Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam
pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan
dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini
merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
Daftar isi
1 Sejarah Semar
2 Asal-Usul dan Kelahiran
3 Silsilah dan Keluarga
4 Pasangan Panakawan / Punokawan
5 Bentuk Fisik
6 Keistimewaan Semar
7 Lihat pula
8 Kepustakaan
Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya
sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[rujukan?]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah
Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[rujukan?].
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari
keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga
sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan
pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar
Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu
ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang,
tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak
daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa
dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa,
melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut
tokoh ini sebagai penjelmaan dewa[rujukan?].
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa
memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena
Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang
Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara
Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru,
dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang
Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin
kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur
yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya
untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri
sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan
kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi
kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra
sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama
Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang
bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa,
Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan
oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra
bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari
terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat
ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan
tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut
menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar.
Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar
Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan
saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati
putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang
Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu
cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang
berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya,
sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan
Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun
mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan
sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya
menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah
melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun
tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang
Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum
menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan,
bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama
Togog dan Semar.
Batara Wungkuham
Batara Surya
Batara Candra
Batara Tamburu
Batara Siwah
Batara Kuwera
Batara Yamadipati
Batara Kamajaya
Batara Mahyanti
Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa,
leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan
putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari
bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah
terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa
dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan
namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama
Kaniraras.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng.
Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja,
bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran
jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan
makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka.
Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua
dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol
pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan
bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai
abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam
perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka
dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa,
terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam
pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar
sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam
setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog
sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan
anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran
perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang
disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang
bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan
sentosa.
Siapa SEMAR..??
Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk
menyamarkan segala sesuatu.
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau
kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar,
Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku,
Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk
menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan
menguasi manusia di alam dunia.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh
eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah
seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada
dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara
Ismaya.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan
disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak
dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur
budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau
SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan
abadi. (herjaka)
Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan
manusia
Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya
kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha
Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol
keilmuan yang netral namun simpatik".
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan
jiwa.
Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya
ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta
penyayang umat".
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu,
Budha dan Islam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta
historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari
pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada
konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa
sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud
religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Sebagai orang Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya wayang kulit. Karena
wayang kulit ini sangat identik dengan kesenian dari Jawa. Pertunjukan wayang kulit biasanya
dimainkan oleh dalang dan seringkali dipentaskan semalam suntuk. Lakon yang dimainkan pun
juga bermacam-macam. Umumnya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana.
Saya pribadi tidak begitu tahu dengan lakon dan tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukan
wayang kulit. Kalaupun saya menonton wayang kulit, biasanya saat adegan “goro-goro” saja.
Itupun juga terjadi ketika saya masih kecil, saat diajak oleh ayah saya.
Bagi saya adegan “goro-goro” sangat menarik karena banyak sekali pesan moral yang
disampaikan oleh sang dalang lewat tokoh wayang yang dimainkan. Tokoh wayang yang selalu
dijadikan sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah Semar.
Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama dalam pewayangan. Tokoh ini
dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah
Mahabharata dan Ramayana. Karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu
saja kita tidak akan menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana
yang berbahasa Sansekerta.
Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan “anak-
anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan
bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng
sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil
membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa
Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi
Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir
di setiap lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun
pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.
Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit
karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar
tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara
sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar bagi saya. Serius, tapi juga santai.
Dengan cara “sersan” inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah
diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang kulit.
Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa
yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar juga
ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh
Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul
yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut
saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar dikisahkan
bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak
dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi
tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini
merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di
Karangdempel. Karang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.
Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan.
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya
membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya
mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.
Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar
berarti sang penuntun makna kehidupan.
Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi
memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan
kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol
Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak
serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.
Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning
sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa
pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan,
Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia
perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha
Pengasih serta Penyayang umat.
Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif Parangkusumorojo, yang merupakan
perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono,
yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan
simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga
tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka.
Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua
dan muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan
simbol dari atasan dan bawahan.
Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar
yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya
disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat
pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan,
penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.
Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa membuat
pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang
merugikan masyarakat.
Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana. Bisa bergaul dengan
siapa saja, baik dengan kalangan atas maupun kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap
perubahan jaman. Akan tetapi jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang,
maka Semar akan dengan tegas melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa
dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari
Sang Maha Kuasa.
Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-
hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun
sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg)
lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya
sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang
sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun hasilnya hanya
cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.
Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi
mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi
gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah,
mengawal kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila
para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara
rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan
menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Sekarang coba kita perhatikan para pejabat di negara kita. Apakah mereka sudah benar-benar
mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan segalanya demi kebenaran?
Ah, sepertinya koq masih jauh dari angan-angan ya. Mungkin para pejabat di negara kita ini
perlu kali ya belajar dari sosok Semar. Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku
Semar tadi pasti akan diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika
semua pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi negara yang
makmur, gemah ripah loh jinawi. Semoga….
Nilai Filosofi Semar yang Patut Di contoh
Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali
ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala.
Selain dalam bentuk kakimpoi, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam
Candi Sukuh yang berangka tahun 1439
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu
Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai
pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan
suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau
Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-
kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat
kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai
ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar
masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak
daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para
pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan
sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari
Batara Guru, raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran
* Batara Wungkuham
* Batara Surya
* Batara Candra
* Batara Tamburu
* Batara Siwah
* Batara Kuwera
* Batara Yamadipati
* Batara Kamajaya
* Batara Mahyanti
* Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi
Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor
harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga
berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras.
Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari
kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa
dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri
Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan
Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol
penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi,
tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol
suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti
anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki
payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan
dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Sumber :
http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000008032933/sejarah-silsilah-dan-
nilai-filosofi-tokoh-semar-yang-patut-dicontoh/
FILOSOFI SEMAR
Posted by Mas Kumitir on July 15, 2008
Posted in: FILOSOFI SEMAR. Tagged: Ajaran, Alang, Alang-alang, Alang-alang Kumitir,
Alangalangkumitir, Asmaradana, Babad, Balabak, Budaya Jawa, Budi, Dhandhanggula, Durma,
Falsafah, Filosopi, Gaib, Gambuh, Girisa., Hahekat, Javanese Culture, Javanese Manuscripts,
Jurudemung, Kautaman, Kawruh, Kejawen, Kekawin, Kidung, Kinanthi, Kitab, Kumitir,
Layang., Luhur, Macapat, Makrifat, Mantra, Maskumambang, Megatruh, Mijil, Mistik, Mitologi,
Naskah Kuno, Ngelmu, Pangkur, Pekerti, Pemut, Pitutur, Piwulang, Pranata, Prasasti, Primbon,
Pucong, Ramalan., Rasa, Renungan, Sastra, Sastra Jawa, Sejarah, Sejati, Serat, Sinom, Suluk,
Tafsir, Wahyu, Wedaran, Wirangrong, Wirid.
7 Votes
Semar adalah salah satu karakter 'pamomong' (panutan) yang menjadi bagian
penting dalam sebuah pertunjukan wayang. Tokoh sepuh (tua) ini, dalam gebyar pentas wayang
bukan hanya sekedar muncul sebagai bapak atawa sesepuh dari punakawan yang terdiri dari
Gareng, Petruk,dan Bagong.
Semar dengan bentuk muka dan badannya yang spesifik, memiliki makna lebih
dalam lagi, sebagaimana filosofi "Semar Bodronoyo" yang berarti mengemban sifat membangun
dan melaksanakan perintah Allah SWT demi kesejahteraan manusia di muka bumi.
Semua unsur yang ikut membangun karakter seorang semar, baik itu mimik, suara, perilaku
maupun busananya, mencerminkan sosoknya yang menjadi perlambang kehidupan, yang begitu
sarat dengan nilai-nilai luhur.
Misalkan kuncung pada kepala Semar, bukanlah kuncung biasa. Kuncung ini melambangkan
pribadi yang melayani para bendoro (majikan), yakni Pandawa Lima yang terdiri dari Puntodewo
(Yudistiro),Werkudoro (Bimo), Janoko (Permadi), Nakulo dan Sadewo.
Masih soal kuncung, Semar adalah Sang Hyang Ismoyo yang turun ke dunia seperti manusia
kebanyakan yang mempunyai ciri khas berkuncung seperti anak-anak namun berwajah tua, dan
kalau tertawa selalu berakhir dengan nada tangis. Matanya berkaca-kaca namun mulutnya
tertawa, dengan profilnya yang berdiri tapi juga jongkok, menandakan Semar tidak pernah
menyuruh, namun memberikan konsekwensi atas semua nasehat-nasehatnya.
Begitu juga Kelima tokoh pandhawa tadi, mewakili lima sifat dasar manusia yang hidup di alam
dunia. Pandhawa harus lima. Kalau hilang satu tokoh saja bukan Pandhawa namanya. Istilahnya,
kalau siji mukti limo mukti, siji mati limo mati, jadi tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lain dan harus selalu saling melengkapi. Pandawa tidak boleh mati.Sebab, bila ada salah satu
tokoh Pandawa yang mati, artinya Semar sudah tidak bisa mengemban tugasnya sebagai dewa di
muka bumi dengan benar.Tidak ada gunanya lagi dia berada di bumi, lebih baik kembali lagi ke
khayangan .. yang berarti pula bahwa dunia manusia sudah tidak ada lagi alias telah tamat
riwayatnya.
Di sisi lain, Semar juga merupakan lambang dari penjaga kedamaian dan keadilan kehidupan
manusia di dunia.Domisilinya di Karang Kadempel, Karang berarti gersang dan Dempel yang
berarti keteguhan hati dan jiwa menggambarkan betapa Semar memang sarat dengan nilai-nilai
luhur yang seharusnya menjadi karakter manusia pada umumnya juga.
Pun juga kain yang dipakainya, adalah kain Parangkusumorodjo atau sama dengan
memayuhayuning bawono yang berarti perlambang keadilan dan kebenaran di muka bumi. **
**Penulis adalahHARYANTO, pelaku dan pelestari seni tradisi (Dhalang Wayang Kulit kontemporer), Dhalang BONEX Ki Gendheng
Haryanto.