Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH PENGANTIN PAES AGENG YOGYAKARTA

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas Sejarah Mode Tata Rias Dosen
Pengampu:
1. Delta Apriyani S.pd., M.Pd.
2. Sita Nurmasitah S.S.,M.Hum.

Disusun Oleh:
Amara Dwi Maharani NIM 5402422062
Alfina Najmul Falakh NIM 5402422075 Keken
Mayasari NIM 5402422009
Shalom Sihing Manah NIM 5402422072 Yulianda
April Riatin NIM 5402422007

Kelompok 8
Rombel 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TATA KECANTIKAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan Pembahasan
A. Sejarah tata rias Paes Ageng Yogyakarta
B. Makna simbolis Paes Ageng Yogyakarta
C. Bentuk riasan adat, busana, akseksoris dan hair do pada pengantin gaya
Yogyakarta Paes Ageng
Penutup
A. Kesimpulan

Daftar Pustaka
Kata Pengantar
Segala puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat kepada kita semua, sehingga karena karunia-Nya dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Sejarah
Mode Tata Rias dengan judul “Sejarah Pengantin Paes Ageng Yogyakarta ”. Dalam
penyusunan makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
dipergunakan sebaik-baiknya.
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang
Budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang beraneka ragam.
Budaya yang beraneka ragam itu seperti adat istiadat, bahasa, busana, tarian,
makanan, dan sebagainya. Salah satu hasil budaya jawa yaitu berkaitan dengan
busananya. Salah satunya dalam hal upacara pernikahan. Dalam masyarakat jawa,
perkawinan merupakan salah satu siklus penting dalam kehidupan manusia.
Manusia dianggap telah sempurna hidupnya jika telah menikah. Diharapkan
dengan menikah, maka akan terbentuk sebuah keluarga baru yang nantinya akan
mempunyai keturunan sebagai generasi penerus keluarga tersebut.
Salah satu kebudayaan perkawinan bangsa kita adalah upacara
perkawinan adat jawa gaya yogyakarta. Pada zaman dahulu perkawinan adat
yogyakarta masih sederhana dan belum teratur, karena sebelum indonesia
merdeka upacara perkawinan didassarkan pada kelompok/stratifikasi social
sehingga tidak mungkin seorang yang bukan keturunan kraton menggunakan
busana kraton. Tetapi tradisi kraton Yogyakarta Hardiningrat seperti perkawinan
sudah menjadi milik bersama. Siapapun yang ingin melaksanakan perkawinan
dengan tradisi kraton sudah tidak mengalami hambatan lagi.
Maka dari itu sebagai generasi muda kita wajib ikut melestarikan budaya
indonesia. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai adat istiadat perikahan
Yogyakarta, tata rias wajah, model rambut, dan aksesoris, serta busana pengantin
Yogyakarta. Dalam pernikahan Yogyakarta tentuya juga mengalami perubahan
dan perkembangan setiap tahunnya mulai dari tata rias wajah, baju pengantin
serta akseksorisnya.
Akhir-akhir ini juga rias dan busana pengantin adat Jawa gaya
Yogyakarta lebih banyak dibicarakan dari segi bentuk lahiriahnya sebagai
perkembangan mode atau unsur seni tata rias/ dekorasi. Sedangkan isi dan
kandungan makna yang terkandung di dalamnya jarang dibicarakan. Demikian
juga fungsi dan asal dari rias dan busana pengantin itu sendiri jarang dibicarakan.
Hal ini menimbulkan ketidakseragaman dalam menyusun kombinasi antara rias
dan busana pengantin dengan rangkaian upacara yang menyertainya. Misalnya,
rias dan busana pengantin adat Jawa gaya Yogyakarta dikombinasikan dengan
tata cara daerah lain. Padahal, dalam rias dan busana pengantin Paes Ageng gaya
Yogyakarta, yang bersumber dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sudah ada
aturan-aturan atau ketentuan yang baku, sehingga kandungan maknanya yang
prinsipil tidak mengalami perubahan.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah tata rias Paes Ageng Yogyakarta?
2. Apa makna simbolis yang terdapat pada pengantin Paes Ageng Yogyakarta?
3. Bagaimana bentuk riasan adat, busana aksesoris

C. TUJUAN
1. Ingin mengetahui makna simbolis ynag terdapat pada pengantin gaya
yogyakarta Paes Ageng
2. Ingin mengetahui sejarah pengantin gaya Yogyakarta Paes Ageng
3. Ingin mengetahui bentuk riasan adat, busana, akseksoris dan hair do pada
pengantin gaya Yogyakarta Paes Ageng.
Bab II Pembahasan

A. Sejarah tata rias Paes Ageng Yogyakarta


Dalam pernikahan dengan adat Jawa, khususnya gaya Yogyakarta
memiliki rangkaian prosesi yang kaya simbol dan makna, dengan berbagai
macam ubarampe. Setiap tata upacara dan atribut pendukungnya menjadi
perpanjangan harapan akan doa dan kebaikan bagi sang pengantin. Rias dan
busana pengantin termasuk hal yang diperhatikan didalamnya, ada makna yang
terkandung di dalamnya. Namun dalam perkembangannya di masyarakat, tata
upacara pernikahan yang bersumber pada Keraton telah mengalami perubahan
(variasi) menyesuaikan dengan masyarakat setempat.
Pada zaman dahulu, tata rias paes ageng hanya diperuntukkan bagi
keturunan dan kerabat dekat Keraton Yogyakarta bahkan riasan ini pun bersifat
wajib. Para putri keraton harus menggunakan tata rias paes ageng yang goresan
make up, busana pengantin hingga aksesoris yang digunakan haruslah sesuai
dengan pakem yang sudah ada. Akan tetapi, semenjak kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwono IX, tata rias pengantin paes ageng diperbolehkan untuk
digunakan oleh masyarakat luas. Dengan begitu diharapkan tradisi tersebut tak
akan punah dimakan oleh waktu dan zaman. Meskipun masyarakat luas
dibolehkan menggunakan riasan paes ageng, tapi pihak keraton pun tetap
mengimbau masyarakat agar tetap menggunakan riasan paes ageng yang sesuai
dengan kaidah dan pakem yang telah ditetapkan. Karena pada tiap goresan dan
ukiran make up di dalamnya mengandung filosofi yang dalam bahkan berkaitan
dengan doa serta harapan untuk pengantin dalam menyongsong rumah tangga
baru. Selain itu, sanggul hingga baju pengantin yang dikenakan pun
melambangkan keindahan serta keanggunan perempuan Jawa. Paes adalah riasan
di dahi yang berwarna hitam dan berbentuk runcing. Riasan ini diukir mengarah
ke hidung dan berarti bahwa perempuan harus rendah hati, sopan, bertata krama,
dan santun. Ukiran alis yang unik dan dibuat menjorok ke pelipis juga punya
filosofinya sendiri. Ini berarti bahwa perempuan harus memiliki pandangan yang
luas dan kritis. Sedangkan busana yang digunakan melambangkan kemakmuran
hingga kesuburan.

B. Makna simbolis Paes Ageng Yogyakarta

1. Paes prada

Tata rias dahi adalah tata rias khas untuk pengantin adat Jawa yang
lazim disebut paes. Pada rias pengantin wanita Paes Ageng Jogja ini, tata rias
diawali dengan membuat cengkorongan atau riasan berbentuk runcing pada
dahi. Riasan ini kemudian dihitamkan dengan bahan yang disebut pidih.
Selanjutnya, di bagian tepi cengkorongan diberi ketep berwarna emas serta
serbuk emas yang disebut prada.
2. Cithak

Di bagian tengah cengkorongan diberi hiasan dari ketep dan prada


yang berbentuk segitiga dan belah ketupat. Hiasan tersebut dikenal dengan
motif kinjengan atau capung. Di tengah-tengah dahi, di atas ketinggian kedua
alis diberi hiasan berbentuk belah ketupat dari daun sirih yang disebut cithak.
Cithak diletakkan tepat di tengah-tengah sebagai perlambang bahwa seorang
wanita harus fokus, berpandangan lurus ke depan, dan setia.

3. Alis mejangan

Salah satu riasan yang mencolok dalam Paes Ageng Jogja adalah
bentuk alis yang ujungnya berukir seperti tanduk rusa atau yang dalam bahasa
Jawa disebut menjangan. Karena rusa adalah hewan yang cerdik, cerdas dan
anggun, artinya perempuan harus memiliki ketiga karakter tersebut. Selain
alis, yang tampak berbeda dari riasan ini terdapat pada mata yang diberi
celah-celah disebut jahitan mata. Fungsinya adalah agar mata tampak indah
dan memberi kesan redup.
4. Cunduk mentul

Cunduk mentul adalah aksesoris yang disematkan di kepala dengan


posisi menjulang tinggi ke atas. Cundul mentul terdiri dari lima atau tujuh
buah yang berbentuk bunga. Jumlah cunduk mentul yang digunakan oleh
pengantin rupanya memiliki makna filosofisnya tersendiri. Jika dipasang
sebanyak lima, maka melambangkan rukun Islam yang jumlahnya lima.
Selain itu perlambang jumlah lima merupakan simbol lima nafsu manusia
yaitu kasih sayang, kenikmatan, keinginan, kekuasaan, dan kesucian.
Bentuk ini mengandung makna bahwa pengantin wanita diharapkan dapat
menguasai kelima nafsu tersebut agar dapat menjadi wanita yang utama
dalamm rumah tangganya. Apabila memasang sebanyak tujuh, diartikan
sebagai pertolongan, ditarik dari bahasa Jawa angka pitu yang dimaknai
sebagai simbol pitulungan.

5. Pethat gunungan

Pethat atau sisir gunungan diletakkan di depan cunduk mentul.


Bentuknya yang menyerupai gunung menandakan bahwa perempuan adalah
sosok yang harus dijaga dan dihormati oleh suaminya, mengingat gunung
dipercaya sebagai tempat yang sakral bagi masyarakat Jawa.

6. Centhung
Aksesoris ini berjumlah dua buah yang bentuknya menyerupai gerbang
yang dipasang di sisi kanan dan kiri kepala. Keberadaan centhung memiliki
makna bahwa perempuan telah siap untuk menuju ke gerbang baru kehidupan
pernikahan bersama pasangannya. Selain itu centhung juga merupakan
simbol bahwa alam pikiran manusia seharusnya ditujukan kepada Allah.
Manusia dapat menjadi hamba Tuhan yang menyatu dengan Allah
(manunggaling kawula Gusti) dengan cara menunduk dan bersujud dahulu
kepada-Nya, kemudian menengadah untuk memohon ampunan dan
keselamatan.

7. Subang ronyok

Subang ronyok merupakan hiasan yang dikenakan pada telinga kanan


dan kiri dan terbuat dari emas berlian. Wujud subang yang bercahaya
memiliki makna meningkatnya pengetahuan manusia melalui cahaya
kehidupan dan harapan terciptanya sesuatu yang abadi.

8. Kalung susun

Kalung susun atau tanggalan merupakan hiasan leher yang terdiri tiga
lempengan yang diikat menjadi satu susunan. Kalung ini mengandung makna
adanya kemauan, adanya wujud, dan adanya kehidupan. Selain itu, hiasan
tersebut juga bemakna bahwa manusia mengalami tiga tahap dalam
kehidupan, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian.

9. Gelang kana dan cincin

Gelang kana merupakan bentuk hiasan yang melingkar di pergelangan


dan jari manis. Ini mengandung makna sebagai ikatan atau aturan, bahwa
pengantin terikat dengan pernikahan dan bahwa gerak tangan harus menyatu
dengan hati tanpa batas. Gelang kana juga merupakan perlambang kesetiaan
bagi para wanita.
10. Kelat bahu naga

Bentuk naga sebagai model kelat bahu dalam adat pernikahan Jawa
bukan tanpa alasan, ia menjadi simbol bahwa perempuan harus tetap kuat
untuk menghadapi liku-liku di dalam pernikahan. Sebagai perempuan, ia juga
diharapkan memiliki tekad sekuat naga, yang merupakan makhluk mitologi
dengan kekuatan yang besar

11. .Penunggul

Penunggul yaitu terletak dibagian tengah dahi berbentuk seperti


potongan daun sirih yang melintang. Penunggul ini berbentuk meruncing
yang merupakan lambang dari antifik atau meru atau gunung (lambang
TRIMURTI = Shiwa, Wishnu, Brahma). Menurut agama Hindu, Trimurti
merupakan lambang yang memberikan kemakmuran dan kebahagiaan
manusia. Juga melambangkan tiga kekuatan sentral yang manunggal. Dalam
kehidupan sehari – hari manusia terjadi hubungan vertikal yaitu
menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan
juga terjadi hubungan horisontal yaitu hubungan yang terjadi antara manusia
dengan sesama. Dalam perkawinan hubungan horisontal ini dimaksudkan
hubungan antara suami dengan istrinya dan antara suami istri dengan
masyarakat sekitarnya. Tanpa hubungan – hubungan ini rumah tangga yang
telah dibangun bersama akan mengalami kepincangan. Penunggul dalam
bahasa jawa juga diartikan sebagai tunggul yang bisa diartikan sebagai yang
tertinggiatau terkemuka. Sedangkan arti lain dari penunggul adalah intan
tengah atau jari tengah, karena berdasarkan letaknya penunggul terletak
ditengah – tengah dahi pengantin diantara dua pengapit. Selanjutnya
penunggul juga diartikan sebagai wanita yang harus ditinggikan (perempuan).
Hal ini memberikan peringatan kepada pengantin pria bahwa wanita sebagai
istrinya itu harus ditinggikan dan dihormati derajatnya. Suami harus setia dan
mencintai istrinya secara total, demikian juga sebaliknya bagi wanita harus
juga mencintai dan setia pada suaminya. Selain itu penunggul juga
mengartikan suatu perubahan status pengantin wanita yang sebelumnya
adalah orang lain dalam keluarga maupun masyarakat, sekarang menjadi
bagian dari keluarga suami .Sebagai seorang istri wanita harus mampu
membawa nama baik suami, dengan berhasilnya mendidik anak – anak
mereka dikemudian hari. Maka penunggul diletakkan di dahi depan dan
pucuknya lurus dengan pucuk hidung. Penunggul merupakan suatu ornamen
yang membentuk garis lurus dari atas kebawah dan ke pucuk hidung (sebagai
titik sentral wajah). Ornamen ini identik dengan arti filosofis dan fungsinya.
Jadi wanda luruh merupakan arti yang dalam berkaitan dengan peranan
wanita dalam rumah tangga.

12. Penggapit
Penggapit merupakan bentuk paes yang berada di kiri dan kanan
penunggul. Pengapit ini berbentuk ngudup kantil yaitu bunga kantil yang
belum mekar dan dibagian ujung berbentuk sedikit runcing. Dalam pola paes
lekukan ini mengapit penunggul. Pengapit mengandung arti pendamping
kanan dan kiri. Kadang walaupun manusia menjadi manusia sempurna yaitu
baik segalanya, namun apabila terpengaruh oleh sifat buruk dari
pendampingnya sebelah kiri yaitu istrinya atau suminya maka akan tersesat
juga. Oleh karena itu pendamping kanan sebagai suami harus berperan
sebagai penyeimbang dan pemomong setia yang selalu mengingatkan melalui
suara hati agar kebaikan seseorang tetap kuat dan teguh sehingga tidak
terpengaruh.

13. Penitis
Penitis merupakan bentuk paes yang berada diatas godheg atau terletak
disebelah kiri dan kanan pengapit. Dalam pola paes lekukan ini berada paling
luar. Bentuk penitis ini seperti potongan daun sirih tetapi lebih kecil ujungnya
sedikit melengkung. Penitis merupakan simbol kearifan dan harapan agar
kedua mempelai mencapai tujuan yang tepat.

14. Godhe
Godhe merupakan bentuk paes yang memperindah cambang. Godheg
berbentuk melengkung kebelakang menyerupai ujung pisau ( mangot ) yang
mengandung arti bahwa seseorang harus mengetahui asal usulnya. Manusia
harus mengetahui darimna dia datang dan kemana dia harus pergi ( sangkan
paraning dumadi ). Ketika manusi sudah paham tentang asal usulnya dan
selalu mengasah mingising budi, maka manusia diharapkan dapat kembali ke
asal dengan sempurna dengan tidak mengutamakan keduniawian.

15. Jahitan Mata


Jahitan Mata merupakan riasan atau garis mata dari sudut mata
mengarah ke pangkal penitis. Riasan disekitar mata ini diberi garis – garis
atau jahitan mata sehingga mata terlihat lebih indah, anggun dan terbuka lebar
( mblalak tetapi tidak rongeh ). Dulu dalam membuat jahitan mata, sekitar
mata tidak diberi alas bedak sehingga terliht kulit aslinya. Sekarang seiring
berkembangnya jaman jahitan mata dibuat dari pinsil garisnya dan isinya
sebabai kulit asli diberi perona mata warna coklat. Hal ini lebih
mempermudah perias pengantin untuk membuat jahitan mata. Simbol dari
jahitan mata adalah untuk memperjelas penglihatan ( waskito paningaling
lahir .Hasilnya penglihatan ini harus dinalar dengan pikiran sehingga dapat
menjadi pegangan yang kuat selama hidup. Makna ini terkandung dalam
jahitan mata berupa dua garis menuju ke pelipis. Bila ditarik ketas garis
tersebut mengarah menuju ke otak. Dari sini dapat disimpulkan bahwa segala
sesuatu yang dilihat baik maupun buruk harus ditampung dan disaring,
kemudian dinalar dengan akal. Ini adalah lambang bahwa seorang istri dapat
melihat segala sesuatu secara cermat.
16. Kretep dan Prodo

Krete dan Prodo merupakan hiasan sebagai keindahan dan pengisi


bidang pengapit, penunggul, penitis yang latarnya warna hitam pekat. Kertep
ini biasanya berwrna kuning yang bentuknya menyerupai piring gepeng
( biasa untuk hiasan pada baju ). Kadang perias penganbtin
menggumakankertep warna putih, bahkan kadang ada yang digabung
berwarna kuning dan putih. Jika menggunakan penggabungan kertep warna
kuning dan pitih ini dinamakan silih asih. Sedang prodo adalah guntungan
seperti emas warna kuning yang tertempel di kertas. Biasanya dipergunakan
untuk pinggiran paes atau cengkorongan, sehingga paes tersebut akan lebih
terlihat gemerlap. Prodo ini juga dipergunakan untuk membuat kinjeng dan
sayapnya. Pertemuan warna yang kontras antara kertep dan prodo dengan
warna hitam akan menyebbkan terjadinya penonjolan bentuk yang akan
menarik perhatian.

17. Kinjengan

Kinjengan merupakan hiasan berbentuk belah ketupat dan kiri


kanannya ada bentuk segitiga sebagai sayap. Kinjengan ini istilahnya capung
– capungan yang berwarna keemasan yang terbuat dari prodo yang
menggambarkan capung yang merupakan binatang yang kenal diam. Capung
ini sayapnya selalu bergerak dan tak kenal lelah terbang bebas.
Menggambarkan sesuatu usaha yang gigih yang tidak kenal berhenti. Dalam
hal ini diharapkan pengantin memulai hidupnya kelak harus berusaha terus,
tak mengenal lelah dalam berusaha mencari rejeki. Kinjengan diletakkan di
dalam bentuk penunggul, pengapit, penitis dan godheg dimaksudkan bahwa
ada hubungan fungsional antara pengertian hidup dengan otak sebagai
sumber rasio. Bahwa dalam setiap usaha untuk memenuhi tuntutan hidup
hendaklah berpilak pada kenyataan atau realita yang ada. Orang Jawa biasa
mengatakan dalam menempuh hidup hendaknya jangan ngoyo atau berusaha
diluar batas kemampuan. Seseorang yang dalam hidupnya ngoyo akan
berakibat negatif yaitu cepat capai, sakit – sakitan dan menyeleweng dengan
melakukan segala cara untuk mencapai tujuan.

C. Bentuk riasan adat, busana aksesoris

1. Bentuk Riasan Adat Paes Ageng Yogyakarta


Paes adalah riasan adat tradisional Yogyakarta yang biasa diaplikasikan pada pengantin.
Tujuan utamanya adalah untuk membersihkan jiwa dan menguatkan batin agar dapat
melaksanakan tugas dengan baik dan terhindar dari petaka. Ini dipercaya dapat membuat
pengantin terlihat semakin cantik dan bercahaya.
Secara umum dikenal dua macam paes dari dua derah, Solo dan Yogyakarta.
Masingmasing memiliki ciri khas dan makna yang berbeda. Kali ini kita akan
membicarakan tentang Paes Jogja. Pada zaman dulu, busana dan tata rias Paes Ageng
Jogja hanya boleh dikenakan oleh kerabat raja. Baru pada masa Sultan HB IX yang
dengan prinsipnya “tahta untuk rakyat” maka pada tahun 1940, masyarakat umum
diijinkan memakai busana ini dalam upacara pernikahan. Sejak saat itulah riasan paes
ageng mulai banyak digunakan. Untuk pengantin wanita, paes ageng mengandung unsur
doa, panduan dan tuntunan terkait bagaimana menjadi seorang perempuan yang
semestinya.

2. Busana Pengantin Paes Ageng Yogyakarta

• Busana Pengantin Wanita Yogya Paes Ageng

Tak dapat disangkal, ketika hadir dalam balutan busana pengantin Yogya Paes Ageng,
sang pengantin wanita pun seakan menjelma bak putri kraton. Balutan kampuh dodot
melapisi kain cinde yang melilit tubuh sang dara ayu. Pada dodot kampuh, motif Sido
Mukti yang mengandung harapan untuk kebahagian pengantin, atau Sido Asih yang
bermakna saling menyayangi, dipadukan dengan motif semen yang berisi harapan untuk
tumbuh subur. Kampuh sendiri merupakan simbol kesusilaan manusia. Kampuh yang
berupa lembaran besar sederhana dililit dan dilipat menjadi satu, membalut tubuh,
mengandung makna seseorang yang belum banyak tahu menjadi serba tahu dan
sempurna. Di bagian pinggang dililitkan udet cinde atau selendang kecil bercorak cinde
yang dibuat pita dan sisanya dibiarkan menjuntai, lalu ditutup dengan pending emas.
Perpaduan kain batik prada bermakna agung dengan paes prada, serta serta perhiasan
keemasan mulai dari aksesori rambut, gelang, juga kalung, menghadirkan keagengan atau
keanggunan yang sulit terbantahkan.

• Busana Pengantin Pria Yogya Paes Ageng

Kain kampuh dodot juga dikenakan oleh pengantin pria Yogya Paes Ageng. Dengan
bertelanjang dada, celana panjang cinde dikenakan dibalik dodot kampuh yang memiliki
motif yang sama dengan pengantin wanita. Busana pengantin pria dilengkapi dengan
amparan atau sisa dari kepanjangan sudut atau kunca sebelah kiri yang menjuntai ke
bagian depan bawah, serta lumajang sisa dari kepanjangan sudut atau kunca sebelah
kanan yang menjuntai dan jatuh di bagian samping. Ketika berjalan, pengantin pria
memegang amparan dengan tangan kiri
3. Bentuk Hair Do

Rambut pengantin disanggul membentuk cawan yang ditengkurapkan sehingga


dinamakan menurut bahasa Jawa sebagai bokor mengkurep. Sanggul rambut tersebut
diisi juga dengan irisan daun pandan dan ditutup rajutan bunga melati. Perpaduan daun
pandan dan bunga melati meruapkan keharuman yang terkesan religius. Ini sekaligus
memiliki makna simbolis bahwa pengantin diharapkan dapat membawa nama harum
yang berguna untuk masyarakatnya. Di samping sanggul bokor mengkurep yang menjadi
asesoris wajib busana pengantin paes ageng masuh ada 2 model sanggul gaya Yogyakarta
lagi yaitu sanggul “ukel tekuk” dan “ukel kondhe”. Adapun sanggul ukel tekuk gaya
Yogyakarta ciri-cirinya berkebalikan dengan sanggul gaya Solo yaitu berbentuk besar ke
bawah. (Perhatikan gambar)
Sanggul bokor mengkurep dihiasi lagi dengan jebehan, yaitu 3 bunga korsase warna
merah-kuning-biru/hijau yang dirangkai menjadi satu dan dipasang di sisi kiri – kanan
gelung.
Di tengah sanggul dihias dengan bunga merah yang disebut ceplok, dan di kiri – kanan
ceplok itu disematkan masing-masing satu bros emas permata.
Pada bagian bawah agak ke arah kanan sanggul dipasang untaian melati berbentuk
sepanjang 40 cm, yang sepintas menyerupai belalai gajah sehingga dinamai dalam bahasa
Jawa sebagai gajah ngoling. Hiasan ini bermakna bahwa pemakainya menunjukkan
kesucian/kesakralan baik sebagai putri maupun kesucian niat dalam menjalani hidup
yang sakral pula.
Di bagian atas sanggul disematkan hiasan kepala yang disebut cunduk menthul, terdiri
atas 5 buah tusuk sanggul yang berbahan lentur sesuai namanya dan berbentuk bunga
seruni. Angka 5 pada jumah cunduk menthul melambangkan 5 rukun Islam. Pengenaan
cundhuk menthul mengalami transformasi dari budaya Hindu ke Islam. Pada masa
budaya Hindu cunduk menthul hanya berjumlah 3 yang melambangkan Trimurti,
kemudian awal budaya Islam masuk hanya dikenakan 1 cunduk menthul yang
melambangakan keesaan Tuhan. Jumlah cunduk menthul selalu ganjil, angka ganjil
diyakini memilik kekuatan sebagai penolak bala.

BAB III
Kesimpulan
Kebudayaan selalu berubah dan berkembang supaya mengalami keberlanjutan, dengan
mendapat mendapat pengaruh dari luar maupun dari dalam kebudayaan itu sendiri.
Berdasar rumusan masalah yang telah diungkapkan di awal, yaitu mengenai proses
perkembangan yang terjadi pada busana pengantin gaya Yogyakarta dan nilai-nilai yang
bertahan dan berubah pada busana pengantin gaya Yogyakarta, maka dari penelitian yang
telah penulis lakukan diperoleh kesimpulan. Kontinuitas yang terjadi karena adanya
keinginan dan rasa kebangaan untuk menunjukkan identitas sebagai orang Jawa pada
acara pernikahan oleh para pengantin.

Secara visual, kontinuitas tatanan pengantin adat gaya Yogyakarta terdapat pada paes
yang terdiri dari penunggul, penitis, pengapit dan godheg dengan bentuk melengkung dan
ujungnya runcing. Warna hitam pekat selalu digunakan pada paes gaya yogyakarta,
namun ada kebaruan bahan pembuatan dengan kertas yang ditempel sebagai pengganti
pidih. Cengkorongan paes yang terbuat dari kertas tidaklah seindah yang diolesi pidih
karena rawan lepas saat digunakan. Ukuran lebar dan panjang paes juga mengalami
pergeseran tidak sesuai pakem dikarenakan faktor kemampuan dan pengetahuan juru rias
maupun permintaan calon pengantin. Kain motif batik sebagai bawahan busana selalu
digunakan sebagai padanan kebaya yang mengalami banyak perubahan. Motif yang
digunakan harus memiliki makna kebaikan seperti motif semen seperti semen rama, sido
mukti, sido asih, dan sido luhur. Meskipun senantiasa memakai kain motif batik, teknik
pembuatannya sudah beragam seperti batik cap dan batik printing. Busana pengantin
gaya Yogyakarta mengalam proses perubahan dari yang semula sesuai pakem dengan
ukuran dan aturan tertentu menjadi banyak variasi dan modifikasi. Dari munculnya
busana pengantin modifikasi merupakan kelanjutan dari proses perubahan yang ada di
Keraton sendiri

Perkembangan busana pengantin terlihat jelas mengalami perubahan bentuk dan


nilai.Adapun perkembangan unsur visual busana pengantin terletak ada pada penggunaan
kebaya yang tidak lagi terbatas pada bentuk dan warnanya. Kebaya yang digunakan
cenderung lebih mewah penuh dengan payet dan mote, begitu pula pada beskap yang
digunakan pengantin pria. Bentuk kebaya mendapat pengaruh dari busana pengantin
barat dengan ekor panjang dan dipadukan dengan veil. Penggunaan asesoris dengan
ukuran, warna, dan cara pemakaian yang semakin bervariasi. Persentuhan dengan agama
Islam membentuk gaya busana busana baru dalam busana pengantin adat Yogyakarta,
dengan memadukannya dengan kerudung, sehingga walaupun bersanggul tidak
menampakkan rambut. Busana pengantin gaya Yogyakarta mengalami perkembangan
karena mengikuti kreativitas dan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Faktor sosial
budaya yang berkembang turut mempengaruhi busana pengantin adat.

Perubahan yang ada pada pada busana pengantin gaya Yogyakarta justru berdampak
positif pada keberlanjutan penerapan pernikahan adat dalam dinamika masa kini.
Perubahan dan penggayan yang ada pada busana pengantin merupakan wujud kreatifitas
sebagai upaya regenerasi budaya. Hal tersebut tidak lantas mengambil alih posisi busana
pengantin gaya Yogyakarta yang pakem, karena suatu budaya yang klasik tidak dapat
lagi ditandingi. Keberadaan modifikasi busana pengantin di bawah busana pengantin
gaya Yogyakarta klasik.

Anda mungkin juga menyukai