7
http://facebook.com/indonesiapustaka
TEMPOiii
Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7
i
7
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii
Catatan Pinggir 7
GOENAWAN MOHAMAD
7
http://facebook.com/indonesiapustaka
TEMPOiii
Catatan Pinggir 7
CATATAN PINGGIR 7
iv Catatan Pinggir 7
Daftar Isi
ix Pengantar
1 Kota Tuhan
5 Titanic
9 1944
13 NKRI
17 Gatholoco
21 Angkor
25 Syak
29 Schwarzenegger
33 Technē
37 Nippon
41 11/9
45 Imam (1)
49 Musuh
53 Said
57 Rumah
61 Gelegar
65 Korupsi
69 Emak
73 Kaya
77 Pohon-Pohon
81 Riba
85 Allah
http://facebook.com/indonesiapustaka
89 Maaf
93 Dhanu
97 Tso Wang
101 Saddam
Catatan Pinggir 7 v
2004
107 Setiap Desember Adalah Menunggu
115 Jarak
119 The Clowns
123 Asrul
127 Sepatu
131 Horor
135 Pilih
139 Parrhesia
143 Prancis
147 Grondslag
151 Karbala
155 Agama
159 Hiperboria
163 La Mezquita
167 Passion
171 Imam (2)
175 Anggrek
179 Spion
183 Ambon
187 Abu Ghuraib
191 Berber
195 Zhivago
199 Lisan
203 Si Anjing
207 Troya
211 Tertawa
http://facebook.com/indonesiapustaka
215 Tepi
219 Tanggulsari
223 Ramalan
227 Karnaval
231 Darah
vi Catatan Pinggir 7
235 Saksi
239 Proklamasi
243 Maharaja
247 Kynisme
251 Fantasi
255 Beslan
259 Jakarta, 10 September 2004
263 Pengebom
267 Sosok
271 1965
275 Infeksi
279 Sayu
283 Pulung
287 November
291 Saman
295 Liberalisme
299 Yakin
303 Kejadian
307 Van Gogh
311 Mati
315 Jasih
2005
321 Terang, Gelap, Harap
329 Tsunami
333 Balsam
337 Kotak Hitam
http://facebook.com/indonesiapustaka
J
IKA kita hidup di lorong-lorong miskin yang berlumur nar-
kotik dan bergelimang darah, jika kita tinggal di bawah per-
mukaan kota besar tempat gerombolan menembak manusia
seperti menembak ayam, jika kita hidup di favela Rio de Ja-
neiro, di mana 20 persen penduduk tinggal dalam keadaan jorok
dan jelata, dengan kata lain, jika kita bagian dari Cidade de Deus
seperti yang dipaparkan film sutradara Fernando Meirelles,bisa
kah kita melepaskan diri dari kedurjanaan?
Pertanyaan itu sama artinya dengan bisakah kita berharap. Di
”Dunia Ketiga”, di Rio ataupun Jakarta, yang dikepung kemis
kinan, kejahatan, dan korupsi, harapan adalah problem pokok
yang tak diakui. Seakan-akan dia sudah ada. Seakan-akan Yang
Durjana, Evil yang menyengsarakan itu, adalah sesuatu yang
jauh, yang mustahil bisa jadi bagian dari hidup sehari-hari.
Tapi abad ke-20 yang baru lewat menunjukkan, ada orang
yang makan, minum, bersetubuh, berak, kencing, tidur, dan be
kerja seperti orang kebanyakan, berkeluarga seperti orang keba
nyakan, tapi pada saat yang sama sanggup mengerjakan tugas
membunuh manusia dengan cara bengis dan dalam skala besar.
Adolf Eichmann adalah contoh yang terkenal—dan kita ingat,
birokrat yang setia di bawah pemerintahan Hitler inilah yang
menggiring dengan rutin orang Yahudi untuk dibantai, yang jadi
contoh Hannah Arndt ketika ia berbicara tentang the banality of
evil, ”banalnya kedurjanaan”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 1
KOTA TUHAN
2 Catatan Pinggir 7
KOTA TUHAN
tahu bagaimana ia akan keluar dari labirin orang miskin kota itu,
yang telah berjalin dengan narkotik, kekerasan, tapi memberinya
kekuasaan dan kebebasan. Sejak ia masih disebut Li’l Dice, Zé
memang hanya mengenal itu, bersama ratusan anak yang telah
meninggalkan orang tua, ditinggalkan orang tua.
Rumah-rumah melarat mencekik mereka, dan liku-likukota
besar mengajari mereka untuk tidak tercekik dengan cara yang
paling brutal. Favela Rio de Janeiro dalam Cidade de Deus adalah
sebuah kombinasi rumah piatu dengan rumah jagal. Di sana,
hari-hari bermain bertaut dengan saat-saat membantai, malam-
malam narkoba bergabung dengan jam-jam berteman. Film Mei-
relles dibuka dengan adegan Li’l Zé dan serombongan bocah
bersenjata mengejar seekor ayam yang lepas menjelang disembe-
lih, melintasi liku-liku kampung yang sempit. Mereka berteriak,
tertawa, menembak, tak takut kalau ada peluru yang mengenai
orang yang lewat.
Dari mereka, ”kebaikan” agaknya tak akan bisa muncul dari
kedurjanaan, dan harapan patut ditertawakan. Ned, seorang pe
muda tampan yang lurus hati, yang karena dendam bergabung
dengan salah satu kelompok hitam di favela durjana itu, bertekad
tak akan membunuh orang yang tak bersalah. Tapi pada akhir
nya ia berbuat sama dengan bajingan lain.
Agustinus, apa yang akan Tuan katakan tentang ”Kota Tuhan”
ini? Tentu Tuan, seorang santo dari abad ke-4, tak akan menja-
wab. Tapi mungkin ada jawab yang terlupakan. Jangan-jangan
Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan,
melainkan pada momen-momen kini dalam hidup—yang seben-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 3
KOTA TUHAN
tak hampir mati kena peluru. Anak itu kemudian yang ternyata
membunuhnya. Tapi detik-detik ketika Ned berbicara hangat ke-
padanya mungkin adalah saat isyarat Tuhan: bahwa Ia tak me-
ninggalkan ”Kota”-Nya—atau kota mana pun—dan membuat
hidup sepenuhnya keji dan nyeri.
Dengan atau tanpa Agustinus, bersyukur itu indah.
4 Catatan Pinggir 7
TITANIC
K
ETIKA di bulan April 1912 kapal Titanic pelan-pelan
tenggelam di laut dingin di tengah malam, para penum-
pang kelas satu berusaha berebut tempat di sekoci pe-
nyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka dengan menodong-
kan senjata,karena menurut aturan anak-anak dan perempuan-
lah yang harus diberi tempat lebih dulu....
Kurang-lebih itulah yang tampil dalam film James Cameron
yang termasyhur itu—sebuah adegan yang mengesankanbetapa
orang-orang di kelas atas itu adalah mereka yang tak punyarasa
belas dan tak bisa mengalah.
Tapi sedikitnya separuh dari Titanic adalah sebuah fiksi. Ada
yang mengatakan bahwa kejadian yang sebenarnya dalam benca
naTitanic justru sebuah kisah kepahlawanan orang di kelas atas.
Dalam daftar malapetaka Titanic ada John Jacob Astor, Benja-
min Guggenheim, dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika
terkemuka, sementara yang selamat adalah merekayang tak ber-
daya.
Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom, mengutip statis-
tik dari bencana hari itu: di antara penumpang kelassatu, semua
anak kecil selamat, dan hanya lima perempuan yang mati—tiga
di antaranya bersedia tenggelam bersama suamimereka. Benja-
min Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam seko-
ci. Ia memberi tempat kepada seorang perempuan yang kemudi-
an memang selamat. Pesannya yang terakhir: ”Katakan kepada
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 5
TITANIC
6 Catatan Pinggir 7
TITANIC
Catatan Pinggir 7 7
TITANIC
8 Catatan Pinggir 7
1944
D
UNIA tampak sedikit lebih tenang di Dumbarton
Oaks hari itu. Musim gugur mendekat, udara bertam
bah sejuk seperti lazimnya bulan September, dan di
rumah yang dihiasi lukisan dari zaman Bizantium dan Abad Te
ngah itu, di antarapetak-petak kebun yang asri, empat menteri
luar negeribertemu—seakan-akan setelah itu, tak ada musim di
ngin yang akan mencengkeram.
Sebuah cita-cita tinggi sedang hendak dicapai, sebuah rencana
besar disusun: mereka menyiapkan cetak-biru sebuah lembaga
yang disebut ”Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Mimpimereka per-
damaian, niat mereka keamanan dunia. Mereka—wakil Ameri-
ka Serikat, Inggris, Rusia, dan Cina—datang karena rasa ngeri,
tapi juga karena sangka baik.
Betapa berbeda tahun 1944 itu dengan tahun 2003. Di Dum
barton Oaks, harapan sedang naik. Posisi keempat negeri yang
bertemu itu di atas angin dalam perang besar yang melanda Ero-
pa, Afrika, dan Asia. Musuh mereka, Jerman, Italia,dan Jepang,
sudah terdesak. Tapi para calon pemenang itu toh tahu betapa be-
sar ongkos konflik selama lima tahun itu. Seusaiperang,tercatat
21 juta orang sipil tewas—setelah Hitler bunuh diri di bunkernya
di Berlin dan bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.
Dunia gentar. Para pemimpin pelbagai negeri berupaya untuk
menemukan cara dan institusi yang dapat menyelesaikan konflik
tanpa kekerasan. Ide untuk mendirikan PBB bahkan bermula se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 9
1944
10 Catatan Pinggir 7
1944
Catatan Pinggir 7 11
1944
12 Catatan Pinggir 7
NKRI
A
CEH kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang
perang, tapi juga sejumlah pertanyaan. Pertanyaan itu
semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah ”Indo
nesia”—ya, apa sebenarnya ”Indonesia” yang hendak dipertahan
kan.
Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah
yang harus dibela. Tapi apa arti ”wilayah” sebuah negeri? Apa pu
la ”keutuhan” itu? Kita acap lupa ”wilayah” adalah sebuah tempat
dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan
sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang pan-
jang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri,
tapi dalam hal ”Indonesia”, apa artinya ”milik”?
”Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu
bergerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu,
terus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada
Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian
didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini
disebut ”Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan
termasuk sebuah negeri yang disebut ”Singapura”. Perang dan
perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang
membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah ”wilayah” be
gituberarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benar
kah begitu penting ”keutuhan”?
”Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana da
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 13
NKRI
14 Catatan Pinggir 7
NKRI
dak dipertahankan?
Jawabannya akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah ”In-
donesia” yang masih bercita-cita atau sebuah ”Indonesia” yang
tanpa cita-cita? Sebuah ”Indonesia” yang pandai bernegosiasi atau
sebuah ”Indonesia” yang bagaikan preman, yang menangguk un-
Catatan Pinggir 7 15
NKRI
16 Catatan Pinggir 7
GATHOLOCO
T
IAP sistem keimanan akan didatangi seorang Gatho-
loco—sebuah sosok negatif. Dalam khazanah Islam di
Jawa, nama tokoh ini berasal dari sebuah puisi naratif
panjang yang kontroversial.
Ia kadang digambarkan sebagai orang berbadan pendek ku-
rus, berambut keriting, berkulit muka bopeng bekas cacar, ber-
mata juling. Di mulutnya yang kecil terpasang gigi yang ruwet.
Kupingnya lebar, dadanya cacat dan perutnya buncit. Kulitnya
kotor seakan-akan bersisik (mbesisik mangkak), dan napasnya ter
sengal-sengal.
Dengan kata lain, Gatholoco tampil sebagai seseorang yang
akan sulit sekali diterima orang ramai. Dan itulah yang terjadi,
ketika dalam kisah ini, tiga orang kiai dari Pondok Pesantren
Rejasari menemuinya di jalan menuju Pondok Cepèkan. Segera
mereka menampik Gatholoco sebagai sebuah bentuk yang luar
biasa buruk, menggelikan, dan malah layak dikutuk: dengan te
nangnya makhluk ini selalu memegang bedudan, pipa bambu
untuk mengisap candu.
”Astagfirullah!” seru para kiai. Maka salah seorang dari mere
ka bertanya siapa nama orang ini, dan di mana pula rumahnya.
”Namaku Gatholoco,” katanya dengan suara tenang dan pe
nuh percaya diri. ”Aku manusia lelaki sejati, dan rumahku di te
ngahjagat.”
Ketika ketiga kiai itu tertawa mendengar nama yang tak lazim
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 17
GATHOLOCO
18 Catatan Pinggir 7
GATHOLOCO
di: suatu dorongan dan hasrat untuk membuat iman jadi sebuah
peristiwa internal seutuhnya, ketika agama telah jadi sejenis lem-
baga yang mengatur perilaku orang. Sebab, ”perilaku” hanyalah
sesuatu yang lahiriah—satu-satunya hal yang dapat diawasi dan
dibuat beraturan dengan hukum.
Itu pula yang dikatakan Gatholoco kepada para kiai yang me
ngecamnya. Bagi laki-laki yang merasa lebih unggul pengeta
huannya ketimbang para kiai ulung itu, beribadat dengan rapi
mengikuti aturan waktu salat bukanlah sikap menyembah Tu
han, melainkan ”mung mangéran marang wayah”, hanya mem
pertuhankan waktu. Ketika Kiai Hasan Besari dari PondokCe-
pèkan menunjukkan bahwa Gatholoco tak pernah bersembah
yang, sang tamu pun menjawab tangkas: ”Sembahyangku kekal
dan tak pernah henti.” Ia bersujud ke hadapan Tuhan bersama
dengan napasnya, katanya, dan tak cuma diperintah oleh jadwal.
Discourse Gatholoco tentu saja tak mudah dikisahkan kemba-
li. Percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem
dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifat-
nya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, peng
alaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.
Bentuk tembang untuk perjalanan Gatholoco sebenarnya
bukan medium yang sesuai untuk apa yang hendak disampai
kan di sana—yakni sebuah perdebatan. Perdebatan mengasum
sikan ada konvensi bersama tentang pemberian makna. Dengan
kata lain, ada sifat yang tetap dan dapat diandalkan. Tapi dalam
tembang, dalam puisi, kata sering bukan mengikutisubyek yang
berdaulat dalam menetapkan makna; acap kali kata bergerak
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 19
GATHOLOCO
20 Catatan Pinggir 7
ANGKOR
H
UTAN dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan
hujan, membuat sisa-sisa kota tua Angkor Thom se
akan-akanbersatu kembali dengan Waktu—tapi Wak-
tu yang agaknya tidak kita kenal. Berdiri di antara tiang batu
yang hitam dan dinding laterit yang kecokelatan yang memben-
tuk Candi Bayon, kita akan bertatapan dengan empat patung ke-
pala Buddha yang dipahat di mercu yang setinggi 45 meter itu;
kita akan terkesima menyadari sebuah sejarah 800 tahun. Tapi se
jenak.Sekarang.
Tentu saja saya seorang turis, yang telah membayar $ 20 untuk
masuk ke kompleks Angkor ini. Pada akhirnya saya seorang pe
ngunjung dengan waktu yang terdiri dari sederet ”sejenak” dan
”sekarang” yang terukur.
Tiap turis memulai langkahnya untuk terkesima, tapi kemu-
dian, meskipun ia seorang diri, berjalan dengan waktu yang di-
tentukan oleh publik. Di pintu gerbang itu ada sebuah organisasi;
ia menawarkan tiket dan menyodorkan pengertian bahwa peng
alaman di tengah hutan dan di antara 30 candi itu harus disu-
sun dalam satuan yang bisa dikalkulasi dengan uang yang diakui
orang ramai—karena pengalaman sedang diperjualbelikan.
Pengalaman: mungkin kini ia adalah waktu yang dikemas.
Agaknya ada sesuatu dalam akal manusia yang mampu menge-
masnya—akal yang kian menguat peranannya dalam moderni
sasihidup. Dengan itulah ”masa lalu” bisa dipasarkan atau diku-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tuk, ”masa depan” bisa ditawarkan atau diatur. Tak hanya oleh
kapitalisme. Ketika Pol Pot mengubah Kamboja menjadi”Kam-
boja Demokratik”, konon ia hancurkan candi dan patung, ia co-
pot jubah para biksu, dan ia tiadakan persembahyangan di selu-
ruh negeri. Semua yang dianggap masuk kategori pengalaman
Catatan Pinggir 7 21
ANGKOR
22 Catatan Pinggir 7
ANGKOR
an yang kelak.
Ada yang berulang, tapi tak terasa sebagai repetisi dari hal
yang identik. Agaknya itulah sebabnya kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis dan diabadikan
oleh para penyair—dan apa yang menggetarkan dari Mahabha
rata, yang sayu dari Shakespeare tak terasa sebagai hanya repli
ka, tak cuma mengulang hal yang itu-itu saja. Ada gerak kemba
li yang kekal, ada eternal return, tapi yang pulang bukanlah yang
sama, melainkan yang beda. Pada saat itu, tampak bahwa me-
mang ”beda menghuni repetisi,” kata Gilles Deleuze. Sebab mo-
men ekstasis tak pernah terulangi. Yang dahsyat tak akan jadi
dahsyat ketika ia dikemas dalam reproduksi.
Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha, anatman,
dan anitya, patung adalah puing, hutan adalah kesunyian, dan
hujan seperti kabut. Mercu setinggi 45 meter di Candi Bayon itu,
juga Angkor Wat, bukanlah sebuah situs kebanggaan yang datang
sebagai warisan masa lalu yang agung. Mereka adalah penemuan
hari ini, kesyahduan hari ini, bagian dari duka hari ini. Sebab
apa hubungan antara si biksu muda pada abad ke-21, yang pe
tangitu berjalan di atas jembatan candi, dan Raja Suryavarman
II, pendiri candi besar abad ke-12 ini? Jika semadhi adalah sebuah
pengakuan tentang ketidak-kekalan hidup,jika ketidak-kekalan
hidup berarti juga tidak langgengnya kerajaan dan benda-benda,
bukankah warisan hanyalah bentukan ilusi?
Namun mungkin salah satu bagian dari samsara, bahwa ilu
sijuga ternyata diperlukan manusia—oleh para turis, misalnya.
Mereka membayar, mereka senang untuk terkesima tentang se
http://facebook.com/indonesiapustaka
suatu yang ganjil, yang lain, dari masa silam, dan mereka me
motret. Kemudian mereka akan pergi ke tempat lain. Atau pu-
lang dan mengenang hutan, puing, patung, parit besar, sebuah
kota yang telah punah. Mereka pun merasa berbahagia karena
mengetahui sesuatu yang sebenarnya tak pernah seluruhnya ter-
Catatan Pinggir 7 23
ANGKOR
ungkap. Tapi di dalam hidup yang ruwet, siapa saja berhak terse-
nyum, puas, bahwa ada yang bisa diulangi, ada yang bisa dike-
mas.
24 Catatan Pinggir 7
SYAK
B
OM, teror, dan perang selalu mengedarkan rasa takut
dan ketaksabaran—dan ketaksabaran adalah bahan bu-
ruk untuk demokrasi. Terutama jika kita lihat demokrasi
sebagai sesuatu yang berbeda dari diktat (dari mana kata ”dikta-
tor” berasal) yang datang lekas. ”Demokrasi adalah pemerintah-
an dengan diskusi,” kata tokoh politik Inggris Clement Attlee.
Tapi tentu saja Attlee tak hanya bicara itu. Kalimatnya punya
ekor: ”Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi, tapi ha
nya efektif kalau kita bisa menghentikan orang omong.” Maka
(mengikuti Attlee), tiap pemerintahan demokratis butuhsebuah
kiat: bagaimana menggabungkan kepintaran berdiskusi dengan
kepintaran membungkam mulut.
Tapi sebenarnya ”berdiskusi” dan ”membungkam mulut” bu
kanlah dua laku yang otomatis bertentangan. Menghentikan
orang omong akan hanya sia-sia jika tindakan itu bukantindak
an yang bisa diterima dengan ikhlas dan diakui sah. Akan lebih
riuh suara menggerundel, akan lebih bengis suara mengumpat,
jika orang tak sepakat akan perlunya tutup mulut.Walhasil, di-
perlukan sebuah diskusi untuk tak berdiskusi, diperlukan sabar
untuk tak sabar.
Kesepakatan adalah sebuah kuasa. Kata ”kuasa” juga berarti
”otoritas” dan ”amanat”. Di situlah kelebihan demokrasi: ada
hubungan yang mendasar antara pengertian ”kuasa” dan ”ama
nat” dan juga dengan ”kesepakatan”. Dengan itulah kekuasaan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 25
SYAK
26 Catatan Pinggir 7
SYAK
Catatan Pinggir 7 27
SYAK
28 Catatan Pinggir 7
SCHWARZENEGGER
J
IKA ide tentang rakyat adalah ide tentang pasar, dan pe
milihan umum jadi toko kelontong besar, demokrasi akan
memilih seorang Arnold Schwarzenegger.
Laris, laris, praktis!—itu mungkin teriak penjaja dalam po
litik di sebuah zaman ketika media akhirnya menyederhanakan
segala hal. Pilihlah dia. Tak perlu program. Tak perlu sebuah lem-
baga yang mengelola seleksi kepemimpinannya. Tak perlu orang
ramai tahu adakah mutunya telah teruji untuk memimpin sebuah
masyarakat yang, sebagaimana lazimnya, penuh dengan konflik.
Yang perlu adalah apa yang dalam pemasaran dan periklanan di
sebut brand-name, atau merek, atau logo, yang mudah dikenal.
Praktis: tidak perlu menelisik dan mencari-cari lagi.
Saya tak hanya menulis tentang California. Indonesia yang tak
lama lagi akan memilih presidennya barangkali akan mengalami
proses yang kini terjadi di negara bagian Amerika Serikat yang
mengandung Hollywood di salah satu sudutnya itu. Di Califor
nia, para pemilih lebih cenderung kepada selebritas ketimbang
partai-partai. Kini orang ingin menerapkan demokrasi yang
langsung sebagaimana mereka jadi konsumen yang memesan
baju, perhiasan, film, lagu, langsung melalui Internet.
Tanpa perantara, tanpa panduan seorang connoisseur, mereka
bersua dengan begitu banyak pilihan. Juga pilihan calon kepala
negara bagian mereka. Ketika Schwarzenegger muncul, sebagai
mana ia muncul dalam Terminator, sebuah film yang dinikmati
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 29
SCHWARZENEGGER
hun depan buat pertama kali juga akan jadi sebuah persaingan
sekian puluh calon presiden, yang prestasinya hanya sayup-sayup
sampai ke telinga banyak orang.
Pada saat yang sama, para pemilih sedang kecewa. Merekake-
hilangan kepercayaan kepada partai-partai, sebagaimana mereka
tak punya banyak harapan kepada kerja para wakil di DPR dan
DPRD. Apa gerangan yang jadi pedoman bagi para pemilih
kelak?
Pernah kita berangan-angan bahwa akan ada saatnya, ketika
rakyat lebih ”sadar politik”, mereka akan memilih berdasarkan
pertimbangan yang rasional: menelaah agenda yang ditawarkan
sang calon, meneliti prestasi dan tabiatnya, dan membanding
kannya dengan partai dan tokoh lain. Pernah kita percaya bahwa
karena pendidikan sudah semakin membaik (sebuah premis yang
entah datang dari mana), Indonesia akan melahirkan pemimpin
yang mencerminkan tingkat kecerdasan baru itu. Tapi apa yang
kemudian terjadi?
Dulu, Indonesia pernah dipimpin Bung Karno, seorang lulus
an perguruan tinggi dengan erudisi yang mengesankan, dengan
tulisan-tulisan yang terpelajar, tajam, dan menggugah. Kini ki
ta tak tahu apa gerangan yang pernah ditulis (atau dipikirkan)
Megawati. Dulu, Indonesia pernah punya Bung Hatta, seorang
ekonom yang banyak membaca, menelaah, mengutarakan pikir
an, dan tak henti-hentinya berjuang bersungguh-sungguh hing-
ga ia baru menikah setelah Indonesia merdeka. Kini kita punya
seorang Hamzah Haz....
Agar tak tampak bahwa Indonesia hanya satu-satunya kisah
http://facebook.com/indonesiapustaka
30 Catatan Pinggir 7
SCHWARZENEGGER
Catatan Pinggir 7 31
SCHWARZENEGGER
telah jadi makhluk yang dicurigai. Tapi orang lupa bahwa pasar
yang total hanyalah sebuah ilusi. Selalu ada mediasi: agen-agen
periklanan yang canggih dan humas yang bisa membuat merah
atau biru apa saja yang hitam. Dengan kampanye yang dibiayai
uang berjuta-juta, bukan konsumen yang memilih, melainkan
konsumen yang dipilihkan. Benetton, Bush, Estee Lauder, Mega-
wati, BMW, Nike, Schwarzenegger....
32 Catatan Pinggir 7
Technē
L
ADANG yang kering, sungai yang sat, hutan yang ter-
bakar, ribuan orang yang mati karena suhu yang menye
ngat, tenaga listrik yang gagal.... Hampir bersamaan, du-
nia dipukul oleh galaknya Alam dan gagalnya teknologi, ketika
kemarau begitu terik dan musim panas begitu ganas. Seakan-
akan Eropa, Amerika, Asia, Afrika mendadak serentak ”terkebe-
lakang”. Seakan-akan di semua tempat itu hidup manusia kem-
bali dikungkung Nasib dan Kebetulan yang tak bisa ditangkal.
Pada saat seperti ini umumnya kita akan mendengar orang
berkata tentang datangnya ”balasan” bagi ketakaburan manusia.
Dan Tuhan pun akan disebut.
Tapi benarkah ketakaburan manusia selalu bertentangan de-
ngan kesadaran akan Tuhan? Manusia memang bisa memaklum-
kan, bahwa ia tak ditentukan oleh hakikat atau esensi; ia ”men-
jadi” dalam eksistensi. Ia bisa menunjukkan bahwa ia, yang me
nurut ”hakikat” (apa itu?) tak bisa terbang, ternyata kemudian
bisa mengarungi angkasa. Kini jenis kelamin bisa diubah, kema-
tian bayi bisa dicegah, harapan untuk hidup bisa diperpanjang.
Berangsur-angsur, kodrat atau nature, begitu juga Nasib dan Ke
betulan, jadi barang yang ganjil.
Ada yang mengatakan bahwa keadaan itu keliru, sebab ia
”asing”.Banyak yang mengatakan bahwa ”mengalahkan Alam”
ini adalah tema utama kesadaran Eropa. Pada tahun 1930-an, pe-
nyair Sanusi Pane (juga Sjahrir, aktivis politik) mengibaratkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 33
technē
34 Catatan Pinggir 7
technē
Catatan Pinggir 7 35
technē
36 Catatan Pinggir 7
NIPPON
B
ANYAK orang yang salah harap dan salah sasar pada ta-
hun 1943. Hamka adalah salah satu di antaranya. Ketika
itu Indonesia diduduki Jepang, negeri yang mendamik
dada sebagai pembebas Asia, kekuatan yang meneriakkan slogan
”Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!” Seperti banyak sastra
wan dan tokoh masyarakat di masa itu, Hamka juga menghunus
kata ”berdjoeang”, ”madjoe” dan ”Asia” dengan tangkas—ter
kadang terlampau tangkas.
Saya pernah bertemu dengan seorang yang ingat bahwa pada
suatu hari tahun 1940-an itu ia melihat Hamka, novelis(Tengge
lamnya Kapal Van der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah) yang
sudah mulai diakui sebagai seorang tokoh masyarakat muslim,
naik kuda ke esplanade Kota Medan, seraya diikutiorang ramai
yang berlari-lari, untuk menunjukkan kesetiaan kepada Maha-
raja Hirohito nun jauh di negeri Nippon.
Benar atau tidak Hamka melakukan itu, tekad dalam sajaknya
yang dimuat Pandji Poestaka yang saya kutip di atas menunjukkan
ke mana anginnya bertiup. Itu tak sendirian. Jika kita baca seja
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 37
NIPPON
38 Catatan Pinggir 7
NIPPON
Catatan Pinggir 7 39
NIPPON
40 Catatan Pinggir 7
11/9
S
AYA coba mengingat lagi New York 11 September 2001,
pagi, satu setengah jam sebelum Menara Kembar di World
Trade Center diserang. Saya duduk di sebuah kursi di se-
buah taman kecil tak jauh dari Penn Station, minum kopi dari ge-
las kertas, sendirian, memandang ke jalan.
Hari baru saja menyingsing kerja, tapi telah terdengar suara
seorang penginjil kaki lima yang menyeru, di seberang sebuah
hotel, lewat pengeras suara: ”Ke mana Anda akan tinggal di alam
barzakh?”
Sekian puluh menit kemudian kota pun guncang. Dua pesa
wat ditabrakkan ke dua gedung tinggi tak jauh dari Wall Street.
Ledakan dahsyat menyusul. Menara Kembar itu runtuh bergan-
tian. Sekitar 3.000 orang terbakar, tertimbun gedung, terlontar
dari pucuk, atau dalam keadaan ketakutan, meloncat sekian ra-
tus meter ke bawah. Hancur. Kekejaman itu seakan-akan mence
mooh bahwa hidup bukan apa-apa. Para teroris itu seakan-akan
berseru, ”Ayo, mati ramai-ramai!”
Tapi benarkah hidup cuma seperti sebuah gerak jalan anak-
anak—berbaris santai dari titik A ke titik B, kemudian bubar?
Sang penginjil di tepi jalan itu menjanjikan keabadian. Para pem
bajak, yang pagi itu siap mati sebagai syuhada, membayangkan
firdaus. Di kaki lima dan di angkasa mereka semua meyakini
”alam barzakh”. Hidup seakan-akan ditampik.... Tapi barangkali
ada yang keliru di sini. Hidup tak ditampik. Hanya ada sesuatu
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 41
11/9
42 Catatan Pinggir 7
11/9
Catatan Pinggir 7 43
11/9
44 Catatan Pinggir 7
IMAM (1)
D
ENGAN mata membelalak, dengan teriak, dengan
nama Tuhan dan tangan yang diayunkan, Imam Sa
mudrasebenarnya tak mengagetkan. Ia ingin menun-
jukkan bahwa ia tak gentar. Ia juga tak menyesal. Pengadilan
membuktikan ia bersalah telah merancang pembunuhan besar-
besaran yang terjadi di Bali pada Oktober 2002 itu, ketika bom
meledak di sebuah kafe yang padat di Kuta. Hakim memutus-
kan: ia dihukum mati. Tapi hukuman itu akan dijalaninya—be-
gitulah ia percaya—sebagai kesempatan untuk menjadi syuhada.
Ia yakin bahwa Taman Firdaus menantinya.
Syuhada sebenarnya bukan hanya sebuah cerita tentang iman
dan keberanian. Sebagaimana halnya pahlawan, ia petunjuk ten-
tang sebuah masyarakat yang tak berbahagia. Bila orang hanya
jadi berarti sesudah mati, pasti begitu buruknya kehidupan. Keti-
ka orang harus menjalankan dan mengalamisesuatu yang brutal
karena masa depan yang indah (dalam bentuk sebuah masyara-
kat yang ideal atau sebidang surga yang asyik), pasti ada yang tak
beres dalam masa kini. Maka ”yang-kelak” harus dibayar oleh
”yang-kini” dengan amat mahal, dengankematian dan kekejam
an. Seperti diutarakan oleh dua baris dalam sebuah sajak Bertolt
Brecht:
Catatan Pinggir 7 45
IMAM (1)
46 Catatan Pinggir 7
IMAM (1)
suci” tak punya patokan yang jelas, bagaimana dan bila ”pihak
sini” menang dan ”pihak sana” kalah. Yang berlaku bukan ”tu-
juan menghalalkan cara”, sebab ”tujuan” itu tak dirumuskan.
Akhirnya ”cara” itu jadi tujuan. Perang itu berkecamuk kapan
saja, di mana saja. Ia seakan-akan di luar ruang dan waktu. Ia bu-
Catatan Pinggir 7 47
IMAM (1)
48 Catatan Pinggir 7
MUSUH
M
AYORITAS dengan mudah menang, tapi dengan mu-
dah pula membeku, dan kemudian mencekik. ”Mu-
suh paling berbahaya bagi kebenaran dan kebebasan,”
kata Dr. Stockman dalam Musuh Masyarakat, ”adalah mayoritas
yang kompak.”
Saya kira bukan kebetulan bila karya Henrik Ibsen dari tahun
1882 ini dipentaskan sekarang oleh Actors Unlimiteddari Ban
dung,ketika reformasi politik Indonesia berubah masam,ketika
orang menemukan bahwa suara terbanyak ternyata hanyamela-
hirkan Megawati dan Hamzah Haz. Ditulis oleh Ibsen dengan
luar biasa cepat, Musuh Masyarakat (En folkefiende) memang be-
rangkat dengan niat berpolemik. Ia melawansuara yang di akhir
abad ke-19 itu berkumandang di Eropa,bahwa demokrasi, opini
publik, dan moderasi adalah hal-hal yang harus dimuliakan.
”Saya seorang aristokrat,” tulis Ibsen. Aristokrasi berarti pe
nampikan suara yang datang dari bawah. Dalam Musuh Masya
rakat, penampikan itu tampak bahkan dalam bangunan lakon
ini. Ibsen menampilkan Dr. Stockman, seorang pejabatkesehat-
an yang terpelajar, lurus hati, dan berani. Ia dengan berapi-api
mengatakan, ”Saya di pihak yang benar,” di hadapanorang ramai
yang menentangnya—dan tak secercah pun argumen mereka
mempengaruhi posisinya.
Ia kukuh sebab ia merasa punya bukti. Dokter ini menemukan
bahwa air pemandian di kota pantai di selatan Norwegia itu, tem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 49
MUSUH
Dalam lakon ini, sang wali kota tampak sebagai seorang politi-
kus yang hanya memikirkan sumber hidupkota. Sang wartawan,
Hovstad, akhirnya hanya mengutamakan para pelanggan koran-
nya, wakil ”opini publik” itu. Sang pengusaha, Aslaksen, cuma
mempertahankan milik, dan ketika ia mengimbau perlunya ”mo
derasi”, ia adalah suara borjuis kecil yang takut akan segala yang
ekstrem. Seluruh warga kota tampak sebagai kawanan: tak jauh
dari hitungan laba dan rugi, mereka membeku, tak berani untuk
berubah, berbeda. Mereka bungkam suara yang bebas, juga suara
mereka sendiri.
Dengan kata lain, sang pengarang—ingat, ia seorang ”aris-
tokrat”—hadir ibarat Tuhan yang tak bahagia. Stockman ada
lahrasulnya yang menyodorkan kebenaran yang tak bisa dikom-
promikan. Mungkin itu sebabnya lakon ini kurang terasasebuah
proses; ia terasa sebagai sebuah percakapan yang dibebani dan di
kendalikan oleh sebuah ide (atau keyakinan, atau amarah) besar
yang tunggal. Ide tunggal itu—bahwa mayoritas adalah musuh
kebenaran dan kebebasan—begitumenguasaicerita, hingga la-
kon ini, yang sepenuhnya berpusat dalam kata-kata Stockman,
akhirnya tak mempersoalkan benar atau tidaknya pencemaran
terjadi di air pemandian. Yang jadi fokus: keteguhan hati Pak
Dokter, yang di akhir lakon berkata, ”Orang terkuat di dunia
adalah ia yang tegak sendirian.”
Sebenarnya aneh. Teater, berbeda dengan pamflet, bukan se-
buah suara seorang yang tegak sendirian. Teater tak hidup dari sa
tu sisi. Teater adalah tempat di mana bahkan suara dan titah sang
pujangga (kita ingat kata author membentuk authority) tak hadir
http://facebook.com/indonesiapustaka
50 Catatan Pinggir 7
MUSUH
dasi bagi dirinya sendiri. Sementara itu, para warga kota seakan-
akan terapung-apung, hanya mewakili naluri untuk menyela
matkan perut dan properti.
Tapi sebenarnya beda itu tak amat jauh. Keduanya posisiyang
satu ”ya”, satu ”kata”. Yang menonjol dari ”mayoritasyangkom-
Catatan Pinggir 7 51
MUSUH
52 Catatan Pinggir 7
SAID
K
ABAR tentang Edward Said meninggal saya baca di se-
baris sandek. Kalimat itu muncul di layar telepon geng-
gam ketika saya tengah duduk di depan sebuah lampu
meja yang penyungginya terbuat dari batu berukirkan dua sosok
penari: sebuah nukilan Borbudur.
Kabar datang, pergi, informasi melintas cepat-cepat. Mung
kin sebab itulah orang membangun monumen. Memahat ada
lah mengingat. Atau sebaliknya: sejarah ingin dipahat, ditulis
kan dengan huruf kapital ”S”, tapi segala yang datang dan pergi
tak bisa disusun dalam kronologi dan tema besar. Mereka terus
mengerumuni kita, merasuki kita. Dan Sejarah pun seakan-akan
mengunjal napas, capek dan gaek, di hadapan kini. Kini itu tak
kunjung berhenti. Yang terpeluk oleh Sejarah hanya segala yang
telah lewat, reruntuhan.
gian dari patung dewa yang nanti akan dibakar. Para penabuh
tabla telah menyalakan api. Langitmulai gelap. Burung-burung
ibis yang kemerahan terbang pulang.
Di lapangan itu, para aktor Ramayana di dusun Trinidad
itu bukan hendak menegakkan kembali masa lampau. Mereka
Catatan Pinggir 7 53
SAID
54 Catatan Pinggir 7
SAID
Catatan Pinggir 7 55
SAID
56 Catatan Pinggir 7
RUMAH
T
UAN bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan
rumah. Seperti biasa saya punya jawab yang panjang,
membingungkan, dan tak menarik. Sebab saya ingat
akan sebuah sajak Chairil Anwar tentang rumah dan tak be-
rumah—tentang kepastian dan ketidakpastian:
Ada kontras yang langsung dalam sajak itu. Rumah yang rapi
dan terang itu adalah kelanjutan dari sebuah riwayat dan sekali
gus harapan yang tak bisa dipenggal—salah satu dari ”gores
[yang] belum terputus”. Tapi pada saat yang sama, di dalamnya
ada yang tak permanen. Perubahan yang drastis, perpindahan
yang tak menentu, juga keresahan dan kepergian, akan datang
menyusul: ”Sudah itu tempatku tak tentu di mana”.
Rasanya tak kita dengar sebuah keluh dan sesal dalam baris
terakhir Chairil Anwar itu. Bagi si ”aku” dalam puisi itu, ketidak
tentuan adalah sesuatu yang tak tersingkirkan, juga bila ia ber
ada dalam sebuah ruang dengan riwayat yang intim dan panjang.
Sajak ini mengakui bahwa dalam ketenteraman itu selalu ada
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 57
RUMAH
58 Catatan Pinggir 7
RUMAH
Catatan Pinggir 7 59
RUMAH
60 Catatan Pinggir 7
GELEGAR
D
UA gelegar mengagetkan seperti petir—api murub—
asap hitam membubung—pekik berpuluh-puluh sua
rakesakitan yang serentak.... Kebuasan itu memang bi
sa tampak seperti sebuah spectacle, baik di New York pada tahun
2001 maupun di Bali pada tahun 2002.
Kita seakan-akan menyaksikan lukisan Hutan Terbakar Ra
den Saleh dalam tiga dimensi, atau satu adegan opera Götterdäm
merung karya Wagner. Mungkin sebab itu, ketika dua pesawat
Boeing 767 ditabrakkan para teroris ke Menara Kembar di New
York, dan bangunan kukuh itu runtuh, dan 3.000 mati, Stock-
hausen, komponis Jerman terkenal itu, berucap, ”Itulah karya se
ni terbesar untuk seluruh kosmos.”
Tapi orang marah mendengarnya. Teror sebagai karya seni,
korban sebagai tontonan, para pembunuh sejajar dengan para je
nius? Stockhausen dikecam; sejak itu ia tutup mulut. Tapi salah
kahsang komponis untuk mengatakan demikian, di zaman ke-
tika setiap benda, setiap tindak, dapat dinyatakan sebagai ”seni”?
Pada tahun 1911 pelukis Marcel Duchamp mengikutsertakan
sebuah sentoran kencing ke dalam sebuah pameran seni rupa di
New York. Sebuah ”revolusi” pun terjadi. Pada tahun 2001 se-
harusnya tak mengejutkan lagi jika Stockhausen membaptiskan
penghancuran Menara Kembar sebagai sebuah ”karya seni”.
Apa gerangan ”seni” dan apa gerangan yang bukan? Di mu
seumseni rupa Tate Modern, London, ada sebuah karya Paul Mc-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 61
GELEGAR
62 Catatan Pinggir 7
GELEGAR
Rosenberg, kritikus seni rupa untuk The New Yorker, pernah me
ngatakan bahwa sepotong kayu yang diketemukan di pesisir bisa
saja jadi ”seni”.
Dengan kata lain, selama sebuah otoritas membaptiskan sesu
atu sebagai ”seni” atau ”seni modern”—sepotong kayu di pasir,
sebuah jembatan yang dibungkus terpal, sebuah piano yang di-
rusak, mungkin juga sebuah gedung yang dihancurkan—semua
nyabisa dikeramatkan dalam wacana kesenian.
Memang di situ tampak ada otoritas yang begitu kuasa, hingga
bisa memfatwakan X jadi Y begitu saja. Tapi yang merisaukan bu-
kan itu. Yang merisaukan juga bukan anarki dalam menilai. Su-
san Buck-Morss, dalam Thinking Past Terror: Islamism and Criti
cal Theory on the Left (Verso, 2003), dengan tepat menunjukkan
ada yang lebih mencemaskan: pembenaran ”ontologis”.
Pembenaran ontologis adalah yang mengatakan, ”Karena X
ada di Taman Ismail Marzuki, maka X sebuah karya seni.” Ini
berbeda dengan pembenaran ”epistemologis”, yang mengatakan,
”Karena X adalah sebuah karya seni, maka ia ada di Taman Is-
mail Marzuki.”
Pembenaran ontologis juga bisa kita temukan dalam pernyata-
an ini: ”Karena AS negeri yang beradab, ia menghormatihak asasi
manusia.” Pembenaran epistemologis: ”Karena AS menghormati
hak asasi manusia, ia sebuah negeri yang beradab.”
Dalam pembenaran ontologis, apa pun yang dilakukan AS,
karena negeri ini menurut definsinya ”beradab”, tak akan me
langgar hak asasi. Sebaliknya dalam pembenaran epistemologis,
masih ada kemungkinan untuk dipersoalkan, benarkah AS se
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 63
GELEGAR
64 Catatan Pinggir 7
KORUPSI
K
ORUPSI adalah korupsi karena sebuah garis batas. Kita
ingatSi Mamad. Ia mengambil setumpuk kertas milik
kantor yang kemudian dijualnya—dan ia merasa ber-
salah. Rasa bersalah itu begitu kencang mengganggu pegawai ke-
cil ini, hingga ia menggelikan dan sekaligus mengenaskan, dan
sebab itulah film Sjumandjaja dari tahun 1973 ini, yang diolah
dari sebuah cerita Anton Chekov pada abad ke-19, jadi satu kisah
menarik. Ia tak memaparkan kejahatan, melainkan kesadaran.
Mamad, dengan baju dinasnya yang kuno dan kereta anginnya
yang tua, sadar bahwa ada sebuah garis batas yang telah dirusak
nya, dan tindak itu adalah korupsi.
Tapi dari mana datangnya garis itu, sebenarnya?
Di permukaan, ia bermula dari perbedaan antara konsep
”milik sendiri” dan ”milik orang banyak”. Dalam bentuknya
yang terburuk, milik ”orang banyak” itu adalah milik ”publik”.
Seorang koruptor bukan seorang pencopet yang mencuri dompet
milik orang seorang. Namun benarkah Si Mamad (dalam cerita
aslinya ia bekerja di sebuah kementerian) merasa bersalah karena
menyadari ia korupsi?
Mungkin tidak. Ada pendapat, pengertian ”publik” adalah
bagian dari kesadaran modern. Di dunia tradisional, demikian
dikatakan, tak ada garis batas antara yang ”negara” dan yang ”pri
badi”, sejajar dengan tak ada garis batas antara yang ”publik” dan
yang bukan. Ketika Bupati Lebak dalam novel Max Havelaar me-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 65
KORUPSI
66 Catatan Pinggir 7
KORUPSI
Catatan Pinggir 7 67
KORUPSI
68 Catatan Pinggir 7
EMAK
T
ERKADANG modernitas datang di sebuah dunia yang
tak terduga. Terkadang tak jelas dari luar ataukah dari
dalam ia muncul. Kita dengar kisah Djasi’ah, misalnya.
Ia tokoh utama dalam Emak, memoar yang ditulis Daoed Joe
soef tentang ibunya yang dikenangnya dengan penuh rasa cinta
itu. Perempuan ini datang dari keluarga petani di Sumatera
Utara, dan menikah dengan Moehammad Joesoef, seorang peng
usaha susu lembu yang juga berladang.
Pasangan suami-istri itu buta huruf Latin. Berakar di ling-
kungan Nahdlatul Ulama, keluarga itu membesarkan kelima
anaknya dengan ritual Islam yang lazim. Tradisi tak boleh diabai
kan. Nasihat Djasi’ah kepada anaknya: ”Kau harus berlaku seba
gai batang air...”. Sebab, sekalipun sungai itu tetap terus mengalir
ke muara dan semakin menjauhi mata airnya, ”ia tidak pernah
memutuskan diri barang sedetik dari sumbernya itu...”.
Dengan kata lain, antara muara dan sumber, antara arah dan
asal, tak jatuh bayang-bayang. Tapi kita kemudian tahu bahwa
ada bayang-bayang lain di kampung di tepi Kota Medan itu,
dalam empat dasawarsa pertama abad ke-20 itu, ketika hutan
masih rimbun dan sungai masih bersih. Di sana, dunia modern
tampak tumbuh tak terduga.
Djasi’ah adalah bagian dari yang tak terduga itu. Ia punyalima
anak, tiga di antaranya perempuan, dan di antara anaknya yang
lelaki adalah Daoed Joesoef (dibaca ”Daud Yusuf”), orang Indo-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 69
EMAK
yang menakjubkan.
Djasi’ah digambarankannya sebagai seorang perempuan yang
”bertubuh langsing semampai”, ”berambut ikal dan panjang”,
berkulit bersih yang terawat. Tapi perempuan ini juga seorang
yang, dalam ke-20 bab buku ini, merupakan bagian dari argu-
men tentang pelbagai persoalan hidup: pendidikan, lingkungan,
agama dan masyarakat, ilmu pengetahuan.
Mungkin dengan demikian ia kedengaran terlampau me
nakjubkan. Tapi rasanya bukan hanya imajinasi pengarang ke-
tika dikisahkan bagaimana perempuan ini berani menentang
apa yang dianggap lazim dan baik oleh masyarakat sekitarnya.
Djasi’ah belajar naik sepeda. Dengan demikian ia jadi perem-
puan pertama di kampung itu yang berperilaku demikian, seraya
mengenakan serual (dan bukan kain) panjang.
Ia tahu orang akan bergunjing sebab itu, tapi ia tak peduli.
Ia tetap naik sepeda, seperti ia tetap mempertahankan anaknya
yang perempuan bersekolah di Meisjes Vervolgschool. Si Daoed
juga dikirimnya ke ”sekolah Belanda”, yang oleh orang kampung
disebut ”sekolah kafir”.
Djasi’ah memang tak terduga-duga, tapi dunia modern
datang kepadanya tak hanya dalam bentuk sepeda, atau tonil dari
Betawi, atau topi baret. Dunia itu juga tak datang dalam sebuah
ruang yang kosong. Sebab di sana terbentang sebuah masyarakat
kolonial yang tegang. Di sana telah hadir Soelaiman,yang kemu-
dian dibuang ke Digul oleh pemerintah, dan Mas Singgih, yang
bekerja diam-diam di kalangan kuli perkebunan untuk mence-
tuskan perjuangan politik.
http://facebook.com/indonesiapustaka
70 Catatan Pinggir 7
EMAK
dan sebab itu bisa menangkap apa yang universal. Dengan akal,
Djasi’ah, seorang perempuan tak terpelajar di kampung Kota
Medan pada awal abad ke-20, bisa menyimpulkan hal yang sama
dengan yang disimpulkan seorang filosof Jerman abad ke-19.
Kenapa tidak? Kini orang masih belum capek bergumam ten-
Catatan Pinggir 7 71
EMAK
72 Catatan Pinggir 7
KAYA
D
I kampung saya semasa kecil, kami sering menghabis-
kan jam-jam menjelang berbuka puasa di sebuah mas-
jid di dekat sungai. Di ruang kiri ada orang dewasa yang
mengajarkan membaca Quran, dan di sela-sela itu beberapame-
nit kami menembangkan lagu yang sering disebut sebagai ”puji-
pujian” bagi Tuhan.
Pada dasarnya nyanyian itu hanya bentuk hafalan dari sejum-
lah diktum dan petuah. Saya ingat satu baris yang agak ganjil, da
lam bahasa Jawa:
Setelah agak dewasa kami tahu bahwa kedua kalimat itu ku
rang-lebih berarti ”siapa yang penuh dosa di dunia, di akhiratia
akan disiksa.” Tapi waktu itu, seperti galibnya anak-anak, ka
mi tak semuanya paham kata-kata yang kami lagukan, dan ter-
istimewa kalimat itu membingungkan: dalam melodinya, ada
pause sejenak antara kata ”sugih” dan ”dosa”. Tentang itu, se
orang teman yang lebih tua dan lebih lanjut bacaan Quran-nya
mengatakan bahwa arti kedua baris itu adalah ”barang siapayang
kaya di dunia” (ing ndonya, sugih), ia akan menanggung ”dosa”
(dosa) dan kelak akan disiksa di neraka.
Kami tak membantahnya, mungkin juga karena teman ini
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 73
KAYA
74 Catatan Pinggir 7
KAYA
dan justru sebab itu memperoleh stigma sebagai tukang riba yang
dibenci. Dari Muller kita juga menemukan semacam sebuah plei-
doi bagi kapitalisme, atau setidaknya sebuah sikap yang meneri-
ma bahwa kapitalisme akan bersama kita untuk waktu yang pan-
jang, dan bahwa para saudagar dan pencari harta akan mengeru-
Catatan Pinggir 7 75
KAYA
76 Catatan Pinggir 7
POHON-POHON
S
IAPA yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa
yang tumbuh bukan hanya sebuah batang dalam ruang,
tapi juga sebentuk tanda dalam waktu. Berapa ratus ta-
hun terhimpun dalam hutan yang masih utuh di sekeliling Da-
nau Tamblingan? Ribuan pokok tua dan muda saling merapat,
jalin-menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar pun tam-
bah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang entah sejak kapan me
nyembunyikan jalan setapak.
Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di perbukitanBali
Utara itu, menembus semak, entah berapa kilometer, dalam ke-
sepian yang hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah puri kecil yang nyaris ter-
lindung. Di saat itu, di separuh gelap yang hijau itu, yang kekal
hadir. Keabadian bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-akan bergetar
di ruas batang trembesi.
Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu pun ber
ubah.Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalanakan
direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun terhantar,datar,
siap diukur. Tamasya itu—hutan yang hilang, waktu yang diram-
pat—tak lagi punya tuah. Ia hanya punya harga. Ia hanya punya
guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam reng-
kuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga ”puak
yang perkasa dan damai” itu—ungkapan Marcel Proust tentang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 77
POHON-POHON
78 Catatan Pinggir 7
POHON-POHON
Catatan Pinggir 7 79
POHON-POHON
sumbernya”.
Hutan gelap, rimba purba, tapi yang terkadang menghadir-
kan cahaya yang mempesona tanpa jelas sumbernya—mungkin
itulah kiasan yang baik hari ini: kerinduan manusia kepada tiap
getaran dari Kekekalan Yang Maha Gaib, sekaligus Yang Maha
Indah, di mana hidup adalah pohon-pohon lebat yang mensyu-
kuri matahari. Tapi kita menebangnya, kita menghancurkannya,
dan nihilisme yang menakutkan itu pun mulai.
80 Catatan Pinggir 7
RIBA
T
UAN Kapital menarikan dansa macabre.... Gambaran
Marx yang muram, tentang modal yang membujuk ma-
nusia berjoget mengiringi Maut, kini tampak seperti lu
kisan yang ditemukan kembali di seberkas naskah kuno. Tuan
Kapital kini tampil lain. Mungkin ia seperti Dasamuka dalam
cerita wayang: selalu mampu menjelma dengan wajah yang baru,
tak kunjung mati. Ia bahkan bisa menghilang.
Dulu ia satu metamorfosis dari riba, uang yang lahir dari
uang. Kita tahu bahwa perbuatan menganakkan uang itu dinis
takan ramai-ramai dari zaman ke zaman. Devarim, kitab yang
memaklumkan ulangan undang-undang Musa, yang konon di
susun pada abad ke-7 sebelum Masehi, melarang orang Yahudi
menarik bunga dari pinjaman kepada ”saudara”-nya. Empat abad
kemudian Aristoteles menegaskan bahwa riba memang layak
dibenci. Delapan ratus lima puluh tahun setelah itu, di sekitar
abad ke-6 Masehi, Uskup Jakob dari Saroug, di Suriah, menulis
bahwa bunga (rebitha) adalah hasil siasat Setan untuk memulih-
kan kembali kekuasaannya. Pada abad itu pula kemudian Islam
datang, dengan pesan yang mirip.
Setelah Muhammad SAW, mungkin yang layak disebut
adalah Marx. Pada abad ke-19 Marx menggunakan kata Schaher,
yang menurut mereka yang mengerti bahasa Jerman zaman itu
berarti ”seseorang yang siap mengambil laba dari apa pun dengan
cara yang licik”. Kata itu juga berarti ”riba”. Di sini tampak bahwa
http://facebook.com/indonesiapustaka
”riba” dan ”laba” (yang dalam kata Arab konon disebut ribh) sa
ngat dekat. Laba, bagi Marx, berasal dari kelebihan hasil dari me
meras tenaga buruh. Ia buah pengisapan. Apalagi dari uang itu
beranak pula uang, melalui bunga. Ketika terhimpun modal, li-
hat, kata Marx, modal itu sebenarnya ”tenaga kerja yang telah
Catatan Pinggir 7 81
RIBA
82 Catatan Pinggir 7
RIBA
Catatan Pinggir 7 83
RIBA
84 Catatan Pinggir 7
ALLAH
O
RANG sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Ma
ka berabad-abad yang lalu, di kota-kota yang berbatas-
kan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita
dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka menge-
cam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tu-
han sebagai—jika kita pakai kiasan hari ini—seraut pohon bon-
sai. Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena dile
takkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi se-
benarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembah
an yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung.
Orang-orang muslim punya sebuah cerita dari Quran.
Di hadapan Fir’aun, begitulah dikisahkan, Musa memberija-
wab yang tak diharapkan ketika raja Mesir itu bertanya, ”Dan
apakah Tuhan alam dunia itu?” Pertanyaan itu, ”Ma rabbu al-
alamina?”, cenderung menantikan sebuah definisi. Tapi jawaban
Musa berbeda, dan sangat kena. Nabi itu hanya mengatakan bah-
wa ”Tuhan” adalah ”Tuhan dari Timur dan dari Barat, dan dari
segala yang ada di antaranya.”
Musa tak memberikan sebuah definisi, sebab Tuhan yang di
definisikan sama halnya dengan Tuhan yang dibatasi, rapat-rapat,
dalam bahasa. Jawaban Musa sebenarnya sebuah deskripsi—atau
lebih tepat, sebuah penggambaran yang tak berakhir di satu ke
simpulan. Kita bisa menafsirkannya sebagai usaha untuk menun-
jukkan, dengan kiasan, bahwa Tuhan adalah keagungan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 85
ALLAH
86 Catatan Pinggir 7
ALLAH
Catatan Pinggir 7 87
ALLAH
88 Catatan Pinggir 7
MAAF
T
IAP tahun selalu ada sebuah puasa panjang, dan kemu
diansebuah ritual memaafkan. Saya pernah bersua de
nganseorang alim yang mengatakan, sebagaimana hal-
nya puasa 30 hari pada bulan Ramadan, memaafkan juga dapat
diungkapkan dalam idiom ”mengosongkan diri”. Sekaligus ”pe-
nyucian”.
Ada jalin-menjalin beberapa kata dan makna di sini. ”Ko-
song” (dalam ”mengosongkan”) berarti tanpa isi: sesuatu yang se
penuhnya negatif. Mungkin sebab itu ada seorang penyair Jawa
abad ke-19 yang memilih memakai kata suwung, yang lebihber
asosiasi dengan ”hampa” dan ”lengang”, dan juga dekat dengan
kata sawung, sebuah sinonim dari kata ”jawab” (disawung, dalam
Baoesastra Jawa yang disusun W.J.S. Poerwadarminta pada tahun
1939, sama dengan ”dijawab”). Tak mengherankan bila Rangga
warsita, penyair itu, mengungkapkannya dalam sebuah para-
doks: suwung nanging sakjatining isi, ”kosong tapi pada hakikat-
nya berisi”. Ia menggambarkan suatu sikap meditatif.
Dalam pada itu, ”penyucian” dalam bahasa Indonesia me
ngandung dua patah kata Melayu, ”cuci” dan ”suci”. Dua patah
kata yang berdekatan bunyi itu mengingatkan kita bahwa yang
bersih dan yang kudus terkait karib, bahwa yang sakral ada hu
bungannya dengan yang tak cemar. Ketika kita membayangkan
berpuasa dan memaafkan sebagai ”penyucian diri”, kita meman-
dangnya sebagai sebuah pembebasan dari subyek yang bergeli
http://facebook.com/indonesiapustaka
mang lemak dan Lumpur dunia, dan dalam proses itu, ia pun
”penuh”, ”mapan”, dan ”kenyang”.
Sebuah subyek yang menggelembung, mapan, dan penuh
adalah sebuah subyek yang tak hendak menerima lagi apa yang
datang dari luar dirinya. Ia tak akan lagi menyambut yang lain.
Catatan Pinggir 7 89
MAAF
90 Catatan Pinggir 7
MAAF
Catatan Pinggir 7 91
MAAF
92 Catatan Pinggir 7
DHANU
D
UNIA tak ingat lagi siapa Dhanu. 21 Mei 1991, pukul
10.20 malam, perempuan berkulit gelap dengan bibir
tebal itu mendekat ke pusat upacara. Ia membawa ka-
rangan daun cendana. Di lapangan Kota Sriperumbudur (48 ki-
lometer dari Madras) itu, hadir Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Ia
sedang mendengarkan seorang gadis membacakan sajak.
Dhanu mendekat terus. Tiba-tiba ledakan terdengar. Rajiv
Gandhi tewas seketika. Juga sekitar 14 orang lain. Di antaranya
adalah Haribabu, seorang juru potret setempat. Tubuhnya han
curtapi kameranya masih utuh.
Dari sinilah polisi dapat menemukan 10 buah foto. Empat
di antaranya merekam kejadian hari itu: Dhanu yang membawa
daun cendana, Gandhi yang sedang mendengarkan sajak, dan
saat ledakan. Di samping itu, ada wajah-wajah lain yang kemu-
dian diketahui sebagai anggota tim pembunuhan. Menurut kete
rangan polisi, sebelumnya Haribabu telah dihubungi oleh Tamil
Eelam—gerakan bersenjata yang menginginkan negeri tersendi
ri di Sri Lanka—untuk merekam kejadian bersejarah yang mere
ka rencanakan itu. Ia berhasil. Seperti Dhanu sendiri: pengebom
bunuh diri pertama pada abad ke-20.
Dunia kini tak ingat lagi siapa Dhanu, dengan atau tanpa re
kaman. Tapi agaknya tindakannya bergema terus, dengan atau
tanpa memakai namanya. Dua tahun kemudian, dalam upacara
1 Mei, seorang lain meledakkan dirinya dan membunuh Presiden
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 93
DHANU
94 Catatan Pinggir 7
DHANU
rusnya kucintai....” Kita tiap kali, sadar atau tak sadar, sebenar
nya mengorbankan mereka, tempat kita berutang kesetiaan yang
dalam: manusia atau makhluk yang lain.
Tapi benarkah tiap kali yang ”ethis” harus diabaikan? Atau-
kah sebenarnya peristiwa terpenting dalam cerita Ibrahim ber-
Catatan Pinggir 7 95
DHANU
96 Catatan Pinggir 7
TSO WANG
T
UHAN dan TV, iman dan Internet, khotbah yang tak
henti-henti melintasi tempat yang beragam, barangkali
itulah yang membuat agama kini menjangkau ke pelba
gai penjuru, mengatasi ruang dan waktu. Barangkali itu juga
yang membuat agama tak menemukan bumi. Tempat telah jadi
sesuatu yang virtual.
Rasanya ada yang hilang di sini. Tempat bertaut dengan tu-
buh. ”Tubuh” berarti tubuh yang dilahirkan dan melahirkan, jas
mani yang berbahasa dan yang bersanggama, badan yang dewa-
sa dan mati. Dalam riwayat tubuh itulah ritus perjalanan hidup
dilembagakan dan dirayakan, dan dengan demikian tersusunlah
tradisi. Sejarah pun mendapatkan unsurnya yang khas. Tapi yang
khas itu bisa diabaikan, ketika TV dan Internet membuat do-
rongan komunikatif begitu penting untuk melintasi perbatasan,
menjangkau segala pelosok. Tempat pun dengan mudah diabai-
kan, dan tubuh tak mendapatkan peran.
Pada saat itu fundamentalisme pun tersiar.
Ada yang berpendapat bahwa fundamentalisme adalah ke-
inginan untuk kembali menemukan tempat asal, ke fundamen,
untuk tak melupakan tradisi dan sejarah. Derrida, misalnya,
menganggap kekerasan fundamentalis sebagai reaksi terhadap
sejenis globalisasi yang disebutnya sebagai ”mondialatinisation”,
proses pe-Latin-an dunia. Dalam proses ini, yang lain, yang bu-
kan-Latin, yang tak bertaut dengan sejarah yang ”Latin”,terde-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7 97
TSO WANG
98 Catatan Pinggir 7
TSO WANG
Catatan Pinggir 7 99
TSO WANG
rang.”
”Semua berkah dari dunia,” kata sang Guru pula, ”datang un-
tuk berdiam dalam keheningan itu.”
Tapi zaman tampaknya tak memberi tempat bagi keheningan
lagi. Kini agama cenderung bergerak, bergegas, sering gaduh dan
meluas. Khotbah di TV, sandek atau SMS, Internet, dan pamflet
telah membentuk bahasa baru: bukan bahasa yang mengucapkan
pedihnya kegagalan di hadapan misteri,melainkan bahasa yang
menjanjikan hal yang serba jelas untuksemua orang. Dan bersa-
ma bahasa baru, datang sebuah keyakinan baru—sebuah keya
kinan yang tak peduli bahwa ”mengetahui” sebenarnya adalah
”tak mengetahui”.
B
ISAKAH kita bayangkan Saddam Hussein seperti San
tiago, si nelayan tua dalam The Old Man and the Sea, no
vel Hemingway yang konon disukainya itu? Orang tua
itu kalah. Telah 85 hari ia di laut, dan tak memperoleh ikan seekor
pun, maka ia pun menempuh laut yang lebih jauh, lebih dalam,
ketika akhirnya kailnya menyangkut mulut seekor marlin besar.
Sebuah pergulatan sengit pun terjadi, sebuah adu kekuatan, dan
akhirnya manusia juga yang menang. Tapi Santiago tahu, begitu
ia mengalahkan ikan itu, keberuntungannya tak akan lama.
Ia benar. Tak lama setelah ia arahkan jukungnya kembali ke
darat untuk membawa pulang perolehan kailnya, seekor hiuda
tang menyerang. Santiago melawan. Dibunuhnya hewan laut
buas itu, tapi harpunnya lenyap ke laut. Ia tahu ia belum lepas
dari bahaya. Diikatkannya pisaunya ke sebatang kayu, dan ia
menunggu. Dua ekor hiu lain muncul, menyerbu, hendak me-
renggutkan marlin itu dari perahunya.
Kali ini ia kalah, ia luka-luka, dan marlin yang diperolehnya
dengan susah payah itu hanya tinggal tulang-belulang ketika pe
rahunya tiba di pantai.
Tapi benarkah ia kalah? Pak tua orang Kuba itu sejenak ham-
pir tak bisa bernapas, dan ada rasa ganjil di mulutnya. Ia takut,
tapi hanya sejurus. Lalu ia meludah ke laut, ke arah hiu yang me-
nyerangnya, dan berkata: ”Kalian makanlah itu, galanos. Dan
coba bermimpi kalian telah membunuh seorang manusia.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sebab, apa pun yang hadir di luar dirinya bukanlah sesuatu un-
tuk berteman, melainkan sebuah medan untuk ditempuh dan di-
taklukkan.
Kesendirian: di liang perlindungannya yang terakhir, Saddam
tak punya siapa pun, kecuali sebuah pistol, sejumlahuang—dua
penanda kekuatan zaman ini. Tapi saya kira bahkandi istananya
yang megah pun, ia, seperti tiap penguasa yang mutlak, selalu se-
perti itu: tak ada percakapan yang tulus, yang ada hanya tembok
dan ketakutan.
Catatan Pinggir 7
2004
105
http://facebook.com/indonesiapustaka
106
Catatan Pinggir 7
SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU
S
ETIAP Desember adalah menunggu. Malam akan habis,
kalender dirobek, dan dini hari dicegat pertanyaan yang
setengah tertelan: ”Apa yang akan datang? Siapa yang ba
kal datang?”
Mungkin sebab itu setiap Desember berada di ambang ad
vent. Orang Kristen membatasinya sebagai masa empat pekan
menjelang Natal. Pengertian ini konon datang dari abad ke-12,
dari bahasa Latin adventus, yang berasal dari kata kerja advenire,
yang secara harfiah berarti ”datang ke”. Advent: kedatangan sesu
atu yang penting dan ditunggu.
Sesuatu yang penting dan ditunggu, sesuatu yang belum je
las apa, mungkin sesuatu yang mustahil, sebuah mukjizat, tapi
mungkin juga sebuah bencana.... Setiap Desember adalah awal
orang meniti buih di selat yang gelap yang terkadang rusuh. Di
seberang, hanya beberapa langkah lagi, terbentang kurun waktu
di mana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung. Kini kita
gamang. Terutama karena kita telah sering harus bersandar pada
kepercayaan yang patah. Yang kita punyai hanya beberapa bekas
kekerasan, rasa terkecoh oleh impian, rasa cemas.
Saya ingat kalimat itu: ”Makin dekat juga yang keji dan bersen
http://facebook.com/indonesiapustaka
berhak menyembelih?
Auden tak bisa menjawab. Di ambang putus asa, ketika ia
merasa ”nothing now can ever come to any good,” ia kembali ke da
lam iman yang dikenalnya di masa kanak. Ia bersedia lari melin
tasigurun panjang ke arah bintang di Bethlehem itu.
Di kandang tempat Kelahiran itu terjadi, ia ingat bahwa di
sanalah, buat pertama kali dalam hidup, tiap hal muncul sebagai
sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak disapa. Tiap hal jadi
sebuah ”Engkau” (You), bukan sekadar obyek (It) yang dengan
gampang dibungkam:
pele, yang belum selesai—bisa punya arti bila kita ingat bahwa
hidup dan cinta bisa menakjubkan: ketika Yang Suci merasuk ke
dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal di tengah yang temporal.
Seorang Herodes tak akan paham. Tapi itu dasar kita untuk ber-
syukur, untuk tak mengutuk. Dan dari sana kita pun akan bisa
Sebab semua masyarakat dan zaman adalah detail yang akan le
wat.
114
Catatan Pinggir 7
JARAK
D
ALAM waktu satu-dua jam, 50 ribu orang mati di
sudut Iran. Jumlah itu bisa lebih. Tapi kita sebaiknya
tak bicara tentang Tuhan dan manusia.
Ketika 26 Januari 2001 Gujarat dihantam gempa, dan diper
kirakan 30 ribu orang tewas, sekelompok anggota ”Lashkar-i-
Toiba” menyimpulkan: itulah hukuman Allah atas orangHindu
di negara bagian itu; mereka telah membunuh dan menganiaya
minoritas muslim, Kristen, dan Sikh di India. Seorang menteri
yang beragama Kristen di NegaraBagian Karnataka setuju. Bah-
kan ada orang Hindu yang mengangguk:”Ini memang hukum
an Shiva kepada kami.”
Benarkah? Saya ragu. Sebab saya ragu benarkah semua orang
yang tewas itu—termasuk anak-anak—berdosa kepada kaum
minoritas. Saya ragu bila Tuhan ceroboh dan tak adil. Dan ba
gaimana kita akan mengaitkan bencana di Iran pekan lalu itu
dengan laknat? Di pojok itu tak pernah terdengar ada minoritas
yang dibantai, tak ada pesta mabuk, zina massal, dan pembobol
an bank ramai-ramai.
Pada akhirnya kita harus bicara tentang manusia dengan ma
nusia. Bahkan bukan soal manusia dengan alam. Gempa tek
tonikterjadi karena struktur bumi yang apa boleh buat. Hanya
Superman, dalam film, yang bisa membereskan lempeng-lem-
peng San Andreas Fault di bawah bumi California. Berapa kali
sudah wilayah ini terkena guncangan? Dan bukankah orang di
http://facebook.com/indonesiapustaka
nyian Rod Stewart: ”Some guys got all the luck, some guys got all the
pain.” Bencana itu memukul Iran berkali-kali, dan bukan Mo-
naco. Apa mau dikata. Sejak tahun 130, ketika ilmuwan Cina
Chang Heng mencoba menebak gempa yang disangkanya gelom-
bang angin di bawah tanah, sampai kini hanya sedikit yang dapat
diprediksi, dan semuanya tak bisa dicegah. Kata para pakar, tiap
tahun rata-rata terjadi 50 ribu getaran dengan skala 3 sampai 4
Richter, dan 800 kali dengan skala 5 sampai 6.
Ya, kita harus bicara tentang manusia dan manusia. Teruta
maketika gempa menyangkut hidup yang hancur dan anak-anak
yang mati. Dalam The Theory of Moral Sentiment-nya yang agak
kurang tersohor, di tahun 1759 Adam Smith telah menyebut ben-
cana alam itu dalam perspektif itu.
Misalkan, kata Smith, Kerajaan Cina dengan jumlah pen-
duduknya yang besar itu tenggelam karena gempa. Orang di Ero
pa mungkin akan sedih, menyatakan belasungkawa, memba
yangkan beratnya kemalangan di negeri jauh itu. Mereka mung
kin akan memperkirakan akibat malapetaka itu bagi perda
gangan Eropa. Tapi setelah itu, hidup tak terguncang. Yang hen-
dak main tenis akan terus ke lapangan, yang mau meminang
akan tetap mengenakan baju terbaik dan membeli bunga.
Tapi bandingkan, kata Smith, jika [si orang di Eropa] tahu
bahwa ia akan kehilangan jari manisnya besok. ”Ia tak akan bisa
tidur malam ini.” Dan tentang malapetaka di Asia itu, ”ia akan
mendengkur dengan rasa aman yang paling dalam di atas remuk-
redamnya seratus juta jiwa saudara-saudaranya.”
Di tahun 1759 itu, Smith menggunakan kata ”saudara-sauda-
http://facebook.com/indonesiapustaka
ra” (brethren) untuk jadi kata ganti ”orang Cina”. Sepatah kata
yang mengusik, yang membuka hati: bahwa jarak—yang di za-
man itu membentuk perbedaan besar di bumi—bisa meng
akibatkan ketakpedulian.
Smith mungkin tahu: empat tahun sebelumnya, beberapaha
H
ARI itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan
yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di
sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tam-
pak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling
mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak
henti-henti.
Saya mendatangi mereka dan bertanya: ”Ada apa, ya, bapak-
bapak dan ibu-ibu?” Mereka menjawab, serentak: ”Kami semua
ingin jadi calon anggota DPR.”
Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ra
mai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Leba
ran di Stasiun Gambir.
D-P-R.... Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? ”De-
wan Perwakilan Rakyat”? Sebuah jawatan dengan sekian ratus
lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah
lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruangan itu tak pernah
bertanya.... Atau saya keliru. Sebab mereka sebenarnya pernah
bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu
juga: ”Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?”
Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka ber
keringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka
serak.
Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang ter-
tutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Isn’t it bliss?
Don’t you approve?
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sorry, my dear!
Isn’t it rich?
Isn’t it queer?
K
ETIKA Asrul Sani meninggal, sebuah generasi yang
lain telah mendapat rumah mereka sendiri.
Ia pasti akan bersyukur. Sebab inilah yang diangan-
angankannya dalam Perumahan untuk Fadjria Novari: ”Aku
akan dirikan sebuah perumahan baru.... Rumah yang akan ku-
berikan ialah sejarah kehidupan.”
Prosa itu (terbit di tahun 1951) berasal dari perjalanan pulang
ke kampung kelahiran, ketika ayah sang penulis meninggal. Se
akan-akan ”aku” melihat lingkungan itu buat pertama kalinya.
Sebuah momen yang menyenangkan, tapi sejurus dan tanpa nos-
talgia. Ia telah meninggalkan tempat kelahiran itu bertahun-ta-
hun yang lampau, dan ia akan meninggalkannya lagi. Sebab di
rumah si bapak yang kuno, apak dan mandek, ”segalanya... ada
pada tempatnya,” tulisnya. Tak boleh diubah. Ruang itu tertutup.
”Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala
yang hendak masuk dan yang hendak keluar.”
Maka ia pun memutuskan: ”Buat aku rumah ini tiada ada
lagi. Telah punah hubunganku dengannya.”
Itu bukan konklusi satu-satunya. Ia juga telah menyusun te
kad bahwa kelak ia tak akan membuat rumah yang seperti itu
bagi Fadjria Novari, anaknya. Yang akan dibangunnya adalah
sesuatu yang bergerak dalam proses: sebuah ”sejarah kehidupan”.
Generasi Asrul Sani memang generasi yang menolak pulang
dan membantah rumah. Dalam sajaknya yang terkenal, Si Anak
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
UAN Hakim, seorang perempuan marah di depan maje-
lis, dan melontarkan sepatunya ke arah kolega Tuan yang
duduk bertoga di ruang itu....
Ingat? Sepatu: benda yang tiap kali bersentuhan dengan debu,
lumpur, serba-serbi tahi, sisa makanan yang dimuntahkan, air
comberan yang disiramkan ke trotoar. Sepatu: bagian dari pro-
teksi tubuh yang menempuh perjalanan.
Tuan tentu tahu, di tungkai kaki orang kebanyakan, sepatu
adalah tanda ikhtiar untuk pantas, bersih, dan aman di permu-
kaan bumi. Tapi jika Tuan lupa apa yang terjadi, inilahceritanya:
pada tahun 1987. Mimi, perempuan itu, kecewa dan marah kepa-
da bapak bertoga yang duduk angker dan terhormat di belakang
meja tinggi itu. Ini berlangsung di sebuah ruangpengadilan di Ja-
karta. Sepatu itu dilontarkannya untuk menyatakan sebuah pe
rasaan, juga sebuah pendapat.
Mimi kemudian dihukum penjara enam bulan. Ia dianggap
menghina mahkamah. Tapi perempuan itu sempat bercerita: ber-
minggu-minggu ia beperkara, mengadukan Nina, yang menurut
Mimi pernah menipunya sampai Rp 76 juta. Ia ingin agar Nina
dihukum berat. Ia menyuap hakim dengan uang Rp 2,5 juta.
Tapi hakim itu, kata Mimi, tak berbuat sebagaimanadipesan. Ia
menduga, sang hakim curang: Nina memberi sogok yang lebih
besar....
Seperti Tuan Hakim pasti akan sepaham dengan saya, Mimi
http://facebook.com/indonesiapustaka
menjadi sebuah cerita putus asa. Tepatnya, sebuah putus asa yang
dianggap sah. Di antara kami, harapan telah jadi makhlukyang
ganjil. Kami, orang Indonesia, akan tampak ajaib bila mempu
nyainya.
Saya tak tahu siapa yang mula-mula membuat Indonesia se-
buah negeri tempat rasa putus asa telah sampai ke tungkai kaki.
Bahkan telah membuat Indonesia tak layak sebagai sebuah nege
ri. Sebuah negeri membutuhkan ”negara”. Dalam pengertian
yang sekarang lazim, ”negara” berarti kekuasaan sebagai milik
publik, bukan milik pribadi.
Tapi di mana gerangan ”negara”? Kami bingung. Seorang se
jarawan pernah mengatakan kepada saya, memang hanya baru
setelah administrasi VOC digantikan oleh birokrasi kolonial
Hindia Belanda, kehadiran ”negara” di kepulauan ini mulai ber-
dampak. Tapi agaknya sampai kini pun ia samar.
Kalaupun tak samar, ”negara” adalah sesuatu yang amat tipis.
Untuk 220 juta penduduk, hanya ada sekitar 3.500 hakim dan
sekitar seperempat juta tentara militer dan hanya 270 ribu polisi.
Bersamaan dengan itu, bagi banyak orang, ”negara”yang tipis itu
belum merupakan sosok yang utuh. Ia belum hadir sebagai se-
buah struktur dengan seperangkat aparat yang efektif menyen-
tuh kehidupan sosial. Ketika jalan macet, KTP hilang, utang tak
dibayar, kami sering tak tahu siapa yang akan membereskan itu
sampai tuntas. Negarakah? Jika Tuan seorang Mimi, ”Negara”
adalah person-person yang bisa ia ketuk pintunya di rumah.
Dan semuanya kian rancu, ketika otoritas di balik pintu itu
ternyata bisa diperjualbelikan. Tuan tahu apa yang terjadi karena
itu? Negara, yakni kekuasaan milik publik, berubah. Privatisasi
yang serong telah berlangsung. Pada saat itu, Republik pun run-
tuh, tanpa diumumkan, tanpa jerit dan gelegar. Bahkan kejadian
itu disembunyikan. Dan runtuh pula sebuah kehidupan bersa-
ma, di mana orang bisa saling percaya, di mana konflik dikelola
http://facebook.com/indonesiapustaka
dengan damai dan tak berat sebelah. Yang ada: sebuah labirin
gelap kekuasaan-kekuasaan pribadi.
Itu sebabnya Mimi melontarkan sepatu. Benda itu tak akan
membuat kepala pak hakim benjol. Perkara itu tak akan diperiksa
lebih jauh. Mimi akan kehilangan 50 persen pelindung kakinya.
K
ETIKA Akbar masih menyandang nama kecilnya, Mu-
hammad, ia telah memperoleh gelar Ghazi, sang ”pe
nyembelih kafir”. Pada umur 14 tahun, pangeran itu
diundang mempertunjukkan keberanian dan keterampilannya,
dan ia lulus ujian: ia tebas leher seorang tahanan Hindu dalam
sekali tetak.
Keturunan Jengis Khan, keturunan Timurleng, pengendara
kuda jalang, pelaga senjata yang cekatan, yang bermain polo ka-
lau perlu di malam hari (untuk itu ia ciptakan bola yang bisa ber-
sinar bila cahaya tak cukup), ia sanggup berjalan kaki 60 kilome-
ter tanpa lelah. Semua disiplin dan energi itu ia gerakkan ketika
ia, di tahun 1560, pada umur 18, mulai memerintah tanpa di-
dampingi, dan menjadi maharaja ke-3 dalam dinastinya.
Ketika itu, imperium Moghal cuma seperdelapan India yang
sekarang. Dengan semangat moyangnya, ia perluas tanah itu
hampir ke seluruh Tanah Hindustan.
Tapi luas itu datang bersama kompleksitas. Akbar tahu kena-
pa: ia, seorang muslim, pendatang keturunan asing, memerin
tah sebuah mayoritas yang tak seiman, di sebuah sub-kontinen
yang sejak masa purba melahirkan pelbagai kitab dan orang suci.
Bahkan agama Kristen pun mulai datang, dan para padri Katolik
telah tiba di Delhi. Hindustan masuk ke dalam sebuah transisi
yang tegang.
Akbar tahu, tapi lebih dari itu ia berpikir, ia merenung: ada
http://facebook.com/indonesiapustaka
takzim.
Tapi ia tak puas. ”Pikiranku tak tenteram di tengah keaneka
ragaman sekte dan keyakinan,” katanya. ”Terlepas dari kegemi
langan lahiriah ini, dengan rasa puas apa... aku dapat menjalan
kankendali atas imperium ini? Aku menanti orang-orang rendah
hati yang berprinsip untuk memecahkan kesulitan dalam hati
nuraniku....”
Maka diundangnya para arif dan aulia dari pelbagai kaum ke
majelisnya. Di hari seperti itu, jam panjang diisi pembahasan ten-
tang pokok ilmu, rahasia wahyu, kejadian aneh dalam sejarah,
atau keganjilan alam. Wakil dari agama-agama juga hadir. Ak-
bar berada di tengah mereka, tapi juga di luar mereka. Ia seorang
rasionalis, dan ia memandang agama dengan perspektif itu.
”Keunggulan manusia,” katanya, ”terletak dalam mutiara akal.”
Tak semua tamunya tenteram mendengarnya. Terutama keti
ka Akbar melangkah lebih jauh. Pada suatu hari, baginda meng
undang orang-orang terpelajar dan juga komandan militer di ko-
ta-kota sekitar Agra untuk datang ke ibu kota. Di hadapan hadir
in yang terhormat itu, ia berpidato: ”Satu hal yang buruk, bagi
sebuah imperium yang berada di bawah titah satu pemimpin,
bila anggota-anggotanya berbeda pendirian satu sama lain ....
Sebab itu kita perlu membuat mereka menjadi satu, tapi dengan
satu cara hingga mereka jadi ”satu” dan juga ”semua”—dengan
keuntungan: tak ada yang hilang di sebuah agama, sementara ia
mendapatkan yang lebih baik dari agama yang lain.”
Tampaknya, kerinduan akan perdamaian dan toleransi, juga
keyakinan akan rasionalitas—dan tentu saja politik keamanan
http://facebook.com/indonesiapustaka
N
YONYA A datang ke kampung kami dan berkata, ”Pi
lihlah aku!” Saya kagum. Sebab saya tak termasuk mere
ka yang berkata, ketus, ”Kok, ambisius banget, sih.”
Seorang calon anggota parlemen, juga seorang calon presiden,
memang tak bisa membisu, bukan? Ia harus menjajakan diri. Ia
harus membujuk, bahkan seperti meminta, orang ramai.Ia ingin
mereka mendukungnya, bukan? Tak perlu berpura-pura. Bersi-
kap pura-pura menunjukkan seorang pemimpin ingin jadi mem-
pelai yang dilamar. Padahal dialah yang harus jadi pelamar. Dan
dengan jerih payah.
Siapa yang tak pernah merasakan jerih payah itu tak akan me
rasakan bagaimana berartinya suara orang lain. Siapa yang tak
merasakan bagaimana pentingnya demos yang bebasmenentukan
pilihan tak akan pernah menghormati mereka. Dalam demokra-
si, kekuasaan adalah sejenis utang. Si pemegang kuasa sadar bah-
wa kelak ia akan ditagih. Kekuasaan adalah proses dan hasil ta-
war-menawar.
Nyonya A datang dan bilang, ”Pilihlah aku!” Tidak, ia tidak
pantas dicemooh. Soalnya bukanlah ia terlalu berambisi atau ti-
dak. Soalnya: apa yang ia tawarkan?
Ia menjawab, ”Sebuah Indonesia yang lebih baik.” Banyak
orang memang tergugah mendengar itu. Sebab pada titik inilah
politik dan demokrasi—dan khususnya pemilihan umum—tak
lagi hanya bisa diterangkan dengan kiasan dunia perdagangan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ada yang lebih dari itu. Sebab pemilihan umum, apalagi pada
2004, adalah percobaan bersama untuk merebut kembali apa
yang dikatakan oleh Nyonya A, tanpa berpikir panjang, ”sebuah
Indonesia.”
Bukan karena Republik sedang diancam keretakan teritorial.
J
IKA Indonesia datang hari ini ke pengadilan, besok ia akan
pulang dengan kaki patah. Tak ada yang akan menyelamat-
kannya. Keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan
hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang se-
buah kebersamaan. Dengan itu, di atasnya sebuah negeri akan
tumbuh sebagai sebuah negeri. Tanpa itu, hanya akan ada kemah-
kemah peperangan, sebuah situasi yang digambarkan Hobbes
dengan sikap dingin: di sanalah hukum dibuat oleh mereka yang
punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Au
toritas, non veritas facit legem.
Kini itulah yang sedang terjadi di Indonesia: sebuah negeri
yang sedang patah-patah. Humus yang menyuburkan kebersa-
maan itu begitu tipis dan semakin habis. Hakim-hakim tak bisa
dipercaya lagi, apalagi jaksa dan polisi. Para pengacarahanya di-
anggap sibuk memilih warna dasi dan datang ke mahkamah se
bagai makelar, mempersiapkan jual-beli tuntutan dan keputus
an.
Orang mulai mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini,
demokrasi tak menolong. Statemen ini bukan sesuatu yang baru.
Ia sudah merupakan cemooh kaum aristokrat dan pendukung
oligarki di zaman Yunani kuno. Kata mereka, demos,atau rakyat
kebanyakan (yang dalam bahasa Indonesia juga disebut ”orang
ramai”), memang hanya sejumlah suara riuh ramai. Di abad ke-4
sebelum Masehi seorang bernama Isocrates telah menulis ketus
http://facebook.com/indonesiapustaka
Y
ANG suci tampaknya belum surut. Juga ketika mukjizat
menghilang dan Tuhan hanya disebut dari ruang yang
hingar. Dunia memang mengalami Entzauberung—se
patah kata dari Weber yang terkenal itu, yang menggambarkan
hilangnya tuah dari kehidupan. Modernitas hadir. Tapi tidakkah
modernitas yang sekuler itu juga punya batas?
Prancis: di negeri ini, di mana Islam agama terbesar No. 2,
anak-anak muslimah datang ke sekolah dengan berjilbab. Mereka
tampaknya merawat apa yang sakral. Mungkin petuahorang tua
tentang tradisi dan harga diri. Mungkin ajaran agama. Mungkin
juga tubuh mereka, hingga perlu diberi tabir dari debu duniawi
dan dari jamahan yang profan. Mungkin sekali ketiga-tiganya.
Tapi apa yang terjadi jika sesuatu yang dianggap suci bentrok
dengan sesuatu yang dianggap suci? Di Paris, Régis Debray, da
lam wawancara dengan majalah Lire nomor Februari ini, meng-
ingatkan, ”Kita jangan mencampuradukkan yang suci dengan
yang religius, dan yang religius dengan yang ilahiah.” Sebab ba
nyak”agama tanpa dewa-dewa dan tanpa Tuhan.”
Dari Debray, suara ini menarik untuk didengar. Dalam umur
64 tahun, ia bertahun-tahun mewakili suara yang kiri, bahkan
radikal. Ia pernah ikut bergerilya di Amerika Latin membantu
”Che” Guevara; ia dipenjarakan di Bolivia dari tahun 1967 sam-
pai 1970. Buku pertamanya, Révolution dans la Révolution (1967),
menampakkan rasa kagumnya kepada gerakan revolusioner. Tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka
Prancis yang memusuhi Gereja itu juga salah satu tonggak awal
lahirnya ”negara nasional”. Tapi tampaknya, seperti di pelbagai
negara modern, kini ada yang terasa kurang. Jika kebajikan dan
dosa tak diakui, dan yang penting adalah kaum ”epikurian” yang
memprioritaskan hari ini, bukankah masih diperlukan jawab:
J
AKARTA, menjelang pertengahan 1945, tiga bulan sebelum
bom atom jatuh di Hiroshima. Sekitar 80 orang hadir di se-
buah pertemuan 10 hari.
Di antara mereka tak ada buruh atau peladang, orang dari
pesantren atau masyarakat adat, dan hampir tak ada perempuan.
Tapi ke-80 orang itu bukan orang yang jauh dari orang ramai. Se-
lama belasan tahun, mereka pernah aktif sebagai ”orang perge
rakan” dan bertemu dengan pelbagai lapisan rakyat, atau jadi pe-
jabat, atau ikut aksi untuk kemerdekaan lewat partai dan perhim-
punan. Di antara mereka, ada Sukarno dan Hatta, yang telah jadi
buah bibir sebagai ”Bung Karno” dan ”Bung Hatta”.
Hari-hari itu, tugas mereka—diberikan oleh penguasa Jepang
di Jakarta waktu itu, yang tahu Dai Nippon akan kalah dan me
reka harus meninggalkan kepulauan ini—adalah menyiapkan
lahirnya sebuah ”Indonesia” yang ”merdeka”. Tapi apa yang dise-
but ”Indonesia”? Bagaimana keadaan ”merdeka” itu?
Jawab masih kabur. Masih banyak pengertian pokok yang ha
nya diangankan—dalam arti dikehendaki, dirancang-bentuk,
tapi disadari atau tidak, hasilnya hanya punya dasar yang tentatif.
Dengan itu mereka berunding. Rapat berlangsung di Gedung
Tyuuoo Sangi-In, tak jauh dari Stasiun Gambir. ”Kita harusmen-
cari persetujuan paham,” kata mereka, seperti kemudian ditiru-
kan Bung Karno.
Maka, pada tanggal 1 Juni, Bung Karno, salah seorang anggo
http://facebook.com/indonesiapustaka
lebih rendah hati dan melihat bahwa ”semua adalah tafsir”. Juga
apa yang dikemukakan Qutb sebagai ”Islam”.
Tak berarti seluruh grondslag perlu dicopot. Apalagi dalam
hal Pancasila, ada yang penting: ia sebuah grondslag dan sekaligus
juga perundingan—dan ini tak hanya berlangsung di Gedung
K
ARBALA dan kematian—berapa kali lagi tragedi dise-
but dalam dua kata itu? Tiap kali terjadi pembunuhan
di sana, kita bertanya, mungkin dengan suara yang tak
bisa keras, apakah meneguhkan kekuasaan, ataukah sebaliknya?
Pembantaian pertama tercatat lebih dari 1.300 tahun yang
lalu. Daulat Ummayah memperkukuh posisi politiknya seba
gai pemegang kekhalifahan Islam dengan membunuh Husain,
cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680. Sejak itu
para pengikut yang kalah dan terserak-serak membentuk kekuat
an dengan keyakinan sendiri, dan gerakan Syiah pun lahir. Dan
Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah,
pun jadi lambang pengorbanan dan kesedihan, ketahanan dan
harapan. Juga statemen perbedaan.
Orang Syiah kemudian mendirikan masjid dan makam syu-
hada besarnya di kota itu. Tapi hampir 200 tahun kemudian,
pada tahun 851, Khalif Al-Mutawakkil menghancurkannya.
Orang Syiah dianiaya lagi. Kian lama kian tampak betapa iman
dan kekuasaan saling menghalalkan. Jika Anda bertanya apa arti
”iman” di sini, jawabnya bergantung pada mereka yang bertindak
atas nama ”iman” itu.
Al-Mutawakkil, yang bertakhta pada tahun 847, oleh sejarah
Syiah digambarkan sebagai ”tiran yang berdarah”. Ada dicerita-
kan bagaimana khalif ini suka dihibur para badut yang mence
mooh Ali ibn Thalib, menantu Nabi, tokoh yang dipuja orang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Syiah di atas siapa pun selain Rasulullah. Tapi justru itu mung-
kin sang Khalif memandang dirinya sendiri sebagai orang yang
tawakal—seperti tersirat dari namanya—atau penjaga akidah.
Begitulah pasti ia ingin dikenang. Kini orang masih bisa me
nyaksikan Masjid Al-Mutawakkil yang selesai didirikannya
ngan Tuhan sendiri. Bacaan ini memang mulia, tapi bukan sesu
atu yang mahasuci dan abadi. Bagi kaum Mu’tazilah, tiap kali
Quran datang kepada kita, ia datang melalui penafsiran kita atau
orang lain—baik orang awam maupun para fuqaha yang pintar
hukum agama. Betapapun indahdan agungnya, Kalam Ilahi itu
tetap diungkapkan dan diterima dalam bahasa yang terikat ru-
ang dan waktu.
Dalam arti itu kaum Mu’tazilah meneguhkan keyakinanbah-
wa tak ada apa pun yang menyamai Tuhan. Juga bolehdikatakan,
mereka memandang kata dan tafsir mirip denganapa yang lebih
dari 1.300 tahun kemudian diutarakankaum ”dekonstruksionis”
dan lain-lain: bahwa bahasa bukanlah ibarat sebuah pipa lem-
pang, sesuatu yang sepenuhnya transparan dan konsisten. Juga
bahwa sang pembaca, atau pendengar,lebih menentukan makna
kata, apalagi ketika yang berkata-kata tak hadir di hadapannya.
Maka Quran tak akan pernah tertutup di satu kesimpulan.
Namun bagaimana seorang penguasa bisa menerima pikir
anmacam ini? Bukankah dengan demikian tak ada hukum yang
pasti? Dan tanpa kepastian dan ketunggalan, bagaimana kekua-
saan akan bertopang dan masyarakat didisiplinkan?
Memperkukuh diri dan mendisiplinkan memang hasrat lazim
penguasa—apalagi yang merasa didukung ketentuan syariah.
Bagi mereka ini, tiap Karbala harus dihancurkan: tiap statemen
perbedaan, tiap lambang dari ”sana” yang mengingatkan tragedi
akibat kesewenang-wenangan dari ”sini”, harus dihapus.
Apalagi Al-Mutawakkil punya preseden. Dua puluh tahun
sebelumnya, kaum Mu’tazilah begitu percaya kepada kebenar
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA tahun 1930-an, penyair Amir Hamzah pergi ke Pu
lauBali, bersua dengan seorang perempuan yang memu
kaunya, dan menulis:
nya menampiknya.
Matikah agama sejak itu? Akan lenyapkah pesonanya ketika
manusia berani mengembara bahkan ke ”tempat yang dikutuk
segala kitab”?
Ada yang menjawab: pasti. Dekat ke pertengahan abad ke-
19 Auguste Comte menuliskan teorinya bahwa tiap masyarakat
akan meninggalkan ”keadaan theologis” dan akhirnya masuk ke
”keadaan ilmiah dan positif”. Menjelang akhir abad ke-19 Marx
dan Engels yakin revolusi sosial akan menghapuskan agama,
”candu” bagi kelas buruh itu. Di paruh kedua abad ke-20, Peter
Berger memperkirakan pada abad ke-21 kehidupan sekuler akan
begitu meluas, hingga orang beragama pun terpencil. Nasib si
mukmin, katanya, akan seperti nasib ”seorang ahli astrologi dari
Tibet yang tinggal di sebuah kampus di Amerika”: ganjil, mung-
kin menarik, dan bingung.
Kini abad ke-21, dan kita tahu Berger dan lain-lain salah.
Agama tak mati-mati. Teori sekularisasi secara telak telah terban-
tah. Teman saya, Luthfie Assyaukani, memberi saya sejumlah ri-
salah yang kini menyesali teori itu. Rodney Stark, pakarsosiolo-
gi agama itu, menyerukan agar ”doktrin sekularisasi” dikubur.
Pada tahun 1997 Peter Berger sendiri mengakui kekeliruannya:
ternyata dunia tak berubah jadi sekuler, ternyata agama tampil
lebih lantang.
Tapi jika teori sekularisasi mati, mati jugakah proses sekular-
isasi? Akan terhalaukah sekularisme, pandangan yang menjun-
jung surutnya peran agama dalam kehidupan sosial? Saya kira ti-
dak; ia hanya berubah kulit, atau muncul di sela-sela retakan so-
http://facebook.com/indonesiapustaka
sial zaman ini. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secu
larity to World Religions, Berger menunjukkan dinamika lain di
masa kini: pluralisme. ”Kepastian subyektif” (subjective certainty)
dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang
padu sebagai penyangga. Dunia kini bak sebuah bazar. Ada pelba
P
ADA hari-hari pemilihan umum, politik seakan-akan
hanya sebuah kerinduan mendapatkan pemimpin. Di
sadari atau tidak, dalam gambar tokoh yang dipasang,
dalam percakapan tentang ”siapa” (dan bukan ”apa”) yang akan
menang, ada sesuatu yang purba: sesuatu yang datang dari sebuah
zaman ketika raja dan brahmana dianggap punya kemampuan
agung untuk membuat sebuah negeri menjadi ”panjang punjung”,
luas dan luhur, bak deskripsi para dalang wayang kulit.
Lebih tua dari lukisan para dalang Jawa adalah paradigma Pla-
tonis tentang negeri atau polis yang ideal—konon diilhamioleh
kerajaan Mesir purba—tentang perlunya ”filosof-raja”, pandhita-
ratu, memimpin masyarakat. Saya tak tahu sejauh mana pada
masa silam itu orang membaca Republik karya Plato, tapi ber
abad-abad lamanya jarak antara ”raja” dan ”Tuhan” sangat dekat,
seakan-akan baginda yang bertakhta itu juga mendapatkan ke-
arifan dari surga. Seakan-akan tak sembarang orang bisa duduk
di puncak, sebab hak itu datang dari Ilahi. Agaknya mithos me-
mang harus dibangun untuk melupakan kemungkinan bahwa
kekuasaan sebenarnya datang secara kasar, dari ujung pedang.
Pada abad ke-20, Mao Zedong, seorang Marxis, membongkar
mithos itu dengan mengatakan bahwa kekuasaan lahir dari laras
bedil.
Mao memang menandai sebuah zaman runtuhnya ideologi
yang mempercayai bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang alami
http://facebook.com/indonesiapustaka
cis, ketika Louis XVI ditebas lehernya pada 21 Januari 1793 oleh
kaum revolusioner.
Simbol itu bisa dibaca lebih jauh: sang kepala dilenyapkan.
Tinggal badan, lengan yang menanam padi dan gandum, tangan
yang menembakkan panah dalam perburuan, kaki yang menem-
puh jalan dan menyeberangi sungai ....
Meskipun demikian, politik ternyata tak berhenti-henti me
rindukan kepala. Kekuasaan Cromwell nyaris dikukuhkan se-
bagai kerajaan. Ia menolak. Tapi setelah ia meninggal pada
1658, Inggris kembali menjadi kerajaan. Tak jauh berbeda dari
itu adalah Prancis: Napoleon, seorang opsir yang pintar, akhir
nyajadi Maharaja, dan revolusi yang bersemboyan ”kebebasan,
kesetaraan, persaudaraan” dikhianati. Konon mendengar kabar
itu, Beethoven, yang baru selesai menggubah karya musik untuk
sang opsir revolusi, merobek-robek komposisi yang baru dicipta
kannya.
Beethoven boleh marah, tapi tampaknya ada kecenderungan
yang laten dalam diri manusia yang memasang ”kepala” sebagai
pangkal dari segalanya. Angan-angan ini juga jadi bagian sentral
dalam buah pikiran modern. ”Kepala” di dalam pengertian ini
sama dengan ”subyek” yang kukuh dan utuh, serba tahu, pasti
dengan satu hal: dirinya sendiri. Cogito, ergo sum.
Saya agak terkejut ketika mengetahui bahwa bahkan pikiran
seperti itu juga terkandung dalam pemikiran Lenin yang atheis
di satu sisi dan di dalam pemikiran Sayyid Qutb yang islamisdi
sisi lain.
Bagi pemikiran Lenin (dalam risalah pendeknya, Apa yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA suatu hari di tahun 1152, Ibn Rushd dipanggil
menghadap Amir Abu Yaqub Yusuf di Marrakesh, ibu
kota Maroko waktu itu. Ia tak tahu kenapa. Ketika itu
umurnya baru 27. Tapi ia memang istimewa: ia lahir serta tum-
buh di Cordoba, pusat kecerdasan di Eropa pada abad ke-12, dan
ia dibesarkan di keluarga yang terpelajar....
Maka ke Marrakesh ia datang. Di ruang dalam istana, dilihat
nya Baginda sedang berdua dengan Ibn Tufail, filosof dan penga
rang Hayy ibn Yaqzan, sebuah fiksi alegoris yang berabad-abad
kemudian dianggap mengilhami Robinson Crusoe. Ibn Tufail juga
gurunya di bidang filsafat. Hari itu rupanya dia ingin memperke-
nalkan Ibn Rushd.
Tak disangka, sang Amir memulai perkenalan dengan berta
nya,”Bagaimana pendapat para filosof tentang surga? Abadikah,
dan adakah awalnya?”
Ibn Rushd terenyak. ”Aku tercekam rasa takut,” katanya me
ngenang, ”Aku bingung.”
Mungkin sadar ia membuat gentar pemuda itu, Baginda pun
berpaling ke Ibn Tufail. Segera diskusi berkembang, dengan ku
tipan yang tangkas dari karya Plato, Aristoteles, dan para pakar
theologi muslim. Ibn Rushd merasa betah. Apalagi sang Amir
http://facebook.com/indonesiapustaka
na. Ia tunjukkan bahwa pasien jadi kebal bila sembuh dari ca-
car—satu kesimpulan yang sampai kini berguna untuk imunisa-
si.
Tapi ia juga mendapat tugas yang—meskipun kemudian
membuat namanya dikenang—amat tak gampang: menulistaf
sir karya Aristoteles. Bagaimana filsafat seorang Yunani yang tak
bertuhan bisa bertemu dengan kaidah agama pada abad ke-12?
Soal ini merupakan tema pokok ketegangan pemikiran zaman
itu, ketika tafsir Ibn Rushd bergema di pusat-pusat kajian di Ero-
pa: filsafat terbentur akidah.
Ibn Rushd sebenarnya mencoba menemukan jalan tengah.
Tapi ia hanya berhasil dalam buku. Di kancah kekuasaan ia ga-
gal. Ketika Abu Yaqub digantikan Al-Mansur pada tahun 1184,
ia tersisih. Ia dibuang ke Lucena. Begitu banyak tuduhan ia telah
lepas dari ajaran Islam. Di Sevilla buku-buku filsafatnya dibakar.
Hanya yang mengenai kedokteran dibebaskan.
Sudah sejak itu agaknya berlaku anggapan bahwa ilmu berada
di kategori yang jauh dari filsafat. Memang, ilmu menghadapi
problem seperti pisau menghadapi buah: mengupas,membelah,
dan mengurai, sedangkan filsafat bergulat di dalam masalah se-
perti seseorang yang terjun ke dalam jeram. Tapi ada yang mem-
persamakan keduanya—dan itu sebabnya Ibnu Rushd seorang
ilmuwan besar: ia berani meletakkan keyakinan dan praduganya
sendiri di dalam kurung, untuk sementara atau selamanya. Di
tiap tahap ilmu, di tiap saat filsafat, meragukan dan bertanya
adalah niscaya.
Bukan untuk mengada-ada. Yang bertanya tentang tubuh
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
ARAH di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang,
koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Se
pasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari
luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika di-
pantek dengan paku besi pada kayu salib ....
Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? Saya me-
nonton The Passion of the Christ di sebuah gedung bioskop yang
khidmat tanpa mengunyah brondong jagung. Saya menyaksikan
sebuah pornografi penyiksaan.
Pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa
yang selama ini tak dianggap pantas: menggambarkan tubuh ma
nusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang optimal.
Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai de-
ngan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitas—
sebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah
peristiwa badan.
Dalam The Passion of the Christ, film karya Mel Gibson itu,
apa yang selama ini tak lazim justru dibentangkan dengan berse
mangat di layar putih. Film ini menerobos tabu dalam hal ini.
Tradisi gambar klasik penyaliban umumnya terasa bersih—se
akan-akan bersih berarti suci—hampir selalu tampak tanpa da-
rah, tanpa gerak. Pada ikon-ikon kuno terasa sikap orang Kristen
lama yang menganggap penyaliban lebih sebagai perjalanan ro-
hani menuju kemenangan. Satu kekecualian yang tak terduga-
http://facebook.com/indonesiapustaka
duga tampak pada karya Hans Holbein Muda dari tahun 1521:
tubuh Yesus terbaring kurus, luka, sendirian, dengan mata masih
terbuka kesakitan—sebuah gambaran kesengsaraan badan yang
begitu mencekam hingga Dostoyewski, dalam novel terkenalnya,
Idiot, menyebut lukisan itu sebagai sesuatu yang bisa menggun-
cangkan iman.
Tapi bahkan karya Holbein tak menampilkan jasad yang ber
lumur darah, dan luka itu menakutkan justru karena seperti mem-
bisu. Karya yang lebih modern juga tak hendak memekikkanapa
yang memang brutal dalam tiap penyaliban. Kanvas Rouault dari
tahun 1930-an tentang sengsara Kristus, misalnya, berhasil me-
nampilkan suasana misterius dan muram—dengan penggunaan
teknik ”impasto” dan garis luar yang tebal—tapi tak terasa ada
tubuh di sana; yang hadir hampir sepenuhnya puisi spiritual.
Seakan-akan di kalangan Kristen masih berlaku kata-kata
Goethe: ”Kita tutupi dengan cadar penderitaan Kristus, semata-
mata karena kita menghormatinya begitu dalam.”
Tapi pada tahun 2004, Mel Gibson merobek cadar itu. Apa
yang pernah digambarkan satu naskah kuno Gereja Syriatak ter-
dapat lagi di dalam The Passion of the Christ-nya: ”Hari menjadi
gelap sebab mereka sedang membantai Tuhan, yang ditelanjangi
di atas pohon.” Golgotha dalam film Gibson penuh dengan close-
up di bawah sinar matahari. Ia ingin agar gambaran yang dicapai
nya ”realistis” dalam memaparkan kesakitan Yesus—dan ”realis-
tis”, dalam tradisi Hollywood, adalah sesuatu yang terang bende
rang, dapat dilihat dengan mata telanjang.
Tapi sebagaimana ”realisme” iklan, tak ada yang datar di sini.
Yang lebih terasa bukanlah ”realisme” sehari-hari, sebab tampak
benar hasrat untuk memukau, meyakinkan. Salah satu adegan
yang paling brutal dalam film ini—lebih brutal dari film Si Pi
tung, yang pada satu saat menggambarkan mata yang dicongkel
dengan satu pukulan silat—adalah pemaparan panjang ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka
Yesus diikat di sebuah tonggak dan dihajar oleh dua aljogo Roma
wi dengan pecut kayu dan cambuk yang ujungnya bertembilang
besi. Daging di pinggang kelihatan terkelupas dalam darah, te
renggut. Yesus mengaduh. Kedua penyiksa itu tertawa puas: sa-
disme dalam bentuknya yang palingterbuka.
rah tak terbalut debu, tak ada tanda mereka telah didera sebelum
dikirim ke Golgotha.
Hiperbol memang diperlukan, tapi jika efek yang diharap-
kan terjadi. Di sekitar kesengsaraan yang luar biasa itu, tak terasa
oleh saya sesuatu bergetar—ada orang ramai, ada beberapa sosok
orang yang jatuh hati, tapi The Passion of the Christ sedikit seka-
li mengantar kita kepada cerita lain dari Yesus: bagaimana laku
yang begitu menggugah, yang dirumuskan dengan satu kata,
”Cinta”, lebih besar ketimbang ”Sakit”.
S
EANDAINYA sebuah komunitas ibarat sebuah kabilah,
seorang pemimpin yang teguh memang diperlukan. Se-
buah kabilah yang bergerak dari tempat ke tempat memer-
lukan arah yang jelas, patokan dan panutan tertentu, sehingga
tak tercerai-berai. Tapi persoalannya: tepatkah ibarat itu?
Tepat—jika kita berbicara tentang sehimpun puak di gurun
pasir, yang hidup di ruang yang seakan-akan kosong, begitu luas,
begitu tunggal, sehingga, seperti dirangkul langit, ia seolah-olah
tak pernah disentuh oleh sejarah.
Tapi kita tahu tak semua komunitas manusia seperti itu. Ada
yang menetap dan kepergok dengan kota-kota yang riuh, ada
yang tinggal di bawah gunung berapi yang tak menentu dan su
ngaideras yang berkelok.
Dengan kata lain, tak semua orang bisa membayangkan ko-
munitasnya sebagai ”kabilah” yang berjalan di sebuah gurun.
Bahkan kiasan ”kabilah”, yang mendasari pemikiran politik Is-
lam pada abad-abad pertama setelah Nabi, sebenarnya tak persis
bisa berlaku lagi ketika kehidupan puak yang berasal dari masya
rakat Arabia utara itu berubah menjadi kehidupan ”negeri”, bah-
kan ”imperium”. Islam akhirnya toh mengambil tempat di tamas
yayang tak lagi mempunyai keangkeran tunggal padang pasir.
Memang buat sekitar dua abad setelah Islam tegak memben-
tuk sebuah komunitas di Yathrib (”Madinah”), masih dominan
”pemikiran politik” dengan ”tradisi kesukuan” itu. Nabi Mu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
utama: bagi tradisi ini, di dalam diri seorang imam bisa ditemu
kan sekaligus kebenaran dan kekuasaan. Dalam dirinya, yang re-
ligius dan yang politis bertaut. Imam inilah yang memberi wujud
legal kepada umat. Imam itu pula yang menunjukkan jalan ”ka
bilah”. Teladannya adalah Musa, pemimpin orang Yahudi yang
membimbing mereka dengan hukum dan petunjuk ke tanah
yang dijanjikan. Musa adalah ”nabi paradigmatik dalam Quran,”
kata Crone, dan Muhammad, disadari atau tidak, adalah ”Musa
baru”.
Sebab itu seorang imam bukan saja ada di depan; ia juga ada di
awal. ”Tanpa dia,” tulis Crone, ”tak ada kabilah, hanya para pe-
jalan yang tercerai-berai.” Seorang imam adalah ”seseorang yang
harus ditiru.”
Dalam pemikiran zaman itu, seorang imam berbeda dengan
seorang malik. Dalam tradisi suku-suku Arab, sebagaimana juga
dalam sejarah bangsa Yahudi yang direkam Perjanjian Lama, ada
kecurigaan besar terhadap posisi kepemimpinan seorang raja.
Crone mengutip seorang penyair pra-Islam yang dengan bangga
ingin bercerita tentang ”hari yang panjang dan berjaya ketika
kami memberontak raja-raja dan tak hendak mengabdi kepada
mereka.”
Dalam khazanah Islam, sikap yang tak serta-merta memper-
cayai ”raja” itu berlanjut. Dalam Surah An-Naml ayat 34 ada satu
kalimat, diucapkan oleh seorang ratu, bahwa raja-raja,bila mere
ka memasuki sebuah negeri, akan merusak negeri itu; mereka
pula yang membuat orang yang luhur budi menjadi keji. Maka
ketika Umar diangkat menjadi khalifah, inilah yang konon di-
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
AYA berdiri di bawah surya pukul 9 yang menyenangkan
di sebuah pagi di tahun 1962. Pori-pori kulit serasa berge-
tar, ultraviolet matahari meresap. Saya sendirian. Tapi bu-
rung-burung gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran. Dari
pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun menyentuh tanah.
Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul 9, pohon
yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya telah melupakan perta
nyaan macam itu. Bangun pagi, berjalan siang, dan tidur malam
saya tak menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal ihwal
yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele. Waktu itu Indonesia
adalah arena kata-kata yang membahana: ”Revolusi”, ”Sosialisme
Indonesia”, ”Dunia Baru”—semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras suara, semuanya
menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandang kembali ke burung-burung itu. Tiba-tiba sa
ya sadar sebelumnya tak pernah saya terkesima akan hal yang se-
benarnya ”dahsyat” tapi tersisih: warna bulu yang menakjubkan
itu, sepasang mata yang seperti merjan jernih itu, sayap yang ser-
ba sanggup itu. Sebagai umumnya orang muda waktu itu, saya
tak punya waktu buat tetek bengek. Kami hanya menyimak soal-
soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Tapi haruskah
pesona kecil di pelataran sepi dicampakkan?
Sejak itu saya pun berusaha memasuki sebuah dunia bahasa
yang lain—bahasa yang tak sarat dengan ide-ide yang merasake
http://facebook.com/indonesiapustaka
kal dan kata benda abstrak. Saya membaca kembali puisi tentang
cuaca, ranting, rama-rama, dan hal-hal fana lain yang anehnya
membuat hidup berarti dan kita bersyukur.
Maka saya bisa mengerti jika ada orang yang akhirnya memi
lih anggrek hutan. Di tahun 1999, buku Richard Rorty, Philoso
gal itu, bisa mengabaikan apa yang berarti di hari ini. Bukanha
nyakembang hutan, tapi juga hidup manusia. Ia tahu bahwaSta
lin menghendaki Trotsky dibunuh. Dan Trotsky memang akhir
nya tewas dikampak. Ia mungkin juga tahu bahwaTrotsky sen
diri,tatkala masih seorang tokoh biro politikPartai Komunis di
O
RANG yang 18 tahun lamanya dipenjara itu—12 ta-
hun di antaranya ia disekap dalam isolasi—menulis sa-
jak, ditujukan kepada dirinya sendiri:
Ya, kau.
Kaulah agen rahasia rakyat. Kaulah mata bangsa.
Bung Spion, ceritakan apa yang kau lihat. Ceritakan apa yang
disembunyikan
Orang-orang dalam itu, mereka yang pintar, ceritakan apa
yang mereka
Sembunyikan....
dan yakin, seperti tahun pertama dulu. Jalan terus, dan tak tun-
duk kepada kekuasaan yang kotor....”
Di halaman Penjara Shikma, ketika ia dikeluarkan dari sel pa
da pukul 11 itu, ia memang tak tunduk. Ia disambut para simpa-
tisannya, sebagian orang Inggris dan Amerika, para aktivis anti-
senjata nuklir dan pendukung hak asasi. Tapi tak jauh dari sana,
ada beberapa ratus orang Israel mencerca. Vanunu tetap berge
ming”Kepada semua mereka yang menyebut saya pengkhianat,”
katanya, ”saya bangga dan bahagia atas apa yang dulu saya laku-
kan.”
Ia menolak berbahasa Ibrani. Ia memilih bahasa Inggris. Ia
meninggalkan agama Yahudi. Ia masuk Kristen.
Apa arti sebuah ikatan—dan juga ingatan—jika asal dan latar
belakang hanya berarti sebuah aliansi dusta, ketidakadilan, dan
destruksi? Persoalan ini bukan baru, tentu.
Begitu keluar dari sel, Vanunu langsung menuju ke gereja, ke
tempat imannya yang baru. Mungkin ia ingat: sekitar 2.000 ta-
hun yang lalu di tanah Palestina itu Yesus juga dilempari batu
di tanah kelahirannya sendiri. Kini, ketika Vanunu tampak me-
langkah ke luar halaman bui, orang-orang Israel yang memben
cinya berteriak, ”Mati bagi dia!” seperti 2.000 tahun yang lalu
orang-orang Yahudi berteriak, ke arah rabi yang telah disiksa itu,
”Salibkan dia!”
Pada momen seperti itu kesetiaan kepada kaum sendiri akan
sama artinya dengan kebengisan kepada apa yang berharga di luar
kaum sendiri. Tapi ada yang lebih luhur ketimbang puak. Ketika
pada Oktober 1986 Vanunu datang ke London untuk mengung-
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
EORANG teman mengingatkan saya akan sepotong se-
jarah kekerasan di Maluku. Pada tahun 1950-an, Republik
Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk menghenti
kan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang
terjadi, komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur.
Namanya Slamet Riyadi. Ia seorang Katolik.
Fakta itu perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon
orang-orang menghidupkan kembali pekik dan bendera ”Repu
blikMaluku Selatan” dan sejumlah orang lokal menentangnya,
dan konflik yang untuk beberapa bulan mereda pun meledak
kembali. Tak perlu banyak waktu, label ”Kristen” pun dipasang
pada orang-orang RMS dan ”Islam” pada para penentangnya. Se-
andainya Slamet Riyadi masih hidup....
Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang
umurnya yang ke-60: agama kian sering dipakai untuk menjelas-
kan hal ihwal publik. Agama dianggap jadi latar konflik Maluku,
perjuangan di Palestina, ”benturan peradaban”, terorisme, bah
kankemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama, agama jadi
dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera
kesetiaan yang berkibar tinggi.
Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya me
ragukan: bahwa antara agama dan sebuah subyek (”aku” atau
”kami”) yang memeluk agama itu, ada korespondensi yang lurus
dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku menegaskan diriku
http://facebook.com/indonesiapustaka
runganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang sema-
ta-mata hanya milik komunitasku.”
Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap be-
ragam dan selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua
orang seperti Farid Esack. Sesuai dengan argumennya, tak semua
T
AK ada yang ganjil sebenarnya yang terjadi di Penjara
Abu Ghuraib, Bagdad: di bui tempat prajurit Irak yang
kalah perang disekap, yang menang dan yang kuat me
rayakan kekuasaannya, dengan riang, dengan brutal, di atas tu-
buh yang tak lagi berdaya.
Mari kita simak foto yang kini tersebar di seluruh dunia itu.
Foto pertama: seorang tawanan perang Irak telanjang bulatmela
ta di tanah, dengan leher yang diikat seutas kendali. Seorang pra-
jurit perempuan Amerika dari Kompi 372 Polisi Militer meme-
gang ujung kendali itu, seakan-akan sedang menyeret binatang
aneh. Foto kedua: beberapa tawanan, dicopot seluruh pakaian-
nya, disusun bertimbun seperti ban mobil bekas, dan dipotret.
Laporan tertulis menyatakan bahkan ada tahanan yang dipaksa
masturbasi di depan para tahanan lain....
Apa boleh buat. Perang telah terjadi di Irak, dan perang pada
akhirnya memang kebrutalan yang dihalalkan, yang melahirkan
si kalah dan si menang. Perang adalah sebuah pertaruhan di
mana, dalam bentuknya yang ekstrem, si menang berarti hidup
dan si kalah mati. Para tahanan Irak di Penjara Abu Ghuraib itu
adalah makhluk yang bisa dianggap sebagai ban bekas atau he-
wan jeratan. Sebagaimana manusia ”mati”, mereka bisa berbuat
apa?
Pertanyaan itu bisa juga diarahkan ke luar Abu Ghuraib. Pe
rangIrak seluruhnya adalah sebuah statemen bahwa berjuta-juta
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
AJAK laut menghantui setiap kapal niaga yang melintasi
Laut Tengah dan Atlantik pada abad ke-18. Berpusat di
negeri-negeri di sepanjang Pantai Berber, para perompak
lanun itu akan menyerbu bahtera, merampas barangnya, dan me
nangkap orang-orang Eropa yang ada di dalamnya dan menjadi
kan mereka budak belian.
Sejak menjelang akhir abad itu, Amerika Serikat kian ikut ce-
mas dengan ancaman itu. Maka pada tahun 1797 sebuah perjan-
jian ditandatangani dengan Maroko, Aljir, Tripoli, dan Tunis.
Dalam traktat itu tercantum kalimat yang aneh. Di sana di
sebut perkara ”Islam” dan ”Kristen”, seakan-akan soal bajak la
ut dan uang tebusan itu soal permusuhan agama: ”Pemerintah
Amerika Serikat tak dalam arti apa pun didasarkan kepadaagama
Kristen,” demikian salah satu kalimat dalam perjanjian itu, dan
”ia tak dengan sendirinya mempunyai watak permusuhanterha-
dap hukum, agama, dan ketenangan kaum muslimin.” Negara-
negara bagian Amerika, demikian tercantum dalam naskah, ”tak
pernah memasuki perang atau laku tak bersahabat dengan bang-
sa Islam [’Mehomitan’] mana pun.”
Kita lihat: ada paradoks dalam alinea itu. Di sana agama dise-
but-sebut tapi juga disangkal. Kita tahu sebabnya: waktu itu, se-
perti hari ini, zaman belum terlepas dari masa ”pasca-Andalusia”.
Inilah masa yang disebut oleh Anouar Majid, guru besar jurusan
sastra Inggris di The University of New England, dalam bukunya
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
IAP akhir Mei diam-diam saya memperingati seorang
penyair yang mencoba menyingkir, ketika politik ber-
niat membangun dunia dengan gegap-gempita, sedang
kan ia mencoba bicara yang lain, tak percaya bahwa politik dan
sejarah adalah segala-galanya. Tentu saja ia tertabrak. Begitulah
Boris Pasternak meninggal di rumahnya di Peredelkino, 30 kilo-
meter dari Moskow, 30 Mei 1960.
Ia dikutuk pemerintahnya. Kekuasaan yang dibangun oleh
Lenin dan Stalin memutuskan bahwa Pasternak seorang peng-
khianat. Uni Soviet menghendaki tiap warganya bergerak seperti
tentara dalam formasi perang, karena revolusi (umumnya ditulis
dengan ”R”) yang bermula sejak Oktober 1917 belum selesai. Du-
nia masih harus diubah. Dan sejak Stalin memegang kendali, di-
siplin pun diteruskan dengan kian keras: rencana pembangunan
lima tahun sudah dicanangkan, semua orang harus menyingsing
kan lengan baju, dan para seniman diberi arah.
Pada tahun 1934, Andrey Zhdanov, orang kepercayaan Stalin,
berpidato di Kongres Persatuan Penulis Soviet. Asas yang kemu-
dian disebut sebagai Zhdanovshchina bermula dari sini: para sas-
trawan diharuskan menerapkan doktrin ”Realisme Sosialis”.
Sebenarnya mustahil membikin satu resep bagi karya-karya
sastra—tapi bagaimana para birokrat dan pejabat Partai Komu-
nis mengerti proses kreatif? Bagi mereka, para sastrawan harus
bertugas dalam rekayasa sosial untuk membentuk ”manusia ba
http://facebook.com/indonesiapustaka
dari kehidupan”.
Dan kehidupan, bagi Pasternak, adalah sesuatu yang intim
tapi menakjubkan, bergairah meskipun ringkih. Hidup adalah
”adikku perempuan”, seperti dikatakannya dalam sajaknya Sestra
moya-zhizn, yang ”berenang di dunia terang, berlindungkan hu-
jan musim kembang”. Sementara di sana ada ”orang-orang beran-
tai arloji” yang diam-diam kesal dan menggerutu.
Kontras itulah agaknya tema dasar karya-karya Pasternak: di
satu sisi hidup yang dekat, yang mempesona, yang bebas dan tak
terduga-duga; di sisi lain, ada yang patuh, teratur dan berwibawa
(”berantai arloji”). Di antara keduanya, sang penyair telah me-
milih. Karena hidup tak bisa ditaklukkan oleh doktrin, ia, yang
memihak hidup, menampik untuk mengikuti Zhdanovshchina.
Ketua Persatuan Penulis Soviet memutuskan: Pasternak harus
dibabat.
Tapi ia diam-diam terus menulis novel itu, Doktor Zhivago,
kisah tragis seorang dokter di tengah Revolusi yang ganas, se
orang yang percaya bahwa ada Kristus dan ada kekuatan yang tak
tertandingi dari ”kebenaran yang tak punya senjata”.
Ia setengah berharap setengah tidak bahwa novel itu akan bisa
diterbitkan. Pada 1957, tiba-tiba Doktor Zhivago terbit, dalam
bahasa Rusia, di Italia. Pada 1958, hadiah Nobel diberikan ke-
padanya.
Tak ayal, Pasternak pun jadi obyek Perang Dingin antara ku
bu Uni Soviet dan kubu ”Barat”. Bagi ”Barat”, ia lambang keti-
dakbebasan kreatif di bawah komunisme. Bagi para pendukung
”Revolusi” di mana-mana, ia layak dibungkam. Bahkan di Indo-
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
EANDAINYA tak ada TV, seandainya ucapan tercetak
ditiap berita pagi, dan kampanye politik tak diutarakan
lisan....
Tapi, apa boleh buat, kini telah datang zaman lisan baru, de-
ngan teknologi kata yang mutakhir itu: radio, telepon, televisi.
Haruskah kita siap untuk kembali mengakui ini: ”suarayang ter-
dengar akan lenyap, tapi huruf yang tertulis akan menetap”, se-
perti kata sebuah pepatah Latin? Jangan-jangan orang omong un-
tuk segera dilupakan, seperti suara PKB yang dulu menghantam
Golkar dan kini tidak, karena statemen kemarin dengan mudah
jadi dusta dalam pidato hari ini.
Tapi mungkin tidak. Jika kita percaya akan optimisme Walter
Ong dalam The Presence of the Word, dunia lisan baru itu tak akan
sepenuhnya sama dengan dunia lisan sebelum tulisan ditemu-
kan, huruf dipastikan, dan mesin cetak dipergunakan.
Bagaimana gerangan rupa dunia seperti itu, sebelum ada alif-
ba-ta dan ha-na-ca-ra-ka, tak mudah kita memperkirakannya.
Sebab, manusia telah memakai tulisan sejak tahun 3500 sebelum
Masehi di wilayah Summeria, lima abad kemudian di Mesir dan
India, dan 15 abad kemudian di Cina. Tapi mungkin kita bisa
mengingat bagaimana kakek-nenek kita yang buta huruf hidup
dan bekerja.
Bagi mereka, kata adalah ”peristiwa”, tulis Walter Ong. Bagi
mereka, kata hanya bunyi: ia berwujud tak tampak; ia berwujud
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
EORANG teman menjelaskan kepada saya kenapa ia tak
ingin jadi presiden. ”Karena si Anjing,” katanya. Ia meng
akuini sebuah jawaban yang congkak, karena sebenarnya
ia ingin mengatakan bahwa ia pernah membaca tentang Dioge
nes, orang Sinop, yang lahir di kota di pantai Laut Hitam itu pada
sekitar tahun 412 sebelum Masehi.
Diogenes adalah sebuah legenda tersendiri. Aristoteles me-
manggilnya ”si Anjing”, atau, dalam bahasa Yunani, ”Kyon”. Filo
sof yang aneh ini, yang hampir 30 tahun lebih tua ketimbang
Aristoteles, tak berkeberatan. Pandangan hidupnya memang bisa
membuat ia dimaki.
Ia seorang penampik yang radikal. Ia memilih untuk tak
punyaapa pun. Ambisinya yang terbesar adalah untuk tak punya
ambisi. Anak bankir dari wilayah Ionia ini (si ayah diketahui me-
malsukan uang dan diharuskan meninggalkan Sinop) akhirnya
jadi seorang yang hidup seperti pertapa. Ditolaknya kekayaan
dan tak diharapkannya penghargaan orang lain. Yang pokok, ba
ginya, adalah auterkeia, ”swasembada”.
Setiap hari ia berjubah kasar, bertongkat, dan membawakan-
tong. Ia hidup dari derma sedapatnya. Bila ia minta makanan ke-
pada seseorang, ia selalu bertanya adakah orang itu telah membe
rikan sesuatu kepada orang lain; bila belum, ia akan meminta
agar dirinya janganlah jadi penerima terakhir.
Kenikmatan hidup dijauhinya dengan ekstrem: ia akan bergu
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak menjalani hidup zuhud seperti kaum Sinis, ia tahu ada ukur
an tentang kekuasaan-dan-kekuatan yang berbeda-beda yang ha-
rus diakui dalam hidup masyarakat.
Ia kembali bercerita tentang si Anjing. Pada suatu hari, di se-
buah pertandingan atletik dan lomba kuda, Diogenes datang un-
P
ERANG itu berlangsung 10 tahun lamanya. Seribu ka-
pal dan 100 ribu prajurit dikerahkan, dan Troya, sebuah
kota kerajaan yang dulu konon terletak di ujung barat
laut Turki, digepuk. Korban pun jatuh bertumpuk-tumpuk, para
pendekar gugur. Dalam wiracarita yang termasyhur ini, medan
tempur terlukis bengis:
”Idomeneus menusuk Erymas, lurus menerobos mulut: ujung
tombak logam itu tembus ke dekat otak, menggrowak, membelah
tengkorak yang berkilau keringat—gigi pun berhamburan, da-
rah muncrat, menutupi kedua mata hingga kelopak, mengucur di
liang hidung, dan bibir itu terkuak....”
Untuk apa kebuasan itu? Menurut kisah Homeros, seorang
penyair buta yang konon hidup 2.850 tahun yang lalu, Perang
Troya terjadi karena Agamemnon, raja orang Achaea, hendak
merebut kembali istri adiknya yang diculik. Senjata pun dihunus
karena sang penculik adalah seorang pangeran dari negeri lain.
Seperti Ramayana: mengasyikkan tapi tak masuk akal.
Terutama bagi penulis sejarah. Herodotus, sejarawan yang hi
dup pada abad ke-5 sebelum Masehi, meragukan motif pembe-
basan istri itu. Maka wajar bila zaman ini, di tengah PerangIrak
yang lancung alasannya, film Troy yang disutradarai Wolfgang
Petersen menyodorkan penjelasan yang lebih bisa dimengerti
abad ke-21. Hektor, pangeran dan pendekar perang dari Troya
itu, berkata, menurut skenario David Benioff: ”Ini perkara kekua-
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ETIKA hasrat berkuasa jadi lumrah, kebutuhan akan
tertawa jadi penting. Ambisi bukanlah suatu hal yang
buruk, namun sempit. Kehendak untuk jadi pemenang
pemilihan presiden pada dasarnya sama dengan tekad jadi peme-
gang Piala Eropa. Dalam motif itu, sebuah lapangan direduksi-
kan jadi arena antara ”kita” dan ”mereka”. Arah hanya satu.
Humor bisa menghentikan penyempitan itu. Yang jenaka
mengguncang konsentrasi, mengacau fokus, dan memperluas hi
dup dengan menampilkan yang ganjil dan terjungkir balik.
Misalnya lelucon ini:
Calon Presiden X datang ke sebuah daerah miskin di Pulau B.
Di hadapan sekitar 700 penghuni, sang calon berpidato.
”Saudara-saudara,” katanya, ”akan saya bangun instalasi air
bersih untuk desa ini!”
Penduduk mula-mula diam. Tiba-tiba seorang berteriak,
”Hoya!”
Segera, semua warga juga berseru, ”Hoya! Hoya!”
Pak Calon tak tahu apa arti kata yang diteriakkan dalam ba-
hasa lokal itu, tapi ia lihat orang pada tersenyum. Ia pun kembali
bergelora.
”Kelak, jika saya menang,” katanya lagi keras, ”akan saya ke-
luarkan keputusan bahwa rakyat Pulau B tak perlu bayar pajak!’
”Hoya! Hoya!”
”Meskipun begitu, Saudara-saudara, sekolah akan tetap di
http://facebook.com/indonesiapustaka
bangun!”
”Hoya! Hoya!”
Pidato kampanye pun selesai. Sang Calon berkeliling melihat-
lihat rumah kumuh dan ladang kering di dusun yang miskin dan
kotor itu. Di sebuah sudut ia nyaris terperosok. Seorang desa ber-
lah ketika muncul jongos dan babu. Kedua anggota kelas bawah
ini menampilkan diri begitu udik dan tolol. Mereka diadakan un-
tuk sebuah kontras bagi sosok sang majikan yang serba ganteng,
cantik, berhasil. Di sini tata sosial yang timpang, antara si juragan
yang menang dan si abdi yang takluk, diperkuat.
Tapi tak semua lelucon jongos-babu memperkukuh apa yang
mapan, meskipun sepintas memang tampak begitu. Saya ingat
Srimulat.
Sejarah kelompok ini adalah sejarah orang-orang yang me
nerobos tata sosial dan kategorinya. Jika kita ikuti buku Teguh
Srimulat yang disusun Herry Gendut Janarto (terbit pada tahun
1990), sang pendiri kelompok lawak itu lahir dengan nama Raden
Ajeng Srimulat. Ia putri Wedana Bekonang, Surakarta. Anak we-
dana ini tak cuma gemuk dan cantik; ia juga pintar menembang
macapat, dan suaranya merdu. Di rumah orang tuanya, kesenian
Jawa adalah bagian hidup sehari-hari.
Tapi Srimulat melarikan diri. Kehidupan rumah orang tua
nyamenyesakkan dia setelah ibunya meninggal. Ia mendapatkan
ibu tiri yang tak menyetujui gadis itu meneruskan sekolah. Ia di
pingit.Ia minggat.
Dalam pelarian ini ia bergerak terus. Rangkaian hidupnya la
yak untuk bahan novel yang bagus: ia bergabung dengan rom-
bongan seorang dalang, lalu sebuah grup ketoprak yang main di
alun-alun kota, lalu sebuah paguyuban wayang orang yang di
pimpin seorang perempuan yang juga memimpin orkes yang
memainkan lagu keroncong, dan akhirnya berkelana dari pasar
malam ke pasar malam.
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I sekitar Bagdad, siapa yang berdosa? Rasa bersalah
telah jadi muskil. Kini tiap hari orang dibunuh, tapi
tiap jam selalu ada dalih untuk membunuh.
Sekelompok gerilyawan memenggal kepala Kim Sun-il, orang
Korea yang mereka sandera. Tubuhnya ditinggalkan di antara
Bagdad dan Kota Fallujah. Dunia mengutuk. Tapi para gerilya-
wan itu akan mengatakan: ”Benar, Kim tak berdosa, tapi peme
rintah Republik Korea?”
Mereka akan mengatakan bahwa yang berkuasa di Seoul se
sungguhnya dapat membebaskan warga negara Korea itu. Tapi
tindakan itu tak mereka pilih. Sang presiden lebih perlu mendu-
kung Amerika—dan kian terlibat dengan sesuatu yang kotor:
menyerang Irak secara tak sah dan mendudukinya sampai hari
ini.
Tapi Presiden Republik Korea pasti punya jawab: Kim ada
lahsesuatu yang bisa disebut ”korban” (victim) dan juga ”kurban”
(sacrifice). Ia biarkan Kim terbunuh agar lebih banyakorang se-
lamat. Republiknya selama ini dilindungi kekuatan Amerika Se
rikat, dan sebab itu hubungan dengan negeri itu harus dirawat.
Juga dari Seoul hendak ditunjukkan betapa sia-sianya siasat ger-
tak para gerilyawan. Jika hari ini tak ada yang takut kepada mere
ka, mereka akhirnya akan berhenti menyandera.
Maka siapa yang benar, siapa berdosa? Ataukah di sini berke-
camuk sebuah kekacauan batas dalam nilai? Mungkin justru se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
baliknya.
Kini Irak adalah tanah berdarah yang terbelah tegas. Tiap
konflik seperti ini memang mengubah ruang jadi sebuah dunia
Mani: sebuah pergulatan antara dua kubu, yang diterjemahkan
sebagai perang antara Gelap dan Terang. Pergulatan itu kini tak
ada dalam batin. Ketika aku bertikai tajam dengan dia, perang
itu keluar dari diri, dan akulah sepenuhnya mewakili Terang, dia
Gelap.
Maka jika banyak yang hilang di Irak kini, salah satu yang
penting adalah rasa tragis. ”Rasa” di sini berarti kesadaran yang
merasuk ke hati. Yang tragis timbul ketika kita menyadari posi
si manusia di tengah Terang dan Gelap—sebuah posisi yang
genting.
Izinkan saya bicara panjang tentang ini. Saya ingat Milan
Kundera pernah mengutarakan kembali apa yang konon dikata
kan Hegel: ”Bersalah, itulah kelebihan karakter tragis yang
agung.” Ia benar, meskipun tak sepenuhnya meyakinkan.
Ia membawa kita ke dalam Antigone, karya Sophokles yang
termasyhur itu, yang di Indonesia, 30 tahun yang lalu, dipentas-
kan Bengkel Teater Rendra dengan mempesona. Dalam kisah
ini, Antigone, putri Oedipus yang membuang diri dari takhta
Thebes itu, menyaksikan bagaimana kedua adiknya salingmem-
bunuh. Keduanya gugur.
Kreon, Raja Thebes yang baru, melarang salah satu di antara
pangeran yang tewas itu dikuburkan. Mendengar ini, Antigone
menentang sekuat tenaga. Diam-diam dimakamkannya tubuh
yang dihinakan sebagai pengkhianat itu. Mengetahui ini Kreon
pun menghukum mati perempuan muda itu.
Dalam tafsir Kundera, baik Kreon—yang hendak menjaga
ketertiban hukum Thebes—maupun Antigone, yang tergerak
untuk melawan ketertiban itu karena hukum Kreon melawan
rasa keadilan dan aturan dewa-dewa, tampil bukan sebagai Te
http://facebook.com/indonesiapustaka
dirinya benar dan lawannya 100 persen berdosa, tapi ia sadar be-
tapa berbahayanya sikap seperti itu. Angkuh karena benar akan
menghilangkan ”rasa tragis”, dan tanpa rasa ini, seseorang akan
merasa berdiri di pusat. Kesewenang-wenangan akan terjadi. Ju
ga atas nama kebenaran.
Irak kini adalah akibat dari kesewenang-wenangan itu. Irak
adalah hasil sebuah kekuasaan besar yang meringkus peta dunia
hanya dalam konflik antara Terang dan Gelap, antara Axis of
Goodness dan Axis of Evil. Kekerasan dimulai dari Washington
dan London, dari Bush dan Blair, yang seraya mengira di dekat
Tuhan, tak merasa bahwa sebenarnya mereka juga beradadi tepi.
Maka di sekitar Bagdad kini rasa berdosa pun jadi muskil, dan
para pembunuh hadir.
P
ADA suatu malam, demokrasi datang ke lapangan bad-
minton itu.
Waktu: hari Ahad malam, 27 Juni 2004.
Tempat: sebuah lapangan bulu tangkis di Kampung Tanggul-
sari, Desa Kadipiro, Surakarta.
Perlengkapan: Lampu. Meja. Kursi. Kertas. Sejumlah drum
oli yang ditegakkan.
Ratusan warga hadir. Sebuah acara yang mungkin belum ada
duanya dalam sejarah Indonesia dibuka: ”Warga RT Mencari
Presiden. Uji Layak Capres.”
Tentu, Megawati tak muncul di sana. Juga para calon presiden
yang lain. Acara itu dimulai sonder instruksi. Sebagaimana dila
porkan Koran Tempo, penggagasnya penduduk Tanggulsari sen
diri. Mungkin demokrasi memang sudah menjalar ke sana. Tapi
mungkin juga sebaliknya: demokrasi 2004 justru datang dari
kerinduan orang di kampung untuk boleh bersuara, boleh me-
nentukan, boleh mencoba—dan boleh asyik.
Di lapangan badminton itu seorang ”calon presiden” langsung
di-”uji layak”—sepasang kata yang lebih gamblang ketimbang fit
and proper test. Bentuknya: sebuah perdebatan terbuka. Yang ber-
tanding adalah ”tim sukses Wiranto”, ”tim sukses Yudhoyono”,
dan ”tim sukses Amien Rais. Adapun ”tim sukses Megawati” dan
”Hamzah Haz” dikabarkan tak hadir. Mereka tak datang dari ja
uh. Semuanya para tetangga.
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
DA negeri yang berubah dari karnaval jadi pentas, dan
ada yang dari pentas jadi karnaval. Saya cemas untuk
hidupdi salah satu di antaranya.
Karnaval kini telah jadi sebuah konsep, yang tiap kali diucap
kan akan menyebabkan kita menengok ke gambaranyang disaji
kan Mikhail Bakhtin. Pemikir dan teoretikus kebudayaan dari
Rusia ini selalu membersitkan antusiasme jika ia berbicara ten-
tang hal yang jadi pokok tesisnya ini.
”Karnaval,” tulis Bakhtin, ”tak mengenal lampu sorot.” De-
ngan kata lain, ia tak membedakan mana yang aktor dan mana
yang penonton. Ia bukan pentas. Ia bukan pertunjukan. Sebab
dalam karnaval, tiap orang ikut serta. Karnaval merangkumse
muanya. Selama ia berlangsung, tak ada kehidupan di luarnya.
”Selama masa karnaval, hidup tunduk kepada hukum karnaval
itu,” kata Bakhtin, dan itu adalah ”dalil kemerdekaannya sendi
ri.” Ada semangat ”universal”, yang berlaku untuk siapa saja, di
mana berlangsung ”kehidupan kembali dan pembaruan kembali
dunia, yang diikuti semua.”
Sangat memikat, kedengarannya—juga bila imajinasi ten-
tang karnaval diterapkan ke dunia politik. Di sana kita bisa mene
mukan yang mirip dengan ”rame-rame patah cengke”, sebuah
ekspresi yang bagus yang diambil dari sebuah nyanyian Maluku
yang telah agak dilupakan.
Tapi lebih dari sekadar ”rame-rame”, ada sesuatu yang lebih
http://facebook.com/indonesiapustaka
Bakhtin.
Dengan itu bisa kita bayangkan euforia penuh dari rakyat, pa
ra demos yang berkeringat, dengan bau yang beragam dan gerak
seenaknya berjingkrakan. Sama rata, sama rasa.
Sangat memikat, tapi bisakah kita hidup dalam sebuah negeri
yang seperti itu? Tidak, saya akan menjawab. Tidak, hampir se
mua pemilih dalam Pemilu 2004 akan menjawab. Sebab bagi me
reka, demokrasi justru sebuah usaha untuk menemukan yang sta-
bil: sebuah pemerintah yang didukung luas dan yang menjaga
hukum.
Tapi memang ada yang kurang bergairah bila kita bayang-
kan sebuah kehidupan politik yang bagaikan pentas—tentu saja
dalam bentuk sebuah panggung di gedung teater gaya baroque
di sebuah kota Eropa yang tua. Para aktor menjalankan peran
yang sudah ditetapkan. Mereka mengucapkan kata-kata yang
sudah ditulis. Kita pun tak bisa berteriak, sebelum layar turun,
agar tokoh yang buruk turun saja. Dalam pelbagai bentuknya,
kehidupan politik seperti itu pada akhirnya bertumpu pada ben-
tuk, pada prosedur formal—nun di seberang prosenium, tempat
lampu sorot menentukan mana yang sedang jadi fokus dan mana
yang berdiri di latar belakang.
Bakhtin, yang lulus dari Universitas St. Petersburg pada tahun
1918, memulai kariernya sebagai teoretikus bahasa dan penelaah
sastra dalam masa Stalin berkuasa. Dengan kata lain, ketika re
volusi yang meletus pada tahun 1917 sudah digantikan elannya
oleh sebuah birokrasi yang mantap dan langkah yang berderap
dikendalikan Partai. Dalam kontrol itu, di bawah kaca sorot sen-
http://facebook.com/indonesiapustaka
sor, Bakhtin menulis tesis-tesisnya dengan nama lain. Itu pun tak
menyelamatkannya, akhirnya. Pada tahun 1929 ia ditangkap dan
dibuang ke wilayah Kazakh.
Dari sini agaknya kita tahu betapa karnaval—dan bukan pa-
rade—merupakan model yang dirindukannya. Tapi dari sini bu-
S
ERING saya ingat anak-anak yang bernyanyi di halaman
sebuah sekolah yang tak jauh dari danau. Pagi itu bersih.
Lagu itu sudah biasa saya dengar di mana-mana, tapi pada
saat macam itu terasa menggetarkan, mungkin karena tempat
di dekat Danau Tamblingan itu sunyi, di ujung hutan, rindang
oleh pohon yang lebat dan rimbun seperti rahasia. Atau mungkin
karena di sudut itu, saya sempat merenung.
Melodi itu bersahaja dan kata-kata itu bukan puisi yang ce-
merlang. Tanah airku, demikian paduan suara itu terdengar, tak
bisa kulupakan, juga dalam pengembaraan yang jauh.
Dari sekolah dusun itu mungkin tak ada anak yang pernah
jauh berjalan. Tapi agaknya mereka bisa membayangkan, dari ke
teduhan Bali Utara itu, bahwa ada sebuah negeri yang senantiasa
melekat pada diri—sebuah negeri yang bukan hanyasebuah tem-
pat di peta bumi.
Ada sebentuk nyanyian lain yang dilagukan hampir setiap
orang Indonesia sejak kecil. Di sana disebut negeri ini sebagai
”tempat lahir”, ”tempat berlindung di hari tua”, dan ”tempat
akhirmenutup mata”. Tapi kita tahu ”tempat” di kalimat itu juga
berarti tanah ”tumpah darah”.
”Darah” selalu menerbitkan imaji yang dramatis, apalagida-
rah yang ”tumpah”. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh.
”Darah” yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara,risiko,
bahaya, dan sengketa.
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
EMOKRASI bisa berangkat dari keramaian, tapi juga
bisa dari kesunyian. Ketika orang Yunani berbicara ten-
tang demos, yang dibayangkan adalah sesuatu yang ja-
mak, sebagaimana halnya kata ”rakyat” tak pernah sebuah kon
septentang makhluk yang tunggal. Maka orang pun selalu me
ngaitkan demokrasi dengan orang ramai, acap kali riuh-ren-
dah—tak jauh dari kata ”demonstrasi”.
Tapi ada yang salah rasanya ketika pemilihan umum disebut
sebagai ”pesta demokrasi”. Pesta adalah kemeriahan, acap kali ka
rena ada sesuatu yang telah dicapai, acap kali dengan sikap melu-
pakan ihwal yang berat dan pedih. Pemilihan umum, sebaliknya,
jauh dari lupa dan kegirangan berprestasi.
Tapi kita ingat bahwa ”pesta demokrasi” adalah metafora un-
tuk pemilihan umum yang diciptakan pada masa ”Orde Baru”—
sebuah masa ketika kompetisi kekuasaan telah dipermak jadi se-
perti parade ondel-ondel: suatu kemeriahan yang tak teramat
serius, dengan topeng-topeng besar yang itu-itu juga, yang ber-
jalan tapi tak bisa banyak gerak. Meskipun tetap menarik karena
ramai-ramai.
Dan kita tahu, dalam sebuah rezim yang mengutamakan ke-
amanan dan ketertiban, ramai-ramai itu diharapkan seperti re
sepsi perkawinan kelas atas di Jakarta: tak ada humor, tak ada
spontanitas, yang ada hanyalah jumlah, formalitas, pameran
orang mampu.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Maka dari metafora seperti itu kita sering lupa bahwa salah
satu momen penting dalam kehidupan demokrasi bukanlah ra-
mai-ramai, juga bukan macam tontonan topeng yang tak bervari-
asi. Pada saat pemilihan umum, justru yang sebaliknya yang ter-
jadi: kesendirian, mungkin kesunyian. Di depan kotak suara, saya
tak bisa meminta bantuan teman dan keluarga saya. Saya juga tak
bisa digantikan—meskipun akhirnya saya hanya akan diperlaku-
kan sebagai angka. Pada saat itu saya tak bisa untuk tak merdeka,
sebab memilih apa pun adalah laku kemerdekaan—juga ketika
memilih untuk tak memilih. Di ruang tertutup di TPS, yang ter-
dengar adalah diktum: ”Manusia dihukum untuk merdeka”.
Tapi ”merdeka” dalam diktum Sartre yang termasyhur itutak
menggambarkan seluruh situasi. Pada tahun 1950-an ucapan itu
merupakan bagian dari keyakinan humanisme seorang ”eksisten-
sialis”—keyakinan bahwa Tuhan telah mati, dan manusia berdiri
sendiri, tanpa hakikat atau esensi yang ditentukan sebelum ia
ada. Dalam keadaan tanpa esensi itu, manusiamembentuk diri
nya sendiri. Tanpa esensi, yang ada adalah eksistensi. Ia bagaikan
seorang anak yatim piatu yang tak putus-putusnya berikhtiar.
Ada yang heroik dalam citra itu—dengan sebersit gundah-gula-
na, l’angoisse.
Tapi l’angoisse dalam filsafat kemerdekaan Sartre tak membuat
manusia menemui dunia, atau hal-ihwal di luar kesadarannya,
dengan takjub tapi rela. Ia malah menghimpun tekad, mengukur
kekuatan.
Mungkin tradisi humanisme yang membuat Sartre melihat
hubungan manusia dengan dunia sebagai hubungan yang ber
tolakdari posisi ”subyek”. Dari posisi itu, seperti yang ada dalam
pemikiran Descartes, kehadiran ”yang-lain” di luar kesadaran
bersifat tentatif. Tatap-menatap antar-”subyek” pun merupakan
ketegangan: tatapan adalah mempersoalkan. Kita ingat apa yang
dikatakan seorang tokoh dalam lakon Sartreyang terkenal, Pintu
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA suatu malam di bulan Januari 1976, di Irlandia
Utara, sebuah minibus disetop seregu orang bertopeng
dan bersenjata. Para penumpangnya, buruh yang baru
pulang dari pabrik, tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan
terjadi. Di negeri itu berlangsung saling bunuh antara milisi
Katolik dan milisi Protestan, dan pembantaian pun akhirnya
menghantam siapa saja—juga rombongan buruh itu.
Mereka dipaksa turun dari minibus. Di tepi jalan, satu demi
satu mereka dideretkan berdiri berjajar. Para algojo sudah siap, se-
napan otomatis telah dikokang.
Salah seorang dari orang bertopeng itu pun berkata, ”Siapa
yang Katolik, maju ke depan.”
Kebetulan para buruh itu semuanya Protestan, kecuali satu
orang. Dengan ketakutan, orang ini mengikuti perintah. Tapi di
malam gelap itu, sejenak, selintas, rekannya yang berdiri di se-
belahnya memegang tangannya, seperti memberinya isyarat agar
jangan, jangan ia menunjukkan diri, seakan-akan ia berkata,
”Kami semua tak akan mengkhianatimu, tak akan ada yang tahu
apa agamamu.”
Tapi orang itu sudah telanjur melangkah. Semua sudah meli-
hat. Langkah kecil itu, apa boleh buat, sudah sebuah proklamasi.
Ia pun maju menjemput Maut.
Tembakan terdengar. Tapi ia terkejut. Tak ada peluru yang
mengenainya. Ternyata yang jadi sasaran pembantaian adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka
bicara ”benar”. Hari itu Samuel memang tak jadi bunglon untuk
melindungi diri. Ia memilih jadi ”benar”: apa yang dikatakan
tentang dirinya cocok dengan dirinya.
Tapi bagaimana menguji kecocokan jika ”diri” itu hanya bisa
dihadirkan dalam bahasa? Bahasa selalu berlebihan tapi juga ter-
A
DA sebuah dongeng Hans Christian Andersen yang se
ring dikutip sepotong tapi kemudian dilupakan, ten-
tang seorang maharaja yang amat sibuk dengan satu cita-
cita: berdandan bagus. Yang dipikirkannya hanya bagaimana
berkereta sepanjang jalan, memperlihatkan pakaian model ter
akhir.
Syahdan, dua orang penipu datang menawari sang Maharaja
seperangkat busana yang lain dari yang lain: terbuat dari kain
yang ditenun dari serat ajaib, begitu halus, hingga hanya dapat di
lihat oleh mereka yang pintar dan yang layak berkedudukan.
Baginda pun terkesima. Ia berpikir, ”Bila kukenakan pakaian
seperti itu, aku akan tahu siapa saja bawahanku yang tak cocok
menjabat, dan akan dapat kuketahui mana yang pintar dan mana
yang dungu.”
Kedua penipu itu pun mendapat order. Dengan cekatan mere
ka memasang alat tenun, dengan giat mereka bekerja. Dana ber
limpah, tapi tentu saja alat tenun di sanggar itu kosong,dan ke
sibukan mereka cuma pura-pura.
Sang Maharaja sebetulnya ingin datang untuk melihat bagai
mana rupa bahan yang sedang disiapkan itu. Tapi ia gentar. Ba
gaimana kalau ternyata tekstil ajaib itu tak tampak di matanya?
Ia akan mengetahui dirinya bodoh dan bukan orang yang layak
bertakhta.
Maka dikirimnya perdana menterinya ke sanggar itu untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
EPASANG sosok pemimpin. Sebuah lagu nasional. Latar
yang molek, anak-anak yang sehat, bendera yang berki
bar.... Iklan, apalagi iklan untuk kampanye presiden, ada
lah cerita yang tahu bahwa yang tampil hanya impian, dan sebab
itu tak usah dipercaya—tapi sebenarnya juga sebuah mesin pem-
buat kepercayaan.
Paradoks iklan mirip slinder doa dari Tibet. Benda ini bisa
berputar seperti gasing di atas tangkai, dan dengan itu kita bisa
berdoa.
Begini caranya. Mula-mula tuliskan doa Anda pada secarik
kertas. Gulung kertas itu, lalu letakkanlah di dalam slinder itu,
kemudian putar dia. Anda kemudian boleh melamun tentang apa
saja, misalnya tentang Richard Gere, tapi pada saat itu Anda ber-
doa, karena di slinder itu doa Anda telah berjalan....
Tentu saja Anda tahu, putaran kertas itu bukan menuju ke arah
Sang Pengabul. Pikiran Anda tak mempercayai bahwa doa bisa
dijalankan oleh sebuah alat. Tapi laku Anda mempercayainya.
Bukan, Anda bukan bingung atau terbelah. Tak ada yang ganjil
di sini.
Sebab kita melakukannya sehari-hari: dari membeli sampo
sampai dengan mengirim anak ke sekolah, dari naik haji sampai
dengan menggunakan jasa bank, dari membuat pesta perka
winan sampai dengan memilih wakil rakyat di DPR. Siapa bilang
akal kita, juga hati kita, yakin bahwa pesta kawin menyenang-
http://facebook.com/indonesiapustaka
bahwa ungkapan Marx atas ideologi kini sudah tak berlaku lagi.
Ideologi, menurut Marx, ialah ketika ”orang tak tahu itu, tapi
orang toh melakukan itu.” Ideologi adalah ”kesadaran palsu”.
Tapi itu pada abad ke-19. Pada zaman kini, dengan iklan dan re-
torika, sebuah kesadaran palsu yang berbeda pun beredar: orang
datang ke kantor polisi melapor bahwa ia kecurian, sementara
tahu betul itu tak akan menyebabkan si pencuri tertangkap dan
barang yang hilang didapatkan kembali. Dengan singkat, ”mere
ka tahu betul akan hal itu, tapi mereka mengerjakannya juga”.
Dan itulah ”sinisme”.
Maka bagi Sloterdijk, kritik kaum Marxis terhadap ideologi
tak mempan lagi. Kritik Marxis bermaksud membuka kedok,
misalnya bahwa kepercayaan agama atau cita-cita demokrasi
politik sebetulnya hanyalah hasil kepentingan sebuah kelas. Tapi
pada masa pasca-Marxis, topeng itu sudah diketahui sebagai to-
peng. Mau diapakan? Akal yang sinis adalah sebuah ”kesadaran
palsu” tapi yang ”tercerahkan” (aufgeklärt). Dengan kata lain, ke-
palsuan itu kita akui. Kita tahu yang disebut ”keadilan” dan ”ke-
benaran” itu sebenarnya sesuatu yang menyembunyikan kepen
tingan mereka yang beruang atau berkuasa—tapi seakan-akan
secara otomatis orang tetap menghadap bapak hakim, menyewa
pengacara, dan mau menanti berhari-hari.
Analisa Sloterdijk dapat mengena untuk menggambarkan
proses peradilan di Indonesia kini, tapi ia sebetulnya berbicara
tentang mereka yang hidup di negeri yang rapi dan mapan. Yang
menarik: kerapian dan kemapanan itu terkait dengan rasa lelah,
ennui. Sebab masyarakat tak kaget lagi dengan politik, ketika niat
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan janji akan perbaikan sudah jadi rutin, dan kekecewaan telah
jadi akrab.
Dengan kata lain ketika demokrasi liberal sudah mirip, dalam
kiasan Baudrillard, ”menopause”. Di masyarakat yang masih la
par akan harap seperti Indonesia, yang masih hangat dengan ke-
Mungkin ia hanya candu bagi rakyat. Ketawa itu sehat, tapi juga
bisa congkak. Bukankah dengan mengatakan, seraya ketawa
mengejek, misalnya bahwa ”elite hanya mengibuli rakyat”, kita
sebenarnya cuma mau kelihatan lebih pintar dari rakyat?
Maka agaknya diperlukan sesuatu yang lain, mungkin pe
ngorbanan diri, agar manusia bisa menemukan keluhuran kem-
bali. Dengan itu orang akan menyaksikan sesuatu yang mengatasi
yang rutin, buntu, dan tak sinis. Kita ingat, sebelum momen yang
agung itu digantikan mesin kepercayaan, itulah yang terjadi, bu-
kan?
D
I tiap masyarakat yang ramai, selalu ada mereka yang
tak tampak. ”Saya tak tampak,” tulis Ralph Ellison,
”hanya karena orang tak mau melihat saya.”
Ia berbicara sebagai orang hitam di Amerika pada tahun
1950-an. Novelnya, Invisible Man, menggambarkan masyara-
kat Amerika yang memisahkan orang hitam dari orang putih
dari tempat yang paling eksklusif, misalnya klub pencinta bridge,
hingga di tempat yang paling umum, misalnya sekolah, ruang
tunggu, bus kota.
Jika masa lalu itu direnungkan kini, mungkin kita akan heran,
kaget, dan ngeri, mengetahui bahwa manusia pernah bisa men-
jalankan kebijakan yang sekeji itu. Dan itu terjadi di sebuah de-
mokrasi, belum setengah abad yang lalu, setelah diketahuibeta-
pa mengerikannya di Jerman, di bawah Nazi, ribuan orang, juga
anak kecil, harus ”tak tampak” lagi, dan sebab itu harus masuk
kamar gas, semata-mata lantaran mereka terbilang manusia yang
berbeda, yakni Yahudi. Kenapa hal itu mungkin?
Mungkin karena ketakutan, mungkin kecemburuan, mung
kin kecongkakan—tapi mungkin sesuatu yang lain: karena fan-
tasi, kata Slavoj Zizek mengingatkan. Pemikir dari Slovenia ini
saya kira layak didengar, sebab ia menjelaskan rasisme dari sebab
yang lebih mendasar ketimbang sekadar soal pembagian kue eko-
nomi dan politik. Zizek mengikuti Lacan—ia selalu mengikuti
guru psikoanalisis Prancis itu—dan ia menghadapkan kita pada
http://facebook.com/indonesiapustaka
buah tata simbolik. Tapi ada yang tak sepenuhnya bisa dibaha-
sakan, ada yang tak tertangkap dalam tata simbolik. ”Kata-kata
gagal,” kata Lacan. Seraya berbahasa kita tahu bahwa bahasa ha
nyamemenggal ”The Real”, kata Zizek.
Fantasi terbit untuk menebus trauma dari pemenggalan itu. Ia
ingin memulihkan keutuhan. Kita pun memerlukannya: ia me
nopang diriku dalam memahami dunia yang riuh-rendah dan
begitu luas dan dalam. Galileo meyakinkan bahwa bumi bukan
lah pusat alam semesta, tapi orang-orang salih di dusun Italia
mungkin membutuhkan keyakinan yang datang dari Kitab Suci
bahwa tidaklah demikian halnya.
Fantasi itu dapat diibaratkan sebagai sebuah jendela, dari
mana kita meninjau tempat lain, orang lain, seperti tingkap di
apartemen si fotograf cacat dalam film Hitchcock Rear Window.
Di jendela itu kita bisa memilih posisi. Salah satu posisi adalah
menafikan yang ada di sana dan mengubahnya jadi tak tampak.
Tapi kenapa dengan fantasi itu, sebuah posisi dipilih dan se-
buah masyarakat menolak untuk melihat salah satu unsurnya
sendiri? Saya kira karena kita tahu bahwa diri kita adalah subyek
yang sebenarnya tak meyakinkan. Kita memandang diri melalui
cermin, tapi kita harus berasumsi bahwa cermin itu ”benar”. Tapi
pernahkah kita pasti? Maka dengan bahasa-lah, dengan nama,
kita mengukuhkan diri. Kita menyebut diri ”pribumi” atau
”Tionghoa”, tapi kita tak akan pernah yakin apa sebenarnya arti
kata itu. Untuk mendapatkan makna kata ”kucing” kita membu-
tuhkan ”yang bukan kucing”.
Mungkin sebab itu, kata Zizek, fantasi muncul dalam sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka
254
Catatan Pinggir 7
BESLAN
M
AKIN lama saya makin tak tahu apa artinya ”menge-
tahui”. Terutama sekarang. Seakan-akan saya tengah
berlari di sebuah maraton, tapi bukan berlomba de-
ngan pelari lain, melainkan dengan kecepatan itu sendiri.
Lihat, saya bisa memperoleh informasi beberapa menit saja
setelah sebuah peristiwa terjadi, seperti kali ini, ketika sekitar 250
orang tewas kena ledakan dan tembakan di sebuah kota di Rusia
Selatan itu—ya, nun di sebuah kota yang tak pernah saya dengar
sebelumnya, di sebuah wilayah yang disebut Republik Ossetia
Utara, bagian dari Rusia, sebuah negeri yang begitu jauh tapi ti-
ba-tiba memergoki kita dengan kengerian, kebuasan, setelah se-
jumlah orang militan yang bersenjata memasuki sekolah itu, me-
nyandera anak-anak, guru, orang tua, memasang ranjau....
Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan? Begitu putus asa
kah mereka hingga mereka bersedia mati dengan bom meledak di
tubuh mereka, seraya menantang serbuan pasukan komando Ru-
sia, seraya membunuhi anak-anak, ya, anak-anak?
Kecepatan telah mengejar saya—satelit berputar, radio beker-
ja, televisi bekerja, Internet bekerja—dan sebab itu jarak jadi
jauh. Paradoks ini juga paradoks tentang ”tahu”. Duduk di depan
komputer, saya tahu bahwa pada akhirnya banyak hal yang tak
saya ketahui. Kecepatan bukannya menciutkan jarak, melainkan
justru memelarkan jarak.
”Jarak” itu bukan jarak geografis, melainkan jarak antara ba-
http://facebook.com/indonesiapustaka
gian dalam diri saya yang berisi data—dengan segala detail yang
mungkin—dan bagian dalam diri saya yang mengolah data itu.
Apa sebenarnya yang menyebabkan orang Chechnya mau mem-
bunuh siapa saja dan di mana saja? Bagian diri saya yang menyim-
pan data—dengan bantuan Google, tentu—akan mengeluarkan
fakta geografis, sejarah, ekonomi, dan entah apa lagi, dan akan
menyebut nama Shamil Basayev, atau bahkan ”Magomed ’Ma-
gas’ Yevloyev”, dan seterusnya. Tapi ada jurang yang menganga
antara semua itu dan apa yang dapat saya ketahui tentang orang-
orang di Beslan itu, yang siap menyiapkan ranjau untuk meledak
kan ratusan anak-anak.
Hak menentukan nasib sendiri orang Chechnya yang di
tampikKremlin? Semangat Islam ala Al-Qaidah? Tiba-tiba saya
sadar bahwa ”Chechnya”, ”Islam”, dan seterusnya begitu membi
ngungkan: ”Chechnya” berarti anti-Rusia bagi Shamil Basayev,
tapi mungkin tidak bagi Mufti Akhmad Kadirov. Betapa sulitnya
identitas distabilkan untuk sebuah kelompok manusia, bahkan
untuk diri sendiri pun.
Dan betapa mudahnya kata berbunyi. Akhirnya saya hanya
tahu tentang dunia melalui kata (”Chechnya”, ”Rusia”, ”Islam”,
”teroris”) yang tak saya buat sendiri, melainkan ditentukan oleh
orang lain, disepakati, entah di mana dan bagaimana. Ada se
orang filosof yang mengatakan kita hidup dalam ”penjara baha
sa”, dan jangan-jangan dia benar. Kini saya merasakannya: saya
tak pernah dapat keluar dari kata ”Chechnya” sebagai penanda
negeri di gigir utara Pegunungan Kaukasus itu, dan kalaupun
saya mengganti penanda itu dengan ”Belgedes”, saya tetap tahu
bahwa yang ditandai dengan kata itu adalah ”kenyataan” yang
akhirnya juga hanya bisa dimengerti dalam kerangka bahasa:
”Belgedes terletak di antara republik X dan republik Z, pendu
duknya beragama Islam”—semua itu batasan simbolis yang di-
amini ramai-ramai.
http://facebook.com/indonesiapustaka
orang yang dapat mengecek apa isi kotak orang lain. Tiap orang
yang bilang ia tahu apa itu ”kupu-kupu” mengatakannya dengan
melihat kupu-kupunya sendiri. Bagaimana kalau ada yang berbe-
da? Bagaimana kalau satu-satunya isi dalam kotak itu berubah?”
Ada pepatah Melayu yang terkenal, yang berbunyi, ”Kepala
sama berbulu, pendapat berlainan”, dan kita juga bisa membuat
pepatah baru, ”Kata sama-sama berbunyi, tapi maknanya....”
Saya tak ingin meneruskan pepatah baru ini. Sebab ada sesuatu
dalam bahasa yang membuatnya terdorong mengklaim bahwa
pada akhirnya ”makna” itu berlaku universal, atau setidaknya
mapan, dan bahwa sebuah kata mewakili sebuah ”kenyataan”.
Kalau tidak, bukankah manusia akan hidupdalam kekacauan?
Tapi saya tak pernah bisa membayangkan, bagaimana kita
berbicara tanpa kekacauan kini, ketika di Beslan anak-anak dile
takkan di tengah ajang pembantaian. Saya ingat cerita tentang
seorang perempuan tua di musim yang sangat dingin di Lenin-
grad, berdiri dalam antrean yang amat panjang untuk menjenguk
anaknya di penjara. Dengan parasnya yang sudah membiru itu ia
berbisik kepada penyair Anna Akhmatova yang ada di dekatnya:
”Dapatkah kau lukiskan ini?” Sang penyair diam.
Bukankah itu juga yang dimaksudkan Adorno dengan sedikit
dramatis, bahwa setelah Auschwitz—tempat ribuan anak-anak
juga dibunuh oleh Hitler—tak ada lagi puisi bisa ditulis?
Kepedihan, juga kebuasan, merasuk jauh di dalam diri kita
dari masa ke masa. Saya tak tahu bagaimana semua itu bisa di-
rumuskan ke dalam sesuatu yang stabil dan sama di mana saja.
Tapi Internet bekerja terus, radio bekerja terus, juga TV, dan ber
http://facebook.com/indonesiapustaka
asumsi bahwa dunia perlu tahu tentang 200 sekian yang mati di
Beslan, 12 orang Nepal yang dibunuh di Irak, medali emas untuk
Taufik, harga minyak dan kurs dolar, iklan mobil bekas, daftar
dokter jaga, ”terorisme”, perjuangan untuk ”keadilan”.... Kata
pun bergegas, saya terengah-engah, dan kian sulit untuk tahu apa
—sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati,
yang ditinggalkan ayah mereka.
K
ELAK, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin
baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh
seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu
meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum
mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi
muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di se-
buah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh,
dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam
doa: ”Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini,
biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menang-
kap gelap.”
Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi
ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam ada
lah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak.
Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.
Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak
membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia
melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di
dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk.
Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Ke-
kerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan,
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA tubuh yang berkeping-keping setelah bom mele-
dak, pada kepala yang copot berdarah di tepi jalan itu,
apa sebenarnya yang hendak diungkapkan? Pesan apa?
Mungkin protes, mungkin keinginan untuk unjuk kemampuan.
Tapi makin lama makin terasa bahwa terorisme adalah sebuah
langkah bengis di jalan yang tak ada ujung. Semenjak 900 ta-
hun lamanya cara kekerasan itu dipilih sebagai metode perjuang
an politik, tapi tiap kali ia tak maju jauh dari sana. Kaum Hash-
shâshîn memulainya di bukit-bukit Iran di Alamut di abad ke-11,
kaum anarkis mencobanya di Eropa di akhir abad ke-19, tapi apa
hasilnya?
Pertanyaan itu cepat atau lambat akan merundung mereka
yang meledakkan bom di Bali dan Jakarta. Bagaimanakah mere
ka menilai keberhasilan dan kegagalan kerja mereka? Menghi-
tung jumlah ”musuh” yang mati? Ketakutan yang mencekam?
Tapi ketakutan yang bagaimana? Ketakutan siapa?Untuk apa?
Dari balik asap dan destruksi hari itu, satu hal bisa disimpul
kan: mereka tak bisa disamakan dengan para pengebom bunuh
diri Palestina. Para pelaku teror di wilayah yang kini diperintah
Ariel Sharon itu membunuhi warga negara Israel, dengan perhi-
tungan yang buas dengan dasar dendam dan aritmetika: makin
berkurang orang Israel, yang bisa dianggap sebagai calon prajurit
musuh dan pendukung sebuah kekuasaan yang tak adil, makin
baik bagi orang Palestina. Akhirnya jumlah-lah yang akan me-
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
OLITIK berubah ketika buah pikiran jadi gambar hi
dup.Politik berubah ketika seorang pemimpin menjelma
jadi bintang yang dipasarkan. Televisi—yang senantiasa
terdorong untuk cepat memikat secara visual, yang bekerja de-
ngan waktu siar yang sesak dikepung iklan—telah membuat
orang ramai tak punya kesempatan (atau kesabaran) untuk mem-
perhatikan gagasan yang disajikan oleh seorang tokoh politik.
Pendek kata, ”siapa” mendahului ”apa”. Bahkan ”siapa” tumbuh
tanpa”apa”. Seakan-akan kita menghadapi satu subyek yang bisa
berdiri tanpa predikat.
”Subyek” semacam itu dengan sendirinya sosok yang genting:
ia tergantung-gantung tak bertangan, tak berkaki. Ia dibentuk
dari yang ditampilkan oleh kamera itu: patrapnya berbicara,
caranya berjalan, dedeg tubuhnya, raut muka dan nada suaranya
ketika mengucapkan kalimat—dan kita tak peduli apakah ia ber-
cakap tentang pendidikan atau tentang empek-empek, tak amat
peduli sejauh mana isi kalimatnya benar. Pada akhirnya ia seperti
banyak hal yang tampil di layar itu: sebuah fantasi.
Saya tak hanya bicara tentang Indonesia. Di akhir Juli 2004, di
The New York Times, Paul Krugman menulis—dan saya rasakan
ada frustrasi dalam prosanya—tentang ”triumph of the trivial”. Ia
berbicara bagaimana menyesatkannya isi dan arus informasiten-
tang kampanye dua calon presiden Amerika Serikat tahun ini:
sang calon jadi selebritas. Dari ”berita TV”, kata Krugman, ”kita
http://facebook.com/indonesiapustaka
pun tahu tentang potongan rambut Tuan Kerry, dan bukan ga
gasannya di bidang kesehatan. Kita tahu tentang cara George
Bush menyisir, dan bukan kebijakan lingkungannya.”
Tentu tak dapat dikatakan bahwa medium itulah yang mem-
buat pesan politik hanya berisi tetek-bengek. Di balikkekuatan
musuh lama....
Memang terasa keras. Tapi justru dengan itu kita dapat meli-
hat bahwa tiap kali satu bangunan politik baru berdiri, selaluada
yang luka dan tersingkir—dan sebab itu tak ada ilusi tentang har-
moni, malah timbul kerendahan hati. Maka tiap kali seorang pe-
mimpin datang, sajak Chairil Anwar ini patutdibacakan: ”Telah
lahir seorang besar, dan tenggelam beratus ribu/Keduanya harus di
catet, keduanya dapat tempat.”
T
ENTANG pembantaian itu, tentang ribuan orang Indo-
nesia yang dibunuh pada tahun 1965-1966 itu, pernah-
kah kita bisa bicara dengan pikiran terang? Mungkin be-
lum. Mungkin tak akan.
Tak mudah menentukan di titik mana cerita ini harus dibuka.
Ada yang memulainya pada malam antara 30 September dan 1
Oktober itu, ketika sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat di-
tangkap oleh sepasukan tentara dan kemudian dibunuh di hutan
karet agak di luar pusat Kota Jakarta. Orang bisa mengatakan da
ri sinilah kekerasan berjangkit. Partai Komunis Indonesia diang-
gap sebagai penggerak pembunuhan awal itu. Maka dengan den-
dam dan ketakutan, seperti digambarkan dalam buku Herma
wan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian
Massal yang Terlupakan (1965-1966), militer dan bukan-militer
pun membantai beribu-ribuorang anggota PKI atau yang diang-
gap anggota PKI. Teror pun berkecamuk—dan sebuah pemerin-
tahan baru ditegakkan.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Pertanyaan ini segera bisa di
bantah dengan: mengapa tidak? Kebuasan bukan barang asing
dalam sejarah, dan yang pasti bukan dalam sejarah di kepulauan
ini. Pada abad ke-17 di Mataram, tercatat Amangkurat I membi-
nasakan 3.000 ulama yang dihimpun di alun-alun dalam waktu
setengah jam.
Bukan karena orang Indonesia tak mampu mengendalikan
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
DA sebuah infeksi, bernama kekerasan. Umurnya pan-
jang.
Ia mungkin telah lama di kesadaran kita, datang dari
adegan perang Bharata ketika Bima bukan saja membunuh Dur-
sasana, tapi juga mereguk darah bangsawan Kurawa yang dulu
mencoba memerkosa Drupadi itu. Atau dari Perjanjian Lama, ke
tika berlaku doktrin ”satu mata dibalas satu mata”. Atau dari den
dam Electra yang getir dalam lakon Sophocles dan Euripidespada
zaman Yunani kuno. Atau apa yang dialami Eropa pada abad ke-
17: orang Katolik dan Protestan saling membunuh selama30 ta-
hun. Atau sejarah Islam, setelah Khalif kedua dibunuh, kemudi-
an Khalif berikutnya, dan berikutnya....
Sampai abad ke-21 ini, infeksi itu terus bercabul: Israel, Pales
tina, Irak, Chechen, Rusia, Amerika.... Koreng luka itu berjang-
kit beserta kumannya. Kekerasan menular—dengan penularan
yang dikemas ”atas-nama-keadilan”.
Tapi jika kekerasan yang satu diulangi yang lain, apa yang ha-
rus dilakukan? Jawabnya mungkin sebuah kekerasan lagi. Se
tidaknya jika kita percaya kepada teori René Girard. Pada zaman
dulu orang menyembelih korban. Dengan memungut seseorang
lain untuk dipersembahkan kepada dewa, orang pun percaya,
kata Girard, bahwa ”perdamaian yang mukjizat” akan tiba.
Untuk mengukuhkan teori itu adat orang Aztecs sering di
pakaisebagai contoh. Sebuah ensiklopedia mencatat bahwa sebe-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tak semulus Singapura atau Pondok Indah. Tapi justru karena itu
kita bisa lebih bisa mengerti bahwa ”keutuhan”, ”konsensus”, dan
”rekonsiliasi” (atau ”konsiliasi”, kata Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono) tak selamanya berlangsung karena nalaryang mam-
pu melahirkan argumen yang baik. Di tiap momen mufakat, ada
selalu latar yang gelap dan bayangan yang bisa memukau, dan in-
feksi yang tersembunyi.
Kemudian bagaimana kita menerima ini: bahwa melalui luka
dan dosa, demokrasi bisa dewasa.
S
eseorang pernah mengatakan ia ”sentimentil”, dan ia
sendiri mengakui itu ”benar”. Tapi saya tak yakin. Sampai
ia meninggal karena kanker pankreas di Paris pekan lalu
dalam umur 74, Jacques Derrida adalah pemikir yang bicara bu-
kan lantaran ia mudah terharu. Bahasanya tak mendayu-dayu,
bahkan kerap kali rumit. Pandangannya tak terasa murung. Ti-
dak, ia bukan pemikir yang ”sentimentil”. Derrida adalah suara
yang sayu.
Ia memang hidup di zaman ketika usaha untuk menjelaskan
dunia kian terasa tak mungkin lepas dari haribaan bahasa, dan
tak kunjung selesai pula. Ia hidup di zaman yang belum juga me
mecahkan lika-liku keadilan, belum menemukan cara ke pembe
basan.
Ia juga hidup di zaman ketika makin disadari manusia ternya-
ta tak berdaulat dan tegak utuh bertopang pada nalar yang terang-
benderang. Di depan psikoanalisis Freud dan Lacan, tampakada
yang lain di samping itu: segumpal nafsu, syahwat atau bukan,
bawah-sadar dan tubuh, dan kaitan yang rumit dengan dunia lu
ar, sering berupa percaturan kekuasaan.
Tapi tak hanya di situ manusia bersua dengan ”yang-lain” da
lam dirinya. Derrida bahkan menunjukkan, bahwa bahasa, yang
membuat manusia berhubungan dengan dunia, tak selamanya
dapat dibariskan seperti pramuka yang rapi oleh sang subyek.
Bagi Derrida, makna kata tak berjalan lewat lorong yang lurus
http://facebook.com/indonesiapustaka
terbuang.
Tak berarti si empunya rumah sebuah subyek yang mampu
dan otonom seperti manusia Pencerahan dalam gagasan Kant. Ia
justru subyek yang lulut pada titah. Tapi titah itu tak berasal dari
Yang Mahakuasa. Titah itu justru yang memanggil kita dari ia
yang dilukai, dihina, tak berdaya, dan ditinggalkan.
Memang tampak mustahil kuasa seperti itu akan mengubah
dunia. Tapi Derrida tak bicara tentang utopia, melainkan ”ke-
messiah-an”, sebuah janji di hari ini—hari yang selalu tak leng-
kap—bahwa la démocratie à venir, bahwa demokrasi selalu ”akan
datang”.
Di sini sang filosoflah yang menggetarkan kita. Suaranya
sayu.
D
I masa lalu orang sering melihat harapan. Bentuknya
pulung: seberkas cahaya yang jatuh dari langit di malam
hari, isyarat bahwa seseorang telah dipilih untukpunya
kelebihan, dan dengan itu mengatasi dunia yang ruwet.
Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang luar biasa. Itu
juga yang sampai sekarang terjadi. Pulung memang tak tampak
turun di Cikeas, di bubungan rumah Presiden Indonesia yang
baru. Tapi di Cikeas dan di luarnya, tiap kali kita ”meng-harap”
kita selalu ”ber-harap”. Kita melakukan sesuatu untuk mengada-
kan harap, tapi pada saat yang sama kita bersikap bahwa kita ber
ada dalam keadaan sudah mempunyainya (tersirat dari awalan
”ber”). Artinya, ada sebuah loncatan ajaib antara belum dan sudah
ada. Harap seakan-akan tercipta dari ketiadaan, datang dari crea
tio ex nihilo.
Tapi ”harap” disebut juga ”harap-an”. Dalam bahasa Indone
sia, akhiran ”an” (seperti dalam ”temu-an”, ”minum-an”, ”pakai-
an”) menunjukkan sesuatu yang ada setelah sebuah laku. Pulung
itu sebenarnya bukan datang dari ketiadaan. Cahaya yang luar
biasa itu tak akan tampak seandainya orang tak menantikannya
dengan cemas, dengan doa dan tirakat. Apa yang kelihatannya
creatio ex nihilo pada hakikatnya sebuah hasil ikhtiar.
Dan itu tak hanya terjadi dalam pengalaman Indonesia. Di
Rusia, Nadezhda Mandelstam menulis sebuah memoar tebal,
yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Hope Against Hope.
http://facebook.com/indonesiapustaka
keluarga itu pun naik ke tanah yang lebih tinggi, dan masukke
sebuah gubuk. Seorang anak tampak sendiri bersama ayah yang
terhampar hampir mati kelaparan. Rose juga lapar, ia juga tak pu-
nya apa-apa. Tapi gadis yang dulu acuh tak acuh itu membung-
kuk bagi si sakit. Dengan air teteknya ia coba selamatkan orang
yang tak dikenalnya itu, dan saya ingat kisah muram itu berakhir
dengan senyum
N
OVEMBER mungkin awal musim dingin harapan kita,
jika 2004 adalah tahun penentuan Amerika. Negeri
itu telah jadi begitu penting, hingga ia kini hadir seba
gaipusat yang membuat kita cemas. Hidup beribu-ribu mil dari
Amerika Serikat, kita memandang ke sana dengan waswas: apa
yang akan terjadi pada November ini bila ternyata sebagianbesar
orang Amerika mendukung terus kekuasaan Presiden Bush?
Kita tak berhak memilih, tapi kita juga akan terenyak. Kita
bagian dari negeri lain, tapi kita akan kecewa, marah, dan ber
tanyakepada jutaan pemilih dari Hawaii sampai dengan Alaska
itu: apa sebenarnya yang terjadi dengan diri Tuan-tuan?
Kita tahu, ”11 September” telah tumbuh jadi kata yang menan-
dai korban dan ketakutan, setelah ribuan orang tak bersalah ter-
bunuh oleh terorisme. Kita mengerti ada amarah dan dendam
dalam kata itu, karena selama bertahun-tahun ribuan orang di
bagian dunia lain juga binasa oleh kesewenang-wenangan yang
sama. Tapi kita masygul kenapa hal itu tak menyebabkan orang
Amerika merasa jadi bagian yang senasibdengan orang lain; ke-
napa yang muncul adalah sikap angkuh ke seluruh dunia? Sikap
angkuh yang menyebabkan Irak diserbumeskipun tanpa alasan
yang sah, dan ribuan manusia, juga anak-anak, mati? Benarkah
hal itu menyebabkan orang Amerika jadi aman di mana-mana?
Kenapa tak dilihat betapa wabah kekerasan justru berjangkit?
Jika Bush dapat mandat kembali dan ia terus, semua itu tak
http://facebook.com/indonesiapustaka
akan terjawab. Dan kita akan tetap heran, karena di Amerika sen
diri pertanyaan itu menyebabkan negeri itu praktis terbelah. Pe
rang, paranoia dan retorika yang pantang mundur menjalar ke
mana-mana. Dari Gedung Putih dan Pentagon sebuah kehidup
an politik yang enggan berkompromi telah lahir.
milih Bush?
Demokrasi yang telah berjalan berpuluh tahun memang
membutuhkan dekorum: si kalah harus mengakui kekalahannya,
seperti dalam sebuah turnamen tenis. Jika ia kalah, John Kerry
akan melakukan itu. Dalam dekorum ini tersirat pandangan,
ra”ya” itu.
Maka, jika Bush dipilih kembali, November ini, sebuah mu
sim dingin yang muram akan bermula: matahari tak akan bersi
nar lagi bagi mereka yang percaya bahwa demokrasi bukanlah
sesuatu yang mengkhawatirkan, karena demokrasi mengandung
sikap yang lebih rendah hati, karena demokrasi mengakui bahwa
yang berperan adalah orang dan agenda yang tak pernah sempur
na.
Bahwa kini demokrasi di Amerika—yang telah dua ratus ta-
hun umurnya—membuat kita begitu cemas, itu sendiri sesuatu
yang membuat kita cemas.
S
AMAN adalah sebuah teror purba. Pada abad ke-2 orang
Druid percaya bahwa dialah yang dipertuan di dunia ke-
matian, yang tiap 31 Oktober malam akan mendatangkan
barisan roh jahat. Penduduk wilayah Gaulia dan kepulauan Bri-
tania akan menunggu saat itu dengan gentar. Konon pada malam
itulah para arwah akan datang mengetuk pintu rumah yang per-
nah mereka huni.
Ketakutan kolektif ini melahirkan upacara—sebuah upaya
melunakkan hati para demit yang melahirkan ”pesta” Halloween.
Ritual lama itu terus. Bukan karena takhayul masih kuat, tapi
karena manusia tampaknya menggemari rasa takutnya sendiri.
Cerita hantu gampang laku dan kecemasan mudahdisebarluas
kan. Kini ”horor” itu bahkan jadi bagian dari industri budaya.
Pelbagai benda dan jasa beredar di toko dan kaki lima dunia:
kedok setan, jubah Drakula, pesta dalam gelap, novel Stephen
King....
Di Amerika Serikat, tahun 2004, pemasaran setan-setanan 31
Oktober itu dapat menjelaskan kenapa ketakutan pasca-11 Sep-
tember berlanjut terus. Dalam persaingan sengit dua calon presi
den, ketakutan kolektif itu (”Awas teror!”) diolah dengan kampa-
nye yang panjang dan dana terbesar dalam sejarah: $ 550 juta di-
habiskan untuk iklan di TV.
Betapa kebetulan, tapi betapa cocok, ketika Usamah bin Ladin
mendadak muncul 48 jam sebelum Halloween. Pemimpin ”Al-
http://facebook.com/indonesiapustaka
L
IBERALISME terguncang hari ini. Pemilihan umum
2004 Amerika Serikat menghukumnya, dan mungkin se-
buah zaman baru di ambang pintu.
Bertahun-tahun lamanya orang Amerika hidup dalam sebuah
tata yang bertolak dari anggapan bahwa, dalam sebuah negeri,
hak adalah sesuatu yang tak dapat ditanggalkan. Hak itu diang-
gap telah lebih dulu ada, dan harus ada, sebelum keputusan nilai
tentang apa yang ”baik” dan ”buruk”, ”patriotik”atau ”tak patri-
otik”, ”dosa” atau ”bersih”, ”pro-Yesus” atau ”anti-Yesus”.
Kini pandangan yang mengutamakan ”hak” itu memang pa
tutcemas. Seorang presiden telah menang dengan dukungange-
muruh gerakan Evangelis Kristen. Tak berarti sendi liberalisme
tumbang. Konstitusi Amerika, yang mengadopsi beberapa pokok
pemikiran liberal, punya mithosnya sendiri.Ia tak mudah untuk
dirombak, kecuali bila suara ”Kristen kanan”yang menakutkan
itu menguasai seluruh perdebatan publik.
Tapi cukup tanda bahwa, setelah November 2004, hak sese
orang dapat dicopot karena ada keputusan nilai tentang ”baik”
dan ”buruk”, ”dosa” dan ”tak dosa”. Dan mudah diketahui,kepu-
tusan itu bukan sesuatu yang universal. Ia hanya sebuah konsen-
sus si mayoritas yang tak mendengarkan suara yang lain. Ia bah-
kan hanya menimbulkan sebuah soal besar: keadilan.
Keadilan jadi penting, sebab tiap masyarakat terdiri atas anasir
yang beraneka, juga nilai-nilainya. Di tahun 1960-an, di Ameri-
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
OTA kecil berpenduduk 17 ribu itu menyambut kun
jungan presiden mereka: Tuan Bush ternyata bersedia
berkunjung. Bagi warga Poplar Bluff, Missouri, hari itu
menggetarkan. Seorang laki-laki setengah baya berpidato: ”Ame
rika Serikat negeri terhebat di dunia. Presiden Bush presiden ter-
hebat yang pernah saya ketahui. Saya cinta presiden saya. Saya
cinta negeri saya. Saya cinta Yesus Kristus.”
Yesus, Amerika Serikat, Bush. Mungkin bukan sebuah tri-
tunggal baru. Tapi mengapa tidak? Dalam sebuah reportase di
The New York Times Magazine 17 Oktober 2004, dengan anekdot
itu Ron Suskind menunjukkan gejala yang sedang merundung
AS: 42 persen orang merasa diri ”evangelis” dan ”dilahirkan kem
bali” sebagai orang Kristen; di atas mereka, seorang presiden yang
menyandarkan keputusannya lebih kepada ”iman” ketimbang
”fakta”. ”Inilah buat pertama kalinya saya merasa Tuhan ada di
Gedung Putih,” kata Gary Walby, seorang pensiunan jauhari in-
tan di Kota Destin, Florida.
Dan itulah yang, dalam kata-kata Suskind, membuat kepresi
denan Bush ”radikal”: sang presiden memiliki kepastian ”yang
melebihi kewajaran, yang diresapi oleh iman”.
Harus dicatat: tak semua orang Kristen mengamini posisi itu.
Iman (seperti juga tanpa iman) membawa orang ke arah yang ber-
beda-beda. Seorang pastor yang bekerja dengan orang miskin
di Austin, Texas, berkata kepada Suskind: ”Iman yang nyata...
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
IDAKKAH kita akan bosan? Demokrasi tanpa mukjizat.
Bila ”akhir sejarah” adalah sebuah keadaan hidup ketika
manusia menerima kemerdekaan dirinya sebagai sesuatu
yang normal, tak akan perlu sedu sedan lagi: marah dan kesedih
an kita bawa sendiri, sendiri—atau kita letakkan di ruang ter-
batas. Huru-hara tak dibutuhkan. Ketika kita tahu bahwa revo
lusi pada akhirnya akan berakhir—dan kita mendapatkan cara
merdeka yang lebih murah—buat apa perubahan yang meng-
guncang kita dari bulu kaki sampai ke ulu hati? Kita pun akan
membuat prosedur, juga untuk berteriak.
Kini pun, di jalanan tak ada teriak. Orang berdesak-desak.
Dari jendela bus, masing-masing memandang ke luar, tak sabar,
atau tidur dan menyerah ke dalam kemacetan rutin, dan berbisik,
(mengingatkan kita akan lakon Utuy Tatang Sontani), ”Sayang
ada orang lain ....”
Orang lain tentu tak akan musnah. Kelangkaan, dari mana
ekonomi lahir, akan tetap ada. Kita tetap harus berbagi. Tapi kita
akan enggan berkelahi habis-habisan untuk mengubah distribusi
itu. Di ”akhir sejarah”, kapitalisme telah diterima sebagai sesuatu
yang tak terelakkan. Manusia tak perlu membuat tangan gigan-
tis sendiri. Ada ”tangan yang tak terlihat” yang mengatur benda,
jasa, kekayaan, kesenangan.
Tentu, kita tak akan jadi mesin otomat yang bangun tidur, be
kerja, makan, ngobrol dengan tetangga atau nonton TV dan sebe
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
AGAIMANA kita bisa bicara tentang Mohammad B.?
Pada suatu hari di bulan November 2004 yang dingin, ia
membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan brutaldi
sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda,
Mohammad B. menghadangnya, dan menembakkan pistolnya
delapan kali. Terkena lutut, Van Gogh terjerembap. Ia diseret.
Dalam keadaan luka itu ia memandang orang yang menembak
nya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak menyahut.
Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotongnya, hampir
putus. Setelah itu, satu statemen lima halaman dipasangke tubuh
Van Gogh, direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam
sampai tangkai ke jantung si mati.
Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh karena
Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebe
lumnya film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah me-
lihatnya, salah satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertu
lis di atas tubuh perempuan-perempuan yang mengenakan pa
kaian menerawang, dengan buah dada tampak. Ayat-ayat itu ko
non menyebut perkenan Allah bagi laki-laki untuk memukul
istrinya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van
Gogh itu tampak bengap, runyam.
Di belakang ide film itu adalah Ayaan Hirsi Ali, seorang pe
rempuan kelahiran Somalia, anggota parlemen Belanda. Ayaan
Hirsi ingin menggambarkan perlakuan buruk Islam terhadap pe
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA suatu sore tahun 1947, ayah saya dieksekusi oleh pa-
sukan Belanda yang menduduki kota kami. Saya, anak
terkecil, tak diperkenankan melihat jasadnya. Tapi ke-
mudian Ibu bercerita bahwa ada tiga butir peluru yang ditembak-
kan ke kepala Bapak.
Keluarga kami tak pernah tahu kenapa ia dihukum mati. Tak
ada pengadilan pada hari-hari itu. Pasukan Belanda barusaja me
rebut kota kami, malamnya seorang gerilyawan melemparkan
granat ke markas mereka dan membunuh entah berapa orang
serdadu, dan Bapak mungkin berkaitan dengan itu semua, tapi
mungkin tidak. Barangkali ia—yang dibuang ke Digul beberapa
belas tahun sebelumnya setelah pemberontakan gerakan kiri
yang gagal pada 1927—sudah ada dalam daftar orang yang tak
dikehendaki.
Sejak itu saya tahu, kekerasan dan kematian terjadi ketika ada
orang yang tak dikehendaki dan sebuah kekuasaan jadi cemas.
Pada 1965-1966 berpuluh-puluh ribu orang dibunuhketika In-
donesia cemas—sebuah perasaan yang makin akut karenawaktu
itu tak jelas siapa gerangan ”Indonesia” yang cemas itu. Tiap ka
li masyarakat guyah, tiap kali sesuatu yang dapat dijunjung di
tegakkan, dan tiap kali ada yang harus disingkirkan. Memba
ngun adalah menghancurkan. Dalam takhayul di kota saya di
pantai utara Jawa, harus ada kepala yang dipotong ketika orang
membuat jembatan. Mungkin itu juga yang tersirat dalam legen
http://facebook.com/indonesiapustaka
perusuh, yang terjadi bukan saja rasa sakit jasmani bagi indivi-
du, tapi rasa sakit yang dihadapi seseorang ketika ”individualitas
nyaris punah”.
Saya ingat Bapak. Saya tak pernah tahu mereka tutupikah ma
tanya di depan regu tembak sore itu dengan sepotong kain. Ke
kuasaan yang beradab melakukan hal itu—tapi juga di sini kisah
peradaban adalah kisah kebiadaban. Kain yang menutupi mata
itu juga menutupi sesuatu yang penting dalam wajah manusia.
Praktis ia menutupi seluruh wajah. Artinya: ia membungkus apa
yang ”lain” agar tampak jadi ”sama”. Hukuman mati adalah seje-
nis materialisme yang ganas dan menipu dirinya sendiri. Ia meng-
hormati yang jasmani tapi pada saat yang sama menghilangkan
yang berarti, dan beragam, dari yang jasmani.
Tapi tak hanya di depan regu tembak hal itu terjadi. Yang jas-
mani secara tak kentara kian menggusur ”individualitas yang
nyaris punah” ketika kelaparan, kekurangan tempat,kekurangan
air, menjarah sebuah wilayah yang padat. Mungkinitu sebabnya
di negeri-negeri miskin, orang tak menggugat hukuman mati se-
bagai sesuatu yang keji. Di sini, yang lebih buruk ketimbang mati
adalah hidup yang rudin, terjepit, dan sekarat. Tak mengheran
kan bila dari sini ada suara yang menggugat: gerakan anti-hu
kuman-mati yang kita dengar sekarang adalah tanda keberlim-
pahan Eropa.
Eropa memang punya banyak keberlimpahan—di antaranya
sejarah yang bengis dan penuh kesalahan. Sering kita lupakan
bahwa Kant, yang jauh pada abad ke-18 telah memberikan dasar
filsafat yang kini dipakai untuk perjuangan hak asasi manusia—
http://facebook.com/indonesiapustaka
J
ASIH mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus
mengaku .... Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita
berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita
sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begi-
tu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nya-
wa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kan
kerotak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersa
lah karena Jasih begitu miskin utangnya yang lima juta rupiah
kepada para tetangga itu begitu menekan dan kita selama ini ing-
kar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.
Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih
tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Ke
jadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, JakartaUtara,
pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu.
Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau
dari tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di ba-
lik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja
dari orang-orang (mungkin teman-teman kita) yang baru mem
beli sebuah apartemen di Paris, menikahkan anak di Convention
Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyo
gok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gere
ja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10
orang teman ke Mekah, berjudi di London sampai kalah1.000
pound sterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliardi
http://facebook.com/indonesiapustaka
bank seraya menunggui bunga sekian persen. Daftar itu bisa di-
perpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas.
Tuan akan berkata, tentu, ”Ah, tidak jelas!” Tuan akan ber
tanya kenapa Tuan disangkutkan ke dalam ”salah”. Maaf, be
ribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita
(Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidakmerasa
bersalah karena kematian di Lagoa itu, jika kita merasatak ber
urusandengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu berarti kita
dungu atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah
negeri, bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar, dengan
kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian dunia yang be-
bas dari kelangkaan dan kekurangan; itulah sebabnya ekonomi
terjadi: orang berproduksi terus, tukar-menukar tak henti-henti.
Dan jika kita berbicara tentang Indonesia, kita akan lebih tahu
apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan
tahu apa yang ada di baliknya: kekayaan yang begitu timpang,
kesempatan yang begituselisih. Dari sini Tuan tahu apa yang me-
nyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh. Inilah
daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak
pernah mengulurkan bantuan ke rumah orang miskin, karena
industriawan obat yang hanya memikirkan the bottom line, kare-
na pejabat Departemen Kesehatan yang mencolong dana buat pe
layananmedis dan pencegahan penyakit di kampung-kampung,
karena wartawan-wartawan (rekan-rekan saya) yang menerima
suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu la-
lai untuk menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada pub-
lik, juga karena para wakil rakyat yang setelah beranjangsana ke
luar negeri dengan uang ribuan dolar tak menegur kepala daerah
yang tak banyak berbuat. Tuan dan saya tambah bersalah bila
Tuan dan saya tak tahu itu apalagi berpura-pura tidak tahu itu.
Tuan bersalah, tapi harus saya tambahkan memang: kesalahan
Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa saya, yang menulis tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
318
Catatan Pinggir 7
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 7
2005
319
http://facebook.com/indonesiapustaka
320
Catatan Pinggir 7
TERANG, GELAP, HARAP
K
ALENDER selalu sampai di lembar terakhir, kita selalu
tiba di pangkal pertanyaan: benarkah harapan mung-
kin? Tiap Desember orang memperkirakan dan meran-
cang. Mereka sebenarnya bertanya. Tahun 2005 suram? Pertum-
buhan di atas 5 persen? Akan ada teror baru?
Statistik dan astrologi memberi jawaban yang selalu siap un-
tuk cacat. Tiap ramalan adalah orakel. Tapi kita memasukitiap
tahun baru (pesta yang seru, trompet kertas yang dipekikkan di
jalan-jalan, atau doa seorang diri di kamar sempit) dalam sebuah
sikap yang tak selamanya diucapkan: hidup tak pernah indah, se-
benarnya, tapi berharga.
Memang ada orang yang membuat diri jadi peledak agar han-
cur apa yang dilihatnya sebagai musuh yang jahat, ada Jasih dari
Kelurahan Lagoa yang membakar diri dan anak-anaknya karena
merasa habis dalam kemelaratan, tapi mungkin justru itu juga
isyarat: bagi si pengebom-bunuh-diri, hidup begitu berharga
hingga kematiannya adalah pemberian yang paling luhur bagi
sebuah tujuan agung; bagi Jasih, hidup begitu berharga hingga
penderitaan tak patut melekat di dalamnya.
Di dunia yang berjejal-jejal, yang kumuh, korup, bengis, dan
tak adil—yang tiap hari kita alami dengan mata nyalang di jalan-
jalan Jakarta—orang toh tetap tak memutuskan, ”Ah, tak perlu
hari esok.” Orang akan tetap bangun tidur, membersihkan pela-
taran, atau jogging, atau mendengarkan kuliah subuh, terus me
http://facebook.com/indonesiapustaka
sadaran yang utuh karena sebuah niat, dengan langkah yang ter-
atur dan efektif karena akal. Tuhan bersamaku: Ia membuat ke-
hendak, niat, dan akalku menjadi bertambah dahsyat. Tuhan
bersamaku: Ia hadir bukan untuk mengingatkan kelemahanku,
melainkan untuk membuatku, sebagai subyek, mengatasi bagian
ke-21. Dengan kata lain, yang akan hadir adalah aku yang me-
mandang ”yang-akan-datang” dengan mantap, sebab aku adalah
subyek yang terbangun oleh kehendak, niat, dan akal yang ber-
tambah dahsyat karena aku punya kepastian—yakni kepasti
an yang diberikan agama. Persoalan yang akan timbul ialah ba
gaimana subyek-plus-iman yang menganggap diri dahsyat itu
akan terhindar dari ilusi optimisme.
Ada satu sajak menarik dari Iqbal yang menggambarkan dia
log antara Tuhan dan manusia. Kita tahu bahwa Iqbal perca
ya, manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi, dengan ”ke-
merdekaan ego-insani” yang didapatnya dari sang Pencipta.
Syahdan, manusia berkata, dengan bangga:
nya.
Tapi tahun 2005 datang, kalender telah dirobek, dan begitu
banyak hal yang kita tahu tidak beres. Ironi saja tak akan mem-
buat kita melangkah. Berpegang pada yang sementara dan titah
kebaikan yang tak jelas, kita toh tetap memilih laku. Kita tak
328
Catatan Pinggir 7
TSUNAMI
A
NTARA pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, ker
tas-kertas bergetar di atas meja seorang penghuni Kota
Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak terdengar.
Tiba-tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar,
dengan napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur
dari mana-mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelbagai
sudut. Ia lihat para padri berdoa dan gereja-gereja mulai runtuh.
Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu
menyusul. ”Laut datang!” terdengar orang memekik.
Gulungan gelombang setinggi enam meter menggodam kota
di tepi pantai itu dengan ganas: gempa melontarkan tsunami ke
daratan. Ketika kemudian air kembali ke laut, ribuan bangkai
tampak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian bumi tak ber-
guncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata Ero-
pa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan
puluhan, mungkin sampai 50 ribu. ”Apa yang harus dilakukan,
wahai, makhluk fana?”
Pertanyaan itu bergetar dalam sajak Voltaire tentang gempa
di Lisbon itu dan merobek dunia pemikiran abad ke-18. Pesimis-
menya mencekam, meskipun pesimisme itu sebenarnya bagian
dari kritiknya terhadap filsafat yang percaya bahwa Tuhan mem-
beri manusia ”dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”. Itulah
filsafat Leibniz: alam semesta adalah harmoni yang didesain Tu-
han. Tapi, tulis Voltaire: ”Leibniz tak dapat mengatakan padaku
http://facebook.com/indonesiapustaka
kenapa/Di dunia yang diatur oleh hukum yang paling arif ini/
kekacauan tak kunjung berhenti/Dan bencana terus/dan kenik-
matan yang sia-sia bercampur nestapa”.
Agaknya bagi Voltaire tak mungkin hal-ihwal hidup dijelas-
kan dengan Tuhan sebagai Sebab Utama. Tidakkah Ia seharus
Dengan kata lain, satu hal harus dilihat: yang disebut ”desain
Tuhan” hanyalah konstruksi manusia—lengkap dengan hasrat
dan kesumat manusia pula. Tapi bisakah Voltaire dari sini me-
nyimpulkan bahwa hidup tak ada hubungannya dengan kebaik
an? ”Alam, dan hewan, dan manusia—semua dalam keadaan pe
rang,”begitulah di sajaknya tertulis. Mari kita akui: kekejian ber-
jalan tegak di atas bumi.”
Mungkin kalimat itu bagian dari sebuah gaya polemik. Pe
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
EREMPUAN itu digantung sepanjang malam di sebuah
pohon. Hampir seharian opsir itu menginterogasinya dan
tak berhasil mendapatkan sepatah pengakuan apa pun.
Perempuan setengah baya itu, seorang anggota SOBSI, selama
beberapa jam telah ditelanjangi dan dipukuli di depan para ta
hanan lain, tapi ia tetap diam, dan ketika hari menjelang malam
ia digantung. Tangannya diikat ke pohon, kakinya terjuntai ham-
pir menyentuh tanah. Ia merasakan kesakitan yang amat sangat.
Malam itu Sri Ambar pasti tak tahu bahwa itu belum siksa
anyang paling mengerikan yang akan dialaminya. Beberapa hari
kemudian, setelah di depan para tahanan lain ia ditelanjangi lagi
dan dipukuli berkali-kali, atas perintah sang opsir TNI pantat
kiri Ambar ditusuk dengan sebilah pisau komando. Ketika ia te
tap tak mengaku, pantat kanannya dicubles. Ia jatuh pingsan ka
rena begitu banyak darah keluar.
Malam itu ia belum tahu semua itu akan terjadi. Tergantung
kedinginan di pohon itu, yang diingatnya hanya ini: ketika tak
ada seorang tentara pun tampak di halaman tengah kamp itu,
seorang pegawai sipil yang sudah tua datang mengendap-endap
mendekatinya. Ia membawa secangkir teh manis panas, dan dito-
longnya Ambar minum. Lalu pak tua itu mengambil dari dalam
sakunya sebotol kecil balsam, yang diusapkannya ke tubuh yang
tergantung itu. ”Maaf, saya menyentuhmu,” ujarnya berbisik.
Apa gerangan yang mendorongnya berbuat demikian? Tak se
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ETIKA berpuluh ribu orang tewas dan beratus ribu ke-
hilangan, ketika gempa dan gelombang pasang meng-
hancurkan mendadak kehidupan, kita pun bertanya:
kenapa?
Ada berpuluh-puluh ”kenapa”, sebab kata itu mempunyai
bermacam-macam endapan, berasal dari bermacam-macam za-
man, dan tiap kali bergeser. Ketika yang terjadi adalah sebuahke-
celakaan kapal terbang, di balik ”kenapa” itu tersimpan ingatan
tentang malapetaka yang mirip yang pernah dijelaskan dengan
mengulas kesalahan teknis atau kekeliruan manusia di belakang
mesin. Maka ”kenapa” akan mengarah ke sebuah kotak hitam
yang merekam keadaan terakhir dalam kokpit pilot. Para pakar
akan menganalisisnya atau menghitung berat kapal, gerak sayap,
kencangnya angin, dan hal-hal lain yang tak berkaitan dengan
kegaiban.
Tapi ketika berpuluh ribu orang tewas, ketika gempa dan ge
lombang pasang menghancurkan dusun, pantai, dan kota, ada
”kotak hitam” yang lebih hitam yang dicari. Sebab endapan di
balik ”kenapa” yang terucapkan saat itu terdiri atas lapisan-lapis
an zaman dahulu, tatkala nenek moyang kita masih hidup de
ngan rasa ngeri, terkesima, dan bingung mendengar petir yang
menyambar pohon tinggi, membakar hutan, dan membinasakan
manusia. Syahdan, mereka lari bersembunyi ke gua-gua. Tapi
mereka tetap gentar.
http://facebook.com/indonesiapustaka
mampuan untuk berahi dan tak peduli, salah dan kalah. Raksasa
Niwatakawaca dapat menyerbu tempat dewa-dewa itu bertakh-
ta, bahkan wayang memungkinkan sebuah komedi dalam lakon
Taliputra, ketika Petruk, hamba yang buruk dan hina itu, meng
ambil alih kerajaan langit.
Politheisme itu tak memerlukan theodise. Ketika di awal abad
ke-18 Leibniz memperkenalkan kata ini melalui bahasa Prancis
(the´ odice´ e secara harfiah berarti ”keadilan Tuhan”), saya kira
karena ia harus menjelaskan satu Tuhan yang sempurnadalam se-
gala hal—tapi telah menciptakan sebuah dunia yang malang dan
berantakan dan hidup manusia tak putus-putusnya dirundung
durjana dan kekejian. Begitu banyak ”kenapa” yang harus di
jawab. Begitu banyak kehendak Tuhan yang butuh dijelaskan
dan perlu pembelaan.
Tapi di sini sebuah paradoks tak dapat dielakkan. Theodise
pada dasarnya mirip dengan ”teknologi penenteram” manusia
purba: kita membayangkan sesuatu berdasarkan pengalaman
diri sendiri. Maka Tuhan dalam pengertian Leibniz adalah Tu-
han yang seperti makhluknya. Ketika ia mendasarkan theodise
nya dengan sebuah aksioma yang disebutnya ”Asas tentang Alas
an yang Cukup”, ia membuat Tuhan sebagai sebuah kekuatan
yang tunduk kepada raison (kata ini bisa berarti ”alasan” dan juga
”nalar” atau ”akal”). Tapi bagi saya tak jelas, kenapa Tuhan harus
juga tunduk seperti itu? Kita tahu bahwa nalar adalah makhluk
tapi kita tak tahu kenapa Tuhan harus terikat oleh makhluk-Nya
ini.
Persoalannya, tanpa Tuhan yang berdasarkan raison, manusia
http://facebook.com/indonesiapustaka
akan hidup tanpa perasaan tenang. Jika Tuhan tak adil, kita tak
akan terhibur dari dunia yang tak adil ini. Kita harus selalu mene
mukan kotak hitam itu, penjelasan kenapa manusia harus men
derita sampai Kiamat, saat keadilan sejati dimaklumkan.
Tapi bagaimana kalau kotak hitam itu tak pernah ditemukan?
I
NDONESIA tak akan pernah lahir baru dalam satu kuar-
tal. Jika Bung berpikir bahwa sebuah perubahan yang besar
akan terjadi dalam waktu 100 hari, inilah yang harus saya
bisikkan kepada Bung: angka ”100” di sini mirip dengan ”1001
malam” atau ”langit ketujuh”: bilangan yang lebih bersifat retoris
ketimbang matematis. Kita tak dapat menggunakannya sebagai
mistar pengukur. Kita hanya dapat memperlakukannya sebagai
pembangkit imajinasi.
Tapi Bung jangan menganggap bahwa sesuatu yang retoris
adalah sesuatu yang tak bersungguh-sungguh. Imajinasi bukan-
lah bagian dari khayal kecil. Maka ketika pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (”SBY”) berkata akan menunjukkan
sebuah prestasi dalam waktu ”100 hari”, Bung dan saya tak perlu
berpikir tentang sesuatu yang akan tiba cepat, tapi kita siap untuk
menyaksikan sesuatu yang berarti.
Sesuatu yang berarti itu adalah harapan. ”Harapan” di Indo
nesia dewasa ini artinya bersahaja tapi tak dapat didefinisikan.
Ia hanya dapat dimaknai sebagai lawan kata dari sinisme. Mem-
punyai harapan adalah tidak bersikap serta-merta mencemooh
dan berburuk sangka kepada apa saja dalam kehidupan bersama.
”Harapan” juga lawan kata dari apati, sikap yang tak peduli lagi
terhadap apa pun yang dilakukan bagi kepentingan publik.
Pemerintahan ini sebenarnya lahir dari harapan sebagai lawan
http://facebook.com/indonesiapustaka
kata sinisme dan apati. Bung tahu, kan, Presiden yang sekarang
duduk di Istana karena ia dipilih dengan puluhan juta suara yang
bersemangat. Harus saya katakan bahwa optimisme rakyatber
adadalam dosis yang tak berlebihan tapi memadai: mereka me-
milih ”SBY” karena percaya bahwa perubahan—bukan mukjizat,
Bung—akan terjadi.
***
Tapi Bung menangkis: pemerintahan ini juga lahir dalam ke
adaan genting. Harapan yang kini terbentuk di Indonesia ber
gerak bagaikan sebuah sekoci di tengah lautan gelap ketidakper
cayaan dengan ombak yang gusar. Bila pemerintah gawalsedikit
saja, harapan itu akan hilang, dan Indonesia akan selama-lama
nyamencemooh dirinya sendiri.
Dari mana sinisme dan apati itu berasal? Bung tunjukkan:
dari beribu-ribu arus kekecewaan langsung atau tak langsung
yang mengalir dari sumber-sumber yang luas dan menyebar.
Sumber itu punya satu nama: korupsi.
Korupsi, kata Bung, akhirnya memang bukan sekadar keja
hatan mencuri milik Republik. Korupsi di Indonesia membunuh
Republik itu sendiri.
Ingat, kata Bung pula, sebuah kehidupan bersama memben
tuk sebuah negeri oleh jalinan sosial dan politik yang spontan,
efektif, dan lumintu. Jalinan itu sendiri tersusun dari yang sering
disebut sebagai ”modal sosial”, meskipun saya lebih suka mema
kai istilah ”buhul sosial”. Dengan kata lain: sesuatu yang mem-
perkuat tali-temali antar-warga masyarakat, karena saling mem-
percayai.
Korupsi di Indonesia telah merusak buhul sosial itu sampai ke
sudut yang paling kecil.
Bung tunjukkan kenyataan ini: begitu orang keluar dari ru
mah, ia langsung punya alasan untuk bersangka-buruk. Misalnya
suatu hari dalam kehidupan Susilo Bambang Gentolet, (”SBG”),
http://facebook.com/indonesiapustaka
***
Lalu apa yang akan terjadi? Bung memang pantas mencemo
oh, tapi mana mungkin Indonesia jadi baru dalam 100 hari? Ke-
tika pemerintah SBY menyatakan akan memerangi korupsi,ia se-
benarnya ingin mengawetkan harapan—sebab harapan itulah
yang justru rusak berat oleh ambruknya buhul sosial.
Peluang itu bukan omong kosong. Bung jangan mencibir.Ko-
rupsi di Indonesia tak datang bersama nenek moyang. Seorang
peneliti pernah mengatakan, korupsi di Mahkamah Agung baru
terjadi pada tahun 1980-an, dan sebelum masa itu, para hakim
adalah manusia-manusia yang bersih.
Sementara itu, korupsi yang meluas dan besar-besaran baru
mulai setelah Presiden Sukarno memperkenalkan konsep”Eko-
nomi Terpimpin”. Ketika itu perusahaan-perusahaan swasta
asingdiambil alih oleh Negara, dan pejabat-pejabat sipil dan mi-
liter pun duduk mengurus perkebunan, pertambangan, perda
gangan, bahkan usaha penerbitan buku bacaan.
Ketika ”Ekonomi Terpimpin” bertaut dengan ”Demokrasi
Terpimpin”, kekuasaan yang begitu besar di kalangan birokrasi
(yang oleh PKI kemudian disebut ”kapitalis birokrat”) akhirnya
tak terkendali. Itu sebabnya dalam soal korupsi, Indonesia paling
mencolok di Asia Tenggara. Thailand, Malaysia, Singapura, dan
Filipina relatif bebas dari kejahatan itu. Mereka tak pernah meng
ambil alih secara besar-besaran perusahaan swasta asing, tak per-
nah tergoda oleh sosialisme yang menjanjikan pemerataan, tapi
akhirnya hanya pandai memproduksi 1.000 pengendalian. Itu
lah sebabnya, kini korupsi yang buruk terjadi di Vietnam dan
http://facebook.com/indonesiapustaka
28 Januari 2005
348
Catatan Pinggir 7
GEMPA
5
00 guncangan gempa masih menyusul selama delapan bu-
lan setelah tsunami melabrak kota dan membunuh ham-
pir 25 persen penduduk Lisbon. Tapi bila bencana di awal
November 1755 itu jadi sesuatu yang bersejarah, itu bukan hanya
karena ia mengerikan. Kejadian itu juga menandai satu babak
baru dalam pandangan hidup Eropa di abad ke-18—sebab se-
jak saat itu yang sekuler semakin mendesakkan posisinya, peran
Gerejaguyah, dan orang kian ragu sejauh mana sebenarnya Tu-
han punya peran dalam gerak alam dan hidup manusia.
Di hari-hari itu para padri mengatakan: ”Berdoalah.” Dalam
trauma dan berkabung orang pun berlutut. Sudah sampai sekitar
50 ribu mayat bergelimpangan, dan kota yang anggun itu seperti
reruntukan—hanya 20 persen bangunan yang masih dapat di-
tempati—sementara lima hari lamanya kebakaran mengamuk.
Orang berlutut, berdoa, tapi gempa terus mengguncang sejak
November 1755 sampai dengan Agustus 1756.
Maka apakah arti doa sebenarnya: sebuah pertautan dengan
Tuhan untuk membuat sesuatu terjadi atau tak terjadi, atau seka-
dar ikhtiar untuk menghibur gundah? Apakah agama sebenar
nya: sebuah iman untuk penyelamatan di dunia dan akhirat,
atau, seperti kemudian dikatakan Marx, ”desah keluh makhluk
yang tertindas, hati di dunia yang tak punya hati, semangat dari
keadaan yang tanpa semangat?”
Apa pun artinya, pada akhirnya orang Lisbon percaya bahwa
http://facebook.com/indonesiapustaka
buat Maladriga dihukum oleh Inkuisisi: sang padri yang alim itu
dibakar hidup-hidup di depan umum. Dan kaum Jesuit diusir.
Tak berarti di Portugal berlangsung sekularisasi yang dengan
radikal bergerak setelah revolusi Prancis. Tapi sejarawan mencatat
bahwa tsunami di Lisbon di abad ke-18 itu adalah sebuah ”gem-
L
AKI-laki itu tampak kurang saleh. Ia tak rajin ke gereja.
Ia alpa pula mengingat lengkap 10 perintah Tuhan. Ca-
cat ini akhirnya memudahkannya masuk ke dalam daf-
tar orang yang dituduh bekerja dengan Setan dalam sihir hitam.
Hakim memutuskan: ia harus digantung.
Tapi kita tahu ia tak berdosa. Tuduhan beguganjang yang ber
kecamuk di desa itu telah membunuhnya. Seorang bocah sakit
dan sejumlah gadis berkelakuan ganjil, dan penduduk dicekam
ketakutan diserang santet. Ketegangan menyembul di sela-sela
konflik kepentingan yang dicoba sembunyikan di tempat terpen-
cil itu. Tuduh-menuduh menyebar.
Suasana itu—gabungan yang seram antara paranoia, keya
kinan agama, dan kekuasaan—adalah yang diabadikan Arthur
Miller dalam The Crucible, sebuah karya yang akan tetap dike-
nang dunia ketika penulisnya meninggal dalam umur 89 di
rumahnya di Connecticut akhir pekan lalu, 11 Februari 2005.
Tentu, Miller menghasilkan karya yang lebih menyentuh, The
Death of Salesman, atau lebih tangkas, All My Sons. Tapi The Cru
cible akan ditengok lebih sering hari ini.
Inilah masa ketika dengan iman orang membinasakan orang
lain dan berkata, ”Siapa yang tidak bersama kami adalah musuh
kami.” Presiden Bush pernah mengucapkan kata-kata itu, sebuah
sikap yang didukung orang-orang Kristen Kanan di negerinya.
Kita tahu kaum fundamentalis Amerika itu tak sendirian: yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
Islam, yang Yahudi, dan yang Hindu, dengan alasan politik dan
theologi yang berbeda dan dengan kalimat yang berbeda pula,
beramai-ramai bersuara garang dan muram.
Miller sendiri cemas. Di tengah suasana ”perang antiteror-
isme” Bush, setahun yang lalu ia menulis sebuah esai pendek, dan
B
ENARKAH kita tahu, atau benarkah kita tak tahu?
Pertanyaan ini mengusik peradaban berpuluh-puluh
abad—dan saya teringat Al-Ghazali.
Ia adalah tauladan besar dalam sejarah pemikiran: seorang
yang terusik, seorang yang bergulat sampai dasar dengan soal
”tahu” dan ”tak tahu”—dan dengan riwayat yang mengagumkan,
meskipun kita belum tentu sepaham dengan kesimpulannya.
Orang alim ini lahir di Tus, Iran, pada tahun 1058, anak se
orang pemintal wol (ghazzal—dari mana nama ”ghazali” ber
asal)yang ingin agar keturunannya jadi orang yang berilmu.Se-
belum orang tua itu meninggal, si Muhammad dan adiknya dise
rahkannya kepada seorang sufi agar belajar membaca dan menu-
lis. Ketika uang keluarga itu habis, Al-Ghazali masuk ke sekolah
yang menyediakan kamar dan memberikan sedikit uang saku.
Dari sinilah gairahnya untuk belajar beroleh peluang: ia berang-
kat dari tempat ke tempat, menimba ilmu seraya menulis buku.
Pada akhir tahun 1080-an, ia datang ke tempat Nizam al-
Mulk, seorang wazir yang amat terpelajar di Kota Bagdad. Di Al-
Mu’askar (”Kamp”) itu para ulama piawai berdebat tentang pe
ngetahuan agama, dan di sana Al-Ghazali menonjol. Pada umur
34, ia pun diangkat jadi Rektor Madrasah Nizamiyyah di ibu
kota itu.
Selama empat tahun, sejak 1091, ia memimpin. Posisinya be-
gitu luhur hingga seorang penulis biografinya menggambarkan-
http://facebook.com/indonesiapustaka
ajaran agama akan jadi jawab segalanya. Tak ada pintu terakhir
bagi ”pertanyaan yang gulita”.
Tapi apa mau dikata: Al-Ghazali hidup pada abad ke-11. Ia
tak tahu bahwa pada abad ke-21 perenungan tak kunjung berhen-
ti dan filsafat masih bersipongang justru dengan kritik kepada
B
EGITU banyak kematian, tapi pada kematian seseorang
yang berarti, ada sesuatu yang lain dalam kehilangan itu:
sebuah penemuan kembali.
Novelis Kuntowijoyo dan pelukis Semsar Siahaan meninggal
pekan lalu, dengan sebab yang berbeda, di tempat yang berbe-
da. Populasi dunia kesenian Indonesia yang langka penghuniini
berkurang dengan tiba-tiba. Tapi kemudian kita tahu, kita ingat:
mereka berkarya, dan tiap karya kreatif menolak ikut perten
tangan hidup dengan mati.
Kedua almarhum itu, sang novelis berusia 61 tahun dan sang
perupa 53, setahu saya tak saling mengenal. Pandangan mereka
mungkin tak sama. Pikiran Kuntowijoyo menunjukkan sikap
seorang muslim yang tak jauh dari iman tapi dekat dengan ke-
bebasan berpikir. Dari karya-karyanya dapat dirasakan Semsar
seorang yang melihat ketidakadilan sosial sebagai sesuatu yang
tak diakui oleh kekuasaan, dan sebab itu harus diutarakan.
Temperamen dalam ekspresi mereka juga sangat berbeda.
Prosa Kuntowijoyo: lirih dan sabar hampir seperti bedaya keta
wang, dan dalam tempo yang seperti itu merangkum ide yang
serius. Khotbah di Atas Bukit dramatik dalam imajinasi, tapi tak
berteriak-teriak, Pasar memikat kita dalam deskripsi latar sosial,
tapi dengan telaten. Gambar Semsar: garis-garisnya keras, meng-
gelegak, menyusun sebuah drama yang tajam tapi kaku, meng-
utarakan sesuatu yang gawat tapi merangsang. Tak ada yang lem-
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang tak terduga di luar tata makna. Bagi Kuntowijoyo, ”isi” atau
”makna” adalah sebuah kehadiran yang dihormati. Bagi Semsar,
garis dan warna adalah penanda dari sesuatu, artinya sebuah ti
nanda (signified), dan ia percaya bahwa tinanda itu, sebagai ”isi”,
adalah yang jadi poros sebuah karya seni, sementara ”bentuk”
bergerak di sekitarnya.
Keduanya kini tak ada di antara kita lagi. Saya tak sempat per
gi ke pemakaman Kuntowijoyo di Yogya, tapi saya sempat me
nengok jenazah Semsar yang disemayamkan di salah satu ruang
pameran Taman Ismail Marzuki, Jakarta: ia terbaring dalam peti
mati, berpakaian upacara lengkap Bali, gagah tapi diam.
Esoknya saya merasa, bahwa seperti yang telah mendahului
mereka—Asrul Sani, Umar Kayam, S. Prinka, dan yang lain-
lain—Kuntowijoyo dan Semsar seakan-akan hanya sedangpergi
ke suatu tempat yang jauh. Kita akan lama tak berjumpa—sesu
atu yang semakin galib di dunia yang kian sibuk dan kian luas
sekarang.... Dalam perpisahan ini, mereka tetap saja bagian dari
pergaulan. Di rak di sudut sana ada sebuah novel Kuntowijoyo, di
antara almari tua itu ada sebuah pigura karya Semsar.
Dan kita akan merasa bahwa sebuah novel yang cemerlang
atau sebuah gambar yang menggugah adalah sebuah bendayang
aneh: ia menjadi cemerlang atau menggugah karena terkait oleh
masa ketika kita menikmatinya, tapi ia akan terus memasuki
masa lain ketika banyak hal berubah di sekitarnya. Saya tak akan
menyebut hal ini ”abadi”, sebab sebuah karya tak pernah berada
di luar waktu. Dalam sebuah esai perihal penerjemahan, Walter
Benjamin memakai pengertian yang mungkin bisa kita pinjam.
http://facebook.com/indonesiapustaka
gal.
Dan ia pun meninggal—selalu begitu banyak kematian. Kali
ini Kuntowijoyo dan Semsar. Tapi kita tahu, kita ingat: mereka
berkarya, dan tiap karya mengingatkan kita akan la survie, dan
sebab itulah yang ditinggalkan kedua seniman Indonesia itu
amat berharga.
M
INYAK adalah ketakjuban. Ia berkah, ia juga ancam
an. Tentang yang pertama kita bisa bicara panjang:
kendaraan bermotor yang mudah, pesawat terbang
yang cepat, listrik di rumah dan gedung yang terang, dan segala
yang membuat hampir tiap babak hidup manusia pada zaman
ini—lahir, belajar, kerja, sakit, dan mati— ditopang oleh energi
minyak bumi. Berkah minyak bisa pula mencong: ia membuat se-
jumlah orang mendadak kaya gila-gilaan.
Minyak juga mengutuk. Daftar kutukannya tak panjang, ta
pi makin mendesak. Kini kita mengerti, misalnya, kenapapada
akhir 1990-an orang-orang U’wa sakit hati. Ketika perusahaan
Amerika Occidental Petroleum datang mencari minyakdi tebing
Amazon di wilayah Kolombia itu—agar bisa dijual ke penghuni
kota-kota dunia yang ingin berkendaraan nyaman—orang-
orang U’wa yang miskin menyaksikan bumi mereka diobrak-
abrik. Kita dengar jerit yang sama dari orang Venezuela di Delta
Orinoco dan dari rakyat Nigeria di Delta Niger: semuanya jerit si
melarat yang menghadapi gergasi.
Tapi berangsur-angsur, yang semula hanya bertolak dari alas
an ”primordial” akhirnya didukung secara universal: mengebor
tanah di tanah perawan akan merusak alam sekitar sampai tak
mungkin pulih; modal besar yang menyogok sampai ke pedalam
an akan melemparkan penduduk ke segala arah; komunitas akan
hancur.
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
AHUKAH Anda apa itu keadilan?” tanya Ayatullah
Khomeini. Dan pemimpin revolusi Iran itu menerus-
kan, dengan jawaban yang hanya separuh jawaban: ”Jika
Anda tak tahu, tanyakanlah ke nalar Anda, sebab nalar bertindak
bagaikan mata bagi manusia.”
Kali ini, dengan separuh jawaban itu, Khomeini keliru. De-
ngan gampang orang bisa menunjukkan bahwa keadilan tak per-
nah bisa diterangkan oleh nalar, dan bahwa nalar tak selamanya
bertindak bagaikan ”mata”, dan bahwa perumpamaan itu me
leset.
Saya punya sebuah pengalaman tentang itu. Saya pernah me
mimpin sebuah tim. Pada suatu waktu, kepada tiap anggotatim
disediakan fasilitas dan penghargaan, berupa sebuah mobil. Un-
tuk keadilan, sebuah jip dengan ukuran yang sama dan merek
yang sama diberikan kepada setiap orang, dari ketuatim sampai
anggota di bawahnya yang berbeda-beda.Bagi saya, setelah ada
perbedaan gaji, tak perlu ada tambahan perbedaan fasilitas, yang
akhirnya lebih bersifat simbolis ketimbang fungsional. Bagi saya
tak adil bila yang di atas kian banyak mendapat, yang di bawah
tidak.
Sekitar setahun sistem ini berjalan. Kemudian beberapa ang-
gota tim yang merasa punya beban kerja yang lebih besar mulai
berpikir. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa tak adil menu-
tup kemungkinan bagi yang punya beban kerja lebih besar buat
http://facebook.com/indonesiapustaka
Argumen ini menang. Sejak itu ada beberapa jenis dan merek
mobil dalam tim kami, karena yang bekerja lebih keras dan le
bihmampu dapat mobil yang tak hanya sebuah jip. Keadaan ini
diterima oleh kebanyakan anggota tim—meskipun bagi saya
ganjil.
Sejak itu jika saya ditanya, ”Tahukah Anda apa itu keadil
an?” saya akan angkat bahu. Adakah keadilan, jika subsidi BBM
dicabut, dan beban orang yang lebih miskin akan memberat—
karena menambah belanja Rp 500 baginya akan terasa lebih
menguras kantong ketimbang bagi si kaya?
Kita akan menjawab: tidak, Bung! Tapi sebuah pertanyaan
lain juga dapat diajukan: adilkah jika sedikit sekali uang negara
yang bisa dipakai buat pendidikan dan kesehatan, dibanding de-
ngan begitu besar dana yang dikeluarkan untuk menombok ong-
kos bahan bakar—di antaranya bensin bagi para pemilik Jaguar,
Audi, BMW, Mercedes-Benz?
Akan makin adilkah jika nanti, dua tahun lagi, subsidi di-
cabut? Jika harga minyak di dunia mencapai US$ 80 per barel,
sementara impor minyak bumi akan bertambah, dan Indonesia
kian bergantung pada energi dari luar, bersama dengan kian me
nurunnya produksi dalam negeri—adilkah bila sebagian besar
dana habis di sini?
Maaf, saya angkat bahu: tak ada yang bisa ditentukan secara
a priori. Tentang keadilan, saya tak akan mengutip Khomeini.
Ia begitu percaya kepada nalar sebagai pemberi jawab. Saya lebih
percaya nalar sebagai pemberi pertanyaan. Tiap kali saya meman-
dang lambang keadilan—dewi yang memegang dacin dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I bandara Meulaboh yang sepi dan tak punya apa-apa
lagi, kami menunggu sebuah pesawat datang di sebuah
kedai agak di depan landasan. Gubuk itu setengah
berdindingdengan kayu yang lusuh. Besarnya hanya 3 x 4 meter
persegi.Saya dan Sandra, dua orang dari Jakarta, duduk di bang-
ku di luarnya, di bawah pohon, memesan kopi dan nasi bung-
kus. Pada pagi yang lambat itu, hanya ada empat orang pembeli
datang silih berganti.
Tujuh meter dari sana, sebuah pos militer yang belum lama di
dirikan tampak habis bangun tidur: beberapa prajurit baru saja
mandi, seorang tentara muda memberi makan dan mengajak
omong burung, hanya beberapa orang yang sudah siap bersera-
gam. Mereka empat peleton pasukan khusus Angkatan Udara
yang dipasang untuk menjaga bandara kecil itu, yang sejak tsuna-
mi menghantam Meulaboh jadi ramai kapal terbang, membawa
pelbagai macam bantuan, pelbagai macam orang.
Dua helikopter PBB tampak diparkir di landasan. Di sekitar
itu, ribuan pohon nyiur, damar, dan angsana mengepung, sebagi
an masih tampak hitam seakan-akan hangus, bekas air laut yang
naik pada akhir Desember 2004 itu—setelah gempadan ombak
gergasi yang membuat sebagian kota pesisir itu luluh-lantak, pu-
luhan ribu orang tewas, hilang, atau hidup tak bertempat tinggal.
”Kami tinggal di kemah,” perempuan muda pemilikwarung
itu bercerita. Rumahnya lenyap, tapi tak ada keluarganya yang te
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
EBUAH persoalan yang pelik: bagaimana seorang mus-
limat akan bersikap terhadap ayat Quran yang mengizin
kansuami memukul istrinya?
Tanggal 18 Februari 2005, di Noor Cultural Centre di To-
ronto, Kanada, Amina Wadud berbicara tentang ”Qur’an, Perem-
puan, dan Kemungkinan-kemungkinan Tafsir”. Dan guru besar
studi Islam di Virginia Commonwealth University itu menjawab:
ada empat sikap yang bisa diambil.
Pertama: menafsirkannya secara harfiah. Kedua: membacanya
dengan disertai pedoman legalistis yang membatasi cara ayat itu
ditafsirkan. Ketiga: menafsir kembali berdasarkan pandangan al-
ternatif. Dan keempat: berkata ”tidak” kepada ayat Quran itu.
Amina tak menafikan kemungkinan seorang yang beriman
akan berkata ”tidak” kepada ayat itu. Jika ia jujur, ia sendiri akan
menolak untuk rela bila seorang suami diberi hak untuk memu-
kul istrinya. Katakanlah sang suami memukul karena si istri ber-
salah. Tapi bagaimana menentukan ”bersalah”? Jika posisi laki-
laki begitu tinggi, maka sang suamilah yang berhak jadi jaksa,
hakim, dan sekaligus pelaksana hukuman. Dan si istri berdiri
tanpa pembela, tanpa hak naik banding.
Amina merasa itu tak adil.
Tapi jika ia mengatakan ”tidak” kepada ayat itu, begitulah ia
berkata, tak berarti ia menampik Tuhan dan wahyu-Nya. ”Justru
Quran-lah,” kata Amina Wadud, ”yang memberi saya jalan un-
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I bawah celah di antara rimbun pohon-pohon hutan di
Ohio, wanita tua itu memimpin pertemuan para bekas
budak. Ia namai pertemuan itu ”Call”. Ia tak berkhot-
bah. Baby Suggs hanya berkata, ”Di tempat ini, di sini, kita da
ging, daging yang nangis, ketawa; daging yang menari dengan
kaki telanjang pada rumput.”
Jika ada yang magis dalam novel Toni Morrison, Beloved, ialah
karena ia mengingatkan kita akan arti ”daging”—daging yang
pernah dirantai perbudakan, dicap seperti ternak, dan dihina
dalam apartheid. Daging ”negro”.
”Jadi seorang negro di Amerika berarti mencoba senyum ke-
tika kita ingin menangis. Berarti mencoba pegangi hidup jasmani
di tengah jiwa yang mati. Berarti menyaksikan anak kita tumbuh
dengan mendung rasa rendah diri meliputi langit mental mereka.
Berarti melihat kaki kita dipotong dan kita dihukum karena tak
bisa jalan.”
Kalimat Martin Luther King Jr. pada tahun 1960-an itu
mungkin bergema ketika Morrison menulis novelnya yang terbit
pada 1987 itu: kisah tentang sebuah rumah yang disebut hanya
dari nomornya, ”124”, tentang Beloved, si hantu dari masa silam,
tentang Sethe yang membunuh anak sendiri, dan tentang Baby
Suggs yang berharap.
Di ”Call” di hutan itu, Baby Suggs seakan-akan ingin memu
lihkan kaki negro yang telah ”dipotong”, kaki yang tak bisa lagi
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA suatu hari, kata orang, Stalin bertanya: ”Berapa ba
talion, sih, Vatikan punya?” Di negeri itu, kita tahu, ha
nyaada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera
yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare,
lebih sempit dibanding The Mall di Washington DC; anggar
antahunannya sekitar 500 juta dolar, hanya 25 persen dari bujet
Universitas Harvard.
Tapi di sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat
dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang un-
tuk berkabung dan memberi hormat.
Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks—dan
agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan
gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri denganpa-
sukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeriyang be-
sar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ring-
kih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kem-
bali asas Hobbesian—bahwa ”tiap orang diharapkan berjanji
patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau
menghancurkan”—Gedung Putihmasih merasa perlu menyapa
Paus yang tak akan bisa meruntuhkan siapa pun.
Vatikan adalah sebuah interupsi. Berabad-abad sejarah diba
ngun oleh konflik, dan sebagaimana perang saudara Inggris di
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
ENGAN tenang, dengan hati tetap, Magda Goebbels
memasukkan kapsul racun ke mulut keenam anaknya,
satu demi satu. Jika perasaannya terguncang, itu tak
tampak di wajahnya yang cantik dan keras. Begitu anak-anak
itu melepaskan nyawa, ibu itu mencium pipi mereka, mematikan
lampu kamar, dan menutup pintu, melangkah ke luar. Sejenakia
terenyak jongkok. Hanya sejenak. Segera ia kembali ke kamar
nya, duduk bermain soliter dengan kartu, serayamenunggusua-
minya bersiap mengenakan pakaian seragam petinggi PartaiNa
zi. Lalu mereka berdua keluar dari bungker persembunyian. Di
halaman yang suram oleh akhir musim dingin dan perang yang
kalah, Josef Goebbels mencabut pistoldari holster di pinggang-
nya. Ditembaknya Magda. Perempuan itu roboh. Lalu sang sua-
mi meledakkan peluru ke pelipisnya sendiri.
Der Untergang karya Oliver Hirshbiegel mungkin akan dike-
nang sebagai sebuah film sejarah yang impresif (meskipun se-
cara sinematik tak istimewa) dari seorang sutradara Jerman ten-
tang hari-hari terakhir Hitler yang terpojok menjelang Mei 1945.
Tapi, bagi saya, yang akan lama terkenang adalah yang dilaku-
kan Magda dalam adegan di atas: sebuah kebrutalan dengan ga
ya yang anggun, sebuah keyakinan yang berapi-api yang justru
membekukan hati, sebuah penampilan harga diri yang menakut-
kan....
Apa sebenarnya yang terjadi? Sejarah memang mencatat, Hit-
http://facebook.com/indonesiapustaka
cana, harapan dan fantasi patah. Tapi Hitler menolak untuk me-
ninggalkan ibu kotanya. Bersama Eva Braun, kekasih yang baru
dinikahinya di hari-hari akhir dalam bungker itu, ia membunuh
dirinya dengan racun dan sebutir peluru. Josef dan Magda Goe
bbelsmengikutitauladan itu.
Kita tak akan pernah tahu persis apa yang mendorong orang-
orang ini berbuat demikian. Film Der Untergang tak mencoba
menyimpulkan. Mungkin Hitler, yang naik ke pentas sejarah de-
ngan bayangan keagungan, ingin eksit dengan bayangan yang
sama. Bukankah ia telah mendirikan Reich Ketiga seraya menak-
lukkan hampir seluruh Eropa, seperti Iskandar Yang Agung dan
Napoleon menaklukkan bentangan bumi yang luas? Haruskah
ia lari terbirit-birit meninggalkan Berlin? Suatu saat Albert Speer,
arsitek kepercayaannya, berkata kepadanya, ”Jika layar turun,
Tuan harus hadir di tempat, bukan?”
Layar memang segera turun, tapi lakon belum selesai. Di tiap
akhir pementasan, ada babak yang menentukan yang tak dapat
dirancang: tepuk tangan kagum atau teriakan cemooh para pe-
nonton. Tentu saja, sang Führer ingin memilih yang pertama.
Mungkin demikian pula semua mereka yang berada di bungker
dan pada hari terakhir Reich Ketiga itu, juga Magda dan Josef
Goebbels. Mereka mungkin ingin sebuah adegan final yang akan
mendapatkan aplaus, ingin memberikan kesan terakhir yang tak
hina, dengan kebanggaan diri tertentu.
Bila benar demikian, apa yang dilakukan Magda adalah mo
delsebuah narsisisme, tapi narsisisme dalam destruksi dan kema-
tian, sebuah ambisi estetis dalam heroisme yang gelap: Eva Braun
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
UNIA bertambah ketakutan: dunia bertambah konser-
vatif. Di Roma, dinding-dinding masih menampakkan
sisa-sisa poster Paus Yohanes Paulus II yang baru mang-
kat, yang membawakan kata-katanya yang terkenal, ”Janganta-
kut.” Tapi kalimat itu akan segera tenggelam, mungkin terhapus.
Kini, di atas takhta yang mewakili posisi yang 2.000 tahun lebih
umurnya itu, penggantinya, Benediktus XVI, paus yang ke-265,
adalah seorang pembesar agama yang memperingatkan: ”Kita
bergerak ke arah kediktatoran relativisme.”
Ia cemas. Ia khawatir bila kini manusia ”tak mengenal apa
yang pasti dan hanya membiarkan ego serta hasrat sendiri sebagai
ukuran terakhir”.
Harus saya tambahkan di sini: suaranya bukan satu-satunya
yang menyatakan rasa waswas. Para pemimpin agama, yang se-
lalu punya kecenderungan untuk jadi penyusun rasa takut, kini
memang risau menyaksikan perubahan yang semakin lama se-
makin cepat dan semakin beraneka ragam. Tak adakah gerangan
yang akan bertahan tinggal, yang layak dirawat dan dibiarkan
lestari? Adakah kini dan nanti ukuran yang mantap untuk kehi
dupan bersama? Tak ada lagikah yang tak lekang oleh panas, tak
lapuk oleh hujan?
Pertanyaan itu mencerminkan sebuah frustrasi, tapi sebenar
nya menunjukkan bahwa ternyata ada yang tak lekang dan tak
lapuk, yang bertahan dalam riwayat manusia—dan itu adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka
rasa takut akan nihilisme. Ia tak hanya muncul pada awal abad
ke-21. Ia tak hanya datang dari Benediktus XVI.
Syahdan, pada suatu pagi, seorang datang ke sebuah tempat
orang ramai bertemu. Ia mengumumkan: ”Tuhan telah mati.
Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.” Si pembawa
M
ULYANA atau bukan Mulyana, tiap orang punya
detik-detik yang genting, ketika harus menentukan
untukcurang atau tak curang, mencuri atau tak men-
curi. Detik-detikitu mungkin singkat, tapi itulah saat kebebasan
yang menakjubkan.
Menakjubkan dan sekaligus membuat gentar: kebebasan itu
sunyi dan penuh risiko. Tapi bagaimanapun ia menandai sebuah
otonomi, mengisyaratkan sebuah posisi: manusia bukanlah se-
buah kapal keruk. Sebuah kapal keruk, yang digerakkan se
penuhnya oleh pelaku di luar dirinya, tak akan bisa dituntutper-
tanggungjawaban, tak dapat pula diberi penghormatan. Tak ada
mesin yang patut dibui dan layak diberi medali.
Memang bisa dikatakan, keputusan seseorang, Mulyana atau
bukan Mulyana, disebabkan oleh wataknya, dan watak adalah
akibat warisan genetik orang tua serta pengaruh sekitar yang
membekas.
Namun dapatkah semua hal diterangkan dengan garis lurus
sebab-dan-akibat itu? Ketika saya memutuskan bertindak A, dan
bukan B, saya sebenarnya tak tahu persis adakah hal itu karena
nenek moyang saya Ken Arok, atau karena tubuh saya gemuk,
atau karena saya berbakat main akordeon dan dibesarkan di
Cepu. Siapa yang dapat memastikan bahwa sebab X, Y, Z akan
berakibat pada laku A dan bukan B?
Pada akhirnya, inilah yang saya tahu: saya adalah pelaku.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Mulyana atau bukan, pada saat-saat saya harus memilih apa yang
”baik” dan ”buruk”, saya bukanlah sebuah akibat. Ada dalam hi
dup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun
ada yang tidak. Tak seluruh diri saya digerakkan oleh keniscaya
an. Kita sehari-hari menempuh hidup dengan Das Sein, meng
bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam diri manusia”.
Dua hal—dan di situ tampak keterbatasan manusia tapi juga
kelebihannya. Di tengah alam semesta, ia hanya satu di antara
bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas, begitu tak mampu
untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat,
bila ia mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya.
Maka alangkah nistanya, jika Mulyana atau bukan Mulyana
ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal
yang menakjubkan itu.
D
ALAM hidup, juga dalam mati, Munir berjasa besar: ia
menunjukkan bahwa ada mala di antara kita. ”Mala”
(dari mana kata seperti ”malapetaka” berasal) punya
akar dalam bahasa Sanskerta. Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Balai Pustaka, 1976) menyebut akar itu: mala berarti ”kotor; ce-
mar; noda; penyakit”. Kata itu mencakup apa yang menyengsara-
kan, jahat, durjana, atau busuk. Yang terakhir ini membuat kata
mala juga sama dengan ”danur”, air bangkai yang telah berbau
menjijikkan.
Bahasa Inggris punya kata yang agak sepadan: evil. Berasaldari
bahasa Inggris kuno, yfel, ia berarti ”berdosa”, ”keji”, ”menim
bulkan rasa tak enak atau rasa muak”, ”busuk”, ”menimbulkan
celaka”. Sebagai kata benda—yang menurut kamus Merriam-
Webster mulai digunakan sebelum abad ke-12—evil menandai
”penderitaan”, ”kemalangan”, dan ”kejahatan”. Juga sesuatu yang
menimbulkan duka dan kepedihan.
Pernah ada zaman ketika evil adalah sesuatu yang gelap dan
gaib. Susan Neiman, yang menulis Evil in Modern Thought, me
ngemukakan bahwa pada abad ke-18, kata evil mencakup baik
perbuatan kejam manusia maupun kejadian alam yang membuat
orang sengsara. Pada masa itu, tsunami yang nyaris menghabisi
Kota Lisbon pada tahun 1755 dianggap sebagai evil.
Orang memang belum tahu perihal lempeng tektonik dan ke
rak bumi; seismologi baru mencapai telaah itu berpuluh-puluh
http://facebook.com/indonesiapustaka
asasi kepada dunia”, dan itu berarti guncangnya ”dasar yang me-
mungkinkan peradaban”.
Tapi abad ke-20 mengajari kita bahwa ”rasa percaya yang pa
lingasasi kepada dunia” runtuh bukan karena bencana alam. Ada
mala atau evil yang berbeda sama sekali, dan Auschwitz adalah
contohnya. Di kamp konsentrasi yang didirikan Nazi itu, sejum-
lah manusia berhasil membinasakan jutaan orang Yahudi, orang
Tsigana, orang homoseksual, serta para tahanan politik, antara
lain dengan membariskan mereka, seperti ternak yang telanjang,
berjalan rapi ke dalam kamar gas beracun.
Apa yang bisa dijelaskan? Dari Auschwitz tak lahir ilmu pe
ngetahuan seperti seismologi, yang mencerminkan hasrat dan
kapasitas manusia untuk mengerti sebab kesengsaraan yang ter-
jadi. Dari Auschwitz kita seakan-akan kemekmek terus-menerus:
mungkinkah kita menyusun sebuah ”seismologi” kekejaman?
Neiman menjawab, tidak. Tak akan ada ilmu yang akan menjelas-
kan mala yang seperti itu. Bahkan ia juga tak menganggap akan
ada penjelasan metafisik dan theologis yang memadai.
Memang pernah orang menenteramkan diri dengan menga
takan bahwa mala itu desain Tuhan. Dengan kata lain, tiap ke
sengsaraan manusia atau kebusukannya dianggap sebagai bagian
iradah-Nya.
Tapi coba kita ingat orang-orang yang dianiaya di kamar gas
itu, atau kita ingat Munir ketika ia tergeletak kesakitan karena ra-
cun menyerang tubuhnya. Bisakah kita katakan kedurjanaan itu
adalah bagian dari rencana Illahi?
”Tuhan kita terlalu pengasih, terlalu adil, dan terlalu pemurah
http://facebook.com/indonesiapustaka
G
UANTANAMO adalah tempat gelap sejenis nihilisme.
Di koloni hukuman yang dibangun di teluk tenggara
Kuba yang dikuasai Amerika itu, orang disekap. Banyak
di antaranya telah dikucilkan di sana lebih dari tiga tahun, tanpa
dituduh, tanpa dapat bantuan pengacara, tanpa harapan akan be-
bas.
Berapa di antara mereka yang teroris, tak jelas. Atau justru
itulah yang dipersoalkan dunia—yang menyebabkan tahanan
di Guantanamo itu sebuah problem hukum di antara bangsa-
bangsa. Ketakjelasan itu pulalah yang dicoba dipecahkan di sel-
selyang sempit itu—yang menyebabkan AS mengerahkan para
interogatornya dengan tak sabar, hingga mereka pun bekerja de-
ngan segala daya untuk mengorek pengakuan dan informasi,
dengan harapan terorisme abad ke-21 akan dapat dihabisi, dan
orang Amerika akan hidup tenang kembali, bebas, sukses, mak-
mur, meneruskan peradaban....
”Kami bertindak atas dasar apa yang kami kenali sebagai ber-
guna.”
Semboyan ini tak ditulis di tembok Guantanamo. Kalimatitu
diutarakan jauh dari sana, oleh Bazarov, tokoh nihilis dalam no
velTurgenev terkenal, Ayah dan Putra.
Kalimat yang lain adalah, ”Mula-mula, tanahnya harus diber-
sihkan dulu.”
Bazarov memang jauh dari Guantanamo, tapi ucapannya me
http://facebook.com/indonesiapustaka
nandai apa yang terjadi: ketika orang bertindak atas dasar ”guna”,
tahukah ia bahwa ”guna” tak pernah satu dan selesai? Acap kali
”guna” seakan-akan pasti dan jelas, dan ukuran lain pun dihan-
curkan. Di situ kalimat kedua yang destruktif dari sang nihilis
bergema: ”Tanahnya harus dibersihkan dulu.”
nangkan Allah?”
Ketika sang tahanan tampak marah dan mencoba menying
kir, sang petugas perempuan pun mengoleskan ”darah” itu ke
muka laki-laki itu, seraya berkata: ”Ayo, suka apa tidak?”
Akhirnya dibawanya tahanan itu kembali ke sel, dengan pe
san: ”Coba bersembahyang malam ini sementara tak akan ada air
di sel kamu.” Artinya, kata Saar, keran ke dalam sel itu akan di-
matikan, dan dalam dugaan si interogator—yang menduga bah-
wa satu-satunya cara berwudu adalah dengan air—si tahanan tak
akan dapat bersembahyang karena tak bisa membersihkan diri.
Saar menyaksikan semua itu dan menerjemahkan semua kata-
kata itu. Ia tahu bahwa si tahanan adalah seorang yang berbahaya
(”Saya harap ia selamanya disekap,” kata Saar), tapi selama ber
ada di kamar itu ia, meskipun hanya jadi penerjemah, merasa di
ri ”kotor dan menjijikkan”. Ia juga melihat, ”guna” yang diharap-
kan dari interogasi macam itu akhirnya tak tampak: sang tahanan
tetap diam, justru karena ia tak dianggap punya kehormatan.
Maka bukan sesuatu yang mengejutkan, jika—seperti di-
bongkar oleh mingguan Newsweek—dalam suatu interogasi,
si petugas membuang Quran ke dalam lubang kakus. Seluruh
kamp Guantanamo adalah pembuangan harapan ke dalam lu-
bang kakus: harapan bahwa peradaban bisa dibangun bukan
dengan penghancuran apa yang ada sekarang (”tanahnya harus
dibersihkan dulu”), apalagi penghancuran nilai-nilai yang sejauh
ini dianggap adil.
Memang ada yang bilang, kita harus menghancurkan nilai-
nilai itu, bagian dari apa yang ada kini, yang ”is”, agar kita dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka
mencapai apa yang ”ought”. Dengan kata lain, kita harus mem-
bersihkan tanah hari ini untuk mencapai apa-yang-seharusnya
nanti. Tapi itu adalah kepongahan sang nihilis. Sejarah adalah
usaha dari ”is” mencapai ”ought” yang tak pernah berhenti.
Tentu kita bisa katakan, bahwa Konvensi Jenewa yang mem
D
I tengah hutan, dalam perjalanannya berburu, Raja
Dusyanta melihat Sakuntala untuk pertama kalinya.
Gadis dari pertapaan ini begitu mempesonanya hing-
ga—seperti digambarkan dalam lakon Sakuntala karya Kalidasa
pada abad ke-5—baginda pun gagap:
gitu deras hal-hal di luar iman, ide, dan ideologi, yang memben-
tuk hidup.
Contoh dalam sejarah hubungan India dan Cina, sebagai
mana diperlihatkan Amartya Sen, layak diingat. Setelah dibuka
para saudagar, hubungan kedua wilayah itu memang diperkuat
D
I tebing Ciliwung yang busuk dan rusak, terkadang ada
burung, terkadang kupu-kupu. Warna-warna yang tak
diacuhkan.
Inikah sebenarnya yang membuat kita percaya, atau tak per-
caya, bahwa dunia menakutkan & menyedihkan, atau sebaliknya
mempesona & beres, sebab ada desain yang pandai di balik semua
ini?
Ciliwung seperti terkutuk: sampah plastik, sisa busa detergen,
kejorokan manusia, gulma yang menyumbat—tanda ketakpe
dulian atau putus asa, atau simptom pertama sebuah kota yang
tak becus, bukti ketidakmampuan, atau gejala terakhir sebuah
masyarakat yang hanya bisa mencemooh diri sendiri.
Tapi burung itu, rama-rama itu hinggap. Makhluk-makhluk
kecil yang tak dipedulikan lagi tapi sebenarnya menyimpan se
jumlah tanda: lihat, ajaib. Para pengamat burung dan kolektor
kupu-kupu akan dapat menyebutkan, betapa ramai ragam warna
bulu dan corak hiasan sayap hewan-hewan itu, hingga kita acap
kali termenung: apa gerangan daya agung yang mendesain ke-
anekaragaman yang renik dan cantik itu?
Orang-orang alim akan menyebut semua itu tanda kepiawai
anTuhan yang tak tepermanai, dan mengutip Ihya Ulum al-Din
Al-Ghazali: ”... kita tak akan mampu, meskipun kalau kita ingin,
untuk menyebutkan semua keajaiban dalam seekor tungau, se
ekor semut, seekor lebah, atau seekor laba-laba.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
ada, dalam deretan apa yang mungkin, sesuatu yang lebih bagus
dan menakjubkan seperti yang ada ini.”
Tapi di Ciliwung yang busuk, sesuatu mencegat: kita hidup
dengan sesuatu yang jahat. Katakanlah itu korupsi, yang mengge
rogoti kepentingan dan milik publik, hingga sungai, taman, hu-
tan, udara, jalan, sekolah, museum, rumah sakit, dan entah apa
lagi, hancur pelan-pelan. Korupsi adalah durjana, korupsi adalah
mala. Bagaimana mungkin durjana dan mala itu memungkinkan
kita berkata, puji Tuhan? Bagaimana mungkin ada desain yang
pandai di balik dunia yang ”bagus dan menakjubkan” ini?
Tapi hampir tiap zaman ada orang yang berbicara tentang de-
sain itu dan memilih sikap tawakal. Mereka percaya keburukan
punya peran justru untuk menangkal keburukan. Pada tahun
280-206 sebelum Masehi, hidup seorang pemikir Yunani berna-
ma Chrysippus, seorang penganut paham Stoisisme, yang berka-
ta, ”Hewan yang buas ada untuk mengujikekuatan manusia; ta
ringberbisa sang ular ada untuk jadi obat; tikus-tikus mengajari
kita gerak yang trengginas, dan kepindingmembuat kita tak ter-
tidur terlampau lama.”
Pada abad ke-11 di dunia Islam ada Al-Ghazali, dan pada
abad ke-18 di dunia Kristen ada Leibnitz, yang mengabarkan op
timisme: di dunia yang tampak tak sempurna ini tersembunyi
berkah, atau alasan yang cukup kenapa cacat dan mala hadir da
lam hidup kita.
Tentu saja datang para peragu. Pada abad ke-18 Eropa pula,
Voltaire menulis novel Candide untuk habis-habisan mencemooh
optimisme itu, mengolok-olok keyakinan adanya ”alasan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
ini? Sang Optimis menjawab: Ah, bukan! Sifilis itu sesuatu yang
tak dapat dielakkan. Ia dibawa ke Eropa oleh para awak kapal Co-
lumbus dari perlawatannya ke Amerika. Seandainyamereka tak
ke sana dan kembali, Eropa tak akan mengenal rasanya cokelat.
Pangloss dan banyak orang lain dapat menjungkir-balikkan
jalan pikirannya sendiri untuk bisa tetap berpikir positif. Tapi
mungkin juga optimisme sebenarnya datang dari bingung, se-
perti ketika kita melihat Ciliwung dan alam yang hancur oleh
ketamakan manusia. Maka ada kebutuhan untuk secara mental
mengatasi kebingungan melihat mala meruyak dan kerusakan
seakan-akan tak bisa diatasi. Optimisme mungkin hanya cara
untuk menemukan metode di dalam kegilaan yang sedang berke-
camuk. Kita tak hendak ikut gila.
Jika orang bicara tentang ”berkah”, juga di balik Ciliwung
yang hancur, perlukah begitu panjang dan luas penderitaan itu?
Kenapa Tuhan tak menciptakan dunia di mana yang buruk tak
diperlukan sama sekali? Berarti, Tuhan memilih untuk terikat
kepada satu desain, dan bila Al-Ghazali menyebut bahwa musta-
hil ada sesuatu ”yang lebih bagus dan menakjubkan seperti yang
ada ini”, tidakkah itu berarti tak ada kuasa Tuhan mengatasi
yang mustahil?
Bertahun-tahun lamanya pendirian Al-Ghazali ini memang
digugat oleh para ulama, seperti direkam dengan bagus oleh Eric
L. Ormsby dalam Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over
al-Ghazali’s ’Best of All Possible Worlds’. Sebab tak gampang me-
mang menjawab, seraya merenungkan Ciliwung dan burung-bu-
rung, apa sebabnya ada hal-hal yang menyengsarakan di samping
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
ARI menara lonceng setinggi 100 meter di Balai Pasar,
tanda waktu berkeloneng di udara Bruges tiap 30 me-
nit. Dulu, di kota ini tengara jam adalah potongan
melodi Eine kleine Nachtmusik. Kini melodi lain yang terdengar,
bukan Mozart, mungkin bukan dari abad ke-18. Tapi kota yang
dulu tampak kusam sekarang kian seperti museum yang apik—
indikasi bahwa sejarah yang rumit berliku kian ditata dan dirapi-
kan, seperti jalanan batu, kanal, dan jembatan-jembatan itu.
Empat puluh tahun yang lalu saya mengenal ”Eropa” pertama
kalinya di Bruges ini—kota dengan penghuni 100 ribu yang ke-
mudian, pada tahun 2002, dijuluki ”ibu kota budaya” Eropa. Di
Jalan Dyver, di seberang kanal dan deretan rumah tua, ada Col-
lège d’Europe. Di situ para mahasiswa hampir tiap hari mende
ngarkan para guru besar membahas soal-soal di sekitar ”ide Ero-
pa”, sebuah ide yang datang dari sejarah yang rumit berliku, yang
seperti sejarah Bruges, dicoba ditata dan dirapikan.
Salah satu sang penata sejarah adalah rektor pertama seko-
lah tinggi itu, Henri Brugman. Ia bukan hanya seorang akade-
misi yang ulung. Ia juga seorang aktivis yang yakin. ”Eropa” ba
ginya adalah penanda sebuah satuan budaya yang menurut seja
rah mengatasi batas-batas nasional di daratan itu. ”Eropa”, bagi
Brugman, adalah seperti mantra yang membawa harapan perda-
maian. Baginya, ”negara-bangsa”—seperti terbukti dari Perang
Dunia I dan II—adalah kekuatan yang menebarkan perang.
http://facebook.com/indonesiapustaka
damaian dunia].”
Di asrama yang terletak di St. Jakobstraat 41 (kini telah ber
ubah jadi Best Western Premier Hotel Navarra), tempat sang Rek-
tor tinggal bersama para mahasiswa, makan siang tak pernah ko-
song. Brugman akan duduk di sudut. Ia terkadang ditemani satu-
dua tamu dan lebih sering dengan beberapa mahasiswa. Dia akan
berbicara panjang, dalam bahasa Prancis atau Inggris yang tanpa
cacat, menunjukkan pengetahuan dan pengalamannya yang ka
ya terutama tentang masa lampau. Ia memang anak yang setia da
ri sejarah pemikiran Eropa. Ia memulai tradisi Collège itu untuk
membuka tiap tahun ajaran dengan satu kuliah umum tentang
buah pikiran seorang filosof atau seorang negarawan ”Eropa”.
Kuliah umum itu menyusul setelah ia mem-”baptis” tiap generasi
mahasiswa dengan nama tokoh itu.
Pada tahun 1965 itu, saya termasuk dalam angkatan yang
membawa nama ”Thomas More”, penulis Utopia, sebuah kritik
dalam bentuk satire terhadap keadaan Inggris pada abad ke-16
dan juga sebuah kandungan cita-cita.
Adakah Brugman melihat Utopia pada gagasan tentang ”Ero
pa”? Adakah ”Eropa”-nya sebuah kritik? Atau cita-cita yang tak
akan tercapai? Saya tak ingat. Yang saya ingat pada tahun 1965 itu
”Eropa” baru berbentuk ”Pasar Bersama”. Tapi orang tahu bahwa
”pasar” itu awal sebuah desain yang besar. Jean Monnet mem
bangun”Kerja Sama Batu Bara & Baja Eropa” pada awal 1950-an
sebagai kombinasi antara harapan yang muluk dan pragmatisme
yang rendah hati: Jerman dengan Prancis yang bertahun-tahun
lamanya bermusuhan dipertalikan dalam satu usaha ekonomi,
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ETIKA Ka dibunuh di sebuah jalanan Frankfurt, siapa
kahdia sebenarnya? Seorang pengkhianat, atau seorang
yang bersalah hanya karena ia tak jelas, juga bagi dirinya
sendiri?Ataukah seorang korban dari konflik yang melukai Turki
bertahun-tahun—karena kata ”sekuler” dan ”Islam” begitu pa-
nas dan eksplosif dan begitu banyak orang terkoyak?
Tapi baiklah saya perkenalkan dulu siapa Ka. Ia lelaki jang-
kung berumur 42 tahun yang pemalu, belum menikah, dan me
nulis puisi. Nama sebenarnya Kerim Alakusoglu, tapi sejak di
sekolah ia menolak dipanggil demikian. Ia tokoh utama novel
Orhan Pamuk Kar (dalam versi Inggris, Snow), seorang yang,
kata sang empunya cerita, hidup 12 tahun lamanya di Jerman dan
pada suatu hari kembali ke Istanbul ketika ibunya meninggal.
Dari Istanbul, ia memutuskan pergi ke Kars.
Tak jelas betul sebenarnya, juga bagi dirinya sendiri, apa yang
mendorongnya ke kota udik dan melarat di timur laut di perba-
tasan dengan Armenia itu. Ia, yang dibesarkan di Istanbuldi ke-
luarga yang tak kenal kemiskinan, mungkin berniat pergi ”untuk
memberanikan diri memasuki dunia lain nun di sana”.
Atau mungkinkah ia ke Kars untuk menemui kembali Ipek,
teman kuliahnya yang cantik, yang pulang ke kampung halaman,
menikah dan kemudian bercerai dari suaminya? Ia malu meng
akui ini. Ia punya alasan lain yang dikemukakannya ke semua
orang: ia datang untuk menulis tentang sebuah peristiwa ganjil,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi masa lalu itu tak bisa diulangi, betapapun kerasnya niat
mereka yang ingin melikuidasi Turki modern yang dibawa oleh
Kemal Attaturk. Sementara itu masa depan—jika itu berarti
”Eropa”—kian terasa menyakitkan: ia sebuah hasrat yang di Ero
pa sendiri ditampik. Sebagian dari orang Prancis dan Belanda
M
ICHAEL Jackson adalah sebuah kesepian. Pada suatu
hari, ketika umurnya menjelang 30 tahun, ia meng
ubah warna kulitnya yang gelap jadi hampir sepucat
langsat, hidungnya yang pesek jadi mirip gading diraut, dan ram-
butnya yang kribo jadi bak mayang terurai. Lihat, kata orang
yang kesal, si negro itu menampik asal-usulnya! Ia malu akan ciri
rasnya sendiri!
Mereka tak bertanya kenapa, mereka merasa tahu kenapa. Ka
ta mereka Michael ingin jadi kejora yang paling bekerlap. Ia ber-
solek habis-habisan. Wajah itu jadi topeng, tubuh itu jadi mane
kin di etalase. Tapi itu semua hasil kemasan yang dicocokkan de-
ngan selera kecantikan orang putih, karenamerekalah yang sejak
berabad-abad menentukan—berkat penaklukan di masa lalu dan
media massa di masa kini—apa yang ”bagus” atau ”tak bagus”di
dunia.
Tapi sebaliknya bisa dikatakan: bukankah Michael Jackson
yang membuat dirinya sebuah boneka yang siap bagi mereka
yang ingin menontonnya terus-menerus? Ia seorang pesulap. Ti
ap pesulap tahu, di depan khalayak ia berdusta, karena dusta itu
mengasyikkan hadirin. Di situlah Michael tak sekadar sebuah
manekin. Ia subyek yang bermain.
Memang subyek itu akhirnya tak kentara, sebab transformasi
itu tak kunjung berhenti. Michael mengenakan topeng sampai le
pas panggung. Tapi apa boleh buat: ia penyanyi yang jadi selebri
http://facebook.com/indonesiapustaka
tas: tiap saat adalah sebuah pertunjukan, tiap jengkal tanah se-
buah pentas, tiap posisi sebuah pose.
Ia memang tampak tak ”alamiah” dan ganjil. Tapi bukankah
justru itu tanda ia melebur diri jadi bagian hasrat orang ramai?
Sebenarnya ia juga seperti kita. Atau tiap kita adalah Michael
Masa kanak yang hilang itu selalu ia cari, tapi ia tahu tak se
orang pun memahaminya. Orang melihatnya sebagai kelakuan
eksentrik: