Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sebagai suatu produk budaya, sastra mempunyai peranan dalam mengungkapkan


suatu kultur budaya. Dalam pengungkapannya sastra mengambil nilai-nilai yang diakui
keberadaannya dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut menyangkut norma sosial, adat
istiadat, sikap moral dan sebagainya. Nilai tersebut dapat digunakan untuk mengatur
pola kehidupan masyarakat.
Dalam diyakininya kebudayaan lingkungan yang mampu masyarakat Jawa,
nilai-nilai budaya yang masih dipegang utuh. Mereka mengakui bahwa memiliki
hubungan yang timbal batik dengan sosial, yaitu suatu hubungan yang hierarkis
membentuk suatu pandangan dan sikap tertentu dalam masyarakat. Hal ini nampak
dalam cara pandang masyarakat terhadap keberadaan wanita Jawa pada khususnya.
Masyarakat sosial Jawa memandang sosok wanita Jawa yang selalu identik dengan
suatu pribadi yang halus, berperilaku sopan, patuh dan tunduk pada suami.
Penggambaran yang menstereotypekan keberadaan wanita Jawa ini disebabkan oleh
lingkungan sosial yang membentuknya. Keadaan inilah yang menyebabkan wanita
Jawa menjadi sosok yang terpinggirkan.
Kebanyakan masyarakat awam menganggap bahwa sikap-sikap yang
dimunculkan oleh seorang wanita Jawa merupakan suatu hal yang kolot dan feodalistik
karena sebagai seorang pribadi dia tidak mengembangkan sikap yang kritis dan hanya
bisa menurut saja. Asumsi yang demikianlah yang menyebabkan seorang wanita Jawa
mulai meninggalkan nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Akibatnya dalam
perkembangan selanjutnya pribadi wanita Jawa lebih mementingkan egoisme dalam
pemuasan akan dirinya.
Retna Santosa mengemukakan bahwa dewasa ini sukar sekali memberikan suatu
gambaran yang bulat mengenai kepribadian wanita Jawa karena dalam tahun
tujuhpuluhan wanita Jawa telah menampilkan dirinya dalam berbagai cara. Terlebih-
lebih penampilan ini ditunjukkan dalam sifat dan sikap terhadap masalah yang dihadapi
antara lain dalam mengisi peranannya sebagai isteri, ibu maupun sebagai anggota
masyarakat (1986:56).
Akibat adanya pemahaman cara pandang inilah sosok wanita Jawa mulai
meninggalkan nilai-nilai yang dianutnya dan beralih pada suatu pola pikir yang
feminisme murni, yaitu menolak secara radikal nilai-nilai yang menghancurkan wanita.
Padahal sebagai seorang pribadi Jawa (meskipun penganut feminism) selayaknyalah
tetap memegang nilai moral tersebut karena di dalamnya terdapat nilai moralitas yang
menunjuk pada suatu perbuatan yang mengarah pada sikap batin untuk menghargai
seorang individu dalam rangka memanusiakan manusia. Dari hal inilah tujuan hidup
yaitu kebahagiaan dapat terlaksana karena adanya keselarasan dan keseimbangan
dalam masyarakat.
Pandangan tentang moralitas ini juga disampaikan oleh Poespoprodjo.
Menurutnya suatu perbuatan dianggap bermoral bila tindakan tersebut mementingkan
suatu perilaku yang manusiawi dan menjunjung martabat manusia. Perbuatan tersebut
mengarah pada kepentingan setiap individu untuk melaksanakan tindakan dengan
sepenuh hati •dan bukan berdasarkan atas hukum yang mengikat akan kepentingan
tindakan tersebut (1980:vix). Hal senada juga disampaikan Abdullah dengan mengutip
Durkheim bahwa perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dalam
diri-melainkan juga kebaikan ketika diri telah dihadapkan pada dunia sosial. Jadi
tindakan di sini mengarah pada semangat dalam diri untuk melakukan suatu perbuatan
dengan tulus ikhlas demi kepentingan orang lain (1986:17).
Ada semacam niat yang tumbuh dalam hati untuk melakukan suatu perbuatan
yang menurutnya baik tanpa merusak keselarasan dengan dunia sosialnya. Perilaku
inilah yang tampak dalam Sri Sumarah dan Bawuk. Dalam novel tersebut kedua
tokohnya mampu mewakili pribadi Jawa dalam mengungkapkan suatu perbuatan
moral. Tokoh Sri Sumarah dan Bawuk mampu mewujudkan suatu perbuatan yang
moralis (humanis) yaitu suatu perbuatan yang memanusiakan manusia.
Hal inilah yang menarik peneliti untuk mengupas keberadaan nilai moralitas
tersebut. Di samping menggambarkan suatu kehidupan yang manusiawi, pengarang
dalam karyanya ini tidak hanya memberikan kehidupan yang sukses tetapi lebih
memberikan sentuhan-sentuhan makna dalam kehidupan yang mampu memberikan
suatu cerminan sosial. Kemandirian dalam menentukan sikap mampu digambarkan
oleh pengarang melalui kedua tokoh dalam novel tersebut.
Maka peneliti mencoba untuk mengupas keberadaan moralitas dalam citra wanita
Jawa tokoh Sri Sumarah dan Bawuk berdasarkan atas tindakan yang diwujudkannya.
Moralitas dalam konteks budaya Jawa ini dikaji untuk menentukan sikap dan perilaku
yang muncul dalam diri kedua tokoh dengan mengarah pada realitas sosialnya.

1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan diwujudkan berdasarkan uraian di atas adalah :
1.2.1 Bagaimanakah struktur novel Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam
yang meliputi unsur tokoh dan penokohan, serta latar ?
1.2.2 Bagaimanakah moralitas yang tergambarkan dalam perilaku dan sikap yang
diwujudkan tokoh Sri Sumarah dan Bawuk dalam Sri Sumarah dan Bawuk
?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1.3.1 Untuk mendeskripsikan tokoh dan penokohan serta latar yang terdapat
dalam citra wanita Jawa tokoh Sri Sumarah dan Bawuk dalam Sri Sumarah
dan Bawuk.
1.3.2 Untuk mendeskripsikan moralitas dalam citra wanita Jawa tokoh Sri
Sumarah dan Bawuk yang tercermin dalam sikap dan perilakunya sesuai
dengan kajian sosiologi sastra.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang di dapat dari penelitian ini adalah :
1.4.1 Menambah studi pustaka dalam menerapkan analisis sosiologi sastra novel
Sri Sumarah dan Bawuk khususnya yang berkaitan dengan segi moralitas.
1.4.2 Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan juga kritik dalam
melihat karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra.

1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori


1.5.1 Tinjauan Pustaka

Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam ini diterbitkan pertama kali oleh
penerbit Dunia Pustaka Jaya pada tahun 1975. Dalam perkembangannya karya sastra
ini banyak mendapat sorotan baik dari kritikus ataupun pemerhati sosial. Sebagai bahan
referensi akan dikemukakan sedikit tinjauan tentang keberadaan karya sastra ini.
Sularto mengemukakan bahwa Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam ini
mempunyai kesamaan dalam hal setting dan alur. Setting yang digunakan yaitu terjadi
pada masa seputar G 30 S/PKI, dan alur yang digunakan banyak menggunakan
flashback. Perbedaannya dari keduanya yaitu bahwa tokoh Sri Sumarah hidup dalam
lingkup masyarakat priayi umumnya sedang tokoh Bawuk hidup dalam lingkungan
priayi yang feodalistik. Di samping itu kedua cerita ini di tulis pada waktu yang hampir
bersamaan yaitu pada tahun 1973 di Honolulu (1976:31).
Menurut Sumardjo Sri Sumarah dan Bawuk menampilkan dua sosok wanita yang
mengalami kemalangan dalam menjalani hidupnya. Mereka selalu mengalami
penderitaan akan cintanya karena ditinggal mati oleh suami yang dicintainya
(1982:77).
Tanggapan terhadap karya sastra ini juga disampaikan oleh Widaningsih. Dalam
kesimpulannya, penulis menekankan bahwa tokoh wanita Jawa dalam Sri Sumarah dan
Bawuk karya Umar Kayam ini mempunyai sisi pandangan dan sikap hidup yang sama.
Kedua tokoh tersebut tetap menanamkan budaya Jawa yang diajarkan oleh keluarganya
maupun lingkungan sekitarnya (1987:129). Sementara itu Sundari mengungkapkan
bahwa Sri Sumarah cenderung lebih menunjukkan adanya dominasi pria dalam
masyarakat tradisional Jawa. Wanita sebagai istri dituntut untuk mengabdikan diri
kepada suami dan sebagai ibu, wanita dituntut untuk bersedia dan mengabdikan diri
pada -anak-anaknya walau dalam keadaan menderita (1987:17).
Berdasarkan sedikit tanggapan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa segi
moralitas dari kedua tokoh dalam cerita tersebut belum ditinjau secara mendetail,
terutama dalam upaya mengembangkan tindakan yang manusiawi. Untuk itulah dalam
penelitian ini peneliti akan mengupas sikap dan perilaku moralitas kedua tokoh tersebut
dalam kultur budaya Jawa.

1.5.2 Landasan Teori


Kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi struktur karya
sastra, sosiologi sastra dan moralitas dalam citra wanita Jawa.

1.5.2.1 Struktur karya Sastra


Pengertian struktur karya sastra pada pokoknya berarti sebuah karya atau
peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena adanya relasi timbal
balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan (Lux, 1982:38).
Dalam karya sastra hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya itu meliputi aspek
ekstrinsik dan intrinsik. Sehubungan dengan hal itu untuk memahami keseluruhan
suatu karya sastra, perlu diperhatikan bagian-bagian tertentu yang menyangkut aspek
mendasar dari karya tersebut.
Teeuw berpendapat bahwa interpretasi keseluruhan suatu karya sastra tidak dapat
dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya. Dengan interpretasi bagian dari suatu
karya sastra mengandaikan lebih dahulu pemahaman dari keseluruhan karya tersebut
(1984:123). Sehubungan dengan hal itu dalam memahami karya sastra lebih dahulu
harus diperhatikan unsur yang paling mendasar yaitu unsur intrinsik. Unsur intrinsik
yang dimaksud meliputi tokoh dan penokohan serta latar. Dengan mengetahui tokoh
dan penokohan didapatkan suatu gambaran yang jelas dari karakter individu. Dengan
demikian penokohan merupakan salah satu bukti dalam suatu cerita yang memegang
peranan penting. Sebagai tokoh dimunculkan untuk menguraikan permasalahan yang
timbul, ataupun cara memandang suatu permasalahan.
Sementara itu latar hanya berharga kalau ia berhasil mendukung permasalahan
dan perwatakan yang sesuai dengan latar yang dipilihnya (Sumardjo, 1979 : 10). Latar
erat kaitannya dengan cerita karena latar juga dapat menggambarkan kemauan tokoh.
Di samping itu latar juga berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap
sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat di kontrol oleh
individu (Welleck dan Warren, 1993 : 291)
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau berlakuan dalam berbagai peristiwa (Sudjiman, 1991:23). Tokoh yang dimaksud
merupakan individu rekaan gambaran pengarang yang digunakan untuk
menyampaikan suatu sikap tertentu. Penggambaran sikap ini ditentukan dengan watak
yang muncul dari setiap tokoh. Oleh karena itu, diperlukan penokohan untuk melihat
karakter setiap individu. Dari sinilah akan dapat tergambarkan karakter tokoh-
tokohnya. Penegasan ini disampaikan Sudjiman dengan mengutip Hudson bahwa
penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1991:23).
Dengan mengetahui gambaran karakter yang dimunculkan dapat diketahui sikap-sikap
yang muncul berdasarkan tindakan yang dilakukannya.
Dalam menyajikan suatu peristiwa diperlukan latar tempat berlangsungnya
cerita. Latar berfungsi sebagai penanda keterangan tempat, situasi, dan waktu
(Sudjiman, 1991:44). Dengan mengetahui latar yang tergambarkan dalam cerita dapat
digunakan. untuk mendiskripsikan lingkungan sosialnya. Sudjiman dengan mengutip
Hudson mengatakan bahwa latar dibedakan atas latar fisik dan latar sosial. Latar fisik
meliputi penggambaran rumah, daerah dan lingkungan sekitarnya. Di samping itu latar
fisik meliputi tempat dan masa terjadinya peristiwa sedang latar sosial meliputi
penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat
kebiasaan, cara hidup dan bahasa yang menjalin peristiwa (1991:44).
Maka dalam pembahasan unsur intrinsik lebih dititikberatkan pada tokoh utama.
Di samping berdasarkan intensitas kemunculannya, kedua tokoh tersebut mampu
mengembangkan sikap-sikap moral yang mendukung terbentuknya suatu pribadi
humanis dalam menyelaraskan dengan nilai-nilai budayanya.

1.5.2.2 Sosiologi Sastra


Teeuw dengan mengutip Abrams mengatakan bahwa terdapat empat pendekatan
kritik yang utama terhadap karya sastra. Pertama pendekatan obyektif menitikberatkan
pada karya itu sendiri, kedua pendekatan ekspresif menitikberatkan pada pengarang,
ketiga pendekatan mimetik menitikberatkan pada alam semesta, keempat pendekatan
pragmatik menitikberatkan pada pembaca (1984 : 50). Dari keempat pendekatan ini,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mimetik. Pendekatan ini lebih
mengarahkan sastra sebagai cerminan kenyataan, dan sastra membuat sebuah modul
(bagan) mengenai kenyataan (Lux, 1982:18). Dalam memahami karya sastra perlu
ditelaah struktur pembentuknya. Potret-potret yang terdapat dalam masyarakat
dihubungkan dengan keadaan tokoh dan jugs latar yang diwujudkan oleh pengarang.
Sehubungan dengan itu bertolak dari De Bonald bahwa "sastra adalah ungkapan
perasaan masyarakat" (Welleck dan Warren, 1993:110); menunjukkan adanya kaitan
antara_potret yang terdapat dalam masyarakat dahulu dianalisis struktur pembentuknya
dengan dihubungkan data dari masyarakat.
Karya sastra diarahkan kepada hubungan antara gambar dengan apa yang
digambarkan, dengan tolok ukur estetiknya adalah sejauh mana karya sastra itu
langsung mencerminkan keadaan sosial budaya dalam masyarakat.
Di sisi lain pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini
disebut sosiologi sastra (Damono, 1979 : 2). Secara singkat dapat dijelaskan bahwa
sosiologi adalah telaah yang obj-ektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat;
telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sehubungan dengan inilah sosiologi mencoba
mencari tahu dengan menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi
ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang menempatkan asal-usulnya
(Damono, 1979:7-9).
Jadi, masyarakat yang tergambarkan dalam sastra bukanlah masyarakat dalam
arti yang luas. Gambaran masyarakat tersebut hanya mampu menampilkan suatu
bagian masyarakat tertentu sehingga masalah-masalah yang dipersoalkan dalam karya
sastra adalah persoalan milik lingkungan sosial yang tergambarkan (Sumardjo,
1979:17). Oleh karena itu, karya sastra mampu menampilkan gambaran yang berada di
luar karya sastra tersebut, baik yang berkaitan dengan adat istiadat, sistem
kemasyarakatan, sosial politik, religi maupun kehidupan moral (Damono, 1979 : 7).

1.5.2.3 Manusia dalam Pandangan Moralitas


Sebagai makhluk yang otonom, manusia mengalami diri sebagai makhluk yang
memiliki dirinya sendiri. Ia mempunyai kebebasan dalam menentukan setiap tindakan.
Dari sinilah setiap individu mempunyai sikap kritis dan bebas dalam memahami diri
dengan lingkungan sosialnya (Suseno, 1985:26). Keotonoman ini dimaksudkan bahwa
di samping mempunyai peranan untuk menjadi bagian dengan dunianya, setiap
individu mampu mengembangkan pribadinya dalam membentuk diri sesuai dengan
keinginannya.
Pembentukan diri secara bebas ini membawa pada pemahaman kebebasan secara
luas. Segala tindakan yang dilakukannya diperhatikan baik tidaknya menurut
kepentingan kolektif. Sehubungan dengan hal itu perlu adanya tanngung jawab dalam
menggunakan kebebasan tersebut. Kebebasan tersebut harus diartikan sebagai sikap
yang positif dan terbuka sehingga mampu memberikan keselarasan dengan lingkungan
sosialnya.
Oleh karena itu, perlu adanya suara hati sebagai suatu cerminan. Dengan suara
hati setiap individu dituntun untuk melakukan tindakan dalam situasi yang mewajibkan
tanggung jawab dalam menentukan kebebasan tersebut. Di sinilah diperlukan suatu
kekuatan moral yaitu kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupan
untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya benar (Suseno, 1985:141).
Sehubungan dengan hal itu diperlukan sikap-sikap yang mendasari terbentuknya
kekuatan moral dalam setiap pribadi. Sikap tersebut antara lain pertama kejujuran yang
berarti sikap terbuka dan fair. Terbuka berarti bahwa kita selalu muncul sebagai diri
kita sendiri dan sesuai dengan keyakinan. Sedang fair atau sewajarnya berarti terdapat
pemahaman untuk berlaku secara wajar menurut standart-standart yang diharapkan
dengan menghormati orang lain. Kedua, kesediaan untuk bertanggung jawab yaitu
terdapat suatu sikap yang terikat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padanya
tanpa adanya suatu pamrih. Dengan sikap ini dapat membawa ke arah kekuatan batin
yang mantap. Ketiga, kemandirian moral yang berarti bahwa kita tidak pernah ikut-
ikutan dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkup sosial, melainkan selalu
membentuk penilaian dan pendirian sendiri dalam bertindak sesuai dengan situasinya.
Keempat, keberanian moral yang mengarah pada sikap mandiri. Sikap yang mandiri
merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu
masalah moral. Untuk itulah diperlukan keberanian moral dalam menyatakan diri
dalam kesediaan mengarnbil resiko konflik sesuai dengan keputusan hati nurani.
Kelima, sikap kerendahan hati yang merupakan kekuatan batin untuk melihat diri
sesuai dengan kenyataan (Suseno, 1985 : 142-150).
Kejujuran sebagai suatu sikap dasar mencerminkan tindakan terbuka dalam
memahami kelemahan . dan juga kekurangannya. Disinilah fungsi suara hati akan
tampak karena melalui sikap ini setiap individu dihadapkan pada resiko konflik untuk
menentukan benar atau salahnya tindakan.
Sikap jujur membawa pada suatu tanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukannya. Sikap ini muncul atas kesadaran dalam dirt terhadap niat perbuatannya.
Ada suatu kewajiban yang mengikat untuk menyelaraskan tindakannya dengan
keberadaan lingkungan sosialnya. Jadi bukan karena paksaan ataupun pamrih dalam
melakukan tindakan tersebut.
Untuk mendukung sikap tersebut dibutuhkan suatu kemandirian dan jugs
keberanian dalam melakukan tindakan tersebut. Di sini kedua sikap ini tidak
bertentangan dengan sikap kerendahan hati tetapi merupakan suatu kematangan dalam
diri untuk menentukan baik tidaknya tindakan tersebut sesuai dengan alam pikirannya.
Nilai moralitas ini lebih mengarah pada ratio untuk menuntun suara hati.
Sehubungan dengan hal itu dibutuhkan kerendahan hati dalam mengambil suatu
penilaian. Sikap ini mampu memberikan kematangan batin. Ia tidak hanya mengalah
tetapi lebih memberikan refleksi atas perbuatannya. Dengan kerendahan hati ini akan
memunculkan kekuatan moral dalam dirinya untuk tetap memanusiakan manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Keotonoman sikap ini mengacu pada pandangan bahwa setiap individu manusia
dapat menentukan sikapnya secara bebas terhadap dunia sesuai dengan sikap dan
perilaku yang diungkapkan secara mandiri. Di sinilah terdapat pengalaman otonomi
yang paling fundamental yang terdapat dalam kehidupan.
Pengalaman tersebut mengarah pada kesadaran moral karena menuntut adanya
suara hati. Kesadaran ini mempunyai tanggung jawab dalam menentukan suatu
keputusan. Tanggung jawab terhadap nilai moral ini membawa setiap individu
mengalami diri sebagai makhluk yang bebas dan otonom (Suseno, 1983:17-18).
Di pihak lain moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi
batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin
yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Untuk itulah dalam
menilai suatu tindakan moral diperlukan suatu ukuran tertentu. Ukuran tersebut dipakai
dengan bercermin pada kepekaan hati nurani dan norma yang berlaku. Dengan kata
lain hati nurani menunjuk ukuran subjektif dan norma menunjuk ukuran objektif
(Purwahadiwardoyo, 1990:13-15).
Sehubungan dengan hal itu dapat dikatakan bahwa moralitas terdiri dari suatu
sistem kaidah atau norma mengenai tindakan yang menentukan tingkah laku setiap
individu. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana seseorang harus bertindak
pada situasi-situasi tertentu, dan bertindak secara tepat tidak lain adalah taat secara
tepat terhadap kaidah yang telah ditetapkan (Durkheim via Abdulah, 1986:157).
Dari sinilah terdapat pernyataan bahwa fungsi moralitas pertama-tama adalah
menentukan tingkah laku, menetapkannya, membatasi unsur-unsur yang bersifat
semau-maunya saja (ibid, 1986:160). Dalam menentukan perilaku atau tindakan harus
diselaraskan dengan kepentingan kolektif sesuai dengan otoritas setiap individu dalam
menentukan tindakannya secara bebas. Dengan menjalankan kaidah-kaidah moral,
maka setiap individu mengembangkan kemampuan untuk memerintah dan mengatur
diri sendiri. Kaidah-kaidah itu pula yang berkat otoritas dan kekuatan yang
mendukungnya melindungi diri dari kekuatan immoral dan amoral yang berada di
sekelilingnya (ibid, 1986:187). Hal senada juga disampaikan Sudarminta yang
mengutip Whitehead bahwa moralitas terdiri dari pengaturan kontrol atas proses demi
maksimalisasi bobot kehidupan. Tujuannya adalah untuk mengejar keagungan
pengalaman dalam berbagai dimensi yang terkandung dalam pengalaman tersebut.
Pengalaman tersebut mengandaikan bahwa perilaku setiap individu dalam
mengembangkan diri menjaga keselarasan antar anggota masyarakat (Sudarminta,
1991:76- 78).
Dari sinilah moralitas merupakan cita-cita ke arah kesatuan yang selaras.
Intensitas dari suatu pengalaman akan membawa pada kesegaran hidup yang
melibatkan penyempurnaan bobot suatu pengalaman tertentu. Untuk itulah pengalaman
mampu memberikan dimensi khusus dalam membentuk sikap yang moralis.
Oleh karena itu, moralitas harus difungsikan dalam konteks dinamika kehidupan
dan bukan karena adanya aturan-aturan atau hukum. Benar salahnya tindakan atau baik
buruknya kelakuan manusia pada dasarnya pertama-tama tidak ditentukan oleh ditaati
tidaknya peraturan-peraturan atau dilakukan tidaknya perbuatan-perbuatan atau
keutamaan-keutamaan sikap tertentu, melainkan oleh kesetiaan individu dalam
tanggung jawab untuk menjadi pribadi yang sebaik mungkin dalam setiap situasi yang
konkrit (Whitehead via Sudarminta, 1991:79).
Sehubungan dengan hal itu suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral kalau
itu meningkatkan kesejahteraan umum dan hormat terhadap kepentingan individu yang
bersangkutan (Whitehead via Sudarminta, 1991:80). Konflik antara kepentingan umum
dengan kepentingan pribadi bisa diatasi kalau masing-masing pribadi bisa menemukan
pemenuhan kepentingan pribadinya dalam usaha yang menunjang kepentingan umum.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa moralitas merupakan suatu sikap dasar dari setiap
individu yang tidak terikat pada norma tetapi lebih mementingkan kepekaan suara hati
dalam menentukan tindakannya. Di sinilah perbuatan tersebut tetap diselaraskan
dengan kepentingan umum guna menunjang suatu kedamaina. Moralitas pada dasarnya
mengarahkan kebebasan setiap individu dalam menentukan setiap tindakannya.

1.5.2.4 Pandangan Budaya Priayi Tentang Wanita Jawa


Dalam masyarakat Jawa, khususnya golongan priayi terdapat suatu pemahaman
yang mencakup realitas tentang keberadaan dirinya dalam masyarakat. Mereka
mempunyai pendangan bahwa realitas yang paling nyata adalah kesatuan asasi Ilahi
yang mencakup keseluruhannya (Magnis, 1983 :96). Kesatuan asasi ilahi ini harus
dilihat pada sikap dan perilaku yang dikembangkan. Keseimbangan antara batin dan
juga emosi sangat diperlukan dalam menentukan tindakan untuk mencapai kematangan
sikap moral.
Dari hal ini maka terdapat hakikat hidup yang dianut masyarakat priayi.
Koentjaraningrat menyebutkan bahwa dalam masyarakat priayi terdapat pandangan
bahwa hidup pada hakekatnya adalah suatu rangkaian kesengsaraan; sungguhpun
mereka juga mengalami arti dan ihktiar manusia. Bagi orang priayi betapapun beratnya
dan sengsaranya Bagi orang priayi betapapun beratnya dan sengsaranya ihktiar ini,
orang wajib berusaha sebanyak mungkin untuk memperbaiki keadaan (1984:437).
Sementara masyarakat Jawa pada umumnya memandang dan mengalami kehidupan
mereka sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis (Mulder, 1973:62).
Sebagai suatu keseluruhan, nilai budaya dari pandangan tersebut merupakan
konsep hidup di dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai hal-hal yang
harus dianggap sangat bernilai di dalam kehidupan (Koentjaraningrat 1984:25). Dari
sinilah muncul pandangan tentang wanita Jawa, yang menyangkut sisi moralitasnya.
Sebagai suatu bagian dari kosmis, wanita merupakan suatu bagian yang tidak
dapat dipisahkan dengan lingkungan sekitarnya. Wanita mempunyai peranan dalam
menjaga keseimbangan antar individu. Dengan kesederhanaan dan sikapnya yang kritis
mampu membangun suatu keselarasan baik dalam keluarga maupun dengan
lingkungannya.
Masyarakat Jawa memandang bahwa keberadaan wanita terkesan
termarginalkan. Wanita Jawa selalu diidentikkan sebagai bagian dari penghias rumah
tangga yang selalu menunaikan tugasnya di- dapur dan dituntut untuk selalu patuh pada
suami. Wanita digariskan sebagaimana seorang pribadi yang memiliki sifat-sifat nrimo
atau pasrah, halus, sabar, setia, bekti dan sifat-sifat lain yang terdapat dalam dirinya.
Sifat-sifat ini merupakan gambaran kepribadian wanita Jawa yang diidealkan.
Kepribadian ini dibentuk dalam lingkungan keluarga yang telah dipengaruhi oleh
sistem nilai budaya. Kepribadian wanita Jawa tercermin dalam sistem sosialnya, yaitu
bersifat konform atau berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku
supaya dapat memenuhi harapan-harapan lingkungannya, meskipun tindakan-tindakan
tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginannya (Retno Santosa, 1986 : 57).
Sehubungan dengan hal itu dalam masyarakat Jawa terdapat pandangan bahwa
tugas moril setiap individu adalah menjaga keselarasan, dengan cara menjalankan
kewajiban-kewajiban sosial. Kewajiban sosial itu menyangkut hubungan sosial, yaitu
hubungan antar individu. Hubungan tersebut tidak sama, melainkan bersifat hierarkis.
Ketentraman dan keselarasan masyarakat merupakan dasar moralitas; dasar itu terletak
dalam hubungan yang selaras antara orang dalam masyarakat itu sendiri (Mulder,
1983:43-44).

1.6 Metode Ponelitian


Pada bagian ini akan dikemukakan tentang pendekatan, metode, teknik
pengumpulan data dan cumber data.

1.6.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural
dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural digunakan untuk menelaah
karya sastra berdasarkan struktur pembentuknya, yaitu meliputi tokoh dan penokohan
serta latar.
Dari pendekatan ini kemudian dilakukan pendekatan sosiologi sastra yang
berfungsi untuk menelaah gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat, terutama yang
berhubungan dengan aspek moralitas. Dari sinilah pendekatan sosiologi sastra
beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur
sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain (Damono, 1979:10).

1.6.2 Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode deskriptif dan
metode analisis. Metode deskriptif yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan
pada fenomen yang memang secara empiris hidup dalam masyarakat, sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa fakta yang bisa dikatakan sifatnya seperti potret:
paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1988:62). Metode ini digunakan berdasarkan
data yang terdapat struktur karya sastra. Perilaku tokoh yang diwujudkan yang
dihubungkan dengan kondisi lingkungan sosialnya. Tujuan dilakukannya metode ini
untuk mencari tahu karakter tokoh yang disampaikan oleh pengarang.
Dari fenomena ini kemudian data dianalisis dengan tujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu atau untuk menentukan adanya frekuensi penyebaran suatu gejala dalam
masyarakat (Tan, 1989:20).

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data


Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak, dan teknik
catat. Teknik simak merupakan suatu teknik dimana peneliti berhadapan langsung
dengan teks untuk mendapatkan data yang kongkrit. Kemudian data yang diperoleh
dicatat dalam kartu data, yang di sebut teknik catat (Sudaryanto, 1993:133-135).
1.7 Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam sistematika sebagai berikut :
Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan
masalah berdasarkan objek penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka
dan landasan teori, serta metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berisi
analisis struktur teori sastra yang meliputi tokoh dan penokohan dan latar. Latar disini
meliputi latar fisik (tempat dan waktu) dan latar sosial. Bab III merupakan analisis
moralitas citra wanita Jawa yang tercermin dalam perilaku dan sikapnya sehingga
membentuk suatu keutamaan sikap-sikap moralnya. Bab IV berisi penutup yang terdiri
atas kesimpulan dan juga saran demi kesempurnaan penelitian ini.
BAB II
ANALISIS STRUKTUR SRI SUMARAH DAN BAWUK

Karya sastra sebagai suatu struktur mempunyai unsur-unsur pembentuknya.


Unsur-unsur pembentuk tersebut antara lain meliputi unsur intrinsik. Dalam
pembahasan ini, sesuai dengan landasan teori akan diuraikan unsur intrinsik yang
meliputi tokoh dan penokohan serta latar yang terdiri atas latar fisik dan latar sosial.
Hal ini dimaksudkan karena unsur-unsur tersebut mempunyai peranan penting dalam
pembentukan nilai moralitas.
Sesuai dengan judulnya Sri Sumarah dan Bawuk tokoh dalam novel ini adalah
Sri Sumarah dan Bawuk. Tokoh yang berperan sebagai tokoh protagonis ini banyak
mendapat sorotan dalam pengisahannya. Sebagai tokoh utama mereka mampu
mewujudkan suatu sikap dan tindakan yang memanusiakan manusia. Karakter dalam
dirinya inilah yang mampu mewujudkan nilai-nilai moral seorang individu Jawa dalam
usaha untuk menyelaraskan nilai-nilai moralitas.
Pembentukan karakter ini sangat ditentukan oleh menentukan sikap ini
diselaraskan dengan latar fisik dan juga latar sosialnya. Dengan melihat latar sosial
ditentukan nilai budaya yang dianut oleh masyarakatnya.

2.1 Tokoh dan penokohan dalam Sri Sumarah dan Bawuk


Dalam pembahasan ini fokus penelitian dititkberatkan pada tokoh utama, yaitu
Sri Sumarah dan Bawuk. Di samping dilihat dari intensitas kemunculannya, novel ini
banyak menceritakan kehidupan kedua tokoh yang berhubungan dengan moralitas
wanita Jawa. Untuk itulah dalam bagian ini akan diuraikan sikap-sikap moral yang
muncul dari kedua tokoh tersebut berdasarkan karakter yang terdapat dalam dirinya
sebagai seorang individu Jawa.
2.1.1 Sri Sumarah
Tokoh Sri Sumarah dalam bagian ini digambarkan sebagai seorang wanita yang
mempunyai sikap yang terbuka dan sederhana, yaitu "sumarah" menyerah atau juga
yang terserah, mau secara terbuka menerima diri apa adanya.
"Sri Sumarah yang artinya Sri yang. "menyerah" atau yang "terserah"
menyerah saja waktu neneknya menyatakan kepadanya bahwa saatnya sudah
tiba untuk menyiapkan diri naik jenjang pernikahan" (hlm. 8)
Pengertian inilah yang membuat Sri mau menerima suatu situasi apapun dalam
dirinya. Penerimaan ini tidak membuat Sri Sumarah bersikap apatis terhadap segala
ketentuan, Sri tidak bersikap pasrah saja. Dalam dirinya ditanamkan suatu pengertian
yang mendalam tentang kesumarahannya itu. Ia harus bisa bersikap terbuka akan
keadaan yang dihadapi dan mengerti akan tindakan yang dilakukannya. Sri tidak
terpatri pada pribadi yang pasrah saja.
"Bukannya kebetulan, nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap
berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak berarti lantas
kau diam saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak
menolak, mengerti, nduk?" (hlm. 10)
Dengan kesumarahannya ini Sri diharap bisa berlaku seperti seorang Sembadra.
Seorang tokoh dalam pewayangan yang mempunyai visi dan peran terhadap
perbuatannya. Sebagai seorang wanita yang sederhana dan mau menerima diri apa
adanya. Hal inilah yang tampak dalam diri Sri Sumarah. Di sinilah Sri diharap
mempunyai sifat-sifat layaknya seorang Sembadra.
"Modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, isteri
Arjuna, laki-laki dari segala laki-laki. Dialah isteri yang sejati, patuh, sabar,
mengerti akan kelemahan, suami, mengagumi akan kekuatannya" (hlm. 10)
Berdasarkan kutipan di atas, dalam diri Sri tertanam sikap jujur, terbuka akan
penilaiannya dan kerendahan hati dalam menjalani kehidupan. Terlebih saat ia
mengerti akan keadaan diri dan juga keluarganya setelah ia menikah.
Sikap-sikap inilah yang coba dikembangkan oleh Sri Sumarah dalam menjalani
kehidupan. Meskipun berasal dari golongan priayi yang sederhana, Sri diberi
kebebasan oleh neneknya untuk mengenyam pendidikan di kota. Di sini Sri merasa
diberi 'kesempatan untuk menikmati pendidikan dalam menambah pengetahuan karena
ia lahu bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dalam perkembangan seseorang
menghadapi suatu keadaan.
"Buat seorang priyayi Jawa - meskipun priyayi yang sudah jatuh miskin..."
(hlm. 8)
"Dia menyerah karena embahnya sudah cukup sabar dan baik hati memberi
kesempatan belajar hingga tingkat SKP di kota hingga dengan demikian Sri
pernah mengecap kehidupan kota meskipun dalam waktu yang tidak terlalu
lama dalam taraf hidup yang sangat sederhana" (hlm. 8)
Pola hidup yang sederhana yang tertanam dalam dirinya ini mampu membentuk
watak Sri Sumarah. Pengalaman-pengalaman akan konflik yang terjadi dalam dirinya
mampu memunculkan bentuk akhir dari watak Sri Sumarah, yaitu bagaimana ia
memecahkan persoalan yang dihadapi.
Peristiwa yang dialami oleh Sri Sumarah ini dimulai saat ia tahu bahwa anak
satu-satunya, Tun hamil di luar nikah.
"Bu, Tun bukan perawan lagi"
Sri diam menatap anaknya. Aneh sekali. Pada perasaan Sri mulutnya ada
mengatakan "Gusti, nyuwun ngaloura", tapi kenapa tidak terdengar" (hlm. 26)
Kemudian peristiwa ini didukung tatkala dirinya mengetahui bahwa Tun dan
suaminya, Yos terlibat pemberontakan PKI. Akibat dari kegiatan itu, Yos suami Tun
harus dibunuh oleh massa yang marah. Di lain pihak, Tun sendiri, walaupun bisa lolos
dari pengamukan massa tidak jelas nasibnya karena ia harus menjalani hukuman akibat
perbuatannya itu. Dari peristiwa ini Sri harus merelakan anaknya, Tun
diserahkan pada pihak yang berwajib untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya selama ini.
"Kemudian Sri baru tahu arti kata "digamekan", Sri meleleh air matanya
mendengar cara kematian anak mantunya. Sekarang didepannya duduk anak
satu-satunya, Tun, yang karena keajaiban saja bisa lolos dari maut dan
penangkapan. Tetapi sampai kapan dia bisa bertahan begitu. Sri kemudian
ingat pesan Pak RT agar dia melaporkan dan agar anaknya itu menyerahkan
diri saja. Sri ingat akan janji Pak RT untuk menolong mengatur keringanannya
ituf' (hlm. 46)

Peristiwa-peristiwa yang dialaminya ini sampai pada puncaknya ketika Sri


berlaku sebagai seorang tukang pijat. Rasa kesepiannya selama ini karena ditinggal
mati oleh suaminya membawa keinginan pada Sri untuk mengenangnya. Profesinya
sebagai seorang tukang pijat untuk menambah penghailan keluarga membawa dampak
yang negatif. Sri merasa larut dalam peristiwa ini. Sampai muncul kesadaran dalam
dirinya atas tindakan yang dilakukannya. Sri telah merasa melampaui batas-batas
seorang Sembadra dan Kunti. Sri merasa bersalah terhadap suami dan anaknya serta
merasa kecil di hadapan penciptanya. Kesadaran yang muncul ini lebih didasarkan atas
kepekaan suara hatinya.
"Rasa itu. Oh, Gustiii paringana kuat, tiba-tiba Sri mendengar sendiri
suaranya mengaduh di dalam hati. Dan hampir secara otomatis tangannya
berusaha melepaskan tindihan tubuh pemuda itu. Tiba-tiba saja berhiba mohon
kepada anak itu" (hlm. 78)
"Oh, Gustiii berilah kekuatan. Paringana kuat Gusti. Mas Marto, pake nduk,
nyuwun ngapura..." (h]m. 80)
Permasalahan-permapalahan yang dialaminya selama ini pada akhirnya mampu
membentuk sikap-sikap akhir dalam diri Sri Sumarah. Pembentukan sikap atas
kehamilan Tun di luar. nikah dan nasibnya bersama Yos mampu menggeserkan
perannya sebagai Sembadra menjadi seorang Kunti. Seorang ibu yang tahu akan
penderitaan anaknya, dan ia rela berkorban untuk tugas yang mulia.
"Dan seperti embahnya juga, dia sekarang menggeser peranannya menjadi
Kunti, ibu Pendawa" (hlm. 17)
"...tentang kewajiban dan pengorbanan adalah penderitaan yang mulia dan
berbahagia seperti penderitaan Kunti" (hlm. 8)
Di sini Sri dituntut untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi oleh
anak-anaknya. Sri harus rela berkorban untuk kebahagiaan anak-anaknya, ia harus bisa
menderita untuk kepentingan orang lain tanpa adanya suatu pamrih. Sri mempunyai
kemandirian dan kewajiban yang . mengikatnya untuk menyelamatkan anaknya. Sri
tidak ingin Tun, anak satu-satunya lepas dari genggamannnya.
"Dia sumarah tapi dia juga melihat dengan mata terbuka akan pilihan yang
mesti dia ambil untuk menyelamatkan anaknya, harapan embahnya dan
suaminya yang ada "diatas" sana dan sudah tentu untuk menyelamatkan
dirinya" (him.29)
Dari sinilah kemudian muncul kasadaran dalam dirinya untuk melakukan suatu
perbuatan yang manusiawi, yaitu suatu perbuatan yang mencoba untuk
membahagiakan orang lain sesuai dengan hak dan martabatnya. Kesadaran ini muncul
atas kepekaan suara hati, ketika Sri harus dihadapkan pada situasi dimana ia telah
melampaui batas-batas seorang wanita yang "sembadra" dan khilaf akan perbuatannya
itu. Dengan disertai rasa tanggung jawab atas perbuatannya itu, Sri mencoba untuk
mulai mengukur seberapa jauh ia telah melakukan suatu perbuatan untuk kebahagiaan
orang lain.
"Pada hari begitu disamping bayang-bayang seperti itu, Sri akan mengukur
seberapa jauh dirinya telah berbuat sebisanya untuk membahagiakan anak
tunggalnya bahkan hampir merupakan miliknya yang penghabisan" (hlm. 70-
71)
Dari sinilah Sri dengan kerendahan hatinya berusaha untuk melakukan yang
terbaik bagi orang yang dicintainya. Walau kadang ia merasa kecil untuk melakukan
perbuatan yang mulia itu, namun dengan kemandirian dan keberaniannnya Sri mampu
menentukan tindakan untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain. Melalui
pengalaman-pengalamannya, Sri mampu membentuk citra tersendiri, yaitu suatu
pribadi yang mau secara terbuka menerima kelemahan dan kelebihannya guna
mencapai suatu kematangan pribadi yang mantap.

2.1.2 Bawuk
Bawuk dalam cerita ini digambarkan sebagai seorang wanita yang berasal dari
keluarga lingkungan priyayi terpandang. Suatu keluarga onder pada masa itu yang
menerapkan kultur budaya yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Dalam
keluarga Bawuk terdapat suatu kebiasaan bagi anak-anaknya. Suatu kebiasaan yang
menuntut kedisiplinan, patuh, efisien, serius dan juga efektif yang harus tertanam
dalam diri anak-anaknya.
"Mereka adalah anak-anak bapaknya. Sebagai anak seorang onder tak ada
yang lebih memenuhi syarat daripada keempat anak itu. Disiplin, patuh, serius,
efisien, dan efektif" (him. 86)
Namun Bawuk mempunyai pemahaman yang berbeda dengan saudara-
saudaranya akan kebiasaan itu. Bawuk patuh akan cara yang diterapkan dalam
keluarganya tetapi kepatuhannya itu diinterpretasikan sendiri tanpa berdasarkan pada
aturan yang ketat. Bawuk lebih memilih sendiri aturan yang ada, ia lebih bersikap
otonom dan mandiri dalam menerapkan tindakannya itu.
"Bawuk adalah anak yang patuh. Tetapi pengertiannya tentang sifat-sifat baik.
seperti disiplin dan efisien nampaknya tidak sama dengan kakak-kakaknya"
(hlm. 86)
"Pekerjaan rumah selalu dia selesaikan menurut waktu yang dipilihnya sendiri.
Selalu selesai dengan baik, tetapi tidak selalu sama dengan irama saudara-
saudaranya" (hlm. 86)
Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk Bawuk menjadi seorang pribadi
yang bebas. Hal ini ditunjukkan baik dalam menjalankan- tugas pekerjaan rumah,
ataupaun dalam membina hubungan dengan lingkungan sosialnya. Dalam menjalin
relasi sosialnya ini Bawuk tidak membedakan status .sosial, bahkan ia mencoba untuk
terlibat dalam lingkungan lain dengan dunianya. Di sini Bawuk mencoba untuk
mencari sesuatu yang belum dikuasainya untuk digabungkan dengan apa yang
diperoleh di dunianya. Bawuk ingin menjadi seorang pribadi dengan wawasan yang
luas.
"Kadang-kadang bila keempat kakaknya menyelesaikan pekerjaan rumahnya
di waktu sore, Bawuk enak-enak main di belakang kandang kuda makan tebu
dengan anak mandor tebu yang sering main dengan anak Sarpan, atau kadang-
kadang dia enak tiduran di bale-bale mbok Inem mendengarkan cerita-cerita
Jawa lama seperti Timun Emas, Raden Panji atau Ajisaka. Sebagai gantinya
dia akan bercerita kepada mbok Inem tentang Roodkapje dan Sneeuwitje dan
juga Hans en Grietje" (hlm. 86-87)
Begitulah sifat Bawuk, ia tidak mau terpatri pada tatanan yang ada. Tetapi
mencoba menghubungkan dengan budaya yang dianutnya untuk digabungkan dengan
sesuatu yang baru untuk menambah wawasan dan juga pengalaman.
Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk pribadi Bawuk. Melalui konflik
konflik yang dialaminya mampu membentuk watak akhir Bawuk. Peristiwa-peristiwa
yang dialaminya ini muncul ketika ia menyadari bahwa paham komunis yang dianut
suaminya membawa dampak yang buruk. Hal ini dirasakan Bawuk setelah ia tahu
keberadaan gerakan itu.
"Dan aku? Aku kawin dengan seorang pemimpin gila. Aku tidak seberuntung
Yu Mi dan Yu Syul bisa kawin dengan seorang priyayi terpandang. Aku ketemu
dengan seorang yang SMA pun tidak tamat. Seorang yang mimpi bahwa tanpa
satu ijasah, tanpa kedudukan resmi orang pun bisa terpandang di mata
masyarakat. Alangkah tololnya dia. Dia mengira dia mengetahui masyarakat
kita. Tapi sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa. Seharusnya dia menamatkan
sekolahnya, meneruskan di dalam atau di luar negeri, mengusahakan tempat
kedudukan yang baik di pemerintahan dan dari sana terus maju lagi paling
tidak jadi kepala bagian, sukur-sukur jadi direktur atau dirjen. Yang dia
kerjakan malah berhenti sekolah, Jadi marxis, belajar intrik, kasak-kusuk lagi,
mimpi lagi dan akhirnya malah berontak" (hlm. 121)
Dari peristiwa ini menggambarkan bagaimana suasana hati Bawuk akibat
keberadaan suaminya. Ia mengetahui bahwa paham yang dianutnya itu akan
membawaa dampak yang buruk pada akhirnya nanti. Untuk itulah Bawuk berusaha
memahami dan dengan kerendahan hatinya mencoba untuk menghargai kebebasan
yang dianut oleh suaminya. Dari sinilah dalam diri Bawuk muncul sikap kemandirian
akan situasi yang dihadapinya. Bawuk secara otonom mampu mengambil keputusan
dimana ia harus menitipkan anak-anaknya kepada ibunya agar mereka berkembang
dalam lingkungan yang normal.
"Bawuk memutuskan anak-anaknya harus hidup dalam lingkungan yang
normal. Anak-anaknya mesti sekolah lagi. Dan lingkungan itu hanyalah ada
pada rumah ibunya" (him. 113)
Kemandirian yang muncul dalam dirinya ini terbentuk atas penilaian tindakan
yang akan dilakukannya. Keberanian dalam menentukan tindakan itu ditegaskan dlam
keputusannya untuk menitipkan anak-anaknya, dan ia berjuang untuk mencari Hasan,
suaminya. Penegasan ini nampak dalam kutipan berikut.
"Dan terus terang, untuk sekejap saya tergoda untuk mau disedot oleh tarikan
itu, oh alangkah kelirunya aku. Kenyataan Hasan masih di sana, di tempat yang
lain sama sekali. Dunia dan impiannya sekarang penuh asap dan mesiu. Penuh
pengejaran dan pelarian" (hlm. 122)
"Tapi mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, itulah dunia pilihanku. Dunia
abangan yang bukan priyayi, dunia yang selalu resah dan gelisah, dunia yang
penuh ilusi yang memang seringkali bisa indah sekali" (hlm. 121-122)
Keputusan yang diambilnya ini berdasarkan atas sikap tanggung jawab yang
diembannya selama ini. Sebagai seorang isteri Bawuk mampu bertindak secara
otonom, ia tidak ingin segala sesuatu menjadi tersisih hanya karena pamrih. Dalam
pengambilan keputusn inipun Bawuk didasarkan atas kepekaan suara hati.. Dengan
berani dan keyakinannya Bawuk mencoba untuk mengembangkan kepekaan suara hati
untuk mencapai suatu tujuan hidup. Di sinilah kerendahan hatinya mampu memberikan
kekuatan untuk mengahadapi situasi yang sulit.
Bawuk mampu tampil sebagai seorang wanita yang mempunyai wawasan yang
luas dalam pergaulannya. Meskipun harus menderita untuk suatu kepentingan Bawuk
mampu mengembangkan sikap mandiri dengan disertai tanggung jawab dan jujur.
Dalam menentukan tindakannya itu Bawuk lebih mengarahkan pada suatu tujuan untuk
mencapai suatu kebahagiaan. Pencitraan inilah yang mampu membentuk Bawuk untuk
tampil sebagai seorang wanita yang mampu menerima diri dengan segala kekurangan
dan kelebihannya. Dalam pencapaian tugasnya Bawuk mampu mengembangkan
perilaku yang moralis dengan berpegang pada suara hati meskipun harus menghadapi
resiko konflik.

2.2 Latar Sri Sumarah dan Bawuk


Karya sastra menggambarkan atau mencerminkan situasi sosial suatu
masyarakat. Sehubungan dengan hal itu dalam pembahasan ini akan diuraikan
informasi-informasi yang mendukung latar. Pendeskripsian latar ini meliputi latar fisik
dan latar sosial. Latar fisik meliputi penggambaran latar tempat dan juga latar waktu,
sedang latar sosial digunakan untuk mengetahui nilai budaya-budaya yang terdapat
dalam masyarakat, khususnya masyarakat priayi Jawa.
Dalam pembahasan ini, analisis latar dalam Sri Sumarah dan Bawuk
disejajarkan untuk mendapatkan nilai budaya yang dianut dalam masyarakatnya.

2.2.1 Latar Fisik


Telah disebutkan bahwa latar fisik meliputi tempat terjadinya peristiwa yang
mengacu pada daerah atau geografis, bangunan dan juga masa terjadinya peristiwa
tersebut. Maka dalam pembahasan ini latar fisik meliputi latar tempat dan juga latar
waktu.
2.2.1.1 Latar Tempat
Dalam Sri Sumarah penggambaran latar tempat tampak ketika tokoh Sri
Sumarah berada di rumahnya pada suatu sore, tatkala pak Carik bertamu ke
kediamannya.
"Sore itu nampak seperti sore hari biasanya bagi Sri. Langit memerah di barat,
burung-burung pada bercicit berebut tempat di pohon mangga pojok rumah..."
(hlm. 58)
"Sri agak kaget juga pada waktu suatu sore itu begitu saja pak Carik
menyelonongkan "kulo nuwun" lantas duduk di serambi depan rumah Sri" (hlm.
18)
Percakapan antara Sri dengan pak Carik pada suatu sore itu, memberi gambaran
suasana dalam penyampaian latar tempat. Percakapan yang terjadi di rumah Sri itu,
tepatnya di serambi depan mampu memberikan gambaran karakter situasi rumah.
Sebuah rumah yang mempunyai serambi depan tempat untuk santai sambil melihat
pemandangan sekitarnya. Karakter rumah ini kemudian diperjelas dalam kutipan
berikut.
"...Rumahnya yang berkapur putih dan sawahnya yang basah dan hijau" (hlm.
55)
Sri yang tinggal sendirian di suatu kecamatan yang sunyi sementara anaknya,
Tun bersekolah di kabupaten dan hanya bisa bertemu setiap kali Tun "pakansi" ke
rumah. Dari sinilah Sri bisa mengamati pertumbuhan dan perkembangan anaknya dari
waktu ke waktu.
"Setiap kali Tun pulang ke kecamatan yang sunyi itu, Sri mengamati
pertumbuhan anaknya itu dengan teliti" (hlm. 22)
Kemudian Tatar berpindah di daerah J. Keadaan ini dialami oleh Sri ketika ia
mulai tinggal bersama Tun dan juga suaminya. Meskipun ia sendiri pernah merasakan
tinggal di J tetapi keadaan daerahnya telah berubah.
"J pada jaman Jepang pasti lain dengan J sekarang. Itu Sri sudah tabu, dari
pengamatan dalam kunjungannya beberapa kali selama hampir dua puluh tahun
terakhir. Tetapi Sri baru mengetahuinya ini sesudah dia ikut tinggal bersama anaknya
sekeluarga" (hlm. 37-38)
Di J ini Sri tinggal di rumah kontrakan milik Tun dan suaminya. Pelukisan latar
ini nampak dalam kutipan berikut.
"Rumah kontrakan itu kecil, hanya punya satu kamar tidur. Sri selalu tidur di
dipan yang terletak di ruang tamu. Bila tamu-tamu Yos berdatangan atau
mengobrol atau kata mereka "diskusi" bilra tak lagi membantu menyiapkan
minuman, akan menggeletak di samping Ginuk dikamar Yos dan Tun. Kalau sri
kelelahan baru esok paginya dia sadar bahwa dia telah tertidur di kamar anak
dan menantunya" (hlm. 38-39)
Di samping itu pelukisan latar tempat juga terjadi di suatu kamar hotel.
Pelukisan ini terjadi ketika tokoh Sri Sumarah berprofesi sebagai tukang pijat. Dari
profesinya ini, Sri harus bisa melayani panggilan pijat dari pasiennya.
"Di dalam kamar hotel, Sri menjumpai kamar itu remang-remang hanya
disinari oleh lampu baca kecil di meja di samping tempat tidur" (hlm. 75)
"Di kamar hotel yang dingin karena AC itu Sri bersalam dengan sopan sambil
sedikit membungkukkan badan kepada tamunya" (hlm. 61)
Kemudian keberadaan kamar 'itu diterangkan lebih lanjut dalam kutipan
berikut.
"Di cermin kamar mandi yang besar, di pintu Sri melihat Sri dari kepala hingga
ke kaki"'(hlm. 75)
Sementara itu dalam Bawuk penggambaran latar tempat ini nampak ketika
tokoh Bawuk dan saudara-saudaranya berkumpul di rumah ibunya.
"Sebuah becak berhenti di depan rumah pada waktu hari mulai menjadi gelap.
Itulah mereka Bawuk dan anak-anaknya" (him. 97)
"Sesaat Bawuk tertegun melihat mereka yang berkumpul di beranda depan
rumah ibunya. Ada nampak sekilas. cahaya keheranan pada matanya melihat
saudara-saudaranya lenakap pada berkumpul di situ" (hlm. 98)
"Mereka telah berada di rumah nyonya Suryo, rumah induk-semangnya tempat
berkumpul seluruh keluarga" (hlm.97)
Penggambaran keadaan rumah ini kemudian diperjelas dengan adanya
pendiskripsian dari isi rumah tersebut.
"Di ruang tengah, di sekitar meja marmer bundar yang besar itu, yang dulu
pernah menjadi saksi permainan pei yang seru-seru, berkumpullah mereka itu"
(hlm, 101)
"...jam Westminster besar berdiri di pojok ruang tamu" (hlm. 86)
"Kepala-kepala itu menengadah melihat kepada jarum dan angka Rum di jam.
Jam setengah satu. Kepala-kepala kijang yang terpancang di kiri dan kanan
jam masih menunduk, keberatan memikul tanduk-tanduknya persisi seperti
sekian tahun yang lalu di Setenan Karangrandu" (hlm. 114-115)
Pembentukan latar ini mengacu pada suatu daerah dimana Bawuk tinggal
bersama saudara-saudaranya menghabiskan masa kecilnya. Suatu lingkungan yang
sangat akrab dengan Bawuk dengan berbagai ciri khasnya.
"Karangrandu kita, Onderan kita, Concordia kita, Kanjengan kita, Sinterklas
kita, ayam hutan kita, kuda dan dokar kita, hilang menguap di duniaku itu"
(hlm. 112)
Keadaan ini dialami tokoh Bawuk ketika ia menjadi seorang pelarian komunis.
Segala hal yang akrab dengan dirinya telah lenyap dari kehidupannya. Saat ini yang
dialami Bawuk dan anak-anaknya harus hidup berpindah pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain untuk mencari perlindungan- dan juga untuk mengetahui keberadaan
Hasan, suamipya.
"Tidak mungkin tinggal lama lagi di kecamatan T" (hlm. 108)
"Di S Bawuk dan anak-anaknya tinggal berpindah-pindah. Dicobanya mencari
kontak dengan suaminya" (hlm. 108)
"Kemudian di M Bawuk mendapat kontak yang tahu dimana Hasan berada.
Hasan ternyata berada di selatan dengan banyak kawan-kawan di Jakarta"
(hlm. 112)
Penggambaran latar tempat ini kemudian lebih dijelaskan dalam kutipan
berikut.
"Dikabarkan di situ bagaimana usaha PKI untuk menguasai Jawa Timur lewat
Blitar Selatan telah dihancurkan sama sekali" (hlm. 125)
Maka dapat dijelaskan bahwa latar dalam Bawuk terjadi di sekitar daerah Jawa
Timur. Hal ini tampak dalam penggambaran latar tempat yang terjadi. Ada suatu
jalinan hubungan yang muncul dari peristiwa yang ditampilkan dengan keberadaan
latar tempat sehingga memudahkan pembaca dalam memberikan interpretasinya.

2.2.1.2 Latar Waktu


Dalam Sri Sumarah waktu yang melatari cerita ini terjadi pada masa penjajahan
Jepang di Indonesia sampai pada masa meletusnya G 30 S/PKI. Pelukisan pada masa
penjajahan Jepang nampak dalam kutipan berikut.
"Sumarto datang.dengan mengendarai sepeda merk Simplex yang sudah tua,
memakai berko, perseneling, tergosok rapi mengkilat, dan juga yang penting
ban "hidup". (Pada akhir menjelang jaman Jepang. itu, ketika segala-
persiapan makin menipis, apakah yang lebih mengesankan bagi status anak
muda dari sepeda yang demikian itu)" (hlm. 9)
Latar ini kemudian di dukung pada waktu Sri masih sekolah di SKP.
"Sri, meskipun dulu waktu sekolah di SKP tabu juga beberapa lagu hiburan
dan keroncong, bahkan beberapa lagu Jepang, tidak pernah berusaha
memeliharanya" (hlm. 23-24)
Penggambaran latar waktu ini disesuaikan dengan masa ketika Sri masih muda
dan masih bersekolah di SKP. Keadaan inilah yang mernbuat Sri mampu menemukan
nilai-nilai budaya pada masanya untuk diterapkan dalam generasinya.
Sementara itu masa meletusnya PKI ini dialami oleh tokoh utama ketika ia
mengetahui anak dan menantunya harus pergi meninggalkan Sri dan anak mereka
Ginuk untuk sementara menyingkir mencari perlindungan.
"Bu, keadaan gawat. Di Jakarta terjadi perebutan kekuasaan".
"Apa itu, nduk?"
"Perang, Jendral-jendral ambil alih kekuasaan. Kita kaum kiri akan ditangkapi
dan dibunuh. Kami akan menyingkir dulu. Ibu di sini saja sama Ginuk. Ini
sedikit uang dan perhiasaan, pegang saja buat belanja sehari-hari. Sudah, bu
nggak sempat banyak cerita lagi. Tunggu di sini sampai kami muncul lagi..."
(hlm. 43)
Dari peristiwa inilah kemudian Sri tidak lagi mengetahui keberadaan anak-
anaknya. Sampai akhirnya dikabarkan bahwa Yos mati "digamekan" oleh massa
sementara Tun harus menyerahkan diri.

2.2.2 Latar Sosial


Latar sosial meliputi penggambaran keadaan masyarakat beserta kelompok-
kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan dan juga bahasa yang dipakai dalam
penyajian peristiwa.
Dalam Sri Sumarah terdapat penggambaran keadaan masyarakat golongan
priyayi biasa. Konvensi-konvensi yang diterapkan mampu mernbentuk suatu
pandangan tentang seorang priyayi Jawa.
"Sebagai layaknya seorang anak perempuan priyayi, Sri diam saja, sebab
pertanyaan "mengerti" tidak untuk dijawab mengerti karena "mengerti" adalah
mencari untuk mengerti. Kini Sri baru tahu maknanya sesudah dia sempat
digauli suaminya selama dua belas tahun. Selama itu Sri tunduk, diam terhadap
pertanyaan "mengerti" karena kebiasaan, konvensi memberitahukannya
demikian" (hlm. 10)
Masyarakat Jawa mengakui bahwa konvensi seorang wanita priyayi haruslah
patuh dan mengerti terhadap suami. Konvensi ini membuat Sri mau menghargai nilai-
nilai budaya tersebut. Adat dan kebiasaan yang mengatakan bahwa wanita (isteri)
khususnya dalam golongan priyayi harus dapat "mengerti". Sikap ini diasumsikan
sebagai sikap rendah hati dan hormat terhadap kepentingan seorang suami.
Sebagai suatu bagian dari masyarakat priyayi, tokoh Sri Sumarah ditampilkan
mampu memegang nilai nilai budaya seorang wanita Jawa. Hal ini tampak ketika Sri
memberi peringatan kepada anaknya, Tun agar bisa memelihara kebudayaan
masyarakatnya.
"Hanya kadang-kadang Sri masih perlu mengingatkan anaknya agar jangan
sampai jadi canggung apalagi lupa cara memakai kain dan kebaya, Saru, nduk,
anak perempuan Jawa kok nggak bisa pakai kain" (hlm. 24)
Di samping itu dalam Sri Sumarah ini nampak pula suatu pandangan budaya
bahwa seorang gadis harus cepat menikah. Keadaan ini dialami oleh Sri Sumarah
ketika ia harus menikah di usia muda. Sri harus siap memasuki jenjang perkawinan
yang telah dipersiapkan oleh neneknya.
"Sebab dalam ukuran waktu itu, di kota kecil apalagi di pedalaman - usia
delapan belas tahun di tambah dengan sudah "makan" sekolah menengah di
kota, adalah usia yang lebih daripada siap sedia untuk dikawinkan. Sri
Sumarah - yang artinya Sri yang "menyerah" atau yang "terserah" - menyerah
saja waktu neneknya menyatakan kepadanya •bahwa saatnya sudah tiba untuk
menyiapkan diri naik jenjang perkawinan" (hlm. 8-9)
Pandangan tersebut mengatakan bahwa seorang gadis Jawa harus cepat untuk
dinikahkan, karena ada suatu ketakutan bahwa kelak kalau dirinya tidak cepat menikah
akan menjadi perawan tua. Adat dan budaya inilah yang membuat Sri dengan rela dan
bersedia untuk dinikahkan, karena sebagai seorang pribadi ia juga ingin membalas
kebaikan neneknya itu.
Sedang dari segi bahasa, Sri Sumarah banyak menggunakan serapan dalam
bahasa Jawa. Pengarang begitu kampiun dalam menyisipkan serapan tersebut. Hal ini
nampak dalam beberapa kutipan berikut.
“...Makin yakinlah Sri bahwa dialah jodoh yang sudah tersedia - Jodoh sing
wis pinasti - kata orang Jawa lagi" (hlm. 9)
"Wah, mantennya ayu dan ngganteng" (hlm. 29)
"...Gusti, nyuwun ngapuro..." (hlm. 26)
Penggunaan serapan dalam bahasa Jawa ini memberikan kesan kedaerahan
dalam novel ini karena istilah-istilah yang digunakan serasa dekat dengan pembaca.
Sementara itu dalam Bawuk latar sosialnya mencerminkan masyarakat priyayi
kelas menengah ke atas yang masih terikat akan feodalistik. Keadaan masyarakatnya
masih memegang adat kebiasaan dan juga kegemaran agar seseorang diakui sebagai
bagian masyarakat priyayi terpandang. Hal ini dialami oleh tokoh tuan Suryo, bapak
Bawuk yang mempunyai adat kebiasaan tersendiri.
"Kesukan atau main judi kecil-kecilan ini (biasa juga disebut ceki atau pei)
adalah suatu kegemaran yang mesti diikuti oleh para priyayi waktu itu bila dia
ingin diterima dan "dipandang" oleh masyarakat" (hlm. 88)
"Kesukan baginya adalah lebih merupakan "bagian dari upacara" yang mesti
dia penuhi dalam fungsinya sebagai seorang onder dan priyayi terpandang.
Tuan Suryo sesungguhnya lebih suka main Bridge dan Billiard di Soos pabrik
bersama administratur dan dokter gula daripada main kartu cina itu" (hlm. 89)
Budaya yang membentuknya ini lebih dipengaruhi oleh budaya Belanda. Ada
inkulturisasi budaya yang diterapkan dalam lingkungan yang lebih formal. Penggunaan
budaya tersebut digunakan juga dalam hal pendidikan yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
"Kemudian dilihatnya Bapak Ibunya duduk di kursi goyang minum teh dan
makan kasstengels, sedang Sumi, Syul dan dia sendiri pada bermain zondag-
maandag di bawah pohon sawo" (hlm. 118)
...buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan
eurospeesch yang baik"(hlm. 87)
Budaya yang dianutnya ini memunculkan kebiasaan khusus bagi Bawuk dan
saudara-saudaranya, terutama dalam hal pendidikan. Mereka dibiasakan untuk hidup
teratur tepat sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kebiasaan inilah yang membuat
Bawuk dan saudara-saudaranya mempunyai syarat khusus dalam lingkungan keluarga.
"Sebagai seorang anak onder tidak ada yang lebih dapat memenuhi syarat
daripada keempat anak itu. Disiplin, patuh, serius, efisien, dan efektif. Tulisan
tangan mereka bagus dan rapi. Jadwal harian mereka jalankan dengan
ketepatan jam Westminster besar berdiri di pojok ruang tamu. Huiswerk
mereka kerjakan dengan teliti dan tekun serta selesai pada waktunya" (hlm. 86)

Keluarga Bawuk juga menganut budaya tertentu dalam penyebutan


kekerabatan. Penyebutan kekerabatan itu dipengaruhi oleh budaya Belanda. Hal ini
tampak dalam kutipan berikut.
"Terima kasih pappie. Terima kasih mammie" (hlm. 87)
"Iya, kok tahu saja, jij?" (hlm. 100)
Namun Bawuk berusaha tetap memegang nilai-nilai budaya Jawa. Bawuk tidak
meninggalkan tata nilai budaya Jawa yang telah membentuknya. Hal ini tampak dalam
penggunaan penyebutan kekerabatan untuk saudara-saudaranya.
"...Itu lho Bude Sumi sama Pakde Sun..." (hlm. 99)
"Yu Mi dan Mas Sun..." (him. 120)
Penggunaan serapan dalam bahasa Jawa ini menandakan adanya usaha untuk
tidak meninggalkan budaya Jawa. Serapan yang digunakan memberi pemahaman bagi
pembaca dalam menginterpretasikan cerita karena ada kedekatan dalam konteks
pembaca Jawa.
Demikianlah latar sosial dalam Sri Sumarah dan Bawuk. Keadaan
masyarakatnya menggambarkan suatu kelompok priayi baik dari golongan biasa
maupun golongan priayi yang feodalistik. Latar Sosial Sri Sumarah dan Bawuk
memberikan gambaran sosial dari masyarakat Jawa dengan strata sosialnya.
BAB III
ANALISIS MORALITAS DALAM CITRA. WANITA JAWA
TOKOH SRI SUMARAH DAN BAWUK

Dalam analisis moralitas ini, fokus penelitian dititikberatkan pada tokoh utama
yaitu Sri Sumarah dan Bawuk. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran
yang muncul atas sikap-sikap moral yang diwujudkan oleh .kedua tokoh tersebut.
Sebagai seorang wanita Jawa yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat priayi,
Sri Sumarah dan Bawuk mampu mengembangkan nilai moralitas dalam dirinya. Melalui
sikap dan tindakannnya kedua tokoh tersebut mampu mengembangkan tindakan etis
dengan tetap berpegang pada norma-norma yang ada.
Suatu tindakan disebut mempunyai nilai etis apabila tindakan tersebut selaras
dan sesuai dengan apa yang diartikan sebagai suatu tindakan yang utuh dan penuh itu.
Artinya tindakan itu mencerminkan hubungan yang seharusnya dilakukan antara
seseorang (atau suatu kelompok) dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan
lingkungannya dan dengan Tuhan yang disembahnya. Secara singkat sebuah tindakan
dikatakan etis bila berakar pada totalitas dari apa artinya menjadi manusia yang penuh. Etis
bila tindakan itu setia pada kemanusiaan, tidak etis apabila tindakan itu bertentangan dengan
kemanusiaan (Darmaputra, 1988:24).
Pandangan ini membawa pemahaman bahwa suatu tindakan dapat
dikatakan etis (bermoralitas) karena adanya motivasi yang mendasari tindakan
tersebut. Disinilah muncul keotonoman, dan kemandirian untuk bertanggung jawab
dalam melakukan suatu tindakan. Namun sebagai seorang individu, tidak semuanya
dapat bersikap seperti itu karena adanya resiko konflik. Dalam melakukan tindakan
setiap individu lebih mementingkan harapan kolektif yang dituntut berdasarkan
hukum dan norma belaka. Dari sinilah kepekaan suara hati dalam menentukan suatu
keputusan sangat berperan. Suara hati mampu menguatkan diri dalam penentuan
keputusan sehingga dirinya mampu menghadapi dengan penuh tanggung jawab
terhadap situasi yang dihadapinya.
Dasar-dasar tindakan inilah yang memunculkan suatu nilai moralitas pada
suatu individu. Nilai-nilai moralitas yang dimakud meliputi jujur, bertanggung
jawab, mandiri dan berani dalam melakukan tindakan yang disertai dengan sikap
kerendahan hati. Sikap-sikap ini merupakan dasar dalam penggambaran moralitas bagi
setiap individu. Dengan mengetahui dasar moralnya ini diharapkan is mampu mempunyai
kepribadian yang mantap atau matang.
Sikap-sikap inilah yang dikembangkan oleh Sri Sumarah dan Bawuk dalam membentuk
dirinya sebagai suatu pribadi yang matang. Kedua tokoh tersebut mampu melakukan
tindakan yang memanusiakan manusia. Dalam bertindak kedua tokoh tersebut tetap
berpegang pada kepekaan suara hati .dengan disertai ratio. Tindakannya tidak terpatri
pada norma atau hukum belaka tetapi lebih mengarah pada kesadaran untuk membahagiakan
orang lain dengan menyelaraskan kepentingan umum. Ada suatu motivasi terhadap peran
dalam menentukan baik buruknya tindakan yang diungkapkan. Keutuhan dan keselarasan
lingkungan sosialnya merupakan dasar dari tindakan yang dilakukannya. Kriteria-kriteria
inilah yang mampu menggambarkan suatu sikap yang humanistik dalam tokoh Sri Sumarah
dan Bawuk. Mereka tidak hanya bertindak berdasarkan norma atau hukum saja tetapi lebih
pada suara hati yang memunculkan adanya motivasi atas perbuatannya. Gambaran nilai
moralitas yang diwujudkan oleh kedua tokoh tersebut mampu memberikan citra
tersendiri pada sosok individu Jawa yang tetap memegang nilai budayanya.
Sehubungan dengan hal itu, dalam pembahasan ini akan disejajarkan sikap-
sikap moral tokoh Sri Sumarah dan Bawuk berdasarkan perilaku yang
diwujudkannya. Dari sikap-sikap yang muncul ini diharapkan mampu memberikan
gambaran kepribadian seorang wanita Jawa yang matang dalam menjalani
kehidupannya.

3.1 Kejujuran
Sebagai seorang individu, Sri Sumarah dididik untuk selalu bersikap jujur dan
juga realistis. Kesumarahan yang melekat dalam dirinya menuntut untuk mampu
berperilaku secara terbuka dalam menghadapi suatu masalah. Hal ini tampak dalam
sikap kejujuran Sri Sumarah dalam Sri Sumarah seperti dalam kutipan berikut.
"Sri, perempuan yang selalu dididik untuk jujur dan sumarah itu mengatakan
dengan sebenarnya bahwa dia memang tak ada harapan lagi untuk bisa
menyelesaikan hutangnya kecuali harus menyerahkan sawah yang
digadaikan kepadanya" (halaman 35)
Peristiwa yang dialami oleh Sri mampu memberikan gambaran sikap jujur
dalam dirinya.Sri secara terbuka mau menerima kekurangan dan kelemahannya tanpa
suatu penyesalan. Kejujuran yang muncul dalam sikapnya sebenarnya bukan keluguan
atau kebobohan karena tidak menggunakan akal sehat. Kejujuran ini menampakkan
keuletan diri untuk bangkit sekaligus menampakkan kesadaran untuk menentukan
sikap. Tindakan atau sikapnya ini lebih mengarah pada keputusan hati nuraninya.
"Hati itu tenang karena hati sekarang nampaknya mengerti kenapa segala
keresahan tadi" (halaman 76)
Di sinilah Sri Sumarah mampu tampil menjadi sosok individu yang matang
dalam menjalani kehidupannya. Konflik-konflik penilaian dalam yang dialaminya
mampu membentuk suatu diri untuk membuka diri dan secara fair mau menerima
masukan dari orang lain. Penerimaan ini lebih mengarah pada suatu tanggung jawab
yang diembannya tanpa adanya suatu Tomrih. Penerimaan ini dilakukan dengan
mempertimbangkan suara hati. Sri mampu menciptakan penilaian moralitas dalam
dirinya. Sri mampu bersikap secara manusiawi untuk memanusiakan manusia sesuai
dengan tuntutan suara hati dan bukan atas hukum belaka. Kebahagianlah sebagai
tujuan pencapaian dari tindakannya.
"Pada hari begitu, disamping bayang-bayang seperti itu Sri akan mengukur
seberapa jauh dirinya telah berbuat sebisanya untuk membahagiakan anak
tunggalnya - bahkan hampir merupakan miliknya yang penghabisan"
(halaman 70-71)

Dari sinilah kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat
secara moral. Tanpa kejujuran ini sebagai manusia kita tidak dapat maju selangkah
pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-
sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus.
Orang yang tidak lurus tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan
apa yang diperkirakan diharapkan orang lain . Ia bukan tiang, melainkan bendera yang
mengikuti segenap angin (Suseno, 1985:142).
Kejujuran sebagai kekuatan moral mampu memupuk diri sendiri dengan
penuh keyakinan untuk menjadi suatu pribadi yang matang. Hal inilah yang dilakukan
oleh Sri Sumarah dan Bawuk. Dengan bersikap jujur diharapkan mampu tampil ke
depan untuk menghadapi keadaan dengan tetap menghargai perbedaan. Penentuan
sikapnya ini dilandaskan pada suatu motivasi yang jujur tanpa mengharapkan suatu
pamrih.
Sementara dalam Bawuk pembentukan sikap jujur ini nampak ketika Bawuk
harus memutuskan untuk menikah dengan Hasan. Keputusan yang diberikannya ini
lebih mengarah pada sikap yang terbuka.
"Selama itu Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan Hasan
daripada seorang komunis. Hasan yang kelincahan, kecerdasan, serta
kegairahannya yang membusa terhadap kehidupan selalu memikat Bawuk
sejak pertama kali mereka saling mengenal. Bawuk selalu melihat
"kekomuniaan" Hasan sebagai sesuatu yang menenmpel pada diri Hasan.
Sesuatu yang merupakan tambahan yang datanng kemudian, yang
sesungguhnya (atau seharusnya) tidak merupakan sesuatu yang essensiil
tetapi toh melekat begitu erat pada diri Hasan. Dan sebagai seorang iateri
yang selalu merasa terpikat oleh suaminya, Bawuk tidak biaa lain daripada
ikut membagi apa yang dirasakan Bawuk sebagai sesuatu yang menempel
saja pada diri suaminya" (halaman 104)
Walaupun keputusannya ditentang oleh saudara-saudaranya karena Hasan
adalah seorang komunis, Bawuk secara terbuka mampu menentukan pilihannya secara
wajar. Bawuk biaa menerima kekurangan dan juga kelemahannya. Sikap yang muncul
ini tetap berpegang pada standar standar yang ada. Bawuk tetap menghormati
kepentingan orang lain dan juga tanpa rasa malu dan minder mampu menentukan
sikapnya secara fair. Kepekaan dalam menghadapi situasi ini berdasarkan atas
keputusn suara hati.
"Kemudian seakan-akan Bawuk mendengar dari jauh sesuatu tempat di
dalam rongga tubuhnya suaranya sendiri mengeluarkan penjelasan"
(halaman 120)
Di sinilah Bawuk mampu bersikap secara terbuka dalam menentukan
keputusan dengan tetap menjaga keselarasan dalam masyarakat.
Berdasarkan sikap kejujuran yang dipegang oleh kedua tokoh tersebut,
nampak bahwa tokoh Sri Sumarah dan Bawuk dapat menyikapi keadaan yang
dihadapinya. Kedua tokoh tersebut mampu secara konsisten untuk memegang
kejujuran sebagai suatu sikap dasar.

3.2 Bertanggung Jawab


Kejujuran sebagai suatu sikap dasar mengacu pada sikap bertanggung jawab.
Sikap ini diartikan sebagai perbuatan tanpa adanya suatu pamrih, ada kewajiban yang
mengikat dalam dirinya. Sikap ini muncul dalam Sri Sumarah ketika Sri Sumarah
harus dihadapkan pada situasi untuk membesarkan Tun, anak tunggalnya.
"Sri Sumarah bukan Sri Sumarah bila dia tidak sumarah terhadap nasibnya.
Dengan sikap sumarah itu dia tidak membiarkan dirinya berkabung lama-
lama. Pusat perhatiannya adalah Tun. Kata-kata terakhir suaminya
dianggapnya sebagai amanat keramat yang mesti dilaksanakan lewat jalan
apapun juga" (halaman 15-16)

Keterikatan antara Sri dan Tun mampu menimbulkan suatu hubungan yang
timbal balik dalam mencapai suatu tujuan hidup. Sri yang dihadapkan pada situasi,
dimana Tun hamil sebelum menikah sampai akhirnya harus dipenjara akibat terlibat
Gerwani, mampu menumbuhkan kesadaran untuk menyelesaikan masalah ini.
"Cup, nduk, cup. Ibu akan bereskan semuanya". Tiba-tiba dia merasa mampu
mengangkat beban yang selama ini dirasanya menindih dadanya. Dia
merasa beban itu akan dia bawa berjalan dan akan diletakkannya baik-baik
di satu tempat yang pantas dan apik" (halaman 27-28)
"Hatinya bulat sudah untuk menolong anaknya, secepatnya, seberesnya"
(halm. 28)
Sri harus rela berkorban untuk mencapai suatu kebahagiaan dengan mampu
bersikap kritia, positif dan obyektif. Sikap yang membentuknya ini disebabkan adanya
suatu kewajiban yang melekat dalam dirinya sebagai seorang "Sembadra". Ia harus
mampu berkorban atau menderita untuk kebahgiaan anaknya tanpa adanya suatu
pamrih.
"Kalau waktu itu Sri masih ingat Sembadra maka Sembadra di situ adalah
Sembadra yang melihat Abimanyu terancam bahaya" (halaman 28)
Penentuan sikap ini lebih ditentukan adanya suara hati yang kadang
memunculkan perasaan emoh, wegah dan takut. Disinilah kesediaan untuk
bertanggung jawab ini merupakan tanda kekuatan batin (Suseno, 1985:146). Sri
mempunyai kekuatan untuk menunjukkan ketegasan dalam diri. Tindakan yang
dilakukan mengarah pada pencapaian untuk memberi kebahagiaan pada oranglain.
Sementara dalam Bawuk, sikap bertanggung jawab ini muncul ketika Bawuk
harus menitipkan kedua anaknya demi suatu perkembangan psikologia yang baik.
"Bawuk memutuskan anak-anaknya harus hidup dalam lingkungan yang
normal. Anak-anaknya mesti sekolah lagi. Dan lingkungan itu hanya ada
pada rumah ibunya. Bawuk memutuskan anak-anaknya akan diaerahkan
kepada ibunya" (halaman 113)
Bawuk harus rela berpisah dengan orang-orang yang dicintainya akibat
adanya pemberontakan PKI yang dilakukan oleh suaminya. Di sinilah naluri
kewanitaannya muncul ketika dihadapkan pada situasi yang mendesak. Bawuk tidak
ingin anak-anaknya menjadi korban akibat situasi dirinya sebagai seorang pelarian, ia
ingin mereka tumbuh dalam lingkungan yang normal.
"Bawuk melihat itu sebagai gejala yang mengkhawatirkan. Dalam usia yang
sangat membutuhkan pergaulan dan mengenal hidup bermasyarakat, mereka
sudah mulai menaruh curiga kepada masyarakat itu. Dengan sedih Bawuk
melihat itu sebagai bayaran yang dia mesti bayar buat perjuangannya dan
perjuangan suaminya" (halaman 110)
Keterikatan dan kewajiban yang diembannya ini dilakukan bukan karena
pamrih, tetapi lebih pada suatu tindakan untuk membahagiakan orang-orang yang
dicintainya. Bawuk harus rela berkorban untuk mencapai suatu kebahagiaan. Di
sinilah Bawuk mampu bersikap secara kritia dan obyektif dalam menentukan suatu
sikap. Sikap ini menunjukkan pada suatu pemenuhan tugas yang harus diembannya.
Tokoh Sri Sumarah dan Bawuk mempunyai kewajiban untuk memberikan
tujuan tanpa mengaharapkan pamrih. Keterikatan dalam dirinya menunjukkan adanya
suatu tanggung jawab moral untuk menyelamatkan anak-anaknya. kedua tokoh
tersebut mempunyai pemenuhan tugas yang manusiawi.

3.3. Kemandirian
Sikap bertanggung jawab yang dilakukan oleh kedua tokoh didukung sikap
kemandirian moral yaitu suatu tindakan untuk menentukan diri secara otonom.
Kemandirian ini mengacu pada keotonoman manusia yang secara bebas dalam
menentukan perbuatannya. Kemandirian moral dalam Sri Sumarah ini nampak ketika.
Sri Sumarah harus menyelamatkan Tun yang akan lepas dari genggamannya.
"Dia sumarah tetapi dia juga melihat dengan mata terbuka akan pilihan yang
mesti dia ambil untuk menyelamatkan anaknya, harapan embah dan
suaminya yang ada "diatas" sana, dan sudah tentu menyelamatkan dia
sendiri" (halaman29)
Sri Sumarah dituntut untuk bertindak secara mandiri dalam membesarkan
anaknya seorang diri karena suaminya Martokusumo telah meninggal. Di sini Sri
mampu membentuk suatu penilaian diri terhadap situasi yang dihadapinya. Sri tidak
ingin anaknya lepas dari genggamannya, walaupun pada akhirnya Tun harus
meringkuk dalam penjara dan berpisah dengan anak dan ibunya. Di sini Sri tetap
mempunyai penilaian bahwa Tun merupakan tanggung jawabnya. Sri harus mampu
menyelesaikan tugas yang diembannya sampai tugasnya berakhir. Dengan rasa tutus
ikhlas dan senang hati Sri menunaikan tugasnya ini sebagai suatu penghambaannya
bersama anaknya demi suatu tugas yang mulia.
"Dia senang karena merasa panggilannya sebagai ibu terlaksana dengan
baik. Dia senang karena dia biaa berlaku sebagai Kunti yang berhasil dan
ikhlas menderita bersama penderitaan anaknya" (halaman 71)
Oleh karena, itu dalam menentukan sikap ini lebih diarahkan pada
kematangan sikap batin setiap individu. Suatu sikap yang tetap dan tegas tanpa
pengaruh dari pihak luar. Keberadaan sikap ini tidak bersifat semaumaunya yang
mengakibatkan resiko konflik. Kebebasan dalam menentukan sikapnya ini tetap harus
dipegang oleh setiap individu sebagai suatu sikap dasar keotonomannya.
Disini dalam menentukan tindakan setiap individu tetap memegang ratio
dalam pilihan sikap yang harus diambilnya. Kemandirian ini memungkinkan setiap
individu untuk bertindak dengan sikap batin yang mantap dan mampu memilah antara
perbuatan yang merugikan dan menguntungkan untuk menyelaraskan dengan
kepentingan kolektif.
Sementara dalam Bawuk kemandirian ini nampak ketika Bawuk dihadapkan
pada suatu situasi sulit, antara pilihannya selama ini. Bawuk dihadapkan pada pilihan
untuk tinggal bersama anak-anaknya di rumah ibunya dan pilihan yang lain yaitu ia
harus mencari Hasan untuk menyatukan keluarganya. Kemandirian sikapnya ini
nampak dalam penjelasannya terhadap tuntutan yang dihadapkan oleh saudara-
saudaranya.
"Untuk sekejap saya mengecap dunia kita dulu yang sangat hangat dan
comfortable. Untuk sekejap ada saya rasakan daya tarik yang kuat sekali
yang akan menyedot saya kembali ke dalam dunia itu. Dan terus terang,
untuk sekejap saya tergoda untuk mau di sedot oleh tarikan itu. Tetapi oh,
alangkah kelirunya aku. Kenyataan Hasan masih ada di sana, di tempat yang
lain sama sekali. Dunia dan impiannya sekarang penuh asap dan mesiu.
Penuh pengejaran dan pelarian" (halaman 122)
Di sinilah Bawuk mempunyai penilaian sendiri terhadap tindakan yang
dilakukannya. Suatu penilaian terhadap tindakannya selama ini tanpa mementingkan
diri sendiri. Bawuk secara otonom dan bebas mampu menunjukkan suatu sikap yang
mandiri. Bawuk mempunyai penilaian sendiri sehingga ia tidak terikat dan turut oleh
penilaian orang lain.
"Oh, mas-mas, mbak-mbak mammie-pappie. Aku telah berbicara banyak
sekali dan panjang sekali. Dan tidak kepada kalian yang ada di sini saja, tapi
juga kepada Yu Yati, Mas Pik bahkan juga kepada pappie. Kau dengarkah?
Aku harap semua itu telah menjelaskan yang kalian tanyakan kepadaku
semalam suntuk ini. Aku harap kalian telah mendengar dengan baik. Dengan
baik. Dengan baik" (halaman 123)
Kemandirian sikapnya ini lebih berpegang pada tanggung jawabnya untuk
menyatukan anggota keluarganya yang berpencar dimana-mana. Kematangan dalam
dirinya ini diuji sehingga mampu menempatkan suatu pola pikir yang moralia dalam
mencapai suatu keselarasan.
Gambaran kemandirian kedua tokoh tersebut lebih diaebabkan adanya
pengalaman-pengalamannya selama ini. Kedua tokoh tersebut mampu mengatasi
konflik-konflik yang dialaminya sehingga dalam dirinya tertanam suatu penilaian diri
atas tindakan yang dilakukannya.

3.4 Keberanian
Sikap keberanian ini mengacu pada suatu tekad untuk mempertahankan
tindakannya sebagai suatu kewajiban dengan tetap berdasarkan pada kesetiaan suara
hati. Sikap ini merupakan suatu pilihan yang diaertai dengan pengorbanan untuk
mencapai suatu tujuan. Sikap keberanian moral dalam Sri Sumarah tampak ketika
dirinya harus memainkan perannya untuk menyelamatkan Tun. Di sini Sri
menunjukkan tekad terhadap tugas yang diembannya.
"Nduk, memang sudah aku niati untuk menyekolahkan kau sampai tinggi. Itu
sudah janjiku kepada bapakmu yang - oh, Allah, kok ngenes betul lelakonmu
-sudah meninggal. Aku ibumu, nduk, belum akan merasa selesai sebelum aku
melihat kau selesai sekolah di kota, kawin dan sebelum aku bisa memangku
cucuku..." (him. 16)
"Dengan tekad itu, Sri memusatkan seluruh hidupnya pada usaha
pencapaiannya" (halaman 17)
Sikap ini mampu menunjukkan suatu tekad yang harus ditempuh Sri, dengan
tetap menyesuaikan kekuatan kekuatannya. Keberanian moral ini didukung atas
kemandirian untuk melakukan suatu kewajiban untuk membesarkan Tun dengan
sebaik-baiknya. Keyakinan yang tumbuh dalam diri Sri ini mampu menumbuhkan
perasaan yang kuat dalam mengahadapi konflik-konflik yang ada. Segala usaha di
tempuh untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.
"Semua dikerjakannya dengan sama cermat dan rapinya, serta upah berapa
saja yang diberikan kepadanya diterimanya dengan ikhlas dan tanpa tawar
menawar" (halaman 20)
Dengan berpegang pada suara hati, Sri mampu bertindak menghadapi segala
resiko. Tekad yang dilakukannya ini diaertai dengan usaha yang besar dalam
menempuh suatu cita-cita yang diharapkan. Semangat inilah yang membuat Sri yakin
untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Sikap keberanian moral ini merupakan keutamaan intelektual atau kognitif
(Suseno, 1985:147). Ratio mempunyai peran dalam mendukung keputusan suara hati.
Hal inilah yang harus dikembangkan oleh setiap individu dalam menyikapi keadaan.
Dalam menentukan tindakan setiap individu perlu memegang suara hati sebagai
cerminan untuk menyatakan diri dalam menghadapi suatu tindakan dengan resiko
konflik. Di sinilah nilai-nilai kemanusiaan harus tetap di pegang oleh setiap individu.
Sementara itu dalam Bawuk keberanian moral ini tampak dalam tokoh Bawuk
ketika dirinya meyatakan pilihannya terhadap dunia yang dijalaninya ini. Suatu dunia
pelarian yang sangat berbeda dengan keadaan lingkungan keluarganya. Di sinilah
keberanian dalam menyatakan keputusan muncul. Keberanian sikap ini didukung oleh
penilaian rasio dalam dirinya terhadap tugas yang diembannya.
“Tapi, mas- mas, mbak – mbak, mammie- pappie, itulah dunia pilihanku.
Dunia abangan yang bukan priyayi, dunia yag selalu resah dan gelisah,
dunia yang penuh ilusi yang memang sering kali bisa indah sekali..."
(halaman 121-122)
Suatu keputusan yang otonom dan mandiri terhadap pilihan yang
ditempuhnya. Keotonoman ini mengarah pada keputusan hati nurani dengan tetap
menggunakan ratio. Sikap ini lebih ditunjukkan untuk menyatakan diri atas
pilihannya. Bawuk secara mandiri, berani menyatakan keinginannya untuk mencapai
tujuan yang selama ini dijalaninya, yaitu berjuang untuk menyatukan orang-orang
yang dicintainya. Bawuk tidak menutup-nutupi kepentingan diri dan dengan
keterbukaannya ia mampu memberikan pilihan yang terbaik demi suatu keselarasan.
Pilihannya ini lebih didasarkan atas ratio dan juga kepekaan akan suatu tanggung
jawab yang selama ini diembanya.
"Kemudian dari sedikit Bawuk merasa bisa mengatur dan menyusun kalimat-
kalimat yang amat dia perlukan untuk menjelaskan kepada saudara-saudara
dan ibunya" (halaman 119)
Keberadaan sikap ini menuntut suatu kepercayaan diri yang kuat. Kedua
tokoh tersebut mempunyai rasa percaya diri bahwa tindakan yang dilakukannya ini
untuk mencapai suatu kebahagiaan. Dari sinilah muncul keberanian moral untuk
menentukan suatu pilihan.
Berdasarkan uraian diatas, tokoh Sri Sumarah dan Bawuk mempunyai
keyakinan dalam bertindak dan tanpa ragu ragu mau melaksanakn niat itu dengan tulus
ikhlas. Tindakan yang dilakukan tetap berdasarkan suara hati dalam usaha mencapai
kepelarasan dengan masyarakat.

3.5 Kerendahan Hati

Untuk mendukung terciptanya suatu pribadi yang mantap (matang)


diperlukan sikap kerendahan hati. Suatu sikap yang menuntut untuk berlaku secara
terbuka dan sederhana terhadap situasi yang dihadapinya.
Dalam Sri Sumarah sikap kerendahan hati ini tercermin dalam pola pikir
tokoh Sri Sumarah yang sumarah. Dari pandangan ini Sri tahu akan kelemahan dan
juga kekuatannya. Maka dalm menjalani lakunya Sri tetap memegang teguh suatu
sikap yang rendah hati. Hal ini tampak dalam kutipan berikut ketika dirinya sebagai
seorang tukang pijat. Di sini Sri mampu menunjukkan suatu sikap kerendahan hati
untuk menunaikan tugasnya menghidupi kebutuhan keluarga
"Sri sama sekali tidak merasa kecil, rendah atau malu dengan pekerjaannya
itu. Pertama-tama itu halal dan kedua, yang penting pekerjaan itu
mendatangkan pendapatan yang teratur dan cukup untuk biaa menyangga
rumah tangganya" (halaman 53)
Dari kutipan ini nampak bahwa Sri mampu bersikap secara rendah hati untuk
berusaha bangkit terhadap keadaan yang dialaminya.
"Sri bangkit menghela napas panjang. Dia tahu itulah cuma yang biaa
dikerjakan: sumarah" (halaman 33)
Keputusan ini tidak berdasarkan pada unsur "keterpaksaan" tetapi lebih pada
penilaian sikap untuk menyatakan diri pada suatu situasi yang kongkrit.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dijalaninya dengan sumarah. Sri
mampu menghayati perjalanan waktunya ini sebagai suatu pengalaman hidup untuk
mencari hikmahnya. Kesederhanaan dalam menyikapi suatu masalah mampu
menumbuhkan kekuatan batin sehingga ia mampu menunjukkan suatu kepribadian
yang mantap. Dengan sikap ini Sri lebih tahu akan keberadaan dirinya.
Namun Sri tidak bersikap menerima saja terhadap masalah yang dihadapinya.
Dengan menggunakan ratio, Sri mampu melihat secara kritia dan obyektif terhadap
tindakan yang akan dilakukannya. Ia dapat secara mandiri dan bertanggung jawab
terhadap perbuatannya dan mampu menyelaraskan dengan lingkungan sosialnya.
Sikap yang diwujudkannya ini didukung oleh kepekaan suara hati tanpa
mengharapkan suatu pamrih dan juga tanpa rasa minder,
Kerendahan hati ini merupakan dasar bagi sikap-sikap moral yang muncul
dari setiap individu. Dengan kerendahan hati ini seseorang biaa menerima diri secara
terbuka terhadap kelemahan dan juga kekuatannya. Unsur inilah yang mampu
membangkitkan .dalam diri akan suatu kekuatan batin dalam melakukan tindakan
secara bebas dan otonom serta mampu memepertanggungjawabkan terhadap tugas
yang diembannya.
Sementara itu dalam Bawuk, sikap kerendahan hati ini muncul atas kesadaran
dalam diri Bawuk sebagai seorang pribadi yang tahu akan kelemahan dan kekuatannya
dalam menjalani kehidupan sebagai seorang pelarian. Dalam sikapnya ini Bawuk
dapat mengungkapkan penilaian terhadap situasi yang dihadapinya.
"Mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, aku masih tetap bagian dari dunia
itu. Yang sekarang penuh asap dan mesiu, pengejaran dan pelarian. Dan kita
yang malam ini ada di sekitar meja marmer bundar ini sesungguhnya tinggal
diikat oleh mammie dan oleh itu yang ditembok itu, jam westminster kecil
yang diapit oleh kepala kijang di kiri dan kanan. Hanya mereka itulah yang
tidak berubah. Kita, kalian, mas-mas, mbak-mbak, dan aku sudah berubah"
(halaman 122)
Suatu situasi yang menuntut adanya kematangan batin. Berdasarkan
pengaIamannya itulah Bawuk mampu mewujudkan suatu penilaian terhadap diri
dalam menjalani suatu kehidupan.
"Itulah mas-mas dan mbak-mbak dan mammie-pappie yang saya coba mau
katakan. Kalian dengarkah" (halaman 122)
Kesederhanaan dalam dirinya menuntut suatu pengorbanan untuk
mendapatkan suatu tujuan hidupnya. Bawuk merasa sadar akan kelemahan dan
kekuatannya, untuk itulah ia harus biaa memberikan penilaian dalam diri dengan
berdasarkan atas kepekaan suara batinnya. Emosi-emosi dan perasaan-perasaan yang
membelunggunya mampu dihilangkan dan secara terbuka mampu menyesuaikan
kerendahan hatinya ini demi keselarasan lingkungan sosialnya.
"Kita, kalian mas-mas dan mbak-mbak dan aku sudah berubah. Ada tingkat-
tingkat perubahan memang. Tapi yang pokok kita berubah. Dan kita pasti
akan terus berubah, bergeser terus ke sana dan ke sini, karena kita telah
menjadi menjadi bagian-bagian dunia yang lain" (halaman 122)
Keyakinan inilah yang membawa pada pemenuhan dalam dirinya untuk
mencapai suatu kebahagian sebagai tujuan hidupnya. Penilaian ini mampu
memberikan gambaran dalam dirinya untuk menentukan suatu pilihan berdasarkan
pengalaman-pengalamannya selama ini.
Berdasarkan sikap kerendahan hati yang terdapat dalam kedua tokoh tersebut
nampak bahwa keberadaan sikap yang tertanam dalam dirinya mampu memberikan
kematangan batin dalam menentukan sikap. Melalui tindakan-tindakannya kedua
tokoh tersebut mampu mewujudkan kerendahan hati tanpa adanya tuntutan yang
membawa pada suatu resiko konflik. Dalam menentukan sikapnya ini mereka lebih
memprioritaskan suatu rasa tanggung jawab dengan diaertai sikap yang kritia dan
obyektif. Di sinilah nilai kamatangan moralitas dengan bercermin pada sikap batin
akan terwujud melalui pengalaman-pengalamannya.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tokoh utama dalam novel ini adalah Sri Sumarah dan Bawuk. Sebagai tokoh
utama Sri Sumarah mempunyai digambarkan mempunyai karakter seorang individu
Jawa yang sederhana, jujur, mandiri dengan disertai dengan kerendahan hati.
Sementara itu tokoh Bawuk digambarkan sebagai seorang individu Jawa yang
mempunyai karakter berani dalam menentukan sikap dengan disertai kejujuran,
kemandirian dan juga kerendahan hati.
Karakter yang muncul dalam diri kedua tokoh lebih disebabkan oleh lingkungan
sosial sekitarnya. Dalam hal ini lingkungan yang mempengaruhi adalah lingkungan
masyarakat Jawa, khususnya daerah Jawa Timur. Sri Sumarah dan Bawuk yang hidup
pada masa antara penjajahan Jepang dan Belanda sampai pada meletusnya G 30 S/PKI
mampu menananamkan nilai-nilai moralitas budaya Jawa dalam dirinya. Hal ini
didukung oleh masyarakat sosialnya yaitu masyarakat priyai. Sikap moralitas yang
muncul dalam kedua tokoh tersebut dikembangkan dengan memahami nilai-nilai
masyarakat priyayi Jawa.
Sri Sumarah yang hidup dalam pendidikan moral Jawa mempunyai gerak yang
mengalir tenang, sumarah dan mampu tampil sebagai seorang wanita Jawa khususnya
dari golongan priyayi yang setia dalam menerapkan tata nilai budaya Jawa. Sri
Sumarah mampu mewujudkan nilai moralitas dalam dirinya untuk memanusiakan
manusia.
Kejujuran sebagai suatu sikap dasar membentuk pribadi Sri untuk mampu
menerima diri apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sri mampu
membuka diri untuk menerima masukan demi melaksanakan suatu perbuatan yang
luhur. Hal inilah yang membentuk sikap tanggung jawab dalam dirinya. Sri mampu
menepati janjinya terhadap amanat yang diberikan kepadanya. Kewajiban dan
keterikatan akan tugas itulah yang menuntut Sri untuk mampu bertanggung jawab
dalam menyelesaikan tugasnya tanpa harapan pada pamrih.
Sementara itu sikap kemandirian yang muncul dalam dirinya dimaksudkan
sebagai sikap untuk mengarahkan diri atas kebebasan dan keotonoman sesuai dengan
haknya. Sri Sumarah mampu mengembangkan sikap ini dalam menentukan suatu
pilihan keputusan dengan berdasarkan suara hati. Sri mempunyai pilihan sendiri
terhadap tindakan yang diwujudkan. Sikap ini menumbuhkan suatu keberanian dalam
menentukan suatu tindakan. Keberanian dalam dirinya ini lebih didasarkan pada
keputusan hati nurani dalam menyatakan sikap. Sri tidak semau-maunya dalam
menentukan dan lebih menggunakan akal budi. Sikap ini mengarahkan pada
kerendahan hati untuk membentuk suatu pribadi yang matang. Sikap kerendahan hati
dikembangkan oleh Sri Sumarah sebagai dasar dari perwujudan sikap-sikapnya selama
ini. Dengan sikap ini dalam diri Sri terbentuk suatu kekuatan moral dalam mencapai
kematangan pripadi.
Tokoh Bawuk. hadir sebagai wanita Jawa yang agresif, mau membuka diri
seluas-luasnya terhadap segala masukan dari pihak luar. Dengan sikap ini Bawuk
mampu membentuk diri sesuai dengan apa adanya. Namun dalam mengembangkan
tindakannya, Bawuk tidak meninggalkan tata nilai budaya Jawa secara tegas. Bawuk
mampu mengambil nilai-nilai yang mendukung dan menghilangkan nilai-nilai yang
menghambat dirinya. Perilaku inilah yang menumbuhkan nilai moralitas dalam dirinya.
Bawuk mampu menciptakan keselarasan dengan lingkungan sekitarnya sesuai dengan
tindakan dan sikapnya.
Kejujuran yang tumbuh dalam dirinya mampu membawa Bawuk untuk
menerima keadaan diri seperti apa adanya. Bawuk secara sadar dan rela mau menerima
masukan dari orang lain dalam mengembangkan suatu tindakan. Hal ini membawa
sikap tanggung jawab dalam dirinya untuk menyelesaikan suatu tugas yang
diembannya. Bawuk setia dalam penghambaannya untuk tetap mendampingi suami
demi sebuah perjuangan tanpa meninggalkan kewajiban seorang ibu bagi anak-
anaknya. Sementara itu sikap kemandirian lebih menekankan pada suatu tindakan yang
otonom dan bebas. Sikap ini membawa Bawuk dalam menentukan suatu keputusan atas
tindakan yang dilakukannya. Bawuk secara mandiri tidak turut pada suara mayoritas
tapi lebih menekankan pada keutuhan suara hati. Sikap ini dilandasi suatu keberanian
dengan tanpa meninggalkan ratio. Dalam mengambil suatu keputusan Bawuk mampu
dengan berani tidak turut pada suatu kepentingan mayoritas yang dirasa bertentengan
dengan suara hati. Bawuk lebih menekankan pada akal budi dan juga suara hati dalam
mencapai suatu keselarasan. Sikap ini lebih bercermin pada kerendahan hati. Sikap
kerendahan hati ini mampu mengarahkan Bawuk untuk dapat merefleksikan keadaan
diri dengan segala kelemahan dan kekurangan. Dalam diri Bawuk tertanam suatu
kekuatan untuk menjadi pribadi yang matang karena mampu menentukan diri sesuai
dengan tindakannya dalam memberikan keselarasan bagi orang lain.

4.2 Saran
Penelitian ini merupakan gambaran selintas tentang moralitas dalam citra wanita
Jawa. Masih banyak pesan¬pesan tersirat dalam novel Umar Kayam ini. Jika ditinjau
dari segi karakter tokoh-tokohnya sangatlah menarik karena mampu memberikan
gambaran tentang pribadi masyarakat Jawa Tradisional yang sarat dengan simbol-
simbol sosialnya. Dari sudut ekspresif misalnya apakah tokoh wanita yang ditampilkan
merupakan gambaran yang diidealkan oleh pengarang dan juga masyarakat Jawa pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi. D. 1979, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta :
Depdikbud
J Darmaputra, Eka.D. 1988, Etika Sederhana Untuk Semua Perkenalan Pertama.
Jakarta : Gunung Mulia
Durkheim, Emile. 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Terjemahan
Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden. Jakarta : Yayasan Obor
Kayam, Umar. 1975, Sri Sumarah dan Bawuk. Jakarta : Pustaka Jaya
Koentjaraningrat. 1981, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :
Gramedia
Mulder, Niels. 1973, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press
-------------------- . 1983, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta :
Gramedia
Poespoprodjo, L, W. 1986, Filsafat Moral : Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung : Remadja Karya
Purwahadiwardoyo, AL. 1990, Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Kanisius
Retno Santosa. "Wanita Jawa dalam Kemajuan Jaman" Dalam R.M Soedarsono. Nilai
anak dan Wanita dalam masyarakat Jawa. 1986, Jakarta : Depdikbud
Soekanto, Soerjono. 1982, Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta : CV Rajawali
Sudaryanto. 1998, Motede Linguistik : Bagian pertama, Ke Arah Memahami Metode
Linguistik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Sudjiman, panuti. 1991, Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya
Sularto, St. 1976, "Sri Sumarah dan Bawuk". Basis. Oktober
Sumardjo, Jakob. 1982, Novel Indonesia Mutakhir : Sebuah Kritik. Yogyakarta : Nur
Cahaya
------------------------1979, Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : Nur Cahaya
Sundari, Siti M, dkk. 1987, "Citra Wanita Jawa". Dalam Sri Sumarah : Antara Cahaya
dan Pelita. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM
Suseno, Franz Magnis. 1983, Etika Jawa dalam Tantangan (Bunga rampai).
Yogyakarta : Kanisius
-------------------------. 1985, Etika Dasar : Masalah Masalah Pokok Filsarat Moral.
Yogyakarta : Kanisius
Tan, Melly G. 1989, "Masalah Perencanaan Penelitian" Dalam Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Koentjaraningrat. Jakarta : Gramedia
Teeuw, A. 1984, Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya
Whitehead, A.N. 1991, Filsafat Proses : Sebuah pengantar Sistematika Filsafat.
Terjemahan Sudarminta. Yogyakarta : Kanisius
Welleck, Rene dan Warrean, Austin. 1993, Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia
LAMPIRAN
SINOPSIS
Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam ini merupakan sebuah novel yang
terdiri atas dua cerita. Cerita pertama mengisahkan kehidupan tokoh Sri Sumarah,
sedang cerita kedua menceritakan kehidupan tokoh Bawuk. Sri Sumarah merupakan
cerita panjang yang mengisahkan kehidupan tokoh sri sumarah alis Bu Guru pijat isteri
Martokususmo. Hasil perkawinannya dengan Martokususmo, seorang guru beslit di
kecamatan Sri membuahkan seorang putri bernama Tung yang kelak akan terlibat
peristiwa G 30 S/PKI.
Sri Sumarah merupakan seorang wanita yang digambarkan atau diidealkan
prototype Sembadra, seorang tokoh dalam pewayangan yang merupakan seorang isteri
sejati, bisa menerima kelemahan dan kekuatan suami. Di sinilah sri selayaknya seorang
sembadra mampu mengabdi kepada suami, walaupun hanya bisa selama 12 tahun. Sri
bisa bersama Martokusuma karena suaminya meninggal akibat penyakit Eltor. Sejak
itulah Sri harus bisa mandiri dalam membesarkan Tun. Ia mulai menggeser peran dari
seorang Sembadra menjadi sorang Kunti. Konflik-¬konflik yang selama itu dialami Sri
dihadapai dengan "sumarah". Sri merasa bahwa inilah percobaan waktu yang diberikan
kepadanya, dan ia harus mampu menyelesaikannya. Ketabahan dan
kesumarahannya inilah yang kemudian membawa Sri untuk bekrja sebagai tukang
pijat. Keahliannya memijat ini diperoleh ketika ia masih muda dan mendapat "manual
of Operation" dari neneknya saat melayani suami untuk menghilangkan beban yang
berat. Keahlian inilah yang kemudian menjadi bekal pada dirinya dalam mencari
nafkah.
Cerita yang kedua adalah Bawuk, cerita yang menyuguhkan suatu lingkungan
priayi feodal yang sangat berbeda dengan gambaran dari Sri Sumarah. Seperti halnya
dalam Sri Sumarah, dalam Bawuk tokoh utamanya adalah Bawuk. Tokoh Bawuk
digambarkan sebagai seorang anak keluarga onder, anak dari tuan dan nyonya Suryo.
Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, kehidupan Bawuk kurang beruntung
dibandingkan dengan saudara¬-saudaranya.. keadaan ini dialami Bawuk ketika ia harus
menikah dan hidup bersama Hasan, seorang pemuda keras kepala yang merupakan
tokoh komunis. Pendidikannya yang tidak terlalu tinggi membuat Hasan bermimpi
menjadi seorang pemimpin. Hal inilah yang dirasakan bawuk saat dirinya mulai
menjadi seorang isteri komunis yang sewaktu saat bisa membahayakan dirinya, anak-
anaknya dan juga keluarganya. Namun sebagai seorang isteri Bawuk setia pada jalan
yang ditempuh oleh suaminya. Resiko yang ada di depan harus ditanggung bersama.
Dari sinilah dalam kehidupan Bawuk mulai muncul konflik-¬konflik.
Nasibnya yang harus menjadi seorang pelarian mampu membuat Bawuk semakin
matang. Bawuk harus rela berkorban untuk berpisah dengan anak-anak dan juga
suaminya demi sebuah perjuangan.

Anda mungkin juga menyukai