Anda di halaman 1dari 22

ABSTRAKSI

PARIGEUING
GAYA KEPEMIMPINAN PRABU SILIWANGI

Setiap insan adalah “khalifah”, pimpinan bagi dirinya, keluarga bahkan

pemimpin kaumnya. Telah disabdakan-Nya pula, bahwa setiap kaum mempunyai

pemimpinya. Bila setiap kaum ada pemimpinnya, tak pelak lagi orang Sunda pun

akan ada pemimpinnya.

Seseorang disebut pemimpin tentulah harus mempunyai konsep (idea),

norma (aturan) dan tampak aktualisasinya (perilaku) gaya kepemimpinannya.

Lalu untuk urang sebagai suatu bangsa, siapakah gerangan tokoh pemimpinya?

Apa pula penanda kepemimpinanya? Apakah pola kepemimpinanya masih sebatas

pada tatanan idea?Adakah penanda normatifnya? Pernahkah ada bukti actual

aplikatifnya? Selajur Tanya itu wajib disiamk cermat.

Syah dan ada satu nama teramat kharismatik, dikenal, dikenang dan selalu

dirindukan orang sunda. Begitu kuat kharismanya mampu menembus dimensi

dunia sastra, historiografi, mitologi bahkan tataran ontology dan religi.

Nama yang menjadi buah bibir dan panutan batiniah urang sunda itu

adalah PRABU SILIWANGI yang namanya pekat bernuansakan mitos. Nama

lainya adalah Jayadewa, Prabu Guru Dewataprana, Sri Sang Ratu Dewata,

keukeukbingan raja sunu, manah rasa dikenal pual dengan jujukan SRI BADUGA

MAHARAJA memerintah kerjaan Pajajaran 1482-1521 M.

Wacana ini mencoba untuk menderivisasikan penanda kepemimpinan

Prabu Siliwangi, semoga bermanfaat.


PARIGUEING
GAYA KEPEMIMPINAN
PRABU SILIWANGI

PURWA CARITA

Terasa sedikit menyengat judul wacana di atas. Tetapi ada baiknya

sewaktu-waktu terjadi sedikit sengatan sekadar memberi guncangan pada

pemikiran kita, agar tidak mandeg. Menyadarkan kita pada kelengahan, bahwa

ada alur perjalanan yang harus kita tempuh dalam pengembaraan seorang hamba

Allah ditanah rantau ini, sebab kampung halaman kita adalah ‘disana’. Pada

giliranya masing-masing akan menyimak catatan kehidupannya dihadapan yang

maha mengetahui, sebagai pertanggung-jawaban atas kekhalifahanya di muka

bumi ini.

Begitulah setiap insan adalah “ khalifah”, pemimpin bagi dirinya sendiri,

keluarga bahkan pemimpin kaumnya. Serta telah disabdakan-Nya pula, bahwa

setiap kaum mempunyai pemimpinnya. Kita paham pula bahwa setiap pemimpin

berkewajiban menghantarkan yang dipimpinnya kearah kehidupan lahir-batin,

dunia akhirat yang sejahtera bermartabat untuk menggapai keridhoannya.

Bila setiap kaum ada pempimpinnya, tak pelak lagi orang Sunda pun tentu

akan ada pemimpinnya.

Seseorang disebut sebagai pemimpin tentulah harus mempunyai konsep

(idea, pemikiran), norma (aturan) dan tampak aktualisasinya (perilaku)

kepemimpinannya.
Intisari kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan

individu dalam berinteraksi social untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati

bersama.

Pada dasarnya gaya kepemimpinan bisa berorientasi kepada hubungan

yang harus dibina dengan kelompoknya (concern for people) dan berorientasi

kepada hasil yang ingin dicapainya (concern for production).

Lalu untuk Ki Sunda sebagai suatu bangsa, siapakah gerangan tokoh

pemimpinnya? Apa pula penanda kempemimpinannya? Apakah pola

kepemimpinannya masih sebatas pada tataran idea? Adakah penanda

normatifnya? Pernahkah ada bukti actual aplikatifnya?.

Serangkaian pertanyaan diatas, perlu dicarikan jawabannya yang tidak

bersifat utopis, tidak mengada-ada, tetapi harus argumentative. Akan jauh lebih

bermakna apabila bersifat argumentnatif yang holistic, mencakup tataran IQ

(Intelektual Quotient), EQ (Emosional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) dan

saya tambahkan AQ (actional Quotient) sebagai sinergi pragmatiknya. Syahdan

ada satu nama sangat kharismatik, dikenang selalu dirindukan orang Sunda.

Beigut kuat kharismanya sehingga menembus dimensi dunia sastra, historiografi,

mitologi bahkan pada tataran ontology dan religi.

Nama yang menjadi buah bibir dan panutan batiniah Urang Sunda itu

adalah PRABU SILIWANGI yang namanya pekat bernuansakan mitos. Nama

lainnya ialah Jayadewata, PRabu Guru Dewataprana, Sri Ratu Dewata,

Keukeumbingan Raja Sunu, Manah Rasa dikenal pula dengan julukan SRI
BADUGA MAHARAJA memerintah kerajaan Pajajaran 1482-1521 M. setelah

wafat disebut dengan nama Prabu Ratu.

Rasa hormat dan bangga kepada sang tokoh ini terpancar pula dari

kalangan akademis dan intelektual, yaitu dengan penggunaan nama Universitas

Siliwangi, Kodam III Siliwangi. Silsilah para menak Sunda akan selalu

dihubungkan dengan nama sang tokoh ini. Beragam kegiatan masyarakat pun tak

lekang dari imbas charisma agung sang Prabu Siliwangi.

Maka ketika terjadi “sesuatu hal” pada situs prasasti batutulis yang

diprakarsai seorang figure masyarakat dengan dalih apa pun sebagai

pembenarannya, telah menimbulkan reaksi keras teramat keras dari masyarakat

sunda.

Mengapa Urang Sunda begitu tersinggung dalam kejadian itu? Tidak lain

karena Prasasti Batutulis yang dibuat tahun 1533 M, merupakan penanda

kesinambungan Kerajaan Sunda (abad ke-6 hingga abad ke-17). Kedudukan

prasati ini sangat penting dalam perjalanan sejarah Sunda, karena isinya

menunjukan jasa dan pengabdian Raja Sunda, Sri Baduga Maharaja alias Prabu

Siliwangi.

Dengan kejadian ini terpampang dengan jelas bahwa Kharisma Prabu

Siliwangi sampai saat ini pun masih sangat dihormati dan dimuliakan orang

sunda.
NASKAH SUNDA KUNA “SANGHIYANG SIKSA KANDA’NG

KARESIAN”

Pada tahun 1987 telah terbit satu buku alihtulis/alih bahasa dari naskah

Sunda Kuna Sanghiyang Siksa Kanda’ng Karesian (SSKK), karya Drs. Saleh

Danasamita dkk. Pakar filologi dan sejarahwan Sunda. Buku tersebut diterbitkan

oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi)

Dirjen Kebudayaan Dekdikbud – Bandung 1987.

Naskah SSKK ditulis dengan menggunakan aksara Sunda Kuna, diatas 7

lembar daun lontar. Bertitimangsa tahun 1518M tanpa diketahui nama penulisnya.

Naskah aslinya disimpan di muium Nasional Jakarta dengan nomor kropak 630.

Keberadaan SSKK seibarat pelita penerang dalam kegalapan informasi

mengenai kehidupan orang Sunda pada masa lampau. Begitu lengkap informasi

yang disampaikannya, sehingga ada yang menamakannya sebagai ensiklopedia

budaya sunda pada jamannya.

Bila kita simak, SSKK ditulis tahun 1518 dan itu berarti pada kurun waktu

ketika Prabu Siliwangi masih menduduki tahta di Pakuan Pajajaran (1482 M –

1521 M). Jadi keberadaan naskah SSKK tentulah diketahui beliau. Bukankah

pada masa itu masih sangat terbatas orang yang mampu menulis? Malah tidak

mustahil penulisan naskah SSKK-pun atas perintah beliau. Kalau pun tidak

demikian, tidak syak lagi penulis begitu jeli melihat keadaan masyarakat dan

pemerintahan pada masa itu, sehingga semuanya terekam dalam SSKK dengan

cermat.
Kita paham bahwa dari sebuah judul buku dapat tergambarkan apa

substansi yang dikandung dalam keseluruhan isi buku tersebut. Begitu pula

dengan SSKK bila kita uraikan menurut arti dan makna leksikal, penamaan

Sanghiyang Siksa Kanda’ng Karesian, bisa dirunut sebagai berikut :

- Sanghiyang → Sang dan hiyang. Sang adalah kata sapaan hormat

(honorifiks) semisal pada kata raja saja, sang ratu.

- Hiyang = gaib Ngahiyang = menjadi gaib. Kahiyangan = alam gaib,

kegaiban, Parahiyangan → pa-ra-hiyang-an (pa-…-an = penanda lokatif), ra

= mereka yang terhormat. Parahiyangan = tempat mereka para gaib yang

terhormat.

- Siksa = aturan, → disiksa = diatur, → kasiksa = terkena aturan.

- Kanda’ng → kanda = versi ‘ng → penggalan dari kata yang dihormati

(yang dimuliakan).

- Karesian → ka – resi – an (ka-…-an = penunjuk sifat, keadaan); resi =

orang yang berilmu, berpengetahuan, pendeta, ulama. Karesian = ilmu orang

yang berpengetahuan.

Dalam naskah SSKK tertulis informasi mengenai paradigma

kepemimpinan yang disebut dengan PARAGEUING. Telah dijelaskan diatas

bahwa SSKK ditulis pada jaman Prabu Siliwangi bertahta di Pakuan Pajajaran.

Karena itulah dengan tetap hati PARIGEUING saya sebut sebagai Kepemimpinan

Gaya Prabu Siliwangi atau Leadership Prabu Siliwangi.

Seseorang dijadikan pemimpin oleh komunitasnya, terutama karena

berkemampuan untuk mengkomunikasikan konsep-konsep kepemimpinannya


sehingga mampu mempengaruhi kualitas estos kerja komunitas yang

dipimpinnya.

Menurut pengamatan para ahli strategi ada empat macam penampilan

pemimpin, yaitu yang berkarakter :

- Perintis. Biasanya sebagai penggerak pemula dengan konsep ideanya yang

orisinil serta mampu meyakinkan komunitasnya akan kebenaran tujuan yang

ingin dicapainya.

- Penyelaras. Seorang pemimpin yang mampu menyelaraskan kelompok

komunitasnya, lebih bersipat manajerial. Mengarahkan komunitasnya kepada

pencapaian Visi dan Misi yang hendak diwujudkannya.

- Pemberdaya. Pemimpin yang berkarakter sebagai pendorong semangat

juang, memotivasi etos kerja mampu memanfaatkan dan

mengoperasionalkannya seluruh perangkat yang dinyaipu komunitasnya.

- Panutan Pemimpin yang berkarakter menjadi suri tauladan seluruh

komunitasnya. Keteladanannya mencakup aspek lahir batin serta perilaku

kehidupan kesehariannya.

Masyarakat Sunda pada umumnya lebih cenderung mengangkat pemimpin

dengan karakter Panutan, yaitu kecenderungan berpola paternalistic meskipun

begitu karakter lainnya pun dipertimbangkan pula.

Bila kita simak unsur kepemimpinan PRabu Siliwangi yang

terinformasukan dalam parigeuing, dasa Pasanta dan Pangimbuhing Twah akan

tampak jelas muatan keempat karakter pemimpin tersebut diatas.


PARIGEUING

Dalam SSKK yang menggunakan bahasa Sunda abad XVI disebutkan

bahwa yang disebut Parigeuing adalah “Parigeuing mah ngaranna; bisa

miwarang jasabda arum wawangi, nya mana hanteu surah nu dipiwarang”.

(Parigeuing adalah cara memerintah dan menyuruh dengan bahasa yang santun

sehingga tidak menimbulkan ketidaksenangan bagi yang diperintahnya).

Dengan demikian secara tersirat dalam Parigeuing diisyaratkan bahwa

seorang pemimpin harus piawai berkomunikasi. Mampu berkomunikasi dengan

para komunikan secara baik, santu dan benar sesuai dengan yang sekarang

disebut Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kewajiban Azasi Manusia (KAM) yang

melekat pada orang yang dipimpinnya. Jadi seyogyanya seorang pemimpin

terampil dan mampu memanfaatkan aspek bahasa sebagai alat komunikasi, baik

dalam tataran retorika, kognitif, affektif, phatik, persuatif, dsb.

Dalam peribahasa Sunda dikenal “Hade ku omong goreng ku omong”

artinya sesuatu menjadi baik atau jelek karena perkataannya. “Hade Gogog Hade

Tagog”. Artinya santu bicaranya, anggun tampilannya “Ratu kudu saciduh metu

saucap nyata” pemimpin itu antara ucapan dan perilakunya harus berkesuaian.

Itulah makna dari kebenaran.


KEPEMIMPINAN MENURUT SSKK

Kepemimpinan akan berkaitan dengan :

 Tugas dan fungsi pemimpin

 Kemampuan pemimpin dalam memenej, dan

 Karakter pemimpin

Dalam SSKK disebutkan bahwa :

• TUGAS PEMIMPIN adalah NGERTAKUEN BUMI LAMBA yaitu

“Menjejahterakan semesta dunia kehidupan” kita faham benar bahwa

dunia kehidupan itu meliputi semesta alam dan mencakup kesejahteraan

kehidupan lahir batin. Jadi tugas pemimpin adalah mewujudkan lingkungan

hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermartabat dan penuh dengan rahkmat

Sang Pencipta. Dalam bahasa yang kita kenal sehari-hari menurut idiomatic

islami adalah kehidupan yang Rakhmatan lil’Alamin.

• FUNGSI PEMIMPIN Dalam SSKK disebutkan pula ada beberapa

kelompok pemimpin berdasarkan fungsi kedudukannya, disebut dengan istilah

TRI TANGTU DI BUANA bisa diartikan sebagai tiga ketentuan (yang

menentukan) di dunia. Tiga fungsi yang menentukan kesejahteraan kehidupan

di dunia itu masing-masing berada dalam tanggungjawab :

1. Sang RAMA, termasuk didalamnya : keluarga, pemuka masyarakat.

Keluarga sebagai unsur terkecil dalam struktur masyarakat sangat

menentukan untuk terweujudnya kesejahteraan bangsa. Daya tahan dan

kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kekuatan dan kesejahteraan

ditatanan masyarakat akar sadagori (gross root). Dalam naskah berfilosofi


GURAT LEMAH (gurat=garis; lemah=tanah), teguh dalam

mempertahankan fungsi tanah dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan

masyarakat. Dengan kata lain fungsi Sang Rama adalah mewujudkan

keluarga yang sakinah ma’waddah wa rohmah. Tanah (lemah) dalam

budaya sunda termamat disakralkan. Tertulis dalam naskah Ciburuy

(Amanat Prabu Darmasiksa, Amanat Galunggung), bahwa “seseorang

yang tidak bisa mempertahankan tanah yang disakralkan, derajatnya jauh

lebh hina dibandingkan dengan kulit musang yang berbabu busuk yang

tercampak di tempat sampah yang kotor dan menjijikan.

2. SANG RESI, dimaknai sebagai orang yang berilmu, cendikiawan, ulama,

para pendidik dan pengajar dan orang-orang yang mampu mencerdaskan

banga. Sang Resi harus mempunyai karakter seibarat GURAT CAI

(cai=air;garis gelas), mengandung makna bahwa para cendikiawanlah

yang harus mendorong daya hidup untuk tumbuh-tumbuhannya kualitas

Sumber Daya Manusia agar bermanfaat. Tugas Sang Resi untuk menuntun

dan mengarahkan perjalanan masyarakat kearah yang lebih baik dan

sejahtera lahir batin, agar Luhung elmuna, jembar Budayana, Pengkuh

Agama dan Rancage Gawena.

3. SANG PRABU = pemimpin formal, birokrat pemerintah, para pengambil

kebijakan serta seluruh unsur Trias Politica. Siapapun orangnya yang

tengah berfungsi sebagai Sang Prabu. Harus berfilosofi GURAT BATU

(garis batu), yaitu taat dan patuh dalam menjalankan hukum. Seibarat

membuat guratan diatas permukaan batu, begitulah adanya tidak bisa dan
tidak boleh direkayasa. Bila dilaksanakan secara konsisten, maka

komunitas yang dipimpinnya akan selalu berjalan dalam koridor yang

benar dan terarah.

Bila setiap orang terlebih bagi seorang pemimpin ada empat tatanan hukum

yang harus dipegang teguh dalam membuat kebijakan atau pun dalam berperilaku.

Azas taat hukum itu ialah :

• Hukum Agama/religi sesuai dengan agama yang dianutnya

• Hukum Nurani, berdasarkan kata hati kemanusiaannya.

• Hukum adat, yang menjadi hukum normative masyarakat etnisnya.

• Hukum Positif sesuai dengan hukum yang diberlakukan.

Begitulah fungsi pemimpin menurut SSKK, sangat jelas dan terarah.

Selanjutnya bagaimana pula menurut SSKK mengenai kemampuan pemimpin

dalam memenej yang dipimpinya.

KEMAMPUAN PEMIMPIN DALAM MEMENEJ

Seorang pemimpin harus mampu menunjukan kepiawaiannya dalam

memenej orang yang dipimpinnya. Pada awalnya pemimpin akan memulai dengan

keterlibatannya secara total-holistik dalam mempengaruhi, mengarahkan dan

mengkordinasikan orang-orang sekelilingnya; sehingga pada akhirnya sang

pemimpin mampu mendelegasikan wewenang kepada bawahannya.

Karena itu pada akhirnya seorang pemimpin harus mempunyai dua

kemampuan utama, yaitu sebagai LEADER (yang menentukan arah dan tujuan

Visi/Misi organisasi) dan sebagai ahli MANAJEMEN.


kedua istilah tersebut. Bisa disimak titik bera konsepnya, yaitu :

• LEADER/pemimpin → KEPEMIMPINAN, lebih memfokuskan untuk

terjalinnya hubungan antar manusia/anggota yang dipimpinnya; focus

utamanya adalah tercapainya VISI organisasi.

• MANAJEMEN → lebih menitikberatkan pada HASIL YANG HARUS

DICAPAI pada saat tertentu, mampu mengidentifikasi masalah yang ada,

mencari solusi dan berpegang teguh pada hukum/aturan organisasinya.

Didalam naskah Sunda SSKK disebutkan bahwa seorang pemimpin harus

mempunyai keahlian yang paling mendasar dalam menata/memenej. Untuk itu

pemimpin harus melaksanakan Azas DASA PASANTA.

DASA PASANTA

Dasa Pasanta artinya “Sepuluh Penenang” yaitu cara member perintah

yang baik agar orang yang diperintah bisa melaksanakan tugasnya dengan

optimal.

Kesepuluh cara memerintah yang baik adalah :

1. Guna = Perintah itu difahami manfaat atau kegunaannya, sehingga tidak

terjadi salah pengertian

2. Ramah = ramah, bijak bestari. Keramahan akan menumbuhkan rasa

nyaman dalam bekerja, iklim yang mengesankan keramah-tamahan akan

menjadi habitat yang sangat kondusif.

3. Ho’ok → ho’okeun = kagum. Perintah itu dianggap sebagai representasi

kekaguman pemimpin atas prestasi dari orang diperintahnya.


4. Pesok = reueus, bangsa. Perintah disampaikan dengan cara yang

menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah, hal ini akan memotivasi

kepercayaan dirinya.

5. Asih = kasih sayang. Perintah dilandasi dengan perasaan kemanusiaan

yang penuh getaran kasih.

6. Karunia= karunia, belas kasih.perintah harus terasa sebagai suatu karunia

atau kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya.

7. Mukpruk = menentramkan hati. Pemimpin seyogyanya a.1 dengan

menumbuhkan semangat kerjanya.

8. Ngulas = mengulas, mengoreksi atau pun member pujian. Cara mengulas

bisa berbagai macam, yang penting ada respon atas pekerjaan mereka.

9. Nyecep = memberi perhatian berupa moril maupun materiil. Mungkin

hanya berupa ucapan terimakasih.

10. Ngala angen = mampu menarik simpati, sehingga tersambung ikatan

silaturahim yang kental.

Kaidah Dasa Pasanta di atas, bila kita simak dengan teliti, ternyata

berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan manusia (human relationship).

Tidak dalam kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan tegang. Malah bila

ditelusuri lebih jauh, konsep Dasa Pasanta ini menggunakan proses komunikasi

yang SILIH ASIH – SILIH ASAH dan SILIH ASUH (SILAS, 3 SA) yang

mendasari proses kontak sosialnya.

Selanjutnya dalam SSKK dijelaskan pula bahwa seseorang baru bisa

mempunyai keahlian Dasa Pasanta, bila kualitas dirinya telah mumpuni.


Maksudnya seorang pemimpin harus mempunyai kharisma, pamor atau tuah yang

terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak kepemimpinannya.

Kualitas batiniah seorang pemimpin akan tampak dalam perilaku

kesehariannya, dan itu semuanya akan sangat bergantung kepada karakter, tabiat

atau kepribadian yang melekat pada diri seseorang. Sementara orang beranggapan

bahwa karakter, tabiat dan kepribadian merupakan talenta yang azali; tetapi

talenta positif itu bisa lebih dioptimalkan dengan latihan yang terencana. Maka

tak ayal lagi begitu banyak pelatihan kepemimpnan dilaksanakan berbagai

institusi informal maupun formal.

Dalam SSKK diuraikan factor apa saja yang dapat menumbuhkan

charisma seseorang sehingga bisa menjadi pemimpin yang mampu melaksanakan

Dasa Pasanta dan mengamalkan Parigeuing. Factor yang dapat menumbuhkan

charisma itu dalam SSKK disebut dengan istilah PANGIMBUHNING TWAH.

PANGIMBUHNING TWAH

Apabila kita simak paparan DASA PASANTA di atas ternyata merupakan

intisari “Ilmu Memimpin/Manajemen”. Tetapi dengan tegas disebutkan pula baru

bisa menjadi pemimpin bila pada pribadinya melakat karakter kepemimpinan

yang disebut PANGAMBUHNING TWAH (pelengkap untuk mempunyai

tua/charisma/pamor). Konsep ini lebih cenderung sebagai unsur pimimpin yang

berkarakter panutan.

Ada dua belas unsur Pangambuh ning Twah yang harus menjadi penanda

karakter pemimpin, yaitu :


1. Emet = tidak konsumtif, dalam idiom Sunda dikenal dengan “saeutik

mahi, loba nyesa; bisa ngeureut neundeun”. Seseorang yang terbiasa untuk

tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan keserakahannya. Terhindarlah

dia dari perilaku korup yang sangat menjijikan itu.

2. Imeut, = teliti, cermat, disebut sebagai “kudu nastiti taliti tur ati-ati; ulah

bobo sapanon, carang s apakan, tusuk langkung kepang halang” . betapa

banyaknya waktu terbuagn bila ses eorang disibukan dengan memperbaiki

kesalahan-kesalahan karena ketidakcermatan yang telah diperbuatnya.

3. Rajem = searti dengan rajin. Bahagialah orang yang mampu

memanfaatkan durasi umurnya dengan rajin berkarya. Tiada hari terbuang

percuma.

4. Leukeun = teukn. Ketekunan dalam mengapai yang dicita-citakan, seibarat

menenun kain, sehari sehelai kain yang tersulam indah permai. Ketekunan

selalu berkelindan dengan kesabaran. Hidup adalah proses, tidak pernah ada

yang instant sekali seduh bisa dimakan.

5. Paka Pradana = 1) berani tampil, 2) berbusana sopan, beretika/beretiket.

Setinggi apapun kualitas jati diri seseorang, tetapi bila tidak berani tampil

mengekspresikan jatidirinya, maka hanya tinggal angan-angan saja. Seibarat

jam terbang seorang pilot, maka sangat membantu dalam mengatasi cuaca

buruuk yang menghadangnya. Begitu pula s eorang tanpa berbekal etika dan

empati dalam pergaulan, perasaan simpati dan empati pun akan menghilang

dengan perlahan-lahan.
6. Morogol-rogol = bersemangat, beretos kerja. Semangat hidup, keinginan

untuk berkarya dengan kualitas unggul, akan menjadi dorongan adrenalin

ruhaniah yang memompa talenta positif kita untuk bisa diaktualisasikan dalam

hidup yang nyata.

7. Purusa ning sa = berjiwa pahlawan, jujur, berani. Kreasi dan inovasi,

pembaharuan yang berkualitas prima hanya terlahir dari manusia-manusia

yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang berani menantang kemandegan

pemikiran manusia. Adapun kejujuran seibarat jarum kompas penunjuk arah

yang benar.

8. Widagda = bijaksana, rasio dan rasa seimbang kepongahan rasio yang

kadang-kadang sangat mendominasi pemikiran manusia perlu diimbangi

dengan rasa-surasa, rasa sejati kemanusiaan.

9. Gapitan = berani berkorban untuk keyakinan diriinya. Tidak keberhasilan

tanpa ada perjuangan; tidak ada tanpa keyakinan tanpa pengorbanan, tidak

ada pengorbanan tanpa keyakinan. Keyakinan itu dalah satu-satunya cara

untuk mencapai visi hidup seseorang.

10. Karawaleya =dermawan. Hidup adalah bekersamaan dengan orang lain.

Kita kan selalu bertemu dengan beragam corak insane, multi rteligiosistas,

multi etnis dan multi sosio-kultural. Kesalehan social sangat diperlukan Urang

Sunda bilang “smoeah hade ka semah, tapi ulah rek balangah. Rejeki pabagi-

bagi, kabungah silih agehan”.

11. Cangsingan = (cingceung, tangginas), terampil, cekatan. Kesempatan itu

adalah momentum yang datang silih berganti, tetapi sulit dapat diprediksi
kapan terulang kembali. Maka hanya orang-orang yang

cangcingan/tangginas/cekatan saja yang akan mampu memanfaatkan

momentum keberhasilan itu.

12. Langsitan = (rapekan), segala bisa, pro aktif. Kehidupan ini nyatanya

penuh dengan serba tantangan dan kesempatan yang datang silih berganti.

Manusia-manusia yang serba bisa dan pro-aktiflah yang paling

bersekesempatan untuk meraih suskes.

Di samping penanda diatas yang harus dipunyai seitap insane, terutama bagi

yang berkehendak untuk menjadi pemimpin; didalam SSKK pun disebutkan pula

secara tegas bahwa 4 karakter yang tidak boleh dipunyai seseorang yang ingin

mempunyai charisma. Saya sebut keempat karakter negative tsd. Dengan istilah

OPAT PAHARAMAN (empat hal yang diharamkan).

OPAT PAHARAMAN

Dalam Paparan Dasa Pasanta dan Panimbu nin Twah diatas, dapat disimak

bahwa sangat menitikberatkan kepada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki

seorang pemimpin.

Karakter positif yang harur terus dipertahankan dan dikembangkan. Tetapi

dalam SSKK disertakan pula empat karakter yang sama sekali tidak boleh melekat

pada diri setiap pemimpin, termasuk pula pada setiap orang Sunda.

Empat jenis karakter yang sangat tercela itu saya sebut dengan Opat

Paharaman (empat hal yang diharamkan), ialah :


1. Babarian = mudah tersinggung. Orang yang mudah tersinggung akan

hilang kesempatan untuk meraih keberhasilan.. ornag lain akan sangat merasa

terganggu untuk menjalin pertemanan dengan orang yang mudah tersinggung.

Cara berpikirnya se ring sangat sempit, arogan, cepat marah dan selalu ingin

menang sendiri. Barbarian pun bisa dimaknaai mudah terprovokasi, mudah

dipengaruhi orang lain.

2. Pundungan = mudah merajuk. Orang yang mudah merajuk akan

kehilangan kesempatan dalam segala hal. Tidak bisa bekerjasama. Sering puas

diri.

3. Humandeuar = berkeluh kesah. Orang berperangai seperti ini akan

kehilangan etos kerja. Tidak disenangi orang dan tidak bisa bekerjasama.

Orang yang biasa berkeluh kesar seibarat yang tengah menghipnotis dirinya

menjadi mahkluk yang lemah lunglai kehilangan jatidirinya.

4. Kukulutus = menggerutu. Orang penggerutu menandakan karakter rendah.

Selalu berpikir negative. Sering mengkambinghitamkan orang laina. Tidak

bertanggungjawab. Rasa kesetiakawanannya tipis. Kadang-kadang jadi

penghianat. Disebut juga sebagai orang yang bersifat munafik. Peribahasa

Sunda menyatakan orang yang seperti itu sebagai “Beungeut nyanghareup ati

mungkir” (munafik).

CATUR BUTA
Dalam Naskah Sunda Kuna “Sanghiyang Siksa Kanda’ng Karesian”, sarga

XXII, ditulis watak manusia yang membuat kerusakan di dunia disebut CATUR

BUTA, inilah 4 watak manusia yang berkarakter raksasa perusak kehidupan yaitu:

1. BURANGKAK

Disebut sebagai mahkluk MAHA GILA. Artinya sangat mengerikan, yaitu

kelakukan manusia yang ketus, tidak mau menyapa orang lain lebih dulu,

tidak ramah, bicara marah-marah, membentak, berbicara membelalakan mata,

nada suara menghina, berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama

dan sering melanggar aturan. Merasa derajat dirinya lebih tinggi dari orang

lain. Orang seperti itu dikatakan tak ubahnya seperti raksasa, durgi, durga,

buta kala. Hanya pantas berdiam di tempat kotor dan menjijikan.

2. MARIRIS

Disebut sebagai orang yang lebih menjijikan dari bangkai binatang yang

membusuk; yaitu manusia yang suka mengambil hak orang lain, korup,

mencuri, merampok, mengecoh, merampas, menipu, berdusta, panjang tangan

dengan bermacam cara, memetik tanpa meminta. Orang yang berkarakter

mariris jauh lebih busuk dari bangkai binatang yang sangat hina dan

menjijikan, lebih kotor dari kotoran binatang. Bila mati arwahnya sengsara

seribu seratus tahun dikutuk Batara dan menjadi penghuni buana peteng

(dunia kegelapan, neraka); jauh kemungkinannya disebut manusia yang mulia.

Seharkat dengan binatang yang menjijikan seeprti hileud nahun (ulat), piteuk
(lalat penghisap darah binatang) , titinggi (kaki seribu), limus sakeureut (siput

hutan yang menjijikan), mear (leunyay, binatang merayap berfosfor), pacet

(lintah hutan), lentah (lintah), Lohong (cecunguk) gorong (ga’ang).

3. MARENDE

Disebut juga sebagai RAKSASA BERMUKA API. Artinya pada awalnya

rakyat menduga bahwa orang tersebut berwatak dingin menyejukan; mampu

membawa masyarakat hidup damai dan tentram. Tetapi setalah menjadi

pemimpin atau yang dituakan ternyata malah berhawa panas menimbulkan

bencana di masyarakat. Manusia “marende” adalah manusia yang Urang

Sunda bilang “mawa sangar ka nagara” ialah orang yang hanya menimbulkan

kekacauan, tawuran, mengadu domba, permusuhan, pertumpahan darah

menjadi pembawa bencana dalam kehidupan.

4. WIRANG

Disebut juga sebagai BINATANG YANG MENAKUTKAN yaitu orang

tidak mau jujur, tidak mau benar, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tidak

mau layak seperti manusia yang berahklak baik, tidak mau berterus terang,

tidak mau berusaha untuk memperbaiki dirinya, selalu menyalahkan orang

lain. Berwatak tercela seperti suka mengancam, membunuh, merusak,

ketagihan, tidak mau kapok. Wak manusia WIRANG bersifat seperti : hewan

buaya, ular besar, harimau, badak dan binatang yang menakutkan lainya.
AKHIR WACANA

Lama nian kita berjalan tergagap-gagap dalam menapaki keberadaan Urang

Sunda untuk menemukan jati dirinya. Padahal kita pun paham bahwa mahkluk

apapun baru akan hidup sejahtera bila bertumbuh-kembang pada habitat sesuai

dengan sunnatullah.

Adalah menjadi kewajiban kita, untuk memaknai keberadaan hidup kita

yang ditakdirkan berada di Tatar Sunda. Dan ini bukan suatu kebetulan – maha-

sempurna Alloh Yang Maha Berkehendak.

Kini terpulang kepada kita yang tengah menapaki lorong panjang kehidupan

bangsa, mengiktui denyut alur RAWAYAN JATI. Semuanya bermuara kepada

kesadaran diri kita sendiri, ibda bin nafsi, wiwit ti diri pribadi dan Gnoutti se

Auton, -kenalillah dirimu secara utuh.

Mengenali kekuatan, kelemahan, kesempatan serta tantangan yang ada,

isnya Allah kita akan terus berusaha untuk merobah nasib orang Sunda ke tatanan

yang lebih sejahtera dan bermartabat, sehingga dapat berperan aktif untuk

mewujudkan masyarakat yang Madani Mardhotillah diantara tataran lokal,

nasional maupun internasional.


PUSTAKA PENDAMPING

PARIGEUING :

- Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda.

Sundalana. Pusat Studi Sunda. 2006.

- Melahirkan pemimpin Masa Depan. DR. Thariq M. Ass-Suwaidan; IR

Faisahal Umar Basyarahil. Gema Insani. 2005.

- MENJEMPUT ZAMAN. Grand Strategy-merekonstruksi system

bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menuju masa depan Indonesia

yang lebih baik. Yus Ruslan Achmad. BERKAH Publishing. 2006.

- Ratu Pakuan. Drs. Atja. Lembaga Bahasa dan Sejarah. 1970.

- Rineka Budaya Sunda-Kumpulan Karangan, Drs. R. Hidayat Suryalaga.

Geger Sunten. 1977.

- Sanghiyang Siksa Kanda’ang Karesian – Amanat Galunggung. Saleh

Danasasmita dkk. Depdikbud. 1987.

- Sewaka Darma, Sanghiyang Siksa Kanda’ang Karesian-Amanat

Galunggung, Ayatrohaedi dkk. Depdikbud. 1987

Anda mungkin juga menyukai