Maka pemandangan pada suatu musim dingin diluar tembok besar, hanja saldju
sadja jang terlihat disana, kita mendongak keatas melihat langit, se-olah2 ditaburi
oleh bunga saldju, tidak ada satu awan biru jang terlihat disana. Kita melihat
kebawah, tanah jang biasanja penuh dengan debu djuga sudah tidak terlihat lagi
karena tumpukan saldju sudah menjampai beberapa dim tebalnja. Tidak djauh
terlihat pohon2 jang sudah tidak berdaun mendjadi putih seperti batu karang
didaratan, batu2 besar bagaikan di ubah oleh achli sihir sadja djuga merupakan ’Es
batu’ asli jang tidak dapat dimakan, djauh disekitar sana sudah tidak terlihat
apapun djuga, ketjuali saldju putih jang membuat satu dunia saldju jang sukar
dilihat oleh manusia.
Di antara perbatasan langit dan bumi jang djuga memutih semua, tiba2 terlihat
satu titik merah jang bergerak-gerak, perlahan demi perlahan, titik merah tadi
semakin membesar dan njatalah kini bahwa itulah seorang wanita berbadju merah
jang sedang merangkak madju sambil menggendong anaknja jang berumur kurang
lebih 7 atau 8 tahun.
Wanita badju merah jang menggendong anak itu merangkak dan merangkak,
sehingga achirnja kehabisan tenaga djuga, dengan lesu dan napas memburu ia
berkata seorang diri:
„Tidak lari tentu mati dikedjar mereka, laripun mati kehabisan tenaga, maka lebih
baik aku diam sadja disini dan mati didalam tumpukan saldju sadja.”
Anak jang digendong, setelah tersadar dari tidurnja dan melihat tidak ada gerakan
lagi dari jang menggendongnja mendjadi heran, ia meloloskan diri dari gendongan
orang dan bukan main kagetnja karena melihat wanita badju merah itu sudah tidak
bernapas lagi.
Wanita badju merah jang ternjata adalah ibunja dari anak ini tetapi tidak bergerak
dan tidak menjahut panggilan anaknja, ternjata ia sudah meninggal dunia dilautan
saldju diluar tembok besar.
Anak ini mngenakan pakaian putih, tapi karena sudah lama dikedjar-kedjar orang
sehingga tidak diberi kesempatan untuk menukar atau mentjutji, lama kelamaan
karena badju sudah mendjadi warna abu2 jang kotor dan dekil sehingga hampir
CHUNG SIN 1
menghilangkan warna putih badjunja. Setelah ia tahu bahwa ibunja sudah
meninggal dunia, dengan sekali mendjerit 'Ibu’, iapun djatuh pingsanlah sudah.
Djika seorang anak ketjil biasa jang belum pernah mendapat latihan ilmu silat atau
tenaga dalam jang sempurna, seumpama ia terdjatuh pingsan di tengah-tengah
daerah saldju jang sedingin itu, sudah dapat dipastikan bahwa anak itu akan
terpendam saldju dan tidak mungkin dapat sadarkan diri lagi.
Tapi ada pengetjualiannja terhadap anak berpakaian kumel jang belum diketahui
asal usulnja tadi, setelah pingsan tidak lama, berkat latihannja jang sempurna dan
djalan darahnja masih berdjalan dengan lantjar, maka tidak lama kemudian ia
sudah siuman kembali.
Dan pada saat itu, dari djauh terdengar suara berisik kereta jang sedang
mendatangi kearah dimana si anak aneh dan ibunja djatuh tadi.
Memang betul sebuah kereta jang ditarik oleh 4 ekor kuda sedang lari mendatangi,
didalam kereta ada duduk 3 orang lelaki sebagai penumpangnja jang sedang
menikmati pemandangan alam jang sedang merubah dirinja mendjadi satu dunia
saldju jang putih meletak.
“Eh, disana seperti ada orang?” Tiba2 salah satu dari 3 penumpang kereta tadi
berteriak.
Dua orang lainnja mengikuti arah jang ditundjuk oleh orang jang pertama
membuka suara dan betul sadja mereka dapat melihat satu bajangan putih ketjil,
jang bergerak-gerak disekitar sesuatu jang berwarna merah.
Tiga orang didalam kereta saling pandang sedjenaaK dan mereka mendjadi heran
karena ditempat jang sepi dan hawa jang dingin ini masih ada orang jang berdjalan
dengan kaki, siapakah gerangannja orang jang seberani ini?
Maka sewaktu kereta berdjalan tidak djauh dari tempatnja dimana si anak ketjil
berdiri, terlihat satu bajangan hitam melajang dan dialah orang jang pertama
bitjara sudah melajang meninggalkan kereta dan berdiri tidak djauh dari mana si
anak aneh jang masih sedang sedih ditinggalkan oleh ibunja.
Kini djelaslah bahwa benda jang berwarna itu djuga berupa seorang manusia jang
sudah tidak bernapas lagi, mungkin tidak tahan dinginnja hawa jang tjukup
membekukan segala-galanja itu, atau mungkin djuga disebabkan oleh sesuatu
lainnja.
„Anak,” demikian orang jang melompat keluar dari kereta tadi berkata. „Mengapa
kau dapat berada disini?”
Sianak aneh seperti tidak mendengar sadja, masih mematung ditempatnja dan
tidak memberikan djawabannja.
“Anak,” orang itu berkata lagi. „Siapa dan dari manakah kalian berdua? Masih
pernah apakah dengan wanita badju merah jang telah meninggal dunia?”
Agaknja sang anak ketjil takut djika 3 orang penumpang kereta ini bermaksud
djahat, maka dengan tjepat ia sudah menghadang didepan majat ibunja untuk
mendjaga sesuatu jang tidak diinginkan, kemudian dipandangnja 3 orang itu
bergantian dan tetap diam ditempatnja.
Sianak jang telah ditanja beruntun tiga kali mendongakan kepalanja dan berkata
dengan mantap:
„Ibuku.”
Orang jang pertama lompat keluar dari kereta seperti berbudi luhur, siapa
berdjalan madju ia berkata lagi:
„Tjoba kau minggir, biar kulihat dan berusaha untuk menolong ibumu.”
Anak ketjil berbadju dekil memandang sekian saat lamanja kearah orang jang
bitjara ini dan dari paras serta sinar mata orang jang tidak mengandung kedjahatan
ia dapat menjelami akan maksud baiknja maka ia minggir dan membiarkan orang
memeriksa ibunja.
Orang ini mempunjai langkah jang mantap, tangannja ditaruh di depan dada orang
dan setelah memeriksa sebentar, kemudian dengan kaget berkata:
Dua orang lainnja jang mendengar mendjadi heran, dengan berbareng mereka
berkata:
Tiba2 matanja orang ini jang lihay sudah dapat melihat satu benda hitam jang
djatuh tidak djauh dari pinggangnja simajat badju merah sehingga memutuskan
pembitjaraannja.
„Tjoba kalian lihat,” terdengar ia berkata: „Apa belati ini jang dinamakan belati
hitam jang terkenal didalam rimba persilatan?”
Mulutnja bitjara, sedang tanganja sudah diulurkan untuk mengambil belati ketjil
jang rupa2nja terdjatuh dari tubuhnja siwanita badju merah sewaktu digojang-
gojangkan oleh anaknja.
CHUNG SIN 3
Tapi anak ketjil itu dapat bergerak lebih tjepat dari dirinja, dengan sebat ia sudah
mendahului merebut pisau belati sang ibu dengan tangan ketjilnja jang segera
ditekuk kebelakang dirinja mendjaga rebutan orang sambil berteriak:
Orang jang pertama melengak dan kaget, tapi tidak lama kemudian ia sudah
tertawa berkakakkan dan katanja:
„Anak, legakanlah hatimu. Kita bertiga djuga mempunjai sedikit nama didaerah
luar tembok besar. Tidak nanti kita dapat menghina seorang anak ketjil jang tidak
bertenaga.” J
Dua orang lainnja jang mendengar disebutnia Belati hitam mendjadi heran,
mereka tidak pertjaja dan berbareng berkata:
„Toako, apa kau tidak salah lihat belati biasa jang hitam warnanja? Belati Hitam
sebagai pusakanja Kun-lun-pay jang dapat meremukan apa jang ditemuinja mana
mungkin dapat terdjatuh kedalam tangannja wanita biasa?”
Orang pertama jang lompat keluar dari kereta jang dipanggil ’Toako’ oleh dua
orang lainnja menggeleng-gelengkan kepala. „Tidak mungkin aku mendjadi salah
mata.” Katanja dengan sungguh. „Pada Kun-lun Tay-hwe (Pesta Kun-lun besar)
jang diadakan 10 tahun berselang, aku pernah melihat belati hitam ini dengan
mata kepala sendiri, makia rasanja mataku belum mendjadi lamur tidak dapat
membedakan palsu aslinja.”
„Anak, kami orang adalah tiga saudari Tjoa dari perkampungan Sam-kiong San-
tjhung, keluarkarlah belati ibumu itu untuk diperlihatkan agar kami orang dapat
membantu dirimu bila mana perlu dan sekalian mengurus majat ibumu. Apa kau
pertjaja kepada kami bertiga?”
Sang anak jang mendengar orang dihadapannja mengaku she Tjoa dari
perkampungan Sam-kiong San-tjhung, dengan memutarkan bidji hitam ketjilnja
berkata:
„Apa kalian jang mendapat djulukan Sak-gwa Sam-hiap diluar tembok besar?”
Tiga orang itu mendjadi kaget, mereka tidak menjangka seorang anak ketjil jang
baru berumur 8 tahun sudah dapat menjebut nama djulukannja. „Betul.” Sang
toako dari tiga saudara Tjoa tadi berkata.
Tapi si anak masih kurang pertjaja kepada sembarang orang dan masih tidak mau
menjerahkan belati ibunja djuga.
Mukanja si anak ketjil mendjadi merah, ternjata orang sudah dapat menduga
ketjurigaannja, maka tangan jang ditekuk kebelakang memegang belaiti itu
dikeluarkan lagi dan menjerahkan kepada orang jang meminta.
Toako dari tiga saudara Tjoa, Tjoa Tay-kiong, menjambuti benda jang diangsurkan
oleh si anak ketjil dihadapannja. Begitu belati terdjatuh kedelan tangannja, seluruh
tubuhnja sudah mendjadi bergemetaran dan terasa akan keberatannya, inilah
memang belati hitam asli jang mendjadi pusaka gunungnja Kun-lun-pay.
Tiga orang bergiliran melihat dan memeriksa dan putusan terachir dari meraka
ialah belati jang mereka pegang itu memang betul belati hitam jang mendjadi
pusaka gunungnja Kun-lun-pay.
Setelah menjerahkan kembali belati hitam orang kepada achli warisnja, Tjoa Tay-
kiong sudah berkata:
„Aneh, sungguh aneh sekali. Kun-lun Tjit-tju (7 tokoh Kun-lun) sudah berumur
lebih dari 60 tahun, murid2 mereka Kun-lun Tjap-sie-hiap (14 pendekar Kunlun)
djuga tidak ada satu jang terdiri dari kaum wanita, tapi mengapa belati hitamnja
dapat berada disini?”
Tjoa Tay-kiong jang mendengar anak ketjil ini seperti membantah dugaan2-nja,
dengan sungguh2 berkata:
Sang anak menutup rapat mulutnja sehingga njamukpun sukar masuk, apa lagi
suaranja, tentu sadja tidak bisa keluar sama sekali.
Setelah beruntun sampai tiga kali Tjoa Tay-kiong menanjakan pertanjaan jang
sama, sang anak mendjadi tidak sabaran, maka dengan gemas ia berkata:
Tjoa Tay-kiong, Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong tidak berdaja. „Pulanglah ke
Sam-kiong San-tjhung terlebih dahulu.” Achirnja Tjoa Tay-kiong memberikan
perintahnja. „Sebenar lagi setelah saldju turun keras, sukarlah kita dapat pulang
berumah.”
CHUNG SIN 5
Maka dengan sekali samber sadja, Tioa Tay-kiong sudah membawa sang anak naik
kereta dan Tjoa Tay-hiong sudah membawa majatnja itu wanita badju merah
untuk dibawa keperkampungan mereka.
„Lekas sediakan peti mati jang bagus dan air hangat untuk kita tjutji muka.”
Lalu dengan meninggalkan majatnja sibadju merah jang mendjadi ibu dari anak
ketjil itu, mereka langsung memasuki salah satu rumah jang terbesar disitu.
Si anak jang sudah kedinginan sekian lamanja, begitu memasuki ruangan perapian
di Sam-kiong San-tjhung baru dapat merasakan segar kembali, ia menjelip di
podjok ruangan jang berdekatan dengan api dan tidak berkata sepatahpun djuga.
..Anak, siapakah nama ajah dan ibumu, dan siapakah namamu sendiri?”
Tap’ si anak masih tetap menggeleng-gelengi ’” kepala dan dengan tegas berkata:
Biarpun anak dari lautan saldju ini masih berumur ketjil, tapi perkataannja tandes
dan tegas sehingga membuat 3 orang tertegun tidak bisa bitjara.
Tjoa Tay-kiong memandang kearah dua saudaranja sebentar dan berkata kepada
si anak didepannja: „Kau tidak mengatakanpun tidak mendjadi anp, tapi karena
ibumu baru meninggal dunia, saldju turun dengan sedemikian derasnja, apa lagi
dengan umurmu jang seketjil ini, bagaimana djika tinggal disini dahulu. Maukah
kau tinggal di perkampungan Sam-kiong San-tjhung bersama-sama kami?”
„Mau.”
Tapi Tjoa Tay-hiong jang tidak sependapat dengan saudara tuanja sudah berkata
kearah Tjoa Tay-kiong:
„Toako, belati hitam adalah pusaka Kun-lun-pay jang tidak mudah untuk diberikan
kepda siapapun djuga tapi mengapa dapat berada ditangannja botjah tjilik ini?”
Tjoa Tat-kiong memang sudah mentjurigai bahwa belati hitam tidak mungkin
mendjadi barang kepunjaan ibu dari anak ketjil ini, maka mendengar adiknja
berkata begitu, ia sudah madju mendekati si anak ketjil dan menanja:
„Djika kalian tidak pertjaja kepadaku, baiklah. Akupun tidak mau tinggal disini lagi.”
Dan betul sadja anak ketjil ini sudah berdjalan keluar dari ruangan itu.
Tjoa Tay-hiong jang tidak dapat disamakan dengan Tjoa Tay-kiong sudah tertawa
dingin, sambil menghadang didepan pintu ia berkata:
„Botjah, kau mau pergi dari sinipun boleh, tapi belati hitam jang bukan mendjadi
kepunjaanmu itu tinggalkanlah disini dahulu.”
Tapi Tjoa Tay-kiong jang tidak menjetudjui pendapat adiknja sudah membentak:.
„Samtee....”
„Anak, bukankah tadi kau sudah bersedia untuk tinggal disini? Mengapa sekarang
mau pergi lagi?”
Tiba2 saat itu, Tjoa Tay-hong lari masuk dan berkata kepada saudara tuanja:
„Bukan.” Berkata Tjoa Tay-hong dengan perlahan. „Tamu jang datang kemari
dengan melawan saldju ini ada dua orang, satu ialah ’Kaki Pintjang' Tui Kie daii
satunja lagi si ’Muka Hitam’ Hek Thian-tong.”
Tjoa Tay-kiong mendjadi kaget, tjepat ia menjambar badju dingin untuk keluar
membikin penjambutannja, sebelum ia keluar sudah berkata seorang diri:
Maka tjepat ia keluar dan dilihatnaj dua orang sudah berada didepan pintu, satu
jang berkaki pintjang sudah tentu Tui Kie dan di sebelahnja terlihat seorang pendek
ketjil jang bermuka hitam, inilah Hek Thian-tong jang sudah terkenal lebih djahat
daripada suhunja jang bernama Pek-kut Sin-kun.
„Tjoa tayhiap,” demikian Hek Thian-tong berkata. „Mengapa kami tidak diberi idjin
untuk masuk ke dalam Sam-kiong San-tjhung mu?”
„Kami orang tidak tahu bahwa djiwie akan datang kemari, maka atas penjambutan
jang kurang sempurna, harap dapat dimaafkan sadja.”
Lalu diadjaknja mereka masuk kedalam ruangan tamu untuk menanjakan maksud
kedatangannja.
Tapi baru sadja mereka duduk disana, tiba2 Tjoa Tay-hong sudah masuk dan
berkata dengan perlahan:
CHUNG SIN 7
„Toako, ada orang jang mengaku bernama Tjo Put-djin minta bertemu.”
Biarpun suaranja Tjoa Tay-hong tjukup perlahan tapi bagi si Muka Hitam Hek
Thian-tong jang berpendengaran tadjam sudah dapat mengetahui djuga maka
dengan tertawa dingin ia berkata:
„Ini baru namanja keramaian dunia, semakin banjak orang jang datang, semakin
ramai pula Sam-kiong San-tjhung.”
Tjoa Tay-kiong mendjadi kaget. „Mengapa hari ini mendadak dapat kedatangan
banjak orang djago dari golongan hitam semua?” Demikian tjhungtju dari
perkampungan Sam-kiong San-tjhung ini membathin didalam hati.
Maka setelah Tjoa Tjay-kiong memanggutkan kepala, tidak lama kemudian Tjoa
Tay-hong sudah membawa masuk seorang jang berpakaian seperti sastrawan dan
bermuka putih, inilah Tjo Put-djin dari Tjiat-tong jang entah mempunjai urusan apa
djauh2 datang kemari djuga.
„Saldju turun sedemikian kerasnja, maka aku jang rendah Tjo Put-djin terpaksa
harus mendjadi tamu dari Sam-kiong San-tjhung jang tidak diundang.” Demikian
Tjo Put djin berkata kepada tuan rumah.
Tjo Put djin tidak malu2 lagi sudah segera menarik kursi sendiri dan duduklah ia
disitu dengan tidak memandang kearah Tui Kie dan Hek Thian-tong jang sudah
datang terlebih dahulu dari dirinja.
Setelah duduk dikursinja, baru Tjo Put-djin membuka matanya jang tadi dirapetkan
itu. „Kedatanganku kemari ini sebetulnja ingin...” Tapi tiba2 ia tidak meneruskan
kata2nja. Sambil menundjuk kearah Tui Kie dan Hek Thian-tong ia berkata. „Eh,
siapakah dua tuan jang berada disini? Mengapa aku belumn pernah melihat sama
sekali?”
Mukanja Hek Thian-tong jang hitam tidak terlihat perubahan sama sekali, dengan
dingin ia menjambungi utjapan orang tadi:
Tjo Put djin tidak membiarkan orang menghabiskan kata2nja, sambil tertawa ia
memotong:
„Aku hanja ingin tahu nama saudara sadja dan bukan saudara mempamerkan
nama guru atau nenek mojang jang tidak ada sangkutannja sama sekali.”
Sebetulnja, si Muka Hitam Hek Thian-tong sedikit djeri djuga terhadap Tjo Put-djin,
maka ia sudah menondjolkan nama suhunja Pek-kut Sin-kun jang disegani orang,
tidak disangka sangat terlalu mendesak kepada dirinja, maka dengan dingin iapun
berkata:
Karena Hek Thian-tong menanja seperti ini, maka mukanja Tjo Put-djin sudah
mendjadi masem. „Siao-tee bernama Tjo Put-djin.” Katanja dengan sombong.
„Tjoa tjhungtju, tahukah tentang nama Tjo Put-djin ini? Mengapa siaotee belum
pernah mendengar sama sekali?”
Hek Thian-tong sudah sengadja balik mengedjek orang untuk membalas kata2
sombongnja Tjo Put-djin tadi.
Maka mana mungkin Tjo Put-djin tidak mengarti? ’Sret’ terlihat ia mengeluarkan
kipasnja jang segera disodorkan kedepan orang dan berkata:
Hek Thian-tong djuga bukan orang tolol, maka melihat orang menjerang dengan
kipasnja, dengan sekali djambret, ia sudah berhasil memegang kipas orang, lalu
kipas didorong kedepan dan siap mendjatuhkan orang.
Tapi Tjo Put-djin jang sudah lama malang melintang didaerah Tjiat-tong mana
mudah didjengkangkan orang begitu sadja? Iapun mendorong kedepan sehingga
berkutetanlah mereka berdua.
Pada waktu ini dari luar tiba2 njelonong masuk seorang pendjaga pintu jang
berkata dengan gelagapan:
Tapi sebelum pendjaga pintu ini dapat meneruskan kata2nja, mendadak ia djatuh
ngusruk untuk tidak bangun lagi, berbareng dari luar djuga sudah njelonong masuk
dua orang jang tjukup mengagetkan semua orang.
Dua orang jang baru masuk itu terdiri dari satu hweshio dan seorang nikouw. Tjoa
Tay-kiong, Tioa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong jang melihat kedatangannja hweshio
dan nikouw ini belum dapat berbuat sesuatu apa, karena terlihat sihweshio
mengulurkan tangannja jang berbulu dan membentak kearah Hek Thian-tong dan
Tjo Put-djin jang masih berkutetan mendorong atau merebut kipas jang berada
ditengah-tengah mereka:
Tjo Put-djin dan Hek Thian-tong jang masih saling tarik merasakan satu tenaga
besar jang menekan dada, tapi mereka tidak dapat melepaskan pegangan kipasnja,
takut mendapat tekanan tenaga balik jang dapat mematikan dirinja.
CHUNG SIN 9
Sihwesio jang tahu tidak mungkin dapat merebut benda dari tangan dua tokoh
kuat sudah tjepat merapetkan telapak tangan, dengan mentjurahkan dan
menjalurkan tenaga dalam kedjari kanan menotok tengah kipas berkata lagi:
„Kena!”
Segera kipas terputus mendjadi dua bagian, Tjo Put-djin dan Hek Thian-tong
masing2 terpental mundur dan djatuh kekursi mereka. Tekanan tenaga mereka
tidak berhenti sampai disitu sadja dan dengan kursi jang diduduki oleh mereka,
termundur lailah dua manusia ini.
Sihwesao jang baru datang tertawa berkakakan dan pentang mulut pula:
„Masing2 sudah mendapat setengah bagian. Satu pembagian jang sangat adil
bukan? Jang manakah tuan rumah disini? Biar aku mengenal terlebih dulu.”
Sebelum Tjoa Tay-kiong, Tjoa Tay-hong, Tjoa Tay-hiong dapat memberi djawaban,
nikouw jang masuk bersama-sama dengan sihweshio sudah tertawa tjekikikan.
Katanja:
„Siapakah jang tidak mengenal dirimu? Tuan rumah ini sungguh keterlaluan
sekali.”
Tentang dua orang terachir datang ini, bagi siapa sadja jang pernah berkelana
didalam rimba persilatan memang tidak asing lagi. Mereka adalah Kim Lo-han dan
Pu-yong Ni-kouw.
Disini perlulah rasanja untuk membikin sedikit pendjelasan tentang Kim Lo-han
dan Pu-yong Ni-kouiw ini. Ternjata Kim Lo-han adalah anak murid keluaran partay
Ngo-tay-pay, tapi itupun hanja asal mulanja sadja dan kini ia telah diusir dari pintu
perguruan, tidak mendapat pengakuan lagi.
Dapat dibajangkan, partay Ngo-pay sudah terkenal tidak wangi, djika sampai ia
diusir dari pintu perguruan ini, terbuktilah betapa lebih tidak wanginja nama Kim
Lo-han.
Tentang Pu-yong Ni-kouw (Bukan Pu-yong-hay) lebih dari pada sang kawan, ia
bersendjatakan Pu-yong-tjiam atau djarum Pu-yong jang halus, dan ada satu
kepandaian pula jang dimiliki olehnja, jaitu ilmu kepandaian ’Asjuro mi-mo-biauw-
im’ jang mendjadi salah satu bagian dari ilmu ’Asjuro mi-mo-tay-hoat’'. (Tentang
ilmu ’Asjuro Mi-mo-tay-hoat, para pembatja dipersilahkan membatja KIM TO WAN
atau Mutiara Pusaka).
Dengan ilmu kepandaian ’Asjuro Mi-biauw-im’ inilah sering kali Pu-yong Nikouw
menghypnotis orang jang akan didjadikan korbannja. Maka bukan sedikit musuh2
tangguh jang djatuh olehnja.
Sebetulnja, dua orang ini djarang sekali bertjampur mendjadi satu, apa lagi djalan
bersama dengan tudjuan sama. Hanja waktu itu memang istimewa dan mempunjai
maksud serta tudjuan bersama, maka berbareng mereka telah masuk kedalam
perkampungan Sam-kiong San-tjhung.
Sewaktu si Muka Hitam Hek Thian-tong menjebut Pek-kut Sin-kun jang mendjadi
salah satu dari 4 Manusia Imperialis, Kim Lo-han dan Pu-yong Ni kouw masih dapat
tertawa-tawa.
Tjoa Tay-kiong, Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong hampir berbareng madju
kedepan berkata:
„Kami orang bersaudaralah jang mendjadi tuan rumah, entah dengan maksud apa
kedatangan kalian beramai kemari?”
Tjo Put-djin jang penasaran karena kipas mahalnja dipatahkan orang mulai
bangun, dihadapinja Kim Lo-han dan berkata:
„Biasanja para hweshio itu meminta sedekah atas kerelaan hatinja jang diminta.
Tadi kau begitu menongolkan kepala botakmu sudah segera menundjuk kipas ini,
bagaimana djika aku mau memberikannja untuk sedekah sadja?”
Berbareng, ia sudah melepaskan salah satu tulang kipas jang segera meluntjur
kearah orang jang diarah.
„Terima kasih.”
Tjo Put-djin penasaran dan melemparkan tulang kipas patahan jang kedua.
Kim Lo-han masih belum mau membuka kedua matanja dan mendjepit dengan
djarinja pula.
Tjo Put-djin kembali menimpuk dengan 3 tulang kipas setjara beruntun, menudju
ke 3 arah djalan darah jang tidak sama.
Tjo Put-djin mempereteli semua tulang kipas jang berdjumlah 14 batang, dengan
menggunakan sedikit tenaga dalam, sekaligus ia menghudjani orang.
CHUNG SIN 11
Tiba2 Kim Lo-han membuka kedua matanja, dengan dipelototkan lebar2 ia bangun
berdiri dari tempat duduk dan 14 batang tulang kipas mulai bergelantungan dan
menempel didjubah badjunja.
Tjo Put-djin membanting kaki, kini ditangannja hanja tinggal batang patahan kipas
sadja, untuk langsung menjerang dengan batang kipas ini, tidak mungkinlah
rasanja dapat membawa hasil jang sempurna, maka dengan gemas
dilemparkannja kearah anglo perapian.
Kali ini agaknja Tjo Put-djin bekerdia tepat, bara api berpentalan dan setjara tidak
langsung menjerang kearah Kim Lo-han.
Kim Lo-han tidak menjangka api dapat menjerang dirinja, ia mentjoba lompat
menghindari beberapa lelatu, tapi dua diantaranja telah membuat lubang angus
djuga di djubah hweshio ini.
Tiga saudara Tjoa jang melihat kedatangannja si Pintjang Tui Kie, Muka Hitam Hek
Thian-tong, Tjo put-djin, Kim Lo-han dan Pu-yong Ni-kouw sekalian saling pandang,
djelaslah kini bahwa rumah mereka didatangi iblis rimba persilatan. Dengan
perlahan Tjoa Tay-kiong berkata kepada adiknja jang ketiga:
„Lo-sam, orang2 ini bukan mudah untuk dihadapi, djanganlah sekali-kali kalian
berlaku sembrono.”
Tjoa Tay-hiong jang masih tidak puas terhadap tindakan saudara tua didalam soal
menghadapi anak ketjil aneh itu telah mengeluarkan suara dari hidung:
Hatinja Tjoa Tay-kiong tergerak, ia menengok kearah ruangan dalam dan terlihat
kepala ketjilnja si anak jang menjelinap dibalik pintu. Pada saat itu ia tidak dapat
mentjurahkan perhatikan terhadapnja menjuruh pergi atau lari, takut kalau iblis2
rimba persilatan itu mengetahui. Maka dikibaskannja tangan badju ber-kali2
memberi isjarat kepada si anak ketjil agar dapat melarikan diri.
Melihat gerak tangannja Tjoa Tay-kiong, si anak ketjil sudah masuk kembali, tapi
bukan ia pergi atau lari, malah bersembunji dibalik pintu untuk mentjuri dengar
pembitjaraan2 orang banjak tadi.
„Tjuwie, kedatangan kita kemari biarpun tidak berdjandji dulu satu dengan jang
lain, namum sudah dapat dipastikan ada mempunjai satu tudjuan, mungkinkah
dengan beramai-ramai meminta kepada tuan rumah setjara paksa?”
„Hanja terbatas bagi kita orang.” Si Muka Hitam Hek Thian-tong djuga bitjara.
„Menurut pendapatku, diantara kita boleh diadakan pertandingan dan siapa jang
mendapat kemenangan, itulah orang berhak menerima. Termasuk 3 tuan rumah
djuga, bila mereka bersedia mengikuti pertandingan kita.”
Tiga saudara Tjoa jang mulai dibawa-bawa tidak puas, maka terlihat Tjoa Tay-kiong
madju berkata:
Tiga saudara Tjoa djuga bukan manusia jang mudah dihina, maka mereka terdiam
mendengar tantangan itu.
Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong berunding sebentar, berbareng mereka berkata
kepada toakonja:
Tapi, Tjoa Tay-kiong tidak sependapat dengan adik2nja, dengan menekuk muka ia
membentak:
„Mengapa kalian dapat berpikiran seperti ini? Sudah terang maksud mereka hanja
pada anak ini, djika sampai terdjadi anak ini dibawa lari atau djatuh kedalam
tangan mereka, dan sewaktu kabar ini tersiar keluar, dimana harus menaruh muka
kita?”
Tjoa Tay-hiong tertawa dingin. „Muka terang! Muka terang!” Katanja geram.
„Berapakah harganja muka terang itu? Dapatkah kita membiarkan perkampungan
Sam-kiong San-tjhung termusnah?”
Mukanja Tjoa Tay-hiong berubah putjat. „Toako,” djeritnja. „Apa kau sudah dapat
memastikan wanita badju merah itu orang baik? Bagaimana djika kita salah
menolong anaknja seorang djahat? Pikirlah, mana mungkin seorang baik dapat
mentjuri belati hitam Kun-lun-pay?”
Tjoa Tay-hong jang sependapat dengan adiknja terdiam dan memandang kearah
toakonja untuk meminta putusan.
Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong masih mentjoba berkata, tapi Tjoa Tay-kiong
sudah membalikkan badan menghadapi Tui Kie sekalian lagi.
Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong jang tahu tidak dapat merubah sikap toakonja,
sambil membanting2 kaki berdjalan keluar meninggalkan Sam-kiong San-tjhung.
Kini di dalam ruangan tamu hanja tinggal 6 orang, si Pintjang Tui Kie, Muka Hitam
Hek Thian-tong, si hwesio Kim Lo-han, si nikouw Pu-yong Ni-kouw, Tjo Put Djin dan
tuan rumah Tjoa Tay-Kiong.
Si Pintjang Tui Kie jang mulai mempertontonkan ilmu kepandaian dan membuka
pertandingan sudah mengeluarkan tongkatnja berkata:
Sebelum ada orang jang memberikan penjahutan, tiba2 njelonong masuk pula
seorang pelajan jang segera berkata kearah Tjoa Tay-kiong:
„Toaya, diluar ada seorang pengemis tua dan seorang gadis tjilik jang hampir mati
kedinginan, mereka sedang meminta makan kepada beberapa orang kita.”
Sebelum sipelajan bitjara, Tjoa Tay-kiong sudah menduga didatangi tokoh ternama
lagi, tidak tahunja hanja dua pengemis biasa jang meminta makan, maka ia sudah
menjuruh sipesuruh memberikan apa jang diminta dan siap melihat pertandingan
jang akan segera dimulai.
Si pelajan sampai bingung mendapat pertanjaan ini, ditataonja sang madjikan dan
berkata:
„Pengemis tua jang kotor dan gadis jang di bawanjapun kurus seperti sudah lama
tidak makan.”
hatinja Tjoa Tay-kiong tergerak. Harus diketahui dihari jang sedingin ini, orang
biasa jang mengenakan pakaian tebalpun masih merasakan dinginnja hawa, apa
lagi hanja pengemis biasa, mana mungkin mereka dapat tahan saldju dan hawa
dingin? Ketjuali orang itu mempunjai latihan tenaga dalam jang tjukup tinggi
sehingga tidak takut hawa dingin menjerang tubuh.
Tidak lama kemudian terlihat seorang pengemis tua jang kurus dengan
terbungkuk-bungkuk dan gerakan lambat masuk kedalam ruangan. Dibelakangnja
terlihat seorang gadis tjilik jang kurus kering, dengan pakaian jang tjompang
tjamping, tulang badan jang hanja terbungkus kulit sadja mengikutinja.
Melihat kedjadian ini, hatinja Tjoa Tay-kiong dingin kembali. Ternjata hanja dua
pengemis biasa dan bukan apa jang seperti diharap-harapkan tokoh pengemis jang
ternama. Tapi hatinja tjhungtju dari Sam-kiong San-tjhung ini tidak dapat
disamakan dengan kedua adiknja, ia bersifat welas asih, setelah menjilahkan orang
masuk, tidak mungkin dapat mengusirnja lagi, ruangan tamunja inipun tjukup luas
dan besar, untuk menambah 20 orang lagipun tidak akan mendjadi sempit, apalagi
2 orang sadja. Maka ia segera memberi perintah kepada pelajannja:
„Tambah satu anglo perapian lagi disana, biar mereka menghangatkan badan
dahulu. Kemudian bawalah sisa makanan dan berikan kepada mereka agar tidak
terlalu kelaparan.
Si pelajan dapat bekerdja sebat agar menjenangkan madjikannja, maka tidak lama,
apapun sudah sedia disana.
Sipengemis tua menghaturkan terima kasihnja dan berkata kepada Tjoa Tay-kiong:
„Terima kasih.”
Lalu dengan tindakan lambat jang boleh dikatakan merampas dan mengadjak
kawan ketjilnja menudju kepodjok ruangan berdjongkok disana memanaskan diri
mereka.
Si Pintjang Tui Kie jang sudah siap untuk mempertontonkan ilmu keandaiannja
mendjadi batal karena masuknja pengemis tua ini. Tadinja, seperti apa jang Tjoa
Tay-kiong duga, iapun menjangka akan kedatangan seorang tokoh pengemis
ternama, tidak tahunja hanja pengemis biasa sadja.
Maka iapun siap melandjutkan gerakan jang tertunda, terlihat ia mengambil dua
buah media jang dibuat saling sambung kaki mengelilingi anglo api, selesai ia
membikin pengaturan, dengan sebelah kaki ia lompat naik keatas pinggiran medja
dan nangkring disana berkata:
„Djarak diantara dua media ini tidak seberapa namun tjara inilah jang termudah
untuk mengudji kepandaian meringankan badan diantara kita.”
Selesai berkata, Tui Kie sudah lompat kesebrang pinggiran medja jang lainnja
diseberang sana.
CHUNG SIN 15
Tjo-put-djin, Hek Thian-tong, Tjoa Tay-kiong, Kim Lo-han dan Pu-yong Ni-kouw
menjaksikan permainan Tui Kie ini dengan hati jang tidak sama, ketjuali Tjoa Tay-
kiong, mereka mengharapkan Tui Kie dapat djatuh ke tengah-tengah anglo api dan
terbakar badjunja.
Sajang kenjataan tidak demikian, Tui Kie biarpun pintjang kakinja, ilmu
meringankan badan jang dinamakan 'Tangga ke Langit’ sudah dilatih tjukup
sempurna. Maka bagaikan orang naik tangga sadja ia sudah tiba diarah
seberangnja.
„Saudara Tjo mempunjai ilmu jang terlebih lihay lagi, bukan? Silahkan
dipertontonkan.”
Tjo Put djin dengan lenggang naik di pinggiran medja jang pertama, maka tidak
seperti Tui Kie jang lompat kedepan, ia hanja bertindak madju ditengah udara
bebas dengan mengeluarkan kaki kirinja, kemudian kaki kanan menjusul dan tiba
dipinggir medja lainnja. Demikian ia menggunakan ilmu tipu ’Berdialan di Udara’
menjaingin lawannja.
Karena adanja teladan dari Tjo Put-djin tadi maka semua orang dapat melewati
dua medja dengan mudah, termasuk Tjoa Tay-kiong jang mempunjai kepandaian
dibawah mereka semua pun dapat melewatinja juga.
„Tjoa tayhiap, menurut pendapatmu, ilmu meringankan badan siapakah jang lebih
unggul tadi?”
Tjoa Tay-kiong tidak menjangka orang dapat menanja kesoal ini, sebagai seorang
’Tayhiap’ atau ’Pendekar besar’, ia mempunjai sikap jang adil dan djudjur, maka
setelah dipikir sebentar berkata:
Pu-yong Ni-kouw tidak rela djika diharuskan mengaku Tui Kie menang, maka tjepat
ia berkata:
„Anggaplah seri sadja, maka pertandingan boleh diganti dengan ilmu tenaga
dalam.”
Tui Kie sangat menjesal tidak mengadjak mereka bertanding di luar ruangan, ilmu
kepandaian ’Naik ke tangga langit’ jang dapat mendaki sampai tingkat gunung
mana mungkin dapat dikalahkan oleh mereka? Mendengar Pu-yong Ni-kouw
mengatakan ’Seri’ dan kenjataan semua orang telah dapat melewati dua medja
dengan selamat, maka ia hanja dapat mengeluarkan suara dari hidung ’Hm’ dan
berkata:
Tapi ia tidak mau banjak berdebat lagi, tongkatnja dilintangkan didada dan berkata
kepada mereka:
Dengan kedua tangan memegang dua belah udjung, Tui Kie mulai membengkokan
tongkat badjanja, kemudian dengan satu gentakan lagi ia telah membuat tongkat
lempang kembali.
Tapi, Tui Kie lupa bahwa orang2 jang sedang berkumpul di ruang tamunja Tjoa Tay-
kiong itu adalah iblis2 kenamaan semua, maka sebagai orang pertama terlihat si
Muka Hitam Hek Thian-tong madju melakukan pekerdjaan jang tidak terlalu sukar
baginja.
Seperti apa jang telah dilakukan oleh Tui Kie, Thian-tong djuga sudah menekuk
tongkat badja dan melempangkannja kembali.
Djika Hek Thian-tong dapat bekerdja dengan mudah, demikian pula dengan orang2
lainnja, mereka menelad apa jang telah disaksikan dan tidak ada satu jang tidak
lulus dari udjiannja.
Tui Kie menjambuti tongkatnja kembali dari Pu-yong Ni-kouw jang terachir dan
berkata:
Kim Lo-han tertawa berseri-seri dan menghampiri orang. „Biar aku jang
memberikan perlawanan terhadapmu.” Katanja.
CHUNG SIN 17
Tui Kie tidak banjak rewel lagi dan mengemplang dengan tongkatnja, Kim Lo-han
djuga sudah mengeluarkan pentungan hweshio dan ’Trang’ dua sendjata beradu
menerbitkan suara njaring jang tidak terhingga.
Melihat Tui Kie dan Kim Lo-han sudah mulai dengan pertandingan mereka, dengan
menundjuk kearah si muka Hitam Hek Thian-tong, Tjo Put-djin membentak.
Hek Thian-tong sebagai muridnja Pek-kut Sin-kun jang mendjadi salah satu dari ’4
Manusia Imperialis’ bukan sedikit memberikan gangguannja terhadap sesama
manusia, melihat ditantang orang setjara terang2-an, tentu sadja mendjadi marah,
terlihat dengan petjut pandjang ia membikin penjerangan.
Tio Put djin tertawa. ’Sret’ dan pedangnja sudah terhunus membikin perlawanan
dan membuka medan pertempuran jang kedua diruangan tamunja Tjoa Tay-kiong.
4 orang sudah tjukup untuk membikin dua medan pertempuran, kini hanja tinggal
Pu-yong Ni-kouw dan Tjoa Tay-kiong jang belum mendapat pekerdjaan maka
dengan menundjuk kearah tuan rumah, si nikouw mendahului bitjara:
Tjoa Tay-kiong tidak dapat disamakan dengan dua adiknja, bila Tjoa Tay-hong dan
Tjoa Tay-hiong tidak mempunjai njali dan tidak mempunjai kepandaian berarti,
tjhungtju Sam-kiong San-tjhuug masih tidak menakuti 5 orang tamu2nja jang
galak2, maka melihat datangnja Pu-yong-tjiam, dengan mengeleskan diri ia
mengeluarkan goloknja.
Mengingat sang ibu, hatinja anak ini mendjadi pilu. Ibunja kini telah meninggalkan
dunia jang fana dengan tidak menjebut sebab2 kematiannja. Jang paling membuat
ia kesal, ialah belati hitam jang sudah kepunjaan mereka masih disebut mendjadi
milik Kun-lun-pay.
Si anak masih merenungkan kedjadian2 lama, maka dengan tidak terasa telah
menongolkan kepalanja.
Kesempatan ini digunakan baik oleh Tjo Put-djin jang segera mengirimkan
serangan telapak tangan kirinja. ’Bek’ sekali, belakang gegernja Hek Thian-tong
telah terkena satu pukulan jang hebat.
Biarpun Hek Thian-tong telah terluka, sebagai anak muridnja Pek-kut Sin-kun jang
ternama manusia hitam ini tetap dapat bekerdja sebat dan mentjekal tangannja si
anak jatim.
Si anak jatim tidak mau dibawa orang dengan tidak ada perlawanan, terlihat
tangan lainnna mengeluarkan Belati Hitam jang segera mentjoba nusuk kearah
lawannja.
„Berani kau melawan?” Bentak Hek Thian-tong sambil mementil pergi belati orang.
„Tjoa Tay-hiap...”
Sajang Tjoa Tay-kiong tidak dapat mendengarkannja, sebaliknja si Pintjang Tui Kie
dan Kim Lo-han jang dekatlah jang didatangkan.
Tjepat Hek Thian-tong menotok djalan darah lemesnja si anak jang segera dibawa
lari dan disusul oleh Tui Kie dan Kim Lo-han.
Tjo Pui-djin didalam soal ini masih ketinggalan, maka ia hanja dapat membikin
pengedjaran dibelakangnja Kim Lo-han sadja.
Matania Pu-yong Ni-kouw jang menempur Tjoa Tay-kiong ternjata tjukup lihay,
maka ditinggalkan sang lawan dan turut dibelakang Tjo Put djin. Sewaktu nikouw
ini lewat dipintu, dilihatnja belati hitam, tapi bukan dipungut, malah disepak pergi,
takut ketinggalan oleh kawan2 lainnja.
Hanja Tjoa Tay-kiong seorang jang tidak tahu sesuatu apa. „Mungkinkah Pek-kut
Sin-kun telah tiba, sehingga mereka lari semua?” Pikirnja.
Tapi begitu matanja tertumbuk dengan belati hitam jang ketinggalan dipintu,
keheranannja Tjoa Tay-kiong tidak terhingga. Sudah terang kedatangan 5 orang
tadi disebabkan oleh belati hitam ini, mengapa dapat ditinggalkan begitu sadja?
Mungkinkah didalam tubuhnja si anak ketjil masih ada sesuatu pusaka lainnja lagi
jang dapat lebih menarik perhatian mereka?
CHUNG SIN 19
Maka dipungutnja belati hitam itu dan menjusul keluar, disana, ketjuali saldju jang
masih memutih, sudah tidak terlihat bajangan2nja 5 orang lagi.
Terhadap anak ketjil itu, Tjoa Tay-kiong mempunjai sematjam perasahaan suka,
maka sudah tentu ia tidak membiarkannja terdjatuh kedalam tangan orang djahat,
dengan mengikut arah telapak kaki ia mulai membikin pengedjaran djuga.
Tidak lama djauh didepannja sudah terlihat bajangan2nja 5 orang jang dikedjar,
tapi kekagetannja tjhungtju Sam-kiong San-tjhung ini tidak terkira, ternjata Hek
Thian-tong sudah menudju kearah lembah Patah Tulang jang terkenal berbahaja.
Demi keselamatannja si anak ketjil dan demi keselamatannja semua orang djuga,
terpaksa Tjoa Tay-kiong berteriak disertai dengan tenaga dalamnja:
„Tjuwie sekalian harap dapat menahan diri dahulu, didepan adalah daerah lembah
Patah Tulang.”
Nama dari lembah Patah Tulang sudah terkenal oleh mereka, tapi bukan tidak
mungkin orang menggunakan tipu agar mereka dapat menghentikan lari sehingga
mudah untuk dikedjar. Demikian pikiran mereka semua, maka dengan tidak
menghiraukan teriakannja Tjoa Tay-kiong, Hek Thian-tong berlima sudah
meneruskan djuga larinja.
Hek Thian-tong jang lari paling depan tiba2 merasakan kakinja sudah tidak
menjentuh tanah lagi, matanja berkunang-kunang karena luka jang diderita dan
dengan masih membawa si anak ketjil, ia sudah terdjatuh kedalam lembah Patah
Tulang.
Maka sewaktu Tjoa Tay-kong tiba disana, hanja terlihat Kim Lo-han, Tjo Put-djin,
Tui Kie dan Puyong ni-kouw jang bengong ter-longong2 memandang kearah
dimana djatuhnja Hek Thian-tong tadi.
„Tjoa tayhiap.” tiba2 si Pintjang Tui Kie menanja. „Djika terdjatuh dari sini,
mungkinkah masih ada harapan hidup lagi?”
„Hm! Aku sendiri belum pernah djatuh, siapa jang tahu hidup atau tidak
hidupnja?”
Tapi Kim Lo-han jang tidak setolol orang sudah mentjabut salah satu pohon besar
jang segera dilemparkan kearah djurang tadi. Mereka harus menunggu lama baru
terdengar suara ’Kruluk’ ’Kruluk’ tanda dari pohon tadi menjentuh tebing djurang.
„Maka, sudah dapat dipastikan botjah itupun tidak dapat hidup lagi.” Sambung Tjo
Put-djin.
„Apakah dendam anak itu dengan kalian semua? Apa kalian menghendaki Belati
Hitamnja?”
Tui Kie tertawa dingin. „Biarpun Belati Hitam m endjadi pusaka dunia, aku Tui Kie
tetap daoat meradjarela dengan tidak menggunakannja.” Ia berkata.
Dari kata2nja ini, Tjoa Tay-kiong dapat memastikan ditubuhnja si anak masih ada
sesuatu jang lebih berharga dari pada Belati Hitam, maka dengan heran ia
menanja:
Tui Kie tidak mendjawab, tapi balik menanja: „Tjoa tayhiap, sudah berapa lamakah
kau tidak mengundjungi daerah Tionggoan?”
„Djadi kau masih belum tahu bahwa Leng-siauw-tju jang mendjadi toako dari Kun-
lun-tjit tju (7 tokoh Kun-lun) telah bunuh diri pada dua bulan jang lalu?”
Tjoa Tay-kiong kaget tidak terhingga. Menurut apa jang diketahui, Kun-lun-pay,
biarpun ilmu kepandaian mereka tidak merata, Leng-siauw-tju jang mendjadi
toako inilah jang paling istimewa, maka mana mungkin dapat membunuh diri
setjara begitu sadja? Ia terpekur sebentar dan menanja:
„Sudah tentu kedjadian betul. Setelah Leng-siauw-tju membunuh diri, maka partay
Kun-lun-pay pun runtuh, 6 tokoh lainnja pun lenjap entah pergi kemana. Ada
kedjadian2 ini kau tidak mengetahui sama sekali?”
Maka dengan hati2 didekatinja pinggir djurang dan melongok kebawah untuk
melihat-lihat si anak jang terdjatuh bersama-sama dengan Hek Thian-tong.
Karena inilah, tiba2 dilihatnja satu kedjadian aneh, djauh di seberang tebing
terlihat dua bajangan jang berdjalan tjepat, itulah sipengemis tua dan gadis
tjiliknja.
„Heran,” pikir Tjoa Tay-kiong didalam hati. „Mengapa tiba2 mereka dapat berada
disana?”
CHUNG SIN 21
Maka dengan pikiran kusut ia kembali lagi ke rumahnja, langsung ia menghadapi
orang2nja dan menanja:
„Ong Sin, pada sebelum kedjadian ini, apa kau pernah melihat pengemis tua tadi?”
Ong Sin adalah sipelajan jang membawa sipengemis tua dan gadis pengemis
berdua masuk kedalam ruangan, maka Tjoa Tay-kiong segera menanja kepadanja.
Sebagai seorang rendah, pikirannja Ong Sin sudah ketempat jang bukan2, Tjoa Tay-
kiong tertawa didalam hati berkata:
„Kau pergilah. Dan sekalian tjari djiya dan sam-ya, panggil mereka pulang sadja.”
Tidak lama kemudian, Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong sudah berdjalan masuk,
melihat toakonja tidak menderita sesuatu apa, Tjoa Tay-hiong sudah menanja:
„Toako,” Tjoa Tay-hong djuga turut bitjara. „Kita orang diluar mendapat kabar
tentang rimba persilatan.”
„Aku djuga tidak tahu djelas, tjoba kau tuturkan semua kedjadian.” Kata jang
ditanja.
„Ditengah djalan kita bertemu dengan dua muridnya Pek potju,” Kata Tjoa Tay-
hong jang mulai dengan tjeritanja. „Menurut nenuturan mereka, jang baru kembali
dari daerah Tiong-goan, partay Kun- lun-pay sudah djatuh berantakan, Leng-
siauw-tju jang mendjadi pemimpin sudah bunuh diri, sisa dari Kun-lun Tjit-tju
lenjap tidak ketahuan, Kun-lun Tjap sie-hiap djuga menjembunjikan diri tidak
keluar Kang-ouw lagi.”
„Tentang sebab2nja?”
„Tentang sebab2nja, menurut apa jang mereka tahu ada hubungannya dengan
seorang wanita badju merah dan anak ketjilnja. Dan menurut dugaan, 6 dari Kun-
22 GOLOK BINTANG TUDJUH
lun Tjit-tju dan 14 orang Kun-lun Tjap-sie-hiap sedang membikin pengedjaran
terhadap ibu dan anak ini.”
Tjoa Tay-kiong termenung memikirkan anak jang dikatakan oleh adiknya tadi,
mungkinkah 6 Kun-lun tjit-tju membikin pengedjaran terhadap wanita dan anak
jang tidak berdaja? Djika melihat dari sifat2 dan kelakuan2 Kun-lun-pay, kedjadian
ini sungguh mustahil sama sekali.
„Toako, apa kau tahu maksud dari pengedjaran mereka itu? Ternjata Belati Hitam,
’Kun-lun Sin-sie’ dan ’Tjian-lian-Soat-som’ jang mendjadi tiga pusaka Kun-lun-pay
telah terdjatuh kedalam tangan ibu dan anak ini.”
Tjoa Tay-kiong mendjadi kaget. „Apa ibu dan anak jang kemarin itu?” tanjanja.
Dari paras mukanja sang adik, Tjoa Tay-kiong sudah dapat melihat kerakusan dan
ketamakan jang mendjemukan, dengan hati tidak senang ia berkata:
„Anak itu telah dibawa lari oleh Hek Thian-tong dan terdjatuh kedalam djurang
lembah Patah Tulang.”
Tjoa Tay-hiong membanting-banting kaki. „Aaaa, hanja barang jang paling tidak
beharga dari tiga pusaka tadi.” Ia mengeluh.
„Toako, barang jang paling berharga tentu tidak berada didalam tangannja
sibotjah, majat wanita badju merah itu baru kita pendam kemarin, bagaimana
djika kita gali dan mentjari dua pusaka lainnja disana?”
Biarpun Tjoa Tay-kiong tahu bahwa ’Kun-lun Sin-sie’ (Kitab pusaka Kun-lun) dan
Tjian-lian Soat-som’ (Sematiam obat jang dapat menjembuhkan ribuan penjakit)
ada lebih berharga 10 kali dari pada Belati Hitam, tapi toako ini tidak mempunjai
hati serakah sama sekali, maka ia tidak setudju dengan segala keserakahan sang
adik dan tjepat membentak:
„Lo-sam, apa jang kau mau kerdjakan? Pekerdjaan rendah ini bukanlah pekerdiaan
jang kita harus lakukan.”
Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong jang melihat toako mereka sudah mendjadi
semarah ini mendjadi takut sendiri, maka melihat dua adiknja jang harus dikasihani
CHUNG SIN 23
mendjadi setakut ini, hatinja Tjoa Tay-kiong tidak tega, terdengar ia berkata
perlahan:
Tjoa Tay-kiong jang tidak bisa tertidur memikiri kedjadian aneh jang dialami tiba2
dapat mendengar gongongannja suara andjing beberapa kali. Gonggongan
andjing2 ini sangat aneh sekali, seperti ada sesuatu apa jang membekap sadja,
suara mereka dapat lenjap dengan mendadak pula.
Tjepat Tjoa Tay-kiong lompat bangun dari tidurnja dan membikin pemeriksaan.
Tiba diluar perkampungan, terlihat majat dari tiga andjing pendjaganja dengan
kepala petjah bagaikan terkena pukulan tenaga dalam. Maka dan sini, Tjoa Tay-
kiong sudah dapat memastikan kedatangan musuh tangguh lagi diperkampungan
Sam-kiong San-tjhungnja.
Betul sadja! Sebelum tiba ditempat tudjuan, samar2 Tjoa Tay-kiong sudah dapat
melihat ada seseorang jang sedang melakukan penggalian kuburannja siwanita
badju merah.
Didekatinya lagi dan ternjata orang ini adalah si Pintjang yang pernah membikin
pengatjauan. Hatinya Tjoa Tay-kiong mendjadi marah dan membentak:
Tui Kie jang melihat dipergoki orang tidak mendjadi malu, malah dengan sikap
dingin berakata:
„Tjoa tayhiap, wanita di dalam kuburan tidak mempunyai hubungan sesuatu apa
denganmu, buat apa kau banjak rewel?”
Tjoa Tay-kiong jang sudah dibuat marah tidak memberikan djawaban, tapi
goloknja dikeluarkan dan membatjok kearah tangan orang.
Tui Kie lompat menjingkir, dengan tongkat ia menangkis datangnja serangan golok.
’Trang’ Golok dan tongkat beradu, mereka mempunjai kekuatan jang sama dan
siapapun tidak ada jang unggul.
24 GOLOK BINTANG TUDJUH
Pada saat itu, tiba2 terdengar satu suara siulan jang seperti djeritan setan. Dengan
tidak terasa, Tui Kie dan Tjoa Tay-kiong sama2 lompat mundur dar kedudukannja
masing2.
Suara aneh baru terdengar dari djauh, tapi sebentar sadja sudah datang dekat
didaerah dua orang jang baru bertempur. Mengikuti arah suara ini, Tui Kie dan Tjoa
Tay-kiong menolehkan kepala mereka ke sana dan helass...
Tidak djauh dari kuburannja si wanita badju merah terlihat seorang berbadan kaku
bagaikan majat, wadjahnja orang ini menjerupai wadjah kuda, pandjang dan
melurus kedepan. Dengan parasnja jang keputjat-putjatan sudah tjukup untuk
menakutkan orang, apa lagi melihat matanja jang tidak dapat dibedakan putih dan
hitam, sehingga sukar untuk membedakan keasliannja ia mendjadi satu manusia.
Kedatangannja orang ini membuat Tui Kie dan Tjoa Tay-kiong menghentikan
pertempurannja dan menduga-duga siapakah orang berwadjah kuda bagaikan
majat ini?
Namanja si Pintjang Tui Kie dan tjhungtju dari Sam-Kiong San-tjhung Tjoa Tay-kiong
sudah terkenal lama maka belum pernah mereka dibentak seperti ini. Dengan rasa
tidak puas mereka menanja:
„Siapa kau?”
Orang ini menggeram dan menubruk kearah si Pintjang, orang jang dituburukpun
tidak mau mengalah dan mengajun tongkatnja.
Tapi, hanja terdengar suara jang seruh dan ’Bak’, tiba2 Tui Kie sudah terdjatuh dari
tengah udara dan numprah di tanah dengan tidak bergerak lagi. Tongkatnja
terlihat sudah mendjadi bengkok bagaikan gelang dan bagaikan ular sadja melilit
tuannja sendiri.
Kedjadian ini sungguh berada diluar dugaannja Tjoa Tay kiong, ia tidak menjangka
dengan kekuatan Si Pintjang, di dalam segebrakan sadja sudah dapat ditundukkan
orang.
Orang itu setelah mengalahkan Tui Kie mulai menghadapi Tjoa Tay-kiong lagi dan
membentak:
CHUNG SIN 25
„Orang itu tidak menggali, kau seorang sadjalah jang menggalinja.”
Tjoa Tay-kiong sudah mengeluarkan Belati Hitamnja, ia siap mengadu djiwa dan
berkata menantang:
Orang itu jang melihat Belati Hitam dapat berada ditangannja Tjoa Tay-kiong
tertawa dingin:
„Tiga pusaka Kun lun pay sudah ada satu jang kelihatan, lekas bawa kemari!”
Tjoa Tay-kiong jang mengetahui masih bukan tandingan orang, tjepat lompat
menjingkir dengan melintangkan Belati hitamnja.
Dan di saat jang sangat berbahaja inilah, tiba2 terdengar satu suara orang ketiga:
Gerakannja orang aneh itu mendjadi lambat sedikit mendengar ada orang jang
masih berani menghalang-halang niatannia dan kesempatan inilah digunakan baik
oleh Tjoa Tay-kiong jang melompat pergi.
Tapi Tjoa Tay-kiong mendjadi kaget, karena orang jang baru datang ini ialah sigadis
pengenmis jang pernah mendatang rumahnja. Ia takut gadis tjilik ini mendjadi
korban keganasan orang, maka sambil menghadang ditengah djalan berkata
kepadanja:
Tapi sigadis ketjil tidak mendengar budjukan ini, dipandangnja Tjoa Tay-kiong
dengan pandangan mata mentjela sebentar, kemudian berkata lagi kepada orang
jang bermuka kuda:
Orang itu mana dapat mendengar perintahnja seorang pengemis ketjil jang tidak
ada namanja, maka tangannja sudah siap diulurkan menangkap Tjoa Tay-kiong
lagi.
Tjoa Tay-kiong jang melihat keberaniannja gadis tjilik ini memudji di dalam hati,
tapi ia tetap menghadang dan takut siorang bermuka kuda itu menurunkan tangan
djahatnja, maka ditariknja tangan kurus sigadis pengemis dan berkata:
Tapi sigadis berontak dari tjekelannja Tjoa Tay-kiong sambil mengeluarkan pandji
ketjil jang berbentuk segi pandjang jang segera diperlihatkan kepada orang itu
berkata:
Melihat pandji ketjil jang dibawa orang, tertawanja orang itu lenjap dengan segera,
ia lompat mundur dan menanja:
„Tidak ada.” Djawab jang ditanja singkat. „Hanja meminta kepadamu agar djangan
mengganggu Tjoa Tay-hiap.”
„Tunggu dulu.”
Tapi si gadis ketjil tidak memperdulikannja dan pergi terus sehingga lenjap didalam
kegelapan.
Tjoa Tay kiong sedianja mau menjusul orang dan menanjakan asal usulnja, tapi
dibelakangnja tiba2 terdengar orang itu berkata:
„Sampaipun aku sendiri djuga tidak berani menjentuhnja. Apa lagi kau?”
„Kau siapa?”
Si Pintjang Tui Kie jang pernah merasakan kelihayan orang tidak berani
membantah, diteruskannja galian jang tadi tertunda karena kedatangannja Tjoa
Tay-kiong. Maka sebentar sadja peti mati sudah terlihat dan muntjul diatas
permukaan tanah.
Orang itu membongkar dengan paksa dan menggeledah tubuhnja majat siwanita
badju merah, tapi apapun tidak didapatinja, maka dipandangnja Tjoa Tay-kiong
berkata:
CHUNG SIN 27
Lalu dengan tidak menoleh sama sekali, orang itu sudah berdjalan pergi dan lenjap
pula.
Pada saat itu, mendengar suara ribut2, Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong sudah
membawa beberapa orang mereka datang kesitu. Maka Tjoa Tay-kiong sudah
menjuruh orang2nja mengubur kembali majatnja si wanita badju merah.
Tjoa Tay-kiong djuga segera menuturkan kedjadian jang baru dialami kepada dua
adiknja. Mendengar penuturan sang toako tentang orang bermuka kuda jang
dapat menaklukan si Pintjang didalam segebrakan, Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-
hiong serentak berseru:
„Pek-kut Sin-kun!”
Ternjata orang jang bermuka kuda itu memang Pek-kut Sin-kun jang mendjadi
salah satu dari 4 Manusia Imperialis jang ganas, maka dengan mudah ia dapat
menaklukan si Pintjang Tui Kie jang hanja mempunjai deradjat sama dengan si
Muka Hitam Hek Thian-tong jang mendjadi muridnja.
Selesai penguburan kembali dari majatnja si badju merah, tiba2 Tjoa Tay-kiong
berkata:
„Didalam tubuhnja tidak kedapatan sesuatu apa, ini sudah dapat dibuktikan
dengan geledahannja Pek-kut Sin-kun tadi, maka aku telah berkeputusan untuk
turun kebawah lembah Patah Tulang untuk mentiari majatnia si anak ketjil!”
Tjoa Tay-hong jang mendengar sang toako mau turun kebawah lembah Patah
Tulang jang tjuram mendjadi kaget, dengan tidak terasa mendjerit:
„Toako...”
Tapi, keputusannja Tjoa Tay-kiong tak dapat ditjegah, maka ia menjuruh orang2nja
menjediakan semua tali jang ada untuk dikeesokan harinja turun kedasar lembah
Patah Tulang.
Dengan mendapat bantuan dari orang2nja jang menggunakan tali mengerek turun
kebawah dasar lembah Patah Tulang, sambil membawa obor penerangan, dengan
melalui batu aneh disepandjang tebing tjuram, achirnja Tjoa Tay-kiong sudah tiba
di dasar lembah.
Lembah Patah Tulang ini ditakuti orang bukan tidak ada sebab2nja, ternjata dasar
lembah ini memang tjukup dalam, Tjoa Tay-kiong mentjoba melongok keatas dan
mulut lembah hanja terlihat sebesar mangkuk makan sadja.
Dengan hanja melihat dengan sekelebatan mata, Tjoa Tay-kiong sudah dapat
memastikan, bajangan ketjil itu ialah si anak jang belum lama kematian ibunja.
Anak itu seperti melihat kedatangannja, maka melarikan diri dan masuk kegoa
rahasia dibawah dasar lembah Patah Tulang ini.
Orang jang terdjatuh dari tebing tjuram tidak mendjadi aneh, jang lebih aneh
didasar lembah jang sedalam ini masih terdapat goa rahasia, inilah kedjadian jang
seperti tidak mungkin sadja.
Ternjata goa jang dilihat oleh Tjoa Tay-kiong adalah goa rahasia jang menudju
kedjalan lama, djalan ini kini sudah hampir tertutup dan tidak digunakan lagi, disini
Tjoa Tay-kiong melihat banjak patahan tombak dan tulang2 kuda serta manusia,
dahulu di waktu djaman Kim dan Liauw, tempat ini pernah didjadikan medan
pertempuran, maka terdapat sisa2-nja jang seperti itu.
Tjoa Tay-kiong berdjalan disitu sekian lama dan terlihat bajangan ketjil itu
berklebat dan menumpat dibalik batu besar. Maka dengan tertawa ia berteriak:
Betul sadja, dari balik batu muntjul keluar satu kepala dengan rambut jang kusut,
itulah si anak jang belum lama ditinggal ibunja. Tjoa Tay-kiong jang melihat si anak
masih takut dan ragu2 kepadanja sudah menggapekan tangannja berkata:
„Tjoa Tayhiap.”
„Tjoa Tayhiap, kedatanganmu ini sangat kebetulan sekali. Simuka hitam itu masih
ada disini, ia terluka dan tidur tidak bisa bangun, tapi ia pernah berkata bahwa
djika aku tidak menurut perintahnja, ia tetap bisa bergerak untuk membinasakan
diriku.”
Tjoa Tay-kiong jang mendengar sampaikan Hek Thian-tong jang terluka masih
belum binasa terlebih kaget lagi, maka dengan heran ia menanja:
„Kini kau tidak usah takut padanja. Tjeritakanlah dahulu bagaimana kalian bisa
menjelelamatkan diri?”
„Aku djuga tidak begitu tahu djelas. Hanja teringat muka hitam itu menotok djalan
darahku sehingga tidak bisa bitjara dan tidak ingat orang lagi, sewaktu aku
CHUNG SIN 29
tersadarpun sudah berada di dalam goa rahasia ini dengan ia terbaring di
sebelahku. Itu waktu ia mengantjam agar aku tidak meninggalkan dirinja, bila
meninggalkan dirinja, ia masih punja daja mentjari aku untuk dibawahnja.”
Tjoa Tay-kiong jang melihat si anak tidak menakuti dirinja lagi mendjadi senang
dan berkata:
„Didalam satu ruangan jang tidak djauh dari sini.” Sianak memberi djawaban.
Tjoa Tay-kiong mengikuti arah jang ditundjuk olehnja menudju keruangan jang
didiami oleh Hek Thian-tong. Tapi disana ia tidak mendapatkan orang jang ditjari
dan hanja bekas rumput2 sadja jang masih hangat bekas ditiduri orang.
„Tjoa Tayhiap, aku tidak menipumu. Memang betul tadi ia berada disini, tapi entah
kemana ia kini.”
„Siapakah sebetulnja namamu? Dan dari mana pula kalian ibu dan anak?”
Sebetulnja, dengan ilmu kepandaian jang Tjoa Tay-kiong miliki, mudah sadja untuk
mengedjarnja dan menangkap kembali. Tapi tjhungtju dari perkampungan Sam-
kiong San-tjhung ini telah djatuh hati kepada si anak dan ada mempunjai niatan
untuk memungutnja mendjadi anak angkat, maka dibiarkannja sadja si ketjil pergi
agar tidak terlalu mengganggu kebebasannja.
Dilihatnja si anak ketjil lenjap di balik tikungan dan mengharapkan ia dapat kembali
lagi, tapi setelah ditunggu-tunggu sekian lama tidak melihat bajangan2-nja, baru
Tjoa Tay-kiong mendjadi sibuk dan menjusul.
Dibalik tikungan tadi, apapun sudah tidak terlihat olehnja, ditjarinja ubek2-an
sekian lama dan setelah tetap tidak ada hasil, dengan lesu terpaksa Tjoa Tay-kiong
balik ketempat tadi ia turun dan naik lagi balik ke perkampungan Sam-kiong San-
tjhung.
Ternjata si anak jang paling tidak suka ditanjai tentang asal usulnja melihat Tjoa
Tay-kiong melanggar pantangannja sudah melarikan diri. Bukan ia melupakan budi
Tjoa Tay-kiong jang baik hati, bukan ia membenci Tjoa Tay-kiong dan tidak mau
memberi tahu tentang nama dan asal usulnja, inilah karena menjangkut pesan
ibunja jang melarang ia menjebut namanja kepada siapapun djuga. Bukan sekali
dua kali karena menjebut namanja sehingga menimbulkan huru hara, sampaipun
kematian ibunjapun masih mempunjai sangkut paut dengan asal usulnja ini. Maka
Ia belari tidak lama, tiba2 kupingnja sudah dapat mendengar satu suara jang
memanggil perlahan:
„Siauw beng.....”
Tapi ia tidak usah berpikir lama, karena setjara tiba2 sadja lehernia sudah berada
didalam tjekekan orang dan terdengar orang ini berkata pula:
„Ternjata namamu Siauw-beng?... Ha... Ha... Ha... Ha... Kini aku telah dapat
mengetahui asal usulmu. Masih beranikah kau memanggil orang untuk
membunuh diriku lagi?”
Kagetnja Siauw-beng, demikian memang nama dari anak itu, tidak kepalang, ia
segera mengenali akan suaranja si Muka Hitam Hek Thian tong.
Hek Thian-tong jang takut Tjoa Tay-kiong kembali lagi sudah memutar untuk
melarikan diri, tidak disangka disini ia menemukan Siauw-beng jang sedang
melarikan diri dari pertanjaannja Tioa Tay-kiong maka dengan sekali tjekal ia
berhasil mentjekik batang lehernja.
Dari sini, Hek Thian-tong jang dapat bekerdja sebat sudah menotok djalan darah
korbannja dan dibawa lari balik lagi. Maka sewaktu Tjoa Tay-kiong menudju
kesana, apapun sudah tidak terlihat lagi.
„Aku mau lihat, masih dapatkah kau memanggil orang lainnja lagi?”
Siauw-beng jang melihat orang terluka dan kini mendjaga dimulut goa sudah siap
mengadu djiwa, ia tahu, tidak melawanpun akan mati tersiksa, maka dengan
sekuat tenaga ia menubruk kearah orang untuk meloloskan diri.
Hek Thian-tong jang mendjaga di depan pintu mendorong dengan kedua tangannja
untuk membalikkan tenaga orang.
CHUNG SIN 31
’Duk’ dua tangannja Hek Thian-tong telah mengenai pundaknja si anak sehingga
termundur kembali. Tapi tangannja Siauw-beng djuga tepat telah mengenai dada
orang dan ’Buk’ si Muka Hitam dibuat terpental djuga.
Hek Thian-tong merasa heran, mengapa anak ketjil ini mempunjai tenaga besar?
Tjepat ia bangun kembali dan berkata keras:
„Binatang, djawablah segala pertanjaanku atau kau akan kusiksa sehingga mati. Di
tempat jang sesunji ini, tidak mungkin ada orang kedua jang menolongmu lagi.”
Siauw-beng jang pernah dipesan oleh ibunja agar tidak mengutjapkan sepatah kata
tentang asal usulnja memandang orang dengan heran, tentu sadja ia tidak tahu
bahwa Hek Thian-tong telah mengetahui dari tjatatan di badju luarnja, maka
mendengar orang mengantjam, ia sudah siap mengadu djiwa pula dan
mengerahkan semua tenaga jang ada.
„Aku menanjaimu,” Hek Thian-tong bitjara pula. „’Kun-lun Sin-sie’ dan ’Tjian-lian
Soat-som’ berada dimana?”
Sauw-beng jang mendengar orang menanjakan dua pusaka ini mundur setindak
saking kagetnja.
Tidak lama kemudian, Siauw-beng sudah mundur sehingga dipodjok goa dan tidak
ada tempat untuk mundur lagi.
Djilid Ke II.
Dan di ini waktulah terdengar satu suara halus jang berkata:
„Hek Thian-tong, kau disini menghina seorang anak kecil? Apa kau tidak takut
membikin malu dan merusak nama suhumu?”
Melihat wadjah mukanja si nenek tua jang welas asih, lagu suaranja jang lemah
lembut, hati Siauw-beng mendjadi tertarik. Tentu sadja Siauw-beng akan tertarik,
djika ia tidak tahu belakangnja si nenek dan hanja melihat wadjah dan kata2nja
sadja, siapapun akan mendjadi suka dan tertarik. Apalagi Siauw-beng jang masih
belum ada pengalaman sama sekali. Rasa sukanja terhadap nenek tua ubanan ini
ada terlebih besar dari kepada Tjoa Tay-kiong jang pernah menanjakan asal usul
dan namanja. Maka dengan memanggutkan kepala ia berkata:
Si nenek tua hanja tertawa, tidak terlihat ia menggunakan tjara apa, tahu2 Hek
Thian-tong sudah rubuh keledjetan dan mati di itu saat djuga.
Siauw-beng jang melihat Hek Thian-+ong ketakutan dan mati sudah dapat
memastikan bahwa nenek tua ini mempunjai ilmu kepandaian jang sangat tinggi
sehingga membuat orang takut seperti ini, dipandangnja terus dan terdengar si
nenek berkata:
„Anak, suhu dari si Muka Hitam ini adalah Pek-kut Sin-kun jang ternama,
kepandaiannjapun tinggi luar biasa, djika ia tahu kau telah membunuh mati
muridnja, sudah pasti ia akan marah dan mentjarimu kemana-mana. Marilah kita
lari dengan segera.”
CHUNG SIN 33
Tentang ilmu kepandaiannja si Muka Hitam Hek Thian-tong, Siauw-beng telah
dapat menjaksikan dengan mata sendiri, maka mendengar orang masih
mempunjai seorang guru jang sudah dapat dipastkan mempunjai ilmu lebih tinggi,
hatinja Siauw-beng bertambah kalut dan takut, maka ia membiarkan tangannja
dituntun oleh si nenek tua dan berdjalan meninggalkan goa.
Kini ia sedang mengikuti si nenek tua berliku-liku mengitari beberapa goa rahasia
dan achirnja tiba di satu djalan lorong jang buntu.
Disini terlihat si nenek tua mentjaibut satu pohon tua dan terdengar suara ’Krek’
'Krek’nja alat rahasia, di depan mereka kini timbul satu djalanan baru.
„Anak, djanganlah kau mendjadi heran, masih banjak kedjadian2 lagi jang terlebih
dari ini. Di djaman dahulu, lembah ini adalah tempat jang sering didjadikan medan
pertempuran dan rahasia2 goa di ini tempat adalah bikinan2 tentara Mongol.
Turun temurun sehingga kini, ketjuali kau dan aku, mungkin sudah tidak ada orang
tahu lagi. Kau lihat, pohon itu apa pohon betul, jang hidup disitu?”
Maka dengan adanja si nenek tua jang mengetahui seluk beluknja djalan keluar ini,
dengan tidak melalui mulut lembah Patah Tulaug jang masih didjaga oleh
orang2nja Tjoa Tay-kiong, mereka meninggalkan tempat itu.
Apa mau sekeluarnja dari dasar lembah, Siauw-beng merasakan hawa dingin jang
menjerang badan, dengan tidak terasa ia menggigil kedinginan.
„Anak, aku mempunjai satu tjara untuk membuat kau tidak merasakan hawa
dingin. Maukah kau mendengar kata2ku?”
„Ng, sebutkanlah.”
Sinenek tua mengadjaknja kesalah satu batu besar dan menjuruh ia duduk bersila,
kemudian mengulurkan tangannja jang ditempelkan dibebokong orang berkata:
„Sebentar, bila kau merasakan ada satu aliran jang ingin menerobos keluar badan,
djanganlah kau menggunakan tenaga untuk menekannja, biarkan hawa aliran ini
berkumpul didjalan darah Tan-thian mu.”
Betul, tidak lama kemudian, Siauw-beng sudah merasakan ada satu tenaga besar
jang mau mendjebol badannja lari keluar, maka diikutinja tjara2 jang telah
diberikan, maka tenaga besar ini sudah dapat dituntun ke arah Tan-thian, tidak
lama terasa otaknja mendjadi djernih, kini apapun sudah tidak terdengar dan tidak
terlihat lagi olehnja, bagaikan seorang jang bersemedhi, terasa satu kesenangan
jang terhingga.
Sampai disini, mungkin ada beberapa pembatja jang tidak mengerti. Maka untuk
djelasnja, perlulah sekedar mentjeritakan tentang Siauw-beng ini.
Ternjata, ibu dari anak ini telah memberi makan kepadanja ’Tjian-lian Soat-som’
jang mendjadi salah satu pusaka Kun-lun-pay, maka setjara otomatis, latihan
tenaga dalamnja Siauw-beng telah bertambah mendjadi 10 tahun lebih, inilah
sebab2nja mengapa Muka Hitam Hek Thian-tong tidak dapat melukainja.
Tentang asal usulnja nenek tua djuga bukan asal usul biasa, sebetulnja, sewaktu
Tui Kie sekalian mengatjau di Sam-kiong San-tjhung, ia telah berada disana djuga,
disaksikan bagaimana pertarungan kalut diantara mereka, tapi karena disana ada
sipengemis tua jang diseganinja, maka ia tidak berani muntjul dengan setjara
terang.
Disaksikannja bagaimana Hek Thian-tong membawa lari anak ketjil ini dan
bagaimana achirnja djatuh ke dalam lembah Patah Tulang. Diam2 ia dari matanja
si pengemis tua dengan gadis ketjilnja, ia memutari beberapa gunung dan achirnja
dapat masuk kedasar lembah Patah Tulang melalui djalan2 rahasia.
Tidak sukar diduga bahwa maksud tudjuannja nenek tua inipun menjangkut kitab
pusaka ’Kun-lun-sin-sie’ djuga, tapi ia menggunakan tjara lain dari pada jang lain
dan achirnja berhasil membawa Siauw-beng keluar lembah. Ia menggunakan
wadjahnja jang pandai membuat sikap welas asih dan dengan sikap setjara halus
sedang berusaha mengorek keterangan tentang tempat penjimpannja ’Kun-lun
Sin-sie’.
Orang jang mempunjai latihan ilmu silat memang lebih mudah menahan hawa
dingin atau panas, maka dua djam kemudian, Siauw-beng merasakan badannja
mendjadi hangat dan tidak merasakan dingin udara lagi, dengan membuka
sepasang matanja ia berkata:
„Apa artinja baru merasakan tidak dingin lagi? Diperkampungan Sam-kiong San-
tjhung kau pernah melihat beberapa orang, bukan? Diantara mereka itu, tidak ada
satu jang tidak berkepandaian tinggi......”
CHUNG SIN 35
Dipandangnja si anak sebentar, melihat reaksi balikannnja, maka setelah melihat
Siauw Beng memanggut-manggutkan kepala, baru ia berkata lagi:
„Djika kau mau ikut pulang kerumahku, didalam waktu 5 tahun sadja, aku dapat
membuat kau terlebih pandai dari mereka.”
„Betul? Aku mau. Lo-popo, kau sangat baik sekali, siapakah namamu?”
Si nenek tua jang pernah melihat bagaimana anak ketjil ini melarikan diri dari
pelukannja Tjoa Tay-kiong gara2 ditanjai nama dan asal usulnja sadja, sudah tahu
akan pantangan orang, maka ia jang pandai mengambil hati sudah berkata sambi
menepuk pundaknja Siauw Beng:
„Anak, kau tidak usah menanjakan namaku, aku-pun tidak usah menanjakan
namamu. Kau memanggil aku Lo-popo, aku memanggilmu anak. Apa kau setudiu?”
Kata2 jang sematjam inilah jang dimaui dan ditjotjoki oleh Siauw Beng, maka
dengan hati lega ia berkata:
Didalam hatinja si nenek tua tertawa, maka berdua mereka mengambil arah Utara
melandjutkan perdjalanannja.
Didepan mereka sudah terbentang satu telaga jang luas, samar2 ditengah telaga
ini terlihat bajangannja satu pulau. Dengan menundjuk kearah sana si nenek tua
berkata:
„Rumahku terletak di pulau itu, ketjuali seorang pelajan wanita jang gagu sudah
tidak ada orang lain lagi jang ada disana. Kau kalau melatih ilmu silat disana, 5
tahun kemudian, sudah dapat dipastikan dapat menggemparkan dunia.”
Siauw-beng selama sebulan ini sudah menganggap si nenek tua sebagai neneknja
sendiri, maka ia hanja menganggukkan kepala, menuruti kemauannja.
Terlihat si nenek tua menarik keluar satu perahu jang diselipkan di-alang2 dan
mulai menudju kearah pulaunja.
Lama sekali baru dapat terlihat dengan djelas tentang keadaan pulau ini, ternjata
pulau jang sedang ditudju adalah pulau tandus jang botak dari segala matjam
tumbuh2an, semakin mendekati pulau tandus ini, terasa angin pujuh jang semakin
kenjang lagi. Siauw Beng memandang ke arah si nenek tua jang mengajuh
perahunja dengan berat dan menggunakan tenaga, rambut putihnja terlihat
tertiup berkibar-kibar menandakan angin pujuh jang hebat.
Siauw Beng mengetahui usianja nenek ini sudah tjukup tua, tapi iapun tahu ilmu
kepandainnja ada lebih tinggi dari pada si Muka Hitam Hek Thian-tong dan Tjoa
Tay-kiong sekalian, melihat ia bekerdia seberat ini, timbullah rasa kasihannja,
seraja madju mendekati ia berkata:
36 GOLOK BINTANG TUDJUH
„Lo-popo, biar aku jang membantumu.”
„Dangan kau mentjoba untuk bergerak dari tempat dudukmu, hati2lah dengan
angin pujuh jang tidak pernah berhenti ini. Berkat bantuan angin pujuh inilah,
sehingga tidak ada orang jang dapat mendatangi pulau kita.”
Sampai disini, Siauw Beng baru mengetahui bahwa pulau ini bernama pulau Angin
Pujuh.
Sinenek tua mengajuh sekian lama dan tiba2 memekik keras. Biarpun berada
diantara angin pujuh, suara pekikan ini masih terdengar njaring sekali,
menandakan ilmu tenaga dalamnja jang maha tinggi.
Kini Siauw Beng dapat melihat dengan djelas, orang jang berada diatas pulau
berupa nenek tua djuga, bahkan melebihi tuanja si nenek jang pertama. Badannja
tinggi dan besar, wadjahnja bengis dan galak, inilah perbedaan jang menjolok mata
dengan si nenek pertama jang berwadjah welas asih.
„Dia adalah orang jang akan kudjadikan murid,” berkata nenek jang membawa
Siauw-beng kemari kepada si nenek galak. „Lekas sediakan kamar batu untuk
dirinja.”
Sinenek gagu berdjalan pergi, agaknja ia takut sekali kepada nenek tua pembawa
Siauw Beng.
Menunggu sampai sigagu pergi, baru nenek ini berkata perlahan kepada botjah
ketjilnja:
„Anak, sigagu itu adalah seorang tokoh djahat didalam rimba persilatan jang dapat
kutaklukan dan dibawa kemari untuk melajani segala kebutuhanku. Sifatnja galak
dan berangasan, adatnja djelek dan djahat, tenaganja besar dan kuat, hati2lah
terhadap dirinja, djangan kau mentjoba untuk mendekati.”
Siauw Beng merasa kesepian, dilongoknja arah lenjapnja sigagu tadi, tidak lama
sigagu jang berbadan tinggi besar itu sudah kembali lagi dengan golok berukuran
luar biasa besarnja, dengan golok besar ini si gagu membelah-belah batu dan
membuat bangunan untuk Siauw Beng menetap.
Siauw Bong mendjadi heran, golok jang berukuran tidak normal itu dapat
digunakan oleh si gagu? Mungkinkah golok palsu? Untuk mendapatkan
CHUNG SIN 37
kepastiannja, ia telah menggunakan ketika sigagu meletakannja golok besarnja
untuk istirahat, Siauw Beng sudah menghampiri untuk ditjoba keberatannja.
Siauw Beng tiba di depannja golok besar pemetjah batu, tangannja diulurkan untuk
mengangkatnja.
Berat! Tentu sadja Siauw Beng tidak dapat mengangkat golok pemetjah batunja
sigagu. Sedang ia berkutetan disana, sigagu sudah balik kembali, dilihatnja gerakan
Siauw Beng jang seperti mau mengambil golok pemetjah batunja, dengan
berteriak kalap ia menerkam ke arah Siauw Beng.
Tentu sadja Siauw Beng mendjadi kaget, hampir sadja ia mendjadi korban si gagu
jang ganas. Masih untung si nenek segera dapat melihat, maka bagaikan burung
alap2, disambernja Siauw Beng dan dibawa menjingkir dari bahaja.
Siauw Beng terdiam, dipandangnja sigagu jang mulai memetjah batu lagi, ia kagum
atas tenaga orang jang besar dan ketadjamannja golok pemetjah batu jang besar
luar biasa.
Sinenek tertawa, dipandangnja Siauw Beng jang seperti suka dengan permainan
golok pusaka, maka sambil mengelus-eJus rambut orang ia berkata:
„Anak, golok jang seberat ini tidak mudah untuk digunai. Ketjuali sigagu, tidak ada
orang kedua jang dapat memakainja.”
„Anak, bila kau ingin golok, Golok Bintang Tudjuh-ku ini sadjalah kau boleh gunai.
Biar mulai esok hari kuberikan kepadamu peladjaran ilmu golok Bintang Tudjuh.
Setelah selesa kau mempaladjarinja, biarpun golok sigagu berat dan besar, dengan
mudah kau dapat mengalahkannja.”
Sambil membawa golok Bintang Tudjuh, Siauw Beng keluar lagi. Tapi sigagu jang
melihat sudah berteriak ’Ak’ ’ak’ ’Uk’ ’Uk’, seraja mengajun-ajunkan golok
pemetjah batunja, ia seperti menantang orang untuk bertanding.
„Gagu, berani kau tidak memandang mata kepada orang. Kau djangan suka
mengagul-agulkan dirimu, belum tentu kau dapat mengalahkannja, tahu?”
„Kau tidak pertjaja?” Tanjanja, „Selesaikanlah bangunan itu dahulu, nanti akan
kusuruhnja ia melajanimu sehingga tiga djurus.”
Sigagu terlebih girang, dari suara mulutnja ia berteriak ’Uak’ ’Uak’ menandakan
kepuasannja. Tjepat sekali ia menumpuk batu lagi dan membangun untuk Siauw
Beng menetap nanti.
Sebaliknja, Sauw Beng mendjadi ketakutan setengah mati, tidak disangka ia harus
disuruh berhadapan dengan sigagu dengan golok pemetjah batunja. Mana
mungkin ia dapat memberikan perlawanan, walau hanja didalam 3 djurus sadja?
„Popo,” demikian Siauw Beng berkata. „Goloknja galak, tenaganja besar, biarpun
satu djurus sadja, aku sudah tidak sanggup.”
Siauw Beng jang pernah menjaksikan bagaimana lihaynja nenek tua ini
mempermainkan Hek Thai-tong mendjadi gembira, ia pertjaja kepadanja. Maka
dengan berteriak riang, dipeluknja si nenek dan berkata:
Sinenek jang melihat kelakuannja Siauw Beng sedemikian mesra mendjadi senang,
ia tahu ketjuali Siauw Beng mengetahui tempat penjimpanan itu buku 'Kun-lun-
sin-sie’ sudah tidak ada orang kedua lagi. Maka bila Siauw Beng dalam gembira dan
mengatakan letak penjimpanan, sudah tentu dengan mudah ia akan dapat
memilikinja.
Tapi si nenek tua tidak ter-gesa2 atau terburu napsu, ia mempunjai kesabaran jang
luar biasa. Ketjerobohan akan mengakibatkan kegagalan. Pepatah ini diingatnja
betul dan tidak segera menanjakan kepada si anak sengsara. Ia ingin membuktikan
kepada sang anak, bahwa ia dapat menggantikan kedudukan ibunja jang sudah
meninggal dunia. Dan itu waktulah, setelah Siauw Beng pertjaja kepada
kebaikannja, dengan mudah atau sonder disuruh lagi, sudah pasti Siauw Beng akan
membongkar rahasia sendiri.
Waktu jang diperlukan seperti ini bukan satu atau dua hari, mungkin 3 tahun atau
5 tahun, besar djuga kemungkinannja belum tjukup untuk memberikan
kepastiannja.
Tapi si nenek tua sudah melihat bagaimana kekukuhannja hati pribadi Siauw Beng
diperkampungan Sam-kiong San-tjhung, maupun didasar lembah Patah Tulang,
maka ketjuali satu djalan ini, tidak mungkin ada djalan lain lagi.
CHUNG SIN 39
Disinilah letaknja kepintaran dari si nenek tua sehingga Siauw Beng jang
terperangkap dengan tipu baik budinja pertjaja 100% kepada si nenek djahat dan
mengakibatkan kesalahan2 dikemudian hari. Inilah tierita berikutnja dari
kedjadian tadi, dan biar dituturkan dibagian belakang sadja.
Disana, sigagu tidak memperdulikan apa jang diberikan orang kepada anak ketjil
jang akan mendjadi tandingannja. Batu diangkat, dibelah dan disusun sedemikian
rupa membuat bangunan darurat untuk Siauw Beng menetap.
Tenaga dari nenek gagu ini memang luar biasa besarnja, maka ia menggunakan
golok pemetjah batu jang berukuran tidak normal itu mudah seperti golok biasa.
Sebentar sadja ia sudah menjelasaikan tugas jang diberikan kepadanja dan mulai
menenteng golok pemetjah batu jang segera dituding-tudingkan ke arah Siauw
Beng.
Waktu itu, Siauw Beng telah diberi tjambuk perak untuk digunakan sebagai
sendjata atau genggamannja, terhadap permainan ilmu tjambuk ini ia masih belum
dapat memahami semua. Maka dengan hati berdebar-debar ia menjiapkan diri
untuk diudji tentang kebenaran dari kata2 ’Popo’nja.
Nenek tua penghuni pulau Angin Po-juh tahu akan keragu-raguan Siauw Beng,
maka ia mendekatinja dan membisiki:
„Sigagu agaknja sudah tidak sabaran. Ingatlah semua peladjaran jang belum lama
kuberikan. Maka gunakanlah tipu ’Membuang tenaga lawan’ menghindari
serangan golok jang pertama dan kedua. Untuk serangan goloknja jangketiga,
untuk menundukannja agar selandjutnja ia dapat mendengar perintahmu, kau
harus menggunakan sedikit kekerasan. Maka kutanggung didalam tiga djurus ini
kau dapat mendjatuhkannja.”
Siauw Beng sudah tidak diberi kesempatan untuk berpikir, si nenek gagu sudah
menggerakkan golok pemetjah batunja dan ’Hut’ mengepruk keatas kepalanja.
Didalam keadaan jang seperti ini, hanja satu djalan baginja, menuruti apa jang
telah diadjarkan kepadanja, Siauw Beng mengajun tjambuk perak menapaki
datangnja golok pemetjah batu dari si nenek gagu.
Golok pemetjah batu dan tjambuk perak pertanda dari penghuni pulau Angin
Pujuh beradu. Siauw Beng merasakan getaran jang hebat luar biasa, hampir sadja
tangannja patah di itu ketika, tjepat sekali ia mengerahkan peladjaran
’Membuang tenaga lawan’ menjeret tjambuk perak jang digesernja menurut arah
tenaga lawan, maka satu tenaga lunak mengikuti arah jang digeser ini
menghilangkan tenaga kerasnja si nenek gagu.
Tapi, ilmu kepandaian si nenek penghuni pulau Angin Pujuh memang tjukup hebat,
dengan sendirinja, pelajaran jang diberikan kepada Siauw Beng djuga tjukup hebat.
Tidak perduli apa jang dihadapinja, Siauw Beng mengajun tjambuk perak lagi
memberikan perlawanan mati2an.
Mengikuti petundjuk si nenek penghuni pulau Angin Pujuh, sekali lagi Siauw Beng
menggunakan ilmu ’Membuang tenaga lawan’, melibat golok orang memunahkan
tenaga besar jang datang dan mengenjampingkannja.
Wadjahnja sigagu sudah tidak segalak tadi, iapun tidak marah2 lagi, sebaliknja,
keeherananlah jang terlihat njata. Ia mundur dua tindak, kemudian golok diangkat,
bagaikan membelah kaju, diajunkan kearah kepala sang lawan.
Dua kali Siauw Beng menuruti apa jang telah ditundjuk dengan mendapatkan hasil
sempurna, maka ini kali, dengan tidak berpikir lagi, iapun mengangkat tjambuk
peraknja, siap melemparkan golok pemetjah batunja si nenek gagu itu.
Semua kedjadian sudah dapat diramalkan terlebih dahulu oleh si nenek tua
penghuni pulau Angin Pujuh maka terdengarlah ’Trang’ dan badannja Siauw Beng
telah terpental 10 tombak dari tempat semulanja.
Siauw Beng masih terlalu ketiil untuk dapat memahami semua kelitjikan dunia,
akal tipu manusia, ia tidak akan menjangka si nenek tua jang main gila, sebaliknja
menjangka dirinja sendiri jang kurang paham didalam ilmu silat jang diberikannja
tadi. Ia terdjatuh dengan dada sesak dan ’Oak' pingsanlah si anak ketjil jang
bernasib djelek ini.
„Popo..... Aku.....”
Tapi Siauw Beng tetap meneruskan kata2nja djuga, ia takut mendapat salah dari
nenek tua jang berkepandaian tinggi ini.
„Anak, akulah jang salah.” Berkata si nenek penghuni pulau Angin Pujuh. „Tidak
seharusnja aku membiarkan kau menjambuti tiga djurus serangannja.”
Sebetulnja, usul pertaudingan telah disetudjui oleh nenek tua ini, bahkan ia pernah
menepik dada mendjandjikan kemenangan bagi si anak sengsasara. Tidak disangka
hanja beberapa patah kata inilah jang diutjapkan olehnja. Dari sini sudah dapat
membuktikan akan kelitjinannja si nenek tua.
Tapi, Siauw Beng jang berotak ketjil, biar bagaimana tetap masih berupa seorang
anak ketjil biasa. Tidak mungkin ia dapat mengetahui atau menjelami kelitjikan
dunia. Kelakukan baik dari si nenek membuat ia sukar untuk melupakannja, maka
dengan terharu berkata:
„Popo,..... Akulah jang berotak tumpul..... sehingga tidak dapat memahami semua
ilmu peladjaran jang diberikan sesingkat tadi. Biar lain kali kupeladjari dengan
terlebih teliti dan melawannja lagi.
„Hebat!”
Siauw Beng heran, ia tidak mengarti apa kegunaannja pisau disaat jang seperti ini.
Sinenek tua membuat satu sikap susah pedih, dengan lagu suara seperti meratap
berkata:
„Lukamu terlalu parah, darah jang keluarpun bukan sedikit. Maka aku mau
mengorek sebagian dipundakku, demikian djuga dipundakmu jang akan kubuka,
dari situlah nanti aku mentjurahkan darah kedalam tubuhmu menambah darah
jang kehilangan tadi.”
„Popo, lukaku tidak seberapa. Tapi dengan umunmu jang sudah sedemikian tua.....
“
„Hus!” Potong si nenek tua, „Aku baru berumur 67, siapa jang mengatakan tua?”
Siauw Beng tidak berani banjak bitjara lagi karena dibentak seperti tadi. Ia
merapatkan kedua matanja, menarik napas pandjang memikiri lukanja.
Siauw Beng tidak banjak debat lagi, dibiarkan sadja segala gerakan si nenek tua
jang belum diketahui namanja. Di dalam hati ketjilnja sangat bersjukur dan
berterima kasih. Ia bersumpah untuk mengingat budi ini sehingga mati.
Masih untung Siauw Beng telah diberi makan ’Tjian-lian Soat-som’ oleh ibunja,
biarpun luka jang diderita tjukup berat, berkat bantuannja si nenek, tidak lama,
iapun dapat sembuh kembali.
Tentang sigagu jang dipanggil ’Tan Khiong’ perlu dituturkan sedikit disini.
Ternjata nama ’Tan Khiong’ sudah tidak terlalu asing lagi bagi mereka jang sudah
berusia landjut. Sifatnja galak dan berangasan, inipun dikarenakan Ia dilahirkan
dikampung orang miskin. Sewaktu ia baru dilahirkan, setjara mendadak sadja Tan
Khiong dilarikan oleh binatang monjet raksaksa, disana ia diberi susu binatang
besar ini, maka dengan sendirinja, pertumbuhan badan Tan Khong melebihi dari
pertumbuhannja manusia biasa. Sifatnja galak bagai pengasuhnja, dan sifat inilah
sukar untuk dirubah selama hidupnja.
Tan Khiong hidup dirimba raya selama 7 tahun, itu waktu ia telah setinggi manusia
biasa, tenaganja besar dan kuat, bukan satu dua kali ia mengedjar binatang2
lainnja untuk dibeset-beset bagaikan mainan biasa.
Sewaktu Tan Khiong berumur 12 tahun, lewatlah seorang padri ternama jang
menemuinja, maka Tan Khiong dipelihara dan diberi ilmu peladjaran, demikianlah
sehingga si padri ternama itu wafat.
Sewaktu gurunja masih hidup, tidak berani Tan Khiong mengganas atau
mengganggu sesamanja, tapi setelah si padri ternama wafat, sifat binatangnja Tan
Khiong kumat pula, serangkali ia mengganggu manusia jang lewat disisinja, ia
merampas makanan dan mempermainkan orang.
CHUNG SIN 43
Bukan satu dua orang jang ingin mendjatuhkan 'Wanita raksasa djahat’ ini, tapi
disebabkan kepandaian Tan Khiong memang tjukup tinggi, tenaganja tjukup
maka tidak ada satu diantara mereka jang dapat memenangkapnja.
Demikianlah, pada suatu hari, datang seorang jang mengatakan kepada Tan
Khiong, bahwa ia tidak pantes kalau tidak bersendjata, sebagai seorang ’Raksasa’
sendjatanja harus menggunakan sendjata raksasa djuga, maka diusulkan untuk
mengambl besi badjanja Hun-in Lo-koay digunung Khong tong.
Nama Hun-in Lo-koay jang mendjadi salah satu dari 4 ’Manusia Imperialis’ tidak
berada di bawhnja Pek-kut Sin-kun, tentu kepandaiannja hebat dan lihay, orarg ini
sengadja mengatakan demikian agar Tan Khiong dapat menderita kekalahan
disana.
Tapi nasibnja Tan Khiong mudjur, sewaktu ia tiba digunung Khong-tong, Hun-in Lo-
koay sedang bepergian keluar, maka dengan mudah Tan Khiong mendapatkan itu
besi badja jang segera dibuat mendjadi golok besar jang istimewa, inilah asal
usulnja itu golok pemetjah batu jang pernah Siauw Beng lihat di pulau Angin Pujuh.
Sewaktu itu, Tan Khiong masih dapat bitjara dan tidak gagu seperti apa jang kita
djumpai di pulau Angin Pujuhnja si nenek tua. Ia malang melintang lagi 10 tahun
dengan tanpa tandingan sehingga achirnja menemui si nenek tua jang lihay.
Sinenek tua penghuni pulau Angin Pujuh segera menotok djalan gagunja sehingga
membuat Tan Khiong tidak dapat bitjara, lalu diadjak pulang ke pulaunja untuk
didjadikan budak merangkap pendjaga pulaunja bila ia sedang pergi keluar.
Mudah dimengerti Siauw Beng jang masih ketjil bukan tandngannja Tan Khiong
sidjago raksasa, hal ini pun sudah dapat dimaklumi oleh si nenek tua penghuni
Angin Pujuh jang membawa Siauw Beng pulang ke pulaunja dengan mengandung
maksud jang tertentu. Maka sewaktu serangan golok pemetjah batu jang ketiga
datang, ia sengadja menjuruh si anak membuat terpental sendjata berat orang
agar Siauw Beng terluka, dan betul sadja, menurut rentjana, Siauw Beng sudah
terluka dan dibaringkan ditempat tidur batunja.
Karena Siauw Beng terluka, maka ada terlebih mudah untuk menjalurkan sedikit
darahnja kedalam tubuh sianak, alasan inipun tjukup kuat sehingga tidak mungkin
Siauw Beng dapat bertjuriga kepada si nenek tua jang selalu dipanggil ’Popo’ satu
sebutan jang lazim bagi seorang jang memanggil neneknja sendiri jang tertjinta.
Sinenek tua tidak sadja menjalurkan sedikit darahnja kepada Siauw Beng, bahkan
memberikan perawatan jang terlebih teliti dari pada siapapun djuga, satu
pantjingan jang paling sukar untuk dilakukan oleh manusia biasa, dan karena inilah
sifat djinaknja Siauw Beng sudah dapat dipupuk sehingga ia pertjaja penuh kepada
si nenek tua melebihi kepertjaan kepada siapapun djuga.
Tapi Siauw Beng tjukup tjerdik, selalu menghindari diri dari ber-matjam2
gàngguannja Tan Khiong jang ia tahu bertenaga besar luar biasa, tjara demikian ia
dapat menetap dipulau Angin Pujuh sehingga 6 tahun.
6 tahun kemudian.....
Anak ketjil Siauw Beng telah berubah mendjadi seorang anak muda gagah, latihan
dipulau Angin Pujuh telah membuat pemuda ini bertambah kuat dan sehat.
Pada suatu hari, sebagaimana biasa, setelah Siauw Beng melatah diri menudiu ke
bangunan batu jang didiami oleh si nenek tua. Disanalah pemuda dibuat kaget
karena terdengar suara ’Ak’ ’Ak’ ’Uk’ ’Uk’ nja Tan Khiong jang seperti meminta
sesuatu apa.
Selama 6 tahun belakangan ini, Siauw Beng sudah dapat mengetahui bahwa Tan
Khiong tidak puas terhadap dirinja si nenek tua, bukan satu dua kali si raksasa gagu
membokong ingin mematikan orang. Namun, berkat ketangkasannja si nenek jang
memang lihay luar biasa, selalu serangan2 bokongan itu dapat digagalkan.
Demikian djuga di hari itu, Siauw Beng sudah menjangka sesuatu apalagi, tjepat
sekali ia lari menudju ke bangunan si nenek tua untuk melihat ap jang telah
terdjadi, terhadap nenek tua jang dianggapnja sangat baik ini. Siauw Beng ternjata
sangat tjinta sekali.
Siauw Beng telah menganggap si nenek tua itu seorang jang terbaik didalam dunia,
seorang nenek welas asih penjajang sesamanja, seorang nenek jang tidak
mementingkan diri sendiri demi menolong penderitaan umat manusia.
Djikalau Siauw Beug tidak memikir di sampingnja ada seorang nenek jang baik
budi, seorang nenek pembela keadilan, mana mungkin ia dapat tinggal atau hidup
bersama-sama dengan seorang raksasa galak jang seperti Tan Khiong. Sinenek
tjerita, Tan Khiong ini sebenarnja sebagai seorang biasa jang ditotok djalan gagunja
untuk didjadikan budak pendjaga pulau Angin Pujuhnja. Tjerita ini, bila didengar
oleh orang lain, tentu tidak dipertjaja. Tidak demikian dengan Siauw Beng jang
telah tunduk takluk kepada kewibawaannja si nenek tua, segala matjam
perkataannjapun dianggap betul sadja.
Disana, sewaktu Siauw Beng tiba dibelakang bangunanan batu jang didiami oleh
nenek tuanja, sudah terlihat Tan Khiong membatjok-batjokan golok pemetjah batu
merusak bangunan.
CHUNG SIN 45
Siauw Beng menjinta si nenek tua melebih dari pada ibunja, maka melihat tidak
ada gerakan sesuatu apa, dengan tidak mementingkan keamanannja, ia lari masuk
dari pintu lainnja.
Maka, sebentar sadja Siauw Beng sudah tiba di dalam bangunan batu tadi. Tampak
ditempat tidurnja si nenek tua terlihat terbaring satu tubuh jang tidak bertenaga,
itulah si nenek penghuni pulau Angin Pujuh jang sedang membawakan peranannja
main komidi.
Tapi Siauw Beng tidak tahu, disangkanja si nenek tua sedang terluka, maka tjepat
dihampiri dan nanja:
Sinenek tua merintih-rintih seperti menanggung sakit jang hebat sekali, dengan
tidak memberi djawaban jang pasti ia balik menanja:
„Anak, suara apakah jang ribut2 diluar bangunan batuku ini? Mungkinkah Tan
Khiong si binatang jang melihat aku terluka menantang perang lagi?”
Siauw Beng tidak menjangka akan sandiwara, tjepat ia madju memajang dan
berkata:
„Anak, aku telah salah melatih diri. Semalam baru terasalah akan kesalahanku ini
jang mengakibatkan lenjapnja sebagian besar dari tenaga latihanku. Agaknja si
gagu tahu hal ini, maka iapun berani mengamuk lagi.”
„Anak, ambillah tjambuk perak dan golok Bintang Tudjuh itu, kedua sendjata ini
tjotiok sekali untuk digunakan untukmu. Maka sebelum Tan Khiong mengetahui
akan keadaan jang sebenarnja dari keadaan lukaku, tidak mungkin ia berani
lantjang masuk kemari. Kesempatan ini dapat kau gunakah baik2 untuk melarikan
diri. Lekaslah kau lari, semakin tjepat semakin aman, djanganlah sampai ditemui
oleh si raksasa gagu lagi.”
„Popo, apa jang kau utjapkan tadi? Kau menjuruh aku melarikan diri?”
„Betul..... lekas..... Lekaslah kau lari..... Lari mendjauhi Tan Khiong si iblis
jang lagi kalap itu.”
Siauw Beng tahu bahaja apa jang akan mengantjam mereka berdua jang masih
berada didalam rumah bangunan batu.
„Popo,” demikian teriak si pemuda. „Djanganlah kau mentjapaikan diri lagi, biar
kutjoba untuk memantjing pergi sigagu jang ganas itu.”
betul sadja, badannja Siauw Beng sudah melesat keluar untuk mengadu djiwa
dengan Tan Khiong agar dapat menolong si nenek tua.
Golok Bintang Tudjuh mulai diajun dan suara ’Aung’ ’Aung’ dari 7 lubang telah
dapat menjaingi suara angin jang menderu-deru, dari sini sudah dapat dibuktikan
akan tenaga latihannja Siauw Beng jang madju pesat.
Bentuk dan rupanja golok Bintaog Tudjuh tidak djauh berbeda dengan golok2 jang
biasa digunakan sebagai sendjata, hanja 7 lubang benbentnk bintang itulah jang
mendjadi kestimewaannja, maka semakin keras diputar, semakin njaring pula
bunji jang dikeluarkan. Semakin besar tenrga orang jang menggunakannja,
semakin hebat pula chasiatnja golok ini.Lubang2 itulah jang membuat suara
kentjang berbunji bagaikan suara gangsingan jang diputar me-ngaung2 tidak
berhenti.
Terlihat Siauw Beng mentjelat keluar, dengan tjambuk perak di tangan kiri ia
mengenjampingkan gooak pemetjah batu orang, kemudian golok Bintang Tudjuh
diputar, dengan membawa suara gangsingan jang keras dan menggunakan ilmu
tipu ’Khong-hiat-lay-hong’ atau ’Angin datang dari lorong kosong’ dengan arah
miring menjerang kearah Tan Khiong.
Pertama kali Siauw Beng datang di pulau Angin Pujuh ini, pernah djuga ia
mentjoba-tjoba menggunakan Golok Bintang Tudjuh kepunjaan si nenek tua,
namun, keadaan di itu waktu tidak dapat disamakan dengan keadaan sekarang.
CHUNG SIN 47
Angin pujuh di pulau ini belum pernah berhenti, dahulu tenaga latihannja Siauw
Beng djuga terbatas sehingga djika menggunakan golok Bintang Tudjuh bersilat,
tentu sadja tidak ada artinja sama sekali, suara menderu-derunja angin telah
mengalahkan suara gangsingan jang diputar kurang kuat.
Tidak demikian pada hari itu, didalam keadaan jang terdesak, ditambah latihan
tenaga dalam jang sudah tjukup sempurna, kegunaan golok Bintang Tudjuh sudah
mulai terlihat dengan njata. ’Ternguing nguinglah golok istimewa dari pulau Angin
Pujuh ini menjerang ke arah Tan Khiong jang lagi mengganas karena disangkanja si
nenek tua tidak berdaja untuk melakukan sesuatu apa.
Tan Khiong jang melihat datangnja serangan tjambuk perak sudah dapat
melajaninja dengan siasat, tjepat sekali ia menjingkir dari libatan tjambuk tadi dan
siap membalas menjerang dari lain djurusan lagi.
Tidak disangka, sendjata jang digunakan oleh si anak muda adalah dua sendjata
terampuh jang mendjadi pusaka2 pulau Angin Pujuh, dengan mengaung-ngaung
golok Bintang Tudjuh mulai datang membikin serangan susulannja.
Tan Khiong mengeluh, tahulah ia terpedaja oleh musuh ketjilnja, melihat ilmu tipu
’Khong-hiat-lay-hong’ jang digunakan, terpaksa ia mentjelat djauh agar tidak
mendjadi korban setjara pertjuma.
Siauw Beng tidak menjangka dengan mudah ia dapat membuat si galak raksasa
menjingkir sedemikian djauhnja. Pulau Angin Pujuh memang tjotjok sekali untuk
digunakan melatih ilmu silat, disana orang bitjarapun harus menggunakan tenaga
dalam, dengan demikian baru dapat menjaingi suara menderu2nja angin pujuh
jang belum pernah berhenti disepandjang masa. Selama 6 tahun belakangan ini,
demikianlah Siauw Beng melatih diri sehingga mendapat kemadjuan jang tidak
disangka olehnja sendiri.
Maka, bagi orang jang baru datang dari luar pulau Angin Pujuh, biarpun ia
berkepandaian tinggi, sampai disini ilmu kepandaiannja harus lenjap seperempat
bagian dan tidak dapat dikeluarkan penuh, sebagian tenaga ini harus ditjurahkan
untuk menandingi suara menderu-derunja angin pujuh dipulau tersebut.
Siauw Beng tidak tahu dengan kediadian ini, maka sewaktu belakangan ia
meninggalkan pulau Angin Pujuh dan bitjara sedikit keras atau agak keras,
tjukuplah untuk membuat orang terbinasa atau terluka. Maka terdjadilah huru
hara. Inilah kedjadian berikutnja dari ini tjerita jang akan dituturkan dilain bagian.
Ditjeritakan Tan Khiong mundur djauh menhindari serangan golok Bintang Tudjuh,
tapi ia murdur bukan untuk melarikan diri, sebaliknia membuat satu posisi baru
dan menjerang dengan golok raksasa lagi.
Terhadap tjambuk perak ini, sewaktu Siauw Beng baru mengindjakkan kakinja
dipulau Angin Pujuh, Tan Khiong pernah merasakan kehebatannja, maka dengan
sendirinja ia tidak akan membiarkan golok pemetjah batunja dililit dan tjepat2
menarik pulang.
Maksud tudjuan Siauw Beng menempur Tan Khiong jang galak ganas bukanlah
untuk mentjari kemenangan, ia menginginkan orang mendjauhi bangunan rumah
batunja si nenek tua jang terluka. Maka tjambuk diajun sedemikian rupa, dengan
ilmu tipu ’Hoa-bwe-bu-yu’ atau ’Menghilangkan dan melenjapkan segala-gala’ ia
merangsek madju lagi.
Betul Tan Khiong telah berumur 97 tahun, tapi disebabkan pernah meminum susu
binatang monjet raksasa jang pandjang umurnja, maka daja hidupnjapun tjukup
lama, tenaga besarnja tidak akan lenjap begitu sadja. Ketjuali terhadap si nenek
tua penghuni Angin Pujuh, ia agak takut untuk menghadapi, terhadap semua orang
didalam dunia tidak ada satu jang dipandang dimatanja. Maka melihat Siauw Beng
menjerang dengan ’Hoa-bwe-bu-yu’ tjepat ia memutarkan golok besarnja
membikin pembelaan dan djuga penjerangan.
Tan Khiong dapat memahami kedjadian ini, maka tidak berani ia mendekati Siauw
Beng lagi, terpaksa ia harus menjerang bila melihat ada lowongan.
Penjerangan Siauw Beng setjara serampangan telah membawa hasil jang tidak
disangka, maka ia mendjadi girang dan membikin penjerangan dengan terlebih
gentjar lagi.
Biar bagaimana, Tan Khiong jang usianja beberapa kali lipat dari sipemuda,
menpunjai pengalaman tjukup luas di dalam pertempuran jang seperti ini, maka
pada satu ketika sewaktu melihat lowongan, tjepat sekali ia mengajun golok
pemetjah batu dan ’Hut’ menembus kurungan golok Bintang Tudjuh mengarah
kulit daging lawannja.
CHUNG SIN 49
Hatinja Siauw Beng terkedjut, untuk menggunakan golok Bintang Tudjuh
menangkis ada terlalu berbahaja bagi dirinja, dikuatirkan belum tentu dapat
menandingi tenaga raksasanja Tan Khiong jang maha hebat, untuk melilit dengan
tjambuk perak sudah tidak keburu karena sendjata tjambuk hanja dapat digunakan
dari djarak djauh, dan kini golok besar sudah dekat dengan dirinja, didalam
keadaan jang sangat terdesak, tiba2 Siauw Beng menutulkan kakinja dan mentjelat
tinggi.
Kali ini Siauw Beng sudah sedia, golok Bintang Tudjuh disodorkan dan ’Traang’,
memindjam tenaga benturannja dua golok, ia naik dengan terlebih tinggi lagi.
Tan Khiong harus mendongakan kepala, lawannja djauh berada diatas udara, ia
sudah siap dengan golok raksasa menanti turunnja Siauw Beng jang akan dibatjok
oleh golok istimewanja.
Siauw Beng melajang ditengah udara, golok Bintang Tudjuh diputar sedemikian
rupa, dengan suara mengaung mulai menurun. Kini terlihat Tan Khiong berada di
bawahnja, ia menusuk ketudjuh arah jang tidak sama jang dinamakan tipu
serangan ’Tjit-seng-lian-hoan’ membuat mata sang lawan berkunang-kunang,
kemudian ’Siuuut’, dengan gaja ’It-ouw-put-thong’ atau ’Sonder suara sonder
tanja, tamu masuk njelontjong’ menjerang kearah Tan Khong.
Tipu ’It-ouw-put-thong’ atau dapat djuga diartikan dengan ’Sonder suara sonder
tanja, tamu masuk njelontjong’ adalah ilmu jang teristimewa dari permainan ilmu
golok Bintang Tudjuh. Biasanja, bila golok diputar, 7 lubang diatas golok membawa
suara uing-uingan membuat pusing kepala sang lawan, tapi dikarenakan ini
djugalah, orang jang mendjadi lawan dapat mengetahui dari mana arah datangnja
golok Bintang Tudjuh jang mau menjerang dirinja, sebelum dari apa jang terdjadi,
ia sudah dapat membikin pendjagaannja terlebih dahulu. Tidak demikian dengan
tipu serangan jang dinamakan ’It-ouw-put-thong’, jang diartikan ’It-ouw-put-
thong’ ialah meluruskan golok menusuk orang, maka disebabkan gerakannja jang
berdjalan lurus kedepan, semua lubang2 bintang tidak terkena hawa tekanan,
dengan sendirinja suara mengaung dari golok bintang tudjuh tidak terdengar lagi,
musuh segera kehilangan arah dari mana golok istimewa ini menjerang, tentu
sadja mudah untuk terpedaja.
Demikian udjung golok Bintang Tudjuh dengan tipu jang dinamakan ’It-ouw-put-
thong’ menjerang di tempat 7 dim dibawah pundak lawan.
Tan Khiong sedang kebingungan harus menghadapi 7 serangan Siauw Beng jang
pertama tadi, ia kehilangan djedjaknja arah golok atau diserang setjara begini,
tentu sadja tidak menjangka dan ’Tjes’ pundaknja sudah terluka.
Maka menggunakan kesempatan ini, Siauw Beng meletakan udjung kaki ditanah
lagi, tidak menunggu sampai Tan Khiong dapat membuat posisi baru, tjambuk
perak diajun merebut golok pemetjah batunja siraksasa wanita tua itu.
Hampir disaat jang sama, pundaknja Tan Khiong terluka, golok raksasanja terlepas
dari genggamannja, membuka mulut berteriak:
Eh, mengapa Tan Khiong dapat bitjara? Apa si pengarang tjerita salah bitjara?
Siauw Beng jang melihat sigagu dapat btjara djuga merasa bingung, diperhatikan
perubahan wadjahnja Tan Khiong jang masih tidak mengarti atas apa jang telah
terdjadi, maka hatinja sipemuda tergerak, tjepat ia berteriak:
„Hei, biarpun aku telah melukai dirimu, tapi luka itu telah memberi kebebasan
kepadamu jang dapat berbitjara lagi. Masih berani kau membandel berkepala
batu?”
„Baik, aku segera akan melemparkan golok ini kedasar laut, kemudian membiarkan
kau tidak dapat bitjara untuk seumur hidup.”
Untuk menotok djalan darah gagunja Tan Khiong sehingga seumur hidup tidak
dapat bitjara masih tidak mengapa, tapi untuk melemparkan golok kesajangannja
jang mendjadi djiwa kedua, tentu sadja Tan Khiong mendjadi kaget, tjepat sekali ia
berteriak:
Siauw Beng berpikir: tudjuan menempur raksasa galak ini jalah dimaksud untuk
mendjauhi gangguannja pada si nenek tua jang kini terluka, setiap hari kerdjanja
Tan Khiong hanja mengatjau mereka sadja, maka merupakan satu gangguan bagi
mereka jang memerlukan ketenangan, maka mendengar pertanjaan Tan Khiong,
Siauw Beng berkata:
CHUNG SIN 51
„Aku menginginkan kau segera meninggalkan pulau Angin Pujuh dengan segera!
Dan pergilah sedjauh mungkin, djanganlah kau mendekatinja lagi.”
Tan Khiong jang mendengar Siauw Beng mengusir dirinja mendjadi gembira, inilah
berarti ia sudah dibebaskan dari tugasnja jang mendjadi pendjaga pulau Angin
Pujuh jang tidak ada tumbuh2-an sama sekali.
Ternjata Tan Khiong dibawa kemari bukan atas kerelaan hati sendiri, ia telah
ditotok djalan gagunja dan didjadikan budak atau pendjaga pulau Angin Pujuh oleh
si nenek tua.
Didalam soal ini, sudah tentu sadja Tan Khiong tidak puas, tapi apa daja? Ilmu
kepandaiannja djauh berada dibawah lawannya, maka bukan sekali dua kali ia
mentjoba menandingi si nenek tua, tapi selalu ia terkalahkan sadja.
Sebetulnja, si nenek tua bukan selalu menetap di pulau tandus jang berangin keras
ini, sering kali si nenek keluar dan pergi, seperti itu hari, berapa lama ia mengikuti
Siauw Beng sehingga dapat membawa kemari. Djika kesempatan ini dapat
digunakan baik oleh Tan Khiong, dengan mudah ia dapat melarikan diri.
Tapi Tan Khiong hanja besar badan, sebetulnya mempunjai otak jang ketjil dan
butek, ia tidak ada pikiran untuk berdaja upaja untuk melarikan diri. Selalu
teringatlah akan pesan si nenek tua penghuni pulau Angin pujuh sebelum
meninggalkan pulau:
„Tan Khiong, baik2lah kau melatih diri seorang diri disini, bahwa suatu hari, pasti
kau akan berhasil dan dapat mengalahkan diriku. Maka itu waktu, kau dapat
meninggalkan pulau Angin Pujuh dengan kemenangan jang gilang gemilang,
meninggalkan pulau Angin Pujuh setjara terhormat.”
Demikian, Tan Khiong melatih diri dan melatih lagi sehingga si nenek tua kembali.
Ditantangnja si nenek, dengan kesudahan Tan Khiong dikalahkan lagi.
Dasar Tan Khiong pandainja mengganas dan berlaku galak sadja, tapi tidak dapat
memutar otak sama sekali. Seumpama Siauw Beng tidak mengusir dirinja, dapat
dipastikan untuk seumur hidup Tan Khiong mendiadi budak dipulau Angin Pujuh
dan akan mendjadi kuburannja disini.
„Untuk menjuruh aku meninggalkan pulau Angin Pujuh tidak terlalu sukar, tapi
pulangkanlah golok besarku itu dahulu.”
Siauw Beng mendjadi ragu2, untuk dapat mengalahkan orang jang seperti Tan
Khiong, bukanlah soal jang mudah, apa lagi diharuskan merebut golok pemetjah
batunja, bagaimana djika Tan Khiong mengganas lagi? Maka lama sekali pemuda
ini tidak dapat bitjara.
Tan Khiong mengetahui akan ketjurigaan orang, maka ia tertawa serta katanja:
Ketjuali bervivere pericoloso, tidak ada djalan kedua lagi terpaksa Siauw Beng
melemparkan golok besarnja Tan Khiong serta berkata:
Menunggu sampai Tan Khiong tidak terlihat, baru Siauw Beng berani kembali lagi,
langsung ia masuk kedalam bangunan batu jang menajadi rumah si nenek tua di
pulau Angin Pujuh untuk melihat keadaan orang jang ditjintainja.
Sinenek tua masih terbaring bagaikan terluka, Siauw Beng sudah berteriak girang:
Si nenek tua tidak mendjadi gembira, sebaliknja menekuk muka, wadjahnja jang
dibuat seperti sakit bertambah putjat, lenjaplah wadjah welas asihnja, lenjap pula
ramah tamahnja, ia merapetkan kedua kelopak matanja jang sudah banjak keriput.
Siauw Beng telah menetap dipulau Angin Pujuh selama 6 tahun, belum pernah
melihat wadjahnja si nenek tua seperti ini, wadjah si nenek tua selalu tersungging
senjuman bikinan, welas asih gadungan, sikap ramah tamah paksaan, maka ia
sudah menjangka kepada sesuatu apa dan menanja:
Sinenek tua malah memalingkan muka tidak melihatnja, kedjadian ini membuat
Siauw Beng bertambah ibuk.
Baru sekarang si nenek tua mau menolehkan kepala, matanjapun dibuka pula,
dengan membawakan sikapnya jang agung berkata:
„Anak, aku telah menyuruhmu untuk segera melarikan diri, mengapa kau tidak
mendengar perintah ini?”
Siauw Beng merasa bingung, ternyata gara2 inilah jang dibuat marah oleh sipopo
jang tertjinta? Ia tidak mengarti sebentar dan achirnja berkata:
„Popo, selalu kau mengatakan kepadaku untuk mendjadi seorang anak jang baik,
mungkinkah aku dapat meninggalkan kau seorang diri didalam keadaan jang
terluka dan terantjam bahaya jang seperti tadi? Mungkinkah aku dapat berhati
tenteram melarikan diri seorang diri?”
CHUNG SIN 53
Sinenek tua menghela napas berkata:
„Apa jang kau lakukan tidak dapat dikatakan salah. Tapi, bagaimanakah bila sampai
terdjadi kau terbinasa di bawah tangan ganasnya Tan Khiong? Mungkinkah aku
dapat hidup seorang diri lagi?”
Sudah terang ilmu kepandaannja Siauw Beng ada lebih tinggi dari Tan Khiong, dan
ternyata terang2an ia telah berhasil menghalau siraksasa tua hingga meninggalkan
pulau Angin Pujuh, tapi si nenek tua masih mengutjapkan kata2 jang sematjam
tadi, sebetulnia kata2 ini terang tidak masuk di akal. Apa mau dikata Siauw Beng
masuk kedalam perangkapnya, manusia jang terbaik akan dikatakan djelmaannja
sang popo tua, maka apapun dapat dipertjajanya sadja.
Si nenek tua memanggutkan kepala, didalam hati tertawa geli, tapi dimulut ia
berkata:
„Anak, umurmu masih muda, sungguh disajangkan djika terbinasa. Tidak demikian
dengan diriku, biarpun setengah tahun lagi aku akan mati, mati tuapun sudah
tjukup bagiku.”
Siauw Beng kaget mendengar si nenek tua mengatakan dirinja akan mati setengah
tahun lagi, bagaikan mendengar geledek disiang hari, ia berteriak:
„Popo..... “
„Popo, siapa jang mengatakan kau hanja hidup setengah tahun lagi? Tidak. Aku
akan membuat kau hidup 30 tahun..... 40 tahun.... lagi.”
„Tentu sadja aku ingin dapat hidup sehingga 40 tahun lagi, ingin sekali aku dapat
melihat kau bagaimana meningkat sehingga dewasa, bagaimana kau berumah
tangga...... Tapi..... semalam, setelah aku salah melatih diri, ilmu kepandaianku
telah lenjap sebagian banjak. Masa hidupku hanja terbatas diantara setengah
tahunan. Bahkan akan menderita segala matjam penderitaan jang terhebat.”
„Tida..... Popo..... Kepandaianmu begitu tinggi, kau tentu mempunjai daja untuk
mengatasi.”
Sandiwara sudah waktunja untuk diachiri, maka dengan menghela napas tiga kali,
si nenek tua baru berkata:
Siauw Beng mendjadi gembira, maka akan tertolonglah djiwanja si nenek tua, sang
popo tidak akan menderieta segala matjam penderitaan jang terhebat di dalam
dunia, dengan pandangan mata bersinar penuh harapan, Siauw Beng menantikan
kata2 landjutannja si nenek tua penghuni pulau Angin Pujuh ini.
„Ah,..... Pertjuma untuk dikatakan..... Mengatasi kematian dengan djalan ini tidak
mungkin sama sekali..... aku memang sudah ditakdirkan untuk mati.”
„Popo, tapi kau mengatakan dapat mengatasi, mengapa dapat terdjadi seperti
ini?”
„Nak, ilmu kepandaianku jang telah kulatih puluhan tahun mungkin hanja satu
atau dua orang sadja jang dapat menjaingi. Maka bila dapat mengumpulkan
tenaga jang sebagian besar sudah lenjap ini, aku masih dapat hidup di antara 30
atau 40 tahunan.”
„Popo,” teriak Siauw Beng. „Dajakanlah agar kau dapat mengumpulkan kembali
tenaga2 jang lenjap itu.”
„Aku, kau masih terlalu ketjil untuk mengerti kesempatan ini. Mengumpulkan
tenaga jang sudah terbuang bagaikan gampang sekali, tapi sebetulnja tidak mudah
untuk dilaksanakan. Ilmu ini hanja tertjatat didalam sebuah kitab pusaka. Dan kitab
ini tidak ada, bagaimana dapat mengumpulkannja?”
Lalu terlihat si nenek tua terbatuk-batuk bagaikan orang jang sudah mau mampus,
tjepat Siauw Beng merebahkannja pula dan berkata:
„Popo, dalam kitab jang bagaimanakah ada tertjatat peladjaran jang sematjam itu?
Biar kuusahakan untuk mendapatkannja agar kau dapat hidup terus.”
„Anak, aku tahu maksudmu jang luhur tapi kitab ini sudah lenjap lama sekali dan
tidak mungkin tertjari, sudahlah, aku terima nasib.”
Semakin kurang djelas, semakin besar pula hasratnja Siauw Beng untuk
mengetahui, maka tjepat ia menanja lagi:
CHUNG SIN 55
Sinenek menggeleng-gelengkan kepala, katanja:
„Tidak mau aku mengatakannja. Sudah dapat dipastikan kau akan segera
meninggalkan aku di pulau Angin Pujuh ini, dan inilah kedjadian jang paling
mengenaskan karena sewaktu aku meninggal dunia kau sudah tidak berada
disebelah sisiku lagi.”
Siauw Beng semakin bersedih, tiba2 ia bangun berdiri dan berkata tegas:
„Popo, biarpun kau tidak mengatakannya, tetap aku akan meninggalkan pulau
Angin Pujuh djuga. Akan kudjeladjahi keseluruh pelosok mentjari kitab pusaka ini
untuk diserahkan kepadamu agar dapat mengembalikan semua tenagamu yang
sebagian besar telah lenyap itu.”
„Popo,” bantah Siauw Beng. „Asal aku dapat menemukan kitab pusaka yang kau
maksudkan itu, kau tidak akan djadi mati, bukan? Sebutkanlah nama dari kitab
tersebut agar aku terlebih tjepat pula untuk mendapatkannya.”
„Ah, kau masih seperti anak ketjil sadja, tetap kukuh dan berkepala batu.”
Siauw Beng teringat semasa kanak2nja, dimana ia telah djatuh kedalam lembah
Patah Tulang dan hampir mendjadi korban mangsanja si Muka Hitam Hek Thian-
tong jang kedjam. Djika bukannya nenek berwadjah welas asih ini jang datang
menolong, sudah dapat dipastikan ia tidak mendjadi dewasa, maka mengingat
budi orang, biar bagaimana ia harus membalas dan berdaja untuk mendapatkan
itu kitab pusaka djuga.
Tjepat Siauw Beng berdiri, golok Bintaug Tudjuh disoren dipinggang dan dengan
tjambuk perak di tangan, ia siap membikin perdjalanan.
„Popo aku akan segera berangkat sekarang djuga. Setengah tahun kemudian,
dapat, aku akan tetap balik kemari. Maka agar aku dapat balik dengan terlebih
cepat lagi, katakanlah nama dari kitab pusaka itu.”
„Anak, kitab itu telah lenyap pada 10 tahun jang lalu. Kitab pusaka jang mendjadi
hak milik partay Kun lun-pay telah lenjap pada 10 tahun jang lalu....”
’Dek’ sadja, hatinja Siauw Beng hampir mentjelat keluar mendengar akan kata2nja
si nenek tadi.
„Popo..... Popo.... Aku tahu..... Nama dari kitab pusaka itu ialah ’Kun-lun Sin-sie’.”
Sebagai seorang achli didalam bidang kesandiwaraan, tentu sadja si nenek tidak
mengutarakan rasa girangnja, malah dengan wadjah jang seperti kaget ia berkata:
„Popo lain kali sjadalah kutjeritakan tentang kesemua ini.” Siauw Beng berkata.
„Waktu sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi, aku akan segera meninggalkan pulau
Angin Pujuh, didalam djangka waktu 4 bulan, aku akan segera balik kemari.”
„Anak, kulihat kau sudah tjukup dewasa, hatimu masih tetap djudjur dan patuh
kepada kepertjajaan. Djanganlah sampai terdjadi sesuatu dikarenakan lukaku.”
„Popo,” panggil Siauw Beng. „Kau pertjalah, didalam 4 bulan, aku akan membawa
kitab 'Kun-lun Sin-sie’ itu kemari. Aku tahu dimana letak ’Kun-lun Sin-sie’ karena
kitab pusaka itu masih mempunjai hubungan jang rapet sekali denganku. Menurut
perhitunganku, djarak dari sini ketempat pengambilan kitab bulak balik hanja
memakan waktu 4 bulan sadja, maka didalam djangka waktu ini, baik2lah kau
mendjaga diri.”
„Baiklah.” Demikian si nenek berkata „Aku dapat merawat diriku sendiri, baik2lah
kau diperdjalanan jang masih terlalu asing bagimu.”
Siauw Beng berat untuk meninggalkan sinenek berwadjah welas asih jang telah
dianggap mendjadi orangnja jang terdekat, maka dengan perasaan jang sukar
terlukiskan, seraja membawa golok Bintang Tudjuh serta tjambuk perak, ia mulai
meninggalkan pulau Angin Pujuh.
Sajang ibu dari pemuda ini terlalu tjepat meninggalkan anaknja jang hidup merana.
Djika ia masih ada di dunia dan mengetahui Siauw Beng didatangi oleh seorang
nenek tua berwadjah welas asih dengan mulut tertawa-tawa, tidak mungkin ia
dapat mengidjinkan sang anak mengikutinja. Apa lagi setelah tahu bahwa nenek
tua ini adalah mendjadi pemilik golok Bintang Tudjuh, penghuni pulau Angin Pujuh,
sampai turut kesana. Apa lagi mau menjerahkan itu kitab 'Kun-lun Sin-sie’ jang
mendjadi rebutan dunia, suatu kedjadian jang tidak mungkin sama sekali.
CHUNG SIN 57
Sajang ibu Siauw Beng telah meninggal dunia, maka kedjadian sampai mendjadi
seperti ini, demikianlah terlihat sipemuda sudah mulai meninggalkan pulau Angin
Pujuh, untuk mentjari kitab ’Kun-lun Sin-sie’.
Siauw Beng sudah djauh meninggalkan pulau Angin Pujuh, angin keras menderu-
deru menulikan kuping sudah tidak terdengar lagi. Pulau ketjil jang semakin lama
semakin djauh achirnja mendjadi satu titik ketjil, kemudian lenjap ditelan
permukaan air laut.
Siauw Beng meninggalkan pulau Angin Pujuh dan membikin perdjalanan untuk
mengambil itu kitab 'Kun-lun Sin-sie'.
Daerah Sak-pe memang terlebih tjepat turun saldju, terpaksa Siauw Beng harus
menggunakan ilmu mengentengi badannya meluntjur, melandjutkan perdjalanan.
Karena inilah, ditambah tidak apal djalanan, Siauw Beng sudah mulai kesasar.
3 hari kemudian.....
Dari djauh sudah terdengar suara kereta berdjalan, Siauw Beng menambah
ketjepatan dan djauh didepannja terlihat 7 atau 8 kereta piauw yang ditarik oleh
belasan ekor mendjangan jang tahan terhadap hawa dingin meluntjur diatas
saldju.
Siauw Beng gembira, maka disusulnya dengan segera, kini djelas bahwa diatas dari
kereta2 ini terpantjang bendera ketjil yang berkibar-kibar, gambar dari bendera itu
ialah satu telapak tangan jang berdarah merah, entah siapa punya pertandaan?
Siauw Beng tidak diberi banjak kesempatan untuk memikirkan segala matjam ini,
dari kereta jang berdjalan dipaling belakang ia menjusul ke depan, kini keanehan
mulai terlihat, di setiap kereta terdapat satu peti besar jang mendjadi barang
angkutannia, sebagai kusir atau pengawal ada seorang tinggi besar. Tapi orang2 ini
sudah tidak bernjawa dan menggeletak disisi peti2 besar tadi jang mendjadi
barang2 antaran mereka.
58 GOLOK BINTANG TUDJUH
Kematian mereka memang sangat aneh, semua kereta berdjumlah 8 buah, ketjuali
7 jang berdjalin di belakang terdapat 7 buah peti besar dengan 7 majat
pengawalnja, satu jang berdjalan dipaling depan, terlihat seorang kakek dan
seorang pemuda jang masih tidak tahu kematian orang2nja, mereka memetjut
mendjangan2 dengan keras seperti ingin berdjalan lekas2.
Siauw Beng menjusul lagi, dengan tjepat ia menarik peihatianja siorang tua dan
pemudanja.
Agaknja, dua orang jang berdjjlan dipaling depan ini mendjadi kepala dari
rombongan kereta piauw jang ditarik dengan mendjangan dan berdialan disaldju
putih, mereka memandang kearah Siauw Beng sebentar dan kini baru tahu bahwa
7 orang mereka telah terbinasa. Mereka menundjukkan wadjah jang gusar,
dipandangnja Siauw Beng dengan pandangan marah.
Maksud Siauw Beng menjusul rombongan ini ialah untuk menanjakan dimana
letaknja perikampungan Sam-kiong San-tjhung, ia akan menghaturkan terima
kasihnja kepada Tjoa Tay-kiong sekalian jang pernah memberikan pertolongannya,
kemudian tjepat mengambil kitab ’Kun-lun sin-sie' untuk dipersembahkan kepada
poponja, jang dikatakan dapat membikin sembuh luka dalam jang dideritanja.
Tapi si piauwsu tua jang melihat 7 orangnja terbinasa sudah menjangka kepada
perbuatannja Siauw Beng, diperiksanja apa jang menjebabkan kematian dari
orang2nja, dan tepat diatas djidat dari 7 orang tadi, semua kedapatan satu telapak
tangan berdarah jang bewarna merah, itulah satu pertandaan dari perbuatannja si
Telapak Tangan Berdarah Ang-tjiang Tjou-su.
Tapi, didalam pandangannja piauwsu tua ini, Siauw Benglah jang melakukan
pekerdjaan tadi, ia tertawa berkakakan bagai orang jang setengah gila, kemudian
berkata:
Siauw Beng heran dan tidak mengerti, dilihatnia sekeliling mereka. Tidak ada orang
lain ketjuali dirinja. Maka siapakah jang diartikan dengan si Telapak Tangan
Berdarah Ang-tjiang Tjou-su jang mendjadi salah satu dari 4 ’Manusia Imperialis’
itu?”
Sewaktu ia menetap di pulau Angin Pujuh, sinenek tua jang banjak pengalamannja
sering bertjerita tentang nama2 dari para tokoh terkemuka. Ketjuali ini 4 ’Manusia
Imperialis’ jang tidak disebutkannja. Maka siapakah jang mendjadi 4 ’Manusia
Imperialis’? Tidak pernah Siauw Beng memikirkan sampai disitu.
Bagi Siauw Beng, untuk sementara memang tidak ambil pusing siapa2 jang
mendjadi 4 'Manusia Imperialis’ jang paling tamak dengan harta kepunjaan lain
orang, tapi bagi kita jang akan mengikuti djalan tjerita, ada terlebih baik djika dapat
mengetahui terlebih dahulu siapa2 manusia2 jang terdjahat didalam tjerita.
Orang pertama dari ini 4 'Manusia Imperialis’ ialah orang jang mendjadi kepala dari
tiga orang lainnja, Mo-mu Oen-hun inilah jang berkepandaian paing tinggi, ia
mempunjai wadjah jang welas asih, menetap di pulau Angin Pujuh jang sukar
didatangi orang biasa, memiliki golok Bintang Tudjuh dan tjambuk perak jang
mendjadi sendjata2 terampuh didalam rimba persilatan, Mo-mu Oen-hun, satu
nama jang tjukup seram telah diberikan kepada ini manusia terdjahat nomor satu
didalam dunia.
Orang kedua dari 4 ’Manusia Imnerialis’ ialah Hun-in Lo-koay jang hanja kalah
setingkat dari Mo-mu Oen-hun, orang ini menetap digunung Khong-tong dan
djarang keluar dunia. Golok besar pemetjah batu jang digunakan oleh Tan Khiong
dipulau Angin Pujuh itu jalah benda jang berasal dari gunungnja dahulu.
Menjusul dari Moimu Oen-hun dan Hun-in Lo-koay jalah Ang-tjiang Tjou-su jang
belum lama disebut oleh sipiauwsu tua tadi dan Pek-kut Sin-kun, itu orang jang
pernah memaksa Tjoa Tay-kiong membongkar kuburan ibunja Siauw Beng didalam
perkampungan Sam-kiong San-tjhung dahulu dan Pek-kut Sin-kun inilah jang
menjadi guru dari si Muka Hitam Hek Thian-tong jang telah terbinasa didasar
lembah Patah Tulang.
Seperti apa jang disebut, dengan ’Manusia Imperialis’, Mo-mu Oen-hun, Hun-in Lo-
koay, Ang-tjiang Tjou-su dan Pek-kut Sin-kun, tidak ada satu jang tidak berkelakuan
ganas dan telangas, djahat dan biadab tepat dengan djulukan jang mereka
dapatkan — Manusia Imperialis — Orang2 inilah jang selalu mengatjau dunia,
membikin kegaduhan dimana-mana.
Demikian, mendengar kata2 tuduhan si piauwsu tua tadi jang menjebut si ’Telanak
Berdarah Ang-tjiang Tjou-su’, Siauw Beng sudah tahu akan kesalahpahaman
diantaranja, maka tjepat ia berkata:
Inilah utjapan pertama dari Siauw Beng sedjak meninggalkan pulau Angin Pujuh,
suara ini keras dan memekakkan telinga, sampaipun Siauw Beng sendiri mendjadi
kaget luar biasa.
Dua orang dihadapannja Siauw Beng terlebih kaget, wadjahnja si piauwsu tua
berubah putjat, si piauwsu muda sampai tergojang-gojang hampir djatuh karena
daja tahannja tidak terlalu kuat.
Diatas pulau Angin Pujuh, Siauw Beng harus membuka suara keras2 agar dapat
menandingi menderu-derunja angin keras. Tapi tidak demikian dengan di sini,
angin keras tidak ada sama sekali, maka suaranja jang diutjapkan tadi bagaikan
guntur memekakkan telinga dua orang jang mendengarnja.
Diliriknja sipiauwsu muda dan Sret, Sret, dua kali, dua orang itu sudah
mengeluarkan sendjata mereka jang berupa pedang2 pusaka.
Kini Siauw Beng telah berada ditengah-tengah mereka, si piauwsu tua didepan dan
si piauwsu muda di belakang, serentak mereka menusukkan pedangnja dengan
tjepat kearah Siauw Beng jang didjadikan mangsanja.
Dari gerakan orang jang sebat luar biasa, Siauw Beng sudah dapat memastikan
piauwsu tua jang berada didepannja tentu ada seorang jang ternama djuga.
Namun, tetap ia tidak gentar, jang harus disesalkan jalah dirinja telah ditjap
sebagai murid dari si Telapak Berdarah Ang-tjiang Tjou-su jang mendjadi satu dari
itu 4 ’Manusia Imperialis’ jang selalu mengatjau dunia. Maka mengingat kedjadian
ini, ia masih tidak mengingini menempur orang. Tjepat sekali ia melompat tinggi
menghindari serangan depan dan belakang.
Saldju turun dengan lebat dan gerakannja mereka sebat dan tjepat, maka ketika
bajangannja Siauw Beng lenjap dengan mendadak, pedang piauwsu tua dengan
tepat telah mengenai dada sipiauwsu muda.
Piauwsu tua mendjadi kaget, ditubruknja wajat sang anak dan mengutjurkan air
mata kesedihan.
Tapi ia tidak lama menangis, tjepat sekali lompat bangun kembali dan menusukan
pedangnja ke arah Siauw Beng sehingga beberapa kali.
Sedianja Siauw Beng ingin menghindari serangan orang lagi, tapi gerakan pedang
jang dimainkan oleh si piauwsu tua memang tjukup hebat, maka terpaksa golok
Bintang Tudjuh dikeluarkan, dengan tipu 'Khong-hiat-lay-hong’ membikin
pendjagaan jang kuat sekali.
Saldju masih turun dengan lebat, Golok Bintang Tudjuh diputarkan maka
mengaunglah satu suara jang menderu-deru bagaikan mau menelan sesuatu apa
jang berada didepannja.
Piauwsu tua jang mendengar suara mengaungnja lubang2 dari golok Bintang
Tudjuh romannja putjat tidak berdarah, tjepat ia membatalkan serangan pedang
dan menanja dengan suara jang gemetaran:
Siauw Beng memang tidak ada niatan untuk bertempur dengan tidak beralasan,
melihat orang menarik serangan, iapun menghentikan permainan goloknja dan
berkata:
„Djadi, tuan bukan orang dari Telapak Berdarah Ang-tjiang Tjou-su?” Tanjanja
kaget.
Baru kini Siauw Beng diberi kesempatan untuk membikin pendjelasan, maka
dengan tertawa getir ia berkata:
„Aku memang bukan orang dari Ang-tjiang Tjou-su, aku mengedjar kalian ingin
menanjakan djalan jang menudju ketempat perkampungan Sam-kiong San-tjhung.
Dan kematiannja 7 orangmu itu djuga bukan disebabkan olehku, mereka telah
mati terlebih dahulu.”
„Aku mana mempunjai pandji2 jang sematjaim itu?” Kata Siauw Beng. Piauwsu tua
menganggukan kepala.
„Betul.” Katanja. „Kau adalah orangnja pulau Angin Pujuh, mana mungkin
mempunjai pandji2 jang seperti itu.”
Hatinja Siauw Beng tergerak, piauwsu tua ini mungkin dapat mengetahui hal
ichwal tentang pulau Angin Pujuh, dan si nenek tua jang mempunjai ilmu
kepandaian tinggi, maka sudah dapat dipastikan ia mengetahui siapa adanja. Ingin
sekali Siauw Beng mengetahui si popo, maka ia bersedia untuk menanja.
„Bila Siong piauwsu pertjaja kepada aku jang rendah, tidak halangan aku
mengantarnja.”
Siong Linm menganggutkan kepala puas, tapi tidak lama pandangan matanja
mendjadi suram, semakin suram dan ia telah membunuh diri dengan memutuskan
djalan pernapasannja.
Ternjata Siang Lim menjesal dan penasaran karena anak kandungnja sendiri telah
binasa di bawah pedangnja jang njasar, ditambah kelihayannja si Telapak Tangan
Berdarah Ang tjiang Tjou su sudah terkenal, tidak mungkin ia dapat menghindari
diri dari kedjaran maut jang akan segera menanti maka ia membunuh diri disana
dan menjerahkan semua tugasnja kepada Siauw Beng jang mempunjai gelok
bintang tudjuh dan ilmu silat jang terampuh.
Langkah dan kelakuan jang direntjanakan oleh siong Lim memang hebat, siapa
sadja jang melihatnja tidak mungkin dapat membiarkan usahanja gagal dan tidak
meneruskan mengantarkan kereta piauw jang kini sudah tidak ada jang mengantar
lagi. Apa lagi Siauw Beng jang pernah melulusi, terpaksa harus mendjalankan
tugasnja djuga.
Hanja satu jang sukar dimengerti oleh si pemuda, dirinja dan Siong Lim belum
pernah berhubungan atau berkenalan, mereka baru bertemu muka disaat jang
belum lama, sampaipun namanja sendiri djuga tidak diketahui oleh si piauwsu tua
ijang telah bunuh diri, mengapa orang dapat memastikan ia dapat menggagalkan
usaha Ang-tjiang Tjou-su jang telah menaruh pandji2t telapak tangan berdarahnja
diatas kereta piauw jang berarti ingin merebut itu 7 peti barang jang tidak
diketahui?
CHUNG SIN 63
mengenalinja akan sendjata ampuhnja si nenek tua, dari sini sudah dapat diduga
hubungan apa jang dipunjai lawan tangguh di hadapannja.
Mengetahui dirinja bukan tandingan jang setimpal untuk berhadapan dengan Ang-
tjiang Tjouw-su serta mengingat anaknja sudah mati konjol dibawah pedangnja
sendiri, maka ia telah membunuh diri dan menjerahkan tugas berat kepada
sipemuda pemegang golok bintang tudjuh. Dengan tjara ini, seumpama si pemuda
bukan tandingan Ang-tjiang Tjouw-su sehingga 7 peti aneh itu dapat direbut, tidak
mungkin si nenek tua akan berpeluk tangan sadja dan tidak membalaskan dendam
ini semua.
Kemudian ia naiki kereta piauw dan ketika kudanja dipetjut meluntjurlah iring2an
kereta ini menuju kekota Ping-kang tin.
Siauw Beng belum Inma djalankan keretanja, tiba2 terasa ada sambaran angin jang
aneh lewat dibelakangnja, maka tjepat sekali ia membalikkan kepala dan
dilihatnja pandji Telapak Tangan Berdarah jang tertancap disetiap kereta sudah
lenjap sama sekali.
„Heran!” Siauw Beng mengeluh didalam hati. „Siapakah jang mempunjai ilmu
mengentengi badan setinggi ini?”
„Bojah sombong, djanganlah kau terkebur dahulu. Lihatlah wadjahmu dikatja jang
kusediakan ini.”
Betul sadja dari sana melajang satu benda tembaga jang berupa katja, tjepat Siauw
Beng mengulurkan tangan dan menjambutinja.
Maka katja dipasang dan Siauw Beng mendjadi kaget karena tepat didjidatnja
terlihat satu telapak tangan jang berwarna merah, dengan tidak terasa katja
perunggu djatuh ditanah dari pegangannja.
Dan waktu itu, berkelebat pula satu bajangan langsing jang segera memungut katja
perunggunja, bagaikan angin jang lewat bajangan ini datang dan lenjap pula.
Siauw Beng mendjadi kaget, golok bintang tudjuh segera dipegang untuk
mendjaga segala kemungkinan.
Bajangan langsing jang sudah lenjap dibalik pohon tertawa tjekikkan lagi.
„Botjah,” katanja. „Kau sudah lihat bukan? Maka berusahalah menghindari diri
dari urusan ini, mungkin kau dapat hidup beberapa hari lagi. Tapi bila kau keras
kepala dan mau turut tjampur djuga, sebagai orang pemilik golok bintang tudjuh
dan tjambuk perak, mungkinkah kau tidak tahu kelihayannja telapak tangan
berdarah perguruanku?”
Memindjam arah datangnja suara tadi, Siauw Beng sudah dapat mengetahui letak
persembunjiannja sibajangan langsing, tapi ia masih tidak berani banjak bergerak
karena tahu sampai dimana kelihayannja telapak tangan berdarah dari Ang-tjiang
Tjouw-su jang dimalui.
Jang membuat Siauw Beng tidak habis mengarti jalah bilakah telapak tangan
berdarah menempel diatas djidatnja, ia tidak merasa tertepuk oleh siapapun
djuga, tapi ternjata didjidat telah ada telapak tangan berdarah, maka saking
penasaran, ia sudah mau memungut katja perunggu tadi untuk dilihat lagi.
Tapi katja perunggu sudah dapat diambil oleh pemiliknja, dan sipemilik katja
perunggu itu ada didepannja, maka ia memandang dan berteriak:
Tiba2 dari balik pohon muntjullah seorang wanita berpotongan badan langsing,
tapi pada wadjahnja seperti tumbuh banjak daging lebih, pada berindjulan seperti
daging busuk dipupuri oleh bedak jang tebal sehingga membuat Siauw Beng jang
melihat sampai tertawa saking geli.
Siauw Beng jang mendengar ini hampir mau muntah, tidak disangka wanita jang
berwadjah seperti setan berani mengatakan 'tjantik’, maka tjepat ia membentak:
„Kau gila! Setelah kau berani memberi tanda telapak tangan berdarah, sudah tentu
kau mempunjai kepandaian jang tjukup berarti, maka sambutilah serangan golok
bintang tudjuhku ini.”
Dan betu! sadja, dengan ilmu tipu 'Tjit-seng-lian hoan', Siauw Beng sudah
mengajun golok bintang tudjuh menjerang orang.
Suara bunji jang seperti gangsingan dari lubang2 digolok jang diputar mendesing,
tapi wanita djelek jang diserang tidak mendjadi takut atau kader, dengan
mengikuti arah perputaran golok, ia lompat sana lompat sini menghindari segala
matjam serangan.
Siauw Beng penasaran telah dibokong orang dan diberi tanda telapak tangan
berdarah diatas djidatnja. Bukannja Siauw Beng takut mati sehingga berubah
mendjadi galak, adalah ia menguatirkan keselamatannja si nenek tua dipulau
CHUNG SIN 65
Angin Pujuh, sebab hanja kitab 'Kun-lun Sin-sie' itulah jang dikatakan dapat
menolongnja, maka seumpama ia mati disebabkan telapak tangan berdarah,
siapakah jang harus meneruskan usahanja mengambil kitab pusaka itu?
Demikianlah, setelah menggunakan ilmu tipu 'Tjit-seng lian hoan' tidak berhasil
melukai musuhnja, ia telah merubah mendjadi 'It-auw-put-thong' membikin
penjerangan jang berikutnja.
Terdengar 'Bret’, sebagian badju dari siwanita djelek itu telah terpapas robek.
Aneh sekali wanita ini mempunjai potongan badan jang langsing dan bagus,
mempunjai suara merdu jang enak didengar, tapi mempunjai wadjah muka jang
seperti belatungan berdaging busuk.
Siauw Beng masih belum menjudahi gerakan goloknja, maka seraja menjerang lagi
ia berkata:
Tapi wanita djelek itu berteriak, sambil menundjuk kearah belakang orang ia
berkata:
Pengalaman Kang-ouwnja Siauw Beng memang tidak ada, tapi ia tidak mudah
ditipu seperti itu, ia tahu orang mau melarikan diri, maka ia tidak mau
membalikkan kepala, sebaliknja malah mengeluarkan tjambuk perak dan dengan
'Khong hiap-lay-hong' berbareng menjerang lawannja.
Pada saat itu, dibelakangnja Siauw Beng terdengar suara 'Bemg' 'Beng’ 'Beng' tiga
kali, seperti suara peti besar jang ditumpuk mendjadi satu. Tapi Siauw Beng tidak
sempat menengok karena serangannja sudah kepalang tanggung dilanjutkan.
Wanita djelek itu terpaksa harus» mendjaga diri. Melihat golok bintang tudjuh dan
tjambuk perak datang menjerang berbareng, tjepat sekali ia mengeluarkan
sendjatanja jang berupa belati hitam.
Melihat belati hitam, hatinja Siauw Beng mendjadi kaget, ia menarik serangan dan
membentak:
„Persaudaraan Tjoa?” Balik tanja si wanita djelek. „Mereka adalah anak2 nakal dari
tjutju2ku. Hi hi hi.....”
Waktu terdengar lagi 'Beng’ 'Beng' Beng’ ,Beng' empat kali jang njaring, tjepat
Siauw Beng membalikkan kepala dan dilihatnja seorang tua sudah menumpuk 7
peti besi jang segera dibawa lari.
„Hei, tidak usah kau meogedjar. Diriku sadja kau tidak dapat kedjar, apa lagi mau
mengedjar guruku?”
„Siapa jang meadjadi gurumu?” Bentak Siauw Beng. „Apa jang dinamakan Ang-
tjiang Tjouw-su?”
„Ajo. Djika bukannja Ang-tjiang Tjouw-su, manusia manakah jang dapat lari tjepat
seperti dia? Apa kau tahu djulukan dari guruku itu?”
„Apa djulukunnya?”
Siauw Beng marah, dilihatnja Ang-tjiang Tjouw-su sudah tinggal satu titik ketjil,
tentu sadja 7 peti jang ditumpuk dipundak tidak terlihat sama sekali. Maka semua
kemarahan ditumplekan pada dirinja wanita djelek ini, ia membentak:
„Siapa jang kesudian menebak-nebak! Gurumu biarpun mempunjai ilmu lari tjepat
dan tidak dapat dikedjar lagi, bila aku menahanmu dan menangkap untuk
didjadikan barang tanggungan, mungkinkah ia tidak balik lagi dan memulangkan
semua peti2 jang dibawa lari?”
„Apa menebak tepat menebak salah?” Siauw Beng membentak tidak sabaran.
Wanita djelek itu seperti puas dengan olok2nja, dengan lagak jang tjukup menarik
berkata:
„Kau mengatakun guruku mempunjai ilmu lari tjepat, tebakanmu ini memang
tepat karena djulukannja jalah si 'Kilat Hidup'. Dan satu lagi jang tidak tepat jalah
tjaramu jang mau menahan diriku, dengan ini kau ingin guruku mengembalikan 7
peti besi itu? Tidak mungkin. Biarpun aku bukan mendjadi muridnja si 'Kilat Hidup'
Ang tjiang Tjouw-su, tetap kau tidak dapat menangkapku. Seumpama betul kau
dapat menangkap diriku didjadikan barang tukaran, guruku djuga tidak mau
mengembalikan 7 peti itu, karena ia mempunjai satu djulukan lain jang berbunji
'Manusia tidak berhati', tidak mungkin ia dapat memperdulikan mati hidupku lagi.
Maka aku mengatakan s*atu betul dan satu salah.”
Siauw Beng menunggu sampai orang selesai 'Kuliah’, baru berkata geram:
CHUNG SIN 67
„Aku tidak perduli dengan apa jang dinamakan 'Kilat Hidup' atau 'Kilat mati', aku
tidak memperdulikan 'Manusia tidak berhati’ atau 'Manusia berhati’, aku akan
menahan dirimu bukan sadja karena gurumu telah membawa lari 7 peti besiku,
tapi djuga karena kau......”
Perutnja Siauw Beng sampai dirasakan mules karena lagi sekali mendengar
siwanita djelek mengatakan dirinja 'Tjantik’, tapi ia seperti budek dan tidak
mendengar meneruskan katanja:
„Mengapa kau dapat mengenali belati hitam?' Waniia djeJek itu dengan heran
bertanja.
Wanita djelek ini memang tjukup nakal, bagaimana lajaknja para gadis jang baru
dilepas keluar rumah, iapua bersifat bebas dan lepas, dengan enak berkata:
„Pada suatu malam, aku mendatangi perkampungan Sam kiong San-tjhung, tenta
sadja harus membunuh dulu apa jang dinamakan Sat-gwa Sam-hiap, bagaikan
membunuh 3 ekor andjing sadja aku membunuh Tjoa Tay-Kiong sekalian.
Kemudian, bagaikan membakar sampah jang sudah lama bertumpukan, kusulut
api jang segera menjala dan memakan perkampungan Sam-kiong San-tjhung.
Kemudian dari runtuhan2 dan abu jang masih panas, kudapatkan belati hitam ini.”
Siauw Beng mana pertjaja, wanita didepannja mempunjai potongan badan jang
langsing mengiurkan, mempunjai lagu suara jang menarik dan merdu, mungkinkah
mempunjai kelakuan jang sekedjam ini? Maka dengan ragu2 menanja:
„Tentu sadja.” Berkata siwanita djelek. „Bila kau tidak pertjaja, aku boleh
mengadjakmu keperkampungan Sam-kiong San-tjhung untuk melihat
kenjataannja.”
Siauw Beng tidak dapat menahan hawa amarahnja lagi. Seperti apa jang telah kita
ketahui dibagian depan dari tjerita ini, Tjoa Tay-kiong telah memberikan
pertolongannja kepada Siauw Beng jang belum lama kematian ibunja, maka budi
ini tidak nanti ia cepat melupakan begitu sadja. Mendengar kata2 siwanita djelek
jang membunuh 3 saudara Tjoa dan membakar perkampungan Sam-kiong San-
tjhung, tjepat sekali ia mengajun tjambuk perak dan memutarr golok bintang
tudjuh menjerang dengan kalap.
Wanita djelek tidak pertjuma mendjadi muridnja si 'Kilat Hidup' Ang-tjiang Tjouw-
su jang djuga mendapat djulukan 'Manusia tidak berhati’, dengan menggunakan
belati hitam sebagai sendjata, ia membikin pendjagaan jang tjukup kuat djuga.
68 GOLOK BINTANG TUDJUH
Siauw Beng bertambah panas, dengan golok bintang tudjuh di tangen kanan,
tjambuk perak ditangan kiri, bergantian ia membikin penjerangan.
Wanita djelek mulai kewalahan, tapi ilmu mengentengi badan si 'Kilat Hidup' Ang-
tjiang Tjouw-su jang mendjadi salah satu dari 4 Manusia Imperialis telah
diturunkan kepadanja semau, maka dengan lontjat sana dan lontjat sini, ia berhasil
menghindari diri dari serangannja si pemuda gagah berani.
Wanita djelek itu ternjata banjak akalnja, melihat sipemuda mendjadi kalap,
menggunakan ketika ia tengah lompat telah berteriak:
„Tunggu dulu! Apa kau sudah lupa dengan telapak tangan berdarah jang
menempel didjidatmu?”
Tapi Siauw Bang sudah tidak perduli, ia mendesak terus dengan lebih hebat lagi.
Dua orang saling serang didalam pertempuran sengit. Siauw Beng menang dari dua
sendjata pandjang, tapi wanita djelek menggunakan belati hitam jang tadjam,
tidak berani Siauw Beng membentur sendjata orang, maka pertempuran dapat
berdjalan seru!
Sebetulnja ilmu meringankan badan wanita djelek jang mendjadi murid si 'Kilat
Hidup' Ang-tjiang Tjouw-su sudah mentjapai pada tarafnja jang tertinggi, namun
ilmu ilmu kepandaian Siauw Beng djuga tidak dapat dibuat memain, maka diseling
oleh angin mendesing-desing bagaikan suara seruling, karena 7 lubang digoloknja
Siauw Beng menggunakan ilmu tipu 'Khong-hiap-lay-hong' membikin penjerangan.
Wanita djelek mempunjai ilmu kepandaian lari jang tinggi, kedjadiun ini sudah
dapat kita maklumi, maka dengan lompat sana dan lompat sini ia selalu berhasil
menjingkir dari serangannja sipemuda. Maka karena ini inilah ia mulai lengah,
diperhatikannya sipemuda jang tjakap, pemuda ini mempunjai ilmu kepandaian
jang tjukup tinggi, sendjatanja tjambuk perak dan golok bintang tudjuh pun
memang hebat, wadjah mukanja tampan dan tjakap, ia melamun dan semakin
tertarik sadja.
CHUNG SIN 69
Saat inilah dalam serangan 'Khong-hiap-lay-hong', maka 'Nguing’ dan 'Sret’
sebagian rambutnja sudah terpapas, kupingnja mendesing-desing hampir
mendjadi korban golok bintang tudjuh jang hebat.
Dan 'Tar, tjambuk perak menjusu! membikin penjerangan. Tapi kali ini wanita
djelek tidak melamun, ia lompat menjingkir dan berteriak:
„Tahan! Apa kau sudah lupa dengan tanda telapak tangan berdarahmu?”
Ternjata ilmu telapak tangan berdarah adalah ilmu pukulan jang terlihay dari si
Kilat Hidup Ang-tjiang Tjouw-su, siapa jang sudah mendapat tanda telapak tangan
berdarah ini, didalam waktu 24 djam akan mati konjol dengan tidak diketahui
sebab2nja.
Siauw Beng pernah melihat bagaimana orang2 dari si piauwsu tua Siong Lim mati
kanjol semua, maka mendengar orang berkali-kali memberi peringatan, ia
berhenti dan menanja:
„Mengapa?”
„Kau mempunjai hubungan apa dengan Tjoa Tay-kiong, mengapa sampai demikian
kalap dikarenakan mendengar kabar kematian nja?” Wanita djelek itu menanja.
Siauw Beng sungguh tidak mengerti, dari lagu suara jang merdu mana mungkin
sedjelek ini rupanja? Dari potongan badan jang menggairahkan mana mungkin
sedjelek ini. Tapi didalam kenjataan ia sedang berhadapan dengan seorang wanita
jang luar biasa djeleknja. Agar tidak dikatakan pemuda tidak tahu aturan, iapun
memberikan djawaban atas pertanjaan orang:
„Pada 6 tahun jang lalu, Tjoa Tay Kiong pernah memberikan pertolongannja
kepada kami anak dan ibu.”
Tiba2 wanita djelek mundur kaget, sambi! menundjukan belati hitam ia berkata:
„Aaaaaa..... Kau inilah itu anak ketjil jang dibawa lari oleh muridnja Pek
kut Sin kun si Muka Hitam Hek thian Thong dan bersama-sama djatuh kedalam
lembah Patah Tulang. Kiranja kau masih belum mati?”
Hanja gara2 utjapan jang dianggap sepele sadja, orang telah dapat mengetahui
asal usulnja, kekagetannja Siauw Beng tidak kepalang. Inilah soal jang paling
runjam.
Menurut penuturan ibunja almarhum, bila asal usul dirinja dapat diketahui orang,
akan tjelakalah sehingga tidak dapat makan dan tidur tenang, puluhan, ratusan,
Ia tinggal dipulau Angin Pujuh lebih dari 6 tahun, sebetulnja tidak mudah orang
dapat mengenali dengan segera, tidak disangka wanita djelek dihadapannja dapat
menebak tepat dan berteriak-teriak, bagaimana bila orang lain dapat mengetahui
djuga? Bukankah akan mendjadi runjam dan heboh?
„Aku datang untuk menonton keramaian! Kesatu, karena itu kitab 'Kun-lun Sin-sie'
berada ditanganmu, maka tidak perduli kemanapun kau pergi, tetap kau dikuntit
para tokoh2 serakah djuga. Kedua, Pui Siauw Beng, djangan kau kira aku tidak
mengetahui asal asulmu, biarpun kau mempujai seribu tangan seribu kaki,
mungkinkah dapat melajani kerojokannja orang2 ini?”
Heran! Mengapa siwanita djelek dapat mengetahui nama dan she orang? Soal ini
hampir Pui Siauw Beng tidak pertjaja. Orang jang terdekat dengan si
pemuda jalah si nenek dipulau Angin Pujuh jang Pui Siauw Beng belum ketahui
siapa adanja, tapi nenek itu pun belum dapat menjebut 'Pui Siauw Beng' tiga surat.
„Pui Siauw Beng, djangan kau heran karena aku dapat mengetahui namamu, tiga
kali aku turun kedalam lembah Patah Tulang, disana aku mendapatkan badju
luarmu jang ketinggalan, dibalik badju luar itulah aku mendapatkan tjatatan2 jang
memberikan pendjelasan tentang asal usul dan namamu, itulah tulisan2 ibumu
jang ditinggalkan untukmu. Tapi badju luar itu sudah sobek, bukan kau jang
merobeknja, bukan?”
Siauw Beng memang maslh belum mengarti, mengapa ibunja membawa ia lari?
Mengapa 'Kun-lun Sam-po' atau tiga pusaka Kun lun dapat terdjatuh kedalam
tangan mereka? Mengapa terdapat banjak orang jang mengedjar-ngedjar mereka
dan achirnja sang ibu telah terbinasa oleh pukulannja seorang dari gunung Khong-
tong.
Tentang letak penjimpan kitab 'Kun-lun Sin-si' pernah djuga Pui Siauw Beng
menanjakan kepada ibunja, tapi sang ibu menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata, bahwa nama serta tempat penimpanan 'Kun lun Sin-sie' tidak boleh
diketahui orang, atau akan tjelakalah ia sendiri. Ratusan orang atau ribuan orang
akan mengintil dibelakang membikin pengedjaran, maka tidak perduli ia
CHUNG SIN 71
berkepandaian maha tinggi, pada suatu hari; akan kalah djuga dengan
kerojok2annaja orang2 ini.
Pernah djuga Pui Siauw Beng bertanja kepada ibunja, siapakah jang mendjadi
ajahnja? Tapi ibu hanja mengatakan ia she Pui dan tidak menjebut namanja sama
sekali. Ia mengatakan bahwa bila sang anak sudah dewasa, maka semua rahasia2
ini dapat diketahuinja djuga.
Tidak disangka semua tjatatan2 ini tersimpan di badju luarnja jang ketinggalan di
dasar lembah Patah Tulang, disana, setelah Hek Thian Tong menjobek dan
mengetahui nama Pui Siauw Beng, karena kedatangannja si nenek dari pulau Angin
Pujuh, maka ia telah terbinasa dan demikianlah badju luar Pui Siauw Beng telah
terbengkalai disana dan achirnja dapat ditemui oleh wanita jang berwadjah djelek
ini.
„Dimanakah sekarang badju luarku itu?” Pui Siauw Beng mulai menanja.
Wanita djelek itu tertawa tjekikikan, wadjahnja jang banjak daging lebih itu sampai
bergojangan, menambah kedjelekan, kemudian ia berkata:
„Sudah kubuang...... Tapi, tjatatan tentang asal usulmu itu telah kusobek
sebagian.”
„Tidak bisa.” Djawab wanita djelek. „Biarpun aku telah mengetahui namamu, tapi
kau masih belum mengetahui namaku. Mengapa kau tidak mau menanja dahulu?”
Sungguh lutju? Pui Siauw Beng sudah berniat membunuh wanita djelek ini bila
dapat memastikan Tjoa Tay Kiong telah terbinasa ditangannja, maka mendengar
kata2 jang mengesalkan, ia mem-banting2 kaki dan berkata:
„Tidak kasih? Apa kau kira aku tidak dapat merebut kembali?”
„.Heran! Selama 6 tahun belakangan ini, apa kau menetap di pulau Angin Pujuh?”
Hatinja Pui Siauw Beng tergerak, ia memang belum tahu siapa nenek tua jang
berwadjah welas asih itu, maka menggunakan ketika ini, ia ingin mengorek sedikit
keterangan darinja, maka berkatalah ia:
„Betul2 membuat aku heran dan tidak mengerti, situa bangka jang tidak mau
mati2 itu mengapa tidak mengganggu selembar pun rambutmu?”
Pui Siauw Beng paling sajang kepada poponja dipulau Angin Pujuh jang dianggap
manusia terbaik didalam dunia, maka mendengar ada orang jang mentjela, ia
mendjadi marah dan membentak:
„Siapa jang kau maki dengan sebutan 'Situa bangka jang tidak mau mati2 itu?”
Kemarahan Pui Siauw Beng tidak dapat ditawar lagi. 'Tar’ dan tjambuk perak diajun
menjerang kepala orang.
Wanita djelek gesit dan lintjah, badannja jang langsing bergerak dan menjingkir
dari serangannja pemuda.
„Hei, kau masih pernah apa dengan situa bangka she Oen itu?” Wanita djelek
menanja heran.
„Ow!” Pui Siauw Beng mengeluarkan seruan didalam hati, ternjata poponja she
Oen, baru kini ia dapat mengetahui she poponja jang tertjinta.
Ternjata si nenek tua penghuni Pulau Angin Pujuh, pemilik golok bintang tudjuh
adalah orang pertama dari 4 Manusia Imperialis jang sudah ditjap terdjahat
didalam dunia. Mo-mu Oen-hun. Demikian nama jang tjukup seram! Mo-mu
adalah djulukannja jang berarti seribu iblis, dan Oen Hun adalah nama aslinja,
maka wanita djelek memakinja sebagai situa bangka she Oen. Sajang Pui Siauw
Beng tidak tahu kepada siapa ia berguru, dengan siapa ia tinggal selama 6 tahun
belakangan ini, malah ia lebih pertjaja kepada Mo-mu Oen hun dari pada siapapun
djuga. Hal inilah jang membuat tjerita bertambah kalut dan ramai karenanja.
Waktu itu, dari djauh terdengar siulan jang tinggi. Mendengar ini, wanita djelek
berteriak:
Pui Siauw Beng menengok kearah datangnja siulan, dan betul sadja terlihat satu
titik ketjil dengan menggendong 7 buah peti besi kembali lagi. Itulah si Telapak
Tangan Berdarah alias Kilat Hidup Ang tjiang Tjouw-su jang balik kembali.
Sebentar sadja Ang Tjiang Tjouw-su sudah tiba disana, ternjata ia tidak balik
seorang diri sadja, dibelakangnja terlihat seorang jang berwajah majat dan
bermuka kuda tampak mengedjarnja, ialah Pek-kut Sin-kun jang pernah menjuruh
Tjoa Tay Kiong dan si Pintjang Pui Kie membongkar kuburan ibunja Pui Siauw Beng.
Sebagai salah satu dari 4 Manusia Imperialis djuga, Pek-kut Sin-kun atau Siluman
Tengkorak mempunjai ilmu kepandaian jang tinggi. Maka Ang-tjiang Tjouw-su jang
harus menggendong-gendong 7 buah peti besar tidak dapat memberikan
perlawanannja, segera ia tiba disana dan berteriak kepada muridnja.
Pundak kirinja mumbul sedikit, maka 7 peti besar jang mendjadi barang antaran si
piauwsu tua Siong Lim jang telah direbut oleh Ang tjiang Tjouw-su melajang dan
menudju ke wanita djelek jang dipanggil Yang Hong.
Tapi Siluman Tengkorak Pek-kut Sin kun tidak takut, ia mengeluarken kedua
telapak tangaanja menangkis dan 'Bum’ 'Bum' dua kali, masing2 sudah terpukul
mundur. Mereka seri dan sama kuat.
Pui Siauw Bmg tidak tahu siapa adanja Pek kut Sin-kun, ia hannja kaget karena
disini ia sudah menemukan tiga djago2 kuat jang tidak mudah untuk dihadapinja.
Wanita djelek jang disebut Yang Hong sadja sudah sukar uutuk dihadapi, apalagi si
Kilat Hidup Ang-tjiang Tjouw su jang mendjadi suhu orang, mana mungkin ia dapat
memberikan perlawanan? Kini mutjul pula seorang sastrawan jang bermuka kuda
seperti majat ini, orang ini dapat mengimbangi kekuatannja Ang-tjiang Tjouw-su,
mana mungkin ia dapat melawannja?
Maka dilihatnja 7 peti besar jang melajang turun, itu waktu wanita djelek jang
bernama Yap Yang Hong sudah memasang pundak, ia hendak mengambil alih
tugas gurunja jang harus menempur Pek kut Sin-kun jang ternama.
Pui Siauw Beng menengok lagi ke arah si Telapak Tangan Berdarah dengan lain
djulukan si Kilat Hidup Ang-tjiang Tjou-su jang sudah madju lagi dan menempur
musuhnja. Mereka sama kuat dan sama hebat, pertandingan berdjalan dengan
seru!
Inilah kesempatan jang tidak mudah untuk didapatkan, menggunakan ketika ini
Pui Siauw Beng ingin merebut 7 buah peti kembali. Ia ingin menjelesaikan tugas
jang diberikan oleh Siong Lim jang telah mati bunuh diri, itu malam djuga ia ingin
mengantarkan ke kota Peng-kang-tin dan kemudian mentjari kitab 'Kun-lun Sin-
sie' jang akan dibawa pulang ke pulau Angin Pujuh, diserahkan kepada si nenek tua
jang dianggap manusia baik olehnja.
Disinilah letak kepribadiannja Pui Siauw Beng jang luhur, biarpun ia tahu diatas
djidatnja ada bertanda telapak tangan berdarah, tapi ia masih tidak mementingkan
diri sendiri, ia ada lebih mementingkan kepentingan lain orang.
Ditjeritaknn 7 tumpukan peti melajang turun terlebih rendah lagi, wanita djelek
Yap Yang Hong sudah memasang posisi untuk lari, pundaknja tepat berada
dibawah peti2 jang saling susun rapi, begitu peti djatuh, ia siap melarikan diri dan
membawa 7 buah peti aneh ini pergi.
Maka tjepat sekali Pui Siauw Beng mengajun tjambuk perak nja 'Tar’ mengarah
lima djalan darah orang.
Saat inilah jang dinantikan oleh sipemuda, maka tjepat ia madju tiga langkah
memasang pundak, tepat sekali 7 peti saling numpuk djatuh pada pundaknja.
Yap Yang Hong berteriak disertai dengan gerakan belati hitam jang mendjadi
pusaka Kun-lun-pay jang terdjatuh kedalam tangannja dikasih kerdja menjerang
kearah si pemuda.
Pui Siauw Beng sudah menduga bakal mendapat serangan seperti ini, maka
tjambuk peraknja diajun siap melibat tangan orang jang digerakkan menusuk
dirinja.
Gerakannja Yap Yang Hong gesit, tidak pertjuma ia mendjadi murid si Kilat Hidup
Ang-tjiang Tjouw-su jang mempunjai kaki maling, tidak menunggu sampai tjambuk
perak melilit tangan, ia membatalkan serangan dan menarik pulang belati hitam,
dengan demikian ia berhasil menghindari serangan orang.
Kini ia berada dibelakang orang, dan tjepat sekali menusukkan pula belati
hitamnja.
Pui Siauw Beng diserang! Beban berat di atas pundak jang berupa 7 buah peti besar
tentu sadja menjukarkan dirinja, sulit untuk ia menghindari diri dari serangan,
maka tjambuk perak lalu diajun dan membalikkan kepala untuk menghadapi sang
lawan.
Wanita djelek Yap Yang Hong mempunjai ketjepatan jang berada di atas lawannja,
kedjadian ini sudah masuk didalam perhitungannja, maka ia tidak meneruskan
serangan belati hitam, sebaliknja bergerak lagi dan ini kali perut oranglah jang
didjadikan sasaran.
Tapi siwanita djelek Yap Yang Kong tidak meneruskan tusukan belati hitamnja, ia
membalikkan telapak tangan dan 'Bret’ sebagian badju dari Pui Siauw Beng, dari
perut sehingga leher badju telah terbelah mendjadi dua.
Kedjadian ini terdjadi didalam waktu jang singkat, maka tjepat sekali Pui Siauw
Beng mengeluarkan golok bintang tudjuh, golok ini diputar sedemikian rupa
mendjaga seluruh tubuhnja, hingga menimbulkan suara angin jang menderu-deru
bagaikan serulig golok mengalun di udara.
CHUNG SIN 75
Bunji golok bintang tudjuh jang diputar memang tjukup istimewa, disana, Pek-kut
Sin-kun jang bertempur dengan Ang tjiang Tjouw-su segera meagenali dan
berteriak:
„Hei, orang dari pulau Angin Pujuh djangan lari dulu! Tunggu sampai aku selesai
bertempur dengan si Kilat Hidup ini, aku masih ada urusan jang mau dibitjarakan
denganmu.”
Telapak Tangan Berdarah Ang Tjiang Tjouw-su jang dimaki si Kilat Hidup tidak
marah, sebaliknja telah tertawa berkakakan, dan balasnja.
„Pek kui Sin-kun, semakin lama kau semakin tidak tahu malu. Mengapa kau tidak
berani langsung mendatangi pulau Angin Pujuh mentjari guru orang? Kau hanja
pandainja menghina botjah jang tidak bernama. Kelakuanmu ini mana seperti
kelakuan satu tokoh ternama? Seharusnja, namamu Pek-kut Sin-kun harus dihapus
atau disingkirkan dari 4 Manusia Imperialis.”
Pai Siauw Beng heran, mengapa orang segera dapat mengetahui ia datang dari
pulau Angin Pujuh? Kini mendengar kata2nja Ang-tjiang Tjouw-su, ia baru tahu
bahwa orang jang bermuka seperti kuda itu adalah si Siluman Tengkorak Pek-kut
Sin-kun jang ternama. Disini sudah hadir dua manusia Imperialis jang harus
diganjang, entah siapa2 lagi dua manusia Imperialis lainnja?
Mulut si Kilat Hidup Ang tjiang Tjouw-su memaki, tangannja tidak tinggal diam,
pukulan telapak tangan berdarah dikerahkan dan memukul kearah pundak kiri
Pek-kut Sin-kun.
Siluman Tengkorak Pek kut Sin-kun lompat menjingkir dari serangan orang,
berbareng ia membikin serangan balasan dan membentak:
Ternjata Ang Tjiang Tjouw-su mempunjai arti 'Tjakal bakal pukulan tangan merah',
maka Pek kut Sin-kun memanggil 'Tangan merah’ kepadanja.
Si Kilat Hidup Ang Tjiang Tjouw-su mempunjai kegesitan jang luar biasa, maka
dengan mudah ia menjingkir ke belakang orang, memukul dan membentak:
„Tutup mulut!”
Demikian dua manusia Imperialis ini saling maki saling serang, saling membela diri
dan membikin pendjagaan.
Dilain medan pertempuran, Pui Siauw Beng harus berhadapan dengan wanita
djelek Yap Yang Hong jang gesit, si pemuda tidak mendjadi kapok karena ditusuk
belati hitam jang hanja memakan korban badjunja, dengan golok bintang tudjuh
ditangan kanan dan tjambuk perak ditangan kiri ia memberikan perlawanan.
Yap Yang Hong djuga tidak takut terhadap sipemuda jang telah dibebani 7 peti
beaar dipundak, dengan belati hitam dan gerakan lintjah ia menangkis dan
menjerang. Wanita djelek ini seperti ada niatan untuk memantjing pergi sipemuda
Maka setelah djarak dengan dua manusia imperialis djauh, dengan perlahan
wanita djelek Yap Yang Hong berkata:
Pui Siauw Beng menjerang dengan golok bintang tudjuh dan membentak:
„Apa kau kira kau dapat hidup sehingga detik ini, bila aku meneruskan tusukan
belatiku tadi? Serahkanlah 7 buah peti jang dimaui oleh guruku itu, kemudian
menghentikan pertempuran ini”
„Phuy!” Pui Siauw Beng meludah. „Apa kau kira 7 buah peti ini barang
kepunjaanmu? Betul belati hitammu tadi memberi ampun satu kali, djika nanti
golok bintang tudjuhku djuga akan memberi ampun kepadamu.”
„Oh, pemuda membosankan. Tahu begitu, kutusuk sadja perutmu tadi. Betul 7
buah peti itu bukan kepunjaanku, tapi djuga memangnja kepunjaanmu?”
Sementara itu, djarak mereka dengen si Kilat Hidup Ang-tjiang Tjow-su dan si
Siluman Tengkorak Pek kut Sin kun bertambah djauh, mereka tidak dapat melihat
atau mendengar apa tang telah terdjadi, maka Yap Yang Hong dapat berteriak
semakin keras seperti tadi.
Pui Siauw Hong tidak mau menerima budi orang, maka bantahnja:
„Tentu! 7 buah peti besi ini adalah barang tanggung djawabku jang telah
diserahkan oleh sipiauwsu tua jang bernama Siong Lim. Biar bagaimana aku harus
berusaha mengirimkan 7 buah peti ini kekota Peng-kang-tin.”
Wanita djelek Yap Yang Hong mengeluarkan suara dari hidung 'Hm’ dan katanja:
„Piauwsu tua Siong Lim bangsa apa? Apa ia ialah memberitahu kepadamu tantang
isi dari 7 peti jang berada dipundakmu itu?”
Pui Siauw Beng melengak, karena inilah serangan belati hitam dari Yap Yang Hong
himpir mengenai kakinja. Tjepat ia menenangkan hati dan membalas dengan
serangan Khong hia-lay-hong lagi.
Wanita djelek Yap Yang Hong tertawa tjekikikan, dari suara ini sipemuda hampir
tidak pertjaja akan kedjelekan musuh dihadapannja, inilah suara merdu seoraog
gadis jang belum lama meningkat dewasa.
CHUNG SIN 77
„Pui Siauw Beng,” demikian Yap Yang Hong berkata. „Tentang asal usulmu, hanja
aku seorang jang tahu. Kau serahkanlah 7 buah peti itu, maka aku akan bcrdjandji
tidak akan membotjorkan rahasia dirimu.”
„Tidak!!” Pui Siauw Beng berteriak. „Aku pernah meudjandjikan Siong Lim untuk
mengantarkan 7 peti ini ke kota Peng-kang-tin.”
„Botjah, kau memang tolol dan goblok. Kau bitjara dengan suara keras,
mungkinkah sengadja agar guruku mendengarnja?”
Betul sadja, saling serang di antara si Kilat Hidup Ang-tjiang Tjouw-su dan si
Siluman Tengkorak Pek-kut Sin-kun makin lama makin berpindah mendekati
mereka. Pui Siauw Beng memandang ke arah dua lawan jang tengah bertanding
dan berteriak:
„Tidak perduli!”
„Hei permainan golokmu itu kendurkanlah sedikit, dan bitjaralah dengan tidak
terlalu keras agar tidak didengar oleh guruku dan Pek Kut Sin-kun. Kau pertjaja
kepadaku, tidak mungkin aku melukai dirimu.”
Pui Siauv Beng agak bingung, maka gerakan goloknja semakin kendur, kesempatan
ini digunakan oleh Yap Yang Hong dan berkata:
„Siorg Lim mengatakan kepadaku bahwa orarg jang meminta tolong membawakan
barang antaran akan membunuh keluarganja. Bila barang antaran jang dimaksud
tidak tiba ditempat tudjuan?”
„Kau terkena tipunja Siong Lim!” Berkata Yap Yang Hong tjekikikan. „Orang jang
meminta membawakan barang antaran jang berupa 7 buah peti besar
dipundakmu itu jalah Pek kut Sin-kun sendiri!”
„Apa?” Pui Siauw Beng tidak pertjaja. „Kau djangan mentjoba memperdajai orang.
Pek-kut Sin-kun memang orang apa, harus meminta membawakan barang2nja
kepada segala matjam piauwsu segala.”
„sudah kukatakan, kau tolol, memang tidak salahnja. Apa kau tak tahu apakah
akibatnja bila 3 manusia imperialis lainnja, Kun-lun Tjit-tju (7 tokoh dari Kun-lun)
sekalian tahu Pek-kut Sin-kun membawa-bawa 7 buah peti itu? Mungkinkah ia
dapat berdjalan aman dan tenang? Maka ia telah memisahkan perhatian orang
dan menjuruh Siong Lim membawakannja. Siong Lim sebagai manusia biasa, tentu
tidak terlalu menarik perhatian, dengan demikian ia dapat aman menunggu di
Peng kang-tin menarik keuntungan. Tidak disangka, kuping guruku sangat tadjam,
maka siasat ini dapat diketahuinja djuga.”
„Hei, Pek kut Sin-kun, apa betul 7 peti besi ini ada mendjadi barang2
kepunjaannmu?”
Suara sipemuda sudah dilatih banjak tahun dipulau Angin Pujuh, tentu sadja keras
dan kentjang, sebentar kemudian dari sana terdengar suaranja Pek-kut Sin-kun
menjahut:
„Betul! Djika kau dapat memperhatikan 7 buah peti itu sampai tidak direbut, maka
perhitungan dendam dengan gurumu jang telah membunuh muridku akan
kuhapuskan, tapi akan tjelakalah kau seumur hidup bila tidak dapat mendjaganja.”
Pui Siauw Beng bukan manusia jang dapat digertak, ia tidak puas diantjam seperti
tadi, maka 'Bum' 'Bum' 'Bum' 7 kali, 7 buah peti sudah didjatuhkan dari pundaknja
dan berkata:
„Siapa jang kesudian mendjagakan 7 buah peti besimu ini? Kau djagalah sendiri
dan aku tidak mau ikut tjampur didalam perebutan ini. Tapi bila kau berani
mengantjam keluarga Siong Lim dirumahnja, tentu akupun tidak dapat
melepaskan dirimu.”
Tapi disana Ang-tjiang Tjouw-su djuga tidak tinggal diam, ia mengurung sang lawan
dengan ilmu pukulan2 telapak tangan berdarahnja sehingga membuat Pek-kut Sin
kun tidak berdaja membebaskan diri dan harus melajaninja.
Pui Siauw Beng menjimpan golok dan tjambuknja, ia berdjalan pergi dengan tidak
memperdulikan 7 buah peti besi itu lagi, jang sebetulnja masih mempunjai
sangkutan dengan rahasia asal usulnja.
Mendadak sadja terlihat bajangan bergerak dan wanita djelek Yap Yang Hong
sudah menghadang djalan perginja sipemuda, mulutnja bergerak-gerak seperti
mau mengutjapkan sesuatu apa, sajang agak berat, maka ia terdiam sadja
mengawasi sipemuda.
Pui Siauw Beng merasa mual dipandang sedemikian rupa, maka dengan gusar
membentak:
Djauh dari mereka djuga terdengar teriakannja si Kilat Hidup Ang-tjiang Tjouw-su:
„Yap Yang Hong, lekas bawa 7 peti besi itu ketempat jang kita djandjikan.
Mengingat hubungannja botjah itu dengan sinenek tua she Oen, djanganlah kau
mengganggu dirinja.”
CHUNG SIN 79
Yap Yang Hong mengija kepada gurunja, kemudian dengan suara jang ditekan dan
perlahan berkata:
„Pui Siauw Beng, legakanlah hatimu. Tentang asal usulmu akan kurahasiakan
dengan aman. Kau pergilah dengan segera!”
Sipemuda tidak mengerti sikap dari wanita djelek ini djauh berbeda dari semula,
maka dengan tidak terasa dipandangnja sekali lagi.
Yap Yang Hong seperti masih belum selesai bitjara maka katanja:
„Tentang tjerita kedjadian di perkampungan Sam kiong San- tjhung hanja berupa
tjerita isapan djempol belaka. Maka bila kau tiba disana, kau akan lihat
perkampungan itu masih ada seperti sedia kala. Dan Tjoa Tay Kiong djuga tidak
terbunuh seperti kutjeritakan kepadamu, tapi ia masih hidup segar bugar tidak
menderita tjatjad sesuatu apa. Lekaslah kau kesana.”
Pui Siauw Beng tidak memperdulikan Pek-kut Sin-kun dan Ang tjiang Tjouw-su lagi,
tjepat sekali ia bergerak dan meninggalkan mereka jang masih asjik bertempur.
Bila dua tokoh kuat jang seperti mereka mengadu tenaga, memang sampai 3 hari
tiga malam pun masih sukar untuk mendapat kepastian.
Maka, dengan tidak mendapat rintangan, sebentar sadja Pui Siauw Beng sudah
tiba dikota Peng-kang-tin.
Kota Peng kang-tin tjukup ramai. Betul dimusim saldju jang dingin, tapi suasana
kota masih tidak dapat dilenjapkan, banjak orang jang berpakaian tebal atau
bermantel mundar mandir, rumah makan dan penginapan tidak ada jang kosong,
suara riuh rendah kadang2 masih terdengar.
Setibanja didalam kota, baru sipemuda teringat sesuatu hal. Mengapa ia tidak
menanjakan apa jang mendjadi isi dari 7 buah peti besi? Dari sikap laku si wanita
djelek, tidak sukar untuk menanjakan keterangan darinja.
Pui Siauw Beng tidak mengarti mengapa ia bolehnja pertjaja kepada itu wanita
djelek? Bila mengingat daging jang berindjulan diatas mukanja, tentu sadja tjukup
memualkan bagi siapa jang melihat, tapi ia mempunjai: potongan badan jang
menaritk, lagu suara jang merdu dan ah,..... Pui Siauw Beng tidak berani memikir
terlebih landjut, wadjah djeleknja itulah jang ia tidak tahan untuk menerima.
Terbajang pula wadjah wanita djelek Yap Yang Hong dihadapannja, mengapa ia
tidak menusukkan belati hitam diperut? Tapi hanja merobek sebagian dari
badjunja sadja? Dan mengapa ia berdjandji untuk tidak membongkar rahasia asal
usulnja? Mengapa orang dapat berlaku sebagai ini? Mungkinkah ada terselip
sesuatu apa?
Pui Siauw Beng melamun sambil berdjalan, sehingga dengan tidak diketahui ia
hampir menubruk seseorang.
„Sam te, kau mengapa? Orang toch belum menubruk tubuhmu bukan?”
Inilah suara jang tidak asing lagi bagi Pui Siauw Beng! Hatinja tergetar, itulah
suaranja Tjoa Tay Kiong jang ia kenal betul.
Maka ia mendongakan kepala dan betul sadja didepannja sadja terlihat Tjoa Tay
Kiong jang sedang didampingi oleh adik ketiganja Tjoa Tay Hiong, dan ia inilah jang
tadi mengulurkan tangan siap mentjengkeram orang.
Tjoa Tay Hiong tidak puas karena tjengkeramannja tidak membawa hasil jang
diinginkan, apa lagi mendengar toakonja mentjegah ia membikin onar, maka
dengan tidak puas berkata:
„Botjah ini berdjalan dengan seradak seruduk, dihawa jang sedingin ini tidak
memakai badju dingin sama sekali, apa tidak bisa djadi murid atau orang
suruhannja Kim lo Han jang mentjari setori?”
„Djangan sembarang mendakwa o»ang.” Tjoa Tay Kiong berkata keren. „Mungkin
djuga anak dari seorang jang tidak berada, maka djanganlah kau mentjari gara2
lagi. Urusan kita ada terlebih penting!”
Tjoa Tay Hiong mendengar tidak puas, tapi ia tidak berani melawan perkataan atau
perintah toakonja maka berdua lalu berdjalan pergi meninggalkan sipemuda.
Hatinja Pui Siauw Beng tergerak, urusan apa lagikah jang akan terdjadi? Maka ia
siap mengulurkan tangan memberi bantuan, dengan mengikuti dibelakang mereka
ia membikin penguntitan.
Tjoa Tay Kong dan Tjoa Tay Hiong masuk kedalam rumah makan jang besar, maka
Pui Siauw Beng turut mengajunkan langkahnja kesana.
Tjoa Tay Kiong dan Tjoa Tay Hiong memilih tempat duduk jang menjolok mata,
maka Pui Siauw Beng mengambil medja jang berhadap-hadapan dan memasang
kuping mentjuri dengar pembitjaraan.
Tidak lama terlihat Tjoa Tay Kiong mengkerutkan kening dan berkata:
„Sam-te, setelah hilangnja belati hitam pada 3 hari dimuka aku sudah tahu akan
terdjadi kedjadian jang lain lagi. Betul sadja Kim Lo Han mengutus orangnja untuk
menemui kita dirumah makan ini. Entah apa jang mau dirundingkan olehnja?”
Tjoa Tay Hiong membusungkan dada, adik ini memang ada terlebih djumawa dari
pada toakonja, dengan mentjoba berlaku gagah ia berkata:
„Djangan takut! Hanja satu Kim Lo Han buat apa ditakuti? Dahulu, sewaktu rumah
kita didatangi oleh Kim Lo Han, Po-jang Ni-kouw, Hek Thian Tong, Tui Kie dan Tjo
Put Djin sekalian, bukankah kau dapat berlaku tenang dan tidak terdjadi sesuatu,
CHUNG SIN 81
apa bahkan kau dapat memberikan perlawanan jang tjukup seru kepada Pu-yong
Ni-kouw, kini jang datang hanja Kim Lo Han seorang buat apa kau mendjadi takut
tidak kepuguhan?”
„Kedjadian tidak dapat disamakan pada hari itu, itu waktu aku harus membeli si
anak piatu jang belum lama kehilangan tjinta ibu, maka aku harus berdaja upaja
mengeluarkan tenaga. Tapi setelah ia terdjatuh kedalam lembah Patah Tulang
dengan tidak kabar tjerita, hatiku bimbang dan tidak tenang sehingga telah
menelantarkan ilmu peladjaran, tidak demikian dengan Kim Lo Han jang semakin
lama semakin gagah dan dimalui orang, mungkinkah aku dapat menandingi dirinja,
soal ini masih harus diragukan sekali lagi.”
„Djadi kau meragukan belati hitam telah ditjuri oleh salah satu dari mereka itu?”
Tanja Tjoa Tay Hiong.
„Menurut tjerita orang, si Pintjang Tui Kie, Pu-yong Ni-kouw, Tjo Put Djin dan Kim
Lo Han ini telah mendirikan satu perserikatan jang dinamakan 'Samtasia', maka 4
orang ini disebut 4 Manusia Imperialis Muda. Bila belati hitam dapat ditjuri dari
buntalanku dengan tidak diketahui sama sekali, mudah dibajangkan sampai
dimana kemadjuan ilmu silat mereka.”
Pui Siauw Beng jang mendengar pembitjaraan dari dua roang dihadapannja
memanggutkan kepala. Ternjata kata2 dari wanita djelek Yap Yang Hong memang
tidak bohong, dengan ilmu kepandaian jang dimiliki oleh muridnja si Kilat Hidup,
tentu sadja tidak sukar untuk mentjuri belati hitam dari bawah bantal Tjoa Tay
Kiong. Hanja ia heran, ketjuali 4 Manusia Imperialis, kini telah timbul pula 4
Manusia Imperialis Muda. Sungguh dunia sudah tua! Matjam2 nama sadja jang
telah dikeluarkannja.
Rumah makan jang didjandjikan oleh Kim Lo Han untuk bertemu dengan Tjoa Tay
Kiong adalah rumah makan jang terbesar, disana ketjuali mereka dan Pui Siauw
Beng masih banjak orang tamu lagi. Diantaranja terlihat seorang pemuda
berwadjah tampan, bermulut ketjil turut memasang perhatian atas pembitjaraan
dua saudara Tjoa jang belum lama kita sebut tadi.
Dua sandara Tjoa tidak engah, tapi Pui Siauw Beng jang lebih lihay dari mereka
sudah dapat mengetahui dengan segera. Sangat kebetulan, pemuda tampan,
bermulut ketjil itu memandang kearah Pui Siauw Beng, maka dua pasang sinar
mata beradu mendjadi satu.
Agaknja sikap dan pembawaan Pui Siauw Beng tidak menarik perhatian orang,
maka pemuda bermulut ketjil itupun tidak memandangg terlalu lama dan
memasang kuping mendengar pembitjaraannja Tjoa Tay Kiong lagi.
Pui Siauw Beng agak tertjengang, seperti apa jang dilihat dari katja perungu dari
wanita djelek Yap Yang Hong, ia telah melihat diatas djidatnia ada tanda tapak
tangan berdarah, tapi pemuda itu mengapa tidak mendjadi heran?
82 GOLOK BINTANG TUDJUH
Maka ia menengok kekiri dan kekanan memandang orang2 menarik perhatian,
banjak orang jang dipandang tidak puas, tapi mereka tidak melakukan sesuatu apa
dan djuga tidak menundjukan keheranannja.
Kedjadian ini memang agak aneh! Bila telapak tangan berdarah masih menempel
diatas djidat, sudah dapat dipastikan mereka heran dan memandang atau menarik
perhatian, kini mereka memandaag dengan pandangan mata biasa, maka kelakuan
mereka agak aneh djuga dilihatnja.
Kebetulan, pelajan rumah makan segera datang membawakan makanan, maka Pui
Siauw Beng berkatja dimangkuk jang tersedia air dan telapak tangan berdarah
diatas djidat sudah tidak terlihat lagi! Sungguh heran sekali!
Seperti diketahui, tanda telapak tangan berdarah adalah salah satu ilmu jang
terdjahat dari si Kilat Hidup Ang tjiang Tjouw-su. Orang jang terkena tanda telapak
tangan berdarah ini, didalam waktu 24 djam tidak mungkin dapat hidup dengan
terlebih pandjang lagi. Maka tentu sadja Pui Siauw Beng mendjadi heran karena
tanda teLapak tangan berdarahnja dapat lenjap setjara mendadak.
Bila tidak tahu kuntji rahasianja, memang sangat membingungkan. Tapi setelah
mengetahui apa jang mendjadi sebab dari keanehan ini, Pui Siauw Beng sampai
tertawa sendiri, inilah tjerita di belakang dari tjerita ini.
Karena sedang melamun dengan tidak diketahui, dirumah makan telah bertambah
satu orang, Orang ini berupa hweshio tidak berambut, ia datang mendadak dan
tertawa terbahak-bahak, kemudian mengeluarkan suara gembrengnja:
„Saudara Tjoa memang tidak pertjuma mendjadi orang ternama, dengan sekali
undang sadja mudah bertemu muka.”
„Silahkan duduk!”
Kim Lo Han mengajunkan langkah lebar dan mengambil kursi jang berada didepan
dua saudara Tjoa, dengan tidak sungkan2 lagi ia duduk disana.
CHUNG SIN 83
Kim Lo Han tidak tahu sedang diintjar orang, ia duduk dengan lagak sombong,
dihadapinja Tjoa Tay Kiong dan berkata:
„Saudara Tjoa, maksudku mengundang kemari ialah ingin meminta belati hitam
jang ketinggalan itu. Apa kau telah membawanja sekalian?”
Tjoa Tay Kiong heran, ia menjangka belati hitam telah ditjuri oleh hweshio ini, tidak
tahunja orang masih meminta lagi, maka ia kesal dan berkata:
„Siapa jang kesudian bergurau dengaa dirimu?” Berkata Kim Lo Han. „Pada 6 tahun
jang lalu, karena sedang mengintjar obat 'Tjian lian-soat som' dan kitab 'Kun lun-
sin-sie’, aku telah melupakan belati hitamnja Kun lun-pay. Kini teringat kembali,
tentu sadja aku meminta lagi. Lekaslah kau keluarkan untuk diserahkan.”
Tjoa Tay Kiong harus membongkar dugaannja semula, kini ia tahu bukan Kim Lo
Han jang mentjuri belati hitam, maka ia memberikan pendjelasan berkata:
„Sajang kedatanganmu sudah telat. Belati hitam telah ditjuri orang pada 3 hari
berselang.”
Kim Lo Han mana pertjaja? Alisnja bergerak bangun, ia marah dan membentak:
„Tjoa Tay Kiong, bukalah matamu dahulu. Siapa jang kini sedang kau hadapi?
Berani kau menjimpan barang jang telah kuintjar?”
Pui Siauw Beng mengkerutkun kening, ia tidak ingin Tjoa Tay Kiong mendapat
malu, sedianja ia siap turun tangan atau tiba2 sadja dilihatnja si pemuda bermulut
ketjil menggerakkan tangan dan satu titik hitam meluntjur kearah medja Tjoa Tay
Kiong sekalian dan tepat sekali berhenti dimana tempat jang mau digebrak oleh
Kim Lo Han tadi.
Kim Lo Han tidak menjangka ada orang jang berani mengusik-usik dirinja jang
mendapat djulukan salah satu dari 4 Manusia Imperialis Muda. Apa lagi datangnja
benda hitam ini luar biasa tjepatnja, tidak bersuara dan tidak ada pertandaannja,
gerakan Kim Lo Han djuga sebat dan tjepat, maka begitu benda hitam djatuh
disana, tangannjapun bergebrak dan 'Aduh!’ Kim Lo Han membal dan berteriak-
teriak:
Ternjata benda hitam itu adalah bibit bentjata jang dilontarkan oleh sipemuda
mulut ketjil!
Tjoa Tay Kiong jang melihat Kim Lo Han mendjadi marah, sudah siap, tidak disangka
sebelum ia bergebrak sudah terdjadi kedjadian jang seperti ini. Kim Lo Han lompat
berdjingkrak-djingkrak dan mulut berteriak-teriak. Ternjata sipemuda mulut ketjil
sudah menalangi memberikan gandjarannja.
Tjoa Tay Kiong mempunjai pedoman hidup dengan asas2 tudjuan dan
mementingkan amanat penderitaan rakjat, maka melihat ada orang jang mau
dihina mentah2, tjepat ia berteriak:
Tapi gerakannja Pui Siauw Beng ada lebih tjepat dari perkataan jang diutjapkan
orang, dengan enak ditjomotnja daging dimangkuk jang segera didjedjalkan
kemulut Kim Lo Han a jang berteriak peratjat perotjot, kemudian badannja
bergerak meninggalkan kursi duduk di medjanja.
'Bum' dan 'Braak’, pukulan Kim Lo Han dengan tepat telah menghantjurkan kursi
dan medja jang sipemuda duduki maka berantakanlah piring mangkuk serta sajur
majur diatas medja.
Pui Siauw Beng tidak puas dengan sikapnja Kim Lo Han jang sombong dan angkuh,
apa lagi setelah mengetahui bahwa Kim Lo Han adalah salah satu dari 4 Manusia
Imperialis Muda, seperti umum memahami, manusia imperialis itulah jang paling
djahat di dalam dunia, mereVk selalu membuat kekatjauan dan kebobrokan dunia,
tidak perduli ia manusia imperialis tua atau manusia imperialis muda, mereka
tetap harus diganjang djuga. Tidak menunggu sampai Kim Lo Han sempat
mengeluarkan daging jang disumpalkan kedalam mulutnja, Pui Siauw Beng sudah
memberikan persen barunja dan mendorong pergi.
„Binatang tjetjunguk, berani kau mempermainkan tuan besarmu? Kau belum tahu
akan lihaynja tjara manusia imperialis bekerdja, he? Awaslah dengan batok kepala
ketjilmu itu.”
Pui Siauw Beng tertawa Puas. „Ha, ha, ha.” Memang sangat lutju melihat
kelakuannja Kim Lo Han jang telah dibuat permainan olehnja.
Tidak demikian dengan sipemuda mulut ketjil, ia mengeluarkan suara dari hidung
'Hm’ dan tetap duduk ditempatnja.
„Binatang ketjil, kau orang dari golongan mana? Dan apa kau punja nama?”
CHUNG SIN 85
Wah! Pertanjaan jeng sangat menjulitkan sipemuda. Nama 'Pui Siauw Beng’ tidak
boleh sembarang disebut, nama ini akan mengakibatkan kegemparan dunia, maka
setelah berpikir sebentar, karena mengingat golok bintang tudjuhnja jang aneh, ia
membusungkan dada berkata:
Arti dari 'Khong Tjit To’ jalah 'Golok dengan tudjuh lubang' atau boleh djuga
diartikan dengan 'Golok bintang tudjuh'.
Pui Siauw Beng masih belum puas dengen menjebut namanja mendjadi 'Khong Tjit
To', ia takut orang buta hurup atau buta bahasa, karenanja mungkin tidak mengarti
dengan arti dari 'Khong Tjit To' itu. Serentak dikeluarkan djuga golok pusaka pulau
Angin Pujuhnja jang terdapat tudjuh bintang itu, dan 'Sret' ia mengeluarkannja dan
berkata:
Muntjulnja golok bintang tudjuh membuat Kim Lo Han mendjadi putjat, manusia
imperialis muda tentu sadja harus tunduk kepada manusia imperialis tua, ia tjukup
tahu siapa jang mendjadi pemilik golok bintang tudjuh, maka dengan badan
gemetaran, tidak berani ia banjak lagak pula.
Muntjulnja golok bintang tudjuh bukan sadja telah menggegerkan Kim Lo Han
seorang diri, banjak tamu di dalam rumah makan segera bangun berdiri, mereka
membajar rekening makanan dengan segera dan berdjalan pergi. Satu persatu
meninggalkan ruangan rumah makan jang sebentar sadja sudah mendjadi sepi.
Kini disana tinggal 5 orang lagi, mereka adalah Pui Siauw Beng, Kim Lo Han, Tjoa
Tay Kiong, Tjoa Tay Hiong dan sipemuda mulut ketjil jang mempunjai njali tidak
ketjil.
Golok bintang tudjuh bagaikan satu pertandaan maut sadja sehingga dapat
menakutkan semua orang, kedjadian ini sungguh berada diluar dugaan Pui Siauw
Beng jang belum tahu siapa adanja sinenek tua jang berwadjah welas asih. Maka
dilihatnja Kim lo Han masih gemetaran, maka tjepat sekali ia membentak lagi:
„Hei, hweshio galak, kau mengapa? Apa kau belum kenal dengan golok ini?”
„Kenal.”
„Bila kau kenal. Maka mulai dari ini hari kau tidak boleh mengganggu Tjoa Tayhiap
lagi, mengarti?”
„Mengarti.”
Pui Siauw Beng tidak memperdulikan Kim Lo Han jang berdjalan pergi, dia djuga
tidak mau ambil pusing dengan suara dari hidungnja si pemuda bermulut ketjil, ia
hanja tidak mengarti mengapa semua orang menakuti golok bintang tudjuhnja
seperti menghadapi sesuatu jang seram.
Jah! Soal ini dikernakan ia tidak tahu siapa adanja si nenek tua penghuni pulau
Angin Pujuh jang pandai menjembunjikan muka aslinja. Maka ia bingung dan
terdjadilah drama di belakang ini tjerita.
Tjoa Tay Kiong djuga merasa keheraan bila disuruh berhuhungan dengan satu anak
muridnja manusia2 imperialis, betul ia berhutang budi karena ditolong olehnja,
tapi tidak mau ia di Tjap orang, tjepat sekali ia mengadjak adiknja mau
meninggalkan rumah makan.
Pui Siauw Beng sungguh mati tidak mengarti, sinenek tua di pulau Angin Pujuh jang
baik hati itu mengapa dapat ditakuti orang seperti ini? Maka melihat Tjoa Tay
Kiong mau lari, tjepat ia mentjegah dan memanggil:
„Tjoa Tayhiap!”
Tjoa Tay Kiong membalikan kepala, dengan wadjah jang muram menanja:
'Khong siao-to-tju berarti Tuan muda she Khong' atau 'Penghuni muda dari sesuatu
pulau jang dikuasainja’. Tjoa Tay Kiong memanggil orang dengan sebutan seperti
ini karena agak takut terhadap keangkerannja golok bintang tudjuh jang dipegang
oleh sipemuda.
Didalam hati Pui Siauw Beng mengeluh, „Aaaa, tentunja ia sudah melupakan
diriku!”. Maka iapun memberikan hormatnja dan berkata:
Tjoa Tay Kiong bingung dan heran, tapi sebentar sadja ia sudah mengarti siapa
pemuda dihadapannja, maka tjepat sekali ia berkata:
„Aaaa..... Ternjata kau anak jang dahulu itu? Kiranjakau she Khong? Bernama Tjit
To?”
Pui Siauw Beng tidak ambil pusing dengan nama panggilan palsu belaka, ia hanja
girang karena orang masih kenal dan tidak melupakan dirinja. Dergan
memanggutkan kepala iapun berkata:
Pui Siauw Beng menoleh kearah sipemuda tjakap bermulut ketjil, seperti wanita
jang hanja pandai meogeluarkan suara dari hidung itu dan menanja kepada Tjoa
Tay Kiong jang disangka kenal dengannja:
„Baru pertama kali ini aku melihatnja. Agaknja ia djuga dapat mengenali asal usul
golok bintang tudjuhmu itu, aku pertjaja ia muridnja seorang tokoh pandai djuga.”
Baru pertama kali ini Tjoa Tay Kiong bitjara dengan ogah2an, biasanja ia berani
menantang segala kedjahatan, maka biarpun terhadap manusia jang sematjam
Kim Lo Han djuga berani manantang. Tidak demikian terhadap Pui Siauw Beng jang
dahulu mau diambil mendjadi anak pungutnja, kini orang sudah berubah mendjadi
penghuni muda dari pulau Angin Pujuh, kedjadian inilah jang paling disajangkan
olehnja.
Pui Siauw Beng djuga dapat melihat perubahannja djago Sam kiong San-tjhung ini,
maka dengan tulus ia berkata:
„Tjoa Tayhiap, pada 6 tahun jang lalu, dengan sekuat tenaga kau telah membela
diriku. Bahkan telah tolong menguburkan djenazah ibuku, maka budimu tidak
nanti dapat kulupakan, aku akan memandangmu sebagai seorang paman jang
budiman.”
Tjoa Tay Kiong hanja memanggutkan kepala tidak membantah dan djuga tidak
berani menentang.
„Tjoa Tayhiap,” Pui Siauw Beng memanggil lagi. „Mengapa kau seperti mereka
djuga? Anggaplah aku sebagai kemenakanmu dan katakanlah dengan terus
terang,a apkah jang mendjadi sebab dari kesegananmu?”
Mendengar lagu suara orang jang sedemikian rendahnja, hatinja Tjoa Tay Kiong
sampai turut terharu djuga, ia paling tidak bisa menjembunjikan sesuatu di dalam
hati, maka dengan terus terang berkata:
“Khong lote, dengan bakatmu jang sebagus ini, tidak seharusnja kau mengabdi
kepada sinenek djahat dari pulau Angin Pujuh.”
'Khong lote' berarti 'Saudara Khong jang terhormat', satu sebutan jang lazaim
digunakan bagi seorang jang tua memanggil kaum muda jang didjundjung tinggi.
Tjoa Tay Kiong menggunakan istilah ini karena masih segan terhadap nama
penghuni pulau Angin Pujuh jang dimalui.
„Tjoa Tayhiap, siapakah jang kau artikan dengan nenek djahat itu?”
Tjoa Tay Kiong dan Tjoa Tay Hiong saling pandang sedjenak, mereka tidak mengarti
atas sikapnja sipemuda. Maka tidak berani mereka lantjang bitjara.
„Toako.” Tjoa Tay Hiong memetjah kesunjian. „Buat apa kau melajaninja? Mari kita
segera pulang sadja!”
Mendengar utjapan jang setegang seperti tadi, Pui Siauw Beng bertambah tidak
mengarti, 'Akibat' apakah jang dapat ditimbulkannja? 'Tanggung djawab' apakah
jang ada karena mengutjapkan beberapa patah kata sadja? Sungguh keliwatan
sekali djika dirinja dianggap seperti satu manusia terdjahat jang dapat membunuh
setiap manusia lain jang mengutjapkan kata2 salah atau kata2 jang tidak
mentjotjokinja.
Tentu sadja Pui Siauw Beng tidak tahu bahwa manusia jang ditakuti jalah Mo-mu
Oen-hun, simanusia imperialis pertama, dan bukan dirinja. Dan karena inilah jang
menjebabkan kematiannja Tjoa Tay Kiong jang memegang teguh amanat
penderitaan rakjat.
„Khong lote,” terdengar Tjoa Tay Kiong bitjara untuk penghabisan kalinja. „Aku
mengatakan bahwa dengan bakatmu jang sebagus itu tidak seharusnja mengabdi
kepada Mo-mu.....”
Sedari tadi, Tjoa Tay Hiong jang takut nanti sudah mengulap-ulapkan tangan
mentjegah toakonja bitjara terus, tapi Tjoa Tay Kiong tidak memperdulikan dan
bitjara dengan tjepat, sampai disini mendadak sadja Tjoa Tay Kiong seperti
menemukan sesuatu apa jang menjeramkan, ia tidak dapat meneruskan
pembitjaraannja dan terputusan dengan segera.
Tjoa Tay Hiong memperhatikan kedjadikan apa jang akan menimpa toakonja jang
berani menjebut dan membongkar rahasia si manusia imperialis nomor satu, kini
tiba2 dilihat sang toako tidak bitjara, ia mendjadi heran dan memanggil:
„Toako......”
Tapi Tjoa Tay Kion tidak dapat memberikan sahutan, ia masih berdiri tegak
bagaikan patung hidup jang belum lama disulap.
Tetap tidak ada djawaban. Maka Tjoa Tay Hiong mendorong tubuh saudara tua
dan keadjaibanlah segera terdjadi disana, tubuhnja Tjoa Tay Kiong sudah kaku dan
CHUNG SIN 89
tidak dapat bergerak, maka karena dorongan sang adik tadi, tubuh kaku ini segera
djatuh telentang dan menggeletak dilantai rumah makan.
Tjoa Tay Hiong mendjerit, dan manusia pengetut ini segera lari ngiprit dengan tidak
memperdulikan majat saudara tuanja lagi.
Pui Siauw Beng djuga mendjadi kaget, tjepat ia membalikkan kepala memandang
apa jang menjebabkan keseraman, hanja terdengar geseran angin lewat dan
apapun tidak terlihat olehnja. Sewaktu sipemuda membalikkan kepala lagi, majat
Tjoa Tay Kiong sudah menggeletak dan Tjoa Tay Hiong sudah melarikan diri lenjap.
Diperiksa djalan pernapasan dan nadinja Tjoa Tay Kiong, betul2 sadja djago ini
sudah tidak bernjawa!
Oh, keijadian jang mengenaskan bagi Tjoa Tay Kiong jang gagah berani! Ia harus
terbinasa hanja gara2 mau menjebutkan beberapa patah kata sadja.
Terpaksa Pui Siauw Beng mengangkat majatnja Tjoa Tay Kiong, dipandangnja
seluruh raangan rumah makan, dan kini sepi sunji mengarungi suasana. Tidak ada
sebutir manusia lagi disana.
Diperiksa sekali lagi, apa jang menjebabkan kematian Tjoa Tay Kiong, dan kini
dilihat diatas atap rumah makan ini terdapat lubang ketjil, lubang itulah jang
diduga mendjadi lubang kematian.
Budi Tjoa Tay Kiong pada 6 tahun jang lalu tentu tidak mudah terlupakan, djago
inilah jang dianggap paling menjajang dirinja, tidak disangka ia harus menerima
kebinasaan dihadapannja.
Orang jang paling menjajang dirinja mungkin ajah atau ibu kandung sendiri, sajang
Pui Siauw Beng tidak mengetahui asal usul ajahnja, dan ibunjapun telah terbinasa.
Maka rahasia tentang ajahnja tidak dapat diketahui sehingga kini.
Soal rahasia ajahnja, mungkin wanita djelek Yap Yang Hong jang mendjadi murid
si Kilat Hidup Ang-tjiang Tjouw-su dapat mengetahtahui, tapi entah dimana kini?
Setelah ajah dan ibunja serta Tjoa Tay Kiong, orang jang paling menjajang dirinja
harus terhitung itu nenek tua dipulau Angin Pujuh......... Tapi berpikir sampai disini,
hatinja sipemuda harus bertanja kepada diri sendiri:
„Tapi, mengapa Tjoa Tay Kiong dan sekalian orang takut padanja?” Demikian tanja
suara diri sendiri.
„Mungkin siwanita Raksasa Tan Khiong jang disalah artikan!” Pui Siauw Beng masih
mencoba mendebat lagi.
Maka putusan hakim urat sjaraf memutuskan: Manusia jang ditakuti jalah si
Raksaksa Wanita Tan Khiong dan bukan sinenek tua jang berwadjah welas asih.
Waktu mendjelang sore, saldju berpetjahan karena sinar matahari jang memanas,
awan merah dan biru silang menjilang membuat pemandangan jang indah. Di saat
jang seperti inilah Pui Siauw Beng harus menggendong majat penolong besarnja
pada 6 tahun jang telah silam.
Djajak dari kota Peng kaug-tin dan perkampungan Sam kiong San-tjhung sedjauh 3
lie maka sewaktu sipemuda tiba disana, haripun sudah mendjadi gelap. Masih
untung ada sinar bulan jang menggantikan matahari, maka tidak terlalu gelap bagi
siapa jang sedang bersedih.
Tapi para penghuni dari perkampungan Sam kiong San tjhung tidak berani
membuka pintu, mereka telah mendapat laporan dari Tjoa Tay Hiong jang
mengatakan sang tjhungtju atau kepala kampung telah terbinasa oleh satu
pemuda djahat. Tidak perduli Pui Siauw Beng telah berteriak-teriak beberapa kali,
tetap pintu gerbang ditutup menentang tetamu masuk.
Disana terlihat Tjoa Tay Hong dan Tjoa Tay Hiong dua saudara sedang
merundingkan tjara untuk menghadapi sipemuda jang baru datang dari pulau
Angin Pujuh.
„Dji-ko, ia telah mendjadi orang pulau Angin Pujuh, apakah jang dapat kita
lakukan?” Terdengar suara simanusia pengetjut Tjoa Tay Hiong.
Tjoa Tay Hong memandang wadjah sang adik, wadjah ini putjat bagaikan majat,
dperhatikannja gerak gerik orang, napasnja segal2 seperti kuda tidak dapat
terbang.
„Dji-ko,” Terdengar Tjoa Tay Hiong bitjara lagi. „Toako hanja salah bitjara sadja,
maka ia telah menurunkan tangan djahat dan melupakan budi kita. Maka bila kau
menjuruh orang membuka pintu, ribuan orang didalam kampung Sam-kiong San-
tjhung akan segera terbinasa.”
„Sam-te, kulihat pemuda itu tidak sedjahat seperti apa jang kau duga. Pikirlah,
djika betul ia jang menganiaja toako, buat apa ia membawa majatnja pula?”
CHUNG SIN 91
„Hm,” Tjoa Tay Hiong mengeluarkan suara dari hidung. „Ia ingin menggunakan
majat toako sebagai pantjingan agar kita dapat membuka pintu gerbang.”
„Djika menurut apa jang telah kau tjeritakan. Kim Lo Han kalah olehnja. Maka
dengan ilmu kepandaiannja jang setinggi itu kukira tidak sukar untuknja masuk
kedalam kampung dengan lompat naik dari pintu gerbang jang ditutup. Ada lebih
baik kubuka mengundangnja sadja.”
„Djangan.” Tjoa Tay Hiong membantah. „Dji-ko, kau sudah tidak mementingkan
djiwamu. Tapi aku masih sajang kepada djiwa andjingku.”
„Memang! Manusia jang seperti Tjoa Tay Hiong ini paling tepat dikatakan sebagai
djiwa andjing, sungguh utjapan jang paling tepat sekali!
Diluar, Pui Siauw Beng sudah mendjadi tidak sabaran. Dipandangnja pintu gerbang
penghadang djalan, dan dengan sekali lontjatan sadja ia sudah berhasil mentjapai
puntjak tertingginja, dari sana ia masuk kedalam membuka tiang gandjalan, baru
ia keluar lagi membopong majatnja Tjoa Tay Kiong jang segera dibawa masuk
keruangan dalam.
Sebutan 'Penghbni muda she Khong' lagi jang dipakai. Pui Siauw Beng jang pernah
mendengar Tjoa Tay Kiong memanggilnja dengan panggilan ini tidak mendjadi
heran, maka ia memanggutkan kepala berkata:
„Betul, disini aku mengantarkan majat Tjoa Tayhiap jang telah terbinasa.”
Di ini waktu, dari arah belakang sipemuda tiba melajang satu tmnbak jang
melajang tjepat, serangan ini sungguh hebat!
Tapi Pui Siauw Beng jang telah dilatih lama oelh satu tokoh terkuat didalam dunia
segera dapat mengetahui akan datangnja bokongan ini, maka tangannja dibalikan
menangkis datangnja serangan tombak bokongan. Dihadapinja Tjoa Tay Hong dan
membentak:
„Khong siao-to-tju, kau kira aku manusia apa? Dapat melakukan pekerdjaan jang
serendah ini”“
Pui Siauw Beng memandang ke arah datangnja serangan bokongan, dan dari sana
sudah terlihat kepala tikusnja seseorang jang takut mati, maka tjepat ia
membentak:
Dari sana muntjul Tjoa Tay Hiong, dengan keras ia berkata kepada saudaranja:
„Dji-ko, biarpun kau tidak takut mati, tapi aku masih mau hidup beberapa tahun
lagi.”
Pui Siauw Beng paling bentji terhadap manusia jang seperti Tjoa Tay Hiong ini,
maka tombak ditangan segera diajukan dan 'Hul' melajang ke arah Tjoa Tay Hiong
jang berteriak-teriak tadi.
Tapi, djalan tombak sungguh tjepat, sebentar sadja sudah 'Memantek' Tjoa Tay
Hiong didindiag seberang sana, bagaikan badju berisikan manusia tergantung
ditombak jang didjadikan sangkutan badjunja.
Kekagetannja Tjoa Tay Hiong sukar terlukiskan, djiwanja dirasakan melajang dan
terbung, sebentar kemudian iapun merasakan badannja tergantung, maka gelagap
gelugup ia berkata:
Tidak dapat ia mereruskan kata2nja, didalan kenjataan ia masih hidup didunia dan
dipetkampungan Sam-kiong San-tjhungnja, ia hanja terpantek pada udjung
tombak dan menantjap.
Pui Siauw Beng tertawa melengking, ia puas dapat memberi hadjaran kepada Tjoa
Tay Hiong jang setimpal, tidak lama ia menghadapi orang dan berkata:
Tjoa Tay Hong harus menghadapi Pui Siauw Beng dengan hati berdebar-debar, kini
melihat sipemuda berlaku hormat, baru ia dapat menenangkan hatinja, tidak lama
setelah tenang betul, iapun berkata dan menanja:
„Khong siao to-tju, siapakah jang membunuh toakoku? Sebenarnja kau tahukah
soal itu?”
„Tjoadjihiap, didalam soal ini, sungguh aku tidak tahu siapa jang telah menurunkan
tangan djahat terhadap Tjoa Tayhiap. Tapi aku berdjandji akan membongkar
rahasia pembunuhan ini dan mentjari pembunuh djahat.”
„Mendapat djanji Khong siao-to-tju ini, maka legalah hati kita semua.” Tjoa Tay
Hong berkata singkat.
CHUNG SIN 93
Sampai ini waktu selesailah kesalahpahaman, maka Pui Siauw Beng segera
menjerahkan majatnja Tjoa Tay Kiong dan berkata: