Dari Penulis
amatlah indah. Sejarah itu memang rumit, penuh angka dan deretan nama-nama orang.
Kisah indah di balik sejarah itu perlu kita mengerti, terutama kisah sejarah yang
mengharuskan kita ada dan meneruskan perjalanan kehidupan ini untuk mengisi
Menurut sejarah pula, bahwa keluarga besar Tjondronegoro masih trah atau
Yang terpenting, bukan dari mana kita berasal, tetapi kita harus mewarisi ,
melestarikan dan menjujung tinggi nilai-nilai luhur budi pekerti, tata karma, pantang
menyerah dalam meraih cita cita dan taqwa kepada Tuhan YME sesuai dengan cerita
selayaknya kita hanya bangga menjadi salah satu keturunan keluarga yang punya nama
besar dan agung kalau kita tidak bisa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur orang yang
menurunkan kita.
Yang menjadi perhatian saya di dalam tulisan ini, yang akan saya pergunakan sebagai
alasan untuk bahan pengkajian, adalah lieteratur sejarah yang tertulis di silsilah
keluarga pada buku atau tulisan RP. Makmoer dengan judul “ Pangeran Lanang Dangiran
“
Tidaklah mungkin bahwa penulisan ini dapat saya tulis secara rinci dan akurat karena
keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis tentang silsilah ini masih sangat
kurang, sedangkan bahan materi sebagai faktor pendukung dalam tulisan inipun
relative minim. Namun demikian tidaklah mengurangi keinginan penulis untuk menulis
makalah ini.
Salah satu kajian yang tertulis dalam buku silsilah atau sejarah keluarga yang menjadi
perhatian penulis adalah ; bahwa sebenarnyalah keutamaan orang hidup adalah kasih
sayang , gemar prihatin dan tidak silau dengan gemerlapnya dunia. Takutlah akan
murka Tuhan. Hendaknya berbudi luhur, mematuhi sabda perintah Allah dan berusaha
dengan tekun, agar menjadi orang yang benar-benar berbudi, penuh kasih sayang dan
beriman. Hati yang tulus, tingkah laku terpuji, gemar prihatin, merupakan pangkal
mahkluk hidup, adalah dambaan setiap insan dan hal ini memang tidaklah mudah untuk
Ada banyak leluhur kita yang menekuni dan ikut menyebarkan agama Islam di tanah
jawa ini, seperti “ Kanjeng Kiyai ageng Brondong “ yang sumare di pesarehan Sentono
Botoputih Surabaya.
Salah satu ajarannya yang penulis petik adalah bahwa kita haruslah selalu waspada,
jauhilah lauwamah, amarah dan sufiah, penjarakan dan kuncilah kokoh-kokoh, dengan
iman dan ketawakalan. Jadikanlah lauwamah, amarah, dan sufiyah sebagai prajurit
dan pahamilah betul-betul tentang kawula Gusti. Coba kita pahami yang terpetik
dibawah ini :
Ing wekasan muwuhi kang runtik, dipun sareh pun cetha pratela, ngawula satriya anom, nenggih
ibaratipun, ing satriya anom yen runtik, kadya yen banjir bandhang, kang katrajang larut, yen
dinuta dipun kebat, jroning kebat akanthia ngati-ati, amrih ywa manggih duka.
Ing malihe wekas ingsun kaki, yen satriya anom lagi duka, aja amapras dukane, lir ngadu kang
tiksya lungit,singa ingkang kataman, temahan cumeprut, balikan den angerepa, aturira kan seru
rereh pratitis, amrih lunturing duka……..dst
Yang terjemahannya sbb, jika perkataan seseorang keras dan menyakitkan, hendaklah
kita tanggapi dengan tenang dan dengarkanlah dengan sabar tanpa perasaan amarah.
Mengabdi ksatria muda usia, ibaratnya jika ksatria muda itu sedang marah seperti air
bah, segala yang diterjang hilang lenyap. Bergegaslah apabila disuruh. Cepat, tetapi
disertai hati-hati agar jangan membuat orang lain kecewa dan marah.
Lagi pula pesanku, jika ksatria muda sedang marah, jangan dipenggal marahnya, itu
ibarat mengadu benda runcing dan tajam. Barang siapa yang terkena pada akhirnya
akan hancur. Maka dari itu perbaikilah tutur katamu agar tidak menambah
kemarahannya.
Tema sejarah memang selalu menarik dan tidak habis-habisnya dikaji untuk berbagai
kepentingan. sejarah keluarga sangat baik diketahui maupun disimak oleh generasi
penerusnya. Namun perlu kita akui bahwa kajian sejarah keluarga sangat jarang
memandang bahwa sejarah keluarga adalah kehidupan masa lalu yang tidak ada
dari kehidupan masa silam. Sejarah itu merekam berbagai kejadian penting di masa
silam yang perlu diketahui generasi penerusnya agar dapat meneladani perilaku dari
generasi sebelumnya. Kalau pada jaman dulu banyak orang yang jadi orang sukses
meski keterbatasan sarana, pada jaman modern ini sangat banyak sarana, tetapi
banyak orang yang berleha-leha dan gagal. Hal ini bukan lain karena adanya
potensi kita, kita wujudkan bahwa kita sebagai putra-putri keturunan keluarga besar
Apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari scenario building hari sebelumnya. Maka,
masa yang akan datang harus didesain dari sekarang. Untuk mendesain itu, kita perlu
SEJARAH KELUARGA
Kraton Majapahit, Ketika masa pemerintahan raja Brawijaya merupakan kerajaan yang tidak
sejaya pada masa pemerintahan raja Hayam wuruk, namun jelas tampak keadaan yang aman
tentram kertarahaja meliputi seluruh wilayahnya. Pamong tani hidup ayem, tanah subur tak
kekurangan maupun kebanyakan air, sawah ladang hijau subur. Semua penduduk, dari dusun
sampai ibu kota kerajaan, tidak ada yang malas, semua rajin bekerja. Bergotong royong, saling
membantu dan kasih mengasihi.
Semua ini adalah sebagian besar akibat wibawa dan pengaruh dari penguasa setempat, yaitu Sang
Prabu Brawijaya, perbawanya menyorot luas sampai keluar wilayah kerajaan, perbawa yang
didasari keadilan dan cinta kasih seorang penguasa, seperti keadilan dan cinta kasih seorang bapak
terhadap anak-anaknya. Adil dan keras dalam menegakkan peraturan dan keadilan, memberikan
petunjuk bagi yang sesat, menghukum bukan karena benci karena bagi sang Prabu yang arif
bijaksana, bukan manusianyalah yang dihukum, melainkan kejahatannya untuk memaksa manusia
insyaf sadar dan bertaubat, kembali pada jalan yang benar. Sang Prabu juga senang melantunkan
tembang-tembang nasehat kepada putra-putrinya, seperti tembang asmaradana di bawah ini :
Nora swe wong urip iki lelono ing ngalam donya tan rinasa pra lawase weruh-weruh sugih uwan,
nora suwe mesti sirna. Cilik gede cendek duwur wekasan mesti palastra.
Sugih mlarat kabeh sami menang kalah nora beda yen wis pinasti wancine kabeh bali marang asal
mula yen sih doyan sega aja nuruti hawa nepsu, urip sepisan sing sempurna
Terjemahan, tidak lama manusia hidup berkelana di dalam dunia ini, tidak terasa berapa lamanya
tahu-tahu sudah beruban dan tak lama kemudian pasti lenyap. Besar kecil pendek tinggi pada
akhirnya pasti mati. Kaya miskin semua sama, menang kalah tiada beda kalau sudah dipastikan
waktunya semua kembali kepada asal. Maka kalau masih suka nasi, jangan menurutkan hawa
nafsu. Hidup ini Cuma sekali, maka dari itu berusahalah sempurna.
Nasihat sang prabu pada putranya- putrinya, kata-kata itu hanyalah kulitnya belaka. Menilai
sesuatu janganlah terpengaruh kulit, justru kesederhanaan itulah yang menakjubkan. Mencari
pujangga besar tak usah jauh sampai negeri seberang. Mencari orang bijaksana tak usah dicari
diantara orang pandai, orang yang mengerti akan makna kehidupan, dialah orang yang bahagia,
bijaksana dan berguna. Di dusun- dusun, atau di tempat- tempat sepi jauh dari keramaian dan
kemewahan dimana oleh orang kota dianggap tempatnya orang bodoh, rakyatnya diselimuti
kesederhanaan yang tidak di buat-buat, disanalah tempat kebijaksanaan dan kebahagiaan.
Dalam buku-buku sejarah Indonesia menceritakan bahwa kerajaan Mojopahit didirikan oleh
Raden wijaya seorang pelarian dari Tumapel Singosari. Sebuah buku yang ditulis dalam bahasa
kawi berjudul PARARATON yang kini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, di peroleh
keterangan tentang asal mula berdirinya kraton Mojopahit oleh Raden Wijaya dengan bantuan
orang-orang dari Madura ( Sumenep ) yang mana pada waktu itu pusat pemerintahannya adalah
Daha. Jadi Majapahit sudah ada sejak abad ke 13 M. Adanya serentetan raja-raja dengan nama
Brawijaya, dimulai dan di agungkan pertama kali oleh Sanggrama Wijaya. Kemudian pusat
pemerintahan dipindahkan dari Daha ke Majapahit dan Sanggrama Wijaya dengan sebutan Bhre
Wijaya ( Prabu Wijaya ) dan lebih dikenal dengan sebutan Bhre Wijaya hingga menjadi
Bhrawijaya. Mengapa raja sesudahnya seperti Hayam Wuruk tidak menggunakan lagi gelar
Bhrawijaya ? mengenai hal ini tidak ada yang tahu.
Salah satu putra keturunan Bhrawijaya yang diberi kekuasaan di Pandansalas akhirnya naik tahta
menjadi Bhrawijaya ke IV dan berakhirnya raja-raja Majapahit yang menggunakan gelar
Bhrawijaya, sehingga dikatakan bahwa Bhrawijaya ke IV adalah raja terakhir dengan gelar
Bhrawijaya, yaitu pada tahun 1400 atau + 1478 M. Tetapi dalam buku lain yang berjudul “ Sekitar
wali sanga “ karangan Solichin Salam cetakan ke II Menara Kudus Jogyakarta menuliskan adanya
raja-raja Majapahit yang masih menggunakan gelar Bhrawijaya, yaitu :
Mengenai kebenaran dari data diatas penulis sendiri tidak tahu mana yang benar. Diceritakan pula
bahwasannya salah satu permaisuri dari raja Majapahit ada yang berasal dari negri Cina yaitu
dengan sebutan Putri Campa Darawati. Putri campa mempunyai kemenakan yang bernama R.
Rahmad diutus untuk menyebarkan agama Islam di tanah jawa. Karena kemurahan hati raja
Majapahit, R. Rahmad di beri tempat di daerah Surabaya yaitu di Ampel Dento yang dikenal
dengan sebutan SUNAN NGAMPEL.
Alkisah, Pangeran Pandansalar yang bergelar Bhrawikaya IV menurunkan Pangeran Bondan
Kedjawan yang di beri kekuasaan di tegal wangi. Pangeran Bondan kedjawan menurunkan
Wongsonegoro yang menjadi Bupati Pasuruan dengan sebutan NITINEGORO dan menurunkan
Kromowidjoyo sampai pada Lembu Niroto yang diutus menguasai daerah Blambangan, dan
menurunkan Pangeran Kedawung atau yang dikenal dengan Tawang Alon. Pangeran kedawung
menurunkan Pangeran Lanang Dangiran. Begitu juga halnya dengan Pangeran Menak Soemardi
yang juga keturunan dari kraton Blambangan yang juga menyebarkan agama Islam di Pesisir laut
jawa dengan sebutan KYAI KENDIL WESI.
Konon dituturkan, Pangeran Lanang Dangiran pada usia 10 tahun senang tirakat, belajar sastra dan
kanuragan, ketika menginjak 18 tahun ia bertapa di laut dan menghanyutkan diri pada sebuah
papan kayu semacam bronjong alat penangkap ikan, tanpa makan atau minum. Arus air laut dan
gelombang membawa Pangeran Lanang Dangiran sampai pesisir laut jawa dan akhirnya terhempas
bersama bronjongnya, Pangeran Lanang Dangiran tak sadarkan diri. Sedangkan badannya penuh
ditempeli atau dilekati batu karang kecil-kecil, keong dan remis sehingga merupakan seperti
brondong. Sang Pangeran yang tak sadarkan diri diketemukan oleh seorang Kiyai didekat Pantai
Sedayu yang bernama Kyai Kendil Wesi.
Begitulah akhirnya sang Pangeran menjadi putra angkat Kyai Kendil Wesi dan tinggal di Pondok
sang Kyai di lereng sebuah bukit di suatu dusun yang subur dan disitu terdapat pula mata air yang
mengeluarkan dua macam air dari dua sumber yang berdampingan, yaitu sebuah sumber air panas
yang mengandung belerang, dan yang satu lagi sumber air dingin dan jernih. Begitu tiba disitu,
pada hari pertama sang pangeran di gembleng oleh kyai yang juga sebagai gurunya dengan ilmu
keagamaan, sang pangeran tidak pernah mengeluh dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh kyai
Kendil Wesi. Sang pangeran yang pintar dan tekun, setelah genap tiga pekan belajar mulai terbiasa
dengan kebiasaan yang diajarkan gurunya. Selang beberapa tahun, sang pangeran menikah dengan
seorang putri Kyai dari Panambahan Cirebon keturunan Pangeran Semarang yaitu salah satu putra
dari Prabu Widjaya alias DJOKO TINGKIR yang dikenal Ki Bimotjili dan setelah menikahi putri
ki Bimotjili saat itu sang pangeran lebih dikenal dengan sebutan KYAI BRONDONG.
Kemudian sekitar tahun 1595 Kyai Brondong bersama istri dan anak-anaknya pergi ke Surabaya
dan menetap di seberang timur kali Pegirian yaitu suatu dukuh yang bernama BOTOPUTIH.
Kyai Brondong wafat pada tahun 1638 dalam usia lebih kurang 70 tahun dan meninggalkan 7
orang anak diantaranya ada 2 ( dua ) orang laki-laki yang bernama HONGGODJOYO dan
HONGGOWONGSO
Onggodjoyo atau Honggodjoyo nama kecilnya adalah Gentono, oleh Sunan Amangkurat
diangkat menjadi bupati Pasuruan + 1678, bergelar Ki Tumenggung Honggodjoyo, 8 tahun
kemudian dipindah ke Surabaya dimana kemudian beliau meninggal dunia dan di makamkan di
pesarehan Botoputih 1690. Kyai Tumenggung Onggodjoyo mempunyai 14 orang putra dan putri
yaitu :
1. Nyai Mas Rangga
2. Ki Onggodjoyo ( Yunior ) oleh Kompeni dibuang di Selong
3. Nyai Dalem
4. Nyai Onggodiwongso
5. Ki Onggodjoyo djagir makamnya di bungkul Surabaya
6. Kiyai Sutaprana makamnya juga di Bungkul
7. Nyai Sumajudo atau mbah Huning
8. Ki Dipomenggolo
9. Nyai Adjeng Notopradoto
14. Kyai Adjeng Kinjeng suaminya adalah orang cina dan menurun
* Ki Mangkudipura
* Ki Mangkukusuma
Mula-mula Tjondronegoro memakai gelar “ kiyai “ saja, tetapi setelah menjadi menantu
Panembahan Tjokroadiningrat ( Madura ) berhak dan berwenang memakai gelar “ Raden Pandji “
sedangkan gelar “ djimat “ adalah pemberian penghargaan dari rakyat jelata karena jasa-jasanya
terhadap rakyat, rakyatnya menganggap Tjondronegoro sebagai jimat atau pusaka yang dicintai.
Kiyai Pandji Onggowidjojo putra ke 20 Tumenggung Djimat Tjondronegoro sebagai Patih Jaba
( luar ) Kabupaten Surabaya, mempunyai 17 orang putra dan putri antara lain :
* RA. Purwo
* RA. Maospati
* RA. Ronokusumo
* RA. Resodirdjo
* R.ng. Tjokrokusumo
* R.ng. Tjitrokusumo
* RA. Mangku
* R.ng. Gapuro
* RA. Angklingkusumo
* R. Onggodipuro
* RA. Tirtodipuro
* R. Brotodipuro
* RA. Nitikusumo
* RA. Tirtowidjojo
* R.ng. Onggopuro
Raden Adipati Ario Tjondronegoro putra pertama Kyai Pandji Onggowidjojo sebagai bupati
Mojokerto pada tahun 1827 – 1852, yang menurunkan antara lain R. Tumenggung Pandji
Tjokronegoro yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi bupati Mojokerto dan makamnya
di pemakaman keluarga Pakuncen Mojokerto dekat makam Ayahnya. Putra-putranya antara lain
adalah :
Sampai disini penulis kehilangan data, menurut tulisan Ayah penulis, RP. Soekanto Tjondronegoro
( Alm ) bahwa eyang beliau kang asma Eyang GONDOWIDJOJO adalah keturunan dari Raden
Adipati Ario Tjondronegoro dari salah satu dari ke empat putranya yang telah disebut दिअतास
Yang pasti adalah sesuatu yang sudah terjadi, sebenarnyalah segala sesuatu yang diperoleh manusia
didunia ini tidak ada yang kekal. Pertemuan akan berakhir perpisahan, yang mendapatkan atau
mempunyai akan kehilangan. Karena sesunggunya, segala didunia ini bukanlah milik manusia.
Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali tidak berhak memiliki ! harta benda dan
kedudukan itu hanyalah benda titipan, sewaktu-waktu kita akan dipaksa berpisah dari mereka, mau
atau tidak, suka atau tidak. Harta benda dan kedudukan akan pergi meninggalkan kita, atau kita
yang akan pergi meninggalkan mereka. Bahkan keluarga yang kita cintai, anak-anak, istri atau
suami dan semua keluarga, sesungguhnya bukanlah milik kita! Manusia hanya mendapat titipan
yang dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban sebagai manusia beradap, dan tidak lebih daripada
itu. Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa yang menjadi pemilik sejati mengambilnya kembali
dari tangan kita, tidak ada kekuasaan lain didunia ini yang akan dapat menahan atau mencegahnya.
Harta benda dan kedudukan bisa musnah sewaktu-waktu. Anggota keluarga tersayang bisa mati
se-waktu-waktu. Atau dengan lain cara, jika yang Maha kuasa menghendaki, kita sendiri bisa mati
sewaktu-waktu meninggalkan dan berpisah dari semuanya itu! Ditinggalkan oleh atau
meninggalkan sesuatu yang hanya “ dititipkan “ kepada kita. Karena itu, makin besar cinta kasih
kita kepada semua itu, makin sengsaralah apabila kita harus dipaksa untuk berpisah dari kita.
Seperti dua buah benda, makin kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah, makin parah
luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu. Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak
mempunyai kekuasaan atas segala benda, yang terkecil maupun terendah sekalipun, bahkan tidak
mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut jantung, aliran darah,
tumbuhnya kuku dan rambut ditubuh kita. Tidak kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang
Maha Kuasa sajalah yang berkuasa atas segala benda, yang tampak maupun tidak! Manusia tidak
punya kuasa, hanya mempunyai hak menikmati anugrah dan kewajiban memelihara segala sesuatu
yang dititipkan atau dianugrahkan kepadanya. Kalau tidak melaksanakan kewajiban, tidak benar
pemeliharaanya, akan rusaklah kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri pribadi.
Segala sesuatu yang terjadi diatas bumi ini telah dikehendaki oleh Yang Maha Adil, dan betapapun
peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar, dan adil! Bukanlah hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa
mendapat tanggapan yang berlawanan. Ada yang menganggapnya adil ada pula yang tidak, karena
manusia amat dipengaruhi oleh nafsu ego masing-masing yang selalu mementingkan diri pribadi.
Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan dianggap adil, dan bila sebaliknya yang
merugikan atau tidak menyenangkan dirinya pribadi dianggap tidak adil! Akan tetapi
sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar dan adil, sesuai dengan sifat Yang Maha Adil!
Manusia yang tidak dapat melihat keadilan dalam setiap peristiwa, hanya disebabkan karena tidak
mengertinya. Tentu saja orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau dia tidak mengerti
duduknya perkara, tidak tahu akan sebab akibat.
Begitu juga halnya dengan keluarga besar kita, apa yang kita banggakan adalah merupakan
peristiwa yang sudah hilang, masa telah berganti, yang lalu hanya tinggal kenangan. Maka dari itu,
kita sebagai putra-putri generasi yang punya nama harum, mencobalah untuk belajar membenahi
diri sendiri, membongkar perilaku dan tata karma yang dianggap tidak pantas sebagai keturunan
orang besar, dan harus diingat! Orang kecil atau besar semua adalah mahkluk Allah, kita harus
tetap menjaga perilaku dan tatakrama kita sebagai cermin ajaran dari para leluhur kita pada sesama
manusia.
Daftar keluarga ini ditulis berdasarkan dari serat yang di tulis oleh RP. Soekanto Tjondronegoro,
dan sebagian data hilang, yang mana tertulis bahwa Kanjeng Eyang Gondowidjojo adalah cicit
keturunan dari Raden Adipati Ario Tjondronegoro Bupati Mojokerto pada tahun 1827 – 1852.
Beliau menjabat sebagai mantri Irigasi di daerah Porong. Wafat dimakamkan di Porong, kemudian
dipindahkan ke makam keluarga di Pesarehan Pakuncen Mojokerto. Beliau berputra – putri 8 (
delapan ) orang antara lain :
1. Raden Ayu Bronto
2. RP. Prawoto Hadi Soeryo
3. RP. Djojokusumo alias Tjondronegoro Wedono Gading Probolinggo
4. Raden Ayu Soero
5. Raden Ayu Djojo
6. Raden Ayu Soemantri
7. RP. Soeroso, Mantan Mentri Sosial RI. Eyang Dr. Prabowo Reksonotoprodjo.
8. RP. Basoeki
Putra ke Tiga ( 3 ) dari RP. Gondowidjojo adalah RP. Djojokusumo alias RP.
Tjondronegoro yang menjabat sebagai wedono gading probolinggo. Wafat dan dimakamkan di
Pakuncen Mojokerto, meninggalkan 2 ( dua ) istri yaitu :
Malang.
Jakarta
15. RP. Hari Ami Harso Tjondronegoro atau Pak Hari, Solo
16. RP. Ami Hadi Tjondronegoro alias Lik Amik ( Alm ), Malang
1. RA. SALAMAH
( Yu Wok )
2. Balok
3. Bandil
2. RA. SOETARSIH
1. R. Soekandar
2. Dr. R Soetardjo
Putra-putrinya :
Badrianto
2. Irama Badri
anti
3. Otty
4. Nono Sapto
Anggraeni
3. Damayanti
4. Erna sawitri
5. Drg. Shinta
Dewi
4. Titik ( alm ) - -
3. RP . SOEDJARWO TJONDRONEGORO
Mantan Duta Besar RI untuk kerajaan Belanda, pernah juga oleh Ir. Soekarno Presiden RI pertama
ditugaskan ke Irian Barat ( UNTEA ) pada tahun 1964, wafat di Jakarta dan dimakamkan di
Pakuncen Mojokerto. Istrinya bernama : RA. Laksmiaty. Putra-putrinya adalah
1. R. Ardianto - Jakarta
( Alm )
4. Rr. Neria - “
5. R. Bambang - “
4. RA. SOEMIATY
Suaminya :
1. R. Koesman Hadi
2. R. Hadi Soedito
Putra-putrinya
2. Rr. Koesriaty (Rety) Ali Sadono Cinere- Jkt Sel 1. Nining Widya
ningsih
2. Widya Wardana
3. Dra. Widya
Lupi
2. Tomy
3. Indra
4. Pri
4. R. Didit Sujadi Hermin Utami Jl. Abuserin 1.Nesya Midianti
4.Luki Dimastara
5.Tissy Saliandra
6.Wisnu Arhadi
7.Senda Marita
2. Nina
3. Leni
RA. Siti Oetari atau Budhe Wok, lahir pada tanggal 12 Pebuari th…, sekarang dalam usia 86 th
dan bertempat tinggal dengan putrinya di Jl. Venus III / no. 3 Cinere Jakarta Selatan. Suaminya :
Putrinya adalah:
No Nama Suami Alamat Putranya
1. Rr. Emy Arti Oetami Terry Jhansen Idem Siti Ariani, S.sos.
( Ninin )
Nama kecilnya Guplong atau Pakdhe Plong, Istrinya Insyani atau Budhe In. Dulu Tinggal di
Madiun dan Sekarang tinggal di Jl. Bungur 49 Lowokwaru Malang. Putra-putrinya adalah :
2. Wiwin
Praditama
2. Fajar Hari
Saptianto
2.
4. Agung Candra
Sabayu ( Alm )
2.
2. Dias
2.
2. Wiwien
Sari, S.sos.
3. Resty Adinda
Putri Hutami
4. Ruben Dhamma
Brahmansyah
2. Oktianto Setiawan, Dra. Erna Jakarta
S.sos.
Marianawati
08159515485
Vivirianto Asterina
0341- 7741847
Pamungkas
Putra-putrinya :
2. Iwan
3. Dina
081336734093
2.
3.
4. Endang Insyafriastuti Malang
Insyafriatno 2.
0816527904 3.
Biasa dipanggil Pak Bob Krian, karena dulu tinggal di Krian. Sekarang ada bersama putrinya di
Bogor. Istrinya Sri Nurul Khomarih ( alm ). Putra-putrinya :
081511322032
2. Hari Nurcahyo, SE Yendriani Jl. Cibubur II 1. Aris wibowo
08161629408
4. Hari Nugroho
Putri
Bogor
Biasa dipanggil Pak Wim ( alm ), Istrinya dipanggil Bu Sus. Tinggal di Perum Srondol Asri
Semarang. Putra-putrinya :
No Nama Suami / Istri Alamat Anak
( Tiwik ) J / 5 Semarang
0811288949
( Handi ) Indah M/ 8
Semarang
Biasa dipanggil Bu Tut ( Alm ) bertempat tinggal di Jl. Bungur 59 lowokwaru Malang. Suaminya
R. Djoko Soeyono ( Alm )
Putra-putrinya :
59 Malang
Arifianto
2. Fandy Wijonarko
3. Erwin wiratmoko
Kembang 5
Malang
2.
Dorang 14
Gresik
2.Berliana Aulia. S.
X / no.
Malang
Biasa dipanggil Bu Tien, dulu bertempat tinggal di Jl. Dr. Sutomo 29 Malang kemudian pindah ke
Jl. Panglima Sudirman E-18 Malang dan terakhir di Jl. Danau Ngebel Sawojajar. Suaminya, R.
Giri Basoeki mantan Komandan Imendam Induk Kodam V Brawijaya. Putra-putrinya :
5. Achadi Basukarno, SE Fitri Erlina,SE.AK Jl. Karya timur Sheva Anisa Salsabila
Malang
Muncar- Banyu
Wangi
2. Adityo Nugroho
1. Guruh Hendra
2. Rika
4 Reni
jaktim
Kusuma
Kusuma
Putra-putrinya :
oleh : RP. Soekanto Tjondronegoro ( Alm ),Yustina Prita Sukma Andini, Spsi.
Diposting oleh segojangan di 20.34 1 komentar:
Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)