PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan diwujudkan berdasarkan uraian di atas adalah :
1.2.1 Bagaimanakah struktur novel Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam
yang meliputi unsur tokoh dan penokohan, serta latar ?
1.2.2 Bagaimanakah moralitas yang tergambarkan dalam perilaku dan sikap yang
diwujudkan tokoh Sri Sumarah dan Bawuk dalam Sri Sumarah dan Bawuk
?
Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam ini diterbitkan pertama kali oleh
penerbit Dunia Pustaka Jaya pada tahun 1975. Dalam perkembangannya karya sastra
ini banyak mendapat sorotan baik dari kritikus ataupun pemerhati sosial. Sebagai bahan
referensi akan dikemukakan sedikit tinjauan tentang keberadaan karya sastra ini.
Sularto mengemukakan bahwa Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam ini
mempunyai kesamaan dalam hal setting dan alur. Setting yang digunakan yaitu terjadi
pada masa seputar G 30 S/PKI, dan alur yang digunakan banyak menggunakan
flashback. Perbedaannya dari keduanya yaitu bahwa tokoh Sri Sumarah hidup dalam
lingkup masyarakat priayi umumnya sedang tokoh Bawuk hidup dalam lingkungan
priayi yang feodalistik. Di samping itu kedua cerita ini di tulis pada waktu yang hampir
bersamaan yaitu pada tahun 1973 di Honolulu (1976:31).
Menurut Sumardjo Sri Sumarah dan Bawuk menampilkan dua sosok wanita yang
mengalami kemalangan dalam menjalani hidupnya. Mereka selalu mengalami
penderitaan akan cintanya karena ditinggal mati oleh suami yang dicintainya
(1982:77).
Tanggapan terhadap karya sastra ini juga disampaikan oleh Widaningsih. Dalam
kesimpulannya, penulis menekankan bahwa tokoh wanita Jawa dalam Sri Sumarah dan
Bawuk karya Umar Kayam ini mempunyai sisi pandangan dan sikap hidup yang sama.
Kedua tokoh tersebut tetap menanamkan budaya Jawa yang diajarkan oleh keluarganya
maupun lingkungan sekitarnya (1987:129). Sementara itu Sundari mengungkapkan
bahwa Sri Sumarah cenderung lebih menunjukkan adanya dominasi pria dalam
masyarakat tradisional Jawa. Wanita sebagai istri dituntut untuk mengabdikan diri
kepada suami dan sebagai ibu, wanita dituntut untuk bersedia dan mengabdikan diri
pada -anak-anaknya walau dalam keadaan menderita (1987:17).
Berdasarkan sedikit tanggapan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa segi
moralitas dari kedua tokoh dalam cerita tersebut belum ditinjau secara mendetail,
terutama dalam upaya mengembangkan tindakan yang manusiawi. Untuk itulah dalam
penelitian ini peneliti akan mengupas sikap dan perilaku moralitas kedua tokoh tersebut
dalam kultur budaya Jawa.
1.6.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural
dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural digunakan untuk menelaah
karya sastra berdasarkan struktur pembentuknya, yaitu meliputi tokoh dan penokohan
serta latar.
Dari pendekatan ini kemudian dilakukan pendekatan sosiologi sastra yang
berfungsi untuk menelaah gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat, terutama yang
berhubungan dengan aspek moralitas. Dari sinilah pendekatan sosiologi sastra
beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur
sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain (Damono, 1979:10).
1.6.2 Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode deskriptif dan
metode analisis. Metode deskriptif yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan
pada fenomen yang memang secara empiris hidup dalam masyarakat, sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa fakta yang bisa dikatakan sifatnya seperti potret:
paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1988:62). Metode ini digunakan berdasarkan
data yang terdapat struktur karya sastra. Perilaku tokoh yang diwujudkan yang
dihubungkan dengan kondisi lingkungan sosialnya. Tujuan dilakukannya metode ini
untuk mencari tahu karakter tokoh yang disampaikan oleh pengarang.
Dari fenomena ini kemudian data dianalisis dengan tujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu atau untuk menentukan adanya frekuensi penyebaran suatu gejala dalam
masyarakat (Tan, 1989:20).
2.1.2 Bawuk
Bawuk dalam cerita ini digambarkan sebagai seorang wanita yang berasal dari
keluarga lingkungan priyayi terpandang. Suatu keluarga onder pada masa itu yang
menerapkan kultur budaya yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Dalam
keluarga Bawuk terdapat suatu kebiasaan bagi anak-anaknya. Suatu kebiasaan yang
menuntut kedisiplinan, patuh, efisien, serius dan juga efektif yang harus tertanam
dalam diri anak-anaknya.
"Mereka adalah anak-anak bapaknya. Sebagai anak seorang onder tak ada
yang lebih memenuhi syarat daripada keempat anak itu. Disiplin, patuh, serius,
efisien, dan efektif" (him. 86)
Namun Bawuk mempunyai pemahaman yang berbeda dengan saudara-
saudaranya akan kebiasaan itu. Bawuk patuh akan cara yang diterapkan dalam
keluarganya tetapi kepatuhannya itu diinterpretasikan sendiri tanpa berdasarkan pada
aturan yang ketat. Bawuk lebih memilih sendiri aturan yang ada, ia lebih bersikap
otonom dan mandiri dalam menerapkan tindakannya itu.
"Bawuk adalah anak yang patuh. Tetapi pengertiannya tentang sifat-sifat baik.
seperti disiplin dan efisien nampaknya tidak sama dengan kakak-kakaknya"
(hlm. 86)
"Pekerjaan rumah selalu dia selesaikan menurut waktu yang dipilihnya sendiri.
Selalu selesai dengan baik, tetapi tidak selalu sama dengan irama saudara-
saudaranya" (hlm. 86)
Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk Bawuk menjadi seorang pribadi
yang bebas. Hal ini ditunjukkan baik dalam menjalankan- tugas pekerjaan rumah,
ataupaun dalam membina hubungan dengan lingkungan sosialnya. Dalam menjalin
relasi sosialnya ini Bawuk tidak membedakan status .sosial, bahkan ia mencoba untuk
terlibat dalam lingkungan lain dengan dunianya. Di sini Bawuk mencoba untuk
mencari sesuatu yang belum dikuasainya untuk digabungkan dengan apa yang
diperoleh di dunianya. Bawuk ingin menjadi seorang pribadi dengan wawasan yang
luas.
"Kadang-kadang bila keempat kakaknya menyelesaikan pekerjaan rumahnya
di waktu sore, Bawuk enak-enak main di belakang kandang kuda makan tebu
dengan anak mandor tebu yang sering main dengan anak Sarpan, atau kadang-
kadang dia enak tiduran di bale-bale mbok Inem mendengarkan cerita-cerita
Jawa lama seperti Timun Emas, Raden Panji atau Ajisaka. Sebagai gantinya
dia akan bercerita kepada mbok Inem tentang Roodkapje dan Sneeuwitje dan
juga Hans en Grietje" (hlm. 86-87)
Begitulah sifat Bawuk, ia tidak mau terpatri pada tatanan yang ada. Tetapi
mencoba menghubungkan dengan budaya yang dianutnya untuk digabungkan dengan
sesuatu yang baru untuk menambah wawasan dan juga pengalaman.
Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk pribadi Bawuk. Melalui konflik
konflik yang dialaminya mampu membentuk watak akhir Bawuk. Peristiwa-peristiwa
yang dialaminya ini muncul ketika ia menyadari bahwa paham komunis yang dianut
suaminya membawa dampak yang buruk. Hal ini dirasakan Bawuk setelah ia tahu
keberadaan gerakan itu.
"Dan aku? Aku kawin dengan seorang pemimpin gila. Aku tidak seberuntung
Yu Mi dan Yu Syul bisa kawin dengan seorang priyayi terpandang. Aku ketemu
dengan seorang yang SMA pun tidak tamat. Seorang yang mimpi bahwa tanpa
satu ijasah, tanpa kedudukan resmi orang pun bisa terpandang di mata
masyarakat. Alangkah tololnya dia. Dia mengira dia mengetahui masyarakat
kita. Tapi sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa. Seharusnya dia menamatkan
sekolahnya, meneruskan di dalam atau di luar negeri, mengusahakan tempat
kedudukan yang baik di pemerintahan dan dari sana terus maju lagi paling
tidak jadi kepala bagian, sukur-sukur jadi direktur atau dirjen. Yang dia
kerjakan malah berhenti sekolah, Jadi marxis, belajar intrik, kasak-kusuk lagi,
mimpi lagi dan akhirnya malah berontak" (hlm. 121)
Dari peristiwa ini menggambarkan bagaimana suasana hati Bawuk akibat
keberadaan suaminya. Ia mengetahui bahwa paham yang dianutnya itu akan
membawaa dampak yang buruk pada akhirnya nanti. Untuk itulah Bawuk berusaha
memahami dan dengan kerendahan hatinya mencoba untuk menghargai kebebasan
yang dianut oleh suaminya. Dari sinilah dalam diri Bawuk muncul sikap kemandirian
akan situasi yang dihadapinya. Bawuk secara otonom mampu mengambil keputusan
dimana ia harus menitipkan anak-anaknya kepada ibunya agar mereka berkembang
dalam lingkungan yang normal.
"Bawuk memutuskan anak-anaknya harus hidup dalam lingkungan yang
normal. Anak-anaknya mesti sekolah lagi. Dan lingkungan itu hanyalah ada
pada rumah ibunya" (him. 113)
Kemandirian yang muncul dalam dirinya ini terbentuk atas penilaian tindakan
yang akan dilakukannya. Keberanian dalam menentukan tindakan itu ditegaskan dlam
keputusannya untuk menitipkan anak-anaknya, dan ia berjuang untuk mencari Hasan,
suaminya. Penegasan ini nampak dalam kutipan berikut.
"Dan terus terang, untuk sekejap saya tergoda untuk mau disedot oleh tarikan
itu, oh alangkah kelirunya aku. Kenyataan Hasan masih di sana, di tempat yang
lain sama sekali. Dunia dan impiannya sekarang penuh asap dan mesiu. Penuh
pengejaran dan pelarian" (hlm. 122)
"Tapi mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, itulah dunia pilihanku. Dunia
abangan yang bukan priyayi, dunia yang selalu resah dan gelisah, dunia yang
penuh ilusi yang memang seringkali bisa indah sekali" (hlm. 121-122)
Keputusan yang diambilnya ini berdasarkan atas sikap tanggung jawab yang
diembannya selama ini. Sebagai seorang isteri Bawuk mampu bertindak secara
otonom, ia tidak ingin segala sesuatu menjadi tersisih hanya karena pamrih. Dalam
pengambilan keputusn inipun Bawuk didasarkan atas kepekaan suara hati.. Dengan
berani dan keyakinannya Bawuk mencoba untuk mengembangkan kepekaan suara hati
untuk mencapai suatu tujuan hidup. Di sinilah kerendahan hatinya mampu memberikan
kekuatan untuk mengahadapi situasi yang sulit.
Bawuk mampu tampil sebagai seorang wanita yang mempunyai wawasan yang
luas dalam pergaulannya. Meskipun harus menderita untuk suatu kepentingan Bawuk
mampu mengembangkan sikap mandiri dengan disertai tanggung jawab dan jujur.
Dalam menentukan tindakannya itu Bawuk lebih mengarahkan pada suatu tujuan untuk
mencapai suatu kebahagiaan. Pencitraan inilah yang mampu membentuk Bawuk untuk
tampil sebagai seorang wanita yang mampu menerima diri dengan segala kekurangan
dan kelebihannya. Dalam pencapaian tugasnya Bawuk mampu mengembangkan
perilaku yang moralis dengan berpegang pada suara hati meskipun harus menghadapi
resiko konflik.
Dalam analisis moralitas ini, fokus penelitian dititikberatkan pada tokoh utama
yaitu Sri Sumarah dan Bawuk. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran
yang muncul atas sikap-sikap moral yang diwujudkan oleh .kedua tokoh tersebut.
Sebagai seorang wanita Jawa yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat priayi,
Sri Sumarah dan Bawuk mampu mengembangkan nilai moralitas dalam dirinya. Melalui
sikap dan tindakannnya kedua tokoh tersebut mampu mengembangkan tindakan etis
dengan tetap berpegang pada norma-norma yang ada.
Suatu tindakan disebut mempunyai nilai etis apabila tindakan tersebut selaras
dan sesuai dengan apa yang diartikan sebagai suatu tindakan yang utuh dan penuh itu.
Artinya tindakan itu mencerminkan hubungan yang seharusnya dilakukan antara
seseorang (atau suatu kelompok) dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan
lingkungannya dan dengan Tuhan yang disembahnya. Secara singkat sebuah tindakan
dikatakan etis bila berakar pada totalitas dari apa artinya menjadi manusia yang penuh. Etis
bila tindakan itu setia pada kemanusiaan, tidak etis apabila tindakan itu bertentangan dengan
kemanusiaan (Darmaputra, 1988:24).
Pandangan ini membawa pemahaman bahwa suatu tindakan dapat
dikatakan etis (bermoralitas) karena adanya motivasi yang mendasari tindakan
tersebut. Disinilah muncul keotonoman, dan kemandirian untuk bertanggung jawab
dalam melakukan suatu tindakan. Namun sebagai seorang individu, tidak semuanya
dapat bersikap seperti itu karena adanya resiko konflik. Dalam melakukan tindakan
setiap individu lebih mementingkan harapan kolektif yang dituntut berdasarkan
hukum dan norma belaka. Dari sinilah kepekaan suara hati dalam menentukan suatu
keputusan sangat berperan. Suara hati mampu menguatkan diri dalam penentuan
keputusan sehingga dirinya mampu menghadapi dengan penuh tanggung jawab
terhadap situasi yang dihadapinya.
Dasar-dasar tindakan inilah yang memunculkan suatu nilai moralitas pada
suatu individu. Nilai-nilai moralitas yang dimakud meliputi jujur, bertanggung
jawab, mandiri dan berani dalam melakukan tindakan yang disertai dengan sikap
kerendahan hati. Sikap-sikap ini merupakan dasar dalam penggambaran moralitas bagi
setiap individu. Dengan mengetahui dasar moralnya ini diharapkan is mampu mempunyai
kepribadian yang mantap atau matang.
Sikap-sikap inilah yang dikembangkan oleh Sri Sumarah dan Bawuk dalam membentuk
dirinya sebagai suatu pribadi yang matang. Kedua tokoh tersebut mampu melakukan
tindakan yang memanusiakan manusia. Dalam bertindak kedua tokoh tersebut tetap
berpegang pada kepekaan suara hati .dengan disertai ratio. Tindakannya tidak terpatri
pada norma atau hukum belaka tetapi lebih mengarah pada kesadaran untuk membahagiakan
orang lain dengan menyelaraskan kepentingan umum. Ada suatu motivasi terhadap peran
dalam menentukan baik buruknya tindakan yang diungkapkan. Keutuhan dan keselarasan
lingkungan sosialnya merupakan dasar dari tindakan yang dilakukannya. Kriteria-kriteria
inilah yang mampu menggambarkan suatu sikap yang humanistik dalam tokoh Sri Sumarah
dan Bawuk. Mereka tidak hanya bertindak berdasarkan norma atau hukum saja tetapi lebih
pada suara hati yang memunculkan adanya motivasi atas perbuatannya. Gambaran nilai
moralitas yang diwujudkan oleh kedua tokoh tersebut mampu memberikan citra
tersendiri pada sosok individu Jawa yang tetap memegang nilai budayanya.
Sehubungan dengan hal itu, dalam pembahasan ini akan disejajarkan sikap-
sikap moral tokoh Sri Sumarah dan Bawuk berdasarkan perilaku yang
diwujudkannya. Dari sikap-sikap yang muncul ini diharapkan mampu memberikan
gambaran kepribadian seorang wanita Jawa yang matang dalam menjalani
kehidupannya.
3.1 Kejujuran
Sebagai seorang individu, Sri Sumarah dididik untuk selalu bersikap jujur dan
juga realistis. Kesumarahan yang melekat dalam dirinya menuntut untuk mampu
berperilaku secara terbuka dalam menghadapi suatu masalah. Hal ini tampak dalam
sikap kejujuran Sri Sumarah dalam Sri Sumarah seperti dalam kutipan berikut.
"Sri, perempuan yang selalu dididik untuk jujur dan sumarah itu mengatakan
dengan sebenarnya bahwa dia memang tak ada harapan lagi untuk bisa
menyelesaikan hutangnya kecuali harus menyerahkan sawah yang
digadaikan kepadanya" (halaman 35)
Peristiwa yang dialami oleh Sri mampu memberikan gambaran sikap jujur
dalam dirinya.Sri secara terbuka mau menerima kekurangan dan kelemahannya tanpa
suatu penyesalan. Kejujuran yang muncul dalam sikapnya sebenarnya bukan keluguan
atau kebobohan karena tidak menggunakan akal sehat. Kejujuran ini menampakkan
keuletan diri untuk bangkit sekaligus menampakkan kesadaran untuk menentukan
sikap. Tindakan atau sikapnya ini lebih mengarah pada keputusan hati nuraninya.
"Hati itu tenang karena hati sekarang nampaknya mengerti kenapa segala
keresahan tadi" (halaman 76)
Di sinilah Sri Sumarah mampu tampil menjadi sosok individu yang matang
dalam menjalani kehidupannya. Konflik-konflik penilaian dalam yang dialaminya
mampu membentuk suatu diri untuk membuka diri dan secara fair mau menerima
masukan dari orang lain. Penerimaan ini lebih mengarah pada suatu tanggung jawab
yang diembannya tanpa adanya suatu Tomrih. Penerimaan ini dilakukan dengan
mempertimbangkan suara hati. Sri mampu menciptakan penilaian moralitas dalam
dirinya. Sri mampu bersikap secara manusiawi untuk memanusiakan manusia sesuai
dengan tuntutan suara hati dan bukan atas hukum belaka. Kebahagianlah sebagai
tujuan pencapaian dari tindakannya.
"Pada hari begitu, disamping bayang-bayang seperti itu Sri akan mengukur
seberapa jauh dirinya telah berbuat sebisanya untuk membahagiakan anak
tunggalnya - bahkan hampir merupakan miliknya yang penghabisan"
(halaman 70-71)
Dari sinilah kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat
secara moral. Tanpa kejujuran ini sebagai manusia kita tidak dapat maju selangkah
pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-
sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus.
Orang yang tidak lurus tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan
apa yang diperkirakan diharapkan orang lain . Ia bukan tiang, melainkan bendera yang
mengikuti segenap angin (Suseno, 1985:142).
Kejujuran sebagai kekuatan moral mampu memupuk diri sendiri dengan
penuh keyakinan untuk menjadi suatu pribadi yang matang. Hal inilah yang dilakukan
oleh Sri Sumarah dan Bawuk. Dengan bersikap jujur diharapkan mampu tampil ke
depan untuk menghadapi keadaan dengan tetap menghargai perbedaan. Penentuan
sikapnya ini dilandaskan pada suatu motivasi yang jujur tanpa mengharapkan suatu
pamrih.
Sementara dalam Bawuk pembentukan sikap jujur ini nampak ketika Bawuk
harus memutuskan untuk menikah dengan Hasan. Keputusan yang diberikannya ini
lebih mengarah pada sikap yang terbuka.
"Selama itu Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan Hasan
daripada seorang komunis. Hasan yang kelincahan, kecerdasan, serta
kegairahannya yang membusa terhadap kehidupan selalu memikat Bawuk
sejak pertama kali mereka saling mengenal. Bawuk selalu melihat
"kekomuniaan" Hasan sebagai sesuatu yang menenmpel pada diri Hasan.
Sesuatu yang merupakan tambahan yang datanng kemudian, yang
sesungguhnya (atau seharusnya) tidak merupakan sesuatu yang essensiil
tetapi toh melekat begitu erat pada diri Hasan. Dan sebagai seorang iateri
yang selalu merasa terpikat oleh suaminya, Bawuk tidak biaa lain daripada
ikut membagi apa yang dirasakan Bawuk sebagai sesuatu yang menempel
saja pada diri suaminya" (halaman 104)
Walaupun keputusannya ditentang oleh saudara-saudaranya karena Hasan
adalah seorang komunis, Bawuk secara terbuka mampu menentukan pilihannya secara
wajar. Bawuk biaa menerima kekurangan dan juga kelemahannya. Sikap yang muncul
ini tetap berpegang pada standar standar yang ada. Bawuk tetap menghormati
kepentingan orang lain dan juga tanpa rasa malu dan minder mampu menentukan
sikapnya secara fair. Kepekaan dalam menghadapi situasi ini berdasarkan atas
keputusn suara hati.
"Kemudian seakan-akan Bawuk mendengar dari jauh sesuatu tempat di
dalam rongga tubuhnya suaranya sendiri mengeluarkan penjelasan"
(halaman 120)
Di sinilah Bawuk mampu bersikap secara terbuka dalam menentukan
keputusan dengan tetap menjaga keselarasan dalam masyarakat.
Berdasarkan sikap kejujuran yang dipegang oleh kedua tokoh tersebut,
nampak bahwa tokoh Sri Sumarah dan Bawuk dapat menyikapi keadaan yang
dihadapinya. Kedua tokoh tersebut mampu secara konsisten untuk memegang
kejujuran sebagai suatu sikap dasar.
Keterikatan antara Sri dan Tun mampu menimbulkan suatu hubungan yang
timbal balik dalam mencapai suatu tujuan hidup. Sri yang dihadapkan pada situasi,
dimana Tun hamil sebelum menikah sampai akhirnya harus dipenjara akibat terlibat
Gerwani, mampu menumbuhkan kesadaran untuk menyelesaikan masalah ini.
"Cup, nduk, cup. Ibu akan bereskan semuanya". Tiba-tiba dia merasa mampu
mengangkat beban yang selama ini dirasanya menindih dadanya. Dia
merasa beban itu akan dia bawa berjalan dan akan diletakkannya baik-baik
di satu tempat yang pantas dan apik" (halaman 27-28)
"Hatinya bulat sudah untuk menolong anaknya, secepatnya, seberesnya"
(halm. 28)
Sri harus rela berkorban untuk mencapai suatu kebahagiaan dengan mampu
bersikap kritia, positif dan obyektif. Sikap yang membentuknya ini disebabkan adanya
suatu kewajiban yang melekat dalam dirinya sebagai seorang "Sembadra". Ia harus
mampu berkorban atau menderita untuk kebahgiaan anaknya tanpa adanya suatu
pamrih.
"Kalau waktu itu Sri masih ingat Sembadra maka Sembadra di situ adalah
Sembadra yang melihat Abimanyu terancam bahaya" (halaman 28)
Penentuan sikap ini lebih ditentukan adanya suara hati yang kadang
memunculkan perasaan emoh, wegah dan takut. Disinilah kesediaan untuk
bertanggung jawab ini merupakan tanda kekuatan batin (Suseno, 1985:146). Sri
mempunyai kekuatan untuk menunjukkan ketegasan dalam diri. Tindakan yang
dilakukan mengarah pada pencapaian untuk memberi kebahagiaan pada oranglain.
Sementara dalam Bawuk, sikap bertanggung jawab ini muncul ketika Bawuk
harus menitipkan kedua anaknya demi suatu perkembangan psikologia yang baik.
"Bawuk memutuskan anak-anaknya harus hidup dalam lingkungan yang
normal. Anak-anaknya mesti sekolah lagi. Dan lingkungan itu hanya ada
pada rumah ibunya. Bawuk memutuskan anak-anaknya akan diaerahkan
kepada ibunya" (halaman 113)
Bawuk harus rela berpisah dengan orang-orang yang dicintainya akibat
adanya pemberontakan PKI yang dilakukan oleh suaminya. Di sinilah naluri
kewanitaannya muncul ketika dihadapkan pada situasi yang mendesak. Bawuk tidak
ingin anak-anaknya menjadi korban akibat situasi dirinya sebagai seorang pelarian, ia
ingin mereka tumbuh dalam lingkungan yang normal.
"Bawuk melihat itu sebagai gejala yang mengkhawatirkan. Dalam usia yang
sangat membutuhkan pergaulan dan mengenal hidup bermasyarakat, mereka
sudah mulai menaruh curiga kepada masyarakat itu. Dengan sedih Bawuk
melihat itu sebagai bayaran yang dia mesti bayar buat perjuangannya dan
perjuangan suaminya" (halaman 110)
Keterikatan dan kewajiban yang diembannya ini dilakukan bukan karena
pamrih, tetapi lebih pada suatu tindakan untuk membahagiakan orang-orang yang
dicintainya. Bawuk harus rela berkorban untuk mencapai suatu kebahagiaan. Di
sinilah Bawuk mampu bersikap secara kritia dan obyektif dalam menentukan suatu
sikap. Sikap ini menunjukkan pada suatu pemenuhan tugas yang harus diembannya.
Tokoh Sri Sumarah dan Bawuk mempunyai kewajiban untuk memberikan
tujuan tanpa mengaharapkan pamrih. Keterikatan dalam dirinya menunjukkan adanya
suatu tanggung jawab moral untuk menyelamatkan anak-anaknya. kedua tokoh
tersebut mempunyai pemenuhan tugas yang manusiawi.
3.3. Kemandirian
Sikap bertanggung jawab yang dilakukan oleh kedua tokoh didukung sikap
kemandirian moral yaitu suatu tindakan untuk menentukan diri secara otonom.
Kemandirian ini mengacu pada keotonoman manusia yang secara bebas dalam
menentukan perbuatannya. Kemandirian moral dalam Sri Sumarah ini nampak ketika.
Sri Sumarah harus menyelamatkan Tun yang akan lepas dari genggamannya.
"Dia sumarah tetapi dia juga melihat dengan mata terbuka akan pilihan yang
mesti dia ambil untuk menyelamatkan anaknya, harapan embah dan
suaminya yang ada "diatas" sana, dan sudah tentu menyelamatkan dia
sendiri" (halaman29)
Sri Sumarah dituntut untuk bertindak secara mandiri dalam membesarkan
anaknya seorang diri karena suaminya Martokusumo telah meninggal. Di sini Sri
mampu membentuk suatu penilaian diri terhadap situasi yang dihadapinya. Sri tidak
ingin anaknya lepas dari genggamannya, walaupun pada akhirnya Tun harus
meringkuk dalam penjara dan berpisah dengan anak dan ibunya. Di sini Sri tetap
mempunyai penilaian bahwa Tun merupakan tanggung jawabnya. Sri harus mampu
menyelesaikan tugas yang diembannya sampai tugasnya berakhir. Dengan rasa tutus
ikhlas dan senang hati Sri menunaikan tugasnya ini sebagai suatu penghambaannya
bersama anaknya demi suatu tugas yang mulia.
"Dia senang karena merasa panggilannya sebagai ibu terlaksana dengan
baik. Dia senang karena dia biaa berlaku sebagai Kunti yang berhasil dan
ikhlas menderita bersama penderitaan anaknya" (halaman 71)
Oleh karena, itu dalam menentukan sikap ini lebih diarahkan pada
kematangan sikap batin setiap individu. Suatu sikap yang tetap dan tegas tanpa
pengaruh dari pihak luar. Keberadaan sikap ini tidak bersifat semaumaunya yang
mengakibatkan resiko konflik. Kebebasan dalam menentukan sikapnya ini tetap harus
dipegang oleh setiap individu sebagai suatu sikap dasar keotonomannya.
Disini dalam menentukan tindakan setiap individu tetap memegang ratio
dalam pilihan sikap yang harus diambilnya. Kemandirian ini memungkinkan setiap
individu untuk bertindak dengan sikap batin yang mantap dan mampu memilah antara
perbuatan yang merugikan dan menguntungkan untuk menyelaraskan dengan
kepentingan kolektif.
Sementara dalam Bawuk kemandirian ini nampak ketika Bawuk dihadapkan
pada suatu situasi sulit, antara pilihannya selama ini. Bawuk dihadapkan pada pilihan
untuk tinggal bersama anak-anaknya di rumah ibunya dan pilihan yang lain yaitu ia
harus mencari Hasan untuk menyatukan keluarganya. Kemandirian sikapnya ini
nampak dalam penjelasannya terhadap tuntutan yang dihadapkan oleh saudara-
saudaranya.
"Untuk sekejap saya mengecap dunia kita dulu yang sangat hangat dan
comfortable. Untuk sekejap ada saya rasakan daya tarik yang kuat sekali
yang akan menyedot saya kembali ke dalam dunia itu. Dan terus terang,
untuk sekejap saya tergoda untuk mau di sedot oleh tarikan itu. Tetapi oh,
alangkah kelirunya aku. Kenyataan Hasan masih ada di sana, di tempat yang
lain sama sekali. Dunia dan impiannya sekarang penuh asap dan mesiu.
Penuh pengejaran dan pelarian" (halaman 122)
Di sinilah Bawuk mempunyai penilaian sendiri terhadap tindakan yang
dilakukannya. Suatu penilaian terhadap tindakannya selama ini tanpa mementingkan
diri sendiri. Bawuk secara otonom dan bebas mampu menunjukkan suatu sikap yang
mandiri. Bawuk mempunyai penilaian sendiri sehingga ia tidak terikat dan turut oleh
penilaian orang lain.
"Oh, mas-mas, mbak-mbak mammie-pappie. Aku telah berbicara banyak
sekali dan panjang sekali. Dan tidak kepada kalian yang ada di sini saja, tapi
juga kepada Yu Yati, Mas Pik bahkan juga kepada pappie. Kau dengarkah?
Aku harap semua itu telah menjelaskan yang kalian tanyakan kepadaku
semalam suntuk ini. Aku harap kalian telah mendengar dengan baik. Dengan
baik. Dengan baik" (halaman 123)
Kemandirian sikapnya ini lebih berpegang pada tanggung jawabnya untuk
menyatukan anggota keluarganya yang berpencar dimana-mana. Kematangan dalam
dirinya ini diuji sehingga mampu menempatkan suatu pola pikir yang moralia dalam
mencapai suatu keselarasan.
Gambaran kemandirian kedua tokoh tersebut lebih diaebabkan adanya
pengalaman-pengalamannya selama ini. Kedua tokoh tersebut mampu mengatasi
konflik-konflik yang dialaminya sehingga dalam dirinya tertanam suatu penilaian diri
atas tindakan yang dilakukannya.
3.4 Keberanian
Sikap keberanian ini mengacu pada suatu tekad untuk mempertahankan
tindakannya sebagai suatu kewajiban dengan tetap berdasarkan pada kesetiaan suara
hati. Sikap ini merupakan suatu pilihan yang diaertai dengan pengorbanan untuk
mencapai suatu tujuan. Sikap keberanian moral dalam Sri Sumarah tampak ketika
dirinya harus memainkan perannya untuk menyelamatkan Tun. Di sini Sri
menunjukkan tekad terhadap tugas yang diembannya.
"Nduk, memang sudah aku niati untuk menyekolahkan kau sampai tinggi. Itu
sudah janjiku kepada bapakmu yang - oh, Allah, kok ngenes betul lelakonmu
-sudah meninggal. Aku ibumu, nduk, belum akan merasa selesai sebelum aku
melihat kau selesai sekolah di kota, kawin dan sebelum aku bisa memangku
cucuku..." (him. 16)
"Dengan tekad itu, Sri memusatkan seluruh hidupnya pada usaha
pencapaiannya" (halaman 17)
Sikap ini mampu menunjukkan suatu tekad yang harus ditempuh Sri, dengan
tetap menyesuaikan kekuatan kekuatannya. Keberanian moral ini didukung atas
kemandirian untuk melakukan suatu kewajiban untuk membesarkan Tun dengan
sebaik-baiknya. Keyakinan yang tumbuh dalam diri Sri ini mampu menumbuhkan
perasaan yang kuat dalam mengahadapi konflik-konflik yang ada. Segala usaha di
tempuh untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.
"Semua dikerjakannya dengan sama cermat dan rapinya, serta upah berapa
saja yang diberikan kepadanya diterimanya dengan ikhlas dan tanpa tawar
menawar" (halaman 20)
Dengan berpegang pada suara hati, Sri mampu bertindak menghadapi segala
resiko. Tekad yang dilakukannya ini diaertai dengan usaha yang besar dalam
menempuh suatu cita-cita yang diharapkan. Semangat inilah yang membuat Sri yakin
untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Sikap keberanian moral ini merupakan keutamaan intelektual atau kognitif
(Suseno, 1985:147). Ratio mempunyai peran dalam mendukung keputusan suara hati.
Hal inilah yang harus dikembangkan oleh setiap individu dalam menyikapi keadaan.
Dalam menentukan tindakan setiap individu perlu memegang suara hati sebagai
cerminan untuk menyatakan diri dalam menghadapi suatu tindakan dengan resiko
konflik. Di sinilah nilai-nilai kemanusiaan harus tetap di pegang oleh setiap individu.
Sementara itu dalam Bawuk keberanian moral ini tampak dalam tokoh Bawuk
ketika dirinya meyatakan pilihannya terhadap dunia yang dijalaninya ini. Suatu dunia
pelarian yang sangat berbeda dengan keadaan lingkungan keluarganya. Di sinilah
keberanian dalam menyatakan keputusan muncul. Keberanian sikap ini didukung oleh
penilaian rasio dalam dirinya terhadap tugas yang diembannya.
“Tapi, mas- mas, mbak – mbak, mammie- pappie, itulah dunia pilihanku.
Dunia abangan yang bukan priyayi, dunia yag selalu resah dan gelisah,
dunia yang penuh ilusi yang memang sering kali bisa indah sekali..."
(halaman 121-122)
Suatu keputusan yang otonom dan mandiri terhadap pilihan yang
ditempuhnya. Keotonoman ini mengarah pada keputusan hati nurani dengan tetap
menggunakan ratio. Sikap ini lebih ditunjukkan untuk menyatakan diri atas
pilihannya. Bawuk secara mandiri, berani menyatakan keinginannya untuk mencapai
tujuan yang selama ini dijalaninya, yaitu berjuang untuk menyatukan orang-orang
yang dicintainya. Bawuk tidak menutup-nutupi kepentingan diri dan dengan
keterbukaannya ia mampu memberikan pilihan yang terbaik demi suatu keselarasan.
Pilihannya ini lebih didasarkan atas ratio dan juga kepekaan akan suatu tanggung
jawab yang selama ini diembanya.
"Kemudian dari sedikit Bawuk merasa bisa mengatur dan menyusun kalimat-
kalimat yang amat dia perlukan untuk menjelaskan kepada saudara-saudara
dan ibunya" (halaman 119)
Keberadaan sikap ini menuntut suatu kepercayaan diri yang kuat. Kedua
tokoh tersebut mempunyai rasa percaya diri bahwa tindakan yang dilakukannya ini
untuk mencapai suatu kebahagiaan. Dari sinilah muncul keberanian moral untuk
menentukan suatu pilihan.
Berdasarkan uraian diatas, tokoh Sri Sumarah dan Bawuk mempunyai
keyakinan dalam bertindak dan tanpa ragu ragu mau melaksanakn niat itu dengan tulus
ikhlas. Tindakan yang dilakukan tetap berdasarkan suara hati dalam usaha mencapai
kepelarasan dengan masyarakat.
4.1 Kesimpulan
Tokoh utama dalam novel ini adalah Sri Sumarah dan Bawuk. Sebagai tokoh
utama Sri Sumarah mempunyai digambarkan mempunyai karakter seorang individu
Jawa yang sederhana, jujur, mandiri dengan disertai dengan kerendahan hati.
Sementara itu tokoh Bawuk digambarkan sebagai seorang individu Jawa yang
mempunyai karakter berani dalam menentukan sikap dengan disertai kejujuran,
kemandirian dan juga kerendahan hati.
Karakter yang muncul dalam diri kedua tokoh lebih disebabkan oleh lingkungan
sosial sekitarnya. Dalam hal ini lingkungan yang mempengaruhi adalah lingkungan
masyarakat Jawa, khususnya daerah Jawa Timur. Sri Sumarah dan Bawuk yang hidup
pada masa antara penjajahan Jepang dan Belanda sampai pada meletusnya G 30 S/PKI
mampu menananamkan nilai-nilai moralitas budaya Jawa dalam dirinya. Hal ini
didukung oleh masyarakat sosialnya yaitu masyarakat priyai. Sikap moralitas yang
muncul dalam kedua tokoh tersebut dikembangkan dengan memahami nilai-nilai
masyarakat priyayi Jawa.
Sri Sumarah yang hidup dalam pendidikan moral Jawa mempunyai gerak yang
mengalir tenang, sumarah dan mampu tampil sebagai seorang wanita Jawa khususnya
dari golongan priyayi yang setia dalam menerapkan tata nilai budaya Jawa. Sri
Sumarah mampu mewujudkan nilai moralitas dalam dirinya untuk memanusiakan
manusia.
Kejujuran sebagai suatu sikap dasar membentuk pribadi Sri untuk mampu
menerima diri apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sri mampu
membuka diri untuk menerima masukan demi melaksanakan suatu perbuatan yang
luhur. Hal inilah yang membentuk sikap tanggung jawab dalam dirinya. Sri mampu
menepati janjinya terhadap amanat yang diberikan kepadanya. Kewajiban dan
keterikatan akan tugas itulah yang menuntut Sri untuk mampu bertanggung jawab
dalam menyelesaikan tugasnya tanpa harapan pada pamrih.
Sementara itu sikap kemandirian yang muncul dalam dirinya dimaksudkan
sebagai sikap untuk mengarahkan diri atas kebebasan dan keotonoman sesuai dengan
haknya. Sri Sumarah mampu mengembangkan sikap ini dalam menentukan suatu
pilihan keputusan dengan berdasarkan suara hati. Sri mempunyai pilihan sendiri
terhadap tindakan yang diwujudkan. Sikap ini menumbuhkan suatu keberanian dalam
menentukan suatu tindakan. Keberanian dalam dirinya ini lebih didasarkan pada
keputusan hati nurani dalam menyatakan sikap. Sri tidak semau-maunya dalam
menentukan dan lebih menggunakan akal budi. Sikap ini mengarahkan pada
kerendahan hati untuk membentuk suatu pribadi yang matang. Sikap kerendahan hati
dikembangkan oleh Sri Sumarah sebagai dasar dari perwujudan sikap-sikapnya selama
ini. Dengan sikap ini dalam diri Sri terbentuk suatu kekuatan moral dalam mencapai
kematangan pripadi.
Tokoh Bawuk. hadir sebagai wanita Jawa yang agresif, mau membuka diri
seluas-luasnya terhadap segala masukan dari pihak luar. Dengan sikap ini Bawuk
mampu membentuk diri sesuai dengan apa adanya. Namun dalam mengembangkan
tindakannya, Bawuk tidak meninggalkan tata nilai budaya Jawa secara tegas. Bawuk
mampu mengambil nilai-nilai yang mendukung dan menghilangkan nilai-nilai yang
menghambat dirinya. Perilaku inilah yang menumbuhkan nilai moralitas dalam dirinya.
Bawuk mampu menciptakan keselarasan dengan lingkungan sekitarnya sesuai dengan
tindakan dan sikapnya.
Kejujuran yang tumbuh dalam dirinya mampu membawa Bawuk untuk
menerima keadaan diri seperti apa adanya. Bawuk secara sadar dan rela mau menerima
masukan dari orang lain dalam mengembangkan suatu tindakan. Hal ini membawa
sikap tanggung jawab dalam dirinya untuk menyelesaikan suatu tugas yang
diembannya. Bawuk setia dalam penghambaannya untuk tetap mendampingi suami
demi sebuah perjuangan tanpa meninggalkan kewajiban seorang ibu bagi anak-
anaknya. Sementara itu sikap kemandirian lebih menekankan pada suatu tindakan yang
otonom dan bebas. Sikap ini membawa Bawuk dalam menentukan suatu keputusan atas
tindakan yang dilakukannya. Bawuk secara mandiri tidak turut pada suara mayoritas
tapi lebih menekankan pada keutuhan suara hati. Sikap ini dilandasi suatu keberanian
dengan tanpa meninggalkan ratio. Dalam mengambil suatu keputusan Bawuk mampu
dengan berani tidak turut pada suatu kepentingan mayoritas yang dirasa bertentengan
dengan suara hati. Bawuk lebih menekankan pada akal budi dan juga suara hati dalam
mencapai suatu keselarasan. Sikap ini lebih bercermin pada kerendahan hati. Sikap
kerendahan hati ini mampu mengarahkan Bawuk untuk dapat merefleksikan keadaan
diri dengan segala kelemahan dan kekurangan. Dalam diri Bawuk tertanam suatu
kekuatan untuk menjadi pribadi yang matang karena mampu menentukan diri sesuai
dengan tindakannya dalam memberikan keselarasan bagi orang lain.
4.2 Saran
Penelitian ini merupakan gambaran selintas tentang moralitas dalam citra wanita
Jawa. Masih banyak pesan¬pesan tersirat dalam novel Umar Kayam ini. Jika ditinjau
dari segi karakter tokoh-tokohnya sangatlah menarik karena mampu memberikan
gambaran tentang pribadi masyarakat Jawa Tradisional yang sarat dengan simbol-
simbol sosialnya. Dari sudut ekspresif misalnya apakah tokoh wanita yang ditampilkan
merupakan gambaran yang diidealkan oleh pengarang dan juga masyarakat Jawa pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi. D. 1979, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta :
Depdikbud
J Darmaputra, Eka.D. 1988, Etika Sederhana Untuk Semua Perkenalan Pertama.
Jakarta : Gunung Mulia
Durkheim, Emile. 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Terjemahan
Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden. Jakarta : Yayasan Obor
Kayam, Umar. 1975, Sri Sumarah dan Bawuk. Jakarta : Pustaka Jaya
Koentjaraningrat. 1981, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :
Gramedia
Mulder, Niels. 1973, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press
-------------------- . 1983, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta :
Gramedia
Poespoprodjo, L, W. 1986, Filsafat Moral : Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung : Remadja Karya
Purwahadiwardoyo, AL. 1990, Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Kanisius
Retno Santosa. "Wanita Jawa dalam Kemajuan Jaman" Dalam R.M Soedarsono. Nilai
anak dan Wanita dalam masyarakat Jawa. 1986, Jakarta : Depdikbud
Soekanto, Soerjono. 1982, Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta : CV Rajawali
Sudaryanto. 1998, Motede Linguistik : Bagian pertama, Ke Arah Memahami Metode
Linguistik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Sudjiman, panuti. 1991, Memahami Cerita Rekaan. Jakarta : Pustaka Jaya
Sularto, St. 1976, "Sri Sumarah dan Bawuk". Basis. Oktober
Sumardjo, Jakob. 1982, Novel Indonesia Mutakhir : Sebuah Kritik. Yogyakarta : Nur
Cahaya
------------------------1979, Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : Nur Cahaya
Sundari, Siti M, dkk. 1987, "Citra Wanita Jawa". Dalam Sri Sumarah : Antara Cahaya
dan Pelita. Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM
Suseno, Franz Magnis. 1983, Etika Jawa dalam Tantangan (Bunga rampai).
Yogyakarta : Kanisius
-------------------------. 1985, Etika Dasar : Masalah Masalah Pokok Filsarat Moral.
Yogyakarta : Kanisius
Tan, Melly G. 1989, "Masalah Perencanaan Penelitian" Dalam Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Koentjaraningrat. Jakarta : Gramedia
Teeuw, A. 1984, Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya
Whitehead, A.N. 1991, Filsafat Proses : Sebuah pengantar Sistematika Filsafat.
Terjemahan Sudarminta. Yogyakarta : Kanisius
Welleck, Rene dan Warrean, Austin. 1993, Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia
LAMPIRAN
SINOPSIS
Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam ini merupakan sebuah novel yang
terdiri atas dua cerita. Cerita pertama mengisahkan kehidupan tokoh Sri Sumarah,
sedang cerita kedua menceritakan kehidupan tokoh Bawuk. Sri Sumarah merupakan
cerita panjang yang mengisahkan kehidupan tokoh sri sumarah alis Bu Guru pijat isteri
Martokususmo. Hasil perkawinannya dengan Martokususmo, seorang guru beslit di
kecamatan Sri membuahkan seorang putri bernama Tung yang kelak akan terlibat
peristiwa G 30 S/PKI.
Sri Sumarah merupakan seorang wanita yang digambarkan atau diidealkan
prototype Sembadra, seorang tokoh dalam pewayangan yang merupakan seorang isteri
sejati, bisa menerima kelemahan dan kekuatan suami. Di sinilah sri selayaknya seorang
sembadra mampu mengabdi kepada suami, walaupun hanya bisa selama 12 tahun. Sri
bisa bersama Martokusuma karena suaminya meninggal akibat penyakit Eltor. Sejak
itulah Sri harus bisa mandiri dalam membesarkan Tun. Ia mulai menggeser peran dari
seorang Sembadra menjadi sorang Kunti. Konflik-¬konflik yang selama itu dialami Sri
dihadapai dengan "sumarah". Sri merasa bahwa inilah percobaan waktu yang diberikan
kepadanya, dan ia harus mampu menyelesaikannya. Ketabahan dan
kesumarahannya inilah yang kemudian membawa Sri untuk bekrja sebagai tukang
pijat. Keahliannya memijat ini diperoleh ketika ia masih muda dan mendapat "manual
of Operation" dari neneknya saat melayani suami untuk menghilangkan beban yang
berat. Keahlian inilah yang kemudian menjadi bekal pada dirinya dalam mencari
nafkah.
Cerita yang kedua adalah Bawuk, cerita yang menyuguhkan suatu lingkungan
priayi feodal yang sangat berbeda dengan gambaran dari Sri Sumarah. Seperti halnya
dalam Sri Sumarah, dalam Bawuk tokoh utamanya adalah Bawuk. Tokoh Bawuk
digambarkan sebagai seorang anak keluarga onder, anak dari tuan dan nyonya Suryo.
Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, kehidupan Bawuk kurang beruntung
dibandingkan dengan saudara¬-saudaranya.. keadaan ini dialami Bawuk ketika ia harus
menikah dan hidup bersama Hasan, seorang pemuda keras kepala yang merupakan
tokoh komunis. Pendidikannya yang tidak terlalu tinggi membuat Hasan bermimpi
menjadi seorang pemimpin. Hal inilah yang dirasakan bawuk saat dirinya mulai
menjadi seorang isteri komunis yang sewaktu saat bisa membahayakan dirinya, anak-
anaknya dan juga keluarganya. Namun sebagai seorang isteri Bawuk setia pada jalan
yang ditempuh oleh suaminya. Resiko yang ada di depan harus ditanggung bersama.
Dari sinilah dalam kehidupan Bawuk mulai muncul konflik-¬konflik.
Nasibnya yang harus menjadi seorang pelarian mampu membuat Bawuk semakin
matang. Bawuk harus rela berkorban untuk berpisah dengan anak-anak dan juga
suaminya demi sebuah perjuangan.