Anda di halaman 1dari 4

Etika merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari pandangan dan persoalan

yang berhubungan dengan masalah kesusilaan yang berisi ketentuan norma-norma moral dan
nilai-nilai yang dapat menentukan prilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Etika
mengajarkan bagaimana cara pandang kita dalam berperilaku baik dan buruk. Setiap
perbuatan, sudah selayaknya memperhatikan etika, bahkan dalam kehidupan bernegara.
Dalam kehidupan bernegara, etika menjadi dasar dalam penyelenggraan pemerintah untuk
mewujudkan good governance.
Etika seseorang bisa terbentuk karena latar belakang budaya, pengalaman, pendidikan
dan karakter manusia sendiri. Ilmu tentang etikapun mulai berkembang mengikuti jaman.
Selain itu etika jiga diajarkan disetiap kehidupan bahkan agama. Bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang besar dan menjunjung karakter bangsa, hendaknya juga meneladani tokoh-tokoh
nusantara. Dasar negara kita Pancasila diperoleh dari kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Sudah selayaknya kita mempelajari nilai-nilai luhur yang dapat dipelajari dari
tokoh-tokoh nusantara.
Salah satu tokoh yang dapat diteladania dalah gajah mada. Beliau adalah patih di
kerajaan Majapahit. Dari Pararaton dan Nāgarakṛtāgama dapat diketahui bahwa sistem
pemerintahan dan politik Majapahit sudah teratur dengan baik dan berjalan lancar. Majapahit
merupakan kerajaan teritorial dan disentralisasi dengan birokrasi yang terinci. Raja yang
dianggap sebagai penjelmaan dewa tertinggi, memegang otoritas politik tertinggi dan
menduduki puncak hierarki kerajaan.
Struktur birokrasi dalam hierarki Majapahit dari tingkat pusat ke jabatan yang lebih rendah
adalah:
1. raja;
2. yuwaraja/kumaraja (raja muda);
3. rakryan mahamatri katrini;
4. rakryan mantri ri pakirakiran;
5. dharmadhyaksa.
Namun pejabat pejabat kerajaan majapahit mempunyai darah kekerabatan dengan raja.
Semakin dekat hubungan darah semakin tinggi tingkat jabatannya.
Pada rapat kerja atau sidang kabinet yang dilakukan pada bulan phalguna citra, selalu
dibacakan Praniti Raja Kapa-Kapa yang berisi sifat, watak mantri/menteri yakni
berupa setya (kesetiaan),sadu (kerendahan hati), dan tuhu (kesungguhan).
Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa permerintahan Hayam Wuruk
tahun 1350 hingga 1389 dibawah perintah Gajah Mada (1313-1364). Gajah mada merupakan
rakyat biasa. Karena terlahir sebagai rakyat biasa, membuatnya sangat perduli dengan
kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak. Masa kecilnya di desa terpencil di kaki gunung
Kawi-Arjuna telah membentuknya menjadi pemuda perkasa dan tahu melihat penderitaan
rakyat banyak. Keangkuhan para bangsawan yang selama ini telah menambah beban
penderitaan rakyat kebanyakan menjadi tolok ukur baginya memerangi para bangsawan yang
hanya mengandalkan darah keturunan tanpa pernah melahirkan gagasan memajukan negara
untuk memakmurkan bangsa.

Itulah sebabnya, kemunculan Gajah Mada nyaris tidak disukai oleh para bangsawan istana,
yang pada umumnya sudah mapan dengan kehidupannya. Yang nyaris tidak lagi kenal arti
susah, hidup baginya adalah kemewahan dan pemanjaan ragawi yang sudah menyatu dengan
aliran darahnya. Kebanggaan menyandang gelar dan kepangkatan, biasa dilayani bukan
melayani, disembah dan selalu diangkat sampai lupa bumi tempatnya berpijak. Bergelimang
harta sampai lupa penggunaannya, kalau perlu pelana kudanya terbuat dari sutera Cina dan
disalut dengan emas murni di tepinya.

Dengan ketegaran dan kepercayaan dirinya, Gajah Mada merubah semua kebiasaan dan
kebijakan yang selama ini hanya mementingkan para pejabat dan bangsawan istana.

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, menjadi inspirasi besar bagi
Gajah Mada untuk membangun Majapahit. Dengan dasar falsafah persatuan dan kesatuan,
seluruh masyarakat `dipaksa' memikirkan orang lain. Tidak berlomba untuk saling
menjatuhkan.

Para raja dibuatnya bukan penguasa mutlak. Di atas raja masih ada raja. Sampai Raja
Majapahit di pusat kerajaan tanpa sadar dibatasi oleh kebijakan struktural dengan
terbentuknya Dewan Sapta Prabhu yang terdiri dari tujuh orang keluarga raja-diraja (setelah
tahun 1354 dewan ini beranggotakan sembilan orang, bukan tujuh lagi, dengan Ketua Dewan
Sri Rajasanagara sendiri. Tapi dewan ini tetap dinamakan Bhatara Sapta Prabhu).

Untuk mewujudkan itu, Gajah Mada memulai dari dirinya sendiri, sesuai dengan isi sumpah
agungnya itu, bahwa dia tidak akan bersenang-senang, beristirahat menikmati pensiun,
sebelum Nusantara Raya ini bersatu.
Sejarah mencatat, baru Gajah Mada, seorang patih yang bertempat tinggal di luar kompleks
istana. Dia lebih memilih hidup dan tinggal bersama rakyat di luar tembok istana. Baru Gajah
Mada yang hati, jiwa dan wadagnya betul-betul cerminan rakyat jelata. Kesederhanaan dan
kecintaannya kepada rakyat bukan hanya dongeng, tetapi tertulis di atas lempengan tembaga
dan batu.
Tata, Titi, dan Tutu Semboyan yang dapat kita petik dari Gajah Mada adalah Tata,
Titi, dan Tutu. Istilah itu berasal dari bahasa jawa, yang artinya tata (perencanaan dan
pelaksanan yang sesuai), titi (tegas, teguh pendirian, komitmen), dan tutu (proses pejuangan,
latihan, penggemblengan). Ketiga hal itulah mejadi cerminan dari sikap, perilaku dan
tindakan Gajah Mada di manapun ia berada. Barangkalai saat ini yang diperlukan untuk
membekali seorang pemimpin adalah tiga hal di atas, selain modal ilmu pengetahuan yang
unggul. Dan kelihatannya, slogan itu dipraktikkan dalam pendidikan militer. Seorang prajurit
militer harus memiliki sikap perencanaan yang matang, komitmen yang tinggi dalam
membela kedaulatan tanah air, serta dengan proses perjuangan yang tinggi.

Gajah Mada mengajarkan bahwa apa yang tergelar di muka bumi ini harus di-tata
(dikelola/dimanej) secara baik.
Salah dalam merencanakan, maka akibatnya akan berdampak luas bagi kelanjutan bagi
sebuah dinamika organisasi atau lembaga itu sendiri. Perencanaan yang baik membutuhkan
proses berfikir yang jernih, imajinasi, dan mimpi-mimpi yang mampu membakar semangat.
Hal itu telah ditanamkan Gajah Mada jauh sebelum konsep-konsep modern yang saat ini
berkembang.
Untuk mewujudkan perencanaan tersebut, Gajah Mada mendidik kita agar teguh pendirian
dan komitmen. Banyak orang mampu merencakanan dengan baik, tetapi tidak dapat menjaga
dan merawat perencanaan itu secara komit, kukuh dan tegas. Sehingga di tengah perjalanan
goyah pendirian dan justru dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya. Walau ditengah
perjalanan harus memaksa berubah haluan, karena satu hal situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan, namun tetap harus sesuai dengan tujuan perencanaan semula. Komitmen dan
perjuangan tanpa mengenal lelah akan membuah hasil yang maksimal dan bermanfaat bagi
semua pihak.
Pengalaman yang ajarkan Gajah Mada kepada kita tentang “tutu” adalah perjuangan tanpa
embel-embel (pamrih). Implikasi dari perjuangan tanpa pamrih adalah jauh akan melahirkan
daya (kekuatan) yang berlipat ganda, yang mampu mengajak semua orang untuk bahu
menbahu, saling memikul peran dan tanggungjawab, karena keikhlasan yang dicontohkan
oleh seorang pemimpin.
Dalam kehidupan masyarakat dibutuhkan seorang pemimpin yang mau berkorban untuk
ummatnya, yang rela segala “kepunyaannya” disedekahkan untuk mengangkat kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat banya. Bukan seorang pemimpin yang berlindung dengan
kekuasaannya untuk meraih dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk
kepentingan golongannya, partainya, apalagi untuk dirinya sendiri.
kiranya perlu direnungkan kembali untuk menumbuhkan nasionalisme kebangsaan. Budaya
kerja keras, bersungguh-sungguh, serta tidak pernah berpretensi mendapatkan jabatan, proyek
dan sejenisnya harus menjadi mental dan sikap kita. Sebab, mencari jiwa seorang ”Gajah
Mada” baru membutuhkan sejarah lain yang syarat dengan pendidikan berkarakter,
bersumber pada nilai-nilai spiritual dan kesadaran.
Semoga para pemimpin negeri ini dapat belajar dari sosok Gajah Mada, dalam mewujudkan
cita-cita persatuan dan kesatuan nusantara dalam bingkai budaya, agama dan etos (semangat)
yang kuat. Gajah Mada— walau tanpa bekal titel/gelar akademik apapun—mampu
menorehkan sejumlah prestasi dan hasil yang mencengangkan banyak orang, maka saat ini
pemimpin dengan sederet pengalaman akademik, dan politiknya harus lebih baik dari Gajah
Mada.
Ketika jabatan Mahapatih Amangkubumi mulai dipegangnya, Gajah Mada memilih tinggal di
luar kompleks istana. Dia takut lupa pada rakyat. Dia takut lupa darimana dia berasal. Dia
takut lupa bahwa dirinya adalah rakyat jelata.

Dia takut lupa bahwa rakyatlah yang membesarkannya dan memberikannya inspirasi tentang
pentingnya persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran.

Di sebelah timur laut pasar kotaraja, Gajah Mada mendirikan rumahnya bersebelahan dan
berdekatan dengan masyarakat pada umumnya. Dengan begitu, dia dapat langsung merasakan
keinginan, kebahagiaan dan penderitaan rakyatnya. Dia menyatu dengan rakyat.

Segala hal yang berhubungan dengan rakyatnya, langsung dirasakan, bukan karena laporan
dari bawahannya yang kadang-kadang belum tentu benar. Pada hakekatnya kita lah rakyat itu
sendiri. Itu yang sering dikatakan kepada bawahannya. Untuk membahagiakan rakyat dan
memajukan negara ini, jadilah rakyat.

Anda mungkin juga menyukai