Anda di halaman 1dari 24

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan

Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam
pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan
dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini
merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Daftar isi
 1 Sejarah Semar
 2 Asal-Usul dan Kelahiran
 3 Silsilah dan Keluarga
 4 Pasangan Panakawan / Punokawan
 5 Bentuk Fisik
 6 Keistimewaan Semar
 7 Lihat pula
 8 Kepustakaan

Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya
sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[rujukan?]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah
Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[rujukan?].

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari
keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga
sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan
pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar
Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu
ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang,
tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak
daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa
dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa,
melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran


Lukisan Semar gaya Surakarta.

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut
tokoh ini sebagai penjelmaan dewa[rujukan?].

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa
memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena
Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang
Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara
Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru,
dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang
Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin
kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur
yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya
untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri
sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan
kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi
kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra
sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama
Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang
bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa,
Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan
oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra
bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari
terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat
ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan
tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut
menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar.
Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar
Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan
saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati
putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang
Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu
cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang
berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya,
sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan
Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun
mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan
sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya
menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah
melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun
tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang
Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum
menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan,
bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama
Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga


Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan
dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak,
yaitu:

 Batara Wungkuham
 Batara Surya
 Batara Candra
 Batara Tamburu
 Batara Siwah
 Batara Kuwera
 Batara Yamadipati
 Batara Kamajaya
 Batara Mahyanti
 Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa,
leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan
putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari
bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah
terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa
dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan
namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama
Kaniraras.

Pasangan Panakawan / Punokawan


Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng,
Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng
adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah
putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat
sabda sakti Resi Manumanasa.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng.
Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja,
bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran
jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan
makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka.
Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua
dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol
pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan
bawahan.

Keistimewaan Semar

Keris pengantin dengan pegangan Semar

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai
abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam
perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka
dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa,
terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam
pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar
sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam
setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog
sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan
anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran
perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang
disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang
bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan
sentosa.
Siapa SEMAR..??

Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk
menyamarkan segala sesuatu.

Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.


Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya),
sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar,
atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia


diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:

1. tidak pernah lapar


2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau
kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar,
Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku,
Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk
menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan
menguasi manusia di alam dunia.

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri


dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh
anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah,
Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara
Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak
sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan
mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi
nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan
Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di
Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika


Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan
ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang
Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua
bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi
Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi
Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi
sebutan Janggan Semarsanta.

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada


Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin
dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai
kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan
dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria
yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang
menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh
Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta
merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya,
hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan
abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang
kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai
enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata
dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh
eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah
seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada
dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara
Ismaya.

Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia,


maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis
(tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang
disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.

Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran


sesuatau yang tidak jelas tersamar.

Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak


ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara
Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama
Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan
semata-mata perbuatan Semarasanta.

Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan


bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut
keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang
digambarkan pada seorang tokoh Semar.

SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan
disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak
dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur
budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau
SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan
abadi. (herjaka)

1 Suro, Kamis Pahing 10 Januari 2008.


Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul

Artinya : Mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan
manusia

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar


Harafiah : Sang Penuntun Makna Kehidupan

Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya
kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha
Tunggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol
keilmuan yang netral namun simpatik".

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan
jiwa.

Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan :


akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah
melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.

Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya
ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta
penyayang umat".

Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar


memayuhayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri sosok semar adalah

- Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua


- Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
- Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
- Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu,
Budha dan Islam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta
historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari
pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada
konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa
sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud
religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati.

Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :


Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya
"merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan
keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang
sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna
durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat
mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan
hidup".
Filosofi Semar yang Mengagumkan
OPINI | 08 August 2011 | 03:56 Dibaca: 13249 Komentar: 118 6 inspiratif

Sebagai orang Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya wayang kulit. Karena
wayang kulit ini sangat identik dengan kesenian dari Jawa. Pertunjukan wayang kulit biasanya
dimainkan oleh dalang dan seringkali dipentaskan semalam suntuk. Lakon yang dimainkan pun
juga bermacam-macam. Umumnya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana.

Saya pribadi tidak begitu tahu dengan lakon dan tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukan
wayang kulit. Kalaupun saya menonton wayang kulit, biasanya saat adegan “goro-goro” saja.
Itupun juga terjadi ketika saya masih kecil, saat diajak oleh ayah saya.

gambar dari google.com

Bagi saya adegan “goro-goro” sangat menarik karena banyak sekali pesan moral yang
disampaikan oleh sang dalang lewat tokoh wayang yang dimainkan. Tokoh wayang yang selalu
dijadikan sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah Semar.

Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama dalam pewayangan. Tokoh ini
dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah
Mahabharata dan Ramayana. Karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu
saja kita tidak akan menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana
yang berbahasa Sansekerta.

Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan “anak-
anak” dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan
bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng
sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil
membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa
Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi
Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir
di setiap lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun
pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada.

Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit
karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar
tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara
sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar bagi saya. Serius, tapi juga santai.
Dengan cara “sersan” inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah
diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang kulit.

Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa
yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar juga
ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh
Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul
yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut
saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar dikisahkan
bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak
dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi
tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini
merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di
Karangdempel. Karang berarti gersang. Sedangkan dempel berarti keteguhan jiwa.

Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan.
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan Badranaya. Berasal dari kata bebadra yang artinya
membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka yang berarti utusan. Maksudnya
mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.
Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar
berarti sang penuntun makna kehidupan.

Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi
memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan
kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol
Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak
serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.

Semar berambut “kuncung” seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa akuning
sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa
pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan,
Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia
perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha
Pengasih serta Penyayang umat.
Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif Parangkusumorojo, yang merupakan
perwujudan Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar memayuhayuning bawono,
yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan
simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga
tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka.
Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua
dan muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan
simbol dari atasan dan bawahan.

Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar
yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya
disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat
pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan,
penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.

Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa membuat
pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang
merugikan masyarakat.

Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana. Bisa bergaul dengan
siapa saja, baik dengan kalangan atas maupun kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap
perubahan jaman. Akan tetapi jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang,
maka Semar akan dengan tegas melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa
dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari
Sang Maha Kuasa.

Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-
hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun
sedikit, abadi. Maksudnya dari ucapan Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg)
lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya
sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang
sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun hasilnya hanya
cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.

Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi
mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedih menjadi
gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah,
mengawal kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.

Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila
para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara
rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan
menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Sekarang coba kita perhatikan para pejabat di negara kita. Apakah mereka sudah benar-benar
mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan segalanya demi kebenaran?
Ah, sepertinya koq masih jauh dari angan-angan ya. Mungkin para pejabat di negara kita ini
perlu kali ya belajar dari sosok Semar. Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku
Semar tadi pasti akan diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika
semua pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi negara yang
makmur, gemah ripah loh jinawi. Semoga….
Nilai Filosofi Semar yang Patut Di contoh

Sejarah Semar

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali
ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala.
Selain dalam bentuk kakimpoi, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam
Candi Sukuh yang berangka tahun 1439
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu
Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai
pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan
suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau
Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-
kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat
kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai
ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar
masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak
daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para
pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan
sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari
Batara Guru, raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun


semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama
Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan
Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta
kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang
kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang
Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru,
dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari
Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti,
seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkimpoian itu
lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang
pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam,
dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga
membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun
diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara
itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau
tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama
Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta,
atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama
Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan
istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok
yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini,
Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat
orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara
Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan
kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik
dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah
mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi
buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi
Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang
kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan
karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada
dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan
Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkimpoian itu lahir
sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal
membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih,
dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang
berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi
nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin
menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan
menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan
namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar.
Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit
demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun
berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya
sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui
ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi
pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja
kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia.
Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan


sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari
perkimpoian itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:

* Batara Wungkuham
* Batara Surya
* Batara Candra
* Batara Tamburu
* Batara Siwah
* Batara Kuwera
* Batara Yamadipati
* Batara Kamajaya
* Batara Mahyanti
* Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi
Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor
harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga
berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras.
Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari
kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa
dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri
Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan
Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan Panakawan / Punokawan

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya,


yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak
kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan
dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa.
Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi
Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan
Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya
didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang
anak bernama Besut.

Bentuk Fisik

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol
penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi,
tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol
suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti
anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki
payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan
dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun


statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna
dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya,
penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan,
jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi
Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah
Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana,
para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama
ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan
wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria,
sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh
Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya
merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil
sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan
sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang
bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang
unggul dan sentosa.

Sumber :

http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000008032933/sejarah-silsilah-dan-
nilai-filosofi-tokoh-semar-yang-patut-dicontoh/
FILOSOFI SEMAR
Posted by Mas Kumitir on July 15, 2008
Posted in: FILOSOFI SEMAR. Tagged: Ajaran, Alang, Alang-alang, Alang-alang Kumitir,
Alangalangkumitir, Asmaradana, Babad, Balabak, Budaya Jawa, Budi, Dhandhanggula, Durma,
Falsafah, Filosopi, Gaib, Gambuh, Girisa., Hahekat, Javanese Culture, Javanese Manuscripts,
Jurudemung, Kautaman, Kawruh, Kejawen, Kekawin, Kidung, Kinanthi, Kitab, Kumitir,
Layang., Luhur, Macapat, Makrifat, Mantra, Maskumambang, Megatruh, Mijil, Mistik, Mitologi,
Naskah Kuno, Ngelmu, Pangkur, Pekerti, Pemut, Pitutur, Piwulang, Pranata, Prasasti, Primbon,
Pucong, Ramalan., Rasa, Renungan, Sastra, Sastra Jawa, Sejarah, Sejati, Serat, Sinom, Suluk,
Tafsir, Wahyu, Wedaran, Wirangrong, Wirid.

7 Votes

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya


Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan
manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang
Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya
kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha
Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan
yang netral namun simpatik”.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan
jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan :
akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah
amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak
manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha
pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar
memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan
Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis,
tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan
expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini
tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan
ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud
religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat
Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya
jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam
menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa
(ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji
budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi
suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah
punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh
gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang
menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam
Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 :
188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah
seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi
manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak
terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 )
Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia
merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir
dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe
” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia
( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari
sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya,
sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau
bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang
samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat
Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto
( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh
dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ”
yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa
eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA
yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan
Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi
Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri
“. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat
Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan
serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk
pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar
lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut
Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 –
Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan
lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh
sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-
Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara
Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah
keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra
dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara
Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning
dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Filosofi Semar
Ditulis oleh KidalangBonex Haryanto Ogut
Senin, 26 Oktober 2009 05:44
inShare

Semar adalah salah satu karakter 'pamomong' (panutan) yang menjadi bagian
penting dalam sebuah pertunjukan wayang. Tokoh sepuh (tua) ini, dalam gebyar pentas wayang
bukan hanya sekedar muncul sebagai bapak atawa sesepuh dari punakawan yang terdiri dari
Gareng, Petruk,dan Bagong.

Semar dengan bentuk muka dan badannya yang spesifik, memiliki makna lebih
dalam lagi, sebagaimana filosofi "Semar Bodronoyo" yang berarti mengemban sifat membangun
dan melaksanakan perintah Allah SWT demi kesejahteraan manusia di muka bumi.

Semua unsur yang ikut membangun karakter seorang semar, baik itu mimik, suara, perilaku
maupun busananya, mencerminkan sosoknya yang menjadi perlambang kehidupan, yang begitu
sarat dengan nilai-nilai luhur.

Misalkan kuncung pada kepala Semar, bukanlah kuncung biasa. Kuncung ini melambangkan
pribadi yang melayani para bendoro (majikan), yakni Pandawa Lima yang terdiri dari Puntodewo
(Yudistiro),Werkudoro (Bimo), Janoko (Permadi), Nakulo dan Sadewo.

Masih soal kuncung, Semar adalah Sang Hyang Ismoyo yang turun ke dunia seperti manusia
kebanyakan yang mempunyai ciri khas berkuncung seperti anak-anak namun berwajah tua, dan
kalau tertawa selalu berakhir dengan nada tangis. Matanya berkaca-kaca namun mulutnya
tertawa, dengan profilnya yang berdiri tapi juga jongkok, menandakan Semar tidak pernah
menyuruh, namun memberikan konsekwensi atas semua nasehat-nasehatnya.
Begitu juga Kelima tokoh pandhawa tadi, mewakili lima sifat dasar manusia yang hidup di alam
dunia. Pandhawa harus lima. Kalau hilang satu tokoh saja bukan Pandhawa namanya. Istilahnya,
kalau siji mukti limo mukti, siji mati limo mati, jadi tidak terpisahkan antara satu dengan yang
lain dan harus selalu saling melengkapi. Pandawa tidak boleh mati.Sebab, bila ada salah satu
tokoh Pandawa yang mati, artinya Semar sudah tidak bisa mengemban tugasnya sebagai dewa di
muka bumi dengan benar.Tidak ada gunanya lagi dia berada di bumi, lebih baik kembali lagi ke
khayangan .. yang berarti pula bahwa dunia manusia sudah tidak ada lagi alias telah tamat
riwayatnya.

Di sisi lain, Semar juga merupakan lambang dari penjaga kedamaian dan keadilan kehidupan
manusia di dunia.Domisilinya di Karang Kadempel, Karang berarti gersang dan Dempel yang
berarti keteguhan hati dan jiwa menggambarkan betapa Semar memang sarat dengan nilai-nilai
luhur yang seharusnya menjadi karakter manusia pada umumnya juga.

Pun juga kain yang dipakainya, adalah kain Parangkusumorodjo atau sama dengan
memayuhayuning bawono yang berarti perlambang keadilan dan kebenaran di muka bumi. **

**Penulis adalahHARYANTO, pelaku dan pelestari seni tradisi (Dhalang Wayang Kulit kontemporer), Dhalang BONEX Ki Gendheng
Haryanto.

Anda mungkin juga menyukai