Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng,
Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng
adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah
putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat
sabda sakti Resi Manumanasa. Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam
lidah jawa kata Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar
berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau
sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah
pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama
Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa,
kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai
dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman
(umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah
wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya:
tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para
aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong
yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan
menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang
tanpa penghalang.
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap
kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka
berlagak bodoh.
mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber
kebenaran dan kebijakan. Para tokoh punakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh)
untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong,
mengingat lemahnya manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat
pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri.
Karakter Punakawan (selain para tokoh lainnya) dari jalur acuan Walisongo sebenarnya muncul
memeluk Islam) dan Semar / Ismaya kepada Sunan Kalijaga dalam komunikasi ghaib (yang
tidak terbatasi ruang dan waktu) sesama aulia. Dijelaskan juga bahwa selain Semar, para
punakawan yang dinyatakan sebagai anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) sebenarnya adalah
Tokoh Punakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap permulaan permainan
wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro
dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun,
setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-goro pun
menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas
sebagaimana sebuah doa: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa’arinal bathila-bathila
warzuknat tinaba, artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku
kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukillah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan
Peran semar
Secara garis besar, dalam pagelaran wayang kulit purwa, Semar mimiliki tugas yaitu
sebagai pengasuh atau pamong keturunan Pandawa. Seperti yang telah dikisahkan bahwa atas
keputusan Sang Hyang Tunggal, maka Sang Hyang Ismaya atau Semar
Dalam kesenian wayang kulit, pada awalnya menceritakan tentang dewa-dewa hal ini
dikarenakan kesenian wayang pada awal mula kemunculan ebagai bentuk kepercayaan animism,
bentuk penyembahan oleh masyarakat, kemudian pada masa agama hindu masuk, kesenian
wayang mulai digunakan sebagai media spiritual agama hindu yang ditampilkan dalam upacara-
upacara spiritual.
Cerita-cerita yang disampaikan dalam pagelaran wayang masa agama hindu ini meliputi
cerita tentang dewa-dewa yang menjadi sesembahan masyarakat, kisah yang disajikan dalam
pagelaraan wayang masa itu adalah kisah Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari india,[1]
setelah agama Islam memasuki bumi nusantara ini, kesenian wayang mulai mengalami
Pada masa Islam masuk di Bumi Nusantara, Sunan Kalijaga berusaha mempertahankan
eksistensi kesenian wayang, akan tetapi beliau juga melakukan beberapa perubahan dalam
dijadikan sesembahan oleh masyarakat sekitar, akan tetapi kemudian pada masa Islam, wayang
dijadikan sebagai media dakwah, sebagai media penyampaian nilai-nilai moral dan sebagai
media pembelajaran, meski dalam ceritanya Sunan Kalijaga masih tetap menggunakan kisah-
kisah Ramayana dan Mahabarata namun kemudian didalamnya mulai disisipi ajaran-ajaran
Agama Islam.[2]
Seperti yang dijelaskan di atas tentang asal-usul tokoh wayang Semar di atas, ini
menggambarkan bahwasanya Semar pada awalnya adalah seorang dewa, dalam kitab Tantu
Pagelaran yang ditulis abad XV diceritakan bagaimana terjadinya bumi dan langit, teja (sinar)
dan cahaya serta Manik dan Maya,[3] penjelmaan tersebut diawali dengan sebuah telur yang
akhirnya menjelma menjadi Sang Hyang Batara Guru dan Maya menjadi Sang Hyang Ismaya
menjadi tokoh utama dalam setiap lakon pasti selalu diikuti oleh pembantunya yang biasa
Istilah punakawan berasal dari kata pana yang berarti paham dan kawan yang berarti
teman.[4] Maksud dari punakawan adalah seseorang yang memahami kondisi temannya atau
orang lain.
Dalam pewayangan para punakawan tidak hanya berperan sebagai seorang abdi atau
pengikut biasa saja, akan tetapi mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan
mereka. Bahkan, seringkali mereka justru bertindak sebagai penasehat majikan mereka.
Sedangkan istilah punakawan berarti “kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi
dianggap sah apabila terdiri dari dua orang atau lebih, dan yang terbaik apabila saksi tersebut
terdiri dari orang yang bukan keluarga sendiri, seperti dalam pewayangan, punakawan bukanlah
Dalam kisah pewayangan seorang satria yang menjadi majikan keempat punakawan
tersebut dia akan selalu menang atau berhasil, akan tetapi sebaliknya, jika satria tersebut mulai
sastra yang berjudul Ghatotkacasraya karangan Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri.
Naskah tersebut menceritakan tentang bantuan Ghatotkaca terhadap sepupunya yaitu Raden
Dalam kisahnya Raden Abimanyu memiliki tiga orang punakawan yaitu bernama:
Jurudyah, Punta dan Prasanta, ketiganya dianggap sebagai punakawan pertama dalam sejarah
kesusastraan Jawa, akan tetapi dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa,
Punakawan selanjutnya yang muncul dalam karya sastra Jawa adalah Semar. Semar
muncul pertama kali dalam karya sastra yang berjudul “Sudamala” dari zaman Kerajaan
Majapahit. Kitab Sudamala merupakan karya sastra Jawa Pertengahan yang dengan tegas
menyebut nama Semar, dalaam naskah ini dikisahkan Semar menjadi abdi dari tokoh utama
yaitu Sadewa dari keluarga Pandawa, dalam kisah tersebut peran Semar lebih aktif dibandingkan
Semar adalah salah satu tokoh punakawan yang mempunyai bentuk serba tak teratur dan
kontradiktif atau berlawanan, seperti yang dijelaskan di atas, Semar mimiliki tubuh seperti laki-
laki tapi juga seperti perempuan, memiliki wajah seperti bahagia yang ditunjukan dengan
senyumnya tapi juga seperti sedih yang ditunjukan dengan matanya yang sembab, dia seorang
apabila majikanya berada dalam kesukaran, tetapi sebaliknya, tak jarang Semar melarang atau
agresif dan emosional, selain itu Semar juga berfungsi sebagai penghibur ketika majikanya
sedang dalam keadaan susah, sedih hatinya dan juga Semar bisa menjadi teman ketika majikanya
sedang kesepian, bahkan sering menjadi penyelamat atau penolong ketika majikanya dalam
bahaya.[6]
Dalam pewayangan tokoh Semar merupakan gambaran dari rakyat jelata, dalam banyak
hal Semar sering diidentifikasikan sebagai simbol rakyat Jawa,[7] identifikasi demikian muncul
Lebih subtile lagi, peranannya dalam dunia pewayangan memperlihatkan suatu makna
yang hanya menyerahkan urusan peperangan dan politiknya kepada para kesatria yang
memimpin negaranya.
Tetapi seperti juga masyarakat, Semar akan ikut campur tangan apabila penggunaan
kekuasaan disalah gunakan oleh pemimpin yang telah mereka percaya untuk mengemban
amanatnya.
Biasanya kekuasaan tersembunyi Semar secara moral terletak pada asumsi bahwa siapapun
yang ia ikuti pasti berada dalam kebenaran. Implikasi asumsi tersebut adalah bahwa hanya
pemimpin yang mau dan mampu mengemban amanat kebenaran masyarakat yang akan sukses.
Dalam pengertian ini, peran Semar dalam dunia pewayangan bisa menjelaskan mengenai
Jika kekuasaan disalah gunakan maka Semar akan berubah dengan kemuliaan penuh dari
sifat aslinya yaitu sifat kedewaanya yang tersembunyi.[8] Demikian juga ketika ketidak adilan
sosial terhadap petani terjadi, secara keras mereka sering didorong muncul dalam gerakan-
gerakan massa untuk menyatakan kekuatan sosial yang seringkali tetap tidak diketahui.