Setiap jenis kepemimpinan memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut akan berubah sesuai
tuntutan zaman. Ciri kepemimpinan Jawa pun mengalami perubahan-perubahan. Kepemimpinan
dalam budaya Jawa memiliki beberapa ciri, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
Monocentrum
Metafisis
Etis
Pragmatis
Sinkretis
Monocentrum bermakna bahwa kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal.
Kepemimpinan Jawa bersifat tunggal, yakni berpusat pada satu orang (monoleader/
monocentrum). Hal ini merupakan suatu kelemahan karena begitu seorang pemimpin lenyap,
maka sistem mengalami kekacauan. Tampaknya sistem ini masih mendominasi kepemimpinan
umumnya di Indonesia. Ciri ini ternyata merupakan suatu ciri yang universal pula di belahan
dunia lain. Hampir setiap kepemimpinan ternyata memusat pada suatu tokoh. Surutnya seorang
tokoh seringkali diikuti dengan pudarnya sistem kepemimpinan, sebagai misal kejayaan
Majapahit sangat tergantung pada Gadjah Mada, kejayaan Mataram sangat terikat dengan Sultan
Agung, dan dominasi Orde Baru sangat terkait dengan Suharto, serta dapat diteruskan dengan
sejumlah kasus.
Dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada
sistem kepemimpinan. Suatu lembaga, misalnya, setiap ganti pimpinan maka selalu ganti
kebijakan sesuai selera sang pemimpin. Gambaran ini juga tampak dalam gelar raja Jawa yang
menggenggam semua aspek pemerintahan dari sosial dan pemerintahan dengan ungkapan
berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati, amirul mukminin kalifatullah sayidin
panatagama (pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan, pimpinan orang
mukmin, wakil Allah di bumi, pimpinan yang mengatur agama).
Kepemimpinan Jawa juga bersifat metafisis, yakni selalu dikaitkan dengan hal-hal
metafisik seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak semi), dan sebagainya. Seolah-olah,
kemampuan memimpin bukan sebagai suatu capability, tetapi lebih condong sebagai miracle.
Karena kepemimpinan bersifat metafisis, hampir-hampir tidak ada sistem rekruitmen pemimpin
yang baik di negeri ini. Pemimpin muncul secara sporadis dan take for granted. Kadang-kadang
di dalam menentukan pemimpin tidak ada penilaian track record dan quality (test kelayakan),
andaikan ada sangat mendasar belaka. Dalam serat-serat Jawa pun hanya dicantumkan tentang
karakter ideal seorang pemimpin, tetapi tidak ditunjukan bagaimana karakter itu dapat diproses.
Hal ini tergambar dalam konsep raja gung binatara . Gambaran tentang pengalaman metafisis
para calon raja diuraikan panjang lebar oleh Berg (1974) dalam bukunya Penulisan Sejarah
Jawa(terjemahan). Hal tersebut juga tergambar dalam serat-serat dalam tradisi Jawa
(Poerbatjaraka, 1952).
Secara praktis, pandangan ini masih dianut oleh calon pemimpin-pemimpin di Jawa.
Untuk mencalonkan dalam bursa kepemimpinan, banyak calon pemimpin melakukan ritual-ritual
untuk mendapatkan kekuatan spiritual seperti memiliki/ membeli azimat, tapa kungkum,
meminta restu orang pintar, ritual tertentu, dan lain-lain. Sementara itu, hal terkait dengan
kapabilitasnya sering diabaikan.
Sementara itu, secara dramatis juga digambarkan oleh Ranggawarsita bahwa raja-raja di
Jawa adalah keturunan dari Nabi Adam yang kemudian juga menurunkan dewa-dewa seperti
Batara Guru dan Semar yang tampak dalam Paramayoga (Ranggawarsita, 1997). Khusus Semar,
dianggap sebagai salah satu tanda turunnya wahyu sehingga siapapun yang diikuti Semar akan
menjadi pemimpin yang baik (Subroto, 1957)
Nilai kepemimpinan Jawa bersifat etis, artinya apa yang diidamkan adalah sesuatu yang
berdasar pada baik-buruk, tetapi konsep aplikasi riil yang ditawarkan sama sekali tidak
ditunjukan. Dengan kata lain, nilai-nilai yang disampaikan tidak disertai dengan semacam
metode pencapaian.
Konsep-konsep kepemimpinan yang disampaikan tampaknya merupakan konsep-konsep
yang sangat pragmatis. Hal ini, misal misal, tampak dalam Serat Tripama (Tiga Perumpamaan)
dari lingkungan Mangkunegaran yang mengidolakan tiga tokoh kontroversial: .Sebagai misal,
kehadiran tokoh Kumbakarna, Adipati Karna, dan Sumatri (Patih Suwanda) terkait erat dengan
fakta historis Mangkunegaran yang eksis di pihak perlawanan, khususnya terhadap Kasunanan
yang merupakan simbolisasi dari Pandawa (raja-raja Mataram menganggap dirinya keturunan
Arjuna) (Sudardi, 1995).
Tokoh
Kumbakarna
Cerita
Mangkunegara
Mangkunegaran
dengan
dalih
berjuang
mencintai
dinasti Mataram
Karna
Dalam
Mangkunegara
sentana
yang
menolong
adalah
musuh adik-adiknya.
menjadi
sejarahnya,
adalah
Kartasura
Adipati
yang
karena
bantuan Belanda
Suwanda
Patih
yang
setia
pada
menyelesaikan pekerjaan
sehingga
menjadi.
Pengaruh Hindu
1. Gung Binatara (besar seperti dewa)
2. Ambeg paramarta (bagaikan dewa)
konsep titisan Dewa
3. Panatagama (penata agama),
4. Herucokro (menyempurnakan
pekerjaan) sifat Wisnu
5. Senapati ing alaga (hulubalang di
medan laga) (sifat Indra)
6. Hastabrata (ajaran Seri Rama) sifat
Pengaruh Islam
1.
2.
3.
4.
agama).
5. Sederhana (kehidupan nabi)
6. Loyal, tidak berwatak pedagang (cari
untung) iklash
7. Rendah hati (tawadhu)
Wisnu
7. Dasa darma raja (ajaran bagi para
raja)
komanan, nanging sabegja-begjane wong kang edan, isih begja wong kang eling lan waspada.
Terjemahan bebasnya adalah Bahwa nanti, suatu ketika akan ada zaman gila. Kalau tidak ikut
gila, tidak kebagian. Tetapi ingat, seuntung-untungnya orang yang ikut gila, masih lebih
beruntung orang yang ingat dan waspada. Banyak pakar mengatakan bahwa keadaan sekarang
ini, telah membuktikan kebenaran prediksi tersebut.
2. Laku Hambeging Candra (Candra = Bulan)
Rembulan memiliki sifat halus budi, terang perangai, menebarkan keindahan kepada seisi
dunia. Seorang pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan bersinar
terang benderang (Orang Jawa menyebut Purnama Sidi), indah, namun tidak panas membakar.
Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti bulan yaitu mampu memberikan
pencerahan (enlightment) bagi rakyatnya yang berada dalam kebodohan dan kesusahan dengan
menampilkan wajah yang penuh kesejukan dan penuh simpati dan empati.
Ditinjau dari sudut pandang Ilmu Sosiologi, perlu diingat bahwa masyarakat Indonesia
pada umumnya masih mengikuti asas Patron and Client. Pemimpin adalah Patron yang berarti
orang tua, panutan; Yang Dipimpin, Pengikut adalah Client. Artinya hubungan atasan dan
bawahan itu seperti hubungan antara Orang Tua dan Anak. Seorang anak akan mengikuti tingkah
laku orang tuanya, karena orang tuanya berperan sebagai panutan. Seorang panutan mesti
menjadi teladan, bukan sekadar memberi teladan. Menjadi teladan artinya segala tingkah lakunya
adalah teladan, sedangkan memberi teladan, belum tentu dia menjadi teladan. Bisa jadi dia
hanya memberi teladan bahwa Si A itu baik, Si B itu baik, maka tirulah.
Apabila Si Patronsendiri buruk, bagaimana mungkin Si Clientakan menjadi baik karena
mereka hanya mengikuti Si Patron? Sulit hal ini terjadi, melihat karakteristik masyarakat
Indonesia sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, ketokohan seseorang bila ia ingin menjadi
seorang pemimpin (patron), begitu pentingnya. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,
begitu kata peri bahasa. Bahkan tempo dulu dikenal dengan istilah Agama Ageming Aji, artinya
bahwa agama raja adalah agama rakyatnya. Rakyat akan serta merta mengikuti apa yang
dilakukan dan diyakini rajanya, bahkan agamanya.
3. Laku Hambeging Maruta (Maruta = Angin)
pinter tanpa wicaksana wekasane malah minteri. Terjemahannya, jadilah pemimpin yang
bijaksana (wise), jangan hanya pintar (smart), sebab pintar tanpa bijaksana bisa-bisa hanya untuk
minteri, membohongi. Pintar hanyalah menggunakan akal yang berada di otak, sedangkan
bijaksana
di
samping
menggunakan
akal
juga
menggunakan
hati
(kalbu)
yang
pengejawantahannya terletak pada moralitas. Air bersifat pemaaf, bukan pendendam. Air selalu
diciduk dan diambil tetapi pulih tanpa ada bekasnya. Seorang pemimpin harus memiliki sifat
pemaaf sebagaimana samudera raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan.
Jiwa samudera mencerminkan kemampuan menerima keberagaman (pluralitas) dalam hidup
bermasyarakat yang berkarakter majemuk.
Dalam manajemen modern kita kenal tiga persyaratan penting yang mestinya dimiliki
oleh seorang pemimpin ideal, yakni pengetahuan (knowledge) yang luas, keterampilan (skill)
yang bagus, dan perilaku (attitude) atau moralitas (morality) yang terpuji. Pemimpin yang
memiliki ketiganya, akan mampu membawa penyatuan cipta, rasa, dan karsa, yakni kemampuan
untuk mencipta (create) atau mengubah sesuatu menjadi lebih baik (upgrading), berintuisi
(intuition), dan berkemauan (passion) yang kuat.
6. Laku Hambeging Agni (Agni = Api)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat mulia dari api yaitu tetap teguh dan berdiri tegak
tetapi lentur dalam prinsip dan menindak atau menghanguskan yang bersalah tanpa pandang
bulu. Api bisa melebur kotoran bumi, menghanguskan apa saja, menerangkan yang gelap.
Seorang pemimpin mesti bisa sabar tetapi juga bisa bersemangat hebat dan berani, tegas laksana
api yang sedang membakar. Mengenai keberanian seorang pemimpin, dikenal pepatah, Sing
sapa wani ing gampang wedi marang kang ewuh, samubarang ora tumeka. Artinya, barang siapa
yang beraninya hanya terhadap yang mudah dan takut dengan yang sulit, cita-cita apa pun tidak
akan tercapai.
Berkata-kata dengan prinsip Sabda Pandhito Ratu, Tan Kena Wola-wali,yang artinya
perkataan pemimpin adalah sama dengan perkataan pandhito,pemimpin agama, tidak boleh
mencla-mecle,tidak konsisten. Hari ini A, besok berubah menjadi B. Jika demikian, bagaimana
yang dipimpin akan mengikutinya? Namun, pertimbangannya tetap berdasarkan pada akal sehat
yang bisa dipertanggungjawabkan (accountable) sehingga tidak membawa kerusakan dan
membingungkan masyarakat yang dipimpinnya.
tersebut, sekalipun telah disesuaikan dengan Ajaran Islam. Bahkan, ajaran tersebut, disadari atau
tidak, masih dilaksanakan oleh para pemimpin Jawa Modern, walaupun tidak dipraktikkan secara
utuh, seiring kemajuan zaman. Proses terjadinya percampuran antara Budaya Jawa Kuno,
Budaya Hindu, Budha, dan kemudian Budaya Islam, menciptakan akulturasibudaya baru yang
disebut Budaya Kejawen. Dari sisi agama juga dikenal istilah Islam Kejawen, yakni
sinkretismeantara budaya Jawa Kuno, Ajaran Hindu, Budha dan Islam.
Bayari.2014.Falsafat Kepemimpinan dalam Budaya Jawa.
https://bayarisentonoputro.wordpress.com/2014/07/21/falsafah-kepemimpinan-dalam-budayajawa/ (diakses pada 27 Februari 2015)