Istana Hantu
Seri 2 Pendekar Lengan Buntung
Jilid 1
EJAUH MATA memandang, hanya nampak lautan luas membentang biru
berombak-ombak kecil oleh hembusan angin kering yang menghempas
pantai. Ujung langit yang berwarna kelabu melengkung menyeruak masuk
ke dalam hamparan gelombang membiru di ujung laut jauh di sebelah sana merupakan
payung raksasa yang melingkupi batas-batas laut Po-hay. Sementara di sekeliling
pantai hanyalah batu karang melulu yang menjulang tinggi menerima hamparan ombak
yang menjerit-jerit, merupakan nyanyian abadi yang tak kunjung henti.
Angin kering mengusap permukaan laut biru membuat tarian kecil mengombak
memecah pantai. Beberapa burung camar beterbangan di atasnya, merupakan titik-titik
hitam yang kemudian lenyap dari pandangan mata. Suasana di tempat ini demikian
hening, hanya terdengar suara angin membelai punggung laut dan menghempasnya
ke sebuah batu karang hitam menimbulkan suara air yang mengercak dan mengalir
kembali ke tengah lautan.
Di tepi pantai itu, matahari memandang dengan ganasnya. Mengusap pasir putih
berkilau cahaya perak yang memantul ke atas dalam bayang-bayang air biru. Pada
ketika itu ketenangan air bergelombang kecil oleh sepasang kaki manusia yang berjalan
perlahan di tepi pantai.
Tapak-tapak bekas kaki membekas pada pasir putih, sementara usapan matahari
pada punggung ke dua manusia itu membuat bayangan yang bergerak lambat di atas
pasir. Dua sosok tubuh manusia, seorang wanita muda cantik dan seorang pemuda
tampan yang buntung lengan kanannya.
Mereka berjalan amat perlahan dan sukar sekali. Si gadis memapah tubuh si
pemuda lengan buntung, setengah memeluknya. Sementara isak tertahan dari gadis itu
merupakan irama memilukan hati bagi siapa saja yang mendengar keluhannya.
ana, tidak jauh
panah.
Amat menyeramkan sekali keadaan pemuda lengan buntung ini. Seluruh bajunya
yang putih sudah penuh dengan bekas-bekas darah merah. Tiga batang anak panah
masih menancap di dada dan punggungnya. Wajahnya amat pucat dan kelihatannya
sudah begitu lemah.
Pei Pei menarik tangan Tiang Le. Pemuda itu agak sedikit limbung berjalan
terhuyung dalam tarikan tangan si gadis.
- g Le menyebut nama si gadis dengan panggilan mesra.
Dan Pei Pei menoleh. Seberkas senyum di balik air mata yang berderai-derai
menghias wajahnya. Senyum itu menandakan kepiluan hati. Tidak berkata apa-apa
gadis itu, hanya tangannya saja meraih tangan Tiang Le dan memapahnya sampai ke
depan gua di depannya.
Goa batu karang hitam. Di sinilah Pei Pei memapah tubuh Tiang Le masuk ke dalam
goa. Baru di tempat inilah, ia merasakan tubuhnya menjadi kaku-kaku dan nyeri pada
dada dan punggung. Tiba-tiba pemuda itu menjerit dan tubuhnya terhuyung roboh
dalam pelukan si gadis. Di dalam goa batu karang ini, pemuda itu pingsan lagi!
Pei Pei terisak. Akan tetapi, setelah sampai di tempat ini hatinya menjadi lega,
Pikirannya bekerja. Kemudian tangan halus yang cekatan itu mulai bekerja merawat
luka Tiang Le yang cukup parah ini.
Di bagian lain, masih dalam lingkungan laut Po-hay berpuluh-puluh mayat manusia
menggeletak di atas sebuah tebing batu karang yang amat tinggi. Mayat-mayat itu
masih hangat. Baru tadi siang terjadinya pembunuhan besar-besaran ini.
Pada bagian terakhir cerita Pendekar Lengan Buntung, pemuda yang bernama Sung
Tiang Le itu mengamuk, menghancurkan banyak perwira Mongol dan membunuh habis
semua pengemis-pengemis Hwa-ie-kay-pang, Hek-lian-pay dan gadis-gadis Sian-li-pay,
murid-murid Bu-tek Sianli yang jahat dan licik ini!
Sebetulnya, pemuda lengan buntung Sung Tiang Le bukanlah seorang pemuda yang
berhati kejam dan telengas, sehingga membunuh begitu banyak manusia. Akan tetapi,
karena pemuda itu dikeroyok banyak sekali oleh pasukan Mongol dan para sekutu Bu-
tek Sianli, tiada jalan lain baginya untuk meloloskan diri dan menyelamatkan Pei Pei
yang ditawan oleh nenek Bu-tek Sianli!
Sepak terjang pemuda lengan buntung ini, mengemparkan tokoh dunia persilatan.
Belum lama pemuda itu, dalam keadaan terluka meninggalkan tebing curam dan
berjalan dengan terhuyung-huyung dalam papahan Pei Pei, muncul banyak tokoh-tokoh
kang-ouw ke tempat itu. Dan alangkah kagetnya mereka karena semua murid nenek
Bu-tek Sianli yang cantik-cantik itu telah kedapatan mati dan banyak lagi ditemui
pengemis-pengemis Hwa-ie-kay-pang dan ratusan tentara Mongol yang sudah
menggeletak dalam keadaan sudah tak bernapas lagi!
Tentu saja, sebagai orang gagah dan mempunyai rasa kasihan dan
berperikemanusiaan, mereka itu lalu mengubur mayat-mayat yang bergelimpangan di
Pulau Bidadari! Tak terkecuali tentara Mongol sekalipun!
Sejak kejadian itu, nama pemuda lengan buntung menanjak tinggi, sederet dengan
tokoh-tokoh kang-ouw lainnya.
ooOOoo
Jauh di bawah tebing batu karang yang curam, air laut mengericak memberi irama
pada gelombang-gelombang tipis. Sesosok tubuh manusia terapung-apung di
permukaan air. Seorang gadis yang tengah pingsan dalam pelukan pada sebilah balok
kayu yang mengambang. Gadis itu masih muda belia dan berusia sekitar duapuluh
tahunan.
Pakaian dan rambutnya yang panjang sudah basah kuyup tersiram air laut yang
menggelepar-gelepar memukul batu karang hitam yang menjulang tinggi. Perlahan-
lahan balok kayu itu terdampar oleh ombak ke pinggir, membentur batu karang.
Sedikit agak keras benturan itu sehingga menyadarkan si gadis dari pingsannya. Ia
agak terkejut sekali begitu melihat ke atas, pertama-tama dilihatnya langit luas
membentang di atasnya dan di sampingnya terhampar lautan luas bergelombang-
gelombang kecil menakutkan. Suara gemuruh itu adalah suara air laut yang
bergelombang dari tengah lautan dan menghempas ke pantai. Untuk sesaat lamanya,
teringatlah ia, bahwa dirinya bukanlah berada di alam neraka yang semula diingatnya!
Ia kini berada di pantai laut Po-hay. Tebing tinggi di sana itu mengingatkan dia dari
kejadian-kejadian yang belum lama ini dialami. Ia sadar. Ia telah jatuh dari atas tebing
batu karang itu dan rupanya balok kayu inilah yang menyelamatkan dirinya, sehingga
ia tidak terbawa hanyut ke tengah lautan.
Memang pada saat itu laut sedang pasang, ombak menghempas pantai merupakan
jeritan yang menakutkan. Ia sudah selamat kini, walaupun dirasakannya badannya
terasa sakit bukan main! Akan tetapi, apabila pikirannya teringat kepada kejadian-
kejadian di atas tebing sana itu, segera ia berjalan perlahan. Kedua lututnya terasa
lemah sekali. Pakaiannya basah kuyup, akan tetapi ia tak memperdulikan. Ia terus
berjalan terhuyung-huyung menaiki tebing di sebelah sana itu?
Akan tetapi apa yang didapatinya di sebelah sana itu? Oh, hanya puluhan gundukan
tanah yang merupakan kuburan manusia yang masih baru. Mungkinkah Tiang Le juga
sudah berdiam di dalam kuburan itu, sudah binasakah Tiang Le?
Betapa cemas hati gadis itu kini. Matanya memandang jauh ke bawah, mata itu
kemudian menjadi basah. Teringat ia kepada Tiang Le. Entah bagaimana nasib pemuda
malang itu, mudah-mudahan ia selamat, mudah-mudahan yang di dalam kuburan itu
bukan Tiang Le di antaranya!
Sambil mengusap air matanya yang sudah mengering, karena terus-terusan
menangis. Akhirnya gadis itu berjalan meninggalkan tebing. Tertunduk lunglai!
-
dalam hati. Sementara pakaiannya yang tadi basah kini sudah mengering.
Baru sekarang dirasakan perutnya begini lapar, baru sekarang ia merasakan
dahaga yang mengeringkan tenggorokannya. Pandangannya nanar terlempar jauh ke
tengah lautan luas. Akhirnya, saking lelahnya, dia, gadis itu menjatuhkan tubuhnya.
Terduduk di atas batu karang yang hitam. Tenggelam dalam berbagai macam perasaan
yang berkecamuk di dalam hatinya.
Siapakah gadis itu?
Dalam cerita Pendekar Lengan Buntung telah diceritakan betapa gadis yang
bernama Bwe Lan ini terjungkal dari tebing yang amat curam oleh pukulan Bu-tek Sianli
yang telah berlaku curang telah membokongnya. Dan saking hebatnya pukulan Bu-tek
Sianli yang menggunakan Pukulan Dewa Tanpa Tandingan membuat gadis itu
terjungkal dari atas tebing dan disambut oleh air laut di bawah yang bergelombang
memecah batu karang.
Untunglah pada saat tubuhnya melayang itu Bwe Lan tidak begitu gugup dan
segera ia menggunakan gin-kangnya mencelat ke samping untuk menghindarkan
tubuhnya menimpah batu karang, dan tubuhnya itu terbanting ke dalam lautan. Untuk
beberapa saat gadis itu gelagapan juga waktu tubuhnya terus meluncur ke dalam laut.
Cepat Bwe Lan menggerak-gerakkan tangannya dan secara kebetulan sekali,
tangan itu mendapat pegangan sebatang balok. Cepat ia memeluk balok itu dan tanpa
disadarinya, ia telah menjadi pingsan dalam ke dua tangan memeluk balok yang
diombang-ambingkan oleh ombak yang datang dari tengah itu.
Apabila matahari telah naik tinggi, Bwe Lan bangkit dari duduknya. Sekali lagi ia
memandang ke arah lautan Po-hay yang membentang luas. Kemudian pandangannya
menyusuri gundukan tanah yang banyak di tempat itu.
Hatinya perih sekali, jangan-jangan Tiang Le sudah mati dan dikubur pula di tempat
itu? Ditekannya perasaan yang bukan-bukan itu. Diyakinkan hatinya bahwa Tiang Le
belum mati. Tak boleh ini terjadi, pikirnya!
Apabila ia memandang ke atas, matahari memandang kepadanya dengan ganas
sekali. Dan dengan hati yang tidak keruan rasa, gadis yang bernama Liang Bwe Lan itu
kemudian meninggalkan tempat itu, berjalan tergontai-gontai.
Jalannya tertunduk! Menyusuri laut Po-hay, melewati batu-batu karang yang
menjulang tinggi. Banyak goa-goa yang terbuat dari batu karang di sepanjang pesisir
laut itu. Akan tetapi, gadis itu tak memperdulikan semuanya. Tak perduli lagi ia akan
panas yang membakar tubuhnya. Ia harus cepat-cepat meninggalkan pulau ini mencari
Tiang Le.
Ia tak pernah mengimpi bahwa pada saat ia berjalan melewati gua-gua batu karang
di pinggir laut itu, tak jauh dari situ, yakni di sebuah goa, kurang lebih duapuluh tombak
jauhnya, seorang lelaki tampan, dalam keadaan terluka parah didampingi oleh seorang
perempuan cantik, lemah lembut dan yang tengah merawatnya dengan kasih sayang.
Mereka itu adalah Cia Pei Pei dan Sung Tiang Le.
Dalam goa itu menjadi hening karena Tiang Le, entah pingsan, entah setengah
pingsan tak bergerak di tempat itu. Sedangkan Pei Pei hanya memandang pemuda itu
dengan air mata bercucuran sambil mengusap kain basah pada leher Tiang Le yang
panas membara. Berkali-kali pemuda itu mengigau. Setiap kali pemuda itu tidak keruan
rupa, setiap kali itu pula hati Pei Pei teriris pilu. Dan menangis dia dengan sedih.
Betapa tidak, kalau dalam pingsannya itu Tiang Le mengigau dan menyebut-nyebut
nama seorang gadis lain. Aduhai, membuat pedih hati Pei Pei, akan tetapi Pei Pei dapat
menekan perasaannya ini. Ia dapat memaklumi.
Kalau Bwe Hwa pada saat ini tengah menanti-nanti Tiang Le. Dan pemuda ini di sisi
ini, tidak berdaya dalam luka-luka yang amat hebat membakar tubuhnya. Tiang Le
terserang demam panas, akibat luka-lukanya dari ke tiga anak panah yang menancap
di dada dan punggungnya!
Dan Pei Pei hanya bisa menangisi pemuda itu sambil membasahi kain basah pada
leher dan kening si pemuda. Pei Pei tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia sendiri tak
mengerti sedikitpun tentang ilmu pengobatan! Andai kata mereka berada di kota atau
dusun tentu sejak tadi ia sudah mengangkat kaki memanggil sin-she atau tabib. Akan
tetapi di sini ia di tepi lautan Po-hay yang sepi mati! Hendak minta tolong kepada
siapakah dia?
O, Pei Pei hanya bisa menitikkan air mata saja. Memandang ke arah dada yang
tertancap anak panah itu. Ingin ia mencabutnya, akan tetapi belum lagi ia mencabut,
baru saja menyentuh anak panah itu, Tiang Le sudah menjerit kesakitan. Tak tega Pei
Pei. Sementara dilihatnya wajah Tiang Le semakin pucat seperti mayat!
Hari kedua, Tiang Le membuka matanya. Ia bergerak hendak bangun, akan tetapi
sekelilingnya. Sebuah api unggun menerangi wajahnya. Sementara di luar gua gelap
gulita. Suara ombak terdengar meriak di kegelapan.
menancap di dada yang bidang itu. Menyentuhnya, akan tetapi Tiang Le menggelinjang
kesakitan.
- -
Sebenarnya, pemuda itu tak perlu merasa sakit. Ia dapat segera mengerahkan
tenaga sin-kang di dada dan pundak. Akan tetapi, tak mau ia memperlihatkan bahwa ia
sudah sembuh.
Memang Tiang Le ini luar biasa. Biarpun lukanya ia tidak diobati, akan tetapi berkat
tenaga sin-kangnya yang sudah mendarah daging di tubuh itu. Perlahan, akan tetapi
pasti, dengan hawa sin-kang ia sudah dapat menyembuhkan lukanya. Hanya tinggal
mencabut anak panah yang menancap saja.
Bergetar tangan Pei Pei mencabut anak panah yang menancap di dada si pemuda.
Apabila Tiang Le menyerengit seperti orang kesakitan, si gadis menunda pekerjaannya
dan mengawasi wajah Tiang Le.
Girang hati si gadis. Getaran suara yang manja itu menandakan bahwa pemuda itu
bukan merasakan sakit. Hanya kolokan!
gadis itu menyentuh anak panah kedua. Perlahan mencabut. Darah hitam keluar dari
bekas luka di ujung anak panah itu.
Segera Tiang Le mengerahkan sin-kangnya mendorong darah yang bercampur
racun itu. Sehingga Pei Pei amat terkejut sekali melihat banyak darah hitam yang
mengalir keluar dari bekas luka anak panah yang barusan dicabut.
seperti dibakar, kau terserang demam panas sehingga berkali-kali kau mengigau
ak meneruskan perkataannya. Mukanya untuk seketika
menjadi merah sampai ke telinga, sementara batinnya terasa tak enak benar.
Tiang Le melap darah yang kehitam-hitaman itu dengan carikan kain. Sementara
Memang hari telah jauh malam. Di luar hitam pekat, bagaimana mereka dapat
berjalan? Tiang Le jadi termenung memandangi seonggok api unggun yang hendak
padam.
Itulah suara Bwe Hwa pada tiga hari yang lalu, pada saat ia hendak memenuhi
undangan Bu-tek Sianli, di pulau Bidadari.
Sebetulnya gadis yang bernama Bwe Hwa itu akan ikut dengannya, akan tetapi
karena ia menguatiri keselamatan gadis itu, maka Bwe Hwa hanya menanti di lembah
Tai-hang-san. Siapa tahu justru ia mengalami luka dan pingsan hampir tiga hari ini.
Jangan-jangan Bwe Hwa akan menyusulnya ke pulau bidadari. Ia tahu betul akan
kekerasan gadis itu, ia yakin Bwe Hwa akan mencarinya.
Api unggun menjadi padam ditampar angin malam yang menerobos dari luar.
Angin laut berhembus keras sekali. Tiang Le berkata kepada gadis itu.
- -
Tiang Le tidak sadar, pada saat itu entah dari mana datangnya, seekor ular putih
merangkak lambat-lambat menuju ke arah dua orang muda itu. Lidahnya yang kecil
panjang menjulur ke depan.
Anehnya ular kecil yang berwarna putih itu hanya sekali saja menggigit lengan di
tangan Pei Pei dan ia kemudian merayap menghampiri Tiang Le. Amat lembut sekali
ular itu membelit kaki pemuda lengan buntung.
Dan kemudian, ia meninggalkan kedua orang muda itu. Merayap lagi keluar gua,
sedangkan Pei Pei dan Tiang Le tidak menyadari apa sesungguhnya yang terjadi.
Mereka tidak merasakan apa-apa. Ular putih yang aneh!
Baru setelah matahari membersit tinggi, Tiang Le membuka matanya, dan alangkah
herannya dia begitu matanya terbentur oleh tatapan Pei Pei. Bagaikan ada besi
semberani yang menariknya. Tangan kiri Tiang Le menarik tangan si gadis.
Dan anehnya Pei Pei terus saja memeluk pemuda itu dengan dengusan napas yang
memburu! Menciumi pemuda itu! Dan yang aneh lagi bagaikan menemukan makanan
yang lezat Tiang Le juga membalas memeluk gsdis itu. Membalas mengecup dengan
ciuman-ciuman yang panjang.
Tiada kata-kata yang keluar dari mulut ke dua orang muda yang telah terangsang
oleh tenaga dorongan yang aneh. Hanya napas ke duanya itu memburu, saling
mendekap dan saling hendak meledakkan isi dada yang terasa amat berdenyar-denyar
dengan amat kerasnya.
Anehnya, pada kedua wajah orang muda itu tampak putih seperti salju. Darah di
tubuh Tiang Le berdentum-dentum dengan amat kerasnya, sebaliknya Pei Pei pun
demikian. Ia merasa ingin dijamah!
Dan memang tangan kiri Tiang Le menjamah sudah bagian tubuh Pei Pei. Satu
persatu, pakaian yang melekat di tubuh gadis itu terlepas di dalam goa. Tiang Le
memandangi gadis itu dalam keadaan yang polos. Dadanya semakin berdentum.
Kepalanya semakin pening, dan matanya semakin pedas.
Seluruh tubuhnya kini semakin panas dan bagaikan ada tenaga gaib yang hendak
mengajaknya ke sana. Pei Pei juga menyambut tubuh si pemuda. Sementara dari
bibirnya yang kering itu menjerit memanggil nama si pemuda dengan jeritan histeris,
-
terdengar perlahan sekali. Meraih tubuh polos ini. Keduanya saling menumpahkan
perasaan yang aneh itu!
menyerahkan kehormatanku kepadamu meski itu kuberikan dengan tidak sadar, akan
Pei yang penuh linangan air mata hendak menembus dada si pemuda. Dan menyelidiki
isi hati itu.
emang cinta padamu Pei Pei, tapi bukan begini caranya aku mengambil
lagi yang boleh kupercayai. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Jangan kau
mengecewakan mendiang ayah dan ibu, koko. Kalau.. . . kalau kau.. . . ahh, sebaiknya aku
s kini.
Pada saat itu dari luar gua terdengar bentakan keras yang menggeledek nyaring.
ambil Pei Pei sebagai istrimu dan bersumpah demi langit dan bumi bahwa kau sudah
menjadi suami Pei Pei, kalau tidak aku akan memenggal lehermu! Tiang Le, hayo kau
hindarkan sambaran pedang yang amat cepat itu. Tubuhnya dimiringkan ke kiri dan
mencelat jauh.
-moay, jangan begitu, j
tangis Bwe Hwa mengirimkan serangan tusukan pedang bertubi-tubi ke arah Tiang Le.
Hatinya semakin panas bukan main. Pemandangan barusan tadi dilihatnya itu
membuat darahnya mendidih. Dua hari ia menanti-nantikan kedatangan pemuda itu ke
Tai-hang-
dan!
Ahh, betapa marahnya hati Bwe Hwa. Sambil menjerit-jerit itu pedangnya
berkelebat ke arah leher Tiang Le. Kalau saja pemuda lengan buntung itu tidak
mempunyai kepandaian yang tinggi, tentu sebentar saja pedang putih di tangan gadis
itu akan menabas leher Tiang Le. Dahsyat sekali serangan gadis ini. Serangan-serangan
begitu sengit dan ganas!
-
menyabarkan Bwe Hwa. Akan tetapi mana ia mau bersabar lagi merasa dipermainkan
oleh pemuda itu, telah ditipunya mentah-mentah. Bukankah pemuda itu hendak
secepatnya kembali ke Tai-hang-san.
Setan, tidak tahunya.. . . ahh, panas hati Bwe Hwa. Entah mengapa perasaannya
penuh dengan kemarahan yang memuncak dan inilah kesalahannya. Ia sebetulnya tak
boleh marah, ia mengalami luka dalam yang parah sekali. Setiap kali rasa marah yang
menyerang dadanya, setiap itu pula Bwe Hwa muntahkan darah segar.
Sudah tiga kali ia mengeluarkan darah, wajahnya semakin pucat. Gerakan-
gerakannya semakin lemah. Terkejut sekali Tiang Le melihat keadaan gadis itu. Cepat
ia mainkan jurus-jurus Tok-pik-kun-hoat dan sebentar saja Bwe Hwa sudah terdesak
hebat. Akan tetapi Bwe Hwa malah menyerangnya dengan penasaran dan sengit.
-moay, kau dengarlah kata-kataku dulu. Setelah itu, sekiranya kau menganggap
tapi jangan begini Hwa-moay,
berteriak keras dan tiba-tiba dari samping pedang menyambar dan membabat ke arah
pedang buntung lawan.
Mendengar seruan gadis itu, terkejutlah Tiang Le. Ia amat kenal sekali watak gadis
yang keras hati ini. Maka dengan hati yang enggak keruan rasa, terpaksa, ia mengangkat
pedang dan menangkis pedang Bwe Hwa.
Bunga api yang banyak sekali berpijar menyambar ke sana ke mari ketika dua buah
senjata itu bertemu, dan bunga-bunga api itu muncrat ke arah muka Bwe Hwa dan
Tiang Le. Baik Bwe Hwa maupun Tiang Le kagum sekali akan keampuhan senjata
lawannya.
Gadis itu merasakan kepalanya jadi pening. Tahulah ia bahwa luka dalam di
dadanya membuat napasnya menjadi sesak. Ia memandang Tiang Le, kemudian sekali
menggerakkan tubuhnya, gadis itu berkelebat lenyap dan terdengar suara di antara
isakan tangis:
lah, setelah anak
gadis yang bernama Bwe Hwa itu. Kata-kata yang didengarnya barusan amat menusuk
hatinya. Kedua kakinya menggigil.
-mudahan itu tidak terjadi, mudah-
apa lagi yang mengoyakkan hati pemuda itu, dia jadi seperti orang linglung berdiri terus
memandang kepergian Bwe Hwa. Sementara kaki yang menggigil itu menjadi lemas
dan tak kuasa ia untuk berdiri lagi, dijatuhkannya dirinya di atas pasir putih. Tiang Le
tertunduk menangis!
olehmu bahwa sumoymu ini mengalami luka dalam yang amat parah, menyesal sekali
aku hanya dapat menolongnya pada batas yang tertentu. Gadis itu telah mengalami
tekanan bathin dan guncangan jantung yang cukup hebat.
obatnya. Apabila jantungnya bergoyang, dan mengalami shok dalam hidupnya, ia pasti
akan muntah darah lagi. Kau kasihanilah dia, hiburlah dia dan senangkanlah hatinya,
karena ia hanya bertahan hidup untuk beberapa bulan lagi saja. Tiang Le jangan kau
- -
Perlahan dan lesu Tiang Le bangkit dan memandang jauh-jauh dengan pandangan
yang kusut dan kacau.
hatiku berpisah dengannya. Dia memang patut dikasihani, umurnya tidak akan berapa
lama lagi ak
yang sesungguhnya terjadi denganmu dan enci Bwe Hwa. Aku percaya, kau seorang
pemuda yang baik, tidak untuk mempermainkan Bwe Hwa atau aku koko. Ceritakanlah!
Pei Pei menengadahkan wajahnya memandang ke arah Tiang Le yang kusut dan
bingung. Ia melihat Tiang Le menundukkan wajahnya dan memandangnya dalam-
dalam.
- ntuk kepercayaanmu kepadaku.. . . Memang
sebetulnya, seperti kata Bwe Hwa tadi memang benar, patut aku ini disebut manusia
hidung belang. Kau tahu Pei Pei pada mula pertama aku bertemu dengan sumoay Sian
Hwa, kemudian kami saling bercinta. Tidak tahu kalau sumoay Bwe Hwa pun diam-diam
telah mencintaiku padahal It-suheng Liok Kong In sangat mencintai Bwe Hwa akan
tetapi rupa-
enai halmu dengan Sian Hwa dan Enci Bwe Hwa, aku sudah mengetahuinya.
Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku? Oya gara-gara engkau bercinta dengan
Sian Hwa itukan yang membuat Bwe Hwa marah dan.. . . dan membuntungi lengan
Pei.
-moay. Akan tetapi sedikitpun aku tidak menaruh dendam
kepada sumoay Bwe Hwa. Malahan dengan bantuannya lengan kananku inilah justru
yang luar biasa itu membuat Bwe Hwa terluka parah dan menderita penyakit kanker
dada.
Tak tega Tiang Le menyakiti hati gadis sumoaynya ini. Terjadilah tragedi yang rumit
di lembah itu. Tiang Le membalas cinta Bwe Hwa dan melakukan hubungan yang di
luar batas. Hubungan yang sebelumnya tak boleh mereka lakukan! Akan tetapi, entah
mengapa Tiang Le.. . . lemah hati dan melayani si gadis. (baca Pendekar Lengan Buntung).
- -
san. Akan tetapi siapa tahu terjadi peristiw
berkata Tiang Le mengakhiri ceritanya.
Pei Pei terdiam.
ditambah lagi datang musim banjir yang telah banyak merusak daerah Tiongkok
selatan.
Sawah-sawah dan rumah-rumah penduduk hanyut terbawa banjir yang tak
mengenal ampun. Kesengsaraan rakyat pada waktu datangnya musim kering, ditambah
lagi dengan datangnya musim hujan yang hebat, membuat rakyat daerah Tiongkok
selatan dilanda kemiskinan dan kelaparan!
Bencana alam ini yang memperlihatkan kekuasaannya ini terasa sekali oleh
penduduk dusun Pek-kui-ceng. Biarpun dusun ini agak tinggi letaknya sehingga rumah-
rumah mereka tidak sampai terbawa hanyut, namun semua sawah ladang telah habis
dilanda oleh banjir yang meluap-luap, merupakan danau yang lebar dan luas
mengerikan.
Persediaan makanan telah habis dan tiap hari pasti ada orang yang mati kelaparan.
Jeritan tangis terdengar di mana-mana, keluh kesah terdengar menyayat-nyayat hati!
Di dalam sebuah rumah yang amat jelek sekali, dan sudah hampir roboh itu, dari
sana terdengar suara jeritan tangis seorang anak kecil yang demikian kurus kering
tubuhnya. Tidak berapa jauh dari depannya menggeletak dua sosok tubuh manusia tua
yang sudah tak bergerak lagi, membiarkan anak kecil itu menangisi mereka yang sudah
berpulang ke alam baka.
Dilihat dari pakaian mereka yang compang camping dan kurus kering, amatlah
menyayat hati akan kemiskinan dan kenelangsaan tiga orang manusia di dalam rumah
itu, yang dua, dua sosok tubuh tua rapuh sudah rebah tak bergerak dan yang satunya
lagi menangisi dua orang tuanya, memanggil-manggil ayah dan ibunya, akan tetapi
ayah bundanya diam-diam tak bergerak seakan-akan sama sekali tidak memperdulikan
nasib putera tunggal mereka yang bernama Wang Ie.
hanya keluar sebagai bisikan belaka, sedangkan matanya sudah tak dapat
mengeluarkan air mata lagi, sudah habis dikurasnya dalam tangisan-tangisan yang
membawa keperihan yang nelangsa.
Anak kecil bernama Wang Ie itu, masih terlalu kecil untuk dapat memahami
kehidupan yang ganas ini. Berjam-jam ia menangisi ayah bundanya yang tak pernah
bergerak lagi. Sudah diam membisu tak menghiraukan akan panggilannya dan minta
makan.
Bagi anak kecil itu, ia sendiri masih terlampau kecil dan tak mengerti mengapa
sekarang ayah bundanya diam saja? Tentu saja Wang Ie belum mengerti akan kematian
yang sudah menjemput ke dua orang tuanya.
Dan merasa berkali-kali ia menangisi ayah bundanya yang tidak mau lagi
memperdulikan dirinya. Dengan langkah gontai, dia ke luar dari pondoknya dan berjalan
perlahan. Sementara perutnya dirasakan perlu bukan main.
Kemudian rasa perih pada perutnya membuat timbul pikiran di hati Wang Ie untuk
meminta makanan kepada tetangga, seperti yang telah dilakukan beberapa kali oleh
ibunya. Ia bangun dan berdiri lagi dan tiba-tiba kepalanya terasa pening, tanah yang
dipijaknya seolah-olah berputar dan bergoyang-goyang bagaikan ada gempa yang
mengguncangkan bumi ini.
-huyung, rasa perih di
perutnya ditahannya dengan sebelah tangan yang kiri ia menekan ke arah perutnya
sebagai ganjalan. Kemudian setelah rasa peningnya hilang ia bangkit lagi dan berjalan
dengan tatapan kosong ke depan.
Akan tetapi begitu ia melewati pintu depan rumah tetangganya, alangkah terkejut
begitu mendengar ratapan tangis dari para tetangganya yang riuh rendah. Ia
membelalakkan matanya dan menjenguk ke dalam, ternyata seluruh tetangga itu
sedang menangisi mayat yang membujur di atas tanah yang hanya bertilam sehelai
tikar butut, mayat itu mati dalam keadaan lapar pula!
Wang Ie mundur ke belakang dengan hati kecut dan pedih, tubuhnya yang hanya
tulang terbungkus kulit hanya memakai kain lapuk yang menutupi sebagian badannya
terseok-seok bergerak maju melangkahkan kakinya perlahan-lahan.
Teringat ia kepada hartawan Lie, ke sana lah kaki yang kurus kering itu melangkah.
Ia tahu sekali hartawan Lie ini baik hati dan sering menolong penduduk memberi
makanan dan tidak segan-segan menolong sesama manusia.
rumah hartawan Lie sudah dikerumun banyak orang dan beberapa belas orang yang
tengah kelaparan itu, tengah berebutan memperebutkan gandum yang dikeluarkan
secara paksa. Sedangkan tidak jauh dari situ, orang tua she Lie yang dikenalnya amat
baik hati itu, sudah menggeletak mandi darah dengan tak bernyawa lagi!
Yang membuat hati Wang Ie begitu ngeri adalah betapa orang-orang yang
kelaparan saling membunuh di tempat itu juga memperebutkan gandum di dalam
rumah orang tua she Lie. Saling cakar-cakaran dan baku hantam sama sendiri.
Memang begitulah adanya. Pada jaman yang sulit dan susah makanan ini, membuat
penduduk sudah tidak dapat mempertimbangkan lagi dengan pikiran sehat. Rasa lapar
dan tak tega melihat anak bini kelaparan, membuat mereka nekat. Mereka datang ke
rumah orang tua she Lie. Di sana itu, terjadilah keributan.
Tentu saja bagi Lie-wangwe tak rela gandumnya dirampas begitu saja, memang ia
berhati dermawan dan telah banyak menyumbangkan gandumnya untuk penduduk,
akan tetapi melihat orang-orang kasar ini yang telah begitu nekat merampas seluruh
gandumnya, tentu saja orang tua ini tidak senang dan di sanalah terjadi pertengkaran
mulut dan diakhiri oleh perbuatan nekat dari salah seorang penduduk yang tak sabar
lagi telah mengelebatkan goloknya memenggal leher orang tua she Lie ini!
Pedih hati Wang Ie melihat kelakuan orang-orang ini. Dari mata anak kecil itu
mengembang air mata yang hendak jatuh. Dengan langkah lunglai dia meninggalkan
tempat itu dan berjalan tanpa arah, menengadah ke langit mengeluh melihat ketidak
adilan dunia ini!
Saking laparnya dan lemas bukan main, kepalanya mulai terasa pening,
pandangannya kabur hingga terpaksa ia memejamkan matanya sambil berjalan terus
sedapat mungkin. Akhirnya, tubuh yang kecil itu tidak kuat lagi berjalan dan roboh di
dekat pematang sawah yang tandus dan kering.
Ia menahan keperihan perutnya dengan mengangkat ke dua lutut ke dada hingga
perutnya tertekan oleh lutut itu. Ia meringkuk dalam keadaan seperti itu di pinggir jalan
dekat pematang sawah. Apabila perutnya ditekan seperti itu, lenyaplah rasa pening.
Dan begitu ia membuka matanya, alangkah herannya hati anak kecil itu melihat
seorang laki-laki yang berlengan buntung sedang jongkok di sampingnya. Dan terasa
sekali mulutnya menyentuh sebuah pil yang disodorkan oleh laki-laki lengan buntung
yang tengah jongkok di sampingnya.
anlah pil ini, sekedar menghilangkan rasa perih di
Pei.
Mereka memang sudah sampai ke tempat ini dan begitu melihat seorang anak kecil
meringkuk di situ, hati Tiang Le dan Pei Pei merasa tertusuk dan kasihan sekali melihat
anak malang ini, maka setelah Tiang Le mendekati anak itu, dan diberinya pil untuk
penahan lapar, lalu bertanyalah ia kepada anak itu,
Merasa perutnya tidak lapar lagi, Wang Ie menatap Tiang Le dan Pei Pei dengan
heran. Kemudian ia bangkit berdiri sambil katanya,
kepada anak ini. Matanya yang tajam dapat melihat bakat yang baik dari anak kecil ini
-
merendah.
Girang sekali Wang Ie melihat dua orang penolongnya ini, maka tiba-tiba ia
Akan tetapi Pei Pei tidak membantah lagi waktu Wang Ie memanggilnya dengan
sebutan subo, dan malah diam-diam hatinya menjadi girang. Ia menjadi isteri Tiang Le,
aduhai betapa sangat menggembirakan hatinya!
Sebaliknya Pei Pei juga merasa senang sekali dengan anak ini. Bukan saja Wang Ie
rajin dan tekun mempelajari ilmu silat akan tetapi juga anak ini tahu diri dan sangat
menyenangkan sekali. Apalagi Wang Ie memanggilnya dengan sebutan subo yang
berarti ibu guru, maka ia merasa seakan-akan dia sendiri telah menjadi isteri dari Tiang
Le. Oooo, sungguh suatu hal yang menyenangkan!!
Sudah dua bulan Wang Ie ikut Tiang Le berkelana. Ia mulai menerima pelajaran
ilmu silat tinggi dari Tiang Le. Dan disepanjang perantauan itu dia selalu melatih diri
atas petunjuk Tiang Le, sehingga Tiang Le menjadi girang dan terharu melihat kerajinan
anak ini!!
Sementara itu, meskipun tidak ada acara yang resmi. Akan tetapi hubungan Tiang
Le dan Pei Pei seakan-akan sudah menjadi suami isteri yang rukun dan bahagia. Apalagi
setelah Tiang Le mengetahui bahwa Pei Pei sudah mengandung dua bulan, hubungan
mereka semakin romantis dan rukun!
ooOOoo
Kurang lebih seratus orang pengemis sabuk merah, yakni anggota-anggota
terpenting dari perkumpulan pengemis Ang-kin-kay-pang, berkumpul di luar kota Siang-
thian-bun. Perlu kita ketahui bahwa perkumpulan Ang-kin-kay-pang adalah
perkumpulan pengemis yang paling besar dan berpengaruh dan telah memiliki nama
yang terkenal di dunia kang-ouw.
Sebagaimana pembaca tentu masih ingat, perkumpulan Ang-kin-kay-pang ini
adalah sebuah perkumpulan pengemis yang tadinya bernama Hwa-ie-kay-pang akan
tetapi setelah ketua perkumpulan pengemis baju kembang ini gugur di tangan Pendekar
Lengan Buntung, maka sebagian pengemis baju kembang yang dapat meloloskan diri
dan telah menyesal atas kesesatan mereka dalam hasutan Bu-tek Sianli.
Sejak itu mereka mendirikan sebuah perkumpulan pengemis lain yang bernama
Ang-kin-kay-pang dan diketuai oleh seorang wanita cantik yang genit, akan tetapi pada
dasarnya memiliki watak gagah dan baik. Wanita cantik itu adalah bekas murid Bu-tek
Sianli, orang ketiga dari Sianli-sie-ci-moay yang bernama Yap Sian Eng.
Pada hari itu, dua tahun telah lewat dan hari itu mereka berkumpul di Siang-thian-
bun untuk mengadakan rapat penyerbuan ke Gua Hantu yang kabarnya didesas-
desuskan adanya penyimpanan pusaka peninggalan dari manusia setengah dewa yang
bernama Sui-kek Siansu. Tentu saja berita ini menarik perhatian Sian Eng dan pada hari
itu ia memanggil semua anggota-anggota Ang-kin-kay-pang untuk mengadakan
rencana perjalanan ke gua Hantu! Sebuah gua yang dikabarkan tempat tinggal Sui-kek
Siansu, si manusia sakti yang sudah lenyap dan kemungkinan sudah meninggal dunia
saking tua usianya!
Demikianlah pada itu, mereka berkumpul di Siang-thian-bun. Sebuah kota kecil di
puncak pegunungan Ta-pie-san yang sejuk hawanya dan indah sekali
pemandangannya. Tempat ini memang sengaja oleh Sian Eng dijadikan markas besar
Ang-kin-kay-pang. Pengemis sabuk yang diketuai oleh seorang wanita muda jang
sangat cantik yang berkepandaian tinggi dan genit membuat dalam waktu kurang lebih
dua tahun saja perkumpulan pengemis ini sudah dapat berkembang dengan baik dan
dalam diri Sian Eng mereka mendapatkan seorang pemimpin yang baik dan tegas.
Gedung Ang-kin-kay-pang ini, pada pagi-pagi itu sudah penuh oleh pengemis-
pengemis yang berikat pinggang dengan ang-kin merah. Mereka itu berjumlah sekitar
hampir seratus orang. Nampak gagah dan karena dengan pakaian putih bersih dan ikat
pinggang warna merah yang menyolok.
Meskipun mereka ini sebagai pengemis, akan tetapi dilihat dari pakaiannya yang
bersih dan terbuat dari sutera putih tidaklah patut mereka ini dinamai pengemis.
Apalagi dilihat dari ketuanya yang cantik dan genit, sesungguhnya kurang tepat akan
sebutan Ang-kin-kay-pang itu. Akan tetapi memang demikianlah adanya. Mereka itu
dikenal dengan nama Ang-kin-kay-pang atau perkumpulan pengemis sabuk merah!
Akan tetapi pertemuan yang terakhir ini merupakan berita yang mengejutkan dari
anggauta-anggauta pengemis sabuk merah. Bukan saja pada pertemuan ini, mereka
mendengar akan rencana penyerbuan ke Gua Hantu akan tetapi yang paling
mengejutkan adalah berita tentang penyerahan kedudukan yang hendak diserahkan
kepada seorang laki-laki muda dari pulau Kim-kong-tho (Pulau Sinar Emas) yang
bernama Kiang Sun Hi, seorang pendekar muda yang bernama penghuni pulau Kim-
kong-tho. Sebuah pulau kecil yang terdapat di dekat pantai timur laut Po-hay.
Ia hidup seorang diri di pulau itu, hanya dibantu oleh para murid-muridnya yang
berjumlah limapuluh orang itu dan mendirikan sebuah partai persilatan yang bernama
Kim-kong-pay. Tentu saja karena kepandaian Kiang Sun Hi ini amat tinggi dan terkenal
dengan julukan Sian-hud-tim (Kebutan Dewata), maka nama Kim-kong-pay sebentar
saja sudah sejajar dengan partai-partai persilatan lainnya.
Malahan pada waktu munculnya partai Sian-li-pay beberapa tahun yang lalu, partai
Kim-kong-pay ini tidak kalah pengaruhnya. Akan tetapi, karena Kim-kong-pay ini jarang
berurusan dengan dunia persilatan maka dalam cerita Pendekar Lengan Buntung, kita
tidak mengenal partai ini.
Setelah hancurnya Sian-li-pay, Yap Sian Eng murid ketiga dari Bu-tek Sianli
melarikan diri dari pulau itu dan memimpin anggota-anggota Hwa-ie-kay-pang yang
tercerai dan mendirikan partai Ang-kin-kay-pang. Dan dalam perantauannya itulah Sian
Eng bertemu dengan Kiang Sun Hi dan ternyata olehnya ilmu silat yang dimiliki oleh
Kiang Sun Hi jauh lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri. Akhirnya, keduanya saling
-diam mereka merencanakan penggabungan partai Ang-kin-kay-
pang dengan Kim-kong-pay yang terkenal itu!
Banyak orang yang datang di Siang-thian-bun pada hari ini, ada yang datang untuk
memenuhi undangan, ada pula yang sengaja datang untuk melihat-lihat saja dan tidak
sedikit orang-orang kang-ouw yang datang hendak menyaksikan perjodohan antara
Sian Eng dengan Sun Hi, majikan pulau Kim-kong-tho yang terkenal lihai kepandaian
silatnya itu!
Tak lama setelah seratus lebih anggota-anggota Ang-kin-kay-pang berkumpul,
datanglah Yap Sian Eng bersama Kiang Sun Hi. Memang sudah lama Sian Eng dengan
Sun Hi, juga seringkali berkunjung ke Pulau Sinar Emas yang tidak jauh letaknya dari
Siang-thian-bun!
Semua mata memandang dan banyak yang kagum melihat Yap Sian Eng karena
wanita ini masih saja memiliki bentuk tubuh yang langsing dan padat, wajahnya yang
riang gembira dan senyumnya masih amat manis.
Kemudian orang mulai memperhatikan Kiang Sun Hi. Harus mereka akui laki-laki
inipun gagah dan cocok berjalan bersama Sian Eng. Akan tetapi banyak pula diantara
mereka yang iri hati dan cemburu, yakni mereka yang menginginkan kedudukan ketua
dan terutama sekali mereka yang suka kepada Sian Eng.
Begitu munculnya Sian Eng dan Sun Hi para anggota Ang-kin-kay-pang menyambut
kedatangan Sian Eng dengan penghormatan dan seruan,
-pangcu (ketua Yap) dari Ang-kin-kay-
Yap Sian Eng hanya tersenyum, mencabut keluar tongkat kecil hitam, yakni tongkat
pusaka dari Ang-kin-kay-pang, mengangkat tongkat itu tinggi di atas kepala sambil
berkata
-kin-kay-
Kemudian Yap Sian Eng mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku yang
sudah disediakan di situ. Kang Sun Hi berdiri di belakangnya memandang kepada para
pengemis yang hadir dengan sikap tenang.
-
pemberitahuanku pada hari kemarin itu, dimana kita merencanakan untuk mengunjungi
Gua Hantu dan ikut dalam perebutan pusaka peninggalan Sui-kek Siansu, jikalau ada
jodoh tentu kita akan mendapatkan pusaka yang selama ini sudah didesas-desuskan
oleh orang-orang kang-ouw.
-orang pandai yang juga menghendaki kitab
yang ditulis oleh Sui-kek Siansu. Tugas kita untuk merebut pusaka itu tidak gampang
saudara-saudara, maka setelah kupikir-pikir dan kupertimbangkan, dalam hal ini kita
harus bekerja sama dengan saudara-saudara di pulau Kim-kong-tho. Bagaimana
menurut pendapat saudara-
Terdengar suara celaan dan pernyataan kecewa di sana sini, disusul dengan suara,
-
Sian Eng menggeleng-
tak pantas bagiku seorang wanita memimpin kalian. Biarlah tugasku ini kuserahkan
kepada Kiang-
-tayhiap
serahkan saja tampuk pimpinan kepada orang-orang Ang-kin-kay-pang. Hanya anggota
pe
Terdengar perkataan lantang dan nyaring dari kumpulan-kumpulan pengemis.
Sepasang mata Sian Eng menyapu orang yang berbicara tadi, akan tetapi karena
begitu banyak pengemis yang masing-masing berbicara gaduh sehingga ia tidak
mengetahui orang yang berbicara tadi.
-
tongkat kecil ke atas tinggi- -kin-kay-pang,
lambang dari ketua perkumpulan kita. Barang siapa yang cakap untuk memimpin
perkumpulan kita dan pandai ilmu silatnya, dia itulah yang berhak memegang tongkat
ini. Tidak perduli siapapun orangnya, dia berhak memimpin dan jadi ketua!!!
-ouw muncul banyak orang jahat yang lihai, maka perkumpulan kita
perlu dipimpin oleh orang pandai. Aku sudah tidak sanggup lagi dan menyerahkan
kepada Kiang-
plintat-plintut mengeluarkan omongan yang bukan-
menyapu semua orang dengan mata yang menantang.
Keadaan sunyi untuk beberapa lama!
Mendengar ini Kiang Sun Hi menjura ke empat penjuru dan berkata dengan suara
-kata pangcu. Urusan ketua seharusnya hanya orang-
orang Ang-kin-kay-panglah yang berhak memilih dan menetapkan. Aku Kiang Sun Hi
sebetulnya tidak tamak akan kedudukan ketua, hanya pangcu sendirilah yang
berkehendak demikian.
-saudara dari Ang-kin-kay-pang tidak menganggapku yang bukan-
bukan. Aku sendiri sudah terlalu repot mengurus Kim-kong-pay, tak sanggup aku
memimpin saudara-saudara di sini. Akan tetapi meskipun begitu, pihak kami Kim-kong-
pay selalu memegang persahabatan dan bersedia bekerja sama dengan saudara-
Akan tetapi perkataan pengemis itu disambut oleh banyak suara yang meneriaki
kata-katanya,
uga, kami mengharapkan pimpinan Yap-
kedudukan sebagai ketua, tidak baik menyembunyikan sesuatu. Kita di sini mempunyai
lebih seratus anggota, kepada kami inilah pangcu harus memberikan penjelasan dan
Setelah berkata demikian, pengemis tinggi besar ini melotot kepada Kiang Sun Hi
dengan tatapan tidak senang.
Mendengar ini dan melihat sikap Kay Sek, wajah Sian Eng menjadi marah sekali. Ia
maklum akan isi hati orang kasar ini dan tahu Kay Sek sudah lama jatuh hati kepadanya.
Bahkan pada setiap kali ada kesempatan seringkali Kay Sek hendak mengambil hati
kepadanya.
Akan tetapi melihat Sian Eng dihina blak-blakan oleh pengemis ini, Can Lo-kay,
seorang pembantu Sian Eng menjadi tak senang. Ia menghampiri Kay Sek dan berkata.
Yappangcu masih ketua kita. Kalau kau tidak setuju akan pilihan pangcu, boleh kau
-ha-ha Pek Gay, mengapa kau yang marah-marah? Apa kau ingin dialem dan
mengambil hati pangcu? Aku sih setuju saja akan pemilihan ketua, akan tetapi aku
harus menguji dulu kepandaiannya. Ingat, seorang pemimpin harus dapat melebihi
Lo-
Keruan saja Can Lo-kay menjadi terheran, memandang Yap Sian Eng. Ia sungguh
tak mengerti kalau ketuanya ini memilihnya. Seperti orang totol ia memandang Sian
Eng seakan-akan kata-kata yang keluar dari pangcu itu seperti mimpi didengarnya.
-pangcu benar-benar membikin lo- -kay sambil
membungkuk-bungkuk, akan tetapi lalu berkata dengan nada suara bersungguh-
-pangcu, maka
apabila tidak ada yang mengajukan keberatan, demi menyelamatkan perkumpulan dari
tangan orang jahat, aku bersedia menjadi ketua dan bekerja sama dengan para kawan
-kawan? Setujukah
Akan tetapi begitu kata-katanya habis, terkejutlah Siang Eng melihat rombongan di
sebelah kiri yang berjumlah kurang lebih limapuluh orang pada mengangkat tangan
tinggi-tinggi sambil mengeluarkan suara simpang siur. Dan yang aneh para pengemis
yang mengangkat tangan, pada dada kiri mereka terhias sebuah teratai hitam.
Tentu saja bagi pandangan mata Sian Eng yang tajam, ia dapat mengenali orang-
orang yang tadinya itu adalah anggota Hek-lian-pay (perkumpulan teratai hitam) yang
pernah menggabungkan diri dengan Sian-li-pay, akan tetapi hancur di tangan Sung
Tiang Le, si Pendekar Lengan Buntung yang perkasa (baca Pendekar Lengan Buntung).
Dari rombongan sebelah kiri yang mengangkat tangan tinggi, dua orang pengemis
yang juga memakai tanda teratai hitam di dadanya meloncat ke depan. Yang seorang
adalah pengemis tinggi besar yang terkenal dengan sebutan Tiat-ciang-eng (si tangan
besi) dan bernama Kay Sek. Dia adalah anggota Ang-kin-kay-pang yang paling tinggi
tingkatnya, pembantu Sian Eng yang setia dan menaruh hati kepada ketua itu.
Tentu saja melihat ketuanya hendak mengundurkan diri dan mengikat perjodohan
dengan Kiang Sun Hi, majikan pulau Sinar Emas, membuat orang yang bernama Kay
Sek itu merasa tidak senang dan cemburu. Sudah lama memang Kay Sek ini tergila-
gila kepada ketuanya sendiri dan semenjak tadi ia sudah merasa cemburu dan iri hati
melihat Kiang Sun Hi, maka sekarang ia melompat maju setelah mendapat kesempatan.
-
tinggi besar itu memandang Sun Hi tak senang.
Melihat pandangan anak buahnya yang tidak mengesankan ini, Sian Eng menjadi
apakah Pangcu sudah begitu gelap mata oleh bujukan-bujukan dan cumbu rayu
Mendengar ini dan melihat sikap Kay Sek, wajah Sian Eng menjadi merah sekali. Ia
hendak maju ke depan, akan tetapi sebuah tangan meraih lengannya dan Sun Hi dengan
-moay, biarkan ia mengeluarkan isi
Melihat Sun Hi tidak menjadi marah oleh kata-kata Kay Sek tadi. Sian Eng menahan
sabarnya dan duduk lagi di tempat semula. Akan tetapi Can Lo-kay menjadi tak senang
mendengar kata-kata Kay Sek yang menghina Sian Eng. Ia maju dan menghampiri Kay
Sek sambil berkata,
ay Sek! Perkataanmu terhadap ketua tidak menaruh hormat dan penuh tantangan.
Kalau memang kau tidak senang akan pilihan Yap-pangcu, boleh kau maju dan
mengujinya! Kalau memang aku kalah olehmu, biar sampai mati aku tidak mencampuri
lagi urusan ini dan meng
Diserang begini oleh Can Lo-kay, Kay Sek menjadi gagap dan merah mukanya
-kay yang terpilih menjadi ketua,
tadi meloncat maju. Dia ini adalah seorang pengemis tua, akan tetapi seperti rombongan
pengemis tua inipun memakai simbul teratai hitam di dada sebelah kirinya, sikapnya
angkuh dan mencercahkan sebuah senyum mengejek. Dia itu yang bernama Peng Hay
berjuluk Sin-tung-mo-kay (setan pengemis tongkat sakti). tongkatnya meskipun
bengkang bengkok dan berwarna hitam akan tetapi seperti setan lihainya. Setelah
berkata demikian, ia mencelat mundur untuk menanti giliran.
Pada masa itu, sudah menjadi kebiasaan bagi setiap perkumpulan untuk menguji
calon ketua baru dan karenanya semua anggota berhak untuk mencobanya kelihaian
ketua baru, maka sudah tentu kata-kata Kay Sek barusan sangat menggembirakan para
anggota.
Nah, kalau kau masih penasaran baiklah lohu melayanimu dalam bebe
-
Kay Sek berseru keras dan menggerakkan tongkatnya menyerang ke arah dada Can
Lo-kay.
Pengemis tinggi besar yang berjuluk si tangan besi memiliki ilmu tongkat yang lihai
dan kuat. Sian Eng tahu bahwa bekas pembantunya ini memiliki ilmu tongkat yang
paling tinggi di antara pengemis-pengemis lainnya dan dapat mengatasi semua
anggota Ang-kin-kay-pang, akan tetapi menghadapi Can Lo-kay, Kay Sek masih kalah
jauh. Oleh sebab itu Sian Eng maklum bahwa Kay Sek tidak akan dapat menandingi Can
Lo-kay, pengemis tua kurus yang berwajah ramah ini!
Dengan gerakan yang cepat luar biasa, Can Lo-kay membuktikan kelihayannya.
Namun menghadapi Kay Sek yang bertenaga kuat dan cepat gerakan tongkatnya itu,
namun dengan enak dan mudah Can Lo-kay dapat berkelit dari serangan-serangan
tongkat yang mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya putaran tongkat di tangan
Kay Sek. Tentu saja Kay Sek menjadi terkejut dan heran merasa tubuh Can Lo-kay
seperti bayangan saja berkelebat ke sana kemari dengan gesitnya.
Dalam beberapa jurus saja ia terkena tepukan tangan kiri Can Lo-kay pada
punggungnya, dan belum habis rasa pegal di pinggang itu, ia berteriak kesakitan ketika
tongkat Can Lo-kay mencongkel kakinya sehingga tak ampun lagi ia terjengkang ke
belakang mengeluarkan suara berdebuk membuat pinggang Kay Sek serasa patah!
Can Lo-kay dengan senyum ramah membantu Kay Sek bangun. Pengemis tinggi
besar ini meringis kesakitan, lalu berkata pelan,
an Lo-kay benar-benar lihai, siauwte yang muda telah berlaku kurang ajar dan
tidak mengeral tingginya gunung Thay-
Yap-
-ha-ha, tidak kusangka Tiat-ciang-heng demikian lemah! Dan nama besar Can
Lo- -
tung-mo-kay Peng Hay dengan senyum mengejek melirik ke arah Sian Eng.
Yap Sian Eng mengerutkan kening. Pengemis di depannya ini belum lama masuk
anggota, akan tetapi sombong sekali dan begitu ia melirik ke arah dada, sebuah simbul
teratai hitam tersemat di dada pengemis itu. Hemm, orang-orang ini sungguh
mencurigakan, pikir Sian Eng, dan melihat ke depan.
Adapun Can Lo-kay sendiri memandang pengemis yang berkata tadi. Ia merasa
-kin-kay-
-ha-ha! Can Lo- angkat menjadi ketua sombongmu setengah
mati. Apa matamu buta tidak mengenalku lagi, apakah kau sudah lupa dengan Hek-lian-
-tung-mo-kay menggerakkan taagan kirinya memukul lawan
tanpa memberi peringatan lagi.
Melihat cara pukulan ini, Can Lo-kay yang sudah berpengalaman dan kenyang akan
asam garam di dunia persilatan menjadi terkejut dan terheran-heran. Inilah cara ilmu
pukulan tangan kosong dari orang-orang Hek-lian-pay, yang berdasarkan dari ilmu silat
Hek-lian-ciang-hoat atau ilmu silat teratai hitam yang amat ganas dan lihai!
-lian-
Peng Hay hanya tertawa mengejek dan pada saat itu limapuluh orang yang tadi
mengangkat tangan, mendengar kata-kata Can Lo-kay barusan serentak bangun berdiri
dan bersiap-siap. Sikap mereka angker sekali. Keadaan menjadi ribut dan orang-orang
Ang-kin-kay-pang juga cepat memisahkan diri dari mereka.
-kay.
Akan tetapi Peng Hay tidak menyahut, malah sambil tertawa mengejek ia
melancarkan serangan-serangan maut. Can Lo-kay yang mengalami kekagetan, tak
dapat menjaga diri dan ia berseru kaget begitu tongkat di tangan Sin-tung-mo-kay
dengan amat cepatnya menyerempet pundaknya. Terdengar suara keras kain Can Lo-
kay hancur terserempet pukulan yang lihay itu. Baiknya begitu tongkat menyerempet
pundak dan tak dapat dihindarkan lagi cepat-cepat Can Lo-kay mengerahkan hawa sin-
kang di pundak dan ia hanya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah pucat dan
terkejut!
-lian-
pukulan tongkat yang luar biasa lihaynya.
Perlu diketahui beberapa tahun yang lalu, gadis ini adalah murid kesayangan Bu-
tek Sianli dan berjuluk Sianli-sin-tung-hoat, oleh karena itu tak heran kalau permainan
tongkatnya telah mengejutkan Peng Hay yang dijuluki si setan tongkat sakti! Akan tetapi
melihat datangnya serangan yang dahsyat bertubi-tubi, pengemis itu tidak menjadi
gentar malah tertawa mengejek:
-ha-ha Yap-pangcu, Hek-lian-pay sekarang sudah tidak ada, sekarang akulah
yang berhak menggantikanmu menjadi ketua Ang-kin-kay- -ha-ha! Aku telah
dapat menangkan Can lo-kay, akulah kini pang-cu Ang-kin-kay-pang Sin-tung-mo-kay
Peng Hay.. . . ha-
Sebelum menjawab, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh dengan amat gesitnya dan
melakukan serangan kilat ke arah Peng Hay yang cepat menangkis. Akan tetapi ia
terhuyung-huyung dan memandang heran ke arah orang yang telah berdiri di
depannya. Seorang pemuda tampan berlengan buntung, berusia hampir tigapuluhan,
akan tetapi pada saat itu pemuda buntung itu berdiri dengan angker dan membentak
ke arah Peng Hay dengan suara mengguntur,
tangkap leher Sin-tung-mo-kay telah dicengkeram oleh tangan yang kuat dan panas
itu.
Akan tetapi belum lagi Sin-tung-mo-kay Peng Hay menjawab tiba-tiba terdengar
suara yang amat jauh sehingga hanya gemanya saja yang terdengar. Semua orang
kaget dan maklum bahwa ini adalah suaranya orang yang memiliki lweekang tinggi
dan yang dapat mengirim suara dari jarak jauh dengan menggunakan ilmu Coam-im-
jib-pit (mengirim suara dari jarak jauh).
Jilid 2
I-HI-HIKK -tek Sianli
berada di sini!
Habis suara itu selesai dan tinggal gemanya saja, tiba-tiba tanah di bawah
Tiang Le meledak dan sesosok tubuh berkelebat ke atas dan tahu-tahu telah berdiri di
depan pemuda lengan buntung Sung Tiang Le.
Tentu saja semua orang menjadi kaget bukan main. Wanita yang baru datang itu,
sudah teramat tua sekali. Rambutnya yang hitam riap-riapan sebatas pundak dibiarkan
berkibar-kibar tertiup angin gunung. Wajahnya sangat menyeramkan, penuh dengan
keriput-keriput dan matanya yang cekung memancar seperti api.
Tubuh nenek tua itu kurus dan agak sedikit bongkok. Tiang Le mengerutkan alis
nampak marah. Ia tentu saja mengenal wanita tua yang tengah dicari-carinya yakni
Bu- tek Sianli!!
Akan tetapi ia tidak mengenal akan seorang laki-laki yang tengah menghampiri si
nenek. Laki-laki itu tinggi besar, dilihat dari logat bicaranya waktu ia berkata dengan
Bu-tek Sianli, menyatakan bahwa laki-laki tinggi besar itu bukan orang Han.
-laki tinggi besar itu dengan
logat bahasa Han yang kaku.
Bu-tek Sianli tidak menyahut, hanya berdiri dengan angkuh dan pada ketika itulah
rombongan pengemis yang memakai tanda teratai hitam di dadanya menghampiri Bu-
tek Sianli dan berlutut.
Melihat munculnya Bu-tek Sianli dan Tiang Le si Pendekar Lengan Buntung yang
pernah menggetarkan dunia persilatan beberapa tahun yang lalu, Sian Eng menjadi
terkejut dan waktu pandangannya bertemu dengan Bu-tek Sianli, gurunya waktu di
Sian-li-pay dulu, ia merasakan pandangannya yang dingin dan mengancam. Tahulah ia
bahwa kedudukannya kini tidak lepas dari tangan Bu-tek Sianli yang tentu saja tidak
mengampuni nyawanya!!!
-
Akan tetapi Bu-tek Sianli menatapnya tajam dan tersenyum mengejek:
Amat luar biasa sekali pukulan ini, kalau saja bukan Tiang Le orangnya yang
menerima pukulan sakti Bu-tek Sianli, tentu akan hancur tubuhnya. Akan tetapi Tiang
Le yang sudah demikian sempurna tenaga sin-kangnya, memapaki pukulan tangan
kanan lawan dengan tangan kirinya yang terbuka pula.
yang penuh hawa sin-kang tingkat tinggi. Tubuh Tiang Le agaknya miring, dengan kedua
tangan kiri menjurus ke depan sedangkan Bu-tek Sianli dengan kedua tangannya yang
mendorong pula doyong ke belakang dengan tubuh yang sudah bongkok itu bertambah
bongkok lagi.
Keduanya berkutetan mengerahkan tenaga.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gerengan keras dan tahu-tahu tubuh
Tiang Le terhuyung-huyung ke belakang seakan-akan ia kena dorongan yang keras dari
depan. Tubuh Bu-tek Sianli juga terdorong sampai bergulingan seperti seekor
trenggiling. Bahkan orang yang terkena hawa pukulan yang tidak kelihatan, akan tetapi
luar biasa itu, mereka yang berdiri di pinggir kepelanting terkena serempetan angin
pukulan yang dahsyat sekali.
menyeramkan, berambut panjang dan bermata liar. Yang membuat Kiang Sun Hi
terkejut adalah daya pukulan dari jarak jauh yang dilakukan oleh kakek ini.
Bagaimana sebuah pukulan dari jarak jauh mempunyai tenaga yang demikian
dahsyat. Ini membuktikan bahwa orang yang baru datang adalah seorang ahli silat
tinggi yang lihay sekali!
Sebaliknya, melihat datangnya kakek berambut panjang yang menakutkan ini, tiba-
tiba Bu-tek Sianli, orang tinggi besar yang bersenjata sepasang tangan dan pengemis-
pengemis yang berdiri di sebelah kiri berlutut, tak berani bergerak dan mengelnarkan
suara. Suasana menjadi hening.
-he-he, Sianli, Kwan-
Ia melihat semua orang diam dan memandangnya dengan gentar, tertawa terkekeh,
lagaknya memandang rendah sekali. Ketika ia memutar tubuh dan melihat seorang
pemuda yang buntung lengan kanannya dan memandangnya dengan tatapan tajam,
kakek itu menghentikan tawanya dan berkata,
-abrik Sian-li- at dan parau.
-bengcu yang mulia. Pemuda inilah menyusahkan hamba sekeluarga.
Hamba datang ke tempat ini bersama Kwan-tiong Tok-ong, locianpwee dari Barat dan
sengaja mencari si buntung itu, sekalian hendak memberi hajaran kepada murid hamba
ya -tek Sianli dengan suara
merendah dan gentar.
Keruan saja Tiang Le jadi terbelalak dan heran. Ia mengenal baik Bu-tek Sianli ini,
nenek siluman yang telah disegani oleh kaum datuk hitam, malah telah menguasai
banyak orang-orang gagah dan menundukkan hatinya. Siapa kira di tempat ini, nenek
sakti yang paling disegani dan ditakuti di selatan, kini merendahkan diri terhadap
seorang kakek rambut panjang ini.
Siapakah orang ini?
Baru saja ia telah dikejutkan oleh pukulan jarak jauh kakek ini. Kalau saja dia tidak
sedang mengerahkan sin-kang menempur Bu-tek Sianli sudah barang tentu ia tidak
akan tergempur!
Tiang Le memperhatikan kakek rambut panjang yang tadi dipanggil Thay-bengcu
oleh Bu-tek Sianli,
kakek itu perlahan. Suaranya terdengar perlahan saja namun di dalamnya mengandung
pengaruh dan ancaman besar.
-bengcu, dia itulah Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le
-anggukkan kepala. Sekali
pandang saja tahulah ia bahwa pemuda yang lengannya buntung ini, mempunyai
pertahanan tubuh yang luar biasa.
Akan tetapi ia sendiri, mana mau meladeni pemuda ini? Merasa amat rendah dan
dihina. Oleh sebab itu dengan suara berwibawa, berkatalah kakek itu kepada Kwan-
tiong Tok-ong, si Raja Racun dari Barat.
-
- -tiong
Tok-ong.
-li, kau uruslah persoalanmu dengan muridmu itu dan setelah selesai
urusanmu itu, kalian harap menghadap kepadaku di istana.. . . . ha-ha- -
tek Sianli menyahut, tahu-tahu tubuh si kakek rambut panjang itu telah lenyap bagaikan
ditelan setan!
Sementara itu, Kwan-tiong Tok-ong telah menghampiri Tiang Le, dan bersamaan
dengan bergebraknya si Raja Racun ini, Bu-tek Sianli menghampiri Yap Sian Eng dan
membentak keras,
adalah muridku maka
aku tidak begitu gila untuk menjatuhi tangan maut kepadamu. Maka dari itulah, turutlah
-
Terima kasih untuk kebaikanmu. Ketahuilah, urusan ketua Ang-kin-kay-pang sudah
kuserahkan kepada Can Lo-kay, pembantuku ini dan buat seterusnya, aku akan bersama
dia ini, majikan pulau Kim-kong-tho. Bagaimana aku bisa ikut lagi denganmu kembali
-
-tek Sianli dengan
pandangan berapi.
Kiang Sun Hi belum pernah bertemu dengan nenek Bu-tek Sianli, akan tetapi tentu
saja ia dulu pernah mendengar akan nama Pay-cu ketua Sian-li-pay yang terkenal itu.
Kalau saja tidak karena urusan Sian Eng, tentunya Sun Hi merasa segan berurusan
dengan nenek lihai ini. Akan tetapi melihat nenek ini hendak memaksa kekasihnya untuk
kembali ke pulau, ia melompat ke depan dan kebutan di tangan kanannya tergetar.
-cu, telah sekali aku mendengar nama besar Bu-tek Sianli di pulau bidadari dan
sebagai seorang ketua yang berilmu dan berwibawa seharusnya Pay-cu tidak
mendesak seseorang untuk menjadi anggota, apalagi setelah ku dengar kabarnya Sian-
li-pay sudah bangkrut. Jadi untuk apa Sian Eng mengikutimu kembali ke pulau, sudah
Bu-tek Sianli memutar tumit kakinya dan menghadapi Kiang Sun Hi. Ia melihat
seorang laki-laki berusia sekitar hampir tigapuluh tahun, bersikap gagah dan tenang
dengan alis dikerutkan tanda hati tak senang dan kebutan yang dipegang di tangan
kanannya itu bergetar, tanda bahwa pemegangnya memiliki lweekang tinggi yang
sudah dapat disalurkan ke arah bulu-bulu hud-tim yang bergerak seperti kawat baja.
-tek Sianli.
Bisanya nenek ini kalau menghadapi orang selalu tangannya dulu yang bicara, baru
mulut, akan tetapi kini menghadapi laki-laki setengah baya itu, dapat melihat betapa
orang ini tidak boleh dipandang enteng.
kelihaian Kiang Sun Hi di dalam memainkan senjata hud-tim nya sehingga ia dijuluki
Memang sukar menyerang seorang seperti Bu-tek Sianli yang telah memiliki ilmu
kebal di bagian tubuhnya, sehingga berkali-kali ujung kebutan di tangan Kiang Sun Hi
bergerak mengirimkan totokan-totokan yang lihai dan berbahaya. Namun segala
totokan-totokannya terbentur oleh tubuh Bu-tek Sianli yang kebal.
Akan tetapi Sun Hi cukup cerdik, tiga kali sudah totokan-totokannya tidak mengenai
sasaran, maka ia mengarahkan jalan darah Hay-yang-hiat di bagian mata dan Tong-
cu-hiat di bagian dada yang tidak dapat dilindungi oleh ilmu kebal, maka kini serangan-
serangannya tertuju ke arah mata dan dada.
Akan tetapi semua usahanya tidak berhasil banyak, karena sesungguhnya Nenek
Bu-tek Sianli ini mempunyai tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya. Setiap
serangan-serangan hud-tim selalu dapat ditangkis dan terpental oleh angin pukulan
Bu-tek Sianli.
Sebaliknya, melihat betapa lawannya ini amat sukar dirobohkan, Bu-tek Sianli
menjadi marah. Ia menjerit keras dan mulai mengeluarkan ilmu silat yang paling
diandalkan yakni ilmu silat Bu-tek-sin-kun atau Kepalan Sakti Tanpa Tandingan!
Kiang Sun Hi menjadi terkejut. Dari sepasang tangan Nenek Bu-tek Sianli ini
menyambar hawa pukulan yang luar biasa panas dan kuatnya.
Kini setelah Nenek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan gaya tubuh agak
direndahkan dan setiap kali pukulan tangan itu menyambar, selalu membuat hud-tim
di tangannya tergetar keras dan terpental ke belakang oleh sambaran angin pukulan
yang amat dahsyat itu. Setelah Bu-tek Sianli mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat Bu-
tek-sin-kun, Kiang Sun Hi nampak agak terdesak dan mulai bersilat dengan mundur-
mundur.
Tiba-tiba terdengar suara dari Can Lo-kay dibarengi dengan berkelebatnya sinar
hitam menyerang Bu-tek Sianli. Can Lo-kay yang sejak tadi berdiri saja menonton, kini
melihat keadaan majikannya pulau Kim-kong-tho yang membela Ang-kin-kay-pang
sudah terdesak hebat. Tentu saja pengemis tua ini menjadi marah dan sambil
membentak keras ia melancarkan serangan tongkatnya bertubi-tubi ke arah Bu-tek
Sianli.
Nenek itu cepat menyampok datangnya tongkat dengan lengan kirinya, akan tetapi
begitu tangan kirinya menyampok tongkat sambil mengerahkan sin-kang pukulan pada
tangan itu tiba-tiba tongkat hitam itu terpental dan menyeleweng ke samping dan
mengirimkan totokan kilat ke arah iga lawan. Serangan ini disusul pula dengan pukulan-
pukulan dahsyat dari tangan kiri pengemis tua itu dengan gerakan-gerakan yang aneh
dan cukup hebat membuat Bu-tek Sianli mengeluarkan seruan tertahan.
-niu-san-tung-
tiba-tiba Bu-tek Sianli berseru mengeluarkan suara kaget menyaksikan ilmu tongkat
yang luar biasa anehnya ini.
Teringat ia bahwa Koay Lojin juga pernah menunjukkan kelihaian ilmu tongkatnya
waktu orang tua aneh itu datang ke Sian-li-pay dan telah menyaksikan betapa hebatnya
orang tua dari gunung Fu-niu itu. Kini pengemis tua yang memainkan ilmu tongkat yang
luar biasa ini, hati Bu-tek Sianli menjadi tidak enak apabila Koay Lojin yang pernah ia
rasai kelihaiannya!
-
demikian Can Lo-kay mengelebatkan tongkatnya menyerang lebih hebat lagi.
Dibarengi kemudian berkelebat sinar hitam dan tahu-tahu tongkat kecil di tangan
Yap Sian Eng sudah merangsek nenek Bu-tek Sianli dengan hebat. Suara-suara
samberan tongkat kecil yang berkepala ukiran kepala naga itu menciut saking kerasnya
samberan tongkat itu.
Bu-
-
Tantang Sian Eng ketus sambil mempercepat gerakan tongkatnya.
Melihat betapa Yap Sian Eng sudah turun tangan, anggota Ang-kin-kay-pang yang
berkepandaian cukup tinggi berkelebat menyerbu Bu-tek Sianli dan melancarkan
serangan-serangan maut!!!
dak lekas menyuruh anak buahmu turun tangan mau tunggu apa
-tek Sianli membentak Sin-tung-mo-kay Peng Hay.
Mendengar seruan ini, Peng Hay segera memberi aba-aba pada ke limapuluh
pengemis yang berdiri di sebelah kiri. Sebentar saja para pengemis yang tadinya adalah
anggota Hek-lian-pay ini sudah menyerbu dan disambut oleh para anak buah Ang-kin-
kay-pang. Segera terjadi perang tanding yang cukup seru.
Pihak Ang-kin-kay-pang jauh lebih banyak dari pada orang-orang bekas anggota
Hek-lian-pay, maka melihat ini Bu-tek Sianli melancarkan serangan-serangan ke kanan
dan ke kiri menggunakan jurus-jurus pukulan Bu-tek-sin-kun yang paling hebat.
Terdengar teriakan mengerikan dan tubuh Sian Eng terlempar dan muntahkan darah
segar.
Setelah berkata demikian, Kiang Sun Hi sudah mencelat jauh dan melenyapkan diri.
Mendengar ini Can Lo-kay memberi tanda dengan suitan ke arah anak buahnya. Dan
sebentar itu pula, dengan rapih sekali barisan Ang-kin-kay-pang sudah melenyapkan
diri dan menghilang di balik celah-celah batu gunung.
Bagi para anak buah Ang-kin-kay-pang yang terluka, dengan gerakan yang amat
cepat dan teratur kawan-kawannya yang lain membawanya pergi sehingga tempat itu
bersih dari rombongan Ang-kin-kay-pang. Sedangkan Can Lo-kay sendiri, melihat
betapa anak buahnya sudah lenyap, segera mainkan tongkatnya dengan jurus-jurus
yang terhebat dan begitu melihat Bu-tek Sianli mundur-mundur. Melihat kesempatan
yang baik ini, segera ia melenyapkan diri pula!
Melihat Can Lo-kay sudah kabur, Bu-tek Sianli segan untuk mengejar. Bukan ia takut
kepada pengemis itu, akan tetapi ia cukup cerdik untuk tidak melibatkan diri dengan
Koay Lo-jin dari Fu-niu-san itu!! Maka ia kini menumplekkan kemarahannya pada si
lengan buntung yang tengah melawan Kwan-tiong Tok-ong.
Sungguh hebat sekali pertandingan si raja racun ini dengan Tiang Le. Beberapa kali
hampir saja Tiang Le roboh oleh semburan uap hitam beracun yang dikeluarkan oleh
tokoh racun ini. Kalau saja tidak cukup kuat sin-kang di dada pemuda itu, tentu ia sudah
mati di tangannya si raja racun dari Kwan-tiong ini!!
Memang Kwan-tiong Tok-ong ini bukan saja lihay ilmu silatnya akan tetapi
sepasang senjata berupa tangan beracun itu sungguh sangat berbahaya dan licik.
Sepasang tangan manusia yang penuh racun itu menyambar cepat.
Tiang Le pun cepat berkelit akan tetapi siapa sangka, seorang anggota Ang-kin-
kay-pang yang berada tidak jauh di belakangnya berteriak ngeri dan roboh. Tubuhnya
berubah hitam sekali dan ia berkelojotan terus mati.
Pengemis itu terkena hek-tok (racun hitam) dari kuku hitamnya Kwan-tiong Tok-
ong, sedangkan seorang pengemis lagi tak sempat berkelit dan tangan kiri Kwan-tiong
meluncur mencakar pundak pengemis itu terdengar lagi jeritan mengerikan ketika
tubuh itu roboh dengan tubuh berubah kuning, terkena cakaran kuku yang mengandung
Oey-tok (racun kuning). Kwan-tiong Tok-ong tertawa mengakak dan sepasang cakar
setan itu tiba-tiba tersentak kembali kepadanya disambut oleh sepasang tangan!
Inilah kelihaian Kwan-tiong Tok-ong, orang akan mengira tentu sepasang senjata
yang berupa tangan manusia itu dapat terbang dan kembali dengan amat cepatnya.
Sebenarnya, Kwan-tiong Tok-ong yang lihai ini sengaja memasang sepasang
tangan yang diikat oleh sebuah tali pada pergelangan tangannya dan dapat dilempar
menurut kehendak hati. Dengan tali ini ia dapat membuat sepasang tangan itu bergerak
seakan-akan terbang.
Melihat betapa dua orang pengemis Ang-kin-kay-pang telah roboh dengan cara
yang amat mengenaskan sekali, Tiang Le membentak marah dan terdengar kilatan
pedang pusaka buntung berkelebat di depan dadanya.
telah dapat memindahkan hawa sin-kang dari kakek sakti itu. Kalau tidak tentu
tubuhnya akan hancur lebur terhantam pukulan si nenek Bu-tek Sianli.
Diam-diam kagum sekali Bu-tek Sianli melihat tubuh Tiang Le yang luar biasa ini.
Biasanya pukulannya barusan itu, akan dapat menghancurkan batu gunung. Dan dapat
menahan gelombang laut.
Kini pemuda itu, hebat! Tadi begitu pukulannya tepat menyentuh pundak pemuda
itu, ia merasakan hawa panas yang menyerangnya membalik dan kuda-kudanya
tergetar hebat membuat ke dua kakinya menggigil!
-tiong Tok-ong tak terasa lagi berseru memuji sambil memegangi
lengan kanannya yang terserempet pedang Tiang Le.
-manusia tak mempunyai liang-sim (perasaan), hari ini,
aku Sung T
-ha-ha Tiang Le, manusia sombong! Kami belum kalah terhadapmu, mana bisa
-tek Sianli mengejek. Ia amat yakin bahwa kali ini, pemuda
itu tidak akan dapat lolos lagi. Dengan dibantu oleh Kwan-tiong Tok-ong, masakan ia
tidak dapat mengalahkan si buntung ini!
Maka segera ia memberi tanda kepada Kwan-tiong Tok-ong untuk bersama-sama
menyerbu lawannya, berbareng dengen gerakan si Raja Racun itu, Bu-tek Sianli bersuit
dan sebentar itu pula anggota-anggota Ang-kin-kay-pang yang mempunyai tanda
teratai hitam di dadanya sudah menyerbu Tiang Le.
Dalam keroyokan yang ketat ini Tiang Le bergerak hebat bagaikan harimau terluka.
Sekali pedang pusaka buntungnya berkelebat, maka terdengar jeritan dari anak buah
Ang-kin-kay-pang yang bertanda teratai hitam pada dadanya dan roboh dalam keadaan
tubuh mandi darah!
Biarpun pemuda lengan buntung itu dikeroyok oleh banyak orang yang rata-rata
memiliki ilmu silat cukup tinggi, Tiang Le tidak menjadi gentar. Malah ia masih sempat
merangsek si Nenek Bu-tek Sianli dengan jurus-jurus maut dari ilmu pedang Tok-pik-
kiam-hoat yang terlihai.
Sebetulnya ia segan untuk menjatuhi tangan maut kepada para pengemis ini, akan
tetapi karena serangan-serangan Bu-tek Sianli dan Kwan-tiong Tok-ong yang
berbahaya, Tiang Le terpaksa tidak mengambil hati. Apalagi setelah diketahuinya bahwa
pengemis-pengemis ini adalah bekas anggota Hek-lian-pay yang jahat, maka sekali
mengelebatkan pedangnya, terdengar lagi jeritan seorang pengemis yang terluka
lengannya terserempet pedang buntung Tiang Le!
Hebat sekali pertempuran di atas puncak gunung Ta-pie-san ini. Dan sepak terjang
Tiang Le sungguh mengagumkan dan menggetarkan lawan. Setiap pedang buntung itu
bergerak, setiap itu pula terdengar jeritan kaget dari lawannya yang telah terluka oleh
tajamnya pedang buntung di tangan kiri lawan.
Dan baru sekarang pertempuran ini merupakan pertempuran yang benar-benar
hebat, saling serang dan saling mempertahankan diri dan baru sekarang Kwan-tiong
Tok-ong mendapat kenyataan bahwa pemuda lengan buntung ini benar-benar lihai.
Pedang buntung yang dimainkan itu berubah menjadi segulung sinar perak yang amat
kuat, mengurung dan menindih sehingga sebentar saja Kwan-tiong Tok-ong terdesak
hebat. Merasakan bahwa lawannya ini benar-benar tangguh dan luar biasa, si Raja
Racun itu mengeluarkan sesuatu benda dan menyambitkan ke arah Tiang Le dan
disambut oleh tangkisan pedang buntung.
Terdengar ledakan keras dan asap berwarna kuning mengebul menyambar muka
Tiang Le. Amat cepat sekali gerakan asap yang menyambar itu dan Tiang Le mencium
bau yang amat amis dan menyesakkan dadanya.
Segera ia mengerahkan sin-kang di dada. Pada saat itulah sebuah pukulan tangan
kiri Bu-tek Sianli menyentuh pundak Tiang Le!
empar tiga tombak jauhnya.
-ha-
menggeram keras Nenek kosen ini mengangkat tangannya dan siap hendak dijatuhkan
ke arah kepala Tiang Le yang pada ketika itu telah pingsan akibat racun kuning yang
telah terhisapnya tadi.
Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring dari seorang
perempuan muda berjalan bersama seorang anak lelaki yang berusia dua tahun.
Perempuan muda itu adalah Pei Pei bersama Wang Ie yang telah tiba di atas puncak
Ta-pie-san dan begitu melihat Tiang Le roboh dan dilihatnya Nenek itu mengangkat
tangan, ia cepat menjerit sambil berlari:
Bu-tek Sianli menoleh, melihat Pei Pei berlari menubruk Tiang Le dan
mengguncang-guncangkan kepala pemuda yang telah pingsan itu. Seluruh tubuh Tiang
Le sudah berwarna kekuning-kuningan. Inilah racun Oey-tok yang lihai dari si Raja
Racun Kwan-tiong Tok-ong!
-tek Sianli gemas melihat
datangnya Pei Pei.
Ia mengenal perempuan itu. Dan ia tahu bahwa perempuan lemah lambut ini tidak
mengerti ilmu silat. Andaikan Pei Pei tahu ilmu silat tentu Bu-tek Sianli telah menerjang
wanita itu!
itu.
tangan kiri Bu-tek Sianli merenggut baju Pei Pei, terdengar suara keras baju di bagian
dada perempuan muda itu robek sebatas perut.
Pei Pei cepat menutupi bagian dada yang terbuka dengan tangannya dan menatap
tajam kepada Bu-tek Sianli.
Bu-tek Sianli hendak berlutut. akan tetapi begitu kaki si nenek terangkat keruan saja
tubuh Pei Pei terlempar jauh!
Melihat ini, Wang Ie menjadi panas hatinya. Dengan gerakan cepat ia sudah
menerjang nenek itu, dan mengirim jotosan ke arah perut si Nenek. Meskipun hanya
baru beberapa bulan ia melatih diri atas petunjuk suhunya, akan tetapi anak kecil yang
bernyali segede gajah ini dengan berani sekali menerjang Bu-tek Sianli dengan
bentakan nyaring,
kecil itu mengirimkan jotosan ke arah dada Bu-tek Sianli yang tidak menangkis dan
mengerahkan sedikit hawa sin-kang di dada. Ia tertawa bergelak mengejek menerima
pukulan anak kecil itu.
yang terlempar jauh dan menjerit kaget merasakan seluruh tangannya menjadi nyeri
seperti ditusuk oleh ribuan jarum.
Pada saat itulah, ia melihat subonya telah menghampiri Bu-tek Sianli dan dengan
teriakan keras perempuan muda itu menerjang kaki Bu-tek Sianli dan menggunakan
giginya yang runcing menggigit kaki Bu-tek Sianli sekuat-kuatnya ia menggigit!
Pei Pei memang cerdik. Ia tahu bahwa nenek ini sangat kebal sekali dan pikirannya
yang cerdik dan penuh kemarahan itu ia menerjang Bu-tek Sianli dan menggunakan
giginya menggigit betis si Nenek.
Keruan saja Bu-tek Sianli menjerit kesakitan dan mengibaskan kaki kanannya yang
digigit dan sekali kakinya bergerak tubuh perempuan muda itu terlempar jauh dan
menggelinding masuk jurang. Pei Pei menjerit ngeri dan suaranya tenggelam
membawa tubuhnya yang meluncur ke jurang yang amat dalam itu.
Wang Ie terkesiap kaget melihat tubuh subonya telah meluncur masuk jurang.
Untuk beberapa lama ia tersentak dan tidak tahu apa yang harus ia perbuat, matanya
basah sambil menggigit bibir. Ia berlari dan menerjang Bu-tek Sianli lagi, mengirimkan
serangan tangan kiri yang cukup kuat itu!
Bu-tek Sianli menjadi marah, sekali meraba tongkatnya tiba-tiba ia menggerakkan
tongkatnya memukul kepala anak kecil itu. Akan tetapi begitu tongkat itu meluncur
hampir menyentuh kepala si anak, tiba-tiba terdengar suara keras dan sesosok tubuh
berkelebat dan menggerakkan cambuk merah menyerang tongkat.
Bersamaan dengan luncuran sabuk sutera merah itu, seorang gadis manis telah
berdiri di depan Bu-tek Sjanli dan menangkis tongkat dengan ujung sabuk sutera merah.
Wang Ie cepat bergulingan ke kiri dan berdiri di samping wanita muda yang cantik
jelita itu.
Liang Bwe Lan tersenyum mengejek. Menarik kembali sabuk suteranya dan
digulungnya perlahan-lahan. Sementara bibirnya mengeluarkan sindiran,
-tek Sianli, belum insafkah kau pada masa usiamu
semakin tua ini? Hem, menyesal aku mempunyai bekas guru seperti engkau jahatnya,
biarlah aku peringatkan sekali lagi supaya kau pergi dari sini!
Saking marahnya Nenek ini, sampai ia lupa bahwa orang yang diserangnya itu
adalah muridnya. Murid yang pernah ia kasihi dan turunkan kepandaian ilmu silat tinggi.
Akan tetapi sungguh aneh sekali, menghadapi gadis ini, Bu-tek Sianli menjadi gemas
setengah mati.
Ia tadinya nggak menyangka bahwa semua murid-muridnya berbalik memusuhi
dirinya. Juga Bwe Lan. Ia tahu benar bahwa gadis ini pernah menolong pemuda yang
bernama Tiang Le itu waktu di Sian-li-pay. Dan telah terang-terangan mengaku bahwa
ia cinta kepada Tiang Le.
Gila! Benar-benar dunia sudah mau kiamat. Kelima orang muridnya yang mulanya
ia kasihi kini berbalik memusuhinya! Saking gemasnya nenek itu, ia mainkan ilmu
tongkat yang digabungkan dengan jurus-jurus Bu-tek-sin-kun yang lihai.
Pada saat itu, berkat sin-kang yang sempurna di tubuh Tiang Le, hanya untuk
beberapa lama saja pemuda lengan buntung itu pingsan dan ada kira-kira lima menit,
dia sadar kembali. Dan begitu melihat kedatangan Bwe Lan yang telah menolong Wang
Ie muridnya segera dia mengumpulkan hawa murni di perut dan mengembalikan
tenaganya. Dan begitu ia lihat bahwa Bwe Lan telah terdesak oleh Bu-tek Sianli, segera
dia mencelat dan menggunakan tangan kirinya mendorong Bu-tek Sianli sambil
membentak,
-
menggunakan gerakan tangan kilat yang luar biasa dahsyatnya itu.
Bagaikan petir menyambar Bu-tek Sianli merasakan datangnya serangkum tenaga
dahsyat yang luar biasa, segera ia mengelak ke kiri dan berjumpalitan menghindarkan
angin pukulan itu dan membalas mengirim serangan tongkat ke arah Tiang Le. Amat
terkejut bukan main Nenek ini melihat yang melakukan serangan barusan adalah Tiang
Le.
Ia menjadi heran. Bukankah barusan pemuda itu tak berdaya terkena racun kuning,
masa sekarang sudah sadar kembali! Ia melirik ke arah Kwan-tiong Tok-ong yang
sudah mengerahkan pula sepasang tangan buatan dan mengirim cengkeraman ke arah
pundak Tiang Le.
Melihat datangnya cakar setan yang terkenal akan kelihaiannya ini, Tiang Le tak
berani menyambut dengan pukulan, ia berkelit ke kiri dan mainkan langkah-langkah
ajaib menghindarkan diri dari serangan-serangan sepasang tangan yang mengeluarkan
bau anyir itu!
Melihat bahwa pemuda itu sudah menyerang Bu-tek Sianli dan Kwan-tiong Tokong,
Bwe Lan menjadi bersemangat dan tersenyum girang kepada Tiang Le,
Mendengar seruan Wang Ie ini, Tiang Le menoleh kepada muridnya dan berkata
terluka dan membawanya ke belakang untuk dirawat. Sedangkan yang lainnya berdiri
mengelilingi tempat itu menonton perkelahian yang berjalan dengan serunya.
Bagi Bu-tek Sianli adalah hal yang baru pertama kali ia benar-benar dipecundangi
oleh seorang pemuda yang berlengan buntung. Ia sungguh amat malu sekali, ia yang
sudah terkenal di dunia kang-ouw, dan telah menggemparkan dunia persilatan dengan
jurus-jurus ilmu pukulan Bu-tek-sin-kun atau Kepalan Sakti Tanpa Tandingan, kini benar-
benar ketemu tandingan!!
Ia menjadi sengit bukan main dan mainkan ilmu silat Bu-tek-sin-kun-hoat
menggunakan jurus-jurus dahsyat dan siap merenggut nyawa lawan!
Kini setelah munculnya Tiang Le, perkelahian dibagi dua bagian. Kalau Tiang Le
melayani nenek Bu-tek Sianli, adalah Bwe Lan, ia bertemu tanding pula oleh orang tinggi
besar yang tidak dikenalnya ini.
Memang sesungguhnyalah bahwa Kwan-tiong Tok-ong ini bukan tidak terkenal,
akan tetapi karena ia hanya malang melintang di dunia Barat sudah barang tentu tokoh-
tokoh selatan tidak mengenalnya.
Akan tetapi sungguh kejadian yang menggemparkan karena tokoh dari Barat ini,
mempunyai kepandaian selangit! Di barat ia terkenal sebagai Raja Racun karena
senjatanya yang dijuluki Cap-tok-mo-jiauw atau sepuluh racun cakar setan yang luar
biasa kejinya. Barang siapa yang terkena salah satu dari ke sepuluh racun itu tipislah
harapan untuk dapat hidup kembali!
Tahu bahwa senjata yang terbuat dari tangan manusia yang dikeringkan itu sangat
berbahaya sekali, maka Bwe Lan yang cerdik selalu menghindarkan diri dari cakaran
setan yang mengerikan itu. Kalau tadi dia terus bertempur dengan Bu-tek Sianli hanya
separuh hati, kini menghadapi orang tinggi besar yang bersenjata cap-tok-mo-jiauw itu
ia benar-benar menyerang dalam arti kata sesungguhnya.
Ia mengerahkan seluruh tenaga lwekang bagian melemaskan yang disalurkan ke
arah sabuk sutera merahnya, sehingga ujung sabuk itu menyambar-nyambar bagaikan
ular, menerjang dengan totokan-totokan ke arah pundak kanan atau sambungan siku
dan pergelangan tangan. Atau menyerang jari-jari tangan setan yang selalu terbuka
dalam posisi mencengkeram. Ia tidak takut akan benturan-benturan tangan itu karena
melalui sabuk suteranya, ia tidak terlalu kuatir untuk keracunan!
Permainan sabuk sutera gadis muda ini sungguh membuat kagum Kwan-tiong Tok-
ong. Baru sekarang ia tahu bahwa di Selatan ini banyak sekali orang-orang muda yang
berkepandaian tinggi. Baru saja beberapa bulan ini ia terjun ke selatan dan mengikut
Bu-tek Sianli, eh, siapa tahu malah ia harus menghadapi orang-orang muda yang
berkepandaian tinggi dan lihai!
Sialan, tahu begini gua nggak mau ikut-ikut Bu-tek Sianli. Kalau begini jadinya,
sungguh memalukan, pikir Kwan-tiong Tok-ong mengeluh di dalam hatinya!
Si Raja Racun Kwan-tiong, kini benar-benar harus dibuat sibuk oleh gerakan-
gerakan sabuk sutera si gadis yang lihai. Beberapa kali sepasang senjata tangan itu
menyabet ke arah sabuk sutera akan tetapi karena sabuk sutera itu lemas dan kuat,
serta dimainkan oleh Bwe La -sia
saja, sabuk itu tidak mau putus.
Kini menghadapi gadis yang lihai ini, tiba-tiba tangan kiri Kwan-tiong Tok-ong
merogoh sakunya dan sebuah benda hitam menyambar merupakan peluru menyambar
ke arah si
Bwe Lan tersenyum ke arah Tiang Le. Tentu saja meskipun tidak diberi peringatan
oleh pemuda lengan buntung itu, Bwe Lan cukup cerdik dan tidak sudi menangkis peluru
itu, malah ia berkelit sambil membalas menyebarkan jarum-jarum beracun yang
bernama Sian-li-tok-ciam. Senjata rahasia yang terbuat dari jarum yang telah direndam
oleh racun dan pernah terkenal dulu di Sian-li-pay!
Datangnya senjata-senjata halus yang terbuat dari jarum-jarum ini, segera Kwan-
tiong Tok-ong mengibaskan lengan bajunya dan memukul runtuh jarum-jarum itu. Kini
melihat bahwa gadis itu cukup cerdik, ia segera bersuit keras.
Tentu saja Bwe Lan tidak tahu apa arti suitan ini, maka dengan sengit merangsek
orang tinggi besar itu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suitan keras dari atas dan
sesosok burung garuda menyambar ke arah Bwe Lan. Gerakan burung garuda ini
sungguh luar biasa hebatnya, membuat sabuk sutera yang ditangkis oleh cakar garuda
itu terpental ke samping dan bersamaan dengan munculnya burung raksasa itu,
terdengar suara nyaring dari atas punggung garuda:
-hik ini dia cewe yang selama ini
kuimpi-impikan
hi-hik-
gila, bukan sekarang dia kenapa berdiri di s -tiong Tok-ong berteriak marah
ke arah seorang anak laki-laki gundul yang berdiri di atas punggung garuda.
Anak itu berusia sekitar duapuluh tahun lebih, akan tetapi melihat kepalanya yang
botak dan roman muka yang seperti orang tolol, nampak sekali sikapnya seperti anak
kecil memandang Bwe Lan seperti seorang anak kecil mengagumi barang permainan
yang menarik hati.
Kwan-tiong Tok-ong segera memberi isyarat dengan suitan kepada burung garuda
peliharaannya. Maka tiba-tiba saja terdengar suara menggelepar waktu sayap burung
yang keras dan besar itu melancarkan pukulan-pukulan ke arah Bwe Lan!
Pada saat itu, Bwe Lan kaget setengah mati melihat burung raksasa yang begini
besar dan hebat ditunggangi seorang anak laki-laki gundul dan bermuka bodoh
menyeringai memandangnya. Belum hilang Bwe Lan dari kagetnya, tiba-tiba burung itu
menyambar turun dan sekali mengulur kuku, sabuk sutera Bwe Lan sudah dicangkeram
oleh burung garuda, dan burung itu menggeleparkan sayapnya menampar.
Bwe Lan cepat menangkis mengirim dorongan tangan kirinya ke arah dada burung
itu. Akan tetapi siapa sangka justru sambaran sayap garuda ini demikian dahsyatnya
sehingga ia menjadi terhuyung-huyung dan melepaskan pegangan sabuk suteranya!
Cepat ia bergulingan ke kanan menghindarkan sambaran-sambaran cakar burung
garuda yang menyerangnya dari atas.
yang perkasa ini menjerit ngeri menghadapi burung yang begini besar dan ganas.
Pada saat itulah sebuah tangan bergerak menampar dada si burung dan terdengar
suara keras bergedebuk dan bulu-bulu garuda rontok oleh tamparan tangan kiri Tiang
Le, yang sudah mencelat menyambar tubuh Bwe Lan. Sedangkan Wang Ie sudah
menggelendot di punggung Tiang Le. Dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia berkelebat
menarik tangan Bwe Lan.
ke belakang dan menggunakan pukulan jarak jauh. Keruan saja tubuh lelaki gundul itu
terpental oleh hantaman tangan kiri Tiang Le dan pada saat itulah Kwan-tiong Tok-ong
sudah tiba di tempat itu dan menyambar tubuh anaknya yang terguling dari punggung
garuda.
gundul itu
menunjuk Tiang Le.
- -
tiong Tok-ong.
Belum lagi lelaki gundul itu menyahut, tiba-tiba terdengar pekikan yang panjang
menggeletar-geletar dan dibarengi dengan munculnya seorang wanita setengah tua.
Umurnya sekitar empatpuluhan, wajahnya masih kelihatan cantik dan tidak
menyeramkan, hanya pada dahi dan pipinya terdapat lekuk-lekuk dan keriput-keriput
yang membuat wajah yang cantik itu menjadi aneh dan galak.
Sepasang matanya kecil dan tajam dan bergerak selalu. Dia inilah Thung Hay Nio-
nio, wanita Han yang kawin dengan Kwan-tiong Tok-ong dan menetap di Barat sampai
bertahun-tahun lamanya dan telah mempunjai putera yang cukup lihai kepandaiannya
yang bernama Kwan Kong Beng.
Melihat datangnya wanita ini, Tiang Le cepat mempergunakan gin-kangnya
berlompatan di atas pohon dengan dituruti oleh Liang Bwe Lan, karena jalan yang di
depan itu sudah dikurung oleh ratusan ular besar kecil merayap naik. Tentu saja Tiang
Le tidak takut akan ular-ular itu, akan tetapi sekiranya ia melawan gin-kangnya
tubuhnya berkelebatan berloncatan dari pohon ke pohon.
Berkali-kali burung garuda itu menyambarnya, akan tetapi begitu tangan kiri Tiang
Le memukul ke atas terdengar suara keras menggedebuk dan tubuh burung garuda itu
terpental ke atas menghamburkan bulu-bulu yang rontok terhantam pukulan tangan
kiri Tiang Le yang lihai.
Biarpun ia itu hanya sebagai burung, akan tetapi garuda ini cukup cerdik dan takut
mati. Merasakan bahwa pemuda lengan buntung itu lihai sekali, dan telah membuat
dadanya sakit terhantam pukulan tangan itu. Sambil mengeluarkan jeritan nyaring
garuda peliharaan Kwan-tiong Tok-ong itu pada berterbangan menuju ke arah sebelah
selatan.
Sudah barang tentu melihat burung itu terbang ke arah selatan Kwan-tiong Tok-
ong anak isteri dan Bu-tek Sianli mengejarnya ke selatan pula, padahal sesungguhnya
Tiang Le tidak mengambil jurusan ke selatan melainkan ia terus berlari ke utara!
Sehingga ia terluput dari kejaran Bu-tek Sianli dan Kwan-tiong Tok-ong sekeluarga!
ooOOoo
Tiang Le ketika mereka menghentikan larinya dan telah berteduh di bawah sebatang
pohon yang rindang. Angin siang berhembus menyejukkan.
Bwe Lan mengambil saputangannya dan mengusap keringat pada dahi dan
lehernya. Terasa nikmat sekali berada di tempat terbuka seperti ini. Ia menundukkan
mukanya dan dadanya berdebar mendengarkan suara halus Tiang Le barusan.
bagaimana
Teringat subonya, Wang Ie tertunduk sedih.
ta tidak kembali
Tiang Le tidak menjahut, hanya tangan kirinya menyambar muridnya dan sekali
menggerakkan tubuh bagaikan terbang mereka sudah berlari menaiki puncak
mengambil jurusan dari barat daya.
Sepi sekali keadaan di puncak.
Tiang Le menurunkan Wang Ie dari gendongannya dan berkata kepada muridnya:
Wang Ie berlarian ke depan dan berdiri di tepi jurang, tangannya yang kecil
Tiang Le dan Bwe Lan segera melongok ke bawah dan terdengar jeritan lirih dari
Bwe Lan kaget. Jurang itu demikian dalam. Tebing-tebingnya menjulang tinggi
mengelilingi sekitar tempat itu.
Jauh di bawah sana tidak kelihatan dasarnya, tertutup oleh halimun yang berasap
membubung ke atas. Jauh di sebelah kiri, pada bagian-bagian tepi yang tertutup oleh
rumput-rumput hijau, terdapat air mancur yang menumpahkan airnya dari ketinggian.
Sedangkan di sebelah kanan nampak batu-batu cadas yang runcing menjulang ke atas
merupakan mata pedang yang tertutup oleh kabut-kabut putih yang menyelimuti.
Dengan pandangan matanya, Tiang Le dan Bwe Lan mencari-cari kalau-kalau di
tempat itu terdapat sesosok tubuh. Akan tetapi mereka tidak melihat tubuh Pei Pei.
Andaikan Pei Pei terjatuh ke tempat di sebelah kiri dan kanan, tentu mereka dapat
melihat jenazah atau tubuh gadis itu. Di tempat itu, mereka tidak menemui Pei Pei.
-
pipinya.
Melihat muridnya menangis hati Tiang Le menjadi pilu. Ia memandang ke jurang
dengan tatapan basah dan nanar.
-
Tiang Le menarik tangan muridnya untuk berlalu, akan tetapi begitu ia melihat Bwe
Lan berdiri memandangnya seperti patung dan seperti orang kebingungan, ia berkata
Ditanya begini Bwe Lan menjadi kikuk dan malu. Ia jadi tertunduk dengan muka
merah. Dadanya berdebar-debar.
Sesungguhnya ia sendiri tidak tahu, hendak ke manakah ia kini? Ia adalah murid
Bu-tek Sianli, tempat tinggalnya dulu adalah di pulau Bidadari, akan tetapi sejak
terjadinya bentrokan dengan gurunya itu dan telah kabur dari pulau, malah secara
terang-terangan sudah menolong pemuda di depannya ini dan sampai berbulan-bulan
itu ia membuntuti Tiang Le.
Kini, bagaimana ini, apa yang harus ia katakan? Ia menjadi bingung. Sampai lama
ia tertunduk dengan muka merah saking malunya, baru ia dapat berkata perlahan,
depan Bu-tek Sianli bahwa aku hanya menyintaimu seorang dan tidak ingin kawin
-tiba ia mengangkat mukanya memandang dan kini Tiang Le
yang tertunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang menjadi pucat.
Teringat ia sekarang bahwa gadis ini telah mengaku terang-terangan di depan Bu-
tek Sianli dan murid Sian-li-pay ini menyatakan cinta kepadanya. Malah telah beberapa
kali gadis ini telah menolongnya. Pertama waktu di pulau Bidadari, dan di tebing pantai
laut Po-hay. Betapa gadis ini telah membuktikan kesetiaannya (baca Pendekar Lengan
Buntung).
Melihat Tiang Le tertunduk, Bwe Lan masih dapat melihat wajah pemuda itu amat
pucat. Ia mengira bahwa pemuda ini masih menderita sakit bekas pukulan Bu-tek Sianli
tadi pagi di puncak itu. Maka ia cepat-cepat berkata,
untuk merawatmu, biarlah aku merawat luka-lukamu dan mari kita kembali ke pulau
bidadari. Pulau itu sudah kosong dan tidak ditinggali lagi oleh guruku. Kalau tidak
keberatan biar kita berdiam di sana, sambil merawatmu sampai kau sembuh betul,
Debaran jantung pemuda lengan buntung itu bertambah keras dan tidak enak hati
dia melihat kebaikan gadis bekas murid Bu-tek Sianli ini, maka untuk menghilangkan
rasa tidak enak dalam hatinya cepat-cepat ia berkata,
betapa besar budi ini, aku tak akan melupakannya. Terima kasih sekali lagi Nona, tak
usah repot-
Mendengar kata-kata gadis ini, bukan main terharunya hati Tiang Le. Akan tetapi ia
bingung juga kalau menolak, kerena ia tahu kalau ia menolak, tentu ia akan melukai hati
gadis yang baik hati itu. Lagi, bukankah beberapa kali sudah gadis ini telah
menolongnya.
Ia sungguh berhutang budi kepada gadis ini dan lagi, merah muka pemuda itu
apabila teringat perkataan gadis ini, perkataan yang tegas menyatakan bahwa gadis
itu menyintainya. Hemm, untuk beberapa lama dada Tiang Le berdebar keras. Dan
segera ia menekan hatinya dan berkata,
baikmu, harap jangan kau tumpuki lagi agar tidak terlalu sukar bagiku untuk
membalasnya kelak.
-kali aku menolak budi baikmu ini Nona, akan tetapi, pada saat ini kami
hendak kembali ke gunung Tiang-pek-san yang sudah begitu lama aku tinggalkan. Dan
aku akan meneruskan cita-cita mendiang suhu Swie It Tianglo, mendirikan partai Tiang-
pek-pay yang sudah tercerai berai ini. Biarlah lain kali, kalau memang kau berada di
sahutnya sedih.
-sama kami. O
Tentu saja Wang Ie menjadi girang sekali. Cepat-cepat ia berkata dengan suara
kau masih punya rumah, sedangkan aku.. . . Sudahlah, mari kita berangkat.. . . ah Wang Ie
angin dingin mengiang di telinganya waktu tubuhnya meluncur dengan pesat ke bawah.
Ia merasakan kepalanya pening bukan main, dalam kagetnya itu ia masih berteriak
keras memanggil nama Tiang Le, akan tetapi suaranya lenyap ditelan dalamnya dasar
jurang yang penuh halimun ini!
Tubuh Pei Pei terus meluncur ke bawah dan sungguhpun pengalaman ini membuat
nyawanya seakan-akan terbang dan semangatnya melayang namun kesadaran
perempuan muda ini masih penuh. Ia tidak mau pingsan malah menjerit keras
memanggil-manggil Tiang Le, suara gemanya berpusing-pusing ke atas.
Saking kerasnya Pei Pei menjerit-jerit sampai habis rasanya suara dan
tenggorokannya menjadi kering, ia memandang ke bawah. Ngeri bukan main
memandang ke bawah.
Kalau tadinya ia memandang ke bawah tak melihat apa-apa karena dasarnya
jurang itu ditutupi oleh kabut tebal, kini ia melihat betapa jauh di bawahnya mencuat
batu-batu gunung yang runcing-runcing siap hendak menyate tubuhnya. Saking
ngerinya pemandangan ini hampir pingsan rasanya karena sukar baginya untuk
bernapas dan melihat pemandaugan yang mengerikan di bawah. Sebentar lagi
tubuhnya akan hancur diterima batu-batu yang runcing laksana mata pedang itu.
Pei Pei meramkan matanya! Tak kuasa dia membayangkan kejadian apa yang bakal
dialaminya nanti. Ia siap untuk mati sekarang dalam keadaan tubuhnya yang terbawa
luncuran cepat sekali itu!
Tiba-tiba ia merasakan pundaknya sakit dan tubuhnya seakan-akan dirobek
menjadi dua, tersentak keras akan tetapi ia kini tidak melayang ke bawah lagi. Ketika
dia memandang, alangkah heran hatinya melihat seorang nenek tua renta telah berada
di pinggiran tebing, dan telah mencengkeram pundaknya. Ia kaget akan tetapi
berbareng girang sekali, karena ia mendapat harapan untuk hidup.
Kalau ia terbanting ke bawah, tak dapat di sangkal lagi bahwa tentu akan mati
dengan tubuh hancur lebur. Kini di dalam cengkeraman nenek itu yang bersila di pinggir
tebing ia mendapat harapan besar untuk hidup.
Terasa kini tangan yang kuat mencengkeramnya terangkat ke atas dan dengan
mudahnya tubuhnya telah terlempar ke sebuah tempat tanah datar yang berukuran
empat persegi. Tahu bahwa nenek tua renta ini yang menolongnya segera saja Pei Pei
berlutut dan berkata:
ya Pei Pei, menyatakan beribu-ribu terima kasih atas pertolongan Popo (nenek)
-
berkata begitu Pei Pei berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
embah-nyembah begitu. Aku hanya seorang
itu bukan saja kau yang mati, juga bayi di dalam perutmu itu akan mati pula hanya
kasihan sekali bayi di dalam perutmu itu. Eh sudah berapa bulan kau mengandung
Melihat nenek tua renta ini sangat baik sekali dan amat ramah, Pei Pei tidak berlaku
sungkan lagi. Ia menghampiri nenek itu dan duduk di atas rumput yang hijau dan tebal.
n Bu-tek Sianli di atas tebing sana itu,
Berkata demikian, Pei Pei teringat akan Tiang Le yang masih terlena pingsan di
atas tebing. Untuk sejenak ia memandang ke atas tebing. Amat tinggi sekali dilihat dari
bawah ini. Akan tetapi ia tidak dapat menembusi tinggi tebing yang tertutup oleh kabut
seperti awan biru yang menutupi ketinggian tebing di atas.
ke atas.
o, di atas tebing itu yang terus menembus ke puncak Ta-pie-san adalah
markas Ang-kin-kay-pang. Saya bersama Tiang Le dan Wang Ie, pergi ke sana. Eh, siapa
tahu kami dikeroyok oleh Bu-tek Sianli dan orang tinggi besar itu. Tiang Le saya lihat
pingsan menghadapi orang tinggi besar. Saya berusaha mencegah Bu-tek Sianli
membunuh Tiang Le, enggak tahunya nenek itu kejam dan telah melempar saya ke
Kemudian dengan singkat Pei Pei menceritakan pengalamannya bersama Tiang Le.
Nenek tua renta itu mendengarnya dengan penuh perhatian dan tertarik akan nasib
gadis perempuan muda ini.
Ia merasa kasihan sekali, apalagi melihat kandungan tiga bulan di perut perempuan
yang kelihatannya lemah lembut ini. Maka diam-diam ia merasa bersyukur sekali
kepada Tuhan yang telah memberikan seorang teman dalam kesunyian hidupnya
seorang diri.
Jilid 3
ENDENGAR kata-kata perempuan itu, nampak wajah si nenek yang sudah
penuh kerut merut itu bertambah mengerut dan menampakkan roman yang
menyedihkan. Ia menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan suara
pelan,
muda, masih
tak baik berdiam di tempat ini. Angin sangat kencang, sebentar lagi salju akan turun
dan tempat ini akan menjadi dingin seperti es.
empat tinggalku Niocu. Mari kita masuk,
Ternyata gua itu mempunyai terowongan yang tidak begitu gelap seperti yang
dilihatnya dari luar tadi. Ia masuk terus dan setelah berjalan ada seratus tindak, ia tiba
di sebuah ruangan yang cukup lebar dan berbentuk empat persegi. Di atas sebuah batu
yang sudah licin, nampak olehnya si nenek duduk di situ dan menggapaikan tangannya
memanggil.
-kek Sians
itu.
-kek Siansu adalah seorang ahli silat yang maha sakti di jaman kerajaan Cin. Ia
adalah bekas panglima perang yang paling lihai ilmu perangnya, sehingga pada
penyerbuan para suku bangsa Naiman yang pada waktu itu lebih besar dari suku
bangsa Mongol dan menundukkan kerajaan Cin, panglima besar yang dulunya bernama
Kok Ciang Tay-
bangsa Naiman habis dibunuh oleh pangl
kerajaan Cin diduduki oleh suku bangsa Mongol, Tay-ciangkun melenyapkan diri, dan
sejak itu tidak pernah lagi didengar namanya.
Sepuluh tahun kemudian muncul seorang manusia yang amat sakti bernama Sui-
kek Siansu. Tak banyak tahu aku akan riwayatnya setelah itu karena buku sejarah yang
pernah kubaca dan kini tersimpan dipeti hitam itu tidak habis kubaca seluruhnya
karena banyak sekali kata-kata huruf kuno yang tidak kumengerti banyak.
hui Niocu bahkan tempat tinggal Sui-kek Siansu ini,
lihatlah di sekelilingnya penuh dengan ukiran gambar-gambar orang bersilat yang
kurasa ditulis oleh manusia setengah dewa itu. Aku hanya baru tiga bagian saja yang
pernah kupelajari mengingat usia yang sudah hampir masuk kubur, untuk apa kupelajari
sampai tamat, maka itu hanya tiga bagian saja aku mengerti.
Akan tetapi begitu ia teringat akan Nenek yang kedua kakinya buntung dan belum
tahu siapakah nenek itu, maka buru-buru ia berkata sambil menghampiri tempat duduk
pada sebuah batu hitam di sebelah kiri si Nenek.
memperkenalkan namanya.
Pei Pei duduk di sebelah kiri si Nenek sambil memandang wajah yang sudah amat
tua itu dan yang mendatangkan rasa iba dihatinya. Dan ia memasang telinganya
mendengar cerita Nenek yang bernama Bong Kwi Nio yang katanya cuma sebagai
seorang pelayan saja.
Benarkah Bong Kwi Nio ini hanya sebagai seorang pelayan? Dan siapakah dia
sesungguhnya? Untuk mengetahui riwayat Nenek ini, baiklah kembali mengenang masa
limapuluh tahun yang lalu.
ooOOoo
Pada masa itu adalah masa jaya pemerintahan kerajaan Beng-tiauw yang dikuasai
oleh bangsa Mongol, jaman keemasan dimana bangsa Mongol dipimpin oleh seorang
pemimpin besar yang bernama Jenghis Khan, kerajaan Mongol. Dengan amat cepatnya
mulai menjelajahi wilayah Tiong-goan. Kotaraja sudah ditaklukkan dan dipegang oleh
seorang kaisar keturunan Han, meskipun kota raja pada waktu itu telah dalam jajahan
bangsa Mongol namun pemerintahan tetap dipegang oleh orang-orang Han dalam
awasan Mongolia.
Pada jaman itu yang menjadi kaisar adalah raja muda Yung Lo, orang Han yang
paling pintar memegang tampuk pemerintahan sehingga meskipun dalam jajahan
Mongol, namun di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo yang cerdik dan bijaksana, terasa
sekali oleh rakyat betapa tenteram dan damai hidup bangsanya. Makanan berlimpah-
limpah didatangkan dari negeri Mongol dan Afganistan. Ke dua suku bangsa ini saling
menukar kebudayaan masing-masing sehingga Tiongkok jajahan Mongol pada waktu
itu mengalami jaman keemasan.
Rakyat hidup makmur, berlimpah sandang dan pangan! Siapakah yang tidak akan
bahagia hidup dalam jaman seperti ini? Raja muda Yung Lo terkenal sekali dan dipuji-
puji oleh bangsanya, suku bangsa Han.
Kaisar Mongol sendiri yakni Jenghis Khan pernah memberikan tanda jasa kepada
raja muda itu. Di mana-mana rakyat memujinya. Rakyat hidup tenteram dan damai,
bukankah itu yang menjadi tujuan setiap negara, walaupun kendati negaranya dalam
jajahan sekalipun?
Namun di antara ribuan rakyat Tionggoan yang memuja-muja raja muda Yung Lo
ini, bukan sedikit ada di antara mereka yang menaruh iri hati dan cemburu atas
kemajuan raja muda itu. Apa lagi pembesar-pembesar di Kotaraja sudah barang tentu
menjadi kekie bukan main atas pengawasan yang ketat dari kaisar Yung Lo sehingga
bagi mereka tidak ada lagi kesempatan untuk korupsi dan menggendutkan perutnya.
Karena inilah mereka itu tidak puas sekali akan pimpinan yang bijaksana dan jujur
dari Kaisar, sehingga dengan diam-diam mereka ini mulai menjalani aksi menentang.
Dan baru mereka ini menyatakan tindakan yang terang-terangan setelah datangnya
pemberontakan-pemberontakan dari bangsa Han yang tak puas negaranya dalam
jajahan.
Bertahun-tahun lamanya pemberontakan berlangsung dan pada akhirnya Kaisar
Yung Lo membunuh diri dengan sebilah pedang kerajaan di atas puncak gunung Tay-
san. Kaisar ini merasa sedih dan kecewa akan pemberontakan yang bodoh dan mudah
saja ditunggangi oleh beberapa golongan yang sengaja mendesas desuskan bahwa
mereka tidak sudi selalu di dalam jajahan. Negara Tiong-goan (Tiongkok pedalaman)
harus berdiri sendiri dan tidak dalam jajahan orang lain!
Akan tetapi di antara para pembesar yang kontra terhadap Raja muda Yung Lo,
ada juga di antaranya pembesar-pembesar yang setia kepada Raja muda itu, di
antaranya para pembesar Tan Kay Beng atau biasa dikenal dengan sebutan Tan-tayjin.
Orang inilah yang paling setia.
Dan pada waktu pemberontakan terjadi dan kaisar Raja muda Yung Lo melarikan
diri, pembesar ini pula yang dapat menyelamatkan peta rahasia peninggalan harta
kerajaan dan disimpannya baik-baik. Akan tetapi entah siapa yang memberitahukan
tentang peta itu, sehingga orang orang jahat yang menghendaki pusaka peninggalan
Raja Muda Yung Lo mulai mendatangi Tan-tayjin.
Orang-orang jahat yang berkepandaian itu, pada suatu malam menyerbu rumah
Tan-tayjin. Membunuh Tan-tayjin beserta seisi rumahnya.
Namun peta pusaka Raja Muda Yung Lo tidak dapat mereka ketemukan. Tentu saja
peta itu, sudah siang-siang telah dibawa lari oleh pelayan Tan-tayjin yang bernama Kwi
Nio!
Pelayan yang tua ini lalu menyembunyikan diri di sebuah dusun di kaki Ta-pie-san
bertahun-tahun lamanya sedangkan peta itu sudah dibakar habis. Namun kaisar baru,
mendengar berita ini, segera mencari Bong Kwi Nio dan menghukumnya dengan
membuntungi kedua kakinya dan kemudian dilemparkan ke jurang maut di atas puncak
gunung Ta-pie-san!
Akan tetapi karena nyawa masih betah tinggal di dalam tubuh Bong Kwi Nio,
pelayan itu tidak mati jatuh ke jurang malah secara kebetulan jatuh ke tempat tanah
datar yang penuh dengan pasir-pasir halus. Sehingga pada waktu tubuh Bong Kwi Nio
terbanting jatuh, ia hanya jatuh pingsan saja berhari-hari dan nyawanya tertolong!
Malah secara kebetulan sekali aku jatuh ke tempat ini dan menemukan tempat
pertapaan Sui-kek Siansu dan telah mempelajari pula sedikit ilmu silatnya dari dinding-
Berkata demikian Nenek itu menarik napas panjang dan memandang Pei Pei
dengan kuatir,
terkubur hidup-
-
-hidup karena tiada jalan bagi kita untuk
kembali ke dunia ram
mempunyai nasib seperti aku terkubur hidup-
-tiba Nenek itu menangis sedih.
Mendengar kata-kata si Nenek barusan, baru teringatlah ia sekarang bahwa dirinya
berada di tempat yang terpisah oleh dunia ramai. Tak mungkin dia kembali ke dunia
Pei Pei terharu sekali melihat perhatian nenek ini terhadapnya, maka iapun telah
Teringat kandungannya Pei Pei menjadi gelisah. Ia tahu bahwa dia bakal melahirkan
dan kalau tidak bisa keluar dari sini.
Celaka! Ia akan mati bertiga terkubur hidup-
g uhh, saking bingungnya Pei Pei menangis
tersedu-sedu di pangkuan si Nenek.
Dielus begini dengan kasih sayang oleh si nenek Bong Kwi Nio, bertambah deras
air mata Pei Pei!
tangisnya reda.
Bong Kwi Nio memandang perempuan muda itu dengan rasa kasih sayang
keadaannya yang seperti di neraka ini akhirnya ia jatuh pingsan di atas batu di dalam
pelukan Bong Kwi Nio!!!
ooOOoo
Setelah melakukan perjalanan berminggu-minggu, akhirnya Tiang Le dan Bwe Lan
sampai di kaki gunung Tiang-pek-san yang tinggi dan penuh dengan hutan belukar liar.
Karena bukit ini sukar sekali didaki, karena tidak ada jalan maupun lorong menuju ke
atas, maka dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, Tiang Le menggendong
Wang Ie berlompatan dari jurang ke jurang dengan diikuti oleh Bwe Lan sehingga kedua
orang itu merupakan bayangan yang berkelebat ke sana kemari dengar gesitnya
melompati jurang-jurang yang curam dan lebar.
Kalau mereka tidak memiliki gin-kang yang sempurna akan berbahaya sekali
melakukan perjalanan seperti ini. Sekali saja kaki terpeleset dan terjungkal masuk
jurang, tak ada ampun lagi, jiwa akan melayang dan tak dapat diharapkan lagi untuk
hidup!
Hutan yang penuh dengan jurang-jurang yang curam dan lebar ini merupakan
bagian Pegunungan Tiang-pek-san di sebelah Barat Daya dan merupakan daerah yang
jarang sekali diinjak oleh kaki manusia. Sebetulnya Tiang Le tahu jalan-jalan yang
mempunyai lorong yang terus menembus ke puncak, yaitu melalui arah selatan, akan
tetapi sangat jauh sekali dari sini dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh sebab
itulah sengaja Tiang Le memotong jalan melalui arah Barat Daya sehingga perjalanan
dapat dipercepat dan dua jam kemudian Tiang Le bertiga telah sampai di puncak
pegunungan Tiang-pek-san!
Sungguh indah sekali pemandangan di tempat ini. Sinar matahari bersinar lemah
di sebelah Timur Laut mendatangkan warna yang indah mentakjubkan karena sinar
matahari yang bersinar lemah menembus halimun yang sudah mulai menurun.
Melihat bahwa mareka sudah sampai di atas puncak gunung, segera bocah dalam
gendongan Tiang Le merosot turun dan berlari-lari menghampiri sebuah bangunan tua
yang menjulang tinggi. Itulah markas partai Tiang-pek-pay.
Akan tetapi pandangan Tiang Le dan Bwe Lan yang sudah terlatih dan tajam dari
kejauhan sudah terlihat olehnya dua orang kakek duduk berhadapan di serambi muka
di bawah sebatang pohon siong yang besar yang terdapat di depan rumah itu.
Ketika Tiang Le dan Bwe Lan mendekat, ternyata kedua orang kakek itu sedang
enak-enak bermain catur. Keadaan kedua kakek yang sudah amat tua sekali usianya
itu, sangat aneh sekali dan tidak pernah dikenal oleh Tiang Le dan Bwe Lan.
Yang seorang adalah seorang tua yang berusia sedikitnya tujuhpuluh tahun
usianya, bertubuh kurus tinggi dan rambutnya yang putih sebatas pundak itu beriap-
riapan. Berpakaian seperti seorang pertapa, terbuat dari kain putih sederhana dan
bersih. Sambil duduk ia memperhatikan papan caturnya, sering menggaruk-garuk
kepala seakan-akan di atas kepalanya banyak terdapat kutu rambut yang gatal.
Juga kakek yang seorang lagi tak kalah anehnya. Usianya juga hampir sebaya
dengan kakek di depannya, berpakaian sederhana pula seperti pakaian yang biasa
dipakai oleh seorang nelayan, di atas kepalanya terdapat topi pandan yang lebar.
Wajahnya meskipun meskipun sudah kelihatan tua akan tetapi kocak seperti kanak-
kanak. Apalagi waktu kakek itu melirik ke arah biji-biji catur dihadapannya. Mata yang
masih bening tajam itu persis sekali seperti mata kanak-kanak yang jenaka, sedangkan
mulutnya yang sudah penuh kerisut-kerisut itu mengoceh terus panjang pendek:
rajamu sudah terkurung oleh perdana menteriku yang perkasa, hendak melarikan diri
-
Suara kakek pertapa itu keras dan nyaring menyatakan kegirangan hati sambil
memperhatikan terus sang perdana menterinya yang mengurung raja.
ke kiri, sambil berkata demikian kakek yang berpotongan seperti seorang nelayan itu
menggerakkan sang raja mundur ke kiri melenyapkan diri dari ancaman sang perdana
menteri lawan yang menyekak.
Untuk beberapa lama, si kakek pertapa termenung sejenak setelah sang raja
berlindung di balik prajuritnya. Ia bisa saja makan pion itu akan tentu saja di bunuh
oleh Raja yang bersembunyi di balik perajuritnya.
Rugilah ia kalau kematian prajurit lawan ditukar oleh perdana menteri yang perkasa
ini. Maka sebab itu diurungkannya untuk mencaplok perajurit dan berdiam diri
mengawasi biji-biji caturnya mencari siasat lagi.
Kedatangan Bwe Lan, Tiang Le dan muridnya tidak diperdulikan oleh kakek aneh
itu.
Tiang Le dan Bwe Lan yang berpandangan tajam dapat mengetahui siapa kedua
orang kakek ini. Ia tidak mengenal kakek pertapa itu, akan tetapi ia pernah melihat
kakek yang berpakaian nelayan. Pernah ia bertemu sekali di pulau bidadari dan malah
pernah menolongnya juga dari ancaman Bu-tek Sianli dan kawan-kawannya.
Memang kakek yang mempunyai mata kocak seperti mata kanak-kanak itu adalah
Koay Lojin. Orang tua aneh yang berilmu tinggi dari Fu-niu-san. Sedangkan kakek
pertapa itu adalah Seng Thian Taysu saudara seperguruan dari mendiang Swie It
Tianglo di puncak pegunungan Hong-san.
Seperti telah dituturkan dalam cerita Pendekar Lengan Buntung, Seng Thian Taysu
ini adalah saudara seperguruan dari mendiang Swie It Tianglo, guru Tiang Le atau
tepatnya ketua partai Tiang-pek-pay. Akan tetapi ketua Tiang-pek-pay ini binasa oleh
Sianli Ku-koay, Te Thian Lomo dan Bong Bong Siangjin.
Dan semenjak itu, hancurlah partai Tiang-pek-pay, ke lima orang murid mendiang
Swie It Tianglo tercerai berai, hanya seorang saja yang bernama Song Cie Lay yang
dapat bertemu dengan Seng Thian Taysu dan diambil sebagai muridnya, akan tetapi
iapun tertawan di lembah Tai-hang-san oleh tentara Mongol (baca Pendekar Lengan
Buntung).
Mengenal bahwa seseorang diantara kedua kakek itu adalah Koay Lojin, yang
pernah diketemuinya. Maka Tiang Le dan Bwe Lan berlutut di hadapan ke dua orang
anpwe ini adalah Koay Lojin dari Fu-niu-san yang
terkenal berkunjung ke Tiang-pek-
Setelah menggerakkan biji caturnya ke depan Koay Lojin menoleh dan tertawa
girang:
ini. Eh, toyu, dia ini murid ketiga mendiang Swie It Tianglo yang telah menggemparkan
-ha-ha!
-main sebentar
denganmu dan kepingin sekali ku menyaksikan kelihaian ilmu silat buntungmu yang
kabarnya telah mengobrak abrik Sian-li-pay dan antek-anteknya.
Mendengar perkataan Seng Thian Taysu tadi yang tahu-tahu telah mencabut
pedang yang berkilat-kilat tertimpah cahaya matahari itu, Tiang Le yang tidak pernah
bertemu dengan orang tua ini menjadi heran datang-datang hendak mengujinya. Maka
dengan menjura sekali lagi pemuda itu berkata,
sehingga murid mendiang Swie It Tianglo tidak mengenal engkau, dasar engkau yang
h susiokmu, karena dia adalah sute dari
mendiang gurumu Swie It Tianglo dari Hong-san!
Memang ia dulunya adalah muridnya Bu-tek Sianli, akan tetapi sekarang tidak lagi,
Untuk sesaat ke dua kakek itu tidak bergerak, hanya memandang Bwe Lan dengan
maaf kepadamu, karena aku telah lancang ke sini mengganggu permainan catur kalian
Pada saat itu Wang Ie telah mendatangi tempat itu sambil membawa beberapa
buah yang masak-masak dan lezat nampaknya karena kulitnya yang kuning kemerah-
merahan itu menandakan bahwa buah-buah itu matang di atas pohon. Bocah ini begitu
tadi dilihatnya di depan rumah itu banyak sekali pohon-pohon buah yang masak-masak
dan lezat, terus saja memanjat dan memetik buah ang-co dan membawanya kepada
mereka yang sedang berdiri berhadapan.
Waktu Koay Lojin menoleh dan melihat buah-buah yang masak di tangan bocah itu
keruan saja ia tertawa girang dan menggapaikan tangannya.
Sambil makan buah, kedua kakek itu memandang kepada Tiang Le:
aku telah mendengarnya ini. Kau hebat, kalau seandainya suheng Swie It Tianglo masih
cabut pedangm
in berkata
mengirim terjangan dayungnya yang amat berat dan besar.
Suara angin berciutan waktu dayung di tangan Koay Lojin menyambar-nyambar.
Sementara pedang Seng Thian Taysu berkelebat-kelebat laksana kilat menyambar.
Kedua orang kakek itu benar-benar menyerang Tiang Le dengan gerakan-gerakan
yang hebat dan kuat. Mereka ini sudah mendengar kelihaian pemuda lengan buntung,
maka mereka kini tidak sungkan-sungkan lagi melancarkan serangan-serangan maut
ke arah Tiang Le yang sudah didengar kelihaiannya, kini benar-benar mereka
dihadapkan oleh kenyataan yang sebenarnya.
Sampai duapuluh jurus mereka bertempur mendesak Tiang Le, namun pemuda ini
hebat bukan main. Gerakan-gerakan kaki pemuda buntung itu luar biasa sekali cepat
dan anehnya. Inilah gerak langkah-langkah ajaib yang bernama Ji-cap-it-sin-po.
Koay Lojin menjadi gemas sekali dan kagum setelah beberapa lama belum juga
dapat menjatuhkan Tiang Le yang benar-benar memiliki ilmu silat yang tinggi. Baru
saja hanya dengan tangan kosong mereka belum dapat mengalahkan pemuda apa lagi
kalau pemuda buntung ini menggunakan pedangnya.
Sungguh luar biasa. Pada hal pemuda itu dikeroyok oleh dua orang yang sudah
mencapai tingkat tinggi ilmu silatnya.
Seng Thian Taysu adalah seorang pertapa di puncak Hong-san yang berilmu tinggi,
dan telah menciptakan ilmu pedang yang disebut Cap-ji Liong-sin-kiam-hoat atau
duabelas jurus ilmu pedang naga sakti. Sedangkan Koay Lojin bukanlah orang
sembarangan, dia itu adalah kakek dari Fu-niu-san yang telah menciptakan ilmu tongkat
yang disebut Fu-niu-san-tung-hoat yang hebat bukan main. Kini menghadapi Tiang Le,
mereka menjadi kagum dan heran!
Merasa bahwa pemuda lengan buntung ini benar-benar lihai, tiba-tiba Seng Thian
Taysu, merobah gerakan pedangnya. Ia mainkan jurus-jurus terlihai dari Cap-ji-liong-
sin-kiam-hoat yang jarang digunakannya itu.
Dan sambil berseru keras tiba-tiba ia merobah gerakan pedangnya yang digunakan
untuk menyerang sambil melompat ke atas. Gerakan ini memang hebat dan tidak
terduga sama sekali, dan ketika Tiang Le mencelat pula ke atas mengirim serangan
tangan kiri dengan gerak tipu Elang Sakti Menyambar Mangsa.
Tangan kiri Tiang Le bagaikan geledek mengibas ke arah datangnya sabetan
pedang Seng Thian Taysu. Sementara kedua kakinya menendang dayung di tangan
Koay Lojin.
angin kibasan lengan baju tangan kirinya Tiang Le, sedangkan dayung di tangan Koay
Lojin mental oleh sepakan ke dua kaki kanan dan kiri Tiang Le waktu di udara.
Thian Thaysu berteriak keras menyuruh pemuda lengan buntung itu menggunakan
pedang.
tahu-tahu Seng Thian Taysu berseru kaget mengetahui pedangnya sudah somplak
terkena benturan pedang buntung Tiang Le. Matanya yang tajam ke arah pedang
buntung di tangan pemuda itu dan berseru heran,
-cu-
hut Tiang Le
mengetahui pedang susioknya menjadi somplak oleh benturan pedang tadi.
tangan kiri Tiang Le telah menyelipkan pedangnya dan membalas dengan serangan
gerak tangan kilat yang penuh hawa sin-kang tinggi.
ubuh Koay Lojin tergetar hebat.
Sebaliknya Tiang Le terhuyung-huyung dan cepat-cepat ia bersila mengerahkan
hawa sin-kang karena merasa dadanya tergetar akibat benturan dengan tongkat si
kakek Koay Lojin.
Setelah beberapa menit rasa sesak di dadanya lenyap, cepat-cepat Tiang Le berdiri
dan menjura ke arah Koay Lojin.
-ha-ha, Tiang Le, bukan engkau yang kalah melainkan aku inilah yang harus
mengakui keunggulanmu. Hemm, sungguh Pendekar Lengan Buntung bukan nama
kosong belaka. Toyu aku mengaku kalah oleh murid Swie It Tianglo dan mengakui
berdirinya partai Tiang-pek-pay atas pimpinan pemuda lengan buntung ini. Selamat
Berkata demikian sekali menggerakkan tubuhnya tahu-tahu Koay Lojin telah lenyap
-ha-
mengirim suara jarak jauh sehingga sehabis itu, orang tua itu berkata kepada Tiang Le,
tandingan pada masa kini. Entah dari mana kau mendapatkan ilmu pedang yang luar
tahui
-pengalaman hidupnya
kepada Seng Thian Taysu.
Diceritakan pula betapa ia pernah bertemu dengan Song Cie Lay, suhengnya. Akan
tetapi sejak pertempuran dengan perwira-perwira Mongol di lembah Tai-hang-san itu,
sejak itu tidak pernah ia ketemuinya lagi.
Ia menjelaskan pula tentang matinya sumoay Sian Hwa waktu melerai perkelahian
antara Bwe Hwa dengan Kong In. Kong In juga mati di tangan Bu-tek Sianli sedangkan
Bwe Hwa sumoaynya pergi entah ke mana.
T'entu saja kepada susioknya ini ia sama sekali tidak menceritakan tentang
hubungannya dengan Bwe Hwa sehingga gadis itu pergi dan tak muncul lagi.
Sedangkan tentang suhengnya yang bernama Song Cie Lay itu ia tak tahu kemana
perginya!
kau seorang yang telah kembali ke Tiang-pek-san maka aku bermaksud untuk meminta
kesediaanmu untuk melanjutkan cita-cita mendiang gurumu mendirikan partai Tiang-
pek-pay.
aku ke dalam. Di dalam telah menanti anak buah Tiang-pek-pay yang dulu masih dapat
menyelamatkan diri dan sekarang bersedia menggabungkan diri kembali. Marilah Tiang
ruang dalam.
Tiang Le dan muridnya dengan diikuti Bwe Lan memasuki ruangan dalam yang
ternyata di situ ada kira-kira duapuluh orang bekas anggota Tiang-pek-pay yang
sempat melarikan diri dan tidak binasa. Tentu saja Tiang Le menjadi girang sekali dan
mengenal orang-orang ini.
Maka bagitu ia sampai di ruang dalam segera ia mengangkat tangan kirinya
menjura hormat. Akan tetapi ia menjadi kaget ketika ke duapuluh orang yang sudah
tua-tua itu berlutut di depannya.
-
Keruan saja Tiang Le menoleh kepada Seng Thian Taysu.
.
-saudara bangunlah. Aku Sung Thiang Le tidak patut mendapat
Dan pada batu di depan nisan mendiang Swie It Tianglo itu telah tersedia pula
makanan dan kertas sembahyang yang terletak di atas meja sembahyang di depan
sebuah nisan. Sampai di tempat ini ke duapuluh orang anggota Tiang-pek-pay berlutut
di depan meja sembahyang diikuti pula oleh Tiang Le dan Bwe Lan, sedangkan Seng
Thian Taysu hanya berdiri menundukkan kepala seperti orang mengheningkan cipta.
Lalu ada seperempat jam kemudian terdengar Seng Thian Taysu membuka suara,
bernama Sung Tiang Le dan disebut orang Pendekar Lengan Buntung. Karena hanya ia
seorang di antara ke lima muridmu yang telah kembali pulang ke puncak gunung, maka
atas persetujuan murid-muridmu yang lain di bawah saksi A Toan, telah mengangkat
pemuda lengan buntung ini untuk meneruskan cita-citamu memimpin partai. Sekarang
memberikan kekuatan lahir dan bathin untuk meneruskan cita-citanya suhu mendirikan
partai Tiang-pek-
Taysu berkata dengan suara yang setengah berbisik, akan tetapi jelas terdengar di
telinga Tiang Le sehingga orang muda lengan buntung yang berlutut itu berkata:
rhadap partai dan untuk ini mempertaruhkan nyawa
teecu demi bakti terhadap Tiang-pek-
Demikianlah, setelah Tiang Le bersumpah di depan batu nisan mendiang Swie It
Tianglo dan memasang hio, ia lalu menerima pedang Tiang-pek-kiam yang diserahkan
oleh A Toan kepadanya. Sebetulnya pedang itu adalah milik mendiang Swie It Tianglo
yang dititipkan pada A Toan, Gurunya itu pernah memesan,
-baik. Kalau aku binasa kau pergilah
dengan pedang ini. Hanya kepada ke lima orang murid-muridku itulah kugantungkan
harapan.
-pek-san dan
menggantikan kedudukanku, kau serahkanlah pedang ini kepadanya sebagai lambang
Cuma seminggu Seng Thian Taysu tinggal di atas puncak Tiang-pek-san. Dan pada
keesokan harinya berangkatlah tosu Hong-san kembali ke tempat pertapaan dan
sebelumnya mereka berpesan kepada Tiang Le:
-baiknya dan hindarkan dari yang jahat. Ingat bahwa
kebesaran partai bukan hanya tergantung dari banyaknya murid akan tetapi kesetiaan
itulah yang utama. Hati-hati kau memilih murid Tiang Le.
Didiklah ia!
au tidak
keberatan, terimalah dia sebagai isterimu. Upacara pernikahan tidak perlu mewah-
mewah Tiang Le, cukup disaksikan oleh para anggota dan bersembahyang dimakam
gurumu. Kapan kau menikah dengannya kau beritahukanlah padaku, sudah lama sekali
aku tidak -ha-
Mendengar kata-kata susioknya ini, keruan saja muka Tiang Le menjadi merah dan
Bwe Lan tertunduk, akan tetapi diam-diam gadis ini menjadi girang dan bahagia. Dari
kerlingan matanya ia melirik Tiang Le menanti reaksi pemuda itu!
akhirnya Tiang Le berkata pelan. Akan tetapi membuat debaran hebat di dada Bwe Lan.
Ia masih tertunduk malu.
-ha-
-moay.. . . sukakah kau.. . . kau.. . . eh
Thian Taysu meninggalkan puncak Tiang-pek-san dengan diantar oleh Tiang Le, Bwe
Lan dan muridnya hingga di bawah gunung Tiang-pek-san.
ooOOoo
Demikianlah sejak kedatangan Sung Tiang Le, partai Tiang-pek-pay berdiri kembali.
Para anak murid yang tadinya tercerai berai kini kembali lagi ke puncak. Sehingga
dalam waktu yang singkat anak murid Tiang-pek-pay sudah bertambah duapuluh lima
orang.
Tiang Le melatih mereka dengan ilmu silat tinggi dibantu oleh Liang Bwe Lan yang
menurunkan ilmu bermain tongkat dan sabuk sutera kepada murid-murid Tiang-pek-
pay sehingga dalam waktu kurang lebih lima bulan kepandaian anak murid Tiang-pek-
pay sudah meningkat tinggi dan merupakan partai persilatan yang cukup terkenal
seperti Kun-lun-pay, Hoa-san-pay, Bu-tong-pay dan yang lainnya. Nama Pendekar besar
Sung Tiang Le mulai disegani oleh banyak orang-orang kang-ouw dan mendapat
tempat yang sejajar dengan para orang-orang gagah dan disegani oleb kawan dan
lawan!
Dua bulan yang lalu, Tiang Le telah melangsungkan pernikahan dengan Liang Bwe
Lan amat sederhana sekali serta pernikahan yang berlangsung di puncak Tiang-pek-
san itu. Hanya dihadiri oleh Seng Thian Taysu, Koay Lojin dan beberapa para penduduk
di kaki gunung Tiang-pek-san.
Acara pernikahan itu hanya berlangsung di depan meja sembahyang dan
disaksikan oleh Koay Lojin dan Seng Thian Thaysu. Sungguh suatu pernikahan yang
sederhana akan tetapi membawa kebahagiaan di hati kedua orang muda itu.
Bwe Lan dan Tiang Le merupakan pasangan yang cocok dan ideal. Betapa tidak,
memang sudah lama Bwe Lan mencintai Tiang Le dan sebaliknya walaupun mulanya
Tiang Le belum menaruh cinta kepada Bwe Lan, akan tetapi karena ia merasa sudah
merasa berhutang budi banyak kepada gadis yang berkali-kali pernah menolongnya ini
maka pada akhirnya Tiang Le mengambil Bwe Lan sebagai isterinya.
Pada suatu hari Tiang Le duduk hersama Bwe Lan di muka halaman gedung Tiang-
pek-pay. Pada waktu itu murid-muridnya tengah berlatih di ruang lian-bu-thia di
belakang.
Seperti biasa sehabis memberi petunjuk kepada murid-muridnya, Tiang Le
melepaskan lelah di depan gedungnya ditemani oleh Bwe Lan yang selalu
mendampingi. Mereka memandang jauh, mengawasi awan berarak yang beterbangan
menipis. Sementara matahari pagi mengusap punggung bukit merupakan pancaran
suaminya.
Mendengar panggilan Bwe Lan yang begitu mesra dan manja Tiang Le menoleh.
Memandang isterinya. Kemudian membersitkan sebuah senyum hangat.
-
Akan tetapi Bwe Lan tertunduk, pada wajahnya kemerah-merahan segar
merupakan sebuah wajah yang manis dan menggairahkan.
Bwe Lan.
pokoknya aku heran sekali, kau kelihatannya tidak bahagia denganku. Koko katakanlah
menanam budi kepadamu. Apakah hanya karena budi itu kau mau mengambil aku
Berkata begini air mata Bwe Lan bercucuran. Ia
berkata tadi dengan mengap-mengap setengah terisak.
Keruan saja melihat isterinya menangis Tiang Le menjadi bingung bukan main.
Buru-buru ia memeluk Bwe Lan dan katanya,
-moay, jangan kau menangis aku memang cinta kepadamu, bukan
saja karena budi aku kawin denganmu, bukan hanya karena itu, harap kau tidak salah
engkau telah begitu tulus sudah mencintaiku. Bukankah ini merupakan suatu
kehormatan dan kebahagiaan mendapat cinta kasih darimu yang cantik jelita, Lan-
moay.. . . Begitu
Mendengar ini tiba-tiba Bwe Lan tersenyum dalam deraian air mata, yang masih
bergelantungan di bulu-bulu mata. Ia kini memandang Tiang Le dengan pandangan
mesra dan bibir tersenyum manis.
Sungguh aneh sekali gadis ini, isterinya ini, tadi nangis, eh sekarang tersenyum.
Sungguh tak bisa dimengerti hati isterinya ini, pikir Tiang Le yang terus saja membelai
rambut isterinya dengan mesra.
Tiang Le masih memandang ke atas. Dan tiba-tiba Bwe Lan berseru keras:
-
Belum lagi Tiang Le menyahut tahu-tahu kim-tiauw itu menukik ke bawah dan
terdengar suara nyaring dan merdu dari angkasa,
Tiba-tiba terdengar wanita di atas punggung rajawali emas itu bersuit dan tahu-
tahu burung rajawali itu telah menukik mencengkeram kepala Tiang Le. Cepat Tiang Le
menggeser kakinya meloncat ke belakang sambil menarik tangan Bwe Lan.
Tamparan sayap kiri burung rajawali itu menggeletar menghantam bangku dimana
Tiang Le dan Bwe Lan duduk tadi. Suara keras terdengar dan bangku itu hancur
berantakan terkena pukulan rajawali yang hebat itu. Bersamaan dengan terdengarnya
suara bangku yang hancur tadi, berkelebat sesosok tubuh mencelat dan tahu-tahu telah
berdiri di depannya Tiang Le dan Bwe Lan.
Tiang Le terkejut bukan main melihat kedatangan wanita ini. Wanita cantik
berpakaian serba putih, rambutnya yang hitam panjang sampai ke pundak. Matanya
yang bening berkilat-kilat memandang Tiang Le, kemudian tersembul sebuah senyum.
tidak keruan rasa. Ia berdiri terpesona memandang wanita yang memang Lie Bwe Hwa
adanya.
Dan yang membuat Tiang Le bengong melongong adalah ketika pandangan
matanya terbentur pada perut wanita cantik itu. Perut yang membuncit dan
menyatakan sebuah kandungan yang sudah bulannya!
-hik-
- ikutlah aku, sebentar lagi aku bakal
melahirkan seorang anak dan kau harus menyaksikannya! Hi-hik ini bakal anak kita
sembilan bulan. Beberapa hari lagi, aku akan melahirkan seorang anak. Koko kau ikutlah
-tiba Bwe Hwa menangis memandang Tiang Le.
yang terasa berat bukan main. Ia terhuyung-huyung lagi dan kalau tidak cepat-cepat
Bwe Lan menyanggahnya, tentu Tiang Le akan roboh menggeloso di tanah. Bwe Lan
cepat-cepat menyambar Tiang Le dan mendudukannya di bangku.
ikut de
menunjuk perutnya yang membuncit. Berjalan menghampiri Tiang Le.
sudah miring otak, gila! Bagaimana suamiku kau bilang suamimu. Ia adalah suamiku
Mendengar pertanyaan yang aneh ini, keruan saja Bwe Lan menjadi panas dan
ebar-
-ha-
Hebat sekali pukulan jarak jauh ini. Buru-buru Bwe Lan mengerahkan lwekangnya
dan membalas mendorong wanita itu. Dua telapak tangan yang sama-sama halus dan
kecil beradu.
Bentakan ini disertai munculnya seorang anak laki-laki kecil berusia empat tahun dan
diikuti oleh puluhan anak buah murid Tiang-pek-pay.
berpengalaman ini tidak mau berlaku semberono, maka ia lantas menjura dan berkata
hormat,
ah dan ada keperluan apakah datang ke puncak Tiang-pek-
- -baik di dalam.
Selama ini aku memang menanti-nantimu
berdiri dan menghampiri Bwe Hwa pula.
Dua orang muda itu saling berpandangan. Dari pandangan itu Tiang Le dapat
melihat betapa perempuan muda di depannya itu jauh lebih kurus dan pucat. Kasihan
sekali.
Ia melihat perempuan muda ini, apalagi waktu pandangannya terbentur oleh perut
Bwe Hwa yang membuncit. Terasa hati Tiang Le perih bukan main. Ia tahu bahwa anak
yang di dalam kandungan Bwe Hwa itu adalah anaknya!
dengan panggilan
mesra dan pelan.
Akan tetapi cukup terdengar oleh Bwe Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.
Melihat sikap perempuan muda yang bersikap begini mesra, panas sekali rasanya hati
Bwe Lan.
Ingin sekali ia menerjang perempuan muda itu dan menempurnya sampai seribu
jurus. Akan tetapi melihat betapa sikap Tiang Le juga demikian baik dan mesra
kelihatannya Bwe Lan menekan perasaan hatinya yang bergelora, memandang ke arah
Tiang Le dan perempuan muda itu.
arang kau datang, mengapa kau tidak dulu-dulu.
Hwa moay, lama sudah aku mencari-
Le terdengar bergetar penuh perasaan hati.
Tiba-tiba Bwe Hwa menubruk Tiang Le dan menangis dalam pelukan laki-laki
lengan buntung itu. Suaranya tersendat-sendat menahan isak.
an kepala. Ia hendak
melepaskan pelukan perempuan muda ini, akan tetapi Bwe Hwa tak melepaskan
pelukannya. Ia memandang Tiang Le dengan tatapan basah.
Tiang Le menggeleng kepala lagi. Ia tak kuasa untuk menentang tatapan Bwe Hwa
yang demikian sandu dan penuh perasaan cinta itu. Hatinya berdebar keras dan
bingung.
Andaikan di sini tidak ada Bwe Lan yang telah menjadi isterinya yang sah, tentu ia
tidak akan menjadi bingung seperti ini. Tentu ia akan menerima tawaran gadis ini.
Sesungguhnyalah bahwa ia selama ini tidak pernah melupakan Bwe Hwa. Entah
mengapa sejak kejadian yang memilukan hati di lembah Tai-hang-san itu dan ditambah
lagi peristiwa di pantai Po-hai, ia merasa begitu kehilangan Bwe Hwa.
Begitu merasa bersalah kepada perempuan muda ini, karena ia tahu bahwa
perempuan muda itu menderita penyakit kanker dada dan menurut kakek kaki buntung
Lim Heng San, usia Bwe Hwa hanya bertahan tinggal beberapa lama lagi. Oleh sebab
itulah, entah kenapa mengingat ini, hati Tiang Le begitu berat berpisah dengan Bwe
Hwa!
Akan tetapi sekarang, ia sudah diangkat menjadi ketua Tiang-pek-pay, bertanggung
jawab atas mati hidupnya partai ini. Apalagi di samping itu ada Bwe Lan isterinya dan
muridnya.
Tidak, ia tidak bisa meninggalkan puncak ini. Biar bagaimana pun juga ia tidak bisa
berhianat terhadap partai dan mengecewakan hati isteri dan muridnya!
Untuk beberapa lama Tiang Le termenung. Baru ia sadar setelah Bwe Hwa
kah untuk
sekali.
u Hwa-
Sekali-kali tidak karena itu Hwa-moay, kau tahu betapa cintanya aku kepadamu, betapa
Tiang Le dan Bwe Hwa menoleh ke kiri dilihatnya Bwe Lan, memandang Tiang Le
dengan pandangan berapi-
Melihat Bwe Lan sudah naik darah segera Tiang Le menghampiri isterinya itu dan
menyentuh pundak isterinya deng -
moay, memang tentang Bwe Hwa aku tidak pernah menceritakannya kepadamu.
Tiang Le tertunduk, ia hendak memberi keterangan kepada isterinya ini, akan tetapi
belum lagi ia membuka mulut, tahu-tahu Bwe Hwa sudah menghampirinya dan berkata,
Buru-buru Tiang Le melepaskan pelukannya pada istrinya dan berkata kepada Bwe
-moay, aku tak dapat mengikutmu.. . . aku adalah ketua Tiang-
pek-pay, dan di samping itu ada istriku Liang Bwe Lan dan muridku Wang Ie, menyesal
Bwe Hwa mundur setindak. Matanya memandang Tiang Le tajam. Tiga butir air
mata meloncat lewa -jangan kau lebih sayang partai dan istrimu yang
-
Bwe Hwa menjerit lirih. Sebuah pisau menghunjam hatinya. Jantungnya berdarah
seketika. Dirasakannya kepalanya menjadi pening dan berputar-putar! Ia mundur tiga
tindak ke belakang, air matanya berderai-derai membanjir lewat pipinya, pandangannya
basah menatap Tiang Le dan Bwe Lan berganti-ganti.
Tiba-tiba diantara isak tangisnya itu terdengar suara Bwe Hwa memekik lirih:
ata lebih sayang kepada partai dan isteri dan muridmu, kau berhati
menuntut balas atas kepalsuan hatimu. Ia akan datang mencari ayahnya, membunuh
manusia berhati palsu Sung Tiang Le, menghancurkan Tiang-pek-pay, dan membunuh
-ha-
jangan kau lakukan itu.. . . Jangan kau suruh anak di dalam kandungan itu menuntut
balas.. . . Ah..
bunuh aku! Hwa-
-ha-ha-ha Tiang Le manusia berhati palsu.. . . kau hendak merayuku lagi, pergilah
kau setan jay-hoa-
Sekali t
Dan akibatnya Tiang Le terhuyung- huyung ke belakang akibat tamparan yang keras
dari tangan kanan Bwe Hwa.
Bwe Lan menjerit dan memeluk Tiang Le.
Lima telapak jari bertanda di pipi laki-laki lengan buntung itu. Melihat pipi suaminya
menjadi merah bertanda, Bwe Lan menoleh ke arah Bwe Hwa dan dengan teriakan
marah ia sudah menerjang wanita di sampingnya itu.
Tiang Le
mencegah.
Akan tetapi mana Bwe Lan menghiraukan akan cegahannya. Hatinya yang
mendongkol kepada perempuan muda yang berlengan buntung ini, membuat ia tak
dapat mengendalikan perasaan hati lagi. Dan telah menerjang Bwe Hwa dengan pukulan
yang bertubi-tubi!
Sebentar itu pula, dua orang perempuan muda itu sudah saling serang dengan
hebat. Biarpun Bwe Hwa telah kehilangan lengan kirinya, akan tetapi ia masih lihai
bukan main.
Ilmu silatnya yang didapat dari Pek-moko tidak mengurangi kelihaian kebuntungan
lengan kiri. Ia kini telah mencabut senjata pedang pendek yang melengkung berkilat
keputih-putihan tertimpah cahaya matahari.
Inilah pedang iblis yang bernama Pek-hwa-kiam. Dahsyat luar biasa. Tentu saja Bwe
Lan tahu bahwa senjata lawannya ini adalah pedang yang ampuh dan ganas, ia kini
mengeluarkan sabuk suteranya dan bertempurlah mereka dengan seru dan ramai.
Tiang Le menjadi bingung bukan main. Apalagi melihat pedang ditangan Bwe Hwa
yang ganas dan keji hatinya kuatir akan keselamatan Bwe Lan, meskipun ia tahu bahwa
Bwe Lan tidak mudah untuk dikalahkan akan tetapi tentu saja isterinya ini kalah tajam
senjata.
Benar saja belum lagi habis dugaannya, tiba-tiba terdengar suara keras kain robek,
ternyata sabuk sutera di tangan Bwe Lan sudah robek tersabet pedang Pek-hwa-kiam.
Kini dalam kekagetan Bwe Lan tahu-tahu Bwe Hwa sudah menerjang dari atas.
Inilah yang luar biasa, bagaikan terbang saja tubuh Bwe Hwa mencelat ke atas dan
tiba-tiba mengirim serangan dari udara. Pedang Putih berkelebat meluncur ke arah
kepala Bwe Lan dengan gerakan yang amat cepat sekali!
Melihat serangan yang luar biasa dan tak terduga-duga ini, Bwe Lan menjerit kaget
dan hendak membuang diri ke samping, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan
keras dan tahu-tahu pedang di tangan Tiang Le sudah menangkis pedang Bwe Hwa.
Dua senjata yang sama-sama ampuh bergetar di atas.
Terasa tangan Bwe Hwa yang memegang pedang tergetar hebat. Buru-buru ia
mencelat turun dan begitu dilihatnya yang menangkis pedangnya tadi adalah Tiang Le,
berkilat mata itu memandang laki-laki buntung, yang telah berdiri dihadapan Bwe Lan,
isterinya.
di dada.
Tiba-tiba Bwe Hwa memekik keras dan ia telah muntahkan darah segar. Terhuyung-
huyung dengan wajah pucat pasih. Tiang Le cepat memburu Bwe Hwa dan memegang
lengan kanan itu.
- -moay.. . . kau
-
kalau marah ia akan muntahkan darah Lan-
Tiba-tiba Bwe Hwa memekik keras dan mengirimkan terjangan ke arah Tiang Le
dan Bwe Lan sekali gus, sementara mulutnya yang berlumuran darah segar itu
Pedang putih itu bergulung-gulung menyerbu Tiang Le dan Bwe Lan. Akan tetapi
dengan mudahnya Tiang Le mendorong Bwe Lan dan ia sendiri berkelit, suara pedang
berdesing lewat di atas kepalanya.
benturan pedang yang demikian kuat seperti baja. Ia terkejut sekali melihat tongkatnya
sudah patah menjadi dua potong dan belum lagi hilang rasa kaget dan herannya, tahu-
tahu sebuah sinar putih berkelebat di sampingnya ke arah leher.
pedang ke arah leher orang tua bongkok itu. Beberapa senti lagi pedangnya hendak
memenggal leher itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan pedang dan tahu-tahu
pedang Bwe Hwa sudah ditangkis oleh pedang pusaka buntung Tiang Le yang sudah
mencelat menolong A Toan.
-
Mendengar Tiang Le memanggilnya sumoay, pandangan Bwe Hwa berapi-api
menatap Tiang Le. Tahulah ia apa artinya sebutan itu.
Tiang Le hanya menganggap hanya sebagai adik perguruan saja, tidak lebih dari
pada itu? Setan! Aku harus mengadu nyawa dengan laki-laki lengan buntung ini,
pikirnya.
Ia maju selangkah.
u
terhadapku Hwa-
-
huyung hendak jatuh. Akan tetapi Bwe Lan dan murid-murid Tiang-pek-pay sudah
menghadangnya.
keren.
Limapuluh lebih anak buah Tiang-pek-pay sudah mengurungnya. A Toan mendekati
Bwe Hwa dan terus menjura,
-pek-pay, tidak bisa kau bawa
Tiang Le Pay-cu begitu saja. Di sini ada lebih limapuluh orang murid dan istrinya yang
siap untuk melindungi tindakanmu. Ingat Niocu, seorang wanita terhormat dan
mempuyai harga diri tidak akan nanti merebut suami orang menghancurkan rumah
Mendengar perkataan kakek bongkok ini, Bwe Hwa meragu untuk membawa Tiang
Le. Ia memandang laki-laki lengan buntung itu. Tiba-tiba ia menangis pelan. Menoleh
kepada kakek bongkok dan katanya dengan suara terisak:
. . penghinaan ini kelak akan
mena
Karuan saja Bwe Lan dan murid-murid Tiang-pek-pay menjadi heran bukan main.
Bukankah tadi mereka melihat betapa dada kiri Tiang Le tertancap pedang hingga
mengeluarkan darah? mengapa sekarang mereka melihat betapa bukan dada kiri
pemuda itu yang tertancap pedang, melainkan pedang itu yang terjepit di ketiak!
Tentu saja mereka telah dikelabui pandangan matanya oleh laki-laki lengan buntung
yang lihay ini. Malah Bwe Hwa sendiripun menyangka pedangnya melukai dada Tiang
Le, dan tadi ia sendiri melihat betapa banyak keluar darah yang keluar dari luka itu.
Sesungguhnya tidaklah demikian. Pada waktu pedang Bwe Hwa menyambar,
memang sengaja Tiang Le tidak mengelak hanya dengan kecepatan yang luar biasa ia
menggeser kakinya dan menjepit pedang itu di ketiaknya. Saking cepatnya gerakan itu
hingga orang menduga dada kiri Tiang Le itulah yang tertancap pedang.
Kemudian dengan pandangan matanya, Tiang Le menentang mata Bwe Hwa,
mengerahkan ilmu bathin mencipta darah yang membanjir di dada, sehingga bagi
pandangan Bwe Hwa pedang itu tertancap di dada Tiang Le dan mengeluarkan darah.
Saking hebatnya ilmu bathin yang dikerahkan oleh Tiang Le ini, sehingga banyak
murid-murid Tiang-pek-pay pun kena dikelabuinya. Hanya A Toan dan Bwe Lan saja
yang melihat betapa pedang itu hanya terjepit di ketiak Tiang Le!
Setelah Tiang Le melepaskan pedang yang terjepit diketiaknya, ia lalu menyambar
tangan Bwe Lan dan Wang Ie memasuki ruang dalam. Sementara A Toan dan murid-
murid Tiang-pek-pay kembali ke ruang belakang.
masih cemburu dan tidak enak hati atas kedatangan Bwe Hwa yang mengaku-aku
sebagai isteri Tiang Le.
Tiang Le menarik tangan isterinya dan duduklah mereka bertiga. Tiang Le menarik
memulai ceritanya.
Seperti apa yang telah diuraikan dalam bagian depan cerita ini. Begitu pula
diceritakan oleh Tiang Le kepada isterinya didengar pula oleh muridnya yang masih
cilik, Wang Ie.
-marah
padaku dan hendak membunuhku di sana. Akan tetapi aku dapat mencegahnya, ia
lantas pergi!
-carinya. Akan tetapi entah ke mana perginya Bwe Hwa,
, anak yang
memusuhiku, ingatkah kau tadi akan perkataannya? Ahh, Lan-moay, alangkah sedihnya
mengapa kau tidak ambil saja perempuan itu menjadi isterimu dan tinggal di tempat
ini
Jilid 4
AK MUNGKIN ia mau, isteriku. Ia hanya menghendaki supaya aku turut
dengannya dan tinggal di puncak rajawali, hemm, baru kudengar nama
aku baru pernah mendengar nama puncak Rajawali. O ya, Lan- moay.. . .
sudahlah kejadian ini, mungkin salahku. Mungkin sudah menjadi hukuman buatku. Wang
etapi
perjalanan ke puncak Tay-san sangat berbahaya dan tidak mudah. Maka sebaiknya kau
-
ceritakan kepergianku ini kepada saudara-saudara yang lain, kelak nanti apabila saat
bendera sebagai lambang perkumpulan ekspedisi pengantar barang, ada pula yang
berpakaian seperti pelajar-pelajar.
Pokoknya di kota ini segala suku bangsa apapun ada! Mereka ini ada yang datang
untuk berdagang, atau pelancong, ada pula yang hanya sebagai tukang catut barang
dagangan yang mereka seludupkan dari Afganistan. Sebab itulah kota Pin-niang, yang
terletak dekat sungai Zhe-kiang amat ramai dan hingar-bingar!
Begitu Bwe Hwa memasuki pintu gerbang Pin-niang, banyak orang yang
memperhatikan perempuan muda ini. Ada yang merasa iba lihat seorang wanita muda
yang begini cantik, akan tetapi sudah kehilangan lengan kirinya. Ada pula yang terus
saja kagum akan kecantikan wanita itu.
Dan beberapa laki-laki hendak menggodanya. Akan tetapi begitu melihat langkah-
langkah kaki si wanita yang demikian cepat dan pedang pendek di punggung, mereka
hanya bengong dan tak berani menggoda.
Karena jalan-jalan berdebu dan panas. Dengan lirikan matanya, Bwe Hwa mencari-
cari rumah makan. Ia tidak mengerti tulisan-tulisan yang tertera di rumah-rumah
makan. Karena setiap tulisan-tulisan di sana, baik nama jalan maupun nama toko, selalu
ditulisnya dengan bahasa asing yang tidak dimengertinya.
Dan begitu ia mencium bau masakan yang lezat, yang membuat perutnya menjadi
lapar, segera ia tahu bahwa itulah rumah makan. Maka cepat-cepat ia menuju ke rumah
makan tersebut dan memasuki gedung yang cukup besar dan bercat merah itu.
Seorang pelayan menghampiri dan berbicara dalam bahasa Han yang agak kaku,
tetapi dimengerti oleh Bwe Hwa,
Nenek itu sudah tua sekali. Rambutnya yang hitam riap-riapan sebatas pundak
dibiarkan berkibar dipermainkan angin yang menerobos dari jendela rumah makan.
Wajahnya sangat menyeramkan, penuh dengan keriput-keriput dan matanya yang
cekung memancar seperti api.
Tentu saja Bwe Hwa mengenal wanita ini. Nenek itulah bekas pay-cu Sian-li-pay
yang berjuluk Bu-tek Sianli, sedangkan tiga orang kawannya, ia tidak mengenalnya, yang
seorang tinggi besar, seorang laki-laki suku bangsa Tibet dan di sebelah laki-laki tinggi
besar itu duduk seorang wanita suku bangsa Han, meskipun usianya sudah setengah
tua akan tetapi masih kelihatan cantik.
Dan seorang lagi, adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai kepala gundul,
berusia sekitar duapuluhan, akan tetapi wajah itu kelihatannya seperti wajah kanak-
kanak, wajah yang bodoh dan bundar!
Berdebar badan Bwe Hwa. Ia pernah sekali bertemu dengan Nenek Bu-tek Sianli itu
waktu di lembah Tay-hang-san pada waktu menghadapi penyerbuan tentara Mongol.
Malah ia pernah merasa kelihayannya. Dan terluka oleh pukulan Nenek yang lihay.
Diam-diam ia memperhatikan ke empat orang yang dudak di belakangnya itu.
Akan tetapi telinganya yang tajam dapat mendengar suara Bu-tek Sianli yang
tertuju kepada dirinya.
-
Bwe Hwa melirik dan pada waktu itu Bu-tek Sianli dan orang Tibet yang tinggi besar
itu menoleh kepadanya.
yang tinggal satu itu. Biar buntung ke dua-duanya. Pingin tahu aku, apakah setelah
-tek
Sianli terdengar agak keras, sambil matanya melirik ke arah Bwe Hwa.
Ingin menurut hatinya menggempur nenek itu. Akan tetapi mengingat keadaan
yang tidak mengijinkan dan lagi ia tidak ingin membuat kacau di rumah makan ini.
Maka Bwe Hwa menahan hatinya yang mulai panas dan sambil menguping ia mulai
bersantap siang.
e sampingkan dulu, kita perlu cepat-cepat
menghadap Thay-bengcu, Yang Mulia di Istana. Sebaliknya jangan kita menunda-nunda
seorang wanita setengah tua yang terus saja berdiri hendak meninggalkan rumah
makan.
-
memerintah wanita setengah tua itu.
Tiba-tiba Bwe Hwa menggebrak, meja itu amblas hampir setengahnya membuat
tamu-tamu yang berada di situ kaget setengah mati. Dua orang pelayan rumah makan
buru-buru menghampiri dan berkata sambil membungkuk-bungkukkan badannya.
Udara sejuk sekali membuat Bwe Hwa menghentikan larinya dan berjalan pelan-
pelan. Di hadapannya terhampar sawah-sawah yang luas menghijau, batang-batang
padi sudah pada merunduk menandakan buahnya yang masak dan tiba saatnya untuk
dituai.
Para petani nampak kelihatan riang berada diantara sela-sela rerumpun padi.
Senandung mereka menyambut datangnya musim hujan menandakan keriangan hati.
Seorang anak kecil duduk asyik di atas punggung kerbau sambil meniup
serulingnya. Suara kerbau menguak panjang.
Bwe Hwa berjalan pelan-pelan di antara pematang sawah yang luas menghijau.
Angin hitam memberat di angkasa.
Pada saat itu tiba-tiba Bwe Hwa dikejutkan oleh suara menggelepar di atas. Tiba-
tiba ia terhuyung ke belakang oleh tamparan burung garuda yang besar dan kuat. Kaget
bukan main Bwe Hwa, baru pertama kali ia melihat burung yang demikian luar biasa
besarnya.
Dan lebih heran lagi adalah di atas punggung burung itu duduk seorang laki-laki
botak yang kelihatan ketolol-tololan yang tadi siang pernah dilihatnya di rumah makan.
Celaka, kalau lelaki tolol ini sampai ke tempat ini jangan-jangan Bu-tek Sianli dan
dua orang kakek dan nenek itu akan menuju kemari pula. Belum lagi hilang herannya
tiba-tiba burung jang besar itu menukik lagi dari atas menggerakkan cakarnya yang
besar.
Bwe Hwa yang hampir terpental saking kuatnya kuku garuda itu membentur
pedangnya.
Kagum sekali Bwe Hwa melibat keampuhan kuku garuda itu, padahal kalau hanya
membentur pedang biasa saja, pedang pendeknya akan dapat membuntungi pedang
lawan. Akan tetapi kuku garuda ini kuat bukan main!
Pada saat itu berkelebat tiga bayangan yang terus saja menyerbu Bwe Hwa.
Ternyata yang telah datang adalah Bu-tek Sianli dan dua orang yang tadi dilihatnya di
rumah makan.
Seperti kita pernah mengenalnya, dua orang setengah tua itu bukanlah orang
sembarangan. Mereka itu adalah Kwan-tiong Tok-ong, si Raja Racun dari Barat dan
isterinya yang bernama Tung Hay Nio-nio, sedangkan laki-laki berkepala gundul itu
adalah anaknya yang ketolol-tololan yang bernama Kwan Kong Beng, laki-laki yang
cukup lihai dan berbahaya!
Sebetulnya keluarga Kwan-tiong Tok-ong ini tidak ada minat untuk mengeroyok
seorang wanita yang kelihatan lemah dan berlengan buntung itu, akan tetapi karena
Bu-tek Sianli membujuknya, maka sekeluarnya dari rumah makan itu mereka mengejar
Bwe Hwa. Kong Beng sengaja disuruhnya menunggang burung garuda peliharaannya
untuk melihat dari atas sedangkan mereka bertiga berlari cepat mengikut, arah garuda
yang terbang menuju ke luar kota.
Demikianlah, begitu mereka sampai dilihatnya garuda itu sudah bertempur
melawan Bwe Hwa. Tentu saja dikeroyok oleh tokoh-tokoh tangguh, Bwe Hwa menjadi
kewalahan setengah mati dan sebentar saja ia mulai terdesak hebat.
Bu-tek Sianli yang memang amat benci kepada perempuan yang lengannya
buntung ini mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang berbahaya. Bukan tidak
beralasan Nenek ini membenci Bwe Hwa, karena ia mengingat suheng wanita ini yang
paling dibencinya.
Ia sangat dendam kepada laki-laki lengan buntung yang bernama Sung Tiang Le,
gara-gara laki-laki itulah ia kehilangan partai dan kelima murid-muridnya. Rencana
yang semula diatur dengan sempurna musnah sudah akibat tindakan Pendekar Lengan
Buntung yang menyerbu Sian-li-pay.
Untung saja di Sian-li-pay itu ia dapat meloloskan diri dan kemudian lari ke Barat
dan bertemu dengan keluarga Kwan-tiong Tok-ong dan berhasil menghasutnya untuk
dibawa ke selatan. Malah ia menggabungkan diri dengan tokoh-tokoh kaum hek-to di
Barat dan mengakui seorang beng-cu di Barat yang bernama Thay-bengcu.
Kita kembali kepada Bwe Hwa yang dikeroyok oleh orang-orang yang
berkepandaian lihai ini. Ia mainkan jurus-jurus Pek-hwa-kiam-sut dengan sengit.
Dan meskipun ia sudah kehilangan sebelah lengan, akan tetapi dengan pedang Pek-
hwa-kiam di tangan kanannya membuat tidak gampang bagi Bu-tek Sianli merobohkan
lawannya ini. Saking gemas dan marahnya hati si Nenek ini, ia mengeluarkan
tongkatnya dan menerjang Bwe Hwa dengan gerakan-gerakan yang dahsyat.
Dikeroyok seperti ini biarpun Bwe Hwa sudah mewarisi kitab peninggalan Pek Moko
dan mempunyai senjata ampuh seperti Pek-hwa-kiam, akan tetapi menghadapi Bu-tek
Sianli dan Kwan-tiong Tok-ong yang terkenal di Barat, sebentar saja Bwe Hwa terdesak
hebat. Ia cuma dapat mainkan pedangnya menangkis dan mencelat menghindarkan
cengkraman-cengkraman garuda yang menyambar dari atas.
Untung saja laki-laki botak yang duduk di atas punggung garuda itu tidak ikut-ikutan
hanya sebentar-sebentar memerintah burungnya menyambar dari atas sehingga
walaupun Bwe Hwa sudah dibuat sibuk dan terdesak oleh terjangan-terjangan tongkat
Bu-tek Sianli dan pukulan-pukulan tangan kosong Kwan-tiong Tok-ong dan Tung Hay
Nio-nio, Bwe Hwa dapat bertahan untuk beberapa lama.
-tek Sianli, Nenek bangsat.. . . Kalau kau gagah, hayo lawan aku.. . .
Kwan-tiong Tok-ong.
-tiong Tok-ong dan isteriku
Tung Hay Nio-nio, bersama puteraku Kong Beng adalah sahabat Bu-tek Sianli. Kau begini
muda telah menghina Bu-tek Sianli, benarkah? Sayang sekali, terutama engkau yang
masih begini muda dan cantik sayang sekali kalau mendapat luka, lebih baik
pantas di -
-koay (aneh) Kong Beng, puluhan gadis cantik dan terpandang kau
t
Sungguh keji sekali nenek ini. Dapat dibayangkan betapa akan hancurnya tubuh
Bwe Hwa apabila terhantam pukulan dahsyat tongkat itu.
- -tiba Kong Beng berseru keras dan menahan gerakan
tongkat Bu-tek Sianli .
-tek Sianli penasaran
dan menoleh ke arah Kwan-tiong Tok-ong, merupakan teguran atas kelancangan
puteranya. Akan tetapi belum lagi si Raja Racun dapat menjawab. Dengan berani sekali
Kong Beng melototkan matanya ke arah Bu-tek Sianli.
dan menantang.
jangan kau ambil hati, habisi saja permusuhan dengannya sampai di sini. Ia bakal
menjadi mantuku ha-ha- -tiong Tok-ong mengawasi Bu-tek Sianli dan
Bwe Hwa diam. Celaka, ia terjatuh ke dalam tangan orang botak yang miring
otaknya. Begitu ia melirik Bu-tek Sianli memandangnya dangan penuh kebencian.
Tahulah ia nenek ini tentu hendak membunuhnya dan kemudian dicegah oleh laki-
laki botak yang bersikap kegila-gilaan ini. Maka ia tidak begitu bodoh untuk melawan
mati-matian. Baginya, matipun tidak menjadi soal akan tetapi mengingat kandungannya,
ia harus hidup.
-
penuhi permintaanmu. O ya barangkali kau takut jatuh nunggang garuda, biar kita
-
-beng Siocia, aku senang sekali kau tidak
punggung garuda.
Saking lemasnya ia terhuyung-huyung hampir jatuh, akan tetapi tangannya
dipegang oleh Kong Beng dan begitu terdengar suitan Kong Beng burung itu
menggerakkan sayapnya terbang tinggi. Tentu saja Bwe Hwa yang tidak biasa naik
burung, apalagi setinggi ini menjadi ngeri hatinya.
Tiba-tiba Kong Beng bersuit lagi, tahu-tahu burung itu sudah menggerakkan
sayapnya, mengipas-ngipas cepat sekali! Dan Bwe Hwa rasa jantungnya berhenti
berdetik ketika tubuhnya tiba-tiba meluncur cepat sekali. Hampir ia terengah-engah
karena sukar bernapas ketika angin bertitip keras dari depan.
Dan begitu Bwe Hwa memandang ke bawah, semua nampak kecil sekali. Kepalanya
pening, akan tetapi ia memiliki kekerasan hati. Sambil menggigit bibir ia menekan
perasaannya. Masa ia harus kalah oleh laki-laki yang duduk di belakangnya?
- kang.
Namun Bwe Hwa diam saja. Ia tengah tenggelam dalam pikirannya dan diam-diam
ia mengerahkan hawa sin-kang untuk membebaskan totokan yang melumpuhkan
tenaganya.
Setan! Laki-laki botak ini cukup cerdik. Kalau saja ia tidak tertotok seperti ini, ingin
sekali ia menggerakkan tangannya dan mendorong tubuh Kong Beng, biar mampus!
pikir Bwe Hwa.
Tentu saja Kong Beng, cukup cerdik. Siang-siang ia sudah menotok jalan darah Bu-
beng Siocia ini, takut Bu-beng Siocianya kabur dan merepotkan dirinya. Maka tadi begitu
mengurut leher Bwe Hwa menyadarkan, tangannya yang terlatih dan lihai itu telah
menotok jalan darah di tubuh si gadis.
Semakin tinggi burung itu membumbung ke angkasa, semakin ngeri hati Bwe Hwa
melihat ke bawah. Tak berani lagi ia memandang ke bawah, ia memegang leher garuda
itu erat-erat.
Sebentar saja mereka telah tiba di atas hutan kecil di sebelah barat kota Tiang An.
Tiba-tiba Kong Beng berseru dan mengeluarkan suitan tiga kali. Tahu-tahu burung
garuda itu menukik ke bawah dengan kepala di bawah dan ekor di atas.
Hampir saja ia memegang erat-erat leher garuda itu. Tak berani ia membuka
matanya. Suara angin berciutan di dekat telinganya.
-
-
beng Siocia.. . . kita sedang indehoy (pacaran) di udara.. . . ha-ha-ha-ha orang lain tidak
saat itu ia sedang berada di tempat yang amat tinggi. Maka ia segera melepaskan
pegangan tangannya dan mendorong Kong Beng mengirimkan pukulan yang biarpun
tidak berbahaya, cukup membuat Kong Beng terkejut dan berteriak kaget.
Bukan karena pukulan itu yang membuat ia menjerit kaget, akan tetapi ia melihat
tubuh Bu-beng Siocia itu meluncur ke bawah. Tadi begitu mengangkat tangannya dari
pegangan leher garuda, Bwe Hwa terjungkal ke kiri dan menjerit ngeri waktu tubuhnya
meluncur ke bawah dengan amat pesat sekali!
-
Bwe Hwa yang melayang-layang di udara.
Ketika itu tubuh Bwe Hwa berputar dan hatinya sudah tidak keruan rasa
semangatnya terbang, tiba-tiba tubuhnya dicengkeram oleh sebuah tangan yang kuat
dan keras. Dan tahu-tahu tubuhnya tertahan dari luncuran dari atas, malahan melayang
lagi naik ke udara.
lepaskan Bu-
Terdengar suitan lagi, tahu-tahu burung garuda yang ditunggangi oleh Kong Beng
meluncur cepat mengejar burung rajawali yang mempunyai bulu kuning emas.
Bwe Hwa tahu bahwa dirinya dikejar, segera saja ia berseru kepada burung
-tiauw lekas lari, laki-laki botak itu jahat sekali dan hendak
Aneh sekali, seperti mengerti akan perkataan gadis itu, burung rajawali
menggerakkan sayapnya lebih cepat dan terbang semakin tinggi sehingga sebentar
saja Kim-tiauw itu sudah dapat meloloskan diri dari kejaran garuda.
Tahu bahwa burung rajawali ini mengerti perkataannya. Bwe Hwa menjadi girang
dan senang sekali hatinya. Ia mendiamkan saja burung itu terbang tinggi melewati
awan-awan dan semakin cepat burung itu meluncur semakin tidak takut hati Bwe Hwa.
Ia menepuk- -heng,
terim
Tentu saja karena burung itu tidak bisa berbicara, Bwe Hwa tidak dapat menangkap
maksud binatang yang ditungganginya ini, yang mencoet-coet berputar-putar di
angkasa seperti orang kebingungan.
Akan tetapi bukan perkataan itu yang dikeluarkan oleh Kim-tiauw. Ia hanya bisa
mencoet-coet saja berputar-putar di udara seakan-akan tengah menanti perintah ke
mana ia harus menerbangkan gadis di punggungnya ini!
Merasa burung ini berputar-putar dan kebingungan, segera Bwe Hwa berkata,
-ko aku tidak punya tempat tinggal yang tetap, terserah kepadamu ke mana
engkau hendak mem
Terdengar Kim-tiauw itu menjerit girang, Ia sudah dapat menangkap maksud
penunggangnya. Maka sambil mencoet keras merupakan jeritan yang panjang, burung
itu menggerakkan sayapnya dan meluncur cepat ke arah utara.
-tiauw, bawalah aku ke mana saja kau suka. Kalau boleh kau bawalah
Pada hari itu, puncak gunung Rajawali tengah diselimuti oleh halimun yang tebal
dan bersalju. Hujan salju turun merenyai. Memang sudah dua bulan ini di daerah Tibet
tengah mengalami musim salju dan di mana-mana terdapat hujan salju, terutama di
daerah-daerah pegunungan.
Udara dingin sekali. Pohon-pohon diselimuti oleh salju dan berwarna putih laksana
kapas. Binatang-binatang hutan dalam musim-musim salju seperti ini jarang sekali yang
meninggalkan sarangnya, mereka lebih senang berlindung di sarang dan
menghindarkan salju yang dingin itu.
Suasana begitu sepi dan hening. Hujan salju merenyai membawa butir-butiran es
yang menutupi puncak!
Akan tetapi di antara kekelaman malam, jalan yang tertutup oleh halimun dan salju,
sayup-sayup dari atas puncak gunung terdengar suara nyanyian seperti orang
membaca doa. Kadang-kadang nyanyian itu timbul tenggelam di halau oleh angin yang
kencang menghembus. Dalam suasana hujan salju seperti ini, manusia manakah yang
begitu gila berkeliaran di puncak dan membaca liam-kheng?
Memang suara itu kadang-kadang jelas, kadang-kadang tenggelam dalam
hembusan angin dan salju. Akan tetapi apabila kita perhatikan, itulah suara seorang
manusia yang tengah mengulang-ulang bait-bait dalam kitab Suci Dhamapada. Suara
itu jelas terdengar,
Yang Maha
Suara itu terus mengulangi kata-kata seperti itu tak henti-hentinya, kadang-kadang
terdengar keluhannya seperti orang yang berdoa:
indungi diri teecu, agar dapat terbebas dari
Entah manusia manakah yang membaca ayat-ayat kitab suci Dharmapada dengan
suara yang timbul tenggelam itu. Sementara hujan salju masih turun membawa
gumpahan-gumpahan es dan angin bertiup kencang.
Pada saat itu, terdengar suara menggelepar keras dan dari atas menukik seekor
burung rajawali emas dan hinggap di atas sebuah gundukan tanah di muka mulut gua.
Suara burung itu mencicit-cicit nyaring seakan-akan tengah memanggil-manggil.
Seorang wanita muda cantik berlengan buntung telah mencelat dari punggung
rajawali itu dan memandang ke sekeliling. Pakaian dan rambutnya penuh dengan salju
yang menderai-derai menimpah tubuhnya. Hebat sekali wanita itu, dalam deraian hujan
salju yang begitu dingin dan angin keras ia tidak merasa dingin hanya rada wajahnya
nampak membiru.
Tiba-tiba dari mulut gua keluar sesosok tubuh. Tubuh yang sudah demikian tua dan
ke dua kakinya buntung sebatas dengkul. Kakek ini memandang wanita di dekat
rajawali.
Mengenal kakek kaki buntung yang pernah menolongnya, buru-buru Bwe Hwa
otak itu. Untung ada Kim-tiauw yang keburu menolong teecu dan membawanya ke
kenapa kau tidak bersama-sama dengan Pendekar Lengan Buntung, apakah Tiang Le
baik-
-tiba Bwe Hwa menangis teringat
Tiang Le.
Hatinya merasa ditusuk oleh perkataan kakek tadi. Memang seharusnya ia tidak
berpisah dengan Tiang Le, seharusnya dimana ada dia, di situ ada Tiang Le, akan tetapi
ahh, susah! Bwe Hwa menangis semakin keras.
. kalau begitu kau beristirahatlah di tempatku ini. Dalam hal ini sebenarnya
Bwe Hwa terdiam mengingat-ingat. Memang pada waktu itu ia melihat wajah Tiang
Le dan Pei Pei tidak sewajarnya Akan tetapi pada waktu itu ia sudah merasa marah
bukan main dan mendapat lagi mengambil langkah dengan pertimbangan yang sehat.
Diam-diam Bwe Hwa menyesal sekali telah melarikan diri dari Tiang Le.
Hwa. Kalau begitu kan masih ada harapan untuk kembali kepada Tiang Le. Nah, kau
istirahatlah di tempatku ini untuk beberapa lama kau suka, kelak kalau sudah tiba
waktunya boleh kau cari Tiang Le. Aku yakin dia akan mengakui anak dalam
Demikianlah sejak beberapa minggu itu, Bwe Hwa tinggal di puncak rajawali
bersama kakek kaki buntung yang sakti, Sin Kun Bu-tek Lim Heng San. Selama di puncak
rajawali itu ia mendapat ketenangan yang luar biasa dan sakit di dadanya yang tadinya
mulai terasa, kini berangsur-angsur pulih kembali akibat buah-buah yang segar dan
berkasiat yang terdapat di puncak.
Wajah Bwe Hwa kian hari semakin segar dan sehat kemerah-merahan. Girang sekali
hati kakek ini melihat kesehatan Bwe Hwa yang kian hari kian bertambah sehat dan
segar. Apalagi kini setelah beberapa lama tinggal di puncak, Bwe Hwa lebih senang
memakai pakaian serba putih, nampak semakin jelita saja wajahnya dan perutnya pun
semakin membuncit.
Selama di puncak itu kepandaian Bwe Hwa meningkat. Ia diberi pelajaran silat oleh
kakek Sin Kun Bu-tek dengan jurus yang bernama Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali
Pada suatu hari Bwe Hwa berpamit kepada Sin Kun Bu-tek untuk turun gunung
mencari Tiang Le. Saat itu musim salju telah lewat, berganti dengan musim semi yang
gemilang.
Segala bunga-bunga bermekar indah di atas puncak. Daun-daun yang tadinya
rontok oleh datangnya musim salju kini berganti mengeluarkan daun-daun yang hijau
dan cerah. Halimun di atas hanya menipis menutupi puncak rajawali.
Si kakek Sin Kun Bu-tek Lim Heng San menghantarkan kepergian Bwe Hwa sampai
di kaki bukit.
-hati Bwe Hwa, jagalah kandunganmu itu. Kalau kau mau, bawalah Kim-tiauw
untuk menemanimu, mudah-
pesan kakek itu.
Sekali lagi Bwe Hwa menjura kepada si kakek. Kemudian dengan menunggang
burung rajawali yang jinak terhadapnya itu, mulailah Bwe Hwa mengadakan perjalanan
ke selatan dan mencari Tiang Le. Berhari-hari ia terbang di angkasa bersama Kim-
tiauw karena ingin cepat-cepat bertemu dengan pemuda lengan buntung yang
bernama Sung Tiang Le.
Dan seperti yang sudah diceritakan pada bagian depan, gadis ini mendatangi Tiang-
pek-san dan alangkah kecewa hatinya melihat Tiang Le ternyata telah kawin dengan
gadis bekas murid Bu-tek Sianli, yang bernama Liang Bwe Lan. Dan ia mendengar pula
betapa Tiang Le telah menjadi ketua Tiang-pek-pay dan tidak mau mengikutya.
Alangkah kecewanya hati gadis lengan buntung itu. Sambil mengeluarkan suara
tertawa penuh isak tangis, ia terbang tinggi dengan burung rajawali emas yang
membawanya kembali ke puncak Rajawali dan tinggallah ia bersama-sama kakek Sin
Kun Bu-tek sampai ia melahirkan.
Sungguh perih sekali hati gadis itu pada waktu kelahirannya tiada Tiang Le di
dekatnya. Saking kecewanya hati gadis itu, diam-diam ia membenci Tiang Le dan
isterinya. Kelak apabila anak itu telah dewasa, hendak ia tanamkan rasa sakit hati itu
kepada keluarga Tiang-pek-pay.
Dengan pertolongan penduduk dusun, akhirnya Bwe Hwa melahirkan seorang puteri
yang sehat dan manis. Anak perempuan itu diberinya nama Lie Lily, sengaja ia tidak
memakai she (nama keturunan Sung) karena hatinya sudah begitu kecewa dan benci
terhadap Tiang Le.
Puteri yang bernama Lie Lily ini sangat mungil dan manis, membuat kakek Sin-kun
Bu-tek amat sayang sekali dan menganggapnya sebagai cucunya sendiri. Lepas
beberapa tahun kemudian, anak yang mungil ini dididik langsung oleh kakek Sin-kun
Bu-tek dengan menurunkan ilmu silat yang tinggi serta lihai, membuat hati Bwe Hwa
menjadi girang sekali dan ia sendiri dengan giat menurunkan ilmu pedang yang
dahsyat Pek-hwa-kiam-sut, ilmu yang pernah ia pelajari dari kitab peninggalan Pek-
moko. Sudah barang tentu, Bwe Hwa sayang sekali kepada puterinya ini dan sangat
memanjakannya.
Dalam usia hampir menanjak enambelas tahun, Lily menjadi seorang gadis yang
sangat jelita, malah lebih cantik dari Bwe Hwa sendiri. Kepandaiannya pun malah lebih
tinggi dari pada ibunya, karena gadis ini langsung di bawah bimbingan Sin-kun Bu-tek
yang sakti, sehingga dalam usia yang sangat muda itu, Lily mempunyai kepandaian
silat yang amat tinggi dan luar biasa.
Akan tetapi satu hal yang sangat disayangkan adalah berkat didikan Bwe Hwa yang
terlalu memanja anak ini, sehingga ia menjadi seorang gadis yang keras hati dan selalu
menuruti kemauannya sendiri. Lebih dari pada itu, mulai sejak kecil Lily ini dijejali filsafat
melihat engkau yang masih begini muda telah memiliki kepandaian yang cukup
tangguh, apalagi kulihat ibumu juga menurunkan ilmu pedang yang hebat dan ganas.
Kepandaianmu kini boleh dikata sudah mendekati puncak kesempurnaan, tinggal hanya
melatih diri saja!
da batasnya, jangan kau
kira bahwa kepandaianmu sudah menjagoi dunia persilatan. Di dunia ini banyak sekali
orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan tak terbatas.
-san, masih lebih tinggi awan di atasnya. Dan biarpun
awan sudah kelihatannya begitu tinggi, akan tetapi di atasnya masih ada langit dan
segala malaikatnya."
Belum lagi Sin Kun Bu-tek meneruskan kata-katanya, tiba-tiba Bwe Hwa muncul
-carimu setengah mati, nggak
tahunya kau ada di sini. Hayo kau ikut aku menangkap kelinci buat kong-
Bwe Hwa menarik tangan puterinya, membuat Lily terpaksa mengikuti ibunya
berlari-lari turun gunung dan menuju ke sebuah hutan kecil yang banyak terdapat
binatang kelinci di situ.
mengawasi ibunya.
Untuk sejenak wajah Bwe Hwa menjadi murung.
Dia.. . . dia telah mati Lily. Pendekar Lengan Buntung itulah yang telah
-
-
-
kong-kongmu!
menarik tangan anaknya memasuki hutan kecil dan tidak lama kemudian mereka sudah
menenteng telinga kelinci yang gemuk-gemuk dan sehat, langsung saja mereka terus
menuju ke goa Sin Kun Bu-tek.
Akan tetapi alangkah kagetnya begitu dilihatnya si kakek tengah bertempur
menghadapi maut. Lily segera menubruk kakek itu dan menangis tersedu-sedu,
-kong.. . . kong-
Dengan amat sayu si
-megap napasnya
sekarat hendak wafat. Cepat ia menotok pernapasan si kakek yang terasa sesak dan
mengurutnya dada si kakek.
- -
yang sudah rapuh saking tuanya.
berkata demikian kakek yang sakti itu
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
-
Maka dikesunyian puncak itu terdengar tangisan dua orang wanita yang bersuara
merdu seperti bidadari. Itulah tangisan Bwe Hwa dan puterinya.
Si mati terbujur kaku dengan tenang dan damai. Si hidup manggil-manggil si mati
dengan suara yang mengiba dan penuh penyesalan.
Memang demikianlah adanya bagi yang mati, ia telah terbebas dari ikatan-ikatan
duniawi. Ia sudah berpulang ke tempat asalnya dengan tenang dan tiada lagi tangis
dan air mata di sana.
Sebaliknyi bagi mereka yang masih hidup, hukum dunia ini masih berlaku menuntut
kepadanya, sehingga merupakan tekanan dan penderitaan yang tak kunjung habis-
habisnya. Merupakan hidup ini menjadi beban bagi si hidup dan akan lenyaplah beban
itu apabila nyawa, telah meninggalkan raga!
Sampai seminggu itu Bwe Hwa dan puterinya menetap di puncak Rajawali sebagai
tanda berkabung. Jenazah kakek Sin Kun Bu-tek telah dikuburkannya di depan mulut
gua, sehingga di situ terdapat sebuah makam yang baru merupakan, segundukan tanah!
Bwe Hwa dan Lily bersembahyang sekali lagi di depan makam kakek Sin Kun Bu-
tek. Dan setelah itu, mereka berdua ibu dan anak meninggalkan tempat itu untuk
mencari Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le. Mereka tidak berlari cepat menuruni
puncak rajawali, karena Lily yang baru pertama kali ini turun gunung berjalan lambat-
lambat sambil menikmati pemandangah alam yang indah sekali di pegunungan
Himalaya.
Kalau Bwe Hwa berpakaian putih-putih dengan pedang pendek terselip di
pinggangnya adalah puterinya ini demikian jelita dan cantik dalam pakaian warna putih
pula sehingga merupakan sekuntum bunga cilan yang harum dan segar. Pipi gadis itu
kemerah-merahan oleh sebab hawa pegunungan yang dingin dan sejuk.
Pada pinggangnya terselip pula sebuah pedang yang tidak kalah ampuhnya oleh
pedang Pek-hwa-kiam yang dipakai ibunya. Pedang ini adalah pemberian kakeknya
bernama pedang Toat-beng-kiam. Pada waktu kakeknya memberikan pedang itu
pernah kakeknya berkata,
gunakanlah pedang ini untuk kebajikan dan kebaikan bagi sesama manusia. Jangan kau
Dan yang membuat kakek Sin Kun Bu-tek maupun Bwe Hwa merasa sayang kepada
gadis ini adalah karena Lily mempunyai wajah yang mirip dengan ayahnya, Sung Tiang
Le. Hanya sepasang mata itu mengambil mata ibunya, bulat seperti mata burung Hong.
Sehingga seringkali apabila memandang anaknya Bwe Hwa teringat kepada Tiang Le,
dan kembali segala kenangannya bersama Tiang Le melekat di ruang matanya.
Dan kesudahannya timbul rasa sakit hati dan benci. Dan rasa penasaran itu
ditanamkan kepada anaknya, sehingga gadis yang masih begini muda dan cantik telah
mempunyai rasa benci yang luar biasa terhadap Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang
Le!
ooOOoo
Tiang Le dan Bwe Lan mengadakan perjalanan yang jauh menuju puncak Tay-san.
Ia sengaja tidak membawa Wang Ie karena hendak mengadakan berjalan cepat dan
amat berbahaya.
Berminggu-minggu ia berjalan melintasi hutan belukar lebat dan dusun-dusun tak
berhenti-hentinya Kadang-kadang mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan
herkelebat bagaikan bayangan setan di tengah hari bolong, kadang-kadang pula mereka
berjalan lambat-lambat sambil menikmati pemandangan yang indah.
Pada suatu hari mereka sampai di lereng gunung Tay-san yang tinggi itu. Karena
udara sangat panas sekali dalam sebuah hutan kecil mereka berhenti dan duduk di
bawah sebuah pohon yang rimbun daunnya melepaskan lelah.
-san, Lan-
tahu isterinya.
Bwe Lan tersenyum dan memandang ke sekeliling hutan yang banyak ditumbuhi
pohon-pohon besar dan rimbun daunnya. Ia menyeka keringat pada dahinya kemudian
duduknya di tanah di dekat Tiang Le.
Angin yang bertiup dari pepohonan terasa nikmat sekali. Sementara matahari siang
telah berada di atas kepala memandangnya dengan garang.
-
Bwe Lan tidak menyahut, ia mengatupkan kelopak matanya dan tidur-tidur ayam.
Tiang Le memandang isterinya. Ia sendiri tadi tidak mengerti sikap isterinya ini.
Barusan setengah hari mereka tidur mengomong. Isterinya mendiamkan saja. Aneh,
akhir-akhir ini sikap Bwe Lan aneh dan manja!
Ia mendiamkan saja isterinya melenggut tidur ayam menyenderkan kepala
dibahunya, hanya terasa napas isterinya lambat-lambat turun naik. Tiang Le merenung
memandang wajah Bwe Lan.
Entah mengapa apabila dia memandang wajah Bwe Lan dia selalu terkenang akan
Bwe Hwa. Dan apabila teringat itu, ia menarik napas dalam. Merasa bahu itu terguncang
waktu menarik napas tadi, Bwe Lan tersentak kaget dan membuka matanya
memandang suaminya.
-moay, cuma saja. Ahh, entah kenapa hatiku tidak enak apabila teringat
gat perempuan
-tiba Bwe Lan bertanya tajam. Ia memandang
suaminya seperti orang menyelidiki, tatapannya yang tajam dan penuh perasaan tak
senang seakan-akan hendak menembus dan membaca isi hati Tiang Le.
Tiang Le tertu
kuatir ancaman Bwe Hwa tempo hari itu menjadi kenyataan Lan-
Bwe Lan mendengus dan alisnya naik ke atas menyatakan perasaan hati tak
iranya Lan-moay. Siapakah orangnya yang tidak akan pedih hati melihat
ah, kau memang mata keranjang. Sudah Pei Pei kau permainkan, kini Bwe Hwa lagi.
-
Bwe Lan tidak menyahut. Ia hendak berdiri, akan tetapi Tiang Le menarik tangannya
sehingga ia terduduk lagi. Dan terjatuh ke dalam bidang dada Tiang Le yang terus saja
mengecupnya bibir sang isteri.
-
Sungguh tak masuk diakal dan begitu Tiang Le melirik kaki si kakek muka hitam
yang telanjang, tahulah dia tentu kakek ini bukan orang sembarangan, kedatangannya
tidak terdengar oleh mereka. Pada hal kalau seandainya ada semut yang merayap di
tanah tentu Tiang Le dan Bwe Lan sudah mendengarnya, masa kakek ini begitu tiba
telah berdiri di depannya dan memaki-makinya. Gila!
Mendengar kakek itu memaki suaminya keruan saja Bwe Lan hendak menerjang
kakek yang dianggapnya telah mengganggu acaranya dengan suaminya tadi, akan
tetapi Tiang Le yang mengenal kakek muka hitam ini, menjadi terkejut sekali dan
memberi isyarat kepada isterinya untuk tidak sembarangan bergerak.
Anapurna. Siauwte yang muda dan bodoh Sung Tiang Le dan istri menghaturkan
tahu Nakayarinta telah mengeluarkan sebuah tongkat yang terbuat dari ular cobra yang
sudah dikeringkan.
Ular yang sudah kering itu panjangnya ada tiga meter sehingga merupakan tongkat
yang berbahaya dan ampuh. Tongkat ular itu terus saja menyambar kepala Tiang Le
dengan gerakan yang dahsyat dan aneh.
Ekornya meluncur merupakan totokan ke arah kepala, sedangkan tangan kiri kakek
itu mendorong ke muka dengan tubuh agak doyong ke kiri seperti orang hendak jatuh.
Sementara mulut si kakek muka hitam tertawa mengakak.
Menghadapi dua serangan sekaligus ini, Tiang Le cepat mendorong Bwe Lan dan
ia sendiri dengan gerakan kaki menurut langkah-langkah ajaib mainkan jurus-jurus ji-
cap-it-sin-po untuk menghindarkan serangan tongkat sedangkan tangannya bertangan
kiri bergebrak menggunakan gerak tangan kilat yang menyambar dari samping.
Memapaki dorongan tangan kiri Nakarayarinta.
menggerutu.
Tiang Le menyambar lengan isterinya dan diputar-putar sambil tertawa senang,
-ha- -ha-
- -
-
Bwe Lan membanting kaki dan marah- -laki maunya
menang sendiri. Pokoknya terserah Tuhan, laki-
-
-ha-
menaiki puncak gunung Tay-san.
Bayangan Tiang Le yang memondong tubuh Bwe Lan berkelebat laksana burung
walet berlompat-lompatan dari jurang ke jurang dan jikalau ada yang melihat, tentu
orang itu akan menduganya seekor burung yang sedang terbang rendah!
Dan sebentar saja Tiang Le sudah sampai di puncak, akan tetapi ia segera
menyelinap batu gunung dan berbisik ke dekat telinga isterinya.
-moay, sudah banyak orang di puncak itu. Sebaiknya kita tidak memperlihatkan
Bwe Lan merosot dari pondongan Tiang Le dan memandang ke puncak. Benar saja
di atas tanah datar yang cukup luas dan diselimuti oleh rumput itu ada tiga orang
kakek-kakek yang kelihatannya sudah tua dan kurus kering, kakek ini duduk di tiap pojok
merupakan sebuah lingkaran segitiga.
Rata-rata kakek itu berkepala botak licin seperti kepala hwesio, akan tetapi melihat
cara pakaian mereka yang sederhana terbuat dari kain putih yang kasar dan
berpotongan seperti orang dusun, mudah saja diduga bahwa ketiga kakek itu bukanlah
seorang hwesio. Usia mereka rata-rata hampir tujuhpuluh tahun.
Yang seorang kurus kering, wajahnya penuh kerut merut menandakan usia tua.
sedangkan yang seorang lagi yang duduk meramkan mata di pojok sebelah kanan
adalah kakek yang meskipun tidak kalah tuanya dengan kakek pertama tadi, akan tetapi
dia mempunyai wajah bundar dan gemuk seperti wajah ji-lay-hud, pakaiannyapun
seperti pakaian hwesio, berkepala botak, tubuhnya gemuk dan berjenggot putih.
Dan kakek yang terakhir, kelihatan seperti orang yang sudah tidak mempunyai
cahaya kehidupan lagi matanya yang saking tuanya itu memancar pucat dan lesu
setengah dikatupkan seperti orang mengantuk. Wajahnya kurus dan pucat, tangannya
pun kurus kering, kepalanya botak akan tetapi pada telinganya memakai anting-anting
besar seperti orang India, berpakaian jubah kuning dengan sebuah penggada terletak
di dekatnya, mereka itu diam tak bergerak seperti patung.
Angin gunung meniup kencang mengibar-ngibarkan lengan baju dan jenggot
mereka yang sudah pada putih. Mereka duduk bersila merupakan lingkaran segi tiga
dengan tak bergerak.
Pada saat itu berkelebat banyak bayangan dan lima orang kakek yang dikepalai
-wi locianpwee penghuni puncak Tay-san,
perkenankan kami utusan dari Thay-bengcu menghadap untuk menerima harta pusaka
peninggalan Sui-
-
-bengcu adalah beng-cu (pimpinan) kami yang terbesar di Barat dan
mengutus kami untuk menerima kitab dan pedang Sui-
Kakek muka hitam yang bukan lain adalah Nakayarinta itu memberi isyarat kepada
kawan-kawannya untuk mengurung tempat itu. Empat orang kawannya yang bukan
lain adalah Te Thian Lomo, Thay-lek-hui-mo, Bu-tek Sianli dan Kwan-tiong Tok-ong
mengurung ke tiga orang kakek dengan sikap mengancam.
-wie (tuan-tuan berempat) ini hendak berbuat apakah di puncak ini, di sini tidak
ada pedang dan kitab seperti kalian maksudkan. Harap sie-wi segera kembali saja turun
gunung dan sampaikan salam hormat kami Tay-san Sam-lo-jin untuk beng-cu kalian di
-tek
Sianli berkata dan menggerakkan pedangnya melintang di depan dada.
Jilid 5
ENDETA SIALAN, -tek Sianli yang
tidak sabaran telah mengelebatkan tongkatnya menghantam kepala si
kakek botak yang memakai anting pada telinganya. Akan tetapi tongkat itu
telah ditangkis oleh Nakayarinta dengan tongkat ular cobranya.
-baik. Seorang tamu tidak boleh berlaku
nta mencegahnya sehingga
Nenek itu mencelat mundur kembali dengan mengeluarkan suara mengejek.
Pada saat itu dari bawah puncak mendaki serombongan pengemis yang berikat
pinggang sutera merah di pinggangnya. Bu-tek Sianli mengerutkan keningnya melihat
kedatangan rombongan Ang-kin-kay-pang ini, nampak di tengah-tengah rombongan
Can lo-kay berjalan dengan gagahnya.
Tak lama kemudian dari sebelah kiri bermunculan pula orang-orang gagah dari
pulau sinar emas. Itulah rombongan Kim-kong-pay yang sudah tiba di tempat itu di
bawah pimpinan Kiang Sun Hi dan Yap Sian Eng berjalan berdampingan dengan gagah.
Tak lama kemudian, dari balik batu muncul pula orang-orang gagah yang tak lain
adalah Koay Lojin, Cui-sian Kong Sin Kek, dan tak ketinggalan pula si raja obat she Lo
dengan didampingi oleh sahabatnya Kwa-sinshe, sedangkan di belakang mereka
nampak dua orang muda, Lo Siauw Yang dan Go Sin Thong. Sedangkan dari sebelah
kiri tidak ketinggalan muncul pula Pek-pek Hoatsu bersama muridnya Hay-tok Lhama,
yang terus saja menghampiri rombongan Bu-tek Sianli.
-benar puncak Thay-san sudah dikurung oleh orang-orang kang-ouw
untuk barang-
-ha-ha Thay-san Sam-lo-jin, siapa bilang pedang dan kitab adalah benda mati.
Semua orang tentu menghendaki barang itu, yang menghidupkan semangat dan
kekuatan untuk menjagoi dunia persilatan.. . . ha-ha-
dan suara tertawanya keras sekali.
-niu-san juga tidak ketinggalan. Eh, Koay Lojin.. . apakah kau
-
lagi si kakek muka pucat.
-tek Sianli dan
bundar yang bertubuh gemuk itu menggoyang-goyangkan tangannya. Dan angin puyuh
berputaran menyerang rombongan Koay Lojin dan Bu-tek Sianli.
bil mengangkat tangan pula membalas mendorong.
Ia merasa tangannya kesemutan terbentur angin yang diputar-putar oleh si kakek muka
bundar itu sedangkan beberapa orang yang tidak mempunyai kepandaian tinggi
terjengkang ke belakang membuat untuk beberapa lama napasnya menjadi sesak dan
sukar bernapas.
-tek Sianli juga memuji merasakan putaran tenaga angin yang keluar
dari putaran tangan si muka bundar itu. Ia mencelat ke belakang dan membiarkan
Nakayarinta maju ke depan.
-san Sam-lo-jin, kalian terlalu. Kami datang secara baik-baik. Nggak tahunya
kalian sudah begini tak tahu sopan menyerang tamu-tamu yang berkunjung. Hemm,
Tangan kiri Nakayarinta bergerak seperti orang menunjuk, akan tetapi hebat bukan
main. Dari telunjuk itu tiba-tiba memancar sinar merah.
Amat cepat sekali sinar itu menyerang si kakek muka pucat yang tengah
meramkan matanya. Sehingga merasakan benda halus menyambarnya, segera saja ia
menyampok dengan kebutan ujung bajunya.
Akan tetapi, sungguh luar biasa, benda itu demikian halus dan hampir tak
mengeluarkan suara. Dua buah jarum yang bernama Ang-tok-ciam telah menyentuh
kepala botak si kakek muka pucat, dan mukanya bertambah merah. Rasa panas seperti
api dibakar di kepala kakek muka pucat ini menjerit dan menubruk Nakayarinta.
-lay-hud itu
terlambat, karena si muka pucat sudah menerjangnya dengan serudukkan kepala ke
arah perut Nakayarinta. Pendeta dari Anapura tertawa mengakak dan mengangkat
tangannya.
Akan tetapi Nakayarinta juga berteriak kaget merasakan tangannya yang memukul
kepala tadi sudah berwarna merah pula. Cepat-cepat ia merogoh sakunya dan
memupuri bubuk yang berwarna merah di tangannya.
jurus Bu-tek Sianli dan Thay-lek-hui-mo mencelat mundur dan memegangi lengannya
yang terluka terserempet pedang.
-lek-hui-mo.
-te Bu-tek-cin-
-ha-
dengan sepasang tangannya.
Pada ketika itu Kwan-tiong Tok-ong juga sudah maju dengan sepasang tangan
buatannya menyambar-nyambar mencakar pundak Siang Hok. Pada saat itu Siang Hok
mainkan jurus Membabat Rumput Menggali Lubang dan pedangnya dengan aneh sekali
berkelebat dan saking cepatnya jurus gerakan ini, membuat si Raja Racun menarik
kembali lengannya dan mencelat ke belakang, pada saat itulah pukulan Nakayarinta
bersarang di dadanya!
siauwte lihat locianpwee ini memainkan ilmu silat Sui-kek Siansu, bukankah tadi jurus-
jurus Thian-te Bu-tek-cin-
-dua jurus dari Sui-kek Siansu, karena aku dulu
adalah pelayan-pelayan dari Sui-kek Siansu! Tentang pedang dan kitab, sungguh mati
aku tidak pernah tahu! Sebenarnya sudah puluhan tahun Sui-kek Siansu meninggalkan
kami dan kami sendiri tidak tahu entah hidup, entah
-desus ini
sehingga mereka pada datang ke puncak. Jangan-jangan mereka itu hendak mengadu
domba di antara orang-orang gagah untuk memperebutkan kitab dan pedang. Tiang Le
biarlah aku ke atas dan menjelaskan ini kepada orang-
ki
di tepi jurang.
terus terang saja pusaka Sui-kek Siansu tidak ada di sini. Harap cuwi percaya akan
kata-
-ha-ha, siapa yang tidak tahu bahwa kitab itu berada di tanganmu. Cepatlah
-tek Sianli memaki sambil
mengelebatkan tongkatnya
-tek Sianli, kau ini dimana saja selalu membuat onar. Kitab dan pedang tidak ada
-benar sudah bosan hidup Ji Siang Hok. Apa kau tidak memandang mata
akan tokoh-tokoh Kang-ouw yang sudah ke tempat ini untuk melihat pusaka itu. Lebih
baik nggak cerewet dan serahkan kitab itu kepada kami, baru kami akan turun gunung
-apa di sini dan terus terang saja kami sendiripun tidak tahu apakah
betul-betul ada pusaka itu. Kalaupun ada bukan diperuntukkan seorang di antara cuwi,
kuat, dan di atasnya pada punggung garuda itu duduk seorang anak lelaki kepala botak
yang melongokkan kepalanya ke bawah:
-san-sam-
gkan
tangannya ke atas dan bulu-bulu burung garuda rontok terhantam pukulan jarak jauh
dari sepasang tangan Siang Hok.
-miring
terhantam pukulan yang dahsyat.
Kwan-tiong Tok-ong marah dan sambil berteriak keras ia telah mengeluarkan
sepasang senjata tangan yang disebut cap-tok-mo-jiauw (sepuluh cakar setan beracun)
dan tanpa memberi peringatan lagi, tahu-tahu sepasang tangan itu terbang dan
mencakar pundak Siang Hok.
Terdengar jeritan ngeri dari kakek itu yang tak dapat menghindarkan lagi serangan
dari Kwan-tiong Tok-ong yang lihai itu. Keruan saja ia roboh dengan tubuh hangus
terkena racun hitam itu.
Cuma sebentar kakek itu berkelojotan kemudian ia menghembuskan napasnya
dengan mata mendelik dan seluruh muka menjadi hitam seperti pantat kuali, dari
mulutnya mengalir darah hitam. Inilah kelihaian senjata Kwan-tiong tok-ong yang
disebut cap-tok-mo-jiauw atau sepuluh cakar setan beracun!
Bersamaan dengan matinya Ji Siang Hok, tiba-tiba puncak Thay-san menjadi gelap.
Angin keras bertiup dengan sangat kencangnya dan geledek menggelegar-gelegar
memecah bumi. Suara kilat berkeredep saling sambung menyambung dan kemudian
sebentar itu pula hujan turun dengan derasnya. Tanah-tanah di atas puncak menjadi
longsor.
Sungguh suatu kejadian yang aneh dan mangerikan. Tokoh-tokoh kang-ouw yang
tiba di tempat itu otomatis melihat suasana yang tidak menyenangkan ini menjadi
membatalkan niatnya, dan turun gunung. Suara angin yang keras itu menumbangkan
pohon-pohon yang besar sehingga terdengar sangat gaduh sekali.
Dalam suasana hujan lebat seperti ini manusia manakah yang begitu gila untuk
terus tinggal di atas puncak yang dingin dan berbahaya sekali. Jalan-jalan tertutup
kabut.
Sesungguhnyalah bahwa kitab dan pedang tidak diketemukan oleh orang-orang
yang semula mendaki puncak. Hanya tiga sosok mayat itulah yang kemudian terbawa
arus air hujan dan kemudian digulung oleh lumpur tanah longsor dan tertimbun
sehingga tidak meninggalkan bekas.
Dalam kegelapan itu berkelebat banyak bayangan menuruni puncak. Nampak di
antaranya Tiang Le dan Bwe Lan berkelebat cepat kembali ke Tiang-pek-san.
Hatinya menjadi kecewa dan sedih melihat tiga orang kakek penghuni Thay-san
telah meninggal gara-gara hanya sebuah kitab dan pedang yang sesungguhnya tidak
berada di tempat itu. Ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena tak mau
memperlihatkan diri dihadapan Bu-tek Sianli yang ia tahu tentu sangat memusuhi
dirinya.
Tujuannya ialah Tiang-pek-pay!
ooOOoo
Sementara itu di antara hujan lebat yang menderu-deru terhampar angin kencang,
nampak beberapa bayangan berteduh di bawah pohon yang rindang menghindarkan
dari serangan hujan yaug menggila. Dan diantara suara geledek menggelegar terdengar
suara halus dari seorang gadis,
Lim-wangwe di Kotaraja. Habis perkara, atau apakah kau hendak membuat malu nama
ayahmu?
-
-deru itu mengguntur bentakan dari
seorang laki-laki yang tegap dan berjenggot tipis. Dia itulah Yok-ong Lo Ban Theng, ayah
dari Siauw Yang tadi membentak anaknya.
-gwe.. . . aku hendak
membunuh diri saja ayah
Sang ayah menoleh. Menatap tajam anaknya.
berjodoh dengan murid Kwa-sinhe itu, boleh saja. Akan tetapi dia harus mengalahkanku
Hujan bertambah deras turunnya bersama pula semakin derasnya air mata Siauw
Yang berderai-derai memandangi ayahnya. Kemudian dengan sekali berkelebat, Siauw
Yang sudah berlari-lari di antara hujan yang turun menggila.
-ong Lo Ban Theng lari pula mengejar anaknya. Namun Siauw
Yang terus berlari meninggalkan puncak Thay-san di antara gemuruhnya suara hujan
dan angin.
Dua bayangan berkelebat menuruni puncak pegunungan Thay-san yang terkenal
tinggi dan berbahaya itu. Beberapa kali Siauw Yang, terjungkal terpeleset oleh sebab
tanah yang licin di hari hujan, namun apabila ia dengar suara ayahnya memanggil di
belakang gadis itu bangun lagi dan terus lari.
Hatinya menjadi kecewa sekali. Ia hendak dijodohkan dengan putera Lim-wangwe
di kota raja. Setan! Buat apa kawin dengan laki-laki lemah dan kutu buku.
Tidak! Dan Siauw Yang terus menangis diantara kabut-kabut tebal di lereng gunung
Thay-san dan mempercepat larinya kembali ke rumahnya dan hendak dia katakan ini
kepada ibunya bahwa ia tidak sudi dijodohkan kepada si kutu buku itu.
Hanya kepada ibunyalah ia hendak mengadu!
ooOOoo
Panggung lui-tay yang didirikan di depan rumah Yok-ong Lo Ban Theng sudah
penuh sesak oleh penduduk kota yang hendak melihat pertempuran adu kepandaian
silat antara Yok-ong Lo Ban Theng dengan pemuda cebol yang bernama Go Sin Thong.
Di antara sekian banyak penduduk yang berjubel-jubel di bawah lui-tay itu, ada juga
diantaranya orang-orang muda yang mengerti ilmu silat dan duduk di bangku di sekitar
lui-tay.
Nampak di antara sekian banyaknya orang-orang muda yang tampan dan ganteng,
di antaranya terdapat Go Sin Thong yang hendak diuji kepandaian silatnya oleh Yok-
ong. Tentu saja orang-orang muda ini mengenal Go Sin Thong murid Kwa-sinshe yang
mempunyai kepandaian silat yang tinggi.
Akan tetapi menghadapi Yok-ong, entah apakah pemuda cebol ini dapat
menandinginya?
Wajah Go Sin Thong kelihatan murung dan tidak ada semangat. Sebetulnya ia segan
sekali bertempur dengan orang tua ini, akan tetapi berhubung Yok-ong menantangnya,
maka dengan hati enggan akhirnya ia memenuhi juga undangan itu!
Ia tahu pula bahwa kekalahannya menghadap si raja obat ini berarti pula
kehilangan kekasihnya yang bernama Lo Siauw Yang dan itu tidak dihendakinya karena
ia benar-benar mencintai Siauw Yang dan Siauw Yang pun demikian mencintai
kepadanya. Hanya Yok-ong itulah yang kelihatannya tidak setuju dan mengajaknya
bertanding.
Inilah yang memberatkan hatinya. Sebetulnya ia tidak mau meladeni orang tua itu,
akan tetapi karena Siauw Yang mendesaknya untuk menerima tawaran ini dan bersedia
menandingi Yok-ong dalam pibu.
Penduduk kota berdesak-desakan hendak melihat jalannya pertandingan yang aneh
ini. Mereka sudah mendengar tentang tragedi dalam rumah tangga si Raja Obat ini.
Siauw Yang yang jatuh hati kepada murid Kwa-sinshe yang bernama Go Sin Thong,
akan tetapi tidak disetujui oleh ayahnya. Namun karena Siauw Yang berkeras maka
ayahnya mengajak Sin Thong berpibu untuk menentukan kalah dan menangnya
pemuda itu.
Suara tepik sorak menyambut naiknya Yok-ong ke atas punggung lui-tay. Sesudah
menjura ke empat penjuru, orang tua sbe Lo ini berkata dengan suara yang nyaring
dan singkat.
cuwi yang telah meringankan kaki untuk menyaksikan pibu ini. Dan dengan demikian
bahwa cuwi inilah yang menjadi saksi atas pertandingan di tempat ini.
semula, ia bersedia untuk meninggalkan kota ini dan perjodohan dengan anakku
tentunya tidak memenuhi syarat. Dan seterusnya anakku Siauw Yang akan kunikahkan
dengan seorang pemuda putera Lim-
Terdengar suara tepuk tangan riuh rendah.
Yok-ong mengangkat tangannya.
Hebat sekali tusukan yang menghunjam jantung pemuda kate itu. Kalau saja ujung
pedang yang menembus dadanya tidaklah sesakit ini waktu ia menerima kata-kata dari
orang tua she Lo ini, dengan hati pedih ia mencelat dan berkelebat lenyap dari
pandangan mata para penonton, hanya suara pemuda kate itu saja yang terdengar
tertuju ke arah Siauw Yang.
-
merupakan keperihan hati yang terluka.
Siauw Yang cepat menghapus air matanya dan mencelat pula menyusul bayangan
Sin Thong.
-koko.. . . tunggulah aku menyusu
Yok-ong menjadi kaget setengah mati dan memandang marah ke arah anaknya,
namun anaknya sudah lenyap pula menyusul bayangan Sin Thong.
Dengan bersungut-
akibatnya kalau terlalu dimanja oleh ibunya. Hatinya keras dan membawa kemauan
sendiri, dasar anak put-
-uringan begitu. Siauw Yang memang sudah
tidak sudi dijodohkan olehmu dengan putera Lim-wangwe, mengapa kau selalu
mendesaknya?
k kita kan sudah dewasa dan mempunyai pilihan hati sendiri. Dasar kau
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Siauw Yang sudah berdiri di depan
Sin Thong dan memandangnya dengan pandangan basah.
Sin Thong segera memeluk pundak Siauw Yang dan berkata perlahan:
-moay, tenangkanlah hatimu dan jangan bersedih. Ayahmu memang tidak
setuju denganku, maka ia mengambil jalan pibu untuk melemparkan diriku jauh dari
padamu.. .
-
kalaupun aku sudah berusaha memeras kepandaianku, namun aku tak dapat
-
. . aku.. . . aku tidak mau kembali kepada ayah. Aku tak mau
Siauw Yang tidak menyahut melainkan ia menangis sedih dan menjatuhkan dirinya
ke dalam rangkulan si pemuda kate. Dan menangis tersedu-sedu sambil mengeluh,
-moay.. . . jangan kau begini.. . . tak baik kalau kau mengikutiku. Ingat aku sudah
-moay, sudahlah tak usah kau kuatir. Untuk sementara waktu biarlah kita
menjauhkan diri dan jangan kuatir, bukankah masih ada aku yang melindungi dan
mencintaimu.. . . Begini saja Yang-moay, kalau kau memang tidak mau kembali kepada
ayahmu sementara ini, baiknya kau kirimkanlah surat kepada ibumu agar orang tuamu
Mendengar kata-kata ini, terhibur juga hati Sauw Yang dan gadis ini lalu
menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya.
dengan laki-
-
memeluk si gadis.
Keduanya kini saling berangkulan di dalam hutan yang sepi itu di atas rumput yang
tebal laksana permadani hijau menghampar di bawahnya. Sedangkan di atas mereka
sepasang merpati sedang berkasih-kasihan saling menyentuhkan paruh mematuk-
saling tertarik dan bersimpati sehingga dari pandangan mata itu tertanam dan bersemi
sudah bibit-bibit cinta satu sama lain.
Memang cinta tumbuh tidak mengenal keadaan. Dan Siauw Yang tidak merasa
rendah mencintai laki-laki kate yang bisa bermain pedang samurai dan berjiwa gagah!
Hampir sebulan Siauw Yang dan Sin Thong berdiam di dalam hutan itu dan setiap
hari berpindah tempat mencari tempat yang lebih indah dan menyenangkan. Pada
suatu hari mereka tiba di sebelah timur hutan dan tiba-tiba mereka mendengar suara
orang bertempur.
Ketika Sin Thong dan Siauw Yang cepat memburu ke tempat itu, mereka terkejut
sekali oleh karena melihat bahwa yang bertempur itu adalah Biauw Eng dan Hok Sun
yang pernah dikenalnya sedang melawan seorang laki-laki bangsa Tibet yang
bersenjatakan sepasang tangan.
Dilihatnya Biauw Eng dan Hok Sun sedang didesak hebat oleh sepasang tangan
yang aneh itu. Sepasang tangan yang bergerak-gerak mencakar itu mengurung rapat
Biauw Eng dan Hok Sun yang cuma bisa mengelak dan menangkis dengan pedangnya.
Dan dalam keadaan yang terjepit, cepat Sin Thong melompat dengan samurai di
tangan dan sekali ia bergebrak, pedang samurai itu sudah membabat tangan kiri yang
dipegang oleh laki-laki tinggi besar itu. Akan tetapi betapa heran dan terkejut laki-laki
pendek ini begitu pedangnya menyentuh tangan yang sudah dikeringkan itu tiba-tiba
pedang samurainya terlepas dan dia mencium bau anyir dari lengan itu dan terhuyung-
huyung roboh.
Melihat Sin Thong dalam segebrakan itu sudah roboh, Siauw Yang menggeram
keras dan mengelebatkan pedangnya merangsek orang tinggi besar yang tengah
mendesak Siauw Eng dan Hok Sun.
Melihat datangnya seorang gadis yang dikenalnya membantunya ini, Biauw Eng
menoleh dan alangkah girangnya ketika melihat bahwa yang membantunya adalah
Siauw Yang dan Sin Thong yang sudah roboh. Cepat ia memperingati teman yang
membantunya ini:
-hati dengan sanjata tangannya itu, berbahaya sekali penuh
-ha-ha tikus-tikus kecil datang menyerahkan nyawa, bagus! Kalian inilah yang
teriak orang tinggi besar yang bukan lain adalah Kwan-tiong Tok-ong si Raja Racun
dari Barat dan dengan sikap mengancam ia menyerbu memutar sepasang tangannya
yang disebut Cap-tok-mo-jiauw yang lihai itu.
Akan tetapi Siauw Yang yang sudah marah karena melihat Sin Thong telah roboh
tidak menghiraukan lagi cakar setan itu dan terus saja merangsek memainkan
pedangnya. Hebat sepak terjang gadis ini, pedangnya berkelebat dahsyat dan kuat
menyambar-nyambar bagaikan kilat mengarah pada Kwan-tiong Tok-ong.
Akan tetapi tentu saja menghadapi Kwan-tiong Tok-ong yang lihai ini mana dapat
Siauw Yang menandinginya dan sebentar saja sepasang tangan Cap-tok-mo-jiauw itu
bergerak dari atas ke bawah merupakan gerakan menggunting dan mencakar yang
demikian amat cepatnya ini.
Diserang secara demikian Siauw Yang terkejut sekali. Ia merasa betapa sukarnya
untuk mengelakkan dari serangan atas dan bawah itu, maka ia lalu berseru keras dan
tahu-tahu ia telah mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mendahului gerakan
tangan itu mencelat ke atas. Akan tetapi Kwan-tiong Tok-ong menjadi girang sekali dan
tertawa keras dan tangan itu tiba-tiba meluncur ke atas seperti terbang demikian cepat
mengejarnya.
Siauw Yang terkejut setengah mati dan tiba-tiba ia menggunakan gerakan
menendang sambil berpok-sai di udara namun ia menjadi menjerit ngeri ketika sebuah
cakar mencengkeram kaki di dekat betisnya. Siauw Yang menjerit keras dan
mengelebatkan pedangnya membabat tangan yang mencakar itu dan ia sendiri
mencelat menjauhi dan merasakan kakinya gatal bukan main. Tahulah ia bahwa
kakinya telah keracunan dan terasa lumpuh.
Pada waktu itu Hok Sun berteriak keras dan membabatkan pedangnya mendesak
Kwan-tiong Tok-ong diikuti oleh gerakan Biauw Eng yang menyerang dahsyat. Namun
begitu Kwan-tiong Tok-ong menggunakan sepasang kakinya menendang, kedua tubuh
Biauw Eng dan Hok Sun telah terlempar jauh dan sambil tertawa mengakak Kwan-tiong
Tok-ong mencelat pergi. Suara gemanya masih terdengar dari jauh.
Hok Sun segera bangkit dan merasakan tulang belakangnya sakit bukan main, cepat
ia merangkak menghampiri Biauw Eng yang masih pingsan didekatnya. Dan berkata
lirih menahan sakit yang nyeri bukan main di tulang belakangnya yang terhantam
tendangan lawannya.
Untung orang tinggi besar itu tidak menghendaki nyawa mereka, sehingga Kwan-
tiong Tok-ong tidak menggunakan cap-tok-mo-jiauwnya, hanya sebuah tendangan yang
kuat itulah yang telah membuat tubuh Biauw Eng dan Hok Sun terlempar jauh dan
untuk beberapa lama mereka tidak dapat bangun dan merebahkan dirinya saling
berpelukan.
Ada dua jam kemudian, Biauw Eng sadar dari pingsannya dan ia melihat Hok Sun
menggeletak di sampingnya. Segera saja ia meraba kepala Hok Sun dan panggilnya
-
Hok Sun membuka matanya.
Ia segera bangkit duduk dan memandang ke sekeliling.
-tok, Yang-
kakimu, merah seperti dibakar. Celaka, lama-lama bisa menjalar ke tubuh dan
j
-moay, jalan satu-satunya hanya dibuntungi kakimu ini, baru kau terhindar
kulit itu sudah merah membara seperti hangus. Itu tandanya racun sudah menjalar di
dalam darah dan kalau darah itu naik ke atas ke bagian tubuh yang terpenting niscaya
akan berbahaya!
-
berdiam diri Dan tidak tahu apa yang mesti ia lakukan.
Tiba-tiba Siauw Yang mengelebatkan pedangnya dan darah merah menyembur
dari kaki yang sudah buntung itu.
-
Siauw Yang mengerutkan keningnya menahan rasa nyeri yang hebat. Ia
memandang kakinya sebatas paha yang sudah buntung, dan darah merah membanjiri
rumput yang gemuk dan tebal.
Sin Thong cepat menubruk tubuh kekasihnya itu dan dibawanya masuk ke dalam
goa, kemudian ia sendiri berkelebat lenyap untuk mencari obat luka bagi kaki
kekasihnya yang telah buntung
ooOOoo
Puncak pegunungan Thang-la pada pagi hari itu, tertutup oleh kabut tebal yang
menutupi di atasnya, sehingga apabila dilihat dari bawah kaki gunung akan nampak
betapa puncak itu tertutup oleh awan putih saking tingginya. Memang puncak
pegunungan Thang-la ini jarang sekali didatangi oleh manusia. Jangankan sampai ke
puncak yang begitu tinggi sedangkan hutan-hutan yang lebat dan liar saja jarang
didatangi oleh pemburu karena terkenal dengan binatang-binatangnya yang besar dan
buas.
Malahan apabila musim salju itu datang nampak puncak itu penuh diselimuti oleh
salju es sehingga tak mungkin bagi manusia untuk sampai ke atas sana. Pada musim
salju jalan-jalan merupakan sungai es yang licin dan berbahaya! Oleh sebab itulah
jarang manusia yang berani mencoba-coba untuk pergi ke sana.
Akan tetapi orang akan merasa kagum dan terpesona melihat keindahan-keindahan
alam yang demikian mempesonakan di atas puncak itu dan orang akan selamanya
betah untuk tinggal di sana. Pemandangan alam demikian indah dan mentakjubkan!
Demikian hening dan damai, sehingga merupakan pintu sorga bagi orang yang berdiam
di atasnya.
Jauh dari pada dunia ramai. Tiap hari hanya terdengar suara nyanyian burung
berkicau, bunga-bunga yang bermekaran indah dan tidak pernah dipetik oleh manusia.
Dia bersemi dan tumbuh sampai layu di tempat itu, tiada manusia yang mengambil usil
kepadanya.
Buah-buahpun tumbuh dengan masak bergentayutan memerah pada dahan-dahan
yang penuh dengan buah yang lezat dan masak. Rumput-rumput pun menghijau
menghampar di tanah.
Jurang yang menganga di samping-sampingnya meskipun ngeri bila mata
memandang ke bawah namun tak dapat disangkal pemandangan di bawah jurang itu
sungguh indah dan mempesonakan. Pohon-pohon nampak kelihatan kecil dan sungai-
sungai bagaikan ular putih melingkar-lingkar.
Di atas puncak itu terdapat sebuah tanah datar yang cukup luas dan sepenuhnya
menerima cahaya matahari. Di belakangnya menjulang tinggi batu karang, dan di
sebelah kanannya terdapat jurang yang amat curam dan dalam.
Di sebelah kirinya terdapat sebuah makam yang masih baru dan berhadapan
dengan pondok kayu sederhana. Di balik makam itu nampak seorang pemuda tengah
berlutut tak bergerak bagaikan patung. Kemudian hanya suaranya saja yang terdengar
memecah di kesunyian merupakan sebuah doa.
hendak turun gunung dan kembali ke dunia ramai untuk mengamalkan ilmu yang suhu
turunkan kepada teecu. Semoga teecu berada di jalan yang benar berkat bimbingan
arwah s
Setelah berkata demikian lalu pemuda itu berlutut dan menganggukkan kepala tiga
kali. Kemudian pada sebuah batu besar ia meletakkan tangannya dan menggurat huruf-
huruf yang berbunyi,
-
Setelah menulis huruf-huruf pada batu di muka pekuburan itu lalu pemuda itu
mendongak ke atas memandang ke arah matahari yang sudah meninggi. Kemudian
dengan langkah-langkah yang lebar ia meninggalkan puncak pegunungan Thang-la.
Pemuda itu berusia sekitar sembilanbelas tahun. Wajahnya tampan dan berpakaian
biru dengan pedang tergantung di punggungnya. Nampak gagah sekali pemuda itu,
bibirnya yang kecil seperti mulut wanita itu bergerak-gerak menampakkan senyum.
Matanya bulat bening menandakan kecerdikan dan kekerasan hati. Ia berjalan
lambat-lambat menuruni puncak, langkah-langkah kakinya demikian ringan seakan-
akan tidak menginjak tanah. Walaupun ia berjalan perlahan sekali namun sebentar saja
ia telah jauh meninggalkan puncak.
Siapakah pemuda tampan itu?
Dia adalah murid Bu-beng Sianjin dan bernama Nguyen Hoat.
Seperti telah diceritakan pada Cerita Pendekar Lengan Buntung, Lie Bwe Hwa
mengamuk dan membunuh seluruh keluarga Nguyen karena Nguyen-loya ini hidup
memeras rakyat dan sewenang-wenang. Pada waktu itu hampir saja Bwe Hwa
membunuh anak kecil putera Nguyen loya kalau tidak saja datang Bu-beng Sianjin dan
menyelamatkan anak itu kemudian dibawanya ke tempat Pertapaannya di bukit
harimau di atas puncak Thang-la.
Orang tua pertapa itu menaruh kasihan sekali kepada bocah yang bernama Nguyen
Hoat itu dan diambilnya menjadi muridnya. Digemblengnya dengan ilmu silat tinggi,
sehingga dalam usia hampir sembilanbelas tahun Nguyen Hoat sudah mempunyai ilmu
silat yang cukup tangguh. Dan dasar ia mempunyai kecerdikan yang luar biasa, maka
seluruh kepandaian Bu-beng Sianjin sudah dikuras di dalam otaknya dan tinggal
mencari pengalaman saja.
Bu-beng Sianjin yang sudah tua itu akhirnya meninggal dunia dan jenazahnya
dimakamkan di depan pondok oleh muridnya yang terkasih. Sedangkan Nguyen Hoat
sendiri, karena suhunya sudah meninggal dan lagi ia sudah merasa cukup tinggi
ilmunya untuk merantau maka sehabis bersembahyang di depan makam suhunya dia
lalu turun gunung.
Laksana burung yang baru terlepas dari sangkarnya! Girang sekali hati Nguyen
Hoat, karena baru kali ini ia turun gunung seorang diri.
Dan pemandangan di kanan kirinya membuat ia berjalan lambat-lambat sambil
menikmati pemandangan alam. Angin puncak yang sejuk menampar mukanya dan ia
merasa sehat dan segar. Sekali lagi ia menoleh ke atas puncak dan tersenyum.
Ia teringat kepada suhunya yang baik hati Bu-beng Sianjin. Air matanya
mengembang karena terharu. Ia sangat disayang sekali oleh orang tua itu, sehingga
bagi Nguyen Hoat ia sudah menganggap sebagai kakek dan orang tuanya saja.
Ia mendengar cerita dari suhunya bahwa ia ditolong dari sebuah dusun yang
terancam bahaya kelaparan. Semua orang tuanya mati kelaparan dan pada waktu itulah
ia ditolong oleh suhunya dan kemudian dibawanya ke puncak.
Tentu saja Bu-beng Sianjin tidak menceritakan bahwa orang tua anak ini mati
terbunuh oleh seorang gadis yang cantik jelita yang berjuluk Kwan Im Sianli, takut kalau
Nguyen Hoat mendendam kepada gadis itu dan ia tidak menghendaki. Karena ia tahu
bahwa dalam pembunuhan itu adalah karena salahnya orang tua she Nguyen itu yang
memeras rakyat dan berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk. Sudah
sepantasnya gadis yang berjuluk Kwan Im Sianli itu mengamuk dan membunuh seluruh
keluarga Nguyen!
Setelah melakukan perjalanan jauh, makin terbukalah mata Nguyen Hoat bahwa
sesungguhnya ia telah mewarisi ilmu silat tinggi dari suhunya. Di antara ilmu silat tinggi
yang ia terima dari suhunya, ia menerima pula ilmu lari cepat dan ilmu melompat jauh
yang disebut Liok-te-hui Teng-kang-hu.
Ketika berada di atas puncak, tak ada kesempatan bagi Nguyen Hoat untuk
menggunakan ilmu lari cepat itu, karena puncak di atas sangat sempit dan tidak leluasa.
Hanya ilmu melompat jauh itu yang sering dicoba-cobanya dengan melompat jurang-
jurang yang lebar dan curam.
Tentu saja untuk bisa berbuat ini, memerlukan tenaga gin-kang yang tinggi itu
diterimanya pula dari suhunya. Sehingga apabila ia menggunakan gin-kang
(meringankan tubuh) terasa tubuhnya ringan sekali bagaikan kapas.
Ia sendiri merasa tertegun ketika melihat hasil latihannya. Ilmu melompat jauh itu
setelah dicobanya, ia merasa tubuhnya bagaikan dilontarkan oleh tenaga yang kuat
sekali sehingga ia bagaikan setengah melayang-layang di udara!
Dan kembali air matanya berlinang penuh dengan keharuan kalau ia teringat akan
suhunya yang sangat menyayanginya itu. Maka dengan mempercepat larinya untuk
segera cepat-cepat meninggalkan puncak Thang-la dan terjun ke dalam dunia ramai
untuk mengamalkan ilmu silat yang ia pelajari dari mendiang Bu-beng Sianjin.
Pada suatu pagi setelah keluar dari deretan hutan-hutan besar, tibalah ia di sebuah
dusun yang rumah-rumahnya amat sederhana. Tak sebuah pun diantara rumah-rumah
itu yang beratap genting, semua beratap daun kering.
Alangkah miskinnya penduduk dusun ini, pikir Nguyen Hoat. Akan tetapi setelah ia
memasuki dusun ia menjadi heran sekali.
Ternyata bahwa dusun itu kosong, tidak ada seorangpun kelihatan di luar pintu
yang terbuka dan keadaannya amat sunyi. Akan tetapi jelas nampak rumah-rumah itu
belum lama ditinggalkan para penghuninya. Pelatarannya masih bersih bekas disapu.
Rasa herannya itu membuat ia menjadi penasaran dan mengetuk pintu rumah
penduduk yang ditutup. Beberapa kali ia mengetuk, pintu belum juga dibuka.
Karena merasa tentu rumah ini pun tidak berpenghuni lagi, ia mendorong daun
pintu dan suara menderit terdengar keras waktu pintu yang terbuat dari bambu itu
terbuka. Nampak sepi-sepi saja di dalam rumah.
Nguyen Hoat melangkah maju ke dalam, ia heran sekali mengapa rumah-rumah
penduduk di sini tidak berpenghuni? Apakah semua penghuninya sudah pergi ke sawah
untuk bekerja. Rasa penasaran ini membuat ia menyelidiki ke dalam rumah, berindap-
indap seperti pencuri.
Namun ia tidak mendapatkan seorangpun yang berada di dalam. Nguyen Hoat
keluar lagi, akan tetapi alangkah herannya dia ketika di pelataran itu nampak
bertumpuk-tumpuk mayat manusia yang sudah dijejerkan seperti jemuran ikan asin.
Dada Nguyen Hoat berdebar keras. Ia tadi melewati pelataran itu dan tidak
mendapatkan mayat-mayat di situ, kenapa baru saja sebentar ia masuk ke dalam. Eh,
mayat-mayat manusia itu berjejer, siapa manusianya yang telah berlaku begini keji?
Saking terkejut dan herannya Nguyen Hoat untuk beberapa saat menjadi bengong.
Tiba-tiba bulu romanya berdiri waktu mendengar suara meringkik seperti suara setan.
Suara itu tajam dan mengiris jantung, cepat Nguyen Hoat mengerahkan hawa sin-
kang di tubuhnya dan menoleh ke belakang. Dan apa yang dilihatnya?
Sesosok tubuh manusia tua berdiri memegangi kepala manusia yang berlumuran
darah. Manusia itu entah laki-laki atau perempuan tidak lagi dikenali keadaannya,
rambutnya panjang sebatas pantat, kotor dan menjijikan. Pakaiannya seperti pakaian
petani itu dekil dan penuh lumuran darah segar.
Mukanya kotor dan penuh kerisut, bibirnya yang tebal itu penuh pula dengan
lumuran darah dan putih-putih dari otak manusia yang dimakannya. Nguyen Hoat
menjadi bergidik dan merobah pandangnya. Tahulah ia tentu manusia inilah yang telah
membunuhi penduduk dusun.
-he-he, orang muda cakap.. . . kau di sini belum mati.. . he-he-he.. . . ngumpet di
mana kau.. . . . hi-hi- -apa lagi.. . .
hi-hi-
junterungannya.
Nguyen Hoat telah menarik pedangnya.
bentaknya.
-he-he, anak muda cakap.. . . kalau belum mampus belum jadi setan, akan tetapi
-hi-
-liong-kiam Nguyen
Hoat berkelebat ke arah leher manusia iblis itu.
Suara pedang berdesing keras, namun nenek gila itu tidak menangkis malah ia
menundukkan kepalanya menggerogoti kepala manusia dan menghisap darah yang
mengucur dari leher kepala itu.
Tiba-tiba setelah ujung pedang itu hampir menyentuh leher si Nenek gila, tahu-tahu
pedang Nguyen Hoat sudah terpental ke belakang waktu tangan kiri Nenek yang kurus
kering itu menggunakan kukunya menyentil pedang. Terkejut sekali pemuda ini. Masa
hanya disentil olah jari-jari yang kotor itu pedangnya terpental?
Dan ia merasakan sebuah hawa panas menyambar dari tangan nenek itu. Cepat
sekali Nguyen Hoat mempergunakan gin-kangnya mencelat ke atas menghindarkan
sodokan tangan kiri si Nenek yang mengeluarkan cahaya panas.
-
daun menjadi hangus oleh sambaran angin pukulan si nenek.
Nguyen Hoat menjadi bergidik. Ia merasakan hawa panas bukan main waktu tangan
itu menyerangnya tadi, untung ia berlaku waspada dan telah mempergunakan gin-
kangnya mencelat ke atas.
Kalau tubuhnya yang kena terpukul tangan kurus kering itu, niscaya ia sudah
menjadi hangus seperti pohon itu. Keringat dingin mengucur dari kening Nguyen Hoat.
He-he-
Untuk yang kedua kali tangan kiri nenek itu menjulur ke depan memukul ke arah
dada Nguyen Hoat. Namun karena nenek ini tidak mengenal siapa sebetulnya pemuda
ini dan hanya mengira bahwa pemuda ini tentu penduduk dusun yang kebetulan
sedang keluar terhindar dari kematiannya, maka ia tidak mempengunakan seluruh
tenaganya bahkan pukulannyapun tidak berbahaya bagi Nguyen Hoat.
Nguyen Hoat mendengar sambaran angin pukulan yang tidak berapa hebat, cepat
mengangkat tangan kirinya menangkis, sambil mengerahkan tenaga lwekang dan
berbareng kedua kakinya menotol tanah dengan gerakan naga terbang ke langit,
sebuah gerakan yang disertai gin-kang amat tinggi.
urus kering itu beradu amat kerasnya.
Ia merasa betapa lengan pemuda itu empuk seperti kapas dan amat dingin seperti
salju sehingga tenaganya sendiri lenyap disedot oleh hawa dingin yang keluar dari
tangan pemuda itu. Ia menjadi terkejut dan amat terheran oleh karena maklum bahwa
itulah penggunaan lwekang tinggi.
Orang yang dapat menggunakan im-kang (tenaga im) sampai mengeluarkan hawa
dingin atau mempergunakan yang-kang sampai mengeluarkan hawa panas bukanlah
orang sembarangan dan hanya dapat dilakukan oleb ahli-ahli silat kelas tinggi.
Bagaimana seorang pemuda yang kelihatannya lemah ini dapat menangkis
serangannya dengan tenaga Im-kang demikian hebatnya?
Lebih-lebih ketika ia melihat betapa sambil menangkis tadi tubuh pemuda itu telah
mencelat seperti kilat cepatnya, melompat dengan kedua tangan dikembangkan seperti
sayap dan beberapa kali kedua lengan bergerak sehingga tubuh pemuda itu terapung-
apung di udara seperti seekor burung garuda yang sedang terbang dan menggerak-
gerakkan sepasang sayapnya. Hal ini tentu saja membuat kagum si Nenek sehingga ia
-he-he, betul aku yang bunuh orang-orang ini.. . . karena aku hendak mengambil
otak dan jantungnya dikeringkan baik sekali untuk obat, ha-ha-
merupakan serangan pertama dari jurus Sin-liong-kiam-sut yang ia terima dari Bu-
beng Sianjin.
Pedangnya bergerak cepat ke depan dan terus ditekan ke bawah. Ia bermaksud
hendak merobek isi perut nenek yang dibencinya ini dengan gerakan ditekan dari atas
itu sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam melakukan gerakan memukul jarak jauh
ke arah dada si nenek sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
Inilah keistimewaan ilmu pedang ciptaan Bu-beng Sianjin. Bukan saja pedang itu
dapat digerakkan menyerang lawan, namun tangan kiri tidak tinggal diam dan selalu
melakukan gerakan menyerang pula menurut jurus-jurus Sin-liong-kun-hoat
membarengi serangan pedang yang bergerak menusuk ke arah dada.
Akan tetapi, begitu si nenek tertawa keras mengakak, tahu-tahu rambutnya yang
panjang dan kotor itu bergerak dan entah bagaimana caranya pedangnya sudah terlibat
oleh segumpal rambut itu. Nguyen Hoat segera menggunakan gerakan membabat
dengan maksud hendak memutuskan rambut-rambut itu.
Namun untuk ketiga kalinya pemuda dari gunung Thang-la ini menjadi terkejut dan
heran merasa pedangnya mental waktu membabat rambut si Nenek, seakan rambut
itu sudah menjadi segulungan kawat baja yang amat kuat dan tak bisa diputuskan oleh
sabetan pedang, malah pedang sin-liong-kiamnya sendiri itulah yang terlibat rambut
dan tak dapat ditarik kembali. Saking sengitnya, tangan kiri Nguyen Hoat menggunakan
pukulan sepenuhnya dengan tenaga lweekang tingkat tinggi.
Nampak nenek itu mengangkat tangan kirinya menangkis.
-
Sedangkan si nenek tertawa terkekeh-kekeh dan menggoyangkan kepalanya,
tangan kanan Nguyen Hoat yang memegang pedang tiba-tiba menjadi kaku oleh
goyangan rambut-rambut si nenek. Cepat-cepat ia melepaskan pedangnya, dan pada
ketika itulah tangan kiri si nenek yang berkuku panjang-panjang itu bergerak hendak
menotok leher Nguyen Hoat.
Tentu saja Nguyen Hoat tidak menyerah sampai di situ, tiba-tiba ia menggunakan
gin-kangnya dan mencelat tinggi menghindarkan totokan tangan kiri si nenek. Angin
berciut waktu tangan si nenek yang berbau amis itu menyambar dekat telinga Nguyen
Hoat. Diam-diam pemuda ini menjadi jijik dan ngeri hatinya.
Cepat sekali dia berpok-sai di udara dan waktu kakinya menotol tanah, tangan
sudah menyambar pedang yang tadi terlempar oleh rambut si nenek.
-he kau lihai juga orang muda he-
Kini bukan sepasang tangan si nenek yang membalas memukul melainkan pukulan
rambut itu yang menyerang Nguyen Hoat. Pemuda itu cepat menggeser ke kiri dan
membabatkan pedangnya.
-ting- -tahu
telah melibat tubuh Nguyen Hoat dan pemuda itu tidak berdaya menghadapi pegangan
rambut yang kuat bukan main.
Segera dia mengerahkan lwekangnya, untuk memberontak dari pelukan rambut
yang berbau busuk itu, sehingga membuat napas Nguyen Hoat menjadi sesak dan sukar
bernapas. Namun semakin keras dia memberontak, semakin kuat rambut itu
membelitnya.
-he- -he-
hidungnya. Hampir saja Nguyan Hoat jauh pingsan mencium bau yang memuakkan itu,
buru-buru ia menggeser kepalanya membelakangi muka si nenek.
-he-he-
Celaka! pikir Nguyen Hoat, ternyata aku terjatuh ke dalam tangan nenek gila yang
berkepandaian tinggi ini. Berbahaya.
Diam-diam Nguyen Hoat mengerahkan ilmu melemaskan tulang dan menciutkan
tubuh sehingga tubuhnya menjadi ciut dan kecil. Dan begitu merasa dirinya tidak lagi
kencang dalam cengkraman si nenek, segera ia berseru keras,
Cepatlah dia menoleh dan melihat seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti
pelayan membawa-bawa golok dapur yang besar seperti golok pemotong babi,
sedangkan laki-laki yang satu lagi memegang jepitan panjang. Kakek itu larinya cepat
sehingga kedua kakinya sampai tak menginjak tanah, seperti terbang.
Nguyen Hoat menjadi terkejut menyaksikan cara kakek ini berlari cepat. Ia telah
mempelajari ilmu berlari cepat dari Bu-beng Sianjin akan tetapi baru sekarang ia tahu
ada orang berlari dengan kaki seakan-akan tidak menginjak tanah. Hebat.
berseru keras dan jepitannya bergerak cepat, menotok ke arah pinggang Nguyen Hoat.
Seperti juga kesalahan si Nenek gila tadi, kakek yang memegang jepitan dan yang
bernama A Kay inipun ternyata amat memandang ringan Nguyen Hoat, yang hanya
dikiranya pandai berlari cepat saja. Oleh karena itu totokan jepitannya juga tidak
berbahaya, hanya cukup untuk merobohkan pemuda itu saja.
Nguyen Hoat yang sudah tajam sekali pendengarannya, tahu bahwa totokan jepitan
panjang itu tidak berbahaya baginya, maka ia mengerahkan sin-kangnya sambil terus
berlari. Ujung jepitan panjang itu mengenai jalan darah di pinggangnya, akan tetapi
alangkah terkejutnya hati kakek A Kay ketika merasa betapa jepitan panjangnya
melengkung dan terpental seakan-akan menotok baja!
Pada saat itu berkelebat bayangan, kakek yang memegang golok babi yang
bernama A Yong telah mencelat tinggi dan tahu-tahu sudah berada di depan Nguyen
Hoat.
-
babi dengan keren dan pada saat itu mendatangi A Kay sambil mengacung-acungkan
jepitannya.
-bengcu, A Yong kemplang saja pantatnya, dia anak
bengal! Kalau Thay-
yang memegang jepitan.
-kakek
-nio bilang dia tadi
menghina Thay-
-
kakek pemotong babi.
-bengcu kalian, siapa Thay-
mendongkol dan membantingkan kakinya.
-
Kedua kakek ini lalu bergerak merangsek Nguyen Hoat. Kepandaian dua orang
kakek ini memang lihai sekali. Jepitan panjang di tangan A Kay tidak boleh dipandang
enteng, biarpun jepitan itu sudah hitam bekas ngorek-ngorek arang di dapur Istana
Hantu dan sudah karatan, namun besi itu terbuat dari baja yang hanya terdapat di
negara Nepal.
Sebaliknya kakek yang bersenjata golok besar ini yang bernama A Yong adalah
tukang masak di Istana Hantu. Pekerjaannya tiap hari potong daging dan sayur, namun
dimainkan dengan ilmu silat tinggi.
Golok yang berat dan besar itu merupakan segulung sinar yang berbahaya dan
beberapa kali pedang Nguyen Hoat membentur golok itu ia merasa tangannya tergetar
dan sakit. Kagetlah pemuda ini.
Baru menghadapi pelayan-pelayannya saja ia sudah menjadi kewalahan apa lagi
kalau Thay-bengcu itu turun tangan. Celaka! Siapakah Thay-bengcu? Orang
bagaimanakah dia?
Tak banyak berpikir pemuda murid Bu-beng Sianjin ini, karena pada saat itu
berkelebat sesosok tubuh dan tahu-tahu Nio-nio si nenek pemakan bangkai dan
bersenjata rambut itu sudah menyerangnya. Sebentar saja Nguyen Hoat terdesak bukan
main dan seluruh tubuhnya sudah bermandikan keringat.
Namun demikian, berkat gemblengan Bu-beng Sianjin pertapa dari puncak Thang-
la, membuat tubuh Nguyen Hoat merupakan pertahanan yang kuat dan ulet. Meskipun
sudah lelah sekali dan beberapa kali ia kena serempet golok A Yong pada pahanya,
sehingga pada pahanya itu mengucur darah yang menodai celananya dan terasa kaku
dan nyeri, namun Nguyen Hoat terus mempertahankan diri dan mainkan pedangnya
lebih cepat lagi menggunakan jurus-jurus terlihai dari Sin-liong-kiam-sut yang ia
pelajari dari Bu-beng Sianjin.
Pada saat itu, dari kejauhan mendatangi dua orang penunggang kuda yang
membalap kudanya dengan cepat sekali. Yang seorang pemuda tampan berusia
delapanbelas tahun, berpakaian baju putih dengan pedang nampak di punggung, dan
yang seorang lagi adalah seorang gadis remaja yang berusia tidak lebih delapanbelas
tahun, cantik jelita dan ia membalapkan kudanya dengan cepat dan dikejar oleh si
pemuda dari belakang.
Suara kaki kuda berderap dan menimbulkan debu yang mengebul ke atas. Pada
waktu si gadis melihat di depannya ada orang bertempur.
Dia melihat seorang pemuda tampan sedang dikeroyok oleh dua orang kakek dan
seorang nenek rambut panjang. Ia menghentikan kudanya dan memandang ke depan.
Pada saat itu rambut yang panjang dari si nenek berhasil menampar punggungnya
Nguyen Hoat sehingga murid dari Bu-beng Sianjin ini terhuyung-huyung dan ia
merasakan punggungnya sakit bukan main tertampar rambut yang hanya beberapa
lembar itu saja. Pada waktu ia terhuyung-huyung hendak jatuh, pada saat itulah sebuah
jepitan panjang bergerak ke depan menggunakan gerakan menggunting.
Cepat Nguyen Hoat mencelat ke atas dan menggunakan kaki kanannya menendang
jepitan. Namun rambut si nenek sudah datang menyerbu dan membelit ke dua kakinya
sehingga pemuda itu terlempar tidak jauh, di dekat si kakek yang memegang golok
besar.
Nguyen Hoat terkejut bukan main melihat datangnya golok mengkilap ke arah
kakinya. Cepat ia bergulingan menghindarkan diri dari sabetan golok dan sebuah suara
bergemuruh menyambar di atas kepalanya.
Rambut nenek gila bergemuruh menyambar di atas kepala Nguyen Hoat yang cepat
bergulingan menjauhi diri dari serangan senjata rambut yang luar biasa hebatnya,
namun meskipun ia sudah bergerak cepat tetap saja beberapa lembar rambut telah
memukul lengannya sehingga ia terpental ke kiri oleh dorongan rambut yang luar
biaasa itu.
Keringat dingin membasahi baju Nguyen Hoat, akan tetapi pada saat yang
berbahaya bagi keselamatannya itu tiba-tiba ia merasa dirinya ditarik oleh sebuah
tenaga yang amat kuat dan tubuhnya melayang di udara dan tahu-tahu ia jatuh
dihadapan seorang gadis yang cantik jelita.
Nguyen Hoat cepat berdiri dan bersiap-siap kalau-kalau gadis di depannya itu
adalah teman si kakek dan si nenek yang ia telah dirasai kelihaiannya itu!
Jilid 6
ELIHAT tahu-tahu pemuda itu telah dibawa terbang oleh sabuk sutera
merah di tangan si gadis, cepat A Kay dan A Yong memburu dan
ncang terhadap pelayan-
-hi-
elek, aku tidak takut siapa kalian. Biarpun dari Istana Neraka, atau Istana
Sung Tiang
mencelat dan tahu-tahu ia sudah menerjang si gadis, mengirimkan pukulan jarak jauh
ke arah dada si gadis. Akan tetapi gadis ini dengan enaknya mengangkat tangan dan
balas mendorong ke muka, dengan tidak menggerakkan tubuhnya dari punggung kuda.
Gadis itu menjawab dengan suara halus dan tenang, senyum mengejek masih
menghias dibibirnya yang berkilat-kilat tertimpa sinar matahari.
Merasa dirinya diperolok demikian, nenek ini menjadi marah. Rambut di atas
kepalanya menegang dan siap menyerang si gadis di depannya.
Matanya melotot berapi-api memandang dengan penuh kemarahan. Ia maju
setindak.
-main dengan pelayan Istana Hantu benar-benar gadis yang
bunga api yang berpijar laksana dipalu godam. Nenek ini menoleh ke arah si gadis.
-hi-hi, Nenek peot, masih ada lagikah pukulan bang-pakmu, kenapa begitu sinting
memukul batu yang nggak punya salah? Wah-wah, jangan-jangan kau memang sudah
Olok si gadis sambil menaruh telunjuknya di atas keningnya dan tertawa terkikik-
kikik sambil menutupi mulutnya yang kecil.
Nenek ini memandang terbelalak. Kalau ia tidak ngerasain sendiri, pasti ia tidak
akan percaya. Masakah gadis ini dapat menahan pukulannya, padahal barusan tadi batu
yang demikian keras hancur oleh pukulannya tadi, masa gadis ini masih dapat ongkang-
ongkang kaki menghadapi pukulannya, setan!
Apakah Pendekar Lengan Buntung demikian sakti sehingga gadis ini dapat
menahan pukulannya dengan tidak mengelak, sungguh tidak masuk diakal. Apakah dia
tadi salah pukul dan pukulannya barusan tidak mengenai gadis itu.
Mungkin juga, ia melihat gadis itu tadi rebah di atas punggung kuda. Apakah gadis
itu tadi mengelak atau tenaga pukulannyakah tiba-tiba menjadi lumpuh?
Si Nenek menggerakkan ke dua lengannya. Suara angin berciutan waktu tangan itu
diputar-putar ke kiri dan kanan semakin lama semakin cepat, sehingga batu-batu yang
di bawah kakinya bertebaran ke kanan dan kiri. Hawa panas mengalir dan berkumpul
di kedua lengan itu.
-
itu
Si Nenek yang mengaku pelayan Istana Hantu itu menjadi mengkalap. Ia
mengeluarkan jeritan keras dan nyaring dan ke dua lengannya yang diputar-putar tadi
sekali gus menghantam ke arah si gadis.
Seperti tadi, gadis itu tidak mengelak hanya mengangkat tangan kirinya dengan
lima jari terbuka dan mengeluarkan bentakan pula yang nyaring:
Tanpa menyahut apa-apa. A Kay dan A Yong yang juga terheran-heran melihat si
Nenek dipecundang oleh gadis puteri Pendekar Lengan Buntung yang mereka telah
Gadis itu tersenyum manis. Dan dada Nguyen Hoat berdebar menerima senyum
yang begitu mempesonakan ini. Untuk beberapa lama ia memandang si gadis dengan
kagum dan didengarnya gadis itu berkata,
menolong anda, itupun secara kebetulan, jadi tak perlu anda berterima kasih kepada
ka
ma Sung
Hong Kwi itu memperkenalkan pemuda yang di sebelahnya. Seorang pemuda tampan
berpakaian baju putih sederhana dan yang tersenyum pula kepadanya.
Nguyen Hoat menjadi terkejut mendengar nama Pendekar Lengan Buntung Sung
Tiang Le. Pernah di puncak Thang-la suhunya menceritakan pendekar yang belum lama
ini menanjak namanya dan terkenal dengan ilmu silat si tangan buntung yang luar
biasa. Maka ia menjadi girang sekali dan cepat-cepat menjura.
anpwe Sung Tiang
Le yang terhormat. Sungguh sangat menggembirakan hati dan merupakan suatu
Melihat sikap pemuda ini demikian halus dan sopan dan pandai merendahkan diri.
Diam-diam Hong Kwi menjadi senang sekali dan tersenyum lagi kepadanya.
-beng
Sianjin dari Thang-
iga orang
pelayan-
elum
pergaulan di dunia kang-ouw dan mencari pengalaman. Aku baru saja turun dari Thang-
la dan
-sama dengan kami merantau ke selatan, kami
-tiba saja Hong Kwi
berkata.
Pandangan matanya begitu cerah menatap Nguyen Hoat, sehingga Wang Ie melihat
pandangan sumoaynya ini menjadi tak enak hati. Dan ia memandang pula kepada
Nguyen Hoat yang ketika itu mengangkat tangan dan menjura kepada Hong Kwi.
lah
Akhirnya Hong Kwi tersenyum dan menarik tali kendali kudanya berjalan diikuti
oleh Nguyen Hoat yang berjalan di sampingnya dengan enaknya saja. Sedangkan Wang
Ie membedal kudanya lebih cepat lagi mendahului mereka.
-
jalan duluan kita akan bertemu nanti
Si gadis menoleh.
-
Yu adalah Pendekar Lengan Buntung pula. Suhu pernah sekali bertemu
dengan orang itu waktu beliau masih muda namun sayang sekali sejak kematian
kekasihnya yang bernama Chio Chio, ia patah hati dan melenyapkan diri.
ngar lagi. Mungkin pendekar buntung itu
Le, ayahmu itu. Mulanya suhu mengira si Wang Yu itulah yang kembali dari Hong Kong
dan menjagoi dunia persilatan, eh nyatanya bukan! Ternyata Pendekar Lengan Buntung
pend
i berkata gemas.
-heran.
-
Berkata demikian Hong Kwi menoleh dan menjadi heran bukan main melihat betapa
Nguyen Hoat dapat merandengi larinya di samping kudanya yang berlari cepat. Ia
menarik kendali kuda dan membalap kudanya lebih cepat lagi ternyata Nguyen Hoat
dapat mengimbangi dan berlari di sampingnya. Diam-diam gadis ini kagum sekali akan
gin-kang pemuda itu.
Akan tetapi begitu mereka meninggalkan hutan kecil dan tiba di sebuah dusun.
Alangkah kagetnya Hong Kwi melihat suhengnya sedang bertempur dan dikeroyok oleh
tiga orang tua yang berpakaian seperti tosu.
Dilihat dari cara tosu ini bermain pedang mudah diduga bahwa mereka itu tentulah
tosu Kun-lun-pay tingkat tiga. Nampak permainan pedang mereka itu demikian kuat
dan cepat mendesak Wang Ie suhengnya.
Bagaimana Wang Ie tahu-tahu telah dikeroyok oleh tiga orang tosu Kun-lun-pay
itu?
ooOOoo
Ternyata begitu tadi Wang Ie membalapkan kudanya cepat meninggalkan Hong Kwi
dan Nguyen Hoat, dengan hati tak enak pemuda ini bermaksud untuk jalan duluan dan
menanti sumoaynya di luar hutan. Namun siapa sangka begitu setibanya di luar hutan
dan ia menghentikan kudanya berjalan congklang, tiba-tiba terdengar suara dari
belakang membentak,
Dalam beberapa lompatan saja ketiga tosu itu telah berdiri di depan Wang Ie dan
seorang yang ber
-wi taysu, saya tidak dapat memberi keterangan kepada kalian karena
sesungguhnya saya sendiri tidak tahu kemana suhunya pergi. Tiga hari yang lalu
mengelak ke kiri dan ia melihat tosu muka pucat yang bernama Lung Nam Taysu sudah
menyerang dengan sabetan pedangnya ke arah punggung.
Suara pedang berdesing keras waktu ia menundukan kepalanya dan kemudian
mencelat ke atas menghindarkan serangan toya yang lewat di bawah kakinya. Ternyata
Hay San Taysu sudah menyerang pula dengan sodokan toyanya yang berat dan
mengeluarkan suara mengaung.
Dengan gerakan yang indah dan ringan tubuh Wang Ie melayang ke atas dan
hinggap di tanah tidak jauh dari kudanya. Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah,
tahu-tahu Hay Kui Taysu sudah menerjangnya dengan tusukan sepasang pedang
pendek dengan gerakan sabetan dari kiri dan kanan.
Akan tetapi Wang Ie adalah murid Pendekar Lengan Buntung, tidak percuma kalau
menghadapi serangan begitu saja harus gugup dan panik, maka sambil mengelak dan
menggeser gerakan kaki memainkan jurus-jurus Ji-cap-it sin-po.
Ia sudah dapat menghindari serangan sepasang pedang pendek yang bergerak-
gerak menggunting dari kiri dan kanan. Malah, begitu terlolos dari serangan lawan
Wang Ie menggunakan gerak tangan kilat dan entah bagaimana caranya tahu-tahu
dada Hay Kuy Taysu sudah kena dorong dan tergempur kuda-kudanya.
-
Ie. Hebat sekali kemplangan toya yang beratnya seratus kati ini. Kalau Wang Ie tidak
buru-buru mengelak tentu ia akan pecah kepalanya terhantam toya Hak San Taysu.
Dan belum lagi ia sempat menghindarkan kemplangan toya itu tiba-tiba sebuah
pedang berkilat menyambar dahsyat ke arah dadanya dan dibarengi dengan sabetan
sepasang pedang pendek yang bergerak menggunting cepat dan kuat.
Kali ini Wang Ie tidak berlaku lambat ia mainkan jurus-jurus ilmu silat sinkhauw-
kun-hoat (ilmu silat monyet sakti) yang pernah ia dapati dari kitab dan bukan ajaran
dari suhunya. Ilmu silat ini semacam kun-tauw yang bergerak mengandalkan
kelincahan tubuh dan kekuatan sepasang lengan.
Entah bagaimana caranya tiba-tiba pemuda itu bergoyang-goyang dengan kaki
terungkit di atas sedangkan tangan kiri menutupi kepala. Nampak lucu sekali gerakan
yang kelihatan aneh ini, namun ajaib.
Sepasang pedang pendek di tangan Hay Kui Taysu terhenti di udara seakan-akan
tertahan sebuah tangan kuat tidak kelihatan. Sebaliknya toya dan pedang yang bergerak
menyodok dan menusuk tadi bagaikan menusuk bayangan saja lewat di samping
pemuda itu, menimbulkan suara berdesir dan mengaung keras, sedangkan tahu-tahu
Lung Nam Taysu dan Hak San Taysu terdorong ke depan ngusruk mencium tanah!
Tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Kun-lun Sam-lo-jin yang sudah dibuat
marah menggeram keras dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Pedang dan toya
berkelebatan amat cepat dan kuat, namun bagaikan menghadapi bayangan saja, tubuh
pemuda itu tidak pernah tersentuh oleh senjata mereka.
Jangankan tubuhnya, bajunya saja tidak pernah mereka sentuh. Padahal mereka
melihat pemuda ini bersilat acak-acakan seperti monyet menari yang kadang-kadang
melompat-lompat lucu dan kadang-kadang berputaran dengan tangan ditaruh di
pinggang, namun harus diakui bahwa gerakan ini cepat bukan main!
Pada saat kedatangan Hong Kwi dan Nguyen Hoat, pemuda itu merubah cara
bersilat, nampak ia begitu terdesak mainkan jurus-jurus yang pernah dipelajari dari
suhunya Tiang Le. Memang, sesungguhnya Wang Ie tidak begitu dalam menerima ilmu
silat dari Tiang Le, hanya pada dasar-dasarnya saja. Sehingga gerakan pemuda ini
nampak masih kaku ketihatannya dan lemah.
Pada ketika itu sebuah pukulan toya menghantam pundaknya. Wang Ie terkejut
sekali.
Sebetulnya ia bisa menghindarkan diri dengan ilmu silat monyet sakti. Namun
karena ia merahasiakan ilmu ini di depan Hong Kwi maka sambil mengerahkan sin-
kang di pundak, ia menerima datangnya toya si tosu.
Hak San Taysu memburu dengan toya di tangan dibarengi berkelebatnya bayangan
Hay Kui Taysu dan Lung Nam Taysu menggunakan pedangnya menusuk ke arah iga si
pemuda. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dan tahu-tahu pedang dan toya
sudah tertangkis oleh Hong Kwi yang menolong dengan cepat.
Le. Lekas
minggir dan berlutut minta maaf kepada suhengku ini. Kau sudah menghadiahkan
Akan tetapi Nguyen Hoat yang bermata tajam dan tahu bahwa ketiga orang tosu
tak boleh dipandang ringan, berkata:
kata kepada Hay San Taysu sambil
-wi taysu boleh aku bertanya, mengapa kalian datang-
datang memusuhi Hong Kwi menyerang mati-matian kepada pemuda suheng temanku
Hay San tanpa ragu-ragu menuding ke arah Hong Kwi dan Wang Ie sambil berkata,
sengaja memang hendak menawan mereka sebagai tanggung jawab ayahnya yang
telah menculik ketua kami. Dan Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le harus
Hong Kwi mengeluarkan suara mengejek lalu melompat ke atas kudanya dan
berkata kepada Nguyen Hoat,
yani orang-orang yang sedang miring otak?
Mari kita lanjutkan perjalanan. Suheng.. . . sebaiknya kita tidak melayani keledai dungu
Tentu saja dimaki keledai dungu, ketiga tosu ini menjadi mendongkol bukan main.
Hay Kui Taysu yang bersenjata sepasang siang-kiam membentak merah.
-lun-pay. Lekas
kau menyerahkan diri dan menjadi tawanan kami sampai ayahmu mempertanggung
jawabkan perbuatannya, baru kami be
Lung Nam Taysu yang sejak tadi diam saja kini membuka mulut. Sinar matanya
yang berwibawa menentang pandangan si gadis.
Melihat mata yang tajam dan berpengaruh, tahulah Hong Kwi bahwa tosu muka
pucat dan kurus kering ini mempunyai tenaga lwekang yang tinggi dan ahli tenapa khi-
kang. Diam-diam ia menjadi terkejut, akan tetapi ia tidak takut. Malah menoleh dan
mengawasi tosu itu dengan kening dikerutkan seperti orang tak senang.
k kami dan
sekali, kemudian tanpa banyak bicara ia sudah menyerbu dan menubruk Hong Kwi
dengan terjangan toyanya yang besar dan berat. Memang diantara ketiga orang Ku-
lun-sam-lojin yang paling nggak sabaran adalah Hay San Taysu, tosu tinggi besar yang
berwatak berangasan.
Melihat datangnya terjangan toya yang menubruk dengan gerakan cepat dan kuat,
Hong Kwi menjadi terkejut. Suara mengaung terdengar waktu toya itu digerakkan,
mudah diduga bahwa tosu tinggi besar ini mempunyai tenaga gwa-kang yang tinggi
dan tidak boleh dibuat gegabah, maka Hong Kwi tidak berani menangkis melainkan
melompat dari atas kudanya, berjungkir balik dan turun dua tombak dari atas kudanya.
Terdengar suara kuda meringkik dan kuda tunggangan yang ditinggalkan Hong Kwi
itu kena sodokan toya Hay San Taysu sehingga menimbulkan suara berdebuk keras
dan terguling roboh.
Kwi yang cepat menggerakkan tangan kirinya dengan gerakan kilat yang sukar diikuti
oleh pandangan mata dan tahu-tahu toya di tangan Hay San Taysu bergetar hebat dan
dari mulutnya keluar darah segar. Cepat sekali tosu tinggi besar itu bersila dan
meramkan matanya mengatur pernapasan yang terasa sesak dan sakit.
menubruk Hay San Taysu yang sudah tak berdaya. Pedangnya mendesing dan
langsung menyerang si gadis dengan terjangan-terjangan dari jurus-jurus ilmu pedang
Kun-lun-kiam-sut yang kuat dan lihai.
Sung Hong Kwi terhuyung ke belakang, akan tetapi Lung Nam Taysu tiba-tiba
merasa tangannya panas, tanda ia terserang oleh tenaga pukulannya sendiri yang
membalik ketika bertemu dengan pundak gadis itu. Hal ini menjadi bukti bahwa
lweekang gadis yang menjadi puteri Sung Tiang Le demikian tinggi dan membuat dalam
benturan saja tangannya sudah terasa panas.
Pantas dalam segebrakan tadi sutenya telah muntahkan darah. Sungguh hebat
sekali gadis ini!
Lung Nam Thaysu menjadi terkejut dan maklumlah ia bahwa harapannya untuk
melawan gadis ini tidak mungkin dilakukan lagi, baru saja menghadapi gadis puteri
Sung Tiang Le saja merupakan lawan yang berat, apalagi kalau orang muda itu turun
tangan, celaka!
-sute, lekas kembali ke Kun-lun, laporkan kepada suheng.. . . biar su-couw Cin Cin
emikian ia mengibaskan lengan bajunya dan
berkelebat lenyap diikuti oleh kedua orang saudaranya yang merasa gentar
Hong Kwi mengirim suara jarak jauh sehingga terdengar oleh ke tiga tosu itu yang
menjadi panas hatinya dan menggeram mengertukkan gigi saking gemasnya. Rasa
benci dan penasaran kepada Tiang Le memuncak, hendak ia serbu Tiang-pek-san nanti,
pikirnya berlari cepat.
Sementara itu, Hong Kwi mendekati kudanya. Begitu dilihatnya kudanya sudah
hampir mati dan telah menggeletak di tanah akibat pukulan toya si tosu tadi, Hong Kwi
mengangkat tangannya menghantam kepala kuda.
Untuk beberapa lama kuda itu meringkik panjang dan mati seketika. Wang Ie
mendekati si gadis dan bertanya heran,
jalan. Kalau nanti ia membusuk, baunya akan mengganggu orang yang lewat, sebaiknya
Entah mengapa hati Wang Ie tidak enak sekali. Ia merasa senang sumoaynya ini
membenarkan perkataan pemuda Nguyen Hoat yang baru dikenalnya.
Gila mengapa aku berpikiran begitu, Setan! Tak boleh aku mencintai sumoay. Wang
Ie menekan perasaan hatinya dan berkata,
-susah menggali lubang? Kita kasih tahu saja orang dusun,
mereka tentu akan mengambil dagingnya dan dapat dimanfaatkan untuk orang banyak,
dari pada dibuang cuma-
memanggil nama Hong Kwi demikian saja seperti sudah demikian akrab hubungan
mereka!
Hemm! Wang Ie kau gila, mengapa kau berpikir sampai begitu bodoh, tak tahu diri!
Kau ini siapa, Hong Kwi itu siapa? Mengapa berpikir yang tidak-tidak! Tolol! Tiba-tiba
Wang Ie mengeplak kepalanya.
kepala? Sayang aku nggak bawa bintang tujuh nomor enambelas hi-
tertawa. Ia memegang lengan suhengnya.
Aduhai, suara itu demikian mesra bagi pendengaran Wang Ie dan untuk beberapa
lama ia menjadi tersipu-sipu malu dan berkata gagap.
-sama
-apa lagi dari Hong Kwi
dan Nguyen Hoat, pemuda itu mencelat pergi dan berkelebat cepat menuju sebuah
dusun.
Habis memberitahukan penduduk dusun bahwa di hutan itu ada seekor kuda yang
mati dan menyuruhnya untuk dibawa ke dusun dibagi-bagi. Wang Ie terus berkelebat
lenyap dan ia meninggalkan sepucuk surat untuk sumoaynya bahwa ia hendak
mengadakan perjalanan seorang diri.
Tentu saja Hong Kwi dan Nguyen Hoat menjadi heran dan menyusul pemuda itu ke
arah selatan mengadakan perjalanan cepat. Sebentar saja hubungan Hong Kwi dengan
Nguyen Hoat sudah begitu akrab dan masing-masing sudah biasa berguyon dan
tertawa-tawa senang di sepanjang jalan.
Mereka terus ke Selatan!
ooOOoo
Hari itu udara sedikit mendung. Segumpalan awan hitam berterbangan menutupi
sinar matahari di atas kepala sehingga suasana di kaki bukit Hoa-san tidak begitu panas
terik seperti biasanya.
Angin sejuk berhembus sepoi-sepoi basah. Pohon-pohon yang-liu yang ramping
bergoyang-goyang dipermainkan angin yang datang dari arah utara, sehingga
merupakan tarian ke kanan dan kiri disertai suara berkeresek suara daun beradu.
Pada saat itu, dari kaki bukit nampak tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki
seakan-akan terbang naik ke Hoa-san. Yang seorang bertubuh tinggi kurus dan
berwajah pucat, dilihat dari cara berpakaian laki-laki itu mudah diduga bahwa ia itu
seorang tosu, yang terkenal di Kun-lun-san dengan nama Lung Nam Taysu, orang
pertama dari Kun-lun Sam-lo-jin.
Orang kedua dan ketiga adalah kakek-kakek berjubah aneh, yakni berwarna
belontang-belontong terdiri dari warna merah, putih dan kuning. Yang pertama adalah
seorang kakek bongkok yang memegang tongkat hitam di tangan kanan dan tongkat
putih di tangan kiri, sedangkan orang kedua adalah seorang kakek botak yang pada
punggungnya terdapat sepasang pedang.
Yang bongkok itu adalah tokoh ketiga dari Bu-tong-pay, bernama Jin Jin Hoatsu,
berjuluk Hek-pek-siang-tung (Sepasang Tongkat Hitam Putih). Yang kedua bertubuh
besar pendek adalah tokoh keempat dari Cay-san-pay, bernama Su Tek Lay berjuluk
Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis).
Mereka ini memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan tokoh-tokoh yang cukup
terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah orangnya yang tidak pernah mendengar tokoh
Kun-lun-pay yang berjuluk Kun-lun Sam-lo-jin, tokoh Bu-tong-pay, Jin Jin Hoatsu yang
lihai bermain sepasang tongkat hitam dan putih, sedangkan orang ketiga adalah Su Tek
Lay si Sepasang Pedang Iblis.
-san- -pek-siang-tung Jin Jin
Hoatsu.
-san-pay sudah hampir bankrut, akan tetapi sudah berani main gila
-cu Bu Beng Cu juga lenyap. Kabarnya Siang Siang Tojin itulah yang telah
datang ke Thay-san, her
Lay dengan nada tak senang,
seka
-murid Hoa-san-pay yang lain menjerit ternyata supek mereka telah
meninggal dengan amat mengenaskan.
Niang Pek Tojin termenung sejenak.
buntung yang demikian lihai. Tadi supek bilang dia itu Su.. . . hemm! Sung Tiang Le! Benar
baru kita kemudian membicarakan tentang si Pendekar Lengan Buntung itu, kalau
memang dia orangnya. Biar nanti kita menyerbu ke Tiang-pek-
Demikianlah, Niang Pek Tojin dan murid-murid Hoa-san-pay mengadakan acara
sembahyang dan berkabung atas kematian supek mereka! Niang Pek Tojin dan murid-
muridnya bersembahyang di depan pondok. Hari itu adalah hari ketiga dimana peti
hendak dimasukkan ke dalam liang kubur.
Setelah mereka semua berlutut dan memasang hio sebagai penghormatan atas
arwah supek Siang Siang Tojin, Niang Pek Tojin segera menggeser meja sembahyang
dan memerintahkan kepada empat orang muridnya untuk mengangkat peti.
Tiba-tiba Hoa-san Siang-sin-kiam Lim Ju Hian berkata,
Niang Pek Tojin mengangguk-angguk karena kakek ini juga sudah tahu. Adapun
murid-murid Hoa-san menoleh dan celingukan ke sana ke mari mencari-cari karena
mereka belum melihat tamu yang dikatakan tadi oleh Ju Hian.
Baru saja mereka hendak bertanya, dari samping kiri berkelebat tiga bayangan dan
sekejap kemudian tiga orang kakek berdiri di dekat samping pondok sambil tersenyum
menyindir. Dan mengawasi meja sembahyang yang sudah dipindahkan ke sebelah kiri.
Dan memandang peti mati.
-san-pay begini pengecut, berani
berbuat nggak berani bertan
menghampiri peti mati.
Namun dua orang murid Hoa-san bergerak dan menghadangnya dan memandang
Aha, Niang Pek Toyu, apakah kau belum mengetahui kedatangan kami? Aku adalah
Su Tek Lay, dari Thay-san-pay, dan dua orang sobat masing-masing dari Kun-lun-pay
dan Bu-tong-pay.. . . Kami hendak bertemu dengan Siang Siang Tojin dan minta
keterangan mengapa
Tek Lay menatap tajam Niang Pek Tojin.
Dua orang tokah Kun-lun-pay dan Bu-tong-pay tidak berkata apa-apa, akan tetapi
mereka telah menggerakkan kedua tangannya dan bagaikan dua ekor burung mereka
melayang ke atas, menginjak pecahan genteng dan mengintai ke dalam. Mereka
mencari Siang Siang Tojin yang disangkanya bersembunyi di dalam pondok. Kemudian
mereka kembali melayang ke bawah, gerakan mereka sangat ringan menunjukkan
bahwa gin-kang ke dua orang kakek ini sudah mencapai tingkat tinggi.
Melihat kehebatan gin-kang kedua orang ini, diam-diam Niang Pek Tojin terkejut,
demikian pula Hoa-san Siang-sin-kiam Lim Ju Hian. Menghadapi kedua orang kakek
tokoh Bu-tong-pay dan Kun-lun-pay mereka tidak takut, akan tetapi melihat gerakan
itulah yang diperlihatkan oleh dua orang tadi benar-benar hebat sekali.
Niang Pek Tojin berdiri dan menjura ke arah ke tiga orang kakek yang baru datang
itu,
ketua kami saja yang telah diculik, akan tetapi ketua Thay-san-pay, Bu-tong-pay juga
sudah lenyap! Sungguh perbuatan yang berani dan tidak memandang mata dengan
Tentu saja Niang Pek Tojin dan murid-murid Hoa-san-pay menjadi terkejut
mendengar omongan tosu dari Kun-lun-pay ini. Dan mereka saling memandang heran.
Niang Pek Tojin yang merasa bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
menimpah Hoa-san-pay melangkah maju dan berkata kepada tosu Kun-lun-pay ini:
-wi beng-yu, urusan tentang ketua kalian yang lenyap, sesungguhnya kami
menutup-
dan memandang si tosu dengan pandangan tajam.
-ha-ha, kalian
ini bertiga sedang bermimpi atau sedang miring otak. Bagaimana kalian menyangka
-lun
beberapa hari yang lalu dan ka
-
-
Namun demikian dalam jurus-jurus ilmu silat tokoh Thay-san-pay ini tidak kalah
lihainya. Pedangnya berkelebat cepat dan ganas merupakan sepasang naga yang
berebut mustika yang saling dulu menyambar-nyambar dengan dahsyat.
Serangan-serangan sepasang pedang iblis itu amat aneh, memang sumber ilmu
pedang dari Thay-san-pay ini agak sedikit ganas, sebab ia langsung dididik oleh seorang
tokoh hitam bernama Thian Te Siang-mo. Akan tetapi setelah orang tua sakti itu
meninggal, Thay-san-pay dipimpin oleh Bu Beng Cu dan mendapat kemajuan pesat.
Namun demikian ilmu pedang mereka tetap saja ganas dan keji karena bersumber
dari ciptaan Thian Te Siang-mo yang luar biasa. Baru setelah Bu Beng Cu mengangkat
diri menjadi ketua, sumber pedang ini agak dirubah dan diberi nama Thay-san Siang-
sin-kiam-hoat Sepasang Pedang Sakti dari Thay-san-pay!
Melihat betapa sutenya sudah bergebrak dan bertempur seru dengan tokoh dari
Thay-san-pay ini, Niang Pek Tojin maju dan menghampiri Lung Nam Taysu, membentak,
-betul keras kepala! Tidak menghormati perkabungan orang. Supek
lau memang Siang Siang Tojin sudah meninggal coba kuperiksa peti
matinya. Jangan-jangan dia hanya bersembunyi dan takut mempertanggung jawabkan
Lung Nam Taysu maju menghampiri peti. Tangannya bergerak hendak membuka
peti mati itu, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Niang Pek Tojin dan ke
duapuluh lima murid-murid Hoa-san sudah mengurungnya dengan pedang di tangan.
Tojin terdengar tergetar menahan gelora hatinya yang meledak menahan amarah!
Melihat sikap tosu ini dan murid-muridnya yang mengurungnya dengan pedang
ditangan, Lung Nam Taysu tertawa mengejek:
-ha- -lun-pay dan Hoa-san-pay merupakan musuh besar.
Aku harus membasmi sampai keakar-
-san-pay yang
tidak dapat menahan kesabarannya lagi mencelat maju dan menggerakkan pedangnya.
Suara pedang berdesing keras, Lung Nam Taysu tertawa keras, dan mengelak dari
sambaran pedang itu dan membalas dengan sebuah dorongan jarak jauh setengah dan
membentak,
ke muka.
Terdengar jeritan kaget dari orang Hoa-san-pay yang menyerangnya itu. Ia tidak
sangka tosu ini dapat mengirim pukulan demikian cepatnya.
Melihat datangnya hawa pukulan yang demikian kuat dan menimbulkan hawa
panas segera ia mencelat ke kiri membuang diri dan menghindarkan pukulan jarak
jauh si tosu. Namun rupanya Lung Nam Taysu tidak hanya sampai bergebrak di situ,
tiba-tiba kakinya mengirim tendangan berantai dan sebuah tendangan ketiga tepat
mengenai lambung murid Hoa-san-pay.
-san-pay itu terlempar jauh dan menggeliat di tanah.
Perutnya dirasakan sakit bukan main, namun ia telah dapat berdiri dan
menggerakkan pedang. Dengan pedangnya yang masih dipegang di tangan kanannya
itu ia hendak menyerang lagi!
Tiba-tiba tubuhnya terhenti di tengah serangan ini karena lengan kanannya
dipegang orang dari belakang. Pegangan yang amat kuat dan membuatnya tidak
berdaya.
-lun-
Ternyata Niang Pek Tojin yang mencegatnya.
Diam-diam ia menarik napas lega. Tadinyapun ia telah merasa bahwa ia bukan
tandingan tosu Kun-lun-pay ini dan kini biarpun ia mengundurkan diri, ia bersiap-siap
dengan pedang di tangan yang suatu ketika pasti bergebrak apabila ketua mereka
berada dalam keadaan gawat di tangan tosu ini!
-lun-pay, ketahuilah bahwa hari ini Hoa-san-pay tengah mengadakan
perkabungan oleh sebab kematian supek kami Siang Siang Tojin. akan tetapi karena
kalian mendesak kami terpaksa kami melupakan hubungan baik dengan Hek Gan Taysu
di Kun-
Lung Nam Taysu sudah mengirimkan serangan dahsyat dan
pedangnya bertubi-tubi mengirimkan tusukan yang cukup hebat. Namun jago Hoa-san
ini bukanlah orang sembarangan, ia adalah murid pertama dari Siang Siang Tojin, ilmu
pedangnya sangat kuat dan berisi.
Tentu saja ia dapat mengimbangi orang pertama dari Kun-lun Sam-lo-jin ini. Dan
malah ia telah mulai melancarkan serangan-serangan balasan yang tak kalah
ganasnya.
Pada saat itu terdengar suara pedang beradu, bunga api berpijar di udara dan
bersamaan dengan itu terdengar pekikan mengerikan. Ternyata Jin Jin Hoatsu sudah
bergebrak dan dikeroyok oleh ke duapuluh lima murid-murid Hoa-san-pay. Tentu saja
menghadapi tokoh Bu-tong-pay yang lihai ini, sebentar murid-murid Hoa-san-pay pada
roboh oleh sebab permainan tongkat yang luar biasa hebatnya.
Perlu diketahui bahwa semenjak Tiong Gi Tojin meninggal dunia, partai Hoa-san ini
menjadi banyak kehilangan murid oleh sebab dalam pimpinan Siang Siang Tojin, ia
hanya membatasi menerima murid, malah banyak pula murid-murid Hoa-san-pay yang
bertebaran dimana-mana segan untuk kembali ke puncak.
Ada lebih seratus murid Hoa-san-pay yang bertebaran di daerah-daerah menjadi
piauw-su, nelayan dan penduduk biasa. Sehingga sekarang di Hoa-san ini menjadi sepi,
murid-murid tinggal duapuluh lima orang saja. Itupun tidak begitu lihai, sebab Siang
Siang Tojin segan sudah melatih mereka, sehingga Hoa-san-pay menjadi partai yang
lemah dan tidak ada semangat.
Dan sebentar saja ke duapuluh lima murid Hoa-san-pay ini sudah menggeletak
mandi darah dalam amukan tongkat tokoh Bu-tong-pay. Beberapa orang lagi yang
masih kuat berjalan malarikan diri, akan tetapi banyak pula yang mati.
Melihat ini Hoa-san-siang-sin-kiam Lim Ju Hian menjadi marah. Ia menjadi nekad
dan mengamuk melawan tokoh Thay-san-pay ini, sepasang pedangnya berkelebat
ganas. Lebih seratus jurus mereka bertempur, namun mereka belum juga ada yang
kalah, mereka sama-sama tangguh, sama-sama lihai!
Sebuah guntur menyambar. Tidak mereka sadari udara di atas gelap menutupi
mereka. Hujan turun dengan lebatnya. Suasana di puncak Hoa-san-pay agak remang-
remang.
Pada ketika itu, terdengar suara mengakak keras dan di atas ketinggian batu
gunung berkelebat sesosok tubuh dan langsung saja ia menyambar Ju Hian dan Tek
Lay, begitu tangannya bergerak. Bagaikan sebuah kilat menyambar tubuh ke dua orang
yang tengah bertempur itu terlempar jauh dan mati seketika.
-ha-ha, Hoa-san-pay dan Kun-lun-pay saling cakar-cakaran, Bu-tong-pay tidak
lama lagi akan mengalami kehancuran di tangan Thay-san-pay, ha-ha-ha-ha-
yang keras ini amat menyeramkan.
Tidak begitu jelas orang itu. Hanya nampak rambutnya panjang riap-riapan
menutupi mukanya, pakaiannya hitam sudah basah oleh air hujan, hanya nampak
lengan sebelah kanan yang buntung sebatas pundak.
Mendengar suara ini, Lung Nam Taysu dan Niang Pek Tojin menghentikan gerakan
serangannya. Jin Jin Hoatsu juga memandang terbelalak. Mereka seakan-akan melihat
setan.
Orang buntung lengannya itu tidak begitu jelas, karena ditutupi oleh rambut yang
riap-riapan panjang. Tubuhnya agak pendek. Kurus kering dan menyeramkan!
selangkah. Pada saat itu hampir berbareng, Jin Jin Hoatsu dan Lung Nam Taysu
memandang terbelalak dan berkata,
Tiba-tiba terdengar ledakan keras dan tahu-tahu dari dalam peti mati itu keluar
sesosok tubuh yang kurus kering, berjalan perlahan melangkahi mayat-mayat orang
Hoa-san-pay yang sudah mati. Ia menggumam sendiri:
-siluman Istana Hantu, awas kau Bok Beng Cu akan datang
masanya Siang Siang Tojin menghancurkan Istana kalian
Siang Siang Tojin berjalan perlahan, kilat dan petir menerangi tempat itu. Sementara
hujan turun dengan derasnya membanjiri puncak Hoa-san-pay!
Sunyi dan sunyi.
ooOOoo
Sesosok tubuh seorang kakek tua kurus kering yang berambut riap-riapan
berjongkok dan mengangkat sebuah tubuh Lung Nam Taysu yang sudah pingsan. Darah
merah menodai jubahnya. Wajah tosu itu pucat dan sekarat hendak mati.
Orang aneh itu membawanya dan sekali menggerakkan tubuhnya ia sudah lenyap
dari puncak Hoa-san dan berlari cepat menuju Kun-lun-san. Amat cepat sekali
bayangan orang ini berkelebat, sehingga menjelang tengah hari mereka memondong
tubuh Lung Nam Taysu, sampailah ia di kaki bukit Kun-lun-san. Pada waktu itu udara
sudah gelap hampir menjelang malam, burung-burung beterbangan di atas.
Kakek rambut riap-riapan itu meletakkan tubuh Lung Nam Taysu di dekat sebuah
batu besar di kaki bukit Kun-lun-san. Pada sebuah batu yang besar, ia menggoreskan
huruf-huruf yang berbunyi demikian:
ncari Hek Gan Taysu,
datanglah ke puncak Tiang-pek-san.
pucat nampak lebih pucat lagi waktu ia melihat sesosok tubuh menggeletak di dekat
batu besar.
-
berkata pula orang kedua yang memegang lui-teng menghampiri tubuh Lung Nam
Taysu dan terus saja dipondong oleh si muka pucat menaiki puncak.
Untuk yang kedua kali gemparlah tokoh-tokoh di Kun-lun-san. Mereka cepat
memeriksa luka di dalam dada Lung Nam Taysu dan diberinya obat. Dua orang termuda
dari Kun-lun-sam-lo-jin bertanya kepada dua orang yang menemukan tubuh Lung Nam
Taysu,
Hebat sekali bunyi tantangan ini, membuat darah di dada Hay San Taysu dan murid-
murid Kun-lun-pay yang lainnya berdebar-debar menahan amarah.
-
lun-sam-lo-jin sudah mencelat dan mendaki puncak Kun-lun-san, sedangkan murid-
murid yang lain membawa batu hitam yang bertulisan itu untuk dihadapkan kepada
Cin Cin Taysu.
Mendengar laporan ini hampir saja Cin Cin Taysu tidak percaya, kalau saja tidak
melihat tulisan yang tertera pada batu hitam itu. Ia menatap tajam ke arah Lung Nam
Taysu yang sudah sadar diri, akan tetapi belum pulih benar kesehatannya!
-san-pay dan
bagaimana dengan saudara-saudara dari Thay-san-pay dan Bu-tong-
Lung Nam Taysu berlutut dan berkata:
mpunkan teecu sucouw, sesungguhnya entah bagaimana teecu tidak ingat lagi
akan peristiwa kejadian itu, teccu merasa diri teecu dipondong oleh seorang tua yang
lengannya buntung dan berambut riap-riapan.. . . Ia sudah membunuh Jin Jin Hoatsu,
Niang Pek Toj
Jilid 7
UNG NAM, bicaralah yang betul, jangan pakai rasa-rasa segala. Betulkah
bergerak tangan kiri itu.. . . entah dengan cara bagaimana tahu-tahu teecu dan Niang
Pek Tojin telah terluka hebat. Untung teecu dapat bertahan dan tidak mati seperti Niang
Nam setelah kau sembuh benar kalian bertiga Kun-lun Sam-lojin berangkatlah ke Tiang-
pek-san, minta tanggung jawab Sung Tiang Le dan cari Hek Gan Taysu. Apabila keadaan
gawat, lekas laporkan kepadaku, biar aku yang akan turun tangan sendiri menghadapi
Tiang Le. Sungguh berani sekali
- -lun Sam-lojin
Kakek ini usianya sudah tua sekali. Hampir seratus tahun, tubuhnya sudah kurus
kering dan berjenggot panjang.
Sebenarnya Cin Cin Taysu ini sudah mengundurkan diri dari Kun-lun-pay, akan
tetapi mendengar bahwa sutenya Hek Gan Taysu lenyap dan diculik oleh seseorang
berlengan buntung maka ia keluar dari pertapaannya dan untuk sementara waktu
menetap di puncak.
Ia sendiri pernah mendengar si Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le, namun
belum pernah bertemu muka. Maka ia mengutus Kun-lun Sam-lojin.
Demikianlah tiga hari kemudian, tiga orang kakek yang terkenal dijuluki Kun-lun
Sam-lojin itu turun gunung menuju puncak Tiang-pek-san. Ia berjalan cepat sekali.
Berhari-hari mereka melakukan perjalanan cepat, pada suatu hari mereka melewati
hutan kecil di kaki gunung Lu-liang-san.
Dilihat dari jalan-jalan yang rapih di sepanjang jalan kecil hutan itu, mudah diduga
bahwa hutan ini tentu sering kali dilalui penduduk dusun. Mereka bertemu dengan
beberapa penebang kayu. Nampak mereka terengah-engah sekali berjalan dan begitu
melihat ke arah tiga orang tosu, seorang di antara penebang kayu itu berkata,
-
Melihat orang setengah tua ini yang menegurnya, Lung Nam Thaysu tersenyum
dan balas bertanya:
-pek-
-pek-san? Apakah sam-wi hendak pergi ke Tiang-pek-
heran.
Hay San Taysu mengangguk.
-pek-san, apakah melalui jalan ini masih
-wi salah jalan. Kalau hendak menuju ke Tiang-pek-san bukan dari sini
jalannya. Tiang-pek- -tembusnya di kaki
gunung Lu-liang-san. Aiii, sebaiknya sam-wi tidak menerusi perjalanan dari hutan ini.
ini? Biar
besar yang bernama Hay San Taysu itu mengetuk-ngetuk toyanya yang berat ke tanah.
Sedangkan Hay Kui Taysu merabah gagang pedangnya dan berkata gagah,
alau memang di hutan ini berkeliaran perampok-perampok, biar Kun-
lun Sam-
Orang tua penebang kayu itu menjura hormat.
-lun-sam-lo-
-
penebang kayu itu mengangkat pundaknya dan berlalu meninggalkan Kun-lun-sam-lo-
jin.
Kun-lun-sam-lo-jin saling pandang.
-
adiknya.
Hay Kui Taysu menggelengkan kepala,
a ini! Kakek tadi mungkin sudah miring
jalan kecil itu. Dua orang sutenya berjalan di belakang. Mereka berjalan cepat.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di daerah yang kelihatannya sangat liar,
rumput-rumput tumbuh tinggi. Pohon-pohon besar penuh dengan kelabang-kelabang.
Bau busuk entah darimana datangnya menyengat hidung mereka.
Hay San Taysu menoleh kiri kanan,
Burung garuda yang ditunggangi kakek tinggi besar itu menukik ke bawah dan
tahu-
-gara
-lun-pay
-hi-
berkata demikian tiga orang yang berpakaian seperti piauw-su itu berlari-lari terbirit-
birit ketakutan.
Kun-lun Sam-lojin saling pandang.
itu.
-orang
yang tengah ketakut
Taysu sambil berjalan di depan. Ia bersiap-siap dengan pedang di tangannya.
Sedangkan Hay San Taysu yang gemuk pendek itu mencari-cari dengan pandangan
matanya dan mereka terus memasuki hutan yang semakin jauh, semakin seram
pemandangan di sana. Kalau pada mulanya tadi sering-sering kali mereka lihat
manusia-manusia yang lalu-lalang, di sini ini tidak ada sepotong pun manusia.
Bau busuk bertambah memuakkan. Suara burung goak mengoak panjang dan
sekali-sekali nampak kelelawar hitam berterbangan di atas. Siang hari itu, matahari
telah naik di atas kepala dan mengintip dari cela-cela daun pohon yang penuh kabang-
kabang.
Tiba-
-
yang memang takut akan tulang belulang manusia melotot memandang di bawah
kakinya. Ternyata tadi ia kesandung kepala tengkorak manusia!
-
diri saja membuka suara, memandang heran ke arah kepala tengkorak manusia di
bawah kaki itu.
jah
memerintahkan kedua sutenya untuk maju.
Suara burung terdengar mencicit. Bau busuk semakin menyengat.
Tiba-tiba Hay San Taysu menunjuk ke samping dan berkata gagap seperti melihat
Lung Nam Taysu dan Hay Kui Taysu menoleh ke kiri dan benar saja, di samping
kiri tidak jauh dari situ terdapat sebuah rumah tua, bertingkat dua. Atapnya dari genteng
batu, tiang-tiang yang bergambar naga masih tegak berdiri terbuat dari kayu yang tebal
dan mengkilap.
Kesunyian mencekam alam di sekelilingnya. Bau busuk menyebar dari halaman
rumah tua itu.
Ternyata di halaman itu penuh dengan tulang belulang. Udara di sekitar rumah tua
itu menjadi sangat menyeramkan dan penuh hawa kematian dari bangkai-bangkai
manusia yang berserakan.
Kun-lun Sam-lojin untuk beberapa lama berdebar hatinya melihat tiga sosok tubuh.
Ada tiga sosok tubuh manusia tergantung di depan rumah tua itu. Lung Nam Taysu
menjerit tertahan dan melompat ketika mengenali salah satu dari ketiga mayat yang
ada di situ,
Mendengar suhengnya menyebut nama suhunya, keruan saja kedua orang Kun-lun
Sam-lojin mencelat dan beberapa kali lompatan saja mereka sudah sampai di tempat
itu.
Mereka menghampiri sesosok mayat yang tergantung. Lung Nam Taysu cepat
menggerakkan pedangnya dan membabat putus tali ikatan yang menggantung Hek Gan
Siansu.
-lun-pay itu berteriak dan menangisi mayat
suhunya yang sudah rusak itu.
Seluruh mukanya sudah hitam. Ke dua matanya sudah cekung bekas dikorek,
jantungnya sudah lenyap pula, menandakan dada ketua Kun-lun-pay ini bolong bekas
dirogoh orang. Sungguh keadaan yang sangat sadis dan menggenaskan hati.
Demikianlah ketiga orang itu memakamkan tiga mayat ketua tokoh besar dunia
persilatan di depan gedung tua itu. Acara pemakaman amat sederhana sekali.
Selesai menguburkan tiga mayat ketua tokoh besar partai persilatan itu, tiga orang
tosu Kun-lun-pay itu cepat-cepat pergi menuju ke Tiang-pek-san. Perjalanan mereka
dilakukan amat cepat sekali.
Lung Nam Taysu bermaksud untuk menghadap ke Tiang-pek-san sendiri,
sedangkan ke dua orang sutenya ini lalu mengambil arah ke Thay-san-pay dan Bu-
tong-pay untuk memberitahukan peristiwa ini.
Hay San Taysu menuju ke Thay-san-pay sedangkan Hay Kui Taysu menuju ke Bu-
tong-pay.
Tentu saja mendengar berita ini, baik di Thay-san-pay, maupun di Bu-tong-pay
menjadi gempar bukan main. Dengan perasaan marah wakil pimpinan dari Bu-tong-
pay dan Thay-san-pay ikut dengan kedua orang tosu itu untuk melihat mayat ketua
mereka yang kabarnya sudah dimakamkan oleh Kun-lun Sam-lo-jin.
Dari pihak Thay-san-pay limabelas tokoh-tokoh Thay-san-pay yang dipimpin oleh
Bu Ci Goat, adik seperguruan dari Bu Beng Cu yang telah lenyap, sedangkan dari pihak
Bu-tong-pay sepuluh orang tokoh-tokoh Bu-tong-pay turun gunung di bawah pimpinan
Giam-ong Ma Ek.
Tentu saja melihat tiga gundukan tanah di muka rumah tua yang amat
kau Sung Tiang Le, akan tiba masanya Thay-san-pay akan menghancurkan Tiang-pek-
dan kemudian abunya baru kita bawa ke tempat partai masing-masing, bukankah
Sebaliknya Wang Ie, sejak suhunya Sung Tiang Le mendapatkan seorang puteri
yang bernama Sung Hong Kwi itu, kurang lagi memperhatikan dirinya. Latihan silat
yang diterimanya dari suhunya amat jarang sekali dan hanya merupakan dasar-dasar
ilmu silat yang tidak tinggi.
Sebetulnya Tiang Le tidak mau membeda-bedakan puteri dan muridnya, akan tetapi
karena desakan-desakan Liang Bwe Lan untuk tidak melatih Wang Ie dengan sungguh-
sungguh maka Tiang Le pun asal melatih saja. Biar bagaimanapun juga ia lebih sayang
kepada puterinya dan oleh sebab itulah kasih sayangnya lebih besar dicurahkan untuk
puterinya.
Namun demikian kepada murid-murid Tiang-pek-pay yang lain, Tiang Le dan Bwe
Lan tidak meninggalkan tugasnya untuk melatih mereka. Malah karena Tiang le merasa
perlu untuk memperkuat partainya, ia menjadi sungguh-sungguh melatih ke limapuluh
orang muridnya.
Namun demikian ia tidak melatih langsung, melainkan tugas ini diserahkan kepada
A Toan, si kakek bongkok dan seorang kakek Tiang-pek-san lainnya yang bernama Lie
Su Hian. Kedua orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi karena langsung dilatih
oleh Tiang Le, merupakan sepasang harimau Tiang-pek-san!
Wang Ie bukan tidak mengetahui perubahan dari suhu dan subonya ini, namun
karena ia tahu diri dan merasa bahwa suhu dan subonya itu sudah menolong jiwanya
dari korban kelaparan dan malah telah membawanya ke Tiang-pek-san. Ia tidak iri hati
melihat kemajuan Hong Kwi dan saudara-saudara seperguruannya di Tiang-pek-san.
Dan ia juga tidak minta dilatih ilmu silat Tok-pik-kun-hoat, seperti yang pernah ia
lihat Tiang Le melatih puterinya dan dua orang murid utama Tiang-pek-san yakni A
Toan dan Su Hian, dan kedua orang ini toh yang mewakili Tiang Le melatih murid-murid
Tiang-pek-san yang lain.
Wang Ie adalah seorang yang tahu diri, biarpun subonya tidak menyatakan isi
hatinya, namun pemuda ini dapat menduga bahwa ibu gurunya ini tidak suka
kepadanya. Malah sejak Hong Kwi berusia duabelas tahun, subonya ini tidak pernah lagi
melatih dirinya.
Hanya pada penghabisan kali itu subonya melatihnya dan berkata:
ari ini kami tidak akan melatihmu, kami terlalu sibuk oleh urusan
partai. Oleh sebab itu, kalau kau memang suka dengan ilmu silat.. . . boleh kau berlatih
atas bimbingan A Toan dan berlatih bersama-sama murid Tiang-pek-pay yang lain,
Tentu saja Wang Ie tidak menyatakan kekecewaan hatinya. Dan ia memang sudah
dapat meraba betapa subonya ini, entah mengapa menaruh hati yang tidak senang
kepadanya.
Namun demikian Wang Ie bersikap tetap baik dan tidak menunjukkan kekecewaan
hatinya. Ia amat sopan serta taat terhadap Tiang Le dan Bwe Lan, pendiam dan tak
pernah berkelakar.
Semakin hari, sikap Wang Ie semakin pendiam malah kadang-kadang anak muda
ini tidak keluar dari kamarnya. Dan tidak ikut berlatih dengan murid-murid Tiang-pek-
pay, yang lain, sehingga A Toan yang merasa bertanggung jawab atas anak didiknya
dan untuk kemajuan murid-murid Tiang-pek-pay, pada suatu hari ia menegur Wang Ie,
Wang Ie terkejut dan tidak enak hati ditegur demikian oleh kakek bongkok ini. Biar
bagaimanapun juga, kakek bongkok ini selalu bersikap baik terhadapnya dan tidak
pernah menyakiti hatinya.
Sekarang kakek itu menegurnya. Ia jadi tidak enak dan malu.
kan kata-katanya.
-pek-san, kau juga harus rajin berlatih, seperti saudara-
saudaramu. Jangan memalukan partai kita, oleh sebab punya murid goblok-goblok dan
nggak becus apa-apa.
sikapmu, kau selalu kelihatan
kurang bersemangat dalam latihan tidak seperti dulu-dulu, mengapakah? Apakah kau
Akan tetapi sungguh diluar dugaan dari kakek bongkok ini, Wang Ie berkata
demikian,
-lopek, aku ucapkan banyak terima kasih atas perhatianmu kepadaku, akan
-
kalau memang boleh, biarlah aku di sini sebagai tukang kuda saja dan tidak ikut dalam
latihan. Bagaimanakah menu
A Toan memandang heran.
ini! Bukankah kau murid langsung dari suhu Sung Tiang Le, mengapa kau berkata
Wang Ie jangan kau bilang menjadi tukang kuda segala, kalau suhu tahu omonganmu
-lopek, apakah
berlatih, karena tidak ada semangat. Aku tak akan maju, Toan lopek! Belajar silat
bukankah harus ada bakat dan kemauan yang keras?
-pek-pay,
tentu akan memalukan saja. Lebih baik aku tidak turut berlatih dan menjadi tukang kuda.
Kan itu ketah
Pada saat itu berkelebat sebuah bayangan dan tahu-tahu Bwe Lan sudah berdiri di
depan Wang Ie dan A Toan. Pandangannya menyambar Wang Ie dengan alis dikerutkan
seperti orang tak senang:
nar-benar malas. Mengapa beberapa hari ini kau tidak turut
ini kau tidak boleh melatih Wang Ie lagi, biar kalau dia mau menjadi tukang kuda.
ar Pek Bo di sebelah kiri kandang kuda. Biar ia
mengurus kudaku dan kuda milik Hong Kwi, tiap hari kuda harus dicarikan rumput,
dibersihkan, dan tiap-tiap sore dimasukkan ke dalam kandang. Mengertikah kau Wang
dulu, ia raj
nomor satu
-ha-ha isteriku, kan jangan tekebur. Di dunia ini banyak sekali orang pandai. Kita
tak boleh berpendapat begitu. Ingat sepandai-pandainya tupai melompat, ia akan
-moay.. .
berhubungan deng
-bukan Lan-moay. Anak kita masih bau kencur,
belum waktunya untuk pacar-pacaran. Juga Wang Ie, tentu ia tidak akan berani gila
Hong Kwi tidak boleh mencintai sembarangan orang, apa lagi Wang Ie memilih sebagai
Sebuah isakan terdengar di atas genting. Isakan yang perlahan sekali namun cukup
terdengar oleh Tiang Le dan sekali mencelat Tiang Le sudah melompat ke atas genting
dan membentak,
Akan tetapi di atas genting itu sepi-sepi saja. Tidak nampak bayangan orang.
Bwe Lan telah mencelat pula di atas genting dan memandang ke kanan kiri. Ia tadi
juga mendengar suara seperti orang menangis yang tertahan, buru-buru ia mencelat
ke atas, namun di atas tidak ada orang.
memegang lengannya.
Untuk seketika berdebar dada Wang Ie. Ia tersenyum membalas pandangan si
gadis.
Kini Wang Ie yang memegang lengan si gadis dan menariknya duduk di sebelahnya.
Hong Kwi membiarkan tangannya ditarik dan ia duduk di sebelah pemuda itu di
atas rumput di bawah pohon yang rindang.
ru itu aku tidak suka. Sebenarnya aku murid suhu Sung Tiang Le, karena suhu
Wang Ie tersenyum.
Gadis ini menampakkan wajah yang serius. Untuk beberapa saat ia memandang
pemuda di sebelahnya lama-lama.
yang tanggung jawab, mau kau? Kalau memang mau biarlah tiap hari kita
bertemu di tempat ini dan aku akan memberimu petunjuk-petunjuk ilmu silat yang
bis
-
katanya dan memandang kepada Hong Kwi seakan-akan hendak manyampaikan
sesuatu yang penting,
Pada waktu itu Hong Kwi baru berusia empatbelas tahun dan sifatnya masih
kekanak-kanakan, maka ia ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan oleh
Wang Ie.
mempelajari ilmu silat yang kudapat dari sebuah kitab yang kiranya tidak kalah lihai
dengan Tok-pik-kun-hoat. Kalau kau memang mau tetap bersahabat denganku dan
datang ke tempat ini setiap sore, sebagai budi baikmu, aku juga akan memberikan ilmu
pukulan yang aneh-aneh! Asalkan kau dapat, merahasiakan ini kepada kedua orang
tuamu dan murid-murid Tiang-pek-
Hong Kwi maklum bahwa kepandaian Wang Ie masih jauh kalau hendak
dibandingkan dengannya, maka kata-kata itu tentu saja menimbulkan senyum.
lmu baru sehingga tidak mau
berlatih atas bimbingan paman A Toan. Coba kau perlihatkan dulu, hendak kulihat ilmu
pukulan macam apa yang pernah kau pelajari.
Maksudku mengambil bunga itu dengan tidak melompat. Dari bawah ini dan
ng bisa dengan jalan itu, akan tetapi cabang pohon basah dan kotor, lihat,
waktu kau duduk di dahan pohon tadi pakaianmu sudah menjadi kotor dan basah.
dapat dipergunakan untuk mengambil semua bunga yang kau inginkan, tanpa ada
Hong Kwi tertawa dan merasa kasihan kepada Wang Ie. Baru kepandaian seperti
ulan Tok-pik-kun-
demikian Wang Ie lalu duduk bersila dan menahan napas, mengerahkan tenaga bathin
di kedua pasang matanya dan telunjuknya menunjuk ke depan, kemudian ia menoleh
ke arah Hong Kwi sambil katanya:
tanpa
kugerakkan memukul ke depan. Bukankah dengan cara ini bunga di tanganku ini lebih
Hong Kwi menoleh, dan ia mengucekkan matanya. Benar-benar aneh, ilmu sihir apa
yang dilakukan oleh pemuda ini, sehingga tiap bunga yang ditunjuknya, segera patah
tangkainya dan melayang perlahan ke bawah, lalu diterima dengan tangan kiri Wang
Ie dan benar saja bunga-bunga itu masih utuh.
Hanya dengan menunjuk-nunjuk ke arah bunga-bunga di atas, Wang Ie telah
menurunkan sepuluh bunga-bunga. Kemudian ia tersenyum, memegang bunga-bunga
itu, pada tangkainya menjadi satu dan memberikannya kepada Hong Kwi.
Hong Kwi menerima bunga-bunga itu dan ia terkejut dan heran bukan main. Ia tidak
percaya bahwa apa yang diperlihatkan tadi adalah demonstrasi tenaga lweekang yang
luar biasa. Ia mengira bahwa tentu Wang Ie mempergunakan ilmu sihir.
-
i dan aku sendiri tidak mengetahui
namanya, boleh juga kau sebut ilmu hoat-sut, pokoknya aku sudah memperlihatkan dan
membuktikan omonganku, bukan?
-
siapa kalau kau hendak melatihku di tempat ini dan tiap sore kita bertemu. Kalau kau
-sut termasuk ilmu sesat, seringkali ayah mengatakan ini kepadaku. Aku takkan
-tiba Hong Kwi berkata keras.
tidaknya suatu ilmu. Baik tidaknya tergantung kepada orang yang memakainya. Kalau
ilmu tadi kupergunakan untuk memetik bunga, bukankah sangat menguntungkan
bagiku, sehingga tidak susah-susah aku dapat memetik kembang-
bertanya dan memandang tajam ke arah Hong Kwi, dan kemudian katanya lagi,
Wang Ie menunjuk ke arah sebatang pohon. Tiba-tiba Hong Kwi menubruk batang
pohon itu dan melancarkan serangan-serangan dahsyat. Pohon besar itu bergoyang-
goyang keras terhantam pukulan tangan kiri yang luar biasa hebatnya.
Dengan gemas gadis itu terus menyerang batang pohon yang dalam pandangannya
adalah Wang Ie, yang menangkis pukulannya. Dan baru ia sadar ketika banyak daun-
daun yang rontok dan cabang-cabang pohon telah banyak yang patah.
Ketika itulah terdengar teguran Su Hian, murid kedua dari ayahnya yang
memandangnya heran.
mencelat pergi.
Sengaja ia memutar jalan melewati kandang kuda dan ia melihat Wang Ie sedang
menuntun kuda memasuki kandang, dalam hatinya gadis itu menggerutu,
-benar Wang Ie mempunyai ilmu siluman, aku telah dikelabuhi. Kukira
tadi Wang Ie, ngga
Akan tetapi diam-diam gadis itu tidak menceritakan keanehan yang dialaminya.
Dan cepat-cepat ia menuju ke gedungnya dimana ayah bundanya telah menanti untuk
makan sore!
ooOOoo
Malam harinya Hong Kwi benar-benar tidak dapat memejamkan matanya. Kejadian-
kejadian tadi sore sungguh membingungkan hatinya. Ia sangat heran dan tak habis
mengerti, bagaimana bisa mungkin, sekali tunjuk saja Wang Ie dapat meruntuhkan
bunga-bunga yang agak tinggi di atas pohon itu.
Apakah Wang Ie mempunyai tenaga sin-kang yang tidak kelihatan sehingga hanya
dengan telunjuknya saja pemuda itu dapat merontokkan bunga-bunga di atas pohon
tanpa merusak.
Sungguh aneh! Hampir saja ia tidak akan percaya sendiri kalau tidak
menyaksikannya tadi. Ilmu Hoat-sut apakah yang dimiliki Wang Ie?
Benarkah pemuda itu mempunyai ilmu sihir sehingga pandangan matanya telah
dikelabui dan membuat ia mengamuk menghantam batang pohon. Gila! Mengapa
batang pohon itu yang kuhantam setengah mati, mengapa tiba-tiba Wang Ie menjadi
batang pohon? Heran!
Dalam pandangannya tadi ia benar-benar menempur Wang Ie dan memukulnya
dengan pukulan-pukulan Tok-pik-kun-hoat yang luar biasa. Akan tetapi mengapa batang
pohon itu yang diserangnya?
Apakah aku ini sudah gila, setan! Tentu Wang Ie menyihirku, sehingga pandanganku
tadi dikelabui olehnya. Sungguh memalukan benar!
Hong Kwi merasa gelisah memikirkan itu. Matanya tak dapat dipejamkan untuk
tidur. Ia merasa panas sekali di kamarnya. Dan penasaran benar akan kejadian tadi
sore, membuatnya ia bangun dan membuka jendela.
Angin malam berhembus dari balik jendela, sejuk dan nyaman. Ia membuka jendela
lebar-lebar supaya hawa di kamarnya tidak terlalu pengap. Dari balik jendela ia melihat
bulan berbentuk sabit terhalang sedikit mega hitam. Angin malam berhembus nikmat.
Tiba-tiba pandangan Hong Kwi yang tajam dapat melihat sesosok tubuh berkelebat
dari sebuah rumah gedung di sebelah utara dekat kandang kuda. Cepat-cepat ditutup
kembali jendelanya dan mencelat keluar mengejar bayangan yang tadi dilihatnya. Akan
tetapi gerakan bayangan itu demikian gesit dan luar biasa cepatnya.
Begitu ia sampai di gedung sebelah utara, ia telah kehilangan jejak. Tak nampak lagi
bayangan apa-apa yang dilihatnya. Ia menjadi heran bukan main, kalau bayangan itu
adalah murid-murid ayahnya.
Ia kenal betul dan itu tak mungkin. Yang ia tahu bayangan tadi demikian gesit, ini
saja sudah menandakan betapa tinggi tingkat kepandaian yang diperlihatkan oleh
bayangan tadi. Siapakah orang itu?
Tiba-tiba Hong Kwi teringat kepada Wang Ie. Mungkinkah bayangan tadi adalah
Wang Ie. Heran! Kalau memang Wang Ie mau apakah dia gentayangan di malam-
malam begini?
Teringat kepada pemuda itu, segera saja Hong Kwi mencelat ke genting lain dan
mengitari dari atas genting dengan membuka sebuah genting dan melongok ke bawah.
Akan tetapi di dalam kamar tidak terlihat Wang Ie, segera Hong Kwi menutup kembali
dengan meletakkan sebuah genting pada tempat semula.
Kemanakah Wang Ie?
Hong Kwi menjadi heran. Ia berjalan melewati kandang kuda, namun tidak nampak
pemuda yang dicarinya itu.
dan memberikan sedikit hajaran, karena telah begitu kurangajar bertelanjang bulat di
depan matanya!
Namun demikian tak dapat disangkal perbuatan orang itu sungguh sangat
mengagumkan hatinya. Ia sendiri belum tentu sanggup menerima derasnya air terjun
yang begitu keras. Hanya orang yang telah memiliki lwekang tingkat tinggi itulah yang
baru mampu untuk berdiam di bawah air terjun.
Ia pernah melihat batu besar yang berhari-hari menerima air terjun di bawahnya
itu menjadi bolong dan berlubang oleh sebab derasnya air menimpa. Kini orang muda
itu, sungguh luar biasa. Sedang ngapain dia berdiam dibawah air terjun dan menerima
derasnya air yang luar biasa kuatnya menimpah tubuhnya itu? Heran!
Hong Kwi melirik lagi. Akan tetapi ia menjadi heran ketika melihat ke air terjun. Ia
tidak lagi melihat pemuda itu. Kapan pemuda itu lenyap dan bilakah ia naik mengapa
ia tidak mendengarnya?
Padahal sejak tadi ia sengaja memasang telinga untuk mendengar kalau-kalau
orang muda itu keluar dari tempat itu dan ia kepingin melihat siapakah sebenarnya
orang gila itu. Makanya ia menanti di tempat itu dan membelakangi tubuhnya.
Akan tetapi diluar tahunya orang sudah pergi. Kemanakah perginya, kenapa ia
sendiri tidak tahu?
Gadis ini menjadi kheki bukan main, sekali loncat saja ia sudah tiba di dekat air
terjun dan benar saja orang yang tadi dilihatnya berdiri di atas batu hitam ini sudah
tidak nampak lagi. Entah pergi kemana.
Untuk sejenak gadis itu memandangi air terjun yang luar biasa derasnya, batu hitam
di bawah air terjun itu telah menjadi berlubang dan hancur menerima datangnya
pukulan air yang sangat deras itu. Sedangkan suaranya bagaikan gemuruh yang
memekakkan anak telinga.
Tiba-tiba gadis itu teringat akan sesuatu dan cepat tubuhnya sudah mencelat jauh
dan berlari cepat ke tempat dimana Wang Ie tinggal. Ia merasa curiga sekali kepada
pemuda itu, apakah benar yang dilihatnya di bawah air terjun tadi adalah Wang Ie?
Wang Ie yang tadi dilihatnya telanjang bulat di dalam air terjun tadi?
Teringat ini telinga Hong Kwi menjadi merah saking malunya. Kalau memang betul
bayangan tadi adalah Wang Ie, tentu pemuda itu akan tahu bahwa ia sedang
mengintainya di tempat itu akan tahu bahwa ia sedang mengintainya di tempat itu
membelakangi tubuh? Sialan benar, gua harus cepat-cepat menyelidiki!
Dalam beberapa menit saja gadis ini sudah tiba di atas genteng di mana Wang Ie
tinggal.
Seperti tadi, ia membuka sebuah genting dan mengintainya. Dari dalam kamar itu
terdengar suara orang tidur dengan nyenyaknya, tentu Wang Ie yang sudah tidur. Tapi
kenapa tadi ia tidak melihat Wang Ie di kamar itu?
Kalau memang Wang Ie yang dilihatnya di bawah air terjun tadi, mengapa cepat
benar pemuda itu sudah tiba di rumah dan telah ngorok pula. Mendongkol sekali hati
gadis ini, ia sengaja membanting genting sehingga menimbulkan suara keras.
Gadis itu mengintai. Namun suara mengorok itu menandakan pemuda itu sudah
pulas benar-benar. Apakah Wang Ie tidak mendengar genting pecah?
Kalau memang Wang Ie mempunyai kepandaian tentu ia akan mendengar. Hong
Kwi melongo lagi, tiba-tiba ia menutup genting di atas dan mencelat ke bawah ketika
ia melihat pemuda itu terbangun dan membuka jendelanya.
Ketika itu Hong Kwi mendatangi dari pintu depan dan mengetuk daun pintu Tiga
kali ia mengetuk, baru terdengar suara,
-tok-
wi.
keras-keras.
Dan pintu terbuka dan Wang Ie tersenyum lebar.
Pandangnya menyapu ruangan di situ. Sebuah ruangan dengan kamar tidur yang
sangat bersahaja.
Ia melihat Wang Ie mengambil sebuah kendi (tempat minum yang terbuat dari
tanah) dan mengeluarkan air putih yang dituangnya ke dalam cawan. Lalu
menyodorkan cawan minuman itu kepada tamunya.
-hamba! Hamba kepalamu.. . . eh. Wang Ie tadi kulihat ada sesosok bayangan
-
Hong Kwi membantingkan kakinya.
Wang Ie terdiam.
Hong Kwi juga terdiam.
Tiba-tiba Wang Ie menguap, menutupi mulutnya dengan tangan.
Hong Kwi menoleh.
duduknya dan hendak berjalan, namun Wang Ie telah menyentuh lengannya dan
berkata,
-
Hong Kwi menoleh. Ia sudah duduk kembali.
an di
malam-
-malam begini. Lagi siapa sih
orangnya yang begitu gila mau ke situ. Air terjun itu berbahaya sekali, kalau kau terseret
Wang Ie tersenyum.
Keduanya saling pandang. Dada Wang Ie berdebar-debar menerima pandangan
Hong Kwi yang dalam penglihatannya demikian jelita.
Waktu gadis itu tersenyum hampir saja pemuda itu menjadi semaput dan tak kuat
lagi berdiri. Senyum itu mempesonakan!
Sampai lama mereka saling berpandangan akhirnya Hong Kwi memegang lengan
Wang Ie dan ber
Bagaikan terkena hikmat dan terpesona, Wang Ie tersenyum lebar dan berkata:
Sambil berkata demikian sepasang tangan itu merenggut tangan si pemuda yang
menggigil dan berdebar girang.
Dan senyum itu, aduhai betapa indahnya. Ingin lama-lama ia memandangi gadis itu
dirinya.
Hatinya menjadi kecil bakan main. Mana pantas aku berdampingan dengan Hong
Kwi, puteri Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le, sedangkan aku ini siapa?
Tanpa terasa lagi air mata pemuda itu menetes turun. Teringat ia akan perkataan
orang tua Hong Kwi yang telah didengarnya.
Meskipun tidak jelas benar, namun perkataan yang diucapkan oleh Tiang Le,
sungguh merupakan tusukan pedang yang menghujam ulu hatinya dan yang membuat
kedua kakinya lemas.
-bukan Lan-moay, anak kita masih bau kencur,
belum waktunya untuk pacar-pacaran. Juga Wang Ie tentu ia tidak akan berani main
Tanpa terasa lagi kedua mata Wang Ie menjadi merah dan mengembangkan air
mata. Ia berdiri di depan pintu seperti itu dengan air mata bercucuran.
Dilihatnya bulan di atas berseri-seri memancarkan cahayanya menerangi alam.
Tiba-tiba dalam pandangannya sebuah wajah menyembul dari balik bulan, wajah yang
cerah yang tersenyum amat manis kepadanya.
Wang Ie menatap dalam-dalam wajah itu, namun hatinya berteriak,
Hong Kwi itu siapa dan aku ini siapa? Tidak, aku tidak boleh mencintai Hong Kwi. Tak
Dan waktu ia merasa pundaknya ditepuk orang, Wang Ie sadar dan buru-buru
mengusap air matanya. Kiranya Pek Bo, si kakek gemuk pendek tukang merawat kuda
telah berdiri di sampingnya dan menegurnya.
Wang Ie mencoba untuk bersenyum dan menekan perasaan hatinya yang kala itu
sedang nelangsa dan merana.
Jilid 8
UDAHLAH, jangan sedih-sedih. Masuklah! Orang muda tidak boleh bersedih
hati. Melainkan harus bersemangat! Nih lihat walaupun aku hidup seperti
ini, sama seperti engkau, aku tak pernah menangisi nasib. Kalau nasib
sudah begini, ya apa boleh dikata!
begitu.. . . masuklah.. . . Besok pagi-pagi kau ikut aku mencari rumput di hutan sebelah
n Pek Bo mendorong Wang Ie masuk ke dalam kamarnya.
Wang Ie tersenyum dan menutup pintu rumahnya dan untuk beberapa lama, ia
termenung sendiri di dalam kamar itu. Perkataan Pek Bo barusan sungguh sangat
berkesan dihatinja.
Ya, untuk apa aku mesti bersedih? Kutangisi juga percuma, bisik pemuda itu dan
tiba-tiba ia berjalan ke arah lemari pakaian dan mengeluarkan sebuah kitab yang sudah
kuning saking tuanya.
Lalu, sambil bersila ia mulai membaca buku itu. Tak lama kemudian ia meramkan
matanya dan tenggelam dalam samadhinya dalam keadaan berdiri dan
menyedekapkan tangan.
Kini tubuh Wang Ie berdiri bagaikan patung, tiba-tiba ada sekira dua jam pemuda
itu berdiri seperti patung dalam samadhi, tiba-tiba dari kepalanya mengepul uap putih
dan bergulung-gulung ke atas dan sungguh aneh sekali, nampak di depan penuda itu,
sebuah tubuh lain yang persis sekali seperti tubuh Wang Ie.
Bayangan itu lantas menggerak-gerakan tubuhnya bersilat, sementara tubuh yang
satu seperti patung tenggelam dalam samadhinya. Bayangan yang satu lagi, yang
serupa, bersilat terus makin lama makin cepat.
Gerakan-gerakan bayangan ini sungguh lucu dan menggelikan kalau diteliti benar-
benar bayangan itu meloncat-loncat dan kadang-kadang meletakkan tangan kanannya
Menurut petunjuk kitab yang dibacanya, pemuda itu harus pergi ke sebuah gua di
mana di situ terdapat seekor monyet yang sangat tua sekali usianya. Akan tetapi
mempunyai gerakan-gerakan ilmu silat yang luar biasa hebatnya.
Sesungguhnya monyet ini pada puluhan tahun yang lalu adalah binatang
peliharaan Sui-kek Siansu, dan orang tua setengah dewa ini berhasil mentjiptakan ilmu
silat monyet sakti berdasarkan gerakan-gerakan tangan dan kaki dari monyet ini!
Tiga bulan lamanya Wang Ie berdiam di pulau monyet, dalam waktu tiga bulan itu
dan berkat pimpinan kitab yang dibacanya ia berhasil menguasai pembicaraan dalam
bahasa monyet, sehingga memudahkan baginya untuk mencari monyet sakti
peliharaan Sui-kek Siansu itu.
Dan di tempat inilah ia benar-benar dilatih, luar biasa hebatnya! Dan di tempat ini
pula Wang Ie mendapat sahabat-sahabat monyet yang luar biasa baik dan setianya.
Kalau saja Wang Ie tidak berkeinginan untuk kembali ke Tiang-pek-san menemukan
suhunya Sung Tiang Le, tentu ia akan membawa monyet-monyet ini sebagai pasukan
atau pengawal yang boleh dapat diandalkan!
Setelah Wang Ie menguasai bahasa monyet barulah Wang Ie mempelajari bagian
keempat dan kelima dari kitab Sin-khauw-kun-hoat yang ditulis dalam bahasa monyet.
Justru itulah, setelah ia tahu bahwa suhunya tidak bersungguh-sungguh lagi untuk
melatih, maka ia sengaja memilih jalan sebagai tukang kuda dengan demikian ia
mempunyai banyak waktu untuk melatih diri dengan secara diam-diam dan tanpa
setahu orang lain!
Melihat betapa ilmu ini malah lebih hebat dari Tok-pik-kun-hoat, pemuda ini menjadi
bersungguh-sungguh dalam melatih diri!
ooOOoo
Hong Kwi berlari-lari kecil menuju ke sebuah sungai kecil di kaki Tiang-pek-san.
Seorang pemuda dengan senyum lebar telah menantinya dan ia telah mendengar
teriakannya demikian riang dan jenaka dari gadis itu, membuat dadanya berdenyar-
denyar saking girangnya hati itu.
rus tepati janjimu! Ingat nggak akan janjimu
-datang gadis-gadis itu bertanya dengan nada suara yang manja.
Sepasang matanya yang lebar dan bulat bagaikan mata burung hong itu berkilat-kilat
memandang si pemuda.
-benar
Kemarin kau dapat memetik bunga di atas itu dengan menunjuk-nunjuk segala.
kulakukan kemarin, adalah mustahil! Mana mungkin ada orang yang menunjuk tangan
saja dapat memetik bunga, kalau ia memetiknya dan mematahkan tangkainya? Seperti
halnya, mana mungkin padi di sawah akan menguning kalau tidak ada pak tani yang
n dan pengerahan
hawa murni untuk menaklukan pikiran dan ingatan lawan. Itulah ilmu hoat-
-sut hanya dapat dipelajari oleh orang yang sudah mempunyai ilmu
bathin dan pengerahan hawa murni untuk menaklukan pikiran seseorang. Bisa juga
dilakukan dengan pengerahan sin-kang tingkat tinggi. Sudahlah Hong Kwi pokoknya
yang kuperlihatkan kemaren adalah ilmu hoat-sut, tentu kau tidak senang
Mendengar ini Hong Kwi bangkit berdiri dan mencak-mencakan kakinya dan
memandang marah,
ilmu kemaren itu? Kalau kau memang pelit untuk membagikan ilmu itu, ya sudah, aku
tangan, namun pada waktu itu, aku telah mampu menguasai pikiran dan hatimu.
Pandangan mataku sudah memerintahkan hatimu untuk menurut kehendakku, dan
engkau akan berpikiran sejalan dengan pikiranku.
di tanganku,
pada ketika itu juga pandanganmu melihat bunga itu telah berada di tanganku. Berapa
banyak yang kuinginkan terlihat pula olehmu, namun sesungguhnya di tanganku ini
tidak ada apa-apa!
anmu sejalan dengan
kehendakku. Seperti kemaren engkau memukuli batang pohon itu.
sehingga dalam ingatanmu itu pohon yang kau lihat itu adalah aku. Padahal ya tetap
pohon-pohon juga
Hong Kwi memandang pemuda itu. Mengerut.
Wang Ie tersenyum.
hawa hoat-sut. Lihatlah baik-baik, bunga ini telah berada di tanganku, seberapa banyak
Hong Kwi memandang ke atas pohon. Tiba-tiba ia memandang mata Wang Ie untuk
beberapa lama ia menjadi terheran-heran dan tak percaya, karena tahu-tahu yang
diperlihatkannya: Wang Ie menyerahkan bunga itu, dan Hong Kwi menerimanya. Lima
tangkai bunga.
-baik bukankah yang kau pegang hanya lima
Ajaib, begitu habis pemuda itu bicara. Betul saja yang di tangannya itu bukan bunga
yang tadi diterimanya dari Wang Ie, melainkan lima helai rumput kering. Gila! Bagaikan
tak percaya Hong Kwi memandang Wang Ie.
-
-sut (ilmu sihir). Kalau aku orang jahat, ilmu itu menjadi ilmu yang
jahat dan keji, akan tetapi orang yang berbathin tinggi dan mempunyai pribudi, tidak
akan menyesatkan ilmu ini. Aku tak hendak membawa ilmu ini untuk kejahatan, hanya
Sebetulnya Wang Ie dapat menghindarkan diri dari tamparan gadis ini, namun
karena ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya kepada gadis ini, maka ia
membiarkan saja pipinya terkena tamparan si gadis.
gai hukuman
Demikianlah, Hong Kwi bersilat lambat-lambat dan diikuti gerakannya oleh pemuda
itu. Diam-diam dalam hati, Wang Ie tertawa geli, ia tahu bahwa gadis ini melatihnya
dengan ilmu silat Tok-pik-kun-hoat yang bagian bunga-bunganya saja.
Tentu saja jurus-jurus ini sudah ia hapal benar, akan tetapi untuk tidak
mengecewakan gadis tersebut, dia diam saja dan mengikuti gerakan-gerakan gadis itu.
Sebenarnya bagi pemuda ini, bukan latihan-latihan dari gadis itulah yang diinginkan,
melainkan ia hendak selalu berdekatan dengan Hong Kwi dan pura-pura bodoh.
Padahal ilmu yang sudah ia pelajari dari kitab sin-khauw-kun-hoat sudah mencapai
tingkat yang lebih tinggi. Jauh melampaui Hong Kwi sendiri.
Namun karena ia merasa senang berdekatan dengan gadis ini, maka seperti orang
bodoh ia menuruti dan mengikuti si gadis berlatih. Sampai sebulan lebih itu, mereka
selalu bertemu di tepi sungai ini dan berlatih silat bersama-sama!
Pertemuan-pertemuan itu, sangat mengesankan!
Pada suatu hari, seperti biasanya pada tiap-tiap sore, Wang Ie dan Hong Kwi berada
di tepi sungai itu dan melatih diri. Tiba-tiba dari bukit berlarian banyak orang menuju
ke puncak.
Hong Kwi yang terlebih dahulu melihat banyak orang mendaki ke puncak, cepat
menghentikan latihannya dan berkata kepada Wang Ie.
berkelebat.
Dan dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, gadis itu sudah berlarian naik
ke puncak, dan begitu sampai di puncak, alangkah heran hatinya melihat ayah dan
ibunya sudah dikurung oleh lebih duapuluh orang-orang gagah.
Dan terdengar ayahnya berkata dengan tenang:
bukan-
ng Le. apakah kau masih hendak menyangkal akan perbuatanmu yang
berani mati itu? Kalau hanya ketua kami yang kau culik dan kemudian kami dapatkan
mayatnya di hutan ini dan mendapatkan tulisan ini. Tentu kami salah mata dan boleh
kau katakan kami telah menuduhmu yang bukan-bukan.
-lun-pay Hek Gan
Taysu dan ketua Thay-san-pay Bu Beng Cu dan ketua Bu-tong-pay Thung Hay Ong.
Inilah saksi-
Tentu saja menghadapi tuduhan ini, Tiang Le menjadi heran dan menoleh ke pada
isterinya. Bwe Lan yang sudah panas hati datang-datang suaminya dituduh yang
bukan-bukan telah maju selangkah dan berkata keras.
kalian dan.. . hem,
waktu kami menemukan mayat pay-cu kami yang telah rusak oleh kekejian kalian. Nah
lihatlah dan baca ini kalau tidak percaya! -
lun-pay melemparkan sebuah kain bertulisan warna merah.
Diterima oleh Bwe Lan dan dibacanya,
ikan
gulungan kain merah itu kepada suaminya. Untuk beberapa lama Tiang Le diam sejenak
memandang tulisan itu.
-benar Sung Tiang Le sudah melupakan persahabatan dengan dunia kang-
ouw. Tindakan yang kau lakukan menganiaya dan membunuh pay-cu Bu Beng Cu,
membuat kami pihak Bu-tong-pay merasa penasaran besar kalau belum menyeret
orang yang melakukan perbuatan ini ke Bu-tong-pay untuk diadili.
akan tetapi kalau demikian jahatnya, Bu-tong-pay akan bertindak. Sung Tiang Le,
kurang banyak saksi-saksi yang melihat sepak terjangmu? Kalau masih kurang, pinto
Lung Nam Taysu dari Kun-lun-pay menjadi saksi utama. Betapa ketua kami Hek Gan
Taysu sudah lenyap dari Kun-lun-pay.
perbuatan Siang Siang Tojin dari Hoa-san-pay, maka pinto bertiga dari wakil Thay-san-
pay, dan Bu-tong-pay mendaki puncak Hoa-san-pay, nggak tahunya siapa kira justru
Hoa-san-pay juga telah menjadi korban kekejianmu.
-muridnya semua terbunuh. Untung
pinto selamat dan dalam setengah sadar setengah pingsan, engkau membawa pinto ke
bukit Kun-lun-pay dan menulis sebuah tantangan di sebuah batu hitam, nih kau boleh
Lung Nam Taysu memberi isyarat dengan tangannya dan meletakkan batu hitam
di depan Sung Tiang Le. Seperti ke kain gulungan yang dibacanya tadi, tulisan ini juga
merupakan tantangan kepada Kun-Lun-pay. Heran, siapakah orangnya yang menulis ini
dan menggunakan nama Tiang-pek-pay.
bukanlah tulisanku. Harap cuwi menjadi tahu bahwa ada orang jahat yang
menggunakan namaku hendak mengadu domba dengan cuwi! Aku Sung Tiang Le, tidak
-ha-ha-ha, Tiang Le, bukti-bukti sudah berbicara. Pokoknya jangan banyak cakap,
kau harus menyerah dan menjadi tawanan kami untuk kami hadapkan ke partai
masing- -ong Ma Ek
membentak dan telah melintangkan pedangnya. Siap hendak menerjang Pendekar
Lengan Buntung itu.
Tiang Le tersenyum pahit.
-datang
menuduhku? Kalau memang ada persoalan, mari kita berbicara baik-baik. Aku berjanji
hendak membantu kalian dan menyelidiki persoalan ini, akan tetapi bukan berarti aku
menye
sudah menerjang maju dan menggunakan pedangnya menusuk dada Tiang Le.
Akan tetapi pedang itu tiba-tiba tertahan oleh sebuah sabuk sutera merah, ternyata
Bwe Lan sudah turun tangan menghadang si tosu.
dengan murid Bu-tek Sianli. Pantas berani bertingkah dan sudah bosan hidup! Kalau
Tiang Le. Pukulan-pukulan tangan kiri gadis yang baru datang ini hebat bukan main,
lebih ganas dari pada Tiang Le sendiri.
Memang karena Hong Kwi telah begitu marah melihat ayahnya dikeroyok bertiga
oleh tosu-tosu Kun-lun-pay ini. Datangnya puteri Pendekar Lengan Buntung ini, Kun-lun
Sam-lo-jin menjadi terdesak.
Pada waktu itu, Hay San Taysu, si tosu tinggi besar yang memegang tongkat itu
melayani gadis ini. Alangkah terkejutnya hati tosu kedua dari Kun-lun Sam-lo-jin ini
merasa ilmu silat gadis itu tidak di bawah kepandaian Tiang Le sendiri. Tahulah ia
bahwa gadis ini telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayahnya yang berjulukan
Pendekar Lengan Buntung yang hebat itu.
Akan tetapi Hong Kwi yang sudah dibikin marah hatinya, tak memberi kesempatan
lagi kepada Hay San Taysu dan begitu tangan kirinya bergebrak menggunakan jurus-
jurus Tok-pik-kun-hoat yang luar biasa itu. Tiba-tiba entah bagaimana caranya tubuh
tosu yang tinggi besar terpental ke belakang dan toyanya yang besar dan berat itu
terlepas dari pegangan tangannya.
Ternyata gerak tangan kilat dari gadis ini telah berhasil menerobos dari pertahanan
putaran toya lawan dan begitu terkena pukulan Hong Kwi, keruan saja tosu ini menjadi
meringis-ringis menahan sakit pada perutnya yang telah kena sodok tangan kecil si
gadis. Saking sakit dan mulesnya dirasakan perutnya Hay San Taysu sampai
mengeluarkan air mata!
duh yang bukan-bukan? Biarlah
menyerang.
Pada saat itu terdengar bentakan dari Tiang Le,
-
Sementara itu Bwe Lan yang menghadapi tokoh dari Bu-tong-pay dan Thay-san-
pay sebentar saja ia sudah dapat mendesak Giam-ong Ma Ek. Dan pada jurus
kelimapuluh dua, sabuk suteranya telah berhasil membelit pedang lawan dan sekali
menyentak, pedang di tangan Giam-ong Ma Ek telah terlepas dari pegangannya.
Belum lagi hilang kagetnya kedua tokoh Bu-tong-pay ini, tiba-tiba sabuk itu bagaikan
ular hidup di tangan Bwe Lan meluncur cepat mengarah iga lawan. Cepat Giam-ong Ma
Ek membuang diri ke belakang dan menghindarkan totokan sabuk yang lihai itu.
Namun biarpun sudah demikian cepat ia membuang diri ke samping, tetap saja
sabuk di tangan Bwe Lan sudah berhasil menotok pundak Giam-ong Ma Ek. Sehingga
tokoh Bu-tong-pay ini, roboh tanpa dapat menggerakkan tubuh lagi.
Bersamaan dengan itu, Bwe Lan yang sudah mempelajari ilmu gerak tangan kilat
dari suaminya, telah berhasil memukul Bu Ci Goat hingga saking kerasnya benturan
lengan ini, Bu Ci Goat tak kuasa lagi memegang pedangnya dan menjerit kesakitan
karena lengannya dibakar oleh api yang sangat panas.
Pada saat itu, tiba-tiba dari arah gedung Tiang-pek-pay mengebul asap hitam
membumbung tinggi. Murid-murid Tiang-pek-pay yang melihat gedungnya terbakar,
cepat mencelat dan berusaha mematikan api yang berkobar-kobar.
Akan tetapi begitu lima orang murid Tiang-pek-pay masuk ke dalam gedung yang
bagian belakangnya sudah terbakar itu, tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan dan
sesosok bayangan dengan amat cepatnya berkelebat lenyap.
Tiang Le cepat mengejar bayangan itu, akan tetapi ia sudah tidak keburu lagi.
Karena bayangan itu sudah lenyap dan tidak kelihatan lagi kemana larinya.
Pendekar ini menggeramkan giginya begitu melihat lima orang muridnya telah
menggeletak di lantai dengan tubuh hangus terbakar dan ternyata telah mati dalam
keadaan yang mengerikan.
Cepat-cepat ia keluar dan membentak keras. Suaranya yang menggunakan khikang
tingkat tinggi bergema,
-lun-pay, Bu-tong-pay dan Thay-san-pay. Bagus sekali perbuatan
Para orang gagah dari ke tiga partai yang melihat kajadian ini menjadi heran bukan
main. Dari pihak mereka tidak ada yang begitu rendah untuk membakar rumah.
persidangan partai-
Tiang Le menjadi mendongkol bukan main. Akan tetapi ia tidak menjadi gemas
kepada orang-orang ini, karena ia maklum bahwa mereka ini hanya menjadi korban,
dari perbuatan orang jahat yang sengaja meminjam namanya dalam perbuatan
jahatnya.
Ia sekarang malah ingin sekali tahu siapakah barusan yang telah membakar
gedungnya. Nyaris gedungnya lenyap ditelan api kalau tidak buru-buru muridnya
memadamkan api itu.
yang tertuduh juga berhak untuk mengetahui siapakah antek-anteknya yang barusan
hendak membakar gedungku dan me
Giam-ong Ma Ek menghela napas dan mengelus-
memang berbahaya sekali bagi orang yang masih begini muda sudah memiliki ilmu
kepandaian tinggi, bathin belum kuat sehingga kepandaiannya hanya dipergunakan
untuk melakukan perbuatan jahat dan menyombongkan dirinya.
-tong-pay
itu tidak adil, baik kau dengarkan penuturanku. Ketua kami dari Bu-tong-pay telah
lenyap, murid-murid kami melihat sekelebatan bayangan yang menculik ketua kami
adalah seorang lengan buntung.
yang mengenaskan di dalan hutan itu, di kaki gunung Lu-liang-san. Bukti lain, ketua
Kun-lun-pay dan Thay-san-pay juga telah binasa.
menyatakan betapa engkau begitu sombong, Sung Tiang Le. Sekarang kami telah
Tiang mengerutkan alisnya. Benar-benar hebat. Orang jahat yang sudah melakukan
kejahatan-kejahatan ini sengaja memakai namanya dan mengadu domba, lagi mudah
diduga bahwa orang itu tentu berilmu tinggi. Kalau tidak, masakan ia dapat menculik
ketua partai-partai besar demikian mudah.
Cuwi sekalian, dengarkanlah keteranganku. Ini tentu ada orang jahat yang hendak
mengadu domba. Kalau memang cuwi percaya kepadaku berikanlah aku waktu untuk
Aku Sung Tiang Le, akan menghadapi cuwi sekalian dan tidak mundur setapakpun.
memusuhi Tiang-pek-pay, akan tetapi kau tadi sudah bersumpah untuk menyelidiki
persoalan ini dan membongkar tentang pembunuhan atas ketua-ketua partai besar.
a Lung Nam Taysu tosu dari Kun-lun-pay yang cerdik
ini.
Ia tahu bahwa pihaknya belum tentu dapat mengalahkan Sung Tiang Le dan anak
isterinya yang lihai-lihai ini. Maka ia mengambil siasat yang jitu.
Karena ia tahu kalau persoalan ini diambil dengan jalan kekerasan, belum tentu
mereka dapat menawan Tiang Le, malah jangan-jangan dari pihaknyalah yang
-sama cuwi
h tua
di dalam hutan itu dan menyelidikinya. Akan tetapi awaslah kau Tiang Le, kalau kau
tidak berhasil membongkar tentang penculikan dan pembunuhan ini, kami tiga partai
besar akan menyerbu Tiang-pek- -ong Ma
Ek.
Melihat betapa tak mungkin memang ia meninggalkan Bwe Lan, lalu Tiang Le
Air telaga yang sudah hampir mengering karena tidak turun-turun hujan,
menampakkan dasarnya sudah penuh lumpur. Di atas pohon yang rimbun daunnya itu
banyak sekali terdapat sarang laba-laba, daun-daun kering beterbangan di tanah.
Sangat kotor sekali keadaan di tempat ini.
Tiang Le? Lihatkah kau tadi rangka-rangka manusia yang berserakan di halaman
gedung itu. Ketua kami terdapat tergantung di
Tiang Le dengan curiga.
Le? Buat apa bersandiwara seperti ini? Kau hendak menyelidiki apakah, rumah ini sudah
Sampai di dalam ruangan itu, alangkah kagumnya hati Tiang Le dan Bwe Lan,
ternyata mereka berada di sebuah ruangan yang sangat megah sekalian keadaannya
diduga tentu inilah ruangan di bawah tanah dari rumah tua yang tadi mereka masuki.
Entah gedung apa ini namanya.
Tiba-tiba sebuah tembok di depan terbuka. Nampak seorang pemuda tampan,
berusia sekitar duapuluh lima tahun berdiri di atas singgasana sambil memegang
sebuah tongkat yang berwarna hitam. Orang muda itu, nampak sangat berwibawa
sekali.
Di kiri kanan muda itu berdiri dua orang kakek yang rambutnya riap-riapan panjang
sebatas paha, yang sebelah kiri si kakek mata satu. Senjatanya terbuat dari tombak,
dan seorang kakek lagi yang rambutnya juga riap-riapan menutupi mukanya, berlengan
buntung. Melihat kakek ini, berdebar dada Tiang Le.
Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran ialah melihat betapa Bu-tek Sianli
dan Te Thian Lomo, Thay-lek-hui-mo, dan Nakayarinta juga sudah berada di tempat itu
dengan sikap yang menghormat kepada orang muda ini. Di antara mereka yang tidak
berlutut hanyalah kakek Nakayarinta itu.
Tokoh ini datang dari India dan ia merasa, dirinya sendiri juga seorang raja,
sedangkan di sebelah kiri orang muda yang berwajah agung dan angker itu nampak
pula Kwan-tiong Tok-ong yang hanya memberi hormat seperti seorang beragama
Budha memberi hormat, merangkap kedua tangan di depan dada sambil menjura, dan
nampak ia berlutut dan duduk seperti orang bersila.
Orang muda itu adalah Thay-bengcu, duduk di atas kursi gading yang terbuat dari
ukiran emas yang berkilauan dan indah sekali, pakaiannya juga mewah dan mentereng.
Tidak jauh dari dua orang kakek itu, terdapat enam orang gadis-gadis cantik menjaga
segala keperluannya.
Akan tetapi yang membuat Tiang Le dan Bwe Lan kaget setengah mati melihat
betapa gadis-gadis itu berdiri di samping kanan dan kiri orang muda itu tak bergerak,
nampak wajahnya sayu dan kehilangan sinar kegembiraannya.
Agak jauh dari tempat duduk Thay-bengcu berbaris pengawal yang terdiri dari
orang-orang muda yang juga berkeadaan seperti patung, ada kurang lebih limabelas
orang. Ada yang memegang tombak, toya dan golok ruyung dan penggada. Sikap
mereka angker sekali dan berdiri tegak dalam sikap menghormat dan takut.
Di bagian ruangan yang tampak dari sini nampak pula barisan-barisan pengawal
yang terdiri dari kakek-kakek tua yang berpakaian tidak keruan. Ada yang tambal-
tambalan, ada yang bercelana pendek, akan tetapi mereka inipun berdiri dengan sikap
yang menghormat.
Seorang dari barisan orang-orang muda yang duduk tidak jauh dari Thay-bengcu
-bengcu yang mulia! Sung Tiang Le dan
isterinya dari Tiang-pek-
s! Hadapkan mereka kehadapanku, orang muda itu nampak puas sekali dan
matanya memancar berseri-seri.
Tiang Le dan Bwe Lan maju ke depan. Melihat keangkeran orang muda ini, hatinya
menjadi terkejut sekali. Ia memperhatikan tulisan yang bertulis di atas bangku
singgasana yang diduduki orang muda itu berbunyi demikian,
-
sedangkan di sebelah kiri dan kanan masing-masing bertulisan dengan huruf-huruf
emas yang indah kata-kata:
mengikut Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le, -tek Sianli dengan sikap
menghormat.
Thay-bengcu menganggukkan kepalanya. Dan kini menatap Sung Tiang Le. Ia
tersenyum mengejek waktu tatapannya bertemu dengan sinar mata pemuda itu.
Hantu dan berada
di bawah kekuasaan Thay-bengcu Yang Mulia. Lekas kau berlutut dan mengakui dosa-
Baik Tiang Le maupun Nakayarinta, pemegang tongkat itu menjadi terkejut akan
akibat pertemuan tongkat dengan tangan.
Tiang Le merasa tangannya bergetar, demikian besar tenaga lwekang yang
disalurkan dalam tongkat tadi. Akan tetapi sebaliknya pendeta dari Anapurna ini
menjadi terkejut sekali karena tongkatnya telah terpental mundur setelah kena dikibas
oleh tangan Tiang Le.
Kemudian Pendeta ini maklum bahwa di dunia kang-ouw jarang ada orang yang
kuat menangkis tongkatnya hanya dengan kibasan tangan belaka, maka tidak anehlah
ia terheran-heran melihat tongkatnya ditangkis oleh tangan kiri Pendekar Lengan
Buntung ini yang masih begini muda usianya. Namun ia menjadi penasaran dan malu
maka tanpa banyak cakap ia lalu menyerang Tiang Le dengan tongkat hitamnya!
Tiang Le menjadi sibuk sekali. Dari angin pukulan tongkat, tahulah ia bahwa ia
menghadapi seorang yang berilmu tinggi.
Melihat bahwa kakek tua hitam bongkok ini sudah melancarkan serangan bertubi-
tubi dan lagi ia melihat betapa Bu-tek Sianli dan Te Thian Lomo sudah bangkit berdiri
siap untuk mengeroyoknya, diam-diam Pendekar ini sangat kuatir sekali akan
keselamatan isterinya, menghadapi seorang kakek Nakayarinta saja sudah demikian
hebatnya, apalagi bila orang-orang ini turun tangan, akan celaka dia!
menyambarnya pedang yang berkelebat menusuk leher Tiang Le. Yang menyerang ini
adalah Bu-tek Sianli.
Kini Tiang Le mengeluh benar. Apalagi ketika ia mendengar bentakan Bwe Lan yang
sudah mengeluarkan senjata pula melawan Te Thian Lomo dan Thay-lek-hui-mo.
Kini baru menghadapi seorang kakek muka hitam saja ia sudah dibuat sibuk dan
merupakan lawan yang cukup berat. Tiba-tiba baru saja ia bendak bergebrak dengan
jurus-jurus Tok-pik-kun-hoat, terdengar suara tepukan tangan tiga kali dan tahu-tahu
para penyerangnya sudah mengundurkan diri ke tempat masing-masing.
Tiang Le dan Bwe Lan saling berhadapan dengan senjata di tangan memandang
ke arah orang muda yang disebut Thay-bengcu itu.
itulah yang merupakan kegemaranku untuk bersekutu dengan para orang gagah di
dunia ini. Kau adalah tamuku, akan tetapi juga setelah masuk ke Istana Hantu, kalian
-bengcu.
locianpwe di sini hendak menangkap kami. Padahal kami tidak pernah mempunyai
permusuhan apa-apa dengan para cianpwe di sini, sehingga kami berkehendak datang
kehadapan cianpwe.
berlaku kurang adil dan tidak tahu kesopanan, menyerang seorang tamu yang telah
datang menghadap dengan baik-
-baik. Nah,
sebagai seorang tamuku yang baik, mari kupersilahkan kau duduk dan terimalah
apakah kiranya
Belum lagi Thay-bengcu menjawab, tiba-tiba Nakayarinta maju ke depan dan
hendak mencengkeram pundak Tiang Le. Pemuda itu cepat menggeser kakinya dan
mengelak. Nakayarinta membentak keras:
Sesungguhnya tujuan pergerakan Istana Hantu ini, bukan saja hendak menaklukan
orang-orang gagah di seluruh daratan Tiongkok, melainkan juga mempunyai maksud
yang di luar dugaan Pemerintah Mongol. Diam-diam Thay-bengcu itu menyusun
kekuatan dan suatu ketika kelak, apabila kaum dunia persilatan ini sudah berada di
bawah kekuasaannya, baginya betapa mudahnya meruntuhkan kerajaan Cin yang
dibawah kekuasaan bangsa Mongol itu.
Oleh sebab itulah, sengaja memang Thay-bengcu ini memanggil semua orang-
orang gagah dan menaklukannya, tak terkecuali Pendekar Lengan Buntung sekalipun.
-bengcu ini mendengar akan kehebatan ilmu silatmu,
maka ia hendak mengulurkan kerja sama yang baik dan persahabatan yang erat untuk
kepentingan kang-ouw dan mengusir penjajah tanah air kita. Jikalau kau telah masuk
ke dalam sekutu kami mudah saja untuk bersahabat dengan partai-partai besar
Karena urusanku tentang politik yang menjadi tujuan kalian, bukanlah urusanku dan
kami pihak Tiang-pek-pay tidak ingin turut campur. Akan tetapi satu hal yang sengaja
memang kami datang ke tempat ini hendak bertanya,
-lun-pay, Bu-
tong-
Berkata demikian, Tiang Le memandang tajam ke arah seorang kakek yang
rambutnya riap-riapan menutupi mukanya sehingga wajah itu tidak terlihat dengan
jelas akan tetapi lengan yang buntung sebatas pundak itu, membuat Tiang Le dan Bwe
Lan menjadi curiga dan memandangnya dengan tajam.
Tiba-tiba kakek yang dicurigainya itu tertawa bergelak-gelak dan sepasang
matanya yang tajam seperti matahari mau menyapu pandangan Tiang Le dan Bwe Lan,
suaranya yang serak terdengar bergelombang.
-ha-ha Sung Tiang Le. Rupanya itu maksud kedatanganmu ke tempat ini? Aku
yang berbuat memang, aku yang bertanggung jawab. Betul, aku yang menculik ketua-
ketua partai Bu-tong-pay, Thay-san-pay dan Kun-lun-pay, karena mereka itu manusia-
manusia sombong yang tidak mau bersekutu dengan kami.
-
kawannya itu, nasibmu akan seperti mereka. Kau akan kami gantung di depan rumah
tua itu dan sengaja menjadi umpan binatang buas!
dapat keluar dari Istana Hantu dalam keadaan bernyawa, dan orang-orangmu di Tiang-
pek-
Akan tetapi makian Tiang Le ini disambut oleh suara ketawa dari Thay-bengcu.
Suara ketawanya halus dan merdu seperti suara wanita saja, membuat Tiang Le dan
Bwe Lan menoleh dan memandang marah kepada orang itu.
k Cu, kau layanilah manusia lengan buntung itu. Ingin kusaksikan
sampai di mana kehebatannya seperti yang diceritakan oleh Bu-tek Sianli dan
Melihat Tiang Le hendak bertempur dengan kakek lengan buntung yang rambut
nya riap-riapan ini, Bwe Lan mengeluarkan sabuk sutera merahnya dan siap hendak
menerjang si kakek, namun suara Bu-tek Sianli terdengar bergema di ruangan itu
a perdulinya
-ha-ha! Bu- -
bengcu tertawa memperlihatkan giginya yang putih rapih.
Bu-tek Sianli buru-buru berlutut dan menganggukkan kepalanya.
ngat hubungan hamba dengan bekas murid
-pik-
kiam- -bengcu ini biarpun terdengar
nyaring dan bersih seperti suara wanita, akan tetapi sangat berwibawa dan merupakan
ultimatum yang harus dipatuhi oleh orang-orang Istana Hantu ini. Bong Kek Cu sendiri
berlutut dan menghampiri Tiang Le.
Tahu bahwa kakek buntung inilah yang telah menodai namanya, maka tanpa
banyak cakap lagi, Tiang Le telah mengerakkan tubuhnya. Dan tanpa dapat diduga oleh
Bong Kek Cu, lebih dulu ia mengirim pukulan ke arah pundak kakek buntung ini.
Kakek yang pernah mendengar akan kehebatan si Pendekar Lengan Buntung ini,
tentu saja cepat mengelak ke kiri dan membalas menangkis dengan tangan kanannya
dengan sekuat tenaga.
Biarpun Bong Kek Cu mengerahkan tenaga Tin-yo-kang dalam tangkisannya ini,
namun tetap saja ia terhuyung beberapa langkah ketika hawa pukulan Tiang Le
mendorongnya. Ia benar-benar merasa heran sekali, juga terkejut karena secara aneh
sekali pemuda lengan buntung itu kembali telah menyerangnya.
-tek Sianli yang merasa panas sekali
hatinya telah membentak dari samping dan sinar hitam yang menyilaukan mata
meluncur ke arah punggung Tiang Le dari belakang.
Tiang Le terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Bong Kek Cu dan
membalikkan tubuh. Ia melihat serangan tongkat nenek Bu-tek Sianli hebat juga
sedangkan tongkat hitam itu sendiri membikin ia agak jeri.
Tiang Le maklum bahwa tongkat yang di tangan Bu-tek Sianli itu bukanlah
sembarang tongkat biasa melainkan sebuah tongkat hitam berisikan sebuah pedang
pusaka yang ampuh. Pedang Pek-liong-pokiam yang ampuh sekali dan tak boleh dibuat
main-main.
Datangnya serangan tongkat hitam si nenek ini iapun mengelak ke kiri dan
melangkah mundur. Bu-tek Sianli mendesak, sedangkan Bong Kek Cu juga mengirimkan
pukulan Tin-yo-kang dari samping bertubi-tubi.
Serangan ini sebenarnya tidak membingungkan hati Tiang Le, akan tetapi yang
membikin ia gugup dan berkawatir sekali adalah begitu didengarnya Bwe Lan juga
sudah bergebrak menyerang Bu-tek Sianli.
Kini melihat betapa isterinya sudah mulai bertempur, Tiang Le bersilat mendekati,
ia bersiap-siap untuk menolong isterinya akan tetapi tentunya kalau hanya melayani
Bu-tek Sianli, Bwe Lan memang sudah dapat menandingi Nenek ini.
Bukan saja karena memang kepandaiannya itu bersumber dari ilmu silat bekas
gurunya ini, namun juga selama ini Bwe Lan sudah melatih diri dengan ilmu silat Tiang
Le yang bernama Tok-pik-kun-hoat sehingga walaupun tidak selihai waktu dimainkan
oleh Tiang Le, namun nyonya ini cukup membuat nenek Bu-tek Sianli menjadi terkejut
dan heran!
Jilid 9
EMENTARA itu Thay-bengcu yang duduk di singgasana kursi kebesaran itu
sampai berdiri melihat Tiang Le dan Bwe Lan bersilat. Ia benar-benar terkejut
dan heran menyaksikan betapa Pendekar Lengan Buntung itu dapat
menandingi Bong Kek Cu dan Nakayarinta yang terkenal dengan tokoh-tokoh kelas
berat.
Sampai hampir limapuluh jurus itu ia melihat betapa Bong Kek Cu dan Nakayarinta
belum dapat mengalahkan Tiang Le. Pemuda yang menamakan dirinya Thay-bengcu
ini berseri-seri wajahnya menyaksikan jalannya pertempuran yang luar biasa ini.
Para pengawal yang tadinya berdiri tegak dan gagah di kiri kanan Thay-bengcu,
segera bergerak dan mengurung tempat itu. Dan merupakan pagar hidup yang kokoh
kuat setiap waktu akan bergebrak turun mengeroyok Pendekar Lengan Buntung yang
mengagumkan ini.
Sedangkan isteri Pendekar Lengan Buntung yang gagah ini nampak bersilat
memainkan sabuk suteranya didesak oleh Bu-tek Sianli dan dua orang kakek yang telah
turun gelanggang atas perintah Thay-bengcu.
Dua orang kakek yang mengeroyok Bwe Lan adalah Thian-beng Sin-kun dan
seorang kawannya, yakni seorang tosu (pendeta menganut agama To) yang berambut
panjang bernama Pok Siok Say-ong.
Tosu ini adalah seorang pendeta perantau dari pegunungan Go-bi-san dan ilmu
silatnya juga berdasarkan ilmu silat Go-bi-pay, hanya sudah banyak berubah karena dia
sesungguhnya bukanlah murid asli dari Go-bi-pay.
Pok Siok Say-ong adalah seorang tokoh dari Go-bi-pay yang telah terjun ke dunia
hitam dan menganut agama sesat, yang bernama agama Ngo-kauw, (lima
kepercayaan). Dua orang kakek ini Thian-beng Sin-kun dan Pok Siok Say-ong terkenal
sekali akan ilmu pedang dan tongkat, mereka bergebrak maju mendesak Bwe Lan
membantu Bu-tek Sianli.
Namun Liang Bwe Lan adalah isteri Pendekar Besar Sung Tiang Le yang terkenal
akan ilmu silatnya yag bernama Tok-pik-kun-hoat dan Gerak Tangan Kilat yang luar
biasa. Meskipun ia belum memahami seratus persen akan tetapi baru tiga bagian saja,
hebatnya bukan main!
Sehingga Bu-tek Sianli menjadi penasaran dan marah, bercampur malu karena
sampai hampir limapuluh jurus lebih ini ia belum mampu merobohkan bekas muridnya
ini, terlalu!
Biarpun dikeroyok oleh tiga orang yang mempunyai kepandaian tingkat tinggi ini,
Bwe Lan tidak merasa gentar sedikitpun. Ia mainkan sabuk suteranya laksana ular
merah yang gesit dan lincah.
Kadang-kadang yang membuat ketiga lawannya ini keder dan ngeri adalah
gebrakan-gebrakan tangan kiri nyonya ini yang luar biasa sekali dahsyatnya membuat
tongkat hitam di tangan Bu-tek Sianli tergetar hebat apabila terserempet angin pukulan
tangan kiri bekas muridnya.
Malah dalam tujuhpuluh jurus itu, Pok Siok Say-ong yang memandang ringan akan
gerakan tangan kilat lawannya, membuat pendeta ini bergerak agak lambat dan pada
saat itu pula sebuah sodokan tangan kiri Bwe Lan yang dimiringkan bergerak cepat
menyambar lambung si pendeta.
Keruan saja menyaksikan kecepatan tangan ini, Pok Siok Say-ong terkejut sekali
dan karena tidak dapat menghindarkan diri lagi, terpaksa ia mengangkat tangan kirinya
menangkis.
-ong terpelanting ke belakang, pada saat
itu sebuah sabuk sutera merah menyambar dengan dahsyatnya.
-ong, keruan saja
pendeta ini mengeluarkan keringat dingin dan terasa napasnya sesak, gerakan semakin
lambat.
Tentu saja biarpun tidak diperingatkan oleh suaminya, Bwe Lan telah dapat
menduga akan senjata yang aaeh ini. Dan buru-buru ia masukkan pil merah ke
mulutnya untuk menghindarkan rasa amis dan muak dari sepasang senjata tangan
yang berbau amis bukan main itu.
Datangnya Kwan-tiong Tok-ong ini Bwa Lan mempercepat gerakannya. Sekarang
ia mainkan sabuk sutera dan tok-pik-kiam-hoat pada tangan kirinya yang kadang-
kadang bagaikan geledek menyambar tangannya bergerak menggunakan jurus-jurus
ilmu silat yang maha dahsyat!
Sebagai ahli silat kelas tinggi, mencium bau yang keluar dari sepasang cakar setan
itu maklumlah nyonya ini bahwa ia menghadapi senjata beracun yang berbahaya dan
hebat. Pula dilihat dari cara bersilat si Raja Racun ini diam-diam Bwe Lan mengeluh.
Tak disangkanya sama sekali bahwa kedatangannya ke tempat ini justru mencari
kayu penggebuk dan mencari kematian sendiri. Siapa sangka justru di tempat ini
muncul tokoh-tokoh kaum hek-to yang benar-benar bagaikan iblis-iblis bermunculan di
siang hari. Kini menghadapi Bu-tek Sianli, Thian Beng Sin-kun dan Kwan-tiong Tok-ong.
Bwe Lan sibuk sekali. Dari angin pukulan tangan cakar setan itu saja, tahulah ia
bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi melihat betapa
kedudukkannya sekarang ini amat terjepit dan sukar untuk meloloskan diri, Bwe Lan
bersilat dan mengamuk hebat!
Sementara itu Tiang Le didesak hebat oleh Nakayarinta, Bong Kek Cu dan Te Thian
Lomo dan Thay-lek-hui-mo yang sudah mengurung pula, membuat ia benar-benar
menjadi sasaran sibuk dan terdesak mundur. Betapapun saktinya Sung Tiang Le, kini di
keroyok oleh tokoh-tokoh hitam tingkat tinggi membuat ia sukar untuk bergerak banyak.
Apalagi menghadapi tongkat di tangan pendeta dari Anapurna yang hebatnya
bukan main ini membuat ia menjadi kewalahan. Dan hampir saja pundaknya
terserempet tongkat di tangan Te Thian Lomo kalau saja ia tidak buru-buru mengelak
dan membalas dengan pukulan gerak tangan kilat yang luar biasa dahsyatnya.
Menghadapi pukulan yang merupakan kilat menyambar ini, tak keburu bagi Te
Thian Lomo untuk menangkis. Keruan saja lambungnya telah terhantam angin pukulan
tangan kiri Tiang Le yang dahsyat.
-layang putus talinya, tubuh Te Thian Lomo terpental jatuh
ke dekat Thay-bengcu. Tiang Le yang merasa penasaran dan masih sakit hati oleh
musuh besarnya ini, bergerak cepat berkelebat menyusul tubuh Te Thian Lomo
mengirim pukulan maut untuk yang kedua kalinya.
yang bernama Thay-bengcu itu yang telah mencelat dan menangkis pukulan Tiang Le.
Tiang Le terkejut bukan main, tiga pukulan mautnya hanya dapat ditangkis dengan
tangan kiri dan tidak menimbulkan reaksi, malah dari telapak tangan yang kecil halus
itu ia merasa menghantam benda yang lunak dan dingin sehingga tiga pukulannya
amblas ke dasar lautan yang dalam.
Dan sikutnya terasa kesemutan. Tahulah Tiang Le bahwa orang muda ini benar-
benar memiliki ilmu kepandaian sin-kang luar biasa. Begitu ia menoleh, pemuda tampan
tersenyum mengejek dan berkata sambil duduk kembali di bangku kebesarannya.
Tiang Le merasa penasaran dan mendongkol bukan main. Begitu datangnya dua
serangan dari Nakayarinta dan Te Thian Lomo, ia menggunakan langkah ajaib dan
meloloskan diri dari kepungan lawan, langsung tubuhnya terbang menyambar pemuda
mengirim pukulan dari atas dengan telapak tangan terbuka.
Akan tetapi sungguh mengagumkan sekali. Begitu melihat datangnya serangan
dahsyat ini, pemuda tampan yang menamakan dirinya Thay-bengcu itu malah masih
tenang-tenang saja dan mengangkat tongkatnya ke atas menggoyangkan setengah
berputar.
biasa sehingga Tiang Le merasa dari putaran tongkat itu keluar hawa dingin yang luar
biasa. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya dan menggerakkan kedua kakinya
menendang dalam posisi di atas.
-bengcu.
Sungguh hebat sekali tendangan ini, angin pukulan kedua kakinya saja membuat
para siuli di depannya mengangkat kedua tangan menangkis.
Dan merasakan sebuah gelombang dahsyat yang menyambar, keruan saja siuli-
siuli di dekat Thay-bengcu mengundurkan diri dan telah mencabut sepasang siang-
kiamnya, siap menempur Tiang Le.
g, jangan kurang ajar terhadap Thay-bengcu, lekas
sedangkan ke dua orang kakek itu adalah pemegang golok dan jepitan dapur yang telah
kita kenal bernama A Kay dan A Yong.
Jepitan yang panjang dan berkarat itu hebat sekali sehingga mengeluarkan suara
menciut, dan menjerit waktu jepitan itu dirapatkan menggunting.
Namun Tiang Le dengan segera telah mainkan langkah-langkah ajaib sehingga
walaupun ia terkurung rapat, ia masih dapat menghindarkan diri dari serangan-
serangan lawan!
Akan tetapi, biarpun ia sudah bergerak cepat, tetap saja sebuah pukulan jarak jauh
yang dilancarkan oleh dua orang kakek itu, meyentuh pundaknya sehingga ia
terhuyung-huyung dua langkah.
Untuk beberapa lama Tiang Le meragu mendengar suara ini. Suara ini seperti suara
wanita, sambil mengelak serangan Beng Kok Cu ia melirik dan alangkah terkejutnya
dan heran hatinya melihat betapa Thay-bengcu tengah memandangnya dengan sinar
mata kagum, mata itu demikian jelita!
Siapakah Thay-bengcu ini? Demikian Tiang Le berpikir keheranan.
Akan tetapi ia tak perlu berpikir lama-lama, karena pada saat itu golok besar dan
jepitan dapur dari pelayan-pelayan Istana Hantu ini sudah berkelebat cepat dan
mengurung Tiang Le, cepat Pendekar Lengan Buntung ini memutar senjatanya.
itu terpotong menjadi dua, mereka menjadi terkejut bukan main dan meloncat mundur.
Pada saat itu Nakayarinta dan Bong Kek Cu telah melancarkan serangan-serangan
bertubi-tubi dan merupakan badai yang mengamuk hebat sekali. Pada saat itu Tiang Le
dikejutkan oleh jeritan lirih dari Bwe Lan yang telah roboh dan pingsan akibat hawa
racun yang dilancarkan oleh Kwan-tiong Tok-ong dari sepasang lengan cakar setan
yang beracun itu.
Pada saat itu Tiang Le sudah lelah sekali, juga punggung yang tadi terhantam
tongkat Nakayarinta terasa sakit dan nyeri. Untung saja Pendekar Lengan Buntung ini
memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga pukulan tongkat kakek pertapa itu tidak
meremukkan tulang pundaknya, hanya terasa sakit dan nyeri.
Namun biarpun ia sudah lelah dan sibuk dikeroyok oleh orang-orang pandai ini,
akan tetapi begitu mendengar jeritan Bwe Lan, isterinya cepat sekali Tiang Le bergebrak
dengaa jurus tok-pik-kiam-hoat yang terlihat menggunakan tipu Naga Sakti
Menggetarkan Gunung, sehingga begitu pedang pusaka buntungnya bergebrak
terdengar jeritan kaget dari Bong Kek Cu dan Nakayarinta yang mencelat mundur ke
belakang.
Akan tetapi tiga orang pengeroyoknya lagi yaitu pelayan Istana Hantu yang
memegang golok dan besi jepitan itu menjerit ngeri karena entah bagaimana caranya
tahu-tahu sebuah sinar perak bagaikan kilat menyambar telah menabas paha dan
lengan. Darah merah mengucur dari lengan A Kay dan A Tong yang mengeroyoknya.
Begitu kepungan ini mengendur, dengan gerakan gin-kang yaug luar biasa gesitnya
tahu-tahu tubuh Tiang Le telah mencelat cepat dan telah menyambar tubuh Bwe Lan
yang telah pingsan. Pada waktu itu Bu-tek Sianli yang sudah dibuat gemas oleh sebab
muridnya yang murtad ini segera mengayunkan tongkat sekuatnya menghantam
kepala Bwe Lan.
Namun sebuah kilat menyambar dari samping dan serangkum hawa pukulan yang
amat dahsyat menggetarkan tongkatnya hingga menyeleweng dari sasaran. Begitu ia
menengok tahu-tahu Bwe Lan telah berada dalam kempitan Pendekar Lengan Buntung
yang telah jauh melompat dan dengan menggunakan kesaktiannya. Tiba-tiba tembok
sebelah kiri jebol oleh terjangan tubuh Tiang Le.
Thay-bengcu berdiri dan berteriak marah,
-bengcu telah
memberi aba-aba kepada orang-orangnya untuk mencegat Tiang Le dari pintu samping.
Sedangkan Nakayarinta, Bu-tek Sianli, Thay-lek-hui-mo dan Bong Kek Cu telah mencelat
dan mengejar Tiang Le.
Tiang Le memasuki sebuah ruangan di bawah tanah. Ia menjadi bingung bukan
main karena begitu ia mencelat ke dalam tiba-tiba ruangan yang tadinya terbuka, kini
otomatis bergerak sendiri menutup jalan. Sehingga ia kini berada di sebuah jalan yang
lurus ke depan dan dari depan nampak orang-orang Istana Hantu barisan panah
mendatangi siap menarik gendewanya. Sedangkan dari belakang nampak Nakayarinta
dan tokoh-tokoh kaum hek-to lainnya mendatangi berlarian cepat, terdengar suara
Nakayarinta tertawa mengejek.
-ha-ha, Pendekar Lengan Buntung, jangan harap kau dapat meloloskan diri dari
Istana Hantu. Lebih baik kau lemparkan pedangmu dan menyerah kalau kalian ingin
Mendengar aba-aba ini, Tiang Le menjadi tekejut dan siap dengan senjata di tangan.
Kalau tak menghadapi lawan bagaimana tangguhpun, ia masih dapat melayani. Kini
menghadapi serbuan beribu-ribu anak panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali
melindungi dirinya dan tanpa dapat membalas.
Duaratus anggota Istana Hantu, di depan itu menarik anak panahnya. Mereka ini
adalah pasukan Istana Hantu bagian panah yang sudah terlatih.
Setelah mendengar aba-aba dari Thay-bengcu, mereka bergerak mundur dan
menghujani Pendekar Lengan Buntung dengan ratusan panah.
Sungguh hebat sekali! Ternyata barisan panah bukan hanya satu jurusan, karena
begitu tembok terbuka di kanan kiri dan belakang, tahu-tahu bermunculan barisan
panah yang menghamburkan panah-panahnya.
Sehingga penyerangan ini berlangsung dari empat jurusan, depan, belakang
samping kanan dan kiri.
memutarkan pedang buntungnya sedemikan rupa, namun tetap saja tiga buah anak
panah menancap di lengan kirinya yang memutar pedang.
Tiang Le menggigit bibirnya menahan rasa ngeri yang luar biasa. Ternyata ujung
anak panah itu dibubuhi racun sehingga terasa gatal-gatal dan nyeri bukan main. Akan
tetapi pendekar yang gagah perkasa ini terus mengamuk dan mempertahankan diri
dan tidak akan menyerah!
-tiba terdengar jeritan isterinya.
Tiang Le tersentak dan menoleh. Ternyata sebuah jarum beracun sianli-tok-ciam
yang dilontarkan oleh Bu-tek Sianli menyentuh pundaknya dan menancap, akan tetapi
juga bersamaan dengan pundaknya yang terluka itu Bwe Lan tersadar dan mencelat
dari punggung Tiang Le.
Terasa sekali punggungnya gatal bukan main, namun sekelebatan saja Bwe Lan
sudah menyadari bahwa punggungnya terkena senjata Sianli-tok-ciam dari Bu-tek
Sianli, maka cepat-cepat ia merogoh sakunya dan menelan sebuah pil merah, diberikan
pula kepada Tiang Le. Pil merah itu adalah pil penolak racun yang pernah ia pelajari di
Pulau Bidadari!
-jahanam keparat! Rasakanlah pemba
Jeritan ini disusul berkelebatnya sinar merah dan begitu sabuk sutera di tangan
nyonya itu bergerak, lima orang yang sedang menarik gendewa menjerit ngeri ketika
sabuk merah itu tiba-tiba bagaikan ular hidup telah menyambar mereka dan melilit
lehernya dan sekali sentak saja sekali gus lima orang pemanah itu terangkat ke atas
dan nyawanya melayang seketika itu, juga ketika tangan kiri bergerak menyambar
dahsyat!
-penyerangnya
yang lain mundur dan berusaha memasang kembali anak panahnya.
Akan tetapi pada saat itu Tiang Le sudah menerjang maju dan membobolkan
barisan panah. Pedang Buntung itu bergerak-gerak menyambar dan terdengar jeritan-
jeritan mengerikan waktu sepuluh orang Istana Hantu roboh seketika dalam keadaan
tubuh mandi darah.
Tiang Le dan Bwe Lan kini benar-benar mengamuk hebat, celakalah orang-orang
barisan panah Istana Hantu ini. Begitu dua orang suami isteri itu sampai ke tempat itu,
bagaikan membabat rumput saja pedang dan sabuk sutera merah berkelebat bagaikan
malaikat pencabut nyawa.
Bong Kek Cu dan dua orang pelayan dapur Istana Hantu yang tadi bersenjatakan
jepitan dan golok besar maju menerjang.
Namun Tiang Le mengerahkan seluruh kepandaiannya, keuletan dan tenaganya
untuk melindungi diri dan juga balas menyerang. Begitu munculnya dua orang pelayan
Istana Hantu yang sudah terluka ini, dalam tiga gebrakan pedang di tangan kiri Tiang
Le bergerak cepat dan dalam detik itu pula berturut-turut terdengar jeritan dari A Kay
dan A Yong yang menggeletak roboh dengan kepala putus, sedangkan Bong Kek Cu
terserempet lengannya dan menjerit kaget melompat mundur.
Pada saat itu Tiang Le sudah gemas kepada orang ini, bergerak cepat dan sekali
pedang buntungnya berkelebat. Lengan kanan Bong Kek Cu putus sebatas pundak dan
terdengar jeritan kakek buntung itu bagaikan babi disembelih!
Kini tokoh-tokoh Istana Hantu mulai menerjang maju. Nakayarinta, Bu-tek Sianli
bergerak menerjang Tiang Le, dan dibantu oleh gerakan sepasang pedang yang luar
biasa dari Thay-bengcu. Sebuah benturan yang keras membuat tangan kiri Tiang Le
tergetar ketika pedang buntungnya tertangkis oleh pedang kiri Thay-bengcu, yang
tersenyum mengejek.
bernama Thay-bengcu itu berteriak kaget dan kagum ketika merasa lengan kanannya
menjadi lumpuh. Namun sungguh patut dipuji karena hanya sedetik itu pula, Thay-
bengcu ini sudah menggerakkan kembali sepasang siang-kiamnya mendesak Tiang Le.
Melihat munculnya tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi ini, Tiang Le menjadi
kewalahan bukan main. Apalagi setelah kini dirasakan lengannya menjadi nyeri dan
kaku akibat tiga batang anak panah yang menancap di lengannya dan bekas pukulan
dari Nakayarinta itu masih terasa nyeri di pundaknya.
Pada saat itu saking bingungnya ia, gerakannya menjadi lambat dan sebuah pedang
di tangan kiri Thay-bengcu berhasil menerobos masuk dan Tiang Le menggigit bibir
menahan nyeri luar biasa. Ternyata pangkal lengannya robek sampai kelihatan
tulangnya.
Sesudah berkata demikian tiba-tiba Tiang Le berhenti, bersila, dan menerima tiga
buah gebukan dari Nakayarinta, Bu-tek Sianli dan Te Thian Lomo.
Akan tetapi sungguh hebat, Pendekar Lengan Buntung ini tidak bergeming
sedikitpun. Hanya nampak dari sepasang mata itu yang berair saking hebatnya
pukulan-pukulan ini.
Kalau saja ia tidak mengerahkan sin-kang di tubuhnya, tentu tubuh itu sudah hancur
lebur. Akan tetapi pemuda ini, dalam keadaan pakaian atas robek-robek berdiri tegak
dan pandangannya menyapu sekalian orang di situ.
Ia mengerahkan tenaga khi-kangnya berseru keras,
-manusia goblok! Lihat, mengapa aku yang kau tempur tolol. Aku
Thay-
demikian Tiang Le menunjuk kepada Thay-bengcu yang bergerak hendak
menyerangnya.
Akan tetapi, alangkah ajaib dan luar biasa sekali karena tiba-tiba Nakayarinta. dan
Bu-tek Sianli dengan Te Thian Lomo dan banyak lagi orang-orang Istana Hantu
menyerbu Thay-bengcu yang tentu saja menjadi heran dan kelabakan bukan main
menghadapi penyerbuan dari para sekutunya ini.
Terpaksa ia putarkan sepasang siang-kiamnya dan mencelat mundur sambil
membentak pula mempergunakan khi-kangnya berseru keras,
Suara ini biarpun terdengar nyaring dan merdu, namun dikerahkan dengan tenaga
khi-kang yang tinggi sehingga merupakan suara menggeledek di angkasa, bergema di
ruangan itu. Dan terdengar amat menusuk anak telinga bagi mereka yang berada di
ruangan itu dan menggetarkan hati sehingga mereka yang merangsek Thay-bengcu
menahan senjatanya dan memandang dengan membelalakkan matanya. Apa yang
mereka lihat sesungguhnya?
Sungguh aneh tadi mereka telah menyerang Thay-bengcunya sendiri. Gila! Buru-
buru mereka berlutut dengan pikiran yang tak habis herannya melihat kejadian ini.
Thay-bengcu membanting-
semua! Menangkap dua ekor tikus sawah saja tidak becus, malah hampir mencelakakan
diriku. Benar-
-tiong Tokong
perlahan.
Buntung itu, tentu seperti tay-ong, ya ibu, penuh cambang bauk dan mukanya.. . . sangat
kejam dan telah membuntungi lenganmu. Tentu Pendekar Lengan Buntung seperti raja
perampok yang ganas dan kejam. Kalau ketemu denganku, hendak kubuntungi
Mereka tidak bercakap-cakap lagi. Karena ibu itu tertunduk dan menarik kendali
kudanya sehingga kuda berjalan lebih dulu. Dalam detik itu, bayangan bersama dengan
Tiang Le melekat di ruang matanya.
Alangkah mesranya, apabila ia teringat kenang-kenangan manis di lembah Tai-
hang-san itu, alangkah menggai
membisiki nama itu. Sebuah nama yang amat disayangnya, dan juga paling dibenci
apabila ia melihat adegan-adegan yang menyakitkan hati di pantai Po-hay.
Dan mengapa Tiang Le tidak jadi menikah dengan Pei Pei dan kawin dengan Bwe
Lan, murid Bu-tek Sianli itu, mengapa? Apakah Tiang Le telah menyia-nyiakan Pei Pei,
dan kawin dengan Bwe Lan, setan! Dia mata keranjang, aku benci. Benci!
Setetes air mata meloncat dari kelopak mata yang mempunyai telaga yang jernih
airnya itu.
Melihat ibunya menangis, Lily terheran.
baru juga sampai di bukit Lu-liang-san. Kira-kira seminggu lagi kita batu sampai di
Tiang-pek-
belum lagi ibu itu menarik kendali kudanya, tiba-tiba Lily berkata cepat:
Belum habis Lily berkata, tiba-tiba pandangan Bwe Hwa yang tajam telah mengenali
orang yang di depannya itu. Bibirnya berbisik gemetar.
cepat ke depan.
Tidak berapa lama ia sudah tiba di depan sana dan ia melihat seorang laki-laki
lengan buntung setengah tua dan seorang perempuan cantik sepantar ibunya.
Untuk beberapa lama Lily tertegun. Ia melihat laki-laki setengah tua yang lengannya
buntung sebelah kanan itu berjalan dengan muka pucat dituntun oleh seorang
perempuan cantik setengah tua. Laki-laki tersebut nampak gagah dan menyeramkan
berjalan terseok-seok di atas tanah yang becek dan berair.
Pakaiannya compang-camping, bajunya bernoda darah, di pundak kiri dan di
punggung kelihatan tiga batang anak panah menancap, pangkal lengan kirinya terluka
hebat dan dari situ mengalir darah. Dalam keadaan terluka hebat itu laki-laki lengan
buntung itu nampak berjalan dipapah oleh wanita cantik yang nampaknya tengah
kepayahan juga.
Lily menghentikan kudanya dan bertanya,
Tiang Le melepaskan pegangan tangan isterinya dan menoleh ke arah gadis yang
datang-datang melontarkan pertanyaan seperti itu.
Tiang Le mengerutkan alisnya. Bukan karena pertanyaan gadis ini, akan tetapi
merasakan sakit yang luar biasa pada pangkal lengannya sehingga ia menggigit
bibirnya.
Tiang Le tenang.
Ia dan isterinya sudah berhasil meloloskan diri dari Istana Hantu, akan tetapi karena
keadaannya terluka, sehingga perjalanan sangat lambat sekali dan suatu ketika kelak,
ia harus berhati-hati menghindarkan diri dari kejaran-kejaran orang-orang Istana Hantu.
Kini melihat gadis ini datang-datang bertanya demikian, Tiang Le dan Bwe Lan menjadi
curiga.
lan sekali, Pendekar Lengan Buntung, aku dan ibu sedang mencarimu. Kau
itu dengan marah, dan tanpa banyak cakap lagi dia telah mengelebatkan pedangnya
Akan tetapi sungguh diluar dugaannya gadis ini. Tiang Le tidak mengelakkannya
ataupun menangkisnya. Sehingga Lily menjadi kaget dan cepat-cepat dia mengegoskan
pedangnya ke kiri dan menyerempet pundak Tiang Le.
Lengan kanan laki-laki buntung itu bercucuran darah yang mengucur dari pundak
kanannya. Tiang Le menggigit bibirnya menahan sakit dan memandang gadis itu
dengan tidak berkedip!
suaminya terluka oleh pedang gadis ini membuat gerakan mendorong ke depan.
Sebuah angin pukulan menyambar si gadis. Namun gadis ini dengan senyum
mengejek mengangkat tangan kirinya dan membalas memukul.
Diam-diam nyonya ini menjadi terkejut bukan main ketika merasa tangannya
kesemutan oleh benturan telapak tangan puteri Bwe Hwa ini. Tahulah ia bahwa gadis
ini telah mempunyai lwekang yang hampir mencapai sempurna.
- uara Tiang
Le tergetar dan merangkul lengan isterinya.
Pada saat itu luka Tiang Le bertambah parah, wajahnya semakin pucat. Ke dua
kakinya sudah menggigil, bukan saja karena luka-luka itu yang membuat ke dua kakinya
menggigil akan tetapi serangan tekanan bathin ini yang membuat ia merasa lemah
bukan main. Apalagi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan, tahu-tahu Bwe Hwa
telah berdiri di depan memandanginya.
-
yang
Bwe Hwa tidak menjawab. Hanya ia mengangguk pelan.
Belum lagi Bwe Hwa menyahut, Lily Sudah menerjang Pendekar Lengan Buntung.
Pedang pusakanya berkelebat cepat menusuk dada Tiang Le dengan gerakan yang luar
biasa gesitnya.
Akan tetapi pada saat itu Bwe Lan sudah tahu bahwa suaminya sudah payah dan
tidak melayani gadis ini, segera ia mencabut tongkatnya dan menangkis pedang Lily
yang bergebrak menerjang Tiang Le.
Benturan tongkat kecil itu membuat tusukan pedang si gadis tertahan dan begitu
melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah wanita setengah tua itu, Lily
memekik marah dan tahu-tahu ia telah menerjang Bwe Lan.
bentakan Lily ini dibarengi dengan
gerakan menyabet pinggang nyonya itu.
Namun dengan mengegoskan diri ke samping dan mainkan jurus langkah ajaib,
nyonya Pendekar Lengan Buntung ini sudah dapat berkelit dan balas mengirimkan
serangan tongkatnya pula.
n-
-ha- -
ha-
tedengar keras menggema di hutan kecil itu.
kau benci bunuhlah aku, bunuhlah.. . . akan tetapi, jangan kau menyuruh anak kita untuk
Tiang Le.
Namun Pendekar Lengan Buntung ini dengan mata tidak berkedip memandang
sayu kepada perempuan lengan buntung itu.
-moay, mati ditanganmu tidak mengapa, senang
Bwe Hwa yang tidak kenal orang-orang ini cepat memeluk tubuh Tiang Le yang
telah pingsan dan bertanya kepada si kakek muka hitam,
-he.. kami adalah orang-orang Istana Hantu. Pendekar Lengan Buntung ini
menjadi buronan kami. Untung kau telah dapat menangkapnya, lekas serahkan kepada
kalian tid
telah melintangkan Pek-hwa-kiam siap untuk melindungi Tiang Le.
Sementara itu, Bwe Lan yang bertempur dengan Lily menjadi terkejut melihat
kedatangan orang-orang Istana Hantu yang pernah ia rasai kelihaiannya ini. Cepat
sekali ia menggerakkan tongkatnya merangsek Lily dan begitu ada kesempatan,
tubuhnya berkelebat.
Amat cepat sekali gerakan ini, tahu-tahu Bwe Lan sudah mengirim pukulan
mendorong ke arah Bwe Hwa yang tidak melihat gerakan ini. Namun begitu pegangan
tangannya terlepas dari rangkulan Tiang Le, tahu-tahu Bwe Lan sudah menyambar
Tiang Le dan berkelebat pergi.
Namun Bwe Lan yang tidak menghiraukan orang-orang ini, cepat mempergunakan
gin-kangnya mencelat jauh dan sekali berkelebat. Ia sudah lenyap memanggul tubuh
suaminya.
Nakayarinta dan Kwan-tiong Tok-ong mengejar. Namun Bwe Hwa yang sudah
dibuat sengit kepada orang-orang yang dianggapnya telah membuat ia kehilangan
Tiang Le menjadi marah, dan cepat tubuh Bwe Hwa berkelebat dan langsung
menyerang Nakayarinta.
begitu, tubuh Bwe Hwa yang masih melayang di udara itu mengirimkan jurus-jurus
berbahaya dari Pek-hwa-kiam-sut.
Tentu saja Nakayarinta yang tidak mengenal wanita buntung lengan ini
memandang ringan terhadap Bwe Hwa dan ia hanya mengibaskan jubah menghadapi
serangan pedang Pek-hwa-kiam.
merasa sambaran pedang yang luar biasa anehnya ini, dan tahu-tahu kibasan jubahnya
sudah robek terbabat pedang perempuan lengan buntung ini.
Merasa bahwa yang dikejar tidak kelihatan bayangannya lagi, Nakayarinta dan
Kwan-tiong Tok-ong membalikkan tubuh menghadapi Bwe Hwa.
Pada saat itu, sehabis jeritan si gadis tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan besar
di atas tahu-tahu sebuah burung rajawali raksasa telah turun menggempur Kwan-tiong
Tok-ong, menggunakan sayapnya menampar sepasang cakar setan yang bergerak-
gerak mengancam Bwe Hwa.
Raja racun ini mengira bahwa yang datang adalah Kwan Kong Beng puteranya
yang menunggang burung garuda, maka ia bersuit keras dengan girang.
-eng, cakar perempuan
Akan tetapi betapa terkejutnya si Raja Racun karena burung yang disangkanya
binatang peliharaannya itu tahu-tahu sudah menerjang turun dan langsung
mengirimkan serangan sayap menggempur Kwan-tiong Tok-ong. Karena gerakan
sayap ini demikian cepat, si Raja Racun menjadi heran dan mengangkat tangannya
menangkis.
Akan tetapi alangkah heran hatinya karena burung rajawali ini seperti tahu akan
keampuhan sepasang tangan itu tidak berani menyampok malah ia menggunakan
sayap kanan memukul punggung Kwan-tiong Tok-ong.
-tiong Tok-ong terhuyung ke belakang. Dan mendelikkan matanya,
memaki.
Begitu mendengar aba-aba ini, orang-orang Istana Hantu segera menyerbu dan
sebentar saja di dalam hutan itu terjadi pertempuran hebat.
Melihat bahwa dirinya dikeroyok begini banyak orang, Lily mengeluarkan pekikan
nyaring. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak-gerak lambat namun penuh hawa sin-kang
tingkat tinggi.
Dan begitu tangan kiri itu bergebrak, terdengar pekik mengerikan dari sepuluh
orang-orang Istana Hantu yang telah roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Inilah
pukulan-pukulan maut yang dipelajari dari kakeknya Sin Kun Bu-tek yang luar biasa itu.
Melihat sepuluh orang sudah roboh mati dalam gebrakan-gebrakan tangan kiri dari
gadis yang lihai ini, Sian Jiu Nio-nio dan Thung Hay Nio-nio menjadi marah bukan main.
Tongkatnya bergerak luar biasa dahsyatnya, sedangkan senjata rambut itu bagaikan
ratusan tombak menyerbu ke arah si gadis bergulung-gulung.
Saking repotnya Lily menghadapi serangan ini, ia tak keburu menangkis sebuah
pukulan tongkat kecil Thung Hay Nio-nio pada punggungnya. Karena tadi ia berusaha
keras menghindarkan diri dari sabetan-sabetan rambut yang lihai dari Sian Jiu Nio-nio
yang lihai, maka terpaksa sambil mengerahkan hawa sin-kang di pundaknya menerima
pukulan tongkat kecil Thung Hay Nio-nio.
-nio menjadi hancur menghantam tubuh yang
penuh hawa sin-kang itu. Perempuan ini terkejut dan heran.
Sebaliknya Lily menjerit keras merasakan jantungnya tergetar hebat oleh serangan
yang lihai ini. Cepat-cepat ia mencelat ke atas dahan pohon dan mengerahkan sin-kang
melindungi jantung.
Tiba-tiba ia merasa kepalanya berdenyut-denyut begitu mendengar seruan ibunya
yang menjerit lirih dan roboh di tangan Nakayarinta.
Untung pendeta dari Anapura tidak bermaksud untuk mencelakakan perempuan
lengan buntung ini. Ia memang sengaja untuk menawannya saja dan dibawa ke Istana
Hantu, dan maka dari itu Bwe Hwa terhindar dari serangan maut Kwan-tiong Tok-ong
yang siap melancarkan pakulan mematikan.
Namun pendeta muka hitam ini telah mencegahnya.
Mendengar kata-kata itu, Kwan-tiong Tok-ong tidak membantah lagi. Cepat iapun
berkelebat menyusul bayangan Nakayarinta yang telah memondong Bwe Hwa. Hanya
ia berkata kepada isterinya,
-nio, bereskan saja gadis itu, tawan hidup-
Sehabis berkata demikian si Raja racun itu sudah lenyap dan berkelebat pergi,
diikuti oleh orang-orang Istana Hantu menyusul pemimpinnya kembali ke markas.
Sedangkan Thung Hay Nio-nio dan Sian Jiu Nio-nio bersama Kwan Kong Beng
menghadang gadis yang mencelat ke atas dahan pohon itu.
-orang Istana Hantu,
Terdengar Thung Hay Nio-nio berkata perlahan. Karena ia merasa sayang kalau
gadis yang begini cantik jelita akan binasa di tangan orang-orang Istana Hantu!
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan dari mereka. Lily mengeluarkan jeritan marah
bukan main. Dan sekali berkelebat ia sudah menerjang Thung Hay Nio-nio
menggunakan pedangnya menusuk nenek ini.
Namun alangkah herannya gadis ini karena begitu pedangnya tertangkis oleh
tongkat nenek itu, ia merasakan tubuhnya lemas bukan main. Dan tiba-tiba kepalanya
menjadi pening dan terhuyung-huyung memegangi kepalanya yang terasa berat bukan
main.
Tiba-tiba Sian Jiu Nio-nio menggerakkan rambutnya yang panjang. Amat cepat
sekali gerakan ini, sehingga Kwan Kong Beng yang hendak mencegah tindakan nenek
ini tak keburu lagi.
Terdengar suara tulang lengan patah, tubuh Lily terlempar jauh dan gadis ini jatuh
dalam keadaan terguling miring. Ternyata tulang tangan gadis itu telah patah di bagian
siku membuat Lily menggeliatkan badannya menahan sakit bukan main.
Dari matanya menetes air mata saking hebatnya rasa nyeri yang menusuk-nusuk
ke jantung. Gadis ini menggigit bibir dan berusaha hendak bangkit namun dirasakan
tubuhnya lemas bukan main.
-ha- -jurus dari
kakek gila Sin Kun Bu- -nio tertawa bergelak sambil mengangkat muka
ke atas.
-nio, jangan kau celakakan gadis itu, hadapkan ia segera ke Istana Hantu, kami
-nio menarik tangan puteranya, namun Kong Beng berkata:
perempuan-
Tarikan Thung Hay Nio-nio ini membuat tubuh Kong Beng agak terpelanting, namun
ia masih menoleh ke belakang dan berkata kepada Sian Jiu Nio-
Akan tetapi Sian Jiu Nio-nio tidak menyahut. Ia masih tertawa bergelak-gelak
menengadahkan mukanya ke atas.
Pikirannya yang tidak normal itu membuat penyakit lamanya kumat kembali,
rambut yang panjang itu bergerak-gerak bagaikan tangan-tangan yang hendak
mencekik leher si gadis.
Tiba-tiba matanya bercahaya aneh dan menyeramkan. Dari kelopak mata yang
sudah tua itu menetes air mata yang berjatuhan bercampur dengan air liur yang keluar
pula dari mulutnya.
Lidanya menjilat-jilat bibirnya dan begitu ia menundukkan kepalanya untuk siap
menghancurkan kepala gadis itu. Tiba-tiba ia menjadi terbelalak melihat seorang
pemuda tampan sederhana telah bersimpuh di samping si gadis mengurut-urut lengan
yang tadi terkena pukulannya itu, sedangkan si gadis nampak seperti orang tidur tak
sadarkan diri.
Pemuda ini wajahnya sangat tampan, akan tetapi dilihat dari cara berpakaiannya,
agaknya orang muda ini tentu penduduk dusun yang miskin. Di sana sini pada bajunya
nampak tambal-tambalan, kendati demikian pakaian yang terbuat dari kain kasar itu
cukup bersih.
Orang muda itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, sepasang matanya laksana
bintang pagi yang cerah menyinarkan. Pandangan tajam menusuk jantung.
Pemuda ini bersimpuh di samping si gadis yang rebah membelakangi, sedangkan
ia tengah mengurut-urut pangkal lengan yang telah remuk itu. Dalam keadaan demikian
pemuda sederhana itu menoleh dan tersenyum.
Dipermainkan seperti ini Sian Jiu Nio-nio menjadi semakin kalap. Tokoh-tokoh besar
dunia kang-ouw tidak ada yang berani mempermainkan dirinya oleh, pemuda ini.
Aneh sejak kapan pemuda ini datangnya, kenapa ia tidak tahu? Padahal ia biasanya
mempunyai pendengaran telinga yang tajam.
Mengapa kali ini dia tidak tahu kedatangan pemuda itu? Kapan datangnya, dan
siapa orang muda yang mempunyai pandangan tajam menembus jantung ini?
-nenek peot,
- -hik-hik-hik
-
-bo (kuntilanak) mukamu jelek, rambutmu panjang penuh
Inilah kelihaian Sian Jiu Nio-nio. Rambutnya yang panjang terurai sebatas pantatnya
itu merupakan ribuan kawat baja yang bergerak tegang mengirimkan totokan jalan
darah ke arah punggung si pemuda.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan Sian Jiu Nio-nio yang menjadi terkejut dan
heran melihat pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Serangkum
pukulan rambut yang dahsyat itu diterima dengan pundaknya yang ketika itu telah
membelakanginya.
Rasa penasaran dan heran ini membuat nenek itu menjadi gemas dan marah.
Segera ia mengerahkan pukulan rambutnya lebih hebat lagi dengan maksud
melemparkan pemuda yang dianggap sangat bodoh sekali membiarkan pundaknya
terhantam pukulan rambut.
yang hebat itu! Untuk beberapa saat tubuh pemula itu tergetar hebat.
Sebaliknya Sian Jiu Nio-nio terkejut bukan main merasakan seluruh rambutnya
seperti menyentuh besi baja yang keras dan panas, sampai ke kulit kepalanya dirasakan
panas dan nyeri. Namun melihat pemuda itu tidak bergeming dan masih tetap
membelakanginya seakan-akan tidak merasakan pukulan rambutnya tadi, nenek ini
melangkah maju hendak mengirimkan pukulan kedua dengan tangannya yang diputar-
putarkan di atas kepala.
Akan tetapi, belum lagi ia menjatuhkan pukulan tangannya. Tiba-tiba ia terbelalak
melihat pemuda itu kini berdiri dan tersenyum mengejek kepadanya.
-bo, masih ada lagikah pukulan tahumu? Enak sekali rasanya, tulang belakangku
yang tadinya terasa pegal-pegal itu kini lenyap.
-
-bo, apa kau nggak
Sian Jiu Nio-nio memelototkan matanya. Kalau tidak mengalami sendiri pasti ia
tidak percaya. Ia biasanya membanggakan pukulan rambutnya yang sudah terlatih dan
dapat menghancurkan batu gunung dengan sekali tampar.
Dan pernah hanya dengan beberapa lembar rambutnya ia dapat memukul mati
seekor kerbau gila yang sedang ngamuk. Malah tokoh-tokoh Istana Hantu seperti Te
Thian Lomo, Thay-lek-hui-mo dan Nakayarinta, tak berani manerima pukulan
rambutnya yang dahsyat ini.
Akan tetapi pemuda ini, sungguh luar biasa! Saking herannya dia, sampai untuk
beberapa lama ia berdiri bengong seakan-akan ia tidak percaya melihat kejadian tadi.
Setankah orang itu? Masa menghadapi pukulan rambutnya tidak kenapa-kenapa,
malah masih bisa tersenyum. Benar-benar tak masuk diakal!
Apakah ia tadi hanya kebetulan saja tidak mengerahkan lwekang di rambutnya
sehingga pemuda itu tidak terluka. Atau apakah tiba-tiba tenaga lwekangnya yang tadi
disalurkan ke seluruh rambutnya tiba-tiba menjadi bocor dan tidak ampuh lagi?
Sian Jiu Nio-nio mengibaskan kepalanya. Terdengar suara keras, karena batu besar
yang berada di tepi jalan itu hancur berantakan dan mengeluarkan bunga api saking
keras pukulan rambutnya barusan.
atu yang nggak punya salah
dipukuli. Benar-
Hampir meledak rasanya kemarahan yang tersembunyi di dalam dada nenek itu,
sehingga saking marahnya, ia mengeluarkan gerengan keras. Dan tahu-tahu serangkum
rambut yang panjang itu sudah menyambar dahsyat ke arah si pemuda.
Ketika itu si pemuda sudah berjongkok di dekat tubuh Lily yang masih menggeletak
terlentang di tanah. Dan merasa ada hawa pukulan yang menyambar dari belakang,
cepat pemuda itu membalikkan tubuhnya dan memegangi kepalanya, seperti orang
yang ketakutan kepalanya terkemplang rambut yang panjang dan berombak-ombak itu.
Akan tetapi dalam keadaan berjongkok seperti itu tiba-tiba ia mementangkan kakinya
dan membuat pasangan bhe-si yang kukuh dan kuat.
g penuh tenaga lwekang itu hertemu di atas kepala si
pemuda yang ditutupi tangan, terdengar suara keras seakan-akan batok kepala si
pemuda hancur berantakan.
Akan tetapi sungguh ajaib bukan kepala si pemuda itu yang hancur berantakan
melainkan puluhan rambut si nenek itulah yang pada beterbangan rontok. Dan Sian Jiu
Nio-nio sendiri terpental mundur, karena merasa pukulan rambutnya tadi membalik
menyerang kepalanya sendiri.
Ribuan bintang berputar-putar di atas kepalanya. Seluruh rambutnya berdiri tegang
dan rasa panas terasa membakar di atas kepalanya.
Sian Jiu Nio-nio memandang si pemuda dengan pandangan membelalak. Kepalanya
bergoyang-goyang karena merasa pening dan telinganya mendengar bunyi mengiung
yang keras.
Sian Jiu Nio-nio cepat meramkan matanya dan mengerahkan hawa murni ke atas
kepala yang terasa pening bukan main. Ia merasa badannya seperti diayun-ayun dan
sepasang kakinya menggigil keras.
Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan sakit, tahulah ia bahwa ia sudah terluka. Segera
ia menjatuhkan diri dan bersila memusatkan tenaga sin-kang di dada.
Setelah merasa bahwa kepalanya tidak terasa pening lagi dan sesak napasnya
lenyap, Sian Jiu Nio-nio membuka matanya dan menengok.
Ternyata pemuda setan itu sudah tidak kelihatan lagi, lenyap bersama gadis yang
terluka tadi. Segera ia bangkit perlahan, berdiri dan memandang ke tempat di mana
tadi pemuda itu berada.
Matanya celingukan ke sana kemari. Tiba-tiba pandangan matanya tertumbuk oleh
sebuah tulisan di batu yang tadi telah dipukul olehnya.
Jilid 10
ULISAN itu diguratkan oleh jari telunjuk dan membekas dalam seperti diukir
pada batu yang keras itu. Berbunyi:
-bo, hari ini Giam-lo-ong mengampuni nyawamu. Akan tetapi awas kau!
Melihat tulisan ini, keruan saja Sian Jiu Nio-nio melarikan diri dan ketakutan
setengah mati.
Siapa dia.. . . siapa pemuda itu?
Dalam larinya tunggang langgang itu nenek ini tak habisnya berpikir dan tiba-tiba
ia merasakan seluruh bulu tengkuknya berdiri dan cepat-cepat ia melompat jauh lari
semakin cepat dengan hati penuh kengerian!!!
ooOOoo
Ya, siapakah dia? Siapa pemuda yang sederhana dan sakti ini? Untuk mengenal
pemuda perkasa ini baiklah kita menengok keadaan Pei Pei di jurang maut di
pegunungan Ta-pie-san.
Seperti kita ketahui, Pei Pei yang malang itu terjatuh ke jurang oleh sebab
tendangan Bu-tek Sianli yang keji dan ganas itu. Akan tetapi bersyukurlah kita bahwa
menjelang ajalnya ini secara kebetulan sekali seorang yang ke dua kakinya buntung
tengah berada di tepi jurang di tengah-tengah tebing yang amat tinggi itu.
hampir limabelas tahun kemudian Tiang Hin langsung mempelajarinya dari kitab yang
terdapat di dalam sebuah gua itu!
Sehingga atas gemblengan Bong Kwi Nio dan kitab peninggalan Sui-kek Siansu ini,
dalam usia hampir sembilanbelas tahun. Tiang Hin bukan saja sudah matang ilmu
silatnya, namun ia benar-benar digembleng kebathinan oleh ibu dan neneknya!
Memang sejak Bong Kwi Nio tinggal di gua ini hampir tujuhpuluh tahun.. . . , ia merasa
ketenangan bathin dan ketentraman hidup hasil dari pada kesendirian hidupnya di gua
ini. Di tempat yang sunyi ini, nenek itu mendapatkan ketentraman hidup, apa lagi setelah
Tiang Hin lahir.
Diam-diam nenek ini memusatkan pikirannya ke alam rohani dan mempertinggi
pelajaran-pelajaran kebathinan yang ia dapat baca dari kitab-kitab yang terdapat di
dalam gua itu, sehingga tak heran Tiang Hin selalu menerima pelajaran-pelajaran
kebathinan yang sangat berharga itu.
Sehingga dalam usia yang masih sangat muda ini, Tiang Hin telah berpikir masak
dan mempunyai pandangan hidup yang jauh!
Pada suatu hari, Pei Pei nampak murung bukan main. Ia memandang jauh ke
sebuah lembah yang menghampar di bawah tebing ini.
Nampak dari sini, di bawah sana itu rumah-rumah penduduk dusun kelihatan kecil
dan seperti kotak-kotak kecil yang hanya kelihatan samar-samar saja. Ia sudah lama
sekali merindukan untuk kembali ke dunia ramai, baru sekarang ini terasa benar setelah
Tiang Hin menjadi seorang pemuda.
Biar bagaimanapun, ia harus mencari jalan untuk keluar dari neraka ini. Berhari-
hari ia memikirkan persoalan ini, sehingga hari itu Tiang Hin menghampirinya dan
menegur.
Pei Pei menoleh dan mengusap rambut anaknya yang berlutut di depannya.
-ji. Popo bilang katanya
Hin-
usah kuatir. Jangan pikirkan itu. Di sini ada nenek, aku dan kau yang
sangat mencintaiku, untuk apa kita berpikir yang tidak-
-ji, biar bagaimanapun juga kita harus berupaya untuk keluar dari
jurang ini. Atau apakah kita diam saja, di sini, dan mati terkubur hidup-hidup.
-
Pei Pei terdengar perlahan dan ia mengisak.
dari jurang ini. Tentu Thian lebih berkuasa, ia yang akan mengatur dan memberi jalan
asalkan kita
Demikianlah berhari-hari itu, Tiang Hin dan Pei Pei mencari jalan keluar dan
menyelidiki keadaan di jurang ini. Akan tetapi sampai berbulan-bulan lamanya, ternyata
mereka tidak menemukan jalan yang kiranya dapat keluar dari jurang ini. Hingga Tiang
Hin yang berhati tabah, akhirnya berkata,
-
Pei Pei memandang anaknya,
-ji, tak boleh itu terjadi. Biar bagaimanapun juga kita harus keluar dari
ndangannya
ke atas tebing yang tidak kelihatan puncaknya, tertutup oleh awan di atas.
Tebing yang tinggi itu penuh dengan pepohonan yang tumbuh di sana, kadang-
kadang nampak putih-putih oleh sebab tanah kapur yang tidak ditumbuhi pepohonan.
Awan putih menutupi puncak tebing itu saking tingginya.
Pei Pei juga mendongakkan kepalanya ke atas.
memandang ke atas.
Hin.
Tiba- -ji.. .
mengapa sekarang kau yang berputus asa? Bukankah kau sudah mempelajari ilmu silat
tinggi dan tenaga sin-kang kurasa dapat membantu engkau keluar dari sini!
dalam gua
kemudian keluar lagi bersama-sama Bong Kwi Nio.
Melihat ibunya hampir menangis, Tiang Hin menghampiri Poponya dan berkata:
. Jalan satu-
Bong Kwi Nio menggelengkan kepala.
-ji, tebing ini sangat tinggi. Bagaimana kalau kita
tangan.
ibu, popo. Aku hendak bertemu dengan ayah dan ibu juga sudah rindu sama ayah. Popo
wejangan kepadaku, bahwa kita hidup ini harus berusaha dan berharap kepada Thian.
berhasil tidaknya mengapa kita tidak mengharap kepada Thian Yang Maha Kuasa?
hu Sui-kek Siansu dapat keluar dari sini hanya melalui jalan
Bong Kwi Nio menoleh dan memandang cucunya ini. Melihat wajah Tiang Hin yang
begitu serius, nenek ini menarik napas panjang dan akhirnya berkata:
Suara Pei Pei terisak dan memandang nenek yang kedua kakinya buntung itu, dan
tengah bersimpuh di depan gua. Tangan si nenek mengelus rambut Pei Pei.
usahakanlah agar keberangkatan kalian ini tidak sia-sia. Kegagalan berarti maut yang
menyambut kalian.
dunia ramai, akan menyusahkan bagi yang hidup saja. Biarlah aku di tempat ini.
ngkatlah. Hati-hati Hin-ji, jagailah ibumu, mudah-mudahan kalian
-
yap ke atas tebing itu, mohon doa sembahyangmu agar
an begitu Pei Pei, lekaslah kau berangkat, dan sudahkah kau bersiap-siap
dengan alat-alatmu untuk mendaki. Hati-hati Hin-ji, apalagi di sebelah sana itu terdapat
tanah kapur yang mudah longsor. Kalian pergunakanlah tenaga sin-kang merayap
seperti cecak. Ak
Demikianlah Pei Pei dan Tiang Hin menuju ke jurang sebelah kiri dan
mempergunakan sepasang pedang yang diambilnya di dalam goa. Akan tetapi setelah
sampai di tebing sebelah sana itu, alangkah girangnya pemuda itu melihat pada
dinding-dinding tebing yang banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon yang mempunyai
akar yang kuat-kuat dan ulet.
Dengan girang sekali Tiang Hin menoleh kepada ibunya,
-
Pei Pei mencoba untuk tersenyum. Matanya basah memandang anaknya yang sangat
dicintainya.
Melihat mata ibunya basah, Tiang Hin mengusap pipi ibunya dengan sayang,
-
Tiang Hin memandang ibunya yang telah menjambret akar pohon yang
bergelayutan itu. Kemudian dengan ke dua kakinya ia menjejakkan tebing yang penuh
dengan akar-akar pohon itu.
Melihat ibunya sudah memanjat, pemuda itu cepat mempergunakan gin-kangnya
mencelat ke atas dan menyambar sebuah akar pohon. Sekali lagi ia menoleh ke arah
gua dan berteriak kepada neneknya yang tengah memandang di luar gua itu.
-hati Hin-
Dan mendengar seruan yang terakhir ini, Tiang Hin menjadi tabah dan ia terus
merayap bergelayutan dari akar pohon ke akar pohon lainnya yang lebih tinggi. Ia terus
menggunakan cara berpegangan pada akar pohon ini sambil berkali-kali ia memberi
peringatan kepada ibunya.
Demikianlah, dua orang itu mulai merayap naik. Mulanya memang tidak terlalu
sukar merayap ke atas dengan berpegangan pada akar-akar pohon yang cukup kuat
ini. Akan tetapi setelah mereka sudah sampai ketinggian seratus meter, tiba-tiba
perjalanan terasa amat sukar bukan main.
Berapa kali tubuh Pei Pei hampir tergelincir akibat akar pohon yang dipegangnya
jebol. Dan untung Tiang Hin berada di bawahnya dan cepat-cepat telah memegang
lengan ibunya.
Tiba-tiba udara menjadi mendung. Kabut tebal menaungi di atasnya dan hujan turun
dengan lebatnya. Hal yang tak tersangka-sangka ini terjadi sudah.
Kedua orang yang sedang merayap itu bertambah sukar lagi dalam keadaan yang
sangat licin ini. Tubuh ke duanya sudah bermandikan air hujan dan basah kuyup.
Ketika itu Pei Pei sudah lemah sekali. Beberapa kali ia hampir jatuh dan kehilangan
pegangan kalau tidak buru-buru Tiang Hin menyambar tangan ibunya dan
menyodorkan akar pohon yang lebih kuat.
-
-lama akar ini menahan tubuh kita akan
Tiang Hin kuatir sekali melihat keadaan ibunya yang sudah lelah ini. Ia sendiri kalau
tidak mempunyai sin-kang yang luar biasa ditubuhnya, niscaya tak dapat bertahan lama
melakukan perjalanan merayap seperti ini.
Sekali saja pegangan tangan pada akar pohon itu terlepas, niscaya akan terguling
tubuhnya masuk ke jurang. Namun demikian, dalam keadaan yang amat sukar dan
berbahaya ini, Tiang Hin selalu memperhatikan keadaan ibunya.
- aian hujan
yang lebat suara ibunya mengeluh.
Cepat dan cekatan Tiang Hin mendekati ibunya dan memeluk tubuh ibunya yang
tak kuasa untuk berpegangan itu.
jangan lama-
akar pohon yang lain.
Dengan amat sukar sekali Pei Pei memanjat ke atas. Ia benar-benar sudah lelah
sekali, hampir-hampir tak kuat mengangkat tubuhnya memanjat.
Untung Tiang Hin tidak lengah dan senantiasa menjaga ibunya. Dan berkali-kali ia
menyalurkan hawa sin-kang ke pundak ibunya supaya ibunya dapat tenaga baru,
dengan demikian perlahan dan lambat mereka terus merayap ke atas.
Sementara itu hujan bertambah deras. Udara dingin bukan main membuat Pei Pei
bertambah pucat sekali kelihatannya.
Sedangkan Tiang Hin sendiri, merasa tubuhnya sakit-sakit terkena duri-duri pohon
yang menyeret dan membeset kulit tubuhnya. Sepatu yang dipakainya sudah bolong-
bolong dan hancur dan bajunya basah kuyup, robek sana sini terkait akar-akar pohon.
Akan tetapi mereka ini sungguh tabah. Biarpun Pei Pei sudah lelah bukan main dan
kedua kaki dan tangannya terasa menggigil, namun ia terus merangkak ke atas dengan
dibantu Tiang Hin yang juga kelihatan sudah lelah sekali karena menahan tubuh ibunya
dari bawah. Sekali saja pegangan tangan terlepas, pasti tubuhnya akan hancur di bawah
jurang.
Untuk melakukan perjalanan merayap seperti ini, mereka benar-benar mempunyai
ketabahan yang luar biasa pada saat itu. Agak sukar mencari orang kedua yang seperti
Tiang Hin, yang begini tabah, ulet dan mempunyai tenaga sin-kang yang demikian tinggi
dan tanpa ia sadari.
Apalagi setelah tiba di bagian tebing yang penuh dengan tanah-tanah kapur,
hampir-hampir saja Tiang Hin celaka karena pegangan tangannya yang memondong
tubuh ibunya terlepas. Namun pemuda ini demikian tabah dan tidak pernah takut.
Begitu tubuhnya meluncur ke bawah, cepat ia mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya dan menjambret akar pohon, membetulkan letak posisi pada pegangan
tangannya pada ibunya. Kemudian dengan menggunakan ilmu merayap di atas dinding
tangan dan kaki pemuda ini bagaikan melekat di tepi tebing dan perlahan-lahan ia
menarik ibunya yang sudah kepayahan bukan main.
Akhirnya berkat keuletan dan ketabahan Tiang Hin dalam usahanya ini, sampailah
mereka di atas tebing. Alangkah senangnya hati Tiang Hin menghirup udara puncak
gunung yang begitu menyegarkan.
Akan tetapi begitu ia menarik tangan ibunya, ternyata ibunya telah kepayahan
bukan main. Napasnya satu-satu dan mengap-mengap kecapean seperti ikan kehabisan
air.
Melihat keadaan ibunya seperti ini, pemuda itu terkejut dan cepat-cepat memeriksa
tubuh ibunya yang kemudian dicelentangkan di atas rumput tebal di pinggiran jurang.
pemuda, maka tahayul ini membuat beberapa penduduk lantas saja membakar menyan
agar terhindar dari mara bahaya.
Sementara itu, begitu sampai di puncak Tiang Hin berteriak kaget melihat ibunya
ternyata telah tak bernyawa. Seluruh baju pada dadanya terdapat banyak darah yang
keluar dari mulut, cepat-cepat pemuda itu mengangkat kepala ibunya yang penuh
berlumuran darah.
Bagaikan orang gila Tiang Hin berlari cepat menuruni puncak sambil memondong
tubuh ibunya. Ia tidak menyadari kala itu tubuhnya bagaikan bayangan saja berkelebat
cepat berloncatan dari jurang ke jurang.
Tiang Hin seperti orang hilang ingatan memanggil-manggil nama ibunya sambil
berlari cepat tak tentu arah tujuan. Air matanya bercucuran menangisi ibunya.
Tiba-tiba, seorang hwesio tua tahu-tahu telah memegang lengannya dan berkata,
Bagaikan disiram oleh air dingin di atas kepala, Tiang Hin tersadar dan
menghentikan larinya.
Dilihatnya di depannya nampak seorang hwesio tua tengah berjongkok dan
memeriksa luka di kaki seorang pengemis yang terkapar di tepi jalan. Melihat hwesio
ini membawa ramuan obat-obatan, Tiang Hin menjadi girang sekali dan buru-buru
berlutut di depan hwesio tua itu.
- -suhu yang berhati welas asih segera
menyembuhkan ibuku, lo-
Dengan tidak menengok hwesio tua itu berkata sambil tangannya tetap membalut
kaki pengemis yang terluka,
-lekas
bercahaya lagi.
menjemputnya, berbahagialah bagi mereka yang mati, karena dengan hanya kematian
ia akan terbebas dari tuntutan hidup yang menyengsarakan badan!
-
Tiang Hin yang sampai saat ini belum pernah mengenal orang mati, menjadi
bingung. Mimpipun tak pernah ia waktu di jurang itu, bahwa orang mati itu harus
ditanam dan dikuburkan, dan di sembahyangkan. Karena soal-soal kematian dan cara-
cara mengurus orang mati, tak pernah ia dengar dari nenek dan ibunya.
Memang harus diakui bahwa Tiang Hin ini, berhubung hidupnya belum mengenal
masyarakat. Sehingga ibunya matipun tak tahu bagaimana dia harus perbuat.
Hwesio tua itu memandang pemuda itu, seakan-akan ia merasa heran mendengar
perkataan pemuda ini tadi. Akan tetapi dengan penuh kesabaran, hwesio ini berkata:
prikemanusiaan, rasa bakti kepada orang yang mati untuk merawatnya dalam saat
Setiap gerakan pedang pemuda itu yang menggali tanah, seperti dipacul oleh
sepuluh mata pacul yang kuat dan besar sehingga dalam waktu beberapa menit saja
pemuda itu telah membuat lubang yang cukup dalam dan besar.
Demikianlah atas petunjuk-petunjuk hwesio tua ini, Tiang Hin memakamkan ibunya
di sebuah hutan di bawah sebuah pohon besar. Sesudah selesai pemakaman itu, lalu
Tiang Hin membuat tanda berupa tulisan di sebuah batu besar yang diletakkan di muka
pekuburan.
Lalu ia memasang hio dan berlutut di muka pekuburan yang masih baru itu.
Terdengar anak muda itu berbisik,
Le Pendekar Lengan Buntung yang gagah perkasa itu. Suhuku pernah menyebut
pendekar yang gagah perkasa itu, orang muda.
-liong-sie. Senang sekali hati
Ia sebetulnya murid Thian Thian Losu, di Siauw-lim-pay tentu saja mengenal baik
akan Pendekar Lengan Buntung itu. Biarpun belum pernah bertemu, akan tetapi
sekarang bertemu dengan puteranya saja ia sudah dibuat kagum bukan main!
Rasa kagum ini membuat ia segera melangkahkan kakinya menuju ke kuil Han-
liong-sie dan bercerita kepada tua-tua di kelenteng tersebut.
ooOOoo
Sementara itu, Tiang Hin berlari cepat sekali. Jarang sekali berhenti kalau bukannya
perutnya berkeroncongan minta diisi.
Ia hendak segera sampai di Tiang-pek-san dan bertemu dengan ayahnya, Pendekar
Lengan Buntung yang gagah perkasa itu.
Senang sekali hatinya, bisa menjumpai ayah seperti Pendekar Lengan Buntung
yang kesohor. Maka dari itu cepat-cepat ia mempergunakan gin-kangnya berlarian
menuju ke arah Utara.
Ketika itu hari hampir menjelang senja ketika ia memasuki sebuah dusun kecil di
tepi hutan. Akan tetapi alangkah herannya dia, ketika di luar dusun itu terdengar orang
bertempur.
Cepat-cepat Tiang Hin melangkahkan kakinya dan alangkah gemas hatinya ketika
melihat bahvva seorang gadis tengah dikeroyok oleh puluhan orang-orang kasar.
Tadinya Tiang Hin hendak membantu gadis itu, akan tetapi melihat cara gadis ini
bersilat amat hebat dan bersenjatakan sebuah kipas dan suling, keruan saja Tiang Hin
menjadi memandang ke arah jalannya pertempuran dengan hati kagum.
Ternyata gadis yang dikeroyok ini, demikian lihay. Begitu kipasnya bergerak
mengebut, begitu pula dua-tiga orang-orang kasar itu terjungkal dan telah tertotok oleh
gagang kipas, sedangkan yang lebih mengagumkan lagi adalah gerakan-gerakan suling
ditangan si gadis. Sungguh aneh dan ajaib sekali.
Tentu saja Tiang Hin yang telah mempelajari ilmu sastra dapat menangkap
gerakan-gerakan yang kadang-kadang seperti huruf-huruf yang digerakkan oleh suling
di tangan gadis ini. Sama lihainya seperti kipas di tangan kirinya tadi, suling inipun luar
biasa sekali karena begitu gadis ini bergebrak menulis huruf-huruf di udara.
Tiba-tiba entah bagaimana caranya lima orang kasar yang mengeroyoknya
terpelanting roboh, dan bagaikan kilat tangan si gadis bergerak cepat dan menyambar
tubuh seorang laki-laki yang bercambang bauk. Dan dengan merenggut baju di
lehernya, tiba-tiba laki-laki cambang bauk itu bagaikan dibawa terbang ke atas dan
tahu-tahu ia sudah berada di atas pohon yang tinggi tergantung.
mempergunakan suara khi-kang sehingga terdengar oleh mereka bagai petir yang
memekakkan anak telinga.
-laki tinggi
besar bercambang bauk yang tergantung di atas pohon yang tinggi itu berkata jeri dan
memandang ke bawa ketakutan. Sedangkan duapuluh anak buahnya yang lain cepat-
cepat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
- tanya dengan suara keren
dan bertolak pinggang.
-
Tangan gadis itu bergerak. Serangkum angin pukulan menyambar ke atas dan
terdengar ranting pohon patah dan tubuh kepala rampok itu terdengar jatuh ke tanah
bergedebuk dan meringis menahan sakit karena pantatnya terhantam batu. Sakit dan
mulas.
Gadis itu menyepak tubuh laki-laki cambang bauk itu dan membentak,
Maka bagaikan anjing digebuk pantatnya orang-orang kasar itu mengangkat kaki
seribu dan berlari terbirit-birit.
Pada suatu saat itu bermunculan banyak penduduk dusun yang terus saja
menjatuhkan diri berlutut dihadapan si gadis.
-sat terima kasih atas pertolongan Pouw-sat yang telah mengusir perampok-
Lopek itu melirik ke arah seorang pemuda sederhana yang berkata tadi, kemudian
dengan tertawa girang kakek ini lalu berkata kepada gadis itu,
-an-
kaget, karena tiba-tiba saja gadis itu lenyap dari pandangan mata, juga pemuda
sederhana tadi turut lenyap pula. Aneh.
Sementara itu, jauh di luar dusun pada sebuah jalan kecil yang penuh debu, seorang
pemuda berlarian mengejar seorang gadis yang rupanya sengaja tidak menghiraukan
panggilan pemuda itu.
Namun gadis itu tidak menengok atau menghentikan kakinya, malah tiba-tiba
tubuhnya berkelebat lenyap. Ia kini menggunakan gin-kangnya berlari cepat.
Setelah jauh dan merasa pemuda ini tidak lagi mengejarnya, ia tiba di sebuah
sungai di tepi hutan kecil. Si gadis berhenti dan duduk pada sebuah batu di pinggir
sungai.
Ia menanti perahu yang masih ditengah-tengah itu, yang sedang menuju ke tepi.
Akan tetapi alangkah herannya hati gadis ini begitu menengok ke belakang, dilihatnya
pemuda tadi telah berdiri di belakangnya sambil bersedekapkan tangan memandang
jauh ke arah sungai.
Tiba-tiba gadis itu berdiri dan bertolak pinggang. Sikapnya galak dan kata-katanya
terdengar ketus,
Tiang Hin tersenyum dan seperti seorang kota yang terpelajar, yang tahu akan tata
kesopanan, ia mengangkat kedua tangannya dan berkata:
aku tak pernah merasa membuntutimu. Untuk apa
-
memandang penuh selidik.
-
manggilmu. Nih, sapu tanganmu jatuh.. . aku tadi bermaksud mengembalikannya. Sayang
dan tahu-tahu sapu tangan merah yang disodorkan Tiang Hin sudah herpindah tangan
ke tangan si gadis itu. Kemudian tanpa bilang apa-apa gadis itu lalu menggerakkan
tubuhnya mencelat ke arah perahu yang sudah menepi.
Kemudian ia memerintahkan kepada tukang perahu untuk mendayung perahunya
ke tengah, akan tetapi tiba-tiba Tiang Hin berteriak,
Si kakek tukang perahu lantas mendayung perahunya ke tepi. Tiang Hin dengan
berpegangan pada tangan si kakek telah menarik ke dalam perahu dan ia mendengar
gadis itu menggerutu,
Tiang Hin menoleh. Akan tetapi gadis itu telah membalikkan tubuhnya
membelakangi. Ia melihat gadis ini usianya tidak lebih dari delapanbelas tahun dari
potongan tubuhnya ramping dan menggairahkan, kulitnya kuning langsat berpakaian
sutera merah yang indah, wajah gadis itu cantik, akan tetapi sombong terlalu, demikian
pikir Tiang Hin.
Kemudian tanpa bilang apa-apa kepada gadis itu, ia duduk di samping si kakek dan
mengambil sebuah dayung dan turut mendayung.
Senang sekali kakek tukang perahu ini melihat penumpangnya telah mau
membantunya mendayung perahu. Memang pada saat itu arus sungai agak deras dan
perahunya mengambil arah yang berlawanan dengan arus sungai itu sehingga terasa
perahunya berat.
Untung pemuda ini terus membantu. Dan alangkah herannya kakek ini begitu
perahunya didayung oleh pemuda sederhana itu, perahunya meluncur dengan amat
cepat memecah arus sungai.
Diam-diam tukang perahu ini kagum melihat cara pemuda ini mendayung. Ia
sendiri, yang sudah puluhan tahun menjadi tukang perahu belum tentu dapat
mendayung perahunya secepat itu.
Sampai di laut luas, malampun tiba. Bulan hersinar terang di ujung laut merupakan
bola merah yang bersinar memancarkan sinar emasnya.
Air laut yang tertimpa cahaya keemas-emasan itu berkilat-kilat diusap bulan.
Beberapa perahu lain kelihatan jauh di sebeleh sana.
Merasa bahwa suasana ini menjadi kaku dan sepi, karena gadis itu ternyata diam
saja. Tiba-tiba Tiang Hin berdiri dan bernyanyi mengetuk-ngetukkan tangkai dayungnya
ke badan perahu memberi irama pada nyanyiannya.
Suaranya bersih dan merdu. Kata-kata yang dilagukan adalah nyanyian yang
pernah ia pelajari dari ibunya waktu di jurang Ta-pie-san. Terdengarnya lagu itu sedih
dan pilu.
Sudah lama tak kembali
peristiwa lama teringat kembali
seperti dalam mimpi
bertemu dengan kekasih
hati yang penuh cinta
seperti dahulu.. . .
Teringat masa lalu
bergembira bersama-samamu
bunga merah dan hijau bersemi lagi
musim salju di gunung
berganti tahun dan bulan
cepat menghilang bagaikan angin
Kasih.. . .
aku di sini
menanti!
Habis Tiang Hin membawakan nyanyian ini, tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya
dan berkata
-nyanyi melulu kayak orang gila. Mending suaramu
memandang ke bulan.
Sebetulnya Tiang Hin ingin membalas memaki namun si kakek tukang perahu
menyentuh lagi tangannya memberi isyarat untuk berdiam dan tidak meladeni gadis
galak itu.
etiap orang pasti suka menyanyi. Hati yang riang membawa mulut untuk
bernyanyi, dan ini membawa umur panjang dan banyak rejeki ha-ha-
kayak nenek-
Tiba-tiba gadis itu menoleh dan tahu-tahu sebuah tamparan melayang di pipi Tiang
Hin.
menden
gadis itu menggerakkan kipasnya dan mengibas. Terdengar suara keras, pinggiran
perahu somplak dikebut oleh pukulan si gadis.
memasuki sungai Huang-ho, malam begini airnya deras. Kau hebat, tenagamu seperti
Terdengar jeritan orang itu, dan tak lama kemudian di dalam perahu besar itu
terdengar suara hiruk pikuk beradunya senjata. Ternyata gadis perkasa itu sudah
melompat ke atas perahu besar dan menerjang orang-orang yang di dalam perahu itu.
Tentu saja Tiang Hin yang berada di dalam perahu kecilnya tidak pernah menyadari
bahwa gadis baju merah itu tengah menghadapi pertempuran yang hebat di atas
perahu besar. Baru setelah agak lama ditunggu-tunggu gadis itu tidak muncul lagi,
pemuda ini menjadi curiga dan cepat-cepat ia berkata kepada tukang perahunya dan
memberikan uang.
menyelidiki gadis itu. Tentu ia tertawan di tangan orang-orang jahat di atas perahu itu.
sudah mengelebatkan tubuhnya
menghilang dari pandangan si kakek.
Pemuda itu telah mencelat ke atas perahu besar.
dua orang tuanya dari Kong-hwa-san. Segera kirim surat ke Kong-hwa-pai untuk
menjemput gadis ini, sementara kita kirimkan gadis ini ke Istana Hantu untuk
dihadapkan kepada Thay-
-
ditugaskan untuk mengantar gadis ini ke Istana Hantu.
Akan tetapi orang tinggi kurus berwajah pucat yang duduk di sebelah kepala bajak
itu berkata cepat- -ong, gadis ini berbahaya sekali kalau terlepas.
-ong!! Biarlah uang itu untuk kalian saja, pinceng tidak memerlukan
ke samping dan terdengar suara keras, dinding perahu jebol dan sesosok tubuh
berkelebat cepat menyelinap dan hilang.
Hwesio ini merasa penasaran sekali, dengan cepat ia menggerakkan tubuhnya
melongok ke luar, ternyata di luar tidak ada siapapun juga.
-
-suhu, sebaiknya sekarang saja kita berangkat supaya besok pagi bisa
Kepala bajak itu memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengeluarkan perahu
kecil, nampak bayangan hwesio itu berkelebat ke atas perahu kecil dan terus saja
perahu itu didayung oleh sepasang lengannya yang besar dan kuat.
Perahu kecil itu meluncur dengan cepat.
Sebuah bayangan berkelebat ke atas perahu besar.
Terdengar jeritan mengerikan dari dua orang anggota bajak yang tiba-tiba
merasakan tubuhnya terangkat naik dan melayang keluar perahu.
Ternyata Tiang Hin telah bergerak menggunakan pukulan-pukulan mautnya, setiap
kali tubuhnya berkelebat dua-tiga orang anak buah bajak itu terlempar keluar dari
perahu. Dua orang kepala bajak keluar dan membentak marah:
bentakan kepala bajak ini disertai dengan angin pukulan yang keras ke arah pemuda
itu.
Namun Tiang Hin yang sudah tidak lagi memberi hati kepada kepala bajak ini. Ia
mengangkat tangannya dan mengerahkan tenaga sin-kang di tangan membalas
mendorong.
aut itu terlempar ke belakang membentur dinding
perahu dengan amat kerasnya.
Hebat sekali pukulan tangan kanan pemuda itu, sehingga dalam segebrakan saja
kepala bajak itu sudah terpental dan memuntahkan darah segar.
Melihat kehebatan pemuda ini, dua orang lainnya menyerbu dan membentak
Sebuah pisau pendek berkelebat di depan pemuda itu yang dengan mudah saja
mengelak dan mengirim serangan siku yang ditonjokkan ke depan.
rhantam sikutnya Tiang Hin dan dari
hidungnya keluar kecap.
Belum lagi hilang kagetnya tiba-tiba dengan gerakan jurus Menangkap Ikan,
Melempar Jala, tahu-tahu tangan kiri Tiang Hin bergerak cepat dan tubuh orang
berwajah pucat itu sudah terlempar ke laut.
Hebat sekali sepak terjang Tiang Hin ini, memang sejak tadipun ia sudah menyerbu
dan mengobrak abrik sarang bajak ini akan tetapi melihat tadi di situ ada seorang
hwesio, segan rasanya hati orang muda ini untuk mengacau.
Maka tadi ia mengintip saja. Siapa sangka justru hwesio tadi dapat mendengar dan
mengirim serangan tongkatnya yang membuat jebol dinding perahu.
Untung ia berlaku waspada mendengar pukulan kuat dari balik perahu. Cepat ia
mencelat dan terjun ke air menempelkan tubuhnya ke dinding perahu di dalam air
sehingga waktu si hwesio keluar tadi, hwesio itu tidak melihat yang Tiang Hin
bersembunyi di dalam air.
Sekarang melihat hwesio itu, pergi dan melawan gadis baju merah. Cepat Tiang Hin
bergerak dan mengobrak-abrik orang-orang bajak ini.
Heran sekali dia, karena ternyata bajak-bajak ini terdiri dari orang-orang kasar saja
dan begitu tubuhnya berkelebat, sebentar saja ke limapuluh bajak-bajak itu sudah
dilemparkan ke laut dalam keadaan tubuh terluka!
Beberapa menit saja ke limapuluh bajak laut itu sudah masuk ke dalam air, pada
penghabisan sekalinya Tiang Hin cepat mengeluarkan jurus yang terhebat
mempergunakan gin-kangnya melompat ke air dan berjalan di air, seperti orang
berjalan di darat saja, tangannya tiba-tiba terayun dan salah seorang kepala bajak yang
berwajah pucat kurus ini ditarik ke atas dan membentak keras:
-
-ong (raja laut) sudah
lama melihat tingkah laku kalian yang mengotori kediamanku ini. Hayo lekas katakan
Keruan saja mendengar suara yang menggeledek ini, dan melihat pemuda itu dapat
berdiri di atas air laut dengan seenaknya saja, orang itu bertambah pucat mukanya dan
tubuhnya menggigil keras.
- ota Istana Hantu..
ia membawa gadis pay-cu Kong-hwa-pay untuk diserahkan kepada Thay-bengcu di
-liang-
karena tiba-tiba tangan Tiang Hin yang mengangkat tubuh kepala bajak itu terlepas
sehingga orang itu gelagapan dan terus tenggelam.
Setelah mendapat keterangan ini, segera Tiang Hin berkelebat cepat berlarian di
atas air laut.
Dan sebentar saja ia sudah dapat membayangi perahu yang ditumpangi hwesio
yang bernama Ban Beng Hosiang itu.
Sebetulnya pemuda ini ingin sekali menerjang hwesio ini akan tetapi karena ia ingin
juga menyelidiki Istana Hantu, maka hatinya tertarik dan ia hanya membayangi saja ke
mana perginya hwesio itu.
Alangkah kagetnya hati pemuda ini, begitu sampai di darat, tiba-tiba ia melihat
gadis yang ditawannya oleh hwesio itu mencelat tinggi dan langsung menyerang si
hwesio.
Tentu saja hwesio ini menjadi heran dan cepat ia mengelak dari serangan kipas
yang dikebutkan si gadis ke mukanya. Pucat hwesio ini begitu merasa hawa pukulan
yang luar biasa dinginnya mengusap muka. Cepat ia melompat mundur dan menarik
senjata toyanya.
Namun siapa sangka justeru di tengah perjalanan itu, ia bertemu dengan puteri Ho
Siang yang bernama Hwe Lan ini. Maka segera saja ia menawannya untuk dibawa ke
Istana Hantu sebagai pancingan untuk memanggil ayahnya ke Istana Hantu!!!
Oleb sebab inilah, ia sengaja tidak membunuh gadis ini. Ia berusaha untuk
menawannya saja. Maka ia perlihatkan permainan toya Siauw-lim-si yang terlihay.
Tentu saja menghadapi tokoh Siaw-lim-pay ini, Hwe Lan menjadi sibuk bukan main
dan ia berusaha menghirdarkan diri dari serangan-serangan toya yang luar biasa
ganasnya. Namun biarpun gadis ini terdesak hebat tidak gampang-gampang bagi Ban
Beng Hosiang untuk menawannya hidup-hidup, maka hampir seratus jurus itu ia hanya
dapat mendesak si gadis dan belum dalam menawannya.
Tiang Hin yang melihat gadis baju merah yang galak ini terdesak, segera ia hendak
terjun membantu, akan tetapi belum lagi ia bergerak, tiba-tiba berkelebat sesosok
bayangan.
Tahu-tahu seorang pemuda telah menerjang si Hwesio dengan pukulan dahsyat
dan aneh. Sambil menerjang demikian pemuda itu menoleh kepada si gadis dan berkata:
Aneh sekali. Kali ini Hwe Lan tidak marah-marah seperti waktu dengan Tiang Hin
tadi.
Malah gadis itu tersenyum manis sambil mengelak ke kiri menghindarkan serangan
toya si hwesio yang lihai.
-hati, toyany
Hwe Lan memberi peringatan kepada pemuda tampan itu. Dan ia kagum bukan
main melihat bahwa cara pemuda bersilat ini sangat aneh dan sungguh lucu, kadang-
kadang seperti orang menari, kadang-kadang seperti orang yang ketakutan berloncatan
ke sana ke mari. Namun demikian patut dipuji bahwa gerakan-gerakan pemuda ini
sungguh cepat dan lincah.
Yang membuat kaget dan heran adalah Tiang Hin, dari tempat persembunyiannya
ini. Ia dapat melihat betapa pemuda itu bersilat mirip dengan apa yang pernah ia
pelajari pada gambar-gambar dinding gua di dalam jurang itu.
Hanya bedanya gerakan-gerakan pemuda itu kelihatannya lucu dan hampir bukan
merupakan orang bersilat. Namun demikian pada dasar gerakan-gerakan kaki dan
tangan sangat mirip sekali dengan ilmu silatnya yang dipelajarinya.
Tentu saja Tiang Hin tidak tahu bahwa pemuda itu adalah Wang Ie.
ooOOoo
Seperti telah dituturkan dalam bagian depan, Wang Ie memisahkan diri dari Nguyen
Hoat dan Hong Kwi, ia menuju ke arah utara, mengembara seorang diri.
Akan tetapi hanya seminggu lamanya Wang Ie merasakan hidupnya menjadi
kosong dan hampa. Ia terkenang kepada Hong Kwi, menurut hatinya ingin sekali ia
kembali kepada gadis itu, akan tetapi ia merasa malu dan tidak enak hati karena
dilihatnya hubungan Hong Kwi dengan Nguyen Hoat demikian akrab.
Pada suatu hari, di sebuah rumah makan ia melihat Hong Kwi dan Nguyen Hoat
berlalu di jalan itu. Ingin hatinya menegur, akan tetapi entah mengapa. Mulut ini tiba-
tiba menjadi bisu.
Ia diam saja dan secara diam-diam ia membuntuti sumoaynya ini. Ternyata Hong
Kwi dan Nguyen Hoat menuju ke arah utara pula, maka ia terus membuntuti dengan
berlari cepat.
Jilid 11
AMUN karena ia selalu berjalan di belakang secara sembunyi-sembunyi, dan
lagi kurang cepat, akhirnya Wang Ie kehilangan jejak. Ia memasuki hutan dan
tidak melihat Hong Kwi.
Dengan hati yang resah dan ngelamun, ia berjalan sambil tertunduk. Tiba-tiba
telinganya yang terlatih dan tajam mendengar suara senjata beradu di depan hutan
sebelah sana itu, cepat Wang Ie menuju ke sana.
Alangkah heran hatinya melihat bahwa seorang gadis terdesak hebat oleh seorang
hwesio. Maka tanpa banyak cakap lagi ia terus menerjang hwesio itu. Dimainkan jurus-
jurus ilmu silat sin-khauw-kun-hoat yang luar biasa itu.
Tidak heran, tentu saja Tiang Hin yang melihat pemuda itu bersilat menjadi
terheran-heran karena sesungguhnya ilmu silat yang dimainkan oleh Wang Ie adalah
berdasarkan ciptaan Sui-kek Siansu, maka gerak tangan dan kaki hampir bersamaan.
Hanya bedanya ilmu silat sin-khauw-kun-hoat yang dimainkan Wang Ie lebih asli
dan masih berbau menurut gerakan-gerakan monyet. Sedangkan yang Tiang Hin
pelajari dari dinding itu sudah banyak digubah oleh Sui-
Sehingga biarpun kelihatan agak berlainan, namun pada dasarnya sama. Karena
Sin-khauw-kun-hoat adalah inti dari Thian-te Bu-tek-cin-keng, lebih asli dan murni.
Sebab itu begitu Wang Ie bergebrak, dalam beberapa jurus saja Bu Beng Hosiang
menjadi kewalahan bukan main. Dan pada jurus yang kelima belas, tiba-tiba ia merasa
dadanya terasa sakit dan nyeri.
Akan tetapi hwesio ini menjadi marah dan penasaran, tiba-tiba ia mengirimkan
pukulan kuat ke arah punggung pemuda itu, dan cepat toyanya menyambar ke arah
Hwe Lan. Sudah barang tentu gadis ini berkelit cepat menghindarkan diri dari sabetan
toya dan balas mengirimkan totokan sulingnya ke arah punggung hwesio itu.
Akan tetapi gadis ini menjadi kecele, karena ternyata punggung hwesio itu demikian
kebal dan tidak terluka atau terpengaruh oleh totokan si gadis. Hanya hwesio itu
terhuyung-huyung mundur ketika untuk yang ke dua kalinya tangan kanan Wang Ie
berhasil menerobos ke dada si hwesio dan meraba dada itu.
Akibatnya, bagaikan disentuh besi baja yang dibakar panas, terasa dadanya menjadi
panas bukan main, napasnya sesak. Dan Ban Beng Hosiang muntahkan darah segar
sambil matanya memandang ke arah pemuda itu membelalak.
-suhu, apakah masih kurang? Ingat dalam sepuluh hari kau tidak menyembuhkan
luka di dalam dadamu itu, jangan salahkan aku kalau giam-lo-ong akan mencabut
nyawa lo-suhu.
-suhu jahat sih, rasain dah lu ketula! Makanya jadi seorang hwesio nggak
boleh berbuat jahat. Thian sangat mengutuk. Heran! Untuk apa sih bertempur dengan
Tadi dialah yang telah membebaskan aku dari totokan hwesio keparat itu, mari lekas
kita kejar! Mereka menuju ke s
Ie dan mereka terus berlarian dengan amat cepat.
Sayup-sayup Tiang Hin mendengar suara dua orang muda itu bercakap-cakap
dengan mesra sekali. Dari kejauhan terdengar suara si pemuda bertanya kepada gadis
baju merah:
Suara si gadis terdengar semakin tenggelam jauh. Di pinggir jalan kecil itu Tiang
Hin termenung seorang diri.
Ia tak habis heran, mengapa gadis baju merah itu yang terhadap dirinya semalam
begitu galaknya dan ketus, mengapa dengan pemuda yang bernama Wang Ie itu
demikian akrab. Diam-diam Tiang Hin melirik ke arah pakaiannya.
Sekarang ia merasa rendah diri. Tentu saja gadis manakah yang memperhatikan
dirinya yang seperti jembel ini? Pakaiannya penuh tambalan. Akh, memang aku yang
tak tahu diri.
Tiang Hin tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena tendangan kaki kiri gadis itu
telah bersarang di lambungnya. Karena tak keburu lagi mengelak tendangan gadis ini,
ia segera mengerahkan hawa sin-kang di bagian lambungnya dan membiarkan kaki
kiri gadis itu menghantam lambungnya:
itu.
Tiang Hin terjerembab hampir masuk ke dekat solokan yang berair itu, kalau tidak
buru-buru ia bergulingan dan rebah untuk beberapa lama di tanah yang berumput itu,
ia merasakan yang hebat menyerang jantungnya.
Untung ia tadi dapat menyalurkan hawa sin-kangnya, kalau tidak tentu akan hancur
tubuhnya terkena tendangan gadis yang kelibatannya juga galak ini. Pelan-pelan ia
berbangkit bangun dan berdiri menjura ke arah gadis itu.
Kau.. . kau terluka dilenganmu yang patah itu.. . ahh, kau telah salah sangka nona. Kalau
berkata demikian Tiang Hin hendak melangkahkan kakinya meninggalkan gadis itu.
Lily cepat
-orang lstana
Berbahaya sekali, kalau sambungan sikumu ini putus.. . . tanganmu nanti akan menjadi
yang patah ini. Heran aku, mengapa kau bisa patah tulang. Apakah kau jatuh dari atas
kau tidak
lihat tidak apa-
pernah belajar dari ibu. Dulu, waktu aku panjat-panjat pohon pernah tulang kakiku patah
dan remuk karena terjatuh dari atas, kemudian ibu menyembuhkannya Sekarang lihat
cepat-
-cepat ke
Istana Hantu menolong ibu yang tertawan! Eh, kau ini baik benar kepadaku! Namamu
Tiang Hin tersenyum. Gadis ini rupanya lebih baik dari pada gadis yang semalam.
Gadis ini tidak ketus hanya nampaknya kurang percaya orang. Dan keras hati.
Akan tetapi cantik dan mata itu, alangkah indahnya! Tanpa disadarinya Tiang Hin
menjadi terpesona oleh mata yang redup dan menghanyutkan itu, bibir yang basah
merah itu alangkah sedapnya dipandang.
Tiang Hin tersenyum geli. Pantas gadis yang semalam itu ketus terhadapnya
mungkin gadis baju merah itu juga barang kali menyangkanya ia penduduk dusun,
orang bodoh dan miskin. Tiba-tiba pemuda ini melirik ke arah pakaiannya yang putih
sederhana terbuat dari kain yang kasar, akan tetapi rasa haru naik ke dadanya.
Biarpun kain kasar akan tetapi pakaian yang dipakainya adalah pemberian ibunya.
Ia harus menghargai dan harus berbahagia. Teringat ibunya yang sudah meninggal, ia
tersenyum pahit dan berkata,
uk dusun yang miskin.. aku.. namaku.. oh, orang-
Lily mengerutkan alisnya yang berbentuk indah dan memandang pemuda itu
seakan-akan tidak percaya.
-
agum
sekali, oya, kita tak perlu banyak ngobrol ya Ngong Ma koko. Cepatlah kau periksa
mencari akar obat dulu. Kau tunggu di sini ya, sebentar saja. Di sebelah
sana itu aku akan mencari daun-
-lama Ngong Ma-
Tiang Hin mengangguk. Dalam hatinya ia tersenyum dan terharu waktu gadis itu
menyebutnya Ngong Ma-ko (kakak Ngong Ma) tentu gadis itu tahu kesopanan dan tata
susila sehingga ia memanggilnya Ngong Ma-ko.
Sebetulnya bagi Tiang Hin tak perlu mencari daun-daun obat, cukup baginya hanya
mengurut dan menyalurkan hawa sin-kang untuk merapatkan tulang-tulang yang patah
dan remuk. Akan tetapi karena ia sengaja hendak menyembunyikan kepandaian, dan
agar tidak menimbulkan rasa curiga di hati gadis ini, ia lalu sengaja mencari daun obat.
Dan mengambilnya sembarangan daun yang kemudian ditumbuk dengan sedikit
air dan dibuburi di tempat luka si gadis. Dan kemudian mengurutnya perlahan-lahan.
Tentu saja diam-diam ia mengerahkan hawa sakti di tangannya menekan tulang
dan dengan mempergunakan hawa sin-kang sehingga tulang-tulang yang patah itu
dapat bersambung kembali seperti sedia kala, akan tetapi untuk ini tentu saja memakan
waktu beberapa hari lamanya.
Baru setelah tangan Tiang Hin mengurut-urut perlahan dan kemudian dibuburi oleh
daun-daun dan akar-akar yang tadi sudah ditumbuk halus-halus, terasa kini lengan
yang terluka itu tidak lagi menderita rasa sakit yang hebat. Diam-diam Lily menjadi
heran dan memandang kagum ke arah tangan yang cekatan mengurut lengannya ini.
Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa pada saat tangan Tiang Hin mengurut,
pemuda ini mengerahkan tenaga sin-kang dan menyalurkan tenaga mujijat ini ke dalam
darah untuk menghentikan peredaran darah ke arah lengan itu.
Akan tetapi. tiba-tiba Lily berseru heran dan berkata:
tetapi kalau kelak tulang-tulangmu bersambung kembali kau akan dapat menggerakkan
-
-apa kau sudah berkuatir. Apa kau tidak percaya kepadaku?
. kau istirahatlah di rumah, kujamin
Tiang Hi
Tiang Hin melirik ke arah pedang yang tergantung di punggung si gadis. Wajahnya
bersinar cerah.
m
-ko. Aku hanya orang biasa saja dan hanya
Sebaliknya, Lily juga mengalami hal yang selama hidupnya belum pernah ia alami.
Sekalipun dalam mimpi belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang kelihatannya
sederhana dan bodoh ini, akan tetapi yang membuat heran, ia sudah percaya seratus
persen bahwa luka lengannya ini segera sembuh oleh Ngong Lam-nya yang pinter
mengurus ini!
Ada dua jam mereka di dalam hutan itu, tiba-tiba Tiang Hin berkata:
na, kalau kau hendak sembuh benar-benar lukamu itu, sebaiknya kau istirahatlah
di dusun sebelah sana itu. Aku kenal baik dengan kepala kampung dan ia tentu akan
-ko, aku akan bermalam di sini saja dan besok pagi-pagi aku
pura-pura bodoh dan mengarang cerita yang sebenarnya ia sendiri juga nggak tahu
tentang suasana Istana Hantu. Hanya sebisa-bisanya ia berkata dan memberi
keterangan kepada gadis ini.
Lily tersenyum girang dan memegang tangan Tiang Hin.
berangkat. Eh, Ngong Lam-ko tahukah kau, bahwa ibuku tertawan oleh orang-orang
Istana Hantu.
-orang jahat
yang berkepandaian tinggi. Besok aku cepat-
Tiang Hin memperlihatkan muka kaget.
dikit
Ditarik begini Tiang Hin menjadi geli hatinya. Ia betul-betul seperti kerbau yang
ditarik hidungnya. Maka dengan riang ia mengikuti gadis itu berjalan.
Entah mengapa hatinya menjadi girang bukan main berkenalan dengan gadis yang
hebat ini. Sering-sering kali dadanya berdebar-debar tak keruan rasa. Waktu tangan
gadis itu memegang telapak tangannya, terasa kedua tangan itu menggigil dan
berkeringat.
Mereka berjalan pelan-pelan keluar hutan kecil ini mencari rumah penginapan di
sebuah dusun yang terdapat di luar hutan ini.
Ketika mereka sampai di dusun itu, hari telah menjadi gelap. Di atas langit biru
berkelip bintang kecil bermain mata.
Langit biru begitu cerah, secerah hati kedua orang muda yang berjalan memasuki
dusun itu. Hati itu, satu sama lain saling mengajuk. Tak ada perkataan yang
terungkapkan, akan tetapi pandangan mata mereka, seringkali berbicara lembut.
Dan apabila sudah begitu selalu Tiang Hin lah yang terlebih dahulu tertunduk dan
tak kuasa menentang tatapan si gadis yang luar biasa tajam dan lembutnya ini!
Apabila pemuda itu tertunduk, maka tersenyumlah gadis ini dalam hatinya berbisik:
Ngong Ma!
ooOOoo
Sebagaimana telah dituturkan di dalam cerita Pendekar Lengan Buntung, Song Cie
Lay, murid Swie It Tianglo yang kemudian pernah belajar ilmu silat tinggi dari seorang
pertapa sakti dari Hong-san.
Akhirnya pada peperangan di lembah Tai-hang-san itu ia tertawan oleh tentara
Mongol dan kemudian dibawanya ke Mongolia.
Masih untung bagi Cie Lay yang bernasib baik ini akhirnya ia tidak mengalami
aniaya. Dan di negeri Mongolia ia dibebaskan dari segala tuduhan-tuduhan
pemberontak.
Malahan raja mongol sendiri merasa tertarik sekali melihat ilmu pedang pemuda
perkasa ini. Maka atas kebijaksanaan Temu Chin, perdana Menteri Mongolia yang gagah
perkasa itu akhirnya Cie Lay diangkat sebagai perwira tingkat tinggi dalam barisan
Istana Mongolia.
Sebetulnya Cie Lay hendak menolak anugerah ini. Akan tetapi ia yang cerdik
mengambil kesempatan ini untuk melangsungkan hidupnya di Mongolia, ditengah-
tengah bangsa Mongol.
Dan akhirnya berkenalan dengan puteri seorang Mongol yang cantik jelita, mirip
dengan bekas kekasihnya Lim Sian Hwa. Wanita Mongol keturunan Han ini bernama
Han Lian Hwa, gadis cantik yang mempunyai persamaan yang hampir mirip dengan
Lim Sian Hwa yang telah meninggal di lembah Tai-hang-san.
Oleh sebab itulah akhirnya Cie Lay mengambil keputusan untuk tetap tinggal di
Mongolia dan hidup bersama isterinya yang tercinta.
Pada waktu itu, adalah jaman keemasan bagi bangsa Mongol. Kemudian atas
pimpinan Temu Chin, Mongolia ini berkembang dan terkenal di seluruh dunia.
Dan dalam waktu yang singkat saja, kerajaan Mongol ini sudah menaklukkan
beberapa negara kecil termasuk pedalaman Tiongkok yang bernama Kerajaan Cin.
Dengan berdirinya Kerajaan Cin ini, akhirnya Cie Lay yang dipercayai oleh Temu Chin
dikirim kepedalaman Kotaraja Tiongkok dan di sana ia sekeluarga hidup sebagai
Jenderal Song yang terkenal itu.
Berkat kepandaiannya yang tinggi ini, akhirnya dalam waktu yang singkat di Istana
Kotaraja itu ia terkenal dengan sebutan Jenderal Song yang paling disegani dan
dihormati.
Hasil dari perkawinannya dengan Han Lian Hwa, Cie Lay mempuayai seorang puteri
yang cantik jelita bernama Song Cu Ling. Akan tetapi setelah gadis ini menanjak dewasa
dan berusia sudah mencapai tujuhbelas tahun, Cie Lay akhirnya mengirimkan surat
kepada Temu Chin di Mongolia untuk mengundurkan diri dari urusan politik karena
mengingat usia tua!!!
Alasan ini diterima baik oleh Raja Mongol. Dan untuk jasa-jasa Cie Lay, ia
dianugerahkan sebuah perumahan yang sangat lux dan indah sekali di pegunungan
Lu-liang-san.
Tentu saja hadiah ini membuat pembesar lainnya di kota raja menjadi iri dan tak
senang, maka dengan diam-diam banyak menteri dan pembesar-pembesar mulai
menaruh sentimen kepada Jenderal Song ini.
Malahan kaisar sendiri mulai berlaku terhasut oleh omongan-omongan yang tidak-
tidak dari para pembesar-pembesarnya.
Dan diam-diam pembesar di kotaraja ini menaruh rasa penasaran dan tak senang.
Di puncak Lu-liang-san inilah Cie Lay mendirikan sebuah partai persilatan yang
cukup kuat, bernama Lu-liang-pay. Tentu saja berkat pimpinan Cie Lay yang sakti ini,
sehingga dalam waktu yang amat singkat partai persilatan ini mulai terkenal dan
mempunyai murid lebih dari seratus orang.
Memang cita-cita Cie Lay untuk mendirikan partai ini adalah untuk meneruskan
cita-cita mendiang gurunya yang telah gagal memimpin Tiang-pek-pay.
Ia sengaja dengan diam-diam mendirikan partai ini untuk mempertunjukkan kepada
dunia, terutama kepada saudara seperguruannya, Sung Tiang Le, bahwa iapun sanggup
mendirikan partai ini dan malah lebih hebat dari partai-partai besar lainnya, seperti
Kun-lun-pay, Tiang-pek-pay, Hoa-san-pay, dan lain-lain, karena hanya partai Lu-liang-
san dalam pimpinan Song Cie Lay inilah yang satu-satunya partai persilatan yang
mendapat sambutan hangat dari Raja Mongol.
Malah Temu Chin sendiri menjadi penasehat dan pelindung berdirinya partai ini!
Tentu saja kejadian ini sangat menggemparkan dunia persilatan.
Bukan saja Lu-liang-pay ini adalah satu-satunya partai yang paling terbesar dan
terkuat dijaman itu juga dalam usaha meluaskan perkembangannya ini. Diam-diam Cie
Lay bercita-cita untuk mendirikan partainya lebih tinggi dengan partai-partai besar
lainnya dan menaklukan sekalian orang gagah di dunia kang-ouw ini.
Kemudian apabila partai sudah kuat, ia akan menghancurkan kotaraja yang
berkeadaan buruk dan lemah pada masa itu!
Bukan saja Cie Lay mempunyai kepandaian tinggi dan hebat bukan main dengan
ilmu silatnya yang bernama Hong-san-cap-ji-liong-sin-kun-hoat (duabelas pukulan naga
sakti dari gunung Hong-san). Sehingga dengan ilmu silat tinggi ini, banyak sudah Cie
Lay menarik orang-orang gagah dan menaklukkannya menjadi para sekutunya,
malahan ada pula yang masuk jadi anggota Lu-liang-pay.
Tentu saja Cie Lay yang cerdik ini dengan kekuasaan uang yang berlimpah-limpah
dari Temu Chin yang menjaminnya, dapat menaklukkan banyak tokoh-tokoh hitam
seperti Nakayarinta, Bu-tek Sianli, Te Thian Lomo, Thay-lek-hui-mo, Kwan-tiong Tok-ong
sekeluarga, Bong Kek Cu dan banyak lagi tokoh-tokoh dunia persilatan.
Dan dari tokoh-tokoh yang mempunyai kepandaian selangit ini, Cie Lay membuat
sebuah terowongan dan Istana di bawah tanah di bukit Lu-liang-san, di hutan kecil itu.
Terkenal dengan sebutan Istana Hantu.
Dan ia mengangkat anaknya Song Cu Ling yang cantik jelita ini menjadi Thay-
bengcu yang amat disegani oleh para sekutunya. Malah boleh dibilang Thay-bengcu ini
menjadi raja kecil di istana itu.
Tentu saja Cie Lay yang cerdik dan bercita-cita besar untuk menaklukkan seluruh
orang gagah ini tidak lupa pula mendidik Cu Ling sejak di Mongol dengan ilmu silat
tinggi.
Setelah seluruh kepandaiannya diturunkan kepada puterinya ini, ia memanggil
mahaguru-mahaguru untuk mengajar Cu Ling. Di samping itu pula, Cu Ling yang sejak
kecil senang sekali berpakaian pria, mendapat didikan pula keperwiraan dari Temu Chin
sendiri.
Akan tetapi Cie Lay masih belum puas dengan pengaruh kekuasaannya yang dekat
dengan Temu Chin. Akhirnya Cie Lay berhasil mengambil sebuah buku kuno di Istana
Mongolia dan membawa kitab itu dan diberikan kepada puterinya.
Dari kitab yang sudah tak bernama inilah akhirnya Cu Ling menjadi seorang gadis
yang benar-benar paling tinggi ilmu silatnya, sehingga dalam beberapa jurus saja gadis
ini dapat mengatasi Nakayarinta, Thay-lek-hui-mo dan lain-lain.
Sebab itulah Cu Ling yang berjuluk Thay-bengcu itu sangat disegani dan ditakuti
oleh para sekutunya. Sehingga sebentar saja berkat kekuasaan uang Cie Lay telah
Mereka ini berjalan teratur sekali. Temu Khan menunggang kuda di depan dikawal
oleh dua pengawalnya Na Khardu dan Seng Lay Kok mendampingi Hay Sun Nio.
Pada waktu itu mereka sudah tiba di kaki bukit Lu-liang-san, nampak dari sini
gedung berdiri megah di puncak sana. Itulah Lu-liang-pay.
Temu Khan tersenyum bangga mendongak ke atas.
Seorang Mongol yang tinggi besar akan tetapi kurus, dengan jenggot pendek,
mendahului kawan-kawannya untuk menyusul Temu Khan.
-kawan sudah lelah sekali, bagaimana kalau kita
-
kawan kita yang
-liang-san, perjalanan
-temanmu dan
Dan yang seorang lagi, adalah gadis remaja berusia tujuhbelas tahun, lincah dan
manis. Pada wajah yang jelita itu terbayang kejenakaan dan kegembiraan hidup.
Sepasang matanya laksana bintang pagi yang berseri-seri. Mulutnya kecil bagus
terhias oleh sepasang bibir yang indah dalam senyum-senyum simpul.
Di atas bibir sebelah kiri itu terdapat sebuah tahi lalat kecil hitam, membuat gadis
ini bertambah manis dan jelita.
Pemuda itu bukan lain adalah Nguyen Hoat dan gadis jelita bertahi lalat hitam itu
adalah Sung Hong Kwi. Bagaimana Hong Kwi dan Nguyen Hoat berada di tempat ini
dan dikeroyok oleh orang-orang Mongol anak buah Temu Khan yang hendak ke Lu-
liang-pay itu?
Untuk mengetahui semua ini, baiklah kita mundur dulu dan mengikuti perjalanan
kedua orang muda ini!
ooOOoo
Seperti telah dituturkan di bagian depan, betapa Nguyen Hoat bertemu dengan Hong
Kwi dan berkenalan di hutan itu.
Memang luar biasa sekali pemuda ini, bukan saja Nguyen Hoat ini lihai ilmu silatnya
sehagai murid Bu Beng Siangjin, akan tetapi juga mempunyai pikiran yang cerdik dan
bercita-cita besar!
Dan hal yang sudah menjadi dasar dari pemuda ini betapa ia amat pandai
membawa diri dan tahu menyesuaikan diri sehingga dalam perjalanan dengan puteri
Pendekar Lengan Buntung ini, ia sangat disenangi oleh Hong Kwi. Ia cukup sopan dan
halus tutur katanya.
Dan lagi mempunyai pengalaman-pengalaman yang cukup luas, sehingga berjalan
dengan pemuda ini sungguh sangat menyenangkan hati Hong Kwi. Hubungan dengan
pemuda itu bertambah semakin intim dan akrab!
Pada suatu hari Nguyen Hoat dan Hong Kwi memasuki Kotaraja. Baik Nguyen Hoat
maupun Hong Kwi sangat tertarik sekali oleh gedung-gedung yang bertingkat tinggi
dan hiasan-hiasan yang terdapat di dinding kota orang-orang yang berlalu lintas
banyak sekali dan jalan-jalan penuh dengan berbagai macam suku bangsa yang
membuka barang dagangan di pinggir-pinggir jalan.
Memang kedua orang muda ini baru kali ini ia melihat Kotaraja yang terkenal itu.
Hong Kwi sengaja mengajak Nguyen Hoat memasuki sebuah restoran yang cukup besar
dan paling terkenal. Ke situlah ia mengajak pemuda ini untuk bersantap pagi.
Begitu mereka masuk ke sebuah restoran Hay-lam, mereka disambut oleh seorang
Pelayan itu mengantarkan Nguyen Hoat dan Hong Kwi ke bangku yang kosong di
sudut kiri dekat jendela. Hong Kwi mengambil tempat duduk dan membaca daftar
makanan yang tertulis rapih di atas sebuah dinding. Lama ia mencari-cari makanan
yang dianggap enak, kemudian ia memesan,
-
Hong Kwi menoleh.
-
-
Hong Kwi tersenyum.
Bau masakan dari ruang dalam sangat menyengat hidungnya sehingga membuat
perut Hong Kwi bertambah keroncongan dan buru-buru ia memanggil pelayan untuk
dibuatkan secepatnya.
Tidak lama kemudian, masakan yang dipesan sudah terhidang di meja. Sambil
memain-mainkan hidungnya mencium bau yang sedap itu, Hong Kwi mempersilahkan
kepada Nguyen Hoat.
untuk bayar ma
-ha-ha! Kau sih curang Hong Kwi-moay, duitku juga tinggal dua tail lagi. Wah
berabe kalau besok kau minta dicukongin ke tempat restoran yang mahal-mahal,
celaka! Bisa-
Masak sekarang kau sudah bokek lagi. Bukankah baru tiga hari yang lalu kita boleh
-
-lui dan bo-lui itu urusan nanti saja,
yang terpenting sekarang kita harus isi
Hong Kwi tak menyahut, ia menyambar sumpit dan menggosokkan dengan kertas
lap kemudian sambil melirik ke arah pemuda di depannya itu. Ia mulai sikat masakan
cah udang dan babi sek-ba panggang dengan lahapnya. Waktu diliriknya pemuda
temannya ini Nguyen Hoat makan dengan pelan-pelan dan tenang!
Pada saat itu, tiba-tiba dari depan mendatangi lima orang tamu dengan langkah
lebar. Belum lagi mengambil tempat duduk, orang itu sudah berteriak,
-ma, keluarkan ciu yang paling baik dan kacang tung-
Keruan saja melihat datangnya ke lima tamu ini pelayan-pelayan di situ menjadi
kaget dan menampakkan wajah yang takut dan jeri.
Cepat-cepat dua orang pelayan mengeluarkan ciu yang paling terbaik dan kacang
tung-kwang, sikap pelayan-pelayan ini nampak hormat sekali dan membungkuk-
bungkukkan badannya.
golok besar, pakaiannya seperti seorang jago silat dan sebatang golok digantungkan di
dinding belakang mejanya.
Berusia sekitar limapuluh tahun, di pinggangnya terdapat sabuk sutera hitam. Dua
orang lainnya yang duduk di depannya itu mempunyai wajah yang aneh dan
menyeramkan.
Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul tapi berpakaian mewah
terbuat dari sutera. Tubuhnya gemuk pendek dan mukanya selalu tersenyum mengejek.
Dan yang satunya lagi seorang pengemis berpakaian dekil dan compang-camping,
rambutnya riap-riapan menutupi muka.
Setelah mereka makan minum dan nampak di meja itu tiga botol ciu sudah habis
ditenggak oleh setan-setan arak ini, tiba-tiba orang yang tinggi besar bersenjata golok
itu berteriak keras memanggil si pelayan.
g, minuman ini.. . . masukan ke dalam rekeningku. Habis bulan baru bicarakan
Akan tetapi si pelayan tidak lagi menyahut. Ia buru-buru masuk ke dalam. Ketika
dilihatnya majikannya mendelik kepadanya dan menegur,
-hatilah, kalau kedengaran sama orang-orang Bong
Hong Kwi melirik kemudian menarik tangan temannya dan keluar dari rumah
makan itu.
di luar Kotaraja.
-moay, aku juga curiga kepada orang-
-nam tentu mengambil
jalan arah selatan. Kita harus basmi kunyuk-
Kwi sambil meloncat jauh dan berlari cepat mempergunakan gin-
Akan tetapi alangkah herannya ke dua orang muda ini, karena begitu berlari lebih
tiga lie, dilihatnya di sebelah depan terjadi pertempuran yang hebat. Cepat Hong Kwi
mencelat dan sekali loncatan saja ia sudah tiba di tempat pertempuran itu.
Dilihatnya dua orang setengah tua dikeroyok oleh lima orang yang tadi dilihatnya
di rumah makan. Akan tetapi sungguh diluar dugaannya, karena dua orang ini nampak
lihai sekali permainan pedangnya.
Laki-laki setengah tua itu, biarpun nampak seperti orang lemah dan berpakaian
sastrawan, namun permainan pedangnya sangat hebat dan ganas. Tubuhnya lincah
sekali berkelebat laksana garuda terbang menyambar mangsanya.
Sedangkan perempuan yang menggendong anak kecil itu, juga lihai sekali.
Permainan pedangnya juga hebat.
Wanita setengah tua ini cantik sekali, menggendong seorang anak perempuan yang
masih kecil dipoodongannya. Nampak anak kecil itu menjerit-jerit dalam pondongan
ibunya,
Anak kecil itu menangis menutupi matanya. Tubuhnya yang kecil tergoncang oleh
gerakan.. . . dari ibunya yang mencelat ke sana ke sini menghindari datangnya serangan
senjata-senjata lawan yang lihai ini.
Ibu itu dikeroyok oleh seorang hwesio dan si pengemis muka bopeng. Biarpun dua
orang lawannya ini nampaknya hebat dan sangat ganas, namun dengan lincahnya
wanita setengah tua ini dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan senjata
lawan.
-bangsat ini. Kau diam jangan
-
-
-orang ini dan hwesio sesat ini. Kau
berpegangan keras-k
dimiringkan ke kiri.
Dan pada waktu sodokan toya lewat di sampingnya, tapi tangan kiri wanita tua itu
dengan amat cepatnya berkelebat dan langsung menyodok perut si hwesio gemuk
pendek itu se
pendek itu meringis-ringis menahan mules pada perutnya.
Pada saat itulah saputangan menyambar di muka ibu itu, cepat ibu itu mengelak
ke kiri dan kanan tetapi tiba-tiba ia merasakan kepalanya pening bukan main. Ternyata
dari sambaran sapu tangan merah itu berhamburan bubuk merah yang memabokkan.
Pada saat itulah si pengemis muka bopeng Peng Kim Jiu tertawa bergelak-gelak
dan tangan kirinya diputar-putar siap hendak melancarkan serangan maut ke arah si
wanita tua yang terhuyung-huyung ke belakang.
-
Akan setapi siapa sangka justru di tengah perjalanannya ini, tiba-tiba dihadang oleh
lima orang antek-antek Lu-liang-pay yang hendak menawannya untuk ikut ke Istana
Hantu.
Sudah barang tentu, Biauw Eng dan Hok Sun menolak sekali dan terjadilah
pertempuran yang seru.
Hok Sun menjadi kaget bukan main begitu ia merasakan datangnya serangan ini.
Ternyata ke lima orang ini sungguh lihay dan berkepandaian yang tinggi pula.
Apa lagi setelah ia merasakan datangnya serangan pukulan-pukulan dari orang
tinggi kurus yang berpakaian hitam ini, membuat gerakannya agak mundur dan terjepit
hebat.
Siapakah orang tinggi kurus bersorban itu? Tentu saja Hok Sun tidak tahu bahwa
lawannya ini adalah Hay-tok Lhama, pendeta dari Tibet murid Ciu Cin Hoatsu.
Serangan-serangan angin pukulan Hay-tok Lhama memang lihay sekali, penuh
lwekang yang tinggi dan kuat.
Namun demikian Hok Sun bukanlah disebut Hui-eng Lim Hok Sun kalau menghadapi
serangan-serangan ini ia harus mudah menyerah. Sesuai dengan julukannya si Garuda
Terbang, tubuh Hok Sun berkelebat ringan dan permainan pedangnya amat hebat
sehingga tidak mudah bagi Hay-tok Lhama untuk mengalahkan lawannya ini.
Melihat Hay-tok Lhama belum juga merobohkan si garuda terbang, dua orang
temannya yang berpakaian hitam pula menerjang maju!
Mereka itu adalah si Golok Sakti Lo Sin Tat dan seorang lagi disebut si Gagak Maut,
permainan sepasang siang-keknya sangat lihay dan cepat sekali gerakannya.
Munculnya dua orang ini, Hui-eng Lim Hok Sun harus benar-benar mempergunakan
gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan maut di tangan Go Beng
Tat si Gagak Maut dan samberan-samberan dahsyat dari golok Lo Sin Tat.
Akan tetapi, biar bagaimanapun cepatnya Hok Sun mengelak dari tiga sambaran
yang sekali gus ini, namun sebuah pukulan dahsyat dari Hay-tok Lhama menggegar di
lambungnya.
Hok Sun menjerit ngeri dan terlempar.
Mendengar jeritan suaminya ini, Biauw Eng menoleh, akan tetapi alangkah kagetnya
ia begitu melihat tubuhnya Hay-tok Lhama berkelebat cepat dan dengan suatu gerakan
yang luar biasa cepatnya, sepasang lengan pendeta dari Tibet itu sudah bergerak cepat
menghantam kepala Hok Sun yang sudah tidak keburu lagi menangkis.
pedangnya menggunakan jurus maut Setan Iblis Pengacau Daratan, dan pedang di
tangan Biauw Eng berdesing keras dibarengi suara menjerit kuat mengerahkan khi-
kang tinggi dan dengan menggeretakkan gigi Biauw Eng menubruk maju.
dan membabat sepasang cagak yang bergerak menusuk dari samping kanan dan kiri.
Go Beng Tat terkejut bukan main merasa tangannya nyeri akibat tangkisan pedang
di tangan pemuda tampan ini.
Namun saking marahnya ia menggunakan kaki kanannya dengan jurus menendang
bertubi-tubi.
Akan tetapi ia sekarang menghadapi Nguyen Hoat, pemuda gemblengan pertapa
sakti Bu Beng Sianjin dari puncak Harimau di pegunungan Thang-la maka dalam
beberapa jurus saja pemuda itu bergebrak, Go Sin Tat memekik keras dan melemparkan
cagaknya merasa lengannya sakit bukan main terserempet pedang di tangan pemuda
itu.
Belum lagi hilang kagetnya, tiba-tiba sebuah dorongan tangan kiri pemuda itu
bergebrak ke depan dan tahu-tahu bagaikan layangan putus tubuh Go Beng Tat dan Lo
Sin Tat telah terpental ke belakang tak dapat bangun lagi karena sepasang tulang kering
di kakinya telah terkena tendangan yang kuat dari kaki pemuda itu.
Tulang kering itu remuk dan sukar untuk berdiri lagi.
Melihat datangnya pemuda yang luar biasa ini Hay Tok Lhama menjadi kaget
setengah mati. Apalagi melihat bahwa temannya si pengemis muka hitam Peng Kim
Jiu telah terluka pula oleh gebrakan Hong Kwi. Keruan saja pertapa ini meloncat pergi
dan lari diikuti oleh teman-temannya yang lari terpincang-pincang.
Hong Kwi mendekati nyonya itu dan memegang pundak nyonya yang sedang
menangis itu,
-liang-
-liang-san. Partai ini adalah sokongan Temu Chin
keparat yang mendukung berdirinya Lu-liang-
Hong Kwi menoleh kepada Nguyen Hoat dan menarik lengan pemuda itu.
Jilid 12
ALIAN siapa, hendak berbuat apa mendaki Lu-liang-pay, ada kartu tanda
pengen
dimengerti oleh Hong Kwi dan Nguyen Hoat.
-liang-pay atau kemana saja, apa urusannya denganmu?
g Kwi
ketus dan bertolak pinggang dengan senyum mengejek.
Melibat sikap gadis ini yang kurang sopan dan memanaskan hati, orang Mongol itu
membentak keras:
-liang-pay milik orang-orang
-liang-pay. Hayo
Mendengar ini keruan saja Nguyen Hoat tertawa keras. Suaranya bergelombang
panjang pendek dan mengeluarkan gema, karena sengaja pemuda ini mengerahkan
khi-kang yang dikirim melalui suara.
Pemuda ini tertawa geli melihat orang tua bangsa Han ini menyebut dirinya bangsa
Mongol. Sungguh lucu sekali. Bunglon dan ular berkepala dua! Maka dalam sengitnya ia
tertawa dan berkata menyindir,
-ha-ha beginikah orang Mongol yang terkenal itu hendak menghasut kami
masuk sekutu, persetan! Kami tidak sudi, kedatangan kami adalah hendak
mengganyang kalian-
dengan serbuan senjata menyambar Nguyen Hoat dan Hong Kwi. Namun begitu tubuh
dua orang muda ini berkelebat tahu-tahu tiga orang Mongol terguling roboh dengan
lengan terluka pedang.
Tentu saja melihat sepak terjang ke dua orang muda yang lihai ini, para orang-
orang Mongol menjadi kaget dan heran. Akan tetapi sungguh hebat sekali orang-orang
Mongol ini, biarpun banyak sudah yang berjatuhan namun mereka ini masih terus
mengurung rapat!
Memang sejak dahulu, bangsa Mongol ini terkenal sekali dengan rasa setia kawan
sehingga semboyan bagi mereka adalah patah tumbuh hilang berganti. Sebab itulah
suku bangsa Mongol yang kecil ini berkembang dan mengalami kemajuan pesat!
Hong Kwi tidak mau sembarangan membunuh, hanya dengan kebutan-kebutan
tangan kirinya yang lihay itu saja ia melempar dan mendorong-dorong sehingga
banyak orang Mongol terpental oleh pukulannya dan tak dapat bangun lagi karena
tulang pundak dan kaki patah terserempet angin pukulan yang dahsyat itu.
Lain lagi dangan Nguyen Hoat, pemuda ini benar-benar telengas dan
memperlihatkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat dan darah muncrat apabila
pedang itu menemui sasaran, beberapa orang roboh seketika dengan tubuh mandi
darah.
Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan. Bentakan yang keras dan berpengaruh
menggema di lereng bukit. Hebat serangan bentakan ini, membuat semua senjata
tertahan dan terhenti bagai ditahan oleh tenaga yang amat dahsyat!
Orang Mongol yang mendengar suara ini segera menjatuhkan diri dan berlutut.
Seorang pemuda gagah, tinggi tegap berdiri di atas sebuah batu besar dengan
pandangan yang tajam menatap Hong Kwi dan Nguyen Hoat. Tiba-tiba ia tersenyum
dan mengangkat tangan memberi hormat:
Mendengar ini, keruan saja Nguyen Hoat menjadi melengak dan Hong Kwi merasa
tak enak hati melihat kebaikan pemuda ini yang kelihatannya sangat berpengaruh
sekali dan ditakuti oleh orang-orang Mongol.
Untuk kedua kali Hong Kwi dan Nguyen Hoat melengak. Tidak tahunya yang di
depannya itu adalah Temu Khan yang sering ia dengar sebagai putera pemimpin
Mongol. Sungguh tak disangka.
Mendengar perintah ini, keruan saja para orang-orang Mongol ini sibuk sekali dan
buru-buru mengangkat mayat dan membersihkan tempat itu. Kemudian barisan itu
bergerak lagi ke Lu-liang-pay.
Nguyen Hoat berjalan di samping Temu Khan, dikawal oleh puluhan serdadu Mongol.
Tidak
Di sepanjang perjalanan itu Temu Khan bertanya sambil melirik ke arah Hong Kwi.
bernama Nguyen Hoat dari puncak Thang-la guruku adalah Bu-beng Sianjin dan ini
Mendengar ini sepasang mata dari Temu Khan itu menjadi terbelalak dan pada
wajahnya menampakkan kegirangan hati, wajahnya berseri-seri:
eri locianpwe Sung Tiang Le yang kesohor itu, senang
Temu Khan hanya tersenyum dan mereka terus mendaki Lu-liang-pay. Salah
seorang perwira Mongol dengan menunggang kuda sudah menuju duluan membawa
surat Temu Khan untuk Pay-cu Lu-liang-pay minta dijemput. Tentu saja sampai di pintu
gerbang Lu-liang-pay ini, mereka disambut luar biasa oleh orang-orang Lu-liang-pay.
Di sini Temu Khan menyaksikan gedung-gedung indah dan megah persembahan
dari ayahnya kepada bekas Jenderal Song yang dikenalnya baik itu.
Di sepanjang jalan memasuki Lu-liang-pay, barisan ini dikawal oleh orang-orang Lu-
liang-pay dan baru pada pintu gerbang kedua mereka disambut oleh serombongan
gadis-gadis cantik yang mengantarkannya di ruang dalam.
Pay-cu Lu-liang-pay yang bernama Song Cie Lay duduk dengan angkernya di kursi
kebesaran. Begitu melihat rombongan dari Mongol ini, dia berdiri dan mengangkat
tangan menjura,
-liang-
Dua orang penyambut mempersilahkan Temu Khan duduk di hadapan Song Cie Lay,
sedangkan Nguyen Hoat dan Hong Kwi diperkenalkan oleh putera Mongol ini.
y-cu, dua orang muda ini adalah murid Bu-beng Sianjin dan puteri Sung Tiang
Song Cie Lay menengok dan senyuman menghias bibirnya dan menatap tajam ke
arah Hong Kwi.
Melihat sikap ketua yang begini angkuh dan kelihatannya amat sombong, rasa
simpati Hong Kwi menurun. Ia hanya mengangguk dan tidak menyahut.
-pek-san dulu, akan tetapi sekarang
sudah lama aku tak pernah bertemu dengannya, kabarnya ilmu silatnya luar biasa.
Akan tetapi belum tentu di bawah puteriku, ha-ha-
Temu Khan tertawa pula menimpali.
-bengcu? O ya
Pay- ata Temu Khan memberikan
sepucuk surat dan mengeluarkan hadiah-hadiah lainnya yang dibawa oleh salah
seorang Mongol ke muka Song Cie Lay.
-oleh dari Mongol, Pay-
sendiri menyerahkan surat bersampul merah itu kepada Pay-cu Lu-liang-pay.
Sambil membaca surat itu, Song Cie Lay tertawa bergelak-gelak.
Melihat cara orang tua ini yang kelihatannya sombong bukan main, Hong Kwi
mengerutkan kening menandakan hati tak senang akan tetapi ia diam saja dan
didengarnya pay-cu itu berkata kepada Temu Khan,
-ha Khan muda, ayahmu memandang ringan terlalu. Nanti sampaikan pesanku
bahwa Siauw-lim-pay, Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Tiang-pek-pay masih membandel
dan tidak mau bersekutu dengan kita. Akan tetapi jangan kuatir, mereka itu sudah
-
-baik saja. Kini sedang berada di Istana Hantu. Kabarnya seorang wanita
yang lengannya buntung sedang dalam tawanannya karena memberontak.
Berseri wajah Temu Khan mendengar ini. Betapapun, apabila Lu-liang-pay ini bisa
menjagoi dunia persilatan, bukankah nama ayahnya di Mongol akan turut harum, karena
atas dukungannya ini?
Hong Kwi menjadi amat terheran-heran mendengar omongan pay-cu yang
kelihatannya miring otak ini. Masakan partai ini hendak menaklukan Siauw-lim-pay
yang sudah berdiri ratusan tahun lamanya. Lebih gila lagi ayahnya hendak ditaklukkan
pula.
-
liang-pay ini, kita mendapat kedudukan yang cukup dan senang, apalagi partai ini
Hong Kwi menjadi mendongkol sekali dan membantingkan pintu sambil katanya
ketus,
-orang sombong itu. Sudah, Nguyen toako,
besok pagi-pagi kita harus pergi dari sini, kalau memang kerasan tinggal, kau tinggallah,
-
-
Nguyen Hoat berdiri di depan pintu yang sudah tertutup itu, hatinya bagaikan teriris-
iris rasanya mendengar perkataan gadis tadi. Baru sekarang selama ia bergaul dengan
Hong Kwi mendengarkan omongan yang ketus dari gadis itu, Diam-diam hati Nguyen
Hoat tidak enak sekali.
Kalau besok ia ikut Hong Kwi turun gunung, bagaimana ini? Kesempatan yang baik
akan terlepas dari tangannya. Akan tetapi, rasanya berat ia meninggalkan gadis itu.
Entah mengapa hatinya terisi oleh wajah puteri Pendekar Lengan Buntung. Nguyen
Hoat benar-benar sudah jatuh di tangan Hong Kwi. Hmm, dalam berjalan itu, Nguyen
Hoat melamun menuju ke kamarnya.
Tiba-tiba seorang anggota Lu-liang-pay menghampiri dan berkata sambil
menyodorkan sepucuk surat,
-cu mengharapkan kedatangan anda sekarang juga di ruang
Nguyen Hoat menerima surat itu dan sambil tersenyum ramah ia mengucapkan
terima kasih kepada pesuruh itu dan cepat-cepat ia menuju ke ruang dalam di tempat
Song Cie Lay.
Ia membuka pintu.
Ternyata Song Pay-cu telah menantinya di situ seorang diri. Sambil memberi
hormat Nguyen Hoat berkata,
-
u kagum
sekali kepadamu, terlebih lagi kau mempunyai kepandaian tinggi. Justru itu yang
menyenangkan hatiku ha-ha-ha-
-
diri.
Melihat pemuda yang tahu kesopanan ini, Song Pay-cu bertambah senang hatinya,
menuangkan arak ke sebuah cawan sambil tertawa-tawa menyodorkan cawan itu
kepada Nguyen Hoat.
Nguyen Hoat menerima cawan arak itu, akan tetapi alangkah kagetnya dia ketika
merasa sebuah angin menyambar ke arah dadanya. Cepat ia mengangkat tangannya
seperti orang menjura di depan dada mengerahkan tenaga lwekang menolak angin
pukulan yang dahsyat itu.
Nampak tubuh Nguyen Hoat seperti orang menggigil kedinginan akan tetapi tiba-
tiba cawan yang dipegang pay-cu itu terlontar ke atas dan berhenti di udara. Nguyen
Hoat membuka mulutnya dan menerima air arak yang tumpah dari cawan yang
terguling di udara.
Kemudian tangan kirinya terangkat menyambut cawan yang terjatuh. Meletakkan
cawan yang sudah kosong itu di meja dan berkata kepada Pay-
-
Nguyen Hoat tertunduk malu.
Tiba-tiba pandangan Song Cie Lay menatap pemuda ini tajam dan tersenyum:
Dltanya seperti ini Nguyen Hoat terkejut dan menerima pandangan yang tajam dari
Song Cie Lay, namun begitu cepat-cepat Nguyen Hoat menyahut.
sahabat saja dengan Hong Kwi, oh, kenapakah Pay-cu menanya
Nguyen Hoat memandang heran. Akan tetapi tiba-tiba ia menerima suara yang
sangat halus sekali. Waktu ia melihat bibir Song Pay-cu bergerak-gerak.
menjadi istrimu, tentu kau akan menjadi menantu Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang
Le.
-ha-
Nguyen Hoat terhuyung mundur seakan-akan perkataan tadi bagaikan mimpi
didengarnya. Ia berjodoh dengan Hong Kwi? Menjadi menantu Pendekar Lengan
Buntung, alangkah indahnya kenyataan itu. Dengan muka sebentar pucat sebentar
merah, Nguyen Hoat tertawa.
Ciu sudah tiga cawan ditenggaknya.
Song Cie Lay menepuk-nepuk pundak pemuda itu!
ooOOoo
Gedung besar dan mewah itu merupakan pusat kegiatan dari Lu-liang-pay, terletak
di sebelah tenggara dari komplek perumahan Lu-liang-pay di puncak pegunungan Lu-
liang-san yang tinggi dan megah. Di depan gedung itu terdapat taman bunga teratai.
Memang indah sekali gedung itu dan di atas pintu gerbang terdapat papan nama
dengan tulisan yang besar dan indah,
-liang-
Di dalam gedung. yang besar dan mewah itu telah berkumpul banyak sekali orang.
Mereka itu adalah para tokoh-tokoh Lu-liang-pay yang tengah menyambut tamu agung
dari Mongolia. Yakni pangeran Temu Khan, putera Raja Mongol yang bernama Temu
Chin!
Suara tertawa mereka terdengar sampai keluar gedung ini, semua orang duduk di
meja bundar menghadapi hidangan yang lezat dan bau arak wangi berhamburan di
ruang itu.
Nguyen Hoat nampak ganteng sekali dengan pakaian sutera merah didampingi oleh
Sung Hong Kwi yang kelihatannya kurang gembira dan sejak tadi diam saja. Ia
sebetulnya hendak berangkat meninggalkan puncak ini, namun Nguyen Hoat
menahannya untuk tinggal barang semalaman lagi.
Maka terpaksa Hong Kwi membatalkan niatnya dan pada malam itu dengan rasa
berat hati ia menerima juga tawaran undangan dari Song Pay-cu dalam penyambutan
pestanya untuk putera raja Mongol yang terhormat ini. Maka ia pun pada malam itu
terpaksa menemani temannya Nguyen Hoat menghadiri pesta itu!
Temu Khan nampak gagah sekali, sikapnya agung dan keren. Pakaiannya yang ber
warna biru muda terbuat dari sutera halus menampakkan kewibawaan yang menonjol.
Ia didampingi oleh Na Khardu dan Seng Lay Kok yang duduk dengan gagahnya
pula. Sementara tentara-tentara Mongol berpesta pora pula di meja lain di ruang
belakang.
Song Pay-cu tertawa terbahak-bahak sambil menenggak araknya seperti orang
yang sudah mabok, akan tetapi matanya melirik tajam ke arah Hong Kwi dan berkali-
kali menawar makanan dan minuman dengan ramah!
- -
masakan yang sengaja kupanggil tukang-tukang masak dari dapur kaisar, ha-ha-
Nguyen Hoat melirik ke arah temannya ini. Dan dengan isyarat matanya supaya
gadis itu tidak menolak perjamuan ini.
Karena tidak enak hati, akhirnya Hong Kwi menerima juga arak yang disorok di
sodorkan oleh Nguyen Hoat. Ia menenggak sedikit, terasa harum dan menyegarkan!
Dengan senyumnya Nguyen Hoat menyatakan terima kasih kepada gadis itu. Dan
memandang ke samping begitu dilihatnya rombongan orang mendatangi ke tempat itu.
Salah seorang dari anggota Lu-liang-pay tingkat tiga datang menghadap, lalu
-cu ya, lapor Thay-bengcu dari Istana Hantu
Belum lagi habis orang itu berkata, rombongan orang yang terdiri dari lima orang
kakek ini telah memasuki ruangan dengan didahului oleh langkah-langkah tegap dari
seorang pemuda tampan yang berpakaian indah dan mentereng memakai topi
kebesaran seperti kaisar.
Jadi inikah Thay-bengcu yang sering didengarnya? pikir Hong Kwi dan ketika
bengcu itu berlalu didekatnya, pemuda itu tersenyum mengejek sambil melirik berkata:
-ya, benar dia inilah Sung Hong Kwi, puteri pendekar Lengan Buntung dan
temannya Nguyen Hoat murid Bu-beng Sianjin dari Thang-la. Dua orang muda ini
mempunyai kepandaian ya
Thay-bengcu menatap tajam dan ia tersenyum memperlihatkan sederetan gigi
yang putih bersih teratur.
Menerima senyum ini berdebar dada Nguyen Hoat, senyum itu alangkah manisnya.
Seperti senyum wanita! Dan Hong Kwi menjadi kagum bukan main. Inikah Thay-bengcu
yang kesohor itu?
Tiba-tiba sang pay-cu berdiri dan mengangkat tangan,
-saudara yang datang jauh-
jauh dari Mongolia. Dan pada kesempatan ini, kami menyampaikan rasa terima kasih
dan persahabatan yang erat kepada Temu Chin lewat puteranya yang gagah yang
bernama Temu Khan.
-saudara dari Mongol, hubungan Lu-liang-pay
dan Mongolia bertambah erat dan berkembang terus. Mari kuperkenalkan dulu dengan
tokoh-tokoh Lu-liang-
Pay-cu ini menunjuk ke arah tokoh-tokoh yang duduk di situ dan memperkenalkan
seorang demi seorang.
Setelah acara perkenalan itu selesai, lalu Pay-cu ini memperkenalkan Nakayarinta,
Kwan-tiong Tok-ong, Te Thian Lomo, Tay-lek-hui-mo dan Bu-tek Sianli. Yang tadi
mengiringi Thay-bengcu dari istana hantu!
Mendengar bahwa orang-orang ini bukanlah orang sembarangan, Nguyen Hoat
merasa gembira dapat berkenalan dengan mereka, akan tetapi Hong Kwi terbelalak
terkejut.
Ia pernah mendengar dari ayahnya Bu-tek Sianli dan Nakayarinta yang jahat dan
keji. Celaka, tidak tahunya di sini ini bermunculan tokoh-tokoh hitam yang
berkepandaian tinggi.
Diam-diam Hong Kwi sudah tidak kerasan lagi di tempat ini. Ia jarang sekali bicara.
Hanya sebagai pelepas waktunya sebentar-sebentar saking isengnya berkali-kali
menenggak arak menahan guncangan hatinya yang tidak enak saat itu. Apalagi
pandangan pemuda yang berjuluk Thay-bengcu itu selalu terhias dengan senyum
mengejek yang membakar hatinya!
-ji, bagaimana dengan Istana Hantu? Kudengar seorang wanita telah masuk ke
-cu.
Pemuda tampan itu tersenyum mengejek dan mengedikkan kepalanya seperti
ayam jago hendak berkelahi,
siapa, aku tidak tahu. Wanita itu lihai sekali, berlengan buntung! Besok pagi
sek
Akan tetapi Pay-cu Lu-liang-pay ini tidak menyahut dan menengok ke arah Hong
Kwi. Ia tersenyum begitu dilihatnya Hong Kwi sudah mabok tertidur di meja di samping
Nguyen Hoat.
Kemudian dengan tertawa ramah Song Pay-cu memerintahkan anak buahnya
untuk mengantarkan Nguyen Hoat ke kamar yang terindah, dan memberikan senyum
arti kepada pemuda itu.
Nguyen Hoat memapah tubuh Hong Kwi yang sudah mabok. Ia dibawa masuk ke
ruang dalam yang mempunyai kamar indah dan perabotan yang komplit.
Di kamar itu bau harum menyengat dan sangat merangsang sekali, membuat dada
Nguyen Hoat berdebar-debar keras sekali dalam memondong tubuh Hong Kwi. Ia
meletakkan gadis temannya ini di sebuah pembaringan yang bersih dan bertilamkan
sutera merah jambu.
Akan tetapi, alangkah kagetnya pemuda ini mendengar Hong Kwi dalam ngigaunya
itu menyebutkan nama seorang pemuda. Pemuda yang pernah dikenalnya waktu
pertama kali bertemu dengan Hong Kwi ini, Wang Ie? Mengapa Hong Kwi menyebut-
nyebut nama Wang Ie?
Untuk beberapa lama Nguyen Hoat memandang tubuh Hong Kwi yang telentang
dalam keadaan tak sadarkan diri dan mengoceh menyebut-nyebut nama Wang Ie.
Entah perasaan apa yang menghinggapi dirinya, Nguyen Hoat menghampiri Hong
Kwi dan mengelus pipi gadis itu dengan sentuhan mesra. Akan tetapi, perasaannya tak
enak bukan main begitu gadis itu menyebut nama Wang Ie dengan panggilan mesra,
dengan mesra.
Tiba-tiba Hong Kwi membuka mata dan pandangan itu bersinar aneh.
-
melanjutkan kata-katanya ketika tiba-tiba saja Hong Kwi menubruknya dan mencium
dengan gairah.
Tentu saja mendapat sambutan ini, hendak meledak rasanya dada pemuda itu. Ia
memang sudah lama mencintai Hong Kwi, akan tetapi.. . . aduhai!
Baru kali ini ia menciumnya! Alangkah sedapnya, alangkah begitu menggairahkan!
Hawa dan bau harum di dalam kamar itu membuat Nguyen Hoat seakan-akan
masuk ke dalam dunia luar yang serba indah dan romantis. Harum hio wangi yang
begitu merangsang membuat keduanya terlupa.
Mereka telah masuk ke dalam keinginan hati untuk saling menjamah, saling
menumpahkan perasaan hati yang berdentum-dentum di dalam dada itu!
Tak sadar Hong Kwi kalau pada saat itu tangan Nguyen Hoat yang kuat telah
menghempas tubuhnya yang polos ke dunia yang hitam dan gelap, dunia yang begitu
menakutkan dan seakan-akan gadis itu hilang pegangan. Menyebut-nyebut nama ayah
-akan tak sanggup ia menghadapi kegelapan yang aneh ini.
Ia tak sadar, ia telah menjerit lirih tatkala permata itu telah terlepas dari
pegangannya dan direnggut hancur oleh keperkasaan seorang pemuda bernama
Nguyen Hoat.
Terbosai ia, terlena dalam keletihan yang amat sangat. Ia bermimpi, alangkah
indahnya!
ooOOoo
Apabila mimpi berakhir, bagaikan disengat ular berbisa Hong Kwi mencelat dari
pembaringan sehingga mengejutkan Nguyen Hoat yang rupanya masih tertidur dan ia
meloncat pula. Ia hendak bertanya sesuatu kepada gadis itu, akan tetapi alangkah
kagetnya hatinya ketika tiba-tiba Hong Kwi telah mencelat dan mengirim serangan
yang amat dahsyat dibarengi dengan pekikan gadis itu yang bergema seakan-akan
hendak meruntuhkan langit-langit gedung.
-hoa-cat hina.. . Aku harus menebus penghinaan ini.
-pik-kun-hoat yang luar
biasa lihainya.
Saking cepatnya pukulan ini tak kuasa lagi Nguyen Hoat untuk menghindarkan diri,
maka terpaksa ia mengerahkan hawa sin-kang di tubuhnya dan mengangkat tangan
dengan gerakan seperti orang gugup,
-
menghentikan kata-katanya begitu sebuah pukulan tangan kiri Hong Kwi bersarang
dilehernya.
Kata-kata Hong Kwi ini bergema menggetarkan dinding dan air matanya menetes
turun. Ia tertawa bergelak-gelak dalam deraian air mata.
Bayang-bayang impian semalam bagaikan kematian yang menjemputnya. Sangat
menyeramkan dan gelap.
rsih dari hati pemuda jahanam ini.
aduuuh!
Berkata demikian Hong Kwi tertunduk dan memandang Nguyen Hoat yang telah
diam tak bergerak. Hong Kwi meragu. Matikah pemuda itu?
Tiba-tiba ia menoleh dan pintu kamar terbuka. Dua orang kakek Lu-liang-pay masuk
sambil membentak,
Tiba-tiba tangan kiri Hong Kwi menggelegak menghantam ke arah orang-orang ini.
Keruan saja bagai dicekek setan, dua orang ini diam dengan mata mendelik. Ternyata
pukulan jarak jauh Hong Kwi dalam segebrakan itu sudah memutuskan jantungnya.
t-
berkata demikian karena mengira Nguyen Hoat sudah mati. Gadis ini berkelebat dan
berlari ke arah gedung Lu-liang-pay.
Hebat sekali sepak terjang gadis ini. Begitu bertemu dengan manusia-manusia di
tempat itu tanpa banyak cakap tangan kirinya bergerak dan menyebar kematian tanpa
pilih kasih.
Tentu saja kejadian ini menggemparkan, dan salah seorang anggota Lu-liang-pay
cepat-cepat berlari ke gedung Song Pay-cu dan melapor.
Tentu saja Song Pay-cu menjadi kaget dan heran melihat anak buahnya datang
menghadap dengan tubuh menggigil dan muka pucat. Sampai berdiri, Song Pay-cu
bertanya dengan suara keren,
-san! Ada apa kau pagi-
-cu, hamba melapor karena puteri Pendekar Lengan buntung
mengamuk hebat. Teman-
Mendengar ini Song Cie Lay mengerutkan alisnya dan dengan isyarat tangan ia
menyuruh orang yang melapor itu untuk pergi. Ia sendiri sambil menyambar
pedangnya yang di dinding telah mencelat keluar dengan pedang telanjang.
Ketika tiba di luar gedung, alangkah herannya terkejut ketika melihat gadis puteri
Pendekar Lengan Buntung ini benar-benar mengamuk dan sedang dikeroyok oleh
orang-orang Mongol yang sudah menyerbu ke tempat itu. Dan di sana sini dilihatnya
tergeletak banyak anak buahnya yang telah tewas.
-orangmu. kini
Pedang gadis itu ditusukkan ke depan. Dan seperti tadi, entah mengapa orang she
Song yang gagah perkasa ini tidak menangkis dan membiarkan untuk yang kedua kali
dada kanannya tertembus pedang.
Terdengar suara keluhan dari Cie Lay yang telah menubruk gadis itu dan berkata
gagap dan pelan,
bertempur, cepatlah kau pergi jangan menunjukkan dirimu
sebagai Thay-
-ji, ayahlah yang salah. Thian menghukum kita.. . . Kau lekaslah pergi, larikan diri
jangan sampai kau tertangkap dengan para ciang-bun-
Pada saat itulah sebuah benda dingin menyambar di belakangnya, cepat Cu Ling
menggerakkan tangan mengibas ke belakang dan terdengar seruan kaget dari Lily,
karena tangannya yang memegang pedang kesemutan disampok oleh gadis itu!
Cu Ling memondong tubuh ayahnya.
Akan tetapi Lily tak memberi ampun, menggerakkan pedang Toat-beng-kiamnya
menerjang gadis itu! Hebat sekali gadis ini, sangat cepat dan cekatan sekali seakan-
akan terlebih dahulu gadis itu sudah tahu arah tujuan pedangnya, dengan mudah saja
serangan pedangnya sudah dapat dihindarkan.
Rasa penasaran ini membuat Lily menjadi marah dan ia mainkan ilmu silat Pek-
hwa-kiam-sut yang dipelajari dari ibunya mendesak gadis ini. Tentu saja Cu Ling
menjadi terkejut dan karena ruangan di situ tidak lebar maka ia meletakkan jenazah
ayahnya dan dengan sengit ia balas menerjang gadis itu.
Hebat sekali pertempuran di ruangan kamar yang berukuran empat persegi itu. Ke
dua orang gadis ini ternyata sama-sama lihai, akan tetapi agaknya gadis yang bernama
Song Cu Ling ini sungguh luar biasa.
Begitu ia mengeluarkan jurus-jurus aneh dan cepat, tahu-tahu Lily kehilangan
lawannya dan ia mulai terdesak oleh gadis yang bagaikan setan ini. Gin-kang Cu Ling
ternyata lebih hebat dan lincah! Terpaksa Lily mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk bertahan dari serangan pedang gadis ini.
ooOOoo
Bagaimana tahu-tahu Lily sudah berada di tempat itu dan mengamuk hebat. dan
banyak para orang gagah telah mengurung Istana Hantu itu.
Untuk mengetahui itu, baiklah kita mundur sebentar dan seperti kita ketahui Sung
Tiang Le berhasil meloloskan diri dari Istana Hantu.
Setelah luka-lukanya sembuh ia langsung menuju ke Kun-lun-pay, Thay-san-pay
dan Go-bi-pay untuk memberi tahukan bahwa penculikan para ciangbunjin adalah
dilakukan oleh orang-orang Istana Hantu, maka tentu saja mendengar ini ketiga partai
besar itu menyerbu ke bukit Lu-liang-san dan mengurung tempat itu.
Akan tetapi alangkah herannya Tiang Le dan Bwe Lan, ketika sampai di tempat itu
ia menemukan jenasah Bwe Hwa yang telah mati tergantung di hutan pada penglari
rumah tua itu!
-
putus.
Dengan tangan kirinya segera ia memeluk Bwe Hwa dan mengguncangkan tubuh
itu, namun Bwe Hwa sudah diam tak bergerak! Nyawanya sudah melayang, sejak dua
jam yang lalu, tubuhnya dingin dan dari muka sampai ke leher bertanda biru yangg
menggurat panjang.
Dengan perlahan Tiang Le meletakkan perempuan malang itu di tanah dan menoleh
kepada Bu Ci Goat tokoh dari Bu-tong-pay dan berkata:
lihatlah contohnya, sumoayku mati oleh kekejian orang-orang Istana
Hantu. Harap cuwi tunggu di sini dan biarlah siauwte menerjang ke dalam, dan tolong
Bu loenghiong merawat jenasah sumoayku ini baik-
sedih.
Namun para pimpinan partai ini tidak mau tinggal dan membiarkan Pendekar
Lengan Buntung menerjang ke dalam maka Hay-kui Thaysu buru-buru berkata:
menembus gedung di bawah tanah itu yang dinamakan Istana Hantu dan aku kira jalan
hanya melalui tempat ini. Maka dari itu biarlah siauwte para pemimpin tiga partai besar
saja yang menyerbu ke dalam. Kalau memang nanti bantuan cuwi diperlukan aku akan
-tiba menunjuk
ke dalam hutan.
Sun Hi bersama istrinya yang gagah perkasa bernama Yap Sian Eng kemudian dituruti
oleh langkah-langkah lebar dari Kun-lun Sam-lo-jin, Bu Ci Goat, dan Giam-ong Ma Ek dari
Thay-san-pay.
Sampai di dalam rumah tua itu, Tiang Le menunjuk kepada orang gagah yang
mengikutnya.
. Terpaksa
koko, terima kasih banyak. Aku telah sembuh kembali sekarang, ya berkat urutan yang
maha mustajab itu. Ngong Ma-
Sambil berkata demikian Lily mengangkat jempolnya dan tersenyum manis dalam
pelukan pemuda yang bernama Ngong Ma itu.
Dipeluk seperti itu keruan saja Tiang Hin merasakan dadanya berdebar aneh sampai
sesak napasnya. Gadis ini ternyata polos dan tidak malu-malu lagi.
Untung waktu Lily memeluknya dan menciumi bibirnya tadi, mereka tengah berada
dalam sebuah hutan kecil yang tidak dilihat orang namun begitu wajah Tiang Hin
sebentar pucat sebentar merah.
Entah perasaan apa yang menggerakkan dia untuk mengangkat dagu, gadis itu dan
mengangkatnya lagi. Lalu tertunduk dan mengecup bibir yang indah merekah itu.
Lama Tiang Hin berbuat begini, perasaan hatinya membuncah-buncah bukan main
riangnya. Seakan-akan pada saat itu ia kepingin menari saking girangnya.
Akan tetapi, tiba-tiba tangan kiri Lily melayang di pipinya,
Pemuda itu mengusap pipinya yang terasa perih dan seperti orang bodoh ia
memandang Lily dengun heran.
-benar Ngong
bibirnya yang tadi bekas dikecup Tiang Hin.
Bagaikan ditodong oleh pisau yang amat tajam, pemuda ini terhuyung mundur dan
mukanya merah sampai ke telinga. Sekali ia meraba pipinya yang masih bertanda
merah itu,
-
Tiang Hin menarik tangan itu. Dan seperti tadi dalam dadanya berkecamuk
perasaan aneh yang ia sendiri tak mengerti, mengapa ia mempunyai perasaan aneh
ini. Rasanya baru kali ini perasaan itu menghinggap di hatinya. Dan terlebih lagi tak
mengerti waktu gadis itu tiba-tiba berkata,
ih, kau telah
menyembuhkanku. Budi baikmu takkan kulupakan.
oleh orang-orang Istana Hantu. Sekiranya aku berhasil menolong ibu aku akan
mencarimu lagi. Nah, selamat berpisah koko,
Tiang Hin hendak membuka mulut, akan tetapi tahu-tahu gadis itu telah mencelat
jauh dan sekali berkelebat, bayangan gadis itu sudah tak nampak lagi dari
pandangannya. Sebetulnya Tiang Hin hendak mengejar, akan tetapi teringat bahwa ia
kini tengah menyembunyikan keadaan dirinya maka dengan langkah lemas ia
mengikuti bayangan gadis itu.
Ia berlari cepat pula. Entah mengapa dalam perjalanannya itu wajah Lily selalu
membayang di matanya. Senyum gadis itu, alangkah indahnya.
Begitu menggairahkan hidupnya. Dan mata gadis itu, aduhai bagaikan ada magnit
yang berkuasa untuk menariknya.
Menyesal ia mengapa tadi dia melepaskan kepergian gadis itu, mengapa ia tidak
buru-
Namun kata-kata itu tak terucapkan. Ia hanya berdiri bengong waktu bayangan
gadis itu lenyap dihadapannya.
Hanya untuk beberapa lama ia merenungi perkataan gadis tadi. Lily memanggilnya
koko (kanda) alangkah mesranya sebutan itu, bagaikan nyanyian abadi yang begitu
merdu, merdu mengusap hatinya.
Sepanjang jalan itu Tiang Hin hilang kegembiraan. Ia banyak sekali melamun.
Tiang Hin tersentak kaget. Dan mengelepakkan kepalanya. Gila! Apakah aku sudah
tergila-gila kepada gadis itu, tak boleh ini! Aku tak boleh melamun terus.
Lily sedang menuju ke Istana Hantu, tentu ia dalam bahaya! Mengapa tidak cepat-
cepat mengejarnya dan membantunya?
Berpikir demikian bagaikan diingatkan sesuatu Tiang Hin cepat mengelebatkan
tubuhnya berlari menggunakan gin-kangnya mengejar gadis yang bernama Lily, gadis
yang sudah menambat hatinya!
Sementara itu, bagaikan bayangan iblis tubuh Lily berkelebat cepat menuju bukit
Lu-liang-san. Ia sengaja berlari cepat agar segera sampai di Istana Hantu.
Mudah saja bagi Lily menuju ke Lu-liang-san karena puncak gunung yang tinggi itu
dari sini sudah kelihatan menjulang tinggi. Dengan girang sekali Lily berlari cepat
menuju ke sana. Namun, biarpun ia sudah berlari cepat tetap saja ia harus menempuh
perjalanannya hampir setengah hari lamanya!
Dalam berlarinya itu, hati Lily teringat selalu kepada pemuda yang bernama Ngong
Ma. Timbul penyesalan di dalam hatinya kini!
Mengapa ia harus tinggalkan Ngong Ma dan membiarkan pemuda itu berdiri
Rombongan burung gagak beterbangan di atas rumah yang bertingkat dua itu. Bau
mayat menusuk ke hidung Lily, sesosok tubuh tergantung!
Berdesir dada Lily, mayat siapa itu?
Perasaan tak enak membuat dia mempercepat langkah kakinya. Tiba-tiba sampai
di halaman rumah tua itu, Lily terbelalak lebar dan menjerit,
Cepat gadis itu telah mencelat ke atas dan merenggut tali penggantung pada leher
ibunya. Ternyata yang tergantung itu adalah tubuh Bwe Hwa!
Inilah hebat sekali, kedua kaki Lily menggigil menurunkan tubuh ibunya dan
menotok leher ibunya yang sudah membiru itu! Air mata Lily berderai jatuh menimpa
pipi ibunya.
-guncangkan ibunya.
Ibu itu membuka mata, akan tetapi tatapan mata Bwe Hwa sudah menyuram sayu.
Lama ia memandang anaknya tiba-tiba bibir Bwe Hwa bergerak-gerak hendak
mengatakan sesuatu!
Melihat ini, cepat Lily mendekatkan telinganya ke mulut ibunya,
Suara tangis gadis itu tiba-tiba disambut oleh suara tertawa seperti iblis. Dibarengi
dengan berkelebat banyak bayangan keluar dari rumah tua itu.
Ternyata yang telah berdiri di situ adalah Nakayarinta, Bu-tek Sianli dan beberapa
tokoh-tokoh Istana Hantu.
-ha-
-ha-
menggeletar meruntuhkan daun-daun di atas pohon itu.
-ha-ha, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung bocah gila. Apakah kau
-tek Sianli tersenyum mengejek.
-beng-kiam di tangan Lily berkelebat
cepat.
Hebat sekali gerakan ini. Namun Bu-tek Sianli tentu saja sangat memandang rendah
sekali, maka begitu datangnya serangan pedang si gadis, ia sambil tersenyum mengejek
memapaki dengan sepasang lengannya mengirimkan jurus Sin-kun-bu-tek dengan
maksud sekali mendorong dengan tenaga sin-kang akan membuat gadis itu
terjengkang dan roboh, seperti biasanya bila ia menghadapi lawan yang dianggapnya
tidak tangguh.
Akan tetapi inilah kesalahan Bu-tek Sianli. Mimpipun ia tidak pernah menyangka
bahwa gadis yang dihadapinya ini adalah ahli waris tunggal dari kakek Sin Kun Bu-tek
Lim Heng San bekas kekasihnya itu!
Dan begitu melihat sepasang lengan si nenek bergerak dengan jurus Memukul
Gunung Mengaduk Lautan, tentu saja Lily mengenal baik gerakan ini, maka tanpa
memberi kesempatan lagi pedangnya terayun ke samping sedangkan pukulan Bu-tek
Sianli disambutnya dengan telapak tangan yang terbuka pula sedangkan pedang Toat-
beng-kiam meluncur dengan amat dahsyatnya tak memberi ampun.
Bentak gadis yang bergema memekakkan anak telinga bagi yang mendengar ini
disertai dengan gebrakan tangan kiri yang menggunakan jurus Merogo Jantung,
Menyambar Hati. Inilah jurus maut Sin-kun-bu-tek ciptaan Lim Heng San.
Bu-tek Sianli menggigil dan ia berteriak ngeri mengiringi kematian ketika tangan
gadis itu dengan dahsyatnya amblas masuk ke dalam dada Nenek itu dan sebuah
benda merah tergenggam di tangannya.
Dengan wajah beringas Lily mendongak ke atas:
Segumpal jantung manusia menembus dada si kakek. Dan sambil memekik ngeri
kakek itu roboh dengan tubuh berkelojotan memegangi dada yang tertembus senjata
jantung!
Gegerlah suasana di luar rumah tua itu. Lily mengamuk hebat. Pedang di tangannya
ini ternyata betul-betul pedang ampuh yang luar biasa ganasnya.
Pantas saja disebut Pedang Penyabut Nyawa, karena ditangan Lily benar-benar
pedang itu berubah bagaikan malaikat yang haus darah mencabuti nyawa manusia.
-
Bentakan Nakayarinta itu membuat tiga orang berbaju hitam mencelat mundur dan
lari masuk ke dalam Istana!
-orang Istana Ha
membentak dengan mengirimkan tusukan pedang yang luar biasa lihaynya.
Tentu saja Nakayarinta yang telah menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis ini
menjadi terheran-heran, dan beberapa kali bibirnya hendak bertanya. Akan tetapi
menghadapi gerakan-gerakan yang luar biasa ganasnya ini saking penasaran pertapa
dari Anapura itu membentak.
-ha-ha kebetulan sekali! Pek Moko itu adalah musuh besarku yang telah
membunuh seorang muridku, maka kau harus berlutut kepadaku meminta ampun, hayo
-kang tingkat tinggi,
sehingga ke dua kaki Lily terasa mau lumpuh dan hampir saja ia menjatuhkan diri
berlutut.
Namun gadis yang keras hati dan pantang menyerah ini, mengempos hawa murni
dan membentak,
Dengan wajah sengit sekali gadis Lily ini mainkan ilmu pedang Pek-hwa-kiam-sut
yang ganas ini, sedangkan dengan tangan kirinya ia melanjutkan pukulan-pukulan maut
yang luar biasa lihaynya!
Tentu saja setelah bergebrak mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh,
Nakayarinta hampir tak kuat melayani gadis ini, diam-diam ia mengeluh.
Dan merah mukanya saking malu, kalau ia sampai kalah oleh gadis ini betapa akan
memalukan saja, maka cepat-cepat ia merubah gerakan tongkatnya dan mainkan ilmu
tongkat siluman puncak Himalaya.
Jarang sekali kakek ini memainkan ilmu ini, karena bukan saja gerakan-gerakan
tongkat Nakayarinta kuat dan ganas. Namun sekarang ia mainkan tongkatnya dengan
mulut kemak-kemik seperti orang membaca doa, akan tetapi sungguh hebat sekali.
Tiba-tiba Lily merasakan dalam pandangan Nakayarinta telah menjelma menjadi
sepuluh orang. Dan puluhan tongkat mengurung dirinya dengan ketat, tentu saja didesak
begitu Lily menjadi terkejut dan terheran-heran.
Gerakannya mulai kacau karena ia tidak tahu lagi yang manakah asli lawannya
yang muka hitam ini. Ia bagaikan dikeroyok sepuluh orang muka hitam.
Benar-benar luar biasa sekali.
Dalam detik-detik selanjutnya kakek muka hitam Nakayarinta sudah mulai
mendesak gadis lawannya ini. Berkali-kali dari mulut kakek itu keluar bentakan-
bentakan yang membuat ke dua kaki Lily menggigil karenanya dan hendak berlutut.
Namun hanya kekerasan dan keuletan inilah yang menolongnya sehingga ia tidak
terpengaruh benar oleh hoat-sut dari kakek itu.
Namun begitu masih terpengaruh oleh pandangan matanya melihat kakek muka
hitam telah berubah menjadi sepuluh orang dan tongkat ular cobra di tangan kakek itu
bergulung-gulung dahsyat mendesaknya. Merupakan tangan-tangan maut yang setiap
waktu dapat mencabut nyawa lawan.
Sementara itu dari dalam rumah tua itu berkelebat banyak bayangan dan tiga orang
kakek telah berdiri di dekat pertempuran yang berjalan dengan seru-serunya. Yang
baru datang itu Kwan-tiong Tok-ong, Sian Jiu Nio-nio dan Thay-lek Hui-mo.
Mereka ini kaget sekali melihat seorang gadis bertempur dengan Nakayarinta.
Sedangkan terlebih lagi mereka melihat tubuh Bu-tek Sianli menggeletak di situ dalam
keadaan tubuh tak berryawa lagi.
Tidak jauh dari situ menggeletak mayat Bwe Hwa, segera Kwan-tiong Tok-ong
menyuruh orang-orangnya untuk menggantung itu di atas penglari di depan rumah
tua! Akan tetapi baru saja orang itu menggantungkan tubuh Bwe Hwa, sebuah bayangan
berkelebat cepat dan tahu-tahu orang itu memekik ngeri karena pedang di tangan Lily
sudah menabas lehernya.
Lily hendak mencelat ke atas tiang penglari mengambil jenasah ibunya yang
digantung, pada saat itu Kwan-tiong Tok-ong dan Sian Jiu Nio-nio sudah menggerakkan
senjata masing-masing menerjang gadis yang perkasa itu.
Sepasang tangan Kwan-tiong Tok-ong berdesir menyambar leher lawannya dengan
gerakan mencengkeram sedangkan Sian Jiu Nio-nio sudah menggerakkan rambut
menyabet ke arah gadis, dibarengi kemudian oleh bayangan Nakayarinta yang telah
mencelat menerjang dengan pukulan tongkat mautnya!
Menghadapi tiga serangan sekaligus itu, Lily menjadi sibuk. Dengan gerakan ringan
tubuhnya sudah melayang tinggi ke atas menghindarkan sabetan rambut Sian Jiu Nio-
nio sedangkan sambaran sepasang tangan dari Kwan-tiong Tok-ong dibarengi dengan
kilasan pedang membuat gerakan membabat.
Sementara pukulan tongkat Nakayarinta ia barengi dengan pukulan telapak tangan
kiri menggunakan jurus Kwi-eng-cu-hoat (Pukulan Bayangan Iblis) yang luar biasa itu!
Dengan gerakan yang cepat sekali bagaikan bayangan iblis, tubuhnya miring
sehingga ujung tongkat ular cobra itu meleset dari dadanya. Tangan kiri memukul
pangkal lengan yang memegang tongkat, tangan kanan menggunakan jurus Pek-hwa-
kiam-sut yang terlihai menyabet ke bawah mengarah pusar lawan!
Melihat gerakan yang sekali gus dapat mematahkan serangannya, Nakayarinta
kaget setengah mati. Gerakan yang dilakukan oleh Lily adalah gerakan ilmu silat tinggi
dan tidak disangkanya sama sekali gadis ini demikian lihai.
Akan tetapi tentu saja dengan munculnya kawan-kawannya yang memang sudah
turun membantunya tadi, yakni Kwan-tiong Tok-ong dan Sean-jiu Nio-nio, kakek muka
hitam ini tidak ingin memperlihatkan sikap takut di depan mereka. Maka menghadapi
serangan ini ia masih dapat tersenyum mengejek dan mengelak dari pukulan tangan
kiri lawan ke arah lengan kanannya yang memegang tongkat.
Sementara serangan pedang ke arah pusarnya hanya dielakkan ke kiri dengan
menggeser bhesinya.
pedang di tangan Lily dengan jitunya telah merobek paha kakek muka hitam itu.
pahanya mengucur darah dengan derasnya membasahi celananya yang hitam. Terasa
sakit dan lumpuh.
Segera ia merogo sakunya dan menyambitkan beberapa hek-to-ciam ke arah
lawannya yang sudah menerjang dengan jeritan sengit ini. Akan tetapi sambil
Heran sekali, suara pemuda itu terdengar merdu dan bersih. Dalam herkata tadi
sebuah senyum mengejek menghias bibirnya memperlihatkan kilatan gigi yang putih
dan teratur.
Kagum sekali hati Lily, melihat ketampanan pemuda ini. Akan tetapi melihat pemuda
itu berada ditengah-tengah orang-orang Istana Hantu, hatinya menjadi panas dan
menudingkan pedangnya ke depan sambil membentak keren.
Bunga api berpijar oleh sebab bertemunya senjata-senjata mereka, tiga buah
pukulan kakek itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Lily. Kemudian gadis itu
berpok-say turun di dekat Thay-bengcu mengirimkan serangan pedang yang dahsyat,
namun pada saat itu Kwan-tiong Tok-ong sudah menggerakkan senjatanya mencakar
pundak Lily!
Merasakan hawa busuk dan amis menyambar di belakangnya, cepat laksana kilat
Lily mengelak ke kiri. Akan tetapi siapa kira bahwa pada saat itu tangan kiri Thay-
bengcu melancarkan serangan tin-san-kang dengan tubuh agak dijongkokkan dan
tangan terbuka.
Lily kaget bukan main, merasakan segumpalan hawa dingin menyambar di
sampingnya. Cepat ia mengibaskan lengan bajunya dengan maksud menampar angin
pukulan itu.
Akan tetapi siapa sangka justru gerakkan yang lembut ini laksana es menimpa
lambungnya. Karena tak keburu lagi menangkis atau mengelak, cepat ia mengerahkan
hawa sin-kang di bagian samping menggunakan sikut mengibas ke samping.
Jilid 13
ADA saat itu entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang pemuda tampan
sederhana telah berlari-lari dan tepat sekali menyambut tubuh Lily yang
hampir mendekati Kwan-tiong Tok-ong yang siap melancarkan pukulan.
-
tubuh Lily.
Lily tersadar akan tetapi ia berteri
datang-datang hendak mencabut nyawanya, tentu saja segera Tiang Hin memusatkan
hawa sin-kang yang ke bagian punggung!
Dan mengembalikan serangan lawan, hingga saking cepatnya gerakan ini Thay-
bengcu sendiri tidak melihat berapa cakar setan itu telah membalik dan menyerang
leher Kwan-tiong Tok-ong!
Senjata makan tuan itu, sangat tidak terduga-duga datangnya membuat sekalian
yang hadir di tempat itu menjadi terkejut dan terheran-heran!
Pada saat itu Kwan-kong Beng mendengar jeritan ayahnya telah mencelat keluar
dan dilihatnya ayahnya telah mati dengan seluruh muka hitam. Tahulah ia bahwa
ayahnya ini terserang racun hek-tok yang jahat dari senjata ayah sendiri.
Maka dengan mengeluarkan seruan keras Kong Beng menoleh ke arah Tiang Hin
dan tanpa banyak cakap lagi tiba-tiba ia menjerit keras menerjang Tiang Hin!
Tentu saja Lily yang mengira Tiang Hin tidak mempunyai kepandaian apa-apa,
segera maju menangkis pukulan bocah gundul ini.
Namun, begitu segebrakan ia menangkis lengan Kong Beng, tiba-tiba dirasakannya
kepala Lily berputar dan terhuyung-huyung mundur.
Ternyata ia masih terpengaruh oleh sebab pukulan-pukulan Thay-bengcu dan
Nakayarinta tadi.
Kong Beng yang sudah marah menerkam gadis yang tengah terhuyung-huyung itu.
Namun sebuah lengan telah mendahuluinya menggunakan serangan mendorong
sehingga Kong Beng cepat menggunakan kedua tangannya mendorong pula.
Tubuh Kong Beng terpental ke belakang. Ia menjadi terkejut bukan main merasakan
hawa panas menyelusup ke dalam dadanya, maka saking marahnya Kong Beng
melakukan serangan yang lebih dahsyat pula.
Akan tetapi kali ini Tiang Hin tidak mau lagi bermain-main, maklum ia bahwa di
tempat ini masih banyak lawan-lawan yang tangguh, maka begitu gerakan mencakar
dari Kong Beng menyambar pundaknya. Ia sengaja tidak menangkis, hanya
mengerahkan sin-kang di pundak.
Namun bersamaan dengan gerakan tangan Kong Beng yang telah mampir di
pundaknya, selagi Kong Beng terkejut merasakan betapa pundak pemuda itu tiba-tiba
licin dan kuat laksana baja yang dilumuri minyak. Belum hilang kagetnya itu tiba-tiba
sebuah tangan menyambar cepat.
Keruan saja Kong Beng menjerit ngeri begitu tiba-tiba tubuhnya melayang jauh dan
membentur sebuah batu.
mengerikan dari jeritan kematian Kong Beng bersamaan kepala yang gundul itu hancur
tertimpa batu hitam!
Nakayarinta, Thay-lek Hui-mo dan beberapa kakek Istana Hantu yang berambut
riap-riapan menjadi terkejut dan cepat mengurung pemuda itu.
Tiang Hin memegang baju di pundaknya yang robek-robek tercakar tangan Kong
Beng tadi, kemudian tersenyum kepada Lily yang berdiri bengong.
ngan takut Lily, ada aku di sini. Seorangpun tiada dapat mengganggumu!
Dari balik bajunya ia mengeluarkan sebilah pedang yang tergulung. Inilah pedang
pusaka yang didapat di dasar jurang itu.
Menurut keterangan Neneknya Bong Kwi Nio pedang ini biarpun tipis namun terbuat
dari baja putih yang kuat sekali.
Besi biasa saja akan terbabat putus dengan mudah oleh pedangnya ini. Bong Kwi
Nio memberi nama pedang ini, Mo-bin-sin-kiam (Pedang sakti muka iblis).
Melihat pemuda itu meloloskan pedang yang kelihatannya sederhana akan tetapi
menyeramkan itu, Lily tersenyum kagum dan pandangannya berseri-seri menatap
Tiang Hin,
Ternyata engkau bukan Ngong Ma sembarangan! Koko.. . . . sebetulnya siapakah kau? dan
-
meneruskan kata-katanya karena lima orang kakek rambut riap-riapan telah menerjang
dan seorang di antaranya telah membentak,
berkasih-
kakek tinggi kurus. berambut riap-riapan itu dibarengi dengan lima senjata yang
bergerak sekaligus menyerang Tiang Hin dan Lily.
-
-
menghindarkan serangan kakek bongkok rambut riap-riapan yang memegang tongkat,
dibarengi pula gerakan pedang yang kuat berdesing.
Tentu saja menghadapi serangan ini Lily berlaku cepat, dengan sekali loncatan
tinggi ia sudah dapat menghindarkan serangan dua orang kakek rambut riap-riapan
itu, malah sambil mencelat di udara itu Lily mengirimkan pukulan dan serangan pedang
yang amat dahsyat.
-ha-ha, kau gagah juga nona, akan tetapi terus terang saja kau tidak akan dapat
Lily memekik keras melintangkan pedang di dada. Rasa nyeri di pundaknya segera
didekap oleh tangan kiri dan menotok pundak untuk menghentikan jalannya darah yang
mengucur keluar dari luka itu.
Dengan mulut masih tersenyum mengejek, Thay-bengcu memasang kuda-kuda.
Tubuhnya merendah hampir berjongkok, pedangnya disembunyikan di balik baju
sedangkan lengan kirinya bergerak lambat ke depan dan ke belakang.
Melihat betapa pemuda itu telah menyimpan pedangnya, Lily yang merasa segan
menempur lawan dengan tanpa senjata, segera iapun menyembunyikan pedangnya di
balik lengan kiri.
Begitu didengarnya pekikan dahsyat dari Thay-bengcu yang telah melayang
menyambar dengan tangan diputar-putar, Lily bermaksud hendak mengadu kekuatan
lawan.
Iapun menggerakkan lengannya hendak balas memukul pemuda tampan itu.
Akan tetapi Tiang Hin yang melihat cara Thay-bengcu menggunakan lengan
diputar-putar, mengeluarkan suara keras. Ia maklum sekali akan keselamatan gadis
pujaan hatinya ini bila menangkis sepasang lengan itu, maka sambil membabatkan
Namun Tiang Hin menggelengkan kepala. Mengusap darah yang menodai bibirnya
dan tersenyum pahit.
-moay.. . . hati-hati pemuda
Tiang Hin dalam larinya ke dalam menggenggam tangan gadis itu erat-erat.
it moay-moay.. . . Lihat kau juga terluka, biar kubalut dulu lukamu
berhenti. Dan cepat merobek bajunya sendiri membalut luka di lengan gadis itu.
Lily memandang pemuda itu sayu.
Pada saat itu Lily lelah bukan main. Ia menyenderkan tubuhnya di bahu si pemuda.
Pandangan matanya tiba-tiba menjadi basah.
segala kuatku! Selama hayat masih dikandung badan aku akan melindungimu! Lily.. . .
Tiang Hin memeluk gadis itu. Ia sendiri sudah lelah bukan main, sambil memeluk
gadis itu ia menyenderkan dirinya ke tembok.
Lili tak kuasa untuk menyahut, hanya sebuah anggukkan itu yang memberi
kepastian kepada pemuda itu. Waktu Lily menengadahkan wajahnya, Tiang Hin
menundukkan mukanya.
Mengecup lama-lama.
Aduhai betapa indahnya dunia ini. Segala kelemahan akan berganti dengan tenaga
yang maha mujijat. Itulah cinta.
Cinta membuat mereka terlupa bahwa hidup ke dua orang muda itu berada di
sarang harimau dan di mulut naga, yang siap mengoyak-ngoyakkan tubuhnya. Berpuluh
mata memandang ke arah dua orang muda yang saling berkecupan itu.
Mereka berdua terlupa bahwa pada saat itu berkelebat banyak orang mengurung
tempat itu. Langkah-langkah kaki mereka demikian ringan seperti kucing berjalan.
Pandangan mata mereka berapi-api menatap ke arah dua tubuh yang saling mereguk
dalam kecupan yang menghanyutkan!
Tiang Hin dan Lily tidak sadar bahwa pada saat itu Thay-bengcu sudah memberi
aba-aba kepada orang-orangnya untuk memasang barisan panah, sedangkan puluhan
tokoh dari Lu-liang-pay telah tiba di tempat itu.
Nampak diantaranya seorang pemuda bernama Temu Khan, Na Khardu, Seng Lay
Kok dan Hay Sun Nio telah tiba di tempat itu. Beberapa perwira Mongol telah tiba di
tempat itu.
Akan tetapi mereka ini diam tak bergerak seperti patung memagari tempat itu!
Lily melepaskan pelukan pemuda itu, akan tetapi betapa kaget dan malu mereka ini
tiba-tiba gerakannya itu diiringi oleh suara tertawa mengejek dari Thay-bengcu,
buah Istana Hantu barisan panah terbabat pedang pemuda perkasa itu.
Melihat dua puluh orang sudah menggeletak mandi darah, teman-temannya yang
lain cepat meloncat mundur.
Te Thian Lomo dan Sian Jiu Nio-nio bergebrak maju, dibarengi oleh berkelebatnya
tubuh Nakayarinta, yang telah mengeroyok Tiang Hin.
Menghadapi gelombang serangan yang dahsyat ini, tentu saja Tiang Hin harus
mengeluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan hati-hati dan waspada.
Meskipun demikian, tiga sabetan dari Thay-bengcu telah melukai pundaknya.
Darah merah menodai pundak yang terobek sampai ke lengan baju. Dua pukulan
dari Te Thian Lomo membuat tubuh Tiang Hin terpental menghantam dinding.
Lily cepat berkelebat menghampiri pemuda itu dan menggerakkan pedangnya
merangsek Thay-bengcu yang hendak menerjang Tiang Hin.
Serangan gadis ini, amat dahsyat sekali membuat Thay-bengcu berteriak kaget dan
membuang dirinya ke kiri, namun sebuah serangan pukulan dari tangan kiri Lily
menyerempet ke arah kepala lawannya.
Lily sampai mencelat mundur melihat betapa rambut dari pemuda tampan Thay-
bengcu itu tergerai panjang.
Ternyata Thay-bengcu yang kesohor itu adalah seorang wanita cantik. Dengan
terlepasnya mahkota di atas kepalanya membuka tabir bahwa Thay-bengcu itu adalah
seorang wanita cantik dan berkepandaian tinggi.
Namun Lily yang sudah tidak memberi hati kepada Thay-bengcu ini, merangsek
hebat dengan pedangnya.
Lima orang anak buah Istana Hantu menerjang maju. Lily menggerakkan
pedangnya menangkis, akan tetapi sebuah pukulan dari salah seorang kakek tinggi
besar bersorban membuatnya ia terhuyung-huyung hendak jatuh.
Ternyata yang menyerangnya barusan adalah Na Kardhu orang Mongol yang sudah
ke tempat itu diiringi pula oleh berkelebatnya tubuh Hay Sun Nio dan Seng Lay Kok
yang terus merangsek Lily.
Sun Nio yang kurus kering ini. Ternyata nenek ini ahli tenaga gwakang sehingga
lengannya terpukul mundur.
Untung begitu ia terhuyung-huyung cepat tubuhnya mencelat tinggi karena lima
buah senjata pedang dan golok di tangan kakek baju hitam telah menyambarnya cepat.
Te Thian Lomo mengangkat tangannya, mengirimkan pukulan jarak jauh ke atas waktu
tubuh gadis itu melayang turun.
Namun sungguh luar biasa sekali gin-kang gadis. Biarpun ia tengah berada di udara,
namun berkat gin-kangnya yang tinggi Lily meminjam tenaga lawan dan membalik
memapaki pukulan Te Thian Lomo.
-putar terhantam pukulan Te Thian Lomo. akan
tetapi di lain pihak sebaliknya Te Thian Lomo pun mundur sambil memegangi
lengannya yang seakan-akan seperti dibakar.
Dadanya terasa sakit bukan main, cepat ia meloncat mundur dan berhasil karena
terasa napasnya menjadi sesak.
Nakayarinta dan Sian Jiu Nio-nio bergerak berbareng menyambut turunnya gadis
itu, akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu tubuh
Lily telah berada dalam pondongannya.
Semua mata membelalak melihat seorang lelaki setengah tua dengan gagahnya
berdiri di samping Lily. Akan tetapi begitu melihat lengan laki-laki itu buntung sebelah,
keruan saja orang-orang Istana Hantu ini mundur dengan hati keder. Banyak mulut
berbisik,
Mendengar bisikan-bisikan ini, keruan saja Lily dan Tiang Hin memandang dengan
hati tak keruan rasa. Tiang Hin memandang dengan hati kagum, dan dadanya menahan
keharuan dan iba melihat ayahnya benar-benar lengannya buntung.
Dengan cepat ia berlutut di depan laki-laki itu dan berkata,
Kalau Tiang Le dan Bwe Lan terkejut tak mengerti melihat seorang pemuda
sederhana dan nampak sudah penuh noda pada bajunya adalah Lily ia memandang
kepada laki-laki yang berlutut itu berganti-ganti.
Sebentar ia memandang ke arah Tiang Hin sebentar pula berganti mengawasi Sung
Tiang Le, laki-laki lengan buntung yang telah membuntungi lengan ibunya!
dahsyat.
Akan tetapi dengan mudahnya Tiang Hin mengelak ke kiri dan cepat menubruk
gadis itu.
-moay.. . . kau.. . . jangan serang ayah.. . . Dia itu ayahku moay-moay. Jangan
mempunyai seorang kekasih yang bernama Lie Bwe Hwa, yang kemudian melahirkan
lah
anak-
Lengan Buntung.
Akan tetapi pertanyaannya ini disambut oleh suara tertawa Nakayarinta yang
mengekeh seakan-akan mentertawakan sebuah kejadian yang dianggapnya lucu!
-he-
cukup satu akhirnya beginilah jadinya.. . . he-he-
-ha-ha Tiang Le, kalau dulu kalian boleh jadi dapat lolos dari sini, akan tetapi
sekarang jangan harap. Lihat, seluruh gedung ini sudah terkurung oleh orang-orang
Istana Hantu ha-ha-ha-
buka matamu lebar-lebar! Yang mengurung Istana Hantu ini adalah tiga partai besar
yang siap hendak menghancurkan Istana Hantu, lihatlah baik-baik!
lagi saja, akan tetapi lihatlah limaratus orang gagah siap menanti kalian di hutan sana
ketika bertemu dengan pedang pusaka buntung Tiang Le. Dan dalam kagetnya
Nakayarinta sampai kurang memperhatikan datangnya hawa pukulan dari tangan kiri
Tiang Le yang bergebrak menggunakan gerak tangan kilat!
Tiba-tiba kakek itu berteriak dan terhuyung-huyung mundur sampai tiga tindak,
terkena pukulan tangan kiri Tiang Le pada dadanya. Pucat wajah Nakayarinta.
Tidak hanya tongkatnya telah menjadi buntung. Terutama sekali karena hebatnya
gerak tangan kilat dari Tiang Le yang hawa pukulannya dengan tepat telah mengenai
dadanya.
Baiknya ia adalah seorang yang sudah memiliki hawa sin-kang di tubuhnya
sehingga hawa ini secara otomatis telah dapat menolak pukulan gerak tangan kilat
yang luar biasa dahsyatnya itu.
Namun karena pukulan Tiang Le ini hebat bukan main, tenaga sin-kangnya masih
kalah kuat, membuat kakek muka hitam Nakayarinta terhuyung-huyung dan menderita
luka dalam di dadanya.
Ia merasa dadanya sakit dan napasnya sesak akan tetapi dengan pengerahan
lwekang tingkat tinggi ia dapat mempertahankan dirinya.
Dan berdiri dengan muka pucat dan malu. Dalam segebrakan saja ia sudah terluka.
Sungguh memalukan.
Saking marahnya kakek ini kemudian menyerbu dengan mengeluarkan gerengan
yang dahsyat, dibarengi pula bergeraknya tubuh Sian Jiu Nio-nio dan Tung-hay Nio-nio!
Menghadapi serbuan ini, Tiang Le bergebrak dengan Tok-pik-kun-hoat yang
memang lihay itu.
Ia tidak gentar menghadapi orang-orang ini, namun demikian ia harus berhati-hati,
karena lawan-lawannya ini cukup tangguh dan bukan manusia sembarangan!
Betapapun juga Pendekar Lengan Buntung ini patut dikagumi. biarpun hanya
bersilat dengan sebelah tangan, yaitu tangan kiri yang memegang pedang.
Namun ia masih berhasil mempertahankau diri sampai puluhan jurus biarpun
dikeroyok oleh tiga orang yang berkepandaian tinggi ini.
Pada saat itu, Tiang Hin sudah lelah bukan main. Bukan saja ia harus mengerahkan
tenaga yang kuat dalam pertempuran barusan juga luka di pundak dan lengannya
banyak sekali mengucurkan darah.
Ditambah lagi melihat Lily yang sudah tidak kelihatan di situ, maka pada pukulan
Hay Sun Nio yang terakhir, ia tak dapat mengelak lagi. Punggungnya yang sudah terluka
itu tersambar pukulan yang kuat dari nenek itu.
Gugur lagi bendungan air mata Lily. Benarkah kata-kata kakeknya itu bahwa Sung
Tiang Le adalah ayahnya, tapi mengapa ibunya hendak menuntut kebuntungan
lengannya?
Apa ayahnya telah membuntungi lengan ibunya?
Mengapa pula ayahnya berlengan buntung siapakah yang membuntungi?
Pusing Lily memikirkan ini. Terlebih lagi begitu melihat pemuda yang bernama Sung
Tiang Hin itu sudah bertempur membantu ayahnya.
Sampai untuk beberapa lama, Lily bengong. Hatinya pada saat itu seperti di remas-
remas!
Ada perasaan kecewa dan sedih, melihat keadaan pemuda yang tadinya amat
dikaguminya itu, kini ternyata adalah putera Sung Tiang Le.
Ahh, terlebih suka kalau pemuda itu sebagai Ngong Ma! Dan tidak seperti keadaan
sekarang. Tiba-tiba, pendengaran yang tajam mendengar suara langkah-langkah kaki
yang berjalan di ruang sebelah.
Cepat ia mencelat ke kiri dan dilihatnya seorang laki-laki berpakaian mewah dengan
membawa pedang di tangan membalikkan diri kepadanya, melitat bahwa pada dada
laki-laki setengah tua itu bertulisan Pay-cu Lu-liang-pay.
Lily menjadi terkejut dan demikianlah seperti yang telah dituturkan di bagian depan,
ia berhasil membunuh pay-cu Song Cie Lay dengan mudah sekali karena orang
Rasa herannya itu lenyap, begitu seorang jelita puteri dari pay-cu ini telah
menubruknya dengan terjangan-terjangan cukup hebat.
Tahulah Lily bahwa ternyata gadis Thay-bengcu yang kesohor itu adalah puteri
Pay-cu Song Cie Lay!
Pertempuran di ruang itu cukup hebat. Setelah bertempur limapuluh jurus, nampak
sekarang Lily terdesak hebat.
Baru sekarang ia tahu bahwa gadis yang menjadi Thay-bengcu ini sungguh dahsyat
permainan pedangnya, malah tokoh-tokoh seperti Bu-tek Sianli dan Nakayarinta tidak
dapat menandingi ilmu pedang gadis itu.
Saking panasnya hati Lily, gadis ini menerjang mengelebatkan pedangnya menusuk
dada lawannya. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek, Cu Ling mengelak ke kiri dan
mengebaskan lengan bajunya menampar lengan Lily yang memegang pedang.
Tamparan lengan baju ini membuat Lily yang memang sudah lelah bukan main,
menjadi terjerembab dan jatuh telungkup.
Pada saat itulah sebuah bayangan berkelebat dan menangkis pedang yang
sedianya hendak, ditusukkan ke arah Lily.
lengannya dibuntungi oleh Sung Tiang Le dan aku aku harus buntungi lengan Pendekar
Lengan Buntung.
uh keturunan
Tiang Hin memandang sayu ke arah gadis yang dalam pandangannya itu demikian
cantik luar biasa, akan tetapi begitu pandangan Lily menatapnya berapi-api. Tiang Hin
menarik napas duka, wajahnya bertambah pucat dan sinar matanya layu.
-
terbelalak lebar, bibirnya gemetar dan tangan yang memegang pedang menggigil. Ngeri
ia melihat darah membasahi baju di dada Tiang Hin.
-moay. Biarlah kalau kau
Dua titik air mata snelompat keluar dari sepasang mata Lily ketika ia mendengar
pengakuan pemuda itu. Akan tetapi ia menggigit bibir mengeraskan hatinya.
Lily menangis mendekapkan tangannya pada wajahnya, dari balik jari tangan yang
lentik itu mengalir air matanya yang lewat dari cela-cela tangan Lily.
Tiang Hin mengeluh. Tiba-tiba tubuhnya roboh terguling.
Ternyata saking banyaknya darah yang mengucur di lengan dan pundak itu,
membuat pandangan Tiang Hin berkunang-kunang dan gelap. Seluruh ruangan terasa
berayun-ayun dan merasakan ada gempa yang hebat.
Dalam kegelapan ini ia mendengar namanya dipanggil oleh Lily. Cepat ia
menggapekan tangannya merenggut tangan itu, merenggutnya erat-erat.
Sayup-sayup namanya didengar seperti orang memanggil-manggilnya semakin
jauh panggilan itu, semakin jauh!
Tiba-tiba ia terhempas, terhempas jauh sekali. Terbang ke angkasa yang tinggi. Ia
berusaha menarik tangan Lily, namun dirasakannya pegangan Lily terlepas. Ia menjerit
sekuat hatinya.
Sekuat-kuatnya ia menjerit memanggil nama gadis itu,
Pemuda yang bernama Nguyen Hoat itu, entah hidup entah mati menggeletak
dalam kamar terkena pukulan gerakan tangan kilat yang luar biasa hebatnya dari
tangan kiri si gadis yang telah menjadi marah.
Kemudian, ia meninggalkan kamarnya itu dan mengamuklah ia dengan sengitnya
membunuhi semua tokoh-tokoh Lu-liang-pay. Namun seperti kita ketahui, partai Lu-
liang-pay ini merupakan salah satu partai yang sudah mencapai maju dan banyak
anggotanya.
Begitu mengamuk, tentu saja orang-orang Lu-liang-pay maju mengurung gadis itu
dan terjadilah pertempuran yang dahsyat!
Tiga orang kakek tokoh pertama dari Lu-liang-pay ini, maju merangsek. Yang
seorang kakek gemuk pendek berpakaian serba hitam memakai senjata ruyung
sedangkan dua orang kakek lainnya, bermuka pucat, tubuhnya kurus kering seperti
tengkorak bersenjata rantai baja yang besar dan berat.
Dua orang inilah yang terkenal di Lu-liang-pay. Mereka ini dijuluki Siang-pian-sin-
kek (sepasang pendekar rantai baja) Mo Yung, dan Mo Siang, sedangkan kakek gemuk
pendek tadi adalah Coa Ong Jin, disebut si Ruyung Sakti.
Namun ketika orang ini begitu bergebrak alangkah kagetnya mereka ini, karena
benturan rantai Mo Yung tergetar hebat begitu terkena tangkisan pedang lawannya,
sedang kan Mo Siang berteriak kaget merasakan angin pukulan yang maha dahsyat
merempet pinggangnya dan kalau tidak ia buru-buru menghindarkan diri, tentu ia akan
celaka.
Kendati demikian tetap saja ia terhuyung mundur dengan muka pucat.
Hong Kwi tertawa mengejek, mematukan ilmu pedang Tok-pik-kiam-hoat yang
dahsyat bagaikan halilintar menyambar ini.
Dibarengi dengan bentakan-bentakan yang merampas semangat lawan, karena ia
sengaja mengerahkan khi-kang tinggi melumpuhkan semangat lawan.
-anjing Lu-liang-
guruh yang menggelegar, karena begitu sinar pedang berkelebat, terdengar suara
kesakitan dua orang pengeroyoknya terluka hebat oleh sambaran pedang itu.
Melihat keganasan gadis ini, Mo Yung memberi tanda mengeroyok gadis itu.
Tigapuluh orang berpakaian baju hitam bergerak berbareng.
Senjata golok, pedang, toya dan rantai baja, saling dulu meluncur ke arah tubuh
Hong Kwi. Namun sambil mengeluarkan pekikan dahsyat Hong Kwi sudah mencelat
tinggi.
Dan begitu tubuhnya turun menukik, terdengar jeritan kematian dari dua orang
pengeroyoknya di bawah. Sebuah lengan manusia jatuh berdebuk, darah merah
menyembur dari tangan yang buntung itu.
Hong Kwi tak memberi hati lagi kepada pengeroyoknya ini, menerjang dengan
tusukan pedang yang begitu cepat laksana kilat menyambar.
ditekan oleh gadis yang luar biasa ini. Tubuh manusia terbelah dua, usus dan jantung
berantakan oleh sabetan si gadis.
Melihat keganasan gadis ini. Mo Siang menjadi marah dan memerintahkan kepada
teman-temannya untuk mengeluarkan barisan panah.
Tigapuluh orang barisan panah maju ke depan dan menarik gendewanya, suara
jepretan keras mengiringi meluncurnya puluhan batang anak panah.
Cepat Hong Kwi memutar pedangnya dan semua anak panah terpukul runtuh oleh
putaran pedang si gadis.
Akan tetapi, ternyata para barisan panah ini cukup cerdik. Mereka tidak melakukan
serangan sekali gus, melainkan beruntun.
Kalau rombongan pertama selesai, disusul kemudian oleh barisan kedua, lalu terus
disambung pula oleh rombongan lain yang menggerakkan tali gendewa. Dengan
demikian anak panah yang menghujani Hong Kwi tak pernah berhenti!
Hong Kwi mendongkol bukan main, ia kini sudah menjadi marah dan nekat. Sambil
memutar terus pedangnya sehingga tubuhnya tidak kelihatan oleh gulungan sinar
pedangnya sendiri, Hong Kwi memekik keras.
-anjing Lu-liang-pay bangsat, hayo kalian semua maju. Aku puteri Pendekar
Akan tetapi jawabannya ini disambut oleh puluhan anak panah yang menyambar,
malahan di antaranya terdapat pula senjata rahasia seperti pisau terbang, jarum, dan
lain sebagainya!
Hong Kwi menggigit bibirnya, menahan rasa sakit waktu ia merasakan tiga buah
jarum telah menembus kulit di punggungnya, gerakannya menjadi lemah. Pada saat
itutah sebuah anak panah dengan tepat sekali telah menancap di lengannya.
Darah merah mengucur dari lengan itu. Akan tetapi sambil menahan rasa sakit,
gadis yang luar biasa perkasanya ini masih terus bertahan malah melancarkan
serangan-serangan yang lebih ganas lagi.
Sabuk suteranya terlolos dari pinggangnya. Sekarang dengan pedang di tangan
kanan dan sabuk sutera di tangan kiri gadis ini mengamuk hebat!
Hong Kwi mongeluarkan seruan pekikan yang sangat memekakkan telinga. Begitu
tangan kirinya bergerak, sabuk sutera merah itu melayang ke atas dan turun bergerak-
gerak bagaikan ular naga yang siap merebut mustika. Sabuk ini meluncur cepat ke arah
barisan panah yang bergerak hendak mundur.
Namun begitu cepatnya sambaran sabuk ini seorang di antara rombongan panah
terjirat lehernya dan terangkat naik. Hong Kwi menghentakkan tangannya ke atas, dan
tiba-tiba saja terdengar jeritan mengerikan dari orang itu.
Tubuhnya terlempar ke atas dan melayang jatuh menimpa batu.
Pada saat itu selagi ia kaget dan gugup, Hong Kwi menggerakkan pedangnya.
Darah merah mengucur dari ujung pedang. Gadis itu tertawa keras mengawasi
pedangnya yang berlumur darah.
Pada saat itu, dari dalam gedung berlompatan banyak bayangan orang.
Tahu-tahu Sian Jiu Nio-nio, dan Tung Hay Nio-nio sudah menerjang Hong Kwi dalam
deraian hujan yang bertambah lebat.
Melihat munculnya orang- h.. . . .
Bagaikan gasing tubuhnya berputar, bersamaan dengan itu tongkat Tung Hay Nio-nio
berkelebat.
Sian Jiu Nio-nio menerjang dengan cengkeraman tangan kanan dan pukulan rambut
yang kuat memukul kepala Hong Kwi yang sudah menggeletak diam.
-ha-ha gadis liar,
berbareng.
Pada saat itu kilat menyambar. Sesosok tubuh manusia berkelebat cepat dan
menggerakkan kedua tangannya.
seketika bercahaya.
Akan tetapi apabila Hong Kwi teringat keadaan dirinya, pandangannya jadi meredup
kembali seperti lampu kehabisan minyak.
-
Wang Ie tersenyum. Wajahnya yang berseri-seri itu ditimpah hujan lebat. Pada saat
itu, Hwe Lan sudah bergebrak dikeroyok oleh orang-orang Lu-liang-pay yang masih
berada di tempat itu.
Akan tetapi begitu gadis puteri Kong-hwa-pay ini bergerak, terdengar jeritan di sana
sini, karena pukulan tangan kanan gadis itu sudah merobohkan dua orang
pengeroyoknya.
Sian Jiu Nio-nio dan Thung Hay Nio-nio maju menerjang Wang Ie. Cepat Wang Ie
menggeser kakinya dan begitu tangan kiri dan kanan melakukan gerakan memutar
dengan tubuh agak sedikit jongkok.
Tahu-tahu entah bagaimana caranya. Thung Hay Nio-nio telah sempoyongan dan
merasakan tulang pundaknya menjadi pegal-pegal dan lumpuh.
Demikian pula dengan Sian Jiu Nio-nio, begitu tadi pukulan rambutnya menyebar
mengirimkan pukulan totokan yang lihai, akan tetapi entah bagaimana caranya tiba-
tiba ia merasakan ada tangan yang sangat kuat sekali merenggut rambutnya sehingga
saking kerasnya renggutan ini, membuat Sian Jiu Nio-nio meringis, dan ternyata
segumpal rambut itu telah rontok beterbangan di tanah.
Sambil memekik keras, dan menahan rasa sakit yang luar biasa pada kepalanya,
nenek ini tiba-tiba mengelebatkan tubuhnya dan lari dari tempat itu, diikuti pula oleh
Thung Hay Nio-nio yang menjadi jeri menghadapi pemuda aneh yang mempunyai ilmu
silat siluman tadi!
Sedangkan limabelas anak buah Lu-liang-pay yang melihat para pemimpinnya
ambil langkah seribu, cepat-cepat merekapun bergerak turun puncak!
Guntur menyambar memekakkan telinga.
Wang Ie memeluk tubuh gadis yang terluka parah itu. Tubuh Hong Kwi sudah
menggigil dan pucat bukan main.
Cepat ia membawa tubuh itu ke tempat di bawah pohon yang terhindar dari
serangan hujan, kemudian ia memeriksa luka di lengan yang tertancap anak panah,
akan tetapi pemuda ini berseru kaget ketika begitu dipegangnya, ternyata darah Hong
Kwi sudah keracunan!
Cepat Wang Ie mencabut anak panah yang tertancap di lengan Hong Kwi, kemudian
luka itu ditempeli obat.
Rasanya dingin sekali setelah Wang Ie menempeli dengan daun obat yang
ditumbuk halus.
Sementara Hwe Lan telah membuat api untuk memasak air buat menggodok akar
obat.
Tentu saja gadis puteri Kong-hwa-pay ini pandai sekali ahli pengobatan karena
ayahnya sendiri Ho Siang, adalah ahli pengobatan dan ahli silat.
Melihat bahwa wanita itu terluka oleh jarum yang beracun, segera saja gadis ini
mengeluarkan benda semacam salju es yang sudah dikeringkan, kemudian benda itu
ditempeli di pundak Hong Kwi yang terserang oleh tiga anak jarum berbisa.
Sungguh mujijat sekali, begitu benda salju itu ditempel, tiga buah jarum halus yang
menancap di dada di dalam daging di pundak Hong Kwi tercabut keluar.
Darah hitam turut tersedot pula, sehingga benda salju jang tadinya berwarna putih
mengkilap kini semakin hitam oleh darah!
Ketika Hong Kwi siuman kembali, ia telah dibaringkan di atas rumput tebal di bawah
sebuah pohon yang rindang daunnya sehingga hujan gerimis tidak menimpah
tubuhnya. Ia melihat Wang Ie duduk berjongkok di dekatnya sementara dekat api yang
sedang menyala itu seorang gadis jelita sibuk memasak air untuk menggodok obat.
Hong Kwi tidak kenal wanita itu, ia memandang redup ke arah Wang Ie. Terasa
tangannya dipegang oleh pemuda itu dengan sentuhan mesra,
-
Hong Kwi berusaha untuk bangun akan tetapi sebuah tangan menyentuh
pundaknya.
-moay jangan banyak bergerak dulu karena kau masih lemah, sebentar
itu ke tangan Wang Ie, minta pemuda itu yang memberikan dan meminumkan kepada
si gadis.
Hong Kwi memandang Hwe Lan, dan menoleh kepada Wang Ie.
Wang Ie tersenyum, menyodorkan mangkok obat.
-moay. Untung ada Hwe Lan yang pandai ilmu pengobatan, kalau
tidak tentu repot sekali, karena aku yang bodo
-cu Kong-hwa-
Ie.
Hong Kwi mengangguk, mengangkat tangannya menjura menyatakan terima kasih.
Akan tetapi begitu melihat pandangan Hwe Lan terhadap Wang Ie begitu mesra
dan intim, dirasakannya hatinya tak enak benar. Apa lagi teringat akan dirinya yang
telah ternoda oleh Nguyen Hoat.
Tiba-tiba Hong Kwi bangkit berdiri dan berkelebat ke dalam gedung. Ia teringat
kepada Nguyen Hoat yang menggeletak di dalam kamar, maka dengan mengertak gigi
ia berlari ke kamar itu.
Wang Ie terkejut sekali, cepat ia sudah mencelat pula mengejar Hong Kwi.
-
Hong Kwi terus berlari. Akan tetapi begitu sampai di kamar, tidak nampak tubuh
Nguyen Hoat yang tadi menggeletak di situ. Dengan menggertakkan gigi Hong Kwi
memaki sengit!
Hong Kwi menangis sedih, air matanya bercucuran memandang pemuda itu.
Sementara melihat gadis ini menangis sedih, hati Wang Ie seperti diremas-remas
rasanya.
Ia memeluknya erat-erat. Hong Kwi membalas pelukan pemuda itu.
Teramat mesra.
Sepasang mata melihat adegan ini dengan mata basah, tiba-tiba Hwe Lan
membalikkan tubuhnya dan menangis pula.
Ahh, tidak disangka bahwa Wang Ie mempunyai kekasih, mengapa ia begini bodoh?
Selama perjalanannya dengan pemuda itu, Hwe Lan jatuh hati kepada pemuda itu.
kepada kami. Sehingga kami mencari-carimu setengah mati. Kau, menyusahkan hati
Hwe Lan memeluk ibunya, tiba-tiba perasaannya yang tadi tertekan, ditumpahkan
pada ibu ini.
Ia menangis tersedu-sedu karena ingat masa yang silam, sewaktu masih berada
dipangkuan ayah bundanya.
-
Hatinya terasa sakit dan marah! Sakit, karena orang-orang yang selama ini menjadi
impiannya dan dikagumi ternyata mencintai gadis lain, pantas sikap Wang Ie selama
itu sangat dingin terhadapnya.
Ia benar-benar buta, mencintai pemuda yang sudah mempunyai kekasih, gemas
sekali hatinya. Gemas, menyesal dan malu, bercampur aduk! Kini ia hanya menangis di
depan ibunya.
Ho Siang menarik tangan anaknya.
ni ada
Locianpwe Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le, dan isteri. Dan tokoh-tokoh dari
Mendengar ayahnya menyebut Pendekar Lengan Buntung Sung Tiang Le, Hwe Lan
menoleh. Dilihatnya laki-laki setengah tua berlengan buntung tersenyum ramah
Tiba-
Lan yang berkuatir akan hal anaknya cepat berkelebat dan sebentar saja orang-orang
ini telah berada di puncak Lu-liang-san.
Hwe Lan menunjukkan kepada Tiang Le dan membawanya ke dalam gedung Lu-
liang-pay. Mereka terus memasuki ke dalam.
Akan tetapi begitu sampai di ruang itu, Tiang Le dan orang-orang gagah lainnya
mendengar suara seorang gadis yang berkata dengan terputus-putus dalam tangisan.
Kata-kata itu membuat wajah Tiang Le sebentar pucat sebentar merah. Bwe Lan
tak dapat melanjutkan langkah kakinya. Terhenyak di depan pintu.
aku tak layak lagi
lemah,
meneruskan kata-katanya begitu tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka dari arah
luar.
Terlihat Tiang Le sudah berdiri di muka pintu dengan pandangan sebentar pucat
sebentar merah.
Dadanya terasa turun naik, apabila dilihatnya Hong Kwi telah berada dalam pelukan
pemuda bekas muridnya, Wang Ie!
-
hoa-
Tiang Le memaki keras dan begitu pedang buntungnya berkelebat, terdengar Wang
Ie berteriak kaget dan cepat ia mengelak ke belakang menarik tubuh Hong Kwi. Namun
demikian cepat ia sudah mengelak, tetapi tetap saja pundaknya tersayat oleh gerakan
pedang yang luar biasa cepatnya itu.
Wang Ie meringis merasakan pundaknya sakit bukan main, darah merah mengalir
bercucuran membasahi lengannya, menetes-netes ke lantai.
Sementara wajahnya semakin pucat begitu dilihatnya Tiang Le dan Bwe Lan, dan
banyak orang gagah telah memasuki kamarnya.
Kata-kata yang didengarnya barusan, bahwa Hong Kwi, anaknya telah diperkosa
membuat pendekar ini menjadi mata gelap.
Ia menubruk lagi Hong Kwi dengan tendangan kaki kiri dan tusukan pedang yang
luar biasa cepatnya.
Tentu saja Wang Ie yang tidak mengerti datang-datang suhunya ini marah-marah
dan menyerangnya menjadi bingung.
Gerakannya menjadi kurang cepat, sebuah tendangan Tiang Le yang beruntun,
dengan jitu sekali mengenai lambungnya. Wang Ie terhenyak.
Diam seketika itu Hong Kwi memeluk Wang Ie dan melindungi pemuda itu dari
terjangan pedang Tiang Le.
Kwi tertembus pedang Tiang Le.
Bwe Lan menjerit kaget dan menggerakkan tangannya menggempur Tiang Le.
menggunakan gerak tangan kilat. Saking hebatnya pukulan ini, Tiang Le terhuyung ke
belakang dan muntahkan darah.
Bwe Lan sudah mencabut tongkatnya. Pada saat itu Ho Siang mencelat dan
menangkis tongkat nyonya ini yang hendak ditusukkan ke arah dada suaminya.
Ci Goat yang telah menolong Hong Kwi dan Wang Ie menoleh. Ia sudah menotok pundak
Hong Kwi yang bercucuran darah.
Bwe Lan menatap anaknya dengan pandangan basah.
Sementara itu Tiang Le telah berdiri. Kepalanya terasa pening bukan main. Ia
berpegangan pada tembok. Ketika itulah Hong Kwi menubruk kakinya dan menangkis.
menunjuk ke arah pemuda yang memandangnya dengan wajah pucat seperti mayat.
Sebuah bayangan berkelebat, ternyata Wang Ie telah menubruk Hong Kwi. Akan
tetapi Bwe Lan sudah merenggut tubuh Wang Ie dan melempar. Sehingga dengan
terhuyung-huyung pemuda itu terjerembab jatuh.
Nyonya ini menubruk anaknya.
Tiba-tiba Hong Kwi mengibaskan pelukan ibunya dan menubruk Wang Ie. Kedua
orang muda ini saling berpelukan. Mereka sudah bermandikan darah.
Wang Ie mendekap kepala si gadis. Perlahan ia merebahkan tubuh gadis itu di atas
rumput.
Sementara Tiang Le berdiri tak bergerak seperti patung mengawasi anaknya yang
telah membujur kaku.
Semua orang gagah yang hadir di situ menangis melihat adegan yang sangat
memilukan hati. Mereka pasti akan terkutuk atas perbuatannya yang sangat kejam dan
keji.
Bwe Lan tahu-tahu berlari turun gunung menangis tersedu-sedu. Air matanya
berderai.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun bergoyang-goyang terhembus angin lalu.
Hujan masih turun rintik-rintik membasahi tanah pekuburan yang masih baru.
Di sinilah Hong Kwi beristirahat untuk selamanya di bawah naungan pohon kamboja
yang teduh itu.
Hilangnya kabut hujan yang laksana ikut berduka cita atas gugurnya Hong Kwi
berganti menjadi terang, sang surya menyinari dunia, maka selesailah cerita ini dengan
semoga gembira para pembaca!
TAMAT