Anda di halaman 1dari 25

Refleksi Pandangan Hidup Jawa Tokoh Sumarni dan Rahayu

dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari


A.

PENDAHULUAN

Lahirnya suatu karya sastra tidak bisa lepas dari keadaan lingkungan sosial
pengarangnya. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati,
dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan sendiri adalah
anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu (Damono, 1984:
01). Menurut Ratna (2004: 336) di antara genre karya sastra yaitu prosa, puisi,
dan drama, genre prosalah khususnya novel yang dianggap paling dominan
dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Karena novel menampilkan unsur
cerita paling lengkap.
Skema utama dalam menghadirkan karya sastra bertema sosial terletak pada
kehadiran tokoh. Tokoh menjadi landasan awal dalam membentuk serta
mengurai sebuah gagasan. Wellek mengartikan penokohan adalah sejenis cara
memberi kepribadian menghidupkan tokoh. Menghidupkan penokohan erat
hubungannya dengan karakter. Melalui sebuah tokoh dan penokohan
digambarkan sebuah karakter tertentu. Tokoh cerita mengandung perwatakan
tertentu, yang diberi bentuk dan isi pengarang (dalam Terj. Budianta Melani,
1990: 287).

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai


pesan, amanat, tindakan, perilaku, akal budi, moral, atau sesuatu yang sifatnya
implisit. Budaya dalam kaitannya dengan akal dan budi manusia, akan
memunculkan berbagai acuan tindakan yang digunakan sebagai pedoman
bertingkah laku yang berisi pandangan dan sikap hidup tokoh. Nilai budaya
suatu masyarakat begitu dominan tersaji dalam novel Entrok karya Okky
Madasari yang lahir dan besar dalam lingkungan Jawa (Magetan) yang pada
akhirnya memberi pengaruh yang besar dalam karyanya.

Adapun pandangan dan sikap hidup Jawa sangat dominan dalam Entrok Dari
novel tersebut peneliti menemukan kekhasan dan keterikatan terhadap sikap

dan pandangan hidup tokoh Sumarni dan Rahayu sebagai wanita Jawa.
Perbedaan pandangan hidup Jawa antara Sumarni dan Rahayu tentang laku
hidup Jawa menimbulkan konflik di antara mereka.

B. TOKOH DAN PENOKOHAN SUMARNI DAN RAHAYU

Novel Entrok karya Okky Madasari terdiri atas delapan bab, yaitu Setelah
Kematian, Entrok (19501960), Tuyul-Tuyul Ibuku (19701982),
Dewandaru (19821983), Kentut Kali Manggis (19841985), Kembang
Setalon (19851989), Kedung Merah (1987), dan Raga Hampa (1990
1994). Kedelapan bab tersebut dihadirkan dengan model penceritaan sorot
balik atau flashback.

Penamaan sorot balik atau flashback didasarkan pada bab pertama, Setelah
Kematian yang menjadi bab permulaan sekaligus sebagai cerita yang
menggambarkan keadaan atau kenyataan saat ini. Sedangkan bab kedua
sampai dengan bab terakhir merupakan kenangan-kenangan dari tokoh
Sumarni dan Rahayu mulai dari kehidupan awal sampai saat ini lewat
penceritaan Sumarni dan Rahayu secara bergantian dengan proporsi yang
hampir seimbang.

Entrok adalah padanan dari BH atau kutang. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia definisi kutang adalah pakaian dalam wanita untuk menutupi
payudara. Adapun tema yang diusung dalam novel Entrok adalah tentang dua
tokoh wanita Jawa yang memiliki perbedaan pandangan hidup berkaitan
dengan nilai-nilai kejawaan dan religi. Adanya perbedaan pandangan hidup
tersebut disebabkan adanya proses interaksi dengan tokoh-tokoh lain.
Tokoh adalah bagian dari unsur yang terbentuk di dalam struktur teks. Unsurunsur tersebut menjadi pendukung atau bisa mendominan. Tokoh merupakan
replika pengarang atas realitas, dimana tokoh dihadirkan dalam suatu karya
dibekali dengan muatan moral dan diekspresikan dalam ucapan serta tindakan
yang dilakukan (Nurgiyantoro, 2005: 176).

Unsur tokoh dalam novel Entrok menjadikan stigma dalam keutuhan teks.
Kehadiran tokoh-tokoh di dalam teks mampu membentuk kompleksitas ruang
tersendiri. Komposisi karakter pada setiap tokoh mempresentasikan nilai yang
beragam, hal itu mengacu setiap peranan tokoh menciptakan ruang gerak
kehadirannya.

Karakteristik yang dikonstruksi dalam tokoh tidak semua mengandung ide atau
gagasan, karena dari keseluruhan tokoh terdapat beberapa tokoh yang hanya
memiliki kapasitas pendukung terbentuknya pandangan hidup tokoh Sumarni
dan Rahayu, baik dari keyakinan atau tindakan yang berpengaruh dalam cerita.
Namun kehadiran tokoh-tokoh pendukung dalam terbentuknya pandangan
hidup tersebut berhasil menyita sudut pandang peneliti.

Tokoh Sumarni dan Rahayu dikonotasikan sebagai penggerak alur utama dalam
teks. Pengarang memberikan kapasitas ruang lebih sehingga tokoh ini mampu
mengeksplorasi peranannya secara maksimal. Tokoh Sumarni dan Rahayu
memiliki kapabilitas dalam menghadapi lingkungan sosialnya dengan kreasi
sehingga mempermudah langkah dalam mengambil posisi di tengah-tengah
lingkungannya.

Sebagai penggerak alur cerita, tokoh Sumarni dan Rahayu dihadirkan dalam
kapasitas yang dominan. Dari delapan bab, tokoh Sumarni dan Rahayu secara
bergantian berperan sebagai penggerak alur cerita dalam proporsi yang
hampir seimbang. Adapun penentuan tokoh utama dalam teks tidak hanya
dilihat dari intensitas kemunculan tokoh, tetapi juga didasarkan pada seringnya
mereka terlibat dengan tokoh-tokoh lain. Konflik yang muncul juga menjadi
acuan dalam menentukan pentingnya peran tokoh dalam cerita. Konflik
antartokoh utama terjadi karena keteguhan mereka dalam memegang
pandangan atau keyakinan hidup. Adanya perbedaan cara pandang tentang
hidup tersebut timbul setelah adanya interaksi tokoh utama dengan tokoh
pendukung lain, yaitu Simbok, Suteja, Tinah, Koh Cayadi, Pak Waji, Amri Hasan,
dan Nyai Dimah.

Tokoh Sumarni dihadirkan sebagai wanita Jawa, buta huruf, masih memegang
keyakinan terhadap kekuatan ruh leluhur, dewa-dewa, dan benda-benda
tertentu. Ia hidup di lingkungan keluarga Jawa yang tidak memiliki latar
belakang pendidikan formal sehingga pelajaran yang ia peroleh hanya dari
tokoh Simbok ibunya. Sumarni dengan teguh memegang ajaran ibunya tentang
nilai kejawen, seperti membuat sajen, panggang, atau tumpeng pada hari
kelahiran, kematian, hari baik, atau pada waktu-waktu tertentu.

Upaya batin berupa selametan dipandang sebagai ritual yang harus dilakukan
agar selalu diberi kemudahan oleh Tuhan dalam menjalani hidup. Meskipun
tokoh Sumarni digambarkan sebagai perempuan dengan budaya kuno, di sisi
lain dia memiliki pandangan modern tentang pendidikan untuk anaknya,
Rahayu. Kondisi ekonomi pas-pasan tidak membuat dia menyerah untuk
memberikan pendidikan kepada anaknya dan terbukti dia bisa menyekolahkan
anaknya hingga universitas.

Sumarni memiliki harapan besar agar anaknya kelak bisa memperbaiki


kehormatan keluarga serta bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan
berpenghasilan tinggi. Meskipun memiliki ambisi yang besar, dalam bekerja
Sumarni tetap patuh pada nilai-nilai tradisi agar usahanya lancar, termasuk
patuh pada sikap megalah dan cenderung menghindari konflik, seperti ketika
dia terlibat perselisihan dengan anaknya atau dengan pejabat pemerintah.

Lain hanya dengan Sumarni, tokoh Rahayu dihadirkan sebagai wanita Jawa
modern dengan pikiran maju. Pendidikan yang diperolahnya membuat Rahayu
meninggalkan tradisi yang diajarkan ibunya saat masih kecil yang dianggap
kuno dan tidak rasional. Agama Islam yang diterima Rahayu di sekolah
mengajarkan tentang bagaimana cara berdoa kepada Tuhan secara baik dan
benar. Pendidikan pada akhirnya membuat pandangan Rahayu dan ibunya
menjadi sangat berbeda tentang konsep Tuhan dan ritual-ritual yang berbau
mistik, serta pandangan tentang posisi wanita dalam pernikahan. Selain
menjadi penentang keyakinan ibunya, dia juga menjadi penentang bagi pejabat

pemerintah yang berlaku sewenang-wenang. Sikapnya sebagai pemberontak


sangat bertentangan.

Perbedaan pandangan hidup yang mencolok antara Sumarni dan Rahayu


dikarenakan adanya interaksi dengan tokoh lain yang secara tidak langsung
sangat berpengaruh pada keduanya, di antaranta Simbok, Tinah, Suteja, Koh
Cayadi, Pak Waji, Amri Hasan, dan Nyai Dimah. Simbok, adalah ibu dari
Sumarni, seorang wanita Jawa tradisional, buta huruf, dan masih percaya pada
kekuatan ruh leluhur. Dalam bahasa Jawa, kata Simbok merupakan sebutan
untuk ibu dan memiliki tingkatan yang lebih rendah (miskin). Simbok
merupakan cerminan wanita Jawa yang memiliki sifat pasrah pada
nasib. Tinah, dihadirkan sebagai wanita Jawa yang membawa kebaruan dalam
sikap berpakaian wanita Jawa. Saat orang-orang tua dan anak-anak gadis
masih memakai kemben, Tinah yang masih muda menghadirkan kemoderenan
lewatentrok. Kondisi ekonomi Tinah yang baik membuat dia bisa
memili entrok.Suteja, seorang buruh angkut di pasar dan dihadirkan sebagai
cerminan laki-laki Jawa saat itu yang kebanyakan bertelanjang dada saat
bekerja. Dia memiliki karakter pasrah, pengekor tanpa inisiatif, peselingkuh,
dan gemar mabuk. Dia kemudian bertemu dengan Sumarni dan menikahinya
dan dari pernikahan itu lahirlah Rahayu. Nyai Dimah, dihadirkan sebagai
sosok wanita Jawa yang sukses dalam berdagang dan memiliki inisiatif untuk
mengambil kesempatan yang ada demi kemajuan usahanya. Koh
Cayadi, seorang Tionghoa dengan karakter pekerja keras dan masih percaya
kepada kekuatan ruh leluhur. Sejak kecil dia diajari untuk sembahyang di depan
abu leluhurnya serta menziarahi makam untuk meminta berkat. Pak
Waji, guru agama di SD tempat Rahayu bersekolah. Dia termasuk golongan
priyayi, hidup mapan, dan terhormat. Pak Waji bisa dibilang sebagai orang
pertama yang membuka pandangan Rahayu tentang kebiasaan ibunya yang
masih menyembah leluhur. Amri Hasan,dihadirkan sebagai dosen sebuah
universitas yang pintar, teguh memegang keyakinan, pembela kaum lemah,

dan penuh kreasi. Amri Hasan inilah nantinya yang akan menjadi suami Rahayu
yang memberikan banyak pengaruh tentang pandangan hidup.

B.1 Sumarni, Rahayu, dan Hubungan dengan Lingkungan Sosialnya

Penggunaan nama Sumarni dan Rahayu serta tokoh-tokoh pendukung lain yang
dipaparkan di atas (Simbok, Tinah, Teja, Pak Waji, Nyai Dimah) merupakan
nama-nama orang desa yang bisa dibilang masih tradisional, ndeso, atau
juga tidak modern. Pengambilan latar pedesaan di daerah Singget (Magetan)
dalam teks menjadi indikasi kuat munculnya nama-nama di atas.

Sebagaimana kehidupan di desa pada umumnya, tokoh Sumarni dan Rahayu


hidup di lingkungan yang bisa dikatakan serba terbuka, dalam artian setiap
permasalahan satu keluarga bisa saja diketahui oleh orang lain. Kebiasaan
orang Jawa yang gemar rasan-rasan atau ngrasani (membicarakan atau
mempergunjingkan) membuat setiap orang selalu ingin tahu urusan orang lain.
Edi Priyanto (dalam Ana Catur Mungkur, 2009) mengatakan
bahwa ngrasanibisa juga disebut dengan ana catur mungkur, arti lugasnya
adalah ada pembicaraan membelakangi. Secara kiasan ungkapan itu
dimaksudkan untuk menggambarkan pembicaraan yang menyangkut
keburukan atau kelemahan orang lain. Catur artinya ngrasani eleking
liyan (membicarakan keburukan orang lain) dengan maksud menjatuhkan atau
menghina orang tersebut.

Lingkungan mereka tinggal juga masih mengenal penggolongan strata sosial,


seperti wong gedhe dan wong cilik. Wong gedhe dalam hal ini bisa diartikan
sebagai orang yang memiliki jabatan, atau priyayi, yang diwakili oleh tokoh Pak
Waji dan tokoh Amri Hasan. Sedangkan wong cilik bisa diartikan sebagai orang
miskin atau rakyat biasa yang diwakili oleh tokoh Simbok, Sumarni, Rahayu,
Tinah, Suteja, dan Nyai Dimah. Selain tokoh-tokoh Jawa, dihadirkan pula satu
tokoh Tionghoa bernama Koh Cayadi yang menjadi tokoh minoritas.

Pengklasifikasian nama-nama tokoh berdasarkan pada latar sosial budayanya


didasarkan pada teks, yaitu adanya akulturasi budaya Jawa, budaya Islam, dan
budaya Tionghoa. Ketiga budaya tersebut saling mengisi pada tingkah laku
masing-masing tokoh. Namun di antara ketiga budaya tersebut lebih dominan
bergerak pada wilayah budaya Jawa-Islam. Sedangkan budaya Tionghoa
sebagai budaya minoritas, dihadirkan pada proporsi yang minim. Meskipun
begitu, nafas budaya tersebut masih bisa dirasakan keberadaannya bersama
dengan dua budaya yang lain.

Indikasi adanya percampuran budaya-budaya tersebut (akulturasi budaya)


ditandai dengan adanya penggunaan istilah Gusti untuk menyebut Tuhan
dalam budaya Jawa-Islam.
Anakku Rahayu sekarang sudah lulus SMA. Matur nuwun, Gusti, aku yang buta
huruf ini punya anak yang sekolahnya tinggi. Sama tingginya dengan anak Pak
Lurah atau anak priyayi-priyayi guru itu. anakku, yang orangtuanya buta huruf
semua, malah lebih pintar dibanding anak-anak orang-orang pintar itu. ini
semua karena berkatmu, Gusti, Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
(Okky,2010: 123)
Penggunaan islitah Gusti dan juga Mbah Ibu Bumi bapa Kuasa merupakan
penanda spiritualitas tokoh Sumarni sebagai orang Islam (yang) Jawa. Istilah
Gusti digunakan untuk menyebut Tuhan, Sang Pencipta sedangkan Mbah Ibu
Bumi Bapa Kuasa digunakan untuk menyebut ruh nenek moyang yang
dipercaya bersifat aktif dan bisa memberikan rezeki dan keselamatan. Simuh
(2003: 41 42) membedakan dua jenis pandangan tentang ruh, yaitu ajaran
ruh aktif dan ruh pasif. Prinsip ruh aktif menurut keyakinan animisme adalah
bahwa ruh orang yang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti
dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan manusia. Apa yang
dikemukakan Simuh kemudian dipertegas oleh Ridwan (dalam Mistisisme
Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, 2008), bahwa dalam masyarakat Jawa
pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan

penyembahan ruh nenek moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya


melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya.

Selanjutnya terdapat pula akulturasi budaya Jawa-Hindu-Islam yang tercermin


dari ritual selametan yang dilakukan oleh tokoh Sumarni.

Ibu juga rajin selametan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia
menyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil,
menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih.
Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa
yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang
lainnya membaca, Amin Amin!
(Okky, 2010: 56)
Percampuran budaya Jawa-Hindu-Islam sangat kentara dalam tradisi
selametan. Selametan bertujuan untuk mengharap keselamatan bagi yang
masih hidup atau untuk seseorang yang sudah meninggal. Adanya akulturasi
budaya Islam dalam selametan itu adalah adanya bacaan atau doa yang
dilakukan secara Islam. Keyakinan dari perpaduan ketiga budaya itulah yang
kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan Agama
Jawiatau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep HindhuBudha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui
sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1994: 312).

Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal,
namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem keyakinan
yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti keyakinan terhadap
adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan
keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan
hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya (Koentjaraningrat, 1994: 105).

Sedangkan budaya Tionghoa sebagai budaya minoritas yang berkembang di


Indonesia juga memiliki ritual untuk hormat dan bakti kepada leluhur.

Penghormatan terhadap orang tua dalam tradisi Tionghoa disebut Hao (Hshiao)
[1] yang bagi mereka harus disertai sikap hormat pada orang-orang yang lebih
tua sebagai pernyataan kasih. Sikap hormat ini berlangsung setiap hari kepada
mereka yang masih hidup dan setelah meninggal dilakukan dengan cara yang
berbeda. Oleh sebab itu seorang anak sangat dipentingkan oleh keluarga orang
Tionghoa, terutama anak laki-laki. Bagi mereka anak bukan hanya untuk
melanjutkan marga (She) dan membawa berkat (Hokky), tetapi yang terutama
untuk mengganti sang ayah merawat abu leluhur.

Dari pemaparan tentang ketiga budaya di atas dapat dilihat adanya akluturasi
tiga kebudayaan. Dari ketiga budaya tersebut, Jawa, Islam, dan Tionghoa (yang
menganut keyakinan atau filsafat Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme)
mengalami peleburan dalam satu bentuk tradisi selametan. Selametan yang
dilakukan bisa bertujuan untuk mendoakan leluhur atau keluarga yang telah
meninggal sekaligus meminta berkat dan keselamatan.

Selain latar tempat dan sosial budaya, latar politik menjadi keadaan sosial
yang secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi pola
pikir tokoh utama dalam bentuk pandangan hidup. Latar politik dalam teks
dapat dibagi ke dalam tiga zaman pemerintahan yang berbeda, yaitu zaman
Orde Lama (19501959), zaman Orde Baru (19661989), dan awal-awal
Reformasi (1999). Peristiwa dalam novel ini tidak terlalu vulgar menceritakan
tentang bentuk pemerintahan Orde Lama itu sendiri, tetapi hanya bermain di
wilayah efek yang ditimbulkan.

Sebagaimana kondisi masyarakat di awal-awal kemerdekan yang masih miskin,


kondisi keluarga tokoh Simbok dan Sumarni pun tidak jauh berbeda. Dalam
kondisi kemiskinan seperti itu kebutuhan yang paling utama adalah makan. Hal
itu dipertegas oleh Dhika Harbi (dalam tulisannya Kondisi Masyarakat
Indonesia Pada Masa Penjajahan dan Setelah Kemerdekaan 2009), bahwa
pada masa Orde Lama, mayoritas masyarakat Indonesia pribumi masih tetap
bekerja sebagai petani. Elit politik berperan sebagai birokrat negara tanpa

basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuasi
yang berperan dalam ekonomi, bahkan yang menguasai perdagangan
Indonesia. Hal tersebut membuat kondisi masyarakat Indonesia dalam hal
ekonomi menjadi semakin terpuruk.

Memasuki tahun 1970-an, ditandai pula dengan pergantian bentuk


pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada zaman peralihan ini
kemiskinan tetap menjadi kondisi yang sulit diatasi. Selain itu, efek yang
ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah sangat dirasakan oleh Sumarni dan
Rahayu. Pada masa ini, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oknum
penguasa terhadap rakyat biasa menjadi gambaran yang sering ditonjolkan
dalam beberapa peristiwa. Kondisi lain yang menyaran pada kondisi zaman
Orde Baru adalah kesewenang-wenangan dalam hal hukum. Hukum tidak
ditegakkan secara benar. Seseorang bisa dihukum hanya karena ia adalah
seorang Tionghoa yang masih rajin ke kelenteng.

Firdaus (dalam Politik Hukum di Indonesia 2005), mengatakan bahwa


pemerintahan Orde Baru terlihat lebih mementingkan kelompok atau golongan
tertentu tanpa memperhatikan nasib rakyat. Undang-undang yang responsive
dibuat menjadi konservatif. Dengan demikian dalam pelaksanaannya sering
terjadi permasalahan dan pertikaian, terutama dalam masalah pembebasan
tanah yang nyata-nyata tidak proporsional dan merugikan rakyat.

Selain zaman Orde Lama dan Orde Baru, novel ini juga mengambil latar pada
awal-awal Reformasi. Kondisi yang mencolok pada zaman ini adalah adanya
perubahan perlakuan pemerintah terhadap orang-orang yang dulu (pada
zaman Orde Baru) menyandang gelar PKI atau mantan tahanan politik (tapol).
Kondisi itu memberikan perubahan pula pada tokoh Rahayu sebagai mantan
tahanan politik dengan cap PKI. Sebagai mantan tahanan politik, ia menjadi
terkucilkan dari pergaulan masyarakat. Puncaknya adalah ketika ia gagal
menikah hanya gara-gara cap PKI yang tertera di KTP-nya. Hal itulah yang
membuat tokoh Sumarni terguncang jiwanya dan akhirnya menjadi gila.

Keberadaan tokoh Sumarni dan Rahayu dalam teks yang terus melakukan
proses interaksi dengan tokoh-tokoh lain dan latar sosialnya secara bertahap
mampu memberikan pengaruh dalam terbentunknya pandangan hidup tokoh
utama. Mengingat tokoh Sumarni dan Rahayu hidup di lingkungan sosial
budaya Jawa yang sarat dengan nilai, norma, konvensi, serta tata aturan baik
yang tertulis maupun tidak tertulis, maka pandangan hidup yang ada pada diri
Sumarni dan Rahayu adalah pandangan hidup Jawa.

C. REFLEKSI PANDANGAN HIDUP JAWA TOKOH SUMARNI DAN RAHAYU

Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup
dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam
semesta beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Hal ini meliputi pula
pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula
pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada.
Adapun posisi tokoh Sumarni dan Rahayu dalam novel Entrok digambarkan
sebagai wanita yang hidup di lingkungan keluarga Jawa yang diinternalisasi
dengan nilai kewanitaan, bahwa wanita itu harus mampu menempatkan
(memposisikan) diri di bawah laki-laki; pasrah, nrimo, sabar dan ikhlas. Hal itu
seperti yang dikemukakan Christina (2004: 24) bahwa kata wanita berasal
dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang wanita adalah
sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat
Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata hingga
untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang mau diatur. Pendapat tersebut
dipertegas oleh Damardjati Supadjar ahli filsafat yang mengungkapkan bahwa
kata wanita berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita).
Maksudnya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang
lain.

Dalam makna yang lain, yaitu perempuan, tampaknya tidak cukup bisa
menggambarkan kenyataan praktis sehari-hari wanita Jawa. Akar kata
perempuan adalah empu yang berarti guru. Makna kata ini lebih

menggambarkan kenyataan normatif daripada kenyataan praktis sehari-hari.


Bahkan, dalam penggunaannya kita lebih sering mendengar kata perempuan
dipakai untuk ungkapan hal yang kurang sedap seperti main perempuan, dan
lain-lain.

Pandangan hidup Jawa dalam teks berangkat dari realitas yang ada pada
masyarakat Jawa. Walau begitu, pandangan hidup Jawa dalam teks bukanlah
realitas pandangan hidup Jawa, tetapi hanya refleksi, citraan, atau imaji.
Adapun tentang pandangan hidup Jawa dalam teks bertolak dari pembedaan
antara dua segi yang fundamental, yaitu segi lahir dan segi batin. Sebagai
makhluk alam, manusia merupakan makhluk jasmani, ia memiliki dimensi lahir.
Kita mengerti orang lain pertama-tama melalui dimensi lahirnya. Akan tetapi di
belakang dimensi lahirnya itu terselubunglah segi batinnya (Franz MagnisSuseno, 2001: 117-118).

Tokoh Sumarni memiliki pandangan hidup Jawa yang kuat pada


rutual nyuwun(berdoa) kepada ruh leluhur, memegang pakem ilok ora
ilok, serta sabar dannrima yang didapat dari tokoh Simbok ibunya. Kaitannya
dengan pandangan dunia Jawa yang erat dengan kebatinan, Niels Mulder
(1999: 62-64) mengungkapkan bahwa inti penting dari kejawen adalah
kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan batin dan diri yang terdalam
seseorang. Diri terdalam itulah yang sebenarnya menyusun mikrokosmos dari
kehidupan yang meliputi segala-galanya. Dalam pandangan kejawen, gerakan
diri ini harus mengalir dari luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke
pengembangan yang batin, dari menjadi sungguh-sungguh sadar terhadap
situasi sosial sampai menjadi peka terhadap kehadiran Kehidupan dan
perwujudan Kehidupan itu di dalam batin.

Sementara itu, pakem ilok ora ilok bukan hanya terbatas pada pengertian
pantas tidak pantas, melainkan memiliki kandungan makna filosofi, yaitu
berisi tentang nilai luhur berkaitan dengan batasan moral mana yang baik
untuk dilakukan dan mana pula batasan moral yang tidak pantas untuk

dilakukan. Adapun sifat nrima, pasrah, dan ikhlas di sini oleh tokoh Simbok
dipandang bukan sebagai kelemahan atau kekalahan, tetapi lebih pada
menjaga keselarasan hidup dengan cara menjalankan perannya masingmasing. Ratnawati (dalam Perempuan dan Ajaran Perenialis dalam Serat
Wulang Putri,2008) mengungtarakan pendapat bahwa sabar,
legawa dan lila adalah sebuah permainan emosi dalam usaha mengatasi
konflik. Penyabar bukanlah bawaan lahir atau kodrat melainkan harus dipelajari
terus menerus sepanjang hayat.

Sedangkan tokoh Rahayu dalam novel Entrok diposisikan sebagai wanita Jawa
yang hidup di dalam keluarga yang sudah mengalami kemajuan dalam
pendangan tentang pendidikan, tapi masih memegang teguh tradisi kejawen.
Tokoh Rahayu dihadirkan sebagai anak dari tokoh Sumarni yang memiliki peran
sangat besar dalam memberi landasan pendidikan kepada tokoh Rahayu
tentang hormat dan memohon kepada ruh leluhur. Sebagai anak yang
berpendidikan (lebih-lebih agama Islam), Rahayu kemudian tumbuh menjadi
wanita Jawa modern. Adanya interaksi dengan tokoh lain seperti tokoh Pak Waji
dan Amri Hasan membuat dia memiliki pandangan dan keyakinan yang
berbeda dengan ibunya. Tokoh Rahayu menjadi wanita yang memiliki karakter
keras memegang keyakinan dan cenderung tertutup terhadap perbedaan. Hal
itu membuatnya sering bersitegang dengan ibunya. Perkenalan Rahayu dengan
tokoh Amri Hasan membuat ia terinspirasi untuk memberontak dari
kesewenang-wenangan dan itu bertentangan dengan laku hidup Jawa yang
diajarkan oleh ibunya untuk nrima dan pasrah.

Tokoh Rahayu menjadi wanita Jawa yang hilang kejawaannya. Dia tidak
berusaha untuk menghindari konflik demi memperoleh ketenangan dan
ketenteraman hidup. Akan tetapi, dia justru lebih memilih menghadapinya
daripada harus diam dan pasrah.

C.1 Pandangan Hidup Jawa Tokoh Sumarni dan Rahayu tentang Nilai
Religi

Sistem nilai religi yang terdapat di dalam novel Entrok meliputi tiga nilai, yaitu
darma, takdir, dan karma. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam
semesta dan pusat segala kehidupan. Tuhan tidak hanya menciptakan alam
semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala
sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas izin serta kehendak-Nya.
Adapun pusat alam semesta yang dimaksud dalam pengertian ini adalah
sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan
yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia
atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling
Kawula Lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral
manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada
kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap
Gustinya.

Darma, normalnya sebagai manusia yang masih hidup, seseorang tentu


memiliki kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dengan begitu, diharapkan
setiap orang memenuhi kewajibannya (darmanya) dengan setia demi
kesejahteraan, keselarasan, dan demi mencapai ketentraman batin. Sebagai
ibu, Sumarni memiliki pikiran maju dalam memandang masa depan memiliki
kewajiban memberikan pendidikan kepada anaknya yang bisa dia realisasikan.
Sedangkan posisi tokoh Rahayu sebagai pelajar dia laksanakan hingga sampai
ke perguruan tinggi. Takdir, adalah kesadaran bahwa hidup manusia sudah
ditetapkan dan tidak bisa dihindari. Hidup atau mati, nasib buruk, dan penyakit
merupakan nasib yang tidak dapat dilawan. Sebagai seorang pribadi, istri, dan
juga sebagai seorang ibu dia percaya sepenuhnya akan keberadaan takdir
yang telah menentukan hidupnya, meskipun berat untuk dijalani, begitu pula
dengan pandangan Rahayu tentang takdir. Karma, merupakan balasan dari
perbuatan yang telah dilakukan. Sebagai pribadi, seorang istri, dan juga
sebagai seorang ibu, tokoh Sumarni telah berupaya sekuat tenaga untuk
melaksanakan darmanya. Meskipun begitu, sebaik-baik manusia dalam
menjalankan darmanya dipastikan terdapat sedikit kesalahan yang mungkin

saja tak pernah disadari yang bisa menyebabkan turunnya karma. Atas
pandangan seperti itu, Sumarni yakin kesusuhan dalam hidupnya saat ditinggal
mati suaminya karena kecelakaan, menantunya meninggal, anaknya dipenjara,
adalah karma yang dia dapat karena kesalahan yang tidak disadarinya. Orang
Jawa senantiasa memiliki keyakinan kuat tentang adanya sebuah balasan
(karma) atas apa yang sudah dilakukan dalam hidup ini. Karena hal itu, setiap
orang Jawa selalu berpikir dengan hati-hati ketika akan melaksanakan
darmanya yang di dalamnya terdapat sebuah tanggung jawab. Sedangkan
tokoh Rahayu yang berpendidikan dalam hal agama memiliki pandangan lain.
Rahayu tidak percaya akan adanya karma, tapi lebih pada teguran atau cobaan
yang diturunkan Tuhan untuk menguji keimanan hambanya.

C.2. Pandangan Hidup Jawa Tokoh Sumarni dan Rahayu tentang


MaknaEling

Dalam budaya Jawa, eling merupakan suatu aktivitas mengenal diri sendiri,
kekuatan pikiran yang diikuti membangkitkan kekuatan
batiniah. Elingmenekankan penguasaan terhadap diri sendiri dalam merespon
sesuatu yang bermakna. Penguasaan diri mempunyai kaitan logis dengan nilai
keseimbangan, orang yang sanggup menguasai dirinya sendiri akan sanggup
menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dalam masyarakat
(Ratnawati, Perempuan dan Ajaran Perenialis dalam Serat Wulang Putri,
2008).

Keadaan yang terjadi dalam batin tokoh Sumarni dalam menghadapi konflik
dengan anaknya membuatnya menjadi manusia yang berusaha untuk tetap
eling. Menurut Sastrowardoyo (1992: 109) kata eling dapat dianggap
sebagai kemampuan jiwa, sebagai nilai etika atau sebagai tahap penghayatan
religi. Adapun pemaknaan eling muncul dari sikap tokoh Sumarni sebagai
wanita Jawa dalam mengatasi masalahnya.

a. Eling sebagai Kemampuan Jiwa

Sebagai wanita Jawa, tokoh Sumarni memiliki sikap eling sebagai sebuah
kemampuan jiwa sehingga dia tidak menjadi sosok yang pasrah atas kesulitan
yang dialaminya. Setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya dikembalikan lagi
pada keyakinan atau kebatinannya. Eling merupakan sebagai upaya menandai
keberadaan dirinya yang selalu ingat dan bersyukur pemberian Tuhan. Sebagai
kemampuan jiwa eling tertuju kepada segala yang pernah dialami secara
jasmani atau ruhani (Sastrowardoyo (1992: 110).

Di tengah kemampuan jiwa yang lain seperti melihat, mendengar, berbicara


dan berpikir, yang menangkap dan mengolah pengalaman kini,
maka elingmenghubungkan pengalaman dulu dengan pengalaman saat ini
sehingga ada kesadaran akan kelanjutan antara masa lalu dan masa kini. Daya
ingat menyadarkan akan eksisitensi diri yang berkelanjutan. Sikap eling
sebagai kemampuan jiwa membuat tokoh Sumarni mampu bangkit dari
belenggu kenangan buruk dengan anaknya dan terus melanjutkan hidup
dengan perasaan optimis. Ia yakin masih memiliki kemampuan untuk terus
bekerja meskipun kini hanya seorang diri.

Sedangkan Rahayu sebagai wanita Jawa yang berpendidikan tinggi, memiliki


sikap eling sebagai kemampuan jiwa untuk tidak menjadi wanita yang pasrah
kepada keadaan. Ia juga menjadi manusia sosialis yang memiliki sikap prihatin
terhadap orang lain yang terlihat saat dia ingin membantu sekelompok
penduduk yang akan digusur.

Eling sebagai kemampuan jiwa pada diri tokoh Sumarni dan Rahayu bergerak
dalam wilayah yang berbeda. Jika tokoh Sumarni lebih melihat kemampuan
jiwa adalah usaha untuk bangkit dari keterpurukan hubungan keluarga, maka
tokoh Rahayu melihatnya sebagai upaya untuk membela kepentingan orang
lain sebagai sesama manusia.

b. Eling sebagai Nilai Etika

Memiliki anak yang tidak patuh membuat tokoh Sumarni bisa saja tidak dapat
mengendalikan dirinya, seperti pada waktu sedih, marah atau bingung. Tetapi
sebagai orang Jawa yang memiliki sikap eling sebagai nilai etika, dia tetap
berusaha memiliki kesadaran diri dan penguasaan diri. Walaupun Sumarni
memiliki rasa sakit hati dan kecewa atas tindakan anaknya, dia tetaplah
seorang ibu yang tidak akan pernah bisa terus-terusan menyimpan dendam
dan sakit hati. Sikap eling sebagai seorang ibu membuatnya harus bisa
meredam semua perasaan itu.

Sedangkan sikap eling sebagai nilai etika yang ada pada diri tokoh Rahayu
muncul ketika dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Etika seorang anak
ketika melakukan kesalahan yang bisa menyakiti hati orang tua adalah
meminta maaf. Hal itu pula yang disadari oleh Rahayu setelah sekian lama.
Sikap itu muncul ketika dia berada di penjara. Sikap eling yang ditunjukkan
tokoh Rahayu adalah hormat kepada orangtuanya untuk memperbaiki
hubungan menjadi lebih baik lagi.

Eling sebagai nilai etika pada tokoh Sumarni adalah bentuk usaha untuk
menghindari terjadinya tegangan-tegangan atau konflik-konflik yang lebih
besar dengan anaknya. Sedangkan pada tokoh Rahayu, eling sebagai nilai etika
merupakan bentuk usaha untuk memperbaiki hubungan yang selama ini tidak
baik (penyelesaian konflik).

c. Eling sebagai Tahap Penghayatan Religi

Kata eling dalam suasana religi ini dapat diartikan sebagai kesadaran yang
tinggi dalam penghayatan keaagamaan yang intens. Sastrowardoyo (1992:
112) menjelaskan keberadaan tahap eling ini dapat dicapai dengan melalui
persiapan sikap serta penglihatan batin yang disebut neng (singkatan
katameneng) yang berarti diam dan ning (singkatan dari wening) yang berarti
bening atau jernih. Sikap batin yang diam dapat diperoleh dari pengendalian
penonjolan ke-aku-an yang terlalu besar.

Sikap eling berupa pendekatan kepada Yang Kuasa menjadi sebuah harapan
bagi tokoh Sumarni. Dalam kebahagiaan maupun kesulitan, ia tetap mengingat
Yang Kuasa sebagai sumber segala rezeki dan takdir. Akhirnya yang akan
dicapai dalam kesadaran religius eling itu adalah iman yang teguh dengan
hilangnya segala perasaan bimbang dan takut. Dari sikap batin yang dibawa
tokoh Sumarni, keberadaan eling sebagai sikap batin paling inti merupakan
bentuk kesadaran tertinggi yang bergantung kepada Ilahi yang mengendap
dalam sanubari tokoh Sumarni.

Berbeda dengan tokoh Sumarni, ketika ditimpa musibah tokoh Rahayu bisa
dikatakan merasa kehilangan keyakinan terhadap Tuhan yang selama ini
memberinya kekuatan. Selama di penjara dan setelah keluar, dia berubah
menjadi manusia yang kalah dan lemah. Selanjutnya, Rahayu yang awalnya
memberontak menjadi anak yang penurut pada ibunya. Ia juga mulai terbuka
dengan keyakinan dan ritual kebatinan ibunya yang dulu sangat dia tentang.

C.3. Tokoh Sumarni dan Rahayu sebagai Agen Perubahan

Tokoh Sumarni dan Rahayu dikonotasikan sebagai tokoh yang tidak diam,
tetapi cenderung terus bergerak. Sebagai tokoh yang terus bergerak dapat
dipastikan terjadi interaksi-interaksi dengan tokoh-tokoh lain. Hal itu secara
sadar maupun tidak sadar mengakibatkan adanya perubahan pandangan
mereka tentang nilai-nilai hidup Jawa.

Perubahan pandangan tokoh Sumarni dan Rahayu tentang nilai Jawa


dipengaruhi oleh dua faktor yang paling dominan, yaitu faktor lingkungan dan
faktor pendidikan. Faktor yang pertama, bertolak dari kekunoan pikiran tokoh
Simbok membuat tokoh Sumarni tidak pernah sekolah, sehingga pelajaran
yang ia dapat hanya dari simbok dan lingkungan sosial di sekitarnya.
Lingkungan Pasar Ngranget kemudian menjadi tempat dimana tokoh Sumarni
menjalin interaksi yang cukup intens dengan tokoh Teja dan Nyai Dimah. Dari
kedua tokoh itulah ia kemudian mendapat inspirasi untuk melakukan kreasi

dalam bekerja untuk merubah keadaan yang dirasa kurang ideal. Dari tokoh
Teja dia kemudian bekerja sebagai kuli angkut pasar yang kemudian
mendobrak tatanan awal bahwa wanita Jawa harus melakukan pekerjaan yang
lembut dan ringan saja. Didasari atas keinginan untuk memiliki uang membuat
Sumarni berubah dari wanita yang patuh pada pakem ilok ora ilok menjadi
berubah.

Kehadiran tokoh Sumarni di lingkungan pasar juga memperkenalkan dia


dengan pedagang sukses bernama Nyai Dimah. Dari Nyai Dimah-lah ia
menemukan usaha lainnya untuk memperbaiki ekonomi keluarga, yaitu dengan
cara berdagang. Dalam hal ini tokoh Sumarni berlaku sebagai manusia yang
sangat percaya diri akan kemampuannya, meskipun sempat diragukan oleh
simboknya. Dengan upaya lahir dan batin, dia yakin bisa merubah kondisi
keluarganya untuk lebih baik secara ekonomi dan dihormati.

Sedangkan pertemuan Sumarni dengan tokoh Koh Cayadi memberikan inspirasi


untuk melakukan usaha kebatinan yang lain di luar memuja leluhur, yaitu
menziarahi makam di Gunung Kawi. Lingkungan sosial tokoh Sumarni pada
akhirnya memang dapat memberikan pandangan baru baginya sekaligus
menciptakan pergeseran-pergeseran nilai yang sudah ada. Lingkungan di mana
tokoh Sumarni berada menjadi semacam pengekang eksistensinya sebagai
wanita dan sekaligus menjadi tempat di mana ia menjadi wanita Jawa yang
terus berkembang.

Faktor kedua, bertolak pada tokoh Sumarni yang masih memegang kuat
tradisinya, sejak kecil tokoh Rahayu juga diperkenalkan ritual-ritual
menyembah leluhur. Selain masih memegang tradisinya, tokoh Sumarni juga
memiliki pandangan maju tentang pendidikan, karena itu sejak kecil pula tokoh
Rahayu sudah disekolahkan. Interaksi Rahayu dengan lingkungan sekolah
merupakan mekanisme awal yang dapat membentuk pandangannya tentang
agama Jawa yang dianut ibunya dan agama Islam yang dia pelajari. Proses
interaksi yang intens terjadi antara Rahayu dengan tokoh Pak Waji, guru agama

di SD-nya. Proses interaksi Rahayu dengan tokoh Pak Waji menghasikan pola
pikir dan pandangan baru tentang bagaimana cara berdoa sesuai tuntunan
agama Islam. Selain itu, dia juga mendapatkan gambaran tentang perbuatanperbuatan dosa menyekutukan Tuhan. Hal itulah yang kemudian menciptakan
pertentangan-pertentangan pandangan antara dia dan ibunya.

Pada akhirnya pendidikan yang dia terima di sekolah menimbulkan adanya


pergeseran-pergeseran nilai yang berbeda dengan yang diajarkan ibunya.
Pendidikan juga menjadi semacam jurang pemisah, baik secara pola pikir
maupun cara pandang nilia-nilai religi antara tokoh Rahayu dan Sumarni. Tokoh
Sumarni buta huruf, tidak pernah mengenal pendidikan agama dari sekolahan,
dan hanya tahu tentang leluhur dan Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa sebagai
tempat memohon. Sementara tokoh Rahayu anak pintar yang sudah
mendapatkan pendidikan agama.

C.4. Entrok sebagai Simbol Perubahan

Entrok adalah padanan dari BH atau kutang. Istilah Entrok dalam teks
merupakan simbol yang menarik bagi peneliti untuk menemukan makna yang
tersirat dalam teks tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Teeuw
bahwa sebagai tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat
dipandang sebagai sarana komunikasi biasa. Oleh karena itulah, karya sastra
dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1988:43).

Entrok dalam teks bisa diartikan sebagai simbol wanita sekaligus sebagai
simbol perubahan. Hal itu didasarkan pada pembacaan atas teks secara
mendalam.Entrok tersebut merupakan simbol wanita memiliki makna ganda,
baik ketika ia berdiri sebagai simbol yang utuh dan independent tanpa
dikaitkan dengan teks, maupun ketika dikaitkan dengan teks secara
keseluruhan. Jika dikaitkan dengan teks, entrok tersebut adalah simbol peran
wanita yang terbatas hanya di ruang domestik (privat). Simbol entrok dalam

teks juga dapat dimaknai sebagai simbol perubahan peran wanita dari ruang
domestik ke ruang publik dan dari wanita tradisional menjadi wanita modern.

Benda bernama entrok yang ada dihadirkan lewat tokoh Tinah dalam teks
menjadi sebuah motif yang selanjutnya mampu merubah pandangan tokoh
Sumarni tentang kerja keras. Keinginan yang kuat untuk
memiliki entrokmembuat tokoh Sumarni menjadi pekerja keras dengan
mendobrak pakem ilok lan ora ilok sekaligus perlahan-lahan bisa lepas dari
kemiskinan. Dalam perkembangan selanjutnya, tokoh Sumarni memiliki
kapabilitas dalam menghadapi lingkungan sosial di sekitarnya dengan penuh
kreasi. Pada akhirnya dia tumbuh menjadi wanita dengan pribadi yang ulet dan
memiliki keinginan yang kuat untuk terus maju. Meskipun begitu, dia tetap
tidak bisa sepenuhnya lepas dari sikap pasrah, nrima, ikhlas, dan sabar dalam
menghadapi situasi tertentu sebagai laku wanita Jawa.

D. SIMPULAN

Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, maka peneliti mengambil empat
kesimpulan, antara lain: (a) Struktur sastra dalam novel Entrok merupakan
pendukung pencarian karakter dan proses terbentuknya pandangan hidup Jawa
tokoh Sumarni dan tokoh Rahayu. Struktur sastra berupa tokoh, latar, alur, dan
tema merupakan representasi yang menggambarkan proses terbentuknya
karakter tokoh Sumarni dan tokoh Rahayu dan merupakan indikasi menuju
perubahan pandangan hidup; (b) Proses terbentuknya pandangan hidup Jawa
tokoh Sumarni dan Rahayu melalui dua tahap; pertama, pandangan hidup
tokoh Sumarni dan Rahayu terbentuk dari proses interaksi di dalam keluarga.
Bagi tokoh Sumarni, proses ini lebih dominan dibentuk oleh Simbok. Sementara
bagi tokoh Rahayu lebih dominan dibentuk oleh Sumarni. Kedua, proses
perubahan pandangan hidup tokoh Sumarni dan tokoh Rahayu terbentuk dari
interaksi dengan tokoh-tokoh lain di luar keluarga; (c) Perubahan pandangan
hidup Jawa tokoh Sumarni dan Rahayu mengonfigurasi keadaan sebelumnya
yang dianggap kurang ideal. Hal itu memicu tokoh Sumarni dan tokoh Rahayu

untuk mengonversi ke arah yang ideal bagi mereka; (d) Disadari maupun tidak
disadari, pandangan hidup adalah aspek dinamis dalam menjalani kehidupan.
Pandangan hidup juga mampu mengatur perilaku seseorang dalam batas
tertentu sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan
perilaku orang-orang di sekitarnya.

Agus Budiawan, Surabaya, 18 Agustus 2011

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia.

Budianta, Melanie, dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra


untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera.

Ciptoprawiro, Abdullah. 1992. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.


Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

_________. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya


Paramita.

_________. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa


Departemen Pendidikan Nasional.

Firdaus. Politika Hukum di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara


Hukum), Hukum Islam. Vol. 12 No. 10. September 2005.

Handayani, Christina S. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS

Harbi, Dhika. 2011. Kondisi Masyarakat Indonesia Pada Masa Penjajahan dan
Setelah Kemerdekaan. http://dhika-harbi.blogspot.com. Selasa, 02 Agustus.

Hoerip, Satyagraha. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Jong, Suffridus de. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta:
Penerbit: Kanisius.

Karim, M. Rusli. 1985. Dinamika Islam Indonesia. Yogyakarta: PT. Hanindita.

Kartodirdjo, Sartono. & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia.


Yogyakarta: Aditya. Media.
Koentjaraningrat. 1975. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.

_________. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Laurenson and Swingewood. The Sociology of Literature. London: Journal of


Sociology, August 1974.

Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Magnis Suseno, Franz. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mulder, J. A. Niels. 1973. Kepribadian Jawa dan pembangunan


nasional.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_________. 1999. Agama, Hidup Sehari-Hari Budaya; Jawa, Muangthai, dan


Filipina (Terjemahan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

_________. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Pabichara, Khrisna. Ketika Entrok Bicara, http://dusunkata.blogspot.com, 13


April 2011.
Priyanto, Edi. Ana Catur Mungkur, http://mutiarabudaya.blogspot.com, 23 Juni
2011.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004a. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

_________. 2004. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

_________. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratnawati, Sri. Perempuan dan Ajaran Perenialis dalam Serat Wulang Putri,
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Pengajarannya. Tahun 36.
Nomor 1. Februari 2008.

Rauf, Maswadi. Partai Politik dalam Sistem Kepartaian di Indonesia Antara


Kenyataan dan Harapan, Akbar Tandjung Institute, Jurnal Politik, Vol. 2, No. 2,
Tahun 2006, hal. 11.

Ridwan. Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, Ibda`: Jurnal Studi
Islam dan Budaya, P3M STAIN Purwokerto. Vol. 6, No. 1, Jan-Jun 2008, hal. 91109.

Saputra, Ari. Membaca Masa Lalu Lewat Entrok, http://www.detiknews.com,


13 April 2011.
Sastrowardoyo, Subagio. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai
Pustaka.

Semi, Atar. 1984. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Penerbit TERAJU.

Smart, Ninian. Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles


Sribners sons, New York, n.d. 1-2

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tasrif, S. 1981. Beberapa Hal tentang Cerita Pendek, dalam Lubis (Ed). Teknik
Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Teeuw, A. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta : Pustaka Jaya.

________. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka

Thinker. Kebudayaan dan Relasi Kekuasaan, http://thinkerasratisme.blogspot.com, 02 Agustus 2011.


Thomas, F Wall. 2001. Thinking Critically About Philosophical Problem, A
Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. (Terj. Melani
Budianta). Jakarta: PT. Gramedia.

_________. 1993. Teori Kesusastraan. (Terj. Melani Budianta). Jakarta: PT.


Gramedia.

Zaimar, Okke KS. 2005. Strukturalisme dan Psikoanalisa makalah Pelatihan


Kritik Sastra, 7-10 Desember 2005. Depok: Departemen Susastra Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai