Anda di halaman 1dari 437

GOENAWAN MOHAMAD

7
http://facebook.com/indonesiapustaka

PUSAT DATA & ANALISA

TEMPOiii
Catatan Pinggir 9
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 7
i
7
http://facebook.com/indonesiapustaka

ii
Catatan Pinggir 7
GOENAWAN MOHAMAD

7
http://facebook.com/indonesiapustaka

PUSAT DATA & ANALISA

TEMPOiii
Catatan Pinggir 7
CATATAN PINGGIR 7

Goenawan Mohamad, Juli 2003 - Juni 2005

Kata pengantar: Bambang Sugiharto


Editor bahasa: Dewi Kartika Teguh W., H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Korektor dan Indeks: Ade Subrata
Kulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Rully Kesuma

©Goenawan Mohamad, 2006


Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

Cetakan Pertama, Juni 2006


Cetakan Kedua, Maret 2011

Diterbitkan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo


Kebayoran Centre, Blok A 11 - A 15,
JI. Kebayoran Baru - Mayestik
Jakarta 12440
Telp. ( 021) 725.5625 - Faks (021) 725.0524
Website: www.pdat.co.id
e-mail: pdat@tempo.co.id

Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

iv Catatan Pinggir 7
Daftar Isi

ix Pengantar

1 Kota Tuhan
5 Titanic
9 1944
13 NKRI
17 Gatholoco
21 Angkor
25 Syak
29 Schwarzenegger
33 Technē
37 Nippon
41 11/9
45 Imam (1)
49 Musuh
53 Said
57 Rumah
61 Gelegar
65 Korupsi
69 Emak
73 Kaya
77 Pohon-Pohon
81 Riba
85 Allah
http://facebook.com/indonesiapustaka

89 Maaf
93 Dhanu
97 Tso Wang
101 Saddam

Catatan Pinggir 7 v
2004
107 Setiap Desember Adalah Menunggu
115 Jarak
119 The Clowns
123 Asrul
127 Sepatu
131 Horor
135 Pilih
139 Parrhesia
143 Prancis
147 Grondslag
151 Karbala
155 Agama
159 Hiperboria
163 La Mezquita
167 Passion
171 Imam (2)
175 Anggrek
179 Spion
183 Ambon
187 Abu Ghuraib
191 Berber
195 Zhivago
199 Lisan
203 Si Anjing
207 Troya
211 Tertawa
http://facebook.com/indonesiapustaka

215 Tepi
219 Tanggulsari
223 Ramalan
227 Karnaval
231 Darah

vi Catatan Pinggir 7
235 Saksi
239 Proklamasi
243 Maharaja
247 Kynisme
251 Fantasi
255 Beslan
259 Jakarta, 10 September 2004
263 Pengebom
267 Sosok
271 1965
275 Infeksi
279 Sayu
283 Pulung
287 November
291 Saman
295 Liberalisme
299 Yakin
303 Kejadian
307 Van Gogh
311 Mati
315 Jasih

2005
321 Terang, Gelap, Harap
329 Tsunami
333 Balsam
337 Kotak Hitam
http://facebook.com/indonesiapustaka

341 Surat kepada Teman yang Mencemooh Indonesia


349 Gempa
353 Beguganjang
357 Al-Ghazali
361 In Memoriam

Catatan Pinggir 7 vii


365 Minyak
369 Adil
373 Memberi
377 Amina
381 Bandung
385 Vatikan
389 Magda
393 Takut
397 Mulyana
401 Munir
405 Guantanamo
409 Waiçak
413 Ciliwung
417 Eropa
421 Turki
425 Jacko
http://facebook.com/indonesiapustaka

viii Catatan Pinggir 7


KOTA TUHAN

J
IKA kita hidup di lorong-lorong miskin yang berlumur nar-
kotik dan bergelimang darah, jika kita tinggal di bawah per-
mukaan kota besar tempat gerombolan menembak manusia­
seperti menembak ayam, jika kita hidup di favela Rio de Ja-
neiro, di mana 20 persen penduduk tinggal dalam keadaan jorok
dan jelata, dengan kata lain, jika kita bagian dari Cidade de Deus­
seperti yang dipaparkan film sutradara Fernando Meirelles,­bisa­
kah kita melepaskan diri dari kedurjanaan?
Pertanyaan itu sama artinya dengan bisakah kita berharap. Di
”Dunia Ketiga”, di Rio ataupun Jakarta, yang dikepung kemis­
kin­an, kejahatan, dan korupsi, harapan adalah problem pokok
yang tak diakui. Seakan-akan dia sudah ada. Seakan-akan Yang
Durjana, Evil yang menyengsarakan itu, adalah sesuatu yang
jauh, yang mustahil bisa jadi bagian dari hidup sehari-hari.
Tapi abad ke-20 yang baru lewat menunjukkan, ada orang
yang makan, minum, bersetubuh, berak, kencing, tidur, dan be­
ker­ja seperti orang kebanyakan, berkeluarga seperti orang keba­
nyakan, tapi pada saat yang sama sanggup mengerjakan tugas
mem­bunuh manusia dengan cara bengis dan dalam skala besar.
Adolf Eichmann adalah contoh yang terkenal—dan kita ingat,
birokrat yang setia di bawah pemerintahan Hitler inilah yang
meng­giring dengan rutin orang Yahudi untuk dibantai, yang jadi
contoh Hannah Arndt ketika ia berbicara tentang the banality of
evil, ”banalnya kedurjanaan”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kedurjanaan macam itu tentu saja tak hanya berkenaan de­


ngan­Jerman dan Holocaust. Apalagi di abad ke-21. Saya ang­gap­
yang tergambar dalam karya Meirelles, Cidade de Deus, menun-
jukkan bahwa kedurjanaan bisa jadi bagian hidup sehari-hari bu-
kan karena manusia jadi sekrup sebuah Negara yang bengis. Ke-

Catatan Pinggir 7 1
KOTA TUHAN

durjanaan juga bisa jadi begitu di wilayah yang justru ditinggal-


kan Negara, di tengah kemelaratan dan anarki­yang berlapis dan
berliku bagaikan labirin. Di sana, orang se­akan­-akan telah me­
nye­rah, tak akan bisa keluar dari jebakan ruang pengap itu.
Tentang itulah agaknya Cidade de Deus, ”Kota Tuhan” da­
lam­­karya Meirelles itu, menjawab De civitate Dei, ”Kota Tuhan”
dalam karya Santo Agustinus.
”Kota Tuhan” Agustinus di abad ke-4 adalah sebuah alternatif
bagi Roma yang roboh karena keruntuhan akhlak. ”Kota” itu—
tentu saja sebuah kiasan—tak bersendi pada kekuasaan, melain-
kan pada sukma manusia yang dengan saleh menanti datangnya
kembali Al Masih.
De civitate Dei adalah sebuah suara optimisme. Dalam gam­
bar­an Agustinus, Tuhan bukanlah dewa-dewa Romawi pra-Kris-
ten yang melembagakan pertunjukan darah di arena seraya mem-
buat manusia takut dan menjadikannya buas. Tuhan-nya Agus-
tinus memberi manusia kemampuan untuk merenungi dan me-
nikmati hadirat-Nya, dan memberinya ke­mau­an bebas. Tuhan
itu tak akan mencopot kemauan bebas makhluk­ ini meskipun
bi­la ia berbuat dosa. Karena kebesaran sikap itu, menurut Agus-
tinus, Tuhan akan lebih ”memunculkan kebaikan dari dalam ke-
durjanaan” ketimbang mencegah kedurjanaan terjadi.
Tapi, mungkinkah ada harapan seperti itu di tengah wilayah
miskin kota besar di abad ke-21?
Di ”Kota Tuhan” Meirelles, kita ketemu Li’l Dice. Sejak ke-
cil sampai dengan ketika ia dewasa dengan nama Li’l Zé—bos
lorong-lorong hitam Rio de Janeiro—ia menyelesaikan hampir­
http://facebook.com/indonesiapustaka

semua soal dengan pembunuhan. Ia bisa dengan tenang­meng­ajar


seorang anak umur 10 tahun untuk menembak mati se­orang se-
bayanya yang tak berdaya.
Saya kira bahkan Santo Agustinus akan bertanya bagaimana
mungkin Tuhan menciptakan Li’l Dice. Manusia ini tam­pak­tak

2 Catatan Pinggir 7
KOTA TUHAN

tahu bagaimana ia akan keluar dari labirin orang mis­kin kota itu,
yang telah berjalin dengan narkotik, kekerasan, tapi memberinya­
kekuasaan dan kebebasan. Sejak ia masih disebut Li’l Dice, Zé
memang hanya mengenal itu, bersama ratusan anak yang telah
meninggalkan orang tua, ditinggalkan orang tua.
Rumah-rumah melarat mencekik mereka, dan liku-liku­kota
besar mengajari mereka untuk tidak tercekik dengan cara yang
paling brutal. Favela Rio de Janeiro dalam Cidade de Deus adalah
sebuah kombinasi rumah piatu dengan rumah jagal. Di sana,
hari-hari bermain bertaut dengan saat-saat membantai, malam-
malam narkoba bergabung dengan jam-jam berteman. Film Mei-
relles dibuka dengan adegan Li’l Zé dan serombongan bocah
bersenjata mengejar seekor ayam yang lepas menjelang disembe-
lih, melintasi liku-liku kampung yang sempit. Mereka berteriak,
tertawa, menembak, tak takut kalau ada peluru yang mengenai
orang yang lewat.
Dari mereka, ”kebaikan” agaknya tak akan bisa muncul dari
ke­durjanaan, dan harapan patut ditertawakan. Ned, seorang pe­
muda tampan yang lurus hati, yang karena dendam bergabung
dengan salah satu kelompok hitam di favela durjana itu, bertekad
tak akan membunuh orang yang tak bersalah. Tapi pada akhir­
nya ia berbuat sama dengan bajingan lain.
Agustinus, apa yang akan Tuan katakan tentang ”Kota Tuhan”­
ini? Tentu Tuan, seorang santo dari abad ke-4, tak akan menja-
wab. Tapi mungkin ada jawab yang terlupakan. Jangan­-jangan
Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan,
melainkan pada momen-momen kini dalam hidup­—yang seben-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tar, tapi menggugah, mungkin indah. Sebagai­mana kedurjanaan


bisa jadi banal, siapa tahu mukjizat juga bisa terjadi sebagai saat
yang tak mengejutkan, dan kita sering melupakannya.
Adegan ini misalnya: dalam keadaan luka sehabis tembak-me­
nembak, Ned mencoba menghibur seorang anak yang tergele-

Catatan Pinggir 7 3
KOTA TUHAN

tak hampir mati kena peluru. Anak itu kemudian yang ternyata
membunuhnya. Tapi detik-detik ketika Ned berbicara hangat ke-
padanya mungkin adalah saat isyarat Tuhan: bahwa Ia tak me-
ninggalkan ”Kota”-Nya—atau kota mana pun—dan membuat
hidup sepenuhnya keji dan nyeri.
Dengan atau tanpa Agustinus, bersyukur itu indah.

Tempo, 6 Juli 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

4 Catatan Pinggir 7
TITANIC

K
ETIKA di bulan April 1912 kapal Titanic pelan-pelan
teng­gelam di laut dingin di tengah malam, para penum-
pang kelas satu berusaha berebut tempat di sekoci pe-
nyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka dengan menodong-
kan senjata,­karena menurut aturan anak-anak dan perempuan-
lah yang harus diberi tempat lebih dulu....
Kurang-lebih itulah yang tampil dalam film James Cameron­
yang termasyhur itu—sebuah adegan yang mengesankan­betapa­
orang-orang di kelas atas itu adalah mereka yang tak punya­­rasa
belas dan tak bisa mengalah.
Tapi sedikitnya separuh dari Titanic adalah sebuah fiksi. Ada
yang mengatakan bahwa kejadian yang sebenarnya dalam benca­
na­Titanic justru sebuah kisah kepahlawanan orang di kelas atas.
Dalam daftar malapetaka Titanic ada John Jacob Astor, Benja-
min Guggenheim, dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika
terkemuka, sementara yang selamat adalah mereka­yang tak ber-
daya.
Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom, mengutip statis-
tik dari bencana hari itu: di antara penumpang kelas­satu, se­mua
anak kecil selamat, dan hanya lima perempuan yang mati—tiga
di antaranya bersedia tenggelam bersama suami­mereka. Benja-
min Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam seko-
ci. Ia memberi tempat kepada seorang perempuan yang kemudi-
an memang selamat. Pesannya yang ter­akhir:­ ”Katakan kepada
http://facebook.com/indonesiapustaka

istri saya.... Tak ada seorang perempuan pun tertinggal di kapal


ini hanya gara-gara Ben Guggenheim seorang pengecut.”
Dengan itu, tema pun berubah. Yang tampak ialah bahwa se-
lapis elite bukanlah dengan sendirinya sekelompok orang yang
hanya mujur dan mendapat. Pengertian noblesse oblige tak datang

Catatan Pinggir 7 5
TITANIC

dari angan-angan, bahwa siapa saja yang memiliki privilese dan


berkuasa justru wajib untuk siap memberikan diri bagi kepen­
ting­an umum dan terutama untuk nasib mereka yang lemah.­Fa-
reed Zakaria hendak mengemukakan, sebagai bagian dari argu-
mennya, bahwa dewasa ini sikap itu tengah tenggelam. Demo­
kratisasi merambah ke mana-mana tapi justru tak mendatangkan
kebebasan.
Demokratisasi perlu. Tapi, dalam pandangan Zakaria, arus
ini berbahaya bila tak tersedia satu lapisan masyarakat yang me-
mimpin, yang senantiasa menghargai hak-hak perorangan untuk
berpikir merdeka, bersuara merdeka, dan memiliki hukum yang
dijalankan secara benar. Contoh buruk adalah Gujarat. Di ne­ga­
ra bagian India itu, demokrasi berjalan, para pemimpin dipilih­
oleh rakyat banyak. Tapi demokrasi ini menghalalkan penindas­
an dan pembunuhan minoritas muslim oleh mayoritas Hindu—
sebuah demokrasi yang dalam pengertian Fareed Zakaria disebut­
”tak-liberal”. India, yang dulu dipim­pin satu lapisan atas yang
me­lahirkan Nehru, kini sudah digantikan oleh sebuah demokrasi­
yang memanjakan purbasangka orang jalanan.
Dengan kata lain, di Gujarat, seperti halnya dalam demo­krasi
di tempat lain, tak ada elite seperti di kapal Titanic dalam versi­
Zakaria. Tak ada orang-orang yang dalam kata-kata Ki Hajar
De­­wantara bersikap ing ngarsa sung tuladha: jika berada di depan,­
kita wajib memberi teladan keadilan dan kelapang­an hati. Ki­Ha­
jar adalah orang yang percaya pada sistem ”demokrasi dengan
kepemimpinan”.
Tapi dari mana datangnya kepemimpinan, dan bagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka

noblesse oblige bisa tumbuh?


Zakaria memang tak membuktikan bahwa yang terjadi di Ti-
tanic mencerminkan sebuah code of honour atau patrap kehormat­
an kalangan atas. Meskipun demikian, harus diakui bahwa­ se-
jarah lapisan atas tak seluruhnya hitam. Pengertian ”elite” tak ha­

6 Catatan Pinggir 7
TITANIC

nya mengenai status, tapi juga serangkai nilai-nilai­yang mencer-


minkan rasa bangga pada keluhuran diri dan rasa percaya akan
po­sisinya dalam sejarah. Ernesto ”Che” Guevara termasuk dalam
lapisan itu: ia seorang dokter, anak keluarga kaya di Argentina,
tapi mengabdikan hidupnya buat kaum yang papa di Amerika
Latin. Ki Hajar Dewantara sendiri,­ yang datang dari Ndalem
Pa­­kualaman, Yogya, adalah contoh lain. Bahkan kakaknya ber­
gerak­di kalangan buruh.
Tapi tentu saja dengan sikap ing ngarsa sung tuladha saja selapis
pemimpin tak dengan sendirinya menumbuhkan dan memperta­
hankan kebebasan manusia. Kaum revolusioner di­Rusia dan di
Cina adalah sebuah elite yang siap berkorban bagi kepentingan
umum, tapi tak akan membiarkan demokrasi­ tumbuh—satu
hal yang kini juga tampak di Singapura, sebuah republik dengan
kepemimpinan yang anehnya dikagumi Zakaria.
Maka dibutuhkan sejenis elite lain. Tapi bagaimana mereka­
bi­sa dipesan, terutama di zaman ketika ideologi elitisme runtuh?
Di zaman ini, cerita tentang noblesse oblige umumnya telah digan­
tikan dengan cerita kapitalisme. Langsung atau tidak, kapitalisme­
mengajarkan bahwa hidup akan jadi lebih baik jika orang meng­
akui pamrihnya sendiri, dan bersama itu sadar akan perhitungan
untung-rugi. Sebab, dengan demikian orang bisa berunding, tak
ada yang merasa lebih suci dan tak ada orang yang tergila-gila un-
tuk jadi ”luhur” seraya menimbulkan heboh.
Uang, kapital, dan pendidikan yang meluas memang telah
me­nyebabkan kasta-kasta lama guncang atau runtuh. Sementara
itu, kini belum lahir kasta baru dengan nilai-nilai yang mantap
http://facebook.com/indonesiapustaka

un­tuk menghindarkan Gujaratisme yang intoleran atau ”prema-


nokrasi” yang korup. Saya tak tahu adakah kita di­jalan buntu.
Tapi Indonesia bukannya tanpa sejarah selapis elite yang meng-
abdi.
Kartini, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Bung Kar­no,­­­

Catatan Pinggir 7 7
TITANIC

Syahrir, Mononutu, Leimena, dan lain-lain tercatat telah­ber­buat


yang terbaik untuk publik. Mereka memang dilupakan­ dalam
masa ”Orde Baru”, ketika kehidupan politik seakan-akan sebuah
kapal Titanic dalam versi yang busuk, ketika yang di atas sampai
jam terakhir hanya hendak menye­lamatkan diri sendiri. Tapi sia-
pa tahu kini ada kesempatan untuk mengingat mereka kembali,
untuk benih baru setelah 2004.

Tempo, 13 Juli 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

8 Catatan Pinggir 7
1944

D
UNIA tampak sedikit lebih tenang di Dumbarton
Oaks hari itu. Musim gugur mendekat, udara bertam­
bah sejuk seperti lazimnya bulan September, dan di
rumah yang dihiasi lukisan dari zaman Bizantium dan Abad Te­
ngah itu, di antara­petak-petak kebun yang asri, empat menteri
luar negeri­bertemu­—seakan-akan setelah itu, tak ada musim di­
ngin yang akan mencengkeram.
Sebuah cita-cita tinggi sedang hendak dicapai, sebuah rencana
besar disusun: mereka menyiapkan cetak-biru sebuah lem­baga
yang disebut ”Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Mimpi­mereka per-
damaian, niat mereka keamanan dunia. Mereka—wakil Ameri-
ka Serikat, Inggris, Rusia, dan Cina—datang karena rasa ngeri,
tapi juga karena sangka baik.
Betapa berbeda tahun 1944 itu dengan tahun 2003. Di Dum­
barton Oaks, harapan sedang naik. Posisi keempat negeri­ yang
bertemu itu di atas angin dalam perang besar yang me­landa Ero-
pa, Afrika, dan Asia. Musuh mereka, Jerman, Italia,­dan Jepang,
su­dah terdesak. Tapi para calon pemenang itu toh tahu betapa be-
sar ongkos konflik selama lima tahun itu. Seusai­perang,­tercatat
21 juta orang sipil tewas—setelah Hitler bunuh diri di bunkernya
di Berlin dan bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.
Dunia gentar. Para pemimpin pelbagai negeri berupaya untuk
menemukan cara dan institusi yang dapat menyelesaikan konflik
tanpa kekerasan. Ide untuk mendirikan PBB bahkan bermula se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

belum pertemuan di Dumbarton Oaks.


Hulunya bisa ditemukan dalam Atlantic Charter yang di­susun­
Presiden AS Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill
pada tahun 1941. Atau bahkan jauh sebelumnya, setiap kali ma-
nusia baru merasakan luka busuk peperangan. Imma­nuel Kant

Catatan Pinggir 7 9
1944

telah memikirkannya pada tahun 1795. Presi­den­Wilson melak-


sanakan gagasan yang sama pada tahun 1918, dengan mendirikan­
Liga Bangsa-Bangsa.
Kant, Wilson, dan pertemuan di Dumbarton Oaks sama-sa-
ma bertolak dari sebuah sangka baik, bahwa setelah sebuah pe­
rang­ besar, bangsa-bangsa akan bersedia bekerja sama, dan be-
runding, untuk perdamaian.
Tapi tak jarang memang sangka baik itu ditertawakan oleh
me­reka yang bisa menunjukkan bahwa dunia bukanlah sebuah
re­sepsi perkawinan. PBB dianggap telah keliru dalam meman-
dang bagaimana dunia ”sebenarnya”.
Mungkin karena PBB berangkat dari cita-cita yang ter­lam­pau­
luhur hingga harus dilaksanakan dengan sikap prag­ma­tik­—tapi
sebuah sikap pragmatik yang sering membingungkan.
Dalam cita-cita itu, perdamaian dunia akan dikaitkan dengan
perkawanan dan kesetaraan. Tapi tak mudah untuk memutus-
kan apa dan siapa yang berdamai dan setara di dunia ini. Akhir­
nya, ”bangsa”-lah yang dipilih untuk menjadi sang subyek.
Sebagai konsekuensinya, ”bangsa” harus dianggap homogen­
da­lam tubuhnya. Sebuah ”bangsa” harus diasumsikan punya
struk­tur, punya batas dan otoritas yang mewakilinya. Walhasil,
”negara-bangsa”-lah yang diakui sebagai subyek. PBB pada akhir­
nya memang sebuah perkumpulan ”negara-bangsa”, lain tidak.
Tapi ”bangsa” bukanlah sebuah subyek yang kukuh apalagi
kekal. Pada tahun 1971, misalnya, ”bangsa Pakistan” tak lagi ber­
arti mencakup mereka yang hidup di sebelah timur. Bangladesh
men­jadi sebuah bangsa tersendiri, dan diterima sebagai anggota
http://facebook.com/indonesiapustaka

PBB pada tahun 1974.


”Negara” juga tak dengan sendirinya identik dengan ”bangsa”.­
Kekuasaan yang berada di pucuk ”negara”, yang dalam sidang
PBB mengatasnamakan orang banyak yang hidup di sebuah wi­
layah, belum tentu sebuah kekuasaan yang diterima orang banyak­

10 Catatan Pinggir 7
1944

itu. Yakinkah kita, bisakah ”bangsa” Korea Utara di­wakili rezim


yang sekarang bertakhta? Begitu juga ”bangsa” Saud?
Dalam pada itu, ”negara” juga bisa berganti secara radikal,­se-
perti setelah robohnya Tembok Berlin pada tahun 1989. USSR
atau Uni Soviet tak lagi sebuah federasi komunis, dan Rusia ber­
diri sendiri pada tahun 1991.
”Negara-bangsa”, subyek itu, memang sebuah pengertian
yang­sering meragukan—dan juga tanpa kesetaraan: begitu besar­
beda India (penduduknya lebih dari semiliar), misalnya, dari
Bru­­nei (penduduknya cuma 300 ribu), meskipun kedua-duanya
punya suara yang sama di PBB. Sebenarnya sejak pertemuan di
Dumbarton Oaks, telah tampak perbedaan itu: ada bangsa yang
menang dan ada yang kalah perang. Itu sebabnya sampai dengan
hari ini ada ”negara-bangsa” yang duduk dalam Dewan Keaman-
an dengan kekuasaan memveto keputusan yang diambil. Tapi ru-
panya di awal abad ke-21, Amerika, salah satu ”negara-bangsa”
yang punya posisi istimewa itu, kian merasa privilese itu tak me-
madai.
PBB, bagi pemerintahan Bush, adalah gangguan bagi kedau­
latan nasionalnya. Kini Amerika tegak seperti sebuah ben­teng
be­sar yang memandang ke luar dengan sikap seperti memelototi­
sebuah wilayah barbar yang mengancam—dalam bentuk Al-
Qai­dah ataupun AIDS. Dan ia merasa bisa membereskan sendiri
wilayah barbar itu. Maka buat apa PBB?
Tapi mari kita bayangkan PBB bubar. Bayangkan sebuah du-
nia yang tanpa lembaga untuk merundingkan konflik bersenjata
antara pelbagai negeri. Bayangkan sebuah dunia tempat penyele-
http://facebook.com/indonesiapustaka

saian sengketa sepenuhnya ditentukan oleh perang dan oleh siapa


yang paling kuat dalam perang itu.
Mungkin itulah yang sedang terjadi. Tapi sepenuhnya? Kini
sebuah hegemon akan tak cukup dengan hanya menggertak dan
menyuap. Dunia kian berliku dan tak terduga. Ke­kuat­an—seti-

Catatan Pinggir 7 11
1944

daknya dalam perekonomian—tak pernah bisa bertahan sendi­


rian terus-menerus. Pada akhirnya akan diperlukan juga sebuah
daya yang bukan cuma militer, tapi daya untuk meyakinkan ten-
tang apa yang dianggap ”adil” dan ”tak adil”. Dengan kata lain,
se­buah ”ideologi”, yang palsu ataupun setengah palsu, tapi me­
mer­lukan percaturan pendapat. Kita tak berada di masa pra-
1944, sebelum Dumbarton Oaks, sebelum orang di dunia merasa
saling membutuhkan.

Tempo, 20 Juli 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

12 Catatan Pinggir 7
NKRI

A
CEH kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang
pe­­rang, tapi juga sejumlah pertanyaan. Pertanyaan­ itu­
semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah ”In­do­
nesia”­—ya, apa sebenarnya ”Indonesia” yang hendak diperta­han­
kan.
Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah
yang harus dibela. Tapi apa arti ”wilayah” sebuah negeri? Apa pu­
la ”keutuhan” itu? Kita acap lupa ”wilayah” adalah sebuah tempat­
dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan
sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang pan-
jang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri,
tapi dalam hal ”Indonesia”, apa artinya ”milik”?
”Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu
ber­gerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu,
te­rus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada
Be­landa pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian­
didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini
disebut ”Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yog­ya­karta akan
termasuk sebuah negeri yang disebut ”Singapura”. Perang dan
perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang
membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah ”wilayah” be­
gitu­berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benar­
kah begitu penting ”keutuhan”?
”Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana da­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tang­nya. Yang jelas, ia mencakup pengertian yang lebih luas ke­


timbang sekadar ketentuan tapal batas. ”Keutuhan” bukan seka-
dar persoalan teritorial. Ia juga bisa berarti sumber­alam dan kese­
imbangan ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodi-
versitas hewan yang hidup, juga para penghuni, kehidupan sosi­

Catatan Pinggir 7 13
NKRI

al, dan khazanah kebudayaan mereka. Apa artinya­ ”keutuhan”


yang dipertahankan bila hutan jadi terbakar,­sawah dan lumbung
hancur, dan suatu masyarakat berantakan? Apa artinya ”keutuh­
an” jika kelompok manusia yang berbeda saling membunuh dan
mengusir?
Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebu­
ah ”Indonesia” sebagai ingatan yang berharga. Sejak kita kanak-
kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terben-
tang dari ”Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Aceh
yang menyumbangkan yang mereka miliki buat Republik Indo-
nesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme Belanda yang justru
mempersatukan pelbagai orang di Nusan­tara.
Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi
se­tiap catatan dari masa lalu selalu mengandung apa yang luhur
dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga apa
yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang sebu­
ah ”Indonesia” dapat berisi dokumen yang mere­kam niat mulia
yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda—niat
yang membuat Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terjadi dan se-
buah generasi baru dengan ikhlas melupa­kan­ikatan kesetiaan la­
ma mereka, untuk membangun sebuah ikatan kesetiaan baru.
Tapi sejarah persatuan itu juga dapat berupa sejarah ketidak-
ikhlasan. Bahkan sejarah kekerasan, pemaksaan, dan penyera­
gam­an. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah memperingat­kan
agar ”per-satu-an” dibedakan dari ”per-sate-an”.
Maka, sebuah ”Indonesia” yang manakah yang hendak kita
per­tahankan?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saya termasuk mereka yang akan menjawab: sebuah ”Indone­


sia” yang dengan Aceh ada di dalamnya, tapi bukan sebuah
NKRI (singkatan yang kaku dari ”Negara Kesatuan Republik In-
donesia”), yang memaksa Aceh untuk berada di dalamnya. Saya
akan menangis bila Aceh terlepas dari Republik. Tapi saya juga

14 Catatan Pinggir 7
NKRI

akan menangis bila Aceh dibungkam oleh mereka yang datang


atas nama Republik. ”Indonesia” yang utuh adalah Indonesia
yang punya cita-cita yang berharga untuk utuh.
Amerika Serikat adalah contoh yang tak menarik pada hari-
hari ini, tapi dulu, pada pertengahan abad ke-19, ketika se­bagian­
wilayah republik itu hendak memisahkan diri, seorang presiden
yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadam-
kan ”pemberontakan” itu. Tapi bukan karena takut akan hilang-
nya sekian ribu kilometer persegi tanah. Ada yang lebih penting
ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita
yang layak.
Maka, ketika sejumlah negara bagian di Selatan menjadi ke­
kuatan separatis karena ingin melanjutkan perbudakan, Presiden
Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah perang
pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika
Se­rikat waktu itu tahu untuk apa.
Kalimat pertama pidato Presiden Lincoln di Makam Pah­
lawan­ Gettysburg menjawab kenapa perang itu harus terjadi—
dan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus
berdiri: ia adalah ”sebuah bangsa baru, yang dibuahi­dalam ke-
merdekaan, dan dipersembahkan untuk cita-cita­ bahwa semua
manusia diciptakan sama”. Perbudakan jelas ber­tentang­an de-
ngan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya de-
ngan kekerasan harus dikalahkan.
Di Indonesia belum terdengar alasan yang sejelas itu, tapi di
Aceh, tentara telah dikirim. Perang berkobar. Korban jatuh di
kedua belah pihak. Apa sebenarnya sebuah ”Indonesia” yang hen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dak dipertahankan?
Jawabannya akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah ”In-
donesia” yang masih bercita-cita atau sebuah ”Indonesia” yang
tanpa cita-cita? Sebuah ”Indonesia” yang pandai bernegosiasi atau
sebuah ”Indonesia” yang bagaikan preman, yang me­nangguk un-

Catatan Pinggir 7 15
NKRI

tung dari kekerasan? Sebuah ”Indonesia” yang percaya kepada


hak-hak rakyat atau sebuah ”Indonesia” yang sedang hendak me-
nampik demokrasi? Sebuah ”Indonesia” yang patut dibanggakan
atau sebuah ”Indonesia” yang bahkan oleh bangsanya sendiri ber-
henti diacuhkan?
Aceh memang sejumlah pertanyaan.

Tempo, 27 Juli 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

16 Catatan Pinggir 7
GATHOLOCO

T
IAP sistem keimanan akan didatangi seorang Gatho-
loco—sebuah sosok negatif. Dalam khazanah Islam di
Jawa, nama tokoh ini berasal dari sebuah puisi naratif
panjang yang kontroversial.
Ia kadang digambarkan sebagai orang berbadan pendek ku-
rus, berambut keriting, berkulit muka bopeng bekas cacar, ber-
mata juling. Di mulutnya yang kecil terpasang gigi yang ruwet.
Ku­pingnya lebar, dadanya cacat dan perutnya buncit. Kulitnya
kotor seakan-akan bersisik (mbesisik mangkak), dan napasnya ter­
sengal-sengal.
Dengan kata lain, Gatholoco tampil sebagai seseorang yang
akan sulit sekali diterima orang ramai. Dan itulah yang terjadi,
ke­tika dalam kisah ini, tiga orang kiai dari Pondok Pesantren
Re­jasari menemuinya di jalan menuju Pondok Cepèkan. Segera
mereka menampik Gatholoco sebagai sebuah bentuk yang luar
biasa buruk, menggelikan, dan malah layak dikutuk: dengan te­
nang­nya makhluk ini selalu memegang bedudan, pipa bambu
untuk mengisap candu.
”Astagfirullah!” seru para kiai. Maka salah seorang dari me­re­
ka bertanya siapa nama orang ini, dan di mana pula ru­mah­­nya.
”Namaku Gatholoco,” katanya dengan suara tenang dan pe­
nuh percaya diri. ”Aku manusia lelaki sejati, dan rumahku di te­
ngah­jagat.”
Ketika ketiga kiai itu tertawa mendengar nama yang tak lazim
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu, Gatholoco tanpa tersinggung menjelaskan. Gatho, katanya,


berarti ”kepala yang rahasia” (sirah kang wadi), dan loco berarti
untuk digosokkan (pranti gosokan).
Tampak ada asosiasi antara nama itu dengan phallus, dan para
kiai tahu ada yang saru—aib, jorok dalam kaitannya dengan yang

Catatan Pinggir 7 17
GATHOLOCO

seksual—dalam ekspresi Gatholoco. Nama itu bukan saja buruk,


tapi juga ”haram, najis, lan mekruh”. Dengan kata lain, seluruh
diri Gatholoco adalah sebuah kontravensi. Ia sebuah penolakan.
Dan itulah yang dilakukannya—atau itulah yang dilakukan­
oleh penulis naskah ini. Sang tokoh dengan bangga me­nga­ta­
kan, kepada dirinya sendiri, bahwa ”ingsun seneng bantah il­
mu”,­ia senang berbantah tentang ilmu, dan ”ora mundur bantah­
kawruh”, tak akan mundur berbantah dalam perihal pe­nge­ta­hu­
an. Terutama dengan ortodoksi yang berkuasa di kalangan mus-
lim, yang dalam naskah ini dilambangkan dalam diri para kiai di
pondok-pondok.
Bagaimana sebenarnya agama Gatholoco sendiri tak begitu­
jelas—dan mungkin, sebagai sebuah kontravensi terhadap sega­
la yang bersih, lurus, dan terang, ia harus tidak jelas. Terkadang
ia mengutarakan keinginan untuk mengembalikan ke-Jawa-an
yang asli, semacam ”nasionalisme” kebudayaan yang memang tak
jarang muncul dalam perbincangan di Jawa sampai pertengah­an
abad ke-20.
”Agama Nabi Muhammad,” katanya, ”adalah agama orang
Arab.” Dan Tanah Jawa rusak, juga agama lamanya, karena di­
bawahkan ”orang lain” itu (kabawah mring liyan jinis).
Tapi di bagian lain, ia menganggap Nabi Muhammad se­akan­
akan­ sebuah kekuatan yang menguasai dirinya: ”Pangucap­ pa­
ngé­lingingsun, pangganda pamiyarsa, déné lésan lawan dhiri, ka­
bèh kagungané Rasulullah” (ucapan dan ingatanku, pencium dan
penglihatanku, lisanku dan diriku, semua itu milik Rasulu­l­lah).­
Dalam kesusastraan mistik atau suluk, acap kali memang ”Mu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hammad” atau ”Nur Muhammad” disebut sebagai sebuah ke­


kuat­an batin atau ruhani tempat manusia menemukan dirinya
yang rindu untuk menyatu dengan Allah.
Semangat ala Gatholoco memang tampak dalam pandang­an
mistisisme di mana-mana, juga dalam sejarah Kristen dan Yahu-

18 Catatan Pinggir 7
GATHOLOCO

di: suatu dorongan dan hasrat untuk membuat iman jadi sebuah
peristiwa internal seutuhnya, ketika agama telah jadi sejenis lem-
baga yang mengatur perilaku orang. Sebab, ”perilaku” hanyalah
sesuatu yang lahiriah—satu-satunya hal yang dapat diawasi dan
dibuat beraturan dengan hukum.
Itu pula yang dikatakan Gatholoco kepada para kiai yang me­­
ngecamnya. Bagi laki-laki yang merasa lebih unggul penge­ta­
huannya ketimbang para kiai ulung itu, beribadat dengan ra­pi
meng­ikuti aturan waktu salat bukanlah sikap menyembah­ Tu­
han,­ melainkan ”mung mangéran marang wayah”, ha­nya­ mem­­
per­tuhankan waktu. Ketika Kiai Hasan Besari dari Pon­dok­­Ce-
pèkan menunjukkan bahwa Gatholoco tak pernah ber­sem­bah­
yang, sang tamu pun menjawab tangkas: ”Sembah­yang­ku kekal
dan tak pernah henti.” Ia bersujud ke hadapan Tuhan bersa­ma
dengan napasnya, katanya, dan tak cuma diperintah oleh jad­wal.
Discourse Gatholoco tentu saja tak mudah dikisahkan kemba-
li. Percakapan tentang pengalaman mistik menemukan problem­
dalam pem-bahasa-an. Ketika bahasa bergerak lebih ke arah sifat-
nya yang komunikatif, dan bukan sifatnya yang ekspresif, peng­
alaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.
Bentuk tembang untuk perjalanan Gatholoco sebenarnya
bukan medium yang sesuai untuk apa yang hendak disampai­
kan di sana—yakni sebuah perdebatan. Perdebatan meng­asum­
sikan ada konvensi bersama tentang pemberian makna. Dengan
kata lain, ada sifat yang tetap dan dapat diandalkan. Tapi dalam
tembang, dalam puisi, kata sering bukan meng­ikuti­subyek yang
berdaulat dalam menetapkan makna; acap kali kata bergerak
http://facebook.com/indonesiapustaka

meng­ikuti ”dorongan” puitik. Puisi me­ngan­dung sesuatu yang


majenun.
Gatholoco sendiri majenun dan ia tahu. Tapi, katanya, ”ing­­
sun edan urut margi, nunut margané kamulyan” (”aku gila sepan-
jang jalan, mengikuti jalan dalam kemuliaan”).

Catatan Pinggir 7 19
GATHOLOCO

”Gila sepanjang jalan” memang mengisyaratkan sesuatu yang


kacau dan membingungkan—bukan sebuah arah yang dengan
ajek dan mantap didatangi. Tapi ada yang mulia di sana: ada ke­
rin­duan kepada Yang Maha Benar yang tak di­ganti­kan oleh para
pemasang rambu-rambu. Dengan segala niat baik, para pengatur
ingin menyelamatkan manusia. Tapi ia hanya menggantikan Tu-
han dengan Regulasi. Pada saat itu, tiap iman akan kedatangan
seorang Gatholoco.

Tempo, 3 Agustus 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

20 Catatan Pinggir 7
ANGKOR

H
UTAN dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan
hujan, membuat sisa-sisa kota tua Angkor Thom se­
akan­-akan­bersatu kembali dengan Waktu—tapi Wak-
tu yang agaknya tidak kita kenal. Berdiri di antara tiang batu
yang hitam dan dinding laterit yang kecokelatan yang memben-
tuk Candi Bayon, kita akan bertatapan dengan empat patung ke-
pala Buddha yang dipahat di mercu yang setinggi 45 meter itu;
kita akan terkesima menyadari sebuah sejarah 800 tahun. Tapi se­
jenak.­Sekarang.
Tentu saja saya seorang turis, yang telah membayar $ 20 untuk­
masuk ke kompleks Angkor ini. Pada akhirnya saya seorang pe­
ngun­jung dengan waktu yang terdiri dari sederet ”sejenak” dan
”sekarang” yang terukur.
Tiap turis memulai langkahnya untuk terkesima, tapi kemu-
dian, meskipun ia seorang diri, berjalan dengan waktu yang di-
tentukan oleh publik. Di pintu gerbang itu ada sebuah organisasi;
ia menawarkan tiket dan menyodorkan pengertian bahwa peng­
alaman di tengah hutan dan di antara 30 candi itu harus disu-
sun dalam satuan yang bisa dikalkulasi dengan uang yang diakui
orang ramai—karena pengalaman sedang diperjualbelikan.
Pengalaman: mungkin kini ia adalah waktu yang dikemas.­
Agaknya ada sesuatu dalam akal manusia yang mampu menge-
masnya—akal yang kian menguat peranannya dalam mo­dern­i­­
sasi­hidup. Dengan itulah ”masa lalu” bisa dipasarkan atau diku-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tuk, ”masa depan” bisa ditawarkan atau diatur. Tak hanya­ oleh
kapitalisme. Ketika Pol Pot mengubah Kamboja menjadi­”Kam-
boja Demokratik”, konon ia hancurkan candi dan patung, ia co-
pot jubah para biksu, dan ia tiadakan persembah­yangan di selu-
ruh negeri. Semua yang dianggap masuk kategori pengalaman

Catatan Pinggir 7 21
ANGKOR

”masa lalu” harus dibuang. Kamboja hanya boleh siap untuk


meng­alami ”masa depan”.
Pol Pot dan Khmer Merah—orang-orang modern yang tak
me­ngenal semadhi—mengemas pengalaman sebagai sesu­atu
yang terdiri dari beberapa tahap. Bagi kaum Marxis ini, tiap ta-
hap tak akan kembali. Marx, seperti Hegel, menyajikan­seja­rah
sebagai proses dialektik tadi-kini-dan nanti. ”Tadi” me­ngan­­dung­
sesuatu yang akan menyebabkan ”kini” menampilkan­antitesis-
nya. Setelah itu, ”nanti” akan menghadirkan suatu Aufhebung,
sesuatu yang mengatasi bentrokan ”tadi” dan ”kini”.
Tapi siapa yang menggerakkan dialektik itu, merumuskan
ma­na yang ”tadi” dan mana yang ”kini”? Siapa yang menjadi
saksi Aufhebung yang berlangsung? Hegel, Marx, dan Pol Pot pas-
tilah mengasumsikan bahwa ada subyek (atau ”Subyek”) yang
ber­geming, tak berubah-ubah, yang mengalami dan me­ngemas
apa yang dialami, dan menyebutnya sejarah. Seperti sang turis
yang telah membayar $ 20 dan ingin mendapatkan pengalaman
yang telah dikemas. Tapi benarkah?
Jangan-jangan tidak. Saya berdiri di depan Candi Bayon. Hu-
tan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan hujan, dan para
biksu yang berteduh di ruang-ruang kecil candi seraya ber-se­ma­
dhi­.... Tidakkah mereka sebenarnya tengah bersatu dengan Wak-
tu yang tak terduga dalamnya—bukan waktu­ yang dibentang-
kan ke khalayak ramai, bukan waktu yang gam­pang diukur, tapi
sebuah ekstasis. Saat yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib,
tak lagi berdaulat.
Buddha pun tak hanya mengajarkan dukkha (”duka”) da­lam
http://facebook.com/indonesiapustaka

kehidupan. Ia juga mengajarkan anatman dan anitya: ia menun-


jukkan bahwa tak ada subyek yang sama, tak ada yang permanen.
Hidup adalah sebuah arus eksistensi yang selalu lahir kembali,
tapi tiap-tiap kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran
tak ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu kelahir­

22 Catatan Pinggir 7
ANGKOR

an yang kelak.
Ada yang berulang, tapi tak terasa sebagai repetisi dari hal
yang identik. Agaknya itulah sebabnya kematian, keberanian,
ke­sedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis dan diabadikan
oleh para penyair—dan apa yang menggetarkan dari Mahabha­
rata, yang sayu dari Shakespeare tak terasa sebagai hanya repli­
ka, tak cuma mengulang hal yang itu-itu saja. Ada gerak kemba­
li yang kekal, ada eternal return, tapi yang pulang bukanlah yang
sama, melainkan yang beda. Pada saat itu, tampak bahwa me-
mang ”beda menghuni repetisi,” kata Gilles Deleuze. Sebab mo-
men ekstasis tak pernah terulangi. Yang dahsyat tak akan jadi
dahsyat ketika ia dikemas dalam reproduksi.
Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha, anatman,
dan anitya, patung adalah puing, hutan adalah kesunyian, dan
hujan seperti kabut. Mercu setinggi 45 meter di Candi Bayon itu,
juga Angkor Wat, bukanlah sebuah situs kebanggaan yang datang
sebagai warisan masa lalu yang agung. Mereka adalah penemuan
hari ini, kesyahduan hari ini, bagian dari duka hari ini. Sebab
apa hubungan antara si biksu muda pada abad ke-21, yang pe­
tang­itu berjalan di atas jembatan candi, dan Raja Surya­varman
II, pendiri candi besar abad ke-12 ini? Jika semadhi adalah sebuah
pengakuan tentang ketidak-kekalan hidup,­jika ketidak-kekalan
hidup berarti juga tidak langgengnya ke­raja­an dan benda-benda,
bukankah warisan hanyalah bentuk­an ilusi?
Namun mungkin salah satu bagian dari samsara, bahwa ilu­
si­juga ternyata diperlukan manusia—oleh para turis, misalnya.­
Mereka membayar, mereka senang untuk terkesima tentang se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

suatu yang ganjil, yang lain, dari masa silam, dan mere­ka­ me­
motret. Kemudian mereka akan pergi ke tempat lain. Atau pu-
lang dan mengenang hutan, puing, patung, parit besar, sebuah
kota yang telah punah. Mereka pun merasa berbahagia karena
mengetahui sesuatu yang sebenarnya tak pernah seluruhnya ter-

Catatan Pinggir 7 23
ANGKOR

ungkap. Tapi di dalam hidup yang ruwet, siapa saja berhak terse-
nyum, puas, bahwa ada yang bisa diulangi, ada yang bisa dike-
mas.

Tempo, 10 Agustus 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

24 Catatan Pinggir 7
SYAK

B
OM, teror, dan perang selalu mengedarkan rasa takut
dan ketaksabaran—dan ketaksabaran adalah bahan bu-
ruk un­tuk demokrasi. Terutama jika kita lihat demokrasi
sebagai sesuatu yang berbeda dari diktat (dari mana kata ”dikta-
tor” ber­­asal) yang datang lekas. ”Demokrasi adalah pemerintah-
an dengan diskusi,” kata tokoh politik Inggris Clement Attlee.
Tapi tentu saja Attlee tak hanya bicara itu. Kalimatnya punya­
ekor: ”Demokrasi adalah pemerintahan dengan diskusi, tapi ha­
nya­ efektif kalau kita bisa menghentikan orang omong.” Maka
(mengikuti Attlee), tiap pemerintahan demokratis bu­tuh­sebuah
kiat: bagaimana menggabungkan kepintaran ber­diskusi dengan
kepintaran membungkam mulut.
Tapi sebenarnya ”berdiskusi” dan ”membungkam mulut” bu­
kan­lah dua laku yang otomatis bertentangan. Menghentikan
orang omong akan hanya sia-sia jika tindakan itu bukan­tindak­
an yang bisa diterima dengan ikhlas dan diakui sah. Akan lebih
riuh suara menggerundel, akan lebih bengis suara­ mengumpat,
jika orang tak sepakat akan perlunya tutup mulut.­Walhasil, di-
perlukan sebuah diskusi untuk tak berdiskusi, diperlukan sabar
untuk tak sabar.
Kesepakatan adalah sebuah kuasa. Kata ”kuasa” juga ber­arti­
”otoritas” dan ”amanat”. Di situlah kelebihan demokrasi: ada
hubungan yang mendasar antara pengertian ”kuasa” dan ”ama­
nat” dan juga dengan ”kesepakatan”. Dengan itulah kekuasaan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan/atau kekuatan (yang dalam bahasa Inggris ber­ada dalam satu


kata, power) punya asal usul yang jelas, yakni dukungan orang ra-
mai yang memberikan mandat. Kekuasaan tak datang dari Tu-
han, warisan, nasib baik, atau kecerdasan si berkuasa.
Asal usul kekuasaan itulah yang seharusnya jadi awal tiap per-

Catatan Pinggir 7 25
SYAK

cakapan tentang demokrasi. Saya kira itulah kelemahan dasar te-


sis Fareed Zakaria (ia editor Newsweek edisi internasional) dalam
The Future of Freedom, meskipun ini sebuah risalah yang cerah
dan cemerlang. Zakaria tak membahas dari mana kekuasaan un-
tuk memerintah datang, dan bagaimana kekuasaan itu jadi sah
dan diterima. Ia seperti mengabaikan itu, sementara ia dengan
syak melihat demokratisasi yang kini terjadi di mana-mana.
Ia syak, sebab demokratisasi, menurut Zakaria, justru telah
me­nyebabkan kebebasan manusia terancam. Di Gujarat, India,
partisipasi rakyat banyak malah melahirkan sebuah ”demokrasi
yang illiberal”. Merekalah yang membunuh dan mendesak mino­
ritas muslim dan mengintimidasi kemerdekaan bersuara. ”Suara
rakyat suara Tuhan” pun berakhir jadi ”suara rakyat, suara Tu-
han, suara setan.”
Maka Zakaria pun lebih suka menunda demokrasi (sebab­itu
ia mengagumi Lee Kuan Yew dan memuji Soeharto). Ia mendahu-
lukan perbaikan taraf ekonomi, sampai tumbuh kelas mene­ngah­
yang bebas dari Negara, sampai tercapai pendapat­an per kapita
tertentu. Ia penerus Edmund Burke yang melihat revo­lusi dan
rakyat dengan cemas. Ia mempertahankan teori Seymour­Martin
Lipset bahwa ”kian kaya sebuah bangsa, kian besar kansnya un-
tuk mempertahankan demokrasi.”
Sebab itulah, baginya, prioritas pertama dalam membangun­
sebuah bangsa bukanlah memberi rakyat banyak kesempatan
langsung untuk mempengaruhi kebijakan. Zakaria mendahulu­
kan didirikannya lembaga-lembaga untuk mengembangkan
”kons­titusionalisme”, dengan peradilan yang mandiri, hak-hak
http://facebook.com/indonesiapustaka

minoritas yang terjaga, begitu juga kemerdekaan lain manusia—


meskipun tak dijelaskannya dari mana datangnya sebuah kekua-
saan untuk menjalankan itu semua.
Tak aneh bila Zakaria pun muram tentang Indonesia. Bagi­
nya, ”Indonesia pada tahun 1998 bukanlah sebuah calon ideal­

26 Catatan Pinggir 7
SYAK

untuk demokrasi.” Sebab dari semua negeri Asia Timur, Indone-


sialah yang paling bergantung pada sumber alam. Dalam teori
Zakaria, di sebuah negeri yang seperti itu—misalnya Arab Sau-
di yang bergantung pada minyak—tak cukup orang yang, kare-
na kebutuhan hidup, bergerak menjalankan ekonomi. Mereka-
lah kelas menengah yang tak disuapi sang penguasa dan mereka-
lah sendi demokrasi. Zakaria kembali ke tesis klasik Barrington
Moore: tak ada kelas menengah, tak ada demokrasi.
Maka di matanya, demokratisasi Indonesia yang tergopoh itu
hanya membawa hal-hal buruk. GDP mengkeret sampai hampir
50 persen. Sistem politik yang terbuka ”menghamburkan kaum
fundamentalis Islam yang, di sebuah negeri tanpa sebuah bahasa
politik yang cukup, berbicara dengan sebuah wacana yang dike-
nali—wacana agama.” Jika berhasil, kata Zakaria, kebangkitan
Islam politik di Indonesia akan mengancam sifat negara yang tak
berdasar agama ini dan ”mengembangbiakkan gerakan separa-
tis.”
Tapi tentu saja Zakaria salah, setidaknya separuh. Indonesia
tak seperti Brunei yang bergantung benar pada petrodolar diser-
tai sebuah sistem politik yang memandang Sultan sebagai sang
pemilik yang tak harus memperbaharui mandatnya tiap lima ta-
hun sekali. Kelas menengah di Indonesia memang masih lemah,
pendapatan per kapita rendah, tapi masih harus dilihat, tidakkah
politik di Indonesia sebenarnya diarahkan oleh mereka yang ber-
pendapatan per kapita US$ 3.000 ke atas.
Hasil Pemilihan Umum 1999 pun tak seperti yang diduga­
Zakaria: ”wacana agama” memang menonjol, tapi segalanya­di-
http://facebook.com/indonesiapustaka

perdebatkan secara terbuka, sebab sebelumnya, kemerdekaan


bersuara dan berserikat telah direbut. Maka keragaman pen­dapat
pun tampak, juga antara mereka yang menyebut diri ”po­litisi Is-
lam”. Kaum ”fundamentalis” tak menyebabkan per­ubahan kons­
titusi hingga Indonesia jadi ”Negara Islam”.

Catatan Pinggir 7 27
SYAK

Saya kira, di situlah berkah demokrasi: ia melahirkan kuasa


yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kese­
pakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas.
Maka jika kini bom dan waswas bisa menghilangkan kesabar­an
itu, kita tahu apa yang menunggu.

Tempo, 17 Agustus 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

28 Catatan Pinggir 7
SCHWARZENEGGER

J
IKA ide tentang rakyat adalah ide tentang pasar, dan pe­
milih­an umum jadi toko kelontong besar, demokrasi akan
memilih seorang Arnold Schwarzenegger.
Laris, laris, praktis!—itu mungkin teriak penjaja dalam po­
litik di sebuah zaman ketika media akhirnya menyederhanakan
segala hal. Pilihlah dia. Tak perlu program. Tak perlu sebuah lem-
baga yang mengelola seleksi kepemimpinannya. Tak perlu orang
ramai tahu adakah mutunya telah teruji untuk memimpin sebuah
masyarakat yang, sebagaimana lazimnya, penuh dengan konflik.
Yang perlu adalah apa yang dalam pemasaran dan periklanan di­
sebut brand-name, atau merek, atau logo, yang mudah dikenal.
Praktis: tidak perlu menelisik dan mencari-cari lagi.
Saya tak hanya menulis tentang California. Indonesia yang tak
lama lagi akan memilih presidennya barangkali akan me­ng­alami
proses yang kini terjadi di negara bagian Amerika­ Serikat yang
mengandung Hollywood di salah satu sudutnya itu. Di Cali­for­
nia, para pemilih lebih cenderung kepada selebritas­ ketimbang
par­tai-partai. Kini orang ingin menerapkan demokrasi yang
langsung sebagaimana mereka jadi konsumen yang memesan
baju, perhiasan, film, lagu, langsung melalui Internet.
Tanpa perantara, tanpa panduan seorang connoisseur, mere­ka­
bersua dengan begitu banyak pilihan. Juga pilihan calon kepa­la
negara bagian mereka. Ketika Schwarzenegger muncul, seba­gai­
mana ia muncul dalam Terminator, sebuah film yang dinikmati
http://facebook.com/indonesiapustaka

hampir semua orang, orang pun bertepuk: nah, ini dia!


Di Indonesia, Pemilihan Umum 2004 tampaknya belum
akan menampilkan seorang bintang film tenar. Tapi di sini pun,
orang akan menghadapi jorjoran sekian puluh partai­politik yang
hampir semua tanda gambarnya tak bisa kita ingat.­Pemilihan ta-

Catatan Pinggir 7 29
SCHWARZENEGGER

hun depan buat pertama kali juga akan jadi sebuah persaingan
sekian puluh calon presiden, yang prestasinya hanya sayup-sayup
sampai ke telinga banyak orang.
Pada saat yang sama, para pemilih sedang kecewa. Mereka­ke-
hilangan kepercayaan kepada partai-partai, sebagaimana mereka­
tak punya banyak harapan kepada kerja para wakil di DPR dan
DPRD. Apa gerangan yang jadi pedoman bagi para pemilih
kelak?
Pernah kita berangan-angan bahwa akan ada saatnya, ke­ti­ka­
rakyat lebih ”sadar politik”, mereka akan memilih berdasarkan­
pertimbangan yang rasional: menelaah agenda yang ditawarkan­
sang calon, meneliti prestasi dan tabiatnya, dan mem­banding­
kan­nya dengan partai dan tokoh lain. Pernah kita percaya bahwa
karena pendidikan sudah semakin membaik (sebuah premis yang
entah datang dari mana), Indonesia akan melahirkan pemimpin
yang mencerminkan tingkat kecerdasan baru itu. Tapi apa yang
kemudian terjadi?
Dulu, Indonesia pernah dipimpin Bung Karno, seorang lulus­
an perguruan tinggi dengan erudisi yang mengesankan, dengan
tulisan-tulisan yang terpelajar, tajam, dan menggugah. Kini ki­
ta tak tahu apa gerangan yang pernah ditulis (atau di­pikir­kan)
Me­gawati. Dulu, Indonesia pernah punya Bung Hatta, seorang
ekonom yang banyak membaca, menelaah, mengutarakan pikir­
an, dan tak henti-hentinya berjuang bersungguh-sungguh hing-
ga ia baru menikah setelah Indonesia merdeka. Kini kita punya
seorang Hamzah Haz....
Agar tak tampak bahwa Indonesia hanya satu-satunya kisah
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke­merosotan, baiklah saya sebutkan bahwa Amerika Serikat juga


punya pengalaman mirip: negeri yang pernah punya presi­den
seorang Thomas Jefferson ini—seorang filosof, ilmuwan, arsitek,
penemu—sekarang mendapatkan seorang George W. Bush, yang
dengan pengetahuan umum yang terbatas mengutarakan yang

30 Catatan Pinggir 7
SCHWARZENEGGER

hanya sedikit diketahuinya dalam bahasa Inggris yang juga ter-


batas.
Tapi apa lacur, dia, seperti Megawati, juga dipilih. Tampak-
nya, di tengah hiruk-pikuk apa dan siapa para tokoh yang berseli-
weran, dia adalah sebuah Coca-Cola atau McDonald’s. Seperti
Schwarzenegger, dia punya brand-name (”Bush”) yang sudah
dikenal orang banyak.
Agaknya sesuatu telah berlangsung dalam politik dewasa
ini—sesuatu yang barangkali bisa disebut sebagai peng-kelon-
tong-an informasi. Di toko kelontong, bermacam ragam hal di-
tawarkan. Tak ada yang telah diseleksi lebih dulu, menurut jenis,
tingkat mutu, dan segmen pembeli. Dewasa ini, itulah yang ter-
jadi—melalui Internet, iklan televisi dan radio dan surat kabar,
me­lalui berita yang datang setiap jam dan hampir dari segenap
penjuru. Semuanya menghambur serentak. Semuanya tak akan
tertelan oleh siapa pun. Dan ketika para konsumen merasa mam-
pu langsung menentukan pilihannya, mereka pun akhirnya ber-
pedoman kepada ”laris, laris, praktis”. Pasar seakan-akan jadi to-
tal.
Apa pun yang dikatakan kaum ”neo-liberal”, ada yang ter­
ancam­ ketika pasar jadi total: ketika perhitungan laku dan tak
laku, laris dan tak laris, menguasai semuanya, dan ketika tak ada
mediasi lagi antara yang menawar dan yang menawarkan—kare-
na mediasi itu pun ditentukan oleh kriteria laku atau tak laku.
Pernah ada masanya kita tahu bahwa buku yang laris belum tentu
buku yang bermutu. Pernah kita mendasarkan informasi kita ten-
tang ”bermutu” atau ”tidak” kepada satu atau dua orang penilai­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berwibawa. Tapi dewasa ini, bukan penilaian para penilai


itu saja yang digugat. Bahkan ide tentang ”bermutu” itu sendi­
ri­ sudah dirobohkan, seakan-akan di sana ada kekuasaan para
cendekia yang memaksa.
Wibawa dianggap sebagai sebuah dosa. Para cendekia kini

Catatan Pinggir 7 31
SCHWARZENEGGER

telah jadi makhluk yang dicurigai. Tapi orang lupa bahwa pasar­
yang total hanyalah sebuah ilusi. Selalu ada mediasi: agen-agen
periklanan yang canggih dan humas yang bisa membuat merah
atau biru apa saja yang hitam. Dengan kampanye yang dibiayai
uang berjuta-juta, bukan konsumen yang memilih, me­lain­kan­
konsumen yang dipilihkan. Benetton, Bush, Estee Lauder, Mega-
wati, BMW, Nike, Schwarzenegger....

Tempo, 24 Agustus 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

32 Catatan Pinggir 7
Technē

L
ADANG yang kering, sungai yang sat, hutan yang ter-
bakar, ribuan orang yang mati karena suhu yang menye­
ngat, tenaga listrik yang gagal.... Hampir bersamaan, du-
nia dipukul oleh galaknya Alam dan gagalnya teknologi, ketika
kemarau begitu terik dan musim panas begitu ganas. Seakan-
akan Eropa, Amerika, Asia, Afrika mendadak serentak ”terkebe-
lakang”. Seakan-akan di semua tempat itu hidup manusia kem-
bali dikungkung Nasib dan Kebetulan yang tak bisa ditangkal.
Pada saat seperti ini umumnya kita akan mendengar orang
ber­kata tentang datangnya ”balasan” bagi ketakaburan manusia.
Dan Tuhan pun akan disebut.
Tapi benarkah ketakaburan manusia selalu bertentangan de-
ngan kesadaran akan Tuhan? Manusia memang bisa memaklum-
kan, bahwa ia tak ditentukan oleh hakikat atau esensi; ia ”men-
jadi” dalam eksistensi. Ia bisa menunjukkan bahwa ia, yang me­
nurut ”hakikat” (apa itu?) tak bisa terbang, ternyata kemudian
bisa mengarungi angkasa. Kini jenis kelamin bisa diubah, kema-
tian bayi bisa dicegah, harapan untuk hidup bisa diperpanjang.
Berangsur-angsur, kodrat atau nature, begitu juga Nasib dan Ke­
betulan, jadi barang yang ganjil.
Ada yang mengatakan bahwa keadaan itu keliru, sebab ia
”asing”.­Banyak yang mengatakan bahwa ”mengalahkan Alam”
ini adalah tema utama kesadaran Eropa. Pada tahun 1930-an, pe-
nyair Sanusi Pane (juga Sjahrir, aktivis politik) mengibaratkan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Eropa (”Barat”) sebagai Faust. Dalam drama yang ditulis Goethe,


terutama di buku kedua, Faust memang manusia yang menghim-
pun pengetahuan, menaklukkan bumi, dan membangun per­
adab­an.
Tapi ada yang dilupakan Sanusi Pane dan Sjahrir ketika meng-

Catatan Pinggir 7 33
technē

gunakan Faust sebagai alegori: sosok yang seperti itu sebenarnya


baru pada abad ke-19, lewat karya Goethe. Jauh sebelumnya,
dalam legenda rakyat, tokoh Faust adalah seorang peramal nasib
dan ahli sihir—satu bagian dari imajinasi yang dibentuk oleh ke-
percayaan tentang Nasib dan Kebetulan. Ia bukan sosok modern.
Dengan kata lain, tampaknya tak ada satu jenis Faust. Juga tak
ada satu jenis Arjuna.
Sanusi Pane—yang memuja apa yang dibayangkannya seba­­­
gai­ ”Timur” dengan model apa yang dibayangkannya se­bagai­
”India”—mengemukakan sebuah ibarat tandingan: Ar­juna.­
Agak­nya bagi Sanusi, kesatria Pandawa dalam epos Maha­bharata
ini seorang yang hidup bersatu ke dalam Alam dan menyerap du-
nia dalam kontemplasi.
Tapi bisakah kita lupa bahwa setidaknya separuh dari sosok­
Arjuna adalah seorang penakluk? Bahkan ketika ia memutuskan
untuk bertapa, sebagaimana dikisahkan dalam cerita wayang­
Begawan Mintaraga. Sebab bertapa punya dua momen yang ber­
kait. Momen pertama adalah ketika manusia merunduk, menye­
rahkan diri kepada sebuah adidaya yang berada di atas keter­ba­
tasan insani. Momen kedua ketika ia menaklukkan alam dalam
ra­ganya (ia, Mintaraga) dan menjadi diri yang éling lan waspada,­
yang ”sadar dan waspada”. Dengan kata lain, ketika ia meng­
ambil­posisi sebagai satu subyek, atau kesadar­an, yang kukuh dan
mandiri, mengatasi carut-marut dunia. Ia sepenuhnya identik
de­ngan Karsa. Dalam kisah Mintaraga, ia adalah Karsa untuk
mendapatkan sebuah senjata yang amat sakti—buat mengalah-
kan liyan, ”yang-Lain”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam posisi itu, bertapa bukanlah momen Sidharta Gautama­


yang bermeditasi di bawah pohon Bodhi. Dalam mencapai sunya­
ta, setiap ”kini” Gautama adalah keabadian yang menggetar-
kan. Sebaliknya Mintaraga: ia tak melibatkan diri­da­lam ”kini”.
Ia melihat ke masa depan. Ia melakukan in­vestasi:­kelak, setelah

34 Catatan Pinggir 7
technē

pengorbanan pada hari ini, kekuasaan (senjata ”Pasopati”) akan


bisa diperoleh dan digunakan. Arjuna adalah seorang modern.
Ia menempuh sebuah laku yang produktif. Ia lebih dekat ke-
pada yang disebut Aristoteles sebagai technē , bukan theoria, bu-
kan pula praxis. Dengan theoria manusia membentuk teori, de-
ngan praxis ia menjalankan laku moral dan politik. Melalui pro­
ses­ menjadi Mintaraga dan dengan bantuan para dewa, Arjuna
memproduksikan kekuasaan, seperti Faust yang dibantu Mefis-
toteles.
Sering terpikir oleh saya, jangan-jangan tak ada perpisah­an
yang radikal antara yang modern dan yang pra-modern: antara­
Faust si peramal yang hendak menggapai masa depan dan Faust si
penakluk alam yang hendak membangun masa depan. Atau an-
tara Arjuna pada momen pertama bertapa dan Mintaraga pada
momen berikutnya.
Sering terpikir oleh saya, jangan-jangan pelbagai ajaran agama
yang menampik pandangan sekuler, yang meletakkan manusia di
atas semuanya, pada dasarnya mengulang sekularisme itu dalam
cara lain—terutama ketika tiba saatnya agama berniat mengha­
sil­kan manusia yang teguh beriman secara dahsyat: manusia yang
se­lalu di ”jalan lurus”, sesuai dengan sebuah desain, cocok de-
ngan akidah.
Dengan kata lain, ketika akidah menjadi teknik (dari kata
Technē ) yang merancang manusia agar tak tergantung kepada­
Na­sibnya yang lemah dan mudah berdosa, dan agar manusia siap
menghadapi Kebetulan, godaan yang memergokinya di jalan.
Hukum dan fikih mungkin sebuah teknologi penye­la­mat­an.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi tiap hukum, sebagaimana teknologi, mereduksi hidup,­


me­nyederhanakannya, agar bisa mengendalikannya. Padahal ki­
ta tahu dalam hidup selalu ada yang tak bisa dikendali­kan, bah-
kan tak seluruhnya bisa diungkap, dirumuskan, dan diukur. Da­
lam hidup selalu terkandung ”bumi”—setidaknya dalam penger-

Catatan Pinggir 7 35
technē

tian Heidegger. ”Bumi menghantam tiap usaha untuk menem-


busnya,” kata pemikir ini, yang mengecam humanisme lama ini.
”Bumi menampilkan diri hanya ketika ia tetap tak terungkap
dan tak terjelaskan.”
Saya ingat kata-kata itu sekarang: ladang yang kering, su­ngai­
yang sat, hutan yang terbakar.... Mesin, dan pelbagai ”jalan­ lu-
rus” lain, tampaknya tak bisa terus-menerus mencegahnya.

Tempo, 31 Agustus 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

36 Catatan Pinggir 7
NIPPON

Pendiriankoe sekarang tetaplah soedah,


Berdjoeang sampai sa’at jang achir,
BERSAMA NIPPON, madjoe melangkah,
KEBESARAN ASIA MESTILAH LAHIR ....
—Hamka, ”Diatas Roentoehan Malaka-Lama”, dalam Pandji Poestaka,
No. 25, 1943

B
ANYAK orang yang salah harap dan salah sasar pada ta-
hun 1943. Hamka adalah salah satu di antaranya. Ketika­
itu Indonesia diduduki Jepang, negeri yang mendamik
dada sebagai pembebas Asia, kekuatan yang meneriakkan slogan­
”Ing­gris kita linggis, Amerika kita setrika!” Seperti banyak sastra­
wan dan tokoh masyarakat di masa itu, Hamka juga menghunus­
kata ”berdjoeang”, ”madjoe” dan ”Asia” dengan tangkas—ter­
kadang terlampau tangkas.
Saya pernah bertemu dengan seorang yang ingat bahwa pada
su­atu hari tahun 1940-an itu ia melihat Hamka, novelis­(Tengge­
lamnya Kapal Van der Wijk, Di Bawah Lindung­an Ka’bah) yang
sudah mulai diakui sebagai seorang tokoh masya­rakat muslim,
naik kuda ke esplanade Kota Medan, seraya diikuti­orang ramai
yang berlari-lari, untuk menunjukkan kesetiaan kepada Maha-
raja Hirohito nun jauh di negeri Nippon.
Benar atau tidak Hamka melakukan itu, tekad dalam sajaknya­
yang dimuat Pandji Poestaka yang saya kutip di atas menun­jukkan
ke mana anginnya bertiup. Itu tak sendirian. Jika kita baca seja­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rah dengan saksama, kita akan menemukan tokoh pergerakan


na­sional Bung Karno menganjurkan pemuda­ Indonesia masuk
Ro­musha, hingga berduyun-duyun orang bekerja sampai ke ta-
nah jauh, sampai mati sengsara, untuk­ke­pentingan Jepang. Pe-
nyair Sanusi Pane, penganut theosofi,­menganggap perang yang

Catatan Pinggir 7 37
NIPPON

di­lancarkan kaum militer dari Tokyo­sebagai ”Perang Suci”. Pa-


kar hukum Supomo memandang bentuk negara fasis di bawah
Maharaja Hirohito sebagai teladan.
Dilihat pada hari ini, posisi seperti itu (ada yang kemudian­
me­­nyebutnya sebagai sikap para ”kolaborator”) tampak tak ge­mi­
lang sama sekali. Bahkan memalukan. Pandangan yang­tersirat
di sana sering hanya gema dari argumen kalangan cerdik pandai
Jepang yang mendukung perang yang sedang berkecamuk. Pe­
rang­itu memang oleh pemerintah mereka disebut dengan gagah
sebagai ”Perang Asia Timur Raya”, tapi bagi ba­nyak manusia
lain—terutama mereka yang hidup di Cina, di Nanking khusus-
nya—ia sebuah keganasan yang terorganisasi.
Tapi tentu saja dapat dilihat cara lain: tekad ”BERSAMA
NIPPON madjoe melangkah” itu di Indonesia tumbuh dari ke-
pedihan hidup di bawah kolonialisme Eropa, guncangnya harga
diri, kebutuhan yang akut untuk punya identitas sendiri. Bahkan­
tanpa dijajah pun, benturan dengan apa yang sering dianggap se-
bagai ”Eropa” atau ”Barat”—atau apa yang disebut sebagai ”mo-
dernitas”—amat merisaukan. Sebab itulah masa itu para cende­
kia­wan Jepang mencoba menelaah kemungkin­an jalan lain:
”meng­atasi modernitas” (kindai no chôkoku).
Pemikiran ”Mazhab Kyoto”, dengan tokoh sentral Nishida
Ki­taro (1870-1945), berada di ujung tombak gerakan ini. Tapi
pada akhirnya argumennya bisa dilihat sebagai sederet apologi
bagi watak totaliter dari nasionalisme.
Dalam versi yang saya sederhanakan, pemikiran Nishida
meng­­anggap manusia tak mungkin bersifat universal. Saya ingat­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ucapan Mayor Okura dalam novel Kalah dan Menang S. Takdir


Alisjahbana, bahwa mustahil untuk mengatakan manusia itu sa­
tu. Baginya, tempat dan komunitas menentukan subyek. Itulah
inti ”logika tempat” (basho no ronri), dalam filsafat Nishida. Du-
nia di luar sana tak terpisah dari aku di sini.

38 Catatan Pinggir 7
NIPPON

Dengan itu Nishida membantah dasar pikiran modern yang


dimulai oleh Descartes. Proses yang menyebabkan Descartes bisa
mengatakan cogito ergo sum dimulai dengan ”aku yang berpikir”
yang mempertanyakan ”dunia yang dipikirkan”. Mempertanya­
kan, meragukan, berarti juga melepaskan diri. Dan tak hanya
me­misahkan diri. Dalam pemikiran modern,­subyek (”aku yang
berpikir”) adalah pemegang peran yang mewujudkan dan mem-
bentuk sekitarnya. Dunia dikonstruksikan dan alam dikalahkan
dari sini.
Bagi Nishida, betapa salah pendirian itu. Baginya, renung­an
Descartes lahir dari hanya satu cara tertentu, yakni cara analitik.­
Padahal ada cara lain menerima dunia: bukan dengan analisis
yang mengurai-memisahkan, melainkan dengan menyerapnya
secara intuitif sebagai keseluruhan antara ”aku di sini” dan yang
lain yang di luar sana itu.
Tapi ada kritik yang bisa ditembakkan ke arah Nishida, yang
me­nunjukkan bahwa ia sebenarnya tak berhasil ”meng­atasi” mo-
dernitas. Basho no ronri-nya hanya membalikkan pemikir­an Des-
cartes. Ia tak bisa melepaskan diri dari dikotomi yang ditentang-
nya sendiri. Ia menganggap tempat (”Jepang” atau ”Asia”) sebagai­
sesuatu yang di luar subyek, mutlak,­ dan bisa didefinisikan ter­
sendiri. Ia mengabaikan persoalan bahwa apa itu ”Jepang”, apa
itu ”Asia”, sebagaimana apa itu ”Barat”, pada­akhirnya ditentukan­
oleh sebuah subyek dengan ke­kuasa­­annya sendiri.
Tapi Nishida tidak unik. Pikirannya sebenarnya tak banyak­
ber­beda dengan pandangan yang sering ingar pada hari ini. Dan
bukan cuma nasionalisme.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dasar pandangan ini adalah juga sebuah ilusi geometris.­De­


ngan­ kata lain, pandangan yang melihat subyek, dan cara­nya­
meng­hayati nilai-nilai, sebagai bagian dari identitas ”tempat”
atau ”ruang” yang homogen (”Timur”, ”Amerika”). Kalau tidak,
ia dilihat sebagai bagian ”waktu” yang bisa dipetak-petak sebagai

Catatan Pinggir 7 39
NIPPON

ruang (”zaman jahiliah”, ”Abad Pertengah­an”). Dan sebagaimana­


layaknya ruang, subyek dan nilai-nilainya pun (”beradab”, ”bia­
dab”,­”beriman”, ”murtad”, dan lain-lain) seakan-akan dapat di-
tentukan batasnya, dapat diperbandingkan luas dan dalamnya.
Seakan-akan hal-hal itu akhirnya bisa dan harus dibakukan—se-
belum dibekukan.
Bukankah dari sini (dan tak hanya ketika Hamka dan lain-
lain menjunjung ”Perang Asia Timur Raya”) subyek yang berbe-
da, yang ganjil, akhirnya mati ditenggelamkan?

Tempo, 7 September 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

40 Catatan Pinggir 7
11/9

S
AYA coba mengingat lagi New York 11 September 2001,
pagi, satu setengah jam sebelum Menara Kembar di World
Trade Center diserang. Saya duduk di sebuah kursi di se-
buah taman kecil tak jauh dari Penn Station, minum kopi dari ge-
las kertas, sendirian, memandang ke jalan.
Hari baru saja menyingsing kerja, tapi telah terdengar suara
se­orang penginjil kaki lima yang menyeru, di seberang sebuah
hotel, lewat pengeras suara: ”Ke mana Anda akan tinggal di alam
barzakh?”
Sekian puluh menit kemudian kota pun guncang. Dua pesa­
wat ditabrakkan ke dua gedung tinggi tak jauh dari Wall Street.
Ledakan dahsyat menyusul. Menara Kembar itu runtuh bergan-
tian. Sekitar 3.000 orang terbakar, tertimbun gedung, terlontar
dari pucuk, atau dalam keadaan ketakutan, meloncat sekian ra-
tus meter ke bawah. Hancur. Kekejaman itu seakan-akan mence­
mooh bahwa hidup bukan apa-apa. Para teroris itu seakan-akan
berseru, ”Ayo, mati ramai-ramai!”
Tapi benarkah hidup cuma seperti sebuah gerak jalan anak-
anak—berbaris santai dari titik A ke titik B, kemudian bubar?
Sang penginjil di tepi jalan itu menjanjikan keabadian. Para pem­
bajak, yang pagi itu siap mati sebagai syuhada, mem­bayang­­kan
firdaus. Di kaki lima dan di angkasa mereka semua meyakini
”alam barzakh”. Hidup seakan-akan ditampik.... Tapi barangkali­
ada yang keliru di sini. Hidup tak ditampik. Hanya ada sesuatu
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang Mutlak yang bisa mengabaikannya.


Hanya yang Mutlak dan rasa benci yang menegaskan paradoks­
itu: hidup harus dihancurkan karena ia begitu berharga. Hanya
yang Mutlak dan rasa benci juga yang bisa membuat kehidupan
jadi dua kubu yang pasti: kita dan mereka. Dan kata itulah yang

Catatan Pinggir 7 41
11/9

disebut banyak orang Amerika setelah 11 September 2001: ”Ke-


napa mereka membenci kami?”
Sebuah pertanyaan yang wajar—meskipun yang dipersoal­
kan­ bukan benci. Sebagaimana yang mungkin berkecamuk di
ke­pala para teroris, yang dipersoalkan adalah mereka dan kami.
Fokus perhatian tak diarahkan untuk mencari jawab kenapa kini
kebencian berkecamuk di pelbagai bagian dunia. Yang jadi obse­si
adalah merumuskan posisi kami dan mereka, mengutarakan ke­
istimewaan kami dan keanehan mereka.
Patriotisme memang sering seperti api lilin di dalam tong:
terang, tapi terkurung. Di Gedung Putih dan Pentagon orang tak
melihat bahwa rasa benci dan teror bukan hanya diderita orang­
Ame­rika. Bahkan ratusan orang asing, terutama Pakis­tan,­­yang
jadi buruh di World Trade Center, tewas pada tanggal 11 Septem-
ber yang mengerikan itu. Kata kami hari itu seharusnya berlaku
ba­gi siapa saja, di bagian dunia mana saja, tempat orang-orang
yang tak bersalah dibunuh untuk pernyata­an politik. Kata mere­
ka juga tak seharusnya hanya terbatas kepada­yang asing, yang di
luar tapal batas dan tak mengibarkan Bintang-Garis.
Tapi ini memang sebuah masa nasionalisme yang patologis­da­
lam sejarah Amerika. Di Gedung Putih dan di Pentagon, dan­ju­
ga di pelbagai negara bagian, orang kian menebarkan perseteruan
kami dan mereka—dan sebuah benteng raksasa pun ditegakkan,
pintu gerbangnya dijaga ketat, dan menara­ pengintainya di­ba­­
ngun­­canggih. Tak selamanya itu ber­hu­bung­­an dengan kesiaga­
an­anti-teror.
Clyde Prestowitz, dalam Rogue Nation, sebuah buku yang­
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­nguliti tendensi AS hari ini untuk menutup diri dari dunia,­


mendaftar perilaku pemerintah Bush. Dengan melihat­diri begi-
tu kuat untuk berdiri sendirian di atas bumi, AS pun menjadi­kan
PBB sasaran olok-olok. Bahkan sebelum Perang Irak dilancarkan
tanpa mengindahkan organisasi bangsa-bangsa itu, pelbagai per-

42 Catatan Pinggir 7
11/9

janjian internasional sebenarnya sudah dijauhi—termasuk Kon-


vensi Pengaturan Senjata Kimia, Konvensi Anti-Penyiksaan Ta­
han­an, dan Konvensi Internasional Hak Anak. Dan kita semua
tahu AS tak hendak mengakui Mahkamah Pidana Internasional
yang disepakati negara-negara Eropa.
Kita memang bisa memandang semua itu sebagai campur ba­
ur antara paranoia dan ketakaburan. Tapi mungkin ada se­suatu­
yang lain dalam postur ini—postur yang diwakili oleh kaum
Kristen Kanan yang kini amat berpengaruh. Prestowitz mengu­
tip kata-kata Herman Melville, pengarang Moby Dick dari abad
ke-19: ”Kita orang Amerika adalah Bangsa Terpilih yang Khas—
bangsa Israel pada zaman ini.”
Bahasa Melville adalah bahasa Alkitab. Dalam kata-kata itu
terkandung sebuah ”janji” yang akan dipenuhi oleh Tuhan,­janji
tentang sebuah tanah yang kaya susu dan madu dan sebuah kota
yang bersinar di atas bukit. Mungkin semacam surga,­ tak jauh
dari yang dibayangkan sang pengkhotbah di tepi jalan Kota New
York....
Saya ingat Regis Debray, ketika cendekiawan terkemuka
Pran­cis itu membandingkan Eropa dan Amerika. Terbentuk oleh
tra­­disi Puritanisme Kristen, kata Debray, AS adalah ”sandera dari
se­buah moralitas suci”. AS memandang diri ditakdir­kan untuk
jadi wadah Kebaikan, dengan misi untuk menghancurkan Ke-
durjanaan. ”Percaya kepada Petunjuk Allah,” tulis Debray pula,
”Amerika menjalankan sebuah politik yang pada dasarnya ber­
sifat­theologis.” Dan kuno.
Eropa telah melalui yang kuno itu. Ia telah mengalami buruk­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya perang yang memakai ”moralitas suci” dan mengikuti­ ”Pe-


tunjuk Allah” berabad-abad yang lalu. Ia telah menanggungkan
sengketa yang berdasarkan keyakinan absolut, juga dalam Nazi­
isme dan Komunisme. Eropa, kata Debray, ”telah selesai me­na­
ngisi­hilangnya yang Mutlak”. Bagi Eropa, planet­ini terlampau

Catatan Pinggir 7 43
11/9

kompleks untuk diterangkan dengan sebuah ”logika monoteistik


yang biner”—hitam atau putih, mulia atau durjana, kawan atau
lawan.
Saya mencoba mengingat New York 11 September 2001: sang
penginjil, para teroris, imbauan surga, bendera-bendera yang na-
sionalistik, kami dan mereka, hitam dan putih....

Tempo, 14 September 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

44 Catatan Pinggir 7
IMAM (1)

D
ENGAN mata membelalak, dengan teriak, dengan
nama Tuhan dan tangan yang diayunkan, Imam Sa­
mudra­sebenarnya tak mengagetkan. Ia ingin menun-
jukkan bahwa ia tak gentar. Ia juga tak menyesal. Pengadilan
mem­buktikan ia bersalah telah merancang pembunuhan besar-
besaran yang terjadi di Bali pada Oktober 2002 itu, ketika bom
meledak di sebuah kafe yang padat di Kuta. Hakim memutus-
kan: ia dihukum mati. Tapi hukuman itu akan dijalaninya—be-
gitulah ia percaya—sebagai kesempatan untuk menjadi syuhada.
Ia yakin bahwa Taman Firdaus menantinya.
Syuhada sebenarnya bukan hanya sebuah cerita tentang iman
dan keberanian. Sebagaimana halnya pahlawan, ia petunjuk ten-
tang sebuah masyarakat yang tak berbahagia. Bila orang hanya
jadi berarti sesudah mati, pasti begitu buruknya kehidupan. Keti-
ka orang harus menjalankan dan mengalami­sesuatu yang brutal
karena masa depan yang indah (dalam bentuk sebuah masyara-
kat yang ideal atau sebidang surga yang asyik), pasti ada yang tak
beres dalam masa kini. Maka ”yang-kelak” harus dibayar oleh
”yang-kini” dengan amat mahal, dengan­kematian dan kekejam­
an. Seperti diutarakan oleh dua baris dalam sebuah sajak Bertolt
Brecht:

Ah, kita yang coba membuka tanah


yang ramah
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kita sendiri tak akan ramah

Persoalannya, tentu, apa yang dibayangkan sebagai ”tanah­


yang ramah” itu, sehingga yang ”tak akan ramah”, bahkan yang­
ke­jam, harus dilakukan. Bagi Brecht, seorang sosialis, ”tanah” itu

Catatan Pinggir 7 45
IMAM (1)

pasti bukan Firdaus di akhirat buat diri sang syu­hada­sendiri­—se-


perti kenikmatan seorang borjuis yang diperoleh setelah ia mena-
namkan modalnya dalam keadaan penuh­ri­siko­pada hari kema-
rin. Dalam cita-cita dan perjuang­an politik­umum­nya, masyara-
kat masa depan itu adalah sesuatu­yang dalam pelbagai hal lebih­
baik ketimbang masyarakat sekarang—dan dengan demikian,
yang mati, yang mengorbankan diri, hadir merendah, bahkan
menghilang, di tengah-tengah derap­bersama. Itu sebabnya ada
penghormatan istimewa bagi ”pahlawan tak dikenal”.
Adapun Imam Samudra ingin mati syahid dan masuk surga
.... Tapi baiklah kita katakan bahwa ia melakukan dua hal seka-
ligus: menggapai Firdaus yang penuh bidadari itu untuk dirinya
sendiri dan sekaligus menghasilkan sesuatu untuk ”bersama”—
yang agaknya diterjemahkannya sebagai ”umat”. Namun ada
per­bedaan antara para pelaku pengeboman Bali dan para teroris
seperti yang dilukiskan Albert Camus dalam Les Justes. Kedua-
dua­nya memang tak sepenuhnya melakukan kekejaman itu un-
tuk diri mereka sendiri. Tapi bila dalam Les Justes, membunuh se­
orang yang duduk di takhta adalah bagian dari aksi politik, tak
begitu jelas begitukah halnya dalam hal bom di Bali yang mele-
dakkan hampir 200 orang yang tengah bersenang-senang di kafe
itu.
Aksi politik bertujuan merebut kekuasaan—dan itulah yang
ada dalam agenda kaum revolusioner Rusia, tokoh-tokoh dalam
Les Justes. Bom yang diledakkan dan juga para pelaku­nya­hanya
salah satu unsur dalam sebuah strategi. Di kalang­an kaum revo­
lusioner itu, ada musuh yang didefinisikan secara jelas: kekua-
http://facebook.com/indonesiapustaka

saan Tsar dan struktur kekuasaan itu, yang harus dihabisi.


Tapi apa strategi dan apa musuh Imam Samudra? Merebut ke­
kuasaan ”Amerika”?
Tak mudah menjawab itu. Kata ”Amerika” dapat berarti­ba­
nyak: sebuah negeri, atau sebuah bangsa, atau sebuah pe­me­rin­

46 Catatan Pinggir 7
IMAM (1)

tahan, atau sebuah gaya hidup, mungkin sebuah kebudaya­an.


Tak setiap orang Amerika menjalankan ”gaya hidup Ame­rika”,
sebagaimana tak selamanya ”bangsa Amerika” identik­ dengan
”pemerintah Amerika”. Tak jauh berbeda dari itu adalah sebutan
”Zionis”. Seorang ”Zionis” bisa berarti seorang Yahudi,­tapi juga
bisa berarti seorang yang meyakini paham Zionisme. Namun tak
semua orang Yahudi penganut Zionisme, dan tak semua penga-
nut Zionis mempunyai satu paham politik. Maka ”Amerika” se­
ba­gai apa yang akan dikalahkan? ”Zionis” dalam arti apa yang
harus dihabisi?
Kerancuan ini jelas membedakan terorisme di Bali dari sebu­
ah aksi politik. Sebuah aksi politik akan berangkat dari sebuah
kata yang sama tentang musuh, tapi dengan dua pengerti­an dan
fungsi yang berbeda. Yang pertama adalah pengertian definitif,
untuk merumuskan sasaran secara persis: ”Amerika” secara spesi-
fik berarti, misalnya, ”pemerintah Bush”. Dengan itu ditentukan
pula bagaimana ia dikalahkan, sesuai dengan kondisinya yang
khu­sus, dan dengan cara yang cocok—yang tak selamanya me-
lalui kekerasan. Yang kedua, kata ”Amerika” atau ”Zionis” adalah
pengertian konotatif, mirip dengan stigma, sesuatu yang tak per-
sis, malah mendekati gelap, sebuah kata yang dipakai untuk men-
cari dukungan orang ramai agar sama-sama membenci, memo-
jokkan sang lawan.
Tapi politik menghilang ketika sebutan yang konotatif men-
jadi sepenuhnya pengertian definitif, dan jihad muncul. Dalam
sebuah ”perang suci”, sang Setan tak pernah jelas sosok­nya. Tak
pula ia bertahan di satu tempat, di suatu waktu. Sebuah ”perang
http://facebook.com/indonesiapustaka

suci” tak punya patokan yang jelas, bagaimana dan bila ”pihak
sini” menang dan ”pihak sana” kalah. Yang berlaku bukan ”tu-
juan menghalalkan cara”, sebab ”tujuan” itu tak dirumuskan.
Akhirnya ”cara” itu jadi tujuan. Perang itu berkecamuk kapan
saja, di mana saja. Ia seakan-akan di luar ruang dan waktu. Ia bu-

Catatan Pinggir 7 47
IMAM (1)

kan sebuah praxis. Ia sebuah langkah kosmis.


Perang di luar sejarah itukah yang hendak dilancarkan Imam
Samudra—dan sebab itu tak perlu dipikirkan kapan Amerika ka-
lah, bagaimana Amerika kalah? Jika demikian, yang utama bu-
kanlah ”membuka tanah yang ramah” seperti disebutkan dalam
sajak Brecht. Yang utama adalah pensucian diri terus-menerus.
Persekutuan dengan orang lain pun tak perlu. Maka politik pun
dinafikan, rembukan, rundingan, dan komunikasi, dianggap tak
penting—dan hidup, sebenarnya, kian menjadi mustahil.

Tempo, 21 September 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

48 Catatan Pinggir 7
MUSUH

M
AYORITAS dengan mudah menang, tapi dengan mu-
dah pula membeku, dan kemudian mencekik. ”Mu-
suh paling berbahaya bagi kebenaran dan kebebasan,”
kata Dr. Stockman dalam Musuh Masyarakat, ”adalah mayoritas
yang kompak.”
Saya kira bukan kebetulan bila karya Henrik Ibsen dari tahun
1882 ini dipentaskan sekarang oleh Actors Unlimited­dari Ban­
dung,­ketika reformasi politik Indonesia berubah masam,­ketika
orang menemukan bahwa suara terbanyak ter­nyata hanya­mela-
hirkan Megawati dan Hamzah Haz. Ditulis oleh Ibsen dengan
luar biasa cepat, Musuh Masyarakat (En folkefiende) memang be-
rangkat dengan niat berpolemik. Ia melawan­suara yang di akhir
abad ke-19 itu berkumandang di Eropa,­bahwa demokrasi, opini
publik, dan moderasi adalah hal-hal yang harus dimuliakan.
”Saya seorang aristokrat,” tulis Ibsen. Aristokrasi berarti­ pe­
nam­pikan suara yang datang dari bawah. Dalam Musuh Masya­
rakat, penampikan itu tampak bahkan dalam bangunan­ lakon
ini. Ibsen menampilkan Dr. Stockman, seorang pejabat­kesehat-
an yang terpelajar, lurus hati, dan berani. Ia dengan berapi-api
mengatakan, ”Saya di pihak yang benar,” di hadapan­orang ramai­
yang menentangnya—dan tak secercah pun argumen mereka
mempengaruhi posisinya.
Ia kukuh sebab ia merasa punya bukti. Dokter ini menemukan­
bahwa air pemandian di kota pantai di selatan Norwegia itu, tem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pat ratusan pendatang berkunjung untuk berobat­— dan menja-


dikannya ”urat nadi” kehidupan penduduk—ternyata­ me­ngan­
dung­insuforia yang berbahaya. Di sini Ibsen­tak hanya menam­
pilkan Stockman yang teguh, bahkan tegar. Ibsen juga tak mem-
beri kesempatan cukup kepada suara lain untuk beroleh nilai.

Catatan Pinggir 7 49
MUSUH

Dalam lakon ini, sang wali kota tampak sebagai seorang politi-
kus yang hanya memikirkan sumber hidup­kota. Sang wartawan,
Hovstad, akhirnya hanya mengutamakan para pelanggan koran-
nya, wakil ”opini publik” itu. Sang pengusaha, Aslaksen, cuma
mem­pertahankan milik, dan ketika ia mengimbau perlunya ”mo­
derasi”, ia adalah suara borjuis kecil yang takut akan segala yang
ekstrem. Seluruh warga kota tampak sebagai kawanan: tak jauh
dari hitungan laba dan rugi, mereka membeku, tak berani untuk
berubah, berbeda. Mereka bungkam suara yang bebas, juga suara
mereka sendiri.
Dengan kata lain, sang pengarang—ingat, ia seorang ”aris-
tokrat”—hadir ibarat Tuhan yang tak bahagia. Stockman ada­
lah­rasulnya yang menyodorkan kebenaran yang tak bisa dikom-
promikan. Mungkin itu sebabnya lakon ini kurang te­rasa­sebuah
proses; ia terasa sebagai sebuah percakapan yang di­bebani dan di­
kendalikan oleh sebuah ide (atau keyakinan, atau amarah) besar
yang tunggal. Ide tunggal itu—bahwa mayoritas adalah musuh
kebenaran dan kebebasan—begitu­menguasai­cerita, hingga la-
kon ini, yang sepenuhnya berpusat­ dalam kata-kata Stockman,­
akhirnya tak mempersoal­kan benar atau tidaknya pencemaran
terjadi di air pemandian. Yang jadi fokus: keteguhan hati Pak
Dok­ter, yang di akhir lakon berkata, ”Orang terkuat di dunia
ada­lah ia yang tegak sendirian.”
Sebenarnya aneh. Teater, berbeda dengan pamflet, bukan se-
buah suara seorang yang tegak sendirian. Teater tak hidup dari sa­
tu sisi. Teater adalah tempat di mana bahkan suara dan titah sang
pujangga (kita ingat kata author membentuk authority) tak hadir
http://facebook.com/indonesiapustaka

mutlak. Bahkan dalam bentuk monolog sekalipun, sebuah pe-


mentasan yang berhasil tak akan bergerak di garis lempang yang
membatasi lakon, yang menutup kemungkinan tumbuhnya hal-
hal yang tiap kali bisa berbeda. Sebab teater, seperti demokrasi,
bukan sebuah arena tempat perbeda­an dikalahkan sejak layar di­

50 Catatan Pinggir 7
MUSUH

buka. Teater, seperti demokrasi, tak dibangun dari sebuah kenya­


taan hidup yang jernih dan jelas.
Saya kira di situ letak kesalahan Ibsen, sang ”aristokrat”.­Rasul­
nya, Stockman, berangkat dari hasil penelitian labo­ratorium.­
Kon­k lusinya: ada sesuatu yang beracun dalam air pemandian.
Tak lama kemudian ia menyimpulkan bahwa ada insuforia yang
lain: bahwa massa, mayoritas yang kompak itu, ”meracuni sum-
ber kehidupan moral kita dan menjangkiti tanah tempat kita ber­
diri.”
Artinya, dengan satu analogi mendadak, Stockman menyeja-
jarkan air pemandian dengan kehidupan moral—seakan­-akan
kehidupan moral pun dapat ditilik dari luar, dingin, dari mik-
roskop, dengan konsistensi ilmu-pasti. Pangkal tolak­nya adalah
rasio, yang ia kira mampu membaca dan menguasai­alam dan hi­
dup.­Ia seorang Descartes baru—seorang yang menganggap ke-
hidupan bersama seharusnya dibangun de­ngan­ sebuah desain
yang sadar. Seorang Descartes yakin bahwa­sebuah kota memer-
lukan bimbingan seorang perekayasa­yang pintar, ulung, dan per-
kasa. Baginya, hidup seharusnya tak membiarkan hal yang tak
ter­duga-duga muncul dan mengganggu desain besar itu—seperti
sang pemabuk yang bersuara ganjil di tengah para peserta rapat
umum yang berderap seia-sekata.
Apa beda, kemudian, antara si Descartes baru dan mereka
yang seia-sekata itu? Apa beda antara Stockman dan ”mayoritas­
kompak” yang dimusuhi dan memusuhinya? Sang dokter me-
mang tampak sebagai subyek yang seakan-akan tanpa sejarah,
tan­pa badan, tanpa kepentingan, yang melahirkan dan jadi fon-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dasi bagi dirinya sendiri. Sementara itu, para warga kota seakan-­
akan terapung-apung, hanya mewakili naluri untuk menyela­
mat­kan perut dan properti.
Tapi sebenarnya beda itu tak amat jauh. Keduanya posisi­yang
satu ”ya”, satu ”kata”. Yang menonjol dari ”mayoritas­yang­kom-

Catatan Pinggir 7 51
MUSUH

pak” adalah sifatnya yang ”kompak”. Keduanya meng­hen­daki


hi­dup yang bisa dimanipulasi dan dikuasai, menampik yang tak
ajek dan tak pasti.
Dalam arti tertentu, itulah sikap anti-teater dan anti-demo­
krasi. Tentu saja jika demokrasi, seperti teater, sebenarnya bukan­
lah proses untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk
meng­hadapi kesalahan, dan mengatasinya, terkadang dengan se­
dih, terkadang dengan ketawa.

Tempo, 28 September 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

52 Catatan Pinggir 7
SAID

K
ABAR tentang Edward Said meninggal saya baca di se-
baris sandek. Kalimat itu muncul di layar telepon geng-
gam ketika saya tengah duduk di depan sebuah lampu
meja yang penyungginya terbuat dari batu berukirkan dua sosok
penari: sebuah nukilan Borbudur.
Kabar datang, pergi, informasi melintas cepat-cepat. Mung­
kin­­ sebab itulah orang membangun monumen. Memahat­ ada­
lah­ mengingat. Atau sebaliknya: sejarah ingin dipahat, ditulis­
kan dengan huruf kapital ”S”, tapi segala yang datang dan pergi
tak bisa disusun dalam kronologi dan tema besar. Mereka terus
mengerumuni kita, merasuki kita. Dan Sejarah pun seakan-akan
mengunjal napas, capek dan gaek, di hadap­an kini. Kini itu tak
kun­jung berhenti. Yang terpeluk oleh Sejarah hanya segala yang
telah lewat, reruntuhan.

”The sigh of History rises over ruins...”

Edward Said meninggal, dan aneh bahwa saya teringat po­


tong­an kalimat Derek Walcott itu. Sang penyair Karibia­tengah­
melukiskan sebuah sore di sebuah dusun Trinidad ketika orang-
orang keturunan India mempertunjukkan satu versi­Ramayana di
lapangan desa. Bendera warna-warni berkibar, bocah-bocah ber-
pakaian merah dan hitam mengarahkan panah­mereka ke cahaya­
setelah siang, dan di arah sana tampak dua bangunan bambu,­ba­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gian dari patung dewa yang nanti akan dibakar. Para penabuh
tabla telah menyalakan api. Langit­mulai gelap. Burung-burung
ibis yang kemerahan terbang pulang.
Di lapangan itu, para aktor Ramayana di dusun Trinidad
itu­­ bukan hendak menegakkan kembali masa lampau. Mereka

Catatan Pinggir 7 53
SAID

hanya ingin bermain, menjalankan ritus. Lanskap itu sebuah la-


pangan yang hidup dan hiruk. Kejadian itu bukan wakil sebuah
”periode”. Ia bukan secuil contoh dari satu ”zaman”. Di sini, di
ma­na-mana, suara Sejarah luruh. The sigh of History dissolves....
Tapi bila Sejarah sebenarnya tak mampu menyusun peta wak-
tu, sebagaimana geografi tak bisa menyusun peta bumi dan peng­
huni—karena hal-hal itu selalu berubah, karena­ variasi­ mereka­
tak tepermanai—dengan cara apakah kita mampu membaca­
garis hidup dan memahami dunia? Yang pasti, kita tak akan bi­sa
membacanya utuh. Mengetahui adalah menguasai,­tapi itu ikh­
tiar yang tak kunjung sampai. Sebab itulah cerita pengetahuan
adalah cerita mobilisasi sehimpun lembaga, teknologi, dan mo­
dal.­Pengetahuan pun berbaur dengan kekuasaan. Pengetahuan
men­jadi kekuasaan.
Bertahun-tahun Edward Said dikenal dengan premis á la Fou-
cault itu, dan dengan itulah karya besarnya, Orientalism, selalu­
diperbincangkan. Mungkin karena ia sebuah polemik yang di­
tembakkan ketika imperialisme dibongkar: sebuah serangan ke
sejumlah besar karya para ilmuwan, pemikir, dan penulis di Ero-
pa. Mereka ini bagian dari usaha kolonialisme, kata Said. Mereka
menghadapi lanskap yang hidup dan hiruk di luar lingkup mere­
ka, dan mereka meringkas dan meringkus; mereka membentuk
sebuah Sejarah. Di bungkusnya mereka capkan label ”Timur”
dan ”Barat”. Walhasil, ”Timur” adalah sebuah sistem pelukisan
tentang sebuah dunia ”lain” yang oleh kekuatan politik diberi
rangka tertentu untuk disajikan untuk disiasati orang di ”Barat”.
Dengan semangat polemis yang sama Said juga menunjukkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahwa ”Eropa” memang butuh satu sosok yang berbeda agar ia


bi­sa memperjelas identitasnya sendiri. Maka ”Eropa” pun mem-
bentuk sebuah Sejarah dan Peta yang secara esensial lain, bahkan
berlawanan. Tentu saja bagi Said, ”esensialisme” ini sewenang-
we­nang. Dalam edisi 1995 dari buku terkenalnya itu ia mengu­

54 Catatan Pinggir 7
SAID

tuk tiap ”usaha untuk memaksa kebudayaan dan orang-orang ke


dalam jenis dan esensi yang terpisah dan beda.” Sebab, katanya,
”posisi palsu ini menyembunyikan per­ubahan sejarah.”
”Palsu”—dengan hasil yang salah. ”Pertimbangkan, besar­
nya­Asia yang direduksi jadi fragmen-fragmen ini...,” tulis Derek
Walcott, yang juga tak percaya bahwa Sejarah bisa ditulis bahkan
tentang serpihan Ramayana di dusun Trinidad itu. Dari Said kita
juga belajar bahwa semua gambaran tentang ”Asia”, sebagai dis­
course, selalu diwarnai oleh bahasa, budaya, institusi, dan suasana­
politik si orang yang membuat gambar. Semuanya bukan ”ke-
benaran”.
Begitulah, Said adalah sebuah kritik. Tapi sebagaimana­ la­
zimnya sebuah polemik, Orientalism kadang terlalu bersemangat
menembak, dan meleset. Ia lupa bahwa hubungan antara penge-
tahuan dan kekuasaan tak hanya terbatas dalam discourse yang
topang-menopang dengan imperialisme ke dunia ­”Timur”. Hei-
degger, sebelum Foucault, telah memaparkan bahwa sejak masa
So­krates dan Plato di Yunani, cara manusia (Eropa) berpikir telah
mengarah ke meringkus dan meringkas dunia di luar dirinya—
dan tendensi ini diperkeras oleh penerjemahan konsep Yunani
lama oleh semangat imperial Romawi.
Cara berpikir itu tak ayal merasuki gambaran Said sendiri ten-
tang para ”Orientalis”. Ia membangun satu Sejarah dari sebuah
lapangan pemikiran yang hidup dan hiruk. Ia tak memberi ke-
mungkinan sesuatu yang berbeda, bahwa di Eropa, ”Timur” tak
selamanya dilukiskan sebagai sesuatu yang harus­ dijajah agar
beradab—misalnya ketika Voltaire di pertengah­an abad ke-18
http://facebook.com/indonesiapustaka

memuji Islam dan mengejek Gereja Katolik. Said begitu berapi-


api mengecam pengetahuan ”Barat” tentang ”Timur” sehingga ia
(dan juga para pengagumnya) sering tak hendak melihat kesalah­
an pengetahuan ”Timur” tentang dirinya sendiri.
Tapi di situ pula Said menyiratkan kepedihan: menghadapi­

Catatan Pinggir 7 55
SAID

kekuasaan yang bertaut dengan pengetahuan, menghadapi sen-


jata, harta, dan kata-kata yang begitu kuat dan menaklukkan, ia
berangkat untuk membebaskan. Bukan kebetulan ia seorang Pa­
les­tina.
Tapi kini ia meninggal, dan seorang teman mengirim­ seba­
ris sandek: ”Kenapa saya sedih?” Kenapa kita sedih? Mung­kin­
karena hati kita adalah Palestina, jawab saya, pernah me­rasa­kan
bagaimana diringkas, diringkus, dan dibungkam di dunia.

Tempo, 5 Oktober 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

56 Catatan Pinggir 7
RUMAH

T
UAN bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan
ru­­mah. Seperti biasa saya punya jawab yang panjang,
membingungkan, dan tak menarik. Sebab saya ingat
akan sebuah sajak Chairil Anwar tentang rumah dan tak be-
rumah—tentang kepastian dan ketidakpastian:

Banyak gores belum terputus saja


Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya...


Sudah itu tempatku tak tentu di mana

Ada kontras yang langsung dalam sajak itu. Rumah yang rapi
dan terang itu adalah kelanjutan dari sebuah riwayat dan sekali­
gus harapan yang tak bisa dipenggal—salah satu dari ”gores
[yang] belum terputus”. Tapi pada saat yang sama, di dalam­nya
ada yang tak permanen. Perubahan yang drastis, per­pindahan
yang tak menentu, juga keresahan dan kepergi­an, akan datang
menyusul: ”Sudah itu tempatku tak tentu di mana”.
Rasanya tak kita dengar sebuah keluh dan sesal dalam baris
terakhir Chairil Anwar itu. Bagi si ”aku” dalam puisi itu, ke­tidak­
tentuan adalah sesuatu yang tak tersingkirkan, juga bila ia ber­
ada dalam sebuah ruang dengan riwayat yang intim dan panjang.­
Sajak ini mengakui bahwa dalam ketenteraman itu selalu ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang lain, yang bukan-ketenteraman. ”Satu rumah kecil putih de­


ngan lampu merah muda” itu memang sebuah kosmos alit yang
utuh, tapi di dalamnya selalu terkandung khaos yang tak tampak.
”Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran”, tulis Chairil
da­lam bait berikutnya. Dan pada akhirnya kita pun terban, seper­

Catatan Pinggir 7 57
RUMAH

ti diembus angin, ”tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi..!?”.


Tuan bertanya tidakkah saya takut akan kehilangan rumah.
Saya cenderung bertanya kembali dengan pertanyaan panjang
yang tak menarik: apa yang kini tersisa dari lokalitas dan stabi­litas
yang pernah ada dahulu? Tuan lihat: kini begitu banyak orang di-
gusur, begitu banyak orang mengungsi. Saya sering dengar­ajaran
yang mengibaratkan manusia sebagai tanaman: punya petak, pu-
nya letak, punya akar. ”Akar” jadi hal yang mustahak. Seorang
penulis pernah mengutip Heidegger yang bertanya, ”Masih ada-
kah rumah yang memupuk akar, di mana manusia selamanya
berdiri... dalam keadaan bodenständig?”
Heidegger: pemikir ini dengan nostalgia seorang Jerman tua­
bisa dengan terharu bicara tentang sebuah rumah petani abad ke-
19 di Hutan Hitam di dekat Freibourg. Ia memang salah satu sua­
ra abad ke-20 yang menyaksikan teknologi dengan­cemas, salah
satu kritik murung Eropa yang letih oleh kemajuan. Dalam ce-
ramah memperingati 175 tahun kelahiran komponis Conradin
Kreutzer, Heidegger menunjuk bahwa­ teknologi secara hakiki
mengancam ”keberakaran manusia di hari ini”. Di tempat lain di
masa lain, Gaston Bachelard juga menyesali­perkembangan Paris
yang mengubah ruang jadi mandul: di kota itu, kata penulis La
poétique de l’espace ini, ”rumah tinggal telah jadi sekadar horizon-
talitas”.
Namun kritik kepada modernitas—dalam arti dorongan me­
naklukkan alam dan menjadikannya ruang tanpa kedalam­an—
tak sepenuhnya menjawab, benarkah ”akar” begitu sen­tral­dalam
hidup manusia. Tidakkah teknologi memberikan sesuatu yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

lain, yakni kemerdekaan?


Dalam hal ini Chairil Anwar bisa mengejutkan dan sekaligus
fasih. Dalam sebuah sajaknya yang lain ia—merasa ter­impit di se-
buah ruang yang pasti—menyatakan sebuah alternatif:

58 Catatan Pinggir 7
RUMAH

Kita terapit, cintaku


—mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—
Mari kita kepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat

—the only possible non-stop flight

Terbang dan mengarungi samudra dengan kapal udara mau-


pun laut, menjelajah dengan Internet yang tak bertempat,­semua
itu dimungkinkan oleh teknologi—dan manusia pun bebas
membuat ”jiwa” jadi ”merpati” yang tak ”terapit” dan ”me­ngecil
diri”. Kita pun mengarungi keluasan tak henti-henti,­ tak takut
bila akhirnya kita tak ”mendapat”. Dan rumah pun jadi bagian
dari mobilitas, dan arsitektur tak lagi merancang kastil yang
gelap berat, melainkan konstruksi yang ringan bagaikan kemah
musafir. Atau gubuk para gelandangan dan bedeng para peng­
ungsi.
Rumah petani di Hutan Hitam itu akhirnya hanya dalam ke-
nangan. Tapi nostalgia memang sebuah paradoks. Ia mendekat-
kan kita dengan apa yang tak lagi dekat. Mungkin karena hidup
bukanlah sepenuhnya kehadiran, melainkan juga ketidakhadir­
an? Rumah—meskipun bukan sebuah puri yang angker—bisa
merupakan kehadiran yang membatasi. Tapi bahkan dengan ke-
cenderungannya yang konservatif pun Heidegger melihat peran­
perbatasan sebagai sebuah awal. ”Sebuah perbatasan bukanlah­
suatu tempat di mana sesuatu berhenti,” katanya dalam sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

ceramah untuk satu simposium tentang ”manusia dan ruang”


pada tahun 1951. Sebuah perbatasan, katanya, ”Adalah dari ma­
na sesuatu memulai geraknya untuk hadir.” Dengan kata lain, ke-
merdekaan itu ada justru di antara ketidakmerdekaan.
Maka apa arti sebuah rumah, sebenarnya? Sebuah ruang hi­

Catatan Pinggir 7 59
RUMAH

dup­di mana ada kemerdekaan. Ketika rumah kehilangan sifat-


nya itu, ia pun jadi sesuatu yang lain—mungkin sepetak bumi
berpasir hisap yang menyedot kita ke kematian. Sebab itu rumah
(juga tanah air dan tiap ruang tempat kita mempertautkan diri)
adalah sebuah ekspresi dan sekaligus sebuah rekaman perjalanan
penjelajahan. ”Rumahku dari unggun-timbun sajak,” kata sebaris
sajak seorang penyair Belanda yang disa­dur Chairil Anwar.
Pada akhirnya, paradoks itu memang tak terelakkan. Manusia­
berdiri bertaut dengan bumi, selalu dalam bodenständig, tapi kita
tak mungkin terjebak di dalam pot dan petak tanah. Tak meng­
he­rankan bila—meskipun ia menakutkan rusaknya ”akar”—
Heidegger juga mengutip penyair Johann Peter Hebel:­ ”Kita
tanaman, yang... harus bangkit dengan akarnya, dari bumi, jika
ingin­berbunga di udara terbuka...”.
Takutkah saya kehilangan rumah? Bukankah kita akan selalu
kehilangan rumah?

Tempo, 12 Oktober 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

60 Catatan Pinggir 7
GELEGAR

D
UA gelegar mengagetkan seperti petir—api murub—
asap hitam membubung—pekik berpuluh-puluh sua­
ra­kesakitan yang serentak.... Kebuasan itu memang bi­
sa tampak seperti sebuah spectacle, baik di New York pada tahun
2001 maupun di Bali pada tahun 2002.
Kita seakan-akan menyaksikan lukisan Hutan Terbakar Ra­
den Saleh dalam tiga dimensi, atau satu adegan opera Götterdäm­
merung karya Wagner. Mungkin sebab itu, ketika dua pesawat
Boeing 767 ditabrakkan para teroris ke Menara Kembar di New
York, dan bangunan kukuh itu runtuh, dan 3.000 mati, Stock-
hausen, komponis Jerman terkenal itu, berucap, ”Itulah karya se­
ni terbesar untuk seluruh kosmos.”
Tapi orang marah mendengarnya. Teror sebagai karya seni,
kor­­­ban sebagai tontonan, para pembunuh sejajar dengan para je­­
ni­us? Stockhausen dikecam; sejak itu ia tutup mulut. Tapi sa­lah­
kah­­sang komponis untuk mengatakan demikian, di zaman ke-
tika setiap benda, setiap tindak, dapat dinyatakan seba­gai ”seni”?
Pada tahun 1911 pelukis Marcel Duchamp meng­ikut­sertakan
sebuah sentoran kencing ke dalam sebuah pameran seni rupa di
New York. Sebuah ”revolusi” pun terjadi. Pada tahun 2001 se-
harusnya tak mengejutkan lagi jika Stockhausen membaptiskan
penghancuran Menara Kembar sebagai sebuah ”karya seni”.
Apa gerangan ”seni” dan apa gerangan yang bukan? Di mu­
seum­seni rupa Tate Modern, London, ada sebuah karya Paul Mc-
http://facebook.com/indonesiapustaka

Carthy, Rocky (1976). Karya itu sebuah rekaman video: si seniman­


telanjang, memasang sarung tinju, wajahnya ditutup­topeng bi-
natang; seraya seakan-akan menyerang memukul,­ia meninju tu-
buhnya sendiri. Kini orang bisa menunjukkan­inilah beda antara
McCarthy dan seorang Palestina yang meledak­kan dirinya sendi­

Catatan Pinggir 7 61
GELEGAR

ri: Rocky diletakkan di Tate Modern karena ia dinyatakan seba­


gai ”seni” dan dibuat oleh seorang seniman.
Itulah hasil sampingan ”revolusi” Duchamp: berseni atau ti-
daknya X tak lagi ditentukan oleh indah atau tidaknya X, me-
lainkan sepenuhnya oleh sebuah fatwa. Bagaimana X menyentuh­
hati para penikmat atau pengamat, tak lagi penting. Hubungan
antara X dan penikmat bahkan praktis tak dibicarakan. Sang se­
niman adalah Sang Penentu. Beberapa tahun­yang lalu Danarto­
memasang sebuah kanvas kosong, putih, di sebuah pameran Ta-
man Ismail Marzuki. Karena ia seorang Danarto—waktu itu ia
telah diakui sebagai sastrawan yang memulai penulisan ”realisme
magis” di Indonesia dan juga seorang pelukis—kita pun diyakin­
kan bahwa kanvas kosong itu sesuatu yang punya potensi untuk
menyentuh hati dan menimbulkan permenungan, misalnya ten-
tang ”sepi” dan ”ketiada­an”.
Dengan begitu sang seniman diletakkan dalam posisi dengan­
fondasi kukuh. Tapi sebenarnya itu hanyalah separuh cerita.
Separuh lainnya menunjukkan bahwa posisi itu didapatnya juga
karena ada pusat kesenian, atau sebuah galeri ternama, atau kare-
na seorang kurator yang johari dan sejumlah kritikus yang menu­
lis di media tenar. Diakui atau tidak, sang seniman adalah sebuah
tokoh yang ditopang oleh institusi dan geografi yang ”tepat”. Se-
andainya Danarto menggantungkan pigura kosongnya di pojok­
stasiun bus, orang mungkin akan memakainya untuk tempat
pengumuman ”Awas Copet!”
Seperti Danarto, Stockhausen punya otoritas, Stockhausen
bi­sa dibungkam, atau jadi lucu, tapi bagaimanapun, sebuah fat-
http://facebook.com/indonesiapustaka

wa tetap krusial. Gelegar dan kebuasan yang spektakuler 11 Sep-


tember 2001 itu memang bisa dianggap bukan ”karya seni”, se-
bab Muhammad Atta dan kawan-kawannya tak menyatakan diri
mereka seniman dan tak hendak mempersembahkan teror itu se-
bagai sebuah performance. Tapi pentingkah niat mereka? Harold­

62 Catatan Pinggir 7
GELEGAR

Rosenberg, kritikus seni rupa untuk The New Yorker, pernah me­
ngatakan bahwa sepotong kayu yang diketemukan di pesisir bisa
saja jadi ”seni”.
Dengan kata lain, selama sebuah otoritas membaptiskan sesu­
atu sebagai ”seni” atau ”seni modern”—sepotong kayu di pasir,
sebuah jembatan yang dibungkus terpal, sebuah piano yang di-
rusak, mungkin juga sebuah gedung yang dihancurkan—semua­
nya­bisa dikeramatkan dalam wacana kesenian.
Memang di situ tampak ada otoritas yang begitu kuasa, hingga­
bisa memfatwakan X jadi Y begitu saja. Tapi yang me­risau­kan bu-
kan itu. Yang merisaukan juga bukan anarki dalam menilai. Su-
san Buck-Morss, dalam Thinking Past Terror: Islamism and Criti­
cal Theory on the Left (Verso, 2003), dengan tepat menunjukkan
ada yang lebih mencemaskan: pembenaran ”ontologis”.
Pembenaran ontologis adalah yang mengatakan, ”Karena X
ada di Taman Ismail Marzuki, maka X sebuah karya seni.” Ini
berbeda dengan pembenaran ”epistemologis”, yang mengata­kan,
”Karena X adalah sebuah karya seni, maka ia ada di Taman Is-
mail Marzuki.”
Pembenaran ontologis juga bisa kita temukan dalam pernyata-
an ini: ”Karena AS negeri yang beradab, ia menghormati­hak asasi­
manusia.” Pembenaran epistemologis: ”Karena AS menghormati
hak asasi manusia, ia sebuah negeri yang ber­adab.”­
Dalam pembenaran ontologis, apa pun yang dilakukan AS,
ka­rena negeri ini menurut definsinya ”beradab”, tak akan me­
lang­­­gar hak asasi. Sebaliknya dalam pembenaran epistemolo­gis,
ma­sih ada kemungkinan untuk dipersoalkan, benarkah AS se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

buah­­negeri yang beradab.


Sama halnya dengan perkara lain: ”Karena aku berjihad, ma­
ka­ jalanku secara definisi suci.” Ini berbeda dengan pernyataan
ini: ”Karena yang kujalankan sesuatu yang suci, maka aku berji-
had.” Statemen terakhir ini membuka diri untuk ditelaah, benar­

Catatan Pinggir 7 63
GELEGAR

kah yang kujalankan ”sesuatu yang suci.”


Pembenaran epistemologis memang mengandung ke­ter­­­buka­­­
an, pertanyaan, dan sikap kritis—juga kepada diri sen­diri.­Pem-
benaran ontologis tidak. Dan agaknya itulah yang berlangsung
ketika ”aku” berilusi bahwa ”aku”-lah yang punya­fondasi untuk
me­nentukan yang indah dan tak indah, yang suci dan tak suci.
Da­ri sini apa pun akan tampak sah, juga ke­kejaman, gelegar bom,
jerit kematian....

Tempo, 19 Oktober 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

64 Catatan Pinggir 7
KORUPSI

K
ORUPSI adalah korupsi karena sebuah garis batas. Kita
ingat­Si Mamad. Ia mengambil setumpuk kertas milik
kan­tor yang kemudian dijualnya—dan ia merasa ber-
salah. Rasa bersalah itu begitu kencang mengganggu pegawai ke-
cil ini, hingga ia menggelikan dan sekaligus mengenaskan, dan
sebab itulah film Sjumandjaja dari tahun 1973 ini, yang diolah­
dari sebuah cerita An­ton Chekov pada abad ke-19, jadi satu kisah
me­narik. Ia tak me­maparkan kejahatan, melainkan kesadaran.
Mamad, dengan baju dinasnya yang kuno dan kereta anginnya
yang tua, sadar bah­wa ada sebuah garis batas yang telah dirusak­
nya, dan tindak itu adalah korupsi.
Tapi dari mana datangnya garis itu, sebenarnya?
Di permukaan, ia bermula dari perbedaan antara konsep
”mi­lik sendiri” dan ”milik orang banyak”. Dalam bentuk­nya­
yang terburuk, milik ”orang banyak” itu adalah milik ”publik”.­
Seorang koruptor bukan seorang pencopet yang mencuri dompet­
milik orang seorang. Namun benarkah Si Mamad (dalam cerita
aslinya ia bekerja di sebuah kementerian) merasa bersalah karena
me­nyadari ia korupsi?
Mungkin tidak. Ada pendapat, pengertian ”publik” adalah
bagian dari kesadaran modern. Di dunia tradisional, demikian­
dikatakan, tak ada garis batas antara yang ”negara” dan yang ”pri­
badi”, sejajar dengan tak ada garis batas antara yang ”publik” dan
yang bukan. Ketika Bupati Lebak dalam novel Max Havelaar me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

minta rakyat memberikan persembahan bagi diri­nya, Havelaar,


asisten residen Belanda itu, mendakwanya ”korupsi”. Tapi benar­
kah? Ada yang membela bahwa sang Bupati (seperti Raja Louis
XIV yang menyatakan l’ état c’est moi) memang sejak dulu meng­
anggap Lebak, juga rakyat dan upeti mereka, adalah bagian dari

Catatan Pinggir 7 65
KORUPSI

miliknya, bahkan dirinya.


Dengan kata lain, Havelaar yang berapi-api itu memakai se-
buah dalil ”modern” ke sebuah dunia ”pra-modern”. Ia meleset.
Namun saya mengerti kenapa Si Mamad merasa bersalah­dan
Ha­velaar marah. Bukan sebab kesadaran ”modern” rasa­nya,­tapi
karena di situ ada sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam, yakni
soal ”adil” dan ”tak adil”—ihwal yang telah me­risau­kan manusia­
sejak sebelum datang negara modern dengan legislasinya. Saya
kira dari situlah lahirnya garis batas yang saya sebut tadi.
Korupsi dianggap salah karena ia ”tak adil”: perbuatan itu
meng­hasilkan sesuatu yang berlebihan—uang, kekuasaan, nama
baik, juga kekejaman—yang secara berlebihan pula merugikan
orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Maka bi­
sa dimengerti kenapa bukan cuma Havelaar yang marah. Seper­ti
ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam karyanya yang ter-
kenal tentang pemberontakan petani Banten­ pada abad ke-19,
orang-orang udik itu pun melawan, seraya berharap datangnya
”Ra­tu Adil”.
Angan-angan atau bukan, ratu yang adil tak selamanya diang-
gap berasal dari seberang samudra dongeng. Dulu saya per­nah­
membaca satu fragmen sejarah Jawa Tengah abad ke-7, tentang­
Ratu Sima yang melarang orang mengganggu barang yang bukan­
miliknya. Syahdan, suatu hari seorang pangeran melihat sekan-
tong emas di jalan. Ia menyepaknya. Baginda Ratu pun menghu­
kum anak kandungnya itu. Dongeng atau bukan dongeng, ceri-
ta ini mencerminkan hasrat untuk yang ”adil”: di sana hukum
berlaku bagi siapa saja, dan ada penangkalan terhadap ”nepotis­
http://facebook.com/indonesiapustaka

me”—biarpun ini abad ke-7.


Kemudian lahir negara modern. Juga di Indonesia. Negara­
mo­dern sesungguhnya adalah sebuah bangunan yang berusaha­
agar soal ”adil” dan ”tak adil” tidak diputuskan hanya karena
kebetulan dan karena nasib. Seperti dibayangkan Hegel (dari

66 Catatan Pinggir 7
KORUPSI

Ero­pa yang dirundung perang dan persengketaan), ”Negara”


(dieja dengan ”N”) berarti Negara Rasional, yang mengelola ke-
bersamaan tanpa anarki ataupun tirani. Di sana hukum di­patuhi­
sebagai pengejawantahan akal budi yang universal, bukan karena­
dorongan nafsu dan kepentingan tertentu. Di sana birokrasi di­
gambarkan sebagai struktur yang ajek dan meng­ikuti­nalar.
Marx memang kemudian menunjukkan bahwa Hegel hanya­
menutup-nutupi fiil yang buruk. Bagi Marx, ”Negara” adalah se­
suatu yang menindas. Baru ketika tak ada lagi kelas sosial yang
punya kebutuhan untuk represif, Negara akan lingsir. Tapi seper­
ti Hegel, Marx membayangkan Negara sebagai suatu kehadiran,
utuh, kompak, bergeming—seakan-akan tak akan pernah ter-
jadi saling terobos antara yang ”Negara” dan yang ”bukan-Nega­
ra”, antara yang ”publik” dan yang ”privat”. Hegel dan Marx tak
membayangkan Negara sebagai sesuatu yang tak kunjung selesai.
Seandainya mereka melihat Indonesia sekarang....
Di negeri ini, Negara adalah sebuah paradoks: ia represif dan
sekaligus rentan, cerewet dan sekaligus ceroboh. Polisi­yang de-
ngan rajin menyetop sopir yang dianggap melanggar aturan Ne­
ga­ra adalah juga polisi yang siap menerima sogok. Birokrasi­yang
dengan produktif mengeluarkan regulasi adalah juga biro­­krasi
yang mengharap agar peraturan pemerin­tah sering dilanggar,
dan dengan itu si pelanggar akan membayar.
Dengan kata lain, korupsi bukanlah tanda bahwa Negara­kuat
dan serakah. Korupsi adalah sebuah privatisasi—tapi yang se­
ling­kuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagang-
kan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya­ merepotkan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tapi tanpa kewibawaan. Keadilan yang dikelola­ oleh kejaksaan


dan kehakiman bisa dibeli dengan harga tertentu,­ maka ia ber-
peran tapi tak menjadi keadilan. Kekerasan yang dimonopoli
Negara, dan dipegang oleh polisi dan tentara,­bisa jadi komoditas
seperti jasa tukang pijat, ketika seorang marinir bisa disewa un-

Catatan Pinggir 7 67
KORUPSI

tuk membunuh dan seorang anggota Kopassus bisa dibayar un-


tuk jadi bodyguard.
Berangsur-angsur, korupsi, yang melintasi sebuah garis batas,
berakhir jadi cerita hantu. Hantu itu bernama ”Negara Kesatuan
Republik Indonesia”—sesuatu yang sebenarnya bukan 100 per­
sen­”Negara”, bukan pula ”kesatuan”, sesuatu antara ada dan tia-
da, seram dan tak menentu.

Tempo, 26 Oktober 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

68 Catatan Pinggir 7
EMAK

T
ERKADANG modernitas datang di sebuah dunia yang
tak terduga. Terkadang tak jelas dari luar ataukah dari
dalam ia muncul. Kita dengar kisah Djasi’ah, misalnya.
Ia tokoh utama dalam Emak, memoar yang ditulis Daoed Joe­
soef tentang ibunya yang dikenangnya dengan penuh rasa cinta­
itu. Perempuan ini datang dari keluarga petani di Suma­tera
Utara, dan menikah dengan Moehammad Joesoef, se­orang peng­
usaha susu lembu yang juga berladang.
Pasangan suami-istri itu buta huruf Latin. Berakar di ling-
kungan Nahdlatul Ulama, keluarga itu membesarkan kelima­
anaknya dengan ritual Islam yang lazim. Tradisi tak boleh di­abai­
kan. Nasihat Djasi’ah kepada anaknya: ”Kau harus berlaku seba­
gai batang air...”. Sebab, sekalipun sungai itu tetap terus mengalir
ke muara dan semakin menjauhi mata airnya, ”ia tidak pernah
me­mutuskan diri barang sedetik dari sumbernya itu...”.
Dengan kata lain, antara muara dan sumber, antara arah dan
asal, tak jatuh bayang-bayang. Tapi kita kemudian tahu bahwa
ada bayang-bayang lain di kampung di tepi Kota Medan­ itu,
dalam empat dasawarsa pertama abad ke-20 itu, ketika hutan
masih rimbun dan sungai masih bersih. Di sana, dunia modern
tampak tumbuh tak terduga.
Djasi’ah adalah bagian dari yang tak terduga itu. Ia punya­lima
anak, tiga di antaranya perempuan, dan di antara anak­nya yang
lelaki adalah Daoed Joesoef (dibaca ”Daud Yusuf”), orang Indo-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nesia pertama yang mendapat gelar Doctorat d’Etat dengan sebut­


an­ cum laude pula, dari Universitas Sorbonne, Prancis. Daoed
Joe­­­soef sadar: ia telah bisa melintasi dunia kampung di Medan itu
dan masuk ke kancah akademi di Eropa Barat karena ia adalah
ba­gian dari kehidupan baru yang dibangun oleh seorang emak

Catatan Pinggir 7 69
EMAK

yang menakjubkan.
Djasi’ah digambarankannya sebagai seorang perempuan yang
”bertubuh langsing semampai”, ”berambut ikal dan panjang”,
ber­kulit bersih yang terawat. Tapi perempuan ini juga seorang
yang, dalam ke-20 bab buku ini, merupakan bagian dari argu-
men tentang pelbagai persoalan hidup: pendidikan, lingkungan,
agama dan masyarakat, ilmu pengetahuan.
Mungkin dengan demikian ia kedengaran terlampau me­
nak­jubkan. Tapi rasanya bukan hanya imajinasi pengarang ke-
tika dikisahkan bagaimana perempuan ini berani menentang
apa yang dianggap lazim dan baik oleh masyarakat sekitarnya.
Djasi’ah belajar naik sepeda. Dengan demikian ia jadi perem-
puan pertama di kampung itu yang berperilaku demikian, seraya
mengenakan serual (dan bukan kain) panjang.
Ia tahu orang akan bergunjing sebab itu, tapi ia tak peduli.
Ia tetap naik sepeda, seperti ia tetap mempertahankan anaknya
yang perempuan bersekolah di Meisjes Vervolgschool. Si Daoed­
juga dikirimnya ke ”sekolah Belanda”, yang oleh orang kampung
disebut ”sekolah kafir”.
Djasi’ah memang tak terduga-duga, tapi dunia modern­
datang kepadanya tak hanya dalam bentuk sepeda, atau tonil dari
Betawi, atau topi baret. Dunia itu juga tak datang dalam sebuah
ruang yang kosong. Sebab di sana terbentang sebuah masyarakat
kolonial yang tegang. Di sana telah hadir Soelaiman,­yang kemu-
dian dibuang ke Digul oleh pemerintah, dan Mas Singgih, yang
bekerja diam-diam di kalangan kuli perkebunan untuk mence-
tuskan perjuangan politik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kolonialisme sering membawa hal-hal yang tak diniatkan-


nya sendiri. Sang penjajah hendak menetapkan posisi si terjajah
di dalam dunia dan sejarah yang terpisah—yang satu ”Barat” dan
yang lain ”Timur”, yang satu ”modern” dan yang lain ”tradisio­
nal”,­ yang satu ”maju” yang lain ”asli”. Terkadang kategori itu

70 Catatan Pinggir 7
EMAK

me­lekat, tapi tak jarang si terjajah merasa terancam, terjepit, dan


ia pun menerobos keterpisahan itu.
Hasilnya adalah sebuah mimicry, seperti ketika bunglon
meng­­ubah warna tubuhnya mengikuti latar tempatnya me­nem­
pel.­ Si bunglon ingin selamat. Orang bisa mencemoohnya, tapi
pa­da saat itu, yang menyamar sebenarnya yang membebas­kan di­
ri.
Modernitas sebagai mimicry itulah mungkin yang mendorong
Soelaiman menempuh jalan ”Belanda” dengan belajar tata buku
dan hitung dagang dan bahasa Belanda serta Inggris. Seperti
Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer:
seorang perempuan yang menerobos batas gender, kelas, warna
kulit, dan menyamakan diri setaraf dengan sang Tuan.
Djasi’ah bukan Nyai Ontosoroh. Dunianya—sebagaima-
na dikenang oleh seorang anak—tak memantulkan ketegangan
masyarakat kolonial seperti yang digambarkan Bumi Manusia.
Kampung itu teramat damai, rumah terasa teramat rukun, ke-
bun, bunga, tetangga dan hutan terasa sebagai bagian dari sebuah
harmoni agung—sebuah gambaran idyllic yang hanya bisa di-
tangkap oleh nostalgia.
Tapi Emak juga tampaknya bisa menangkap modernitas se-
bagai mimicry—meskipun kiasan batang air yang saya kutip di
atas tetap melekat pada dirinya. Dengan itu, baginya modernitas
tampak tumbuh dari dalam, tanpa konflik, bukan dari luar, dari
”Barat”.
Di keluarga Joesoef yang salih itu, Islam dan ritualnya me-
mang tak menjadi lekang. Di sini agama dihayati sebagai akal,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan sebab itu bisa menangkap apa yang universal. Dengan akal,
Djasi’ah, seorang perempuan tak terpelajar di kampung Kota
Medan pada awal abad ke-20, bisa menyimpulkan hal yang sama
dengan yang disimpulkan seorang filosof Jerman abad ke-19.
Kenapa tidak? Kini orang masih belum capek bergumam ten-

Catatan Pinggir 7 71
EMAK

tang ”bentrok peradaban” seraya bimbang, mungkinkah ada


sesuatu yang ”universal” di percakapan kita—sesuatu yang bisa
menjangkau orang lain di mana saja, siapa saja. Dewasa ini, de-
ngan semangat ”bentrok peradaban”, bahkan agama diangkat
bukan sebagai salam, tapi sebagai perisai untuk menutup diri.
Pada saat seperti ini, tak ada salahnya kita ingat Emak yang
pandai memasak. Dari arah dapurnya ia menemukan kiasan lain.
Baginya, lebih baik agama ibarat garam: meresap, menyebar, dan
memberikan manfaat di mana-mana, tanpa kelihatan.

Tempo, 2 November 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

72 Catatan Pinggir 7
KAYA

D
I kampung saya semasa kecil, kami sering menghabis-
kan jam-jam menjelang berbuka puasa di sebuah mas-
jid di dekat sungai. Di ruang kiri ada orang dewasa yang
mengajarkan membaca Quran, dan di sela-sela itu beberapa­me-
nit kami menembangkan lagu yang sering disebut sebagai ”puji-
pujian” bagi Tuhan.
Pada dasarnya nyanyian itu hanya bentuk hafalan dari sejum-
lah diktum dan petuah. Saya ingat satu baris yang agak ganjil, da­
lam bahasa Jawa:

Ing donya sugih dosa


Ing akerat dipun siksa

Setelah agak dewasa kami tahu bahwa kedua kalimat itu ku­
rang-­lebih berarti ”siapa yang penuh dosa di dunia, di akhirat­ia­
akan disiksa.” Tapi waktu itu, seperti galibnya anak-anak, ka­
mi tak semuanya paham kata-kata yang kami lagukan, dan ter-
istimewa kalimat itu membingungkan: dalam melodinya, ada­
pause sejenak antara kata ”sugih” dan ”dosa”. Tentang itu, se­
orang teman yang lebih tua dan lebih lanjut bacaan Quran-nya
me­ngatakan bahwa arti kedua baris itu adalah ”barang siapa­yang
kaya di dunia” (ing ndonya, sugih), ia akan menanggung ”dosa”
(dosa) dan kelak akan disiksa di neraka.
Kami tak membantahnya, mungkin juga karena teman ini­
http://facebook.com/indonesiapustaka

datang dari sebuah rumah dengan lantai tanah, dinding anyam­


an­ bambu, tiang yang sudah aus, dan ruang dalam yang gelap.
Kini saya dapat membayangkan bagaimana dia harus mampu
mendapatkan argumen bagi keadaan dirinya, bagi nasib­nya, se-
bagai seorang anak keluarga yang melarat sejak kakek­-neneknya.

Catatan Pinggir 7 73
KAYA

Sementara ia taat beribadat. Atau ia merasa­kan ada sesuatu yang


tak adil bila para pedagang di antara te­tang­ga kami, dengan peka­
rangan luas, toko lengkap, rumah besar, dan pakaian bagus, bisa
hidup menikmati kehidupan dunia sekarang dan, insya Allah,­
juga kehidupan akhirat nanti.
Atau mungkin ada sebab lain. Jauh di lubuk tiap sikap religi-
us, yang juga menyangkut sikap ethis, selalu ada tendensi zuhud
yang melihat keduniawian sebagai cela. Pada umumnya orang Is-
lam di sekitar saya tak punya anggapan semacam itu. Tapi kami
se­lamanya ingat bahwa Nabi, yang datang dari keluarga tak ber-
punya, meskipun kemudian menikah dengan seorang wanita
ber­ada, sering pergi menjauhi Mekah yang komersial itu dan ber-
takhanus di Gua Hira. Mencari kekaya­an dapat menyesatkan,
dan contoh terburuk adalah mem­bunga­kan uang dalam riba—
satu hal yang jauh sebelum Islam juga telah dicela oleh ulama Ya-
hudi dan Gereja Kristen.
Di masa kecil di Jawa Tengah itu, ada unsur lain. Di sini, para
ning­rat memandang rendah wong ati saudagar, seperti disebut
dalam syair Wulangreh. Ini hampir tak ada bedanya dengan sikap
kaum mandarin di Cina, yang menunjukkan keunggulan kelas
sosial mereka dengan budi pekerti yang halus dan tangan lentik
yang terawat. Mereka ini, sebagaimana para samurai Jepang yang
anggun dan penuh dekorum, menganggap para pedagang ha­
nya­sejumlah makhluk kasar, licin, dan loba. Dan sebagaimana
dalam susunan kasta di India, kaum waisya dianggap lebih ren-
dah ketimbang kaum brahmana dan kesatria, di zaman Yunani
kuno Aristoteles juga menganggap bahwa warga sebaiknya tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengikuti cara ”yang vulgar dan kaum pedagang.” Ia memper­


ingat­kan orang akan bahaya pleonexia, tamak dan berlebihan.
Si kaya, dengan harta benda yang bertimbun melalui perda-
gangan, memang tak selalu diterima dengan nyaman di sepan-
jang sejarah. Seperti Yesus yang mengatakan bahwa lebih gam-

74 Catatan Pinggir 7
KAYA

pang bagi seekor unta untuk masuk ke liang jarum ketimbang


seorang kaya memasuki kerajaan Tuhan, teman saya di masjid
kampung dulu juga percaya bahwa ”sugih [kuwi] dosa.”
Tapi sejarah berjalan dengan harta bertimbun. Pada akhir­nya,
lambat laun, sikap religius dan ethis menyesuaikan diri dengan
pelbagai tendensi pleonexia itu. Gereja Lutheran yang tetap mela-
rang riba sampai tahun 1139 dan Geraja Katolik yang­menegas-
kan ajaran yang sama sampai tahun 1745 harus­menghadapi ke-
nyataan yang diungkapkan secara lucu oleh seorang penulis Italia
abad ke-14: ”Mereka yang menjalankan riba masuk neraka, mere­
ka yang gagal menjalankan riba masuk ke kemiskinan.”
Sebuah buku yang terbit tahun lalu, The Mind and the Mar­
ket, yang ditulis dengan bahasa yang terang oleh Jerry Z. Muller,
merekam perubahan sikap dan pemikiran Eropa tentang ”kapi-
talisme” dalam sejarah yang panjang itu. Buku ini adalah sebuah
kombinasi antara sejarah yang penuh anekdot dan sebuah argu-
men. Dari dalamnya kita bisa tahu bagaimana­Voltaire bukan saja
pintar memainkan uangnya, terkadang dengan cara curang, dan
men­jadi cendekiawan terkaya Eropa pada abad ke-18. Kita juga
tahu bagaimana Adam Smith, pe­ngan­jur ”masyarakat komersial”
yang kemudian disebut ”kapitalisme” itu, meninggal pada tahun
1790 dengan milik yang minim karena telah mendermakan selu-
ruh hartanya dengan diam-diam.
Juga kita tahu bagaimana orang-orang Yahudi Eropa, yang
oleh Gereja dilarang memiliki tanah, dan oleh gilda-gilda pertu-
kangan dan keahlian disingkirkan (karena mereka bukan Kris-
ten), pada akhirnya harus menjadi kaum pedagang dan bankir—
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan justru sebab itu memperoleh stigma sebagai tukang riba yang
dibenci. Dari Muller kita juga menemukan semacam sebuah plei-
doi bagi kapitalisme, atau setidaknya sebuah sikap yang meneri-
ma bahwa kapitalisme akan bersama kita untuk waktu yang pan-
jang, dan bahwa para saudagar dan pencari harta akan mengeru-

Catatan Pinggir 7 75
KAYA

muni sejarah sampai entah kapan.


Tak semua akibatnya buruk. Tak semuanya berupa dosa. Bah-
kan mungkin garis demarkasi antara yang ”dosa” dan ”bukan”­
telah luruh, perbatasan antara yang ”suci” dan ”tak suci” akhir­
nya cair. Melalui distribusi dan teknologi, khotbah­dan dakwah,
gereja dan kuil, buku sufi dan risalah radikal, pelan atau cepat
berkait dengan apa yang juga bergelimang di jalanan dengan ke­
ri­ngat orang jujur, kelicikan para penipu, penjudi, pelacur, pen-
curi—dengan kata lain, uang, modal, pasar, dan dunia yang tak
putus-putusnya resah.

Tempo, 9 November 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

76 Catatan Pinggir 7
POHON-POHON

S
IAPA yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa
yang tumbuh bukan hanya sebuah batang dalam ruang,
tapi juga sebentuk tanda dalam waktu. Berapa ratus ta-
hun terhimpun dalam hutan yang masih utuh di sekeliling Da-
nau Tamblingan? Ribuan pokok tua dan muda saling merapat,
jalin-menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar pun tam-
bah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang entah sejak kapan me­
nyem­bunyikan jalan setapak.
Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di perbukit­an­­Bali
Utara itu, menembus semak, entah berapa kilometer, dalam ke-
sepian yang hanya terusik oleh bunyi langkah sendi­ri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah puri kecil yang nyaris ter-
lindung. Di saat itu, di separuh gelap yang hijau itu, yang kekal
hadir. Keabadian bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan­-akan bergetar
di ruas batang trembesi.
Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu pun ber­­
ubah.­Bagaikan sepetak tanah yang gundul, di mana jalan­akan
direntang dan pasar akan dibangun, waktu pun ter­hantar,­datar,
siap diukur. Tamasya itu—hutan yang hilang, waktu yang diram-
pat—tak lagi punya tuah. Ia hanya punya harga. Ia hanya punya
guna. Tiap jengkal telah tercampak, menyerah ke dalam reng-
kuhan kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga ”puak
yang perkasa dan damai” itu—ungkap­an Marcel Proust tentang
http://facebook.com/indonesiapustaka

pohon-pohon—pun punah, tak akan dilahirkan kembali.­


Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan di mana Ke­
gaib­an masih belum hilang, di mana Misteri belum dipetakan.
Itu sebabnya, dulu, raja-raja yang uzur dan tua menyingkir ke
dalamnya sebagai pertapa, untuk—seperti Destarastra, di­sertai­

Catatan Pinggir 7 77
POHON-POHON

Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir Mahabharata—me­


nantikan mati. Para penguasa yang mengubah diri jadi resi itu tak
lagi berniat menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba mene-
mui kembali pohon-pohon (seraya mengenakan pakaian dari ku-
lit kayu dan anyaman gelagah), dan berharap untuk dapat bertaut
lagi dengan Kegaiban yang dulu mereka lupakan.
Berapa lama gerangan Kegaiban itu dilupakan, sehingga
tuah alam sirna? Hilangnya pesona dunia, the disenchantment of
the world, bermula ketika datang ”modernitas”—itulah yang di-
katakan dalam risalah termasyhur Max Weber. Tapi mungkin
lupa dan lenyap itu jauh lebih tua ketimbang abad ke-17 Eropa.
Bagi saya, lupa itu bisa datang kapan saja, ketika manusia melihat
dunia hanya sebagai sehimpunan obyek yang siap dalam jang-
kauannya, untuk disimpulkan dalam ”pengetahuan” atau untuk
diutak-atik sebagai alat. Pada saat itu, manusia pun lupa, bahwa ia
pernah terpesona oleh apa yang disebut dalam filsafat Jawa seba­
gai sangkan paraning dumadi, ”asal dan bakal apa yang ada, yang
men-jadi”. Pada saat itu, manusia yang lupa juga tak lagi tersen-
tuh oleh apa yang disebut orang-orang tasawuf sebagai wujud.
Pada saat itu manusia sibuk dengan apa yang tampak dan ter­
dengar, dengan segala yang dapat diraba dan dicium, dengan
apa yang ada yang di hadapannya—dan ia pun abai bahwa­”ada”
(wujud) adalah sesuatu yang ajaib, sebenarnya: Kenapa kok ada
”ada”? Kenapa bukan ”tidak ada” saja?
Pertanyaan itu mengusik, tapi bukan sebuah pengusik. Ia se-
benarnya sebuah getar yang menggugah. Dan di gua pertapaan
yang dilindungi pohon-pohon, ”puak yang perkasa dan damai”,­
http://facebook.com/indonesiapustaka

getar yang menggugah tapi telah dilupakan itu hendak ditebus


kembali. Dengan diam, sunyi, rela, melepas hasrat. Dengan,
dalam kata-kata penyair Wordsworth, ”kepasifan yang arif”.
Di sanalah ruang yang statis itu bertaut dengan waktu yang
ber­lalu. Sang pertapa membiarkan, mempersilakan, apa saja

78 Catatan Pinggir 7
POHON-POHON

yang di luar egonya untuk merayakan wujud. Ia tak mengalah­


kan waktu. Ia tak membabatnya hingga datar, rata, terukur, se-
perti sang pembangun yang menjarah hutan. Sang pertapa, raja
yang telah jadi resi itu, tak lagi hendak menentukan. Ia di­­tentu­
kan. ”Lalu waktu, bukan giliranku...,” kata salah satu puisi medi-
tatif Amir Hamzah. Sang resi mencoba meresapkan­betapa abad
membentuk batang, tahun menyambung dahan,­ dan, di dekat
ka­kinya, embun menyusun jaring lembut di antara rumput dan
daun putri malu. Ia kini bahkan merasakan bahwa basah adalah
momen dari air yang terus-menerus bergerak, entah dari mana,
entah ke mana. Mungkin dalam kekekalan.
Konon, seorang sufi akan menyebut bahwa pada saat itulah­
ia­menemukan tajall?, manifestasi-diri Yang Maha Gaib. Ia akan
teringat akan sebuah Hadis, bahwa Tuhan menyembunyikan
diri-Nya ”di balik tujuh puluh ribu cadar cahaya dan kegelapan”.
Ia akan langsung merasakan betapa benar dan indahnya kalimat
itu: kedua anasir dalam cadar itu hadir, dan yang gelap tak akan
menyingkirkan yang terang, juga sebaliknya.
Sebab sang sufi adalah manusia yang dulu ibarat raja, atau se-
buah subyek yang imperial, yang ingin mengendalikan dunia di
luar dirinya dan sebab itu tak hendak membiarkan hal-hal yang
gelap hadir. Kini, sebagai resi yang pasif tapi arif, ia bersyukur,
bahwa kegelapan itu juga bagian dari rahmah. Sebab, sebagaima-
na dikatakan dalam Hadis pula, seandainya Tuhan menanggal-
kan semua cadar, cahaya yang menyemburat dari Paras-Nya akan
serta-merta ”menghancurkan penglihatan makhluk mana saja
yang berani menatap”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin tajall? itulah Lichtung—kata yang dipilih Heideg­


ger, ketika Ada (Sein) menyatakan diri, ketika Yang Gaib menge-
jawantah. Lichtung, dalam deskripsi George Steiner, penafsir
Hei­degger, adalah ”seperti cahaya yang bergerak di sekitar obyek-
obyek dalam hutan yang gelap, meskipun kita tak tahu dari mana

Catatan Pinggir 7 79
POHON-POHON

sumbernya”.
Hutan gelap, rimba purba, tapi yang terkadang menghadir-
kan cahaya yang mempesona tanpa jelas sumbernya—mungkin
itulah kiasan yang baik hari ini: kerinduan manusia kepada tiap
getaran dari Kekekalan Yang Maha Gaib, sekaligus Yang Maha
Indah, di mana hidup adalah pohon-pohon lebat yang mensyu-
kuri matahari. Tapi kita menebangnya, kita menghancurkannya,
dan nihilisme yang menakutkan itu pun mulai.

Tempo, 16 November 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

80 Catatan Pinggir 7
RIBA

T
UAN Kapital menarikan dansa macabre.... Gambaran
Marx yang muram, tentang modal yang membujuk ma-
nusia berjoget mengiringi Maut, kini tampak seperti lu­
kisan yang ditemukan kembali di seberkas naskah kuno. Tuan
Kapital kini tampil lain. Mungkin ia seperti Dasamuka dalam
cerita wayang: selalu mampu menjelma dengan wajah yang baru,
tak kunjung mati. Ia bahkan bisa menghilang.
Dulu ia satu metamorfosis dari riba, uang yang lahir dari
uang. Kita tahu bahwa perbuatan menganakkan uang itu di­nis­
ta­kan ramai-ramai dari zaman ke zaman. Devarim, kitab yang
me­maklumkan ulangan undang-undang Musa, yang konon di­
susun pada abad ke-7 sebelum Masehi, melarang orang Yahudi­
menarik bunga dari pinjaman kepada ”saudara”-nya. Empat abad
kemudian Aristoteles menegaskan bahwa riba memang layak
di­benci. Delapan ratus lima puluh tahun setelah itu, di sekitar
abad ke-6 Masehi, Uskup Jakob dari Saroug, di Suriah, menulis
bahwa bunga (rebitha) adalah hasil siasat Setan untuk memulih-
kan kembali kekuasaannya. Pada abad itu pula kemudian Islam
datang, dengan pesan yang mirip.
Setelah Muhammad SAW, mungkin yang layak disebut
adalah Marx. Pada abad ke-19 Marx menggunakan kata Schaher,
yang menurut mereka yang mengerti bahasa Jerman zaman itu
ber­arti ”seseorang yang siap mengambil laba dari apa pun dengan
cara yang licik”. Kata itu juga berarti ”riba”. Di sini tampak bahwa­
http://facebook.com/indonesiapustaka

”riba” dan ”laba” (yang dalam kata Arab konon disebut ribh) sa­
ngat dekat. Laba, bagi Marx, berasal dari kelebihan hasil dari me­
meras tenaga buruh. Ia buah pengisapan. Apalagi dari uang itu
beranak pula uang, melalui bunga. Ketika terhimpun modal, li-
hat, kata Marx, modal itu sebenarnya ”tenaga kerja yang telah

Catatan Pinggir 7 81
RIBA

mati” yang, ”bagaikan vampir, hidup hanya dengan cara menye­


dot tenaga kerja yang hidup.”
Tapi berangsur-angsur zaman melihat Tuan Kapital bukan la­
gi sebagai makhluk asing yang mengerikan. Jika Mao gagal meng­
hapuskannya dari sejarah, jika Cina, yang secara resmi masih
disebut ”Republik Rakyat” itu, maju dan makmur secara­menga­
gumkan setelah menjadi ”Republik Pasar Besar”, orang pun ber-
sepakat bahwa tentu ada yang keliru dalam cerita vampir di jilid
kedua Das Kapital. Modal—yang menggerakkan pasar dan di­
ge­rakkan oleh pasar, yang memuliakan milik­ dan menggairah-
kan kebebasan jual beli, yang mempertukarkan dengan giat ba-
rang dan jasa—sekarang terasa lumrah dan sekaligus modern. Ia
ibarat sebuah generator listrik yang hanya­terdengar derunya, tapi
dari sana, lampu warna-warni dan roller­coaster bergerak ramai di
sebuah Pekan Malam.
Getar generator itu kini menyebar praktis ke seluruh muka
bu­mi. Di mana pun tampaknya tak ada pilihan selain menerima
kekuatannya. Pada akhirnya dialah makna modernitas itu sendi­
ri. Apa boleh buat, dunia, dalam kata-kata Fredric Jameson,­hi­
dup­dengan a singular modernity.
Pasti, Dasamuka itu telah berubah rupa. Ia telah menyulap
di­rinya dan berbareng dengan itu menyulap banyak­ hal lain.
Kita tahu, dari Marx, bahwa dengan modal, barang bisa berubah
menjadi komoditas, dan bersama itu memperoleh daya yang bisa
memukau manusia, bagaikan sebuah azimat. Tapi tak hanya itu.
Modal bisa membuat ”riba” berhenti sebagai ”riba”. Seraya meng-
gerakkan pasar, modal membuat perdagangan uang bersaing
http://facebook.com/indonesiapustaka

sengit, dan para peminjam tak lagi sepenuhnya bergantung pada


seorang rentenir. ”Riba” pun akhirnya diterima sebagai ”ongkos
modal”. Artinya, sesu­a­tu yang bisa dirancang (dan dikontrol) da­
lam anggaran.
Dalam mengubah diri itu pula, Tuan Kapital bisa muncul se-

82 Catatan Pinggir 7
RIBA

bagai Coca-Cola, MTV, atau media Murdoch, suatu kekuat­an


yang bergerak memusat dan cenderung menyeragamkan. Tapi ia
juga bisa menyulap diri sebagai pembawa variasi, dari jenis ayam
goreng sampai dengan jenis komputer jinjing.
Dan ia bisa menghilang. Pada saat yang sama, ia menyusup ke
mana-mana. Kini ada yang percaya bahwa zaman kapital sudah
melenyap. Bahkan sebuah masa ”pasca-kapitalis” telah tiba, se-
bab, kata mereka, kini bukan modal yang berkuasa, melainkan­
informasi. Dan informasi, dalam zaman netokrasi­kini, kata me­
re­ka (mungkin seraya menghitung jutaan warung Internet di pe-
losok bumi), tak pernah tetap berada di satu pusat. Tapi benar­
kah?­Bisakah netokrasi berkembang tanpa Bill Gates dan para pe­
modal sejenisnya? Tidakkah perbedaan kelas di sini juga ditentu-
kan oleh siapa yang memiliki modal yang—meskipun Bourdieu
mungkin akan menyebutnya seba­gai ”modal kultural”—bermula­
dari basis ekonomi tertentu?
Jika dilihat demikian, Tuan Kapital memang bisa tampak ga­
gah dan berubah-ubah dengan cerah. Ia bahkan bisa menampil-
kan diri sebagai pembebas. Penelaah kebudayaan popu­ler Ars­
wen­do Atmowiloto baru-baru ini memperkenalkan satu diko-
tomi yang menarik: ada ”siaga” dan ada ”niaga”. Yang pertama
ada­lah kecenderungan kekuatan politik untuk menutup diri se-
raya curiga kepada yang ”luar”. Yang kedua adalah kecenderung­
an perdagangan untuk membangun pasar yang terbuka. Sebab
pasar adalah tempat orang asing atau bukan asing­bertemu, yang,
untuk kepentingan mereka sendiri, menjaga agar pertemuan itu
bukan sebuah konflik. Pada abad ke-18 orang Prancis menyebut-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya sebagai un commerce doux.


Hari ini, memang lebih dipujikan untuk merayakan nia­
ga ketimbang siaga—dan saya kira itulah maksud dikotomi­
Ars­­wendo. Tapi tentu saja orang bisa mencatat bahwa niaga bi­
sa­ membawa siaga: perang dagang bisa menjadi perang senjata.­

Catatan Pinggir 7 83
RIBA

Perebutan wilayah di Nusantara antara Inggris dan Belanda­


adalah contohnya, dan tak salah jika Marx pernah mencemooh
pengertian doux commerce itu. Kini, kalaupun perang macam itu
tampak mustahil, ada yang tak mustahil: dalam siaga terdapat
nia­ga. Pertumbuhan ekonomi AS belum lama ini, misalnya, ba­
nyak­disumbang oleh perang, dengan segala perabot dan persiap­
annya.
Dengan kata lain, Tuan Kapital memang tak selamanya mem-
bujuk manusia untuk menarikan dansa macabre. Tapi ia, yang
ada di siang, ada di malam, memang bisa mencemaskan kita.

Tempo, 23 November 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

84 Catatan Pinggir 7
ALLAH

O
RANG sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Ma­
ka berabad-abad yang lalu, di kota-kota yang berbatas-
kan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita
dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka menge-
cam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tu-
han sebagai—jika kita pakai kiasan hari ini—seraut pohon bon-
sai. Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena dile­
takkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi se-
benarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembah­
an yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung.
Orang-orang muslim punya sebuah cerita dari Quran.
Di hadapan Fir’aun, begitulah dikisahkan, Musa memberi­ja-
wab yang tak diharapkan ketika raja Mesir itu bertanya, ”Dan
apakah Tuhan alam dunia itu?” Pertanyaan itu, ”Ma rabbu al-
ala­mina?”, cenderung menantikan sebuah definisi. Tapi jawaban
Musa berbeda, dan sangat kena. Nabi itu hanya mengata­kan bah-
wa ”Tuhan” adalah ”Tuhan dari Timur dan dari Barat, dan dari
segala yang ada di antaranya.”
Musa tak memberikan sebuah definisi, sebab Tuhan yang di­
definisikan sama halnya dengan Tuhan yang dibatasi, rapat-rapat,­
dalam bahasa. Jawaban Musa sebenarnya sebuah deskripsi—atau
lebih tepat, sebuah penggambaran yang tak berakhir di satu ke­
sim­pulan. Kita bisa menafsirkannya seba­gai usaha untuk menun-
jukkan, dengan kiasan, bahwa Tuhan adalah keagungan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

hadir di ufuk Timur, di mana cahaya bersinar, dan juga di arah


Barat, tempat gelap berangkat. Dengan kata lain: Tuhan adalah
Rabb-i—”pemilik”, ”tuan”, dan ”pengasuh”—dari segala­nya,
da­ri yang tampak dan tak tampak, dari yang bersama terang dan
yang menemui kelam.

Catatan Pinggir 7 85
ALLAH

Itu sebabnya Ia ”esa”. Di sini, ”esa”—yang dalam bahasa In-


donesia ditambahi dengan kata ”maha”—berbeda dari ”satu”.
”Satu” adalah sebuah bilangan, sementara yang ilahiah tak dapat
dihitung. Ia bukan seperti bulan dan matahari.
Ia bukan juga Tuhan dalam Also Sprach Zarathustra: Tuhan
yang digambarkan Nietzsche sebagai sosok ”tua berjanggut mu-
ram” yang ”cemburu” dan berkata, ”Hanya ada satu Tuhan! Ka-
lian tak boleh punya tuhan lain selain aku!” Dalam Zarathustra,
setelah pernyataan itu diucapkan, tuhan-tuhan lain pun mati—
bukan karena dibinasakan, tapi karena tertawa geli.
Bagi saya, karikatur Nietzsche ini tak bisa menangkap sikap­
mereka yang hanif, yang percaya bahwa Ilahi adalah tunggal.­
Ka­um monotheis tak datang untuk mengurangi jumlah. Mere­
ka­ tak hendak meringkas persoalan. Justru sebaliknya. Yang
Maha-agung adalah tunggal karena Ia begitu akbar dan sulit
di­utarakan. Ia adalah dasar dan juga sumber dari sebuah daya
yang menggetarkan—sebuah daya yang menyebabkan segala hal
muncul ke dalam terang, ”ada”.
Siapa saja yang tergetar oleh daya itu, dan mencoba menyebut
sumber yang ada di baliknya dengan sebuah nama, dengan se-
buah kata, ia akan merasa tak sanggup. Chairil Anwar mengeluh
dalam sebuah sajak yang ia beri nama Doa: ”Betapa susah sung-
guh, mengingat Kau penuh seluruh.”
”Kau” yang ”penuh seluruh” itu tak mungkin Tuhan yang di-
perkecil. Ibn ’Arabi, sufi dan pemikir besar Spanyol pada abad ke-
12, menyebutnya sebagai ”Yang Mutlak” (haqq). Arti­nya, ”yang
paling tak dapat ditentukan dari semua yang tak dapat ditentu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan,” ”ankar al-nakirat.” Ia gaib segaib-gaibnya, Ia ”yang paling


tak dapat diketahui dari semua yang tak dike­tahui.”
Ia tak dapat diketahui karena Ia melampaui semua kualifikasi
yang berlaku di dunia manusia.
Tapi manusia sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Ka­

86 Catatan Pinggir 7
ALLAH

dang-kadang mereka perlakukan Tuhan sebagai penguasa dalam


sebuah wilayah, raja dengan batas tegar. Kini banyak yang mengi­
ra bahwa ketika Quran turun dan menyebut nama itu, ”Allah”,
Islam hendak memperkenalkan sesosok tuhan lagi ke dalam pan­
theon yang telah sesak.
Seakan-akan ”Allah” bukanlah nama yang dipakai oleh orang
Arab di zaman pra-Islam, baik yang jahiliyah maupun­yang ha­
nif, baik yang politheistis maupun yang Kristen. Seakan­-akan
”Allah”­ semata-mata Tuhan-orang-Islam yang bertakhta di se-
buah kerajaan yang beradat-istiadat tersendi­ri.­ ”Tuhan mereka
ber­beda dengan Tuhan kami,” kata kaum Fundamentalis Kristen
yang melihat dunia Islam dengan waswas. Seakan-akan Tuhan-
orang-Kristen, Tuhan-orang-Yahudi,­dan sederet tuhan yang la­
in, bersaing—persis seperti Tuhan yang cemburu dalam sajak
Zarathustra.
Mungkin sebab itu para rasul perlu datang lagi. Tapi bisa­
kah?­Saya coba renungkan lagi Fusus al-Hikam (ditulis pada ta-
hun 1229), melalui Sufism and Taoism, uraian yang tekun dan te­
rang dari Toshihiko Izutsu, ilmuwan Jepang yang jadi penafsir
utama Ibn ’Arabi. Saya kini kian tahu kenapa Tuhan adalah Yang
Mutlak. Tapi kita agaknya hidup di dunia yang dikuasai oleh ahl
’aql wa-taqyid wa-hasr, mereka yang mendekati Yang Gaib seraya
”mengikat, membatasi, dan mengekang.” Tuhan pun diperkecil.
Pada akhirnya Ia hanya Ilahi yang ditinggalkan.
Tuhan yang seperti itu hadir di mana-mana, tapi seakan­-akan
variasi dari sebuah patung polisi lalu lintas: sesosok berhala di tepi
jalan, untuk mengingatkan, menakut-nakuti, meng­awasi. Tuhan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan lagi sumber dari ”rahmah al-imtinan” yang dilukiskan Ibn


’Arabi: rahmat yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa
mengharapkan apa saja—rahmat yang bahkan bukan sebagai pa-
hala bagi mereka yang berbuat baik.
Dengan Tuhan yang tanpa rahmat seperti itu, kita pun hidup

Catatan Pinggir 7 87
ALLAH

di masa yang ditandai Fehl Gottes: ”gagalnya Tuhan datang,” kata


Heidegger. Meskipun nama-Nya disebut terus-menerus, ”dunia
telah menjadi tanpa penyembuhan, tak suci.” Sebaris sajak Cha­i­
ril­mungkin mengungkapkan hal itu: ”Caya-Mu panas suci/ting-
gal kerlip lilin di malam hari.”
Adakah di sini kita berbicara tentang ”sekularisme”? Saya ki­
ra tidak. Mungkin kita justru berbicara tentang suasana ketika­
”yang suci” telah jadi banal, ketika ”yang kudus” diletak­kan seba­
gai rutin hidup sehari-hari, dan mengurus tetek-bengeknya. Pada
saat itu memang ”Tuhan” ramai-ramai di­pasar­kan dan dipamer-
kan. Tapi ia diletakkan di sebuah kotak, seperti seraut pohon
bonsai.

Tempo, 30 November 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

88 Catatan Pinggir 7
MAAF

T
IAP tahun selalu ada sebuah puasa panjang, dan ke­mu­­
dian­sebuah ritual memaafkan. Saya pernah bersua de­
ngan­seorang alim yang mengatakan, sebagaimana hal-
nya puasa 30 hari pada bulan Ramadan, memaafkan juga dapat
diungkapkan dalam idiom ”mengosongkan diri”. Sekaligus ”pe-
nyucian”.
Ada jalin-menjalin beberapa kata dan makna di sini. ”Ko-
song” (dalam ”mengosongkan”) berarti tanpa isi: sesuatu yang se­
penuhnya negatif. Mungkin sebab itu ada seorang penyair Jawa
abad ke-19 yang memilih memakai kata suwung, yang lebih­ber­
asosiasi dengan ”hampa” dan ”lengang”, dan juga dekat dengan
kata sawung, sebuah sinonim dari kata ”jawab” (disawung, dalam
Baoesastra Jawa yang disusun W.J.S. Poerwadarminta pada tahun
1939, sama dengan ”dijawab”). Tak mengherankan bila Rangga­
warsita, penyair itu, mengungkapkannya dalam sebuah para-
doks: suwung nanging sakjatining isi, ”kosong tapi pada hakikat-
nya berisi”. Ia menggambarkan suatu sikap meditatif.
Dalam pada itu, ”penyucian” dalam bahasa Indonesia me­
ngan­­dung dua patah kata Melayu, ”cuci” dan ”suci”. Dua patah­
ka­ta yang berdekatan bunyi itu mengingatkan kita bahwa yang
ber­sih dan yang kudus terkait karib, bahwa yang sakral ada hu­
bungannya dengan yang tak cemar. Ketika kita mem­bayang­kan
berpuasa dan memaafkan sebagai ”penyucian diri”, kita meman-
dangnya sebagai sebuah pembebasan dari subyek yang bergeli­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mang lemak dan Lumpur dunia, dan dalam proses itu, ia pun
”penuh”, ”mapan”, dan ”kenyang”.
Sebuah subyek yang menggelembung, mapan, dan penuh
ada­lah sebuah subyek yang tak hendak menerima lagi apa yang
datang dari luar dirinya. Ia tak akan lagi menyambut yang lain.­

Catatan Pinggir 7 89
MAAF

Ia bukan aku yang suwung yang menghendaki dan merindukan­


sawung. Ia tak menghendaki respons. Ia merasa sudah padat­-
jawab. Jika ia memberikan maaf kepada orang lain, bagi­nya itu
sama artinya dengan memberikan derma, dan bukan justru kare-
na ia merasa menerima kemurahan hati dari Hidup.
Ia tak menyadari bahwa Hidup menghadirkan sesuatu yang
lebih kaya ketimbang sebuah Aku yang soliter, lebih beragam ke­
timbang satu subyek yang dipenuhi diri sendiri dan memandang
dunia sebagai koloni yang bisa ia taklukkan dan ia bentuk sesuai
dengan desainnya.
Untuk melepaskan diri dari Aku yang seperti itu, kita bisa me-
lihat ke satu konsep yang jauh dari cogito ergo sum, yakni konsep
dalam sebuah bahasa Afrika Selatan: ubantu. Seorang yang mem-
punyai ubantu adalah seorang yang terbuka dan dapat dijelang
oleh yang lain, meneguhkan yang lain, tak merasa terancam oleh
yang lain; ia merasa jadi bagian dari sebuah dunia yang asyik, ra-
mai, dan banyak memberi. Dengan gambaran manusia yang ber-
ubantu itulah Desmond Tutu, rohani­wan arif yang muncul dari
kekejaman apartheid itu, berbicara tentang permaafan—dan me-
mang cerita yang mengagumkan tentang puasa dan permaafan
pada kurun waktu ini adalah cerita Afrika Selatan, cerita Nelson
Mandela.
Mandela dipenjarakan selama 27 tahun oleh pemerintah kulit
putih di Afrika Selatan, ketika kaum kulit hitam dipaksa­hidup di
bawah represi dan penghinaan serta dibungkam dengan teror, pe-
nyiksaan, pembunuhan. Selama itu, selama dalam tahanan yang
praktis tak pernah diketahui dunia itu, Mandela dipaksa bekerja
http://facebook.com/indonesiapustaka

rodi hingga matanya rusak. Dalam arti tertentu ia berpuasa. Tapi


agaknya puasanya yang lebih­ besar datang berangsur-angsur—
yakni ketika pelan-pelan ia mengosongkan diri, mengempiskan
ego, dari keangkuhan yang mengatakan, ”akulah sang korban;
aku berhak membalas dendam”.

90 Catatan Pinggir 7
MAAF

Ketika pada tahun 1963 ia ditangkap, ia seorang pemimpin


gerakan pembebasan yang percaya bahwa perlawanan bersenjata
itu sesuatu yang niscaya. Agaknya tak ada yang bisa menya­lahkan
dia sepenuhnya jika ia berpikir demikian; dendam bisa memberi-
kan kekuatan, dan dendam juga bisa berbicara tentang keadilan.
Tapi ketika pada tahun 1990 Mandela dilepas, ia sudah berubah
oleh sebuah puasa (mungkin juga bisa dilihat sebagai ”jihad”)
yang lebih besar. ”Aku tahu bahwa orang mengharapkan aku me-
nyimpan amarah kepada orang kulit putih,” katanya. ”Tapi aku
tak punya rasa itu sedikit pun.”
Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, ia menyebut­
bahwa salah satu yang sangat disesalinya ialah bahwa ketika ia di­
bebaskan, ia tak sempat mengucapkan selamat tinggal secara se­
patutnya kepada para petugas penjara. Tak aneh. Sebab, bagi­nya
mereka juga bagian dari sistem yang membuat orang jadi ”tawan­
an kebencian” yang ”dikunci di balik jeruji prasangka dan pikir­
an sempit”. Saat ia jadi bebas, dan bersyukur, ia juga ingin agar
mereka, dan siapa pun, lepas dari penjara yang seperti itu. ”Aku
ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-mu-
suhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita
bermusuhan.”
Pada Mandela tampak ada kaitan antara puasa dan maaf, an-
tara mensyukuri kebebasan dan keinginan untuk menyebarkan
keadaan bersyukur itu kepada siapa saja. Tentu, ia seorang pe-
mimpin politik yang berniat dan bertugas membangun Afrika
Selatan, negeri yang dengan jerih dan sakit diperjuangkannya
itu; sebab itu sikapnya memaafkan juga lahir dari sebuah pertim-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bangan pragmatis. Seandainya ia memutuskan untuk membakar


nafsu menuntut balas, seandainya ia tak mencoba jadi lambang
usaha ”kebenaran dan rekonsiliasi”, Afrika Selatan akan jadi gu-
run api dan sungai darah. Bersikap pragmatis tak selamanya tan-
pa nilai. Gandhi juga pernah me­nga­takan, jika tiap orang men-

Catatan Pinggir 7 91
MAAF

jalankan prinsip ”satu mata harus­ dibalas dengan satu mata”,


maka ”seluruh dunia akan buta”. Ada perhitungan untung rugi di
sini, meskipun harus dicacat bahwa ”buta” tak dengan sendirinya
punya arti harfiah.
Buta bisa berarti juga sebuah kemalangan, ketika hanya­kege­
lapan yang datang kepada kita. Kegelapan itu tak ada hu­bung­
annya dengan misteri, melainkan dengan satu warna­ dan satu
corak di jalan buntu: bahwa manusia seutuhnya adalah makhluk
yang satu dimensi: hanya bisa menaklukkan dan ditaklukkan.

Tempo, 7 Desember 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

92 Catatan Pinggir 7
DHANU

D
UNIA tak ingat lagi siapa Dhanu. 21 Mei 1991, pukul
10.20 malam, perempuan berkulit gelap dengan bibir
tebal itu mendekat ke pusat upacara. Ia membawa ka-
rangan daun cendana. Di lapangan Kota Sriperumbudur (48 ki-
lometer dari Madras) itu, hadir Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Ia
sedang mendengarkan seorang gadis membacakan sajak.
Dhanu mendekat terus. Tiba-tiba ledakan terdengar. Rajiv
Gan­dhi tewas seketika. Juga sekitar 14 orang lain. Di antaranya­
adalah Haribabu, seorang juru potret setempat. Tubuhnya han­
cur­tapi kameranya masih utuh.
Dari sinilah polisi dapat menemukan 10 buah foto. Empat
di antaranya merekam kejadian hari itu: Dhanu yang mem­bawa­
daun cendana, Gandhi yang sedang mendengarkan sajak,­ dan
saat ledakan. Di samping itu, ada wajah-wajah lain yang kemu-
dian diketahui sebagai anggota tim pembunuhan. Menurut kete­
rangan polisi, sebelumnya Haribabu telah dihubungi oleh Tamil
Eelam—gerakan bersenjata yang menginginkan negeri tersendi­
ri di Sri Lanka—untuk merekam kejadian bersejarah yang mere­
ka rencanakan itu. Ia berhasil. Seperti Dhanu sendiri: pengebom
bunuh diri pertama pada abad ke-20.
Dunia kini tak ingat lagi siapa Dhanu, dengan atau tanpa re­
kaman. Tapi agaknya tindakannya bergema terus, dengan atau
tanpa memakai namanya. Dua tahun kemudian, dalam upacara
1 Mei, seorang lain meledakkan dirinya dan membunuh Presiden
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sri Lanka, Premadasa, di sebuah jalan di Kota Kolombo.


Sejak itu, berpuluh ledakan sudah terjadi, berapa ratus orang­
mati di pelbagai negeri. Seakan-akan sebuah kekerasan rutin. Ke-
tika pukul 7.42 pagi, 5 Desember pekan lalu, sebuah kereta api
yang baru meninggalkan Stasiun Yessentuki, di kaki perbukitan

Catatan Pinggir 7 93
DHANU

Kau­kasus, tak jauh dari Chechnya, meledak, kita masih tersentak


sebentar, tapi tak limbung. Meskipun lebih dari 40 orang tewas,
meskipun sebagian besar mereka pelajar yang akan berlibur. Se­
telah gelegar itu, hanya ada suara geram resmi. ”Bumi akan terba-
kar di bawah kaki mereka,” kutuk Menteri Dalam Negeri Gryz­
lov kepada para teroris yang sejak Juni 2000 sudah membunuh
hampir 300 orang itu.
Tapi bumi terbakar di bawah kaki siapa saja. Dan tak semua
orang mengutuk. Pada awal Juni 2001, Hassan Hotary, seorang
ayah Palestina, mengatakan kepada wartawan AP ia bangga bah-
wa anaknya yang berumur 22 tahun, Said, telah meledakkan diri
sendiri di sebuah diskotek di Tel Aviv dan membunuh 20 anak
muda Israel. Dua tahun kemudian seorang perempuan Palestina
me­lakukan hal yang sama dan membunuh 19 orang di sebuah
res­toran di Israel Utara. Hanadi Tayssir Jaradat, 29 tahun, dari
Kota Jenin, pernah menyaksikan saudara kandung dan sepupu-
nya dibunuh pasukan Israel. Hari itu ia menuntut balas. Ibunya­
menangis, tapi berkata, ”Saya bahagia ia membunuh mereka yang
membunuh anak saya.”
Dendam dan pembalasan selalu punya alasan dan membuat
hidup tak gampang. Lebih rumit lagi: tiap alasan tak selamanya­
dapat dibandingkan. Maka bisakah kita sepakat tentang patut
dan tak patut, untuk menilai tindakan Dhanu dan Hanadi? Keti-
ka seorang manusia berniat melakukan sesuatu yang mengerikan,­
dengan korban yang tewas, tapi dilakukannya karena keyakinan
yang kukuh untuk tujuan yang luhur, dengan apakah kita akan
menghukumnya?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentang korban dan keyakinan, contoh yang besar ada dalam


khazanah agama. Bagaimana kita menghakimi Ibrahim yang
ber­sedia membunuh seorang anak yang tak bersalah untuk sesu­
atu yang luhur—yakni untuk Tuhan?
Tiap penghakiman bertolak dari sesuatu yang universal, yang­

94 Catatan Pinggir 7
DHANU

sebenarnya bersua dengan yang partikular. Di situlah dilemanya,­


di situlah tampak ada yang kurang dalam kemampuan manusia­
wi kita. Antara aturan yang berlaku di mana saja (dan kapan saja)
dan kejadian pada seseorang dalam situasi khusus, kita sering
hanya termangu.
Kini kita memang dengan ringan mengikuti kisah Ibrahim,
sebab kita tahu akhirnya adalah sebuah happy-ending. Kita tak
lagi ingat horor yang berkecamuk dalam dirinya, ketika ia bersua
dengan mysterium tremendum. Derrida, dalam Donner la mort,
sebuah naskah yang terbit pada awal 1990, menggambar­kan Ibra-
him pada saat itu mengalami Ia yang ”seluruhnya­beda”, tout au­
tre, Yang Maha Lain, yang tak memberikan alasan­­sebagaimana
manusia memberikan argumen. Pada saat yang sama, Ia meng-
gerakkan Ibrahim untuk melakukan sesuatu di mana ”ethika ha-
rus dikorbankan atas nama kewajiban”.
Maka, sejak ia mendapat perintah itu, Ibrahim pun diam. Ra­
sa gentar dan gementar Ibrahim memang tak terucapkan. Baha-
sa, seperti halnya hukum, seperti halnya moralitas ala Kant dan
komunitas kasih sayang ala Hegel, adalah sesuatu yang ”sosial”.
Padahal apa yang hendak dilakukannya di Gunung Moriah itu,
dengan pisau yang siap menyembelih putra­nya sendiri, tak akan
bisa dimengerti dan dimufakati orang pada umumnya. Di sini
aturan tentang baik buruk yang berlaku secara universal tak bisa
diterapkan. Tapi itulah yang menurut Derrida terjadi tiap kali:
ada selalu korban, yang tiap saat harus diakui. ”Siang dan malam,
di tiap saat, di atas semua Gunung Moriah di dunia, aku melaku-
kan ini, mengangkat pisauku di atas apa yang kucintai dan seha-
http://facebook.com/indonesiapustaka

rusnya kucintai....” Kita tiap kali, sadar atau tak sadar, sebenar­
nya mengorbankan mereka, tempat kita berutang kesetiaan yang
dalam: manusia atau makhluk yang lain.
Tapi benarkah tiap kali yang ”ethis” harus diabaikan? Atau-
kah sebenarnya peristiwa terpenting dalam cerita Ibrahim ber-

Catatan Pinggir 7 95
DHANU

langsung pada saat lain, yakni, seperti diungkapkan Emannuel


Lévinas, ketika Ibrahim mendengarkan suara malaikat, agar pi­
sau­ tak jadi dihunjamkan, dan ia merasa Tuhan telah melepas-
kannya dari beban tugas yang absurd itu, dan ia merasa lega: di
hadapannya tergeletak seekor domba? Jika demikian, agaknya
ada sebuah momen ketika titah tak mutlak dan Ibrahim tak se­
utuh­nya tegar.
Saya tak tahu haruskah kita dengan demikian mengatakan
Ibrahim lemah. Dhanu dan orang yang serupa akan menganggap­
nya begitu—dan itu sebabnya kita hidup dengan keyakin­an,
bom, dan kematian.

Tempo, 14 Desember 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

96 Catatan Pinggir 7
TSO WANG

T
UHAN dan TV, iman dan Internet, khotbah yang tak
henti-henti melintasi tempat yang beragam, barangkali­
itu­lah yang membuat agama kini menjangkau ke pelba­
gai penjuru, mengatasi ruang dan waktu. Barangkali itu juga
yang membuat agama tak menemukan bumi. Tempat telah jadi
se­sua­tu yang virtual.
Rasanya ada yang hilang di sini. Tempat bertaut dengan tu-
buh. ”Tubuh” berarti tubuh yang dilahirkan dan melahirkan, jas­
mani yang berbahasa dan yang bersanggama, badan yang dewa-
sa dan mati. Dalam riwayat tubuh itulah ritus perjalanan hi­dup­
dilembagakan dan dirayakan, dan dengan demikian tersusun­lah
tradisi. Sejarah pun mendapatkan unsurnya yang khas. Tapi yang
khas itu bisa diabaikan, ketika TV dan Internet membuat do-
rongan komunikatif begitu penting untuk melintasi perbatasan,
menjangkau segala pelosok. Tempat pun dengan mudah diabai-
kan, dan tubuh tak mendapatkan peran.
Pada saat itu fundamentalisme pun tersiar.
Ada yang berpendapat bahwa fundamentalisme adalah ke-
inginan untuk kembali menemukan tempat asal, ke fundamen,­
untuk tak melupakan tradisi dan sejarah. Derrida, misalnya,
menganggap kekerasan fundamentalis sebagai reaksi­ terhadap­
sejenis globalisasi yang disebutnya sebagai ”mondialatinisation”,
proses pe-Latin-an dunia. Dalam proses ini, yang lain, yang bu-
kan-Latin, yang tak bertaut dengan sejarah yang ”La­tin”,­terde-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sak. ”Latin” di sini mungkin juga berarti sesua­tu­yang­berhubung­


an dengan dunia Kristen di Eropa. Tapi ”Latin”­bisa juga bentuk
pemahaman tentang dunia yang menyamakan ”mengetahui” de-
ngan ”menguasai”.
Maka reaksi pun bangkit. Yang ”bukan-Latin” tak hendak

Catatan Pinggir 7 97
TSO WANG

ditelan oleh ”latinisasi”, yang-”sini” tak hendak dicengkeram da­


lam kuasa yang-”sana”. Bila darah tumpah, pembantaian dan
pen­cincangan terjadi, dan tubuh dipotong dan dirusak (seperti
ko­non dalam kekerasan di Aljazair antara kaum ”Islamis” dan
musuh mereka), itu semua menurut Derrida adalah ”pembalas-
an” terhadap tendensi ilmu-teknologi untuk membuat orang lain
sekadar sebagai hal ihwal yang diletakkan di layar kaca dalam
bentuk yang kering dan gepeng, tanpa tubuh, seperti makhluk
virtual dalam mainan komputer. Fundamentalisme, yang sering
dikatakan sebagai anti-modernitas, menampik itu.
Tapi saya kira dalam hal ini Derrida keliru. Saya kira funda-
mentalisme justru punya kesejajaran dengan teknologi digital:
seperti segala hal yang berlalu lintas dalam alam virtual, sikap
ke­agamaan ini tidak berbicara kepada orang lain sebagai sosok-
dalam-tempat-dan-tubuh. Fundamentalisme menganggap diri­
nya­paling murni, dan itu berarti tak tersentuh tanah, tak bertaut
dengan geografi dan sejarah apa pun, tak terbentuk oleh bumi
dan jasmani yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari masa
ke masa. Ia bahkan memandang bahasa, yang dipakai kitab suci,
seakan-akan bukan sesuatu yang dibentuk oleh tubuh tertentu
dan hubungan sosial tertentu pula. Ia melihat dirinya pembawa­
kata yang kekal dan universal, dan dengan keyakinan itu ia berge-
gas.
Beragama seperti itu—apalagi bila ia ikut berlalu lintas dalam
teknologi komunikasi yang menjangkau tanpa garis perbatas­
an—adalah beragama yang akhirnya tak punya lagi keinginan
dan kesempatan untuk berdiam.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Berdiam” berarti menemukan tempat, tapi ”berdiam” juga


ber­arti tak gaduh dan tak resah. Dalam menemukan tempat,
dalam tiada gaduh dan tiada resah itu, beragama akan me­nemu­
kan kembali rasa bersyukur. Sebab dalam berdiam, berpikir
adalah tafakur dan tafakur adalah berterima kasih. Das Denken

98 Catatan Pinggir 7
TSO WANG

dankt, kata Heidegger.


Dalam berterima kasih yang diam itulah, dalam keadaan
yang oleh sebuah puisi mistik Jawa abad ke-10 disebut ”sepi, sepah,
samun”, sebuah sikap pasif adalah sebuah sikap yang justru terbu-
ka kepada keakraban dengan yang lain, dengan pesona dan mis-
teri dari yang lain—apalagi Yang Maha-Lain.
Sebab itu agaknya tema berdiam merupakan sebuah tema
yang terdapat di mana-mana, ketika iman belum kehilangan ta­
fakur dan belum sibuk ke luar, ketika kesalihan belum mema­
mer­kan diri, ketika agama belum didera oleh hasrat komunikatif,­
dan tentu saja ketika teknologi digital belum berkecamuk. Pada
abad ke-14, Meister Eckhart, mistikus yang wafat di Cologne
pada tahun 1327, pernah mengatakan bahwa bersikap pasif ”le­
bih­sempurna” ketimbang bersikap aktif. Sikap pasif adalah ke-
tika kita tak berambisi dan tak menjadi agresif menjangkau, me-
rengkuh, mengambil alih Yang Maha-Lain. Sikap pasif adalah
ketika ”mengetahui” dalam artinya yang terdalam adalah ”tidak-
mengetahui”.
Jauh sebelum Eckhart, pada abad ke-4 sebelum Masehi,
Zhuangzi, pemikir Cina dari aliran Daoisme yang termasyhur,­
juga telah berbicara tentang berdiam dan ”mengetahui”. Ting­
kat­tertinggi pengetahuan, katanya, adalah diam tak bergerak­di
dalam apa yang secara mutlak tak dapat diketahui dengan akal.
Di dalam diam itu, yang bekerja adalah sikap intuitif, dalam po-
sisi tso wang.
Tso wang berarti, kurang-lebih, ”duduk-lupa”. Seseorang
”duduk-lupa” ketika semua anggota tubuhnya diluruhkan, keti-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ka kegiatan kuping dan matanya ditiadakan, ketika ia membebas­


kan diri dari ego yang mengeras dalam identitas, dan bersatu de-
ngan Yang Ada Di Mana-Mana. ”Pandanglah ke dalam kamar
yang tertutup itu,” ujar sang Guru kepada Yen Hui, ”dan lihat
bah­wa interior yang kosong itu membawa warna putih yang te­

Catatan Pinggir 7 99
TSO WANG

rang.”
”Semua berkah dari dunia,” kata sang Guru pula, ”datang un-
tuk berdiam dalam keheningan itu.”
Tapi zaman tampaknya tak memberi tempat bagi kehening­an
lagi. Kini agama cenderung bergerak, bergegas, sering ga­duh dan
meluas. Khotbah di TV, sandek atau SMS, Internet, dan pamflet
telah membentuk bahasa baru: bukan bahasa yang mengucapkan
pedihnya kegagalan di hadapan misteri,­melainkan bahasa yang
menjanjikan hal yang serba jelas untuk­semua orang. Dan bersa-
ma bahasa baru, datang sebuah ke­­yakin­an baru—sebuah keya­
kin­an yang tak peduli bahwa ”mengetahui” sebenarnya adalah
”tak mengetahui”.

Tempo, 21 Desember 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

100 Catatan Pinggir 7


SADDAM

B
ISAKAH kita bayangkan Saddam Hussein seperti San­
tia­go, si nelayan tua dalam The Old Man and the Sea, no­
vel­ Hemingway yang konon disukainya itu? Orang tua
itu kalah. Telah 85 hari ia di laut, dan tak memperoleh ikan seekor
pun, maka ia pun menempuh laut yang lebih jauh, lebih dalam,
ketika akhirnya kailnya menyangkut mulut seekor marlin besar.
Sebuah pergulatan sengit pun terjadi, sebuah adu kekuatan, dan
akhirnya manusia juga yang menang. Tapi Santiago tahu, begitu
ia mengalahkan ikan itu, keberuntungannya tak akan lama.
Ia benar. Tak lama setelah ia arahkan jukungnya kembali ke­­
darat untuk membawa pulang perolehan kailnya, seekor hiu­da­
tang menyerang. Santiago melawan. Dibunuhnya he­wan­­ laut
buas itu, tapi harpunnya lenyap ke laut. Ia tahu ia belum lepas
da­ri bahaya. Diikatkannya pisaunya ke sebatang kayu, dan ia
menunggu. Dua ekor hiu lain muncul, menyerbu, hendak­ me-
renggutkan marlin itu dari perahunya.
Kali ini ia kalah, ia luka-luka, dan marlin yang diperolehnya
dengan susah payah itu hanya tinggal tulang-belulang ketika pe­
ra­hunya tiba di pantai.
Tapi benarkah ia kalah? Pak tua orang Kuba itu sejenak ham-
pir tak bisa bernapas, dan ada rasa ganjil di mulutnya. Ia takut,
tapi hanya sejurus. Lalu ia meludah ke laut, ke arah hiu yang me-
nyerangnya, dan berkata: ”Kalian makanlah itu, galanos. Dan
coba bermimpi kalian telah membunuh seorang manusia.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago? Saddam


beberapa bulan yang lampau hidup dengan sejumlah istana dan
ribuan senjata dan dengan gagah berbicara tentang perlawanan
dan kemenangan, kini tertangkap, tak melawan, di sebuah liang
perlindungan di bawah tanah. Melalui televisi kita lihat wajahnya

Catatan Pinggir 7 101


SADDAM

yang nestapa: rambutnya gondrong berantakan, janggutnya tak


tercukur, kantong matanya lembek melipat, pandangnya lelah,
dan ia tak berdaya ketika seseorang menyuruhnya membuka mu-
lut, dan sebuah senter pun menerangi mulut tua itu, mengecek li-
dah dan giginya seakan-akan ia seekor hewan yang perlu diperik-
sa sebelum dijual ke pasar....
Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago, yang dalam
novel pendek Hemingway itu mengatakan: ”Orang bisa dihan-
curkan, tapi tak dikalahkan”? Bisakah kita bayangkan ia seperti
penyu—makhluk dengan jantung yang berdegup terus berjam-
jam setelah disembelih?
Mark Bowden, dalam bulanan The Atlantic (Mei 2002), yang
menyebut betapa suka Saddam kepada The Old Man and the
Sea (berdasarkan cerita Saad al-Bazzaz, direktur televisi dan ra-
dio Irak yang kemudian lari dari Bagdad), melihat kemungkin­
an lain: siapa tahu Saddam, yang hampir tiap hari berenang di
setiap istana yang disinggahinya, membayangkan diri seperti si
ikan marlin, yang muncul dari laut, gemerlap, agung, ajaib, se-
buah kekuatan yang tak disangka-sangka.
Bahkan Santiago tua memberi hormat. ”Kau mematikan
aku, ikan, katanya. Tapi kau berhak. Tak pernah aku lihat sesu­
atu yang lebih agung, lebih cantik, lebih kalem dan lebih luhur
ketimbang kau, Bung. Ayo, bunuh aku. Aku tak peduli siapa me-
matikan siapa.”
Tapi tak seperti Santiago, ikan itu kalah dan habis. Maka
mungkin terlampau berlebihan untuk mencari perumpamaan
tentang Saddam dari The Old Man and the Sea, dan mungkin ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lampau mudah kita percaya bahwa ia memang menyukai­ He­


mingway. Said K. Aburish, orang Palestina yang menulis­ buku
Saddam Hussein: The Politics of Revenge, menga­ta­kan bahwa Sad-
dam, anak dari dusun Al-Awja di dekat Tikrit,­sebenar­­nya baru
bisa baca-tulis setelah ia berumur 10 tahun. Pe­ngalam­an politik­

102 Catatan Pinggir 7


SADDAM

nya tak ditempuh melalui buku-buku; Saddam adalah seorang


tokoh preman (”a gunman, a thug,” kata Aburish dalam sebuah in­
terview dengan Frontline) dalam Partai Baath. Menurut Aburish­
pula, yang dikagumi Saddam bukan Hemingway, melainkan
Stalin.
Dengan kumis tebal seperti diktator Uni Soviet itu, Saddam­
ju­ga seorang organisator. Caranya membersihkan lawan politik­
nya dalam partai juga mirip yang terjadi dalam ”Peradilan Mos-
kow” yang mengerikan di antara tahun 1936-38, ketika Stalin
me­nuduh dan menangkap, memaksa mengaku, dan menembak
mati sejumlah anggota politburo PKUS; orang-orang Lenin itu
dituduh sebagai mata-mata musuh.
Di bulan Juli 1979, Saddam mengundang para anggota De-
wan Komando Revolusi serta ratusan pemimpin Partai Baath ke
sebuah ruang konferensi di Bagdad. Saddam muncul dengan pa­
kai­an militer. Wajahnya sedih. Ia pun berbicara tentang komplot­
an yang katanya diatur oleh Suriah untuk menggulingkan pim­
pin­an. Tak lama kemudian, Muhyi Abd al-Hussein Mashhadi,
Sekretaris Jenderal Dewan, muncul dari balik layar. Ia, yang telah
ditangkap dan disiksa sebelumnya, mengaku adanya rencana ja-
hat itu, dan menyebut nama yang terlibat. Mereka hadir di sana.
Tiap kali sebuah nama disebut, pasukan bersenjata pun menyeret
orangnya keluar. Kemudian mereka, 60 orang banyaknya, ditem-
bak mati. Di panggung, Saddam menitikkan air mata....
Saddam, Stalin dan Santiago: bukankah pada dasarnya mere-
ka manusia yang dibayangkan Hemingway: di lautan yang­penuh
pergulatan itu, kemauan untuk menang adalah segala-galanya?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam gambaran itu, hidup ditentukan oleh dunia subyektif—


yakni kehendak untuk membuktikan bahwa, seperti ujar Santia-
go, ”manusia tak dibuat untuk kalah”.
Di dalam posisi itu, kesendirian adalah sesuatu yang tak ter­
elakkan: sang subyek seakan-akan berada di lautan tak bertepi.

Catatan Pinggir 7 103


SADDAM

Sebab, apa pun yang hadir di luar dirinya bukanlah sesuatu un-
tuk berteman, melainkan sebuah medan untuk ditempuh dan di-
taklukkan.
Kesendirian: di liang perlindungannya yang terakhir, Saddam
tak punya siapa pun, kecuali sebuah pistol, sejumlah­uang—dua
penanda kekuatan zaman ini. Tapi saya kira bahkan­di istananya
yang megah pun, ia, seperti tiap penguasa yang mutlak, selalu se-
perti itu: tak ada percakapan yang tulus, yang ada hanya tembok
dan ketakutan.

Tempo, 28 Desember 2003


http://facebook.com/indonesiapustaka

104 Catatan Pinggir 7


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 7
2004

105
http://facebook.com/indonesiapustaka

106
Catatan Pinggir 7
SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

S
ETIAP Desember adalah menunggu. Malam akan habis,
kalender dirobek, dan dini hari dicegat pertanyaan yang
se­tengah tertelan: ”Apa yang akan datang? Siapa yang ba­
kal datang?”
Mungkin sebab itu setiap Desember berada di ambang ad­
vent. Orang Kristen membatasinya sebagai masa empat pekan
menjelang Natal. Pengertian ini konon datang dari abad ke-12,
dari bahasa Latin adventus, yang berasal dari kata kerja advenire,
yang secara harfiah berarti ”datang ke”. Advent: kedatangan sesu­
atu yang penting dan ditunggu.
Sesuatu yang penting dan ditunggu, sesuatu yang belum je­
las apa, mungkin sesuatu yang mustahil, sebuah mukjizat, tapi
mungkin juga sebuah bencana.... Setiap Desember adalah awal
orang meniti buih di selat yang gelap yang terkadang rusuh. Di
seberang, hanya beberapa langkah lagi, terbentang kurun waktu
di mana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung. Kini kita
gamang. Terutama karena kita telah sering harus bersandar pada
kepercayaan yang patah. Yang kita punyai hanya beberapa bekas
kekerasan, rasa terkecoh oleh impian, rasa cemas.

The evil and armed draw near...


And the houses smell of our fear.

Saya ingat kalimat itu: ”Makin dekat juga yang keji dan bersen­
http://facebook.com/indonesiapustaka

jata.../Dan rumah-rumah mengendus ketakutan kita.” W.H. Au­


den menuliskannya melalui sebuah Desember yang juga waswas,
di antara akhir 1941 dan pertengahan 1942, sebagai baris-baris
dalam For the Time Being: A Christmas Oratorio, puisi Natal yang
panjang yang dibuka dengan ”Advent,” bagian pertama.

Catatan Pinggir 7 107


SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

Waktu itu perang masih membelah bumi. Tak seorang pun


yang tahu dapatkah Hitler (dan ”yang keji dan bersenjata”) akhir­
nya dikalahkan. Tapi puisi itu tak hanya berpusar pada titik yang
kelam. Oratorio itu digubah setelah Auden kembali memeluk
iman yang pernah ditinggalkannya. For the Time Being mengan­
dung harapan Nasrani: ada kabar baik bahwa mukjizat bisa ter-
jadi. Yesus dilahirkan dan malam itu terbit bintang yang jernih di
atas Bethlehem.
Bintang di kejauhan itu seakan-akan menggamit, ketika, da­­
lam kata-kata Auden, kita ”hanya samar-samar tahu, apa gera­
ngan kita dan kenapa kita di sini.” Dan ”untuk menemukan ba­
gai­mana jadi manusia saat ini,” itulah alasan kita mengikutinya.
”To discover to be human now/Is the reason we follow this star.”
Tapi justru di situlah terasa bahwa kita berjalan di lorong seng­
sara: untuk tahu bagaimana ”jadi manusia,” kita ternyata harus
menunggu sesuatu yang praktis mustahil—bintang yang jernih
itu, benda langit yang menandai saat ketika Yang Suci masuk
merasuk ke dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal menjelma­ke
dalam yang temporal.
Lorong sengsara itu—mungkin Buddhisme berbicara lebih
jelas tentang hal ini—tak kunjung berakhir. Juga setelah berpu-
luh-puluh Desember lewat. Tiap kali kita harus menempuh lagi
suasana seperti yang terpantul dari pelbagai puisi Auden: sebuah
suasana ”Audenesque”, seperti disebut oleh Graham Greene pada
tahun 1930-an: kemurungan yang makin akrab.
Kemurungan ”Audenesque” adalah warna dunia yang diting-
galkan sesuatu—dan ”sesuatu” itu sangat berarti. Sebuah sajak
http://facebook.com/indonesiapustaka

Auden yang terkenal, bagian dari Twelve Songs, bergumam de-


ngan nada getir yang ditahan:

Stop semua jam, putuskan telepun


Bujuk anjing untuk diam, beri dia tulang yang ranum

108 Catatan Pinggir 7


SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

Bisukan piano, dan dengan genderang mendesah


Kita keluarkan jenazah; silakan mereka yang bertakziah.

Mungkin selalu ada saat seperti itu, ketika kita seakan-akan


ingin berhenti dari hari, dan membiarkan datang ”mereka yang
bertakziah,” the mourners.
Takziah untuk siapa? Siapa jenazah di hari kemarin, kini, dan
esok? Kita tak perlu tahu. Sebab yang mati, yang hancur, yang hi-
lang, begitu banyak. Bahkan tak akan jadi ganjil jika kita sendiri
telah terdaftar di pemakaman. Maka biarkan di langit kapal ter-
bang membentuk huruf berita kematian dan polisi lalu-lintas me-
masang kaus-tangan hitam. Bintang-bintang kini tak dikehen-
daki—kata bait terakhir sajak itu—maka padamkan. For nothing
now can ever come to any good.
”Sebab kini tak ada yang akan bisa baik.” Putus asa itu leng-
kap, atau nyaris lengkap....
Pada bulan Desember 1939, Auden ada di sebuah bioskop di
satu bagian Manhattan, New York, di mana penduduk hampir
se­muanya berbahasa Jerman. Sebuah film berita tentang invasi
Hitler ke Polandia diputar. Sesuatu mengguncang Auden sore
itu: ketika di layar tampak deretan orang Polandia yang ditahan,
penonton berteriak, ”Bunuh mereka! Bunuh mereka!”
Tak ada yang berpura-pura. Tak ada yang malu untuk ”tak ber­
adab”. Beberapa tahun kemudian Auden mengingat pengalam­an
itu: ”Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, waktu itu, mengapa
aku bereaksi menentang sikap ingkar kepada tiap nilai humanis­
tis ini.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Apa haknya untuk mengecam? Atas dasar apa ia bisa menuntut­


para penonton di bioskop di Manhattan itu agar mereka tak de-
ngan bengis meminta orang lain dibantai? Apa alasannya untuk
menegaskan bahwa yang membakar dunia dengan kebencian tak
boleh dianggap pahlawan dan yang dizalimi tak boleh merasa

Catatan Pinggir 7 109


SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

berhak menyembelih?
Auden tak bisa menjawab. Di ambang putus asa, ketika ia
merasa ”nothing now can ever come to any good,” ia kembali ke da­
lam iman yang dikenalnya di masa kanak. Ia bersedia lari melin­
tasi­gurun panjang ke arah bintang di Bethlehem itu.
Di kandang tempat Kelahiran itu terjadi, ia ingat bahwa di
sanalah, buat pertama kali dalam hidup, tiap hal muncul sebagai
sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak disapa. Tiap hal jadi
se­buah ”Engkau” (You), bukan sekadar obyek (It) yang dengan
gampang dibungkam:

Remembering the stable where for once in our lives


Everything became a You and nothing was an It.

Betapa dalam dan menakjubkan momen itu, ketika Yang Suci


masuk merasuk ke dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal me­
nem­puh laku temporal, ”the Eternal do a temporal act.”
Tapi bersamaan dengan itu, momen itu sebetulnya juga bukan­
sesuatu yang sama sekali mustahil: ketika ”tiap hal” jadi ”sebuah
Engkau”, ketika itulah kita menyambut tulus yang-lain di luar
diri kita. Dan kita ingin menemaninya. Inilah sebuah epiphaneia:
ketika ”tiap hal” tampil sebagai ”Engkau”, di situlah terjadi mani­
festasi diri Yang Ilahi, Kasih, Yang Kekal, Yang Suci—hingga
kita pun tak hendak memasung dan merusaknya.
Seorang sufi seperti Ibn ’Arabi akan menyebut momen itu se-
bagai tajalli (kadang-kadang juga fayd atau ”pancaran”). Ia akan
berbicara tentang ”pancaran yang mahakudus” dan ”napas kasih
http://facebook.com/indonesiapustaka

sayang” yang diembuskan Yang Mutlak, hingga dari tiada terbit-


lah ada.
Tapi dengan pandangan itu, dunia tampak berubah. Dan tak
semua orang bersenang hati. Herodes, raja yang menitahkan agar
semua bayi hari itu dibunuh—untuk menangkal Sang Bayi Yesus

110 Catatan Pinggir 7


SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

turun ke dunia—punya argumen yang membenarkan tindakan


preventif itu.
Auden menggambarkan Herodes sebagai orang yang berpikir
panjang—atau lebih tepat, orang yang ingin mempertahankan
kehidupan yang rasional, sosial, dan praktis: bila tiap hal jadi ”se-
buah Engkau”, bagaimana dunia tak akan kacau? Bila Kasih tak
takut akan anarki (”Love does not fear substantial anarchy,” kata
orang-orang arif yang datang ke kandang sapi di Bethlehem itu),
apa jadinya tatanan sosial?
Herodes melihat betapa berbahayanya bila ”kehormatan Ila-
hi” diberikan kepada tiap hal: ”cerek teh dari perak, liang cetek
dalam tanah, nama-nama pada peta, hewan piaraan, kincir angin
yang runtuh....” Raja itu ingin menjaga tata yang tertib.
Ia tak mau pengetahuan jadi kalang-kabut karena, ketika ra-
sio hilang, yang ada hanya ”sebuah kekacauan pandangan-pan-
dangan subyektif.” Ia menyukai ”Hukum yang Rasional.” Dunia
subyektif merisaukannya. Apa jadinya bila kebutuhan menyem-
bah Tuhan tersalur dalam jalur yang tak dapat disosialisasi, dan
cerita pahlawan seluruhnya ”ditulis dalam bahasa yang privat”?
Kehidupan bersama yang ditopang konsensus akan runtuh.
Aturan tak akan bisa berlaku secara universal. Hukum akan jadi
sendi yang tak pasti. Ketika hidup diperlakukan sebagai ekspresi
”napas kasih sayang,” akan mampukah kita memberi keadilan,
dalam arti hukuman? ”Keadilan akan di- gantikan oleh Belas Ka-
sihan...,” kata Herodes dengan masygul, ”dan akan lenyap semua
rasa takut pada pembalasan.”
Tapi apa yang akan kita pilih? Ini Desember 2003 yang di­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ba­yangi­teror, perang, statemen-statemen keras. Juga suara galak­


yang pasti bahwa pembalasan lebih efektif ketimbang belas ka­
sih­an, lebih tertib, sebab balas-membalas membentuk simetri.
Berbareng dengan itu, benci telah jadi tugas politik. Ia tak lagi
per­kara pribadi, ia ada dalam barisan yang rapi, berderap. Tak

Catatan Pinggir 7 111


SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

aneh, sebab bahkan menyembah Tuhan juga telah kehilangan


bahasa yang privat.
Tentu, Auden tak bisa memilih argumen Herodes. Ia telah
tahu apa artinya Kelahiran itu, ketika tiap hal jadi sebuah ”Eng-
kau”. Baginya dunia tak lagi tersusun dari ”mereka” yang seragam
yang bisa diatur sepenuhnya dari sebuah ruang kontrol. Kasih
telah turun, dan, seperti dikatakan para orang arif yang datang ke
Bethlehem, Kasih membutuhkan ”sebuah kelainan yang dapat
bilang Aku”—an Otherness that can say I.
Berarti hidup adalah bangunan subyektif yang berbeda-beda.
Kita tak akan bisa mengutamakan tata yang tertib. Kita tak akan
bisa hidup hanya dengan iman yang dibariskan dalam alur yang
siap dan aman. Tuhan justru dicari dalam the Kingdom of Anxi­
ety, ”Kerajaan Kecemasan”. Di situ, mungkin iman adalah seperti
iman Kierkegaard: sebuah lompatan yang berani, sendiri. Setelah
malam Kelahiran itu lewat, dan hari jadi siang, ”sang sukma ha-
rus menanggungkan sebuah sunyi yang tak mendukung ataupun
menentang keyakinannya bahwa kehendak Tuhan akan jadi.”
Dengan kata lain, itulah iman dalam ketidakpastian, di jalan
yang rancu. Juga ketika kita hidup dengan bekas-bekas kekerasan
dan begitu gentar hingga ”rumah-rumah mengendus ketakutan
kita.” Maka, sehabis Desember, bisa saja kita kembali gagal men-
cintai semua saudara kita. Tapi kita tahu, kita tak bisa memimpi-
kan kerajaan yang sempurna tempat kita lari mengungsi. Justru
impian itu ”sebagian hukuman kita.”
Sebaliknya, ”kuitansi yang harus dibayar, perabot yang harus
direparasi, kata-kata ganjil yang harus dihafal”—semua yang se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pele, yang belum selesai—bisa punya arti bila kita ingat bahwa
hidup dan cinta bisa menakjubkan: ketika Yang Suci merasuk ke
dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal di tengah yang temporal.
Seorang Herodes tak akan paham. Tapi itu dasar kita untuk ber-
syukur, untuk tak mengutuk. Dan dari sana kita pun akan bisa

112 Catatan Pinggir 7


SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

”mengakui kekalahan kita tapi tanpa patah harap.”

Sebab semua masyarakat dan zaman adalah detail yang akan le­
wat.

Jakarta, 22 Desember 2003

Tempo, 4 Januari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 7 113


http://facebook.com/indonesiapustaka

114
Catatan Pinggir 7
JARAK

D
ALAM waktu satu-dua jam, 50 ribu orang mati di
sudut Iran. Jumlah itu bisa lebih. Tapi kita sebaiknya
tak bicara tentang Tuhan dan manusia.
Ketika 26 Januari 2001 Gujarat dihantam gempa, dan diper­
kirakan 30 ribu orang tewas, sekelompok anggota ”Lashkar-i-
Toiba” menyimpulkan: itulah hukuman Allah atas orang­­Hindu
di negara bagian itu; mereka telah membunuh dan meng­aniaya
minoritas muslim, Kristen, dan Sikh di India.­­ Seorang menteri
yang beragama Kristen di Negara­Bagian Karna­taka setuju. Bah-
kan ada orang Hindu yang mengangguk:­”Ini memang hukum­
an Shiva kepada kami.”
Benarkah? Saya ragu. Sebab saya ragu benarkah semua orang
yang tewas itu—termasuk anak-anak—berdosa kepada kaum
mi­noritas. Saya ragu bila Tuhan ceroboh dan tak adil. Dan ba­
gai­­mana kita akan mengaitkan bencana di Iran pekan lalu itu
dengan laknat? Di pojok itu tak pernah terdengar ada minoritas
yang dibantai, tak ada pesta mabuk, zina massal, dan pembobol­
an bank ramai-ramai.
Pada akhirnya kita harus bicara tentang manusia dengan ma­
nusia. Bahkan bukan soal manusia dengan alam. Gempa tek­
to­nik­terjadi karena struktur bumi yang apa boleh buat. Hanya
Super­man, dalam film, yang bisa membereskan lempeng-lem-
peng San Andreas Fault di bawah bumi California. Berapa kali
sudah wilayah ini terkena guncangan? Dan bukankah orang di
http://facebook.com/indonesiapustaka

sana masih menunggu gempa yang lebih besar—sambil terus me-


nikmati tamasya Big Sur di tepi Pasifik, mengolah anggur, dan
menjual film porno?
Gempa seperti lotre dan kanker: ia tak bisa diantisipasi, tapi
kita tahu ia bisa sewaktu-waktu datang, dan di sini berlaku­nya­

Catatan Pinggir 7 115


JARAK

nyi­an Rod Stewart: ”Some guys got all the luck, some guys got all the
pain.” Bencana itu memukul Iran berkali-kali, dan bukan Mo-
naco. Apa mau dikata. Sejak tahun 130, ketika­ ilmuwan Cina
Chang Heng mencoba menebak gempa yang disangka­nya gelom-
bang angin di bawah tanah, sampai kini hanya sedikit yang dapat
diprediksi, dan semuanya tak bisa dicegah. Kata para pakar, tiap
tahun rata-rata terjadi 50 ribu getaran dengan skala 3 sampai 4
Richter, dan 800 kali dengan skala 5 sampai 6.
Ya, kita harus bicara tentang manusia dan manusia. Teruta­
ma­­ketika gempa menyangkut hidup yang hancur dan anak-anak
yang mati. Dalam The Theory of Moral Sentiment-nya yang agak
kurang tersohor, di tahun 1759 Adam Smith telah menyebut ben-
cana alam itu dalam perspektif itu.
Misalkan, kata Smith, Kerajaan Cina dengan jumlah pen-
duduknya yang besar itu tenggelam karena gempa. Orang di Ero­
pa mungkin akan sedih, menyatakan belasungkawa, memba­
yang­kan beratnya kemalangan di negeri jauh itu. Mereka mung­
kin akan memperkirakan akibat malapetaka itu bagi per­da­
gangan Eropa. Tapi setelah itu, hidup tak terguncang. Yang hen-
dak main tenis akan terus ke lapangan, yang mau meminang
akan tetap mengenakan baju terbaik dan membeli bunga.
Tapi bandingkan, kata Smith, jika [si orang di Eropa] tahu
bahwa ia akan kehilangan jari manisnya besok. ”Ia tak akan bisa
tidur malam ini.” Dan tentang malapetaka di Asia itu, ”ia akan
mendengkur dengan rasa aman yang paling dalam di atas remuk-
redamnya seratus juta jiwa saudara-saudaranya.”
Di tahun 1759 itu, Smith menggunakan kata ”saudara-sauda-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ra” (brethren) untuk jadi kata ganti ”orang Cina”. Sepatah­ kata
yang mengusik, yang membuka hati: bahwa jarak—yang di za-
man itu membentuk perbedaan besar di bumi—bisa meng­
akibatkan ketakpedulian.
Smith mungkin tahu: empat tahun sebelumnya, beberapa­ha­

116 Catatan Pinggir 7


JARAK

ri setelah gempa besar menghajar Lisabon dan 100 ribu orang


tewas, Voltaire menulis sebuah sajak yang marah, Poème sur le dé­
sas­tre de Lisbonne: ”Lisabon dalam puing, orang berdansa di Pa­
ris.”­
Tentu saja Voltaire berlebihan. Di zamannya, malapetaka di
ibu kota Portugal itu baru diketahui orang di ibu kota Prancis 23
hari kemudian. Si pembawa berita mungkin tiba dengan kuda
yang hampir pingsan.
Kini ”jarak” mengandung paradoks. Teknologi—khusus­nya
satelit—telah mengubah hubungan manusia dengan pe­ngertian
itu. Kini yang terjadi di Kota Bam bisa tiba tanpa­tertunda di se-
buah kamar di Kota Bon. Guncangan itu tak me­nge­nal lagi tapal
batas dan jarak—hal yang sebenarnya dapat dikatakan tentang
dolar Amerika, terorisme, Kitab Suci, dan The Lord of the Rings.
Atau ”jarak” telah jadi sesuatu yang lain, yang tak dapat di­
ukur­dengan mil. ”Jarak” kembali jadi ekspresi dunia subyektif:
hati dan pikiranku dekat dengan korban di Iran atau tidak, ima-
jinasiku akrab dengan si Frodo dalam fantasi Tolkien atau tidak.
Dengan catatan: ”jarak”, seperti disebut dalam buku Adam
Smith, sampai sekarang pun masih dipengaruhi oleh ”melihat”.
Apalagi televisi kian pegang peran penting dalam dunia subyek-
tif kita: hari ini, dunia di luar sana jadi mudah dibentuk dengan
”zoom-in” dan dijauhi dengan ”zoom-out”. Masalahnya:­ ketika
sang subyek makin mampu menentukan sang obyek, ketika aku
makin mampu memandang dia dengan cara yang kupilih, tak se-
lamanya ”melihat” menimbulkan ”rasa dekat”.
Memang, televisilah yang menyentuh orang Amerika­meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

himpun dana untuk para korban di Iran itu. Tapi di ruang­kon-


trol markas tentara Amerika Serikat, opsir-opsir yang terlatih bisa
”melihat” sasarannya yang bakal celaka nun di Bagdad, sebelum
meluncurkan ”bom cerdas”, tanpa merasa perlu menyaksikan da-
rah muncrat dan ubun-ubun hancur.

Catatan Pinggir 7 117


JARAK

Walhasil, dengan televisi dan ”bom cerdas”, dunia tak dengan


sendirinya jadi bagus. Tapi hanya itukah, warna kelam, yang kita
miliki? Pangloss, tokoh yang tak terlupakan dalam Candide, no­
vel­ Voltaire, adalah seorang super-optimis. Ia percaya, ”karena­
semua diciptakan untuk satu tujuan, maka semua diciptakan
untuk tujuan yang terbaik.” Voltaire membuat kita tertawa geli
mendengar itu. Ia ingin agar kita ingat: pada suatu hari di Lisa­
bon,­ ”seratus ribu semut, sesama kita, mendadak tertimbun di
busut kita.”
Semut? Setidaknya hari ini kita makin tahu: mereka bukan
semut, kita bukan semut. Ada yang menangis karena seseorang
menangis.

Tempo, 11 Januari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

118 Catatan Pinggir 7


THE CLOWNS

H
ARI itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan
yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di
sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tam-
pak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling
mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak
henti-henti.
Saya mendatangi mereka dan bertanya: ”Ada apa, ya, bapak-
bapak dan ibu-ibu?” Mereka menjawab, serentak: ”Kami semua
ingin jadi calon anggota DPR.”
Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ra­
mai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Leba­
ran di Stasiun Gambir.
D-P-R.... Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? ”De-
wan Perwakilan Rakyat”? Sebuah jawatan dengan sekian ratus
lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah
lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruang­an itu tak pernah
bertanya.... Atau saya keliru. Sebab mereka­ sebenar­nya pernah
bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu
juga: ”Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?”
Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka ber­
keringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka
serak.
Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang ter-
tutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

sejumlah gelas kopi dan sejumlah batang rokok yang mengedar-


kan asap. Mereka tak akan keluar dari sana walaupun sejurus un-
tuk menjawab pertanyaan orang yang berdesak­-desak itu. Diam
adalah emas, kata pepatah yang mereka pasang­di pintu. Ke­pu­
tus­an kami harus ditaati. Disiplin itu indah.

Catatan Pinggir 7 119


THE CLOWNS

Tapi ada juga yang menduga dan mengatakan bahwa mere­


ka­­sebenarnya tak tahu harus menjawab apa. Pendeknya: mere­ka­
telah membuat Daftar itu, artinya sederet nama-nama, dengan­
atau tanpa kriterium, dan menyuruh para sekretaris me­ngetik­nya
siang-malam, dan menamakan nama-nama itu ”calon legislator”.
Lalu diumumkan.
Tentu tak pernah jelas apakah yang mereka susun itu: sejum-
lah orang yang kelak akan bekerja membuat undang-undang
yang sesuai dengan cita-cita partai? Sejumlah orang yang secara
ter­atur dan rajin datang ke rakyat pemilih dan men­dengar­kan
apa yang diinginkan dan diamanatkan? Atau sejumlah konco?
Atau sehimpun penyokong? Beberapa ratus penyetor upeti dan
kesetiaan? Yang pasti, daftar itu kelak akan disebut juga daftar
”wakil rakyat”, tapi bahkan orang-orang itu sendiri tak yakin
apakah mereka bisa dipanggil demikian.
Apa kemudian panggilan mereka yang tepat? Mungkin per-
tanyaan ini tak penting sama sekali. Berangsur-angsur saya sadar:
saya sebenarnya sedang melihat sebuah persiapan per­tunjuk­an di
sebuah gedung komedi. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan terlin-
tas di pikiran saya: Badut? Mereka badut?
Seorang teman yang kalem menjawab: ”Ya, mungkin.” Lalu
ia menambahkan, dengan nada yang lebih kalem: ”Tapi tak ada
salahnya. Biarkan datang para pelawak. Keadaan sedang kacau.
Send in the clowns....”

Isn’t it bliss?
Don’t you approve?
http://facebook.com/indonesiapustaka

One who keeps tearing around,


One who can’t move...
Where are the clowns?
Send in the clowns.

120 Catatan Pinggir 7


THE CLOWNS

Dia pun menggumamkan lagu Stephen Sondheim itu—petil­


an terkenal dari musikal A Little Night Music yang kini dilupakan.­
Sebuah senandung sayu dari New York tahun 1973, yang menu-
rut hemat saya tak sepenuhnya tepat untuk masuk ke dalam se-
buah percakapan tentang politik Indonesia di tahun 2004.
Tapi bukankah memang demikian: setiap kali di sebuah per-
tunjukan sirkus terjadi kesalahan atau kecelakaan, sang manajer
akan memberi perintah, ”Send in the clowns!”, ”Bawa masuk para
badut!” Lalu para pelawak akan muncul ke depan panggung, pu-
ra-pura berdesak, pura-pura bertengkar, jumpalit­an, menari-nari,
dan penonton tak akan tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres di
panggung itu tadi....
Teman saya punya cerita bahwa awal mula kehebohan ini se-
benarnya memang sebuah kecelakaan yang benar-benar terjadi di
balik panggung: sejumlah pemain sirkus politik yang mencoba
meloncat dari trapeze terjungkal. Ajaib: mereka tidak mati. Mere­
ka hanya berubah wujud: menjadi badak—seperti dalam lakon
Ionesco Les Rhinocéros.
Dalam lakon ini, penduduk sebuah kota kecil semua berubah
menjadi badak bercula—dan hanya Bérenger, seorang penduduk
kota yang lumrah, tapi menolak konformitas, yang tetap jadi ma-
nusia.
Kata teman saya itu, mungkin tak ada seorang Bérenger di ba-
lik panggung sirkus kita itu, tak ada seorang yang mau melawan
konformitas yang telah menyebabkan para tokoh politik menjadi
badak. Sebab itu manajer sirkus (siapa dia, tak kita ketahui) sema-
kin panik. Ia sadar sesuatu yang amat mencemaskan tengah ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

langsung. Maka ia pun mengatur agar penonton, orang ramai itu,


tak tahu. The show must go on. Sebuah ilusi harus dibangun. Dan
badut-badut dikerahkan....

Sorry, my dear!

Catatan Pinggir 7 121


THE CLOWNS

And where are the clowns


Send in the clowns
Don’t bother, they’re here.

Penonton, orang ramai itu, memang kemudian tak menyadari


bahwa sejumlah badak baru, hasil sebuah metamorfosis yang
aneh, berbaris di balik pentas. Lalu mereka bertepuk, dan kemu-
dian pulang.
Tapi di ruangan yang saya sebut di atas, pemandangan yang
tak ada duanya di dunia itu belum juga hilang: sederet orang tam-
pak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling
mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak
henti-henti. Mereka semua ingin jadi calon anggota DPR.

Isn’t it rich?
Isn’t it queer?

Tempo, 18 Januari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

122 Catatan Pinggir 7


ASRUL

K
ETIKA Asrul Sani meninggal, sebuah generasi yang
lain telah mendapat rumah mereka sendiri.
Ia pasti akan bersyukur. Sebab inilah yang diangan-
angan­­kannya dalam Perumahan untuk Fadjria Novari: ”Aku
akan dirikan sebuah perumahan baru.... Rumah yang akan ku-
berikan ialah sejarah kehidupan.”
Prosa itu (terbit di tahun 1951) berasal dari perjalanan pulang­
ke kampung kelahiran, ketika ayah sang penulis meninggal. Se­
akan-akan ”aku” melihat lingkungan itu buat pertama kalinya.
Sebuah momen yang menyenangkan, tapi sejurus dan tanpa nos-
talgia. Ia telah meninggalkan tempat kelahiran itu bertahun-ta-
hun yang lampau, dan ia akan meninggalkannya lagi. Sebab di
rumah si bapak yang kuno, apak dan mandek, ”segalanya... ada
pada tempatnya,” tulisnya. Tak boleh diubah. Ruang itu tertutup.
”Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala
yang hendak masuk dan yang hendak keluar.”
Maka ia pun memutuskan: ”Buat aku rumah ini tiada ada
lagi. Telah punah hubunganku dengannya.”
Itu bukan konklusi satu-satunya. Ia juga telah menyusun te­
kad bahwa kelak ia tak akan membuat rumah yang seperti itu
bagi Fadjria Novari, anaknya. Yang akan dibangunnya adalah
sesuatu yang bergerak dalam proses: sebuah ”sejarah kehidupan”.
Generasi Asrul Sani memang generasi yang menolak pulang­
dan membantah rumah. Dalam sajaknya yang terkenal, Si Anak
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hilang, Sitor Situmorang melukiskan suasana yang sama meski­


pun­ dengan lebih murung. Dalam serangkai kuatren (seakan-­
akan sang penyair sedang menyusuri kembali bentuk­ lama) di­
gambarkannya kegembiraan si ibu ketika anaknya kembali ke
kampung di tepi danau itu dari perjalanan ke Eropa. Si ayah juga

Catatan Pinggir 7 123


ASRUL

rindu, meskipun mencoba menahan hati.


Tapi benarkah anak muda itu sambungan hidup mereka? Di
malam hari, diam-diam si anak pergi ke pantai. Ia tahu, ge­lom­
bang dan pasir danau itu tahu: sesungguhnya ”si anak tiada pu-
lang”.
Merantau adalah menampik. Mengembara adalah membe-
rontak. Rivai Apin, penyair sebaya Asrul (mereka berdua, bersa-
ma Chairil Anwar, menulis kumpulan puisi Tiga Mengu­ak­Tak­
dir), lebih keras mencetuskannya. Aku harus ke laut, katanya, se-
bab apa yang ditemukannya di darat, ”di sini”? ”Batu semua!”
teriaknya. Chairil Anwar memilih untuk terbang. ”Mari kita le­
pas, kita lepas jiwa mencari,” serunya, untuk ”mengenali gurun,
sonder ketemu, sonder mendarat”.
Apa gerangan yang mengusik generasi itu untuk ”lepas”? As-
rul menjawab dari ruang orang tuanya. ”Dalam rumah itu,” tu-
lisnya, ”diam sebuah pendapat yang tiada mau tahu dengan pen­
dapatku. Di segala sudut ada hukum-hukum hidup yang dibung-
kus dan diberi cadar.”
Sikap itu sebenarnya tak mengejutkan. Sebuah esai yang ditu-
lisnya di tahun 1948 berjudul Orang Tak Berasal. Di sana ia me-
nyatakan, ”pusaka adalah penjajahan.”
Lalu apa yang membentuk dirinya?
Di sebuah masa ketika Indonesia, dalam kata-kata Chairil,
adalah bangsa yang ”baru bisa bilang ’aku’”, generasi Asrul me-
mang memilih ”aku” yang tak dibentuk oleh asal dan pusaka.
Me­reka suara modernitas par excellence. Mereka memang mirip
dengan generasi pembaharu sebelumnya, generasi S. Takdir Ali­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sjah­bana. Tapi dengan beda yang mendasar.


Modernitas, bagi Takdir, ibarat penjelajahan dengan sebuah
biduk yang digalang dengan disiplin dan rasionalitas yang mam-
pu menghitung—sebuah bahtera yang cocok untuk samudra
yang menyimpan badai. Sementara itu bagi gene­rasi Asrul, yang

124 Catatan Pinggir 7


ASRUL

hidup dengan khaos dan ketakpastian dalam perang­ untuk ke-


merdekaan tahun 1940-an, modernitas artinya pembebasan, dan
itu adalah, jika kita pakai kiasan Rivai, satu pengembaraan yang
menyambut ”taufan gila”, dengan bekal yang hampir nol: ”cukup
asal ada bintang di langit”.
Dengan kata lain, modernitas Takdir tak jauh dari yang dige­
rakkan kelas borjuis Eropa seperti dilukiskan Marx dan Engels:­
sebuah kekuatan dahsyat yang bernama kemajuan. Takdir tak
hendak bermain-main dengan agenda besar itu. Sebuah bangun­
an, sebuah bangsa, harus kuat dan disiapkan. Maka diremehkan-
nya puisi Chairil sebagai ”rujak”—segar, tapi tanpa gizi.
Sementara itu, bagi generasi yang ”menguak” Takdir, moder-
nitas adalah pertautan dengan yang oleh Baudelaire disebut seba­
gai ”yang melintas, yang sementara, yang tergantung”. Bahkan
apa yang lazimnya dianggap sebagai situs yang tetap, ”rumah”,
mereka terima dengan sikap mendua. Bagi Asrul­Sani, ”rumah”
bukanlah konstruksi jadi, tapi ”sejarah ke­hidup­an”. Bagi Rivai
Apin, ”rumah” adalah yang membuat dirinya setengah asing. ”Di
rumahku aku disambut oleh keaku­anku yang belum sudah,” tu-
lisnya.
Mungkin sebab itu pada generasi Asrul tampak ”modern-
isme” yang mirip dengan yang meledak di Eropa awal abad ke-
20: sebuah gairah eksperimentasi, élan yang menjebol, yang sa-
dar bahwa tak ada batas yang pasti—sebuah élan yang berlanjut
dalam karya Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachri dan me-
nyusup sampai ke novel Ayu Utami dan Nukila Amal. Gene­rasi
Asrul seakan-akan telah membentuk satu paradigma.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Memang pernah mereka dihujat. Di pertengahan tahun 1950-


an (menjelang Bung Karno menggemakan pekik ”ga­nyang”­ ke
arah ”Barat”), Ajip Rosidi bersuara: generasi Asrul-Chairil-Rivai,
kata Ajip dengan sengit, secara ”rohaniah” bertanah-air di Eropa.
Meskipun mereka, kata Ajip pula, ”masih makan nasi dan ikan

Catatan Pinggir 7 125


ASRUL

asin”. Dengan kata lain: bagi Ajip, mere­ka makhluk blasteran.


Tapi kelirukah blasteran, khususnya blasteran dengan ”Ba­
rat”? Seruan ”awas, Barat!” pernah terdengar sebelumnya—dan
membuat Penyair Sanusi Pane mendukung Fasis­me Jepang yang
memuliakan ”Timur”. Di sini Ajip hanya memamah-biak asumsi
”Orientalis”: seakan-akan ada ”bukan-Barat” yang tunggal dan
tak bercampur.
Asrul tak akan mau memamah-biak macam itu. Ia malah le­
bih­dulu ketimbang Edward Said ketika mengatakan: ”Aku tidak
lagi mau bicara tentang Barat dan Timur, karena arca-arca yang
kukenal semuanya hanya dapat dipandang dengan berpatokan
pada waktu.” Dengan kata lain, identitas kita, arca kita, tak bisa
kita sembah sebagai hal yang kekal.

Tempo, 25 Januari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

126 Catatan Pinggir 7


SEPATU

T
UAN Hakim, seorang perempuan marah di depan maje-
lis, dan melontarkan sepatunya ke arah kolega Tuan yang
duduk bertoga di ruang itu....
Ingat? Sepatu: benda yang tiap kali bersentuhan dengan debu,
lumpur, serba-serbi tahi, sisa makanan yang dimuntahkan, air
comberan yang disiramkan ke trotoar. Sepatu: bagian dari pro-
teksi tubuh yang menempuh perjalanan.
Tuan tentu tahu, di tungkai kaki orang kebanyakan, sepatu
adalah tanda ikhtiar untuk pantas, bersih, dan aman di permu-
kaan bumi. Tapi jika Tuan lupa apa yang terjadi, inilah­cerita­nya:­
pada tahun 1987. Mimi, perempuan itu, kecewa dan marah kepa-
da bapak bertoga yang duduk angker dan terhormat di belakang
meja tinggi itu. Ini berlangsung di sebuah ruang­pengadilan di Ja-
karta. Sepatu itu dilontarkannya untuk menyatakan sebuah pe­
rasa­an, juga sebuah pendapat.
Mimi kemudian dihukum penjara enam bulan. Ia dianggap­
menghina mahkamah. Tapi perempuan itu sempat bercerita: ber-
minggu-minggu ia beperkara, mengadukan Nina, yang menurut­
Mimi pernah menipunya sampai Rp 76 juta. Ia ingin agar Nina
dihukum berat. Ia menyuap hakim dengan uang Rp 2,5 juta.
Tapi hakim itu, kata Mimi, tak berbuat sebagaimana­dipesan. Ia
menduga, sang hakim curang: Nina memberi sogok yang lebih
besar....
Seperti Tuan Hakim pasti akan sepaham dengan saya, Mimi
http://facebook.com/indonesiapustaka

te­lah menghina mahkamah dua kali. Pertama, ia melontarkan


sebuah benda yang biasanya bersentuhan dengan najis ke arah
hakim. Kedua, ia memandang para hakim mirip pelacur yang
mengecewakan—tenaga yang bisa dipesan, dibeli, dan diharap-
kan memuaskan nafsu.

Catatan Pinggir 7 127


SEPATU

Sebuah perilaku yang mengagetkan? Tidak rupanya. ”Insiden


Mimi” tak mendorong Menteri Kehakiman atau Ketua­Parlemen
atau Majelis Ulama untuk berbuat sesuatu. Tuan juga diam saja.
Sa­ya tahu kenapa demikian: di belakang insiden itu telah hadir­
sebuah penghinaan yang lebih lama dan lebih besar—penghina­
an­ kepada harapan. Juga penghinaan kepada Republik. Dan
kedua-­duanya bukan Mimi yang melakukannya.
Sebab inilah tema yang umum diketahui: kian hilangnya ke-
percayaan kami, orang Indonesia, kepada mahkamah Tuan. Bagi
kami sulit berharap dari proses yang harus kami tempuh untuk
mendapatkan keputusan yang adil. Pada tahun 2002, Mardjono­
Reksodiputro, seorang guru besar ilmu hukum di Universitas In-
donesia, menerbitkan hasil penelitiannya tentang­keharusan me-
nyogok yang mencegat kami, warga masyarakat, di sepanjang
per­jalanan pro justicia, sejak dari di kantor polisi sampai di kan-
tor hakim. Ia mengutip apa yang kami gerundelkan bila kami
melapor kepada yang berwajib ketika barang kami dicuri: ”Mela­
porkan ayam kita hilang, akhirnya kambing kita ikut hilang.”
Sebuah catatan Bank Dunia dan Bappenas yang kemudian di­
terbitkan pada 1999 memang menunjuk: di Indonesia, seorang
yang mencari keadilan harus membayar—dalam arti me­nyu­
ap­—jumlah uang yang memberatkan, sejak awal sekali, bahkan
ketika ia baru mendaftarkan perkaranya ke mahkamah. Dan jika
nanti vonis jatuh, dan keputusan hakim dibuat, pihak yang ber­
sengketa masih harus membayar lagi untuk mendapatkan salin­
an surat keputusan itu.
Ketika tak ada jalan lain ke arah keadilan, cerita seperti itu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

men­jadi sebuah cerita putus asa. Tepatnya, sebuah putus asa yang
dianggap sah. Di antara kami, harapan telah jadi makhluk­yang
ganjil. Kami, orang Indonesia, akan tampak ajaib bila mempu­
nyai­nya.
Saya tak tahu siapa yang mula-mula membuat Indonesia se-

128 Catatan Pinggir 7


SEPATU

buah negeri tempat rasa putus asa telah sampai ke tungkai kaki.
Bahkan telah membuat Indonesia tak layak sebagai sebuah nege­
ri. Sebuah negeri membutuhkan ”negara”. Dalam pengertian
yang sekarang lazim, ”negara” berarti kekuasaan sebagai milik
publik, bukan milik pribadi.
Tapi di mana gerangan ”negara”? Kami bingung. Seorang se­
jara­wan pernah mengatakan kepada saya, memang hanya baru
setelah administrasi VOC digantikan oleh birokrasi kolonial
Hin­dia Belanda, kehadiran ”negara” di kepulauan ini mulai ber-
dampak. Tapi agaknya sampai kini pun ia samar.
Kalaupun tak samar, ”negara” adalah sesuatu yang amat tipis.
Untuk 220 juta penduduk, hanya ada sekitar 3.500 hakim dan
sekitar seperempat juta tentara militer dan hanya 270 ribu polisi.
Bersamaan dengan itu, bagi banyak orang, ”nega­ra”­yang tipis itu
belum merupakan sosok yang utuh. Ia belum hadir sebagai se-
buah struktur dengan seperangkat aparat yang efektif menyen-
tuh kehidupan sosial. Ketika jalan macet, KTP hilang, utang tak
dibayar, kami sering tak tahu siapa yang akan membereskan itu
sampai tuntas. Negarakah? Jika Tuan seorang Mimi, ”Negara”
adalah person-person yang bisa ia ketuk pintunya di rumah.
Dan semuanya kian rancu, ketika otoritas di balik pintu itu
ternyata bisa diperjualbelikan. Tuan tahu apa yang terjadi karena
itu? Negara, yakni kekuasaan milik publik, berubah. Pri­vati­sasi
yang serong telah berlangsung. Pada saat itu, Republik pun run-
tuh, tanpa diumumkan, tanpa jerit dan gelegar. Bahkan kejadian
itu disembunyikan. Dan runtuh pula sebuah kehidupan bersa-
ma, di mana orang bisa saling percaya, di mana konflik dikelola­
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan damai dan tak berat sebelah. Yang ada: sebuah labirin
gelap kekuasaan-kekuasaan pribadi.
Itu sebabnya Mimi melontarkan sepatu. Benda itu tak akan
membuat kepala pak hakim benjol. Perkara itu tak akan diperiksa
lebih jauh. Mimi akan kehilangan 50 persen pelindung kakinya.

Catatan Pinggir 7 129


SEPATU

Uang Rp 76 juta itu tak akan kembali. Ia sendiri dihukum.


Tapi bukankah sepatu itu satu-satunya alat ekspresi yang ada
padanya—benda yang harus dilontarkan, seakan-akan sebagai
laku simbolik: ia semula mengenakannya agar bersih, pantas,
dan aman, tapi ia ternyata berada di gedung mahkamah yang tak
bersih, tak pantas, dan tak aman. Bukankah sepatu Mimi yang
terlontar pada hari itu bisa ditafsirkan se­bagai­penunjuk kontras
yang merisaukan itu, Tuan Hakim?

Tempo, 1 Februari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

130 Catatan Pinggir 7


HOROR

K
ETIKA Akbar masih menyandang nama kecilnya, Mu-
hammad, ia telah memperoleh gelar Ghazi, sang ”pe­
nyem­belih kafir”. Pada umur 14 tahun, pangeran itu
di­undang mempertunjukkan keberanian dan keterampilannya,
dan ia lulus ujian: ia tebas leher seorang tahanan Hindu dalam
sekali tetak.
Keturunan Jengis Khan, keturunan Timurleng, pengendara­
kuda jalang, pelaga senjata yang cekatan, yang bermain polo ka-
lau perlu di malam hari (untuk itu ia ciptakan bola yang bisa ber-
sinar bila cahaya tak cukup), ia sanggup berjalan kaki 60 kilome-
ter tanpa lelah. Semua disiplin dan energi itu ia gerakkan ketika
ia, di tahun 1560, pada umur 18, mulai memerintah tanpa di-
dampingi, dan menjadi maharaja ke-3 dalam dinastinya.
Ketika itu, imperium Moghal cuma seperdelapan India yang­
sekarang. Dengan semangat moyangnya, ia perluas tanah itu
hampir ke seluruh Tanah Hindustan.
Tapi luas itu datang bersama kompleksitas. Akbar tahu kena-
pa: ia, seorang muslim, pendatang keturunan asing, me­merin­
tah sebuah mayoritas yang tak seiman, di sebuah sub-kontinen
yang sejak masa purba melahirkan pelbagai kitab dan orang suci.
Bahkan agama Kristen pun mulai datang, dan para padri Katolik­
telah tiba di Delhi. Hindustan masuk ke dalam sebuah transisi
yang tegang.
Akbar tahu, tapi lebih dari itu ia berpikir, ia merenung: ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang merisaukan, ketika manusia berdesak-desak dengan­kesuci­


an masing-masing. Ia berusaha keras: ia menikah dengan­­putri-
putri Rajput yang Hindu, ia menyetujui anjur­an pengikut­Jain-
isme agar berhenti berburu, ia beri kebebasan kepada­misi Yesuit
untuk menyiarkan agama, ia kenakan baju suci Zoroaster­dengan

Catatan Pinggir 7 131


HOROR

takzim.
Tapi ia tak puas. ”Pikiranku tak tenteram di tengah ke­aneka­­
ragaman sekte dan keyakinan,” katanya. ”Terlepas dari kegemi­
lang­an lahiriah ini, dengan rasa puas apa... aku dapat menjalan­
kan­kendali atas imperium ini? Aku menanti orang-orang rendah
hati yang berprinsip untuk memecahkan kesulit­an dalam hati
nuraniku....”
Maka diundangnya para arif dan aulia dari pelbagai kaum ke
majelisnya. Di hari seperti itu, jam panjang diisi pembahas­an ten-
tang pokok ilmu, rahasia wahyu, kejadian aneh dalam sejarah,
atau keganjilan alam. Wakil dari agama-agama juga hadir. Ak-
bar berada di tengah mereka, tapi juga di luar mereka. Ia seorang
rasionalis, dan ia memandang agama dengan pers­pektif itu.
”Keunggulan manusia,” katanya, ”terletak dalam mutiara akal.”
Tak semua tamunya tenteram mendengarnya. Terutama keti­
ka Akbar melangkah lebih jauh. Pada suatu hari, baginda meng­
undang orang-orang terpelajar dan juga komandan militer di ko-
ta-kota sekitar Agra untuk datang ke ibu kota. Di hadapan hadir­
in yang terhormat itu, ia berpidato: ”Satu hal yang buruk, bagi
sebuah imperium yang berada di bawah titah satu pemimpin,
bila anggota-anggotanya berbeda pendirian satu sama lain ....
Sebab itu kita perlu membuat mereka menjadi satu, tapi dengan
satu cara hingga mereka jadi ”satu” dan juga ”semua”—dengan
keuntungan: tak ada yang hilang di sebuah agama, sementara ia
mendapatkan yang lebih baik dari agama yang lain.”
Tampaknya, kerinduan akan perdamaian dan toleransi, juga
keyakinan akan rasionalitas—dan tentu saja politik keamanan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan integrasi—membuat Akbar mengambil keputus­an yang luar


biasa: hari itu ia mendirikan sebuah agama baru. Ia beri nama
”Din Illahi”, yang kurang-lebih berarti ”agama Tuhan”. Ia sendiri
yang akan memimpin agama baru itu. Konon ibadah yang harus
dijalankan para pemeluknya merupakan­sebuah sintesis dari pel-

132 Catatan Pinggir 7


HOROR

bagai aturan—yang sedikit banyak campur-aduk.


Tapi kita tahu, Din Illahi tak berhasil menggantikan Islam,
Hindu, Buddha, Zoroaster, Kristen, atau apa pun. Hanya bebera­
pa ribu orang bergabung ke dalamnya. Umurnya tak lebih lama
ketimbang Akbar. Cuma sebuah bangunan di Fathpur-Sikri saja,
kenisah agama yang berangkat dari dan untuk impian perdamai­
an itu, yang terus tersisa sampai hari ini.
Tentu, perdamaian tak dengan sendirinya berarti pelebur­an.
Tapi lebih dari itu saya kira ada satu hal pokok kenapa Din Illa-
hi tak bertahan: Akbar tak melihat bahwa iman bukanlah mem-
percayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Jika
iman bersentuhan dengan yang kudus, maka persentuhan itu
bukan sebuah jabat tangan, sebab di sana ada juga horor—se-
perti yang dilukiskan Bhagawat Gita, ketika Arjuna menyaksi-
kan Sang Wishnu hadir di dekatnya menjelang perang besar yang
mengerikan itu: ”Masuk aku ke dalam ta­ring­mu,” katanya geme­
tar, merunduk di depan sang Dewa yang menampakkan diri.
Seolah-olah Amir Hamzah, penyair sufi itu, merupakan­
gema­nya: ”mangsa aku dalam cakarmu”, atau seperti kata Chairil­
Anwar, ”aku hilang bentuk, remuk”, atau seperti kata Yeremiah­
kepada Tuhan, ”Kau telah gagahi aku”: Tuhan tak datang ke
dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan ada hanya ke-
tenteraman, sebuah proteksi yang mutlak, dan semua hal bisa di-
mengerti.
Tapi Akbar hidup di sebuah istana yang aman dan serba terse-
dia, dan ia telah membuktikan diri bahwa ia bisa mengua­sai apa
pun—Hindustan, tubuhnya sendiri yang terlatih, per­kara politik
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan filsafat yang majemuk. Ia merasa beruntung memiliki mu-


tiara itu: akal. Seandainya ia lebih dekat ke ke­seng­saraan, lebih
kecut menghadapi nasib, lebih rusuh hati melihat kesewenang-
wenangan dan penyaliban, atau seandainya ia ada di abad ke-20,
seperti Simone Weil, ia mungkin akan tak menawarkan iman

Catatan Pinggir 7 133


HOROR

ibarat seorang arsitek menawarkan desain bangunan yang rapi.


”Keindahan dunia terletak di ambang labirin,” kata Weil, fi-
losof perempuan yang mati muda dengan tubuh lapar itu. Sese­
orang yang tak berhati-hati dan masuk beberapa langkah ke
dalamnya, kata Weil pula, suatu saat tak mampu menemukan ja-
lan kembali. Jika ia tetap berani, ia akan tiba di pusat labirin itu.
”Dan di sana, Tuhan menunggunya, untuk mengerkah­nya,”­tu-
lis Weil. ”Lalu ia akan kembali, tapi telah berubah menjadi lain.”

Tempo, 8 Februari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

134 Catatan Pinggir 7


PILIH

N
YONYA A datang ke kampung kami dan berkata, ”Pi­
lih­lah aku!” Saya kagum. Sebab saya tak termasuk mere­
ka yang berkata, ketus, ”Kok, ambisius banget, sih.”
Seorang calon anggota parlemen, juga seorang calon presi­den,
memang tak bisa membisu, bukan? Ia harus menjajakan diri. Ia
harus membujuk, bahkan seperti meminta, orang ramai.­Ia ingin
mereka mendukungnya, bukan? Tak perlu ber­pura­-pura. Bersi-
kap pura-pura menunjukkan seorang pemimpin ingin jadi mem-
pelai yang dilamar. Padahal dialah yang harus jadi pelamar. Dan
dengan jerih payah.
Siapa yang tak pernah merasakan jerih payah itu tak akan me­
rasakan bagaimana berartinya suara orang lain. Siapa yang tak
merasakan bagaimana pentingnya demos yang bebas­menentukan­
pilihan tak akan pernah menghormati mereka. Dalam demokra-
si, kekuasaan adalah sejenis utang. Si pemegang kuasa sadar bah-
wa kelak ia akan ditagih. Kekuasaan adalah proses dan hasil ta-
war-menawar.
Nyonya A datang dan bilang, ”Pilihlah aku!” Tidak, ia tidak­
pantas dicemooh. Soalnya bukanlah ia terlalu berambisi atau ti-
dak. Soalnya: apa yang ia tawarkan?
Ia menjawab, ”Sebuah Indonesia yang lebih baik.” Banyak­
orang memang tergugah mendengar itu. Sebab pada titik inilah
politik dan demokrasi—dan khususnya pemilihan umum—tak
lagi hanya bisa diterangkan dengan kiasan dunia per­dagang­an.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada yang lebih dari itu. Sebab pemilihan umum, apalagi pada
2004, adalah percobaan bersama untuk merebut kembali apa
yang dikatakan oleh Nyonya A, tanpa berpikir panjang, ”sebuah
Indonesia.”
Bukan karena Republik sedang diancam keretakan teritorial.

Catatan Pinggir 7 135


PILIH

Lebih serius ketimbang pecahnya wilayah adalah Indonesia yang


sedang kehilangan ”komunitas”.
Sebuah komunitas tumbuh dari ethos bersama yang menggu­
gah hati dan membangun kepercayaan. Tapi dalam hal keperca­
ya­an itulah—”kepercayaan” dalam arti trust—kita kini rusak be-
rantakan. Kini saya cenderung mencurigai orang lain dan orang
lain mencurigai saya. Bukan karena semua orang saling memata-­
matai seperti dalam suasana totaliter. Kita jadi begitu karena kita
selalu waswas: benarkah ada seseorang yang tidak mengambil apa
yang jadi hak ”Indonesia” untuk dirinya sendiri? Dengan kata
lain: mencuri?
Pada tahun 1967, sepatah istilah diperkenalkan oleh Nono An-
war Makarim di Harian Kami: ”kleptokrasi”—sebuah pemerin-
tahan yang akhirnya tersusun dari sosok dan sistem para maling.
Ia berbicara tentang Indonesia, tentu. Sejak lahir­sampai dengan
mati, kita memang kepergok dengan orang-orang yang pernah
cu­rang dan mungkin akan selalu curang: orang di kantor kelu-
rahan, orang di kantor polisi, orang di kantor penghulu, petugas
administrasi sekolah, bahkan juga guru, pengacara, dan pasukan
pe­madam kebakaran. Dan kita tahu: pada saat pasukan branwir
kota praja hanya mau me­madam­kan api bila dibayar tersendiri
oleh seorang warga yang rumahnya jadi korban, pada saat itu ”ko-
munitas” kita raib, ”Indonesia” kita tenggelam.
Kini Nyonya A datang, dan kita akan berseru, seperti sajak
Taufiq Ismail itu berseru, ”Kembalikan Indonesia kepadaku!” Bi-
sakah ia melakukannya? Ia mengangguk, ”Sulit, Bung, tapi insya
Allah.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saya kira ia jujur. Sebab kini Indonesia juga mengalami frag-


mentasi lain. Masyarakat jadi modern, dan masalah yang berbe-
da-beda muncul ke permukaan sekaligus—terkadang secara tak
disangka-sangka, seperti ketika penyakit ayam jadi wabah flu bu-
rung dan Amrozi jadi teroris. Setiap segmen dalam masyarakat

136 Catatan Pinggir 7


PILIH

seakan-akan meminta perhatian untuk diperbaiki, dan kita—


termasuk Nyonya A—akan dirundung pertanyaan: dari mana
harus dimulai?
Ia menawarkan diri akan membawa ”sebuah Indonesia yang
lebih baik” bila ia dipilih. Tapi juga kata ”yang lebih baik” masih­
butuh pertimbangan lebih jauh, apa ukurannya, bagai­mana­
mengukurnya. ”Baik” dan ”lebih baik” mungkin memerlukan
sebuah teori.
Namun kita tahu pada masa ini sebuah teori sering ter­dengar­­
seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan­ bahwa­
selalu ada hal kecil yang tak tercakup. Pada masa ini kita tak bisa
sepenuhnya berharap ada hal yang universal yang akan disetujui­
semua orang, sebagai dasar dan tujuan bersama­yang me­nye­bab­
kan teori itu sah. Sebab itu ada yang me­nganjurkan:­mari kita hi­
dup dengan ironi. Kita tak terlalu ngotot dengan­satu premis. Se-
lalu harus ada jarak dengan kesimpulan dan dugaan kita sendiri.
Kita hanya perlu berpegang prinsip, ”Jangan­kejam kepada yang
lain,” seperti resep Richard Rorty. Kita tak perlu pongah bahwa
kita tahu sebelum bekerja. Praxis harus dibebaskan, dan hasilnya
bahkan kalau bisa harus segera bisa dinikmati.
Tapi itukah yang ingin kita dengar dari Nyonya A? Ada yang
menganggap bahwa selama ”sebuah Indonesia” belum lagi ”se-
buah Indonesia”, kita tak berhak bermain-main dengan­ ironi.
Kita perlu sebuah agenda yang kukuh dan tak mudah lekang di
dalam fragmentasi dan ketidakpastian sekarang. Kita perlu pu­
nya­satu jawaban yang padu untuk segala macam pertanya­an, ter-
masuk yang kelak datangnya tak terduga. Singkat­nya, kita perlu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang akan memberikan jawaban


semacam itu.
Tapi bisakah Nyonya A mampu mewakili Tuhan dan ja­wab­
an­­nya? Ia datang dan mengatakan, ”Pilihlah aku!” Arti­nya, saya
kira, ia tak menganggap kemampuan dirinya untuk­memimpin

Catatan Pinggir 7 137


PILIH

sebuah bangsa ditopang oleh sebuah jawaban agung. Ia sadar ia


akan naik bila didukung oleh orang ramai—yang tak semuanya
dahsyat, sebab pasti ada juga yang pelupa,­tak terlalu tinggi IQ-
nya, tapi ramah meskipun terkadang dengki dan lalai bersembah­
yang.
Dan ketika ia bilang, ”Pilihlah aku!” ia tahu ia tak akan ada di
sana buat selama-lamanya. Itu sebabnya pemilihan umum me-
mang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga
kerendahan hati: ”sebuah Indonesia yang lebih baik” selamanya
akan jadi sebuah janji—tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.

Tempo, 15 Februari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

138 Catatan Pinggir 7


PARRHESIA

J
IKA Indonesia datang hari ini ke pengadilan, besok ia akan
pulang dengan kaki patah. Tak ada yang akan menyelamat-
kannya. Keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan
hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang se-
buah kebersamaan. Dengan itu, di atasnya sebuah negeri akan
tumbuh sebagai sebuah negeri. Tanpa itu, hanya akan ada kemah-
kemah peperangan, sebuah situasi yang digambarkan Hobbes
de­ngan sikap dingin: di sanalah hukum dibuat oleh mereka yang
punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Au­
toritas, non veritas facit legem.
Kini itulah yang sedang terjadi di Indonesia: sebuah negeri­
yang sedang patah-patah. Humus yang menyuburkan kebersa-
maan itu begitu tipis dan semakin habis. Hakim-hakim tak bisa
dipercaya lagi, apalagi jaksa dan polisi. Para pengacara­hanya di-
anggap sibuk memilih warna dasi dan datang ke mahkamah se­
ba­gai makelar, mempersiapkan jual-beli tuntutan dan keputus­
an.
Orang mulai mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini,
demokrasi tak menolong. Statemen ini bukan sesuatu yang baru.
Ia sudah merupakan cemooh kaum aristokrat dan pendukung
oli­garki di zaman Yunani kuno. Kata mereka, demos,­atau rakyat
kebanyakan (yang dalam bahasa Indonesia juga disebut ”orang
ra­mai”), memang hanya sejumlah suara riuh ramai. Di abad ke-4
sebelum Masehi seorang bernama Isocrates telah menulis ketus
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke arah para demokrat: ”Untuk urusan pribadi, tuan datang ke-


pada mereka yang lebih cerdik pandai untuk mendapatkan nasi-
hat, tapi untuk urusan Negara, tuan mencurigai dan tak menyu-
kai orang yang punya karakter. Malah tuan lebih suka menjalin
hubungan dengan tukang pidato yang paling sakit jiwa.”

Catatan Pinggir 7 139


PARRHESIA

Tukang pidato seperti itu (katanya kini banyak di partai-


partai politik dan parlemen) tentulah tak akan bisa diharapkan
memperbaiki keadaan. Sebab politikus pun, sekarang—dengan
mobil baru, rumah baru, dan perjalanan ke luar negeri yang sarat
bekal, dan tanpa tahu dari mana mereka mendapatkan semua
itu—sudah dianggap jadi bagian dari autoritas, kekuasaan, bu-
kan veritas, kebenaran.
Tapi apa gerangan ”kebenaran”? Apa gerangan ”keadilan”?
Bagaimana mungkin itu didapat oleh orang ramai? Bagaimana­
pula itu diperoleh para orator jelek itu? Namun saya kira, di sini-
lah justru jawaban kenapa demokrasi penting—selama demokra-
si berada bersama parrhesia, sebuah kata kuno untuk menggam-
barkan ”kemerdekaan bicara”.
Menarik, bahwa kata itu datang dari dunia teater. Euri­pides­di
abad ke-4 sebelum Masehi memperkenalkannya dalam keenam
lakon yang ditulisnya. Dalam lakon Perempuan­-Perempuan
Phoe­nisia, sang ibu, Iocasta, bertanya kepada anaknya, Polynei­
ces, yang datang dari tanah buangan untuk merebut takhta dari
kakaknya: Apa yang paling menyakitkan selama hidup di ta-
nah pengasingan? Jawab Polyneices: ”Yang terburuk ini: kemer­
dekaan bicara tak ada.”
Satu segi baru dikemukakan Euripides dalam lakon Ion. De­
wa Apollo, yang memerkosa seorang perempuan, tak meng­akui
anaknya yang lahir dari perbuatan itu. Sang dewa diam. Tapi
toh manusia kemudian menyimpulkannya sendiri, ketika orang
datang bertanya kepadanya. Jawaban itu memang ternyata dusta,
tapi satu proses telah dimulai. Seperti diutarakan Michel Fou-
http://facebook.com/indonesiapustaka

cault tentang parrhesia dalam Ion, yang terjadi adalah ”pencari­


an tahu dengan cara interogatif”, bukan dengan diam menunggu­
jawab sang dewa dalam bentuk orakel yang biasanya remang-
remang. Dengan melalui tanya-jawab, yang gelap pun menjadi
terang.

140 Catatan Pinggir 7


PARRHESIA

Teater adalah sebuah dunia di mana percaturan tanya dan ja-


wab menjadi alasan hidup. Dari sini suspens tumbuh, dan dari
sini gerak tampak. Tapi lebih dari itu, teater adalah sebuah arena,
tempat manusia tampil sebagai makhluk yang harus memandang
apa yang terbatas dengan sudut pandang yang terbatas. Teater­
adalah seni tentang perspektif. Tapi pada saat yang sama, dari
perspektif yang dibentuk oleh tubuh dan posisinya, ada proses ke
arah yang tak terbatas itu.
Teater juga sebuah dunia di mana bahasa menunjukkan se-
jarahnya yang tak lurus dan riwayatnya yang tak sepenuhnya te­
rang-benderang. Bila bahasa adalah sesuatu yang 100 persen­ber-
sih dan transparan, teater akan berhenti. Di sini hidup tak dapat
dibayangkan sebagai wujud matematik. Bahasa akan senantiasa
gagal, atau separuh gagal, tapi ajaib: manusia tak selamanya harus
saling menggembok mulut. Bisu bahkan sesua­tu­yang seperti ti-
tik hitam dalam geometri: di sana, semuanya berhenti.
Maka yang penting bukanlah jaminan akan datang solusi,
bukan pula garansi bahwa akan terbit kebenaran. Yang penting­
adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan un-
tuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adil—dengan sikap
ingin­tahu, ragu, juga gigih. Itu sebabnya mahkamah yudikatif
lahir. Ada pendakwa, ada pembela, ada hakim. Ketika hakim jadi
bisu karena disuap, parrhesia hilang.
Dengan demikian, memang kebenaran harus dilihat seba­gai
suatu yang hendak dicapai bukan dalam laboratorium. Mengu­
tip Foucault di sini menjadi relevan: ia membandingkan parrhe­
sia dengan pengertian yang datang kemudian, ketika modernitas­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mulai, yakni tentang evidence. Bagi pengertian ala Descartes


itu,­cocoknya keyakinan dengan kebenaran didapat dalam satu
peng­alaman dalam pikiran kita tentang evidence. Bagi orang Yu-
nani seperti dalam teater Euripides, kecocokan itu tidak di sana,
tapi dalam percakapan, dalam parrhesia.

Catatan Pinggir 7 141


PARRHESIA

Di situlah demokrasi jadi penting. Sebuah republik bukanlah


sebuah ruang steril. Maka apa boleh buat, yang berbicara tak ha­
nya­para pakar dengan rumus, tapi orang biasa—dengan kesalah­
an-kesalahannya, dengan nafsunya, dengan ketakut­annya. Kita
hidup bersama mereka, dalam dunia mereka.

Tempo, 22 Februari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

142 Catatan Pinggir 7


PRANCIS

Y
ANG suci tampaknya belum surut. Juga ketika mukjizat
menghilang dan Tuhan hanya disebut dari ruang yang
hingar. Dunia memang mengalami Entzauberung—se­
patah kata dari Weber yang terkenal itu, yang menggambarkan
hilangnya tuah dari kehidupan. Modernitas hadir. Tapi tidakkah
modernitas yang sekuler itu juga punya batas?
Prancis: di negeri ini, di mana Islam agama terbesar No. 2,
anak-anak muslimah datang ke sekolah dengan berjilbab. Mereka
tampaknya merawat apa yang sakral. Mungkin petuah­orang tua
tentang tradisi dan harga diri. Mungkin ajaran agama. Mungkin
juga tubuh mereka, hingga perlu diberi tabir dari debu duniawi
dan dari jamahan yang profan. Mungkin sekali ketiga-tiganya.
Tapi apa yang terjadi jika sesuatu yang dianggap suci bentrok­
dengan sesuatu yang dianggap suci? Di Paris, Régis Debray, da­
lam wawancara dengan majalah Lire nomor Februari ini, meng-
ingatkan, ”Kita jangan mencampuradukkan yang suci dengan
yang religius, dan yang religius dengan yang ilahi­ah.” Sebab ba­
nyak­”agama tanpa dewa-dewa dan tanpa Tuhan.”
Dari Debray, suara ini menarik untuk didengar. Dalam umur
64 tahun, ia bertahun-tahun mewakili suara yang kiri, bahkan
ra­dikal. Ia pernah ikut bergerilya di Amerika Latin­ membantu
”Che” Guevara; ia dipenjarakan di Bolivia dari tahun 1967 sam-
pai 1970. Buku pertamanya, Révolution dans la Révolution (1967),
menampakkan rasa kagumnya kepada gerak­an revolusioner. Tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dilakukan pada umur 27 tak dengan sendirinya berulang ke-


mudian. Saya terkejut ketika membaca Lire: kini Debray­meraya­
kan ”nilai-nilai Amerika”, termasuk soal menghormat bendera di
waktu pagi. ”Saya iri akan orang-orang Amerika dalam hal kesa­
daran warga negara­ (civisme) dan patriotisme mereka, bahkan

Catatan Pinggir 7 143


PRANCIS

bila kedua hal itu dipakai untuk tujuan-tujuan buruk.”


Debray, kini patriot di abad ke-21, hendak menunjukkan bah-
wa tak ada masyarakat yang tak punya wilayah yang disuci­kan
dan tanpa transendensi. Uni Soviet dulu punya Lenin. Amerika
Se­rikat punya Washington dan para ”bapa pendiri”. Dan apa ki-
ranya sukma Republik Prancis? Jawab Debray, ”Kita juga punya
satu wilayah seperti itu,” dengan ”pahlawan-pahlawan­besar” se-
perti Danton, seperti Leclerc.
Debray menyebut Leclerc, prajurit legendaris Prancis dalam
Perang Dunia II yang dua kali dipenjarakan Jerman dan dua kali
melarikan diri. Perwira aristokrat ini kemudian bertempur di
padang pasir Afrika. Pasukannya dipuji Churchill karena kebe­
rani­annya dalam peperangan di Tunisia. Leclerc juga yang ikut
merebut kembali Paris dan menerima pernyataan menyerah ten-
tara Jerman dari Jenderal Von Cholitz, 25 Agustus 1944.
Debray menyebut Danton. Tokoh Revolusi Prancis ini pun
orang yang berani, juga ketika ia harus menghadapi kaum revo­
lusioner yang lebih ekstrem yang kemudian memenggal kepala­
nya,­5 April 1794.
Yang pertama, Leclerc, mengisyaratkan pentingnya la patrie,­
tanah air. Yang kedua mengisyaratkan pentingnya la läicité, se-
mangat sekuler. Dalam lakon Georg Buchner, Dantons­ Tod
(”Ma­tinya Danton”), kita dengar tokoh ini berkata bangga: ia
mengingkari adanya kebajikan; ia juga mengingkari adanya dosa.
Baginya, ”Yang ada hanya para epikurian, yang halus dan yang
kasar.”
La patrie dan la läicité di Prancis memang bertaut: Revolusi
http://facebook.com/indonesiapustaka

Prancis yang memusuhi Gereja itu juga salah satu tonggak awal
lahirnya ”negara nasional”. Tapi tampaknya, seperti di pelba­gai
negara modern, kini ada yang terasa kurang. Jika kebajikan dan
dosa tak diakui, dan yang penting adalah kaum ”epikurian” yang
memprioritaskan hari ini, bukankah masih diperlukan jawab:

144 Catatan Pinggir 7


PRANCIS

apa yang bisa membahagiakan manusia secara bersama-sama di


sebuah dunia yang tak peduli akan akhirat? Apa kebahagiaan
bagi aku dan Tuan? Apa yang bukan?
Jawab untuk itu, konon, akan bisa ditemukan jika ada nilai-
nilai yang jadi fondasi sebuah kebersamaan. Tapi setelah Revo­lusi
Prancis, setelah modernitas dan Entzauberung, politik berlang-
sung dalam kondisi ”pasca-fondasional”. Tak ada konsepsi meta­
fisik­ tentang apa yang ”bajik” dan apa yang ”buruk”. Yang ada
ha­nya undang-undang, dan kita tahu: undang-undang lahir dari
perundingan yang tak selamanya bersih.
Tapi apa daya? De-kristen-isasi telah terjadi, kata Debray, tapi
malangnya tak disertai pulihnya kembali makna. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban tak ditegakkan lagi—dan di sini saya
kira Debray ingin berbicara tentang hilangnya ”otoritas”. Seperti
yang pernah dibicarakan Hannah Arendt, itu ber­arti hilangnya
wibawa yang mampu mempengaruhi perilaku dalam polis atau
”madinah” kita, tanpa memaksa, tanpa kekerasan.
Maka Debray pun bicara tentang ”yang suci”, le sacré, suatu
transendensi yang menjaga agar sebuah bangunan sosial tak run-
tuh. Tapi dengan caranya sendiri. Ia berbicara tentang ”suatu li-
ang di dasar”, ”suatu ketidakhadiran fundamental”. Dengan
agak dramatik ia katakan, ”Orang berbaris ke Taman Firdaus
atau orang datang dari surga yang hilang.” Dan dari surga yang
hilang itu, dari la läicité itu, memang ada rasa cemas. Tapi itu juga
”tenaga pendorong kita”.
Dari sinilah ”yang suci” diimbau. Ia terasa hadir dalam kese-
tiaan manusia kepada sesuatu (bagi Debray: tanah air), yang bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyebabkan ia berani mati, juga ketika Tuhan tak diakui. Dari


sini kita tahu kenapa Debray menyebut sekolah sebagai sebuah
sanctuaire, wilayah damai tempat orang berlindung. Sekolah bu-
kan sebuah tempat umum. Seperti tiap komunitas, seperti halnya
gereja atau kuil, sekolah juga memerlukan ”ambang” (les seuils).

Catatan Pinggir 7 145


PRANCIS

Bila ke masjid orang menanggalkan sepatu, ”kenapa tak begitu


halnya dengan jilbab ketika memasuki sekolah?”
Pertanyaan yang bagus. Tapi ada yang belum dijawab Debray:
benarkah anak-anak muslimah itu datang ke sekolah untuk ber-
lindung? Ataukah untuk mendapatkan sesuatu yang kelak mem-
buat mereka tak perlu proteksi, dengan atau tanpa­ yang ”suci”?
Dan bila pun mereka datang berlindung, tak mungkinkah itu
karena mereka takut cedera oleh ketidak­bebas­an dan intoleransi,
yang jangan-jangan datang dari mere­ka yang mempersucikan la
patrie?

Tempo, 29 Februari 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

146 Catatan Pinggir 7


GRONDSLAG

J
AKARTA, menjelang pertengahan 1945, tiga bulan sebelum­
bom atom jatuh di Hiroshima. Sekitar 80 orang hadir di se-
buah pertemuan 10 hari.
Di antara mereka tak ada buruh atau peladang, orang dari
pesantren atau masyarakat adat, dan hampir tak ada perempuan.
Tapi ke-80 orang itu bukan orang yang jauh dari orang ramai. Se-
lama belasan tahun, mereka pernah aktif sebagai ”orang perg­e­
rak­an” dan bertemu dengan pelbagai lapisan rakyat, atau jadi pe-
jabat, atau ikut aksi untuk kemerdekaan lewat partai dan perhim-
punan. Di antara mereka, ada Sukarno dan Hatta, yang telah jadi
buah bibir sebagai ”Bung Karno” dan ”Bung Hatta”.
Hari-hari itu, tugas mereka—diberikan oleh penguasa Jepang
di Jakarta waktu itu, yang tahu Dai Nippon akan kalah dan me­
re­ka harus meninggalkan kepulauan ini—adalah menyiapkan
la­hirnya sebuah ”Indonesia” yang ”merdeka”. Tapi apa yang dise-
but ”Indonesia”? Bagaimana keadaan ”merdeka” itu?
Jawab masih kabur. Masih banyak pengertian pokok yang ha­
nya diangankan—dalam arti dikehendaki, dirancang-bentuk,­
tapi disadari atau tidak, hasilnya hanya punya dasar yang tentatif.
Dengan itu mereka berunding. Rapat berlangsung di Gedung
Tyuuoo Sangi-In, tak jauh dari Stasiun Gambir. ”Kita harus­men-
cari persetujuan paham,” kata mereka, seperti kemudian ditiru-
kan Bung Karno.
Maka, pada tanggal 1 Juni, Bung Karno, salah seorang ang­go­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ta­sidang, berbicara tentang perlunya sebuah philosophische grond­


slag. ”Negara Indonesia” yang sedang disiapkan itu butuh sebuah
”dasar filsafat”. Sebab bagi Bung Karno sebuah republik­tak bisa
didirikan ”dengan isi seadanya saja.” Banyak negeri, katanya,
”berdiri di atas suatu Weltanschauung.”

Catatan Pinggir 7 147


GRONDSLAG

Ia sebutkan contoh lima negeri dan lima ”pandangan dunia”.­


Uni Soviet: Marxisme-Leninisme; Jerman di bawah Hitler: Nazi­
isme; Jepang: Tennoo Koodoo Seishin; Arab Saudi: Islam; Cina:
gagasan Sun Yat Sen dalam ”tiga asas” atau San Min Chu I.
Dari tesis inilah Bung Karno pun merangkai ”Pancasila”.
Menarik bahwa tak seorang pun waktu itu yang bertanya kena-
pa grondslag begitu penting. Memang, ”persetujuan paham” per-
lu ada di sebuah negeri dengan isi yang majemuk. Tapi bukankah
”persetujuan paham” bisa dicapai tanpa sebuah ”filsafat” yang
mendasari kehidupan bersama? Tidakkah lebih musta­jab bila
se­buah negara punya aturan yang memadai buat membe­reskan
sengketa dan menjaga kesepakatan? Dengan kata lain: bu­kankah
lebih penting hukum positif ketimbang Weltanschauung?­Jangan
lupa: Swiss dan Brasilia—yang begitu plural penduduknya—tak
punya satu ”filsafat dasar”, tapi kedua­nya tak pernah pecah.
Tapi orang terpesona kepada pidato Bung Karno. Mereka ke-
mudian menjadikannya sebagai Lahirnya Pancasila, sebuah canon­
pemikiran politik Indonesia. Dan orang bertepuk buat grondslag.
Pada masa itu mereka memang biasa mendengarkan semboyan
”Asia untuk bangsa Asia”, dan ingin menampik modernitas yang
gemuruh dari ”Eropa”. Bagi mereka, ”Barat” adalah kehampaan.
Di sana telah hilang pegangan, telah runtuh ”metanarasi” yang
bisa memberi makna yang dihayati bersama, ”telah mati Tuhan”.
Sanusi Pane, penyair yang memuja Hindia dan bersedia bekerja
untuk kantor propaganda Jepang itu, melihat ”Barat” sebagai ”ni-
hilisme”.
Cemas itu memang bergema luas, juga di ”Barat” sendiri. Da­
http://facebook.com/indonesiapustaka

niel Bell mencatatnya dalam The Cultural Contradictions of Ca­


pital­ism: itulah, ia berkata, salah satu problem modernitas dan
sekularisasi. ”Tuhan telah mati,” kata Bell, berarti ”pertalian so­
sial­telah putus” dan ”masyarakat telah mati.”
Memang seharusnya Tuhan tak patut dianggap hanya sebagai

148 Catatan Pinggir 7


GRONDSLAG

sang penyangga nilai-nilai. Tapi manusia perlu jawab bagaimana


menemui ajal, mengerti tragedi, memaknai cinta, menanggung
ke­wajiban. Sebuah kebersamaan selalu membutuhkan ”budaya”,
bukan hanya teknik dan teknologi.
Agaknya itulah sebabnya orang menyambut grondslag. Se­
bagai­mana orang terpikat tulisan Mao atau terpukau pemikiran
Sayyid Qutb: ada hasrat mengembalikan ”fondasi”­ke kehidupan
politik. Tuah dan mukjizat Kata telah surut dari dunia. Bersama­
an dengan itu, acuan normatif tentang apa yang baik dan buruk,
penilaian estetik tentang yang indah dan jelek, dan persoalan
kognitif tentang yang benar dan salah telah berkembang di pe­
nge­tahuan yang terpisah-pisah—sebuah gejala modernitas, kata
Max Weber. Dalam kondisi itu, betapa bisa sebuah masyarakat
ber­gerak bersama, tanpa dilecut kekuasaan?
Ternyata tak gampang memecahkan soal ini. Membuat se-
buah grondslag yang bertuah dan bermakna bagi jutaan orang
pada akhirnya merupakan ikhtiar besar ”penyembuhan”. Panca­
sila­dan Maoisme disebarkan dengan indoktrinasi yang bertubi-
tubi.
Dalam hal ini Qutb punya kelebihan: ia bisa menyatakan bah-
wa grondslag yang ditawarkannya adalah ”Islam”. Agama ini telah
menyangga manusia berabad-abad, dengan keyakin­an bahwa ia
datang dari Tuhan.
Namun pada akhirnya ide-ide Qutb—sebuah kritik kepada
modernitas—juga harus bersua dengan kritik lain kepada mo-
dernitas. Gianni Vattimo, pemikir Italia itu, memperkenalkan
makna il pensiero debole, ”pikir yang lemah”. Dengan itu kita bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

lebih rendah hati dan melihat bahwa ”semua adalah tafsir”. Juga
apa yang dikemukakan Qutb sebagai ”Islam”.
Tak berarti seluruh grondslag perlu dicopot. Apalagi dalam
hal Pancasila, ada yang penting: ia sebuah grondslag dan sekali­gus
juga perundingan—dan ini tak hanya berlangsung di Gedung

Catatan Pinggir 7 149


GRONDSLAG

Tyuuoo Sangi-In itu. Di sebuah negeri yang sehat, semangat­ke-


bangsaan tak akan pernah jadi mutlak bila ada semangat lain
yang sah, yakni perikemanusiaan. Di sana kita bisa yakin kepada
kebenaran Tuhan tanpa menghabisi semangat­demokrasi.
Pancasila kini memang dilecehkan. Tapi mungkin karena
per­nah mereka membuat Pancasila ”sakti” dan bukan sebuah ne-
gosiasi. Kita lupa: grondslag itu adalah proses manusia dengan il
pensiero debole.

Tempo, 7 Maret 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

150 Catatan Pinggir 7


KARBALA

K
ARBALA dan kematian—berapa kali lagi tragedi dise-
but dalam dua kata itu? Tiap kali terjadi pembunuhan
di sana, kita bertanya, mungkin dengan suara yang tak
bisa keras, apakah meneguhkan kekuasaan, ataukah sebaliknya?
Pembantaian pertama tercatat lebih dari 1.300 tahun yang
la­lu. Daulat Ummayah memperkukuh posisi politiknya seba­
gai­ pemegang kekhalifahan Islam dengan membunuh Husain,
cucu Nabi, beserta para pengiringnya pada tahun 680. Sejak itu
para pengikut yang kalah dan terserak-serak membentuk kekuat­
an dengan keyakinan sendiri, dan gerakan Syiah pun lahir. Dan
Karbala, kota kecil di tengah Irak di dekat gurun pasir Suriah,
pun jadi lambang pengorbanan dan kesedihan, ketahan­an dan
harapan. Juga statemen perbedaan.
Orang Syiah kemudian mendirikan masjid dan makam syu-
hada besarnya di kota itu. Tapi hampir 200 tahun kemudian,­
pada tahun 851, Khalif Al-Mutawakkil menghancurkannya.
Orang Syiah dianiaya lagi. Kian lama kian tampak betapa iman
dan kekuasaan saling menghalalkan. Jika Anda bertanya apa arti
”iman” di sini, jawabnya bergantung pada mereka yang bertindak
atas nama ”iman” itu.
Al-Mutawakkil, yang bertakhta pada tahun 847, oleh sejarah
Syiah digambarkan sebagai ”tiran yang berdarah”. Ada dicerita-
kan bagaimana khalif ini suka dihibur para badut yang mence­
mooh Ali ibn Thalib, menantu Nabi, tokoh yang dipuja­ orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Syi­ah di atas siapa pun selain Rasulullah. Tapi justru itu mung-
kin sang Khalif memandang dirinya sendiri sebagai orang yang
tawakal—seperti tersirat dari namanya—atau penjaga akidah.
Begitulah pasti ia ingin dikenang. Kini orang masih bisa me­
nyaksikan Masjid Al-Mutawakkil yang selesai didirikannya­

Catatan Pinggir 7 151


KARBALA

pada tahun 852 di Samarra. Masjid terbesar di dunia Islam masa


itu, seluas 239 x 156 meter persegi, juga sebuah karya arsitek­tur
yang tampak tak ruwet tapi mempesona. Menaranya, dengan tu-
buh tambun dan pucuk setinggi 52 meter, tampak seperti spiral
yang terbentuk dari tangga. Konon Al-Muta­wakkil sering me-
naiki tangga itu dengan mengendarai keledai putih dari Mesir—
seakan-akan dalam perjalanan yang khidmat, tapi terhormat,
mendekati Allah.
Sebab ia merasa telah mendekati Allah dengan cara lain: seba­
gaimana ia membangun arsitektur besar dengan bentuk yang
tak meliuk-liuk, ia juga ingin menyusun daulatnya secara lurus
dan rapi. Sejarawan Al-Tabari mencatat bagaimana sang Khalif
meng­atur ruang hidup di seantero negeri dengan garis yang tegas.
Pa­da tahun 850, diletakkanlah batas yang terang yang memisah-
kan orang Kristen dan Yahudi dari orang Islam. Mereka harus
ber­­­pa­kaian dengan warna tertentu, yakni warna madu. Mere­
ka­harus naik kuda dengan sanggurdi kayu, dan memasang dua
kan­cing di topi. Mereka bukan saja tak boleh­jadi pegawai keraja-
an, membuat makam yang lebih tinggi ketimbang makam mus-
limin pun dilarang.
Meratakan, itulah agaknya garis besar desain yang dipakai.
Gereja dan sinagoge yang didirikan setelah Islam datang harus­
dihancurkan. Sepersepuluh dari luas rumah orang Kristen dan
Yahudi disita. Jika cukup luas, dijadikan masjid atau tempat
umum.
Tak boleh ada yang mencong—dan itu tak hanya mengenai­
bangunan dan kehidupan, tapi juga pemikiran. Maka Al-Muta­­
http://facebook.com/indonesiapustaka

wakkil membungkam kaum Mu’tazilah—para pemikir yang


bisa dikatakan sebagai pendahulu Aufklärung, ber­abad-abad se-
belum Eropa merumuskan peran manusia seba­gai­makhluk pe­
nafsir yang mandiri. Bagi kaum Mu’tazilah, Quran adalah
makh­luk. Kitab itu adalah ciptaan, dan sebab itu tak setara de-

152 Catatan Pinggir 7


KARBALA

ngan Tuhan sendiri. Bacaan ini memang mulia, tapi bukan sesu­
atu yang mahasuci dan abadi. Bagi kaum Mu’tazilah, tiap kali
Quran datang kepada kita, ia datang melalui penafsiran kita atau
orang lain—baik orang awam maupun para fuqaha yang pintar
hukum agama. Betapapun indah­dan agungnya, Kalam Ilahi itu
tetap diungkapkan dan di­terima­ dalam bahasa yang terikat ru-
ang dan waktu.
Dalam arti itu kaum Mu’tazilah meneguhkan keyakin­an­bah-
wa tak ada apa pun yang menyamai Tuhan. Juga boleh­dikatakan,
mereka memandang kata dan tafsir mirip dengan­apa yang lebih
dari 1.300 tahun kemudian diutarakan­kaum ”dekonstruksionis”
dan lain-lain: bahwa bahasa bukanlah­ ibarat­ sebuah pipa lem-
pang, sesuatu yang sepenuhnya trans­paran­ dan konsisten. Juga
bahwa sang pembaca, atau pen­dengar,­lebih menentukan makna
kata, apalagi ketika yang berkata-kata tak hadir di hadapannya.
Maka Quran tak akan pernah tertutup di satu kesimpulan.
Namun bagaimana seorang penguasa bisa menerima pikir­
an­macam ini? Bukankah dengan demikian tak ada hukum yang
pasti? Dan tanpa kepastian dan ketunggalan, bagaimana kekua-
saan akan bertopang dan masyarakat didisiplinkan?
Memperkukuh diri dan mendisiplinkan memang hasrat lazim­
penguasa—apalagi yang merasa didukung ketentuan syariah.
Bagi mereka ini, tiap Karbala harus dihancurkan: tiap statemen
perbedaan, tiap lambang dari ”sana” yang meng­ingat­kan tragedi
akibat kesewenang-wenangan dari ”sini”, harus dihapus.
Apalagi Al-Mutawakkil punya preseden. Dua puluh tahun
se­belumnya, kaum Mu’tazilah begitu percaya kepada kebenar­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an mereka sendiri, hingga Khalif Al-Ma’mun, pendukung


Mu’tazilah yang yakin, memaklumkan paham ini sebagai dok-
trin resmi Daulat Ummayah. Orang tak boleh jadi saksi di mah-
kamah, apalagi jadi hakim, jika tak mau menerima prinsip bahwa
Quran adalah makhluk.

Catatan Pinggir 7 153


KARBALA

Pengganti Al-Ma’mun melanjutkan pemaksaan ini, dengan


lebih keras. Syahdan, seorang alim, Ibn Hanbal namanya, sempat
disiksa dan dipenjarakan. Tapi justru sebab itu ia dianggap orang
ramai sebagai wali dan syuhada—yang tampil dengan­ ajar­an
yang ketat tentang tafsir dan hukum, seakan sebuah anti­tesis bagi
”pencerahan” Mu’tazilah yang gagal.
Sulit rupanya belajar dari Karbala: bahwa iman bisa dipergu­
nakan untuk mengukuhkan kekuasaan, tapi dari gurun pasir­
Mesopotamia sekalipun, iman juga bisa melahirkan sebuah ke­
kuatan tandingan. Dari tragedi, lahir sejarah lagi.

Tempo, 14 Maret 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

154 Catatan Pinggir 7


AGAMA

P
ADA tahun 1930-an, penyair Amir Hamzah pergi ke Pu­
lau­Bali, bersua dengan seorang perempuan yang me­mu­
kaunya, dan menulis:

Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa daku ke


tempat yang dikutuk oleh segala kitab suci di dunia, tapi engkau, ha­
ti­ku, berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain.

Siapa akan menyangka baris-baris itu datang dari Amir Ham­


zah? Penyair ini, seorang aristokrat Melayu, kita kenal­ lewat­
puisinya yang intens tentang Tuhan dan himpunan terjemah­an­
nya yang seakan-akan tak menengok ke ”Barat”: Setanggi­Timur.
Juga potretnya: pecinya rapi, parasnya alim dan bersih. Tak akan
terduga bahwa Amir adalah sebuah keresah­an untuk ”terus hen-
dak mengembara,” begitu binal, bandel, dan berontak. Tak ga­
mang memasuki tempat terkutuk. Tak sudi mendengarkan­”se-
gala kitab suci.”
Penyair yang menakjubkan biasanya memang penyair yang
tak jinak. Horatius, penulis puisi liris terkemuka di Roma abad
ke-7 sebelum Masehi, berseru, ”Sapere aude!” Beranilah menggu­
nakan pengertian sendiri! Puisi yang hanya mengulang kaji
akan mati sebelum sampai. Bagi Horatius, pada awalnya adalah
mandiri.
Amir Hamzah hidup beratus tahun setelah itu, pada abad ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

20 yang rusuh. Ia bagian dari modernitas. Ia manusia­dari masa


tatkala kemandirian dinyatakan sebagai tanda ”Pencerah­an”.
Tanda itu dicantumkan oleh Kant, ketika pemikir ter­masy­
hur­ ini menjawab pertanyaan berkala Berlinische Monatschrift
pada bulan November 1784. Pencerahan, kata Kant, adalah pem-

Catatan Pinggir 7 155


AGAMA

bebasan diri manusia dari selbst verschuldeten Unmündigkeit, dari


ketergantungan pada bimbingan orang lain—ke­tidak­dewasaan
yang ditumbuhkan manusia sendiri dalam diri­nya. Untuk jadi
dewasa, sapere aude! Manusia ”Pencerahan” adalah manusia yang
”berkitab sendiri.”
Para penulis sejarah Eropa kemudian mengaitkan zaman
”Pen­cerahan” dengan awal maraknya sekularisme, semangat
yang menyambut sekularisasi kehidupan. Sekularisasi tentu tak
hanya bertolak dari rumusan Kant. Pemikir ini memang­terkenal
dengan thesisnya bahwa dalam diri manusia­sendiri­ada kapasitas
untuk menyelesaikan masalah ethis, tanpa­ ”segala­ kitab suci di
dunia.” Tapi Kant bukan orang yang memulai gairah modernitas.
Di masanya, bintang tak lagi menentukan nasib, ikon Kristus tak
lagi keramat, hantu habis, vampir tergusur, malaikat sirna. Tu-
han tentu saja masih dipercaya, tapi Ia telah jadi sebuah konsep,
misalnya sebagai ”Sebab Pertama dari Yang Pertama.” ”Gerhana
Tuhan,” kata Martin Buber, telah mulai.
Tentang sejarah yang seperti itulah lahir teori tentang ”seku-
larisasi”. Teori ini adalah teori tentang perubahan masyarakat.
Menurut telaah Max Weber yang termasyhur, per­ubahan itu ber-
mula ketika rasionalitas kian membentuk cara manusia melihat
hidup dan mengambil keputusan. Masyarakat tak lagi hanya ber-
sandar pada iman. Ajaran agama, dengan wibawa Tuhan sekali-
pun, tak selalu memadai untuk menyelesaikan soal hidup yang
kian kompleks. Perang dan perdagang­an telah melahirkan pelba­
gai benda, teknik, keahlian, dan perilaku yang baru.
Di tengah kompleksitas ini, elite keagamaan pun susut wi­ba­
http://facebook.com/indonesiapustaka

wanya, ketika mereka tak sepenuhnya siap menjawab. Timbul­


lah lembaga dan lingkaran lain yang mandiri. Ilmu tak bisa lagi
mengikuti doktrin Gereja, seni tak lagi hanya me­layani­ yang
sakral, dan penilaian tentang yang ”jangan” dan yang ”harus”
makin berjarak dari titah Tuhan, meskipun tak dengan sendiri­

156 Catatan Pinggir 7


AGAMA

nya menampiknya.
Matikah agama sejak itu? Akan lenyapkah pesonanya ketika
manusia berani mengembara bahkan ke ”tempat yang dikutuk
segala kitab”?
Ada yang menjawab: pasti. Dekat ke pertengahan abad ke-
19 Auguste Comte menuliskan teorinya bahwa tiap masyarakat­
akan meninggalkan ”keadaan theologis” dan akhirnya masuk ke
”keadaan ilmiah dan positif”. Menjelang akhir abad ke-19 Marx
dan Engels yakin revolusi sosial akan menghapuskan agama,
”candu” bagi kelas buruh itu. Di paruh kedua abad ke-20, Peter
Berger memperkirakan pada abad ke-21 kehidupan sekuler akan
begitu meluas, hingga orang beragama pun terpencil. Nasib si
mukmin, katanya, akan seperti nasib ”seorang ahli astrologi dari
Tibet yang tinggal di sebuah kampus di Amerika”: ganjil, mung-
kin menarik, dan bingung.
Kini abad ke-21, dan kita tahu Berger dan lain-lain salah.
Agama tak mati-mati. Teori sekularisasi secara telak telah terban-
tah. Teman saya, Luthfie Assyaukani, memberi saya sejumlah ri-
salah yang kini menyesali teori itu. Rodney Stark, pakar­sosiolo-
gi agama itu, menyerukan agar ”doktrin sekularisasi” dikubur.
Pada tahun 1997 Peter Berger sendiri mengakui kekeliruannya:
ternyata dunia tak berubah jadi sekuler, ternyata agama tampil
lebih lantang.
Tapi jika teori sekularisasi mati, mati jugakah proses sekular-
isasi? Akan terhalaukah sekularisme, pandangan yang menjun-
jung surutnya peran agama dalam kehidupan sosial? Saya kira ti-
dak; ia hanya berubah kulit, atau muncul di sela-sela retakan so-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sial zaman ini. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secu­
larity to World Religions, Berger menunjukkan dina­mika lain di
masa kini: pluralisme. ”Kepastian subyektif” (subjective certainty)­
dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang
padu sebagai penyangga. Dunia kini bak sebuah bazar. Ada pelba­

Catatan Pinggir 7 157


AGAMA

gai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak


bagaikan ”satu intan dua cahaya,” untuk memakai kiasan Amir
Hamzah di sajak lain. Yang ada bukan sepasukan ”jahiliah” yang
utuh menghadapi sepasukan ”mukminin” yang tunggal. Kere-
takan, atau beda, di mana-mana tampak. Meskipun orang me­
nga­takan kini kita hidup di masa ”pasca-sekuler”, agama tetap
tak mampu sepenuhnya membentuk tafsir kita tentang dunia.
Apa boleh buat. Sudah agak lama bermacam ragam Amir
Hamzah mengembara, menjajal wilayah asing, bertanya, dan
ber­bisik kepada Tuhan (Tuhan yang tak bisa lagi memaksakan
Kata-Nya): Mangsa aku dalam cakar-Mu, bertukar tangkap de­
ngan lepas....

Tempo, 21 Maret 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

158 Catatan Pinggir 7


HIPERBORIA

P
ADA hari-hari pemilihan umum, politik seakan-akan
ha­­nya­ sebuah kerinduan mendapatkan pemimpin. Di­
sa­dari­ atau tidak, dalam gambar tokoh yang dipasang,
da­lam percakapan tentang ”siapa” (dan bukan ”apa”) yang akan
menang, ada sesuatu yang purba: sesuatu yang datang dari sebuah
zaman ketika raja dan brahmana dianggap punya­ kemampu­an
agung untuk membuat sebuah negeri menjadi ”panjang punjung”,
luas dan luhur, bak deskripsi para dalang wayang kulit.
Lebih tua dari lukisan para dalang Jawa adalah paradigma Pla-
tonis tentang negeri atau polis yang ideal—konon diilhami­oleh
kerajaan Mesir purba—tentang perlunya ”filosof-raja”, pandhita-­
ratu, memimpin masyarakat. Saya tak tahu sejauh mana pada
masa silam itu orang membaca Republik karya Plato, tapi ber­
abad-abad lamanya jarak antara ”raja” dan ”Tuhan” sangat dekat,
seakan-akan baginda yang bertakhta itu juga mendapatkan ke-
arifan dari surga. Seakan-akan tak sembarang orang bisa duduk
di puncak, sebab hak itu datang dari Ilahi. Agaknya mithos me-
mang harus dibangun untuk melupakan­ kemungkinan bahwa
kekuasaan sebenarnya datang secara kasar, dari ujung pedang.
Pada abad ke-20, Mao Zedong, seorang Marxis, membongkar
mithos itu dengan mengatakan bahwa kekuasaan lahir dari laras
bedil.
Mao memang menandai sebuah zaman runtuhnya ideologi­
yang mempercayai bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang alami­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ah. Demokrasi telah datang. Isyarat pertama yang dramatis


adalah sebuah adegan di Whitehall, London, 30 Januari 1649:
hari itu Raja Charles dipenggal oleh kekuatan yang dikerahkan
Parlemen untuk melawan, dipimpin oleh Oliver Cromwell. Lebih­
termasyhur lagi ke seluruh dunia tentu saja dari Revolusi Pran-

Catatan Pinggir 7 159


HIPERBORIA

cis, ketika Louis XVI ditebas lehernya pada 21 Januari 1793 oleh
kaum revolusioner.
Simbol itu bisa dibaca lebih jauh: sang kepala dilenyapkan.
Tinggal badan, lengan yang menanam padi dan gandum, tangan­
yang menembakkan panah dalam perburuan, kaki yang menem-
puh jalan dan menyeberangi sungai ....
Meskipun demikian, politik ternyata tak berhenti-henti me­
rindukan kepala. Kekuasaan Cromwell nyaris dikukuhkan se-
bagai kerajaan. Ia menolak. Tapi setelah ia meninggal pada
1658, Inggris kembali menjadi kerajaan. Tak jauh berbeda dari
itu adalah Prancis: Napoleon, seorang opsir yang pintar, akhir­
nya­jadi Maharaja, dan revolusi yang bersemboyan ”kebebasan,
kesetaraan, persaudaraan” dikhianati. Konon mendengar kabar
itu, Beethoven, yang baru selesai menggubah karya musik untuk
sang opsir revolusi, merobek-robek komposisi yang baru dicipta­
kannya.
Beethoven boleh marah, tapi tampaknya ada kecenderung­an
yang laten dalam diri manusia yang memasang ”kepala” sebagai
pangkal dari segalanya. Angan-angan ini juga jadi bagian sentral
dalam buah pikiran modern. ”Kepala” di dalam pengertian ini
sama dengan ”subyek” yang kukuh dan utuh, serba tahu, pasti
de­ngan satu hal: dirinya sendiri. Cogito, ergo sum.
Saya agak terkejut ketika mengetahui bahwa bahkan pikir­an
seperti itu juga terkandung dalam pemikiran Lenin yang atheis
di satu sisi dan di dalam pemikiran Sayyid Qutb yang islamis­di
sisi lain.
Bagi pemikiran Lenin (dalam risalah pendeknya, Apa yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mesti Dilakukan?), revolusi tak akan datang secara spontan. Prole-


tariat—tangan yang memutar roda mesin dan memalu besi—ha-
rus digerakkan oleh kepala yang ”sadar” akan dirinya,­persisnya
oleh Partai yang dipimpin oleh kaum revolusioner profesional.­
Bagi Qutb, seperti ditulisnya dalam Ma’alim fi’ l Tariq (”Tonggak-

160 Catatan Pinggir 7


HIPERBORIA

Tonggak Perjalanan”), perjalanan menuju­masyarakat yang isla-


mi harus dirintis dan dijaga oleh para ”pelopor”, yang tahu tong-
gak-tonggak sepanjang jalan menuju tujuan. Ia harus ”mengenali
tempat awal, sifat dasar, tanggung jawab, dan tujuan terakhir per-
jalanan panjang ini.”
Dengan kata lain, ”sadar” dan ”mengetahui” adalah pokok.
Te­ori jadi pangkal dan praksis hanya menurutinya. Seakan-akan­
”aku berpikir, maka aku ada” tak pernah bisa dikalahkan dengan
argumen bahwa ”aku ada, maka aku berpikir.” Seakan-­akan­
subyek (yang berpikir itu) menentukan ”ada”, mem­bentuk­ dan
meng­­ubah dunia yang di luar. Seakan-akan ”me­nge­­tahui” begitu
menentukan hingga tak perlu dihiraukan ada ”dunia-kehidup­
an”, Lebenswelt, yang acap kali tak terumuskan.
Persoalannya, ”dunia-kehidupan” itu begitu centang-pere-
nang: ada alam yang tak dapat diduga, ada tubuh yang punya­
naf­su, ada bawah-sadar, ada emosi yang berubah-ubah, ada per-
bedaan yang tak tepermanai, ada pergantian yang meng­alir terus.
Khaos, kata Nietzsche dengan bersemangat—”ada” adalah ”kha-
os”. Dunia, kata Nietzsche, adalah ”sebuah mons­ter energi, tanpa
awal dan tanpa akhir.”
Politik tampaknya tak akan dapat berlangsung, untuk meng-
hasilkan kemaslahatan bersama, jika manusia bertolak dari ”mon-
ster energi” ini. Diperlukan kendali atas khaos, di­butuh­kan ske-
matisasi terhadap Lebenswelt yang centang-perenang. Itu sebab-
nya bahkan Nietzsche sendiri menawarkan satu paradigma­mirip
Plato: ”manusia Hiperboria”. Manusia jenis ini sekaligus pemikir
dan pembuat undang-undang. ”Filosof sejati adalah panglima
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan legislator,” katanya dengan gagah. Mereka akan menentukan


”Ke Mana” dan ”Untuk Apa” manusia. Dengan ”kehendak un-
tuk berkuasa”, dunia akan dapat ditata.
Tapi tidakkah dengan ”subyek” yang begitu kuat berniat­—
”manusia Hiperboria” Nietzsche, kaum ”revolusioner” Lenin,

Catatan Pinggir 7 161


HIPERBORIA

para ”pelopor” Qutb—politik akan melahirkan harap­an yang


terlalu melambung? Tidakkah Tuhan seakan-akan telah diganti-
kan peran-Nya dalam menentukan nasib? Sejarah menunjukkan
bahwa politik yang hanya mencari pemimpin, mengandalkan
”subyek” yang seakan-akan utuh, akan ber­akhir­dengan harapan
yang guncang. Mungkin ada cara lain melihat: politik adalah se­
su­atu yang perlu tapi sayu: satu proses bersaing dan berunding,
untuk mengatasi kekecewaan sejarah.

Tempo, 28 Maret 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

162 Catatan Pinggir 7


LA MEZQUITA

Cordoba, sayup-sayup sampai


—Federico Garcia Lorca

P
ADA suatu hari di tahun 1152, Ibn Rushd dipanggil
menghadap Amir Abu Yaqub Yusuf di Marrakesh, ibu
kota Maroko waktu itu. Ia tak tahu kenapa. Ketika itu
umurnya baru 27. Tapi ia memang istimewa: ia lahir serta tum-
buh di Cordoba, pusat kecerdasan di Eropa pada abad ke-12, dan
ia dibesarkan di keluarga yang terpelajar....
Maka ke Marrakesh ia datang. Di ruang dalam istana, di­lihat­
nya Baginda sedang berdua dengan Ibn Tufail, filosof dan penga­
rang Hayy ibn Yaqzan, sebuah fiksi alegoris yang ber­abad-abad
kemudian dianggap mengilhami Robinson Crusoe. Ibn Tufail juga
gurunya di bidang filsafat. Hari itu rupanya dia ingin memperke-
nalkan Ibn Rushd.
Tak disangka, sang Amir memulai perkenalan dengan ber­ta­
nya,­”Bagaimana pendapat para filosof tentang surga? Abadikah,
dan adakah awalnya?”
Ibn Rushd terenyak. ”Aku tercekam rasa takut,” katanya me­
nge­nang, ”Aku bingung.”
Mungkin sadar ia membuat gentar pemuda itu, Baginda pun
berpaling ke Ibn Tufail. Segera diskusi berkembang, dengan ku­
tip­an yang tangkas dari karya Plato, Aristoteles, dan para pakar­
theologi muslim. Ibn Rushd merasa betah. Apalagi sang Amir
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­ngagumi kecerdasannya. Abu Yaqub pula yang kemudian


mengangkatnya jadi dokter istana.
Dari sini disusunnya sebuah ensiklopedia, Kitab Al-Kulliyat
fi-l­­-­tibb, yang kemudian, dalam versi Latin, berpengaruh di seko-
lah kedokteran di seluruh Eropa. Ia memperkenalkan fungsi reti­

Catatan Pinggir 7 163


LA MEZQUITA

na. Ia tunjukkan bahwa pasien jadi kebal bila sembuh dari ca-
car—satu kesimpulan yang sampai kini berguna untuk imunisa-
si.
Tapi ia juga mendapat tugas yang—meskipun kemudian­
membuat namanya dikenang—amat tak gampang: menulis­taf­
sir karya Aristoteles. Bagaimana filsafat seorang Yunani yang tak
bertuhan bisa bertemu dengan kaidah agama pada abad ke-12?
Soal ini merupakan tema pokok ketegangan pemikiran zaman
itu, ketika tafsir Ibn Rushd bergema di pusat-pusat kajian di Ero-
pa: filsafat terbentur akidah.
Ibn Rushd sebenarnya mencoba menemukan jalan tengah.
Ta­pi ia hanya berhasil dalam buku. Di kancah kekuasaan ia ga-
gal. Ketika Abu Yaqub digantikan Al-Mansur pada tahun 1184,
ia tersisih. Ia dibuang ke Lucena. Begitu banyak tuduhan ia telah
lepas dari ajaran Islam. Di Sevilla buku-buku filsafat­nya dibakar.
Hanya yang mengenai kedokteran dibebaskan.
Sudah sejak itu agaknya berlaku anggapan bahwa ilmu ber­ada
di kategori yang jauh dari filsafat. Memang, ilmu menghadapi
problem seperti pisau menghadapi buah: mengupas,­membelah,
dan mengurai, sedangkan filsafat bergulat di dalam masalah se-
perti seseorang yang terjun ke dalam jeram. Tapi ada yang mem-
persamakan keduanya—dan itu sebabnya Ibnu Rushd seorang
ilmuwan besar: ia berani meletakkan keyakinan dan praduganya­
sendiri di dalam kurung, untuk sementara atau selamanya. Di
tiap tahap ilmu, di tiap saat filsafat, meragukan dan bertanya
adalah niscaya.
Bukan untuk mengada-ada. Yang bertanya tentang tubuh
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan penyakitnya akhirnya toh akan tersangkut ke masalah roh


dan jasad. Yang bertanya abadi atau tidaknya surga mau tak mau
akan terlibat dalam masalah bagaimana manusia harus bersikap.
Jika surga tak kekal, apa sebenarnya makna pahala? Apa pula arti
dosa?

164 Catatan Pinggir 7


LA MEZQUITA

Pertanyaan macam itu tak selalu bisa dihalau, bahkan dari


masjid sekalipun. Siapa yang mencegahnya akan mirip seorang
juru mudi yang ngeri ketika biduknya terguncang topan, tapi me-
milih tidur. Tidur, mungkin mimpi.
Sampai kapan? Ketika kepada orang dianjurkan ”carilah­ilmu
bahkan sampai ke Negeri Cina,” ketika itu pula ada asumsi bahwa­
ada yang ”baik” di sebuah negeri yang begitu jauh dan begitu ber-
beda. Tapi kenapa ”baik”? Apa arti ”baik”? Menolak untuk me-
masuki renungan tentang itu sama halnya dengan menampik un-
tuk mencari ilmu. Sebab ilmu dimulai dari pertanyaan dan ber-
lanjut dalam petualangan. Sampai ke Negeri Cina sekalipun.
Tapi di Sevilla, buku Ibn Rushd dibakar, filsafat ditakuti.­
Sampai sekarang pun pembakaran itu belum usai agaknya.
Sayyid­Qutb, yang menghasratkan Islam kembali berkibar di bi-
dang ilmu, mencegah orang memasuki filsafat—dan tentu saja
lupa bahwa di Cordoba dulu orang akan mengabaikan sikap yang
demikian.
Tapi Cordoba tak selamanya bersinar. Pada tahun 1236, Fer-
dinand III merebutnya dan menjadikannya bagian dari Spanyol
yang Katolik. Sebuah benteng diubah jadi kantor Inkuisisi Ge-
reja yang ganas: dari sinilah diputuskan orang dihukum bakar
bila imannya dicurigai ”cemar”. Yang tak murni, yang ”asing”, di-
basmi.
Pernah saya berkunjung ke bangunan-bangunan tua di tepi
Sungai Guadalquivir itu. Seperti laiknya turis, saya masuk ke la
mezquita, masjid besar yang mulai didirikan pada abad ke-8 itu.
Sejak 1236, ia tentu saja sudah berubah jadi katedral. Kuno tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

kekar (100 tahun lebih tua ketimbang Borobudur), impresif tapi


murung, di dalamnya ratusan tiang berjajar bagaikan pohon hu-
tan, menyangga lengkung merah pualam. Tapi agak ke tengah,
barisan itu tiba-tiba terhenti. Ada ruang yang di­bangun­ untuk
ambulatori dengan atap kubah.

Catatan Pinggir 7 165


LA MEZQUITA

Sedikit tergetar saya melihat itu. Sesuatu telah dipatahkan. Di


sebuah sisi masih tampak bekas mihrab, dengan tepi yang ber-
tatahkan kaligrafi Arab: barisan renik kalimat syahadat. Lebih
separuhnya telah dibusak, lenyap. Tak jauh dari sana: patung
Kristus.
Kekerasan telah terjadi di sini, pasti: keindahan dan iman
yang lama dihapus oleh keyakinan baru. Tapi bukankah yang di-
lakukan Ferdinand III terhadap masjid Cordoba tak berbeda­de-
ngan yang dilakukan Amir al-Mansur yang membakar karya fil-
safat di Sevilla?
Hanya kuasa dan iman yang tegar yang tega berbuat demi­
kian: yang tak sama dengan dirinya, biarpun indah dan ber­arti,
harus ditiadakan. Yang renik dan kompleks, biarpun memukau,
bisa mengganggu kesalihan yang lurus. Mereka harus dibabat.
Sejak itu Cordoba senyap. Dan kita yang datang dari jauh
tahu: tak akan sampai kita ke Cordoba yang dahulu.

Tempo, 4 April 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

166 Catatan Pinggir 7


PASSION

D
ARAH di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang,
koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Se­
pasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari
luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika di-
pantek dengan paku besi pada kayu salib ....
Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? Saya me-
nonton The Passion of the Christ di sebuah gedung bioskop yang
khidmat tanpa mengunyah brondong jagung. Saya menyaksikan
sebuah pornografi penyiksaan.
Pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa
yang selama ini tak dianggap pantas: menggambarkan tubuh ma­
nusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang opti­mal.
Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai­ de-
ngan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitas­—
sebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah
peristiwa badan.
Dalam The Passion of the Christ, film karya Mel Gibson itu,
apa yang selama ini tak lazim justru dibentangkan dengan berse­
mangat di layar putih. Film ini menerobos tabu dalam hal ini.
Tradisi gambar klasik penyaliban umumnya terasa bersih—se­
akan-­akan bersih berarti suci—hampir selalu tampak tanpa da-
rah, tanpa gerak. Pada ikon-ikon kuno terasa sikap orang Kristen
lama yang menganggap penyaliban lebih sebagai perjalanan ro-
hani menuju kemenangan. Satu kekecualian yang tak terduga-
http://facebook.com/indonesiapustaka

duga tampak pada karya Hans Holbein Muda dari tahun 1521:
tubuh Yesus terbaring kurus, luka, sendirian, dengan mata masih
terbuka kesakitan—sebuah gambaran ke­sengsara­an badan yang
begitu mencekam hingga Dostoyewski, dalam novel terkenalnya,
Idiot, menyebut lukisan itu seba­gai sesuatu yang bisa menggun-

Catatan Pinggir 7 167


PASSION

cangkan iman.
Tapi bahkan karya Holbein tak menampilkan jasad yang ber­
lumur darah, dan luka itu menakutkan justru karena seperti mem-
bisu. Karya yang lebih modern juga tak hendak memekikkan­apa
yang memang brutal dalam tiap penyaliban. Kanvas Rouault dari
tahun 1930-an tentang sengsara Kristus, misalnya, berhasil me-
nampilkan suasana misterius dan muram—dengan penggunaan
teknik ”impasto” dan garis luar yang tebal—tapi tak terasa ada
tubuh di sana; yang hadir hampir sepenuhnya puisi spiritual.
Seakan-akan di kalangan Kristen masih berlaku kata-kata­
Goethe: ”Kita tutupi dengan cadar penderitaan Kristus, semata-­
mata karena kita menghormatinya begitu dalam.”
Tapi pada tahun 2004, Mel Gibson merobek cadar itu. Apa
yang pernah digambarkan satu naskah kuno Gereja Syria­tak ter-
dapat lagi di dalam The Passion of the Christ-nya: ”Hari menjadi
gelap sebab mereka sedang membantai Tuhan, yang ditelanjangi
di atas pohon.” Golgotha dalam film Gibson penuh dengan close-
up di bawah sinar matahari. Ia ingin agar gambaran yang dicapai­
nya ”realistis” dalam memaparkan kesakitan Yesus—dan ”realis-
tis”, dalam tradisi Hollywood, adalah sesuatu yang terang bende­
rang, dapat dilihat dengan mata telanjang.
Tapi sebagaimana ”realisme” iklan, tak ada yang datar di sini.
Yang lebih terasa bukanlah ”realisme” sehari-hari, sebab tampak
be­nar hasrat untuk memukau, meyakinkan. Salah satu adegan
yang paling brutal dalam film ini—lebih brutal dari film Si Pi­
tung, yang pada satu saat menggambarkan mata yang dicongkel
dengan satu pukulan silat—adalah pemaparan panjang ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yesus diikat di sebuah tonggak dan dihajar oleh dua aljogo Roma­
wi dengan pecut kayu dan cambuk yang ujungnya bertembilang­
besi. Daging di pinggang kelihatan terkelupas dalam darah, te­
renggut. Yesus mengaduh. Kedua penyiksa itu tertawa puas: sa-
disme dalam bentuknya yang paling­terbuka.

168 Catatan Pinggir 7


PASSION

Saya bukan orang Kristen, dan saya tak merasa memperoleh


apa pun dari sensasi itu. Dari The Passion of the Christ saya tak bisa
mendapatkan pengertian, kenapa—setelah hukuman yang luar
biasa bengisnya itu—dosa manusia menjadi tertebus. Saya lebih
cenderung memahami pendapat René Girard ketika ia menge-
mukakan bahwa kepercayaan tentang upacara korban sebagai ja-
lan agar manusia selamat adalah justru sebuah kepercayaan pra-
Kristen. Bukankah itu juga yang diyakini pada masa Inca purba,
ketika mereka menyembelih korban manusia ke hadapan dewa-
dewa? Bagi Girard, cerita kesengsaraan Yesus justru perubahan
radikal dari keyakinan seperti itu. Passio Christi adalah awal se-
buah era ketika sejarah manusia tak dilihat dari kacamata mereka
yang menang dan selamat, melainkan dari ia yang disiksa: para
budak yang membangun piramida, kaum jelata yang menjalani
rodi bagi jalan Daendels pada abad ke-19 di Jawa, para tahanan
yang tak bersalah yang menyebabkan sebuah masyarakat ”aman
dan terkendali”.
Mungkin itu sebenarnya yang bisa dicapai oleh The Passion of
the Christ. Film dimulai dengan adegan malam di Kebun Geth-
semani: Yesus dalam keadaan ketakutan, berdoa sendiri­an dalam
gelap, karena ia tahu nasib apa yang menantinya. Ia mencoba me-
nolak nasib itu: ia memohon kepada Tuhan agar ia dibebaskan
dari tugas. Tuhan tak berkenan, sebagaimana Tuhan tak mele­
pasnya dari salib.
Namun jika semua ini iradat Tuhan, haruskah via dolorosa­itu,
jalan kesengsaraan itu, tak putus-putusnya penuh kekejam­­an?
Film Mel Gibson pada akhirnya terasa sebagai sebuah hi­per­bol.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Semuanya dilebih-lebihkan, sampai tingkat yang me­ragu­kan: ke-


napa Yesus, seseorang yang dihukum bukan karena­ berbuat ke-
jam, diperlakukan jauh lebih sadistis ketimbang para penjahat
yang juga disalibkan bersamanya di siang hari itu? Dalam film
Mel Gibson, tubuh para bajingan itu tampak tak bergelimang da-

Catatan Pinggir 7 169


PASSION

rah tak terbalut debu, tak ada tanda mereka telah didera sebelum
dikirim ke Golgotha.
Hiperbol memang diperlukan, tapi jika efek yang diharap-
kan terjadi. Di sekitar kesengsaraan yang luar biasa itu, tak tera­sa­­
oleh saya sesuatu bergetar—ada orang ramai, ada beberapa sosok
orang yang jatuh hati, tapi The Passion of the Christ sedikit seka-
li mengantar kita kepada cerita lain dari Yesus: bagaimana laku
yang begitu menggugah, yang dirumuskan dengan satu kata,
”Cinta”, lebih besar ketimbang ”Sakit”.

Tempo, 11 April 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

170 Catatan Pinggir 7


IMAM (2)

S
EANDAINYA sebuah komunitas ibarat sebuah kabilah,
seorang pemimpin yang teguh memang diperlukan. Se-
buah kabilah yang bergerak dari tempat ke tempat memer-
lukan arah yang jelas, patokan dan panutan tertentu, sehingga
tak tercerai-berai. Tapi persoalannya: tepatkah ibarat itu?
Tepat—jika kita berbicara tentang sehimpun puak di gurun
pasir, yang hidup di ruang yang seakan-akan kosong, begitu luas,
begitu tunggal, sehingga, seperti dirangkul langit, ia seolah­-olah
tak pernah disentuh oleh sejarah.
Tapi kita tahu tak semua komunitas manusia seperti itu. Ada
yang menetap dan kepergok dengan kota-kota yang riuh, ada
yang tinggal di bawah gunung berapi yang tak menentu dan su­
ngai­deras yang berkelok.
Dengan kata lain, tak semua orang bisa membayangkan ko-
munitasnya sebagai ”kabilah” yang berjalan di sebuah gurun.
Bah­kan kiasan ”kabilah”, yang mendasari pemikiran politik Is-
lam pada abad-abad pertama setelah Nabi, sebenarnya tak persis­
bisa berlaku lagi ketika kehidupan puak yang berasal dari masya­
rakat Arabia utara itu berubah menjadi kehidupan ”negeri”, bah-
kan ”imperium”. Islam akhirnya toh mengambil tempat di tamas­
ya­yang tak lagi mempunyai keangkeran tunggal padang pasir.
Memang buat sekitar dua abad setelah Islam tegak memben-
tuk sebuah komunitas di Yathrib (”Madinah”), masih do­minan
”pemikiran politik” dengan ”tradisi kesukuan” itu. Nabi Mu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hammad sebenarnya berhasil mengatasi itu. Tapi ada ciri yang


berlanjut. Patricia Crone, dalam God’s Rule (diterbitkan oleh Co-
lumbia University Press tahun ini), dengan cukup lengkap me­
nu­lis sejarah pemikiran politik Islam selama enam abad pertama­
atau masa ”Tengah” (medieval) itu. Ia menyebut­ satu ciri yang

Catatan Pinggir 7 171


IMAM (2)

utama: bagi tradisi ini, di dalam diri seorang imam bisa ditemu­
kan sekaligus kebenaran dan kekuasaan. Dalam dirinya, yang re-
ligius dan yang politis bertaut. Imam inilah yang memberi wujud
legal kepada umat. Imam itu pula yang menunjukkan jalan ”ka­
bilah”. Teladannya adalah Musa, pemimpin orang Yahudi yang
mem­bimbing mereka dengan hukum dan petunjuk ke tanah
yang dijanjikan. Musa adalah ”nabi paradigmatik dalam Quran,”
kata Crone, dan Muhammad, disadari atau tidak, adalah ”Musa
baru”.
Sebab itu seorang imam bukan saja ada di depan; ia juga ada di
awal. ”Tanpa dia,” tulis Crone, ”tak ada kabilah, hanya para pe-
jalan yang tercerai-berai.” Seorang imam adalah ”seseorang yang
harus ditiru.”
Dalam pemikiran zaman itu, seorang imam berbeda dengan
seorang malik. Dalam tradisi suku-suku Arab, sebagai­mana juga
dalam sejarah bangsa Yahudi yang direkam Perjanji­an Lama, ada
kecurigaan besar terhadap posisi kepemimpinan seorang raja.
Crone mengutip seorang penyair pra-Islam yang dengan bangga­
ingin bercerita tentang ”hari yang panjang dan berjaya ketika
kami memberontak raja-raja dan tak hendak mengabdi kepada
mereka.”
Dalam khazanah Islam, sikap yang tak serta-merta memper-
cayai ”raja” itu berlanjut. Dalam Surah An-Naml ayat 34 ada satu
kalimat, diucapkan oleh seorang ratu, bahwa raja-raja,­bila mere­
ka memasuki sebuah negeri, akan merusak negeri itu; mereka
pula yang membuat orang yang luhur budi menjadi keji. Maka
ketika Umar diangkat menjadi khalifah, inilah yang konon di-
http://facebook.com/indonesiapustaka

katakannya: ”Aku bukanlah seorang raja yang akan memperbu-


dak kalian, aku hanya hamba Tuhan yang telah ditawari keper-
cayaan.” Ada satu kisah ketika pasukan muslim menang perang
di Spanyol. Mereka berteriak kecewa­ ketika mendengar bahwa
seorang putra pemimpin mereka mengenakan mahkota: ”Dia

172 Catatan Pinggir 7


IMAM (2)

telah jadi Kristen!” seru mereka.


Tapi tak berarti mereka memilih demokrasi. Sikap anti-­raja
itu tumbuh, seperti ditunjukkan oleh Crone, dari keada­an tak
adanya ”negara”. Tradisi mereka tak menghendaki kemerdekaan
orang per orang untuk lepas dari adat dan keingin­an komunitas.
Meskipun demikian, pada masa Bani Umma­yah, desakan dari
bawah agar sang khalif lebih mendengarkan keluhan rakyat, agar
ada rembukan dan pembagian yang adil dari perolehan kekaya­
an, terjadi tak henti-henti. Dari masa ini bahkan tumbuh gerak­
an oposisi yang dengan darah dan besi menyatakan pendirian.
Bagi mereka, tak ada ”imam agung” di atas takhta, sepanjang
tak ada yang layak menggabungkan kepemimpinan politik dan
agama dalam dirinya.
Tapi mungkinkah ada seseorang yang seperti itu, setelah
Nabi? Persoalan inilah yang menghantui pemikiran politik Islam
terus-menerus hingga sekarang. Terutama ketika metafora ”kabi-
lah” tak bisa dihayati lagi. Lebih banyak orang Islam­yang hidup
dengan alam yang berbeda dari jazirah Arabia. Ada yang meng-
huni tepi sawah dan ladang, tinggal di bawah ke­­raja­an-kerajaan
tua yang menceritakan awal dan akhir para raja. Lanskap itu, dan
perubahan politik dari zaman ke zaman itu, adalah petunjuk be-
tapa tak ajeknya hidup dalam drama ruang dan waktu.
Maka menarik untuk membaca, dari buku Crone, jawaban
yang ditawarkan Al-Asamm, seorang pemikir dari Basra, Irak,
pada abad ke-9. Seorang imam, bagi Al-Asamm, adalah sese­orang
yang kepemimpinannya diterima secara mufakat oleh komuni-
tas. Tapi ketika komunitas jadi begitu besar dan tak semuanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

berperangai luhur, bagaimana menciptakan satu konsensus yang


meyakinkan? Sejarah Islam menunjukkan betapa mustahilnya
mencapai suara bulat seperti itu.
Maka Al-Asamm berpendapat bahwa kaum muslimin bisa
saja memiliki beberapa imam di beragam tempat pada saat yang

Catatan Pinggir 7 173


IMAM (2)

sama. Tak mungkin lagi kekhalifahan yang tunggal. Pemikir


yang meninggal pada tahun 817 ini memang termasuk kaum
Muktazillah yang menganggap bahwa ke-imam-an adalah kon-
vensi manusia semata. Dari mereka ini pula datang pendapat
bahwa sebagaimana otoritas seorang imam dalam salat bersama,
otoritas pemimpin sebuah komunitas juga harus berakhir begitu
ia menjalankan satu tugas.
Lebih dari sembilan abad kemudian, Amerika memilih cara
yang seperti ditawarkan orang Irak itu. Lebih dari satu milenium
kemudian, Indonesia.

Tempo, 18 April 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

174 Catatan Pinggir 7


ANGGREK

S
AYA berdiri di bawah surya pukul 9 yang menyenangkan
di sebuah pagi di tahun 1962. Pori-pori kulit serasa berge-
tar, ultraviolet matahari meresap. Saya sendirian. Tapi bu-
rung-burung gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran. Dari
pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun menyentuh tanah.
Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul 9, pohon­
yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya telah melupakan perta­
nya­an macam itu. Bangun pagi, berjalan siang, dan tidur malam
saya tak menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal ihwal
yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele. Waktu itu Indonesia
ada­lah arena kata-kata yang membahana: ”Revolusi”, ”Sosialisme
Indonesia”, ”Dunia Baru”—semuanya dengan huruf kapital,­
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras suara, semuanya
menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandang kembali ke burung-burung itu. Tiba-tiba sa­
ya sadar sebelumnya tak pernah saya terkesima akan hal yang se-
benarnya ”dahsyat” tapi tersisih: warna bulu yang menakjubkan­
itu, sepasang mata yang seperti merjan jernih itu, sayap yang ser-
ba sanggup itu. Sebagai umumnya orang muda waktu itu, saya
tak punya waktu buat tetek bengek. Kami hanya menyimak soal-
soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Tapi haruskah
pesona kecil di pelataran sepi dicampakkan?
Sejak itu saya pun berusaha memasuki sebuah dunia bahasa­
yang lain—bahasa yang tak sarat dengan ide-ide yang merasa­ke­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kal dan kata benda abstrak. Saya membaca kembali puisi tentang
cuaca, ranting, rama-rama, dan hal-hal fana lain yang anehnya
membuat hidup berarti dan kita bersyukur.
Maka saya bisa mengerti jika ada orang yang akhirnya memi­
lih anggrek hutan. Di tahun 1999, buku Richard Rorty, Philoso­

Catatan Pinggir 7 175


ANGGREK

phy and Social Hope, diterbitkan Penguin. Salah satu esai­nya,


yang bersifat otobiografis, mengutarakan pilihan antara­anggrek
hutan dan gagasan revolusi—yang akhirnya menampilkan Rorty
se­bagai pembawa suara pragmatisme baru dalam filsafat.
Rorty dibesarkan dalam keluarga dengan cita-cita sosial­isme
yang kuat. Kakeknya, Walter Rauschenbusch, adalah seorang
pastor di Kota New York dan pemikir Kristen terkenal. Terpenga­
ruh oleh gerakan Anabaptist di Jerman di abad ke-16, ia ingin
me­negaskan cita-cita sosial ajaran Yesus dan sikap mandiri dari
gereja serta dogmanya.
Ibu Rorty, Winifred, dan suaminya, James Rorty, punya se-
mangat yang sama tapi di kancah lain: masuk ke kalangan kiri.
Setidaknya dalam satu masa, mereka lebih mencintai­Trotsky ke­
timbang Kristus. Ketika Richard yang lahir di tahun 1931 itu
masih bocah, ke rumahnya sering datang bertamu filosof Sid-
ney Hook, kritikus sastra Leonard Trilling—dua cendekia­wan
progresif masa itu—dan sekretaris Trotsky yang hidup bersama
ke­luar­ga Rorty dengan nama samaran. Tak meng­heran­kan bila
bagi Richard kecil, semua orang baik pasti sosial­is.
Tapi ia juga mencintai kembang anggrek liar yang tumbuh di
pegunungan. Soalnya: patutkah ia memiliki kegairahan pribadi
kepada dunia flora, sementara dunia manusia penuh pen­deritaan?
Tidakkah anggrek hanya akan mengganggu, ketika perhatian
harus dikerahkan untuk menjadikan hidup lebih­adil, seperti di-
rancang sosialisme?
Tapi pemuda yang sejak umur 12 tahun itu tahu akan perlu­
nya­keadilan tahu pula bahwa kaum sosialis, dengan tekad tung-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gal itu, bisa mengabaikan apa yang berarti di hari ini. Bukan­ha­
nya­kembang hutan, tapi juga hidup manusia. Ia tahu bahwa­Sta­
lin menghendaki Trotsky dibunuh. Dan Trotsky memang akhir­­
nya tewas dikampak. Ia mungkin juga tahu bahwa­Trotsky sen­
diri,­tatkala masih seorang tokoh biro politik­Partai Komunis di

176 Catatan Pinggir 7


ANGGREK

bawah Lenin, tega untuk mengerahkan tentara guna menghan­


curkan satu perlawanan para kelasi di Konrad—mereka yang
ikut dalam Revolusi Oktober tapi merasa tak diperlakukan adil.
Walhasil, asas besar bisa begitu dahsyat hingga sampai hati
menghantam tangan yang menadah dan mulut yang senyum.
Sebab itulah antara anggrek dan Trotsky, Rorty akhirnya me-
milih yang pertama. Ia menjauh dari segala macam rencana besar
dan ”Teori Tinggi”. Ia bahkan menurunkan status filsafat­sebagai
sumber dan dasar pengetahuan. Ia lebih mendekat kepada karya-
karya sastra, di mana kembang anggrek dan wajah­yang konkret
rancak hadir, di mana bahasa­menangkap ke­ragam­an yang asyik,
dan di mana keputusan benar atau salah tak datang tegar. Kita
harus punya ironi dalam diri, suatu private irony, kata Rorty. Kita
harus mampu meragukan benarkah khazanah kita merupakan
sesuatu yang sudah final, dan memandang kebenaran kata-kata
kita sendiri dengan ringan hati.
Tak berarti, dengan dunia privat yang menyimpan ironi itu,
kita tertutup dari dunia bersama. Antara yang privat dan yang
publik tak bisa saling menjajah, kata Rorty. Yang menyatukan
kita dengan yang lain bukanlah ”teori” revolusi, prinsip filsafat,
moral atau agama. Yang menyatukan kita adalah kemampuan
un­tuk berbagi rasa sedih, sakit, dan miskin. Cinta akan bertaut
dengan keadilan jika di satu pihak gairah kepada kembang ang-
grek bisa berlanjut, dan di lain pihak kekejaman ditampik. Tapi
hidup harus diperbaiki dengan ”pragmatisme sosial”, bukan de-
ngan satu ”kebenaran”. ”Kebenaran” hanya tecermin dalam suk­
ses­kita mengurangi sengsara, ketegangan, dan kebengisan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu, untuk itu perlu sebuah lingkungan yang demokratis.­


Yang saya belum tahu dari Rorty ialah bagaimana membangun­
sebuah dunia yang ”global, kosmopolitan, demokratik, bersema­
ngat kesetaraan, tanpa kelas, tanpa kasta” dari nol, bila tak ada
asas ”kebenaran” tertentu. Rorty menganggap apa yang dica-

Catatan Pinggir 7 177


ANGGREK

pai Amerika Serikat sebuah bukti bahwa kemungkinan ke du-


nia seperti itu terbuka tanpa melalui teori, melainkan praxis. Tapi
orang di luar Amerika, katakanlah di Palestina, akan ragu: benar­
kah sengsara dan kekejaman senantiasa bisa dihindari bila kearif­
an adalah bagian dari politik, yang dibentuk oleh pasar dan jum-
lah suara terbesar?

Tempo, 25 April 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

178 Catatan Pinggir 7


SPION

O
RANG yang 18 tahun lamanya dipenjara itu—12 ta-
hun di antaranya ia disekap dalam isolasi—menulis sa-
jak, ditujukan kepada dirinya sendiri:

Ya, kau.
Kaulah agen rahasia rakyat. Kaulah mata bangsa.
Bung Spion, ceritakan apa yang kau lihat. Ceritakan apa yang
disembunyikan
Orang-orang dalam itu, mereka yang pintar, ceritakan apa
yang mereka
Sembunyikan....

Sang terpidana itu memanggil dirinya ”Bung Spion”. Ia meng­


aku ia seorang mata-mata, tapi ia menjalankan tugas itu bukan
untuk sebuah negeri musuh. Ia seorang ”agen rahasia rakyat”.­Ia
sepasang ”mata bangsa”.
Tapi benarkah demikian? Pada akhir September 1986, ia,
Mor­dechai Vanunu, warga negara Israel, diculik oleh Mossad, di-
nas rahasia negeri itu, setelah ia ditipu agar datang ke Roma dari
London. Ia dibius, diringkus, dan dibawa diam-diam dengan ka-
pal laut kembali ke tanah airnya. Ia diadili secara rahasia, dan se-
tahun kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun, yang kemudian di-
potong dua tahun. Ia dianggap bersalah karena ia, seorang juru
teknik nuklir, dengan sengaja membongkar rahasia, mencerita-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan kepada dunia luar apa yang dilihatnya di tempatnya bekerja:


bahwa Israel punya segudang senjata nuklir, disiapkan di Dimo-
na, di Gurun Nejev.
Ia sejak itu tak dimaafkan. Ketika ia akhirnya keluar dari Pen-
jara Shikma di Ashkelon pada 21 April yang lalu, Shimon Peres,

Catatan Pinggir 7 179


SPION

tokoh Israel yang sering dikaitkan dengan gagasan ”perdamaian”,


masih menganggap Vanunu telah ”mengkhianati bangsanya”.
Harian Haaretz membuat satu survei pendapat, dan me­nyim­
pul­kan: hampir separuh khalayak Israel tak setuju Vanunu dibe-
baskan sekarang. Hampir seperempat dari mereka­ bahkan me­
nga­takan agar Vanunu tak usah dilepas sama sekali. Departemen
Pertahanan Israel menganggap orang yang telah menjalani hu-
kuman ini tetap sebuah ”ancaman keamanan”. Catatan harian
Va­nunu di tahanan, katanya, menguraikan secara rinci keadaan
tempatnya dulu bekerja di lokasi rahasia di Gurun Nejev. Para
pe­tugas telah menyita catatan itu, tapi gudang ingatan Vanunu
masih utuh. Ia masih bisa mengungkapkannya lagi kepada du-
nia. Maka kata Menteri Kehakiman Israel, ”Dia akan tetap kami
awasi.”
Vanunu, dengan kata lain, adalah musuh. Ia tak bisa se­benar­
nya­mengklaim bahwa ia sepasang ”mata bangsa”. ”Bangsa” yang
du­lu merupakan bagian hidup orang Yahudi kelahir­an Maroko
ini telah menolaknya. Orang Israel ternyata begitu­ cemas dan
ma­­rah, hingga mereka menghalalkan perbuatan keji yang dila­
ku­­­kan untuk menyekap Vanunu—dari melanggar kedaulatan
ne­­geri lain dengan menculik juru teknik nuklir itu di Italia, sam-
pai pada tak membebaskan penuh sese­orang yang seha­rusnya su­
dah­merdeka.
Bagi Vanunu sendiri, tali itu akhirnya putus. Sejak tahun-ta-
hun awal masa hukumannya ia telah tak merasa lagi bagian dari
Israel. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan ruang 3 x 2 meter­
itu, dan menjalankan ”hidup dalam kubur”. Dengan amarah­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang tersimpan. Dalam sepucuk suratnya yang ia tulis dari sel, 10


tahun setelah ia disekap, ia mengatakan, ”Banyak hal bersa­ha­ja
yang aku tak ingat lagi dalam kehidupan tembok semen yang sa­
ngat­biadab, brutal, dan kejam ini. Aku di penjara seperti seorang
sandera, sebab mereka menculikku. [Tapi] aku harus lebih­kuat

180 Catatan Pinggir 7


SPION

dan yakin, seperti tahun pertama dulu. Jalan terus, dan tak tun-
duk kepada kekuasaan yang kotor....”
Di halaman Penjara Shikma, ketika ia dikeluarkan dari sel pa­
da pukul 11 itu, ia memang tak tunduk. Ia disambut para simpa-
tisannya, sebagian orang Inggris dan Amerika, para aktivis anti-
senjata nuklir dan pendukung hak asasi. Tapi tak jauh dari sana,
ada beberapa ratus orang Israel mencerca. Vanunu tetap berge­
ming­”Kepada semua mereka yang menyebut saya pengkhianat,”
katanya, ”saya bangga dan bahagia atas apa yang dulu saya laku-
kan.”
Ia menolak berbahasa Ibrani. Ia memilih bahasa Inggris. Ia
meninggalkan agama Yahudi. Ia masuk Kristen.
Apa arti sebuah ikatan—dan juga ingatan—jika asal dan latar
belakang hanya berarti sebuah aliansi dusta, ketidakadil­an, dan
destruksi? Persoalan ini bukan baru, tentu.
Begitu keluar dari sel, Vanunu langsung menuju ke gereja, ke
tempat imannya yang baru. Mungkin ia ingat: sekitar 2.000 ta-
hun yang lalu di tanah Palestina itu Yesus juga dilempari batu
di tanah kelahirannya sendiri. Kini, ketika Vanunu tampak me-
langkah ke luar halaman bui, orang-orang Israel yang memben­
cinya berteriak, ”Mati bagi dia!” seperti 2.000 tahun yang lalu
orang-orang Yahudi berteriak, ke arah rabi yang telah disiksa itu,
”Salibkan dia!”
Pada momen seperti itu kesetiaan kepada kaum sendiri akan
sama artinya dengan kebengisan kepada apa yang berharga di luar
kaum sendiri. Tapi ada yang lebih luhur ketimbang puak. Ketika
pada Oktober 1986 Vanunu datang ke London untuk mengung-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kapkan kepada The Sunday Times bahwa Israel memang meng-


himpun senjata nuklir, ia terdorong oleh sebuah keyakinan: Isra-
el, seperti negara mana pun, tak boleh mempersiapkan kekuatan
yang mengancam kehidupan itu.
Apalagi sebenarnya kekuatan itu sia-sia. Bom nuklir Israel tak

Catatan Pinggir 7 181


SPION

akan berguna menghadapi bom bunuh diri, sebagaimana Ameri-


ka Serikat tak bisa mengalahkan Vietnam dan Uni Soviet tak bisa
menjinakkan Afganistan. Keamanan, akhirnya, bukanlah soal
per­senjataan yang piawai.
Ada sesuatu yang tak kalah penting: tiadanya sikap sewenang-
wenang. Pada zaman ketika Bush dan Blair menggebuk Irak yang
ternyata tak punya senjata nuklir, tapi membiarkan dan mendu-
kung Israel yang memilikinya, yang sewenang-wenang menang.
Siapa kuat, dapat. Siapa memaksa, bisa. Siapa brutal, halal.
Maka dunia pun jadi padang pembantaian, dan manusia wa-
dah kekejian. Sampai ketika kita teringat Vanunu. Dengan 18 ta-
hun di penjara dan dengan jiwa yang tak terpatahkan, ia praktis
menebus kembali kemampuan kita untuk melepaskan diri dari
penghancuran.

Tempo, 2 Mei 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

182 Catatan Pinggir 7


AMBON

S
EORANG teman mengingatkan saya akan sepotong se-
jarah kekerasan di Maluku. Pada tahun 1950-an, Republik­
Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk meng­hen­ti­
kan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang
terjadi, komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur.
Na­manya Slamet Riyadi. Ia seorang Katolik.
Fakta itu perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon
orang-orang menghidupkan kembali pekik dan bendera ”Re­pu­
blik­Maluku Selatan” dan sejumlah orang lokal menentangnya,
dan konflik yang untuk beberapa bulan mereda pun meledak
kem­bali. Tak perlu banyak waktu, label ”Kristen” pun dipasang
pada orang-orang RMS dan ”Islam” pada para penentangnya. Se-
andainya Slamet Riyadi masih hidup....
Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang
umurnya yang ke-60: agama kian sering dipakai untuk menjelas-
kan hal ihwal publik. Agama dianggap jadi latar konflik Maluku,
perjuangan di Palestina, ”benturan peradaban”, terorisme, bah­
kan­kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama, agama jadi
dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera
kesetiaan yang berkibar tinggi.
Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya me­
ra­gukan: bahwa antara agama dan sebuah subyek (”aku” atau
”ka­mi”) yang memeluk agama itu, ada korespondensi yang lurus­
dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku menegaskan diriku
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Islam”, segala yang kulakukan dengan sendirinya­ merupakan­


eks­presi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam
kata-kata ”aku Islam” terkandung ”aku” yang tak pernah kekal,
kompak, dan kukuh, dan juga ”Islam” yang tak pernah persis,
pasti, dan permanen.

Catatan Pinggir 7 183


AMBON

Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum


ia mengembuskan napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya­
dan berkata ”aku, Katolik?” Katakanlah, ya. Tapi ”aku” mengan­
dung seribu makna: ”aku” yang ”sekadar aparat” tapi bisa juga
”aku” yang ”patriot” dan yakin. Juga ”Katolik”. Apa maknanya
tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan
identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi ”aku” dan jadi ”Kato-
lik” (atau ”Islam”, atau ”Ambon”, atau ”Jerman”) bukanlah proses
yang meluncur seperti air dalam dua bejana yang berhubungan.
Pada zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita ta­hu
bahwa jiwa dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jer­
nih, berisi rapi jutaan fakta yang masuk lancar melalui indra dan
akal budi. Yang ada hanya belantara kusut yang dikait-kaitkan
oleh bahasa, dunia verbal yang tak selamanya­ terang dan lem­
pang.­Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses­yang tak kun­
jung­ tunggal. Bahkan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebe­
nar­­an apa pun tak tampak sebagai peng­atur­ dan pencuci keru­
wet­an itu.
Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan,
mengakui hal itu dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim,
ka­tanya, ia selalu mencari ilham dan petunjuk (atau mungkin
peng­halalan) dari Quran selama ia mencoba memecah­kan per-
soalan yang dihadapinya. ”Saya dapat menggunakan Islam dan
kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau
menyisihkannya, atau memberinya bentuk baru.” Tapi ada se-
buah kejadian dalam sejarah yang memberinya kearifan.
Dalam Perang Siffin, musuh ’Ali Ibn Abi Talib, kemenakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nabi, meminta agar pertikaian diselesaikan dengan mengguna­


kan­Quran sebagai sebuah penengah. Dilema Ali mencerminkan
apa yang dihadapi banyak orang muslim:
”Ketika Mu’awiyah mengundangku ke hadapan Quran un-
tuk memberikan keputusan, aku tak dapat memalingkan wajah­

184 Catatan Pinggir 7


AMBON

ku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah menyatakan bahwa ’jika


kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah dan Rasul-
Nya.’ [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit an-
tara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuh-
kan penafsir, dan penafsir adalah manusia.”
Dalam kata-kata Farid Esack, ”penafsir adalah orang-orang
yang datang dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi­
ma­nusia.” Bacaan kita atas Quran atau warisan keagamaan kita
mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan itu, oleh ”frustrasi dan
harapan” kita.
Pertanyaannya kemudian: di mana kebenaran dan keadilan?­
Dalam konflik, dalam suasana amarah, kedua pengertian itu
men­cerminkan impian kita tapi juga ketidakberdayaan kita.
Agama memang sering memberi kita bayangan kepasti­an yang
absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti dikatakan
Fa­­rid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir,
dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak
mau dirumuskan berdasarkan ”bawaan” sejarah seseorang.
Tak berarti, kata Farid Esack, sebuah ”aku” tak punya­ke­­ya­
kin­­an. ”Tentu saja saya punya keyakinan,” katanya. Keyakin­an
itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah mende­
rita karena itu. ”Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain
... bahwa hanya keyakinanku yang penting.­Sementara aku dapat
dan memang memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi
dapat mengabaikan sifat pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku
harus menemukan satu ukuran untuk menentukan apa yang be­
tul­ dan tak betul, adil dan tak adil, prasangka­ku dan kecende­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rung­an­ku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang sema-
ta-mata hanya milik komunitasku.”
Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap be-
ragam dan selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua
orang seperti Farid Esack. Sesuai dengan argumennya, tak semua

Catatan Pinggir 7 185


AMBON

petuah agama mengungkapkan sikap terbuka kepada keterbatas­


an manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan kata lain, tak
semua seperti yang kita temui dalam ucap­an ’Ali Ibn Abi Talib.
Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak ja-
rang ada yang bisa dengan gampang ditafsirkan sebagai pedoman
untuk menampik toleransi. Maka agama, ketika di­pakai­ untuk
menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita dan membuat kita ter-
hibur, tapi juga menjadi ganas.

Tempo, 9 Mei 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

186 Catatan Pinggir 7


ABU GHURAIB

T
AK ada yang ganjil sebenarnya yang terjadi di Penjara­
Abu Ghuraib, Bagdad: di bui tempat prajurit Irak yang
kalah perang disekap, yang menang dan yang kuat me­
rayakan kekuasaannya, dengan riang, dengan brutal, di atas tu-
buh yang tak lagi berdaya.
Mari kita simak foto yang kini tersebar di seluruh dunia itu.
Foto pertama: seorang tawanan perang Irak telanjang bulat­mela­
ta di tanah, dengan leher yang diikat seutas kendali. Seorang pra-
jurit perempuan Amerika dari Kompi 372 Polisi Militer meme-
gang ujung kendali itu, seakan-akan sedang menyeret binatang
aneh. Foto kedua: beberapa tawanan, dicopot­ seluruh­ pakaian-
nya, disusun bertimbun seperti ban mobil­ bekas,­ dan dipotret.
Laporan tertulis menyatakan bahkan ada tahanan yang dipaksa
masturbasi di depan para tahanan lain....
Apa boleh buat. Perang telah terjadi di Irak, dan perang pada
akhirnya memang kebrutalan yang dihalalkan, yang melahirkan­
si kalah dan si menang. Perang adalah sebuah pertaruhan di
mana, dalam bentuknya yang ekstrem, si menang berarti hidup
dan si kalah mati. Para tahanan Irak di Penjara Abu Ghuraib itu
adalah makhluk yang bisa dianggap sebagai ban bekas atau he-
wan jeratan. Sebagaimana manusia ”mati”, mereka bisa berbuat
apa?
Pertanyaan itu bisa juga diarahkan ke luar Abu Ghuraib. Pe­
rang­Irak seluruhnya adalah sebuah statemen bahwa berjuta-juta­
http://facebook.com/indonesiapustaka

manusia di dunia telah dipergoki dengan pertanyaan: mereka bisa


berbuat apa? Tatkala negeri dengan persenjataan paling dahsyat
di muka bumi itu berniat menaklukkan Bagdad, kehendaknya
pun jadi, meskipun jutaan manusia menentangnya. Amerika tak
perlu menjelaskan alasannya. Ia tak perlu minta maaf ketika alas­

Catatan Pinggir 7 187


ABU GHURAIB

an­nya ternyata keliru. Ia tak perlu mempertanggungjawabkan


gempuran senjatanya ke Irak, dan kerusakan dan kematian yang
terjadi, kepada siapa pun, kecuali kepada dirinya sendiri.
Ia tak perlu takut. Sebab, siapa diri sendiri itu? Sebuah wajah­
yang hampir sepenuhnya demam oleh patriotisme. Sering demam
itu tak jelas lagi batasnya dengan ”jingoisme”, ketika rakyat­tam-
pak menghargai prestasi perang (war records) dan bukan prestasi­
per­damaian (peace records) para pemimpin. Mereka bertepuk ta­
ngan melihat Presiden Bush muncul dalam baju pilot pesawat
tempur....
Patriotisme, apalagi ”jingoisme”, adalah langkah pertama me­
nyisihkan orang lain. Dari sini juga datang ”kekecualianisme”.
Kata American exceptionalism memang diperkenalkan oleh Alexis­
de Tocqueville pada pertengahan abad ke-19, tapi kini ia mene-
mukan ekspresinya yang lain: apa yang dianggap pantas dan tak
pantas, yang berlaku untuk masyarakat internasional, tak harus
diakui oleh Amerika Serikat. Di Abu Ghu­raib seorang prajurit
yang terlibat dalam penyiksaan tahanan mengaku tak pernah di-
ajari aturan Konvensi Jenewa.
Tapi bukan cuma itu yang diabaikan. Sebelum di Abu Ghu­
raib, Amerika telah menampik ikut bergabung dalam Mahkamah­
Pidana Internasional. Ia juga menolak menandatangani perjanji-
an larangan pemakaian ranjau darat yang diikuti oleh 137 negeri;
ia tak mau ikut dalam kesepakatan internasional mengenai sen-
jata biologis yang diratifikasi oleh 413 negeri.
Negeri ini ingin, dan memang bisa, menentukan bahwa diri­
nya adalah sebuah kecuali. Makin lama ia makin membenar-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan kata-kata Carl Schmidt, pemikir Nazi itu: ”Yang berdaulat


adalah ia yang menentukan kekecualian.”
Kekecualian berarti kebebasan penuh. Tapi kebebasan itu un-
tuk diri sendiri—bukan untuk yang lain.
Betapa aneh, sebenarnya, jika itulah yang terjadi. Sebab,­

188 Catatan Pinggir 7


ABU GHURAIB

Amerika Serikat, sebuah negeri yang berdiri dengan sebuah ide


yang justru tak menghendaki ada ”kecuali”—sebuah ide dengan
semangat universalis, yakni menjunjung hak untuk merdeka bagi
semua orang, bagi semua bangsa. Saya ingat pada tahun 1955.
Ke­tika membuka Konferensi Asia-Afrika, Bung Karno mengutip
sebuah sajak Longfellow tentang Paul Revere—seorang pejuang
yang naik kuda tengah malam untuk­membangunkan bangsanya
agar siap berperang untuk kemerdekaan. Sejarah Amerika Seri-
kat seakan-akan sejarah kita semua.
Kini betapa jauh, betapa ganjil. Semangat universalis yang
ingin membuat Amerika Serikat bagian dari sebuah dunia yang
merdeka sekarang justru bertaut dengan semangat yang ingin
membuat negeri itu berada di luar—bahkan bila perlu dengan
mengorbankan kemerdekaan yang universal, sebab kini pun, atas
nama patriotisme, ada niat menghalalkan sensor dan tak mema-
tuhi asas peradilan yang bebas.
Tapi memang begitulah agaknya nasib ketiga revolusi besar
dalam sejarah. Revolusi Prancis akhirnya melahirkan kediktator­
an, dan setelah itu: supremasi Prancis. Revolusi Rusia pada gilir­
annya melahirkan Stalin, dan dengan Stalin, ”internasionalisme”
akhirnya hanya wadah pengaruh Rusia. Revo­lusi Amerika juga
tak berbeda jauh dari nasib pola tragis itu: ia yang ingin menjang-
kau dunia akhirnya mendekam di diri sendiri.
Mungkin karena pada mulanya adalah niat. Ketika sejara­wan­
Hobswan mengatakan bahwa, bagi orang Prancis, pembebasan
negeri mereka ”hanyalah cicilan pertama dari ke­menang­­an uni-
versal kebebasan”, ia sebenarnya menunjukkan paradoks ketiga
http://facebook.com/indonesiapustaka

revolusi besar dalam sejarah. Ketiga-tiga­nya bertolak dari niat


mengubah dunia. Ketiga-tiganya me­ngandung­satu subyek yang
berniat, dan ada niat yang berhasil. Dari sini, ada sebuah model
awal.
Berangsur-angsur, sang subyek pun identik dengan pusat dan

Catatan Pinggir 7 189


ABU GHURAIB

tauladan. Dalam sejarah Amerika, persepsi diri sebagai tauladan


ini bergelimang dengan apa yang mutlak, yang luhur, dan yang
sukses. ”Agama Kristen, demokrasi, Amerikanisme, bahasa dan
budaya Inggris, pertumbuhan industri dan ilmu, institusi-insti-
tusi Amerika—semua ini campur-aduk dan kacau-balau,” tu-
lis H. Richard Niebuhr dalam The Kingdom of God in America.
Dalam campur-aduk itu, Amerika Serikat tetap ingin sebagai se-
buah kecuali. Terkadang ia mengagumkan, terkadang menggeli­
kan, terkadang menakutkan.

Tempo, 16 Mei 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

190 Catatan Pinggir 7


BERBER

B
AJAK laut menghantui setiap kapal niaga yang melintasi­
Laut Tengah dan Atlantik pada abad ke-18. Berpusat di
negeri-negeri di sepanjang Pantai Berber, para perompak
lanun itu akan menyerbu bahtera, merampas barangnya, dan me­
nang­kap orang-orang Eropa yang ada di dalamnya dan men­jadi­
kan mereka budak belian.
Sejak menjelang akhir abad itu, Amerika Serikat kian ikut ce-
mas dengan ancaman itu. Maka pada tahun 1797 sebuah perjan-
jian ditandatangani dengan Maroko, Aljir, Tripoli, dan Tunis.
Dalam traktat itu tercantum kalimat yang aneh. Di sana di­
sebut perkara ”Islam” dan ”Kristen”, seakan-akan soal bajak la­
ut­­ dan uang tebusan itu soal permusuhan agama: ”Pemerin­tah­­
Amerika Serikat tak dalam arti apa pun didasarkan kepada­agama
Kristen,” demikian salah satu kalimat dalam perjanji­an itu, dan
”ia tak dengan sendirinya mempunyai watak per­musuhan­terha-
dap hukum, agama, dan ketenangan kaum muslimin.” Negara-
negara bagian Amerika, demikian tercantum dalam naskah, ”tak
pernah memasuki perang atau laku tak bersahabat dengan bang-
sa Islam [’Mehomitan’] mana pun.”
Kita lihat: ada paradoks dalam alinea itu. Di sana agama dise-
but-sebut tapi juga disangkal. Kita tahu sebabnya: waktu itu, se-
perti hari ini, zaman belum terlepas dari masa ”pasca-Andalusia”.
Inilah masa yang disebut oleh Anouar Majid, guru besar jurusan
sastra Inggris di The University of New England, dalam bukunya
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang baru, Freedom and Orthodoxy, sebagai masa ketika ”Barat”


memisahkan diri dari kebersamaan umat manusia—dan mulai
menaklukkan yang bukan dirinya.
Yang hendak ditunjukkan Majid adalah peta bumi setelah Is-
lam, yang berpusat di Andalusia, terusir, dan Spanyol jadi Kato-

Catatan Pinggir 7 191


BERBER

lik. Dalam proses perubahan itu, di Madrid dilembaga­kanlah ke-


kerasan terhadap sosok ”Yang Lain” yang ingin di­tam­pik. Orang
”Moor” (Arab, muslim) dan orang ”Yahudi” harus disingkirkan.
Di bawah tilikan Gereja Spanyol yang ber­tangan besi, orang pun
diusut terus-menerus benarkah ia seorang Katolik tulen. Berang-
sur-angsur, proses ini menyidik­juga benarkah seseorang ”bersih
lingkungan”. Agar iman benar-benar murni, asal-usul harus di-
jaga. Maka harus ada limpieza de sangre, kemurnian darah.
Dan sejak itu, orang Spanyol—yang mengirimkan armada­
menyeberangi Atlantik untuk menaklukkan ”orang Moor lain”
entah di mana—membentuk sebuah dunia yang terbagi dua: di
satu sisi, mereka yang sudah Kristen; di sisi lain, yang belum; di
satu sisi, ”Barat”, dan di sisi lain, ”Timur”. Tak diakui lagi bahwa
pada masa Andalusia, Islam, sebagaimana Kristen, adalah ”Ba­
rat”. Sejak itu, dikotomi itu menyebar ke mana-mana. Maka tak
mengherankan bila perjanjian antara Amerika Serikat dan nege­
ri-negeri Berber itu masih mencerminkannya.
Tapi Amerika bukan Spanyol. Ada yang penting dalam trak-
tat itu: agama, meskipun diakui adanya, tak dianggap seba­gai pe­
nentu: ”Pemerintah Amerika Serikat tak dalam arti apa pun di-
dasarkan kepada agama Kristen.”
Memang ini pemerintah yang membuat perjanjian hanya de-
ngan maksud praktis. Sudah beberapa kali kapal AS diserbu ba-
jak laut. Bahkan sudah beberapa kali orang Amerika dibajak dan
dijual sebagai budak, jika dilihat jumlah kisah tentang nasib se-
perti itu yang pernah terbit di Amerika. Pada tahun 1797: The Al­
gerine Captive oleh Royall Tyler. Pada tahun yang sama, sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

majalah di Boston, Columbian Orator, memuat sandiwara dua


ba­bak dengan judul Slaves in Barbary, tentang Amandar, orang
Ve­nezia, yang diperbudak oleh orang Arab.
Di sana ”Islam” dan ”Kristen” juga berulang kali dipakai seba­
gai kategori tunggal dalam pelbagai cerita tentang nasib manu-

192 Catatan Pinggir 7


BERBER

sia di bawah perbudakan Berber. Tapi Anouar Majid menuliskan


kesimpulannya: tujuan buku-buku itu bukanlah untuk ”mem-
persetankan (demonization) orang muslim dan Islam, melainkan
konsolidasi nasionalisme Amerika dan pembelaan asas-asas re-
publiken.”
The Algerine Captive, misalnya. Novel ini terbit hanya setahun
sebelum AS mengirim armada untuk menyerang Tripoli, untuk
menghentikan keharusan membayar uang pisungsung (”tribu­
tary”) kepada para penguasa di sana yang terus-menerus meng-
ganggu bahtera dagang Amerika. Dalam novel ini, Updike Un-
derhill, seorang dokter yang tertangkap dan diperbudak di Aljir,
merenung tentang orang-orang muslim: ”Pada keseluruhannya,
tak tampak dalam ajaran agama mereka yang merangsang mere-
ka ke laku imoral, atau menyetujui kekejam­an yang mereka laku-
kan. Baik Al-Quran maupun para ulama mereka tak menghasut­
mereka untuk merampok, memperbudak, menyiksa. Dalam
kitab suci mereka secara jelas dianjurkan orang berbuat amal, ber-
laku adil, dan belas kepada sesama.”
Maka Underhill tak habis mengerti kenapa muslim dan orang
Kristen bermusuhan. ”Jika perintah kitab suci masing-masing
diikuti, kedua belah pihak akan berhenti membenci, mengutuk,
dan menghancurkan yang lain.”
Tapi novel ini juga sebuah catatan bahwa apa pun yang diajar-
kan agama, pada akhirnya ada hal lain yang membentuk perilaku
manusia. Ketika Underhill, yang mengembara berlayar sampai
Kongo, menjadi dokter perdagangan budak, ia dengan benci me-
mandang dirinya sendiri sebagai bagian dari hal yang keji itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada suatu saat, dianjurkannya beberapa orang budak melarikan


diri. Ketika ketahuan, sang dokter pun ditangkap. Ia ikut jadi bu-
dak.
Tapi ia tahu: sebagaimana di Aljir yang muslim ada manusia­
yang dirantai dan diperlakukan sebagai hewan, begitu pula di

Catatan Pinggir 7 193


BERBER

Amerika yang Nasrani. Dalam hal ini, Algerine Captive—se­ba­


gai­mana agaknya dimaksudkan oleh Anouar Majid—bisa punya­
gema pada tahun 2004, setelah 11 September 2001. Hari ini pun,
di Amerika dan di sekitar Pantai Berber, ”Barat” dan ”Islam”, ber-
sama Tuhan dan Tentara, dibawa-bawa untuk menyelesaikan
per­soalan manusia. Tapi seperti disaksikan Underhill, banyak
jawaban jadi tunggal dan mutlak, ketika banyak­pertanyaan tak
bisa diam, dan kekejaman terus terjadi.

Tempo, 23 Mei 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

194 Catatan Pinggir 7


ZHIVAGO

T
IAP akhir Mei diam-diam saya memperingati seorang
penyair yang mencoba menyingkir, ketika politik ber-
niat membangun dunia dengan gegap-gempita, sedang­
kan ia mencoba bicara yang lain, tak percaya bahwa politik dan
sejarah adalah segala-galanya. Tentu saja ia tertabrak. Begitulah
Boris Pasternak meninggal di rumahnya di Peredelkino, 30 kilo-
meter dari Moskow, 30 Mei 1960.
Ia dikutuk pemerintahnya. Kekuasaan yang dibangun oleh
Lenin dan Stalin memutuskan bahwa Pasternak seorang peng-
khianat. Uni Soviet menghendaki tiap warganya bergerak seperti
tentara dalam formasi perang, karena revolusi (umumnya ditulis
dengan ”R”) yang bermula sejak Oktober 1917 belum selesai. Du-
nia masih harus diubah. Dan sejak Stalin memegang kendali, di-
siplin pun diteruskan dengan kian keras: rencana pembangun­an
lima tahun sudah dicanangkan, semua orang harus menyingsing­
kan lengan baju, dan para seniman diberi arah.
Pada tahun 1934, Andrey Zhdanov, orang kepercayaan Stalin,
berpidato di Kongres Persatuan Penulis Soviet. Asas yang kemu-
dian disebut sebagai Zhdanovshchina bermula dari sini: para sas-
trawan diharuskan menerapkan doktrin ”Realisme Sosialis”.
Sebenarnya mustahil membikin satu resep bagi karya-karya
sastra—tapi bagaimana para birokrat dan pejabat Partai Komu-
nis mengerti proses kreatif? Bagi mereka, para sastrawan harus­
bertugas dalam rekayasa sosial untuk membentuk ”manusia ba­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ru”. Sebab, kata Zhdanov mengutip Stalin, sastrawan adalah ”in-


sinyur jiwa manusia”.
Tapi jiwa manusia lebih rumit ketimbang semen dan baja, dan
Zhdanovshchina pun akhirnya jadi sebuah mekanisme yang me­
ngen­­dalikan ekspresi kesusastraan. Penulis satire Mikhail Zosh­

Catatan Pinggir 7 195


ZHIVAGO

chenko dan penyair Anna Akhmatova—yang menerbitkan kar­


ya-karya yang ”a-politis, individualistis, dan borjuis”—dipecat
dari Persatuan Penulis Soviet. Ketakutan pun menyebar. Apalagi
semua tahu, sebelumnya, penyair Osip Mandelstam dibuang dan
mati, seperti banyak orang ditangkap dan kemudian hilang.
Pasternak juga bimbang dan gentar. Haruskah ia masuk ke
da­lam ikhtiar besar yang mau meringkus segala-galanya, juga ba-
tin, ke dalam proyek ”Revolusi”? Ataukah ia menulis puisi seperti
yang ia lakukan selama itu, dan tak ikut dalam ”Revolusi” itu,
karena baginya ada hal-hal yang lebih segera dan bermakna?
Saya kira pada saat itulah ia menulis Hamlet, sebuah sajak em-
pat bait. Di sini Pasternak memakai tokoh lakon Shakespeare itu
sebagai metafor, ketika harus memilih, to be or not to be, bertin­
dak­ atau tak bertindak, hidup atau mati. Tapi Pasternak juga
meng­gabungkan kebimbangan Hamlet dengan rasa gentar Yesus­
di Taman Getsemani, ketika tahu nasib apa yang menanti. Di
ambang pentas, Hamlet berbisik: ”Jauhkan cawan ini dari diriku,
Abba, bapaku.”
Ia sendirian. Ia seakan-akan noktah yang gamang dalam ke-
luasan sejarah yang sedang bergerak. Di sekitarnya mengepung
orang-orang ”farisyi”, katanya. Dengan kata lain, di sekitarnya
mengepung orang-orang yang merasa paling benar, paling suci,
karena paling patuh kepada akidah agama.
Bagi saya menarik, bahwa Pasternak memilih kiasan Injil un-
tuk situasi hidupnya: tampaknya ia menyamakan Stalinisme de-
ngan sebuah agama yang memperkeras akidah dan memperku-
kuh lembaga. Tentu ia tak bisa masuk ke sana. Sifat religius yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

terungkap lewat puisinya justru menunjukkan bahwa hidup tak


seperti yang diartikan kaum farisyi: hidup itu sendiri mengan­
dung­sesuatu yang suci, meskipun tak tersentuh oleh akidah. In-
jil, demikian tertulis dalam Doktor Zhivago, bukanlah ”petunjuk
dan perintah ethis”. Kristus ”berbicara dalam amsal yang diambil

196 Catatan Pinggir 7


ZHIVAGO

dari kehidupan”.
Dan kehidupan, bagi Pasternak, adalah sesuatu yang intim
tapi menakjubkan, bergairah meskipun ringkih. Hidup adalah
”adikku perempuan”, seperti dikatakannya dalam sajaknya Sestra
moya-zhizn, yang ”berenang di dunia terang, berlindungkan hu-
jan musim kembang”. Sementara di sana ada ”orang-orang beran-
tai arloji” yang diam-diam kesal dan menggerutu.
Kontras itulah agaknya tema dasar karya-karya Pasternak: di
satu sisi hidup yang dekat, yang mempesona, yang bebas dan tak
terduga-duga; di sisi lain, ada yang patuh, teratur dan berwibawa
(”berantai arloji”). Di antara keduanya, sang penyair telah me-
milih. Karena hidup tak bisa ditaklukkan oleh doktrin, ia, yang
memihak hidup, menampik untuk mengikuti Zhdanovshchina.
Ke­tua Persatuan Penulis Soviet memutuskan: Pasternak harus
dibabat.
Tapi ia diam-diam terus menulis novel itu, Doktor Zhivago,­
kisah tragis seorang dokter di tengah Revolusi yang ganas, se­
orang yang percaya bahwa ada Kristus dan ada kekuatan yang tak
tertandingi dari ”kebenaran yang tak punya senjata”.
Ia setengah berharap setengah tidak bahwa novel itu akan bisa
diterbitkan. Pada 1957, tiba-tiba Doktor Zhivago terbit, dalam
bahasa Rusia, di Italia. Pada 1958, hadiah Nobel diberikan ke-
padanya.
Tak ayal, Pasternak pun jadi obyek Perang Dingin antara ku­
bu Uni Soviet dan kubu ”Barat”. Bagi ”Barat”, ia lambang keti-
dakbebasan kreatif di bawah komunisme. Bagi para pendukung
”Revolusi” di mana-mana, ia layak dibungkam. Bahkan di Indo-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nesia, Pramoedya Ananta Toer, yang juga ingin menerapkan Re-


alisme Sosialis dan mengutip ajaran Zhdanov dengan bersema­
ngat,­menganggap Doktor Zhivago berdosa besar: sebuah ”fitnah”
terhadap Revolusi Oktober.
Pasternak tak bisa melawan. Semua karyanya dihentikan ber­

Catatan Pinggir 7 197


ZHIVAGO

edar. Ia kehilangan mata pencaharian. Dan tak mungkin ia akan


diizinkan datang ke Stockholm untuk menerima hadiah kehor-
matan itu. Pada 1960 ia, yang menderita kanker paru-paru, me-
ninggal.
Tapi bisakah ia memilih Sejarah dan Akidah, dan bukan pui-
si? Tentu tidak. Sebab puisilah yang menyambut hidup, dengan
gerak kecil-kecilan yang intens. Sebab puisi adalah

Siul yang jadi matang di saat sekejap


Kertak suara es di angin kedap
Malam yang mengubah hijau jadi beku
Duel suara bulbul dalam lagu

Tempo, 30 Mei 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

198 Catatan Pinggir 7


LISAN

S
EANDAINYA tak ada TV, seandainya ucapan tercetak
di­tiap berita pagi, dan kampanye politik tak diutarakan
lisan....
Tapi, apa boleh buat, kini telah datang zaman lisan baru, de-
ngan teknologi kata yang mutakhir itu: radio, telepon, televisi.
Haruskah kita siap untuk kembali mengakui ini: ”suara­yang ter-
dengar akan lenyap, tapi huruf yang tertulis akan me­netap”, se-
perti kata sebuah pepatah Latin? Jangan-jangan orang omong un-
tuk segera dilupakan, seperti suara PKB yang dulu menghantam
Golkar dan kini tidak, karena statemen kemarin dengan mudah
jadi dusta dalam pidato hari ini.
Tapi mungkin tidak. Jika kita percaya akan optimisme Walter­
Ong dalam The Presence of the Word, dunia lisan baru itu tak akan
sepenuhnya sama dengan dunia lisan sebelum tulisan ditemu-
kan, huruf dipastikan, dan mesin cetak dipergunakan.
Bagaimana gerangan rupa dunia seperti itu, sebelum ada alif-
ba-ta dan ha-na-ca-ra-ka, tak mudah kita memperkirakannya.
Sebab, manusia telah memakai tulisan sejak tahun 3500 sebelum
Masehi di wilayah Summeria, lima abad kemudian di Mesir dan
India, dan 15 abad kemudian di Cina. Tapi mungkin kita bisa
mengingat bagaimana kakek-nenek kita yang buta huruf hidup
dan bekerja.
Bagi mereka, kata adalah ”peristiwa”, tulis Walter Ong. Bagi
mereka, kata hanya bunyi: ia berwujud tak tampak; ia ber­wujud
http://facebook.com/indonesiapustaka

justru setelah menghilang. Tanpa tulisan, kata selalu bagian dari


sekarang—bukan tadi, bukan nanti. Jika kata itu menyimpan
informasi, informasi itu baru bisa dipakai kembali­ setelah ada
yang menghafal. Demikianlah keterangan tentang yang pernah
dilakukan manusia pun dirawat dalam syair, pantun, dongeng,

Catatan Pinggir 7 199


LISAN

yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi,


oleh para empu, pujangga, dan pemangku adat. Kebenaran pada
akhirnya bergantung pada sebuah kehadiran.
Di sana, kuping yang mendengar lebih penting ketimbang
ma­ta yang melihat. Dengan jelas Ong membedakan kedua indra­
manusia itu dan pengaruhnya bagi cara kita memandang dunia.­
Lewat mata, manusia mencapai dunia dalam bentuk ruang, dan­
ruang itu terdiri dari permukaan. Tapi mata kita tak akan me­
nangkap seluruh permukaan. Ia hanya mencapai yang ada di de-
pan kita. Mata tak menjangkau dunia secara serentak, melainkan
sebidang demi sebidang: kadang. Penglihatan cenderung memi-
lah-milah.
Kuping kita bekerja secara berbeda. Kapan saja, aku bukan
hanya mendengar apa yang di hadapanku, melainkan serentak di
belakangku, atau dari arah mana saja. Sebab itu, menurut Ong,
mereka yang hidupnya dibentuk oleh sintesis pendengar­an tak ja-
rang punya kecemasan tersendiri. Ada kesenjangan antara dunia
bunyi dan dunia penampakan: dengan kupingku, aku tahu begi-
tu banyak hal terjadi secara serentak, tapi dengan mataku aku tak
mungkin melihatnya sekaligus. Tak mudah untuk memilah-mi-
lah atau menganalisis, dan sebab itu tak gampang mengelolanya.
Dari sini Ong menyebut sebuah sindrom yang tak jarang
menjangkiti mereka yang hidup dalam ”budaya dengar”. Pelba­
gai penelitian menyimpulkan bahwa di kalangan itu sering ter-
jadi rasa cemas, takut, dan sikap tengkar yang kacau-balau, yang
akhirnya meledak. Orang-orang Skandinavia dan Asia Tengga­
ra yang buta huruf meletupkan itu dalam amuk. Sebab, tanpa­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tulisan, manusia cenderung menyelesaikan problem­ menurut


tra­disi puaknya. Tak ada analisis pribadi. Di sana orang hidup
dalam ”budaya malu”, yang melembagakan desakan kolektif agar
orang sama-sama mematuhi satu pola perilaku. Ada tekanan
perkauman yang kadang menyesakkan.

200 Catatan Pinggir 7


LISAN

Itulah yang tak terjadi dalam budaya tulis. ”Dengan tulis­an,”


kata Ong, ”individu... jadi sadar tentang dirinya sendiri, bahwa
ia mampu berpikir sendiri.” Membaca teks mendorong orang
menjauhkan dunia pikirannya dari kelompok. ”Buku,” kata Ong
pula, ”memisahkan sang pembaca dari puaknya.”
Sang pembaca bukannya tak punya rasa cemas. Dunia kata-­
katanya bukan saja jauh dari habitat percakapan yang nyata, tapi
juga tak seluruhnya cocok dengan habitat itu. Ada yang beku di
sana, ada yang terhenti dalam waktu. Huruf pun se­ring dikaitkan
dengan kematian. Ong, seorang pastor Jesuit,­me­­ngutip­dari Injil
surat Paulus untuk orang Korintha: ”huruf­mematikan, tapi roh
memberi hidup.” Sang pembaca pun se­ring kesunyian, mandek
dan bersikeras, meskipun tak me­ng­amuk.­
Tapi di mana sang pembaca kini? Ia nyaris tersingkir bersama
huruf—di radio, telepon, dan televisi. Sebuah budaya lisan baru
tiba. Tapi Ong menunjukkan: kali ini beda. Huruf tak sepenuh-
nya punah. Mereka datang di Internet dan sandek, di laptop dan
telepon genggam. Kini kita hidup dalam sebuah gabungan yang
membingungkan, tapi mengasyikkan.
Ong menyambut hangat dunia baru ini. Ia tunjukkan bahwa
berbeda dengan yang lama, kini kata jadi ”terbuka”. Tek­nologi
media komunikasi telah mengubahnya. Bunyi dan suara pun
ber­peran kembali, dan melibatkan manusia ke dalam ”kini”, tapi
tak hanya itu: apa yang ”lalu” dapat kita gali kembali. Abad ke-21
punya keajaiban kecil: sebuah gudang gigantis yang mengawet-
kan informasi seluruh dunia kini bisa ditelisik cepat dan tepat de-
ngan Google.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka di satu sisi orang pun terlibat langsung dalam peristiwa,


dan kita bisa bicara akrab atau berapi-api kepada mereka. Tapi
sang pendengar, yang sekaligus penonton, bisa mengambil jarak.
Ia juga bisa menyahut. Sang pembawa kata yang hadir tak punya
aura dan otoritas yang mutlak lagi.

Catatan Pinggir 7 201


LISAN

Sementara itu, huruf yang konon mematikan, juga kitab yang


tamat, tak pula mampu menghentikan percakapan. Ajar dan ujar
yang dihafal dan hukum yang dibukukan selalu bisa dipikirkan
lagi dan digugat kembali. Keterbukaan sulit di­tampik­dari sini.
Tapi, tentu, Ong tak menyebut bahwa televisi dan komputer,­
seperti halnya buku dan koran, masih jauh dari sebuah dunia di
mana yang lisan dan tulisan dibungkam, mungkin oleh keke­ras­
an, mungkin oleh kemiskinan. Meskipun saya, seperti dia, ingin­
punya optimisme. Sekali-sekali.

Tempo, 6 Juni 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

202 Catatan Pinggir 7


SI ANJING

S
EORANG teman menjelaskan kepada saya kenapa ia tak
ingin jadi presiden. ”Karena si Anjing,” katanya. Ia meng­­
aku­­ini sebuah jawaban yang congkak, karena sebenarnya
ia ingin mengatakan bahwa ia pernah membaca tentang Dioge­
nes, orang Sinop, yang lahir di kota di pantai Laut Hitam itu pada
sekitar tahun 412 sebelum Masehi.
Diogenes adalah sebuah legenda tersendiri. Aristoteles me-
manggilnya ”si Anjing”, atau, dalam bahasa Yunani, ”Kyon”. Filo­
sof­ yang aneh ini, yang hampir 30 tahun lebih tua ketimbang
Aris­toteles, tak berkeberatan. Pandangan hidupnya memang bisa
membuat ia dimaki.
Ia seorang penampik yang radikal. Ia memilih untuk tak
punya­apa pun. Ambisinya yang terbesar adalah untuk tak punya­
ambisi. Anak bankir dari wilayah Ionia ini (si ayah diketahui me-
malsukan uang dan diharuskan meninggalkan Sinop) akhirnya
jadi seorang yang hidup seperti pertapa. Ditolaknya kekayaan
dan tak diharapkannya penghargaan orang lain. Yang pokok, ba­
ginya, adalah auterkeia, ”swasembada”.
Setiap hari ia berjubah kasar, bertongkat, dan membawa­kan-
tong. Ia hidup dari derma sedapatnya. Bila ia minta makanan ke-
pada seseorang, ia selalu bertanya adakah orang itu telah membe­
ri­kan sesuatu kepada orang lain; bila belum, ia akan meminta
agar dirinya janganlah jadi penerima terakhir.
Kenikmatan hidup dijauhinya dengan ekstrem: ia akan bergu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lung di pasir yang terik di musim panas dan memeluk patung


yang tertutupi salju di musim dingin. Terkadang ia tinggal di se-
buah bilik kecil yang disediakan salah seorang temannya, atau,
bila itu tak ada, ia akan tidur di pendapa Kuil Zeus di Athena atau
di dalam pithos, bak besar di Metroum, kuil ibu dewa-dewa.

Catatan Pinggir 7 203


SI ANJING

Ada yang melihat persamaan antara perilaku Diogenes dan­


ajar­­an Kristen dan Buddhisme: memandang hidup dengan­
meng­ambil jarak dari hidup itu. Dalam salah satu kuliah filsafat
di Collège de France di tahun 1984, Michel Foucault me­nyebut
Diogenes sebagai pelopor gerakan yang menjadikan hidup seba­
gai ”lain”. Mungkin, kata Foucault, tema ini ikut membuka pintu­
bagi berkembangnya pandangan zuhud agama Kristen kemudi-
an.
Tapi sudah tentu ada beda antara Buddha, Yesus, dan Dio­ge­
nes. Si Anjing menyalak keras dan bisa menggigit. Menurut seba-
gian orang, dari sanalah asal-usul kata ”sinis” yang kita pakai hari
ini. ”Sinisisme” (cynicism dalam bahasa Inggris) berasal dari ba-
hasa Latin cynicus, terjemahan atas kata Yunani kynikos, ”seperti
anjing”. Dari laku para pengikut Diogenes kemudian—yang me-
nyebalkan banyak orang—kata itu akhir­nya jadi penanda sikap
yang hanya mau melihat cacat manusia, bukan budi baiknya.
Diogenes sendiri tak demikian. Tapi ucapan-ucapannya me-
mang ketus. Niatnya adalah memprovokasi orang untuk ber­tu­
kar pikiran. Ia mencegah mereka pasif. Ia bukan saudagar kata-
kata bagus yang bisa membuat hadirin tenang dan senang. Bah-
kan ia bisa kurang-ajar: konon ia tak ragu untuk berak dan mas-
turbasi di depan orang, sebagai sebuah ekspresi ”tak-ada-rasa-ma-
lu” (anaideia). Mungkin baginya ”malu” adalah bagian dari keti-
dakbebasan.
Memang ada sikap angkuh di situ. Plato benar. Pada suatu hari
Diogenes menginjak-injak permadani miliknya, sambil berujar:
”Lihat, kuinjak-injak sikap jumawa Plato.” Plato pun menyahut:
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ya, Diogenes—dengan sikap jumawa yang lain.”


Tapi sikap jumawa itu berkait dengan kemerdekaan diri. Kita
ingat kisah yang termasyhur ini: pada suatu hari Iskandar Agung
datang ke tempat si Anjing berbaring seraya berjemur. Orang
ku­at dari Makedonia ini memperkenalkan diri: ”Aku, Iskandar

204 Catatan Pinggir 7


SI ANJING

Agung.” Sang filosof menjawab: ”Aku, Diogenes, si Anjing.” Ia


acuh tak acuh. Kepada Iskandar ia pun berkata, kasar: ”Jangan
berdiri di situ, menghalangi matahari.”
Kisah ini agaknya cuma bagian dari sebuah fantasi, tapi yang
penting ialah gambaran tentang hubungan kekuasaan yang tiba-
tiba ternyata problematik. Foucault menguraikannya­dengan ce-
merlang berdasarkan risalah yang dituturkan oleh Dio Prusaeus,
seorang filosof yang dalam pembuangan selama 14 tahun meng­
ikuti­jalan kaum Sinis, mengembara miskin di dekat Laut Hitam,
hampir dua milenium yang lampau.
Dalam risalah Dio Prusaeus, status Iskandar dan Diogenes di­
gambarkan sebagai sebuah paradoks: si Anjing yang tak punya
apa-apa justru lebih tinggi tarafnya. Sebab Iskandar adalah se-
buah kekurangan: ia butuh kekuasaan, dan dengan itu perlu pa-
sukan, kekayaan, dan juga kesediaan rakyat Makedonia untuk
patuh. Sebaliknya Diogenes: ia sudah dalam tahap auterkeia.
Tentu saja Iskandar mampu membinasakan Diogenes yang
kurang ajar itu. Tapi si Anjing menghadirkan sebuah dilema, keti-
ka ia berkata: ”Kau punya kemampuan dan sanksi hukum untuk
membunuhku. Tapi cukup beranikah kamu untuk mendengar­
kan apa yang benar dari mulutku, atau kau pengecut?”
Di sini sebuah ”permainan parrhesiastik”, di mana kemer­de­
ka­an bicara berlangsung, dijalankan dengan penuh risiko. Tapi
pada akhirnya tampak, kekuasaan sang raja bukanlah satu-satu­
nya kekuasaan. Ada kekuasaan ala Diogenes—sebuah titik nol
dalam bak kosong yang mengandung kekuatan tersendiri.
Itu sebabnya teman saya tak ingin jadi presiden. Meskipun ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak menjalani hidup zuhud seperti kaum Sinis, ia tahu ada ukur­
an tentang kekuasaan-dan-kekuatan yang berbeda-beda yang ha-
rus diakui dalam hidup masyarakat.
Ia kembali bercerita tentang si Anjing. Pada suatu hari, di se-
buah pertandingan atletik dan lomba kuda, Diogenes datang un-

Catatan Pinggir 7 205


SI ANJING

tuk meletakkan mahkota pemenang di kepalanya sendiri.­Ketika


ia hendak diusir, ia menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena
ia telah berhasil memenangi sebuah ”lomba”: ia telah mengatasi
kemiskinan, pengasingan, dan putus asa. Bukan­kah hal itu le­
bih­sulit ketimbang melempar cakram, bertanding­gulat, dan lari
cepat?
Membuat kekuasaan dan ukurannya jadi beragam—dan me­
nunjukkan bahwa kekuasaan itu bisa hinggap di mana-mana—
itulah sebenarnya yang dicapai Diogenes. Mungkin karena me-
nyadari hal ini konon Iskandar pernah berkata: ”Seandainya aku
bukan Iskandar, aku ingin jadi Diogenes.”

Tempo, 13 Juni 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

206 Catatan Pinggir 7


TROYA

P
ERANG itu berlangsung 10 tahun lamanya. Seribu ka-
pal dan 100 ribu prajurit dikerahkan, dan Troya, sebuah
kota kerajaan yang dulu konon terletak di ujung barat
laut Turki, digepuk. Korban pun jatuh bertumpuk-tumpuk, para
pendekar gugur. Dalam wiracarita yang termasyhur ini, medan
tempur terlukis bengis:
”Idomeneus menusuk Erymas, lurus menerobos mulut: ujung
tombak logam itu tembus ke dekat otak, menggrowak, membelah­
tengkorak yang berkilau keringat—gigi pun berhamburan, da-
rah muncrat, menutupi kedua mata hingga kelopak, mengucur di
liang hidung, dan bibir itu terkuak....”
Untuk apa kebuasan itu? Menurut kisah Homeros, seorang
pe­nyair buta yang konon hidup 2.850 tahun yang lalu, Perang
Troya terjadi karena Agamemnon, raja orang Achaea, hendak
me­rebut kembali istri adiknya yang diculik. Senjata pun dihunus
karena sang penculik adalah seorang pangeran dari negeri lain.
Seperti Ramayana: mengasyikkan tapi tak masuk akal.
Terutama bagi penulis sejarah. Herodotus, sejarawan yang hi­
dup pada abad ke-5 sebelum Masehi, meragukan motif pembe-
basan istri itu. Maka wajar bila zaman ini, di tengah Perang­Irak
yang lancung alasannya, film Troy yang disutradarai Wolfgang
Pe­tersen menyodorkan penjelasan yang lebih bisa dimengerti
abad ke-21. Hektor, pangeran dan pendekar perang dari Troya
itu, berkata, menurut skenario David Benioff: ”Ini perkara kekua-
http://facebook.com/indonesiapustaka

saan, bukan cinta.”


Kedua hal itu sebetulnya tak berbeda, bila ”cinta” berarti­”me­
miliki”. Dan pada zaman ketika ”memiliki” (kata lain untuk ”me­
nguasai”) jadi penting, ketika perempuan hanya­pelengkap, alas­
an Agamemnon untuk berperang habis-habis­an bisa merupakan

Catatan Pinggir 7 207


TROYA

kombinasi antara ”wanita” dan ”takhta”.­ Benar bahwa Helena,


ipar­nya, diculik oleh Paris dan dibawa ke Troya. Tapi benar pula
bahwa soalnya menyangkut gengsi dan kekukuhan sebuah kera-
jaan.
Saya kira itu sebabnya Jean Giraudoux menuliskan lakonnya,
Perang Troya Tak Akan Meletus (La Guerre de Troie n’aura pas lieu)
dengan cemooh, dan ketika Arifin C. Noer mementas­kannya di
Taman Ismail Marzuki 30 tahun yang lalu, ia menyelipkan logat
orang Tegal dalam dialog, untuk meledek. Dalam Babak ke-2,
Hektor yang tak menghendaki perang memanggil seorang pakar­
hukum internasional, Busiris. Orang ini menguraikan dasar-da­
sar legal untuk berperang melawan­orang Achaea yang telah siaga
di laut itu. Tapi Hektor, yang melihat betapa gampangnya orang
menemukan dalih untuk­ berperang, berhasil menekan Busiris
agar memakai dalih yang sama untuk tidak berperang. ”Kita ha-
rus cepat-cepat menutup­semua pintu peperangan, dengan segala
gembok, segala palang,” katanya.
Menarik bahwa dalam lakon ini Hektor melihat perang seba­
gai sesuatu yang datang dari luar. Tapi ”luar” itu baginya bukan
balatentara bangsa Achaea itu. Ia bahkan tak hendak menutup
ger­bang kota untuk mereka. Yang ingin ditampiknya adalah ben-
cana bagi yang tak bersalah.
Akhirnya kita tahu, Hektor tak bisa mencegah bencana itu.
Dalam penuturan Homeros, Hektor akhirnya ikut bertempur. Ia
maju dengan gagah, meskipun ia tahu Troya akan jatuh dan ia
akan gugur. Dan tatkala akhirnya kota itu bobol, dan pasukan­
Yunani masuk, yang tak bersalah memang jadi korban: putra
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hektor, Astyanax, dilemparkan pasukan yang menang itu ke


din­ding. Bayi itu mati.
Tapi pangeran Troya itu benar: perang tak datang dari dalam
dan dari 1.000 kapal Yunani. Dalam kisah Homeros, perang itu
datang dari atas—dari para dewa.

208 Catatan Pinggir 7


TROYA

Dalam cerita kuno ini, Kahyangan adalah Olimpus yang si-


buk: para dewa dengan bernafsu menyeret manusia ke dalam ke-
buasan yang sebenarnya tak mereka inginkan. Raja Priam­ dari
Troya tahu itu. Ia memandang sedih Helena yang di­tuduh­ jadi
biang perkara, dan berkata, ”Anakku, aku tak me­nyalahkan­mu.
Para dewalah yang harus disalahkan. Merekalah yang menyebab-
kan perang yang mengerikan ini.”
Mungkin terlampau gampang menyalahkan para dewa, tapi
di bagian ketiga wiracarita Homeros, memang inilah yang ter-
jadi: setelah bertahun-tahun kedua kubu berkelahi tanpa­ kalah­
dan menang, mereka pun bersepakat menyelesaikan per­soalan
dengan cara yang lebih hemat dan adil: Paris, yang menculik He­
lena, akan berduel dengan Menelues, sang suami,­adik Raja Aga­
memnon. Siapa yang menang akan berhak menyunting­ perem-
puan jelita itu, dan setelah itu perang akan ditutup.
Tapi ternyata dewa dan dewi di Olimpus tak menghendaki
perdamaian....
Bagi Dewi Afrodita, yang mencintai Paris yang tampan, laki-­
laki itu harus ditolong di saat ia nyaris terbunuh. Bagi Hera, istri
Zeus, pokoknya Troya harus hancur. Zeus akhir­nya mengalah:
ba­pak para dewa ini menyetujui Troya binasa, karena­Hera kelak
akan merelakan kota-kota kesayangannya, antara lain Argos dan
Sparta, terbasmi. Dengan hasutan para dewa, kedua kubu pun se­
gera saling membunuh kembali. Kekejaman berkobar, dan Troya
hancur.
Saya tak tahu bagaimana dengan imajinasi seperti itu agama
bisa menyusun argumennya. Tapi mungkin tiga milenia yang lalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

kisah Homeros adalah awal kesadaran akan absurditas hidup dan


ambivalensi iman: manusia percaya adanya dewa yang berkuasa,
tapi dengan itu manusia harus menanggungkan nasib sebagai ke-
tentuan Langit. Dalam kondisi semuram itu, apa kiranya yang
membuat hidup berharga?

Catatan Pinggir 7 209


TROYA

Saya kira jawabnya muncul di bagian akhir cerita: malam itu


Priam, ayah Hektor, datang dari Troya tanpa pengawal ke kemah
musuh. Ia menemui Akhilles yang telah membunuh Hektor dan
dengan bengis menyeret jasadnya berkeliling dengan kereta pe­
rang.­Priam ingin mengambil jenazah anaknya.
Akhilles tersentuh melihat pak tua yang kehilangan itu, dan
se­raya mencoba menahan tangis, ia menyilakan tamunya duduk.
”Para dewa yang kekal tak peduli,” katanya, ”tapi nasib yang me­
re­ka timpakan kepada manusia penuh dengan tragedi.” Suara itu
akrab.
Di saat seperti ini hidup pun terasa berarti kembali, berpijar
kem­bali, karena manusia berjabat tangan dan Kahyangan ter­
diam.­

Tempo, 20 Juni 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

210 Catatan Pinggir 7


TERTAWA

K
ETIKA hasrat berkuasa jadi lumrah, kebutuhan akan
ter­tawa jadi penting. Ambisi bukanlah suatu hal yang
buruk, namun sempit. Kehendak untuk jadi pemenang
pemilih­an presiden pada dasarnya sama dengan tekad jadi peme-
gang Piala Eropa. Dalam motif itu, sebuah lapangan direduksi-
kan jadi arena antara ”kita” dan ”mereka”. Arah hanya satu.
Humor bisa menghentikan penyempitan itu. Yang jenaka
meng­guncang konsentrasi, mengacau fokus, dan memperluas hi­
dup dengan menampilkan yang ganjil dan terjungkir balik.
Misalnya lelucon ini:
Calon Presiden X datang ke sebuah daerah miskin di Pulau B.
Di hadapan sekitar 700 penghuni, sang calon berpidato.
”Saudara-saudara,” katanya, ”akan saya bangun instalasi air
bersih untuk desa ini!”
Penduduk mula-mula diam. Tiba-tiba seorang berteriak,
”Hoya!”
Segera, semua warga juga berseru, ”Hoya! Hoya!”
Pak Calon tak tahu apa arti kata yang diteriakkan dalam ba-
hasa lokal itu, tapi ia lihat orang pada tersenyum. Ia pun kembali
bergelora.
”Kelak, jika saya menang,” katanya lagi keras, ”akan saya ke-
luarkan keputusan bahwa rakyat Pulau B tak perlu bayar pajak!’
”Hoya! Hoya!”
”Meskipun begitu, Saudara-saudara, sekolah akan tetap di­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bangun!”
”Hoya! Hoya!”
Pidato kampanye pun selesai. Sang Calon berkeliling melihat-
lihat rumah kumuh dan ladang kering di dusun yang miskin dan
kotor itu. Di sebuah sudut ia nyaris terperosok. Seorang desa ber-

Catatan Pinggir 7 211


TERTAWA

kata, ”Awas, Pak, jangan sampai menginjak hoya”—dan ditun-


juknya seonggok tahi.
Realitas seakan-akan ambyar dalam peristiwa itu. Citra
umum seorang calon presiden tiba-tiba bukan lagi sesuatu yang
su­dah bulat. Umumnya ia dianggap pintar dan cerdik. Tapi di
sana ia terkecoh oleh rakyat di dusun miskin yang galib­nya diba­
yang­kan sebagai ”terkebelakang”.
Ada satu lelucon lain. Calon Presiden Z datang ke sebuah­per­
temuan di kawasan baru di luar Bogor. Penduduk ber­kumpul­di
sebuah gelanggang olahraga, dan Pak Calon ber­pidato­ tentang
perlunya pembaruan akhlak. Setelah itu, ia men­­datangi­orang ra-
mai untuk bersalaman.
Tiba-tiba seorang perempuan mendekat. Ia tersenyum. Pak Z
pun membalas senyum itu dengan ramah. Ia ulurkan tangan­nya:
”Terima kasih, Bu. Ibu kelak akan memilih saya, kan?”
”Lo, tentu, dong,” sahut perempuan itu, ”Kan, saya istrimu
yang pertama!”
Kisah ini diarahkan ke seseorang yang dikenal beristri banyak,­
tentu. Humor memang bisa seperti agresi. Thomas­Hobbes, yang
me­mandang manusia dengan muram, menyata­kan bahwa kita
me­nertawai orang lain karena kita merasa hebat dan orang lain
ki­ta anggap cacat. Seseorang yang menyusun teori tentang hu-
mor juga mengatakan bahwa lelucon adalah hasil evolusi dari
sua­ra aum dalam duel rimba raya.
Tapi ada lelucon yang tak menertawai orang lain, me­lain­kan
di­ri sendiri. Dalam humor jenis ini hidup seakan-akan tak pu-
nya ketegangan. Ketika ”agresi” diarahkan ke diri sendiri,­ kon-
http://facebook.com/indonesiapustaka

flik adalah sesuatu yang mubazir. Tapi bagaimana­hidup berubah


tanpa konflik? Maka ada yang mengatakan, humor bersifat kon-
servatif.
Ada benarnya. Dalam film Indonesia lama, sebagai ke­lanjut­an­
dari tonil populer tahun 1920-an, adegan kocak yang lazim ada­

212 Catatan Pinggir 7


TERTAWA

lah ketika muncul jongos dan babu. Kedua anggota kelas bawah
ini menampilkan diri begitu udik dan tolol. Mere­ka diadakan un-
tuk sebuah kontras bagi sosok sang majikan yang serba ganteng,­
cantik, berhasil. Di sini tata sosial yang timpang, antara si juragan
yang menang dan si abdi yang takluk, diperkuat.
Tapi tak semua lelucon jongos-babu memperkukuh apa yang
mapan, meskipun sepintas memang tampak begitu. Saya ingat
Sri­mulat.
Sejarah kelompok ini adalah sejarah orang-orang yang me­
ne­­robos tata sosial dan kategorinya. Jika kita ikuti buku Teguh
Sri­mu­lat yang disusun Herry Gendut Janarto (terbit pada tahun
1990), sang pendiri kelompok lawak itu lahir dengan nama Raden
Ajeng Srimulat. Ia putri Wedana Bekonang, Surakarta. Anak we-
dana ini tak cuma gemuk dan cantik; ia juga pintar menembang
macapat, dan suaranya merdu. Di rumah orang tuanya, kesenian
Jawa adalah bagian hidup sehari-hari.
Tapi Srimulat melarikan diri. Kehidupan rumah orang tua­
nya­menyesakkan dia setelah ibunya meninggal. Ia mendapatkan
ibu tiri yang tak menyetujui gadis itu meneruskan sekolah. Ia di­
pingit.­Ia minggat.
Dalam pelarian ini ia bergerak terus. Rangkaian hidupnya la­
yak untuk bahan novel yang bagus: ia bergabung dengan rom-
bongan seorang dalang, lalu sebuah grup ketoprak yang main di
alun-alun kota, lalu sebuah paguyuban wayang orang yang di­
pim­pin seorang perempuan yang juga memimpin orkes yang
memainkan lagu keroncong, dan akhirnya berkelana dari pasar
malam ke pasar malam.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di panggung yang mengembara itu ia berjumpa dengan Te­


guh.­Pemuda yang 18 tahun lebih muda ini kemudian jadi suami­
nya, dan kemudian mengabadikan nama Srimulat dalam sebuah
kelompok komedi yang sukses.
Teguh adalah anak Kho Swie Hien dari Kampung Bareng,

Catatan Pinggir 7 213


TERTAWA

Klaten, yang dibesarkan oleh Go Bok Kwie, seorang buruh per-


cetakan, dan istrinya, Ginem. Dari latar yang miskin ini ternyata
ia tumbuh jadi seorang pemain musik berbakat, antara­lain ber-
kat Pak Wiro, tetangganya, seorang pembuat gitar.
Tapi lebih dari itu, seperti Srimulat, Teguh juga orang yang
menerobos tata masyarakat kolonial. Sementara Srimulat tak ter-
jerat dalam kategori kelas, Teguh tak terjebak dalam kategori ras.
Bukan kebetulan mereka betah di dunia seni hiburan. Sudah
lama, apalagi pada masa menjelang runtuhnya kolonialisme di
awal 1940-an, dunia ini bebas dari desain kekuasaan Hindia-Be-
landa yang merumuskan identitas dengan dasar asal-usul.
Itu mungkin sebabnya lelucon Srimulat dalam adegan abdi-­
ma­jikan tak sama dengan klise dalam tonil tahun 1920-an. Si ju-
ragan bisa tampak bodoh dan sebaliknya si pembantu cerdik. Po-
sisi berubah tak putus-putusnya. Martabat dan identitas ber­ada
da­lam chaos. Semua bisa ditertawai, semua bisa menertawai—se-
buah situasi carnavalesque yang meneruskan kerinduan demokra-
si.

Tempo, 27 Juni 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

214 Catatan Pinggir 7


TEPI

D
I sekitar Bagdad, siapa yang berdosa? Rasa bersalah
telah jadi muskil. Kini tiap hari orang dibunuh, tapi
tiap jam selalu ada dalih untuk membunuh.
Sekelompok gerilyawan memenggal kepala Kim Sun-il, orang
Korea yang mereka sandera. Tubuhnya ditinggalkan di antara
Bagdad dan Kota Fallujah. Dunia mengutuk. Tapi para gerilya-
wan itu akan mengatakan: ”Benar, Kim tak berdosa, tapi pe­me­
rin­tah Republik Korea?”
Mereka akan mengatakan bahwa yang berkuasa di Seoul se­
sung­guhnya dapat membebaskan warga negara Korea itu. Tapi
tin­dakan itu tak mereka pilih. Sang presiden lebih perlu mendu-
kung Amerika—dan kian terlibat dengan sesuatu yang kotor:
menyerang Irak secara tak sah dan mendudukinya sampai hari
ini.
Tapi Presiden Republik Korea pasti punya jawab: Kim ada­
lah­sesuatu yang bisa disebut ”korban” (victim) dan juga ”kurban”­
(sacrifice). Ia biarkan Kim terbunuh agar lebih banyak­orang se-
lamat. Republiknya selama ini dilindungi kekuatan Amerika Se­
rikat, dan sebab itu hubungan dengan negeri itu harus dirawat.
Juga dari Seoul hendak ditunjukkan betapa sia-sianya siasat ger-
tak para gerilyawan. Jika hari ini tak ada yang takut kepada mere­
ka, mereka akhirnya akan berhenti menyandera.
Maka siapa yang benar, siapa berdosa? Ataukah di sini berke-
camuk sebuah kekacauan batas dalam nilai? Mungkin justru se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

baliknya.
Kini Irak adalah tanah berdarah yang terbelah tegas. Tiap
konflik seperti ini memang mengubah ruang jadi sebuah dunia
Mani: sebuah pergulatan antara dua kubu, yang diterjemahkan
sebagai perang antara Gelap dan Terang. Pergulatan itu kini tak

Catatan Pinggir 7 215


TEPI

ada dalam batin. Ketika aku bertikai tajam dengan dia, perang
itu keluar dari diri, dan akulah sepenuhnya mewakili Terang, dia
Gelap.
Maka jika banyak yang hilang di Irak kini, salah satu yang
penting adalah rasa tragis. ”Rasa” di sini berarti kesadaran yang
merasuk ke hati. Yang tragis timbul ketika kita menyadari posi­
si manusia di tengah Terang dan Gelap—sebuah posisi yang
genting.
Izinkan saya bicara panjang tentang ini. Saya ingat Milan
Kun­dera pernah mengutarakan kembali apa yang konon dikata­
kan Hegel: ”Bersalah, itulah kelebihan karakter tragis yang
agung.” Ia benar, meskipun tak sepenuhnya meyakinkan.
Ia membawa kita ke dalam Antigone, karya Sophokles yang
termasyhur itu, yang di Indonesia, 30 tahun yang lalu, dipentas-
kan Bengkel Teater Rendra dengan mempesona. Dalam kisah
ini, Antigone, putri Oedipus yang membuang diri dari takhta
Thebes itu, menyaksikan bagaimana kedua adiknya saling­mem-
bunuh. Keduanya gugur.
Kreon, Raja Thebes yang baru, melarang salah satu di antara­
pa­ngeran yang tewas itu dikuburkan. Mendengar ini, Antigone­
menentang sekuat tenaga. Diam-diam dimakamkannya tubuh
yang dihinakan sebagai pengkhianat itu. Menge­tahui ini Kreon
pun menghukum mati perempuan muda itu.
Dalam tafsir Kundera, baik Kreon—yang hendak menjaga­
ketertiban hukum Thebes—maupun Antigone, yang tergerak­
untuk melawan ketertiban itu karena hukum Kreon melawan
rasa keadilan dan aturan dewa-dewa, tampil bukan sebagai Te­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rang kontra Gelap. Keduanya bersalah, tapi juga tak bersalah.


Yang penting ialah pengakuan, bahwa ada dosa di kedua belah
sisi. Hanya dengan mengakui dosa itu, sebuah karakter menjadi
karakter agung dan berbaik kembali pun jadi mungkin.
Itu sebabnya Kundera mencemooh versi Antigone yang pernah

216 Catatan Pinggir 7


TEPI

dilihatnya di Praha, ketika Partai Komunis berkuasa di Cekoslo-


vakia. Menurut ajaran resmi ”realisme sosialis”, kelompok teater
waktu itu mementaskan Antigone sebagai teladan ”hero positif”
Komunisme—sepenuhnya kebaikan—melawan Kreon, ”si ja-
hat” Fascisme.
Betapa menyesakkan, betapa dangkal. Jika kita lepaskan kon-
flik manusia dari penafsiran sebagai perang antara kebaik­an dan
kejahanaman, kata Kundera, dan jika kita pahami seng­keta itu
dalam sorotan tragedi, akan tampak betapa nisbi­nya kebenaran
manusia. Akan tampak pula ”keperluan untuk bersikap adil ke-
pada musuh”.
Kundera benar, tapi tesisnya berlaku terbatas. Di luar karya
Sophokles, sebenarnya tak banyak tragedi yang mengisahkan rasa
berdosa. Hamlet dan Raja Lear dalam lakon Shakespeare mati
menyedihkan, mungkin bersalah, tapi yang menyentuh kita bu-
kan itu. Sebab itu saya punya tesis lain. Bagi saya, ”berdosa” bu-
kanlah inti ”rasa tragis”. Intinya adalah kesadaran tentang ”tepi”.
”Tepi” bukanlah ”batas”. Kata ini tak berkaitan dengan ke­
ter­­batasan. ”Tepi” mengandung sesuatu yang sepi, juga me­nun­
jukkan keadaan genting sebab siapa pun akan sendirian ketika
ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seseorang tak ber­ada di
satu pusat yang mantap. Bukan saja karena Terang dan Gelap ada
di mana-mana, tapi juga karena kedua-duanya mengandung ba-
haya.
Pernah saya temukan sebuah kutipan, yang selalu saya ingat,­
ko­non dari Nelson Mandela, yang mengatakan bahwa yang perlu
kita takuti bukanlah Gelap diri kita (”our darkness”) melainkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

justru Terang diri kita (”our light”).


Bagi saya kutipan itu menarik dan mengagumkan. Mandela,
tentu saja, tak akan masuk kategori Gelap di buku sejarah. Ber-
tahun-tahun ia disekap oleh pemerintahan kulit putih Afrika Se-
latan yang dikecam dunia. Ia bisa dengan mudah­ menyatakan

Catatan Pinggir 7 217


TEPI

dirinya benar dan lawannya 100 persen berdosa, tapi ia sadar be-
tapa berbahayanya sikap seperti itu. Angkuh karena benar akan
menghilangkan ”rasa tragis”, dan tanpa rasa ini, seseorang akan
merasa berdiri di pusat. Kesewenang-wenangan akan terjadi. Ju­
ga atas nama kebenaran.
Irak kini adalah akibat dari kesewenang-wenangan itu. Irak
adalah hasil sebuah kekuasaan besar yang meringkus peta dunia­
hanya dalam konflik antara Terang dan Gelap, antara Axis of
Goodness dan Axis of Evil. Kekerasan dimulai dari Washington
dan London, dari Bush dan Blair, yang seraya mengira di dekat
Tuhan, tak merasa bahwa sebenarnya mereka juga ber­ada­di tepi.
Maka di sekitar Bagdad kini rasa berdosa pun jadi muskil, dan
para pembunuh hadir.

Tempo, 4 Juli 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

218 Catatan Pinggir 7


TANGGULSARI

P
ADA suatu malam, demokrasi datang ke lapangan bad-
minton itu.
Waktu: hari Ahad malam, 27 Juni 2004.
Tempat: sebuah lapangan bulu tangkis di Kampung Tanggul-
sari, Desa Kadipiro, Surakarta.
Perlengkapan: Lampu. Meja. Kursi. Kertas. Sejumlah drum
oli yang ditegakkan.
Ratusan warga hadir. Sebuah acara yang mungkin belum ada
duanya dalam sejarah Indonesia dibuka: ”Warga RT Mencari
Presiden. Uji Layak Capres.”
Tentu, Megawati tak muncul di sana. Juga para calon presiden­
yang lain. Acara itu dimulai sonder instruksi. Sebagaimana dila­
porkan Koran Tempo, penggagasnya penduduk Tanggulsari sen­
di­ri. Mungkin demokrasi memang sudah menjalar ke sana. Tapi
mungkin juga sebaliknya: demokrasi 2004 justru datang dari
kerinduan orang di kampung untuk boleh bersua­ra, boleh me-
nentukan, boleh mencoba—dan boleh asyik.
Di lapangan badminton itu seorang ”calon presiden” langsung
di-”uji layak”—sepasang kata yang lebih gamblang ke­timbang fit
and proper test. Bentuknya: sebuah perdebatan terbuka. Yang ber-
tanding adalah ”tim sukses Wiranto”, ”tim sukses Yudhoyono”,
dan ”tim sukses Amien Rais. Adapun ”tim sukses Megawati” dan
”Hamzah Haz” dikabarkan tak hadir. Mereka tak datang dari ja­
uh. Semuanya para tetangga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tiap ”tim sukses” muncul dalam sosok seseorang yang ber­di­


ri di podium darurat yang dibuat dari drum oli itu. Dua orang
pria (masing-masing ”mewakili” Wiranto dan Yudhoyono) dan
seorang perempuan (”mewakili” Amien Rais) me­ng­urai­kan pro­
gram calon presiden mereka. Masing-masing bicara 10 menit.­Ke-

Catatan Pinggir 7 219


TANGGULSARI

mudian, mengikuti model yang mereka lihat di televisi, para pem-


bicara harus menjawab pertanyaan tiga anggota panel: seorang
ibu rumah tangga, seorang pegawai negeri sipil, dan seorang bu-
ruh pabrik.
Yang hadir juga diberi kesempatan bertanya. Orang pun bere-
but mengacungkan jari untuk mengemukakan persoalan mereka
sehari-hari. Lebih dari acara di TV, debat di Tanggulsari itu ber-
langsung hampir empat jam, tanpa iklan.
Setelah uji coba usai, sebuah pemungutan suara menyusul. Pa­
nitia membagi kertas pemilih yang harus dicoblos hadirin. Hasil-
nya dihitung. Siti Nur Zulaikhah, ”mewakili” pasangan Amien-
Siswono, dapat 34 suara dan dinyatakan menang.
Tapi baginya tak ada kembang yang harum dan piala yang
mengkilap. Siti Nur Zulaikhah harus duduk di kursi yang dise-
diakan—sebuah kursi rusak. Kata Haristanto, yang ikut me­nyi­
ap­kan acara ini: itulah sebuah pesan bahwa ”jabatan presi­den bu-
kan kursi empuk”. Dan wartawan Koran Tempo pun menutup la­
porannya dengan satu catatan: ”Mereka yang kalah tidak protes.
Mereka yang menang harus duduk di kursi rusak.”
Saya tersenyum, saya kagum, dan saya bertanya dalam hati:
apa gerangan yang akan dikatakan para pendukung ”demo­krasi
terpimpin” tentang acara di lapangan bulu tangkis kampung
itu? ”Demokrasi terpimpin” dilaksanakan Bung Karno­di antara
1958 dan 1965. Idenya kurang-lebih meneruskan teori Ki Hajar
Dewantara, seorang aristokrat dari Yogya yang akhir­nya jadi pe-
mikir pendidikan. Ki Hajar menganggap ”rakyat” ibarat anak-
anak yang perlu diajari dan dipimpin—entah sampai kapan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Apa pula yang akan dikatakan pendekar ”Orde Baru”, yang


menganggap ”politik” harus disetop di desa-desa? Mereka ini be-
rangkat dari asumsi bahwa di dusun, ”rakyat” hidup rukun dan
selaras, tanpa ketegangan—mengikuti mitos para pelukis ”Hin-
dia Molek” di zaman kolonial, bahwa ”Hindia Belanda” adalah

220 Catatan Pinggir 7


TANGGULSARI

sederet gunung biru, sebentang sawah kuning, seutas jalanan te­


duh, sebuah tanah jajahan yang anteng.
Atau hidup masyarakat yang ”asli” dibayangkan laksana se-
regu pemain gamelan—sebuah alegori yang dipakai oleh Dr. Su-
tomo, pemikir politik yang konservatif di tahun 1930-an, untuk­
menunjukkan bahwa di ”masyarakat Indonesia”, orang bisa pu-
nya peran yang berbeda, tapi tak ada konflik. Jika dengan setia­
mereka menyuarakan ”bunyi” masing-masing, se­su­atu yang la­
ras, lancer, dan merdu pun pasti akan jadi. Bersaing­itu berbaha-
ya, bersaing itu asing.
Dengan argumen macam itulah ”Orde Baru” ingin ”melin­
dungi” pedesaan Indonesia dari ”bahaya” yang ditebarkan dari
”luar”. Paternalisme pun bersenyawa dengan paranoia. Partai po­
litik dicurigai sebagai pembawa sengketa ke kancah ”rakyat”.­Ma­
ka, dipraktekkanlah gagasan ”massa mengambang” atau (se­ring
di­sebut dengan bahasa Inggris) floating mass. Dalam konsep ini,
”rakyat” tak diperkenankan terpaut tetap pada satu partai. Se­
men­tara itu, dengan tipu muslihat, alasan sok-ilmiah, dan te­ror,­
Gol­kar dimaklumkan bukan sebagai partai politik, meskipun­si­
ap menang pemilu. Dalam sistem ”Orde Baru”, Golkar ada­lah se-
jenis makhluk siluman.
Sejak 1999 orang Indonesia sadar bahwa semua itu keliru—
baik Ki Hajar maupun Golkar. Perbedaan partai, perbedaan pi­
lih­an pemimpin, bisa berlangsung tak berbahaya jika proses itu
bebas, adil, terbuka. Di lapangan badminton Tanggulsari, sesu­
atu yang universal—tak hanya ”Barat”—berlaku.
Tapi, pada saat yang sama, satu hal lain bisa disimpulkan:
http://facebook.com/indonesiapustaka

ki­­ni tak seorang pun dapat berkata, ”Pada hakikatnya, rakyat­


adalah....” ”Rakyat” bukanlah makhluk mitologis. Tak ada satu
”hakikat”­yang pas untuk kapan saja dan di mana saja. ”Rakyat
adalah kita...,” tulis penyair Hartoyo Andangjaya. ”Kita” bukan-
lah ”aku”. Perbedaan adalah niscaya.

Catatan Pinggir 7 221


TANGGULSARI

Oleh sang penyair, ”kita” juga ditampilkan dalam ”kerja”.


Artinya dalam proses, dalam sejarah, dengan perubahan yang tak
terlarai. ”Rakyat” selalu luput dari teori yang terakhir.
Mungkin itu sebabnya demokrasi perlu: tak ada teori ter­akhir­­
ten­tang ”rakyat” dan manusia. Maka kita harus mampu meng­
akui kesalahan konsep dan penilaian sendiri—juga ketika kita
jadi ”rakyat” yang memilih, juga ketika kita jadi ”pemimpin”
yang dipilih.
Dengan kata lain, demokrasi berangkat dari alegori Tanggul­
sari: siapa pun duduk di kursi rusak, siapa pun tak sempurna, sia-
pa pun mesti sementara, seperti sebuah pementasan yang siap di­
tertawai—juga oleh diri sendiri.

Tempo, 11 Juli 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

222 Catatan Pinggir 7


RAMALAN

D I Indonesia, kata sebuah ramalan, demokrasi tak akan ber-


tahan. Dalam The Future of Freedom, Fareed Zakaria menu-
lis, ”Indonesia... bukanlah sebuah calon ideal untuk demokrasi.”
Zakaria adalah editor Newsweek International yang dari kan-
tornya yang tinggi di New York memandang reformasi Indonesia
sebagai langkah yang salah. Pada tahun 1998, IMF dan pemerin­
tah AS seharusnya tak mendesakkan reformasi­ perekonomian­
untuk mengatasi krisis moneter waktu itu. Desakan itu, kata
Za­karia, membantu hancurnya legitimasi pemerintah Soeharto
hingga ia jatuh.
Inilah yang dikenangnya tentang ”Orde Baru”: ”Soeharto
men­jalankan sebuah rezim yang cacat tapi yang dapat mencapai­
ketertiban, pemerintahan yang sekuler, dan liberalisasi­ ekono-
mi—sebuah kombinasi yang mengesankan di Dunia Ketiga.”
Sebuah aplaus—meskipun kini percuma dan tak meyakinkan.­
Tapi bagaimanapun dalam membahas tendensi demokrasi di du-
nia kini, dan kemungkinan rusaknya kemerdekaan dalam proses
itu, The Future of Freedom memukau dan Zakaria cemerlang.
Namun di situ pula ia bisa selip. Kecemerlangan pikirannya
sering membungkus kesimpulan yang terlalu tangkas. Pikirannya­
seperti sinar laser: tajam, gemilang, tapi sempit.
Ia sempit, mungkin karena ia seorang Amerika yang tinggal di
Amerika. Seperti banyak analis Amerika, dalam pandangannya
ada asumsi diam-diam bahwa dunia hanya sedaun kelor: pelbagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

hal di atasnya akan terguncang bila Amerika mengangkat keling-


king. Narsisisme Amerika ini sebuah sindrom yang sulit disem-
buhkan—dan mungkin itu sebabnya Zakaria melihat perubah-
an di Indonesia pada tahun 1998 seba­gai akibat langsung tuntut­
an IMF dan pemerintah AS.

Catatan Pinggir 7 223


RAMALAN

Terlalu cepat ia melihat. Begitu cepat hingga ia tak melihat­ka-


limatnya sendiri di halaman 154. Di sana Zakaria berbicara ten-
tang ”politik kemarahan”. ”Politik kemarahan,” tulisnya, bersifat
lokal. Bila dunia Arab marah kepada sebuah keadaan (dan tentu-
nya juga bila orang Indonesia marah kepada represi­”Orde Baru”),
itu tak ada hubungannya dengan ”kebijakan luar negeri Amerika
Serikat yang imperial.”
Pada akhirnya memang hasrat dan daya imperial Amerika­
ada­lah satu hal, dan kerumitan dunia adalah hal lain. Lihat saja
ke­konyolan para penggagas ”The Project of the New American­
Cen­tury” yang kini dengan pongah berkutat di Pentagon. Mere­
ka ingin mengukuhkan supremasi Amerika di dunia, tapi apa
yang terjadi? Di Fallujah, impian itu dihantam bom.
Sayangnya Zakaria (sekali lagi: terlalu cepat berpikir) lupa
akan­ kenyataan seperti itu—sebagaimana ia lupa argumennya
sendiri. Sementara ia memuji Soeharto di halaman 118, ia meli-
hat cacat kekuasaannya di halaman 117: pemerintahan Soeharto,
tulis Zakaria, ”kekurangan institusi politik yang diterima sah.”
Soeharto ”mengelola negerinya melalui sebuah kelompok kecil­
orang istana, sedikit sekali memperhatikan perlunya pemba­
ngun­­an lembaga.”
Tanpa institusi politik yang diterima sah, bagaimana sebuah
rezim bisa bertahan dalam krisis yang dahsyat? Jatuhnya Soehar-
to pada tahun 1998 adalah akibat dari sebuah keadaan di mana
dalam dirinyalah kekuasaan terpusat—juga kesalah­an-kesalahan
kekuasaan itu. Ketika di sebuah sore yang panas tahun itu, di
depan para mahasiswa yang menduduki kompleks DPR, saya
http://facebook.com/indonesiapustaka

ber­bicara dengan gugup bahwa turunnya Soeharto adalah pra-


syarat bagi reformasi, alasan itulah yang ada di balik kepala saya.
Agaknya juga di hati para demonstran.
Reformasi dipekikkan karena kita ingin menyelamatkan­Re-
publik dari serangkaian institusi yang pura-pura, dari sebuah tata

224 Catatan Pinggir 7


RAMALAN

yang identik dengan takhta. Sebab itu reformasi adalah untuk


membangun stabilitas.
Zakaria menulis bahwa setelah 1998 yang muncul di Indone-
sia adalah sebuah ketidakstabilan. Harus dicatat: ia menulis sebe-
lum tahun 2003—dan tentu tak menyaksikan apa yang terjadi
pada tahun 2004. Melihat pemilihan 2004, saya mulai tak per-
caya bahwa Indonesia bukan ”calon ideal demokrasi.”
Zakaria memang punya alasan kenapa ia tak melihat demo­
krasi Indonesia akan berhasil. Ada tiga.
Pertama, dari semua negeri Asia Timur, Indonesia paling ber-
gantung pada sumber alam. Sebab itu negeri ini tak gampang ter­
desak untuk membuka pintu ekonominya kepada tuntutan luar.
Alasan ini bisa benar seandainya Zakaria menyamakan Indone-
sia dengan Arab Saudi, atau berbicara tentang tahun 1980-an, ke-
tika pendapatan minyak negara begitu domi­nan dalam ekonomi
Indonesia. Tapi bukankah setelah minyak tak lagi ”brol”, setelah
proteksionisme hanya membuat ekonomi boros dan korup, Indo-
nesia pun masuk ke dalam kegandrungan deregulasi dan pintu
yang terbuka ke ekonomi global?
Kedua, Indonesia tak punya cukup lembaga politik yang pu-
nya legitimasi. Zakaria benar, tapi jalan berpikirnya terputar: le-
gitimasi itu justru hanya bisa dibangun dari demokrasi.­
Ketiga, mustahil mencoba demokratisasi pada taraf pen­da­
patan per kepala yang rendah, sekitar US$ 2.650. Eksperimen
itu tak akan lama umurnya, katanya, mungkin sekitar 18 tahun.
Tentang ini, kita tak tahu: terlalu pagi untuk menilai benarkah
aritmetik demokrasi itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lagi pula tidakkah demokrasi bisa menguat bersama naik­


nya kekayaan penduduk dan bisa berkembang bersama mekar­nya
harapan untuk sejahtera?
Mungkin Zakaria akan berkata, ”Ah, saya ragu.”
Nun jauh di sana, di tengah genderang perang Bush yang me-

Catatan Pinggir 7 225


RAMALAN

mandang dunia Islam dengan waswas, memang mudah untuk


memandang negeri muslim terbesar ini dengan ragu. ”Sistem
politik yang baru terbuka [di Indonesia]... telah menghamburkan­
ke luar kaum fundamentalis Islam,” tulis Zakaria. ”Di sebuah
negeri yang tak punya bahasa politik yang memadai, [orang]
mengutarakan sebuah wacana yang sangat dikenal—wacana ke-
agamaan.”
Pemilu 1999, Pemilu 2004: rasanya orang Indonesia telah
membuktikan diri punya cerita yang lebih ramai dan bermutu
ke­timbang mimpi buruk Amerika. Meskipun kini masih terlalu­
dini untuk tahu, benarkah saya berharap, atau menggantang
asap.

Tempo, 18 Juli 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

226 Catatan Pinggir 7


KARNAVAL

A
DA negeri yang berubah dari karnaval jadi pentas, dan
ada yang dari pentas jadi karnaval. Saya cemas untuk
hidup­di salah satu di antaranya.
Karnaval kini telah jadi sebuah konsep, yang tiap kali di­ucap­
kan akan menyebabkan kita menengok ke gambaran­yang disaji­
kan Mikhail Bakhtin. Pemikir dan teoretikus kebudaya­an­ dari
Rusia ini selalu membersitkan antusiasme jika ia ber­bicara­ ten-
tang hal yang jadi pokok tesisnya ini.
”Karnaval,” tulis Bakhtin, ”tak mengenal lampu sorot.” De-
ngan kata lain, ia tak membedakan mana yang aktor dan mana
yang penonton. Ia bukan pentas. Ia bukan pertunjukan.­ Sebab­
da­lam karnaval, tiap orang ikut serta. Karnaval merangkum­se­
muanya. Selama ia berlangsung, tak ada kehidupan di luar­nya.
”Selama masa karnaval, hidup tunduk kepada hukum­ karnaval
itu,” kata Bakhtin, dan itu adalah ”dalil kemerdekaannya sendi­
ri.” Ada semangat ”universal”, yang berlaku untuk siapa saja, di
mana berlangsung ”kehidupan kembali dan pembaruan kembali
dunia, yang diikuti semua.”
Sangat memikat, kedengarannya—juga bila imajinasi ten-
tang karnaval diterapkan ke dunia politik. Di sana kita bisa mene­
mukan yang mirip dengan ”rame-rame patah cengke”, sebuah
ekspresi yang bagus yang diambil dari sebuah nyanyian Maluku
yang telah agak dilupakan.
Tapi lebih dari sekadar ”rame-rame”, ada sesuatu yang lebih­
http://facebook.com/indonesiapustaka

berarti dalam karnaval sebagai paradigma: dalam proses itu, yang


lumer bukan saja batas yang biasa memisahkan pentas dari pe-
nonton, tapi juga batas yang final tentang apa pun. Pang­kat, pri-
vilese, norma, larangan, semua diabaikan. Karnaval ”tak bersa-
habat dengan semua yang dikekalkan dan dilengkapkan,” kata

Catatan Pinggir 7 227


KARNAVAL

Bakhtin.
Dengan itu bisa kita bayangkan euforia penuh dari rakyat, pa­
ra demos yang berkeringat, dengan bau yang beragam dan gerak
seenaknya berjingkrakan. Sama rata, sama rasa.
Sangat memikat, tapi bisakah kita hidup dalam sebuah negeri­
yang seperti itu? Tidak, saya akan menjawab. Tidak, ham­pir se­
mua pemilih dalam Pemilu 2004 akan menjawab. Sebab bagi me­
reka, demokrasi justru sebuah usaha untuk me­nemu­kan yang sta-
bil: sebuah pemerintah yang didukung luas dan yang menjaga
hukum.
Tapi memang ada yang kurang bergairah bila kita bayang-
kan sebuah kehidupan politik yang bagaikan pentas—tentu saja
dalam bentuk sebuah panggung di gedung teater gaya baroque
di sebuah kota Eropa yang tua. Para aktor menjalankan peran
yang sudah ditetapkan. Mereka mengucapkan kata-kata yang
su­dah ditulis. Kita pun tak bisa berteriak, sebelum layar turun,
agar tokoh yang buruk turun saja. Dalam pelbagai bentuknya,
kehidupan politik seperti itu pada akhirnya bertumpu pada ben-
tuk, pada prosedur formal—nun di seberang prosenium, tempat
lampu sorot menentukan mana yang sedang jadi fokus dan mana
yang berdiri di latar belakang.
Bakhtin, yang lulus dari Universitas St. Petersburg pada tahun
1918, memulai kariernya sebagai teoretikus bahasa dan penelaah
sastra dalam masa Stalin berkuasa. Dengan kata lain, ketika re­
vo­lusi yang meletus pada tahun 1917 sudah digantikan elannya
oleh sebuah birokrasi yang mantap dan langkah yang berderap
dikendalikan Partai. Dalam kontrol itu, di bawah kaca sorot sen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sor, Bakhtin menulis tesis-tesisnya dengan nama lain. Itu pun tak
menyelamatkannya, akhirnya. Pada tahun 1929 ia ditangkap dan
dibuang ke wilayah Kazakh.
Dari sini agaknya kita tahu betapa karnaval—dan bukan pa-
rade—merupakan model yang dirindukannya. Tapi dari sini bu-

228 Catatan Pinggir 7


KARNAVAL

kan hanya ketertiban Stalinis yang dinafikan. Di luar Soviet,­ter-


utama justru setelah Bakhtin meninggal pada tahun 1975, datang
para pengagum, khususnya mereka yang mempertanyakan kem-
bali pola kehidupan modern, dengan label ”pasca-modernis” atau
tidak. Hidup di bagian dunia di mana ”negara” adalah tauladan
kerapian tersendiri, di mana proses demokrasi hanya menghasil­
kan­kompromi yang selalu memilih ”jalan-tengah”, politik seba­
gai buah modernitas seakan-akan membenarkan ramalan Max
We­ber yang termasyhur: sebuah ”kandang besi”.
Zygmunt Bauman menulis Modernity and Ambivalence dan
menunjukkan betapa mengungkungnya kehidupan politik­ mo­
dern.­”Perilaku yang menunjukkan ciri modern,” tulis Bauman,
”substansi politik modern, intelek modern, kehidupan modern,
adalah ikhtiar untuk menghabisi ambivalensi: sebuah ikhtiar un-
tuk memberikan definisi yang persis—dan menekan serta meng-
hapus setiap hal yang tak dapat dan tak hendak di­definisikan se-
cara persis. Perilaku modern bukanlah ditujukan untuk menak­
lukkan tanah asing, tapi mengisi titik-titik kosong dalam com­
pleat mappa mundi.”
Siapa yang sering mengikuti kritik kepada modernitas­ akan
menganggap analisis Bauman mulai usang, dan seperti­acap­­kali
terjadi di kalangan ”pasca-modernis”, ia tergoda oleh hiper­­bol.
Dalam arti yang sama, karnaval ala Bakhtin adalah juga sebuah
hiperbol. Atau lebih tepat barangkali: sebuah utopia.­Seperti la­
yak­nya setiap gambaran yang utopistis, peran­nya adalah sebagai
penampikan. Juga, sebagai awal pencarian pilih­an-pilihan lain
yang baru.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi memang di setiap periode, ada saat-saat di mana diperlu­


kan sebuah karnaval. Politik, sementara tetap berada sebagai pen-
tas, beberapa saat perlu berubah menjadi ketoprak humor—se-
buah bentuk baru dari teater yang formal dan tak mengejutkan
lagi. Dalam ketoprak humor, yang tampak menggelikan adalah

Catatan Pinggir 7 229


KARNAVAL

justru mereka yang saat itu begitu bersungguh-sungguh dan tak


henti-hentinya ingin ”berarti”.
Itulah yang terjadi dalam acuan Stalinis. Itu pula yang terjadi
dalam acuan ”Orde Baru”. Maka demokrasi penting: ia bukan
se­buah kisah para pahlawan dalam perang yang panjang, yang
ber­lengan besar dan tak bisa menertawai dunia dan diri sendiri.
Mung­kin sebab itu karnaval menawarkan keta­wa—ketawa yang
tak mencemooh orang lain agar bisa merasa diri lebih tinggi.

Tempo, 25 Juli 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

230 Catatan Pinggir 7


DARAH

S
ERING saya ingat anak-anak yang bernyanyi di halaman
sebuah sekolah yang tak jauh dari danau. Pagi itu bersih.
Lagu itu sudah biasa saya dengar di mana-mana, tapi pada
saat macam itu terasa menggetarkan, mungkin karena tempat
di dekat Danau Tamblingan itu sunyi, di ujung hutan, rindang
oleh pohon yang lebat dan rimbun seperti rahasia. Atau mungkin
karena di sudut itu, saya sempat merenung.
Melodi itu bersahaja dan kata-kata itu bukan puisi yang ce-
merlang. Tanah airku, demikian paduan suara itu terdengar, tak
bisa kulupakan, juga dalam pengembaraan yang jauh.
Dari sekolah dusun itu mungkin tak ada anak yang pernah
jauh berjalan. Tapi agaknya mereka bisa membayangkan, dari ke­
teduhan Bali Utara itu, bahwa ada sebuah negeri yang senantiasa
melekat pada diri—sebuah negeri yang bukan hanya­sebuah tem-
pat di peta bumi.
Ada sebentuk nyanyian lain yang dilagukan hampir setiap
orang Indonesia sejak kecil. Di sana disebut negeri ini sebagai­
”tempat lahir”, ”tempat berlindung di hari tua”, dan ”tempat
akhir­menutup mata”. Tapi kita tahu ”tempat” di kalimat itu juga
berarti tanah ”tumpah darah”.
”Darah” selalu menerbitkan imaji yang dramatis, apalagi­da-
rah yang ”tumpah”. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh.­
”Da­rah” yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara,­risiko,
bahaya, dan sengketa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada beda antara sebuah negeri sebagai sebuah ”tempat” dan­


sebuah negeri sebagai sebuah pengalaman khusus yang me­libat­
kan ”nyawa”, ”tubuh”, ”luka”, ”bahaya”, dan ”sengketa”. Dari
per­bedaan itu kita akan lebih mengerti mengapa sebuah negeri
bisa begitu berarti bagi diri kita. Sebab politik, dalam arti pros-

Catatan Pinggir 7 231


DARAH

es, prosedur, dan prasarana mengatur kehidupan bersama di se-


buah negeri, tak selamanya hanya bersangkutan dengan negosiasi
di sekitar ruang dan bahan (”tanah” dan ”air”), tapi juga dengan
trauma.
Hampir semua negeri mempunyai trauma, meskipun tak sela-
manya diakui atau diingat lagi. Yang sulit melupakannya adalah
orang Indonesia, Spanyol, atau Afrika Selatan. Mereka,­ lebih
dari orang Singapura atau Abu Dhabi, akan mengerti mengapa
sebuah negeri disebut ”tumpah darah”. Tanah itu sebuah arena
publik yang pernah mengalami luka dan melihat diri sendiri tak
bisa diterangkan bahkan oleh seorang Habermas.
Dengan darah yang pernah tumpah kemarin, bagaimana kita
bayangkan arena publik ini sebagai ”demokrasi rembukan” (de­
liberative democracy) yang menggunakan nalar untuk mencapai
kemufakatan? Demokrasi Habermas hanya akan tampak seperti
sebuah ruang sidang yang bersih dan rapi, jauh dari jalanan yang
dihambat lubang dan reruntukan. Dengan bekas luka yang ma-
sih nyeri, tiap rembukan akan dilihat seba­gai sekadar siasat. Tak
banyak orang percaya bahwa yang kuat dan korup membutuh-
kan rasionalitas. Posisi si lemah tak selamanya bisa diutarakan de-
ngan nalar. Negara tak selamanya bisa dipercaya.
Habermas menyadari ini dan menunjukkan peran civil society­
sebagai wali penjaga agar ”demokrasi rembukan” bisa berjalan
baik dan benar. Harus ada pelbagai perkumpulan masyarakat
yang menolak diatur oleh pasar dan dikungkung oleh Nega­ra.
Itu­lah inti civil society atau ”masyarakat madani”.
Tapi bisa yakinkah kita bahwa ”masyarakat madani” akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa mendukung rasionalitas? Bisakah ia berada di posisi yang tak


akan berat sebelah ketika konflik terbit?
Terus terang, saya tak pandai memahami Habermas. Bagi sa­
ya ia begitu yakin akan terjadinya konsensus, berkat laku komu-
nikatif, berkat rasionalitas yang tak egosentris. Mungkin ia tak

232 Catatan Pinggir 7


DARAH

pernah membayangkan sebuah negeri sebagai ”tumpah darah”.


Dalam bahasanya, ”negeri [kelahiran]” memang berarti Vater­
land, ”tanah bapak”. Bukan ”tanah ibu”, bukan ”ibu pertiwi”
yang merasakan sakit dan cemas ketika si orok dilahirkan.
Dengan metafor ”bapak”, yang terbayang adalah rasa terlin­
dung, tanpa kekhawatiran. Dengan bayangan ”bapak”, seng­­ke­
ta insya Allah akan dikelola hingga terpecahkan. Bahkan­konflik­
hanya akan tampak sebagai lintasan peristiwa di luar proses, se­
macam aksiden di arena publik.
Tapi mungkin karena Habermas hidup di Eropa, tempat poli-
tik dan demokrasi begitu rapi dan mudah ditebak hingga terasa­
kehilangan élan. Di Indonesia, saya selalu ingat akan ”darah”
yang ”tumpah” dalam kelahiran, perjalanan, dan kematian. Di
sini orang hidup dengan risiko, bahaya, sengsara, tapi juga gairah
dan pathos. Di sini konflik bukanlah sesuatu di luar proses, bukan
”kecelakaan”.
Maka orang pun bermimpi tinggi tapi juga kecewa berat.­Tapi
tidakkah dengan begitu demokrasi penting? Saya men­coba­ bi-
lang ”ya” dan jadi pragmatis. Richard Rorty mengata­kan bahwa
agenda dan laku politik adalah persoalan ”pembaruan yang prag-
matis, jangka pendek, dan kompromi”. Bagaimana dengan mim-
pi dan gelora hati? ”Saya akan menyimpan radikal­isme dan pathos
untuk saat-saat privat,” kata Rorty, tapi akan ”tetap jadi reformis
dan pragmatis bila saya harus berurusan dengan orang lain.”
Persoalannya, bagaimana membatasi saat yang privat dengan­
komitmen politik, di sebuah masyarakat di mana teror dan pe­
ngekangan bisa merasuk ke dalam lubuk pikiran yang sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Demokrasi memang sebuah proses politik dengan ke­rendah­


an­hati. Demokrasi ada karena kita tahu betapa terbatas­nya diri,
hingga keputusan jangka pendek dan kompromi pun jadi pilihan
yang arif.
Tapi apakah itu berarti kita tak perlu mengakui ada hal-hal­

Catatan Pinggir 7 233


DARAH

yang sebenarnya tak terselesaikan, misalnya ”keadilan”—dan se-


bab itu keputusan jangka pendek dan kompromi selalu mengan­
dung­cacat? Tidakkah kita harus selalu ingat bahwa ada hal-hal
yang retak dan runtuh dan darah yang mungkin tumpah­ketika
konsensus dibulatkan?
Saya dengarkan terus nyanyian di tepi hutan itu. Mungkin
saya salah. Mungkin di dalamnya ada kata ”terkenang sayu”.

Tempo, 1 Agustus 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

234 Catatan Pinggir 7


SAKSI

D
EMOKRASI bisa berangkat dari keramaian, tapi juga
bisa dari kesunyian. Ketika orang Yunani berbicara ten-
tang demos, yang dibayangkan adalah sesuatu yang ja-
mak, se­bagai­mana halnya kata ”rakyat” tak pernah sebuah kon­
sep­tentang makhluk yang tunggal. Maka orang pun selalu me­
nga­itkan demokrasi dengan orang ramai, acap kali riuh-ren-
dah—tak jauh dari kata ”demonstrasi”.
Tapi ada yang salah rasanya ketika pemilihan umum disebut
sebagai ”pesta demokrasi”. Pesta adalah kemeriahan, acap kali ka­
rena ada sesuatu yang telah dicapai, acap kali dengan sikap melu-
pakan ihwal yang berat dan pedih. Pemilihan umum, sebaliknya,
jauh dari lupa dan kegirangan berprestasi.
Tapi kita ingat bahwa ”pesta demokrasi” adalah metafora un-
tuk pemilihan umum yang diciptakan pada masa ”Orde Baru”—
sebuah masa ketika kompetisi kekuasaan telah dipermak jadi se-
perti parade ondel-ondel: suatu kemeriahan yang tak teramat
serius, dengan topeng-topeng besar yang itu-itu juga, yang ber-
jalan tapi tak bisa banyak gerak. Meskipun tetap menarik karena
ramai-ramai.
Dan kita tahu, dalam sebuah rezim yang mengutamakan ke-
amanan dan ketertiban, ramai-ramai itu diharapkan seperti re­
sep­si perkawinan kelas atas di Jakarta: tak ada humor, tak ada
spontanitas, yang ada hanyalah jumlah, formalitas, pameran
orang mampu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka dari metafora seperti itu kita sering lupa bahwa salah
satu momen penting dalam kehidupan demokrasi bukanlah ra-
mai-ramai, juga bukan macam tontonan topeng yang tak bervari-
asi. Pada saat pemilihan umum, justru yang sebaliknya yang ter-
jadi: kesendirian, mungkin kesunyian. Di depan kotak suara, saya

Catatan Pinggir 7 235


SAKSI

tak bisa meminta bantuan teman dan keluarga saya. Saya juga tak
bisa digantikan—meskipun akhirnya saya hanya akan diperlaku-
kan sebagai angka. Pada saat itu saya tak bisa untuk tak merdeka,
sebab memilih apa pun adalah laku kemerdekaan—juga ketika
memilih untuk tak memilih. Di ruang tertutup di TPS, yang ter-
dengar adalah diktum: ”Manusia dihukum untuk merdeka”.
Tapi ”merdeka” dalam diktum Sartre yang termasyhur itu­tak
menggambarkan seluruh situasi. Pada tahun 1950-an ucap­an itu
merupakan bagian dari keyakinan humanisme se­orang ”eksisten-
sialis”—keyakinan bahwa Tuhan telah mati, dan manusia berdiri
sendiri, tanpa hakikat atau esensi yang di­tentukan sebelum ia
ada. Dalam keadaan tanpa esensi itu, manusia­membentuk diri­
nya sendiri. Tanpa esensi, yang ada adalah eksistensi. Ia bagaikan
seorang anak yatim piatu yang tak putus-putusnya berikhtiar.
Ada yang heroik dalam citra itu—dengan sebersit gundah-gula-
na, l’angoisse.
Tapi l’angoisse dalam filsafat kemerdekaan Sartre tak membuat­
manusia menemui dunia, atau hal-ihwal di luar kesadaran­nya,
dengan takjub tapi rela. Ia malah menghimpun tekad, mengukur
kekuatan.
Mungkin tradisi humanisme yang membuat Sartre melihat­
hu­bungan manusia dengan dunia sebagai hubungan yang ber­
tolak­dari posisi ”subyek”. Dari posisi itu, seperti yang ada dalam
pemikiran Descartes, kehadiran ”yang-lain” di luar kesadaran
bersifat tentatif. Tatap-menatap antar-”subyek” pun me­rupakan
ke­tegangan: tatapan adalah mempersoalkan. Kita ingat apa yang
dikatakan seorang tokoh dalam lakon Sartre­yang terkenal, Pintu
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tertutup, yang dipentaskan Akademi Teater Nasional di Jakarta


pada 1956: ”Neraka adalah orang lain”.
Memang Sartre bisa menyambut kesadaran sebagai ”kami”,
ter­utama ketika ia mencoba menerima Marxisme dan bersua­ra
sebagai aktivis politik. Tapi ”kami”-nya tak lain dari ”aku” dalam

236 Catatan Pinggir 7


SAKSI

bentuk jamak. Ia tak mengenal ”kita”. Pada mula dan akhirnya


adalah subyek, yang kukuh biarpun gundah.
Dalam keadaan seperti itu, kukuh, manusia tampil terpisah
sebagai pusat semesta. Ia tak mengenal saat-saat terkesima oleh
Hidup, gentar, tersentuh, terpaut, akrab tapi hormat dalam Hi­
dup.­ Ia tak memandang dirinya, seperti dikatakan Heidegger
dalam kritiknya kepada Sartre, sebagai ”gembala Ada”, bukan
”penguasa Ada”, bukan sang Tiran yang berkenan memasang ke-
hidupan sebagai ”obyek”.
”Gembala” mungkin kiasan yang kurang tepat, sebab se­orang
gembala adalah juga seorang pengarah jalan, sosok yang lebih
”tahu”. Saya cenderung mengatakan manusia adalah saksi.
Sebab ia memang tak putus-putusnya memberikan kesaksi­an,
tentang Hidup, tentang Ada, dan mungkin tentang ke­­angkuh­an
atau kegundah-gulanaan diri dan sesamanya. Kesaksi­an bukan-
lah menyatakan sesuatu dengan bukti yang bisa di­verifi­kasi. Ke-
saksian bukanlah perkara ”pengetahuan”. Kesaksian, seperti di-
katakan Derrida, justru akan kehilangan­nilainya­sebagai kesak-
sian jika ia bertelekan pada bukti, atau bertolak dari harapan bah-
wa sang saksi tahu persis, benar mutlak. Yang terpenting dalam
hal seorang saksi ialah bahwa ia telah menyaksikan, dan ia me-
minta agar dipercaya. Ia bisa salah, tapi ia tak tergantikan. Seperti
tersirat dalam sebuah sajak Paul Celan:

Tak seorang pun


bersaksi untuk
sang saksi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bila ketiga baris itu (yang ditafsirkan oleh Derrida dengan


agak berputar-putar) mengimbau agar kita mengingat akan ga-
watnya posisi manusia sebagai saksi, dengan sajak itu kita akan
me­mandang kemerdekaan manusia secara lain. Ketika manusia

Catatan Pinggir 7 237


SAKSI

bertindak sebagai makhluk yang merdeka, ia bukan penakluk. Ia


tahu apa artinya dipercaya, dan ia tahu ia sebuah risiko.
Dalam posisi itulah ia berdiri di depan kotak suara, di kamar
TPS yang tertutup, sendirian. Ia merdeka, tapi ia memandang­
diri­nya sebagai seorang yang memberi mandat, dan dengan de­
mikian ia seorang saksi, kini dan nanti. Ia juga memandang diri
orang yang dipilihnya tak jauh dari dirinya: seorang yang akan
bertugas, dan bukan penakluk, tahu apa artinya dipercaya, dan
tahu bahwa dirinya bukanlah jaminan, tapi sebuah bahan harap­
an.

Tempo, 8 Agustus 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

238 Catatan Pinggir 7


PROKLAMASI

P
ADA suatu malam di bulan Januari 1976, di Irlandia­
Utara, sebuah minibus disetop seregu orang bertopeng
dan bersenjata. Para penumpangnya, buruh yang baru
pu­lang dari pabrik, tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan
terjadi. Di negeri itu berlangsung saling bunuh antara milisi­
Katolik dan milisi Protestan, dan pembantaian pun akhirnya
menghantam siapa saja—juga rombongan buruh itu.
Mereka dipaksa turun dari minibus. Di tepi jalan, satu demi
satu mereka dideretkan berdiri berjajar. Para algojo sudah siap, se-
napan otomatis telah dikokang.
Salah seorang dari orang bertopeng itu pun berkata, ”Siapa
yang Katolik, maju ke depan.”
Kebetulan para buruh itu semuanya Protestan, kecuali satu
orang. Dengan ketakutan, orang ini mengikuti perintah. Tapi di
malam gelap itu, sejenak, selintas, rekannya yang berdiri di se-
belahnya memegang tangannya, seperti memberinya isyarat agar
jangan, jangan ia menunjukkan diri, seakan-akan ia berkata,
”Kami semua tak akan mengkhianatimu, tak akan ada yang tahu
apa agamamu.”
Tapi orang itu sudah telanjur melangkah. Semua sudah meli-
hat. Langkah kecil itu, apa boleh buat, sudah sebuah proklamasi.
Ia pun maju menjemput Maut.
Tembakan terdengar. Tapi ia terkejut. Tak ada peluru yang
me­ngenainya. Ternyata yang jadi sasaran pembantaian adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

me­reka yang di sana, yang tak melangkah ke depan, yang bukan


Katolik, termasuk rekan yang tadi mencoba memberinya­isyarat,
”jangan, jangan kamu menunjukkan diri”. Peluru menghajar, tu-
buh-tubuh itu roboh, tewas. Pembunuh bertopeng itu ternyata
bukan milisi Protestan. Mereka gerilyawan Katolik.

Catatan Pinggir 7 239


PROKLAMASI

Insiden ini, yang benar-benar terjadi, dikisahkan oleh Seamus


Heaney, dalam pidatonya ketika sastrawan Irlandia itu menerima
Hadiah Nobel pada tahun 1995. Agaknya Heaney­ hendak ber-
tanya bagaimana ia, seorang penyair pada zaman ini, berhadapan
dengan sejarah, yang bagi Heaney sama dengan­”rumah jagal”.
Tapi apa yang bisa dilakukan seorang penyair? Jawabannya
pasti berhubungan dengan kata—predikat, penanda, identifika-
si. Dari pembantaian di musim dingin itu kita bisa bertanya, ke-
napa gerangan orang perlu memilih definisi diri.
Katakanlah orang dalam cerita ini bernama Samuel. Se­andai­
nya­ saat tak begitu genting, mungkin ia akan sejenak berpikir,
apa sebenarnya arti proklamasi langkah kecil itu: apa arti predikat­
”Katolik” itu bagi dirinya? Imannya yang kadang-kadang tak
jelas? Keterpautannya dengan satu kaum semata-mata karena ia
dilahirkan di kancah kaum itu? Ataukah ”Katolik” di situ hanya
tanda seleksi, dan dengan demikian artinya ”bukan Protestan”,
karena peluru menghendaki sasaran yang persis? Ataukah itu ber­
arti Samuel seseorang yang serta-merta ”tak bersalah”?
Tak seorang pun bisa tahu mengapa manusia tak pernah­bisa
bebas dari impuls untuk meringkas arti yang berbeda-­beda itu
jadi sebuah identitas yang satu dan kompak. Sebuah cerita miste­
rius dalam Perjanjian Lama berkisah tentang dua sosok yang ber­
kelahi habis-habisan sepanjang malam. Tak ada­ yang menang.
Adegan pun berakhir dengan memberikan­nama. ”Kaulah Isra-
el,” kata yang satu kepada yang lain, lawan­nya. Seakan-akan, de-
ngan memberikan nama, sebuah titik­final dicapai, dan satu ta-
hap baru mulai. Nama memang bisa menghenti­kan ketidakpas-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tian dan kekaburan yang me­run­dung­terus-menerus. Seperti hal-


nya KTP dan SIM, tanda res­mi­pencegah kekaburan.
Tapi setelah kekaburan hilang, belum tentu ada perdamaian.­­
Sebuah kata memang lahir dari kebersamaan: ketika para pem­
bu­nuh itu memakai kata ”Katolik”, mereka berasumsi­ bahwa

240 Catatan Pinggir 7


PROKLAMASI

yang dimaksudkan dengan predikat itu (dari kata praedicare,


”me­nyatakan secara publik”) sama artinya bagi orang ramai, ter-
masuk para buruh yang dideretkan di tepi jalan itu. Di ambang
pintu kebengisan sekalipun, tiap kata tetap mengundang keper-
cayaan bahwa ada makna yang bisa didukung bersama-sama.
Tapi kita tak mungkin lupa, ia juga mengandung kekerasan.
Ada sebuah sajak Heaney yang dua barisnya mengingatkan hal
itu:

Between my finger and my thumb


The squat pen rests; snug as a gun.

Pena yang pendek kekar itu bersandar santai antara telunjuk


dan jempol, seperti pistol....
Ya, kata tak hanya dituliskan rupanya, tapi juga bisa ditem-
bakkan. Tentu saja harus diingat bahwa sebuah pistol bisa mem-
bunuh tapi juga bisa memberikan aba-aba untuk berlomba. Kata
dan makna seakan-akan berkaitan dengan luka dan lari. Sebuah
kata yang memasangkan identitas adalah ibarat sebuah jerat. Ke-
tika seseorang disebut atau menyebut diri ”Katolik”, atau ”Mus-
lim”, atau ”Yahudi”, ia masuk ke dalam sebuah kategori. Ia seper­
ti­macan terperangkap. Mungkin ia masih bisa melepaskan diri.
Tapi tiap predikat selalu punya bekas luka, meskipun ia terus ber-
lari sampai hilang pedih perih. Di tepi jalan di Irlandia Utara itu,
Samuel bergerak dari mati ke hidup. Ia selamat, tapi ia mening-
galkan teman-temannya yang dibantai.
Tentu bisa dikatakan bahwa kata dipakai dengan hasrat untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

bicara ”benar”. Hari itu Samuel memang tak jadi bunglon untuk­
melindungi diri. Ia memilih jadi ”benar”: apa yang dikatakan
tentang dirinya cocok dengan dirinya.
Tapi bagaimana menguji kecocokan jika ”diri” itu hanya bisa
dihadirkan dalam bahasa? Bahasa selalu berlebihan tapi juga ter-

Catatan Pinggir 7 241


PROKLAMASI

lalu sedikit ”menangkap” pengalaman yang terus-menerus meng­


alir, berubah, ruwet, silih berganti. Meskipun­demikian, bahasa
tak lantas dibuang, sebab dengan itu—dengan­nama, predikat,
identitas—manusia bisa merapikan peng­alaman, dan tak kalang-
kabut.
Bisa kita bayangkan ketika kata ”Katolik” terdengar pada ma­
lam yang dingin itu: seperti vonis. Tiap vonis menghentikan pro­
ses, memberi batas, tertutup seperti tembok. Pada saat yang sama,
juga sebuah pemisah. ”Siapa yang Katolik, maju ke depan!”—
dan dengan memaklumkan identitas, Samuel pun tak bersama
lagi dengan rekan-rekannya, yang ingin me­lindungi­nya dan tak
dapat dilindunginya.

Tempo, 15 Agustus 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

242 Catatan Pinggir 7


MAHARAJA

A
DA sebuah dongeng Hans Christian Andersen yang se­
ring­ dikutip sepotong tapi kemudian dilupakan, ten-
tang seorang maharaja yang amat sibuk dengan satu cita-­
cita: berdandan bagus. Yang dipikirkannya hanya bagaimana
berkereta­ sepanjang jalan, memperlihatkan pakaian model ter­
akhir.­
Syahdan, dua orang penipu datang menawari sang Maharaja­
seperangkat busana yang lain dari yang lain: terbuat dari kain
yang ditenun dari serat ajaib, begitu halus, hingga hanya dapat di­
lihat oleh mereka yang pintar dan yang layak berkedudukan.
Baginda pun terkesima. Ia berpikir, ”Bila kukenakan pakai­an
seperti itu, aku akan tahu siapa saja bawahanku yang tak cocok
menjabat, dan akan dapat kuketahui mana yang pintar dan mana
yang dungu.”
Kedua penipu itu pun mendapat order. Dengan cekatan me­re­
ka memasang alat tenun, dengan giat mereka bekerja. Dana ber­
limpah, tapi tentu saja alat tenun di sanggar itu kosong,­dan ke­­
sibukan mereka cuma pura-pura.
Sang Maharaja sebetulnya ingin datang untuk melihat bagai­
mana rupa bahan yang sedang disiapkan itu. Tapi ia gentar. Ba­
gaimana kalau ternyata tekstil ajaib itu tak tampak di matanya?
Ia akan mengetahui dirinya bodoh dan bukan orang yang layak
bertakhta.
Maka dikirimnya perdana menterinya ke sanggar itu un­tuk­­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengecek, sambil menguji bagaimana sebenarnya mu­tu­­pejabat­


ini. Sang PM pun datang. Kedua penipu itu me­nyambut­nya, dan
dengan petah-lidah menjelaskan betapa cemerlangnya warna nila
di tepi sana dan betapa masih kurang rapinya tenunan di bagian
sini. Sang PM tentu saja tak melihat­apa-apa, tapi ia menyatakan

Catatan Pinggir 7 243


MAHARAJA

kagum. Ia tak mau ketahuan bahwa­dirinya bodoh.


Hal yang sama terjadi tiap kali Maharaja mengirim utusan.
Syahdan, akhirnya Baginda sendiri bertamu ke sanggar itu.
Ten­tu saja ia tak melihat apa-apa. Tapi ia bimbang: jangan-­jangan­
hanya ia sendiri yang tak bisa menikmati kain yang konon­indah
tersebut. Maka, seperti yang lain-lain, ia tak mau mengaku.
Akhirnya, kabar tersiar ke seluruh negeri tentang kain yang
luar biasa itu. Baginda pun bersiap berpawai, dan kedua penipu­
itu dengan khidmat memasangkan busana yang tak ada itu ke tu-
buh Maharaja.
Dengan semarak parade berlangsung. Sang Maharaja telan-
jang bulat, tentu, tapi dengan anggunnya tegak di atas kereta, dan
seluruh khalayak kagum, ”Alangkah cemerlangnya busana beliau
kali ini!” Mereka bertepuk. Hanya seorang anak kecil yang de-
ngan polos mengatakan, ”Hai, Baginda telanjang!”
Di seluruh dunia orang mengutip adegan ini untuk jadi alego-
ri tentang kekuasaan yang memperdaya semua orang dan tentang
kebenaran yang hanya bisa diutarakan oleh yang tak berdosa. Ta­
pi sebenarnya Andersen, seorang pendongeng ulung, membiar-
kan kisahnya tak selesai.
Ia memang bercerita bahwa, setelah mendengar ujar si anak
ke­cil, orang ramai pun sadar. Mereka berteriak, ”Baginda­telan-
jang!” Sang Raja dan para pembesarnya mendengar. Tapi ia de-
ngan cepat memutuskan agar pura-pura besar itu tak batal.­Pawai
terus. Baginda tetap tegak, anggun....
Di sini Andersen berhenti, dan kita bisa melanjutkan. Mung-
kin Baginda berpikir: jika ia terus bersikap seakan-akan ia berbu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sana, jangan-jangan mereka yang berteriak itu yang akan jadi


ragu akan benarnya penglihatan mereka. Sebab­apakah­kebenar­
an, sebenarnya? Andersen menuliskan dongeng­ ini pada tahun
1837. Abad lain yang menjawab, juga abad ini. Tapi mulanya
adalah tahun 1930.

244 Catatan Pinggir 7


MAHARAJA

Waktu itu rakyat Jerman mendukung Nazi. Goebels, sang


menteri propaganda, menyimpulkan bahwa jika dusta diulang-
ulang, ia akan jadi kebenaran. Pada 1936-38 Stalin menghukum
mati kawan-kawan separtai. Mereka tak bersalah, tapi toh mere­
ka siap mengaku bahwa tuduhan Stalin tentang kejahatan mere­
ka ”benar”.
Jagat pemikiran pun guncang. Orang akhirnya menyimpul­
kan, sebuah tesis dianggap benar karena hubungan kepenting­an
dan kekuasaan. Sampai hari ini: Presiden Bush meng­ubah­alasan­
nya menduduki Irak dan jutaan orang Amerika meng­­anggap itu
benar, meskipun alasan semula—Saddam menyiap­kan senjata
nuklir—terbukti salah dan Bush tampak telanjang.
Dongeng Andersen jadi cerita masa kini, karena di sana kekua-
saan tak hanya bermula dari laras bedil, tapi dari kata. Para pe-
nipu telah menggunakan kata dengan efektif, seperti iklan televi-
si yang disusun tepat dan disiarkan luas berulang kali.
Tapi tentu saja kata-kata tak bekerja sepihak. Seandainya sang
Raja percaya diri—atau percaya akan hubungan baik antara­mata
dan otaknya—kata yang ampuh sekalipun akan boyak, tan­pa­
dampak. Namun Andersen datang dari sebuah zaman ketika­ra-
sionalisme sedang menggugat tubuh, termasuk mata, kuping,
dan kemaluan, hingga sang pendongeng terusik. Maka dicemo­
ohnya mereka yang meragukan kemampuan badan dan intuisi
mereka sendiri untuk menangkap kebenaran.
Mungkin karena tak ada lagi kebenaran yang pasti. Dalam
do­ngeng itu, penipu, perdana menteri, raja, orang ramai, saling­
meneguhkan bahwa kebenaran akhirnya keputusan tentang ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyataan. Keputusan itulah yang membentuk kenyataan, yang


membuat yang tak ada menjadi ada. Dengan kata lain: merekalah
sebuah subyek yang penuh dengan kehendak meng­ubah dunia.
Sampai akhirnya ada suara si bocah.
Si bocah adalah pra-subyek: ia belum jadi pusat yang me­

Catatan Pinggir 7 245


MAHARAJA

ngukuh­kan kontrol dirinya atas dunia—ia membiarkan dunia


yang dilihatnya di tengah jalan tanpa dibingkai tegar. Ia biarkan
dunia yang dilihatnya seakan-akan menari, berbeda tiap kali.
Anak adalah keterbukaan. Dalam Le Petit Prince karya An-
toine de Saint-Exupéry, hanya si anak yang dapat melihat sebuah
gambar siluet bukan gambar sebuah topi, melainkan gajah­yang
ditelan ular sawah. Bagi mereka, kebenaran bukanlah hasil men-
cocokkan dunia dengan akal dalam diri, bukan adaequatio intel­
lectus ad rem. Kebenaran adalah sebuah peristiwa yang sederhana
tapi menakjubkan: ”Hai, Baginda telanjang.” Si bocah mungkin
melihat itu mengasyikkan. Ia belum ingin mengubah dunia.

Tempo, 22 Agustus 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

246 Catatan Pinggir 7


KYNISME

S
EPASANG sosok pemimpin. Sebuah lagu nasional. Latar­­
yang molek, anak-anak yang sehat, bendera yang ber­ki­
bar.... Iklan, apalagi iklan untuk kampanye presiden, ada­
lah cerita yang tahu bahwa yang tampil hanya impian, dan sebab
itu tak usah dipercaya—tapi sebenarnya juga sebuah mesin pem-
buat kepercayaan.
Paradoks iklan mirip slinder doa dari Tibet. Benda ini bisa
ber­putar seperti gasing di atas tangkai, dan dengan itu kita bisa
berdoa.
Begini caranya. Mula-mula tuliskan doa Anda pada secarik
kertas. Gulung kertas itu, lalu letakkanlah di dalam slinder itu,­
kemudian putar dia. Anda kemudian boleh melamun tentang apa
saja, misalnya tentang Richard Gere, tapi pada saat itu Anda ber-
doa, karena di slinder itu doa Anda telah berjalan....
Tentu saja Anda tahu, putaran kertas itu bukan menuju ke arah
Sang Pengabul. Pikiran Anda tak mempercayai bahwa doa bisa
dijalankan oleh sebuah alat. Tapi laku Anda mempercayainya.­
Bukan, Anda bukan bingung atau terbelah. Tak ada yang ganjil­
di sini.
Sebab kita melakukannya sehari-hari: dari membeli sampo­
sampai dengan mengirim anak ke sekolah, dari naik haji sampai­
dengan menggunakan jasa bank, dari membuat pesta­ per­ka­
winan sampai dengan memilih wakil rakyat di DPR. Siapa bilang
akal kita, juga hati kita, yakin bahwa pesta kawin menyenang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan orang, sekolah akan membuat anak bertambah pintar, dan di


DPR keinginan rakyat sama dengan keinginan wakilnya?
Kita hidup dalam zaman yang dikuasai oleh ”Akal Yang Si-
nis” (der Zynischen Vernunft), kata Peter Sloterdijk, dengan­agak
dramatik. Pemikir Jerman mutakhir ini mencoba me­nunjukkan

Catatan Pinggir 7 247


KYNISME

bahwa ungkapan Marx atas ideologi kini sudah tak berlaku lagi.
Ideologi, menurut Marx, ialah ketika ”orang tak tahu itu, tapi
orang toh melakukan itu.” Ideologi adalah ”kesadar­an palsu”.
Tapi itu pada abad ke-19. Pada zaman kini, dengan iklan dan re-
torika, sebuah kesadaran palsu yang berbeda pun beredar: orang
datang ke kantor polisi melapor bahwa­ ia kecuri­an, sementara
tahu betul itu tak akan menyebabkan si pencuri tertangkap dan
barang yang hilang didapatkan kembali. Dengan singkat, ”mere­
ka tahu betul akan hal itu, tapi mereka mengerjakannya juga”.
Dan itulah ”sinisme”.
Maka bagi Sloterdijk, kritik kaum Marxis terhadap ideologi­
tak mempan lagi. Kritik Marxis bermaksud membuka kedok,
misalnya bahwa kepercayaan agama atau cita-cita demokrasi
politik sebetulnya hanyalah hasil kepentingan sebuah kelas. Tapi
pada masa pasca-Marxis, topeng itu sudah diketahui sebagai to-
peng. Mau diapakan? Akal yang sinis adalah sebuah ”kesadaran
palsu” tapi yang ”tercerahkan” (aufgeklärt). Dengan kata lain, ke-
palsuan itu kita akui. Kita tahu yang disebut ”keadilan” dan ”ke-
benaran” itu sebenarnya sesuatu yang menyembunyikan kepen­
ting­an mereka yang beruang atau berkuasa—tapi seakan-akan
secara otomatis orang tetap menghadap bapak hakim, menyewa
pengacara, dan mau menanti berhari-hari.
Analisa Sloterdijk dapat mengena untuk menggambarkan
pro­ses peradilan di Indonesia kini, tapi ia sebetulnya berbicara­
tentang mereka yang hidup di negeri yang rapi dan mapan. Yang
menarik: kerapian dan kemapanan itu terkait dengan rasa lelah,
ennui. Sebab masyarakat tak kaget lagi dengan politik, ketika niat
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan janji akan perbaikan sudah jadi rutin, dan kekecewaan telah
jadi akrab.
Dengan kata lain ketika demokrasi liberal sudah mirip, dalam
kiasan Baudrillard, ”menopause”. Di masyarakat yang masih la­
par akan harap seperti Indonesia, yang masih hangat dengan ke-

248 Catatan Pinggir 7


KYNISME

percayaan bahwa zaman baru akan datang dan lembaga yang


mandek akan disegarkan, tersirat sebuah sikap yang naif tapi
membuat gelora hidup. Lama-kelamaan bisakah kenaifan itu
bertahan?
Jika kita saksikan ennui yang digambarkan Sloterdijk,­jawab­­
nya adalah ”tidak”. Kesadaran palsu, tapi yang tercerahkan,­akan
datang melalui informasi dan pendidikan—sebuah ”pendidik­
an dalam disilusi”. Orang tahu bahwa akhir­nya, seperti disebut
dalam Opera Tiga Gobang Bertolt Brecht, tak banyak bedanya an-
tara ”merampok bank” dan ”membuka usaha bank”. Orang akan
tahu bagaimana sebenarnya hidup diputar-putar, tapi tak tahu
bagaimana menampiknya.
Hanya hasrat untuk hidup terus yang mendorong orang buat
menerima hubungan dan lembaga yang sudah ada, hal-hal yang
sebetulnya nilainya meragukan. Dengan kata lain, ilusi diperlu-
kan, dan ”kebenaran” mungkin hanya kesepakat­an sosial dalam
berkhayal. Lihatlah mata uang. Kita tahu kertas itu dengan gam-
pang dapat kita robek dan bakar, tapi kita menerimanya sebagai
sesuatu yang senilai dengan jerih payah kita. Jerih payah kita pun
sudah disunglap, menjadi sesuatu yang bukan lagi pikiran dan
keringat, melainkan sesuatu yang nyaris abstrak, dapat diukur
dan dipertukarkan—misalnya dengan sekotak cokelat.
Tentu saja, ilusi tak dapat selama-lamanya mencengkeram,
betapapun kita membutuhkannya. Tak jarang orang akan mela­
wannya dan menertawainya. Dalam perlawan­an itu, dalam ke­ta­
wa, dan dalam sikap menampik, kita—kata Sloterdijk—memi­lih
Kynismus, bukan Zynismus. Dengan ”kynisme”, yang tecermin­
http://facebook.com/indonesiapustaka

da­lam cemooh di tepi-tepi jalan atau satire di pentas kabaret dan


dagelan, orang seakan-akan mencubit­ diri­nya sendiri, untuk
meng­ingatkan bahwa ada yang tertindas sebenarnya dalam ”pen­
di­dikan dalam disilusi” selama ini.
Namun, saya ragu ”kynisme” akan membebaskan kita.

Catatan Pinggir 7 249


KYNISME

Mung­­­­kin ia hanya candu bagi rakyat. Ketawa itu sehat, tapi juga­
bi­­sa congkak. Bukankah dengan mengatakan, seraya­ ketawa­
meng­­­ejek, misalnya bahwa ”elite hanya mengibuli rak­yat”, kita
sebe­nar­nya cuma mau kelihatan lebih pintar dari rakyat?
Maka agaknya diperlukan sesuatu yang lain, mungkin pe­
ngorban­an diri, agar manusia bisa menemukan keluhuran kem-
bali. Dengan itu orang akan menyaksikan sesuatu yang mengatasi­
yang rutin, buntu, dan tak sinis. Kita ingat, sebelum momen yang
agung itu digantikan mesin kepercayaan, itulah yang terjadi, bu-
kan?

Tempo, 29 Agustus 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

250 Catatan Pinggir 7


FANTASI

D
I tiap masyarakat yang ramai, selalu ada mereka yang
tak tampak. ”Saya tak tampak,” tulis Ralph Ellison,
”hanya karena orang tak mau melihat saya.”
Ia berbicara sebagai orang hitam di Amerika pada tahun
1950-an. Novelnya, Invisible Man, menggambarkan masyara-
kat Amerika yang memisahkan orang hitam dari orang putih­
dari tempat yang paling eksklusif, misalnya klub pencinta bridge,
hingga di tempat yang paling umum, misalnya sekolah, ruang
tunggu, bus kota.
Jika masa lalu itu direnungkan kini, mungkin kita akan heran,
kaget, dan ngeri, mengetahui bahwa manusia pernah bisa men-
jalankan kebijakan yang sekeji itu. Dan itu terjadi di sebuah de-
mokrasi, belum setengah abad yang lalu, setelah di­ketahui­beta-
pa mengerikannya di Jerman, di bawah Nazi, ribu­an orang, juga
anak kecil, harus ”tak tampak” lagi, dan sebab itu harus masuk
ka­mar gas, semata-mata lantaran mereka terbilang manusia yang
berbeda, yakni Yahudi. Kenapa hal itu mungkin?
Mungkin karena ketakutan, mungkin kecemburuan, mung­
kin kecongkakan—tapi mungkin sesuatu yang lain: karena fan-
tasi, kata Slavoj Zizek mengingatkan. Pemikir dari Slovenia ini
saya kira layak didengar, sebab ia menjelaskan rasisme dari sebab
yang lebih mendasar ketimbang sekadar soal pembagian kue eko-
nomi dan politik. Zizek mengikuti Lacan—ia selalu mengikuti
guru psikoanalisis Prancis itu—dan ia menghadapkan kita pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

diri kita sendiri yang merasa tak bersalah.


Fantasi lahir karena kita kehilangan. Kita kehilangan karena­
kita hidup, mengenal dunia, menentukan pilihan, hanya­melalui
bahasa, yang menetapkan nama, mengidentifikasi, membuat ka­
te­gori, hukum, norma, ukuran—singkatnya me­negak­kan se-

Catatan Pinggir 7 251


FANTASI

buah tata simbolik. Tapi ada yang tak sepenuhnya bisa dibaha-
sakan, ada yang tak tertangkap dalam tata simbolik. ”Kata-kata
gagal,” kata Lacan. Seraya berbahasa kita tahu bahwa bahasa ha­
nya­memenggal ”The Real”, kata Zizek.
Fantasi terbit untuk menebus trauma dari pemenggalan itu. Ia
ingin memulihkan keutuhan. Kita pun memerlukannya: ia me­
nopang diriku dalam memahami dunia yang riuh-rendah dan
begitu luas dan dalam. Galileo meyakinkan bahwa bumi bukan­
lah pusat alam semesta, tapi orang-orang salih di dusun Italia
mungkin membutuhkan keyakinan yang datang dari Kitab Suci
bahwa tidaklah demikian halnya.
Fantasi itu dapat diibaratkan sebagai sebuah jendela, dari
mana kita meninjau tempat lain, orang lain, seperti tingkap di
apartemen si fotograf cacat dalam film Hitchcock Rear Window.
Di jendela itu kita bisa memilih posisi. Salah satu posisi adalah
menafikan yang ada di sana dan mengubahnya jadi tak tampak.
Tapi kenapa dengan fantasi itu, sebuah posisi dipilih dan se-
buah masyarakat menolak untuk melihat salah satu unsurnya
sendiri? Saya kira karena kita tahu bahwa diri kita adalah subyek­
yang sebenarnya tak meyakinkan. Kita memandang diri melalui
cermin, tapi kita harus berasumsi bahwa cermin itu ”benar”. Tapi
pernahkah kita pasti? Maka dengan bahasa-lah, dengan nama,
kita mengukuhkan diri. Kita menyebut diri ”pribumi” atau
”Tionghoa”, tapi kita tak akan pernah yakin apa sebenarnya arti
kata itu. Untuk mendapatkan makna kata ”kucing” kita membu-
tuhkan ”yang bukan kucing”.
Mungkin sebab itu, kata Zizek, fantasi muncul dalam sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

kontradiksi. Di satu pihak, ia memenuhi perannya untuk me­


nebus sesuatu yang hilang ketika ia, dengan tata simbolik, hen-
dak memahami yang nyata. Maka orang pun berkhayal tentang
sebuah masyarakat yang utuh, selaras, serasi, rapi—seperti fan-
tasi Orde Baru tentang ”jati diri Indonesia” dan fantasi Nazi ten-

252 Catatan Pinggir 7


FANTASI

tang Volksgemeinschaft. Di lain pihak, orang tahu bahwa kenyata-


an sosial mustahil untuk bisa seindah itu. Maka sebuah fantasi
lain muncul: ada orang lain yang datang mengganggu.
Di Amerika Serikat, orang putih ingin orang hitam tak tam-
pak mungkin karena orang hitam, yang miskin, yang dekil dan
dianiaya, mengganggu hati nurani orang putih yang merasa ber-
salah. Di Arab Saudi, perempuan tak diizinkan menyetir­mobil
dan di muka umum harus mengenakan pakaian hitam yang ter-
tutup brukut, karena lelaki, yang jadi raja, polisi, dan ulama, ta-
kut dengan pikiran erotik di kepala sendiri—sama halnya bila ba­
pak pengkhotbah cemas melihat adegan ciuman di sebuah film.
Ada pelbagai cara untuk membuat orang lain ”tak tampak”,
antara lain mula-mula dengan memasukkannya ke dalam kotak
atau kandang, diberi label, dan dikunci pintunya. Di Malay­sia,
Singapura, dan Indonesia, program pengkotakan itu mengambil
bentuk yang beragam. Di Indonesia, huruf Cina dilarang Orde
Baru, begitu juga barongsai dan wayang po-te-hi. Di Malaysia
dan Singapura, tak terasa ada yang dibuat ”tak tampak”. Tapi ko-
tak itu dikukuhkan. Seakan-akan tampak sebagai ”saling meng-
hormati” perbedaan, yang sebenarnya terjadi adalah upaya un-
tuk saling menutup pintu—sebuah wujud, jika kita pakai analisis
Zizek, ”rasisme postmodern”.
Tapi bagaimana membuat yang tak tampak menjadi kelihatan,­
dan percakapan dimulai? Zizek menyebut peran ”negara”,­karena­
baginya kelompok di luar negara tak jarang hanya melanjutkan
rasisme, terkadang dengan kekerasan. Tapi ”negara” tak serta-
merta bisa dianggap netral dari pengaruh di luarnya. Mengha-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dapi kritik semacam ini, Zizek memang tak banyak menawarkan


pemecahan soal. Salah satu sarannya adalah ”melintas-tembus
fantasi”, ”traverse the fantasy”, sampai akhirnya mengetahui bah-
wa ”Cina”, ”Melayu”, ”Arab” adalah sosok fantasi belaka. Seperti
kata Lacan, ”kata-kata gagal.” Tempo, 5 September 2004

Catatan Pinggir 7 253


http://facebook.com/indonesiapustaka

254
Catatan Pinggir 7
BESLAN

M
AKIN lama saya makin tak tahu apa artinya ”menge-
tahui”. Terutama sekarang. Seakan-akan saya tengah
berlari di sebuah maraton, tapi bukan berlomba de-
ngan pelari lain, melainkan dengan kecepatan itu sendiri.
Lihat, saya bisa memperoleh informasi beberapa menit saja
setelah sebuah peristiwa terjadi, seperti kali ini, ketika sekitar 250
orang tewas kena ledakan dan tembakan di sebuah kota di Rusia
Selatan itu—ya, nun di sebuah kota yang tak pernah saya dengar­
sebelumnya, di sebuah wilayah yang disebut Republik Ossetia
Utara, bagian dari Rusia, sebuah negeri yang begitu jauh tapi ti-
ba-tiba memergoki kita dengan kengerian, kebuasan, setelah se-
jumlah orang militan yang bersenjata memasuki sekolah itu, me-
nyandera anak-anak, guru, orang tua, memasang ranjau....
Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan? Begitu putus asa­­
kah mereka hingga mereka bersedia mati dengan bom meledak di
tubuh mereka, seraya menantang serbuan pasukan komando Ru-
sia, seraya membunuhi anak-anak, ya, anak-anak?
Kecepatan telah mengejar saya—satelit berputar, radio beker-
ja, televisi bekerja, Internet bekerja—dan sebab itu jarak jadi
jauh. Paradoks ini juga paradoks tentang ”tahu”. Duduk di depan
komputer, saya tahu bahwa pada akhirnya banyak hal yang tak
saya ketahui. Kecepatan bukannya menciutkan jarak, melainkan
justru memelarkan jarak.
”Jarak” itu bukan jarak geografis, melainkan jarak antara ba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gian dalam diri saya yang berisi data—dengan segala detail yang
mungkin—dan bagian dalam diri saya yang mengolah data itu.
Apa sebenarnya yang menyebabkan orang Chechnya mau mem-
bunuh siapa saja dan di mana saja? Bagian diri saya yang menyim-
pan data—dengan bantuan Google, tentu—akan mengeluarkan

Catatan Pinggir 7 255


BESLAN

fakta geografis, sejarah, ekonomi, dan entah apa lagi, dan akan
me­nyebut nama Shamil Basayev, atau bahkan ”Magomed ’Ma-
gas’ Yevloyev”, dan seterusnya. Tapi ada jurang yang menganga
antara semua itu dan apa yang dapat saya ketahui tentang orang-
orang di Beslan itu, yang siap menyiapkan ranjau untuk meledak­
kan ratusan anak-anak.
Hak menentukan nasib sendiri orang Chechnya yang di­
tampik­Kremlin? Semangat Islam ala Al-Qaidah? Tiba-tiba saya
sadar bahwa ”Chechnya”, ”Islam”, dan seterusnya begitu membi­
ngung­kan: ”Chechnya” berarti anti-Rusia bagi Shamil Basayev,
tapi mungkin tidak bagi Mufti Akhmad Kadirov. Betapa sulitnya
identitas distabilkan untuk sebuah kelompok manusia, bahkan
untuk diri sendiri pun.
Dan betapa mudahnya kata berbunyi. Akhirnya saya hanya­
ta­hu tentang dunia melalui kata (”Chechnya”, ”Rusia”, ”Islam”,­
”teroris”) yang tak saya buat sendiri, melainkan ditentukan oleh
orang lain, disepakati, entah di mana dan bagaimana. Ada se­
orang filosof yang mengatakan kita hidup dalam ”penjara baha­
sa”, dan jangan-jangan dia benar. Kini saya merasa­kannya: saya
tak pernah dapat keluar dari kata ”Chechnya” sebagai penanda­
negeri di gigir utara Pegunungan Kaukasus itu, dan kalaupun
saya mengganti penanda itu dengan ”Belgedes”, saya tetap tahu
bahwa yang ditandai dengan kata itu adalah ”kenyataan” yang
akhirnya juga hanya bisa dimengerti dalam kerangka bahasa:
”Belgedes terletak di antara republik X dan republik Z, pendu­
duknya beragama Islam”—semua itu batasan simbolis yang di-
amini ramai-ramai.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Meskipun simbol itu jangan-jangan ibarat kotak—dan ja­


ngan-­­­jangan tak sama isinya. Wittgenstein punya catatan yang
terkenal tentang ini, dan biarlah saya sadur seenak saya: ”Ka­ta­
kan­lah tiap orang punya sebuah kotak dengan sesuatu di dalam-
nya: kita sebut sesuatu itu ”kupu-kupu”. Tapi sebetulnya tak ada

256 Catatan Pinggir 7


BESLAN

orang yang dapat mengecek apa isi kotak orang lain. Tiap orang
yang bilang ia tahu apa itu ”kupu-kupu” mengata­kannya dengan
melihat kupu-kupunya sendiri. Bagaimana kalau ada yang berbe-
da? Bagaimana kalau satu-satunya isi dalam kotak itu berubah?”
Ada pepatah Melayu yang terkenal, yang berbunyi, ”Kepala
sama berbulu, pendapat berlainan”, dan kita juga bisa membuat­
pepatah baru, ”Kata sama-sama berbunyi, tapi maknanya....”­­
Sa­ya tak ingin meneruskan pepatah baru ini. Sebab ada sesuatu
dalam bahasa yang membuatnya terdorong mengklaim bahwa
pada akhirnya ”makna” itu berlaku universal, atau setidaknya
mapan, dan bahwa sebuah kata mewakili sebuah ”kenyataan”.
Kalau tidak, bukankah manusia akan hidup­dalam kekacauan?
Tapi saya tak pernah bisa membayangkan, bagaimana kita
berbicara tanpa kekacauan kini, ketika di Beslan anak-anak dile­
takkan di tengah ajang pembantaian. Saya ingat cerita tentang
seorang perempuan tua di musim yang sangat dingin di Lenin-
grad, berdiri dalam antrean yang amat panjang untuk menjenguk
anaknya di penjara. Dengan parasnya yang sudah membiru itu ia
berbisik kepada penyair Anna Akhmatova yang ada di dekatnya:
”Dapatkah kau lukiskan ini?” Sang penyair diam.
Bukankah itu juga yang dimaksudkan Adorno dengan sedikit
dramatis, bahwa setelah Auschwitz—tempat ribuan anak-anak
juga dibunuh oleh Hitler—tak ada lagi puisi bisa ditulis?
Kepedihan, juga kebuasan, merasuk jauh di dalam diri kita
dari masa ke masa. Saya tak tahu bagaimana semua itu bisa di-
rumuskan ke dalam sesuatu yang stabil dan sama di mana saja.
Tapi Internet bekerja terus, radio bekerja terus, juga TV, dan ber­
http://facebook.com/indonesiapustaka

asumsi bahwa dunia perlu tahu tentang 200 sekian yang mati di
Beslan, 12 orang Nepal yang dibunuh di Irak, medali emas untuk
Taufik, harga minyak dan kurs dolar, iklan mobil bekas, daftar­
dokter jaga, ”terorisme”, perjuangan untuk ”keadilan”.... Kata
pun bergegas, saya terengah-engah, dan kian sulit untuk tahu apa

Catatan Pinggir 7 257


BESLAN

artinya ”mengetahui”—kecuali dengan bahasa dan posisi kita,


dengan hasrat dan ketakutan kita.
Maka ada yang bilang, mari duduk diam, dan ikhlas bah-
wa kita tak akan tahu. Tapi sampai kapan? Tidakkah ada yang
murung di sini—terutama ketika ada orang yang bersedia mem-
bunuh anak-anak agar kehadiran dan niatnya diketahui dunia.

Tempo, 12 September 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

258 Catatan Pinggir 7


JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004

—sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati,
yang ditinggalkan ayah mereka.

K
ELAK, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin­
baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh
seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu
meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum
mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi
muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di se-
buah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh,
dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam
doa: ”Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini,
biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menang-
kap gelap.”
Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi
ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam ada­
lah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak.
Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.
Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak
membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia
melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di
dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk.
Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Ke-
kerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Ke­serakah­an,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan yang keempat Kebencian.


Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia
melawan.
Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini,
Nak, tak semua orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit

Catatan Pinggir 7 259


JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004

yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil­berkata,


”Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka,­hidup­
toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.” Dan seraya berujar
demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka
yang baik.
Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan
mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan da­
tang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terka­
dang tandanya adalah rumah besar, mobil menak­jubkan, pang­
kat dan kemasyhuran yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat
kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan yang berki-
bar—yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang le-
mah.
Ya, ayah kalian melawan semua itu—Empat Penunggang Ku­
da yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika­hasrat­
itu mendekat ke dalam dirinya sendiri—dengan jihad yang sebe­
narnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak me­
nge­nakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye se­
orang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah­ orang ramai,
dan­­bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko ke­ce­
lakaan, kesewenang-wenangan kendaraan besar, dan ketidakpas-
tian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin karena ia tahu
bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fan-
tasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya
se­tara, dekat dengan debu.
Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu.
Ada yang terasa kosong di sana. Jika kami menangis, itu karena
http://facebook.com/indonesiapustaka

tiba-­tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang tanggal.


Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang se-
buah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua bisa
me­nyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang
luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidak­pastian.

260 Catatan Pinggir 7


JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004

Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang


tak kuat dan dianiaya; ia tahu benar tentang ketidakpastian itu.
Apa yang disebut sebagai ”hak asasi manusia” baginya penting
karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa dipu-
tuskan saat ini.
Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan
meng­gedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata,­
dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan
kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan
untuk menyanjung atau menista, label dipasang untuk mengon-
trol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke dalam go­
longan ”A”, ”B”, dan ”C” dan menjatuhkan hukuman. Juga mere­
ka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar meringkas se-
seorang ke dalam arti ”kafir”, ”beriman”, ”murtad”, ”Islamis”,
”fundamentalis”, ”kontra-revolusioner”, ”Orde Baru”, ”ekstrem
kiri”—dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun
yang berbeda dari dalam diri manusia.
Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidak­
adilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab
ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegang­an, dan
ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berse-
ru, ”Jangan kita jatuh ke dalam kelam!”
Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin kare-
na tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi pengingat betapa ting­
gi nilai seorang yang baik.
Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva,
adalah Munir, ayahmu. Kemarin seorang teman berkata, jika Tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

han Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang pasti,


ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.
Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke­
mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit,­
berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberi-

Catatan Pinggir 7 261


JAKARTA, 10 SEPTEMBER 2004

kannya sesuatu yang paling baik dari dirinya—juga nyawanya—


kepada mereka yang lemah, yang dihinakan, yang ketakutan,
yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang terbatas, karena ia
ingin mereka berbahagia.
Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini
tetap bertahan buat kalian: ayahmu, syuhada itu, telah memberi-
kan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berka­bung,
karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa mengganti­
kannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti ka-
lian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.

Tempo, 19 September 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

262 Catatan Pinggir 7


PENGEBOM

P
ADA tubuh yang berkeping-keping setelah bom mele-
dak, pada kepala yang copot berdarah di tepi jalan itu,
apa sebenarnya yang hendak diungkapkan? Pesan apa?
Mungkin protes, mungkin keinginan untuk unjuk kemampuan.
Tapi makin lama makin terasa bahwa terorisme adalah sebuah
langkah bengis di jalan yang tak ada ujung. Semenjak 900 ta-
hun lamanya cara kekerasan itu dipilih sebagai metode perjuang­
an politik, tapi tiap kali ia tak maju jauh dari sana. Kaum Hash-
shâshîn memulainya di bukit-bukit Iran di Alamut di abad ke-11,
kaum anarkis mencobanya di Eropa di akhir abad ke-19, tapi apa
hasilnya?
Pertanyaan itu cepat atau lambat akan merundung mereka­
yang meledakkan bom di Bali dan Jakarta. Bagaimanakah mere­
ka menilai keberhasilan dan kegagalan kerja mereka? Menghi-
tung jumlah ”musuh” yang mati? Ketakutan yang men­­cekam?
Tapi ketakutan yang bagaimana? Ketakutan siapa?­Untuk apa?
Dari balik asap dan destruksi hari itu, satu hal bisa di­sim­pul­
kan: mereka tak bisa disamakan dengan para pengebom bu­nuh
di­ri Palestina. Para pelaku teror di wilayah yang kini diperintah
Ariel Sharon itu membunuhi warga negara Israel, dengan perhi-
tungan yang buas dengan dasar dendam dan aritmetika: makin
berkurang orang Israel, yang bisa dianggap sebagai calon prajurit
musuh dan pendukung sebuah kekuasaan yang tak adil, makin
baik bagi orang Palestina. Akhirnya jumlah-lah yang akan me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nentukan dalam keadaan desak-mendesak di tanah yang dipere-


butkan itu. Dengan kata lain, terorisme di Palestina masih meru-
pakan satu variasi lain dari tema yang dulu: perjuangan pembe-
basan nasional.
Ikhtiar menegakkan negara sendiri itu berawal empat­ dasa­

Catatan Pinggir 7 263


PENGEBOM

warsa yang lalu. Tapi si Palestina adalah tinju yang lemah,­dan si


Israel, dengan bantuan AS, tinju yang jauh lebih kuat. Dalam ke-
adaan asimetri itulah terorisme dipilih sebagai metode—mem-
bunuh dan mencederai siapa saja, juga orang yang tak bersalah,
agar efeknya meluas dan tujuan politik tercapai.
Metode itu, yang dimulai pada 1968, ditinggalkan Front Rak­
yat Pembebasan Palestina empat tahun kemudian karena­tak ada
hasilnya. Bila siasat itu kini diteruskan dengan cara yang lebih
me­ngerikan oleh Hamas, dasarnya tak berubah: seperti IRA di
Irlandia yang meledakkan bom di pelbagai tempat umum di Ing-
gris di tahun 1970-an, seperti yang dilakukan gerilyawan Chech-
nya hari-hari ini di bawah kekuasaan Rusia, terorisme itu tetap se-
buah laku politik, meskipun dengan cara yang amat brutal.
Laku politik bukanlah ibadat. Di sinilah terorisme ala Hamas­
berbeda coraknya dengan terorisme ala Imam Sa­mudra.­Para pe­
ngebom di Bali dan Jakarta memperlakukan kekerasan sebagai
penyucian. Teriakannya keras menghujat ”Amerika”, tapi kata
”Amerika” itu tak mengacu ke sebuah bangun­an kekuasaan di
su­atu ruang dan waktu. Kata itu telah jadi simbol sesuatu yang
dekat dengan Roh Jahat. Perang itu jihad semesta. Dalam pergu-
latan kosmis ini kemenangan tak ditandai oleh lahirnya sebuah
realitas politik baru yang menggantikan realitas politik lama.
Pergulatan itu takdis. Kemenangan ditandai mati syahid.
Artinya, aksi teror dilakukan dengan asumsi bahwa sang te­
ror­is­ akan gagal di dunia. Terornya tak dimaksudkan untuk­
meng­­ubah keadaan asimetri dalam besarnya kekuatan dan pe­
nga­ruh. Bahkan bom-bom yang meledak jauh dari pusat kekua-
http://facebook.com/indonesiapustaka

saan sang musuh—seakan-akan tembakan dari jarak yang tak bi­


sa menjangkau—dapat dilihat sebagai sebuah pe­negas­an atas ke­
tidakseimbangan yang berlaku: sang teroris akan tampak ga­gah­
berani menghadapi Raksasa Jalud. Ia tak membayangkan Ame­
rika akan takluk.

264 Catatan Pinggir 7


PENGEBOM

Bahkan ia sebenarnya tak peduli bila negeri itu akan ber­


tambah­ kuat, ibarat tubuh yang menghimpun antibodi setelah
lolos dari serangan penyakit berulang kali. Bukan prioritas sang
teroris melihat Amerika lenyap. Ketika dunia tak kunjung jadi
suci, akhirnya yang penting bagaimana sang teroris sendiri akan
bisa jadi suci, dalam kematian.
Itu sebabnya terorisme seperti ini berbeda dengan gerakan mi­
lenarianisme revolusioner yang percaya bahwa pada suatu hari
dunia akan jadi berubah oleh datangnya Keadilan. Bahkan ada
tendensi anti-politik dalam teror di Bali dan di Jakarta: ada sikap
mengabaikan kebersamaan, tak ada niat membujuk, sebab bukan
dukungan orang ramai yang tampaknya hendak diperoleh.
Tak berarti kaum teroris ini tak membutuhkan orang lain.
Tak ada pengertian ”suci” dan ”syahid” tanpa orang lain menye­
tujui pengertian itu. Seorang martir menjadi martir karena­ ada
dasar nilai yang diasumsikan telah diakui secara sosial. Apalagi
sang teroris harus punya pembenaran atas kematian orang-orang
yang tak bersalah, orang yang sebenarnya bukan musuh, ketika
bom itu meledak.
Untuk itu beberapa pengertian dipatok: ”keadilan” dan ”kesu­
cian”, yang sebenarnya selalu bisa ditafsirkan dari tiap sudut pan-
dang dan kepentingan, dikancing ketat pemaknaannya, diberi
point de capiton—dan sebuah ideologi terbentuk, kadang-kadang
disebut ”agama”.
Dengan itulah sang teroris memperoleh keyakinan akan misi
dan martabat diri mereka di zaman ini, ketika keyakin­an lama
kena guncang, ketika ajaran lama megap-megap tertimbun ri-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buan kata dan makna yang bergerak cepat, berubah cepat.


Dilihat secara demikian, terorisme adalah sebuah usaha untuk­
tidak tenggelam. Ia mencoba ikut dalam perebutan hegemoni un-
tuk menegakkan patokan pengertian dalam wacana masa kini. Ia
membutuhkan pengakuan terhadap kebenaran sudut pandang-

Catatan Pinggir 7 265


PENGEBOM

nya. Tapi untuk itu ia sebenarnya memerlukan bahasa, daya pe­


nga­ruh ide-ide, bukan hanya suara bom dan jerit kematian. Se-
bab pada tubuh yang berkeping-keping, pada kepala yang meng­
ge­linding lepas di tepi jalan itu, apa sebenar­nya yang hendak di-
ungkapkan? Pesan apa yang dapat disampaikan?
Hanya sebuah jalan yang tak ada ujung, yang juga sebenar­nya
jalan buntu.

Tempo, 26 September 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

266 Catatan Pinggir 7


SOSOK

P
OLITIK berubah ketika buah pikiran jadi gambar hi­
dup.­Politik berubah ketika seorang pemimpin menjelma­
jadi bintang yang dipasarkan. Televisi—yang senantiasa
terdorong untuk cepat memikat secara visual, yang bekerja de-
ngan waktu siar yang sesak dikepung iklan—telah membuat
orang ramai tak punya kesempatan (atau kesabaran) untuk mem-
perhatikan gagasan yang disajikan oleh seorang tokoh politik.
Pendek kata, ”siapa” mendahului ”apa”. Bahkan ”siapa” tumbuh
tanpa­”apa”. Seakan-akan kita menghadapi satu subyek yang bisa
berdiri tanpa predikat.
”Subyek” semacam itu dengan sendirinya sosok yang genting:­
ia tergantung-gantung tak bertangan, tak berkaki. Ia dibentuk
dari yang ditampilkan oleh kamera itu: patrapnya berbicara,
cara­nya berjalan, dedeg tubuhnya, raut muka dan nada suaranya
ketika mengucapkan kalimat—dan kita tak peduli apakah ia ber-
cakap tentang pendidikan atau tentang empek-empek, tak amat
peduli sejauh mana isi kalimatnya benar. Pada akhirnya ia seperti
banyak hal yang tampil di layar itu: sebuah fantasi.
Saya tak hanya bicara tentang Indonesia. Di akhir Juli 2004, di
The New York Times, Paul Krugman menulis—dan saya rasa­kan
ada frustrasi dalam prosanya—tentang ”triumph of the trivial”. Ia
berbicara bagaimana menyesatkannya isi dan arus informasi­ten-
tang kampanye dua calon presiden Amerika Serikat tahun ini:
sang calon jadi selebritas. Dari ”berita TV”, kata Krugman, ”kita
http://facebook.com/indonesiapustaka

pun tahu tentang potongan rambut Tuan Kerry, dan bukan ga­
gas­­annya di bidang kesehatan. Kita tahu tentang cara George
Bush menyisir, dan bukan kebijakan lingkungannya.”
Tentu tak dapat dikatakan bahwa medium itulah yang mem-
buat pesan politik hanya berisi tetek-bengek. Di balik­kekuatan

Catatan Pinggir 7 267


SOSOK

medium audio-visual itu ada sebuah daya lain: me­nang­nya se-


buah ideologi yang mengobarkan semangat pasar.­
Memang, sejak zaman Yunani kuno, politikus selalu tampil
sebagai persona—sosok yang mengatur diri untuk main di pang-
gung sandiwara. Tapi di abad ke-21 kita menemukan yang le­
bih­­jauh: kini sosok yang muncul di mimbar itu sepenuhnya di­
bentuk­ untuk memenuhi hasrat para calon pelanggan. Subyek
yang genting itu mencapai titik ekstremnya: ia sosok yang jadi
produk, subyek yang jadi obyek, tokoh yang jadi toko.
Harus diakui, politikus sebagai persona jarang berusaha un-
tuk selalu tulus berbicara. Kebenaran akhirnya adalah perkara­
ke­mas­an.­Tapi di abad ke-21 ini, kemasan itu disesuaikan dengan
kehidupan sosial yang digambarkan lebih sebagai sebuah shop­
ping mall. Di sini perbedaan dibentuk sebagai deret yang ”sintag-
matik”, ibarat kiosk-kiosk yang tak hendak saling menggantikan.
Bukan arena perjuangan.
Demikianlah konflik seakan-akan absen, dan yang tergambar­
adalah segmen pasar yang beraneka. Melayani sebanyak-banyak­
nya konsumen, sang calon pemimpin pun harus mampu mene­
mui—tapi sekaligus melintasi—tiap segmen yang masing-ma­
sing­khas itu. Tak mengherankan bila pesan yang disampaikan-
nya tak pernah persis dan konsisten: selalu ada sudut yang licin
buat meluncur berpindah posisi.
Maka kian lama kian akan diketahui—tapi tak dipedulikan
benar—bahwa seorang tokoh terbentuk bukan karena fi’ il-nya
yang sejati. Sang tokoh adakah hasil bentukan. Ia hanya­kita kenal
melalui perantaraan media. Seperti telah disebutkan, ”realitas”-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya sebenarnya fantasi; ia tersusun dari hasrat orang banyak dan


juga membentuk hasrat orang banyak.
Maka tak mengejutkan bila kini berjuta-juta calon pemilih di
Amerika Serikat tetap hendak menjunjung George W. Bush terus
di Gedung Putih, biarpun pelbagai temuan menunjukkan bah-

268 Catatan Pinggir 7


SOSOK

wa presiden itu telah melibatkan negeri ke dalam perang­dengan


alasan yang salah, bahwa ia gagal mengurangi terorisme di dunia
dan pengangguran di dalam negeri, bahwa Amerika yang dipim-
pinnya makin dirundung paranoia dan retak di dalam....
Agaknya, di sana wabah fantasi begitu meluas, hingga daftar
kesalahan Bush itu pun hanya diterima sebagai salah satu versi
fantasi—sementara ada fantasi lain: Bush-lah yang akan mampu
melindungi rakyat. Ketika kian gencar gerak media audio-visual­
dan makin kuat ideologi yang mengibarkan pasar, kian jelas pula
bahwa ”kebenaran” bukanlah urusan Tuhan dan keabadian.
”Ke­benaran” harus diterima sebagai sesuatu yang mungkin dan
tak stabil.
Memang ada kaum fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam,
atau sekuler yang meyakini dan memasarkan ”kebenaran” yang
te­guh. Mereka yakin itulah yang dapat mendasari kehidupan
bersama. Tapi sementara tiap Minggu para pengkhotbah berseru,­
tiap hari Presiden Bush membaca Injil, bagaimana­semua orang
dapat yakin? Seorang pemikir pragmatis seperti Richard Rorty—
seraya mensyukuri kehidupan demokrasi Amerika—akan me­
nun­jukkan bahwa manusia tak membutuhkan ”prinsip ethis
yang luhur”. Metafisika harus ditonjok. Soal keadilan, misalnya,
tak usah diganduli filsafat, sebab keadilan dapat dicapai dengan
”muddling through”—seperti ketika­hakim memutuskan perkara
yang sulit: ia cari celah, kadang salah, tapi ia terus memperbaiki
yang dianggap keliru.
Adakah bagi Rorty hidup hanya sebuah pasar malam? Ia, yang
bukan Marxis, memang tak melihat sebuah negeri seba­gai sebuah
http://facebook.com/indonesiapustaka

pergulatan wacana untuk memperoleh hegemoni. Ia tak melihat,


seperti Ernesto Laclau, bahwa dengan hegemonilah ”kebenaran”
dan ”keadilan” diberi makna.
Ia juga tak melihat sosok sang pemimpin sebagai bendera bagi
sebuah barisan, yang kadang-kadang terdiri atas kawan baru dan

Catatan Pinggir 7 269


SOSOK

musuh lama....
Memang terasa keras. Tapi justru dengan itu kita dapat meli-
hat bahwa tiap kali satu bangunan politik baru berdiri, selalu­ada
yang luka dan tersingkir—dan sebab itu tak ada ilusi tentang har-
moni, malah timbul kerendahan hati. Maka tiap kali seorang pe-
mimpin datang, sajak Chairil Anwar ini patut­dibaca­kan: ”Telah
lahir seorang besar, dan tenggelam beratus ribu/Keduanya harus di­
catet, keduanya dapat tempat.”

Tempo, 3 Oktober 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

270 Catatan Pinggir 7


1965

T
ENTANG pembantaian itu, tentang ribuan orang Indo-
nesia yang dibunuh pada tahun 1965-1966 itu, pernah-
kah kita bisa bicara dengan pikiran terang? Mungkin be-
lum. Mungkin tak akan.
Tak mudah menentukan di titik mana cerita ini harus dibuka.­
Ada yang memulainya pada malam antara 30 September dan 1
Oktober itu, ketika sejumlah perwira tinggi Angkat­an Darat di-
tangkap oleh sepasukan tentara dan kemudian dibunuh di hutan­
karet agak di luar pusat Kota Jakarta. Orang bisa mengatakan da­
ri sinilah kekerasan berjangkit. Partai Komunis Indonesia diang-
gap sebagai penggerak pembunuhan awal itu. Maka dengan den-
dam dan ketakutan, seperti digambarkan dalam buku Herma­
wan­ Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian
Massal yang Terlupakan (1965-1966), militer dan bukan-militer
pun membantai beribu-ribu­orang anggota PKI atau yang diang-
gap anggota PKI. Teror pun berkecamuk—dan sebuah pemerin-
tahan baru ditegakkan.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Pertanyaan ini segera bisa di­
bantah dengan: mengapa tidak? Kebuasan bukan barang asing­
dalam sejarah, dan yang pasti bukan dalam sejarah di kepulauan
ini. Pada abad ke-17 di Mataram, tercatat Amangkurat I membi-
nasakan 3.000 ulama yang dihimpun di alun-alun dalam waktu
setengah jam.
Bukan karena orang Indonesia tak mampu mengendalikan
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke­­bengisannya sendiri, seperti ujar para analis murahan yang me-


makai kata Melayu ”amok” sebagai penjelasan. Orang Indonesia­
juga makhluk yang merayap dalam sejarah—dan sejarah itu
adalah sebuah perjalanan yang menakutkan. Kekerasan pada ta-
hun 1965-1966 itu tak datang mendadak.

Catatan Pinggir 7 271


1965

Awalnya dapat ditarik jauh ke masa sebelumnya. Mungkin se-


jak 1945: Indonesia mencoba berdiri sebagai republik­yang mer­
deka, tapi dunia pascakolonial bukanlah sebuah lingkungan yang
ramah. Hanya setahun setelah proklamasi kemerdekaan, datang
aksi militer Belanda yang tak ingin kehilangan kekuasaan­nya di
sini. Perang mempertahankan kemerdekaan tak dapat dielakkan.­
Hampir berbareng dengan itu, berkecamuk gerilya Darul Islam
dari hutan-hutan Jawa Barat. Dari luar, Perang Dingin antara
”blok kapitalis” dan ”blok komunis” menularkan ketegangannya.­
Bergaung pula suara bersemangat dan teriak kesakitan negeri
yang baru merdeka dan mencoba merdeka di tempat lain di Asia
dan Afrika.
Gabungan semua itu menyebabkan sebuah dasawarsa yang
tam­pak ”normal”, yang berakhir pada tahun 1958, sebenarnya
me­nyimpan sesuatu yang ”tak normal”. Dalam masa itu Indone­
sia, dengan sebuah demokrasi parlementer, berniat mengelola
kon­flik dan persaingan lewat partai, lembaga perwakilan rakyat,
dan peradilan. Dengan kata lain, sebuah sistem yang ingin ter­
atur­tapi tetap terbuka, ketika pers bebas, partai bebas, dan ha-
kim-hakim mandiri.
Tapi tentara tak menyukainya, terutama karena demokrasi­ini
meletakkan mereka di bawah kekuasaan sipil. Apalagi­sistem ini
selalu mudah dianggap sebagai kegaduhan yang meretakkan per-
satuan, sebuah mekanisme yang tak bekerja efektif, sebuah struk-
tur yang ”meniru Barat”.
Di antara yang menentang demokrasi ”Barat” ini adalah Presi­
den Sukarno. Maka ketika sistem demokrasi parlementer itu tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

mampu mengatasi pembangkangan bersenjata sejumlah kolonel


(yang dibantu CIA), Indonesia menempuh jalan radikal. Bung
Karno membubarkan parlemen yang pada tahun 1955 dipilih
rakyat dengan penuh harap. Ia juga mengharamkan partai poli-
tik yang dianggap menentangnya: pers diberangus.

272 Catatan Pinggir 7


1965

Pada tahun 1958 ”demokrasi terpimpin” pun berlaku, dengan­


Su­karno di pucuk. ”Ekonomi terpimpin” juga diperkenalkan,
per­­usahaan asing diambil alih dan dikendalikan tentara dan bi­
ro­­krat, yang akhirnya memimpin pelbagai bidang usaha (hingga­
hari ini). Di mana-mana, suasana ”revolusi” dicanangkan untuk­
mencapai cita-cita dahsyat ”sosialisme Indonesia”. Dan seba­gai­­
lazimnya ”revolusi”, permusuhan pun dijadikan ajaran: ada ”ka­
wan” dan ”lawan”, ada kaum ”progresif revolusioner” dan ”kon­
tra­revolusioner”. Ketika Perang Dingin­kian memanas di Asia—
ke­tika AS kian terpojok di Vietnam dan ”komunistofobia”­me-
nyebar ke mana-mana—suasana permusuhan itu menebarkan­
sa­ling curiga yang menajam di Indonesia.
Sejak itu sebenarnya benih kekerasan tumbuh subur. Pelba­gai­­
organisasi dilarang, puluhan koran dibredel, orang-orang dipen-
jarakan tanpa diadili. Apa saja yang dinilai ”kontrarevo­lusioner”
dihajar. Retorika diberi aksen imperatif yang galak dan kekerasan
jadi penanda utama (”Ganyang!” adalah kata yang paling berge-
ma). Semua kekuatan politik, apalagi PKI, mengobarkan suasana­
”revolusioner” itu. Propaganda yang berapi-api bersipongang,
dan hampir tiap kelompok politik me­ngerahkan pemuda berpa­
kai­an seragam dengan tampang siap tempur.
Akhirnya, sebuah ledakan. Itulah yang terjadi pada tanggal
30 September 1965. Orang terus berdebat, siapa yang menarik
picu: CIA? RRC? Yang agaknya belum dilihat adalah bahwa api
”revolusioner” itu pada akhirnya dapat dipakai untuk membasmi­
siapa saja. Para jenderal yang malam itu dibabat semuanya di-
tuduh ”kontrarevolusioner”. Tapi ketika pada awal Oktober 1965
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mayjen Soeharto membalas, ia juga menyatakan para pembunuh


itu ”kontrarevolusioner”. Dengan atau tanpa CIA dan RRC, ”re­
vo­lusi” Indonesia telah siap memakan anak-anaknya sendiri.
Tak berarti dosa 40 tahun yang lalu itu sebuah kutuk bersama.­
Ada algojo yang menyembelih, menyiksa, mengurung orang

Catatan Pinggir 7 273


1965

yang tak bersalah selama bertahun-tahun: mereka­itu pelaku ke-


jahatan besar. Tapi kejahatan itu jadi seperti perkara­ringan, sejak
”membabat” adalah aksi yang sah dalam men­capai­cita-cita besar,
komunis ataupun antikomunis.
Maka ikut bersalah pula mereka yang waktu itu menguasai
bahasa dan posisi, bila mereka tak bertanya: tak pernah salahkah­
cita-cita? Tak adakah batasnya? Bukankah batas itu tersimpul
dalam hidup yang berharga sehari-hari?

Tempo, 10 Oktober 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

274 Catatan Pinggir 7


INFEKSI

A
DA sebuah infeksi, bernama kekerasan. Umurnya pan-
jang.
Ia mungkin telah lama di kesadaran kita, datang dari
ade­gan perang Bharata ketika Bima bukan saja membunuh Dur-
sasana, tapi juga mereguk darah bangsawan Kurawa yang dulu
mencoba memerkosa Drupadi itu. Atau dari Perjanjian Lama, ke­
tika berlaku doktrin ”satu mata dibalas satu mata”. Atau dari den­
dam Electra yang getir dalam lakon Sophocles dan Euripides­pada
zaman Yunani kuno. Atau apa yang dialami Eropa pada abad ke-
17: orang Katolik dan Protestan saling membunuh selama­30 ta-
hun. Atau sejarah Islam, setelah Khalif kedua dibunuh, kemudi-
an Khalif berikutnya, dan berikutnya....
Sampai abad ke-21 ini, infeksi itu terus bercabul: Israel, Pa­les­
tina, Irak, Chechen, Rusia, Amerika.... Koreng luka itu berjang-
kit beserta kumannya. Kekerasan menular—dengan penularan
yang dikemas ”atas-nama-keadilan”.
Tapi jika kekerasan yang satu diulangi yang lain, apa yang ha-
rus dilakukan? Jawabnya mungkin sebuah kekerasan lagi. Se­
tidak­nya jika kita percaya kepada teori René Girard. Pada zaman
dulu orang menyembelih korban. Dengan memungut seseorang
lain untuk dipersembahkan kepada dewa, orang pun percaya,
kata Girard, bahwa ”perdamaian yang mukjizat” akan tiba.
Untuk mengukuhkan teori itu adat orang Aztecs sering di­
pakai­sebagai contoh. Sebuah ensiklopedia mencatat bahwa sebe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lum abad ke-16, bangsa tua di Meksiko itu membunuh sampai 20


ribu manusia setahun sebagai persembahan bagi Dewa Matahari.
Ini bukan pembantaian massal. Orang yang pernah menyaksi-
kannya bercerita bahwa upacara itu tertib: sang korban—seorang
yang tak bersalah, konon juga perawan sunti—digiring ke pu­

Catatan Pinggir 7 275


INFEKSI

cuk­ piramida, dibaringkan, dadanya dirobek, dan jantungnya


di­renggutkan. Lalu sebotol minyak bakar diletakkan di rongga
dada yang menganga itu, dan di situ api dinyalakan. Dari nyala
itu disulutlah sebuah suluh, yang kemudian menyulut obor yang
lain, dan yang lain, sambung-menyambung ke seluruh wilayah.
Saya tak sepenuhnya yakin akan teori Girard yang me­ringkas­
sejarah manusia sebagai digerakkan oleh ”hasrat mimetik” atau
dorongan meniru. Saya juga ragu benarkah agar balas-membalas
berhenti sebuah masyarakat perlu sebuah ”mekanisme kambing
hitam”, dengan membuat pihak yang tak bersalah dan/atau le-
mah sebagai domba sembelihan. Tapi agaknya jelas bahwa siapa
pun yang ngeri menyaksikan infeksi itu menjalar akan harus me-
nyetopnya. Kalau perlu dengan menyelubunginya.
Pengadilan adalah sebuah metode untuk itu. Lembaga ini
mengambil alih kehendak membalas dendam dari pihak yang di-
cederai. Tapi dengan sesuatu yang berbeda: di lembaga itu pem-
balasan tak lagi dilakukan oleh pihak yang pernah jadi kor­ban.
Hukuman akan jatuh, mungkin seseorang akan digantung, tapi
pihak yang jadi pesakitan diharapkan tak akan lagi menghantam
balik. Sebab sang hakimlah yang memutus­kan, sang hakim yang
dianggap ”di luar dan atas” konflik. Pada saat itu, mana yang adil
dan tak adil ditentukan oleh ukur­an yang dianggap telah diteri-
ma umum, baik oleh yang menghantam maupun oleh yang di-
hantam.
Tapi bagaimana ukuran ”keadilan” itu disusun? Bagaimana­
disekap 4 tahun dalam penjara merupakan balasan yang setim­pal
untuk, misalnya, perbuatan ”X” yang mencederai saya dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pu­kulan karate? Mungkinkah rasa sakit hati ”Y” dapat diim­


bangi­dengan denda Rp 250 ribu?
Pada akhirnya undang-undang memang harus selalu meng­
akui kegagalannya sendiri dalam memenuhi niat. Niat itu keadil­
an, namun keadilan mustahil mendapatkan bentuk yang pasti.

276 Catatan Pinggir 7


INFEKSI

Undang-undang selamanya berisi kekuatan yang hanya menco-


ba. Sebagaimana sebuah puisi tak bisa disimpulkan dengan ben-
tuk parafrasa dalam prosa, begitu juga rasa sakit hati, rasa ke-
hilangan, dan rasa kepedihan fisik: hal-hal yang diderita seorang
korban itu tak mungkin secara memadai disepadan­kan­dengan
angka tahun dan jumlah rupiah.
Dilihat demikian, lembaga peradilan adalah sebuah harap­an
dan juga sebuah kemustahilan, meskipun kemustahilan itu di-
perlukan. Ia juga sebuah hasil paksaan halus. Paksaan itu bertu-
juan agar peran dan bobot dirinya diterima dan diyakini orang
pada umumnya bahwa pengadilanlah wilayah yang terbebas dari
kepentingan sepihak.
Tentu saja di sini tampak ia adalah bagian ”aparat ideologi”
Negara, jika kita pakai kategorisasi Althusser: pengadilan bukan
alat penggebuk seperti polisi dan tentara, tapi ia juga berperan
me­ngendalikan agar kehidupan sosial, biarpun cacat dan rapuh,
tetap utuh.
”Utuh” itu juga sebuah kemustahilan, sebetulnya. Pada za-
man ketika masyarakat (atau ”bangsa” atau ”rakyat”) dibicara­kan
sebagai sebuah Gestalt, sebuah bentuk utuh, kita sering alpa bah-
wa tiap bentuk menegakkan batas, dan ada anasir­yang rontok.
Maka pada zaman ini pula para pemikir teori politik—Giorgio
Agamben, Chantal Mouffe, dan lain-lain yang ada dalam kesa­
dar­­an ”dekonstruksi”—tampak amat peka memandang ke po-
sisi mereka yang dilumpuhkan. Bagi Mouffe, antagonisme tak
per­nah lepas dari ”the political”. Bagi Agamben, bentuk asali hu­
bung­an politik adalah ”pelarangan”. Tiap kota berdiri dan pagar
http://facebook.com/indonesiapustaka

di­bangun, selalu akan ada pengungsi, orang buangan, homo sacer


yang bisa dengan mudah disingkirkan.
Indonesia punya sejarah dengan horor dan homo sacer itu:
pem­­bantaian manusia pada tahun 1965-66 dan pembunuhan
”pe­nembak misterius” pada akhir tahun 1980-an. Sejarah kita

Catatan Pinggir 7 277


INFEKSI

tak semulus Singapura atau Pondok Indah. Tapi justru karena itu
kita bisa lebih bisa mengerti bahwa ”keutuhan”, ”konsensus”, dan
”rekonsiliasi” (atau ”konsiliasi”, kata Presiden Susilo Bambang
Yu­dhoyono) tak selamanya berlangsung karena nalar­yang mam-
pu melahirkan argumen yang baik. Di tiap momen mufakat, ada
selalu latar yang gelap dan bayangan yang bisa memukau, dan in-
feksi yang tersembunyi.
Kemudian bagaimana kita menerima ini: bahwa melalui luka
dan dosa, demokrasi bisa dewasa.

Tempo, 17 Oktober 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

278 Catatan Pinggir 7


SAYU

S
eseorang pernah mengatakan ia ”sentimentil”, dan ia
sendiri mengakui itu ”benar”. Tapi saya tak yakin. Sampai­
ia meninggal karena kanker pankreas di Paris pekan lalu
dalam umur 74, Jacques Derrida adalah pemikir yang bicara bu-
kan lantaran ia mudah terharu. Bahasanya tak mendayu-dayu,
bahkan kerap kali rumit. Pandangannya tak terasa murung. Ti-
dak, ia bukan pemikir yang ”sentimentil”. Derrida adalah suara
yang sayu.
Ia memang hidup di zaman ketika usaha untuk menjelaskan
dunia kian terasa tak mungkin lepas dari haribaan bahasa, dan
tak kunjung selesai pula. Ia hidup di zaman yang belum juga me­
mecahkan lika-liku keadilan, belum menemukan cara ke pem­be­
basan.
Ia juga hidup di zaman ketika makin disadari manusia ternya-
ta tak berdaulat dan tegak utuh bertopang pada nalar yang te­rang-
benderang. Di depan psikoanalisis Freud dan Lacan, tampak­ada
yang lain di samping itu: segumpal nafsu, syahwat atau bukan,
bawah-sadar dan tubuh, dan kaitan yang rumit dengan dunia lu­
ar, sering berupa percaturan kekuasaan.
Tapi tak hanya di situ manusia bersua dengan ”yang-lain” da­
lam dirinya. Derrida bahkan menunjukkan, bahwa bahasa, yang
membuat manusia berhubungan dengan dunia, tak selamanya­
dapat dibariskan seperti pramuka yang rapi oleh sang subyek.
Bagi Derrida, makna kata tak berjalan lewat lorong yang lurus
http://facebook.com/indonesiapustaka

dari pikiranku, ke pikiranmu. Lorong lurus itu tak pernah ada.


Makna dapat saja muncul macam-macam.
Sebab di tiap saat, bahasa—yang terdiri atas untaian ”penan­
da”, yakni paduan bunyi vokal dan konsonan—punya dinamika­
nya sendiri. Tiap penanda memproduksikan makna karena ia­

Catatan Pinggir 7 279


SAYU

bergerak dalam lalulintas penanda yang berlain-lainan. Seba­gai­


mana seseorang disebut ”abang” karena ada seseorang yang dise-
but ”adik”, sepatah kata menjadi berarti karena kata yang la­in.
Dalam bahasa Indonesia ada kata ”kolong”. Kita tahu ”ko­long”
tak pernah hadir sendiri di ruang mana pun. Sebentuk bu­nyi­vo-
kal dan konsonan mengandung arti ”kolong” karena dalam diri
pe­nanda itu ada jejak kata lain, yang berarti ”meja”, atau ”ka­ki
meja”, dan ”lantai”.
”Kolong” dapat kita identifikasikan, tapi tampak: tak ada
iden­titas yang tanpa jejak ”yang-lain”. Tiap ”kesatuan”, sebuah
totalitas, senantiasa jadi demikian justru karena ada tilas, mung-
kin gema, dari apa yang bukan bagian kesatuan itu. Maka tak
ada identitas—sebagai sesuatu yang utuh dan total—yang lahir
secara alamiah. Tak ada identitas yang lahir dari asal-usul yang
esa dan suci murni.
Ketika Derrida berbicara tentang ”dekonstruksi”, pandang­
an tentang ”yang-lain” itulah yang tersirat. Kata ”dekonstruksi”
memang kemudian diartikan sebagai metode penafsiran sebuah
teks. Tapi sebenarnya bukan cuma itu. Dekonstruksi membong-
kar apa yang tampaknya utuh karena tahu ada yang-lain yang di­
tenggelamkan di sana. Ia sangat terkait dengan sesuatu yang etis
dan politikal. ”Dekonstruksi adalah keadilan,” kata Derrida.
Sebab sungguh tak adil untuk menampik mereka yang ter­cecer­
dan terbungkam ketika kesatuan dibentuk. Akan bertambah­tak
adil bila kesatuan/identitas itu dianggap abadi. Kesatuan/identi-
tas yang bergeming adalah sebuah kekerasan. Ia mengetam siapa
saja, juga diri sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka masalah keadilan pada akhirnya adalah masalah pem-


bebasan. Dalam hal ini Derrida berdiri dalam tradisi yang sama
dengan Marx. ”Emansipasi,” katanya dalam sebuah simposium
di Paris di tahun 1993, ”... jadi persoalan yang luas hari ini.” Lalu
katanya pula: ”Harus saya katakan saya tak bisa berlaku toleran

280 Catatan Pinggir 7


SAYU

kepada mereka... yang bersikap ironis dalam memandang wacana


besar emansipasi.”
Suara tajam ini agaknya ia tujukan kepada pemikir liberal se-
perti Richard Rorty, yang cenderung melihat Derrida sebagai se­
orang ”ironis”. Umumnya orang memang akan menduga begitu­
bi­la membaca karya-karyanya, Glas, misalnya, yang seperti
main-main mengambil jarak dari sebuah keyakinan yang serius.
Mungkin itu sebabnya Rorty memasukkan Derrida ke dalam
golongan pemikir yang karyanya ”untuk memenuhi tujuan pri­
vat”. Pengaruhnya secara politik akan tak berarti atau amat tak
langsung. Dalam pandangan Rorty, Derrida berbeda dari filosof
seperti John Stuart Mill atau John Rawls (tentunya juga Marx)
yang berpikir untuk ”tujuan publik”.
Tapi begitu jelaskah batas yang ”privat” dan yang ”publik”
dalam Derrida? Bagi Derrida sendiri, yang hendak ia kemuka­
kan bukanlah sesuatu yang menghindari arena publik. Yang di­
kemukakannya adalah ”yang-rahasia”. Baginya, ”yang-rahasia”­
ada di sebuah zona yang tak dapat disentuh yang berkuasa­bah-
kan dalam sistem totaliter sekalipun. Tapi justru dengan meng­
akui ”yang-rahasia”, dan menghargainya, akan terbukalah wi­
layah publik itu bagi ”yang-lain”.
Di sini Derrida bicara tentang demokrasi. Bagi Derrida, de-
mokrasi mati bila ”yang rahasia” diletakkan semata-mata sebagai
persoalan privat.
Dengan kata lain, demokrasi adalah sebuah usaha dari ”yang-
rahasia” untuk membebaskan diri dari sebuah bangunan politik
yang mau merengkuhnya—seperti ketika Stalin menginjak sajak
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pasternak dan gereja atau ulama mengusut kemurnian doa. Di


situ, yang-rahasia dihabisi. Di situ, yang-rahasia adalah yang-lain
yang lemah. Di situ, ia yang dicampakkan.
Demokrasi-lah yang menyambutnya. Itulah l’ hospitalité: pin-
tu yang dibukakan oleh si empunya rumah bagi yang kalah dan

Catatan Pinggir 7 281


SAYU

terbuang.
Tak berarti si empunya rumah sebuah subyek yang mampu
dan otonom seperti manusia Pencerahan dalam gagasan Kant. Ia
justru subyek yang lulut pada titah. Tapi titah itu tak berasal dari
Yang Mahakuasa. Titah itu justru yang memanggil kita dari ia
yang dilukai, dihina, tak berdaya, dan ditinggalkan.
Memang tampak mustahil kuasa seperti itu akan mengubah
dunia. Tapi Derrida tak bicara tentang utopia, melainkan ”ke-
messiah-an”, sebuah janji di hari ini—hari yang selalu tak leng-
kap—bahwa la démocratie à venir, bahwa demokrasi selalu ”akan
datang”.
Di sini sang filosoflah yang menggetarkan kita. Suaranya
sayu.­

Tempo, 24 Oktober 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

282 Catatan Pinggir 7


PULUNG

D
I masa lalu orang sering melihat harapan. Bentuknya
pu­lung: seberkas cahaya yang jatuh dari langit di malam
hari, isyarat bahwa seseorang telah dipilih untuk­punya
kelebih­an, dan dengan itu mengatasi dunia yang ruwet.
Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang luar biasa. Itu
juga yang sampai sekarang terjadi. Pulung memang tak tampak
turun di Cikeas, di bubungan rumah Presiden Indonesia yang
baru. Tapi di Cikeas dan di luarnya, tiap kali kita ”meng-harap”
kita selalu ”ber-harap”. Kita melakukan sesuatu untuk mengada-
kan harap, tapi pada saat yang sama kita bersikap bahwa kita ber­
ada dalam keadaan sudah mempunyainya (tersirat dari awalan
”ber”). Artinya, ada sebuah loncatan ajaib antara belum dan sudah
ada. Harap seakan-akan tercipta dari ketiadaan, datang dari crea­
tio ex nihilo.
Tapi ”harap” disebut juga ”harap-an”. Dalam bahasa Indo­ne­
sia, akhiran ”an” (seperti dalam ”temu-an”, ”minum-an”, ”pakai-
an”) menunjukkan sesuatu yang ada setelah sebuah laku. Pulung
itu sebenarnya bukan datang dari ketiadaan. Cahaya yang luar
biasa itu tak akan tampak seandainya orang tak menantikannya
dengan cemas, dengan doa dan tirakat. Apa yang kelihatannya
creatio ex nihilo pada hakikatnya sebuah hasil ikhtiar.
Dan itu tak hanya terjadi dalam pengalaman Indonesia. Di
Rusia, Nadezhda Mandelstam menulis sebuah memoar tebal,
yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Hope Against Hope.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia melukiskan suasana putus asa setelah suaminya, penyair Osip


Mandelstam, dibuang dan tak pernah kembali. Osip adalah kor­
ban yang dibabat karena puisinya tak meng­ikuti­ doktrin ”real-
isme sosialis”, juga karena ia dianggap menghina Stalin, setelah
menulis sebuah epigram tentang seorang penguasa pembunuh

Catatan Pinggir 7 283


PULUNG

yang berjari seperti cacing dan berkumis bak kecoak.


Selama tujuh tahun, sampai dikabarkan Osip mati di pem-
buangan, Nadezhda menunggu—seperti beribu-ribu orang lain
yang sanak keluarganya ditangkap dan tak pulang.
Di tahun 1930-an itu Stalin memang memenjarakan siapa
sa­ja yang dituduh ”kontrarevolusioner”. Umum tahu dan ber-
bisik-bisik bahwa orang-orang yang tak bersalah telah dibuang
atau ditembak mati. Dalam ketakutan, ribuan orang melakukan­
semacam doa yang ganjil: mereka menulis surat. Alamatnya para
pejabat yang umumnya jauh tak terjangkau. ”Siapa di antara ka­
mi yang tak pernah menulis surat ke para penguasa luhur, yang
dialamatkan ke nama yang kukuh berkilau bagai logam? Dan apa
isi surat itu selain meminta mukjizat?”
Mukjizat hampir tak pernah datang. Tapi toh doa yang ganjil
itu, tirakat yang menulis dengan tangan gemetar itu, cukup­un-
tuk menemani hidup yang kehilangan. Seakan-akan tiap orang
berkata, ”Aku berharap, maka aku ada.”
Sejak zaman purba manusia memang tak gentar masuk ke
rim­ba meskipun begitu banyak bencana menanti. Optimisme
itu­lah yang diwariskan di dalam genos generasi selanjutnya. Dari
itu agaknya kita tahu, seperti kata Lionel Tiger yang menulis se-
buah buku tentang ”biologi harapan”, bahwa manusia adalah ”se-
jenis hewan dengan bakat besar... untuk berharap”, an animal
with a gorgeous genius for hope.
Kita memang tak bisa lepas dari berharap. Percaya pada surga
di langit dan surga di bumi adalah bagian kesadaran yang mem-
buat sejarah berubah. Memang, abad ini datang dengan sikap
http://facebook.com/indonesiapustaka

ragu. Orang mulai melihat bahwa utopianisme adalah campuran


amarah, angan-angan, dan sikap angkuh. Marxisme-Leninisme,
sumber inspirasi yang begitu kuat, ternyata gagal di abad ke-20.
Tapi optimisme baru muncul, dan kita dengar Francis Fukuyama
memaklumkan rasa syukur bahwa kita telah tiba di akhir sejarah:

284 Catatan Pinggir 7


PULUNG

ekonomi pasar ternyata tak bisa dikalahkan, demokrasi liberal


ternyata menang di mana-mana.
Tapi bukankah itu juga ketakaburan? Di ”akhir sejarah”, ma-
nusia menghadapi soal yang timbul ketika kelak dua miliar­lebih­
manusia di Cina dan India memasuki ekonomi pasar seperti di­
sam­but Fukuyama—dengan dinamika yang dilecut oleh hasrat
berjuta-juta orang untuk makan, bermobil, bepergian sepuas-
puas­nya. Siapkah alam untuk itu? Seorang pengkritik Fukuya­
ma, Perry Anderson, memperkirakan dengan muram, seperti na­
bi Alkitab memperingatkan tamaknya kota-kota: bila gelombang
konsumsi itu terus, ”separuh dari spesies manusia akan mesti pu-
nah”. Yang lemah juga yang akhir­nya harus tenggelam.
Kita yang tak sampai hati akan berkata, ”Mari kita berikhtiar
meminta pulung jatuh lagi!”
Jangan-jangan benar: dunia perlu bertirakat, berpuasa—ta­
pi bukan puasa seperti yang diramaikan iklan sebagai sejum-
lah siang yang mempersiapkan jamuan besar. Juga, bukan puasa
dalam pengertian ahli fikih yang hanya mengukur kesalihan de-
ngan jarum jam. Puasa yang akan menyelamatkan kita adalah
pu­asa yang terus-menerus, tak siang tak malam, untuk menghen­
tikan hasrat sebelum kenyang, hingga ”kenyang” sama artinya
dengan hasrat yang berhenti. Pada saat yang sama, puasa itu bu-
kan untuk surga yang disiapkan untuk diri sendiri.
Tapi kita juga mafhum: pesan macam itu tak akan memikat
banyak orang. Banyak orang akan menampik surga yang tak ber-
sungai susu dan dihuni bidadari berpuluh ribu.
Tapi bukankah manusia bisa mulia ketika ia bukan hanya he-
http://facebook.com/indonesiapustaka

wan yang pintar berharap, tapi makhluk pembawa harapan, saat


ia memberikan dirinya untuk yang lain yang butuh?
Saya ingat adegan penutup novel Grapes of Wrath John Stein-
beck: Rose of Sharon, gadis sulung keluarga Joad yang miskin
dan malang, melahirkan bayi ketika air bah menghantam. Sisa

Catatan Pinggir 7 285


PULUNG

ke­luarga itu pun naik ke tanah yang lebih tinggi, dan masuk­ke
sebuah gubuk. Seorang anak tampak sendiri bersama ayah yang
terhampar hampir mati kelaparan. Rose juga lapar, ia juga tak pu-
nya apa-apa. Tapi gadis yang dulu acuh tak acuh itu membung-
kuk bagi si sakit. Dengan air teteknya ia coba selamatkan orang
yang tak dikenalnya itu, dan saya ingat kisah muram itu ber­akhir
dengan senyum

Tempo, 31 Oktober 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

286 Catatan Pinggir 7


NOVEMBER

N
OVEMBER mungkin awal musim dingin harapan kita,
jika 2004 adalah tahun penentuan Amerika. Negeri­
itu telah jadi begitu penting, hingga ia kini hadir seba­
gai­pusat yang membuat kita cemas. Hidup beribu-ribu mil dari
Ame­rika­ Serikat, kita memandang ke sana dengan waswas: apa
yang akan terjadi pada November ini bila ternyata sebagian­besar
orang Amerika mendukung terus kekuasaan Presiden Bush?
Kita tak berhak memilih, tapi kita juga akan terenyak. Kita
ba­gian dari negeri lain, tapi kita akan kecewa, marah, dan ber­
tanya­kepada jutaan pemilih dari Hawaii sampai dengan Alaska
itu: apa sebenarnya yang terjadi dengan diri Tuan-tuan?
Kita tahu, ”11 September” telah tumbuh jadi kata yang menan-
dai korban dan ketakutan, setelah ribuan orang tak ber­salah ter-
bunuh oleh terorisme. Kita mengerti ada amarah dan dendam
da­lam kata itu, karena selama bertahun-tahun ribu­an orang di
bagian dunia lain juga binasa oleh kesewenang-wenangan yang
sama. Tapi kita masygul kenapa hal itu tak me­nyebabkan orang
Ame­rika merasa jadi bagian yang senasib­dengan orang lain; ke-
napa yang muncul adalah sikap angkuh ke seluruh dunia? Sikap
angkuh yang menyebabkan Irak di­serbu­meskipun tanpa alasan
yang sah, dan ribuan manusia, juga anak-anak, mati? Benarkah
hal itu menyebabkan orang Amerika jadi aman di mana-mana?
Kenapa tak dilihat betapa wabah kekerasan justru berjangkit?
Jika Bush dapat mandat kembali dan ia terus, semua itu tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan terjawab. Dan kita akan tetap heran, karena di Amerika sen­
diri pertanyaan itu menyebabkan negeri itu praktis terbelah. Pe­
rang,­ paranoia dan retorika yang pantang mundur menjalar ke
mana-mana. Dari Gedung Putih dan Pentagon sebuah kehidup­
an politik yang enggan berkompromi telah lahir.

Catatan Pinggir 7 287


NOVEMBER

Kenapa? Barangkali karena Tuhan dan kemenangan.


Setelah Perang Dingin usai, dan Amerika keluar unggul, tam-
paknya hanya satu kesimpulan yang dipegang: Tuhan memilih­
Amerika dalam sejarah. Tuhan memberinya kekuatan yang me­
nakjubkan. Dari sana lahir kekuasaan, dan kekuasaan itu tak
mem­butuhkan negosiasi, apalagi persetujuan orang lain. Politik
bukan lagi dilakukan dengan kemungkinan melihat kesalahan
diri sendiri, dan sebab itu memungkinkan kompromi. Politik, ke
dalam dan ke luar negeri, adalah imperialisme. Beda berarti ben-
ci, kemenangan berarti penaklukan.
Belum pernah rasanya Amerika terpecah semendalam seperti
sekarang sejak perang di Vietnam 40 tahun yang lalu.
Dengan itu pula kita memang tahu, tak semua orang Ame­ri­
ka memilih kembali Bush. Keputusan sebuah bangsa memang
bukan berarti tanda final sebuah konsensus. Pemilih­an umum
adalah sebuah mesin yang kompleks dengan hasil yang bersahaja:
seperti snapshot. Apa yang tampak sebenarnya menyembunyikan
apa yang merupakan proses—ada kemarin,­ kini, dan esok, de-
ngan kemungkinan yang lain-lain. Pada akhir­nya, sebuah mufa­
kat politik adalah sebuah bentuk hegemoni—satu corak menga­
lahkan dan menguasai yang lain—tapi tiap hegemoni selalu
bersifat sementara.
Kita sadar akan semua itu. Tak semua orang Amerika bisa di-
anggap bersalah. Ada ratusan ribu orang Amerika yang dengan
se­penuh hati mencegah Bush jadi pilihan bangsa itu lagi. Tapi
pada saat yang sama kita juga dapat bertanya, setelah November
2004, apa yang akan jadi sikap mereka yang kalah karena tak me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

milih Bush?
Demokrasi yang telah berjalan berpuluh tahun memang
mem­butuhkan dekorum: si kalah harus mengakui kekalahannya,­
seperti dalam sebuah turnamen tenis. Jika ia kalah, John Kerry
akan melakukan itu. Dalam dekorum ini tersirat pandangan,

288 Catatan Pinggir 7


NOVEMBER

bahwa pemilihan umum adalah mesin yang berjalan rutin, net­


ral, tanpa didahului penilaian bahwa hasilnya akan ”baik” atau
”buruk” bagi manusia.
Lambat-laun orang pun menganggap bahwa, dalam proses
politik, yang ”baik” dan ”buruk” itu soal sementara, tak harus­di-
cantolkan kepada nilai-nilai yang kekal, tak usah dipegang habis-
habisan. Perbedaan, kompetisi, dan sengketa telah dijinak­kan.
Akhirnya semua itu dianggap hanya soal pilihan. Pilihan itu, se-
perti di AS kini, dilambangkan dalam sosok dua tokoh. Kedua­
nya­ tak dimaksudkan sebagai tauladan kesempurnaan. Demo­
krasi bertolak dari pandangan bahwa tak satu pihak pun yang
tanpa dosa.
Tapi apa yang terjadi jika politik telah cenderung melihat yang
lain berdosa—khususnya kepada Tuhan dan tanah air? Bagaima-
na jika masyarakat telah terbelah karena apa yang ”baik” dan ”bu­
ruk” begitu menajam dan begitu mendalam? Bisakah yang ka­lah
akan mengatakan bahwa semua ini hanya sebuah pertanding­an
yang rutin dan normal?
Tapi tahun 2004 adalah tahun Amerika: kini di sanalah diper­
taruhkan hal-hal yang bukan sekadar soal bagaimana pertum-
buhan ekonomi diperbaiki, perang diselesaikan, dan pendidikan
disebarkan. Yang kini dipertaruhkan adalah hal-hal yang akan
punya efek ke seluruh dunia bagi masa depan demokrasi: sejauh
manakah kebebasan boleh dilindas untuk membuat orang mera-
sa aman? Bolehkah hukum berlaku berbeda bagi orang asing dan
pihak musuh? Benarkah Amerika sebuah keistimewaan dengan
berkat Tuhan, dan sebab itu imperialismenya justru sebuah tau-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ladan? Dapatkah manusia mengklaim posisi seperti itu, dan men-


jadikan Tuhan (dalam versi yang ada di kepalanya) sebagai hakim
di tengah bumi yang majemuk?
Pemerintahan Bush mewakili mereka yang dengan yakin
menjawab ”ya”—dan yang ingin mengubah dunia dengan sua­

Catatan Pinggir 7 289


NOVEMBER

ra­”ya” itu.
Maka, jika Bush dipilih kembali, November ini, sebuah mu­
sim dingin yang muram akan bermula: matahari tak akan bersi­
nar lagi bagi mereka yang percaya bahwa demokrasi bukanlah
sesuatu yang mengkhawatirkan, karena demokrasi mengandung
sikap yang lebih rendah hati, karena demokrasi mengakui bahwa
yang berperan adalah orang dan agenda yang tak pernah sempur­
na.
Bahwa kini demokrasi di Amerika—yang telah dua ratus ta-
hun umurnya—membuat kita begitu cemas, itu sendiri sesua­tu
yang membuat kita cemas.

Tempo, 7 November 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

290 Catatan Pinggir 7


SAMAN

S
AMAN adalah sebuah teror purba. Pada abad ke-2 orang
Druid percaya bahwa dialah yang dipertuan di dunia ke-
matian, yang tiap 31 Oktober malam akan mendatangkan
barisan roh jahat. Penduduk wilayah Gaulia dan kepulauan Bri-
tania akan menunggu saat itu dengan gentar. Konon pada malam
itulah para arwah akan datang mengetuk pintu rumah yang per-
nah mereka huni.
Ketakutan kolektif ini melahirkan upacara—sebuah upaya­
melunakkan hati para demit yang melahirkan ”pesta” Hallo­ween.­
Ritual lama itu terus. Bukan karena takhayul masih kuat, tapi
karena manusia tampaknya menggemari rasa takutnya­ sendiri.
Ce­rita hantu gampang laku dan kecemasan mudah­disebarluas­
kan.­ Kini ”horor” itu bahkan jadi bagian dari indus­tri budaya.
Pel­bagai benda dan jasa beredar di toko dan kaki lima dunia:
kedok­ setan, jubah Drakula, pesta dalam gelap, novel Stephen
King....
Di Amerika Serikat, tahun 2004, pemasaran setan-setanan 31
Oktober itu dapat menjelaskan kenapa ketakutan pasca-11 Sep-
tember berlanjut terus. Dalam persaingan sengit dua calon presi­
den, ketakutan kolektif itu (”Awas teror!”) diolah dengan kampa-
nye yang panjang dan dana terbesar dalam sejarah: $ 550 juta di-
habiskan untuk iklan di TV.
Betapa kebetulan, tapi betapa cocok, ketika Usamah bin Ladin
mendadak muncul 48 jam sebelum Halloween. Pemimpin ”Al-
http://facebook.com/indonesiapustaka

Qai­dah” yang menyatakan diri sebagai pengatur penghancur­an


ke Menara Kembar itu menyiarkan statemennya. Berbicara da­
ri­sebuah waktu yang tak jelas dan tempat yang entah di mana,
ia­memang personifikasi teror yang pantas bagi orang Amerika:­
Usamah adalah Saman yang dipertuan­di dunia kematian, yang

Catatan Pinggir 7 291


SAMAN

tam­pak sejenak dari sebuah rekaman video yang agak kabur.


Jeng­gotnya panjang, sosoknya seperti jerangkong, pakaiannya se-
perti kostum si Tua Jahat dari dongeng Tolkien. Berbicara de-
ngan yakin dan tenang, ia tunjukkan bahwa gempuran Ameri-
ka—sekian ribu prajurit, sekian ton amunisi, bertubi-tubi selama
tiga tahun—tak mampu membunuhnya. Bak hantu orang Dru-
id, ia hadir di antara ada dan tiada: teknologi yang piawai menam­
pilkannya dari dekat, tapi teknologi yang setaraf tak dapat men-
jangkaunya.
Ketakjelasan itulah ciri pokok terorisme kini. Dulu, selama­
perang kemerdekaan Aljazair, bila bom meledak di subway atau di
kafe Paris, orang tahu siapa pelakunya dan tujuan apa yang hen-
dak dicapai. Hal yang sama terjadi semasa Perang Vietnam, bila
di satu sudut Kota Saigon mendadak suara gelegar terdengar dan
korban jatuh. Front Nasional Pembebasan Aljazair, seperti Front
Nasional Pembebasan Vietnam (”Vietkong”), adalah organisasi­
perjuangan politik, dan teror hanya­lah salah satu metodenya.
Tapi ”Al-Qaidah”? Sebuah organisasi besar? Sebuah ”aliran”?
Kini teroris tersebar, tapi tak jelas apa hubungan bom di Ba­
li dengan bom di Spanyol, ledakan di Pakistan dengan pembu­
nuhan di Mesir. Dan gambarannya kian ruwet setelah penculik­
an dan bom bunuh diri berkecamuk di Irak sejak Amerika men-
duduki negeri itu. Apa yang menyatukan aksi yang tersebar itu?
Apa yang membedakannya?
Memang sering dunia diberi tahu motif keagamaan mere­ka
yang keras. Dunia juga tahu apa yang membuat mereka marah.
Tapi tak pernah jelas bagaimana program politik di balik semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu, dan bila mereka anti-Amerika, tak dapat dibayang­kan ba­


gaimana mereka akan mengalahkan ”Sang Setan Besar”.
Dalam kekaburan itu bahasa mencoba menemukan ekono­mi­
nya sendiri untuk lebih jernih. Pengertian disederhana­kan, kata
dicoba diberi bangunan makna yang ajek. Sebagai­mana ”rasa ta-

292 Catatan Pinggir 7


SAMAN

kut” purba diberi sosok ”gendruwo” atau ”kuntilanak”, juga ”te­


ror”­abad ke-21 diberi sosok ”Al-Qaidah”. ”Musuh” juga secara
samar-samar diberi wajah ”Islam”, tak peduli apa itu datang dari
Iran, Arab, Inggris, atau Negeri Dongeng.
Dalam pidato yang disiarkan di TV itu, misalnya, tak sepatah­
pun saya temukan kata ”muslim” dalam teks Usamah bin Ladin;
ia hanya menyebut Libanon dan Palestina. Tapi laporan Douglas
Jehl dan David Johnston di The New York Times me­nulis­bahwa
tokoh ”Al-Qaidah” itu berbicara tentang ”muslim securities”. Be-
berapa hari sebelumnya The Boston Globe mengutip seorang Ame­
rika yang pernah disandera oleh kaum mili­tan pada tahun awal
Revolusi Iran. Ia menghubungkan penyanderaan di Teheran itu
dengan pembantaian di World Trade Center tahun 2001. ”Saya
tahu mereka akan datang lagi,” katanya—seakan-akan ”mereka”
yang di Iran dua dasawarsa yang lalu sama dengan ”mereka” yang
menghantui Amerika sejak ”11 September”.
Dengan kata lain, berlainan dengan ketika menghadapi ge­
rak­an komunisme internasional, kini orang Amerika tetap tak ta­
hu siapa gerangan musuh itu dan kenapa dan dari mana ia mun-
cul. Bahasa dapat diberi bangunan makna yang ajek, namun
yang ”nyata” tetap luput. Teror tak mudah diringkas. Mambang
dan peri akan tetap gentayangan. Bahkan para pe­rencana­di Pen-
tagon tak tahu kapan perang melawan terorisme akan berakhir,
bagaimana pula kemenangan dan kekalahan dirumuskan dalam
rancangan operasi.
Mungkin ini perang yang akan tak usai. Lingkaran setan de-
ngan mudah terbentuk. Sebab telah tampak betapa mudah­nya
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengganggu keseimbangan jiwa orang Amerika, dan betapa mu-


dahnya para politikus mengubah paranoia khalayak ramai jadi
pat­riotisme dan xenofobia jadi unilateralisme—yang pada gilir­
an­nya akan kian mengucilkan Amerika di dunia. Seregu kecil
orang yang bersedia menghancurkan apa saja yang ”Amerika”

Catatan Pinggir 7 293


SAMAN

akan dapat memicu semua itu.


Seperti Halloween, di sini pun rasa takut dapat mendatang-
kan hal-hal yang dapat diperdagangkan; senjata, misalnya. Tapi
berbeda dari Halloween, dalam perang melawan terorisme itu
ada kematian, kehancuran, dan kebencian yang berjangkit. Juga
kehilangan perspektif. Orang lupa bahwa lebih besar ketimbang
”Al-Qaidah” adalah ancaman kemiskinan, penyakit menular,
hutan tropis yang habis, air bumi yang terkuras, ozon yang berlu-
bang, dan bumi yang bertambah panas.

Tempo, 14 November 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

294 Catatan Pinggir 7


LIBERALISME

L
IBERALISME terguncang hari ini. Pemilihan umum
2004 Amerika Serikat menghukumnya, dan mungkin se-
buah zaman baru di ambang pintu.
Bertahun-tahun lamanya orang Amerika hidup dalam sebuah
tata yang bertolak dari anggapan bahwa, dalam sebuah negeri,
hak adalah sesuatu yang tak dapat ditanggalkan. Hak itu diang-
gap telah lebih dulu ada, dan harus ada, sebelum ke­putusan nilai
tentang apa yang ”baik” dan ”buruk”, ”patriotik”­atau ”tak patri-
otik”, ”dosa” atau ”bersih”, ”pro-Yesus” atau ”anti-­Yesus”.
Kini pandangan yang mengutamakan ”hak” itu memang pa­
tut­cemas. Seorang presiden telah menang dengan dukung­an­ge-
muruh gerakan Evangelis Kristen. Tak berarti sendi li­beral­­isme
tum­bang. Konstitusi Amerika, yang mengadopsi beberapa pokok
pemikiran liberal, punya mithosnya sendiri.­Ia tak mudah untuk
dirombak, kecuali bila suara ”Kristen kanan”­yang menakutkan
itu menguasai seluruh perdebatan publik.
Tapi cukup tanda bahwa, setelah November 2004, hak sese­
orang dapat dicopot karena ada keputusan nilai tentang ”baik”
dan ”buruk”, ”dosa” dan ”tak dosa”. Dan mudah di­ketahui,­kepu-
tusan itu bukan sesuatu yang universal. Ia hanya sebuah konsen-
sus si mayoritas yang tak mendengarkan suara yang lain. Ia bah-
kan hanya menimbulkan sebuah soal besar: keadilan.
Keadilan jadi penting, sebab tiap masyarakat terdiri atas anasir
yang beraneka, juga nilai-nilainya. Di tahun 1960-an, di Ameri-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ka Serikat yang menindas mereka, orang-orang Hitam bergerak.


Mereka selama berabad-abad bisu dan tak tampak, tapi sejak itu
hadir dan bicara. Orang Amerika pun sadar bahwa sebuah negeri
akan dirasuki racunnya sendiri bila di tubuhnya ada orang-orang
yang tersembunyi dan tertindas: sekelompok yang berpendapat

Catatan Pinggir 7 295


LIBERALISME

lain, orang-orang yang tengah tak berdaya untuk berbeda sikap.


Sebab itulah bagi liberalisme—yang kian marak sejak itu—
keadilan bukan sekadar salah satu di antara sederet nilai. Keadil­
an adalah nilai yang utama. Dalam kata-kata John Stuart Mill,
pemikir liberalisme abad ke-19, keadilan adalah ”bagian pokok...
bagian yang paling suci dan mengikat, dari semua moralitas”.
Keadilan itu terkait erat dengan kehendak merawat hak orang
seorang. Amerika didirikan dengan keyakinan bahwa hak itu ber­
asal dari Tuhan. Atau, bagi pemikiran yang disebut­oleh Michael
Sandel sebagai ”liberalisme deontologis”, hak itu ada bersama­
laku manusia ketika ia merdeka. Liberalisme ini—yang dimu-
lai dari Kant di abad ke-18—menganggap kemerdekaan manusia
tampak ketika manusia mampu jadi ”subyek pengalaman,” bukan
semata-mata ”obyek pengalaman”, ketika ia dapat melampaui ke-
adaan empiris yang membentuknya dan mengatasi ”mekanisme
alam” dalam dirinya.
Kehadiran ”subyek” itu kian dipertegas dalam sejarah politik.­
Revolusi meledak di mana-mana, dan ”hamba” jadi ”warga”, dan
tiap kekuasaan manusia di atas manusia dipandang dengan syak.
Sejak itu, untuk memakai kata-kata Ronald Dworkin, seorang
pemikir liberal terkemuka dewasa ini, hak berperan ”sebagai kar-
tu truf yang dipegang individu-individu”. Akan gagal sebuah
pemerintahan, kata Dworkin, ”bila” lebih menyukai satu konsep­
si ketimbang konsepsi lain, baik karena para pejabat menganggap
konsepsi itu secara intrinsik­ lebih unggul, atau karena ia didu-
kung oleh kelompok yang lebih­banyak dan lebih kuat”.
Dari sini kita tahu kenapa Dworkin menentang keras pilih­an
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk membiarkan Presiden Bush berkuasa kembali. Sebagaima-


na ditulisnya dalam The New York Review of Books menjelang pe-
milihan presiden, November. 2004, ia memperkirakan Bush
akan mendesak agar Konstitusi diubah. Nilai-nilai kaum Evange­
lis Kristen akan jadi dasar hukum yang mengatur pernikahan,

296 Catatan Pinggir 7


LIBERALISME

penelitian ilmiah, bahkan politik luar negeri.


Bagi Dworkin, yang memasygulkan bukanlah baik atau bu-
ruknya pengaruh itu, melainkan telah terancamnya sebuah Ame­
rika yang menampung segala suara, sebuah negeri yang inklusif
dan berdasar keadilan.
Tapi ada yang tampaknya tak terpecahkan oleh para pemikir
liberalisme. Dari mana datangnya ”keadilan”?
Bila ia jatuh dari langit, atau dari ”subyek transendental”, bu-
kankah ia selalu keadilan yang ”mengejawantah”, yang diungkap­
kan di sebuah negeri, oleh sejumlah manusia, di sebuah masa, se-
hingga pengalaman manusia ikut menyemai dan membentuk­
nya?­Bagaimana mungkin sebuah pemerintah, juga sebuah ma-
syarakat, dapat merumuskan ”keadilan” tanpa­ dipengaruhi
peng­alaman hidup masyarakat itu, juga perimbangan kekuatan
yang ada dalam tubuhnya?
Liberalisme akan sulit menjawab ini. Maka sulit pula ia meng-
hadapi pertikaian nilai moral, nilai yang mungkin tak datang
dari langit, tapi dihayati bukan sebagai konflik kepentingan yang
dapat dirundingkan dalam proses penyelesai­an praktis di bumi.
Kaum Evangelis Kristen, misalnya, menampik pernikahan antar-­
orang gay, tapi kaum homoseksual­ menggugat: jika pernikah-
an dianggap sesuatu yang bagus, kenapa mereka tak boleh men-
jalaninya? Kaum Evangelis meng­­hendaki­pemerintah AS mendu-
kung tindakan Ariel Sharon­terhadap orang Palestina; bagi mere­
ka itu sesuai dengan ramal­an Alkitab. Tapi orang lain menilai­
ketidakadilan itu meng­ancam perdamaian. Bagaimana libe­ral­
isme menghadapi konflik macam itu—yang berangkat dari dua
http://facebook.com/indonesiapustaka

dunia yang berbeda, dan bertujuan ke hidup yang berbeda?


Ketika ”nilai moral” justru jadi sumber ketegangan sosial­
Ame­­rika, liberalisme pun oleng. Tampaknya memang ada ke­le­
mah­an liberalisme. Ia menganggap ”keadilan” nilai utama,­tapi
ia melihatnya sebagai sesuatu yang telah ada dan selesai. Tapi

Catatan Pinggir 7 297


LIBERALISME

bagaimana mungkin? ”Keadilan” itu seperti kolong: ia ”ada” tapi


ia ”tak ada”. Ia ada karena merupakan lawan dari ketidakadilan,
tapi maknanya belum terisi, meskipun terasa meluap-luap. Se-
buah ”penanda yang kosong”, kata Laclau.
Perjuangan politik yang tak henti-hentinya menunjukkan
bahwa ”keadilan” meminta untuk tak dibiarkan hampa—dan
demikianlah sejarah terjadi.

Tempo, 21 November 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

298 Catatan Pinggir 7


YAKIN

K
OTA kecil berpenduduk 17 ribu itu menyambut kun­
jung­an presiden mereka: Tuan Bush ternyata bersedia­
ber­kunjung. Bagi warga Poplar Bluff, Missouri, hari itu
menggetarkan. Seorang laki-laki setengah baya berpidato: ”Ame­
rika Serikat negeri terhebat di dunia. Presiden Bush presi­den ter-
hebat yang pernah saya ketahui. Saya cinta presiden saya. Saya
cinta negeri saya. Saya cinta Yesus Kristus.”
Yesus, Amerika Serikat, Bush. Mungkin bukan sebuah tri-
tunggal baru. Tapi mengapa tidak? Dalam sebuah reportase di
The New York Times Magazine 17 Oktober 2004, dengan anekdot
itu Ron Suskind menunjukkan gejala yang sedang merundung
AS: 42 persen orang merasa diri ”evangelis” dan ”dilahirkan kem­
ba­li” sebagai orang Kristen; di atas mereka, se­orang presiden yang
menyandarkan keputusannya lebih kepada ”iman” ketimbang
”fak­ta”. ”Inilah buat pertama kalinya saya merasa Tuhan ada di
Gedung Putih,” kata Gary Walby, seorang pensiunan jauhari in-
tan di Kota Destin, Florida.
Dan itulah yang, dalam kata-kata Suskind, membuat kepresi­
denan Bush ”radikal”: sang presiden memiliki kepastian ”yang
me­lebihi kewajaran, yang diresapi oleh iman”.
Harus dicatat: tak semua orang Kristen mengamini posisi itu.
Iman (seperti juga tanpa iman) membawa orang ke arah yang ber-
beda-beda. Seorang pastor yang bekerja dengan orang miskin
di Austin, Texas, berkata kepada Suskind: ”Iman yang nyata...
http://facebook.com/indonesiapustaka

membawa kita ke arah perenungan yang lebih dalam, dan bukan-


nya... ke arah... kepastian yang gampang.”
Tapi bukankah sudah lama orang hidup dengan sikap tak per-
caya, atau setengah percaya, atau tak peduli benarkah Tuhan ter-
libat dalam keruwetan manusia sehari-hari, dan sebab­itu ada ke­

Catatan Pinggir 7 299


YAKIN

rin­duan kepada iman yang lempang? Dan mana mung­kin sebuah


mesin kekuasaan dapat dijalankan tanpa ”kepastian yang gam-
pang”? Tiap mesin menghendaki garis lurus, sempit dan ringkas.
Benar, namun hanya dalam kiasan kekuasaan manusia­dapat
di­sebut sebagai ”mesin”. Bahkan birokrasi yang paling­rasional se-
lalu terancam kemustahilan. Kekuasaan ma­nu­sia­adalah kekua-
saan menghadapi diri sendiri yang tak sepenuhnya­dipahaminya
sendiri, manusia lain yang tak selama­nya dapat dimengerti, ma-
syarakat yang tak pernah selesai­terbentuk, semesta hidup yang
tak kunjung tertangkap oleh dalil.
Kian lama zaman kian mengungkapkan kemustahilan itu.­
Anthony Giddens jadi menonjol dalam percaturan sosio­logi kare-
na ia dapat merumuskan keadaan itu dengan sepatah kata kun-
ci: ”risiko”—yang baginya mendasari perikehidupan (”budaya”)
hari ini. Bahkan kian mengerikan kecelakaan yang mungkin ber-
langsung, kata Giddens, kian tak cukup peng­alaman kita perihal
risiko yang bakal ditanggung. Begitulah maka pelbagai guncang­
an terjadi dan kita terlambat: krisis moneter, wabah AIDS, ”11
September”, lapisan ozon yang bertambah cepat rusak.
Di hadapan itu semua, tak dapat saya bayangkan Tuan Bush—
atau siapa saja yang mengira bahwa mereka ”bersama­Tuhan”—
akan mampu menghilangkan sebuah dunia yang tak dapat dipre-
diksi dan bergerak seperti kuda liar. Jadi apa arti kepastian? Iman,
sebagaimana juga tanpa-iman, memang dapat menumbuhkan
ilusi yang bukan-bukan tentang ”aku” sebagai subyek yang mam-
pu memesan masa depan. Tapi Tuhan­tak ada di Gedung Putih.
Gary Walby, sang jauhari tua itu, keliru. Tuhan tak berdiam di
http://facebook.com/indonesiapustaka

mana saja manusia duduk di takhta, dalam segala jenisnya.


Sebab tiap kekuasaan, kafir atau bukan, di Amerika atau di
Indonesia, di Kremlin atau di Vatikan, di Jenewa di bawah Cal-
vin di abad ke-17 atau di Arab Saudi di abad ke-20, mengan­dung
lubang hitam: kekerasan, bahkan kebuasan, atau se­tidak­nya cela

300 Catatan Pinggir 7


YAKIN

yang serius, menyedot kuat manusia. Buku sejarah penuh dengan


kisah itu. Negara adalah bangunan yang tegak dengan pemban-
taian, penindasan, penyingkiran, atau pembungkaman. Tapi se-
lamanya akhirnya meleset.
Juga ambisi dan 1.001 salah tindak. Sebuah negeri selalu di­
rundung percaturan politik. Proses itu mau tak mau me­ngandung­
sikap bermusuhan, setidaknya iri, bahkan benci,­galak, dan naik
pitam—sesuatu yang agaknya dilupakan para pengikut Haber-
mas—sebab ketimpangan kekuasaan selalu ada, juga perebutan
untuk mendapatkannya, dan ”konsensus­rasional” tak selamanya­
tercapai. Sejak generasi pertama manusia setelah Nabi Adam,
sampai dengan generasi manusia dalam pemilihan umum di ta-
hun 2004, kita menyaksikan pola itu.
Pola itu menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama, bahwa­
dengan atau tanpa iradah Tuhan, pergulatan kekuasaan berpro­
ses dalam dan dengan tubuh manusia, dengan dan dalam baha­
sa­nya, akal dan syahwatnya, niat baik dan pamrihnya. Kedua,
proses itu pada akhirnya sebuah proses pengambilan keputusan.
Dalam bahasa Indonesia, kata itu, yang juga disebut ”memu-
tuskan”, mengandung kata dasar ”putus”: sesuatu yang traumatis.
Memang ada pengambilan keputusan berdasarkan analisis dan
forkas. Tapi itu sebenarnya bukan ”memutuskan”, melainkan
”meng­ikuti”. Saya kira Kierkegaard, pemikir yang saleh tapi ter-
kadang aneh itu, benar ketika ia mengatakan bahwa saat manusia
memutuskan adalah ”saat kegilaan”.
Bukan karena manusia ngawur, tapi karena ketika ia me­nga­
ta­kan bahwa ia ”yakin” akan hal yang ia putuskan, sebenar­nya ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

berhenti memperhatikan yang tak terduga, yang lain, yang tak


tertangkap. Saat itu ”gila” karena ia meloncat ke dalam ketidak-
pastian. Ia subyek dari keputusannya, tapi juga obyek yang diben-
tuk oleh keputusan itu. Mustahil baginya untuk tahu betul apa
sebenarnya kehendak-Nya. Maka manusia pun gentar dengan

Catatan Pinggir 7 301


YAKIN

pelbagai cara dan berdoa dengan pelbagai cara.


Menarik bahwa Bush juga gemar berdoa. Tapi di Gedung Pu-
tih, benarkah doa presiden yang ”terhebat” dari negeri yang ”ter-
hebat” itu—untuk memakai penilaian orang di Poplar Bluff—
berarti sebuah pengakuan akan ketidakhebatan? Ataukah hanya
Amir Hamzah yang bersedia bertanya: ”Tuhanku apatah kekal?”

Tempo, 28 November 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

302 Catatan Pinggir 7


KEJADIAN

T
IDAKKAH kita akan bosan? Demokrasi tanpa mukjizat.
Bila ”akhir sejarah” adalah sebuah keadaan hidup ketika
manusia menerima kemerdekaan dirinya sebagai sesuatu
yang normal, tak akan perlu sedu sedan lagi: marah dan kesedih­
an kita bawa sendiri, sendiri—atau kita letakkan di ruang ter-
batas. Huru-hara tak dibutuhkan. Ketika kita tahu bahwa revo­
lusi pada akhirnya akan berakhir—dan kita mendapatkan cara
merdeka yang lebih murah—buat apa perubahan yang meng-
guncang kita dari bulu kaki sampai ke ulu hati? Kita pun akan
membuat prosedur, juga untuk berteriak.
Kini pun, di jalanan tak ada teriak. Orang berdesak-desak.­
Dari jendela bus, masing-masing memandang ke luar, tak sabar,­
atau tidur dan menyerah ke dalam kemacetan rutin, dan berbisik,
(mengingatkan kita akan lakon Utuy Tatang Sontani), ”Sayang
ada orang lain ....”
Orang lain tentu tak akan musnah. Kelangkaan, dari mana
ekonomi lahir, akan tetap ada. Kita tetap harus berbagi. Tapi kita
akan enggan berkelahi habis-habisan untuk mengubah distribusi
itu. Di ”akhir sejarah”, kapitalisme telah diterima sebagai sesuatu
yang tak terelakkan. Manusia tak perlu membuat tangan gigan-
tis sendiri. Ada ”tangan yang tak terlihat” yang mengatur benda,
jasa, kekayaan, kesenangan.
Tentu, kita tak akan jadi mesin otomat yang bangun tidur, be­
kerja, makan, ngobrol dengan tetangga atau nonton TV dan sebe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

narnya hampa. Kita masih bisa tergugah melihat kesewenang-


we­nangan (misalnya di berita malam atau sinetron). Kita masih­
bisa bergabung dalam keranjingan Persebaya atau Manchester­
Uni­ted dan datang ke konser Slank. Kita masih bertarung habis-
habisan dalam turnamen taekwondo. Kita masih mencoba me­

Catatan Pinggir 7 303


KEJADIAN

nang dalam festival tari, di pasar saham atau di laboratorium


yang mencari obat baru untuk rambut rontok.
Tapi itu semua adalah gairah dalam sebuah tertib. Ukuran
dan juri disepakati—mirip kehidupan politik di atas kita. Dan
kita akan menyebutnya ”zaman normal”.
Mungkin membosankan. Sebab tidakkah terasa ada sesuatu­
yang kurang, sebuah defisit yang tak bisa kita hitung? Di negeri­di
mana demokrasi-tanpa-mukjizat telah berlangsung lama, orang
mulai melihat ada sesuatu yang ”salah” dalam gerak-tanpa-keha-
ruan ini. Orang pun bicara, dengan setengah mencemooh, ten-
tang ”republik prosedural”.
Dan orang pun mulai menyidik bahwa batas antara yang
”nor­mal” dan ”abnormal” sebenarnya semu. Seperti halnya jiwa­
ma­nusia sendiri: normalitas adalah sesuatu yang mengan­dung
luka dan lupa. Dalam keteraturan hari ini kita bukan saja mele­
takkan khaos dan ketidakpastian di hari kemarin. Kita juga tak
meng­akui ada represi pada jam ini juga di satu sudut kota. Seperti
lotere: prosedur yang teratur untuk menentukan pemenang sebe­
nar­nya justru bagian dari ritual untuk terkejut, sebuah upacara
ketidakpastian. Probabilitas dapat diperkira­kan oleh statistik.
Ta­pi para pakar tahu hasilnya selalu me­ngan­dung deviasi.
Maka tatkala ”politik” jadi prosedur, orang memang patut
ber­tanya: tidakkah ini hanya ilusi? Begitu gampangkah proses­
membuat prosedur itu diterima sebagai prosedur? Tidakkah pada
mulanya ada isi, yang bermakna, yang menyangkut ”keadilan”,
”ke­bebasan”, dan ”kebenaran”, hal-hal yang sebenar­nya begitu
penting bagi kelanjutan hidup (di) sebuah negeri?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di Indonesia, tahun ini, kita memang belum lupa bahwa­da­


lam ”politik” (sebagai prosedur), sebenarnya terkandung ”keja­
di­an”. Ketika Alain Badiou menyebut ”l’ événement” dalam seja­
rah—misalnya Revolusi Prancis—argumen filosof itu kita terima­
sebagai pengingat bahwa memang ada yang gerowong dalam tiap

304 Catatan Pinggir 7


KEJADIAN

ketertiban. Ke sana masuk sebuah gebrakan yang mengguncang


keadaan (atau tata) yang ada. Otoritas dan kepatuhan berdiri, ta­
pi dalam situasi itu sebenarnya berlangsung juga sesuatu yang su­
wung—kosong tapi penuh dengan entah—sesuatu yang sarat de-
ngan inkonsistensi tapi tak (hendak) diketahui. Ketika huru-hara
meledak, bagaikan sebuah mukjizat transformasi pun terjadi.
Para pelakunya menyebutnya ”Revolusi”. Melalui ”intervensi taf­
sir” itu, sang ”Kejadian” jadi ”Kebenaran”—sesuatu yang univer-
sal.
Politik sebenarnya mengandung cita-cita ke arah yang univer-
sal itu. Kini hal itu jadi penting, sebab kita hidup dalam masa
yang bertanya: jangan-jangan yang ”universal” sebenar­nya sesu­
atu yang hanya dicekokkan ke kepala kita oleh suara yang paling
kuat. Dengan kata lain, kita hidup tanpa pegangan bersama yang
mantap. Sang ”Kejadian” adalah yang memantapkan apa yang
tak mantap.
Tapi tidakkah Badiou sebetulnya sebuah suara nostalgia, keti­
ka politik terasa begitu-begitu saja dalam ”republik prosedural”?
Sebenarnya ia memang menghendaki ”mukjizat”: teori­nya bukan
hanya satu deskripsi, tapi acuan untuk membuat sebuah langkah
besar, yakni sebuah Keputusan di tengah hal yang tak dapat dipu-
tuskan, dalam ketidakmantapan nilai-nilai. Dari Keputusan itu
akan hidup kembali persoalan ”keadilan” dan ”kemerdekaan”
yang kita simpan di bawah kasur prosedur.
Namun acuan Badiou masih membuat saya waswas: Ke­putus­
an dalam ketidakmantapan itu juga pada dasarnya hanya ”prose-
dur”, meskipun dramatis. Tidakkah ”intervensi tafsir” dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

mem­buat kekerasan dari siapa pun jadi Kebenaran—juga dari


Hitler? Saya bayangkan seorang Jerman yang pada tahun 1930-
an menonton film Leni Riefenstahl, Triumph des Willens. Di sana
tampak rapat akbar Partai Nazi di Nürnberg pada tahun 1934—
parade yang dahsyat, ribuan barisan dalam desain yang agung. Ia

Catatan Pinggir 7 305


KEJADIAN

akan mudah dengan yakin menyatakan, ”Inilah Kejadian! Inilah


Kebenaran!”
Artinya masih ada yang kosong dan menakutkan, bukan
mem­bosankan atau tidak. Soalnya kemudian kapan politik mem-
beri isi dan prosedur hanya menjadi bentuk? Sekarang juga, saya
kira. Bahkan di ”akhir sejarah” isi itu, makna itu, masih meng­
imbau­—selama di luar pintu itu ada seorang yang tergeletak,­
lapar, luka, dan kita tak berpaling.

Tempo, 5 Desember 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

306 Catatan Pinggir 7


VAN GOGH

B
AGAIMANA kita bisa bicara tentang Mohammad B.?
Pada suatu hari di bulan November 2004 yang dingin, ia
membunuh Theo Van Gogh dengan tenang dan bru­tal­di
sebuah jalan di Amsterdam. Ketika seniman film itu bersepeda,
Mohammad B. menghadangnya, dan menembakkan pis­tolnya
delapan kali. Terkena lutut, Van Gogh terjerembap. Ia diseret.­
Dalam keadaan luka itu ia memandang orang yang menem­bak­
nya dan mencoba berbicara. Tapi Mohammad B. tak menyahut.
Dengan mantap tenggorokan Van Gogh dipotong­nya, hampir
pu­tus. Setelah itu, satu statemen lima halaman di­­pasang­ke tubuh
Van Gogh, direkatkan dengan sebilah pisau yang menghunjam
sampai tangkai ke jantung si mati.
Kesimpulan sementara: Mohammad B. membunuh karena
Van Gogh dianggapnya menghina Islam. Delapan minggu sebe­
lum­nya film Submission diputar di TV. Kata orang yang telah me-
lihatnya, salah satu adegan menunjukkan ayat-ayat Quran tertu­­­
lis­ di atas tubuh perempuan-perempuan yang mengenakan pa­­
kai­­an menerawang, dengan buah dada tampak. Ayat-ayat itu ko­
non menyebut perkenan Allah bagi laki-laki untuk memukul
istri­­nya. Wajah perempuan-perempuan dalam film bikinan Van
Gogh itu tampak bengap, runyam.
Di belakang ide film itu adalah Ayaan Hirsi Ali, seorang pe­
rem­puan kelahiran Somalia, anggota parlemen Belanda.­ Aya­an
Hirsi ingin menggambarkan perlakuan buruk Islam terhadap pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rempuan. Ia pernah menggambarkan riwayat hidup­nya sebagai


seorang anak yang meninggalkan Somalia dalam umur 6 tahun,
lalu hidup di Arab Saudi, Etiopia, dan Kenya. Menjelang umur
20 tahun, orang tuanya menyuruhnya menikah dengan laki-laki
yang tak dipilihnya sendiri. Ia harus menyusul calon suaminya di

Catatan Pinggir 7 307


VAN GOGH

Kanada, tapi di tengah perjalanan ia berhenti di Jerman, lalu naik


kereta api ke Belanda. Di sinilah ia belajar, berhasil, masuk ke ke-
hidupan politik, dan bergabung dengan Partai Liberal.
Setelah Van Gogh terbunuh, Ayaan Hirsi tak tampak lagi di
depan umum, dan Belanda tercekam dengan apa yang selalu­ter-
jadi setelah kekerasan: benci yang menular. Sekolah muslim dan
masjid dicoba dibakar, dan satu juta orang Islam di antara 16 juta
penduduk Belanda harus berhadapan dengan soal mendasar ten-
tang hidup di sebuah dunia yang mereka pilih, yang juga sebuah
dunia tempat seorang Van Gogh punya kemerdekaan untuk ber-
bicara dengan cara menghina apa yang amat berharga, bahkan
suci, di hati mereka.
Bagaimana kita bisa bicara tentang Mohammad B.? Dia me-
wakili perilaku Islam, kata sebagian orang. Bukankah pembu­
nuh­an sudah terjadi sejak zaman Nabi, bila ada orang yang diang-
gap berbahaya bagi agama? Bukankah hal yang sama berlan­jut
terus sampai abad ke-20? Satu daftar dapat dibuat: pada 1947, se­
orang pengacara Iran, Ahamd Kasravi, harus mati karena­tu­duh­­­
an­ seperti itu. Empat tahun kemudian, kelompok radikal­ yang
sa­ma membunuh Perdana Menteri Haji Ali Razmara. Di Me­
sir, Farag Foda, penulis Al-hakika al-gha’ iba (The Missing Truth),
yang menganjurkan sekularisme, dibunuh dalam umur 47 tahun.
Pada 1993, Tahar Djaout, seorang novel­is Aljazair, dise­rang dan
tewas. Pada 1994 novelis Naguib Mahfouz, pemenang Hadiah
Nobel, ditikam. Dan kita ingat­Salman Rushdie yang ”dijatuhi
hukuman mati” (tentu tanpa­ pengadilan) oleh Ayatullah Kho-
meini, dan Rushdie harus bersembunyi bertahun-tahun, sampai
http://facebook.com/indonesiapustaka

akhirnya penguasa Iran mencabut fatwa itu.


Tidak, kata yang membantah, Mohammad B. tak mewakili­
Islam. Memang untuk berbuat kejam (”keras”), orang selalu da­
pat mengutip Quran dan hadis. Itu yang dilakukan oleh mereka­
yang membunuh Kaswavi dan mencoba menghabisi Salman

308 Catatan Pinggir 7


VAN GOGH

Rush­die. Tapi kenyataan tetap: sebagian besar muslim tak per-


nah membunuh atas nama agama mereka. Bahkan dari seluruh
penduduk muslim Belanda, kata sebuah sumber di Dinas Ra-
hasia, hanya 150 orang yang dapat dikategorikan ”radikal” dan
mendekati ”teroris”.
Kenapa kita tak melihat Mohammad B. sebagai seseorang de­
ngan keputusannya sendiri yang sunyi? Kenapa perkaranya­ tak
hanya dibatasi sebagai perkara kriminal, dan bukan per­kara­
”kultural”? Kenapa sumbernya ditarik jauh ke ajaran Islam? Bu-
kankah ajaran Islam selalu bersifat tafsir orang, dan dari sana da­
pat lahir pembantaian tapi juga perdamaian? Bukankah hal yang
sama berlaku untuk agama Yahudi dan Kristen juga dalam se-
jarah Eropa—yang menyebabkan orang bisa mengeluh: alangkah
membingungkannya Sabda Tuhan?
Tak kalah membingungkan adalah kata-kata manusia. Per­
soal­an sebuah negeri yang dihuni oleh beragam orang dengan be-
ragam iman ialah ketika ”multikulturalisme” jadi kebijakan pub-
lik. Kebijakan ini akan bergantung pada bagaimana ”kultur” di-
petakan dan bagaimana ”identitas” diresmikan. Orang cende­
rung­lupa bahwa ”identitas” tak pernah ada dalam hidup­orang
se­orang. Label ”Islam” tak sepenuhnya mencakup (dan mengua-
sai) kita. Kita tak akan pernah bisa tahu benar­kah Mohammad B.
seorang ”Islam”, meskipun ia menyebut diri demikian, sebab kita
sebenarnya tak ada jaminan seluruh dirinya mencerminkan ”Is-
lam”—sebab tak ada ”Islam” yang membentuk para pemeluknya
bagaikan sebuah cetakan yang sudah siap.
Bagaimana kita bicara tentang Mohammad B.? Kita belum
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahu apa sebenarnya yang dicarinya. Adakah pembunuhan pada


hari itu cara dia menunjukkan sebuah jalan buntu, ketika dialog­
macet—ia tak akan dapat mengubah Van Gogh dari sikapnya
yang menghina itu? Bahwa argumentasi pada akhirnya ditentu-
kan oleh mana yang kuat, dan sebab itu Van Gogh dapat menyi­

Catatan Pinggir 7 309


VAN GOGH

ar­kan filmnya dan Ayaan Hirsi dapat mempunyai forum untuk


menyampaikan kecamannya?
Mungkin akhirnya Muhammad B. berkesimpulan, yang kuat
adalah yang dapat membisukan yang lain—dan satu juta muslim
itu pada akhirnya toh tak berdaya. Tapi mungkin ia tak tahu atau
tak peduli: jika kekuatan berarti pembunuhan, tak akan ada ne­
ge­ri yang dapat menjadi negeri, dan yang ada hanya jutaan bang-
kai.

Tempo, 12 Desember 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

310 Catatan Pinggir 7


MATI

P
ADA suatu sore tahun 1947, ayah saya dieksekusi oleh pa-
sukan Belanda yang menduduki kota kami. Saya, anak
terkecil, tak diperkenankan melihat jasadnya. Tapi ke-
mudian Ibu bercerita bahwa ada tiga butir peluru yang ditembak-
kan ke kepala Bapak.
Keluarga kami tak pernah tahu kenapa ia dihukum mati. Tak
ada pengadilan pada hari-hari itu. Pasukan Belanda baru­saja me­
rebut kota kami, malamnya seorang gerilyawan me­lempar­kan
gra­nat ke markas mereka dan membunuh entah berapa­ orang
ser­dadu, dan Bapak mungkin berkaitan dengan itu semua, tapi
mungkin tidak. Barangkali ia—yang dibuang ke Digul beberapa­
belas tahun sebelumnya setelah pemberontakan gerakan kiri
yang gagal pada 1927—sudah ada dalam daftar orang yang tak
dikehendaki.
Sejak itu saya tahu, kekerasan dan kematian terjadi ketika ada
orang yang tak dikehendaki dan sebuah kekuasaan jadi cemas.
Pada 1965-1966 berpuluh-puluh ribu orang dibunuh­ketika In-
donesia cemas—sebuah perasaan yang makin akut karena­waktu­
itu tak jelas siapa gerangan ”Indonesia” yang cemas itu. Tiap ka­
li masyarakat guyah, tiap kali sesuatu yang dapat dijunjung di­
tegakkan, dan tiap kali ada yang harus di­singkir­kan. Mem­ba­
ngun­ adalah menghancurkan. Dalam takhayul di kota saya di
pantai utara Jawa, harus ada kepala yang dipotong ketika orang
mem­buat jembatan. Mungkin itu juga yang tersirat dalam legen­
http://facebook.com/indonesiapustaka

da tentang Roma yang termasy­hur itu: di bukit tempat kota itu


didirikan, Romulus membunuh saudara kandungnya, Remus,
sebelum tata dan tertib lahir.
Itu sebabnya orang menghukum mati orang lain, bila ia ada
da­lam daftar yang tak dikehendaki. Si ”bersalah”, si ”ganjil”, tak

Catatan Pinggir 7 311


MATI

hanya harus diubah dalam sikap. Tubuhnya harus ditiada­kan.


Semangat totaliter (Stalin dalam Revolusi Rusia, Mao dalam
Re­volusi Cina, dan Khomeini dalam Revolusi Iran) selalu ingin
menciptakan ”manusia baru”. Maka orang dijejali­doktrin, diolah
lewat proses ”transformasi pikiran”. Stalin me­ngerahkan seniman
untuk mempraktekkan ”realisme sosialis”, sebab mereka adalah
”insinyur jiwa manusia”. Mao mendera rakyat Cina untuk meng-
hafal ”Buku Merah”. Khomeini me­ngon­trol pikiran orang ramai
dengan fatwa, titah Tuhan, dan sabda Nabi. Tapi pada saat yang
sama, orang juga dibunuh. Bangkai yang tergolek di lapangan
eksekusi adalah tanda ter­akhir­bahwa tubuh mempunyai arti.
Tubuh pada akhirnya memang bagian sentral kehidupan poli-
tik. Pada 1995 Agamben menulis Homo Sacer: Sovereign Power
and Bare Life, dan salah satu tesisnya ialah tubuh hadir memben-
tuk kehidupan politik. Bios, kehidupan politik, memasukkan ke
dalam dirinya zoe, kehidupan alami manusia. Ingat, katanya, de-
mokrasi Eropa dimulai dengan habeas corpus: perintah mahka-
mah untuk menghadirkan orang yang ditahan ke depan hakim,
agar dapat ditentukan sah atau tidak­nya penahanan. Dalam arti-
nya yang harfiah, habeas corpus adalah ”Anda dapat mendapatkan
tubuh itu”.
Tapi masuknya tubuh ke kehidupan politik juga telah me-
nyebabkan pelbagai horor. Kita tahu yang iblis dalam rasialisme.
Yang dibinasakan, disingkirkan, dan ditindas bukanlah mereka
yang jahat. Penolakan berpangkal pada kulit, bentuk hidung, je-
nis rambut, dan segala pembawaan yang tak dapat dipilih dalam
kandungan sang ibu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Juga hukuman mati: yang dihabisi bukan perbuatan, tapi ker-


ja jantung, limfa, paru, dan otak. Adorno benar: sejak Ausch­
witz, rasa takut akan mati berarti rasa takut akan yang lebih bu-
ruk ketimbang mati. Di kamp konsentrasi, kamar gas, dan di
saat eksekusi yang ditetapkan Negara untuk mengurangi jumlah

312 Catatan Pinggir 7


MATI

perusuh, yang terjadi bukan saja rasa sakit jasmani bagi indivi-
du, tapi rasa sakit yang dihadapi seseorang ketika ”individualitas
nyaris punah”.
Saya ingat Bapak. Saya tak pernah tahu mereka tutupikah ma­
tanya di depan regu tembak sore itu dengan sepotong kain. Ke­
kuasaan yang beradab melakukan hal itu—tapi juga di sini kisah
peradaban adalah kisah kebiadaban. Kain yang menutupi mata
itu juga menutupi sesuatu yang penting dalam wajah manusia.
Praktis ia menutupi seluruh wajah. Artinya: ia membungkus apa
yang ”lain” agar tampak jadi ”sama”. Hukuman mati adalah seje-
nis materialisme yang ganas dan menipu diri­nya sendiri. Ia meng-
hormati yang jasmani tapi pada saat yang sama menghilang­kan
yang berarti, dan beragam, dari yang jasmani.
Tapi tak hanya di depan regu tembak hal itu terjadi. Yang jas-
mani secara tak kentara kian menggusur ”individualitas­ yang
nyaris punah” ketika kelaparan, kekurangan tempat,­ke­kurang­an
air, menjarah sebuah wilayah yang padat. Mungkin­itu sebabnya
di negeri-negeri miskin, orang tak menggugat hukum­an mati se-
bagai sesuatu yang keji. Di sini, yang lebih buruk ketimbang mati
adalah hidup yang rudin, terjepit, dan sekarat. Tak mengheran­
kan­ bila dari sini ada suara yang menggugat: gerakan anti-hu­
kum­an-mati yang kita dengar sekarang adalah tanda keberlim-
pahan Eropa.
Eropa memang punya banyak keberlimpahan—di antara­nya­
sejarah yang bengis dan penuh kesalahan. Sering kita lupakan­
bahwa Kant, yang jauh pada abad ke-18 telah memberikan dasar
filsafat yang kini dipakai untuk perjuangan hak asasi manusia—
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang bicara bahwa ”kemanusiaan” bukanlah cuma alat, tapi tu-


juan—adalah orang yang setuju hukuman mati bagi para pem-
bunuh. Ia, yang seumur hidup tak pernah pergi keluar dari Könis-
berg, kota kecilnya di Prusia Timur, memang orang yang gentar
akan kekacauan.

Catatan Pinggir 7 313


MATI

Tapi mungkin kita tahu kenapa. Bahkan dalam pikirannya


yang luhur itu Kant lebih bicara tentang ”kemanusiaan”, atau
”manusia”, ketimbang tentang subyek-subyek yang empiris,­yang
hidup dalam pengalaman sejarah. ”Manusia”: sesuatu yang abs­
trak. Dalam abstraksi itu, manusia—tanpa tubuh, tanpa per­
ubah­an—akan punah seluruhnya ditelan bios, di­ceng­keram ke-
hidupan politik.
Sejak itu, kita tahu kekerasan dan kematian bermula dengan
segala bentuknya. Dengan tiga butir peluru Eropa menem­bus ke-
palanya, ayah saya hanya sebuah contoh.

Tempo, 19 Desember 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

314 Catatan Pinggir 7


JASIH

J
ASIH mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus
mengaku .... Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita
berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita
sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begi-
tu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nya-
wa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kan­
ker­otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersa­
lah karena Jasih begitu miskin utangnya yang lima juta rupiah
ke­pada para tetangga itu begitu menekan dan kita selama ini ing-
kar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.
Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih
tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Ke­
jadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta­Utara,
pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu.
Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau
da­ri tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di ba-
lik benua. Kecamatan itu hanya bebera­pa puluh kilometer saja
dari orang-orang (mungkin teman-teman kita) yang baru mem­
be­li sebuah apartemen di Paris, menikahkan anak di Convention
Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyo­
gok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gere­
ja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10
orang teman ke Mekah, berjudi di London sampai kalah­1.000
pound sterling, atau hanya menyimpan uang beberapa mi­liar­di
http://facebook.com/indonesiapustaka

bank seraya menunggui bunga sekian persen. Daftar itu bisa di-
perpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas.
Tuan akan berkata, tentu, ”Ah, tidak jelas!” Tuan akan ber­
tanya kenapa Tuan disangkutkan ke dalam ”salah”. Maaf, be­
ribu-­ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita

Catatan Pinggir 7 315


JASIH

(Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidak­merasa
bersalah karena kematian di Lagoa itu, jika kita merasa­tak ber­
urusan­dengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu ber­arti kita
dungu atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah
negeri, bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar, dengan
kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian dunia yang be-
bas dari kelangkaan dan kekurangan;­ itu­lah sebabnya ekonomi
terjadi: orang berproduksi terus, tukar-­menukar tak henti-henti.
Dan jika kita berbicara tentang Indonesia, kita akan lebih tahu
apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan
tahu apa yang ada di balik­nya: kekayaan yang begitu timpang,
kesempatan yang begitu­selisih. Dari sini Tuan tahu apa yang me-
nyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh. Inilah
daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak
pernah meng­ulurkan bantuan ke rumah orang miskin, karena
in­dustriawan obat yang hanya memikirkan the bottom line, kare-
na pejabat Departemen Kesehatan yang mencolong dana buat pe­
layanan­medis dan pencegahan penyakit di kampung-kampung,
karena­ wartawan-wartawan (rekan-rekan saya) yang menerima
suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu la-
lai untuk menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada pub-
lik, juga karena para wakil rakyat yang setelah beranjangsana ke
luar negeri dengan uang ribuan dolar tak menegur kepala daerah­
yang tak banyak berbuat. Tuan dan saya tambah bersalah bila
Tuan dan saya tak tahu itu apalagi berpura-pura tidak tahu itu.
Tuan bersalah, tapi harus saya tambahkan memang: kesalahan
Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa saya, yang menulis tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lisan ini dan sudah terlambat, yang menulis dan mendapatkan


nama, yang ingin menangis untuk Jasih dan Galuh tapi kemudi-
an merasa bahwa saya juga yang akhirnya mendapatkan manfaat,
juga dari tangis itu. Jasih, Galuh, dan kakaknya, Galang, yang lu-
ka-luka, dan Mahfud, bapak anak-anak itu, yang kehilangan se-

316 Catatan Pinggir 7


JASIH

gala yang berarti baginya, tetap tak tertolong. Miskin. Berutang.


Hari-hari yang sudah cacat.
Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap
jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki
orang lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masya­
rakat apalagi masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan
bah­wa pada saat seseorang memaklumkan, ”Inilah tempatku di
bawah cahaya matahari,” itulah bermula perebutan tak sah se-
luruh muka bumi. ”Kematian orang lain memanggilku untuk
dita­nyai,” kata Emmanuel Levinas, ”seakan-akan, karena sikap
acuh tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, aku bersekongkol
dengan kematian yang dihadapkan kepada orang lain, kematian
yang tak dapat diketahuinya.”
Jasih, saya tak berharap saya layak kamu maafkan.

Tempo, 26 Desember 2004


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 7 317


http://facebook.com/indonesiapustaka

318
Catatan Pinggir 7
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 7
2005

319
http://facebook.com/indonesiapustaka

320
Catatan Pinggir 7
TERANG, GELAP, HARAP

K
ALENDER selalu sampai di lembar terakhir, kita selalu
tiba di pangkal pertanyaan: benarkah harapan mung-
kin? Tiap Desember orang memperkirakan dan meran-
cang. Mereka sebenarnya bertanya. Tahun 2005 suram? Pertum-
buhan di atas 5 persen? Akan ada teror baru?
Statistik dan astrologi memberi jawaban yang selalu siap un-
tuk cacat. Tiap ramalan adalah orakel. Tapi kita memasuki­tiap
ta­hun baru (pesta yang seru, trompet kertas yang dipekik­kan di
jalan-jalan, atau doa seorang diri di kamar sempit) dalam sebuah
sikap yang tak selamanya diucapkan: hidup tak pernah indah, se-
benarnya, tapi berharga.
Memang ada orang yang membuat diri jadi peledak agar han-
cur apa yang dilihatnya sebagai musuh yang jahat, ada Jasih dari
Kelurahan Lagoa yang membakar diri dan anak-anaknya karena
merasa habis dalam kemelaratan, tapi mungkin justru itu juga
isyarat: bagi si pengebom-bunuh-diri, hidup begitu berharga
hingga kematiannya adalah pemberian yang paling luhur bagi
se­buah tujuan agung; bagi Jasih, hidup begitu berharga hingga
penderitaan tak patut melekat di dalamnya.
Di dunia yang berjejal-jejal, yang kumuh, korup, bengis, dan
tak adil—yang tiap hari kita alami dengan mata nyalang di jalan-­
jalan Jakarta—orang toh tetap tak memutuskan, ”Ah, tak perlu­
hari esok.” Orang akan tetap bangun tidur, membersihkan pela-
taran, atau jogging, atau mendengarkan kuliah subuh, terus me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lakukan hal-hal yang dilakukan kemarin dan akan dilakukan


nanti. Rasa putus asa yang radikal tak bisa memikat orang ramai.
Sampai hari ini belum pernah ada sebuah masyarakat yang ber-
duyun-duyun seperti lemming menenggelamkan diri di laut.
Dengan kata lain, orang ber-harap, meskipun mungkin tidak­

Catatan Pinggir 7 321


TERANG, GELAP, HARAP

meng-harap. Ada sebaris kata-kata yang bagus dari Vaclav­Havel,


ketika ia masih seorang sastrawan yang menarik, tentang beda
men­dasar antara ”harapan” dan ”optimisme”. Harap­an, kata Ha­
vel, ”bukanlah keyakinan bahwa hal-ihwal­ akan berjalan baik,
melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong
kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhir­nya”.
Havel tak menguraikan bagaimana halnya optimisme. Tapi
dapat ditarik kesimpulan di sini: optimisme adalah keyakin­
an yang kurang-lebih utuh dan konsisten tentang masa depan.
Mungkin sebab itu optimisme mengandung sikap yang gagah,
tapi itu juga dapat berarti jumawa, dan itu berarti pongah.­Sebab­
sebenarnya tak ada kemampuan dalam diri manusia yang se­ca­
ra konsisten dan utuh menangkap (tak hanya memperkirakan)­
”apa-yang-akan-datang”. Bahkan juga ”apa-yang-lalu” dan
”yang-kini” tak dapat sepenuhnya diketahui dan dijadi­kan dasar
bagi tindakan. Optimisme adalah ibarat iklan rumah yang akan
dijual: selalu dengan cahaya terang-bende­rang, tapi selalu cende­
rung menyenangkan calon pembeli, maka ditambah ilusi, juga
dusta, biarpun sedikit.
Maka ada beda yang jauh antara ber-harap dan meng-harap.
Ber-harap adalah berada dalam harapan yang sudah ada. Di sini
harapan bukanlah sesuatu yang disengaja dan diniatkan. Dalam
ber-harap tersirat sikap yang lebih rendah hati menghadapi ruang
dan waktu. Orang Islam menghubungkannya dengan tawakal.
Sebuah konsep yang unik, sebab di situ sekali­gus termaktub dua
kecenderungan yang sebenarnya bertentangan: ”pasrah” dan
”tekad”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam khazanah agama, tawakal merekatkan kedua kecende­


rungan itu dalam ”iman”. Jika kita perhatikan benar, agama me-
mang meletakkan ”harapan” di pusat dirinya. Iman menghibur,
meskipun sukar, meskipun sunyi. Kita diberi tahu bahwa hidup
sebenarnya abadi, dan yang kekal akan datang setelah kematian.

322 Catatan Pinggir 7


TERANG, GELAP, HARAP

Kita diberi tahu tentang Taman Firdaus, atau pencapaian rohani


yang akhirnya berarti kebebasan dari kesengsaraan dunia. Bagi
agama, tanpa iman, harapan mustahil.
Di abad ke-13 Thomas Aquinas menjelaskan kenapa. Ia me­
nga­takan bahwa harapan harus dibedakan dari ”hasrat”, karena­
harapan adalah ”muskil” (dan hasrat tidak demikian);­ harap­an
juga harus dibedakan dari putus asa, karena ia ”mungkin”. Ber­
gerak bolak-balik dan timbul-tenggelam antara ”muskil” dan
”mungkin” itu, harapan membutuhkan Tuhan. ”Tak ada orang
yang mampu sendirian menangkap kebaikan luhur dari kehidup­
an abadi; ia perlu bantuan ilahi,” begitulah kata Santo Thomas.
Maka ada satu hal yang berlipat dua: ”kehidupan abadi ke mana
kita berharap, dan bantuan ilahi dengan apa kita berharap”.
***
Di abad ke-21, orang tetap menghubungkan harapan dan
iman, seperti dulu. Tapi berbeda dengan yang dibayangkan Tho­
mas Aquinas: hari ini ”bantuan ilahi” penting, tapi untuk­agenda
yang berbeda sama sekali. Di abad ke-21 banyak orang tak meli-
hat lagi bahwa harapan sering terbanting-banting bergerak anta-
ra ”muskil” dan ”mungkin”. Yang mereka lihat, harapan tak lagi
sesuatu yang misterius. Banyak orang berada dalam posisi meng-
harap, bukan ber-harap.
Dalam meng-harap aku menghadapi dunia dan masa depan
sebagai sesuatu yang kukehendaki. ”Apa-yang-akan-datang” ku-
tarik ke arahku, dan dengan itu kuketahui dan kukuasai. Iman
dan harapan di sini bertumpu pada subyektivitas yang kuat: aku
melangkah ke masa depan karena sebuah kehendak, dengan ke­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sa­daran yang utuh karena sebuah niat, dengan langkah yang ter-
atur dan efektif karena akal. Tuhan bersamaku: Ia membuat ke-
hendak, niat, dan akalku menjadi bertambah dahsyat. Tuhan
bersamaku: Ia hadir bukan untuk mengingatkan kelemahanku,
melainkan untuk membuatku, sebagai subyek, mengatasi bagian

Catatan Pinggir 7 323


TERANG, GELAP, HARAP

diriku yang tak hendak ikut titah sang subyek—misalnya tubuh-


ku.
Subyektivitas yang kuat itu yang membentuk dunia modern,­
sampai hari ini. Modernitas adalah optimisme. Dengan kehen-
dak yang kukuh, kesadaran yang stabil, dan akal yang tajam,
kemajuan pun menderu laju. Dari deru itu bangkitlah sebuah
masyarakat yang bagaikan penenung dapat menyulap tanah
dan air jadi sumber produksi yang perkasa. Di Eropa, tempat la-
hir modernitas ini, dalam waktu yang tak sampai seratus tahun
telah lahir ”kekuatan produktif yang lebih pejal dan lebih­kolosal
ketimbang yang himpunan hasil karya seluruh generasi sebelum-
nya”. Kata-kata ini, datang dari Marx dan Engels­dalam ”Mani-
festo Komunis”, menggambarkan betapa gemuruhnya kemajuan
manusia semenjak sejarah baru ini, yang pada dasarnya sejarah
yang dipelopori kaum borjuasi.­ Yang tak disangka Marx dan
Engels­ialah bahwa­kaum ini sampai hari ini tetap jadi penggerak
optimisme.
Memang ada yang membuat kita risau dalam proses itu. Ada
yang menggambarkan zaman modern yang menang ini telah
membentangkan jalan yang bersinar-sinar, tapi tiap cahayanya
menyembunyikan malapetaka. Para cendekiawan, para pemuda­
progresif, para rohaniwan prihatin dan entah siapa lagi telah ber-
ulang-ulang mengecam kemajuan borjuis itu, dan me­ngutuk­
Tuan Modal sebagai sesuatu yang jahat. Teriakan itu masih keras,
tapi belum ada juga yang tahu bagaimana menghentikan kapital-
isme. Marx, Lenin, Mao pernah mencobanya, dan pernah sosial­
isme merupakan cara orang meng-harap. Sosialisme adalah op-
http://facebook.com/indonesiapustaka

timisme. Tapi kemudian kita tahu ia gagal. Yang pandai meren-


canakan pembagian kue yang sama-rata tak dengan sendirinya
pandai membuat kue yang cukup.
Maka apa yang tinggal, setelah tiap kali halaman terakhir ka­
len­der kita robek? Mungkin harapan dan iman dalam versi­abad

324 Catatan Pinggir 7


TERANG, GELAP, HARAP

ke-21. Dengan kata lain, yang akan hadir adalah aku yang me-
mandang ”yang-akan-datang” dengan mantap, sebab aku adalah
subyek yang terbangun oleh kehendak, niat, dan akal yang ber-
tambah dahsyat karena aku punya kepastian—yakni kepasti­
an yang diberikan agama. Persoalan yang akan timbul ialah ba­
gaimana subyek-plus-iman yang menganggap diri dahsyat itu
akan terhindar dari ilusi optimisme.
Ada satu sajak menarik dari Iqbal yang menggambarkan dia­
log antara Tuhan dan manusia. Kita tahu bahwa Iqbal perca­
ya, manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi, dengan ”ke-
merdekaan ego-insani” yang didapatnya dari sang Pencipta.­
Syahdan, manusia berkata, dengan bangga:

Kau buat malam, aku buat lampu


Kau buat lempung, aku bentuk cupu

Tapi dalam sajak Iqbal itu pula Tuhan menjawab, mengingat-


kan manusia akan sisinya yang menakutkan:

Dari bumi kusediakan baja sentosa


Tapi kau menjadikannya pedang dan senjata

Baris-baris terakhir itu adalah kritik kepada modernitas, tentu


saja. Tapi bukan hanya modernitas yang ”kufur”. Siapa­saja ma-
nusia yang mengerahkan diri untuk mengalahkan, menjinakkan
apa saja yang di luar dirinya—malam, lempung, baja—pada
akhir­nya menobatkan diri sebagai maharaja alam: sang Khalifah
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi berhala yang terasing.


Salah satu kekeliruan subyektivitas yang demikian perkasa
ialah tak melihat bahwa harapan punya sisi lain, yakni­”muskil”.
Kepastian tak pernah ada. Manusia, juga bila ia seorang ”pelo-
por” dalam pengertian Sayyid Qutb—yang dianggap dapat men-

Catatan Pinggir 7 325


TERANG, GELAP, HARAP

jaga arah perjalanan orang beriman ke masa depan yang bukan


jahiliyah—adalah makhluk dengan tubuh dan sejarah yang tak
terduga. Ia bertindak, dan menjadi subyek, karena ia kurang.
Orang-orang alim, termasuk Thomas Aquinas, menyangka
bah­­wa yang kurang akan dipenuhi dan yang tak terduga akan
dapat ditertibkan dan harapan akan beres dalam bimbing­an
ilahi.­­Tapi ini abad ke-21: Tuhan tak tampak. Kita tak pernah­ta­
hu adakah Ia sedang ”membimbing” atau kita saja yang meng­­
kha­yalkan-Nya. Tuhan, yang bahkan tak dapat di­pikir­kan, ha­
nya­datang meyakinkan kita di saat kita menemukan ba­­­yang-ba­
yang-Nya—hanya bayang-bayang-Nya—dalam diri­­­­­ manusia
yang kita temui sehari-hari. Itulah tanda bahwa ma­­­nusia niscaya
mulia, tapi dalam hidupnya dalam sejarah, ke­­muliaan adalah se­
su­atu yang mustahil.
Optimisme mengabaikan ini, tapi harapan tidak: manusia
adalah makhluk yang genting.
***
Takut akan kecewa, kita memainkan ironi. Begitu banyak
cita-cita gagal, maka lebih baik menerima apa yang sementara.
Yang penting kita tak berdusta pada diri sendiri bahwa kita me-
mang menyukai manusia, kebersamaannya, dan lingkungannya.
Kita tak mungkin akan angkat tangan bila malapetaka terjadi
pada semua itu. Kita tak putus asa bahwa ada yang diperbaiki—
meskipun kita tak akan sepenuhnya tahu, apa arti ”baik” yang
tersimpan dalam pengertian ”diper-baik-i” itu. Sebab ukuran be-
ragam, silih berganti. Bahkan titah Tuhan tak selamanya jelas;
para orang pandai menulis beribu-ribu buku untuk menafsirkan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya.
Tapi tahun 2005 datang, kalender telah dirobek, dan begitu­
banyak hal yang kita tahu tidak beres. Ironi saja tak akan mem-
buat kita melangkah. Berpegang pada yang sementara dan titah
kebaikan yang tak jelas, kita toh tetap memilih laku. Kita tak

326 Catatan Pinggir 7


TERANG, GELAP, HARAP

meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu


bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah
sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya ha­
rap­an: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika
kita tak melepaskannya.

Tempo, 2 Januari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 7 327


http://facebook.com/indonesiapustaka

328
Catatan Pinggir 7
TSUNAMI

A
NTARA pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, ker­
tas-­kertas bergetar di atas meja seorang penghuni Kota
Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak terdengar.­
Tiba-­tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar,
dengan­ napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur
dari mana-­mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelba­gai­­
sudut. Ia lihat para padri berdoa dan gereja-gereja mulai run­tuh.­
Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu
me­nyusul. ”Laut datang!” terdengar orang memekik.
Gulungan gelombang setinggi enam meter menggodam kota
di tepi pantai itu dengan ganas: gempa melontarkan tsunami ke
daratan. Ketika kemudian air kembali ke laut, ribu­an bangkai
tam­pak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian bumi tak ber-
guncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata­ Ero-
pa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan
puluhan, mungkin sampai 50 ribu. ”Apa yang harus dilakukan,
wahai, makhluk fana?”
Pertanyaan itu bergetar dalam sajak Voltaire tentang gempa
di Lisbon itu dan merobek dunia pemikiran abad ke-18. Pesimis-
menya mencekam, meskipun pesimisme itu sebenarnya bagian
dari kritiknya terhadap filsafat yang percaya bahwa Tuhan mem-
beri manusia ”dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”. Itulah
filsafat Leibniz: alam semesta adalah harmoni yang didesain Tu-
han. Tapi, tulis Voltaire: ”Leibniz tak dapat mengatakan padaku
http://facebook.com/indonesiapustaka

kenapa/Di dunia yang diatur oleh hukum yang paling arif ini/
kekacauan tak kunjung berhenti/Dan bencana terus/dan kenik-
matan yang sia-sia bercampur nestapa”.
Agaknya bagi Voltaire tak mungkin hal-ihwal hidup dijelas-
kan dengan Tuhan sebagai Sebab Utama. Tidakkah Ia seharus­

Catatan Pinggir 7 329


TSUNAMI

nya berada di atas hukum sebab-akibat? Dalam gempa Lisbon­


itu, misalnya: kenapa Tuhan meluluh-lantakkan sebuah kota
Ka­tolik, di suatu hari suci, pada jam ketika hampir semua umat
mengikuti misa? Dan kenapa rumah Sebatiao de Carvalho e
Melo, menteri yang anti-Jesuit itu, tak tersentuh—sementara se­
orang padri Jesuit mengatakan bahwa gempa bumi dan tsunami
itu sebuah hukuman Tuhan kepada orang jahat yang jadi mak-
mur di Kota Lisbon?
Hukuman Tuhan bagi umat Katolik? Tapi mereka tak sen­di­
rian jadi korban. Gempa hari itu juga mengguncang pantai lain
di seberang dan menghancurkan Masjid Al-Mansur di Rabat.
Beberapa pendeta Protestan yang bersyukur karena Tuhan ter-
bukti marah kepada Roma segera harus tutup mulut. Delapan
be­las hari setelah malapetaka Lisbon, sebuah gempa lain meng-
hancurkan 1.500 rumah orang Protestan di Boston, Amerika.

Akan berkatakah Tuan, di depan ribuan korban:


”Balasan Tuhan jadi: mereka bayar dosa dengan mati?”

Dengan kata lain, satu hal harus dilihat: yang disebut ”desain
Tuhan” hanyalah konstruksi manusia—lengkap dengan hasrat
dan kesumat manusia pula. Tapi bisakah Voltaire dari sini me-
nyimpulkan bahwa hidup tak ada hubungannya dengan kebaik­
an? ”Alam, dan hewan, dan manusia—semua dalam keadaan pe­
rang,”­begitulah di sajaknya tertulis. Mari kita akui: kekejian ber-
jalan tegak di atas bumi.”
Mungkin kalimat itu bagian dari sebuah gaya polemik. Pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

simis­me Voltaire toh tak menyebabkan ia menolak manusia dan


menampik hidup. Ia tak bunuh diri. Ia hanya mencemooh opti-
misme abad ke-18, ketika rasionalisme meyakinkan diri dengan
ilmu dan kawin campur dengan iman. Cemooh inilah yang ke-
mudian dipertegasnya dengan novel Candide yang asyik dan lucu

330 Catatan Pinggir 7


TSUNAMI

itu, yang kelak berkaitan dengan kritiknya kepada ajaran Kristen.


Ada yang mengatakan novel itu menjawab Rousseau, filsuf se-
generasinya, yang mempersoalkan pesimisme itu dalam sepucuk
surat bertanggal 18 Agustus 1756. Bagi Rousseau, manusia tak
seburuk itu pada dasarnya. Sejak nenek moyang, manusia punya
dua ciri: amour de soi, dorongan untuk mempertahankan hidup
sendiri, dan pitié, perasaan belas kepada sesama­yang menderita.
Sifat manusia memburuk ketika ia terlibat dalam pelembagaan
milik pribadi, perdagangan, dan hal-hal lain yang terutama tam-
pak di masyarakat kota, pusat peradaban. Dan itulah penjelasan-
nya tentang bencana Lisbon: kesalahan harus ditimpakan kepada
manusia di kota besar itu sendiri. Seandainya mereka tak berjejal-
jejal berebut kapling, seandainya mereka tak sibuk dengan milik
mereka, bencana itu tak akan begitu besar makan korban.
Voltaire tak menjawab, dan Rousseau mengeluh: ”Saya ajak
dia berfilsafat, tapi dia mengolok-olok.” Tapi sebenarnya ada sa­
tu bagian yang serius dalam novel Candide—justru di kalimat
pendek terakhir. Ketika Candide sedang di kebun, dan si Optimis­
Pangloss datang dan menguraikan bahwa ”dunia ini adalah yang
terbaik dari yang mungkin ada”, Candide pun menjawab. ”Ba-
gus, bagus, tapi kebun kita harus diolah.” Dengan kata lain: kerja
atau praxis akan membantah klaim tiap pandangan dunia yang
mencoba menjelaskan hidup secara menyeluruh. Agama dan fil-
safat—dengan optimisme atau tidak—bisa menyenangkan, tapi
kemudian terbatas.
Mungkin ada yang pernah bicara tentang Voltaire sang prag-
matis. Tampaknya baginya ”pemikiran” lebih penting­ketimbang
http://facebook.com/indonesiapustaka

”filsafat”, dan Voltaire adalah kritik yang terus-menerus-dengan


gelora hati, kalimat kocak, pikiran tangkas,­ dan main-main. Ia
mengatakan ”Aku menghormati Tuhan,­tapi aku mencintai ma-
nusia”: kita tahu ia memilih dekat dengan­yang konkret, meski­
pun­ia tak mengingkari ada yang lain dari yang konkret.

Catatan Pinggir 7 331


TSUNAMI

Justru sebab itu ia tergugah oleh kesengsaraan manusia dan


tahu ada hal yang tak terjelaskan dengan satu Sebab Besar. Maka
biarkan Voltaire bicara kepada kita kini. Banyak benar kebuasan
alam dan manusia yang tak terduga-duga, sejak tsunami Lisbon
1755 sampai dengan tsunami Aceh 2004, dan di situ apa artinya­
”mengetahui”? Dalam sajaknya Voltaire mengingatkan bahwa
ada momen dalam hidup ketika kita niscaya ”sumarah, memuja,
berharap, dan mati”—se soumettre, adorer, espérer, et mourir.

Tempo, 16 Januari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

332 Catatan Pinggir 7


BALSAM

P
EREMPUAN itu digantung sepanjang malam di sebuah
pohon. Hampir seharian opsir itu menginterogasi­nya dan
tak berhasil mendapatkan sepatah pengakuan apa pun.
Pe­rempuan setengah baya itu, seorang anggota SOBSI,­ selama­
bebera­pa jam telah ditelanjangi dan dipukuli di depan para ta­
han­an lain, tapi ia tetap diam, dan ketika hari menjelang malam
ia digantung. Tangannya diikat ke pohon, kakinya terjun­tai ham-
pir menyentuh tanah. Ia merasakan kesakitan yang amat sangat.
Malam itu Sri Ambar pasti tak tahu bahwa itu belum siksa­
an­yang paling mengerikan yang akan dialaminya. Beberapa hari
kemudian, setelah di depan para tahanan lain ia ditelanjangi lagi
dan dipukuli berkali-kali, atas perintah sang opsir TNI pantat
kiri Ambar ditusuk dengan sebilah pisau komando. Ketika ia te­
tap tak mengaku, pantat kanannya dicubles. Ia jatuh pingsan ka­
rena begitu banyak darah keluar.
Malam itu ia belum tahu semua itu akan terjadi. Tergantung­
ke­dinginan di pohon itu, yang diingatnya hanya ini: ketika tak
ada seorang tentara pun tampak di halaman tengah kamp itu,
se­orang pegawai sipil yang sudah tua datang mengendap-endap
mendekatinya. Ia membawa secangkir teh manis panas, dan dito-
longnya Ambar minum. Lalu pak tua itu mengambil dari dalam
sakunya sebotol kecil balsam, yang diusapkannya ke tubuh yang
tergantung itu. ”Maaf, saya menyentuhmu,” ujarnya berbisik.
Apa gerangan yang mendorongnya berbuat demikian? Tak se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang pun menyuruhnya. Ia mempertaruhkan keselamatan di­ri­


nya. Ia hanya seorang pegawai sipil di tengah kamp yang dikuasai
para interogator militer yang ganas, di masa ketika ribu­an orang
ditangkap dan dibunuh hanya karena diduga jadi pendukung
PKI. Bila ia ketahuan menolong tahanan politik seperti yang di-

Catatan Pinggir 7 333


BALSAM

lakukannya itu, ia pasti akan disiksa. Apa yang menggerakkan


hatinya, padahal tak dikenalnya Ambar, dan tak ada yang akan
memberinya upah dan pujian?
Buku Carmel Budiardjo, Bertahan Hidup di Gulag Indonesia,­
mengisahkan semua itu, tanpa menanyakan dan menjawab per-
tanyaan apa pun, dan memang buku ini bertugas merekam peris-
tiwa yang mengerikan pada tahun 1960-an itu. Tapi adegan di
rumah penyiksaan di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, itu tetap
meng­usik hati. Sejarah Indonesia punya noda hitam yang sampai­
hari ini tak diakui: ternyata di antara kita ada yang tega untuk
jadi amat jahat, bukan pada saat mereka menggarong, tapi pada
saat merasa berbuat baik.
Para interogator di kamp itu mungkin bisa tidur nyenyak se­
telah menghalalkan kebiadaban mereka sendiri dengan menga­ta­
kan, ”Ini untuk Republik kita.” Para komandan kamp itu mung-
kin bisa makan malam dengan anak dan istri setelah 24 jam me­
re­ka mengelola kebengisan, karena mereka yakin bahwa mereka
tengah membereskan ”orang komunis yang tak bertuhan itu”.
Mereka menyediakan buku agama untuk para tapol,­menyuruh
orang-orang yang dikurung itu beribadat—seraya sampai hati
menelanjangi si tak-berdaya untuk dinista dan dicederai, dipu-
kuli payudaranya, digigit kupingnya sampai putus, disiksa anak-
anaknya di depan mata sang ibu, disetrum kemaluannya, dicabut
kukunya dengan tang....
Tuhan, agama, tanah air—saya tak tahu lagi apa hubung­an
semua itu dengan kedurjanaan di satu pihak dan perbuat­an mu-
lia di lain pihak. Si petugas tua di rumah siksa di Jalan Gunung
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sahari itu mungkin seorang yang saleh: akankah ia masuk sur-


ga karena mencoba mengurangi rasa sakit seorang perempuan
yang dianiaya? Atau ke neraka, karena menolong seorang atheis?
Berpikirkah ia tentang surga dan neraka, atau hanya inilah yang
mendorong hatinya: ”Aku harus lakukan ini untuk seseorang

334 Catatan Pinggir 7


BALSAM

yang kesakitan, aku harus lakukan ini...”?


Kesewenang-wenangan manusia sangat merisaukan, ter­uta­
ma­ jika dilakukan oleh orang-orang dekat kita, atas nama ”ke-
baikan”. Tapi di sisi lain ada sesuatu yang selalu membuat kita
tak­jub: ”bintang-bintang di angkasa raya dan hukum moral­ di
dalam hati”.
Kata-kata Kant dari abad ke-18 ini berbicara tentang kenyata-
an sehari-hari yang sebenarnya ajaib: begitu kecilnya tubuh dan
tempat manusia di alam semesta, tapi begitu kuatnya ”hukum
moral” yang tersimpul dalam dirinya, yang membuat manusia de-
ngan ikhlas menolong dan menjabat tangan sesama, dan menja­
lankan ”keharusan kategoris” seperti yang dilakukan pak tua itu:
mempertaruhkan keselamatan diri untuk membawa segelas teh
kepada seorang perempuan yang tergantung sepanjang malam,
tanpa bertanya kenapa ia dihukum, percayakah ia kepada Allah,
atau dari mana ia berasal.
Hari ini saya teringat itu semua, ketika orang ramai menyebut­
Tuhan dan Islam—terkadang untuk menyejukkan hati, terka­
dang untuk mencurigai—tapi lupa, jangan-jangan yang penting­
adalah ”hukum moral di dalam hati”. Ribuan orang mati di
Aceh, bencana alam itu begitu dahsyat, dan dunia terkejut. Dari
hampir tiap sudut Indonesia, juga dari hampir setiap pojok bumi,
dari Kuwait sampai Timor Leste, dari Mek­siko sampai Tokyo,
orang menghimpun bantuan. Beratus-­ratus­ manusia—bersera-
gam atau tidak, beragama atau tidak, punya dosa atau tidak—
datang untuk meringankan pen­derita­an. Seorang tentara Ameri-
ka berkata, ia lebih senang bekerja menolong Aceh ketimbang
http://facebook.com/indonesiapustaka

berperang di Bagdad; seorang sopir taksi di Finlandia tiba-tiba


menghentikan mobilnya untuk mengheningkan cipta; sejumlah
perempuan Prancis tiba dari Paris untuk mengangkut jenazah
yang membusuk di pojok-pojok Aceh. Apa yang menggerakkan
hati mereka?

Catatan Pinggir 7 335


BALSAM

Pasti ada pamrih, kata sebagian orang. Mungkin. Tapi ba­gai­


mana kita menduga pamrih? Sejauh mana kita tak memproyeksi-
kan dengki dan pamrih kita sendiri kepada orang lain ketika ber-
kata, ”Awas, ada pamrih”? Tak akan ada jawab, selain mengira-
ngira. Sebab itu, di tengah kesakitannya yang sangat, Sri Ambar
tak bertanya kenapa. Ia hanya tahu laki-laki itu menggosokkan
balsam ke tubuhnya dengan lembut, dan berbisik, ”Maaf, saya
menyentuhmu”—sebuah sikap hormat, bukan hanya belas.

Tempo, 23 Januari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

336 Catatan Pinggir 7


KOTAK HITAM

K
ETIKA berpuluh ribu orang tewas dan beratus ribu ke-
hilangan, ketika gempa dan gelombang pasang meng-
hancurkan mendadak kehidupan, kita pun bertanya:
kenapa?
Ada berpuluh-puluh ”kenapa”, sebab kata itu mempunyai
ber­macam-macam endapan, berasal dari bermacam-macam za-
man, dan tiap kali bergeser. Ketika yang terjadi adalah se­buah­ke-
celakaan kapal terbang, di balik ”kenapa” itu tersimpan ingatan
tentang malapetaka yang mirip yang pernah dijelaskan dengan
mengulas kesalahan teknis atau kekeliruan manusia di belakang
mesin. Maka ”kenapa” akan mengarah ke­ sebuah kotak hitam
yang merekam keadaan terakhir dalam kokpit pilot. Para pakar
akan menganalisisnya atau menghitung berat kapal, gerak sayap,
kencangnya angin, dan hal-hal lain yang tak berkaitan dengan
kegaiban.
Tapi ketika berpuluh ribu orang tewas, ketika gempa dan ge­
lombang pasang menghancurkan dusun, pantai, dan kota, ada
”kotak hitam” yang lebih hitam yang dicari. Sebab endap­an di
balik ”kenapa” yang terucapkan saat itu terdiri atas lapisan-lapis­
an zaman dahulu, tatkala nenek moyang kita masih hidup­ de­
ngan­ rasa ngeri, terkesima, dan bingung mendengar­ petir yang
me­­nyambar pohon tinggi, membakar hutan, dan membinasakan
ma­nusia. Syahdan, mereka lari bersembunyi ke gua-gua. Tapi
me­reka tetap gentar.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mereka, yang hidup berabad-abad sebelum Benjamin Frank-


lin menemukan penangkal petir di tahun 1752, tak tahu bagaima-
na menghindarkan sergapan dari langit itu. Lalu penjelasan pun
mulai dicari, dan ”kenapa” mulai dijawab: dengan mithologi. Su­
ku Yeruba dari Afrika kemudian menyebut Shango dalam mi­tho­

Catatan Pinggir 7 337


KOTAK HITAM

logi mereka sebagai dewa guntur, dan orang Yunani menye­but


Zeus. Mungkin sebab itu Vico, pemikir Italia di abad ke-18 itu,
menggambarkan sejarah per­adab­an bermula ketika jeri menjadi
puisi, ketika ketakutan manusia purba akan alam yang ganas dan
tak terduga melahirkan para penyair theologi pertama.
Mungkin theologi pertama itulah ”penaklukan” alam yang
paling awal, sebelum ilmu-ilmu alam dijadikan pegangan. Mung-
kin dewa-dewa itu sejenis teknologi penenang. Satu-satunya cara
manusia di masa itu untuk memahami apa yang tersembu­nyi dan
tak mampu diketahuinya, satu-satunya cara untuk divinari (dari
mana kata divinity berasal), hanyalah dengan membayangkan se-
buah kehidupan yang seperti mereka kenal: kehidupan mereka
sendiri.
Diakui atau tidak, di balik kata ”kenapa”, setelah tsunami­be-
sar melabrak Aceh di akhir 2004, bersembunyi endapan ”kenapa”­
yang purba, dan ketika seseorang mengatakan bahwa bencana
alam itu hukuman Tuhan, ia sebenarnya mengulang tema ”pe-
nyair theologi pertama”. Tapi dengan sebuah perbedaan penting.
Agama-agama politheis tak punya persoalan yang pelik de-
ngan menjawab ”kenapa”, sebab Zeus dan Shango tak sendiri­an­­
di langit. Betapapun besar kuasa Zeus, ia menjadi nisbi­dengan­
hadir dan berperannya dewa-dewa lain. Di Olympus,­ Dewa
Gun­tur yang membuat jeri itu ada bersama Dewa Cin­ta,­Dewa
Anggur, Dewa Perdagangan, dan entah apa lagi, dan mereka tak
selamanya tunduk kepadanya. Mithologi Yunani bahkan me-
mungkinkan Promotheus, yang bukan dewa, memperdaya Zeus
dan mencuri api dari Langit untuk diberikan kepada manusia
http://facebook.com/indonesiapustaka

Juga dewa-dewa dalam wayang kulit tak jauh posisinya dari


sana. Batara Guru ada di Kahyangan bersama Wishnu, Narada,
Kamajaya, Bayu, Durga, dan lain-lain. Berdiri dengan anggun
dan tampan di atas tubuh lembu Nandi, Batara yang paling­ter-
hormat itu diceluk sebagai ”Adik” oleh Narada.­Ia juga punya ke-

338 Catatan Pinggir 7


KOTAK HITAM

mampuan untuk berahi dan tak peduli, salah dan kalah. Raksasa
Niwatakawaca dapat menyerbu tempat dewa-­dewa itu bertakh-
ta, bahkan wayang memungkinkan sebuah komedi dalam lakon
Taliputra, ketika Petruk, hamba yang buruk dan hina itu, meng­
ambil alih kerajaan langit.
Politheisme itu tak memerlukan theodise. Ketika di awal abad
ke-18 Leibniz memperkenalkan kata ini melalui bahasa­ Prancis
(the´ odice´ e secara harfiah berarti ”keadilan Tuhan”),­ saya kira
karena ia harus menjelaskan satu Tuhan yang sem­purna­dalam se-
gala hal—tapi telah menciptakan sebuah dunia yang malang dan
berantakan dan hidup manusia tak putus-­putusnya dirundung­
durjana dan kekejian. Begitu banyak ”kenapa” yang harus di­
jawab.­ Begitu banyak kehendak Tuhan yang butuh dijelaskan
dan perlu pembelaan.
Tapi di sini sebuah paradoks tak dapat dielakkan. Theodise
pada dasarnya mirip dengan ”teknologi penenteram” manusia
purba: kita membayangkan sesuatu berdasarkan pengalaman
diri sendiri. Maka Tuhan dalam pengertian Leibniz adalah Tu-
han yang seperti makhluknya. Ketika ia mendasarkan theodise­
nya dengan sebuah aksioma yang disebutnya ”Asas tentang Alas­
an yang Cukup”, ia membuat Tuhan sebagai sebuah kekuatan
yang tunduk kepada raison (kata ini bisa berarti ”alasan” dan juga
”nalar” atau ”akal”). Tapi bagi saya tak jelas, kenapa Tuhan harus
juga tunduk seperti itu? Kita tahu bahwa nalar adalah makhluk
tapi kita tak tahu kenapa Tuhan harus terikat oleh makhluk-Nya
ini.
Persoalannya, tanpa Tuhan yang berdasarkan raison, manusia
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan hidup tanpa perasaan tenang. Jika Tuhan tak adil, kita tak
akan terhibur dari dunia yang tak adil ini. Kita harus selalu mene­
mukan kotak hitam itu, penjelasan kenapa manusia harus men­
de­rita sampai Kiamat, saat keadilan sejati dimaklumkan.
Tapi bagaimana kalau kotak hitam itu tak pernah ditemukan?

Catatan Pinggir 7 339


KOTAK HITAM

Tentang tsunami itu, mungkin kita akan cukup puas dengan


penjelasan sejumlah pakar geologi. Tapi tentang kenapa anak-
anak itu yang harus cacat dan mati, dan bukan para jenderal yang
membangun istana dengan perang dan kejahatan, bukan pula
para pengkhotbah yang mengutuk ”Azab!” di atas mereka yang
sengsara, kita mungkin tak bisa lain: kita harus lebih adil dan le­
bih­pengasih ketimbang Tuhan yang mereka bela.

Tempo, 30 Januari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

340 Catatan Pinggir 7


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN
YANG MENCEMOOH INDONESIA

I
NDONESIA tak akan pernah lahir baru dalam satu kuar-
tal. Jika Bung berpikir bahwa sebuah perubahan yang besar
akan terjadi dalam waktu 100 hari, inilah yang harus saya
bisikkan kepada Bung: angka ”100” di sini mirip dengan ”1001
malam” atau ”langit ketujuh”: bilangan yang lebih bersifat retoris
ketimbang matematis. Kita tak dapat menggunakannya sebagai
mistar pengukur. Kita hanya dapat memperlakukannya sebagai
pembangkit imajinasi.
Tapi Bung jangan menganggap bahwa sesuatu yang retoris
adalah sesuatu yang tak bersungguh-sungguh. Imajinasi bukan-
lah bagian dari khayal kecil. Maka ketika pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (”SBY”) berkata akan me­nunjukkan
sebuah prestasi dalam waktu ”100 hari”, Bung dan saya tak perlu
berpikir tentang sesuatu yang akan tiba cepat, tapi kita siap untuk
menyaksikan sesuatu yang berarti.
Sesuatu yang berarti itu adalah harapan. ”Harapan” di Indo­
nesia dewasa ini artinya bersahaja tapi tak dapat didefinisikan.
Ia hanya dapat dimaknai sebagai lawan kata dari sinisme. Mem-
punyai harapan adalah tidak bersikap serta-merta mence­mooh
dan berburuk sangka kepada apa saja dalam kehidupan bersama.
”Harapan” juga lawan kata dari apati, sikap yang tak peduli lagi
terhadap apa pun yang dilakukan bagi kepentingan publik.
Pemerintahan ini sebenarnya lahir dari harapan sebagai lawan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kata sinisme dan apati. Bung tahu, kan, Presiden yang sekarang
duduk di Istana karena ia dipilih dengan puluhan juta suara yang
bersemangat. Harus saya katakan bahwa optimisme rakyat­ber­­
ada­dalam dosis yang tak berlebihan tapi memadai: mereka me-
milih ”SBY” karena percaya bahwa perubahan—bukan mukjizat,

Catatan Pinggir 7 341


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA

Bung—akan terjadi.
***
Tapi Bung menangkis: pemerintahan ini juga lahir dalam ke­
adaan genting. Harapan yang kini terbentuk di Indonesia­ ber­
gerak bagaikan sebuah sekoci di tengah lautan gelap ke­tidak­per­
cayaan dengan ombak yang gusar. Bila pemerintah gawal­sedikit
saja, harapan itu akan hilang, dan Indonesia akan selama-lama­
nya­mencemooh dirinya sendiri.
Dari mana sinisme dan apati itu berasal? Bung tunjukkan:
dari beribu-ribu arus kekecewaan langsung atau tak langsung
yang mengalir dari sumber-sumber yang luas dan menyebar.
Sum­ber itu punya satu nama: korupsi.
Korupsi, kata Bung, akhirnya memang bukan sekadar keja­
hat­an mencuri milik Republik. Korupsi di Indonesia membunuh
Republik itu sendiri.
Ingat, kata Bung pula, sebuah kehidupan bersama memben­
tuk sebuah negeri oleh jalinan sosial dan politik yang spontan,­
efektif, dan lumintu. Jalinan itu sendiri tersusun dari yang sering
disebut sebagai ”modal sosial”, meskipun saya lebih suka mema­
kai istilah ”buhul sosial”. Dengan kata lain: sesuatu yang mem-
perkuat tali-temali antar-warga masyarakat, karena saling mem-
percayai.
Korupsi di Indonesia telah merusak buhul sosial itu sampai ke
sudut yang paling kecil.
Bung tunjukkan kenyataan ini: begitu orang keluar dari ru­
mah, ia langsung punya alasan untuk bersangka-buruk. Misalnya
suatu hari dalam kehidupan Susilo Bambang Gentolet, (”SBG”),
http://facebook.com/indonesiapustaka

seorang warga Jakarta di Tanah Abang:


7.00—SBG berjalan menunggu bus lewat dekat rumah. Hu-
jan di hari keempat itu telah merusak jalan. Aspal bengkah, lu-
bang menganga, comberan mendadak terbentuk. Ia harus berha-
ti-hati agar celananya yang baru dicuci tak tersiram becek yang

342 Catatan Pinggir 7


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA

terlontar dari roda sepeda motor yang lewat kencang.


SBG tahu jalan itu gampang rusak karena si pemborong per-
baikan tak memenuhi syarat dalam mengaduk bahan dan meng-
garap kerja. Ia tahu si pemborong melakukan itu karena menyo­
gok pejabat kota praja.
7.15—Bus datang. Tidak di halte. Jakarta adalah salah satu
dari ibu kota di dunia di mana bus tak pernah mematuhi halte
dan pada saat yang tepat. Penumpang berdesak bahkan sampai
setengah keluar pintu. Bus itu sudah 45 persen rusak, dan di te­
ngah­kemacetan yang berjam-jam, berdiri dalam bus adalah sik-
saan sehari-hari.
SBG tahu bus kota tak bisa diperbanyak sekian kali lipat, se-
bab kendaraan pribadi tak dibatasi dengan peraturan perizin­an
dan pajak yang tinggi. Bagaimana jika tiap peraturan dan tiap pa-
jak dapat dibengkokkan dengan uang sogok?
9.27—SBG tiba di tempat ia bekerja, sebuah perusahaan im-
por alat-alat kedokteran. Hari itu teman sekerjanya dapat tugas
mengantarkan beberapa puluh juta uang tunai untuk pejabat di
Departemen Anu. Begitu ia duduk ia dengar kepala bagian pema-
saran berkata mengeluh, ”Ah, kita bakal terpukul oleh banyaknya
barang selundupan....”
SBG menghela napas. Bagaimana mencegah penyelundup­an
jika dinas bea cukai dapat dilewati dengan gampang?
Bung bilang cerita itu dapat diperpanjang dan dibuat dalam
pelbagai variasi. Buruk sangka sudah jadi bagian dari per­cakap­
an sehari-hari.
Bung pun bertanya, apa gerangan yang kini menjalin hubung­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an yang spontan, efektif, dan lumintu antara orang dan orang,


lem­baga dan lembaga. Pasti bukan sebuah ”negeri”! Jika untuk
naik pangkat seorang pegawai negeri harus­ menyuap pegawai
negeri lain, jika wewenang menyelenggarakan hukum bisa diper-
jualbelikan oleh polisi, jaksa, dan hakim, sebuah negeri bukan

Catatan Pinggir 7 343


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA

lagi sebuah negeri.


Di situlah Indonesia lenyap. Bung katakan secara lebih dra-
matis: Indonesia adalah sebuah Republik yang berhenti seba­gai
”re-publik”. Ia dicincang-cincang oleh pamrih privat yang terpi­
sah-pisah—sejak perlunya kepentingan tambahan penghasilan
pak polisi lalu lintas sampai kepentingan mereka yang jauh tinggi
di atas.
Saya kira Bung benar. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan
dan kesempatan. Di Indonesia, ia sebuah anarki yang melanjut-
kan hidupnya dengan baju dinas.
***
Yang menakutkan, kata Bung pula, sebuah paradoks ter-
jadi: anarki akhirnya jadi ”lembaga” ketika merasuki sebuah sek-
tor yang paling takut akan anarki—yakni birokrasi dan militer.
Kita bisa bicara banyak tentang anarki di kantor-kantor pe­me­
rintah. Memang mereka pakai baju seragam, berolahraga bersa-
ma tiap pekan, salat bersama tiap Jumat. Tapi dari kantor mereka,
beribu-ribu kalimat dikeluarkan dan disebut peraturan, dan dari
tiap peraturan terselip keharusan penduduk untuk punya izin ini
dan itu. Kemudian, tiap kali orang me­nge­tuk untuk dapat izin,
birokrat itu akan siap untuk disuap. Walhasil, 1.000 peraturan
adalah tanda disiapkannya 1.000 pelanggaran.
Anarki di kalangan militer tak kalah memasygulkan. De-
ngan anggaran pertahanan hanya 1 persen dari GDP, Menteri
Per­tahanan Juwono Sudarsono pernah menghitung bahwa hanya
30 persen dari kebutuhan militer Indonesia yang dipenuhi oleh
anggaran Negara. Selebihnya, angkatan bersenjata­harus mencari
http://facebook.com/indonesiapustaka

sumber pendapatannya sendiri. Tapi, menurut­angka yang diter-


bitkan oleh Indonesia Corruption Watch dalam sebuah buku ten-
tang bisnis militer di Indonesia yang terbit pada tahun 2003—
angka itu dikutip dari laporan audit resmi—jumlah dana yang
diserahkan oleh unit usaha Yayasan­Kartika Eka Paksi yang di-

344 Catatan Pinggir 7


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA

miliki Angkatan Darat hanya Rp 142,331 miliar. Seorang per-


wira di bagian perencanaan Markas Besar TNI dikutip menga­
takan bahwa seluruh kontribusi yayasan militer hanya mencapai
0,7 sampai 1 persen dari anggaran yang diperlukan.
Ingat, kata Bung pula, akhirnya korupsi bisa membunuh da­
lam arti harfiah. Bulan Juli 2003, seorang pengusaha ditembak
ma­ti di Jakarta. Bersama dia, tewas juga pengawalnya. Kemudi­an
di­ketahui bahwa sang pengawal adalah seorang sersan Kopas­sus.
Sementara itu, polisi kemudian menemukan bahwa para pem­
bunuhnya adalah empat anggota marinir, yang disewa oleh se­
orang pengusaha lain dengan bayaran Rp 4 juta.
Apa yang terjadi jika polisi dan militer mendapatkan pengha­
sil­an samping dengan memperdagangkan kekerasan, selain men-
jadi pengawal dan pembunuh dan menjaga sarang judi?
Dapat diperkirakan, kian tak aman keadaan, akan kian mahal
pula biaya keselamatan yang ditawarkan oleh polisi­ataupun ten-
tara. Bukan mustahil bahwa di daerah di mana kekerasan berke-
camuk, uang adalah, untuk mengutip kata seorang peneliti, the
silent force of the conflict. Bayangkan sesua­tu­yang bukan mustahil
terjadi: petugas keamanan menjual senjata kepada orang swas-
ta dan seorang prajurit yang membawa M-16 (jenis senjata) akan
pulang dengan membawa 16-M (”M” dari million). Sang petugas
mungkin merasa bersalah, tapi ia juga bisa dengan tenang menga­
takan ia tak sendirian.
Inilah cemooh Bung yang lebih lanjut, menirukan cemooh
seorang perwira negeri tetangga yang pernah latihan bersama de-
ngan TNI dan polisi: Indonesia adalah sebuah republik yang ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka

taranya berangkat bertugas dengan peralatan yang bobrok dan


ransum yang buruk, sementara jenderal-jenderal polisi dan mi-
liternya punya rumah megah di dalam dan di luar negeri.
Di sini, anarki bertaut dengan ketidakadilan. Dan ketika ke­
dua­nya berkembang terus, buhul sosial pun ambruk.

Catatan Pinggir 7 345


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA

***
Lalu apa yang akan terjadi? Bung memang pantas mencemo­
oh, tapi mana mungkin Indonesia jadi baru dalam 100 hari? Ke-
tika pemerintah SBY menyatakan akan memerangi korupsi,­ia se-
benarnya ingin mengawetkan harapan—sebab harapan itu­lah
yang justru rusak berat oleh ambruknya buhul sosial.
Peluang itu bukan omong kosong. Bung jangan mencibir.­Ko-
rupsi di Indonesia tak datang bersama nenek moyang. Se­orang
peneliti pernah mengatakan, korupsi di Mahkamah Agung baru
terjadi pada tahun 1980-an, dan sebelum masa itu, para hakim
adalah manusia-manusia yang bersih.
Sementara itu, korupsi yang meluas dan besar-besaran baru
mulai setelah Presiden Sukarno memperkenalkan konsep­”Eko-
nomi Terpimpin”. Ketika itu perusahaan-perusahaan swasta
asing­diambil alih oleh Negara, dan pejabat-pejabat sipil dan mi-
liter pun duduk mengurus perkebunan, pertambangan, perda­
gang­­an, bahkan usaha penerbitan buku bacaan.
Ketika ”Ekonomi Terpimpin” bertaut dengan ”Demokrasi
Ter­­pimpin”, kekuasaan yang begitu besar di kalangan birokrasi­
(yang oleh PKI kemudian disebut ”kapitalis birokrat”) akhir­nya­
tak terkendali. Itu sebabnya dalam soal korupsi, Indonesia pa­ling­
mencolok di Asia Tenggara. Thailand, Malaysia, Singapura, dan
Filipina relatif bebas dari kejahatan itu. Mereka tak pernah meng­
ambil alih secara besar-besaran perusahaan swasta asing, tak per-
nah tergoda oleh sosialisme yang menjanjikan pemerataan, tapi
akhirnya hanya pandai memproduksi 1.000 pengendalian. Itu­
lah sebabnya, kini korupsi yang buruk terjadi di Vietnam dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

RRC: birokrasi sosialis yang seperti gurita tetap dipertahankan,


namun kini berjabat tangan dengan kapitalisme.
Indonesia di bawah Presiden Soeharto tak mengubah struk-
tur dasar yang disiapkan Sukarno. Birokrasi tetap penting, dan
seperti di Vietnam dan RRC sekarang, melahirkan sebuah sistem

346 Catatan Pinggir 7


SURAT KEPADA SEORANG TEMAN YANG MENCEMOOH INDONESIA

yang mengkombinasikan yang terburuk dari sosialisme (yakni


”kontrol”) dan yang terburuk dari kapitalisme (yakni ”kesera­
kah­an”).
Siapa pun tak gampang memangkas gurita kontrol dan kesera­
kahan itu. Korupsi telah menjalar ke peradilan, parlemen daerah
ataupun nasional, merasuki kehidupan partai politik, lembaga
agama, dunia pers, bahkan NGO. Pemerintahan Indonesia—
anarki yang melanjutkan hidupnya dengan baju dinas itu—kini
jadi tauladan siapa saja di Indonesia. Tapi Bung tak bisa terus-
menerus mencemooh.
Siapa tahu Presiden yang dipilih rakyat dengan mayoritas yang
meyakinkan itu tak akan terus maju-mundur—meskipun itulah
konon kelemahannya yang terbesar. Siapa tahu ia akan memper-
lakukan hal-hal yang luar biasa seperti bencana di Aceh dan ko-
rupsi di seantero negeri dengan sikap ”kita ber­ada dalam keadaan
perang total”. Banyak pencoleng mengatasnamakan ”kebangga­
an nasional” dan ”patriotisme” untuk memelihara kepentingan
me­reka, tapi sikap patriotik utama sekarang adalah melawan si­
nisme dengan sesuatu yang luar biasa.
Artinya, teruskan tangkap para pencoleng besar, tahan me­re­
ka, dan bila terbukti, kirim mereka ke Pulau Buru, bukan cuma
Nusakambangan.
Bung bilang perang total mengharuskan pekik pertempuran
yang spektakuler, dan saya setuju. Kita harus menjaga sekoci ha­
rapan itu tak tenggelam dalam lautan ketidakpercaya­an yang da­
lam. Kita tak ingin Indonesia ikut tenggelam. Kita tak ingin ke-
hilangan sebuah negeri yang begitu berharga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

28 Januari 2005

Tempo, 6 Februari 2005

Catatan Pinggir 7 347


http://facebook.com/indonesiapustaka

348
Catatan Pinggir 7
GEMPA

5
00 guncangan gempa masih menyusul selama delapan bu-
lan setelah tsunami melabrak kota dan membunuh ham-
pir 25 persen penduduk Lisbon. Tapi bila bencana di awal
November 1755 itu jadi sesuatu yang bersejarah, itu bukan hanya­
karena­ ia mengerikan. Kejadian itu juga menandai satu babak
baru dalam pandangan hidup Eropa di abad ke-18—sebab se-
jak saat itu yang sekuler semakin mendesakkan posisinya, peran­
Gereja­guyah, dan orang kian ragu sejauh mana sebenar­nya Tu-
han punya peran dalam gerak alam dan hidup manusia.
Di hari-hari itu para padri mengatakan: ”Berdoalah.” Dalam
trauma dan berkabung orang pun berlutut. Sudah sampai sekitar
50 ribu mayat bergelimpangan, dan kota yang anggun itu seperti
reruntukan—hanya 20 persen bangunan yang masih dapat di-
tempati—sementara lima hari lamanya kebakar­an mengamuk.
Orang berlutut, berdoa, tapi gempa terus mengguncang sejak
November 1755 sampai dengan Agustus 1756.
Maka apakah arti doa sebenarnya: sebuah pertautan dengan
Tuhan untuk membuat sesuatu terjadi atau tak terjadi, atau seka-
dar ikhtiar untuk menghibur gundah? Apakah agama sebenar­
nya: sebuah iman untuk penyelamatan di dunia dan akhirat,
atau, seperti kemudian dikatakan Marx, ”desah keluh makhluk
yang tertindas, hati di dunia yang tak punya hati, semangat dari
keadaan yang tanpa semangat?”
Apa pun artinya, pada akhirnya orang Lisbon percaya bahwa­­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan ora melainkan labora, bukan dengan berdoa­ melainkan­


dengan bekerja—itulah yang membebaskan me­reka­dari ketakut­
an. Tapi tak hanya dalam hal itu Lisbon mengalami­awal ”seku-
larisasi”. ”Negara” memperkukuh kehadirannya dalam keadaan
krisis yang mencekam itu. Sebab saat itu diperlukan kekuasaan

Catatan Pinggir 7 349


GEMPA

sebuah administrasi yang melihat mala­petaka sebagai problem,


bukan tanda-tanda gaib—dan problem­adalah sesuatu yang ter-
lontar di hadapan manusia untuk diterobos atau dipecahkan.
Problem bukanlah misteri yang membuat manusia gemetar.
Di pucuk kekuasaan administrasi yang ingin memecahkan­
problem itu duduk Marquis de Pombal. Lulusan Universitas­Co-
imbra ini baru sejak berusia 39 tahun menjadi pejabat­keraja­an.
Mula-mula sebagai diplomat. Tapi kemudian, berkat­kemampu­
an dan kecerdasannya, ia jadi menteri luar negeri. Seorang duta
besar Inggris mengingatnya sebagai ”satu-satunya­orang di selu-
ruh kerajaan yang mampu mengatasi perkara”.
Gempa bumi Lisbon membuktikan itu. Dengan cepat Pom­­
bal,­­waktu itu berumur 56, mengatur pembuangan mayat dengan­
cara yang radikal: ribuan jenazah itu ditumpuk ke dalam sebuah
kapal besar yang biasa dipakai buat upacara, dan kapal itu diteng-
gelamkan di laut. Takut kalau menyinggung kalang­an agama,
semua dilakukan dengan diam-diam, meskipun Pombal dapat
me­yakinkan Kardinal Jose Manuel untuk menyetujui langkah­
nya.­Dengan segera pula dijaganya agar berita mingguan di Lis-
bon tetap terbit, buat mencegah desas-desus. Waktu itu berulang
kali tersebar kabar angin bahwa sebuah gempa besar akan terjadi
lagi, dan pemerintahan Pombal menuduh, sumbernya adalah ka-
langan padri Jesuit.
Dengan itu pula sebenarnya sebuah konflik politik berlang­
sung. Dalam catatan sejarah, tak ada tanda bahwa Pombal se­
orang yang anti-Gereja. Ia pernah jadi duta besar Portugis untuk­
Takhta Suci. Ketika di Eropa berjangkit semangat­ ”Pencerah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

an”, Portugal bukan Prancis yang gelisah dengan pikiran-pikir­


an baru. Negeri Katolik dengan penduduk tiga juta ini punya 200
ribu pastor, ibu kotanya padat berisi 130 gedung keagamaan, ter-
masuk 40 buah gereja, dan meskipun­dikecam oleh Paus, Gereja­
Kerajaan Portugal meneruskan praktek Inkuisisi yang buas:

350 Catatan Pinggir 7


GEMPA

menyiksa atau membakar hidup-hidup siapa saja yang diang-


gap murtad. Setidaknya di permukaan, tak ada gelombang anti-
Katolik di sini.
Tapi bukannya tanpa konflik. Pombal sudah agak lama ikut
dalam pergulatan politik untuk menyingkirkan Ordo Jesuit,­
yang punya pengaruh besar di Portugal sebelum Raja José I ber-
takhta. Pombal menganggap mereka itulah sumber keterbela­
kang­an. Ilustrasi tentang konflik ini yang paling banyak ditulis
ialah ketika ia, di tengah-tengah krisis pasca-tsunami, mengha-
dapi Maladriga.
Padri berumur 66 tahun itu sebuah suara yang berpengaruh.
Ia terkenal dengan misinya ke Brasilia untuk mengkristen­kan
orang-orang pribumi di seberang Atlantik itu. Ia pernah­diterima­
dengan penuh kehormatan oleh Raja Juan V. Setelah raja tua ini
mangkat, dan José I mulai berkuasa, nasibnya ber­ubah. Sang raja
muda lebih percaya kepada Pombal. Para pejabat Negara umum-
nya menganggap kaum Jesuit terlampau­lepas dari kendali kera-
jaan, terutama di koloni-koloni di Amerika Latin, di mana para
pad­­ri dari Ordo itu—seperti tergambar dalam film The Mission—
melindungi orang-orang pribumi dari cengkeraman Negara.
Sejauh mana Maladriga menentang posisi penguasa sekuler­
dalam soal ini tak jelas betul. Ia kemudian hanya dikenal dengan­
khotbah-khotbahnya yang memaparkan bahwa bencana yang
menimpa Lisbon adalah azab bagi sebuah kota yang penuh dosa.
Mungkin khotbahnya mengandung serangan kepada sang men-
teri yang dikenal sebagai tokoh anti-Jesuit. Yang pasti, pada akhir­
nya Pombal tak membiarkan ia bicara. Kelak, ia berhasil mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buat Maladriga dihukum oleh Inkuisisi: sang padri yang alim itu
dibakar hidup-hidup di depan umum. Dan kaum Jesuit diusir.
Tak berarti di Portugal berlangsung sekularisasi yang dengan
radikal bergerak setelah revolusi Prancis. Tapi sejarawan mencatat
bahwa tsunami di Lisbon di abad ke-18 itu adalah sebuah ”gem-

Catatan Pinggir 7 351


GEMPA

pa bumi modern pertama”—sebuah gempa bumi yang membuat


orang meletakkan misteri alam dan Tuhan lebih­baik dalam se-
buah kotak, dan berpaling kepada hidup sebagai sederet problem
dengan pemecahan yang tak bisa mutlak.

Tempo, 13 Februari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

352 Catatan Pinggir 7


BEGUGANJANG

L
AKI-laki itu tampak kurang saleh. Ia tak rajin ke gereja.
Ia alpa pula mengingat lengkap 10 perintah Tuhan. Ca-
cat ini akhirnya memudahkannya masuk ke dalam daf-
tar orang yang dituduh bekerja dengan Setan dalam sihir hitam.
Hakim memutuskan: ia harus digantung.
Tapi kita tahu ia tak berdosa. Tuduhan beguganjang yang ber­
kecamuk di desa itu telah membunuhnya. Seorang bocah sakit
dan sejumlah gadis berkelakuan ganjil, dan penduduk di­cekam
ketakutan diserang santet. Ketegangan menyembul di sela-sela
konflik kepentingan yang dicoba sembunyikan di tempat terpen-
cil itu. Tuduh-menuduh menyebar.
Suasana itu—gabungan yang seram antara paranoia, ke­ya­
kin­an agama, dan kekuasaan—adalah yang diabadikan Arthur­
Miller dalam The Crucible, sebuah karya yang akan tetap dike-
nang dunia ketika penulisnya meninggal dalam umur 89 di
rumahnya di Connecticut akhir pekan lalu, 11 Februari 2005.
Tentu, Miller menghasilkan karya yang lebih menyentuh, The
Death of Salesman, atau lebih tangkas, All My Sons. Tapi The Cru­
cible akan ditengok lebih sering hari ini.
Inilah masa ketika dengan iman orang membinasakan orang
lain dan berkata, ”Siapa yang tidak bersama kami adalah musuh
kami.” Presiden Bush pernah mengucapkan kata-kata itu, sebuah
sikap yang didukung orang-orang Kristen Kanan di negerinya.
Ki­ta tahu kaum fundamentalis Amerika itu tak sendirian: yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

Is­lam, yang Yahudi, dan yang Hindu, dengan alasan politik dan
theologi yang berbeda dan dengan kalimat yang berbeda pula,
beramai-ramai bersuara garang dan muram.
Miller sendiri cemas. Di tengah suasana ”perang antiteror-
isme” Bush, setahun yang lalu ia menulis sebuah esai pendek, dan

Catatan Pinggir 7 353


BEGUGANJANG

ia ingat bahwa 50 tahun yang lampau ia ”terdorong untuk menu-


lis” satu kalimat bagi pidato si tokoh hakim dalam The Crucible.
”Tuan mesti mengerti,” kata hakim itu, ”orang harus­ berpihak
ke­pada mahkamah ini, atau ia akan dianggap menentangnya.”
Tak ada jalan tengah. Sebab ”ini zaman yang tajam...—kita tak
hidup di senja remang-remang di mana iblis­bercampur dengan
kebaikan dan membuat dunia bingung.”
”Zaman yang tajam” itu memang bisa datang berulang kali.
The Crucible ditulis ketika kekuasaan di Amerika, jauh sebelum
George W. Bush, mengejar-ngejar siapa saja yang ber­bahaya,­arti­
nya siapa saja yang ”komunis”. Karena kampanye Senator Mc-
Carthy, puluhan orang—termasuk yang bekerja­di dunia teater­
dan film, seperti Charlie Chaplin dan Elia Kazan—dicurigai
”merah”. The House of Un-American Activities (sebuah nama
yang menggabungkan paranoia dan patrio­tisme) memanggil
orang-orang yang diwaspadai ke komite para wakil rakyat untuk
di­usut. Charlie Chaplin menolak dan meninggal­kan Amerika se-
lama-lamanya. Sutradara Elia Kazan me­nyerah:­ia bersedia me-
nyebutkan sederet nama kenalannya yang ”tak bersih”—sebuah
tindakan yang kemudian menjadikannya pengecut seumur hi­
dup.­
Miller juga tak luput. Ia diusut keikutsertaannya dalam gerak­
an Kiri di masa lalu. Ia memang datang dari generasi yang jadi
de­wasa di tahun 1930-an, ketika semangat Kiri bergolak penuh
ama­rah penuh idealisme. Ia mengakui semuanya,­meskipun ia tak
pernah jadi anggota Partai Komunis. Tapi ia menampik waktu­
di­paksa menyebut nama-nama lain yang ”terlibat”. Ia tak hendak­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ber­k hianat. Ia siap dianggap menghina­lembaga pengusut­di Bu­


kit Kapitol itu.
Beruntung ia tak jadi dihukum, ketika kegalakan ”zaman
yang tajam” itu mereda di akhir 1950-an dan ”McCarthyisme”
berubah jadi cerita teror sebuah kepicikan. Tapi peristiwa itu

354 Catatan Pinggir 7


BEGUGANJANG

agak­nya mengukuhkan apa yang juga pernah dikatakannya


sendiri setelah ia menulis A View from the Bridge: ”Sekali kita me-
nerima ide bahwa kita membutuhkan ortodoksi, kita harus me­
nem­puh Inkuisisi.”
Dengan kata lain, ortodoksi akan bergerak ke penindasan.
Da­lam sejarah agama, pelbagai bentuk Inkuisisi telah membu­
nuh begitu banyak tubuh dan jiwa, dan begitu banyak orang ber-
mutu yang menderita karena itu. Dalam sejarah Islam, di Bag-
dad abad ke-9 Khalifah Al-Ma’mun menjalankan mihna untuk
memaksakan doktrin agamanya. Ia menganiaya Imam Hambali.
Dalam sejarah agama Yahudi, Patriakh di Palestina di awal mile-
nium pertama mendesak agar seorang rabbi muda yang memba-
wa Sabda baru disalib, dan berabad kemudian para ahli agama
menghukum Spinoza. Dalam sejarah Kristen, Inkuisisi Gereja
membakar hidup-hidup ratusan orang yang dianggap murtad—
sesuatu yang juga ditirukan Calvin di Je­ne­wa dengan membasmi
tubuh Servetus di tiang kayu.
Semua itu tak membuat ajaran yang dipaksakan itu menang.
Tapi berulang kali ortodoksi bertaut dengan kekerasan, dan teror­
itu bangkit kembali. The Crucible adalah sebuah alegori untuk
paranoia Amerika tahun 1950-an. Tapi kita tahu Miller mengam-
bil ceritanya dari sejarah dusun Salem di sudut Massa­chusetts di
abad ke-17, ketika kaum Puritan mulai berkuasa di koloni itu.
Pada suatu saat sejumlah penduduk dianggap main santet.
Peng­usutan pun mulai dengan sengit. Selama beberapa bulan di
tahun 1692, belasan laki-laki dan perempuan diangkut untuk di-
gantung di sebuah bukit di tebing gundul. Seorang ber­umur­80
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahun ditindih batu berat sampai mati ketika ia menolak untuk


mengaku.
The Crucible Miller menggubah kembali kejadian sejarah itu
dengan tokoh John Proctor yang akhirnya juga digantung.­Proc-
tor agaknya telah lama merasa bahwa gereja dan penguasa­nya bu-

Catatan Pinggir 7 355


BEGUGANJANG

kanlah tempat berlindung. Ia tak mau pergi ke kebakti­an­­karena


Parris, sang pengkhotbah, hanya bicara tentang ”ne­ra­ka dan ku-
tukan”. ”Tuan hampir tak pernah menyebut Tuhan lagi, Tuan
Parris,” katanya.
Tentu saja Tuhan selalu disebut, Tuan Proctor. Tapi Tuhan
dalam iman dan kebencian. Artinya, sesuatu yang akan terus ada.
Carlos Fuentes, ketika memperingati ulang tahun Arthur Miller
yang ke-80, pernah mengatakan bahwa iman dan kebencian itu,
bigotry, adalah dosa abad ke-21. Akankah ia me­ngata­kannya lagi
ketika Miller meninggal?

Tempo, 20 Februari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

356 Catatan Pinggir 7


AL-GHAZALI

B
ENARKAH kita tahu, atau benarkah kita tak tahu?
Pertanyaan ini mengusik peradaban berpuluh-puluh
abad—dan saya teringat Al-Ghazali.
Ia adalah tauladan besar dalam sejarah pemikiran: seorang
yang terusik, seorang yang bergulat sampai dasar dengan soal
”tahu” dan ”tak tahu”—dan dengan riwayat yang mengagumkan,­
meskipun kita belum tentu sepaham dengan kesimpulannya.
Orang alim ini lahir di Tus, Iran, pada tahun 1058, anak se­
orang pemintal wol (ghazzal—dari mana nama ”ghazali” ber­
asal)­yang ingin agar keturunannya jadi orang yang ber­ilmu.­Se-
belum orang tua itu meninggal, si Muhammad dan adiknya dise­
rahkannya kepada seorang sufi agar belajar membaca dan menu-
lis. Ketika uang keluarga itu habis, Al-Ghazali masuk ke sekolah
yang menyediakan kamar dan memberikan sedikit uang saku.
Dari sinilah gairahnya untuk belajar beroleh peluang: ia berang-
kat dari tempat ke tempat, menimba ilmu seraya menulis buku.
Pada akhir tahun 1080-an, ia datang ke tempat Nizam al-
Mulk, seorang wazir yang amat terpelajar di Kota Bagdad. Di Al-
Mu’askar (”Kamp”) itu para ulama piawai berdebat tentang pe­
nge­tahuan agama, dan di sana Al-Ghazali menonjol. Pada umur
34, ia pun diangkat jadi Rektor Madrasah Nizamiyyah di ibu
kota itu.
Selama empat tahun, sejak 1091, ia memimpin. Posisinya be-
gitu luhur hingga seorang penulis biografinya menggambarkan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya dengan sedikit berlebihan: martabat dan harta Al-Ghazali


tak tersaingi bahkan oleh para wazir dan pangeran.
Pada masa inilah ia menuliskan karyanya yang termasyhur,
Tahafut al-Falasifah (Keruwetan Para Filosof), sebuah kritik yang
kukuh terhadap filsafat, sebuah hantaman yang cerdas terhadap

Catatan Pinggir 7 357


AL-GHAZALI

pemikiran Ibnu Sinna dan Al-Farabi. Tapi tiba-tiba­ Al-Ghazali­


berubah: ia memutuskan untuk meninggalkan kedudukannya
yang gemilang.
Dalam otobiografinya, Al-Munqidh min al-Dalal (Selamat
dari Sesat) ia menyatakan bahwa selama itu ia merasa ia telah
meng­ajar bukan untuk Allah. ”Selama hampir enam bulan sejak
Ra­jab tahun 488 Hijriah,” demikian tulisnya, ”aku terombang-
ambing antara daya tarik duniawi dan desakan ke hidup­yang ke­
kal.” Pada suatu hari, lidahnya tiba-tiba kering. Ia tak bisa meng­
ajar. Kesehatannya memburuk. Para dokter tak tahu bagaimana
mengobatinya dan menyimpulkan bahwa sakitnya bukanlah jas-
mani. Akhirnya Al-Ghazali pun ”berlindung kepada Allah yang
meringankan hatinya untuk menampik kedudukan dan har­ta,­
dan lepas dari anak-anak dan sahabat”. Dibagi-bagikannya ke­
kayaannya dan ditinggalkannya Bagdad.
Ia pun berkelana selama sebelas tahun ke Damaskus, Yerusa-
lem, Hebron, Madinah, Mekah, dan kembali ke Bagdad seben-
tar pada Juni 1097, sebelum ia akhirnya kembali ke Tus. Di kota
kelahiran itu ia tinggal selama sembilan tahun, berkhalwat, hidup
menyendiri. Pada tahun 1106 ia mengajar sebentar di Nishapur,
lalu ia pulang ke Tus, di mana ia wafat pada akhir tahun 1111.
Umurnya hanya mencapai 53 tahun, tapi ia telah berhasil­hi­
dup­kekal: dari semua ulama dalam sejarah Islam selama hampir
1.000 tahun, dialah yang paling banyak dibaca dan dikenang di
madrasah di dunia. Namanya diseru sebagai ”Hujjat al-Islam”. Ia
”bukti [kebenaran] Islam”.
Orang memang dapat mengatakan bahwa Al-Ghazali dijun-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jung tinggi karena ia membela pemikiran ortodoks, dan dengan


demikian bisa mengukuhkan posisi penguasa tafsir dan penguasa­
politik. Memang, ia layak berkata, sejak belum lagi berumur 20
ia ”tak berhenti mengarungi dalamnya samudra”, dan ”terjun de-
ngan tabah menenggelamkan diri... ke dalam pertanyaan yang

358 Catatan Pinggir 7


AL-GHAZALI

gu­lita”. Tapi selama itu ia sebenarnya tak pergi­jauh; ia tak ber­


anjak dari dogma. Para pengkritiknya mengata­kan bahwa Al-
Ghazali menggunakan metode filsafat untuk menghantam filsa-
fat sebab ia tak menyukai pemikiran bebas.
Ibn Rushd, seorang pemikir yang tak kalah ulung, yang hi­
dup­ di Spanyol seabad setelah penulis Tahafut al-Falasifah itu,
menunjukkan bahwa Al-Ghazali memang penuh kontradiksi.­
”Abdul Hamid”, tulis Ibn Rushd, menyebut nama lain Al-Gha­
zali, ”adalah seorang penganut Ash’airiyyah di antara kaum Ash­
’airiyyah, seorang sufi di antara kaum sufi, dan filosof di antara­fi-
losof”. Seorang penganut Ash’airiyyah umumnya bersikap orto­
doks, tapi seorang filosof tak mungkin taklid kepada doktrin.
Dan bagaimana pula seorang sufi bersikap doktriner, seraya ber-
tumpu pada rasio, dalam hubungan mistiknya dengan Tuhan?
Orang akan selalu ingat, pada abad ke-12 Ibn Rushd menye­
rang Tahafut al-Falasifah dengan buku Tahafut al-Tahafut (Ru-
wetnya Keruwetan)—dan agaknya ini khas pengagum Aristote­
les, baginya amat penting peta yang jelas dan persis. Rasionalisme
dalam filsafat Islam dari abad ke-8 bergema lagi di pemikiran Ibn
Rushd, meskipun dengan kritik: Ibn Rushd percaya bahwa filsa-
fat dan agama ibarat dua anak yang disatukan oleh seorang ibu
pe­nyusu, dari mana mereka tumbuh sehat.
Tapi agaknya Ibn Rushd kurang menunjukkan apresiasi ke-
pada keresahan Al-Ghazali. Guru dari Tus ini sah untuk tak puas
dengan filsafat, sebab bahkan dengan rasio, banyak hal tak bisa
kita ketahui tentang hidup di dunia dan sesudahnya.
Namun Al-Ghazali juga tak tepat dalam asumsinya, bahwa
http://facebook.com/indonesiapustaka

ajaran agama akan jadi jawab segalanya. Tak ada pintu terakhir
bagi ”pertanyaan yang gulita”.
Tapi apa mau dikata: Al-Ghazali hidup pada abad ke-11. Ia
tak tahu bahwa pada abad ke-21 perenungan tak kunjung berhen-
ti dan filsafat masih bersipongang justru dengan kritik kepada

Catatan Pinggir 7 359


AL-GHAZALI

rasionalisme. Itu semua berlangsung disertai pengakuan bahwa


juga iman ada batasnya.
Perlu hebohkah kita? Beribu tahun yang lampau, juga Kitab
Veda (yang berarti ”pengetahuan”) mengandung lagu-puja yang
penuh pertanyaan yang gelap. Sebelum ada ”Ada” dan ”Tak Ada”,
begitulah tersebut dalam Rig Veda, ”siapa yang meliputinya?”
Satu kalimat menjawab: ”Ia yang jadi asal Penciptaan sesungguh­
nya tahu, tapi mungkin ia tak tahu.”

Tempo, 27 Februari 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

360 Catatan Pinggir 7


IN MEMORIAM

B
EGITU banyak kematian, tapi pada kematian seseorang
yang berarti, ada sesuatu yang lain dalam kehilangan itu:
sebuah penemuan kembali.
Novelis Kuntowijoyo dan pelukis Semsar Siahaan meninggal­
pekan lalu, dengan sebab yang berbeda, di tempat yang berbe-
da. Populasi dunia kesenian Indonesia yang langka penghuni­ini
berkurang dengan tiba-tiba. Tapi kemudian kita tahu, kita ingat:­
mereka berkarya, dan tiap karya kreatif menolak ikut per­ten­
tangan hidup dengan mati.
Kedua almarhum itu, sang novelis berusia 61 tahun dan sang
perupa 53, setahu saya tak saling mengenal. Pandangan mereka
mungkin tak sama. Pikiran Kuntowijoyo menunjukkan sikap
se­orang muslim yang tak jauh dari iman tapi dekat dengan ke-
bebasan berpikir. Dari karya-karyanya dapat dirasa­kan Semsar
seorang yang melihat ketidakadilan sosial sebagai sesuatu yang
tak diakui oleh kekuasaan, dan sebab itu harus diutarakan.
Temperamen dalam ekspresi mereka juga sangat berbeda.
Prosa Kuntowijoyo: lirih dan sabar hampir seperti bedaya keta­
wang, dan dalam tempo yang seperti itu merangkum ide yang
serius. Khotbah di Atas Bukit dramatik dalam imajinasi, tapi tak
berteriak-teriak, Pasar memikat kita dalam deskripsi latar sosial,
tapi dengan telaten. Gambar Semsar: garis-garisnya keras, meng-
gelegak, menyusun sebuah drama yang tajam tapi kaku, meng-
utarakan sesuatu yang gawat tapi merangsang. Tak ada yang lem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

but dalam guratan tinta Cina itu.


Bila ada yang menyamakan kedua mereka, itu adalah perha-
tian mereka pada ”isi”. Kata dan kalimat bagi Kuntowijoyo­—
yang juga seorang sejarawan dan analis kehidupan sosial—senan-
tiasa dibimbing oleh makna, dan bukan bermain di celah-celah

Catatan Pinggir 7 361


IN MEMORIAM

yang tak terduga di luar tata makna. Bagi Kunto­wijoyo, ”isi” atau
”makna” adalah sebuah kehadiran yang dihormati. Bagi Semsar,­
garis dan warna adalah penanda dari se­sua­tu, artinya sebuah ti­
nanda (signified), dan ia percaya bahwa tinanda itu, sebagai ”isi”,
adalah yang jadi poros sebuah karya seni, sementara ”bentuk”
bergerak di sekitarnya.
Keduanya kini tak ada di antara kita lagi. Saya tak sempat per­
gi ke pemakaman Kuntowijoyo di Yogya, tapi saya sempat me­
nengok jenazah Semsar yang disemayamkan di salah satu ruang
pameran Taman Ismail Marzuki, Jakarta: ia terbaring dalam peti
mati, berpakaian upacara lengkap Bali, gagah tapi diam.
Esoknya saya merasa, bahwa seperti yang telah mendahului
mereka—Asrul Sani, Umar Kayam, S. Prinka, dan yang lain-
lain—Kuntowijoyo dan Semsar seakan-akan hanya sedang­pergi
ke suatu tempat yang jauh. Kita akan lama tak ber­jumpa­—sesu­
atu yang semakin galib di dunia yang kian sibuk dan kian luas
sekarang.... Dalam perpisahan ini, mereka tetap saja bagian dari
pergaulan. Di rak di sudut sana ada sebuah novel Kuntowijoyo, di
antara almari tua itu ada sebuah pigura karya Semsar.
Dan kita akan merasa bahwa sebuah novel yang cemerlang
atau sebuah gambar yang menggugah adalah sebuah benda­yang
aneh: ia menjadi cemerlang atau menggugah karena terkait oleh
masa ketika kita menikmatinya, tapi ia akan terus memasuki
masa lain ketika banyak hal berubah di sekitarnya. Saya tak akan
me­nyebut hal ini ”abadi”, sebab sebuah karya tak pernah berada
di luar waktu. Dalam sebuah esai perihal penerjemahan, Walter
Benjamin memakai pengertian yang mungkin bisa kita pinjam.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia membedakan antara überleben dan fort­leben, antara ”lolos hi­


dup”­dan ”hidup lanjut”, antara ”sur­vival”­dan ”lumintu”.
Tanpa sepenuhnya mengikuti Benjamin, saya kira dalam
karya-karya Kuntowijoyo dan Semsar—karya mereka yang ma­
sih­berbicara kepada kita, yang masih mengharukan kita—tam-

362 Catatan Pinggir 7


IN MEMORIAM

pak bahwa setiap kali mereka seakan-akan ”lolos hidup”,­ über­


leben, terlepas dari kematian. Mungkin karena tiap kali kita ber­
temu dengan sebuah lukisan yang menggetarkan, misal­nya kar­ya
Affandi, Kelenteng, atau sebuah sajak yang seperti Senja­di Pela­­
buh­an Kecil Chairil Anwar, kita menyaksikan­sebuah bayang-ba­
yang­keindahan yang seakan-akan sedang singgah. ”Bayang-ba­
yang”­dan ”singgah” adalah kata yang saya pilih, sebab keindah­an
itu tak sepenuhnya tampil dalam lukisan dan sajak itu. Ada yang
terasa ada tapi mengelak dan lepas, seperti hantu, yang mungkin
juga bukan hantu. Dalam momen seperti itulah kita merasakan
karya itu menjadi lumintu, hidup lanjut terus, fortleben.
Yang hidup lanjut itu tak hanya ”isi”, melainkan yang meng­
atasi ”bentuk” dan ”isi”, mengatasi ”penanda” dan ”tinanda”. Saya
tak tahu apakah kita bisa menyebutnya ”inspirasi”. Mungkin kita
bisa menyebutnya sebagai ”tilas” dari Ada, hadir ketika­Ada tak
lagi mengejutkan dan mempesona, bahkan kita lupakan­ dalam
hidup sehari-hari. Sebab itu sebuah karya seni yang menggetar-
kan seakan-akan sebuah wasiat dari Ada. Dengan itu kita bersyu-
kur karena kematian bukanlah sesuatu yang mutlak. Kita ber-
syukur pada kemungkinan bahwa oposisi antara hidup dan mati
bukanlah segala-galanya.
Syahdan, pada bulan Oktober 2004 yang suram, dalam pe-
makaman Derrida di luar Kota Paris, seorang muda, Pierre, anak
lelaki pemikir itu, membacakan sejumlah kata yang di­tinggal­kan
ayahnya. Di antaranya semacam pesan, ”Affirmez la survie”. Kita
perlu meneguhkan atau mengisbatkan kenyataan bahwa tiap kali
kita ”lolos hidup”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bagi saya itu artinya menghargai hidup tapi juga mengakui


ke­gentingannya, merayakan hidup tapi merasakan kerapuh­an­
nya. ”Merasakan kenikmatan dan menangis di hadapan ajal yang
dekat—bagi saya itu hal yang sama,” kata Derrida dalam wawan­
caranya dengan harian Le Monde dua bulan sebelum ia mening-

Catatan Pinggir 7 363


IN MEMORIAM

gal.
Dan ia pun meninggal—selalu begitu banyak kematian. Kali
ini Kuntowijoyo dan Semsar. Tapi kita tahu, kita ingat: mereka
berkarya, dan tiap karya mengingatkan kita akan la survie, dan
sebab itulah yang ditinggalkan kedua seniman Indonesia itu
amat berharga.

Tempo, 6 Maret 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

364 Catatan Pinggir 7


MINYAK

M
INYAK adalah ketakjuban. Ia berkah, ia juga ancam­
an. Tentang yang pertama kita bisa bicara panjang:
ken­­dara­an bermotor yang mudah, pesawat terbang
yang cepat, listrik di rumah dan gedung yang terang, dan segala­
yang membuat hampir tiap babak hidup manusia pada zaman
ini—lahir, belajar, kerja, sakit, dan mati— ditopang oleh energi
minyak bumi. Berkah minyak bisa pula mencong: ia membuat se-
jumlah orang mendadak kaya gila-gilaan.
Minyak juga mengutuk. Daftar kutukannya tak panjang, ta­
pi makin mendesak. Kini kita mengerti, misalnya, kenapa­pada
akhir 1990-an orang-orang U’wa sakit hati. Ketika per­­usaha­an
Amerika Occidental Petroleum datang mencari minyak­di tebing
Amazon di wilayah Kolombia itu—agar bisa dijual ke penghuni­
kota-kota dunia yang ingin berkendaraan nyaman—orang-
orang U’wa yang miskin menyaksikan bumi mereka diobrak-
abrik. Kita dengar jerit yang sama dari orang Venezuela di Delta
Orinoco dan dari rakyat Nigeria di Delta Niger: semuanya jerit si
melarat yang menghadapi gergasi.
Tapi berangsur-angsur, yang semula hanya bertolak dari alas­
an­­ ”primordial” akhirnya didukung secara universal: mengebor
tanah di tanah perawan akan merusak alam sekitar­ sampai tak
mung­kin pulih; modal besar yang menyogok sampai ke pedalam­
an akan melemparkan penduduk ke segala arah; komunitas akan
hancur.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Karena itulah pada tahun 1996 organisasi Oilwatch berdiri,


dengan jaringan di 50 negeri. Ia lahir dari tekad untuk ber­sama-­
sama mencegah meluasnya kekuasaan minyak dalam pelbagai
bentuk, sekaligus menuntut agar planet bumi diselamatkan dari
peradaban yang terus-menerus haus BBM.

Catatan Pinggir 7 365


MINYAK

Kutukan BBM memang terkadang tak segera kentara. Keka­


ya­an yang luar biasa bisa datang dari minyak, yang menyebabkan
Indonesia, misalnya, pernah tumbuh pesat. Tapi bersama itu juga
berkembang sifat pongah dan tamak, sebagai­mana tampak keti-
ka Pertamina jadi ”kerajaan” Ibnu Sutowo­pada tahun 1980-an.
Eksplorasi bumi dan laut membuat teknologi maju dan pengeta-
huan berkembang, tapi sering berkait dengan kekerasan, bahkan
penjajahan.
Tema ini sama sekali tak baru. Tema kekerasan dan ke­se­ra­
kah­an itu tersirat sejak Hergé menggambar komik Tintin­Di Ne­
geri Emas Hitam sampai ketika Hollywood membuat Blowing
Wild pada tahun 1956, ketika kita, seraya melihat Gary Cooper
digoda Barbara Stanwyck di layar putih, mendengar suara Fankie
Lane mendayu-dayu, ”Marinaku, bebaskan aku, bebaskan aku
dari emas hitam!”
”Marina mine, set me free, free from black gold....”
Bebas dari ”emas hitam” bisa juga berarti bebas dari ancam­an
penjajahan. Ancaman ini bukan hanya fantasi. Pada tahun­1975,
Henry Kissinger, dengan memakai nama samaran ”Miles Igno-
tus”, menulis sebuah artikel, ”Seizing Arab Oil” di majalah Harp­
er’s, dengan skenario yang jelas: siapkan senjata. Sebab, Amerika
Serikat, yang begitu bergantung pada BBM dari Timur Tengah,­
tak boleh kehilangan sumber hidupnya yang pokok. Maka tak
mengagetkan bila kini Perang Irak didakwa sebagai bagian dari
agenda kolonisasi macam itu. Jika diperkirakan cadangan mi­
nyak­ di dalam bumi AS tinggal 10 tahun, kenapa Washington
harus melepaskan sumur itu?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka tentara pun diperkuat. Ketika konsumsi BBM di muka


bumi meningkat, sementara bahan bakar itu bergerak­habis, dan
orang tetap merasa tak perlu mencari sumber energi­ lain, akan
kian sengit dunia memperebutkan si ”emas hitam”. Ketegangan
antara Malaysia dan Indonesia pada hari-hari ini—setelah Ma-

366 Catatan Pinggir 7


MINYAK

laysia mencoba memanfaatkan minyak di Ambalat, wilayah yang


dianggap Indonesia sebagai milik­nya—adalah simptom yang
akan kian sering tampak. Seperti tersirat dari argumen Kissinger,
mempertahankan ”emas hitam” adalah segala-galanya. Kini pun,
kata Michael Klare dalam buku Blood and Oil, ”militer Amerika
semakin diubah untuk melayani perlindungan minyak global”.
Apa boleh buat: zaman BBM berlimpah telah berakhir, za-
man genting mulai.
Tapi ancaman tak terbatas di situ. Ada cerita Jeremy Legget,
seorang ahli pertambangan minyak dari Inggris yang mengajar­
di The Royal School of Mines di London. Ia dulu seorang ”pem-
buru” minyak yang puas bila memandang di bumi Baluchistan,
misalnya, cairan memancar hitam dari liang tambang. Maklum-
lah, ia hidup makmur karena itu. Tapi pada suatu hari ia memba-
ca majalah New Scientist.
Pada Juni 1988, sejumlah pakar klimatologi bertemu di To­
ronto. Hasil penelitian mereka mendorong mereka mengeluar­kan
sebuah peringatan yang gawat: karbon dioksida yang di­lontarkan
dari mobil, motor, dan lain-lain ternyata merusak lapisan ozon
di atas kita. Jika lapisan itu musnah, malapetaka yang sedahsyat
perang nuklir menunggu bumi.
Legget terkesiap, dan ketika ia semakin yakin akan data ten-
tang kerusakan lingkungan itu, ia pun berhenti dari pekerjaan
yang membuatnya kaya. Ia bergabung dengan mereka yang anti-­
minyak. Ia bergabung dengan gerakan Greenpeace yang tak hen-
ti-hentinya memperingatkan bahaya yang datang dari sana—
dan yang, bersama aktivis lain, tak sungkan mendesak agar harga
http://facebook.com/indonesiapustaka

BBM jangan dibiarkan murah.


Sebab, kata mereka, minyak yang murah tak akan mendorong
orang untuk mencari dan menggunakan energi yang lain.
Tentu saja orang macam Legget belum banyak. Seandainya ia
di Indonesia kini, ia akan dicerca para politikus dan calon politi-

Catatan Pinggir 7 367


MINYAK

kus. Tapi gema Greenpeace akan terus membuat kita risau—dan


kita memang perlu risau: Bebaskan aku, bebaskan aku dari emas
hitam itu, karena angka-angka tampak jelas meng­ganggu­kenya-
manan. Kita memang bukan pabrik besar, kita bukan negeri in-
dustri, tapi tiap kali kita menghidupkan mesin motor atau mobil,
tiap kali kita menikmati berkah yang bernama BBM, kita sedang
mempercepat sebuah kutukan. Kutuk­an itu tak terdengar seperti
halnya penderitaan di Delta Niger, tapi perang minyak menanti
dan ozon makin berlubang di atas bumi.

Tempo, 13 Maret 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

368 Catatan Pinggir 7


ADIL

T
AHUKAH Anda apa itu keadilan?” tanya Ayatullah
Kho­­­meini. Dan pemimpin revolusi Iran itu menerus-
kan, dengan jawaban yang hanya separuh jawaban: ”Jika
Anda tak tahu, tanyakanlah ke nalar Anda, sebab nalar bertindak
bagaikan mata bagi manusia.”
Kali ini, dengan separuh jawaban itu, Khomeini keliru. De-
ngan gampang orang bisa menunjukkan bahwa keadilan tak per-
nah bisa diterangkan oleh nalar, dan bahwa nalar tak selamanya­
ber­tindak bagaikan ”mata”, dan bahwa perumpamaan itu me­
leset.
Saya punya sebuah pengalaman tentang itu. Saya pernah me­
mimpin sebuah tim. Pada suatu waktu, kepada tiap anggota­tim
disediakan fasilitas dan penghargaan, berupa sebuah mobil. Un-
tuk keadilan, sebuah jip dengan ukuran yang sama dan merek
yang sama diberikan kepada setiap orang, dari ketua­tim sam­pai
anggota di bawahnya yang berbeda-beda.­Bagi saya, setelah ada
per­bedaan gaji, tak perlu ada tambahan perbedaan fasilitas, yang
akhirnya lebih bersifat simbolis ketimbang fungsional. Bagi saya
tak adil bila yang di atas kian banyak mendapat, yang di bawah
tidak.
Sekitar setahun sistem ini berjalan. Kemudian beberapa ang-
gota tim yang merasa punya beban kerja yang lebih besar mulai
berpikir. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa tak adil menu-
tup kemungkinan bagi yang punya beban kerja lebih besar buat
http://facebook.com/indonesiapustaka

menikmati fasilitas yang lebih baik, di samping gaji yang lebih


tinggi. Keadilan di sini berasas penghargaan yang berbeda sesuai­
dengan kontribusi yang berbeda pula. Sama-rasa-­sama-rata di-
anggap tak adil. Kata-kata Cicero berlaku: ”Keadilan yang eks-
trem adalah ketakadilan yang ekstrem”.

Catatan Pinggir 7 369


ADIL

Argumen ini menang. Sejak itu ada beberapa jenis dan merek­
mobil dalam tim kami, karena yang bekerja lebih keras dan le­
bih­mampu dapat mobil yang tak hanya sebuah jip. Keadaan ini
diterima oleh kebanyakan anggota tim—meskipun bagi saya
ganjil.
Sejak itu jika saya ditanya, ”Tahukah Anda apa itu keadil­
an?” saya akan angkat bahu. Adakah keadilan, jika subsidi BBM
dicabut, dan beban orang yang lebih miskin akan memberat—
karena menambah belanja Rp 500 baginya akan terasa lebih
menguras kantong ketimbang bagi si kaya?
Kita akan menjawab: tidak, Bung! Tapi sebuah pertanyaan
lain juga dapat diajukan: adilkah jika sedikit sekali uang negara­
yang bisa dipakai buat pendidikan dan kesehatan, dibanding de-
ngan begitu besar dana yang dikeluarkan untuk menombok ong-
kos bahan bakar—di antaranya bensin bagi para pemilik Jaguar,
Audi, BMW, Mercedes-Benz?
Akan makin adilkah jika nanti, dua tahun lagi, subsidi di-
cabut? Jika harga minyak di dunia mencapai US$ 80 per barel,
sementara impor minyak bumi akan bertambah, dan Indonesia­
kian bergantung pada energi dari luar, bersama dengan kian me­
nurunnya produksi dalam negeri—adilkah bila sebagian besar
dana habis di sini?
Maaf, saya angkat bahu: tak ada yang bisa ditentukan secara
a priori. Tentang keadilan, saya tak akan mengutip Khomeini.­
Ia begitu percaya kepada nalar sebagai pemberi jawab. Saya lebih­
percaya nalar sebagai pemberi pertanyaan. Tiap kali saya meman-
dang lambang keadilan—dewi yang memegang dacin dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mata dibalut penutup—tiap kali saya menafsirkannya sebagai


tanda bahwa keadilan adalah sebuah keputusan yang bermula
dari posisi tak melihat.
Sebab, keadilan selalu hadir tapi nyaris tak terlihat. ”Ada ke-
adilan,” kata Jules Renard, penulis Poil de carotte itu, ”tapi kita

370 Catatan Pinggir 7


ADIL

tak selalu melihatnya. Keadilan tak menonjolkan diri, tapi ia ada,


tersenyum, di sebelah sana, agak di belakang ketakadilan, yang
membuat heboh.”
Sejarah manusia memang sejarah yang terjadi ketika ketak­
adilan membuat heboh. Orang justru hidup dengan imajinasi
tentang keadilan—dan sebab itulah keadilan ”ada” bagaikan se-
bayang mambang, sekilas jejak—ketika yang dibicarakan itu tak
ada. Sejarah menunjukkan bahwa hidup terbentuk justru oleh
kekurangan.
Demikianlah pada mulanya imajinasi, bukan nalar, sebab
ke­adilan pertama-tama lebih bersipongang sebagai retorika
ketimbang rumus, lebih berwujud penggugah hati ketimbang
konsep yang selesai. Ia seperti cakrawala di seberang pantai: sesu­
atu yang mirip garis panjang di mana langit menyentuh bumi—
dan kita akhirnya tahu bahwa langit tak pernah menyentuh
bumi.
Dengan imajinasi itu manusia berusaha, dan politik terjadi.­
Karena keadilan selalu berarti keadilan dalam hubungannya de-
ngan orang lain, usaha menegakkannya berlangsung lewat­ pe-
rundingan, tuntut-menuntut, tawar-menawar, dan tak ja­rang­­
adu kekuatan dan pertumpahan darah.
Tapi tak dapat dikatakan bahwa nalar tak punya peran sama
sekali di sini. Untuk membuat keadilan singgah dalam ruang hi­
dup­kita, senjata mungkin perlu dihunus, tapi tak mungkin hanya­
itu. Keadilan baru ”keadilan”, dan meyakinkan­sebagai keadilan,
bila ia sesuatu yang berlaku bagi siapa saja. Dalam tiap adu keku­
at­an itu selalu tersirat seruan tentang sesuatu yang universal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nalarlah yang merumuskan yang universal itu. Karl Marx­


menyaksikan dengan pedih ketakadilan yang ditanggung­kaum
buruh, tapi ia tak hanya bersuara dengan dengus dan cerca.­ Ia
berbicara tentang sebuah ”sosialisme ilmiah”. Ia ber­bicara­ ten-
tang revolusi dengan teori dan angka-angka. Das Kapital, yang

Catatan Pinggir 7 371


ADIL

baru-baru ini selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia


dengan sangat mengesankan, melalui kerja keras Oei Han Djoen,
adalah sebuah bentuk dorongan untuk membuktikan bahwa ke-
adaan yang tak adil harus dipaparkan agar diterima siapa saja dan
kapan saja, tak hanya kaum proletar. Rasionalitas adalah bagian
yang tak terelakkan dari politik keadilan.
Ia bukan segala-galanya, tentu. Tapi demikian juga yang ”bu­
kan-rasio”, yang ”bukan-nalar”: perut yang lapar, hati yang ma­
rah, mata yang basah, kaki yang luka. Tiap kali kita me­nengok­
kembali apa yang terjadi dalam sejarah, kita tahu ”keadilan”
adalah jejak universal yang tidak satu.

Tempo, 20 Maret 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

372 Catatan Pinggir 7


MEMBERI

D
I bandara Meulaboh yang sepi dan tak punya apa-apa
lagi, kami menunggu sebuah pesawat datang di sebuah
kedai agak di depan landasan. Gubuk itu setengah­
berdinding­dengan kayu yang lusuh. Besarnya hanya 3 x 4 meter
persegi.­Saya dan Sandra, dua orang dari Jakarta, duduk di bang-
ku di luarnya, di bawah pohon, memesan kopi dan nasi bung-
kus. Pada pagi yang lambat itu, hanya ada empat orang pembeli
datang silih berganti.
Tujuh meter dari sana, sebuah pos militer yang belum lama di­
dirikan tampak habis bangun tidur: beberapa prajurit baru saja
man­di, seorang tentara muda memberi makan dan meng­ajak
omong burung, hanya beberapa orang yang sudah siap bersera-
gam. Mereka empat peleton pasukan khusus Angkatan Udara
yang dipasang untuk menjaga bandara kecil itu, yang sejak tsuna-
mi menghantam Meulaboh jadi ramai kapal terbang, membawa
pelbagai macam bantuan, pelbagai macam orang.
Dua helikopter PBB tampak diparkir di landasan. Di sekitar­
itu, ribuan pohon nyiur, damar, dan angsana mengepung, sebagi­
an masih tampak hitam seakan-akan hangus, bekas air laut yang
naik pada akhir Desember 2004 itu—setelah gempa­dan ombak
gergasi yang membuat sebagian kota pesisir itu luluh-­lantak, pu-
luhan ribu orang tewas, hilang, atau hidup tak bertempat tinggal.
”Kami tinggal di kemah,” perempuan muda pemilik­wa­rung­
itu bercerita. Rumahnya lenyap, tapi tak ada keluarganya yang te­
http://facebook.com/indonesiapustaka

was. Ia berpakaian rapi, dengan perhiasan sekadarnya, menan-


dai bahwa ia bukan bagian dari mereka yang hancur total. Tapi
ia bisa mengisahkan penderitaan tetangga dan ke­luarga­yang ke-
matian.
Dengan budi bahasa yang halus, ia mengatakan bahwa me­re­­

Catatan Pinggir 7 373


MEMBERI

ka yang jadi korban memang menderita, tapi tabah, karena me­re­


ka tak menderita sendirian. Begitu banyak orang mati. Ia ber­ceri­
ta tentang camat kotanya yang terus-menerus me­nemani­ peng­­
ungsi, bahkan ikut tidur dan makan bersama di kemah. Ia me­
nyebut tentang begitu banyaknya bantuan yang datang dari pel­
ba­gai tempat lain di Indonesia, dari banyak penjuru dunia. Se­mua
itu sampai ke kami, katanya. Bahkan berlebihan, sehingga ban-
tuan pakaian yang sudah rusak terpaksa kami bakar. Kami ba­
kar diam-diam, agar mereka yang sudah mengirim dan memba­
wanya kemari tak tersinggung.
Sandra terdiam dan berbisik, mungkin terkesima: ”Dalam ke-
adaan yang berat, ia masih memikirkan perasaan orang lain....”
Saya memandang ke jalanan. Apa arti ”orang lain”, pada saat
seperti ini? Sebuah sepeda motor gandeng yang sudah tua bercat
putih dengan huruf UN datang tersengal-sengal masuk ke lan-
dasan. Sebuah mobil pickup dengan logo sebuah organi­sasi dari
Republik Cek menyusul.
Apa arti orang lain itu, apa gerangan Aceh bagi mereka, dan
apa arti mereka bagi Aceh? Apa arti geografi dan sejarah, juga
makna tapal batas—sesuatu rekaan yang begitu sering diperebut-
kan dan dibanggakan?
Saya mendengarkan tutur pemilik warung itu dan tiba-tiba
merasa: hidup bisa sangat berbeda, jika pusat dunia tidak ada lagi.
Kita tahu ”pusat” itu biasanya dilekatkan dengan tapal batas yang
sempit di dekat diri sendiri. Dan saat itu rasanya tapal batas dan
pusat raib, dan ruang yang ”soliter” pun digantikan oleh yang ”so­
lider”. Dunia jadi ramah. Bahkan yang menderita ingin menjaga­
http://facebook.com/indonesiapustaka

perasaan orang yang tak menderita, sebagaimana juga sebaliknya.


Ada yang agak ajaib di sini: ternyata beberapa saat lamanya di
Aceh, ekonomi bisa berhenti.
Ekonomi: sebuah proses yang bertolak bukan saja dari ke­lang­
kaan, tapi juga dari pertukaran, daur ”mengambil-menerima”.

374 Catatan Pinggir 7


MEMBERI

Pasar membuat prosedurnya. Di sana pusat hadir­dalam bentuk


pamrih. Kepentingan diri dianggap patut. Hu­bungan berlang-
sung seperti kontrak.
Tapi mungkinkah itu segala-galanya? Kontrak mengandung­
asumsi bahwa yang-lain akan menerima yang-seimbang. Tapi hal
itu tak akan pernah terjadi. Sebab akan selalu ada benda-benda
yang tak bisa dipindahtangankan—jimat, pusaka, kenangan,
harapan, yang terkadang tersemat dalam benda-benda.­ Marx
mungkin akan menyebutnya lebih mendasar: tiap benda tak ha­
nya­punya nilai-tukar.
Pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain, agar­ma-
nusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai ko­modi­tas
belaka. Tapi kini pasar menang, dan cita-cita untuk­mengganti-
kan ruang yang ”soliter” dengan yang ”solider” di­sisih­kan bagai-
kan barang yang apak dan lapuk.
Memang ia tampak lapuk. Ia cita-cita yang lama. Ber­abad-­
abad manusia telah mendengar petuah kebajikan ini: ”jika ta­
ngan­kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu­me­nge­
tahuinya”. Lebih tua lagi Jainisme dan cerita tentang­sang rahib
yang menghilang begitu ia menerima amal (atau ”dan”) di de-
pan pendermanya. Sebab amal akan hilang maknanya­ sebagai
amal bila hal itu membuat si pemberi tergoda oleh perasa­an mu-
lia. Derma juga akan hilang maknanya sebagai keikhlasan bila si
penerima dibebani utang budi. Tak ada resiprositas yang harus
kelak dilakukan. Waktu harus seakan-akan tak ada.
Tapi betapa penuh paradoks semua itu: si pemberi harus mera-
sa mampu melepaskan sesuatu dari dirinya, tapi pada saat yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sama ia harus memandang ”sesuatu dari dirinya” itu bagian se-


buah konsep yang tak ada artinya—konsep ”milik”. Ia juga harus
ikhlas untuk tak menerima balasan, tapi agar tak direndahkan, si
penerima harus punya kesempatan untuk membalas dengan se­
su­atu yang baginya bernilai.

Catatan Pinggir 7 375


MEMBERI

”Memberi” akhirnya berlangsung sebagai sebuah enigma. Ia


seperti sesuatu yang mustahil, tapi betapa besar artinya. Setidak­
nya di kedai itu saya tahu, bahwa dunia bisa tetap ramah, dalam
kesedihan, dengan kesedihan. Memberi berarti saling memberi,
menerima berarti saling menerima, dan tolong-menolong adalah
sebuah parodi bagi proses yang digerakkan oleh pasar.
Parodi—sebuah selingan yang sehat, bukan? Tak jauh dari ke-
dai itu ada sebuah kedai kopi lain, lebih sederhana, setengah ditu-
tup oleh robekan tenda Unicef. Seseorang telah menggantung-
kan sebuah papan nama di salah satu tiang bambunya: ”Warkop
Starbucks”.

Tempo, 27 Maret 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

376 Catatan Pinggir 7


AMINA

S
EBUAH persoalan yang pelik: bagaimana seorang mus-
limat akan bersikap terhadap ayat Quran yang mengizin­
kan­suami memukul istrinya?
Tanggal 18 Februari 2005, di Noor Cultural Centre di To-
ronto, Kanada, Amina Wadud berbicara tentang ”Qur’an, Perem-
puan, dan Kemungkinan-kemungkinan Tafsir”. Dan guru besar
studi Islam di Virginia Commonwealth University itu menjawab:
ada empat sikap yang bisa diambil.
Pertama: menafsirkannya secara harfiah. Kedua: membacanya­
dengan disertai pedoman legalistis yang membatasi cara ayat itu
ditafsirkan. Ketiga: menafsir kembali berdasarkan pandangan al-
ternatif. Dan keempat: berkata ”tidak” kepada ayat Quran itu.
Amina tak menafikan kemungkinan seorang yang beriman
akan berkata ”tidak” kepada ayat itu. Jika ia jujur, ia sendiri akan
menolak untuk rela bila seorang suami diberi hak untuk memu-
kul istrinya. Katakanlah sang suami memukul karena si istri ber-
salah. Tapi bagaimana menentukan ”bersalah”? Jika posisi laki-
laki begitu tinggi, maka sang suamilah yang berhak jadi jaksa,
hakim, dan sekaligus pelaksana hukuman. Dan si istri berdiri
tanpa pembela, tanpa hak naik banding.
Amina merasa itu tak adil.
Tapi jika ia mengatakan ”tidak” kepada ayat itu, begitulah ia
berkata, tak berarti ia menampik Tuhan dan wahyu-Nya. ”Justru
Quran-lah,” kata Amina Wadud, ”yang memberi saya jalan un-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tuk mengatakan tidak kepada Quran.”


Mungkinkah? Seorang yang berkata ”tidak” kepada satu ayat
Quran tapi sementara itu menyatakan tak menampik Allah dan
wahyu-Nya?
Ruangan itu penuh. Sekitar 300 orang mendengarkan. Be-

Catatan Pinggir 7 377


AMINA

gitu Amina Wadud selesai berbicara, seseorang minta ke­sempat­


an­membantah. Ia menuduh Amina tak bisa berbahasa­Arab dan
hanya mengerti satu surah saja dalam Quran. Se­orang lain berpi-
dato bahwa Amina tak memahami Islam. Tapi ada yang meng­
akui ceramah Amina justru membebaskannya: ”Sangat bagus
jika kita bisa hidup dengan penjelasan harfiah dan legalistis. Saya
tak bisa. Amina juga tak bisa, bukan karena ingin berbuat tak pa­
tut, tapi karena ingin mencoba jadi makhluk moral yang benar
dan pelaksana amanat Allah.”
Dari celah-celah hadirin seorang berteriak, ”Agen CIA!”
Amina Wadud datang dari keluarga Kristen yang taat—
ayahnya seorang pendeta—dan masuk Islam di tahun 1970-an,
di masa gelombang kedua gerakan feminisme Amerika. Perem-
puan Afro-Amerika ini mempelajari agama di Universitas Al-
Azhar. Ia juga pernah tinggal di Libya.
”Saya seorang nigger,” katanya. Memakai jilbab, ia tampak se-
perti seorang perempuan dari Asia Selatan. Tapi jika tampak­ram-
butnya yang keriting, orang akan tahu ia seorang hitam. Orang
akan bersikap lain. Di Toronto hari itu seseorang meng­akui: ”Jika
ada laki-laki kulit putih yang masuk Islam, kita akan segera me-
mintanya untuk jadi imam dalam salat. Jika yang masuk Islam
seorang perempuan hitam, kita akan memintanya untuk meng­
urus­anak-anak.”
”Saya seorang nigger,” kata Amina, suaranya bergetar. Ia ber-
cerita kenapa ia begitu peka akan diskriminasi. Seorang ”nigger”
dan sekaligus seorang perempuan di Amerika adalah seseorang
yang membawa sejarah penindasan lebih dari dua abad.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Amina menemukan dalam Islam sebuah harapan bahwa tak


akan ada diskriminasi di lingkungan ini. Sejak mula, peng­anut
Islam tak hanya terdiri atas satu kelompok etnis. Seorang peme-
luk awal adalah Bilal, seorang hitam yang jadi tauladan.
Adapun terhadap perempuan....

378 Catatan Pinggir 7


AMINA

”Jelas bagi saya,” kata Amina suatu ketika, ”Quran bertuju­


an menghilangkan semua pengertian tentang perempuan seba­
gai subhuman, belum-manusia.” Quran tak bercerita bahwa wa­
nita diciptakan buat Adam untuk jadi pembantu, setelah hewan-
hewan tak ada yang cocok untuk peran itu—seperti disebutkan
dalam Perjanjian Lama (Kejadian 2: 19-20): Sejak mula, kata
Amina, ”semua hal diciptakan berpasang-pasang­an,” seperti kata
Quran (51:49). Begitu nafs proto-manusia dijadikan, ia sudah ada
sandingannya (zawj) sebagai bagian dari desain Allah. Maka ke-
tika Adam bersalah memakan buah terlarang, Quran tak ha­nya­
menyalahkan Hawa.
Tapi itu tafsir Amina Wadud, bukan? Bukankah dalam
Quran juga sering disebut bahwa wanita tak setara dengan pria?
Betul, jawabnya. Tapi ia percaya Tuhan adil, dan Quran cer-
minan sifat adil itu. Amina Wadud seakan-akan menggemakan
lagi suara Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam, theolog dari Basra di
abad ke-9: ”Tuhan, pintu keadilan, tak boleh digambarkan seba­
gai yang punya kuasa untuk bertindak tak adil.”
Tapi salahkah Amina? Tiap tafsir selalu terbatas, mungkin
subyektif, mungkin keliru, tapi tiap pembacaan (juga yang har-
fiah) tak ada yang ”murni”, bagian dari pergulatan untuk mema-
hami Tuhan dengan keterbatasan manusia. Suatu saat konsensus
mungkin terbentuk di antara para mujtahid dan dengan umat.
Tapi seperti dipersoalkan Ibnu Rushd di abad ke-12, bagaimana­
konsensus atau ijma’ tentang hal-hal yang teoretis akan sampai
kepada kepastian final? Agar sampai ke situ, kita harus tahu opini­
semua ulama yang memenuhi syarat, dan membuat mereka mu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

fakat, juga tentang hal-ihwal yang esoteris.­ Itu mustahil. Tiap


ijma’ hanyalah sebuah ikhtiar.
Tapi kemustahilan itulah yang tak diakui. Ada orang-orang
yang gampang mengamini sebuah tasfir dan mengkafirkan tafsir
yang lain. Konon dalam bukunya, Al-Kashf ‘an Manahij al-Adilla

Catatan Pinggir 7 379


AMINA

fi ‘Aqaid al-Milla, Ibnu Rushd menyebut itulah perilaku sebagian


theolog: mereka memonopoli akses kepada kebenaran dan me­
ngu­tuk ”siapa saja yang tak setuju kepada mereka sebagai bid’ah
atau kafir yang hak milik dan darahnya sah untuk dirampas”.
Darah Amina Wadud mungkin juga akan terampas—jika
kita percaya media di Amerika—setelah ia jadi imam salat Jumat­
di New York 18 Maret 2005. Tapi ia tak risau.... ”Saya lebih­men-
jaga kemurnian niat saya,” katanya.

Tempo, 3 April 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

380 Catatan Pinggir 7


BANDUNG

D
I bawah celah di antara rimbun pohon-pohon hutan di
Ohio, wanita tua itu memimpin pertemuan para bekas
budak. Ia namai pertemuan itu ”Call”. Ia tak berkhot-
bah. Baby Suggs hanya berkata, ”Di tempat ini, di sini, kita da­
ging,­ daging yang nangis, ketawa; daging yang menari dengan
kaki telanjang pada rumput.”
Jika ada yang magis dalam novel Toni Morrison, Beloved, ialah­
karena ia mengingatkan kita akan arti ”daging”—daging yang
pernah dirantai perbudakan, dicap seperti ternak, dan dihina­
dalam apartheid. Daging ”negro”.
”Jadi seorang negro di Amerika berarti mencoba senyum ke-
tika kita ingin menangis. Berarti mencoba pegangi hidup jasmani
di tengah jiwa yang mati. Berarti menyaksikan anak kita tumbuh
dengan mendung rasa rendah diri meliputi langit mental mereka.
Berarti melihat kaki kita dipotong dan kita dihukum karena tak
bisa jalan.”
Kalimat Martin Luther King Jr. pada tahun 1960-an itu
mung­kin bergema ketika Morrison menulis novelnya yang terbit
pada 1987 itu: kisah tentang sebuah rumah yang disebut hanya
dari nomornya, ”124”, tentang Beloved, si hantu dari masa silam,
tentang Sethe yang membunuh anak sendiri, dan tentang Baby
Suggs yang berharap.
Di ”Call” di hutan itu, Baby Suggs seakan-akan ingin me­mu­
lihkan kaki negro yang telah ”dipotong”, kaki yang tak bisa lagi
http://facebook.com/indonesiapustaka

menari dan merasakan asyiknya keleluasaan.


Tapi akhirnya ia juga tak berdaya. Pada suatu hari Sethe, anak
tirinya, datang ke ”124”. Perempuan itu lari dari tuannya,­pemi-
liknya. Ia telah memutuskan: lebih baik ia dan keempat­anaknya
mati ketimbang jadi budak. Ketika sang pemilik datang membu-

Catatan Pinggir 7 381


BANDUNG

runya, ia pun membunuh si upik—tapi gagal menghabisi nyawa


yang lain, gagal juga bunuh diri.
Apa yang bisa dilakukan? Baby Suggs pun menyerah. Ia mere-
bahkan tubuhnya dan berkata: akhirnya si negro harus menang-
gungkan apa saja yang dilakukan si putih.
Tapi tak semua menyerah. Sementara di Amerika orang hi­
tam­­ditindas sampai ke tengah abad ke-20, di benua lain jutaan­
orang dengan pelbagai warna kulit tak mau menolak untuk dise­
kap dalam koloni ”orang putih”. Sejak awal abad ke-20 me­reka
membentuk kekuatan. Juga dengan senjata.
Mereka disebut ”Asia-Afrika”.
Tak ayal, orang hitam di Amerika pun melihat ”Asia-Afrika”­­
sebagai obor. Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan
April 1955 segera jadi bagian dari cerita mereka. Maka datanglah
ke Indonesia Richard Wright, penulis novel Native Son yang ter-
kenal itu, kisah tentang si Bigger Thomson yang terjepit di kehi­
dupan ”putih” Amerika dan jadi pembunuh. Dari Bandung ia
menulis sebuah ”kronik” konferensi bangsa-bangsa yang tak mau
terjepit, The Color Curtain.
Buku itu terbit pada tahun 1956. Sayang tak mengesankan.
Tapi Bandung tetap bergaung. Dengarkan suara Malcolm X, No-
vember 1963, di Detroit.
”Di Bandung semua bangsa datang.... Hitam, sawo matang,
me­rah, atau kuning.... Nomor satu yang tak mereka izinkan
datang ke konferensi Bandung adalah orang putih.... Sekali me­re­
ka keluarkan orang putih, mereka tahu mereka dapat bersatu....”
”Bandung” ternyata punya banyak arti. Para pemimpin Asia
http://facebook.com/indonesiapustaka

(Sukarno dan Nehru) melihatnya sebagai usaha mengatasi­ ke­


te­gangan militer antara Uni Soviet dan Amerika Serikat yang
meng­ancam seantero bumi. Bagi mereka Konferensi A-A itu le­
bih­­ merupakan suara perdamaian ketimbang pekik pedih ras
yang tertindas.

382 Catatan Pinggir 7


BANDUNG

Tapi bila bagi mereka ”Bandung” adalah kecaman atas dunia­


yang terbelah, bagi Malcolm X ”Bandung” justru pe­ngukuh­an
sebuah dunia yang terbelah. Waktu itu ia memimpin gerakan
orang hitam yang ingin memisahkan diri dari Amerika yang
putih. Suaranya memang getir. Ketika ia ber­umur­enam tahun,
bapaknya, seorang pendeta Baptis, dibunuh setelah menerima su-
rat ancaman dari Ku Klux Klan, dan ibunya terguncang jiwanya.­
Malcolm kecil dan tujuh saudaranya telantar. ”Semua orang neg­
ro marah,” katanya, ”dan saya yang paling marah.”
Marah punya daya tersendiri. Marah bisa seperti Beloved,
hantu dari masa lalu, roh si upik yang terbunuh, wakil 16 juta
bu­dak yang mati di sebuah ”holocaust” yang tak pernah disebut­
”holocaust”. Marah bisa membuat sejarah. Dan bila bagi si kulit
hitam sejarah itu tak ditandai oleh ”Bandung” sebagai­ panggil­
an­ perdamaian, itu karena tak jelas apa akhirnya: mungkinkah
nanti ada sintesis antara si ”hitam” dan si ”putih”, seperti sin­tesis­
dalam bentuk masyarakat tanpa kelas menurut teori Marxis ten-
tang sejarah perjuangan buruh?
Bagi Franz Fanon, jawabnya muram. Pada suatu hari di satu
sudut Paris, seorang anak berteriak ke arahnya, ”Lihat, ia­ neg­
ro!”. Saat itu ia sadar bahwa ia, si negro, mendapatkan kerangka­
makna dirinya melalui ”tatapan” orang lain, sebuah kerangka
yang ”sudah siap, telah ada sebelumnya, menunggu” dan mudah
dipakai bahkan oleh anak-anak. Makna itu telah dipatri di warna
kulitnya. Ia ”negro”, titik.
Seakan ke-”negro”-an adalah sesuatu yang kekal, tak di­pe­
ngaruhi­sejarah. Tapi Fanon sendiri sadar, dalam perjalanan, di
http://facebook.com/indonesiapustaka

dunia, ”Aku tak henti-hentinya menciptakan diriku sendiri.”­Bu-


kan untuk mengingkari identitas, tapi karena identitas diri mus-
tahil jadi jerat, atau sebaliknya, jadi berhala yang di­sembah­dan
tak berubah.
Bahkan Malcolm X berubah. Pada tahun 1964 ia ke Me­kah.­

Catatan Pinggir 7 383


BANDUNG

Ia baca Quran dan sadar bahwa manusia, juga dalam marahnya,


tetap manusia yang terbatas, dan sebab itu harus adil, juga kepada
musuh. Sebab manusia bukan sebuah definisi. Manusia adalah
”daging yang nangis, ketawa”, makhluk yang konkret, yang bisa
berbahagia sesaat tapi juga bisa meng­atasi­benci, bisa bercita-cita
tapi juga, seperti ia sendiri, Malcolm X, bisa dibunuh.
Manusia seperti itulah yang merasa diwakili di Bandung:
kombinasi antara hantu dari zaman yang zalim dan sikap gagah
ke masa depan, gerakan yang gentar tapi penuh harap. Tentang
”Call” pada bulan April 1955 itulah Wright dalam The Color Cur­
tain menulis: ”Yang dinistakan, yang dihina, yang dilukai, yang
dihilangkan haknya... berkumpul di sini.”

Tempo, 10 April 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

384 Catatan Pinggir 7


VATIKAN

—untuk Cak Nur

P
ADA suatu hari, kata orang, Stalin bertanya: ”Berapa ba­
talion, sih, Vatikan punya?” Di negeri itu, kita tahu, ha­
nya­­ada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera
yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare,
lebih­ sempit dibanding The Mall di Washington DC; anggar­
an­tahunannya sekitar 500 juta dolar, hanya 25 persen dari bujet
Universitas Harvard.
Tapi di sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat
dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang un-
tuk berkabung dan memberi hormat.
Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks—dan
agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan­
gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri dengan­pa-
sukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeri­yang be-
sar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ring-
kih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kem-
bali asas Hobbesian—bahwa ”tiap orang diharapkan berjanji
patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau
menghancurkan”—Gedung Putih­masih merasa perlu menyapa
Paus yang tak akan bisa me­runtuh­kan siapa pun.
Vatikan adalah sebuah interupsi. Berabad-abad sejarah diba­
ngun­ oleh konflik, dan sebagaimana perang saudara Ing­gris di
http://facebook.com/indonesiapustaka

abad ke-17 mengilhami Thomas Hobbes, konflik itu menunjuk-


kan bahwa hidup sering merupakan padang per­buru­an yang bru-
tal. Kekuatan dan kekerasan (bukan niat baik)­adalah yang mem-
bentuk dunia. Tujuan hanya jadi pen­ting­bila dihubungkan de-
ngan kemenangan dan kejayaan, dan kebenar­an berpangkal di

Catatan Pinggir 7 385


VATIKAN

situ. Dari masa seperti ini sarkasme Voltaire bergaung: ”Kata


orang, Tuhan selalu berpihak pada batalion-batalion terbesar.”
Tapi itu ”kata orang”. Dalam prakteknya, apalagi di hari ini,
tak pernah ada kesepakatan di mana Tuhan berpihak. Maka se-
lalu ada kebutuhan untuk memberi makna kepada ”batalion-
batalion terbesar”, dan tak cuma memberi mereka rencana keme­
nangan. La politique—pergulatan untuk kejaya­an satu pihak—
pada akhirnya juga le politique, pergulatan untuk mengisi apa
yang kurang dari kejayaan itu.
Yang kurang adalah ”pembenaran”—hingga sebuah tin­dak­­­
an­politik dapat diterima semua pihak untuk waktu yang se­dapat-
dapatnya tak terbatas. Yang kurang adalah sesuatu yang ”transen-
dental”.
Kita hidup di masa ketika siapa saja yang bersengketa, mau tak
mau, harus mengajukan argumen. Segera atau berangsur-angsur
orang tahu bahwa apa yang ”adil” dan ”lalim” tak bisa serta-merta
di­putuskan sepihak dengan kekerasan. Maka ketika­tak ada ha-
kim di pusat yang pasti yang akan memutuskan perkara ini, dan
yang ada hanyalah hegemoni sebuah citra­atau ide yang tak mut-
lak dan tak lengkap, orang pun terus-menerus haus akan simbol-
simbol ”pembenaran”.
Vatikan, yang bukan pusat, adalah satu indikator kebutuhan­
itu, rasa kekurangan yang juga dirasakan oleh negeri mana saja
yang hanya punya bujet dan bedil. Takhta Suci itu tak sempur-
na—bahkan ada yang menganggapnya tak suci benar—tapi seti-
daknya ia sebuah isyarat, bahwa dunia yang dibayangkan Hobbes
tak sepenuhnya cocok dengan kehidupan. Dalam kehidupan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang lemah ternyata bisa punya proteksi dan kesetiaan sendiri.


Justru ketika Sri Paus dan aparatnya tak lagi menguasai tanah
dan takhta seperti di Abad Pertengahan Ero­pa, dan tak lagi ter­
li­bat perang dan penindasan, ia bisa lebih meyakinkan sebagai
lambang ”kerajaan yang lain”.

386 Catatan Pinggir 7


VATIKAN

Ia hadir dengan nilai lebih karena ia dianggap bukan ”ke­raja­


an dunia” yang tak henti-hentinya terpaut oleh kepenting­an yang
sepihak dalam percaturan pamrih dan kekerasan. Bukankah Ye-
sus menampik kerajaan macam itu ketika Iblis menawarkannya
dalam ujian di padang gurun—dan sejak­itu manusia tahu bah­
wa­ kalaupun yang ”transendental” mustahil­ akan datang hari
ini, ”kerajaan yang lain” itu akan selalu mengimbau, akan selalu
mengingatkan apa yang kurang dari la politique?
Itulah sebenarnya yang dapat ditawarkan bukan saja oleh Va-
tikan, tapi oleh tiap agama: menghadirkan imbauan dari ”kera-
jaan yang lain”. Tapi betapa sulitnya. Agama telah jadi kelompok,
dan kelompok jadi kubu, dan tembok didirikan, juga pintu yang
tertutup.
Tak mengherankan bila ada keraguan, di manakah yang tran­
sendental­dalam peta semacam itu? Bagaimanakah sebuah agama
dapat mencerminkan apa yang agung dari Tuhan selama agama
itu terlibat dalam perebutan kaveling di dunia?
Pertanyaan seperti itu kian deras, sebab kian terasa pula ku­
rangnya sumber-sumber ”pembenaran” yang bisa diterima­semua
pihak di dunia sekarang. Mungkin itu sebabnya, di satu sisi kita
takut melihat menyempitnya pandangan agama-agama, di lain
sisi kita hidup dalam ketika Tuhan, sumber pembenaran yang
uni­versal, dirindukan kembali—sebuah masa ”pasca-sekuler”.
Maka, dengan susah payah agama-agama pun mulai me­re­
nung­kan posisi masing-masing: mungkinkah yang universal­se­
penuhnya diwakili hanya oleh satu sistem dan tradisi ke­per­ca­ya­­
an yang partikular, yang tak jarang punya sejarah yang penuh da-
http://facebook.com/indonesiapustaka

rah dan ketakaburan?


Dalam perenungan kembali ini, saya akan selalu teringat Nur-
cholish Madjid: ia berada di garis depan, tapi ia juga ber­ada di se­
buah tradisi yang dimulai ketika orang Islam pertama mendengar
Quran dan diingatkan bahwa banyak nabi yang dikirim Tuhan

Catatan Pinggir 7 387


VATIKAN

ke bumi, dengan aturan dan jalan masing-masing. Seandai­nya


Tuhan menghendaki, bukankah Ia akan mampu membuat ma-
nusia sebuah bangsa yang satu? Dengan kata lain, mereka mende­
ngar sebuah pesan, bahwa yang universal justru hadir tak da­lam
bentuk sebuah pusat yang tunggal, tapi di mana saja ia tampak
jelas sebagai yang universal.
Pekan lalu, dalam perkabungan untuk Paus Yohanes Paulus
II, Vatikan adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang
memenuhi harapan itu. Ke sana datang Ayatullah Khatami­dari
Iran, ke sana datang pula George W. Bush dari Amerika, Presiden
Israel, Perdana Menteri Palestina....

Tempo, 17 April 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

388 Catatan Pinggir 7


MAGDA

D
ENGAN tenang, dengan hati tetap, Magda Goebbels
memasukkan kapsul racun ke mulut keenam anaknya,
satu demi satu. Jika perasaannya terguncang, itu tak
tampak­ di wajahnya yang cantik dan keras. Begitu anak-anak
itu me­lepas­kan nyawa, ibu itu mencium pipi mereka, memati­kan
lampu kamar, dan menutup pintu, melangkah ke luar. Sejenak­ia
terenyak jongkok. Hanya sejenak. Segera ia kembali ke kamar­
nya, duduk bermain soliter dengan kartu, seraya­menunggu­sua-
minya bersiap mengenakan pakaian seragam petinggi Partai­Na­
zi. Lalu mereka berdua keluar dari bungker­ persembunyian. Di
halaman yang suram oleh akhir musim dingin dan perang yang
kalah, Josef Goebbels mencabut pistol­dari holster di pinggang-
nya. Ditembaknya Magda. Perempuan itu roboh. Lalu sang sua-
mi meledakkan peluru ke pelipisnya sendiri.
Der Untergang karya Oliver Hirshbiegel mungkin akan dike-
nang sebagai sebuah film sejarah yang impresif (meskipun­ se-
cara sinematik tak istimewa) dari seorang sutradara Jerman ten-
tang hari-hari terakhir Hitler yang terpojok menjelang Mei 1945.
Tapi, bagi saya, yang akan lama terkenang adalah yang dilaku-
kan Magda dalam adegan di atas: sebuah kebrutalan dengan ga­
ya yang anggun, sebuah keyakinan yang berapi-api yang justru
membekukan hati, sebuah penampilan harga diri yang menakut-
kan....
Apa sebenarnya yang terjadi? Sejarah memang mencatat, Hit-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ler bersama para pendukungnya yang setia, termasuk Goeb­bels,


bertahan di sebuah bungker ketika tentara Soviet­me­ring­sek­­maju
memasuki Berlin. Bom nyaris tak putus-putus­nya menghantam
kota yang lelah dan mencoba tak menyerah itu. Gedung dan ma-
nusia hancur. Semua usaha per­tahan­an Jerman­bobol, semua ren-

Catatan Pinggir 7 389


MAGDA

cana, harapan dan fantasi patah. Tapi Hitler menolak untuk me-
ninggalkan ibu kotanya. Bersama Eva Braun, kekasih yang baru
dinikahinya di hari-hari akhir dalam bungker itu, ia membunuh
dirinya dengan racun dan sebutir peluru. Josef dan Magda Goe­
bbels­mengikuti­tauladan itu.
Kita tak akan pernah tahu persis apa yang mendorong orang-
orang ini berbuat demikian. Film Der Untergang tak mencoba
menyimpulkan. Mungkin Hitler, yang naik ke pentas sejarah de-
ngan bayangan keagungan, ingin eksit dengan bayangan yang
sama. Bukankah ia telah mendirikan Reich Ketiga seraya menak-
lukkan hampir seluruh Eropa, seperti Iskandar Yang Agung dan
Napoleon menaklukkan bentangan bumi yang luas? Haruskah
ia lari terbirit-birit meninggalkan Berlin? Suatu saat Albert Speer,
arsitek kepercayaannya, berkata kepadanya, ”Jika layar turun,
Tuan harus hadir di tempat, bukan?”
Layar memang segera turun, tapi lakon belum selesai. Di tiap
akhir pementasan, ada babak yang menentukan yang tak dapat
di­rancang: tepuk tangan kagum atau teriakan cemooh para pe-
nonton. Tentu saja, sang Führer ingin memilih yang pertama.
Mungkin demikian pula semua mereka yang berada di bungker­
dan pada hari terakhir Reich Ketiga itu, juga Magda dan Josef
Goebbels. Mereka mungkin ingin sebuah adegan final yang akan
mendapatkan aplaus, ingin memberikan kesan terakhir yang tak
hina, dengan kebanggaan diri tertentu.
Bila benar demikian, apa yang dilakukan Magda adalah mo­
del­sebuah narsisisme, tapi narsisisme dalam destruksi dan kema-
tian, sebuah ambisi estetis dalam heroisme yang gelap: Eva Braun
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Goebbels berkaca sebelum mereka membunuh diri. Dari


film Der Untergang, bungker Hitler hadir sebagai tempat yang
ter­kepung, dengan rasa putus asa di sana-sini, tapi praktis tanpa­
ketakutan. Tak tersirat bahwa Hitler dan Goebbels menghabisi­
nyawa sendiri lantaran takut akan pembalas­an; tahu mereka te­

390 Catatan Pinggir 7


MAGDA

lah menjajah seluruh Eropa, membunuhi lawan politik, menge-


lola sebuah sistem pembasmian orang Yahudi dengan cara yang
keji....
Tentu, dalam film ini Hitler tak tampak sebagai Leonidas,
raja Sparta yang bertahan sampai mati bersama 1.400 orangnya
menghadapi musuh di celah Thermopylae. Diperankan oleh ak-
tor Burno Ganz, dalam Der Untergang, Hitler berwajah kendur
dan letih, satu tangannya gemetar, jalannya pelan dan bungkuk,
pikirannya penuh ilusi, teriak marahnya tak mengguntur. Goe­
bbels­tampak dengan raut muka pipih dan mata seorang psikopat
yang suka omong besar—meskipun menurut catatan sejarah, ia
sebenarnya cerdas dengan selera kebudayaan yang canggih, di
samping pintar dusta secara memikat.
Bagaimanapun, mereka tak seperti Saddam Hussein berpuluh­
tahun kemudian yang lari, ditinggalkan para pengawal­nya, dan
tak berani melawan bahkan dengan cara membunuh diri. Dalam
heroisme mereka yang gelap, ada yang indah, dan yang indah
itu membuat batas jadi kacau antara yang ”keji” dan yang ”mu-
lia”. Magda membunuh anak-anaknya sendiri dengan keyakinan
yang dikutip Der Untergang: tanpa Nasional­isme dan Sosialisme,
baginya tak ada masa depan yang berharga dijalani. Kita tak di-
beri tahu bagaimana gerangan ”masa depan” itu; yang kita tahu:
begitu kuat iman ibu itu, hingga ia rela mengorbankan yang di-
cintainya untuk sebuah kewajiban.... Nah, apa yang membeda-
kan keyakinan Magda dengan iman Ibrahim yang rela menyem-
belih putranya sendiri di bukit Moriah?
Apa pula beda Magda yang Nazi dari para militan Revolusi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kebudayaan Cina? Nyonya Goebbels bisa menangkis cemo­oh


seorang Maois seperti Alain Badiou, yang memandang Revo­lusi
Nazi hanya sebuah simulacrum dari revolusi sosialis di Rusia. Di
bungker itu, pengorbanan Magda justru tanda dari yang ”kese­
tiaan” kepada sang ”peristiwa”, penerusan dari suatu momen

Catatan Pinggir 7 391


MAGDA

yang menggugah dan mengguncangkan dunia, dan itu bagi Hit-


ler dan suami-istri Goebbels adalah revolusi Nazi.
Tentu, mana yang ”keji”, mana yang ”mulia” tetap tak ter­
ja­wab.­ Tapi jangan-jangan memang bukan itu persoalannya.
Jangan-­jangan, yang penting adalah bagaimana untuk tak ter­ke­
si­ma pada Magda atau Mao, tak terpukau pada yang luar biasa,­
pada rupture dari hidup sehari-hari—sebab yang sehari-hari juga
bagian dari perjalanan kearifan yang belum letih.

Tempo, 24 April 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

392 Catatan Pinggir 7


TAKUT

D
UNIA bertambah ketakutan: dunia bertambah konser-
vatif. Di Roma, dinding-dinding masih menampakkan
sisa-sisa poster Paus Yohanes Paulus II yang baru mang-
kat, yang membawakan kata-katanya yang terkenal, ”Jangan­ta-
kut.” Tapi kalimat itu akan segera tenggelam, mungkin terhapus.
Kini, di atas takhta yang mewakili posisi yang 2.000 tahun lebih
umurnya itu, penggantinya, Benediktus XVI, paus yang ke-265,
adalah seorang pembesar agama yang memperingat­kan: ”Kita
bergerak ke arah kediktatoran relativisme.”
Ia cemas. Ia khawatir bila kini manusia ”tak mengenal apa
yang pasti dan hanya membiarkan ego serta hasrat sendiri seba­gai
ukuran terakhir”.
Harus saya tambahkan di sini: suaranya bukan satu-satunya­
yang menyatakan rasa waswas. Para pemimpin agama, yang se-
lalu punya kecenderungan untuk jadi penyusun rasa takut, kini
memang risau menyaksikan perubahan yang semakin lama se-
makin cepat dan semakin beraneka ragam. Tak adakah gerangan
yang akan bertahan tinggal, yang layak dirawat dan dibiarkan­
les­tari? Adakah kini dan nanti ukuran yang mantap untuk kehi­
dupan bersama? Tak ada lagikah yang tak lekang oleh panas, tak
lapuk oleh hujan?
Pertanyaan itu mencerminkan sebuah frustrasi, tapi se­benar­
nya menunjukkan bahwa ternyata ada yang tak lekang dan tak
lapuk, yang bertahan dalam riwayat manusia—dan itu adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

rasa takut akan nihilisme. Ia tak hanya muncul pada awal abad
ke-21. Ia tak hanya datang dari Benediktus XVI.
Syahdan, pada suatu pagi, seorang datang ke sebuah tempat­
orang ramai bertemu. Ia mengumumkan: ”Tuhan telah mati.­
Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.” Si pem­bawa­

Catatan Pinggir 7 393


TAKUT

kabar, tentu saja dianggap ”gila”, membawa sebuah lentera­yang


bernyala. Ia tahu, ”kematian Tuhan” mau tak mau menimbul­kan
pertanyaan yang mengusik, dalam kegelapan yang semesta,­ke-
tika seakan-akan bumi telah dilepaskan rantai pengikatnya dari
matahari.
Adegan di atas tentu saja saya ambil dari Nietzsche, persisnya
dari Ilmu Ceria (Die fröhliche Wissenschaft) yang terbit pada tahun
1882. Bagi Nietzsche, kematian Tuhan yang dikabarkan oleh
orang ”gila” itu adalah sebuah kejadian dahsyat: akan hancur
arah, terguncang ukuran, jungkir-balik nilai-nilai. ”Ke manakah
kini ia bergerak? Ke manakah kita bergerak? Menjauh dari semua
surya? Tidakkah kita tengah hanyut seakan-akan melalui keti-
adaan yang tanpa batas?”
Kita bayangkan rasa takut akan nihilisme di wajah si pem­bawa­
lentera, tapi ia tak marah. Ia menerima kenyataan­ini: orang akan
selalu menghendaki adanya sumber yang tunggal­dan kekal, tapi
akan selalu gagal menemukannya. Setelah Buddha­tak ada lagi,
tulis Nietzsche, ”Bayang-bayangnya ma­sih­diperlihatkan selama
berabad-abad di sebuah gua.” Setelah Tuhan mati, katanya pula,
hal yang sama akan terjadi.
Nietzsche mengatakan bahwa ”kita masih harus menaklukkan­
bayang-bayang itu”, dan pada hemat saya itu berarti bah­wa ma-
nusia tak bisa membiarkan diri teperdaya oleh ”bayang-bayang”.­
Ia harus mencari, menemukan—dan sebab itu si pembawa kabar
di atas memegangi sebuah lentera yang bernyala:­ia tak menyerah.
Ia siap berjalan dalam gelap.
Dengan demikian ia sebenarnya berangkat dari nol, terbang­
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan kemerdekaan yang penuh, justru karena tak ada menara­


kontrol, tak ada juga pangkalan untuk kembali, bahkan tak ada
pelabuhan yang sudah dirancang pasti akan dimasuki.
Yang umumnya dicemaskan ialah kemungkinan manusia­
akan tak mampu menggunakan kemerdekaan itu. Kemer­de­ka­an

394 Catatan Pinggir 7


TAKUT

akan melahirkan kekacauan, atau ”relativisme”, anggap­an bahwa­


segala aturan bersifat serba nisbi. Para penguasa agama marah
dan sedih bila tak ada lagi pengakuan akan ada­nya tradisi dan
akidah. Lihat, kata mereka, itu menara kontrol, itu pangkalan
tempat berangkat dan itu tempat datang!
Kecemasan seperti ini sebenarnya tak mengakui adanya ke-
merdekaan—dan di situlah salahnya.
Kemerdekaan adalah momen di tengah gurun: tak ada ram­
bu, perbatasan yang dijaga, bendera yang ditaati, kesempitan­
yang mengapit. Bila pada saat itu tak ada Tuhan, sebenarnya
yang musnah adalah konsep tentang Tuhan—karena tiap kon-
sep bersifat membekukan, membentuk, seperti membuat patung
dari batu untuk ”menangkap” sebuah sosok. Tentang ini Jean-
Luc Marion, seorang filosof Katolik, berbicara tentang ”pember-
halaan konsep” ketika satu konsep Tuhan ditegakkan.
Agaknya sebab itu Nietzsche berbicara dengan antusias ten-
tang Yesus. Kekuatan iman Yesus adalah karena ia ”hidup dan
me­nolak formula”. Bagi Nietzsche, Yesus tak hendak mempedu-
likan apa yang ”tetap”, sebab ”apa saja yang tetap bersifat mem-
bunuh”. Menjalani hidup baginya merupakan oposisi dari kata,
rumus, hukum, keyakinan, dogma.
Tapi kemudian Yesus tak ada lagi. Gurun diubah jadi kota, de-
ngan rambu-rambu, aturan, dan tentu saja kekuasaan. Yang tak
diakui ialah bahwa semua itu lahir dengan kekerasan, sebagaima-
na tercatat dalam sejarah agama-agama yang melembagakan diri.
Kita ingat bagaimana Sang Inkuisitor Agung dalam Karama­
zov Bersaudara Dostoyewski menyalahkan Yesus. Dalam cerita
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ivan Karamazov ini, Sang Penebus turun ke bumi untuk meng-


halangi kekerasan Gereja kepada mereka yang dianggap menya­
lahi ajaran. Tapi Yesus kalah. Penguasa Gereja itu menangkap-
nya.
”Tuan menghasratkan cinta bebas manusia, agar ia dapat

Catatan Pinggir 7 395


TAKUT

mengikuti Tuan dengan merdeka,” kata Sang Inkuisitor me­nge­


cam. ”Sebagai pengganti hukum lama yang tegar, Tuan beri ma-
nusia kesempatan untuk dengan hati bebas menentukan­ untuk
diri sendiri apa yang baik dan yang buruk—hanya dengan berpe-
doman citra Tuan.” Bagi Sang Inkuisitor sepuh, Yesus telah me-
letakkan dasar kehancuran Kerajaan-Nya sendiri.­
Maka petinggi Gereja itu takut—seperti Paus pada awal abad
ke-21 takut akan ”relativisme”. Tapi sejarah juga selalu­mencatat
bagaimana orang lain juga takut: ada yang brutal dalam ambisi
kepastian, tertib, dan otoritas.

Tempo, 1 Mei 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

396 Catatan Pinggir 7


MULYANA

M
ULYANA atau bukan Mulyana, tiap orang punya
detik-detik yang genting, ketika harus menentukan
untuk­curang atau tak curang, mencuri atau tak men-
curi. Detik-detik­itu mungkin singkat, tapi itulah saat kebebasan
yang menak­jubkan.
Menakjubkan dan sekaligus membuat gentar: kebebasan itu
sunyi dan penuh risiko. Tapi bagaimanapun ia menandai sebuah
otonomi, mengisyaratkan sebuah posisi: manusia bukanlah­ se-
buah kapal keruk. Sebuah kapal keruk, yang digerak­kan se­
penuhnya oleh pelaku di luar dirinya, tak akan bisa dituntut­per-
tanggungjawaban, tak dapat pula diberi penghormat­an. Tak ada
mesin yang patut dibui dan layak diberi medali.
Memang bisa dikatakan, keputusan seseorang, Mulyana atau
bukan Mulyana, disebabkan oleh wataknya, dan watak adalah
akibat warisan genetik orang tua serta pengaruh sekitar yang
mem­bekas.
Namun dapatkah semua hal diterangkan dengan garis lurus­
sebab-dan-akibat itu? Ketika saya memutuskan bertindak A, dan
bukan B, saya sebenarnya tak tahu persis adakah hal itu karena
nenek moyang saya Ken Arok, atau karena tubuh saya gemuk,
atau karena saya berbakat main akordeon dan dibesarkan di
Cepu. Siapa yang dapat memastikan bahwa sebab X, Y, Z akan
berakibat pada laku A dan bukan B?
Pada akhirnya, inilah yang saya tahu: saya adalah pelaku.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mul­yana atau bukan, pada saat-saat saya harus memilih apa yang
”baik” dan ”buruk”, saya bukanlah sebuah akibat. Ada dalam hi­
dup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun
ada yang tidak. Tak seluruh diri saya digerakkan oleh keniscaya­
an. Kita sehari-hari menempuh hidup dengan Das Sein, meng­

Catatan Pinggir 7 397


MULYANA

ikuti­ ”apa-yang-ada-kini”; tapi juga kita coba menjalankan Das


Sollen, ”yang-seharusnya”. Kant mengata­kan: kita memiliki ”ke-
merdekaan transendental”.
Kemerdekaan itulah yang membuat manusia sebuah makh-
luk yang belum selesai.
Ada sepotong kalimat yang pernah mengharukan abad ke-
20: ”Saya percaya, manusia pada dasarnya baik.” Anne Frank me­
nuliskan itu di antara ribuan baris catatan hariannya, ketika ga-
dis kecil Yahudi itu bersembunyi ketakutan selama dua tahun,­
sebelum akhirnya orang Nazi menangkapnya beserta seluruh ke-
luarganya dan memasukkannya ke kamp konsentrasi Bergen-
Belsen, tempat ia mati pada akhir musim dingin 1945. Kata-kata
itu memberikan harap pada zaman yang gelap. Tapi sebenarnya
tak sepenuhnya tepat.
Bukan karena manusia ”pada dasarnya buruk”. Tapi karena­
ki­­ta tak dapat merumuskan satu sifat apa pun tentang manusia­
de­ngan kata-kata ”pada dasarnya”. Seseorang jadi pahlawan atau
ba­jingan bukan karena ”esensi”. Saya tak pernah percaya ada
”pah­lawan” atau ”bajingan”; yang ada hanyalah ”laku/momen
ke­­pahlawanan” atau ”laku/momen kebajinganan”. Kedua­nya
ada­lah ”eksistensi”, yang datang dari pilihan dan perbuatan.
Sebab itulah pilihan untuk berbuat baik—menolak untuk­ko-
rupsi, misalnya—adalah sebuah langkah yang tiap kali mengha-
rukan dan mengagumkan: ia tak dilakukan sebagai kelaziman,
atau sebagai sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia dilaku-
kan sebagai semacam ”penciptaan”. Ia dilakukan bukan untuk
me­nuruti perintah dari ”dia” atau ”mereka”, dari hukum Tuhan
http://facebook.com/indonesiapustaka

atau manusia. Perbuatan baik itu dilakukan secara ”spontan”, se-


bab langsung ia dilihat sebagai ”wajib”.
Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara me­lindungi­
seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar
untuk memangsanya. Urinara tak kenal unggas yang ketakutan

398 Catatan Pinggir 7


MULYANA

itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan itu


terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan
pengganti. Si elang pun menerima tawaran itu, dan mulailah ia
memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong....
Bagi Urinara, keputusannya adalah sebuah ”kewajiban”. Ia
melakukannya bukan karena ia senang, bukan karena janji surga,
melainkan karena ia sadar itulah yang ”baik”, yang ”bajik”, dan
tak ada hubungan antara kebajikan dan rasa bahagia. Kebajikan
itu ia anggap sebagai sesuatu yang ”seharusnya”, dan ini berlaku
universal: harus dilakukan oleh siapa saja, juga oleh dirinya.
Tapi ”kewajiban” itu, pada saat yang sama, juga dipilih de-
ngan bebas—bebas dari pamrih apalagi paksaan. Memang se-
buah paradoks: bagaimana sebuah ”kebebasan” menjalankan
”ke­wajiban”? Apa arti ”otonomi” di sini?
Kant mencoba menjelaskan paradoks itu dengan susah payah.
Tapi saya kira ada jawaban yang sederhana: yang ”wajib” itu terse-
dia untuk dipilih secara bebas sebab ia memenuhi sebuah gagas-
an tentang apa yang ”universal”, yang diterima semua orang yang
ber­akal budi.
Tentu saja yang ”universal” itu tak pernah hadir sebagai tata
tertib yang jelas dan selesai. Manusia mempersoalkannya ber­
abad-abad, selalu dalam keadaan setengah gelap. Juga bagi Uri­
nara. Malah mungkin ia tak berpikir, dapatkah tindakan yang
dilakukannya jadi norma yang berlaku bagi orang lain sebagai
”imperatif yang kategoris”. Yang pasti ia tak berbuat untuk jadi
teladan. Namun di situ justru kebajikannya menakjubkan.
Tapi tak hanya Urinara. Syahdan, di sebuah tembok di Kota
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kaliningrad yang dulu bernama Köningsberg, tak jauh dari


makam Kant yang merapat di dinding katedral kota itu, ada se-
buah kutipan terkenal dari sang filosof, dipahat dalam bahasa­Jer-
man dan Rusia. Terjemahan bebasnya: ”Dua hal memenuhi pi­
kir­anku dengan rasa takjub dan terkesima: angkasa yang penuh

Catatan Pinggir 7 399


MULYANA

bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam diri manusia”.
Dua hal—dan di situ tampak keterbatasan manusia tapi juga
kelebihannya. Di tengah alam semesta, ia hanya satu di antara
bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas, begitu tak mampu
untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat,
bila ia mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya.
Maka alangkah nistanya, jika Mulyana atau bukan Mul­yana­
ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal
yang menakjubkan itu.

Tempo, 8 Mei 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

400 Catatan Pinggir 7


MUNIR

D
ALAM hidup, juga dalam mati, Munir berjasa besar: ia
menunjukkan bahwa ada mala di antara kita. ”Mala”
(dari mana kata seperti ”malapetaka” berasal) punya
akar dalam bahasa Sanskerta. Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Balai Pustaka, 1976) menyebut akar itu: mala berarti ”kotor; ce-
mar; noda; penyakit”. Kata itu mencakup apa yang menyengsara-
kan, jahat, durjana, atau busuk. Yang terakhir ini membuat kata
mala juga sama dengan ”danur”, air bangkai yang telah berbau
men­jijikkan.
Bahasa Inggris punya kata yang agak sepadan: evil. Berasal­dari
bahasa Inggris kuno, yfel, ia berarti ”berdosa”, ”keji”, ”menim­
bulkan rasa tak enak atau rasa muak”, ”busuk”, ”menimbulkan­
celaka”. Sebagai kata benda—yang menurut kamus Merriam-
Webster mulai digunakan sebelum abad ke-12—evil menandai
”penderitaan”, ”kemalangan”, dan ”kejahatan”. Juga sesuatu yang
menimbulkan duka dan kepedihan.
Pernah ada zaman ketika evil adalah sesuatu yang gelap dan
ga­ib. Susan Neiman, yang menulis Evil in Modern Thought, me­
ngemukakan bahwa pada abad ke-18, kata evil mencakup baik
perbuatan kejam manusia maupun kejadian alam yang membuat
orang sengsara. Pada masa itu, tsunami yang nyaris menghabisi
Kota Lisbon pada tahun 1755 dianggap sebagai evil.
Orang memang belum tahu perihal lempeng tektonik dan ke­
rak bumi; seismologi baru mencapai telaah itu berpuluh-puluh
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahun kemudian. Bencana Lisbon memukau para pemikir Eropa


karena alam tampak cacat secara menakutkan dan tak disangka-
sangka. ”Pemakaian kata Lisbon pada abad ke-18”, tulis Nieman,
”sama dengan pemakaian kata Auschwitz hari ini.” Sebab di sana
sesuatu yang dahsyat terjadi: ”runtuhnya rasa percaya yang paling

Catatan Pinggir 7 401


MUNIR

asasi kepada dunia”, dan itu berarti guncangnya ”dasar yang me-
mungkinkan peradaban”.
Tapi abad ke-20 mengajari kita bahwa ”rasa percaya yang pa­
ling­asasi kepada dunia” runtuh bukan karena bencana alam. Ada
mala atau evil yang berbeda sama sekali, dan Auschwitz adalah
contohnya. Di kamp konsentrasi yang didirikan Nazi itu, sejum-
lah manusia berhasil membinasakan jutaan orang Yahudi, orang
Tsigana, orang homoseksual, serta para tahanan politik, antara
lain dengan membariskan mereka, seperti ternak yang telanjang,
berjalan rapi ke dalam kamar gas beracun.
Apa yang bisa dijelaskan? Dari Auschwitz tak lahir ilmu pe­
nge­tahuan seperti seismologi, yang mencerminkan hasrat dan
kapasitas manusia untuk mengerti sebab kesengsaraan yang ter-
jadi. Dari Auschwitz kita seakan-akan kemekmek terus-menerus:
mungkinkah kita menyusun sebuah ”seismologi” kekejaman?
Neiman menjawab, tidak. Tak akan ada ilmu yang akan menjelas-
kan mala yang seperti itu. Bahkan ia juga tak menganggap akan
ada penjelasan metafisik dan theologis yang memadai.
Memang pernah orang menenteramkan diri dengan me­nga­
ta­kan bahwa mala itu desain Tuhan. Dengan kata lain, tiap ke­
seng­saraan manusia atau kebusukannya dianggap sebagai bagian
iradah-Nya.
Tapi coba kita ingat orang-orang yang dianiaya di kamar gas
itu, atau kita ingat Munir ketika ia tergeletak kesakitan karena ra-
cun menyerang tubuhnya. Bisakah kita katakan kedurjana­an itu
adalah bagian dari rencana Illahi?
”Tuhan kita terlalu pengasih, terlalu adil, dan terlalu pemurah
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk melakukan hal itu kepada hamba-Nya”. Pada abad ke-8,


seorang alim dari Basra, Al-Hassan al-Basri, mengucapkan kata-­
kata itu: baginya, sebagaimana bagi para pemikir Muktazillah
umumnya pada zaman itu, bila kita letakkan segala hal, juga ma-
lapetaka dan kebengisan, ke dalam kehendak Tuhan, itu sama

402 Catatan Pinggir 7


MUNIR

artinya dengan kita bayangkan Tuhan seba­gai sumber kezalim­


an. Itu juga sama artinya dengan membersihkan manusia dari
pertanggungjawaban. Manusia adalah makhluk yang merdeka,
kata para pemikir muslim abad ke-8 itu.
Kini kita juga tak dapat mengatakan mereka yang memasuk-
kan racun ke tubuh Munir hanyalah para pelaksana yang dige­
rakkan tapi tak diberi tahu oleh Sang Perancang. Sebab, jika de­
mi­kian, bagaimana kita akan berbicara tentang keadil­an dan
kekejian di antara kita?
Itu sebabnya Munir jadi seorang aktivis. Ia hendak membuat
mala sesuatu yang gelap namun tak gaib. Bau bacin bangkai itu
tak datang dari langit, dan sebab itu harus disingkirkan. Tak ada
kehidupan sosial yang dapat bertahan dengan itu.
Namun ia dibunuh. Ia belum selesai bekerja. Yang ternyata­
kemudian terjadi ialah bahwa pada titik ketika ia terputus, ia se-
benarnya kembali mengingatkan: ternyata mala sebusuk itu da­
pat tumbuh dalam sebuah kehidupan bersama. Dan kini kita ha-
rus berpikir, dapatkah kedurjanaan itu diterangkan.
Kita bisa mengingat Hannah Arndt, yang akan bilang: ”Tentu
dapat.” Ia telah menyimak sang algojo, Adolf Eichmann, ketika
laki-laki Jerman yang mengatur pembantaian itu duduk di kursi
mahkamah Israel. Yang dilihat Arndt ternyata bukanlah sesosok
monster, melainkan seorang yang lumrah, pejabat yang ambisius
dalam mesin yang bengis, dan sekaligus seorang manusia yang
tak punya lagi perasaan. Bagi Arndt, mala yang terjadi bukanlah
hasil kekejian luar biasa manusia; sang algojo justru mencermin­
kan­the banality of evil.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Arndt, yang melihat totalitarianisme sebagai kengerian abad


ke-20, akan menunjukkan sifat banal itu terjadi ketika manusia
hanya melihat diri sebagai bagian dari sebuah cita-cita, gairah,
juga kebencian yang total, yang menemukan bentuknya dalam
Negara yang kekuasaannya mencakup ke semua sudut. Dapat-

Catatan Pinggir 7 403


MUNIR

kah kita katakan ada kebanalan yang sama pada pembunuhan


Munir?
Saya memang membayangkan para petugas yang bersedia
mem­bunuh. Tapi Indonesia pada tahun 2004 bukanlah Jerman
tahun 1930-an: kini, di sini, tak ada cita-cita, gairah­atau­keben-
cian tunggal dan menyeluruh yang membuat totalitarian­isme
be­kerja. Yang ada hanya sisa-sisa kebuasan yang ingin memper-
tahankan diri dalam sistem. Munir gugur dan ia mengingatkan,
mala di antara kita bukanlah mala pada tiap kita.
Tapi kemudian kita harus bisa menuding siapa sang durjana.

Tempo, 15 Mei 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

404 Catatan Pinggir 7


GUANTANAMO

G
UANTANAMO adalah tempat gelap sejenis nihilisme.
Di koloni hukuman yang dibangun di teluk tenggara
Kuba yang dikuasai Amerika itu, orang disekap. Banyak­
di antara­nya telah dikucilkan di sana lebih dari tiga tahun, tanpa
dituduh, tanpa dapat bantuan pengacara, tanpa harapan akan be-
bas.
Berapa di antara mereka yang teroris, tak jelas. Atau justru
itu­lah yang dipersoalkan dunia—yang menyebabkan tahanan
di Guantanamo itu sebuah problem hukum di antara bangsa-­
bangsa. Ketakjelasan itu pulalah yang dicoba dipecahkan di sel-
sel­yang sempit itu—yang menyebabkan AS mengerahkan para
interogatornya dengan tak sabar, hingga mereka pun bekerja de-
ngan segala daya untuk mengorek pengakuan dan informasi,
dengan harapan terorisme abad ke-21 akan dapat dihabisi, dan
orang Amerika akan hidup tenang kembali, bebas, sukses, mak-
mur, meneruskan peradaban....
”Kami bertindak atas dasar apa yang kami kenali sebagai ber-
guna.”
Semboyan ini tak ditulis di tembok Guantanamo. Kalimat­itu
diutarakan jauh dari sana, oleh Bazarov, tokoh nihilis dalam no­
vel­Turgenev terkenal, Ayah dan Putra.
Kalimat yang lain adalah, ”Mula-mula, tanahnya harus diber-
sihkan dulu.”
Bazarov memang jauh dari Guantanamo, tapi ucapannya me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nandai apa yang terjadi: ketika orang bertindak atas dasar ”guna”,
tahukah ia bahwa ”guna” tak pernah satu dan selesai? Acap kali
”guna” seakan-akan pasti dan jelas, dan ukuran lain pun dihan-
curkan. Di situ kalimat kedua yang destruktif dari sang nihilis
bergema: ”Tanahnya harus dibersihkan dulu.”

Catatan Pinggir 7 405


GUANTANAMO

Erik Saar, seorang sersan penerjemah bahasa Arab, selama


enam bulan sejak Desember 2002 sampai dengan Juni 2003 ber-
tugas di koloni itu, tempat 550 tahanan yang umumnya orang
mus­lim disekap. Ia menyaksikan bagaimana pengusut­an dilaku­
kan di Guantanamo, dan ia menyaksikannya dengan jijik. Dalam
Inside the Wire, bukunya yang diterbitkan Penguin baru-baru ini,
ia kisahkan itu semua. Dari wawancaranya dengan BBC dan CBS
pekan lalu kita dapat susun satu adegan seperti ini:
Tahanan itu seorang Saudi yang ditangkap setelah ia masuk
sekolah penerbangan di Amerika. Hari itu ia dikeluarkan dari sel­
nya dan dimasukkan ke ruang interogasi. Seorang petugas pe­
rempuan tampil.
”Seraya ia berdiri di depan tahanan itu, ia pelan-pelan mulai
membuka kancing baju seragam tentaranya,” kisah Saar. Di balik­
blouse tentara itu ada kaus cokelat yang ketat. Perempuan itu pun
menyentuh payudaranya sendiri, dan berkata kepada si Saudi,
”Tak sukakah kamu susu montok Amerika?”
Bagi Saar, itu berarti sang petugas itu ingin membangun rin­
tangan antara si tahanan dan keyakinan agamanya, dan jika ia
de­ngan satu cara berhasil merangsangnya secara seksual,­si tahan-
an akan merasa tak suci lagi secara Islam, dan ia tak akan mampu
berdoa dan menghadap Tuhannya untuk memperoleh kekuatan.
Jika demikian, esok mungkin ia akan mulai mau mengikuti ke-
hendak si interogator dan bersedia bicara.
Tapi tahanan itu tetap membisu. Maka, kata Saar, sang pe­tu­
gas melangkah lebih jauh. Ia buka kancing pantalonnya, dan me-
masukkan tangannya ke dalam celana itu seraya berjalan menge­
http://facebook.com/indonesiapustaka

li­lingi si tahanan. Rupanya ia menggunakan tinta merah untuk


memberi kesan ia membasahi jari-jarinya dengan darah menstru-
asi. Cairan itu pun dioleskannya ke tubuh sang tahanan. ”Aku
sekarang benar-benar sedang datang bulan, dan aku menyentuh
kamu. Apakah ini menyenangkan Tuhanmu? Apakah ini menye­

406 Catatan Pinggir 7


GUANTANAMO

nangkan Allah?”
Ketika sang tahanan tampak marah dan mencoba menying­
kir, sang petugas perempuan pun mengoleskan ”darah” itu ke
mu­ka laki-laki itu, seraya berkata: ”Ayo, suka apa tidak?”
Akhirnya dibawanya tahanan itu kembali ke sel, dengan pe­
san: ”Coba bersembahyang malam ini sementara tak akan ada air
di sel kamu.” Artinya, kata Saar, keran ke dalam sel itu akan di-
matikan, dan dalam dugaan si interogator—yang menduga bah-
wa satu-satunya cara berwudu adalah dengan air—si tahanan tak
akan dapat bersembahyang karena tak bisa membersihkan diri.
Saar menyaksikan semua itu dan menerjemahkan semua kata-­
kata itu. Ia tahu bahwa si tahanan adalah seorang yang ber­bahaya
(”Saya harap ia selamanya disekap,” kata Saar), tapi selama ber­
ada di kamar itu ia, meskipun hanya jadi penerjemah, merasa di­
ri ”kotor dan menjijikkan”. Ia juga melihat, ”guna” yang diharap-
kan dari interogasi macam itu akhirnya tak tampak: sang tahanan­
tetap diam, justru karena ia tak dianggap punya kehormatan.
Maka bukan sesuatu yang mengejutkan, jika—seperti di-
bongkar oleh mingguan Newsweek—dalam suatu interogasi,­
si­ petugas membuang Quran ke dalam lubang kakus. Seluruh
kamp Guantanamo adalah pembuangan harapan ke dalam lu-
bang kakus: harapan bahwa peradaban bisa dibangun bukan
de­ngan penghancuran apa yang ada sekarang (”tanahnya harus
dibersihkan dulu”), apalagi penghancuran nilai-nilai yang sejauh
ini dianggap adil.
Memang ada yang bilang, kita harus menghancurkan nilai-
nilai itu, bagian dari apa yang ada kini, yang ”is”, agar kita dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

mencapai apa yang ”ought”. Dengan kata lain, kita harus mem-
bersihkan tanah hari ini untuk mencapai apa-yang-seharusnya
nanti. Tapi itu adalah kepongahan sang nihilis. Sejarah adalah
usaha dari ”is” mencapai ”ought” yang tak pernah berhenti.
Tentu kita bisa katakan, bahwa Konvensi Jenewa yang mem­

Catatan Pinggir 7 407


GUANTANAMO

perlakukan dengan baik mereka yang kalah berperang adalah


sesuatu yang bikin repot dan ketinggalan zaman. Tapi setidaknya
dari konvensi itu tampak isyarat, bahwa ada yang ethis dalam
hidup manusia, yang betapapun tak jelas, dapat mendorong ke-
sepakatan kita untuk tak biadab.
Di Guantanamo, para penguasa di Amerika mengabaikan
isya­rat itu. Benih penghancuran mereka tanam. Yang jahiliyah
bu­kanlah hanya karena Quran dimasukkan ke dalam kakus, tapi
sesuatu yang lebih destruktif, yang sebenarnya telah ada di sana
sebelum itu

Tempo, 22 Mei 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

408 Catatan Pinggir 7


Waiçak

D
I tengah hutan, dalam perjalanannya berburu, Raja
Du­­syan­ta melihat Sakuntala untuk pertama kalinya.
Gadis dari pertapaan ini begitu mempesonanya hing-
ga—seperti digambarkan dalam lakon Sakuntala karya Kalidasa
pada abad ke-5—baginda pun gagap:

Seperti panji sutra Cina yang terkena angin


Tubuhku bergetar, antara ragu dan ingin

Kata ”sutra Cina” dalam kiasan Kalidasa itu menunjukkan


ba­gaimana pada abad ke-5 barang-barang dari negeri tetangga
yang menyebut diri ”Kerajaan Langit” itu punya daya pikatnya
sen­diri. Dalam kesusastraan Sanskerta memang banyak ditemu-
kan kata ”Cina” dalam hubungannya dengan segala yang elok:
cinaka, berarti ”kamper”, cinamsuka, berarti ”sutra”, cinarajaput­
ra, ”buah pir yang lezat”.
Saya peroleh contoh itu dari sebuah esai Amartya Sen da­lam­
The New York Review of Books 2 Desember 2004. Bagi saya itu ber­
arti peradaban bergerak dengan benda-benda kecil, hal-hal yang
tak selamanya sakral dalam hidup sehari-hari. Orang yang meli-
hat peradaban hanya sebagai ekspresi satuan-satuan besar dengan
merek ”Barat”, ”Islam”, atau ”India” mengabaikan yang sebenar­
nya terjadi. Amartya Sen benar ketika ia menyalahkan kecende­
rungan seperti yang tampak pada Samuel Huntington: ”kecen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

derungan... untuk memahami bangsa-bangsa terutama melalui


agama mereka”.
Jika kita simak sejarah, memang tak tepat untuk menganggap
peradaban yang berkembang di India selama berabad-abad seba­
gai ”peradaban Hindu” sebagaimana hendak ditegaskan kaum

Catatan Pinggir 7 409


Waiçak

nasionalis kanan di Gujarat. Bagaimana mungkin orang meng­


anggap Taj Mahal sebuah benda cantik bukan-India?
Demikian pula mengatakan bahwa dasar peradaban ”Ero­pa”
adalah ”Kristen” sama artinya dengan mengabaikan ke­nyata­an
bahwa Yunani, yang sering dikatakan sebagai sendi­ peradaban
”Barat”, adalah sebuah dunia ”pagan”, yang juga menerima pel-
bagai anasir yang pernah tumbuh nun di ”Timur,” di khazanah
Sumeria, di tebing Tigris dan Eufrat, atau di sekitar Teluk Persia.
Peradaban memang bukan Taman Mini Internasional. Per­
adab­an ”Barat” tak mandek di satu anjungan. Ia menjalar ke selu-
ruh dunia karena ia siap menerima campuran dari mana pun, bu-
kan karena kemenangan politik semata-mata.
Sama halnya dengan yang disebut ”peradaban Islam”. Apa
yang berkembang di dunia orang muslim—misalnya pada abad
ke-9 sampai ke-13 di Irak dan Spanyol, dalam bentuk ilmu penge­
tahuan, filsafat, dan kesusastraan—sebenarnya bukanlah eksklu-
sif ”Islam”. Hampir semuanya hasil susunan baru dari anasir yang
da­tang dari jauh dan dekat. Itu juga sebabnya ia mudah diterima
di lingkungan lain. Karya Ibnu Rushd, sang penafsir Aristote­
les,­ punya jejak dalam pemikiran Thomas Aquinas yang Kato-
lik. Bahkan karya Al-Ghazali, orang yang dijuluki hujjat al-Islam
(”bukti Islam”), meninggalkan gema pada pemikiran Descartes.
Predikat ”Islam” dalam peradaban pada akhirnya justru menan-
dai sesuatu yang tak tertutup di sebuah ajaran.
Contoh terbaik adalah sumbangan Al-Khwarizmi, pustaka­
wan Istana Khalif al-Ma’mun di Bagdad abad ke-9, orang perta­
ma yang memperkenalkan kata al jabr. Risalah orang muslim asal
http://facebook.com/indonesiapustaka

Uzbekistan ini ditulis berdasarkan sebuah karya Hindi. Pene­


muannya, kini dikenal sebagai logaritma, bergaung di seluruh
Eropa.
Dan itulah peradaban: bukan ”Hindu”, ”Islam”, atau ”Kris­
ten”,­melainkan logaritma, juga sutra, sastra, juga senjata—hal-

410 Catatan Pinggir 7


Waiçak

hal yang menyebar bukan karena di dasarnya berdiam ”kebenar­


an”, tapi karena kebutuhan melintasi batas.
Pelintas batas yang terutama adalah perdagangan. Sebab per­
dagangan dan ruang ternyata saling menumbuhkan. Itu sebab-
nya ada penjelajahan, pemetaan, dan kolonialisme. Perdagang­
an pula, seperti disimpulkan Amartya Sen, yang mulai menghu­
bungkan Cina dan India. Buddhisme tak merintisnya.
Maka dalam hal peradaban, pada mulanya bukanlah Kata.
Jika ada yang jadi ”bapak segala hal ihwal”, itu bukanlah perang,­
sebagaimana dikatakan Herodotus hampir 500 tahun sebelum
Masehi. Tenaga itu bernama perdagangan.
Perdagangan bahkan membuat mesiu yang ditemukan di
Ci­na pada abad ke-10 jadi unsur penting persenjataan di Ero­pa
pada abad ke-14. Bedil tak diciptakan di Cina sendiri, sebab di
sini komersialisasi kekerasan tak terjadi, karena tentara sepenuh-
nya di bawah kekuasaan Maharaja Langit. Sebaliknya di Eropa
berkembang bengkel-bengkel senjata. Di Italia, pelbagai kelom-
pok condottieri, tentara sewaan, bersaing dalam meningkatkan
mutu ”pelayanan”, dan senjata yang ampuh pun­dikembangkan.
Komersialisasi kekerasan pun melahirkan inovasi pembunuhan.
Tapi tak semuanya berdarah: kalkulasi laba rugi, ukuran berat
dan jarak, penelaahan flora dan fauna, semua itu tak akan tum-
buh pesat seandainya tak ada kebutuhan untuk menggunakan
se­suatu dan memperjualbelikan sesuatu.
Tak berarti peradaban sepenuhnya dibentuk oleh dorongan
komersial. Mudah ditunjukkan bahwa dorongan komersial itu
sendiri akibat kebutuhan lain. Tapi jelas, begitu banyak dan be-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gitu deras hal-hal di luar iman, ide, dan ideologi, yang memben-
tuk hidup.
Contoh dalam sejarah hubungan India dan Cina, sebagai­
mana diperlihatkan Amartya Sen, layak diingat. Setelah dibuka
para saudagar, hubungan kedua wilayah itu memang diperkuat

Catatan Pinggir 7 411


Waiçak

para rohaniwan. Buddhisme berada di pusat lalu lintas manusia


dan gagasan pada zaman itu.
Tapi iman dan ajaran tak pernah hidup sendirian. Ke­simpul­
an Sen, ”pengaruh yang lebih luas dari Buddhisme tak hanya­ter-
batas pada agama”. Dampaknya yang ”sekuler” menyentuh ilmu,
matematika, sastra, linguistik, arsitektur, peng­obatan. Sebalik­
nya yang ”sekuler” hadir dalam tafsir—sesuatu yang juga terjadi
dalam agama lain. Itulah sebabnya kesucian Waiçak yang satu
tak membuat Buddhisme jadi satu.
Tapi tak ada yang harus disesali. Dampak dan pengaruh
adalah tema utama peradaban—gerak hidup dengan benda-ben-
da kecil, hal-hal yang tak selamanya suci.

Tempo, 29 Mei 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

412 Catatan Pinggir 7


CILIWUNG

D
I tebing Ciliwung yang busuk dan rusak, terkadang ada
burung, terkadang kupu-kupu. Warna-warna yang tak
diacuhkan.
Inikah sebenarnya yang membuat kita percaya, atau tak per-
caya, bahwa dunia menakutkan & menyedihkan, atau sebaliknya
mempesona & beres, sebab ada desain yang pandai di balik semua
ini?
Ciliwung seperti terkutuk: sampah plastik, sisa busa detergen,­
kejorokan manusia, gulma yang menyumbat—tanda ketak­pe­
dulian atau putus asa, atau simptom pertama sebuah kota yang
tak becus, bukti ketidakmampuan, atau gejala terakhir sebuah
masyarakat yang hanya bisa mencemooh diri sendiri.
Tapi burung itu, rama-rama itu hinggap. Makhluk-makhluk
kecil yang tak dipedulikan lagi tapi sebenarnya menyimpan se­
jum­lah tanda: lihat, ajaib. Para pengamat burung dan kolektor
kupu-kupu akan dapat menyebutkan, betapa ramai ragam warna
bulu dan corak hiasan sayap hewan-hewan itu, hingga kita acap
kali termenung: apa gerangan daya agung yang mendesain ke-
anekaragaman yang renik dan cantik itu?
Orang-orang alim akan menyebut semua itu tanda ke­piawai­
an­Tuhan yang tak tepermanai, dan mengutip Ihya Ulum al-Din
Al-Ghazali: ”... kita tak akan mampu, meskipun kalau kita ingin,­
untuk menyebutkan semua keajaiban dalam seekor tungau, se­
ekor semut, seekor lebah, atau seekor laba-laba.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang ”paling melata menjelaskan yang paling luhur,” kata


al-Ghazali, dan dengan rasa syukur yang besar orang pun akan
berkata: Tuhan begitu baik, bahkan unggas dan serangga bisa
me­nunjukkan alam semesta ini beres. Allah menciptakannya
demikian. Dalam kalimat Al-Ghazali yang optimistis pula, ”Tak

Catatan Pinggir 7 413


CILIWUNG

ada, dalam deretan apa yang mungkin, sesuatu yang lebih bagus
dan menakjubkan seperti yang ada ini.”
Tapi di Ciliwung yang busuk, sesuatu mencegat: kita hidup­
dengan sesuatu yang jahat. Katakanlah itu korupsi, yang mengge­
rogoti kepentingan dan milik publik, hingga sungai, taman, hu-
tan, udara, jalan, sekolah, museum, rumah sakit, dan entah apa
lagi, hancur pelan-pelan. Korupsi adalah durjana, korupsi adalah
mala. Bagaimana mungkin durjana dan mala itu memungkinkan­
kita berkata, puji Tuhan? Bagaimana mungkin ada desain yang
pandai di balik dunia yang ”bagus dan menakjubkan” ini?
Tapi hampir tiap zaman ada orang yang berbicara tentang de-
sain itu dan memilih sikap tawakal. Mereka percaya ke­buruk­an
punya peran justru untuk menangkal keburukan. Pada tahun
280-206 sebelum Masehi, hidup seorang pemikir Yunani berna-
ma Chrysippus, seorang penganut paham Stois­isme, yang berka-
ta, ”Hewan yang buas ada untuk menguji­ke­kuatan manusia; ta­
ring­berbisa sang ular ada untuk jadi obat; tikus-tikus mengajari
kita gerak yang trengginas, dan ke­pinding­membuat kita tak ter-
tidur terlampau lama.”
Pada abad ke-11 di dunia Islam ada Al-Ghazali, dan pada
abad ke-18 di dunia Kristen ada Leibnitz, yang mengabarkan op­
timisme: di dunia yang tampak tak sempurna ini tersembunyi­
berkah, atau alasan yang cukup kenapa cacat dan mala hadir da­
lam hidup kita.
Tentu saja datang para peragu. Pada abad ke-18 Eropa pula,
Voltaire menulis novel Candide untuk habis-habisan mencemooh
optimisme itu, mengolok-olok keyakinan adanya ”alasan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

cu­kup” itu: Pada suatu hari, tokohnya, Pangloss, sang Optimis,


terkena raja singa. Tubuhnya penuh kudis, matanya menceruk
karena kurus-kering, mulutnya mencong, giginya hitam seperti
gambir keroak.
Kenapa semua itu terjadi, tanya Candide. Perbuatan Setan­kah

414 Catatan Pinggir 7


CILIWUNG

ini? Sang Optimis menjawab: Ah, bukan! Sifilis itu sesua­tu yang
tak dapat dielakkan. Ia dibawa ke Eropa oleh para awak kapal Co-
lumbus dari perlawatannya ke Amerika. Seandainya­mereka tak
ke sana dan kembali, Eropa tak akan mengenal rasanya cokelat.
Pangloss dan banyak orang lain dapat menjungkir-balikkan
jalan pikirannya sendiri untuk bisa tetap berpikir positif. Tapi
mungkin juga optimisme sebenarnya datang dari bingung, se-
perti ketika kita melihat Ciliwung dan alam yang hancur oleh
ketamakan manusia. Maka ada kebutuhan untuk secara mental­
mengatasi kebingungan melihat mala meruyak dan kerusak­an
seakan-akan tak bisa diatasi. Optimisme mungkin hanya­ cara
untuk menemukan metode di dalam kegilaan yang sedang berke-
camuk. Kita tak hendak ikut gila.
Jika orang bicara tentang ”berkah”, juga di balik Ciliwung
yang hancur, perlukah begitu panjang dan luas penderitaan itu?
Kenapa Tuhan tak menciptakan dunia di mana yang buruk tak
di­perlukan sama sekali? Berarti, Tuhan memilih untuk terikat
kepada satu desain, dan bila Al-Ghazali menyebut bahwa musta-
hil ada sesuatu ”yang lebih bagus dan menakjubkan seperti yang
ada ini”, tidakkah itu berarti tak ada kuasa Tuhan mengatasi
yang mustahil?
Bertahun-tahun lamanya pendirian Al-Ghazali ini memang
digugat oleh para ulama, seperti direkam dengan bagus oleh Eric
L. Ormsby dalam Theodicy in Islamic Thought: The Dispute over
al-Ghazali’s ’Best of All Possible Worlds’. Sebab tak gampang me-
mang menjawab, seraya merenungkan Ciliwung dan burung-bu-
rung, apa sebabnya ada hal-hal yang menyengsarakan di samping
http://facebook.com/indonesiapustaka

hal-hal yang patut disyukuri.


Problemnya akan mudah bila kita penganut Zoroasterian,
yang percaya bahwa roh suci, Spenta Mainyu, adalah saudara
kembar roh jahat, Angra Mainyu. Tapi kaum monotheis tak hen-
dak mempercayai dwitunggal itu—dan harus menjawab kenapa

Catatan Pinggir 7 415


CILIWUNG

Tuhan yang mahabaik dan sekaligus mahakuasa membuat dunia


yang cacat.
Ah, kita tak dapat menuntut Tuhan, kata sebagian orang, un­
tuk mengikuti ukuran ”baik”, ”buruk”, ”adil”, dan ”zalim” yang
dipakai manusia. Dalam Alkitab, Tuhan membuat Ayub seng­sa­
ra habis-habisan tanpa sebab, tanpa salah. Membayangkan Tu­
han­­ mengikuti ukuran keadilan dan rasio manusia ber­arti me­
ngu­­­rangi­kuasa-Nya.
Tapi jika demikian, mungkin benar: manusia penentu ukur­
an­nya sendiri—dan harus bergulat dalam syukur atau cemas, di
tengah kebobrokan seperti di Ciliwung dan indahnya bulu sayap
burung-burung.
Meskipun ia sering tak berani.

Tempo, 5 Juni 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

416 Catatan Pinggir 7


EROPA

D
ARI menara lonceng setinggi 100 meter di Balai Pasar,­
tanda waktu berkeloneng di udara Bruges tiap 30 me-
nit. Dulu, di kota ini tengara jam adalah potongan
melodi Eine kleine Nachtmusik. Kini melodi lain yang terdengar,
bukan Mozart, mungkin bukan dari abad ke-18. Tapi kota yang
dulu tampak kusam sekarang kian seperti museum yang apik—
indikasi bahwa sejarah yang rumit berliku kian ditata dan dirapi-
kan, seperti jalanan batu, kanal, dan jembatan-jembatan itu.
Empat puluh tahun yang lalu saya mengenal ”Eropa” pertama
kalinya di Bruges ini—kota dengan penghuni 100 ribu yang ke-
mudian, pada tahun 2002, dijuluki ”ibu kota budaya” Eropa. Di
Jalan Dyver, di seberang kanal dan deretan rumah tua, ada Col-
lège d’Europe. Di situ para mahasiswa hampir tiap hari mende­
ngar­kan para guru besar membahas soal-soal di sekitar ”ide Ero-
pa”, sebuah ide yang datang dari sejarah yang rumit berliku, yang
seperti sejarah Bruges, dicoba ditata dan dirapikan.
Salah satu sang penata sejarah adalah rektor pertama seko-
lah tinggi itu, Henri Brugman. Ia bukan hanya seorang akade-
misi yang ulung. Ia juga seorang aktivis yang yakin. ”Eropa” ba­
gi­­nya adalah penanda sebuah satuan budaya yang menurut seja­
rah mengatasi batas-batas nasional di daratan itu. ”Eropa”, bagi
Brugman, adalah seperti mantra yang membawa harapan perda-
maian. Baginya, ”negara-bangsa”—seperti terbukti dari Perang­
Dunia I dan II—adalah kekuatan yang menebarkan perang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Ero­pa”, sebuah bangunan supra-nasional, harus lahir.


”Selama dogma tentang kedaulatan nasional yang suci itu
tak dibuang,” begitulah ia berpidato di depan Kongres Ero­pa di
Den Haag pada 7 Mei 1948, 12 tahun sebelum Collège­d’Europe
didirikan, ”... tak ada yang akan terjadi [dalam usaha ke arah per-

Catatan Pinggir 7 417


EROPA

damaian dunia].”
Di asrama yang terletak di St. Jakobstraat 41 (kini telah ber­
ubah jadi Best Western Premier Hotel Navarra), tempat sang Rek-
tor tinggal bersama para mahasiswa, makan siang tak pernah ko-
song. Brugman akan duduk di sudut. Ia terkadang ditemani satu-
dua tamu dan lebih sering dengan beberapa mahasiswa. Dia akan
berbicara panjang, dalam bahasa Prancis atau Inggris yang tanpa
cacat, menunjukkan pengetahuan dan pengalamannya yang ka­
ya terutama tentang masa lampau. Ia memang anak yang setia da­
ri sejarah pemikiran Eropa. Ia memulai tradisi Collège itu untuk
membuka tiap tahun ajaran dengan satu kuliah umum tentang
buah pikiran seorang filosof atau seorang negarawan ”Eropa”.
Kuliah umum itu menyusul setelah ia mem-”baptis” tiap generasi
ma­hasiswa dengan nama tokoh itu.
Pada tahun 1965 itu, saya termasuk dalam angkatan yang
mem­bawa nama ”Thomas More”, penulis Utopia, sebuah kritik
da­lam bentuk satire terhadap keadaan Inggris pada abad ke-16
dan juga sebuah kandungan cita-cita.
Adakah Brugman melihat Utopia pada gagasan tentang ”Ero­
pa”? Adakah ”Eropa”-nya sebuah kritik? Atau cita-cita yang tak
akan tercapai? Saya tak ingat. Yang saya ingat pada tahun 1965 itu
”Eropa” baru berbentuk ”Pasar Bersama”. Tapi orang tahu bahwa
”pasar” itu awal sebuah desain yang besar. Jean Monnet mem­
bangun­”Kerja Sama Batu Bara & Baja Eropa” pada awal 1950-an
sebagai kombinasi antara harapan yang muluk dan pragmatisme
yang rendah hati: Jerman dengan Prancis yang bertahun-tahun
lamanya bermusuhan dipertalikan dalam satu usaha ekonomi,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tapi dengan keyakinan akan tumbuhnya sesuatu yang lebih. ”Tak


sedikit pun saya ragu,” kata Monnet, ”proses penyatuan Eropa ini
kelak akan membawa kita ke satu jenis Negara Eropa Serikat—
tapi saya tak ingin membayangkan sebuah struktur politik.”
Monnet sadar: tiap diskusi tentang bagaimana ”struktur poli-

418 Catatan Pinggir 7


EROPA

tik” Eropa yang sedang dibangun itu akan menimbulkan perti-


kaian. Ia pun menunggu.
Pada tahun 1979 ia meninggal. Sementara itu ”Kerja Sama
Batu Bara & Baja” telah berubah jadi ”Pasar Bersama”, dan ”Pasar­
Bersama” jadi ”Uni Eropa”. Di daratan antara Nederland dan Re-
publik Cek, tapal batas nasional praktis lenyap, kantor imigrasi
dan bea-cukai telah dibongkar, dan mata uang euro beredar. Tapi
”Negara Eropa Serikat” tak kunjung terbentuk, dalam jenis apa
pun.
Ketika pekan lalu lewat referendum rakyat Prancis dan Belan­
da menolak rancangan konstitusi Eropa, orang pun bertanya: ti-
dakkah ”Eropa” digugat oleh legendanya sendiri? Bukankah le­
gen­da, juga mitologi, yang sarat dengan ambiguitas dan anasir
bawah-sadar manusia, membuat sejarah tak mudah ditata dan di-
rapikan, juga oleh para ”Eurokrat”?
Syahdan, kata mitologi, dahulu di Phoenicia hidup seorang
putri. Matanya besar bersinar-sinar (europos konon berarti ”ber-
mata besar” atau ”berpandangan jauh”). Terkesima, Dewa Zeus
pun mengubah dirinya jadi lembu jantan. Ia menangkap sang
put­ri dan dibawanya Eropa ke Kreta. Tapi lima saudara lelaki
sang putri pergi mencari si adik yang hilang. Di tiap sudut dunia
mere­ka bertanya, ”Di manakah Eropa?”
Tak ada yang tahu. Cadmos, salah satu dari saudara lelaki
itu, pun tiba di Delphi. Ia bertanya kepada orakel, dan inilah ja-
wab yang didapat: ”Kau tak akan menemukannya. Tapi ikutilah
seekor lembu, doronglah ia tanpa henti. Di tempat ia berhenti,
kau dirikanlah sebuah kota.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tampaknya ”Eropa” tak akan ketemu jika ia dicari dengan


nostalgia, rasa rindu pada si upik yang jadi bagian dari hidup­
yang dulu. Eropa ada selalu sebagai konstruksi baru. Apalagi
masa lampau itu tak pernah serapi jalan dan kanal Kota Bruges.
Kita tak usah percaya John Laughland, yang menulis The Tainted

Catatan Pinggir 7 419


EROPA

Source: The undemocratic origin of European Idea, bahwa gagasan


persatuan Eropa bermula di kalangan Nazi dan Fascist. Tapi seti-
daknya benar: ada banyak mula, ada banyak ”Eropa”, dan itulah
yang sering dilupakan.
Juga oleh Brugman, ketika ia bicara tentang ”kesatuan buda­
ya”, sebuah identitas yang berintikan warisan Yunani-Yahudi-
Kris­tiani.
Bukankah konon identitas itu ibarat bawang: sesuatu yang
tampak utuh, tapi jika dibuka, yang ada hanyalah lapisan kulit
demi lapisan kulit, tanpa inti?

Tempo, 12 Juni 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

420 Catatan Pinggir 7


TURKI

K
ETIKA Ka dibunuh di sebuah jalanan Frankfurt, siapa­
kah­dia sebenarnya? Seorang pengkhianat, atau seorang
yang bersalah hanya karena ia tak jelas, juga bagi dirinya
sen­diri?­Ataukah seorang korban dari konflik yang melukai Turki
bertahun-tahun—karena kata ”sekuler” dan ”Islam” begitu pa-
nas dan eksplosif dan begitu banyak orang terkoyak?
Tapi baiklah saya perkenalkan dulu siapa Ka. Ia lelaki jang-
kung berumur 42 tahun yang pemalu, belum menikah, dan me­
nu­lis puisi. Nama sebenarnya Kerim Alakusoglu, tapi sejak di
sekolah ia menolak dipanggil demikian. Ia tokoh utama novel­
Orhan Pamuk Kar (dalam versi Inggris, Snow), seorang yang,
kata sang empunya cerita, hidup 12 tahun lamanya di Jerman dan
pada suatu hari kembali ke Istanbul ketika ibunya meninggal.
Dari Istanbul, ia memutuskan pergi ke Kars.
Tak jelas betul sebenarnya, juga bagi dirinya sendiri, apa yang
mendorongnya ke kota udik dan melarat di timur laut di perba-
tasan dengan Armenia itu. Ia, yang dibesarkan di Istanbul­di ke-
luarga yang tak kenal kemiskinan, mungkin berniat pergi ”untuk
memberanikan diri memasuki dunia lain nun di sana”.
Atau mungkinkah ia ke Kars untuk menemui kembali Ipek,
teman kuliahnya yang cantik, yang pulang ke kampung halaman,
menikah dan kemudian bercerai dari suaminya? Ia malu meng­
akui ini. Ia punya alasan lain yang dikemukakannya ke semua
orang: ia datang untuk menulis tentang sebuah peristiwa ganjil,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yakni sejumlah gadis Kars yang secara berturut-turut bunuh diri


di kota itu. Ia menulis untuk harian Republik.
Di awal novel, kita ikuti ia naik bus pada suatu petang yang
kian putih. Salju tak berhenti-hentinya turun sampai menjelang
novel berakhir, sampai semua jalan Kars tertutup­ olehnya. Di

Catatan Pinggir 7 421


TURKI

kota berpenghuni 80 ribu yang terjepit itu Ka me­nemui­banyak


orang, tempat ia bertanya atau menjawab, takut atau berharap.
Kars adalah tuas dalam hidupnya, antara yang lama dan yang
baru.
Seperti disebut di awal, ia mati di negeri asing. Ia juga mati
praktis tanpa konklusi, tak jelas dibunuh oleh siapa. Bahkan di
bagian penutup novel ini perannya digantikan oleh sang pe­nga­
rang,­Orhan, yang ingin menulis tentang mendiang penyair saha-
batnya itu. Sementara itu hidup berlangsung terus di Kars dengan
kenangan yang terpotong-potong tentang kunjungan pada hari-
hari bersalju itu.
Akhirnya Kars, dan bukan Ka, yang bergaung kembali ketika
novel tamat. Yang membekas di ingatan kita bukanlah biografi
se­orang tokoh, tapi riwayat sebuah Turki di perbatas­an—sebuah
perbatasan antarnegeri, juga antarsejarah dan pelbagai harapan
besar. Setidaknya sebuah Turki pada awal tahun 1990-an. ”Di
Kars,” kata Orhan Pamuk dalam sebuah wawan­cara, ”kita secara
harfiah dapat merasakan kesedihan yang timbul karena jadi ba-
gian dari Eropa dan sekaligus dari kehidupan bukan-Eropa yang
keras dan pas-pasan.”
Di celah dan di bawah kontradiksi yang menyedihkan itu
ano­mali jadi yang lumrah, hal yang luar biasa seakan-akan sesu­
atu yang wajar—dan Orhan Pamuk mengisahkan semua ini de-
ngan kalimat yang datar, semacam lelucon yang kering dan gelap:
di sini terbit sebuah koran lokal yang dapat menuliskan satu beri-
ta sebelum peristiwanya terjadi, termasuk terbunuhnya aktor Su-
nay di pentas. Di sini sejumlah anak perempuan berjilbab tiba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tiba bunuh diri berturut-turut, tapi orang tak pasti kenapa. Di


sini seorang direktur lembaga pendidik­an yang ”sekuler”—yang
melarang murid-murid memakai jilbab—merekam percakapan
terakhirnya dengan pembunuhnya, seorang ”Islamis”. Di sini se-
buah kudeta militer dan pembantaian berlangsung seakan-akan

422 Catatan Pinggir 7


TURKI

bagian dari sebuah pertunjukan yang mementaskan lakon ”Ta-


nah Airku atau Jilbabku”. Di sini bersembunyi seorang buron
yang dianggap berbahaya, tapi pertemuannya dengan Ka di tem-
pat rahasia ia tutup dengan hikayat tentang pendekar perang ber-
nama Rüstem.
Di Kars, di antara fiksi dan fakta, realitas dan imajinasi, hidup­
menutupi luka-lukanya. Kekerasan dan kematian terjadi seakan-­
akan bagian dari sejarah yang diimlakkan dari jauh, dan tiap
na­sib seperti seserpih salju yang melayang. Akhir­nya salju hadir
seakan-akan sebuah perumpamaan bagi hidup­kota yang miskin
itu, kota yang berharap antara semangat­”sekuler”­Attaturk dan
semangat ”Islamis” yang melawannya: salju ada­lah warna putih
yang mengandung janji untuk tak bernoda, tapi tak seterusnya
bisa; bahkan ia jadi kebekuan yang akhir­nya memblokir semua
jalan.
Walhasil, nada dasar kisah Orhan Pamuk adalah hüzün, kata
Turki untuk ”melankoli”. Kalimat penghabisan Snow ber­­bunyi:
”Seraya memandangi salju terakhir yang menutupi­atap-­atap ru­
mah dan pita asap tipis yang bergetar naik dari cerobong pabrik
yang patah, aku mulai menangis.”
Adakah itu berarti, di Kars, di Turki, juga setelah salju cair, ja-
lan tetap buntu? Mungkin. Melankoli itu berlanjut dalam buku
Orhan Pamuk yang kemudian, serangkai potret tentang Istanbul
yang dikenalnya sejak anak-anak. Di sana ia menulis:­”Terpukau
keindahan kota ini dan Selat Bosphorus, orang akan diingatkan
akan perbedaan hidupnya sendiri yang papa di hari ini dengan
kejayaan yang membahagiakan di masa lampau.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi masa lalu itu tak bisa diulangi, betapapun kerasnya niat
mereka yang ingin melikuidasi Turki modern yang dibawa oleh
Kemal Attaturk. Sementara itu masa depan—jika itu ber­arti
”Ero­pa”—kian terasa menyakitkan: ia sebuah hasrat yang di Ero­
pa sendiri ditampik. Sebagian dari orang Prancis dan Belanda

Catatan Pinggir 7 423


TURKI

yang berkata ”Tak!” kepada rancangan konstitusi Eropa adalah


mereka yang juga berkata ”Tak!” kepada kemungkinan Turki
masuk ke perserikatan negeri-negeri yang lazim disebut ”Barat”
itu.
Mungkin Blue benar, atau separuhnya benar. Si radikal yang
dulu hidup di Jerman dan kemudian mati ditembak tentara di
Kars itu berkata kepada Ka: ”Sering kali bukan orang Eropa
yang meremehkan kita. Yang terjadi ketika kita menatap mereka
adalah kita yang meremehkan diri sendiri.”

Tempo, 19 Juni 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

424 Catatan Pinggir 7


JACKO

M
ICHAEL Jackson adalah sebuah kesepian. Pada suatu
hari, ketika umurnya menjelang 30 tahun, ia meng­
ubah warna kulitnya yang gelap jadi hampir sepucat­
langsat, hidung­nya yang pesek jadi mirip gading diraut, dan ram-
butnya yang kribo jadi bak mayang terurai. Lihat, kata orang
yang kesal, si negro itu menampik asal-usulnya! Ia malu akan ciri
rasnya sendiri!
Mereka tak bertanya kenapa, mereka merasa tahu kenapa. Ka­
ta mereka Michael ingin jadi kejora yang paling beker­lap. Ia ber-
solek habis-habisan. Wajah itu jadi topeng, tubuh itu jadi ma­ne­
kin di etalase. Tapi itu semua hasil kemasan yang di­cocok­kan de-
ngan selera kecantikan orang putih, karena­mere­kalah yang sejak
berabad-abad menentukan—berkat penakluk­an di masa lalu dan
media massa di masa kini—apa yang ”bagus” atau ”tak bagus”­di
dunia.
Tapi sebaliknya bisa dikatakan: bukankah Michael Jackson­
yang membuat dirinya sebuah boneka yang siap bagi mereka­
yang ingin menontonnya terus-menerus? Ia seorang pesulap. Ti­
ap pesulap tahu, di depan khalayak ia berdusta, karena dusta itu
meng­asyikkan hadirin. Di situlah Michael tak sekadar sebuah
ma­­nekin. Ia subyek yang bermain.
Memang subyek itu akhirnya tak kentara, sebab trans­formasi­
itu tak kunjung berhenti. Michael mengenakan topeng sampai le­
pas panggung. Tapi apa boleh buat: ia penyanyi yang jadi selebri­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tas: tiap saat adalah sebuah pertunjukan, tiap jengkal tanah se-
buah pentas, tiap posisi sebuah pose.
Ia memang tampak tak ”alamiah” dan ganjil. Tapi bukan­kah
jus­tru itu tanda ia melebur diri jadi bagian hasrat orang ramai?
Sebenarnya ia juga seperti kita. Atau tiap kita adalah Michael­

Catatan Pinggir 7 425


JACKO

Jackson: aku sebagai seonggok kecemasan. Ketika aku becermin­


atau melihat pasfoto dalam KTP-ku, tampak sebuah sosok. Ku­
sepakati sosok itu diriku. Tapi cermin itu, juga pasfoto KTP itu,
se­betulnya sebuah medium permufakatan sosial. Di baliknya ada
masyarakat, kekuasaan, juga hukum: sebungkah pihak ”Sana”
yang memberi diriku, di ”sini”, sebuah stabilitas, sebuah nama,
sebuah identitas.
Tapi aku tahu cermin itu, pasfoto KTP dan kesepakatan itu,
se­benarnya tak menunjukkan aku seutuhnya. Dengan bercermin
sesungguhnya aku jadi bagian dari ”Sana” yang hanya­melihat di­
riku dari luar pada suatu saat. Yang selalu luput­dalam identifikasi­
itu adalah ”aku” yang tak tampil pada saat itu. Maka di depan
cer­min terkadang aku cemas kalau-kalau tak memenuhi ukuran
”Sana”, terkadang aku juga cemas kalau-­kalau ”Sana” menakluk-
kan aku sepenuhnya.
Tapi di teater yang tak berbatas, Michael Jackson (berbeda da­
ri kita) berkaca tak henti-henti. Di mana sebenarnya, dan seha-
rusnya, dirinya?
Saya kira ia sadar: ia orang hitam, bagian dari ras yang diang-
gap nista. Maka ia jadikan dirinya topeng, sengaja atau tidak, se­
bagai cara menunjukkan bahwa cermin yang dipasang pihak ”Sa­
na” yang memberinya identitas itu telah menjepit­diri­­nya. Ia tak
mau. ”I am not going to spend/My life being a color,”­begitulah seba­
ris syair rap dari Black or White.
Bahkan dalam lirik They Don’t Care About Us, protes itu ta-
jam: di Amerika, tanah kelahirannya, ia capek jadi korban yang
selalu dipermalukan:
http://facebook.com/indonesiapustaka

I’m tired of bein’ the victim of shame


They’re throwing me in a class with a bad name
I can’t believe this is the land from which I came

426 Catatan Pinggir 7


JACKO

Mungkin sebab itu pula, seluruh hidupnya adalah kisah mele­


paskan diri.
Ia melepaskan diri dari citra lelaki ”negro” yang tersebar ke se-
luruh dunia sejak si budak Mandingo sampai si petinju Mike Ty-
son: otot jantan yang brutal, obyek fantasi seks, sumber rasa ngeri
dan iri. Michael Jackson justru tampil bak Arjuna dalam wayang
Jawa: lelaki yang semampai, lembut, ”feminin”, meskipun pada
Michael, itu berarti kesepian.
Ada paradoks dalam kesepian itu. Di satu pihak ia ingin mem-
bentuk ceritanya sendiri (dalam Scream yang menjeritkan ke­ti­
dak­­adilan Michael berkata ketus: ”Tired of you tellin’ the story your
way”). Tapi, seperti tadi dikatakan, ia juga pesulap­ yang ingin
membuat dirinya jadi bagian keasyikan orang ramai. Ia ”pembe-
da”, dalam arti ia membuat perbedaan jadi tampak; tapi ia juga—
jika kita pakai kata Jawa beda di sini—meng­usik, berseloroh, me-
narik-ulur orang lain.
Namun sesuatu hilang dalam proses ”beda” itu: Michael­—
makhluk showbiz yang sejak umur enam tahun selalu me­relakan
di­ri jadi sebuah konstruksi pasar—tak pernah punya­ dunia di
mana ia bergerak polos, ”alamiah”. Ia tak punya masa kanak se-
perti kita. Ia bukan seperti si Wendy dan adik-adiknya dalam The
Adventures of Peter Pan. Ia kehilangan masa itu. Kita baca sebait
liriknya:

Have you seen my childhood?


I’m searching for the world that I come from
http://facebook.com/indonesiapustaka

Masa kanak yang hilang itu selalu ia cari, tapi ia tahu tak se­
orang pun memahaminya. Orang melihatnya sebagai kelakuan
eksentrik:

They view it as such strange eccentricities...

Catatan Pinggir 7 427


JACKO

’Cause I keep kidding around


Like a child

Demikianlah ketika di usia hampir 40 ia terus bermain dan


ti­dur bersama anak-anak di estate-nya yang ia sebut ”Neverland”
seperti dunia Peter Pan, orang pun mengejeknya sebagai ”Wacko
Jacko”. Orang berteriak: awas, ia pedofiliak!
Ia terbukti tak bersalah. Tapi ia tetap sebuah kesepian. Ia gagal­
melepaskan diri dari sebuah dunia yang menentukan bahwa jadi
”dewasa” adalah jadi ”normal” dan lurus, hingga mudah bagi
pro­ses produksi yang digerakkan modal, seperti kayu yang dike­
tam.
Dengan kata lain, ia tak bebas dari dunia yang ditakutkan Pe-
ter Pan.
Di penutup yang sedih dari cerita J.M. Berrie itu, Peter—
makhluk yang datang sebagai khayal anak-anak itu—menolak­
bersekolah, kerja di kantor, dan jadi ”laki-laki”. Malam itu ia li-
hat Wendy jadi dewasa dan tak bisa lagi terbang mengikutinya. Ia
dapatkan Michael, si adik, sudah besar dan lupa akan petualang­
an mereka bersama dalam dongeng. Dengan sayu Peter Pan pun
berkata, sebelum lenyap: ”Halo, Wendy, selamat tinggal.”

Tempo, 26 Juni 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

428 Catatan Pinggir 7

Anda mungkin juga menyukai