SERAT KALATIDHA
Sumber naskah bahasa Jawa yang dipakai dalam buku ini diambil dari Lima Karya Pujangga
Ranggawarsita yang ditulis oleh Karkana Kamajaya,
seorang budayawan Jawa dan pejuang angkatan 45.
Serat Kalatidha ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1860. Ketika itu karir beliau mentok
dan tampaknya hubungannya dengan raja kurang harmonis. Ada ketidak puasan dalam
dirinya sehingga lahirlah serat Kalatidha ini.
Kita tidak akan mengupas terlalu panjang tentang latar belakang sang pujangga.
Bagaimanapun diperlukan riset yang mumpuni untuk mengambil kesimpulan sejarah yang
tepat. Dan saya tak punya kemampuan untuk itu. Maka kami cukupkan dengan mengkaji isi
serat Kalatidha secara tekstual saja.
Alasan lain dari kajian Kalatidha ini adalah serat ini cukup populer di kalangan masyarakat.
Beberapa bulan yang lalu saya mendapatkan rekaman gending sinom parijatha yang memuat
serat ini. Jadi serat ini cukup akrab terdengar di telinga banyak orang Jawa. Karena itu kami
merasa perlu untuk mengkajinya agar generasi muda yang sudah tak begitu paham kosa kata
Jawa lama menjadi sedikit mengerti.
Inilah bait ke-1, dalam tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung
Ranggawarsita:
demikian tidak menjadi penolak dari jaman Kutukan, malah makin menjadi-jadi
(kerusakannya).
Kalau dalam bait pertama keadaan negara baru disebut Kalatidha, artinya jaman penuh
keraguan, di bait ini sudah disebut Kalabendu, jaman penuh kutukan. Kerusakan ada dimana-
mana, penyimpangan merajalela. Walau negara diisi oleh para cerdik cendekia, raja, patih,
punggawa dan pegawai yang baik-baik tetap saja tak mampu menolak datangnya kutukan ini.
Sebenarnya gatra ini mengandung sindiran kepada para pejabat itu: kalian ngapain aja?
Orang-orang pintar kok nggak becus ngurus negara?
Rubeda (halangan) angrebedi (membuat kerepotan), beda-beda (berbeda-beda) ardaning
(hasratnya) wong (orang-orang) sanegara (seluruh negara). Banyak halangan yang membuat
kerepotan, dari hasrat yang berbeda-beda setiap orang seluruh negara.
Mungkin karena setiap orang punya hasrat yang berbeda-beda hingga banyak merepotkan.
Mau begini kok tidak melanggar kepentingan kelompok sana, mau berbuat begini kok
melanggar kepentingan kelompok sini. Setiap orang punya kepentingan berbeda-beda dan
mereka semua mengejar kepentingannya masing-masing. Mungkin inilah yang membuat
negara itu menjadi negara terkutuk.
6
Katetangi tangisira,
Sira sang paramengkawi,
Kawileting tyas duhkita,
ketaman ing rehwirangi,
Dening upaya sandi,
Sumaruna anarawung,
Mangimur manuhara,
Met pamrihmelik pakolih,
Temah suka ing karsa tanpa weweka.
asing lagi. Orang itu menyamar atau berpura-pura (mangimur) dengan berkata-kata manis
(manuhara).
Met (mencari) pamrih (pamrih)melik (berharap) pakolih (keuntungan), temah (hingga) suka
(suka) ing (dalam) karsa (hati) tanpa (tanpa) weweka (kewaspadaan). Yang sebenarnya
mencari pamrih berharap keuntungan, sehingga membuat suka dalam harapan tanpa
kewaspadaan.
Padahal sebenarnya orang itu menyembunyikan pamrih, berharap keuntungan. Kata-kata
manisnya membuat senang hati dan membangkitkan harapan (karsa) sang pujangga sehingga
hilanglah kewaspadaan (weweka).
Kesedihan sang pujangga tidak berhenti di bait ini, namun beliau adalah manusia yang sudah
mumpuni dalam reh kasudarman, sehingga hal ini tidak menjadikan kesedihan yang
berlarut-larut. Bagaimana sang pujangga mengatasi perasaan sedih di hatinya? Nantikan
dalam bait-bait berikutnya.
8
Kontit artinya tersingkir dengan memalukan. Ibarat pertandingan lari dia ketinggalan jauh
hingga disoraki penonton.
Pedah (guna, faidah) apa (apa) amituhu (menuruti), pawarta (kabar) lelawara (angin, tak
jelas), mundhak (tambah) angreranta (menyusahkan) ati (hati). Apa gunanya menuruti,
kabar yang tak jelas, hanya tambah menyusahkan hati.
Pada gatra ini sang pujangga sudah menunjukkan tanda-tanda melupakan kesedihan dan
mulai move on. Beliau sadar bahwa mempercayai kabar yang tak jelas tidak ada gunanya.
Jika tak sesuai harapan malah akan membuat hati semakin susah saja.
Angurbaya (lebih baik) angiket (merangkai, menyusun) cariteng (cerita) kuna (tentang
jaman dahulu). Lebih baik merangkai cerita tentang jaman dahulu kala.
Inilah langkah yang akhirnya ditempuh sang pujangga. Dan ini tampaknya bukan sekedar
angan-angan. Beliau banyak menelurkan karya-karya bermutu selain serat Kalatidha ini.
Termasuk juga tentang kisah-kisah kuno seperti Serat Pustaka Raja Purwa, yang sering
dipakai sebagai pakem pedalangan.
12
berisi tentang nasihat kehidupan yang dibingkai dalam sebuah percakapan antara guru dan
murid.
Wahaninira (makna hidupnya) tinemu (ditemukan) , temahan (sehingga) anarima (bisa
menerima). (Dengan begitu) makna kehidupan ditemukan, sehingga bisa menerima
(keadaan).
Beliau berharap dari kisah-kisah lama yang beliau dituliskan dapat digali dari makna hidup
masing-masing orang, sehingga bisa menerima keadaan apapun yang menimpanya.
Mupus (menerima segala keadaan) pepesthening (yang sudah ditetapkan) takdir (oleh
takdir), puluh-puluh (bagaimanapun juga) anglakoni (menjalani) kaelokan (kejadian aneh).
Menerima segala keadaan yang sudah ditetapkan takdir, bagaimanapun sedang menjalani
kejadian yang aneh.
Mupus adalah salah satu bentuk akhlakul karimah bagi orang jawa, yang artinya rela
menerima segala keadaan atau kejadian yang dibawah harapannya. Mupus ini biasanya
disertai rasa syukur walau yang diharapkan tidak tercapai tetapi sudah mampu melangkah
sejauh ini. Misalnya seseorang yang bersemangat menempuh pendidikan. Setelah bersusah
payah dan berusaha dengan segala cara yang ada dia gagal diterima di program S3. Tentu itu
sangat mengecewakannya, membuatnya tak habis pikir. Tetapi setelah merenungkan kembali
dia kemudian mupus, mengubur impiannya untuk melanjutkan sekolah dan merasa bahwa
apa yang telah diraihnya sudah merupakan karunia yang besar.
Dalam bait ini sang pujangga melakukan hal serupa. Beliau mupus, mengubur impiannya
menjadi seorang pemuka (mungkin yang ingin diraihnya pangkat tumenggung), dan
bersyukur atas apa yang diterimanya saat ini. Bagaimanapun (puluh-puluh) beliau sudah
melalui banyak kejadian yang berat (elok-elok) tapi masih mampu meraih jabatannya
sekarang ini.
Demikian pergolakan batin sang pujangga Ranggawarsita, yang beliau bagi untuk kita
sebagai pelajaran. Wallau a’lam.
14
Akibatnya seringkali lebih suka mundur dan mengalah, dengan resiko pendapatannya atau
peruntungannya berkurang.
Jaman edan memang tidak berpihak kepada orang baik-baik. Orang yang tekun mengabdi
disingkirkan, yang banyak bacot dijunjung tinggi. Asal bisa njeplak banyak pengikutnya,
tentu saja sesama orang sakit hati yang sama gilanya.
Ndilalah (namun sudah menjadi) karsa (kehendak) Allah (Allah), begja begjane (sebahagia-
bahagianya) kang (yang) lali (lupa diri), luwih (masih lebih) begja (bahagia) kang (yang)
eling (ingat) lawan (dan) waspada (waspada). Namun sudah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.
Kata ndilalah sebenarnya bermakna kebetulan yang tidak diharapkan seperti pada kalimat,
ora nggawa payung ndilalah udan, tidak membawa payung tiba-tiba hujan. Agaknya kata ini
dipakai sebagai ungkapan bahwa mereka yang berperilaku gila itu boleh merencanakan ini
dan itu, berbuat sesk mereka namun yang terjadi tetaplah kehendak Allah yang tidak mereka
duga ata rencanakan.
Walau orang-orang yang berlaku gila dalam hidupnya itu tampak bahagia dan hidup enak,
tetapi belum tentu seperti yang terlihat. Mungkin kelak tiba-tiba masuk bui karena terbongkar
kejahatannya. Mungkin suatu saat terkena banyak penyakit karena gaya hidupnya. Karena
sesungguhnya manusia hanya dapat menilai orang lain dari penampilan luarnya saja,
sedangkan yang ada didalam kehidupannya kita tidak tahu.
Namun orang-orang yang tetap ingat dan waspada akan lebih bahagia. Hidupnya lebih terarah
dan teratur. Keinginannya sederhana sesuai kemampuannya dan gaya hidupnya pun
sewajarnya. Tidak ada keinginan yang menyiksa hati siang dan malam, karena orang seperti
ini sudah pasrah dengan apa yang diterimanya.
Di sini ada dua kata kunci, yakni eling (ingat) dan waspada. Artinya sudah sering kami
uraikan dalam kajian sastra klasik ini. Ingat berarti mengingat diri sendiri, menjaga diri dari
keinginan hati yang melampuai batas, jadi ingat lebih ditujukan ke dalam. Waspada lebih
ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai godaan dan halangan yang muncul. Dua kata
ini juga sering muncul dalam werat Wedatama yang kajiannya sudah kita khatamkan bulan
lalu.
16
Nyamut-nyamut atau klamut-klamut sering dipakai untuk menyebut hasil dari sesuatu yang
tak seberapa. Misalnya buah kelapa muda yang baru muncul buahnya atau degan, kalau
belum tua masih tipis sekali buahnya, ini disebut klamut-klamut.
Wis (sudah) tuwa (tua) arep (akan) apa (apa), muhung (lebih baik hanya) mahas (fokus) ing
(dalam) asepi (kesunyian), supayantuk (agar mendapat) pangaksamaning (ampunan) Hyang
(Yang) Suksma (Maha Suci). Sudah tua akan berbuat apa. Lebih baik hanya fokus dalam
kesepian, agar mendapat ampunan Yang Maha Suci.
Sudah tua apa lagi yang mau dicapai. Mestinya disediakan waktu untuk beribadah. Tidak
terus-menerus mengejar dunia. Cukuplah sekian porsinya untuk kehidupan dunia yang penuh
intrik dan gejolak ini. Sudah saatnya memperbanyak muhasabah, menyendiri di tempat sepi
(mahas ing asepi) mencari pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci. Sambil di sela-sela
waktu luang mengarang kitab untuk anak-anak muda di kemudian hari, agar menjadi
pelajaran bagi mereka.
Kira-kira begitulah sikap batin Ki Ranggawarsita yang setelah merenung mampu mencapai
ketenangan hidup. Tidak lagi galau oleh godaan keinginan menjadi pemuka yang sebelumnya
sangat beliau inginkan.
Jika kita belajar sejarah seputar kerajaan Mataram, Surakarta dan Yogyakarta, mengabdi
kepada raja memanhg menjadi cita-cita besar setiap orang. Apalagi bagi seorang abdi dalem
yang sudah sejak muda membaktikan hidupnya untuk raja. Keridhaan raja yang dalam hal ini
diwujudkan dengan kenaikan pangkat adalah sesuatu yang diidam-idamkan.
Dr. Kuntowijaya dalam buku Raja, Priyayi dan Kawula, menyebut bahwa pejah ing
sahandhap sampeyan dalem (mati di bawah kaki paduka raja) adalah obsesi setiap priyayi
pada saat itu. Maka tak aneh kalau setiap priyayi menginginkan kedudukan yang dekat
dengan raja. Namun Ki Ranggawarsita mampu menyelesaikan konflik internal yang
bergemuruh di dalam dada, dan mendapat pemecahan yang menenteramkan.
18
Mangunah adalah pertolongan yang diberikan kepada seseorang agar orang tersebut mampu
menjalani tugas yang dibebankan. Orang yang sudah pasrah dan diridhai Allah akan
mendapat mangunah ini, entah dari mana datangnya pertolongan itu. Bisa juga datang dari
sesama makhluk Tuhan (titah). Bisa dari tetangga, kenalan, atau malah orang yang tak
dikenal sama sekali.
Rupa (berupa) sabarang (sembarang) pakolih (pendapatan, rejeki), parandene (namun
demikian) maksih (masih) taberi (rajin) ikhtiyar (berusaha lebih baik). Berupa sembarang
pendapatan, namun demikian masih rajin berusaha agar lebih baik.
Pertolongan itu berupa sembarang hasil, rejeki, pendapatan atau apapun. Mereka tidak merasa
sulit dalam mendapatkan itu semua. Walau demikian mereka tetap rajin berusaha untuk
mencari penghasilan yang lebih baik.
20
Sekedarnya dilakukan,
hanya berbuat yang menyenangkan hati,
asal tidak menjadi masalah.
Karena ada riwayat mengatakan,
ikhtiyar itu harus dilakukan,
untuk memilih hal yang lebih baik.
Sambil berusaha,
dengan tetap waspada dan ingat.
Disertai doa semoga mendapat anugrah dari Allah.
sanadnya. Sedangkan yang dimaksud ikhtiyar sesuai dengan pengertian dalam budaya Jawa
adalah berusaha untuk memilih kehidupan yang lebih baik. Ini sesuai dengan maksud yang
tersurat dalam bait ini, pamilihing reh rahayu, memilih keadaan yang lebih baik.
Sinambi (sambil) budidaya (berusaha), kanthi (dengan) awas (waspada) lawan (dan) eling
(ingat). Kanti (disertai) kaesthi (memikirkan, berdoa) antuka (semoga mendapat) parmaning
(anugrah dari) Suksma (Allah). Sambil berusaha, dengan tetap waspada dan ingat, disertai
doa semoga mendapat anugrah dari Allah.
Di sini muncul lagi dua kata kunci yang sudah kita bahas dalam bait yang lalu, yakni eling
(ingat) dan waspada. Kita ulangi lagi penjelasannya agar semakin hapal. Ingat berarti
mengingat diri sendiri, menjaga diri dari keinginan hati yang melampaui batas, jadi ingat
lebih ditujukan ke dalam. Waspada lebih ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai
godaan dan halangan yang muncul.
Maka yang harus selalu diingat di sini adalah: sambil berusaha dengan tetap waspada dan
eling, disertai doa semoga mendapat anugrah dari Allah. Inilah 4 pilar orang hidup: budidaya,
awas , eling dan berdoa. Empat hal itu jika dilakukan bersama-sama disebut dengan ikhtiyar.
Semoga dengan 4 pilar kehidupan tadi hidup kita akan tegak dan tidak timpang.
22
Bait ke-10, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:
Ya Allah ya Rasulullah,
kang sipat murah lan asih,
mugi-mugi aparinga,
pitulung ingkang martani.
Ing alam awal akhir,
dumununging gesang ulun.
Mangkya sampuna wredha,
Ing wekasan kadi pundi.
Mula mugi wontena pitulung Tuwan.
Ya Allah, Ya Rasulullah,
yang bersifat Maha Penyayang dan Maha Pengasih,
mohon berikanlah
pertolongan yang menggembirakan.
Di alam dunia dan akhirat,
tempat kehidupanku.
Padahal sudah beerusia lanjut,
pada akhirnya bagaimana nasibku nanti.
Semoga datang pertolonganmu, Ya Allah!
.
nanti? Apakah dapat beroleh husnul khatimah? Hati ini sungguh sangat berharap padamu, Ya
Allah!
Mula mugi (semoga) wontena (ada) pitulung (pertolonganmu) Tuwan (ya Allah). Semoga
datang pertolonganmu, Ya Allah!
Semoga datang pertolongan darimu Ya Allah.
.
24
Hidupnya sekarang hanya untuk mencari kasih sayang Ilahi, segala tindak-tanduk fokus
menuju karuniaNya. Senantiasa menjaga hati agar tetap dalam keadaan patuh dan tunduk.
Badharing (hilangnya) sapudhendha (hukuman, kutukan), antuk (mendapat) mayar
(kemudahan) sawetawis (seperlunya). Hilangnya kutukan, dan mendapat kemudahan
seperlunya.
Jia kita sudah ikhlas dalam menjalani lehidupan sebagai hamba Allah, maka hilanglah
kutukan dalam diri kita, hilanglah segala bala’ dan hukuman. Segala kesulitan menjadi ujian
yang mendatangkan pahala, menjadi peringatan agar kita hati-hati dan tetap fokus.
Bahwa seseorang yang sudah membaktikan diri untuk mendekati Tuhan maka akan Dia
memberi jalan kemudahan, tetapi tetaplah petunjuk yang diberikan dalam batas sewajarny.
Kedekatan dengan Tuhan tidak lantas membuat kita menjadi istimewa dalam tatanan hukum
alam. Mentang-mentan dekat dengan Tuhan lantas kita dimanja, tidak demikian. Karena
sesungguhnya dunia dan seisinya diciptakan agar menjadi alat belajar tentangNya. Maka
setiap proses mesti dilalui dengan sewajarnya.
BoRONG (serahkan) angGA (diri) saWARga (sekeluarga) meSI (memuat, berisi) marTAya
(sejahtera). Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai sejahtera.
Pasrah atas semua yang akan terjadi, menyerahkan diri agar kehidupan menjadi sejahtera,
terhindar kerepotan yang tak perlu, hati menjadi tenang karena kepatuhan kepada Sang
Pencipta.
Gatra terakhir ini juga memuat sandi asma, yakni nama yang disembunyikan. Perhatikan suku
kata yang berhuruf besar jika dikumpulkan akan membentuk nama: RONGGAWARSITA.
Sekian kajian serat Kalatidha. Semoga memberi manfaat kepada para pembaca yang
berkenan mampir ke blog ini. Saya doakan Anda semua panjang umur, murah rejeki dan
berhati tenang di akhir kehidupan, sebagaimana yang telah dicapai oleh sang pujangga Ki
Ranggawarsita rahimahullah.
Wallahu a’lam.
Catatan kecil:
Inilah doa dan harapan Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam menghadapi masa tuanya.
Setelah beliau tersingkir dari dunia politik saat itu. Raja terakhir yang kepada beliau
mengabdi adalah Sri Paku Buwana IX. Hubungan sang pujangga dengan raja memang
kurang harmonis karena intrik politik saat itu. Ini pula sebabnya mengapa Ranggawarsita tak
kunjung diangkat sebagai bupati (biasanya bergelar Tumenggung).
26