" Seng Lim tanya kawan
nya.
"Benar," menjawab Sin Tjoe. "Mereka berdua bersahabat
erat, maka itu kedatangannya ini mungkin karena dia menerima permintaan bantuan
dari Pit Keng Thian. Hanya heran imam ini sendiri. Biasanya dia tidak turun tang
an di dalam urusan yang benar, dia tidak usilan. Kenapa sekarang dia bersikap be
gini keras? Mungkinkah ada terselip rahasia pada piauw dari Han Loopiauwtauw ini
?"
Pertempuran berlangsung dengan seruh. Hoentjwee Han Tjin Ie pendek, totokannya h
anya tiba di satu batas. Kebutan Hian Eng cukup panjang, ujung kebutan itu dapat
bekerja terlebih
merdeka. Maka juga si
piauwsoe seperti kena dikurung. Syukur
untuknya, ia kosen, ia cuma kalah di bawah angin.
Rombongan piauwkiok menjadi kecil hatinya menampak
pemimpin mereka terdesak. Mereka kuatir nama besar dari pemimpinnya nanti
runtuh karenanya.
Kalau kekuatiran itu berwujud, mereka pun akan turut bercelaka, mangkuk nasi mer
eka bakal terbalik...
Dalam saat itu men-dadakan terdengar satu suara nyaring. Nyata hoentjwee Tjin Ie
, yang dipakai menyerang
hebat, kena disampok kebutan Hian Eng. Itulah yang menerbitkan suara itu. Habis
menangkis, Hian Eng membalas menyerang. Hebatnya untuknya, setiap lembar bulu ke
butannya itu seperti
berbangkit berdiri dan bagaikan jarum
mengancam mukanya si piauwsoe.
"Celaka!" Seng Lim berseru, hampir tubuhnya mencelat. Ia berniat
menolong piauwsoe kenamaan itu.
Di saat sangat mengancam itu, terlihat berkilauannya sinar
seperti kilat, menyambar ke arah Hian Eng Toodjin, tubuh siapa lantas mencelat t
inggi, lalu jumpalitan, terus turun di tanah jauhnya setombak lebih dari lawanny
a.
"Bagus!" berseru Sin Tjoe. Ia memuji dua-dua pihak, si penyerang dan
lawannya. Si penyerang untuk serangannya
yang liehay si lawan untuk caranya berkelit yang lincah itu.
Di dalam saat jiwanya terancam, Han Tjin Ie sudah menggunakan
tiga batang jarum emasnya, yang menjadi senjata rahasianya
yang dimalui, yang membuatnya terjuluk-kan "Kimtjiam Sengtjioe" atau "Ahli Jarum
Emas." Dia liehay untuk senjata rahasianya itu, Hian Eng liehay untuk ringan tu
buhnya.
Setelah itu, Han Piauwsoe tidak berlompat maju mengubar lawannya, un
tuk
merangsak, ia hanya berdiri tenang seperti lagi menantikan datangnya musuh. Hal
ini membikin heran semua orang dari rombongannya, hingga mereka itu, dalam hatin
ya, saling menanya, kenapa si piauwsoe mensia-siakan ketikanya yang baik itu. Me
reka tidak tahu, saking liehaynya si imam, piauwsoe itu mau berlaku hati-hati.
"Hian Eng Tootiang ," katanya kemudian,
sesudah ia membuang napas, "sekarang sudikah kau memberi ampun kepadaku si orang
tua?" Ia menanya sembari tertawa.
Hian Eng mengibas dengan kebutannya, terus ia menyahuti dengan
tawar: "Beberapa batang jarum emas tidak ada harganya, pintoo tetap
hendak meminta amal dari kau, kiesoe." Lalu ia mengebut pula,
untuk menyerang.
" Too tiang," b e rk a t a Tjin Ie, "di kolong langit ini sangat jarang aku meli
hat cara orang meminta derma sebagai kau ini, kau membuatnya aku si orang tua me
njadi kewalahan..."
Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama semburan asap hoentjwee.
Memang tiga keistimewaan dari piauwsoe kenamaan ini adalah
jarum rahasianya,
hoentjwee-nya dan ini asap hoentjwee-nya itu. Asapnya ini yang terlebih luar bia
sa. Kalau ia habis menyedot pipanya, asapnya dia dapat tahan di dalam mulutnya,
di saatnya yang perlu, ia semburkan secara
tiba-tiba, di luar sangkaan lawan. Demikian sudah terjadi serangan asap kepada i
mam itu.
Di dalam satu pertempuran, yang paling dimalui adalah pembo-kongan. Itu artinya,
kita berada di tempat terang, lawan di tempat gelap. Hian Eng tidak menduga jel
ek ketika tahu-tahu ia terserang asap hoentjwee, tidak perduli ia gagah dan taba
h, hatinya toh terkesiap juga. Dalam kesehatannya, ia
mengebut, bukan untuk menyerang, hanya
untuk membela diri. Ia
melindungi diri di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah, tipu silatnya ialah yan
g dinamakan "Pathong hongie, atau "Hujan Angin di Delapan Penjuru."
"Bagus!" Han Tjin Ie berseru dengan pujiannya. Mau atau tidak, ia mesti mengagum
i imam itu. Tapi ia memuji bukan untuk berhenti berkelahi, pujiannya itu disusul
pula sama semburan asapnya.
Hian Eng menjadi panas hatinya.
"Apakah ini namanya pertempuran?" dia
menanya.
Selagi orang sangat mendongkol, si piauwsoe tertawa.
"Tetamu yang dihormati berkunjung datang, sudah selayaknya saja aku si orang tua
menyambut dengan menyuguhkan hoentjwee dan teh!" ia
berkata. "Tetapi kita di sini berada di tengah jalan, di sini tidak ada air teh,
terpaksa aku menghormati kau dengan asap!"
Sembari berkata begitu, piauwsoe ini melanjuti serangannya, hoentjwee-nya dipaka
i menotok atau menikam seperti tombak. Ia selalu mencari jalan darah.
Hian Eng membela diri dengan rapat. Ia mengeluarkan kepandaiannya hasil latihan
beberapa puluh tahun. Ia terhalang dengan asap hoentjwee, yang membikin tubuh la
wan seperti tertutup dan nampak samar-samar, akan tetapi ia dapat mengarahkan pa
ndangan matanya.
Tjin Ie kewalahan juga meskipun benar nampaknya ia lebih unggul. Sampai habis as
apnya, ia masih belum
berhasil merobohkan lawan, sedangkan
hoentjwee-nya tidak pernah mengenai sasarannya. Ia masih mempunyai sisa
jarumnya tetapi ia tidak mau pakai itu secara sembrono, kuatir keburu habis.
Pertempuran juga terjadi di antara pihak pelindung piauw dan orang-orang Kaypang
. Cambuknya Pek Beng Tjoan sudah patah, ia ganti itu dengar sebatang golok rampa
san. Dengan bengis ia merobohkan dua piauwsoe kepala, lantas ia tertawa.
"Han Loopiauwsoe ," ia berkata, "kau serahkan piauw dan benderamu! Air hijau, gu
nung ribuan, maka itu masih ada waktunya untuk kita bertemu pula!"
Perlawanan pihak piauwkiok runtuh sampai
di situ, maka Pek Beng Tjoan dengan merdeka memerintahkan orang-orangnya mengang
kut semua angkutan, yang dipindahkan ke kereta-kereta keledai yang mereka siapka
n. Orang Kaypang berjumlah
cukup banyak, mereka pun bekerja keras. Orang-orang piauwkiok cuma bisa mengawas
i saja, untuk maju mencegah, mereka
dihalangi Beng Tjoan.
"Sekarang sudah waktunya kita turun tangan?" Sin Tjoe tanya Seng Lim.
Orang yang ditanya tertawa.
"Kita membantu Hian Eng merampas piauw atau membantu Han Loopiauwtauw membel
ai barangnya itu?" ia balik menanya.
"Kita datang sama tengah, untuk memisahkan dan mendamaikan," sahut si nona.
Pertempuran berlangsung dengan seru. Hoentjwee Han Tjin Ie pendek, totokannya ha
nya tiba disatu batas. Kebutan Hian Eng Toodjin cukup panjang, ujung kebutan itu
dapat bekerja terlebih merdeka. Maka juga si piauwsoe seperti kena dikurung. Sy
ukur untuknya, ia konsen, ia cuma kalah di bawah angin.
"Sudah terang Hian Eng menghendaki piauw , mana dapat kita memisahkan
mereka?" tanya si anak muda.
Sin Tjoe berdiam. Urusan memang aneh sekali. Piauw apa piauw -nya Han Tjie Ie in
i? Kenapa Pit Keng Thian hendak merampasnya? Kalau ia hendak mendamaikan, apa da
sarnya atau alasannya untuk berbicara?
"Habis bagaimana?" achirnya si nona tanya.
"Jelas sudah, mereka hendak merampas piauw , mereka tidak berniat mencelakakan o
rang," mengutarakan Seng Lim, "sekarang kita biarkan Hian Eng berlalu dengan bar
ang
rampasannya itu, kita pegat ia di lain tempat, untuk meminta penjelasan. Pit Toa
ko bukan orang lain, kita dapat berbicara dengan baik, nanti kita keta
hui
duduknya hal yang benar."
Sin Tjoe setujui sahabat ini, ia mengangguk.
Sampai di situ, mereka mengawasi pula medan pertempuran. Di sana orang-orang
Kaypang bekerja keras memindahkan semua piauw.
"Kau dengar, suara apa itu?" berkata Seng Lim pada kawannya. Mendadak saja ia me
ndengar semacam suara yang terbawa angin, ialah suara terompet.
Segera juga suara itu terdengar pihak piauwkiok dan Kaypang, mereka heran, masin
g-masing lantas memasang kuping. Suara terompet itu tercampur siulan.
Semua orang memasang kuping sambil berbareng memasang mata ke arah dari mana
suara itu datang. Mereka tidak usah menanti lama atau mereka tampak munculnya sa
tu barisan serdadu wanita, yang dandanannya rapi. Di paling depan ada empat wani
ta yang tangannya menenteng tengloleng, mengiringi seorang
wanita lain yang berpelangi merah. Dari antara mereka itu pun terdengar suara
tertawa.
Semua orang menjadi heran, mereka mengawasi dengan
menjublak.
"Melihat dandanannya, mungkinkah dia yang orang sebut Angkin Lietjat?" tanya Sin
Tjoe dalam hatinya sesudah ia mengawasi sekian lama. Angkin Lietjat itu berarti
berandal wanita
berpelangi merah, atau si Pelangi Merah.
Setibanya, si pela-
ngi merah itu menggapai dengan tangannya, dan dengan dingin dia berkata: "Piauw
itu tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng Toodjin gusar mendengar kata-kata itu. "Apa?" dia menegaskan
.
Nona itu tertawa manis, tetapi mendadak dia berseru bengis: "Apakah kau tidak me
mpunyakan kuping yang panjang? Aku bilang, piauw itu tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng mengebut kebutannya.
"Alasan apa kau ada punya untuk aku menyerahkan piauw ini kepadamu?" dia menegas
kan.
"Oh, kiranya kau ingin bertempur?" si nona balik menegaskan. "Aku mengandalkan i
ni maka aku menghendaki piauw ini!"
Dengan hanya satu kelebatan, si nona sudah
menghunus pedangnya yang tajam mengkilap, dengan itu ia
menyerang tanpa ayal lagi.
Untuk kagetnya Hian Eng Toodjin, ia mendapat kenyataan kebutannya telah terbabat
ujungnya. Pastilah pedang si nona tajam luar biasa, kalau tidak, kebutan besi i
tu tidak nanti kena dibikin bercacad. Tentu sekali ia menjadi gusar sekali. Ia p
un menjadi heran sebab sehabis babatan-nya yang pertama itu, si nona terus menye
rang ia dengan bengis. Itulah bukan cara umum untuk kaum Golongan Hitam.
Mau atau tidak, terpaksa Hian Eng melayani nona itu. Ia menggunai ilmu silat keb
utannya itu yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus. Belum habis sepa-
ruhnya ia gunai ketika mendadak si nona, sambil berseru nyaring, menikam tenggor
okan dengan pedangnya dan menotok kedua mata dengan dua jari tangan kirinya.
Imam itu melihat serangan itu, ia segera menggeraki kebutannya untuk membela dir
inya. Tetapi si nona liehay, belum sampai ia mengenakan sasarannya, mendadak ia
mengubah gerakan, pedangnya diteruskan dengan babatan, hingga tubuh Hian Eng sep
erti terkurung sinar pedang. Tapi ia pun bukan seorang lemah, ia juga mencari lo
wongan.
Demikian setelah
datang ketikanya, ia membalas menyerang, ia menotok kepada enam jalan darah giok
heng, kwangoan, thiankwan, soankie, yauwkong dan tionghoe.
Secara begini ia memaksa si nona repot membela dirinya, hingga mereka menjadi se
banding, sedang mulanya, si imam kelihatan terdesak.
Pertempuran berlanjut terus. Hian Eng ingin melampiaskan kemen-dongkolannya, seb
isa-bisa ia mencari jalan untuk memberi pengajaran kepada lawannya itu. Begitula
h satu kali ia menyerang hebat sekali.
Sekonyong-konyong si nona meniup keras, lalu dia tertawa dan berseru: "Hai, imam
busuk, ilmu silatmu tidak ada kecelaannya, tetapi kau pergilah!" Dan dia menyam
buti kebutan.
Hian Eng tidak menghendaki kebutannya itu terbabat pula, ia lekas-lekas menarik
pulang. Tapi justeru ia menarik pulang, justeru
pedang si nona dibaliki, terus dipakai menyerang, maka dengan satu suara cukup n
yaring, kopia suci imam ini kena terpapas kutung!
Hian Eng kaget bukan kepalang. Sia-sia ia hendak melindungi
dirinya, menangkis tidak bisa, berkelit tidak keburu. Inilah untuk kedua kalinya
yang ia kena dipecundangi. Yang pertama kali ialah waktu ia membantui Pit Keng
Thian memperebu-ti kedudukan toaiiong-tauw dari lima propinsi Utara, ia telah te
rkalahkan Vang Tjong Hay. Ia tidak menyesal yang ia kena dirobohkan orang she Ya
ng itu, sebab orang terkenal sebagai satu di antara empat kiamkek, ahli silat pe
dang, terbesar. Tetapi kali ini, ia melayani nona itu belum sampai tiga puluh ju
rus. Maka juga ia mendongkol
berbareng malu sekali.
Sampai di situ Han Tjin Ie maju mendekati. Ia nampak girang karena air mukanya b
erseri-seri. Ia memberi hormat kepada si nona seraya ia menanya: "Nona, adakah k
au liehiap Leng In Hong dari Hoeyong San? Aku si orang tua ada piauwsoe Han Tjin
Ie dari Tjin wan Piauwkiok dari Pakkhia, aku lewat di wilayah nona tetapi belum
sempat aku membuat kunjungan kehormatan, maka itu aku minta sukalah kau memaafk
annya."
Piauwsoe jago ini menyebutnya orang iiehiap, pendekar
wanita, itulah untuk mengangkat saja. Ia sebenarnya bukan
belum mengunjungi
hanya tidak ada niatnya untuk itu. Ia ketahui nama besar si nona tet
api nama itu didapat-
nya belum ada satu tahun, dia jadinya tidak dilihat mata. Han Tjin Ie telah perg
i menghormati tujuh kepala berandal lainnya tetapi tidak si nona ini, yang tak m
asuk dalam hitungannya...
Leng In Hong menyapu kepada wajahnya piauwsoe tua itu, jalu ia mengerutkan kenin
g. Ia kata: "Loodjinkee, buat apa kau banyak omong? Aku toh tidak minta berkenal
an denganmu atau memohon tanya riwayatmu?"
Han Tjin Ie mele-ngak, ia mengawasi si nona, terus ia tertawa.
"Nona, piauw ini berada di bawah perlindunganku," ia
berkata, hormat, "maka itu aku minta sukalah nona berbuat baik. Aku akan menurut
i aturan kaum kangouw kita, nanti aku akan mengirim bingkisan kepadamu."
Piauwsoe ini percaya si nona bakal memberi muka padanya. Ia percaya, sebagai seo
rang yang baru muncul, si nona tentunya membutuhkan nama kesohor. Ia pun percaya
, ia akan dipandang juga sebab ia adalah pemimpin antara pelbagai piauwsoe kepal
a. Tapi kesudahannya adalah di luar dugaannya.
Leng In Hong memperlihatkan wajah dingin.
"Apakah halangannya untuk mengambil piauw ini?" katanya tawar. "Untukku, aku tid
ak mengambil perduli siapa yang menjadi pembelanya!"
Pek Beng Tjoan tertarik mendengar kata-kata si nona, maka juga ia berjingkrak.
"Tidak salah!" dia nimbrung. "Memang juga, apakah halangannya untuk mengamb
il
piauw ini? Kita ada orang dari sesama kaum, menurut aturan, dapat kita membagi r
ata, seorang separuh!"
"Adakah piauw ini kau yang turun tangan lebih dulu merampasnya?" si nona tanya.
"Benar," menyahut Beng Tjoan. "Kami mendapat perintah dari Pit Pangtjoe. Ini...
ini..."
Ia hendak menuturkan asal-usulnya piauw itu, atau si nona dengan tak sabaran sud
ah menggoyang-goyangi tangannya
seraya berkata: "Hm! Kami bekerja di dalam daerah pengaruhku, turut pantas kamu
harus diberi sedikit tanda mata, tetapi mengingat yang imam ini berkepandaian ta
k tercela, suka aku membiarkan kamu pergi dengan cara baik! Apakah kamu masih ti
dak mau mengangkat
kaki?"
Mendengar itu, Pek Beng Tjoan menjadi gusar. Ia sudah bicara dengan aturan, oran
g nyata tidak menggubrisnya. Dalam gusarnya, ia membulang-balingkan goloknya.
"Ha, bagus ya!" serunya. "Aku sudah memberikan muka
kepadamu! Aku undang kau minum arak, kau menolak, kau justeru menerima arak dend
aan! Baiklah, sekarang kau boleh merampasnya piauw ini dari tanganku!"
"Kau, Han Tjin Ie, apa kau hendak bilang?" Hian Eng pun menanya si piauwsoe.
Leng In Hong sementara itu menitahkan barisan perempuannya menggiring pia
uw, untuk dibawa pergi, atas mana orang-orang piauwkiok menco
ba menghalanginya. Pihak piauwkiok itu dibantu
oleh orang-orang
Kaypang, yang hendak mempertahankan piauw itu.
Barisan wanita itu kosen, dalam benterokan, mereka tidak dapat dirintangi
.
"Baiklah!" ia berseru, menyambut Hian Eng. "Mari kita sama-sama naik sebuah pera
hu! Mari kita hajar dulu ini rombongan berandal!"
Kata-kata ini disusul serangannya dengan hoentjwee yang dibarengi sama semburan
asap hoentjwee itu. Berbareng dengan itu, Hian Eng dan Pek Beng Tjoan juga turut
menyerang, maka itu si nona, si Pelangi Merah, sudah lantas dikepung bertiga.
***
Leng In Hong tertawa panjang melihat
orang mengepung
kepadanya, tubuhnya segera bergerak dengan lincah, menyelamatkan diri, setelah m
ana pedangnya lantas
menikam kepada Han Tjin Ie. Piauwsoe tua ini angkat tangan kirinya, untuk melind
ungi
dadanya, berbareng dengan itu dengan hoentjwee-nya ia
menyerang seperti juga ia menggunai tombak. Inilah gerakan "Bianglala putih menu
tupi
matahari." Ia membela diri sambil menyerang, ujung pipanya menyam-ber ke tenggor
okan.
Si nona benar-benar gesit, cuma bergerak satu kali, dia sudah lantas lolos dari
tikaman itu. Untuk membalas, ia menusuk lengannya s piauwsoe. Cepat
serangan membalasnya ini. Coba si piauwsoe tidak liehay, pasti tangannya sudah
kena
terpanggang pedang. Ia kelit tangannya itu, yang ditarik terputar, berbareng den
gan
mana, kembali ia menyemburkan asapnya, ketika asap itu sudah seperti semacam tir
ai, tangan kirinya pun diayun, menimpukkan jarum rahasianya. Malah saking sengit
nya, ia menggunai semua sisa tujuh batang senjata rahasianya yang
beracun itu. Hingga di situ nampak sinar berkilauan.
"Bagus!" berseru si nona sambil terus ia tertawa panjang, sembari berseru, tubuh
nya mencelat tinggi, hingga semua tujuh batang jarum lewat di bawahan kakinya. N
yata ia sangat celi matanya dan gesit tubuhnya. Karena ia berlompat, ketika tubu
hnya turun, ia berada dekat Hian Eng Toodjin, dari itu tanpa
berayal lagi, ia menyerang imam itu dengan gerakannya "Burung walet menyambar om
bak."
Imam kosen ini ketahui dengan baik orang sangat liehay, ia tidak mau menangkis p
edang dengan kebutannya itu. Untuk membela diri, ia tetap menggunai
kebutannya. Hanya kali ini ia menggunakan jurus "Murid imam mengebut debu." Seca
ra liehay sekali, ujung kebutannya dapat
melilit ujung pedang.
Pek Beng Tjoan dapat melihat pedang si nona seperti sudah mati kutunya, ia lanta
s menggunai ketikanya yang baik itu, dengan hebat ia menyerang dengan goloknya.
Golok itu berkelebat berkilau, begitu juga sinar pedang. Berbareng dengan
itu, terdengar pula tertawa nyaring
dari si nona, tertawa yang mengejek. Untuk herannya Beng Tjoan, ia kehilangan tu
buh si nona, yang menjadi sasarannya itu. Di lain pihak, terdengar jeritan "Cela
ka!" dari Hian Eng Toodjin, disebabkan kebutannya terlepas dari tangannya, terba
ng mental.
Beng Tjoan kaget sekali, hingga ia melengak. Justeru ia berdiam, mendadak ia men
dengar siuran angin di belakangnya. Kembali da menjadi kaget. Ia menduga pada an
caman bahaya. Sayang, belum lagi ia memutar tubuh atau menangkis ke belakang, ia
sudah lantas merasakan sakit pada pundaknya.
Nyatalah Leng In Hong, setelah mem-balingkan kebutannya Hian Eng Toodjin, sambil
lalu, sudah menikam orang she Pek ini,
tetapi ia masih menaruh belas kasihan, ia tidak menikam sekuat-
kuatnya, ujung pedangnya cuma mengenakan daging piepee.
Hian Eng sendiri telah melihat ke mana kebutannya melayang, dengan berlompat pes
at ia menyambar, untuk mencekal pula itu, sesudah mana ia pernahkan diri berdamp
ingan sama Han Tjin Ie. Hanya sekarang, dengan Beng Tjoan terluka, mereka menjad
i kekurangan satu
tenaga. Sebenarnya, dengan bekerja bersama bertiga, mereka ada cukup tangguh,
sayangnya, Leng In Hong ada terlalu gesit.
Sin Tjoe dan Seng Lim terus mengintai. Keduanya kagum untuk kelincahannya si Pel
angi Merah. Bahkan si nona segera berpikir: "Ilmu pedang partai manakah
ini, yang dia dapat mainkan secara begini bagus? Kelihatannya ilmu pedang ini ti
dak ada bawahan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat dari kakek guruku..."
Pertempuran sementara itu berjalan terus. Pek Beng Tjoan sudah menyerbu pula. Ia
lah yang dianggap terlemah dan kembali ia menjadi kurban. Dengan bersuara nyarin
g, lebih dulu goloknya kena dibabat kutung, belum sempat ia sadar dari kagetnya,
menyusul melayangnya sebelah kaki si nona, tubuhnya pun roboh terguling!
Habis itu, Leng In Hong mendesak si imam dan si piauwsoe, ia
memaksa mereka itu.
Juga orang-orang piauwkiok dan Kaypang mesti mundur dari serbuannya
pasukan wanita dari si berandal
Pelangi Merah, mereka itu kabur ke segala penjuru. Sampai di situ, pasukan wanit
a itu lantas kembali, untuk membawa dan mengiringi barang rampasan mereka. Sekar
ang
mereka tidak terintang siapa juga.
Leng In Hong mendesak terus pada Tjin Ie dan Hian Eng, ia membuatnya mereka itu
berkuatir. Mereka itu tidak lagi mundur, mereka terpaksa
memutar tubuh, secara demikian, beberapa kali mereka terpaksa
memutar pula tubuh, untuk membela diri, sebab mereka merasai anginnya pedang di
punggung mereka.
Mereka cemas hati tapi saban-saban hati
mereka lega kembali, ujung pedang si nona tidak mampir di tubuh mereka.
Lagi satu kali, dua-
dua Hian Eng dan Tjin Ie merasakan ancaman di belakang mereka. Mendadak mereka m
endengar suara "Traang!" Hian Eng berbalik sambil menangkis dengan
kebutannya. Ia melihat sinar kuning emas yang kecil sekali. Ia menduga Tjin Ie m
elawan musuh dengan jarum
rahasianya. Tapi Leng In Hong sendiri sudah terpisah sepuluh
tombak lebih dari pada mereka, nona itu sambil tertawa berkata dengan nyaring: "
Dengan
memandang kepada biji senjata rahasia, aku melepaskan kamu pergi!"
Hian Eng melengak, di dalam hatinya ia berkata: "Apaikah
artinya jarum rahasia si tua bangka she Han hingga ini wanita iblis begini mengh
argainya?"
Leng In Hong itu cepat datangnya,
cepat juga perginya.
Dengan lekas ia bersama barisan tente-ranya, serta piauw yang mereka rampas, sud
ah menghilang di dalam rimba yang lebat pepohonannya.
Han Tjin Ie sangat penasaran, ia lari mengejar, untuk menyusul. Saking letih, na
pasnya memburu.
Hian Eng turut berlari-lari, tetapi sembari menyusul, imam ini berkata dengan
ejekannya: "Bangsat wanita itu sudah pergi jauh, untuk apa kau repot tidak kerua
n?" Suara ini ditambahkan tertawa yang dingin.
"Dasar kamu semua!" membentak Tjin Ie dalam panasnya hatinya. "Kamu yang membiki
n celaka hingga merek piauwkiok kami telah kena orang bikin rusak!" Lalu dengan
hoentjwee-nya ia
menyerang imam ini,
yang ia arah jalan darahnya honghoe hiat. Saking murka, kelihatan urat-urat di d
ahinya pada timbul.
Hian Eng menangkis dengan kebutannya. Kembali dia tertawa mengejek.
"Toh bukannya aku yang merampas piauw -mu itu!" berkata imam ini, dingin.
"Toh kamulah yang menjadi gara-gara!" membentak pula si piauwsoe. Dalam sengitny
a, ia menyerang pula, berulang-ulang. Sudah empat puluh tahun ia memimpin piauwk
iok, mengangkut barang-barang orang, inilah yang pertama kali ia gagal nama baik
nya rusak, barang orang mesti diganti! Dan tadi ia telah menerangkan, tidak nant
i ia sanggup menggantinya...
Sekarang ini Hian
Eng tidak ada niatnya menempurpiauwsoe itu. Ia menyangka barusan adalah si piauw
soe yang sudah menolong jiwanya dengan merintangi tikaman si nona berandal. Piau
w pun sudah kena dirampas orang. Maka itu ia melainkan membela diri saja. Tapi s
i piauwsoe tidak mengarti hati orang, ia bahkan bertambah penasaran, saking mend
ongkolnya, ia menyerang makin hebat.
Hian Eng pun mendongkol, tetapi ia masih dapat menguasai dirinya.
"Tua bangka, kau benar-benar keterlaluan!" achirnya ia kata dengan sengit,
"Sekarang aku hendak tanya kau, kau ingin atau tidak mencari piauw
-mu itu?"
Piauwsoe itu
terbangun alisnya.
"Tentu saja!" dia menjawab nyaring.
"Bukankah piauw itu dirampas si berandal wanita?" Hian Eng menanya pula
.
"Jikalau bukannya kamu yang mengacau, pasti aku sudah dapat melewati ini gunung
Hoeyong San?" menyahut Han Tjin Ie, yang jawabannya menyimpang.
"Hutang tinggal hutang!" berkata si imam. "Sekarang mari kita bicara dari hal di
depan mata!"
"Bagaimana?"
"Kau hendak merampas pulang piauw-mu itu! Aku sendiri, aku hendak merampasnya! D
i dalam hal merampas, tujuan kita sama, karena itu, sudah selayaknya apabila kit
a sama-sama naik sebuah perahu!"
"Jadi kau maksudkan kita bekerja sama
berdaya mencari pulang piauw itu?" "Benar!"
Piauwsoe itu berpikir, hanya sebentar, lalu timbul pula
kemurkahannya.
"Aku tidak sudi bekerja sama kamu bangsa hina dina!" jawabnya.
Hian Eng murka dikatakan hina.
"Kenapa aku hina?" dia menanya.
Justeru itu Pek Beng Tjoan mendatangi. Dia duduk atas seekor kuda, tubuhnya berg
oyang-goyang seperti hendak roboh.
Masih Tjin Ie gusar. Dia berkata: "Kamu telah menggunai racun terhadap kuda dan
keledai kami hingga binatang itu roboh semua! Bukankah itu perbuatan sangat hina
dina?"
Di mulut piauwsoe ini berkata demikian,
tubuhnya sendiri tahu-tahu berlompat mema-paki Beng Tjoan yang ia terus serang,
dengan pipa panjangnya.
Belum sampai ujung hoentjwee mengenai sasarannya, atau lebih benar, belum lagi B
eng Tjoan dan kudanya tiba di dekat si piauwsoe, orang she Pek itu sudah roboh s
endirinya, sebab kudanya mendadak meringkik dan berjingkrak.
Hian Eng gusar sekali. Dia membentak: "Kau mengatakan aku hina dina! Sekarang ka
u menyerang orang yang lagi terluka, apakah kau satu enghiong?"
Dengan menggeraki kebutannya, imam ini menyerang si piauwsoe.
Tjin Ie pun sadar atas teguran ini. Bukankah tadi Beng Tjoan bekerja sama melawa
n si berandal wanita, hingga karenanya, orang she Pek itu
mendapat luka terkena dua kali tikaman si nona? Ia menjadi likat sendirinya. Mes
ki begitu, ia melawan terus kepada si imam, yang masih menyerang ia dengan sengi
t.
Pertempuran ini lebih seruh daripada yang bermula tadi.
Di saat kedua orang itu berkutat hebat, mendadak ada terdengar seruan yang nyari
ng tetapi halus: "Kedua tootjianpwee, sabar! Soepeetjouw kami Tiauw Im Hweeshio
mengundang tootjianpwee untuk bertemu!"
Seruan itu berpengaruh, kedua jago itu sudah lantas berhenti berkelahi. Dengan
berdiri berpisahan,
mereka berpaling ke arah dari mana suara itu datang. Maka mereka lantas mendapat
lihat dua orang, yang satu adalah se-
orang nona yang cantik, yang lain seorang muda yang romannya gagah.
Teranglah, si nona yang barusan menyerukan mereka sabar.
Tentu saja, mereka itu ialah Sin Tjoe dan Seng Lim.
Hian Eng Toodjin sudah lantas mengenali Nona Ie. Ia pernah bertemu nona itu di d
esa Boe keetjhoeng di waktu ia membantu Pit Keng Thian merebut kedudukan Toaiion
gtauw lima propinsi Utara, bahkan ia ketahui orang adalah muridnya Thio Tan Hong
. Maka ia lantas mengangkat
tangannya memberi hormat kepada si nona.
Han Tjin Ie tidak kenal Sin Tjoe tetapi mendengar suara orang dan menyaksikan
sikapnya Hian Eng Toodjin kepada nona itu, ia pun tidak mau
bersikap kasar. Ia bahkan ingat suatu apa, maka lekas-lekas ia berkata: "Ketika
tadi pada permulaan kali aku bertempur sama ini rombongan pengemis, ada seekor k
uda putih yang lari keras di luar rimbah, larinya cepat luar biasa, selagi aku m
engubar si pemimpin pengemis, penunggang kuda itu telah menyambar padanya dan te
rus dibawa pergi. Karena laratnya kuda, aku tidak dapat melihat nyata penunggang
kuda itu. Itu waktu pun masih gelap. Adakah orang itu Tiauw I m Hweeshio?"
"Benar," menyahut Sin Tjoe mengangguk.
Mendapat jawaban itu, matanya si piauwsoe terbuka lebar, lalu dia berkata den
gan
nyaring: "Oh, beginilah satu sahabat lama membantu aku? Baiklah, aku mesti minta
keadilan
dari hweeshio itu!"
"Kiranya Tiauw Im Taysoe pun datang ke mari?" berkata Hian Eng heran. "Dia melih
at Pit Van Kiong mendapat luka, cara bagaimana dia dapat tidak menolongnya? Sebe
narnya harus dari siang-siang piauw ini sudah kena dirampas, jadi tidak usahlah
sampai terjadi hal bertele-tele seperti ini!"
Sin Tjoe tidak mem-perdulikan bicara orang, ia tertawa dan berkata: "Oleh karena
soepee-tjouw-ku itu bersahabat dengan kedua iootjianpwee, maka juga i
a menitahkan aku mengundang kalian!"
Dua-dua orang itu masih mendongkol,
mereka memperdengarkan suara "Hm!" Tanpa mengucap kata-kata lain, mereka lantas
mengikuti Sin Tjoe dan si pemuda, yang
memimpin mereka
sampai di kuil butut. Di sana terlihat Tiauw Im Hweeshio masih saja menolo
ngi Pit Van Kiong.
Melihat orang datang, paderi itu tertawa nyaring, terus ia berkata: "Han Laoko,
bagus kau telah datang! Mari kau keluarkan obat pemu-nahmu, supaya aku tidak usa
h berkutatan lagi menolongi ini pengemis!"
Tapi Tjin Ie masih gusar.
"Tiauw Im, kau membantu siapa?" ia tanya paderi itu, suaranya keras.
Tiauw Im terus tertawa.
"Aku tidak membantu siapa juga!" jawabnya. "Bocah
wanita ini baru saja mengatakan aku usilan, suka campur urusan lain orang! Di ma
na dua-dua pihak ada sahabat-
sahabatku, jikalau aku membantu salah satu pihak, bukankah urusan bakal menjadi
terlebih hebat lagi?"
Napasnya Tjin Ie memburu. Ia masih tetap gusar.
"Kau bilang tidak hendak membantu,
mengapa kau memaksa aku untuk mengeluarkan obat pemunah?" dia tanya sengit
.
Tiauw Im tertawa,
"Sabar, saudaraku!" ia berkata. "Aku hanya minta kau sukalah mengeluarkan obatmu
itu. Aku minta, jikalau kau tidak melihat muka paderi, melihatlah muka Sang Bud
dha!"
"Hm!" bersuara pula si piauwsoe tua. "Tiauw Im Hweeshio, kau jadi menggunai peng
aruhnya si kakak menindih si adik!"
"Aku tidak demikian muka terang, aku cuma mau minta sukalah kau
memandang kepada Toaiiongtauw Pit Keng Than dari delapan belas propinsi!"
berkata pula si paderi tenang.
Piauwsoe tua itu tercengang.
"Apa kau bilang?" menegasi ia kemudian. "Pit Keng Thian? Pit Toaiiong t
au w ?"
"Tidak salah!" menjawab Tiauw Im. "Bukankah ada harganya untuk kau membeli mukan
ya Pit
Toaiiongtauw itu?"
Han Piauwsoe
agaknya heran.
"Jadi menurut kau," katanya keras, "kawanan pengemis busuk barusan itu diperinta
hkan Pit Keng Thian?"
"Sedikitpun tidak salah!" Tiauw Im mengangguk.
Kedua matanya si piauwsoe mencilak, dia duduk numprah di lantai.
"Orang dengan kedudukan sebagai dia
masih hendak merampas piauw-ku yang tidak berharga ini?..."
katanya. "Dan ia pun membiarkan orang-orang
sebawahannya itu
menggunai akal keji sekali!" Napasnya
kembali memburu.
Hian Eng Toodjin turut campur bicara, suaranya dingin:
"Jikalau bukannya kau yang dirampas, habis siapakah? Siapa suruh kau melindungi
barang-barang angkutanmu itu?"
Tjin Ie berjingkrak bangun.
"Apa katamu?" dia menjerit. "Aku
mengusahakan piauwkiok , jikalau aku tidak melindungi barang angkutan, apa aku m
esti makan angin saja?"
Ketika itu Pit Yan Kiong telah merasakan sakitnya kurangan, ia pun turut bicara.
"Han Loapiau wsoe, apakah kau takut nanti tidak dapat makan?" dia tanya tertawa.
"Justeru di pihak kami ada orang-orang yang
perutnya kosong
kelaparan!"
"Kau artikan apa?" Tjin Ie menanya.
"Tunggu dulu!" berkata Pit Van Kiong. "Aku numpang tanya, piauw ini siapaka
h yang menyerahkannya padamu untuk dilindungi?"
Piauwsoe itu
mendongkol.
"Mustahilkah kau tidak ketahui tiga syaratku pantang
melindungi barang
angkutan?" ia balik menanya. "Jikalau
angkutanku kali ini angkutan tidak terang, apakah kau kira aku ada demik
ian tolol mau melindunginya?"
Kembali Hian Eng Toodjin menyelak. Ia kata: "Untukmu, kau
memantang tiga baik, untuk tiga puluh tahun kau tidak melindungi piauw juga baik
, tentang itu aku tidak ambil perduli! Aku cuma mau tanya kau, piauw -mu ini pia
uw siapa?"
"Bagus betul!" Tjin Ie kembali berteriak. "Kau seperti sedang
memeriksa aku!"
"Itulah aku tidak berani," menyahut Hian Eng. "Aku bilang terus terang, kau sudi
mengasi keterangan atau tidak tentang pemilik barang-barang ini, terserah kepad
a kau, tetapi kami, sudah pasti kami menghendakinya!"
Mendengar semua itu, Sin Tjoe tertawa geli.
"i Piauw toh ada di tangan lain orang, iootjianpwee, untuk apa kamu bers
elisih?" dia bertanya.
Pertanyaan ini mem-
buatnya dua jago itu melengak, juga yang lainnya, hanya kemudian, mereka menjadi
tertawa. Memang
benar, mereka lagi memperebuti pepesan kosong! Karena ini, kedua pihak menjadi t
erlebih sabar.
Sekarang Seng Lim yang turut bicara.
"Baik kalangan piauwkiok maupun golongan Hitam, masing-masing ada aturannya send
iri-diri," demikian katanya. "Karena itu, apabila Han Loopiauwsoe tidak sudi mem
beri keterangan, tidak
apalah, urusan baik disudahi saja..."
"Apa?" berseru Pek Beng Tjoan, yang sudah membalut luka-lukanya. "Sudah saja? Ka
u siapa? Kami tidak mengundang kau untuk mengutarakan pikiranmu!"
"Saudara Pek, aku minta sukalah kau tidak
berlaku kurang hormat," Pit Van Kiong minta. "Tuan ini ada keponakannya Yap Tong
nia."
Beng Tjoan heran, hingga ia mengeluarkan suara tertahan.
"Jikalau begitu," katanya kemudian, "tidaklah seharusnya dia berpihak kepada o
rang luar..."
Seng Lim tidak menjadi kurang senang.
"Adakah barang-barang ini dikehendaki pasukan rakyat?" ia tanya.
"Apakah aku memangnya mempunyai pencernaan demikian besar?" Beng Tjoan kata, mas
ih rada mendongkol.
"Pamanku..." kata Seng Lim, "apakah ia ketahui urusan ini?"
"Ini... ini..."
Suaranya Beng Tjoan berhenti setengah jalan.
Perampasan piauw
itu terjadi menurut titahnya Pit Keng Thian sendiri, kepada Yap Tjong Lioe belum
diberitahukan atau dimintai persetujuannya.
Han Tjin Ie lantas berkata: "Jikalau piauw ini dikehendaki Yap Tjong Lioe, mungk
in terjadi aku nanti memberikan mukaku. Ha, kiranya kamu memalsukan namanya tent
era rakyat!"
Pek Beng Tjoan murka.
"Apakah Pit Toa-iiongtauw tidak
berhak?" dia berteriak. "Sekalipun, sekalipun..."
Ia sebenarnya hendak meneruskan: "...sekalipun Yap Tjong Lioe, dia mesti mendeng
ar titahnya Pit Toaiiong tau w!" Tapi ia tidak enak hati menyebutkannya, maka ia
menambahkan: "Sekalipun Yap Tongnia berada di sini, piauw ini
pastilah dia pun bakal merampasnya."
Tiauw I m Hweeshio tidak setuju sama perkataan orang, ia pun polos sekali, maka
ia campur bicara: "Kau bukannya Yap Tongnia, cava bagaimana kau bisa bicara deng
an mewakilkan dia?"
Coba lain orang yang bicara. akibatnya
mungkin hebat, tetapi paderi ini berkedudukan tinggi dan ia pun baharu saja meno
longi Pit Yan Kiong, orang terpaksa berdiam saja.
Seng Lim tertawa, ia berkata pula: "Benarlah apa yang dibilang Nona Ie barusan!
Justeru piauw sudah berada di tangan lain orang, apa perlunya kita masih mempere
butinya? Lagi dua hari aku bakal bertemu sama pamanku dan Pit Toaiiongtauw, itu
waktu aku nanti minta merekalah yang
memberikan keputusan. Aku percaya dalam tempo beberapa hari ini, tidak nanti Len
g In Hong dapat meludaskan habis semua piauw itu! Bukankah sama saja yang piauw
itu
dititipkan pada mereka di sana?"
Kata-kata ini sebenarnya dapat menyabarkan kedua pihak.
Han Tjin Ie mengangguk.
"Baik," katanya, menyatakan akur, "aku bersedia akan
mendengar kata-kata pamanmu."
Pit Yan Kiong tapi-nya mengkerut alisnya, sedang Pek Beng Tjoan berubah air muka
nya.
"Tapi, tapi, bagaimana urusan dapat diperlambat?" katanya.
Piauwsoe she Han itu mendongkol juga.
"Habis?" katanya. "Apakah kau ada mempunyai kepandaian
untuk mengambil pulang piauw itu? Kalau benar, aku si orang she Han nanti
menghaturkannya kepadamu dengan
kedua tanganku!"
Beng Tjoan menjub-lak meskipun ia merasa sangat terhina.
Ketika itu terdengar ketokan pada pintu kuil.
Sin Tjoe membuka lebar matanya, ia tertawa.
"Lihat, orang mendahului datang lebih dulu!" katanya.
Seng Lim bertindak ke pintu, untuk membukakan.
Yang datang itu dua nona muda yang mengenakan baju warna kuning gading serta pin
ggang dilibat sabuk putih, yang satu membawa sebuah peti kecil, yang lain me-nen
gteng tengloleng. Mereka bertindak masuk dengan pelahan-lahan.
Mereka ialah
pengiring-penginngnya Leng In Hong si berandal wanita
berpelangi merah.
Nona yang membawa peti itu menyapu semua orang di dalam ruang, habis itu sinar m
atanya berhenti
kepada Sin Tjoe. Ia lantas maju menghampirkan, ia mengangsurkan petinya itu.
"Pemimpin kamu menitahkan mengundang siapa?" Nona Ie bertanya.
"Kami dititahkan meminta nona membuka peti ini," sahut nona itu.
Sin Tjoe bersangsi sebentar, achirnya ia membuka juga. Ia melihat di dalam situ
ada terletak tiga biji kimhoa atau bunga emas, ditaruhnya rapi sekali.
Pengiring itu segera berkata: "Pemimpin kami mengundang pemiliknya ketiga bung
a emas ini."
Sin Tjoe bersenyum, ia menjemput bunga emas itu.
"Kepandaian tidak berarti pastilah telah membuatnya pemimpin-mu tertawa," ia ber
kata.
"Bunga emas nona hebat sekali," berkata pengiring itu, "pemim-pinku sangat menga
guminya. Dengan memandang bunga emas ini, kami minta sukalah nona serta semua tu
an-tuan di sini berangkat ke gunung kami."
Sampai di situ baharulah Hian Eng Toodjin mendusin,
dalam pertempuran
tadi, selagi ia terancam bahaya, Sin Tjoe adalah orang yang telah menolongi pada
nya. Ia tadinya menyangka si penolong adalah Han Tjin Ie si piauwsoe tua.
Pit Van Kiong tertawa.
"Nona, kali ini kami mendapat kehormatan dari kau!" ia berkata. "Saudara Pek, ka
u tolong pepayang aku mendaki gunung!"
"Kau baik beristirahat saja," Beng Tjoan bilang. Sebenarnya ia likat.
"Nona Ie ada bersama kita, piauw itu pastilah ini hari akan didapat pulang!" kat
a Pit Yan Kiong dengan kepercayaan penuh.
"Hai, siapa berkelakar denganmu?" kata Sin Tjoe.
Pit Yan Kiong tertawa pula.
"Nona yang baik," katanya, "mana berani aku berlaku kurang ajar terhadapmu? Meng
enai piauw ini, aku benar-benar mengharap pertolonganmu. Dengan melihat muka gur
umu yang bersahabat erat dengan pemimpin kami, piauw itu tidak dapat
kau tidak mengambilnya pulang..."
Dengan bantuannya tembok Pit Yan Kiong lantas menekuk sebelah lututnya di depan
Nona Ie. Ia bersikap sungguh-sungguh sekali, hingga ia membuatnya si nona kurang
enak hati.
"Biar bagaimana Pit Keng Thian bukan sembarang orang," nona ini berpikir. "Dan i
ni Hian Eng Toodjin, dia ada dari golongan sadar. Mereka begini, keras menghenda
ki piauw, mungkinkah ini ada hubungannya yang luar biasa?"
"Eh, Han Toako, marilah obat pemunah-mu!" Tiauw Im meminta pula kepada Tjin Ie.
"Aku akan berdiam di kuil butut ini mewakilkan kamu menjaga rumah sekalian menol
ong
mengobati ini beberapa tuan pengemis yang
terluka."
Han Tjin Ie lantas berpikir. Memang busuk perbuatannya Kaypang merampas piauw-ny
a, tetapi mencelakai jiwa mereka pun perbuatan salah dari pihaknya. Tadinya ia
tidak mengetahui duduknya hal, tapi sekarang, setelah duduknya sudah terang, sud
ah sepantasnya kalau ia tidak mengambil sikap keras terus menerus. Maka itu, set
elah berpikir sejenak, ia keluarkan obatnya, ia serahkan itu pada Pit Van Kiong.
"Kau memberikan obat padaku, aku terima kebaikan kau," berkata Yan Kiong tertawa
. "Hanya tentang piauw-mu itu, tidak dapat tidak, aku mesti mengambilnya."
Tjin Ie mengasi dengar suara dingin.
"Boleh!" jawabnya. "Lihat saja nanti bagai-
mana kepandaianmu!"
Sampai di situ, orang lantas berangkat. Cuma Tiauw Im dan mereka yang terluka ya
ng tidak turut. Orang pun mengikuti kedua
pengiring perempuan dari Leng In Hong.
Gunung Hoeyong San itu ada salah satu cabang dari pegunungan Sianhee Nia. Keleta
kan gunung tidak berbahaya tetapi
setelah diatur In Hong, kedudukannya menjadi kuat. Di semua tempat penting ada b
enteng yang kuat mirip dengan kota tembok. Menyaksikan itu, Seng Lim pun diam-di
am memuji dan ia mengagumi si nona berandal. Sekarang ia mengarti, di atas gunun
g pun ada orang yang tak kalah pandai dengan seorang panglima perang.
Tiba di muka markas, kedua pengiring meminta
tetamu-tetamunya menanti sebentar. Mereka lantas masuk ke dalam untuk memberi la
puran.
Orang tidak usah menanti lama akan mendengar suara tambur tiga kali, lalu pintu
markas yang besar dipentang lebar-lebar. Atas itu, Seng Lim segera tarik tangann
ya Sin Tjoe, untuk mendorong si nona maju di depan mereka.
Itulah aturan kaum Rimba Persilatan, siapa yang diundang, dia mesti berada di mu
ka, lain orang tidak dapat mendahului dia.
Dari dalam gedung markas terlihat keluarnya dua barisan serdadu wanita, di tenga
h-tengah muncul Leng In Hong, yang lengkap dengan
seragam dan pedang di pinggangnya. Ia menyambut dengan hormat, sebagai Sin Tjo
e
juga bersikap toapan sekali. Paling dulu keduanya belajar kenal.
"Nona Ie, bagaimana kau menyebutnya
terhadap Tayhiap Thio Tan Hong?" tiba-tiba nona rumah menanya.
"Tayhiap itu ialah guruku," Sin Tjoe menjawab merendah.
Lantas In Hong tertawa.
"Pantas bunga emas nona liehay sekali!" ia berkata. "Kalau begitu, tentulah nona
yang kaum kangouw julukkan Sanhoa Liehiap?"
Di waktu menanya demikian, sinar matanya nona ini menjadi sedikit luar biasa.
"Semua itu ada bisanya tjianpwee kaum kangouw," Sin Tjoe merendah. "Aku sendiri
tidak berani menyebutkan diriku iiehiap."
Liehiap itu pendekar wanita dan "Sanhoa" berarti "Penyebar
Bunga."
"Orang punya nama sama seperti bayangan pohon," berkata pula In Hong, "begitu de
ngan kau, nona. Kau ada dari keluarga setia dan berbakti, kau pun gagah sekali,
aku sangat mengaguminya. Nona, harap kau suka terima hormatku."
Orang heran akan sikapnya ini kepala berandal. Bukankah ia seorang ketua gunung
yang gagah? Bukankah ia tengah mengundang tetamu? Bukankah
pantas kalau ia perlakukan tetamunya sebagai sesamanya? Tapi sekarang tidak! Non
a ini berlaku demikian
merendahkan diri, inilah tidak umum.
Sin Tjoe lekas-lekas menyingkir untuk pemberian hormat ratu berandal itu, yang m
enjura terhadapnya, tetapi In Hong lebih
sebat daripadanya, dia dapat merintangi dan dia terus saja menjura dengan dalam,
maka mau atau tidak Sin Tjoe menerimanya sambil lekas-lekas membalas hormat. Ia
menekuk sebelah kakinya.
Selagi memberi hormat, In Hong mendadak mencekal kedua lengan Nona Ie. Kelihatan
nya ia hendak memimpin bangun.
Sin Tjoe terkejut, ia bercuriga.
"Mungkinkah ia hendak sekalian menguji aku?" terkanya. Ia lantas bersedia.
In Hong tetapinya tidak menguji, ia menjalankan
kehormatan. Ketika ia mengangkat mukanya, kelihatan matanya
merah.
"Seumurku aku paling menghargai Ie Taydjin dan Thio Tayhiap," ia
berkata.
"Ketika dulu hari Ie Taydjin terfitnah dan terpenjara, aku menyesal
sekali yang aku tidak dapat menolongi. Maka itu hormatku ini adalah ho
rmatku untuk ayahmu almarhum itu, dan aku minta sukalah entjie mewakilkan ay
ahmu itu menerimanya."
Sin Tjoe malu kepada dirinya sendiri. Siapa nyana Angkin Lietjat yang umum menam
akannya hantu wanita sebenarnya mempunyai sifatnya seorang
ksatrya, bahkan dia memuji kepada
ayahnya. Tentu sekali ia tidak dapat menolak hormat itu, ia
menerimanya dengan air mata mengembeng. Ia menyekal keras
tangannya Nona Leng, sebagai juga merekalah entjie dan adik yang sudah bertahun-
tahun tidak pernah bertemu satu dengan lain.
Menyaksikan itu, Han Tjin Ie dan Hian Eng Toodjin girang sekali. Keduanya ti
dak
menyangka juga si bandit wanita demikian menghormati Sin Tjoe. Karena ini timbul
harapan mereka bahwa piauw gampang akan diminta pulang.
Kemudian Leng In Hong undang Sin Tjoe duduk di kursi atas, ia terus berkat
a: "Kali ini aku mengundang entjie mendaki gunungku ini kesatu karena
aku mengagumi entjie sekalian untuk belajar kenal dan kedua aku in
gin minta keterangan apa maksudnya entjie telah menggunai tiga bunga emasm
u."
Melihat nona itu berlaku jujur, Sin Tjoe tidak mendusta.
"Buat bicara terus terang, itulah ada berhubung sama urusan piauw,"
sahutnya.
"Ah, mengenai urusan piauw1." nona itu agak heran.
"Benar! Piauw ini dilindungi oleh Han Loopiauwsoe."
"Itulah aku pun sudah ketahui," berkata si nona berandal. "Tidak dapat tidak, pi
auw ini mesti aku rampas!"
"Piauw ini hebat sangkut pautnya," Sin Tjoe memberitahu.
"Juga Pit Keng Thian berniat merampasnya. Ah, sungguh aku tidak mengarti, kenapa
kalian semua hendak merampas piauw ini. Bukankah di dalam ini ada hubungannya y
ang ruwet? Aku kira tidaklah halangannya jikalau kalian menjelaskan
duduknya hal."
Leng In Hong agaknya heran.
"Apa?" katanya. "Pit Keng Thian yang mengangkat dirinya menjadi toaiiongtauw dar
i dela-
pan belas propinsi juga menghendaki piauw ini? Jadi ini serombongan pengemis ser
ta si hidung kerbau adalah orang orang suruhannya? Hm! Dan mereka merampas piauw
dengan menggunai cara yang rendah sekali! Jikalau kau tidak mengasi tahu, entji
e, sungguh aku tidak dapat mempercayainya!"
Tanpa tedeng aling, bandit wanita itu menyebutnya Hian Eng Toodjin si
hidung kerbau.
Mau atau tidak, Sin Tjoe merasakan mukanya panas. Hebat Pit Keng Thian dijengeki
. Tetapi memang biasa toaiiongtauw itu
bertindak tanpa memikir masak-masak. Maka itu, tidak dapat ia membilang suatu ap
a.
Akan tetapi Pit Yan Kiong memikir lain. Ia berjingkrak bangun.
"Aku mohon tanya, tjeetjoe," katanya
sambil tertawa hihi-hihi. "Kalau ada lain orang menandalkan golok
dibatang lehermu,
apakah nanti kau minta dulu orang itu meletaki goloknya, untuk undang ia secara
laki-laki mengadu kepandaian? Atau segera saja kau berontak, untuk menghajar rob
oh kepadanya?"
"Kata-katamu ini apa artinya?" Leng In Hong menegaskan.
Han Loopiauwsoe pun berjingkrak bangun, mukanya merah.
"Ya, apakah artinya kata-katamu ini?" ia juga menanya. "Aku melindungi barang
angkutanku, dengan kau ada apakah sangkutannya?"
Pit Yan Kiong tertawa dingin.
"Piauw-mu ini hendak diangkut ke Ouwpak," sahutnya, "itu
artinya kau menolongi pemerintah menggosok tajam puluhan laksa golok yang hendak
dipakai untuk mencelakai tentara rakyat di Kanglam."
"Ngaco belo!" membantah Han Tjin Ie. "Tahukah kau, aku mengangkut piauw apa?"
Leng In Hong melirik kepada piauwsoe itu.
"Bagus!" katanya, mendahului Pit Yan Kiong. "Memang hendak aku melih
atnya piauw -mu ini piauw apa!"
Justeru itu sejumlah serdadu wanita masuk ke dalam ruang membawa peti-peti dan k
eranjang-keranjang piauw yang mereka rampas kemarinnya, semua itu ditumpuk di ru
ang itu.
"Han Piauwtauw, cobalah kau bilang," berkata Leng, In Hong kepada Tjin
Ie, "piauw apakah yang kau
lindungi?"
"Itulah bahan obat-obatan penting yang Keluarga Ghak dari Pakkhia minta aku meng
antarnya ke Ouwpak," menjawab piauwsoe yang ditanya. "Obat-obatan itu ada untuk
menolong orang banyak yang tengah menderita sakit. Ada apakah salahnya?"
Keluarga Ghak di Pakkhia itu adalah toko obat-obatan yang
paling kesohor dan untuk kota raja adalah keluarga terkaya,
memang setiap tahun satu kali dia minta pertolongan piauwsoe akan m
elindungi
obat-obatannya yang di kirim ke Kanglam, maka juga dialah langganan paling bagus
untuk setiap piauwkiok. Tahun ini katanya berharga sekali piauw-ny a itu maka j
uga sengaja diminta bantuannya Han
Loopiauwsoe yang
kenamaan itu.
Sin Tjoe heran.
"Kalau benar obat-obatannya Keluarga Ghak, lebih tidak layak lagi piauw ini dira
mpas," pikirnya.
"Menolong orang banyak!" berkata Pit Yan Kiong dengan dingin. "Aku justeru bilan
g untuk mengacau negara mencelakai manusia!"
"Ah!" seru Han Piauwsoe, "rupanya di mulut anjingmu tidak tumbuh
caling gajah!"
Leng In Hong tidak mengambil mumat orang mengadu mulut. Ia angkat tangannya.
"Buka semua peti ini!" ia memberi titah.
Han Tjin Ie gusar bukan kepalang hingga tubuhnya bergemetar.
"Apakah ini bukan berarti merusak obat-obatannya?" ia berteriak. Ketika ia diser
ahkan piauw itu, pihak Keluarga
Ghak telah memesannya, kebanyakan obat itu mesti ditutup rapat sekali, tidak bol
eh terkena angin atau hawanya keluar. Tapi piauwsoe ini tidak dapat mencegah. Ka
wanan serdadu wanita sudah lantas bekerja melakukan titah pemimpinnya.
Dengan dibukanya peti-peti dan keranjang, obat-obatan itu jadi berhamburan, teta
pi yang hebat, yang membuatnya orang
tercengang, adalah di antara itu terlihat lempengan-lempengan emas
yang kuning berkilauan.
Pit Yan Kiong segera mengasi dengar pula tertawanya yang dingin.
"Bagaimana?" dia berkata. "Inilah hartanya negara, untuk dipakai mengongkosi ang
katan perangnya! Jumlah ini berharga tujuh ribu laksa tail
perak! Inilah perbuatannya Kioeboen Teetok dari kota raja yang memak
sa Keluarga Ghak itu mengirimkannya
dengan memakai nama obat-obatan. Sepuluh laksa serdadu negara di Ouwpak kekurang
an rangsum, jikalau mereka tidak ditolongi, mereka bakal bubar sendirinya tanpa
berperang lagi! Sekarang kau mengantar piauw ini ke Ouwpak, bukankah itu berarti
kau memberi makan obat penyambung jiwa
kepada ratusan ribu serdadu itu, supaya dapat menggosok tajam puluhan laksa golo
knya untuk nanti dipakai melawan kami?"
Han Loopiauwsoe berdiri diam, ia merasakan tubuhnya dingin bagaikan es. Inilah i
a tidak sangka sama sekali. Untuk seumurnya ia belum pernah mengangkut uang nega
ra,
tetapi kali ini, ia terpedayakan. Keluarga Ghak itu pengusaha obat-obatan yang
sangat kesohor, siapa nyana dia telah dipaksa pembesar negeri untuk mendusta, hi
ngga ia kena ditipu.
Pek Beng Tjoan segera mengasi dengar suaranya yang nyaring, "Han Loopiauwsoe, te
lah kau melihat nyatakah? Jadinya, pantas atau tidak jikalau kami memegatnya unt
uk
dirampas?"
Han Tjin Ie tidak menjawab, hanya mendadak tubuhnya roboh terguling. Ia jatuh pi
ngsan.
"Pimpin dia bangun!" memerintah Leng In Hong. "Semprot dia dengan air dingin!"
Sin Tjoe menghela napas. Ia menyesal bukan main. Ia ingat kesetiaannya ayahnya t
erhadap pemerintah,
siapa dapat menerka, pemerintah justeru
bertindak secara begini hina dina memaksa sebuah perusahaan swasta main gila hin
gga sua t u piauwsoe kenamaan turut menjadi kurbannya. Pula, begitu banyak obat
di kirim ke Kanglam, tidaklah di Utara orang nanti kekurangan obat-obatan itu?
Pit Yan Kiong sebaliknya puas sekali.
"Syukur sekali kupingnya toaiiongtauw kami sangat tajam!" ia berkata. "Pemerinta
h tentunya menganggap kami tidak membegal angkutan piauwkiok, dengan begitu hart
a besar ini dapat diselundupkan. Haha! Achirnya toh kita mendapat tahu juga dan
memegatnya!"
Tidak senang Leng In Hong mendengar suara orang itu.
"Tetapi piauw ini bukannya berada dalam
tangan kamu!" katanya dingin.
Melengak wakilnya Pit Keng Thian itu.
"Apa?" dia menegaskan. "Duduknya harta ini sudah jelas sekali, apakah kau masih
hendak merampasnya?"
Si nona tertawa bergelak.
Pit Keng Thian dapat merampasnya, apakah aku tidak?" dia menanya.
"Entjie," Sin Tjoe turut bicara, "aku harap entjie suka memandang kepada tentara
rakyat yang dipimpin Yap Tjong Lioe, sukalah kau mengangkat tanganmu dan melepa
skannya."
Nama Yap Tjong Lioe besar sekali, walaupun resminya Pit Keng Thian menjadi toaii
ongtauw, pemimpin utama dari delapan belas propinsi, toh orang tetap menghormati
dia itu.
Mendengar disebutnya nama Yap Tjong Lioe, berubah air mukanya si nona, "bandit,"
dia bersenyum.
"Ini rombongan pengemis jahat dan imam bau tak sudi aku memperdulikannya," ia be
rkata, "tetapi
terhadap Yap Toako serta kau, suka aku menjualnya!"
"Oh, entjie, banyak-banyak terima kasih!" berkata Sin Tjoe girang sekali.
Leng In Hong tertawa.
"Yap Toako tidak ada di sini, kaulah menjadi si pelindung," ia berkata pula.
"Ya, anggaplah aku yang melindunginya" berkata pula Nona Ie.
Hian Eng Toodjin dan Pit Yan Kiong berubah air mukanya masing-masing. Hebat mere
ka dicaci, mereka tak dipandang sama
sekali.
"Bagus, entjie," berkata pula In Hong. "Sekarang aku mohon entjie suka memberika
n pelajaran kepadaku. Aku memang ingin sekali menyaksikan ilmu
pedang yang diturunkan Thio Tayhiap."
Mendengar itu, Sin Tjoe tidak menjadi heran. Ia mengarti maksudnya "bandit" wani
ta ini, yang hendak memegang teguh
aturan Rimba Persilatan, yaitu mereka mesti bertanding dulu.
"Kalau begitu, entjie , maaf," berkata Nona Ie, yang terus menghunus pedang
nya.
In Hong pun bersiap, maka keduanya lantas berdiri berhadapan.
"Entjie datang dari jauh, entjie-\ah si
tetamu," berkata Nona Leng. "Karena tuan rumah tidak dapat melancangi tet
amu,
silahkan entjie yang mulai."
Sin Tjoe tidak mau memakai banyak aturan lagi.
"Baiklah, aku memperlihatkan kejelekan-ku," ia kata, merendah. Ia lantas menyera
ng. Karena ia kagumi nona berandal itu, ia cuma menikam asal saja.
Beda daripada Nona Ie, Leng In Hong berlaku sungguh-
sungguh. Ia berkelit dari tikaman. Hampir berbareng dengan itu, ia melesat ke sa
mping. Maka di lain detik ia sudah berada di belakang lawannya. Sangat gesit ger
akan tubuhnya itu. Di sini tanpa bersangsi lagi ia menikam punggung
lawannya.
Sin Tjoe terkejut. "Oh, kiranya dia bertanding benar-benar," pikirnya.
Ia lantas memutar tubuhnya,
pedangnya dipakai menangkis. Ia menggunakan jurus "Burung belibis pulang ke Sela
tan," salah satu dari Hian Kie Kiamhoat, ilmu pedang dari Hian Kie Itsoe. Dengan
ini ia dapat menggagalkan serangan lawan. Karena ia juga menjadi bersungguh-sun
gguh, lantas ia membalas menyerang dengan jurusnya "Bidadari melempar torak," hi
ngga sekarang ialah jadi si penyerang, seperti tetamu yang berbalik menjadi tuan
rumah. Yang menjadi sasaran ada jalan darah honghoe hiat dari Nona Leng.
"Bagus!" berseru In Hong dengan pujiannya. Ia berkelit, ia pun memutar tubuhnya,
dalam gerakannya
"Burung rajawali menembusi rimba" serta sikapnya "Souw Tjin menggendol pedan
g,"
setelah mana, belum lagi tubuhnya mutar semua, pedangnya
sudah menikam. Ia pun membalasnya.
Sin Tjoe melihat satu lowongan, ia mengangkat pedangnya dengan jurusnya
"Mengangkat obor
menyuluhi langit." Atau tiba-tiba ia ingat pedangnya ada pedang mustika. Jelek k
alau ia menabas kutung pedang lawannya itu. Tengah ia berpikir, angin pedang law
an sudah menyamber.
Segera ia berkelit. Lantas ia merasa pedang nona itu seperti lewat di atasan ram
but di samping kupingnya. Ia lantas menjejak, untuk mencelat menyingkir dua tomb
ak.
Leng In Hong benar-benar gesit. Dalam sekejab itu ia pun sudah lompat menyusul.
"Entjie, jangan
sungkan-sungkan!" kata nona Leng ini. Selagi mulut mengucap demikian, ia pun men
yerang pula. Ia benar-benar tidak berlaku sungkan, beruntun ia mendesak dengan t
iga jurus "Kera putih menghaturkan buah", "Dewa menunjuki jalan," dan "Burung ga
ruda mementang
sayap."
Mau atau tidak, Sin Tjoe dipaksa bangun semangatnya untuk melayani. Kalau tidak,
ia bakal terdesak. Selang dua puluh jurus, baharulah ia dapat meloloskan diri d
ari rangsakan lawannya. Ia merasa ilmu pedang In Hong luar biasa. Sampai itu wak
tu, kekuatan mereka nyata berimbang. In Hong menang sedikit di atas angin, karen
a pedangnya ada pedang biasa, bukan pedang mustika.
Lewat lagi tiga puluh jurus, lalu terlihat perubahan pada In Hong. Tubuh nona it
u bergerak lebih lincah dan gesit lagi.
Sin Tjoe terus melayani dengan sama sehatnya, dengan
hati-hati sekali. Ia heran, sampai kira-kira seratus jurus, ia masih belum bisa
menerka nona itu ada dari partai persilatan mana. Ia menginsafinya, coba selama
dua tahun ini ia tidak memperoleh
kemajuan pesat, mungkin sukar ia melayani Nona Leng itu.
Pertandingan berlangsung terus. Karena perhatiannya yang
sungguh-sungguh, kemudian Sin Tjoe mulai dapat merabah-rabah juga ilmu silat law
annya itu. Ia melihat tiga dasar: Boetong Pay, Siauwlim Pay atau Siongyang Pay.
Hian Eng Toodjin dan Pit Goan Kiong sekalian berhati cemas. Mereka mengharap-har
ap Nona Ie yang menang, tetapi pertandingan itu
nampaknya
bertele-tele, hingga tak tahu mereka kapan bakal achirnya. Tetapi mereka tidak u
sah menunggu lama lagi.
Mendadak terdengar suara "Traang!" sebagai akibat dari perubahan serangan In Hon
g. Tiba-tiba saja nona ini merangsak hebat,
hingga Sin Tjoe pun mesti mempertahankan diri. Suara itu berbunyi setelah Nona I
e menangkis satu serangan dahsyat. Akibatnya ialah pedang In Hong kena dibikin k
utung. Tetapi di lain pihak, dia masih dapat menyampok, maka itu pedang Sin Tjoe
pun terpental, terlepas dari cekalan.
Mulanya Hian Eng semua girang melihat Nona Ie menang, hanya belum sempat mereka
bersorak, mereka pun mesti menyaksikan
pedang si nona terbang, hingga mereka menjadi kecele.
Sampai di situ pertandingan itu.
"Entjie, telah aku belajar kenal dengan ilmu pedangmu," berkata In Hong sambil b
ersenyum. "Sungguh hebat kepandaianmu itu! Tetapi, entjie, aku berminat berlebih
-
lebihan. Sekarang aku ingin sekali belajar kenal dengan senjata
rahasiamu."
Sin Tjoe senang dengan tantangan itu. Kesudahan tadi seri, ia tidak puas. Biar b
agaimana, ia menang karena Tjengbeng kiam pedang mustika dan Tjengkong kiam peda
ng biasa.
"Entjie sudah memberi pengajaran, inilah minta pun aku tak dapat," sahutnya.
"Silahkan entjie tunjuki caranya."
"Aku pikir lebih baik kita mulai dengan pieboen, lalu dengan pieboe,"
In Hong mengutarakannya.
Sin Tjoe heran juga dalam hal mengadu senjata rahasia ada pieboen da
n piehoe. Yang pertama ada cara halus atau sipil (poen), dan yang kedua car
a keras atau militer (boe). Selagi ia berpikir, Nona Leng sudah menjelaskan pula
: "Entjie datang dari tempat jauh, entjie adalah tetamu, maka itu suka aku
mengalah membiarkan entjie menyerang lebih dulu dengan tiga
buah senjata rahasiamu,
umpama kata aku beruntung berhasil
meloloskan diri, aku
baharu akan minta entjie mengalah untuk aku menyerang padamu. Ini yang dinamakan
pieboen . Jikalau dua-dua tidak ada yang gagal, hah, baharulah kita pieboe. Kit
a saling menyerang dengan merdeka,
baharu kita berhenti sesudah ada keputusan siapa lebih kuat dan lebih lemah."
Mendengar itu, Sin Tjoe tertawa.
"Dengan begitu bukankah aku jadi menang di atas angin?" tanyanya.
"Berlaku hormat tak ada yang lebih baik daripada menurut perintah," Hian Eng Too
djin menyelak. "Nona Ie, baiklah kau jangan menampik."
Sin Tjoe pun percaya tidak nanti In Hong suka menyerang terlebih dulu, maka itu
ia lantas menyiapkan tiga buah kembang emasnya.
Ia memberi hormat seraya berkata: "Baiklah, entjie. Harap maafkan aku berlaku ku
rang hormat!"
Dengan satu suara, Nona Ie menggeraki dua jari tangannya membikin menyambar sebu
ah kimhoa. Atas itu, tubuh In Hong pun bergerak memutar, membikin
kimhoa itu lewat di samping kupingnya. Hanya berbareng dengan itu, nona ini tela
h menarik turun pelangi merahnya.
Sin Tjoe mengulangi serangan yang kedua.
Leng In Hong tidak lagi berkelit sebagai tadi, hanya pelanginya diangkat bagaika
n
diayun, atas mana kimhoa lenyap seperti nyemplung di laut, tanpa suara, tanpa be
kas.
Terperanjat Sin Tjoe. Tapi ia sadar, maka ia menimpuk pula.
Sudah tentu sekarang kecuali berlaku sebat ia pun menambah tenaganya. Ia mengara
h jalan darah kioktie hiat dari si nona.
"Bagus!" berseru In Hong memuji. "Nama Sanhoa Liehiap bukan nama belaka!"
Mulutnya berseru memuji, tubuh Nona Leng itu berputar dengan lincah sekali, pela
nginya pun berkelebat kemerah-merahan. Menyusul itu terdengar benterokan dari du
a rupa benda keras. Sebab In Hong, dengan meminjam kimhoa yang ia tanggapi tadi,
menangkis kimhoa yang ketiga itu, tepat tangkisannya, hingga kedua kimhoa bersu
ara nyaring, lalu dua-duanya mental jatuh di lantai!
Kimhoa atau bunga emasnya Sin Tjoe, lembaran bunganya
tajam seperti pisau, In Hong dapat menangkapnya itu dengan pelangi merah, itulah
hebat, sekarang ia dapat pakai menangkis, itulah terlebih hebat pula. Hian Eng
semua melengak menyaksikan kepandaian bandit
wanita itu. Tak usah dibilang kekagumannya Sin Tjoe sendiri.
In Hong sudah lantas memakai pula pelanginya.
"Terima kasih untuk mengalahmu, entjie1." katanya tertawa. Tapi ia bukan cuma be
rkata merendah itu, tangannya terayun secara mendadak, lalu tanpa menerbitkan su
ara apa juga, senjata rahasianya sudah menyerang.
Sin Tjoe celi matanya. Ia menunggu sampainya senjata, baharu dengan hebat dan li
ncah ia berkelit. Ia sudah paham dengan
gerakan "Menembusi bunga mengitarkan pohon," ia dapat bertindak dengan gesit sek
ali. Kelincahannya itu tak kalah dengan kelincahan In Hong.
Semua serdadu wanita kagum, mereka bersorak memuji.
Selagi serdadu-serdadu itu bersorak, In Hong sudah menyerang untuk kedua kalinya
. Kali ini senjatanya itu mengasi dengar satu suara nyaring, sebelum tiba kepada
sasarannya, berputar dulu di udara, baharu berbalik menyambar Nona Ie.
Sekarang Sin Tjoe mendapat kenyataan orang menggunai
Ouwtiap piauw, atau piauw "Kupu-kupu," yang dapat bersuara. Sambil memuji "Bagus
!" ia berkelit pula, berkelit dengan gerak-geriknya "Burung walet menyambar
gelombang" dan
"Cecapung menowel air." Tiga kali piauw itu berputar balik mengubar dia, tiga-ti
ga kalinya gagal, achirnya jatuh.
"Sungguh kau liehay sekali, entjie1." memuji In Hong. Kembali, membarengi pujian
nya, menyambarlah senjatanya yang kedua.
Sin Tjoe berkelit dengan segera, lalu ia menjaga. Karena sekarang ia sudah ketah
ui gerak berbalik dari piauw itu, yang seperti boomerang, begitu
piauw berbalik, segera ia menyerang dengan sebuah bunganya, maka tepat kedua sen
jata rahasia itu benterok satu pada lain, suaranya nyaring.
Kimhoa mental. Tapi, kebetulan sekali, mentalnya itu menyambar piauw ketiga yang
Nona Leng melepaskannya dengan segera, maka ini kedua senjata pun
berbareng jatuh.
Kali ini Sin Tjoe menggunai kimhoa
menurut ajaran ilmu Ittjiesian, Sebuah Jeriji, dari Ouw Bong Hoe. Sebenarnya ia
baru memahamkannya tiga bagian kepandaian itu tetapi buktinya sekarang dapat ia
gunakan itu untuk melayani In Hong.
"Pieboen berkesudahan tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah," berkata
Nona Leng. "Sekarang marilah kita pieboe1."
"Baik!" menyahut Nona Ie bersedia melayani. "Sekarang silahkan entjie yan
g memberi petunjuk padaku."
Tubuh In Hong bergerak dengan lantas, disusul sama terayunnya tan
gannya. Ia menyerang dengan
Ouwtiap piauw, piauw Kupu-kupunya itu,
bahkan sekali ini, ia
menggunai berbareng seraup terdiri dari dua belas biji, hingga senjata rahasiany
a itu, setelah penyerangan yang pertama, lalu beterbangan saling
menyambar.
Mulanya Sin Tjoe berkelit, habis itu ia lawan semua piauw dengan bunga emas. Ia
tidak saja menggunai ilmu kepandaiannya Ouw Bong Hoe, ia menelad juga pelajaran
dari persaudaraan
Achmad. Maka dengan melesatnya tak hentinya bunganya, suara "Trang-trang!" tak
hentinya terdengar, disebabkan bentroknya kedua senjata rahasia itu. Ia juga men
ggunai dua belas kimhoa. Keras serangannya kimhoa, Ouwtiap piauw terserang menta
l kalang kabutan.
Leng In Hong kaget bukan main apapula
ketika sebuah kimhoa melesat ke arahnya. Ia masih sempat berkelit, tetapi selagi
ia mendak, kimhoa menyambar
pelangi merahnya, hingga separuh dari pelangi itu putus dan terbawa terbang!
Selagi orang banyak agaknya bingung,
karena mata mereka seperti kabur, Leng In Hong lompat ke luar gelanggang sambil
ia tertawa bergelak-gelak.
"Ilmu menyebar bunga sungguh tidak ada tandingannya dalam dunia ini!" demikian d
ia berseru dengan
pujiannya, "i Entjie, kali ini benar-benar adikmu kagum sekali, ia takluk!"
"Kau terlalu memuji, entjie," Nona Ie merendahkan diri, sedang hatinya girang se
kali mendapatkan nona itu polos.
Pit Goan Kiong dan Pek Beng Tjoan girang
Leng In Hong si berandal wanita dari gunung Hoe-yong-san, sedang mengadu kepanda
ian dengan Ie Sin Tjoe, pendekar wanita penjebar bunga.
luar biasa karena kemenangannya Sin Tjoe itu, mereka sampai lompat berjingkrak.
"Hai, kamu merepoti apa?" In Hong menegur. Tanpa menanti jawaban, ia
menyuruh serdadu-serdadunya merapikan pula peti-peti obat-obatan atau harta i
tu, kemudian sambil tertawa, ia berpaling kepada Sin Tjoe dan
berkata: "Entjie, menuruti aturan kita kaum kangouw, piauw ini
harus diserahkan
padamu!"
Pit Goan Kiong lantas saja menjura.
"Nona, terima kasih banyak!" ia berkata. Tetap pengemis ini bergirang.
"Nona Ie," berka- ta Pek Beng Tjoan kepada Sin Tjoe, "belum lagi kau tiba di dal
am markas kita, sudah kau membuat ini jasa besar luar biasa, sungguh kau
harus diberi selamat!"
Sin Tjoe tidak ambil mumat apa yang orang bilang, ia melainkan bersenyum.
"Yap Toako, ke
mari!" sebaliknya ia memanggil Seng Lim kepada siapa ia berpaling.
Seng Lim menyahuti dan menghampirkan. Semenjak tadi orang bicara dan adu kepanda
ian, pemuda ini berdiam saja, ia melainkan waspada.
"Piauw ini aku serahkan kepada kau, toako," berkata Sin Tjoe pula. "Dan kau, ter
serah kepada putu-sanmu sendiri, kau hendak menghaturkan-nya kepada pamanmu atau
langsung kepada Pit Keng Thian. Setelah aku menyerahkannya kepadamu, aku tidak
mau mengambil tahu lagi!"
Pit Goan Kiong dan
Pek Beng Tjoan sudah girang sekali, mereka menduga piauw itu
bakal diserahkan
kepada mereka, dari itu bukan main kecewanya mereka akan mendapatkan si nona men
yerahkannya kepada si pemuda she Yap.
Mereka pun menganggap, kecuali mereka, Pit Keng Thian turut hilang muka karenany
a. Tapi, memikir lebih jauh, Yap Tjong Lioe juga ada orang sendiri, mereka dapat
melegakan hati mereka. Terpaksa
mereka membungkam.
Sementara itu muncul seorang budak yang mengenakan baju warna gading. Ia memberi
tahu bahwa "si orang tua sudah sadar dan tengah memukuli dada sambil berulang-ul
ang menghela napas panjang pendek."
In Hong menyambut warta itu dengan ter-
tawa.
"Dia kehilangan piauw -nya seharga tujuh puluh laksa tahil, tidak heran jikalau
dia jadi sangat berduka!" katanya. Pergi kau berikan dia uang beberapa tail untu
k ongkos jalan, kau antar dia turun gunung..."
Belum berhenti suara si nona ini, Han Tjin Ie tampak lari mendatangi, tubuhnya l
imbung.
"Aku mempunyai mata tetapi tidak bijinya!" terdengar suaranya yang keras tetapi
serak. "Sudah empat puluh tahun aku melindungi piauw, achirnya kali ini aku robo
h! Saudara Hian Eng, kau jujur, maka itu tolong kau perhatikan keluargaku di Pak
khia!"
Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama mencelatnya tubuhnya ke arah tihang d
i ruang itu!
Adalah aturan di dalam kalangan piauwkiok, siapa melindungi barang dan barangnya
itu lenyap, si piauwsoe mesti mengganti kerugian. Di dalam kejadian ini, Han Tj
in Ie tidak kuat mengganti. Ia ada punya rumah dan simpanan, akan tetapi jumlah
piauw yang
lenyap ini besar luar biasa, terang ia tidak mampu menggantinya. Ia pun sangat m
alu karena robohnya itu. Maka itu, pepat hatinya, ia menjadi pendek pikirannya.
Demikian dengan nekat ia membenturkan kepalanya ke tihang.
Semua orang mengarti kesulitannya Han Piauwsoe, bahwa di sembarang waktu ia dapa
t melakukan yang tidak-tidak, hanya itu ketika orang tengah bergirang, tidak ada
orang yang menyangka
sesuatu. Baharulah
semua orang kaget akan melihat piauwsoe itu berlompat. Hian Eng Toodjin berteria
k tetapi tanpa berdaya, tak keburu ia memberi pertolongan.
Di saat kepalanya Han Piauwsoe hampir mengenai tihang, terdengarlah suara yang k
eras sekali, tahu-tahu tihang itu telah patah dua, kepalanya piauwsoe itu, berik
ut tubuhnya, molos di antara patahan tihang itu, atau di lain saat ia sudah terp
eluk satu orang, yang segera ternyata Seng Lim adanya.
Pemuda ini sangat celi matanya dan sebat gerakannya, menampak si piauwsoe nekat,
ia berlompat sambil menghajar tihang dengan pukulannya Taylek
Kimkong Tjioe, ilmu silat Tangan Arhat, dengan
begitu dapat ia menolongi jiwanya Tjin Ie.
Sambil bersenyum, Seng Lim mengasi turun tubuhnya Han Piauwsoe , kemudian ia men
ghadapi Leng In Hong untuk memberi hormat sambil berkata: "Oleh karena sangat
terpaksa, aku telah membikin rusak tihang tjeetjoe ini, aku mohon sukalah
diberi maaf."
Tjin Ie sendiri agaknya tidak puas.
"Kenapa kau tolongi aku?" dia menanya.
Seng Lim tidak menjawab, hanya dia berkata: "i Piauw ini silahkan kau bawa ke Ou
wpak!"
Mendengar itu, semua orang terperanjat, mereka saling mengawasi. Semua berdiam,
hingga umpama kata sebatang jarum jatuh ke lantai, akan orang dapat mendengarnya
.
Hanya sesaat orang
menjublak, lalu terdengarlah suara riuh.
"Ini... ini... bagaimana aku dapat berkata?..." katanya bingung.
Pek Beng Tjoan sebaliknya mendongkol.
"Kau, kau mengandal apa maka kau berani mengambil putusan ini?" dia menegur Seng
Lim. "Harta ini hendak diserahkan kepada tentera negeri, bukankah itu berarti m
embantu
musuh menghajar orang sendiri?"
Pit Goan Kiong sendiri tidak membilang suatu apa. Ia hanya bersenyum mengejek ta
k hentinya. Adalah kemudian, ia tertawa lebar, beda dari biasanya, lalu ia menge
prak meja.
"Engko she Yap, tindakanmu berlebih-lebihan!" dia berteriak. "Apakah kau hendak
serahkan jiwa banyak
orang ke dalam tangannya tentera negeri?"
Seng Lim bersikap tenang, wajahnya pun tak berubah. Ia berdiam saja.
Beberapa orang lain pun memperdengarkan suara mereka, ada yang menggerutu dan
mencaci, akan tetapi tempo si anak muda terus berlaku sabar, mereka lalu berdiam
sendirinya. Semua mata tetap diarahkan kepada pemuda itu, yang sepak terjangnya
mengherankan mereka.
Sampai itu waktu baharulah Seng Lim bertindak ke gelanggang, ia memandang semua
orang sambil bersenyum.
"Harta besar ini kita rampas," katanya,
"dengan begitu tentera negeri yang berjumlah sepuluh laksa jiwa di Ouwpak, yang
tengah kekurangan belanja,
bakal bubar sendirinya, bukan?"
"Ya, tentera itu bakal bubar tanpa berperang lagi!" berkata Pek Beng Tjoan nyari
ng. "Tidakkah itu menguntungkan pihak kita?"
"Tidak salah!" sahut Seng Lim. "Akan tetapi sepuluh laksa perut toh perlu makan,
bukan?"
"Ah, engko Yap, sungguh hatimu pemurah!" Pit Goan Kiong mengejek. "Kau
menaruh belas kasihan terhadap tentera
negeri!"
Seng Lim mengebas dengan tangan bajunya.
"Aku hanya berkasihan terhadap rakyat jelata di Ouwpak!" katanya nyaring. "Kalau
itu sepuluh laksa serdadu bubar tanpa berperang, sedang
waktu ini hawa udara sangat dingin, bukankah mereka bakal merampok rakyat?
Kalau bukan
rakyat, siapa lagi mereka bakal ganggu? Apakah yang mereka bakal gegaras? Apakah
yang mereka bakal pakai? Si orang hartawan mungkin dapat melindungi dirinya, si
rakyat jelata bakal malang sekali nasibnya! Tidakkah kamu pernah berpikir ancam
an
bencana hebat itu terhadap anak negeri?"
Mukanya Hian Eng Toodjin dan Pit Goan Kiong menjadi pucat sekali, mereka bungkam
bagaikan bola kempes. Pek Beng Tjoan melotot matanya, dia agaknya hendak mement
ang bacot tetapi Seng Lim mendahulukan dia.
"Piauw ini telah diminta pulang oleh Nona Ie," kata si pemuda ini, "dan Nona Ie
menyerahkannya kepadaku. Dengan
begitu aku mempunyai kekuasaan penuh atas-
nya. Benar bukan?"
"Sedikitpun tidak salah!" In Hong yang pertama menyahuti.
"Bagus!" kata Seng Lim pula. "Sekarang ini, siapa pun tidak dapat banyak bicara!
Han Loopiauwtauw, piauw ini silahkan kau bawa ke Ouwpak, kau serahkan pada tent
era negeri di sana! Bagaimana besar juga tanggung jawabnya, aku sendiri yang nan
ti mempertahankannya!"
Hati Sin Tjoe ber-denyutan keras dan tak hentinya. Ia tidak menyangka Seng Lim,
yang demikian
sederhana dan tidak pandai bicara, sekarang dapat berpikir demikian serta dapat
mengambil putusan yang luar biasa itu dia mirip dengan satu panglima besar yang
tengah memimpin angkatan perang, sikapnya demikian gagah.
Kembali Seng Lim memandang semua
orang matanya bersinar tajam. Tapi ketika ia berbicara, suaranya sabar dan teran
g.
"Kita bergerak untuk rakyat, kenapa kita mesti menyebabkan rakyat bercelaka?"
demikian tanyanya. "Pasukan rakyat suka rela ialah pasukan yang di kolong langit
ini tidak tandingannya, maka itu kenapa kita mesti jeri baharu terhadap
sepuluh laksa atau sejuta serdadu? Kita berlaku benar, untuk kebaikan umum, semu
a orang ketahui itu. Sepuluh laksa serdadu itu, andaikata mereka sudah gegaras
kenyang, masih belum pasti mereka sudi menjual jiwa mereka! Jikalau kamu takut k
epada sepuluh laksa serdadu negeri itu, nanti aku yang menjadi
pelopor, aku ada punya daya untuk membuat mereka menakluk, atau kalau mereka tid
ak sudi akan aku hajar mereka hingga mereka kalah! Apa yang harus dibuat takut?
Untuk berperang orang mesti menghitung jauh! Tujuan kita yang maha suci berharga
lebih daripada sepuluh laksa serdadu!"
Tiba-tiba saja Leng In Hong tertawa dengan nyaring dan panjang, lalu jempolnya d
iangkat tinggi-tinggi.
"Sungguh gagah!" berseru nona "bandit" ini. "Inilah baharu semangatnya satu pend
ekar! Tenteraku, lekas kau antar piauw turun
gunung, kembalikan pada pihak piauwkiok1. Mari, mari, Yap Toako1." ia memanggil
Seng Lim, "mari aku hormati kau dengan tiga cawan arak!"
Ia benar-benar lan-
tas mengisi penuh tiga buah cangkir, ia sendiri minum lebih dulu.
Seng Lim tertawa lebar.
"Kau tidak menghendaki aku mengganti tihangmu ini!" ia berkata. "Baiklah, akan a
ku minum arakmu!"
Sunyi seluruh ruang itu, cuma terdengar tertawanya si nona dan si pemuda.
***
Ie Sin Tjoe berdiri diam di samping. Ia menyaksikan gerak-gerik In Hong, ujung p
elangi siapa bergerak-gerak, semangatnya nona itu terbangun, dia demikian gembir
a hingga nampaknya dia jumawa. Diam-diam ia ingat sesuatu. Ialah ia ingat, sepas
ang muda-mudi itu berdiri berendeng,
mirip dengan pasangan di dalam gambar ialah pasangan merpati Lie Tjeng bersama A
ng Hoet si Nona Kebutan Merah. Dua-dua gagah, sama-sama tampan dan cantik, seman
gat
mereka bersatu padu, tidakkah mereka itu sangat sepadan? Memikir ini, tanpa mera
sa ia diam menjublak.
Leng In Hong masih saja tertawa lebar.
"Nona Ie, kau juga mengeringkan tiga
cawan!" dia berseru kepada Sin Tjoe.
"Adikmu tidak kuat minum, tidak berani aku menemani," si nona menjawab.
"Kalau arak ketemu sahabat akrabnya,
untuk apa jeri akan mabuk sinting," berkata nona rumah si kepala berandal wanita
. "Nona Ie, ini satu cawan tidak dapat kau tidak meminumnya!"
Ketarik Sin Tjoe untuk sikap polos dan gembira serta bersemangat nona itu, ia ti
dak menampik terlebih jauh, ia keringkan cawan yang diangsurkan kepadanya.
"Nah, inilah baharu mempuaskan!" berseru In Hong. Ia hendak meminta Seng Lim min
um pula atau si anak muda telah mendahuluinya: "Aku tidak dapat minum lebih jauh
, aku sudah mabuk!"
Memang Seng Lim tidak biasa minum, atas desakan In Hong, ia mengeringkan tiga
cawan, ia telah memaksakan diri, maka itu kakinya lantas berdiri tak tetap, ia t
erhuyung seperti mau jatuh.
In Hong melihat orang tidak berpura-pura, ia tertawa pula, nyaring dan panjang,
lalu ia melemparkan cawannya ke lantai.
"Baiklah, sebentar malam kita minum pula !" katanya, "Hengdjie, pergi kau siapka
n pembaringan di kamar samping untuk Yap Toako beristirahat. Dan kau, Nona Ie, m
ari kau turut aku pergi ke gunung depan!" Ia mengajak Sin Tjoe.
Pek Beng Tjoan be-ramai menjadi jengah sendirinya karena In Hong tidak memperdul
i-kan mereka, karena itu mereka lantas memberi hormat untuk pamitan.
"Jangan kesusu!" berkata si nona tertawa. "Di kaki gunung hanya dusun kosong, ka
barnya orang kamu kaum Kaypang banyak yang terluka, baik kamu kirim orang untuk
mengundang mereka semua datang ke mari! Tempatku kecil tetapi ini masih terlebih
baik daripada pondokan di kampungan."
Pek Beng Tjoan dan Pit Goan Kiong heran.
"Aneh nona ini..." pikir mereka. "Kenapa baharu sekarang dia menghormat kita?"
In Hong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir, lagi-lagi ia tertawa.
"Kamu dalam tentera rakyat ada orang besarnya, bagus!"
katanya pula nyaring. "Tadinya aku tidak melihat mata, sekarang lain. Ada kepona
kan semacam ini, mestinya Yap Tjong Lioe sang paman bukan sembarang orang, maka
di belakang hari hendak aku pergi mengunjungi dia!"
Mendengar ini, Hian Eng Toodjin dan Pit Goan Kiong girang. Memang bagus sekali j
ikalau si nona suka menggabungkan diri. Dengan begitu usaha mereka di Ka
ngsee
tentulah akan maju pesat. Karena ini, lenyaplah kelikatan
mereka tadi.
Dengan rada sinting, In Hong lantas mengajak Sin Tjoe pergi. Mereka berpegangan
tangan. Nona rumah, sambil tanjak-tunjuk, menerangkan sesuatu kepada tetamunya,
tentang keletakan
gunungnya serta penjagaannya. Ia pun bicara dari hal urusan tentera.
Sin Tjoe ada rada asing untuk ketente-raan tetapi dapat juga ia menemani bicara.
Ia mendapat kenyataan nona ini masih lebih luas pandangannya daripada Keng Sim.
Ia mendapatkan orang rada jumawa, akan tetapi mengingat In Hong sedang sinting,
ia tidak memperdulikan itu, ia malah menjadi suka kepada orang.
Ketika itu di achir
musim ke empat, di atas gunung kedapatan banyak salju, dipandang dari jauh, salj
u itu bagaikan perak yang berkilauan. Lewat
sebuah tikungan, di sana tertampak bunga bwee warna putih dan merah sedang mekar
nya dan baunya harum semerbak.
"Aku pernah mendengar tentang bunga bwee di gunung Tengoet San yang dikenal seba
gai bunga hiangsoat hay atau Laut Salju Wangi, sayang belum pernah aku pergi ke
sana," berkata In Hong. "Pohon bwee di sini telah ditanam setelah aku berdiam di
sini, aku menyuruh orang-
orangnya pergi mencari di lembah-lembah untuk ditanam di sini."
"Kau nyata gemar seni, entjie1." Sin Tjoe memuji.
In Hong tertawa.
"Seni apa!" katanya. "Aku menanam bunga bwee ini karena aku menyukai harumnya ya
ng halus."
"Entjie, kau sungguh mengagumkan," Sin Tjoe memuji pula. "Tadinya aku menyangka
diriku besar, tidak tahunya aku kalah jauh daripada kau! Pohon bwee memang tahan
melawan hawa dingin."
"Bicara tentang menahan dingin, di gunung Thian San baharulah hawa udara dingin
luar biasa!" berkata In Hong. Agaknya ia mengingat secara tiba-tiba. "Musim ding
in di sini bukan mirip-miripnya musim dingin."
Mendengar itu, Sin Tjoe lantas mengingat satu orang. Itulah hal omongan gurunya,
yang pada suatu hari bercerita kepadanya selagi mereka bicarakan
halnya pelbagai partai persilatan ilmu pedang. Katanya di Thian San berdiam seor
ang yang hidup menyendiri, she Hok namanya Heng Tiong, siapa telah berminat meng
gabung ilmu silat pedang semua partai untuk dijadikan suatu partai baru. Dia itu
menyendiri semenjak usia pertengahan, tidak lagi dia menginjak tanah Tionggoan,
dia hidup di wilayah Hweekiang di suatu tempat ke mana tak ada lain orang tiba,
hingga sangat sedikit orang yang mengetahui hal ichwalnya. Cuma Hian Kie Itsoe,
sebelum dia mengundurkan diri, pernah satu kali bertemu dengannya. Hian Kie puj
i semangat Heng Tiong itu, hanya ia anggap itulah terlalu berlebihan. Bagaimana
gampang untuk mengumpul pelbagai cabang ilmu silat pedang,
untuk dipahamkan dan kemudian menciptakan satu cabang baru dari antaranya ? Seja
k pertempuran itu, tidak pernah mereka bertemu pula, maka Hian Kie tidak ketahui
orang sudah mati atau masih hidup, apa dia berhasil atau gagal. Atau kalau dia
masih hidup, juga orang tidak tahu sampai di mana kemahiran ilmu pedangnya itu.
"Apakah entjie pernah pergi ke Thian San?" menanya Sin Tjoe. Ia ingat suatu apa
karena disebutnya nama gunung itu. Ia pun menanya seperti keterlepasan.
"Aku menjadi besar di Thian San," menyahut orang yang ditanya.
"Aku mohon tanya, pernah apakah entjie dengan iootjianpwee Hok Heng Tiong?"
Sin Tjoe menanya pula.
"Dialah pamanku," sahut pula In Hong, yang memberitahukan hal engk
oe-nya (paman).
"Pantas ilmu pedang entjie begini liehay, kiranya kau mewariskan langsung
ilmu pedangnya Hok Lootjianpwee itu. Ya, aku ingat, lootjianpwee telah
mengumpulkan ilmu silat pedang pelbagai partai dan ia mempersatukan itu, untuk m
enciptakan partai baru. Sungguh hebat!"
Selagi Nona Ie berkata demikian, pada wajahnya In Hong tertampak sinar guram, ba
gaikan langit terang dilintasi awan gelap tetapi, hanya sebentar saja, air mukan
ya itu tenang seperti sediakala. Sin Tjoe sedang bergembira, ia tidak dapat meli
hat perubahan air muka orang. Bahkan ia melanjuti
pertanyaannya.
"Apakah Thian San itu indah, senang untuk pesiar? Apakah Hok Lootjianpwee masih
tinggal di sana?" demikian pertanyaannya terlebih jauh.
In Hong memandang salju di puncak.
"Pamanku itu telah meninggal dunia," sahutnya tawar. "Tentang keindahannya gunun
g Thian San, karena aku meninggalkannya sudah lama, aku tidak ingat lagi."
Sin Tjoe melengak. Ia merasa heran atas sikapnya Nona Leng itu. Maka ia mengawas
i, hingga ia tampak air muka orang tak wajar.
"Kenapa, dengan disebutnya Thian San, agaknya dia kurang senang?" ia tanya dirin
ya sendiri.
"Dia seperti mempunyai suatu urusan yang mendukakan hatinya..."
Sebenarnya Sin Tjoe masih hendak menanya banyak terutama
tentang sebabnya si nona menjadi berandal di gunung Hoeyong San ini, sebab sikap
orang itu, ia menjadi membatalkan niatannya itu.
Mereka lalu bertindak melintasi rimba pohon bwee itu.
"Yap Toako itu besar cita-citanya," mendadak In Hong berkata selang sekian lama.
Sin Tjoe heran, air mukanya berubah
menjadi merah.
"Aku kenal dia baru beberapa bulan," ia berkata. "Bicara tentang dia, dia sebena
rnya ada dari satu rumah perguruan
denganku."
In Hong tertawa.
"Dia sangat memperhatikan kau, entjie1." katanya. "Di waktu kita mengadu p
edang aku
melihat itu dari sinar matanya."
Sin Tjoe likat, ia tunduk.
"Ada orang yang memperhatikan, itulah hal yang sangat mem-beruntungkan," kata No
na Leng seraya menghela napas. "Ah, Yap Toako kau itu mirip dengan seorang yang
aku kenal baik..."
Hati Sin Tjoe tidak tenteram.
"Benarkah?" katanya. "Siapakah dia?"
Sekonyong-konyong In Hong tertawa besar.
"Ah, aku sudah sinting!" katanya. "Sekarang sudah tidak siang lagi, mari kita pu
lang. Ya, ada orang yang karena peristiwa yang sudah-sudah dia suka menjadi berd
uka,
apakah sebabnya itu?"
Hati Sin Tjoe terkesiap. Ia lantas ingat Tiat Keng Sim. Karena ini, ia tidak m
enjawab,
ia berdiam saja.
Malam itu In Hong mengajaki Sin Tjoe tidur dalam sebuah pembaringan untuk mereka
memasang among.
Hanya di waktu bersantap malam, In Hong minum banyak sekali air kata-kata, hingg
a begitu ia menjatuhkan diri di pembaringan, lantas ia pulas.
Sin Tjoe gulak-gulik, ia tidak lantas dapat tidur pulas. Ia seperti melayang-lay
ang. Ia merasa seperti berada di pesisir laut Djiehay di mana ada sebuah pohon t
aytjeng yang besar, yang daunnya teduh sekali. Selagi ia berpikir untuk pergi ke
bawah pohon itu, mendadak di situ tumbuh muncul sebuah pohon taytjeng lain yang
besar. Atau di lain saat, matanya menampak di bawah pohon
taytjeng itu ada sepasang muda-mudi menyembunyikan diri. Yang berdiri di sebelah
kiri adalah Yap Seng Lim, dan yang berdiri di sebelah kanan ada Leng In Hong.
"Yap Toakol" sananya Sin Tjoe berseru seraya berlompat
kepada pemuda itu.
Sekonyong-konyong terdengar guntur di tengah udara, lalu Seng Lim lenyap seketik
a. Tinggal pohon taytjeng, yang bergoyang-
goyang keras.
"Entjie Leng!" sananya ia memanggil In Hong.
In Hong tertawa dan datang menghampirkan. Sin Tjoe pun lari kepada nona itu. Hen
dak ia menanya, "Mana Yap Toako?" atau ia melihat tiba-tiba alis In Hong berbang
kit berdiri,
dengan pedangnya dia terus menikam.
"Entjie Leng, aku, aku!" Sin Tjoe berteriak-teriak kaget, ia pun segera mundur,
atau "Plug!" ia tercebur ke laut Djiehay. Itu waktu di kupingnya ia mendengar su
ara halus: "Jangan takut... Jangan takut... Aku di sini!"
Sin Tjoe mementang kedua matanya. in Hong berdiri di hadapannya. Kiranya ia jatu
h dari pembaringan. Barusan ia sudah bermimpi. In Hong mengenakan yahengie, yait
u pakaian untuk keluar malam, tangannya mencekal pedangnya yang tajam. Ia terkej
ut, hingga ia bersangsi ia masih mengimpi atau sudah sadar.
"Di luar seperti ada orang," In Hong berbisik. "Kau jangan kuatir, nanti aku per
gi untuk melihat."
Si nona melihat daun
jendela sudah terpentang, lantas dia berlompat ke luar. Dia seperti tidak dapat
mensia-siakan tempo lagi.
Sin Tjoe lantas berpikir. Ia mengarti sekarang bahwa barusan ia sudah mimpi. Dal
am kesunyian, ia mendengar tindakan kaki bukan dari satu orang. Ia menduga kepad
a orang-orang yang tak sembarang kepandaiannya ringan tubuh.
"Mana dapat aku membiarkan entjie Leng menempu bahaya?" pikirnya. Maka ia lekas
berdandan, dengan
membawa pedangnya, ia lari keluar untuk menyusul.
Sampai di gunung depan baharu Sin Tjoe melihat bayangannya In Hong. Ia lari teru
s. Setelah lewat setengah lie, di depan tertampak samar-samar beberapa
orang bagaikan bayangan. Benar-benar mereka itu mahir ilmunya ringan tubuh. Ia h
eran, tidak dapat ia menerka siapa mereka itu. Kalau mereka bermaksud baik, kena
pa mereka tidak datang secara berterang? Kalau mereka berniat jahat, kenapa mere
ka kabur pula, kenapa mereka tidak menempur Nona Leng?"
Tepat di waktu Sin Tjoe menduga-duga demikian, beberapa
bayangan dtu menghentikan larinya.
"Siapa kamu ?" terdengar tegurannya In Hong.
"Kami ialah sahabat-sahabat akrab dari Hok Thian Touw," menyahut seorang yang ja
ngkung kurus. "Oh, Nona Leng, benarkah kau tidak mengenali aku? Aku Hwee kielin
Hek In Tay. Bukankah pada lima
tahun dulu kita pernah bertemu di atas gunung Thian San di puncak tinggi sebelah
selatan? Mereka ini adalah saudara-saudara angkatku."
Pada lima tahun yang lalu itu, In Hong baharu berumur lima belas tahun. Samar-sa
mar ia ingat orang jangkung kurus sebagai sahabatnya Hok Thian Touw.
"Kalau begitu, kenapa kau datang malam-malam dan main sembunyi-sembunyi?" ia tan
ya.
"Kami tidak hendak membikin kaget orang-orang lain," sahut Hek In Tay. "Eh, siap
akah orang itu?" Ia menunjuk ke arah Sin Tjoe.
In Hong segera menoleh.
"Dialah kakakku. Jikalau kau hendak bicara, bicaralah, tidak ada halangannya."
Sin Tjoe dapat mendengar pembicaraan mereka itu, hatinya menjadi lega.
"Kiranya kenalan-kenalannya entjie Leng..." pikirnya. Ia tidak mau lantas datang
dekat, supaya ia tidak usah mendengari pembicaraan mereka itu. Ia bahkan hendak
mundur pula tatkala ia mendengar pertanyaan keras dari In Hong: "Apa? Kamu jadi
nya diperintah datang oleh Hok Thian Touw? Dia di mana? Di mana?"
Nadanya suara itu nada dari orang sangat tertarik hatinya, seperti seorang yang
berdahaga sekali untuk suatu kabaran.
"Hok Thian Touw berada di suatu tempat di Siamsay," sahut si jangkung kurus Hwee
kielin, si Kielin Api. "Dia minta Nona suka pergi untuk menemui dia."
"Thian Touw ketahui aku berada di ini gunung, kenapa dia tidak datang sendiri ke
padaku?" In Hong menanya. "Apakah dia sakit? Atau apakah dia terluka?"
"Letaknya tempat terpisah ribuan lie, tidak leluasa untuk dia datang ke mari," s
ahut pula Hek In Tay. "Kalau nona sudah pergi ke sana nanti kau akan ketahui sen
diri sebabnya."
In Hong tertawa menyeringai.
"Letaknya tempat jauh ribuan lie, aku juga tidak leluasa pergi kesana," ia menya
huti, menelad suara orang. "Untuk menyuruh aku meninggalkan tempatku ini juga ma
sih memerlukan tempo beberapa hari guna mengatur sesuatu."
Memang semenjak dua tahun, In Hong
sering berhadapan sama tentera negeri yang hendak menumpas
padanya, ia telah dipandang sebagai satu berandal yang berbahaya, maka itu, kala
u ia pergi meninggalkan
gunungnya, itulah
sungguh berbahaya untuk Hoeyong San. Ia pun tidak ichlas meninggalkan tenteranya
dengan siapa ia telah hidup bersama, senang dan susah, sebagai entjie dan adik.
"Kalau begitu, benar sukar," Hek In Tay berkata pula. "Thian Touw menanya kau, a
pakah kau masih ingat akan janji lama?"
"Habis kenapa?"
"Sekarang ini dunia kacau, sekarang ini waktunya untuk
menyendiri meyakinkan ilmu pedang. Thian Touw menanyakan kau, apakah kau masih m
enyimpan itu kitab
ilmu pedang?"
In Hong melirik. "Adakah ini kata-katanya Thian Touw sendiri?"
"Dia mempunyakan surat yang dia tulis sendiri di sini. Silahkan kau lihat sendir
i."
Hek In Tay menyerahkan surat yang ia sebutkan itu.
Sin Tjoe melihat wajahnya In Hong ramai hingga dia menjadi terlebih cantik dan m
anis. Maka maulah ia menduga tentang hati si nona. Maka berkatalah ia di dalam h
atinya: "Ini nona gagah berpelangi merah, melihat surat kekasihnya, dia likat ba
gaikan nona pengantin..."
Tangan In Hong bergemetaran sedikit ketika ia memegang surat, untuk dibuka denga
n perlahan-perlahan. Begitu ia
melihat, ia membaca dengan perlahan:
"Adik Hong, terimalah suratku ini seperti kita bertemu sendiri... Adik Hong, ter
ima/ah suratku ini seperti kita bertemu sendiri...
bertemu sendiri..."
Mendengar itu, hampir Sin Tjoe tertawa. Bukankah lucu In Hong ini, yang membacan
ya berulang-ulang surat kekasihnya itu bagian pertama?
In Hong tidak membaca terus. Mendadak air mukanya berubah menjadi sungguh-
sungguh dan dengan mendadak juga ia tertawa lebar.
"Benar saja Thian Touw telah menduga bahwa aku tidak dapat segera berangkat maka
dia telah mengutus kamu beberapa tuan-tuan yang ilmu silatnya
tinggi untuk datang mengambil kitab ilmu silat itu untuk dibawa kepadanya. Ha, s
ungguh sukar dicari orang yang demikian matang pikirannya!"
"Sebenarnya ilmu silat kami biasa saja," berkata Hak In Tay, "akan tetapi kami t
elah menerima baik permintaannya saudara Thian Touw, terpaksa kami mesti melakuk
an
kewajiban kami, biarnya mesti membuang jiwa, tentu kami akan antarkan kitab itu
kepada saudara Thian Touw."
In Hong melirik, ia tertawa pula.
"Sungguh sahabat-sahabat yang baik!" ia berkata. "Kitab pedang itu asalnya ada k
epunyaan Keluarga Hok, sekarang Thian Touw menghendaki itu, tidak dapat aku tida
k mengembalikannya, dan
sekarang kamu yang mengantarkan, itulah bagus sekali. In Tay, mari!"
Hek In Tay tercengang, ia mengawasi.
"Apakah kitab itu kau senantiasa bawa-bawa, Nona Leng?" tanyanya.
"Ya," menyahut si nona, yang merogo ke dalam sakunya.
In Tay maju dua tindak.
Sekonyong-konyong si nona tertawa, berbareng dengan mana pedangnya terhunus, ter
us dipakai menikam orang di depannya itu. Berbareng dengan itu, tangan kirinya t
erayun, menerbangkan tiga biji Ouwtiap piauw. Sebab dia bukannya mengeluarkan ki
tab hanya menjumput senjata
rahasianya itu.
In Tay kaget tetapi ia masih dapat berkelit, hanya ia kalah sebat, pundaknya ken
a
juga tertikam, syukur tulang piepee-nya tak sampai kena dibikin tembus.
"Kami bermaksud baik, kenapa kau menurunkan tangan jahat?" In Tay berteriak.
In Hong berlompat, untuk menikam pula, hingga dua kali beruntun.
"Ya, sungguh baik hatimu!" dia berkata, dingin. "Hm! hm! Apakah kamu menyangka a
ku sebagai bocah enam tahun yang lampau ketika aku masih belum mengarti apa-apa?
Lekas bilang, sebenarnya apakah kamu perbuat terhadap Thian Touw? Kamu meniru tu
lisannya itu! Mana dapat kamu mengelabui aku?"
In Tay berkelit terus.
"Kau lihatlah biar terang!" ia masih berkata. "Surat itu tulisan tangannya T
hian
Touw sendiri! Mengapa kau bilang surat tiruan?"
In Hong tertawa dingin.
"Kau masih mendustai" bentaknya. "Nanti aku bikin picak matamu!"
Kali ini si nona menyerang dengan empat biji senjata rahasianya.
Menyusul itu terdengarlah suara "traang!" beberapa kali dan ke empat senjata rah
asia itu terhajar hancur, oleh seorang Uighur sahabatnya Hek In Tay. In Tay send
iri menghunus senjatanya, sepasang poankoan pit, senjata mirip alat tulis, denga
n apa ia menangkis Tjengkong kiam. Ia menangkis dengan tangan kirinya sebab deng
an tangan kanan ia membalas menyerang, menotok ke arah buah dada. Ia murka, kare
na ia pun berseru: "Sebenarnya kami memandang kepada
saudara Thian Touw! Apakah kau sangka kami jeri terhadapmu? Perempuan ini tidak
tahu aturan, mari kita bereskan dia dulu!"
Dan ia menyerang pula.
Kawannya In Tay ada tiga, dua di antaranya orang-orang Uighur, yang masing-masin
g bergegaman gembolan kuningan
serta golok bulan sabit, sedang yang ketiga bersenjatakan sepotong kongpian panj
ang
setombak, ketika dia menyerang, merabuh ke bawah, cambuk itu memperdengarkan siu
-ran angin keras. Yang terliehay adalah In Tay sendiri, walaupun dia sudah terlu
ka pundaknya, sepasang pit-nya hebat sekali, senantiasa mencari jalan darah.
In Hong melayani dengan tabah, bahkan ia tertawa panjang. Ia
tidak mengambil mumat yang ia dikepung berempat, ia bergerak ke segala penjuru d
engan gesit sekali.
Kedua orang Uighur itu mengandal betul kepada senjatanya
masing-masing, yang berat, mereka berdaya akan membentur pedang si nona, tetapi
nona itu memperlihatkan kelincahannya, jangan kata pedangnya, ujung bajunya pun
tak dapat dilanggar, bahkan pedangnya berkelebatan di muka orang. Demikian ketik
a si nona berseru, si orang Uighur yang memegang gembolan kena tertikam.
"Jangan mengadu jiwa!" In Tay berteriak. "Kurung saja padanya!" Ia pun mendesak
terlebih hebat, sepasang pit-nya bergerak gesit ke kiri dan kanan.
Orang yang memegang kongpian berkelahi
secara renggang, ia menjauhkan diri kira-kira satu tombak. Cuma In Tay yang mend
esak rapat. Kedua orang Uighur itu pun tidak merapatkan diri, mereka bersikap he
ndak meme-gat jalan mundur lawannya.
Sin Tjoe menonton sejak tadi, kemudian ia menjadi tak sabaran.
"Entjie Leng,
apakah kau hendak bikin picak si kurus ini?" ia menanya. "Benarkah?"
"Benar!" In Hong memberikan penyahu-tannya.
"Baik!" berkata Sin Tjoe. "Tidak usah entjie turun tangan, nanti aku lebih d
ulu membikin buta mata kirinya!"
In Tay telah berjaga-jaga terhadap nona itu, hanya melihat usia orang lebih muda
daripada In Hong, ia tidak memandang mata. Maka juga ia tertawa
berkakak ketika ia mendengar nona itu memperdengarkan suaranya, yang ia anggap o
mong besar belaka.
"He, budak cilik!" ia membentak. "Tuan
besarmu ini semua ada ahli senjata rahasda, maka lihatlah siapa yang terlebih du
lu matanya picak!"
Dengan melindungi mukanya dengan sebelah senjatanya, orang she Hek itu mendahulu
kan menyerang dengan panah tangannya, yang dia sembunyikan di dalam tangan bajun
ya.
Sin Tjoe menyingkir dari penyerangan itu, sambil menyingkir ia membalas, maka
meluncurlah bunga
emasnya, yang cahayanya berkilauan.
Hek In Tay menangkis dengan poankoan pit, tetapi bunga emas itu luar bisa,
setelah
tertangkis lalu berbalik menyambar pula. Kaget In Tay, hendak ia menangkis pula
seraya bertindak mundur.
Justeru itu, In Hong maju mendesak, dengan jurus "Mega melintang di gunung Tjin
Nia," dia membuatnya sepasang poankoan pit musuh kena tertutup. Maka kimhoa meny
ambar
tanpa rintangan, dan benar saja, bunga itu menancap di mata kiri orang!
Bukan main In Tay merasakan sakit, sambil menjerit keras, ia menyerang dengan
menimpuk dengan
sepasang senjatanya, atas mana In Hong berlompat mundur.
Nona ini masih dapat melihat tubuh orang roboh dan menggelinding.
"Ini aku kembalikan panah tanganmu!" berseru Sin Tjoe seraya
menimpuk. Sebab tadi sambil berkelit, ia menanggapi panah tangan orang she Hek i
tu.
Sebab In Tay bergulingan, panah tangannya itu gagal mengenai tubuhnya.
Kedua orang Uighur itu melihat bahaya, mereka juga menyerang dengan senjata mere
ka seperti caranya In Tay, habis mana mereka
menjatuhkan diri untuk menyingkir sambil
menggulingkan diri juga.
Tinggallah satu musuh, yang bersenjatakan kongpian. Dia pun hendak menyingkir
tetapi dia kena dihalangi Sin Tjoe. Dia adalah Ouw Hong, satu berandal kuda di t
apal batas. Dia gagah, melihat si nona masih sangat muda dan senjatanya pun peda
ng, ia tidak memandang mata. Di lain pihak, cambuknya panjang.
Maka itu, dengan berkelahi renggang, ia menyerang bertubi-tubi. Hebat desiran ca
mbuknya itu. Dia mengharap si nona terluka, atau sedikitnya orang membuka jalan
untuknya.
Sin Tjoe tidak mengasi dirinya dipermainkan. Melayani musuh itu, ia keluarkan il
mu silatnya "Menembusi bunga mengitarkan
pohon," dengan lincah ia bergerak-gerak
menyingkir dari setiap ujung cambuk.
Achirnya, Ouw Hong bercekat sendirinya. Ia tidak menyangka si nona ada demikian
liehay. Karena ini ia memikir untuk mengangkat kaki saja. Ia mau segera mengundu
rkan diri. Tapi untuknya sudah kasep. Sin Tjoe dengan berani mendesak rapat, han
ya dengan dua kali berkelebat pedangnya,
pedang Tjengbeng kiam itu telah memapas kutung cambuk orang hingga menjadi tiga
potong, sesudah mana dengan tikaman "Ular putih memuntahkan bisa," ia menikam te
ng-gorokan musuh itu.
"Tahan, entjiel" berseru In Hong seraya tertawa. "Kasilah dia hidup, hendak aku
menanyakan keterangannya!" Sembari berkata begitu, ia lompat akan menotok jalan
darahnya Ouw Hong.
"Suratnya Hok Thian Touw itu, bukankah kamu yang memalsukannya?" Nona Leng menan
ya dengan bengis.
"Itu bukan urusanku," sahut Ouw Hong. "Itulah pekerjaan Hek Toako."
"Kenapa kamu dapat meniru tulisannya Thian Touw," In Hong menanya pula.
"Hek Toako telah memancing seorang bekas soeya dari Liang-tjioe, dengan mengguna
kan tempo satu bulan, bisalah si soeya meniru tulisan tangan orang," Ouw Hong me
nerangkan.
In Hong tertawa dingin.
"Sungguh hebat kamu berpikir," katanya. "Bagaimana dengan Thian Touw? Dia sebena
rnya ada di mana? Cara bagaimana kamu dapat mencuri suratnya untuk ditiru tulisa
nnya itu?"
"Hok Thian Touw..." kata si berandal kuda perlahan, "Hok Thian Touw sudah mati..
."
In Hong kaget hingga mukanya menjadi pucat.
"Mati!" teriaknya. "Kenapa dia mati?"
"Dia dibunuh Hek In Tay," Ouw Hong menjawab pula.
Kembali In Hong tertawa dingin.
"Dengan kepandaiannya itu In Tay dapat membinasakan Thian Touw!" katanya. "Hm! K
au ngaco belo? Apakah maksudmu
dengan mendusta?"
Bergeraklah dua jari tangan si nona, mengancam ke kedua biji mata si berandal.
"Tahan, tjeetjoel" menjerit Ouw Hong. "Nanti aku omong terus terang!"
"Kau bicaralah!" si nona berkata dengan mata mendelik.
"Asal kau mendusta, akan aku kutungi lidahmu!"
"Pada suatu hari Hok Thian Touw itu di kaki bukit Hoasan telah bertemu sama Tayb
ok Sinlong Hamutu," menerangkan Ouw Hong. "Hamutu hendak
merampas kitab ilmu pedang. Keduanya jadi
bertempur, keduanya sama-sama mendapat luka. Menggunai saat orang terluka, Hek I
n Tay mengusir Taybok Sinlong, kemudian dia meminta kitab pedang kepada Thian To
uw, katanya sebagai
pembalasan budi. Thian Touw menolak. Karena ini, mereka jadi berkelahi. Karena k
eterlepasan tangan, Hek Toako dapat menotok Hok Thian Touw, kemudian hendak ia m
enolongi tetapi, sudah kasep. Ia menyesal pun tidak berguna."
Taybok Sinlong Hamutu itu si Srigala Sakti Dari Gurun Pasir adalah satu hantu di
tapal batas, dan keterangannya Ouw Hong itu agaknya masuk di akal. Mendengar it
u, In Hong kaget bukan main. Mendadak ia memuntahkan darah.
Sin Tjoe kaget, ia
menubruk untuk pepa-yang sahabatnya itu.
"Entjie Leng, sabar!" ia berkata, menghibur. "Mari kita menanya dulu biar jelas.
"
Baharu Nona Ie berkata demikian, atau mendadak kupingnya mendengar suara tubuh r
oboh, tatkala ia menoleh, ia menampak Ouw Hong bergulingan ke bawah gunung. Seba
b berandal ini, yang dapat membebaskan dirinya sendiri, sudah lantas melarikan d
iri.
Dalam kagetnya Sin Tjoe hendak mengejar musuh itu, tetapi In Hong, yang mandi ai
r mata, telah berseru: "Thian Touw mati! Tidak, aku tidak percaya!"
"Memang, tidak seharusnya kau percaya!" Sin Tjoe bilang.
"Va, pikiranku kalut, otakku tidak mau dengar
kata!" kata si Nona Leng. "Aku akan mendengar kau, entjie yang
baik, kau bicaralah."
Sin Tjoe tahu bagaimana harus memperlakukan orang.
"Entjie, kau tutur-kanlah," ia berkata, halus.
In Hong mengangkat kepalanya, ia memandang salju di puncak gunung, yang ia menga
nggapnya seperti gunung Thian San, dan di dalam sinarnya salju itu seperti berba
yang tubuhnya Thian Touw...
"Kita kedua keluarga Leng dan Hok bersahabat turun temurun," ia berkata, memulai
. "Kita sama-sama berasal dari Kanglam dan
bertetangga juga. Kira-kira seratus tahun yang lampau, ialah di achir kerajaan G
oan atau di permulaan kerajaan Beng, selagi jago-jago
berbangkit bangun
memperebuti kota-kota dan daerah, hingga Tionggoan menjadi
kacau sekali dan rakyat menderita, kita kedua keluarga mengungsi ke Hweekiang ya
ng jauh itu. Kita kedua keluarga lalu diikat dengan pernikahan satu dengan lain.
Sampai kepada ayahku dan pamanku, ayah mempunyai cuma aku seorang anak perempua
n dan engkoe Hok Heng Tiong juga mempunyai Thian Touw yang menjadi kakak misanku
itu. Ayah menutup mata siang-siang, dari itu aku menumpang tinggal pada engkoe,
yang merawatku hingga besar. Kedua keluarga kita memang keluarga yang mengarti
ilmu silat, maka juga engkoe Heng Tiong berhasil mewariskan ilmu silat kedua kel
uarga. Dia gagah dan bera-
ni, di masa mudanya pernah dia merantau ke Tionggoan, untuk
mengumpulkan ilmu silat pedang dari pelbagai partai. Ketika dia mendapat kenyata
an Tionggoan masih diganggu peperangan, dia pulang ke Thian San untuk hidup meny
endiri. Di sini dia membangun partai persilatan Thian San Pay. Dia sudah mencoba
mengumpulkan pelbagai ilmu silat, hingga rambutnya
putih, dia masih belum puas, tapi dia tidak putus asa, dia bekerja terus. Rupany
a dia terlalu bekerja keras, belum berumur lima puluh tahun, dia menutup mata. D
ia memesan Thian Touw untuk melanjuti usahanya itu, memesan juga untuk semua tur
unannya meyakinkan terus, supaya Thian San Pay berdiri sebagai pengum-
pul ilmu silatnya pelbagai partai."
Ketarik hati Sin Tjoe mendengar keterangan itu.
"Hebat semangatnya Hok Heng Tiong," pikirnya, "Dia dapat disamakan Gie Kong yang
hendak memindahkan gunung. Kalau Thian Touw masih hidup, aku nanti minta soehoe
membantu
hingga dia mencapai cita-cita leluhurnya itu."
Habis hening sebentar, In Hong melanjuti ceritanya: "Ketika engkoe menutup mata,
usiaku baharu dua belas tahun. Thian Touw lebih tua empat tahun. Dasarnya ilmu
silatku adalah engkoe yang menanamnya, tetapi ilmu silat pedangnya aku dapatkan
dari Thian Touw. Kita sama-sama tidak mempunyakan orang tua, kita hidup bersama
melebihkan
rapatnya saudara-
saudara kandung. Thian Touw itu bagus segala apanya, dia polos dan sederhana sep
erti kau punya Yap Toako itu, cuma semangatnya rada besar, dia tidak sudi untuk
selama-lamanya mendekam di Thian San. Sama sekali engkoe telah mengumpul kitab i
lmu silat dua belas partai, sedang sebenarnya, semua partai ada tiga puluh enam,
maka itu, ia baharu mendapatkan satu per tiga bagian. Thian Touw hendak pesiar,
untuk mewujudkan cita-cita ayahnya itu. Kalau sebegitu jauh dia belum juga perg
i merantau, itulah
disebabkan usiaku
masih terlalu muda. Empat tahun telah lewat tatkala pangeran dari Watzu memimpin
tentera menyerang
Hweekiang hingga
bagian selatan dan utara dari Thian San menjadi tidak aman. Karena itu pada suat
u hari Thian Touw mengajak aku pulang ke Tionggoan, tempat asal kita. Ketika itu
aku ingat keindahannya Tionggoan. Sebenarnya ayahku memberi nama Bok Hoa kepada
ku, maksudnya supaya aku jangan melupakan
Tionggoan. Karena itu, aku setuju ajakan itu."
"Oh, begitu..." kata Sin Tjoe perlahan.
"Sekarang kau tahu, entjie, kenapa begitu melihat surat Thian Touw aku ketahui k
epalsuannya," berkata pula In Hong. "Nama In Hong aku pakai semenjak aku tiba di
Tionggoan ini, Thian Touw tidak ketahui namaku ini. Ia selalu memanggil aku Adi
k Hoa, Adik Hoa..."
"Entjie berjalan ber-
dua, kenapa entjie berpisah daripadanya?" Sin Tjoe menanya.
"Kamu orang Tionggoan mana kenal hebatnya gurun pasir," menyahut In Hong. "Gurun
itu luas seperti tak ada ujung pangkalnya. Kita jalan sepuluh hari atau setenga
h bulan,
kadang-kadang kita belum sampai kepada tujuan kita. Demikian kita terpisah di te
ngah-tengah gurun. Itu hari kita kehabisan air, lantas Thian Touw pergi ke sebua
h gunung kecil akan mencari sumber air. Hari itu langit terang, bukit pun terlet
ak dekat. Aku letih, aku membiarkan dia pergi seorang diri. Apa lacur, seperginy
a dia, datanglah angin besar, membuat pasir beterbangan. Di jarak sepuluh tindak
, tidak dapat kita melihat satu
pada lain. Aku kaget, aku lari-larian untuk menyusul Thian Touw, tetapi aku sala
h jalan, makin lama aku nyasar makin jauh. Achirnya aku roboh terdampar angin. K
etika aku sadar sendirinya, aku lihat hanya pasir bertumpuk-tumpuk bagaikan buki
t-bukit kecil. Bukit yang dipergikan Thian Touw tidak nampak pula. Masih untung
untukku, aku bertemu sama rombongan saudagar gurun pasir, aku ikut mereka keluar
dari gurun pasir itu. Thian Touw hendak pergi ke Tionggoan, aku lantas menuju k
e mari. Sejak itu beberapa tahun sudah lewat, tidak pernah aku mendengar halnya
Thian Touw, sampai datanglah hari ini. Inilah warta pertama untukku. Aku menyaks
ikan kabar ini, aku tidak tahu ia
benar sudah mati atau masih hidup..."
Sin Tjoe mendengeri dengan pikiran bekerja keras.
"Aku lihat dia gagah dan bersemangat, siapa tahu, hatinya pun lemah juga," ia be
rpikir. "Dia mempunyakan
Thian Touw yang gagah, yang dia buat andalkan, yang dapat dia memikirkannya, ump
ama kata toh terjadi hal tidak beruntung bagi Thian Touw itu, tidaklah kecewa hi
dupnya. Tapi aku..." Ia menjadi berduka sendirinya. Ia pun hidup sebatang kara,
ayahnya terfitnah dan terbinasa, sekarang ia hidup sendirian, belum mempunyai
andalan... Maka ia mengasihani In Hong berbareng ia memikirkan nasib sendiri...
In Hong melanjuti ceritanya: "Ketika kita berangkat bersama dari
Hweekiang, Thian Touw titipkan kitab ilmu silat engkoe, yang terdiri dari dua be
las jilid, katanya untuk aku yang menyimpannya. Pernah secara bergurau ia bilang
, umpama kata satu hari kita ngalami malang dan berpisahan, ia pesan untuk aku m
eyakinkannya sendiri. Ia sendiri, bilangnya, sudah paham semua. Ia kata juga bah
wa aku dapat melangsungkan cita-cita engkoe. Siapa nyana, berguraunya itu sekara
ng menjadi
kenyataan. Ia kata ia sudah paham isi kitab, ini pun salah satu sebab kenapa aku
lantas ketahui kedustaannya surat dari In Tay. Bukankah Thian Touw tak membutuh
kan lagi kitab ilmu pedang itu? Kemudian, ketika aku tiba di Tionggoan, aku mend
apatkan keamanan tetap terganggu, di sini
rakyat bersengsara melebihkan penduduk Hweekiang. Seorang diri aku merantau, tan
pa merasa aku menjadi seorang kasar. Aku telah tolongi sejumlah anak-anak peremp
uan yang bercelaka itu, tetapi itu bukan cara yang baik, maka achirnya aku memba
ngun sarangku ini, angkat diriku menjadi tjeetjoe. Aku percaya, jikalau Thian To
uw mengetahui sepak
terjangku, dia pasti menyetujuinya. Ah, sayang aku tidak bakal bertemu pula
dengannya..."
"Hatimu mulia, entjie, Thian pasti akan melindungi kau dan akan membuat kamu nan
ti bertemu pula satu sama lain," Sin Tjoe menghibur.
"Itulah pengharapanku," In Hong tertawa sedih, "Hanya aneh
rombongan In Tay itu. Kenapa mereka ketahui kitab berada di tanganku? Kenapa
mereka ketahui tulisannya Thian Touw. Maka itu aku kuatir benar-benar Thian Touw
terancam bahaya..."
Tanpa merasa, air mata si nona mengalir turun.
Sin Tjoe bingung. Sukar untuk
menghiburnya.
"Kedukaan dapat membuat orang celaka," katanya kemudian. "Di depan mat
amu, entjie, ada satu usaha besar, maka itu baik kau tenangkan diri dan
ingat usahamu ini. Aku harap entjie bisa menjaga kesehatanmu."
Kembali In Hong tertawa sedih. Habis itu, benar ia nampak tenang.
"Aku mengarti, entjie ," katanya, sungguh-sungguh. "Kau baik
sekali! Kaulah yang mengetahui hatiku. Aku tidak punya kakak atau adik, aku angg
ap Thian Touw sebagai kakakku, maka itu sekarang dan selanjutnya, aku pun ingin
pandang kau sebagai saudaraku!"
"Inilah yang mengharapnya pun aku tidak berani!" sahut Sin Tjoe, yang menjadi gi
rang sekali.
Mereka lantas saling mengasi tahu umur mereka. Nyata In Hong lebih tua dua tahun
, maka ia menjadi kakak. Untuk mengangkat
saudara, mereka gunai tanah sebagai gantinya hio. Lalu Sin Tjoe memanggil "Entji
e1." dan In Hong memanggil "Adik!" Upacara sangat sederhana itu ditutup dengan b
ercucurannya air mata mereka saking terharunya hati mereka itu, saking girang di
achirnya.
Tidak lama setelah itu, mereka melihat Seng Lim mendatangi, keluar dari antara p
ohon bwee yang lebat.
"Apakah tidak terjadi sesuatu?" anak muda itu menanya. "Tentera-mu tidak melihat
kau, nona, dan mereka mendengar banyak
tindakan kaki, mereka jadi ribut sendirinya."
"Tidak apa-apa!" menyahut In Hong sambil tertawa. Siang-siang ia sudah menepas k
ering air matanya. "Malam ini indah, bersama Nona Ie ini aku jalan-jalan ke sini
. Kalau mereka bingung, baik aku lantas pulang. Karena malam permai, kau sendiri
baiklah menemani nona ini me-nggadanginya sebentar."
Ia berkata seraya terus bertindak pergi. Sin Tjoe hendak mencegah tetapi sudah t
idak keburu. Sejenak
itu, hati nona ini berdenyutan.
"Sungguh kamu gembira sekali!" berkata Seng Lim tertawa.
Sin Tjoe berdiam, ia ingat kebaikannya In Hong. Ia juga mengagumi nona itu, yang
hatinya kuat, yang dapat mengatasi
penderitaannya.
Seng Lim bertindak mendekati. Ia melihat orang tunduk, samar-samar ia mendapatka
n orang sering melirik kepadanya, maka
mukanya menjadi merah sendirinya. Ia mundur dua tindak.
"Nona Ie, kau tengah memikirkan apa?" ia menanya.
Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya.
"Yap Toako," katanya, "bagaimana kau lihat tjeetjoe ini?"
Seng Lim melengak, lalu ia tertawa.
"Dia gagah dan pintar," ia menyahut. "Dialah wanita sejati, wanita jantan!"
Hati si nona tergerak. Ia membuat main cabang dan daun bwee.
"Apa katanya Leng Tjeetjoe kepadamu?" Seng Lim menanya.
"Tidak apa-apa. Eh, Yap Toako, aku ingin tanya kau satu hal."
"Silahkan."
"Orang dulu bilang, dua perasaan saling suka, keras emas atau batu, benarkah itu
?"
Air mukanya Seng Lim merah hatinya goncang.
"Begitulah katanya orang dulu. Umpama Tjiok Eng Tay, yang sesudah mati menjadi k
upu-kupu, atau Beng Kiang Lie yang menangiskan Tembok Besar. Perasaan atau cinta
mereka itu dapat menggeraki langit dan bumi. Itu dia yang
dibilang keras seperti emas dan batu. Kau baca lebih banyak buku dari aku, nona,
kau mengarti lebih banyak lagi."
"Orang dulu demikian, bagaimana orang jaman sekarang?"
Seng Lim bersenyum.
"Aku lihat, dulu dan sekarang sama saja."
"Tapi toh ada bedanya dengan perbuatan orang yang bersangkutan sendiri..."
"Memang, siapa cocok satu pada lain, di antara mereka baharu ada cinta."
Sin Tjoe berpikir.
"Diumpamakan orang menyinta satu kepada lain, lalu satu sebab membikin mereka
berpisahan, terpisahnya jauh, kabar ceritanya tidak ada, tak tahu juga sampai ka
pan mereka bakal bertemu pula, kalau begitu, pantas atau tidak apabila hati
Selagi mengangkat saudara, Leng In Hong dan Ie Sin Tjoe melihat Seng Lim mendata
ngi, keluar dari pohon bwee yang lebat.
mereka tak berubah sampai di achirnya?"
Seng Lim heran. Ia tidak ketahui hal ichwalnya In Hong. Ia pikir: "Kiranya si no
na sangat jatuh hati kepada Keng Sim, kalau begitu tak boleh aku lancang... Maka
sambil tertawa tawar ia menyahut: "Itulah
bukan soal pantas atau tidak, itulah soal cintanya. Menurut aku, setelah mereka
saling menyintai, pasti hati mereka tidak berubah."
"Bagaimana kalau salah satu pihak telah menutup mata?"
"Mana orang muda demikian gampang mati? Kau bicara dari hal siapa?"
Pemuda ini menjadi heran.
"Aku lagi bicara saja, Yap Toako. Adat peradatan kita membilang, wanita itu waji
b mengikuti suaminya
sampai di hari achirnya, tetapi kalau mereka belum menikah dan bakal suaminya su
dah mati lebih dulu, apakah dia mesti tetap bersetia pada bakal suaminya itu?"
Melihat orang bicara dengan sungguh-
sungguh, Seng Lim tidak berani omong sembarangan.
"Ini pun terserah kepada orang yang bersangkutan sendiri. Kalau dia mau bersetia
, dia setia terus, kalau tidak, dia boleh berubah hatinya."
"Menurut kau, toako , mana lebih baik, tetap setia atau berubah?"
"Kalau orang itu diumpamakan aku,
setelah aku mati dan aku ketahui halnya, aku pasti mengharap
kekasihku itu mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku," sahut Seng Lim. "
Inilah
untuk menjaga jangan dia menjadi sebatang kara dan kesepihan hidupnya. Eh, menga
pa malam ini kau menanyakan urusan seaneh ini?"
Si nona tertawa.
"Terima kasih untuk keteranganmu ini,"
katanya. "Kau membuatnya hatiku terbuka. Benar, dia tak dapat dibikin sebatang k
ara dan sepih hidupnya!..."
Seng Lim menjadi terlebih heran.
"Eh, kau bicara dari hal siapa?" ia mananya.
"Dari halnya satu entjie-ku yang baik. Nanti kau ketahui sen
diri."
Seng Lim tidak usi-lan, meskipun ia heran, ia tidak menanya lebih jauh. Ia hanya
mengawasi si nona, yang memandang ke arah jauh, agaknya nona itu berduka berbar
eng
girang.
"Ah, di sini dingin, dingin sekali..." kata si nona kemudian.
"Memang hawa udara di sini tak dapat dibanding dengan hawa udara di Koenbeng," b
erkata Seng Lim.
"Coba bilang," mendadak si nona kata, "Tiat Keng Sim itu bakal kembali atau tida
k?"
Seng Lim heran. Itulah pertanyaannya kepada si nona, sekarang di pakai untuk men
anya padanya. Ia menyesal, tetapi ia menjawab: "Tentang Tiat Kongtjoe, kau menge
tahui lebih dalam daripada aku. Benar, hawa dingin sekali, mari kita pulang."
Pemuda ini tidak ketahui hati si nona, ia menyangka orang tak dapat melupakan pe
muda she Tiat itu, Sin Tjoe dapat menerka Seng Lim menduga tetapi sesaat itu ia
tidak
hendak memberikan penjelasannya.
Besoknya, setelah Tiauw I m Hweeshio memperoleh obat
pemunah dari Han Tjin Ie dan ia berhasil mengobati semua orang Kaypang yang terl
uka, ia mendaki gunung, untuk bertemu sama Leng In Hong dan lainnya. Di situ dil
akukan pembicaraan soal keberangkatan tentera wanita dari Hoeyong San ini untuk
menggabungkan diri dengan tentera rakyat di bawah pimpinan Vap Tjong Lioe.
In Hong berduka, halnya itu cuma Sin Tjoe seorang yang mendapat tahu, tetapi ia
dapat menguati hati, ia tidak memberi kentara dari kedukaannya itu. Ia mencoba b
ersikap seperti biasa. Di tengah jalan, Sin Tjoe sengaja mengatur
dengan diam-diam agar nona itu berjalan sama-sama Seng Lim. Keduanya bicara seca
ra umum, karena keduanya tidak mengetahui akalnya Nona Ie. Bicara dari hal ilmu
perang, keduanya cocok sekali satu dengan lain. Kapan Sin Tjoe memandang mereka
berdua, mendadak ia membayangi pula impiannya. Ia dapat merasa Seng Lim dan In H
ong adalah orang-orang mirip pohon taytjeng. Ia girang dan masgul, masgul seoran
g diri, tanpa In Hong dan Seng Lim mengetahuinya.
Setengah bulan kemudian rombongan tentera suka rela ini tiba di pusat tentera ra
kyat di Tjiatkang. Sin Tjoe berduka kapan ia mengingat jauh ke depan, ingat hari
-hari yang telah lalu.
"Dulu hari di Tay-tjioe," berkata Seng Lim tertawa, "kaulah
satu-satunya pendekar wanita, sekarang kau dikawani oleh Leng Tjeetjoe serta ten
tera-nya, maka itu lain kali kau tidak usah menyamar lagi sebagai seorang pemuda
!"
Sin Tjoe bersenyum walaupun hatinya pepat.
Itu waktu terli- hat satu pasukan tentera mendatangi ke arah mereka, yang menjad
i pemimpin masing-
masing ada seorang priya dan seorang wanita. Mereka itu ialah Seng Hay San dan T
jio Boen Wan.
Heran Seng Lim, hingga ia berkata: "Aneh, kenapa mereka sudah lantas mendapat ka
bar hingga mereka dapat ketahui hari ini kita bakal tiba di sini?" Ia berkata be
gitu karena menyangka Pit
Keng Thian mengutus pasukan untuk
menyambut mereka.
Dari jauh-jauh Tjio Boen Wan sudah lantas mengenali Sin Tjoe, maka itu ia kaburk
an kudanya, hingga ia lantas sampai kepada Nona Ie, tangan siapa ia jabat keras-
keras.
"Entjie Sin Tjoe, kau pulang asalmu, kau bertambah cantik!"
memuji Nona Tjio itu. "Apakah kau bertemu sama aku punya Tiat Soeko?"
Nona Ie mengangguk.
"Panjang untuk menutur," sahutnya, "tetapi sekarang ia berbahagia berdiam di ist
ana Bhok Kokkong di Koenbeng, hingga tak usah kau menguatirkan-nya, tak usah kau
memikirkannya lagi. Bagaimana ayahmu?"
"Semenjak peristiwa itu malam, sampai
sekarang ayah belum pulang," menyahut Boen Wan.
Sin Tjoe berdiam, air mukanya guram. Ketika kemudian ia mengangkat kepala, ia li
hat Seng Hay San dan Seng Lim tengah bicara dengan tangan dan kakinya bergerak-g
erak, melihat wajahnya, dia tidak puas. Ia pun mengawasi Boen Wan, yang dari ker
utan alisnya nyata dia berduka.
"Apakah Vap Tongnia
baik?" Sin Tjoe menanya. Ia ingat suatu apa. "Bukankah kamu datang ke mari untuk
menyambut kami?"
"Kami dititahkan Pit Toaiiongtauw untuk pergi berperang,"
menjawab Nona Tjio. "Hm! Hm! Jikalau kami tidak memandang
kepada Yap Tongnia, tidak nanti kami suka mentaati titahnya!"
***
Ie Sin Tjoe tertawa.
"Tentera rakyat sudah bergerak, mana dapat kita luput dari peperangan?" kata ia.
"Kita bukannya takut berperang, hanya
medan perangnya tak terpilih tepat," berkata Tjio Boen Wan.
"Bagaimana?"
"Tentera kita terdiri dari kaum nelayan," Seng Hay menjelaskan, "dari Taytjioe k
ita dipindahkan ke Oen-tjioe, selama setahun lebih kita berperang di air, saban-
saban kita beroleh kemenangan, sekarang kita harus berkelahi di tanah datar, kit
a pun mencil sendiri dan masuk ke perdalaman. Kita
dititahkan maju ke Sianggiauw, Kangsee.
Bukankah itu tak tepat, bahkan melanggar
pantangan ilmu perang?"
"Laginya dengan ke-barangkatan kita.
Oentjioe menjadi
kosong"" menambahkan Boen Wan. "Umpama kata tentera negeri menyerang dengan
ambil jalan air, berbahayalah kota itu."
Seng Lim mengerutkan kening.
"Pit Kheng Thian mengarti baik ilmu perang," ia berkata, "tempo dulu ia masih me
njadi berandal di Shoatang, tak kurang daripada seratus kali ia bertempur sama t
entera negeri, baik pertempuran kecil maupun pertempuran besar, ia selalu menang
, maka kenapa ia mengatur begini rupa? Pernahkah kamu bicarakan ini dengan paman
ku?"
"Sudah. Tapi Pit Kheng Thian telah
mengeluarkan titahnya, tak mau ia menarik pulang. Dua kali Yap Tongnia bicara, t
idak ada hasilnya, achirnya ia menasihati kami untuk menurut saja, guna mencegah
benterokan. Yap Toako, sekarang kau pulang, coba kau tolong omongkan. Sebenarny
a kami tidak ingin meninggalkan kampung halaman kami..."
"Baik, nanti aku menemui Pit Kheng Thian," menyahut Seng Lim. "Cuma titah telah
dikeluarkan, dalam
ketenteraan, aturan yang dimuliakan, maka baiklah kamu bekerja terus. Jikalau ak
u berhasil bicara dengan Pit Kheng Thian, nanti aku mengirim warta cepat untuk m
enarik pulang pada kamu."
Seng Lim bersama Sin Tjoe pulang ke markas besar. Di sana
Pit Kheng Thian dan Yap Tjong Lioe lagi berunding, kapan ia mendengar kabar
kembalinya mereka, lekas-lekas ia keluar menyambut.
"Yap Laotee, banyak capai!" katanya,
tertawa. "Pergi kau beristirahat dulu! Ah, Nona Ie, kau pun pulang! Aku memang l
agi memikir untuk membangun satu pasukan wanita, pulangmu ini bagus sekali." Mat
anya lantas melihat semua orang.
Pek Beng Tjoan lantas mengajar kenal: "Inilah tjeetjoe Leng In Hong dari gunung
Hoeyong San di Kangsee!"
Kheng Thian mengangkat tangannya, akan memberi hormat pada In Hong.
"Sudah lama aku mendengar nama besar dari Leng Tjeetjoe1."
katanya.
In Hong tertawa.
"Aku pun telah mendengar namamu!" sahutnya. "Kau telah mengirim orang
merampas piauw-ny a Han Tjin Ie, cara yang kau pakai hebat sekali, hingga aku ta
k dapat menerkanya bahwa itulah perbuatannya Toaiiongtauw dari
delapan belas propinsi yang namanya kesohor di kolong langit ini!"
Selagi mereka berbicara, mereka telah sampai di dalam.
Yap Tjong Lioe mendapat dengar perkataannya Nona Leng itu.
"Apa?" tanyanya. "Siapakah yang merampas piauw-nya Han Tjin Ie?"
Parasnya Kheng Thian berubah, tetapi ia menyahuti, secara
tawar.
"Akulah yang mengirim orang untuk
merampasnya," ia
mengakui. "Piauw itu ada keperluannya
tentera negeri di Ouwpak. Ah, Goan Kiong, berhasilkah kau merampas piauw itu?"
"Pit Toaiiongtauw, siauwtee datang untuk memohon maaf!" Seng Lim mendahul
ui Pit Goan Kiong menyahut.
Kheng Thian heran. Ia menentang kedua matanya.
"Untuk apakah?" ia tanya.
"Oleh karena siauwtee telah membayar pulang piauw itu." Seng Lim menjelask
an.
"Sepuluh laksa serdadu negeri itu, tanpa rang-sum, bakal mencelakai rakyat jelat
a. Karena kita menyebut diri tentera rakyat, maka untuk bertindak kita harus mel
ihat salatan."
"Sungguh murah hatimu!" kata Kheng Thian yang tertawa dingin.
"Pembilangannya Seng Lim beralasan," berkata Tjong Lioe. "Kita ada rakyat jelata
, kita berperang untuk rakyat jelata, sudah tentu paling dulu kita mesti melindu
ngi kepentingan rakyat jelata juga. Laginya piauwsoe tua itu seorang laki-laki s
ejati, tak tega hatiku kalau karena piauw itu ia mesti mengurbankan rumah tangga
dan mungkin jiwanya juga."
Wajahnya Kheng Thian menjadi gelap sejenak, kemudian ia tertawa lebar.
"Yap Laoteel" katanya, "kau muda dan gagah, pandanganmu pun jauh, aku kagum untu
kmu! Tentang piauw itu, aku tidak hendak menarik panjang, sudah dilepaskan, suda
h saja. Bagaimana tentang kepergianmu ke Tali, dapatkah kau bertemu dengan Thio
Tan Hong?
Apa katanya dia? Dan mana itu peta, sudah didapat atau belum?"
"Thio Tayhiap pun menyampaikan hormatnya untuk paman," berkata Seng Lim, menyahu
ti. "Peta itu ada di sini."
Tidak puas Kheng Thian mengetahui Tan Hong cuma memperhatikan Tjong Lioe, tetapi
ia tidak membilang suatu apa, hanya ia mengulurkan tangannya guna menyambuti pe
ta dari tangan Seng Lim itu.
Justeru tangan orang diulur, Sin Tjoe berkata dengan cepat: "Peta guruku ini ada
untuk Yap Tongnia1."
Seng Lim tercengang, akan tetapi hanya sejenak, ia terus berpaling kepada
pamannya kepada siapa ia serahkan peta itu.
Parasnya Kheng Thian menjadi bermuram
durja, saking mendongkolnya. Ia baharu hendak mengasi dengar suaranya, ketika Tj
ong Lioe menoleh kepadanya.
"Pit Laotee, kau terimalah ini!" katanya sambil tertawa. Ia pun mengangsurkan pe
ta itu, yang ia baru terima dari keponakannya.
Kheng Thian segera membeber peta itu.
"Kenapa ini hanya peta lima propinsi di Kanglam?" ia bertanya.
"Karena maksudnya Thio Tayhiap supaya kita jangan terburu napsu untuk maju," Sen
g Lim menerangkan. "Kalau kita dapat melindungi wilayah
Kanglam dan hidup bersama rakyat sambil beristirahat, itu artinya kita membangun
dasar untuk tak dapat dikalahkan."
Kembali wajahnya Kheng Thian menjadi
suram. Ia sangat tak setujui sikap menanti itu. Sebelum ia sempat membuka mulut,
Seng Lim sudah berkata pula.
"Barusan di luar tangsi aku bertemu sama Seng Hay San, katanya Pit Toaiiongtauw
mengirim ia ke Sianggiauw. Benarkah itu?" '
"Habis kenapa?"
"Pasukannya Seng Hay San itu terlatih untuk peperangan di air, sekarang ia di ki
rim ke tanah pegunungan, aku lihat itu kurang tepat," menjawab Seng Lim.
"Laginya menurut pandangannya Thio Tayhiap, memperkuat Kanglam a
da tindakan paling utama, kalau kita memecah tenaga, untuk merampas daerah
, Tayhiap kuatir kita nanti diserbu musuh!"
"Hm!" Kheng Thian mengasi dengar suara-
nya yang dingin.
"Thio Tayhiap, Thio Tayhiap1. Kedudukan toaiiongtauw ini toh bukannya
Thio Tan Hong yang mendudukinya!"
Sin Tjoe gusar mendengar itu.
"Pit Kheng Thian, apa kau bilang?" ia menanya. Tidak bisa si nona mengendalikan
diri lagi. Tidakkah gurunya, yang ia puja itu, telah diperhina?
Kheng Thian memandang si nona dengan mata mendelik, setelah itu ia menoleh kepad
a Yap Seng Lim.
"Thio Tan Hong banyak sekali pendapatnya!" katanya. "Kenapa dia tidak datang sen
diri ke mari?"
"Karena sekarang ini Thio Tayhiap lagi
mengantar puteri Iran ke kota raja," si anak muda menjawab.
Kembali Kheng Thian
mengasi dengar
tertawanya yang dingin.
"Pada sepuluh tahun dulu Thio Tan Hong pergi menyambut kaisar dari negera Watzu,
" katanya, "dan sekarang ia pergi pula ke kota raja menghadap sri baginda! Ha, t
entulah bagiannya ada pangkat tinggi dan kebahagiaan!"
Sin Tjoe murka sekali hingga ia merabah gagang pedangnya.
"Jikalau guruku kemaruk sama kedudukan tinggi, negara Beng ini siang-siang sudah
menjadi kepunyaannya Keluarga Thio!" ia berkata keras. "Mana ad
a bagianmu si orang she Pit!"
Menampak demikian, Tjong Lioe segera maju sama tengah.
"Thio Tayhiap bekerja untuk rakyat jelata, pasti dia bukannya seorang yang kemar
uk sama kedudu-
kan agung!" ia menerangkan. "Ah, nona Ie, kau kurang sabar..."
Pit Kheng Thian tertawa.
"Nona Ie masih sangat muda, mustahil aku hendak menentangi dia?..."
Hatinya Sin Tjoe masih panas tetapi ia ingat Kheng Thian pernah melepas budi sud
ah mengubur jenazah ayahnya, maka ia berdiam. Cuma di dalam hatinya, ia kata: "K
arena budimu itu, baiklah, aku tidak akan melayani padamu!"
"Thio Tan Hong memang seorang pandai," berkata pula Pit Kheng Thian, "akan tetap
i ia berada jauh di Inlam Selatan, mana dia ketahui urusan dalam pasukan perang?
Tentera negeri seratus lipat lebih besar daripada pasukan
perang kita, jikalau kita
tidak menyerang untuk merampas tempat atau kota, untuk lebih dulu mendapatkan be
berapa kemenangan, mana
dapat semangat rakyat dibuatnya terbangun? Mana bisa kita membikin seluruh negar
a
menyambut gerakan kita? Dengan mengirim Seng Hay San ke Sianggiauw maksudku iala
h kita menyerang untuk membuat perlindungan diri sendiri, guna membataskan penga
ruh musuh yang tangguh. Tentera memang mesti pelajarkan ilmu perang di air, teta
pi mesti dipelajari juga ilmu perang di darat, kalau tidak, dia cuma bisa menjag
oi di laut."
Sebenarnya Seng Lim hendak membantah, tetapi menampak orang sudah mulai bergusar
, ia terpaksa menyabarkan diri.
"Tentang mengatur siasat, akulah seorang kasar, aku tak dapat membilang suatu ap
a," berkata Tjong Lioe tertawa, "tetapi apa yang dibilang Toaiiongtauw dan Thio
Tayhiap, masing-masing ada alasannya sendiri, maka itu sekarang ini baiklah kita
bersabar sampai lagi beberapa hari, kita nanti minta pertimbangan dari
semua pemimpin kita. Pepatah pun membilangnya, seorang pikirannya pendek, dua or
ang pikirannya panjang. Singkatnya biarlah kita beramai sama-sama memikirkan sua
tu daya yang sampurna."
Dengan kata-
katanya Tjong Lioe itu, mukanya Kheng Thian menjadi terang pula. Karena itu, uru
sannya Seng Hay San jadi tak dibicarakan lagi.
Ketika malam itu
orang bersantap,
rata-rata mereka tidak bergembira.
Setelah lagi dua hari, Pit Kheng Thian sudah mengirim lagi dua pasukan untuk per
gi berperang. Dua-dua pasukan itu ada pasukan-pasukan seba-wahannya Yap Tjong Li
oe.
Menampak begitu, Leng In Hong berkata kepada Sin Tjoe.
"Aku lihat urusan rada aneh. Kenapa yang di kirim selalu pasukannya Yap Tongnia
?" Nona Leng tanya.
Sin Tjoe tidak bisa bilang suatu apa. Ia heran tetapi ia tidak bercuriga. Ia han
ya percaya Keng Thian berbuat demikian
karena dia kemaruk sama pahala.
Syukur tentera yang di kirim itu dapat berkelahi dengan baik. Tentera negeri
dapat
ditolak hingga ke luar batas gunung Sianhee Nia. Dua propinsi Kangsouw dan
Tjiatkang serta Hokkian Utara telah kena diduduki. Karena itu Kheng Thian saban-
saban dapat mengadakan pesta kemenangan. Pula ada saja orang-orang Rimba Hijau y
ang datang mempersatukan diri, semua mereka ini memuji toaiiongtauw itu, si "kep
ala naga," hingga dia menjadi besar hati.
Dengan lewatnya sang waktu tibalah musim semi dengan bunga-bunganya yang mekar.
Itu waktu sepuluh laksa serdadu di Ouwpak, yang telah memperoleh rangsum, benar
saja berangkat ke timur, barisan depannya sudah lantas sampai di Toenkee. Kheng
Thian lantas mengirim Seng Lim untuk menahan
lajunya tentera
pemerintah itu.
Kembali yang di kirim ini, sejumlah selaksa jiwa, pasukannya Yap Tjong Lioe, hin
gga hampir habislah
tenteranya si pemimpin rakyat ini.
Di harian keberang-katan Seng Lim, Kheng Thian sendiri pergi mengantar, Sin Tjoe
dan In Hong turut bersama. Sampai
jauhnya lima lie, Seng Lim minta pemimpin itu suka kembali saja.
"Aku akan menantikan kabar baik dari kau, hiantee1." berkata Kheng Thian. "Kali
ini musuh berjumlah besar dan kita sedikit, aku mengandal kepada kepan-daianmu.
Kalau nanti tentera rakyat dari pelbagai daerah sudah berkumpul, akan aku mengir
imkan bala
bantuan untukmu."
"Tempat ini ada pokok dasar kita, sudah seharusnya persiapan diperkokoh," berkat
a Seng Lim, "maka itu tak usahlah aku di kirimkan bala bantuan. Karena musuh bes
ar dan kita sedikit, aku tidak berniat segera menem-pur musuh, hendak aku meliha
t dahulu keadaan tempat, guna membela diri saja, guna menggempur semangat mereka
, supaya walaupun jumlah mereka banyak, tak ada niat mereka untuk berkelahi. Aku
harap mereka bubar sendiri karena sang waktu."
Kheng Thian bertepuk tangan memuji pemuda she Yap ini.
"Kau pintar, hiantee , kau pasti bakal menang!" katanya.
"Setelah kau peroleh kemenangan nanti,
akan aku ganjarkan kau sebagai pangeran Itdjie
Pengkin Ong\"
Seng Lim mengerutkan kening.
"Mana kita mengharapi ganjaran raja muda..." katanya. Ia belum bicara terus, ata
u Kheng Thian telah memotong: "Benar, kita memang berkelahi untuk menolongi raky
at jelata dari marah bahaya!"
Coba kata-kata itu keluar dari mulut Seng Lim, itulah tidak aneh, tetapi sekaran
g
keluarnya dari mulut Kheng Thian, untuk kupingnya Sin Tjoe dan In Hong, itu tak
sedap didengarnya.
"Pit Toako, silahkan kembali!" berkata Seng Lim sambil mengangkat kedua tanganny
a.
"Untukku tak usah kau menambah bantuan, asal sudilah kau menerima satu
permintaanku."
"Silahkan sebutkan, hiantee."
"Peperangan kali ini mungkin tak bakal selesai di dalam tempo yang pendek, karen
a itu aku minta rangsum untuk tentera nanti di kirim berangsur-angsur dengan tet
ap."
Kheng Thian tertawa lebar.
"Tentang itu tak usah hiantee pesan lagi!" katanya Kheng Thian gembira. "Belum l
agi tentera berangkat, rangsum sudah di kirim. Sekalipun rangsum
tentera negeri hiantee telah lepaskan, mustahil aku nanti menahan rangsu
m untukmu?"
Sampai di situ, Seng Lim berangkat.
Tiba-tiba Sin Tjoe merasakan sesuatu.
"Entjie Leng, mari kita mengantar satu rintasan lebih jauh!" ia mengajak In Hong
.
Nona Leng setuju, maka mereka jalankan kuda mereka berendeng.
Tapi mendadak nona ini kata: "Ah, aku lupa satu hal, maka pergilah kau sendiri y
ang mengantarnya!"
Sin Tjoe merasakan mukanya merah, akan tetapi, ia jalan terus. Karena ini, ia ja
di mengantar sampai
sepuluh lie lebih.
"Nona Ie, silahkan kembali!" kemudian
Seng Lim minta.
Sin Tjoe berduka melihat sikap orang tawar, tetapi di lain pihak, inilah yang ia
harap. Maka ia menyesal In Hong tidak berada bersama.
Seng Lim heran. Ia melihat si nona berdiam saja.
"Nona Ie, kau hendak omong apa?" ia menanya, menduga-duga.
"Yap Toako, dengan kepergian kau ini baiklah kau berhati-hati!" achirnya Sin Tj
oe bisa juga mengeluarkan perkata-
annya.
"Terima kasih, nona. Tentang itu, dapat aku memikir, jangan nona buat kuatir."
"Bukannya begitu, kuatir..."
"Kau kuatirkan apa, nona?"
"Kau lihat Pit Kheng Thian itu orang macam apa?" Sin Tjoe tanya.
"Kenapa?" Seng Lim membaliki.
"Aku lihat hatinya Kheng Thian terlalu besar," mengutarakan si nona. "Bukankah d
i dalam sebuah gunung tak seharusnya ada dua ekor harimau? Aku kuatir dia sirik
terhadap kau dan pamanmu."
Sena Lim tertawa.
"Tak mungkin, kurasa. Aku toh tidak berebutan dengannya?"
"Meski begitu, berhati-hati ada terlebih baik," kata pula si nona. "Kita mesti b
erjaga-jaga untuk akal muslihatnya.
Seumpama di dalam urusan rangsum..."
"Tentang ini telah ada rencanaku," Seng Lim bilang. "Umpama kata dia lambat meng
irimnya, akan aku mengatur diri di setempat. Karena kita berperang untuk rakyat,
aku percaya rakyat jelata tidak nanti membuatnya kita mati kelaparan. Kita adal
ah orang sendiri, aku minta kau jangan bercuriga, terutama jangan kau kentarakan
itu supaya di antara kita tak terjadi keretakan."
Di dalam hatinya, Sin Tjoe menghela napas. Di dalam hatinya juga ia berkata, "Ak
u hanya kuatir di kolong langit ini lain orang tak sebagai kamu paman dan kepona
kan berdua..." Karena ia tidak dapat membilang
lainnya lagi, ia berdiam saja, ia cuma memberi
selamat jalan. Ketika ia mengasi jalan kudanya, ia lesuh sekali.
Belum jauh, ia mendengar suara larinya kuda. Ia mengawasi ke depan. Untuk herann
ya, ia melihat Pit Kheng Thian kabur mendatangi.
"Pit Toaiiongtauw, Yap Seng Lim sudah pergi jauh," kata si nona memapaki. "Kau a
da punya urusan penting apa? Kudaku keras larinya, nanti aku tolong mewakilkan k
au."
Kheng Thian tertawa.
"Aku bukannya menyusul dia, aku menyambut kau!" katanya.
Mukanya si nona menjadi padam.
"Aku tidak berani membikin toaiiongtauw capai," ia bilang.
Kembali Kheng Thian tertawa.
"Aku lihat erat sekali hubungan kau dengan Yap Seng Lim," katanya.
"Kali ini kau mengantarkan dia, agaknya kau terlebih berduka
daripada waktu mengantarkan Tiat Keng Sim."
Mukanya si nona menjadi merah. Ia gusar.
"Pit Toaiiongtauw, hargakanlah dirimu!" ia berkata. "Apakah kau tengah
mempermainkan aku?"
Kheng Thian melarikan kudanya mundur.
"Tidak, tidak!" katanya tertawa. "Aku bicara untuk kebaikanmu!"
Sin Tjoe terta- wa dingin.
"Sungguh kau baik, toaliongtauw!" katanya. "Untuk kebaikan apakah itu?"
"Jikalau aku tidak memikirkan kau, nona," menyahut pemimpin itu, "dulu hari tida
k nanti aku menerjang bahaya besar menyelundup ke kota raja untuk
mengurus jenazah
ayahmu."
Nona Ie mengasi lihat sikapnya yang dingin.
"Budimu itu sangat besar, tidak nanti aku dapat melupakannya," ia berkata, "maka
itu tak usahlah kau me-nimbulkannya berulang-ulang. Dengan perlahan-perlahan pa
stilah aku akan membalasnya."
Kheng Thian jengah, ia menghela napas.
"Aku si orang she Pit mana mengharapi balasan?" katanya,
untuk menutupi diri. "Tak lain tak bukan, aku melainkan
mengutarakan utarakan apa yang aku pikir..."
"Baiklah, aku mengarti!" ujar Sin Tjoe. "Nah, Toaiiongtauw, silahkan!"
Kheng Thian masih menahan kudanya.
"Aku lagi memikir untuk kebaikan kau, nona," ia berkata pula. "Untukku tidak hab
is dengan aku mengurus saja jenazah ayahmu, aku bahkan hendak membantu kau memba
laskan sakit hatimu yang besar itu!"
"Sakit hati apakah yang besar itu?" Sin Tjoe tanya.
"Ayahmu telah dibunuh oleh kaisar, maka aku menggeraki
angkatan perang buat merobohkan pemerintah, guna memusnakan kerajaan Beng!
Bukankah itu untuk membalaskan sakit
hatimu yang besar itu?"
"Tidak salah!" kata si nona dingin. "Kau merobohkan
pemerintah, lantas kau menggantikannya menjadi raja! Adakah itu cuma untuk memb
alaskan sakit hatiku?"
"Kau ketahui itu, itulah terlebih baik lagi. Aku berpikir untuk kebaikanmu. Vap
Seng Lim itu di belakang hari paling juga menjadi satu menteri yang membantu mem
bangun negara, mana dia mempunyai pengharapan sebagai aku yang bakal menjadi jun
jungan yang maha agung? Mengapa kau begitu memandang
tinggi terhadapnya?"
Hampir Sin Tjoe mendamprat orang
"Tidak tahu malu!" Sekarang tahulah ia maksud orang, karena tanpa diminta, orang
telah membuka rahasia hatinya. Ia jadi hendak dibujuk dengan kedudukan tinggi,
dengan kemuliaan. Maka ia merasa sangat muak. Ia lantas mencambuk
kudanya.
"Aku minta calon baginda raja membagi jalan padaku!" katanya
keras. "Apakah kau menghendaki aku
memaksa menerjang?"
Mukanya Kheng Thian menjadi merah, ia malu sekali.
Tengah ketegangan itu, mendadak terdengar tindakan kaki kuda kabur mendatangi, y
ang mana disusul sama suara tertawa yang nyaring serta kata-kata yang tegas seka
li: "Ah, Toaliong tau w\ Kau
masih ada di sini?"
Kheng Thian me-ngeprak kudanya. Ia menyeringai ketika ia menjawab: "Aku melihat
Nona Ie belum juga kembali, aku kira ia masih mempunyai
urusan apa-apa dengan Yap Seng Lim, maka itu aku memapak dia. Leng Tjeetjoe,
kau pun datang?"
In Hong tertawa.
"Aku kira ada urusan penting bagaimana
yang lagi dibicarakan,
sampai hampir aku tidak berani datang karena kuatir aku nanti mengganggu kamu!"
sahut si nona.
"Memang ada urusan besar yang sangat penting!" kata Sin Tjoe dengan dingin. "Pit
Toaiiongtauw tengah memikir bagaimana
harus mengganjari
menteri-menteri besarnya bila nanti ia sudah naik atas singgasana kerajaan!"
Leng In Hong tertawa pula dengan nyaring, di atas kudanya ia memegang pedangnya
untuk
memberi hormat.
"Siauwlie menghadap kepada Sri Baginda!" katanya. "Siauwlie minta Sri Baginda su
di apalah mengganjarkan-nya!"
Dengan "siauwlie" ia menyebutkan dirinya "perempuan yang
rendah."
In Hong sangat polos, begitulah ia perlihatkan kepolosannya itu. Inilah hebat un
tuk Kheng Thian, karena gusar tak dapat ia bergusar, tertawa tak bisa ia tertawa
, terpaksa ia membalas hormat seraya berkata, "Ah, tjeetjoe bisa
saja..." Ia lantas membaliki kudanya
untuk berlalu.
In Hong tidak membilang apa-apa lagi, kecuali ia tertawa bergelak.
Setibanya di tangsi, Sin Tjoe tuturkan kawannya apa yang dikatakan Kheng Thian t
adi, mendengar mana, Nona Leng tak dapat tertawa lebih jauh.
"Habis, bagaimana sekarang?" ia tanya.
"Aku benar-benar tidak menyangka beginilah sifatnya Pit Kheng Thian," menyahut S
in Tjoe. "Aku pikir untuk
berlalu saja."
"Menurut aku, kita justeru tidak dapat berlalu," kata In Hong.
"Bagaimana, eh?" Sin Tjoe heran.
"Begitu kita pergi, Yap Tongnia bakal
mencil sendirian," In Hong mengutarakan pikirannya. "Aku kuatir nanti terjadi ha
l-hal di luar sangkaan kita."
Sebenarnya Sin Tjoe telah melihat bahwa secara diam-diam Pit Kheng Thian sedang
mencoba merebut pengaruh, ia hanya belum pikirkan kepada bahaya yang mengancam,
sekarang setelah
mendengar In Hong, ia terkejut. Dengan lantas ia menginsafi bahaya itu. Karena i
ni segera juga ia mengubah pikirannya. Maka batallah ia mengangkat kaki.
Sang hari berlalu dengan cepat. Sebentar saja sudah lewat
sebulan lebih. Selama itu, Kheng Thian tidak berani lagi main gila terhadap Sin
Tjoe. Dengan begini amanlah markas besar tentera rakyat itu. Tidak demikian deng
an
keadaan di medan perang lain. Kecuali di pihak Seng Lim, yang mengambil sikap sa
ling bertahan di Toenkee, pelbagai pihak lainnya mengalami kesukaran lebih-lebih
pasukannya Seng Hay San. Dua kali dia sudah bertempur dengan musuh, dua-dua kal
inya ia kena dikalahkan hingga kerugiannya kira-kira separuh.
Sebagai tentera air, sulit untuk mereka bertempur di darat, di tanah pegunungan.
Pada suatu hari selagi In Hong dan Sin Tjoe berada di dalam tangsi mereka, merek
a mendengar suara berisik dari luar tangsi. In Hong
perintah seorang serdadu wanitanya, untuk melihat. Tidak lama serdadu itu kembal
i dengan lapurannya
bahwa di tangsi kiri "serdadu-serdadu tengah memaki-maki toaiiongtauw."
"Apakah katanya mereka?" Sin Tjoe tanya. "Apakah
sebabnya?"
"Mereka mengatakan Pit Toaiiongtauw tidak suka mengirim rangsum untuk Yap Seng L
im," serdadu itu menerangkan.
Nona Ie kaget.
"Begitu?" katanya.
"Katanya Yap Seng Lim telah tiga kali mengirim utusan, toaiiongtauw selalu mengg
unai alasan untuk menampik. Yang terang The Tongnia ketahui kita masih mempunyai
persediaan rangsum selaksa pikul, ketika toaiiongtauw ditanya-
kan, dia bilang untuk markas besar disediakan lima ribu dan lima ribu lagi
untuk tentera di Oentjioe. Sebenarnya keadaan di Oentjioe tidak
berbahaya. Nyata sekali Pit Toaiiongtauw tidak suka membantu. Maka itu ket
ika The Tongnia pulang ke tangsinya, ia menangis menggerung-gerung..."
Yang dipanggil The Tongnia itu ialah Teng Gie Tjit, orang sebawahannya Yap Tjong
Lioe yang menjadi kepala dari pasukan tangsi kiri. Karena itu, serdadu-serdadu
di situ menjadi mendongkol dan mengumbar napsu amarahnya.
"Benarlah dugaanku!" kata Leng In Hong dingin.
Sin Tjoe pun mendongkol sekali.
"Mari kita ketemukan toaliong tau w\" ia mengajak,
In Hong berpikir sebentar, lalu ia memberikan pesan pada komandan barisannya, ha
bis mana dengan membawa pedangnya, ia turut Sin Tjoe pergi ke markas besar.
Penjagaan di markas besar keras sekali, beda dengan hari-hari biasa. Ketika baru
sampai di muka tangsi besar, Sin Tjoe dan In Hong dicegah oleh tente-ranya Pit
Kheng Thian. Tiongkoen, yang
menjadi orang kepercayaan Kheng Thian, memberikan keterangan: "Pit Toaiiongtauw
tengah merundingkan urusan tentera bersama Yap Tongnia, tanpa ijin atau panggila
n, siapa juga dilarang lancang masuk ke dalam markas besar."
In Hong gusar hingga sepasang alisnya berdiri.
"Kami ada punya urusan penting hendak didamaikan!" ia berseru. "Siapa berani rin
tangi kami?"
Tiongkoen itu mundur keberapa tindak.
"Kami mau masuk menghadap Pit Toaliong tau w\" b e rk a t a Sin Tjoe. "Kalau dia
mau menegur, biar dia menegur kami, dengan kamu tidak ada sangkutannya!"
Tiongkoen itu beserta belasan kawannya memang tahu toaiiongtauw mereka
sangat menghargai Nona Ie, melihat demikian,
mereka tidak berani mencegah terlebih jauh.
In Hong bersama Sin Tjoe lantas lompat turun dari kuda mereka, dengan cepat mere
ka bertindak ke markas besar. Segera juga mereka dapat dengar suara berisik dari
dalam markas, lalu terdengar
bentakannya Teng Gie Tjit: "Pit Kheng Thian, sebenarnya kau
menghendaki apa?"
"Berbahaya!" berseru Sin Tjoe di dalam hatinya. Dengan segera ia menyingkap tend
a, maka terlihatlah apa yang terjadi di dalam markas itu.
Pit Theng Thian bersama Pek Beng Tjoan dan Pit Goan Kiong dan yang lainnya, berj
umlah belasan orang, lagi mengurung Yap Tjong Lioe dan Teng Gie Tjit. Tjong Lioe
tidak membawa pengiring kecuali Gie Tjit seorang.
Dengan mengangkat kedua tangannya,
untuk memberi hormat, Pit Kheng Thian menjawab Gie Tjit. Ia kata: "Yap Tongnia t
elah bekerja berat bertahun-tahun dan tahun ini usianya sudah tinggi, aku tidak
tega melihat ia bekerja berat
terlebih jauh, dari itu untuknya aku telah sediakan satu tempat yang tenang untu
k ia tinggal sambil
beristirahat hingga di hari tuanya. Mana aku memikir niat yang tidak baik?"
"Kedudukan toaiiongtauw adalah Yap Toako yang mengalah dan menyerahkannya kepada
kau, sekarang kau hendak merampas kekuasaan orang!"
berkata Gie Tjit, tetap keras. "Sekarang kau hendak menahan Yap Toako secara hal
us! Hm! Yap Toako baru masuk usia lima puluh tahun, sekarang dia disuruh beristi
rahat, bukankah ini lucu?"
Tjong Lioe sendiri tidak gusar, bahkan sambil tertawa ia kata: "Pit Hiantee gaga
h dan pintar, dia menang seratus kali daripada aku, maka itu kalau Pit
Hiantee dapat memberikan tenaga lebih, suka aku menyerahkan
tanggung jawabku yang berat kepadanya. Ini memang baik sekali. Saudara Teng, unt
uk urusan ini kau menarik urat, orang lain tidak tahu duduknya hal yang benar, b
isa-bisa mereka mengatakan aku
berebut kekuasaan
dengan Pit Hiantee1. Bukankah itu bakal membikin kita ditertawai orang?"
"Yap Toako, kau... kau..." kata Gie Tjit masih mendongkol, "kau tega membiarkan
usaha kita banyak tahun, yang telah teguh kokoh dasarnya, dirusak di tangan dia
satu orang? Kau... kau tidak perdulikan dirimu,
apakah kau juga tidak memperdulikan semua saudara kita?"
Kata-kata ini dibarengi dengan air mata
yang meleleh turun.
Yap Tjong Lioe hendak menjawab orang sebawahannya itu
tatkala ia mendengar suara sangat berisik dari luar tangsi, suaranya terompet.
"Pit Toaiiongtauw, apakah itu?" ia tanya Kheng Thian.
Toaiiongtauw itu agaknya likat, tetapi ia mengeraskan hati.
Ia menjawab dengan suara dalam: "Tentara di tangsi kiri tidak mau menurut perint
ah untuk diperbaiki, aku menitahkan mereka dilucuti senjatanya!"
Mendengar ini, habis sabarnya Tjong Lioe.
"Pit Kheng Thian, dalam hal ini kau tidak benar!" ia berkata nyaring. "Kau mengh
endaki aku menyerahkan kekuasaan atas
tentera, itulah urusan gampang. Kenapa kau menerbitkan perang
saudara?"
"Aku kuatir saudara-saudara di tangsi kiri itu tak sependapat dengan kau, Yap To
ako," kata ia dengan ragu-ragu, "maka itu..." Ia mau mengatakannya, "lebih baik
kau menasihati mereka untuk menyerah padaku..." tetapi belum sempat ia meneruska
nnya, Teng Gie Tjit sudah membentak:
"Bagus! Hari ini baru aku kenal kau, bangsat yang berhati serigala
berpeparu anjing!"
Pit Kheng Thian menjadi gusar.
"Bekuk ini bangsat pengacau yang berani melawan orang atasannya!" ia memberi per
intah.
"Jangan bergerak!" Yap Tjong Lioe berseru.
Di dalam tangsi itu semua ada orang-orang kepercayaannya Pit Kheng Thian, meski
begitu, Tjong Lioe dapat
penghargaan mereka, maka itu, atas seruan itu, mereka jadi saling mengawasi.
Kheng Thian menjadi bertambah gusar, ia mengawasi Pek Beng Tjoan, ia mengedipi s
eraya berkata: "Perlu apa aku dengan adanya kau?"
Beng Tjoan lantas saja mengasi dengar tertawa dornanya.
"Yap Toako, jangan gusar!" ia berkata. "Baik toako jaga dirimu baik-baik! Mari k
au pergi beristirahat di Oentjioe!"
Kata ini ditutup sama lompatannya orang she Pek ini, untuk mencekuk Tjo
ng Lioe.
Justeru itu terdengarlah satu suara nyaring. Leng In Hong telah melayangkan
sebuah Ouwtiap piauw, piauw kupu-kupunya, yang mengenakan jitu jidat Beng Tjoan
hingga
dia ini mengeluarkan darah.
Sampai di situ, hebatlah keadaan. Beberapa orangnya Pit Kheng Thian lantas maju
untuk menawan Tjong Lioe.
In Hong yang bersama Sin Tjoe telah menyaksikan itu semua, lantas berseru: "Sin
Tjoe, kau pegat kawanan pendurhaka itu, aku akan melindungi Yap Tongnia keluar d
ari sini!"
Kheng Thian melihat datangnya dua nona itu, ia kaget.
"Sin Tjoe!" ia berseru, "kenapa kau memusuhkan aku?"
"Kau sendiri, mengapa kau memusuhkan Paman Yap?" Sin Tjoe balik menanya.
"Oh, begini lekas kau melupakan budiku sudah mengurus jenazah
ayahmu?" toaiiongtauw itu menegur, mengejek.
"Dan kau sendiri, begini lekas kau melupakan budi Paman Yap sudah menunjang pada
mu?" Sin Tjoe kembali membaliki.
Kheng Thian berdiam, bahkan dia mundur dua tindak.
"Kau merdekakan atau tidak Yap Tongnia ?" tanya Sin Tjoe seraya
ia memegang pedangnya.
Sepasang matanya Pit Kheng Thian menjadi menyala. Ia mengangkat toyanya, toya lo
nggee pang.
"Tangkap ini dua bocah wanita yang tak tahu urusan?" ia berteriak menitahkan.
Sin Tjoe tertawa dingin, segera ia menikam.
Kheng Thian menangkis dengan toyanya itu.
Nona Ie ketahui orang bertenaga besar, ia lantas menarik pulang
pedangnya, untuk
dengan sebat dipakai membabat ke samping.
Kheng Thian terperanjat.
"Baru satu tahun aku tidak lihat dia, begini cepat majunya ilmu pedangnya," ia b
erpikir. Karena ini ia putar toyanya, untuk
membela diri.
Sin Tjoe merebut kedudukan, bertubi-tubi ia menyerang, hingga ia memaksa Pit Khe
ng Thian main mundur, meski begitu, karena toaiiongtauw ini menang tenaga dalam,
walaupun terdesak, dia tidak dapat segera dikalahkan, tak dapat si nona lantas m
erampas kemenangan.
Leng In Hong pun sudah menyerang
hebat, ia berhasil merobohkan tiga
pahlawannya Kheng Thian, akan tetapi tidak lama kemudian, ia dan
Yap Tjong Lioe kena didesak ke suatu pojok, sebab di antara orang-orangnya Kheng
Thian banyak orang Rimba Hijau kelas satu.
Dalam kekacauan itu mendadak terdengar jeritannya Teng Gie Tjit, yang menteriaka
n Tjong Lioe: "Yap Toako, aku berangkat lebih dulu! Jangan lepaskan usaha kita!"
Gie Tjit kena dihajar cambuknya Pek Beng Tjoan, ketika dia roboh, dia disusuli d
ua bacokan, hingga dia tak dapat bertahan lagi.
Kebinasaan ini sahabat dan kawan seperdjuangan membuatnya Yap Tjong Lioe yang sa
bar dan memuja kerukunan menjadi
gusar sekali, sambil berteriak ia merampas sebatang golok besar, lalu dengan itu
ia membacok pahlawannya Kheng Thian yang me-
rampas jiwanya Gie Tjit. Ia menabas hingga tubuh pahlawan itu terkutung dua.
"Pit Kheng Thian, kau dengar aku!" ia berteriak.
Kheng Thian menangkis serangannya Sin Tjoe, lalu sambil tertawa lebar ia berkata
: "Setelah
sampai di sini, tidak ada kata-kata yang dapat diomongkan lagi!"
Kemudian ia berseru "Maju semua!"
Inilah seruan untuk orang-orangnya, yang tadi dibikin merandak oleh pengaruhnya
Tjong Lioe. Kali ini mereka maju pula.
Tjong Lioe putus asa, karena perdamaian tak bakal didapatkan pula. Ia menjadi be
rkelahi dengan hebat. Ia telah berhasil merobohkan dua musuh tetapi ia sendiri k
ena terluka pundaknya.
Ie Sin Tjoe yang mencoba untuk menawan atau merobohkan Pit Kheng Thian, sebalikn
ya ialah yang kena dirintangi oleh toaiiongtauw itu, ia menjadi gusar dan bingun
g. Ia telah dipaksa terpisah dari In Hong dan Tjong Lioe. Maka dalam murkanya, i
a berkelahi mati-matian.
Pit Kheng Thian melihat orang kalap, dia melawan sambil mundur. Dengan begitu si
nona seperti diberikan ketika untuk bernapas. Tidak ayal lagi, ia meraup bunga
emasnya, lalu sambil berseru ia menyerang kalang
kabutan.
Beberapa orang lantas saja terluka. Maka si nona terus maju, untuk membuka jalan
.
Kheng Thian maju pula, untuk kembali merintangi. Tapi ia disambut si nona dengan
tiga buah bunga emasnya. Ia liehay, ia dapat menyampok jatuh bunga emas itu. Kar
ena ini ia tidak berani merangsak lebih jauh.
Pek Beng Tjoan maju, untuk membantui ketuanya itu. Ia berlompat. Justeru itu, Si
n Tjoe menimpuk pula. Tepat sekali bunga emas mengenai jalan darah yongtjoan di
kakinya orang she Pek ini, hingga tak ampun pula, dia terguling roboh.
Ketika itu Tjong Lioe dan In Hong dapat mempersatukan diri dengan Nona Ie, dan T
jong Lioe dengan bengis membacok
tihang tenda hingga tenda itu roboh me-nungkrap Kheng Thian semua, dengan begitu
bertiga mereka nerobos keluar.
Akan tetapi di luar markas telah menanti berlapis-lapis barisan-
nya Kheng Thian.
Tjong Lioe menjadi putus asa.
"Untuk seorang, mengapa kamu berbuat begini?" katanya
menghela napas, habis mana dia perseru: "Saudara-saudara, dengar! Tentera negeri
lagi mendesak dari segala penjuru, kita sudah kena dikurung, karena itu tidak d
apat kita saling bunuh! Aku tahu aku kurang bijaksana dan tak berpengartian, tid
ak dapat aku membantu toaiiongtauw kamu
untuk bekerja sama, aku malu sekali, maka sekarang aku beritahu kepada kamu, hen
dak aku mengundurkan diri! Kamu sendiri, aku harap kamu dapat membawa dirimu mas
ing-masing! Karena di dalam tangsi sudah tidak ada kerjaan apa-apa, baiklah kamu
bubar!"
Semua serdadu itu ada orang-orangnya Pit Kheng Thian dan mereka tahu toaiiongtau
w mereka hendak merampas kekuasaannya Tjong Lioe, akan tetapi sekarang,
mendengar putusannya ini pemimpin, hati mereka tergerak, hampir tanpa berpikir l
agi, delapan atau sembilan dari sepuluh, lantas berseru-seru dan
bubaran!
Sin Tjoe mengasi dengar siulannya yang nyaring dan panjang, atas mana kuda Tjiau
wya Saytjoe ma lari datang padanya.
"Paman Yap, lekas naik atas kuda!" Nona Ie teriaki Tjong Lioe. "Mari kita pergi
ke Toenkee untuk
berkumpul sama Seng Lim."
Tjong Tjioe tidak lantas lompat naik ke atas kuda, sebaliknya,
dengan roman keren ia berkata: "Pergi kamu kepada Seng Lim, suruh dia melawan te
ntera negeri tetapi jangan benterok sama Kheng Thian!"
Sin Tjoe terperanjat.
"Kau sendiri, paman?" ia menanya.
"Aku hendak pergi ke tangsi kiri!"
"Jangan!" berseru In Hong.
Tapi nona ini tak sempat berkata lebih jauh, terlihat Kheng Thian beramai telah
keluar dari tendanya, mereke lari kepada kuda mereka masing-masing untuk memburu
.
Tjong Lioe lompat naik atas kudanya Sin Tjoe. Binatang itu, tanpa menanti perint
ah lagi, sudah lantas lari kabur. Sin Tjoe bersama In Hong merampas dua ekor kud
a, untuk lari bersama.
Tjong Lioe kabur
tanpa rintangan, semua serdadu membuka jalan, tidak ada seorang jua yang melepas
kan panah kepadanya. Cuma Pit Kheng Thian yang mengejar bersama
beberapa ratus serdadu pengiringnya.
Sin Tjoe merintangi dengan menimpuk
dengan dua bunga emasnya, ia membikin kuda Kheng Thian roboh terjung
kal, maka tempo toaiiongtauw itu
mengambil ketika akan naik atas seekor kuda lain, kedua nona itu sudah pergi jau
h.
Dalam tempo yang pendek, Tjiauwya Say-tjoe ma telah melalui beberapa lie.
"Pit Kheng Thian mempunyai banyak
tentera, dengan pergi ke tangsi kiri, Yap Tongnia seperti
membunuh diri," kata In Hong pada Sin Tjoe. "Mari kita susul
Ie Sin Tjoe bersama-sama Leng In Hong, yang hendak melindungi Yap Tjong Lioe dan
Teng Gie Tjit dari kepungannya Pit Kheng Thian dan orang-orangnya, telah bertem
pur dengan mati-matian.
padanya!"
Nona Ie menurut, maka mereka pun kabur ke arah tangsi kiri.
Tangsi itu berada di tempat enam atau tujuh lie, sebentar saja Tjong Lioe sudah
sampai di sana di mana seorang diri ia menerjang masuk. Ia segera disambut oleh
tentera tangsi kiri itu ialah barisannya Teng Gie Tjit.
Di saat sangat genting itu, Tjong Lioe mengasi dengar suaranya yang nyaring: "Ti
dak ada terjadi sesuatu! Saudara-
saudara tangsi kiri, silahkan kamu kembali ke tangsimu! Aku hendak mengundurkan
diri, buat hidup bertani di kampung halamanku, maka itu baik-baik saja kamu mend
engar titahnya Pit Toaiiongtauw1. Sekarang ini bukan saatnya untuk kita
saling bunuh diri!"
Mendengar itu, semua serdadu tangsi kiri itu pada menangis, mereka membuatnya be
ngong barisannya Kheng Than yang mengurung, tidak ada yang berani turun tangan.
Tjong Lioe tidak berdiam lama di situ, ia larikan kudanya keluar dari kurungan.
Menampak demikian, In Hong dan Sin Tjoe terus menyusul.
Ada banyak serdadu rakyat, yang untuk banyak tahun mengikuti Tjong Lioe, menyaks
ikan pemimpin mereka pergi, mereka tak sudi ditinggal pergi, mereka pun lari men
yusul.
Ketika Pit Kheng Thian tiba bersama barisannya, Tjong Lioe sudah kabur jauh. Sem
ua serdadu Kheng Thian, yang tadi mengurung tangsi kiri, telah
berpencaran untuk
membuka jalan, maka itu, untuk mengumpulkan mereka, Kheng Thian mesti menggunai
waktu sekian lama.
Kuda Sin Tjoe dan In Hong lari keras, Tjiauwya Saytjoe ma tidak dapat disusul, m
eski begitu di belakang mereka, musuh telah ketinggalan jauh. Mereka kabur terus
, hingga mereka menampak pesisir laut di mana terlihat sebuah perahu kecil menda
tangi ke tepian.
Sin Tjoe menteriaki berulang-ulang kepada Tjong Lioe tetapi paman itu s
eperti tidak mendengarnya, dia
lompat turun dari kudanya, untuk naik ke perahu kecil itu, ketika kemudian Nona
Ie dan In Hong tiba, dia sudah berlalu dengan
perahunya itu. Dari atas perahunya, dengan
mengulapkan tangannya, pemimpin tentera rakyat itu berkata nyaring: "Pergi kamu
menaiki kuda putih, pergi ke Toenkee!"
"Paman Vap, kenapa kau tidak hendak kembali?" Sin Tjoe menanya.
"Aku sudah menduga akan kejadian hari ini," menyahut Tjong Lioe, "apabila aku ti
dak pergi, keadaan bakal menjadi terlebih buruk pula! Biarlah Pit Kheng Thian be
rkuasa sendiri, itulah terlebih baik daripada kita saling bunuh! Dengan saling b
unuh, kita bakal terbinasa dua-duanya! Kheng Thian buruk hatinya tetapi dia gaga
h dan pandai, pergilah kamu membantu dia, umpama kata kamu tidak dapat bekerja s
ama, tinggalkanlah tetapi jangan menyaterukan padanya!"
Dengan habisnya kata-kata itu, perahu
pun berlayar terus, akan di lain saat menjadi kecil dan achirhja nampak hanya se
bagai satu bayangan!
In Hong menepas air mata.
"Setelah berpisah dari Thian Touw, inilah yang pertama kali aku menangis," berka
ta
Nona Leng. "Yap Tongnia baharulah satu orang besar, satu penyint
a negara sejati!"
Sin Tjoe menghela napas, ia tak dapat membilang suatu apa. Ia ada sangat menyesa
l dan terharu.
"Mari kita cari Pit Kheng Thian!" In Hong berseru kemudian.
"Aku memang sangat membenci dia, ingin aku menikam padanya, tapi paman Yap telah
memesannya..." menyahut Nona Ie.
"Tapi adik Tjoe, aku ingin kau membantui aku..."
Sin Tjoe heran.
"Apakah itu?"
"Aku bukan hendak membunuh dia, aku hanya hendak merampas kekuasaannya!"
Nona Ie berpikir dengan cepat. "Untuk diserahkan pada Seng Lim?" ia menanya.
In Hong tertawa.
"Benar! Mustahilkah kau tidak memikirkan dia!"
Ketika itu terlihat pasukan pengejar
mendatangi.
In Hong menarik Sin Tjoe untuk menaiki kuda putih, sambil tertawa ia pun berkata
: "Pada saat ini pasukan wanitaku sudah berada di Oentjioe di mana mereka menyia
pkan rangsum, maka itu marilah malam ini kita merampas tanda
kekuasaannya Pit Kheng Thian! Kita mainkan itu sandiwara Sin Leng Koen m
enolongi negara
Tio!"
Sampai di situ, Sin Tjoe tidak bersangsi lagi.
Dengan perginya Tjong Lioe, tentera tangsi kiri, yang tetap tidak mau dilucutkan
senjatanya, tidak
melawan lebih jauh. Atas sikap mereka itu, Pit Kheng Thian tidak terus mengambil
tindakannya yang bengis. Ia pun puas karena maksudnya merampas kekuasaan sudah
kesampaian. Ia melainkan menyesal tidak bisa mendapatkan pasukannya In Hong. Kar
ena ia tahu, Sin Tjoe tentu turut In Hong, ia kehilangan kegembiraannya, sebab i
a sebenarnya mengharapi nona yang gagah itu.
Malam it u Kheng Thian mengadakan
pesta besar, untuk merayakan kemenangannya itu. Ketika ia kembali ke markasnya
,
ia sudah rada-rada sinting. Justeru ia hendak beristirahat, satu serdadu pengawa
lnya melaporkan "Nona Ie datang untuk mohon menghadap Toaiiongtauw1." Ia heran h
ingga ia melengak.
"Dia datang untuk menghadap aku?" ia menegaskan. Tapi ia tidak berlaku ayal. Ia
memberikan perintahnya: "Suruh dia menghadap dengan meloloskan dulu pedangnya!"
Serdadu pengawal itu berkata dengan perlahan: "Nona Ie datang dengan
sikapnya yang damai, ia pun tidak membawa pedang, maka itu juga hamba berani dat
ang melaporkannya."
Mendengar itu, Kheng Thian tertawa.
"Kiranya dia tahu aturan!" katanya.
"Baiklah, kau suruh dia masuk!"
Selagi pengawalnya itu mengundurkan diri, Kheng Thian berpikir. Ia menghendaki S
in Tjoe tetapi berbareng ia merasa jeri. Ia menduga-duga, "Yap Tjong Lioe sudah
pergi, mungkinkah dia telah berubah pikirannya?" Kemudian ia menetapkan hatinya.
Dengan si nona tidak membekal senjata, ia percaya bila perlu ia dapat melayanin
ya.
Sebentar kemudian nampak Sin Tjoe bertindak masuk dengan perlahan dan sabar, cum
a ketika ia mengasi dengar suaranya, suara itu mirip ejekan. Ia kata: "Perempuan
yang rendah Ie Sin Tjoe menghadap Toaiiong-tauwl"
Kheng Thian tertawa. Ia berkata: "Syukur tadi aku tidak sampai kena ditikam oleh
mu! Bagaimana
sebenarnya? Aku menyangkanya kau turut Yap Tjong Lioe pergi!"
Ketika ia menyahuti, Sin Tjoe berkata sambil tertawa: "Yap Tongnia relah mengala
h padamu, kau tentunya puas, bukan?"
Kheng Thian mengerutkan kening.
"Agaknya kau tidak puas terhadapku.
Benarkah?" tanyanya.
"Peristiwa telah terjadi, perlu apa kau memperdulikan orang puas tidak?" menyahu
ti si nona. "Bukankah kedudukan Toaiiongtauw kau ini sudah pasti sekarang? Hm! K
alau bukannya Yap Tongnia lapang hati dan ia berulang kali menasihati aku, dia m
elarang kami saling bunuh, sungguh aku penasaran, ingin aku menikam tembus dadam
u!"
Kheng Thian tertawa berkakak.
"Benar!" katanya gembira. "Sekarang
segala apa sudah pasti! Siapa mengenal sala-tan, dialah seorang gagah, dan kaula
h wanita yang gagah, tak usah aku menyebutnya lagi. Sekarang kau datang ke mari,
apakah kehendakmu?"
"Kau sendiri, apakah kau hendak perbuat?"
Dengan bangga Kheng Thian menjawab: "Aku akan maju ke Utara! Aku akan memerintah
dunia,
merampas negara! Sin Tjoe, kau berdiam di sini, kau membangun pasukan wanita, ak
u akan tidak ingat lagi perselisihan kita!"
Sin Tjoe masih tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya: "Taruh kata di la
in hari kau naik atas singgasana kerajaan, aku kuatir belum tentu aku dapat me
nghamba
kepadamu! Tapi..." ia meneruskan, suaranya tenang, "jikalau benar kau hendak men
dapatkan dunia ini, suka aku menghaturkan kau
suatu barang supaya tercapailah cita-citamu!"
"Apakah itu?"
Kheng Thian ketarik hatinya.
"Itulah petanya
Pheng Hweeshio1." sahut si nona. "yang kau telah dapati itu adalah peta untuk wi
layah Kanglam saja, dan yang aku bawa ini ialah yang lengkap."
Inilah Kheng Thian tidak sangka. Ia memang sangat menginginkan peta itu. Ia tela
h mengharap-harap itu entah buat beberapa banyak bulan dan tahun. Sekarang Sin T
joe hendak menghadiahkannya kepadanya. Hampir-hampir ia tidak percaya kupingnya
sendiri.
Sin Tjoe berkata pula dengan dingin: "Kalau bukan Yap Tongnia dipaksa angkat kak
i olehmu, hingga tanpa kau tentera rakyat ini bakal kehilangan pemimpinnya, tida
k nanti peta ini jatuh dalam tanganmu!"
Kheng Thian percaya ia kenal baik tabiatnya Nona Ie. Ia tidak percaya si nona he
ndak mengambil
hatinya. Tapi nona itu bersikap demikian
macam, suka damai tetapi ia pun ditegur dan disindir berulang-ulang, ia mau perc
aya orang benar-benar
hendak menyerahkan peta bumi kepadanya.
Tengah pemimpin ini menanti tindakan lebih jauh dari si nona, di atas tenda terd
engar suara sangat perlahan. Kecuali oleh Kheng Thian dan Sin Tjoe, suara itu
tidak nanti
dapat didengar. Kheng Thian lantas saja mengangkat
kepadanya, berdongak. Sin Tjoe sebaliknya dengan sabar mengeluarkan peta, untuk
dibeber dengan
perlahan-perlahan.
"Peta ini harus diperhatikan secara saksama," berkata si nona, suaranya dingin.
"Mari kau lihat! Aku tidak sabaran untuk berdiam lama-lama di sini!"
"Tak usah aku kuatir," pikir Kheng Thian selagi otaknya rada sinting. Ia tahu di
luar tangsi ada Pit Goan Kiong serta banyak pahlawannya yang
gagah, sedang tentera-nya berlapis tiga. Maka itu ia bertindak menghampirkan.
Selagi Sin Tjoe membeber lepitan
terachir dari peta itu, di situ terlihat pisau belati
yang tajam mengkilap menyilaukan mata.
Nyata nona ini mau memerankan lelakonnya Kheng Ko di jaman dulu, selagi Kheng Ko
hendak membunuh raja Tjin. Peta itu ialah palsu. Ia menggunai itu sebagai alasa
n untuk dapat mendekati toaiiongtauw itu.
Sebat luar biasa, pisau belati itu telah mengancam tenggorokannya Kheng Thian. T
api juga toaiiongtauw itu sangat gesit. Dengan berani ia bergerak untuk menggigi
t tangan si nona. Sin Tjoe menarik pulang tangannya, terus ia menikam, tapi seme
ntara itu, tangannya Kheng Thian sudah menyambar, maka
tangan si nona kena digempur dan pisau belatinya terlepas,
jatuh di tanah.
Kepandaianmu ma-
cam begini tak dapat dipakai terhadapku!" kata Kheng Thian dingin.
Belum berhenti suaranya toaiiongtauw ini, tenda di atasan kepalanya terdengar me
mberebet dan
berlobang besar, dan belum sempat dia mengangkat kepalanya untuk melihat, ujung
pedang sudah mengancam punggungnya. Cepat luar biasa Leng In Hong, yang sudah me
nanti di atas tenda, berlompat turun. Ia pun menggunai pedang mustika Tjengbeng
kiam kepunyaan Sin Tjoe.
***
Di bawah ancaman In Hong itu, Kheng Thian nampaknya putus asa.
"Kau mau apa?" ia menanya.
"Serahkan penghoe !" menitah In Hong. Nona ini menghendak tanda keku
asaan atas tentera, yaitu penghoe yang berupa kimpay.
"Baik!" jawab Kheng Thian. "Penghoe itu ada di sakuku, nanti aku keluarkan!"
Kata-kata ini disusul sama diangkatnya tangannya, untuk dikasi masuk ke dalam sa
ku, tetapi gesit luar biasa, sikutnya bekerja,
membentur pedang, disusul sama gerakan tipu silat "Membuka jubah meloloskan baju
lapis."
Inilah In Hong tidak menyangka, pedangnya terlepas dari tangannya jatuh ke tanah
.
Setelah itu, Kheng Thian hendak berteriak memanggil orang. Ia sebat tetapi Sin T
joe tak kalah sehatnya, selagi dia menyerang In Hong, guna menjatuhkan
pedang, nona Ie pun menyerang padanya, menotok jalan darahnya tanpa dia dapat me
ngelakkannya lagi. Maka berdiamlah dia, habis tenaganya.
"Dia sangat licin!" kata In Hong tertawa dingin, sedang sebelah tangannya melaya
ng ke kuping orang.
Matanya Kheng Thian mendelik, hatinya
sangat panas, tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.
In Hong terus bekerja, menggeledah saku orang. Di situ tidak ada penghoe yang di
cari. Ia kata: "Adik Tjoe, penghoe tidak ada, tentu ada di mejanya, tunggu dia,
pergi kau cari di sana!"
Sin Tjoe lantas bekerja. Ia memeriksa meja. Penghoe itu tidak ada. Ia menjadi bi
ngung.
Justeru itu di luar terdengar suara berisik
disusul sama ini kata-kata: "Pit Kheng Thian, kau sangat bertingkah! Kenapa kau
berani tidak menemui aku? Nona Ie, akulah yang datang, lekas kau keluar!"
Itulah suaranya Tiat Keng Sim.
Sin Tjoe tercengang. Sungguh tidak
disangka-sangka, Keng Sim muncul di tengah malam seperti itu.
"Lekas cari!" In Hong menyadarkan kawannya. "Lekas!"
Sin Tjoe sadar, bahkan ia terus berpikir. Ia ingat, walaupun
romannya kasar, Kheng Thian sebenarnya terliti. Penghoe tidak ada di tubuhnya, s
edang baju luarnya telah diloloskannya. Segera ia merabah ke bawah bantal, yang
menindih baju luarnya itu. Di situ ia kena bentur kimpay1.
"Sudah dapat!" berseru si nona kegirangan.
Kembali di luar terdengar bentakannya Keng Sim: "Pit Kheng Thian, kalau kau teta
p tidak hendak memerdekakan Nona Ie, aku akan menerjang masuk!"
Hampir itu waktu terdengar dua orang jatuh roboh, tetapi di lain pihak, tenda te
rpentang dan pemimpin barisan pengawalnya Kheng Thian muncul!
Sebenarnya aturan ketenteraan Kheng
Thian sangat keras, tanpa ijinnya, siapa juga tidak dapat lancang memasuki
tendanya, tetapi pemimpin ini adalah lain. Ia bernama Kouw Beng Tjiang. Ia
satu penjahat di Shoatang, yang sama terkenalnya dengan Kheng Thian, dan
Kheng Thian percaya betul. Ia pun cerdik, maka ia heran, Keng
Sim berteriak-teriak tapi
Kheng Thian diam saja, tidak ada jawabannya. Karena curiga, ia jadi berani melan
ggar
aturan. Tapi ia pun memakai alasan. Katanya: "Tiat Keng Sim mohon mengadap, hara
p toaliong tau w..." Ia b a ru berkata begitu atau ia kaget, sebab ia melihat Kh
eng Thian diam saja dan In Hong tengah mengawasi padanya. Tengah ia terheran-her
an, Nona Leng menyerang padanya. Ia terkejut, tetapi ia berkelit. Ia memang lieh
ay. Segera ia membalas menyerang, sekalipun ia bertangan kosong. Ke kiri ia meny
erang In Hong, ke kanan kepada Sin Tjoe.
Kedua nona itu tidak mempunyai keinginan untuk bertempur di dalam tenda itu. In
Hong berkelit untuk segera menyontek tenda, untuk mengangkat
kaki, sedang Sin Tjoe menyebar seraup bunga emasnya, untuk membuka jalan sambil
merintangi musuh.
Selekasnya musuh pada menyingkir atau menjaga diri, kedua nona lari keluar. Hany
a setibanya di luar, mereka mendapatkan Keng Sim lagi dikurung beberapa pahlawan
nya Kheng Thian, karena mana, pemuda itu berkelahi mati-matian.
Menampak demikian, mencelos hatinya Nona Ie. Ia kata di dalam hatinya, "Aku meny
angka ia hidup bersenang-senang di Bhok Kokkonghoe, kiranya dia tetap masih memi
kir-kanku..." Karena ini, tak dapat ia ingat kemuakannya pemuda itu, terpaksa ia
maju untuk mencoba
memecahkan kurungan. Bukankah pemuda itu menempuh bahaya
untuk menolongi mereka?
Melihat Sin Tjoe, sembari berkelahi Keng Sim berseru: "Nona Ie, aku datang! Mari
kita berlalu dari ini tempat tidak keruan! Jangan kita perdulikan lagi Pit Khen
g Thian!..."
Sedangkan ia berseru, Keng Sim alpa, maka toya lawannya mengenai pundaknya.
Ketika itu Kouw Beng Tjiang pun berlompat keluar sambil b e rs e ru: " Toaliong
tau w telah dibokong tiga orang ini, jangan kasi mereka lolos!" Dengan cambuknya
, ia terus menyabet punggung Sin Tjoe.
Sin Tjoe tahu orang liehay, ia memutar diri untuk membuat perlawanan.
Benar-benar Beng Tjiang liehay. Ia hanya menggunai siasat.
Belum lagi Nona Ie mela-
yani ia, ujung cambuknya sudah menyambar lebih jauh, kepada Keng Sim, justeru an
ak muda itu lompat guna membantui Nona Ie. Maka terlibatlah ia, dan begitu cambu
k
digentak, ia roboh terguling, atas mana beberapa orang lompat menubruk, membekuk
padanya.
Sin Tjoe kaget berbareng guear, maka ia menyerang. Ia tidak perdulikan musuh
liehay, tidak jeri ia untuk cambuk lawan itu. Di pihak lain, Beng Tjiang memang
hendak merintangi nona ini, ia melayani dengan
sungguh-sungguh, ia mencoba menutup jalan mundur orang.
"Adik Tjoe, kau bikin apa?" In Hong menegur. "Kenapa kau tidak menyingkir?"
Sin Tjoe terkejut. Ia ingat bahwa, ia datang
untuk penghoe. Tapi, dapatkah ia
meninggalkan Keng Sim?
In Hong melihat orang ragu-ragu, ia maju menyerang.
Dengan lantas ia membabat kutung
goloknya seorang
pahlawan, akan di lain pihak, memapas kutung ujung cambuknya Beng Tjiang. Sebab
pedangnya ialah Tjengbeng kiam dari Sin Tjoe.
Ilmu pedang In Hong kalah daripada Sin Tjoe tetapi ia cerdik dan banyak tipu-tip
unya, dari itu ia liehay sekali, sedang pedangnya pun pedang mustika. Begitu, ke
cuali Beng Tjiang, tiga pahlawan itu kena ia lantas lukakan, hingga mereka roboh
terguling untuk tak dapat merayap bangun pula. Dalam tempo yang pendek, kedua n
ona ini dapat meloloskan diri, ketika Sin Tjoe menoleh
ke belakang, kembali hatinya mencelos. Ia melihat Keng Sim tengah digiring masuk
ke dalam tendanya Kheng Thian...
Sekeluarnya dari kalangan tentera musuh, kedua nona kabur dengan Tjiauwya
Saytjoe ma, maka di dalam tempo yang pendek sekali, mereka sudah berada jauh lim
a puluh lie.
In Hong menghela napas lega tapi ketika ia menoleh pada Sin Tjoe, ia menjadi her
an, Nona Ie itu berlinang air mata.
"Eh, adik Tjoe, kau kenapa?" ia tanya.
"Tidak," menyahut orang yang ditanya.
"Siapa pemuda tadi?" In Hong menanya pula.
"Tiat Keng Sim."
"Oh, puteranya Tiat Giesoe1. Pernah aku mendengar namanya, ia benar tamp
an!"
Mukanya Sin Tjoe merah, dd dalam hatinya tapi ia berkata "Sayang Keng Sim kosong
seperti kantung kulit besar, dia mana dapat melawan
keponakannya paman Yap?..."
In Hong heran melihat orang diam saja.
"Adikku, kau memikirkan sesuatu?" ia menanya pula.
Sin Tjoe tidak menjawab, hanya ia mengeluarkan penghoe seraya berkata: "Entjie,
pergi kau memegat rangsum, terus kau antar kepada Yap Seng Lim di Toenkee! Aku t
idak jadi pergi ke sana!"
"Apakah kau tidak pergi menemui Seng Lim?"
"Dengan adanya penghoe ini, ponggawa yang membawa
rangsum tidak nanti membantah kau," kata pula Nona Ie. "Kau naiki
Tjiauwya Saytjoe ma, kau, memegat di Oentjioe, lalu terus kau pergi ke Toenkee.
Umpma kata Kheng Thian menyusul, ia bakal terlambat. Aku tidak dapat membantu ka
u pula!"
In Hong heran tetapi ia dapat menduga.
"Kau hendak kembali untuk menolongi Tiat Keng Sim itu?" ia menanya.
"Benar. Dia datang untukku, mana dapat aku membiarkan dia terjatuh di dalam tang
an Kheng Thian? Aku ada mempunyai daya untuk menolongi dia, dari itu entjie jang
an kuatirkan aku."
Sudah selayaknya saja Sin Tjoe menolongi Keng Sim, hanya air matanya, dan matany
a, yang mengandung sinar kekuatiran, membikin In Hong heran. Nona ini berpikir:
"Aku menduga
ia dan Seng Lim ada satu pasangan yang setimpal, adakah dugaanku keliru? Mungkin
kah orang yang ia cintai bukan Seng Lim hanya Keng Sim?"
Ia anggap sayang kalau Sin Tjoe melepaskan Seng Lim.
"Seng Lim mencil sendirian, ia berada dalam kedudukan sulit. Apakah kau tidak ku
atirkan dia, adikku?" ia menanya, untuk mencoba hatinya nona itu.
"Dalam keadaan seperti ini, tidak dapat aku memecah diri," menjawab Sin Tjoe. "K
ita terpaksa mesti berpencaran. Entjie, kau pergi ke Toenkee, aku balik ke tangs
i Kheng Thian. Seng Lim dibantu entjie, hatiku lega."
Habis berkata begitu, merah matanya nona ini. Dengan lantas
ia lompat turun dari kudanya, untuk lari balik.
Di dalam keadaan biasa, pasti In Hong akan menyusul Nona Ie, tetapi sekarang, ia
tidak bisa berbuat lain. Bukankah ia perlu menolongi Seng Lim?
Di dalam markasnya, Kheng Thian tengah berkuatir. Ia telah mahir tenaga dalamnya
, setelah
lewat satu malam, ia bisa membebaskan sendiri tiga jalan darahnya, karena itu, i
a sudah bisa bicara, bisa menggeraki kaki tangannya. Tinggal empat lagi jalan da
rahnya, yaitu soankie, tionghoe, thiankwat dan
teetjhong, yang belum bebas. Untuk ini, yang membebaskan mesti ahli. Sebab Sin T
joe menotok menurut
ajaran Hian Kong Yauwkoat. Kheng Thian menjadi kecil hati, ia
tahu ia bakal bercacad. Percuma ia menjadi raja apabila tubuhnya tidak sampurna.
Mengingat begitu, hatinya
mencelos.
Semua orang bingung mendapatkan toaiiongtauw mereka lain daripada biasanya. Mere
ka datang untuk menanyakan keselamatannya pemimpin itu, di luar dugaan, si pemim
pin agaknya
menjadi berangasan.
Pit Goan Kiong dan Kouw Beng Tjiang tahu pemimpin itu mendongkol karena dia tela
h dipermainkan kedua nona terutama Sin Tjoe, dalam hal itu, mereka tidak berani
menanyakan, mereka kuatir Kheng Thian malu dan gusar. Maka itu, mereka berkumpul
saja sambil merundingkan soal peperangan.
Setelah terselang sekian lama, Beng Tjiang
menjadi curiga, tapi ketika ia hendak mengutarakan dugaannya, satu serdadu datan
g melaporkan: "Nona Ie datang pula..."
Beng Tjiang terperanjat. Ia lantas menoleh kepada pemimpinnya, wajah siapa menja
di bermuram
durja. Hanya sebentara n, toaiiongtauw itu menjadi tenang pula, bahkan waktu ia
memberi titahnya, ia omong dengan sabar sekali: "Suruh dia masuk..."
Sin Tjoe bertindak masuk dengan perlahan, ia tidak mengambil mumat puluhan pasan
g mata mengawasi ia dengan tajam.
"Ha, nona Ie, sungguh besar nyalimu!" kata Kheng Thian nyaring. "Hm!"
Nona itu tertawa dingin.
"Kau hendak meminta sesuatu dari aku, aku takut apa?" ia menjawab.
Kheng Thian tertawa terbahak.
"Aku kuatir kaulah yang hendak meminta sesuatu dari aku!" ia membaliki.
"Baiklah, mar i kita bicara dengan mementang jendela!" berkata si nona. Ia tak m
au membuang tempo. "Mari kita jual beli dengan cara pantas!"
"Kau bicaralah!"
"Mana Keng Sim?"
"Ah, kiranya kau datang untuk bocah itu!"
Kheng Thian ketahui maksud kedatangan si nona, akan tetapi mendengar nona itu me
nyebut nama si anak muda, timbul iri hatinya, ia bercemburuan seorang diri.
"Memang, aku datang untuk Keng Sim!" kata si nona terus terang.
"Tapi aku datang untuk toaiiongtauw juga!"
"Bagaimana itu?"
"Cuma Tiat Keng Sim yang dapat membebaskan kau dari totokanku, untuk memulihkan
kesehatanmu. Jikalau kau tidak merdekakan dia, maka kau bersedialah untuk nanti
menjadi raja yang bercacad anggauta tubuhnya!"
Mendengar itu, semua punggawa baru tahu hal yang sebenarnya. Maka
Kheng Thian pun menjadi merah.
"Baik, pergi merdekakan Keng Sim!" kata toaiiongtauw itu.
"Tunggu dulu. Kau biarkan aku bertemu dulu dengannya!"
Kheng Thian memberi ijinnya. Ia dapat menduga, Sin Tjoe mau mengajari Keng Sim i
lmu membebaskan totokan. Sin Tjoe tentu malu
untuk menyentuh tubuhnya, beda daripada waktu dia menotoknya. Hal ini membuat ha
tinya panas tetapi ia tak bisa bilang suatu apa. Pit Goan Kiong diperintah menga
ntari si nona.
Keng Sim ditahan di belakang tenda, di dalam sebuah rumah kayu. Tiba di muka kam
ar tahanan itu, Goan Kiong menggoda Sin Tjoe. Ia tertawa.
"Nona, mengapa kau menentang toaiiongtauw kami?"
"Dan kau, kenapa kau turut-turutan toaiiongtauw memusuhkan Yap Toako ?"
si nona membaliki.
Goan Kiong jengah, hingga tak dapat ia tertawa pula.
"Baik, nona, aku takut padamu..." katanya, kembali mengejek. "Ini kunci untuk me
mbukai borgolan
Keng Sim, kau masuklah
sendiri!"
Di dalam kamar tahanannya itu, Keng Sim mendongkol bukan
main, ketika ia dapat dengar orang bicara, lantas ia pentang mulutnya: "Pit Khen
g Thian, kau machluk apa? Aku Tiat Keng Sim, aku laki-laki sejati, mana aku kesu
dian takluk padamu? Kau pergilah!"
"Keng Sim, inilah aku..." kata Sin Tjoe seraya bertindak masuk.
Keng Sim heran. Sekian lama, belum pernah ia mendengar suara si nona demikian ha
lus. Ia angkat kepalanya, ia mengawasi si nona sambil bersenyum.
Sin Tjoe lantas membukai borgolan
orang.
Keng Sim menghela napas.
"Apakah aku bukan lagi bermimpi?" katanya perlahan. "Kenapa Kheng
Thian mengijinkan kau datang ke mari?" Lalu ia kaget tiba-tiba, maka cepat ia me
nanya pula: "Adakah kau takluk kepada Kheng Thian?"
Sin Tjoe memandang tajam.
"Apakah kau lihat aku wanita demikian hina?" ia balik menanya. "Cis"
"Habis, bagaima- na kau dapat datang ke mari?" tanya si anak muda. Ia girang men
dapat itu jawaban, tidak perduli itu ada satu teguran. Ia senang akan mendapatka
n
Kheng Thian tidak dapat dibandingkan dengannya.
"Aku datang ke mari untuk kau menolongi Kheng Thian."
Anak muda itu heran.
"Menolongi Kheng Thian?" tegaskannya.
"Benar, supaya kau menolongi dia!"
Nona ini lantas memberitahukan yang Kheng Thian telah kena ia totok, maka Keng S
im mesti membebaskannya, dengan jalan tukar dengan kemerdekaannya. Ia kata ia na
nti ajari ilmu totok pembebasan itu.
Mendengar itu, lega hati Keng Sim, hingga ia menjadi girang sekali.
"Memang juga, aku datang ke mari untukmu, supaya kau bisa menyingkir dari ini te
mpat buruk. Secara begini, kesampaianlah maksud hatiku!"
"Sebenarnya, kenapa kau datang ke mari?" si nona menanya.
"Kau tidak tahu bagaimana aku sangat memikirkan kau," menyahut si anak muda. "Ak
u minta perkenan dari Bhok Kongya untuk pergi dari Koenbeng, lantas langsung aku
menuju ke mari."
"Kau dititahkan untuk apa?"
"Aku ditugaskan pergi ke kota raja, guna menyampaikan laporan Bhok Kokkong dalam
urusan di Tali."
Keng Sim mengatakan demikian tanpa ia ketahui maksud hati dari Bhok Kongya. Sebe
tulnya utusan sudah di kirim, tapi sengaja Keng Sim di kirim pula. Itulah guna p
uterinya, yang ia tahu menyukai pemuda itu dan ia pun setujui si pemuda. Keng Si
m pintar dan gagah tetapi belum punya kedudukan, maka itu di dalam laporannya, i
a pujikan pemuda itu pada raja dengan pengharapan raja nanti memberikan pangkat
padanya. Keng Sim ketahui samar-samar maksudnya Bhok Kokkong, tentang itu tidak
berani dia menjelaskan pada Sin Tjoe.
"Dan mana guruku?" si nona tanya pula kemudian.
"Thio Tayhiap suami isteri juga telah pergi ke kota raja. Mereka mengantar puter
i Iran. Ia berangkat lebih dulu sepuluh hari, maka mungkin sekarang mereka sudah
tiba di sana."
"Apakah kau sudah ketahui bagaimana Pit Kheng Thian mendesak Yap Tjong Lioe?"
"Itulah sebabnya kenapa aku datang mencari kau. Sedari siang-siang aku sudah mel
ihatnya Kheng Thian machluk busuk. Yap Tjong Lioe benar pandai berperang tetapi
dia tetap asal kuli tambang yang tolol, mana dia dapat melawan Kheng Thian yang
licin? Pantas kalau dia kena didesak! Sayang kau bercam-puran dengan dia itu, hi
ngga aku jadi berkuatir, maka aku
datang ke mari untuk mengadu jiwa. Biar bagaimana, aku ingin kau menyingkir dari
tempat ini!"
"Benarkah itu?" tanya si nona, tawar.
"Ah, mengapa kau masih belum ketahui hatiku?"
"Mendengar suara kau, rupanya di kolong langit ini kaulah satu-satunya satu engh
iong!" kata Sin Tjoe dingin. "Aku ada seorang wanita biasa, mana aku mengarti ap
a yang kau pikir itu?"
"Ah, segala-galanya aku lakukan untuk kau. Kau perlakukan aku tawar masih tidak
apa, kenapa kau lantas menyindir aku?" tanya pemuda itu. "Kaulah seorang dengan
tulang kumala dan hati es, kau bercampur sama segala orang kasar, apakah itu tid
ak mengotorkan
dirimu? Setelah kita
berlalu dari sini, kita dapat tinggal bersama, di Hangtjioe atau di Koenbeng di
mana kita dapat membangun
sebuah rumah indah, di mana juga kita dapat meyakinkan kitab atau ilmu pedang, u
ntuk melewatkan hari-hari yang tenang dan berbahagia. Dengan begitu, sekalipun d
ewa-dewi bakal mengagumi kita..."
"Aku tidak tepat untuk menjadi dewi, aku juga tidak sudi menjadi dewi itu!" berk
ata Sin Tjoe, romannya
sungguh-sungguh. "Aku hanya memikir, untuk sementara ini janganlah kau pergi ke
kota raja. Guruku sudah berangkat ke sana, dengan begitu apakah kau masih kuatir
kan raja bakal tak ketahui urusan di Tali itu?"
Mendengar itu, Keng Sim girang sekali.
"Asal kita dapat tinggal bersama, tidak usah pergi ke kota raja ya tidak usah!"
ia berkata.
"Ah, mengapa kau masih belum mengarti jelas?" ujar si nona. "Aku menasihati kau
untuk sementara waktu jangan pergi ke kota raja, maksudku supaya kau pergi ke To
enkee."
Keng Sim heran.
"Untuk apakah aku pergi ke Toenkee?" ia menanya.
"Yap Seng Lim di sana seorang diri menghadapi sepuluh laksa serdadu pemerintah,
dia membutuhkan bantuan!" menjelaskan Sin Tjoe.
Pemuda itu menjadi putus harapan.
"Yap Seng Lim, itu bocah, berharga untuk kau pikirkan sampai begini?" katanya. "
Apa itu Yap Seng Lim? Apa itu Pit Kheng Thian?
Mana dapat mereka bekerja besar hingga mereka berharga untuk aku pergi membantun
ya? Terhadap mereka itu, aku muak sekali! Sin Tjoe, mengapa kau jadi semakin ber
ubah?"
Keng Sim putus asa, ia tak tahu, Sin Tjoe terlebih putus asa pula. Ia menyesali
Sin Tjoe semakin berubah, si nona sebaliknya menyesali dia pun tak berubah sama
sekali, bahwa dia tidak memikirkan lain orang kecuali diri sendiri. Sebenarnya S
in Tjoe sudah mengambil
putusan untuk melepaskan Yap Seng Lim, supaya Seng Lim itu diserahkan kepada Len
g In Hong, siapa tahu sekarang kembali ia menghadapi sikap Keng Sim yang hanya m
ementingkan diri
sendiri ini. Maka tanpa merasa di depan mata-
nya berbayang pula Seng Lim yang demikian polos dan jujur, bayangan yang
mengalingi Keng Sim di depannya ini.
Achirnya nona ini menghela napas dan berkata dengan masgul: "Sesuatu orang ada c
ita-citanya sendiri, tidak dapat aku memaksakan kau. Baiklah, kita tak usah bica
ra panjang-panjang lagi."
Sendirinya Keng Sim menggigil.
"Sin Tjoe, Sin Tjoe, kau... kau dengarlah aku!" katanya.
"Tak usah," menjawab si nona, dingin. "Kalau kau ingin berlalu dari sini, lekas
kau mempelajari ilmu membebaskan totokanku. Aku kuatir Pit Kheng Thian juga suda
h tidak sabaran menantikanmu!"
Keng Sim mengawasi itu nona, sinar matanya benterok sama
sinar mata orang, pada sinar mata si nona ia mendapat suatu
pengaruh hingga ia tidak berani banyak omong lagi. Ia lantas menerima pengajaran
si nona. Ilmu membebaskan totokan itu bukan sembarang ilmu tetapi Keng Sim suda
h punya dasar tenaga dalam dan ia pun berotak terang sekali, ia dapat mempelajar
i itu dalam tempo yang pendek sekali.
Benar-benar Pit Kheng Thian sudah tidak sabaran, ia melihat munculnya
pemuda dan pemudi itu, ia girang sekali, tetapi ia sengaja bersikap keren.
"Keng Sim!" katanya, nyaring. "Dengan memandang Nona Ie, hari ini hendak aku mem
erdekakan kau, maka itu jikalau kau main gila, hm! jangan
kau nanti sesalkan aku!"
Keng Sim tidak takut diancam, bahkan ia tertawa sambil berle-ngak.
"Kau kuatir aku nanti mempermainkanmu dengan totokanku?" dia tanya. "Aku justeru
kuatirkan kata-katamu tidak berarti! Sebenarnya kau manusia macam apa hingga ka
u ada harganya untuk aku permainkan? Apakah, kau kira aku ada sehina kau? Baikla
h, mari di depan banyak orang ini kita omong biar jelas! Aku akan menotok bebas
padamu, kau merdekakan aku pergi, siapa yang salah janji dialah si telur anjing!
"
Mendengar itu, Pit Kheng Thian menyeringai saking jengahnya.
Kouw Beng Tjiang semua turut merasa tidak enak hati yang pemimpin mereka
diperlakukan demikian
macam.
Wajah Kheng Thian seperti mateng biru, wajah itu bermuram durja saking murkanya,
akan tetapi kendati semua itu, ia tidak dapat berbuat suatu apa. Ia masih mengh
arapi kebebasannya, agar ia tidak jadi bercacad seumur hidup...
"Bagaimana?" Keng Sim mendesak. Pemuda ini tidak sudi melepaskan ketikanya yang
baik itu.
Kheng Thian me-ngertak gigi.
"Baik, aku berjanji!" sahutnya nyaring.
Keng Sim gembira sekali.
"Kamu semua telah dengar!" ia berkata pada orang banyak. "Hendak aku membebaskan
totokan atas diri toaiiongtauw kamu, kalau sebentar aku berlalu dari sini, siap
a pun di antara kamu
tidak dapat merintangi aku! Benarkah begitu, Pit Kheng Thian?"
"Benar begitu," Kheng Thian terpaksa mengangguk.
Keng Sim tertawa lebar. Ia mau percaya, biar bagaimana, Kheng Thian tidak bakal
menarik pulang kata-katanya, maka lantas ia menotok toaiiongtauw itu.
Kheng Thian sempurna tenaga dalamnya, selagi Keng Sim menotok, ia membantu denga
n tenaga dalamnya itu, maka tidak lama, ia merasakan napasnya jalan dengan lurus
, jalan darahnya tak tertutup pula, kecuali jalan darah teetjhong, tiga yang lai
n, ialah soankie, tionghoe dan Thiank-wat, semua pulih dengan lantas. Justeru it
u, mendadak terdengar suara berisik di luar
tangsi, yang mana disusul dengan lari masuknya Pit Goan Kiong dengan tergesa-ges
a, romannya gelisah.
"Tiauw Im Taysoe datang ke mari, dia mau lantas masuk, dengan membabi buta d
ia main mendamprat dan
menghajar orang!" ia melaporkan.
Kheng Thian terkejut, ia mengerutkan alisnya.
"Beng Tjiang, pergi kau menahan dia serintasan!" titahnya.
Baru pahlawan itu pergi, mendadak Keng Sim menghajar Kheng Thian hingga dia ini,
menyusuli jeritannya, roboh.
Semua orangnya Kheng Thian kaget, lantas mereka semua maju.
Keng Sim, sebaliknya, tertawa terbahak-bahak.
"Selesai sudah!" berkata dia. "Sekarang kau sudah bebas betul-betul, Keng Thian!
Apakah kau tidak sudi memegang janjimu?"
Kheng Thian berdiam sejenak, lantas dia mengasi dengar suaranya: "Biarkan mereka
pergi! Goan Kiong, Tjiang Tjin, kamu semua keluar membantui Beng Tjiang merinta
ngi si hweeshio edan!"
"Mana dapat kamu merintangi paman kakek guruku?" berkata Sin Tjoe, yang tidak la
ntas mengangkat kaki. "Nanti aku berbuat baik terhadap kamu, untuk membujuki dia
pergi!"
Tanpa menanti jawaban, dengan tertawa manis, nona ini bertindak keluar.
Keng Sim sudah lantas membuka
tindakan lebar, untuk mengintil di belakang orang.
Setibanya mereka di luar tenda, terlihat Tiauw I m Hweeshio, yang bersenjata ton
gkatnya, tengah mengamuk dengan senjatanya itu, ia menghajar roboh sejumlah pahl
awan
yang maju mengepungnya. Di situ pun dua ekor kuda putih, satu di antaranya ialah
Tjiauwya Saytjoe ma.
Beng Tjiang bersama Tjiang Tjin lantas maju. Tjiang Tjin itu pemimpin pasukan pe
ngawal
pribadi dari Pit Kheng Thian. Dia menggunakan sepasang kampak besar, suatu tanda
dari tangannya yang besar juga. Begitu datang dekat, dia lantas menyerang.
Di pihak sana, Tiauw Im adalah jago ahli luar, tempo dia mengadu kepandaian sama
Kioepoanpo di gunung Thiamtjhong San,
nyonya yang bertenaga
raksasa itu masih tidak dapat melawannya, maka itu dia mana memandang mata
kepada musuh ini.
"Bagus!" dia berseru seraya dia menggeraki tongkatnya menyambut kampak.
Keras sekali ketiga senjata benterok,
sampai kuping ketulian. Sebagai kesudahan dari itu, kedua kampak mental terbang
dan Tjiang Tjin merasakan kedua telapakan tangannya sakit sekali, sebab telapaka
n tangan itu pecah dan tubuhnya pun terhuyung-huyung.
Beng Tjiang gusar, ia maju. Tiauw Im berkelit, terus ia membalas menyerang. Tiga
kali ia menyapu. Orang she Kouw itu terus dapat menghindarkan diri. Ia menjadi
sangat
mendongkol. Maka ia lantas maju, memapaki satu cambukan, hingga
cambuk Beng Tjiang melibat lengannya.
Justeru itu ia berseru, ia mengerahkan tenaganya, waktu ia mengibas, cambuk itu
putus menjadi dua potong.
"Kelihatannya kau seorang gagah, aku tidak hendak membunuh kau!" berkata Tiauw I
m selagi orang tercengang. "Lekas kau suruh Kheng Thian keluar untuk bicara deng
anku!"
Sampai di situ, Sin Tjoe maju ke depan.
"Soepeetjouw, kau baik!" ia menegur seraya memberi hormat dengan lia
mdjim, dengan merangkap
kedua tangannya.
"Ha, kiranya kau semua ada di sini!" berkata paderi itu tertawa lebar. "Bagus! A
ku toh tidak salah, bukan? Yang salah ialah Pit Kheng Thian! Eh,
binatang, kenapa kau masih tidak hendak menyuruh Pit Kheng Thian keluar menemui
aku?"
Bentakan itu ditujukan kepada Kouw Beng Tjiang.
"Untuk apa soepeetjouw hendak menemui Kheng Thian?" Sin Tjoe menanya.
"Sebegitu jauh aku menganggap dia satu enghiong!" m e nj a w a b paman kakek-gur
u itu. "Tapi hari ini, setelah aku kembali dari Oentjioe dan bertemu Nona Leng d
i tengah jalan, baru aku dapat ketahui dialah seorang busuk. Hm! Kenapa dia mema
ksa Yap Tjong Lioe mengangkat kaki? Kenapa dia membinasakan Teng Gie Tjit? Benar
kah telah terjadi demikian?"
"Semua benar!" menyahut Sin Tjoe.
"Bagus!" berseru Tiauw Im. "Untuk dua hal ini aku hendak menegur kedosaannya!"
"Jikalau dia tidak mau menerima salah?" si nona menanya.
"Aku akan hajar dia mampus dengan
tongkatku ini!"
Sin Tjoe tertawa.
"Gampang untuk menghajar dia mampus!" ia berkata. "Habis, siapa nanti mengurus
tugasnya? Apakah soepeetjouw yang bakal menggantikan dia
menjadi toaiiongtauw?"
Paderi itu mementang lebar matanya.
"Siapa kesudian kedudukan toaiiongtauw ini?" katanya. "Aku pun tidak sanggup!"
"Memang begitu!" kata pula si nona, tetap tertawa. "Dengan
didesaknya Yap Toako hingga dia mengangkat kaki, hati tentera rakyat
sudah tidak
tenang kalau sekarang Pit Kheng Thian dihajar mampus, apakah tidak dikuatir nant
i mereka menjadi kacau sendirinya? Tidakkah beberapa laksa serdadu rakyat ini na
nti bubar tidak keruan paran? Ketika Yap Toako mau pergi, dia memesan wanti-want
i supaya kami memandang kepada kepentingan umum, jangan kita saling bunuh. Soepe
etjouw bertemu sama Entjie Leng di tengah jalan, dalam keadaan kesusu itu, tentu
lah Entjie Leng belum sempat menuturkan pesan Yap Toako itu. Benarkah begitu?"
Tiauw Im melengak.
"Ya, kau benar juga," katanya sesaat
kemudian.
Sin Tjoe tertawa, ia menyimpangi pembicaraan.
"Soepeetjouw, terima kasih banyak yang
kau telah membawakan kudaku ini," katanya. "Nah, marilah kita pergi!"
Melihat kesudahan itu, Beng Tjiang beramai senang juga hatinya. Tidak dinyana, h
anya dengan sedikit kata-kata, Sin Tjoe dapat meredahkan kemarahannya paderi itu
. Di lain pihak, memahamkan kata-kata si nona, mereka malu juga yang mereka suda
h membantu toaiiongtauw mereka yang pandangannya cupat itu, yang hanya mementing
kan diri
sendiri.
Tiauw Im tidak kata apa-apa lagi, ia putar kudanya untuk berlalu.
Keng Sim merampas seekor kuda, dengan itu ia menyusul si nona dan si paderi hing
ga belasan lie, di situ baru ia melihat mereka mengasi jalan kuda mereka dengan
perlahan-
perlahan. Ketika ia
sudah menyandak, ia dengar suaranya si nona.
"Soepeetjouw, kau hendak pergi ke mana?" demikian Sin Tjoe.
"Entahlah!" sahut Tiauw Im.
"Yang terang tidak dapat aku berdiam di sini!"
"Benar!" Keng Sim campur bicara. "Mereka saling rebut kekuasaan hingga keadaan m
enjadi kacau seperti langit roboh dan bumi melesak, kita baiklah jangan keciprat
an kekotoran mereka itu, paling benar kita mengangkat kaki jauh-jauh, supaya dir
i kita menjadi putih bersih!"
Sin Tjoe melirik tajam pemuda itu, hatinya tak puas. Ia sebenarnya mau membujuk
paderi itu pergi ke Toenkee, untuk membantui Seng Lim, tetapi melihat hati orang
masih
belum tenang dan Keng Sim pun mengatakan demikian, terpaksa ia membungkam.
Selagi mereka berdiam, dari samping mereka, di mana ada tikungan gunung, tiba-ti
ba muncul satu barisan serdadu.
Menampak itu,
Tiauw Im menjadi gusar.
"Bagus betul!" serunya. "Aku telah lepaskan Pit Kheng Thian, sekarang dia menyur
uh orang
menyusul aku!" Ia angkat tongkatnya ia memandang tajam.
Tapi segera ternyata, itulah Seng Hay San dan Tjio Boen Wan bersama hanya belasa
n serdadu berkuda, yang pakaiannya tidak keruan macam, yang romannya lesuh. Tera
nglah mereka tengah kucar-kacir.
"Eh, kenapa kamu jadi begini?" paderi itu menegur, heran.
Seng Hay San lebih dulu memberi hormat.
"Kami yang muda tidak punya guna, kami merasa sangat malu," ia menyahut. "Pasuka
n rakyat kami telah kena dikalahkan tentara
pemerintah, dari dua ribu jiwa, kita ketinggalan hanya tujuh belas orang..."
"Jikalau kita bertempur di air, kita dapat satu melawan sepuluh!" kata Boen Wan
dengan penasaran. "Kita justeru disuruh Pit Kheng Thian berperang di tanah pegun
ungan. Semua saudara kita, menunggang kuda pun tak mampu, maka itu mereka berkel
ahi cuma mengandalkan semangat mereka!"
"Meski begitu kami dapat bertahan sampai beberapa bulan," Hay San menambahkan. "
Tapi kerusakan kita hebat sekali, sudah tidak
ada bala bantuan, rangsum juga tidak ada. Apa kita bisa bikin? Aku hanya malu un
tuk bertemu orang-orang tua dari kampung halaman kita, karena aku pergi dengan d
ua ribu saudara tetapi sekarang kembali hanya dengan tujuh belas orang..."
"Hm, ini juga perbuatan bagus dari Pit Kheng Thian!" berkata Tiauw Im sengit.
"Syukur kamu bertemu sama kita!" Keng Sim turut bicara. "Kamu tak usah pulang la
gi kepada Pit Kheng Thian! Dia sudah memaksa Yap Tjong Lioe pergi, kamu dipandan
g orangnya Tjong Lioe, dengan pergi ke sana kamu seperti mengantari diri masuk k
e dalam jala!"
Seng Hay San melengak.
"Ah, sayang ayahku tidak ada di sini!" Boen
Wan mengeluh. Soeheng, kau pergi ke mana, sudah sekian lama kau tidak kelihatan?
Apakah kau tahu tentang ayahku?"
Parasnya Keng Sim merah sendirinya.
"Aku telah pergi ke Tali menemui Thio Tayhiap, baharu
beberapa hari yang lalu aku kembali," jawabnya. "Aku belum bertemu sama soehoe."
Tapi ia melihat pedang di pinggang Hay San, ia heran, hingga ia menanya: "Eh, m
engapa pedang soehoe ada pada kau?"
"Pedang ini Nona Ie yang berikan padaku," menjawab Boen Wan. "Karena aku tidak b
ertemu ayah, aku berikan itu kepada soeheng untuk ia yang menggunainya. Sebenarn
ya malam itu sudah terjadi apakah? Kenapa ayah pergi dengan cara
demikian mendadak? Kenapa pedang ini terjatuh ke dalam tangan Nona Ie? Sungguh a
ku tidak mengarti? Nona Ie, kau tentu dapat bicara sekarang?" achirnya ia tanya
Sin Tjoe.
"Pedang ini dirampas oleh Ouw Bong Hoe dari tangannya Law Tong Soen yang menjadi
komandan barisan pengawal raja," Sin Tjoe menerangkan.
"Ouw Peepee menyuruhnya aku menyampaikan kepada ayahmu. Sayang ayahmu itu sudah
pergi. Taruh kata aku berikan pedang ini pada ayahmu, mungkin dia tidak sudi men
erimanya..."
Boen Wan heran bukan main.
"Kenapa pedang ini terjatuh ke tangan Law Tong Soen?" ia tanya. "Kenapa ayahku
boleh
tak menginginkan pula pedang ini?"
"Tentang itu baik kamu tanyakan toasoeheng kamu,"
menyahut Sin Tjoe singkat.
Mendengar perkataan Sin Tjoe itu, mukanya Keng Sim menjadi merah. Memang kejadia
n mengenai
pedang itu sangat membuatnya tak enak hati. Pedang itu ia memintanya dari guruny
a dan diserahkan kepada Law Tong Soen karena Tong Soen memaksa ayahnya.
Pedang itu jadi ditukar dengan keselamatan jiwa ayahnya itu. Karena itu, hati Tj
io Keng To menjadi tawar, maka, juga ia tak sudi aku lagi Keng Sim sebagai murid
nya.
Sudah satu tahun lebih Keng Sim berduka karena itu, ia malu sendirinya, di luar
dugaan-
nya, sekarang Sin Tjoe menimbulkan itu di depan kedua adik seperguruannya itu. I
a menjadi tidak puas terhadap Sin Tjoe. Ia kata di dalam hatinya: "Aku rindu kep
adamu, untukmu beberapa kali aku pertaruhkan jiwaku, siapa tahu, sudah kau berla
ku tawar terhadapku, sekarang kau bicara begini di sini, membikin aku malu terha
dap kedua adik seperguruanku ini..."
Meski mendongkol, tetapi karena mengharap Nona Ie nanti berbalik pikir, ia tidak
berani mengutarakan kemendongkolannya itu.
Boen Wan cerdik, melihat romannya toasoeheng itu, ia menduga kepada sesuatu raha
sia, karena ia memangnya jeri terhadap toasoeheng itu, ia tidak berani menanyaka
nnya. Cuma karena itu
ia menjadi bercuriga.
Keng Sim pun kacau pikirannya, tetapi
kemudian ia kata pada Hay San: "Seng Soetee, baiklah kau serahkan pedang itu pad
aku, nanti apabila aku bertemu sama soehoe, akan aku yang menyerahkannya."
Sin Tjoe hendak mencegah tetapi Hay San sudah berkata: "Usiaku muda, aku tidak b
ijaksana, kepandaianku pun masih rendah, dengan membawa-bawa pedang ini, hatiku
tidak tenteram setiap siang dan malam, maka kalau sekarang soeheng yang menyimpa
nnya, itulah paling baik."
"Inilah pusaka keluarga Tjio," Sin Tjoe menyelak juga. "Boen Wan, kau berada di
dalam pasukan tentara, baiklah kau yang memegangnya untuk kau membela dirimu..."
Bukan main mendongkolnya Keng Sim, hatinya sangat panas. Nona Ie jadinya menyate
rukan dia.
Tapi Boen Wan, setelah bersangsi sebentar, memberikan penyahutannya.
"Terima kasih, entjie ," katanya. "Ayah pernah bilang, walaupun Tiat
Soeheng dari lain she, dia pintar melebihkan aku, maka itu ay
ah pesan, pedang ini di belakang hari baik diserahkan kepada soeheng da
n aku dipesan untuk jangan pikirkan itu. Kata-kata ayah itu mungkin
telah diucapkan juga kepada Tiat Soeheng. Jadi
adalah maksud ayah yang pedang ini harus diserahkan kepada Tiat Soeheng. N
ah, soeheng , kau terimalah ini!"
Nona Tjio lantas ambil pedang dari tangannya Hay San.
Inilah Keng Sim tidak sangka sekali. Siapa sangka, soemoay ini, adik seperguruan
wanita, demikian menghormati ianya. Hal ini membuatnya ingat budi gurunya. Ini
kembali membikin ia malu sendirinya, hampir saja air matanya mengalir keluar. Ka
rena ini, ia tidak dapat segera menyambuti pedang itu.
Boen Wan sendiri, yang memegang gagang pedang, mengangsurkan pedang itu.
Sin Tjoe lantas berkata dengan lebih dulu tertawa dingin: "Dengan mengandal kepa
da
pedang ini, Tjio Looenghiong telah
melakukan banyak
perbuatan mulia, maka itu, Tiat Kongtjoe, semoga kau tidak mensia-siakannya!"
Kembali mukanya Keng Sim bersemu merah. Tapi segera ia
berpikir: "Memang tepat orang gagah bersenjatakan pedang mustika! Dengan memegan
g pedang ini, kaum Rimba Persilatan pastilah
memandang aku. Aku harap, dengan
mengandali ini, di belakang hari aku dapat melakukan sesuatu
yang besar dan berharga, kalau kemudian aku bertemu soehoe, bisalah
aku bicara dengannya."
Karena ini ia ulur tangannya menyambuti pedang mustika itu.
"Boen Wan, Hay San, bagaimana
sekarang pikiranmu?" Sin Tjoe tanya pemuda dan pemudi itu.
"Kejadian ada begini di luar dugaan, aku pun tak tahu mesti berbuat apa sekarang
," menyahut Nona Tjio.
"Aku hendak pergi ke kota raja, dengan begitu aku bakal
melewati rumahku di Hangtjioe," Keng Sim turut bicara. "Di mana di sini pasti ba
kal terbit kekacauan hebat,
sebab Pit Kheng Thian tentunya bakal kalah dan runtuh, baik kamu jangan pernahka
n diri pula di dalam air keruh, baiklah kamu turut aku, untuk buat sementara wak
tu berdiam di rumah itu. Sesudah keamanan pulih, baru kamu pergi cari soehoe."
Sepasang alisnya Hay San terbangun. Nyata ia tak setujui pikiran Keng Sim itu.
Keng Sim masih hendak bicara tetapi Sin Tjoe telah dului ia.
"Memang Pit Kheng Thian tidak dapat didampingi pula," berkata nona ini. "Yap Sen
g Lim berada di Toenkee sekarang, dia lagi menghadapi sepuluh laksa serdadu peme
rintah, baik kamu pergi ke
Toenkee sana."
"Dengan Yap Toako aku belum pernah bergaul rapat," berkata Hay San, "tetapi aku
tahu dia laki-laki sejati dan setia kepada negara, kalau dia membutuhkan bantuan
, baiklah, aku nanti pergi ke sana untuk memberikan bantuanku. Adik Boen Wan, ba
gaimana dengan kau?"
"Kau pergi ke sana, aku tentu turut kau!" menyahut Nona Tjio tanpa bersangsi sed
ikit juga.
Keng Sim tidak mencegah meskipun ia kembali tak puas terhadap Sin Tjoe, bahkan i
a diam saja.
Hay San dan Boen Wan lantas memberi hormat, untuk mengambil selamat berpisah, la
lu dengan tujuh belas serdadu sisanya itu, mereka pergi menuju ke Toenkee.
Tjio Boen Wan sendiri, yang memegang gagang pedang, mengangsurkan pedang itu.
Dan Tiat Keng Sim ulur tangannya menyambuti pedang mustika itu.
"Dan kau, Sin Tjoe?" Tiauw Im lantas tanya Nona Ie.
Sin Tjoe berpikir sejenak.
"Soehoe dan soebo telah pergi ke kota raja, aku ingin menemui mereka," ia menyah
ut.
Mendengar ini, Keng Sim girang bukan kepalang.
"Kalau begitu, kita baiklah berjalan
bersama-sama!" katanya. Ia menyangka si nona suka mendengar pikirannya, untuk me
nyingkir dari kekacauan, ia tidak tahu. Sin Tjoe sebenarnya berpikir lain.
"Aku juga ingin bertemu sama Tan Hong, kalau begitu baik kita berjalan bersama,"
Tiauw Im pun berkata.
Sin Tjoe menyatakan akur meski tadinya ia memikir untuk minta soepeetjouw ini
pergi ke Toenkee untuk
membantui Seng Lim, ia
lantas mengubah pikiran kapan ia ingat Seng Lim cukup dengan dibantu In Hong dan
Hay San serta Boen Wan, sedang Tiauw Im, meskipun gagah, tabiatnya keras, mungk
in di sana dia nanti mengumbar hatinya tanpa ada orang yang dapat mengendalikann
ya. Ia juga ingat, dengan pergi ke kota raja, gurunya suami isteri itu bukannya
tidak menghadapi ancaman bahaya. Pula, dengan Tiauw Im ada bersama, Keng Sim ten
tulah tidak berani melibat
padanya...
Demikian bertiga mereka menuju ke kota raja.
Keng Sim tidak mau mensia-siakan ketika-nya, ia lantas mencari alasan untuk bisa
berbicara sama Nona Ie. Akan tetapi Sin Tjoe melayani ia dengan
tawar, si nona membawa sikapnya yang toapan, setiap diajak bicara mengenai dirin
ya, ia menyimpangkannya. Keng Sim menganggap dirinya pintar tetapi menghadapi si
kap si nona, ia putus asa. Ia mendongkol berbareng berduka. Lama-lama, hatinya m
enjadi tawar sendirinya. Biasanya ia memikirkan si nona, sekarang si nona ada di
dampingnya, ia tidak berdaya...
Pernah Keng Sim mencoba menyebut-nyebut Seng Lim. Atas itu, Sin Tjoe tetap memba
wa sikap tawar, acuh tak acuh, hanya setiap kali nama Seng Lim disebut, matanya
memperlihatkan sinar terang. Sinar ini dapat dilihat Keng Sim, pemuda ini menjad
i tidak enak hati. Ia menjadi jelas. Ia menduga hati si nona
ada pada Seng Lim. Bukankah Sin Tjoe selalu berdaya akan membantui Seng Lim itu?
Karena perlakuan Nona Ie ini,
kadang-kadang ia ingat Bhok Yan, si nona puteri pangeran. Nona Bhok itu nampakny
a mengarti ia, si nona suka bergaul dengannya. Puteri Bhok Kokkong itu pun canti
k dan pintar. Dibanding dengan Sin Tjoe, Bhok Yan lebih mentereng. Sin Tjoe mend
atangkan kehormatan, Bhok Yan menyebabkan orang suka kepadanya. Pula, berada ber
sama Sin Tjoe, ia seperti merasa dirinya rendah,
sebaliknya mendampingi Bhok Yan, ia merasakannya agung. Dan karena riang, hatiny
a pun berbareng menjadi tenang.
Dengan lewatnya hari-hari, dengan perja-
lanan makin jauh, atau lebih benar, perjalanan makin dekat kepada tujuan, Keng S
im merasa ia terpisah makin jauh dari Sin Tjoe, mereka agaknya makin renggang.
Cuma Tiauw Im yang tidak tahu apa-apa yang tidak bercuriga, ia hanya menganggap
muda-mudi itu sebagai Kimtoong dan Gioklie, muda-mudi suci yang polos.
Pada suatu hari tibalah mereka di perbatasan Tjiatkang. Itu pun batas di antara
tentera pemerintah dan pasukan rakyat suka rela. Karena itu, tempat itu menjadi
sunyi, sangat jarang orang berlalu-lintas di situ. Lama mereka berjalan, baru me
reka menemui sebuah kedai teh. Kedai itu miliknya seorang nyonya tua, yang anakn
ya laki-laki ditarik
jadi tukang urus kuda serdadu pemerintah. Nyonya ini sudah tua, sulit untuk ia m
elarikan diri. Tadi-tadinya pun sudah sering ia mengungsi, ia telah merasakan ke
sengsaraan, maka kali ini ia berdiam saja.
Tiauw Im bertiga mampir di kedai ini, untuk membasahkan tenggorokan yang
sudah kering. Sembari minum, mereka pasang omong sama si pemilik yang tua.
Tiba-tiba ada dua orang lewat di depan kedai itu.
"Kuda yang bagus! Kuda yang bagus!" satu di antaranya berkata-kata. Suaranya ada
suara orang Utara yang kaku.
Sin Tjoe mengangkat kepalanya, untuk menoleh. Ia lihat seorang dengan dandannya
bangsa Mongolia,
tubuhnya kasar dan keren. Dia ada bersama seorang kate dan kecil, yang dandan se
bagai pesuruh atau oppas.
***
Nona Ie segera berpikir. Ia seperti mengenali oppas itu, entah di mana ia pernah
bertemu dengannya. Tak lama ia berpikir. Ia ingat kejadian dua tahun dulu, di s
ebuah rumah makan di tepian utara sungai Tiangkang. Lantas ia ingat kepada Tie H
ian, siewie atau pahlawan raja yang bersenjatakan golok, yang pernah membantu Gi
elimkoen Tongnia Law Tong Soen coba menawan Tjioe San Bin suami isteri.
Tie Hian juga segera mengenali Nona Ie, ia terkejut. Ia pernah
merasakan tangannya nona itu. Tapi ia mencoba berlaku
tenang, dengan tidak mengentarakan sesuatu, ia ikut si orang Mongolia mampir unt
uk minum teh di kedai itu.
Begitu sudah berduduk, mata si orang Mongolia terus diarahkan kepada Nona Ie. Ti
ba-tiba dia tertawa dan berkata: "Kamu kaum wanita di Selatan Tionggoan sangat
cantik dan halus, jikalau kamu berada di gurun pasir kami, pastilah kamu diangka
t dibawa terbang angin gurun!"
Tiauw Im memandang tajam, ia mendongkol.
Sin Tjoe melihat itu, ia melirik, mengedipi, untuk mencegah.
"Adakah kamu datang dari gurun pasir?" nona ini menanya sambil tertawa. "Sung
guh
suatu perjalanan yang
jauh!"
Gembira si orang Mongolia karena si nona suka melayani ia bicara.
"Benar!" sahutnya. "Aku datang sengaja untuk menyaksikan
keindahannya Tionggoan, maka sayang sekali aku bertemu sama saat peperangan. Non
a,
adakah kau datang dari Selatan?"
"Benar," menyahut si nona.
"Apakah kau tidak kuatir penjahat nanti tangkap dan bawa kau lari untuk dijadika
n ratu gunung?"
"Siapa bilang, mereka kawanan penjahat? Merekalah tentera
rakyat suka rela, yang terhadap rakyat
bersikap ramah tamah!"
"Benarkah itu? Ada orang bilangnya demikian kepadaku, aku masih kurang percaya..
. Eh, ya, katanya pula ada seorang berandal
wanita berpelangi
merah, yang liehay sekali. Benarkah itu?"
Untuk sejenak, Sin Tjoe heran, tetapi ia lekas memberikan jawabannya.
"Benar! Aku sendiri pernah bertemu dengannya. Dialah yang dipanggil Leng In Hong
. Apakah kau kenal dia?"
"Aku sendiri tidak kenal dia," menjawab orang Mongolia itu sambil berbangkit
berdiri, "tapi ada beberapa sahabatku yang bulan lalu berangkat ke Selatan untuk
mencari dia."
"Siapa-siapakah beberapa sahabatmu itu? Mengapa mereka mau mencari dia?"
"Ah, nona, kau sangat ketarik sama hal-hal aneh! Perlu apa kau usil segala urusa
n kaum kangouw? Ah, kau yang bertubuh begini lemah hingga angin pun
akan meniup roboh padamu, kau pun membawa-bawa pedang? Apakah kau mengarti ilmu
silat?"
"Mengarti sih tidak, hanya di kolong langit ini banyak sekali manusia busuk, mak
a itu aku membawa-bawa pedang untuk membela diriku. Ini toh baik bukan?"
Orang Mongolia itu tertawa.
"Hanya kecewa pedang itu! Bicara terus terang, coba kau bukannya seorang nona ma
nis, hingga tak suka aku mengganggunya mungkin aku pun bakal jadi si orang busuk
, untuk satu kali ini saja."
Sin Tjoe berpura-pura terkejut.
"Apa?" tanyanya. "Kau seorang manusia busuk?"
"Kami orang-orang gagah bangsa Mongolia, kami paling gemarn de-
ngan golok atau pedang mustika. Untuk kami, merampas pedang dan golok, adalah pe
kerjaan paling umum. Tetapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku merampas pedang i
ni."
Sembari berkata begitu, orang Mongolia ini bertindak mendekati, dengan kedua mat
anya yang tajam, ia menatap wajah orang.
"Kau begini cantik manis sedap dipandang," katanya pula, "kau mirip apa yang dik
atakan dalam
dongeng kami, ialah bidadari dari gunung Himalaya."
Sementara itu ia telah datang dekat ke meja si nona.
"Ah, kau ngaco belo!" kata Keng Sim nyaring. Tidak senang ia dengan omongan dan
tingkah orang Mongolia ini. "Kau berani mengganggu anak gadis
orang?"
"Pandanganmu cupat sekali!" menyahut si orang Mongolia tertawa. "Di tempat kami
di sana, siapa mempunyai isteri cantik, jikalau lain orang memandangnya, yang me
njadi suaminya justeru girang sekali! Adakah kau suaminya nona ini?"
"Sudah, jangan ngaco belo!" Sin Tjoe menyelak. "Ya, hendak aku tanya kau."
Orang Mongolia itu mengawasi Keng Sim.
"Ah, kiranya kau bukan suami dia!" katanya. "Dengan
begitu, toh tidak ada halangannya untukmu untuk aku memandangi dia, bukan? Eh, k
au satu anak sekolah yang bertubuh lemah, kau pun membawa-bawa pedang?"
Keng Sim bangkit berdiri.
"Apakah? Apakah matamu panas?" dia menanya.
Orang Mongolia itu tertawa lebar.
"Tidak salah!" sahutnya. "Aku tidak berniat merampas pedangnya si nona, aku just
eru ingin merampas pedangmu!"
Keng Sim tertawa dingin, lantas ia menggeraki tangan
kirinya, untuk mem-bangkol lengan orang. Inilah satu jurus terliehay dari tiga p
uluh enam jurus ilmu silat "Taykim Tjioe." Dengan ini ia hendak membanting roboh
orang Mongolia itu sambil berbareng membikin patah tangannya. Ia bertindak cepa
t sekali dan telengas. Tapi ia membentur sebuah
lengan yang keras bagaikan besi, tempo si orang Mongolia mengibas, ia lompat ser
aya terus menyambar
sebuah bangku untuk dipakai menangkis.
Maka "Brak!" bangku itu kena terhajar patah!
Orang Mongolia itu tertawa terbahak.
"Ha, kau kiranya mengerti juga ilmu silat!" katanya. "Inilah bagus!"
Ia segera maju satu tindak, tangannya
menyerang.
Keng Sim mencelat melompati loneng, maka itu, kepalan si orang Mongolia mengenai
tihang, hingga tihang itu menerbitkan suara nyaring dan miring.
Menampak demikian, Tiauw Im mengangkat tongkatnya dengan apa ia menahan tihang i
tu untuk terus ditolak, maka tihang itu tidak sampai roboh.
"Eh, binatang, kau tidak memakai aturan!" kata paderi ini mendongkol. "Sudah tid
ak seharusnya kau hendak
merampas pedang
orang, kau juga merusak kedainya wanita tua ini!..."
Tiauw Im tentu sudah turun tangan kalau tidak Sin Tjoe lekas mengedipi mata
padanya.
Si orang Mongolia tercengang menampak gerakan si paderi. Tapi cuma sebentar, lan
tas ia berkata nyaring: "Apakah soal layak atau tidak layak? Lihatlah harimau di
bumi, dia menerkam kambing! Tuhan menghidupi
berlaksa benda atau machluk, itulah diperan-tikan untuk dirampas si menang dan s
i kuat! Bagus, kau tidak senang, tetapi tunggu sebentar, hendak aku membereskan
dulu
bocah ini, baru kita main-main!"
Tubuh orang Mongolia ini besar dan kasar, tetapi nyata dia gesit
sekali, dengan satu lompatan dia melewati loneng, dia seperti telah l
antas berada di belakangnya Keng Sim.
Keng Sim tidak berdiam saja, dengan sebat ia menghunus pedangnya, pedang mustika
Tjio Keng To yang didapat dari istana kaisar, dengan itu ia membabat ke kepala
orang, sedang sinarnya pedang berkelebatan menyilaukan mata.
Orang Mongolia itu terkejut, ia berkelit mendak, tetapi walaupun ia sangat gesit
, tidak urung rambutnya kena dibabat kutung.
"Pedang yang bagus!" ia memuji setelah kagetnya itu.
"Ya, pedang yang bagus!" jawab Keng Sim. "Kalau kau bisa, kau rampaslah!"
Beruntun tiga kali, anak muda ini menyerang pula.
Orang Mongolia itu mengelakkan diri, ia tidak takut, masih ia dapat berkata: "Di
antara orang Han, ilmu silatmu ini jarang tandingannya, meski demikian, kau mas
ih tidak tepat memegang pedang itu!"
Setelah itu, ia membalas menyerang. Ia pun menyerang saling susul hingga tiga ka
li, hingga Keng Sim tidak dapat merangsak maju.
Dua-dua pihak menjadi heran dan saling mengagumi. Keng Sim kagum untuk kepandaia
n si orang Mongolia, dan si orang Mongolia heran si anak sekolah yang nampaknya
lemah itu sebenarnya liehay ilmu pedangnya.
Mereka bertempur terus, hingga sebentar kemudian lewat sudah lima puluh jurus. S
ekarang terlihat nyata
si orang Mongolia semakin garang sedang Keng Sim, tak perduli ia bersenjatakan p
edang mustika, kena terdesak, hingga ia kewalahan sekali. Setelah itu si orang M
ongolia mengasi dengar suaranya yang nyaring dan aneh, kedua matanya pun merah s
eperti api, dengan bengis dia berlompat maju!
Sin Tjoe melihat cara berlompatnya si orang Mongolia, ia terkejut hingga ia bers
eru: "Toamo Sinlong!"
Mendengar seru- an itu, si orang Mongolia heran, tetapi justeru itu, Keng Sim me
ndapat bernapas, hingga ia dapat menghalau
ancaman bahaya. Kalau tidak, celakalah lengannya, yang disambar lawannya itu. Me
ski begitu, ia toh kena juga terbentur, hingga ia merasakan panas
seperti dibakar, hingga hampir ia membuatnya pedangnya terlepas.
Orang Mongolia itu berhenti menyerang, bahkan dia mundur tiga tindak.
"Eh, kau siapakah?" ia tanya si nona.
"Toamo Sinlong!" menyahut Sin Tjoe. "Kau tidak kenal aku, aku sebaliknya kenal k
au!"
Orang Mongolia ini memanglah Hamutu yang dikenal dengan julukannya itu. Toamo Si
nlong berarti Serigala Sakti dari Gurun Pasir. Dia memang sangat terkenal di gur
un Utara tetapi sampai di Tionggoan barulah ini kali. Dia heran yang nona itu me
ngenali padanya. Karena ini, batal ia merampas pedang Keng Sim, dia terus kembal
i ke ruang dalam, matanya mengawasi si nona.
Sin Tjoe berbangkit, ia bersenyum.
"Apakah kau ingin ketahui aku siapa?" ia menanya.
"Memang aku ingin ketahui, nona, mengapa kau kenal aku," menyahut orang Mongolia
itu.
"Baiklah. Maukah kita bertaruh?"
"Bagaimana?"
"Kita main-main!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Bukankah kau mentertawai aku
seorang nona yang tak kuat menahan tiupan angin? Bukankah kau telah memikir untu
k merampas pedangku? Nah, begitulah kita bertaruh! Jikalau kau dapat merampas pe
dang di tanganku, aku akan menyerahkan
pedangku ini padamu. Kalau kau yang kalah, maka kau mesti menjawab aku, satu pat
ah demi satu patah tak boleh kau mendusta
setengah patah juga!"
Toamo Sinlong tertawa lebar.
"Nona kecil, kau berani main-main denganku? Sebenarnya siapakah kau? Kalau ini b
apak paderi yang main-main denganku, tak ada yang dapat dibilang lagi, tetapi ka
u? Haha! Walaupun aku Toamo Sinlong ada kalahnya tidak
mengenal aturan, tetapi tidaklah sampai aku menghina satu nona kecil!"
Sin Tjoe tertawa menyindir.
"Bapak paderi ini jauh terlebih kuat daripadamu!" katanya. "Kalau kau menempur d
ia, belum habis sepuluh jurus, jiwamu pastilah lenyap. Maka lebih baik kau berta
ruh denganku ! Beranikah kau tidak memandang mata padaku? Oh, sia-sia belaka
tenagamu
yang besar, gelaranmu sebagai jago dari gurun pasir! Aku tidak takut padamu! Cob
a tidak ada pertanyaan, yang aku hendak ajukan kepadamu, sungguh, tak sudi aku b
ertaruh denganmu!"
Toamo Sinlong menjerit bahna mendongkolnya. Ia percaya betul atas tenaganya yang
besar dan kepandaian ilmu silatnya. Di masa mudanya ia telah bertemu seorang pa
ndai, ia dididik dalam ilmu tenaga dalam, ilmu silat tangan kosong dan bersenjat
a, selama dua puluh tahun menjagoi di gurun, belum pernah ia menemui tandinganny
a, siapa sangka sekarang ia dilihat tak mata oleh ini nona.
"Baiklah, nona kecil!" serunya. "Kau tidak mengetahui langit tinggi dan bumi t
ebal, nanti
aku rampas dulu pedangmu, baru aku melayani itu paderi!"
Dari kata-kata dan sikapnya, orang
Mongolia ini sangat memandang enteng si nona.
"Eh, Sin Tjoe, kau jangan bikin dia terluka parah!" pesan Tiauw Im kepada si non
a. "Sebentar biarlah aku dapat bermain-main dengannya!"
Kata-kata ini pun suatu hinaan untuk jago gurun itu, yang tak dipandang mata sed
ikit juga. Maka itu, bukan main gusarnya ia. Dengan lantas ia mementang kedua
tangannya, untuk
menubruk si nona.
"Di sini toyamu!" berkata Tie Hian, si orang kate yang menjadi kawannya,
yang hendak memperingati kawannya untuk jangan berkelahi dengan
tangan kosong. Tapi dia belum sempat menghentikan kata-katanya itu ketika suatu
sinar kuning emas berkelebat, menyusuli gerakan
tangan kirinya Sin Tjoe, lalu dia kena dihajar kimhoa pada
dengkulnya, seketika itu juga dia roboh terguling hingga dia tak dapat mer
ayap bangun pula.
Tie Hian memperdengarkan suaranya seraya melemparkan longgee pang, toyanya si or
ang Mongolia, karena serangannya Sin Tjoe itu, toya itu meluncur terus. Dengan s
ebat Sin Tjoe berlompat maju, untuk menanggapi senjata orang, setelah mana ia be
rkata dengan dingin: "Sekarang aku mengasi kau tinggal hidup, untuk kau menjadi
saksi! Eh, Toamo Sinlong, apakah kau menyangka aku senang melayani kau
dengan kau bertangan kosong? Nah, ini toyamu, kau ambillah!"
Toamo Sinlong terkejut. Di luar dugaannya, tubrukan-nya barusan mengenai sasaran
kosong. Dan sekarang ia melihat, di samping robohnya Tie Hian, toyanya pun dise
rahkan padanya. Dengan sendirinya, muka dan kupingnya menjadi merah. Dalam kesan
gsiannya, untuk menyambuti toyanya itu, ia menampak ber-kelebatnya si nona, yang
berlompat maju dengan pedangnya diarahkan ke dadanya. Ia terkejut pula, karena
ia mengarti ancaman bahaya itu. Dengan sebat ia bergerak untuk menutup diri berb
areng membangkol tangan si nona. Hanya kembali ia kecele.
Sin Tjoe tertawa, ia menarik pulang pedang-
nya, di sebelah itu, ia menyodorkan toya
orang, maka mau atau tidak, Toamo Sinlong mencekalnya itu!
"Bagus!" seru si nona. "Kita sekarang sama-sama memegang senjata! Jadi kita tida
k kipa! Nah, kau berhati-hatilah menyambut aku!"
Sin Tjoe segera menyerang dengan Tjengbeng kiam, ujung pedangnya itu dengan sali
ng susul mencari dua jalan darah tjiangboen di kiri dan hoantiauw di kanan. Heba
tnya gerakan itu bagaikan berbareng.
"Bagus!" Hamutu berseru. "Kau berani pentang mulut besar, kiranya ilmu pedangmu
berada di atasannya bocah itu!" Dia terus mainkan toyanya,
hingga anginnya
menderu-deru. Bukan saja toya itu terbuat daripada baja pilihan,
jurusnya pun terdiri dari seratus delapan semuanya bersifat keras, maka
toya itu tak takuti pedang mustika.
Sin Tjoe tidak sudi keras melawan keras, ia main berkelit. Ia menggunai tipu sil
at "Tjoanhoa djiauwsie," atau "Menembusi
bunga, memutarkan pohon." Ia bergerak sangat lincah seperti cecapung
menyambar-nyambar air.
"Kenapa kau tidak berani menyambuti?" tanya Hamutu berseru. Tapi baru ia membuka
mulutnya, atau ia mesti memutar tubuhnya, karena si nona, yang tidak melayani i
a bicara, mendadak berlompat ke samping terus ke belakangnya. Maka
perlu ia membela diri seraya terus menyerang juga, untuk menghajar peda
ng lawannya.
Kembali ia keboge-
han. Toyanya itu menangkis angin, sedang si nona, yang berlompat ke sampingnya,
lagi-lagi menyerang padanya.
Demikian Sin Tjoe berlompat, berputaran, gesit dan lincah.
Dalam sengitnya, Toamo Sinlong menghajar dengan toyanya. Untuk kesekian kalinya,
si nona dapat berkelit, maka sekarang mejalah yang menjadi sasaran toya, hingga
meja itu ambruk!
Si nyonya pemilik kedai terkejut, ia sangat menyayangi mejanya itu, maka di sebe
lah menjerit-jerit, ia pun memaki dan mengutuk kalang
kabutan.
Hamutu tidak mem-perdulikan si nyonya tua, hanya ia lebih memerlukan berlompat k
e luar loteng.
"Mari kita bertempur di luar!" ia menantang
sambil menggapai.
"Baik!" menyambut Sin Tjoe. "Akan aku membuatnya kau puas takluk!" Dan ia lompat
menyusul. Bahkan terus ia menikam ke punggung.
Hamutu dapat belajar cerdik sekarang. Ia menutup diri. Di atas ia mainkan "Soath
oa
kayteng," atau "Bunga salju menutup embun-embunan," di bawah ia menancap diri de
ngan "Kouwsie poankin," atau "Pohon kering melingkar akar."
Tetap Sin Tjoe dengan caranya berkelahi perputaran, saban ada ketikanya, baru ia
menyerang. Karena ini, tetapi Hamutu lebih banyak membela diri. Lama-lama kewal
ahan juga jago gurun pasir ini, tak dapat lagi ia membalas menyerang, malah sete
lah seratus jurus lewat, napasnya
mulai sengal-sengal.
Keng Sim menonton dengan melengak. Tidak ia sangka Nona Ie maju demikian pesat.
Tadi ia tidak senang mendengar orang Mongolia mengatakan ilmu
silatnya kalah daripada si nona, sekarang ia menjadi heran dan kagum, ia likat s
endirinya.
Sin Tjoe sendiri berkelahi sambil otaknya bekerja.
"Toamo Sinlong benar liehay tetapi dia mana dapat menjadi lawannya entjie In
Hong?" demikian
pikirnya. "Ilmu pedang entjie In Hong ada buah pengajarannya Hok
Thian Touw, maka itu, mustahil dia ini dapat membinasakan pemuda she Hok itu? La
ginya dia ini, walaupun suka dia berbuat tak pantas, dia bukannya seorang
jahat..."
Tengah si nona berpikir, terdengarlah seruan Tiauw Im: "Eh, jangan kau bikin dia
mampus karena letihnya! Aku masih hendak main-main dengannya!"
Sin Tjoe tertawa.
"Baiklah!" ia memberi penyahutan. "Di dalam tempo tiga jurus, akan aku bikin dia
berlutut dan minta-minta
ampun!"
Toamo Sinlong mendongkol bukan kepalang, hingga ia berkaok-kaok. Ia merasa sanga
t dihina. Dengan gerakan "Loeitian kauwhong" atau "Guntur dan kilat bertempur,"
ia membuatnya senjatanya bergerak satu seperti sepuluh, dengan begitu rapat seka
li ia mengurung dirinya. Ia berseru: "Baiklah!
Hendak aku lihat bagaimana dalam tiga jurus kau merobohkan aku! Kecuali akulah s
atu
mayat!"
"Jangan kau gusar tidak keruan!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Kau menjagalah baik-
baik!"
Nona ini lantas menyerang, sinar pedangnya berkelebatan.
"Kau hedak keras lawan keras, itu artinya kau cari mampus!" pikir Hamutu. Ia ter
us mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membikin gerakan toyanya bertambah hebat.
Mendadak sinar kuning emas menyilaukan mata Hamutu.
"Hai, bocah, banyak sekali tingkahmu!"
berseru Toamo Sinlong. Ia menggunakan toyanya menghajar jatoh tiga kuntum bunga
emas. Lantas ia tertawa dan kata dengan nyaring: "Kau menggunai senjata
rahasia? Tidak, aku tidak takut!"
Selagi orang mem-
buka mulut, Sin Tjoe menyerang pula.
Dengan pedangnya ia menikam berbareng dengan itu tangan kirinya mengayun lima bu
ah kimhoa, bunga emasnya itu.
Sebuah kimhoa melesat ke atas kepalanya Hamutu, membikin kulit kepalanya lecet.
Kaget orang Mongolia ini, meskipun empat yang lainnya dapat ia singkirkan. Ia te
rkesiap hatinya tapi ia berpikir: "Tinggal lagi satu jurusnya. Baiklah aku menja
ga saja senjata rahasianya, aku menyingkir dari pedangnya..."
Sin Tjoe tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya itu. Sambil berseru, kemba
li ia menyerang, pedang bareng dengan bunga emas. Karena kali ini ia menggunai t
ipu "Thianlie sanhoa," atau "Bidadari
menyebar bunga," maka bunga emasnya itu terdiri dari satu raup.
Sebagaimana biasa, Hamutu membela dirinya, mengurungnya dengan toyanya. Maka tak
hentinya suara benterokan, toya
terhajar bunga emas, atau bunga emas tersampok toya dan runtuh.
"Tiga jurus telah lewat, bagaimana?" bertanya Hamutu sambil tertawa. Tapi, baru
ia menanya demikian, atau untuk kagetnya ia mendapatkan, bunga-bunga emas yang t
ersampok toya itu pada balik kembali menyerang padanya. Ia kaget, sedang itu wak
tu baru saja ia habis menggunai
seluruh tenaganya. Ia mencoba mengurung diri pula hanya kali ini ia gaga
l. Sebuah kimhoa tepat mengenai lutut-
nya, di jalan darah hoantiauw, maka itu tidak tempo lagi, kedua lututnya itu men
jadi lemas, hilang tenaganya, tanpa merasa, ia jatuh dengan berlutut. Ia tentu t
idak ketahui si nona kali ini menyerang dengan ilmunya seperti boomerang.
"Bagaimana?" tanya si nona, tertawa. "Aku membilangnya tiga
jurus, tetapi sebenarnya baru dua jurus setengah!"
Hamutu tidak lantas menjawab, ia hanya mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membeb
askan diri dari totokan bunga emas, setelah mana ia berlompat bangun.
Tentu saja ia merasa sangat tidak puas.
Sin Tjoe mengawasi dengan tertawa dingin.
"Kelihatannya kau tidak puas!" ia berkata. "Kau bertenaga besar,
Ie Sin Tjoe tengah bertarung dengan si orang Mongol, Toa-Mo Sin Long.apakah kau
suka main-main sama bapak suci ini?"
"Memang aku ingin belajar kenal dengannya!" sahut Hamutu nyaring. "Kalau aku kem
bali kena dikalahkan, aku akan pulang ke Gurun Utara, untuk selama-lamanya tidak
nanti aku datang pula ke Tionggoan!"
Tiauw Im pandang orang Mongolia itu.
"Kau sudah sangat letih, baik kau beristirahat dulu," ia bilang. "Laginya kau te
lah merusaki perabotnya nyonya tua ini, baiklah kau berhitungan dulu dengannya,
untuk
membayar gantian
kerugiannya. Dia berdagang secara kecil, dia tentu bakal rugi besar..."
Hamutu gusar sekali.
"Keledai botak, kau berani menghina aku?" ia berteriak. Ia merogo sakunya, ia me
ngeluar-
kan sepotong perak besar, ketika ia timpuki itu ke meja, perak itu melesak masuk
ke kayu meja. "Bukankah perak itu cukup untuk membayar kerugiannya? Nah, marila
h kita mulai! Mari kita mengadu tenaga!"
Tiauw I m Hweeshio tidak lantas menyahuti, hanya dengan perlahan ia menepuk ke m
eja, atas mana potongan perak tadi mencelat naik.
"Apakah sekarang juga kita mulai?" ia menanya, sabar.
"Baiklah! Aku tidak mau menang sendiri. Begini saja..." Ia menancap tongkatnya k
e tanah, lalu dengan sebelah tangannya ia memegangi gagang tongkatnya itu, ia me
nambahkan: "Kau gunai kedua tanganmu, kau cabut ini, asal kau bisa mencabut
hingga
separuhnya saja, kaulah yang menang!"
Hamutu gusar sekali. Ia merasa sangat terhina.
"Perlu apa sampai menggunai dua
tangan?" katanya. Ia menyampok dengan sebelah tangannya.
Tongkat itu tidak bergeming, bahkan ada seperti tenaga balik, tangannyalah yang
bergemetar sesemuatan.
"Lebih baik kau menggunai dua-dua tanganmu!" kata Tiauw Im tertawa.
Mukanya Hamutu menjadi merah. Sekarang ia memasang kuda-kudanya. Sambil berbuat
begitu, ia mengerahkan tenaganya, lalu dengan kedua tangannya, ia memegang tongk
at itu. Ia sudah mencabut dengan semua tenaganya, tongkat tetapi tak bergeming.
"Jikalau kau sangat memaksakan tenagamu, kau bakal mendapat luka di dalam," Tiau
w Im memberi ingat. "Kelihatannya kau satu laki-laki sejati, maka kau pergilah!"
Paderi ini menyentuh tongkatnya itu, yang masih dipegangi si orang Mongolia, ata
s mana jago gurun pasir ini terpelanting jatuh. Dia menjadi gusar, dia menyambar
toyanya. "Mari!" dia menantang.
Tiauw Im tertawa tetapi ia menggeleng kepala.
"Sungguh kau galak!" katanya. "Inilah yang dibilang, tak ada obat untuk mengobat
inya! Kau telah diberi ampun, kau masih tak sadar!"
Mendadak paderi ini mengulur tangannya, menyambar ke arah toya.
Liehay Hamutu tetapi tak berdaya ia meng-
hindarkan diri, toyanya itu kena dirampas.
Tiauw Im bawa toya itu ke dengkulnya, terus ia menekan, maka sekejab saja, baja
potongan itu menjadi bengkok melengkung. Lalu, sambil tertawa, ia melemparkannya
ke tanah, hingga toya itu masuk ke dalam tanah hampir mendam semua!
Baru sekarang Toamo Sinlong menjadi sangat lesuh. Habis sudah kegagahannya. Insa
flah ia sekarang, orang gagah ada lagi yang melebihkan gagahnya.
"Baik," katanya
menghela napas. "Kau hendak tanya apa? Tanyakanlah!"
"Ada seorang bernama Hok Thian Touw," tanya Sin Tjoe. "Benarkah kau yang membunu
h dia itu?"
"Siapa itu Hok Thian Touw?" jawab Hamutu, "Aku tidak kenal dia!"
"Benarkah kau tidak kenal dia?" tanya Sin Tjoe, yang menjadi kegirangan. Tapi ia
masih bersangsi. "Bukankah Hek In Tay itu sahabatmu?"
"Kalau dia, benar."
"Bukankah kau yang menghendaki dia
mencari Leng In Hong?"
"Mereka sendiri yang pergi mencarinya."
"Apakah kau tahu kenapa mereka pergi cari Leng In Hong?"
"Hek In Tay itu mau berjual beli denganku." "Jual beli apakah itu?"
"Aku mendapat sebuah kitab ilmu pedang, kelihatannya bagus ilmu itu, tetapi kita
bnya aku tidak mengarti. Aku periksa itu bersama Hek In Tay beramai. In Tay bila
ng itulah sarinya ilmu pedang. Ia bilang juga, kalau semua belasan kitab itu bis
a didapatkan dan dipelajari, tak sukar untuk
menciptakan sebuah ilmu pedang yang menjagoi sendiri di kolong langit ini. Aku t
anya, bagaimana bisa dapat lengkap kitab itu. In Tay mengarti huruf Tionghoa. Ia
membilangi aku, menurut catatan di bagian belakang kitab itu ada penjelasan bah
wa kitab yang lainnya berada di tangannya seorang wanita bernama Leng In Hong. N
ona itu ia kenal. Karena ini ia membuat perjanjian dengan aku, jual beli seperti
aku katakan barusan. Ialah ia pergi mencari kitab yang berada di tangannya Leng
In Hong, apabila ia berhasil, kita akan sama-sama me-mahamkannya."
Sin Tjoe girang berbareng berduka.
"Kau sendiri, bagaimana caranya kau mendapatkan kitab
pedang itu?" ia tanya,
suaranya rada
menggetar.
"Itulah kejadian pada suatu hari. Di tengah-tengah gurun pasir aku bertemu seora
ng muda. Dia keurukan pasir. Aku lantas menolongi dia. Sayang sudah terlalu lama
dia terurukan, napasnya tinggal
setarikan-setarikan saja. Dia rupanya mengarti yang dia tidak bakal hidup lebih
lama, maka di saat ajalnya itu, dia menyerahkan kitab itu padaku dengan minta ak
u menyampaikan ke Pataling kepada seorang... Ia belum menyebutkannya nama orang
itu, napasnya sudah berhenti. Karena aku tidak tahu, siapa itu yang mesti dicari
, aku simpan saja kitab itu. Aku hendak rampas pedangnya ialah supaya aku bisa m
eyakinkan kitab ilmu pedang itu, agar aku menjadi ahli
pedang tanpa tandingan."
Sin Tjoe menggigil sendirinya, ia merasakan hatinya sangat dingin.
"Mana kitab itu?" ia menanya pula.
Hamutu bersangsi tetapi ia merogo juga ke sakunya. Ia mengeluarkan sejilid buku.
"Aku telah terkalahkan olehmu, jikalau kamu menghendaki
kitab ini, aku tidak bisa bilang apa-apa,"
katanya.
Tanpa banyak omong lagi, Sin Tjoe
menyambuti kitab itu, ia membalik-baliknya dengan cepat. Ia mendapat kenyataan,
semua huruf kitab sama dengan huruf-huruf dalam surat palsunya Hek In Tay. Jadi
benar katanya In Hong bahwa itulah surat palsu. Jadi kitab ini benar tulisannya
Hok Thian Touw
sendiri.
"Benarkah Hok Thian Touw telah menutup mata?" ia menanya dirinya sendiri. Ia mau
percaya Hamutu tetapi ia tetap ragu-ragu. Maka terus ia pegangi kitab itu, hati
nya yang dingin bagai membeku itu bekerja terus. Ia seperti kehilangan
semangatnya.
"Sin Tjoe, kau kenapa?" tanya Keng Sim kaget.
Sin Tjoe mendengar seperti tidak mendengar, dengan mende-long ia mengawasi Toamo
Sinlong.
"Dia... dia benarkah telah mati?" achirnya ia menanya. Ia menanya Hamutu tetapi
seperti menanya dirinya sendiri. Suaranya pun menggetar.
Toamo Sinlong mengawasi, ia heran bukan main. Melihat orang demikian b
erduka, ia
terharu.
"Adakah orang itu sanakmu yang terdekat?" ia menanya. "Ah, orang sudah mati mana
dapat hidup pula? Nona, jangan kau terlalu bersusah hati..."
Sin Tjoe menahan keluarnya air matanya. Ia mengangkat tangannya.
"Aku sudah selesai bicara, kau pergilah!" ia bilang. "Orang yang si anak muda mi
nta kau cari benar sahabatku, kitab ini mesti dikembalikan padanya, nanti aku ya
ng mengembalikannya."
"Baiklah," menyahut si orang Mongolia. "Aku memang tidak mengarti kitab itu, kau
justeru mempunyai pedang, biarlah kau dapat menyampai maksudmu. Aku tidak perdu
li kau serahkan itu kitab kepada lain orang atau kau sendiri yang meng-
gunainya."
Hamutu ini membawa sikapnya satu laki-laki. Sebenarnya tidak ingin ia menyerahka
n kitab itu, tetapi dua kali ia dikalahkan secara
mutlak, semangatnya menjadi runtuh, maka ia suka mengalah.
Itu waktu terdengarlah suaranya Tie Hian, si taydjin atau orang besar yang menja
di siewie atau pahlawan yang bersenjatakan golok yang kelasnya kelas empat. Kata
nya: "Hamutu, bukankah kau hendak pergi ke Selatan? Aku telah menemani kau sampa
i di sini, habis sekarang kau hendak pergi seorang diri..."
Tie Hian ini tidak liehay sekali ilmu silatnya, lebih liehay ialah mulutnya. Mak
a itu ia membantui Yang Tjong Hay dengan me-ngandali mulutnya itu,
untuk membujuki orang-orang kangouw yang kenamaan. Dan tahun dulu pernah ia memb
ujuki Liauw Hian, seorang paderi murtad dari Siauwlim Sie, hanya kemudian, Liauw
Hian itu menjauhkan diri, karena mana, Tjong Hay telah sesalkan dan tegur padan
ya.
Sekarang ia mendengar kabar Hamutu mau ke Tionggoan, ia tahu orang liehay, ia me
ncari dan menemuinya, untuk ditempel sebagai sahabat. Ia pandai bicara, ia berha
sil. Maka ia menemaninya, untuk mencari Hek In Tay. Ia percaya, kalau ia berhasi
l membawa
Hamutu kepada Yang Tjong Hay, ia dapat menebus kesalahannya mengenai urusan Liau
w Hian itu. Maka cemaslah hatinya, disebabkan telah berhati tawar, orang Mongoli
a itu ber-
jalan terus saja, tak menoleh sekali jua.
"Kitab ilmu pedang juga aku tidak menghendakinya lagi, maka perlu aku apa pergi
terus ke Selatan?" sahutnya dingin. "Jikalau kau nanti bertemu sama Hek In Tay,
tolong bilangi saja bahwa jual beli kita aku telah bikin habis, umpama kata dia
berhasil memperoleh itu tiga belas jilid kitab lainnya dari tangan Leng In Hong,
biarlah itu dipunyakan dia sendiri."
Cepat jalannya orang Mongolia ini, sebentar saja ia sudah melalui satu lie lebih
.
"Eh! eh!" berseru Tie Hian. "Kau sudah pergi, bagaimana dengan aku?"
Siewie ini takut bukan main.
Sin Tjoe tengah berduka dan tak sabaran, mendengar itu, ia
berkata: "Jikalau
selanjutnya kau suka menjadi orang baik-baik dan tidak lagi menjadi gundalnya Ya
ng Tjong Hay, suka aku memberi ampun pada jiwamu!"
"Terserah kepadamu, liehiap1." menyahut Tie Hian.
Sin Tjoe geraki pedangnya, dengan itu ia menyontek putus tulang piepee si pahlaw
an kaisar, kemudian ia membebaskan totokan-nya seraya berkata: "Pergilah kau!"
Tie Hian dapat bergerak pula tetapi karena tulang piepee-nya sudah putus, walaup
un jiwanya
ketolongan, ilmu
silatnya telah musnah, maka itu, ia tinggal hidup dengan tidak lagi mun
cul dalam dunia kangouw.
"Sungguh mempuas-kan!" achirnya Keng Sim tertawa.
Sebaliknya Sin Tjoe tidak dapat menahan kesedihannya, air matanya turun berc
ucuran.
"Sebenarnya siapa yang telah menutup mata maka kau menjadi begini berduka?"
menanya Tiauw Im Hweeshio heran.
"Karena Hok Thian Touw benar-benar telah meninggal dunia," sahut si nona samb
il menangis terus. Ia sesenggukan.
"Siapa itu Hok Thian Touw?" Keng Sim tanya, hatinya dingin. Ia mau percaya Hok T
hian Touw itu tentu ada mempunyai hubungan sangat erat dengan si nona.
Sin Tjoe menepas air mata.
"Dialah sahabatnya erttjie In Hong semenjak mereka sama-sama kecil,"
ia menyahut sesaat kemudian.
"Kau maksudkan Tjeetjoe Leng In Hong
itu?" Keng Sim menegasi.
"Benar. Sampai sekarang entjie In Hong masih menantikan dia."
Keng Sim merasa lega hingga hampir ia tertawa. Ia menguasai dirinya.
"Kalau begitu, pantaslah kalau Leng In Hong yang menangis sedih untuknya," ia ka
ta kemudian. "Dia mungkin orang gagah, tetapi di kolong langit yang luas ini, ba
nyak yang mati muda. Mana bisa kau tangisi mereka itu? Apakah kau kenal orang sh
e Hok itu?"
Sin Tjoe mendongkol mendengar pertanyaan itu. Ia memang lagi sangat berduka.
"Dengannya belum pernah aku bertemu muka!" sahutnya keras. "Dia jangkung atau ka
te, dia gemuk atau kurus, aku tidak tahu! Tapi aku mengagumi untuk semang
atnya
untuk menciptakan
suatu partai baru dan aku bersedih karena terpisahnya dia dari entjie Leng. Dia
menutup mata di luar tahunya entjie Leng. Kenapa kau melarang aku menangis?"
Nona ini menjadi mendongkol.
"Kalau begitu, kau menangislah!" kata
Keng Sim, yang paksakan diri tertawa. "Syukur asal kau tidak merusak kesehatanmu
..." Di dalam hatinya, ia menambahkan:
"Kiranya dia berduka untuk kekasihnya lain orang..." Ia tidak kuatir lagi, ia cu
ma heran.
Keng Sim tidak tahu, Sin Tjoe menangis, sebagian untuk nasib malang dari In Hong
, sebagian untuk
nasibnya sendiri. Benar ia relah menyerahkan Seng Lim kepada In Hong, di dalam h
atinya
ia tetap masih merasa berat, ia mengharap Thian Touw tidak mati. Hanya sekarang
harapannya itu sudah ludas. Ia menangis sambil memujinya kebahagian-nya In Hong
dengan Seng Lim, di lain pihak, ia menangisi dirinya sendiri. Sebagai
seorang lain, Keng Sim tak dapat mengarti sifatnya seorang anak dara...
Sejak hari itu, hilanglah kegembiraannya Sin Tjoe. Keng Sim ketahui itu, ia teru
s membungkam, tidak berani ia membangkitkan rasa tak senang si nona.
Lewat dua hari, tibalah mereka di Hangtjioe. Rumah Keng Sim adanya di tepi Seeou
w, Telaga Barat, ia mengundang Sin Tjoe untuk mampir buat dua hari.
Mulanya Sin Tjoe
hendak menolak, tetapi kapan ia ingat pemuda itu sudah lama berpisah dari rumahn
ya, sekarang mereka pun mau menuju ke kota raja, sedang Tiauw Im juga ingin meny
ambangi
sahabat di kuil Lengin Sie, ia menerimanya juga undangan itu.
Tiat Hong ialah ayahnya Keng Sim, yang ada lepasan giesoe , dan namanya jadi ter
kenal karena berani menentang dorna Ong Tjin, berada di rumahnya. Ia girang meli
hat puteranya pulang
dengan mengajak
seorang nona cantik. Tapi ia terkejut akan mengetahui nona itu ada puterinya Ie
Kiam. Maka ia menerima si nona dengan terpaksa.
Sesudah bicara sama si nona, yang berlaku polos, Tiat Hong berpikir
banyak. Ia memang tidak senang
pemerintah mempercayai segala dorna, tetapi ia pun tidak setujui sikapnya orang-
orang seperti Yap Tjong Lioe dan Pit Kheng Thian, yang menggunai
kekerasan melawan pemerintah. Ia tetap sama sifatnya, setia kepada pemerintah, s
ebab siapa makan gaji dari kaisar, dia mesti bekerja untuk kaisar. Ia mengagumi
Ie Kiam, yang binasa untuk negara, ia menyesali kematian itu, meski begitu, tak
setuju ia orang memberontak. Maka ia menasihati si nona untuk membawa diri baik-
baik, supaya dia tidak sampai terjatuh di dalam tangan dorna. Ia juga menganjuri
puteranya membawa diri dan jalan di jalan yang benar, supaya putera ini tidak t
ersesat, agar dia tetap berada di dalam keluarga
sasterawan, jangan sampai hidup sebagai orang kangouw...
Sin Tjoe kagumi Tiat Hong sebagai rekan ayahnya almarhum
tetapi ia tidak setuju cita-cita atau cara hidupnya bekas giesoe i
ni, yang berkukuh setia kepada pemerintah
meskipun tindakan
kaisar sesat. Ia tentu saja tidak mau membantah tuan rumah ini, maka itu, habis
bersantap malam,
dengan alasan letih, ia meminta diri untuk lantas beristirahat.
Tiat Hong menyediakan sebuah kamar yang jendelanya menghadapi telaga, menghadapi
gunung Kouw San. Si nona tengah berduka, malam itu sukar ia mendapat pulas, mak
a itu ia pergi ke jendela, memandang jauh ke telaga, ke gunung yang mencil sendi
rian itu. Ia
melihat si Puteri Malam berkaca di permukaan telaga, yang airnya bening, sedang
gunung Kouw San ada seumpama seorang wanita cantik lagi rebah di telaga itu. Kei
ndahan malam dari Seeouw tak usah kalah dengan keindahan laut Djiehay atau gunun
g Tjhong San di Tali.
Menghadapi semua pemandangan malam ini, Sin Tjoe jadi teringat halnya itu malam
ia main perahu di laut Djiehay, mengingat hutan batu yang luar biasa, halnya sol
okan yang airnya mengalir, hanya sekarang ia telah berpisah ribuan lie dari Seng
Lim, rekannya itu. Ia lantas ingat kegagahannya Seng Lim, yang melawan tentera
negeri, ia berkuatir untuk itu anak muda, yang semangatnya ia puja. Kemudian
ia ingat cita-citanya Keng Sim, untuk tinggal menyendiri di telaga Seeouw ini. B
agaimana jauh bedanya cita-cita Keng Sim itu dari Seng Lim yang berangan-angan b
esar dan mulia...
Tengah nona ini kusut pikirannya, mendadak ia mendapat dengar suara orang di baw
ah lauwteng. Tidak nyata suara itu tapi tak lolos dari kuping liehay dari si non
a. Itulah suara orang mengundang
tetamu masuk. Nyata terdengar tindakan kaki di tangga batu.
"Heran di waktu tengah malam begini masih ada tetamu datang?" berpikir nona ini.
"Ah, mengapa aku tidak dengar suaranya bujang? Kenapa tidak terdengar juga tert
awanya tuan rumah dan tetamunya?"
Terus Sin Tjoe heran, achirnya ia jadi
curiga. Karena ini, ia jadi semakin susah tidur. Di achirnya, ia merapikan pakai
annya, ia pergi ke luar, untuk melihat, atau sedikitnya mencuri dengar pembicara
an orang. Dengan ringannya tubuhnya, ia dapat keluar secara diam-diam. Di luar r
uang tetamu, ia bergelantungan di payon rumah. Begitu ia mengintai ke dalam, beg
itu ia terkejut.
Berduduk di dalam ruangan itu adalah tiga orang. Yang pertama ialah tuan rumah.
Yang kedua yaitu Tjiehoei Law Tong Soen dari pasukan Gielimkoen. Dan yang ketiga
Tiat Keng Sim.
"Jangan sungkan, Tiat Taydjin," terdengar suaranya Tong Soen, sangat perlahan. "
Tentang teh atau arak, tak usahlah disediakan, karena datangku cuma
untuk minta beberapa keterangan dari kongtjoe , habis bicara, hendak aku segera
berangkat, tidak berani aku membuat kaget tetamumu yang terhormat itu."
Agaknya Tiat Hong terkejut.
"Kau ada mempunyai pengajaran apa, Law Taydjin?" ia menanya. "Silahkan kau membe
rikan titahmu kepada anakku ini."
Mendengar begitu, Tong Soen tertawa.
"Untuk memerintahkan, itulah aku tidak berani," sahutnya. "Hal yang sebenarnya
adalah begini: Yang Toatjongkoan baru
kembali dari Koenbeng, ia mendapat kabar yang Tiat Kongtjoe telah dapat pengharg
aan dari Bhok Kokkong, karena mana sekarang Tiat Kongtjoe hendak pergi ke kota
raja untuk
menyampaikan laporannya Bhok Kokkong itu. Untuk Tiat Kongtjoe, inilah suatu jala
n kemajuan yang penuh dengan pengharapan. Sri Baginda sendiri baru-baru ini pern
ah bicara dengan kami, Sri Baginda telah
menyebut-nyebut nama taijin, maka itu, kalau nanti Sri Baginda melihat kongtjoe,
pasti Sri Baginda bakal jadi girang sekali. Apabila Tiat Kongtjoe mendapat anug
erah pangkat,
mungkin taydjin bakal turut keluar lagi."
"Aku telah berusia lanjut, aku tidak mengharapi pangkat lagi," berkata Tiat Hong
. "Mengenai puteraku ini, aku mengharap bantuan taydjin semua."
"Kata-kata yang baik, taydjin1. Hanya satu hal hendak aku men
gatakannya kepada kongtjoe, apabila
kongtjoe dapat menghadap Sri Baginda, sekali-kali janganlah ia membawa pedang ya
ng berada di pinggangnya."
Tiat Hong heran.
"Pedang apakah itu?" ia tanya.
Tong Soen menunjuk kepada Keng Sim.
"Pedang di tubuh kongtjoe itu ialah pedang asal dari istana," ia memberitahu.
Ayah itu menjadi kaget.
"Keng Sim, dari mana kau dapatkannya itu?" ia menanya.
"Benar begitu," Tong Soen menimbrung. "Inilah justeru yang aku hendak mohon penj
elasannya dari kongtjoe1."
Keng Sim tidak menjadi heran atau gentar atas pertanyaan
komandan Gielimkoen itu.
"Baiklah," sahutnya. "Law Taydjin mau menanyakan aku dari mana
aku peroleh ini, tetapi hendak aku menanya dulu, di tempat manakah taydjin telah
membuatnya pedang ini lenyap?"
Ditanya begitu, Tong Soen tertawa lebar. Nyata ia tak dapat digertak.
"Pedang dari istana ini mulanya dicuri oleh penjahat terbang yang bernama Tjio K
eng To," ia menyahut, lancar. "Aku berterima kasih, kongtjoe, yang tahun dulu ka
u dapat memintanya dari Keng To itu dan menyerahkannya padaku. Apa lacur, pedang
ini kemudian dapat dirampas Ouw Bong Hoe yang menjadi koncohnya Thio Tan Hong.
Sekarang pedang ini kembali ada pada kongtjoe. Inilah terang kecuali kongtjoe ad
a mempunyakan ikatan guru dan murid dengan Tjio Keng To, kongtjoe pun ada hubu
ngannya
dengan Thio Tan Hong."
Tiat Hong terkejut hingga ia melengak.
"Anakku ini belum tahu apa-apa, tanpa sadar ia berhubungan sama orang jahat, ini
lah benar," ia berkata. "Tentang ini, aku minta sukalah taydjin memaafkannya. Ka
rena pedang ada milik istana, Keng Sim, lekas kau kembalikan itu kepada Law Tayd
jin agar Law Taydjin dapat menunaikan tugasnya."
"Inilah milik guruku," berkata Keng Sim, "maka itu, biarnya aku dibunuh, akan ak
u bertanggung jawab. Tentang ini tidak ada hubungannya sama ayahku."
"Keng Sim, kau... kau... kenapa kau bicara begini rupa?" ayah itu menegur.
Tong Soen tertawa.
"Tiat Kongtjoe
omong dari hal yang
benar," ia berkata. "Memang pedang ini milik istana, tetapi artinya tidak sebera
pa, maka itu asal kongtjoe dapat membantu aku di dalam soal yang kedua, biarlah
pedang ini tetap ada pada kongtjoe, aku akan tidak melaporkannya kepada Sri Bagi
nda."
Bagi Keng Sim, ia mengharap urusan tidak menyangkut ayahnya, sebaliknya, ia bera
t untuk menyerahkan pedang itu, sekarang komandan Gielimkoen ini bicara lunak, i
a pun bersikap sama lunaknya. Ia memberi hormat ketika ia menjawab,
"Silahkan bicara, taydjin ii
Tong Soen tertawa.
"Hendak aku menanya, siapa itu tetamu kongtjoe?" tanyanya.
Pertanyaan ini membuatnya Tiat Giesoe menjadi terlebih kaget lagi. Tetapi sa
ng putera
sebaliknya tertawa.
"Law Taydjin adalah tjiehoei dari kelas dua, tetapi toh Taydjin sendiri yang mel
akukan tugas mengunci dari mencari rahasianya segala orang kangouw1."
Tong Soen tertawa pula.
"Kalau dia orang kangouw biasa, memang tidak usah aku turun tanga
n sendiri," ia menyahut terus terang, "tetapi dialah nona berharga puter
inya Ie Kokioo, inilah lain, dengan menguntit dia, kehormatanku
tidak menjadi terhina. Tiat Taydjin, kau niscaya ketahui baik
tentang tetamumu yang
terhormat itu. Taydjin sendiri toh yang melayani dia!"
Mendengar ayahnya didesak secara demikian, Keng Sim menjadi gusar. Ia memegang g
agang pedangnya.
"Law Taydjin, kau menghendaki apa?" ia tanya.
"Untuk ini hendak aku melihat dulu, kongtjoe sendiri hendak berbuat bagaimana?"
balik
bertanya komandan Gielimkoen itu.
"Jikalau kau hendak menawan dia di dalam rumahku ini," berkata Si anak muda, mem
berikan jawabannya, "aku kenal kau tetapi pedangku ini tidak!"
Mendengar jawaban itu, hati Sin Tjoe tergerak juga. Ia mendengari terus.
"Kongtjoe, walaupun pedangmu tajam, aku Law Tong Soen, aku tidak jeri!" berkata
komandan itu sambil tertawa. "Umpama kata kau dapat membunuh aku, kau pun tidak
bakal bebas dari hukuman rumah tangga dan keluargamu bakal dihukum mati sem
ua.
Apakah kamu keluarga Tiat tidak memikirkan itu semua?"
Tiat Hong pun sudah memikir nekat, tetapi mendengar kata-kata Tong Soen ini, yan
g masih memberi nasihat, ia merubah pula pikirannya.
"Law Taydjin," ia berkata, "aku minta sukalah kau mengangkat tanganmu, nanti aku
Tiat Hong akan membalas budimu ini."
Tong Soen tertawa. "Biarnya pangkatku pangkat miskin, aku masih tidak mengharap
pembalasan budimu, taydjin," ia berkata, sikapnya agung. "Mengenai urusan ini, j
ikalau bantuanku
hendak diminta, maka hendak aku minta Tiat Kongtjoe, sukakah dia membant
u aku atau tidak..."
"Untuk itu baiklah disebutkan dulu, sebe-
narnya urusan apa itu," kata Keng Sim.
"Aku dengar kongtjoe baru kembali dari Selatan," berkata Tong Soen, "katanya kau
bersahabat erat dengan Yap Tjong Lioe dan Pit Kheng Thian."
Kembali Tiat Hong kaget. Satu gelombang belum tenang, datang gelombang lain.
"Anakku telah membaca kitab syair semenjak dia kecil," ia berkata, "meski benar
ia suka merantau, yang bersih akan tetap bersih, yang kotor akan tetap kotor, da
ri itu aku percaya dia tidaklah nanti bergaul sama segala orang jahat..."
"Tentang kongtjoe, aku mengetahui juga sedikit. Karena itu, tidak
nanti sekarang aku bicara dengan kongtjoe sendiri."
"Sebenarnya dalam hal apa kau mau minta ban-
tuanku?" Keng Sim menanya tegas.
"Biarlah aku omong terus terang. Dua pemberontak she Yap dan she Pit itu dipanda
ng pemerintah sebagai penyakit berat di dalam perut, maka itu sekarang telah dik
erahkan beberapa rombongan tentera untuk membasmi mereka. Di Tjiatkang, pasukan
perang dipimpin sendiri oleh Soenboe Thio Kie. Pada itu aku si orang she Law tur
ut memberikan bantuanku. Sekarang ini pemerintah lagi membutuhkan bantuannya ora
ng-orang gagah yang mengetahui jelas perihal kaum pemberontak itu. Apakah kongtj
oe berminat untuk mendirikan jasa?"
Keng Sim mengerutkan kening. Di dalam hatinya ia berpikir: "Biarnya aku
tidak
menghargai Tjong Lioe dan Kheng Thian, dengan aku membawa tentera menyerang
mereka, apakah aku tidak bakal melukai hatinya Sin Tjoe?" Tapi ia mesti menjawab
, maka lekas ia
menyahuti: "Tidak ada minatku untuk mendirikan jasa dari kalangan ketenteraan. L
aginya aku tengah menerima tugas dari Bhok Kokkong untuk untuk pergi ke kota raj
a."
"Bhok Kokkong sudah mengirimkan laporannya," berkata Tong Soen. "Bahwa kongtjoe
diutus pula, tak lain tak bukan, ia hendak mpmujikan kongtjoe kepada Sri Baginda
. Lebih dulu membasmi pemberontak, habis itu baru pergi ke kota raja, bukankah i
tu terlebih sampurna?"
"Tidak, aku tidak dapat berbuat begitu!"
kata Keng Sim, yang sebenarnya ketarik hati sebab orang toh puji padanya. Ia mem
ang gemar diangkat-angkat.
Tong Soen tertawa tawar.
"Kalau kongtjoe tidak mau pergi, aku tidak dapat memaksa," ia berkata. "Sekarang
bagaimana dengan
halnya pedang milik istana dan puterinya Ie Kiam itu? Ah, begini saja: Bukankah
kongtjoe pandai ilmu surat? Maka silahkan kongtjoe menulis tentang keadaan kaum
pemberontak, sebegitu jauh yang kongtjoe dapat ketahui, lalu kongtjoe menjelaska
n caranya kita menyerang mereka."
Keng Sim tertawa dingin.
"Pit Kheng Thian itu machluk apa hingga dia dapat penghargaan begini dari kamu?"
ia tanya. "Tentang Yap
Tjong Lioe, dia telah didesak pergi oleh Pit Kheng Thian itu. Apakah kamu masih
belum tahu Kheng Thian sekarang adalah sebagai sepotong balok yang tak dapat men
ahan sebuah gedung?"
"Benarkah begitu?" tanya Tong Soen girang. "Ah, inilah penting sekali! Kongtjoe
, coba kau menjelaskan pula beberapa hal lainnya."
Mendengar pembicaraan itu, Sin Tjoe gusar berbareng bingung. Rahasianya Kheng Th
ian itu jadinya sudah dibeber. Ia mendengar lebih jauh, ia tidak mendengar pembi
caraan, hanya kupingnya dapat menangkap suara pit bekerja. Ia gusar hampir ia ti
dak dapat menguasai dirinya lagi. Achirnya, ia menghela napas. Tidak sudi ia men
gintai pula, lantas ia
kembali ke kamarnya, akan menyalin pakaian, setelah mana ia menulis surat perpis
ahan
kepada Keng Sim.
Pernah Nona Ie ber-susah hati, pernah ia hilang harapan atas Keng Sim, tetapi se
karanglah yang paling hebat. Sungguh ia tidak sangka Keng Sim relah menjual raha
sia militer kaum pejuang kebang-saan, untuk pemerintah dapat menumpas
tentera rakyat suka rela. Benar Keng Sim berbuat begitu untuk melindungi ia, tet
api itulah tindakan yang membuat hatinya sakit. Memang ia tidak puas terhadap Kh
eng Thian tetapi hatinya tetap berada di pihak tentera rakyat. Benar-benar ia ti
dak mengarti Keng Sim.
Seorang diri, dengan diam-diam, Sin Tjoe keluar dari kamarnya. Ia cari kudanya,
lantas ia
pergi. Ia pergi tanpa menoleh pula ke belakang. Maka juga, ketika Keng Sim ketah
ui kepergiannya, si nona sudah pergi jauh, tak dapat ia disusul lagi.
Setengah bulan kemudian, Nona Ie telah tiba di kota raja. Itulah kota tak asing
untuknya, karena da dibesarkan di Pakkhia. Hanya dulu ia adalah puterinya seoran
g
menteri besar, yang besar juga jasanya untuk negara, sekarang ia menjadi seorang
kangouw perantauan. Bahkan ia pulang dengan diam-diam,
sebab ia pun terhitung sebagai "penjahat yang tengah dicari" pemerintah. Menging
at tentang dirinya, nona ini menyesal, hatinya
risau. Syukur, karena menyamar sebagai
seorang pemuda, tidak ada orang yang menge-
nalinya. Langsung ia menuju ke rumah Tjo An, sahabat kekal dari ayahnya.
Tjo An itu ada seorang kebiri yang sudah lanjut usianya, yang telah mengundurkan
diri. Ketika dulu ia melayani raja almarhum, ia berjasa. Itu sebabnya ia diijin
kan mengundurkan diri,
supaya dirawat anak cucunya. Tatkala Ie Kiam dihukum mati, sekalipun menteri-
menteri yang pernah ditunjang olehnya, pada menutup mulut, adalah Tjo An seorang
, yang berani meminta kepada kaisar untuk mengurus jenazahnya. Raja menerima bai
k permintaan itu karena kebetulan kepala Ie Kiam dicuri Pit Kheng Thian. Sebagai
alasan raja ini menunjuk bahwa Ie Kiam adalah menteri dari dua kaisar. Kemudian
lagi, Kheng
Thian pun dapat bantuan orang kebiri ini maka tubuh dan kepala Ie Kokloo dapat d
ipersatukan dan dikubur di Hangtjioe. Berhubung dengan itu, Kheng Thian membangg
akan jasanya kepada Sin Tjoe, sebenarnya ia mendapat bantuan
berharga dari orang kebiri ini.
Bukan main girangnya Tjo An melihat Nona Ie. Nona ini menerangkan ia ingin menum
pang tinggal tetapi ia kuatir nanti merembet-rembetnya. Atas itu dengan berseman
gat Tjo An kata: "Beruntun aku telah melayani tiga kaisar, sekarang ini aku ting
gal dimasuki ke dalam peti, umpama kata aku ditangkap, paling
banyak aku toh mati sekali. Apalagi sekarang aku belum dihadiahkan kematian!"
Dengan memperoleh jawaban itu, maka tenanglah hati si nona menumpang pada itu sa
habat ayahnya.
Tjo An tinggal di dekat pintu kota barat, rumahnya itu terpisah jauh dari bagian
kota yang ramai, tetapi meski begitu, walaupun usianya sudah tua, ia suka pergi
ke kota untuk mendengar-
dengar kabar untuk kebaikannya si nona, bahkan ia pergi memasuki istana bertemu
sama bekas rekannya yang menjadi kepala, dari siapa ia mengharap kabar penting.
Hanya mengenai datangnya puteri Iran ke kota raja, tidak ada kabar ceritanya. Hi
ngga Sin Tjoe menjadi heran dan gelisah sendirinya.
Bukankah Keng Sim membilang gurunya
mengantar puteri itu ke kota raja? Bukankah
mereka cuma ketinggalan kira satu bulan? Sudah seharusnya
gurunya itu dan si puteri Iran tiba di kota raja ini.
Satu bulan Sin Tjoe berdiam sama Tjo An. Kecuali memikirkan
gurunya, ia pun memikirkan Seng Lim. Ia menguatirkan keselamatan pemuda itu, yan
g diserang oleh angkatan perang negara.
Mestinya Kheng Thian tidak sudi membantu si pemuda.
Pada suatu hari, saking pepat pikiran, si nona berjalan seorang diri. Tiba di lu
ar kota, ia mendengar riuh suara tetabuan. Setelah
menanya-nanya orang yang hendak pergi menonton, baru ia ketahui di sana ada seor
ang hartawan yang lagi merayakan pernikahan puterinya. Saking isang, ia bertinda
k ke tempat
keramaian itu, untuk menyaksikan.
***
Tuan rumah rupanya berharta besar. Di dalam pekarangannya ia membangun sebuah pa
nggung yang besar, untuk wayang yang ditanggapnya. Di sana terlihat sererotan
pengemis bertindak masuk ke dalam pekarangan itu. Sebab biasanya hartawan-hartaw
an di kota raja, dalam pesta nikah atau tengah kematian
anggauta keluarganya, suka mengamal pada kaum pengemis. Kawanan pengemis itu pun
tahu diri, mereka memegang tata tertib, setelah menerima amal, dengan rapi mere
ka mengundurkan diri,
tidak pernah mereka datang untuk kedua
kalinya atau membikin ribut. Penduduk Pakkhia mengenal aturan,
sampaikan pengemisnya tak jadi kecuali. Sin Tjoe dari kecil hidup di Pakkhia, ia
ketahui baik kebiasaan ini, maka ia tidak menjadi heran.
Selagi si nona berdiri mengawasi, ia tampak satu pengemis muda, usianya kurang l
ebih dua puluh tahun, mendatangi dengan tindakan cepat. Bungkusan yang dia gendo
l beda daripada buntalan pengemis yang umum. Buntalannya ini terbikin dari tiga
potong cita masing-masing berwarna merah, hitam dan putih, pada itu ada tujuh bu
ntalan benangnya. Banyak pengemis yang lebih tua, yang mengalah pada dia ini.
Meski si nona heran tetapi ia tahu aturan kaum pengemis. Pengemis dengan dan
danan
sebagai itu terang tengah menjalankan tugas menyampaikan berita penting dari pem
impinnya. Tujuh buntalan benang itu menandakan dialah
murid pengemis tingkat tujuh. Di dalam kalangan pengemis, kecuali pangtjoe, yang
buntalannya sembilan, ialah yang paling dihormati, bahkan yang berbuntal tujuh
ini pun langka.
Dalam herannya itu, Sin Tjoe berpikir: "Pit Kheng Thian, sebagai pangtjoe dari P
artai Pengemis di Utara, juga menjadi toaliongtauw dari delapan belas propinsi,
dia bangun di Selatan, tidak lama lagi dia bakal mengangkat dirinya menjadi raja
. Karena orang-orang penting dari Partai Pengemis di Utara berduyun-duyun pada p
ergi ke Selatan. Maka juga kenapa sekarang di
kota raja ini masih ada seorang pengemis
tingkat ke tujuh yang belum pergi ke Selatan itu?"
Diam-diam Nona Ie perhatikan gerak-
geriknya pengemis
muda itu. Dia berdesakan maju ke depan, dia berbisik dengan seorang pengemis tua
dan bercacat, lalu tanpa menerima amal, dia mengundurkan diri cepat-cepat. Tera
ng sudah bahwa dia hendak pergi ke tempat yang kedua untuk menyampaikan beritany
a.
Masih Sin Tjoe menguntit. Pengemis itu keluar dari kota, menuju langsung ke See
San, Gunung Barat. Setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, Nona
Ie melekaskan tindakannya, melewati pengemis itu, akan di lain saat ia
memutar tubuh, untuk menghalangi perjalanan orang.
Terkejut pengemis muda itu akan menyaksikan ada orang yang menguntit padanya.
"Siangkong, mengapa kau memegat aku?" dia menanya seraya mementang
lebar matanya.
"Aku adalah pelayan tetamu dari keluarga hartawan tadi," Sin Tjoe memberikan pe-
nyahutannya, "tugasku yaitu membagi-bagi uang arak dan makanan kepada kamu, maka
kenapa, walaupun
sudah masuk ke dalam, kau tidak menerima amal? Apakah itu bukan berarti kau tida
k memandang hormat kepada tuan rumah?"
Pengemis itu tercengang, lalu ia memberi hormat dan menyahuti: "Sebenarnya datan
gku terlambat, dari itu tidak-
lah mentaati peraturan yang aku maju ke depan. Ada sebabnya mengapa aku berbuat
demikian. Hari ini terlalu banyak pengemis yang hadir, aku tidak sabaran menanti
sampai
giliranku, karena itu aku mendesak ke depan untuk berbicara dengan beberapa reka
nku,
untuk memesan buat mereka tolong mewakilkan aku menerima amal bagianku itu."
"Jikalau begitu, mari kembali kau turut aku, aku akan lantas mendahului yang lai
n memberikan amalmu," berkata si nona sengaja.
"Terima kasib, terima kasih, aku tak berani membikin susah," menampik pengemis m
uda itu.
"Tidak dapat kau bersikap begini. Dengan menampik berarti kau melanggar aturan!"
Pengemis itu heran
hingga ia menjadi tidak senang.
"Tidak pernah aku mendengar semacam aturan!" katanya keras. "Aku sendiri tidak m
enghendakinya, dapatkah kau memaksa aku?"
"Benar, aku justeru hendak memaksa kau menerimanya!" jawab Sin Tjoe.
"Ah, kau rupanya sengaja hendak mempermainkan aku si pengemis melarat!" ia meneg
ur. "Aku tidak mempunyai luang tempo untuk pasang omong denganmu! Kau hendak mem
beri aku jalan atau tidak?"
"Tidak mempunyai luang tempo?" tanya si nona. "Ha! Sampai pun menerima amal tida
k ada tempo! Sebenarnya kenapa kau bagini tergesa-gesa?"
"Urusan kami si pengemis melarat ada apa sangkutannya dengan
kaum orang hartawan?" pengemis itu balik menanya. Ia gusar sekali. "Ah, jikalau
kau tidak membagi jalan, maaf, aku terpaksa berlaku tak hormat kepada kau, tuan!
"
Dia lantas mengangkat tongkatnya hingga terdengar siuran angin. Nampak nyata dia
mengarti ilmu silat.
Nona Ie bersenyum.
"Belum pernah aku menampak pengemis dengan kelakuan seper-timu ini," katanya sab
ar. "Kau tidak menghendaki amal! Tidak, aku, justeru ingin kau kembali!"
Mendadak Sin Tjoe menolak ujung tongkat si pengemis, atas mana pengemis itu terh
uyung mundur beberapa
tindak. Tentu sekali, dia menjadi kaget.
"Aku juga belum pernah menemui orang semacam kau yang
memaksakan hendak memberi amal!" katanya sengit. "Kau orang macam apakah?"
Sin Tjoe tertawa geli, sambil tertawa ia angkat tangan kirinya menunju
k kepada langit, dengan tangan
kanannya ia menunjuk pada bumi, kemudian kedua tangannya itu membuat sebuah ling
karan bundar, sembari berbuat demikian, ia berkata-kata dengan nyaring: "Dengan
langit sebagai tutup dan bumi sebagai gubuk, dengan lima telaga dan empat lautan
menjadi rumah, aku si pengemis malas memangku pangkat, maka itu dengarlah aku m
enyanyikan lagi
Lianhoa Lok."
Lagu "Lianhoa Lok" ialah lagu kaum pengemis. Dan kata-kata si nona ini adalah ka
ta-kata rahasia di dalam Partai Pengemis.
Sin Tjoe mendengarnya itu dari Pit Kheng Thian. Kheng Thian memberikan berapa ru
pa keterangan untuk
membuat senang hatinya si nona, siapa tahu sekarang Sin Tjoe dapat menggunai itu
.
Pengemis itu terkejut.
"Kau... kau juga ang-gauta Partai kami?" dia menanya. Dia mementang mata lebar-l
ebar sebab dia melihat pakaian orang yang bagus.
Sin Tjoe tertawa. "Kau heran melihat pakaian bagus dari aku?" ia tanya. "Partai
Pengemis sekarang tak dapat dibandingkan dengan masa yang telah lampau. Pit Toal
iongtauw kami tak seberapa lama lagi akan mengenakan jubah
naga! Selama aku berdiam di Selatan, aku memakai kepangkatanku! Ada apakah y
ang
aneh?"
"Kau pun datang dari Selatan?" pengemis itu tanya, dia tetap heran. "Ah, habis k
enapa kau bicara bagini denganku?"
"Aku ini diutus oleh Pit Toaliongtauw untuk menyerap-nyerapi kabar," Sin Tjoe me
ngarang cerita. "Sudah dua bulan aku tiba di sini, tidak berani aku sembarang me
mperlihatkan diri asalku. Hari ini aku melihat kau saudara dari tingkat ke tujuh
membawa berita, aku kuatir ada terjadi sesuatu yang penting, dari itu aku menan
yakan kepadamu."
Mendengar keterangan si nona, kesang-siannya pengemis muda itu lenyap delapan at
au sembilan bagian.
"Tengah malam ini di Pitmo Giam," katanya sesaat kemudian.
"Di Pitmo Giam untuk apa?" Sin Tjoe tanya.
"Kau murid ke tujuh, siapakah kau?"
Mendadak saja, pengemis muda itu menjadi gusar.
"Kiranya kau si kuku garuda!" dia membentak. Lalu dengan tongkatnya, dia menyera
ng.
Adalah aturan kaum pengemis itu, kalau ada rapat, seorang anggau-ta dilarang men
anyakan melit-melit, Sin Tjoe tidak ketahui itu, ia membuka rahasia sendiri.
Nona Ie berkelit.
"Maafkan aku!" katanya tertawa. "Aku bukan hamba negeri tetapi aku pun tidak aka
n mengijinkan kau mengangkat kaki!"
Pengemis itu menyerang pula, tetapi kali ini untuk menggertak saja. Dia mendapat
kenyataan dia tidak sanggup melawan
perintang jalan itu, dari itu, setelah gertakannya itu, dia memutar
tubuh untuk melarikan diri. Tapi Sin Tjoe sangat liehay, ia dapat mendahului men
otok orang hingga orang menjadi tidak berdaya, sesudah mana, ia bawa pengemis mu
da ini ke sebuah guha di kaki bukit. Ia menotok dengan totokan yang dapat bertah
an dua belas jam, selewatnya itu pengemis ini bakal bebas sendirinya. Ketika ia
hendak berlalu, ia meninggalkan rangsum dan uang perak satu potong, sembari
tertawa ia berkata: "Kalau sebentar malam kau merdeka, setibanya di Pitmo Giam m
asih dapat kau menemukan aku. Tidak apa sekarang kau menderita sedikit, toh poto
ngan perak ini cukup sebagai upahmu..."
Pitmo Giam itu, jurang Hantu ialah suatu tempat tersembunyi di
gunung See San ini. Di situ ada sebuah batu besar mirip patung, yang romannya be
ngis, di bawah itu ada sebuah lubang yang dalam, maka itu dinamakan Pitmo Giam.
Sin Tjoe bernyali besar, maka itu sekalipun di waktu magrib, seorang diri ia per
gi ke sana. Ia mengenakan yahengie, pakaian peranti jalan malam, dan sebelum ten
gah malam tibalah ia di tempat rahasia itu. Ketika ia tiba, ia tidak melihat seo
rang juga, maka itu, ia menantikan. Ia melihat si Puteri Malam sudah mendekati t
engah-
tengah langit. Itu waktu ia menampak atasan sebuah pohon di atas jurang bergerak
sedikit, lalu diam pula.
"Tak sembarang ilmu ringan tubuh orang itu," nona ini berpikir. "Kalau dia dari
Partai Pengemis,
dia mesti berada di bawah, kenapa sekarang dia bersembunyi di atas pohon?"
Nona ini hendak pergi mencari tahu ketika, "Plok! Plok!" ia mendengar dua kali t
epukan tangan, disusul sama sambutan empat kali di sebelah selatan,
setelah mana terlihat sejumlah pengemis tiba di Pitmo Giam. Suara mereka itu lan
tas terdengar cukup berisik.
Sin Tjoe memasang kuping, hingga ia mendapat dengar:
"Lao Pit, sekarang ini kau berbahagia!"
"Seorang pengemis malas menjadi orang berpangkat, tetapi Lao Pit, cobalah kau bi
lang, mana lebih senang, menjadi pengemis atau memangku pangkat?" Itulah pertany
aan
bergurau.
"Eh, ya, Lao Pit, benarkah keadaan di
Selatan kurang bagus? Apakah Toaliongtauw mengirim kau ke mari untuk
minta bala bantuan?"
Lalu terdengar suara yang Nona Ie kenal baik sekali:
"Saudara-saudara, jangan kamu main-main. Hari ini aku mengundang kamu berkumpul
justeru disebabkan ada urusan penting untuk mana aku, mengharap pengajaran dari
kamu."
Itulah suara Pit Goan Kiong. Dia biasa omong lucu tetapi kali ini suaranya sungg
uh-sungguh.
Sin Tjoe heran sekali.
"Kiranya Pit Goan Kiong yang menitahkan anggauta Partai Pengemis tingkat ke tuju
h itu memanggil rapat rahasia ini," pikirnya. "Pit Goan Kiong menjadi orang kepe
rcayaannya Pit Kheng Thian, sekarang
keadaan tentera sangat gentingnya, kenapa dia dapat dipisahkan dan diutus ke mar
i?"
Ia lantas mendengar pula suaranya Pit Goan Kiong itu: "Toaliongtauw mengutus aku
datang ke kota raja untuk suatu tugas penting, kecuali aku dan Toaliongtauw sen
diri, tidak ada lain orang lagi yang boleh mendapat tahu."
Kata-kata ini membuat kaum pengemis heran hingga mereka bungkam Semua. Maka suny
ilah tempat rapat rahasia ini. Dengan begitu terdengar jelas ketika seorang yang
nadanya tua berkata: "Pit Laotee, kalau
begitu, tak selayaknya kau menghimpun rapat ini. Semua saudara di sini aku perca
ya betul, meski begitu kita mesti berjaga, maka siapa tidak harusnya mende-
ngar, tidak harus dia mendengarnya!"
"Mustahil aku tidak mengarti aturan kita?" kata Pit Goan Kiong menyeringai. "Tap
i
urusan ada sangat penting, aku tidak berdaya, terpaksa aku mengundang kamu ke ra
pat ini, untuk kita berdamai."
"Kalau begitu penting, baik, kau bicaralah!" berkata
orang tua tadi. "Apakah Toaliongtauw melakukan sesuatu kekeliruan?"
"Sebenarnya urusan lebih hebat daripada hidup atau matinya Partai kita," menyahu
t Pit Goan Kiong.
Semua orang menjadi semakin heran, mereka tetap membungkam, cuma semua mata diar
ahkan kepada wakil ketua mereka.
Goan Kiong menghela napas, lalu ia berkata dengan perlahan.
"Setibanya Toaliong-btauw di Selatan, dia telah melakukan
sesuatu yang maha besar," demikian
katanya. "Itulah usaha yang semenjak dulu kala belum pernah dilakukan oleh Parta
i kita."
"Memang," berkata satu orang, "dengan Toaliongtauw menjadi kaisar, kaum pengemis
menjadi dari bumi yang datar naik ke langit!"
Kata yang lain lagi: "Benar Tjoe Goan Tjiang asal pengemis tetapi dia belum mema
suki Partai kita, maka itu Toaliongtauw kita ialah orang yang pertama kali dapat
merampas dunia!"
Akan tetapi Pit Goan Kiong menghela napas.
"Walaupun demikian, dunia ini sukar dirampasnya," ia berkata. 11 Toaliongtauw te
lah
benterok sama Yap Tjong Lioe, dengan
begitu sebatang tiang tak dapat menahan sebuah gedung..."
Mendengar ini, sejumlah pengemis mengajukan pertanyaan meminta keterangan.
Pit Goan Kiong memberikan penjelasannya, sesudah mana, ramailah pengemis-pengemi
s itu dengan pelbagai
pikirannya. Ada mereka yang membenarkan Pit Kheng Thian, katanya, Kheng Thian pi
ntar dan gagah, kalau Yap Tjong Lioe tidak akur dengannya, pantas Tjong Lioe dik
esampingkan. Tapi ada juga yang tidak setujui ketua Kaypang itu, sebab alasannya
, selagi musuh besar berada di depan mata, tidak layak orang benterok dalam
kalangan sendiri.
"Hal ini baiklah kita jangan bicarakan dulu," kata suara tua yang tadi. "Layak a
tau tidak,
kejadian toh sudah berlaku. Menurut aku, soal belum dapat menentukan runtuh atau
hidupnya Partai kita."
"Benar!" berkata seorang lain. "Sebenarnya Toaliongtauw mengutus kau ke mari unt
uk apa hingga kau tidak mentaati aturan kita dan terpaksa mengadakan rapat ini?"
Goan Kiong berdiam sekian lama, baru menyahuti, suaranya rada menggetar.
"Sekarang ini tentera negeri menyerang dari tiga jurusan," katanya. "Barisan ter
depan dari pasukan tengah yang dipimpin oleh Soenboe Thio Kie dari Tjiatkang sud
ah melewati kota Oentjioe. Maka itu pasukannya Toaliongtauw sendiri sudah terkur
ung di sama tengah. Di timur, pasukannya Yap Seng Lim telah putus
perhubungannya, untuk menolong diri sudah sulit baginya, jangan kata untuk pulan
g buat memberikan bantuannya..."
Orang tua tadi terdengar tertawa lebar.
"Apakah artinya itu?" katanya, tenang. Toaliongtauw kita telah mengerek bend
era
maha mulia, dia sudah membuat peristiwa
menggemparkan, kalau dia berhasil, dialah satu enghiong, kalau dia gagal, dia te
tap seorang hookiat1. Sekarang ini belum terbukti kita bakal berhasil atau gagal
, mengapa kau begini bingung, laoteel"
"Benar!" banyak suara menyambut orang tua itu. "Kita semua suka pergi ke Selatan
akan masuk menjadi serdadu, kita suka bekerja sama Pit Toaliongtauw, guna sama-
sama menghadapi
kebahagiaan atau
kecelakaan! Kita akan mati puas andaikata kita sudah melakukan sesuatu yang besa
r!"
Goan Kiong menghela napas pula.
"Sayang Toaliongtauw tidak mendengar sendiri suara saudara-saudara
ini," katanya masgul. "Bukankah
benar itu pembilangan, air yang jauh tak dapat memadamkan api yang dekat? Kamu t
ahu, Thio Kie sudah mengirim utusan ke dalam kota yang terkurung untuk memanggil
Toaliongtauw menakluk!"
"Memanggil menakluk?" tanya si orang tua.
"Tidak salah, memanggil menakluk!" Goan Kiong membenarkan. "Thio Kie menjamin pa
ngkat Tjongpeng untuk Toaliongtauw."
"Habis bagaimana Pit Kheng Thian?" tanya pula si orang tua.
" Toaliong tau w kita belum memberikan
jawabannya..."
"Memang Toaliongtauw kita bukannya orang yang tak bertulang
!" seru orang banyak. "Satu pangkat Tjongpeng mana dapat memancing Toaliongt
auw kami!"
"Memang juga Toaliongtauw tidak melihat mata pada pangkat Tjongpeng," Pit Goan K
iong membenarkan. "Hanya dia telah menulis sepucuk surat rahasia, dia memerintah
nya aku membawa ke kota raja ini. Itulah untuk minta bantuannya Yang Tjong Hay,
guna minta Tjong Hay menyampaikannya kepada raja, kalau raja ingin dia menakluk,
supaya raja sendiri yang memanggilnya menakluk, dan dia minta sedikitnya satu p
angkat tokboe, gubernur
sebuah propinsi!"
Keterangan ini membuatnya rapat sangat sunyi, kalau ada sebatang jarum jatuh, pa
sti suaranya akan dapat didengar. Semua orang merasakan
hatinya pepat.
"Yap Seng Lim dengan pasukannya di Toenkee telah menang dua kali," Pit Goan Kion
g melanjuti keterangannya, "karena itu, penyerangan pasukan negeri kepadanya tel
ah diperkeras. Benar kota Oentjioe telah dikurung tetapi keadaannya tak sedemiki
an genting. Dalam keadaan begini, Pit Toaliongtauw telah mengambil keputusan-nya
itu. Di mana urusan tak dapat dihindarkan pula, ia anggap, daripada dimusnakan
tentera negeri, untuk sementara baiklah kita tinggal hidup..."
"Benar-benarkah dia beranggapan demikian?" menegasi si orang tua.
"Aku menguatirkan sebaliknya," sahut Pit Goan Kiong. "Akulah keponakannya, biasa
nya aku sangat dipercaya dia. Ini rupanya maka aku diutus secara rahasia begini.
Dia meminta perantaraannya Yang Tjong Hay supaya dia dapat bicara sendiri denga
n raja. Di antara permohonannya itu, kecuali supaya tentera rakyat diubah menjad
i tentera negeri, juga dia berjanji untuk membereskan pasukannya Yap Seng Lim it
u. Inilah jalan untuk dia dapat berbuat jasa, guna menebus dosanya itu."
"Begitu?" suara ber-gemuru di empat penjuru. "Kalau begitu kami kaum Kaypang, ma
na kami ada punya muka akan bertemu
sama orang?"
"Benar! Memang Toaliongtauw mengatakannya, setelah menakluk, kita orang-orang pe
nting dari Kaypang bakal mendapat pangkat, bahwa dengan memangku pangkat kita ta
k menyalahi leluhur kita. Ini justeru yang aku tidak sanggup. Maka itu setibanya
aku di sini, sudah tiga hari, aku masih tetap ragu-ragu, aku masih belum berani
menunaikan tugas yang diberikan Toaliongtauw kepadaku. Demikianlah sekarang aku
mohon saudara-saudara memberi petunjuk kepadaku."
Mendengar semua itu, Sin Tjoe kaget berbareng girang. Ia kaget sebab mimpi pun t
idak yang Pit Kheng Thian kesudian menerima panggilan menakluk dari pemerintah d
an dia
hendak membikin celaka Yap Seng Lim. Ia girang sebab sekalipun Pit Goan Kiong, s
eorang sebawahan yang
dipercaya, dapat
membedakan kebenaran dari kesesatan, bahkan dia berani membeber rahasia toaliong
tauw itu.
Si orang tua menepuk tangannya tiga kali, ia membikin rapat sunyi kembali.
"Memang benar urusan ini lebih penting daripada hidup atau matinya kita," ia ber
kata. "Kita harus memikir masak-masak. Nah, kirimlah orang ke empat penjuru untu
k memasang mata!"
Tiba-tiba terdengar suara di atas pohon di atas jurang itu. Si orang tua kaget.
"Siapa itu yang mencuri dengar rapat kita!" ia membentak.
Sin Tjoe terkejut, ia menyangka ia dapat
terlihat mereka itu, tapi kagetnya cuma
sebentar, di sana nampak satu bayangan berlompat turun dari atas pohon. Sesaat k
emudian, ia dibuatnya heran bukan kepalang sesudah ia melihat tegas bayangan itu
, satu bocah yang berlarian kepada kaum pengemis itu. Sebab dialah Siauw Houwtjo
e! Hampir ia berteriak memanggil bocah itu. Syukur ia bisa mengendalikan diri, t
erus ia bersembunyi dan memasang kupingnya.
Siauw Houwtjoe sudah berumur enam belas tahun, tetapi ia tetap kekanak-kanakan d
an binal seperti di masa kecilnya.
"Hai, kamu hendak makan empat penjuru, aku si tuan kecil sebaliknya lima!" demik
ian katanya, suaranya gembira. "Kamu telah
memanggang ayam, kamu hendak mengundang aku turut berdahar atau tidak?"
Semua pengemis itu menyangka kepada
musuh besar, tidak tahunya cuma satu bocah, mereka menjadi melengak. Melainkan s
i orang tua, yang mengarti bocah itu bukan sembarang
bocah, maka ia berlompat maju, untuk mencekuk.
"Kau siapa?" ia membentak.
Siauw Houwtjoe menarik pundaknya, kakinya berputar,
dengan begitu bebaslah ia dari cengkeraman, tidak perduli si orang tua telah men
ggunai tipu silat Tay kim na tjioe hoat, ilmu menangkap tangan.
Menyaksikan itu, semua orang terkejut.
"Oh, mata-mata cilik!" mereka berseru.
"Siapa mengirimmu ke mari?"
Siauw Houwtjoe tidak takut, dia bahkan tertawa menghadapi si orang tua.
"Kau tidak kenal aku, aku kenal kau!" katanya Jenaka. "The Tiangloo, guruku me
nyuruh aku menyatakan kesehatanmu!"
Pengemis tua itu ialah pengemis pengurus kaum pengemis di kota raja, kedudukanny
a lebih tinggi dari pada kedudukannya Pit Goan Kiong, Kedudukannya ialah tingkat
ke delapan.
Orang tua itu mengawasi si bocah dengan keheran-
heranan. Tidak pernah ia ingat ada sahabatnya kaum kangouw yang mempuny
ai murid
semacam bocah ini. Karena itu ia berlaku waspada, dengan
tangan melindungi
dadanya, dengan mata
menatap tajam, ia membentak menanya: "Siapakah gurumu itu?"
"Thio Tan Hong dari Souwtjioe!" sahut
Siauw Houwtjoe singkat.
Orang tua itu nampak kaget.
"Oh, Thio Tayhiapl" katanya. "Kapankah datangnya Tayhiapl Mata dan
kupingku tidak lengkap lagi, tayhiap datang ke kota raja, aku tidak
tahu, sampai aku tidak dapat memberi selamat
datang padanya,
sampai kaulah yang diutus, engko kecil! Harap dimaafkan!"
"Jangan kau sungkan, ioodjinkee1." berkata Siauw Houwtjoe tertawa. "Hendak aku o
mong terus terang. Tahukah ioodjinkee apa perlunya guruku
menyuruh aku mencuri dengar rapatmu ini? Bahkan guruku memesan aku untuk berhati
-
hati, agar kamu tidak menyangka aku sebagai si maling cilik! Ha! Barusan Tay kim
na tjioe hoat dari ioodjinkee hampir saja mengenakan tulang piepee-ku! Ya, ya,
kau hendak undang aku atau tidak dahar ayam
panggangmu?"
The Tiangioo tidak mengambil mumat
kejenakaan bocah ini. Ia diliputi kegirangannya mendengar beradanya Thio Tan Hon
g di kota raja. Ia kenal baik nama orang yang tersohor cerdik itu.
"Baiklah, silahkan, si-lahkan!" sahutnya. "Aku mohon tanya di mana Thio Tayhiap
mondok? Tolong engko kecil ajak aku pergi menemuinya."
"Guruku lagi repot, kunjunganmu ini baik ditunda dulu," berkata Siauw Houwtjoe.
"Di dalam rapatmu ini, kecuali aku, masih ada
seorang lain di dalam rimba, kau hendak turut mengundang dia atau tidak?"
Sin Tjoe berpikir: "Ah, kiranya bocah ini telah dapat melihat aku." Ia hendak la
ntas keluar dari tempat sembunyinya ketika ia batal karena ia lantas mendapat de
ngar
suaranya The Tiangioo: "Engko kecil datang bersama siapa? Tentu saja a
ku pun mengundang dia!..."
Siauw Houwtjoe tertawa ketika ia menjawab: "Orang itu tidak datang bersama aku!
Melihat tubuhnya yang tinggi dan besar, mungkin dia satu penjahat besar dari sun
gai atau laut, dia tak mirip-miripnya dengan satu maling cilik!"
Tiangioo itu terperanjat, lekas-lekas ia menghadap ke empat penjuru seraya m
eng-
angkat tangan untuk memberi hormat. Ia berkata: "Sahabat dari kalangan manakah i
tu? Silahkan sahabat keluar untuk kita saling bertemu!"
Habis itu terdengarlah suara tertawa nyaring di belakang batu besar, dari situ n
ampak munculnya
suatu tubuh tinggi besar, yang terus bertindak ke arah rapat. Ia berkata dengan
keras: "Ini dia yang dibilang, air banjir menyerbu kuilnya si raja naga! Sebenar
nya kita ada orang-orang
sendiri!"
Pit Goan Kiong terkejut.
"Toako Kouw Beng Tjiang!" ia berseru. "Kau pun datang?"
Goan Kiong heran bukan main. Beng Tjiang terpercaya
Kheng Thian melebihkan ianya. Ia sudah diutus,
maka kenapa Beng Tjiang diutus juga?
Beng Tjiang tidak menyahuti, hanya
sembari tertawa ia berkata: "Pit Toako, semua pembicaraan kamu telah aku dengar.
Pit Laotee, luas pandanganmu, kau bersemangat, aku si Kouw tua kagum untukmu!"
Goan Kiong menjadi terlebih heran, tetapi hatinya lega.
"Kiranya dia sama tujuannya denganku," pikirnya. Maka ia ulur tangannya untuk
berjabatan. Ia berkata pula: "Sikapku ini benar atau salah, tolong toako menunju
ki..."
Belum habis kata-katanya itu atau ia mendengar Beng Tjiang berteriak, tangannya
diputar, maka sejenak itu juga, tangannya itu kena ditelikung ke belakang: "Kece
wa kau
menjadi keponakannya Toaliongtauw1. Bagaimana kau berani mendurhaka?"
Goan Kiong merasakan tubuhnya lemas, tidak dapat ia meronta. Beng Tjiang telah m
engerahkan Engdjiauw lat, tenaga dari Kuku Garuda, maka nadi si pengemis terceka
l
hingga dia mati kutunya.
Inilah kejadian luar biasa, maka kagetlah semua pengemis itu. Bahkan The Tiangio
o terus berseru sambil dia berlompat maju, untuk menerjang.
"Lagi satu tindak kau maju, akan aku bikin kau bercacad!" Beng Tjiang mengancam
sambil tertawa berkakak. Hanya belum lagi suaranya habis, satu sinar kuning emas
telah menyambar tangannya, hingga dia menjerit dan cekalannya dilepaskan, tubuh
nya pun terhuyung
tiga tindak.
Sebab Sin Tjoe dengan bunga emasnya sudah menyerang
lengan orang, menyusul mana ia muncul dari tempatnya sembunyi.
Beng Tjiang ada pahlawan nomor satu dari Pit Kheng Thian, benar ia telah dibokon
g hingga ia memerdekakan Goan Kiong tetapi ia tidak terluka, begitu ia dapat ber
diri tegak, segera ia mengeluarkan cambuknya, cambuk Hongliong pian.
"Kiranya semua ada di sini!" katanya, seram. "Haha! Kamu semua kena terkurung da
n terbekuk berbareng, sungguh tak usahlah aku berabe lagi!"
Dua kali jago ini mengibas cambuknya, hingga terdengar suara nyaring dua kali ju
ga, setelah mana dari empat penjuru, dari pepohonan lebat, ber-
lompat keluar belasan orang dengan dandanan serba hitam. Juga dari dalam jurang
Pitmo Giam meluncur sejumlah anak panah, hingga beberapa pengemis roboh karenany
a.
Seorang berpakaian hitam lompat kepada The Tiangioo sambil dia berseru: "Hoetong
nia Tonghong Lok dari Gielimkoen di sini! Kaum pemberontak, masih kamu tidak mau
menerima dibekuk? Apakah kamu hendak menanti sampai tuanmu turun tangan sendiri
?"
The Tiangioo tidak menyahut hanya
dengan tongkatnya, ia menerjang, dengan
begitu ia jadi bertempur sama komandan kedua dari pasukan raja itu.
Pit Kheng Thian kasar romannya saja, sebenarnya dia cerdik. Benar Goan Kiong kep
onakannya sendiri,
tetapi menghadapi
urusan penting, hatinya tidak tenang, maka itu ia mengutus pula Beng Tjiang untu
k memata-matainya keponakan itu. Ia mau percaya, umpama kata ada seorang yang
berchianat, rencananya untuk menakluk pada pemerintah tidak bakal gagal. Beng Tj
iang asal penjahat, untuknya menjadi pemimpin
tentera rakyat atau pembesar negeri, sama saja, maka itu ia bersetia kepada Khen
g Thian, ia bekerja keras menyelidiki sepak
terjang kaum pengemis hingga ia mendapat tahu hal rapat rahasia itu. Sebelum per
gi mengintai, ia sudah mengasi kisikan pada Yang Tjong Hay, dari itu Tjong Hay s
udah lantas mengirim
Tonghong Lok serta belasan komandan
Kimiewie bersama
belasan anggauta
Gielimkoen yang terpilih.
Beng Tjiang liehay, sesudah merobohkan beberapa pengemis, menerjang ke arah Pit
Goan Kiong, tetapi ia dirintangi Siauw
Houwtjoe, yang lincah gerakannya, tubuhnya licin bagaikan ikan.
"Kecewa kau bertubuh tinggi seperti kerbau dan besar seperti kuda, kau tidak tah
u malu!" bocah ini menegur.
"Kenapa aku tidak tahu malu?" tanya Beng Tjiang heran.
"Sebab kau makan di dalam, merayap di luar!" jawab Siauw Houwtjoe. "Untuk mencar
i
pangkat, kau menjual sahabat!"
Beng Tjiang gusar berbareng merasa lucu, sebab bocah ini berani omong seperti
seorang kangouw.
"Bocah cilik, kau ngaco belo!" ia membentak. Dengan cambuk kanan ia menangkis se
rangan Goan Kiong, dengan tangan kiri hendak ia membekuk bocah nakal ini. Ia tid
ak memandang mata kepada bocah. Maka kecewalah ia tempo cengkeramannya tak menge
nai
sasarannya.
Siauw Houwtjoe turunan panglima perang, dia juga telah memperoleh pelajaran dari
Hek Pek Moko, dalam ilmu silat, ia telah memenangin orang kangouw yang
kebanyakan, maka itu, ia lincah dan gesit sekali. Tempo ia disambar, ia mendak a
kan meloloskan diri, sambil molos, ia menghajar pinggang orang. Tepat ia dapat m
engenai pinggang
lawan. Ia telah menggu-
nai pukulan Koentauw Naga dari Ngoheng Loohan koen ajarannya Hek Pek Moko.
Beng Tjiang merasakan sakit sekali, sampai ia terbongkok-bongkok.
"Sekarang sambut lagi Koentauw Harimauku!" berseru Siauw Houwtjoe sambil tertawa
. Ia menarik pulang tangan kanannya, tangan kirinya dimajukan.
Justeru itu Sin Tjoe berseru: "Lekas menggunai tipu Hoenhoa Hoetlioe Tjioehoat!
Lalu Poanlong Djiauwsie, berkelit ke kiri!"
Belum berhenti suara si nona, kaki Beng Tjiang sudah melayang, ke arah dada si b
ocah. Kalau ia terus menyerang, pasti ia bakal tertendang hebat. Ia lantas batal
menyerang, ia berkelit, tapi tak urung ia kelanggar juga sedikit
hingga ia jumpalitan.
Gusar bocah ini, ia berlompat bangun,
hendak ia menyerang pula. Tapi sekarang ia lihat Beng Tjiang tengah melayani Non
a Ie. Ia lantas mencabut Bianto, golok lemasnya.
"Dua kepalan ditukar sama satu kaki, kau sudah menang unggul, apakah kau masih b
elum puas?" tanya Sin Tjoe kepada bocah itu. Ia tertawa. "Pergi kau bantui The T
iangioo1."
"Baik!" seru Siauw Houwtjoe mengarti. "Nah, kau tolongi aku mengorek matanya!"
Dengan masih mendongkol ia menerjang ke arah The Tiangioo, siapa lagi bertempur
sama Tonghong Lok,
pembantunya Yang Tjong Hay. Pengemis ini cukup liehay, sayang usianya sudah lanj
ut. Selama belasan jurus, ia masih dapat bertahan,
selewatnya itu, napasnya memburu, ia tersengal-sengal. Maka beruntung sekali, Si
auw Houwtjoe datang
membantu padanya.
Dalam jumlah, pihak Partai Pengemis kalah banyak, sudah begitu, pihak Kimiewie d
an Gielimkoen semuanya pilihan, maka selang sedikit lama, terlihatlah pihak mana
yang terlebih unggul. Sebenarnya sama banyaknya orang kedua pihak yang roboh, h
anya karena kalah jumlah, Kaypang kena terdesak.
Sin Tjoe melayani Beng Tjiang tanpa hasil. Ia menang liehay pedangnya tetapi
lawannya mahir tenaga dalamnya, dari itu, kekuatan mereka jadi berimbang.
Di pihak Kaypang, lagi dua anggauta tingkat enam kena dirobohkan.
Goan Kiong berkelahi dengan hebat, ia penasaran Kheng Thian tidak menghargai lag
i padanya. Selagi
berkelahi ia mendengar suaranya The Tiangioo'. "Selama masih ada gunung hijau, j
angan takut kekurangan kayu bakar!"
Itulah tanda kaum Kaypang, artinya, lolos pun bagus. Maka itu, hebat Goan Kiong
menyerang musuhnya, hingga satu pahlawan roboh.
Beng Tjiang tertawa seram melihat lagaknya Goan Kiong, ia kata dengan dingin: "P
eng-chianat, kau masih memikir untuk kabur? Hm!" Mendadak ia meninggalkan Sin Tj
oe, dengan cambuknya ia menyerang pengemis she Pit ini. Cambuknya itu apabila di
ulur menjadi panjang
setombak lebih.
Goan Kiong tidak menyangka ketika
sekonyong-konyong ia kaget sekali. Suaranya Beng Tjiang disusul lantas cambuknya
,
hingga ia kena kelibat. Di lain pihak, tiga pahlawan merintangi Sin Tjoe. Ia lan
tas kena ditarik, hampir ia terguling.
Pit Goan Kiong bukan tandingan Beng Tjiang, tetapi juga ketiga pahlawan bukan la
wannya Sin Tjoe. Beng Tjiang mengharap si nona dapat dilibat, supaya ia keliru m
erobohkan Goan
Kiong, setelah mana hendak ia melawan pula si nona. Di luar dugaannya, Sin Tjoe
berlaku cepat. Tepat Goan Kiong terlibat cambuk, ia telah membabat putus senjata
nya ketiga musuhnya,
menyusul mana ia mengeluarkan bunga
emasnya dengan apa ia menimpuk.
Beng Tjiang putar cambuknya untuk
membela diri, ia berhasil menyampok jatuh dua kuntum bunga emas itu, hanya karen
a itu Goan Kiong dapat meloloskan diri, terus dia menerobos ke luar kurungan.
Beng Tjiang liehay berimbang sama Tjong Hay, dengan cambuknya ia bisa membela di
ri, tapi cuma bisa membela dirinya sendiri, tidak demikian dengan orang-orangnya
. Sin Tjoe menggunai
ketikanya ini, ia meraup pula bunga emasnya dan menyerang ke segala penjuru deng
an tipu "Thianlie sanhoa," atau "Bidadari menyebar bunga." Sebagai
kesudahan dari itu, terdengarlah jeritan saling susul, sebab enam atau tujuh ops
ir Gielimkoen kena terhajar
jalan darahnya, mereka roboh kesakitan untuk terus tak dapat merayap bangun lagi
.
Siauw Houwtjoe mendapat hati menyaksikan berhasilnya Nona Ie, ia lantas menyeran
g hebat dengan ilmu goloknya Ngohouw
Toanboen too. Dengan berani ia mendesak.
Tonghong Lok girang melihat majunya si bocah. Ia memang memegang
golok gaetan peranti menggaet
senjata lawan. Ia menyambut bacokan sambil berseru: "Lepaskan tanganmu!"
Siauw Houwtjoe pun liehay. Ia kelit goloknya, sambil berkelit, dari bawah
ia
membabat. Inilah
Tonghong Lok tidak sangka sama sekali, maka kagetlah dia tempo tahu-tahu golok l
awan mengenai lengannya, hingga lengan itu
tergores berdarah!
Dasar dia liehay, dia tidak menghiraukan lukanya itu, terus dia mencoba membangk
ol golok si bocah.
The Tiangioo melihat ancaman bahaya untuk Siauw Houwtjoe, ia maju menyerang. Ia
sebenarnya sudah letih, maka tempo kedua senjata benterok,
tongkatnya kena dibikin mental, lengannya terus terlukakan. Bagusnya, si bocah d
apat meloloskan diri dari malapetaka.
Sampai di situ, karena kedua pihak sama-sama terluka, Tonghong Lok tidak berani
ngotot terus, sedang Siauw Houwtjoe, dengan
melindungi The Tiangioo , membuka jalan noblos. Ia menggabungi diri denga
n Sin Tjoe.
Beng Tjiang penasaran, ia menyusul.
Sin Tjoe dapat me-
lihat tingkah orang, dia mengedipi mata pada Siauw Houwtjoe. Bocah ini mengarti,
maka ia lantas bersiap. Mendadak saja keduanya berlompat balik, pedang dan golo
k mereka menyerang dengan
berbareng, pedang
membabat, golok
menyontek!
Hebat kesudahannya serangan tiba-tiba ini, cambuknya Beng Tjiang menjadi kurban,
kutung menjadi empat potong. Inilah sebab Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe menggunai
serangan tergabung Pekpian Hian Kie Kiamhoat.
"Aku hendak melihat, kau masih dapat mengejar kami atau tidak!" Sin Tjoe tertawa
menantang, sedang tangan kirinya diayun, menimpuk dengan tiga bunga emas.
Beng Tjiang memegangi cambuk kutung,
dengan itu ia membela dirinya. Dua bunga emas dapat dihalau, tetapi yang ketiga
molos dan nancap di matanya yang kiri, hingga ia kelabakan!
Siauw Houwtjoe tertawa berkakak, dengan dibantu Sin Tjoe, ia terus pepay
ang The Tiangioo untuk
menyingkir dari tempat berbahaya itu, menyusul Pit Goan Kiong. Mereka kabur di b
elakang gunung See San itu.
Hebat kesudahannya pertempuran ini. Di pihak Tonghong Lok, dari sepuluh, tujuh a
tau delapan bagian yang roboh, di pihak Kaypang, cuma lolos The Tiangioo berdua
Pit Goan Kiong. Maka itu, Goan Kiong berduka hingga ia menangis sedih.
"Nona, oh, bukan, Ie Liehiap, banyak-banyak
terima kasih!" ia mengucap kepada Sin Tjoe. Dasar ia Jenaka, ia toh bersenyu
m. Ia biasa memanggil nona,
sekarang ia robah itu dengan liehiap, nona yang gagah.
Sin Tjoe tertawa, tetapi ia toh terharu, sebab Goan Kiong bersenyum hanya
serintasan.
"Jangan berduka, Pit Toako," ia menghibur. "Kalau aku sudah dapat menemui
guruku, aku nanti membalaskan
sakit hatimu ini!" Ia menoleh kepada Siauw Houwtjoe, untuk
menanya: "Kapannya soehoe datang?
Sekarang soehoe berdiam di mana?"
"i Soehoe sampai kemarin dulu. Segera soehoe ketahui hal rapatnya
kaum
Kaypang. Lantaran soehoe tidak dapat memecah diri, aku
diperintah menyerapi kabar. Ha, entjie tahu, soebo dan In Tayhiap pun dat
ang bersama, mereka memecah diri di dua tempat. In Tayhiap di rumahnya Han Gie
soe , dan soehoe bersama soebo di dalam piauwkiok dekat istana. Sungguh
ramai dan!"
Dari berduka, Sin Tjoe menjadi gembira.
"i Soebo dan paman pun datang!" katanya girang. "Kalau begitu, kita tidak usah b
erkuatir lagi!"
"Sebenarnya, kalau bukan In Tayhiap terluka di Tjhong San di tangan Touw L
iong Tjoentjia yang
bersenjatakan golok beracun hingga ia mesti beristirahat hampir satu bulan di da
lam guha, pasti kita telah datang ke sini terlebih siang lagi," Siauw Houwtjoe m
enerangkan.
Sin Tjoe masih hen-
dak menanya ketika ia lihat wajah The Tiangioo berubah menjadi pucat, alisnya hi
tam, tubuhnya pun terhuyung. Ia menjadi kaget sekali.
" Tiangioo, kenapa?" ia menanya.
"Aku tak tahan," menyahut pengemis tua itu seraya menggoyangi kepada. "Kamu leka
s cari Thio Tayhiap, tak usah kamu perdulikan aku lagi. Kau, Pit Goan Kiong, kau
umumkan saudara-saudara kita bahwa aku terbinasa oleh golok beracun dari Tongho
ng Lok, mintalah mereka membalaskan sakit hatiku!"
"Golok beracun?" tanya Goan Kiong heran. Ia lantas melihat lukanya tertua itu di
mana darah telah berubah menjadi hitam. Ia ambil selembar daun, ia celup itu ke
pada darah itu, lantas daun itu berubah menjadi
kuning hangus. Hebat racun itu, apa pula bekerjanya di tubuh yang tua.
Tidak dapat Sin Tjoe meninggalkan orang tua itu, ia mencoba meno-longi dengan me
ngobati lukanya dengan
obatnya pemunah
racun, bubuk Kietok san. Sayang obat itu tidak dapat melumakan racun goloknya
Tonghong Lok.
"Kenapa kamu tidak mau lekas berlalu?" kata The Tiangioo menguati diri. "Apa kam
u hendak menanti hingga disapu bersih barisan
Gielimkoen?"
"Lebih suka aku mati bersama daripada
meninggalkan kau!"
sahut Goan Kiong.
The Tiangioo menjadi gusar sekali, ia mengangkat kepalanya. Ia
sebenarnya hendak menggunai titah
Kaypang, untuk menyu-
ruh kawan ini pergi, tempo ia melihat sinar matahari muncul di timur hingga ia p
un nampak tembok Banlie Tiangshia di arah barat laut yang berlugat-legot di daer
ah pegunungan itu.
"Tempat apakah ini?" ia menanya.
"Kita berada dekat selat Holow Kok di utara See San," menjawab Goan Kion
g.
"Bagus!" berkata Tiangioo. "Mari pimpin aku ke dalam lembah, untuk melihat di sa
na ada rumah orang atau tidak..." Suaranya
perlahan tetapi terang.
Mendengar suara orang lain dari bia-sanya, Goan Kiong bersama Siauw Houwtjoe lan
tas menuju ke lembah.
The Tiangioo nampak bersenyum, tetapi kedua matanya dirapatkan perlahan-lahan.
Tiba di dalam lembah, di sana kedapatan sebuah rumah. Itulah gubuk bertembokkan
tanah liat, dan itu pun rumah satu-satunya di lembah yang luas itu.
"Rumah ini rada aneh!" Sin Tjoe kata dalam hatinya.
Goan Kiong segera mengetok pintu, yang terus dibuka oleh seorang sasterawan tua
yang mengenakan baju panjang warna biru dan kepalanya digubat
sabuk, hingga tak mirip-miripnya ia dengan satu petani.
Sebenarnya, rombongan The Tiangioo sendiri tidak keruan macamnya. Mereka
pengemis, pakaian
mereka bersih, tetapi banyak tambalannya. Pakaian mereka bersih kecuali keciprat
an
darah. Di antara mereka ada seorang bocah serta seorang pemuda,
yang belakangan ialah Sin Tjoe dalam penyamaran. Maka
mereka pun aneh. Si tuan rumah tidak heran itu tidak kaget atas kedatangan merek
a.
"Kami bertemu begal," Siauw Houwtjoe
mendusta, "dan orang tua ini terluka parah, maka itu kami mohon suka diberi menu
mpang untuk beristirahat."
Tuan rumah itu tertawa.
"Ada semacam penjahat yang membegal pengemis?" katanya. "Aku sudah berusia lanju
t begini tetapi belum pernah aku mendengar pembegalan seperti ini!"
"Kita kebetulan bertemu tuan kecil ini di gunung," Goan Kiong mencoba menjelaska
n. "Penjahat hendak
membegal tuan ini, kita tidak tega hati melihatnya, kita membantui
dia, karenanya kita mendapat luka."
"Kalau begitu, tuan berdua ialah pengemis-pengemis gagah dan budiman!" kata tuan
rumah itu. "Maaf, maaf!"
Tuan rumah ini agaknya tidak percaya tapi toh ia memper-silahkan tetamu-
tetamunya itu masuk.
Rumah itu terperl-gkap sederhana sekali, meja dan kursinya cuma beberapa buah ak
an tetapi segalanya bersih resik. Di tembok pun ada gambar lukisan. Jadi itulah
bukan rumah orang tani.
Selagi Sin Tjoe mengawasi rumah orang, tuan rumah tertawa dingin.
"Kamu berdua membantu dia ini melawan penjahat?" katanya. "Haha! Jangan kamu mem
buatnya aku
tertawa hingga perutku mulas! Aku lihat, kau
menjadi muridnya pun pantas, cuma sayang usianya tidak tepat. Laginya seorang, n
ona tak leluasa menerima pengemis tua menjadi muridnya..."
Mukanya Sin Tjoe menjadi merah. Selagi ia hendak membuka
mulutnya, mendadak tuan rumah itu merampas tongkatnya The Tiangioo, sedang tanga
nnya yang
sebelah lagi dipakai mengusap-usap kantung guninya.
The Tiangioo adalah ketua Partai Pengemis di Pakkhia, tongkatnya dari bambu yang
berbuku delapan, yang disebut Pattjiat Tekpang, adalah
senjata keramat bagi partainya itu, sekarang si sasterawan tua berbuat demikian,
itulah perlanggaran atas
kesuciannya Partai
Pengemis, maka juga Pit
Goan Kiong menjadi tidak senang.
"He, kau berbuat apa?" dia menegor. Dia lantas menyambar
dengan tangannya, guna merampas pulang tongkat itu.
Goan Kiong ini pernah meyakinkan ilmu silat Kimna hoat, dia pun terpisah dekat s
ekali dengan tuan rumah, tidak ada alasan kenapa dia tidak dapat merampas pulang
tongkat itu, tetapi kejadian yang benar tidaklah demikian. Si sasterawan berkeli
t sekelebatan atau
pengemis itu telah menyambar tempat kosong!
The Tiangioo telah merapati matanya
sekian lama, sekarang ia membukanya, lalu dengan perlahan ia berkata: "See San I
ein Yap Toaya, aku The Kok Yoe sengaja datang
berkunjung untuk
meminta kau mengobatinya, maka aku harap sukalah kau member
ikan pertolonganmu!"
Mendengar itu, tuan rumah tertawa terbahak.
"Aku mengira siapa, tidak tahunya The Tiangioo dari Kaypang!" katanya. "Kita sam
a-sama tinggal di kota Pakkhia, seharusnya kita telah bertemu sejak siang-siang.
Baiklah, aku Yap Goan Tjiang tidak mengobati segala pangeran, aku tukang mengob
ati orang-orang luar biasa. Kau? Kau berharga untuk aku mengobati padamu!"
Kata-kata ini membuatnya Sin Tjoe dan Goan Kiong kaget berbareng girang.
Memang semasa muda mereka, pernah mereka dengar di kota raja ada hidup seorang t
abib yang tinggalnya di
gunung See San, bahwa katanya tabib itu bertabiat aneh sekali, kalau orang sakit
mengundang dia dan memohon dengan
sangat, dia tidak dapat diundang, sebaliknya kalau dia suka menolong, dia akan d
atang berkunjung
sendirinya. Sin Tjoe menduga tabib itu sudah meninggal dunia, tidak tahunya dial
ah ini sasterawan tua di hadapannya!
Sekarang si nona melihat twielian yang tergantung di tembok, ia jadi semakin her
an. Itulah liari yang
merupakan syairnya Souw Tong Po. Yang heran ialah tulisan liari itu sangat mirip
sama tulisannya Hok Thian Touw. Tanpa sengaja, ia mengasi dengar seruan dari ke
heranannya itu.
Yap Goan Tjiang te-
ngah memotong daging rusak dari The Tiangioo ketika ia mendapat dengar suara si
nona. Ia mengerutkan alis, ia berkata: "Kenapa kau heran tidak keruan? Mustahilk
ah tulisan lian itu buruk?"
"Sebaliknya, bagus! Bagus!" Sin Tjoe memuji.
"Jikalau bagus, janganlah kau bersuara," berkata tabib itu. "Dengan kau bersuara
, nanti tak dapat aku mengobati kawanmu..."
Mukanya Sin Tjoe kembali menjadi merah. Ia menyesalkan diri, karena ingat orang
dengan siapa ia mempunyai hubungan erat, ia sampai melupakan The Tiangioo yang l
agi ditolongi itu. Ia lantas berdiam.
Tidak lama selesailah sudah Yap Goan Tjiang mengobati Tie Tiangioo, pengemis itu
terus tidur pulas. Di waktu itu,
mukanya pengemis ini nampak merah.
Perubahan ini membikin hati si nona lega, hingga sekarang, ia tidak dapat menaha
n desakan hatinya lagi.
"Syair ini tidak ada tanda tangannya,
sebenarnya siapakah yang menulisnya?"
demikian ia menanya.
"Melihat romanmu, kaulah wanita gagah," berkata tuan rumah, "maka kenapa kau omo
ng seperti orang biasa saja? Kalau cita-cita cocok dan kita bertemu, itu artinya
sahabat kekal. Karena itu, perlu apa kau menanyakan nama
orang?"
Sin Tjoe mendongkol. Inilah yang pertama kali ia mendengar orang menyebut ia "or
ang biasa." Akan tetapi ia menguasai dirinya.
"Inilah sebab aku merasa tulisan ini mirip
sama tulisannya sahabatku," ia menjawab. "Karena itu aku menanyakan kau, lootian
g."
"Kalau dialah sahabatmu, kau tentunya ketahui namanya. Perlu apa kau menanyakan
aku?" balik tanya si tabib.
"Dengan dia itu sudah lama aku tidak bertemu. Setahu
kapannya dia datang ke mari. Aku pun ingin menegaskan, dia
sebenarnya sahabatku itu atau bukan..."
"Jikalau kau datang sebulan di muka, kau pasti dapat bertemu dengannya, bahkan d
apat kau membantu aku mencegah
keberangkatannya."
Sin Tjoe heran, ia terperanjat. Menurut keterangannya Leng In Hong dan Toamo Sin
long, In Hong berpisah dari Hok Thian Touw pada tahun yang
lalu selama angin hebat di gurun pasir, sedang Toamo Sinlong mengubur seorang mu
da yang mati di gurun pada tiga tahun yang lampau. Kalau Hok Thian Touw benar te
lah menutup main tiga tahun yang lalu, kenapa baru satu bulan yang lalu dia bera
da di sini? Siapa sebenarnya pemuda penulis syair ini?
Saking heran, Nona Ie menanya pula, menanya bagaimana cara dat
angnya penulis liari itu.
Yap Goan Tjiang tertawa ketika ia menyahuti: "Bukannya dia datang mencari aku, a
kulah yang pergi mencari dia. Dia mendapat serupa
penyakit aneh, penyakit itu belum pernah aku menemuinya, tetapi dia memaksa mint
a aku mengobatinya. Di luar dugaanku, dia dapat
disembuhkan. Maka itu dia menulis liari ini untuk membalas budiku itu. Sekarang
mari kita bicara. Kedua pengemis ini tidak punya apa-apa, karena mereka sahabatm
u, kau ada punya apa untuk dipakai membalas
budiku ini?"
"Aku hanya kuatir aku nanti mengeluarkan kembali yang biasa saja..." sahut si no
na.
"Yang biasa atau tidak, mari aku lihat dulu, baru ketahuan," kata Goan Tjiang.
Didesak begitu, Sin Tjoe mengeluarkan tiga kuntum kimhoa, ia tancap itu di tembo
k, di atas huruf pertama dari lian itu. Sembari tertawa ia tanya: "Ini toh emas
dan perak yang bukannya biasa, bukan?"
Kelihatannya tuan rumah itu heran, lalu ia mengubah air mukanya.
"Memang, bukan yang biasa, bukan yang biasa!" katanya.
"Kiranya kau Sanhoa Liehiap! Pemuda itu pernah menyebut
namamu!"
"Eh, mengapa dia menyebut namaku?" tanya si nona heran.
"Telah aku bilang aku sudah berhasil
mengobati pemuda itu," menerangkan Yap Goan Tjiang. "Dia tidak mempunyakan apa-a
pa untuk membalas pertolonganku, karena dia ketahui aku gemar lukisan surat dan
gambar serta ilmu pedang, kecuali dia menulis lian-nya ini, dia pun bersilat unt
ukku, untuk memujikan aku panjang umur. Dia bersilat di waktu malam bulan terang
dan suasana tenang. Hebat ilmu silatnya itu. Gerak-geriknya mirip dengan guntur
menggelegar
atau ombak bergelombang. Pernah aku melihat ilmu silat pedang pelbagai partai pe
rsilatan tetapi ini kali aku toh mesti memuji dia, hingga aku menepuk-nepuk meja
. Habis bersilat, dia tanya aku tentang ahli-ahli silat pedang di Tionggoan. Aku
bilang, kecuali Tayhiap Thio Tan Hong, mungkin dia tidak ada tandingannya. Pemu
da itu lantas tertawa. Dia kata dia datang ke Tionggoan justeru untuk mencari Ta
yhiap Thio Tan Hong untuk meminta
pengajaran. Aku
mengasi tahu, menurut pendengaran, mungkin Thio Tayhiap tidak akan menemui dia,
sebab sudah lama Tayhiap menutup diri. Dia kata dia pun telah dengar hal itu, ak
an tetapi dia telah mendengar juga hal murid wanita dari
Thio Tayhiap, murid yang dijuluki Sanhoa Liehiap, maka dia mengharap, kalau dia
tidak bisa menemui Thio Tayhiap sendiri, agar dia dapat bertemu sama murid wanit
anya itu."
Inilah Sin Tjoe tidak sangka. Jadinya namanya telah sangat terkenal. Diam-diam i
a girang juga.
"Pemuda itu," berkata pula tuan rumah, "habis dia menyebut namamu, lantas dia me
nghela napas panjang..."
Sin Tjoe heran.
"Kenapa begitu?" tanya ia.
Sebab dia ada punya seorang nona tunangan dengan siapa ia telah terpisah tiga ta
hun lamanya dan ia tak tahu, tunangan itu masih hidup atau telah meninggal dunia
. Dari sahabatnya kaum Rimba Persilatan ia pernah mendengar namamu,
nona, karena kau seorang wanita gagah, menyebut namamu ia jadi ingat tunangannya
itu, karenanya ia menjadi berduka."
Hatinya Sin Tjoe tergerak. Di depan matanya kembali
berpeta bayangannya Yap Seng Lim. Ia jadi berpikir. "Kalau begini, pemuda itu me
sti Hok Thian Touw, bukan lain orang lagi. Jikalau dia masih hidup... jikalau di
a masih hidup... ah! Aku hendak
menggabungi jodoh In Hong dengan jodoh Seng Lim, tidakkah itu bakal jadi cade?"
Maka kacaulah pikirannya nona ini.
"Sayang aku tidak dapat menahan keberangkatannya pemuda itu," Yap Goan Tjiang me
nambahkan. "Pada satu bulan yang sudah, dia telah pergi ke Pataling, katanya
dia
hendak mencari seorang Rimba Persilatan yang luar biasa yang telah meng
undurkan diri."
Sin Tjoe heran. Bukankah Toamo Sinlong telah bertemu si anak muda yang pun mau p
ergi ke Pataling mencari orang pandai? Siapa pemuda itu kalau bukannya Hok Thian
Touw? Karena bingung, ia berpikir baiklah ia pergi mencari ke Pataling. Hanya s
ekarang ia lagi menghadapi urusan Kaypang dan gerakan tentera rakyat, mana ia bi
sa membagi temponya? Ia pun mesti bertemu dulu sama gurunya.
The Tiangioo tertolong jiwanya, meski begitu ia tidak dapat segera melakukan
perjalanan. Ini hal membuatnya Sin Tjoe minta tuan rumah sudi ketumpangan lebih
jauh pengemis tua itu, ia
sendiri lantas pamitan dari tuan rumah. Ia mengajak Siauw
Houwtjoe dan Pit Goan Kiong bersama. Siauw Houwtjoe yang mengantarkan ia mencari
gurunya di Hoeiliong Piauwkiok.
Piauwkiok itu terletak di dekat kota raja, pemiliknya ialah Liong Teng, salah se
orang sahabat akrab dari Thio Tan Hong. Begitu si nona bertindak di ambang pintu
, ia sudah lantas dapat mendengar suara tertawa gurunya.
Pegawai piauwkiok yang menyambut si nona memimpin nona itu dan dua kawannya mema
suki ruang dalam terus jalan memutari sebuah paseban,
sampai di pekarangan di mana ada sebuah kamar luar. Di sini Sin Tjoe mendengar s
uara
gurunya, katanya: "Tan Hong berada di sini, dia
hanya membikin Liong Piauwsoe kaget!"
Seorang yang suaranya keras, tertawa dan berkata: "Apa kata Thio Tayhiap? Aku si
orang she Liong justeru bersyukur yang Tayhiap memandang aku
sebagai sahabatnya yang dapat dipercaya. Dengan Tayhiap sudi menginjak gubukku i
ni, aku sudah kegirangan bukan main, tidaklah kecewa hidupku ini. Hanya aku berk
uatir, karena nama Tayhiap yang besar, kau nanti diintai orang jahat, jikalau ad
a terjadi sesuatu, bagaimana aku dapat bertanggung
jawab? Maka itu harus kita waspada!"
Tan Hong tertawa. "Aku lihat sahabat-sahabat yang mengantar bingkisan itu mesti
ada orang-orang gagah dari ini jaman," terdengar dia berkata pula.
"Mana dapat kita sembarang menerka mereka itu? Aku si orang she Thio telah meran
tau bersama
sebatang pedangku, mana dapat aku perlakukan
sembarangan kepada orang-orang gagah itu? Maka itu Liong Piauwsoe , tolong kau t
erimakan itu pelbagai bingkisan, nanti aku menuliskan surat tanda terima kasihku
."
Sin Tjoe jadi berpikir: "Soehoe datang ke Pakkhia secara diam-diam, sekarang ada
datang orang-orang yang mengirim bingkisan dan mereka tidak diketahui siapa, pa
ntas kalau Liong Piauwsoe jadi berkuatir..." Tapi ia tidak berpikir lama, ia lan
tas memanggil Soehoe1." seraya ia menyingkap sero dan bertindak masuk.
Karena ini ia lantas
melihat seorang bermuka merah berduduk menghadapi gurunya.
"Sin Tjoe, kau pun datang?" menyambut sang guru. "Eh, ini tuan siapa?"
"Inilah Pit Toako dari Kaypang," Sin Tjoe lekas memperkenalkan.
Goan Kiong memberi hormat, ia berlaku merendah.
"Kamu kaum Kaypang, hebat usahamu!" Tan Hong memuji. "Kamu membuatnya Tan Hong s
angat kagum. Inilah Liong Piauwsoe. Bukankah kau belum pernah bertemu
dengannya?"
Goan Kiong memberi hormat pada tuan rumah. Sin Tjoe pun turut memberikan
hormatnya. Kedua pihak lantas saling memuji.
Kemudian tuan rumah berkata: "Thio Tayhiap, silahkan kau bicara sama
Tuan Pit ini,
aku sendiri ingin mengundurkan diri
sebentar."
Tan Hong membiarkan orrang berlalu. Sin Tjoe tahu tuan rumah hendak berbuat apa e
mdash tentu untuk mengurus barang-
barang bingkisan.
Hanya ia heran tuan rumah nampak berduka. Maka ia menjadi menduga-duga.
Setelah berada di antara kawan sendiri, Tan Hong kata sambil tertawa: "Kamu kaum
Kaypang telah membuat rapat di Pitmo Giam, sayang aku tidak dapat datang sendir
i untuk memberi selamat. Aku cuma bisa mengirim ini muridku yang nakal. Apakah d
ia tidak mengganggu kamu?"
"Bahkan aku berterima kasih untuk bantuan siauwhiap," kata Goan Kiong samb
il menjura. "Jikalau siauwhiap tidak
datang, mungkin sekarang aku tidak dapat bertemu sama Tayhiap."
Karena ia memanggil Tan Hong "Tayhiap," pendekar yang tua, Goan Kiong mene
ruskan menyebut Siauw
H o u w t j o e "siau whiap." pendekar yang muda, yang kecil.
Siauw Houwtjoe merendahkan diri, ia lantas berkata: "Sebenarnya itulah jasanya b
unga emas dari entjie Ie, aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa."
"Sebenarnya, apakah sudah terjadi?" tanya Tan Hong.
"Tidak beruntung partai kami, kami telah mendapat halangan, kami menghadapi keja
dian yang tidak diharap-harap," berkata Goan Kong. "Mengenai itu, aku mengharap
petunjukmu, Tayhiap."
Pengemis ini tuturkan hal rapat yang
menyedihkan itu. Ia Jenaka tetapi sekarang di depan Tan Hong ia berduka sangat,
sampai ia tak dapat mencegah turunnya air matanya.
Tan Hong heran.
"Aku dengan pangtjoe kamu yang tua, Pit Too Hoan, bersahabat kekal," ia berkata,
"maka itu, apa juga urusan kamu, cobalah kamu menuturkannya."
Goan Kiong tidak bersangsi untuk menjelaskan sepak terjang Pit Kheng Thian, yang
sudah mengchianati pergerakan kebangsaan dengan sudi menakluk kepada pemerintah
, dan semua itu cuma untuk pangkat dan kebahagiaan.
Mendengar itu, Tan Hong menghela napas. "Inilah yang dibilang, penderitaan mempe
rlihatkan wajahnya seorang enghiong," ka-tnya. "Pit Kheng Thian
mengagulkan diri, sekarang ia menjadi berubah begini rupa, sungguh aku tidak san
gka. Bagaimana agungnya Tjinsamkay Pit Too Hoan semasa hidupnya, maka itu bagaim
ana nanti Pit Kheng Than dapat bertemu ayahnya di alam baka?" Ia berhenti sejena
k, lalu ia menambahkan: "Karena Kouw Beng Tjiang sudah bertemu sama Yang Tjong H
ay, sekarang tidak ada jalan untuk mencegah Pit Kheng Thian menghamba kepada raj
a. Meski begitu, pelaksanaannya penaklukan itu masih memerlukan tempo
beberapa hari, dari itu kamu kaum Kaypang, baik kamu lekas-lekas berangkat ke Se
latan untuk di sana membantu kawan-
kawanmu serta Yap Seng Lim, umpama kata
kita tidak berhasil, kita sedikitnya dapat
mencegah keruntuhan. Biar kita menanti ketika baik, untuk nanti aku mencoba memb
antu kamu memilih seorang pangtjoe baru."
Pit Goan Kiong tidak melihat jalan lain, maka itu, tanpa menanti kembalinya tuan
rumah, ia mengucap terima kasih, segera ia berpamitan dari Tan Hong, Sin Tjoe d
an Siauw Houwtjoe.
Sin Tjoe sendiri tidak lantas dapat melenyapkan herannya, tempo ia hendak menany
akan itu kepada gurunya, tiba-tiba ia mendengar suara soebo-nya: "Anak Tjoe, kau
pun datang?" Lalu kere disingkap dan In Loei bertindak perlahan, tapi melihat N
ona Ie, ia segera merangkul.
Sin Tjoe pun membalas merangkul, ia
sesapkan kepalanya di dalam rangkulan
gurunya itu. Ia mirip seorang anak manja yang sudah lama tak bertemu dengan ibun
ya. Ia mengucurkan air mata saking terharu.
In Loei mengusap-usap rambutnya anak dara itu.
"Anak Tjoe, kau kenapa?" tanya soehoe ini halus.
"Tidak apa-apa," si nona menjawab.
"Mana Keng Sim? Kabarnya dia datang bersama kau ke kota raja ini? Kenapa dia tid
ak kelihatan?"
"Dia... dia... dia jalan pisah dengan aku..."
Kembali air mata si nona turun deras.
"Anak tolol!" kata In Loei tertawa. "Anak-anak muda berselisih, itulah hal lumra
h. Adakah harganya untuk menangiskan itu? Aku sendiri dengan gurumu
dulu hari telah benterok banyak kali hingga hampir rusak segalanya!"
Selama di gunung Tjhong San, In Loei telah melihat sikap manis dari Keng Sim ter
hadap Sin Tjoe, ia menyangka pemuda itu ialah pemuda pujaan muridnya ini. Ia men
ganggap mereka itu pasangan yang
setimpal. Maka heran ia sekarang melihat sikap murid ini.
"Tapi, soebo, itulah bukan perselisihan yang umum," kata Sin Tjoe sambil menangi
s. "Dia telah membuka rahasia tentera rakyat kepada pemerintah!"
Tan Hong terkejut.
"Keng Sim adalah seorang kutu buku, tetapi aku sangsi dia demikian hina,"
katanya. "Sebenarnya apakah telah terjadi?"
Sin Tjoe tuturkan apa-apa yang telah
terjadi di Hangtjioe.
"Kalau begitu dia berbuat demikian
karena dia hendak melindungi ayahnya dan kau," kata Tan Hong kemudian. "Dulu kau
perumpamakan dia
seperti bunga mawar dalam taman di Kanglam, itu menandakan kau berpandangan jauh
. Memang, setelah hujan dan angin ribut, bunga mawar itu jatuh rontok. Nah, baga
imana dengan Vap Seng Lim?"
"Dia berada di Toenkee lagi menghadang sepuluh laksa jiwa serdadu
pemerintah!"
Di waktu mengatakan demikian, mata si nona mengeluarkan sinar bergembira.
"Bagus!" berkata sang guru tertawa. "Bunga mawar sudah rontok, di sana masih ada
pohon taytjeng
yang dapat melawan badai dan hujan hebat!"
Sin Tjoe menguatir-kan keselamatannya Seng Lim, sinar gembira dari matanya lanta
s berubah menjadi kedukaan.
Tan Hong tertawa pula.
"Tunggu sampai semua beres di sini, aku nanti temani kau pergi mencari Seng Lim!
" katanya.
Lega juga hati si nona mendengar janji gurunya itu. Ia hanya menyesal untuk tela
h terjadinya sekian
banyak salah faham.
"Seorang muda mengalami penderitaan pun ada baiknya," berkata In Loei, sang soeb
o, ibu guru. "Eh, katanya ada orang mengantar bingkisan untukmu barang apakah it
u?"
Pertanyaan itu diajukan kepada Tan Hong,
sang suami.
"Aku juga belum tahu," sahut Tan Hong. "Nah, lihat itu, Liong Piauwsoe
membawa bingkisan itu!"
Memang Liong Teng datang dengan sebuah kotak cat merah di mana ada tulisan air e
mas bunyinya:
"Dihaturkan dengan hormat kepada Thio Tayhiap."
"Mana si pembawa bingkisan?" In Loei tanya.
"Ketika pagi ini pintu piauwkiok dibuka,
bingkisan ini sudah berada di atas meja," menyahut Liong Piauwso
e.
Di dalam hatinya, In Loei terkejut juga. Pikirnya, "Di dalam piauwkiok ini ada b
anyak orang pandai, orang itu dapat menaruh bingkisan
tanpa diketahui siapa juga, ah, inilah rada
sesat..."
Tan Hong sebaliknya tak mencurigai sesuatu.
"Sudah dibingkiskan dengan kecintaan,
mana dapat kita menampik?" katanya tertawa. Dan belum lagi Liong Teng memperinga
ti untuk waspada, ia sudah membuka tutup kotak itu. Di situ ada empat macam phia
atau kuwe buatan Souwtjioe.
"Sahabat itu sungguh menarik!" kata Tan Hong pula, tertawa. "A Loei, tadi malam
aku menyebut-nyebut padamu tentang kuwe Souwtjioe, bahwa
lezadnya dengan kuwe di kota raja berlainan, dan kau mengatakan kau lebih menyuk
ai kuwe Souwtjioe, siapa tahu sekarang datanglah kuwe ini!"
Liong Teng terkejut. Tan Hong dan In Loei itu orang-orang macam
apa toh masih ada orang mencuri dengar pembicaraannya tanpa mereka mengetahui. T
idakkah itu aneh?
Selagi piauwsoe ini berpikir seraya matanya mengawasi tetamunya, Tan Hong sudah
menjumput sepotong kuwe untuk dikasi masuk ke dalam mulutnya.
"Benar, inilah benar kuwe Souwtjioe!"
katanya. "Adik In, mari kau mencobai!"
Matanya Sin Tjoe liehay, ia melihat karcis nama merah yang besar di dalam tempat
kuwe itu, bunyinya "Pata Sanjin." Diam-diam ia terkejut. Belum lagi ia mengatak
an sesuatu, di luar terdengar suara orang berisik sekali dan satu pegawai lantas
masuk memberitahukannya: "Ada seorang pembesar mohon
bertemu sama Thio Tayhiapl'
Liong Teng tidak dapat mencegah terkejutnya sedang In Loei mengerutkan kening.
"Mustahilkah si pengantar kuwe datang sendiri!" menduga-duga nyonya ini. "Apa be
nar di dalam istana ada orang sedemikian
liehay?"
Nyonya ini memegang sepotong kuwe tetapi ia tidak berani lantas memakann
ya.
Tan Hong sebaliknya, bersikap tetap tenang.
"Adik In," katanya bersenyum, "sebenarnya kali ini kita datang ke kota raja tanp
a ingatan akan membikin repot pada sahabat-sahabat kita, siapa tahu toh ada oran
g pandai yang telah membingkiskan kuwe kepada kita! Dan sekarang pula ada pembes
ar negeri datang mengunjungi, sungguh inilah suatu kebahagia-
an!"
In Loei tercengang. Di dalam hatinya ia kata: "Mengapa kau ketahui itu adalah da
ri dua rombongan orang?"
Tan Hong tidak mengambil mumat tercengangnya isterinya itu, sambil memandangi Li
ong Teng, sambil tertawa ia berkata: "Seorang pembesar datang berkunjung, aku ti
dak keluar menyambut saja sudah berarti kepala besar, maka itu bagaimana dia dap
at dicegah? Tolonglah supaya dia diantar masuk!"
Tenang juga hatinya Liong Teng mendapatkan sahabatnya ini tabah, maka itu, ia la
ntas suruh pegawainya mempersilahkan tetamunya masuk.
Tan Hong sendiri menjumput pit dengan apa ia lantas menulis surat balasan peng
ha-
turan terima kasih. Sambil tertawa ia berkata: "Terpaksa, janjinya Pata Sanjin h
arus ditunda untuk beberapa hari!"
Lalu ia mengambil lengkeng dari tempat kuwe, yang mana ia jejalkan di tangannya
Siauw Houwtjoe, si bocah yang sedari tadi berdiam saja. Sambil berbuat begitu, s
ambil tertawa ia berkata: "Eh, bocah doyan makan, mengapa kau menghentikan mulut
mu? Pergilah kau makan ini di dalam!"
Sengaja Tan Hong berbuat demikian, untuk menyingkirkan bocah itu. Ia melihat ket
egangan orang piauwkiok sedang si bocah terlihat sudah mengepal-ngepal tangannya
, dari itu hendak ia meredahkan suasana tak diingin itu.
Pintu kamar sudah lantas dipentang, lalu
nampak seorang dengan seragam Gielimkoen mendatangi dengan tindakan sepatunya ya
ng berat, hingga setiap tindaknya itu meninggalkan bekas dari melesaknya jubin.
Tan Hong melihat itu, ia tahu orang hendak mempamerkan kepandaiannya, ia menyamb
utnya itu dengan hanya bersenyum.
Nyatalah pahlawan Gielimkoen itu bernama Tjee Hong, salah satu dari Lima Harimau
Istana. Dalam ilmu silat ia hanya berada di bawahan Yang Tjong Hay dan Law Tong
Soen dan di atasannya Tonghong Lok. Setelah menindak di tangga, ia menanya deng
an
nyaring: "Yang mana Tuan Thio Tan Hong? Lekas mengundurkan orang-orang di kiri k
anan, untuk menyambut firman Sri Baginda!"
Belum berhenti suara jumawa itu, menyusullah suara tertawa dingin dari luar jend
ela, yang mana pun disusul lagi dengan suara senjata rahasia yang mengaung yang
mendenyutkan hati, sebab beberapa buah senjata rahasia yang berupa piauw menyamb
ar masuk.
"Berontak! Berontak!" berseru Tjee Hong dengan murka. Ia lantas menggera
ki kedua
tangannya ke arah dari mana senjata-senjata rahasia itu datang, untuk menangkis.
Ia memang pandai
Hokhouw Tjiang,
koentauw Tangan
Menaklukkan Harimau, maka itu tak memandang mata segala piauw yang umum, ia meny
angka tangkisan-nya itu akan membuatnya senjata rahasia meluruk jatuh. Tapi ia t
elah keliru menduga.
Keras suaranya piauw itu tetapi datangnya lambat, datangnya pun di arah lima pen
juru, empat merupakan
pesegi, yang ke lima datang di sama tengah. Dengan begitu Harimau Gielimko
en itu dibuatnya kaget.
Selagi tetamunya terancam bahaya itu, Tan Hong bersenyum,
tangannya menjumput beberapa butir biji lengkeng, terus tangannya itu diayun sam
bil ia sendiri berkata dengan nyaring: "Terima kasih untuk perhatianmu, sahabat
di luar kamar! Thio Tan Hong dapat melayaninya!"
Hampir berbareng dengan itu terdengarlah empat suara bentero-kan, yang berakibat
empat buah piauw jatuh ke tanah terhajar biji-biji lengkeng, hingga tinggal yan
g ke lima yang meluncur terus
kepada Tjee Hong, mengarah pempilingan.
"Tjee Taydjin jangan bergerak, agar kau tak kesalahan terlukai"
berkata In Loei sambil tertawa seraya tangannya menimpuk dengan kuwe yang berada
di dalam genggemannya.
Piauw terkena kuwe, benterokannya tak
memberikan suara,
keduanya jatuh di atas meja teh, meja itu tidak lecet.
Demikian Tan Hong dan isteri memperlihatkan kepandaiannya hingga karenanya Tjee
Hong yang tadi demikian besar kepala, sekarang menjadi berdiri menjublak hingga
sekian lama...
Tan Hong sendiri sudah lantas mengangkat surat penghaturan
terima kasihnya, ia bawa itu ke depan mulutnya, untuk ditiup, atas mana kert
as itu
terbawa angin terbang keluar tembok pekarangan dari mana lantas terdengar suara:
"Sungguh liehay!
Baiklah, di tiamtjiang tay saja kita nanti bertemu pula!"
Tiamtjiang tay itu ialah panggung perwira peranti mendaftarkan nama.
Tan Hong tidak membilang suatu apa atas suara orang itu, ia hanya tertawa.
"Tjee Taydjin kaget..." katanya. "Silahkan duduk!"
Harimau Gielimkoen itu tidak berani duduk, bahkan tubuhnya
bergemetar. Ketika ia berkata, suaranya pun sabar: "Tjee Hong tongni
a dari Gielimkoen membawa firman Sri Baginda untuk menghadap Thio Tayh
iap, maka itu tolong tayhiap menitahkan mundur orang-orang di ki
ri
kanan!"
"Aku bukannya se-atasanmu, untuk apa kau menghadap
padaku?" berkata Tan Hong sabar. "Kau duduklah! Adik In, pergi kau bersama Sin T
joe masuk ke dalam." Ia mengulurkan sebelah tangannya, memegang pelahan tangan
isterinya seraya ia menambahkan: "Kuwe Souwtjioe ini lezad sekali, tolong kau ti
nggalkan dua potong untukku sebentar."
"Aku tahu!" sahut sang isteri tertawa, lalu dengan menuntun Sin Tjoe ia pergi ke
dalam.
Liong Teng heran menyaksikan sikapnya Nyonya Thio itu. Tadinya si nyonya bersika
p tegang akan tetapi sekarang ia tabah, bahkan tenang luar biasa.
"Inilah Liong Piauwsoe yang menjadi sahabat
karibku," kata Tan Hong kemudian memperkenalkan tuan rumah yang menjadi sahabatn
ya itu, "maka itu, harap Tjee Taydjin menanti
sebentar, hendak aku bicara dulu dengannya, setelah itu baru aku menyambut firma
n. Toh belum terlambat,
bukan?"
Tjee Hong tidak berani mencegah, dengan tidak banyak omong, ia berduduk.
"Jangan sungkan, Tjee Taydjin," Tan Hong berkata pula. "Silahkan minum tehnya da
n dahar kuwenya!" Kemudian ia berpaling kepada tuan rumah seraya berkata: "Liong
Toako, aku ada mempunyai serupa barang untuk dipersembah kepadamu." Dan ia mero
go sakunya mengasi keluar sepucuk surat, yang mana ia serahkan pada itu piauwsoe
.
Liong Teng menyam-buti untuk segera mengundurkan diri. Di luar ia periksa surat
itu yang diberikuti cheque dari sebuah bank paling terkenal di kota Souwtjioe, j
umlahnya tiga puluh ribu tail perak. Suratnya berbunyi ringkas saja:
"Di daiam tempo tiga hari, piauwkiok ini terjamin keselamatannya."
Liong Teng terkejut akan tetapi ia mengarti. Itu artinya, di dalam tempo tiga ha
ri itu ia mesti membubarkan sekalian pegawainya, untuk menutup perusahaannya itu
, sedang uang itu mesti segera ditukar di sebuah bank di kota Pakkhia itu, untuk
dipakai seperlunya ia tidak berani menerima itu uang tetapi ia memang lagi keku
rangan, terpaksa ia
menerimanya juga.
"Biarlah lain kali aku membalas budinya," pikirnya. Ia berterima kasih kepada Ta
n Hong, kecerdikan siapa ia kagumi. Tan Hong seperti dapat meramalkan segala apa
dan selalu telah siap sedia untuk melayani sesuatu. Hal ini membuatnya berhati
lega.
Tidak lama berselang terlihat Tan Hong keluar bersama-sama Tjee Hong, sambil ter
tawa riang ia berkata kepada tuan rumahnya: "Kau lihat datangku ke kota raja kal
i ini, sungguh aku beruntung! Bukan saja ada sahabat yang mengantarkan kuwe kepa
daku, bahkan Sri Baginda juga mengundang aku menghadirkan pesta di istana! Ha ha
, Liong Toako, kau gemar minum arak, nanti pulangnya aku
membawakan sebotol
arak istana untukmu mengicipinya!" Terus ia menepuk-nepuk bajunya, tingkahnya se
derhana, mirip dengan orang yang hendak mengunjungi pesta
sahabatnya. Dengan wajar ia terus pergi bersama Harimau
Geliemkoen itu.
Sebenarnya, dengan kedatangannya ke kota raja itu, Tan Hong memikir mencari keti
ka yang baik untuk menemui Kaisar Kie Tin. Ia mau mendayakan terhapusnya bahaya
perang yang merusak itu sekalian untuk mengadakan persekutuan Tiongkok Iran. Ada
lagi dua maksudnya yang lain. Tapi ia tahu baik kaisar membenci padanya, maka i
tu selama setengah bulan berada di Pakkhia ini, ia sudah mengatur segala apa. Ia
hanya tidak menyangka, mata-mata
raja sudah lantas dapat mengetahui kedatangannya itu dan ia segera ditemui untuk
diundang ke istana.
Perjalanan dari piauwkiok ke istana cuma meminta tempo tak lebih setengah jam, m
aka di lain saat Tjee Hong sudah mangantar orang undangannya jalan di dalam tama
n raja, terus melintasi beberapa istana hingga tiba di ranggon Bansioe Kok, yang
pernahnya di ujung timur dari taman itu. Itulah tempat peranti raja menjamu men
teri-menteri kepercayaannya.
Ketika itu sudah magrib, api dinyalakan terang-terang. Maka segala apa nampak te
gas. Di situ diatur tiga buah meja. Meja kaisar ialah yang di tengah. Di kiri ta
mpak In Tiong. Meja sebelah kanan masih kosong.
Terang itu untuknya, pikir Tan Hong. Di kiri dan kanan berdiri sejumlah pahlawan
, melihat siapa, hati orang she Thio ini berdenyut juga.
Di kiri dan kanan Kaisar Kie Tin berdiri pula empat orang lain. Mere
ka itu tidak mengenakan seragam. Vang satu ialah seorang imam,
dan Tan Hong kenali Tek Seng Siangdjin. O ra n g di sampingny
a dia ini, yang memakai baju kasar dengan makwa besar, yang tang
annya cuma satu, Touw Liong Tjoentjia adanya.
Tangan kanannya itu lenyap dalam pertempuran di Thiamtjhong San, dibikin patah o
leh In Tiong yang menggunai tenaga besar Taylek Kimkong Tjioe. Karena ini tidak
heran kalau dia mengawasi si orang she In dengan mata tajam.
Dari dua orang yang lainnya, yang satu berusia kurang lebih empat puluh tahun, t
ubuhnya besar dan kekar, bajunya baju panjang sutera tetapi dandannya tidak keru
an, bukan sasterawan bukan imam. Orang ini tak dikenal Tan Hong.
Orang yang ke empat, yang berdiri paling dekat dengan kaisar ialah seorang tua d
engan romannya
istimewa, karena jidatnya menjulang tinggi, pempilingannya munjul, sedang hidung
nya
bengkung, matanya celong dan tajam. Yang lebih menyolok mata ialah kedua tangann
ya merah sebagai tjoesee, sepuhan.
Diam-diam Tan Hong memikir. Ia tidak usah kuatir untuk Tek Seng Siangdjin dan To
uw Liong Tjoentjia, tidak perduli mereka ini orang
kosen kelas satu. Yang ia mesti perhatikan ialah orang tua itu. Ia menduga diala
h Tjio Hong Po, satu guru silat yang menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, yang
tersohor untuk ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet tjioe, ilmu silat Memecah Otot Mem
atahkan Tulang. Pula si orang yang ketiga tak dapat dipandang ringan. Maka itu,
ia bersiaga, tetapi pada wajahnya ia tidak mengentarakan sesuatu. Dengan sabar i
a bertindak memasuki Bansioe Kok.
Dengan lantas Kaisar Kie Tin kata sambil tertawa pada Yang Tjong Hay, yang turut
hadir bersama pahlawan-pahlawan rekan atau sebawahannya: "Aku telah bilang Thio
Sianseng pasti bakal datang, kau lihat sekarang, dugaanku
tidak salah!"
"Firman Sri Baginda..." menyahut Yang Tjong Hay.
Sebenarnya pahlawan ini hendak memuji junjungannya itu
dengan menyebut
pengaruh firmannya, tetapi ia dipegat tertawanya raja, yang tertawa berkakak, ya
ng pun berkata pula: "Thio Sianseng ada enghiong besar, hookiat besar dari ini j
aman, mana ada aturan dia tidak bakal datang!"
Mendengar itu, Tan Hong bersenyum.
"Tidak berani hambamu menerima sebutan enghiong dan hookiat besar!" ia berkata.
"Hanya benar pada sepuluh tahun dulu Tan Hong berani datang ke negeri Watzu untu
k menghadap Sri Baginda, sedang hari ini, di dalam wilayah negara sendiri, denga
n menerima
panggilan firman, mana dapat Tan Hong jeri untuk datang juga?"
Wajah Kie Tin ber-semu merah karena disebutnya peristiwa sepuluh tahun itu. Tapi
ia menetapkan hati, ia paksakan diri untuk tertawa.
"Benar!" katanya. " Tim dengan Thio Sianseng memang ada sahabat-saha
bat karib!"
Tan Hong tertawa lebar.
"Itulah pujian yang tak berani kuterima!" katanya. "Jaman sekarang ini lain dari
pada jaman dahulu itu. Dahulu hari Sri Baginda tinggal di dalam penjara dari neg
ara musuh, baju yang dipakai baju tipis, yang didahar pun beras kasar, tetapi se
karang ini Sri Baginda tinggal di dalam istana dengan loneng-loneng batu kumala
yang terukir, jubahnya pun jubah
naga yang tersulam indah, yang didahar ialah masakan-masakan istimewa yang lezad
! Haha! Inilah perbedaan bagaikan langit dan bumi! Maka syukur sekali Sri Bagind
a masih mengingat
persahabatan dahulu hari itu!"
Kata-kata itu membuatnya pias wajahnya semua hadirin di ruang istana itu.
Kaisar gusar bukan main, tetapi ia mencoba menguasai dirinya. Ia mesti pegang te
guh keagungannya sebagai raja. Maka juga ia tertawa, walaupun
dengan kering. Ia kata: "Sepuluh tahun sudah kita tidak bertemu, Thio Sianseng,
tetap jumawa tak kalah daripada dahulu hari itu! Hong Po, ambilkanlah kursi untu
k mengundang Thio Sianseng berduduk!"
Diam-diam Tan Hong
mengerutkan kening. Benar saja orang tua itu Tjio Hong Po adanya, ialah gurunya
Tayiwee Tjongkoan Law Tong Soen. Dengan diam-diam juga ia lantas memperhatikan g
erak-geriknya jago Hoenkin Tjokoet Tjioe itu.
Dengan sikapnya hati-hati sekali, Tjio Hong Po mengangkat sebuah kursi, ia bawa
itu untuk diletaki dengan perlahan-lahan.
"Sri Baginda menghadiahkan tempat duduk!" katanya dengan nyaring.
Sebagai ahli, Thio Tan Hong mengetahui orang telah mengerahkan tenaga dalam, den
gan itu kursi itu telah dibikin rusak bagian dalamnya, bagai tauwhoe empuknya, m
aka kalau ia duduk di situ, pasti kursi itu akan ambruk sendirinya. Tapi ia be
rpura-pura tidak
mengetahui itu.
"Terima kasih!" katanya seraya melirik kursi itu. Ia pun berkata dengan menghada
pi kursi, maka suara napasnya mengenakan alat tempat duduk itu.
Segeralah terjadi sesuatu yang menajubkan.
Agaknya Tan Hong meniup debu kursi itu, akan tetapi akibatnya luar biasa sekali.
Bukan debu-debu yang
terbang berhamburan, hanya kursinya sendiri yang ambruk menjadi setumpukan debu,
antaranya ada yang melayang-layang!
Kaisar kaget hingga mukanya pucat, sedang Tjio Hong Po menjadi sangat likat.
Memang Tan Hong merusak kursi dengan meminjam tenaga
dalamnya Hong Po, akan tetapi tiupan itu memang dahsyat, maka juga Kie Tin, yang
tidak
mengetahui itu, hatinya goncang.
Bukan main mendongkolnya Tjio Hong Po mendapatkan Tan Hong menggunai
kecerdikannya itu untuk membuatnya mendapat malu, tetapi di dalam keadaan sepert
i itu, tidak dapat ia mengumbar hawa marahnya, maka dengan terpaksa ia mengambil
sebuah kursi lain.
Tan Hong tertawa dan berkata: "Kursi-kursi yang sudah tua di istana harus dituka
r dengan yang baru! Tapi ah, ini satu nampaknya masih cukup kuat..." Dan dengan
toapan ia bercokol di atas kursi itu.
"Terima kasih!" ia berkata pada Hong Po kepada siapa ia mengangguk.
Mukanya jago she Tjio itu merah, tetapi ia berdiam saja. Lantas ia
mengambil tempat di belakang orang, matanya saban-saban melirik kepada kaisar, s
upaya, asal kaisar itu mengedipi mata, ia bisa turun tangan, untuk mematahkan tu
lang-tulangnya Tan Hong!
Kaisar menanti sampai tetamunya sudah berduduk, baru ia membuka mulutnya.
"Thio sianseng," katanya, dingin, "kabarnya kau telah menerima seorang murid wan
ita yang kau sangat menyayanginya, ialah puterinya Ie Kiam, apakah kau mengajak
datang ke kota raja ini?"
"Tunggu saja nanti setelah penasarannya Ie Kokioo dapat dilampiaskan, hingga seg
ala apa menjadi terang jelas di seluruh negara, akan aku bawa dia
menghadap Sri
Baginda," menjawab Tan Hong tenang.
"Hm!" Kie Tin mengejek. "Apakah kau tidak ketahui Ie Kiam itu mendurhak
a terhadap timi Sudah bagus yang tim telah membebaskan dia dari hukum picis!"
"Akan tetapi, Sri Baginda," berkata Tan Hong, pun dengan tawar. "Ingatkah
peristiwa dahulu hari itu ketika Ie Kokioo datang menyambut Sri Baginda pulang k
e negara? Bukankah Sri Baginda yang mengatakannya sendiri, berjanji bahwa untuk
selama-lamanya Ie Kokioo tidak bakal dihukum mati?"
"Thio Tan Hong, kau sangat kurang ajar!" Yang Tjong Hay membentak tanpa
menanti tanda atau titah dari rajanya.
Raja pun lantas berkata: "Ie Kiam itu sudah mendurhaka, karena selagi tim dalam
kesusahan dia sudah
Tjee Hong sudah mengantar orang undangannya, Thio an Hong, hingga tiba di ranggo
n Ban Sioe Kok. Ketika itu sudah maghrib, api dinyalakan terang-terang. Maka seg
ala apa nampak tegas. Disitu diatur tiga buah meja. Meja kaisar ialah yang di te
ngah. Di kiri tampak In Tiong. Meja sebelah kanan masih kosong. Terang itu untuk
nya pikir Tan Hong. Di kiri dan kanan berdiri sejumlah pahlawan, melihat siapa,
hati orang she Thio ini berdenyut juga.
mengangkat seorang raja baru, maka itu meskipun ia mempunyai kimpay, dia tidak d
apat bebas dari dosa tak berampun! Thio Sianseng , sungguh tim tidak mengarti, m
engapa kau tetap hendak menya-terukan timi"
Tan Hong kembali tertawa dingin.
"Jikalau aku menya-terukan Sri Baginda," katanya nyaring, "maka aku kuatir sampa
i hari ini Sri Baginda masih merasakan tusukannya angin dingin dari negara Watzu
yang merajuk ke tulang-tulang hingga tak tertahan sakitnya!"
Berubah air mukanya kaisar.
"Dahulu hari itu kau telah melepas budi terhadap tim\" katanya, keras. "Budi itu
telah tim catat, dari itu tak usahlah kau
mengungkat-ungkatnya pula."
"Baiklah!" Tan Hong tertawa tawar. "Segala apa sudah lewat, segala kejadian dulu
itu jangan ditimbulkan pula! Karena itu, mari kita bicara dari hal sekarang..."
"Baiklah," berkata raja. "Yap Tjong Lioe paman dan keponakan bersama-sama Pit
Kheng Thian sudah menerbitkan huru hara di Kanglam, syukur Pit Kheng Thian itu i
nsaf akan kekeliruannya, dia telah menyatakan suka menakluk terhadap tim. Tidak
demikianlah Tjong Lioe, benar dia sudah menyingkirkan diri entah ke mana tetapi
di Toenkee masih ada Yap Seng Lim yang berkepala batu. Tim dengar Yap Seng Lim i
tu keponakan muridmu, maka sekarang, kalau benar kau tidak menyaterukan aku, tim
minta sukalah kau
menulis surat kepadanya supaya dia suka datang menakluk."
Tan Hong tertawa.
"Kiranya sepucuk surat dari Thio Tan Hong ada sedemikian berharga hingga dia men
dapatkan hadiah pesta ini!" katanya. "Inilah perbuatan yang bisa membikin Tan Ho
ng kaget karena sangat dimanjainya! Tetapi, Sri Baginda, Tan Hong pun ada mempun
yai tiga syarat untuk diajukan kepada Sri Baginda."
Kie Tin tahu ia d-isindir, ia merasa sangat tidak senang.
"Kau bilanglah!" katanya, suaranya dalam, tanda ia menahan sabar.
"Syarat yang pertama tadi telah disebutkan," berkata Tan Hong. "Ialah aku mohon
Sri Baginda mengumumkan kepada seluruh negara supaya
penasarannya Ie Kokioo
dapat dicuci bersih."
"Yang kedua?" kaisar tanya.
"Yang kedua ialah aku bersedia akan menulis surat kepada Yap Seng Lim untuk mint
a ia datang menakluk," kata Tan Hong, "tetapi dalam hal ini aku percaya tidak na
nti Seng Lim suka menyerah. Maka itu untuk kebaikannya
kedua pihak, baik Seng Lim dibiarkan membawa pasukan perangnya sendiri menyingki
r ke kepulauan Tjouwsen untuk dia berdiam di sana. Dengan begitu, tenaganya itu
dapat dipakai untuk membela negara, guna dia menahan serbuannya perompak-perompa
k bangsa kate. Keuntungan lainnya ialah pemerintah tak usah memberi gaji dan ran
gsum kepada
pasukan pembela negara
itu. Umpama kata Sri Baginda hendak melindungi muka pemerintah, bolehlah dia dia
nugerahkan sesuatu pangkat, agar di kepulauan itu dia dapat mengangkat dirinya m
enjadi raja muda. Tidakkah itu namanya dialah suatu menteri dari kerajaan Beng y
ang terbesar? Bukankah ini daya kebaikan untuk kedua belah pihak?"
Tergerak juga Kie Tin atas usul ini. Tetapi hanya sejenak, ia sudah memikir lain
nya lagi. Ia terpengaruh, hingga ia berkuatir, oleh kata-kata, "Memelihara harim
au berarti bencana mengeram di dalam." Maka itu, ia lantas berdiam.
"Sekarang syarat yang ketiga," kata Tan Hong tanpa ia perdu-likan raja itu.
"Ah, mulut Thio Sianseng tentu sudah
kering bekas bicara saja, baiklah kau minum secangkir arak untuk membasahkannya,
" berkata raja. "In Tjonggoan , kau pun silahkan minum bersama!"
Kie Tin sendiri mengangkat poci arak, menuang isinya ke dalam tiga buah cawan, k
emudian ia menitahkan Yang Tjong Hay membawakan itu kepada Tan Hong dan In Tiong
.
Tan Hong yang dibawakan lebih dulu, selagi menyambuti arak untuknya, ia merampas
juga arak untuk In Tiong itu, sambil berbuat begitu, ia kata sembari tertawa: "
In Tjonggoan tidak kuat minum, biarlah aku yang mewakilkannya!"
Dengan lantas ia mencegluk araknya, atau dengan lantas juga ia membuka mulutnya
menyemburkan arak
itu, hingga di antara bau harumnya, arak meluncur kepada Yang Tjong Hay!
Tjio Hong Po sebat, ia membentur Tjong Hay hingga orang tertolak ke samping dan
karenanya dia tak kena tersembur.
"Thio Tan Hong!" menegur Hong Po, "di depan Sri Baginda kau berani berlaku kuran
g ajar!"
Sementara itu arak itu mengenai seorang pahlawan di belakang Tjong Hay, muka dia
itu lantas saja melepuh seperti bekas kena api.
Poci arak itu ada sebuah poci rahasia, di dalamnya terbagi dua, arak untuk raja
sendiri arak istana, yang bersih, tetapi yang untuk Tan Hong, telah dicampurkan
racun. Tan Hong bercuriga, maka ia ambil tindakannya itu. Syukur Tjong Hay d
i-
tolongi Hong Po, kalau tidak tentulah ia menjadi kurban.
Menyusul tegurannya Hong Po itu, terdengar lagi bentakan lain dibarengi sama ber
-kelebatnya golok. Itulah Touw Liong Tjoentjia, yang menghunus
goloknya seraya terus menyerang.
Thio Tan Hong tertawa bergelak dan berkata: "Aku tidak sangka aku seorang rakyat
jelata telah begini dicintai raja hingga diundang menghadirkan pesta Hongboen H
wee!" Sembari berkata begitu, ia mengebut dengan tangan bajunya, menyampok golok
nya Touw Liong Tjoentjia, sebuah golok beracun, sedang lain tangannya, tangan ki
ri, menangkis sambarannya Tjio Hong Po, yang pun terus menjambak kepadanya,
untuk dicengkeram.
Touw Liong Tjoentjia menjerit keras, goloknya mental terbang, tubuhnya terguling
roboh akibat sampokan itu.
Tek Seng Siangdjin sudah bersiap untuk membantu menyerang dengan kebutannya, aka
n tetapi menyaksikan liehaynya Tan Hong, ia tidak berani berlaku sembrono.
Tjio Hong Po tidak berhenti sampai di situ setelah sambarannya tidak mengenai sa
sarannya, ia membalik telapakan tangannya, untuk terus menyerang lebih jauh.
Kedua tangan ben-terok dengan keras, tubuh Tan Hong mundur dua tindak.
Sebenarnya Tan Hong hendak menguji tenaganya Hong Po, tetapi sebab ia berbareng
melayani
Touw Liong Tjoentjia, tenaganya itu terbagi, sedang tenaga dalam mereka
berdua hampir berimbang.
Hong Po seorang ahli silat liehay, ia mengarti sebab mundurnya Tan Hong itu. Ia
kata dalam hatinya: "Tan Hong baru menggunai lima bagian dari tenaganya, dengan
itu ia dapat membebaskan diri dari tenagaku seribu kati, benar dia liehay, panta
s dia dihormati banyak jago tua."
"Sayang, sayang..." lalu terdengar suaranya Tan Hong.
"Sayang apa?" tanya Hong Po heran.
"Sayang kau seorang ahli silat kenamaan di Utara dan sudah berusia lanjut juga,
kau kena dipedayakan
muridmu, hingga kau menjadi budak orang!" menyahut Tan Hong.
Hong Po menjadi
gusar, hingga ia membentak: "Sekalipun gurumu, Tjia Thian Hoa, bertemu dengan ak
u dengan hormat ia memanggil aku tjianpwee ! Tahukah kau itu?"
"Maka itu juga, seorang harus bisa menempatkan dirinya!" sahut Tan Hong. "Orang
mesti berhati-hati.
Tetapi kau, dalam usia lanjutnya ini, kau berpikiran gelap, kau kesudian menjadi
budak orang! Kau sendiri yang membuatnya dirimu dipandang rendah lebih dulu, ha
bis, ada sangkutan apakah dengan aku?"
Tan Hong berkata-kata dengan nasihat campur sindiran, Tjio Hong Po tidak dapat m
enguasai dirinya lagi, sambil berseru ia menyerang pula,
dengan tangan kirinya.
Tan Hong berkelit dengan menggeser kaki-
nya menurut jurus "Sang naga jalan mutar," atas mana ia disambar lebih jauh deng
an tangan kanan si orang tua.
Tan Hong membela diri dengan sebelah tangan menjaga dadanya, tangan yang lain me
nghalau serangan. Ia menggunai ilmu silat "Siemie Tjianghoat" yang dapat membeba
skan diri dari tiga serangan beruntun. Selagi membela diri, ia melirik ke arah I
n Tiong, ia mendapatkan tjonggoan itu,
berbangkit dengan
tegar tetapi berkata dengan suara sedih: "Sri Baginda, aku mohon tanya, keluarga
In bersetia turun temurun, maka apakah salah dosanya maka dua kali kami dihadia
hkan arak beracun?"
Pertanyaan ini disebabkan In Tjeng, ialah
kakek In Tiong, ketika dulu diutus ke negeri Watzu, di sana ia menampak kesengsa
raan, akan tetapi ketika ia kembali dengan selamat, Kie Tin menghadiahkan dia ar
ak tercampur racun dan terbinasa karenanya. Maka itu sekarang di depan raja send
iri, In Tiong menegur.
Kie Tin terbengong menyaksikan Tan Hong tidak kena diracuni, bahkan dia dapat me
nyerang Yang Tjong Hay dan sekarang jadi bertarung seruh sama Tjio Hong Po, seda
ng ia kaget dan heran itu, ia mendengar tegurannya In Tiong ini.
"Apa kau bilang?" ia tanya, terkejut, matanya di pentang lebar.
In Tiong tengah bersedih dan mendongkol, maka ia menyahuti dengan keras: "Aku nu
mpang tanya tentang
undang-undang pemerintah, apakah siapa bersetia membela
negara dia mesti menerima hukuman mati dengan diminumkan arak beracun?"
"Eh, apakah kau bilang?" raja menanya, air mukanya berubah keren.
"Kakekku diutus ke negara asing, buat dua puluh tahun dia hidup sengsara dengan
menggembala kuda di sana," kata In Tjonggoan, "atas
jasanya itu, seluruh pemerintah memuji
kakekku itu, yang telah dibandingkan dengan Souw Boe, hingga namanya pantas dica
tat dalam hikayat, akan tetapi begitu dia pulang, dia disambut sama arak raja ya
ng dicampuri racun! Aku In Tiong, aku tidak berjasa benar seperti kakekku itu, a
ku toh pernah bekerja untuk Sri
Baginda, aku telah diutus ke negeri Watzu menyambut Sri Baginda pulang, maka itu
aku mau tanya, kenapa Sri Baginda berbuat
terhadapku seperti
terhadap kakekku itu?"
Ditanya begitu, Kie Tin tidak dapat menjawab.
Justeru itu si orang tua, yang dandan sebagai anak sekolah, yang romannya kasar
membentak: "In Tiong mengucapkan penasarannya, dia harus dibikin mati!"
In Tiong menjadi sangat gusar hingga ia berjingkrak.
Selagi suasana sangat tegang itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari beradun
ya gelang, mendengar apa semua boesoe menjadi berdiam, hingga ruang menjadi sang
at sunyi. Si pelajar yang kasar itu pun berdiri diam dengan
sikapnya sangat
menghormat.
Di situ segera tertampak munculnya dua pasang priya dan wanita, yang jalan di de
pan ialah seorang muda usia dua puluh lebih, pakaiannya
perlente, sedang yang berjalan di tengah, mirip sepasang suami isteri, yang wani
ta berambut merah sebagai orang asing. Yang jalan di paling belakang ialah seora
ng wanita usia pertengahan yang
romannya cantik, yang In Tiong kenali sebagai In Loei, adiknya.
Sekonyong-konyong Kaisar Kie Tin tertawa.
"In Tjonggoan, kau salah paham!" katanya nyaring. "Kakekmu itu difitnah oleh dor
na Ong Tjin, sakit hatinya itu telah tim cuci bersih! Arak tim hari ini adalah a
rak obat Siptjoan Toapouwtjioe, kenapa
kau curiga tidak keruan? Apakah kau tidak melihat yang tim sendiri pun telah min
um itu?"
"Apakah kau sangka aku satu bocah cilik?" kata In Tiong dalam hatinya. Ia sudah
hendak mengambil sikap keras itu tatkala ia melihat Tan Hong melirik padanya ber
ulang-
ulang, memberi tanda untuk ia jangan sembrono. Tan Hong memberi isyaratnya sambi
l dia terus melayani Tjio Hong Po.
Setibanya itu empat orang, si anak muda lantas menekuk lutut untuk mendekam meng
hadap raja: "Hoeong Bans wee, sindjie datang menghadap!"
"Kau, Kian Tjim!" berkata raja. "Ada apa kau datang ke mari?"
Anak muda itu menyahuti: "Puteri dari Iran dari tempat yang jauh datang berkunju
ng,
sindjie menemani dia menghadap hoeong," ( Sindjie ialah anak raja membasahkan di
rinya sendiri, dan hoeong ialah panggilan untuk ayah yang menjadi raja).
Anak muda itu memang thaytjoe, putera mahkota dari Kie Tin. Ia muncul dengan mak
sud sengaja. Lebih dulu daripada itu, guna mencapai maksudnya menghadap raja, Ta
n Hong telah memikirkan jalannya. Ia ingat putera mahkota itu, seorang anak muda
yang polos, yang katanya bercita-cita besar, maka ia hendak mengandali putera i
tu. Ia pun mengharap, kalau thaytjoe dan pihak Iran sudah berserikat,
mereka bersama dapat menyerang bangsa
Tartar. Thaytjoe suka bekerja sama Tan Hong, hanya, belum dia semp
at menghadap
ayahnya, Tan Hong sudah lebih dulu kena diundang raja. Sebelum Tan Hong berangka
t ke istana, ia sudah memberi kisikan pada In Loei, supaya isterinya segera mene
mui thaytjoe. Maka itu, thaytjoe bisa muncul di saat ketegangan. Puteri Iran dan
suaminya, Toan Teng Tjhong, memang dari siang-siang telah tinggal secara rahasi
a di dalam istana thaytjoe itu.
Puteri Iran pun segera memberi hormatnya pada kaisar, dengan suara merdu ia berk
ata: "Puteri Iran bersama menantu raja, Toan Teng Tjhong, menghadap Sri Baginda
Raja Kerajaan Beng yang maha agung, kami mewakilkan Raja Iran menyampaikan horma
t sehormatnya kepada Sri Baginda serta juga memujikan Sri Baginda
berbahagia dan panjang umur, rakyatnya
selamat santausa dan negaranya makmur!"
Puteri ini bicara dalam bahasa Tionghoa, yang ia telah apalkan setahu berapa rat
us kali, maka itu ia bisa mengucapkannya dengan baik, hingga, mendengar itu, sen
ang hatinya kaisar. Ia juga girang ada negara besar yang menghunjuk hormat padan
ya, sedang pada masa itu, selagi pemerintah Beng lemah, ada negeri-negeri kecil
yang sungkan
membayar upeti.
Toan Teng Tjhong pun lantas memberi hormat, bahkan sambil berlutut. Ia menjadi m
enantu raja Iran tetapi ia tetap rakyat kerajaan Beng, maka itu ia tidak hendak
berlaku kurang hormat.
Habis itu, thaytjoe pun berkata: "Toan
Hoema ini ialah buyut generasi ke delapan dari Toan Pengtjiangsoe dari Tali
dan ia adalah saudara dari Toan Teng Peng, pengtjiangsoe yang sekarang, T
oan Hoema sendiri, semenjak tujuh turunan, telah tinggal di Iran dan baru sekara
ng ia kembali ke negerinya."
Mendengar keterangan itu, hati Kie Tin tergerak juga.
"Kongtjoe bersama hoema datang
menghadap, ada urusan apakah?" ia menanya. Ia memanggil "kongtjoe (tuan pu
teri), kepada puteri Iran itu.
Puteri itu tidak paham bahasa Tionghoa, ia kurang mengarti, maka itu Toan Teng T
jhong lantas menyalin perkataan raja.
Mendengar demikian, ia tertawa, sambil menunjuk Thio Tan Hong, ia memberikan jaw
abannya
dalam bahasanya
sendiri, maka lagi sekali suaminya mesti menjadi juru bahasa. Kata Teng Tjhong:
"Puteri Iran telah memberikan kekuasaan kepada Thio Sianseng untuk Thio Sianseng
menjadi
wakilnya dengan kekuasaan penuh untuk berbicara dengan Sri Baginda merundingkan
soal persahabatan dan perserikatan di antara kedua negara Tiongkok dan Iran."
Thaytjoe juga lantas mendekati ayahnya untuk berkata dengan perlahan: "Kerajaan
Iran ada kerajaan yang nomor satu besar di Asia, kekuatannya tidak lebih lemah d
aripada negara kita, maka itu haraplah hoeong perlakukan dengan hormat pada utus
annya itu."
Kata-kata putera ini sebenarnya ada menurut ajarannya Tan Hong,
tetapi kata-kata itu diturut raja, maka itu, pertempuran sudah lantas berhenti d
an Thio Tan Hong diundang duduk pula. Malah raja lantas menanya
pendapat yang luhur dari utusan Iran ini.
Tan Hong bersenyum.
"Inilah justeru itu urusan yang ketiga yang tadi hendak aku menjelaskannya," ia
berkata. "Itulah aku minta istimewa kepada Sri Baginda untuk menganugerahkan Toa
n Teng Tjhong menjadi hoan ong, atau raja muda turun temurun di Tali, supaya dia
menguasai semua suku bangsa dan pembesar-pembesr di dalam seluruh wilayah Tali
itu, sesudah itu barulah di kirim utusan ke negeri Iran untuk mewartakan agar ra
ja Iran mendapat tahu yang puteri dan menantunya telah men-
dapatkan perlakuan yang dihormati di Tiongkok."
"Hal ini dapat didamaikan," berkata Kie Tin mengangguk,
"hanya propinsi Inlam itu, semenjak Thaytjouw Hong tee membangun negara, telah t
urun menurun diserahkan kepada
Keluarga Bhok, kalau sekarang Tali hendak diangkat, dipisahkan dari kekuasaannya
, firman harus dikeluarkan untuk memberitahukan dia serta mesti dinantikan jawab
annya dulu, agar dengan begitu menjadi ternyata, terhadap menteri berjasa dan tu
runannya, tim ada menaruh penghargaan."
Tan Hong berkata pula: "Dulu hari Iran pernah diilas angkatan perang Mongolia, m
aka kalau di sana orang menyebutnya 'bahaya
kuning,1 orang takut bukan main. Dan sekarang bangsa
Tartar, yaitu negara Watzu, sedang kuatnya, pengaruhnya sampai di Asia Tengah, b
erbatasan dengan negeri Iran, maka jikalau Sri Baginda mengirim utusan ke Iran,
untuk mengadakan perserikatan, untuk sama-sama menjaga diri dari ancaman Tartar
itu, pastilah raja Iran akan menyatakan persetujuannya. Secara begitu juga, anca
man bahaya untuk Tiongkok di bagian barat daya jadi dapat diperkecil. Itu pun ad
a menguntungkan kedua belah pihak."
Kie Tin mengangguk, tidak perduli sebenarnya ia tak menyenangi Tan Hong.
"Nyata Thio Sianseng memikir keselamatan negara," ia berkata.
"Maafkan pada tim. Silahkan minum tiga cawan arak!"
Setelah itu raja pun, menitahkan hambanya menyiapkan presenan untuk Tan Hong.
Mendengar perkataan raja itu, muka In Tiong pucat, ia kuatir raja nanti main gil
a lagi. Ketika dia ini tertawa dan menjawab kaisar: "Tentang hadiah aku tidak da
pat menerima, tetapi arak tidaklah apa, untuk membasakan tenggorokan!" Lalu
tanpa bersangsi-sangsi, ia mencegluk kering tiga cawan beruntun.
Hati In Tiong berde-nyutan, akan tetapi setelah mendapatkan Tan Hong tidak kuran
g suatu apa, baru ia merasa tenang pula. Sekarang dapat ia memikir: "Kie Tin hen
dak membuat perserikatan dengan Iran, ia mesti berlaku baik pada puteri
Iran ini, karena Tan Hong sangat dipercayai puteri Iran, apabila dia dibikin cel
aka, sama juga jembatan dirusak. Benarlah, tidak dapat raja tidak berhati-hati."
Sebenarnya In Tiong membade hanya
separuhnya. Kie Tin jeri berbareng mengagumi Tan Hong. Ia tidak menyangka Tan Ho
ng demikian liehay, bahkan puteri negara asing dapat dipergunakan sebagai senjat
a olehnya.
Tan Hong lantas maju lagi satu tindak. Ia kata: "Sekarang ini anca
man bencana
tetap ada. Sudah bangsa Tartar menjagoi di barat daya, juga ada gangguan bajak-b
ajak kate di tenggara, meski benar dia telah dilabrak tentera rakyat, setiap wak
tu dia dapat mengacau pula. Dulu di timur daya ada ancaman bangsa Manchu,
yang mengumpul
kekuatan tenteranya di luar Sanhaykwan, senantiasa dia mengintai Tionggoan, maka
itu jikalau Sri Baginda tidak meluaskan kebijaksanaan Sri Baginda serta pandai
menggunai
tenaga tentera dan rakyat, aku kuatir nanti terulang peristiwa
Tobokpo yang kedua kali."
"Walaupun tim kurang bijaksana, tim rasa tim bukanlah raja tolol," berkata Kie T
in, "maka kalau Thio Sianseng sudi membantu pemerintah, inilah hal yang meminta
pun tim tidak berani. Sebaliknya,
umpama Thio Sianseng tidak sudi membantu tim , tim mengharap Sianseng tidak memb
antu memperluas pengaruhnya kaum pemberontak."
Dengan ini kaisar menimbulkan pula soal
gerakan tentera rakyat di Kanglam. Mendengar itu, wajah Tan Hong tidak berubah,
bahkan sambil tertawa ia berkata: "Jikalau Sri Baginda mau menangkis serangan da
ri luar dan memperbaiki
pemerintahan di dalam, rakyat negeri tentulah menunjang Sri Baginda, kalau tidak
, meskipun ada satu Pit Kheng Than yang datang menakluk, di sana masih ada Yap T
jong Lioe yang kedua yang nanti bangun pula!"
Kie Tin berdiam.
"Tiga syarat yang aku ke mukakan, semuanya tak sedap untuk kuping," Tan Hong kat
a pula, "tetapi semua itu untuk kepentingan Sri Baginda sendiri. Dengan
berserikat sama Iran, pastilah Tartar dapat dipengaruhkan..."
"Bukankah dalam hal ini tim sudah menerima baik?" tanya raja.
"Aku mohon Sri Baginda membiarkan Yap Seng Lim membelai semua kepulauan dan supa
ya dihentikan
pergerakan tentera menyerang tentara
rakyat," kata Tan Hong langsung tanpa mem-perdulikan perkataan raja itu.
Kie Tim mengerutkan kering.
"Hal ini baiklah dibicarakan lagi nanti," ujarnya.
Tetapi Tan Hong tidak memperdulikannya, ia berkata pula: "Untuk mencuci penasara
nnya Ie Kokioo, haruslah Sri Baginda mengeluarkan permakluman, supaya rakyat sem
ua mengetahui yang Sri Baginda sudah menginsafi
kekeliruan dan dapat memperbaiki kekeliruan itu, hingga Sri Baginda
menjadi seorang raja yang bijaksana. Dengan begitu saja maka pastilah rakyat aka
n bersetia mati untuk rajanya."
Kie Tin murka bukan main, hingga wajahnya menjadi guram. Maka dengan dingin ia k
ata: "Kelihatannya sudah selayaknya tim mengangkat Sianseng menjadi juru penasih
at!" Terus ia memandang ke kiri dan kanan, kemudian seraya menunjuk In Loei, ia
menanya: "Adakah dia pembesar wanita yang menemani puteri Iran?"
Atas pertanyaan itu, putera mahkota yang memberikan jawabannya.
"Nyonya ini ialah Nyonya Thio Sianseng," katanya. "Benar nyonya inilah y
ang menemani puteri Iran."
In Loei bertindak maju, ia berkata: "Cucu
wanita dari In Tjeng, In Loei, menghadap Sri Baginda, dan aku pun menghaturkan t
erima kasih untuk budi Sri Baginda kepada
keluarga kami beberapa turunan."
Kie Tin jengah.
"Kiranya ialah adik perempuanmu," katanya kepada In Tiong. "Pantaslah kau lebih
suka meninggalkan
kedudukanmu sebagai tjonggoan dan bersedia mengikuti iparmu pergi merantau.
"
In Tiong mendongkol sekali akan tetapi ia menahan sabar.
Kie Tin tertawa, terus ia kata: "Baiklah, mari kita minum. Urusan negara boleh d
ibicarakan pula lain kali!"
Tan Hong masih hendak membuka mulut ketika satu orang kebiri muncul menyampaikan
kata-kata perlahan
kepada raja, atas mana
raja lantas berkata: "Permaisuri mendengar kedatangan puteri Iran, ia menjadi gi
rang sekali, maka itu ia mengundang tuan puteri serta suaminya masuk ke keraton
untuk membuat pertemuan. Kian Tjim, pergilah kau menemani mereka bertemu sama ib
umu."
Puteri Iran tidak tahu apa-apa, ia girang dengan undangan itu, Tan Hong tetapi b
erkuatir, hanya dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat mencegah.
Setelah puteri itu dan suaminya masuk ke keraton, Kie Tin tertawa.
"Kenapa Thio Sianseng tidak minum lebih jauh?" katanya.
Selagi Tan Hong belum menyahuti, Tjio Hong Po sudah berkata: "Thio Sianseng adal
ah ahli silat terbesar di jaman ini, tadi hamba
sudah menerima pengajaran dari padanya, akan tetapi kita belum mendapat kegembir
aan sepenuhnya, dari itu biarlah budakmu
mempertunjuki lagi
sesuatu guna membantu menggembirakan pesta ini."
Kata-kata ini segera diiring perbuatannya. Dengan beruntun ia menyentil tiga can
gkir terisi arak di hadapannya, hingga semua cangkir itu mental ke arah muka Thi
o Tan Hong.
Tan Hong tahu orang lagi membanggakan tenaga jeriji tangannya, ia bersenyum, lek
as-lekas ia membilang: "Aku si orang she Thio mana berani menerima pemberian ara
k
kehormatan dari Lootjianpwee, maka itu dengan meminjam arak ini aku
membalas menyuguhkan."
Ia pun menggunai kepandaian Ittjiesian dengan apa ia mengembalikan ketiga cawan
arak itu tanpa cangkirnya miring atau araknya mengeplok, melihat mana para hadir
in pada memuji di dalam hatinya.
Akan tetapi itulah belum semua.
Tjio Hong Po hendak membaliki pula ketiga cawan itu tapi mendadak, tepat di hada
pannya, cawan-cawan pada pecah sendirinya, sedang
semua cawan itu terbuat dari batu kumala yang kuat. Inilah ia tidak pernah sangk
a, terpaksa ia mengibas dengan tangan bajunya, menyam-pok araknya hingga arak it
u muncrat ke empat penjuru. Semua boesoe terkejut, semua lantas pada berkelit, k
arena cipratan arak itu
keras menyambernya, seperti butir-butir
peluru.
***
"Sungguh liehay!" Kie Tin memuji, terpaksa. "Seorang mempertunjuki kepandaiannya
tak
sama dengan dua orang berbareng, karena kamu sama-sama pandai, Tjio Loosoe, coba
lah kau main-main sebentar sama Thio Sianseng, supaya semua orang di sini, dapat
membuka matanya."
"Baiklah!" sahut Hong Po nyaring, menerima titah itu, bahkan ia lantas berlompat
, melewati meja di depannya, untuk terus menendang, gerakannya itu sangat gesit.
Walaupun orang bergerak dengan garang dan cepat itu, orang
melihatnya Thio Tan Hong, duduk tenang di kursinya, hingga mereka menduga, tenda
ngan itu pasti akan mengenai sasarannya, sebab
itulah yang dinamakan "Serangan Jantung." Karena ini, walaupun semua boesoe tela
h dikisiki, Tan Hong itulah musuh, mereka toh berseru sendirinya.
Sebagai akibat dari tendangan dahsyat itu, di situ terdengar suara "Braak!" yang
nyaring sekali, lalu tertampak kursinya Tan Hong kena ditendang terlempar dan j
atuh hancur di lorak tangga, Tan Hong sendiri terlihat berdiri tenang-tenang saj
a di dekat kursinya itu. Semua orang heran sebab tidak kelihatan sama sekali car
anya Tan Hong itu mengelit diri.
"Sungguh satu pesta Hongboen Hwee yang
menggembirakan!" Tan Hong berseru sambil tertawa. "Sungguh sri baginda sangat me
nghormati aku!"
Belum lagi berhenti tertawanya orang she Thio ini, atau Tjio Hong Po sudah mener
jang pula kepadanya, menerjang sambil berlompat, tangan kiri langsung dari depan
, tangan kanan dari samping.
Tan Hong mengenal itulah serangan untuk "memisah otot dan mematahkan tulang" ia
tidak berani berlaku ayal-ayalan, dengan sebat ia membalik telapakan tangannya,
untuk membarengi
menghajar.
Hong Po liehay sekali, dengan merangkap dua tangannya, ia membebaskan diri dari
hajaran itu, lalu dengan tidak kalah sebatnya, ia mengajukan terus
tangannya itu, untuk
menjambak dengan
semua sepuluh jari tangannya yang kuat, sebab ia menggunai tipu silat Engdjiauw
kang, Kuku Burung Garuda. Siapa terkena tercengkeram, pastilah ototnya putus dan
tulang-tulangnya patah.
Atas serangan itu, Tan Hong mengundurkan diri, setelah mana, ia membalas menyera
ng, dengan tipu silatnya dari Tiangkoen, Silat Panjang, kedua tangannya bergerak
dari kiri dan kanan bagaikan "kampak
membuka gunung" atau "martil besar menghajar batu." Hebat anginnya serangan itu,
sampai para boesoe pada
mengundurkan diri,
hingga ruang menjadi luas, sedang ruang Bansioe Kok itu memang lebar di mana dap
at diatur seratus meja perjamuan. Karena
bergeraknya para boesoe itu, piring dan mangkok pada jatuh ke tanah, hanya karen
a terbuat dari logam atau batu kumala, tidak sampai ada yang pecah hancur.
Hoenkin Tjokoet Tjioe dari Tjio Hong Po ialah yang terliehay di jamannya itu aka
n tetapi ditolak oleh angin kepalannya Tan Hong, dia toh tidak dapat mendesaki t
ubuh untuk datang dekat kepada lawannya, dari itu, meski ia sudah menyerang beru
lang-ulang sampai tiga puluh jurus, ia belum berhasil mengalahkan lawannya itu.
Ia merasa jengah sendirinya ia telah membuka mulut besar di hadapan raja. Ia pun
lantas menjadi gelisah sendirinya. Dalam
sengitnya ia berseru, tubuhnya berlompat maju.
"Duk!" demikian suara yang terdengar, tetapi bukan ia yang mengenakan
sasarannya dalam rupa tubuh Tan Hong yang terpental, sebaliknya pundaknya sendir
i yang kena terhajar kepalan orang yang diserangnya itu. Karena ia sudah merangs
ak, ia menyambar terus tangan Tan Hong itu, untuk dicekuk. Atas ini, Tan Hong me
narik pulang tangannya itu seraya ia menolak dengan tangan yang lain, maka terja
dilah ia mundur beberapa tindak.
Hong Po sudah mendesak, artinya ia berhasil merapatkan diri, maka hebatlah seran
gan-serangannya lebih jauh, sampai Tan Hong nampak terdesak, melihat mana para b
oesoe mendapatkan jagonya lebih unggul. Gielimkoen Tongnia Law
Tong Soen girang sebab gurunya menang di atas angin, ia sampai berse
ru-seru dengan pujiannya.
Selagi pertempuran berlangsung terus, Tan Hong yang nampaknya terdesak mendadak
membalas menyerang tiga kali saling susul, karena ini, dadanya menjadi terbuka
sendirinya. Tong Soen melihat kekosongan itu, ia berkata di dalam hatinya: "Sung
guh lucu kau yang dinamakan ahli pedang nomor satu di kolong langit ini, kau tid
ak mengarti ilmu silat Hoenkin Tjokoet Tjioe dari guruku! Di hadapan musuh tangg
uh kau membuka dirimu secara begini, itu tandanya kau cari malumu sendiri!"
Hampir komandan Gielimkoen ini berseru keras ketika pertempuran itu, yang berlan
gsung terus, memperli-
hatkan gerakan tangan kanan Hong Po, sedang tangan kirinya menahan tangannya Tan
Hong, tangan kanan itu membacok lengan
lawannya.
Kelihatannya lengan Tan Hong itu bakal terhajar hingga patah, sedang dadanya pun
seperti terjambret
tangan kiri lawannya, yang sudah bergerak lebih jauh menyusuli tangan kanannya i
tu.
"Bagus!" Tong Soen berseru saking gembiranya.
Cuma sebegitu dia berseru, atau lantas terdengar jeritan "Oh!" dari Tjio Hong Po
, yang kedua tangannya
tertarik pulang dan tubuhnya mundur tiga tindak, setiap tindakannya berat hingga
mengasi dengar suara, suatu tanda ia mundur sambil mempertahankan diri untuk
tidak roboh.
Mukanya pun menunjuki dia jengah sekali.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi?
Thio Tan Hong menginsafi lawannya hendak mengerjakan pukulan dari Hoenkin Tjokoe
t Tjioe yang liehay itu, untuk membikin otot-ototnya putus dan tulang-tulangnya
patah atau remuk, ia melihat kesulitannya untuk bertahan tanpa tipu daya, maka i
tu sesudah melayani sekian lama itu, ia lantas menggunai akal. Itulah dengan sen
gaja ia menyerang dengan dua tangan berbareng, hingga kelihatannya ia membuat lo
wongan. Sambil memasang umpan itu, ia mengumpulkan tenaganya di dada, untuk meli
ndungi diri, guna mengerahkan tenaga itu. Sedang jalan darahnya soankie hiat,
ia tutup, guna menghindari diri dari totokan. Justeru tepat
dugaannya, jari tangan kiri Hong Po menyambar ke tempat yang berbahaya itu di da
da. Tapi segera Hong Po menjadi kaget
sendirinya. Dada itu lembek bagaikan kapas, bukannya dia yang dapat menjambak,
justeru jari-jari tangannya itu yang kena terbetot, lalu telapakan tangannya dir
asakan sakit, hingga tubuhnya terhuyung. Ia menjambret tangan kanan Tan Hong, un
tuk mempertahankan diri. Tapi Tan Hong meronta
melepaskan tangannya itu, sedang tangan kirinya dipakai
menyambar ke teng-gorokan lawan, jeriji tangannya mengancam ke bagian leher yang
berbahaya itu.
Hong Po kaget bu-
kan main melihat ancaman itu, sebab ia telah mengenal dengan baik hebatnya Ittji
esian dari lawannya itu. Dengan terpaksa ia menarik pulang kedua tangannya, untu
k mengundurkan diri. Karena ia kesusu, ia bertindak cepat tetapi berat.
Tan Hong sendiri tidak maju untuk menggunai ketika untuk menyerang lawannya itu,
ia malah bersenyum, tangannya cuma menolak. Di dalam hatinya ia berkata: "Inila
h sungguh
berbahaya, baiknya dia tidak melihat tipu daya aku... kalau dia menjambak tiga d
im saja di luar batas jalan darah soankie hiat, kita bisa celaka berdua..." Kare
na berkasihan
kepada orang tua itu, yang sudah sedemikian liehay, ia tidak membalas menyerang,
Sambil
bersenyum, ia kata: "Tjio Lootjianpwee, sungguh liehay kau p
unya Hoenkin Tjokoet Tjioe itu, di dunia ini tidak ada tandingannya, karena
aku sudah takluk, baiklah kita tidak usah mencoba-coba terlebih
jauh. Akurkah, lootjianpwee?"
Hong Po bermuka merah, ia tidak dapat berkata-kata.
Lalu si orang kasar, yang memakai jubah panjang dan kopiah seperti mahasiswa,
berlompat maju ke depan, tangannya,
yang memegang kipas, mengibaskan kipasnya itu. Ia pun berkata dengan nyaring: "T
hio Tan Hong, aku si orang she Tjiok yang bodoh, kebetulan aku dapat menghadiri
pesta ini, maka itu tidak dapat tidak, mesti aku belajar dengan ilmu silatmu yan
g nomor satu di
kolong langit ini!"
Suara itu sangat menantang lalu itu diteruskan dengan
tikamannya dengan kipasnya itu, yang sebenarnya terbuat dari besi.
Mendengar orang menyebut dirinya she Tjiok, In Tiong bersama In Loei lantas mend
apat tahu bahwa orang adalah Thiesie Sieseng Tjiok Tay Tjee, si Mahasiswa Berkip
as Besi. Dialah si mahasiswa kebantul di tengah jalan, lalu dia
mempelajari ilmu silat, dia beroman kasar tetapi dia berdandan sebagai mahasiswa
, maka itu, romannya jadi tidak keruan. Dalam ilmu silat, dia berhasil, maka jad
ilah dia seorang yang liehay.
In Tiong menjadi gusar sekali. Terang Tan Hong hendak dikepung berdua. Maka ia
maju
seraya mementang
kedua tangannya,
hingga ia membuatnya beberapa boesoe di depannya menjadi
terpelanting, sambil maju terus, ia menanya nyaring: "Benarkah ini pesta Hongboe
n Hwee?" sedang dengan tangannya ia menyampok kipas besi si orang she Tjiok. Seb
enarnya ia hendak menyerang tapi ia batalkan itu sebab segera ia mendengar terta
wa lebar dari Tan Hong sambil berseru: "Pertanyaan itu harus diajukan kepada Sri
Baginda!"
Sambil berseru itu, tubuhnya Tan Hong melesat tinggi, ke arah mejanya kaisar.
Semua boesoe terkejut, segera mereka bergerak, untuk melindungi kaisar mereka, m
eskipun mereka belum tahu niatnya Tan Hong. Hanya, belum lagi mere-
ka bergerak, Tan Hong sudah tiba di depan raja. Tetapi, waktu Tan Hong mengulur
tangan nya kepada raja, mendadak tembok di belakang raja itu terbuka sendirinya,
lantas raja ngelepot masuk ke dalam tembok itu, yang menjadi pintu rahasia.
Di itu saat juga, Touw Liong Tjoentjia dan Tek Seng Siangdjin, yang mendampingi
raja, lantas maju menghadapi Tan Hong, untuk merintangi.
Dari dalam pintu, yang sudah lantas tertutup pula, terdengar suaranya Kie Tin: "
Thio Tan Hong hendak membinasakan raja, dia mendurhaka, maka tim memerintahkan m
embekuk dia, dia mesti segera dihukum mati tanpa ampun lagi! In Tiong juga menga
ndung penasaran, dia pun
berdosa tak berampun, maka dia harus ditangkap bersama!"
Mendengar itu Tan Hong tertawa dan berkata: "Sekalipun Ie Kokioo yang berjasa ma
sih dihukum mati karena tuduhan memberontak, maka itu kalau Tan Hong menerima do
sa ini, sungguh dia beruntung sekali, dia tidak dapat menampik kematiannya!"
Di mulut Tan Hong mengatakan demikian, di hati ia menyesal sekali, sebab maksudn
ya menawan raja, untuk dijadikan manusia tanggungan, gagal. Ia mengarti, ia baka
l mesti berkelahi hebat
menghadapi pahlawan-pahlawan raja itu.
Tek Seng Siangdjin liehay ilmu silatnya yang dinamakan "Tek Seng
Tjioe," Tangan Memetik Bintang,
dengan tangan yang
satu ia menyerang Tan Hong, disusul oleh tangannya yang lain, tetapi kenyataanny
a, serangannya yang
belakangan yang sampai terlebih dulu.
Tan Hong tertawa dingin. Atas datangnya serangan itu, ia tidak menangkis, ia tid
ak berkelit, hanya ia mengulur tangannya, untuk memapaki telapa-kan tangan si pe
nyerang itu memapaki dengan jari tengah, yang disentilkan.
Siapa kena sentilan ini, biasanya tulangnya patah dan remuk. Tek Seng Siangdjin
melihat jerijinya lawan, ia menginsafi bahaya, maka ia lekas tarik pulang tangan
nya itu ke samping, untuk dengan tangan yang lain menyambar pula ke arah tulang
piepee Tan Hong.
"Sungguh hebat!" kata Tan Hong tertawa. "Kalau kau meyakinkan ilmu silatmu lagi
sepuluh tahun maka kau bakal tanpa tandingan di kolong langit ini!" Ia lantas me
ngangkat
pundaknya, sembari membentur tangan
lawan itu ia memutar tubuh, tangannya
diayun. Dengan begitu, ia membebaskan diri sambil berbareng
menyambar tangannya si penyerang.
Kalau benturan dilakukan dengan tenaga keras, sambaran itu memakai te
naga lunak. Maka repotlah Tek Seng Siangdjin walaupun ia seorang liehay. Di
dalam saat ia terancam bahaya itu, Touw Liong Tjoentjia membacok ke ar
ah pundak Tan Hong.
Inilah serangan golok yang berbahaya, sebab kendatipun Touw Liong Tjoentjia
mempunyai
cuma sebelah tangan, semenjak tangannya itu bercacad di tangan In Tiong di Tjhon
g San, dia telah melatihnya itu dengan sungguh-
sungguh.
Atas datangnya serangan itu. Tan Hong tidak berkelit juga tidak menangkis, ia ha
nya melangsungkan penyerangannya terhadap Tek Seng Siangdjin, karena sambil maju
terus, ia seperti menghalau diri sendiri dari ancaman bahaya itu. Touw Liong Tj
oentjia pun heran, ia bercuriga orang menggunai tipu daya, ia tidak meneruskan b
acokannya itu. Justeru di detik itu, terdengarlah jeritan dari Tek Seng Siangdji
n, yang tubuhnya pun roboh. Masih syukur untuknya, ia masih mencoba berkelit, ji
kalau tidak tentulah patah tulang-tulang tangan-
nya.
Tan Hong tidak sudah dengan merobohkan Tek Seng saja, sembari maju, ia mem
bentur satu boesoe yang berada di dekatnya, hingga boesoe itu terpelanting
ke arah Touw Liong Tjoentjia. Besar tubuhnya boesoe itu, ketika Touw Long
Tjoentjia kena dilanggar, dia terhuyung, hampir dia menubruk lantai.
Hanya celaka boesoe itu,
goloknya Touw Liong menancap di tubuhnya yang malang.
Selagi Tek Seng Siangdjin belum sempat merayap bangun dan Touw Liong
Tjoentjia belum keburu mencabut goloknya dari tubuh si boesoe, yang tertikam
ulu hatinya, Tan Hong sudah bergerak terlebih jauh. Sebab dengan berbaren
g ia diserang dari kiri kanannya, oleh dua boesoe. Ia berkelit
dari serangan dari pihak kiri, ia memutar tangannya menangkap boesoe yang datang
dari arah kanan, tepat ia memegang di bagian nadi, menyusul mana, ia angkat tub
uh si boesoe, untuk menggunai tubuh itu sebagai alat senjata. Ia memutarnya deng
an keras, merobohkan beberapa boesoe lainnya lagi, kemudian sembari berseru, ia
lemparkan tubuh si boesoe kepada boesoe-boesoe lainnya, hingga lagi beberapa ora
ng kena dibikin terhuyung jatuh.
Dengan tindakannya ini, Tan Hong dapat membuka jalan untuk menyingkir dari ruang
istana itu, hanya ketika ia berpaling kepada In Tiong, ia mendapatkan tjonggoan
itu, si ipar, lagi bertempur sama Thiesie Sieseng Tjiok Tay Tjee.
Guru dari In Tiong ialah Tang Gak, orang satu-satunya yang
mewariskan ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe dari Hian Kie Itsoe, ilmu itu merangk
ap dua-dua ilmu luar dan ilmu dalam, dan ia, yang mewariskan pula dari gurunya i
tu, sudah melatih diri sepuluh tahun, maka itu ia percaya, meski ia tidak semahi
r gurunya, ia sudah mewariskan
delapan atau sembilan bagian, ia merasa dapat ia merobohkan orang she
Tjiok ini, tidak tahunya, Tay Tjee itu liehay dan juga gerak-gerakannya luar bia
sa. Tiga kali ia menyerang dengan Taylek Kimkong Tjioe, tiga-tiga kalinya ia men
yerang sasaran kosong, kepalanya
seperti terbetot kipas besinya lawan itu.
Tan Hong telah menyaksikan liehaynya
Tjiok Tay Tjee, segera ia teriaki iparnya itu: "Keras dan lunak bersama, dengan
tangan im membela diri, dengan tangan yang membalas menyerang!"
Tangan "im" itu ialah tangan dibalik ke bawah, dan tangan " yang" ialah tangan d
ibalik ke atas.
Dalam ilmu dalam, Tay Tjee kalah dari In Tiong, ia hanya liehay kipas besinya it
u. Dalam ilmu silat Thaykek Koen pun ada sarinya pelajaran yang mengumpamakan, "
dengan kekuatan empat tahil mengalahkan kekuatan seribu kati." Itu dia yang dise
but ilmu lunak, lemas lawan keras. Kipasnya Tay Tjee liehay, kalau ia geraki itu
, bukan saja ia bisa membebaskan diri dari serangan, ia pun bisa menyebabkan mus
uh kehilangan keseimba-
ngannya, hingga dapat ia meneruskan menyerang musuhnya. In Tiong mahir tenaga da
lamnya, dia tidak sampai digempur keseimbangan tubuhnya itu.
Begitu lekas mendengar pemberian ingat dari Tan Hong, In Tiong segera merubah ca
ra berkelahinya itu.
Dengan sebelah tangan ia melindungi dadanya, dengan tangan yang lain ia memperta
hankan diri. Secara demikian, ia bergerak dengan lunak dan keras dengan berbaren
g.
Benar saja, Tjiok Tay Tjee lantas tidak berani mendesak sebagai semula. Ia bersi
lat dengan mainkan saja kipasnya, sebentar dipentang, sebentar ditutup, kalau di
tutup, ia menotok kepada jalan darah, kalau dipentang, ia membabat atau menikam.
Setiap batang,
yang menjadi tulang kipas itu, tajam sekali. Itulah benar semacam senjata yang i
stimewa, maka juga In Tiong terpaksa kena didesak, tidak bisa ia membalas menyer
ang.
In Loei menyaksikan saudaranya itu jatuh di bawah angin, ia lantas lompat maju.
Tay Tjee mementang kipasnya, membabat, atau segera matanya menjadi seperti kabur
, sebab di depannya lantas terlihat empat atau lima orang wanita muda berbareng
menerjang padanya, hingga cepat sekali hampir saja kipasnya kena dirampas nyonya
itu. Ia baru berkelit, atau
pundaknya kena dihajar tinjunya In Loei. Syukur ia mahir tenaga dalamnya, ia pun
masih mencoba berkelit, maka ia jadi tidak terhajar hebat.
Dalam pertempuran ini bukannya In Loei jauh terlebih liehay daripada kakaknya, i
a hanya terlebih gesit, ia ditolong dengan kepandaiannya "Tjoanhoa djiauwsie" at
au "Menembusi bunga melibat pohon." In Tiong mengutamakan kekerasan, menghadapi
kelincahan, seperti Tay Tjee, ia menampak kesulitan, walaupun tidak kalah, ia su
sah menang di atas angin. Tidak demikian dengan adiknya, yang tubuhnya sangat en
teng dan pesat, bahkan dalam halnya enteng tubuh, In Loei memenangi suaminya, Ta
n Hong. Maka janganlah Tay Tjee mengharap kipasnya bisa melanggar tubuh si nyony
a. Dalam tempo pendek, ia kalah unggul, ia terdesak untuk membela diri saja.
Tjio Hong Po berdiri
menjublak di pinggir gelanggang. Dialah
seorang sangat kenamaan, dia sudah kalah dari Tan Hong, seharusnya kalau dia tid
ak membunuh diri, dia mesti kabur pulang ke kampungnya, untuk mencuci tangan, bu
at menutup pintu. Itulah tindakan paling tepat untuknya. Tengah dia berpikir itu
, Law Tong Soen menghampirkan padanya, untuk memberi hormatnya yang sehormat-hor
matnya.
"Harap soehoe membantui Tjio Soesiok ," murid ini memohon.
Guru itu mengerutkan kening.
"Tong Soen, mustahilkah kau tidak tahu aturan kaum kangouw?" ia menanya.
"Harap soehoe ketahui, di sini ialah di istana kaisar, bukan di dalam
dunia kangouw," berkata pula si murid.
Hong Po melengak.
"Benar," katanya, "aku diundang Sri Baginda, meski aku tidak memangku pangkat, a
ku toh sama dengan sudah menerima gaji. Kenapa aku tidak harus membantu Sri Bagi
nda? Laginya,
jikalau aku mengangkat kaki, bisakah Sri Baginda memberi ampun padaku?"
"Soehoe baru sekali keliru tangan, itu tidak berarti," Tong Soen membujuk pula.
"Itu pun tidak terlihat lain orang kecuali aku dan Tjiok Soesiok. Kalau soehoe m
engaku kalah dan lantas mencuci tangan dan menutup pintu, apakah itu tidak menge
cewakan kaum kita? Laginya... laginya, kalau Sri Baginda bercuriga, apa jadinya
dengan rumah tangga dan banda soehoe di Thaygoan?"
Air mukanya Hong Po berubah, lalu ia menghela napas.
"Sudah, jangan banyak bicara, aku sudah mengarti," katanya. Ketika ia menoleh ke
arah pertempuran, ia mendapatkan Tay Tjee terdesak mundur In Tiong dan In Loei
keadaannya berbahaya.
"In Tjonggoan!" orang she Tjio ini lantas menegur, "kaulah
hamba negeri, kenapa kau berani melawan Sri Baginda?"
Kata-kata ini dibarengi sama majunya tubuh, dengan menyambarnya lima jari tangan
sebagai kuku menyengkeram.
In Tiong memutar tubuh, ia menghajar cengkeraman itu.
Kedua tangan ben-terok, hingga terdengar suaranya yang nyaring, lalu keduanya sa
ma-sama mundur tiga
tindak.
"Nanti aku layani dia!" Tjiok Tay Tjee berkata. "Kau bereskan ini bangsat wanita
!"
Orang she Tjiok ini jeri terhadap In Loei, sebaliknya ia merasa pasti akan dapat
mengalahkan In Tiong, maka itu ia mengasi dengar suaranya itu.
Hong Po mengerutkan keningnya. Ia bukannya takuti In Loei tetapi untuk menggunai
ilmu silatnya, Hoenkin Tjokoet Tjioe, guna membetot otot-otot dan mematahkan tu
lang, ia mesti dapat mencekal tangan, maka cara bagaimana ia bisa menyentuh tubu
h
seorang wanita? Tapi Tay Tjee sudah lantas menerjang In Tiong, terpaksa ia mesti
melayani juga In Loei.
Nyonya Tan Hong tidak mensia-siakan ketika. Ketika sebelah
tangannya melayang, tiga lembar kimhoa, bunga emasnya, menyambar ke arah jago tu
a itu, kepada Tay Tjee, kepada Tong Soen juga.
Hong Po mengibas tangan bajunya, ia dapat menyambuti
bunga emas itu. Tay Tjee menyampok dengan kipasnya hingga bunga emas mental. Cel
aka Tong Soen, pundaknya kena tertancap senjata rahasia itu, ia lantas mengucurk
an darah hingga ia tidak berani maju menyerang, bahkan dia lompat ke luar kalang
an, mulutnya mengeluarkan gerutuan: "Meskipun kamu bertiga kosen seperti malaika
t, hari ini tidak nanti kamu dapat lolos dari jaring langit dan jala bumi ini!"
Ia lantas lari ke taman, untuk mengatur pengurungannya.
Tjio Hong Po dapat menyambuti kimhoa, tetapi hatinya berce-kat. Katanya dalam ha
tinya itu, "Kalau dia menyerang saling susul, aku tentunya tidak berdaya..." Kar
ena ini ia merangsak, ia mengambil sikap untuk tidak memberikan si nyonya ketika
buat menggunai lagi senjata rahasianya itu. Ia mengibas berulang-ulang dengan g
erakannya "Siangliong kipsoei," atau "Sepasang naga menghisap air," dan dengan "
Hoeisioe lioein," atau "Mengibas mega dengan tangan baju," ia hendak membikin la
wannya
roboh terguling. Di luar sangkaannya, ia mendapatkan nyonya itu sangat gesit, tu
buhnya tak pernah kena disampok, bahkan ia sendiri yang sering-sering diserang s
ecara tiba-tiba, di saat si
nyonya berkelit.
Tibalah saatnya In Loei menyerang.
"Robohlah kau!" membentak Hong Po sambil ia menyambuti, tangannya meluncur kelua
r dari dalam tangan bajunya.
In Loei terkejut. Segera ia ingat musuh adalah ahli Hoenkin Tjokoet Tjioe, yang
tidak dapat dilawan rapat. Maka itu, dengan satu jumpalitan yang sebat dan manis
, ia lompat menyingkir.
Setelah terpisah, keduanya sama-sama menyebut "Sungguh berbahaya!" di dalam hati
masing-masing. Sebab In Loei hampir bercelaka, Hong Po sama juga kalau ia sampa
i kena terhajar si nyonya. Setelah ini, jago she Tjio itu jadi penasaran, hatiny
a
panas, karena mana, ia mendesak tanpa
sungkan-sungkan lagi, kedua tangannya bagaikan terbang saling sambar, sepuluh ja
rinya pun saban-saban me-nyengkeram secara bengis. Ia bertekad bulat untuk membu
at In Loei terbetot
otot-ototnya dan
terpa- tahkan remuk tulangtulangnya...
In Loei tetap berkelahi dengan ilmu silatnya "Tjoanhoa
djiauwsie." Ia berkelebatan, senantiasa berkelit dari serangan, hingga sekalipun
ujung bajunya, tidak pernah dilanggar. Sembari bertempur, ia juga berpikir. Ia
merasa percuma ia main berkelit terus. Maka itu, sesudah lagi beberapa kali ia m
endesak dan lalu mundur, sekonyong-konyong ia berseru seraya tangannya yang puti
h halus bagaikan kumala
terayun! Segera setelah itu, di tangannya tambah sehelai ikat pinggang sulam, ia
lah ikat pinggangnya sendiri, yang ia mau gunakan sebagai senjata.
Hong Po terkejut ketika mukanya disambar berulang-ulang. Ikat pinggang itu bagai
kan naga berkelebatan. Ia kata di dalam hatinya, "Ikat pinggang ini dia dapat pe
rgunakan
begini rupa, meski dia kalah tenaga dalam dari suaminya, dia sudah hebat sekah."
Ia lantas melawan, sekarang ia ingin dapat menjambret ikat pinggang itu, untuk
dihajar seperti otot-otot dibetot dan tulang-tulang dipatahkan.
Beberapa kali Hong Po menjambret dengan sia-sia, atau satu kali, ujung ikat ping
gang menyambar ke
pundaknya. Sebab ikat
pinggang itu, selain dapat dipergunakan sebagai djoanpian,
cambuk lemas, bisa dipakai juga untuk menotok jalan darah.
Jago tua itu berkelit. Sekarang ia semakin tidak berani memandang ringan kepada
musuh wanita ini. Ia pun berlaku gesit untuk berlompatan. Maka itu, selama dua p
uluh jurus, in Loei tidak bisa merobohkan dia, dia pun tak dapat menyambar ikat
pinggang lawannya.
In Tiong dengan Tjio Tay Tjee juga bertarung seruh. In Tiong terpaksa meloloskan
golok lemasnya, yang dilibat di pinggangnya, dengan menggunai ilmu silat golok
Ngohouw Toanboen too, ia menempur kipasnya lawan, maka goloknya itu berkelebatan
, berkilauan tak hentinya,
setiap gerakannya gesit tetapi berat.
Tay Tjee benar liehay. Ia terus dapat melayani. Agaknya In Tiong mendesak, seben
arnya ialah yang menanti waktu. Ia mau menggunai ketikanya guna menotok di saat
si orang she In telah menjadi letih. Ia mengintjar tiga puluh enam jalan darah d
ari In Tiong. Ia ini telah dapat pelajaran Taylek
Kimkong Tjioe dari Tan Hong, ilmu itu dipindahkan ke golok, dengan begitu dia da
pat bertahan.
Tan Hong sendiri, habis merobohkan Tek Seng Siangdjin dan
Touw Liong Tjoentjia, ia lantas menerjang
sekalian boesoe. Dengan sampokannya, dengan jari tangannya, ia robohkan setiap m
usuh yang menghalang dihadapannya.
Dengan cepat ia merobohkan belasan boesoe, yang semuanya liehay.
Tapi jumlah boesoe tak kurang dari seratus orang, mereka tetap mengurung,
tidak gampang mereka
diundurkan.
Kemudian Tan Hong melirik kepada In Tiong dan isterinya, ia melihat mereka itu k
ecantol lawan-lawannya, maka ia merasa, keadaan tidak bisa dibiarkan berlarut se
cara demikian. Justeru ia hendak menerjang sambil
berlompat, dua boesoe yang bersenjatakan gembolan segi delapan menyerang ke arah
nya, menyerangnya berbareng, gembolannya turun bersama. Ia menanti hampir sampai
nya kedua gembolan, mendadak ia berseru, tubuhnya mendak, kedua tangannya menyam
bar. Tepat ia
dapat menangkap tubuh mereka berdua, yang ia lantas ayun, untuk dibenturkan satu
pada lain, hingga mereka menjerit, sedang gembolan mereka benterok satu dengan
lain. Kedua, boesoe itu berkepala pusing, dan bermata berkunang-kunang, mereka r
ebah tidak berdaya.
Tan Hong membiarkan gembolan itu, sembari tertawa ia menerjang pula. Ia dapat ma
ju setombak lebih. Segera ia dipegat oleh dua boesoe, yang ada muridnya Long Goa
t Hweeshio dari Koenloen Pay, yang keduanya pandai menggunai
pedang, yaitu Koenloen Kiamhoat, ilmu pedang Koenloen Pay. Mereka ini terhitung
dalam Tay i wee Pattjioe. Delapan Jago Istana. Mereka pun maju dengan berbareng,
yang
satu menikam pundak kiri, yang lain pundak kanan.
"Bagus!" berseru Tan Hong. "Mari kupinjam pedang kamu!"
Belum lagi kedua boesoe itu tahu apa-apa, sudah "plak-plok," pipi mereka kena di
hajar pulang pergi, dan pedang mereka segera kena dirampas.
"Dengan memandang Long Goat Hweeshio, aku beri ampun jiwa kamu!" kata Tan Hong n
yaring. Ia mengenali dua murid hweeshio itu. "Kamu belum pantas menggunai pedang
, pergi pulang ke gunungmu untuk belajar lagi sepuluh tahun!"
Setelah itu, dengan sepasang pedang rampasan itu, jago she Thio ini menerjang pu
la. Ia mempergunakan ilmu silatnya yang kenamaan, Siangkiam happek, yaitu Sepasa
ng
Pedang Bersatu Padu, saban-saban ia
menusuk lengan lawan, untuk membuat senjata lawan dilepaskan.
Dengan sepasang pedang ini, kira-kira tiga puluh boesoe lantas mati kutunya. Ket
ika Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia mencoba mengejar, ia sudah lolos
dari kurungan.
In Loei melihat suaminya itu, ia girang bukan main. Justeru itu, ikat pinggangny
a kena disambar Hong Po, hingga kena ditarik dan putus. Biar bagaimana, ia terke
jut juga. Sedangnya begitu, Tan Hong menteriaki: "In Loei, sambut pedang!"
Dan sebatang pedang dilemparkan.
Tjio Hong Po melihat datangnya senjata itu, ia hendak menanggapi, untuk merampas
nya, tetapi In Loei menang
sebat, si nyonya yang mendapatkan itu. Tapi Hong Po tidak mau mengarti, ia menya
mbar terus, ke arah lengan si nyonya. Hampir ia berhasil, atau dengan sebat luar
biasa, sambil tertawa lebar, Tan Hong lompat menerjang, gerakan mana disambut i
sterinya, yang segera dapat memperbaiki diri, maka sejenak itu juga, bersatu pad
ulah pedang mereka berdua,
bagaikan dua ekor ular perak, sepasang
pedang menyambar ke kiri dan ke kanan, dan berputaran juga, hingga Hong Po lanta
s kena dikurung.
Biarnya ia liehay dan nyalinya besar, Hong Po pun kaget. Itulah kurungan hebat
untuknya. Mana dapat ia bertahan lama? Maka itu, ia berlaku nekat. Dengan mengam
bil satu jurusan, ia berlompat,
tangannya diulur,
hendak ia merampas pedangnya In Loei. Ia berlompat menjumpalit dengan gerakannya
"Yan Tjeng Sippat Hoan" ialah koentauw "Yan Tjeng berjumpalitan delapan belas k
ali."
Dengan diancam serangan itu, In Loei berkelit, justeru dia berkelit, Hong Po bis
a meajauhkan diri kira tiga tombak, tetapi di antara seruan pujian "Bagus!" dari
Tan Hong, Hong Po merasakan sesuatu yang adem kepada kepalanya.
Segera ia mendapat kenyataan, rambut
kepalanya sudah kena dibabat gundul oleh Thio Tayhiap!
Bukan kepalang, murkanya guru Law Tong Soen.
"Thio Tan Hong, kau sangat menghina aku!" ia menjerit. "Baiklah aku serahkan pad
amu
beberapa tulang-tulang tuaku!"
Sebenarnya Tan Hong memuji dengan sejujurnya, karena
lawan yang tua ini liehay, akan tetapi dalam malu dan murkanya. Hong Po mengangg
ap lain, dia menyangka dia diperhi-na. Maka dia lantas lompat menerjang.
Tan Hong mengerutkan kening. Ia sudah berlaku murah hati, sikapnya itu salah dit
erima. Terpaksa ia berkata kepada isterinya, "Adik Loei, tua bangka ini beradat
keras, kau tusuklah sambungan tangan di lengannya!"
Sambil berkata begitu, Tan Hong membalas menyerang, diiringi In Loei. Sebab mema
ng demikian cara mereka bersilat dengan Siangkiam happek, sepasang pedang bers
atu
padu. Serangan datang berbareng dari kiri dan kanan.
Kembali Hong Po kena didesak. Ia mengibas dengan kedua tangannya, ia ingin membi
kin terpental pedang-
pedang lawan itu, tetapi "Sret!" maka tahu-tahu kedua ujung bajunya kena dibabat
kutung pedang kedua lawannya itu!
Inilah yang diinginkan Hong Po, yang hendak menggunakan tipu.
Selagi orang mendapat hati, ia hendak membarengi menyerang dengan tiba-tiba. Ia
hanya telah keliru menduga keliehayan dari Siangkiam Hiappek, yang sudah mencapa
i puncaknya kesempurnaan. Ia baru berniat, tetapi fihak lain sudah bekerja. Ia t
elah didahului diserang pula oleh sepasang suami isteri itu, yang pedang-
nya seperti bekerja sendirinya. Bukan main kagetnya ia tatkala tahu-tahu ikat pi
nggangnya kena disontek putus ujung pedang Tan Hong. Ia kaget sebab kalau pingga
ngnya yang ditikam, celakalah ia. Ia bersyukur bahwa ia masih sempat bekelit.
"Bagus!" Tan Hong memuji pula sesudah keadaan orang menjadi rudin, kepala gundul
, ujung baju buntung dan ikat pinggang terlepas. "Tjio Lootjianpwee, kau berhasi
l melayani tiga jurus di bawah ancaman Siangkiam happek, kau sungguh liehay, di
jaman ini cuma beberapa orang saja yang dapat merende-ngimu! Lootjianpwee, aku y
ang muda benar-benar kagum sekali! Lootjianpwee, kau tua dan gagah, namamu terma
shur, kenapa kau
masih rela menempatkan dirimu dalam kalangan budak-budak hina dina ini, dan memb
iarkan dirimu
diperintah pergi datang, hingga kau membuat dirimu terhina juga? Lootjianpwee, s
ukalah kau dengar perkataanku, sebaiknya lekas-lekas kau pergi pulang!"
Hong Po menyedot hawa dingin. Tepat ucapan Tan Hong itu. Memang juga ia turun gu
nung bukan untuk mencari nama atau pangkat, ia sekedar menerima undangan. Pula i
a tidak ingin menjadi jago. Maka sungguh tidak beruntung, setelah berada di dala
m istana, pertama kali bertempur, ia menghadapi Thio Tan Hong suami isteri. Menu
rut tingkat derajat, Tan Hong berdua berada dua tingkat lebih rendah darip
adanya,
tetapi toh ia hanya bisa melayani tiga jurus saja, bahkan ia hampir menjual jiwa
di bawah sepasang pedang suami isteri itu. Karena ia insaf, tawarlah sudah hati
nya, maka setelah menghela napas
panjang-panjang, ia lompat melewati loneng, untuk terus menyingkir dari istana.
Dan semenjak itu, benar-benar ia menuruti nasihat Tan Hong. Ia telah menjual rum
ahnya, dan membawa keluarganya pergi ke tanah pegunungan yang sunyi, untuk hidup
menyendiri, tak lagi ia memperdulikan urusan dunia.
Di pihak sana, pertempuran antara In Tiong dan Tjiok Tay Tjee sudah tiba pada sa
at yang memutuskan. Baru saja In Tiong habis menjalankan tiga puluh enam jurusny
a,
Ngohouw Toanboen too, baru ia hendak memulainya pula,
mendadak Tay Tjee merubah siasatnya, dari membela diri menjadi menyerang, kipasn
ya dipentang untuk
menempel golok lawan.
In Tiong terkejut, goloknya itu seperti disedot, hingga tubuhnya kena tertarik,
dan ia kehilangan keseimbangannya sampai terhuyung. Justeru itu Tay Tjee menurun
kan tangan jahatnya, sebelah tangannya menyambar dahsyat sekali.
Justeru itu sinar pedang pun berkelebat, pedang Tan Hong tiba, meluncur ke arah
telapak tangan orang she Tjiok itu!
"Bagus betul!" dia berteriak sengit. "Inilah cara membokong!" Ia batal menyerang
terus pada In Tiong, dengan susah payah baru ia
dapat meloloskan diri dari tusukan itu.
Tan Hong tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Jikalau
seorang pandai bertempur, matanya mesti dipentang ke empat penjuru, kupingnya
mesti dibuka ke delapan jurusan, tetapi kau, aku telah tiba di depanmu, kau masi
h belum tahu! Dengan begitu, apakah kau masih menganggap dirimu gagah perkasa da
n liehay? Jikalau aku niat membinasakan kau, pedangku tidak akan menjurus ke tel
apak tanganmu tetapi ke tenggorokanmu, langsung! Kau kira, dapatkah kau memutar
balik kipas besimu itu? Laginya mari kita bicara tentang aturan kaum kangouwl Di
sini aku cuma bertiga, tetapi kamu jago-jago dari istana ini, telah keluar semu
a seperti burung-
burung meluruk dari sarangnya, maka itu, mengenai ini, apakah kau hendak kata?"
Tjiok Tay Tjee mengeluarkan keringat dingin, diam-diam ia berpikir: "Memang,
kalau pedangnya mampir di tenggorokanku, pasti sekali tidak dapat aku berkelit l
agi..." Tapi, terpaksa, ia berkata: "Thio Tan Hong, aku tidak hendak mengadu bic
ara denganmu! Mari, marilah kita mencoba-coba!"
Tan Hong menyam-buti tantangan itu.
"Saudara In, tolong kau halangi itu kawanan budak-budak, untuk sementara waktu s
aja!" ia berkata kepada In Tiong, toakoe-nya. Kemudian dengan tindakan Poanliong
Djiauwpou, ia menempatkan diri di damping In Loei, habis mana, ia kata nyaring
pada Tjiok Tay Tjee:
"Tjiok Tay Tjee, jikalau kau sanggup melayani kami berdua dua jurus saja, kami a
kan mengikat tangan kami, untuk membikin kau mendapatkan pahalamu!"
Setelah mengucapkan perkataannya itu, Tan Hong tidak menanti jawaban lagi, dan d
engan cepat ia bergerak berbareng bersama In Loei, maka sekejab itu juga, Tay Tj
ee telah kena dikurung mereka!
Di saat bergeraknya Tan Hong berdua isterinya, di situ pun terdengar suara nyari
ng dua kali, sebab In Tiong, dengan Taylek kimkong tjioe, telah membanting dua b
oesoe yang coba merangsak kepadanya!
Ilmu silat Siangkiam happek itu adalah ilmu pedang istimewa dari Hian Kie Itsoe.
Ketika dulu Tan Hong dan In
Loei belum berlatih bersama, dapat mereka mengalahkan Hek Pek Moko, maka sekaran
g, sesudah latihan belasan tahun, mereka telah menginsafi kemahirannya itu. Hong
Po kena mereka pecundangi, maka itu, Tay Tjee lantas kena mereka kurung rapat.
Tay Tjee kaget bukan kepalang, terpaksa ia berkelahi dengan menggunai antero
kepandaiannya, memasang mata dan kupingnya. Ia mau percaya In Loei lemah, ia men
desak si nyonya. Tapi justeru ia menyerang nyonya itu, "Crok!" maka sapatlah pin
ggiran kipasnya
terpapas pedang Tan Hong!
"Sayang!" In Loei mengeluh. Karena Tan Hong hendak berunding sama kaisar, ia tid
ak mau membawa pedang,
coba mereka membawa pedang mereka,
Tjengbeng dan Pekin, tentulah kipas Tay Tjee akan sudah terpapas kutung!
"Tangkisan kau ini tidak ada kecelanya!" berkata Tan Hong sambil tertawa. Tapi i
a mendesak, hingga Tay Tjee mundur tiga tindak.
Justeru orang mundur, In Loei mendesak, pedangnya meluncur.
Tay Tjee tidak berdaya untuk menangkis, terpaksa ia merobohkan tubuhnya, tetapi
meski begitu, ia tidak bebas seluruhnya, ikat
kepalanya kena dipapas pedang si nyonya.
Tan Hong tertawa berkakak.
"Hayo merayap bangun!" ia berkata. "Mari sambut pula jurus yang ketiga!"
Sebenarnya Tan Hong dapat mengambil jiwa orang apabila ia
menghendaki itu tetapi ia sengaja berlaku lunak, supaya In Loei dapat membuat ma
lu lawannya itu.
Tay Tjee mendongkol bukan main. Ia tahu ia tidak akan sanggup melawan lagi tapi
ia nekat. Dengan terpaksa ia berlompat bangun, untuk menyerang dengan kipasnya,
menyerang In Loei. ia mengarah tujuh atau delapan jalan darah. Ia berlaku cepat
luar biasa. Ia percaya bahwa ia telah mencapai puncaknya kesehatan, tetapi ia ti
dak menyangka, lain orang masih dapat melebihinya.
Tan Hong dan In Loei menggerakan
pedang mereka, mereka menyambut dengan berbareng terjangan kipas itu walaupun se
rangan diarahkan kepada In Loei seorang.
Tay Tjee kaget tidak terkira ketika ia merasakan kipasnya terbentur pedang lawan
, dalam sekejab kipas itu kutung menjadi empat potong, tangan kanannya hilang du
a jerijinya, tubuhnya
tertikam di tujuh tempat, sebab sambil memapas kipas, suami isteri itu terus men
ikam berulang-ulang.
"Aku mengasi ampun jiwamu!" membentak Tan Hong. "Apakah kau masih tidak hendak l
ari merat?"
Ketika ini Tek Seng Siangdjin dan Touw Liong Tjoentjia muncul bersama puluhan bo
esoe , maka Tan Hong dan In Loei lantas menerjang mereka. Dengan cepat beberapa
kurban roboh di pihak kawanan boesoe itu.
"Mundur dari ruang, lalu kurung pula mereka!" Tek Seng
Siangdjin berseru mengatur siasatnya. Ia masih mengharap dapat mengepung Tan Hon
g bertiga.
Tan Hong dan In Loei merangsak kepada Tek Seng Siangdjin, mereka menikam.
Tek Seng Siangdjin liehay, sambil berkelit ia menyambar dua boesoe , masing-masi
ng dengan sebelah tangannya, kedua boesoe itu dipakai memapak pedang,
maka tertembuslah
tubuh mereka oleh pedang suami isteri itu.
"Sungguh kejam!" Tan Hong berseru sengit. Ketika ia hendak menyerang pula, Tek S
eng sudah lari ke luar ruangan.
Kawanan boesoe itu melihat sikapnya Tek Seng, yang takut mati, mereka pun lari m
embubarkan diri, lari serabutan.
Di mana rintangan
sudah tidak ada, Tan Hong mengajak isteri dan iparnya keluar dari Ban Sioe Kok,
terus menuju ke taman bunga. Di sini mereka lantas disambut tertawa nyaring Tong
Soen yang terus berkata: "Thio Tan Hong, biarpun kau pandai seperti malaikat, h
ari ini tidak nanti kau dapat lolos dari jaring langit dan jala bumiku!"
Benar saja, di dalam taman itu, di antara pohon-pohon bunga, terlihat sangat ban
yak bayangan orang, karena Law Tong Soen telah mengatur sembunyi seribu tukang p
anah dari tangsi panah Sintjian eng Tangsi Panah Sakti. Dan begitu ia memberikan
titahnya, turunlah hujan anak panah!
Tan Hong dan In Loei mengerti bahaya, mereka tidak menjadi
gentar. Dengan pedang mereka, mereka
menghalau setiap anak panah. In Tiong pun turut menggunai Taylek kimkong tjioe,
dengan apa ia sampok jatuh sesuatu anak panah yang meluncur ke arahnya. Hanyalah
saja, ancaman bencana
bukannya berkurang. Semua tukang panah itu adalah anggauta-anggauta pasukan
Gielimkoen yang terpilih, tenaga mereka besar, panahan mereka jitu. Siapa saja y
ang terkena panah, walaupun
sebatang, ada harapan jiwanya melayang dengan segera.
Menyaksikan hebatnya kepungan, Tan Hong tertawa getir.
"Saudara kecil," katanya, "mungkin hari ini ialah hari terachir yang pedang kita
bersatu padu menghadapi musuh, maka itu bilanglah,
apakah kita harus merampas beberapa ratus jiwanya ini kawanan kuku garuda atau k
ita menyerahkan diri secara begini saja?"
Ketika belasan tahun yang lalu, Tan Hong pertama bertemu sama In Loei, yang meny
amar sebagai seorang
pemuda, ia memanggil saudara kecil kepada isterinya itu, panggilan itu telah men
jadi kebiasaan, sampai mereka sudah menikah baru sang suami mengubah dan memangg
ilnya "adik Loei." Cuma kadang-kadang saja, di dalam rumah, sedang gembiranya, T
an Hong masih suka memanggil
"saudara kecil."
Mendengar panggilan saudara kecil itu, sedetik hati In Loei terkesiap, tapi sege
ra juga dia memberikan penyahutannya "Engko, terserah padamu!"
Jawaban ini menyatakan kepercayaannya yang besar sekali kepada Tan Hong yang ia
puja.
Biar bagaimana, Tan Hong menghadapi
kesulitan besar. Kalau mereka nerobos keluar, ada harapan mereka kena terpanah.
Kalau mereka bertahan terus, mereka bisa melindungi diri, tetapi sampai berapa l
ama mereka dapat bertahan jikalau terus-terusan mereka terkurung? Maka itu, ia b
ersangsi.
Justeru mereka berbicara, dua batang panah menerobos masuk. Tan Hong segera meng
ibaskan tangan bajunya. Ia merasakan serangan panah itu kuat sekali, suatu tanda
si tukang panah adalah orang yang terlatih dan tenaganya besar.
Gusar dan gelisah, Tan Hong mengertak
gigi. Ia menjadi bulat tekadnya untuk menyerbu keluar. Di saat ia hendak menyeru
kan, "Terjanglah!" mendadak dua batang anak panah meluncur naik dengan bersuara.
"Hweeyam tjian!" ber seru Tan Hong begitu lekas ia melihat anak panah itu.
Benarlah, setelah meluncur ke atas, dua batang anak panah itu mengasi dengar sua
ra meletus nyaring, pecah dengan berhamburan lelatunya, mirip dengan kembang api
, muncrat ke segala penjuru.
"Eh, mengapa mereka melepaskan panah api?" In Loei tanya heran.
"Itulah panah dari luar!" Tan Hong menjawab.
Menyusul dua batang panah api itu, segera terlihat meluncurnya yang lainnya
,
belasan batang. Di antaranya ada Tjoayam tjian, ialah anak panah yang dapat melu
ncur berliku-liku sebagai ular sebagaimana namanya anak panah itu menunjuki. "Tj
oa" ialah "ular." Anak panah ini biasa meledak setelah turun dekat, apinya jahat
, ke mana menyambarnya, di situ api itu menyala, membakar kalau mengenai rambut
dan pakaian. Sekalipun pepohonan dapat
terbakar panah ini. Maka nyatalah, hweeyam tjian dipakai untuk melawan musuh, da
n tjoayam tjian untuk membakar benda.
Law Tong Soen menjadi cemas sekali. Kalau hanya Gielimkoen yang terbakar, masih
tidak apa, akan tetapi kalau taman yang terbakar habis bersama sekalian bangunan
nya yang di dalam situ, bagaimana
nanti jadinya? Maka segera ia memecah orangnya untuk me-nempur api, guna membasm
inya hingga padam. Hanya celakanya, kalau di sini dapat ditumpas, di sana nyala
lagi dan berkobar. Sudah begitu, taman sangat luas dan seribu serdadu Gielimkoen
mengurung hanya di bagian Bansioe Kok, cuma di satu pojokan saja.
Sebentar kemudian terlihatlah orang-orang kebiri lari serabutan sambil ramai ber
teriak-teriak, karena api berkobar di sana sini.
"Lekas nerobos!" berteriak Tan Hong begitu menyaksikan kekacauan itu. Inilah ket
ikanya yang paling baik, sebab juga serangan anak panah lantas menjadi jarang, t
ak lagi lebat seperti semula.
Tek Seng Siangdjin muncul bersama tiga puluh kawannya, untuk mencegah, tetapi Ta
n Hong menyerbu terus, malah dia mendekati pendeta itu, untuk menyambar padanya.
Sambaran itu mengenai sasarannya dan terdengarlah suara mem-berebet, sebab robe
klah kasee dari si pendeta.
Syukur untuk Tek Seng Siangdjin, ia
seorang liehay, maka dalam ancaman bahaya itu ia masih dapat berkelit, jikalau t
idak, celakalah tulang
pundaknya, sekarang jubahnyalah yang menjadi kurban menggantikan nyawanya.
"Mengingat kepan-daianmu dapat ngelepot sebagai kura-kura,
baiklah aku mengasi ampun satu kali lagi padamu!" berkata Tan Hong tertawa. Semb
ari berkata begitu, ia meng-
gerakan tangannya merobohkan beberapa boesoe yang berada paling de
kat.
Ketika itu terbit lagi kebakaran di beberapa tempat di dalam taman itu, yang mem
buat kekacauan bertambah. Di situ memang ada tempat-tempat kediamannya selir-sel
ir raja dan dayang-dayang, lauwteng atau
ranggonnya, semua indah-indah melebihkan toathia, pendopo
istana. Maka celakalah kalau semua bangunan itu habis dimakan api!
Di saat sekalian orang kebiri dan dayang-dayang menjerit-jerit dalam kela-bakann
ya itu, di arah barat daya terdengar satu seruan yang panjang dan lama, disusul
sama seruan yang serupa yang keras dan nyaring di arah tenggara, lalu seruan itu
terdengar seperti saling sautan. Segera menyusul suara lonceng tanda bahaya dari
pelbagai menara di dalam taman itu, ialah dari penjaga-penjaga yang disiapkan m
emberi tanda kalau ada ancaman bahaya. Itulah tanda ada orang jahat. Maka itu se
kalian boesoed\ dalam taman itu menjadi kacau saking bingungnya.
"Mereka itu cerdik sekali!" berkata Tan Hong tertawa, ia menyebutkan orang dari
pihak luar itu. "Kecuali dengan melepas api, seruan mereka adalah jalan satu-sat
unya
untuk mengacaukan dan mengundurkan ini tentera Gielimkoen yang berjumlah besar!"
"Berapa jumlah mereka, engko?" In Loei bertanya.
"Terdengarnya telah datang beberapa orang, tetapi sebenarnya cuma
dua," menyahut sang suami.
"Kalau begitu, kepandaian mereka berdua tak ada di bawahan kita," berkata In Loe
i. " Engko, belum pernah aku mendengar darimu bahwa kau mempunyai sahabat-sahaba
t sebangsa mereka ini."
"Mungkin sekali kita belum kenal mereka," berkata Tan Hong, yang ingat suatu apa
. "Bisa jadi merekalah orang-orang yang ingin mengikat tali persahabatan dengan
kita. Ah, bingkisan mereka
berharga sangat besar, maka tak dapat tidak kita mesti membalasnya!"
Dengan adanya perubahan itu, Tan Hong bertiga dapat menghembuskan napas lega, ti
dak demikian dengan rombongan Law Tong Soen dan Vang Tjong Hay beramai. Bahaya a
pi
itu menggelisahkan
mereka, dalam bingungnya itu, terpaksa mereka melonggarkan kurungan mereka,
supaya tenaga dapat dipecah untuk memadamkan api.
"Padamkan api paling dulu!" Tjong Hay berteriak.
"Melindungi Sri Baginda nomor satu!" Tong Soen pun berseru.
"Mari turut aku menangkap orang
jahat!" berteriak Tek Seng Siangdjin, yang masih tidak kapok.
Maka ramailah teriakan-teriakan mereka untuk memadamkan api, untuk menolong raja
dan menangkap penjahat, mereka saling berteriak untuk saling memberitahukan kaw
an-kawan. Dengan begitu juga, seribu serdadu Gielimkoen itu menjadi tercerai ber
ai.
"Tek Seng Siangdjin
menghadiahkan aku jubahnya ini, sekarang dapatlah aku menggunakannya!" berkata T
an Hong tertawa. Ia masih menyekal jubah si pendeta, yang ia kena robek dan ramp
as. Lalu ia berlompat sambil mengibas-ngibas dengan jubah itu, menyebabkan api
seperti ditiup dan menjadi berkobar.
In Loei dan In Tiong bergerak mengikuti itu suami dan ipar, mereka menjaga diri
dari setiap anak panah. Empat atau lima tumpukan api mereka lewatkan,
selama itu, jubah suci itu telah kena terbakar api. Tapi sekarang mereka sudah t
iba di pintu belakang dari taman.
Di sana Touw Liong Tjoentjia bersama
belasan boesoe lagi repot memadamkan api, mereka tidak menyangka
yang Tan Hong bertiga dapat datang demikian lekas. Mulanya ia menyangka orang
sendiri, sebab bergulungnya asap membuat mata mereka tidak dapat melihat tegas.
Maka kagetlah ia kapan ia mengenali Tan Hong, hingga ia berseru tertahan. Tentu
sekali, sudah kasep untuknya membela atau menyingkirkan diri. Tan Hong dengan be
ngis menungkrap dengan jubahnya yang menyala dan In Tiong menghajar dengan Tayle
k kimkong tjioe, maka di lain detik tubuhnya telah kena dilemparkan ke arah api
yang berkobar-kobar itu!
Belasan boesoe itu kaget, tidak berani mereka melawan, dalam sekejaban mereka la
ri serabutan.
In Tiong berlompat ke pintu taman, sambil berseru ia menyerang
pintu itu, yang ia gempur dengan tenaganya yang dikerahkan.
Hebat penyerangan Taylek Kimkong tjioe itu, pintu terdobrak terbuka walaupun ter
buatnya daripada besi, maka dari situ Tan Hong bertiga menerobos ke luar, hingga
mereka berada di bukit Keng San, bukit yang terletak di bagian belakang dari ta
man itu. Dari atas bukit mereka memandang ke arah taman, ke arah istana, di mana
kebakaran tidak dapat segera dipadamkan.
In Tiong mendongkol sekali hingga ia berkata dengan sengit: "Sungguh satu raja g
oblok yang tak dapat membedakan kesetiaan dari kedurhakaan! Kita hendak membela
mereka, kita justeru diperlakukan begini
rupa! Biarlah api ini membakar ludas semua
istananya yang indah-indah itu! Beginilah baru aku puas!"
Tan Hong tertawa, "Istana ini pun terbangunkan oleh peluh dan darahnya rakyat!"
ia berkata, "maka sayanglah kalau semuanya dijadikan kurban api... Laginya, deng
an sekarang terbakar, apa lain kali tidak dapat dibangun pula? Itu justeru akan
menambah kesengsaraannya rakyat..."
"Tetapi aku sangat membenci kaisar tolol itu!" kata In Tiong tetap sengit. Ia in
gat masanya ia sangat bersetia kepada negara, kepada kaisar, tetapi begini macam
nasib keluarga In, maka itu sembari mengawasi api, rupa-rupa perasaan datang me
nyandingi otaknya. Dulu ia setia, berkobar semangatnya untuk bekerja untuk
negara, tetapi sekarang, semangat itu seperti terbakar tumpas oleh api yang lagi
berkobar-kobar itu...
"Kau menyebutnya raja tolol, yang gelap pikirannya," berkata Tan Hong, yang tak
lenyap kegembiraannya, "aku menaksir dia tentulah menganggap dirinya cerdik seka
li! Bukankah kita semua dipandang dia sebagai orang-orang yang
dapat mencelakai kedudukan kaisarnya? Pantas saja kita membangkitkan kebencianny
a itu!"
Lalu moayhoe ini menghibur iparnya itu.
Sekarang In Loei ingat puteri Iran. "Coba bilang, engko," ia tanya suaminya, "pu
teri Iran dan suaminya berada di dalam istana, mungkin mereka
ditahan, apakah mereka terancam bahaya atau
tidak?"
"Bukan saja mereka tidak terancam
bahaya," menyahut Tan Hong tertawa, "bahkan sebaliknya, mereka
pasti akan diperlakukan hormat sekali oleh Kie Tin! Mereka itu bukannya seperti
kita. Pasti sekali Kie Tin senang dapat berserikat sama satu negara asing. Bukan
kah ia mengharapkan keselamatan tachta kerajaannya?"
In Loei pun tertawa. Ia kata: "Dengan masuknya kita kali ini ke istana, kita tel
ah mengajar adat kepadanya. Pasti dia kecewa yang dia tidak dapat menyingkirkan
kau, engko. Sekarang tidak dapat tidak, ia mesti turut salah satu dari tiga jala
n yang ditunjuki olehmu, untuk berserikat sama negara asing."
Selama itu, api nampak mulai reda.
"Kita jangan omong saja di sini," kata Tan Hong, memperingati, "kalau api sudah
padam semua, ada kemungkinan mereka nanti mencari dan menyusul kita. Mari kita l
ekas pulang!"
"Pulang ke manakah?" sang isteri tanya.
Tan Hong berpikir, lalu dia tertawa.
"Lupakah kau orang yang mengantar kuwe kepada kita?" ia tanya. "Biarlah, malam-m
alam juga kita berangkat ke Patatleng, untuk
membalas kunjungannya itu! Dua sahabat itu berharga untuk kita mengi
kat persahabatan dengannya."
"Baik," sahut In Loei, setuju. "Kau biasanya tidak menduga keliru. Aku hanya tid
ak mengerti, kenapa
mereka ketahui alamat
kita dan pun datang menolong di saat yang tepat. Kenapa mereka ketahui kita tera
ncam bahaya? Kenapa mereka dapat berdaya meno-longi kita?"
Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Tan Hong. In Tiong juga tidak dapat memikirny
a. Maka itu ingin mereka lekas-lekas tiba di gunung Patatleng,
untuk mendapatkan pemecahannya. Sementara itu mereka tidak menyangka yang murid
mereka, untuk sesuatu hal, sudah mendahului mereka pergi ke gunung Patatleng itu
.
Di Hoeiliong Piauwkiok, seberlalunya Tan Hong, Liong Teng sudah lantas menga
mbil
tindakannya. Ia telah membubarkan semua pegawainya, ia tutup perusahaannya itu.
Dengan begitu, Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe pun
turut mengangkat kaki. Tadinya Sin Tjoe ingin menumpang sama Tjo Thaykam, untuk
melihat perkembangan terlebih jauh, tetapi setelah memikir lainnya, ia mengambil
lain pendapat. Maka dengan menunggang kuda
putih, bersama Siauw Houwtjoe ia keluar dari pintu kota barat, untuk menuju ke k
ota Kieyongkwan, hingga mereka tiba di luar kota itu.
"Eh, entjie Sin Tjoe, perlu apa kau ajak aku ke tanah pegunungan ini?" Siauw Hou
wtjoe menanya.
"Anak nakal!" Sin Tjoe tertawa. "Kau paling gemar memain, sekarang aku ajak kau
ke tempat di mana ada pemandangan yang paling aneh di kolong langit ini, ialah B
anlie Tiangshia, itu tembok besar dan panjang yang
katanya selaksa lie! Apakah kau tidak gembira?"
Lantas si nona men-joroki orang turun dari kudanya, dengan kudanya itu terus dil
epas dibiarkan mencari
makan sendirinya.
Ketika itu sudah magrib, di antara sinar layung, sungguh indah nampaknya Tembok
Besar, yang bagaikan ular panjang dengan sinarnya kekuning-
kuningan berlugat-legot di atas tanah pegunungan.
Banlie Tiangshia ialah bangunan paling besar dalam hikayat Tiongkok, dari kota K
eedjoekwan dia menyambung sampai di kota Sanhaykwan,
berliku-liku di antara gunung-gunung sejauh dua belas ribu lie lebih. Di bagian
kota Kieyongkwan ini ialah daerah yang menyam-
paikan gunung Patatleng (Pataling), maka itu Sin Tjoe mengajak Siauw Houwtjoe pe
rgi ke kota Kieyongkwan ini. Mereka mendaki bukit dari selatan kota, mereka naik
ke atas Tembok Besar, maka dari sana mereka menyaksikan gunung-gunung yang sepe
rti tak ada ujung pangkalnya, tembok kota panjang seperti ular terlihat kepalany
a tidak ekornya.
Berada di atas tembok dan tertiup angin, Siauw Houwtjoe bergembira sekali, hingg
a ia berseru-seru kegirangan. Tetapi kapan ia ingat suatu apa, ia lantas mengawa
si nona kawannya.
"Entjie Sin Tjoe, benarkah cuma untuk aku memandangi
tembok dan bukit ini maka kau mengajak aku ke mari?" dia bertanya.
Nona Ie tertawa.
"Apa? Tidakkah ini indah?" ia balik menanya.
"Memang indah," sahut Siauw Houwtjoe. "Hanya sekarang sudah sore, kalau kita pul
ang, pintu kota tentunya telah ditutup. Ah, aku tidak percaya hari ini kau mempu
nyai kegembiraan mengajak aku pesiar ke mari"
Si nona tertawa geli.
"Malam ini, kita mencari pondokan di atas gunung Patatleng," ia berkata. "Eh, Si
auw Houwtjoe, apakah kau takut nanti digegares srigala? Benarkah kau hendak pula
ng kembali ke kota raja?"
"Aku takut srigala? Ha! Aku justeru hendak mencari seekor untuk dipakai menangsa
l
perutku! Hanya guru kita, mereka tentu menantikannya di rumah Tjo
Thaykam, kalau
mereka tidak mendapatkan kita, bagaimana? Ah, entjie Sin Tjoe, kau biasanya sang
at mendengar kata terhadap soehoe, kenapa sekarang kau berkuasa sendiri, kau men
gajaknya aku
kemari? Tentu ada sebabnya! Nah, entjie, apabila kau tidak menjelaskannya padaku
, nanti aku mengadu pada soehoe1."
Sin Tjoe tertawa.
"Aku ajak kau ke mari justeru untuk
menantikan soehoel" jawabnya mana.
"Apakah kau lupa yang soehoe pernah berjanji sama orang yang menyebut dirinya Pa
tat Sandjin itu, yang menjanjikan pertemuan di atas panggung Tiamtjiang Tay?"
"Akan tetapi soehoe tidak menjanjikan
temponya," Siauw
Houwtjoe kata.
"Sekeluarnya dari istana, soehoe tentu bakal terus menuju kemari, "Sin Tjoe mene
rangkan. "Aku sendiri ingin lekas menemui Patat Sandjin itu, maka itu aku mendah
ului datang ke mari untuk menyelidikinya. Aku percaya soehoe tidak bakal menegur
aku."
"Apakah kau kenal Patat Sandjin itu?"
tanya Siauw Houwtjoe heran.
"Tidak."
"Habis kenapa kau mencari dia? Dia pun tidak berjanji bertemu soehoe malam ini?
Mana kau tahu pasti yang dia akan menantikan di Tiamtjiang Tay?"
"Kita cari dia di seluruh Patatleng, aku percaya kita dapat menemukannya."
"Sebenarnya siapakah dia maka kau merasa perlu sekali menemukannya?"
"Aku mengharap-harap dialah sahabatku yang telah lama aku dengar namanya tapi ya
ng aku belum pernah menemuinya. Sudah, Siauw Houwtjoe, kau jangan banyak tanya l
agi! Mari kita turun dari tembok panjang ini, kita masuk ke dalam rimba."
Siauw Houwtjoe heran bukan buatan.
"Sahabat yang kau belum pernah ketemui itu, dia laki-laki atau wanita?" tanyanya
.
"Laki-laki."
Siauw Houwtjoe makin heran.
"Ah!" serunya. "Jadi kau tidak sukai engko Seng Lim?"
"Cis" muka Sin Tjoe bersemu dadu. "Kau iblis cilik, otakmu tidak jernih! Kau nga
co belo lagi, nanti aku hajar kau!"
Bocah nakal itu mengulur lidahnya keluar, ia terus bungkam.
Orang yang Sin Tjoe ingin cari itu ialah Hok Thian Touw. Dia telah mendengar ket
erangannya Yap Goan Tjiang si tabib ia dari See San bahwa si "pemuda gagah" berd
iam di Patatleng, sedang
orang yang mengantar kuwe kepada gurunya menyebut dirinya Patat Sandjin. Ia menc
urigai bahwa dua orang itu hanya satu orang belaka, bahwa mungkin sekali dialah
Hok Thian Touw. Ia mesti mendapatkan kepastiannya, Thian Touw benar sudah mening
gal dunia atau masih hidup.
Sin Tjoe menjadi besar di kota raja tetapi Banlie Tiangshia juga menjadi tempat
pesiarnya, meski begitu ia belum tahu di mana letaknya panggung
peranti apel panglima perang, ialah Tiamtjiang Tay, maka itu sekarang,
sesudah sang malam mendatangi dan cuaca menjadi remang-
remang, ia sibuk sendirinya.
Untuk beberapa puluh lie si nona mengajak Siauw Houwtjoe berputaran, jangan kata
Tiamtjiang Tay, sebuah gubuk pun mereka tidak mendapatkannya. Cuaca, semakin ge
lap, si Puteri Malam pun mulai muncul. Di hutan terdengar suara angin malam, yan
g membawa datang juga pekiknya orang hutan atau srigala.
"Syukur malam ini bulan terang!" berkata Siauw Houwtjoe, yang nyalinya besar. "K
alau tidak sungguh berbahaya apabila kita dibokong srigala?
Bagaimana eh, apa malam ini kita terus pesiar di rimba ini sampai besok pagi?"
Sin Tjoe tidak men-
jawab hanya ia tertawa sambil melengak, lalu dari mulutnya keluar suara senandun
g:
"Terbang memutari tangi t untuk mencari burung pieek! Entahiah Leng In dan It Ho
ng menclok di rumah siapa?..."
"Ah entjie Sin Tjoe!" berkata Siauw
Houwtjoe. "Di waktu begini kau masih mempunyai kegembiraanmu!"
Tenaga dalam Sin Tjoe telah mempunyai dasarnya, maka itu sebutannya "Leng In" da
n "In Hong" itu telah mendengung, berkumandang di dalam rimba itu, mungkin dapat
didengar orang hingga jauhnya belasan lie. Hanya, sampai suara itu sirap, tidak
ada terdengar jawaban untuknya.
Malam itu rembulan terang dan jernih sekali, bunga-bunga hutan terlihat memain d
i antara sampokan sang angin. Indah pemandangan itu. Suasana pun tenang dan tent
eram, hingga itu merupakan kesunyian yang berbareng dapat menciutkan hati orang-
orang yang nyalinya tidak besar.
Tiba-tiba Sin Tjoe ingat pengalaman itu malam ketika bersama Leng In Hong ia ber
ada di gunung Hoeyong San, bagaimana mereka memasang omong
dengan asyik sekali pada malam indah seperti malam ini. Adalah di itu malam yang
untuk pertama kali ia mendengar dari mulutnya In Hong tentang Hok Thian Touw, s
edang ini malam dia lagi mencari Hok Thian Touw itu. Maka diam-diam ia memuji di
dalam hatinya: "Semoga In Hong dapat mencari kawannya itu, agar mereka dapat ter
bang bersama seperti si burung pie-ek! (Menurut kitab Djie Nge, burung pieek ini
adanya di Selatan, namanya kiam-kiam, karena
burung ini tidak terbang apabila tidak berpasangan, maka itu disebut pieek, sepa
sang sayap.)
Tengah si nona memuji itu, sekonyong-konyong terdengar suara "ser" dari me-nyamb
ernya sesuatu, yang memecah kesu-nyiannya sang malam atau rimba itu, yang pun me
nghentikan pujian si nona, menyusul itu sebutir batu jatuh tepat di depannya non
a ini, Siauw Houwtjoe terkejut.
"Ah, adakah dia manusia atau hantu?"
katanya. "Aku seperti melihat berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus leny
ap cepat sekali..."
Belum berhenti suara bocah ini atau sebutir batu lain jatuh di depan mereka.
Sebat luar biasa, Sin Tjoe berlompat ke arah dari mana batu itu datang. Ia mahir
dalam ilmu enteng tubuh, akan tetapi setelah mengejar sekian lama, ia tidak ber
hasil menyandak, ia tidak mendapatkan
bekas-bekas orang. Ia mulai mendongkol juga, maka dengan rada sengit ia kata dal
am hatinya: "Untuk entjie In Hong aku bercapai-capai mencari kau, kenapa kau seb
aliknya hendak menguji kepan-daianku?"
Ia lantas menghentikan tindakannya, atau lagi-lagi sepotong batu lantas jatuh di
depan-
nya.
Dengan tiba-tiba Sin Tjoe mencelat dengan gerakannya "Cecapung menyambar air tig
a kali beruntun," dengan tiga kali juga ia mencelat tak putusnya, setelah belasa
n tombak, ia menampak satu bayangan orang di sebelah depannya. Ia baru mengempos
pula, akan menukar napas, atau bayangan itu lenyap seketika.
Dengan penasaran Nona Ie mengejar terus, kali ini ia mendapatkan bayangan itu se
bentar nampak sebentar tidak, sampai achirnya ia tiba di sebuah batu bundar yang
besar luar biasa, yang licin mengkilap, dan di antara sinarnya si Puteri Malam,
batu itu bagaikan kaca rasa. Segera ia melihat tiga ukiran huruf di atas batu i
tu, bunyinya "Tiamtjiang Tay." Ia me-
lengak, karena itulah yang dinamakan batu peranti menyebut
nama-nama panglima perang. Ia melengak tetapi ia sadar.
"Nyatalah dia sengaja memancing aku sampai di sini," pikirnya. "Tepat di sinilah
dia berjanji akan bertemu sama guruku. Rupanya dia kuatir, kalau soehoe sampai
di sini, soehoe nanti tidak dapat mencarinya." Karena ini segera ia berseru nyar
ing: "Sahabatnya Leng In Hong, muridnya Thio Tan Hong, Ie Sin Tjoe dan Thio Giok
Houw datang ke mari mengunjungi Patat Sandjinl"
Sin Tjoe kuatir orang bukannya Hok Thian Touw, maka sengaja dia menyebut namanya
In Hong terlebih dulu. Setelah itu, ia menantikan jawaban.
Batu Tiamtjiang Tay
ini terletak di tempat di mana pepohonan tumbuhnya jarang, di waktu terang bulan
seperti itu, segala apa nampak nyata, akan tetapi menantikan sekian
lama, si nona tidak memperoleh jawaban, ia menjadi kurang senang. Ia memikir unt
uk mengangkat kaki dari situ, tetapi Siauw Houwtjoe belum me-nyandak padanya.
Terpaksa ia berdiam terus. Ia mengawasi ke sekitarnya, sampai ia melihat sebuah
tjiopay kecil di pinggiran Tiamtjiang Tay itu, ada huruf-hurufnya yang halus, ya
ng mana, ia baca, menunjuki Bok Koei Eng, wanita gagah yang menjadi kepala peran
g dari ahala Song, pernah mengepalai
panglima-panglima perangnya di situ.
"Entjie In Hong gagah dan pintar, dia
dapat dibandingkan Bok Koei Eng," Sin Tjoe berpikir, "hanya jaman dan suasana be
rbeda, peruntungan mereka berbeda juga. Ah, apakah orang ini bukannya Hok Thian
Touw?"
Tiba-tiba ada tindakan kaki di sebelah belakang, Sin Tjoe berpal
ing dengan cepat, hingga ia melihat Siauw Houwtjoe tengah meng-hampirkan.
Mukanya bocah itu beda daripada tadi-tadinya, dia agaknya berkuatir atau
bergelisah.
"Entjie," berkata dia, tangannya menunjuk ke samping Tiamtjiang
Tay, "adalah orang itu sahabatmu? Kenapa kau tidak pergi padanya?"
Sin Tjoe berpaling dengan cepat, melihat ke arah yang ditunijuk bocah itu.
Benar situ, di atas batu, ada seorang
tengah rebah tidur. Ia heran bukan main. Ia berkuping terang dan bermata celi, a
kan tetapi heran, ia tidak mengetahui ada orang datang untuk tidur di situ. Mau
atau tidak, ia melengak.
"Hok... Hoo... Patat Sandjin," katanya,
masih gugup, "bukankah kau yang menjanjikan guruku datang ke mari?"
Orang itu lagi tidur, dia berdiam saja. Dia mengenakan baju biru yang gerombonga
n, karena cara rebahnya, mukanya tak kelihatan.
Siauw Houwtjoe habis sabar. Dengan satu kali mencelat, ia telah naik di atas bat
u besar itu.
"Eh, orang kurang ajar " bentaknya seraya tangannya menyambar, untuk membaliki t
ubuh orang, akan menyingkap bajunya.
Sin Tjoe menjadi he-
ran bukan main. Ia bukan mendapatkan satu anak muda, yang romannya tampan,
hanya seorang tua dengan rambut ubanan, yang hidungnya merah. Dia tidak beroman
terlalu jelek, tetapi dia pasti bukan kekasihnya Leng In Hong.
Orang tua itu me-ngulet.
"Eh, dari mana datangnya si bocah nakal?" katanya. "Kenapa kau mengganggu orang
tengah asyik bermimpi?"
Siauw Houwtjoe pun melengak.
"Kau siapa?" ia menanya.
"Kau mau cari siapa?" orang tua itu balik menanya.
"Apakah kau bukannya Patat Sandjin?" Siauw Houwtjoe menanya pula.
"Apa? Kau mencari aku?" tanya pula si
orang tua. "Eh, eh, aku si orang tua tidak kenal kau bocah yang nakal."
Ia menarik bajunya yang gerombongan itu, ia rebah pula.
Siauw Houwtjoe memanggil pula, mengajak bicara, ia tidak dilayani. Orang tua itu
bahkan terdengar gerosan
napasnya!
Bocah itu jadi mendongkol.
"Aku tidak akan bikin kau enak tidur!" katanya sengit. Ia ulur tangannya, dengan
dua jari tangannya itu ia menjepit hidung orang!
Siauw Houwtjoe paling gemar bergurau, hidung besar dan merah dari si orang tua m
embuatnya gembira. Ia mau percaya, kalau hidungnya dijepit, orang tua itu bakal
tidak bernapas dan akan mengeluarkan suara kaget.
Sin Tjoe hampir ter-
tawa melihat kenakalan kawannya, meskipun begitu, hendak ia mencegah.
Tiba-tiba tubuh si orang tua bergerak miring, dengan begitu gagallah jepitan
tangannya Siauw
Houwtjoe.
Bocah ini penasaran, ia menjepitnya pula. Ia muda tetapi ilmu silatnya sudah cuk
up sempurna, di dalam dunia kangouw ada sedikit orang yang dapat menandinginnya,
sedang kali ini ia berlaku sangat sebat, ia percaya ia bakal berhasil. Hanya di
luar dugaannya, di saat jeriji tangannya bakal
mengenai hidung si orang tua, mendadak orang tua itu memiringkan pula tubuhnya!
Siauw Houwtjoe menggunai tenaga,
karena tidak mengenai sasarannya, ia terjeru-
nuk, kedua jerijinya mengenai batu, tubuhnya sendiri hampir ngusruk!
Sin Tjoe melihat itu, ia terkejut. Belum pernah ia menyaksikan orang lincah demi
kian rupa. Tidak ayal lagi ia pun lompat naik ke atas Tiamtjiang Tay.
Justeru itu si orang tua menegur: "Bocah nakal, kau kurang ajar! Kau harus diran
gket!"
Tepat Sin Tjoe berlompat naik, ia melihat satu bayangan melejit dari sebelah kan
an, mendahului si nona, atau di lain saat, "Plok!" maka kempolan Siauw Houwtjoe
kena dihajar hingga dia terguling jatuh dari batu besar yang bundar dan licin it
u!
Sin Tjoe paling menyayangi Siauw Houwtjoe, maka itu melihat gerakan orang, yang
ia tidak tahu bakal
jadi hebat atau tidak, karena kuatir Siauw Houwtjoe terluka ,ia lantas menolongi
.
Dengan pedangnya ia menikam ke arah orang itu.
Tapi Siauw Houwtjoe sudah mendahulukan jatuh.
Karena diserang, orang itu menangkis. Nyata ia memegang sebatang cabang pohon ya
ng ia gunakan dalam caranya ilmu golok, Sin Tjoe batal dengan tikamannya itu, ba
hkan hampir ia tergores golok cabang kayu itu...
Dengan lekas Sin Tjoe menyerang pula. Tidak bersangsi lagi, ia menggunai gerakan
dari Siangkiam happek.
Pedangnya itu seperti bergerak dari kiri dan kanan dengan berbareng.
"Ah!" berseru orang itu, pelahan suaranya. "Tidaklah kecewa murid-
nya ahli pedang nomor satu di kolong langit ini!" Sembari bicara, dia selalu men
yingkir dari ujung pedang yang menyambar-nyambar. Ia lincah sekali menggunai cab
ang kayunya itu.
Sekarang Sin Tjoe dapat melihat tegas roman orang, ialah seorang muda dengan sep
asang alis gompiok dan matanya besar meski dia tidak setampan Tiat Keng Sim, dia
toh cukup menarik. Ia lantas saja menduga, tidak salah lagi, pemuda ini mestiny
a Hok Thian Touw.
Sementara itu si orang tua sudah ber-bangkit untuk bercokol di atas Tiamtjiang T
ay. Seorang diri ia mengoceh: "Mengadu pedang di bawah sinar rembulan indah,
sungguh menarik hati! Dengan begitu dapatlah
aku menonton ilmu pedang yang istimewa! Ah, aku si orang tua jadi tidak kepingin
tidur lagi..."
Sebenarnya Sin Tjoe telah memikir untuk menghentikan pertempuran itu, tetapi tib
a-tiba ia ingat apa-apa. Maka ia kata di dalam hatinya. "Baiklah aku lihat dulu
ilmu silatnya Hok Thian Touw ini..." Maka ia geraki terus pedangnya, pedang Tjen
gbeng kiam, menyerang anak muda itu.
Si anak muda melayani terus. Dia pun agaknya mengandung serupa maksud. Maka di a
tas batu itu mereka bertarung. Si anak muda menggunai hanya secabang pohon tetap
i gerak-gerakannya mendatangkan juga suara angin, suatu tanda yang tenaga dalamn
ya sudah mahir.
Sin Tjoe tidak berani
berlaku alpa, ia keluarkan kepandaiannya menurut ajaran gurunya. Karena ia mengg
unai pedang dan pedangnya pun pedang mustika, ia seperti membuat si anak muda te
rkurung sinar pedangnya itu. Ia hendak menabas kutung cabang kayu itu, maka ia b
ekerja keras sekali.
Si anak muda ada sangat lincah, gerakannya gesit, tubuhnya licin. Ilmu silatnya
pun tidak seperti yang kebanyakan. Setelah terdesak demikian rupa, ia merubah ca
ra bersilatnya. Ia membebaskan diri dari kurungan, cabang
kayunya bergerak
bagaikan ular perak. Maka di lain saat, di empat penjuru, di delapan jurusan, ya
ng nampak hanya bayangannya saja. Sebentar ia bersilat dengan ilmu
pedang Lianhoan
Toatbeng kiam dari Boetong Pay, sebentar lagi dengan Thaykek Sipsam kiam, atau i
tu lantas ditukar dengan Twiehoen Kiamsoet dari Khongtong Pay. Masih ada lainnya
macam ilmu pedang, seperti dari Djiuin Kiamsoet dari Tjengyang Pay dan Soanhong
Kiamsoet dari Thianliong Pay.
Menyaksikan ilmu silat orang yang banyak ragamnya itu, Sin Tjoe menguasai diri,
untuk berlaku tenang dan mantap. Ia pecahkan setiap serangan, ia tidak kasi diri
nya didesak. Di lain pihak masih sia-sia saja percobaannya akan membikin kutung
pedang cabang pohon dari lawannya itu.
Sedangnya orang bertarung dengan seruh itu, mendadak Siauw Houwtjoe mengaca
u.
Dengan dua butir batu ia menimpuk, kepada si anak muda, kepada si orang tua juga
.
Menampak itu, si orang tua tertawa lebar, tangannya diangkat, jari tangannya dip
akai menyentil, maka batu yang menimpa kepadanya terpental, justeru menghajar ba
tu yang meluncur kepada si anak muda, hingga dia ini tak usah repot-repot berkel
it atau menangkis boko-ngan itu. Cuma, sebab ada datang serangan, baik si anak m
uda maupun si nona, mereka sama-sama berkelit, hingga mereka jadi renggang satu
dari lain. Habis itu, baru mereka sama-sama maju pula.
Dengan lantas ujung pedang Sin Tjoe menyambar ke arah pundak, di lain pihak ujun
g cabang pohon si pemuda meluncur ke
lengan si nona!
Itulah saat yang sangat genting, karena dua-duanya bakal
bercelaka.
Justeru itu terdengarlah dua seruan berbareng: "Sudah
cukup! Sudah cukup!"
Berbareng dengan itu, dua-dua Sin Tjoe dan si anak muda merasakan tangannya lema
s, di luar tahu mereka, senjata mereka masing-masing kena orang rampas, kapan ke
duanya menoleh, mereka dapatkan Thio Tan Hong dan si orang tua berdiri berendeng
, bergandengan tangan, berlompat turun dari atas Tiamtjiang Tay!
Di dua-dua tangan kedua orang itu ada tercekal pedang dan cabang kayu, ialah Thi
o Tan Hong memegang Tjengbeng kiam
muridnya, dan si orang tua memegang cabang
kayu si anak muda.
"Loo tjianp wee !" berkata Thio Tan Hong tertawa, "bukankah kau Patpie Lotjia Tj
ioe Kok In yang banyak tahun dulu telah menggetarkan dunia Rimba Persilatan?"
"Maaf, maaf," menyahut si orang tua. "Aku tidak berani menerima pujian itu! Aku
juga tidak mau menyebut-nyebut segala peristiwa dulu, karena sekarang aku hidup
menyendiri di gunung belukar yang sunyi, maka sekarang aku ialah Patat Sandjin."
Justeru itu In Tiong dan In Loei pun tiba, maka keduanya lantas memberi hormat k
epada jago tua itu.
Memang, di masa jayanya, orang tua itu ada sama kenamaannya seperti Hian Kie Its
oe. Di waktu muda, seorang diri pernah ia meroboh-
kan delapan belas orang kosen bangsa Mongolia. Ia terkenal untuk kegagahannya, k
elincahannya. Ia bergelar Patpie Lotjia, ialah Lotjia Bertangan
Delapan. Ia mengangkat saudara dengan Hok Tiong Eng. Ketika Hok Tiong Eng pergi
menyendiri di tapal batas, ia sembunyi di Patatleng. Maka itu, kaum muda tak ada
yang pernah mendengar namanya.
Tan Hong menjalankan kehormatan kepada orang tua itu.
"Lootjianpwee, Tan Hong sangat berterima kasih untuk bingkisan kuwemu itu!" ia b
erkata.
Tjioe Kok In tertawa terbahak.
"Sebenarnya aku si orang tua tiada biasanya berlaku sungkan!" ia berkata. "Aku m
engantar barang
padamu karena aku
mengharap pembalasannya!"
Tan Hong melengak. Setelah memandang si orang tua, ia berpaling kepada si anak m
uda. Dia itu djustru lagi mengawasi pedang di tangannya. Karena ia sangat cerdas
, ia lantas dapat menduga.
"Ini tuan..." katanya.
Tapi Patat Sandjin telah memotongnya: "Dia Hok Thian Touw, anaknya Hok Tiong Eng
, adik angkatku yang telah marhum!"
Benarlah pemuda itu Hok Thian Touw, maka Sin Tjoe girang bukan main. Kalau tadi
ia masih menerka-nerka, sekarang ia memperoleh kepastian. Ia kata di dalam hatin
ya. "Sungguh sembabat entjie Leng dipasangi dengan dia ini." Tapi, mengingat Len
g In Hong dan Yap Seng Lim, kekuatiran menerkam padanya.
Bukankah mereka itu tengah menghadapi bahaya peperangan, di saat itu tak ketahua
n mati atau hidupnya? Mereka itu pun berada bersama dan Leng In Hong tidak tahu
Thian Touw masih hidup, sedang Seng Lim tidak sadar bahwa dia dicintai secara di
am-diam.
Memikir itu, hatinya gentar. Maka ia berpikir pula. "Apakah tindakanku tidak bak
al membuat urusan cade? Aku mengalah tetapi sekarang aku menambah keruwetan..."
Tengah si nona bingung, ia mendengar gurunya tertawa dan berkata: "Baiklah,
hanya aku kuatir pembalasanku terlalu sedikit hingga tidak cukup aku membalas bu
di!" Habis itu, ia lihat gurunya menyerahkan Tjeng-beng kiam ke tangan Thian Tou
w. Ia menjadi
heran sekali. Pikirnya, "Kenapa soehoe serahkan pedang soetjouw kepad
a lain orang?"
Juga Thian Touw heran atas sikapnya Tan Hong, mukanya menjadi merah, ketika ia h
endak mengatakan sesuatu, ia lihat Tan Hong mengambil cabang pohon dari tangan T
jioe Kok In, lalu sambil bersenyum, Tan Hong berkata: "Sin Tjoe, kau lihat dan p
erhatikan ilmu silat pedang dari Hok Sieheng."
Baru sekarang Thian Touw mengerti, maka itu lantas terlihat air mukanya yang ter
ang. Tidak selayaknya Tan Hong menempur ia, tepat adalah kalau tayhiap itu membe
ri petunjuk kepadanya. Bersama-sama ayahnya ia telah mengambil putusan akan meya
kinkan ilmu silat pedang
pelbagai partai, untuk membangun satu partai baru, yaitu Thiansan Pay, dalam hal
ini ia menghadapi kesulitan karena ia tidak memperoleh petunjuknya seorang ahli
. Maka sekarang, kalau Tan Hong hendak mengajari ia, itulah lebih menang daripad
a ia dihadiahkan pedang mustika.
Di sebelah Thian Touw, Patat Sandjin pun telah bekerja keras akan mencari Thio T
an Hong, bahkan setelah ia mengantar kuwe, ia juga membantui jago itu meloloskan
diri dari kepungan di dalam istana, setelah mana orang dipancing untuk datang k
e Tiamtjiang Tay ini. Maksudnya yang utama ialah untuk membantu Hok Thian Touw m
encapai angan-angannya itu. Dari itu ia girang sekali mendapatkan Tan Hong sendi
ri
yang hendak menempur Thian Touw. Katanya dalam hatinya: "Kalau Thian Touw berhas
il menjadi jago pedang di jamannya ini, pastilah adik angkatku di dunia baka bak
al dapat memeramkan matanya." Lantas ia kata, "Thian Touw, Thio Tayhiap hendak m
emberi petunjuk padamu, mengapa kau tidak lantas menggeraki pedangmu?"
"Maaf!" berkata Thian Touw, yang benar-benar sudah
lantas menyerang Tan Hong.
Serangan itu ada dengan jurus dari Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay, jara
k di antara mereka pun dekat, maka hebatnya itu dapat di mengerti. Sinar pedang
mustika juga berkilau ke empat penjuru, seperti hendak menutup jalan mundur dari
pihak sana.
Selagi Sin Tjoe memikir, cara bagaimana orang harus menangkis serangan itu, guru
nya sudah mengangkat
tangannya, menggeraki cabang kayunya, hingga terlihatlah berke-lebatnya satu sin
ar hijau. Sebab tahu-tahu pedang Tjengbeng kiam di tangan Thian Touw sudah terpe
ntal tinggi.
"Bagus!" Siauw Houwtjoe berseru
kegirangan. "Bagus!"
"Apanya yang bagus?" tanya Sin Tjoe tertawa. "Coba kau jelaskan."
"Bagus ya bagus, apanya yang mesti dijelaskan lagi?" sahut si nakal. "Kalau buka
nnya bagus, kenapa dengan satu kali menangkis saja pedang dapat terlepas dan ter
bang?"
"Cis" Sin Tjoe mengejek. "Cuma sebegini pengetahuanmu! Apakah kau tidak t
akut
nanti orang
mentertawainya hingga orang copot giginya?"
Hok Thian Touw sendiri menjadi merah mukanya. Ia pergi memungut pedang itu.
"Jurus ini tidak masuk hitungan!" kata Tan Hong tertawa. "Mari coba lagi! Mari!"
"Eh, mengapa tidak masuk hitungan?" tanya si nakal, berani. Ia tak mengerti.
"Sebab tangkisanku ini tidak bagus," sahut Tan Hong. "Siauw Houwtjoe, kau tidak
mengerti apa-apa,
tetapi kau mau berlagak tahu saja! Ingat, lain kali jangan banyak lagak!"
Bocah itu berdiam.
"Thio Tayhiap," Thian Touw menanya,
"bukankah barusan aku telah terlalu mengeluarkan tanganku?"
Tan Hong mengangguk.
"Siauw How Tjoe, kau dengar!" ia bilang pada si murid nakal itu. "Ini barulah
perkataannya seorang ahli. Barusan aku bukan mendapat kemenangan karena menganda
l ilmu pedang belaka, hanya aku menggunai tenaga dalamku membuat pedang terpenta
l, hanya benar, tikamannya
barusan kurang tepat. Jurus barusan ada jurus 'Guntur dan kilat berbunyi bersina
r
berbareng,' serangan itu dapat ditujukan kepada lawan biasa, tetapi terhadap ora
ng yang tenaga dalamnya liehay, tidak ada faedahnya. Tenaga kuat saja tidak dapa
t melawan kecerdikan."
"Kalau lain orang terlebih liehay daripada kau, soehoe, apa pun kecerdikan masih
dapat dipergunakan?" Siauw Houwtjoe tanya.
"Sebenarnya tenaga dalam serta kepandaian harus seimbang," Tan Hong jelaskan. "K
alau ilmu pedang kita sudah sempurna, dengan itu kita dapat meminjam tenaga lawa
n untuk mengalahkan lawan itu. Aturan ini telah disebut dalam ilmu silat pedang
partai mana juga. Aku tahu Hek Pek Moko pun telah mengajari kau."
"Benar aku telah diajari tetapi aku belum mengerti," si bocah akui.
Tan Hong tertawa, ia memandang Thian Touw.
"Baiklah, Hok Sieheng , kau boleh mulai lagi," ia berkata. "Kau gunai jurus yang
sama. Kau, Siauw Houwtjoe, kau lihat!"
Hok Thian Touw menurut, dengan
mendadak ia menyerang dengan jurusnya yang tadi.
Tan Hong membuat gerakan yang sempurna,
ia membikin serangan itu gagal, cuma sekarang pedang tidak dibikin terpental ter
bang, sebaliknya, dengan ujung cabangnya ia mencoba menowel lengan si anak muda.
Thian Touw mundur, terus ia membalas membacok. Dengan gerakan berkelitnya itu, i
a bebas dari towelan.
"Bagus!" Tan Hong memuji. "Kau berbakat!"
Kali ini Thian Touw menyerang dengan
menyimpan tenaga
terachir, maka itu ia bisa berkelit seraya terus membalas
menyerang pula,
dengan begitu tidaklah ia sampai kena didesak.
Pertempuran lantas berlanjut. Tan Hong hendak menyaksikan lebih jauh kepandaian
si anak muda, ia mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras.
Thian Touw bertem-
pur dengan hati-hati tetapi sebat, sesudah belasan jurus, ia jadi semakin mantap
hatinya, maka bedalah dari saat ia melayani Sin Tjoe tadi. Ia telah men
geluarkan kepandaiannya.
Siauw Houwtjoe berkunang-kunang matanya menyaksikan pertempuran itu. Ia menjadi
kagum dan gembira sekali. Ia menonton terus sampai mendadak terdengar jeritannya
, sebab
saking pusing, ia roboh sendirinya!
Sin Tjoe tertawa, ia mengasi bangun
kawannya itu, kemudian dengan sapu tangannya, ia menutup mata orang, ia sen
diri menonton terus.
Cabang pohon dari Tan Hong liehay sekali. Cabang itu seperti mengiringi setiap
serangan Thian Touw,
gerakannya tepat dan enteng. Percuma Thian Touw mencoba berkali-kali, tidak bisa
ia membabat cabang itu. Kalau ia terlambat, sebaliknya cabang itu menikam kepad
anya.
Sin Tjoe melihat gurunya bersilat dengan ilmu pedang yang pernah diturunkan
kepadanya, tetapi
menghadapi Thian
Touw, ilmu pedang itu seperti berubah sendirinya. Tidak lain, itulah disebabkan
kegesitan yang luar biasa.
Pertempuran itu berlangsung sampai seratus jurus, habis mana, Tan Hong lalu meng
gunai akalnya. Ia memukul lowongan untuk Thian Touw menyerang. Tapi Thian Touw c
erdik, ia menyerang ke kiri, menyerang ke kanan, lalu ke depan. Dengan
bergantian ia
menggunai jurus-jurus dari empat partai Boetong, Siauwlim,
Koenloen dan
Khongtong Pay.
Selagi Sin Tjoe memikirkan, cara bagaimana serangan itu dapat dihalau, mendadak
ia melihat cabang pohon di tangan gurunya lempang
meluncur, mengenai lengannya Thian Touw, menyusul mana pedang si anak muda terba
ng seperti tadi.
Itu hanya serangan "Pekhong koandjit" atau "Bianglala putih
menutupi matahari," tetapi walaupun sederhana, dengan Tan Hong yang menggeraki,
sehatnya luar biasa, Thian Touw tidak dapat menghindarkan diri.
Sin Tjoe pungut pedangnya itu.
"Bagus! Bagus!" ia memuji.
Siauw Houwtjoe lekas-lekas membuka sapu tangan yang menutupi matanya
tetapi pertempuran sudah berhenti, hanya sekarang guru itu, dengan pedang
cabangnya, lagi
memberi keterangan pada si anak muda.
"Ah dasar kau!" ia sesalkan Sin Tjoe. "Kau sih menutup mataku!"
Si nona tidak menyahut, ia mengganda tertawa.
"Kau telah berhasil menyangkok ilmu
pedang dari tiga belas partai," terdengar Tan Hong berkata kepada Hok Thian Touw
, "kau pun telah dapat menjalankannya dengan baik, maka sekarang kau tinggal mey
akinkan lebih jauh untuk mencapai kemahirannya. Kau membutuhkan tenaga dalam unt
uk dapat membangun satu
partai baru. Kalau kau berlatih terus lagi tiga puluh atau lima puluh tahun, kau
bakal jadi ahli pedang tanpa tandingan. Karena
segala apa tergantung sama kau sendiri, di antara kita tidak ada soal guru denga
n murid."
Mendengar begitu, Tjioe Kok In kagum sekali.
"Dasar seorang tayhiap1." pikirnya.
Kata-kata Tan Hong memang benar. Kalau kemudian Thian Touw dapat membangun
partai sendiri, ia mendapatkan itu tanpa bantuan guru lagi. Hanya ia memperoleh
bukan sedikit faedah karena kebaikannya Tan Hong ini. Karena ini juga pada enam
puluh tahun kemudian bersama
muridnya yang terpandai, Gak Beng Kie, yang kemudian menjadi Hoei Beng Siansoe d
ari achir
ahala Beng, ia berhasil membangun partai
Thiansan Pay. 7)
Sin Tjoe tidak sa-baran mendengar
gurunya terus pasang omong sama Thian Touw.
"Entjie Leng sangat pikirkan dia, sekarang dia asyik bicara saja tentang ilmu pe
dang," pikirnya. "Ah, dia keterlaluan..."
Tan Hong bermata celi, walaupun ia tengah bicara, matanya diarahkan ke segala pe
njuru, demikian ia menampak sikap tak tenang dari muridnya yang wanita itu.
"Eh, Sin Tjoe, kau hendak membilang
apa?" ia menanya.
"Hok Toako lagi
asyik sekali, mana dapat aku menyelak?" sang murid menyahut. "Oh, Hok Toako, kau
sungguh kuat hati, kau sangat tenang!"
Thian Touw tercengang, ia heran.
"Kenapakah?" ia bertanya. "Aku kuat dan tenang bagaimana?"
"Kecuali ilmu pedang, tidak ada apa juga yang dapat memecah
perhatianmu, bukankah?"
Kembali pemuda itu tercengang. Tapi kali ini hanya sebentar, lantas ia seperti m
engingat suatu apa. Segera ia menanya, "Ya, nona Ie, aku justeru hendak menanyak
an sesuatu padamu. Kau tadi menyebut-nyebut Leng In dan It Hong, apakah itu arti
nya?"
"Apakah benar-benar kau tidak mengerti?" Sin Tjoe membaliki.
Thian Touw agaknya bingung.
"Leng In It Hong... Leng In It Hong..." ia mengulanginya beberapa kali. Atau: "A
h! Apakah kau membilang tentang... ten-
tang..."
Sin Tjoe pun ber-n bareng sadar.
Nama In Hong sebenarnya Bok Hoa dan nama In Hong itu dipakai setelah dia menjadi
iietjeetjoe, kepala berandal wanita. Maka ia lantas bersenyum.
"Tidak salah!" sahutnya. "Yang aku sebutkan itu ialah burung hong yang mencil se
ndirian, yang kehilangan kawan, yang terbang dari padang pasir!"
"Ah, heran!" nyeletuk Siauw Houwtjoe.
"Benarkah di padang pasir ada burung hong?"
Thian Touw kaget sekali.
"Kau kenal Leng Bok Hoa?" ia menanya, menegaskan. "Dialah adik misanku! Benar ka
u bicara tentang dia?"
Sin Tjoe mengangguk.
"Benar! Dia sekarang telah mengubah
namanya jadi Leng In Hong."
"Di mana adanya dia sekarang?" tanya Thian Touw cepat.
"Dia sekarang berada di antara tentera rakyat di Kanglam," Sin Tjoe menerangkan.
"Sering sekali entjie Leng membicarakan tentangmu dengan aku. Tahukah kau bahwa
ia, dalam impian dan dalam sadarnya, selalu
memikirkan kau?"
Air mukanya Thian Touw menjadi merah.
"Benarkah itu?" ia coba tertawa. "Aku berada bersama
dengannya sampai dia membesari, tidak heran dia memikirkan aku. Ketika aku terpi
sah dari ia di padang pasir, dialah satu nona umur enam belas tahun yang belum t
ahu apa-apa. Sekarang dia telah
dewasa, bukan?"
Sin Tjoe tertawa.
"Sekarang ini entjie Leng menjadi wanita kosen yang menggemparkan Kanglam!" kata
nya, "Apakah kau masih menyangka dia seorang nona yang tidak tahu apa-apa? Karen
a dia tidak berhasil mencari keterangan tentang kau, setahu berapa banyak air ma
ta dia telah kucurkan? Apa benar kau tidak kangan dengannya?"
"Ah, aneh!" Siauw Houwtjoe nyeletuk. "Sudah gagah tapi toh masih menangis!"
Mendengar itu Sin Tjoe tak tahan tak tertawa.
"Orang tua lagi bicara, kau tidak boleh campur-campur!" katanya seraya me
narik tangan orang.
Thian Touw girang berbareng berduka. Ia
memandang In Hong sebagai adik, tidak tahu adik itu mengandung maksud lain
terhadapnya.
"Tentu saja aku kangan terhadapnya," ia menyahut.
"Dan kau telah menangis atau tidak?" lagi-lagi Siauw
Houwtjoe nyeletuk.
Thian Touw tertawa.
"Rupanya, dia menduga aku mati di padang pasir, dia jadi berduka," bilangnya. "A
ku sendiri tahu dia belum mati, dari itu aku tidak pernah menangisi dia. Ketika
itu hari kami menghadapi bencana di padang pasir, aku sendiri berada di tengah a
ngin puyu, dia berada di pinggiran, maka aku percaya, dengan kega-gahannya, dia
dapat menolong dirinya
sendiri."
"Kau sendiri, bagaimana kau dapat meno-
long dirimu?" Sin Tjoe tanya.
"Hampir saja aku mati terpendam pasir. Syukur aku bertemu dua orang, dengan begi
tu aku ketolongan."
"Apakah kau bertemu sama Toamo Sinlong Hamutu serta Seesan Iein Yap Goan Tjiang?
" Sin Tjoe menegaskan.
Thian Touw terkejut bahkan heran.
"Kau ketahui itu?" tanyanya.
"Ya," sahut si nona, yang terus menuturkan halnya ia bertemu Hamutu dan Yap Goan
Tjiang si tabib pandai. Kemudian ia menceritakan juga hal penipuannya Hek In Ta
y, yang mau mendapati kitab ilmu pedang In Hong.
Mendengar semua itu, Thian Touw tertawa.
"Kiranya telah terjadi peristiwa-peristiwa de-
mikian!" katanya. Ia pun lantas menuturkan
pengalamannya.
Memang ketika hari itu Thian Touw diserang badai pasir di gurun, ia roboh dan ke
urukan pasir kuning karenanya. Setelah angin berhenti, hampir ia mati kepen-dam,
baiknya Toamo Sinlong lewat di situ, dia lantas ditolongi. Ketika itu napasnya
sudah empas-empis. Ia sendiri merasa bahwa ia bakal tidak ketolongan lagi. Tapi
ia masih ingat saudara angkat dari ayahnya, yaitu Tjioe Kok In yang tinggal di d
ekat panggung
Tiamtjiang Tay di gunung Patatleng.
Dengan paman itu sudah banyak tahun ia tidak pernah bertemu, ia tidak tahu sang
paman masih hidup atau sudah menutup mata, tapi karena tidak ada orang lain,
ia minta
Pertempuran lantas berlanjut, Tan Hong hendak menyaksikan lebih jauh kepandaian
Hok Thian Touw, ia mencoba terus-terusan, tetapi ia tidak berlaku keras.
Toamo Sinlong menyampaikan kitab ilmu pedangnya kepada
Tjioe Kok In. Ketika ia habis mengucapkan pesannya, ia pingsan.
"Cocok!" berkata Sin Tjoe tertawa. "Toamo Sinlong menduga kau sudah mati, maka k
emudian bersama-sama Hek In Tay ia mencoba meyakinkan kitab ilmu pedang itu. Pad
a kitab itu ada tulisanmu, dari itu kemudian lagi Hek In Tay meniru tulisanmu it
u, dia menulis surat pada entjie In Hong yang dia hendak tipu."
"Setelah pingsan, aku memang ada bagian mati," Thian Touw menutur lebih jauh. "T
api telah terjadi sesuatu yang kebetulan. Besoknya telah turun hujan besar. Itul
ah hujan yang orang bilang dalam seratus tahun tak turun satu
kali. Aku kuyup kehujanan, aku sadar sendiri karenanya. Karena kena terserang an
gin,
ketimpa panas dan lalu ketimpa hujan, aku mendapat sakit di dalam tubuh, sering
aku kedinginan atau kepanasan. Dengan susah payah aku berangkat ke Patatleng men
cari Tjioe Siepee. Beruntung
sekali, aku bertemu sama Seesan Iein Yap Goan Tjiang. Untuk beberapa bulan aku t
inggal menumpang di rumahnya, dan ia telah berhasil mengobati aku hingga aku sem
buh."
Habis Thian Touw menutur, Ie Sin Tjoe menggantikan bercerita segala apa mengenai
Leng In Hong, mendengar mana, anak muda ini jadi bergelisah.
"Aku mesti segera berangkat ke sana!" katanya.
"Marilah kita pergi bersama," mengajak Ie Sin Tjoe.
Maka mereka lantas mengambil putusan
akan berangkat besok.
Di belakang Tiamtjiang Tay itu, Tjioe Kok In membangun sebuah rumah batu yang te
rdiri dari tiga kamar, dari itu malam itu mereka berkumpul di dalam satu rumah.
Banyak yang mereka bicarakan, dan semuanya gembira
sekali. Itulah pertemuan yang membahagiakan mereka.
Tjioe Kok In girang, bahwa Thio Tan Hong mau memberi petunjuk ilmu pedang kepada
Hok Thian Touw, ia lantas membalas budi dengan menyatakan suka
mengajari Ie Sin Tjoe dan Siauw Houwtjoe ilmu meringankan tubuh yang istimewa, y
ang dinamakan "Ieheng
hoaneng," "Memindahkan
wujud, menukar bayangan." Itulah ilmu yang tadi diperlihatkannya, hingga tubuhny
a, yang bagaikan bayangan, sebentar terlihat dan sebentar lenyap, dan Sin Tjoe y
ang telah mahir ilmu meringankan tubuhnya masih bisa dipermainkan.
Sebenarnya Siauw Houwtjoe mendongkol karena Thian Touw telah menghajar kempo-lan
nya tetapi setelah si jago tua mengajarkannya ilmu ini, maka lenyaplah kemendong
-kolannya.
Lama mereka berbicara, terutama tentang ilmu silat, sehingga sampai jam lima bar
u mereka semua masuk tidur. Hanya Sin Tjoe seorang, yang tidak bisa pulas. Hatin
ya sangat gelisah. Ia senantiasa memikirkan Seng Lim. Bagaimana dengan
pemuda pujaannya itu? Bagaimana pula dengan Leng In Hong? Bukankah ia yang berda
ya merangkapkan jodoh mereka berdua? Kini bingunglah ia...
Juga Yap Seng Lim dan Leng In Hong di Toenkee, selalu
memikirkan Nona Ie ini. Sudah lewat beberapa bulan semenjak mereka melayani tent
era
negeri. Beberapa kali mereka menang bertempur, tetapi pengurungan tentera negeri
tidak menjadi berkurang, bahkan tentera negeri itu bertambah banyak. Mereka men
jadi gelisah, karena tidak adanya bala bantuan. Rangsum sudah habis, hingga kuda
-kuda
mereka pun disembelih setiap hari dan dagingnya dijadikan makanan mereka
beramai. Itulah daya yang tidak sempurna.
Juga jumlah mereka, dari selaksa jiwa, sudah tinggal empat ribu serdadu saja.
Pada suatu hari tengah Yap Seng Lim berpikir keras, seorang serdadunya datang me
laporkan bahwa Pit Goan Kiong datang minta bertemu. Ia menjadi heran sekali, kar
ena sedikitpun ia tidak menyangka akan memperoleh kunjungan itu.
"Undang ia masuk!" perintahnya.
Pit Goan Kiong muncul dengan muka penuh debu, hingga tidak lagi tampak romannya
yang Jenaka.
Dengan heran berkatalah Seng Lim dalam hatinya: "Pit Goan Kiong ini adalah kemen
akan Pit Kheng Thian dan ialah orang yang paling dipercayanya. Kenapa sekarang d
ia datang ke mari? Bukankah Pit
Kheng Thian telah benterok dengan
pamanku?"
Segera juga Goan Kiong masuk. Tanpa menanti sampai orang membuka mulutnya, Seng
Lim mendahului bertanya: "Apa kabar dengan keadaan
peperangan di sana? Sekarang pelbagai pihak membentuk persatuan untuk
melawan musuh, perselisihan di antara saudara sendiri baik dikesamping
kan dulu. Itulah sebabnya kenapa aku hendak mengirimkan utusan kepada
Pit Toaliongtauw untuk mohon petunjuk, hanya sayang, karena sedang terkur
ung hebat, aku belum mendapatkan kesempatannya. Hari ini kau datang
ke mari, Pit Toako, aku girang sekali! Adakah toako membawa surat
toaliongtauw? Kapankah bala bantuan akan tiba
di sini?"
Seng Lim bertanya demikian karena ia percaya Goan Kiong datang sebagai utusan Kh
eng Thian. Tapi segera juga jadi melengak. Air mata Pit Goan Kiong segera tampak
mengalir, dan dengan tertawa sedih ia berkata: "Memang aku membawa surat toalio
ngtauw, akan
tetapi bukan untukmu! Tenteranya juga sudah berangkat tetapi juga bukannya untuk
membantumu!"
"Eh, kenapa begitu?" tanya In Hong dengan heran. Seng Lim sendiri tidak dapat bi
cara. Ia hanya membuka matanya lebar-lebar.
"Baiklah kamu ketahui," sahut Goan Kiong dengan sedih. "Pit Toaliongtauw sudah m
enerima panggilan menakluk kepada pemerintah! Ketika aku men-
curi lewat di Oentjioe, bendera di sana sudah ditukar! Kabarnya
tentera suka rela di sana sudah bergabung dengan tentera negeri. Kabar yang kute
rima, ialah bahwa
toaliongtauw akan
mengepalai pasukannya kemari untuk
menyerang kamu..."
Seng Lim tidak menyangka akan kejadian ini. Saking kagetnya, terlepaslah cawan t
eh di tangannya, hingga cawan itu jatuh hancur.
"Benarkah itu?" tegasnya.
"Kau lihat saja surat ini!" sahut Goan Kiong.
Itulah surat Pit Kheng Thian untuk Yang Tjong Hay, isinya memberitahukan penaklu
kannya kepada pemerintah, dan
syarat-syaratnya. Dia minta dijanjikan pangkat yang besar.
Surat itu membuat
Seng Lim bagaikan gagu.
"Apakah kau telah pergi ke Pakkhia?" tanya Seng Lim.
"Aku baru kembali dari Pakkhia untuk mana siang dan malam tak pernah aku berhent
i di tengah jalan!" sahut yang ditanya. "Ya, memang aku telah sampai di Pakkhia
tetapi di sana tak pernah aku menginjak gedung Taylwee Tjongkoan1."
Seng Lim merangkul, tubuh orang.
"Saudara Pit, kau sungguh-sungguh laki-laki sejati!" pujinya. "Inilah yang diseb
ut, angin dahsyat membuat orang mengenal rumput, kekalutan dunia
memperlihatkan hati orang! Baru hari ini aku mengenalmu dengan benar! Saudara Pi
t, terimalah hormatku!"
Dan kepala tentera suka rela ini menjura.
Pit Goan Kiong men-
cegah.
"Sudah, janganlah membicarakan urusan demikian!" katanya. "Selama di Pakkhia aku
telah bertemu dengan Thio Tayhiap. Tayhiap minta aku menyampaikan pesannya kepa
damu, supaya kau segera mundur, katanya semakin banyak kita dapat melindungi ora
ng kita, semakin baik kelak hasilnya."
"Baiklah, sekarang juga aku akan bekerja," kata Seng Lim. "In Hong, kau dan saud
ara Pit, coba bicarakanlah segala kemungkinan."
Dengan lantas pemuda she Yap ini meninggalkan mereka.
In Hong menghela napas.
"Selama hari-hari yang terachir saudara Yap sangat memeras tenaga dan pikiran,"
ia berkata. "Sayang entjie Sin Tjoe tidak ada di
sini, hingga tidak ada yang membantu
bertanggung jawab."
"Nona Ie di kota raja, aku telah bertemu dengannya," Goan Kiong memberit
ahukan. Hati In Hong bercekat.
"Bukankah ia bersama seorang pemuda she Tiat?" tanyanya.
"Apakah nona maksudkan Tiat Keng Sim?" Goan Kiong menegaskan. "Aku tidak melihat
nya."
Nona Leng bernapas lega.
"Entah kapan beresnya urusan mereka di kota raja," katanya. "Aku ingin sekali be
rtemu dengan entjie Sin Tjoe..."
Kemudian Nona Leng menanyakan urusan perang.
"Ketika aku memasuki wilayah Tjiatkang, di sana tentera sedang bergerak tak putu
snya," Goan Kiong menjelaskan.
"Aku lalu mengambil jalan kecil di sepanjang jalan tidak berani aku ayal-ayalan.
Sementara itu kudengar Soenboe Thio Kie dari Tjiatkang memegang sendiri
pimpinan atas tentera, tentang yang lainnya, entahlah."
Tengah mereka berbicara, jauh di luar terdengar tembakan meriam beberapa kali. "
Saudara Pit, mari kita lihat!" In Hong mengajak. "Apakah kau tidak letih? Aku ma
u naik ketembok kota untuk sama-sama melakukan penjagaan."
Baru si nona ber-bangkit atau Seng Lim muncul. Dia datang bagaikan terbang.
"Dinding kota telah pecah!" katanya segera.
"Bukankah baru beberapa hari yang lalu diperbaiki mengapa baru terkena beberapa
tembakan saja sudah
pecah?" tanya In Hong.
"Karena yang datang menyerang ialah Pit Keng Thian sendiri," sahut Seng Lim. "Sa
udara-saudara kita tidak tahu dia sudah menakluk pada musuh, dia dibukakan pintu
. Beberapa tembakan itu hanya tembakan untuk memperlihatkan keangkaran! Sekarang
mari kita mundur dari pintu timur!"
In Hong menurut, bersama Goan Kiong, mereka berlalu.
Di dalam kota, di beberapa tempat,
tampak api berkobar-kobar. Syukur Seng Lim dapat berlaku tabah dan sebat, tenter
anya telah lantas dipusatkan, kalau tidak, tentu bukan main akibatnya penyerbuan
Kheng
Thian itu.
In Hong gusar bukan kepalang hingga ia mengertak gigi.
"Oh, Pit Kheng Thian!" ia berseru. "Adakah kau mempunyai muka
bertemu denganku?"
Pada saat itu datanglah sepasukan tentera dan pemimpinnya justeru Pit Kheng Thia
n sendiri.
Kheng Thian tertawa lebar seketika melihatnya.
"Leng Tjeetjoe!" katanya girang. "Siapa mengenal salatan dialah si orang gagah p
erkasa! Kenapa kau kesudian menyertai si bocah Seng Lim mengantarkan jiwa?"
"Benar, Pit Toaliongtauw1." berkata si nona. "Kemarilah kau!"
In Hong menyambar sebatang busur dan lantas saja memanah toaliongtauw itu.
Kheng Thian melihat serangan itu, ia menangkis dan menjatuhkan an
ak panah itu. Oleh karena mereka
berdekatan, In Hong segera maju untuk menyerang dengan
pedangnya, ia menikam tiga kali beruntun.
Pit Kheng Thian gagah, tetapi didesak si nona, hatinya gentar juga. Maka syukurl
ah ia segera dibantu sejumlah pengawalnya, yang senantiasa mendampinginya.
Karena dikepung, pundak In Hong segera sudah kena tercambuk tetapi ujung pedangn
ya juga berhasil memapas kutung ujung baju pengchianat itu, yang meninggalkan ci
ta-
citanya, dan mengchia-nati kawan-kawan
seperdjuangannya.
Yap Seng Lim tengah memimpin pertempuran di gang-gang kecil ketika ia kehilangan
In Hong, ia menjadi kaget sekali, lekas-lekas ia kembali, maka segera ia meliha
t
si nona tengah dikurung musuh.
"Yap Toako, lekas kau pergi!" seru In Hong, yang melihatnya hendak membantu.
Tentu sekali Seng Lim tidak menghiraukan anjuran itu. Sebaliknya, ia putar golok
nya, untuk maju menyerang. Dengan cepat ia dapat merobohkan beberapa di antara b
elasan pengawal Kheng Thian, hingga ia berhadapan dengan si pengchianat sendiri.
"Hm, seorang toaliongtauw yang jempolan!" katanya mengejek. "Kau
malu atau tidak?"
Pit Kheng Thian benar-benar tidak kenal malu. Dia justeru tertawa terbahak-
bahak.
"Yap Seng Lim!" serunya, "kematianmu sudah tiba, kau masih mentertawai aku? Hm
!
Kau harus tahu, seorang laki-laki mesti mendirikan jasa besar, supaya bisa menja
di raja muda! Apakah artinya toaliongtauw dari delapan belas propinsi?"
Seng Lim mendongkol, ia tidak memper-dulikan perkataan
orang. Kembali ia merobohkan dua orang musuh. Akan tetapi jumlah musuh demikan b
esar, setelah bisa menerobos masuk, sulit untuk ia membuka jalan keluar.
"Siapa bernyali besar mari bertempur mati-matian denganku!" Seng Lim menanta
ng.
"Kau tolol!" bentak Kheng Thian. "Apakah kau masih menyangka aku orang dari Jala
n Hitam atau Rimba Hijau? Sekarang ini akulah panglima besar dari pemerintah agu
ng!
Siapa kesudian berpan-
dangan sama
denganmu?"
Mengenai kepandaian, Kheng Thian tidak kalah dari Seng Lim atau In Hong, tetapi
sekarang, setelah
menjadi panglima pemerintah, ia sungkan mengadu jiwa secara laki-laki kaum Rimba
Persilatan.
Seng Lim mendongkol bukan main, ia menerjang hebat sekali.
Kheng Thian tidak sudi melayani, ia hanya menuding dengan
tangannya, maka lagi-lagi beberapa pengawalnya maju, untuk mengepung pemimpin te
ntera rakyat itu.
Seng Lim mengenali beberapa orang seba-wahan Tjong Lioe, maka ia berseru kepada
mereka itu: "Bagaimanakah dulu kamu dididik oleh Yap Tongnia ? Kenapa sekarang k
amu berchianat? Di
belakang hari
bagaimana kamu dapat bertemu muka dengan Yap Tongnia?"
Beberapa pengawal itu tidak mau mundur. Mereka menghadapi Seng Lim. Meski begitu
, ketika mereka menyerang, serangan itu hanya separuh hati.
Kheng Thian dapat melihat lagak
orang-orangnya itu.
"Kamu mundur!" ia membentak mereka. Sebaliknya, ia menitahkan pengawal-pengawal
sendiri maju.
Seng Lim mengalami kesukaran. Sulit baginya untuk menerobos keluar. Ia pun melih
at tentera musuh makin bertambah. Achirnya ia berteriak kepada tenteranya: "Kamu
lekas menyingkir! Satu jiwa lolos artinya kita masih punya satu tenaga!"
Justeru karena berseru, ia menjadi alpa,
maka dua bacokan mengenai pundaknya. Sementara itu terlihat barisan tentera nege
ri membuka jalan, dan segera tampak Pit Goan Kiong mendatangi. Dia bagaikan mand
i darah, tindakannya pun
terhuyung.
Kheng Thian heran dan kaget.
"Eh, kenapa kau ada di sini?" tanyanya. "Kau telah tiba di Pakkhia atau belum? K
enapa, dalam suratnya, Yang Tjongkoan tidak
menyebut-nyebut kun-junganmu?"
Tidaklah heran, bahwa Kheng Thian tidak tahu tentang Goan Kiong. Goan Kiong mema
ng berangkat
langsung dari kota raja ke tempat Seng Lim. Tempo surat rahasia dari Kouw Beng T
jiang sampai di kota Oentjioe, Kheng Thian sudah meninggalkan kota itu.
Maka tak tahulah toaliongtauw ini, bahwa Goan Kiong telah berbal
ik
mengchianatinya.
"Panjang ceritera-nya!" kata Goan Kiong setelah ia datang dekat. "Ada rahasia ya
ng hendak kusampaikan kepadamu!..."
Hanya sejenak Kheng Thian bersangsi, lalu ia mengulapkan tangannya.
"Baiklah!" katanya kepada orang-
orangnya. "Pergi kamu membantu bertempur! Seng Lim mesti dapat dibekuk!"
Demikianlah perintahnya kepada pengawal-pengawalnya.
Justeru pasukan pelindung itu berlalu, Goan Kiong melompat, menyambar lengan ora
ng, tepat ia memegang nadi, sedang tangan kirinya menghunus pisau belati yang di
ancamkan ke tenggorokan peng-
chianat itu.
"Lekas lepaskan dua orang itu!" ia memerintah sambil mengancam.
"Goan Kiong, kau... kau sudah angot?" teriak Kheng Thian.
Goan Kiong terus menyekal dengan keras dan pisaunya ditempel ke tenggorokan.
"Lekas lepaskan mereka berdua!" ia tetap mengancam.
"Kau toh kemenakanku yang telah kuangkat?" kata Kheng Thian pula. Ia lantas saja
berontak, untuk mengelakan diri.
Goan Kiong tidak per-dulikan paman itu, pisaunya dikasi bekerja hingga dia mengg
ores kulit orang,
mengenakan sedikit daging...
"Jikalau kau tidak merdekakan dia, mari kita sama binasa!" dia mengancam pula.
Kheng Thian menjadi takut.
"Lekas membuka jalan!" teriaknya. "Kasi mereka berlalu!"
Setelah bebas dari kepungan, Seng Lim megawasi Goan Kiong. Ia sangsi.
"Kalau masih ada gunung hijau, jangan takut kekurangan kayu bakar!" Goan Kiong b
erteriak. "Thio Tayhiap menitahkan kamu
mengangkat kaki!"
Bukan main terharunya Seng Lim. Seumurnya ia belum pernah menangis tetapi sekara
ng ia mengucurkan air mata. Bersama In Hong ia lantas berlalu.
Goan Kiong mengawasi orang berlalu sampai lenyap di antara pasukan rakyat, lanta
s ia menghela napas panjang.
"Paman, aku telah melakukan kewajibanku terhadap leluhur kami
kaum keluarga Pit," katanya, menyesal. "Semoga kau pun nanti menghargakan nama b
esar dari Tjinsamkay supaya kalau nanti kamu bertemu di alam baka, kau dapat ber
tanggung jawab terhadapnya..."
Mendadak ia menarik pulang pisau belatinya, untuk ditumblaskan ke dadanya sendir
i, maka itu ia roboh tanpa berjiwa lagi, tubuhnya melintang, darahnya berhambura
n!
Kheng Thian berdiri menjublak. Pikirannya kacau. Banyak ia pikirkan. Sikapnya Go
an Kiong itu membuatnya berpikir keras. Sementara itu semua pahlawannya pun berd
iri diam, menantikan
titahnya.
"Bagian mampus!" teriaknya kemudian seraya ia mengertak gigi. "Lekas kutun
gin
lehernya Pit Goan Kiong ini, pancar kepalanya! Inilah contoh seorang pengchianat
dan
pendurhaka!"
Kemudian, dengan memberikan titahnya lebih jauh, tenteranya lantas maju pula, un
tuk menyerang pula kepada musuh.
Seng Lim bersama empat ribu sisa serdadunya berkelahi sambil mundur. Di waktu ma
grib, ia telah mundur jauh tiga puluh lie lebih. Tentu saja ia mengalami kerusak
an besar sekali, hingga tenteranya
tinggal seribu jiwa lebih kurang.
Di situ ada sebuah bukit dengan rimbanya yang lebat, di situ tentara rakyat itu
dipernahkan. Dengan adanya rimba sebagai pelindung, tentera
negeri tidak berani mendaki bukit untuk melanjuti penyerangan
mereka.
Ketika Pit Kheng Thian menyusul sampai di kaki bukit, ia menitahkan tenteranya m
emasang obor, untuk menjaga di apa yang dinamakan leher gunung, guna memegat jal
anan.
"Yap Seng Lim!" Kheng Thian berseru dari atas kuda tunggangnya. "Kamu adalah bag
aikan ikan di bawah jaring, maka lekas-lekas kamu
menyerah! Dengan
begitu saja kamu dapat menyelamatkan jiwa kamu!"
"Seorang laki-laki boleh terbinasa tetapi tidaklah sebagai kau!" Seng Lim membal
iki. "Kau telah meninggalkan saudara-saudara setengah jalan, kau telah berchiana
t! Sungguh kau tidak tahu malu!"
Dengan lantas pemuda ini mengangkat
busurnya, untuk
memanah hingga tiga kali beruntun. Dengan pandai ilmu Taylek Kimkong Tjioe, tari
kan panahnya itu dengan tenaga besar luar biasa.
Kheng Thian gagah dan liehay, ia menangkis dengan toyanya. Akan tetapi panah yan
g kedua datang cepat luar biasa dan anak panah itu mengenai kudanya tanpa ia sem
pat menangkis,
maka sambil meringkik kuda itu roboh, hingga dia roboh bersama. Justeru itu meny
usul anak panah yang ketiga, yang mengarah si kepala perang sendiri. Dalam keada
an sangat mengancam itu,
terpaksa Kheng Thian membuang diri sambil terus bergulingan
dengan tipu silatnya "Yan Tjeng Sippat hoan," ialah "Yan Tjeng bergulingan
delapan
belas kali." Maka itu, anak panah itu menancap di tubuhnya seorang pahlawan yang
berada di belakangnya hingga dia ini tembus uluh hatinya!
Ketika dia merayap bangun, Kheng Thian menjadi kecil nyalinya, maka itu ia tidak
berani mementang pula
mulutnya lebar-lebar, hanya dia lantas mengundurkan diri,
untuk mengambil
putusan besok akan melakukan penyerangan secara besar-besaran.
Di waktu malam, dengan rembulan guram dan bintang kelak-kelik suram, kedua pihak
tidak berani berlaku semberono.
Burung-burung di dalam rimba pun terbang kabur hingga jagat menjadi sunyi-senyap
.
Menyaksikan suasana itu, matanya In Hong mengeluarkan sinar
tajam.
"Yap Toakol" katanya. "Justeru sekarang lagi gelap petang, pergilah kau menyingk
ir!"
Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala.
"Dapatkah aku menolong jiwaku seorang dengan meninggalkan semua saudara?" ia men
anya. "Bukankah kita harus hidup atau mati bersama?"
"Tetapi bukankah Thio Tayhiap yang
membilangnya, molos satu orang berarti satu orang ketolongan?"
berkata si nona, mendesak. "Kaulah si kepala perang, jikalau kau dapat lolos, ma
ka di belakang hari kau masih dapat bangun pula! Bukankah itu ada terlebih baik
daripada berdiam terus di sini menantikan kematian?"
Seng Lim terus menggoyangi kepala.
"Jikalau adik Sin Tjoe
di Pakkhia mendengar kabar Kheng Thian telah berchianat, entah
bagaimana dia berkuatir memikirkan kau!" kata pula si nona.
Pemuda itu berdiam.
"Ah, Yap Toakol" si nona mendesak. "Apakah kau tidak memikir untuk bertemu pula
dengannya?"
"Jikalau aku menyingkir dengan cara begini, mana aku mempunyai muka untuk bertem
u sama dia?" Seng Lim menanya.
"Bukan begitu, toako !" kata si nona dengan desakannya. "Kau telah bertahan deng
an
sekuat tenagamu, kau bukannya menyingkir karena takut! Kau jangan kuatir, kau se
rahkan semua saudara di sini kepadaku, kapan sebentar sudah terang tanah, aku na
nti mencoba melakukan peperangan yang me-
mutuskan! Mustahil
tidak ada jalan hidup untuk kita!"
Seng Lim mengerti si nona mau berkurban untuk membantu dia, dia jadi sangat bers
yukur, maka tanpa likat lagi dia menjabat tangannya nona itu, dia memegangnya er
at-erat.
"Entjie Leng, terima kasih!" mengucapnya.
"Apakah faedahnya untuk kematiannya satu orang lebih banyak seperti kau?" berkat
a pula In Hong. "Pula, jikalau kau tidak berlalu dari sini, adik Sin Tjoe bakal
menyesal seumur hidupnya! Benarkah kau tidak memikirkan dia?"
"Aku tahu dia pasti bakal berduka sekali," berkata Seng Lim. "Hanya, kenapa dia
mesti menyesal seumur hidupnya? Dia toh dari siang-siang telah
mempunyai orang yang menjadi idam-idamann-
ya? Sebenarnya, hatiku justeru lega sekali."
"Apakah katamu, toako?" tanya In Hong, heran. "Siapakah yang kau maksudk
an?"
"Tiat Keng Sim itu boenboe siangtjoan, dengan dia ia setimpal sekali!"
"Ah!" seru si nona. " Toako, mengapa kau masih belum mengetahui hatinya adik Sin
Tjoe? Aku dengan dia ada bagaikan saudara kandung, walaupun dia tidak membilang
apa-apa akan tetapi aku tahu hatinya! Di sebelah itu, sudah sering dia mengentar
a-kannya!"
Tanpa bersangsi lagi, In Hong tuturkan hal ichwalnya Sin Tjoe yang sampaikan dal
am mimpinya suka mengigau menyebut-nyebut nama si pemuda. Ia juga mengerti maksu
dnya Sin Tjoe mengirim
dia pergi pada Seng Lim, supaya mereka berdua merangkap
jodoh mereka. Tetapi ia telah punyakan cita-citanya sendiri, tidak dapat ia meng
ubahnya itu. Maka sebaliknya, ingin sekali ia merekoki jodoh Sin Tjoe dengan jod
oh Seng Lim itu. Dan inilah saatnya yang terachir!
Mendengar keterangannya In Hong itu, Seng Lim membungkam. Ia memikirkan hatinya
Sin Tjoe. Mungkin sekali hati si nona ada padanya hanya nona itu keras hatinya,
dia tidak sembarang menum-plakkan rasa hatinya itu.
Samar-samar Seng Lim mendapatkan
alisnya In Hong berkerut, menandakan si nona berduka. Maka ia memegang pula kera
s tangannya nona itu.
"Entjie Leng," katanya,"sekarang ini malam
gelap, kalau kita menerobos ramai-ramai, itulah sulit, tetapi kau, yang gagah da
n cerdik, kau dapat meloloskan dirimu! Entjie, kau
berangkatlah! Kalau nanti kau ketemu Sin Tjoe, kau tolong, kau tolong menyampai-
kannya supaya dia tidak usah memikirkan pula padaku..."
"Tidak, toakol" si nona menolak.
"Untukku, tidak ada orang yang aku buat pikiran, maka baiklah kau sendiri yang p
ergi!"
"Di sana, aku memang memikirkan dia seorang," Seng Lim akui. "Akan tetapi di sin
i, di sini aku memikirkan keselamatannya jiwa lebih daripada seribu
saudara-saudara kita! Maka, entjie Leng,
sudahlah, kau jangan omong lebih banyak lagi, pergilah kau me-
nyingkir!"
Mendengar itu tahulah In Hong bahwa orang telah berkepu-tusan tetap, maka percum
alah andaikata ia membujuki terus. Ia seorang yang berhati keras belum pernah ia
mengucurkan air mata, akan tetapi sekarang air matanya itu mengem-beng, karena
ia terharu sekali untuk kekerasan hati pemuda ini, yang menyinta negara,
menyinta kawan seperjuangan melebihkan kecintaan kepada
kekasihnya!
"Dialah benar laki-laki sejati!" katanya dalam hatinya.
"Tidaklah kecewa yang adik Sin Tjoe menyintai dia! Ah, apa kata denganku sendiri
?
Bukankah aku pun mempunyai orang yang menjadi idam-idamanku? Cumalah ent
ah ia masih ada di dalam dunia atau
tidak?... Kalau dia masih ada, di manakah adanya dia dan bagaimanakah keadaann
ya sekarang?..."
Segera juga berpe-tahlah bayangannya Hok Thian Touw.
"Semoga dia kuat dan keras hati seperti toako Seng Lim ini," ia ngelamun. "Umpam
a kata tanpa aku, biarlah ia berhasil menciptakan suatu partai persilatan baru!.
.."
Mengingat ini, karena leganya hatinya, ia bersenyum tanpa
merasa.
"Yap Toako," katanya kemudian, "karena kau tidak mau pergi, aku juga tidak!"
Seng Lim masih berdiam, tangannya tetap masih mencekal keras. Setelah bergaul be
rsama sekian lama, ia ketahui sifatnya nona ini, yang keras hati seperti ia send
iri, yang
tidak pernah menarik pulang putusannya.
Si nona pun membalas mencekal keras, ia juga berdiam saja.
Peperangan berhenti bukannya berhenti. Benar pasukan pemerintah tidak berani men
erjang naik akan tetapi kadang-kadang mereka masih menghujani anak panah. Maka i
tu dalam kesunyian sang malam, di situ terdengar berulang-ulang mengaungnya anak
-anak panah itu.
Dua-dua Seng Lim dan In Hong berpikir keras, dua-duanya
memikirkan orang yang menjadi idam-idaman mereka...
Tengah mereka ini ngelamun, mendadak hujan anak panah berhenti sendirinya. Tentu
sekali mereka menjadi heran. Maka keduanya segera
memasang mata.
Di depan mereka berkelebat satu bayangan, yang gerakannya sangat pesat.
"Siapa?" Seng Lim menegur, tangannya merabah goloknya.
"Aku!" sahut bayangan itu, yang berhenti berlari, hingga di lain
saat ia sudah tiba di depan mereka berdua.
Di antara samar-samarnya sinar si Puteri Malam dan bintang-bintang masih dapat d
ikenali bayangan itu ialah Keng Sim yang tampangnya tampan.
"Oh, kau Keng Sim!" seru Seng Lim.
"Benar!" menyahut itu anak muda. "Kecuali aku siapa lagi yang berani datang kema
ri di waktu begini!"
Masih tetap menantu Hertog Bhok ini membawa sikapnya yang jumawa.
In Hong mengawasi, hingga ia melihat tegas
orang masih dandan sebagai seorang
agung-agungan, bahkan pada pakaiannya tidak ada setitik juga darah, hingga dari
heran ia menjadi bercuriga.
"Mau apa kau datang ke mari?" ia menanya, tangannya di gagang pedang.
"Aku hendak membantu kamu meloloskan diri dari kepungan!" Keng Sim jawab.
"Kenapa tentera negeri mengijinkan kau melewatkan mereka?" Seng Lim tanya. "Apak
ah Pit Kheng Thian bertemu denganmu?"
Keng Sim tertawa dingin. Ia beradat angku. Ia pun menduga sikap orang.
"Jikalau kau percaya aku, mari turut padaku!" katanya. "Jikalau kamu tidak perca
ya, baik jangan banyak bicara lagi! Pit Kheng Thian itu
machluk apa hingga dia ada harganya untuk aku menemuinya?"
In Hong mengawasi dengan tajam. Ia melihat orang
mendongkol berbareng jengah. Wajah pemuda itu beda daripada biasa.
"Baik, Keng Sim, aku percaya kau!" kata si nona kemudian. "Hanya hendak aku mena
nya dulu padamu, sepatah kata saja! Kenapa kau berani menempu bahaya besar ini u
ntuk menolongi kami?"
Keng Sim tetap membawa lagaknya yang tinggi. Dia tertawa dingin.
"Aku tidak mau menerima kebaikan dari kamu!" sahutnya tawar. "Aku datang kemari
melulu untuk Nona Ie!"
Itulah suara dari kepala gedeh yang bernadakan sedih...
Pemuda ini telah dapat hajaran hingga dia
menjadi menyesal dan malu kepada dirinya sendiri. Ketika itu hari di rumahnya di
Hangtjioe dia telah membuka rahasia tentera kepada Law Tong Soen, dia malu seka
li mendapatkan di hari kedua Sin Tjoe berlalu dengan diam-diam sambil
meninggalkan surat dengan apa dia ditegur sudah menjual sahabat dan nona itu ber
sumpah tidak mau bertemu pula dengannya. Itulah
kejadian di luar dugaannya, dia menyesal dan malu, dia pun
panasaran. Dia mengatakan Sin Tjoe tidak tahu hatinya.
Keng Sim menyesal karena sudah membuka rahasia tentera rakyat. Ia kuatir, kalau
tentera rakyat itu gagal, semua orang bakal mengutuk ia seperti telah diperbuat
Sin Tjoe. Tapi juga ia berpikir, "Tidak
nanti tentera rakyat itu sanggup bertahan
terhadap tentera
pemerintah. Aku membocorkan rahasia atau tidak, bukanlah soal. Tanpa rahasianya
terbuka, tidak nanti mereka menjadi
menang. Mereka tetap bakal kalah! Tapi entjie Sin Tjoe telah menegur aku, tid
ak dapat tidak, aku mesti memberikan keterangan, aku mesti menjelaskan
hatiku, biarnya aku terbinasa dan namaku busuk, mesti aku memb
ersihkan diri, supaya dia ketahui aku sebenarnya seorang enghiong!"
Maka, karena putusannya ini, hendak ia melakukan sesuatu, yalah agar Seng Lim lo
los dari bahaya!
Keng Sim pintar, dapat ia mengatur ceritera. Begitulah ia per
gi ke kantor soenboe dari Tjiatkang. Ketika
itu Pit Kheng Thian sudah menakluk dan pasukan perangnya Thio Kie sudah menuju k
e Toenkee. Thio Kie adalah murid dari Tiat Hong, ayah dari Keng Sim, dan berhasi
lnya ia mendapatkan menak-luknya Kheng Thian pun sebagian disebabkan Keng Sim me
mbocorkan rahasia tentera rakyat itu, maka itu pemuda ini dipercaya soenboe itu,
bahkan dia girang sekali anak gurunya datang kepadanya. Thio Soenboe pun sudah
memikir, kalau nanti pemberontak sudah dapat ditindas dan wilayah aman, hendak d
ia memujikan pemuda itu kepada pemerintah.
Demikian malam itu, selagi tentera Seng Lim dikurung tentera negeri, Keng Sim me
ngajukan permintaan akan pergi menemui Seng Lim itu, guna membujuki si pem-
berontak menyerah dan menakluk. Thio Kie tidak curiga sedikit juga, ia memberika
n persetujuannya, ia bahkan membekali surat yang ditulisnya sendiri.
Demikianlah dengan gampang Keng Sim dapat naik ke gunung serta hujan anak panah
dihentikan dengan tiba-tiba.
Tentu sekali Seng Lim tidak dapat membade hatinya Keng Sim itu.
"Jikalau kamu berniat meloloskan diri, jalannya ada dua," begitu Keng Sim member
itahu selagi orang berpikir keras.
"Coba kau jelaskan," Seng Lim minta.
"Yang pertama yaitu menuruti teledannya Pit Kheng Thian, menakluk kepada pemerin
tah," Keng Sim kasi tahu. "Nanti soenboe Thio Kie dapat menjanjikan kau pangkat
komandan
angkatan perang air. Nah, inilah suratnya soenboe itu dengan apa dia
memanggil kau menyerah."
"Hm!" bersuara Seng Lim dengan gusar. "Kau sangka aku orang macam apa?"
Keng Sim tertawa berkakak, dengan
lantas ia merobek suratnya Thio Soenboe itu.
"Aku juga tahu kau bukannya seperti Kheng Thian yang bertulang anjing itu!" kata
nya. "Kalau tidak, tidak nanti aku datang ke mari! Hanya, kau toh bukannya seora
ng tolol! Kenapa kau hendak membela mati Toenkee sebuah tempat?"
Sepasang alisnya In Hong berkerut.
"Tiat Kongtjoe, adakah kau datang untuk menghina kami?" ia menanya. "Ataukah kau
benar-benar hendak
membantu kita meloloskan diri dari kepungan ini? Kaulah seorang pandai yang berb
akat panglima
perang, setelah kami lolos, nanti kami angkat kau menjadi toaliongtauw dar
i delapan belas propinsi!"
Keng Sim tertawa.
"Mana aku mengha rapi kedudukan toaliongtauw kamu itu!" katanya. "Tel
ah aku membilangnya, aku
datang ke mari melulu karena aku memandang Nona Ie!"
Sebenarnya tak puas In Hong menyaksikan lagak luguknya Keng Sim ini akan tetapi
untuk kebaikannya
Seng Lim, dapat ia bersabar.
"Baiklah!" katanya. "Sekarang kami mohon keterangan tentang tipu dayamu itu."
"Oleh karena kamu tidak sudi menyerah,
sekarang tinggal jalan yang kedua," berkata Keng Sim pula. "Itulah kita mengguna
i ketika sang malam untuk menyerang menerobos!"
"Pasukan negeri mengurung berlapis-lapis, taruh kata kita dapat menoblos turun,
kita tetap berada dalam kurungannya!" Seng Lim bilang.
"Untuk itu aku ada dayanya, tak usah kamu buat kuatir," Keng Sim bilang. "Asal k
amu suka mendengar
titahku, aku tanggung kamu akan dapat molos!"
"Pantaslah adik Sin Tjoe tidak menyukainya!" pikir In Hong. "Dia menempuh bahaya
datang kemari untuk menolong kami,
perbuatannya ini dapat membikin orang
mengagumi dia, akan tetapi sikapnya ini menyatakan terang-terang, dia hendak me-
nonjolkan budinya! Inilah dapat menimbulkan kesan sebaliknya! Hm, kalau bukan un
tuk Yap Toako dan seribu lebih saudara-saudaranya ini, sungguh tak sudi aku mene
rima budinya ini!"
Seng Lim sebaliknya bersikap lain. Dengan kedua, tangannya
dengan cara hormat ia menghaturkan bendera kekuasaannya.
"Inilah iengkiel" katanya. "Segala apa dapat kongtjoe mengaturnya!"
Pada romannya pemimpin tentera rakyat itu tidak nampak roman mendongkol. Menyaks
ikan itu, Nona Leng menjadi sangat kagum.
Keng Sim menyam-buti lengkie itu.
"Di belakang gunung ini ada sebuah jalanan kecil," katanya, "dan jalanan itu nem
bus ke Boegoan. Di sanalah penjagaan paling lemah
dari tentera negeri ini."
"Jalanan kecil itu ada jalanan pegunungan yang sulit sekali, telah aku melihatny
a," menerangkan Seng Lim. "Jalanan tembusan itu sempit dan penuh dengan duri, sa
ngat sukar untuk lewat di situ.. Kalau di sana di tempatkan saja beberapa ratus
serdadu, kita sama juga ikan di dalam bubuh!"
Agaknya Keng Sim kurang puas.
"Ilmu perang membilang, di saat berbahaya menggunailah bahaya itu," katanya. "Ad
a pula kata-kata yang
membilang, kosong itu berisi, berisi itu kosong. Tentera negeri telah menduga ka
mu tidak nanti berani menoblos dari jalanan kecil itu, maka mereka tidak menempa
tkan pasukan yang kuat. Di beberapa tempat lain, yang meru-
pakan jalanan bagus, di sana telah disembunyikan tukang-tukang panah serta tukan
g-tukang menggaet, di sana semuanya
berbahaya. Nah, terserahlah kepada kamu, kamu suka menerima baik usulku ini atau
tidak!"
Memang, selama di dalam pasukannya Thio Soenboe, Keng Sim telah melihat jelas re
ncana perangnya soenboe itu. Bahwa ia menyebut-nyebut kitab ilmu perang itu melu
lu guna mempertontonkan temberangnya. Dengan cara angku itu ia hendak mencoba
menakluki Seng Lim.
Kedua matanya pemimpin tentera rakyat itu bersinar. Sejenak kemudian, ia memberi
hormat seraya berkata: "Kongtjoe, pandanganku memang cupat sekali. Memang jug
a, siapa
bodoh dia banyak kecurigaannya. Aku harap kongtjoe tidak menjadi kecil hati."
Seng Lim berpandangan tajam. Ia telah dapat menduga kenapa Keng Sim dapat masuk
ke dalam pasukan tentara negeri itu Tentulah itu disebabkan pengaruh ayahnya, se
orang bekas giesoe, penasihat negara.
Dengan berada di dalam pasukan tentara,
tidaklah aneh kalau dia menjadi mendapat tahu keadaan dalam dari tentara itu. Di
mata soenboe, Keng Sim bukannya seorang
rendah, pantas kalau dia dipercaya habis. Hanya Seng Lim tidak pernah menyangka
yang Keng Sim pernah membocorkan rahasianya tentara rakyat, salah satu sebab yan
g membuatnya dia sangat dipercaya itu.
Melihat Seng Lim suka mengalah, Keng Sim bersenyum.
"Kamu masih mempunyai berapa banyak kuda?" ia tanya. "Kamu kumpulkanlah itu. Kam
u kumpulkan juga semua sisa tentara, bersiap untuk segera bekerja!"
Menyedihkan adalah tentara rakyat ini. Karena kekurangan
rangsum, mereka terpaksa memakan daging kuda, dari itu, sisa kudanya tinggal tig
a puluh ekor kurang lebih. Karena ini, Seng Lim lantas menggunai akal. Ia perint
ahkan tentaranya mengumpul rumput, untuk membuat anak-anakan, yang semuanya diik
at di punggung kuda. Sudah begitu, setiap ekor kuda itu dipasangi dadung yang pa
njang, yang ditambat kepada pohon. Ketika mereka mau berangkat, ujungnya
dadung itu disulut menyala. Di lain pihak, semua seribu lebih serdadu rakyat itu
dengan cara sembunyi mengambil jalan kecil yang disebutkan itu.
Benar sekali, jalanan kecil itu, jalanan selat, sangat sukar dilalui, sudah semp
it, banyak pohon durinya pula.
Keng Sim maju di muka. Ia telah menghunus pedang mustika Tjiehong kiam hadiah da
ri gurunya, dengan itu ia membabat setiap rintangan. Ia tidak memperdulikan juba
hnya yang panjang tersangkut robek dan jari tangan serta jari kakinya baret dan
mengeluarkan darah.
Menyaksikan kesungguhannya si anak muda, lenyap separuh dari kemendongkolan-nya
In Hong. Ia membulang-balingkan sepasang pedangnya,
guna membantu membuka jalan.
Keng Sim bekerja terus, ia maju dengan cepat. Senang hatinya menyaksikan pihak
tentera rakyat itu taat kepada pimpinannya. Maka itu di dalam hatinya ia berkata
: "Sayang Sin Tjoe tidak ada di sini! Entahlah jasaku ini, mereka bakal memberit
ahukannya Sin Tjoe atau tidak..."
Baru saja tentara rakyat ini keluar dari mulut lembah, di belakang mereka terden
gar hikuk-pikuknya kuda meringkik dan suara manusia serta tambur perang yang men
ulikan kuping, kapan orang menoleh ke belakang, terlihat di sana, di atas rimba,
mengepulnya asap dari api yang berkobar naik. Dadung penambat kuda telah terbak
ar putus, kudanya semua kepa-
nasan dan kesakitan, mereka lari serabutan sambil meringkik-ringkik. Karena itu,
di beberapa puluh tempat timbullah bahaya api. Kuda cuma tiga puluh lebih tetap
i mereka bagaikan terdiri dari satu pasukan perang besar.
Di dalam malam yang gelap petang itu tetapi yang diterangkan
cahaya api, tentara negeri melihatnya
banyak serdadu berkuda, sebab itu waktu, semua anak-anakan rumput belum kena ter
bakar. Mereka itu menduga tentara rakyat bergerak hendak
menerobos kepungan, semua lantas bersiap sedia.
Thio Kie ada seorang yang mengerti ilmu perang, maka tahulah ia yang musuh mogok
tidak dapat dilawan keras dengan keras, dari itu ia menitahkan
tenteranya berjaga-jaga. Barisan panah bersiap dengan
panahnya, dan barisan tukang gaet dengan alat-alat gaetannya. Ia memesan, apabil
a
sudah tiba saatnya baru pihaknya menghujani, anak panah dan menggaet. Ia sendiri
memasang mata. Saking lama ia telah menanti, tidak juga ia menampak musuh menye
rbu turun gunung. Ia menjadi heran.
"Mereka menggunai api membakar gunung, kenapa mereka belum juga menyerbu?"
katanya dalam hatinya. "Mungkinkah mereka berduduk diam saja menantikan terbakar
hangus?"
Karena herannya itu, ia masih menantikan ketika.
Tidak lama, api dadung telah memakan dadung hingga di anak-
anakan rumput, maka terbakarlah anak-
anakan itu, karena mana kudanya jadi semakin kalap, semuanya lari tidak keruan t
ujuan. Ada kuda yang mati terbakar, ada juga yang roboh terserimpat hingga dia m
ati terinjak-injak kawan-kawannya. Belasan kuda lainnya nerobos turun gunung.
Sampai itu waktu barulah pihak tentera negeri menduga kepada kejadian yang seben
arnya tetapi sudah kasap, tidak saja musuh sudah lolos, juga gunung telah terbak
ar, tidak dapat mereka menyerang naik.
Keng Sim menyaksikan api berkobar-kobar, ia bertepuk-tepuk
tangan, ia tertawa lebar.
Seng Lim pun memuji, katanya: "Di jaman dulu Thian Tan
menggunai kerbau api memukul pecah pasukan perang negeri Tjee tetapi sekarang Ti
at Kongtjoe menggunai kuda api mengacau musuh, mencegah
mereka itu mengubar hingga kita dapat lolos! Inilah sungguh suatu tipu daya yang
bagus!"
Keng Sim puas sekali, saking bangganya, ia tidak mencoba merendahkan diri. Ia me
nerima semua pujian itu. Bahkan dengan melirik, ia memandang ke sekitarnya. Di d
alam hatinya ia kata: "Apakah bisanya Yap Seng Lim? Kenapa Ie Sin Tjoe demikian
menghargai dia?"
Keng Sim tidak mau memikir bagaimana
Seng Lim seorang diri, dengan tentara mencil, sudah mempertahankan diri di Toenk
ee untuk beberapa bulan.
In Hong berpanda-
ngan lain. Maka itu, melihat tegas perbedaan di antara Keng Sim dan Seng Lim itu
, lagi-lagi ia memuji Sin Tjoe yang matanya tajam.
Ketika terang tanah, tentera rakyat telah melintasi Boegoan.
Selama itu tidak pernah mereka bersomplok
sama tentara negeri.
Di beberapa tempat ada tentara musuh yang menjaga tetapi mereka itu tidak berani
muncul untuk memegat atau menerjang, sedang tentara rakyat pun tidak suka mengg
anggu mereka.
Selewatnya Boegoan orang tiba di jalan datar. Sampai di sini, Seng Lim mengucurk
an air mata. Ia tahu, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat mereka berkumpul te
rus. Sembarang waktu tentara negeri dapat menyerang
atau mengurung pula pada mereka. Maka dengan terpaksa ia membubarkan pasukannya
itu, ia menyuruh tenteranya mengambil jalan masing-masing, supaya mereka dapat m
enolong jiwa sendiri. Ia menjanjikan untuk di lain waktu mereka nanti bergerak p
ula.
Oleh karena terpaksa, tentera rakyat itu suka membubarkan diri.
Setelah pembubaran, Seng Lim jadi tinggal bertiga bersama In Hong dan Keng Sim.
Mereka lantas kembali ke daerah pegunungan. Naik di tempat tinggi dan memandang
jauh, pemuda she Yap ini menghela napas.
"Suatu usaha besar dan bagus dikucar-kacirkan Pit Kheng Thian satu orang!" katan
ya, sengit dan masgul.
Dengan tertawa di-
ngin, Keng Sim berkata: "Semasa di Tali pun aku telah mengatakan kamu tidak baka
l berhasil! Apakah salah kataku itu? Sekarang, setelah kita berhasil lolos, aku
hendak mengundurkan diri, aku hendak memohon sesuatu..."
"Bilanglah, T iat Kongtjoe," berkata
Seng Lim lekas.
"Aku kuatir seumurku aku bakal tidak bertemu pula sama Ie Sin Tjoe," berkata pem
uda she Tiat itu, "maka itu, kalau nanti kamu bertemu dengannya, tolong kamu men
yampaikan sepatah dua patah kepadanya..."
Seng Lim tercengang.
"Ah, kiranya dia bekerja untuk Sin Tjoe melulu..." pikirnya.
Tentu saja ia menjadi tidak enak hati.
In Hong menyelak: "Kalau Sin Tjoe ketahui perbuatan kau kali ini,
dia tentu girang sekali! Kamu toh sahabat-sahabat kekal, kenapa kamu tidak bakal
bertemu pula satu dengan lain? Tapi baiklah! Apakah pesan itu? Nanti aku yang m
enyampaikannya! Asal itu bukannya yang bukan-bukan, tentu dia bakal menerimanya!
"
"Kau tolong memberitahukan," berkata Keng Sim, "apa yang dia harap aku melakukan
nya, biarnya itu yang tak aku sukai, aku sudah melakukannya. Dan, biar apa juga
dia menganggap tentang diriku, dengan perbuatanku ini, dia tentu telah mengetahu
inya..."
Tidak enak In Hong mendengar kata-kata itu. Pikirnya, "Oh, kiranya perbuatannya
ini ialah perbuatan yang dia tak sudi melakukannya! Jadi dia melakukannya
untuk
memenuhi pengharapannya adik Sin Tjoe! Orang ini beroman agung tetapi sebenarnya
dialah seorang manusia biasa saja! Apakah bedanya dia dengan seorang
saudagar?"
Meski ia tahu orang bersifat rendah, Nona Leng tidak mau mengejek. Biar
bagaimana, kali ini Keng Sim berjasa. Maka ia mengangguk dan kata: "Baiklah, aka
n aku menyampaikan perkataan kau ini kepada adik Sin Tjoe. Apakah masih ada lagi
pesan lainnya?"
"Aku hanya mengharap dia dapat hidup selamat dan beruntung, supaya dia jangan me
rantau pula dalam dunia kangouw," Keng Sim menambahkan.
"Bukan saja orang semacam Pit Kheng Thian itu harus dijauh-
kan, juga urusan menentang pemerintah agung baiklah ia jangan campur pula. Peker
jaan berebut kekuasaan
adalah pekerjaan orang kasar, bukan pekerjaan dia yang bertubuh halus!"
In Hong merasa sangat tidak puas. Terang sekali perbedaannya di antara cita-cita
mereka kedua pihak.
Seng Lim pun tidak puas, tetapi ia dapat berbicara dengan sabar.
"Nona Ie itu ada mempunyai pendiriannya sendiri," katanya. "Apa yang dia harus l
akukan, apa yang tidak, dia pasti mengerti baik sekali. Tapi pesanmu ini akan ak
u menyampaikannya."
In Hong masih hendak bicara pula ketika dari kejauhan ia menampak mendatanginya
belasan penunggang kuda. Ia batal
bicara, ia mengawasi mereka itu.
"Nah, pergilah kamu!" berkata Keng Sim. "Aku tidak dapat turut kamu. Biarlah lag
i sekali aku mengundurkan pasukan pengejar itu!"
"Kita hidup sama-sama, baik mati maupun susah," berkata Seng Lim, "maka itu, mar
ilah kita pergi bersama!"
"Apa?" kata Keng Sim, matanya membelalak. "Kau tahu apa? Mana dapat kau mengajak
aku? Aku ada mempunyai daya untuk mengundurkan musuh! Kau tahu, kalau kau mati,
tidak apa, tetapi bagaimana nanti
dengan Sin Tjoe? Pasti dia bakal sesalkan aku!"
Seng Lim tidak hendak meladeni, maka ia lantas menjauhkan diri.
In Hong tahu pasti, Keng Sim ada mempunyai hubungan sama tentara negeri, karen
a
"Nah, pergilah kamu!" berkata Keng Sim kepada Seng Lim dan In Hong. "Aku tidak d
apat turut kamu. Biarlah lagi sekali aku mengundurkan pasukan pengejar itu!"
itu, ia pun tidak mau bertindak apa-apa, ia lantas ikut Seng Lim mengangkat kaki
.
Mereka baru jalan beberapa puluh tindak atau mereka dengar Keng Sin tertawa nyar
ing dan lama dan lantas lari ke arah belasan penunggang kuda itu, yang mestinya
ada dari pihak tentara negeri.
In Hong berdua tidak dapat menerka pikirannya Keng Sim itu. Pikiran pemuda itu s
ebenarnya kacau
sekali. Dia ingin melakukan sesuatu, untuk Sin Tjoe, tetapi di lain pihak, dia i
ngat ayahnya, yang masih ada di Hangtjioe. Dia juga tidak mempunyai keinginan ak
an turut Seng Lim buron.
Belasan orang yang mendatangi itu ada rombongan dari Taylwee Tjongkoan Yang Tj
ong
Hay dan Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen. Mereka itu heran menyaksikan kelakuann
ya Keng Sim, yang tertawa nyaring demikian lama.
"Bagaimana dengan sisa tenteranya Yap Seng Lim?" Tjong Hay tanya.
"Mereka semua mati terbakar di atas gunung!" sahut si anak muda.
"Orang benar tidak bicara dusta," berkata Law Tong Soen. "Aku mendengar dari Thi
o Soenboe bahwa kau pergi kepada mereka untuk memanggil mereka menakluk. Kalau m
ereka mampus terbakar, kenapa kau sendiri dapat lolos?"
Keng Sim tertawa pula.
"Bagus!" katanya. "Orang benar tidak bicara dusta! Baiklah aku beritahu ke
pada
kamu! Mereka itu telah aku lepaskan!"
Yang Tjong Hay terkejut hingga matanya mencilak. Ia kaget bukan main.
"Apakah itu bukannya mereka?" ia tanya nyaring, tangannya menunjuk.
Seng Lim dan In Hong baru jalan menikung tetapi mereka susah pergi jauh.
Law Tong Soen lantas mengeprak kudanya, berniat mengejar.
Tiat Keng Sim menghunus pedangnya, dengan itu ia membabat.
Tong Soen kaget, ia berkelit sambil berlompat turun. Maka naas kudanya, yang ken
a terbabat hingga kutung kedua kaki depannya, tentu sekali ia menjadi sangat gus
ar.
"Tiat Keng Sim!" serunya. "Kau turun-temurun menerima budi negara, kenapa se
ka-
rang kau berchianat?"
"Siapa bilang aku berchianat?" Keng Sim tanya.
"Nah kenapa kau melepaskan mereka?"
"Apakah kau tidak tahu pembilangan kitab ilmu perang, binatang mogok tak dapat d
ilawan? Kalau mereka diubar terus-terusan, Seng Lim boleh menjadi nekat! Aku jus
teru tidak suka melihat kamu terbinasa sama-sama! Kalau seorang panglima pandai
mengepalai tentera, dia mesti dapat membuka suatu jalan! Tenteranya Yap Seng Lim
sudah bubar, apakah halangannya aku melepaskan mereka satu atau dua orang?"
"Ha, siapakah yang bicara denganmu
tentang ilmu perang?" menegur Yang Tong Hay. "
Keng Sim tertawa pula. Ia memang lagi
ngoceh untuk menang tempo, supaya Seng Lim dan In Hong dapat pergi jauh hingga t
ak dapat disusul lagi.
"Jikalau kamu tidak hendak bicara dari ilmu perang, habis kamu hendak bicarakan
urusan apa?" ia menanya. Ia tertawa pula.
Law Tong Soen menjadi sengit sekali, sebelah tangannya
menyambar. Itulah jurus "Kimpa tamdjiauw" atau "Macan tutul emas menyengkeram,"
suatu jurus dari ilmu silat Taykimna, untuk
mencekuk nadinya si anak muda.
"Seorang budiman membuka mulutnya
tidak tangannya!"
berkata Keng Sim sambil berkelit. "Aku akan turut kamu, maka buat apa ka
mu turun tangan!"
Lalu ia menyodorkan gagang pedangnya
kepada komandan
Gielimkoen itu.
Tong Soen heran hingga ia melengak. Ia tidak menyambuti,
karena mana pedang itu jatuh berkontrang ke tanah.
"Satu laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab!" kata pula Keng Sim. "Aku m
elepaskan mereka itu, maka kau boleh tangkap aku untuk dibawa menghadap kepada T
hio Kie! Bukankah dengan begitu kamu dapat bertanggung jawab? Pedang ini pedang
dari gudang di istana, kau boleh sekalian bawa pulang buat di pulangkan ke gudan
g istana itu! Di dalam satu hari kau dapat melakukan dua pahala besar, tidakkah
itu mempuaskan kau?"
Habis mengucap, Keng Sim membawa kedua tangannya, untuk
membiarkan kedua
tangannya itu ditelikung.
Tong Soen masih melengak, ia heran sekali. Orang ada puteranya satu bekas menter
i, ia tidak berani berlaku kurang ajar.
"Sudahlah, mari!" kata Tjong Hay achir-nya.
***
Setengah bulan kemudian selesailah sudah pembasmian kepada kaum pemberontak. Sem
ua sisa tentera rakyat sudah nelusup pula di antara rakyat jelata, dan Vap Seng
Lim bersama Leng In Hong telah hidup menyendiri di dalam pegunungan Yangbwee Lim
di utara Hangtjioe, di tempat yang disebut "Kioekee Sippat kian," ialah "sembil
an kali dan
delapan belas solokan gunung."
Kota Hangtjioe adalah kota di mana Thio Soenboe memusatkan pasukan perangnya dan
Kioekee Sippat kian terpisah dekat dari kota itu, akan tetapi Seng Lim mengambi
l tempat itu, inilah artinya ia berdiam di tempat yang berbahaya, akan tetapi ad
a maksudnya kenapa ia memilih tempat itu.
Nyatanya Seng Lim dan In Hong telah mendengar kabar yang Tiat Keng Sim sudah "di
kurung" di kota Hangtjioe dan perkaranya itu tinggal menanti saja firman kaisar
yang akan memberikan putusan, entah hukuman apa, karena mana, hati pemimpin tent
era
rakyat ini menjadi tidak tenteram. Sebenarnya ia telah dibujuki oleh kawan-kawan
nya, un-
tuk, menyingkir jauh-jauh tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia telah berketetapan
untuk menolongi Keng Sim, yang sudah melepas budi terhadapnya. Di dalam hal ini
ia tidak memikirkan kejumawaannya putera giesoe itu. Mengenai ini In Hong tidak
bisa membilang suatu apa, sebab ia juga menginsafi budi Keng Sim itu sudah melol
oskan seribu lebih jiwanya sisa tentera rakyat.
Seng Lim tinggal menumpang di rumahnya seorang petani pemetik daun teh. Kedua an
aknya petani itu pernah menjadi serdadu suka rela maka itu ia percaya mereka itu
, bahkan bantuan si petani yang diharapkan untuk menyerap-
nyerapi kabaran dari kota. Telah didapat keterangan, penjagaan
kota kuat sekali dan Keng Sim entah di mana ditahannya. Dua kali Seng Lim dan In
Hong pernah masuk ke dalam kota, menyatroni
penjara dan kantor soenboe, tidak juga mereka memperoleh endusan, bahkan satu ka
li mereka kepergok, hampir mereka kena ditawan atau terluka, syukur liehay ilmu
ringan tubuh mereka, mereka bebas dari hujan anak panah.
Dengan lewatnya sang hari. Seng Lim dan In Hong menjadi bergelisah, cemas hati m
ereka, itu artinya, kalau menanti terlalu lama, firman kaisar bakal keburu sampa
i dan Keng Sim pastilah terancam jiwanya.
"Jikalau firman kaisar tiba, cuma dua kemungkinannya," kata Seng Lim suatu hari
kepada In Hong.
"Pertama ialah dia dapat dihukum mati di kota Hangtjioe juga atas tuduhan sudah
berkongkol sama kaum pemberontak. Kemungkinan yang kedua ialah, karena dia ada p
uteranya seorang giesoe, dia bakal dibawa ke kota raja, entah hukuman apa bakal
dijatuhkan di sana, tetapi sedikitnya dia bakal di penjarakan sepuluh tahun. Den
gan begitu dia tertolong jiwanya hanya satu kali dia dijebloskan dalam penjara d
i kota raja, itu artinya dia sulit ditolong karena penjara di kota raja sukar di
bongkar."
"Dua kali kita telah memasuki kota Hangtjioe hingga kita menghadapi bahaya," ber
kata In Hong, "habis sekarang ada daya apa lagi?"
"Hanya pada itu ada hal yang membuatnya
aku heran," berkata Seng Lim. "Katanya penjagaan dilakukan keras sekali, toh dua
kali kita sudah pergi ke sana, tidak pernah kita dirintangi oleh orang-orang ko
sen kelas satu. Pit Kheng Thian pun ada di dalam kota itu. Kenapa dia tidak pern
ah muncul?"
"Mungkinkah Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen yang menjagai Keng Sim?" In Hong ta
nya.
"Itu pun suatu kemungkinan."
"Apakah kemungkinan yang lainnya?"
"Setelah dua kali kita mengacau kota, tersiar kabar bakal dilakukan penggeledaha
n umum hingga ke desa-desa," menyatakan Seng Lim. "Itulah kabar belaka, sampai s
ekarang buktinya belum ada. Tidakkah, karenanya, sebenarnya Thio Kie ada
mengandung maksud lain? Siasat apakah mereka itu tengah mengaturnya?"
"Apakah kau menyangka itu ada hubungannya sama Keng Sim?"
Seng Lim mengangguk.
"Maka itu kalau dugaanku benar, baiklah lagi sekali kita pergi ke kota,"
katanya.
"Tetapi kita tak boleh sembrono," si nona memberi ingat, "Kaulah pemimpin tentar
a
rakyat, tidak dapat kau menempuh bahaya!"
"Apakah Keng Sim telah tidak menempuh bahaya untuk menolongi kita?"
In Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak setuju tetapi ia bungkam. Alasannya pemuda
ini kuat.
"Aku mengerti pandanganmu," kata Seng Lim. "Keng Sim memang
bukannya orang kaum kita. Hanya kita tidak boleh memandang dari sudutnya itu. Ki
ta boleh tidak setuju dengannya tetapi satu hal sudah terang, dia telah melepas
budi besar terhadap kita, untuk itu dia tidak takuti bahaya yang mengancam
dirinya. Apakah kita mesti menjadi manusia-manusia yang melupakan budi orang?"
In Hong kena didesak.
"Baiklah!" katanya achirnya. "Mari kita pergi!"
Selagi mengatakan begitu, Nona Leng berpikir: "Terang Seng Lim ketahui Keng Sim
bertindak melulu untuk Sin Tjoe, toh dia mau mengurbankan jiwanya untuk menolong
i
pemuda itu, jikalau aku tidak mengiringi dia, maka terlihatlah pandanganku yang
cupat"
"Kita sekarang baik pergi membuat penyelidikan ke rumahnya Keng Sim," berkata Se
ng Lim. "Aku tahu di mana letak rumahnya itu. Aku pun telah mendengar kabar Tiat
Hong sudah mengajukan surat permohonan guna menolongi puteranya Thio Kie ada mu
ridnya Tiat Hong, dia pasti tidak berani mempersulit Keng Sim, maka mungkin seka
li Keng Sim ditahan di rumahnya itu. Yang pasti ialah Tiat Hong tentu ketahui ba
ik di mana adanya puteranya. Kalau si anak di penjarakan, tentulah Tiat Hong per
nah menjenguknya di
tempat tahanan."
In Hong setuju. Pergi ke rumahnya Tiat Hong, ia anggap, pastilah tak begitu berb
ahaya
seperti menyatroni
penjara kota Hangtjioe. Maka sore itu ia lantas
dandan, menukar
pakaian dengan yahengie, pakaian hitam peranti keluar malam.
Segera juga keduanya meninggalkan pondokan mereka, untuk menuju ke telaga Seeouw
. Di telaga itu rumahnya Keluarga Tiat menghadapi bukit Kouw San. Pada waktu ten
gah malam, telaga dan tepiannya telah menjadi sangat sunyi. Di telaga itu sudah
tidak ada perahu nelayan! Rumahnya Tiat Hong tertutup rapat dan api pun dipadamk
an semua. Kelihatannya tidak ada penjagaan di rumah itu. Maka juga Seng Lim mera
sa aneh.
"Mari kita masuk," ia mengajak In Hong setelah bersangsi sejenak.
Di dalam, pekarangan tidak terawat, rontokan bunga berserakan di tanah. Para-par
a bunga pun ada yang roboh.
Rumput di situ tidak pernah kenal gunting. Maka juga keadaan ada sunyi sekali, s
angat sepi.
Untuk berlaku hati-hati. In Hong yang masuk ke dalam Seng Lim yang menjaga di lu
ar. Tidak lama si nona ke luar dengan tangan kosong, dia merasa sangat heran.
"Aneh sekali, di dalam tidak ada seorang juga!" katanya Nona Leng.
Seng Lim pun heran, hingga ia berpikir keras.
"Apakah mungkin Tiat Hong kabur meninggalkan rumah tangganya?" ia menduga-duga.
Segera juga Seng Lim membantah dugaannya itu. Bukankah Tiat Hong hanya seorang p
embesar sipil, yang tidak mengerti ilmu silat? Mana dapat
dia lari menyingkir, apa pula menyingkir seluruh rumah tangga? Juga adalah beral
asan kalau Tiat Hong pun diawasi, tidak perduli Thio Kie masih memandang mata pa
danya. Biar bagaimana, puteranya itu tersangkut perkara
besar.
Maka itu, kedua muda mudi menjadi berdiri diam saja. Percuma mereka mengasah ota
k mereka, tidak bisa mereka menerka dengan jitu. Tengah mereka berpikir itu, men
dadak mereka dikejutkan satu suara keras sekali. Ialah suara dari pintu depan ya
ng digempur men-jeblak, lalu satu orang nampak nerobos masuk. Mereka terkejut,
keduanya lantas lompat ke atas genting. Mereka menyangka orang
pemerintah. Setibanya di atas, setelah mengawasi, mereka menjadi
heran sekali.
Cuma satu orang yang menyerbu itu dan dialah Tiauw Im Hweeshio. Pe
ndeta itu mencekal tongkat
sucinya, tubuhnya
bermandikan darah. Bahkan beberapa batang anak panah masih menancap di tubuhnya.
Meskipun ia kaget, Seng Lim dan In Hong pun lompat turun.
Si pendeta segera mendapat lihat dua orang itu.
"Eh, mengapa kamu ada di sini?" ia menanya, heran. "Mana dia Tiat Hong si tua ba
ngka?"
Muda-mudi itu mendekati, untuk lebih dulu memberi hormat.
"Kita pun lagi mencari Tiat Hong," kemudian In Hong menjawab, "Di sini tidak ada
seorang jua. Mungkin orang sudah buron. Taysoe, mengapa kau
ada di sini dan kenapa terluka?"
"Aku lagi mencari Tiat Keng Sim," menyahut pendeta itu singkat.
"Apakah dia telah dapat diketemukan?" Seng Lim menanya.
"Tidak! Beberapa hari yang lalu aku memperoleh keterangan dari mulutnya Tiat Hon
g sendiri bahwa puteranya ditahan di dalam menara Liok Hap Tah. Aku hendak pergi
ke menara itu tetapi si orang tua menahan, dia mencegah aku secara mati-matian.
Karena itu aku menahan sabar beberapa hari, hingga hari ini aku mendengar kabar
firman raja sudah tiba. Kalau aku tidak segera menolongi,
tentulah Keng Sim diangkut ke kota raja, paling lambat besok. Karena ini aku tid
ak memperdulikan apa juga,
aku tidak pergi berda-mai pula sama tua bangka itu. Aku hendak menggempur Liok H
ap Tah dengan tongkatku ini guna menolongi itu bocah. Di dalam menara itu ada di
tahan beberapa orang lain tetapi Keng Sim tidak berada di sana, maka itu sia-sia
belaka aku menghajar mampus beberapa siewie1."
"Soesioktjouw, baiklah kau beristirahat dulu!" Seng Lim minta.
In Hong pun maju untuk mencabuti beberapa batang anak panah itu, guna membalut l
uka-lukanya.
"Apakah Yang Tjong Hay dan Law Tong Soen ada di Liok Hap Tah?" si nona menanya.
"Jangan perdulikan lukaku!" tiba-tiba si pendeta berkata,
tangannya dikibaskan. "Paling benar, lekas kamu menyingkirkan diri!"
In Hong dan Seng Lim heran.
"Kami telah memeriksa, di sini tidak ada tentera sembunyi," Kata si nona.
"Di luar kota tidak ada tentera sembunyi tetapi di dalam kota sudah dilakukan pe
rtempuran di jalan-jalan besar dan di ganggang!" kata pendeta itu.
Seng Lim heran dan kaget.
"Bagaimana itu, Soesioktjouw?" ia menanya. "Pasukan dari manakah itu yang
melawan tentera negeri?"
"Tentang itu aku tidak tahu jelas, dan aku juga tidak tahu jelas, dan aku juga t
idak sudi mencari keterangan!" berkata si pendeta yang tabiatnya keras itu. "Hm,
kamu tahu! Karena aku tidak dapat mencari Keng Sim, hatiku semakin panas! Semua
ini terjadi karena
gara-garanya Pit Kheng Thian! Maka aku segera pergi menyantroni
tangsinya itu. Siapa tahu, aku bersomptokan sama kedua tentera yang lagi bertaru
ng di dalam gang. Di dalam pertempuran kalut itu, beberapa anak panah ini menyas
ar ke tubuhku! Sebaliknya bayangannya Pit Kheng Thian tidak aku melihatnya! Syuk
ur
tongkatku ini cukup berat, dengan ini aku dapat membuka jalan untuk keluar dari
kota. Tentara negeri itu repot berkelahi, mereka tidak sempat mengejar aku. Demi
kian aku tiba di sini..."
Baru sekarang tampaknya si pendeta letih.
"Benar-benar soe-sioktjouw sembrono..." pikir Seng Lim.
"Lekas pergi, lekas pergi!" kata Tiauw Im berulang-ulang, tepat
sehabisnya semua anak panahnya dapat
dicabut In Hong, yang masih hendak menanyakan sesuatu kepadanya. "Jangan takut,
aku tidak bakal mati karena luka-lukaku ini! Tapi, kalau tentara negeri sampai d
i sini, mungkin aku sudah tidak kuat berkelahi lagi..."
Baru pendeta ini menutup mulutnya, atau dari jurusan kota terdengar letusan
meriam beberapa kali.
Seng Lim lantas saja mempepayang pendeta itu, untuK diajak menyingkir dari
rumahnya Tiat Hong. Atau hampir berbareng dengan itu tibalah satu pasukan tentar
a negeri.
Seng Lim masih dapat melihat nyata, ia menjadi heran sekali, hingga ia menyangsi
kan matanya.
Orang yang kabur dikejar adalah Pit Kheng
Thian, dia menunggang kuda yang tidak ada pelananya, dia pun tanpa memakai serag
am. Dia dilindungi kira-kira tiga puluh pahlawannya. Di belakang dia menyusul ba
gaikan arus satu pasukan besar dengan kepala perananya ialah Taylwee Tjongkoan Y
ang Tjong Hay bersama Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen. Pasukan negeri itu berse
ru-seru.
Bahkan Yang Tjong Hay telah menggunakan panah.
"Ser!" demikian sebatang anak panah menyambar, dan Pit Kheng Thian roboh terguli
ng dari kudanya, sebab binatang
tunggangan itu telah kena terpanah jitu!
Menyaksikan itu semua, Seng Lim lantas dapat menduga
duduknya hal.
Pemerintah memanggil menakluk kepada Pit Kheng Thian hanya suatu akal belaka, un
tuk menang tempo. Bukankah Pit Kheng Thian telah mengajukan syarat supaya dia se
dikitnya di angkat menjadi tokboe atau gubernur militer dari satu propinsi? Mana
dapat permintaan itu diluluskan? Itulah menyinggung kehormatannya seorang raja.
Raja lantas mengetahui sifat orang, dari itu tidak suka raja membiarkannya saja
. Maka di harian dikeluarkan firman tjiauw an, memanggil Kheng Thian menakluk, b
erbareng dikeluarkan firman lain, firman rahasia untuk Soenboe Thio Kie. Soenboe
itu diberi perintah, setelah pemberontakan tertindas, jalan mesti dicari untuk
mengurangi
kekuasaannya Kheng
Thian, agar achirnya Kheng Thian diringkus dan dibawa ke kota raja, untuk diperi
ksa dan dijatuhkan hukuman.
Tampaknya Kheng Thian seorang kasar akan tetapi dia dapat berpikir, matanya
tajam. Ia lantas dapat melihat dan merasakan tindakannya pihak soenboe terhadapn
ya, dari itu ia menjadi bercuriga. Begitu ia masuk ke dalam kota Hangtjioe, Thio
Soenboe lantas mengatur
pasukannya itu, yang dipindahkan ke sana sini. Itulah siasat yang ia kenal baik,
sebab dulu pun ia berbuat demikian terhadap
tenteranya Yap Tjong Lioe. Sudah begitu, ia seperti menanti angin. Pangkat atau
karunia yang dijanjikan pemerintah tidak juga kunjung tiba. Kalau dulu ia merasa
puas berhasil
memecah-mecah pasukannya Yap Tjong Lioe, sekarang ia merasa perih yang tenterany
a sendiri digeser sedikit demi sedikit. Maka itu ia jadi berpikir keras, hatinya
merasa tidak enak, hingga di waktu malam ia menjadi kurang tidur. Ia selalu ter
benam dalam kekua-tiran.
Thio Soenboe bukannya seorang tolol. Ia dapat melihat kegelisahannya Pit Kheng T
hian itu. Tentu saja, ia man bertindak cepat. Itulah tugasnya. Ia pun tidak mau
dipersalahkan
pemerintah.
Demikian itu hari, Thio Kie mempersilahkan Pit Kheng Thian berangkat ke kota raj
a, alasannya ialah agar Kheng Thian sendiri yang menghadap kepada kaisar guna me
laporkan berhasilnya penindasannya terhadap
kaum pemberontak. Kheng Thian merasa bahwa ia hendak ditipu, ia menolak berangka
t dengan mengemukakan alasan ia lagi sakit. Itulah akal belaka. Bahkan ia menola
k menemui utusannya Thio Soenboe.
Thio Soenboe menjadi gusar, ia lantas bertindak. Pasukan
serdadu segera di kirim untuk menyerang Kheng Thian, yang dituduh membangk
ang. Begitulah terjadi
pertempuran. Di dalam tempo tidak ada satu jam, tumpaslah kekuatannya Kheng Thia
n itu. Tidak saja dia tidak bersedia, juga tenaganya memang sudah berkurang bany
ak. Dia gagah tetapi dia seperti bersendirian saja, dia tidak bisa berbuat banya
k, dan lantas terkurung. Tapi dia dapat membobol kuru-
ngan dan dapat kabur bersama kira-kira tiga puluh pengiringnya, atau setibanya d
i tepi telaga Thayouw itu, kudanya kena dipanah roboh oleh Yang Tjong Hay.
Taylwee Tjongkoan itu segera berseru-seru: "Titahnya pemerintah agung ialah cuma
Pit Kheng Thian seorang yang berdosa yang hendak ditawan! Yang lain-lainnya tid
ak bakal dihukum! Sebaliknya, siapa dapat menangkap Kheng Thian hidup-hidup, dia
bakal dikasi presen uang emas seribu tail dan pangkat tjongpeng1. Siapa yang da
pat membunuhnya, ia juga bakal dikasi presen uang emas tiga ratus tail serta pan
gkat kelas lima!"
Begitu seruan itu terdengar, dua pahlawannya Kheng Thian lantas berbalik pikir
an.
Dengan masing-masing tombaknya, mereka menikam bekas pemimpin mereka i
tu, si bekas toaliongtauw dari
delapan belas propinsi.
Kheng Thian tengah berlompat bangun
ketika serangan itu dilakukan. Dengan
mementang kedua
tangannya yang kuat, ia menangkis kedua tombak itu. Ia lantas pungut toyanya, to
ya longgee pang, dengan itu ia menangkis patah dua batang tombak lain yang ditik
amkan
kepadanya!
Beberapa pengiring itu kaget meskipun mereka tahu ini bekas pemimpin memangnya k
osen sekali. Kalau kini mereka berani berontak, itu disebabkan Kheng Thian sudah
roboh dan mereka temaha akan janjinya Tjong Hay yang hebat itu. Tapi mereka sud
ah kepalang, maka
dengan berani mereka kata: "Dulu juga Yap Tongnia perlalukan baik padamu
kenapa kau berontak terhadapnya?"
Ditegur begitu,
Kheng Thian melengak. Hanya sejenak, lantas bangkit hawa amarahnya. Maka dia lan
tas menerjang hebat.
Dengan sekali hajar saja, dia telah membikin remuk batok kepalanya dua pengiring
nya.
Menampak itu, yang lain-lain menjadi takut dan berteriak untuk kabur mencar.
Kheng Thian tahu bahaya, dia tidak mau berdiam lama-lama di situ, maka dia lanta
s lari. Dia melintasi jembatan Seeleng Kie, dan mendaki bukit Kouw San. Tentera
negeri terus mengejarnya, menghujani dia dengan anak panah.
Ketika itu Seng Lim bertiga Tiauw Im dan In
Hong juga sudah tiba di atas bukit, mereka menyaksikan tentera negeri mendaki bu
kit itu dari empat penjuru, dengan sikap mengurung. Tentu saja mereka menjadi be
rkuatir, apapula Seng Lim yang melihat Tiauw Im, yang terluka itu, sudah kurang
merdeka larinya. Juga Leng In Hong tak kurang kuatirnya. Ia ini takut tentera ne
geri dapat melihat Seng Lim. Itulah berbahaya sekali.
Bukankah Seng Lim tengah dicari?
"Lekas! Lekas!" berseru nona ini berulang-ulang, sedang Seng Lim seperti juga me
nyeret si pendeta. Tiauw Im seorang yang beradat keras. Mendadak ia meronta.
"Aku dapat berlari!" teriaknya. "Tak usah kau membantu aku!"
Seng Lim jengah. Ia
tidak menyangka orang demikian kepala besar.
Tiauw Im membuktikan kata-katanya. Ia berlompat
berulang-ulang, ia
berhasil menjauhkan diri. Maka di lain saat tibalah mereka di belakang kuil Gak
Ong Bio, di atas bukit.
Malam gelap sekali, mereka maju terus. Jalanan sukar dan banyak tikungannya juga
. Meski begitu, di depan mereka tertampak samar-samar sebuah batu besar sekali.
Mendadak Tiauw Im berlompat. Apa celaka, kakinya sakit, luka-lukanya pun pecah,
ia lantas saja roboh hingga ia tidak mampu bangun lagi.
Seng Lim lompat untuk mengasi bangun.
"Pergi kamu menyingkir!" berkata pendeta itu. "Gunung begini luas, tidak nanti
tentera negeri dapat mencari aku!...11
Pemuda itu tertawa.
"Kalau begitu, mereka pun tak nanti dapat mencari aku!" katanya. Lalu, tanpa ban
yak bicara lagi, ia pondong tubuhnya si pendeta, buat dibawa pergi ke belakang b
atu besar.
In Hong memeriksa luka-lukanya pendeta itu. Belasan luka itu telah mengucurkan
darah hidup. Ia lantas kata: "Tentera negeri lagi mencari kita, tetapi kalau jum
lah mereka kecil, taruh kata mereka dapat mencari kita, kita tidak takut! Taysoe
, mari aku balut dulu lukamu!"
Ketika itu benar-benar terlihat api di sana sini, ialah obornya tentera negeri y
ang lagi mencari Pit Kheng Thian.
Seng Lim membantu membalut Tiauw Im. Selagi bekerja, ia memi-
kirkan Keng Sim. Ia tidak bisa melupakan itu anak muda, yang telah melepas budi
kepada mereka.
"Soesiok tjou w," tanyanya, "kenapa kau ketahui Keng Sim terjatuh di tangan tent
era negeri?"
"Sebab sekian lama aku berdiam di rumahnya Tiat Hong!" menyahut si hweeshio tert
awa. "Aku tahu halnya Nona Leng dan Sin Tjoe mencoba membunuh Kheng Thian!"
"Kita bukannya hendak membunuh dia," In Hong mengasi keterangan. "Sebenarnya adi
k Ie mau memaksa Kheng Thian menyerahkan penghoe supaya dia dapat mengatur kirim
an rangsum untuk menolong Yap Toako. Kemudian sesudah itu. Adik Ie menghendaki a
ku pergi ke Toenkee. Rupanya dia sendiri
pulang untuk menolong Keng Sim."
"Benar," berkata Tiauw Im. "Habis menolong Keng Sim, dia bertemu sama aku. Kita
bersama-sama pergi ke Pakkhia."
"Tetapi," kata Seng Lim, "menurut katanya Pit Goan Kiong, dia di kota raja telah
bertemu Sin Tjoe, maka kenapa kau bersama Keng Sim berada di sini?"
"Itulah anehnya!" kata si pendeta. "Aku tidak tahu bagaimana sikapnya mereka si
anak-anak muda! Aku lihat Keng Sim senantiasa memperhatikan Sin Tjoe tetapi Sin
Tjoe sendiri selalu menjauhkan diri, bahkan dia pergi tanpa pamitan lagi!"
Seng Lim merasa tidak enak hati.
"Begitulah orang banyak melihatnya," pikirnya. "Orang banyak
menganggap merekalah pasangan yang sangat setimpal! Keng Sim melepas budi kepada
ku, mana dapat aku me-nyelak di antara mereka berdua?"
Karena berpikir begini, ia menjadi tak tenteram hatinya.
"Sebenarnya, bagaimana terjadinya itu?" In Hong menanya.
"Kita bertiga berangkat bersama ke kota raja," Tiauw Im menjelaskan. "Setibanya
di Hangtjioe, Keng Sim memaksa Sin Tjoe dan aku singgah di rumahnya untuk berapa
hari. Maka kita berdiam di sana. Aku ada mempunyai seorang sahabat yang mengepa
lai kuil Lengin Sie, maka pada suatu hari aku pergi ke kuil itu menyambangi saha
batku itu. Aku tinggal satu malam di dalam kuil. Ketika besoknya aku pulang ke
rumah Keng Sim, nyata Sin Tjoe telah berangkat dengan diam-diam pada malamnya. D
ia pergi dengan meninggalkan sepucuk surat untuk Keng Sim. Tempo Keng Sim member
itahukan aku kepergian Sin Tjoe, dia masih memegangi suratnya nona itu beberapa
lembar. Ah, aku tidak tahu, apa yang Sin Tjoe tulis, demikian banyak, suratnya b
egitu panjang. Nah, terkalah kamu, bagaimana
dengan Keng Sim si bocah?"
"Dia kenapa?" tanya In Hong heran.
"Dia remas surat itu dan menggumpalnya menjadi satu, habis itu dia masukkan ke d
alam mulutnya dan telan!" sahut Tiauw Im.
In Hong benar-benar heran.
"Apakah artinya itu?" ia tanya pula.
"Aku juga tidak mengerti!" sahut pula Tiauw Im. "Masih ada lagi lain keanehannya
! Habis menelan surat itu dia lantas menangis seperti anak kecil!"
"Apakah katanya selama dia menangis?" In Hong masih menanya. Di dalam hatinya ia
kata, banyak lagaknya Keng Sim itu.
"Dia ngoceh tidak keruan," berkata Tiauw Im. "Dia kata dia malu terhadap Nona Ie
, bahwa Nona Ie tidak mengerti kepadanya! Aku lantas menasihati dia bahwa persel
isihan di antara anak muda lumrah saja, dan aku menjanjikan dia akan membujuki N
ona Ie. Atas itu sampai sekian lama dia berdiam saja. Kemudian barulah dia membe
ri hormat
padaku, dia menggunai kehormatan besar..."
In Hong tertawa.
"Kenapa dia berbuat begitu?"
"Dia kata padaku bahwa untuk Nona Ie dia hendak melakukan suatu usaha besar, sup
aya Nona Ie puas, cuma dia kuatir, dengan kepergiannya itu, dia tidak bakal kemb
ali, maka itu dia minta aku tolong melihat-lihat ayahnya. Aku telah tanya dia ap
a yang dia hendak lakukan, dia tidak mau memberikan keterangan. Sekarang barulah
aku tahu, dia pergi ke Toenkee untuk memberikan bantuannya yang berharga itu un
tuk tentera rakyat!"
Mendengar itu, hatinya Seng Lim tidak tergerak, hanya ia berpikir, "Entah ada sa
lah paham apa di antara dia dan Sin Tjoe..." Hanya, karena dia berani berkurban
untuk menolong kami, kenapa aku pun tidak
mau berkurban untuknya?"
In Hong berpendapat lain daripada pemuda she Yap ini. Ia mau percaya, bukan tida
k ada sebabnya yang besar, kenapa Sin Tjoe meninggalkan surat dan juga meninggal
kan Keng Sim itu. Bahkan urusan itu mestinya penting sekali. Urusan apakah itu?
Ia hanya tidak pernah menyangka
bahwa itulah sebab Keng Sim membocorkan rahasia tentera rakyat.
Tiauw Im melanjuti keterangannya: "Baru satu bulan yang lalu, Keng Sim dibawa pu
lang ke Hangtjioe. Kejadian itu membuat Tiat Hong sangat berkuatir.
Karena aku telah berjanji akan menjaga orang tua itu, tidak pernah aku berlalu d
ari Hangtjioe. Untungnya, Thio Soenboe mengirim orang untuk mengawasi
Tiat Hong tetapi tidak pernah dia datang mengacau. Pernah Tiat Hong pergi ke men
ara Liok Hap Tah menemui puteranya, ia melakukan itu di luar tahuku. Apa yang an
eh ialah kemudiannya! Ketika aku ketahui kepergian Tiat Hong kepada puteranya it
u aku pun lantas pergi ke menara itu. Di sana aku mengacau. Aku heran sekali ket
ika aku tidak mendapatkan Keng Sim! Hari ini aku pulang, maka heranku menjadi be
rtambah! Tiat Hong tidak ada, rumahnya kosong! Entah ke mana mereka sudah pergi?
Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?"
In Hong dan Seng Lim menduga-duga. Sia-sia belaka. Mereka tidak bisa mendapatkan
jawabannya yang
tepat. Ketika mereka manjat ke tempat tinggi,
untuk melihat kesekitar-nya, obor tentera negeri masih terlihat b
agaikan berlugat-legot.
Ketika itu In Hong sudah selesai membalut luka terachir dari Tiauw Im.
"Soesioktjouw, mari kita pergi!" Seng Lim mengajak. "Mari aku gendong kau!"
Pendeta itu menggeleng kepala.
Justeru itu waktu mereka melihat berke-lebatnya beberapa
bayangan orang ke arah mereka, maka Seng Lim lantas tarik si pendeta, untuk diaj
ak bersembunyi di belakang sebuah batu karang besar.
Hanya sedetik itu, mereka mendengar satu jeritan keras, menyusul mana tertampak
seorang, yang punggungnya tertancap anak panah, yang tubuhnya bermandikan
darah,
lompat ke arah mereka, melompati karang itu. Rupanya dia itu lari untuk mencari
tempat sembunyi. Tepat sekali, dia tiba dihadapan Seng Lim.
"Pit Kheng Thian!" berseru si anak muda, yang segera mengenali orang. Ia kaget d
an heran.
Justeru itu, mendadak sekali, entah dari mana datangnya
tenaga si pendeta, tahu-tahu ia telah mengangkat tongkatnya dengan apa ia menyer
ang toaliongtauw itu!
"Tahan!" berseru Seng Lim kaget.
Hebat terdengarnya suara benterokan!
Sebagai kesudahan dari itu, toyanya Kheng Thian terpatah dua dan tongkatnya Tiau
w Im mental ke udara!
Sebenarnya tenaga Tiauw Im besar luar
biasa tetapi itu waktu ia lagi terluka parah, maka itu Kheng Thian dapat menangk
is, sedang bekas toaliongtauw ini juga sudah mengerahkan semua tenaganya, hingga
kekuatan mereka jadi berimbang. Hebatnya untuk Tiauw Im, karena ia menggunai se
mua tenaganya, habis itu ia jatuh sendirinya.
"Jangan kasi dia lari!" In Hong berteriak. Tapi dia tidak maju, karena dia perca
ya Seng Lim seorang dapat melayani pengchianat itu. Ia sendiri lebih memerlukan
lompat kepada Tiauw Im.
Pit Kheng Thian berdiri menjublak, tangannya memegang kutu-ngan toyanya. Melihat
Seng Lim, yang diketemukan di tempat tidak disangka-sangka ini, pelbagai perasa
an mengulak di dalam batok
kepalanya. Ia malu, ia gusar, ia jeri, ia pun mendongkol dan jelus.
Seng Lim telah men hunus goloknya tetapi ia tidak lantas menyerang, ia hanya men
gawasi dengan tajam.
Sekonyong-konyong Kheng Thian berteriak: "Saudara Yap, tolong aku!"
Teriakan ini dikeluarkan karena di dekat mereka terlihat berlom-patnya satu baya
ngan, yang bukan lain daripada bayangannya Yang Tjong Hay, yang dapat menyusul b
ekas toaliongtauw itu!
Seng Lim berlompat maju, ia menghadang di depannya Kheng Thian.
Yang Tjong Hay segera menyerang, beruntun hingga dua kali, sinar pedangnya berke
redepan. Sebab pedang yang ia gunai itu pedang mustika yang ia pinjam dari Law
Tong Soen. Karena itulah pedang mustika dari istana.
Kaget dan girang Tjong Hay, ketika di antara sinar pedangnya itu ia mengenali Se
ng Lim.
"Ha, kiranya kau!" ia berseru.
Di dalam hatinya, Tay I wee Tjongkoan ini lantas berpikir: "Dapat membekuk Yap S
eng Lim berarti jasa jauh terlebih benar daripada dapat menawan Pit Kheng Thian.
" Maka itu, ia lantas mengulangi serangannya.
Kalau tadi ia hanya main berkelit, sekarang Seng Lim menangkis. Tapi tangkisanny
a ini, yang pertama, membuatnya kaget sekali. Ketika kedua senjata benterok, gol
oknya
kena terbabat kutung ujungnya!
Menggunakan ketika yang baik itu, Pit Kheng
Thian lompat untuk lari. Ia tidak mau berdiam saja di situ, tidak perduli Seng L
im lagi berkelahi untuknya. Hanya begitu ia melihat menyambarnya satu bayangan,
tangan
bayangan itu sudah lantas menyengkeram pundaknya, hingga ia merasakan sangat sak
it sampai ke ulu hatinya.
Penyerangnya itu, yang muncul tiba-tiba, adalah Gielimkoen Tongnia Law Tong Soen
, yang telah tiba di situ bersama-sama
Yang Tjong Hay, bahkan komandan
pasukan raja ini segera menggunai ilmu silatnya, Hoenkin Tjokoet Tjioe!
"In Hong, tolonglah dia!" Seng Lim teriaki kawannya.
In Hong mendengar itu tetapi ia bersangsi.
"Inilah perintah tentera!" teriak Seng Lim.
Kali ini Nona Leng tidak ragu-ragu lagi, dengan satu lompatan ia menikam punggun
gnya Tong Soen.
Diserang secara begitu, Tong Soen hendak membela dirinya, terpaksa ia melepaskan
cekalannya kepada
Kheng Thian, atas mana tubuhnya bekas toaliongtauw itu roboh terguling, orangnya
pun tak sadarkan diri. Tepat dia rebah di sampingnya Tiauw Tm.
Seng Lim menempur terus pada Tjong Hay. Sungguh ia tidak menyangka yang tjongkoa
n ini menggunai pedang mustika, karena mana hampir saja goloknya gerumpung.
Dengan bersenjatakan pedang mustika itu, Tjong Hay lantai berada di atas angin.
Dengan bengis ia mendesak. Ia telah menggunai ilmu silat "Tjittje thianlam"
atau "Lempang menuding ke langit selatan." Yang ia arah ialah lengannya lawan.
Dengan terpaksa Seng Lim main mundur.
"Yap Seng Lim!" berkata tjongkoan dari istana kaisar itu sambil tertawa lebar.
"Sekarang ini kau telah buntu jalanmu! Perlu apa kau melawan aku? Paling benar l
ekas kau ringkus Pit Kheng Thian, kau sendiri menyerah kepada Pemerintah
agung! Aku tanggung kau bakal dianugerahkan pangkat tjongpeng !" Tawar
an itu, yang berupa bujukan,
disambut Seng Lim dengan seruan keras dibarengi bacokan
hebat yang disusuli sambaran tangan kiri. Begitu hebat, hingga si tjongkoan kage
t. Ia menangkis, ia menikam, toh sambaran anginnya serangan itu membuat
pundaknya terasa sakit. Maka ia jadi sangat murka.
"Bocah yang baik!" jeritnya. "Kau tidak tahu diri! Kau pun harus dibasmi sekalia
n!"
Maka dengan
Tjiehong kiam, ia menyerang dengan hebat. Dialah salah satu dari empat jago peda
ng besar, meski benar, ialah yang terlemah, ia toh liehay sekali, ia masih ada d
i atasan Seng Lim, apapula sekarang ia bergegaman pedang mustika. Dalam tempo ya
ng pendek, pemuda she Yap itu kena dia kurung.
Seng Lim juga bukan sembarang orang, ilmu goloknya, dan ilmu tangan kosongnya, t
elah mencapai puncak kemahiran, maka
dengan ilmu goloknya, Ngohouw Toanboen too, ia melakukan perlawanan
tidak kurang
dahsyatnya. Dengan tangan kirinya yang kosong saban-saban ia menyerang dengan il
mu silatnya Taylek Kimkong tjioe!
Menghadapi perlawanan Seng Lim itu, Tjong Hay tidak berani berlaku sembrono. Ia
bahkan berlaku waspada. Karena ini, meskipun ia lebih unggul, sampai seratus jur
us lebih, ia masih belum bisa berbuat banyak. Ia melainkan dapat mengurung.
Di lain pihak Leng In Hong, dengan pedang Tjengkong kiam,
melayani Law Tong Soen si ahli Hoenkin Tjokoet Tjioe, si tukang membikin otot pa
tah dan tulang keseleo. Juga mereka ini seimbang, meski sebenarnya Tong Soen ada
terlebih liehay. Mereka tampaknya bertempur lebih hebat daripada pasa-
ngan Tjong Hay dan Seng Lim itu.
Selagi orang bertarung seru itu, rombongan tentera terus masih mencari, obor mer
eka tampak makin dekat. Tjong Hay melihat cahaya api itu, mendadak ia bersiul pa
njang, untuk memberi isyarat. Maka di lain saat terdengarlah suara sahutan yang
berupa bunyinya terompet
tentera.
Telah ada rombongan serdadu yang sudah sampai di muka Oeyliong Tong, guha Naga K
uning dan melewatinya.
"Tjong Hay! Apakah kau di atas?" kemudian terdengar satu suara keras.
"Ya, toasoekol" Tiong Hay menyahut sambil berkelahi terus.
"Aku tengah melibat Yap Seng Lim! Lekas kau bantu aku!"
Orang yang menanya itu adalah Poan Thian Lo, murid kepala dari Tjie Hee Toodjin.
Dialah yang menjadi pemimpin tentera pengejar itu, sebab sengaja dia diundang d
ari wilayah suku bangsa Biauw.
Seng Lim terkejut. Ia mengerti bahaya yang lagi mengancam mereka. Bukankah
Tiauw Im Hweeshio lagi terluka parah dan Pit Kheng Thian sedang pingsan? Bukanka
h ia benar-benar lagi dilibat Tjong Hay dan In Hong pun dirintangi Law Tong Soen
? Jangan kata untuk menolong kawan, ia sendiri juga sulit untuk membebaskan diri
dari desakan musuh!
Yang Tjong Hay menjadi mendapat hati, maka itu serangannya menjadi bertambah heb
at. Ia lantas menggunai siasat, menggertak
ke timur menyerang ke barat, atau menunjuk ke selatan tetapi menggempur ke utara
. Dengan satu jurus "Memutar dan melintasi bintang-bintang," kembali ia memapas
kutung ujung goloknya Seng Lim!
Pemuda she Yap itu menjadi seperti kalap. Percuma ia bersenjata kalau itu hanya
golok buntung, maka sambil berseru keras, ia menimpuk dengan puntung goloknya it
u!
Yang Tjong Hay tertawa mengejek.
"Siapa mau adu jiwa denganmu?" katanya. Ia menangkis dengan pedangnya, membuat g
olok buntung itu terpental. Tapi justeru ia menangkis, justeru tibalah serangan
tangan kosong dari lawannya itu!
Berbareng sama serangan dahsyat dari
Seng Lim ini maka terdengarlah suara
nyaring bagaikan
gunung ambruk, lantas terlihat beberapa biji batu yang besar jatuh bergeluntunga
n dari atas gunung di atas mereka.
Semua serdadu menjadi kaget dan ketakutan, sambil
berteriak atau menjerit ketakutan, mereka lari serabutan untuk
menyingkirkan diri dari bahaya. Mampuslah siapa ketimpa batu-batu besar itu, yan
g jatuhnya ke jurang atau lembah dengan
menerbitkan suara lebih hebat lagi. Jatuhnya batu-batu itu pun tidak serintasan
saja hanya saling susul. Maka teranglah di puncak ada orang yang membantu Seng L
im.
Tjong Hay kaget. Ia menginsafi bahaya. Maka ia tidak lagi men-
desak Seng Lim, ia menggunai ketika akan dongak, untuk melihat ke atas di mana s
egera terlihat dua bayangan orang berlari-lari turun, larinya sangat pesat.
Seng Lim pun menggunai ketikanya ini untuk mengawasi dua bayangan itu. Atau sege
ra dia berseru dengan pertanyaannya: "Adik Sin Tjoe! Benarkah kau di sana?"
Memang benar itulah Ie Sin Tjoe yang datang! Sangat pesat dia lari turun, bajuny
a berkibar-kibar. Dia
datang bagaikan
seorang bidadari yang terbang melayang
turun. Dalam tempo yang pendek sekali, dia telah tiba di dekat Seng Lim. Di bela
kang dia, ialah itu bayangan yang kedua, ada satu anak muda yang tubuhnya jangku
ng.
Seng Lim melengak.
"Siapakah dia?" pikirnya. "Dia begini liehay..."
Sin Tjoe tidak segera menjawab pemuda she Yap itu, hanya terlebih dulu dia terta
wa lebar, habis mana baru dia mengasi dengar
suaranya yang nyaring tapi halus: "Benar, inilah aku! Eh, entjie Leng! Sia
pakah ini yang aku ajak datang kemari?"
In Hong menggunai ketika untuk melirik, karena ia pun lantas mengenali Nona Ie.
Kapan ia sudah melihat tegas, kegirangannya meluap-luap, sampai ia merasa bahwa
ia tengah bermimpi.
Pemuda itu ialah pemuda idam-idamannya, yang senantiasa ia rindukan.
"Engko Hok!" ia berseru. Hanya satu kali, lantas ia seperti terkancing tenggorok
annya meski sebenar-
nya ia hendak memanggil berulang-ulang.
Di saat In Hong kegirangan itu, Law Tong Soen sudah melakukan penyerangannya yan
g berbahaya. Ia mendesak dengan
tikaman bertubi-tubi, lalu selagi si nona repot, mendadak ia mengulur tangannya
dengan jurusnya
"Wankauw tekko" atau "Sang kera memetik buah," untuk merampas pedangnya nona itu
!
Tentu sekali, In Hong menjadi kelabakan.
Tapi Sin Tjoe sudah bersedia, dengan sebat ia menimpuk dengan tiga kuntum bunga
emasnya, mengarah ke mata, ke dada dan ke dengkul musuh. Tidak tanggung-tanggung
ia menggunai kimhoa
bunga emasnya.
Law Tong Soen melihat datangnya senjata rahasia, tidak ingat
lagi ia kepada lawannya yang hendak ia bikin celaka itu, dengan menjejak tanah,
dengan mengenjot tubuhnya ia berlompat jumpalitan untuk menyingkir dari bunga-bu
nga emas
yang berbahaya itu. Saking liehaynya, ia bisa berlompat jauh tiga tombak. Di lai
n pihak, ia pun telah berhasil menyambar pedang In Hong, pedang mana ia lantas b
ikin patah dengan satu tekukan Hoenkin Tjokoet Tjioe, sedang ujungnya
pedang ia lemparkan ke arah lawannya itu hingga In Hong tidak berani melompat ma
ju untuk mencoba merampas pulang pedangnya itu.
Tong Soen sudah gesit sekali, tetapi Sin Tjoe lebih pesat pula. Habis menimpuk,
nona ini berlompat maju, guna menyusul, maka
dengan pedangnya, pedang Tjengbeng kiam, dapat ia menikam komandan Gielimkoen it
u.
Tong Soen pun sudah bersedia, menangkis dengan putaran tangannya, untuk merampas
juga pedangnya nona ini, maka itu, keduanya lantas jadi bertempur.
Sambil bertempur, Sin Tjoe tertawa dan berkata: "Entjie Leng, sudah lama kamu be
rpisah dan sekarang setelah bertemu pula, maka kau serahkanlah jahanam ini padak
u!"
"Engko Hok!" berkata Nona Leng tanpa menjawab Sin Tjoe. Tapi belum sempat ia ber
kata lebih jauh, sambil bersenyum Thian Touw sudah kata padanya: "Adik Leng, kau
mengasolah!" Kemudian, menghadapi Seng Lim, ia meneruskan
berkata: "Yap Toako, kau juga beristirahat! Kau serahkan jahanam ini padak
u!"
Kata-kata ini diikuti gerakan tangan dan tubuhnya. Dengan
pedangnya Hok Thian Touw menempel pedang Yang Tjong Hay, maka dengan cepat ia te
lah menggantikan Seng Lim, yang terus mundur tanpa sungkan-sungkan.
In Hong berdiri tercengang, ia kecele berbareng girang.
Kecele karena orang tidak melayaninya atau datang menghampirkan, tetapi ia giran
g dengan ini pertemuan. Dengan begini pun berarti mereka mendapat
pertolongan.
"Ah, engko Hok-ku ini benar-benar seorang ksatriya!" pikirnya
kemudian "Diumpamakan aku, aku juga tentu akan menggantikan dulu toako Sen
g Lim! Urusan
pribadi ada urusan kedua, yang utama ialah urusan negara! Bukankah musuh
dahsyat ada di depan mata? Tapi Yang Tjong Hay ialah salah satu dari empat kiamk
ek terbesar, dapatkah engko Hok melawan dia?..."
Karena ini, ia lantas mengawasi engko-nya itu...
Yang Tjong Hay bertempur tanpa mem-perdulikan siapa
musuhnya. Ia berkelahi makin lama makin hebat. Ia insaf bahwa ia tengah menghada
pi lawan tangguh. Ia pun berlaku cerdik sekali. Ketika ia menggunai tipu silat "
Tiangho lokdjit," atau "Matahari turun di sungai panjang," ia menggunai akal "ko
song ialah berisi, berisi ialah kosong." Sambil mengancam ia menikam
pundak lawannya.
Hok Thian Touw tidak membiarkan dirinya digertak. Ia tidak menangkis atau berkel
it, ia hanya menanti sampai ujung pedang hampir mampir di pundaknya itu, yang me
njadi sasaran. Mendadak saja ia menggeser tubuhnya ke samping seraya pedangnya d
ipakai
membabat lengannya lawan. Itulah tipu silat "Kimpeng tiantjie," atau "Garuda ema
s
mementang sayap."
Yang Tjong Hay menjadi sangat kaget. Kalau ia melanjuti tika-mannya, pastilah le
ngannya bakal terbabat kutung. Inilah ia tidak sangka dari lawannya yang muda it
u. Dengan gesit ia menggeser tubuhnya berikut
tangannya yang ditarik pulang, dengan begitu batallah ia menjadi si tangan kutun
g sebelah!
Habis itu tjongkoan ini berkelahi dengan waspada. Ia menggunai pedang mustika ta
pi ia seperti tidak berdaya, bukan seperti tadi ia merangsak terus-
terusan kepada Yap Seng Lim. Percuma pedangnya itu, yang sekarang hanya dipakai
untuk melindungi diri.
Hok Thian Touw berkelahi dengan keras tetapi tenang. Ia mengendalikan pedangnya
dengan baik sekali. Tidak tampak ia kesusu, tetapi serangannya bagaikan gelomban
g sungai Tiangkang,
saling susul tak hentinya. Beberapa kali Tjong Hay membabat pedangnya lawan itu,
saban-saban percobaannya gagal. Maka itu lama-lama Thian Touw membuat jago ista
na itu menjadi kewalahan.
In Hong menonton dengan heran dan
kagum, dengan kegirangan.
"Aku tidak sangka sekarang ini ilmu silat pedang engko Hok maju begini rupa," ka
tanya dalam hati. "Sekarang aku ingat akan sumpahnya dulu hari ketika kita masih
kecil dan sama-sama belajar di gunung Thian San. Engko Hok telah mengangkat sum
pah bahwa ia hendak mewujudkan cita-cita ayahnya akan membangun suatu partai bar
u dalam ilmu silat pedang. Ketika itu secara main-main aku telah menyindir dia b
ahwa aku pun nanti membangun suatu partai lain. Barusan ia telah melihat pedangk
u kena dibabat musuh, entah dia mentertawai aku atau tidak..."
Ia memandang ujung pedangnya yang terletak di tanah, ia menjadi
malu sendirinya. Tapi, biar bagaimana, ia toh girang. Ia memang seorang nona yan
g beradat tinggi. Ini pun sebabnya di belakang hari, meski ia sudah menikah sama
Thian Touw dan keduanya sangat saling menyinta, karena tabiat berlainan, mereka
tidak dapat hidup berkumpul dengan kekal, hingga kejadian, beberapa puluh tahun
kemudian, ia dapat membangun satu partai silat pedang lainnya... 8) Pertempuran
di antara Sin Tjoe dan Tong Soen juga berjalan tidak kurang hebatnya, Sin Tjoe
telah memperoleh kemajuan pesat selama ia mendampingi gurunya, maka itu dengan i
a pun menggunai pedang pusaka dari Hian Kie Itsoe, ia membuat daya Law Tong Soen
sia-sia belaka dengan ilmu silatnya Hoenkin Tjokoet
Tjioe yang liehay itu. Komandan Gielimkoen ini selanjutnya cuma bisa membela dir
i, tidak mampu dia membuat penyerangan membalas.
Ketika itu obornya tentera negeri terlihat semakin dekat. Mereka itu mendatangi
dari gunung Kouw San. Mereka mulai mendaki Tjiathee Nia. Di lain pihak dari atas
puncak Tjiathee Nia masih saja ada batu-batu gunung yang digulingkan ke bawah.
Itulah tanda, kecuali telah datang bala bantuan dalam dirinya Ie Sin Tjoe dan Ho
k Thian Touw, di sana masih ada kawan-kawannya, bahkan kawan atau kawan-kawan ya
ng liehay sebagaimana dapat dibuktikan dengan dijatuhkannya batu-batu besar itu
tak hentinya.
"Bukankah Thio Tayhiap pun tela da-
tang bersama?" Seng Lim menduga-duga.
Seng Lim ini tidak dapat membantu Thian Touw atau In Hong, ia lebih memerlukan m
eng-hampirkan Tiauw Im Hweeshio. Cuma
sebentar hweeshio itu pingsan, lantas ia mendusin.
Juga Pit Kheng Thian sadar dengan cepat, tetapi dia roboh sebagai kurbannya Law
Tong Soen, setelah mendusin dari pingsannya,
sebagai gantinya, ia merasakan sakit sekali pada tulang-tulangnya dan tenaganya
menjadi habis. Ketika ia membuka kedua
matanya, ia kaget tidak terkira. Ia justeru duduk berhadapan sama Tiauw I m Hwee
shio, mata
siapa yang besar dan tajam diarahkan
kepadanya. Hampir saja semangatnya terbang.
"Hm!" Tiauw Im me-
ngasi dengar suaranya yang seram apabila ia mengenali Kheng Thian. Ia juga menge
pal keras kedua tangannya.
Katanya dengan bengis: "Ini dia yang dibilang, jaring langit pulih, jarang tetap
i tidak bocor! Inilah dia, keadilan Thian! Achir-achirnya kau berada juga di dep
anku!"
Tanpa bangun lagi, hweeshio ini mengirim tinjunya!
"Tahan, soesioktjouw !" berseru Seng Lim mencegah.
Tapi tinju telah di kirim, tidak dapat itu ditarik pulang.
Justeru itu terdengar suara tertawa yang diiringi kata-kata: Soepee, benar-benar
lah kau bertabiat jahe, makin tua makin pedas! Janganlah bergusar karena jahanam
ini!"
Itulah Tan Hong, yang tiba dengan men-
dadak, mulanya cuma terlihat baju putihnya berkibar-kibar.
Tan Hong sampai di antara mereka dengan dua-dua tangannya dikasi bekerja. Tangan
yang kiri menahan tinjunya Tiauw Im, tangan yang lain menekan Kheng Thian. Deng
an begitu bekas toaliongtauw itu jadi ketolongan dari hajaran yang hebat.
"Tan Hong, apakah artinya ini?" menanya itu soepee, sang paman guru.
"Keponakan muridmu hendak berbicara, soepee1." sahut Tan Hong bersenyu
m.
Lantas sepasang matanya yang tajam menyapu Kheng Thian. Ia tertawa ketika ia ber
kata: "Aku mendengar kabar kau hendak meminta peta buminya Pheng Hoosiang dari t
anganku, supaya kau
dapat merampas kera-jaannya si orang she Tjoe, maka itu heran sekali mengapa kau
jadinya begini tidak mempunyai semangat? Bagaimana nanti kau dapat bertemu ayah
mu di alam baka?"
Kheng Thian malu bukan kepalang. Kalau bisa, ingin ia menyelusup masuk ke dalam
tanah. Ia malu berbareng menyesal sekali. Tapi dasarnya bertabiat keras dan kasa
r, dengan mengertak gigi, dengan tawar, ia menyahut: "Setelah segala apa menjadi
begini rupa, tak usahlah itu dibicarakan pula banyak-banyak! Thio Tan Hong, kau
bunuhlah aku dengan pedangmu!"
Tan Hong tertawa melengak. Atau sekejab kemudian, ia memperlihatkan wajah sunggu
h-sungguh.
"Jikalau aku hendak membinasakan kau, tidak usahlah aku menanti sampai hari ini!
" katanya tenang. "Biar bagaimana aku masih ingat baik-baik leluhurmu! Bukankah
kamu keluarga Pit keluarga gagah perkasa turun temurun? Lihatlah
buyutmu Pit Tjeng Tjoan yang telah membangun partai pengemis Kaypang! Tengoklah
kakekmu Pit Leng Hie yang telah membantu Thio Soe Seng mengusir tentera Mongolia
! Yang paling belakang kau ingatlah ayahmu,
Tjinsamkay Pit Too Hoan yang namanya menggetarkan dunia orang gagah, yang dipuji
kaum Rimba Persilatan! Coba kau kenangkan leluhurmu itu, apakah kau tidak meras
a malu dan menyesal?"
Mukanya Kheng Thian menjadi pucat dan padam, mendadak saja ia menangis meng-geru
ng-gerung, kemudian ia berlompat bangun, untuk menub-ruki kepalanya ke batu besa
r di sampingnya!
Tan Hong menyambar tangan orang, untuk ditarik dengan perlahan.
"Di masa kau kecil pernah aku merampas kau, menolongmu dari tangannya tentera
negeri," kata tayhiap ini dengan sabar. 9) "Tapi hari ini kau telah melakukan ke
keliruanmu yang besar sekali. Inilah perbuatanmu, yang kau mesti tanggung sendir
i. Sebenarnya kau tidak seharusnya hidup lebih lama lagi, akan tetapi aku memiki
r lain, meski semestinya kau tidak dapat ditolong lagi, sukalah aku menolong bua
t kedua kalinya. Aku
memandang kakekmu dan ayahmu aku menyayangi ilmu silat kamu kaum keluarga Pit, y
ang mesti mewariskan kaum Kaypang, tidak pantas kepandaianmu itu tumpas bersama
kau! Kali ini aku menolong pula kau dari tangan tentera musuh!"
Mendengar perkataannya Tan Hong itu, Tiauw Im menarik pulang tinjunya. Ia memang
menghargai leluhur keluarga Pit itu, sedang sekarang ia melihat air matanya ini
bekas toaliongtauw yang tersesat. Akan tetapi ia masih sangsi. Maka ia kata pad
a Tan Hong, keponakan muridnya itu: "Dapatkah dia mengubah perbuatannya? Tidakka
h di belakang hari dia berbuat sesat pula?"
"Dia telah mendapat pelajaran, mungkin dia tidak akan terjeblos
pula," menyahut Tan Hong. "Dia pun telah terhajar Hoenkin
Tjokoet Tjioe dari Law Tong Soen, semua dua belas urat nadinya sudah rusak, deng
an begitu habislah sudah semua ilmu silatnya. Selanjutnya ia cuma bisa mengajari
orang ilmu silat dengan petunjuk saja, ia sendiri tidak dapat berkelahi lagi."
Kheng Thian berdiam saja mendengar perkataan Tan Hong itu. Itulah benar. Sudah h
abis semua kepandaiannya itu. Bahkan sekarang ia masih merasakan sangat sakit ak
ibat hajarannya Tong Soen. Ia pun
mengeluarkan keringat yang menetesnya
bagaikan butir-butir mutiara...
Melihat keadaan orang itu, Tan Hong mengeluarkan obat
pelnya yang berwarna hijau.
"Ini obat Siauwyang Siauwhoan Tan buatan-ku sendiri," ia berkata seraya memberik
an satu butir, "obat ini dapat menahan sakitmu
selama tiga hari, maka itu sekarang pergilah kau lari turun gunung, kami nanti m
encegah tentera negeri itu mengejarmu! Kau ambil jalan dari belakang gunung!"
"Baik!" sahut Kheng Thian, yang tetap berkepala besar: "Hari ini aku telah mati
dan hidup pula! Pit Kheng Thian yang kemarin sudah dikubur!"
Ia lantas berlutut dan mengangguk tiga kali kepada Tan Hong, lantas ia memutar t
ubuhnya, untuk lari pergi.
Semua mata mengawasi kepergiannya bekas toaliongtauw itu, mereka
terharu.
Hampir berbareng dengan itu terlihat Siauw Houwtjoe datang sambil lari berjingkr
akan.
"Ada lagi serombongan tentera negeri mendaki gunung!" katanya nyaring. "Soehoe,
apakah soehoe tidak mau pergi membantu soesiok?"
Dengan "soesiok," atau paman guru, Siauw Houwtjoe maksudkan In Tiong. Tan Hong p
un datang bersama saudaranya In Loei itu, yang menjadi iparnya. Dan In Tiong ada
orang yang saban-saban menggulingkan batu besar untuk merintangi
tentera itu, untuk itu ia telah menggunakan tenaga besar dari Taylek Kimkong tji
oe.
Tan Hong tertawa kepada muridnya itu.
"Kau tunggu saja sebentar!" katanya
tenang. "Soetjie-mu dan Hok Toako-mu itu lagi bekerja! Baik kau perhat
ikan ilmu
pedangnya Hok Toako itu!"
Siauw Houwtjoe menurut, ia lantas mengawasi orang yang lagi bertempur itu.
Yang Tjong Hay telah menjadi ciut nyalinya begitu lekas ia tampak munculnya Thio
Tan Hong. Karena itu permainan pedangnya menjadi kacau sendirinya. Sebenarnya i
a sudah lantas memikir untuk mengangkat kaki, maka ia menyesal sekali yang lawan
nya, yaitu Hok Thian Touw, sudah mencegah ia dapat mewujudkan pikirannya itu. Ia
telah didesak hingga ia terus kewalahan. Maka sekarang ia cuma bisa berdaya men
olong
jiwanya.
Thian Touw mende-
sak untuk memegat jalan mundur lawannya itu.
Tan Hong menonton sambil mengangguk-angguk, katanya pada Tiauw I m Hweeshio: "Se
jak sekarang dan selanjutnya maka akan muncul suatu partai ilmu silat pedang yan
g baru!"
"Ilmu pedang entjie Sin Tjoe pun tidak kalah dari ilmunya!" berkata Siauw Houwtj
oe. Bocah ini tetap tidak puas karena pertama kali bertemu sama Thian Touw, dia
kena dipermainkan. Ia pun melihat Tjengbeng kiam digeraki secara sangat liehay o
leh Sin Tjoe. Malah mungkin pertempuran Sin Tjoe dengan Tong Soen lebih menarik
ditonton daripada
petarungan Thian Touw dengan Tjong Hay, karena Tjong Hay tinggal membela
diri
saja.
"Memang juga entjie-mu telah maju sangat pesat," kata Tan Hong kepada muridnya i
tu. "Mengenai Thian Touw, ilmu pedangnya itu terdiri dari banyak partai dan seka
rang ia telah dapat mempersatukannya, maka di belakang hari, aku mungkin tidak d
apat dibandingkan dengannya...
In Hong sementara itu mengawasi terus pertempuran kekasihnya, bahkan ia segera m
elihat Tjong Hay berkelahi dengan beringas sekali, beruntun dia sudah menggunai
dua jurus yang liehay, yaitu "Ombak
kemarahan menggulung mega" dan "Pasir kuning menutupi matahari."
Tan Hong melihat orang berlaku nekat itu, ia tertawa.
"Yang Tjong Hay hendak mengadu
jiwanya, perbuatannya itu mempercepat kekalahannya!" katanya.
Hampir berbareng dengan kata-kata itu, tampak tubuhnya Hok Thian Touw terhuyung,
kakinya menindak ke tengah, ke arah yang dinamakan pintu hongboen," setelah man
a sekonyong-
konyong dia berseru sangat nyaring: "Lepas pedangmu!" Dan
teriakan itu diiringi sama benterokan yang keras dari barang logam, lalu Tjiehon
g kiam, pedang mustika dari istana kaisar, yang dicekal Yang Tjong Hay, mental s
eperti terbang. Belum lagi pedang itu jatuh ke tanah, tubuhnya Thian Touw sudah
mencelat seperti terbang melayang, untuk menangkap itu, hingga pedang itu menjad
i berganti tangan!
Yang Tjong Hay tidak menghiraukan pedangnya itu, justeru pedangnya mental dan la
wannya berlompat akan menyambar itu, ia sendiri pun lompat jumpalitan dengan tip
u silatnya "Burung kapinis membalik badan," dia lompat ke bawah gunung, habis ma
na dia lari ngiprit tanpa memperdulikan lagi Law Tong Soen!
Thio Tan Hong tertawa berkakak.
"Pedang mustika telah bertukar tangan!" katanya nyaring. "Maka itu empat kiamkek
terbesar di kolong langit ini juga telah bertukar orang baru!"
Sin Tjoe mendapat tahu kemenangannya Thian Touw itu, ia menjadi tidak enak hati.
Bukankah ia terus mesti berkutat sama Law Tong Soen? Karena itu, ia lantas meng
ubah cara
bersilatnya, hingga ia membuat tubuhnya seperti terkurung cahaya hijau dari peda
ngnya itu.
Melihat demikian, Tong Soen menjadi bingung. Bagaimana ia bisa melayani terus? T
api dasar ia menang tenaga dalam, ia masih dapat bertahan, saban-saban ia bisa m
enyam-pok mental pedang lawannya itu, sedang di mana ia bisa, ia membalas menyer
ang. Ingin ia membikin si nona tercengkeram nadinya atau tulangnya terpatahkan.
Siauw Houwtjoe menonton sampai habis sabarnya.
"Soetjiel" ia memanggil. "Kau dijuluki Sanhoa Liehiap, kenapa kau tidak hendak m
enggunai kimhoa?"
Bocah ini memperingatkan orang kepada julukannya, "Nona gagah penyebar bunga
,"
supaya dia menggunai kimhoa, bunga emasnya itu.
Belum lagi berhenti suara anak ini atau tangannya Sin Tjoe telah terayun, disusu
l berkilaunya sinar kuning emas. Sebab tiga kuntum bunga emasnya segera ditimpuk
kan!
Law Tong Soen melihat datangnya timpukan senjata rahasia, dia memperlihatkan kel
incahan tubuhnya. Kimhoa yang pertama lewat di samping dadanya, yang kedua kena
ia sampok, sedang yang ketiga ia kasi lewat dengan satu lompatan sambil
mengenjot tubuh.
"Bagus!" berseru Sin Tjoe tertawa dingin. "Aku mau lihat kau dapat berkelit bera
pa lama..."
Lantas ia menimpuk pula, saling susul, karena sekarang ia hendak menggunai tiga
puluh enam kuntum bunga emasnya itu, menyerang ke pelbagai jurusan, tidak ada ke
tentuannya. Bahkan ada bunga yang membentur satu dengan lain hingga menerbitkan
suara nyaring. Meski penyerangan itu
demikian rupa, setiap bunga emas tadi mencari jalan darahnya si lawan.
Menyaksikan itu, diam-diam Tan Hong memuji muridnya itu. Sebab ilmu menimpuk kim
hoa dari Sin Tjoe bukan lagi ilmu melulu pelajarannya In Loei hanya itu sudah ke
campuran dan dibikin menjadi lebih sempurna dengan pelajarannya si orang luar bi
asa dari See Hek, wilayah Barat Hingga ia sebenarnya dapat melebihkan
gurunya...
Law Tong Soen telah mengeluarkan semua
tenaganya, ia telah mempergunakan kelincahannya, tetapi tidak lama, terdengarlah
jeritannya yang hebat. Biar gesit bagaimana juga, dia tidak bisa membebaskan dir
i dari hujan kimhoa itu. Maka segera juga dia kena terhajar dada dan punggungnya
, lutut dan mata kakinya. Itulah yang menyebabkan dia memperdengarkan jeritannya
itu.
"Anak Tjoe, cukup sudah!" Tan Hong menyerukan.
Sin Tjoe berhenti dengan lantas dengan penyerangannya itu, ketika ia memandang T
ong Soen, ia mendapatkan komandan Gielimkoen itu telah mandi darah, sebab semua
bunganya, kecuali dapat menotok jalan darah, lembarannya pun tajam dan bisa melu
kai kulit dan daging.
"Dengan memandang kepada gurumu, aku suka memberi ampun padamu!" berkata Tan Hon
g ke pada komandan itu. "Apakah kau masih tidak mau mengangkat kaki?"
Tanpa membilang suatu apa, Tong Soen ngeloyor pergi dengan tindakan dingkluk-
dingkluk. Dia telah rusak tulang piepee-nya,
terluka dengkulnya dan putus urat nadinya, maka seperti Pit Kheng Thian, dia tel
ah musna semua kepandaian
silatnya. 10)
Ketika itu pasukan serdadu sudah mendatangi dekat, pemimpinnya ialah Poan Thian
Lo. Kakak seperguruan dari Yang Tjong Hay ini membulang-balingkan cambuknya yang
bergigi, untuk memimpin barisannya menyerbu. Ia sendiri maju di muka.
"Dialah seorang kasar!" berkata Tan Hong. "Siauw Houwtjoe, pergi kau gaplok dia
pulang pergi, habis itu kau suruh dia lari kabur!"
Poan Thian Lo dapat mendengar suaranya Tan Hong itu, yang ia kenali baik sekali,
lantas saja nyalinya ciut, tetapi ketika Siauw Houwtjoe datang meng-hampirkan,
untuk menyerang padanya, ia jadi mendongkol dan gusar, tidak menanti sampai kena
digaplok, ia mendahulukan menyapu dengan cambuknya. Ia mengarah pinggang lawan
sebagai sasarannya.
Mendadak, belum lagi cambuknya mengenai musuh, Poan Thian Lo merasakan lengannya
kesemutan, hingga
cambuknya itu tidak dapat digunai lagi, lalu menyusul itu, benar-benar ia digapl
ok pulang
pergi oleh lawannya hingga ada giginya yang copot.
Tempo di tanah suku bangsa Biauw, Siauw Houwtjoe pernah dihina Poan Thian Lo, se
karanglah ketikanya untuk ia membikin pembalasan. Setelah merasa puas, ia memben
tak: "Guruku menitahkan kau lari kabur, kenapa kau masih tidak mau lari?"
Pertanyaan ini dibarengi sama satu gaplokan yang terlebih keras.
Kali ini Poan Thian Lo merasakan sakit yang hebat, benar-benar dia dengar kata,
lantas dia memutar tubuhnya dan lari pergi. Karena mana, ia lantas diikuti pasuk
annya...
Siauw Houwtjoe mengawasi sambil tertawa berkakak.
Sampai di situ, Tan Hong mengajak rombongannya itu pergi
kepada In Tiong. Masih mereka merobohkan beberapa buah pohon, untuk digulingkan
ke bawah, hingga musuh kabur semua. Tanpa pimpinan, tentera itu tidak punya guna
.
"Mari!" kemudian Tan Hong mengajak, untuk berlalu dari belakang gunung.
Tempat itu terpisah hanya kira-kira tiga puluh lie dari Kioekee Sippat kan, yang
menjadi tempat kediamannya Yap Seng Lim. Ketika mereka sampai di Yangbwee ouw,
waktu sudah jam tiga, maka di sini mereka berjalan dengan perlahan-
perlahan.
Selama itu Thian Touw dan In Hong berjalan berendeng, tangan mereka saling berpe
gangan. Mereka bicara dengan asyik tentang perpisahan mereka.
Seng Lim berkumpul sama Sin Tjoe tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memasang
omong, karena ia merasa pikirannya
kacau. Tempo si nona hendak menanyakan keadaannya selama di Toenkee, mendadak ia
menanya: "Apakah kau ketahui di mana adanya Keng Sim sekarang?"
Ditanya begitu, si nona mengerutkan alis.
"Baru kita bertemu, kau justeru menyebut-nyebut dia, sungguh menyebalkan!" kata
si nona masgul, hatinya, mendelu.
Seng Lim heran hingga dia tercengang.
"Kalau bukan karena Keng Sim itu, aku dan entjie In Hong tidak akan bertemu pula
denganmu..." katanya perlahan. Lantas ia ceritakan bahaya yang mengancamnya sam
pai Keng Sim datang meno-
long, untuk mana Keng Sim itu mengurbankan dirinya.
Mendengar itu, Sin Tjoe melengak.
"Aku tidak menyangka dia dapat berbuat demikian rupa!" katanya sesaat kemudian.
"Ah, kalau begitu, dia masih mirip dengan seorang manusia! Sebenarnya aku memand
ang dia sudah mati, tetapi sekarang aku mengharap dia masih hidup..."
Seng Lim heran untuk perkataannya nona ini. Mulanya ia menerka si nona akan memu
ji tinggi-tinggi pemuda itu.
"Ketika di Hangtjioe..." kata pula Sin Tjoe perlahan, sehabis-nya dia menghela n
apas.
Tiba-tiba Tan Hong menyelak: "Kalau orang dapat memperbaiki kesalahannya, kalau
dia baru sekali salah tindak saja, baiklah soalnya jangan ditimbulkan
pula... Eh, Seng Lim, benar-benarkah kau hendak menemui Keng Sim?"
Mendengar pertanyaan paman gurunya itu, Seng Lim mendadak menjadi girang.
"Soesiok, tahukah kau di mana adanya dia sekarang?" ia menanya, cepat.
Tan Hong tertawa.
"Malam ini pergilah kamu tidur dengan nyenyak, besok akan aku ajak kamu pergi me
nemui dia," sahutnya.
Seng Lim menjadi bertambah girang. Sin Tjoe sebaliknya heran, tak tahulah ia, gu
runya mempunyai kepandaian mujijad apa. Tapi ia percaya betul gurunya itu, maka
ia percaya juga besok tentulah mereka akan melihat Keng Sim.
Sin Tjoe tidur bersama In Hong, maka banyaklah yang mereka
bicarakan. In Hong jadi mengetahui segala
halnya Thian Touw, bahkan paling belakang Thian Touw sudah memperoleh petunjuk p
enting dari Tan Hong tentang ilmu silat pedang. Ketika ia mendengar cerita halny
a Keng Sim membuka rahasia militer, ia mencaci pemuda itu untuk ketololannya. Se
telah itu, ia tertawa.
"Keng Sim memperoleh pelajaran, inilah bukan tak ada faedahnya untuknya," katany
a. "Karena insaf akan kesalahannya itu, dia telah menolong tentera rakyat, perto
longannya itu membuat orang berterima kasih kepadanya. Benarlah kata Thio Tayhia
p, bagus kalau orang bersalah dan dapat memperbaikinya, bahwa kesalahan itu tak
usahlah disebut-sebut pula. Ya, aku,
lihat dia baik sekali sama kau, adikku..."
Sin Tjoe menghela napas.
"Soehoe cuma bermaksud menyembunyikan keburukan untuk menyiarkan kebaikan," kata
nya. "Menurut
penglihatanku, orang semacam Keng Sim itu tidak dapat diperbaiki cuma dengan sat
u atau dua kali pengajaran saja. Aku merasa dialah bukannya orang yang termasuk
dalam golongan kita. Kali ini pun ia berbuat keliru bukannya tanpa di sengaja."
Demikian keduanya pasang omong, sampai mereka sudah letih betul barulah mereka t
idur pulas. Ketika besoknya pagi mereka mendusin, mereka
dengar suara Siauw Houwtjoe, yang kemudian ternyata sedang asyik pasang omong de
ngan Bhok Lin.
"Entjie Sin Tjoe, benar-benar kau di sini!" berkata Bhok Lin melihat Nona Ie. "K
au lihat, bukankah aku telah jadi lebih tinggi?"
Tapi Sin Tjoe heran
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya. "Mana entjie-mu?"
"i Entjie lagi menantikan kau", jawab Bhok Lin, "hanya soehoe menitahkan aku unt
uk mengajak dulu kau menemui Keng Sim."
"Apa? Kau yang akan mengajak aku menemui Keng Sim?" si nona tanya.
Belum lagi Bhok Lin menyahut, Tan Hong sudah muncul. Guru ini tertawa dan ia kat
a: "Nah, Sin Tjoe, bukankah aku tidak memperdayakan kau? Aku bilang hari ini kau
bakal bertemu sama Keng Sim dan benar-benar kau bakal bertemu dengannya!"
Sin Tjoe benar-benar heran akan tetapi lekas juga ia menjadi mengerti.
Bhok Kongya melihat Keng Sim pergi lama sekali, hatinya menjadi tidak tenteram,
maka itu ia telah mengutus pula lain wakilnya ke kota raja, untuk menyampaikan k
epada raja bahwa Keng Sim itu membantu banyak
padanya mengurus
wilayah Tali hingga kekacauan jadi tidak meluas, karena mana ia mengusulkan agar
Keng Sim itu diangkat menjadi pembantunya dengan pangkat tjhamkoen.
Berhubung ayahnya hendak mengirim utusan itu, Bhok Yan dan Bhok Lin menyatakan s
uka turut bersama. Permintaan mereka ini diluluskan.
Segera juga di dapat keterangan bahwa Tiat
Keng Sim telah ditahan di Hangtjioe. Untuk menolong, utusan Bhok Kokkong
itu lantas minta bantuan menteri sahabatnya hertog itu untuk m
embela Keng Sim, supaya anak muda itu dibebaskan. Ketika itu laporan dari
Soenboe Thio Kie belum sampai di kota raja, maka juga Tayhaksoe Y o Soan,
yang menjadi sanaknya Thio Kie itu dan sahabat kekal dari Bhok Kokk
ong, lantas bertindak. Usul kepada raja segera disampaikan, di lain
pihak laporannya Thio Kie terus dibekap. Kepada Thio Kie dituliska
n surat oleh Yo Soan supaya soenboe itu suka memberi muka kepada Bhok Kokkong. T
hio Kie dapat diajak bekerja sama, dari itu Keng Sim dipindahkan tem
pat tahanannya dan diperlakukan baik sekali. Thio Tan Hong ber-
kuping terang, begitu ia sampai di Hangtjioe lantas ia mendapat tahu hal ichwaln
ya Keng Sim itu. Ketika Bhok Yan dan Bhok Lin pun tiba di Hangtjioe, ia mengetah
ui segala apa terlebih jelas. Katanya raja bakal mengutus utusannya Bhok Kokkong
guna menyambut Keng Sim itu.
Dua saudara Bhok itu tinggal di dalam gedung soenboe, secara diam-diam Tan Hong
pergi menemui mereka. Tentu sekali, Sin Tjoe tidak mengetahui sepak terjang guru
nya itu.
Pada mulanya, Keng Sim sendiri gelap tentang duduknya perkara. Ia telah ditahan
di menara Liok Hap Tah, lalu pada suatu hari datang orangnya soenboe, ialah tieh
oe dari Hangtjioe, yang menyambut ia dan mengajak ia pindah ke
sebuah balai istirahat di tepinya sungai
Tjiantong. Di sini ia dapat makan dan pakai baik sekali, perlayanan sangat manis
. Ia heran, ia minta keterangan pada tiehoe tetapi tiehoe menganjurkan ia tingga
l saja dengan tenang. Pula di sini Keng Sim merdeka, kalau ia mau, ia bisa mingg
at, tetapi karena ingat kepada ayahnya, ia tidak mau buron. Di lain pihak sudah
bulat tekadnya untuk
berkurban untuk Sin Tjoe. Maka dalam herannya dan masgul itu, tenang-tenang saja
ia tinggal di tempat kediamannya ini.
Pada suatu hari Keng Sim mendusin pagi-pagi. Ia telah menghitung tanggal dan tah
ulah ia bahwa ia sudah tinggal di gedung itu lima hari. Sama sekali ia tidak men
erima
kabar apa juga, ia menjadi tidak sabaran. Ia muncul di lauwteng dan memandang ja
uh, melihat pemandangan alam yang indah, tetapi tetap ia merasakan sepi. Karena
ini, pikirannya jadi bekerja. Ia ingat Sin Tjoe, ia ingat juga sikap Nona Ie itu
.
"Aku baik dengannya, untuknya aku melakukan segala apa, tapi tahukah dia hatiku
itu?" ia ngelamun. "Apa mungkin aku bakal tak bertemu pula dengannya, putus perh
ubungan kita berdua?"
Pemuda ini merasakan pasti, kalau nanti tiba firman raja, habis sudah lelakon hi
dupnya. Ia mengharap raja ingat jasa ayahnya dan akan meringankan hukumannya, te
tapi ia, menginsafi juga kedosaannya yang besar sekali itu, maka lenyap pula har
apannya.
Tengah ia melamun itu, Keng Sim
mendengar tindakan kaki perlahan di tangga lauwteng. Dengan lantas ia berpaling,
sedang kupingnya segera mendengar suara panggilan yang halus: "Keng Sim..." Itu
lah suara yang ia kenal baik maka juga hatinya berde-nyutan. Hampir ia tidak mau
percaya kupingnya sendiri. Selang sesaat barulah hatinya menjadi tenang dan ia
menyahut: "Sin Tjoe! Bagaimana kau dapat datang ke mari?"
Nona Ie muncul untuk lantas berkata: "Yap Seng Lim telah menuturka
n aku segala apa mengenai kau..."
Sepasang alisnya anak muda itu bergerak.
"Apakah dia telah menuturkan bagaimana aku berkurban untuk membebaskan dia dari
mara bahaya?" ia mena-
nya.
"Dia menuturkan semua tanpa ada yang lolos. Sebaliknya aku, aku menutupi perbuat
anmu selama di Hangtjioe. Mereka sangat berterima kasih kepadamu."
"Hm!" Keng Sim tertawa. Lalu ia menambahkan: "Kalau bukan untukmu, Sin Tjoe, tak
sudi aku memperdulikan dia. Sin Tjoe, suratmu itu mencaci aku hebat sekali. Sek
arang, kau tentunya telah melihat jelas aku ini orang macam apa!"
"Memang, sekarang aku telah melihat jelas," berkata si nona.
"Kau takut aku tidak memandang mata
padamu, kau kuatir dunia nanti menterta-waimu dan mengatakan kau sudah menjual s
ahabat, maka itu, kau mencoba melakukan satu perbuatan bagus.
Kau rada tolol tetapi kau pun masih insaf."
Mendengar itu, Keng Sim menjadi tidak puas.
"Cuma sebegitu saja?" katanya, hatinya panas.
Sin Tjoe tertawa.
"Apakah kau ingin aku memuji kau sebagai seorang gagah perkasa satu-satunya, di
jaman dulu dan di jaman sekarang juga?" ia membaliki.
"Oh, tidak, tidak!" kata Keng Sim, tertawa dingin. Bangkit pula keangkuhannya. "
Pasti aku bukannya si orang gagah perkasa. Tapi Seng Lim itu, tanpa aku, dia pas
ti telah ditawan tentera negeri, dan tentu sekali yang ditahan sekarang ini buka
nnya aku hanya dia!"
Sin Tjoe mengerutkan alisnya.
"Jikalau bukannya kau berbuat demikian, apa kau sangka aku
sekarang masih memandang kau sebagai satu manusia?" katanya. "Jikalau kau tidak
membocorkan rahasia tentera rakyat, mereka pasti tidak bakal runtuh seperti seka
rang ini! Keng Sim, seorang angkuh juga mesti menegur dirinya sendiri!"
Parasnya Keng Sim menjadi pucat. Tidak ia sangka, si nona datang bukan untuk men
gutarakan rasa syukurnya hanya justeru untuk menegur padanya!
Untuk sejenak, keduanya berdiam.
"Mustahilkah mereka itu sekawanan gerombolan, telah menjadi begini rupa karena a
ku satu orang?" kemudian Keng Sim berkata pula. Ia tertawa dingin.
"Tentu sekali bukan disebabkan perbuatan kau seorang!" sahut si nona. "Hanya per
buatanmu membocorkan
rahasia itu membantu tentera negeri menjo-roki mereka kecemplung ke dalam sumur
di saat mereka menghadapi bahaya!"
Pemuda itu penasaran.
"Aku lakukan semua itu untuk kau!" katanya sengit. "Sekarang ini aku tidak tahu
jiwaku tinggal berapa hari lagi, tetapi sekarang kau datang, di saat kematianku
ini, untuk menegur aku!"
Sebaliknya dari gusar, Sin Tjoe bersenyum.
"Keng Sim," katanya, "aku hendak berbuat baik untukmu, sayang kau tidak tahu. Ta
pi, tenangkanlah dirimu, kau tidak bakal mati, bahkan sebaliknya, kau bakal dapa
t pangkat besar! Inilah kabar baik yang didapat guruku! Kau tunggu sedikit waktu
lagi, nanti ada orang yang datang
menyambut kau!"
Keng Sim mau percaya itu, ia girang, tetapi ia menguasai dirinya. Ia masih henda
k mencoba, untuk kali yang terachir, guna merebut hatinya si nona. Maka ia mengh
ela napas.
"Biar umpama kata kabarmu ini benar dan aku tidak bakalan mati," katanya, "toh s
egala apa telah menjadi terang, untukmu, aku tidak takut mati!"
"Itulah sebabnya maka sekarang aku menjenguk kau," bilang si nona. "Ah, Keng Sim
, kau harus dikasihani, masih kau tidak mengerti. Coba aku mengangkat kau,
mengumpak-umpakmu setinggi langit, mungkin kau jadi masgul karenanya... Keng Sim
, aku lihat, kita bukanlah orang dari satu golongan..."
Keng Sim menghela napas.
"Benar-benar aku tidak mengerti!" ujarnya. "Sin Tjoe, setiap kali aku melihat ka
u, kau agaknya semakin berubah! Makin lama aku jadi makin tidak mengerti, makin
lama kau membuat aku merasa bahwa kau makin asing bagiku!..."
Sin Tjoe mengawasi pemuda itu, kemudian ia memandang ke luar lauwteng.
"Sin Tjoe, ingatkah kau ketika kita sama-sama berada di sungai Tiangkang?" Keng
Sim tanya "Bukankah itu waktu terlihat gelombang itu yang seperti mengejar burun
g walet?"
Memang, jauh di depan mereka tampak sungai Tjiantong berombak, di sana ada beter
bangan beberapa ekor burung laut.
Sin Tjoe mengang-
guk.
"Benar," sahutnya. "Memang sungai Tjian-tong ini bukannya sungai Tiangkang tetap
i dua-duanya sama-sama mengalir ke laut."
Keng Sim masgul. Tidak dapat ia menjajaki hati si nona.
"Ya," katanya kemudian, kembali ia menghela napas, "hari-hari yang telah lalu mi
rip dengan air sungai, sesudah mengalir lewat lalu tidak kembali lagi. Sin Tjoe,
benar-benar aku tidak mengerti kenapa kau makin lama terpisah makin jauh dari a
ku?..."
Nona Ie tertawa, tertawa sedih.
"Kau lihat di sana!" katanya kemudian,
tiba-tiba. "Orang yang mengerti kau telah datang! Aku mesti pergi sekarang."
Keng Sim heran hingga ia melengak,
tetapi hanya sejenak, segera ia menoleh.
Di sana, di tangga, tampak Bhok Yan berlari-lari naik, wajahnya tersungging seny
uman. Lantas saja nona itu menghadapi Keng Sim dan berkata dengan gembira: "Ya,
pemandangan di sini benar indah! Cuma, kalau dibandingkan sama
musim semi di Koen-beng, di sana masih terlebih indah! Sekarang ini bunga toh, b
ung lie, juga bunga kupu-kupu, tentu sedang pada mekarnya! Eh, Keng Sim, ayahku
telah menanggungkan dirimu! Utusan, yang membawa firman raja, bakal lekas tiba,
maka sebentar lagi kita, kau dan aku, bisa lantas berangkat ke Koenbeng! Oh, Non
a Ie, soehoe bersama Yap Toako ada di bawah! Eh, eh, apakah kau tidak mau berdia
m lebih
lama di sini, kau hendak pergi turun?"
Baru sekarang ia menegur Sin Tjoe.
Nona Ie tertawa.
"Baiklah kamu berdua kumpul di sini mengicipi keindahan sang bunga, aku tidak ma
u meng-gerecoki kamu!" sahutnya. "Lihat taman itu, di sana ada kedapatan segala
macam pohon bunga, cuma sayang tidak ada pohon taytjeng..."
Ia lantas turun di tangga lauwteng.
Keng Sim mengawasi hingga ke bawah lauwteng, di mana, di bawahnya sebuah
pohon besar, terlihat Seng Lim lagi berdiri seraya tangannya
menggapai ke arahnya. Tiba-tiba hatinya
mencelos. Sebenarnya ia hendak lari menyusul nona itu, atau suara tertawa yang h
alus dan manis dari Bhok Yan
mencegah ia...
Nona Bhok lantas berceritera, menuturkan semua dengan jelas. Maka sekarang, baga
ikan orang baru sadar dari mimpinya, Keng Sim mengerti segala apa. Pantas ia dip
indahkan ke tempat ini dan diperlakukan baik sekali.
"Bagaimana dengan ayahku?" kemudian ia tanya.
"Ayahku ketahui ayahmu pintar, maka ia pun diminta supaya dipindah ke Koenbeng,"
jawab si nona.
Keng Sim jadi sangat bersyukur. Hatinya pun lega.
"Aku tidak sangka keluarga Bhok menghargai aku..." katanya di dalam hati. "Achir
-achirnya toh ada juga orang yang mengenal aku..."
Bhok Yan memandang sekeliling kamar.
Keng Sim bagaikan melamun memandang Seng Lim dan Sin Tjoe berjalan bergandengan,
meninggalkan taman. Tiba-tiba terdengar suara Bhok Yan disampingnya.
"Ah, barang-barangmu kalut sekali!" katanya bersenyum. "Kita bakal lekas berangk
at, mari aku benahkan!"
Ia mengajak anak muda itu masuk ke dalam kamar, untuk bekerja.
"Mereka itu ada di bawah, apakah kau tidak mau turun untuk menemui mereka?"
kemudian tanya si nona.
Keng Sim mengangguk, lantas ia bertindak keluar.
Justeru di saat itu terdengar suara nyaring dari Bhok Lin: "i Entjie, lekas kau
memberi selamat kepada entjie Sin Tjoe! Kita semua bakal lekas minum arak kegira
ngannya!"
Bocah ini baru saja mendengar dari Siauw Houwtjoe bahwa Tan Hong telah meregoki
jodohnya Sin Tjoe dengan Seng Lim. Sebenarnya dia rada
kecewa tetapi toh dia gembira sekali.
Mendengar itu, Bhok Yan tertawa.
"Benarkah itu?" tanyanya.
Sin Tjoe, yang berada di antara mereka, lantas memegat.
"Kau jangan dengari ocehannya si setan cilik! Eh, Bhok Lin, baiklah kau minum du
lu arak kegirangannya entjie-mu\ Eh, kamu tak usah turun, aku hendak pergi kepad
a guruku!"
Keng Sim berdiam, pikirannya kusut. Ia melihat Sin Tjoe, dengan berendeng
sama Seng Lim, bertindak keluar dari taman. Mereka itu mengulapkan tangan kepada
nya.
Selagi pemuda ini masih berdiam, ia dengar suaranya Bhok Yan: "Semua telah aku b
ereskan, mari kita juga pergi!"
CATATAN
6. hal 553, Tamtay Biat Beng dulunya adalah seorang jendral bawahan ayah Thio Ta
n Hong, kisahnya dapat dibaca dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
7. hal 753, Kisah tentang Gak Beng Kie atau Hui Bing Siansoe dapat diikuti di ce
rita Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Chau Guan Enghiong (Pahlawan Padang Rumput) da
n Thian San Tjitkiam.
8. hal 792, Bibit-bibit perpecahan Leng In Hong dan Hok Thian Touw mulai muncul
dalam kisah Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu), setelah itu mereka be
nar-benar berpisah dan mendirikan aliran masing-masing, kisah selengkapnya dapat
diikuti dalam Lian Kiam Hong In, Giok Lo Sat, Pek Hoat Molie, Chau Guan Enghion
g dan Thian San Tjitkiam.
9. hal 794, Diceritakan dalam Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan), bagian aw
al, ketika Thio Tan Hong hendak dikerubut orang banyak di rumah Tjinsamkay Pit T
o Hoan, lalu rumah tsb diserbu pasukan pemerintah yang dipimpin Thio Hong Hoe (a
yah Siauw Houwtjoe).
10.hal 798, Law Tong Soen ternyata bernasib baik, cacatnya berhasil disembuh
kan oleh gurunya
dalam beberapa tahun, sehingga ilmu silatnya dapat kembali pulih dan melakukan k
ejahatan lagi, tokoh ini muncul kembali dalam kisah selanjutnya, Lian Kiam Hong
In (Kisah Pedang Bersatu Padu).
Cuplikan bagian awal Lian Kiam Hong In {Kisah Pedang Bersatu Padu)
Itulah kira-kira jam tiga pagi ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke ar
ah barat, masih menyinari sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela
hijau dan pintu-pintu merah indah. Sang malam pun sunyi sekali. Gedung itu yalah
jang dikenal sebagai Koenmahoe, gedung menantu Bhok Kokkong.
Malam sudah larut demikian rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu
, di atas lauwteng, ada seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan emdash sambi
l menyender kepada loneng emdash tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirann
ya bergelombang.
Siapakah dia?
Tak lain tak bukan, dialah Koenma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong emdash y
alah Tiat Keng Sim.
emdash bagian ini dipotong
Demikianlah seorang diri itu, di malam yang indah tetapi sunyi itu, ia seperti m
enggadangi si Puteri Malam. Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil menghela
napas, ia berkata seorang diri: "Dengan tahun ini maka sudah tujuh musim semi ak
u lalui di dalam istana Koenmahoe ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali membuat
syair dan karangan, ada
apakah lagi?"
Maka terkenanglah ia kepada masanya ia masih merdeka, bagaimana ia mundar-mandir
dalam dunia kangouw, bagaimana itu menggembirakannya.
IKUTI KISAH SELANJUTNYA:
LIAN KIAM HONG IN KISAH PEDANG BERSATU PADU
karya OKT
Bagaimana kelanjutan kisah Ie Sin Tjoe, Vap Seng Lim, Siauw Houwtjoe (Thio Giok
Houw), Tiat Keng Sim dan Pit Keng Thian?
Thio Tan Hong mendapat musuh paling tangguh dalam seumur hidupnya, yaitu Kiauw P
ak Beng, dengan ilmunya Sioelo Im Sat Kang. Bagaimana akhirnya?
Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) menceritakan beberapa hal yang aka
n muncul kembali di serial Thian San lainnya, yaitu Perjodohan Busur Kumala. Beb
erapa hal tsb adalah Kiauw Pak Beng, Le Khong Tian, ilmu Sioelo Im Sat Kang, kit
ab Pek Tok Tjinkeng.
Wastu Lanas Grafika - Surabaya
Telah Terbit
Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) Peng Tjhong Hiap Eng (Dua Musuh Tur
unan)
Akan Terbit
See Yoe (Perjalanan Ke Barat) Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu) Hiat
Hay Tjie Kioe
Panca Satva - Semarang Telah Terbit
Thian San Tjhit Kiam (Tujuh Pendekar dari Thian San) Sam Po Tju (Tiga Mutiara Me
stika) Chau Guan Eng Hiong (Pahlawan Padang Rumput) Pak Yu
Dapat diperoleh di:
* Ding Tjahyono *
031-60102638 - 0816523857 TP III Lt. Ill (Depan Manly International)
* Wastu Lanas Grafika *
Gayungsari Timur III Blok MGI No. 22 031-8291398
* Toko Duku Toga Mas *
Surabaya - Malang - Semarang - Yogyakarta - Jember

Anda mungkin juga menyukai