Anda di halaman 1dari 5

Nama : Sherlin Imelda Nandini

Kelas : XII MIPA 1

Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil

Pengenalan Situasi Cerita

Ontowiryo, anak laki-laki sepuluh tahun nan cakep ini dikenal rakyat sekitar Tegalrejo sebagai Seh
Ngabdulrohim, dan kelak terkenal antero Nusantara sebagai Pangeran Diponegoro. Ia berlari-lari keder
di pematangan sawah Mantra, setelah menyeberangi Kali Wonongo, menuju ke Puri tempat tinggal
nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengkubuwono I yang biasa disebut Sultan Swargi.

Dari kejauhan Ratu Ageng yang mengasuh Ontowiryo sejak bayi, sudah melihat cucu cicitnya berlari-lari
begitu. Dalam caranya berlari, sang nenek menyimpulkan, bahwa ada hal istimewa yang pasti akan
diperkatakan oleh cucunya itu.

Setiba di rumah, Ontowiryo mengempas badan, ndeprok, terengah-engah, keringat membasahi sekujur
tubuh. Dan melihat hal itu, Ratu Ageng tertawa, juga merengut, merasa lucu.

Kata Ratu Ageng, "Kamu kenapa, Wir? Kailmu mana? Kok kamu terbirit-birit seperti baru melihat setan."

"Memang" sahut Ontorowiryo bersemangat untuk meyakinkan nenek buyutnya, "Aku memang baru
melihat setan, Nek"

Ratu Ageng tertawa. Dalam hatinya berlangsung rasa maklum, bahwa anak-anak seusia Ontowiryo yang
baru berusia sepuluh tahun pada 1795 ini, lumrah dibayang-bayangi oleh berbagai fantasi.

Pengungkapan Peristiwa

Setengah jam kemudian, dalam mematuhi kata-kata neneknya, Ontowiryo masuk ke ruang depan,
duduk di muka meja berukuran besar. Di atas meja itu terlihat beberapa buku yang bertumpukan. Ketika
neneknya tadi menyuruhnya belajar, maka Ontowiryo tahu bahwa belajar berarti membaca. Sejak usia
sepuluh tahun Ontowiryo telah terbiasa membaca buku-buku yang terbilang pelik.

Buku-buku yang ada di atas meja ini antara lain tentang sejarah Majapahit dan Mataram. Dari nalarnya
sendiri dia menyimpulkan bahwa dengan membaca sejarah, sebuah bangsa akan cendekia menentukan
martabat kebangsaannya.

Menuju Konflik
Ontowiryo tak berkata. Rasanya dia menganggukkan kepala dan tersenyum, tapi rasanya pula Ratu
Ageng tidak melihat itu. Oleh sebab itu Ratu Ageng pun menambahkan, dengan suara pelan yang
terkesan hati-hati, berkata, "Makanya wajar kalau kita semua merasa senang. "

"Ya" kata Ontowiryo. "Kecuali satu hal...." "Satu hal?" tanya Ratu Ageng syok. "Hal apa?" "Aku tidak
merasa berhasil melihat ayahanda dan ibunda kandungku ke sini, merasakan kesenangan yang kita
rasakan." Ratu Ageng ternanap mendengar pernyataan seperti itu, pertanyaan yang berkecenderungan
sentimentil, tapi juga pernyataan yang sangat manusiawi.

Selanjutnya tinggal cara bagaimana Ratu Ageng memilih kata dalam kalimatnya, sebagai wakil pikiran
dan perasaannya, untuk menjawab persoalan tersebut dengan betul. "Kamu kan tahu Wir, keadaan
rajaniti kekuasaan sekarang ini sudah seperti lahar yang mendidih-didih di perut Merapi dan tidak
terlihat bahayanya oleh mereka yang hatinya cemar, " kata Ratu Ageng.

Ontowiryo tertegun. Dia menoleh kepada Ratu Ageng. Dari wajahnya tampak gambaran pertanyaan
yang berlangsung di hatinya. Tapi dia merasa tidak perlu melisankannya.

Puncak Konflik

Konflik cerita kemudian lebih terfokus ke Kraton Mataram. Pengkhianatan Danurejo II, yang juga
menantu Sultan Hamengkubuwono II, dengan menjual informasi kepada Belanda yang akhirnya harus
dibayar dengan hukuman yang setimpal. Keputusan Sultan mengeksekusi Patih Danurejo yang dianggap
sebagai perlawanan terhadap Belanda ternyata ada konsekuensinya. Gubernur Jenderal Belanda yang
baru, Daendels, ketika datang ke Yogyakarta membuat keputusan mengejutkan dengan memakzulkan
Sultan Hamengkubuwono II dari tahtanya dan mengangkat Raden Mas Suroyo sebagai Sultan
Hamengkubuwono II.

Penyelesaian

Keesokan harinya kedua-duanya dinasehati Kyai Taptajani. "Berkelahi itu tidak baik." Kata sang kyai.
"Nanti, kalau kalian sudah besar, ingatlah baik-baik nasihatku ini. Bahwa, berkelahi memang tidak baik.
Tapi, kalau tidak ada lagi rasa percaya pada nilai kata-kata sebagai kata, apa boleh buat berkelahi itu
terpaksa dilakukan.

Dalam berkelahi, orang berpikir tentang menang. Kemenangan dalam berkelahi tidak mungkin dicapai
tanpa berpikir untuk menguasai perkelahian. Sultan Hamengkubuwono I, ketika masih bernama
Pangeran Mangkubumi, bisa menang berkelahi dengan Belanda, yaitu Major De Clerq, sebab beliau
belajar untuk tidak kalah. Belajar, adalah berarti mempersiapkan diri untuk menang. "Mengerti kalian?"
Ontowiryo dan Wironegoro menjawab, "Ya." "Sudah," kata sang kyai. "Sekarang lanjutan belajar kalian
untuk menjadi manusia yang Kamil. "Ayo, iqra." Keduanya membaca.
Koda

Ontowiryo cepat memahami arahan-arahan pamannya. Dia paham, dan semakin mudheng, karena dia
sadar manusia adalah makhluk sempurna tubuh roh jiwa dengan sejumlah tanggung jawab kepada sang
khalik serta sekalian alam atau yang dalam surat-suratnya ontowiryo lebih marem menyebut-Nya : Sang
Hyang Widhi, untuk memahami arti hidup dan kehidupan serta menggunakan akal budi dan hati nurani.
Dengan itu dia menyimpulkan, apa yang baru diingatkan oleh pamannya Pangeran Bei merupakan
amanat dari seorang manusia kepada anak manusia.

Dari latihan demi latihan berkuda dan bergalah disertai dengan nasihat, anjuran, ajaran, ataupun
amanat, yang artinya mengarahkan Ontowiryo menjadi seorang Satria yang Paripurna Wirya dan
nimpuna, maka tak terasa waktu yang dilaluinya sudah cukup panjang untuk menyebutnya ke teruna.

Pada suatu ketika, di akhir latihan, sebelum Bali kembali ke Yogyakarta, Pangeran Bei berkata, "Paman
lihat perkembanganmu makin hari makin bagus. Kamu harus jaga keseimbangan itu."

Ontowiryo merendah. Katanya, "Saya masih merasa kurang."

Unsur Intrinsik Novel Sejarah

a. Tema : Kepahlawanan dan sosial politik

b. Alur : Alur maju (progresif)

c. Tokoh dan Penokohan

 Ontowiryo : Cerdas, berwibawa, berani dan bijaksana


 Danurejo II : Licik, haus kekuasaan, dan bermuka dua
 Jan Willem Van Rijinst : Cerdas, bermuka dua, dan tidak segan bertanya
 Sultan Hamengkubuwono II : Berani, cerdas, dan berwibawa
 Raden Mas Sukarno : setia dan taat pada atasannya

d. Latar

1. Latar waktu : Pagi, siang, sore, dan malam


2. Latar tempat : Vrendenburg

e. Suana : Menegangkan

f. Sudut pandang : Orang ketiga (serba tahu)


e. Amanat : Amanat yang bisa kita ambil dalam novel ini adalah jangan terlalu

berharap pada kenikmatan duniawi saja, apalagi sampai

haus kekuasaan dan juga gila harta. Hal tersebut akan membuat

orang semena-mena bahkan terhadap orang terdekatnya sekalipun

Unsur Ekstrinsik Novel Sejarah

1. Unsur Moral

Unsur ekstrinsik pertama adanya unsur moral dalam novel ini terdapat unsur moral yang bisa kita ambil
adalah jangan mudah percaya terhadap orang yang tidak terlalu kenal dan manusia yang bermuka dua
tidak akan pernah memberi manfaat.

2. Nilai Sosial

Unsur sosial yang terdapat dalam novel ini adalah adanya adab bertamu di mana yang punya rumah
harus mempersilahkan tamunya untuk masuk ke tempat tinggalnya. Seperti dalam kutipan berikut ini.
"Ketika Danurejo II datang kepadanya, dia menyambut dengan bahasa Melayu fasih, sementara pejabat
Keraton Yogyakarta yang merupakan musuh dalam selimut dari Sultan Hamengkubuwono II ini lebih
suka cakap bahasa Jawa".

3. Nilai Budaya

Dalam novel ini terdapat unsur budaya yaitu Piranti Kebudayaan, yaitu kesenian khususnya leluri
wayang dan tembang macapat sebagai kebudayaan bangsa.

4. Nilai Keagamaan

Ontowiryo dan keturunan lainnya mempunyai agama Islam yang kuat. Namun, Jan Willem Van Rijinst
seorang oportunis bedegong yang beragama Katolik.

Anda mungkin juga menyukai