Anda di halaman 1dari 468

Goenawan Mohamad 8

http://facebook.com/indonesiapustaka

Pusat DataPinggir
Catatan & analisa
6 TEMPO
iii
8
Kumpulan tulisan

GOENAWAN MOHAMAD
di majalah Tempo, Juli 2005-Juli 2007
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8 i
http://facebook.com/indonesiapustaka

ii
Catatan Pinggir 8
GOENAWAN MOHAMAD 8
http://facebook.com/indonesiapustaka

PUSAT DATA & ANALISA TEMPO

Catatan Pinggir 8 iii


Catatan Pinggir 8
© Goenawan Mohamad

Kumpulan Catatan Pinggir di majalah Tempo, Juli 2005 - Juli 2007

Kata pengantar: Bagus Takwin


Editor bahasa: Dewi Kartika Teguh W., H. Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Korektor dan Indeks: Ade Subrata, Danni Muhadiansyah, Dina Andriani,
Driyandono Adi
Kulit muka, tata letak, dan ilustrasi: Edi RM
Foto pengarang: Dwianto Wibowo

Cetakan Pertama, 2011

MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 8
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2011
xxiv + 442 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-979-9065-43-8
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dicetak oleh Percetakan PT Temprint, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan

iv Catatan Pinggir 8
Daftar Isi

ix Pengantar

1 Saladin
5 Buah
9 BBM
13 Abdullah
17 Ahmadiyah
21 Ulama
25 Pasca-Sekuler
29 Sebuah Ruang, 17.000 Pulau
37 Negara
41 Doa
45 Lembing
49 Abu Nuwas
53 Si Golem
57 Porno
61 1965
65 Grand Canyon
69 Bencana
73 Soto
77 Tujuh
81 Maaf
85 Islam
89 Azahari
93 Iblis
http://facebook.com/indonesiapustaka

97 Dhanu
101 Hatun
105 Malam

Catatan Pinggir 8 v
2006
111 Dari Sebuah Jerit di Jembatan
117 Kahyangan
121 Aletheia
125 Ragu
129 Mawar
133 Shahrazad
137 Laozi
141 Karikatur
145 Tatap
149 Gurun
153 Samarra
157 Seks
161 Connie
165 Prempuan
169 Irtitad
173 Centhini
177 Pornografi
181 Selat
185 Dosa
189 Pramoedya
193 Ahmadinejad
197 Api
201 Amsterdam
205 Konsensus
209 Universal
213 Bukan
217 Bencana
http://facebook.com/indonesiapustaka

221 Gaza
225 Zizou
229 5 Juli
233 Glung

vi Catatan Pinggir 8
237 Libanon
241 Dan
245 D. L. L.
249 Isa
253 Mahfouz
257 Abangan
261 Percakapan ke-7
265 Logos
269 Ayaan
273 2020
277 Bandung Bondowoso
281 Pamuk
285 Kim
289 K. A.
293 Bush
297 Gautama
301 Batas
305 Jazz
309 Rosa
313 Monginsidi, Chairil, Kartini
2007
323 Gandari
327 Barbar
331 Adonis
335 Mati
339 Konstitusi
343 Hujan
347 Banjir
http://facebook.com/indonesiapustaka

351 Babel
355 Nasionalisme
359 Shanghai
363 Gandhi

Catatan Pinggir 8 vii


367 Sutawijaya
371 Pagoda
375 Akhir
379 Eropa
383 Jeremiah
387 Surat
391 Mall
395 Nuklir
399 Sang Fundamentalis
403 Makam
407 Tentara
411 Isis
415 Pilkada
419 Yudistira
423 Kotor

427 Indeks
http://facebook.com/indonesiapustaka

viii Catatan Pinggir 8


Catatan Pinggir:
Pemikiran Dialogis Melintasi Tepi

Bagus Takwin

C atatan Pinggir adalah pemikiran dialogis. Di dalamnya


bu­kan hanya pikiran yang mengambil tempat, tetapi juga
pe­mikir yang mencermati pikiran, mengevaluasinya, mengorek-
si, dan berespons terhadapnya. Juga di sana, banyak pemikir lain
di­libatkan.
Ketika memikirkan satu kejadian masa lalu atau mengantisi­
pasi masalah di masa depan, sang penulis membayangkan perca­
kap­an imajinal dengan orang lain yang mempertanyakan pikir­
an­nya, yang setuju atau tidak setuju dengannya, dan menanggapi­
nya dengan sikap senang atau kecewa. Lebih jauh lagi bisa kita te­
mu­kan, pemikir itu—bisa penulis yang menampilkan ”saya”, bisa
pi­hak lain yang dihadirkan—juga dievaluasi oleh pemikir lain
yang tak tampil tetapi mesti diandaikan adanya.
Kita cermati satu contoh bentuk pemikiran dialogis yang
tampil di sana. Penulis berpikir tentang sebuah masalah (pikiran
per­tama) yang bisa berbentuk pertanyaan, seperti ”Perlukah kita
Tentara?” atau ”Yerusalem, apa harga kota ini?”. Bisa juga masa­
lah itu berupa paparan sebuah situasi atau sebuah kisah atau per-
paduan ketiganya, seperti dalam ”Yudistira” (1 Juli 2007): ”Di
pin­tu surga, Yudistira, raja tua yang lembut dan lurus hati itu,
di­tolak masuk. Permukaan bumi konon terkejut mendengarnya:
bi­sa dipercayakah janji keadilan dalam hidup sesudah mati?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Penulis lalu membayangkan jenis advis apa yang mungkin di-


berikan oleh pemikir lain kepadanya untuk menyelesaikan ma-
salah (pikiran kedua). Dalam menjawab apa harga Kota Yerusa-
lem, contohnya, penulis merujuk ke Saladin dalam film Kingdom

Catatan Pinggir 8 ix
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

of Heaven yang disutradarai Ridley Scott, yang menjawab ”Tak


ada” sekaligus ”Segala-galanya” (”Saladin”, 3 Juli 2005).
Penulis lalu mempertimbangkan lagi masalahnya dalam te­
rang respons orang lain itu (pikiran ketiga). Sebagai contoh saya
ku­tip dari kisah Goenawan Mohamad tentang Saladin berdasar-
kan film itu:

”Saya tak tahu, itukah yang terjadi dalam sejarah. Tapi film
ini—yang tampak berniat sedapat mungkin setia kepada yang
per­nah dicatat para penulis tarikh, tapi juga tak hendak melepas-
kan hasratnya untuk jadi sebuah tontonan gaya Hollywood—
setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: bagaimana sebuah
kota yang ”tak ada” harganya juga bisa berarti ’segala-galanya’?”

Setelah itu, penulis bisa menambahkan lagi tanggapan terha-


dap pikiran ketiga untuk kemudian ditambah lagi dengan pikir­
an berikutnya. Dialog bisa melibatkan banyak pikiran. Batasnya
tak ditentukan. Tetapi, untuk kepentingan tujuan menulis dan
ruang yang terbatas, penulis juga harus pandai membatasi pikir­
an-pikiran yang dilibatkan dan mengemasnya dalam sebuah tu-
lisan yang bernas dan menarik.
Tak jarang pemikiran dialogis itu tampil dalam bentuk tak bi­
asa, membentuk daur: mereka bergerak melingkar dan kemba­
li­ke posisi tempat pemikiran dimulai. Meski melingkar, mereka
bu­kan penalaran sirkular, sebuah bentuk sesat pikir yang menja-
dikan alasan sebagai kesimpulan. Beberapa dari himpunan pemi­
kiran itu lebih mengesankan sebagai reductio ad absurdum, se-
buah bentuk argumen yang membuktikan kesalahan sebuah pro­
http://facebook.com/indonesiapustaka

posisi dengan mengikuti implikasinya secara logis hingga sampai


pa­da konsekuensi absurd.
Dalam ”Ulama” (7 Agustus 2005), yang bercerita tentang
orang-orang yang ”... risau bahwa ’pluralisme’, ’sekularisme’, dan

x Catatan Pinggir 8
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

’liberalisme’ akan mengalahkan-Nya,” kita temukan alur berpi­


kir membentuk daur. Dibuka dengan paragraf:

”Tuhan tak berhenti di pintu gerbang, juga di kota yang seku­


ler.­Ia Maha Tak Terhentikan. Tapi hari-hari ini kita dengar suara
sebagian ulama yang tak percaya pada keajaiban itu.”

Setelah pikiran demi pikiran ditampilkan, berbantahan atau


sa­ling dukung, sampailah pemikiran dialogis itu pada pernyata-
an hipotetis: ”Jika yang berlaku dalam politik sepenuhnya adalah
’ethos keyakinan’ yang dikatakan Weber, maka pluralisme, libe­
ra­lisme, dan sekularisme memang dosa.” Tetapi, merujuk deretan
pernyataan pembuka esai itu, pertanyaan penutup yang meragu-
kan Weber dan dosa disodorkan:

”Dosa? Bukankah seandainya Tuhan menghendaki, bisa disa­


tu­kan-Nya manusia jadi serdadu timah yang seragam untuk pe­
rang­kosmis yang panjang?”

Tetapi lebih sering Catatan Pinggir berkisah, menata kejadian-­


kejadian dalam alur waktu dengan memanfaatkan berbagai tek­
nik penceritaan, juga puisi. Saya ambil contoh dari ”Buah” (10
Ju­li 2005):

”Seorang perempuan hitam menyanyi, ’Buah yang ganjil ber-


gantungan, di pepohonan daerah Selatan.’ Suaranya seperti ter-
embus dari buluh perindu yang retak dibanting. Ia Billie Holiday.
Ia jazz dalam puisi:
http://facebook.com/indonesiapustaka

Darah pada daun


Darah pada akar
Jasad hitam yang terayun-ayun

Catatan Pinggir 8 xi
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

Buah ganjil yang tergantung di pohon poplar.”

Unsur-unsur naratif dapat kita kenali dengan mudah dalam


Ca­tatan Pinggir. Setiap ihwal yang dipikirkan di sana diletakkan­
dalam konteks tempat dalam waktu tertentu. Sekadar contoh:
”Se­buah kota bisa mengejutkan, juga Bagdad pada abad ke-9”
(”Abu Nuwas”, 18 September 2005). Yang diceritakan adalah pe­
ristiwa-peristiwa partikular meski beberapa di antaranya tetap
tak jelas dan bersifat umum. Di sana kita temukan karakter de-
ngan derajat kesadaran intensional tertentu: karakter yang memi­
liki keyakinan, hasrat, teori, dan nilai. Tokoh-tokoh yang pemi­
kir­annya dirujuk tampil sebagai karakter yang hidup, bergerak,
dan berdebat.
Catatan Pinggir juga tersusun dan dapat dipahami secara her­
me­neutik. Kita dapat menafsirkannya sebagai serangkaian peris-
tiwa terpilih yang membentuk cerita. Peristiwa yang dipilih besar
kemungkinannya menandai atau mewakili makna tertentu yang
me­nuntut penafsiran untuk memahaminya. Lalu ada kanonisi-
tas dan penyimpangan di sana. Kisah-kisah yang tampil mengan­
dung­hal yang umum dalam budaya tertentu (canon), tetapi juga
me­ngandung hal tak biasa dan menyimpang dari keadaan nor-
mal. Cerita dalam Catatan Pinggir dalam berbagai cara merujuk­
ke­pada kenyataan meski hubungannya tidak secara langsung da­
pat dikenali.
Meski tidak mengklaim tentang bagaimana seharusnya sese­
orang bertindak, Catatan Pinggir menawarkan gugahan untuk
menggunakan cara berpikir yang tak begitu saja menerima atau
menolak sesuatu. Secara tersirat, kumpulan esai ini menyarankan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

se­suatu. Bisa kita temukan juga adanya negosiasi peran antara pe­
nulis (pemilik cerita), teks, dan pembaca, termasuk peralihan da­
ri sebuah konteks ke naratif, serta ide-ide penundaan ketidakper-
cayaan atau keraguan terhadap jalannya cerita. Setiap Catatan

xii Catatan Pinggir 8


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

Pinggir juga merupakan sebuah akumulasi dari beberapa cerita


yang dipertemukan dengan berbagai cara. Satu cerita baru me-
nambah dan melengkapi cerita sebelumnya membangun kesatu­
an naratif.
Pemikiran dialogis itu bisa membawa kita kepada inovasi pe-
maknaan melalui proses saling menanggapi yang berlangsung
da­lam ruang yang menampilkan pikiran-pikiran itu. Setidaknya,
ada tiga kemungkinan inovasi pemaknaan yang dapat dihasilkan.
Pertama, pikiran ketiga dialami sebagai lebih inovatif ketimbang
pikiran pertama (penambahan kebaruan). Kedua, semua pikiran
se­cara setara inovatif sehingga menstabilkan kebaruan dengan
va­riasi suara. Ketiga, pemaknaan yang sudah umum dimentah-
kan atau dibuat klise tanpa ada tawaran inovasi tetapi membuka
ke­mungkinan untuk pemaknaan baru di masa datang.
Setiap dialog adalah sebuah usaha untuk menghasilkan keba­
ruan, ikhtiar inovatif. Pelibatan berbagai pihak dengan karak­
te­ris­tik berbeda dimaksudkan untuk memperkaya pemikiran.
Aneka ragam gagasan, suara, dan warna diharapkan setidaknya
da­pat menghasilkan ragam kombinasi yang lebih banyak. Lebih
baik lagi jika itu dapat mencuatkan sebuah gagasan baru, tindak­
an baru, bentuk baru, dunia baru, meski Catatan Pinggir tam-
paknya tak berambisi untuk itu. Tetapi kita bisa bertanya: apakah­
Catatan Pinggir hadir untuk membedakan pikiran dan tindak­
an?
***
Dialog memang dapat dikenali sebagai gaya bertutur, te­ta­
pi ga­ya itu dapat dipahami juga sebagai usaha menampilkan pi­
kir­an-pikiran yang sedang berdialog. Sebenarnya, buat saya, le­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bih­pen­ting memahami Catatan Pinggir sebagai kegiatan berpi­


kir oten­tik, yang sungguh-sungguh memikirkan ihwal sesuai de-
ngan keberadaannya di dunia, meski gaya bertuturnya juga pen­
ting.­

Catatan Pinggir 8 xiii


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

Saya ingat Mikhail Mikhailovich Bakhtin yang menempatkan­


dialog sebagai hal terpenting pada manusia. Bagi pemikir Rusia
yang di tahun 1929 menerbitkan hasil kajian aspek puitis novel
Dostoyevsky ini, manusia adalah makhluk dialogis. Dialogikali­
tas adalah jantung dari pikiran kita. Catatan Pinggir menge­de­
pan­kan dialogikalitas pemikiran, memompakan sekaligus me­
nge­lola beragam pikiran seperti jantung memompa darah bersih
yang kaya oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh.
Pikiran-pikiran dalam Catatan pinggir bisa saling mengorek­
si, saling bantah, atau saling menguatkan. Koreksi bisa langsung­
dilakukan, bahkan terhadap kalimat awal. Seperti dalam ”Ahma­
diyah” (31 Juli 2005): ”Bayangkan tuan seorang penganut Ahma­
diyah…. Ah, saya salah. Bayangkan tuan seorang muslim di Kota
Foca, di tikungan Sungai Drina yang deras di antara pegunung­
an lebat di Bosnia Timur. Bayangkan ini musim semi 1992.”
Bantahan tampil tidak dengan tesis yang pasti. Malah sering
ka­li dalam kalimat tanya, seperti ketika menanggapi Karl Barth
yang menegaskan bahwa Tuhan dan manusia berbeda secara ra-
dikal sehingga manusia tak akan mengetahui-Nya dan hanya bi­sa
menunggu datangnya wahyu. Begini pertanyaannya: ”Tapi ji­ka
jarak antara Tuhan dan manusia begitu mutlak, bila antara ke­
duanya tak ada dialektika, hanya mungkin ada ’diastatasis’, ba­
gaimana Ia bisa menggerakkan hati kita, bagaimana pula kita
me­mahami-Nya?” (”Makam”, 3 Juni 2007).
Bisa juga pikiran yang satu mengelak dari yang lain, atau me­re­
ka saling mengelak, seperti yang tertulis dalam ”Drupadi” (6 Mei
2007). Ketika Drupadi, setelah Dursasana gagal menanggal­kan
kain dari tubuh istri Yudistira itu, bertanya, ”Paduka, ber­hak­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kah Yudistira mempertaruhkan diri hamba, berhakkah dia me­


rasa memiliki diri hamba, ketika ia tidak memiliki lagi diri dan
ke­merdekaannya?” Resi Bisma—yang termasyhur arif dan ikh­
las­itu—menjawab tak tahu dan menyuruhnya bertanya kepa­da

xiv Catatan Pinggir 8


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

Yudistira sendiri. Setelah itu disebutkan, ”... tak ada ucapan yang
ter­dengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan
suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak.” Pikir­an
yang tampil di situ memilih menghindar dari perdebatan yang
re­sah dan pilu. Sang pikiran menunjuk kepada yang lain, yang
mungkin bisa lebih tegas dan yakin: ”Agaknya sesuatu… yang
bi­sa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki orang lain, juga
da­lam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap me-
misahkan antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan
tuan.”
Jarang perselisihan atau pikiran yang saling menjauh diperte­
mu­kan dan diselesaikan. Malah sering kali setiap pikiran dibiar­
kan berjalan sendiri-sendiri setelah pertemuan yang singkat da­
lam esai-esai pendek itu. Catatan Pinggir jelas menampilkan diri
bu­kan sebagai pembawa solusi atau juru damai. Justru ia tampil
se­bagai tukang tanya. Ia berpikir dengan pertanyaan, membantah­
dengan pertanyaan, meragukan dengan pertanyaan, mengelak
de­ngan pertanyaan, juga menguatkan dengan pertanyaan. Cuk-
up beralasan jika ada yang mengelompokkan Catatan Pinggir se­
bagai tulisan filosofis karena pertanyaan-pertanyaan yang diaju-
kannya kadang-kadang mengingatkan kita kepada dialog-dia-
log yang ditulis Plato. Catatan-catatan itu lebih mengedepankan­
proses berpikir ketimbang simpulan yang ajek dan pasti.
Tetapi esai-esai itu sepertinya punya sebuah kerangka pikir
yang lebih abstrak tingkatannya dan lebih luas cakupannya dari
pi­kiran-pikiran yang secara tersurat melintas di sana. Sekali lagi,
ada sang Pemikir lain yang tak tampil tetapi diandaikan adanya.
Tetapi ia menolak pembekuan oleh pernyataan, entah karena ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lalu luas atau ia adalah proses yang terus-menerus bergerak.­Ia le­


bih­menyerupai cakrawala yang ujungnya tak pernah kita gapai
seberapa jauh pun kita mengejar. Saya bayangkan sang Pemikir
itu selalu memberikan argumen bahwa apa yang sudah dinya­ta­

Catatan Pinggir 8 xv
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

kan bukanlah yang nyata. Seperti ia memberi isyarat: selalu ada


yang luput dari pernyataan tentang kenyataan; selalu ada yang
bo­long dalam pikiran. Tetapi bolong-bolong itu dapat dikenali,
ju­ga oleh pikiran. Pikiran, di satu sisi, selalu terbatas dan tak leng-
kap, tetapi di sisi lain mampu melampaui dirinya sendiri, menga-
tasi keterbatasan itu. Dan setiap kali pikiran mengatasi keterba-
tasan hasil pikirannya terdahulu, batas baru muncul, lubang baru
di­temukan.
***
Lalu, logika apa yang dipakai proses berpikir dialogis dalam
Ca­tatan Pinggir?
Dalam dialog-dialog yang dikandungnya, Catatan Pinggir
me­nampilkan pertanyaan dan jawaban yang tidak dibakukan
oleh kategori logis, tetapi merupakan bagian dari proses siklik: se-
tiap respons tidak hanya menerbitkan pertanyaan baru, tetapi ju­
ga merumuskan ulang pertanyaan awal.
Logika ini punya kesamaan dengan dialektika Hegel yang
mem­pertemukan sebuah tesis dengan antitesisnya sedemikian
ru­­­pa untuk menghasilkan sintesis: bukan metode dan bukan se-
rangkaian prinsip yang secara sederhana dapat diterapkan pada
ihwal apa saja. Berpikir dialogis adalah mengenali ihwal secara
khu­sus sesuai dengan karakteristiknya sebagai keberadaan singu­
lar.
Tetapi, berbeda dengan dialektika Hegel, berpikir dialogis ti-
dak hendak mencapai totalitas atau keseluruhan. Dalam Catatan
Pinggir tesis itu tidak satu, juga antitesisnya, sehingga sintesisnya­
pun bukan sebuah simpulan yang utuh satu. Di sini, meminjam­
istilah Jerome Bruner (1986), modus berpikir naratif bekerja:
http://facebook.com/indonesiapustaka

meng­himpun sekian macam peristiwa, juga peristiwa pikiran,


baik yang awalnya sejalan, bertentangan, maupun yang jalan sen­
diri-sendiri, untuk ditata sebagai sebuah kisah.
Modus berpikir naratif tidak mengandalkan paradigma ter-

xvi Catatan Pinggir 8


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

tentu yang mengarahkan pada satu putusan pasti dengan premis-­


premis koheren. Cara pikir ini justru ingin menjelaskan bagaima-
na yang berbeda-beda, yang bertentangan, mungkin terhimpun­
dalam sebuah situasi. Dengan naratif (cerita, kisah, dongeng) ma­
nusia hendak memahami dunia yang punya isi beragam dan ba­
nyak di antaranya bertentangan. Modus berpikir naratif meng-
hasilkan naratif-naratif itu. Modus ini tidak hendak memilah du-
nia, justru ingin memahami mengapa yang ada terhimpun dalam
menjadi dunia.
Tetapi memikirkan atau setidaknya membayangkan semua
yang ada terhimpun di dunia menyiratkan (dan mensyaratkan)
ada­nya semesta, sesuatu yang menghimpun semuanya. Semesta
biasanya diwakili oleh ide universal. Persoalannya: apa yang uni-
versal itu? Bagaimana yang universal dikenali? Adakah ia ada di
dunia?
Dalam Catatan Pinggir, yang universal tak tampil, tak pernah
ditunjuk, meski istilah ini cukup sering disebut. Tetapi, ketika
ber­bagai pikiran dievaluasi, didukung, atau dibantah, di sana di-
andaikan adanya prinsip evaluasi yang melampaui pikiran-pikir­
an itu. Esai-esai itu tidak membenarkan apa saja atau mengede-
pankan relativitas karena ada yang disalahkan meski jarang seka-
li mengklaim kebenaran. Artinya, penulisnya, Goenawan Moha­
mad, percaya pada keberadaan yang universal; pelan-pelan ia
berikhtiar mendekatinya, terus dan terus meski tak sampai-sam-
pai.
Bisa jadi, penulis Catatan Pinggir diam-diam terus-menerus
me­modifikasi yang universal tetapi jelas modifikasi itu tidak per-
nah sepenuhnya selesai. Kesetiaannya menulis yang berarti kese­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tia­an terhadap proses berpikir menjadi indeks dari kesetiaannya


kepada yang universal sekaligus ketaksampaiannya. Ketakter-
hinggaan yang universal diinsafi penulis dan itu mengimplikasi­
kan proses pelengkapan universal yang terus-menerus. Ia paham,­

Catatan Pinggir 8 xvii


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

yang universal tetap tak-dapat-dilengkapi atau selalu terbuka. Ji­


ka­pun ia mengandaikan yang universal, itu adalah sesuatu yang ti-
dak totalitarian dan tetap meleluasakan yang partikular dan yang
ber­beda di jalannya masing-masing. Universal diperlakukan­se­
ba­­gai proyek terbuka yang membuktikan dirinya, terus-menerus
memanggil siapa saja di mana pun mereka berada untuk ikut setia
ke­pada kebenaran, nama lain dari yang universal.
Dan logika universal yang memanggil itu bekerja pada setiap
yang ada di dunia, juga ketika kita berpikir tentang negara. Te­
tapi tentu yang universal itu tak seperti yang dimaksud Hegel;
”... yang universal itu, tak datang dari surga Ide yang biru.” Me-
nyanggah Hegel tentang ini sambil membantah Engels yang me­
ramalkan berakhirnya negara, Goenawan Mohamad menulis:

”... ada sesuatu yang lepas: pengakuan bahwa sesuatu yang


uni­versal memang mengimbau dalam kehidupan sebuah repub-
lik, seraya sadar bahwa siapa pun tak mampu mewakili yang uni-
versal itu. Dengan kata lain: sebuah negara tak akan usai jika ia
bekerja terus, sambil berdiri, sebagai sebuah republik yang tanpa
ilusi” (”Negara”, 28 Agustus 2005).

Jika yang universal tidak datang dari ”surga Ide yang biru”, ia
adalah sesuatu yang imanen; ada di dunia. Dan jika yang univer­
sal­terus-menerus memanggil dan menuntut kesetiaan dan kerja
ke­ras, dalam prakteknya yang universal adalah apa yang terus-
me­nerus diperjuangkan melalui kejadian-kejadian dalam hidup.
Menerima yang universal berarti juga menerima hidup, memper-
juangkan hidup, merayakan hidup.
http://facebook.com/indonesiapustaka

***
Jika boleh memperlakukan tulisan sebagai indeks dari pe­
nga­rangnya, kita bisa menerka-nerka seperti apa diri si penulis.

xviii Catatan Pinggir 8


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

Goe­nawan Mohamad, yang konsisten menulis dan menampilkan­


pemikiran dialogisnya, menunjukkan: ada yang tetap sekaligus
ber­ubah pada dirinya seiring dengan berlangsungnya dialog-dia-
log dalam dirinya.
Apa yang sama dalam Catatan Pinggir sejak pertama ditulis
hing­ga yang dihimpun dalam buku ini adalah pikiran yang ke-
berlanjutan, berbeda dari yang lain, dan kehendak untuk mem-
pertanyakan banyak ihwal. Ini mengindikasikan adanya tiga hal
itu pula pada diri Goenawan Mohamad. Tetapi arus pikiran itu
ber­gerak terus, menampilkan karakteristik berbeda dari waktu
ke waktu. Dan itu juga mengindikasikan pergerakan diri penulis­
nya.
Goenawan Mohamad mungkin sejalan dengan William
James (1890) yang sejalan dengan Herakleitos memperlakukan
di­ri, juga dunia, sebagai arus yang di dalamnya setiap langkah
ada­lah langkah baru dalam sungai yang sama. Identitas diri, ke­
sa­maan diri melewati waktu, selalu menampilkan juga perubah­
an: ada kebaruan dari waktu ke waktu sebagai hasil dari keagenan
diri. Diri yang berkelanjutan, berbeda dari yang lain, dan berke-
hendak itu menghasilkan hal-hal baru pada dirinya. Paradoks
iden­titas diri tampil di situ: sesuatu yang tetap dan berubah seka-
ligus. Tentang identitas, Goenawan pun pernah bertanya: ”Maka
apakah sebuah identitas sebenarnya, selain sebuah snapshot dari
sosok dan wajah yang terus-menerus dalam proses ’menjadi’?”
(”1965”, 9 Oktober 2005).
Kita bisa juga menganalogikan diri Goenawan Mohamad se­
ba­gai sebuah panggung teater atau sebuah novel yang di dalam-
nya ada banyak karakter dengan suara masing-masing. Atau, ka­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rena saya pakai metafor suara, pas juga kalau saya analogikan diri
Goenawan Mohamad sebagai paduan suara atau orkestra. Setiap
suara mengambil satu posisi yang bisa sejalan atau bertentangan
de­ngan posisi suara lain. Seperti dalam komposisi paduan suara,

Catatan Pinggir 8 xix


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

ada variasi tinggi-rendahnya nada, warna suara, dan sebagainya.


Maka kadang kala, jika tak cermat mengenalinya, Goenawan
Mohamad bisa terkesan tidak berpendirian karena dirinya tak sa­
tu suara. Di satu waktu ia terkesan bersuara membela sesuatu, di
waktu lain ia seperti menentangnya. Karakternya pun seperti su­
sah ditebak atau bisa disalahtafsirkan. Jika kita lepaskan karak­ter-
karakter itu dari panggung dialognya atau kita dengarkan suara-
suara itu sendiri-sendiri, kesan semacam itu memang bisa mun-
cul di benak. Tetapi, ketika kita memahaminya sebagai sebuah
per­tunjukan teater atau novel, karakter-karakter itu membentuk­
satu naratif yang utuh. Sebagai paduan suara, suara-suara itu
mem­bentuk komposisi yang padu dengan harmoni, counterpoint,
po­ly­phony, dan hubungan bunyi lainnya.
Di sini, kita sekaligus bisa juga membayangkan diri Goena­
wan Mohamad sebagai sebuah ruang. Di dalamnya ada pergerak­
an dialogis. Merujuk konsep dialogical self (diri dialogis) dari Hu-
bert J. M. Hermans (1991, 2001) yang didefinisikan sebagai ”... a
dynamic multiplicity of relatively autonomous I positions”, dirinya
ada­lah kemajemukan yang sangat dinamis. Beragam posisi Aku
(I positions) terlibat dialog di sana secara intensif dan lama. Sang
Aku mengambil banyak sekali posisi, bergerak dari satu tempat
ke tempat lain, sering kali secara cepat sehingga tak dikenali dari
luar.
Ini bisa jadi membuat orang lain mendapat kesan bahwa Goe-
nawan Mohamad tak punya posisi pemikiran yang jelas, juga tak
punya ideologi yang ajek. Tetapi, jika kita memahami pikir­an-
pikirannya (juga tindakan-tindakannya) sebagai pemikiran dia-
logis dan mau meluaskan perspektif kita, kita bisa menemukan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kejelasan pada lalu lintas pikiran itu. Memang ini bukan hal
yang mudah dan tak selalu menyenangkan karena itu berarti juga
kita harus berpikir lebih keras, bahkan mungkin kita juga harus
mem­baca lebih banyak, dan berdialog lebih sering.

xx Catatan Pinggir 8
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

Dalam memahami diri Goenawan Mohamad, saya mencoba­


menggunakan kerangka pikir dialogis yang pada intinya sudah
sa­ya kemukakan di bagian awal pengantar ini. Pertama, ia bisa
me­lakukan pengambilan posisi. Ia tampil dengan pikiran yang
di­posisikan sebagai sebuah masalah atau sebuah hipotesis yang
mengundang untuk diselesaikan, dibuktikan, atau dibantah. Ke­
dua, ia bisa mengambil posisi yang berlawanan dengan posisi per-
tama tadi. Pikiran yang diajukannya di sini bisa mengambil suara
dari orang lain yang nyata atau imajiner (atau diri-sendiri) yang
bi­cara dari posisi berlawanan. Lalu, ia merumuskan ulang posisi­
awalnya, bukan karena ia tak berpendirian, melainkan karena
me­lalui dialog bisa terbit pertanyaan baru yang mengubah perso-
alan sehingga pertanyaan awal harus dirumuskan ulang. Menu-
rut saya, ketiga posisi Aku (diri-yang-mengetahui) ini perlu dipa-
hami secara menyeluruh sebagai proses yang saling terkait dalam
me­mahami diri dialogis Goenawan Mohamad, juga dalam me­
nafsirkan Catatan Pinggirnya.
Melalui proses dialogis, diri (mencakup pikiran, perasaan, dan
tin­dakan) bisa berubah seiring dengan berubahnya pemaknaan.
Tetapi perubahan itu terjadi dalam upaya menghasilkan inovasi
di level yang lebih tinggi. Memang perubahan bisa menghasilkan
kekecewaan, lepas dari valensi baik-buruknya, karena mungkin
dari situ kita sadar pada keterbatasan kita, pada kefanaan kita.
Per­ubahan memberikan keinsafan kepada kita bahwa keabadian,
yang ajek, ternyata tak ada di dunia. Rasa kehilangan bisa mener­
pa kita dan itu menyedihkan. Tetapi perubahan juga memung-
kinkan kita bersyukur bahwa di dunia masih ada yang lebih baik
dari sebelumnya, juga memberikan kesempatan untuk berharap
http://facebook.com/indonesiapustaka

bah­wa di masa depan akan ada yang lebih baik lagi. Goenawan
Mo­hamad jelas menyadari ini, bahkan berulang-ulang menegas-
kan kefanaan itu, salah satunya dalam ”Kahyangan” (8 Januari
2006): ”Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kece-

Catatan Pinggir 8 xxi


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

wa, tapi mensyukuri apa yang fana.”


Seperti pikirannya yang tertuang dalam Catatan Pinggir,
Goe­nawan Mohamad selalu berusaha memperluas ruang dirinya.­
Ia berusaha menjajaki sampai tepi yang paling luar. Tetapi tepi
itu, tampaknya, setelah melalui dialog ia temukan sebagai bagian
lain dari dirinya. Ia menyadari bahwa tepi itu, seperti selat yang
me­misahkan dua pulau, adalah sebuah kesempatan; sesuatu yang
me­nyebabkan persentuhan dengan ”yang lain”.
Kalau secara kasar kita buat pembagian, sepertinya ada diri
internal yang seakan-akan hanya buat diri sendiri, lalu ada diri
eksternal yang kita bagi dengan orang lain, dan ada ”yang lain”
di luar diri. Dan seakan-akan di setiap bagian itu ada tepi yang
me­milah satu dari lainnya. Tetapi, dengan dialog, batas-batas
itu luruh atau setidaknya bergeser terus-menerus. Lalu kita tahu,
tepi itu adalah tanda kemungkinan baru, diri baru, hidup baru,
cakra­wala baru. Diri dan ”yang lain” ternyata tak dapat dipilah
se­cara tegas.
Kalau kita melihat diri kita lebih cermat lagi, bisa kita temu-
kan ternyata diri kita tersusun juga oleh hal-hal yang tadinya ada
di luar diri, secara material, sosial, dan spiritual. Yang tadinya aku
ke­nal sebagai ”yang lain” bisa menjadi bagian diriku. Demikian
pu­la yang tadinya bagian diriku bisa jadi ”yang lain”. Dalam pe-
maknaan tertentu, Catatan Pinggir, bagi saya, adalah pelajaran
ten­tang bagaimana diri kita berproses, dan tentu saja juga tentang­
diri Goenawan Mohamad. Lebih dari itu, Catatan Pinggir juga
ada­lah pelajaran tentang hidup yang terus bergerak, kompleks,
dan rumit tetapi menggairahkan dan terus-menerus kita perju­
angkan. Petikan ini contohnya:
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Tapi pada akhirnya selalu terbukti: gerak kehidupan lebih


ru­­mit ketimbang jalan yang lurus; hidup manusia ibarat lubuk
yang kedap cahaya—bahkan jika cahaya itu datang dari iman

xxii Catatan Pinggir 8


CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI

yang kuat” (”Ahmadiyah”, 31 Juli 2005).

Catatan Pinggir adalah penjelajahan melampaui tepi berbagai


wi­layah, yang abstrak dan konkret sekaligus. Membaca Catatan
Pinggir membuat saya tak henti-henti berpikir karena saya di­
ingat­kan: tanda ”berhenti berpikir” tak akan tiba bagi manusia.
Te­tapi, sebagai pengantar, tulisan ini harus berhenti. Saya tutup
pengantar saya dengan petikan dari salah satu Catatan Pinggir
yang menggugah saya untuk tak berhenti berpikir dan menjajaki
ke­mungkinan lain.

”Di tiap tepi selalu ada ’yang-lain’ yang menyentuh—mung-


kin laut yang diberi nama oleh para pengelana asing, mungkin
ladang yang diolah kaum yang menyukai gandum, mungkin
kota X yang mengirimkan berita tentang sirkus dan raja-raja. Di
tiap tepi ada pertemuan, juga ketegangan, bahkan sengketa. Di
tiap tepi benda-benda dipertukarkan, lembing dihunus, meriam
diisi. Tapi ke sana juga anak-anak bermain di atas pasir melepas-
kan merpati yang melintas ke seberang” (”Selat”, 30 April 2006).

Daftar Pustaka

Bakhtin, M. (1929/1973). Problems of Dostoevsky’s Poetics (2nd ed.;


R.W. Rotsel, Trans.). Ann Arbor, MI: Ardis.
Bruner, J.S. (1986). Actual Minds, Possible Worlds. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hermans, H.J.M. (1999). ”Dialogical Thinking and Self-innovation”.


Culture and Psychology, Vol. 5, 67-87. London: Sage Publications.
Hermans, H.J.M. (2001). ”The Dialogical Self: Toward a Theory of
Personal and Cultural Positioning”. Culture and Psychology, Vol. 7, 243-

Catatan Pinggir 8 xxiii


281. London: Sage Publications.
James, W. (1890, reprinted 1993). The Principles of Psychology, Cam-
bridge: Harvard University Press.
http://facebook.com/indonesiapustaka

xxiv Catatan Pinggir 8


SALADIN

Y
ERUSALEM, apa harga kota ini? Pertanyaan ini mung-
kin lebih tua ketimbang abad ke-12 dan tak berhenti
pada abad ke-21.
Konon, Oktober 1187, di depan tembok Yerusalem yang telah
bo­bol, itulah yang ditanyakan Balian, Baron dari Ibelin, yang
mem­pertahankan kota itu, kepada Saladin, pemimpin pasukan
Muslim yang mengepungnya. Pertempuran besar berhenti. Pu­
luh­­an ribu manusia tewas di kedua belah pihak, sebelum akhir­nya
Yerusalem diserahkan. Apa sebenarnya nilai­dari kota yang te­lah
menimbulkan perang yang tak berkesudahan yang disebut­”Pe­
rang­Salib” ini? Dalam film Kingdom of Heaven yang disutradarai
Ridley Scott, Saladin menjawab pendek pertanyaan sang Baron:
”Tak ada.” Lalu ia berjalan kem­bali ke arah pasukannya. Tiba-ti-
ba ia berpaling dan berkata, ”Segala-galanya.”
Saya tak tahu, itukah yang terjadi dalam sejarah. Tapi film
ini—yang tampak berniat sedapat mungkin setia kepada­ yang
per­nah dicatat para penulis tarikh, tapi juga tak hendak­melepas-
kan hasratnya untuk jadi sebuah tontonan gaya Holly­wood—
setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: bagai­mana sebuah
kota yang ”tak ada” harganya juga bisa berarti ”segala-galanya”?
Saladin (dimainkan oleh Ghassan Massoud) tampak sebagai­
pemimpin yang memikirkan baik-baik apa yang dikata­kan dan
dilakukannya. Inginkah ia tunjukkan, dalam perang mempere-
butkan Yerusalem itu manusia memberikan makna­ yang tak
dapat ditawar-tawar kepada sesuatu yang sebenarnya nihil nilai­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya?­Tapi ia bukan seorang yang sinis; ia seorang yang arif. Atau-


kah ia ingin menunjukkan, kian sengit perebut­an klaim si Yahu-
di, si Nasrani, dan si Muslim atas Yerusalem, kian tampak kota itu
sebagai lambang yang kosong dan sebab itu terbuka bagi semua

Catatan Pinggir 8 1
SALADIN

pihak untuk mengisinya dengan makna?


”Yerusalem sudah tak ada lagi,” kata Tiberias. Penasihat mili-
ter Raja Baldwin V ini (dimainkan oleh Jeremy Irons) datang dari
kalangan Kristen yang menganggap perang hanya sia-sia. Dulu ia
datang ke Yerusalem karena percaya bahwa kota itu harus diper-
tahankan demi Tuhan dan iman. Berangsur-angsur­dalih itu ter-
kuras oleh waktu dan kesalahan. Yang tersisa: sebuah semangat
yang profan, bahkan terkadang jorok, dari kekuasaan. Tiberias
dan pasukannya akhirnya menampik ikut bertempur memperta­
hankan Yerusalem ketika perdamaian tak dapat dipertahankan
lagi. Sebelum ia pergi, ia berpamitan kepada Baron dari Ibelin,
kesatria yang meskipun menyukai perdamaian dengan orang
Muslim, akhirnya bertekad tinggal untuk menahan serbuan Sa­
la­din. Kata Tiberias: ”Semoga Tuhan bersamamu; Ia sudah tak
lagi bersama aku.”
Bersama siapa sebenarnya Tuhan waktu itu? Mungkin Tuhan­
hanya disebut dengan ambisi untuk membuat yang-absolut me­
ngu­asai hidup manusia. Sementara itu orang macam Tiberias ta­
hu, yang-absolut tak akan menyelamatkan apa pun, juga di Yeru-
salem. Diterapkan oleh manusia, yang-absolut tak kenal kesabar­
an.
Tiberias, Baron dari Ibelin, dan Saladin tahu: bahaya besar
menunggu manusia bila iman membakar habis kesabar­an. Mere­
ka tampik desakan orang yang memprioritaskan kemenangan
Kris­ten atau Islam di atas kehidupan sesama. Mere­ka tak mau
meng­unggulkan doktrin yang kekal di atas keterbatasan tubuh
dan jiwa: sejarah bukanlah sesuatu yang gampang.
Sejarah seperti Yerusalem: sebuah riwayat bolak-balik antara
http://facebook.com/indonesiapustaka

titik ketiadaan makna dan titik di mana makna dimutlakkan.


Kota itu tak sepenuhnya nol; ia bukan sebidang kain bersih yang
tak punya bekas peradaban. Karena tiap peradaban menyembu­
nyi­kan jejak barbarisme, Yerusalem disebut ”yang suci” (Al-

2 Catatan Pinggir 8
SALADIN

Quds)­bukan karena ia punya Baitullah dan nabi-nabi, melain­


kan­­ karena pengalaman dan hasrat, fantasi dan kekuasaan. Ye­
rusa­lem—baik di dalam daulat Kristen, Muslim, ataupun Yahu-
di—tak akan jadi cermin kerajaan Surga, dengan kesempurnaan
dan kesucian yang tak terbantah.
Mungkin itu sebabnya peran yang paling menarik dalam film
ini adalah Baldwin V, raja yang mengenakan topeng ke­emasan
untuk menutupi parasnya yang membusuk terserang lepra, pe-
nyakit yang menurut keyakinan disebabkan kutuk Tuhan.
Raja ini suara lembut yang tahu bahwa yang-suci mustahil­
akan datang sepenuhnya di Yerusalem. Baginya perang atas nama
iman Kristen melawan mereka yang Muslim bukanlah laku yang
sakral. Ia memilih perdamaian. Ketika dua pasukan­besar berha­
dapan di dataran Kerak, ia mengucapkan ”Assala­mualaikum” ke­
pada Saladin. Saladin menyahutnya, seraya dengan hangat me­na­
warkan resep obat kepada raja Nasrani itu. Perang baru terjadi ke-
tika Baldwin wafat dan para pemimpin yang fanatik mengambil
alih kekuasaan.
Dalam hal ini Kingdom of Heaven agaknya menyimpang dari
catatan sejarah. Tampak film ini ingin menunjukkan hubungan
antara si penderita lepra, sosok yang malang dan terkutuk, de­
ngan­laku yang mulia: hanya dalam sengsara dan mengenal ke­
seng­saraan kebesaran jiwa bukan sebuah kesombongan.
Saladin bukanlah seorang yang sengsara, tapi ia dikagumi se­
bagai seseorang yang tak hendak membuat kesengsaraan tak da­
pat dielakkan. Tiap kali ia harus mengorbankan jiwa manu­sia,­ia
siap untuk berdamai, mungkin karena ia tak pernah secara final
menyimpulkan bahwa yang dilakukannya adalah untuk mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

peroleh sesuatu yang berarti ”segala-galanya”. Selalu­ terselip di


hatinya: jangan-jangan ia sebenarnya sedang hendak mencapai
sesuatu yang sama sekali tak bernilai.
Tentu saja Saladin hanya satu pelaku dalam sejarah ”Perang­

Catatan Pinggir 8 3
SALADIN

Salib” yang panjang dan kompleks itu. Mungkin sultan berdarah­


Kurdi itu malah sebuah perkecualian. Ketika ia jamin bahwa tak
ada orang Kristen yang akan dibunuh ketika mereka me­ning­gal­
kan Yerusalem, ia mengatakan, ia tak dapat disama­kan dengan
”tiap orang”. ”Saya Salahudin,” katanya, ”Salahudin.”
Lalu dimasukinya kota itu. Di satu ruang istana, dilihatnya­
se­batang salib tumbang ke lantai karena pertempuran be­be­rapa­
jam yang lalu. Dengan tangannya sendiri, ditegakkannya kem-
bali lambang itu.

Tempo, 3 Juli 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

4 Catatan Pinggir 8
BUAH

S
EORANG perempuan hitam menyanyi, ”Buah yang gan-
jil bergantungan, di pepohonan daerah Selatan.” Suaranya
seperti terembus dari buluh perindu yang retak dibanting.
Ia Billie Holiday. Ia jazz dalam puisi:

Darah pada daun


Darah pada akar
Jasad hitam yang terayun-ayun
Buah ganjil yang tergantung di pohon poplar

Sejarah mencatat, Columbia Records menolak merekam lagu


yang digubah pada pertengahan tahun 1930-an itu. Baru pada
1939 sebuah perusahaan lain, Commodore Records, bersedia
mem­buatnya jadi piringan hitam.
Billie memang berbisik, atau berkisah, atau mengeluh, ten-
tang apa yang terjadi di daerah selatan Amerika Serikat: pohon-
pohon jadi tempat orang putih ramai-ramai menggantung orang
hitam, yang tak berdaya, yang ditangkap dan dibunuh dengan
leher dijirat. Lynching yang buas itu terekam sejak 1880, dan ber-
langsung terus, dan lagu itu bercerita, di pohon-pohon poplar,
”buah-buah yang ganjil” itu

dipatuk gagak,
dikuyupkan hujan,
diisap angin,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dibusukkan surya,
dijatuhkan dahan.

Buah, jasad, mayat—ada selapis ironi di lagu ini, mungkin sar-

Catatan Pinggir 8 5
BUAH

kasme yang tertahan, sayup-sayup, sebab puisi yang baik adalah


puisi yang tulus dan tahu diri. Di satu baris disebutnya ”daerah
pedalaman Selatan yang penuh dengan sejarah yang gagah”, di
baris berikutnya digambarkan wajah kesakit­an orang-orang yang
tercekik tali tambang: mata mereka terpelotot, mulut mereka
men­cong. Di satu baris disebut ”Harum­ segar manis kembang
magnolia”, di baris berikutnya ”bau jangat­terbakar yang terhidu­
tiba-tiba”—”the scent of magnolia sweet and fresh”, ”the sudden
smell of burning flesh”.
Strange Fruits kemudian jadi sebuah lagu terkenal, juga nama
Billie Holiday—salah satu kontradiksi yang menarik dalam kapi-
talisme, ketika sebuah suara yang mengganggu perasaan, yang se­
perti sembilu yang lentur, halus, tajam, dipasarkan. Ia menjang­
kau khalayak ramai, tanpa jadi sumbang. Mungkin itu tanda
bah­wa tak ada masyarakat yang tak berubah, tak ada masyarakat
yang utuh, dan pada suatu saat puisi itu, ucapan pedih yang tak
ber­teriak itu, mampu mempertemukan beragam orang, meski­
pun­tak semua, di satu ruas jalan, pada saat mereka bersua dengan
yang kejam dan tak adil.
Pada tahun 2002, sebuah film dokumenter dibuat Joel Katz.
Dari sini kita tahu, Strange Fruits bukan hanya buah tangan
orang hitam di Selatan. ”Lewis Allan”, penulis syairnya, sebenar­
nya Abel Meeropol, seorang guru dari Bronx, imigran Yahudi
yang mengadopsi anak Joel dan Ethel Rosenberg yang dihukum
mati pemerintah AS pada tahun 1953 karena dituduh memberi-
kan rahasia senjata atom kepada Uni Soviet.
Tapi pertautan seperti itu, dan gema di pasar itu, tak selamanya­
menggetarkan para penjaga kekuasaan. Lagu itu pernah dinya­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyi­kan di Bukit Kapitol, sebagai protes yang sia-sia karena Senat,­


salah satu lembaga perwakilan rakyat, terus-menerus menolak
mem­berlakukan undang-undang federal yang mengharamkan
lynching. Hampir 200 rancangan undang-undang seperti itu su­

6 Catatan Pinggir 8
BUAH

dah­diajukan. Antara tahun 1880 dan 1960, hanya tiga yang lolos
oleh DPR, dan tak sekali pun Senat mengesahkannya.
Baru dua pekan yang lalu, 14 Juni 2005, satu seperempat abad
kemudian, Senat meminta maaf, mungkin kepada umat manusia,­
karena kesewenang-wenangan yang berkepanjangan itu, setelah
selama 86 tahun sejak 1882, sudah sekitar 4.700 orang mati di-
gantung di pohon-pohon.
Keadilan memang bisa berjalan seperti siput yang luka. Kelak
mungkin orang akan mendengarnya dari Guantanamo, tapi se-
mentara ini, ada cerita di sudut Amerika yang lain, Mississippi.
Pada suatu hari 41 tahun yang lalu, tiga orang pemuda tiba-­
tiba hilang di Neshoba County. Lebih dari sebulan kemudian­tu-
buh mereka ditemukan ditimbun di dekat bendungan. Mere­ka
telah dibunuh.
Mereka, para aktivis hak asasi, datang ke daerah itu untuk­
meng­gerakkan orang hitam menggunakan hak pilih, tapi men­
dapatkan sebuah gereja orang hitam dibakar habis oleh serikat
Ku Klux Klan. Di tengah jalan mereka disetop wakil sheriff. Me­
re­ka dituduh mengendarai mobil terlalu cepat. Mere­ka dikurung.
Dari sel mereka dikirim ke kematian. Wakil sheriff itu anggota ra-
hasia Klan.
Purbasangka si putih, kebencian dan kekejaman mereka,
juga ke­takutan si hitam, bersengkarut di Mississippi. Maka tak
mudah­menyidik pembunuhan ini, juga setelah pemerintah fede­
ral me­ngi­­rim satu tim FBI untuk membongkarnya—sebuah
proses­ yang dengan dramatik dihidupkan kembali dalam film
Mi­ssissippi­­ Burning. Baru tiga tahun setelah kejahatan terjadi,
18 laki-laki yang dituduh terlibat diadili. Hasilnya: tujuh orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dihukum, tapi tak ada yang lebih lama ketimbang tujuh tahun.
Orang yang terpenting, Edgar Ray Killen, bebas.
Killen seorang pendeta Gereja Baptist. Ia, tokoh Klan, me­
ngi­bar­kan kulit yang putih, dengan jubah dan salib putih—tak

Catatan Pinggir 8 7
BUAH

peduli apa pun yang dikatakan Yesus. Dari peradilan, dike­tahui


dialah yang merencanakan pembantaian itu. Tapi mahkamah itu
tak dapat menyimpulkan ia bersalah. Salah seorang juri menga­
takan, ia tak dapat menghukum seorang pengkhotbah.
Tapi masyarakat berubah, juga di Selatan masyarakat tak per-
nah satu. Pekan lalu pengadilan dibuka kembali. Killen diadili
kembali. Pendeta itu kini sudah berumur 80. Di gedung mah-
kamah ia datang dengan dibantu kursi roda. Hati hakim tak ter­
gerak:­ia menghukumnya 60 tahun.
Orang dapat bersyukur, dapat pula bertanya, apa artinya ke-
adilan yang datang telat. Tak ada jawaban yang siap. Yang kita
tahu, demokrasi adalah sebuah tata kekuasaan yang terbuka
mengakui kekhilafannya—dan itu sering sama artinya­ dengan
ke­sabaran. Mungkin karena demokrasi juga membuka­suara-su-
ara yang menakutkan, yang penuh benci, yang aniaya­—sebagai
bagian dari pengakuan kita bahwa ada mala yang dekat dalam hi­
dup, dan sebab itu harus ada yang menggugat biarpun dari liang
suling yang hangus. Itulah sebabnya kita ingat 70 tahun yang lalu
Billie Holiday menyanyi.

Tempo, 10 Juli 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

8 Catatan Pinggir 8
BBM

P
RESIDEN Sukarno membuat sebuah pantun. Ia me­la­
gu­kannya dengan riang:

Siapa bilang, Bapak dari Blitar


Bapak datang dari Prambanan

Siapa bilang, rakyat Indonesia lapar


Indonesia banyak makanan

Pantun pada awal tahun 1960-an itu mencoba membantah
ka­bar tentang kelaparan—dan sayangnya salah. Kelaparan tak
terjadi karena sebuah negeri kekurangan pangan, tapi karena tak
ada pembagian yang baik dari mereka yang berlebihan kepada
yang defisit.
Tapi Pemimpin Besar Revolusi tak boleh disalahkan, dan para
pembesar di Istana menari lenso mengikuti dendangnya. ”Mari
kita bergembira...,” demikian nyanyian ringan itu melanjutkan
syairnya.
Orang pun tenteram. Krisis telah ditepis dengan lagu. Manusia­
memang umumnya tak mau diberi tahu bahwa hidupnya akan
ter­tumbuk ke sebuah keadaan genting.
Lagi pula, di negeri yang tiap hari dipuji sebagai sebuah tanah
air yang kaya, orang memang gampang asyik. Maka, ketika kini
harga minyak bumi membubung di atas US$ 60 tiap barel, Indo-
nesia pun terkejut dan tergopoh-gopoh.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada yang telah diabaikan di sini: sejak 1993 produksi mi­nyak­


bumi Indonesia merosot. Menjelang akhir tahun lalu, hasil telaah
Centre for Global Energy Studies yang berkantor di London telah
menunjukkan hal itu. Sudah sejak kuartal kedua tahun itu luas

Catatan Pinggir 8 9
BBM

diketahui Indonesia tak cocok lagi jadi anggota OPEC: ia praktis


telah jadi hanya pengimpor minyak.
Memang tak ada lagi seorang presiden yang berjoget, tapi si­kap­
abai tetap meluas. Tak ada dorongan buat merisaukan keyakin­
an yang sudah terpaku, bahwa rakyat tak patut membayar tinggi
harga BBM. Tak ada yang bertanya, bagaimana membuat sebuah
komoditas yang kian langka jadi murah.
Maka kita pun dengan tenang terus membeli bensin de­ngan­
harga subsidi. Kita tak didesak berpikir sampai kapan kebiasaan
hidup dengan bahan bakar minyak bumi ini akan bisa terus. Tak
ada niat menghimpun dana dan tenaga buat menca­ri­ sumber
ener­gi yang lain. Lebih baik menghabiskan Rp 200 miliar seta-
hun untuk membuat Indonesia bergantung pada BBM yang di-
impor.
Lalai memang tak mudah dilawan. Pada tahun 1972 terbit Li­
mits to Growth. Risalah ini sebuah kabar gawat yang disusun­oleh
Club of Rome, himpunan para pakar yang menggunakan­kom-
puter dari kampus MIT untuk menyusun ”model” bagi prediksi­
nya. Di sana tak ada nubuat apa pun, tapi tesis dasarnya memper­
ingatkan: bila borosnya pola konsumsi dunia­dan cepatnya per­
tam­bahan penduduk terus sama seperti semula, dalam waktu
seabad bumi tak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan ma-
nusia.
Saya ingat buku itu diperkenalkan Soedjatmoko ke Indonesia
dalam diskusi tertutup atau separuh tertutup. Limits to Growth
me­mang menarik perhatian: ia diterjemahkan ke dalam 37 baha-
sa. Soedjatmoko agaknya ingin mengingatkan agar kita juga ha-
rus ikut waspada. Ia mulai berbicara tentang perlunya alternatif
http://facebook.com/indonesiapustaka

dalam cara membangun sebuah negeri. Ia mengutarakan perlu-


nya apa yang ”non-ekonomi” dalam pembangunan itu.
Tapi itu menjelang 1974. Indonesia baru ingin lepas dari ke-
mandekan pertumbuhan di bawah ”ekonomi terpimpin” Pre­si­

10 Catatan Pinggir 8
BBM

den­Sukarno, tatkala sebagian penting kegiatan ekonomi­diken­


dalikan para pejabat. Dari keadaan yang baru berakhir­pada ta-
hun 1966 itu kebutuhan agar perekonomian tumbuh melalui
aku­mulasi modal bukanlah persoalan akademis. Gagasan Soe­
djat­­moko, sebagiannya terdapat dalam pemikiran E.F. Schuma­
cher—orang yang memulai gagasan ”teknologi madya” dan ke-
mudian menyusun buku Small is Beautiful—akhirnya hanya
bergerak di ruang sempit.
Acap kali gagasan ini juga disalahpahami. Apa yang ”non-eko-
nomi” dalam pembangunan—yang menurut Soedjatmoko­ ha-
rus diperhatikan—akhirnya hanya ditafsirkan secara lucu: agar
proyek ”kesenian”, ”olahraga”, atau ”ilmu pengetahuan” diberi
anggaran negara yang besar. Tak cukup dimengerti­bahwa­dalam
pemikiran itu tersirat sebuah pandangan lain tentang tujuan ma-
syarakat, yang menghendaki agar orang tak mengutamakan do-
rongan ekonomi—yakni ikhtiar meng­atasi kelangkaan dengan
secara aktif mengakumulasi—seba­gai penggerak hidup. Akumu-
lasi menimbulkan ketimpang­an: yang paling siap menghimpun
akan jadi raksasa di tengah­pelanduk. Akumulasi juga menyebab-
kan sumber-sumber­alam dikuras dengan cepat dan ganas. Soe­
djat­moko dan Schumacher­ingin menunjukkan, rakus itu tak ba-
gus.
Tapi dari pemikiran ini tak terpapar jalan praktis bagai­mana­
anjuran yang menggugah hati bagaikan ajaran Buddha dan Gan-
dhi itu dapat dijalankan. Mungkinkah sebuah republik bertahan
dengan usaha-usaha kecil, sementara di luar wilayahnya bergerak­
kekuatan besar, modal yang menumbuhkan kekuatan militer,
teknologi, ilmu, olahraga, dan pendidik­an?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pertanyaan penting itu tak terjawab. Gagasan pembangun­


an­ala Soedjatmoko itu pun tercampak. Juga imbauan Limits to
Growth digilas optimisme tahun 1980-an. Di Indonesia petrodo-
lar menderas, program keluarga berencana tampak sukses, dan

Catatan Pinggir 8 11
BBM

pangan tak dilaporkan kurang. Di luar Indonesia, Reagan jadi


presiden. Sebuah strategi ekonomi disusunnya, dengan asumsi
bahwa bila lebih banyak uang berada di tangan konsumen, per-
mintaan akan naik, begitu juga investasi. Rakus jadi bagus.
Limits to Growth pun dicemooh. Juga di negeri sosialis. Apa
yang terjadi jika pertumbuhan ekonomi diperlambat? Mungkin
akan lahir semacam ”ekonomi terpimpin” dalam bentuk lain.
Mungkin akan kian buruk ketimpangan dunia—karena negeri
miskin dianjurkan untuk tak mengejar tingkat kekaya­an ”Dunia
Pertama”.
Seakan menampik itu, Cina pun gemuruh memperbaiki ”ke­
terbelakangannya”. Dunia kagum. Tapi salahkah pesan Limits to
Growth? Perubahan negeri semiliar manusia itu kini mulai me­
ngu­ras sumber-sumber alam—dan BBM akan jadi seperti berli-
an, kalau energi lain tak dipergunakan.
Tapi mungkin kita juga hanya akan berpantun:

Siapa bilang Bapak dari Blitar


Siapa bilang minyak itu sukar?

Tempo, 17 juli 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

12 Catatan Pinggir 8
ABDULLAH

I
A keturunan Arab dari Yemen, tapi darah Tamil mengalir
di tubuhnya. Ia bukan Melayu, tapi sering dianggap seba­gai
”pelopor kesusastraan modern” Melayu. Hidup di Asia Teng-
gara yang sudah bercampur-aduk pada abad ke-19, Abdullah­bin
Abdul Kadir tumbuh dalam sebuah paradoks: ia terasing, dan ia
menjangkau wilayah luas yang berbeda-beda.
Soalnya bermula pada huruf. Dari Hikayat Abdullah, otobio-
grafi yang selesai ditulisnya pada tahun 1843, ketika ia ber­umur
46, kita dapat membaca bagaimana pada masa kecilnya ayahnya
menghardiknya agar belajar menulis, menguasai aksara.
Mula-mula ia diharuskan membawa kertas dan pena ke mas-
jid. Di sana harus dituliskannya nama tiap orang yang masuk
dan keluar. Setelah lancar, datang ujian yang lebih sulit: ia harus
mengikuti imla sang ayah. Ketika taraf ini dilalui, ia harus menu-
liskan kembali kata-kata Quran sampai khatam.
Selama itu, tak pernah ada pujian terdengar. Justru pukulan
rotan yang didapatnya bila ia salah eja. Bak keterampilan silat di
kuil Shaolin, menulis seakan-akan suatu kemampuan yang harus­
diserap dengan pengorbanan tubuh. Ketika Abdullah harus be-
lajar menulis dalam bahasa Tamil selama dua setengah­tahun, te­
lunjuknya aus karena terus-menerus membentuk­ huruf­ dalam
pa­sir. Dari jerih payah itu, aksara jadi sumber kekuatan tersendi­
ri.
Hidup Abdullah akhirnya memang bertumpu di situ. Pada
umur 13, ia berpenghasilan dengan menuliskan teks Quran buat
http://facebook.com/indonesiapustaka

prajurit muslim di garnisun India yang bertugas di Benteng Ma­


la­ka. Pada umur 16, ia dapat nafkah lain: menyiapkan naskah
untuk kantor misi Protestan, termasuk memperbaiki versi Injil
da­lam bahasa Melayu. Pada umur 25, ia bekerja­ membuat teks

Catatan Pinggir 8 13
ABDULLAH

maklumat penguasa Singapura, Raffles, yang mengharamkan


candu dan judi. Kemudian ia menghasilkan buku.
Tapi huruf dan buku punya tenaga dan keterbatasannya sen­
di­ri. Dari keduanya, tumbuh apa yang saya sebut ”pergaulan ber-
aksara”, sesuatu yang berbeda dari ”pergaulan kelisanan”. Untuk
menunjukkan perbedaan itulah di sini kisah Abdullah penting:
tokoh ini hidup persis dalam masa peralihan antara kedua jenis
pergaulan itu.
Dari buku Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul­
Kadir Munsyi, yang baru terbit—sebuah telaah yang kritis ten-
tang tokoh ini—saya peroleh keterangan yang berharga: karya
Abdullah tak berbeda dengan yang dihasilkan para pe­nulis­ber-
bahasa Melayu waktu itu, yakni dipersembahkan untuk sebuah
kha­layak yang terbatas. Khalayak itu orang Eropa tempat mereka
mencari nafkah.
Maka Abdullah adalah hasil ketimpangan. Sementara gaung­
tulisannya ke masyarakat kesusastraan sezaman nyaris nihil,
karyanya dibentuk oleh khalayak Eropa yang terbatas itu. Dan
tak kalah penting, oleh teknologi yang dipakai. Dalam kata-kata
Sweeney, ”secara otomatis”, Abdullah ”menujukan tulisannya ke-
pada khalayak budaya cetak”.
Di situ pada akhirnya Abdullah, seperti diuraikan Sweeney,
sebuah suara terasing. Bukan karena ia ”non-pribumi”. Dari me-
diumnya saja kita tahu: buku yang dibaca dalam kesendiri­an,
berbeda dengan hikayat yang dikisahkan secara lisan di tengah
orang sekampung yang ikut mendukung dinamika kisah itu.
Keterasingan itu juga terasa karena pada masa itu kelazim­an
hidup dengan buku praktis tak ditemukan di masyarakat tempat
http://facebook.com/indonesiapustaka

Abdullah hidup. Melek huruf adalah sesuatu yang istimewa.


Tapi di situlah pergaulan beraksara membuka jalan tembus,
bila lingkungan terdekat terasa keras dan kedap menekan. Di sa­
tu sisi, sebagai orang upahan Abdullah tak bebas; seperti yang

14 Catatan Pinggir 8
ABDULLAH

hen­dak disarankan Sweeney, pepatah ”mulut disuap pisang, bun-


tut dikait onak” berlaku bagi tokoh ini. Di sisi lain, ia dapat lelu­
asa berbicara tanpa didengar orang ramai, ketika ia kecam apa
yang dianggapnya buruk di masyarakat sendiri.
Sering Abdullah menyampaikannya dalam bentuk kontras. Ia
bicara tentang baiknya titah orang Inggris dan buruknya tingkah
penguasa Melayu. Dalam Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan,­
misalnya, ia konon mengabarkan kepada penduduk pulau itu ba­
gaimana bebas dan senangnya orang yang ”diam di bawah ben-
dera Inggris” di Singapura. Terpikat oleh kata-kata­Abdullah, be-
berapa penduduk Kelantan memintanya­agar membawa mereka
ikut. Mereka tak tahan. ”Diam di bawah perintah raja Melayu,”
kata mereka, ”seperti duduk dalam ne­ra­ka.”
Hikayat Abdullah juga menampilkan kontras yang serupa.­
Buku ini mengisahkan betapa baik budinya Lord Minto, pembe-
sar Inggris itu, kepada orang rantai, ketika ia suatu hari berkun-
jung ke Malaka. Berbeda dengan kebiasaan raja Melayu dan sau-
dagar Cina, kata Abdullah, aturan orang Inggris memungkinkan
penguasa yang salah dihukum sesuai dengan kesalahannya.
Abdullah mungkin tak jujur dalam menampilkan kontras itu.
Ia menulis dengan dana dan proteksi orang Inggris; suara­nya jadi
terasa seperti tali barut yang menjilat pantat. Dalam hal ini ia ber-
beda dengan Kartini, yang menggunakan medium­surat pribadi
untuk menyatakan pikirannya: perempuan dari Jepara ini masih
bisa dengan tajam mengecam ketidak­adilan masyarakat dalam
ja­jahan ”orang Eropa”. Abdullah tidak. Ia tak mendua. Dalam
posisi terasing, penulis berdarah Arab dan Tamil ini berlindung
di sela-sela pagina buku yang dicetak terbatas, dan ini memang
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyebabkannya tertutup bagi suara yang bisa membantah.


Tapi ia, seperti Kartini, adalah manusia aksara, yang berjarak
dari pergaulan kelisanan di mana kebenaran diproduksi­kan de-
ngan dukungan ramai-ramai oleh yang hadir. Dalam huruf-hu­

Catatan Pinggir 8 15
ABDULLAH

ruf­mereka yang bicara, tak ada yang hadir itu. Tubuh­telah dina­
fikan, seperti ujung telunjuk yang aus ketika ke­terampil­­an lahir
dan aksara jadi ampuh. Teks membangun dirinya sendiri. Ia su-
nyi, terasing selalu, tapi siap menjangkau peta yang berbeda, za-
man yang lain, hingga kebenaran dikejar dengan bebas, tapi tak
selamanya didukung.
Terkadang modernitas memang sebuah rasa sayu, dengan ke-
mungkinan baru.

Tempo, 24 Juli 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

16 Catatan Pinggir 8
AHMADIYAH

B
AYANGKAN tuan seorang penganut Ahmadiyah....
Ah,­saya salah. Bayangkan tuan seorang muslim di Kota
Foca, di tikungan Sungai Drina yang deras di antara pe-
gunungan lebat di Bosnia Timur. Bayangkan ini musim semi
1992.
Pohon-pohon menghijau lagi, tapi tuan ketakutan. Milisia
Ser­bia dan Montenegro telah mengambil alih kota itu. Semua ke-
luarga muslim tak boleh keluar rumah. Setelah itu, pe­nangkap­
an dimulai. Tuan ikut digiring. Bayangkan tuan dibariskan ke
se­buah kamp. Di tengah jalan, tuan ingin sejenak menengok ke
arah Masjid Aladza.
Beberapa pekan lalu tuan salat di dalamnya, di atas permadani­
berhiaskan kembang jingga dan merah, tak jauh dari mimbar
yang agak dekat ke tembok sebelah kanan, dekat jendela kaca se­
ting­gi dua meter. Tapi hari itu, pasukan Serbia­dan Montenegro
yang menang, atas nama sebuah iman dan ke­benci­an, telah me-
masang sejumlah dinamit. Tak lama ke­mudian,­ledakan dahsyat
terdengar. Masjid yang dibangun pada tahun 1551 itu, sebuah
khazanah yang berharga, sebuah tempat ibadah­yang cantik, lu-
luh-lantak.
Di Foca kekejaman tak hanya itu: perempuan-perempuan di-
perkosa untuk menista, laki-laki dibantai, penghuni digusur.­Ke-
sewenang-wenangan juga merengkuh tempat-tempat lain, seperti
Srebrenika atau, yang kurang terkenal, Pocitelj, kota kecil cantik
di sebuah bukit di atas Sungai Neretva, di selatan Mostar. Di sana
http://facebook.com/indonesiapustaka

selama 500 tahun lamanya orang Islam dan Kristen hidup ber-
dampingan. Tapi pada Agustus 1993, semua berubah. Pasukan­
Kroasia menghancurkan masjid tua kota itu, sebelum menggiring­
orang-orang muslim ke kamp konsentrasi, seperti pasukan Nazi

Catatan Pinggir 8 17
AHMADIYAH

dulu menggiring orang Yahudi.


Apa akhirnya? Bukankah rasa puas hati dari kebrutalan dan
vandalisme itu hanya akan bisa dinikmati beberapa bulan­ saja?
Pada dasarnya yang didapat orang-orang bersenjata yang fanatik­
itu memang sia-sia. Kehancuran peninggalan sejarah dan kam-
pung halaman tak ternilai akibatnya, korban jiwa memang me­
nge­rikan, dan dalam hal destruksi itu mereka berhasil. Tapi
orang-orang yang bersikap aniaya itu akhirnya dikutuk­dan di-
hukum dunia. Kalaupun mereka tak tertangkap, mereka juga tak
dapat dikatakan telah menang. Yang dianiaya tak jadi punah, tak
kunjung punah, dengan atau tanpa iman yang teguh.
Tema itulah yang tampaknya selalu berulang dengan segala­
variasinya dalam sejarah: pelbagai anasir dalam agama, apa pun
ekspresinya, membentuk valensi yang berubah-ubah seba­gai se-
buah kekuatan. Ia bersifat ”X” ketika pemeluknya ditindas, dan
ia bersifat ”Y” ketika pemeluknya menindas.
Dalam sajaknya yang terkenal William Blake bertanya kepada
harimau, makhluk ciptaan Tuhan yang mempesonanya itu: ”Did
he who made the Lamb make thee?” adakah ia yang men­ciptakan
domba juga menciptakanmu? Tuhan selamanya­ditafsirkan. Kita
tak pernah berhubungan langsung dengan Dia. Dalam sajak
Blake yang penuh pertanyaan itu, Tuhan dapat dibayangkan se-
bagai kemahakuasaan yang membuat domba yang lemah itu se-
lamat tapi juga membuat macan yang ganas tampil gagah.
Agama, di kancah pemeluk yang kuat dan berkuasa, de­ngan­
gampang membuka godaan untuk memilih Tuhan se­bagai­sang
pencipta si raja hutan: Tuhan yang menghadirkan­ke­­kuasa­an, ke-
curigaan, dan kekerasan sebagai kelebihan makhluk-Nya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi sebenarnya di balik godaan itu ada keyakinan yang ce-


mas. Justru ketika para pemeluk yang teguh membayangkan
Tuhan sebagai kuasa yang penuh amarah dan cemburu, mere­
ka­ merasakan ada lubang yang masih menganga dalam hidup.

18 Catatan Pinggir 8
AHMADIYAH

Seorang ”pembela Tuhan” atau sekelompok ”pembela Islam”


yang merasa mendapatkan mandat dan kekuatan dari Dia tentu
menginginkan agar kehendak Tuhan terlaksana, agar bumi jadi
bersih dari apa saja yang najis dan mencong. Mereka siap, bila ada
yang dianggap mengganggu Sabda-Nya, untuk membuat ma­
nusia disingkirkan, masjid didinamit, gereja dibakar, atau kuil
diruntuhkan. Tapi pada akhirnya selalu terbukti:­ gerak­ kehi­
dupan lebih rumit ketimbang jalan yang lurus; hidup­ manusia
ibarat lubuk yang kedap cahaya—bahkan­jika cahaya itu datang
dari iman yang kuat.
Semakin terasa lubang kekurangan itu, semakin besar nafsu
me­­luruskan jalan manusia. Dan orang pun lupa bahwa ajar­an
aga­ma mana pun tak pernah menyimpan asumsi bahwa yang suci
sa­ma dengan yang lempang dan terang. ”Cahaya” yang sering
mun­cul dalam kiasan kitab suci lebih merupakan ”cahaya” yang
me­nyentuh, mempesona, menyebabkan kita tergetar, bukan ca-
haya yang seperti neon dengan sinar yang mereduk­si bayang-
bayang.­Sebuah sajak Amir Hamzah menyebut cahaya­Tuhan se-
bagai ”kerdip lilin di kelam sunyi”, sinar yang sabar, setia, selalu,
dan tak mantap. Cahaya itu tampak demikian justru karena ia ha-
dir di tengah kegelapan—dan dalam arti tertentu, ia bagian da­
ri­malam. Rudolf Otto, seorang pemikir Lutheran, mengaitkan­
yang-suci dengan yang-misterius, dengan sesuatu yang tak dapat
diuraikan, dibuktikan, atau diargumentasikan, dan hanya bisa
dialami dalam das numinose Gefühl.
Dengan kata lain, yang suci bukanlah tempat memperoleh
klarifikasi tentang hal-ihwal hidup. Agama apa pun me­ngan­dung­
pengakuan yang mendasar kepada enigma nasib, kelahir­an dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kematian—dan sebab itulah agama bisa menumbuhkan keren-


dahan hati.
Terutama jika kita, para pemeluk, berdiri di pihak yang ter­
ancam­ dan tak tahu bisakah berharap. Kita akan terdesak ber-

Catatan Pinggir 8 19
AHMADIYAH

tanya, apa gerangan kehendak-Nya, dan kita tahu bahwa kita


tak tahu. Satu hal pasti: dalam keadaan yang celaka itu, kita tak
mungkin mengatakan: ”akulah kehendak itu”. Kita tak hendak
menjadikan diri kita pengganti-Nya.
Tak adanya ketakaburan itu menyebabkan agama bisa dipeluk
dengan kuat karena rela. Mungkin itulah yang dirasakan seorang
muslim di Srebrenika.... Ah, saya salah. Mungkin itulah yang di-
rasakan seorang Ahmadiyah di Jakarta.

Tempo, 31 Juli 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

20 Catatan Pinggir 8
ULAMA

T
UHAN tak berhenti di pintu gerbang, juga di kota yang
sekuler. Ia Maha Tak Terhentikan. Tapi hari-hari ini kita
dengar suara sebagian ulama yang tak percaya pada ke-
ajaiban itu.
Mereka risau bahwa ”pluralisme”, ”sekularisme”, dan ”libe­ral­­
isme” akan mengalahkan-Nya, karena sejarah yang senantiasa­
mengelak dari kemutlakan, karena manusia yang tak henti-­hen­
tinya jatuh-bangun, karena selalu cacat rumusan kita tentang ke-
batilan dan kebajikan. Di depan semua itu, para ulama—yang le-
mah keyakinan itu—nyaris putus asa.
Tapi mereka tak sendirian. Mereka punya teman yang juga ce-
mas di benua lain. Di negeri-negeri tempat ”pluralisme”, ”sekular-
isme”, dan ”liberalisme” tumbuh, selalu ada orang, yang­bodoh
ataupun pintar, yang memandang semua itu seba­gai­ pertanda
lanjut riwayat kejatuhan. Bagi mereka, dunia bukan­saja ditandai­
hilangnya yang magis. Dunia juga men­derita­ hilangnya pedo-
man.
Paus Benediktus salah satu di antara suara risau itu. Ia telah
lama prihatin akan pengaruh skeptisisme ala Kant di dunia Kris-
ten: sejak abad ke-18, sejak modernitas berderap, orang jadi ragu
bisakah manusia sebenarnya menangkap kebenaran obyektif.
Sistem ethis yang terbentuk tak memakai kehendak Tuhan seba­
gai kriterium tentang baik dan buruk. Yang jadi ukuran adalah
berkembang atau tidaknya pengertian manusia tentang keadilan
dan perdamaian.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bagi Paus, setidaknya ketika ia masih bernama Ratzinger,­pan-


dangan seperti itu membuka pintu bagi aneka ragam pendirian
yang semuanya tak disalahkan: sebuah pluralisme yang kacau-
balau. Ia pun berbicara tentang ”kediktator­an relativ­isme”. Tu-

Catatan Pinggir 8 21
ULAMA

han memberikan tata ke dunia, katanya,­namun­relativisme (di-


datangkan oleh modernitas) menggusur­nya.
Tapi begitu kosongkah hidup pada hari ini, hingga kita dengar­
keluh itu, ”Nur noch ein Gott kann uns retten”? Jika benar keluh
Heidegger yang termasyhur dalam wawancara dengan Der Spie-
gel pada tahun 1966 itu, jika ”hanya sesosok Dewa yang dapat
me­nyelamatkan kita”, tak ada artinya kebangkitan manusia yang
tiap hari mengatasi kejatuhannya.
Mungkin Heidegger lupa bahwa Tuhan ada dalam ke­bang­kit­
an sehari-hari yang tak kekal itu. Tuhan tak berhenti­di pintu ger-
bang, Ia hadir di antara kita, hanya Heidegger alpa.­Modernitas
begitu memasygulkannya. Modernitas bagi­nya­berarti ”mengge­
lapnya dunia, hengkangnya dewa-dewa”, sebagaimana­pernah di-
katakannya ketika ia mengulas puisi Hölderlin.
Tapi sebenarnya ia tahu, dalam kegelapan itu manusia sebaik­
nya siap menunggu, ”menanti sang anugerah”. Ia pernah­meng-
utarakan, pada tahun 1941, bahwa bahaya terbesar dalam sejarah
ialah sikap keras yang tak sabar, yang lekas-lekas ingin menghan-
tam gelap dan menuju ke penyelamatan. Sebenarnya Heidegger
telah mengoreksi pandangannya sendiri: bukan cuma kegelapan
yang mengepung hidup hari ini, dan orang tak perlu putus asa de-
ngan ”hengkangnya dewa-dewa”, sebab ada momen ketika ma-
nusia mengungkapkan ”rasa bersyukur”, das Danken.
Momen itu ada dalam puisi. Dari sajak-sajak Hölderlin, Hei-
degger menemukan bahwa dalam puisilah terbit ketakjub­an me­
nemui yang ada, ketakjuban yang telah hilang dari bahasa dan
perilaku sehari-hari. Dalam puisi-lah terbit Eregnis, ”peristiwa
mengalami” jejak yang-kudus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tuhan memang tak berhenti di pintu gerbang. Selalu bisa ha-


dir bayangan-Nya yang mempesona dalam puisi, yang rahman di
tiap salam, yang rahim di tiap sentuhan penyembuh, yang agung
di tiap penolakan kepada yang keji, dan yang mulia di sikap adil

22 Catatan Pinggir 8
ULAMA

kepada yang dituduh. Pada saat itu, manusia terangkat, bangun,


dari kejatuhan.
Tapi memang tak selamanya gampang mengingat hal itu, ter-
utama ketika kita menemukan bahwa bukan puisi saja yang ber­
edar­di dunia. Heidegger sendiri pernah tergoda untuk tak sabar.­
Ia tak berbicara tentang ”rasa bersyukur”: pada Agustus 1933, ia
men­desak seorang filosof kenalannya agar bergabung mendu-
kung cita-cita Nazi. ”Berhimpunnya kekuatan spiritual, yang
akan menjadikan nyata apa yang akan datang, kian mendesak
tiap hari,” katanya.
Kenalannya itu, Carl Schmitt, setuju. Orang ini juga melihat­
bahwa liberalisme hanya melahirkan ”nihilisme”: bila semua taf­
sir dan keyakinan dianggap sama-sama sahih, tak akan ada do-
rongan buat meyakini apa pun secara teguh dan habis-habisan.
Tak akan ada orang yang bersedia mati untuk pendiriannya.
Dalam keadaan itu, menurut pemikiran ini, ada yang terasa
hampa di dalam perilaku politik manusia. Yang beredar hanya­
kecek ringan. Eropa telah jadi boyak. Dalam usahanya jadi ”ta-
nah yang netral secara mutlak dan pasti”, Eropa lebih menyukai­
ber­dagang dan rasa aman ketimbang tindakan heroik. Nyawa
manusia memang terawat, tapi maknanya jatuh.
Pada masa itulah Heidegger memandang sekitar dengan mu­
ka masam: baginya dunia menderita defisit kesucian, Tuhan ha­
nya­ karisma yang rutin, dan hubungan manusia dengan alam
ber­langsung tanpa takjub, seperti hubungan tukang dengan me-
sin. ”Hanya sesosok dewa yang bisa menyelamatkan kita,” kata
Heidegger di tengah zaman yang dangkal yang ditemuinya.
Schmitt juga rindu kepada yang dahsyat dan yang mutlak­—ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

rindu ”theologi”. Semua gagasan politik modern baginya sebenar­


nya konsep theologis yang dibuat sekuler. Maka ia lihat plural-
isme sebagai pengingkaran atas akar sebenarnya dari politik, yak-
ni konflik, dengan tekad penuh, dengan gairah, sebab yang benar

Catatan Pinggir 8 23
ULAMA

jelas benar, yang putih putih semua, yang hitam hitam semua.
Tapi kita tahu, salah satu gairah itu, bernama Nazi, akhir­nya­
memabukkan. Fanatisme terbit dan perang pecah—sesua­tu­yang
juga terjadi hari ini. Jika yang berlaku dalam politik sepenuhnya
adalah ”ethos keyakinan” yang dikatakan Weber, maka plural-
isme, liberalisme, dan sekularisme memang dosa.
Dosa? Bukankah seandainya Tuhan menghendaki, bisa di­
satu­kan-Nya manusia jadi serdadu timah yang seragam untuk
perang kosmis yang panjang?

Tempo, 7 Agustus 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

24 Catatan Pinggir 8
PASCA-SEKULER

B
ENDERA Hitam dari Khurasan saya baca ketika umur
sa­ya belum 13. Saya hanya setengah mengerti: novel Jur­
ji Zaydan, pengarang Libanon yang hidup di Mesir dan
meninggal pada tahun 1914 ini, tampaknya menggambarkan se-
buah fragmen sejarah di sekitar Bagdad. Tokohnya Abu Muslim
el-Khurasani. Pada musim panas abad ke-8, ia mengibarkan­ben-
dera revolusi di seluruh Khurasan, di timur laut Persia, dan akhir­
nya menumbangkan khalif Bani Ummayyah terakhir.­ Praktis
dia­lah yang menghabisi kekuasaan dinasti itu dan menegakkan
daulat Abbasiyah.
Saya tak ingat lagi detail novel sejarah itu. Hanya satu ade­gan
men­jelang penutup yang masih di kepala saya lamat-­lamat:­syah-
dan, Abu Muslim dikhianati. Pemimpin dinasti­Abbasiyah­yang
kedua, Al-Mansur, menjamu rombongan tamunya­ ­dengan ha­
ngat­dan ramah. Tapi sejumlah pembunuh telah disiapkan di ba-
lik pintu. Menjelang jamuan usai, para algojo­itu menyelinap ma-
suk. Tiap tamu dibantai. Darah ber­gelimang, tubuh bergolekan
di antara santapan lezat di ruang itu, dan tuan rumah beserta
kawan-kawannya meneruskan santap malam....
Saya terpesona, agak mual, dan mulai risau. Darah mudah
tum­pah dalam cerita itu, khianat amat kerap. Mungkinkah ini
ka­rena penulisnya seorang Kristen yang memandang sejarah Is-
lam sebagai riwayat kebuasan? Tapi Jurji Zaydan dikagumi di du-
nia Islam. Barangkali karena ia hidup pada masa nasional­isme
Arab bangkit, dan beda antara yang ”Islam” dan yang bukan tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

jadi soal. Mungkin juga karena orang maklum Zaydan tak bisa
lain. Ia hidup di sebuah geografi yang mengendapkan pengalam­
an yang traumatik, tempat perkara yang amat penting­—pergan-
tian kepemimpinan umat—selalu diselesai­kan­ dengan penuh

Catatan Pinggir 8 25
PASCA-SEKULER

ketegangan, ketakpastian, dan langkah-langkah ad hoc yang ber-


lumur darah. Semenjak Nabi wafat.
Tersirat dalam kisah Jurji Zaydan, Islam memang menyiap­
kan sebuah petunjuk hidup, tapi di celah-celah itu, ketaksiap­an
bukanlah hal yang janggal. Berangsur-angsur manusia mengam-
bil keputusan sendiri. Melalui dosa dan keterbatas­an, ia meng-
himpun kearifan, sementara Tuhan kian terasa­ jauh. Tafsirlah
yang hadir sebagai wakil-Nya yang dengan sendirinya­ tak sem-
purna. Politik berkecamuk di sekitar ketaksempurnaan itu. Seku-
larisasi pun terjadi.
Proses itu memang jarang diakui sekarang. Tapi pada dasarnya
sejarah sosial manusia di mana pun akan terpaksa mencampur­
adukkan yang sekuler dan yang bukan, dengan segala cacat dan
kelebihannya.
Pada awalnya sebuah inspirasi moral, yang datang dari wah­
yu­dan laku suci, begitu menggugah seperti Islam di Mekah dan
sekitarnya pada abad ke-6. Tapi hidup manusia dilecut waktu;
yang memukau tak selamanya akan memukau. Manusia pun cen-
derung membuat inspirasi itu berperan terus,­dan lahirlah aturan
perilaku buat mengikuti inspirasi awal itu. Yang moral pun jadi
sebuah sistem, moralitas tersusun, dan hukum ditulis.
Hukum membutuhkan politik. Tapi itulah soalnya: politik­
adalah kalkulasi manusia dalam kefanaan dan keramaian hi­dup­
nya. Kekuasaan dan bentrok merupakan anasir pokok dalam kal­
kulasi itu. Berangsur-angsur, politik jadi sebuah dunia kegiatan
tersendiri, dengan gerak dan dampak tersendiri.
Sebab, dalam menghitung kekuasaan dan kemungkinan ben-
trok, politik harus memilih apa yang ”baik” pada hari ini dan ma­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sa depan, selama masa depan itu dapat dibayangkan. Apa yang


”baik” akhirnya berarti apa yang ”efektif” dan ”terjangkau”. Ma­
ka niat mengekalkan ketakjuban inspirasi pertama—niat untuk­
membuat pengalaman otentik Nabi jadi sesua­tu yang dapat di­

26 Catatan Pinggir 8
PASCA-SEKULER

ikuti­ selalu—mau tak mau harus terlibat dengan apa yang tak
mungkin kekal.
Sekularisasi adalah pengakuan akan adanya hal yang tak
mungkin kekal tapi tak terelakkan itu. Akhirnya manusia tak
dapat bermasyarakat hanya dengan bersandar pada semangat un-
tuk menegakkan yang ”baik” dan yang ”buruk” menurut keya­
kin­annya—sebuah kegagalan Gesinnungsethik, kata Weber. Ce­
pat atau lambat, penilaian lain menonjol: penilaian berdasar rasa
bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat umumnya, de-
ngan segala beda keyakinan tentang ”baik” dan ”buruk” yang di­
terima keramaian itu.
Pada saat itu, wibawa yang berlaku adalah wibawa ke­sepakat­
an, yang sifatnya tak abadi, bukan wibawa kebenar­an.­ Tentu,­
mereka yang merasa harus suci terkadang mau me­negak­kan wi­
bawa kebenaran dengan tegas. Mereka siap mendesak pihak lain
ke pojok. Tapi siapa saja yang melakukan itu akan harus siap de-
ngan kekerasan, dan yakin—kalaupun bisa yakin—bahwa ke-
kerasan tak akan menular hingga akhir­nya moralitas yang hen-
dak ditegakkan akan berdiri lunglai di tengah puing.
Orang memang cemas bila hasrat untuk ”selamat” jadi begitu
penting hingga padam keyakinan manusia tentang yang ”benar”
dan yang ”suci”. Tapi itulah yang tak pernah terjadi. Sekularisme
gagal, karena, sebagaimana juga lawannya, ”islamisme”, ia hen-
dak membuat dunia bisa dibentuk dalam satu tata. Kini hasrat itu
kian mustahil.
Sekularisme tak bisa hidup sendiri, juga agama. Sekularisasi
yang berlangsung berabad-abad akhirnya justru melahirkan hari
ini—zaman ”pasca-sekuler” yang mengakui kompleksitas manu­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sia, enigma hidup dan mati, dan keanekaragaman tafsir. Moder­


nitas pernah tak hendak mengakui itu, dan tampillah sisinya yang
brutal dan takabur. Pada saat inilah agama justru dapat jadi baha-
sa alternatif, memberikan kearifan dari posisi yang tergetar oleh

Catatan Pinggir 8 27
PASCA-SEKULER

bayang-bayang yang sakral—getar yang hilang ketika agama si-


buk dalam kalkulasi kekuasaan dan bentrok.
Bahasa alternatif itu juga yang agaknya menyelamatkan ma-
nusia dari erosi kesucian, ketika kesucian diwakili politikus dan
polisi, hakim dan milisia, ulama yang angkuh dan pemegang
takhta. Saya ingat Bendera Hitam dari Khurasan ditutup dengan
sebuah adegan di biara: aneh, tapi mungkin, setelah politik me­
ngu­asai segalanya, ada rasa rindu kepada yang sunyi, di mana di-
harapkan hadir yang suci—mirip di Gua Hira.

Tempo, 14 Agustus 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

28 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

” ... sabuk zamrud di khatulistiwa”


—Multatuli (1820-1887)

S
EBUAH metafora bisa memikat, juga ketika ia meleset.
Gambaran Multatuli tentang kepulauan ini (ia belum me-
nyebutnya ”Indonesia”) berulang-ulang dikutip para pe­
mimpin pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tapi kiasan
adalah kiasan, bukan batasan.
”Zamrud” atau ”smaragd” (kalimat Multatuli, ”de gordel van
sma­ragd”) berasal dari bahasa Yunani, smaragdos: ”batu mulia
yang berwarna hijau”. Indahnya mempesona. Ia me­mang­ bisa
mengingatkan kita akan kesegaran hutan tropis yang tak habis-
habis. Tapi zamrud yang keras dan ditatah itu, ketika tampak se-
bagai ”sabuk” (gordel), adalah sesuatu yang telah jadi....
Sementara itu, 17.000 pulau yang ”sambung-menyambung
menjadi satu” (”itulah Indonesia”, kata sebuah lagu nasional)
ada­­lah sebuah ruang yang tak pernah selesai. Ia tak berhenti di-
produksi. Proses persambungan itu terjadi lebih dahulu sebelum
yang 17.000 itu ”menjadi satu”, dan ia akan berlangsung terus
selepas itu.
Sebab keadaan ”menjadi satu” selalu menuntut untuk di­lihat­
kembali dan dikerjakan ulang. Sebab ”satu” adalah angka­yang
penuh teka-teki. Kita tak selamanya pasti benarkah ada­ sebuah
”satu” yang tanpa celah, tanpa kurang, dan tanpa­turah. Teruta-
ma jika ia merupakan transformasi dari ”tujuh belas ribu”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang kita tahu: sebuah ruang telah, tengah, dan akan terjadi.
***
Manusia memproduksikan ruang, dan sebuah ruang sosial­
tumbuh. Tentu saja itu juga sebuah ruang politik. Saya pinjam se-

Catatan Pinggir 8 29
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

cara longgar tesis Henri Lefebvre dalam La production de l’espace:


sebuah ruang diproduksi dalam dialektik antara manusia dan
ham­paran laut-darat-udara tempat ia hidup dan mati. Dalam
pro­ses itu ada dua situasi muncul.
Ada saat ketika ruang hadir sebagai sesuatu yang dikonsepkan.­
”Representasi” ini menampilkan ruang sebagaimana yang diha-
dapi pembangun rumah dan ladang, undagi dan arsitek, pakar ta­
ta kota, perancang administrasi regional dan teknokrat perekono­
mian nasional, juga ahli rekayasa sosial. Saya akan menyebutnya
sebagai ”ruang L”, singkatan dari ”lurus”, ”linear”, ”lekas”.
”Ruang L” ini amat berperan di tiap masyarakat, dan ter­utama­
dialah yang membentuk tata modern. Ia mudah diterjemahkan
dalam desain, huruf, dan angka. Ia tampak terang sebagai hitam
di atas putih. Ia mudah dikendalikan dan dipakai­buat mengen-
dalikan. Tapi ia bukan segala-galanya.
Ada yang lain ketika ruang sosial diproduksi dalam sejarah:
ruang yang secara langsung dihuni manusia dengan tubuh­nya­—
dari mana lahir adat, legenda, dan pelbagai laku simbolik lain.
Ialah yang disebut dalam kenangan, harapan, dan kecemasan,
dan sebab itu tak mudah disalin dalam aksara dan cetak­biru. Ru-
ang ”representasional” ini saya sebut ”R”, singkat­an dari ”rekalsi-
tran”, ”rumit”, ”redup”.
Sejarah 17.000 pulau ini sering merupakan benturan, atau
tarik-menarik antara ruang ”L” dan ruang ”R” dan manusia yang
berinteraksi dengan keduanya, serentak atau berganti-ganti. Ru-
ang ”L” mendorong kita menarik garis yang lempang dan tung-
gal. Di sini pembakuan dan penyeragaman berperan penting.
Tapi di pihak sana, ruang ”R” selalu mrucut dari jangkauan leng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kap ”L”. Ia tak selamanya jelas, ia merepotkan, ia beda yang tak


kunjung reda.
Di ruang ”L”, manusia mengelola perbedaan sebagaimana ia
mengelola Taman Mini: deretan 17.000 pulau, 450 bahasa, dan

30 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

entah berapa logat, hukum adat, dan agama itu direpresen­tasi­


kan sebagai deret satuan yang tetap, ibarat anjungan yang tam-
pak pada latar yang serupa. Tapi ”Taman Mini” ini, dengan niat
baik ”multikultural” sekalipun, mengabaikan ruang ”R”. Para pe-
nyelia ruang ”L” condong membakukan (yang ber­arti juga mem-
bekukan) selisih pelbagai arus yang saling tak cocok, malah ben-
trok, yang remang-remang dan berubah se­waktu-­waktu dan
umum­nya luput dari klasifikasi.
Mereka yang melihat dunia sebagai ruang ”L”—para peja­bat
departemen, perwira teritorial, penguasa real estate, dan kiai res-
mi Majelis Ulama—tak akan pernah sepenuhnya berhasil mem-
produksikan ruang sebagaimana yang mereka niatkan. Sebab ru-
ang ”R” adalah tempat yang hidup; ia bicara dengan lambang dan
isyaratnya, dengan gema ingatan dan traumanya, dengan endap­
an sejarah atau bawah-sadar sosialnya. Dalam diagram dan tulis­
an, di ruang ”L” orang hanya bisa menangkap beberapa aspek ru-
ang ”R” saja. Selebihnya tak terjabarkan.
Adapun bermacam-macam mereka yang hidup dengan kesa­
daran dan ketaksadaran dalam ruang ”R” tak selamanya me-
nampik bila dunia kehidupan mereka disalin ke dalam ruang ”L”.
Terkadang mereka malah menikmatinya. Tapi lebih sering mere­
ka ingkar. Pada akhirnya, memberontak atau tidak, para ”peng-
guna” ruang ini berada dalam posisi yang berseberangan dengan
para ”produser” ruang di balik desain besar.
Itu sebabnya 17.000 pulau yang dibayangkan sebagai ruang
sebentuk ”komunitas” atau ”bangsa” itu bukanlah satu himpun­
an yang telah dinubuatkan. Ruang ”L” dan ”R” tak niscaya hidup­
damai berdampingan. Lefebvre benar ketika ia menyinggung ba­­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gaimana bangsa terbentuk: pertama lewat perniagaan antarba­


giannya, dan kedua lewat kekerasan. Dua energi itu mempersa­
tu­kannya dalam satu proses produksi ruang tersendiri. Begitu ju­
ga ”negara-bangsa”. Bagi saya, tanda ”-” di antara kedua kata itu

Catatan Pinggir 8 31
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

meng­isyaratkan simbiosis yang tak selamanya stabil antara ruang


”L” dan ruang ”R”, antara ba­ngun­an yang dikonstruksikan dan
wilayah yang telah terbentang bersama sejarah. Nasionalisme-lah
yang berupaya menyediakan wacana bagi simbiosis itu. Nasiona­
lisme-lah bagian dari yang disebut Lefebvre sebagai ”metaforisa-
si”, ketika ”kekerasan diselimuti dengan rasionalitas dan rasional­
itas penyatuan dipakai untuk menghalalkan kekerasan”.
Yang kurang pada Lefebvre: ia hanya menyebut ”rasionalitas”.
Sebenarnya nasionalisme, sebagai ”metaforisasi” yang mengu­
kuhkan simbiosis antara ruang ”L” dan ”R”, me­ngandung­unsur­
”L” + programatis + progresif dan ”R” + afektif + konservatif. Re-
nungan Bennedict Anderson dalam Ima­gined­Communities me­
nunjukkan ideologi ini lahir dengan bayang-bayang gairah ke-
agamaan yang digantikannya, termasuk sisinya yang tak rasional:­
nasionalisme-lah yang secara sekuler mengubah, misalnya ”In­
do­nesia”, dari sesuatu yang sebetulnya bisa berakhir jadi sesu­atu
yang seakan-akan kekal, sesuatu yang belum tentu jadi sebuah
makna, sesuatu yang kebetulan jadi takdir.
Tapi justru sebab itu betapa tak pastinya wacana nasional­isme
bisa berhasil. Ruang yang dibentuk itu, seperti saya kata­kan di
atas, bagaimana juga sebuah ruang politik: di sana ke­kuasaan,
ben­trokan, dan persaingan berlangsung. Sebuah ”komunitas
yang dibayangkan” tak pernah dibayangkan secara universal.
Ia selamanya hasil dari satu pihak yang secara domi­nan memba­
yang­kannya—pihak pemegang hegemoni tapi fana....
Yang mengagumkan pada nasionalisme ialah bahwa ia, dalam
ketakpastiannya, tampil menguak takdir—seraya ia sendiri se­
akan-­akan suara takdir.
http://facebook.com/indonesiapustaka

***
Sebuah untaian 17.000 pulau yang tampak bagaikan ”sa-
buk zamrud di khatulistiwa” adalah sebuah tamasya yang hanya­
bisa disaksikan dari angkasa. Artinya: dari ruang yang tak tersen-

32 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

tuh waktu.
Di bumi, ruang dan waktu saling membentuk. ”Garis Wa­l­
lace”,­celah yang memisahkan Bali dan Lombok, Kalimantan­dan
Sulawesi—hingga berbeda benar fauna di kedua belahan­17.000
pulau itu—adalah contohnya: dulu Benua Asia tak ber­ujung­di
pantai Cina dan semenanjung Malaysia, melainkan mencakup
sampai Kalimantan dan Bali. Tarikh Pleistocene, yang berlang-
sung dua juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu, membuat
muka bumi berubah. Masa beku berganti-ganti dengan­ masa
hangat. Unggunan es mencair dan terbentuk, laut dan pulau pun
terjadi, benua bertaut atau berpisah. Geografi adalah sejarah.
Tapi ada masanya ketika proses saling bentuk antara ruang
dan waktu itu berubah. Dominasi ruang ”L” atas ruang ”R”—
yang menandai modernitas—menunjukkan perubah­an itu. Di
sini saya akan kembali kepada tesis Lefebvre—ia seorang Marx-
is yang cemerlang—yang mengatakan: ”modernitas membuat
waktu lenyap dari ruang sosial”.
Waktu akhirnya memang hanya direkam dalam alat peng­
ukur dan jam, buat fungsi yang terpisah-pisah. Waktu sebagai
sesuatu yang dihayati dalam ruang ”R”, waktu yang dekat de-
ngan tubuh dan simbol kehidupan bersama—pakuwon Jawa,
perhitungan hari baik, pesta panen, ritus potong gigi atau su-
nat—telah nyaris kehilangan makna. Ia jadi waktu dalam ruang
”L”: diterjemahkan secara visual dalam angka dan huruf, dapat
dibagi-bagi, dikerat dan diciutkan, dan bahkan dapat dihapus se­
akan-­akan tak ada. Atau jadi komoditas: dihargai karena bisa di-
pertukarkan dengan uang. Waktu, kata Lefebvre dengan drama-
tis, ”telah dibunuh masyarakat”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Namun saya ragu benarkah demikian. Tentu saja ketika nega­


ra-bangsa bekerja, ia butuh keajekan dan kepastian, dan waktu
pun harus diubah jadi unit matematis: ke-17.000 pulau ini pun
dibagi dalam ”Waktu Indonesia Bagian Barat” dan ”Bagian

Catatan Pinggir 8 33
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

Timur”; dalam anggaran belanja negara, waktu dipaku dalam la­


jur tata buku.
Tentu saja ada kecenderungan bahwa kekuasaan, yang selama­
nya terancam oleh ketakpastian dalam waktu, akan lebih berpe-
gang pada kepastian ruang: rezim bisa berganti, tapi konsistensi
wilayah harus dicoba dipertahankan. Nasionalisme lebih berbi-
cara dengan waktu sebagai sesuatu yang kosong—Majapahit di
abad ke-13 seakan-akan sama dengan Indonesia di abad ke-21—
dan ideologi patriotik memuja bukan sebuah zaman, melainkan
tempat.
Tapi, tak seperti yang diumumkan Lefebvre, waktu tak per-
nah mati. Ia digdaya: ketika ia diubah jadi unit matematis, ia jus-
tru efektif dalam ruang yang dilecut modernitas. Ia dapat diper-
gunakan dengan gampang untuk kelanjutan hidup. Ia mungkin­
abstrak, tapi tak kosong. Kita tak bisa lagi mengata­kan, seperti
Amir Hazmah, ”lalu waktu, bukan giliranku”. Waktu akan
mem­buat kita bagian yang tak bebas dari giliran. Ia berisi daya
yang ampuh. Ketika ”waktu adalah uang”, dan uang demikian
penting, kecepatan pun kian menentukan dan tanda ruang, mi­
sal­­nya tapal batas, pun terabaikan.
Cepat atau lambat, ruang jadi ringkih. Kini mungkin nasio­
nal­isme akan hanya jadi nostalgia, bila ia tak berhenti memuja­
ruang. Apa artinya 17.000 pulau bila ia ternyata tak masuk perhi-
tungan yang menguntungkan waktu? Mustahilkah kita bayang­
kan sebuah invasi yang mengancam Indonesia dan jenderal-jen-
deral di Jakarta memutuskan bahwa, karena perhitungan waktu,
pertahanan yang harus diprioritaskan adalah Singapura dan bu-
kan Biak? Sabuk zamrud itu elok, tapi apa jadinya bila ia meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hambat gerak?
Tapi di balik ruang maya yang diproduksi teknologi, ruang
fisik (seperti waktu) tak akan bisa dibunuh. Tak ada tanda kita
akan hidup seperti ”manusia pertama di angkasa luar” dalam pui-

34 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU

si Subagio Sastrowardojo: jauh dari bumi yang dikasihi, meski­


pun­ dapat melihat 17.000 pulau itu seperti permata yang ber-
sinar. Di bumi selalu ada ruang yang tak kalah mempesona, yang
dekat tapi tak sepenuhnya bisa ditaklukkan.

Tempo, 21 Agustus 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8 35
http://facebook.com/indonesiapustaka

36
Catatan Pinggir 8
NEGARA

D
AN negara pun usai....
Ketika Engels menyebut kata itu, ia tak bermaksud me­
nunjuk agar negara harus berakhir dan dibubarkan.
Ka­ta yang dipakai dalam kumpulan polemiknya yang kemudian
dikenal­ sebagai Anti-Dühring itu adalah ”Absterben des Staates”,
yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ”the
witheri­ng away of the state”. Di sana tersirat sebuah proses yang
ber­langsung wajar: bangunan kekuasaan itu tak dipaksa roboh,­
melainkan perannya telah selesai.
Engels memprediksi bahwa itulah yang akan terjadi, ketika­
kelak dunia tak lagi dilecut oleh pertentangan kelas, ketika­ke­lak
tak ada lagi manusia yang ditindas dan diisap tenaga­nya.­Sebab
negara adalah buah sejarah. Ia tak hadir sejak alam baka. ”Pernah
ada masyarakat yang berlangsung tanpa itu,” tulis Engels,­”dan
tak tahu apa-apa tentang negara serta kekuasaan­nya.”­Kemudian
manusia memang membentuknya, karena per­kembangan sosial-
ekonomi telah menyebabkan ma­sya­ra­kat­ terbelah ke dalam ke-
las yang bertentangan. Untuk me­ngendali­kan pertentangan itu,
negara pun disusun. Tapi tak buat selama-lamanya.
Dalam risalah yang ditulis antara September 1876 dan Ju­ni
1878 Engels memperhitungkan, ”Kini dengan cepat kita men­
dekati sebuah tahap dalam pengembangan produksi yang mem-
buat kelas-kelas itu bukan saja tak perlu ada, tapi juga akan jadi
penghambat yang pasti.” Maka, kata Engels pula, seluruh kelas
sosial akan punah. ”Bersama mereka negara juga mau tak mau
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan jatuh. Masyarakat, yang akan mengatur kembali produksi


berdasarkan asosiasi bebas para produsen, akan meletakkan se-
luruh peralatan negara ke tempatnya yang semestinya: ke dalam
museum benda-benda antik, di samping alat pintal tangan dan

Catatan Pinggir 8 37
NEGARA

kapak tembaga.”
Lebih dari satu abad kemudian kita tahu: polisi, hakim, jaksa,
birokrat, dan tentara belum jadi barang kuno. Tapi keadaan ini
tak dapat dikatakan secara umum, dan tak pula ada sebab yang
sama. Bahkan dapat saja dikatakan Engels benar—tapi dengan
ironi yang pahit: betul, negara usai, tapi itu bukan­karena datang-
nya masyarakat komunis yang tak mengenal penindasan kelas.
Negara usai justru karena ternyata kapitalisme ulung.
Kini telah umum dibicarakan bahwa modal bukan saja sema-
kin terhimpun, tapi juga semakin mampu mengatasi ke­sulit­an-
kesulitannya sendiri dengan cara bergerak dari tempat ke tempat,­
kian lama kian cepat. Ruang dan teritorium jadi tak amat pen­
ting.­ Peralatan negara kian tak mampu mengontrol, kalaupun
me­reka berniat membuat kendali.
Atau negara memang tak sebagaimana dipikirkan kaum
Marx­is. Saya tak tahu pernahkah Marx menguraikan pan­
dangan­­nya secara penuh tentang persoalan ini, seperti yang dijan-
jikannya dalam surat-suratnya kepada Lassale dan Engels. Hanya
petilan pemikirannya yang diketahui, yang kemudian disarikan
Lenin dengan gampangan: negara adalah alat menindas­sebuah
kelas atas kelas lain. Unsur terpenting adalah pemihakan dan ke-
kerasan.
Konflik, kekerasan, dan kekuasaan memang tak dapat dilepas-
kan dari dasar sebuah republik. Tapi mungkin dari pe­ngalam­an
dalam ketegangan itu tumbuh sesuatu yang lain: sebuah kepen­
ting­an, atau sebuah ”nilai”, yang secara universal dipegang bersa-
ma. Hegel menyebut soal ini sebetulnya, ketika ia menggambar­
kan kekuasaan eksekutif sebagai elemen yang mengemban ”yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

partikular” di bawah naungan ”yang universal”—dan bahkan­


memandang pegawai negeri sebagai ”kelas universal”. Yang ku­
rang pada Hegel: ia tak melihat bahwa ”kelas” itu, juga yang ”uni-
versal” itu, tak datang dari surga Ide yang biru.

38 Catatan Pinggir 8
NEGARA

Itu sebabnya negara—sebuah makhluk yang sebenarnya tak


kasat mata, dan tiap hari kehadirannya hanya diwakili lurah,
polisi lalu lintas, pengantar pos, mantri kesehatan—tak kebal
dari sengketa kepentingan, tapi pada saat yang sama, akhirnya
sengketa dan kekuatannya terbatas. Ia dimaksudkan­ menegak-
kan sebuah tata, tapi tak pernah bisa penuh dan permanen. Ke-
kerasan yang habis-habisan tak selamanya bisa terjadi, dan penin­
dasan tak selamanya berhasil. Orang belajar dari pengalaman un-
tuk mengekonomiskan tengkar. Semakin tersusun sistem dan
lem­baga untuk mengelola konflik, semakin tercatat pula bahwa
pertentangan kepentingan kian tak ter­batas hanya kelas, tapi juga
ras dan gender, dan semakin tam­pak: masyarakat adalah sebuah
komunitas yang tak pernah selesai.
Ada yang mengatakan, di sini berperan apa yang kemudian­
disebut ”modal sosial”, yang dalam bahasa Inggris disebut ”trust”.
Diperlukan kepercayaan dari pihak ”sini” ke pihak ”sana”­agar se­
buah republik dapat hidup terus tanpa hanya bergantung pada
regimentasi atau mobilisasi masyarakat. Per­soalan­nya kemudian
adalah bagaimana sejarah sebuah kepercayaan dapat jadi cerita
yang tiap kali dikukuhkan.
Di Indonesia, persoalan itu sangat sulit dijawab. Pekan lalu
mendadak listrik di seluruh Pulau Jawa dan Bali padam. Bebera­
pa jam kekacauan berlangsung. ”Ada seekor ular mengganggu,”
seorang menteri menjelaskan dengan kalem esok harinya. Saya
pun terdiam, berpikir: jangan-jangan orang kini bisa bicara ten-
tang Indonesia yang diatur orang-orang yang tak bekerja untuk
kepentingan umum, hingga negeri ini dengan mudah dikalah-
kan oleh seekor ular, dan sebuah perusaha­an yang selama 60 ta-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hun mengelola tenaga listrik untuk Republik tak mampu mem-


buat orang tenang dengan penjelasan bagaimana persediaan­
ener­gi yang esensial buat abad ke-21 itu bisa sial karena reptil
yang mengusik manusia sejak Adam dan Hawa.

Catatan Pinggir 8 39
NEGARA

Artinya, ada sesuatu yang lepas: pengakuan bahwa sesuatu


yang universal memang mengimbau dalam kehidupan sebuah re-
publik, seraya sadar bahwa siapa pun tak mampu mewakili yang
universal itu. Dengan kata lain: sebuah negara tak akan usai jika
ia bekerja terus, sambil berdiri, sebagai sebuah republik­yang tan-
pa ilusi.

Tempo, 28 Agustus 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

40 Catatan Pinggir 8
DOA

T
IAP doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak
antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara­
hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim.
Di depan­Ilahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa berting-
kah.
Bila lembaga-lembaga agama memusuhi syair, itu karena­
mere­ka lupa bahwa puisi juga sejenis doa. ”Di pintu-Mu aku me­­
nge­tuk/aku tak bisa berpaling,” tulis Chairil Anwar pada saat yang
paling religius. Puisi, bahkan dalam pernyataannya yang ter­su­
ram,­adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui.
Sebab itu Tuhan tak pernah meninggalkan metafora. Tiap
me­­tafora menampakkan betapa melarat dan betapa ulungnya­
ba­­hasa manusia. Seorang penelaah sastra Arab menyebut ”me­
ta­­­fora” semakna dengan isti’ara, yang secara harfiah konon ber­­
arti­”meminjam”. Manusia, makhluk pembuat majas, pe­nyusun­
per­umpamaan dan kiasan, adalah makhluk yang me­minjam dan
meminjami. Ketika ”Tuhan” digambarkan dengan­ pintu dan
”Nasib” dikatakan menimpa manusia, kita lihat bagai­mana kata
meminta bantuan dari kata lain yang jauh untuk­menyampaikan­
makna—dan sering memperolehnya secara tak disangka-sangka.
Metafora adalah sebuah lompatan ”meminjam”, terbang ulang-
alik antara yang abstrak dan yang konkret, ketika yang abstrak
terasa perlu diwujudkan dalam suatu kias atau gambar yang da­
pat dicerap pancaindra.
Pernah orang berdebat haruskah kalimat kitab suci ditafsir-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan secara harfiah; dengan kata lain, sejauh mana bahasa bisa
men­jamin kesetiaan makna. Tapi orang lupa bahwa bahasa, juga
yang dianggap pilihan Tuhan, adalah bahasa yang dibentuk oleh
kekurangan dan keinginan, oleh ingatan dan lupa, oleh keharus­

Catatan Pinggir 8 41
DOA

an merawat dan menerobos, oleh kebersamaan dan kesendirian.


Metafora adalah hasil dari tendensi yang bertentangan itu, kare-
na sejarah, tempat bahasa diolah, adalah kontradiksi yang tak se-
lesai. Tiap bahasa di atas bumi berakar seperti pohon jati dan me-
langit seperti bintang beralih. Gambaran verbal tentang Tuhan,
juga kutipan Sabda-Nya, mau tak mau berangkat dari dunia kata-
kata yang terikat, meskipun bergerak untuk menyambut yang tak
tepermanai.
Simbol saja akhirnya tak memadai. Simbol berangsur-angsur­
digantikan ”tanda”, tulis Julia Kristeva pada tahun 1966. Abad
Te­ngah berakhir di Eropa dan agama Kristen bertemu dengan
masyarakat yang tak bisa lagi menerima simbol. Simbol adalah
perwujudan yang dibangun untuk mengacu ke suatu obyek de-
ngan makna yang tetap, tapi stabilitas ini hanya mungkin karena­
ia dibantu sejenis ”hukum”. Lampu merah, tanda salib, huruf
dalam alfabet: tafsir tentang semua itu ajek dan tunggal. Tapi ke-
mudian datang zaman ketika simbol harus­bersaing dengan ”tan-
da”. ”Lampu merah” bukan hanya isya­rat berhenti, tapi juga tan-
da daerah pelacuran. ”Salib” makin terpisah dari kisah keseng-
saraan Yesus; ia juga tampak di bendera nasional. Huruf tak lagi
hanya tanda fonetik: ”f” bisa berarti gulden, sebagaimana ”T”
berkait dengan ”T-shirt”.
Simbol mulai kehilangan monopolinya, ketika klaim Gereja­
sebagai satu-satunya penafsir hal ihwal tak diterima lagi. ”Sam-
pai tahun 1350,” tulis Kristeva, ”adalah Sabda, dalam sosok Ye-
sus Kristus, yang menciptakan dunia.” Setelah Sabda tergeser,
muncul ”tanda”—diwakili gambar ”seorang tua yang meng­ukur
bumi dengan kompas dan melontarkan surya serta bintang-bin-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tang ke langit”. Sabda yang kekal kehilangan dayanya ketika ma-


nusia—yang menempuh waktu dan kefanaan—jadi pusat wa-
cana dan pemberi makna yang bisa berubah dan beragam.
Setelah otoritas Sabda tergeser oleh tanda yang lalu-lalang di

42 Catatan Pinggir 8
DOA

tiap pojok, makna pun tak terbentuk lagi dari hubungan secara
vertikal. Sebuah tanda tak lagi ditentukan dengan penuh wiba-
wa oleh kandungan ”makna” yang ditandainya. Setelah Abad Te­
ngah­berakhir di Eropa, makna justru terbentuk dalam mata ran-
tai horizontal: kita menangkap apa arti ”salib” setelah kita tahu ia
di pucuk gereja dan bukan di mobil ambulans.
Demikianlah simbol digantikan tanda, dan di Eropa lahirlah
novel, begitulah kata Kristeva. Bentuk novel (dan bukan khot­
bah)­ memang sebuah kancah tempat pelbagai suara, pelbagai
tanda, bertabrakan dan cepat lewat. Kristeva benar, tapi sebenar­
nya ada contoh yang lebih tua yang tak dilihatnya: antara Sang
Sabda dan puisi, telah berlangsung ketegangan sentrifugal yang
tak habis-habis.
Ketegangan antara Sabda (sebagai pusat) dan puisi (yang
membebaskan diri dari pusat) terutama terjadi dalam sejarah ke-
susastraan Arab. Mungkin semua ini bermula karena Quran, de-
ngan ungkapannya yang puitis, tumbuh sebagai teks di lingkung­
an tempat puisi dirayakan dalam bentuk lisan. Adonis, penyair
asal Suriah itu, dalam An Introduction to Arab Poetics, terjemahan­
ceramahnya di Collège de France pada tahun 1984 mengutip Al-
Jurjānī, seorang teoritikus sastra dari abad ke-10: menulis puisi
adalah ”sejenis pembangkangan”, kata Al-Jurjānī, ”kimia yang
membuat sebuah argumen yang meragukan berhasil mendapat-
kan wibawa pembuktian, dan mengubah bukti jadi argumen
yang tak meyakinkan”.
Puisi memang tak menjanjikan pusat dan stabilitas apa pun.
Tafsir sebuah teks yang kreatif selalu ”dinamis, eksplosif, dan tak
terbelenggu”, kata Adonis. Teks yang kreatif tak putus-putus­nya
http://facebook.com/indonesiapustaka

menggetarkan karena ia membangun imaji dan bukan simbol,


karena ia menggugah dan tergugah rasa takjub, karena ia, untuk
memakai kata-kata Ibnu Sina tentang puisi, paduan takhyil dan
ta’ jib.

Catatan Pinggir 8 43
DOA

Bersalahkah puisi? Pernah disebutkan, syair adalah benda


yang dikutuk. Tampaknya ada saat ketika kutuk cepat diucap-
kan dan beriman berarti mengambil sikap ”aku sudah tahu”—
dengan wajah yang pasti dan masam. Wajah masam adalah wa-
jah yang menolak untuk menyambut hidup sebagai sesuatu yang
istimewa.
Sikap itu bisa menang. Tapi hanya yang menerima hidup se-
bagai sesuatu yang istimewa, sesuatu yang menakjubkan, akan
menulis puisi dan/atau mengucapkan doa.

Tempo, 4 September 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

44 Catatan Pinggir 8
LEMBING

L
IMA hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di se-
buah masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta, seorang kha­
tib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan
sebuah otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata
Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan
bah­wa wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi
khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan....
Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu
apa peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa fitnah—ter­utama­
dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah di-
ulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan
sampah. Sampah itu bernama kebencian: buangan dari zaman
ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat guyah,
penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau bu-
suk—adalah sebuah mantra untuk menemukan kekuatan yang
melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia yang tidak
bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya pa­
tut­beriman bila mereka tampil dengan wajah sengit. Marah te­
rus-­menerus kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan kata-
kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang
para ”ahli agama dan lembing katanya”.
Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang
per­cuma. Lawan dalam pikiran, sengketa dalam pendapat, ben-
trok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud


membuat perbedaan tak pernah ada. Ketika kata menjadi lem­
bing,­apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa dibinasa­kan? Bah-
kan sejarah—dan dalam hal ini kita bisa berbicara tentang se-

Catatan Pinggir 8 45
LEMBING

jarah agama-agama—adalah sejarah pembantai­an yang tak me-


nyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana saja,
kapan saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling
melenyapkan, Katolik dan Protestan tak kunjung mampu saling
meyakinkan.
Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan­
tidak adanya ilusi. ”Tidak ada paksaan dalam agama,” demikian­
kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan, yang
akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal­
yang selalu bergerak antara ”tertangkap-menangkap” dan ”ter­
lepas-melepas”. Yang universal tampak sebagai­ kaki langit yang
bila digapai selalu menjauh—tak henti-hentinya. Tiap konsensus
mengandung ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan
menafsir apa saja—juga Sabda Tuhan­—senantiasa dalam waktu
dan dalam cacat.
Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama
pada akhirnya melahirkan kesadaran, bahwa tidak ada­satu kepa­
la yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari yang ada.
Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa­ dikecam.
Bertahun-tahun kemudian, setelah pengalam­an yang lama, de-
mokrasi datang sebagai cara mengatasi ke­kosong­an itu. Demo­
krasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita sadar akan kefa-
naan. Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan, tapi ia tidak
akan bisa berjalan dengan kebencian, jika kebencian membuat
yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan kekal.
Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk­
orang Indonesia, dan salah satunya adalah bagaimana mema­
hami­ dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu
http://facebook.com/indonesiapustaka

do­­minan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika


di bawah Presiden Soeharto dan kekuasaannya pemilihan umum
begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagas­an Komite Indepen-
den Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto akhir­

46 Catatan Pinggir 8
LEMBING

nya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum


ia turun takhta, Nurcholish juga yang me­ngatakan bahwa sang
Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun.
Yang berkuasa atau tidak, akan selalu bertemu dengan batas.
Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan ten-
tang ketidak-kekalan manusia dan toleransi kepada iman dan
pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ke-
tika mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditia-
dakan dengan ajaran yang kekal yang mereka anut. Yang musta-
hil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia di
masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish adalah
guru tentang kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berja-
batan tangan. Kebencian selalu menjadi angkuh—tetapi kali ini
angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang mem-
buat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fit-
nah adalah tanda putus asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia ti-
dak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan berubah. Kekuat­
an sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan
lembing. Ya, Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang ti-
dak menusuk, tidak berteriak.

Tempo, 11 September 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8 47
http://facebook.com/indonesiapustaka

48
Catatan Pinggir 8
ABU NUWAS

S
EBUAH kota bisa mengejutkan, juga Bagdad pada abad
ke-9. Abu Nuwas adalah bagian dari yang mengejutkan
itu. Pada masa kecil di Indonesia kita mengenalnya dari
dongeng­bekas yang datang entah dari mana: ia seorang yang cer-
dik, licin, dan jenaka, tapi juga konyol, yang hidup pada masa
khalifah Harun al-Rashid. Tapi para penulis sejarah kesusastra­an
Arab memandangnya dengan hormat: dialah penyair pembawa­
suara modernitas (hadãtha) di sebuah zaman yang cemerlang tapi
tak selamanya mudah.
Ia lahir pada pertengahan abad ke-7 di Avaz, Persia, dan me-
ninggal sebelum umur 60 di Bagdad. Ibunya seorang perempu­an
penenun dari Persia, dan ayahnya, yang tak pernah ia kenal, se­
orang prajurit dari Damaskus. Dalam hidup yang terjepit, sang
ibu menjual si kecil Abu Nuwas kepada seorang tabib dari Yaman.
Dibawa ke Basra, anak ini belajar mengaji Quran. Tapi apa la­
cur. Abu Nuwas adalah seorang remaja berwajah rupawan, ram-
butnya keriting panjang, dan geraknya luwes. Ia memikat hati pe-
nyair Waliba ibn al-Hubab, yang kemudian jadi guru dan ke­ka­
sih­nya. Mereka hidup bersama di Kufa.
Dua tahun kemudian Abu Nuwas yang remaja itu kembali ke
Basra, ibu kota kebudayaan, untuk belajar puisi Arab sebelum Is-
lam. Dari sini ia tinggal selama setahun di antara orang Badui,
untuk menyerap ”kemurnian” bahasa mereka. Tapi ia tak betah.
Ia kembali ke kota besar:
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebab inilah hidup,


Bukan kemah padang pasir,
Bukan susu unta!
Bagaimana kau dapat dudukkan seorang Badui,

Catatan Pinggir 8 49
ABU NUWAS

Di samping Istana Kisra?

Pertentangan antara kota dan pedalaman agaknya punya­


penga­­ruh­ tersendiri dalam kehidupan sastra Arab pada masa
itu—sejajar dengan pertentangan antara tradisi lisan dan kebuda­
yaan tertulis. Tradisi lisan marak dalam puisi pra-Islam: puisi
ada­lah juga lagu, dan ia berkembang dalam hafalan. Dalam tra-
disi ini formula yang ajek jadi penting, agar hafalan tak terancam
lupa.
Tapi Islam datang, Quran turun, dengan bahasa yang—se-
perti kata Al-Rummani, seorang penelaah dari abad ke-10—
”tak bisa ditirukan”. Ketika agama ini masuk ke wilayah lain,
bertemu­lah yang Arab dan bukan Arab—sebuah pertemuan
yang di satu pihak memperkaya tapi di lain pihak menimbulkan
waswas.
”Mendengar adalah ayah dari semua kemampuan linguistik,”
kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddima. Tak ayal, kecenderungan
linguistik orang Arab pun berubah, ”dengan variasi yang mere­
ka dengar dari pembicara bukan Arab yang menggunakan ba-
hasa Arab”. Maka ada kecemasan bahwa Quran dan hadis lama-
kelamaan akan tak dapat dipahami lagi. Maka tata bahasa pun
di­susun, dimulai dengan karya Abu’l-Aswad al-Duali, yang di-
lanjutkan oleh Al-Khalil pada abad ke-7.
Tata bahasa adalah tanda ketika kelisanan susut perannya,
ketika keberaksaraan kian penting. Sebab di sini kata dianali­sis,
di­si­mak, disusun dalam kategori—dan semua itu hanya bisa di-
lakukan ketika kata dapat ditelaah kembali. Singkatnya: ketika
kata dituliskan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Keberaksaraan merangsang kemampuan analitik. Maka sejak


itu, telaah sastra tumbuh dan teori berkembang. Pada saat yang
sama, formula untuk membantu hafalan tak diperlukan lagi. Sas-
tra Arab pun meluncur dalam kebebasan, bertualang dengan

50 Catatan Pinggir 8
ABU NUWAS

bentuk dan isi.


Bersama itu pula, puisi semakin mungkin jadi ekspresi indi-
vidual—suatu hal yang bertaut dengan kehidupan kota. Abu Nu-
was bersimaharajelala di sini.
Ali Ahmad Said, yang lebih dikenal sebagai Adonis, penyair
Suriah yang kini hidup di Prancis, menggambarkan puisi Abu
Nuwas sebagai sesuatu yang mengandung ”lidah api yang me-
lalap tiap rintangan, baik yang bersifat sosial maupun religius”.
Bagi Abu Nuwas, kata Adonis, ”suka-cita tak datang dari menja­
lankan apa yang diperkenankan, melainkan sebaliknya, dari me­
ngejar apa yang terlarang dan melawan hukum”. Abu Nuwas me-
nyatakan dirinya tak ingin berbuat dosa seperti orang kebanyak­
an, sebab yang dihasratkannya adalah dosa yang akan ”membuat
dosa lain tampak redup”. Ia membangkang kepada ”tiran yang di
langit”.
Dalam posisi itu, kata Adonis, Abu Nuwas ”mengenakan to-
peng seorang badut dan beralih ke mabuk-mabukan”—bah­kan
mengekspresikan berahi homoerotik yang tak di­sembunyi­kan. Ia
jadi termasyhur oleh khamriyyat, sajak-sajak anggur, dan mudha­
kkarat serta mujuniyyat, sajak-sajak erotis yang cerdas dan nakal
yang memuja sesama pria.
Hidup di bawah kekuasaan Harun al-Rashid dan pengganti-
nya, Muhammad al-Amin, sang penyair terkadang harus­mem-
bayar kenakalannya dengan hukuman penjara. Bahkan di bawah
khalifah Abdullah al-Mamun, yang melindungi seni dan ilmu
pengetahuan—tapi tak menyukai pemabuk dan penyair be­
ngal­—Abu Nuwas menemukan akhirnya. Ada yang mengatakan
ia mati di penjara, ada yang mengisahkan ia tewas diracun.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Hidup Abu Nuwas memang penuh warna, tapi kita akan


salah jika kita lupakan bahwa sifat pembangkangan memang
ada dalam puisi itu sendiri. Puisi ”tak takut melabrak konsensus”,
kata teoretisi besar sastra pada abad ke-10, Al-Jurjānī. Demikian­

Catatan Pinggir 8 51
ABU NUWAS

lah konsensus yang dibakukan dalam tradisi lisan pun didobrak.­


Modernitas ini berlangsung sejak abad ke-8, dimulai oleh Ibn
Burd, yang menurut Adonis telah menemu-ciptakan ”sebuah ba-
hasa kota” dan bukan ”bahasa padang pasir”—sebuah bahasa
yang di tangan Abu Nuwas ”mencapai puncak yang tak pernah
ada sebelumnya”.
Untuk beberapa puluh tahun lamanya ”bahasa kota” itu berja-
ya. Tapi pada tahun 1258 Bagdad jatuh ke tangan bangsa Mongol
yang datang dari padang rumput yang jauh. Mungkin ini bisa di-
tafsirkan bahwa kota akhirnya kalah oleh pedalaman:­kota hanya
asyik dan mabuk, pedalaman kukuh dan ”murni”.
Mungkin itu sebabnya pasca-Bagdad, orang memilih kembali
ke ”asal-usul”. ”Badui” yang oleh Abu Nuwas diejek tak layak ber-
sanding dengan ”Istana Kusra” pun jadi jawaban, ketika orang
mencari obat bagi krisis kebudayaan Arab sejak abad ke-13. ”Ke-
murnian” adalah kekuatan. Meskipun sebenar­nya ”kemurnian”
adalah kemandekan.

Tempo, 18 September 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

52 Catatan Pinggir 8
SI GOLEM

A
DA sebuah dongeng dalam bentuk sajak—atau mung-
kin ini sebuah sajak yang berpura-pura mendongeng—
tentang seorang rabbi yang hidup di Praha.
Pada suatu hari sang rabbi berhasil mengutak-atik sejumlah­
huruf yang amat ruwet. Setelah mengucapkan ”Sang Nama yang
sang Kunci”, secara ajaib ia dapat menciptakan si Golem. Tapi
apa lacur: ciptaannya ini tak lebih dari sebuah tiruan yang kasar
dan kaku atas manusia, karena tak bisa bicara. Menatap­si Golem,
Pak Rabbi dalam sajak Jorge Luis Borges ini pun bingung dan ke-
cut:

Bagaimana (ia bertanya) bisa terjadi


Hingga yang kuhasilkan si anak nestapa ini?
Kenapa akhirnya kutambah satu angka lagi
Setelah deret yang tak tepermanai?

Ia cemas. ”Jangan-jangan ada satu teks yang cacat,” pikir­nya.


Tapi tiba-tiba terpikir olehnya bahwa rasa cemas itu mungkin ju­
ga dialami Tuhan, ketika Ia selesai menciptakan Pak Rabbi:

Siapa tahu apa yang terasa di kalbu-Nya


Ketika Ia menatap si rabbi dari Praha?

Saya tak tahu adakah Borges membayangkan Ia sebagai­ma­na­


umumnya orang membayangkan-Nya, tapi kita memang tak per­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nah tahu sejauh mana Tuhan puas dengan makhluk­nya. Atau­


kah­Ia punya penilaian yang berbeda: senang dengan sebuah ga­
laksi dan kecewa dengan galaksi lain, gembira dengan makhluk­
di planet A tapi kesal dengan yang di planet B, menilai si Badu de-

Catatan Pinggir 8 53
SI GOLEM

ngan angka 8 dan si Polan (atau Pak Rabbi) dengan angka 4?


Seandainya Tuhan dapat dipersamakan dengan seorang seni-
man, kita mungkin akan lebih mengerti. Ada saat ketika­seorang
pelukis atau penyair akan berhenti melukis atau me­nulis­ketika ia
merasa puas dengan karya yang digarapnya. Tapi itu cuma sesaat.
Tak ada pelukis yang berhenti mencipta hanya dengan satu kan-
vas, tak ada penyair pulang dengan satu sajak. Bahkan banyak
yang tak lelah dengan pokok soal yang sama: Popo Iskandar ber-
ulang kali melukis kucing, Srihadi tampak terus-menerus meng-
abadikan laut yang lazuardi, Sapardi Djoko Damono tak hanya
se­kali menulis tentang hujan.
Mungkin karena tiap karya unik: bukan sekadar ”satu ang­ka­
lagi” dalam ”deret yang tak tepermanai”. Atau mungkin juga tiap
kar­ya selalu terbelah: dalam dirinya ada getaran ”ins­pirasi” yang
tercetus dalam kegairahan kreatif, tapi dalam diri­nya juga ”in­
spi­rasi” itu hadir dalam wujud lain, sebuah sajak misalnya, yang
punya dinamikanya sendiri—hingga ia berdiri di luar sang pen-
cipta. Ia bukan lagi ekspresi eksklusif sang penyair: kini Ham-
let bukan hanya ciptaan Shakespeare, tapi juga Rendra yang me-
mentaskannya.
Tuhan bukan seniman, dan kita tak tahu adakah dengan alas­
an yang sama Tuhan tak berhenti mencipta setelah Adam dan
Hawa. Yang jelas satwa hutan dan hewan laut hampir tak pernah
pungkas terdaftar, dan 100 miliar galaksi lahir. Borges yang buta
pernah mengatakan bahwa ”cermin dan para ayah” itu ”menjijik-
kan”, karena keduanya memperbanyak dan memperpanjang ”se-
mesta yang kasatmata” yang baginya hanya­ilusi.­Tapi sebaliknya
Tagore dari India yang padat pernah ber­ujar bahwa tiap bayi yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

lahir menandakan Tuhan belum jera dengan manusia.


Maka teka-teki itu berlanjut, rasa jeri sang rabbi dari Praha itu
tetap: puas atau kecewakah Ia dengan makhluk-Nya, khususnya
dengan manusia—sementara termasyhur dikatakan bahwa ma-

54 Catatan Pinggir 8
SI GOLEM

nusia diciptakan mengikuti citra-Nya?


Kitab-kitab suci sering menghardik, terkadang memuji.­
Mung­kin dari sini juga kita dapat menyimpulkan: seperti karya
seni, tiap orang bersifat terbelah. Ia hasil iradah illahi yang akhir­
nya mempunyai dinamikanya sendiri. Bahkan jika kita baca ka-
ta-kata Tuhan yang murka dalam kitab suci, si manusia seakan-
akan bukan ciptaan-Nya lagi. Dalam arti tertentu, ada sesuatu
yang berhasil—manusia bisa menakjubkan dalam kemerdekaan-
nya, dan sebab itu Iqbal mengingatkan kita bahwa makhluk ini
adalah ”wakil Tuhan di bumi”—tapi juga ada sesuatu yang gagal.
Satu perkara yang tak henti-hentinya jadi persoalan theologis:­
tak bisakah kita menyimpulkan bahwa kegagalan itu se­sua­tu
yang niscaya? Tuhan menampakkan kuasa-Nya dalam diri ma-
nusia-di-dunia (tanpa ciptaan itu, bagaimana bisa dikatakan Ia
mempunyai kuasa?), tapi makhluk itu juga justru yang praktis
membatasi kehendak-Nya; manusia membuat kehendak itu tak
bisa ”jadi” mutlak.
Dalam arti tertentu, jika penciptaan terjadi terus, mungkin itu
indikasi kegagalan: Tuhan tak pernah selesai dengan manusia, Ia
tak pernah puas, Ia mencintainya tapi harus menyaksi­kan cacat-
nya. Tapi mungkin juga, seperti karya seni, tiap cipta­an—juga
kegagalan—adalah unik, tak bisa diulangi, hingga yang tampak
sebagai pengulangan sebenarnya adalah insiden yang berbeda.
Seperti biasa, Borges terasa pahit, tapi ironis, pasrah, tapi ju­
ga menyimpan gairah, ketika ia mengatakan sesuatu yang ada
hubungannya dengan persoalan ini: ”Tak ada gunanya me­rasa
terlanda oleh jumlah yang merisaukan dari penderitaan manusia,
sebab jumlah yang seperti itu tak pernah ada. Baik kemiskinan
http://facebook.com/indonesiapustaka

maupun rasa sakit tak pernah bisa dijumlah”.


Mungkin akhirnya sejarah adalah sesuatu yang memang tak
perlu terlampau dirisaukan: ia kisah kegagalan yang tak menim-
bulkan jera, kisah kegairahan dan trauma yang tak bisa dijumlah

Catatan Pinggir 8 55
SI GOLEM

karena tiap kali terasa berbeda.


Tapi haruskah pola itu diubah? Bisakah ia diubah? Saya ingin­
menjawab: harus, meskipun saya tak yakin kita bisa me­la­ku­kan­
nya. Sang rabbi dari Praha mencoba melaksanakan sebuah ren-
cana revolusioner dengan menciptakan si Golem. Gagal,­ akhir­
nya­ia ragu akan kualitas dirinya sendiri. Bisa dikatakan ia me-
nerima kegagalan sejarah dengan kecut tapi tanpa­ kemarahan.
Saya pikir ini juga sebuah kekuatan, justru­ketika kita berpikir:
jangan-jangan Tuhan tak melihat kita seba­gai teladan kesempur-
naan.

Tempo, 25 September 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

56 Catatan Pinggir 8
PORNO

B
ERABAD-ABAD lamanya orang cemas akan porno­gra­
fi,­ memperdebatkan pornografi, memberangus por­no­­
grafi.­Berabad-abad lamanya pula pornografi terus diha­
sil­kan, di­pasar­kan, dan dikonsumsi—dan negeri-negeri hancur,
tapi­bukan karena sejumlah tubuh yang bugil, tak senonoh, me­
rang­sang (dan sebenarnya juga membosankan), melainkan kare-
na kekerasan dan kebencian.
Kapan semua itu akan berakhir? Mungkin ia sebenarnya su-
dah berakhir sejak dimulai; selebihnya hanya pengulangan. Tapi
tak semua orang mau mengakui itu.
Hari-hari ini, di samping perang antiterorisme, pemerintah­
Bush memulai sebuah perang baru: melawan ”porno”. Barton­
Gellman, wartawan The Washington Post, dalam edisi 20 Septem-
ber mengabarkan: Jaksa Agung Alberto R. Gonzales (orang yang
menganggap sah tindakan menahan orang yang belum tentu ber-
salah di kamp konsentrasi Guantanamo sampai­waktu tak terba-
tas) kini memerintahkan FBI agar menyiapkan sebuah regu khu-
sus. Pada akhir Juli kantor pusat agen rahasia itu mengedarkan
siaran ke 56 cabangnya dengan pesan penting­ itu. Perang anti-
porno, demikian pesan itu menyebutkan, merupakan ”salah satu
prioritas utama” Gonzales.
Tak jelas setarakah melawan ”porno” dengan melawan Al-
Qai­­dah. Tapi Kongres telah menyiapkan anggaran untuk pe­rang­
me­lawan ”ketidaksenonohan” itu pada tahun fiskal 2005. FBI di-
perintah menyiapkan 10 agennya untuk memeriksa ”por­no­grafi
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang dewasa”.
Apa gerangan yang dihasilkan nanti? Bagaimana orang bisa
tahu pemerintah menang atau kalah dalam perang melawan por-
no? Kaum ”Kristen fundamentalis”—yang membayang-bayangi

Catatan Pinggir 8 57
PORNO

pemerintahan Amerika Serikat sekarang—cenderung akan men-


jawab bahwa persoalannya bukanlah sukses atau tak sukses, me-
lainkan adakah Kitab Suci ditaati atau diabaikan.
Yang tak diakui ialah bahwa ketika Kitab Suci diperlakukan
sebagai kekuasaan di dunia, ia membawa dalam dirinya benih ke­
gagalan. Kekuasaan muncul justru karena akibat yang diharap-
kan oleh si berkuasa tak dengan serta-merta terjadi, tak seotoma-
tis detak jantung yang bergerak. Kekuasaan adalah tanda gagal-
nya membuat efek yang lengkap, lurus, dan mutlak. Kekuasaan
lahir dari dan bersama resistansi mereka yang hendak dikuasai.
Kitab Suci tampil sebagai kekuasaan karena ia merupakan titah,
imbauan, bujukan, dan ancaman, dalam menghadapi kebandel­
an manusia. Di depan manusia di dunia, Sabda Tuhan tak ber­
asum­si bahwa ia berada di wilayah yang gampang. Juga ketika ia
dibantu 10 agen FBI (atau seregu FPI), sederet jaksa, hakim, dan
polisi.
Kita tahu para penjaga akhlak bisa dikerahkan untuk meng-
habisi pelanggaran atas sebuah tabu; tapi sebenarnya mereka juga
indikasi gagalnya tabu itu sendiri. Tabu berperan menghadapi
pelanggaran; ia justru lahir dari pelanggaran. Akhirnya tak ada
yang bisa menguasai 100 persen perilaku manusia, termasuk me-
nikmati dan memproduksi karya pornografis, lewat media yang
kian lama kian tersebar ke ruang-ruang pribadi.
Saya tak tahu bagaimana Presiden Bush akan berurusan de-
ngan kegagalan yang tak terelakkan itu. Ia mungkin akan kem-
bali kepada teks hukum, baik Alkitab ataupun undang-undang.
Tapi di situlah soalnya: ketika tabu diubah jadi undang-undang,
ke­­kuasaan pun makin diperlukan, kegagalannya makin tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

diakui.
Yang juga tak dilihat ialah bahwa tabu dan hukum sebenar­nya­
punya pretensi yang tak sama. Undang-undang memproyeksikan
diri berlaku bagi siapa saja, kapan saja, di mana saja. Sebalik­nya

58 Catatan Pinggir 8
PORNO

tabu: semula ia berlaku di lingkungan yang khu­sus. Jika mereka­


yang menamakan ”Front Pembela Islam” menganggap karya
Agus Suwage—yang menampilkan laki-laki dan perempuan de-
ngan sebagian tubuh terbuka—adalah sesuatu yang ”melanggar”,­
bisakah mereka menilai dengan ke­sim­pulan yang sama relief di
Borobudur dan lukisan I Made Budi di Bali?
Para kritikus seni telah lama mencoba menyelesaikan soal ini
de­ngan mengatakan bahwa pornografi berbeda dari ”erotika”.
Yang pertama lebih memfokuskan diri pada organ-organ­ kela-
min, dengan syahwat sebagai satu-satunya cerita. Yang ke­dua me­
rupakan ekspresi kehidupan hasrat di sekitar tubuh, sebagai ba-
gian dari kehidupan yang utuh. Tapi di sini diperlukan­sesuatu
yang tak hanya Kitab Suci dan KUHP, tapi juga kritik seni—dan
soalnya sejauh mana Kitab Suci dan KUHP, seraya mengakui
be­nih kegagalannya sendiri, memberikan ruang kepada sebuah
wilayah yang berbeda.
Tak mungkinkah pornografi hilang perannya, justru ketika
tabu diakui tak mampu berlaku? Saya ingat daerah Rossebuurt
Amsterdam, lorong-lorong sempit antara Stasiun Sentral dan
Nieuwenmarkt, tempat para pelacur memajang diri di etalase
sempit, dan pejalan lewat setelah melintasi toko dan teater­erotik­
seperti mereka lewat di depan restoran dan toko pakai­an.... Ke-
pedihan, kemiskinan, rasa riang, rasa berdosa, ingin tahu, nafsu,
mimpi, iseng, dan belas kasihan—semua hilir-mudik, seperti se-
jarah manusia berabad-abad.

Tempo, 2 Oktober 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8 59
http://facebook.com/indonesiapustaka

60
Catatan Pinggir 8
1965

P
ADA pagi hari 1 Oktober 1965 itu saya duduk membaca
di sebuah kamar tempat saya menginap, rumah seorang
teman, dan tiba-tiba di radio terdengar sebuah peng­
umum­an: sebuah ”Dewan Revolusi” telah dibentuk, untuk—ka-
lau saya tak salah ingat—menyelamatkan Revolusi.
Saya, dalam umur 24 tahun, merasa bahwa sejarah Indonesia­
sedang berubah mendadak. Pagi itu saya berdebar-debar. Apa
yang sedang terjadi? Apa yang akan terjadi?
Indonesia penuh dengan kata-kata gemuruh. ”Ganyang” dan­
”kremus” jadi bagian dari bahasa politik yang menyusup­ke­per-
cakapan sehari-hari. Kata ”Revolusi” mempesona, meng­ge­tar­
kan,­dan sekaligus sebenarnya tak jelas. Bila di dalam­nya terkan-
dung kekerasan (”menjebol”, dalam bahasa yang bergema masa
itu, adalah bagian hakiki dari ”Revolusi”) orang ramai­tampak-
nya menerimanya—meskipun kian lama kian tak jelas benar
ada­­kah Revolusi se­buah cara atau sebuah tujuan.
Membangun masyarakat yang ”adil dan makmur” memang
selamanya disebut sebagai tujuan, tapi kedua kata itu juga—se-
perti kata ”Revolusi” sendiri—ibarat bagian sebuah mantra, ge­
lom­bang verbal dengan daya yang membuat orang, termasuk
saya, tergerak, tanpa bertanya apa gerangan maknanya.
Mungkin makna, dalam arti sesuatu yang ”dimengerti”, me­
rupakan hal yang tak perlu lagi di situ. ”Makna” mungkin­telah
sama dengan efek psikologis yang terjadi dalam diri saya dan yang
mempengaruhi cara saya memandang sekitar. Dan dalam penger-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tian ini ”Revolusi” telah jadi sejenis mitos: ia penuh ”makna”,­dan


pada saat yang sama tak begitu penting benar-benarkah itu per-
nah, sedang terjadi, atau akan terjadi.
Maka agak terkesima saya, ketika saya dengar sebuah ”Dewan

Catatan Pinggir 8 61
1965

Revolusi” muncul. Tampaknya ”Revolusi”, sebagai mitos, akan


di­wakili oleh suatu sosok yang konkret, dan akan ber­gerak­seba­
gai aksi yang konkret pula. ”Revolusi”, yang selama sebelum itu
”hadir” seakan-akan sebagai sebuah cakrawala sejarah—yang
mengimbau tapi tak kunjung hadir—tiba-tiba jadi suatu peristi­
wa dan laku yang aktual. Dan demikian pula kiranya ”kontrare­
vo­lusi”.
Bila di dalamnya ia tersirat kekerasan, maka kekerasan itu pun
bagian dari kehadiran yang aktual itu.
Dan kemudian itulah yang terjadi. Orang dibunuh, disiksa,­
di­penjarakan, dan dibuang; orang saling mencurigai, saling
membenci, dan saling memfitnah. Mereka bukan lagi bagian mi-
tos, melainkan tetangga kita, saudara kita, kenalan kita, atau kita
sendiri.
Sejak itu, Indonesia terguncang. Bangsa, yang oleh Benne-
dict Anderson disebut sebagai ”komunitas yang dianggit”, imag-
ined community, terjerembap. Maka bersama ”Revolusi”—apala-
gi ”revolusi” yang hadir konkret—serta-merta terungkaplah bah-
wa anggitan yang terbangun dalam bentuk ”bangsa” itu mengan­
dung­ sesuatu yang tak satu. Di satu sisi: imbauan yang bersifat
universal—dalam arti mengetuk hati siapa saja dan kapan saja,
bahkan termasuk mereka yang ber­ada di luar wilayah komunitas
itu. Tapi, di sisi lain, sang peng­anggit sebuah sosok yang partiku-
lar, ”sepihak”, hanya sebagian atau segolongan dalam konstelasi
seluruh ”anggota”-nya.
Dalam proses itu tersembunyi konflik. Tak terelakkan kira­
nya: tak ada sebuah komunitas yang tak melewati persaingan
untuk memperoleh identitatasnya. Tiap konflik meniscayakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

beroperasinya kekuasaan, sebab satu pihak yang partikular—


apakah itu Bung Karno, atau militer, atau orang-orang nasionalis,­
komunis, maupun Islam—pasti tak akan bisa secara lurus, lan-
car, dan otomatis memenuhi imbauan yang universal tadi. Ketika

62 Catatan Pinggir 8
1965

satu golongan mencoba mengaktualkan diri seba­gai sang ”peng­


anggit”, golongan lain akan menawar atau, bila kekerasan yang
dipilih, akan melawan.
Memang traumatik tahun 1965 dan tahun-tahun setelah
itu. Tapi itu juga masa yang membongkar apa yang tersembunyi­
dalam setiap kesatuan dan persatuan, juga yang dibayang­kan
dalam kata ”Revolusi”. Yang muncul adalah kenyataan bahwa ke-
satuan dan persatuan itu mustahil lahir dari mantra. Dalam apa
yang disebut Bung Karno sebagai samenbundelen van alle revolu-
tionaire krachten (berpadunya semua kekuatan revolusioner) ter-
simpan retakan-retakan dalam ruang dan waktu.
Sebagai sesuatu yang dalam ruang dan waktu, mereka dapat
berubah dan aktornya tak selalu sama. Ada masanya retakan itu
tampak seperti celah di antara anyaman bambu. Ada masanya ia
tampak seperti luka.
Maka apakah sebuah identitas sebenarnya, selain sebuah snap-
shot dari sosok dan wajah yang terus-menerus dalam proses ”men-
jadi”? Sewaktu-waktu, katakanlah satu atau dua dasawarsa, sosok­
dan wajah itu tampak ”jadi”. Tapi kemudian yang tak simetris
pun muncul. Sebuah identitas hanyalah sebuah himpunan hasil
identifikasi imajiner yang muncul susul-menyusul.
Tak berarti ilusi tentang sebuah ”identitas yang sudah utuh”
hanya sebuah khayal yang hasilnya negatif. Justru dalam ilusi ten-
tang keutuhan itu tersimpan daya yang membuat tiap segmen da­
lam sebuah bangsa mampu menjangkau dan menjabat tangan go­
longan yang lain. Komunitas pun dianggit—meskipun tak akan
pernah stabil dan final.
Kini, 40 tahun setelah 1 Oktober 1965, semua itu sempat­di­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tengok kembali: adanya retak-retak, dari mana pluralitas tampak,


bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah nasib dan itu juga kemung-
kinan. Mitos ”Revolusi” ingin menafikan nasib itu, dalam keke­
rasan, dengan kekerasan. Tapi gagal.

Catatan Pinggir 8 63
1965

Itulah sebabnya pluralisme lahir; ia sebenarnya sebuah gagas­


an tentang keterbatasan manusia. Jika dilihat demikian, ada ke-
arifan yang tumbuh ketika kita ”menjadi Indonesia”—meskipun
pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia, yang menganggap
pluralisme sejenis dosa, telah mengkhianatinya.

Tempo, 9 Oktober 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

64 Catatan Pinggir 8
GRAND CANYON

B
isakah agama menjawab semua hal? Bisakah ilmu?
Pada akhir musim panas 2005, sebuah rombongan da­
tang ke Grand Canyon, di timur-laut Arizona, Amerika
Serikat: sebuah ceruk sedalam 1,5 kilometer, terbentang garang
bagai samudra yang disihir membeku. Di permukaannya, seperti
armada jung negeri hantu, ribuan bukit keras menjulang dari ka-
rang sembilan lapis.
Di ngarai akbar ini, sinar surya akan membuka warna yang
kasar: bentangan biru batu-kapur purba, merah lempung kedap
yang jadi karang penebal tebing, dan di sana-sini, hijau perdu ju-
niperus, daun-daun agave gurun....
Apa gerangan yang terbit dalam pikiran Garcia Lopez de
Cordeñas ketika ia pertama kali menyaksikan tamasya seluas 450
kilometer x 29 kilometer itu? Di tengah abad ke-16 itu belum ada
yang berbicara tentang batu-kapur Kaibab, lapisan Coconino, fo-
sil hewan laut, dan bekas lahar yang menggaris. Belum ditulis
orang bahwa ngarai itu palung laut yang dangkal, dulu, 500 sam-
pai 1.000 juta tahun yang lalu. De Cordeñas tak mengenal teori
apa pun. Mungkin ia hanya takjub di atas kudanya, berbisik: ”Pa-
dre nuestro....”
Tuhan yang ada di surga, ”Padre nuestro que estás en los cielos”,
memang satu-satunya sumber penjelasan saat itu. Tapi bukan ha­
nya pada abad ke-16. Ketika pada akhir musim panas 2005 ini
rombongan yang saya sebut tadi—yakni 30 orang Kristen yang
saleh—turun ke Sungai Colorado yang mengalir di dasar ceruk,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka ingin meneguhkan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang


bisa menjelaskan Grand Canyon. Hanya Alkitab, The Good Book,
kata mereka, yang benar. Yang lain ”hanya teori”.
Dengan khidmat seseorang menyentuhkan telapaknya ke

Catatan Pinggir 8 65
GRAND CANYON

dasar ngarai. ”Disebutkan dalam Kitab Kejadian,” katanya, seba­


gai­mana dikutip The New York Times 6 Oktober 2005, ”Tuhan
berjalan di muka bumi. Mungkin jejak kaki-Nya di sini.”
Tampak, kata ”berjalan” itu baginya bukan kiasan. Sama hal-
nya ia yakin bahwa bumi diciptakan dalam enam hari (atau 6x24
jam). Bahkan bagi Tom Vail, sang pemimpin rombong­an yang
me­nulis buku The Grand Canyon: A Different View, ngarai­yang
mereka jelajahi itu bekas banjir Nabi Nuh yang di­sebut Kitab Ke-
jadian.
Vail dan rombongannya memang menolak kesimpulan para
ilmu­wan bahwa bumi berumur 4,5 triliun tahun dan lapisan
Grand Canyon sekitar 20 juta abad. Dan orang-orang Kristen di
Sungai Colorado itu tak sendirian. The New York Times menulis,
sebuah poll pada November 2004 menunjukkan sepertiga orang
Amerika percaya Alkitab adalah sabda Tuhan yang harus diarti-
kan secara harfiah, dan 45 percaya Tuhan menciptakan manusia
”seperti keadaannya sekarang”—tak berubah—sejak 10 ribu ta-
hun yang lalu.
Syahdan, hari-hari ini di pelbagai kota di 20 negara bagian
Amerika, para pengajar teori Evolusi sedang didesak minggir para
”Kreasionis” dan pendukung teori ”Desain Cerdas”, dua kelom-
pok yang ogah menerima pembuktian Darwin bahwa bumi dan
seisinya berkembang karena adanya ”seleksi alam”, ketika pelb-
agai organisme harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang berubah.
Bagi para pendukung ”Desain Cerdas”, alam adalah hasil­se-
buah rancangan yang sempurna. Yang Maha Pandai tak sekadar
mencoba-coba.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja para ilmuwan memandang mereka dengan cemo­


oh. Pada akhir musim panas yang sama, seperti dilaporkan­Jodi
Wilgoren dalam The New York Times, ke Grand Canyon datang
pula serombongan lain: 24 orang yang seraya naik rakit bermotor

66 Catatan Pinggir 8
GRAND CANYON

di Sungai Colorado membahas bentukan karang dengan dasar


teori evolusi dalam geologi—sebuah perjalanan seminar di alam
terbuka. Mereka disponsori Pusat Nasional Pendidikan Ilmu.
Separuh dari mereka bergelar doktor di bidang ilmu pengetahu­
an alam.
Salah seorang dari mereka, Webb, seorang dokter di Rumah
Sakit Colorado Springs, punya alasan. ”Evolusi itu basis biologi,”
katanya, ”dan biologi itu basis ilmu kedokteran. Kita me­nga­cau
sesuatu yang penting jika kita mengacau evolusi.”
Tapi bisakah ilmu menjawab semua? Para ilmuwan yang me-
nyusuri karang-karang Grand Canyon itu memang bisa meng-
klaim bahwa teori evolusi disusun berdasarkan pembukti­an em-
piris, dan kesimpulannya selalu diuji kembali. Darwin bukan
kebenaran terakhir; semangat ilmu bisa menggugat kepastian
lama—sesuatu yang mustahil dilakukan mereka yang bertolak
dari The Good Book kaum yang beriman.
Maka paham ”Desain Cerdas” ditampik; terutama karena di
sana tak ada kebebasan menelaah, bertanya, dan membantah.
Apa jadinya perkembangan ilmu dan pemikiran bila pintu tanya
sudah dikunci?
Di situ para ilmuwan benar—meskipun mereka juga sebenar­
nya berhenti bertanya di satu titik. Heidegger akan me­nga­takan,
mereka tak memasuki ”pertanyaan tentang Ada”, Seinsfrage. Se-
belum mempersoalkan perilaku alam dan membangun teori ten-
tangnya, sebetulnya ada pertanyaan: mengapa di balik alam-ben-
da yang ”ada”, tersirat ”Ada”?
Misteri ini menggetarkan sebenarnya. Ia tak bisa dijawab de-
ngan satu causa efficiens, satu sebab yang dapat menentukan aki-
http://facebook.com/indonesiapustaka

batnya dan/atau ditentukan oleh hasil akhirnya. Sayang­nya, ilmu


telah jatuh ke dalam godaan causa efficiens ini. Bahkan sejak ma-
sih berupa teori murni, fisika, kata Heidegger, ”memasang alam
agar menampakkan diri sebagai sebuah padu­an kekuatan yang

Catatan Pinggir 8 67
GRAND CANYON

dapat diperhitungkan sebelumnya”.


Tapi apa lacur: godaan causa efficiens juga mendorong para
pendukung ”Desain Cerdas”—bahkan umumnya agama dalam
tradisi Ibrahimi—untuk melihat Sebab Yang Awal sebagai sebab
yang dianggap menguasai hal-hal yang disebabkannya. Bahkan
dianggap bisa menguasai Kata yang konon berasal darinya: Kata
pun jadi seakan-akan bisa bak sinar laser: senantiasa terang, lu-
rus, meskipun sempit.
Di situ agama ternyata sama dengan ilmu: meringkus misteri
jadi problem, memberi jawab tapi sebenarnya tak bertanya.­Keti-
ka Tuhan dibayangkan berjalan di Grand Canyon, apa yang ter-
jadi? Ia jadi bagian dari hal ihwal yang ”ada”. Ia bisa diarahkan, Ia
bisa diperhitungkan.

Tempo, 16 Oktober 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

68 Catatan Pinggir 8
BENCANA

P
ADA suatu hari, Leon Wieseltier berlayar di dekat Pulau
Shelter, di sebuah selat di Alaska. Tiba-tiba perahunya di-
guncang angin keras, begitu keras. Ia ketakutan. Ia sendi­
rian. Badai dan gelombang menodongkan ajal ke hadapannya.
Pada saat genting itu, seekor camar turun dan hinggap di bu­
ritan.­ Burung laut itu menatapnya, tapi pandangnya tak acuh.
Ketika itulah—seperti kemudian dituliskannya—Wieseltier
baru menyadari betapa tak pedulinya alam kepada manusia yang
sedang celaka.
”Belum pernah aku dipandang dengan begitu tak berperi­ke­
manusiaan, belum pernah aku sebelumnya membayang­kan ba­
gai­mana diriku tampak sendirian dalam pandangan­alam. Men-
jijikkan.... Tujuanku tampak bukan apa-apa. Hidup­dan matiku
hanya gerak materi....”
Dengan kata lain: pada saat seperti itu, alam—yang meng­
ancam manusia—adalah sehimpun tenaga yang tak peduli. Se-
bab begitulah yang berlaku dalam kancah fisik: sebagaimana om-
bak yang diguncang badai dan layar yang patah di tengah,­manu­
sia yang terancam binasa (setelah ia bersembahyang­ sekali­pun)
hanya hadir sebagai ”gerak materi, pengulangan yang netral dari
arus zat”.
Ada yang getir dalam kalimat Wieseltier itu. Tapi ia me­nulis­
kannya dalam The New Republic, 17 Januari 2005, tak lama se­
te­lah tsunami meluluh-lantakkan Asia. Menyaksikan ribuan ke-
matian yang terjadi dan kesengsaraan yang meluas, ia tersentuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia bertanya: bagaimana orang yang percaya kepada Tuhan tak


akan salah-tingkah, atau guncang, oleh bencana seperti itu? ”Jika
tak mungkin menghormati alam karena­kebaikan­nya,” kata Wie-
seltier, ”tak mungkin pula menghormati­ia yang dianggap sebagai

Catatan Pinggir 8 69
BENCANA

’sang pengarang’ karena ke­baikan­­nya pula.”


Agaknya Wieseltier akan mengemukakan gugatan yang sama
hari-hari ini, bila ia saksikan yang terjadi di Pakistan: 40 ribu ma-
nusia, di antaranya ratusan anak, mati terhantam gempa­ di te­
ngah­salju, cuaca beku, dan hujan yang bandel.­Mereka miskin,
mereka saleh, mereka ditakdirkan lahir dan hidup tawakal di se-
buah negeri yang tak berpunya, dan kini.... Apa peduli alam de-
ngan semua itu? Apa peduli-Nya? Bagi Wieseltier, mereka yang
bilang bahwa bencana itu adalah iradah­yang misterius dari Tu-
han, adalah mereka yang ”terlalu siap menyambut tragedi”. Dari
sini mala yang datang dianggap sah, dan itu sama artinya dengan
”pembenaran bagi pembunuhan anak-anak”.
Rasa gundah dan gugatan seperti ini tentu saja tak baru: kita
teringat akan yang dikemukakan Voltaire pada abad ke-18. Men-
dengar betapa mengerikannya akibat hantaman tsunami di Kota
Lisbon pada tahun 1775, Voltaire menulis sebuah sajak, Poeme
sur la desastre de Lisbonne. Ia bukan hanya mence­mooh mereka
yang percaya bahwa Tuhan selalu punya ”alasan yang cukup” ka-
pan saja, juga ketika Ia membuat manusia hancur. Voltaire juga
menunjukkan betapa jauhnya jarak Tuhan dan kita.
Di akhir sajak itu, Voltaire menggambarkan seorang khalif­
yang di akhir hayatnya berdoa kepada Tuhan. Sang khalif menye-
but empat hal yang bukan bagian dari Ilahi: ”Kesalahan, sesal,
mala, dan kebodohan.” Dan ditambahkannya: ”harap­an”.
Harapan, dengan kata lain, adalah sebuah cacat. Tampak be-
tapa suramnya kondisi manusia bagi Voltaire—dan betapa tak
terjembataninya celah antara makhluk dan Pencipta. Walhasil,­
seperti camar laut di perahu Wieseltier, dari sisi sana, Tuhan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mung­kin menatap ke kesengsaraan di Aceh dan Pakis­tan—dan


Ia tak peduli.
Ada satu soal yang bisa dikemukakan kepada Wieseltier: ba­
gai­mana ia tahu bahwa camar itu, atau alam, atau Tuhan, acuh

70 Catatan Pinggir 8
BENCANA

tak acuh? Tidakkah itu hanya karena ia tengah merasa sendirian,


tak punya penolong? Bukankah apa yang kita simpulkan tentang
Tuhan sering hanya gema dari apa yang kita rindukan atau takut-
kan di dunia?
Memang selalu terjadi ke-satu-sisi-an dalam soal pelik ini. Ju­
ga­pada saat ”sang khalif” dalam sajak Voltaire berdoa dan menye­
but ”Engkau” dalam ”kemahabesaran-Mu”, ”dans ton immensi-
té”. Dalam baris-baris terakhir sajak itu, ”sang khalif” sebe­narnya
menggunakan ”kekurangan” manusia untuk melihat Tuhan, ke-
tika ia dengan masygul menyaksikan yang tragis dalam hidup.
Dalam sejarah pemikiran Islam, ke-satu-sisi-an seperti itu
bah­kan terdapat dalam pandangan kaum Asy’ariah pada abad ke-
10. Mereka ini mengemukakan bahwa Tuhan yang Maha­kuasa
tak terikat kepada penilaian adakah ia ”adil” atau ”tak adil” seper­
ti yang dipakai manusia untuk menilai manusia lain. Maka tak
dapat pula dikatakan benarkah Tuhan ”adil” (atau ”peduli”) ke-
tika Ia menciptakan bencana alam di Pakis­tan dan pembantaian
di Bosnia serta kesengsaraan di Palestina. Tapi kritik Ibnu Taymi-
yah (1263-1327) kepada kaum Asy’ariah menunjukkan bahwa si-
fat Mahakuasa itu juga cuma satu sisi. Kaum Asy’ariah, kata Ibnu
Taymiyah, ”menegaskan kehendak [Tuhan] tanpa kearifan”.
Soalnya, tentu: adakah citra tentang Tuhan dari kitab-kitab
suci yang tanpa kontradiksi? Yang Mahabaik selalu tampil seba­
gai­juga sang pencipta kesengsaraan. Pada abad ke-21 ini ada yang
merasa bisa memecahkan kontradiksi itu dengan menunjukkan:
tak ada peran langsung-Nya di tengah alam. Seorang pemimpin
masjid Lakemba di Sydney, Australia,­ misal­nya, mengatakan:
Tu­han memang Mahakuasa, tapi ”selama tsunami mengikuti hu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kum fisika”, kita tak bisa menyalahkan bencana itu kepada-Nya.


Jika tak ada intervensi Tuhan dalam hukum fisika, bisa dika­
takan juga tak ada campur tangan-Nya dalam kebrutalan manu-
sia. Tapi dengan begitu bukankah Ia akan tampil tidak sebagai

Catatan Pinggir 8 71
ABU NUWAS

pelaku, atau sebagai Ia yang tak peduli, seperti alam artik yang
ganas dalam kisah Leon Wieseltier? Benar. Tapi berbeda dengan
alam, kita tak bisa mengukur-Nya.
Mungkin itulah yang tak sempat menyentuh Wieseltier yang
getir: tersirat erat di alam itu, dalam badai, dalam gelombang dan
juga di kehadiran camar itu, ada isyarat ke-Maha-Lain-an yang
tak tepermanai.

Tempo, 23 Oktober 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

72 Catatan Pinggir 8
SOTO

T
IAP 28 Oktober saya teringat soto. Hari itu, di tahun
1928,­ ketika para pemuda menyatakan bersumpah un­
tuk­memiliki ”satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”,
tak ter­dengar­ada kesepakatan untuk punya ”satu soto, soto Indo-
nesia”.
Demikianlah kini kita masih bisa merasai soto Bandung, soto
Ban­jar, soto Betawi, soto Kudus, soto Pekalongan (yang ter­akhir
ini belum juga mau disebut soto, melainkan ”tauto”, karena ada
un­sur tauco di dalamnya), soto Madura, dan seterusnya, sehingga
dari barat sampai ke timur berjajar soto-soto­—itulah Indonesia.
Soto agaknya satu hal yang mustahil diatur. Maksud saya, ia
sulit untuk dilebur dalam sebuah ”kesatuan”. Saya tak tahu, se-
jauh mana kalangan intelijen menganggap soto Bandung, soto
Banjar, soto Madura dan lain-lain itu sebagai ancaman dan me-
nyebarkan informasi: Awas, soto adalah pendukung diam-­diam
federalisme dan pelawan ”NKRI”.
Adapun akronim ini sekarang dipakai sebagai bahasa resmi
untuk menyebut Republik kita—acap kali disebut dengan sete­
ngah­menggertakkan geraham, khususnya ketika sampai di hu­
ruf­ ”K”. Tapi kita tahu, lidah kita tak bisa merasakan soto dari
mana pun pada saat kita menggertakkan geraham.
Mungkin karena soto akan senantiasa luput dari bahasa resmi.
Ia bertaut erat dengan kelaziman perut dan lidah, yang umumnya
terbentuk oleh pengalaman dari sejak masa kanak-kanak. Orang
yang sejak berumur 6 tahun dihibur ibunya dengan makan soto
http://facebook.com/indonesiapustaka

bersantan gaya Bandung, tak akan dengan gampang mencintai


soto bening gaya Madura.
Dengan kata lain: soto berhubungan dengan selera, hasrat, ke­
nikmatan, ingatan, bawah-sadar, banyak hal jasmani yang ter-

Catatan Pinggir 8 73
SOTO

simpan dari masa lalu, yang kadang-kadang muncul, dan agak­


nya disebut jouissance dalam psikoanalisis Lacan. Soto bertautan
dengan sesuatu yang mengandung hal-ihwal yang tak selamanya
dapat dibuat terang dan rapi. Soto yang tak dapat dijadikan ba-
gian dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober itu menun-
jukkan bahwa dalam hidup memang ada hal-hal yang tak dapat
dijangkau oleh tata simbolik—oleh bahasa, hukum, konvensi
bersama, dan agama.
Yang menarik ialah bahwa 28 Oktober 1928 justru sebuah­pe­
ristiwa dalam tata simbolik, ketika nama jadi demikian penting.­
Contoh yang paling jelas adalah dalam salah satu yang disebut
dalam Sumpah itu: ”satu bahasa, bahasa Indonesia”. Bahasa­ ini
bukanlah sesuatu yang baru pada saat ia dise­pakati untuk di­pa­
kai.­Bahasa ini telah beredar sekian abad sebelumnya, umumnya
disebut sebagai bahasa ”Melayu”, tapi tak lagi persis seperti yang
dipergunakan suku Melayu, sebab khazanah dan lidah orang
lain—terutama kaum peranakan Cina, yang banyak berperan
da­lam perdagangan dan media—ikut membentuknya. Maka
yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 itu adalah mengubah
nama ”Melayu” menjadi ”Indonesia”.
Apa arti sebuah nama? Ini pertanyaan yang sering diulangi­se-
jak Shakespeare menulis Romeo and Juliet. Bagi Romeo, nama tak
penting; kembang mawar tetap kembang mawar seandai­nya pun
ia disebut ”dadap”. Romeo mendahului teori li­nguis­­tik Saussure,
jika ”nama” kita samakan dengan ”kata”: arti sepatah kata bukan-
lah sesuatu yang berdiam atau tersimpan dalam kata itu sebagai
satu hakikat. Arti itu selamanya tergantung pada kata lain yang
maknanya berbeda. Maka X = mawar, sebab ia bukan Y bila Y =
http://facebook.com/indonesiapustaka

melati, dan Y = melati, sebab Y bukan Z bila Z = alamanda, dan


se­terusnya. Maka apa itu ”mawar”? Kita cuma bisa angkat bahu.
Tapi tak selamanya kita bisa menyamakan ”nama” dengan
”kata”. Nama sering punya sejarahnya sendiri. Ketika nama ”In-

74 Catatan Pinggir 8
SOTO

donesia” dipilih, yang simbolik tak hanya bunyi netral. Ia dige­


rakkan dan menggerakkan sebuah cita-cita, sebuah harap­an,
mungkin sebuah rancangan. Jika kita lihat kini, itulah cita-cita
tentang sebuah negeri yang baik, tempat orang yang berbeda-be-
da memutuskan untuk tak saling melempari bom.
Ada yang pragmatis di situ: seandainya sebagian kita bersikap
seperti Imam Samudra, tak akan banyak lagi di antara kita yang
hidup, lebih banyak lagi yang dalam ketakutan. Sebab orang se-
perti Imam Samudra—yang dengan berapi-api me­nulis­pembe-
laan atas perannya dalam mengatur pengeboman di Bali—tak
peduli tentang Indonesia. Ia tak perlu Indonesia. Ia ingin mene­
gakkan masyarakat Islam yang tak terbatas pada ”satu bangsa dan
satu tanah air” ini. Dan ia merasa tahu pasti apa yang ”Islam” itu.
Dan dengan klaim itu, ia sah membunuh yang ”bukan Islam”. Is-
lam, dalam pandangan ini, selalu menghunus empat pedang.
Tapi tak ada sebuah kehidupan bersama yang bakal tahan da­
lam ancaman empat pedang yang terus-menerus. Ini bukan­ha­
nya­karena rasa jeri. Sesuatu yang lebih dalam tersimpan dalam
pragmatisme itu: ”satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” adalah
eks­presi dari sebuah panggilan ke arah sesuatu yang universal.
Setidaknya, dilihat di tahun 2005, Sumpah Pemuda bukan-
lah ambisi mendapatkan kekuatan politik dan keluasan geogra­fis.
Sumpah itu buah kesadaran: tak pernah ada kelompok (agama,
suku, gender, dan lain-lain) yang bisa mapan dan selesai dalam
men­capai identitasnya. Yang disebut ”orang Jawa”, juga yang
disebut ”umat Islam”, sebenarnya tak pernah jelas apa artinya—
sebab di dalamnya keanekaan berkecamuk, meskipun sering tak
diakui.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada saat yang sama, kita tahu sudah takdir kita: meskipun
penghuni 17.000 pulau ini tak hadir serentak di satu ujung jalan,
kita tahu bahwa tiap saat kita bersentuhan dengan orang yang
lain. Bahkan Imam Samudra harus mencoba meyakinkan­orang

Catatan Pinggir 8 75
SOTO

yang ”lain” itu, dan sebab itu ia bicara, berseru, menulis.


Dalam tiap seru, tersirat asumsi bahwa ada yang universal da­
lam kehidupan bersama ini. Ada hal-hal dalam ”milik” kita yang
khas yang kita harapkan dapat diterima dan dinikmati siapa saja,
entah kapan. Setidaknya begitulah kearifan penjual soto: ia tak
bermaksud menawarkan soto Kudus semata-mata buat orang di
kota di utara Semarang itu. Dan kita bersyukur.

Tempo, 30 Oktober 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

76 Catatan Pinggir 8
TUJUH

A
NGKA bisa imajinatif. Pada waktu kecil saya mendengar­
dengan terpesona orang-orang tua bicara tentang Laila­
tul qadr: satu malam yang lebih baik ketimbang 1.000
bulan, malam ketika Quran turun, malam ke-21, 23, 25,27, 29
pada bulan Ramadan, ketika akan jatuh curahan cahaya....
Setelah lewat masa kanak, baru saya tahu Quran tak menyebut­
secara spesifik pada malam keberapa wahyu diturunkan pada bu-
lan suci ini. Tak disebutkan pula bahwa pada malam ke-27 cahaya­
akan meluncur dari langit.
Tapi perlukah kita kecewa? Bukankah, dengan sedikit renung­
an dan keyakinan, bisa dikatakan peristiwa pewahyuan itu sendi­
ri sudah sebuah keajaiban?
Keajaiban selamanya terasa di saat kita ada dalam ”sentuh­an”
Tuhan. Tanpa rasa takjub dan gemetar, iman hanya akan terasa
se­bagai sebuah tesis. Tanpa bimbingan kitab suci sekalipun, ma-
nusia selalu bisa terkesima akan keagungan-Nya. Pada momen
seperti itu, bahkan angka ikut bergetar dan tumbuh dalam wu-
jud yang imajinatif.
Dalam pelbagai tradisi hal itu terjadi. Di luar Islam, ada yang
menggabungkan semangat Kabbalah dalam mistik Yahudi de-
ngan rahasia nomor, seperti yang kita temukan dalam numerolo-
gi. Dalam agama Kristen, angka tujuh seakan-akan punya daya
pu­kau istimewa. Dalam gambaran yang sangat mencekam ten-
tang kiamat, Alkitab menyebut ”tujuh meterai” yang tampak pa­
da gulungan kitab yang dipegang Tuhan, ”tujuh malaikat dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tujuh sangkakala”, dan ”tujuh cawan murka Allah” yang akan


ber­peran di hari itu.
Angka ”tujuh” di situ mungkin mengandung simbol tertentu
dari khazanah yang terpendam, tapi yang pasti ia memberi kesan­

Catatan Pinggir 8 77
TUJUH

kegaiban. Saya tak tahu demikian pulakah ketika Rasul­ullah me­


ngatakan bahwa Quran diwahyukan dalam ”tujuh bacaan”.
Apa makna sebenarnya dari sab’at-i-ahruf itu? Adakah kata
”tu­­juh” dipakai untuk menandai sebuah jumlah tertentu, dan bu­­
kan sebuah majas? Dan apa arti ”bacaan” atau ”cara membaca”?­
Seorang ulama pernah saya dengar mengutip sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Ubayy bin Ka’b: Rasulullah mencerita-
kan, pada suatu hari malaikat Jibril datang menyampaikan bahwa­
Allah memerintahkan agar Quran hanya dilafalkan dalam satu
di­alek. Nabi enggan. Rasulullah menjawab bahwa­umatnya tak
akan mampu melakukan itu. Tetap saja Jibril menegaskan, tapi
te­­tap pula Nabi mengajukan argumennya. Akhirnya, setelah bo-
lak-balik, Jibril pun menyatakan keputus­an Allah: manusia di-
perkenankan membaca Quran dalam tujuh cara, dan masing-
masing benar.
Saya tak berbahasa Arab, dan bukan pula saya seorang pakar­­
Quran dan Hadis. Kesan saya sederhana: di sini ”tujuh” ber­arti
se­bagaimana angka itu dimaksudkan: sebuah jumlah tertentu.­
Tapi kenapa ”tujuh” dan bukan ”delapan”? Rasanya, layak de-
ngan kegaiban Allah, masih ada misteri di sini. Tak ka­lah pen­
ting,­ tampaknya di situ yang hendak dinyatakan adalah diper-
bolehkannya keragaman. Kepastian yang tunggal­bukanlah hal
yang dipilih. Muhammad saw sangat arif: ia lebih­me­nge­nal plu-
ralitas umatnya ketimbang seorang malaikat yang tak pernah hi­
dup dengan tubuh yang terbatas di ruang dan waktu.
Jika keragaman ”cara baca” itu tak diharamkan, persoalannya
tentu: apa yang dimaksud sebagai ”cara baca” dalam hadis itu?
Ca­ra melafal, atau cara menafsir?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saya tak sempat bertanya. Saya hanya ingat akan yang se­ring
terjadi dalam sejarah: imajinasi tak selamanya aman. Ia sering
me­resahkan, dan sebab itu dicoba dikendalikan oleh keinginan
akan kepastian. Apalagi ketika mengenai angka, bagian yang

78 Catatan Pinggir 8
TUJUH

hakiki dari ilmu eksakta. Ia mudah dikeringkan dari apa yang


imajinatif, ia gampang jadi abstrak.
Namun mustahil untuk meniadakan majas dari bahasa, tak
mungkin menghabisi kiasan dan tamsil bahkan dari angka.
”1.001 malam” tak menunjukkan satu jumlah, seperti agaknya
”1.000 bulan”, ”1.000 tahun”, atau ”Pulau 1.000”. Angka itu bu-
kan konsep, bukan hasil hitungan, melainkan hasil imajinasi.
Dari situ lahir metafora. Al-Jurjani, teoretikus sastra dari abad
ke-11, pernah mengatakan, salah satu dari kemampuan dan ke­
indah­an isti’ara atau metafora ialah bisa membuat ”yang tak-hi­
dup­jadi hidup dan komunikatif”, dan ”benda yang hambar jadi
ekspresif”. Isti’ara memungkinkan konsep yang ”terkubur dalam
intelek” diubah jadi ”benda-benda jasmani yang seakan-akan ter-
lihat oleh mata”.
Tapi itu pula risikonya: benda jasmani mengesankan ke­fana­
an­dan ketidaktetapan. Dan orang sering risau, bagaimana­yang
tak tetap bisa merekam firman Tuhan? Sejarah agama-agama me­
nunjukkan, selalu ada usaha untuk menyepakati makna kata-­
kata suci, karena selalu ada ketegangan: bila pluralitas dalam
membacanya, seperti dilihat Nabi sendiri, mustahil dihindari,
bagaimana pluralitas itu tak menyebabkan pertikaian?
Itulah yang tampak di balik pengumpulan, perekaman, dan
kodifikasi Quran sejak Khalifah Abu Bakar dan terutama­ketika­
Khalifah Usman. Yang terakhir disebut ini, sekitar­19 tahun­se­
telah Rasulullah wafat, dikutip mengatakan: ”Me­nurut hemat
saya, kita harus menyatukan umat berdasarkan­satu teks tunggal
(mushaf waahid), hingga tak akan ada per­pecahan­dan sengketa.”
Maka setelah teks tunggal itu selesai, diperintah­kannya agar ba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

han-bahan Quran yang lain, baik berupa teks yang utuh ataupun
serpihan tertulis, dibakar.
Sejarah mencatat, usaha menegakkan mushaf yang tunggal­
ber­hasil, meskipun terbatas. Pelbagai cara baca atau dialek tetap

Catatan Pinggir 8 79
TUJUH

berlanjut, hingga baru tiga abad setelah wafatnya Usman, seorang


ulama besar, Ibn Mujahid, berhasil membatasi­nya sampai tujuh.
Tapi adakah sengketa berhenti? Khalifah Usman, kemudian Ali,
dibunuh, perpecahan Sunni dan Syiah terjadi, dan perdebatan
yang keras, tapi tak jarang mendalam dan bermutu, terus ber-
langsung, hingga hari ini.
Jangan-jangan bukan hanya angka ”tujuh” atau ”1.000”, tapi
juga angka ”satu”—dari mana kata ”persatuan” berakar—harus
juga ditafsir secara imajinatif.

Tempo, 6 November 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

80 Catatan Pinggir 8
MAAF

M
” ohon maaf, lahir batin....” Kartu Lebaran be­ter­
bang­­an, pesan pendek di telepon genggam mondar-
mandir. Hari Lebaran adalah hari ketika maaf otoma-
tis dimohon dan secara langsung diberikan.
Tapi maaf bukanlah pemberian.
Memberikan maaf bukanlah menghadiahi, melainkan­meng­
akui yang tak abadi. Ada sebuah sajak Alun Lewis, se­orang pe-
nyair Welsh yang membisikkan pengakuan itu: di air kolam di
hutan itu tampak parasnya sendiri seakan tenggge­lam, di celah
daun-daun yang jatuh terapung:

Forgive this strange inconstancy of soul,


The face distorted in a jungle pool
That drowns its image in a mort of leaves

Maafkan jiwa ini, katanya, tak ada yang tetap di sana: lihatlah­
pantulan wajah itu, sesuatu yang tak kekal. Memang dulu se­
orang anak melihat ke cermin yang disiapkan orang tuanya dan
menyangka dirinya sosok yang utuh. Tapi di usia dewasa ia tahu
dalam dirinya tersirat ”this strange inconstancy of soul”. Ia subyek
yang retak, tak selamanya ajek dan mantap, terdorong niat dan
hasrat untuk mencapai yang sempurna, tapi apa daya tangan tak
sampai.
Tentu saja, maaf tak semata-mata mengakui yang tak abadi­
dan tak terjangkau. Maaf (kecuali ”maaf” rutin pada hari Le­ba­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ran)­jadi tindakan yang berarti bila ia tak dapat diramalkan lebih


du­lu, bila ia merupakan pilihan yang tegang antara memaafkan
dan tak memaafkan, bila yang memaafkan seakan-akan melon-
cat dari masa lalu yang disakiti ke masa depan yang penuh teka-

Catatan Pinggir 8 81
MAAF

teki. Artinya, bila ia mendorong dirinya sendiri untuk membuka­


diri kepada yang ”lain”, memulihkan pertalian dengan yang
”lain”.
”Yang-lain” bisa berarti apa yang tak terduga oleh ukuran lu-
rus kita, yang tak sepenuhnya tercerap kita dengan jelas dan tegas,­
dan sebab itu tak mudah dinilai dan dihakimi.
Tapi benarkah kita tak mampu menghakimi? Sekelompok
orang menangkap tiga murid perempuan SMA Kristen yang ke­
be­­tulan lewat di tepi hutan Poso, memenggal leher mereka, dan
me­ngirim tiga potong kepala ke tengah kota, agar menimbulkan
marah, ngeri, dan onar. Sebelum dan setelah mereka menyembe-
lih anak-anak yang tak berdosa itu, saya bayangkan mereka me­
ngu­tip sabda yang mereka yakini dan memaklumkan yang mere­
ka anggap luhur, dan berseru: Kami lain! Nilai-nilai kami tak sa­
ma dengan nilai-nilai kalian!
Bisakah kita memaafkan mereka, hanya karena mereka ber­
ada di luar ukuran kita, dengan nilai-nilai yang tak cocok dengan
nilai-nilai kita?
Mungkin ini sebuah pendekatan yang salah. Maaf lahir bu-
kan karena kita harus mengikuti logika perbedaan, melainkan
justru karena ada harapan akan titik-titik persamaan.
Dalam riuh-rendah ”politik identitas”, yang berkecamuk tiga
dasawarsa yang lalu, pelbagai kelompok memang memproklama­
sikan diri ”berbeda”. Kaum X, agar dapat diakui kehadirannya,
harus menemukan identitas sendiri yang bukan seperti kaum Y.
Kaum A, untuk menegaskan kemandiriannya, menuding bahwa
norma yang sama—yang universal—hanya sebuah bentuk pen-
jajahan kaum B, dan sebab itu yang universal sebenarnya tak per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nah ada.
Gema ”politik identitas” itu masih terus, kecemasan kehilang­
an ”jati diri” terus berkecamuk. Memang harus diakui: tatanan
nor­matif yang kita terima sering datang dari ”luar”. Tradisi Islam

82 Catatan Pinggir 8
MAAF

tak mengenal, misalnya, proses peradilan yang berdasarkan pra-


duga tak bersalah, yang mengharuskan ada pembela bagi si ter-
tuduh dan memungkinkannya naik ban­ding.­Posisi hegemonik
”Barat”-lah yang menyebabkan norma itu diadopsi di mana-ma-
na.
Tapi benarkah posisi itu menjelaskan segala-galanya,­hing­ga­
tak ada yang universal yang berarti? Jika masing-masing­ pihak
menegaskan identitas diri sepenuhnya, secara mutlak,­bagaimana
kita punya nilai-nilai bersama? Bagaimana tuan bisa bilang ”ti-
dak!” kepada para penyembelih anak-anak?
Kini pelbagai keyakinan dapat tempat, semuanya memba­wa­
kan ”kebenaran” yang dinyatakan berlaku kapan-saja-di-mana-
saja. Sementara itu juga orang tambah sadar, atau tambah curiga,
bahwa konsensus untuk menerima nilai-nilai yang universal sela-
lu dicapai lewat pergulatan politik.
Bersama Marx dan setelah Marx, kita tak percaya lagi ada fon-
dasi yang ”universal” yang berada di atas sejarah, tak berubah.
Kian tampak, yang ”universal” bukan wahyu Tuhan dan hasil ke-
cerdasan, tapi hasil pergulatan dalam ruang dan waktu.
Itu sebabnya setelah Marx, ada Laclau, mengikuti Gramsci:­
ia mengakui, bahwa apa yang universal memang ditentukan oleh
posisi hegemonik dari salah satu suara dalam kehidupan bersa-
ma, tapi tak berarti yang universal tak ada. Ada yang salah dalam
”politik identitas”: tak ada identitas yang bisa penuh, tak ada su-
ara sepihak yang sepenuhnya tertutup rapat dari suara pihak lain.
Suara B efektif diterima karena ia tak mutlak­ menampik suara
A, karena apa yang ”benar” dan ”adil”—meski­pun­ tak bisa di-
rumuskan—juga bisa menggerakkan dan meng­getarkan pihak
http://facebook.com/indonesiapustaka

”sana”.
Dalam keadaan itu, tiap suara yang ingin menegakkan satu
tata normatif mengaku sebagai inkarnasi dari yang universal.
Tapi yang universal selamanya tak terucapkan, terasa jauh tapi

Catatan Pinggir 8 83
MAAF

dekat, ibarat cakrawala yang membisu. Sebagaimana cakrawala,


tiap kali didekati, ia tetap tak terjangkau. Tapi kita tahu ia ada
justru dalam ketidakhadirannya.
Walhasil, kita bisa menghakimi para penyembelih anak-anak
di hutan Poso. Kita bisa mengatakan bahwa mereka tak bisa pura-
pura 100 persen berbeda dari kita. Mereka tahu perbuatan mere­
ka keji. Teror dan provokasi hanya efektif bila di­nilai siapa saja,
juga oleh kaum yang di seberang sana, sebagai sesuatu yang keji.
Hanya sebuah fantasi yang muluk bila kita melihat diri sendi­
ri (”this strange inconstancy of soul”) sebagai sesuatu yang utuh,
kekal, dan mutlak dalam berbeda dari yang lain. Sejarah menun-
jukkan, manusia mengerti kenapa tangan selalu bisa diulurkan
dan maaf datang dengan kearifannya: maaf sebagai pengakuan
bahwa tiap pihak, juga atas nama Tuhan yang sempurna dan aba-
di, tak akan pernah mencapai permusuhan yang sempurna dan
abadi.

Tempo, 13 November 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

84 Catatan Pinggir 8
ISLAM

M
EREKA berkuda ke luar kota, menuju ke arah padang
pasir. Bangsawan tua itu duduk tegak di pelana, dan
putra­nya, Ali Khan, berada di sebelahnya.
Anak muda itu sedang jatuh cinta. Ia berniat menikah. Sang
ayah pun mendengarkan kehendak itu, setengah acuh tak acuh,
lalu mengucapkan sepotong nasihat: ”Orang mencintai tanah
air­nya,” katanya, ”atau menyukai perang. Sebagian mencintai
per­madani yang cantik dan senjata yang langka. Tapi tak pernah
terjadi, laki-laki mencintai seorang perempuan.”
Bagi orang tua itu, perempuan adalah sebuah benda yang bisa
dinilai lebih rendah ketimbang karpet dan kelewang. Pe­rempuan
adalah sarana untuk mendapatkan anak, tak lebih,­ tak kurang.
”Kamu masih sangat muda, Ali Khan,” kata sang ayah pula.
”Ping­gul seorang perempuan lebih penting ketimbang pengeta-
huan bahasanya.”
Jika tuan terkejut, marah, atau tak nyaman mendengar­ucap­­
an­misoginistis yang menghina ini, baiklah kita ingat­bah­wa Ali
Khan dan ayahnya hidup dalam novel Ali und Nino, yang ter-
bit pertama kali pada 1937 di Wina. Ceritanya­dibangun­sebagai
deskripsi yang elok tentang sebuah tempat dan masa yang eksotis:
Kota Baku di Azerbaijan pada awal abad ke-20, ketika dua ”ke-
budayaan” bertemu, bersengketa, dan mencoba hidup bersama.
Yang pertama kebudayaan ”Ero­pa” atau ”Kristen”, yang lain ten-
tu saja ”Asiatik” atau ”Muslim”.
Dari kata-kata Safar Khan, sang ayah, kita bisa tahu apa peran­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya: dialah pembawa suara ”Muslim”. Bersama dia, Sayid­Mus­


tafa, seorang keturunan Nabi, anak seorang imam masjid besar
dan cucu seorang alim yang menjaga makam Imam Reza di Kota
Meshed. Syahdan, inilah pendapat sang Sayid: ”Perempuan itu

Catatan Pinggir 8 85
ISLAM

sekadar sepetak tanah, dan di atasnya laki-laki menggaru.... Ni-


kahlah, tapi ingat: perempuan hanya sepetak tanah.”
Jika dibaca lebih tekun, akan terasa bahwa Ali und Nino bu-
kanlah sebuah novel dengan watak-watak yang rumit dan berge-
jolak. Cerita ini bertopang pada sejumlah stereotipe: tokoh dan
ucapan yang terdapat di dalamnya—terutama bila menyangkut­
Islam—hanyalah hasil cetakan sebuah pakem yang beredar ber-
ulang kali, seraya disesuaikan dengan pandangan dan selera
orang ramai.
Demikianlah, si ”Muslim” selamanya jadi kosok-balik yang
leng­kap bagi ”Kristen”, kontras yang tajam terhadap si ”Eropa”—
terutama perihal perempuan dan kekerasan.
Persoalannya, tentu, benarkah jadi ”Muslim” berarti harus­
ber­perilaku yang berlawanan dengan apa yang dianggap ”Eropa”.
Haruskah ”Islam” berarti ”musuh Barat”, dan untuk me­negas­
kan­permusuhan itu, si Muslim harus melakukan hal-hal yang ia
duga tak dilakukan di ”Barat”—misalnya menghina perempuan
seraya merayakan perang dan kegagahan?
Penulis novel ini, memakai nama Kurban Said, tampaknya
ber­pandangan begitu. Ia seorang Muslim. Tapi ia punya kisah
yang tak sederhana.
Dalam riwayat hidupnya yang penuh warna-warni, yang ditu-
lis secara menarik Tom Reiss dalam The Orientalist, diungkapkan
bahwa ia lahir di Baku pada 1905. Nama sebenarnya Lev Nussim­
baum, seorang berdarah Yahudi yang lahir dalam keluarga yang
jadi kaya karena minyak bumi.
Ketika Lev berumur 13, Uni Soviet, yang baru menegakkan­
kekuasaannya lewat Revolusi Oktober 1917 di Rusia, merebut ko­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ta itu. Si Ibu membunuh diri, dan si ayah pun membawa si bocah


mengungsi melalui Turkestan, Persia, dan Pegunungan Kauka-
sus. Akhirnya anak dan ayah itu sampai ke Berlin.
Di sini, ketika ia berumur 17, Lev memutuskan masuk Islam.

86 Catatan Pinggir 8
ISLAM

Ketika mendaftarkan diri jadi mahasiswa di Friedrich-Wilhelms-


Universität, ia memakai nama ”Essad Bey Nousimbaoum”. Da­
lam beberapa fotonya—misalnya yang dipasang di kulit-muka
The Orientalist—ia tampak memakai fez orang Turki, bahkan
juga memakai igal, seakan-akan ia seorang syekh dari Arabia.
Tak jelas benar apa yang mendorongnya jadi Muslim. Menurut­
penulis The Orientalist, perjalanan Lev dan ayahnya menempuh
Pegunungan Kaukasus, ketika mereka melarikan diri dari Re­
vo­lusi Rusia, punya bekas: dari sana tumbuh dalam dirinya se-
buah pandangan bahwa Islam adalah ”satu penopang perjuangan
heroik di dunia yang dikuasai kekuatan kasar dan ketidakadilan”.
Sejak umur 10, Lev menganggap Islam bagian dari dirinya. Ia su-
dah mencita-citakan orang Yahudi dan Muslim bersatu ”dalam
per­juangan mereka melawan Barat dan kekerasan massalnya”.
Itu tahun 1930-an, sebuah zaman yang aneh jika dilihat de-
ngan mata orang sekarang. Pada masa itu tak tampak meng­he­
ran­­kan bila ada orang Yahudi—kaum yang berabad-abad terjepit­
di Eropa—yang memandang diri senasib sepenanggungan de-
ngan orang Islam. Seorang Zionis, Wolfgang von Weisl, bahkan
konon mendampingi Lev Nussimbaum menulis risalah dengan
judul ”Allah Mahabesar: Turun dan Naiknya Dunia Islam”.
Tapi benarkah Nussimbaum alias Essad Bey alias Kurban Sa­
id berharap ”Naiknya Dunia Islam”? Apa gerangan ”Dunia Is-
lam” itu?
Tak mudah dijawab. Jika kita ikuti Ali und Nino, ”Dunia” itu
adalah sebuah antitesis terhadap apa yang disebut ”Barat”. Di
sanalah, misalnya, seperti digambarkan dalam novel itu, para le-
laki dengan nyaman mengucapkan kata-kata yang merendahkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

perempuan, dan, seperti dicita-citakan Iljas Beg, salah satu tokoh


cerita, ”semua bacaan dan tulisan dilarang, dan orang memakai
lilin, bukan tenaga listrik”.
Jika antitesis terhadap ”Barat” macam ini tampak masih ka-

Catatan Pinggir 8 87
ISLAM

bur, itu karena ”Barat” sendiri tak jelas sosoknya.


Yang pasti, Nussimbaum tak menemukan ”Barat” yang satu.­
Seraya ia bermimpi untuk melawan ”Barat”, ia juga ingin mem-
bela ”Barat” dari apa yang disebutnya sebagai ”barbarisme Bol-
syewik” dari Rusia. Maka ia, seorang Yahudi, menyambut dengan­
gembira datangnya Nazi. Kekuatan Hitler, katanya, ”telah me­
nye­lamatkan Eropa dari sebuah malapetaka”.
Ah, ”Eropa”, ”Barat”, ”Kristen”, ”Asia”, ”Islam”—sebenar­nya
apa arti kata-kata itu?

Tempo, 20 November 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

88 Catatan Pinggir 8
AZAHARI

M
EREKA bukan orang asing, jika ”asing” berarti ”gan-
jil” dan ”tak dikenal”. Tapi mereka bukan orang sini.
Azahari dan Noor Din Top masuk diam-diam dari
Ma­­laysia ke Indonesia, merekrut orang-orang lokal untuk dilatih­
buat meledakkan bom, membunuh orang yang tak bersalah, dan
sejak itu Indonesia pun terjerembap. Sejak itu negeri ini, yang
oleh anak-anak sekolah dinyanyikan sebagai ”aman dan sentau-
sa”, jadi tempat yang tak aman dan tak sentausa bagi siapa saja.
Tentu saja Azahari dan kawan-kawan mengatakan mereka­
melawan Amerika Serikat dan Zionisme—dan jihad mereka ada­
lah bagian dari perang global yang kini berkecamuk—tapi pada
akhirnya tetap: yang sakit bukanlah Amerika Serikat, bukan pula
Israel, melainkan Indonesia—sebuah negeri yang, bagi kedua
orang Malaysia itu, tak punya makna apa-apa.
Ya, mereka bukan orang sini. Kata ”sini” mengimplikasikan­
se­buah perbatasan, antara ”dalam” dan ”luar”. Harus di­akui­per­
batasan itu tak datang dari Tuhan atau alam, melainkan dari se-
buah proses politik dalam sejarah. Perbatasan itu juga bukan ben-
da yang kekal. Tapi apakah yang tak kekal tak punya­arti dan tak
punya kekuatannya sendiri?
Azahari dan orang sejenisnya—yang bercita-cita mendiri­kan­
sebuah kekhalifahan Islam yang mengatasi ”negara-bangsa”—
berangkat dari semangat ”de-lokalisasi”: melintasi lokalitas yang
mereka anggap membatasi diri. Mereka tak mau bersetia kepada
sebuah ”tanah air”, termasuk tanah air Indonesia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mereka terbang dengan dua sayap. Pertama, asumsi bahwa Is-


lam adalah sesuatu yang universal, yang berlaku di mana saja dan
kapan saja. Kedua, dinamika dewasa ini, yang menerjang atau
me­nyeberangi perbatasan nasional, seperti yang digerakkan oleh

Catatan Pinggir 8 89
AZAHARI

ilmu, teknologi, dan kapitalisme mutakhir. ”Hari ini, agama ber-


sekutu dengan tele-tekno-ilmu,” kata Derrida dalam sebuah sim-
posium di Capri pada tahun 1994—sebuah kalimat yang tetap
punya gema satu dasawarsa kemudian.
Tapi pada saat yang sama, dua sayap itu juga bertabrak­an.­­
Agama, seperti yang dibawakan orang macam Azahari,­me­ngan­
dung kontradiksi: di satu sisi ia mengklaim dirinya­uni­­ver­sal, tapi
di sisi lain, semakin ia jadi bendera identitas­ kelompok,­ agama
pun melawan sifat universalnya sendiri. Ketika agama jadi iden-
titas kelompok, ”globalisasi” yang dibawa­kan oleh modal, ilmu,
dan teknologi pun seakan-akan merupa­kan ancam­an bagi diri­
nya­—meskipun televisi dan Internet sebenarnya telah menopang
semangat ”de-lokalisasi” yang mere­ka anut.
Agak istimewa dalam pemikiran agama macam ini bahwa
identitas kelompok bertaut dengan ”de-lokalisasi”. Itu artinya­se-
perti yang disebut Derrida ”terlepasnya [agama] itu dari semua
tempatnya yang pas... dari tempat sebagai tempat, dari kemung-
kinan kebenarannya mengambil tempat”.
Bisakah kebenaran agama terlepas dari konteks lokal apa­pun?
Pernahkah? Khalil Abdul Karim, seorang mantan­anggota­gerak­
an Ikhwanul Muslimin di Mesir, pernah meng­analisis­bahwa se-
jarah Islam sejak sebelum dan segera sesudah Nabi Muhammad
SAW tak dapat dilepaskan dari posisi politik suku Quraish di se­
ki­tar Mekah. Ia menyebut bukunya (diterjemahkan dan diterbit-
kan oleh LKiS Yogyakarta) Hegemoni Quraish.
Kalaupun tak sepenuhnya telaah ini tepat, setidaknya sulit­di­
bayangkan, Islam terlepas dari sejarah di sebuah ruang dan se-
buah waktu. Khalifah Usmani yang berpusat di Turki pada da­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sarnya tak terlepas dari pengalaman dan kepentingan orang Tur-


ki sendiri.
Maka ”de-lokalisai” akan selalu mustahil: Islam yang di­te­rap­
kan di atas bumi akan dibatasi oleh petak di bumi itu. Dalam

90 Catatan Pinggir 8
AZAHARI

pada itu, di petak bumi itu, sesuatu yang ”bukan-global”,­sesuatu


yang telah ada sejak beratus-ratus tahun dan terus bertahan: se-
buah wilayah dan sehimpun manusia yang identifikasi dirinya
disebutkan dengan nama negeri ataupun bangsa.
Dan itulah ”tanah air”. Tanah air adalah tempat seseorang ter-
lempar. Di sana ia memilih untuk menerima posisi itu secara aktif
ataupun pasif, secara bersemangat atau pasrah. Tanah air adalah
sebuah peristiwa yang menggerakkan hati. Tapi tanah air juga
sebuah pengalaman—sebuah proses tumbuhnya akar. Akar itu
tak tunggal, tentu, sebab, seperti kata Levinas, manusia bukan
pohon. Akar itu tumbuh dalam pelbagai wujudnya bersama per­
taut­an dengan sebuah sejarah.
Maka tanah air bukan hanya ruang, tapi waktu.
Indonesia, tanah air kita, lahir melalui revolusi—satu hal yang
tak dialami orang Malaysia macam Azahari. Revolusi itu me­libat­
kan rakyat banyak yang menderita di bawah sebuah penjajah­an,
Belanda. Revolusi itu sebuah peristiwa solidaritas,­ dengan pe­
ngor­banan dan rasa bangga. Tapi, bila Indonesia jadi, ia bukan-
lah sesuatu yang untuk dipuja, yang kekal. Indo­nesia adalah se-
buah proyek yang terbatas, karena menyadari keterbatasan ma-
nusia.
Itu sebabnya Indonesia, sebagaimana ia dirikan pada tahun
1945, adalah tanah air dengan banyak harap dan cemas, dengan
gairah tapi juga gentar. Ia berbeda dengan ”negara Islam” yang
dibangun seraya membawa nama sesuatu yang kekal dan tak
akan salah. ”Negara Islam” ala Azahari adalah sebuah keangkuh­
an kepada sejarah. Sebaliknya ”Indonesia”: selamanya berdebar-
debar di depan sejarah, ia tak menafikan dan tak takut akan ke­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ter­batasan. Ia telah berjalan dan terbentur-bentur dan bangkit


lagi dalam pengalaman.
Itulah yang tak dipahami oleh Azahari dan kawan-kawannya,
yang tak punya kaitan dengan sejarah revolusi Indonesia. Mere-

Catatan Pinggir 8 91
AZAHARI

ka meledakkan bom, berkali-kali, tapi mereka tak akan berhasil


membuat dunia jadi suatu arena bagi yang absolut. Mereka me­
lan­carkan gerilya secara global, tapi pada akhirnya mereka akan
gagal—sama konyolnya dengan ambisi global lawan mereka,
”Amerika”.
Mungkin Azahari dan kawan-kawannya tahu mereka akan
ga­gal. Tapi mereka siap mati dengan harapan bisa ke surga bagi
diri sendiri, dan bukan dengan harapan untuk memenangkan
orang-orang yang mereka bela di dunia.

Tempo, 27 November 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

92 Catatan Pinggir 8
IBLIS

S
aya suka memandangi gambar kuno.
Ada satu yang mengerikan dari Italia pada abad ke-17. Di-
cetak di kertas dengan teknik cukilan kayu, ilustrasi itu
mere­kam sebuah adegan di Milano pada tahun 1630. Inilah
rinciannya:
Pes merebak, dan sejumlah penduduk dituduh menyebarkan
wabah itu. Mereka, disebut para untori, ditangkap dan diarak de-
ngan kereta lembu keliling kota. Seraya disiksa.
Mula-mula tubuh mereka dirobek dengan kakaktua. Setiba
di Avenue Carrabio, tangan kanan mereka dipotong. Sesampai di
halaman mahkamah, mereka ditelanjangi; tulang kaki, lengan,
dan pinggang mereka dipatahkan di atas roda. Roda-roda yang
menopang tubuh mereka itu kemudian diangkat di atas galah,
dan dalam kesakitan itu mereka terpentang selama enam jam.
La­lu leher mereka dipenggal, jasad mereka dibakar.
Dari sebuah rumah sakit, seorang bernama Pigotta, yang ter-
kena penyakit pes, diambil. Ia dibawa ke Avenue Porta Vercellina.
Di sana ia digantung di sebelah kaki. Setelah terayun-ayun sela-
ma empat jam, ia ditembak mati.
Saya tak tahu tidakkah kekejaman seperti itu merisaukan Ero­
pa. Yang pasti ia tak berakhir pada abad ke-18. Di sebuah gam-
bar kuno lain saya lihat hukuman atas Damien, yang pada tahun
1757 mencoba menikam Raja Prancis Louis XV. Ia disiksa. Tu-
buhnya tak cuma dirobek dengan kakaktua; ke dalam lukanya
dituangkan cairan timah panas. Dalam gambar yang dibuat tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

juh tahun kemudian itu tampak anggota badannya ditarik empat


pengendara kuda hingga sempal, dan kaki dan lengannya diba-
kar. Tentu saja akhirnya ia dibunuh.
Jika kita kenangkan semua itu, (juga Amangkurat I di Mata-

Catatan Pinggir 8 93
IBLIS

ram abad ke-17 yang membabat ribuan ulama hanya dalam 30


me­nit), salahkah bila kita bernapas lega: kini tak ada lagi adegan
macam itu. Sejarah tiga abad telah mengubah manusia.
Memang bersama Foucault orang bisa meragukan, benar­kah
perubahan terjadi. ”Meskipun mereka tak memakai hu­kum­­an
yang keras dan berdarah,” demikian tertulis dalam Surveiller et
punir, ”meskipun mereka memakai cara ’lunak’ dengan kurung­
an dan rumah pemasyarakatan, tubuhlah yang selalu jadi pokok
soal....”
Saya ingat pembantaian di Indonesia pada tahun 1965, tapi
saya tak begitu yakin tak ada beda yang penting antara cara­Da-
mien dulu disiksa dan cara Imam Samudra kini dihukum. Saya
tak mengatakan bahwa Foucault mengabaikan sejarah. Ia mene­
gaskan, ”mikrofisika kekuasaan” yang digerakkan oleh lembaga
sosial-politik, sebagai strategi dan teknik untuk me­ngon­trol tu-
buh, bukanlah sesuatu yang mandek dan hanya satu arti. Kekua-
saan itu bukan semacam kontrak yang mengatur transaksi. Fou-
cault mengibaratkannya bak ”sebuah pertempuran yang terus-
menerus”. Sebab, yang dikuasai juga ikut menyalurkannya, ke-
tika mereka melawan cengkeraman kekuasaan itu.
Tapi hanya begitukah kisahnya? Kenapa nilai-nilai berubah,
dan orang akhirnya sadar bahwa menyiksa para untori adalah la­
ku yang tak adil? Bahwa amat kejam menggantung seorang pen­
de­rita pes selama empat jam sebelum ditembak mati?
Ada yang mengatakan, agamalah sumber nilai-nilai luhur
yang bisa meredakan kebiadaban. Dengan iman, manusia punya
teladan kekuasaan yang adil dan penuh kasih, nun di dalam civi-
tas dei, ”negeri Tuhan” menurut Santo Agustinus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi ”negeri Tuhan” itu agaknya dibayangkan sebagai kontras


bagi yang dialami di muka bumi. Di civitas bumi, manusia hidup
dengan kekuasaan tanpa nilai-nilai: ”dibimbing oleh kehendak
si pemimpin, dipertautkan oleh sebuah kontrak sosial, dan ber-

94 Catatan Pinggir 8
IBLIS

bagi hasil jarahan sesuai dengan persetujuan yang sudah tetap”.


Maka negeri itu ibarat civitas diaboli, ”negeri iblis”, yang hanya
berdasarkan ”cinta-diri”.
Bisakah kita berharap? Akankah manusia hidup selamanya­
dalam ”negeri iblis” dengan segala variasinya? Dalam ”hidup se­
bagaimana adanya” (dan bukan dalam ”hidup yang seyogia­nya”)
mungkin civitas diaboli itulah yang berlaku—setidaknya menu-
rut Machiavelli, bapak pikiran politik modern itu. Keniscayaan,
necessitá, kata Machiavelli, mengharuskan penguasa terkadang
tampil bak makhluk ganas.
Bahkan atas nama Tuhan.
Di sebuah gambar kuno lain saya lihat deretan tubuh orang
Protestan yang dibakar sampai mati oleh Ratu Mary yang Katolik­
di Inggris pada pertengahan abad ke-16. Sejarah memang men-
catat, ratusan, termasuk Uskup Agung Canterbury, dipanggang
hidup-hidup. Orang Katolik punya catatan lain: di sebuah gam-
bar terbitan Antwerp, Belgia, tahun 1587, tampak orang Protes-
tan (”Huguenots”) memancung bayi-bayi, merobek perut, dan
menarik usus para korban.
Jika begitu keadaannya, bisakah kuasa Yang Mahasempurna
dibentuk di dunia, tanpa kekerasan? Saya ragu. Kian tampak ca-
cat perilaku manusia, dan kian dianggap ruwet bumi, kian tak sa-
bar pula para pembela Allah untuk menegakkan kuasa-Nya. Ke­
tak-­sabaran itu berujung kebuasan. Dalam sejarah Islam, darah
muncrat sejak para pembunuh Khawarij pada abad ke-7 sampai
dengan Azahari pada abad ke-21.
Tampaklah, agama tak menjamin sederet nilai yang meng­
ubah sebuah ”negeri iblis” jadi ”negeri manusia”. Tapi kita tahu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

manusia toh berubah—juga agresinya atas tubuh. Kini tak ada


lagi untori yang disiksa, tak ada pesakitan yang dianiaya seperti
Damien.
Mungkin karena manusia akhirnya sadar dan ngeri, bahwa

Catatan Pinggir 8 95
IBLIS

aniaya itu akan mengenai siapa saja, selama Yang Mahasempurna


dipakai untuk mengukur hidup yang ada dalam badan yang tak
sempurna. Maka berangsur-angsur Tuhan yang menakutkan di­
ting­galkan, dan manusia berpihak kepada sosok yang terpentang
di tiang siksa. Gambar kuno itu me­ng­ingat­­kan: meskipun terasa
asyik sang pelukis mencatat detail keganasan, para korban justru
punya arti sebagai obyek siksaan karena mereka manusia, seperti
kita, bukan babi panggang.
Dan kita pun memulai perlawanan, dengan memekik atau
diam. Kita kembalikan kekuasaan atas tubuh sebagai pertem-
puran yang terus-menerus—dan yang menang, juga atas nama
Tuhan, tak sepenuhnya menang.

Tempo, 4 Desember 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

96 Catatan Pinggir 8
DHANU

K INI mungkin tak ada lagi yang ingat Dhanu. Gadis itu mati
pada 21 Mei 1991. Biarlah saya bacakan kembali yang terjadi
dengan dirinya.
Kurang-lebih sebulan sebelum kematiannya, ia datang dari
Jaffna ke Madras, kota di India bagian selatan itu. Di situ ia tam-
pak mencoba menikmati sebanyak-banyaknya apa saja yang bisa
didapat. Dalam buku Dying to Win: The Strategic Logic­of Suicide
Terrorism oleh Robert A. Pape, diceritakan kembali hari-hari ter-
akhir Dhanu, sebagaimana disusun kembali oleh polisi yang ke-
mudian membongkar perbuatannya:
Gadis itu ke pasar, ke pantai, mengunjungi restoran tiap hari,
mereguk kemewahan yang jarang dijumpai orang di hutan-­hutan
nun di Jaffna. Dibelinya pakaian, perhiasan, kosmetik, dan bah-
kan sepasang kacamata yang pertama kali dimilikinya sepanjang
hidup. Dalam masa dua puluh hari ter­akhir­hidupnya, ia menon-
ton enam film di bioskop setempat.
Pada 21 Mei ia datang ke rapat umum untuk menyambut Rajiv
Gandhi, Ketua Partai Kongres India waktu itu. Beberapa­menit
sebelum rapat dimulai, Dhanu berjalan mendekat ke arah Gan-
dhi, dan mempersembahkan sebuah karangan kembang. Tapi
pada saat itu juga ia menekan tombol yang memicu­sabuk bahan­
peledak di tubuhnya. Ledakan pun terdengar. Terbunuhlah Gan-
dhi, Dhanu sendiri, dan beberapa orang di sekitar itu, termasuk
salah satu anggota komplotan yang bertugas membuat dokumen-
tasi video kejadian itu. Mereka orang Tamil Eelam, gerilyawan
pembebasan di Sri Lanka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sejak itu, metode Dhanu dipakai sampai hari ini: satu atau
be­berapa orang menyediakan diri untuk jadi semacam senjata,­
ibarat torpedo yang meledak menghancurkan diri sendiri bersa-
ma sasaran dalam sebuah lingkungan yang tak disangka-sangka.

Catatan Pinggir 8 97
DHANU

Tentu saja setelah Dhanu, ada perubahan di sana-sini. Sasaran


Dhanu jelas fokusnya: Rajiv Gandhi. Sasaran serangan bunuh
diri akhir-akhir ini—yang paling dramatis adalah 11 September
2001—lebih luas, yakni apa saja yang bisa dianggap ”mewakili”­
musuh. Termasuk orang yang belum tentu sejalan dengan sang
mu­suh, bahkan anak-anak. Bila Dhanu, sebagaimana para
penge­bom bunuh diri Palestina, didorong semangat yang bertaut
de­ngan pahitnya kehilangan kedaulatan atas sebuah cita-cita,­
ki­ni, seperti tampak sejak ”11 September” sampai ”bom Bali”,
yang terdengar adalah pekik ”jihad”: se­sua­tu yang terkait dengan
iman, asas-asas yang kukuh tentang kebaikan dan kemungkaran.
Pada Dhanu, yang berlaku adalah amarah yang relatif terba-
tas; parameternya tentang ”kawan” dan ”lawan” dibentuk oleh
kon­frontasi politik di suatu masa, di suatu tempat, dan tak lebih
dari itu. Kini yang terdengar berbeda: yang disampaikan bukan
saja perasaan dizalimi orang lain (”Barat”), tapi juga anggapan
bahwa diri paling suci dan orang lain hanya najis, dengan dalil-
dalil yang diagungkan sebagai mutlak dan kekal. Para pengebom
bunuh diri kini lebih keras; saya tak pernah dengar mereka meng-
habiskan hari terakhir mereka dengan berbelanja.
Tak jadi soal seberapa jauh sebenarnya dalil-dalil agama ber­
geming, kukuh, dan abadi. Bagi para ideolog Al-Qaidah,­tak ada
pertanyaan itu. Mereka tak akan mengakui bahwa dalam sejarah
dalil itu selalu berubah dan berbeda—melalui tafsir—karena tak
selamanya sama keharusan menjawab sebuah keadaan tertentu.
Dulu ”bunuh diri”, apa pun motifnya, dianggap bertentangan
de­ngan Islam. Kini ”bunuh diri” sebagaimana yang dilakukan
para pengikut Azahari dianggap ”mati syahid”. Kini sebagian be-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sar ulama di Indonesia meng­anggap jalan yang ditempuh Imam


Samudra sesat, tapi Imam Samudra akan menganggap para ula-
ma yang bersuara semacam itulah yang sesat. Kini sebagian besar­
orang Islam menganggap para pembunuh Usman dan Ali, dua

98 Catatan Pinggir 8
DHANU

khalifah dan penganut Islam paling awal itu, sebagai orang yang
berdosa; tapi dulu orang-orang Khawarij berpendapat sebaliknya.
Tak ada yang baru dalam hal itu. Dalil pada akhirnya ada­lah
tafsir. Yang kekal pada akhirnya disalin jadi yang fana, yang mut-
lak diterjemahkan jadi yang nisbi.
Di situ tampak, dunia adalah sebuah realitas yang keras ke-
pala, lebih dari dalil apa pun. Maka tindakan orang yang me­nem­
puh kematian itulah yang mengejawantahkan laku yang ”supra-
manusia”, yang dahsyat, menggetarkan, mengerikan, dan me­
nga­gumkan, yang bisa mengatasi kematian.
Yang menarik adalah dalam laku yang luar biasa itu, yang ber-
langsung sebenarnya adalah sebuah pementasan. Yang dahsyat,
yang menggetarkan, mengerikan, dan mengagumkan itu adalah
bagian dari sebuah panggung heroisme.
Tiap hero muncul dalam sebuah tragedi sebagai sosok yang
hadir di tengah kekosongan—sebuah gejala zaman ketika revo­
lusi tak ada lagi. Kekosongan tragedi tampak seperti dalam lakon
Sophocles: dewa-dewa tak hadir. Mereka tak datang langsung ke
Kota Thebes dan padang pasir tempat Sphinx mencegat manusia;
mereka selalu memakai perantara, dengan orakel di Deplhi atau
penujum buta.
Sementara itu, manusia seakan ketabrak, bingung, dan tak
ber­daya, oleh Nasib. Mereka pun rindu akan sesuatu yang tak
membingungkan, yang dapat memperkuat diri, misalnya­petuah­
keadilan yang terang. Ketika mereka tak kunjung mendapat, me­
rekalah yang bertindak: menatap Nasib, menghadapi dan meng­
atasi kekuasaan duniawi, bahkan menakluk­kan kematian: mere­
ka dengan gagah berani menyongsong Maut. Langsung atau tak
http://facebook.com/indonesiapustaka

langsung, dengan segala cacat, mere­ka menjadikan diri penggan-


ti para dewa yang absen.
Untunglah dunia bukan sebuah lakon Sophocles. Hidup juga
dibentuk oleh perdagangan, perjanjian, percintaan, utang budi,

Catatan Pinggir 8 99
DHANU

dan lain-lain hal sehari-hari. Manusia memang tetap ber­ada


dalam keadaan bingung, mungkin merasa hambar dan bosan.
Namun selalukah mereka butuh sesuatu yang dahsyat, mengge-
tarkan, mengerikan, mengagumkan? Yang pasti, di tengah keko-
songan, tak selamanya kita senang dengan ledak­an seperti yang
dimulai Dhanu pada hari itu.

Tempo, 11 Desember 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

100 Catatan Pinggir 8


HATUN

H ATUN ditembak mati dekat sebuah halte bus. Umurnya


baru 23. Di udara dingin Senin pertama Februari 2005,
perempuan itu roboh dengan beberapa lubang luka di kepala dan
dekat dadanya. Sebuah pistol yang dipicu dari jarak dekat telah
menghabisi nyawanya.
Polisi Berlin kemudian menangkap tiga laki-laki keturunan­
Kurdi Turki. Mereka didakwa sebagai komplotan yang mem­­
bu­nuh. Mereka tiga bersaudara yang juga masih muda: masing-­
masing berumur 25, 24, dan 18 tahun. Yang bungsu ber­nama
Ayhan­Surucu. Dia yang menembak.
Dia adik kandung Hatun sendiri.
Saya tak tahu bagaimana perasaan ketiga pemuda itu ketika­
mereka bantai saudara perempuan mereka satu-satunya itu. Se­
dih? Bersyukur? Di dinding sel penjara mereka, tampak sederet
potret. Potret Hatun.
Hatun Surucu dibesarkan di Berlin dalam keluarga yang me-
mandang dengan cemas kebebasan seorang anak perempuan.
Ke­tika si gadis selesai kelas ke-8, orang tuanya mencabutnya dari
sekolah. Ia dibawa ke Turki. Ia harus nikah dengan seorang se­
pupu.­
Perkawinan paksa itu tak bertahan lama. Hatun berpisah­dari
suaminya yang mungkin juga dipaksa jadi pengantin. Dalam ke-
adaan berbadan dua, ia kembali ke Berlin. Pada umur 17 ia mela-
hirkan seorang bayi lelaki yang diberinya nama Can. Ia tinggal
di rumah penampungan buat perempuan dan meneruskan seko-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lahnya yang terputus. Pada tahun 2004, ia menyelesaikan pendi-


dikan kejuruan yang diambilnya dengan tekun. Ia ingin jadi tu-
kang listrik.
Ia memang berubah. Ia menata-rias wajah, melepas-gerai ram-

Catatan Pinggir 8 101


HATUN

but, memakai gelang, kalung, dan cincin. Ia mulai gemar pergi ke


tempat dansa. Ia mulai menikmati hidup. Ia seperti Sibil dalam
film Fatih Akin, Gegen die Wand, gadis Turki dari Hamburg yang
melarikan diri dari keluarga untuk merasakan kebebasan-tapi ti-
dak. Kata ”seperti” di sini hanya akan me­masuk­­kan nasibnya ke
sebuah deret. Hatun adalah Hatun. Beberapa hari menjelang ia
menerima ijazah, ia dibunuh.
Apa gerangan salahnya? Di sebuah surat kabar berbahasa­Turki­
yang terbit di Berlin, Zaman, salah seorang Surucu bersaudara itu
mengatakan bahwa Hatun tak lagi mengenakan­jilbab, tak mau
kembali kepada keluarganya, dan telah menyatakan niatnya un-
tuk ”mencari lingkungan teman-temannya sendiri”.
Peter Schneider, seorang novelis Jerman yang menuliskan ki­
sah kematian Hatun dalam The International Herald Tribune­3-4
Desember pekan lalu, mengaitkan kebrutalan itu dengan apa
yang disaksikannya di Berlin, kota yang pernah dipuji Presi­den
Kennedy sebagai negeri milik tiap orang yang merdeka. Syahdan,
kata Schneider, 17 tahun setelah tembok yang dibangun pe­me­
rin­tah komunis runtuh, sebuah tembok lain yang tak kasatmata
membelah kota itu lagi.
Di daerah Kreuzberg, Neuköln, dan Wedding, sekitar 300
ribu imigran muslim dari pelbagai negeri tinggal; sebagian besar­
orang Kurdi dan Turki. Mereka dulu tak begitu sibuk dengan
agama, tapi sejak lima tahun ini berubah. Pengajaran agama di
sekolah mulai dilaksanakan, berkat inisiatif Federa­si Muslim
Berlin. Guru-gurunya direkrut Federasi, dengan gaji dari kota
praja yang kafir. Diam-diam pelajaran diberikan dalam bahasa
Turki atau Arab, bukan bahasa Jerman seba­gaimana aturan nega­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ra. Makin banyak anak gadis berjilbab, dan makin banyak pula
tuntutan orang tua agar murid perempuan dibebaskan dari pela-
jaran olahraga, khususnya berenang. Perempuan berpurdah pan-
jang dengan wajah bercadar makin sering tampak: dinding itu

102 Catatan Pinggir 8


HATUN

tegak sampai ke tubuh mereka.


Nilai-nilai dari negeri asal makin kuat, tampaknya. Bagi seba-
gian mereka, membunuh demi kehormatan keluarga adalah sah.
Dalam sembilan tahun terakhir telah terjadi 49 tindak pidana atas
nama ”kehormatan”, 16 kasus ditemukan di Berlin, dan umum­
nya dengan perempuan sebagai sasaran. Tak mengherankan­bila
tiga murid di distrik Tempelhof, tempat Hatun ditembak mati,
menegaskan: pembunuhan itu tak salah.
Tembok baru di Berlin itu dibangun dengan semen ”identitas”.­
Seorang perempuan penulis Turki yang merasakan sesak oleh de-
sakan nilai-nilai itu berkata tentang orang-orang Turki yang se-
jak 1950-an datang ke Jerman sebagai Gastarbeiter: ”Para peker-
ja tamu itu pun menjelma jadi orang Turki, dan orang Turki itu
menjelma jadi muslim”.
Muslim? Islam? Kita, di Indonesia, di sebuah negeri tempat se­
bagian besar orang muslim hidup, belum pernah mendengar­ke-
jadian seperti itu: seorang perempuan dibunuh saudara kandung­
sendiri karena tak tampak ”Islami”. Saya tentu saja tak tahu akan­
kah besok seorang Hatun digolok di halte bus di Utan Kayu, me-
lihat meningkatnya fanatisme belakangan ini. Tapi kita semua
tahu ”Islam” bisa jadi bendera yang berkibar di lingkungan yang
berbeda-beda—dengan amarah lain, dengan hasrat persaudara-
an, rasa cemas dan rindu keadilan yang lain pula. Bendera itu pu-
tih, tapi putih yang terjadi dari warna-warni.
Islam? Turki? Jati diri? ”Aku bangga akan bagian dari diriku­
yang bukan Eropa,” ujar seseorang dalam novel Salju Orhan Pa­
muk, di sebuah adegan pertemuan di Kota Kars. ”Aku bangga
akan hal-hal. Tiap bendera, apa pun warnanya, harus berbeda
http://facebook.com/indonesiapustaka

dari bendera lain. Tiap bendera jadi penting ketika ia berkibar


disunggi tinggi-tinggi.
Tapi di bawah itu, di dekat halte bus di Tempelhof, tergeletak
Hatun. Dengan kepala yang berlubang-lubang hangus. Dengan

Catatan Pinggir 8 103


HATUN

liang luka di dadanya yang pernah menyusui Can, kini yatim-


pia­tu. Dengan impian yang dipenggal. Dengan kesendi­rian yang
tak tertebak....
Kesendirian seperti ketika ia lahir menjerit dari rahim ibunya
dan ayahnya membisikkan azan ke kupingnya yang masih­rawan,
”Allahu Akbar”, karena ia, Hatun, adalah sebuah­ke­ajaib­an, seba­
gaimana tiap bayi, tiap wajah, adalah sebuah keajaiban, karena ia
sebuah tanda, bahwa kita hanyalah perantara, bahwa kita hanya­
lah perawat sebuah hidup yang tak se­penuhnya kita kuasai.
Islam? Turki? Adat? Kehormatan? Di trotoar itu: Hatun.

Tempo, 19 Desember 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

104 Catatan Pinggir 8


MALAM

K
OTA ini seperti tak terbiasa juga dengan dingin, dengan
malam, meskipun berabad-abad ia berdiri, setengah­le-
lah. Gedung-gedung menanggungkan musim tak pu-
tus-putusnya,­ tapi juga di ujung Desember ini ada yang terasa
mengkeret oleh cuaca; plaza, taman, boulevard, juga pasar yang
tadi siang terhampar. Hujan menjatuhkan ujungnya yang tajam,
kerap, di­ngin. Dari beberapa sudut, lampu jalan ”masing-masing
seperti­bersendiri” adalah cahaya yang kuyup. Angin mengaum.
Kita mendengar derunya lewat di antara celah yang terbentuk
oleh bangunan tinggi.
Tak ada orang di jalanan. Semakin larut malam, semakin
tam­pak aspal dan semen bertambah datar. Mobil melintas satu-­
satu, seperti terpaksa. Trem, bahkan dengan derak roda di rel,
jadi bagian dari sunyi yang tak dikehendaki.
Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam.... Tapi benar­
kah? Tiap kota mengandung paras yang pura-pura. Tiap kota pu-
nya wajah yang hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin, De-
sember, datang. Tiap kota adalah ruang scene dan ob-scene: ada
yang dipertontonkan, ada yang disingkirkan seperti najis. Ge-
landangan yang merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam
yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajing­an yang selamanya­
siap. Di sebelah lain dari poster iklan Gucci yang dipasang di
halte-halte, mungkin ada anak kecil penjual korek api dari cerita­
Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba melawan beku, di
sebuah hari Natal, dengan menyalakan batang-batang geretan
http://facebook.com/indonesiapustaka

satu demi satu, sampai habis. Kita tahu ia akan mati, tak tampak.
Yang tak tampak selalu hendak dikalahkan oleh yang tam­
pak.­­Pada tahun 1746, di Prancis lampu-lampu mulai di­pasang,­
dan seseorang menulis dengan gegap-gempita bagaikan state-

Catatan Pinggir 8 105


MALAM

men seorang penakluk: ”Kekuasaan malam akhirnya selesai”.


Tapi bah­­kan sampai tahun 1760 seorang pejabat Kota Paris ma-
sih menggerutu tentang perilaku ”perempuan yang bejat, serda-
du, pengemis, dan... maling”—yakni mereka yang tetap merayap
di kedai-kedai minum, atau lebih tepat: mereka yang bukan kelas
yang terpandang yang tak hendak tinggal di rumah bila malam
datang, dan sebab itu tak patut, dan sebab itu serong.
Tapi apakah peran malam, sebenarnya? Seorang yang me­nulis­
sejarah malam, atau malam dalam sejarah, Roger Ekirch, meng-
gambarkan bagaimana malam ”mewujudkan sebuah kebudaya­
an­yang berbeda, dengan adat-istiadat dan ritual­tersendiri... yang
lain dari realitas sehari-hari pada waktu siang”.
At Day’s Close: Night in Times Past, yang ditulis Ekirch se­telah
penelitian selama 10 tahun, pada dasarnya adalah sebuah cerita­
tentang malam sebelum dan sesudah orang menemukan dan
menggunakan cahaya buatan dalam ruang hidupnya. Khususnya
di Eropa Barat dan Amerika (yang masa itu masih­sebagai koloni
Inggris), antara tahun 1500 dan pertengahan tahun 1700-an, ke-
tika penerangan lampu untuk ruang-ruang khalayak baru mulai
diperkenalkan.
Pada masa yang jauh sebelum Thomas Alva Edison itu, di mu­
sim panas orang pada berangkat tidur pukul 10 malam dan di
mu­sim dingin pukul 9. Tapi mereka masih melek sebenarnya.
Ruang bisa luas bisa sempit, tapi yang menentukan adalah satu-
satunya benda yang didapat dengan harga tinggi di kamar itu:
ranjang. Seantero keluarga akan berbaring di sana—bahkan
mungkin pelayan dan tamu—di atas matras­yang disumpal­jera-
mi, tak bisa dan tak hendak ke mana-mana,­karena yang ada ha­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya­gelap. Untuk mempercepat kantuk: mereka minum, sampai


teler. Orang Jerman menyebutnya Shlaf­drincke.
Tapi malam juga bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang
tak akan dapat diperbuat orang bila hari siang dan cahaya ma-

106 Catatan Pinggir 8


MALAM

tahari membuka mata, dan yang tak tampak jadi tampak. Keja-
hatan. Percabulan. Pembalasan dendam. Mungkin­itu sebabnya
gelap dicoba dikalahkan terang, dan orang bicara­ ”habis gelap
terbitlah terang”, seakan-akan gelap adalah sebuah kekurangan
dari sebuah keadaan normal—sementara gelap punya sejarah
yang lebih tua, dan punya ”kebudayaan”-nya sendiri.
Tapi apa yang oleh Henri Lefebvre disebut sebagai ”serbuan
yang intens visualisasi” memang telah lama terjadi dalam ruang­
hidup manusia. Seperti sudah disebutkan di atas, yang tak tam-
pak selalu hendak dikalahkan oleh yang tampak. Ada yang me­
nunjuk awal sejarahnya sejak Plato—yakni sejarah kebudayaan
oculocentric, yang seperti dalam kisahnya tentang manusia di gua
yang terkenal itu, menaikkan derajat ”tampak mata” hingga sama
dengan ”mengetahui”. Yang visual akhir­nya sama dengan yang
kognitif.
Dalam peradaban yang berkisar pada prestasi okular itu (dari
kata Latin oculus, yang berarti ”mata”), pelbagai perubah­an ter-
jadi. Lampu ditemukan jauh sebelum Edison, dan cahaya dipa­
sang­sampai ke sudut-sudut jalan, seperti ketika pada tahun 1736,
di London orang mendirikan hampir 5.000 lampu minyak di
tempat untuk publik. Juga arsitektur rumah, gereja, keraton, di-
arahkan untuk menggapai dan menyadap matahari. Mambang
harus diusir, peri tak diberi tempat, sepanjang mereka adalah ba-
gian dari penghuni kegelapan. Manusia harus ”mengetahui” dan
itu artinya ”melihat”.
Kita tahu bahwa ”melihat” belum tentu sama dengan ”me­­nge­
tahui”. Kita tahu ”gelap” belum tentu sama dengan ”bodoh”. Kita
tahu bahwa malam tak hanya menghadirkan pelacur dan kunti-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lanak, rampok dan gendruwo, tapi juga rahasia—satu bagian dari


hasrat kita yang menampik untuk 100 persen transparan, karena
kita tahu ada batas yang tipis antara ”diketahui” dan ”dikuasai”.
Juga kita tahu malam bisa memperlihatkan apa yang tak

Catatan Pinggir 8 107


MALAM

hen­dak diperlihatkan, dan kita tahu mengenal yang disisihkan


adalah mengunjungi yang harus dikunjungi. Seperti satu sajak
Robert Forst:

I have been one acquainted with the night.


I have walked out in rain -and back in rain.
I have outwalked the furthest city light.
I have looked down the saddest city lane.
I have passed by the watchman on his beat
And dropped my eyes, unwilling to explain.

Tempo, 25 Desember 2005


http://facebook.com/indonesiapustaka

108 Catatan Pinggir 8


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8
2006

109
http://facebook.com/indonesiapustaka

110
Catatan Pinggir 8
DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN

L
UKISAN yang dicuri dari museum di Oslo pada tahun­
2004 itu tak akan mudah dilupakan orang. Di tengah­
kanvas, dalam garis yang tergurat kasar tapi terasa ngilu,­
tam­pak­ sebuah sosok yang ketakutan. Mukanya pucat, mirip
ma­yat tapi juga mirip bayi yang gagal lahir. Mulutnya terbuka,
menjerit. Matanya membeliak. Tangannya memagut kuping. Ia
berdiri di sebuah jembatan kayu yang tak tampak ujungnya. Di
latar belakang kelihatan dua orang lain berdiri seperti bayang-­
bayang. Dan tak kurang memukau adalah gelombang warna
merah di angkasa yang terbentang di atas permukaan air fyord
yang luas.
Edvard Munch menamai karyanya yang termasyhur ini Jerit.­
Di sudut tampak angka tahun ketika sang pelukis menyelesai­
kannya: 1893. Kemudian kita tahu ada beberapa baris dalam
catatan hariannya dari tahun 1892. Saya kutip:

”Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman. Matahari


turun di punggung sebuah bukit yang menjulang melatari kota dan
fyord. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu mendadak berubah
merah darah. Aku berhenti melangkah, bersandar pada terali, letih
habis. Kedua temanku memandangiku tapi berjalan terus. Kusaksi-
kan mega yang seperti api di atas fyord dan kota itu.... Aku berdiri
di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit dahsyat yang
tak henti-hentinya menembus alam yang terbentang tak putus-pu-
tusnya.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lebih dari seabad kemudian, lukisan itu, lanskap Norwegia­


yang murung itu, dan terutama langit di atas Kota Oslo itu, yang
menampakkan ”darah dan lidah api di atas permukaan air fyord

Catatan Pinggir 8 111


DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN

yang hitam-biru”, menarik perhatian para ahli astro­nomi. Mere-


ka datang dengan sebuah teori.
The New York Times melaporkannya: dalam jurnal Sky & Tele-
scope nomor Februari 2004, Donald Olson dan rekan-rekannya
dari Universitas Negara Texas mengemukakan apa sebenarnya
yang tampak di langit senja hari itu. Pada tahun 1883 Krakatau
me­letus. Guncangan hebat terjadi di sekitar Indonesia, dan ku­
rang-lebih 30 ribu manusia tewas oleh tsunami yang menggeb­
rak, tapi yang juga menakutkan ialah bahwa bahkan di Eropa,
senjakala tak putus-putusnya menghadirkan langit merah yang
terang sejak November 1883 sampai dengan Februari 1884. Ol-
son berpendapat, sangat mungkin itu juga yang terjadi di Norwe-
gia, dan Munch adalah salah seorang yang menyaksikannya.
Tak begitu jelas bagi saya kenapa baru 10 tahun kemudian­
sang pelukis menuangkannya di atas kanvas, dengan tempera, cat
minyak, dan pastel di atas karton. Tapi setidaknya teori Olson
telah menjadikan Jerit sebuah pengingat: begitu jauh jarak anta-
ra Selat Sunda dan Skandinavia, begitu berbeda, tapi semua ada
di satu bumi, hanya satu bumi. Telah terjadi bencana besar di se-
buah selat, tapi bahkan pada abad ke-19, ketika teknologi belum
mempercepat kabar, rasa ngeri di satu tempat bisa menjangkau
pelbagai daratan, dan abu letusan yang membara bisa menjelajah
merasuki rembang petang beratus-ratus kota.
Mungkin Munch melihat itu, mungkin juga tidak. Tapi apa
pun yang menggerakkan hatinya, kanvas itu mencuatkan rasa
jeri yang sama-sama kita kenal: pekik tersekat di mulut ketika
menghadapi maut, wajah pucat di tengah alam yang, pada saat
yang menakutkan, tak sepenuhnya menjelaskan diri, dan hati
http://facebook.com/indonesiapustaka

ketir-ketir karena kefanaan kita. Di mana pun kita berada,­kita


me­rasakan diri melangkah di sebuah jembatan yang genting; di
ujung yang satu kita adalah sebentuk fetus, di ujung lain kita se-
buah jenazah.

112 Catatan Pinggir 8


DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN

”Tak ada yang kecil, tak ada yang besar,” tulis Munch. ”Dalam
diri kita adalah dunia. Apa yang kecil membagi diri jadi apa yang
besar, apa yang besar membagi diri jadi apa yang kecil.”
Mungkin itulah yang bisa dikatakan tentang manusia.
Bencana alam datang seperti hantaman raksasa di punggung
Krakatau pada tahun 1883 dan di daratan Aceh pada tahun
2004, dan beribu-ribu nyawa punah, dan pada saat seperti itu,
apa lagi beda ”besar” dan ”kecil” dalam nasib?
Saya teringat akan Bazarov, tokoh yang paling menarik dalam
novel Turgenev, Para Ayah dan Putra Mereka. Ia merenung: ”Di
sini, aku berbaring di atas tumpukan jerami. Ruang sejentik yang
kutempati ini begitu tak tepermanai kecilnya dibandingkan de-
ngan ruang selebihnya, di mana aku tak ada... dan jangka waktu
yang tersedia untuk hidupku begitu sepele disandingkan dengan
keabadian yang belum dan tak akan pernah kuhuni....”
Bazarov melihat dirinya praktis tanpa arti. Novel itu menam­
pilkannya sebagai seorang nihilis yang bertanya tentang hidup
”kecil” manusia: ”Bukankah ini memualkan?”
Tapi dengan itu sebenarnya ia sendiri melupakan apa yang di-
katakannya di ujung renungan itu: ”... dalam zarah ini, dalam ti-
tik matematik ini, darah mengalir, otak bekerja dan berkeingin­
an....”
Maka Munch benar: tak ada yang ”kecil”, tak ada yang ”be-
sar”. Kita bisa menghina diri dan merasa terhina, atau tidak.
Memang pada kita bisa terbit gentar ketika memandang langit
senjakala seakan-akan tengah dijilat lidah api, kita terpesona dan
sadar, seperti pada Bazarov, akan betapa kecilnya bumi di tengah
alam semesta. Pada saat seperti itu kita mungkin akan teringat
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahwa sejak Kopernikus pada abad ke-15 ilmu telah menjelaskan


bumi bukan lagi sebagai pusat; bahkan ia kini diketahui cuma se-
noktah planet di antara bermiliar-­miliar yang lain. Tapi soalnya:
bagaimana kita memandang apa yang ditemukan Kopernikus.

Catatan Pinggir 8 113


DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN

Ada yang menyimpulkan, sejak itu manusia berhenti jadi


angkuh. Nietzsche termasuk yang berpendapat bahwa sejak itu
”pengkerdilan-diri manusia” maju pesat. Tapi sebaliknya ada juga
anggapan bahwa sejak itu maju pesat pula sikap keilmu­an: taklid
kepada wejangan agama bahwa pusat alam semesta adalah bumi,
tempat lahir Kristus, telah digantikan oleh pandangan yang me-
letakkan akal manusia, bukan kitab suci, se­ba­gai pemegang su-
luh. Syahdan, dunia modern pun menyingsing, humanisme ber­
kibar.
Humanisme ini terutama berporos pada keyakinan bahwa
manusia mampu dan mempunyai kebebasan untuk menemukan
kebenaran. Kopernikus berpegang pada pandangan ini. Tentu
saja pada abad ke-16, ia harus berhati-hati. Dalam keadaan ketika
wejangan agama dijaga ketat Gereja, karyanya, De Revolutioni-
bus, yang terbit pada tahun 1543, ia antar dengan sebuah persem-
bahan bagi Paus Paulus III.
Di sana ia mengingatkan bahwa pandangan yang meng­ang­
gap bumi sebagai pusat alam semesta sebenarnya hanya berdasar-
kan otoritas ilmu dan filsafat Yunani, bukan otoritas Alkitab.
Pandangan geosentris itu salah, kata Kopernikus, dan yang benar
adalah teori yang dikemukakannya: matahari itulah sang pusat.
Kitab Kejadian memang tak tampak sesuai dengan teorinya ini,
tapi Kopernikus toh bisa mengutip Mazmur dan menyebut perlu-
nya izin Tuhan bagi manusia untuk menggunakan nalar.
Paus Paulus III kebetulan seorang yang menerima humanisme
dengan tenang. Namun perdamaian antara Kopernikus dan Ge-
reja tak bertahan sampai akhir.
Sebab dasar pendapatnya tetap: bagi Kopernikus, manusia­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lah tolok ukur sebenarnya, sebab ia subyek yang bebas dan mam-
pu menemukan kebenaran, dan dengan metode ilmu yang pasti
mampu mengetahui sesuatu secara obyektif. Tak ayal, Gereja me-
nampik pandangan manusia-sentris ini. De Revolutionibus pun

114 Catatan Pinggir 8


DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN

digolongkan ke dalam indeks buku yang haram dibaca, satu ke-


tentuan yang baru dicabut pada tahun 1822. Dengan catatan: itu
terjadi 70 tahun setelah buku itu terbit. Juga bukan Paus yang
memulai serangan agama Kristen atas Kopernikus, melainkan
Luther, sang pelopor Protestantisme. Ketika itu sang astronom
Polandia itu telah lama wafat.
Bentrok yang lebih dramatis terjadi kemudian. Teori Koper­
ni­kus berbenturan sengit dengan Gereja dalam kasus Giordano
Bruno. Februari 1600, setelah delapan bulan dipenjara, bekas
pad­ri itu dihukum mati di Campo di Fiore di Roma: lidahnya di-
tusuk tembilang dan tubuhnya dibakar hidup-hidup.­
Memang tak cukup bukti bahwa ia dipidana karena ke­yakin­­
annya mengikuti Kopernikus. Tapi seperti dikatakan Karsten
Harris dalam Infinity and Perspective, sebuah uraian historis yang
jernih dan mendalam tentang iman, ilmu, dan pemikiran Eropa,
pandangan Bruno tentang kosmos bertaut dengan penampikan-
nya atas dogma utama agama Kristen.
Dalam arti tertentu, yang diyakini Bruno adalah kon­se­kuen­
si lanjut dari pandangan yang melihat bumi hanya satu noktah di
antara jutaan noktah lain di alam semesta. Apa istimewanya tem-
pat Yesus dilahirkan ini? Dan bagaimana bisa ditentukan pusat
secara obyektif? Bukankah matahari juga hanya salah satu peng-
huni galaksi Bima Sakti, sementara ada berjuta galaksi lain?
Walhasil, bagi Bruno, tak ada pusat di alam semesta. Tak pasti
pula mana awal dan mana akhir, dalam ruang dan dalam waktu.
Maka baginya kosmos adalah sesuatu yang tak terhingga, tak ber-
batas, reproduksi diri Tuhan sepenuh-penuhnya. Tuhan dan kos-
mos pun membaur.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di sini teori Kopernikus menemukan penerus yang radikal,


tapi dalam arti tertentu sebenarnya penulis De Revolutionibus itu
gagal. Ia mengklaim telah membuka kemungkinan manusia un-
tuk menangkap kebenaran tanpa dibatasi sudut pandang yang se-

Catatan Pinggir 8 115


DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN

pihak, tapi ternyata Nietzsche benar: justru karena Kopernikus,


proses ”pengkerdilan-diri” manusia berlangsung pesat.
Nietzsche menggambarkan ini dalam salah satu catatan pada
awal 1870: manusia adalah makhluk di sebuah bintang kecil
nun jauh yang merasa menemukan apa artinya ”mengetahui”; ia
hidup dalam satu menit yang takabur yang disebut ”sejarah du-
nia”—tapi hanya satu menit. Kemudian bintang itu jadi dingin
dan sang makhluk pintar itu punah.
Hanya begitukah manusia? Kita tahu Nietzsche memaparkan­
nya dengan berlebihan, dan tak berarti nihilisme ala Baza­rov bisa
membuat kita arif.
Mungkin kearifan datang justru dari lukisan Munch itu: di
kepungan semesta yang perkasa itu, wajah kita guyah, lemah.
Tapi apa salahnya? Telah sering terbukti fatwa agama ternyata
salah, penemuan ilmu keliru, kesimpulan filsafat tak bisa ber­
tahan;­maka mengakui kelemahan adalah sebuah kekuatan. Gi-
anni Vattimo pun bicara tentang il pensiore debole, ”pemikir­an le-
mah”.
Bagi Vattimo, seraya menyadari ”pemikiran lemah” itu, se-
buah kesimpulan, meskipun ditawarkan agar diterima orang
lain, tetap sadar bahwa ia dinamis tapi tak kekal, ia terbuka tapi
penuh risiko. Ia ditawarkan sekadar sebagai tafsir, yang me­nying­
kirkan tafsir lain tapi tak menghapuskannya habis.
Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung­
tujuan. Ilham kita bukan Tuhan yang segagah dalam lukisan Mi-
chel Angelo, melainkan tubuh yang terbungkuk kena dera yang
pada saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa
jawab. Tapi kita tahu, ia tak sendiri, kita tak sendi­ri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tempo, 1 Januari 2006

116 Catatan Pinggir 8


KAHYANGAN

D
I surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga per-
buatan.
Dalam tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wa­
yang­ purwa, keabadian digambarkan dengan kalimat ini: ”Ana
pa­dhang­dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi”.­
Yang ada adalah ”terang yang bukan terangnya siang” dan ”gelap­
yang bukan gelapnya malam”. Tak ada waktu, tak ada ruang, ha­
nya­keluasan yang tanpa tepi—amung alam tumlawung ngalangut
datan patepi.
Yang menarik—seperti saya temukan dalam buku yang di­
susun Anom Sukatno, Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo—
dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah
keadaan tak ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.
Kata ”suwung” berbeda dengan ”kosong” atau ”ham­pa”. ”Su­
wung”­sebenarnya bukanlah sebuah defisit. ”Suwung” punya­wi­
layahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ronggowarsito
menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam meditasi: ”wung
sakjatining isi” suwung namun sesungguhnya berisi. Maka bila
kahyangan digambarkan sebagai ”suwung” dan tak ada ”rasa pri­
ba­di”, yang dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurang­
an. Bahkan sebaliknya. ”Cipta, rasa dan karsa” tak ada karena
tak dibutuhkan. Keheningan itu total—yang juga berarti kebe-
basan dari pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawa-
ning rasa bungah lan susah.
Mungkin pengaruh Buddhisme ikut membentuk imajinasi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

pa­­ra pencipta wayang purwa dalam adegan ”Alang-alang Kumi­


tir”: surga adalah sesuatu yang berada di luar wilayah panca­indra,
seperti yang dilambangkan dengan stupa di pucuk Borobudur
itu­—polos, ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.

Catatan Pinggir 8 117


KAHYANGAN

Saya ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia me­


ngagumi Syiwa Nataraja, dewa yang menari dalam lingkar­an api.
Beginilah dilukiskannya dalam sebuah puisi panjang dalam Ma-
dah Kelana:

Natésa berdiri
Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan

Patung Syiwa itu ”dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak


terperi”, dan di hadapan Natésa itulah Sanusi menemukan satu
kearifan, tatkala sesaat seakan-akan didengarnya sebuah suara
halus-merdu yang menyeru:

”Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri


Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar...”

Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah ”jalan


ringkas ... mencapai kemerdekaan”. Jiwa akan merdeka jika kita
membiarkan diri menari dan ”membakar segala ikatan buta”
yang kita bikin, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh
hasil, oleh ”tujuan”. Seperti ketika, dalam sebuah sajak­nya yang
lain, ia merasa di atas biduk dan merasa hening dan tenteram,
dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa arah, menyimak getar
keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam alam....
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di sini, tindakan berada di titik nol. ”Diam, hatiku, jangan


bercita,” tulis Sanusi dalam Candi Mendut, ”Jangan kau lagi me­
ngan­dung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya.”
Maka tindakan jadi ”laku”: ada di antara posisi yang bukan

118 Catatan Pinggir 8


KAHYANGAN

pasif dan juga bukan aktif. Sajak Syiwa-Nataraja melukiskan dua


gerakan untuk mencapai kemerdekaan: yang satu dengan meta-
fora ”menari”, dan pada saat yang sama juga ”tinggal semadi”.
Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini menyiapkan se­
su­atu yang berarti bagi sejarah. Di koloni orang-orang yang ter-
tindas, tampaknya harus diakui bahwa konfliklah yang mem-
bentuk. Mungkin sebab itu Sanusi Pane tertumbuk pada ruang
buntu, dan baru beberapa tahun kemudian ia menemu­kan se-
buah jalan keluar .
Di tahun 1940 ia menulis lakon Manusia Baru, sebuah cerita
tentang perjuangan buruh di Madras, India. Surendranath Dash,
aktivis dari Benggali itu datang membantu para buruh tekstil un-
tuk menuntut perbaikan nasib. Di sana ia bertemu dengan anak-
anak muda kelas menengah, Sarawaswati Wadia, misalnya. Kare-
na kata-katanya yang menggugah untuk membangun sebuah In-
dia yang baru, yang tak lagi bersifat ”tenang” tapi ”bergerak da­
lam ketenangan”, Dash mengubah pandang­an orang-orang itu.
Dalam keadaan tertindas, orang memang tak bisa menjalani
laku sang kelana yang hanyut dalam keheningan laut. Ia harus
meletakkan diri sebagai subyek. Ia bukan hanya ”laku”. Ia ”tin-
dakan”.
Dalam proses itu pula, sang kelana tak lagi menggunakan­ba-
hasa ”pemikiran meditatif” dan tak pula memakai bahasa­ ”pe-
mikiran puitis”—bentuk-bentuk yang dipujikan Heidegger seba­
gai alternatif bagi ”pemikiran kalkulatif.” Telah ditinggalkannya
bahasa yang selaras dengan suara angin di daun-daun. Surendra-
nath Dash tak menulis sajak.
Tapi hidup di tengah dunia yang belum berubah, ”manusia­
http://facebook.com/indonesiapustaka

baru” hanyalah sekadar model. Lakon Sanusi Pane tak melukis-


kan liku-liku psikologi yang pelik dan pergulatan jasmani yang
pasang-surut dalam proses transformasi dari yang ”lama” men-
jadi ”baru”. Manusia Baru praktis sebuah lakon tanpa tubuh tan-

Catatan Pinggir 8 119


KAHYANGAN

pa laku.
Di saat itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keter­
batasan jasmani dan keasyikan tubuh. Dash jadi seperti Faust,
yang berkata kepada Ruh: ”Aku, aku Faust, sejawatmu!” Ia tak
mau mengaku, bahwa ia berada dalam sejarah.
Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa,
tapi mensyukuri apa yang fana.

Tempo, 8 Januari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

120 Catatan Pinggir 8


ALETHEIA

—untuk Abdul Rahman Saleh.

I
NI terjadi di kota yang namanya tak perlu disebutkan, di ne­
geri yang bukan Indonesia (tapi tak usah ditulis), pada za-
man yang tak begitu jelas.
Seorang perempuan ditangkap. Ia dibawa ke sebuah gedung
papak dengan dinding dingin berbau lumut.
Di sana telah duduk empat lelaki berjubah ungu gelap. Song-
kok merah marun bertengger di kepala mereka. Semuanya­ ber­
kacamata hitam. Di depan mereka tercantum jabatan masing-
ma­sing: ”Jaksa Negara”, ”Pemuka Agama Resmi”, ”Wali Kehar-
monisan Kultural”, dan ”Pejabat Tinggi Akal Sehat”.
Balai itu hening. Angker? Perempuan itu, duduk berkain song­
ket dan berkerudung biru, seperti tak peduli. Matanya meman­
dang ke kejauhan. Tatapan itu baru berubah ketika salah seorang
pengusut bertanya: ”Namamu Aletheia?”
”Betul, Tuan.”
Jaksa Negara: ”Tahukah kamu, kamu dituduh menyebarkan
ajaran yang sesat?”
Aletheia: ”Tahu.”
Jaksa Negara: ”Kamu mengakui perbuatanmu itu?”
Aletheia: ”Saya tak tahu, Tuan. Saya tak tahu—sebab siapa­
yang berhak menentukan, mana yang ’sesat’ dan yang ’tak sesat’?­
Sayakah? Tuankah?”
Pemuka Agama Resmi: ”Ajaran agamalah yang menentukan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu, hai perempuan!”


Aletheia: ”Itu ketentuan ajaran agama Tuan. Tapi bagai­mana­
nasib orang yang bukan pemeluk agama itu dan tak me­ngikuti
aturannya? Ia ibarat penghuni Kota A, tapi dianggap melanggar

Catatan Pinggir 8 121


ALETHEIA

aturan lalu lintas Kota B.”


Wali Keharmonisan Kultural: ”Lalu apa agamamu? Islam?
Kristen? Hindu? Buddha? Kondomblé? Brik-A-Brak?”
Aletheia: ”Saya berada di luar itu semua.”
Jaksa Negara: ”Kamu penganut Konghucu? Itu di luar daftar
agama yang diakui Negara. Itu melanggar hukum.”
Aletheia: ”Saya bukan penganut Konghucu, Tuan. Tapi seper­
ti pengikut Konghucu, saya memang berada di luar semua agama
yang diakui Negara ini. Salahkah saya? Bagaimana Negara dapat
mendaftar apa yang haram dan tidak dalam per­kara iman? Bu-
kankah Negara adalah kekuasaan yang lahir­ dari kemenangan
politik manusia, bukan dari ke-maha-tahu-­an? Agama yang di­
akui Negara belum tentu agama yang benar.”
Pemuka Agama Resmi: ”Jadi kamu anggap agama Brik-A-
Brak, agama resmi negeri ini, tak benar? Lancang banget!”
Aletheia: ”Maaf, saya hanya mengatakan, ’belum tentu benar’.
Soalnya: bagaimana memutuskan sebuah agama benar dan tak
sesat? Bukankah di dunia yang terbatas ini, tak ada hakim yang
paling diakui benar dalam perkara ini?”
Pemuka Agama Resmi: ”Tapi ada iman, Saudara! Ada iman!
Iman itulah yang meyakini sebuah agama tak sesat!”
Aletheia: ”Ah, ada iman Kristen, ada iman Yahudi, ada iman
Islam.... Iman Yahudi tak mengakui kebenaran Yesus, iman Kris-
ten tak menganggap serius kenabian Muhammad.... Siapa yang
bisa jadi hakim?”
Jaksa Negara: ”Tapi ada hukum positif, yang didukung ham-
pir semua wakil rakyat di parlemen. Dalam hukum itu, ajaran
yang kamu sebarkan dianggap sesat. Kamu tak bisa me­lawan­hu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kum itu, sebab rakyat negeri ini mendukungnya.”


Aletheia: ”Suara rakyat bukanlah suara Tuhan. Suara rakyat­
bisa khilaf—seperti suara rakyat Amerika yang memilih kembali
George W. Bush.”

122 Catatan Pinggir 8


ALETHEIA

Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Stop! Di sini bukan untuk bicara­


tentang keadaan luar negeri!”
Aletheia: ”... dengan undang-undang yang didukung rakyat­
itu, apa yang hendak dicapai dengan menghukum saya? Agar saya
jadi penganut Brik-A-Brak? Agar saya meninggalkan keyakinan
saya?”
Perempuan itu berhenti bicara sejurus. Ia minum dan mem­
be­tulkan kerudungnya. Lalu ia meneruskan: ”Dalam sejarah,
banyak orang yang disalibkan, dibakar hidup-hidup, dikucilkan,
tapi mereka tak hendak mencabut yang mereka yakini. Tuan tahu
kisah Al-Hallaj yang diletakkan di api, cerita Spinoza yang diusir­
dari komunitas Yahudi, dan Sokrates, tentu saja Sokrates, yang
disuruh meminum racun. Apa akibat dari kekerasan macam itu?
Tak ada paksaan dalam agama, begitu disebut dalam Quran—
kitab yang mungkin Tuan tak pernah dengar, sebab Tuan peng­
anut agama Brik-A-Brak. Nah, masjid agung orang Islam di Gu-
jarat dihancurkan kaum fundamentalis Hindu, masjid Ahmadi-
yah di Jawa Barat dirusak—tapi mampukah semua itu mengubah
keyakinan?”
Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Keyakinan yang ngawur pada
akhir­nya akan diubah oleh akal sehat dan oleh agama yang benar.
Ingat, kata Nabi orang Islam, ’agama itu akal’.”
Aletheia: ”Saya kagum Tuan tak sungkan mengutip kata-kata
Nabi orang Islam. Tapi kepada Tuan akan saya kutipkan Einstein.
Tuan ingat Einstein, penemu teori relativitas? Dia orang yang
tahu bagaimana produktifnya bila akal atau nalar dipakai manu­
sia untuk memecahkan problem kehidupan dan alam semesta.
Tapi ia tahu, ada sifat dalam nalar yang membatasi pendekatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

manusia kepada dunia. ”Bila kita tak berdosa kepada nalar, kita
tak akan ke mana-mana.”
Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Hai, kamu mau menyeret manu-
sia jadi irasional. Rupanya dengan itu kamu benarkan takhayul,

Catatan Pinggir 8 123


ALETHEIA

bahwa kamu pernah bersua dengan malaikat! Bagaimana kamu


membuktikan bahwa ada malaikat yang namanya, ah, siapa itu,
oh, ya Jibril, yang membisiki kamu dengan ’kebenaran’?”
Aletheia: ”Beranikah pertanyaan yang sama Tuan kemukakan
kepada orang Islam, yang mempercayai Nabi mereka diberi wah­
yu lewat Jibril? Hmmm.... Setidaknya bagi saya, wahyu-melalui-
Jibril adalah semacam Eregnis. Maksud saya, ”kejadian” yang me­
lintas ke dalam kalbu saya, yang mendadak membentang­kan apa
yang menakjubkan, yang juga suci, menggetarkan, menakutkan,
di atas bumi, di bawah langit, di antara yang ilahi dan yang fana.
Di momen itu saya tersentuh oleh sesuatu yang tak biasa—latar
bagi Yang Maha Lain, dengan segala ambiguitas dan paradoks­
nya....”
Jaksa Negara: ”Nona, bicaralah yang ringkas agar kita pa-
ham.”
Sebelum semua tahu apa artinya ”paham”, jam berdentang
pu­kul 21. Sejak itu Aletheia diam. Dan cerita khayal ini harus­di­
hentikan, sebab sudah bisa diduga akhirnya, itu-itu juga, mem­
bosan­kan.­

Tempo, 15 Januari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

124 Catatan Pinggir 8


RAGU

S
EBUAH komet melintasi langit malam Eropa yang di­
ngin,­dan orang pun gempar. Pada akhir tahun 1680 itu,
penduduk yang saleh menyangka itulah peringatan Tuhan­
bahwa bencana akan datang.
Tapi di Rotterdam hidup seorang Prancis yang diduga tak be-
gitu baik imannya: Pierre Bayle. Ia tak gentar. Ia menulis Pensées
diverses sur la comète, (”aneka pikiran tentang komet”). Komet,
kata Bayle, melintasi angkasa menurut hukum yang tetap. ”Tu-
han... bertindak berdasarkan hukum tertentu yang ditegakkan-
Nya berdasarkan kemauan bebas-Nya.”
Mungkin niatnya hendak mencerahkan pikiran—tapi mung-
kin juga ada kemarahan tersembunyi kepada agama. Bayle baru
saja menyelamatkan diri dari Kota Sedan di timur laut Prancis.
Seminari Protestan tempat ia mengajar filsafat di kota itu ditutup
atas titah Raja Louis XIV. Bayle merasa, peng­aniayaan terhadap
orang Protestan (”Huguenot”) mulai berjangkit kembali di Pran-
cis.
Setelah 30 tahun perang yang melelahkan antara orang Hu­gu­
enot dan orang Katolik, semacam perdamaian sebenar­nya di­­co­
ba. Pada tahun 1598 Raja Henri IV mengeluarkan Titah (”Edit”)
Nantes. Dalam maklumat itu orang Protestan diperkenankan
mendirikan gereja di tempat-tempat tertentu dalam radi­us 8 ki-
lometer dari Kota Paris. Tapi pada musim semi 1610, Raja Henri
tewas dibunuh. Sejak itu titahnya mulai diabaikan. Di bawah
Louis XIII beberapa kebebasan dicabut. Ketika Louis XIV meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

gantikannya, hidup tambah tak nyaman bagi kaum Pro­testan.


Bayle sendiri pernah jadi Katolik—selama 17 bulan. Ayah­
nya,­­ meskipun seorang pendeta Protestan, mengirim Pierre un-
tuk belajar di sebuah kolese Jesuit di Kota Toulouse. Anak muda

Catatan Pinggir 8 125


RAGU

dari kota kecil di bawah Pegunungan Pyrenia ini jatuh cinta ke-
pada para gurunya. Beralih ke iman yang baru, ia bahkan menco-
ba mengajak ayah dan adiknya berpindah agama. Ayahnya sabar,
tapi tak bersedia. Pierre kemudian yang kembali jadi Huguenot.
Dengan kata lain, ia murtad, dan ia takut. Pada tahun 1670
ia meninggalkan Prancis dan belajar di sebuah kolese di Jene­wa.
Empat tahun kemudian ia kembali ke negeri kelahirannya de-
ngan memakai nama lain, dan pada tahun 1675 ia mengajar di
Se­dan, sampai perguruan itu ditutup dan ia harus menyingkir
la­­gi.­Untung ia dapat pekerjaan di Rotterdam, mengajar sejarah
dan filsafat di Êcole Illustre.
Di kota Protestan ini ia menghabiskan 14 jam sehari untuk­
me­nulis, menampik waktu senggang untuk bersenang-senang,
memilih hidup lajang, sebab menganggap perkawinan seperti sa­
lib besar yang harus ditanggungkan. Ia hanya merasakan ”nikmat­
dan istirahat” dalam ruang studi di antara buku dan naskah,­tu-
lisnya. Canem mihi et Musis—”Aku menyanyi untuk­diri­ku sen­
di­ri dan sumber ilhamku.”
Bagi banyak orang lain, terutama para musuhnya, Pierre Bayle
tak menyanyi, melainkan mengusik, dan apa yang di­tulis­nya jelas
bukan untuk dirinya sendiri. Ketika ia menulis­ me­ngingatkan
bahwa komet bukanlah tanda peringatan Tuhan,­itu sebenarnya
bagian dari pendiriannya: ia tak percaya mukjizat. Yang ia per-
cayai hanya yang ditulis dalam Injil—meskipun ada yang men-
catat bahwa ini harus dinyatakannya agar bukunya dapat dicetak
di Belanda. Syahdan, orang mulai curiga: benarkah Bayle seorang
yang beriman, seorang pengikut­Calvin sejati?
Sampai hari ini kita tak tahu jawabnya. Sebagian besar karya­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nya ditulis dengan nama samaran. Yang diketahui pasti­sebagai


tulisannya adalah Dictionnaire historique et critique, se­buah karya
2.600 halaman, yang terbit pada tahun 1697. Ini bukan kamus,
me­lainkan uraian dan telaah tentang tokoh,­tempat, gagasan, mi-

126 Catatan Pinggir 8


RAGU

tologi, sejarah, sastra, dan lain-lain. Tak semua memang dibahas,


terutama tentang ilmu dan seni. Susun­an­nya agak kacau. Tapi
yang menarik adalah komentarnya, yang dicetak dengan huruf
lebih kecil, tapi yang bisa lebih panjang dari uraian pokoknya.
Salah satu yang menarik ialah uraiannya tentang pembantai­
an, perzinaan, dan khianat Raja Daud, yang begitu rupa hingga­
pembaca bisa bertanya kenapa tokoh macam ini harus­dihormati
orang Kristen. Terlebih lagi, ia menunjukkan ke­ragu­an tentang­
doktrin Trinitas. Dan dalam bab mengenai Adam, ada sederet
pertanyaan yang mengusik: jika manusia diciptakan oleh yang
ma­hakuasa, mahasuci, dan mahabaik, kenapa ia bisa terkena sa­
kit, pedih, dan duka? Kenapa ia bisa berbuat begitu banyak keja-
hatan? Tidakkah hanya akan membawa orang ke atheisme, untuk
menggambarkan Tuhan seba­gai pakar hukum (”un Législateur”)
yang melarang manusia berbuat jahat, tapi memungkinkan­nya
demikian, dan kemudian menghukumnya selama-lamanya?
Tak urung, kaum beriman pun marah. Gereja Walloon di
Rotterdam, tempat ia jadi bagian dari jemaat, memanggilnya.
Dictionnaire-nya dianggap berisi ”pernyataan dan pertanyaan
tak senonoh”. Bayle, yang agaknya tahu bagaimana merunduk
untuk mengelak, mengaku salah. Edisi kedua Dictionnaire terbit
pada tahun 1702, komentarnya tentang Raja Daud sudah diper-
lunak. Tapi ia—yang pernah diserang kalangan Calvinis­sendi­
ri dan dituntut untuk dipecat dari tempatnya mengajar—tahu,
orang Protestan bisa sama tak tolerannya dengan orang Katolik.
”Semoga Tuhan menjagai kita dari Inkuisisi Protestan,” katanya
suatu waktu.
Adakah ia orang yang lemah iman? Ia memang bisa membuat
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang jadi ragu dan skeptis. Tapi pada saat yang sama ia juga suara
yang menganjurkan perlunya kebebasan beragama bagi mere­ka
yang bukan Kristen, khususnya Yahudi, muslim, dan lain-lain—
suatu pandangan yang bahkan tak diterima oleh pemikir seza-

Catatan Pinggir 8 127


RAGU

mannya di Inggris, John Locke (1632-1704), tokoh yang pan­


dang­annya bergema jauh sampai ke Deklarasi Hak Manusia pada
tahun 1789.
Toleransi memang tak mudah bagi pengikut agama-agama
yang merasa Tuhan ada dalam genggaman mereka. Tapi waktu­
mengubah banyak hal. Setelah Bayle meninggal terkena tuber-
kulosis pada akhir Desember 1706—umurnya hanya 59 tahun—
para mahasiswa antre untuk membaca karyanya di Perpustakaan
Mazarin di Paris.

Tempo, 22 Januari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

128 Catatan Pinggir 8


MAWAR

”Dunia adalah nihil yang sangat indah.”

K
ALIMAT Latin itu ditulis seorang dokter muda lulusan
Universitas Padua pada tahun 1649. Tak lama setelah
itu, Johann Scheffler, yang kemudian lebih dikenal se-
bagai penyair dan mistikus dengan nama Angelus Silesius, me­
nem­puh perjalanan dari kota kelahirannya, Breslau, Jerman, ke
sebuah kota di pedalaman, Oels. Ia diterima jadi dokter di kastil
Hertog Sylvius Nimrod di kota itu.
Dalam perjalanan sejauh 30 kilometer itu sang dokter muda
menyaksikan bagaimana dunia adalah nihil yang lain: kota peda­
lam­an itu telah jadi reruntukan. Berkali-kali Oels di­­meriam,­di­
ser­bu, dan dijarah pasukan Protestan dan Katolik­secara bergan-
tian selama Perang 30 Tahun. Penduduknya le­nyap­separuh oleh
pembantaian, kelaparan, dan wabah. Ru­mah-rumah tak dapat
didiami lagi. Hanya kastil sang Hertog­yang berdiri utuh di tepi
kota, dengan menara dan atapnya yang terjal, seakan-akan ngilu
dalam kesepian.
Itukah yang menyebabkan Angelus Silesius menulis:

Tuhan adalah Ketiadaan sepenuhnya


Tak tersentuh Waktu dan Tempat:
Semakin kau tangkap Dia
Semakin ia lepas dari jerat?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Seperti lazimnya terjadi, ketika agama hanya membenarkan­


sempitnya pandangan dan memberi alasan kebencian, ada orang
yang tak berbahagia. Yang lebih berbahagia dengan Tuhan yang
tak beringas akan mencari persentuhan kerohanian yang lain.

Catatan Pinggir 8 129


MAWAR

Mistisisme adalah salah satu alternatif—satu hal yang kita kenal


juga dalam Rumi, Ibnu Arabi, Meister Eckhart.­
Juga Angelus Silesius alias Johann Scheffler. Riwayatnya se-
benarnya tak luar biasa. Ia anak seorang aristokrat Jerman kela-
hiran Polandia yang hijrah ke Kota Breslau pada awal abad ke-17.
Pada umur 19, ia berangkat ke Strassburg untuk belajar­kedokter-
an dan hukum. Tapi entah kenapa, setahun kemudian, se­belum
ia akhirnya ke Padua, ia masuk di Universitas Leiden, Belanda.
Di situ ia berkenalan dengan mereka yang tak puas dengan
agama-agama yang ada, terutama mereka yang mengungsi dari
tuntutan hukum karena berbeda iman. Di tengah mereka,­ Jo-
hann menemukan pemikiran Jakob Böhme, filosof dan mistikus
Jerman yang mewariskan Mysterium Magnum (Misteri Agung)
ke­ Eropa. Yang ilahi, bagi Böhme, tak tepermanai sifat­nya dan
tak dapat digambarkan secara definitif. Yang ilahi adalah proses,
untaian yang tak henti-hentinya menciptakan, tanpa awal, tanpa
bentuk.
Pemikiran seperti ini kelak akan bergema dalam diri Scheff­
ler. Tapi ada seorang lain yang lebih mengena di hatinya di Oels:
Abraham von Franckenberg. Orang ini bangsawan yang menam­
pik warisan. Ia memilih hidup di salah satu kamar di kastil tua
ne­nek moyangnya, dan hanya muncul sekali-sekali untuk meng­
obati orang ketika wabah menyerang. Terkadang ia mengunjungi­
teman-teman dekatnya yang, seperti dia, hidup­hanya untuk me­
ditasi dan studi. Franckenberg penga­gum Böhme. Ia yang meng­
usahakan buku sang filosof terbit di Amsterdam pada tahun
1642.
Franckenberg adalah pencari: ia menelaah tradisi mistik Ya-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hudi dalam Kabala, mempelajari ilmu kimia, menerima ajar­an


Giordano Bruno yang dianggap murtad, menyambut pene­muan
Kopernikus yang tak cocok dengan Injil bahwa alam semesta tak
berpusat pada bumi. Dari semua itu, ia ingin tahu apa gerangan

130 Catatan Pinggir 8


MAWAR

di sana dalam hidup yang kekal.


Sudah tentu ia membuat cemas dan curiga para pendeta Lu-
theran. Ia pun meninggalkan Oels dan baru kembali pada awal
1649. ”Tuhan bukan hanya tuhan umat Yahudi dan Kristen,” ka-
tanya, ”tapi juga tuhan orang kafir, ya, tuhan semua orang.” Keti-
ka ditanya apa agamanya, Franckenberg menjawab: ”Akulah Jan-
tung agama-agama itu.”
Scheffler segera jadi sahabatnya. Ketika Franckenberg mening­
gal pada musim panas 1652, dokter muda itu menulis elegi­yang
mengharukan. Baginya, sang mendiang telah bersatu­dengan Tu-
han bahkan sebelum meninggal: ”satu roh, satu ca­haya,­satu hi­
dup.”­
Tapi kecenderungan mistik Scheffler bertabrakan dengan
atur­an tempat dia bekerja: kastil sang Hertog dijaga seorang
imam Lutheran yang menyensor apa saja yang ditulis dokter-pe­
nyair ini. Dari sini, garis mulai ditarik. Akhirnya ia meninggal­
kan Oels dan kembali ke Bresnau. Tanggal 12 Juni 1653, ia res-
mi memeluk agama Katolik. Tak urung ia jadi bulan-bulanan se-
rangan yang sengit dan orang tak henti bertanya: kenapa? Ini-
lah salah satu alasan yang dikemukakannya hingga ia berpindah
agama: para pendeta Lutheran menolak ”jalan tersembunyi”;
mereka tak mengenal ”penyatuan diri dengan Tuhan”.
Tapi tak pernah jelas bagaimana ia juga sepenuhnya bisa
meng­ikuti ortodoksi imannya yang baru. Dalam kumpulan sajak­
yang dia tulis bagi Franckenberg, tampak bahwa tujuan sejati per­
jalanan ziarah rohaninya adalah Cor Religionum yang dikemu­
kakan Franckenberg: agama rohani yang tak memuja Roma,
Wittennerg, ataupun Jenewa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Memang kemudian perubahan terjadi. Menjelang usia tua­


nya, Scheffler makin yakin kepada Gereja Katolik, dan makin ia
terlibat dalam polemik melawan kaum Lutheran. Ada fana­tisme,
ketajaman, dan sikap sengit dalam tulisan-tulisannya yang ter­

Catatan Pinggir 8 131


MAWAR

akhir­— dan puisi mati dari tangannya. Adakah ia berbahagia?


Tubuhnya makin lemah, dan akhirnya, menjelang wafat, terba­
ring­di tempat tidur ia merasa praktis ”ditinggalkan­oleh semua
harum-kembang dan pemenuh dahaga rohani”.
Ia memang sering menggunakan ”kembang” sebagai metafor.
Ia mencintai mawar, katanya, karena bunga itu mekar, sendiri,
tak peduli adakah yang melihatnya. Hidup memang ada dan tan-
pa mengapa: ”Die Ros’ ist ohn’ warum: sie blühet, weil sie blühet.”
Mawar ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar.­
Tak adakah alasan Tuhan? Sang mistikus akan menjawab:
ha­­nya Tuhan yang dibayangkan sebagai ”sosok” yang butuh
alasan­ dan arah—dan dengan demikian seakan-akan ia yang
ada-dalam-ruang. Tak mengherankan, Tuhan yang dibayangkan
macam itu adalah Tuhan yang bisa terbatas di satu kubu.
Tapi bukankah Ia adalah Ia, Sang Ada yang menggugah, dari
mana dunia memang nihil yang indah?

Tempo, 29 Januari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

132 Catatan Pinggir 8


SHAHRAZAD

A
PA gerangan yang menyelamatkan Shahrazad? Cerita­
1001 Malam dimulai dengan ingatan. Sultan Shahriar­
ada­lah lelaki yang menyimpan dendam. Pada suatu ha­
ri permaisurinya berbuat selingkuh dan ia tak bisa melupakan
nista­ itu. Baginda pun bertitah agar wanita itu dipancung, de-
ngan tambahan sebuah program yang bengis: tiap hari ia akan
me­ng­ambil seorang perempuan untuk jadi permaisuri selama se-
malam, dan esoknya, di fajar menyingsing, istri-24-jam itu harus­
dibunuh.
Baginya, wanita semuanya sama; perempuan hanya sebuah
ru­mus. Tiap rumus menghalau ciri yang berbeda-beda dari ben-
da dan manusia, dan merenggutkan mereka dari konteks. Tiap
kon­sep mencopot mereka dari sejarah, melenyapkan yang khas
dalam ruang dan waktu masing-masing. Walhasil, menurut kon-
sep, ”perempuan” adalah ”perempuan”, di mana pun dan kapan
pun.­
Dari Sultan Shahriar kita tahu, konsep membuat persoalan­ja­
di rapi, jelas, dan efisien: kita tak perlu terpesona dan men­cermati
beda Aminah dari Audrey. Mereka bukan manusia konkret de-
ngan rasa riang dan kesunyian masing-masing. Mereka telah di­
ring­kus dan dibenamkan ke dalam definisi. Dari Shahriar kita
tahu, tiap definisi mengandung kekerasan.
Tapi Shahrazad selamat. Dalam cerita yang termasyhur ini,
gadis itu memang tak dapat menolak ketika ia diboyong ke istana
untuk jadi permaisuri dan calon korban penyembelih­an. Tapi ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

punya siasat yang cerdas: ia menghibur Sultan Shahriar­dengan


dongeng yang memikat. Tak hanya itu: dongeng itu tak pernah
selesai dalam semalam—dan sebab itu baginda ingin­agar Shah-
razad melanjutkannya esok harinya. Perempuan itu urung di-

Catatan Pinggir 8 133


SHAHRAZAD

bunuh. Ia bisa menunda kematiannya sampai 1001 malam.


Apa yang menyelamatkan Shahrazad sebenarnya? Bukan ka­
rena ia mendongeng, melainkan karena ia menunda. Kata ”tun-
da” berasosiasi dengan kata ”tandu”. Begitulah Shahrazad men-
junjung dongengnya dan meletakkannya dalam posisi tergan-
tung antara dua penopang yang bergerak. Ada ketegangan di situ,
juga kesementaraan dan ketakpastian. Ada ketakselesai­an yang
membuat orang mengejer terus, seakan lapar.
Di situlah Shahrazad sebenarnya sudah melawan seorang laki-
laki yang hendak membalas dendam dengan sebuah rumus.
Dalam sikap Sultan Shahriar sebenarnya tersimpan keang­
kuh­an: dengan dendam ia bikin waktu berhenti. Masa lalu diper-
lakukannya seperti kotak tertutup. Ingatan dibekukan dan di-
rawat seakan-akan bisa lepas dari seluruh waktu yang ramai dan
ranum....
Sebaliknya Shahrazad. Bagi perempuan ini (ia sosok yang
ima­ji­natif) waktu tak bisa dijadikan kotak tertutup. Waktu­bu-
kan ruang. Waktu seperti arus sungai. Meskipun kita berdiri di
titik yang sama di sungai itu, kita tak pernah dibasuh oleh air
yang sama. Tiap saat adalah penundaan. Kita tak tahu apa arti
”selesai”. Sungai itu tak berhenti di muara. Arus akan mengalir
terus dan terus, air baru akan datang tak henti-hentinya dari hilir,­
akan merasuk ke laut, dan laut akan bergerak, bergelombang,
tanpa kendat. Dengan kata lain: sebuah cerita perubah­an.­
Berendam di tengah sungai, kita bisa hayati itu. Tapi berdiri
dari jauh, kita akan lihat sungai itu bukan sebuah perubahan
yang tak kunjung berhenti. Ia akan tampak sebagai kali yang itu-
itu juga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam ”melihat” memang tersirat jarak. Tanpa jarak, tak akan


tampak apa yang kita hadapi. Yang jadi rancu (tapi tak selalu kita
sadari) ialah tatkala kita anggap ”melihat” sama dengan­”menge­
ta­hui”. Sultan Shahriar merasa ”tahu” apa arti ”pe­rempuan” kare-

134 Catatan Pinggir 8


SHAHRAZAD

na ia melihat dari sebuah jarak, dari atas takhta. Nun di ketinggi­


an itu, ia seperti sebuah teropong; ia ”menangkap” sesuatu, dan
meskipun tak seluruh tubuh dan dirinya jadi saksi, ia simpulkan
bahwa semua perempuan sama.
Sebagaimana umumnya penguasa, ia mempertaruhkan ke­
pas­ti­an kepada yang bisa dilihat: mengawasi; membuat peta;
mem­bentuk ruang; menyusun daftar dan membangun lajur—
baik di jalan maupun di katalogus penduduk. Mereka ingin­agar
aturan ajeg dan tertib, maka mereka patri hukum ke dalam ak-
sara yang tertangkap mata.
Di atas takhta, mereka memang suka yang ajeg—sebagai­
mana Shahriar suka akan rumus dan daftarnya sendiri: dalam
daftar itu, dalam lajur ”perempuan”, tak akan ada sesuatu yang
tak terduga.
Terhadap semua itu, Shahrazad melakukan subversi: ia tarik
sang penguasa ke dalam sebuah dunia lain. Sejak malam pertama
ia duduk bersimpuh di dekat baginda. Dari mulutnya akan ke-
luar bunyi derap kuda para penyamun dan suara ”Sezaaaam!” di
pintu gua. Dari bibirnya akan terdengar desah vokal dan konso-
nan melukiskan derak layar di kapal Sinbad.
Berangsur-angsur, baginda pun sadar bahwa dengan hanya­
”me­lihat” ia tak akan sepenuhnya tahu. Mata hanya bisa me­nang­
kap sesuatu sebidang demi sebidang, meskipun selama berabad-
abad, sejak Plato, manusia lupa akan hal itu. Orang Yunani me-
nyamakan kemampuan mata dengan kemampu­an kognitif dan
orang Jawa menyebut pengetahuan dengan kawruh, yang berakar
kata weruh (melihat).
Tapi Shahrazad mendongeng selama 1001 malam. Ia bawa
http://facebook.com/indonesiapustaka

Shah­riar ke dalam situasi di mana weruh bukanlah segala-gala­


nya.­­ Telinga pun terbuka—dan berbeda dengan mata, teli­nga
me­­­nerima dunia sekaligus. Tak kalah penting, lewat kuping,­
pengindraan bergerak bersama waktu. Suara seperti waktu:

Catatan Pinggir 8 135


SHAHRAZAD

meng­­alir, datang, menghilang. Ia adalah kesementaraan.


Maka arti ”selesai” jadi nisbi—satu kenyataan yang akan me­
nga­getkan seorang sultan yang merasa dapat menguasai hidup se-
bagai sebuah garis yang bisa ia tentukan titik akhir­nya. Tapi ber-
sama dongeng, bersama imajinasi, dalam keasyik­an bersua de-
ngan bermacam ragam sosok dan perangai selama 1001 malam,
hidup tak sama dengan sebuah garis. Hidup tak lurus, tak pasti,
tapi apa salahnya? Ia tak monoton.
Lebih penting lagi: hidup akan terasa seperti arus sungai, yang
akhirnya lebur ke dalam laut, hilang tapi juga tak hilang.
Dengan itu Shahrazad tak hanya menyelamatkan dirinya
sendiri. Ia juga menyelamatkan Shahriar.

Tempo, 5 Februari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

136 Catatan Pinggir 8


LAOZI

M
UNGKIN Laozi tak pernah ada. Mungkin ia lebih
baik disebut ”tuan yang tak meninggalkan tilas”, atau
”Yinjunzi”, seperti sejarawan Sima Qian menjuluki­
nya.­Barangkali ia hanya tokoh fiktif yang diciptakan Zhuangzi,
pemikir yang hidup pada abad ke-4 sebelum Masehi dan mempe-
sona kita sampai hari ini.
Memang ada yang bercerita, Laozi benar lahir di Kota Ku di
Negeri Chu. Orang yang dianggap pemula ajaran Daoisme ini hi­
dup dalam masa Dinasti Zhou sebagai pustakawan negara. Ko-
non kepadanya Kongfuzi terkadang datang. Tapi bagaimana­ ia
sesungguhnya—ia yang juga disebut ”Lao Tan”—bahkan Kong-
fuzi tak mampu menggambarkannya.
”Guru, telah Tuan lihat Lao Tan,” kata seorang murid. ”Bagai­
mana Tuan melukiskannya kira-kira?”
Sang Guru pun menjawab: ”Mungkin telah kulihat seekor
naga—seekor naga yang meliuk untuk memperlihatkan tubuh-
nya dalam penampilan yang terbaik... yang mengendarai napas
awan dan hidup dari yin dan yang. Mulutku terbuka dan aku
tak kuasa menutupnya, lidahku kelu dan aku tak mampu bica­
ra­gagap sekalipun. Bagaimana mungkin aku mengutarakan ba­
gaimana Lao Tan!”
Tak seorang pun dapat mengutarakan dengan lengkap orang
lain—itulah mungkin kearifan yang harus dipetik dari jawab
sang Guru. Orang lain senantiasa punya sisi yang ganjil,­ tak
terjelaskan, ajaib. Di depan enigma itu, lidah kelu, kata terbatas.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Atau ada kearifan lain yang tersirat dari jawaban itu: bahwa
ajaran yang baik tak perlu diketahui dengan jelas asal-usulnya.
Ajaran yang baik punya sejarah ketika ia dijalankan, kini, dan
bukan pula ketika ia dimuliakan sebuah masa lalu. Tiap asal-usul

Catatan Pinggir 8 137


LAOZI

hanyalah titik yang dipatok di masa lalu itu, tapi titik itu, seba­
gaimana tiap titik dalam geometri, tak mungkin berdiri sendiri.
Ia selalu bertaut dengan titik-titik lain di garis tarikh. Tiap asal-
usul adalah nisbi.
Demikian juga jika kita bicara tentang riwayat filsafat seper­
ti Daoisme, atau Konfuzianisme, bahkan juga agama wahyu.­
Agama bisa menyatakan diri berasal dari sabda Tuhan­yang di-
bisikkan ke seorang nabi, namun tiap nabi berada da­lam sebuah
sejarah, dalam sebuah bahasa, yang tak lepas dari asal-usul yang
tak bisa persis ujungnya?
Dan apakah ”asal-usul” agama, kepercayaan dan pe­nge­tahu­
an­­kita, selain ikhtiar mencari asal dari segala asal—yang tak mu-
dah terjawab tuntas? Seperti tentang akar dirinya sendi­ri, ten-
tang itu juga Daoisme bicara dengan mengakui kegaiban yang
ada: asal-usul itu sesuatu yang tak bernama, antara ada dan tia-
da, ”misteri dari semua misteri”. Tersebut dalam kitab Daodejing:
”Siapakah yang tahu, anak siapa nenek moyang para dewa itu?”
Pendeknya sesuatu yang agung ”mengalir ke mana saja”, dan se­
ga­la hal pun ”ada”. Tapi sang asal-usul itu ”tak dipertuan”.
Dengan kata lain, tak ada archê seperti dalam pemikiran Aris­
toteles: sebuah ”prinsip” yang memulai semuanya dan menguasai­
semuanya. Memang ”Dao” atau ”Jalan” sebuah proses, artinya ge­
rak. Tapi Daoisme tak melihat gerak dalam hubungan sebab-aki-
bat. Bagi Aristoteles segala hal bergerak tapi senantiasa digerak­
kan sesuatu yang lain. Hanya pada akhir­nya niscaya ada ”penye-
bab pertama yang tak digerakkan”, to proton kinoun akineton.
Pandangan Aristoteles ini, yang berasal dari telaah fisika, ber­
gema dalam theologi monotheistis, ketika ia masuk dalam tafsir
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ibnu Rushd yang muslim, Maimonides yang Yahudi, dan Tho­


mas­Aquinas yang Kristen sejak abad ke-12.
Tak semua pemikir monotheistis setuju untuk menerangkan
Tuhan hanya sebagai titik awal dalam rantai sebab-akibat.­Juga

138 Catatan Pinggir 8


LAOZI

teori Aristoteles terkesan monolitik dan otoriter tentang alam se-


mesta. Kata archê (menurut mereka yang pandai dalam etimolo-
gi Yunani), selain berarti ”awal” dan ”prinsip”, juga berarti ”pe­
ngu­asa” dan ”jabatan”. Dalam karyanya tentang meta­fisika, Aris-
toteles mengibaratkan prinsip utama itu bagai seorang ”jenderal
dalam pasukan”.
Di sini Daodejing berbeda: kitab ini tak meniscayakan ada­
nya ”penyebab pertama” yang hadir, punya hadirat. Alam semes-
ta tak dilihat ibarat sepasukan tentara, melainkan seba­gai­penge-
jawantahan ”Jalan”. Sepasukan tentara hadir untuk tuju­an yang
jelas. Sebaliknya ”Jalan” dalam imajinasi orang pada abad ke-4
sebelum Masehi: ”Jalan” ada karena orang mem­­buka­nya dengan
menempuhnya beramai-ramai, tanpa­kepenting­an dan arah yang
sama dan mungkin tanpa arah yang telah pasti. Di ”jalan”, dan
bukan dalam pasukan, tak hadir­ otoritas tunggal yang mengo-
mando langkah dan me­nyeragam­kan pelbagai terompah.
Ada sesuatu yang tak otoriter dan imperialistis dalam Dao-
isme. Mungkin karena ia tumbuh ketika Cina tercabik-cabik pe­
rang­selama dua abad sejak 405 sebelum Masehi. Pada Daoisme
tak ada ilusi tentang kekuasaan yang tunggal dan kekal. Tak ada
keyakinan bahwa manusia diciptakan istimewa­dengan status se-
bagai Wakil Tuhan yang bertugas menguasai bumi. Daoisme tak
menawarkan ”onto-theologi”. Bagi Zhuangzi, 1.500 tahun men-
dahului pikiran yang meragukan­ humanisme, manusia bukan-
lah pusat segala-galanya. ”Di tengah­ semesta makhluk, tak sa-
makah manusia dengan sehelai rambut di kulit kuda?” begitulah
ia bertanya.
Maka bila Konfuzianisme ingin memperbaiki dunia dan ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hidupan politik yang runyam pada zamannya, Daoisme memilih


sikap yang anteng dan arif. Paham ini tak yakin manusia mampu
bertindak, biarpun untuk membuat hidup lebih berbahagia, tan-
pa merusak.

Catatan Pinggir 8 139


LAOZI

Bagi seorang Daois, orang yang arif menempuh laku tanpa


bertindak—itulah wu wei. Ia bergerak tanpa didikte target dan
tu­juan. Ia tahu maknanya ”kosong”. Lihatlah pintu dan kendi:
bagian ”kosong” itulah yang membuat benda itu berarti bagi
orang lain. Justru manusia yang merasa diri penuh kebenaran, ke-
sucian, dan kekuatan, yang bisa destruktif.
Maka di ”jalan”, di mana aneka manusia bertemu dan ber­se­
lisih, seorang yang tanpa pamrih akan menjadikan diri­nya pintu
buat memberi ruang dan kendi sebagai wadah air penawar haus.

Tempo, 12 Februari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

140 Catatan Pinggir 8


KARIKATUR

S
ERAUT paras tembam. Alisnya tebal. Misainya lebat ka­
sar.­ Sorbannya hitam, dengan kalimat syahadat berkali­
grafi Arab. Yang lebih menarik: sorban itu bulat dengan
sum­bu—sorban itu sebuah bom. Seandainya gambar itu terpa-
sang tanpa kata-kata, kita tak akan tahu itu karikatur tentang
Nabi Muhammad. Tapi toh kita akan tahu: itu sebuah gambar
cemooh buat orang Islam.
Bagi saya, itu saja sudah menunjukkan satu hal yang layak­
di­kecam. Koran Jyllands-Posten, dengan tiras sekitar 175 ribu,
adalah surat kabar terlaku di Denmark. Kantornya terletak
agak di luar Aarhus, kota kedua terbesar. Gedungnya mirip­ se-
buah pabrik yang rapi, dengan cat putih di bagian interior.­Orang
yang tahu bilang koran itu dibaca para petani yang makmur dan
taat dan kelas menengah di daerah udik. Mereka sopan, tapi tak
mengherankan bila mereka tak nyaman melihat berbondong­
orang datang dari negeri Selatan yang miskin dan umumnya
mus­lim dan ”bukan-orang kita”. Sebab selama berabad-abad me­
reka terlindung dari apa saja yang ganjil dan mengejutkan.
Hari-hari ini mereka dukung sebuah pemerintah yang, se­per­
ti­ mereka, menatap para imigran dengan waswas, bahkan­ ber­
mu­­­suh­an. ”Kita berangkat perang menentang ideologi multi­kul­
tural,” kata Brian Mikkelsen. Politikus berusia 39 tahun itu, kini
menteri kebudayaan, meneriakkan bahwa ”perang­kebudayaan”
yang berkecamuk kini adalah untuk melawan gagasan yang ber-
sedia menerima ”norma dan cara berpikir muslim” di masyarakat
http://facebook.com/indonesiapustaka

Denmark. Baginya, ”warisan budaya” (dan itu berarti ”budaya


asli” atau ”pribumi”) merupakan sumber kekuatan untuk meng-
hadapi ”globalisasi” dan arus masuk migrasi.
Seberapa jauh sebenarnya suara itu berbeda dari aum Hitler­

Catatan Pinggir 8 141


KARIKATUR

pada tahun 1937, yang menyerukan ”sifat-sifat kesatuan dan ho-


mogenitas” dalam kebudayaan ”Jerman”? Lupakah mereka akan
konsekuensinya: perang atau pembersihan untuk menghabisi ke-
budayaan yang tak bertanah air, dan waktu itu disebut ”Yahudi”?
Mungkin inilah tanda kekeruhan jiwa kini: kamp konsentrasi
di Auschwitz belum dilupakan, tapi masih cukup terhormat suara
yang menyerukan ”perang kebudayaan” terhadap para pengusik
”persatuan” dan ”homogenitas”.
Tentu, harus diakui, karikatur Jyllands-Posten yang terbit pada
30 September 2005 itu memang karikatur. Tiap karikatur (dari
kata caricare, bahasa Italia) mencemooh dengan ”melebih-lebih-
kan” satu atau beberapa ciri khas seorang tokoh. Tapi si peng-
gambar belum pernah melihat bagaimana wajah sang tokoh. Ba­
gaimana paras Nabi Muhammad? Apa pula ciri khasnya? Artikel
yang menyertainya berjudul Muhammeds ansig (Wajah Muham-
mad), tapi pada akhirnya ”wajah” itu bertolak dari imaji sang
penggambar tentang ”Islam”—dalam bentuk yang tak terlampau­
jauh dari apa yang dibayangkan orang ramai di Denmark.
Dengan kata lain, yang digambar adalah sebuah stereotipe.
Yang pada hari itu digambar adalah sesuatu yang diringkas dari
pra­sangka, antusiasme, ketakutan, ejekan kepada liyan, kepada­
orang lain—perasaan yang diam-diam mengendap di kepala
orang-orang Denmark di sebuah masa yang dipanasi syak wa-
sangka kepada orang Islam, dengan derajat rasa benci yang ber-
beda-beda.
Tak mengherankan bila beberapa dari kartun itu bisa meng-
ingatkan kita akan sesuatu yang menakutkan: poster untuk film
Jud Süss di Jerman pada tahun 1940 dan poster untuk pameran
http://facebook.com/indonesiapustaka

Der Ewige Jude di sebuah pameran di Austria pada tahun 1938:


gambar-gambar buat mencemooh orang Yahudi, reproduksi ste-
reotipe yang lahir dari benci dan gentar. Dalam Jud Süss: sebuah
wajah gelap brewok, dengan sorot mata yang misterius dan ta-

142 Catatan Pinggir 8


KARIKATUR

jam. Dalam Der Ewige Jude: sosok dengan hidung bengkok, de-
ngan cambang dan misai menggelambir. Tangan kanannya me-
megang uang emas dan tangan kirinya cambuk.
Artinya, si Asing, yang merayap di jalan tetangga kita, be­gitu­
rendah, begitu penuh teka-teki, begitu mengerikan....
Jytte Klausen, guru besar ilmu politik di Universitas Bran­deis
di Boston (pengarang buku The Islamic Challenge: Politics and Re-
ligion in Western Europe), menunjukkan bahwa pekik peperangan
kebudayaan yang diteriakkan kaum ekstrem kanan itu memang
bisa begitu brutal. Beberapa waktu yang lalu, dua anggota Partai­
Rakyat Denmark, Jesper Langballe dan Soren Krarup, meng-
gambarkan orang Islam sebagai ”sebuah kanker di masyarakat
Denmark”. Kedua mereka pastor Gereja Lutheran.
Seperti kaum ekstrem kanan lain (juga seperti MUI di antara­
kita), kedua pastor itu menentang pluralisme. Seperti kaum pem-
benci lain (juga seperti Front Pembela Islam di celah-celah kita),
kedua pastor itu hendak merobohkan asas multikulturalisme
yang mencegah masyarakatnya ditaklukkan oleh monopoli satu
jenis nilai-nilai. Dan seperti kaum fanatik lain, mereka memakai
standar ganda. Tiga tahun yang lalu, Jyllands-Posten menampik
menerbitkan karikatur yang menggambarkan Yesus, atas dasar
tak hendak melukai hati para pembaca.
Maka yang merisaukan bukanlah hanya karena ada orang
yang menghina Nabi. Yang juga merisaukan adalah ketidak­adil­
an dan kebencian, dan gagalnya banyak pihak, yang ber­agama
mau­pun yang tidak, yang sekuler ataupun yang muslim, yang
marah dan dimarahi, untuk tak ditulari borok itu.
Rasanya kita belum bisa berharap banyak dari sebuah zaman
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang tiba-tiba membuat kagum dan kecut sekaligus: inilah zaman­


ketika teknologi—khususnya Internet—mampu membuat jarak
waktu dan ruang seakan-akan raib. Seorang penggambar kartun
di Aarhus membuat sebuah cemooh bagi sebuah kalangan lokal,

Catatan Pinggir 8 143


KARIKATUR

tapi ia sebenarnya juga berhadapan dengan sebuah khalayak yang


tak dikenal. Seorang ulama di Ponorogo marah karena satu hal
yang berlaku di sebuah benua­entah berentah, karena yang benar
dan tak benar kini lepas dari situasi yang sebenarnya terbatas.
Dan kita? Jadi dekatkah kita sebenarnya? Atau kacau?

Tempo, 19 Februari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

144 Catatan Pinggir 8


TATAP

”... seperti Musa di pucuk Tursina”


—Amir Hamzah

D
I atas gunung batu itu, Tuhan tak juga memperlihatkan
wajah-Nya.
Kitab Perjanjian Lama berkisah: kepada Musa yang
ingin­ menemui-Nya, Tuhan berkata, ”Ada suatu tempat dekat-
Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu. Apabila­
kemuliaan-Ku lewat, Aku akan menempatkan engkau dalam le­
kuk gunung itu dan Aku akan menudungi engkau dengan tan-
gan-Ku, sampai Aku melintas. Kemudian Aku akan menarik ta­
ngan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku, tapi wajah-Ku
tak akan kelihatan.”
Wajah-Nya tak akan kelihatan. Musa hanya melihat ”be­la­
kang”-Nya, tanda ia hanya makhluk yang mengikut. ”Engkau
tak tahan memandang wajah-Ku, sebab tak ada orang yang me-
mandang Aku dapat hidup,” sabda Tuhan pula.
Memandang: bila itu berarti menatap, manusia dan Tuhan­
akan berhadap-hadapan, dan itu tak akan terjadi. Sebab tak ha­
nya itu. Menatap adalah memandang dengan tajam. Tatap­an
ada­lah tetapan. Tetapan adalah hasil penetapan. Tapi bagaimana
Ia—yang maha-akbar dan tak tepermanai—dapat ditetapkan?
Bagaimana Ia dipasang beku di dalam satu cara memandang,
mandek di satu kerangka, terbatas di sebuah pigura­penglihatan?
Tidak. Yang terjadi sebenarnya bukanlah Tuhan telah diper­
http://facebook.com/indonesiapustaka

kecil. Tatapan itu sendiri yang sebenarnya ciut, runcing, lempang,­


seperti cahaya senter di perjalanan malam. Semakin ia tak meng­
akui keterbatasannya, semakin ia memaku diri di garis sempit itu.
Pandang itu kaku dan statis, bukan pandang yang hidup: ”Tak

Catatan Pinggir 8 145


TATAP

ada orang yang memandang Aku dapat hidup.”


Demikianlah Tuhan tak tampak dan Musa membiarkan ha­
nya­ suara-Nya yang terdengar dari balik tiang awan. Biarlah Ia
datang dari sunyi ke bunyi. Sebab mata sering tak sabar. Kecepat­
an cahaya sekian juta kali lebih rikat ketimbang kecepatan su-
ara—dan di situlah ketakaburan sering terjadi. ”Aku datang, aku
memandang, aku menang”: semboyan ini tak cuma menggam-
barkan kepongahan Caesar sang penakluk, tapi juga sikap posesif
manusia—dengan kemampuannya­menatap dan menetapkan—
terhadap dunia, orang lain, bahkan­terhadap Ia yang Maha Lain.
Untuk menangkal sikap ”memandang-dan-menang” itulah
maka manusia dilarang melukiskan Yang Maha Lain, yang tak
dapat ditangkap dengan mata. Jika Yang Maha Kudus tak hen-
dak memperlihatkan wajah-Nya bahkan kepada Musa sekalipun,
itu karena manusia akan merugi: ia tak akan menghargai lagi be-
tapa menakjubkan, menggetarkan, dan mempesonanya apa yang
tak-tampak, betapa dahsyatnya apa yang tak dapat ditetapkan.
Tapi bisa mutlakkah larangan itu? Mustahil. Seperti di­utara­
kan Amir Hamzah dalam puisinya yang termasyhur, manusia
”rindu rasa, rindu rupa”. Suara yang datang dari sunyi ke bunyi
tak mampu sepenuhnya memenuhi kerinduan itu. Tuhan senan-
tiasa diberi ”rupa”, dan manusia dengan pelbagai cara membuat
metafor. Bahkan metafor juga yang dipakai Tuhan sendiri untuk­
diri-Nya: ”Aku akan menudungi engkau dengan tangan-Ku, sampai
Aku berjalan lewat.” Di gunung batu itu Musa mungkin men­de­
ngar­kan seraya membayangkan sebuah tubuh agung yang ber­
gerak.
Imajinasi itu bukan berhala. Patung, lukisan, dan ikon jadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

berhala ketika mereka diperlakukan sebagai Yang Kudus, ketika


sang pengganti disamakan dengan yang digantikan. Di saat itu,
Tuhan ”cemburu”—seperti dikatakan dalam Perjanjian Lama
dan diungkapkan kembali puisi Amir Hamzah. Tuhan ”cembu-

146 Catatan Pinggir 8


TATAP

ru” karena Yang Kudus telah diperlakukan setaraf dengan sebuah


instrumen.
Itu sebabnya membuat gambar Yang Suci berarti memasuki­
kemungkinan yang saling bertentangan: rupa itu jadi sesembah-
an, atau sebaliknya, jadi barang keseharian. Kaum Hindu meng-
gambarkan Durga dengan kendaraan yang garang dan tangan-
Nya yang banyak (bukankah Yang Kudus, seperti kata Rudolf
Otto, menimbulkan rasa gentar, takjub, dan pesona yang intens?),
tapi hari-hari ini kaum Hindu Eropa terhina karena iklan whisky
Southern Comfort menggambarkan sang Dewi naik macan­de-
ngan menggenggam botol-botol whisky di semua tangan-Nya.
Tapi selalu salahkah bila Yang Maha Kudus tak hanya di­ba­
yangkan sebagai Sabda yang datang dari sunyi ke bunyi, dalam
suara? Bukankah kita tak hanya punya telinga, tapi juga mata?
”L’oeil, c’est la force,” kata Lyotard. Mata adalah daya yang ampuh.
Pandang melahirkan rupa (figure), dan figure, dalam teori­ Lyo­
tard, menerobos dan mengganggu kepastian wacana, discourse,
yang yakin bahwa konsep, rumusan, dan nalar akan sepenuhnya
memadai buat menjelaskan hal-ihwal. Tapi ingat: ada ”rupa”. Ru-
pa-lah yang menandai, ada yang tak tertangkap wacana dan tak
terangkum teks.
Tapi menjadi manusia adalah juga menanggungkan yang tra-
gis: Tuhan tak juga memperlihatkan wajah-Nya. Selama 40 hari
40 malam, menurut Alkitab, Musa bekerja tak makan roti tak
minum air. Ia tuliskan segala perkataan perjanjian Tuhan, dan
kesepuluh Firman akhirnya terpahat pada loh batu.
Dan teks pun jadi. Seperti wahyu Tuhan yang ditulis, di­ko­di­
fikasikan, dan dijilid sebagai Kitab Quran, suara pun jadi aksara.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang-mengalir jadi yang-diukir. Juga di sini mata adalah daya,


l’oeil, c’est la force, tapi—berlawanan dengan yang diteorikan
Lyotard—bukan untuk menggubah dan menghidupkan rupa,
bukan untuk mengganggu kepastian wacana, melainkan malah

Catatan Pinggir 8 147


TATAP

untuk mengukuhkannya.
Ketika suara wahyu jadi huruf tercetak, tak diingat lagi sunyi.­
Juga seakan-akan tak lagi ada jalan kembali ke dalam sunyi.­Fir-
man telah jadi hukum. Loh batu itu kukuh. Ia mewakili Tuhan—
bahkan seperti Tuhan itu sendiri. Tuhan tak lagi dialami sebagai
Yang Maha Kudus yang tak hadir, yang senantiasa mengimbau
dan memanggil. Tuhan hanya dialami sebagai regulasi.
Untuk apa? Ketika pada suatu hari sang Rabbi bekerja di
ladang di hari Sabbath dan mengabaikan hukum Taurat, sebuah
pertanyaan yang mendalam pun tak bisa dilupakan: hukum un-
tuk manusia, atau sebaliknya, manusia untuk hukum?
Di hari-hari ini, orang akan harus mendengar pertanyaan itu
lagi.

Tempo, 26 Februari 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

148 Catatan Pinggir 8


GURUN

K
ARIKATUR itu mencemooh Nabi. Ilmu itu tak per-
caya bahwa alam semesta diciptakan seperti dikatakan
Alkitab. Puisi Amir Hamzah menyebut Tuhan ”ganas”
dan ”cemburu” dan sajak Rendra menggambarkan Yesus me­
rang­kul s­eorang pelacur yang mengidap raja singa. Sebelumnya:
Nietz­sche mengatakan ”Tuhan telah mati”....
Bisakah agama hidup bersama dengan ekspresi seperti itu—
hal-hal yang tak dapat dilepaskan dari pengalaman manusia yang
terdorong oleh sejenis impuls buat bicara bebas?
”Manusia dihukum untuk merdeka”, kalimat termasyhur­ini­
dituliskan Sartre pada tahun 1946. Dalam kata-kata­ yang ter­
dengar seperti oksimoron itu, yang mengesankan tak masuk­akal
karena isinya bertentangan—”kemerdekaan” adalah ”hukum­
an”—tersirat sesuatu yang tragis dalam hidup kita: apa boleh
buat, pada akhirnya kemerdekaan tak bisa kita elakkan.­Bahkan­
ketika seseorang menyatakan ”aku tidak bebas”, ia sebenarnya te­
lah memilih sendiri salah satu dari beberapa kemungkinan. Da­
lam memilih ia mungkin meminta nasihat­atau petunjuk orang
lain, tapi tak berarti ia tak dapat menampik nasihat atau petunjuk
itu. Bila dianalisis sampai akhir, selalu akan tampak ia sendiri, de-
ngan kemerdekaannya, yang menentukan.
Memang kenyataan itu membuat gentar. Kebebasan, seperti
nasib, adalah kesunyian masing-masing. Seandainya manusia ia
hanya akibat—dan tak pernah jadi sebab—seandainya­ia terus-
me­nerus di hadapan, dalam kata-kata Kant, ”Tuhan dan keaba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dian, dengan keagungannya yang membuat jeri”, kebanyakan


lakunya akan dilakukannya karena rasa takut, sebagian kecil ka­
rena berharap, dan tak ada satu pun yang dilakukan karena kesa­
daran yang datang dari diri sendiri.

Catatan Pinggir 8 149


GURUN

Tapi manusia, suka atau tak suka, tak selamanya berdekat­an


dengan ”Tuhan dan keabadian”. Diakui atau tidak, manusia tak
berada langsung di bawah titah yang jelas, bahkan jauh dari tun-
tutan yang pasti, jalan yang siap. Ia tak berada di balairung hu-
kum dan aturan, dikawal para pakar dan aulia; ia berada di Gua
Hiranya sendiri, di mana ketika Yang Kudus­ menyentuh pun­
dak­nya, ia terkesima, gemetar, berkeringat dingin, dan mencoba
bersembunyi di bawah selimut. Tapi di situ juga ia tampak dalam
ketulusannya, justru dalam suasana tragisnya.
Suasana tragis itu adalah ibarat gurun pasir. Dalam seminar­
tentang agama yang diselenggarakan di Capri pada akhir Febru-
ari 1994, yang dibukukan dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris sebagai Religion (dengan editor Jacques Derrida dan Gi-
anni Vattimo), Vincenzo Vitello menggunakan paradigma gurun
pasir ini dengan mengingatkan kita akan perjalan­an Musa yang
akhirnya tak melihat Tanah Yang Dijanjikan.­Di gurun itu, Tu-
han mengiming-imingi manusia dengan sebuah akhir, kelak, tapi
yang hadir hanya tanda dan isyarat. Kaki la­ngit­ jauh. Manusia
seperti berjalan terus-menerus di negeri yang hanya sedikit dike-
nalnya: terkadang tak betah, terkadang didorong rasa ingin tahu.
Mungkin ini memang ”hukuman”. Tapi benarkah hukum­an­
itu akan selesai, jika manusia akhirnya mengetuk pintu sebuah
rumah yang pasti? Bisakah? Dan benarkah dengan demikian ia
tak akan kehilangan sesuatu yang selama itu hidup­dalam tubuh
dan jiwanya?
Saya ingat akan sajak ”Doa” Chairil Anwar:

Tuhanku
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku mengembara di negeri asing

Di pintu-Mu aku mengetuk


Aku tak bisa berpaling

150 Catatan Pinggir 8


GURUN

Keadaan ”tak bisa berpaling” mungkin sebuah penyelesai­an,


tapi mungkin juga membuatnya seperti patung. Pada awal tahun
1940-an Erich Fromm, yang menelaah dengan saksama kelakuan
manusia, memperingatkan akan gejala ”takut akan kebebasan”,
yang tampak ketika manusia membiarkan diri jadi patung yang
berbaris, dalam kolektivitas yang selalu seia sekata dengan gemu­
ruh—dan lahirlah kekuatan dan ideologi politik yang totaliter.
Agama—dan tak hanya Naziisme atau Komunisme—sering
jadi tempat menampung rasa takut akan kebebasan itu. Agama
tak jarang mencoba menggantikan Gua Hira yang sepi, dengan
menyatakan diri sebagai penghimpun orang yang ”tak bisa ber-
paling”. Agama sering kali menghentikan pengembaraan di gu-
run dan gua, dan membuat dirinya seperti mampu membuka ca-
dar yang di Sinai menghalangi Musa.
Vincenzo Vitello, bertolak dari sejarah agama Kristen, me­nye­
but semangat itu bermula pada Paulus. Dalam surat­kedua­nya ke-
pada orang Korintha, Paulus berjanji bahwa ”cadar­itu akan di-
tanggalkan”. Dan dengan itu pula, manusia bisa seakan-­akan
berhadapan langsung dengan Tuhan dan kemaha-­tak-terbatasan.
Yang Kudus pun diterjemahkan jadi aturan hidup. Tuhan dan
dunia disatukan. Iman dan hukum dicampur.
Paulus, kata Vitello, dengan demikian ”men-sekuler-kan ke-
percayaan Kristiani”. Ia menjadikannya ”sebuah kekuat­an dalam
sejarah”. Agama Kristen dalam sejarah ini adalah ”agama dari
dunia yang sepenuhnya tak ditutupi cadar”.
Mungkin juga agama orang-orang yang sudah mengetuk pin-
tu, berhenti dari perjalanan mengembara di negeri asing, dan ”ti-
dak bisa berpaling”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sebab itulah agaknya agama-agama dewasa ini gampang­ma­


rah melihat orang-orang yang masih selalu mampu ber­paling,­
yang masih selalu mengembara, membuka kembali pintu ke gu-
run, tempat Musa—yang tak diperkenankan melihat wajah Tu-

Catatan Pinggir 8 151


GURUN

han—mencoba menebak kehendak-Nya terus-menerus. Di sana


tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu
sendiri. Di sana banyak hal belum selesai, dan agaknya tak akan
pernah selesai.
Akan berhasilkah agama meniadakan yang tragis dalam ke-
hidupan manusia itu? Agaknya tidak. Bagaimanapun, gurun
dan gua belum sepenuhnya dialahkan, dan cadar selalu kembali
seperti kabut. Manusia bisa tersesat, tapi sejarah menunjukkan
bahwa iman tak akan musnah ketika manusia kembali mengem-
bara. Tuhan tak pernah jadi bagian benda-benda yang terang.
Walhasil, para padri dan ulama akan tetap harus menghadapi­
kenyataan itu: entah sejak kapan, memang ”manusia dihukum
untuk merdeka”.

Tempo, 5 Maret 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

152 Catatan Pinggir 8


SAMARRA

A
LKISAH, adalah seorang khadam di Kota Bagdad yang
disuruh tuannya pergi ke pasar. Tapi ia kembali ter­go­
poh-­gopoh. ”Tuan, pinjamilah hamba kuda,” begitu pin-
tanya nya­ris­menangis.
”Kenapakah kau?”
”Hamba takut. Di pasar hamba lihat seseorang,” jawabnya.
”Ia mendesak ke arah hamba. Ketika hamba perhatikan wajah­
nya,­ hamba mengenalnya. Ia Maut, Tuan. Ia mengancam akan
men­cabut nyawa hamba malam ini. Maka pinjamilah hamba­ku­
da. Hamba akan berangkat ke Samarra sekarang. Di sana ham­ba
akan terlindung.”
Maka tuannya pun meminjaminya seekor kuda, dan khadam
itu pun langsung kabur ke Samarra.
Segera sang tuan pergi ke pasar itu, dan benar, di sana ia meli-
hat seseorang yang aneh dan menakutkan. Tuan itu pun bertanya,­
”Kaulah Maut, yang mengancam khadamku?”
”Benar. Tapi ia pergi terlalu cepat. Padahal aku masih ingin
mem­­beritahunya: malam ini aku tak jadi mencabut nyawanya di
sini, di Bagdad, tapi di Samarra.”
Cerita ini, yang dikisahkan oleh W. Sommerset Maugham pa­
da tahun 1933, agaknya sebuah sugesti tentang ajal yang tak ter­
elakkan, hal yang kita sadari tapi tak selamanya kita pahami.­
Entah kenapa Maugham menyebut Samarra dalam kisah itu.­
Mungkin karena kota tua 105 kilometer agak ke arah barat laut
Bagdad itu punya sejarah panjang tentang rahasia kemati­an, rasa
http://facebook.com/indonesiapustaka

cemas, dan harapan yang tak sampai. Ketika dua pekan lalu orang
meledakkan makam Imam Ali al-Hadi dan Al-Hasan al-Askari,
dan kubah emasnya hancur dan puluhan orang tewas, mau tak
mau kisah tentang Samarra itu kembali teringat: di kota itu Maut

Catatan Pinggir 8 153


SAMARRA

menunggu, dan kita tak tahu inikah janji misterius masa depan.
Jauh sebelum kubah selebar 20 meter dan setinggi 68 meter­
itu dipasangi 72 ribu petakan emas pada tahun 1905, kompleks­
kuburan itu sudah menyiapkan para peziarah sejak ia dibangun­
pada abad ke-11. Sebab di sanalah drama kematian dan kegaib­an
berlangsung dalam khazanah keyakinan kaum Syiah.
Pada awalnya adalah Al-Hadi, yang dipandang sebagai Imam
ke-10 sejak ia berumur enam tahun. Ia lahir di Madinah. Ia dan
putranya dibawa ke Samarra pada tahun 848, ketika­kota itu ber­
ada di bawah kekuasaan Khalif al-Mutawakkil.
Khalif ini, yang oleh orang Syiah digambarkan sebagai ”tiran­
yang bergelimang darah”, juga dikenang sebagai pe­nguasa­Islam
yang mengharuskan orang Kristen dan Yahudi berpakaian warna
madu, boleh naik kuda asal dengan sanggurdi kayu, dan mema-
sang dua kancing di topi. Diskriminasi tak hanya di situ. Makam
bukan muslim tak boleh dibangun lebih tinggi ketimbang ma­
kam­muslimin; gereja dan sinagoge yang didirikan setelah Islam
datang ke Samarra harus dihancur­kan.
Di bawah kekuasaannya pula Imam al-Hadi wafat, konon­di-
racun, dan penggantinya, Imam ke-11, Al-Askari, tetap dalam
tahanan rumah sampai wafat pada tahun 874. Pada saat itulah
putranya, Muhammad al-Mahdi, dalam usia tujuh tahun, meng-
hilang. Dialah Imam ke-12. Ia dikisahkan raib di gua di bawah
masjid di Samarra itu, yang kini ditutup dengan gerbang Bab-al
Ghayba. Umat pun menunggu, yakin yang hilang akan kembali­
pada suatu hari, dan dunia akan jadi baik, jadi adil, mungkin
1.100 tahun lagi.
Maka dari Samarra ada yang tragis dan nostalgis dalam keya-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kinan Syiah. Ada luka dan kepekaan yang tumbuh dari hidup di­
bawah penindasan. Dalam doktrin tentang Ghayba tersirat ke­
sa­daran religius tentang apa artinya ketidakhadiran dan ketia­
da­an—sesuatu yang mengingatkan saya kepada yang dikatakan

154 Catatan Pinggir 8


SAMARRA

Caputo tentang ”the phenomenology of non-appearing”. Apa yang


tak muncul bukan kekosongan, tapi bayang-bayang halus (spec-
ter) yang menggugah. Kita pun menyambutnya dengan ”gelora
hati, doa, dan confiteri, dengan keyakinan akan sesuatu yang tak
kita pahami tapi hanya dapat kita alami”.
Caputo bicara tentang segi ”religius” dalam pemikiran Derri­
da, tapi kita agaknya dapat menggunakan uraiannya untuk men­
jelaskan sifat ”messianis” doktrin Raj’a, yang menjanjikan kemba­
linya Imam Mahdi ke dunia. Dengan kata lain, sebuah kerinduan
pada keadilan dan kebaikan yang tak tepermanai.
Dunia memang tempat yang telah kehilangan itu, sebagai­
mana ia kehilangan Yang Kudus. Di sini eskatologi Syiah lebih­
dramatis ketimbang ganjaran surga di akhirat nanti yang dikenal­
kaum Sunni. Mereka yang percaya sang Imam adalah keadilan
dan kebaikan yang bersembunyi akan mudah terbuka­pada ke-
mungkinan: tiap detik adalah ”pintu sempit lewat mana Sang
Me­ssiah mungkin datang”, untuk memakai kata-­kata Walter Be­
njamin. Kebaikan dan keadilan bukan sesua­tu yang bisa diramal­
kan, mungkin mustahil dipenuhi, tapi ke­dua­nya bukan hal yang
asing; keduanya bagian dari kemungkinan saat ini, meskipun
arti­nya selalu luput dirumuskan. Personifikasinya­ adalah sang
Imam yang selalu ditunggu.
Bahwa Imam ke-12 dikabarkan menghilang di Samarra,­itu­
lah­ misteri ketakhadiran. Sang Adil raib tapi tak mati-mati; ia
gaib. Memang ketakhadiran itu bisa disulap jadi ke­hadir­an,
dalam bentuk kekuasaan yang mengklaim dirinya ”adil” dan
”benar”. Konon Khalif al-Mutawakkil yang secara bengis­hendak­
menegakkan Islam sering naik keledai mendaki tangga­ spiral
http://facebook.com/indonesiapustaka

menara masjidnya; ia hendak bicara dengan Tuhan. Pada­hal Tu-


han adalah ketakhadiran—yang menunjukkan bahwa­”Yang Ba­
ik” sungguh melebihi ”yang ada”.
Hanya mereka yang tahu bahwa ”Yang Baik” tak bisa sepenuh-

Catatan Pinggir 8 155


SAMARRA

nya diwakili yang ”ada”—hanya merekalah yang ingat bahwa


kekuasaan politik dan ajaran selalu ada di ambang ke­takabur­an.
Tak berarti seorang Syiah yang berkuasa dengan sendirinya­
bebas dari ketakaburan itu. Tapi sejarah kaum Syiah dimulai­de-
ngan perasaan sebuah minoritas yang dikalahkan: mereka­muk-
minin yang tafsirnya atas Quran ditampik oleh yang ber­kuasa,
kaum yang kehilangan dan merindukan ”Yang Baik” dan ”Yang
Adil”, dan yang dalam penantian itu tak henti-henti­nya ter­
ancam.­
Bom di kompleks makam suci itu sekali lagi mengingatkan ki­
ta: Maut menunggu di Samarra, manusia tak berdaya, dan sebab
itu keadilan sangat berarti.

Tempo, 12 Maret 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

156 Catatan Pinggir 8


SEKS

S
AYA pernah menonton tujuh biji film porno di sebuah bi­
oskop kecil di sebuah kota Eropa. Hari itu terik, musim
panas. Berdua dengan A., dulu teman sekuliah, saya me-
mutuskan pergi ke situ karena kami ingin tahu, sembari berte­
duh,­ menghabiskan waktu, menunggu sebuah pertemuan yang
telat.
Di ambang pintu bilik kami sisipkan uang receh, lalu kami
ma­suk.
Film pertama mulai. Saya membelalak. Film kedua me­nyusul.­
Saya mulai tak membelalak. Film ketiga seperti ulang­an­film se-
belumnya—dan sampai film terakhir saya tertidur. A. juga.
Noel Coward benar. ”Saya tak menganggap pornografi meru-
sak, tapi sangat, sangat membosankan.”
Coward pantas mengatakan itu sebab ia tahu bagaimana­
mem­­buat sesuatu yang tak membosankan. Ia menulis Blithe Spi­
rit­pada tahun 1941 (terjemahan Indonesia: Arwah-arwah­Binal),
dan di West End, wilayah teater London itu, tiap malam komedi
itu dipanggungkan lagi, lagi, dan lagi... sampai­pada tahun 1970.
Sementara itu, di sebelah lain London, di Soho, toko-­toko seks
tak­ mampu selamanya mengundang­ pelanggan. Daya tariknya
tergusur, kini kafe dan restoran bermuncul­an di jalan itu.
Pornografi memang mudah dibuat tapi mudah pula hambar.
Sebab ia praktis hanya sebuah repetisi. Fokusnya tetap: bukan­
ma­nusia dengan karakter yang berbeda dan gejolak jiwa yang
ber­ubah, melainkan organ tubuh yang sudah bisa di­ramal­kan
http://facebook.com/indonesiapustaka

geraknya, terbatas variasi dan kemungkinannya.


Tapi memang, manusia butuh sesuatu untuk memenuhi has­
rat­erotiknya, dan karya-karya cabul—seperti halnya fan­tasi­sen­
diri—digunakan, biarpun buat beberapa menit. Ri­wa­yat­nya

Catatan Pinggir 8 157


SEKS

panjang, meskipun sejarah itu bukan hanya kisah syahwat dan


ke­kotoran.
Di puing Pompeii, kota yang tertimbun lahar Gunung Ve­su­vi­
us pada tahun 79, ditemukan sejumlah besar fresko, mosaik, dan
patung yang menggambarkan laku seksual secara­terang-terang­
an, terutama di Lupanare, bangunan yang dulu jadi tempat pe-
lacuran. Ada sebuah mosaik gambar satir me­nye­tubuhi peri, ada
pula sebuah mural yang menampilkan Dewa Merkuri dengan za-
kar yang mengekar setengah meter.
Seksualitas dilebih-lebihkan dahsyatnya di bordil itu, dan kita
bisa menduga kenapa: di sini syahwat, dan bukan cuma berahi,
yang ditanggapi. Tapi pada masa lain, dalam konteks yang berbe-
da, adegan sanggama tak hanya berkait dengan prostitusi.
Di jantung tanah India, di Negara Bagian Madhya Pradesh,
berdiri candi Khajuraho. Dibangun antara tahun 950 dan 1050,
ketika imperium Chandela berkuasa, kompleks itu terdiri atas 85
bangunan. Kini hanya 22 yang tinggal.
Kata sahibul hikayat, sang pendiri Khajuraho berbapak di
la­­ngit.­ Pada suatu malam, Hemavati, gadis jelita putri seorang
brah­mana, mandi di Sungai Rati. Datanglah dewa rembulan
me­rayunya. Hubungan badan terjadi dan kemudian lahirlah se­
orang anak, Chandravarman. Diperlakukan buruk oleh masya­
ra­kat, ibu yang tak bersuami itu menyisih ke rimba, dan ia besar-
kan anaknya di sana.
Anak ini kemudian mendirikan sebuah kerajaan, dan suatu
ha­ri baginda Chandravarman bermimpi: ibunya meminta agar ia
mendirikan candi yang dapat menyatakan gairah hasrat manu­
sia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kita tak tahu sejauh mana cerita itu bukan hanya sebuah dalih­
untuk memiliki sesuatu yang asyik dilihat. Di India tak sedikit
kuil yang memaparkan sugesti seksual tanpa cerita seperti itu.
Candi Meenakshi di Madurai dan Veeraranarayan di Gadag bah-

158 Catatan Pinggir 8


SEKS

kan sejak di gapuranya terpahat erotika.


Apa pun sebabnya, relief tubuh telanjang dan persetubuhan
seperti yang tampak di Khajuraho tak bisa disamakan dengan
yang ditemukan di Pompeii: di candi India ini stilisasi sangat do­
minan, dan betapapun eksplisitnya adegan erotik itu, yang lebih
ha­dir adalah gairah dalam ritme dan komposisi. Syahwat hanya­
samar, tersirat dalam lekuk dan lengkung. Berahi larut dalam
has­rat akan keindahan.
Bukankah itu juga yang terasa dalam karya I Made Budiarta­
yang melukiskan Syiwa yang menyamar sebagai petani dan me-
lihat kain Dewi Sri tersingkap, dan tampaklah phalus sang dewa
meregang? Kehalusan hadir di lukisan Bali itu di tiap garis. Keha­
lusan menguasai ruang. Zakar yang tegak dalam semak itu se­
akan-­akan hanya aksen yang lain dari suasana. Di kanvas itu,
yang jasmani adalah bagian arus liris alam.
Agaknya di situlah beda antara pornografi dan erotika, antara
blue film produksi Vivid dan The Dreamers karya Bertolucci, an-
tara gambar persetubuhan di Pompeii dan relief di Khajuraho,
antara foto-foto majalah Hustler dan lukisan Bali, antara paparan
novel picisan dan novel Jalan Tak Ada Ujung atau Supernova.
Tapi tampaknya tak tiap orang gampang merasakan beda itu.
Seorang sastrawan Indonesia pernah berkata, ”Saya tak menyukai­
wayang dan Mahabharata karena terlalu banyak seks di sana.” Ia
mungkin akan terguncang jika ia baca Serat Centhini, karya sas-
tra Jawa abad ke-19 yang panjang itu. Di sana ungkapan syahwat
dan berahi praktis hanya terkendali oleh bentuk tembang.
Ada orang yang memang tak akrab dengan khazanah budaya­
yang menerima berahi sebagai bagian degup hidup yang punya
http://facebook.com/indonesiapustaka

misterinya sendiri, antara gelap dan lepas, antara gairah­dan gu-


mun. Ada orang yang acuan budayanya tak kenal­ kemeriah­an
warna dan rupa, tak merayakan bentuk yang tampak dan teraba,
dan memandang tubuh manusia dengan penuh syak.

Catatan Pinggir 8 159


SEKS

Puritanisme, yang terkadang muncul di kalangan Kristen dan


muslim, mencerminkan itu. Di bawah undang-undang Calvin di
Jenewa pada abad ke-16, orang diharamkan menari, menyanyi,
melukis, mematung, mementaskan dan menonton teater. Ber-
pakaian ”tak senonoh” dihukum. Hal yang hampir sama berlaku
di Arab Saudi kini, di bawah kekuasaan kaum Wahabi.
Namun akhirnya Jenewa tetap tak jadi kota suci dan di Arab
Saudi orang tetap bisa berpura-pura suci. Puritanisme tak bisa se-
lama-lamanya. Sebab baginya gairah tubuh hanya punya­satu ke-
mungkinan: berdosa—sebagaimana dalam porno­grafi ia hanya
punya satu kemungkinan: orgasme.
Hanya satu kemungkinan.... Bagaimana mungkin?

Tempo, 19 Maret 2006
http://facebook.com/indonesiapustaka

160 Catatan Pinggir 8


CONNIE

T
UBUH bisa membuat getar, tapi juga gentar, seperti laut­
an.­
Saya ingat satu pasase dalam Lady Chatterley’s Lover:
perempuan itu mengalami ajaibnya gairah dalam persetubuhan.
Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri ”laut”. Ia deru
dan debur, samudra dengan gelombang gemuruh yang tak kun-
jung putus. ”Ah, jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergu-
lung, terbelah....”
Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya ia rasakan kian­
lama kian dalam. Bertambah berat empasan, bertambah­ jauh
pula ia jadi segara yang berguncang sampai di sebuah pantai.­
Baru di sini deru reda, laut lenyap. ”Ia hilang, ia tak ada,­dan­ia di-
lahirkan: seorang perempuan.”
Saya tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase ini. Di sini
D.H. Lawrence sungguh piawai: ia uraikan suasana erotik­dalam
novelnya dalam kalimat dengan ritme yang naik-turun, memba-
wa kita masuk ke paduan imaji-imaji yang, seperti gerak­laut, tak
putus-putus, berulang-ulang....
Agaknya Lawrence, seperti kita semua, harus mengerahkan
se­luruh kemampuan bahasa untuk menggambarkan sesua­tu
yang tak mungkin tergambarkan: pengalaman tubuh ketika­kata
belum siap, gejolak zat-zat badan ketika bahasa belum menemu-
kan pikiran.
Seorang sastrawan memang selalu dirundung oleh bahasa­
yang ingin ekspresif tapi juga ingin komunikatif—dua dorong­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an yang sebenarnya bertolak belakang. Yang pertama dituntut


untuk mengungkapkan langsung apa yang berkecamuk di lubuk
kesadaran, yang tak selamanya jelas dan urut. Yang kedua­dimin­
ta­agar berarti: sesuai dengan kesepakatan sosial dan membawa

Catatan Pinggir 8 161


CONNIE

hasil.
Lawrence mampu menggabung kedua dorongan itu di bagi­
an yang dikutip tadi, tapi bagi saya sebagai novel Lady Chatter­
ley’s Lover terasa lebih digerakkan keinginan untuk menyatakan
sebuah pendirian. Kalimatnya lebih komunikatif k­etimbang eks­
presif. Pertautannya dengan bahasa (untuk tak menyebut ketaat­
annya pada pesan dan tema) berbeda dengan misalnya Cala Ubi
Nukila Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge,
dua novel yang, dengan bahasa yang puitik, tak hendak meng­
ubah pandangan kita tentang hal-ihwal.
Lady Chatterley’s Lover memang sebuah kritik sosial; ia hen­­dak
meyakinkan kita tentang muramnya masyarakat­Ing­gris­se­habis
perang di tahun 1920-an. ”Zaman kita pada hakikat­nya zaman
yang tragis, maka kita menolak untuk me­nyikapinya­dengan tra-
gis,” begitulah novel ini dimulai. ”Kita ada di tengah­puing, kita
mulai membangun habitat baru kecil-­kecilan, untuk­mendapat-
kan harap baru sedikit-sedikit.”
Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masya­ra­kat­
terjebak lapisan-lapisan kelas, dan industrialisasi yang mulai me­
rasuk, juga peran uang, membuatnya lebih buruk.
Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley.­Ia
kawin dengan Sir Clifford, tuan tanah dan bangsawan pe­milik­
tambang. Lelaki ini luka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh,
juga impoten, dan hanya menunjukkan kelebihannya­bila ia mu-
lai memimpin bisnisnya. Tampaknya perang, industrialisasi, ka­
pitalisme—dan patriarki—menebarkan racun­nya dan membuat
hidup perempuan itu, Lady Constance (”Connie”), terpojok. Ke-
sepian, bosan, hampa, dan tertindas, ia akhir­nya menemukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kem­bali gairah hidup sebagai perempuan ketika ia disetubuhi


Melleors, game keeper Sir Clifford, lelaki yang tinggal menyendiri
di sebuah gubuk di tanah luas itu, mengurusi burung-burung
yang esok pagi akan dilepaskan terbang untuk jadi sasaran tem-

162 Catatan Pinggir 8


CONNIE

bak sang majikan.


Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Ia
memang menghendaki seorang anak, meskipun percintaan­nya
dengan lelaki kelas bawah itu bukan dimaksudkannya hanya un-
tuk beroleh keturunan. ”Aku bukan hendak memperalatmu,”
bisiknya di tempat tidur. Mereka saling mencintai. Pada akhirnya
Connie meminta cerai dari Sir Clifford, tapi ditampik. Kisah ini
selesai seperti tak selesai: Connie dan Melleors menanti.
Agaknya apa selanjutnya tak penting lagi: protes sudah di­sam­
pai­kan, bahkan dijalani dengan perbuatan, dan tak se­orang pun
dihukum. ”Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan,­bu-
kan salah seks,” begitulah novel ini bicara. ”Kesalahan itu di sana,
di luar sana, dalam sinar keji cahaya listrik dan gemeretak iblis
mesin-mesin. Di sana, di dunia di mana kerakusan bergerak se-
perti mesin... dan kerakusan menghasilkan mesin... di sanalah
terhampar mala yang luas itu, siap untuk menghancurkan apa
saja yang tak mau menyesuaikan diri. Ia akan segera menghan-
curkan hutan, dan bunga kecubung ini tak akan bersemi lagi.”
Dibaca pada awal abad ke-21, protes seperti ini—ketika yang
erotik, yang lemah, dan yang halus dalam diri manusia diancam
dunia modern—tak mengejutkan lagi. Bahkan bahasa Lawrence
juga segaris dengan kehendak dunia modern yang ditentangnya,
yang serba mengutamakan pikiran dan hasil, bukan persentuhan
yang melibatkan tubuh dalam pengalam­an. Tapi juga ketika di-
baca pada awal abad ke-20: Lady Chatterley’s Lover hanya diang-
gap karya pornografis. Ditolak di mana-mana, pada tahun 1928,
hanya seorang penerbit Italia yang menerimanya; ia tak begitu
paham bahasa Inggris.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dengan segera novel ini laris dan dikejar-kejar. Yang paling­


ramai di AS, dengan warisan puritanisme Kristen yang awet dan
semangat kapitalisme yang, seperti digambarkan Lawrence, ”ra­
kus... seperti mesin” itu, yang melihat tubuh perlu berdisiplin baja

Catatan Pinggir 8 163


CONNIE

dan gairah seks sebagai ”dosa”, yakni energi yang tak produktif.
Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterley’s­Lover
pun dibui, kantor pos menolak mengirimkan novel itu, dan Presi­
den Eisenhower menganggapnya bacaan yang ”dreadful”. Baru
pada akhir tahun 1950-an pengadilan menganggap karya itu tak
pornografis.
Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunis­
me, yang rezim-rezimnya melarang Lady Chatterley’s Lover? Ti-
dak. Bagi mereka, tubuh kita hanya penting sepanjang bisa dibuat
berguna bagi yang mahakuasa, apa pun namanya.

Tempo, 26 Maret 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

164 Catatan Pinggir 8


PEREMPUAN

S
EORANG istri guru ditangkap polisi di Tangerang.
Ia­­ ber­ada di jalan sekitar pukul tujuh malam. Ia harus
membukti­kan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah
mengharuskan itu. Tuan-Tuan yang berkuasa di Tangerang tam-
paknya berpendapat, tiap perempuan yang berada di luar rumah
dalam remang itu perlu dicurigai sebagai ”jalang”....
Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini ”kaum perempu­
an di Tangerang dicengkeram ketakutan”?
Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum
So­lidaritas Perempuan Banten, 22 Maret 2006 itu—juga tak
mem­bayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka­ pulang­
terlambat dari kursus pada malam hari dan saudara mereka kem-
bali dari pabrik setelah senja.
Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan­
dukungan Majelis Ulama): perempuan memang harus tinggal­
di rumah, ”dilindungi”. Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas ba­wah
yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah istri yang jadi
pemijat, penunggu kios rokok atau bakul jamu. Lagi pula ayat su­
ci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi Quran dan Hadis di-
kutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain
selain purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu
saja tak boleh jual jamu....
Perempuan selalu dekat dengan dosa—itulah mungkin pikir
Tuan-Tuan di Tangerang, seraya mendengar agama berbicara.
Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu ditilik


demikian. Mungkinkah karena sebuah pengalaman, yang kemu-
dian jadi paradigma, juga metafora—yaitu dahsyatnya gurun pa-
sir?

Catatan Pinggir 8 165


PEREMPUAN

Siapa tahu. Sebab, ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia se­
orang biarawan di Mesir abad ke-4.

... murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, ”Bapa, Bapa telah
tua. Mari kita pindah sedikit ke dekat tanah yang telah dihuni.”
Orang Tua itu menyahut, ”Di mana tak ada perempuan, ke tempat
itulah kita harus pergi.” Murid itu pun berkata kepadanya, ”Tem-
pat apa lagi yang tak ada perempuannya, kecuali gurun pasir?” Dan
Orang Tua itu berkata, ”Bawa aku ke gurun pasir.”

Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, guru besar­


sejarah di Universitas Princeton, dalam The Body and Society,
se­buah paparan penting tentang iman dan seksualitas, ketika
perempuan ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habis-
habisnya pada masa awal agama Kristen—ketika seorang biara­
wati yang menepuk kaki bapa uskup yang sepuh dan sakit sudah
bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh.
Maka tak mengherankan bila di Mesir masa itu ada seorang
rahib yang mencelupkan jubahnya ke bangkai seorang perempu­
an yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan
membuatnya mau berfantasi tentang wanita.
Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibu­
nya­yang tua menyeberangi sungai seraya membungkus tangan-
nya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan dengan kulit ibu-
nya sendiri. ”Daging semua perempuan adalah api.”
Perempuan adalah api—daya yang bisa merusak, bagian dari
”dunia”, begitulah waktu itu ada petuah agama yang berkata.
Wanita harus dijauhi dan dijauhkan. Ia tak termasuk ”gurun pa-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sir”.
”Gurun pasir”, bentangan alam yang garang itu, waktu itu pu-
nya makna tersendiri. Gurun pasir, dalam catatan Brown, ”mun-
cul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme Kristen”.

166 Catatan Pinggir 8


PEREMPUAN

Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri


be­bas dari nafsu apa pun. Dalam kekhusyukan itu, batas harus
tegas antara ”gurun pasir” dan ”dunia”.
Maka ketika dunia diliputi ”dosa”, di gurun itu—terbentang
dari tepi Danau Maryût sampai ke arah Iskandariah, ter­utama­di
Wadi Natrûn—tinggallah ratusan apotaktikoi, ”para penampik”
yang tak menghendaki hidup dengan panca-indra yang mencicipi­
nikmat bumi.
Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gu-
run pasir, dan juga tak hanya di Mesir. Bahkan sejak abad ke-2,
para alim Masehi memandang perempuan sebagai pangkal ke-
matian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pelbagai kelompok
Gereja Kristen Suriah meyakininya.

... dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: ”Aku datang
untuk membatalkan kerja perempuan”....

”Perempuan” di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, ”kerja”­


diartikan kelahiran dan maut. Demikianlah dengan waswas ko-
munitas Kristen yang terserak sampai ke kaki-kaki bukit Iran
memandang ”dunia”: kelahiran, perempuan, kematian.
Tapi tak hanya mereka sebenarnya. Juga dari sekitar gurun
pa­sir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa was-was itu.
Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang melarang lelaki
mendengarkan perempuan menyanyi. Ada yang hanya­mengha­
ramkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang ”suges-
tif”. Ada yang lebih ketat: mereka melarang lelaki mendengarkan
suara perempuan bahkan dalam rekaman.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman­


modern sekalipun, perempuan tak boleh berbaju tanpa­ lengan,
memakai blouse dengan potongan kerah rendah. Celana­ketat di-
larang. Lutut harus ditutupi. Halacha, syariat Yahudi, mengha-

Catatan Pinggir 8 167


PEREMPUAN

ruskan perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya....


Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan ber­titah­
agar perempuan diperlakukan demikian. Kenapa di Bali, misal-
nya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma
”gu­run pasir”: para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan
garang, melainkan hutan tropis yang se­marak,­ gua yang dirias
pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung dan biru
gunung? Dengan kata lain: sebuah ”dunia”, di mana yang indra­
wi­ tak ditampik, hingga pertapaan bukanlah tempat apotak-
tikoi? Dalam cerita wayang,­di situ malah lahir kesatria Bambang
Sumantri dan gadis Shakuntala yang gemulai.­
Apa pun sebabnya, di kesunyian hidup brahmana dan resi
tak tampak rasa waswas kepada ”dunia”, kepada perempuan. Di
sana, tafakur adalah bersyukur.
Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan­
Tangerang lebih suka paradigma baru: ”padang pasir”.

Tempo, 2 April 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

168 Catatan Pinggir 8


IRTIDAD

”Engkau ganas.”

S
AYA sering ingat sebaris puisi Amir Hamzah yang memu-
kau itu—yang ditujukan kepada Tuhan. ”Engkau cembu-
ru,” katanya lagi, seakan-akan mengulang sabda Tuhan
tentang diri-Nya sendiri dalam Perjanjian Lama.
Mudah terhinakah Ia? Mudah irikah Ia? Ataukah ada be-
berapa tuhan di langit yang (seperti politikus dalam pemilihan
umum) bersaing memperebutkan pendukung?
Orang mungkin gentar bertanya demikian sekarang, ter­uta­
ma­­ di Indonesia yang makin ingar oleh suara yang tak to­leran.­
Tapi di koran saya baca cerita tentang Abdul Rahman, orang Af-
ganistan, dan sajak Amir Hamzah itu terlintas lagi di kepala.
Enam belas tahun yang lalu, Abdul Rahman yang dibesarkan­
sebagai muslim berpindah agama. Ia jadi Nasrani ketika­umurnya
25. Mungkin ia tertarik kepada agama barunya se­waktu bekerja­
dengan satu organisasi Kristen internasional yang membantu pa­
ra pengungsi Afgan di Peshawar, Pakistan. Setelah itu, beberapa­
tahun lamanya ia meninggalkan negeri­nya­yang rusuh dan me­
ngembara di Eropa. Tahun ini kembali. Tapi ia ditangkap. Ia di-
ancam hukuman mati.
”Meninggalkan Islam berarti menghina Tuhan,” kata Ab­dul­
Raoulf, seorang ulama terkemuka di Kabul. ”Orang ini harus­
mati.” Duduk di depan Masjid Herati di Kabul, ia ber­seru,­”Peng-
gal kepalanya! Akan kami serukan kepada orang ramai agar men­
http://facebook.com/indonesiapustaka

cincang dia sampai habis.”


Jangan salah sangka: itu memang aturan yang dulu konon di-
maklumkan Taliban, tapi Abdul Raoulf bukanlah seorang peng­
anut Taliban: tiga kali ia dipenjarakan penguasa Islam yang­sering

Catatan Pinggir 8 169


IRTIDAD

disebut ”garis keras” ini, sampai rezim mereka jatuh­pada tahun


2001. Dan suara Raoulf bukan sendirian. Ia menggemakan lagi
apa yang digariskan agama. Sayid Missho­sein Nasri, seorang ula-
ma Syiah dari Masjid Hossaaina di Kabul, juga mengatakan Ab-
dul Rahman ”harus digantung”.
Dunia pun gempar. Makin banyak orang merasa ngeri me-
lihat Islam. Menghantam dua menara tinggi di New York dan
membinasakan 3.000 manusia, meledakkan bom di Bali dua kali
dan membunuh lebih dari 200 orang yang tak bersalah, saling
membantai di Irak dan ribuan mati dengan kepala copot,­dan ki­
ni hendak mencincang seorang yang berbuat irtidad, berpaling
dari jalan Islam, ingin memeluk agama lain....
”Anda muslim?” tanya seorang Jepang kepada saya.
Saya mengangguk.
”Maaf, saya tak paham agama Tuan: marah, marah, marah;
curiga, curiga, curiga....”
Saya diam. Saya tak mau mengaku bahwa saya juga tak pa­
ham.­­Saya diam juga karena masygul tak bisa lagi menyalahkan­
terus-menerus orang lain yang mencemooh agama saya dan orang
tua saya.
”Katanya, menurut Quran tak ada paksaan dalam beragama?”
si Jepang bertanya lagi.
Saya mengangguk.
”Tapi kenapa orang Afganistan itu dipaksa tetap dalam Islam?
Dan apa gunanya? Buat apa Islam punya seorang penganut yang
terpaksa berpura-pura?”
Saya tak bisa menjawab. Ya, apa guna Abdul Rahman bagi Is-
lam dan Islam bagi dia?
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Kalaupun saya jadi muslim,” kata si Jepang lagi, ”saya tak


mau hidup di negeri yang serba Islam. Saya tak percaya hukum
agama lebih adil.... ”
Begitu pentingkah agama bagi manusia? Dulu saya kira saya

170 Catatan Pinggir 8


IRTIDAD

ta­hu, sekarang saya tak yakin lagi. Setelah berabad-abad pelbagai


pemeluk saling mencemooh, kemudian saling membantai, dunia
tak juga lebih beres.
Lihat Abdul Rahman. Ia masuk Kristen namun tetap saja ia
tak jadi orang baik bagi kedua anaknya. Selama delapan tahun­
ia tinggalkan Mariam dan Maria di rumah kakek-nenek mereka,
yang berarti membebani hidup kedua orang tua yang miskin itu.
Mariam, berumur 13, mengatakan tentang lelaki yang bertahun-
tahun meninggalkan mereka itu: ”Ia penganggur, malas, kejam.”
Dan majalah Time menulis Abdul Rahman ditangkap polisi­
bukan karena dia Kristen, tapi karena kekerasan yang dilakukan-
nya di tempat anak-anaknya tinggal....
Tapi orang-orang Kristen pasti bergembira menyambut pe­
meluk baru ini. Untuk apa dia? Mungkin agama-agama memang
punya persamaan dengan kapitalisme: mengukuhkan rasa iri dan
waswas, lalu mengakumulasikan milik. Tentu, para rohaniawan
dan ulama akan mengatakan mereka ingin membawa orang lain
ke jalan yang benar, tapi di situlah soalnya: jalan yang benar itu
seperti jalan dalam permainan monopoli.
Ada seorang Bali yang kemudian disebut Nicodemus. Ce­rita­
nya terdapat di buku terkenal Miguel Covarrubias, Island of Bali,
yang terbit pada tahun 1937. Ia pelayan dan murid­se­orang misi­
onaris Kristen di Bali. Ia dibaptis. Sebab itu ia dikucil­kan dari
banjarnya. Ia dianggap ”sudah mati”. Nicodemus guncang. Kian
lama kian tertekan, ia akhirnya membunuh majikan­nya, lalu
menyatakan bukan Kristen lagi, dan menyerahkan diri agar di-
bunuh menurut adat.
Nicodemus hancur, karena ”yang benar” hadir dan meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

klaim sukmanya—hadir sebagai sesuatu yang mutlak dan


agresif. Menjelang akhir 1930-an misionaris dari Amerika ber-
datangan ke pulau Hindu itu dan seorang Belanda bernama Dr.
Kraemer tiba. Ia meneliti masyarakat Bali selama beberapa­ming-

Catatan Pinggir 8 171


IRTIDAD

gu, lalu menerbitkan buku dengan kesimpulan: agama Bali cacat


dan banyak penduduk yang ingin jadi Kristen.
Kesimpulan itu telah dibantah, tentu. Para misionaris itu, ka­
ta seorang penelaah lain, memandang dengan pendirian bahwa
se­mua orang bersifat ”tak baik” dan menderita ”sengketa jiwa”
yang hanya bisa diobati dengan agama yang datang dari Barat.
Tapi ada agama yang bicara dengan suara Tuhan yang ganas­
dan cemburu, yang harus diterima semua orang. Ada pula keper-
cayaan yang memandang Yang Suci tak dapat disamakan dengan
Tuhan yang mati. Tuhan yang mati adalah tuhan yang diganti
hu­kum agama yang telah beku, dan sebab itu tak ada lagi ilham-
nya yang hidup, berganti-ganti, tak tunggal—yang menyebab-
kan Nietzsche menggugat monotheisme. ”Sudah hampir 2.000
tahun,” keluhnya, ”dan belum ada satu pun tuhan yang baru!”
Ia menyukai politheisme. Artinya tuhan yang tak bisa dimo-
nopoli, tuhan yang tak ganas, tak cemburu.

Tempo, 9 April 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

172 Catatan Pinggir 8


CENTHINI

A
PA gerangan yang didengarkan Centhini selama 40 ma­
lam? Abdi yang setia itu selalu berada di dekat majikan­
nya, Tembangraras. Ia bersimpuh di dekat kamar bah-
kan ketika Tembangraras sedang bersama suaminya, Amongra-
ga. Di situlah si Centhini, gadis yang penuh hasrat belajar itu,
menyimak­apa saja yang diucapkan ketika pasangan itu berceng-
kerma dan bersetubuh.

Ketika malam ketujuh belas tiba, Amongraga


telanjang dan duduk bersila di buritan ranjang:
”Dinda, ketahuilah bahwa raga ini seperti obor,
roh nyalanya, ilmu asapnya, zat cahayanya.
Padahal nyala tidak dapat dipisahkan dari obor
maupun asap atau cahayanya.”

Kutipan dari Serat Centhini itu (dalam buku Empatpuluh­


Malam dan Satunya Hujan yang terjemahannya dikerja­kan de­
ngan bagus oleh Elizabeth D. Inandiak, Sunaryati Sutanto,­La­d­
dy­Lesmana, Landung Simatupang) hanyalah salah satu dari 722
tem­bang. Tapi agaknya ia mengikhtisarkan tema dasar buku ini:
kon­flik dan kontras, juga persentuhan dan tumpang tindih, anta­
ra­’raga’ dan ’roh’, antara yang sensual­dan­yang spiritual, antara­
yang alim dan yang alami—juga antara­yang ’Arab’ dan yang ’Ja­
wa’.
Hampir 4.200 halaman Centhini adalah variasi atas tema itu.­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Di bagian yang dikutip tadi kita bersua dengan pe­ngembara­an­­


Amongraga dari Giri, setelah wilayahnya dikalah­kan Ma­ta­ram.­
Dari sini kita menemui kehidupan rakyat di desa-­desa Jawa za-
man lalu, mungkin sebagaimana waktu buku ini ditulis­di per-

Catatan Pinggir 8 173


CENTHINI

mulaan abad ke-19. Tapi tak hanya­itu. Kita juga dapatkan urai­
an cara ibadah Islam, deskripsi pesta makan dan­tontonan yang
asyik, seks yang gila, tatacara perkawinan. Bait-­bait tembang­Mijil
menyebutkan berpuluh macam lauk (dho­­kowan, sayur asem, abon
wayang, empal kisi, sambel jinten­...),­dan bait-bait Dandhanggula
menceritakan bagaimana Among­raga—orang alim dan tokoh te-
ladan Serat Centhini­—mengucapkan lailaha ilalah.
Kontras paling mencolok adalah klimaks dari Pupuh 362.
Bait-baitnya dimulai dengan Amongraga bersembahyang.­Kemu­
dian: adegan para santri yang menyanyi dan menari, seakan-­akan
memberikan latar musik bagi adegan ranjang Amongraga dan
Tam­bangraras. Tapi di kamar itu tak ada yang erotik. Hari itu,
se­bagaimana selama 40 hari pernikahannya, Amongraga tak ber-
sanggama sama sekali. Pria alim keturunan Sunan Giri ini hanya
memberi wejangan.
Tapi tak lama kemudian, kisah bergerak ke Jayengraga. Pagi
itu, lelaki tampan itu merasakan desakan syahwat yang dah­syat.­
Dalam keadaan ereksi yang luar biasa ia gagal menye­tubuhi istri
dan selir-selirnya; mereka sedang datang bulan. Ia pun menco­
ba semuanya: felatio, merendam penisnya di air, dan akhirnya
me­lampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda pengiringnya. Ia
mencapai orgasme, dan segera sesudah itu, kokok ayam pun ter-
dengar. Datang subuh. Adegan homoseksual itu segera berpin-
dah: para pelaku mandi, mengambil air wudu, dan salat.
Baris-baris erotik yang terus terang semacam itu bahkan kita
temukan lebih seru dalam pasase lain Serat Centhini, yang diter-
jemahkan jadi Minggatnya Cabolang. Tak ayal, orang bisa berta­
nya: pornografikah ini? Atau puisi mistik, ekspresi ke­nikmat­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an seksual yang tak berbeda dari kenikmatan unio-mystica, se-


perti dalam cerita Panji versi Bali? Di salah satu ade­gan, tampak
Amongraga, Tembangraras, dan Centhini ter­geletak. Mereka
telah mencapai klimaks, setelah zikir yang intens dan manunggal

174 Catatan Pinggir 8


CENTHINI

ke dalam ”Hyang”.
Memang akhirnya Centhini bukanlah sesuatu yang padu,
berfokus, dan koheren. Buku ini bisa seperti sebuah ensiklope-
dia yang memasang nama-nama sayur dan angka silabel pelba­gai
tembang Jawa. Tapi ia juga dapat tampil sebagai puisi yang sur-
realistis:

Bentangan langit luas di atas


Misbah yang membakar kantuk
Embun menetes ke pasu
Isak pelawak di dalam gua
Bulan dan bintang terusir siang

Seperti dikatakan di atas, konflik, kontras, persentuhan, dan


tumpang-tindih adalah tema dasar Centhini. Di situlah ia mene­
mukan maknanya. Ia tak memberikan kata akhir: ketika ia me-
nyebut ”raga” ibarat obor dan ”roh” ibarat nyalanya, ia tak menun-
jukkan mana yang lebih dulu, ”obor” atau ”nyala”. Tapi kita tahu:
”obor” tanpa ”nyala” bukanlah ”obor”, dan ”nyala” itu hanya bisa
hadir sebagai suluh karena bambu-bersumbu yang disiapkan itu.
Agaknya memang itulah yang hendak ditegaskan: ”raga”,
yang karnal dan sensual, tak terpisahkan dari ”roh” yang spi­ritu­
al.­Mana tubuh, mana kesadaran, tak ada batas yang jelas. Seba­
gaimana tersirat dalam nama tokoh cerita ini, tumpang-­tindih
ter­jadi antara ”among” dan ”raga”—”among” berarti ”meng­ikuti
dan mengelola dengan kasih sayang”, dan ”raga” berarti tubuh.
Pada akhirnya hidup tak hanya merayakan yang alim, melainkan
juga yang alami.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dan inilah yang terjadi setelah 40 hari:

Bulan menuju malam, Amongraga meniduri Tembangraras di


ranjang bidadari dan membanjiri tubuhnya dengan air mata. Me­

Catatan Pinggir 8 175


CENTHINI

re­ka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan,
tanpa kalah atau menang.

”Tanpa aturan dan tujuan”—sebab yang penting keasyikan


dari hal yang tak terduga. Maka yang itu-itu juga (sebuah daf-
tar, misalnya) segera akan dipergoki puisi yang membuka kejut­
an dan warna-warni. Tanpa aturan dan tujuan, tanpa kalah dan
menang, itu juga sifat Centhini: ia menyuarakan kembali sesuatu
yang ”Jawa”, misalnya pertunjukan wayang kulit, tapi juga yang
”Arab”, misalnya salawat, rebana, dan sederet kosakata ”Islam”.
Kita tahu kisahnya bermula dengan konflik antara Maja­pahit­
dan Giri: kekuasaan Hindu yang sedang runtuh menghadapi
wilayah Islam yang sedang naik. Tapi kemenangan Giri hanya se-
mentara. Mataram berdiri, dan di bawah Sultan­Agung, wilayah
Islam itu digebuk. Amongraga pun lari, me­ngembara, membawa
Islamnya ke pelosok-pelosok. Tapi akhir­nya Centhini tak mengi­
sahkan apakah ia dan kealimannya menang. Jawa, juga seluruh
Nusantara, adalah seperti kisah ini: konflik, kontras, persentuh­
an, tumpang-tindih.

Tempo, 16 April 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

176 Catatan Pinggir 8


PORNOGRAFI

Tesis I: Pornografi adalah persoalan yang timbul ketika lebih banyak


orang mendapatkannya.

G
AMBAR persetubuhan tanpa tedeng aling-aling, yang
me­­­­rupakan peninggalan kerajaan muslim di India se­
lama­ tiga abad sejak 1526, dibuat di lembaran yang
ber­jumlah­ terbatas. Baru di abad ke-20 seni rupa erotik zaman
Moghal itu di­ke­tahui orang ramai.
Begitu pula ukiyo-e di Jepang di masa Tokugawa, dua abad se-
jak 1603. Karya-karya dari ”dunia yang mengapung” ini—kata
lain untuk dunia perempuan penghibur—dibuat di atas kain,
dalam jumlah relatif terbatas, dan umumnya dimiliki­orang ber­
ada. Baru kemudian ia dicetak di atas kertas dan beredar di pasar
yang luas.
Ketika Serat Centhini dengan adegan-adegan cabul yang ter­
selip di antara 12 jilid itu ditulis di abad ke-19, ia adalah sebuah
manuskrip tertulis tangan. Pembacanya mungkin tak sampai
1.000 orang: sebuah lingkaran intim yang relatif setara dan se­
sele­ra dalam menilai.
Namun, kemudian perdagangan menularkan permintaan.­
Ka­pitalisme yang agresif dalam produksi dan distribusi pun
bang­kit. Sebuah karya bisa mencapai kalangan yang jauh. Di
satu pihak ia tampak amat berkuasa. Di pihak lain ia merisaukan.
Tak semua orang yang menemukannya merasa akrab dengan ni-
lai yang melahirkannya. Tak semua yang menerimanya seusia.­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin ada orang yang hanya kaget sejenak, tapi ada yang
menganggap gambaran adegan seks berbahaya atau berdosa.
Kian besar jumlah konsumen, kian tak pasti pula coraknya.
Dari ketidakpastian itu orang waswas: ”Awas, pornografi!”

Catatan Pinggir 8 177


PORNOGRAFI

Perkaranya semakin pelik ketika agama-agama—umumnya


yang datang dari Timur Tengah—menganggap ekspresi macam
itu ”berdosa”, diedarkan atau tidak. Sementara itu, para pen­jaga­
ketertiban publik, para aparatur negara, lebih menganggap ini
bukan soal dosa, melainkan soal ”bahaya”.
Tampaklah di sini ada dua ukuran yang dipakai—dua ukur­an
yang terkadang campur-aduk. Kita sering alpa bahwa yang ”ber­
dosa” belum tentu ”berbahaya”, misalnya ketika anda bangkit­
syahwat memandangi Angelina Jolie. Sebaliknya, ken­darailah
mo­bil tanpa SIM: Anda secara publik ”berbahaya”, tapi Quran
dan Injil tak akan menganggap Anda ”berdosa”.
Atas dasar yang mana kita menentang pornografi? Karena ber-
dosa atau karena berbahaya?

Tesis II: Pornografi akhirnya bukanlah soal apa, tapi bagai­mana.­


Jika Anda bertanya apa itu ”pornografi”, jawab yang didapat
akan selalu bisa didebat. Ada sebuah kanvas Basuki Abdullah­
yang melukiskan para bidadari mandi di air terjun hutan, se­buah­
tema dari dongeng Jaka Tarub. Karya itu tak pernah dianggap
ca­bul oleh banyak orang Indonesia, termasuk Bung Karno. Tapi
mungkin ia akan diharamkan Majelis Ulama In­do­nesia, Front
Pembela Islam, Majelis Mujahiddin, dan Partai Keadilan Sejah­
tera.
Perbedaan ini akhirnya harus diselesaikan—dan di situlah
bagai­mana sebuah keputusan diambil jadi soal yang menentu­
kan. ”Nilai-nilai bersama” dalam masyarakat tak jatuh seperti
pulung. Tiap masyarakat mengandung dimensi politik: apa yang
disebut ”nilai-nilai bersama” sebenarnya merupakan hasil per­
http://facebook.com/indonesiapustaka

saing­an hegemoni.
Ada yang menyelesaikan persaingan ini dengan aksi sepihak:
memaksakan nilai-nilai sendiri ke seluruh bangunan sosial, ter-
kadang dengan kekerasan, seperti yang dilakukan Tali­ban di Af-

178 Catatan Pinggir 8


PORNOGRAFI

ganistan dan Front Pembela Islam di Indonesia. Tapi ada yang


menawarkan ukuran-ukurannya untuk dirundingkan dengan
kalangan lain, sebuah proses yang lazimnya menghasilkan kom-
promi. Ada pula yang menyelesaikannya melalui pengadilan.
Seperangkat nilai-nilai yang ditawarkan untuk dirunding-
kan, atau dipilih melalui pengadilan, dengan sendirinya akan jadi­
seperangkat ukuran yang tak mutlak. Itu berarti ia tak sakral dan
kekal.
Tapi seperangkat nilai-nilai yang dipaksakan dengan keke­
rasan secara serta-merta akan kehilangan aura. Ia bisa saja di­ang­
gap suci, tapi dengan demikian ia tampak tak mampu membuat
dirinya berwibawa.
Itulah yang terjadi ketika Tuhan diperlawankan dengan Play-
boy.

Tesis III: Pornografi memang produk kapitalisme hari ini—


maka mungkin ia mengalahkan dirinya sendiri.
Di negeri-negeri komunis gambar telanjang diharamkan. Di
Uni Soviet patung manusia dibuat dengan memamerkan wajah
yang sehat, otot yang gempi dan dada yang kencang. Tapi Albert
Spier, orang kepercayaan Hitler, pernah heran ketika­ia mengun-
jungi paviliun Uni Soviet di pameran besar internasional di Paris­
di tahun 1930-an. Ia melihat, berbeda dengan patung-patung
Nazi Jerman, di bawah Stalin semua patung tertutup auratnya....
Tapi bila komunisme menutup aurat, tak berarti kapitalisme­
membukanya. Di tahun 1950-an, Hollywood adalah tem­pat di­
mana seks ditawarkan ke konsumen, tapi juga kota yang ber­­hati-­
hati. Kapitalisme memang hanya sekali-sekali nekat. Maka, Ma­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ri­lyn Monroe dalam Niagara (1953) tak pernah seerotis Brigitte


Bardot dalam Et Dieu... créa la femme (1956) di Prancis....
Meskipun demikian, kapitalisme memang cocok dengan por­
nografi: keduanya hidup karena kelangkaan. Di awal 1950-an

Catatan Pinggir 8 179


PORNOGRAFI

pula, ketika seks masih tabu di media Amerika, Hugh Hef­ner


menerbitkan Playboy. Pada nomor pertama majalah itu langsung
terjual 50.000 eksemplar. Sejak itu, ia menanjak. Ia praktis telah
membebaskan orang Amerika dalam bicara soal seks. Tapi keber-
hasilan itu berarti hilangnya kelangkaan. Majalah­pesaing mun-
cul, lebih berani: Hustler, Penthouse, Maxim.... Sejak tahun 1980-
an, bisnis Playboy merosot.
Sebentar lagi tampaknya semua akan merosot: teknologi­te­lah
membuat kelangkaan hampir mustahil. DVD porno segera me­
ngejar, dan akhirnya ia sendiri dikejar. Blue film di internet pun
bermunculan, semakin lama semakin gampang, di mana saja, ka-
pan saja.
Negara dan agama pun akan menemui batas kekuasaannya,
dan pornografi akan jadi seperti tembakau: sesuatu yang tak se-
hat, tapi terus ada, hanya kadang-kadang memikat, lalu kita
lupa.

Tempo, 23 April 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

180 Catatan Pinggir 8


SELAT

—kepada bangsaku.

H
ARI Sabtu itu, 22 April 2006, kita tahu apa arti 17.000
pulau. Tujuh belas ribu pulau sama dengan sekian juta
meter pantai. Tujuh belas ribu pulau berarti beratus-ra-
tus selat.
Tapi kita tahu bukan jumlah itu yang menjadikannya istime-
wa.
Sebab pantai adalah tepi. Tepi bukan hanya berarti perbatas­
an, sebuah garis yang menutup dan menampik. Tepi juga am-
bang pintu. Tepi juga gerbang sebelum beranda.
Di tiap tepi selalu ada ”yang-lain” yang menyentuh—mung-
kin laut yang diberi nama oleh para pengelana asing, mungkin
ladang yang diolah kaum yang menyukai gandum, mungkin
Kota X yang mengirimkan berita tentang sirkus dan raja-raja. Di
tiap tepi ada pertemuan, juga ketegangan, bahkan sengketa. Di
tiap tepi benda-benda dipertukarkan, lembing dihunus, meriam
diisi. Tapi ke sana juga anak-anak bermain di atas pasir melepas-
kan merpati yang melintas ke seberang.
Sebab tepi ini adalah pantai yang terentang di sepanjang
17.000 pulau—artinya tepi yang lebih sering bersinggungan de-
ngan selat, bukan dengan samudra.
Selat, laut sempit itu, adalah sebuah kesempatan: selat juga­lah
yang menyebabkan persentuhan dengan ”yang-lain” bukan sesu­
atu yang ajaib, bukan seperti ketika nun di sebuah gurun yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

ko­song dan luas datang seorang musafir dengan topi yang ganjil
dan kita bertanya: Dewikah tuan? Atau iblis? Atau pangeran kecil
dari asteroid di mana mawar tumbuh?
Di tiap pantai yang menggaris selat, ”yang-lain” adalah ”lain”,

Catatan Pinggir 8 181


SELAT

tapi ia singgah dengan mudah. Terkadang ia sebilah papan dari


jung Cina yang pecah, bangkai pelaut Peranggi yang dipukul ba-
dai, sebuah peti hanyut yang penuh dengan kain bersulam tak
ber­tanda. Terkadang ia muncul dengan kapal yang mengeluar-
kan asap pekat atau sekoci dengan trompet yang serak dan para
kelasi yang tak berpenerjemah.
Di hadapan itu semua, ”yang-lain” itu ”lain”, tapi kita tak ter-
kejut. Di negeri 17.000 pulau, adakah yang bisa menyebabkan
kita terkejut?
Memang pernah ada yang memakai ”pulau” sebagai kiasan
untuk dunia yang tersisih, seperti ketika John Donne menulis sa-
jaknya yang termasyhur:

No man is an island, entire of itself


every man is a piece of the continent

Tapi sang penyair, John Donne, hidup di Inggris pada abad


ke-17—dengan kata lain, di sebuah pulau yang seakan-akan me­
nyen­diri di seberang Benua Eropa, sebuah pulau dengan satu selat­
yang dirundung perang. Donne tak mengenal­apa artinya nusan­
tara. Ia memandang benua sebagai sumber, totalitas yang jadi
asal-usul keanekaragaman: ”tiap orang adalah sepotong fragmen
dari sang benua”, demikian ia berkata. Maka ia lebih menggugah
kita untuk mengingat apa yang ”eka” ketimbang yang ”bhineka”
dalam manusia. Para pakar menyebut rohaniwan dan sastrawan
ini—mula-mula sebagai cemooh—”penyair metafisik”.
Tapi bagi yang hidup di pantai kepulauan, yang pertama­kali
menarik perhatian adalah yang ”fisik”, benda-benda konkret:
http://facebook.com/indonesiapustaka

terumbu dengan hijau yang berbeda dari hijau bakau, mayang


yang kuningnya tak sama dengan kuning mumbang, belanak ra-
pang yang lain dari belanak jumpul, dayung jukung yang bukan
kemudi biduk. Bagi yang hidup di tepi selat, benda dan nama be-

182 Catatan Pinggir 8


SELAT

gitu beraneka, tak mudah diringkus dalam identitas yang tung-


gal dan tetap. Seakan-akan mengalir. Itu sebab­nya Derek Wal-
cott, yang hidup di satu titik di pulau-pulau Karibia, bisa menu-
lis:

My race began as the sea began,


with no nouns, and with no horizon,
with pebbles under my tongue,
with a different fix on the stars.

Bangsaku bermula sebagaimana laut berawal, tanpa kata ben-


da, tanpa cakrawala....
Juga bangsa kita. Mungkin itu sebabnya di nusantara dengan
ribuan selat ini, identitas adalah sesuatu yang bergerak terus, cair.
Suku-suku memang diberi nama, tapi sebenarnya kita tak tahu
oleh siapa dan kenapa. Hanya administrasi kolonial dan negara
modern yang membuat kata benda itu seperti cap besi panas yang
diterakan di kulit ternak: ”Jawa”, ”Melayu”,­”Dayak”, ”Papua”....
Di tepi selat, kita selalu melihat pulau seberang itu, meski­pun­
sayup-sayup: kita tahu kita tak pernah sendiri, terkucil dan ter-
penjara. Kita tahu sejarah nusantara ini adalah sejarah migrasi,
kisah-kisah nenek moyang yang pelaut, tambo para saudagar, pe­
rompak, penyelundup, perantau, dan penjelajah. Kita tahu pan-
tai-pantai kita adalah pintu yang tak akan bisa dikunci.
Itu sebabnya kebhinekaan kita adalah kebhinekaan yang ter-
buka, dengan ”jati-diri” yang seperti laut: tampaknya sama, tapi
bergerak terus, dengan riak air yang selalu berubah—cerita­ten-
tang sesuatu yang men-jadi, bukan sesuatu yang sudah-­jadi. Bah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan ketika identitas-identitas baru muncul, dengan nama yang


kekal dan universal (”Buddha”, ”Hindu”, ”Islam”, ”Kristen”),
mereka juga terbentuk oleh dinamika laut yang cair, pantai yang
tak terkunci, dan selat-selat yang tak mengucilkan kita.

Catatan Pinggir 8 183


SELAT

Demikianlah bukan hanya kita yang jadi ”Hindu”, tapi juga


Hindu yang men-jadi ”kita”, bukan hanya kita yang jadi ”Islam”,
tapi juga Islam yang men-jadi ”kita”, dan seterusnya. Salahkah
kepulauan ini karena itu? Bila Hindu Bali berbeda dari Hindu di
India dan Amerika, perlukah kita risau? Bila Islam Indonesia ber-
beda dari Islam di Arab Saudi atau Eropa, apakah kita berdosa?
Hari Sabtu itu, ketika di ibu kota Republik kita menyatakan
diri dalam keanekaragaman, ketika kita berbaris panjang dengan
gembira dalam dandanan warna-warni, ketika kita ber­gerak dari
sebuah monumen kebangsaan ke pusat lalu lintas­ yang ramai
tempat pelbagai bangsa, kita tahu kita tak berdosa. Kita tak ber-
dosa untuk hidup sebagaimana layaknya orang hidup dalam arus
bolak-balik di 17.000 pulau yang kita sebut ”Indonesia”: sebuah
bangsa yang bermula sebagaimana laut berawal—sebuah bangsa
yang terus-menerus men-jadi, tanpa­dibekukan dalam kata ben-
da, tanpa dikungkung sebuah cakrawala.
Sungguh, sebuah bangsa yang bangun badannya, bangun ji-
wanya.

Tempo, 30 April 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

184 Catatan Pinggir 8


DOSA

D
ARI mana datangnya dosa? Dosa ada karena ada la­
rang­­an, dosa ada karena hukum, dosa ada karena (se­
telah hukum diberlakukan dan diterima) disadari seba­
gai kesalahan.
Pernah ada masanya perempuan-perempuan di Bali berjalan
le­luasa tanpa menutup buah dada mereka. Tapi kemudian pe­me­
rin­tahan kolonial Belanda dan agama Kristen datang, dan kedua
kekuasaan itu—yang karena perkembangan sejarah dapat meng­
ambil peran sebagai otoritas—menentukan bahwa buah dada
ada­­lah sesuatu yang harus ditutupi. Sejak itu, tidak menutup bu­
ah dada adalah sebuah kesalahan, dan bahkan akhirnya orang
Ba­li, mungkin terpaksa, berangsur-angsur menerima hukum itu.
Buah dada terbuka berarti dosa....
Demikianlah: larangan datang sebelum dosa dan bukan seba-
liknya. Agama-agama kemudian membuat kata ”dosa” dan ”la-
rangan” seakan-akan sesuatu di luar sejarah manusia. Kita yang
alim cenderung membayangkan, bahwa hukum tentang mana
yang berdosa merupakan sesuatu yang kekal, tak ber­mula­ pada
satu titik waktu di dunia. Kita jarang bertanya: sebelum cerita
Musa turun dari Gunung Tursina dengan membawa sepuluh pe­
rintah Tuhan yang terpahat pada loh batu, apa sebenarnya yang
disebut dosa?
”Terpisah dari hukum, dosa tergeletak mati,” tulis Slavoj Zi­
zek. ”Pernah aku hidup ketika terpisah dari hukum, tapi ketika
perintah itu datang, dosa hidup kembali dan aku mati.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jika dosa ”hidup kembali” justru karena hukum dan larang­


an, buat apa sebenarnya hukum dan larangan? Jika hukum dan
larangan, sebagaimana kata-kata yang terpahat di loh batu itu,
adalah sesuatu yang mandek dan mati, apa gunanya mereka bagi

Catatan Pinggir 8 185


DOSA

kehidupan?
Zizek tengah berbicara tentang psikoanalisis: ia melihat­bah­
wa sejak hukum digariskan dan larangan ditentukan, subyek­ter-
pecah. Di satu pihak, timbul kepatuhan (yang sadar) kepada hu-
kum. Di lain pihak, bangkit hasrat (yang tak sadar) untuk me-
nabrak aturan itu. Yang dilarang pun jadi obyek keinginan: jika
buah dada harus ditutupi, berarti ia sesuatu yang sangat menarik.
Apabila majalah Playboy diributkan, berarti ia layak dilihat atau
diintip.
Maka hukumlah yang ”membuka dan mempertahankan wi­
la­yah dosa”, kata Zizek pula. Tapi paradoks tak berhenti di situ.
Sang penyusun hukum menegakkan hukum agar ia merasa nik-
mat ketika dapat membuat orang merasa berdosa karena melang-
gar. Sementara itu, si pelanggar dapat merasakan nikmat menci-
cipi sesuatu yang membuatnya merasa berdosa.
Apabila demikian halnya—sebuah cerita kenikmatan dari si
pembuat hukum dan si pelanggar aturan—dosa bukanlah sesu­
atu yang akan dihabisi. Lagi pula ia mustahil dihabisi.
Hukum, juga yang dikatakan datang dari Langit, selamanya­
mempunyai dimensi politik dan kekuasaan manusiawi. Dari pa-
hatan di loh batu yang ditorehkan Musa di Gunung Tursina itu
orang-orang Yahudi mendapatkan pegangan dan aturan, dan da­
ri sana sebuah komunitas berjalan, hingga akhirnya ke­raja­an ter-
bentuk. Gereja tak akan berdiri kalau tidak hendak menegakkan
ketentuan apa yang boleh dan apa yang tidak. Perintah yang ditu-
runkan di Madinah hadir bersama berjalannya sebuah bangunan
kekuasaan di bawah Rasulullah.
Di dalam proses itu, dosa pun ditarik ke luar dari sebuah du-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nia privat menjadi bagian dari dunia publik. Orang tak cukup
mengakui dosa kepada Tuhan; ia harus mengakui dosa di depan
yang berkuasa di bumi. Pada gilirannya, yang berkuasa­di bumi
akan memegang tampuk kekuasaan yang merasa mampu menia-

186 Catatan Pinggir 8


DOSA

dakan batas dunia privat dan dunia publik.


Tapi benar mampukah? Benar mampukah polisi dan jaksa­
dan hakim meniadakan batas itu, merogoh apa yang ada di dalam
lubuk hati seseorang—sesuatu yang bahkan orang itu sendiri
sering tidak tahu? Tidakkah yang selamanya terjadi adalah sesu­
atu yang sering disebut kemunafikan: aku menaati aturan dosa
dan tak dosa di muka umum, tapi aku menjalankan­ yang dila-
rang di duniaku yang tak terjangkau mata publik?
Ada ”politik keyakinan” dan ada ”politik ketidakpastian”. Di­
kotomi ini saya pakai dengan mengubah sedikit analisis Michael
Oakeshott dalam The Politics of Faith and the Politics of Scepticism.­
”Politik keyakinan” bergerak dengan asumsi dan ambisi bah­wa­
kekuasaan manusia dapat mengubah sebuah masyarakat dengan
menetapkan ”pola kegiatan yang komprehensif bagi komunitas”.
Peran pemerintah dianggap dapat meng­atur­sampai rinci perilaku
warga negara dan penduduk—dari cara berdagang sayur­sampai
cara memakai celana, dari seni lukis sampai hubungan­kerja.
Para pendukung ”politik keyakinan” percaya, konsep yang be­
nar—apalagi yang datang dari teori yang ”ilmiah” atau yang ber-
dasarkan Sabda Tuhan—akan mengakibatkan sebuah masyara-
kat berada di jalan yang lurus di mana dunia yang privat pun ter-
jangkau untuk diperbaiki. Calvin di Jenewa pada abad ke-16 per-
nah mencobanya, begitu juga Mao Ze-dong dan Ayatullah Kho-
meini pada abad ke-20.
Tak satu pun telah membuktikan, bahwa mereka berhasil.­
”Po­litik ketidakpastian” justru yang menunjukkan, bahwa ma-
nusia adalah makhluk yang menimbulkan pelbagai pertanya­an,
dan tiap pertanyaan tak dengan sendirinya bisa dijawab, apalagi
http://facebook.com/indonesiapustaka

oleh hukum. Berabad-abad setelah Musa turun dengan loh batu


itu, berabad-abad setelah hukum dipertegas dan dosa bisa didaf­
tar,­ masih acap kali datang seorang yang membawa lentera di
siang hari dan mengatakan, ”Aku mencari manusia.”

Catatan Pinggir 8 187


DOSA

”Politik ketidakpastian” adalah jawaban, bahwa manusia se-


lamanya ada, nun di situ, di sebuah ruang, di suatu waktu, yang
bisa berubah, dan akan berubah, di atas bumi, di bawah langit,
bersama yang fana dan yang mungkin kekal.

Tempo, 7 Mei 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

188 Catatan Pinggir 8


PRAMOEDYA

J
ASAD Pramoedya Ananta Toer diturunkan ke liang lahat.­
Tanah diuruk. Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh­
la­ngit Jakarta gelap, udara hamil hujan—seakan-akan per­
siap­an adegan akhir perkabungan di Karet Bivak itu. Sebuah
lagu tiba-tiba terdengar, dinyanyikan bersama dengan khid­mat,
terutama oleh mereka yang muda:

Di negri permai ini


Berjuta Rakyat bersimbah rugah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja...
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar

Kalimatnya lurus dan marah, tapi Darah Juang tak berteriak,


bahkan agak melankolis: ”Bunda, relakan darah juang kami....”
Suasana apa yang melahirkannya? Murung seperti sore itu?
Beberapa aktivis muda membisikkan kepada saya bahwa lagu
itu digubah oleh dua mahasiswa di daerah Gejayan, Yog­yakarta,
pada suatu malam sehabis rapat merencanakan aksi, pada tahun
1991, ketika rezim Soeharto masih kukuh, ketika ketakutan ma-
sih merajalela, dan kekuatan penentang, kalaupun ada, lemah
dan kusut.
Optimisme terasa dibuat-buat dari suasana seperti itu, tapi
harapan tidak. Dari harapan yang tersembunyi—dengan baha-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sa yang menyatakan sakit dan miskin, rindu dan dendam—sas-


tra lahir, politik lahir. Juga pahlawan. Bagi anak-anak muda yang
ingin membuat Indonesia lebih adil dan merdeka, Pra­moedya
adalah pahlawan yang pas; sang penggubah epos adalah sebuah

Catatan Pinggir 8 189


PRAMOEDYA

epos tersendiri: di kamp tahanan yang jauh dan bengis, ia tulis


empat-serangkai novel sejarah Indonesia ketika beribu-ribu orang
hendak dimusnahkan dari kenangan kolektif, ketika kata ”ke-
merdekaan” membuat saat jadi genting.
Dari sini Pram memang bisa jadi suluh.
Dalam hal itu, Indonesia tragis tapi mujur: begitu banyak
orang dibasmi dan dilupakan di negeri ini, tapi sebuah gene­rasi
tak hanya menggantikan generasi sebelumnya; ia juga men­dapat
inspirasi. Dengan itulah sebuah transisi alamiah (ada yang pergi,
ada yang datang) jadi jalinan gerak sejarah. Pra­moedya adalah
pe­nyambung jalinan itu.
Mungkin awalnya adalah Blora. Dalam Cerita dari Blora,­
yang terbit pada awal 1950-an, Pram menghadirkan ”aku” yang
me­­ngenang tokoh ”ayah”: seorang yang bersungguh-sungguh
ikut menumbuhkan benih kemerdekaan, seorang yang yakin ke-
merdekaan sama artinya dengan ”Indonesia”, seorang saksi bah-
wa ”Indonesia” yang belum datang itu telah begitu kuat mengge­
rak­­kan hati.
Pada tahun 1930-an itu Blora berubah. ”Di waktu-waktu­itu
nampak... olehku adanya kegugupan yang meraba kehidup­an
kota kecil kami,” kata si anak yang mengenang. Orang be­ramai-­
ramai mendirikan perkumpulan sepak bola dan kese­ni­an, meski-
pun sebenarnya ”kegugupan” itu ”kegugupan” politik: gema ”ke-
bangunan Asia” terdengar, aktivis pergerakan nasional seperti
Su­karno datang dan berbicara, dan para pandu menyanyi Di
timur matahari mulai bercahaya.
Dalam suasana itu, si ayah mendirikan sebuah sekolah dan ru­
mah itu jadi pusat pergerakan. Orang datang untuk sekadar ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tanya, atau belajar baca-tulis, atau ikut ”kursus politik”, ”kursus


guru”, menyiapkan diri jadi pendidik.... ”Tiba-tiba saja rumah
kami merupakan kantor. Semua mesin ketik berdetak-detak.”
Tapi itu tak lama. Polisi kolonial telah mengawasi mereka.

190 Catatan Pinggir 8


PRAMOEDYA

Akhir­nya sepucuk surat datang dari ”gubermen”: kegiatan itu ha-


rus disetop. Buku-buku disita, listrik di tempat para murid bela-
jar dicabut. Sejak itu rumah itu sepi. Sejak itu paras si ayah mu-
ram. Sejak itu ia hampir tak pernah pulang, menghabiskan hari-
harinya berjudi—seperti ayah yang meninggal dalam novel Bu-
kan Pasar Malam. Bahkan ketika satu orok lahir lagi, si ayah tak
ada. Memang akhirnya lelaki itu muncul menengok si bayi, tapi
si ibu berkata, ”Dia takkan mendapat apa-apa dari kau. Juga tidak
dari tempat dan zamannya. Dia akan tumbuh sendiri.”
Zaman itu adalah ”zaman senja yang mengayunkan dan ka­
dang-kadang mengejuti”, tulis Pramoedya, dengan struktur­kali­
mat yang ganjil, dengan akhiran kan dan i yang salah tem­pat,­
se­akan-akan gagap. Kalimat penutupnya seperti sederet klise:
”Tapi matahari akan terbit lagi di ufuk timur.”
Tidakkah kegagapan dan klise itu menunjukkan bahwa si
anak belum memperoleh bahasanya sendiri untuk mengatasi ke-
murungan ingatannya? Sampai ia meninggal, Pramoedya masih­
mu­rung; ia menatap dengan getir sejarah Indonesia. Pelbagai
wa­wan­cara terakhirnya mengesankan itu. Tapi nada marahnya
mung­kin sebuah keteguhan: suara seorang yang tak ”mendapat
apa-apa” dari ”tempat dan zamannya”, tapi percaya, ”dia akan
tumbuh sendiri”.
Ia memang pewaris humanisme yang kekar—humanisme
Ontosoroh, tokoh Bumi Manusia. Dalam prosa Pram, pikiran,
emosi, dan gerak manusia mengambil alih hampir seluruh ade­
gan; alam hanya hadir secara minimal. Tiap kalimat seakan-akan
pergulatan ”aku-manusia” yang susah payah tapi gigih mengatasi­
”rumah-penjara bahasa”, pergulatan yang tak jarang membuat
http://facebook.com/indonesiapustaka

ungkapan Pram terasa kaku tapi kukuh.


Pergulatan bisa melahirkan kemerdekaan, meskipun­ hu­ma­
n­­is­me yang mengagungkan kedigdayaan insani sering akhir­­nya
gagal membebaskan manusia. Tapi yang gagal tak­­ ber­arti ber-

Catatan Pinggir 8 191


PRAMOEDYA

salah. ”Kalau yang buruk jua yang datang, se­sungguh­nya me-


mang bukan urusan kita lagi,” kata si ibu kepada suaminya.
”Kalau yang buruk jua yang datang....” Mungkin ibu itu sadar
akan batas-batas manusia.
Sore itu, hujan mulai jatuh di pemakaman. Orang-orang
meng­angkat tangan kiri memberikan salut penghabisan kepada­
Pramoedya Ananta Toer. Internationale dinyanyikan.
Sejarah tak selamanya murung, ternyata, meskipun tak sela­
ma­nya ceria. Kini orang bebas menyanyikan lagu ”komunis”
itu—meskipun mungkin ada juga rasa ngilu: dulu nyanyian itu
pernah jadi lambang janji masa depan; kini ia seakan-akan hanya
bagian dari masa lalu.
Tapi selalu ada yang menggetarkan dalam nostalgia. Selalu
ada yang menggetarkan dalam kisah perjuangan yang tak sam-
pai, tapi berharga.

Tempo, 14 Mei 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

192 Catatan Pinggir 8


AHMADINEJAD

D
UNIA harus hancur, kata mereka. Tuhan menghen-
daki itu. Telah dinubuatkan perang penghabisan akan
pecah, kata mereka. Iblis akan dihadapi dalam Arma-
gedon itu, sorga akan terkuak, dan ”Yang Setia dan Yang Benar”
akan turun mengendarai seekor kuda putih,

... memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-
Nya ialah: ”Firman Allah”. Dan semua pasukan yang di sorga
meng­ikuti Dia, mereka menunggang kuda putih dan memakai
lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah se-
bilah pedang tajam yang akan memukul semua bangsa....

Gambaran yang seram itu dikutip dari Wahyu, bagian ter­


akhir­Alkitab. Saya tak tahu apa hubungannya dengan zaman­ini.
Tapi mereka—orang-orang fundamentalis Kristen di Amerika—
menganggap itulah ramal yang pasti. Armagedon bukan hanya
pasti terjadi, tapi juga, kata mereka, akan mele­tus di masa kini, di
Timur Tengah, sebelum datang ”Yerusalem yang Baru” di mana
tak akan ada lagi laknat.
Maka mereka menantikan perang itu....
Akan terkejutkah kita bila hari-hari ini orang-orang funda-
mentalis itu harap-harap cemas memandang Iran sebagai ”Iblis”
yang disebut dalam nubuat itu? Saya duga mereka akan bergembi­
ra melihat presiden negeri itu: kulitnya gelap, mata­nya menatap
dari rongga yang dalam, cambangnya kencang, dan kata-katanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

muram mengancam akan menghancurkan Israel dan menyiap-


kan senjata nuklir. Mereka akan bergembira sebab kepercayaan
mereka akan dibenarkan, sang Antikristus telah muncul, Arma-
gedon akan terjadi, dan halleluyah, bumi baru akan datang.

Catatan Pinggir 8 193


AHMADINEJAD

Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mere­
ka­memusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana
dan diubah waktu. Bagi mereka waktu yang ber­ubah adalah ja-
lan kemerosotan. Sebab itu, mereka cegah waktu dari doktrin,
tiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang
mandek. Bagi mereka hidup di dunia selalu terancam najis. Sebab
itu Tuhan adalah suara amarah: ”dari mulut-Nya keluarlah sebi-
lah pedang tajam yang akan memukul semua bangsa”.
Aneh, sebenarnya: Tuhan sebagai pembinasa, hidup sebagai
cela. Padahal kaum fundamentalis itu tak perlu berkeluh-kesah.­
Mereka tak menanggung sakit dan miskin. Mereka orang Ameri-
ka yang makmur. Pengumpulan pendapat oleh majalah News-
week menjelang akhir 1999 (dua bulan sebelum milenium baru)
menunjukkan 40 persen penduduk negeri itu percaya akhir za-
man akan terjadi melalui Perang Besar Armagedon. Artinya me­
re­ka percaya seperti tertulis dalam Wahyu: setelah perang itu,
setelah Iblis akan dilemparkan ke jurang maut, ’kemah Allah’
akan ditegakkan di tengah manusia, dan Ia akan menghapuskan
air mata dan kematian.
Begitu rentankah orang-orang itu terhadap duka dan ajal,
hingga bagi mereka sorga di bumi adalah kehidupan tanpa perka­
bungan dan ratap tangis? Kenapa mereka tak menggambarkan
sorga sebagai situasi tanpa ketidak-adilan?
Apa pun sebabnya, Juru Selamat dalam bayangan kaum Kris-
ten fundamentalis tampaknya tak sama dengan ”Ratu Adil” da­
lam bayangan orang-orang melarat di Jawa. Mungkin ”adil” bu-
kanlah persoalan pokok mereka.
Dalam sebuah buku yang kini dilupakan, Prophecy and Poli­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tics (terbit di tahun 1986), Grace Haskell memberi ilustrasi­ ba­


gai­mana yang dirayakan kaum Kristen fundamentalis itu justru
apa yang tak adil. Buat menyiapkan buku itu Haskell pergi ke Is-
rael dua kali bersama rombongan Pendeta Jerry Faldwell. Orang-

194 Catatan Pinggir 8


AHMADINEJAD

orang ini—kemudian disebut sebagai ”Zionis Kristen”—sangat


siap untuk mengelu-elukan ketidak-adil­an­yang menyakiti orang
Palestina. Mereka percaya bahwa janji Tuhan kepada Abram da­
lam Kejadian—akan ada negeri­ baru dan akan dijadikan Bani
Israel ”bangsa yang besar”—berarti berdirinya Negara Israel se-
perti sekarang. Mereka tak peduli bila dengan demikian orang
Pa­lestina yang Kristen termasuk yang dizalimi. Bagi mereka, se-
perti ditulis Haskell, tiap tindak­an yang dilakukan Israel sudah
diatur Tuhan, dan sebab itu harus didukung.
Tentu tak adil. Tapi mereka sadar, dengan ketidak-adilan­itu
amarah akan berkobar, perang akan meletus, nubuat Arma­gedon
akan terlaksana, akhir zaman akan tiba dan ”kerajaan seribu ta-
hun” Kristus akan datang.
Maka kaum ”Zionis Kristen” selalu mendesak agar bantu­an
AS kepada Israel tak berkurang dan berusaha agar perdamaian
tak terjadi. Di tahun 2000, tiga orang fundamentalis fanatik
Amerika mencoba meledakkan Masjid Al-Aqsa untuk mempro­
vokasi kemarahan orang Palestina. Di tahun 2003, Senator­Tom
DeLay, yang kurang-lebih mengikuti keyakin­an yang sama, da­
tang ke parlemen Israel dan mengatakan, ”tak ada nilainya sikap
di tengah-tengah dan mengambil posisi mode­rat”.
Dengan kata lain: yang kuat tak perlu mengalah; kekuasaan
melahirkan legitimasinya sendiri....
Mungkin ini menjelaskan kenapa Tom DeLay bisa menghalal­
kan keterlibatannya dalam skandal keuangan yang kemudian
terbongkar, sebagaimana Amerika bisa membenarkan dirinya
untuk merencanakan 125 bom nuklir baru tiap tahun sementara
ia melarang negeri lain melakukan hal yang mirip, sedikit.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi, sekali lagi, adil bukanlah urusan pokok di situ. Maka


di manakah, dalam pandangan itu, apalagi dalam doktrin kaum
Zionis Kristen, orang ingat khotbah Yesus di bukit? Di manakah
suara yang memuliakan mereka yang miskin, yang lemah lem-

Catatan Pinggir 8 195


AHMADINEJAD

but, yang membawa damai dan sebab itu layak ”disebut anak-
anak Allah”?
Saya tak tahu. Yang saya tahu, Allah diseru di mana-mana,­
tapi bersama itu juga dilakukan kebengisan. Kita sering mende­
ngar­nya dari mulut Muslim, tapi sebetulnya tak hanya Muslim.
Agaknya itulah inti surat Presiden Ahmadinejad kepada­ Presi­
den­Bush: ”Tuan Presiden, tuan mungkin tahu saya se­orang gu­
ru. Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan
[Amerika] dipertautkan dengan nilai-nilai... yang dibawakan Ye-
sus Kristus, nabi perdamaian dan permaafan....”
Tentu saja Bush tak menjawab.

Tempo, 21 Mei 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

196 Catatan Pinggir 8


API

A PI dan pembersihan: agama tampaknya gemar mengguna­


kannya buat menegakkan kuasa. Juga di Jawa pada awal
abad ke-15.
Tersebutlah Pangeran Panggung dalam Serat Kandha. Ia se­
orang putra Kesultanan Demak yang meninggalkan­ke­hidup­an
istana dan menampik segala hal yang bersifat duniawi.­Pada masa
awal Islam di Jawa itu ia memilih hidup di daerah Randu Sanga.
Dalam legenda tentang dirinya disebutkan bahwa nafsu serakah
(yang dalam tembang ini disebut ”luamah”) dan nafsu amarah
te­lah dilepas dari dirinya dan menjelma jadi se­pasang anjing de-
ngan nama Iman dan Tokid.
Pangeran Panggung berada di luar arus kekuasaan waktu itu,­
juga di luar derap syariat Islam yang hendak diterapkan para wali.
Pertentangan klasik antara sang mistikus dan para pe­negak hu-
kum agama kembali kita lihat di sini: bagi Panggung, sembah­
yang­rutin itu justru jadi tirai (aling-aling) yang membatasi ma­
nu­sia dari pengetahuan tentang nilai yang lebih utama; juga ber-
puasa dan berzakat akhirnya hanya jadi berhala, menggantikan
sikap sujud sejati kepada yang Maha Agung.
Dari sepercik ajaran Pangeran Panggung yang diterjemahkan
oleh D.A. Rinkes dalam Nine Saints of Java tampak, bukan keje­
lasan dan kepastian (dua sifat yang mendasari fikih) yang harus
dipegang. Sebab kekaburan dan ketakpastian adalah nasib ma-
nusia. Bila ”melihat” berarti meletakkan hal ihwal dalam fokus
yang stabil, ”tak-melihat” adalah kondisi dari ke­ren­dahan hati
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang sesuai dengan hidup.


Sebenarnya tak jelas seberapa kuat dan luas pengaruh ajar­
an ini. Tapi bisa jadi ia tak asing: semangatnya akrab dengan pe-
mikiran yang hidup di masyarakat Jawa sejak zaman Buddha.

Catatan Pinggir 8 197


API

Yang pasti para wali penegak Islam waswas. Mereka mengha­dap


Trenggana, raja ketiga Demak, dan meminta agar pange­ran yang
aneh itu dihukum.
”Baginda,” sembah Sunan Bonang, ”apa kehendak tuan­ku
ber­­kenaan dengan kakak paduka, Pangeran Panggung? Cara­
nya­... bertentangan dengan ketertiban sosial.... Ia jadi najis oleh
ke­dua­anjingnya, Iman dan Tokid, yang ia bawa bahkan ke mas-
jid. Hukum akan kehilangan wibawa. Jika tindak­an mendasar
tak diambil, lembaga sosial dan keagamaan akan hancur.”
Sultan Trenggana pun bertanya, ”Lalu apa hukumannya?”
”Dia harus dibakar hidup-hidup,” sahut Sunan Bonang.
Maka unggun disiapkan. Pangeran Panggung pun dipanggil­
ke ibu kota. Ia datang setelah kedua anjingnya diperboleh­kan
ikut. Kemudian sesuatu yang ajaib terjadi: sementara nyala­ api
mu­lai menjulang, sang pangeran menyuruh Iman dan Tokid ma-
suk ke dalamnya memungut sebuah tumpeng nasi. Mereka me­
lon­cat ke tengah unggun yang berkobar-kobar itu—dan semua
hadirin takjub, sebab kedua hewan itu tak terbakar sedikit pun.
Kegaiban apakah gerangan ini?
Melihat itu, Baginda minta agar Pangeran Panggung tak me­
la­wan. Yang dihukum bersedia. Ia hanya minta sebotol dawat dan
selembar kertas. Di tengah api yang berkecamuk itu, sang pange­
ran duduk, dengan sabar menggubah sebuah kitab suluk berben-
tuk puisi. Akhirnya ia roboh, tewas bersama Iman dan Tokid.
Setelah api padam, buku itu diambil petugas dan diserahkan
kepada Baginda.
Kisah ini, yang terdapat dengan beberapa variasi dalam bu-
ku-buku lain, mungkin tak sepenuhnya terjadi sungguh-sung-
http://facebook.com/indonesiapustaka

guh. Tapi seperti kisah Syekh Siti Jenar dan Ki Amongraga, di


dalamnya si terhukum mati tampil bukan sebagai si jahat. Bila
ia menampik melaksanakan syariat, sebab syariat baginya hanya
sesuatu yang lahiriah. Sebuah syair Melayu yang dikutip Rinkes­

198 Catatan Pinggir 8


API

mengibaratkan ibadah sebagai nyiur dan syariat sebagai hanya


kulitnya:

Kulit-nya itu ibarat shari’at


Tempurung-nya itu ibarat tarikat
Isi-nya itu ibarat hakikat
Minyak-nya itu ibarat ma’rifat

Dalam Serat Kandha tampak bahwa para wali lebih tertarik


de­ngan bagian ”kulit” itu. Mereka lebih merepotkan ”ketertib­an
sosial” dan ”lembaga”, yang tentu saja hanya bisa ditegakkan de-
ngan ”Hukum”. Hukum berarti kekuasaan; tak mengheran­kan
bila para wali beraliansi dengan Raja.
Namun pada akhirnya apa arti kekuasaan? Apa keberhasil­
an tindakan para penjaga ”ketertiban” dan ”lembaga sosial dan
agama” itu? Apa yang bisa dijangkau syariat?
Kisah Serat Kandha mengisyaratkan bahwa api—yang dapat
dipakai sebagai lambang tenaga yang terang tapi bisa bengis dan
destruktif—tak sepenuhnya berhasil membuat terang kegaiban
seorang manusia yang dengan tenang bisa menulis puisi di te­
ngah­ panasnya latu. Unggun yang bernyala-­nyala itu tak dapat
membersihkan ruang hidup dari mereka yang dianggap ”ganjil”:­
seorang pangeran yang menampik dunia dan mengelakkan atur­
an agama dan sepasang anjing yang dianggap najis. Pembakaran
itu tak dapat menjadikan yang lain, yang berbeda, jadi rata, tak
bisa dibedakan dari semesta arang dan abu.
Bahkan dari sana lahir buku puisi. Pangeran itu tak pernah
takluk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Jika engkau tak mengenali Tuhan,” kata Al-Hallaj menurut­


Kitab Al-Tawasin, ”setidaknya kau kenali tanda-Nya. Akulah
tan­­da itu.” Lalu orang alim yang dihukum mati para ulama dan
pe­­ngu­asa di Bagdad pada tahun 922 itu pun menyatakan: ”Dan

Catatan Pinggir 8 199


API

aku, meskipun dibunuh dan disalibkan, dan meskipun­tanganku


dan kakiku dipotong—aku tak mencabut kata-kataku.”
Api dan pembersihan: semua itu akhirnya hanya tanda kepo­
ngahan dan ketak-sabaran yang sia-sia. Menarik bahwa dalam
syair Melayu yang dikutip di atas, lambang bagi tingkat terting-
gi penghayatan manusia tentang keilahian (”makrifat”) adalah
”minyak”, sesuatu yang terletak di lapis daging nyiur dan nyaris
tak tampak. Minyak kelapa tak berkobar-kobar. Sebagai sesuatu
yang cair, ia menyesuaikan diri. Ia juga memberi: ia beri kita rasa
lezat dan gizi, ia bisa menyembuhkan, dan ia dapat jadi sumber
pelita—sebuah cahaya yang tak berpretensi bisa menaklukkan
gelap.

Tempo, 28 Mei 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

200 Catatan Pinggir 8


AMSTERDAM

A
MSTERDAM: di antara lorong berliku di sekitar kanal-
kanal itu, sebuah sudut memajang pelacur satu-satu di
etalase-etalase sempit, perempuan-perempuan muda
yang duduk atau berdiri seperti boneka toko pakaian dengan ku-
tang terus-terang dan rok minimal. Mereka menanti pelanggan
di bawah lampu merah yang redup. Sebagian dengan paras pu-
tus asa.
Amsterdam tak mengutuk Rossen Buurt, wilayah lampu me­
rah yang berkaitan dengan zina itu. Sejak 500 tahun yang lalu
para lelaki (mula-mula para kelasi) dari pelbagai bangsa datang
me­lepas syahwatnya di bandar ini. Kini tempat itu bahkan tam-
pak lumrah. Terletak tak sampai sekilometer dari Istana Ratu,
Rossen Buurt juga menderetkan toko video porno dan pertunjuk­
an cabul, di antara warung pizza dan kedai kopi, bar dengan iklan
bir, teater homoseksual dan hotel pas-pasan—sebuah tanda bah-
wa pada akhirnya dosa (bukan persoalan baru) bukanlah urusan
kantor wali kota.
Dari jembatan yang menyeberangi salah satu kanal di sisi lama
kota itu tampak Oude Kerk, ”Gereja Tua”, seperti hantu Gothis.
Di­bangun pada abad ke-13, ia kini bukan lagi tempat ibadah, tapi
ruang konser dan pameran tahunan World Press Photo: ia juga
sak­si bahwa kota ini, dengan agama atau bukan, akhirnya tak
dapat memusnahkan kecabulan. Amsterdam bahkan memanfa­
at­kannya, memasarkannya atau memajak hasilnya. Pada akhir­
nya,­ yang karnal dalam tubuh tak dapat diringkus sepenuhnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

oleh yang rohani. Amsterdam adalah sebuah pengakuan, bahwa


manusia memang gampang salah sangka tentang dirinya sendiri.
Pernah ada semangat yang meluap-luap dari Zaman Reforma­
si. Juga waswas dan ketaksabaran. Pada abad ke-16 itu Ams­terdam

Catatan Pinggir 8 201


AMSTERDAM

dikuasai kaum borjuis yang membawa kapitalisme dan kemak-


muran. Tapi juga sikap cemas. Apa boleh buat: di sini orang hi­
dup­di tanah yang lebih rendah ketimbang permukaan air laut,
selalu merasa laknat Tuhan akan datang dalam bentuk air bah—
sebuah perasaan yang kian akut ketika mereka ber­ada dalam ge-
limang kekayaan. ”Geografi moral” orang Belanda, tulis Simon
Schama dalam The Embarrassment of Riches, sebuah sejarah nege­
ri itu di masa keemasannya pada abad ke-17, ”terapung-apung an-
tara takut dilanda banjir­dan harapan­akan penyelamatan moral,­
antara pemenuhan selera dan peng­ingkar­annya, antara ambisi
ke­duniawian dan kesahajaan­hi­dup­rumah tangga.”
Mungkin itu sebabnya ajaran Calvin diterima dengan mudah.
Pada pertengahan abad ke-17, Spinoza (ia kelahiran Ams­ter­dam)
menyamakan orang-orang Calvinis dengan kaum Fa­risyi dalam
sejarah Bani Israel: seperti mereka, orang-orang­ Farisyi mende-
sakkan sikap taat kepada kemurnian ajaran.­ Mereka ingin agar
ukur­an hukum Tuhan dipakai buat kekuasa­an politik. Mereka
cemas akan nasib dan fiil manusia.­Tapi tak urung, seperti dike-
cam Yesus, mereka bermuka dua. Ketika kemurnian tak pernah
akan tercapai tapi tak henti-hentinya dituntut, hipokrisi pun tak
dapat dielakkan.
Amsterdam akhirnya tahu: mustahil untuk habis-habisan me­
nuntut kemurnian. Tiap ruang kota, seperti kata Lefebvre, terdiri
atas scene dan obscene: ada kebersihan, kerapian, keagungan yang
dipertontonkan, tapi ada juga kejorokan yang aib. Amsterdam
adalah sebuah pragmatisme: ia mengelola yang tak murni, yang
aib, sebagai sesuatu yang beda dan siapa tahu berguna.
Yang beda memang pernah dianggap dosa, terutama ketika
http://facebook.com/indonesiapustaka

kekuasaan sebuah negeri membiarkan diri berilusi bahwa rah-


mat Tuhan akan datang bila penghuninya bergabung dalam satu
iman yang ”benar”.
Di Eropa, ilusi ”satu-iman” itu dimulai pada abad ke-16. Wak-

202 Catatan Pinggir 8


AMSTERDAM

tu itu Imperium Suci Romawi dan ideologinya rontok.­Benua itu


terpecah-pecah, pertumpahan darah antara pen­dukung­ Gereja
Katolik dan para penganut Protestantisme berkecamuk. Dari re-
takan itu beragam negara-bangsa, bahkan­kekuasaan kota yang
tersendiri, tumbuh. Dalam wilayah po­litik­yang lebih ciut itu ter-
bit anggapan bahwa sebuah negeri dan masyarakatnya dapat di-
satu-padukan dengan mudah—seperti yang kini mungkin di-
sangka para pembuat peraturan daerah di Indonesia pada masa
desentralisasi.
Demikianlah di Prancis semboyan yang diteriakkan (tentu­
saja oleh penganut agama mayoritas, orang Katolik) adalah ”une
loi, un roi, une foi”. Kaum Protestan (”Huguenot”) tak dianggap
bisa bergabung dalam asas ”satu hukum, satu raja, satu iman”
itu. Di Jenewa pada abad ke-16 Calvin menjalankan ide kesatuan
yang paralel: di kota Protestan ini menjadi Katolik ber­arti harus
dihukum mati, dan pada 1542-64 tercatat 58 orang dieksekusi
karena itu.
Jenewa bahkan membinasakan kebhinekaannya sendiri de-
ngan lebih galak. Di kota yang berpenduduk 10.000 jiwa itu se-
lusin sesepuh warga dan selusin pastor memantau dengan sak­sa­
ma perilaku para penghuni. Kota itu merumuskan diri dengan
larangan. Berjudi, main kartu, mabuk-mabukan, dan mengucap­
kan sumpah-serapah tentu saja diharamkan, tapi juga menari,
me­nyanyi, membuat lukisan, patung, mementaskan dan menon-
ton teater. Memakai pakaian yang dianggap ”tak senonoh”, ter-
masuk memakai permata dan gincu, berarti melanggar aturan.
Para pezina harus dihukum mati.
Sejarah kemudian menunjukkan bahwa Jenewa, sebagai­mana
http://facebook.com/indonesiapustaka

Calvinisme, berubah. Kota itu tetap membosankan, tapi setidak­


nya lebih rendah hati: ternyata ia tak bisa mengikuti model ”kota
Tuhan”, ternyata hidup bukan sebuah biara, tapi sebuah pasar
malam.

Catatan Pinggir 8 203


AMSTERDAM

Amsterdam merayakan pasar malam itu dengan lebih riuh.


Bukan hanya dengan seks di sudut Rossen Buurt, tapi juga de-
ngan konser dan teater, museum sejarah dan seni rupa, buku sas-
tra dan penemuan ilmu, percakapan filsafat dan agama, olahraga
dan minum-minum—pendeknya, dengan jadi sebuah kota yang
biasa dalam sukacita dan kebosanan, iman dan godaan, ambisi
dan rasa syukur. Dalam pasar malam itu, ia kota yang tak gentar
menerima manusia.

Tempo, 4 Juni 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

204 Catatan Pinggir 8


KONSENSUS

Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grond­slag,­men-


cari satu ”Weltanschauung” yang kita semua setujui.... Yang Saudara Yamin
se­tujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanusi
se­tujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen Hian setu-
jui....
—Bung Karno, 1 Juni 1945

S
UARANYA bergelora. Tapi di sana-sini terasa pidato
Bung Karno di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
itu menutupi sebuah rasa cemas.
Ia mencoba menenteramkan rekan-rekannya yang ”gentar-
ha­ti”. Ia sendiri mungkin juga dicekam demam panggung: se-
buah republik sedang akan lahir, sebuah bangsa sedang meng­
artikulasikan diri.... Mampukah ia bertahan?
Tak mengherankan bila pidato hari itu—diucapkan tanpa
teks yang dipersiapkan—berulang-ulang bicara tentang dua hal.
Yang pertama kemerdekaan. Yang kedua persatuan.
Tapi bila yang pertama telah jadi sebuah keputusan, yang ke­
dua­masih satu persoalan genting. Bila yang pertama dapat diper-
siapkan—dan mereka yang duduk di ”Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan” itu memang tengah mempersiapkan-
nya—maka yang kedua masih harus diteguhkan.
Itulah sebabnya Bung Karno menyebut perlunya mencari­satu
pandangan hidup atau filsafat, Weltanschauung, yang ”kita semua
setujui”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada yang sebenarnya belum terjawab: benarkah diperlukan


satu philosophische grondslag atau ”dasar filsafat” agar sebuah
bang­­sa bisa bersatu? Pada tahun 1945 itu, jawabannya adalah ”ya”.­
Ber­beda dengan sekarang, pada masa itu ”narasi besar”, kata la­in

Catatan Pinggir 8 205


KONSENSUS

dari ”dasar filsafat” dan Weltanschauung—Naziisme, Fascis­me,­


dan Marxisme—memang masih bertiup kuat. ”Kita melihat,”­
kata Bung Karno, ”dalam dunia ini, bahwa banyak­negeri-negeri
yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri­yang merdeka
itu berdiri di atas suatu Weltanschauung.”
Tentu tak 100 persen benar. Banyak negeri yang berdiri tanpa­
satu rumusan ideologis, namun tetap tak terpecah-pecah, seperti
Meksiko dan Brasil. Dengan kata lain, tak ada hubungan kodra-
ti antara persatuan dan ideologi—sesuatu yang ditegaskan oleh
perkembangan kemudian, ketika ”narasi besar” akhirnya hanya­
kotak kosong, ketika Fascisme runtuh, Naziisme habis, dan
Marxisme-Leninisme gagal.
Juga belum terjawab: apa arti kata-kata Bung Karno, ”kita
semua setuju”? Siapakah kita?
Kita sebenarnya sesuatu yang tak ada sebelumnya. Kita juga
sesuatu yang mustahil untuk ”jadi” selama-lamanya. Kecende­
rung­an ”saling memahami” tak dapat dianggap sudah hadir­ter-
lebih dahulu dalam diri pihak-pihak yang berhubung­an—dan
dalam hal ini agaknya pandangan ala Habermas tak tepat­keti-
ka ia meniscayakan konsensus. Konsensus selalu punya dimensi
politik; sebuah kebersamaan selalu terbangun dari hubungan-
hubungan kekuasaan. Proses politik tak dapat dielakkan, bahkan
ia menampakkan diri, seperti kata Rancière, ”persis ketika ter-
bukti palsu asumsi bahwa komunitas sudah ada, dan bahwa tiap
orang sudah termasuk di dalamnya”.
Dengan kata lain, sebuah komunitas baru terbentuk dan ber-
suara ketika satu elemen membuat dirinya jadi wakil dari ”tiap
orang” dan jadi juru bicara kebersamaan. Dalam proses itu, selalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

ada ketimpangan posisi. Mereka yang menjelang Juni 1945 itu di-
undang dan hadir dalam sidang-sidang persiap­an kemerdekaan
itu (yang ditunjuk oleh administrasi penduduk­an Jepang) me-
letakkan diri sebagai wakil bangsa Indonesia seluruhnya. Tapi

206 Catatan Pinggir 8


KONSENSUS

benarkah? Apa ukurannya? Kenapa dalam daftar peserta itu tak


ada, misalnya, seorang komunis pun?
Tak berarti mereka yang tak hadir dengan sendirinya tak di-
wakili suaranya. Tak berarti sebuah hubungan selamanya­diben-
tuk oleh perbedaan yang antagonistis. Tapi dengan demikian di-
perlukan satu kondisi untuk membangun momen ketika kita ter-
jadi dan setuju tercapai: di arena itu, suara-suara yang berembuk
dan bergulat dalam usaha mencapai hegemoni (dalam penger-
tian Gramsci), mau tak mau harus bergerak dari pandangan yang
partikular (”sempit”) ke arah yang umum, dari sebuah identitas
yang tertutup jadi elemen sebuah keseluruhan. Bila tidak, mereka
akan gagal dan terpinggirkan.
Dengan kata lain, mereka harus merumuskan segi pandang
dan kepentingan masing-masing dengan membuka diri ke arah
sebuah acuan yang universal.
Pancasila adalah artikulasi dari acuan yang universal itu. Jus-
tru sebab itu ia tak merupakan sebuah filsafat yang sistematik dan
mendetail. Bung Karno tepat ketika ia menolak merumuskan se­
buah ”filsafat dasar” yang rinci, njlimet. ”Kalau benar semua hal
ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njlimet,” katanya, ”maka
saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka.”
Sebab itu Pancasila adalah sejumlah penanda yang terbuka­
(empty signifiers, kata Laclau): penanda yang menunjukkan bah-
wa ada hal-hal dalam hidup yang tak dapat kita rumuskan tapi
tak putus-putusnya memanggil-manggil, justru ketika kita mera-
sakan kekurangan akan hal-hal itu, misalnya ”perikemanusiaan”
atau ”keadilan”.
Di hadapan penanda yang terbuka, siapa saja dapat mencoba
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengisinya. Di hadapan empty signifiers, siapa saja dapat menco-


ba jadi pelaksananya. Tentu ia harus mencapai posisi hegemonik.
Tapi sejarah menunjukkan, tak ada yang selama-lamanya berada
dalam posisi hegemonik. Tak ada yang dapat terus-menerus me-

Catatan Pinggir 8 207


KONSENSUS

wakili kita. Selamanya kita hanya sebuah momen, yang guman-


tung, contingent, pada suatu masa, di suatu tempat, dan genting.
Tapi berkat yang universal, yang disebut dalam sederet pe­
nanda­ yang terbuka seperti Pancasila, kita bukan sesuatu yang
mustahil, meskipun tak dengan sendirinya mungkin. Sebab itu
manusia bersyukur justru dengan berendah-hati.

Tempo, 11 Juni 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

208 Catatan Pinggir 8


UNIVERSAL

”Tegakkan Islam yang ramah”


—sebuah poster di Jakarta, Juni 2006

T
IAP kali kata ”Islam” disebut, tiap kali pula terbit ke­ti­
dak­­pastian.
Tuan mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan­
salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadan, membayar zakat­
secara patut, dan naik haji pula, tapi selalu ada kemungkin­an tu­
an akan disebut ”tidak Islami”. Sebab tak pernah jelas siapa yang
se­benarnya berhak memasang atau mencopot label ”Islam” sese­
orang. Gus Dur memandang diri ”muslim” dan dipandang de­
mikian oleh jutaan orang, tapi dapat saja ia di­anggap­”kafir” atau
”Abu Lahab” oleh mereka yang menyebut diri ”pembela Islam”.
Yang sering tak disadari ialah bahwa itu justru menunjukkan
betapa guyahnya sebutan ”Islam”.
Identitas memang sesuatu yang penuh problem. Ketika­ se-
buah identitas diberi nama dan masuk ke bahasa—dan umum­
nya­­ demikian—kita memasuki risiko: selalu ada yang hilang
da­lam bahasa. Bahasa bukanlah cermin yang jernih. Tak se­pe­
nuhnya yang bergejolak dalam kehidupan bisa direpre­sen­tasi­
kannya.
Sebab itu identitas selalu berakhir dengan kegagapan. Ia tak
pernah tuntas. Ketika Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945
meng­uraikan argumennya tentang Pancasila, ia menyebut kata
”pihak Islam”. Apa gerangan artinya? Pada saat itu, dalam kon-
http://facebook.com/indonesiapustaka

teks ketika ia diucapkan di depan para anggota Dokuritsu Zyunbi


Tyoosakai itu, arti kata itu dianggap sudah jelas. Tapi mungkin ti-
dak. Yang pasti, label ”pihak Islam” dipakai hanya untuk membe-
dakan ”Islam” dari ”kebangsaan”: label adalah sebuah alat yang

Catatan Pinggir 8 209


UNIVERSAL

praktis.
Tentu saja ada yang tak stabil di situ. Seandainya dilepaskan
dari konteks hari itu, yang ”Islam” niscaya berarti mereka yang
tak menganut paham ”kebangsaan”, dan yang menganut paham
”kebangsaan” niscaya bukan ”Islam”. Betapa menyesatkan pe-
maknaan itu. Bung Karno mengatakan bahwa ia ”orang Islam”.
Ia menegaskan, meskipun Islamnya ”jauh belum sempurna”, da­
lam dadanya ada ”hati Islam”. Tapi adakah Bung Karno pernah
di­sebut mewakili ”pihak Islam”? Tidak.
Dari ketidakstabilan makna itu tampak, ”pihak Islam” tak
per­sis berarti ”kalangan yang beragama Islam”. Di sini ”Islam”
ada­lah sebuah identitas yang bergantung pada konteks: waktu,
tempat, dengan apa ia dibandingkan, kepada siapa kita bicara....
Kebanyakan kita lupa akan hal itu. Persoalan politik di Indo-
nesia bermula ketika identitas sosial diperlakukan sebagai sesu­
atu yang final dan kekal. Perbedaan tak hanya diduga-duga; ia
di­rumuskan. Administrasi negara—yang ingin segala hal rapi
dan gampang dipakai—merumuskan identitas-identitas, me-
letakkan mereka pada peta, seraya membangun kotak yang tegas.
Para birokrat ingin membuat klasifikasi sebagai sarana memper-
mudah kontrol. Para pekerja media dan pakar ilmu politik ingin
membuat perbedaan gampang dilihat dan dimengerti.
Pada giliranya, identitas sosial dianggap tertutup. Ketika ter-
kait dengan agama, bahkan ia jadi seakan-akan yang-tak-terce­
mar. Tampaknya ada anggapan bahwa karena agama datang
da­ri Tuhan, otomatis agama akan membentuk satu umat—se-
buah iden­titas sosial—yang 100% cocok dengan bentuk idealnya
sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja itu hanya sebuah keinginan. Sejak dulu kata ”Is-
lam”, ”Kristen”, ”Buddha”, atau ”Hindu” menandai himpunan
ma­nusia yang tak pernah berhenti menanti keselamatan, tak per-
nah berhenti mengutuk godaan. Sejak dulu kelompok-kelompok

210 Catatan Pinggir 8


UNIVERSAL

agama merasa tak pernah bebas dari cemar; dengan kata lain,
mereka retak dalam diri mereka sendiri.
Tapi hidup manusia dibangun dari yang retak dan yang ku­
rang. Sebab itu surga dianggap sebagai janji. Sebab itu sejarah ber­
gerak karena manusia ingin membuat yang kurang jadi penuh.
Si­apa pun, juga ”pihak Islam”, tak bisa mengelakkan keadaan be­
lum­-penuh itu. Ia mau tak mau harus mengakui keterbatasan
dan­ketidak-kekalan dirinya.
Tentu, masing-masing ”pihak” merasa diri punya kelebih­an.
Tapi mustahil ia bisa berasumsi bahwa ”pihak” lain serta-merta
mengakui itu.
Sebuah ”pihak” terjadi justru karena dua sisi yang bertentang­
an. Di satu sisi, dengan identitasnya kelompok sosial ”A” hadir
ber­beda. Tapi di sisi lain, sebagai satu identitas di tengah iden-
titas lain di bangunan bersama (”Indonesia”), ia tak berbeda: ia
tak lebih rendah dan tak lebih tinggi. Posisinya hanya sebagai ”A”
yang bukan ”B”, seperti halnya ”B” ada di sana seba­gai bukan ”A”.
Keduanya setara: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Pada suatu saat ia bisa mempunyai hegemoni dalam kebersa­
ma­­an itu, tapi hegemoni itu bukan haknya yang asasi. Itu sebab-
nya, seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Panca­
sila, ”pihak Islam” perlu menerima demokrasi: ”prinsip­ permu­
sya­waratan, perwakilan”. ”Pihak Islam” juga harus­”bekerja­seke­
ras-kerasnya”, untuk ”mengerahkan sebanyak mungkin utus­an-
utus­an Islam ke dalam badan perwakilan....”
Dalam usaha itu, jelas ia tak dapat terus-menerus menegaskan
diri sebagai ”lain dari yang lain”. Ia bukan makhluk yang ganjil
hanya karena harus berbeda dari yang ”Barat”. Ia juga tak dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

se­lamanya merumuskan diri secara antagonistis. Jika ia tak ingin


tetap berada di pinggiran, ia perlu ”ramah”. Ia perlu­meng-univer-
sal-kan apa yang partikular dalam dirinya. Ia tak akan selamanya
membangun tembok, menghunus tombak dan menggertak, me-

Catatan Pinggir 8 211


UNIVERSAL

nepuk dada, ”Inilah Islam!” Ia justru akan menunjukkan, Islam


adalah rahmat bagi seluruh alam....
Pada saat seperti itu, pada saat sebuah ”pihak” membuka diri
ke dalam yang universal, momen ethis pun muncul dalam poli-
tik. Saya ingat seorang tokoh politik Thailand—ia seorang mus-
lim yang berhasil menduduki sebuah jabatan kabinet di nege­
ri­ orang-orang Buddha itu—yang gemar mengutip sajak John
Donne yang terkenal: ”No man is an island....”
Juga di Republik ini: tak seorang pun bersendiri seperti pulau
yang bersendiri.

Tempo, 18 Juni 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

212 Catatan Pinggir 8


BUKAN

I
NDONESIA dimulai dengan sebuah kekosongan. Indone-
sia dimulai dengan kata ”bukan”.
Yang terjadi menjelang pagi hari 17 Agustus 1945 itu adalah
sebuah dislokasi. Tiba-tiba terjerembaplah gambaran tentang
se­buah kebersamaan (lebih sering disebut sebuah ”negeri” atau
”bangsa”) yang selama puluhan tahun dihadirkan ke orang ra-
mai: gambaran yang dibentuk dan dirawat kolonialisme. Dengan
gampang daulat Belanda runtuh oleh serbuan Jepang, dan Jepang
pun berkuasa. Tapi tiba-tiba Jepang kalah. Tiba-tiba menga­nga
sebuah kekosongan.
Orang pun cemas, berharap, berhasrat, bersemangat meski­
pun­­gugup—dan di Jakarta, pagi itu, mereka berduyun-duyun­
datang ke Lapangan Ikada, saling merapat. Di sana Bung­Karno­
dan Bung Hatta—atas nama ”bangsa Indonesia”­—membaca se-
buah teks pendek yang ditulis tangan, dengan coretan di sana-si-
ni, menyatakan ”kemerdekaan Indonesia...”.
”Indonesia”: sebenarnya tak jelas betul apa arti kata ini. Nama
itu pada tahun 1925 dipakai buat pertama kalinya oleh sejumlah
pe­­muda yang tak sabar hidup di bawah kolonialisme; kemudian
ia dikukuhkan kembali pada tahun 1928 dengan sebuah maklu­
mat yang disebut ”Sumpah Pemuda”. Tapi waktu­itu ”Indonesia”­
se­bagai satuan geografis sebenarnya belum di­sepakati. Belum di­
definisikan juga apa yang membuat sese­orang bisa disebut anggo­
ta ”bangsa Indonesia”.
Baru menjelang Juni 1945 perumusan itu dicoba dibuat de-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan cara yang lebih ”resmi”. Tempatnya: di sebuah gedung di


da­erah Menteng di Jakarta, ketika sebuah panitia yang bertugas
me­nyiapkan kemerdekaan Indonesia berembuk.
Kita tahu panitia itu tak mewakili secara pas semua kalang­an.

Catatan Pinggir 8 213


BUKAN

Kita juga tahu tiap perumusan bersifat terbatas. Tiap perumus­


an hanyalah sebuah ikhtiar yang selamanya tak memadai untuk
mendefinisikan apa yang terkandung dalam sebuah nama.
Tapi apa yang terkandung dalam sebuah nama? Bertahun-
ta­hun­lamanya orang sebenarnya bertumpu pada kata ”bukan”.
Meskipun demikian, dengan itu sebuah ketidakjelasan ternyata­
berarti. ”Indonesia” bukan-lah koloni Hindia Belanda.­”Indone­
sia” bukan-lah jajahan Jepang. Dari sinilah ter­dengar­ pekik
”Merdeka!”.
Mungkin ada benarnya Carl Schmitt: semua konsep, citra,­
dan istilah politik mengandung makna polemis. Kata ”keda­u­lat­
an”, ya, kata ”kemerdekaan Indonesia”, tak akan dapat dimenger-
ti apabila orang tak tahu apa yang ditentang, dilawan, atau di­
tam­pik dengan kata itu. Politik, dalam arti yang luas, adalah
pro­ses pembentukan antagonisme—munculnya ”lawan” dan
”kawan”—melalui aksi dan retorika.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, pada pagi hari 17
Agustus 1945 itu Indonesia adalah sebuah hasil antagonisme.
Saya sebut di atas, ia dimulai dengan ”bukan”.
Tentu saja tak berarti bahwa setelah 17 Agustus 1945 tak ada
la­­gi cerita tentang ”bukan”. Politik tak berhenti. Kebersama­an­­
tak­pernah bisa penuh; masyarakat mustahil bisa bertaut seperti­
bu­luh dengan ruas. Kata ”bukan” membentuk retorika.­ Ada
yang merumuskan Indonesia bukan sebuah negeri kapi­talis­—
dan me­re­ka menghasratkan sosialisme atau komunisme. Ada
yang meng­anggap Indonesia bukan negeri sekuler­— dan mere­
ka mendambakan syariat Islam diterapkan di negeri ini. Ada
yang mendefinisikan Indonesia bukan negeri Islam—dan mere­ka
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghen­daki­perlakuan yang setara bagi setiap warga negara tak


pe­duli apa agama dan kepercayaannya.
Sejarah mencatat, di antara pelbagai bukan itu antagonisme
berlangsung. Acap kali berdarah. Gerakan ”Darul Islam” yang

214 Catatan Pinggir 8


BUKAN

ingin Indonesia jadi ”Negara Islam” berkecamuk sejak tahun-ta-


hun awal republik ini dalam bentuk perang gerilya yang buas.
Pedalaman Jawa Barat jadi ajang perang, pembunuhan, perusak­
an selama sekitar 20 tahun. Puisi Ramadhan K.H. yang terkenal,
Priangan Si Jelita, memanggil wilayah ini dengan kesedihan.
Yang muram tak berhenti di situ. Pada tahun 1965, mereka­
yang mendambakan Indonesia jadi negeri komunis tampil de-
ngan gegap gempita, dan PKI jadi partai komunis terbesar No. 3
di dunia setelah Uni Soviet dan RRC. Tak ayal, mereka yang di-
anggapnya sebagai ”lawan” pun ketakutan. Kekerasan menunggu­
di ambang pintu—dan itulah yang kemudian terjadi: pembu­
nuh­an besar-besaran, pembungkaman yang me­luas,­ dan ketika
tentara—yang menghendaki Indonesia bukan ”Negara Islam”
dan bukan ”negara komunis”—berkuasa, kekerasan tak berhenti.
Mungkin persoalannya dimulai ketika orang lupa, bahwa In-
donesia dimulai dengan sebuah kekosongan. Tak ada yang kekal
dan niscaya harus berkuasa mengisi kekosongan itu.
Kekosongan memang bisa membuat cemas. Tapi justru de-
ngan itu tampak ada sesuatu dalam kehidupan bersama yang me­
mungkinkan kita untuk mengisinya. Dengan catatan: ke­kuatan
politik mana pun akan mustahil mampu mengisinya­ penuh—
sebab selalu akan ada selisih, bak kata pepatah, ”tak ada gading
yang tak retak”. Kekosongan dan keretakan adalah isyarat yang
menjanjikan kemungkinan tapi sekaligus juga kemustahilan.
Pengalaman sejarah Indonesia yang tragis tapi berharga ada­
lah tentang itu—pengalaman tentang kemustahilan: tiap rezim
mencoba merumuskan secara final apa itu ”Indonesia”, tapi tak
berhasil.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itu sebabnya demokrasi di negeri ini jadi penting. Saya ingat


satu kalimat Claude Lefort: ”demokrasi dilembagakan dan dilan-
jutkan oleh luruhnya rambu-rambu kepastian”.
Demokrasi memang dimulai dengan pengakuan tentang tak

Catatan Pinggir 8 215


BUKAN

adanya kepastian: sebuah retak yang justru membentuk dirinya.


Maka sosialisme yang mengklaim diri ”ilmiah”—dan mengira
dapat menegakkan rambu-rambu yang pasti—akan menampik
demokrasi dan kemustahilan. Begitu pula doktrin agama yang
menggerakkan politik, yang merasa mutlak dan kekal untuk
membangun ”negeri Tuhan” di bumi, akan menolak demokrasi
dan cacat manusia.
Kedua-duanya sejenis ketakaburan, langkah pertama ke pem-
binasaan.

Tempo, 25 Juni 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

216 Catatan Pinggir 8


BENCANA

B
ANJIR menghancurkan dusun-dusun, gunung memun­
tah­kan lahar yang meringsek dan membunuh, gempa­me­
remukkan kota, tsunami meluluh-lantakkan wilayah....
Begitu banyak orang mati, begitu luas kesengsaraan. Ketika­
semua ini terjadi di sebuah masa yang dikerumuni persoal­an so-
sial-politik yang belum juga terpecahkan, orang pun mencoba­
men­cari penjelasan dan kemudian merasa memperolehnya. Kare-
na tiap bencana berarti penghancuran, orang cenderung melihat
di dalamnya ada ”kekuasaan” yang berhubungan di sebuah po-
ros. Di ujung sana: kekuasaan Tuhan atau alam—daya di luar
ken­dali kita. Di ujung sini: kekuasaan manusia. Kedua­nya diper­
taut­kan seakan-akan dalam satu sistem. Atau dicocok-cocok-
kan....
Hasilnya dua macam lelucon—tapi lebih baik saya menang-
gapinya dengan serius.
Yang pertama lelucon yang sengaja bercanda. Mendengar be-
gitu banyak bencana terjadi di bawah kepresidenan Susilo­Bam-
bang Yudhoyono, seorang kemenakan yang tangkas mengirim
se­baris sandek ke telepon genggam saya: ”S-B-Y” = ”Sering Ben-
cana, Ya?” Tersirat dalam canda ini adalah kecenderungan umum
yang melihat terjadinya bencana alam terkait dengan kekuasaan
seorang presiden.
Yang kedua adalah pendapat yang lucu secara tak sengaja: ada
orang yang percaya bahwa bencana alam hanya dapat di­terang­
kan sebagai indikasi sikap Tuhan yang berkuasa di alam raya ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hadap kekuasaan yang ada dari Sabang sampai Merauke. Di sini


pun tampak kembali kecenderungan yang saya sebut tadi: ben-
cana alam yang tak dapat diramalkan itu dianggap sebagai isyarat
ada yang salah dalam kekuasaan manusia.

Catatan Pinggir 8 217


BENCANA

Orang-orang yang menganut penjelasan itu mungkin me­ngi­


ra­ mereka punya pandangan kosmis tentang hal-ihwal. Mereka
tak menyadari—dan sebab itu menggelikan—bahwa­pandangan
”kosmis” itu ternyata sempit. Kompleksitas kehidupan, yang ma-
kin rumit oleh hal yang tak terduga-duga, telah mereka ringkus-
dan-ringkas dan dilihat hanya sebagai akibat kekuasaan di satu
poros.
Tapi memang tak gampang menghindari kecenderungan itu.
Imajinasi tentang poros kekuasaan itu telah lama mengen­dap di
kepala manusia. Raja disebut ”Gusti” sebagaimana Tuhan dise-
but ”Gusti”. Yang bertakhta pun memakai nama ”Amangkurat”,
”Mangkubumi”, ”Hamengku Buwono”, ”Paku Alam”, ”Paku
Buwono”, ”Cakraningrat”, dan lain-lain: sebuah sugesti bahwa
ada hubungan yang lempang antara kekuasaan atas planet Satur-
nus dan kekuasaan atas Kabupaten Sleman.
Imajinasi itu tak hanya terdapat di Jawa, Madura, atau Bali.
Di mana-mana, kerajaan—sebuah tata duniawi—sering diang-
gap sebagai representasi (atau bayangan) tata kosmis. ”Tuhan di
la­ngit­di atas segalanya, ”begitu tertera dalam satu maklumat Mo­
ngo­lia, ”... di bumi ini Jengis Khan-lah satu-satunya Baginda.”
Di Eropa, jauh dari Mongolia, Eusebius dari Caesarea mem-
bayangkan poros yang mirip: baginya, daulat Raja Kons­tantin
adalah semacam stand-in monarki surga, dan pax Romana adalah
kekuasaan yang menyiapkan kerajaan Tuhan. Gambaran ini ber-
lanjut sampai awal zaman modern Eropa, sebagaimana diurai-
kan Ernst Kantorowicz dalam The King’s Two Bodies: raja seakan-
akan punya dua tubuh; ia diperlakukan sebagai pribadi yang fana
tapi juga penguasa yang kekal dan supernatural.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kemudian revolusi terjadi. Di Inggris dan di Prancis kepala


raja dipenggal di depan orang ramai. Tubuhnya terpotong—se­
akan-akan dicopot pula bagian yang melambangkan sisinya yang
abadi. Demokrasi lahir. Di Amerika Serikat sistem ini dikukuh­

218 Catatan Pinggir 8


BENCANA

kan Lincoln dengan kalimat yang termasyhur: ”pe­merin­tahan


dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
Sejak itu penguasa yang mana pun kehilangan keniscayaan
dan kekekalan. Sejak itu praktis siapa saja punya kemungkinan
berada di takhta, dan tentu saja tak dengan sendirinya dan tak
untuk selama-lamanya.
Tapi tak berarti imaji tentang poros kekuasaan tak meng­
ambil bentuk yang lain. Ia bahkan masih menampakkan jejak­
yang-transendental, yang melampaui yang-sementara dan­ se-
tempat. Kata ”rakyat” sendiri bergerak maknanya; terkadang be-
rarti ”orang biasa” yang hiruk-pikuk dan bisa salah, terkadang­
semacam kekuatan mitologis yang dahsyat dan suci, acap kali di-
tulis dengan huruf ”R”.
Namun bagaimanapun bentuknya dalam retorika, tiap poros
kekuasaan pada akhirnya patah: ia tak akan menyambung yang-
transendental dengan yang-tidak. Banjir yang menghancurkan
dusun-dusun, gunung yang memuntahkan lahar, gempa yang
meremukkan kota, tsunami yang meluluh-lantakkan wilayah—
semua itu menunjukkan ada yang tak bersambung­an: kekuasaan
yang satu (”alam” atau ”Tuhan”) lepas dari kekuasaan yang lain
(”republik”, ”negara”, juga ”rakyat”).
Juga kekuasaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat
menjelaskan sebab-musabab gempa, tapi ia tak akan dapat se­pe­
nuhnya menjelaskan kenapa si Fulan (dan bukan si Badu) yang
kebetulan berada di satu tempat tewas. Kemati­an adalah kesunyi­
an masing-masing, dan tentang itu ”rumus ilmu pasti yang penuh
janji”, seperti disebut dalam salah satu sajak Subagio Sastrowar­
dojo, berhenti.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ada le riel, kata Lacan: ada yang selalu luput dari wacana dan
tak dapat diutarakan dalam tata simbolik. Ia menghantui­kita—
misalnya ketika di depan bayi yang baru lahir kita terkesima, tak
tahu dari mana nyawa itu datang dan apa yang akan terjadi pada

Catatan Pinggir 8 219


BENCANA

si orok kelak. Atau ketika malapetaka mara begitu rupa dan kita
berseru ”Allahu Akbar!”.
Sebutlah itu rasa gentar: sebuah perasaan ketika kita tahu bah-
wa tak ada yang menyambung kekuasaan manusia dengan yang
di luarnya. Tapi bukankah itu yang menyebabkan kita—rakyat,
raja, ulama, ilmuwan—berendah-hati? Banjir yang menghancur-
kan dusun-dusun, lahar yang mengancam dari Merapi.... Aneh
atau tidak, dari bencana kita bisa kembali berpikir tentang keber-
samaan dan demokrasi.

Tempo, 2 Juli 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

220 Catatan Pinggir 8


GAZA

P
” ALESTINA”: mungkin ini sepatah kata dengan gema
ke­hilangan, dan jadi penting justru karena kehilangan,
pada zaman ini. Ketika tank-tank Merkava Israel mema-
suki wilayah Gaza pada akhir Juni 2006, dunia mendengar gema
kata itu kembali, dengan rasa ngilu. ”Lihat,” Israel yang menyerbu­
itu seakan-akan menegaskan, ”orang Palestina boleh merasa pu­
nya­pemerintahan dan negara tersendiri, tapi itu hanya fiksi!”
Mungkin Mahmoud Darwish juga yang benar. Penyair Pa­
les­­tina itu menulis baris ini dalam sajaknya: ”Kami bepergian se-
perti orang lain, tapi pulang ke sebuah tempat yang tak ada”. Di
situ seperti terungkap rasa sedih yang ditelan: tempat yang tak
ada itu justru begitu berarti—tempat yang tak hadir tapi diben-
tangkan tiap hari:

Kami punya sebuah negeri kata-kata. Bicaralah, bicaralah


Agar kubuka jalanku, di batu sebuah batu

Yang menyedihkan tentang Palestina ialah bahwa sebenar­nya


ia seperti bangsa lain, juga seperti bangsa Israel: ia dimulai­dengan
kata, ditegakkan dengan bicara, ketika ada yang di­renggutkan
dari diri. Nasionalisme tumbuh dengan retorika tentang sebuah
subyek yang kehilangan. Tapi tak banyak bangsa yang sampai di
abad ke-21 ini masih terus seperti yang tampak di kamp peng­
ungsi Jabalaya itu, juga agak jauh di sebelah selatan: orang Pales-
tina menyiapkan barikade, mempersenjatai diri dengan granat,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mortir, AK-47, dan sabuk berisi peledak, seraya tahu mereka akan
kalah. Pesawat-pesawat tempur jet F-16 Israel mengaum di langit,
dan orang-orang itu hanya bisa mengatakan, ”Kami punya tubuh
yang bisa meledak.”

Catatan Pinggir 8 221


GAZA

Tubuh yang bisa meledak.... Palestina bukan hanya ”tanah


tumpah darah” dalam arti yang harfiah, tapi juga sebuah komu-
nitas yang dianggit dari rasa sakit dan terus-menerus dipenggal.
Kita tak tahu sampai kapan, tapi kita tahu justru sebab itu Pa­
les­tina akan selalu hidup sebagai hasrat. Atau ia mengimbau­se-
perti sebuah cakrawala: tiap kali didekati ia menjauh, namun di
sanalah arah ditetapkan. Matahari terbit dan tenggelam dan ter-
bit lagi, tapi repetisi itu tak terasa rutin, sebab tiap menit, tiap jam,
dan tiap hari Palestina selalu berisi ketegangan: antara­ amarah­
dan cita-cita, kemungkinan dan kematian, ketergusur­an dan ke­
pahlawanan, nostalgia dan sulitnya harapan.
Dalam ketegangan itulah ”Palestina” diucapkan dan Palestina­
berdiri, dengan sosok yang tak selalu serupa dengan retorika dan
panji-panji yang berubah-ubah; dulu pernah Marxis, pernah na-
sionalis, dan kini Islamis. ”Bicaralah, bicaralah,” kata sajak Dar-
wish itu, ”agar kubuka jalanku, di batu sebuah batu.”
Palestina mungkin kini satu-satunya bangsa yang menuntut­
untuk selalu diutarakan, sebab ia dibatasi bukan oleh sebuah wi­
layah, tapi oleh sebuah paradoks: ia dibentuk oleh rasa penuh,
bah­kan meluap-luap, dalam kekosongan.
Fiksikah ia? Jawabnya dapat diambil dari sejarah nasional­isme
umumnya: kita ingat Bennedict Anderson menyebut bang­sa se-
bagai sebuah imagined community, dan kita tahu setiap gagas­an
”persatuan” atau ”kerukunan” nasional selalu me­ngandung ”bu­
ah rindu” (untuk memakai kiasan penyair Amir Hamzah) yang
masak dan jadi imajinasi, bahkan fantasi, yang lahir dari hasrat
yang terpotong. Tapi tak hanya itu. Tak kalah penting buat dise-
butkan ialah bahwa biarpun ”fiksi”, ia efektif untuk mengatur
http://facebook.com/indonesiapustaka

hu­bungan sosial sehari-hari, antara petani di Gaza dan guru di


Tepi Barat, antara padri di Bethlehem dan penjual piring porse-
lin di Yerusalem. Ia juga ”fiksi” yang bisa membedakan, sering de-
ngan darah dan besi, antara si Palestina dan si Israel.

222 Catatan Pinggir 8


GAZA

Sebab ia bisa merasuk bahkan ke dalam sebuah hari yang ber-


sahaja. Sepotong fragmen The Third Way: A Journal of Life in the
West Bank oleh Raja Shehadeh:

”Terkadang, bila aku berjalan di perbukitan, dan secara tak sa-


dar menikmati sentuhan tanah yang keras di telapak kakiku, meng-
hidu bau perdu dan bukit dan pohon-pohon di sekelilingku—aku
tak sengaja memandangi sepucuk pokok zaitun, dan... di depan ma­
ta­ku ia seakan-akan berubah jadi lambang samidin, perjuangan
kami, kehilangan kami. Dan pada saat itu juga, aku merasa direng-
gutkan dari pohon itu, dan sebagai gantinya tampak sebuah rongga
yang me­lompong ke mana amarah dan rasa sakitku mengalir, ma-
suk.”

Shehadeh berbicara tentang ”rongga yang melompong”. Ia


bandingkan pohon yang dicerabut itu dengan tanah merah yang
baru dibalik, kawat berduri dan buldoser yang kukuh, hal yang
mengingatkannya kepada permukiman bangsa Yahudi dari
mana orang Palestina tergusur.
Lukisan Shehadeh mengisyaratkan bahwa ”fiksi” itu juga bisa
menemukan ekspresinya dalam sesuatu yang lebih dalam dan
lebih dahsyat—dalam puisi Darwish, juga dalam laku yang be­
ngis.­Kita tahu ”tubuh yang meledak” itu untuk membuat Pales­
tina mungkin, juga harga diri, bangsa, tanah air, keadilan, ke-
merdekaan, dan pelbagai suara dan penanda lain yang bisa meng-
gugah semua orang meskipun dengan tafsir yang berbeda-beda.
Memang, akhirnya tak akan ada yang sepenuhnya bisa jadi
tafsir kata (dan buah rindu) Palestina. ”Ruang-ruang beraneka
http://facebook.com/indonesiapustaka

ragam yang di sini dan di sana di tengah kita memang dapat me-
nampung, tapi tak dapat menangkap lengkap, masa lalu,” tulis­
Edward Said dalam After the Last Sky, renungannya sebagai se­
orang cendekiawan Palestina di tanah asing. Ruang-ruang itu

Catatan Pinggir 8 223


GAZA

mewakili gedung tanpa tujuan yang menyeluruh. Wilayah itu be-


lum dipetakan dan hanya sebagiannya yang diketahui.
Itu sebabnya PLO ataupun Hamas tak bisa jadi satu-satunya­
wakil ”Palestina”—kata dengan gema kehilangan itu. Satu-satu­
nya­ tafsir adalah rasa kehilangan itu sendiri, rongga yang gero-
wong dan pohon yang tercerabut, yang lahir dari perasaan diza-
limi, seperti ketika tank-tank Merkava itu menderu masuk Gaza
pada akhir Juni.

Tempo, 9 Juli 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

224 Catatan Pinggir 8


ZIZOU

J
IKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latin-kan de-
ngan lafal Inggris, ia adalah Zīn ad-Dīn. Di Indonesia ia
akan dipanggil Zainuddin. Konon itu berarti ”ornamen
iman”.
Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bukit-bu­
kit Aljazair yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika
yang dilecut niat memperbaiki nasib, Smaïl Zidane, si ayah, pergi
merantau ke Paris. Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pin-
dah ke Marseille, di selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh
dari negeri asal.
Pada pertengahan 1960-an itu, Smaïl bekerja sebagai petugas
gudang, sering dalam giliran malam. Ia ingat Zainuddin­mudah
bermimpi buruk bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu
senggangnya ia penuhkan perhatian bagi anak yang lembut hati
yang dipanggilnya Yazid atau ”Yaz” itu.
Ketika Zidane muda sudah jadi pemain bola termasyhur,­dan
seluruh Prancis mengelu-elukannya sebagai pahlawan,­dan para
pengagumnya memanggilnya ”Zizou”, bukan ”Yaz”, ia tak melu-
pakan apa yang diberikan ayahnya. ”Saya men­dapatkan sema­ngat
dari dia,” katanya. ”Ayahlah yang meng­ajari­kami bahwa seorang
imigran harus bekerja dua kali lipat kerasnya jika dibanding­kan
dengan orang lain—dan tak boleh menyerah.”
Daerah La Castellane, di bagian utara Kota Marseille, tempat
Zainuddin Zidane dibesarkan, tempat ia bermain bola di lapang­
an Place de la Tartane, bukanlah wilayah yang ramah. Orang me­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nyebutnya sebagai ”quartier difficile”, perkampungan sulit. Di te­


pi jalan yang berdebu itu, di deretan perumahan kotak-kotak itu,
hidup si muslim, si miskin, si minoritas, yang akhir-akhir ini me­
risaukan Prancis: beban, ancaman, atau bantuankah mereka?

Catatan Pinggir 8 225


ZIZOU

Dalam hal itu ”Zizou” mau tak mau memikul sebuah perta­
nya­an—meskipun kita tak tahu sadarkah ia akan hal itu.
Ketika Prancis keluar sebagai kampiun Piala Dunia 1998, se-
buah perayaan spontan meluap di Paris: satu setengah juta manu­
sia berderet di Champs Elysees. Sebuah potret besar Zidane, pen­
cetak gol yang menjadikan negerinya sang juara, diproyeksikan
di Arc de Triomphe. Ribuan orang berseru, tiba-tiba, ”Zidane!
Président!””
Zainuddin, keturunan minoritas yang disebut les beurs, serta-­
merta jadi sebuah ikon bagi sebuah bangsa yang sering disebut
”paling rasialis” di Eropa.
Agaknya Piala Dunia sebuah simtom: kompetisi itu adalah
ekspresi nasionalisme dalam demamnya yang tak berbahaya. Juga
nasionalisme yang tak sama dengan rasialisme. Eropa pernah­me­
lahirkan Naziisme, tapi ada sesuatu yang sering diabaikan: nasio­
nal­isme punya kemampuan untuk melupakan.
Prancis semenjak revolusi pada abad ke-18 merupakan contoh­
nya. Dari pengalaman itu pada abad ke-19 Ernest Renan menge-
mukakan pentingnya ”lupa” dalam membentuk bangsa: sebuah
”nasion” terjadi ketika ikatan kedaerahan, rasial, dan keagamaan
tak lagi diingat-ingat. Telah tumbuh hasrat untuk berbareng (le
désir de l’ être ensemble) di antara anasir yang berbeda-beda. Se-
buah kebersamaan pun terbangun.
Zidane menerima dan diterima oleh kebersamaan itu—yang
bernama ”Prancis”—ketika ada kehendak ”melupakan”­ ikatan-
nya dengan sesuatu yang bukan ”Prancis”. Juga di lapang­an hijau
itu: ”Prancis” hadir bukan cuma pada warna kaus yang seragam,
tapi juga pada agresivitas Zidane yang melupakan diri bahwa ia
http://facebook.com/indonesiapustaka

seorang pemain Real Madrid—seperti halnya lawannya hari itu,


Ronaldo dari Brasil.
Demikianlah identitas ”Prancis” berkibar dari lupa dan ben­
tur­­an. Kompetisi Piala Dunia memang metafora yang bagus­ten-

226 Catatan Pinggir 8


ZIZOU

tang antagonisme, di mana perbedaan yang mutlak tak pernah


ada. Sebuah pertandingan selalu mengasumsikan semacam per­
sa­maan: tak ada pihak yang 100 persen ganjil bagi pihak lain.
Yang terjadi adalah ada yang menang, ada yang kalah.
Sebagaimana dalam kehidupan: ada antagonisme dalam tiap
kebersamaan, dan si menang naik, si kalah turun. Ke­setara­an
yang penuh tak bisa tercapai; tiap angka 0-0 akan diselesaikan
de­ngan tendangan penalti. Tapi dorongan ke arah ke­setaraan
akhirnya tak dapat dielakkan, dan argumen untuk mengekalkan
perbedaan akan terguncang. ”Kami berasal dari sebuah keluarga
yang tak punya apa-apa,” kata Smaïl Zidane menyaksikan tem-
pik-sorak bagi anaknya di seantero negeri. ”Kini kami dihormati
orang Prancis dari segala jenis.”
Tapi justru karena itulah Zidane membawa sebuah per­tanya­
an bagi Prancis: bisakah logika perbedaan diguncang oleh logika
kesetaraan? Bagaimana mungkin ”mereka”—yang muslim, yang
lain—dianggap sederajat dengan ”kita”, mayoritas?
Tampak bahwa di sini yang ditekankan bukanlah lupa, me-
lainkan ingatan—dan wajah buruk nasionalisme pun me­nyeri­
ngai.
Setelah kemenangan tim Prancis pada tahun 1998 itu, Jean-
Marie Le Pen, pemimpin Front National—yang selalu mencurigai­
minoritas—akhirnya menerima Zidane dengan catatan: sang
bintang adalah ”putra Aljazair Prancis”. Itulah alasannya­kenapa
Zainuddin layak diterima di antara ”kita”: Zizou datang dari ke-
luarga ”harki”, kata Arab untuk menyebut orang Aljazair yang
bertempur di pihak Prancis, sang penjajah, pada masa perang ke-
merdekaan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Zainuddin membantah itu: keluarganya bukan pengkhia­nat.


Tapi bisakah ia mendefinisikan diri, ketika dunia privat seseorang
diserbu kebencian hitam-putih orang ramai? Oktober 2001, se-
buah pertandingan persahabatan dicoba antara tim Prancis dan

Catatan Pinggir 8 227


ZIZOU

Aljazair di Stade de France. Pertandingan itu simbolik: kedua­


negeri itu tak pernah bertemu di lapang­an bola sejak perang ke-
merdekaan Aljazair. Tapi seperti dicerita­kan Andrew Hussey
dalam The Observer, menjelang hari itu Zidane diancam akan di-
bunuh. Poster dipasang: ”Zidane-Harki”. Akhirnya permainan
tak selesai. Beberapa anak muda keturunan Arab berseru meng­
elu-elukan Usamah bin Ladin dan mengutuk Republik Prancis.
Demikianlah lupa dan ingatan bisa dibongkar pasang untuk
diteriakkan, juga bagi si pemalu yang bersuara lirih itu, Zinedine
Zidane.

Tempo, 16 Juli 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

228 Catatan Pinggir 8


5 JULI

D
EMOKRASI diberi cap buruk dan akhirnya dibuang
da­ri Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959.
Republik berubah sejak itu.
Konstitusi yang disusun pada tahun 1950, yang salah satu sen­
dinya adalah hak-hak asasi manusia, dihapus. Sebuah majelis pe-
nyusun undang-undang dasar yang dibentuk berdasarkan hasil
sebuah pemilihan umum yang bebas pada tahun 1955—majelis
yang disebut ”Konstituante”—dibubarkan.
Praktis, Presiden Sukarno mengambil-alih kekuasaan. De-
ngan ”Dekrit 5 Juli” itu pula, Undang-Undang Dasar yang di­
su­sun pada tahun 1945 diberlakukan kembali. Orang tahu, juga
saat itu, bahwa dengan undang-undang dasar itu—yang dising-
kat dengan ”UUD 45”—kekuasaan terpusat di tangan pre­siden.
Sebuah sistem yang disebut sebagai ”demokrasi terpimpin” di­te­
rap­kan.
Bagi Presiden Sukarno, itulah jalan ke arah ”penemuan kem-
bali revolusi kita”.
Segera sesudah itu, kata ”Revolusi” (ditulis dengan ”R”) ber­
kembang jadi kata yang sakti: ia bisa menggetarkan, ia bisa meng-
gugah, ia menghalalkan atau membabat apa saja yang dikehen­
daki­sang penafsir. Sang penafsir tentu saja sang ”Pemimpin Be-
sar Revolusi”, dan itu adalah Bung Karno.
Agak aneh, sebenarnya. Jika kita baca buku Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusionil di Indonesia, Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, kita akan melihat pada
http://facebook.com/indonesiapustaka

mulanya Bung Karno sendiri ragu untuk memberlakukan kem-


bali UUD 1945. Yang paling gigih mendorongnya adalah Ang­
kat­an Darat yang dipimpin Jenderal Nasution.
Dalam memoarnya yang terbit pada tahun 1984, Nasution

Catatan Pinggir 8 229


5 JULI

menulis bahwa pada 28 Oktober 1958 ia mengutus dua orang


ko­lonel untuk meminta ketegasan Bung Karno. ”Kedua perwira­
menengah itu kemudian dengan gembira melaporkan kepada
saya bahwa Presiden kini telah setuju kembali ke UUD 1945.”
Tak berarti dalam diri Bung Karno tak ada kecenderung­an­
me­nyukai apa yang dikehendaki militer: memberi cap buruk­
pada demokrasi—yakni cap ”liberal” atau ”Barat”. Sudah pada
tahun 1945, sebagaimana yang tercantum dalam notulen yang
me­rekam perdebatan antara anggota panitia persiapan ke­mer­
deka­an waktu itu, Bung Karno meminta dengan sangat agar hak-
hak manusia dan warga negara tidak dicantumkan dalam un-
dang-undang dasar Indonesia. Tak mengherankan bila sebelum
”Dekrit 5 Juli” ia juga termasuk penganjur utama ”demokrasi ter-
pimpin”.
Tak mengherankan pula bila ia kemudian menganggap
”UUD 1945” dapat dipertahankan selama-lamanya. Tampaknya­
Bung Karno dan para pendukung ”UUD 1945” alpa, bahwa
pada saat sebuah konstitusi diperlukan dan dijalankan, ia pun
ma­suk ke dalam sejarah. Ia diuji, dan ia tergantung pada yang tak
abadi. Tapi dalam riwayat Republik ini, ”UUD 1945” itu akhir­
nya diletakkan di atas sejarah, bagaikan pusaka.
Itu juga yang telah diperingatkan Asmara Hadi, seorang ang-
gota Konstituante yang pernah dikenal sebagai seorang pengikut­
dan anak angkat Bung Karno. Sebagaimana dikutip­ dalam As-
pirasi Pemerintahan Konstitusionil, Asmara Hadi ”menolak pen­
dapat Sukarno bahwa UUD 1945 dapat dipertahankan selama-
la­manya”. Pandangan seperti itu, menurut Asmara Hadi, ”bersi-
fat sombong dan menghina generasi yang lebih muda—seakan-
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan generasi yang membentuk UUD 1945 merupakan generasi


yang terbaik, puncak jenius bangsa yang tidak akan dapat dilam-
paui oleh generasi mendatang.”
Memang sebuah kontradiksi: di satu pihak ada kehendak

230 Catatan Pinggir 8


5 JULI

kem­bali ke ”UUD 1945” yang menunjukkan sikap memulia­kan


sebuah keputusan masa silam yang ingin ”dipertahankan­selama-
lamanya”, di lain pihak ada retorika ”revolusi”yang, sebagaimana
laiknya revolusi, hendak mengubah dunia jadi baru.
Memang kemudian ternyata—ketika kata ”revolusi” tak lagi
sakti dan Bung Karno, sang ”Pemimpin Besar Revolusi”, dimak-
zulkan pada tahun 1966—kehendak mempertahankan­ ”UUD
1945” berlanjut dalam sebuah pemerintahan yang justru­antire­
vo­lusi. ”Orde Baru”, yang didesain oleh pemikir­an Angkatan Da-
rat, adalah ”demokrasi terpimpin” dalam variasi lain.
Tapi seperti dalam revolusi, di dalamnya ada kehendak yang
tak sabar. Ia mengasumsikan adanya subyek yang utuh dalam tu-
buh bangsa, untuk menggerakkan seluruh proses.
Sejarah membuktikan asumsi itu keliru. Pelbagai usaha mem-
bentuk sebuah subyek yang utuh—dengan penyatuan ideologis,
dengan retorika yang diulang-ulang, dengan mithos­tentang Pe-
mimpin yang bagaikan gading yang tak retak—akhirnya gagal.
Maka sebuah sistem politik yang punya asumsi lain diperlu-
kan: sebuah demokrasi yang tanpa ilusi, yang menganggap tak
ada dasar a priori apa pun yang memberi posisi istimewa kepada­
seseorang sebagai sang Subyek. Artinya tak dapat kita elakkan­
plu­ralitas, tak dapat ditiadakan persaingan politik, dan tak
mung­kin ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat.
Yang ada hanyalah hegemoni yang tak abadi.
Demokrasi dibuang dari Indonesia 5 Juli 1959 karena ia meng­
akui pelbagai tak itu. Pengakuan itu bukan pandangan negatif
tentang hal-ihwal. Justru yang tak a priori, tak mutlak,­tak tung-
gal dan tak utuh itu mengacu kepada sesuatu yang positif: tiap
http://facebook.com/indonesiapustaka

sistem akan berbatas kepada sesuatu yang tak dapat dijangkau-


nya.
Manusia selalu mengandung yang tak dapat dijangkau itu.
Sebab itu akan selalu tampil liyan, ”sesama” yang ”beda”, yang

Catatan Pinggir 8 231


5 JULI

tak dapat ditelan ataupun dimuntahkan sebuah sistem. Maka se-


buah sistem politik harus siap menghadapi itu, menghargai­nya,
dan mengelolanya. Tak mudah. Sistem apa pun tak mungkin jadi
jembatan emas.
Asmara Hadi, yang pada tahun 1930-an dikenal sebagai se­
orang penyair, bahkan menyamakan sistem politik yang berdasar
”UUD 1945” dengan shiratal mustaqim, titian serambut dibelah
tujuh menuju ke surga. Kita harus pandai-pandai berjalan di
sana. Sebab, katanya, ”di bawahnya terdapat api neraka­kedikta-
toran dengan beribu-ribu lidah api.”
Ia benar. Sejarah Indonesia pernah menyaksikan itu sejak
”Dekrit 5 Juli”.

Tempo, 23 Juli 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

232 Catatan Pinggir 8


GLUNG

B
OLA api tampak di langit Pangandaran, suara ”glung”
dan­”bleg” terdengar di bawah bumi Yogya. Orang pun
gentar, setengah terkesima: apa arti semua itu?
Barangkali itu isyarat, bisik sebagian mereka, entah dari ang-
kasa luar, entah dari palung lautan. Barangkali itu waham,­kata
yang lain. Barangkali alam dan rasa takut telah berkait, barang-
kali alam dan suasana berkabung tumpang-menumpang,­dan tak
jelas lagi mana yang menyebabkan dan mana pula yang disebab-
kan.
Apa boleh buat: bencana menghantam kita berturut-turut­­—
dua kali tsunami dalam jarak waktu belum dua tahun, dua kali­
gempa yang membunuh ratusan manusia, Gunung Merapi­yang
memuntahkan lumpur panas berhari-hari .... Dengan­kata lain,
kesadaran kita dengan serta-merta digebrak oleh se­su­atu yang tak
dapat sepenuhnya dijinakkan penjelasan ilmu, tak dapat ditata
oleh wacana, tak terjangkau utuh oleh tata simbolik. Bahasa kita
jadi gagap, dan bola api itu terasa­ semakin besar, suara ”glung”
dan ”bleg” itu terasa semakin me­nakut­kan, dan kita semakin
berkabung.
Amir Hamzah pernah menggambarkan situasi manusia­dan
alam yang dilimbur bencana dalam sebuah puisi yang dengan
plastis memantulkan bunyi-bunyi yang mengerikan bahkan­se-
jak dari konsonan dan aliterasi kata-kata yang dibariskannya:
”terban hujan, ungkai badai, terendam karam, runtuh ripuk ta-
manmu rampak.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dan nun di sana tampak

Manusia kecil lintang pukang


lari terbang jatuh duduk

Catatan Pinggir 8 233


GLUNG

air naik tetap terus


tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam


dalam gagap gempita guruh
kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Sajak itu sebenarnya bercerita tentang air bah yang didatang-


kan Tuhan untuk menenggelamkan dan menghabisi manusia
yang tak hendak mengikuti jalan Nuh. Apabila yang dilukiskan
Amir Hamzah terasa relevan sekarang, itu karena di sana juga
ter­gambar bukan orang-orang yang berdosa, melainkan orang-
orang yang tak berdaya—”manusia kecil” yang dilihat dari atas
yang jauh.
Hanya Nuh yang disebut ”bebas lepas”dan ”lapang”. Hanya ia
yang dikatakan duduk dalam kepastian, bisa bersuara ”sentosa”
ketika manusia lain ”di tengah gelisah”.
Sang penyair sendiri tak seperti nabi itu. Ia bimbang dan ga-
lau: kekuatan destruktif Tuhan bisa demikian menakutkan­demi
menegakkan kepastian, tapi tetap saja sang penyair tak dapat me-
mutuskan mana yang harus dipilihnya di tengah sistem kepastian
yang berbeda-beda. Akhirnya ia mengatakan, semua itu tak ada
gunanya. Akhirnya ”hanya satu kutunggu hasrat”, katanya, yak-
ni merasa ”dekat rapat” dengan Tuhan sendiri.
Bola api, suara gemuruh yang ganjil, lahar yang mengancam,
kematian yang menyebar-alam dan ketakutan jemput-menjem-
put, bersama kemurungan. Para pakar geologi, klimatologi, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

psikologi dapat berbicara fasih menjelaskan semua itu, tapi benar­


kah mereka bisa menjangkau alam itu sendiri? Bukankah ilmu-il-
mu pengetahuan tak pernah menangkap alam itu an sich, melain-
kan hanya menangkapnya sesudah dijinakkan dalam kerangka

234 Catatan Pinggir 8


GLUNG

sebuah wacana, dalam keadaan di­setel­(Gestell, kata Heidegger)?


Dengan kata lain sebenarnya tak ada yang dapat ”dekat rapat” de-
ngan yang dirindukan untuk dijangkau itu—yakni yang benar,
yang memukau, yang membuat gentar?
Bahkan saat Musa di pucuk Tursina (yang oleh Amir Ham­zah
dianggap sebagai momen yang dihasratkannya, momen­ ”dekat
rapat” dengan Tuhan) manusia itu tetap mustahil me­nangkap
”Wa­jah” itu.
Mungkin ada yang dapat memberi kita kearifan dari tsunami­
di Aceh dan Pangandaran serta gempa dan ancaman magma di
Yogyakarta: kita sadar akan kemustahilan seperti itu dan sebab
itu kita berkabung, seperti saya katakan tadi. Kita berka­bung ka­
rena kita merasa bersatu dengan yang ditinggal mati dan hilang.
Kita juga berkabung karena kita tak bisa merasa ”bebas lepas”,
”lapang”, dan ”sentosa” di tengah sesama yang gelisah ketika bah-
kan ilmu tak dapat lagi bicara pasti.
Berkabung itu memberi kita kearifan, sebab dari sanalah kita
sadar betapa mustahil kita untuk tak menjadi ””manusia kecil”.
Kita akan senantiasa ”lintang pukang”. Tapi pada saat yang sama,
justru karena itulah kita merindukan itu: bisa bersentuhan de-
ngan yang abadi, biarpun sejenak. ”Aku berkabung untuk keaba-
dian, aku berkabung untuk ia yang dalam dirinya kutanam-dan-
kupupuk keabadian”, tulis Hèlène Ci­xous­dalam Deluge.
Dikatakan secara lain, justru karena kita tak kunjung men­
dapatkan kepastian, justru karena kita terbatas, kita pun—seper­
ti Amir Hamzah—menunggu hasrat untuk ”dekat rapat” dengan
yang sama sekali lain: yang Maha Tak Terbatas, trans­cendens yang
mutlak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kata ”maha” menegaskan betapa radikalnya sifat ”lain” di situ:


sifat ”lain” yang tak dapat dirumuskan, tak dapat di­banding­kan,
yang hanya dapat disebut, meskipun dengan menyebutnya kita
sadar kita hanya mencoba sejenak menafsirkannya. Sebab sifat

Catatan Pinggir 8 235


GLUNG

”lain” yang radikal itulah yang menyebabkan kita tak akan per-
nah rampung dan usai menerjemahkannya: kita tak akan mung-
kin membuatnya sedemikian rupa sehingga ”sama” dengan kita.
Agaknya itulah yang membentuk sikap ethis kita: berhadap­
an dengan yang berbeda, kita tergetar, tak akan jumawa, bahkan
kita menatapnya dengan hormat yang berkabung.
Sebab kita tahu ada yang tetap tersembunyi. Ada misteri
yang tak mungkin dianggap sekadar sebagai problem untuk ke­
cerdasan kita. ”Dunia tak pernah merupakan sebuah obyek yang
tegak di depan kita dan dapat disimak”, kata Heidegger. Dunia
selalu tak berlaku jadi sasaran subyektif kita, selama ”jalan kela-
hiran dan kematian, rahmat dan kutuk, tetap membawa kita ke
dalam ada”.
Maka bola api itu mungkin tampak mungkin tidak di langit
Pangandaran, bunyi ”glung”” itu mungkin terdengar mungkin
ti­dak di bawah Yogya....

Tempo, 30 Juli 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

236 Catatan Pinggir 8


LIBANON

Pesawat-pesawat tempur pertahanan,


Mengitari tinggi langit empat kota
Hingga busuk serakah dan nestapa
Tak bisa menggapai mereka.
—Bertolt Brecht

P
ESAWAT tempur yang mengoyak langit memang hanya
peduli akan satu hal: meniadakan yang hidup di bawah
sana. Puisi Brecht tentu saja tak menjelaskan ganasnya
ka­pal-kapal terbang pancar gas Israel di Libanon hari ini. Sajak
itu lebih bicara tentang hubungan kapitalisme dan perang: keper-
kasaan militer adalah indikasi niat bertahan yang lucu, ketika
yang berkuasa tak hendak mengakui betapa busuknya ”sera­kah
dan nestapa”.
Tapi bukankah ”serakah” (Gier) tak hanya berarti hasrat
mem­perbesar milik—modal atau wilayah—melainkan juga ke-
inginan memperluas rasa jeri di hati musuh dalam tingkat yang
tak sebanding dengan ancaman sang musuh itu sendi­ri? Yang ter-
jadi di Libanon bukanlah ”satu mata dibalas satu mata”, melain-
kan ”satu mata dibalas berpuluh-puluh mata”. Belum sampai 60
orang Israel tewas, termasuk prajurit, setelah dua orang tentara­
di­tangkap gerilyawan Hizbullah dan roket-roket dilontarkan
ke kota-kota Israel, tapi diperkirakan telah 600 orang Libanon
mati—sebagian besar warga yang tak hendak berperang.
”Nestapa” dalam sajak Brecht punya arti khusus: kesengsara-
http://facebook.com/indonesiapustaka

an si miskin yang diisap si kaya. Tapi kini ”nestapa” adalah yang


dialami Palestina dan Libanon—dua negeri yang jauh lebih le-
mah ketimbang musuh yang menyerbunya. Tapi tak hanya itu:
”nestapa” tampaknya akan menenggelamkan semua pihak di

Catatan Pinggir 8 237


LIBANON

Timur Tengah dalam bentuk balas-membalas ber­darah­yang en-


tah sampai kapan akan berakhir.
Tentu saja semua dilakukan atas nama ”pertahanan”. Keper-
kasaan militer—biarpun dengan kebusukan yang tersirat­di da­
lam­nya—selalu punya daya pikatnya sendiri. Hanya­ada bebera-
pa puluh orang Israel turun ke jalan memprotes perang­kali ini,
sementara sebagian besar tidak. Perbandingan ini berlaku di
Ame­rika Serikat, dan mungkin juga di tempat lain: suara­populer
adalah suara marah, dari rasa terancam atau ter­hina yang terse-
bar, dan sebab itu senjata dan kata-kata galak disambut beramai-
ramai.
Dari sini juga dapat dilihat makin meluasnya dukungan ter-
hadap Hizbullah di negeri-negeri Arab, di kalangan Sunni atau
bukan—bahkan juga di kalangan pengikut Michael Aoun, to-
koh Kristen yang pernah menentang kehadiran pasukan Suriah
di Libanon.
Itu berarti ”pertahanan” telah jadi sesuatu yang demikian­
mendesak tapi sekaligus demikian tak jelas; inilah sebuah pe­riode­
sejarah dengan sebuah khaos yang destruktif. ”Pertahan­an”­telah
jadi sebuah struktur yang begitu kaya artinya tapi se­kaligus begi-
tu terbatas: ia bisa ditafsirkan tak habis-habis, tapi pada saat yang
sama bisa mengimbau segala golongan hingga tak terasa perlu di­
pikirkan lagi.
Apa gerangan yang dipertahankan? Bagaimana memperta­
han­kannya? Ketika satu kekuatan militer yang tak terkait dengan
satu wilayah resmi dan tak mewakili satu bangsa (dan Hizbullah
ada­lah salah satu contohnya) berhasil mengobarkan perang de-
ngan sebuah bangsa yang mendefinisikan diri­nya dengan posi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

si­ teritorial, perbedaan antara perang dan teror­isme pun luruh.


Akhirnya Israel menerobos perbatasan Libanon seakan-akan ga­
ris itu tak ada, sebagaimana Amerika Serikat­menggebuk Afga­
nis­tan untuk menghancurkan Al-Qaidah yang entah di mana.

238 Catatan Pinggir 8


LIBANON

”Perang adalah terorisme dengan anggar­an yang lebih tinggi,”


demikian tertulis dalam salah satu poster protes di Tel Aviv.
”Perang pertahanan” memang bukan lagi mengenai terra dan
territorium, ketika batas wilayah dinafikan. ”Pertahanan” jadi se-
jenis tata yang menggantikan pengertian ”perdamaian”—ia di-
impikan dan tak kunjung tercapai—ketika tata yang ada terus-
menerus dianggap tak adil tapi tak dapat diruntuhkan.
Berangsur-angsur, di wilayah tempat para Nabi pernah bica­
ra dan berjanji itu, tata yang diimpikan itu telah jadi eskato­logi:
pengharapan akan sebuah surga di masa ketika dunia berhenti se-
bagai dunia. Akhirnya tata itu tak sekadar sebuah kata yang di-
tafsirkan dengan perspektif yang terbatas, dan sebab itu nisbi. Ia
telah jadi penanda yang isinya terpatri di langit, absolut tapi tak
teruraikan.
Pada saat itu pula tata itu—yang telah identik dengan ”per-
tahanan”—membuat perang jadi semacam ritual pengorban­an:
darah dan nyawa dipersembahkan, keabadian diseru. Demikian-
lah semakin jauh tata itu tercapai, semakin besar­peran agama-
agama—terutama Islam dan Yudaisme—di Palestina, Israel, dan
Libanon. Nasionalisme yang bicara soal wilayah di permukaan
bumi telah digantikan oleh sebuah semangat yang didasarkan
pada asumsi tentang langit yang menjamin.
Tentu saja dengan begitu tata itu jadi bagian sesuatu yang tak
dapat ditawar-tawar. Ia bukan lagi ada di dunia yang ruwet­tem-
pat manusia, dalam kondisi yang serba terbatas, bertindak dan
memutuskan. Eskatologi dan kesiapan menyelenggarakan ritual
pengorbanan bahkan membuat manusia seakan-akan jadi ana-
sir yang suci, pasti, dan tegak di tataran yang tinggi—seperti pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

sawat-pesawat tempur pertahanan yang digambarkan Brecht:


”Hingga busuk serakah dan nestapa/Tak bisa menggapai mere-
ka.”
Mereka yang angkuh. Mereka yang tak peduli akan cacat du-

Catatan Pinggir 8 239


LIBANON

nia dan retaknya gading dalam diri sendiri. Kehidupan politik


pun digantikan pembinasaan. Tak ada negosiasi. Tak ada penye­
lesaian konflik yang dilakukan dengan keadilan yang diakui se­
ba­gai genting. Sebab keadilan telah jadi sesuatu yang begitu lu-
rus, keras, dan menakutkan.
Tragis, memang. Sebab dulu di wilayah ini pernah ada berita­
bahwa Yang Suci bisa merasuk ke dalam yang sehari-hari dan
Yang Kekal datang di tengah yang temporal—bukan sebalik­
nya—dan bahwa keadilan digantikan dengan sesuatu yang tak
keras dan menakutkan, yakni cinta kasih dan kemampuan mera-
sakan nasib mereka yang dinestapakan.

Tempo, 6 Agustus 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

240 Catatan Pinggir 8


DAN

E
MPAT bulan sebelum meninggal, Dan Lev menjemput
saya di tempat saya menginap di University District, Seat-
tle. Ia masih melangkah gagah pada umur 72. Ia menge­
nakan jas abu-abu dan pull-over putih. Hari itu di musim semi,
Seattle agak dingin.
Kami berpelukan. Saya lihat rambutnya menipis dan ia pucat.
Saya ingat sepucuk surel yang ia kirim di pekan ketiga Ja­nu­
ari 2006: ”Baru saja, sesudah biopsi, ternyata saya kena kanker
paru-paru. Belum terang apakah para dokter bisa berbuat apa-
apa.... Akibatnya, saya nggak bisa ke Indonesia tahun ini. Macam-
macamlah.”
Seakan-akan kanker itu gangguan yang sepele.... Tipikal Dan:­
ia tak hendak membuat persoalannya dramatis. Hari itu di­ba­wa­
nya saya ke sebuah restoran dim-sum di International District.
Sambil menyetir mobilnya memasuki 24th Avenue East ia me­
ngatakan kemo—dan radioterapi pada paru-parunya—telah di-
hentikan. Tumornya hanya susut sedikit. Dokter bilang—kata­
nya,­sambil terus memandang ke jalan di depannya—ia akan hi­
dup­mungkin hanya enam bulan sampai setahun lagi. Ia ucapkan
itu seperti ia mengulang ramalan cuaca.
Ia tak ingin siapa pun sedih. Terutama hari itu: ia bebas dari
kemo—dan radioterapi. Dalam salah satu surat-elnya ia me-
mang menyebut: ”Kemo itu racun memang... campuran radiasi­
semacam penyiksaan yang mungkin bisa saja... dalam imajinasi
Bush cs.” Ia masih melucu-seraya menyodok Presiden Amerika
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang tak pernah disukainya itu. Dan saya pura-pura tak murung.
Di restoran yang tak saya ingat namanya itu ia makan tujuh­
po­tong dim-sum tanpa sambal. Ada yang terasa sakit jika ia
menelan yang pedas, katanya. Saya terdiam mendengar itu. Tapi

Catatan Pinggir 8 241


DAN

ia tak melanjutkan. Ia hanya bicara tentang topik yang di­sukainya


akhir-akhir ini: lahirnya sebuah generasi muda Indonesia yang
baginya mengagumkan.
Ia menyebut dua kelompok: pertama, mereka yang bergerak­
di sekitar ”Islam liberal” dalam berbagai variasinya, yakni anak-
anak muda yang seraya berangkat dari latar sejarah Indonesia te­
lah membuka cakrawala pemikiran yang tak terjadi di tempat
lain di Dunia Ketiga. Kedua, yang ia kenal lebih dekat, ”anak-
anak PSHK”—Pusat Studi Hukum & Kebijakan—yang bekerja
di sebuah kantor di wilayah Kuningan, Jakarta.
Sejak 1999, tiap kali Dan ke Jakarta, ia akan berjam-jam di si­
tu, berdiskusi, menolong mahasiswa yang perlu dibantu, minum­
kopi tubruk, merokok, mendengarkan. Bagi Dan mereka ini ha­
rapan masa depan: mereka bukan saja penelaah kehidup­an hu-
kum di Indonesia, tapi juga aktivis yang memperjuangkan per-
baikan peradilan seraya menyiarkan informasi tentang hukum
tak henti-hentinya, antara lain dalam satu situs di Internet. Bagi
Dan, merekalah contoh bahwa tak semua orang Indonesia me-
nyerah kepada air busuk dunia yudikatif Indonesia selama ini,
tempat polisi, jaksa, hakim, advokat, sipir bui, dan entah apa lagi,
berkubang dalam uang suap, akal-akalan, dan pemerasan.
Sambil mendengarkan itu saya sadar: Dan tak pernah bicara
tentang dirinya sendiri. Rasanya ia tak pernah memikirkan­diri­
nya sendiri. Ia menahan rasa sedih dan cemasnya entah di mana.
Ketika beberapa tahun yang lalu Arlene, istrinya yang lembut hati
itu, sakit, ia berada di sampingnya dengan tekun, tapi Dan tak
pernah menunjukkan wajah waswas. Seakan-akan­ini juga kewa-
jibannya: membuat hidup orang lain tak muram, sebab kita perlu
http://facebook.com/indonesiapustaka

bekerja untuk sebuah dunia yang tak jadi gila.


Khususnya ia ingin mengabarkan berita baik tentang Indone-
sia.
Indonesia, bagi Dan Lev, bukanlah sebuah karier akademis.­

242 Catatan Pinggir 8


DAN

Seperti banyak ”Indonesianis”, Dan begitu dekat dengan ne­geri­


ini; suka-duka yang terjadi di sini seakan-akan ikut mem­­penga­
ruhi pandangan tentang diri sendiri dan tentang dunia. Dengan
kata lain, Indonesia bukan hanya satu persoal­an ”pe­nge­tahuan”.
Ia tetap seorang ilmuwan yang tangguh dari sebuah universi­
tas Amerika. Kelebihannya adalah, sebagaimana dikatakan sa-
habatnya, Benedict Anderson, pengarang The Imagined Co­mmu­
nities yang termasyhur itu, kepada The Seattle Times, Dan mau go
down the trenches, ”turun ke dalam parit-parit pergulatan”, bersa­
ma orang seperti Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution,
Mar­sillam Simanjuntak, Nursyahbani Kacasungkana, dan sede-
ret nama lain yang nekat bekerja untuk sebuah dunia yang tak
ja­di gila—khususnya untuk sebuah Indonesia di mana hukum
tegak dan hukum adil.
Dan tentu saja sadar ia bukan seorang Indonesia. Yang me­nga­
gumkan, ia bisa mengambil jarak yang pas. Ia tak berteriak-teriak
di jalan dan di media massa. Tapi, karena ia ikut tergerak élan per-
juangan di negeri ini, secara tak sengaja ia menularkan semangat
itu kembali. Ia tak melihat Indonesia seperti sepetak kelam.
Ia, penelaah sejarah politik dan hukum Indonesia modern,
terpesona akan suasana demokratis 1950-an, ketika perdebatan­
tentang hal-hal yang fundamental berlangsung matang dan ce-
merlang, ketika perbedaan sikap politik tak menyebab­kan bu­
nuh-membunuh dan bui-membui. Salah seorang dari PSHK
yang dekat dengannya mengatakan sesuatu yang penting:­ de-
ngan mengacu ke tahun 1950-an, Dan sebenarnya menunjukkan
bahwa cara penyelesaian konflik yang baik tak perlu dicari dari
pengalaman negeri lain. Orang Indonesia sendiri pernah melaku-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kannya.
Ini tentu karena Dan punya kelebihan: ia kenal pribadi para
pejuang demokrasi Indonesia yang lahir di awal abad ke-20-yang
aktif di tahun 1950-an—dan ia juga bergaul dengan mere­ka yang

Catatan Pinggir 8 243


DAN

kini belum berumur 40.


Hanya tiga hari setelah ia meninggal, Selasa 1 Agustus, de-
ngan cepat sekitar dua ratus sahabatnya berkumpul di sebuah au-
ditorium Hotel Santika, Jakarta. Di sudut kiri, sepasang pemain
musik memainkan lagu duka pada piano dan bio­la. Di sudut ka­
nan­dipasang layar, di mana diproyeksikan foto-­fotonya, juga re­
kaman video ketika ia berceramah, dalam bahasa Indonesia yang
amat bagus, tentang sejarah pemikiran hukum di Indonesia.
Seakan-akan ia ada di ruang itu....

Tempo, 13 Agustus 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

244 Catatan Pinggir 8


D.L.L

T
EKS bersejarah itu sederet kata yang bergegas. Tak pan-
jang. Seluruhnya terekam di atas secarik kertas separuh­
folio. Kita mengingatnya kembali saban 17 Agustus,­
se­bab­ hampir di tiap hari kemerdekaan itu koran dan ma­jalah­­
memuat kem­bali foto dokumen ringkas itu, atau orang mere­pro­
duksi­nya­dalam ukuran besar pada papan untuk diarak da­lam pa­
wai: ”Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdeka­
an Indonesia....”
Huruf-huruf itu jelas tulisan tangan Bung Karno yang kita ke-
nal coraknya dari dokumen-dokumen lain. Mungkin kalimatnya
diguratkan dengan sebuah pena yang kasar. Ada coret­an dan per-
baikan lebih di satu tempat.
Gugupkah ia waktu menuliskannya? Kita tak tahu. Yang kita
hanya dapat bayangkan: sebuah suasana tegang. Di satu ruang­
an di kota yang masih dikuasai tentara Jepang, Bung Karno dan
Bung Hatta dikelilingi para pemuda yang tak sabar. Semua telah
mendengar dari radio rahasia bahwa tiga hari yang lalu, 14 Agus-
tus 1945, kemaharajaan Nippon telah kalah perang. Maharaja
Hirohito telah menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.­
Artinya kekuasaan itu ambruk dan tak punya daya—apalagi
hak—untuk mengklaim bahwa­ia berdaulat di Indonesia. Jika Je-
pang sudah takluk, itulah saat yang baik untuk merebut posisi.
Kekuasaan harus dipindahtangankan. Kapan lagi? Ayo, Bung,
ayo! Sekarang juga kita merdeka!
Bung Karno pun menulis. Waktu sempit. Keadaan mendesak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Para pemuda mendesak. Momentum tak boleh dilepaskan.­


Tapi setelah itu, apa? Setelah kekuasaan berada di tangan­
”bangsa Indonesia”, apa yang akan dilakukan? Teks itu tak sem-
pat menjelaskan. ”... mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., akan

Catatan Pinggir 8 245


D.L.L

diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-


singkatnya.”
Malam itu, dan 61 tahun kemudian, kita tahu bahwa bangsa­
ini harus merdeka; sudah berpuluh-puluh tahun ia ingin bebas­
da­ri penjajahan. Tapi agaknya tak ada yang tahu bagaimana ca­
ranya menyelenggarakan pelbagai hal ”dengan cara seksama”­
dan ”dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Apa pula yang dimak-
sud dengan kata ”d.l.l.” di dalam kalimat itu? Apa saja yang ter-
golong ”dan lain-lain”?
Tak ada jawab. Mungkin belum perlu ada jawab. Keputusan­
untuk memerdekakan diri malam itu tidak berasumsi bahwa se-
galanya sudah tergambar persis, tinggal dikerjakan. Keputusan­
itu sadar, mungkin dengan gemetar, bahwa semua dalam keada­an
serba mungkin—dan betapa mustahilnya mengelakkan momen
kehidupan yang tak hanya terbuka untuk pelbagai kesempat­an,
tapi juga untuk pelbagai bencana. Keputusan malam itu bukan
aplikasi sebuah program.
Dalam arti itu ia cermin kebebasan bertindak, keberanian,
juga kerendahan hati. Sebab di situlah para pendiri Republik,
yang tak 100 persen tahu apa yang akan terjadi, seraya meng­akui
ketaktahuan itu melompat masuk ke dalam sejarah. Jika ada di
antara mereka yang seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-­
hentinya merenung, akhirnya toh berkesimpulan, bahwa ber-
larut-larut dalam pikiran, ”sebagian membuat kita arif, dan tiga
bagian membuat kita pengecut,” seperti kata pa­nge­ran Denmark
dalam lakon Shakespeare itu.
Di dalam huruf ”d.l.l.” itulah tampak revolusi Indonesia bu-
kanlah sebuah revolusi Leninis. Ia tak bertolak dari teori. Ia juga
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajar­an dan pe­
tu­ah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika proklamasi itu bisa di-
anggap bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresi­sebuah prag-
matisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada

246 Catatan Pinggir 8


D.L.L

tanggal 17 Agustus itu, para pendiri Republik kita menampik


”teori penonton” tentang pengetahuan.
Teori itu, kata pelopor pragmatisme modern, Dewey, me­man­
jakan ilusi ini: menganggap manusia, dari tempat duduk­nya di
ketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang perikehi­
dupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan­dari laku.
Bagi kaum pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan
pijakan pengetahuan tentang dunia.
”D.l.l.” adalah pengakuan, jika ”kemerdekaan” adalah se­buah­
wacana, ia sebuah wacana yang belum selesai. Tapi lebih­penting­
lagi naskah proklamasi itu seluruhnya mengisyaratkan, bahwa
tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum hal-
ihwal.
Kita baca: tak ada pelaku atau subyek dalam kalimat ”akan
diselenggarakan dengan cara seksama...” itu. Siapa yang akan
me­­nyelenggarakan? Mungkinkah Sukarno-Hatta, sebagai dua
orang yang menuliskan teks itu ”atas nama bangsa Indonesia”?
Bagaimana hal itu terjadi, sementara ”bangsa Indonesia” belum
memilih mereka? Dan bagaimana di malam dan pagi yang te-
gang itu, ketika dunia sedang berubah dahsyat begitu Perang Du-
nia II berhenti, orang merumuskan apa itu ”bangsa Indonesia”?
Pada mulanya adalah logos, kata Alkitab. Tapi hari itu bukan:
pada mulanya bukanlah sabda, bukan ”kebenaran”, melainkan
tindakan. Tak berarti proklamasi itu sebuah loncatan maut dari
kekosongan penuh, tanpa bayangan apa pun mengenai tujuan.
Pada bulan sebelumnya sudah ada rapat-rapat panitia persiap­
an kemerdekaan. Tanggal 1 Juli 1945 Bung Karno merangkum­
ke­sepakatan mereka yang ikut dalam rapat persiapan itu ke da­
http://facebook.com/indonesiapustaka

lam sebuah kata: ”Pancasila”. Tapi ”Pancasila” pun, seba­gai hasil


rembukan, mengandung apa yang kemudian tersirat dalam hu­
ruf­”d.l.l” itu: tak ada asas yang layak meniadakan­asas yang lain,
sebab di dalam kehidupan bersama yang lebih­ bebas dan lebih

Catatan Pinggir 8 247


D.L.L.

adil, selalu ada ”dan lain-lain” yang muncul, tak terduga-duga,


terkadang terasa ganjil. Tak ada wacana yang tak akan digugat
oleh mereka yang tak tertampung....
Teks proklamasi itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan
genting yang melahirkannya mengingatkan: hidup, juga hidup
sebuah bangsa, terdiri dari saat-saat yang tak pernah sempurna.
Hidup selalu mengandung ”dan lain-lain” yang belum tercatat.
Sebab itu kita harus terbuka, berseru kepada Republik ini, ”ba­
ngun­lah jiwanya, bangunlah jiwanya....”

Tempo, 27 Agustus 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

248 Catatan Pinggir 8


ISA

A
DA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek,
bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas,
dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih meng­
ingat­sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa
Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan
tonggak­tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau me-
mandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan
untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebat­
an politik dan persaingan yang terbuka.
Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan­
umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnya­se­
ba­gai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam ke­hidup­an
demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi
kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.
Tapi tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidup­
an masyarakat. Retorika bisa begitu berkobar dan percikannya
bu­kannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini, ucapan-
ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang
mungkin kelak ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia
setelah 1959.
Dari pemilihan 1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante,
de­wan perwakilan yang bertugas merumuskan konstitusi. Keti-
ka pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan berlang-
sung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar nega­
ra,­Pancasila atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh
http://facebook.com/indonesiapustaka

masing-masing pendukungnya.
Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi se-
dikit yang segalak pidato Isa Anshary dalam majelis yang bersi-
dang di Bandung itu:

Catatan Pinggir 8 249


ISA

”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara


Is­­lam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara
Is­­lam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara.
[Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu
lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal­
dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum­
Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara...
orang demikian itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah men-
jadi kafir, haram jenazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal
baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam....
Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perun­
dingan Tahun 1957, yang diterbitkan Sekretariat Konstituan­
te—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi­
Pemerintahan Konstitusionil di Indonesia—sebenarnya tak me­
nunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah
pada tahun 1951, dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Ha­
nya­orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang tidak
menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”
Tentu harus dicatat bahwa Isa Anshary, ”Napoleon” itu, tak
memilih jalan perjuangan bersenjata untuk itu; ia dan partai­nya,
Masyumi, membedakan diri dari cara Darul Islam­ yang pada
ma­sa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hu-
tan Jawa Barat. Namun mungkinkah sikap yang demikian mut-
lak—yang mengutuk siapa saja yang tak sependirian dengan kata
”murtad”, ”kafir”, atau setidaknya ”bejat moral”—pada akhirnya
bisa menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan
secara mutlak pula?
Jarak antara kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bedaan hanya terbentang beberapa senti—seperti terbukti dalam


sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan dalam bertikai.
Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan kebe­
ngisan. Tentu saja tak hanya agama: yang brutal terjadi tiap kali

250 Catatan Pinggir 8


ISA

doktrin tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke segala


pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para ahli agama—sebagaima-
na kaum ideolog—merasa diri jadi penyambung lidah Yang Ma­
ha Sempurna.
Yang sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang
bermula dari bayangan tentang kesempurnaan, selalu ber­akhir
sia-sia. Bayangan tentang ”yang sempurna” ini—yang oleh para
psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya lahir
dan tumbuh dari rasa risau tentang dunia yang apa boleh buat ca-
cat. Ketika yang cacat tak kunjung dapat dihilang­kan, doktrin
pun membentuk diri dengan mencipta­kan apa saja yang harus
dikutuk dan akhirnya dibinasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si
”murtad”, si ”kontrarevolusioner”, si ”revisionis”, ”si komunis”, ”si
teroris”....
Tapi kita tahu, daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang to-
tal tak akan pernah tercapai. ”Negara Islam” telah dicoba dalam
sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah iktikad baik yang men-
coba-coba.
Sebenarnya Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan
sekali pukul dan buat selama-lamanya. Ia menganggap ”haram”
pan­dangan Bung Karno yang melihat gotong-royong sebagai ha­
kikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, ”Tuhan yang Maha
Esa” dilebur dalam kata ”gotong-royong”.
Dengan kata lain, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatut­
nya dipertautkan dengan ikhtiar bersama manusia yang masing-
masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian, bagaima-
na mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesu-
cian untuk mengurus kehidupan politik yang mau tak mau harus
http://facebook.com/indonesiapustaka

dikerjakan oleh tangan-tangan yang terbatas, terkadang cela?

Tempo, 3 September 2006

Catatan Pinggir 8 251


http://facebook.com/indonesiapustaka

252
Catatan Pinggir 8
MAHFOUZ

D
I lorong itu ada kedai kopi Kirsha. Dindingnya yang
do­yong­ dihias ragam arabesk berwarna-warni. Bau
racik­an jamu menyebar: aroma masa lampau yang jadi
bumbu dan obat orang ramai.
Tapi dari latar yang apak itu ada sikap menampik anasir masa
lalu, seakan-akan ingin menghalau warisan yang membentuk diri
dalam ketertinggalan bertahun-tahun. Ketika­ datang seorang
pengamen tua memainkan alat gesek dua dawai buat mengiringi
selawat Nabi, Kirsha berteriak: ”Kau mau paksa kami dengarkan
itu lagi? Sudah, cukup, cukup! ’Kan sudah kuperingatkan ming­
gu lalu!”
Bagi Kirsha, penyair-penembang tua itu hanya sisa yang di-
lampaui sejarah. ”Kami hafal semua kisah yang kau ceritakan....
Orang kini tak menghendaki penyair. Mereka terus-menerus
minta radio, dan aku sudah memasangnya di sudut itu. Pergilah.
Tinggalkan kami....”
Zuqaq al-Midaqq (Lorong Midaq), novel Naguib Mahfouz
yang pertama kali terbit pada tahun 1947, dalam banyak hal ber-
cerita tentang Kairo, tapi juga Mesir, dan juga, dalam arti tertentu
”Dunia Ketiga”—sebuah dunia yang, menurut Mahfouz dalam
pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya pada tahun 1988, tempat­
orang didera kerja untuk membayar utang, tenggelam dalam
ben­cana dan rudin dalam kelaparan, tempat manusia didiskrimi-
nasikan dan, seperti orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat Su­
ngai­Jordan, hidup terasing di tanah mereka sendiri. Tak meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

herankan bila novel ini dapat disadur jadi sebuah film Meksiko.
Tapi bukan kesengsaraan itu sebenarnya yang mengusik. Di
dunia seperti yang menghuni lorong Midaq, hidup bagaikan se­
petak tanah genting. Ia terbentang di antara masa lampau yang

Catatan Pinggir 8 253


MAHFOUZ

bak istana purba yang megah tapi berdebu dan masa depan yang
tak jelas tapi gemilang, karena apa pun bentuknya, yang akan
datang niscaya lebih baik ketimbang yang ada sekarang.
Hamidah, gadis cantik dalam novel ini, yang mendamba­kan
lepas dari masa kininya, bersedia diperistrikan Abbas,­ seorang
pe­muda yang tak menarik hatinya namun bisa menjanjikan jalan
keluar. Lelaki itu bekerja jadi barbir bagi pasukan­Inggris. Hami-
dah sendiri kemudian jadi pelacur melayani tentara Sekutu yang
bermarkas di Kairo pada masa perang me­la­wan Hitler itu. Ger-
monya memberinya nama baru, ”Titi”. Hamidah patuh. Nama,
baginya, seperti ”pakaian tua, dapat ditanggalkan dan dilupa­
kan”.­
Tapi tak semua hal mudah dilupakan. Lorong Midaq, se­bagai­
mana dilukiskan Naguib Mahfouz, adalah ”permata dari zaman
yang telah berlalu yang pernah bercahaya seperti bintang berkilap
dalam sejarah Kairo”. Sejarah memang telah membentuk sedi-
men yang tebal di kota itu. Pada 969 para pengikut Fatimah, pu-
tri Nabi, menaklukkan kota itu ketika mereka hendak menegak-
kan daulat sendiri melawan Daulat Abbasiyah di Bagdad. Nama
Kairo pun dimulai. Al-Qahira berarti ”Yang Menang”. Posisinya
menanjak. Pada abad ke-13 ia jadi ibu kota ketika kaum Mame-
luk berkuasa, dan begitulah seterusnya, juga ketika yang bertakh-
ta berganti-ganti.
Saya tak kenal pandangan Mahfouz dan tak tahu bagaimana­
ia memandang masa silam. Seperti banyak orang, saya hanya
men­duga tiap imajinasi tentang Mesir—negeri yang begitu erat
di hati Mahfouz dan praktis tempat ia tak pernah beranjak—di­
bentuk oleh sejarah yang memberat di kepala, seperti mahkota­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berbobot. Dalam wawancaranya untuk buku Mohamed


Salmawy, Mon Egypte, sang sastrawan menekankan­betapa besar­
nya sejarah dan betapa tipisnya geografi Mesir:­peradaban kuno
itu bermula dari sebilah tanah sepanjang Sungai­Nil. Rasa bang-

254 Catatan Pinggir 8


MAHFOUZ

ga memandangnya, kata Mahfouz, mirip rasa bangga tentang


orang tua kita.
Tapi bukankah rasa bangga itu sebenarnya yang membuat
orang tua kita, bukan sebaliknya? Masa lalu, istana purba yang
megah tapi berdebu itu, dibentuk karena sejenis kehilangan—
dan kehilangan itulah yang tak pernah hilang.
Dalam novel yang kemudian diterjemahkan sebagai The Chil-
dren of Gebelaawi, sang patriarkh, Gebelaawi, membangun­ se-
buah rumah agung di satu oasis di gurun gundul. Tapi gedung
itu­lah kemudian yang jadi sumber pertikaian keluarga. Kapan sa­
ja ada yang murung, menderita atau terhina, ia akan menunjuk
ke ru­mah di arah ke gurun itu, dan berkata, ”Itu rumah nenek-
mo­­yang kita, kita semua anak-anaknya, dan kita punya hak me-
milikinya. Kenapa kita kelaparan? Apa yang telah kita lakukan?”
Novel ini, yang mulai ditulis pada 1957 dan diserialkan di ko-
ran Al Ahram, dilarang diterbitkan di Mesir. Para ulama di Uni-
versitas Al Azhar mengharamkannya. Baru kemudian, pada
1967, cerita yang tak dapat dibaca di seluruh dunia Arab itu terbit­
di Libanon dengan judul Awlad Haritna (”Anak-anak Gang”).
Memang bukan persoalan tafsir terhadap masa lalu yang me-
nyebabkan lembaga kekuasaan agama itu murka, melainkan per-
soalan tafsir atas teks. Novel itu, yang bisa dibaca seba­gai alegori­
yang muram tentang Mesir di bawah kepemimpin­an Nasser,
oleh para ahli agama dianggap penghinaan kepada Islam: jum-
lah bab dalam novel ini, kata mereka, sama dengan jumlah surah
Quran, dan Gebelaawi, yang dianggap lambang Tuhan, mati di
bagian akhir. Agaknya ketika Mahfouz luka parah setelah dicoba
dibunuh pada 1994, tuduhan macam itulah yang masih berde­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngung­di kepala sang pembunuh.


Tapi bukankah masa lalu juga seperti novel: sebuah teks yang­
tak dapat dicopot, tapi selalu dibaca dan dibentuk oleh rasa­ke-
hilangan? Dalam hal para ulama Al-Azhar, rasa ke­hi­lang­an itu

Catatan Pinggir 8 255


MAHFOUZ

datang karena merasa iman terancam dan agama tak lagi utuh
dan stabil.
Persoalannya: keadaan terancam itu akan selalu menyertai
tiap iman, tiap dogma, karena sumber Kata tak lagi terjangkau.
Tapi anehnya manusia justru bisa nyaman dengan itu. Seperti di-
katakan Kirsha, si pemilik kedai, orang tak butuh lagi penyair
yang menembangkan selawat Nabi. Mereka butuh radio.
Seperti penyair tua di novel itu, Mahfouz pergi, bahkan se­
belum ia meninggal pekan lalu. Bunyi-bunyi lain telah me­ning­
kah suaranya yang kian lemah.

Tempo, 10 September 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

256 Catatan Pinggir 8


ABANGAN

P
ADA suatu saat di abad ke-19, seorang sastrawan Jawa
bertanya gelisah kepada dirinya sendiri: lebih berat ke
mana­kah hatiku, ke Allah atau ke Ratu?
Untuk beberapa lama ia tak bisa menjawab. Tapi akhirnya ia,
seperti tertulis dalam kitab Wedatama, menentukan sikap: dalam
soal bot Allah apa gusti, kesetiaannya tertuju lebih­ke­pada­ia yang
bertakhta di bumi. ”Allah” bukan pilihan pertama.­
Kita sekarang akan menganggap pilihan itu kontroversial.
Tapi sudah disebutkan, ini abad ke-19. Penulis puisi itu—konon­
ia Mangkunegara IV sendiri, yang memerintah Surakarta dari
1857 sampai 1881—menganggap yang dihadapinya bukan­per-
soalan theologi atau filsafat, melainkan identitas sosial.
Alasannya sederhana: ia bukan keturunan khatib atau to­koh­­
agama. Ia anak ”priayi”, lapisan pejabat kerajaan yang ter­paut
lang­sung atau tak langsung dengan aristokrasi. Sang penyair We-
datama tak merasa tergabung dalam kalangan kaum, sebutan­un-
tuk orang-orang yang penampilan dan pernyata­an dirinya diben-
tuk idiom ”Islam”. Ia bukan ”santri”. Dengan ke­angkuhan yang
setengah disembunyikan ia anggap ia akan ”nista” bila bergabung
dengan kasta kaum yang di bawah itu. ”Yèn muriha dadi kaum te­
mah nista....”
Dengan demikian, ”Allah” dilihat hanya sebagai salah satu
pi­lih­­an. Ia dapat dibandingkan dengan Raja. Keduanya prak­tis­­
sejajar. Bersamaan dengan itu, ”Allah” juga tak dianggap ­punya­
daya imbau yang universal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin awalnya sebuah ketegangan. Membaca Wedatama­


saya mendapat kesan tentang sebuah masyarakat Jawa, khususnya­
di sekitar Surakarta, yang sedang merasa diri terbelah dan me­
nang­gung kerisauan identitas. Waktu itu dengan resah orang

Catatan Pinggir 8 257


ABANGAN

ber­tanya-tanya: apa yang berubah di masyarakat, siapa kita, siapa


aku, siapa kami, siapa mereka? Adakah kami ”Jawa”, dan apa se-
benarnya arti kata itu?
Jawab Wedatama: ”Jawa” adalah sikap yang memandang Pa­
nem­bahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, sebagai model.
Bukan Muhammad SAW, nabi yang terlampau jauh untuk dija-
dikan teladan:

lamun sira paksa nulad


tuladaning kangjeng nabi
o nggèr kadohan panjangkah

Menarik untuk menduga kenapa begitu bunyi petuah itu.


Sia­pa pun dia, penulis Wedatama tampak terganggu betul­ oleh
ekspresi yang agresif dan demonstratif atas nama ”Islam”­ pada
ma­­sanya. Dengan tajam ia menyebut mereka yang ”bengkrakan
mring masdjid agung”, bertingkah pamer di masjid agung, para
pemuda yang tak henti-hentinya mencela orang lain (nguwus-
uwus) dengan cara kasar bak ”raksasa yang gemar menganiaya”.­
Puisi Jawa itu juga mencemooh mereka yang memamerkan ke­
pintaran dengan syariat yang hebat-hebat (saring­até ­elok-elok),
se­akan-akan orang tergesa-gesa ingin menyaksikan ”cahaya Tu-
han”.
Terhadap itu, Wedatama menawarkan sesuatu yang berbeda:­
teladan Mataram adalah keheningan laku, bukan dalil yang ga­
duh dan angkuh. Para kesatria Jawa dulu, kata Wedatama, men-
ganggap ”tahu” datang dari tindakan yang mirip pertapa: dari
posisi yang tak hendak menguasai, mirip Gelassenheit Heidegger.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia rela kehilangan, ia menerima bila hatinya dilukai, ia ikhlas


dalam derita karena pasrah kepada Yang Maha Agung, legawa
nelangsa srah ing Bathara. Sikap ini memandang Tuhan tak ada
dalam amarah dan kecerewetan, melainkan dalam ketenteraman

258 Catatan Pinggir 8


ABANGAN

yang suci dan tersembunyi.


Di sini tampak, ”Jawa” dibayangkan sebagai sesuatu yang
ham­pir sepenuhnya bertentangan dengan sebuah identitas so-
sial mereka yang terus-menerus sibuk dengan syariat (”anggung
anggubel sarengat”). Maka terhadap fikih yang tegar Wedatama­
menegaskan sikap yang pragmatis. Terhadap lagak bersuci-suci­
ia mengakui—dengan nada yang sedikit mengejek­diri sendiri—
pentingnya martabat, harta, dan kepandaian (wirya, harta, wina-
sis). Terhadap sikap yang mau mencontoh nabi nun di Arab abad
ke-6, ia menasihati: ”karena kau Jawa, sedikit saja cukuplah”.
Antagonisme itu menunjukkan bahwa ”Islam” sebagai sebuah
pengertian yang datang ke Jawa baru di abad ke-14 se­lama­nya
berbolong-bolong; selalu ada yang mrucut dari ca­kup­­an­nya. Ke-
tika hubungan langsung orang di Jawa dengan Timur Tengah ki­
an sering, seperti tampak sejak pertengahan abad ke-19 itu, dan
semangat dakwah dan gerakan ”pemurni­an”­ Islam meningkat,
do­rongan pun bertambah untuk me­nam­bal bolong itu. Berarti
yang ”tak murni”, yang ”lain”, harus­disumpal, ditiadakan.
Konflik pun berjangkit. Di situlah lahir dikotomi yang dicatat
Clifford Geertz dalam The Religion of Java: abangan dan santri.
Tidak, dikotomi itu bukanlah hakikat masyarakat Jawa:­ia tum-
buh dari pergulatan sosial pada suatu waktu, dari pe­rebut­an po-
sisi, terkadang tegang, terkadang kendur.
Sejarawan M.C. Rickels menunjukkan hal itu dengan meya-
kinkan dalam sebuah buku yang bakal terbit, Polarising Javanese
Society; Islamic and other visions, c. 1830-1930: abang­an adalah
pengertian yang baru dipakai orang pada pertengahan abad ke-
19. Kata itu semula sebuah cemooh orang yang taat beribadat ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada mereka yang tidak.


Cap negatif itu lama-kelamaan bertransformasi, dan akhir­nya
diterima tanpa disesali. Apalagi bagi penulis Wedatama. Dari si-
kapnya tampak, baginya ”Islam” tak menampung, tapi menen-

Catatan Pinggir 8 259


ABANGAN

dang. Agama itu tak lagi menimbulkan daya tarik universal—


dan Wedatama adalah sebuah komentar tentang kegagalan uni-
versalisasi itu. Buku puisi itu suara keinginan untuk ber­tahan,
bertahan sebagai yang ”lain” yang tengah terdesak: jika Wedata-
ma tak 100 persen menampik Islam, setidaknya ia ingin memilih
sebuah ”Islam” yang ”Jawa”.
Tapi apa arti ”Jawa” sebenarnya? Seperti halnya tafsir ten­tang­­
apa itu ”Islam”, ia pun dibentuk sejarah yang tak bebas dari­kete-
gangan. Maka tak ada ”Jawa” yang kekal. Wedatama, sebagaima-
na suara para priayi, bukanlah kata akhir. Wacana tak mati-mati.

Tempo, 17 September 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

260 Catatan Pinggir 8


PERCAKAPAN KE-7

N
ASKAH itu berupa 26 percakapan yang dilupakan
orang. Semuanya berlangsung menjelang akhir 1391.
Waktu itu Bizantium belum jadi wilayah Turki, tapi pe­
nguasa­nya, Manuel II, harus merendah: ia masih disebut ”raja”
atau ”Autokrator”, namun praktis ia cuma seorang vasal di bawah
daulat sultan yang bertakhta di Anatolia.
Sejak 1379, Bizantium berdiri rapuh dan tergantung. Karena
perselisihan takhta dengan adiknya, Manuel yang waktu itu ber­
umur 29 minta proteksi dari Sultan Murad I. Mulai dari sinilah
Bizantium harus bayar upeti dan ikut dalam aliansi militer de-
ngan negeri tetangganya di Selat Bosporus itu. Manuel selalu siap
patuh.
Pada tahun 1391 itu ia dititahkan ikut dalam peperangan di
pan­tai Laut Hitam. Tapi agaknya di Ankara ia punya waktu un-
tuk hal lain. Sejak Oktober sampai Desember ia berbincang­de-
ngan seorang ”kadi” kota itu. Dari sinilah meskipun mung­kin
tukar-pikiran itu tak sepenuhnya terjadi lahir naskah­Dua Puluh
Enam Dialog dengan Seorang Parsi. Dokumen ini umum­nya tak
ditengok lagi sampai ketika Paus Benediktus XVI mengutipnya
di sebuah ceramah di Universitas Regensburg, Jerman, pekan
lalu.
Saya tak pernah membaca sendiri tulisan Manuel II. Tapi saya
tak akan heran jika di sana sikap anti-Islam bergema kuat. Sang
Autokrator adalah ahli waris konflik dan kekalahan di hadapan
kekuasaan Turki, nama yang waktu itu berarti ”Islam”. Ayahnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

memerintah dalam situasi gawat setelah Daulat Usmaniah me­


nak­lukkan Macedonia dan Serbia pada tahun 1380-an; ia juga
harus menghadapi usaha perebutan takhta­di dalam negeri. Un-
tuk mempertahankan ayahnya sebagai Raja Bizantium, Manuel­

Catatan Pinggir 8 261


PERCAKAPAN KE-7

menyediakan diri jadi vasal di istana­Sultan. Ia siap menanggung­


kan pelbagai penghinaan. Ketika Sultan Bayazid I melarang tem-
bok Kota Konstantinopel diperkuat, larangan itu disertai ancam­
an: jika konstruksi itu tak dihentikan, Manuel akan dibikin buta.
Manuel diam, tapi ia punya kesimpulan. ”Hanya mala dan si-
fat yang tak manusiawi,” kata Manuel tentang ajaran yang dibawa
Muhammad, Rasul Allah di Mekah itu....
Sumber Manuel memang tak perlu jauh dicari: kitab ”Pem­be­
laan Buat Iman Kristiani” [terhadap Islam] yang di­susun­kakek­
nya, Johanes Cantacuzenus, yang bertumpu pa­da­polemik­yang
ditulis Bruder Ricoldo dari Montecroce (me­ninggal­pada 1320),
Confutatio Alchorani, risalah yang membantah Quran.
Tapi tiap polemik mengandung politik kutipan. Ketika Ma­
nuel mengutip surah Quran yang mengatakan ”Tak ada paksa­an
dalam agama”, ia katakan kalimat itu datang ketika­posisi­kaum
muslimin lemah. Dengan kata lain, ia memberi­konteks sejarah
kepada teks. Tapi ke-sejarah-an itu tak di­kemu­ka­kannya ketika
da­lam Percakapan Ke-7 ia menyebut teks lain, yakni perintah
sang Rasul yang katanya ”menyebar­kan iman dengan pedang”.
De­ngan kata lain, Manuel tak mencoba mencari latar historisnya
ketika pedang, dan bukan tegur sapa yang baik, dianjurkan Nabi.
Islam hanya membawa ”mala dan sifat yang tak manusia­wi”,­
kata Manuel. Tentu saja ini tipikal suara esensialis, yang meng­
anggap tiap identitas ditentukan ”esensi” yang tak pernah­ ber­
ubah, dan yang tak mengakui bahwa tiap ”esensi” sebenar­nya ha-
sil bentukan wacana.
Seperti Manuel, Paus Benediktus juga seorang esensialis. Ia
me­ngutip Theodore Khoury (editor penerbitan kembali Dua Pu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

luh Enam Dialog), yang mengutip R. Arnaldez, ”pakar tentang


Islam” dari Prancis, yang pada gilirannya mengutip Ibn Hazn,
bahwa Tuhan tak pernah bisa dikekang bahkan oleh Sabda-Nya
sendiri. Dalam pandangan ini, yang tampil adalah ”citra tentang

262 Catatan Pinggir 8


PERCAKAPAN KE-7

Tuhan yang semau-maunya (Willkür-Gott), yang tak dibatasi ke-


benaran dan kebaikan.”
Harus dicatat, Paus tak menganggap itulah citra yang disiar-
kan Islam; ia hanya menyebut itulah pandangan Ibn Hazn. Lebih
penting lagi, ia mengemukakan, dalam sejarah pemikir­an­Kris-
ten ada Duns Scotus yang hidup pada abad ke-13, yang berang-
gapan mirip, bahwa kita hanya tahu voluntas ordinata­Tuhan: di
atas itu, sepenuhnya kemerdekaan. Tuhan dapat ber­­­tindak ber-
tentangan bahkan dengan yang pernah dilakukan-Nya sendiri.
Sebenarnya tak hanya Ibn Hazn dan Duns Scotus. Tak di­­se­
butkan Paus adalah filosof ”okasionalis” Islam dan Kristen,­ se-
perti Al-Ghazali di Iran pada abad ke-11 dan Malebranche di
Prancis abad ke-17. Bagi mereka ini, tiap perubahan dalam obyek
dan pikiran adalah karena iradah Tuhan: ”kapas ter­bakar­api bu-
kan karena disulut geretan, tapi karena dibuat demi­kian oleh Al-
lah”. Tak ada hubungan sebab-akibat seperti ditemukan ilmu-
wan dan disimpulkan mereka yang memakai nalar. Tuhan ada di
atas akal budi.
Tapi bagi Benediktus, nalar adalah logos, kata Yunani yang ju­
ga berarti ”sabda” seperti terdapat dalam Kitab Kejadian. Maka
nalar bertaut dengan iman. Manuel, kata Paus, sekadar menga­
takan bahwa tak ada tindakan dengan nalar yang bertentangan
dengan Tuhan.
Di sinilah, menurut Paus, pertautan yang intrinsik antara Al-
kitab dan siasah Yunani. Buahnya mengubah dunia dan terben-
tanglah fondasi yang disebut ”Eropa”.
Eropa? Tapi jika ”Eropa”, dengan unsur Yunaninya, sama de-
ngan ”Kristen”, bagaimana si non-Eropa bisa percaya kasih Yesus?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bukankah ”fondasi” itu hanya konstruksi wacana, yang disu­sun


untuk membedakan diri dari—dan menyingkirkan—yang ha­
rus­dibuang dibisukan, dulu Yahudi, kini imigran muslim?
Tampaknya tesis di kampus Regensburg itu hanya sebuah po-

Catatan Pinggir 8 263


PERCAKAPAN KE-7

lemik: proses politik kutipan dan ingatan, ketika informasi A di-


catat dan B disembunyikan.
Artinya polemik yang serupa juga bisa dilontarkan orang mus-
lim, dengan menegaskan Islam-lah yang punya landasan rasional
dalam iman, sebab Hadith mengatakan ”agama ada­lah akal”. Is-
lam pula, dalam sosok Ibn Rushd, yang memperkenal­kan alam
pikiran Yunani ke Eropa.
Artinya agama lain bebal semata....
Dan soal agama dan kekerasan: bukankah yang tergurat jelas
dalam sejarah Islam juga tergurat di masa silam Eropa—tapi di-
lupakan hari itu?

Tempo, 24 September 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

264 Catatan Pinggir 8


LOGOS

P
ADA mulanya logos. Kemudian keraguan.
Adapun logos, menurut para pakar, berasal dari kata
Yunani­ legein, ”menghimpun”. Tapi kita akan terkecoh
bila menyangka­ kata dari zaman kuno itu tak berkait dengan
rasional­itas.
Ketika dalam puisi Illiad Homeros menggunakan kata kerja­
yang akarnya sama dengan logos untuk menggambarkan­ laku
menghimpun senjata, baju zirah, roti, dan lain-lain, di sana telah
tersirat penyusunan kategori—sesuatu yang kemudian kita ke-
nali dalam katalogus. Yang termasuk ”senjata” punya anasir yang
berbeda dengan ”makanan”. Ada proses abstraksi­yang memben-
tuk konsep: ”panah” lain dari ”lembing”, tapi ke­dua­nya dirumus-
kan sebagai senjata.
Logos pun berarti ”kata”, sesuatu yang merumuskan (dan juga
memberi bentuk) benda atau laku yang beraneka ragam­sebagai
satu acuan. Logos pula yang menyusun alur dan struktur­ cerita
da­lam prosa, mengatur argumentasi dalam discourse.
Artinya, yang centang-perenang diletakkan ke dalam sebuah
tata. Keanekaragaman yang tampak sebagai chaos ditiada­kan.
Dari ”kekacauan” perbedaan itu ada yang bisa diidentifikasikan
sebagai sejenis, digolongkan sebagai satu. Agaknya sebab itu He­
rak­leitos mengatakan, siapa yang mendengarkan logos (yang uni-
versal) akan mengakui bahwa semua hal adalah satu.
Tapi ”satu” bisa palsu. ”Satu” juga bisa kaku. Ketika yang bhi­
neka ditampilkan jadi eka, tidakkah ke-anekaragam-an itu di­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sem­bunyikan, atau abaikan, mungkin sejenak, mungkin­pula ter-


bungkam seterusnya? Sebuah tata atau ”order” bisa sangat­repre-
sif. Bahkan undang-undang yang kita terima seba­gai kemestian
sosial juga mengandung sikap yang menekan dan mengetam: kita

Catatan Pinggir 8 265


LOGOS

tahu ancaman penjara yang sama diberlaku­kan atas satu perbuat­


an yang mungkin sekali konteksnya tak sama.
Itu sebabnya hukum memerlukan hakim. Ia seorang yang di-
harapkan akan menimbang adilkah penyamaan itu, adakah yang
”logis” dengan sendirinya ”benar”. Hakim adalah unsur yang di-
perlukan untuk mempersoalkan sejauh mana undang­-undang
yang terpatri di kitab itu bisa diterapkan pada kejadian yang ma-
sing-masing sebenarnya unik, tak bisa dipatri. Hakimlah yang
mesti bisa mengimbangi prinsip ekuivalensi—bahwa­ pelbagai
hal perlu dianggap setara—dengan prinsip perbeda­an—bahwa
banyak hal niscaya berlainan.
Hakim, seorang manusia, adalah beda itu sendiri. Ia, juga aku­
dan engkau, tak mungkin sama sepenuhnya dan selama-lamanya.
Siapa pun tak bisa diringkus dalam esensi yang tunggal. Seorang
buruh tak hanya seorang anggita ”kelas” proletar, tapi mungkin
juga seorang istri yang ditindas suaminya yang juga buruh; atau ia
seorang yang memiliki sepetak tanah, sebuah alat produksi.
Sejak menjelang akhir abad ke20, kian kuat desakan un­tuk­­
mengakui bahwa ”satu” memang bisa palsu dan kaku. Logos­digu-
gat. Rasionalitas yang tersirat di dalamnya mulai­di­lihat­sebagai
alat untuk mengkotakkotakkan, mengontrol­dan me­ngua­sai du-
nia dan orang lain. Weber dengan muram me­­nyebut­­nya sebagai
”nalar instrumental”, bagian dari mo­dernitas­yang akhirnya akan
membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Kaum feminis,
seperti Hélène Sixous, melihat ada hubungan antara ”logosen-
trisme” dan kecenderungan pa­triarki­yang menindas, dan sebab
itu memperkenalkan kata ”phallogosentrisme”. Gilles Deleuze
memuji karya termasyhur Marcel Proust, A la recherche du temps
http://facebook.com/indonesiapustaka

perdu, sebagai pembawa­ Antilogos: berbeda dari kecenderungan


Yunani yang meletakkan tanda di bawah kendali logos dan mem-
bentuk sesuatu yang sebenarnya telah rusak karena dipermak,
da­lam novelnya Proust menghidupkan keragaman yang tak bisa

266 Catatan Pinggir 8


LOGOS

diringkus ke dalam Kesatuan.


Salahkah Kesatuan? Mungkin tidak dengan sendirinya. Tapi
Kesatuan bisa terasa sebagai horor di sebuah zaman yang telah
menyaksikan ngerinya totalitarianisme Hitler, Stalin, dan Mao.
Ke­satuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam me­
re­ka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golongan, tak
cocok untuk ”ber-Satu”: perempuan, orang hitam, orang ”kiri”,
orang ”kanan”, gay, dan entah apa lagi.
Yang jarang diingat ialah bahwa Kesatuan itu tak sekadar ha-
sil pemikiran metafisik. Ketika Kesatuan ditandai dengan satu
bendera—”manusia”, ”Kristen”, ”Islam”, ”Barat”, ”Asia”—yang
jarang ditanyakan ialah siapa yang memilih bendera itu dan me-
mancangkannya. Kita lupa ada unsur proses kekuasaan di dalam-
nya, kita tak melihat ”the political” terpaut erat di situ. Kita tak se-
lalu sadar bahwa tiap proses kekuasaan adalah bagian dari dunia
yang tak kekal, terbatas, dan tergantung.
Memang ada yang merisaukan dalam pandangan yang meng­
gugat Kesatuan itu, yang tak mengakui fondasi bersama manusia
yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua. Ketika Paus dua
pekan lalu mengingatkan bahwa ”pada mulanya­adalah logos”,­ia
sebenarnya mengungkapkan sebuah peringat­an dan kecemasan:
bagaimana dialog antarmanusia mungkin, jika Kesatuan itu di­
tam­­pik? Tidakkah ada sesuatu yang lain yang bukan ”mengko-
takkotakkan” dan ”mengontrol”, dalam logos, ketika kita ”meng-
himpun”, legein—dan itu hanya bisa dimengerti bila logos, seperti
dalam iman Kristen, juga diartikan Kasih Allah yang turun ke
bumi?
Maka Paus pun menganjurkan perluasan makna kata Ver-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nunft, (yang dalam bahasa Indonesia lebih dekat ke ”akal budi”


ketimbang ”nalar” yang instrumental). Bukan penyempitan, apa-
lagi penampikan.
Kita bisa memahami Paus di sini. Namun tentu saja jadi soal­

Catatan Pinggir 8 267


LOGOS

bila pada saat yang sama ”Eropa”-lah yang dinilai mewakili ”akal
budi” yang seperti itu. Di Indonesia kita tak perlu membaca kritik
Adorno dan Horkheimer (dua pemikir yang pada suatu saat ter­
sing­kir dari Eropa) untuk melihat ”Eropa” juga bisa berarti pen-
jajahan, ketika pada mulanya logos, kemudian kita tak bisa lolos.

Tempo, 1 Oktober 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

268 Catatan Pinggir 8


AYAAN

A
YAAN, anak gadis yang kelak membuat heboh Eropa
itu,­memulai pemberontakannya di sebuah gedung bios-
kop. Itu terjadi ketika ia, asal Somalia, bersama ibu, ka-
kak, dan adiknya tinggal sebagai keluarga pengungsi di Kenya
pada akhir tahun 1980-an.
Pada umur belasan tahun itu ia jatuh cinta kepada seorang pe­
muda yang ia beri nama rahasia ”Yussuf”. Bagi keluarga Aya­an,
hubungan itu salah. Pemuda itu orang Kenya. Tapi seandai­nya
pun bukan, pacaran adalah perbuatan cela bagi gadis muslimah
seperti dia.
Maka di dalam gelap di depan layar putih itulah Ayaan me­ne­
mukan jalan bagaimana bisa duduk berdampingan dengan ”Yus­
suf”. Mereka bersentuhan tangan. Tapi hatinya berdebar keras
oleh gairah dan juga rasa bersalah. Di depan mereka adegan-­
adegan A Secret Admirer—sebuah film komedi Hollywood buat
remaja—diputar, dan mereka melihat bagaimana anak-anak mu­
da nun di ”Barat” itu berciuman di bibir, tanpa ketakutan, dan
akhirnya bahagia.
Ayaan bukannya tak datang dari sebuah keluarga terpelajar.
Ayah­nya, Hirsi Magan Isse, seorang pakar bahasa dan bahkan­
per­nah belajar di AS. Lelaki ini percaya bahwa demokrasi pen­
ting,­ begitu juga pendidikan untuk perempuan. Ia jadi se­orang
ak­­tivis. Somalia berada di bawah kediktatoran Mohammad Sa­id
Barre, dan Hirsi melawan. Ia dipenjarakan. Ketika itu Aya­­­an la-
hir. Keluarga itu meninggalkan tanah kelahir­an mere­ka.­
http://facebook.com/indonesiapustaka

Anak gadis itu kemudian bersekolah di Nairobi, di sebuah


sekolah buat muslimah kecil. Ia menutup tubuhnya brukut da­
ri­ubun sampai ke jempol kaki dan dengan bersemangat ikut de­
monstrasi mengutuk Salman Rushdie.

Catatan Pinggir 8 269


AYAAN

Tapi perubahan dalam dirinya terjadi, secara radikal, yang ke-


mudian membawanya ke Belanda, menjadikannya seorang yang
menuding Islam sebagai asal penindasan perempuan dan keti-
dakbebasan manusia untuk berpikir. Dari sinilah berkobar­kon-
frontasi yang sengit yang berakhir (mungkin juga tak ber­akhir)­
pada pembunuhan Theo van Gogh di sebuah jalan Ams­ter­dam
pa­da suatu pagi awal November 2004. Dalam Murder in Amster-
dam (terbitan The Penguin Press, New York, 2006), Ian Buruma­
dengan sensitif, cerah, dan memukau menampil­kan­­sosok Ayaan­
serta problem yang dihadapi hampir siapa pun­ di Belanda dan­
Ero­pa kini: dilema, ketakutan, rasa curiga dan benci, juga hipo­
krisi, ketika di negeri yang pernah bangga akan Pencerahan­itu
ha­rus menghadapi kenyataan, bahwa ide-ide tentang kebhi­ne­ka­
an, toleransi, dan ke-universal-an terbentur dengan realitas yang
baru.
Kita tentu masih ingat peristiwa pembantaian itu. Pembuat­
film, penyelenggara acara debat talk-show yang terkenal dengan­­
ucapannya yang kasar itu, Theo van Gogh, ditembak,­di­sembelih,
dan ditikam Mohammad Bouyeri di tepi jalan. Di pisau kecil
yang tertancap di dada korbannya itu, sang pe­muda­Belanda ke-
turunan Maroko menyematkan selembar surat. Isi­­nya dialamat-
kan Ayaan Hirsi—yang telah meninggalkan­agamanya,­memilih­
jadi atheis, dan kemudian bersama Van Gogh membuat film 12
menit berjudul Submission yang me­mang­ dimaksudkan untuk
menunjukkan buruknya Islam—akan jadi sasar­an pembantaian
berikutnya.
Apa gerangan yang terjadi pada Ayaan?
Dalam kisah yang dicatat Buruma, perjalanan itu cukup ber­
http://facebook.com/indonesiapustaka

liku. Dari Somalia, anak tapol itu bersama keluarganya hidup­


se­bagai pelarian di seberang pelbagai perbatasan. Sebelum di
Kenya, mereka tinggal di Arab Saudi, di mana Ayaan bertemu
ayahnya yang menghilang dari negerinya. Di sana, di lingkungan

270 Catatan Pinggir 8


AYAAN

ajaran Wahabi, ia, seperti tiap perempuan, praktis­tidak bisa ber­


ada di luar rumah. Tapi tak serta-merta Ayaan mem­bangkang.
Malah sesampai di Kenya, setelah Sudan, ia ter­tarik ke dalam ide-
ide Ikhwanul Muslimin yang baginya memberi idealisme. Tapi ia
juga telah menyaksikan dari dekat, dari hidupnya sendiri, betapa
perempuan ditampik sebagai sesama yang berhak. Pada usia 22,
Ayaan diperintah jadi istri seorang sepupu yang hidup di Kanada.
Ia dikirim ke sana. Tapi melarikan diri ke Belanda.
Ia bekerja di pabrik, dan bersua dengan seorang pacar yang
memberinya buku ”Manifesto Atheis”. Mulai tumbuh sikap beron­
tak terhadap imannya yang lama, dan ia jadi aktivis, masuk poli-
tik, jadi anggota parlemen—dan jadi seorang penantang.
”Yang dibutuhkan kebudayaan Islam,” begitu tulisnya, ”ada­­
lah buku, lakon, puisi dan lagu yang... mengejek aturan agama.”
Ia ingin berperan sebagai Voltaire yang menghajar­Gereja Katolik
dan dengan demikian membuka pintu Pen­cerah­an.­ Eropa bisa
bangkit karena meninggalkan imannya dan masuk ke pemikiran
yang universal, terbuka, dan merangkum.
Ayaan melihat, Islam terus-menerus menampik untuk men-
jabat dunia yang diciptakan beraneka, dan ia tak sendirian me-
nyaksikan itu. Yang tak dilihat segera ialah Eropa sendiri—de-
ngan prestasi Pencerahan—belum juga memecahkan soal itu.
Pa­ra imigran, seperti Ayaan, mengalami Eropa yang tertutup.

Tempo, 8 Oktober 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8 271


http://facebook.com/indonesiapustaka

272
Catatan Pinggir 8
2020

P
ADA tahun 2020, dunia baru akan lahir. Kekhalifahan
Islam akan menang, dan ”umat manusia sekali lagi akan
dituntun ke pantai rasa aman dan oasis kebahagiaan ....”
Waktu itu berakhirlah ”konfrontasi total” antara kaum ”muk­
minin” dan ”orang kafir” yang berlangsung di seluruh dunia—
dan tahap ketujuh dalam rencana besar Al-Qaidah akan terpe­
nuhi.
Jika benar seperti yang diuraikan Fouad Hussein dalam buku
yang versi Inggrisnya disebut Al-Zarqawi: The Second Generation
of Al-Qaeda, rencana Al-Qaidah untuk menang itu­—yang terdiri
dari tujuh tahap—sudah mulai tampak seka­rang. Tahun 2006
termasuk ”tahap kedua”, ketika Irak jadi tem­pat Al-Qaidah me­
ne­mukan tenaga baru dari anak-anak muda yang ingin menye­
rang Amerika—musuh yang angkuh dan bodoh yang masuk ke
perangkap yang dibuatnya sendiri.
Tapi, sebelum saya lanjutkan cerita ini, baiklah saya perkenal-
kan sedikit Fouad Hussein. Ia seorang wartawan Yordania.­Dari
sosoknya yang kurus dan sikapnya yang tenang—ia sering tam-
pak di Café Vienna di Kota Amman—kita tak akan menduga ia
punya bahan cerita yang mengagetkan. Tapi 10 tahun yang lalu
Fouad—yang tulisan-tulisannya tak selamanya­ menyenangkan
raja—disekap pemerintah di penjara Suwa­qah. Di situlah ia ber-
temu dengan dua tahanan lain. Yang satu seorang Palestina, Abu
Muhammad al-Maqdisi. Yang lain Abu Musab al-Zarkawi.
Maqdisi sudah lama dikenal sebagai perumus ideologi ge­rak­
http://facebook.com/indonesiapustaka

an ”Islamis” radikal yang menganggap najis penguasa Ke­raja­an


Saudi. Bukunya mengutuk kerajaan itu sebagai sumber bid’ah—
dan agaknya berpengaruh. Pada tahun 1995, tempat latihan Gar-
da Nasional Saudi diledakkan orang. Maqdisi menghilang.

Catatan Pinggir 8 273


2020

Ketika ia berada di Peshawar, Pakistan, pada awal 1990-an, ia


berjumpa dengan Zarkawi. Keduanya berteman, meskipun­ tak
se­lamanya Maqdisi membenarkan langkah temannya itu. Zar­­ka­
wi adalah seorang Badui asal Yordania, seorang man of action yang
menurut pelbagai penuturan, hidup dengan aksi sebagai impuls,­
tanpa pemikiran, tanpa strategi. Ia pasti­ ber­beda­ dari Maqdisi.
Tapi keduanya beraliansi dalam kemarahan­ dan nasib yang sa­
ma.­Kembali dari Pakistan dan Afga­nis­tan, mere­ka membentuk
kelompok perjuangan. Mereka ditangkap. Pada tahun 1993 ke­
duanya masuk bui. Di situlah Fouad Hussein dapat menimba ba-
han untuk bukunya.
Yang menarik dari buku yang terbit pada tahun 2005 itu—
yang menguraikan rencana besar Al-Qaidah tadi—adalah ia
bisa mirip sebuah ramalan. Di sana sudah disebutkan apa yang
di­harapkan Al-Qaidah: menyulut konflik antara Iran dan AS.
Menurut Zarkawi, kunci strategi Al-Qaidah adalah menyeret
Bush­ hingga mesin perangnya harus melayani medan yang ter-
lampau luas.
Tak berarti rencana besar itu seluruhnya masuk akal. Men­
dirikan kekhalifahan Islam—meniadakan pelbagai republik­
dan kerajaan yang sekarang ini tak tampak akan runtuh—me­
merlukan revolusi yang menjalar dari tempat ke tempat. Mungkin­
antara 2013 dan 2016 hal itu bisa terjadi di Saudi dan Suriah—
yang legitimasi pemerintahannya selalu rapuh—tapi sudah ber­
abad-abad Islam tak pernah bisa mempersatukan orang muslim.
Kini bahkan iman dan tekad yang sama tak membentuk konsen-
sus di antara pelbagai kelompok perang jihad.
Bagi Zarkawi (ini saya pinjam dari tulisan Lawrence Wright
http://facebook.com/indonesiapustaka

di The New Yorker 11 September 2006) menteror dan membunuh


orang Syiah itu sesuatu yang perlu. Agustus 2003, ia mengebom­
se­buah masjid Syiah. Lebih dari 100 orang tewas, termasuk
Ayatullah Muhammad Bakr al-Hakim.

274 Catatan Pinggir 8


2020

Maqdisi mengecam kebrutalan yang berlebihan itu, terutama­


setelah pada Mei 2004 Zarkawi membuat dan menyebarluas-
kan rekaman film penyembelihan Nicholas Berg, seorang Ameri-
ka yang dikontrak Pentagon sebagai penjaga keamanan di Irak.
Dalam tulisannya di website yang ia pakai untuk me­nyebar­luas­
kan ide-idenya, Maqdisi bersuara seperti seorang yang jauh dari
dunia terorisme. ”Tak ada alasan untuk menuntut balas dengan
ca­ra menakut-nakuti orang, memprovokasi seluruh dunia hingga
membenci kaum mujahidin, dan mendorong dunia memerangi
mereka.”
Maqdisi agaknya salah satu dari sedikit ideolog ”Islamis” yang
tahu bahwa pada akhirnya perjuangan untuk menegakkan suatu
tata di dunia adalah perjuangan politik: mencari dukungan,
men­dapatkan pembenaran, mengajak, menarik, merangkul. Tak
ada tata yang pada abad yang penuh sesak ini bisa berdiri di atas
bangkai dan puing.
Hal ini yang tampaknya mulai jadi tema ”oto-kritik” para pen-
jihad. Tulisan Wright menyebutkan nama Abu Bakr Naji, yang
tak diketahui identitasnya, tapi kritiknya muncul pada musim
semi 2004 di Internet. Ada langkah politik di samping­langkah
militer, kata Naji, tapi ia mencatat bahwa pelbagai kelompok Is­
lam­is menganggap politik sebagai ”aktivitas jorok sang Setan”.
Dan Naji sebenarnya bertanya: bisakah politik dihindari?
Citra Al-Qaidah di kalangan muslim rusak, kata Naji, sebab­
ku­rang usaha meraih dukungan. Maka langkah pertama, tulis­
nya,­­”adalah ... memfokuskan usaha, untuk secara rasio­nal­mem-
berikan pembenaran langkah kita....” Langkah ber­ikut­nya:
”meng­­­komunikasikan pembenaran ini secara jelas kepada khala­
http://facebook.com/indonesiapustaka

yak....”
Suara seperti ini memang seharusnya tak ganjil. Tapi kata ”ji-
had” telah membangkitkan kultus kepada darah dan besi, bu-
kan kesadaran akan rasionalitas sesama manusia. Retorika pun

Catatan Pinggir 8 275


2020

bergerak dalam pemujaan kepada kekerasan dan kemati­an. Ada


penampikan kepada hidup di mana keintiman sehari-hari pu­
nya­harganya sendiri. Ada sikap destruktif kepada apa yang bisa
mengimbau orang lain. Ada sikap alpa bahwa soal kita ialah ba­
gaimana mengubah dunia, bukan meloncat ke surga.
Tapi siapa yang memutlakkan kemurnian memang harus me-
milih keterpencilan. Siapa yang memilih keterpencilan lewat
pem­­­bunuhan memang tak dimaksudkan untuk menang di kehi­
dupan. Juni 2002, konon seorang putra Bin Ladin, Hamzah, me­
ma­sang satu pesan dalam website Al-Qaidah: ”Oh, Ayah! Aku li-
hat telatah bahaya di mana-mana....”
Dia benar.

Tempo, 15 Oktober 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

276 Catatan Pinggir 8


BANDUNG BONDOWOSO

B
ANDUNG Bondowoso menyusun batu dan menegak-
kan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam.
Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-
suara pagi datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak ber-
hasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentu-
kan.
Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul him­
pun­an candi yang mempesona di Prambanan itu—memang se-
buah cerita kegagalan.
Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhas-
rat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang
telah dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya­telah
jatuh ke tangan kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan
lagi orang yang merdeka. Tak mungkin ia menampik kehendak
seorang lelaki yang kini dipertuan.
Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan
mau menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegak-
kan dalam satu malam.
Bandung Bondowoso setuju.
Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agak­
nya­legenda Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang
ingin bercerita bahwa tiap kemenangan selalu me­ngan­dung ke­
kalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan dan di
luar­nya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah mema-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dai, dan ada yang minus dalam tiap takhta.


Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jong-
grang ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka.­Ia
bisa menuntut dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenar­nya

Catatan Pinggir 8 277


BANDUNG BONDOWOSO

mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Peng-
ging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam
hu­bungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempu­an
itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki.­Bahkan Ban­
dung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan­ Jonggrang.­
Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam
hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa mem-
baca kalimat Thomas ă Kempis pada abad ke-15—tak merasakan
beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba
apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di
hadapan kemustahilan”.
Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung me-
nerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang
telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasa­malu untuk­
menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi­ dalam satu
malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengan­dung­ peng­
akuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam
po­­sisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini ke­perkasaan juga
me­nemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan
yang lain yang tegak di luar itu—yang lain yang memandang ke
arahnya.
Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada se-
buah senja ia berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya
tak­jub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang.
Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan ber-
buat,” jawab Bandung Bondowoso.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Untuk apa?”
Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat le­ngan­
nya­dan berjalan kembali ke markas pasukan, melewati­deretan
pan­ji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemui­Loro Jong-

278 Catatan Pinggir 8


BANDUNG BONDOWOSO

grang—dan melihat wajahnya yang ketakutan tapi tak merun­


duk,­mendengar ucapannya yang gemetar tapi fasih—ia tahu ada
yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat para Pan-
dawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan
Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya
melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang di­capai
Rama setelah merebut Sinta kembali? Ia tak yakin perempuan
itu, yang bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, se­orang istri
yang belum dinodai.
Kebanggaan diri dan kejayaan—mungkin itulah yang meng-
gerakkan perang. Perang memang mengubah sejarah. Tapi, se­te­
lah itu, sejarah mengecoh para pendekar, dan lahir penulis trage-
di.
”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar­
bu­­kit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya
Jong­grang.
”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”
”Dalam satu malam?”
”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”
Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah
karena dilecut yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadil­an,
dan hal-hal lain yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup
yang tak pernah penuh.
Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam
sa­tu malam adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa­
men­coba merumuskannya, dan itu sebabnya kata-kata tak se­pe­
nuhnya transparan. Tak pernah jelas apa yang sebenarnya ditan-
dai dengan kata ”seribu”. Percakapan sehari-hari, retorika­resmi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000 janji”, kata sebuah


lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih sebagai sebuah
kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak ter­­hingga”.
Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus­siap

Catatan Pinggir 8 279


BANDUNG BONDOWOSO

menjangkau yang tak terhingga. Ketika sore mulai me­rayap,­ ia


be­rangkat meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu
para roh halus membantunya mengangkat batu dari Merbabu,
menyusun dan memahatnya dengan relief yang me­nakjubkan.
Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” de-
ngan ”pagi”? Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detak­
an­lesung perempuan tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau
sebuah kesadaran akan batas—yang mengingatkan bahwa yang
”tak terbatas” selalu luput?
Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso ha­
nya­lah cerita kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terba-
tas juga punya daya gugah dan mampu menyentuh hati. Keti-
ka ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000 candi—dan gagal pula
cintanya kepada Jonggrang—Bandung Bondowoso pergi ke be-
lukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perem-
puan itu.
Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan
keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.

Tempo, 22 Oktober 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

280 Catatan Pinggir 8


PAMUK

K
ETIKA Orhan belum berumur 10 tahun, ia memba­
yang­­kan Tuhan sebagai seorang perempuan tua bertu-
dung putih.
”Tiap kali bayangan itu muncul di depanku, aku rasakan ke­
hadiran yang kuat, luhur dan sublim, tapi anehnya aku tak takut-
takut amat, ” tutur Orhan Pamuk dalam Istanbul (versi Inggris-
nya terbit pada tahun 2005).
”Seingatku, aku tak pernah meminta tolong Dia dan petun-
juk-Nya. Aku sadar Ia tak pernah tertarik kepada orang macam
diriku. Ia hanya peduli kepada mereka yang miskin.”
Hidup novelis Turki ini memang jauh dari mereka yang mis­
kin. Sampai sekarang, dalam usia 54, ia tinggal di lantai ke-4 ba­
ngunan lima tingkat yang dulu seluruhnya ditempati ke­luarga
besar Pamuk dan diatur seorang nenek gemuk dari tempat tidur.
Dari jendela kamar itu akan tampak Masjid Hagia Sophia, Laut
Marmara, Selat Bosporus, Istana Topkapi—hiasan termasyhur
tamasya Istanbul.
Si kaya yang aman yang tak menganggap penting Tuhan­—
itu­lah yang tergambar dari kenangan Pamuk tentang hidupnya di
kota tua yang melankolis itu. Malah mungkin ada sikap yang le­
bih­radikal, jika novel Beyaz Kale (versi Inggris: The White Castle)
kita anggap mengandung anasir otobiografis si pengarang. Kakek
si Faruk, sejarawan pemabuk dalam novel ini, tak percaya kepa-
da Tuhan tapi kepada Pencerahan Eropa. Ia ingin membawa ra-
sionalisme ke Turki dan menulis 48 jilid­ensiklopedia. Kakek si
http://facebook.com/indonesiapustaka

Orhan sendiri gemar menyanyikan ”lagu-lagu atheis”.


Orhan sadar, cinta Tuhan menjangkau siapa saja di rumah itu.
Tapi ia juga tahu:
”orang macam kami cukup beruntung tak membutuhkan-

Catatan Pinggir 8 281


PAMUK

nya”. Bagi si kecil ini, Tuhan ada buat menolong mereka yang ke-
sakitan, menawarkan rasa senang kepada mereka yang tak punya
uang untuk mendidik anak, membantu para pengemis yang tak
henti-hentinya menyebut nama-Nya.
Kesalehan dan kemiskinan, kelas atas dan kemungkaran—
pola ini, yang dalam variasi berbeda juga pernah tampak di Indo-
nesia, (dengan lapisan aristokrat yang dekat dengan Belanda­dan
orang kebanyakan yang mendapatkan kekuatan dari Islam)—di-
hadirkan Pamuk dengan sedikit sayu, sedikit cemooh, tapi penuh
empati.
Dalam Istanbul ada Esma Hanim, misalnya, si batur yang ti­ap­
waktu senggang akan cepat-cepat ke biliknya untuk meng­ge­lar
sajadah dan bersembahyang. ”Tiap kali ia merasa­bahagia, sedih,
takut, atau marah, ia akan teringat Tuhan,” tulis­Pamuk ten­tang
pelayan pada masa kecilnya itu. ”Tiap kali ia membuka atau me-
nutup pintu..., ia akan menyebut nama-­Nya dan kemudian mem-
bisikkan beberapa kata lain, lirih-lirih.”­
Umumnya keluarga Pamuk—yang tak pernah berpuasa­pada
bulan Ramadan tapi menyiapkan berbuka dengan gairah­—me-
nerima sikap itu dengan nyaman. ”Bahkan bisa dikatakan, kami
merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada... kekuatan
lain yang membantu mereka menanggungkan beban.”
Tentu saja ada rasa waswas, ”kalau-kalau orang miskin itu bisa
menggunakan hubungan khusus mereka dengan Tuhan untuk
menghadapi kami”.
”Hubungan khusus” itulah yang memang kemudian di­pakai­
mereka yang melarat dalam Kar, (versi Inggrisnya, Snow, terbit
pada tahun 2005), novel tentang seorang penyair yang datang ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebuah kota miskin di perbatasan. Di kota itu mereka­yang mera-


sa terhina oleh dunia modern, oleh ”Eropa”, memperkuat diri
dalam ”Islam” dan dengan amarah. Tapi bagai­mana­ akhirnya
tak jelas. Mereka tak hanya dituduh anti-Turki, tapi juga anti-ma-

282 Catatan Pinggir 8


PAMUK

sa depan—masa depan yang digariskan Kemal Attaturk: Turki


yang modern”dan ”sekuler”.
Dalam arti tertentu, karya Pamuk adalah gema Turki dan
ben­turan ”sekuler-dan-Islam”-nya—mirip dengan yang di Indo­
nesia berbentuk pergulatan ”Timur-Barat”. Tapi novel-novel Pa­
muk jauh lebih dalam dan lebih tak terduga-duga ketimbang kar­
ya para penulis dari jenis yang di sini diwakili Siti Nurbaya, Salah
Asuhan, Layar Terkembang—yang sejak tahun 1920-an tak putus
dirundung ketegangan orang ”Timur” yang harus memilih, atau
menampik, yang ”modern”.
Pamuk merasakan ketegangan macam itu, tapi ia sendiri tak
ikut tegang. Ia pernah mengatakan, di dunia tak ada orang yang
menganggap diri sepenuhnya ”Timur”. Ketika ia ditanya­apa arti­
nya itu, Pamuk menjawab: ”Saya tak tahu. Biarlah saya nikmati­
dulu yang puitik dari keadaan itu—keanehannya. Mari kita tak
usah memahaminya.”
Yang puitik, yang ”aneh”, yang tak harus 100 persen dipahami,­
memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak,
bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu.
Dalam Benim Adim Kirmizi (My Name is Red), pelbagai karak­
ter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16—
termasuk si korban (”Aku sebuah mayat”), si pembunuh yang tak
bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula re­
alis­tis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan
apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosporus, cerai le­
wat­pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan
po­tong rambut....
Atau dalam The White Castle: sosok si Hoja persis sama dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

seorang Italia yang ditangkap dan dipekerjakan di Ke­sultan­an


Turki. Bahkan akhirnya Hoja jadi si Italia, pulang ke Venezia dan
si Italia jadi Hoja. Seperti Galip yang akhirnya jadi Jelal dalam
Kara Kitap (The Black Book), ”watak” tokoh dalam novel Pamuk

Catatan Pinggir 8 283


PAMUK

seakan-akan tak ada, selalu dalam proses, dan narasi bergerak ke


tujuan yang tak begitu jelas.
Pamuk memang membedakan diri dari banyak pengarang di­
Dunia Ketiga, pengarang ”realis yang datar” yang ”merasa sas­
tra­ harus melayani moralitas atau politik”. Ia menampik sastra
ma­cam yang di Indonesia dianjurkan Pramoedya Ananta Toer:
”Saya tak pernah menginginkan model realisme sosialis Stein-
beck dan Gorky”.
Ia, pemenang Nobel 2006 buat kesusastraan, memang suara­
dari dan bagi zaman yang tahu diri: tiap ikhtiar manusia untuk
mengubah dunia dengan sastra (salah satu bentuk iradah moder-
nitas) akhirnya gagal—seperti meriam dalam Beyaz Kale yang
dibawa pasukan Turki untuk merebut kastil putih Polandia. Sen-
jata modern itu terbenam dalam lumpur.

Tempo, 29 Oktober 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

284 Catatan Pinggir 8


KIM

H
OROR tak pernah tampil sebagai yang normal. Juga
ketika kita tak bersama cerita hantu. Dalam kisah Flash
Gordon, horor adalah Kaisar Ming; dalam film James
Bond: Dr No; dalam wayang: raksasa berhidung grotesk.
Hari ini horor dunia juga datang dari sosok yang ganjil, atau
dianggap ganjil: sebuah republik teka-teki, negeri di utara yang
dulu disebut ”Kerajaan Pertapa” dan kini benteng tertutup, se-
buah ”demokrasi rakyat” yang menyembah seorang lelaki yang,
menurut sejarah resmi, lahir di pucuk gunung sakral ketika bin-
tang menyilaukan. Ia Kim Jong-il, ahli waris takhta yang tetap
man­ja pada umur 65, pemimpin yang disanjung dengan gelar
yang muluk-muluk, penguasa yang dikelilingi jenderal berbin-
tang emas, kepala negara yang rakyatnya lapar tapi menantang
se­luruh jagat dengan menyiapkan senjata nuklir.
Jarum jam apokalipse itu, yang beristirahat sejak Perang Di­
ngin­selesai 20 tahun yang lalu, kini tampak bergerak lagi. Bah-
kan lebih mencemaskan: ia tak jauh dari telunjuk sang otokrat
yang duduk tak terjangkau, penuh rahasia, di sebuah istana di
Ko­­ta Pyongyang.
Dan horor pun bertengger di atas horor; yang menakutkan
ber­­taut dengan yang tak lazim.
Tapi jika horor selalu berkait dengan yang aneh dan tak ter-
jangkau, bukan berarti ia tak bisa berupa kejadian sehari-hari. Ia
bahkan bisa terasa banal; kita ingat Hannah Arendt pernah ber-
bicara tentang ”the banality of evil”.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mungkin itulah yang terjadi kini. Tiap malam kabar datang


dari Irak tentang bom yang meledak dan orang terbunuh berpu-
luh-puluh, dan kita baca dalam Lancet, jurnal kedokteran Ing-
gris yang ternama itu, 650.000 jiwa mati selama empat tahun se-

Catatan Pinggir 8 285


KIM

jak Amerika menyerbu Bagdad. Berarti, 450 nyawa putus saban


hari ....
Jika tak ada yang terasa mengerikan dalam ”the deadliest in-
ternational conflict of the 21st century”ini—begitulah Perang­Irak
disebut dalam Lancet—mungkin karena kita telah tumpul­hati.
Tapi lebih mungkin karena kebuasan itu telah di­tampil­kan seba­
gai bagian dari ikhtiar orang yang ”normal”.
Di belakang ikhtiar yang membawa kematian itu memang
tak ada tokoh yang ganjil. Tak ada lelaki tambun berambut di­
sasak se­perti Kim. Yang ada mereka yang berjas-dan-dasi­seperti­
para eksekutif di kantor yang bersih. Bahkan paras­para jenderal
mere­ka tak menakutkan, tentara mereka tampan­seperti di film
Holly­wood, percakapan mereka hidup, terkadang­ disertai hu-
mor—penampilan yang tersiar ke seluruh dunia dari waktu ke
wak­tu.­Mereka bukan Kaisar Ming, bukan Dr No. Mereka Bush,
Che­ney, Rumsfeld, Blair—orang-orang yang tampak rukun ber-
anak-istri, punya waktu senggang untuk­berburu, rajin beribadat.
Tapi tidakkah yang ”normal” sesungguhnya menutupi­se­­sua­
tu­dengan lupa? Lupa, dalam hal ini, mencoba me­neng­gelam­kan
ke bawah-sadar segala hal yang tak pas bila kita hendak tampil ja­
di ”orang”. Jadi ”orang” artinya mengikuti­pola yang dikehendaki
Mereka (dengan ”M”), kekuatan-kekuat­an efektif yang menyu­
sun­tata dan menentukan wacana. Dari wacana­”M” itulah ter­
ben­­­tuk yang ”normal”. Orang pun ramai-­ramai ikut, meski­pun­
(atau justru karena) di dalamnya ter­kandung­lupa dan represi.
Membentuk yang ”normal” memang punya kekerasan ter­sen­
di­ri. Sebanyak 650.000 orang mati di Irak, dan itu bagian dari
usa­ha Tuan Bush untuk membuat negeri itu ”normal”; 350.000
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang mati hampir sekaligus di Nagasaki dan Hiroshima, dan itu


karena yang berkuasa di Amerika ingin membentuk dunia seperti
wajah mereka. Dan kita, yang menerima itu sebagai sesuatu yang
wa­jar, alpa bahwa ada yang mengerikan dari lupa.

286 Catatan Pinggir 8


KIM

Kata ”yang-mengerikan-dari-lupa”, l’ horreur de l’oubli, saya


pinjam dari Hiroshima Mon Amour. Film Alain Resnais dari ta-
hun 1960 dengan teks Margaret Duras ini—yang sarat dengan
ingatan tentang bom ganas yang meledak pada pagi 6 Agustus
1945 itu—memang menghadirkan ketegangan antara kehancur­
an perang dan percintaan, lupa dan trauma, tempat dan saat, 14
tahun setelah Hiroshima luluh-lantak dan bangun kembali.
Seorang perempuan datang dari Prancis ke kota itu. Ia berte­
mu seorang lelaki Jepang, dan mereka bercinta. Perempuan itu
ha­­nya disebut elle, pria itu lui. Kemudian kita tahu: elle bergulat­
pedih dengan masa lalunya di Nevers—kekasihnya seorang pra-
jurit Jerman, musuh yang akhirnya ditembak mati—dan lui de-
ngan ingatan tentang Hiroshima yang binasa. Tapi hanya itu
yang kita tahu. Biodata mereka seakan terhapus.
”Hiroshima, itu namamu,” kata perempuan itu.
”Namamu, untukmu, Nevers,” kata lelaki itu.
Mereka berpelukan.
Mereka mencoba melupakan, mereka ingin lumat. Tapi justru
dalam keterhapusan mereka, masa lalu tambah meng­iris, dengan
cara yang sederhana. Lupa, seperti ingat, adalah memilih­mana
yang disimpan dan dibuang. Tapi tak urung, yang disim­pan dan
yang terhapus susup-menyusupi: ”Seperti kau, juga aku—kuco-
ba sekuat tenaga melawan lupa. Seperti kau, aku melupakan. Se-
perti kau, kuinginkan kenangan yang tak mungkin terhibur, ke-
nangan tentang batu dan bayang-bayang”.­
Kepedihan, kontradiksi, dan keretakan diri itulah yang men-
jadikan mereka tanda luka sejarah yang dalam, saksi horor 1.000
batu dan bayang-bayang. Justru Hiroshima yang tidak. Kota itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

telah dipermak jadi ruang yang melupakan apa yang terbelah da­
lam dirinya—ruang yang normal dan banal.
Banal—itu juga yang bisa dikatakan tentang dalih Bush dan
orang sejenisnya. Ketika ribuan kematian hanya mereka anggap­

Catatan Pinggir 8 287


KIM

statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai tragedi, ketika ke-


buasan itu tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka sen­
diri, yang normal dan yang abnormal tak bisa lagi dibedakan.
Maka dunia pun seperti menemukan kembali horor yang di-
sangka tak ada lagi, ketika Kim muncul tak bisa ditebak, menyeri­
ngai ke Amerika yang kewalahan, dan menggertak. Ia memang
aneh, dan senjata itu membuat kita jeri—meskipun sebenarnya
belum tercatat sudah berapa ribu orang yang mati.

Tempo, 5 November 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

288 Catatan Pinggir 8


K.A.

H
IDUP memang bukan pasar malam, kata seorang to­
koh­ novel Pramoedya Ananta Toer, tapi mungkin hi­
dup­ibarat kereta api. Maka kali ini saya ingin menulis
tentang sepur dan manusia—sepur bukan hanya sebuah sarana
per­jalanan, tapi juga sebuah ruang pertemuan dengan orang lain
yang bergerak dari dan ke tempat yang berbeda, semacam keber-
samaan dan kesendirian yang tak kekal.
Mungkin karena itulah adegan di kereta api sering masuk ke
pelbagai bentuk ekspresi yang mengemukakan saat yang ajaib,
ketika manusia seakan-akan menemukan degupnya kembali, jus-
tru dalam satu trayek lurus yang sebenarnya membuat jemu.
Dalam lagu Sepasang Mata Bola, misalnya. Lagu ini ditulis­di
masa perjuangan bersenjata melawan Belanda pada tahun 1940-
an—ketika hidup sosial terguncang-guncang, ketika tempat asal
dan tujuan sama-sama jadi hanya sejenis ruang transit, ketika
orang dengan cepat berpindah lokasi dan kelas.

”Hampir malam di Yogya, ketika keretaku tiba


Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba.”

Lagu itu, yang sampai hari ini dinyanyikan dengan penuh


nos­­talgia dan keharuan, memaparkan gambar sebuah senja­ di
Sta­­siun Tugu di Yogya: sepur dari Jakarta datang, penuh orang­
yang mengungsi dari pendudukan Belanda. Di antara ke­­rumun­
an­itu tampak para prajurit muda, dengan senjata dan sikap yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

siap. Tiba-tiba sebuah wajah hadir, dan cerita pun terjadi.


Dalam lirik lagu ini, wajah itu ditandai tatapan mata se­orang
yang seakan-akan minta dilindungi dari ancaman ”si ang­kara
murka”. Tak jelas sebenarnya—dalam lirik Ismail Marzuki ini—

Catatan Pinggir 8 289


K. A.

siapa yang berangkat perang, yang ”datang dari Jakarta/’nuju


me­dan perwira”. Tapi terasa ada getaran hati pada sebuah perte-
muan, pada sebuah perpisahan, dalam suasana ketika kata ”pah­
la­wan” disebut, dan semangat mempertahankan Republik terasa­
bertaut dengan ketidakpastian. ”Semoga kelak kita berjumpa
pula ....”
Kereta api datang, kereta api pergi, apa yang memberikan arti
di situ? Bukan Stasiun Tugu, yang menetap seakan-akan prasasti­
yang dipatok, melainkan perjalanan dan perpindah­an­— dan ten-
tu saja keberangkatan untuk mati. Yang se­men­tara,­ yang fana,
justru jadi yang amat penting.
Itu juga yang terasa dalam lagu Juwita Malam, juga ciptaan
Is­mail Marzuki: akhir sebuah perjalanan bukannya melega­kan,
me­lainkan menimbulkan rasa sayu.

Kereta kita, segera tiba


di Jatinegara kita kan berpisah

Kita berpisah, akhirnya, tapi tiap perpisahan terjadi karena


per­temuan. Yang menarik dalam Juwita Malam ialah bahwa per-
temuan itu adalah pertemuan dengan seseorang yang tak dike-
nal: ”Siapakah gerangan tuan? Dari bulankah tuan?”
Dalam kereta api, itulah memang yang sering terjadi—dan
itu­lah yang membuat hidup menegangkan tapi juga memikat.
Dari cerita detektif Agatha Christie Murder at the Orient Express
sampai dengan travelog Paul Theroux The Great Railway Bazaar,
ruang kereta api yang bergerak itu adalah ruang orang-orang
yang mungkin ingin saling bertanya kepada orang segerbong:
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Dari bulankah tuan?”


Ada rasa takjub dan juga rasa ingin tahu di hadapan sesama
manusia yang beda—yang menyebabkan sebuah cerita detektif­
mendapatkan suspens-nya dan cerita perjalanan menemukan

290 Catatan Pinggir 8


K. A.

bumbunya. The Great Railway Bazaar yang terbit pada tahun


1977 adalah perjalanan panjang dari London, lewat Iran, ke Asia.
Tapi kita akan kecewa jika kita mengharapkan di buku ini akan
ada uraian yang rinci tentang tempat-tempat perhenti­an. Bahkan
terkadang Theroux tak tertarik (misalnya ketika tiba di Teheran)
dan terganggu (ketika memasuki Afganistan). Yang ia tangkap
adalah apa yang berlain-lainan pada suatu momen: lanskap di
luar jendela, bau sardin, kubis, dan tembakau, orang Georgia itu,
orang Kanada yang berduka itu, dua pustakawan Australia itu....
Ketika kereta api sampai ke tujuan, semua yang asyik pun
usai—seakan-akan hendak menunjukkan bahwa tempat di luar
kereta terlampau luas bagi sebuah pengalaman manusia yang ter-
batas.
Dalam film Tickets, apa yang terjadi dalam sebuah kereta api
menuju Roma sanggup berbicara tentang kehidupan sosial-poli-
tik Eropa secara lebih jelas dan tajam ketimbang yang disiarkan
di televisi mengenai dunia di luar gerbong.
Disutradarai bersama oleh Abbas Kiarostami, Ermanno Olmi,
dan Ken Loach, film tahun 2005 ini adalah kisah kebersa­ma­an
antar-orang-orang asing, justru di suatu masa yang tergang­gu
oleh kekerasan, paranoia, dan ketimpangan kekuasa­an­— dunia
se­telah ”11 September”.
Ada seorang profesor yang pergi ikut pesta ulang tahun cucu­
nya, dan mengkhayalkan sebuah hubungan romantik­dengan­se­
orang perempuan yang nyaris tak dikenalnya. Ada seorang pe­mu­
da yang dengan sabar tapi akhirnya sebal me­ngawal­janda­cerewet
seorang jenderal. Ada tiga pemuda pe­candu bola dari Skotlandia
yang riuh. Ada sebuah keluarga imigran Albania yang tak punya
http://facebook.com/indonesiapustaka

uang untuk beli tiket. Terhadap yang terakhir inilah para penum-
pang tadi jadi kontras tapi sekaligus bagian dari sebuah solidari-
tas. Si profesor mengantar­kan segelas susu panas ba­gi si bayi imig­
ran yang terusir dari bordes, trio penggemar bola itu merelakan

Catatan Pinggir 8 291


K. A.

ti­ketnya dicuri si anak Albania.


Dan kereta api pun berhenti di Roma.
Apa yang tersisa? Ingatan tentang sebuah perjalanan yang tan-
pa suspens karena arahnya pasti, tapi memukau karena ini­cerita­
orang-orang asing yang punya momen jadi manusia. Kita jadi
ma­nusia ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang
lain yang tak kita kenal, dan bersedia ikut menanggungkannya.
Di situlah, yang fana—derak dan peluit kereta yang berjalan di
atas rel menuju ke satu titik yang sudah dirancang—adalah yang
membuat kita seakan abadi.

Tempo, 12 November 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

292 Catatan Pinggir 8


BUSH

Wartawan: Siapa filosof favorit Anda?


George W. Bush: Yesus Kristus.

M
ENYEBUT Yesus Kristus ”filosof” adalah sebuah tin-
dakan yang ganjil. Seorang filosof mengamati hidup,­
merumuskan pandangan dan sikapnya—dan pada
suatu saat digugat, dikritik, atau dibatalkan filosof lain. Seorang
Kristen lazimnya tak akan menganggap Yesus seenteng itu. Bush,
yang dalam kedudukannya sebagai Presiden Amerika Serikat
menghidupkan ”kelompok studi Injil” di Gedung Putih, tentu
menyadari itu. Tapi ia—dan juga orang-orang konservatif di seki-
tarnya—memang punya kecenderungan mencampur-adukkan
yang ”ilahiyah” dan yang ”duniawi”. Mereka ingin me­ngalah­kan
pemisahan antara agama dan negara, antara agama dan pengelo-
laan masyarakat, antara agama dan ilmu.
John Ashcroft, tokoh Pantekosta yang kemudian diangkat ja­
di Jaksa Agung, pernah dikutip mengatakan bahwa dinding yang
memisahkan gereja dan negara adalah ”dinding penindasan atas
agama”. Garry Willis, dalam tulisannya untuk The New York
Re­view of Books 16 November 2006, menguraikan bagaimana
pemerintahan Bush dan orang-orang Kristen sayap kanan men-
coba meluruskan—dan dengan demikian meng­obrak-­abrik—
pe­ngertian tentang pelbagai hal, termasuk keadilan, yang diba­
ngun­dari pengalaman manusia berabad-abad, pengalaman yang
sering disertai kesengsaraan dan kebodohan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam soal diskriminasi, misalnya. Pada awal tahun 2002,


Bala Keselamatan Amerika Serikat dituntut karena mengharus-
kan para karyawannya meyakini ajaran Yesus. Dengan kata lain,
mereka yang tidak disisihkan dari kesempatan kerja. Di Ameri-

Catatan Pinggir 8 293


BUSH

ka Serikat yang dulu, penyisihan itu adalah sebuah tindakan dis-


kriminatif. Di Amerika Serikat pada masa Bush, apa yang dilaku-
kan oleh Bala Keselamatan itu termasuk ”hak-hak beragama”
yang dibela.
Akan menyesatkan apabila argumen untuk mempertahan­kan
”hak” itu—seperti halnya alasan mempertahankan ”hak bersu-
ara” dalam penyebaran ajaran ”desain cerdas” yang dimaksud-
kan untuk melawan teori ilmiah tentang evolusi—ber­akar ke-
pada komitmen yang mendalam terhadap demokrasi.­Saya ragu
akankah Kaum Kristen Kanan, jika mereka ber­kuasa,­akan mem-
biarkan teori evolusi Darwin diajarkan di sekolah. Demokrasi
ber­mula dari asumsi bahwa tak ada yang kekal dalam hal menen-
tukan siapa yang paling benar.
Ada sebuah kejadian yang sebenarnya karikatural, tapi bukan
hanya khayal. Jenderal William (Jerry) Brown, pejabat tinggi di
bidang intelijen pertahanan, jadi berita utama ketika­pada masa
Perang Irak ia berpidato di pelbagai gereja dengan pakaian tem-
pur. Pada tahun 2000, ia bersuara berapi-api, membela Bush,
mem­­bela Amerika, dan membela apa yang dianggapnya sebagai
Kristen:

”Kenapa orang ini duduk di Gedung Putih? Mayoritas orang


Amerika tak memilihnya. Kenapa ia di sana?... Saya katakan ke-
pada Anda semua pagi ini: ia ada di Gedung Putih lantaran Tu-
han meletakkannya di sana dalam masa seperti ini. Tuhan mele­
takkannya di sana bukan saja untuk memimpin bangsa ini, tapi
juga memimpin dunia....”
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Perang yang dilakukan bangsa ini adalah sebuah perang spi­


ri­tual, perang bagi suka kita. Dan musuh itu adalah sese­orang
yang disebut Setan.... Setan itu ingin menghancurkan kita seba­
gai bangsa, dan ia ingin menghancurkan Bala Tentara Kristen....”

294 Catatan Pinggir 8


BUSH

Sebuah republik yang merupakan desain Tuhan adalah se-


buah republik yang sebenarnya mengandung kontradiksi. Se-
bab pada saat ketika republik berdiri, dan seorang presiden dipi-
lih, yang terjadi sebenarnya adalah hilangnya asumsi bahwa Tu-
han—yang selamanya benar—telah memberi jaminan atas sesu­
atu yang secara hakiki tak sempurna. Raja-raja sering dianggap
sebagai penjelmaan kehendak Allah, dan ketika mere­ka dimak-
zulkan, yang berlaku adalah keadaan yang berdasarkan dugaan
dan harapan, bukan kepastian.
Saya tidak tahu apa yang sekarang akan dikatakan orang ma­
cam William (Jerry) Brown setelah Perang Irak dengan jelas tak
da­pat dimenangkan Amerika Serikat—dan setelah rakyat­Ame­
rika berduyun-duyun melepaskan dukungan mereka kepada pe­
merintahan Bush. Brown, yang dalam versi Islam di Indonesia
diwakili Abu Bakar Ba’asyir, lebih percaya bahwa demokrasi ha-
rus diabaikan, dan titah Tuhan dapat diterjemahkan secara me-
madai di atas bumi. Contoh yang sekarang tampak di Amerika
Se­rikat ialah contoh tentang Tuhan yang keliru: jika benar Ia me-
letakkan George W. Bush di atas takhta, seraya mengabaikan ke-
hendak mayoritas rakyat.
Garry Willis benar ketika ia menulis: ”Ada sebuah bahaya­
khu­sus dalam sebuah perang yang dikomando Tuhan. Bagai­
ma­na kalau Tuhan ternyata harus kalah?” Orang-orang Kristen
Kanan, seperti halnya kaum Islam Kanan, tak membayang­kan
itu bisa terjadi. Mereka tak mau menerima apa yang terjadi di
Irak. Mereka tak mau menerima bahwa ketika Tuhan di­asumsi­
kan mengurus langsung kehidupan manusia, ketika itu Tuhan
dikebiri dan dipaksa jadi bagian dari kehidupan manusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tempo, 19 November 2006

Catatan Pinggir 8 295


http://facebook.com/indonesiapustaka

296
Catatan Pinggir 8
GAUTAMA

K
ITA tahu cerita termasyhur ini: seorang pangeran la-
hir di dekat kota kecil Kapilavastu, putra mahkota yang
jerit­pertamanya dari kandungan ditandai oleh keceria­
an alam. Yang dramatis dari riwayat ini ialah ketika ia dewasa,
Siddharta­ Gautama memulai sebuah sejarah besar dengan se-
buah selamat tinggal yang radikal.
Masa lalunya, yang ditopang takhta dan kekuasaan, dijalin le­
zatnya hidup di puri dan bahagianya hidup berumah tangga, jadi
masa yang terasa sebagai ilusi. Pangeran yang lembut hati itu—
meskipun dicoba dijauhkan dari dunia di luar istana yang ter­
lin­dung—telah melihat seorang yang sakit, menyaksikan orang
jadi tua renta, dan bersua dengan jenazah yang diusung. Agaknya
kefanaan yang disaksikannya itu mengguncang hatinya benar. Ia
akhirnya menyadari bahwa semua itu bagian dari hi­dup­—yakni
sebuah jurang yang dalam, di mana kematian dan ke­tiadaan me-
lekat erat dengan dan dalam diri.
Tapi yang menarik ialah bahwa hal itu tak memberi Bu­ddhis­
me­—yang berangkat dari pandangan dan pengalaman Sid­dhar­
ta­Gautama itu—sebuah dalih untuk membinasa­kan hidup dan
diri sendiri. Saya bukan seorang Buddhis, dan hanya­sedikit yang
saya pahami tentang agama ini, tapi jika ada yang menggu­gah
dari dalamnya ialah bahwa seraya melihat hidup sebagai sesuatu
yang mengapung-apung di atas ketiada­an, Buddhisme tak me-
nyebarkan sikap yang pahit dan amarah­ terhadap nasib. Yang
ber­ubah ketika kita sadar akan hal itu ialah­ tatapan dan gerak
http://facebook.com/indonesiapustaka

kita di dunia. Kita tak lagi maju dengan bergegas ke depan, tak
sabar merengkuh dan menaklukkan dunia. Dengan menyadari
bagaimana ketiadaan atau maut berada dalam inti hidup, kita
akan menyentuh dengan mesra apa yang langsung hadir di bawah

Catatan Pinggir 8 297


GAUTAMA

kaki.
Dalam arti tertentu, itu juga mengandung sikap bersyukur
yang sederhana—sesuatu yang dilupakan di sebuah masa ketika­
begitu sering sikap tak hendak mengenal syukur berbentuk keti-
daksabaran. Ketidaksabaran itulah pangkal ke­serakah­an, hasrat
mendapatkan sebanyak-banyaknya dalam hidup, dengan lekas.
Ketidaksabaran pula yang jadi awal pe­nakluk­an dan pembasmi­
an. Yang mengerikan di masa ini ialah­ ketika ketidaksabaran
men­dapatkan teladannya pada dua hal: manusia yang menang
dan Tuhan yang murka.
Manusia yang menang—yang bisa mempengaruhi opini­du-
nia, yang bisa menaklukkan orang lain, yang bisa membeli­hal-
ihwal, dan yang bisa mengakumulasikan milik dan kuasa­­—itu
kita saksikan setiap hari di media, di gedung-­gedung­ peradilan
dan pemerintahan, di pasar, di medan perang­ dan konflik. Se-
dangkan Tuhan yang murka kita dengar­kan hampir tiap pekan
lewat mimbar agama yang mengancam hidup­dengan api neraka.
Tapi kita tahu bahwa akhirnya ketidaksabaran akan terbentur
dan kemenangan hanya terbatas jangkauannya. Di situlah kesa­
daran akan ”sunyata”, akan apa yang suwung, sunyi dan ”hampa”
yang tersembunyi dalam hidup jadi penting untuk membentuk
kesadaran akan terbatasnya ”aku”....
Pada tahun 1922, pengarang Jerman yang memenangkan
Hadiah Nobel pada tahun 1946, Herman Hesse, menerbitkan
Siddhartha—kisah perjalanan pencarian spiritual seorang pemu-
da yang akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha sendiri.­Seperti
Sang Guru yang namanya mirip dengan namanya, Si­ddhar­tha
ber­mula dari rasa murung dan berakhir dengan rasa tenteram
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada posisi yang tak muluk.


Tapi ia tak menjadi penganut Sang Buddha.
Ia tetap seorang penarik perahu tambangan yang duduk men-
dengarkan sungai. Ada yang mengatakan ia seorang bijaksana de-

298 Catatan Pinggir 8


GAUTAMA

ngan petuah yang menyejukkan. Ia—seorang keturunan Brah-


mana yang tampan dan cerdas—memang pernah jadi seorang pe­
ngembara, meninggalkan kenikmatan dunia. Ia bahkan pernah
mengikuti Buddha Gautama. Tapi tetap saja ia tak berbaha­gia.
Akhir­nya ia tahu: tanpa mengikuti doktrin apa pun, tanpa­meng­
anut ajaran agama apa pun, ia melebur diri dalam dunia, meng­
ikuti­gema alam, mencari percakapan dengan air yang meng­alir.
Inilah yang dikatakannya kepada sahabatnya, Govinda: ”Aku
senantiasa haus akan pengetahuan, aku selalu menyimpan perta­
nyaan. Aku telah bertanya kepada para Brahmana, tahun demi
tahun, aku telah bertanya kepada Kitab Veda yang suci, tahun
demi tahun.... Mungkin, wahai Govinda, akan sama hasilnya,
akan sama cerdas dan menguntungkannya, seandainya aku ber-
tanya kepada burung tiung dan simpanse di pohon-pohon. Be-
gitu lama telah kujalani proses belajar, dan itu pun belum selesai
untuk memahami ini, duhai Govinda: bahwa tak ada yang harus
dipelajari!...”
Tapi tidakkah dengan demikian yang akan tumbuh hanya­lah
sikap pasrah? Kesabaran yang hanya akan berakhir dengan keti-
daktahuan?
Barangkali demikian. Tetapi barangkali juga yang hendak­di-
tunjukkan Siddhartha yang dihadirkan Herman Hesse adalah
bah­wa ada sikap takabur ketika kita melupakan apa yang menyen­
tuh dan kita sentuh mesra dengan kaki kita di tanah: benda-ben-
da bersahaja yang sesungguhnya mengandung rahmat. Mempe-
lajari dengan melalaikan hal-hal yang bersahaja pada akhirnya
hanya akan menaklukkan apa yang di luar diri. Itulah sebabnya
Siddhartha mendengarkan arus sungai.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ia memang menyatakan diri tak hendak mengikuti doktrin­


apa pun, juga ajaran Buddha. Tapi ada tukang perahu ini yang­
menyiratkan kerendahan-hati yang tersirat dalam sikap Bu­ddha­
Gautama.

Catatan Pinggir 8 299


GAUTAMA

Syahdan, dalam posisi bertapa yang habis-habisan, sehing­ga


tubuhnya nyaris rusak, Sang Buddha mendengarkan nyanyi­an
ini:

Dawai yang terentang terlampau tegang akan putus,


dan musik akan mati
Dawai yang terentang kendur akan hilang bunyi,
dan musik akan mati

Tempo, 26 November 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

300 Catatan Pinggir 8


BATAS

—Betapapun besarnya, kekuatan Amerika terbatas.

B
OM atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, de­
ngan­cahaya panas yang mengerikan pada bulan Agustus
1945. Jepang pun takluk. Maka Amerika Serikat keluar
dari perang besar itu dengan kekuatan yang membuat gentar sia-
pa saja. Tak ada yang menandingi. Dari musim panas yang berse-
jarah itu, abad ke-20 seperti sudah siap menjadi ”Abad Amerika”.
Tapi pada bulan November, Walter Lippmann menuliskan
kata-kata itu dalam kolom regulernya, Today & Tomorrow: ”Beta-
papun besarnya, kekuatan Amerika terbatas.”Ia tak terbawa oleh
suasana bertepuk tangan. Ia tak hanyut.
Saya tak tahu kenapa ia bisa melihat, sendirian, apa yang tak
di­lihat orang ramai itu. Lippmann pernah mencemaskan demo­
krasi sebagai medan ”mentalitas kawanan”. Ia melawan itu, dan
anehnya terkadang ia bisa memberikan sesuatu kepada­orang ba­
nyak yang tengah menghadapi tahun-tahun yang merisaukan.
Tahun yang seperti itu tak putus-putusnya datang pada abad
ke-20. Dan Lippmann, jurnalis terbesar pada zamannya, yang
hi­dup antara 1889 dan 1974, telah melintasi pelbagai babakan
besar dalam sejarah: dua perang dunia, beberapa dasawarsa ”Pe­
rang­Dingin”, dan sederet panjang pemerintahan, sejak Presi­den
Woodrow Wilson sampai Richard Nixon. Hampir tiap hari da­
lam hidupnya ia mengamati, merenungkan, menulis—dengan
pikiran jernih dan rasa prihatin yang sejati.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Juga ketika para pemimpin politik di Washington, DC, te­


ngah­ membusungkan dada. Menyadari diri sebagai pemegang
monopoli mutlak atas senjata pemusnah, AS mulai berani berke­
ras menghadapi salah satu kekuatan penting yang muncul dari

Catatan Pinggir 8 301


BATAS

Perang Dunia II: Uni Soviet. Ketika Moskow ingin­ meminjam


uang untuk membangun ekonomi yang berantakan, Washington­
tak mendengarkan. Kedua pihak memang sejak mula saling cu-
riga, tapi sejak itu mereka jadi bermusuhan secara terbuka. Tulis
Lippmann dengan nada masygul: Amerika ”tengah menuju ke se-
buah bencana”.
Bencana itu menjadi nyata ketika Uni Soviet berhasil mengem­
bangkan senjata atom sendiri. Sejak itu dunia hidup dalam ”Pe­
rang­Dingin” yang selalu hanya beberapa senti jarak­nya dari kia­
mat. Tapi dari segi lain juga bisa dikatakan bahwa justru sebab
itu sebuah ”perdamaian” pun berlangsung—meskipun palsu.
Setelah Uni Soviet mempunyai peluru-peluru kendali nuklir, se-
buah balance of terror pun terjadi, dan kedua pihak sama-sama
ketakutan untuk memulai menembak.
Ketakutan—tapi bersama dengan itu, hilangnya ke­ta­kabur­­­an.
Sebagaimana dikutip oleh Ronald Steel dalam Walter Lippmann
and the American Century, kolumnis besar ini me­nyebut sebuah
kata yang agak ganjil dalam politik inter­nasional:­humility, keren-
dah-hatian, yang baginya jadi sumber sikap arif menghadapi du-
nia. Ia juga menyebut good manners, fi’il yang baik, dan courtesy of
the soul, sikap santun dari batin—hal-hal yang menurut dia harus
dibawakan oleh kekuatan-­kekuatan besar di dunia, agar mereka
”diterima oleh yang lain”.
Suara seorang ethikus yang kuno dalam politik internasional?­
Lippmann agaknya tak bermaksud demikian. Ia hanya ingin se­
su­atu yang praktis: bagaimana membentuk sebuah komunitas
dunia yang terasa ”lebih adil”, dan sebab itu yang kuat mudah
diterima oleh yang lemah, dan pemaksaan tak terjadi, hingga le­
http://facebook.com/indonesiapustaka

bih­ sedikit pula kemungkinan konfliknya. Di balik nada ethis-


nya, ia tak buta terhadap Realpolitik.
Sebab itu perdamaian, baginya, bukanlah dunia yang ber­ubah
jadi satu. Seperti John Lennon, hanya dalam lagu kita bisa mem-

302 Catatan Pinggir 8


BATAS

bayangkan negara-negara hilang dari muka bumi: ”Imagine, there


is no country”. Selepas lagu itu, dunia akan kembali tampak ter-
diri dari kekuatan yang berbeda-beda—dan Lippmann tak per-
caya bahwa kekuatan yang besar bersedia menyerahkan nasibnya
kepada kekuatan yang lebih kecil, meskipun mereka membentuk
suara mayoritas di dunia.
Pada tahun 1943, ia menulis buku dengan judul yang kering
tapi isi yang eksplosif, U.S. Foreign Policy: Shield of the Republic.
Tak disangka-sangka, buku itu terjual laris, hampir setengah­juta
kopi dibeli khalayak dalam waktu singkat. Argumennya kini te­
rasa­biasa saja, namun di tengah kecamuk perang di Eropa, ketika
orang memimpikan kerukunan dunia, argumen itu punya daya
pukul tersendiri.
Lippmann bertolak dari asumsi bahwa untuk kerukunan du-
nia, yang penting bagi setiap negeri adalah ”kepentingan nasio­
nal”.­Perdamaian bukan datang karena orang menafikan ”kepen­
ting­an nasional”, melainkan karena sejumlah kekuatan besar
ber­sedia bekerja sama.
Tiap kehendak bekerja sama mengandung kesadaran akan
ba­tas—kata lain dari kerendah-hatian. Itu sebabnya Lippmann
memandang Uni Soviet dan penyebaran pengaruhnya di Ero­pa
Timur sebagai sesuatu yang harus diterima—sebagaimana­ AS
mempunyai ”wilayah pengaruh” di bagian dunia lain. Dunia tak
mungkin dikendalikan oleh satu pusat. Tata dunia adalah sebuah
oligarki yang tidak tunggal....
Ini semua berubah, pada suatu hari, hampir seperempat abad
setelah Lippmann meninggal. Tembok Berlin dihancur­kan. Uni
Soviet berhenti menjadi sebuah pengimbang Amerika. Bisakah,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan perlukah, kini Amerika bicara tentang ”ke­rendah-­hatian”?


Bisakah kita, seperti Lippmann pada tahun­ 1945, mengatakan
bahwa betapapun besarnya, kekuatan Ame­rika terbatas?
Presiden Bush akan bilang ”tidak”. Ia merasa bisa mengabai-

Catatan Pinggir 8 303


BATAS

kan suara PBB dan suara orang ramai di dunia, begitu ia memu-
tuskan untuk menyerang Irak. Batas, baginya, adalah kata yang
sulit dipahami. Ia tak pernah membaca Lippmann: ”Tak ada kiat
yang lebih sulit ketimbang menjalankan sebuah­kekuasaan yang
besar dengan tepat... semua tergantung bagaimana kita secara
kena mengukur kekuatan kita, dan bagaimana secara benar meli-
hat kemungkinan-kemungkinan dalam keterbatasannya....”

Tempo, 3 Desember 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

304 Catatan Pinggir 8


JAZZ

S
ALENA Jones menyanyi ke udara Jakarta dalam Jakjazz
2006. Dalam rasa asyik, tiba-tiba kita merasakan seakan-
akan kota ini sedang menopang sebuah musik yang men-
jerit, terkadang serak, melankolik. Kota ini jadi ruang di mana
ada yang menjulang tak kunjung terjangkau, tapi juga ada liang
di jalan yang tak diingat, gorong-gorong yang pada saat yang
sama menyembunyikan celurut, sampah, dan mungkin sampar.
Kota ini setengahnya sebuah tempat ekspresi, setengahnya yang
lain sebuah ujian stamina.
”Kota seperti ini membuatku bermimpi muluk dan merasa­
dekat pada hal ihwal...,” kata sang pembawa cerita dalam Jazz,
novel Toni Morrison tahun 1992. ”Baja cerah yang bergoyang­
di atas keteduhan di bawahnya itulah yang membuatnya demi­
kian.”
Sang kota, ”the City”, dalam novel yang seakan-akan terdiri
da­ri cetusan improvisasi dengan pelbagai peserta ini, adalah Har-
lem, New York, pada tahun 1920-an. Meskipun punya sejarah
yang berbeda dengan kota mana pun, apalagi Jakarta, ia punya
pola seperti Jakarta: kota yang merangsang dan sekali­gus mem-
batalkan impian.
Ia adalah tempat pelarian yang menyingkir dari muramnya­
hidup di pedalaman. Di Amerika Serikat masa itu, ”muram” ber­
arti ”hitam” yang dianiaya oleh orang-orang kulit putih di wi­
layah Selatan. Di Indonesia masa kini, ”muram” berarti si muda
yang terimpit miskin dan pengangguran. Kedua-duanya berbe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

da, dan perbedaan itu amat penting, tapi pada akhirnya kedua-
duanya mengiris dan menorehkan kepedihan. Juga kebengisan.
Dalam Jazz, Joe Trace menyingkir dari kota kelahirannya
di­ bagian Selatan itu, Vienna, yang habis terbakar. Api merah

Catatan Pinggir 8 305


JAZZ

itu bergerak cepat, ”mengosongkan kami dari tempat kami se­


demikian lekas hingga kami lari dari satu bagian ke bagian lain
negeri ini—atau tak ke mana pun”. Dengan kata lain, Joe jadi ba-
gian dari ”900 Negro, digalakkan oleh bedil dan kanabi, yang
meninggalkan Vienna, naik kereta atau berjalan kaki keluar kota
itu, menuju entah ke mana”.
Dengan latar Indonesia, kita bisa bayangkan sebuah eksodus
yang mirip: ribuan orang yang masuk dari pedalaman, bukan ka­
rena api yang membuat habis ludes se-buah tempat, tapi karena
sang Nasib seolah-olah membuat mereka terhenyak di sekitar sa­
wah ladang yang makin sempit. Mereka datang dengan kereta
api, bus, kapal, motor, truk, dan entah apa lagi, untuk kemudian
menumpang tinggal di sebuah kamar dan pada esok harinya me-
nyusuri jalan. Cari kerja, kata mereka, tapi sebenarnya juga cari
diri dan kemerdekaan.
Ya, Jakarta punya Joe Trace-nya sendiri. Namanya mungkin
Mat Tilas: ia yang muncul di kota ini—dengan jejak yang ku-
muh dan penuh lumpur dari masa lalu pedalaman—menjajakan
tahu goreng Sumedang atau air minum di jalan-jalan yang macet,
menawarkan parfum palsu kepada para penumpang di banda-
ra, berjalan kaki dari kecamatan yang satu ke kecamatan lain di
siang yang terik mencoba jadi juru jual pisau dapur yang tak dike­
tahui siapa yang akan membeli, atau menyediakan jasa yang se-
benarnya tak perlu untuk mengatur lalu-lintas di pengkolan yang
ruwet—dan tentu saja mereka yang jadi pelacur di tepi rel kereta
api di Jalan Latuharhary.
Para pembaca akan berkata, ini sebuah cerita yang begitu bia­
sa hingga tak diacuhkan lagi—dan benar: ini sebuah klise yang,
http://facebook.com/indonesiapustaka

seperti tiap klise, kehilangan daya pukaunya dan tenggelam da­


lam bawah sadar seperti manusia-manusia yang tenggelam dari
catatan kita seakan-akan ditelan gorong-gorong kota.
Tidak berarti Jakarta selamanya menakutkan. Malam hari

306 Catatan Pinggir 8


JAZZ

akan datang, cahaya jalanan dan gedung-gedung akan melipur,


dan sang Kota seakan-akan menyediakan sebuah musik lain: mu­
sik yang menjerit, terompet yang ditiup serak, tapi me­mukau,
meskipun mungkin dengan tenggorokan yang berdarah.
Ada yang menyentuh, mengejutkan, dan mempesona di sana.
Dalam arti itu, riwayat seorang migran dari pedalaman meng-
ingatkan kita akan hasrat menjangkau sesuatu dari keadaan pa-
tah harapan, sebagaimana seorang pemain musik meniti melodi
melalui improvisasi, untuk mendapatkan yang paling­ memuas-
kan hati dari kepastian yang absen.
Sebab begitu pentingkah kepastian? Di kota ini, kepastian ha­
nya terhantar pada kaki lima dan aspal jalanan. Bagi si Mat Tilas,­
seperti Joe Trace, seperti bagi jutaan pendatang yang lain, begitu
”sol sepatu menapak trotoar, tak ada jalan berbalik lagi.... Di sana,
di sebuah kota, mereka mungkin bukan diri-diri baru, tapi diri
yang lebih kuat, lebih punya risiko.”
Bisakah kita di sini bicara tentang kota sebagai arah yang ditu-
ju sebuah eksodus, Tanah Yang Dijanjikan oleh Tuhan bagi ham-
ba-Nya yang dianiaya? Tidak, meskipun novel Toni Morrison
agak menyarankan demikian.
Riwayat urbanisasi adalah riwayat sebuah hijrah yang seku­ler,­
dengan hewan korban, harapan mukjizat, dan keingin­an men­
dapat pahala yang tak henti-hentinya mengisi hidup. Seperti hi-
jrah atau eksodus dalam agama-agama Ibrahimi, ada tujuan yang
meskipun samar-samar, amat memukau. Memang yang ”sekuler”
itu sangat bertaut dengan keinginan akan perbaikan hidup jas-
mani, tapi bukankah ”pahala” dalam kosakata keagamaan juga
mengandung hasrat jasmani, semacam hadiah Lebaran?
http://facebook.com/indonesiapustaka

Maka jika ada yang menonjol dalam hijrah sekuler itu bukan-
lah adanya keyakinan, tapi tiadanya teks suci dan kekuasaan me­
re­ka yang menjaganya. Bahkan teks suci apa pun tak akan dapat
menguasai sepenuhnya liku-liku hidup orang seperti Joe Trace

Catatan Pinggir 8 307


JAZZ

di New York atau Mat Tilas di Jakarta—seba­gai­mana halnya tak


ada ortodoksi yang dapat mengendalikan nada-nada yang mun-
cul dalam karya Theolinus Monk.
Tapi pada akhirnya, itulah yang akan selalu terjadi.
Maka ketika Salena Jones melantunkan lagu, kita tahu jazz—
masih sebuah benda asing di Jakarta—di sana-sini te­rasa­pas de-
ngan kota ini. Jeritnya, paraunya, risaunya, khaosnya, elannya,
gairahnya, juga ketidakpastiannya.

Tempo, 10 Desember 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

308 Catatan Pinggir 8


ROSA

S
AYA ingin bercerita tentang harapan yang tak selamanya­
berkaitan dengan Tuhan, meskipun ini bulan Desember.
Juga tak ada hubungannya dengan kabar baik yang dita-
warkan katedral baru kapitalisme, di mana lagu Malam Sunyi di­
sebar di ruang terang-benderang bukan untuk menyambut su-
nyi—ruang-ruang Pondok Indah Mall, Senayan City, dan entah
apa lagi.
Saya ingin bercerita tentang harapan justru dari sebuah sel ge­
lap yang menyekap seorang yang menolak kapitalisme dan me-
nampik Tuhan. Ia Rosa Luxemburg, tokoh besar dalam sejarah
sosialisme Eropa yang akhirnya mati dibunuh.
Syahdan, pada bulan Desember 1917, Rosa menulis sepucuk
surat dari Penjara Breslau. Perempuan ini disekap pemerintah
Jer­man karena ia, seorang warga negeri baru, dengan berani dan
ber­api-api menentang perang yang tengah berlangsung dengan
gegap-gempita genderang patriotisme.
Tahun-tahun itu banyak hal terjadi: revolusi, aksi massa bu-
ruh, perpecahan kaum sosialis, nasionalisme yang berkibar-kibar,
dan ketegangan politik Eropa dalam perang. Rosa Luxemburg
disekap—setahun kemudian ia dibunuh—tapi aneh, sepucuk
surat itu tak membahas hal-hal besar itu.
”Di sinilah aku terbaring,” tulisnya, ”dalam sebuah sel ge­lap
di atas lapik yang keras seperti batu; gedung ini sesunyi se­buah
pelataran gereja, begitu rupa hingga orang sama saja dengan di-
kuburkan.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Seraya rebah itu ia melihat seberkas kecil cahaya jatuh lewat


jendela ke atas dipan, cahaya dari lampu yang menyala sepanjang
malam di depan penjara. Sekali-sekali didengarnya lamat-lamat
suara gaduh kereta yang lewat atau, tak jauh dari tempat tidurnya,

Catatan Pinggir 8 309


ROSA

suara batuk kering penjaga bui yang dengan sepatu larsnya yang
berat jalan-jalan sejenak untuk meluruskan kaki. Tapi dalam ke-
adaan bosan, tak bebas, dan kedinginan itu ada perasaan ganjil:

”... jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan
tak dapat dimengerti, seakan-akan aku tengah memasuki cahaya­
matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga.­Dan di da­
lam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik
tuah yang memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis
ke dalam ketenteraman dan bahagia”.

Kenapa? Kenapa ia bisa tersenyum kepada hidup justru dalam


sel yang dijaga itu? Ia mencoba mencari jawab dan merenung-
kannya, tapi inilah kesimpulannya: ”Aku tak menemukan sebab
apa pun, dan hanya dapat menertawakan diriku sendiri.” Entah
kenapa ia percaya, seperti dikatakannya kemudian, bahwa kunci
pembuka teka-teki ini ”semata-mata hidup itu sendiri”. Ditulis-
nya pula:

”... malam yang gelap pekat ini lembut dan cantik seperti be­le­
du,­jika saja kita memandangnya secara demikian. Geretau kerikil
lembab yang terinjak oleh langkah pelan dan berat si penjaga bui ju­
ga­ seperti sebuah nyanyi kecil yang manis kepada hidup—bagi ia
yang bertelinga untuk mendengar”.

Rosa Luxemburg tersenyum dalam gelap, riang dalam kung-


kungan, mendengarkan ”nyanyi kecil yang manis” biar­pun dari
suara langkah penjaga yang bersenjata. Dan ia tak tahu persis
http://facebook.com/indonesiapustaka

kenapa. Sebagaimana kita tak tahu adakah itulah saat waham


datang, kita juga tidak tahu pasti apa maksudnya dengan ”hidup
itu sendiri” yang ia sebut sebagai kunci pem­buka­ teka-teki ten-
tang perasaan itu.

310 Catatan Pinggir 8


ROSA

Atau barangkali kita harus mencari jawabnya di tempat lain?


Kita ingat pandangan hidupnya yang terbentuk oleh Marxisme.
Kita ingat bahwa Marxisme memang sebuah paham yang yakin
akan kemenangannya sendiri. Marxisme adalah ”ilmiah”, kata
orang-orang sosialis pada zaman itu, dan ”ilmiah” berarti mem-
punyai kesahihan. Maka jika Marx meramalkan kelak kaum pro-
letariat akan dibebaskan dan membebaskan, keadaan itu pasti
akan terjadi. Seorang Marxis juga seorang yang yakin akan di-
alektika: hidup berubah, tesis­ akan mendapatkan anti-tesisnya,
dan akan tercapai, melalui tempuk-junjung (Aufhebung), sebuah
sintesis.
Rosa Luxemburg tentu belum tahu waktu itu, meskipun su-
dah ada yang tahu, bahwa yang diramalkan Marx tak terbukti.
Itu akan terjadi 70 tahun kemudian. Ia bahkan tak tahu bahwa­
setahun setelah Penjara Breslau itu ia sendiri akan dibunuh oleh
kaum kanan, dan gerakan sosialisme Jerman terpukul.
Bagaimanapun Rosa Luxemburg dapat dikatakan telah men-
capai sesuatu yang kini mustahil kita capai, yakni harapan yang
terbit karena ada kepastian dalam arah sejarah. Mungkin itu se-
babnya dalam sel gelap itu ia masih mampu seakan-akan mema-
suki ladang kembang di bawah matahari: baginya,­ ia mati atau
ia hidup terus, ia keluar dari sel itu atau tidak, sosial­isme pasti
menang.
Tapi jangan-jangan ada yang lebih kuat selain penjelasan­yang
bertolak dari Marxisme. Jangan-jangan, seperti John Lennon­
yang juga mati dibunuh, Rosa tak percaya kepada mati. Mati, ba­
gi Lennon, hanyalah seakan-akan pindah dari mobil yang satu ke
mobil lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jika demikian, seseorang bisa punya kabar baik yang tak ha­nya­
berupa Natal dan iklan-iklan. ”Riwayatnya, hidupnya, karya­­­nya,­
surat-suratnya, semua mengukuhkan kehidupan dan bukan­nya
ajal,” tulis Simone Weil, pemikir Prancis perempuan itu, tentang

Catatan Pinggir 8 311


ROSA

Rosa Luxemburg. ”Tapi dengan demikian Rosa berha­rap ke arah


aksi dan tak ke arah pengorbanan.” Dalam arti itu, kata Weil pu­
la,­tak ada yang bersifat Kristen dalam watak Rosa.
Tak ada sifat Kristen, bahkan tak ada iman. Tapi ternyata­da­
lam posisi itu seseorang bisa menunjukkan bahwa syukur­dan sa-
bar bisa datang dalam sunyi yang mendengarkan ”nyanyi kecil
yang manis kepada hidup”.

Tempo, 17 Desember 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

312 Catatan Pinggir 8


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

Shot? so quick, so clean an ending?


Oh that was right, lad, that was brave
Yours was not an ill for mending,
’Twas best to take it to the grave
—A.E. Housman (1859-1936)

M
EREKA menembak mati Monginsidi di Pacinang,
Ma­­kassar, tanggal 5 September 1949.
Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum
diekse­kusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan
Belanda itu memberikan maaf kepada regu serdadu yang bertu-
gas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lu-
kas yang merekam apa yang dikatakan Yesus pada saat-saat pe-
nyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi
kepada pemerintah kolonial—sudah lama menerima apa yang
datang bersama zamannya.
Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Ja-
karta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat­
hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambar-
kan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda
zamannya ”sebagai bunga yang sedang hendak mekar ... digugur-
kan oleh angin yang keras”.
Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter­­
Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Su­gardo,­
me­nuliskan kenangannya tentang Si ”Woce” di majalah Mimbar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir


bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56—seko-
lah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang.
Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pa-

Catatan Pinggir 8 313


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

sukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para


pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di
Sulawesi Selatan.
Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melari­
kan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan
oleh ”Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan em-
pat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang
muda—untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.
Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai ”Revo­
lusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia
ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mitos tersendiri.
Ia termasuk sepucuk ”bunga yang sedang hendak mekar, [yang]
digugurkan oleh angin yang keras”. Tapi ”angin yang keras itu”
membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih
cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan
sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia.
***
Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain.
Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata
api, melainkan untuk seorang atlet yang mati muda: Dua baris
yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kali-
mat ini:

Smart lad, to slip betimes away


From fields where glory does not stay

Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlet: ia anak pintar,­
http://facebook.com/indonesiapustaka

smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah per­tan­ding­


an, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, nama­nya
telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri ”dari
medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory

314 Catatan Pinggir 8


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

does not last. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlet baru yang
akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai
sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung
ke dalam mereka yang pernah jaya tapi ”namanya mati sebelum
orangnya”, ”the name died before the man” .
Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya­
ma­ti sebelum yang empunya. Kejayaan tak selamanya gampang
hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat me­dali emas
di Olimpiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson
tercatat lebih unggul dalam Olimpiade Atlanta­pada 1996 seba­
gai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400
dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds
no worse than cheers—diam yang menyertai mereka yang mati, se-
habis ”bumi menutup kuping”—tak lebih buruk ketimbang tem-
pik-sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi
itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka
yang telah melakukan sesuatu yang berarti,­diam adalah sebuah
sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero—yang
berubah, fana dan berdosa—tapi sikap hormat ditujukan buat
tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh sela-
ma-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas­
tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, tapi oleh tindak­­
an-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Mo­ngin­
sidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, melainkan seba­gai ke­
se­diaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.
”Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengagumkan. The name does not die with the man.


***
Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak,
bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: ”sekali

Catatan Pinggir 8 315


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

berarti, sudah itu mati”.


Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi ten-
tu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu
Diponegoro, yang lahir pada tahun 1785, memimpin perang per-
lawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda
lima tahun kemudian.
Kita memang bisa membayangkan maut hadir begitu rapat di
sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang meng­
guncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200 ribu
manusia itu. Namun kata-kata ”sekali berarti (se)sudah itu ma­
ti”—kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara
perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir—agaknya tak
berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan
itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun
setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam ben-
tuk tembang. Usianya 70.
Mungkin ”sekali berarti, (se)-sudah itu mati” lebih tepat buat
Chairil Anwar sendiri.
Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin ge­rilya­dan
ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial se­perti­Mo­ngin­­
sidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuang­an ber-
senjata di Polombangkeng itu, Chairil menimbul­kan pertanya­
an yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa
mem­buat se­suatu yang begitu berarti dan dikenang terus? Karena
”angin­yang keras” tahun 1940-an?
Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah meng­ubah
seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit,
tak ada lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujang-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ga Baru pada tahun 1930-an menulis. Bagi saya sumbangannya


untuk perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih men-
dalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisjahbana, yang per-
nah mencemooh puisi Chairil sebagai ”rujak” belaka: segar tapi

316 Catatan Pinggir 8


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru:
apa salahnya ”segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada
atau tak ada ”gizi”? Tidakkah dalam ”segar” ada sesu­atu yang le­
bih­berarti—yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibe-
bani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai
ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik,
seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegu-
nungan: sementara aku berpikir men­cari­jawab tentang sebab dan
akibat, seorang ”bocah cilik” menemui hidup dengan ”main ke-
jaran dengan bayangan”.
Kiranya memang hanya si ”bocah”—dan mereka yang ma-
sih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk
melakukan hal-hal yang ganjil: ”main kejaran dengan bayang­an”.
Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-
hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini—juga kecemas­
an orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita
sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang—yang ber-
asal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang meng­utamakan
cetusan subyektif dan spontan dalam kreativitas untuk mela-
wan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab pada masa
itu—sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu
yang sementara dan tak serius.
Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, to-
koh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers
(Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gai-
rah dirinya selalu mendekati taraf tanpa nalar dan berlebihan, tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia tak malu. Ia percaya, banyak prestasi besar dihasilkan mere­ka


yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia.
Kreativitas memang memerlukan gairah dan satu dosis ke­
edanan—itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, me-

Catatan Pinggir 8 317


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

limpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang
menye­babkan puisi Chairil—yang ditulis pada tahun 1940 ke-
tika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang
ber­akhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir—
adalah bagian yang terkena ”angin yang keras”. Ia melampaui tata
yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai ”ke-
budayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terken­
da­li oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan meng­
empas.
Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam ge­
lom­bang.
***
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isi­
nya,­melainkan juga gayanya. ”Gelombang” adalah kiasan yang
tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan
badai yang terkadang tak segera kelihatan. Kita mendapatkan
ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan
antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang di-
cintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tan-
da seru.
Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang ke­
mudian termasyhur itu—cerminan rasa gelisah dan protes­ pe­
rempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa pada
akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkung­
an kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang
tak sampai—Kartini meninggal pada tahun 1904.
Umurnya baru 25.
Ia meninggal sebagai seorang ibu. Pada akhir hidupnya yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

pendek ia istri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar


dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari
tata yang tertib.
Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya,

318 Catatan Pinggir 8


MONGINSIDI, CHAIRIL, KARTINI

melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang men-


coba menunggang gelombang—khas suara gene­rasi muda—tapi
terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam ma­syarakatnya, panut­
an adalah ingatan. Yang membentuk ada­lah pengulangan kha-
zanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir se-
galanya.
Pandangan bahwa ”tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai­
hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini di-
panggil ”Ibu kita”, bukan ”sang pelopor”. Citranya tak lagi seba­gai
bagian dari sebuah pergerakan progresif, tapi sebagai pengayom­
struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini
adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan ber-
pakaian pilot atau atlet angkat besi.
Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi.
Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati, Kar-
tini dalam ”tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak seba­gai se­
orang atlet yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah menga­
takan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan.
Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus me­
nge­nang tragedinya.

22 Desember 2006

Tempo, 31 Desember 2006


http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8 319


http://facebook.com/indonesiapustaka

320
Catatan Pinggir 8
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir 8
2007

321
http://facebook.com/indonesiapustaka

322
Catatan Pinggir 8
GANDARI

I
A bisa diselamatkan dari para penujum, tapi bisakah ia dibela
dari nasib? Sejak Raja Subala mendengar ramalan buruk itu,
ia perintahkan agar siapa saja yang hendak membaca­ masa
depan tak diperkenankan masuk ke istana. Baginda tak akan lupa
ucapan brahmana yang datang di musim semi itu—penujum ter-
akhir yang diantar dengan bergegas ke luar balairung: ”Kelak,
putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.”
Tentu saja Gandari tak mendengar kata-kata itu.
Tapi ia praktis hidup dengan sejenis tabir. Ayahnya, Raja Su­
ba­la yang lembut hati, memerintah sebuah kerajaan kecil yang te­
nang nun di utara, di bagian bumi yang kini disebut Kandahar.­
Tapi itu ketenangan yang rapuh. Ketika pada suatu hari datang
utus­an dengan sepucuk surat yang ditulis Bisma, sang wali penja-
ga takhta kerajaan Hastina, Raja Subala tak bisa menampik. Ker-
ajaan Hastina di seberang itu begitu kuat. Lagi pula surat itu se­
buah pinangan. Siapa tak akan terbujuk jika Bisma menya­ta­kan
Gandari akan dipersandingkan dengan raja muda Destarastra
dari wangsa Bharata?
Yang waktu itu tak diberitahukan kepada Gandari dan ke­
luar­ga kerajaan Gandara ialah bahwa sang calon mempelai­ se­
orang yang buta; Destarastra seorang yang lemah. Kerajaan­Has-
tina praktis diperintah Pandu, adiknya yang lahir dari ibu yang
ber­beda. Si muka pucat yang jadi pendekar perang dan penakluk
wilayah inilah yang memegang tampuk, sampai akhir­nya ia me-
ninggalkan takhta, hidup di hutan dan mening­gal sebagai resi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sejak itu Destarastra memerintah sendiri.


Gandari berjumpa pertama kalinya dengan calon suami­nya,­
ra­ja muda yang dituntun itu, di kursi pelaminan. Ia terkejut. Bu-
kan kebutaan itu yang terutama mengganggunya, tapi sikap laki-

Catatan Pinggir 8 323


GANDARI

laki itu yang seakan-akan selamanya bingung, setengah pasrah


setengah degil—seorang muda yang jadi ringkih di bawah ba­
yang-­bayang keagungan Bisma dan keperkasaan Pandu....
Tapi bisakah ia ditampik? Beranikah Gandari membuat mur­­
ka Bisma hingga membahayakan kerajaan ayahnya?
”Ah, aku bukan kakakmu,” ia pun menulis surat ke adik-adik­
nya di Gandara. ”Aku hanya sebaris tugas. Aku bukan perempu­
an. Aku perpanjangan dari takhta kita yang ringkih.”
Adik-adiknya, terutama Sengkuni, marah mendengar pen­de­
ri­taan kakak mereka, tapi mereka tak mampu berbuat banyak.
Hanya Sengkuni yang kelak—setelah ia berhasil mendapatkan
posisi penting di Hastina—dengan cerdiknya membalas den-
dam: dengan tipu muslihat ia mempercepat meletusnya perang
sau­dara yang membunuh mati Bisma dan membinasakan keluar­
ga Bharata.
Tapi sebelum itu, di kamarnya di Hastina, Gandari hidup se-
perti murai yang terjepit. Dayang tua yang mendampinginya se-
jak kecil menangis. Ia teringat bisik-bisik yang didengarnya dulu:
ada nujum seorang suci dari selatan yang tak boleh disiarkan.
Tapi nujum bisa dibungkam, nasib tidak. Dan yang tak adil
tiap kali datang.
Kita bisa mengatakan, Gandari adalah sebuah cerita­tentang­
da­­tangnya yang tak adil. Yang jarang ditafsirkan dari­Mahabha­
ra­ta ialah bahwa perempuan ini justru yang me­nunjuk­kan­ apa
yang cela dalam diri Bisma, tokoh agung itu. Bisma—sebuah
sum­pah yang dahsyat. Bisma—putra mahkota yang berjanji­ber-
korban bagi ayahnya, untuk tak akan per­nah memegang tampuk
kekuasaan dan tak akan pernah menurunkan anak yang ke­lak
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan berkuasa. Bisma—yang bersedia membiarkan Hasti­na di-


perintah anak-cucu Setiawati, permaisuri baru yang telah me­mi­
kat hati si ayah, sang baginda­ tua. Bisma—sebuah sikap mulia
yang diberkati para dewa dengan Ichcha Mrityu, kemampuan me-

324 Catatan Pinggir 8


GANDARI

nentukan saat kematiannya sendiri. Bisma—sebuah teladan gi-


lang-gemilang.
Tapi bukankah ia sebenarnya juga satu kekuatan yang me-
maksa? Bukankah dulu patriarkh ini juga yang memperlakukan
Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan—yang
masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu—hanya se-
bagai hasil sayembara ketangkasan? Hadiah yang perlu­ didapat
untuk memproduksi anak?
Bisma: sebuah kontradiksi. Yang agung dan gilang-gemilang­
ter­nyata menyimpan yang brutal dan timpang. Memang mulia
keputusannya untuk tak mau duduk di takhta, tapi ia sebenar­nya
berkorban untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia me­ne­
guhkan sebuah egoisme. Ia memang teguh memegang sumpah,
tapi dengan demikian ia tak mencegah ketika Hastina harus di-
pecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bhara-
ta yang berasal dari rahim dua ibu.
Gandari memang tak menggugat itu. Tapi ia, si pelengkap­
pen­derita dalam epos keluarga Bharata, justru mengungkap ba­
nyak­hal. Ini dimulai ketika ia memutuskan untuk menutup ke­
dua­matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati, agar tak
me­lihat apa-apa.
Aduhai, ia istri yang setia, puji sebagian orang: perempuan
yang bersedia mengorbankan diri agar senasib suaminya yang tu-
nanetra.
Bukan, ia perempuan yang getir, cela sebagian yang lain: ia
tak hendak melihat bagaimana anak-anak pasangan Pandu dan
Kun­ti—para Pandawa—jauh cemerlang ketimbang para Kura-
wa, anak-anak Gandari sendiri, yang bebal dan dengki.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tapi mungkinkah hanya itu? Bagi saya tidak. Gandari me­la­


ku­kan itu karena ia, yang menanggungkan kesewenang-we­nang­
an nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Saya ba­
yang­kan ia berkata kepada dayangnya yang setia: ”Emban, kutu­

Catatan Pinggir 8 325


GANDARI

tup mataku karena aku tak ingin hidup hanya meng­utamakan


peng­lihatan yang tajam dan cahaya cemerlang—memuja keung-
gulan memanah, kemilau baju zirah, berkibar­nya panji-panji, te­
gasnya tapal batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di
ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, tapi rabaanku meng-
hargai apa yang dekat dan akrab, teli­ngaku bertaut dengan bunyi
dalam waktu.”
”Dengarkan Emban, derap perang besar itu, seakan-akan ada
garis yang lurus yang jelas antara yang adil dan tidak. Tapi benar­
kah? Cahaya memang menerangi dunia, tapi ia tak pernah mem-
perjelas dirinya sendiri. Aku ingin hidup tanpa cahaya.”

Tempo, 7 Januari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

326 Catatan Pinggir 8


BARBAR

T
UBUH Saddam Hussein terayun ke bawah dan lehernya
langsung tercekik tali gantungan—dan kita melihatnya
di sebuah rekaman video yang melukiskan kembali saat
dramatis itu, dan kita mungkin berbisik: seorang diktator mati di
sebuah ruang pengap, sebuah demokrasi lahir.
Tapi apa sebenarnya yang bisa kita katakan tentang demokra-
si?
Di Eropa dan Amerika, orang-orang yang beradab merasa
nge­ri dan mual dan berkata: ”Ah, barbarisme negeri Arab!” dan
mereka lupa bahwa demokrasi yang mereka kenal juga dimulai
de­ngan sebuah pertunjukan leher raja yang putus. Charles Mon-
net menggambar adegan penting dalam Revolusi Prancis itu,
disebutnya Journée du 21 Janvier, dan Isidore-Stanislas Helman
kemudian membuat karya-cetaknya. Gambar itu beredar luas.
Di sana bisa kita lihat bagaimana kepala Raja Louis XVI yang
ber­lumuran darah tercengkeram di tangan algojonya, setelah di-
pungut dari dasar guillotine, untuk dipertontonkan ke khalayak
ramai yang hadir di lapangan eksekusi itu.
Pada saat seperti itu, kepala sang raja tampak bersih, tak suci,
tak berpengaruh, juga kepala Saddam Hussein di atas tulang le-
her yang patah. Kekuasaan, betapapun besarnya, tak bisa mem-
beri dirinya sendiri garansi untuk tak tersentuh najis dan ter­
ancam­kejatuhan. Sejak Revolusi Prancis, orang sadar bahwa jika
si berkuasa bisa diibaratkan sebagai kepala, sebuah masyarakat
perlu bersiap untuk kecewa.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Demokrasi berangkat dari prinsip itu: demokrasi adalah se-


buah sistem yang selalu harus mencari cara bagaimana sebuah
tubuh komunitas bisa bertahan tanpa sebuah kepala yang pada
suatu hari akan copot.

Catatan Pinggir 8 327


BARBAR

Mencari berarti juga menemukan. Maka lahir pikiran-pikir­an


politik yang tajam, media massa yang tak terkekang, pasar yang
sibuk, ekspresi yang bebas di pelbagai lapangan hidup.­Risalah il-
miah, laporan jurnalistik, karya sastra yang me­nyampaikan ke-
sunyian atau protes, ilmu yang menemu-cipta­kan hal baru dan
menangkis pengetahuan lama—semua itu bermula dari kesadar­
an, mungkin juga keresahan, bahwa sang penghulu hanya mam-
pir dan sang penentu akan selalu dipenggal.
Demokrasi dengan demikian sebuah ruang pernyataan per­
adab­an. Tapi mau tak mau ia kadang kala terciprat darah. Kalimat­
termasyhur Walter Benjamin berlaku persis di sini: ”Tak ada do­
ku­men peradaban (atau, dalam versi Jerman, ”Kultur”) yang tak
juga merupakan sebuah dokumen barbarisme”.
Yang hendak diingatkan Benjamin adalah perlunya kita
meng­­akui bahwa jarak antara peradaban dan barbarisme sebetul­­
nya tak jauh. Bukankah kemajuan yang menakjubkan di Ero­
pa di bawah kapitalisme sebenarnya mengandung sesuatu yang
merisaukan—yakni pengisapan kaum buruh—seperti halnya
megahnya piramida para Firaun dibangun dengan modal pende­
ritaan para budak di tanah Mesir?
Kebudayaan yang menyembunyikan apa yang tak beradab
dalam dirinya—dengan tampil sebagai scene yang tak meng­akui
diri juga sebagai ob-scene—pada akhirnya memberikan peluang
bagi kebiadaban baru.
Kebiadaban baru itulah yang antara lain dilakukan ke­kuasa­
an­ Nazi di Jerman. Naziisme memuja peradaban Yunani­ Kuno
se­­­akan-akan dirinya kelanjutan dari sejarah gemilang­ negeri di
se­latan itu. Tapi sebagaimana orang Yunani pada masa silam
http://facebook.com/indonesiapustaka

mem­buat kategori ”barbar” bagi siapa saja yang tak datang dari
ka­langan mereka—sebagai usaha menegakkan dan meneguhkan
identitas ”Yunani”—di Jerman penguasa Nazi melahirkan ide
ten­­tang makhluk yang ”bukan-Arya” untuk menggariskan dan

328 Catatan Pinggir 8


BARBAR

me­negaskan sifat ”Arya” dalam bangsa Jerman. Seperti halnya


He­rodotus menggambarkan orang-orang ”barbar” sebagai ma-
nusia yang ”tak dapat berpikir rasi­onal”, yang dikuasai ”syaitan”
dan ”tak mampu hidup menurut hukum yang tertulis dan ha­
nya­secara setengah hati membiarkan raja mereka berkuasa”, juga
Hitler menganggap orang Yahudi dan Slavia dan Gitana sebagai
ko­toran yang perlu dibasmi.
Yang ”barbar” selamanya hanya mereka yang di luar, bukan
diri kita. Ilusi itu—atau mungkin juga kemunafikan—tidak
baru, juga ketika tubuh Saddam Hussein terayun ke bawah dan­
lehernya tercekik tali gantungan. Beberapa saat sebelum Saddam
menjalani hukuman mati—dengan sikap yang tampak berani—
sebuah bisik terdengar di antara yang hadir di ruang sempit itu:
”Moktada, Moktada....” Nama pemimpin kaum Syiah itu dise-
but, seperti untuk mengingatkan Saddam sesaat sebelum ia ter-
cekik mati: hari itu orang Syiah ingin me­negas­kan ingatan bahwa
Saddam pernah melakukan kejahatan besar kepada mereka.
Yang jadi problem ialah bagaimana ingatan akan berperan­se-
lanjutnya. Sering kita dengar hukum harus ditegakkan, diktator
macam Saddam harus digantung, sebab, kalau tidak, peradaban
akan mati. Tapi suara di kamar eksekusi itu meng­isyarat­kan bah-
wa hukum itu mengandung sesuatu yang bia­sanya tak diakui se­
ba­gai tanda peradaban: pembalasan dendam.
Sebenarnya tak ada salahnya orang membalas dendam. Tapi
bagaimana ia memutuskan sebuah pembalasan yang ”setim­pal”?
Dalam Alkitab, ada lex talionis yang disebut dalam Eksodus 21:
23-27: ”satu mata dibalas satu mata, sebentuk gigi dibalas dengan­
sebentuk gigi....” Seperti halnya Hukum Hammurabi yang dipa-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hatkan ke sebuah tiang batu lebih dari 1.700 tahun sebelum


Masehi, doktrin Alkitab bukanlah sekadar peng­akuan akan ada­
nya dendam, tapi sebuah aturan bagaimana me­ngelola dendam.
Tanpa manajemen pembalasan itu, satu nyawa yang hilang akan

Catatan Pinggir 8 329


BARBAR

bisa dibalas dengan mencabut 1.000 nyawa—praktis tanpa batas


yang pasti.
Kini satu nyawa tercabut—leher Saddam Hussein tercekik
tali gantungan—tapi setimpalkah hukuman itu?
Mustahil untuk menjawabnya. Kebiadaban ada di mana-ma-
na dan tak bisa dibandingkan. Kita pun akhirnya tahu, ada yang
tak pasti dan tak semena-mena di balik tiap penegakan hukum.
Ada barbarisme di tiap kehendak ”keadilan”. Ada kebutuhan un-
tuk mengakui bahwa lembaga-lembaga peradab­an, termasuk
mahkamah agung sekalipun, selalu daif, selalu berdosa.

Tempo, 14 Januari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

330 Catatan Pinggir 8


ADONIS

S
EORANG eksil adalah seorang yang ditundung. Ia hidup­
di luar negerinya sendiri, terusir, seperti puluhan orang In-
donesia yang tak bisa pulang setelah 1965 karena paspor­­
mere­ka dicabut tanpa dipastikan apa alasannya. Seorang tun­
dungan­ pada dasarnya hidup dalam perpindahan yang belum
sam­pai ke mana pun juga: di dalam dirinya tersemat sebuah nege­
ri yang tak terlupakan namun harus ditinggalkan, sementara itu
ia menemukan sebuah negeri lain yang kini jadi alamat tinggal
namun bukan sebuah tempat pulang.
Tak mengherankan bila ada yang retak di situ. Seperti ditulis­
dalam puisi Adonis, yang mengambil kiasan tokoh epos Yuna­­ni
Kuno, Odiseus, pendekar perang yang pulang dari Tro­ya dan me­
nem­puh wilayah-wilayah yang ganjil dan meng­ancam:­

Namaku Odiseus
datang dari negeri tanpa batas
dipanggul orang ramai.
Aku sesat di sini, sesat di sana
dengan sajakku
Dan kini aku di sini, cemas dan jadi alum
tak tahu bagaimana tinggal
tak tahu bagaimana pulang

Adonis adalah Ali Ahmad Said, sastrawan yang lahir pada ta-
hun 1930 di Al-Qassabin, dekat Kota Lakasia, Suriah. Meskipun
http://facebook.com/indonesiapustaka

ia baru bersekolah ketika berumur 12, anak seorang petani­yang


juga imam masjid ini sudah belajar menulis dan membaca dari
seorang guru desa. Pada 1944 ia masuk sebuah sekolah Prancis di
Kota Tartus dan lulus pada 1950.

Catatan Pinggir 8 331


ADONIS

Di masa muda itu kegelisahannya sudah kelihatan: ia me­ner­


bitkan kumpulan sajak pertamanya dan ia dipenjara karena­pan-
dangan politiknya. Pada 1956 ia meninggalkan tanahair­nya dan
pindah ke Libanon bersama istrinya. Sampai lebih 20 tahun ia
tinggal dan jadi warga negara di tanah jiran itu, sampai perang
saudara pecah dan tentara Israel memasuki Libanon di tahun
1980-an. Di tahun 1986 Adonis pindah ke Paris.
”Saya akui bila saya dengar kata ’perbatasan’, saya rasakan ia
ber­ubah jadi rantai yang berdencing dalam diri saya. Bila saya ba­
yangkan ia dalam citra perang, dalam citra pagar kawat berduri,
dan saya lihat bagaimana ia mulur memanjang ke dalam diri dan
pikiran orang banyak sebagaimana ia meregang di atas tanah,
rasa ngeri mencengkam saya dari segala penjuru.”
Itu kata-katanya di tahun 2001. Pada saat itu ia sudah meng­
atasi ”rasa ngeri”-nya. Sebab ia menemukan dalam kata ”perba­tas­
an” sesuatu yang lain: ”bukan sebuah tembok atau ujung, melain-
kan sebuah jendela dan sebuah awal dari jalan lain, pe­ngetahu­an
lain, pencarian lain, dan ikatan lain”....
Tundungan itu telah berubah jadi tampungan, bahkan ke­
sem­patan. Adonis punya argumen untuk itu, sesuatu yang menu-
rut pendapatnya sudah tercantum dalam karya puisi lama Arab,
yang menaruh pengertian tanahair bukan dalam kerangka geo-
grafis, melainkan dalam kaitannya dengan hakikat kemanusiaan:
sebuah tanahair adalah tempat menumbuhkan kehormatan, se-
perti kata al-Mutanabi. Adonis bahkan mengutip kearifan Kalif­
keempat, Ali bin Abu Thalib: ”Tak ada negeri yang lebih patut
bagimu ketimbang negeri lain. Tanah utama adalah yang mela-
hirkan kamu dengan baik.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kutipan itu agak kurang pada tempatnya. Sebab tanah yang


”melahirkan dengan baik” tak sepenuhnya dapat dengan pas
ditemukan. Adonis sendiri mengatakan, dalam imajinasi­ orang
Arab ada sebuah wilayah yang tak bisa diketahui; ia ada bahkan

332 Catatan Pinggir 8


ADONIS

dalam negeri yang diketahui dan dihuni. ”Seakan-­akan ada dua


bagian, yang satu tampak dan yang lain tidak. Yang pertama di-
perintah oleh institusi, yang kedua oleh imajinasi. Yang terakhir
ini kita kenal melalui mimpi, intuisi,­ima­jinasi dan pengharapan,
sedemikian rupa hingga ia seolah-olah penuh sesak dengan ma-
nusia yang tersembunyi, dalam bentuk jin, malaikat, penenung,
pencinta, orang gila, dan pe­tualang­ se­perti Sinbad yang semua
mencari yang baharu dan tak lazim.”­
Identitas kota yang tak tampak dan terletak di lapis bawah
ini seakan-akan berasal ”bukan dari awal atau akar, melainkan
dari apa yang akan datang—dari sebuah masa depan yang dicita-
kannya.” Inilah kota yang mewujudkan ”pintu keluar yang dina-
mis, eksit dari diri sendiri ke pertemuan dengan sesuatu atau sese­
orang lain.”
Tampak bahwa sang penyair—sudah tentu ia bagian dari
penghuni kota di bawah, bersama pencinta, orang gila dan pe­tu­
alang—merayakan eksit, bukan esensi. Esensi berkaitan dengan
apa yang disangka sebagai ”akar” dan ”awal”, masa lalu. Saya kira
Adonis termasuk yang menampik esensialisme: ia tak percaya
bahwa ada ”sifat Arab” (atau ”sifat Timur”, ”sifat Barat”) yang
hakiki, tak berubah, dan dapat dirumuskan. Ia lebih percaya ke-
pada apa yang tak menetap, dan baginya, penderitaan Odiseus—
kalaupun terdengar sebagai sesuatu yang pedih—justru sesuatu
yang heroik dan dipujikan:

Meski kau pulang, ah, Odiseus


meski kau terbendung ruang,
dan pemandumu punah terbakar
http://facebook.com/indonesiapustaka

di parasmu yang kehilangan


atau rasa ngerimu yang akrab
kau akan tetap sebuah cerita kelana
kau akan tetap di negeri yang tak berjanji

Catatan Pinggir 8 333


ADONIS

kau akan tetap di negeri yang tak kembali

Tapi bisakah kita hidup, juga sebagai orang tundungan, dalam


eksit terus-menerus? Saya kira bisa. Namun saya merasa, dalam
keadaan retak—antara asal yang telah jadi nostalgia dan ”negeri
yang tak berjanji”—seorang tundungan justru bahkan tak dapat
mengklaim seperti yang dinyatakan Adonis: membuat frontier—
yang sebenarnya memang berarti ”wilayah depan”—bukan lagi
tapal batas. Ia sendiri pernah menulis: ke sebuah rumah yang ta-
nahnya kubawa sepanjang kembara, kutundukkan kepalaku.
Tiap ”wilayah depan” selalu mengandung ”wilayah be­lakang”,­­
ti­ap pan­tai selalu punya pedalaman. Ketegangan antara ke­­dua­­
nya­bukanlah sesuatu yang mengasyikkan. Itulah sebabnya tun­
dungan adalah peristiwa yang mengandung luka. Tiap eksit me­
ngandung trauma.
Adonis agak mengabaikan luka itu pada akhirnya. Tapi ia
me­mang dapat memberi inspirasi bagi kegairahan di dunia para
orang gila dan penenung dan Sinbad, tempat yang baharu dan
tak lazim senantiasa dicari. Hidup akan mati berkali-kali hanya
dengan institusi.

Tempo, 21 Januari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

334 Catatan Pinggir 8


MATI

Dan kematian makin akrab.

B
EGITU banyak orang mati di dekat kita hari-hari ini:
dalam sekejap, beberapa ratus meninggal, bahkan lenyap,­
karena kecelakaan pesawat terbang di udara yang pekat
dan guncang, karena tenggelamnya kapal di laut yang gaduh, ka­
rena­tanah longsor yang membunuh, karena flu burung yang ko-
non berkecamuk—meskipun di sini kematian relatif tidak ke­
rap­—atau karena anjloknya kereta api....
Dan kematian makin akrab—sepotong kalimat dalam sajak
Subagio Sastrowardojo.
Kalimat itu mengejutkan, memang. Sebab, dalam imajinasi­
ma­­nusia berabad-abad, tak terbayangkan ada keakraban­ an­tara­
kematian dan kita sehari-hari. Dalam Kitab Wahyu 6:8 ada gam-
baran yang mengusik dan mengilhami imajinasi orang Nasrani
dari zaman ke zaman: imaji seekor kuda berwarna putih pucat
yang berderap datang, dan Maut duduk menungganginya....
Di situ Ajal datang dari jauh. Ia datang dengan deras.
Tapi kalimat puisi Subagio tak aneh, bila, dalam meditasi
yang senyap, kita bisa merasakan betul bahwa ajal sebenarnya tak
datang dari ufuk nun di sana. Kematian tersemat dalam hidup.
Ke­tiadaan berada di dasar ada.
Mungkin jarak antara ajal dan kehidupan adalah beda yang
dirumuskan nenek-moyang kita ketika mereka kemekmek, ngeri,
tapi tak mampu memecahkan misteri asal dan akhir manusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bahasa pun memberi nama ”Maut”, dan kita bayangkan ia seba­


gai satu sosok yang mengancam: satu makhluk lain dari benua
yang terpisah dan tak diketahui.
Dalam pewayangan Jawa, sang Maut adalah Yamadipati, pu-

Catatan Pinggir 8 335


MATI

tra sang Hyang Ismaya dan Dewi Sanggani. Asal-usulnya dapat


di­temukan pada keyakinan Hindu, yang menggambarkan Yama
dalam bentuk buruk dan ganjil dengan kulit yang berwarna hijau­
atau merah. Ia duduk di atas punggung kerbau, memegang se­utas­
jerat di tangan kirinya. Dengan jerat itu, ia sambar nyawa manu-
sia.
Kematian adalah kekerasan—begitulah agaknya yang tersirat
dalam citra jerat itu. Sama dengan yang kita temukan dalam tra-
disi Eropa: maut adalah sosok yang membawa sabit panjang, dan
dengan itulah kehidupan ditebang dan nyawa dibabat.
Kematian sebagai sesuatu yang datang dari luar diri kita, dan
cepat mencekik atau menebas leher—semua itu menunjukkan
penolakan manusia atas ajal. Tapi penampikan yang percuma.
Manusia akan senantiasa kalah. Di situ pula rasa murung mere-
bak ke dalam pelbagai ekspresi—dalam bentuk doktrin agama,
upacara persembahan dan korban, ukiran pagoda, lukisan gereja,
doa di depan altar, kata-kata dalam mantra, kisah sastra, bahkan
gambar dalam sinema.
Kita ingat film Ingmar Bergman yang dibuat pada tahun 1957
itu, Tera Ketujuh: kesatria Antonius Block pulang dari Yerusalem
yang jauh setelah Perang Salib; di negeri Utara itu, ketika pendu­
duk diserang wabah, ia bertemu dengan Maut. Ia menantang­nya
ber­main catur; jika ia menang, hidupnya akan lepas dari akhir­
itu.­
Tapi kita tahu apa yang kemudian terjadi. Yang menarik­dari
karya Bergman ini—dengan gambaran Maut yang diambil­nya
dari sebuah lukisan abad ke-15 di gereja di Täby, Swedia—adalah
kehendak untuk membuat kematian merupakan negasi ganda:
http://facebook.com/indonesiapustaka

ma­nusia dikalahkan olehnya, tapi juga manusia direnggutkan


dari arti hidup.
Di sebuah gereja kecil Block membuat pengakuan di depan
satu sosok berjubah: ”Aku berseru kepada Tuhan dalam gelap,

336 Catatan Pinggir 8


MATI

tapi kadang-kadang seakan tak ada siapa pun di sana.”


”Bisa saja tak ada siapa pun di sana,” jawab sosok berjubah itu.
”Jika begitu, seluruh hidup hanya horor tanpa makna. Tak
seorang pun dapat hidup dengan maut sebelum ia mati, jika ia
merasa bahwa akhirnya ia hanya tak diacuhkan.”
Yang tak diketahui Block ialah bahwa si sosok berjubah adalah
sang Maut sendiri.
Bagi saya, Bergman melukiskan Maut sebagai sebuah kekuat­
an yang julig: dengan muslihat ia kabarkan betapa tak pastinya­
arti hidup, sebelum ia mengakhiri hidup itu. Memang dalam aga­
ma orang menemukan sebuah penangkal bagi gambaran yang
me­risaukan itu, tapi justru itu yang hendak digugat Bergman: de-
ngan agama kita sebenarnya mencoba menutupi keraguan kita,
benarkah ada Tuhan yang memberi makna, bukan hanya Tuhan
yang berkuasa. Tera Ketujuh menandaskan rasa jeri kita.
Tapi di sini Bergman, sang atheis, akhirnya hanya merepro­
duksi bayangan umum yang dibawa agama Kristen sejak Abad
Pertengahan: Maut memberat bagai kutukan. Bayangan itu tak
universal. Di Bali, misalnya, upacara ngaben mengandung suasa-
na kebersamaan yang meriah. Dengan kata lain, ada masyarakat
yang menerima kematian dengan hati lebih ringan. Di Indonesia,
kita menyebut orang mati dengan eufemisme: ”meninggal(kan)
dunia”, sebagaimana orang Romawi dulu—menurut mereka
yang mengetahui—memakai kata discessit e vita, ”ia telah me­
ning­galkan kehidupan”.
Bahkan di Eropa yang Kristen pun orang tak selamanya mau
menanggungkan kemuraman ala Bergman. Di sebuah kuburan
di perbatasan Rumania dan Rusia, ada sebuah dusun yang punya­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat pemakaman yang unik: tiap kubur diberi nisan salib dari
kayu yang digambari secara lucu satu corak penting hidup si men-
diang.
Ada juga sebuah anekdot tentang Maharaja Maximilian I ke-

Catatan Pinggir 8 337


MATI

tika ia berkunjung ke sebuah biara. Di sana dilihatnya sebuah lu­


kisan yang menggambarkan Maut sebagai kerangka hidup—satu
model yang lazim di Eropa, konon sejak benua itu ditimpa wabah
besar. Maximilian tak berkenan. Dipanggil­nya kepala bia­ra un-
tuk menyuruh ubah jerangkong itu dengan gambar badut.
Syahdan, sejak itu, gambar tentang Maut berubah. Agaknya
dari sini pula terbit citra tentang maut yang menari-nari, danse
macabre: yang mengerikan bertaut dengan yang grotesk dan ko-
cak.
Dan kematian makin akrab. Bila kita dengan pilu mengalami­
serta menyaksikan beratus orang meninggal seketika pada hari-
hari ini, mungkin kita bisa ingat, Maut tak pernah jauh. Ia bukan
oposan, tapi bagian dari hidup yang juga bisa meriah. Bukankah
sebelum Ada, sesungguhnya Ketiadaan?

Tempo, 28 Januari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

338 Catatan Pinggir 8


KONSTITUSI

—kepada para jenderal yang kehilangan kekuasaan.

P
ARA jenderal yang kehilangan kekuasaan, lihatlah:
kons­­titusi bukanlah wahyu, bangsa ini bukan makhluk
do­ngeng.­
Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impi­
an,­ fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri,­ nafsu­
untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang se­derhana­saja.
Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, ke­
pintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan ke­
kuatan otot dan juga rasa sakit dari cacing­an sampai dengan flu
burung. Kita bukan peri.
Konstitusi kita—yang terkadang kalian perlakukan seperti
ben­da sakti dengan nama ”UUD 45” itu—tak datang dalam du-
nia peri. Ia dirumuskan sejumlah orang yang berasal dari him­
pun­an manusia yang konkret dan bisa sakit itu.
Ia bahkan datang dari sebuah ketidakjelasan. Ketika sejumlah­
orang—kini disebut sebagai bapak dan ibu pendiri Re­publik­In-
donesia—bertemu di sebuah gedung di Jakarta pada bulan Juli
1945 sebagai anggota panitia ”persiapan kemer­de­kaan”, mereka
di­anggap mewakili pergerakan rakyat ”Indo­nesia”. Tetapi ada
yang tak mudah dijawab dalam soal ini: bagai­mana itu mungkin,
jika saat itu ”Indonesia” belum di­tentu­kan batas­annya?
Siapa pula yang menentukan bahwa mereka mewakili rakyat­
In­donesia? Penguasa militer Jepang yang waktu itu sedang akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kalah dalam Perang Pasifik tentu mendengarkan sejumlah pena-


sihat—termasuk Bung Karno dan Bung Hatta—tentang siapa
sa­ja yang harus diundang ke rapat persiapan itu. Tapi pada akhir­
nya kekuasaan de facto itulah yang menentukan, lengkap dengan

Catatan Pinggir 8 339


KONSTITUSI

unsur pemaksaan yang entah harus dipertanggungjawabkan ke-


pada siapa, sesuatu yang lazim terjadi di masa genting dan ter­go­
poh-­gopoh seperti itu.
Dengan kata lain, Indonesia adalah persilangan dua jenis­wak-
tu. Yang pertama waktu yang tak dapat ditandai—waktu­ yang
berlangsung bersama tumbuhnya keinginan kita dan para penda-
hulu kita untuk jadi satu bangsa. Yang kedua waktu­yang bisa di-
tandai dalam sebuah titimangsa, misalnya 17 Agustus 1945.
Bahwa waktu yang kedua itu kemudian melampaui batasnya
sendiri—17 Agustus 1945 hanya berlangsung selama 24 jam, tapi
ia seakan-akan berlangsung terus hingga 2007—itu berarti bah-
wa waktu yang pertama itulah yang menentukan. Keinginan jadi
satu bangsa tumbuh sebelum hari itu, dan terus tumbuh setelah
hari itu. Angka ”45” yang sering kalian anggap keramat itu jadi
berarti justru karena ada sesuatu yang tak stop di sana.
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan,
tahukah kalian, konstitusi yang disebut ”UUD 45” itu hanya­
lah­satu formulasi dari pelbagai keinginan yang belum terpenuhi
semuanya? Angka ”45” hanyalah sebuah momen; naskah yang di­
tandatangani di hari itu juga hanya sebuah momen.­ Waktunya­
terbatas. Memang momen pada gilirannya dapat berubah bagai-
kan sebuah monumen. Tapi itu terjadi ketika dalam keterbatasan-
nya sang momen mendapatkan peran dan makna karena bertaut
dengan waktu yang tak dapat ditandai, waktu yang datang se-
belumnya dan sesudahnya, waktu yang entah di mana berawal
dan berakhir, waktu yang menyebabkan bangsa ini ada dalam se-
jarah—dan ada dalam keadaan yang serba mungkin.
Monumen, kita tahu, bukan barang mati. Ia jadi barang mati
http://facebook.com/indonesiapustaka

jika ia tak lagi ditafsirkan terus-menerus.


Sebuah konstitusi—berbeda dengan sebuah puisi—memang
berniat membatasi penafsiran yang nyaris tak terbatas. Tetapi se-
buah konstitusi akan jadi sesuatu yang segera usang jika ia tak

340 Catatan Pinggir 8


KONSTITUSI

dilihat sebagai teks yang terbatas dan bersifat membatasi—dan


dalam posisi itu ia sebenarnya merupakan ”momen” dari kehen-
dak akan keadilan yang tak kunjung padam­dalam hati manusia.
Tiap konstitusi hanyalah jawaban di suatu saat atas imbauan ke-
adilan yang selalu dijanjikan, keadil­an yang selalu akan datang.
Dengan kata lain, wahai para jenderal yang kehilangan ke­ku­
asaan, tiap undang-undang dasar adalah undang-undang dasar
sementara. Sebagai tanda bahwa para anggota panitia persiapan
kemerdekaan dan perumus UUD 45 bukanlah sejumlah makh-
luk ajaib, mereka mencantumkan satu kalimat yang sederhana,
rendah hati dan arif: di sana dibuka kemungkin­an bahwa kelak
konstitusi ini dapat direvisi. ”Jangan­sekali-kali menyembah ak-
sara!” kata Bung Karno suatu kali.
Jenderal, kini tahun 2007. Setelah melalui waktu yang lama—
dengan rekaman kesalahan yang panjang pula—aksara itu se-
bagian diubah dengan drastis. Dalam amendemen yang telah
berlaku kini, seorang presiden tak lagi dibiarkan terus-­menerus
berkuasa; kita telah melihat akibatnya di bawah Presiden Sukar­
no dan Presiden Soeharto. Hak-hak asasi manusia dicantumkan
dengan tegas, setelah begitu banyak manusia kalian bunuh dan
penjarakan hanya karena berbeda pendapat dengan yang berkua-
sa. Diskriminasi rasial ditiadakan. Presiden dipilih langsung
rakyat. Pemilihan umum berlangsung bebas. Genggaman sen-
tralistis ke daerah praktis dilepaskan....
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, amendemen itu
tak sempurna memang. Tapi ingat: mereka yang melakukan per­
ubah­an itu adalah legislator yang dipilih rakyat—yang memang­
tak perlu peduli akan suara orang tua yang jadi cengeng.­ Dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan lupakah kita bahwa sejumlah mahasiswa telah tewas buat


membuka jalan bagi para legislator itu untuk bisa bekerja­ di
Senayan, hingga UUD 45 diperbaiki dan demokrasi ditegakkan?
Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan,

Catatan Pinggir 8 341


KONSTITUSI

tahu dirilah kalian! Darah yang mengalir di kampus Trisakti,­di


kampus Atmajaya, di pelbagai petak jalan di seluruh Tanah­Air,
menunjukkan bahwa amendemen konstitusi itu juga datang bu-
kan dari langit, melainkan dari marah dan kepedih­an. Sekali lagi
keadilan mengimbau, dan hari mengandung janji—dalam per-
gulatan yang bahkan lebih sengit ketimbang ketika UUD 45 di-
rumuskan di gedung yang tenang di Menteng yang nyaman, di
Jakarta yang dijaga tentara Jepang.

Tempo, 4 Februari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

342 Catatan Pinggir 8


HUJAN

M
UNGKIN hari ini kita menyaksikan metamorfosis
hujan.
Dulu kita bernyanyi lagu Maluku yang indah itu, ”Ka-
lau hujan sore-sore.” Dulu kita ikut bersenandung dengan nada
lembut Titiek Puspa, ”rintik-rintik, hujan rintik-rintik.” Dulu hu-
jan adalah melankoli. Kini, tiap kali curah air dari langit men­
deras, kita dengan telaten tapi cemas mengikuti berita radio ten-
tang berapa meter tinggi air bah yang merasuki dusun dan kota,
meringsek rumah dan sekolah, klinik dan restoran, melumpuh-
kan komunikasi telepon dan mengganggu perdagangan. Seakan-
akan kita tengah mengikuti reportase tentang seekor naga buas
yang tengah memporak-porandakan kampung kita.
Sesuatu telah berubah, memang. Kita telah tahu itu. Saya tak­
mengatakan hal yang baru jika di sini saya tulis bahwa banjir, ta-
nah longsor, tanggul yang bobol, rel kereta yang rusak, roa-roa
yang remuk—dan akhirnya bumi yang semakin panas karena la­
pisan ozon yang melenyap—adalah akibat ”kemaju­an” yang ra­
kus dan hasrat ”memperbanyak” yang tak jera.
Tapi apa mau dikata: tak selamanya kita sadar akan sifat ta-
mak yang sering kita pelihara dan manjakan sendiri itu. Padahal
ti­ap potong kursi yang dibuat dari kayu hutan tropis, tiap are ta-
nah yang diambil buat pusat perbelanjaan, tiap lembar kantong
plastik yang dibuang sebagai sampah, tiap tetes sabun deterjen
yang tercecer, tiap liter bensin yang diuapkan sebagai karbon di­
ok­sida, tiap butir zat kimia sintetis yang mengalir ke kali—semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu pada akhirnya menghimpun sebuah daya yang membalik dan


destruktif: semula dengan gemuruh manusia mengalahkan alam,
tapi kini ia seperti tak berdaya di depan alam yang hampir han-
cur.

Catatan Pinggir 8 343


HUJAN

Di situlah kekonyolan: ada kombinasi antara kebakhilan dan


ketamakan yang menyebabkan hujan membawa kerugi­an di kota
semegah Jakarta. Para pemilik hotel, kantor besar, apartemen
tinggi di wilayah Kuningan, misalnya, pernah dirugikan miliar­
an rupiah oleh air bah, tapi saya tak melihat ada investasi yang di-
siapkan untuk mencegah bencana itu berulang.
Yang kelihatan: dengan pesat manusia memperbesar tempat­
nya—karena keserakahan atau karena beranak-pinak seperti
mar­mut—tapi pada saat itu pula ia kehilangan dunung-nya.
Kata dunung saya pinjam dari bahasa Jawa. Dalam kamus yang
disusun Empu Bahasa termasyhur itu, W.J.S. Purwadarmin­ta,
Ba­oe­sastra Djawa, yang terbit pada tahun 1939, dunung tak cuma
berarti tempat (enggon) atau wilayah (wewengkon), tapi juga posisi
yang pas (prenah).
Orang kehilangan dunung ketika ia mengutamakan tempat.
Dengan membangun tempat, atau ”kavling”, kita memang­me­
ne­­­rangi ruang, mengukurnya, memetakannya dan me­mi­­li­ki­nya
untuk digunakan. Dunia—yang sebenarnya berisi ke­ragaman
yang tak tepermanai, juga khaos yang rumit dan endapan sejarah
yang dalam—telah direduksi jadi petak yang jinak. Dunia jadi
se­­buah gambar.
Tapi ”gambar dunia” itu (Weltbild, konon kata Heidegger) bu-
kanlah gambar tentang dunia, melainkan ”dunia” yang ditatap,
di­­setel, dan dikonsep sebagai ”gambar”. Kita tak akan dan tak
per­­nah tinggal di sana sebenarnya. Bahkan di sanalah awal kita
jadi terasing.
Sebab di manakah posisi yang pas bagi kita? Karena kita ter-
biasa mengukur ruang yang bak gambar itu dengan angka—de-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan hektare, volume, dan rupiah—kita pun terbiasa menyangka


bahwa yang pas adalah yang harus dapat dibandingkan dengan
posisi orang lain, atau posisi kita sendiri sebelumnya, sementara
perbandingan itu berlangsung tak habis-habisnya.

344 Catatan Pinggir 8


HUJAN

Ada sebuah cerita Leo Tolstoy tentang seseorang yang terus-


menerus membeli tanah dan tak pernah kenyang memperluas
milik. Pada suatu hari ia mencoba mengukur wilayah kekuasa­
an­nya. Ia membawa meteran, berjalan kaki menghitung petak
demi petak. Perjalanan itu tentu saja jauh sekali, karena tanah itu
nyaris tanpa batas. Pada suatu titik, ia lelah, rubuh, mati, dan di-
kuburkan. Akhirnya tempatnya adalah sebidang tanah yang tak
lebih luas ketimbang balai-balai si miskin. Di situlah ia di-pre-
nah-kan. Di situlah dunung-nya.
Dunung adalah pengertian yang lahir dari kesadaran akan
ke­fanaan. Meskipun terasa sangat romantis, ada yang layak di­
re­nungkan ketika Heidegger berbicara tentang hubungan kata
Gothis wunian dengan kata Jerman lama bauen. Keduanya ber­
arti ”tinggal”, ”menghuni”. Tapi kata wunian juga berarti ”ada
dalam damai”. Damai berarti tak tersentuh bahaya dan gejolak.
Dari kedamaian itulah kita bisa menilai posisi yang pas bagi kita.
Posisi yang pas itu, dunung, adalah posisi dalam apa yang dise-
but Heidegger ”empat lipatan”: di atas bumi, di bawah la­ngit,­di
antara makhluk yang fana, di hadapan yang ilahi. Di sanalah ma-
nusia tak terasing, sebab ia tak melepaskan diri dan tegak sendi­ri
sebagai sang penakluk. Ia tahu ia tak akan pernah selesai mereng-
kuh. Rakus—tak hanya dalam hal tanah, tapi dalam segala­hal—
hanya akan membawanya kepada ilusi tentang kenyang, yang
bersifat sementara, setelah ia memperkosa bumi.
”Bumi seperti seorang anak yang kenal sajak,” kata Rainer­
Maria Rilke dalam Soneta buat Orfeus. Bumi, tanpa kita sadari,
mengenal ritme, kejutan, keakraban, keterpautan yang intens de-
ngan kita—bumi yang menyebabkan hujan seakan-akan berbi-
http://facebook.com/indonesiapustaka

cara nyaman, bukan terancam, bukan mengancam.


Saya tak tahu bisakah kita kembali ke sana. Mungkin saja.
Saya mencoba berharap. Tiap kali hujan menggerojok kota ini de-
ngan dahsyat, akan ada saat berhenti. Di saat itu kita akan bisa

Catatan Pinggir 8 345


HUJAN

melihat pohon-pohon tampak segar, semakin hijau, seperti dicuci


dari debu dan rasa lesu dan terik yang keras.

Tempo, 11 Februari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

346 Catatan Pinggir 8


BANJIR

F
OTO itu tampak seperti sebuah lukisan surrealis yang
setengah seram setengah lucu: di sana tampak sebuah ko­
ta, tapi tanpa trotoar dan bulevar. Yang mempertautkan­
nya adalah air coklat yang menggenang tinggi di sela-sela ge-
dung-gedung megah, seakan-akan ruang telah disihir jadi cair,
sementara ribuan penghuni berderet menadahkan tangan kepada
kekuatan yang entah di mana....
Foto itu seperti sebuah lukisan surrealis, dan kelak mungkin­
seseorang akan berkata: Ajaib, ini tempat manusia hidup di abad
ke-21!
Tentu saja benar. Ini Jakarta. Tak ada ibukota lain di dunia
yang seperti ini. Ini kota modern dengan bangunan yang disebut
”World Trade Center”, sebuah gedung pasar modal yang sibuk,
ra­tusan bank yang aktif, ruang-ruang belanja luas dengan etalase
Hugo Boss, Prada, Gucci, Bvlgari, Bang & Olufsen, dan Cartier,
tempat parkir dengan mobil BMW, Jaguar dan Ferrari, sejum-
lah hotel bintang lima dan restoran yang menyaji­kan santapan
dari pelbagai penjuru dunia, juga apartemen menjulang dengan
jaringan internet, beberapa sekolah tinggi yang masyhur, serang-
kaian studio televisi yang mentereng, rumah sakit yang canggih,
gedung pemerintahan pusat yang kukuh, termasuk Istana Presi­
den dan kantor kabinet....
Tapi ini juga Jakarta yang lumpuh didera banjir.
Foto itu tentang sebuah anomali.
Yang terkadang luput ialah bahwa dari anomali itulah kita
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa tergerak dan mengingat: bagaimana semua indikator ke­kuat­


an ekonomi dan kemajuan teknologi itu bisa ada, sementara de-
ngan cepat air bah mampu mengubah ibu kota Republik Indone-
sia jadi sebuah dusun abad ke-17 yang rapuh?

Catatan Pinggir 8 347


BANJIR

Tak mudah menjawabnya. Kini orang mengatakan kota ini


ma­sih butuh 500 taman. Kini dikemukakan kian sedikitnya ta-
nah buat resapan air. Kini tambah terungkap bagaimana­ izin
mendirikan gedung—termasuk mall yang seperti tak henti-hen­
tinya dibangun—diberikan kota praja tanpa memperhatikan
ling­kungan dan kepentingan umum. Kini orang tahu betapa ter-
lambatnya proses membuat kanal-kanal untuk meng­alirkan arus
air ke tempat yang aman.
Akhirnya tersiratlah sebuah pertanyaan: apa sebenarnya me-
kanisme dan kekuatan yang bisa membangun 500 taman, mener­
tibkan cara mendirikan bangunan, menyiapkan tanah resapan
air, dan membuat arus sungai mengalir lancar?
Dalam wacana yang kita kenal, mekanisme dan kekuatan
itu disebut ”Negara”. Tapi di sini mungkin kita terdiam sejenak.
Setelah beberapa kali krisis terjadi, setelah ternyata tak banyak
ta­man yang dibangun, setelah gedung-gedung didirikan terus di
tanah yang seharusnya dibiarkan hijau, setelah kota tumbuh se-
olah-olah tak ada yang mengaturnya, semacam pola telah diben-
tuk di Indonesia: ”Negara hilang, Banjir Terbilang”.
Tapi saya kira tak sepenuhnya demikian. Banjir berulang kali
terjadi, tapi Negara tak pernah benar-benar ”hilang”. Ia ber­ubah.
Ia jadi semacam makhluk takhayul yang mengata­kan, ”aku tak
terlihat, tapi bisa kadang-kadang muncul di depanmu”.
Negara tak terlihat, sebab konon dalam keadaan itu dialah
yang mengatur peri kehidupan bersama dengan birokrasi yang
impersonal: petugas di dalam gedung pemerintah dan di balik
meja itu bukan wajah seseorang. Ia perpanjangan dari sesu­atu
yang universal, seperti dibayangkan Hegel. Dengan itulah wiba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

wa dan kekuasaan tumbuh.


Tapi dalam pengalaman sehari-hari kita, itu hanya sekilas pe­
nampakan. Di momen berikutnya, ketika anda masuk ke gedung
itu dan duduk menghadap sebuah meja, ”Negara” pun jadi kasat

348 Catatan Pinggir 8


BANJIR

mata. Ia tampak dalam sosok seorang pejabat, yang ternyata telah


mengubah sesuatu yang impersonal jadi sesuatu yang personal.
Ia menerima sogok—tanda bahwa kekuasaan di gedung itu telah
jadi milik pribadi. Dengan itu, ia bisa menghapuskan rencana
pembangunan sebuah taman dan menjadikannya sebuah mall
ter­besar di Indonesia. Tapi ingat: dalam kehadirannya yang per-
sonal, ia mengapit lambang ”Negara”. Anda lihat: ia mengenakan
baju seragam dan ia memegang stempel.
Tidak, kita tak berada dalam keadaan Negara macet atau la­
puk. Hanya korupsi telah membuat ”Negara” jadi mahluk yang
ambigu, mahluk takhayul dengan kekuatan yang tetap dahsyat.
Mungkin itu sebabnya orang waswas dan bingung, terka­dang
jera berurusan dengan ”Negara”. Saya pernah dengar se­orang
men­teri perekonomian yang serius dan jujur mengeluhkan sifat
ambigu birokrasi yang dibawahkannya: ”Saya tak tahu, orang di
kantor ini bekerja buat kepentingan umum atau kantong sendi­
ri”. Lalu dengan senyum pahit ia mengatakan, ”Mung­kin lebih
baik masyarakat bekerja tanpa aparat Negara”.­
Tapi tanpa ”Negara” bisakah orang ramai membangun 500
taman, menggusur bangunan besar—termasuk milik pemerin-
tah—yang merusak tanah resapan, dan mengatur sendiri alokasi
ruang yang terbatas? Bisakah kita mengandalkan apa yang dise-
but sebagai ”pasar”, yang menurut buku teks ekonomi Samuelson
dan Nordhaus, melahirkan ”mukjizat di sekeliling kita sepanjang
waktu”?
Mungkin bisa. Tapi mukjizat itu memerlukan sesuatu yang
bukan mukjizat: sebuah pergulatan politik yang membuatnya­
efektif. ”Tangan yang tak terlihat” yang bekerja dalam meka­nis­
http://facebook.com/indonesiapustaka

me ”pasar” itu juga semacam makhluk takhayul, meskipun de-


ngan sosok yang berbeda: sebuah kekuatan yang entah di mana
asal dan pusatnya, yang bisa mendisiplinkan ”pasar”, yang bisa
menegakkan tatan sosial tanpa arahan dari atas, dan juga me­

Catatan Pinggir 8 349


BANJIR

ngan­dung daya menyeleksi mana yang layak dan tak layak dalam
persaingan. Tapi ia bukannya 100 persen mahluk halus. Ia tak be­
kerja di ruang hampa, di luar waktu.
Sementara itu, bersama waktu, ruang dengan cepat me­nyem­
pit, hutan dengan cepat gundul, pohon-pohon masih akan lama
tumbuh, dan esok banjir akan datang lagi. Dalam keadaan itu,
”tangan yang tak terlihat” hanya bisa bekerja­dengan­tangan yang
terlihat—mungkin sebuah tinju yang ama­rah.

Tempo, 18 Februari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

350 Catatan Pinggir 8


BABEL

M
EREKA tiba di tanah Sinear di sebelah timur. Mere­
ka berniat menetap. Mereka berencana membangun
”kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai
ke langit”. Mereka ingin ”cari nama”, agar tak ”terserak ke seluruh
bumi”.
Tapi kisah Alkitab tentang Menara Babel ini berakhir mu-
ram. Tuhan murka. Tampaknya Ia melihat niat itu sebagai siasat­
manusia meraih kekuasaan adidaya. Tuhan pun turun ke Sinear.
Ia buncang orang-orang itu ke pelbagai penjuru, dan Ia kacau-
balaukan bahasa manusia hingga mereka tak saling mengerti lagi.
Kenapa itu yang dilakukan-Nya? Kenapa Ia gagalkan pro­yek­
menara itu, juga ide merumuskan satu identitas (”cari nama”) itu,
dan ia ”serakkan” manusia ke seantero bumi? Ke­napa­tak dibiar-
kan-Nya mereka jadi ”satu bangsa dengan satu bahasa”?
Saya bukan penafsir Alkitab. Saya hanya mengulang pertanya­
an yang tak kunjung selesai dijawab. Anda bisa katakan, tindak­
an Tuhan itu sebuah laku divide et impera yang purba, modus si­
kuasa menghadang lawan yang hendak menandingi­nya. Tuhan,
dalam Kitab Perjanjian Lama (dan juga dalam sajak Amir Ham­
zah), memang disebut ”cemburu”.
Tapi Anda juga bisa katakan, yang terjadi hanyalah pengukuh­
an nasib manusia: terserak-serak, tanpa bahasa yang universal,
tan­pa makna yang dapat diterima jelas kapan saja dan di mana
sa­ja.
Anda juga bisa kemukakan, dari nasib itu bisa datang se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buah kearifan. ”Tiap peradaban dan tiap kebudayaan adalah se-


buah Menara Babel,” kata Reinhold Niebuhr pada 1937. Ketika
mengemukakan itu, theolog Protestan itu menyebut perlunya si-
kap rendah hati, juga dalam agama.

Catatan Pinggir 8 351


BABEL

Agama yang sejati, katanya, selalu menyimpan rasa gundah


(”uneasiness”). Orang tahu, Tuhan yang disembahnya melampaui
takaran ”manusia yang terbatas”. Sementara itu manusia­sendiri­
”terus-menerus tergoda untuk lupa akan keterbatas­an kebudaya­
an dan peradabannya”, dan mengira mampu me­nangkap kebe­
nar­­an yang terpuncak. Di situlah kisah Menara Babel memban-
tah: manusia memang piawai, tapi daif. Kita perlu hidup bersama
orang lain dengan (istilah saya) sebuah ”etika kedaifan”.
Bahasa adalah paradigmanya. Bahasa bukanlah pucuk super-
tinggi yang dapat menangkap seluruh ”kenyataan”. Di atas bumi,
bahasa adalah percobaan terus-menerus dalam ruang & waktu
untuk menerjemahkan dan diterjemahkan—sebuah proses yang
selamanya dirundung frustrasi.
Ada satu ilustrasi yang tajam tentang frustrasi itu. Dalam film
Babel karya sutradara Alejandro González Iñárritu, Chieko—si
gadis bisu-tuli di Tokyo yang riuh—tersisih, ditolak, dan putus­
asa ketika ia hendak menjangkau orang lain dengan kata-kata
yang bukan miliknya. Bahkan juga ketika ia mencoba memakai
bahasanya sendiri: tubuhnya yang nyaris tak bersuara.
Diperankan dengan memukau oleh Rinko Kikuchi, Chieko
mengungkap malangnya posisi manusia dalam ”penjara bahasa”,
untuk memakai ungkapan Nietzsche: selalu ingin berkomunika-
si, tapi terperangkap kurungan sempit.
Chieko, si gagu, yang juga terperangkap, harus mengguratkan
huruf di selembar kertas bila ia bertanya-jawab. Ia menempuh
proses terjemahan yang tak mudah—dan kita tahu terjemahan
se­lalu tidak pas. Jika Chieko terus-menerus ditolak, baik dalam
pertandingan voli maupun dalam hubungan seks, ia mengingat-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan kita akan kondisi kita sendiri. Seperti tampak pada si bisu,
komunikasi itu sesuatu yang mustahil, tapi niscaya, atau sebalik­
nya niscaya, tapi mustahil.
Juga di tengah derap dunia baru yang katanya ”tanpa perba-

352 Catatan Pinggir 8


BABEL

tasan” kini....
Di sinilah Babel—dibuat pada 2006—sebuah bantahan. Ia
meruntuhkan ilusi tentang sebuah ”dusun global”. Film ini me-
maparkan bagaimana manusia, dipertemukan di perbatasan,
justru dihubungkan oleh salah paham yang kejam dan paranoia
yang pekat. ”Dunia Ketiga” tampak sebagai teror kekal bagi ”Du-
nia Pertama”. Di tepi gurun, turis Amerika itu waswas bahkan
terhadap es batu bikinan Maroko (”Kau tak tahu dari air apa itu
dibuat,” katanya). Di bagian lain, seraya memasuki Kota Meksi­
ko, si bocah Amerika dengan cemas berkata, ”Kata Mama, Mek-
siko itu berbahaya.”
Babel, sebuah portmanteau, memang serangkai cerita tentang
kontak antarmanusia yang tak terelakkan tapi tak membuahkan
pertemuan. Seorang anak gembala di bukit-bukit Maroko ingin­
menguji ampuhnya senapan yang baru dibeli­bapaknya, dan se­
orang perempuan Amerika, seorang turis, luka parah karena tin-
dakan yang tak sengaja itu. Pemerintah Amerika pun berteriak,
”Teroris!” dan seorang bocah ditembak mati. Sementara itu,
Ame­lia, batur Meksiko yang bekerja di sebuah keluarga Amerika,
membawa kedua anak majikannya ke kampung untuk ikut pesta
pernikahan yang asyik. Tapi keasyikan dan hangatnya persauda-
raan berakhir di tapal batas yang angkuh, di hadapan kekuasaan
Negara yang brutal: gerbang imigrasi. Dari Tokyo, seorang tu-
ris Jepang penggemar berburu menghadiahkan senapannya ke
seorang Maroko. Tapi tanda persahabatan itulah yang menghan-
curkan hidup sebuah keluarga miskin.
Manusia terserak, komunikasi retak.
Tapi tak selamanya jalan hanya buntu. Ada sebuah dialog
http://facebook.com/indonesiapustaka

pendek yang ditulis Kafka tentang Babel:

”Apa yang kau bangun?”


”Aku ingin buat lorong di bawah tanah. Harus ada kemajuan bi-

Catatan Pinggir 8 353


BABEL

arpun sedikit. Posku di atas sana terlampau tinggi.”


”Kami menggali liang Babel”.

”Liang”, bukan ”menara”: kiasan untuk sesuatu yang rapat ke


bumi, seperti kubur, lorong yang akrab dengan mereka yang di-
campakkan dan yang tak berdaya. Di sinilah—bukan di langit—
komunikasi berlangsung sebagai empati, bahkan di antara sesa-
ma yang berbeda sejarah.
Dalam filmnya, Iñárritu menampakkan momen itu di sebuah
rumah buruk di satu kota kecil Maroko. Perempuan Arab tua pen-
ghuni rumah itu membelai rambut si wanita Amerika­yang luka
dan terbujur ketakutan; ia merawatnya, ia menenangkannya,­ ia
bisikkan Surah Al-Fatihah di dekat kupingnya. Meskipun wanita
itu tak dikenalnya.

Tempo, 25 Februari 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

354 Catatan Pinggir 8


NASIONALISME

K
ITA hidup dengan kontradiksi di tapal batas. Kini de­
ngan­cerdik dan cekatan pelbagai hal—buruh, komo-
ditas, korupsi, agenda politik, terorisme—melintasi
per­batasan. Tapi di sana-sini tembok nasional dibangun makin
tinggi. Dunia menyempit, dunia kian sengit, dan wajar jika kita
bertanya: Bisa­kah nasionalisme dielakkan? Haruskah?
Nasionalisme punya sejarah, punya jejak, dan untuk menja-
wab pertanyaan itu penting kita lihat jejak itu kembali. Ada ma-
sanya ketika yang tersimpan rekaman kisah yang buruk. Rabin­
dranath Tagore pernah menggambarkan sebuah keada­an­­ketika
”bangsa-bangsa yang saling ketakutan intai-meng­intai­ seperti
hewan buas di malam hari”. Dan penyair besar India­itu pun ber-
tanya, ”Haruskah kita bertekuk lutut kepada semangat nasional-
isme, yang menebar-siarkan benih rasa takut, rakus, curiga ... ke
seluruh dunia?”
Tagore mengucapkan itu pada 1916, ketika sastrawan ber­ba­
hasa Bengali yang mendapat penghargaan Nobel pada 1913 itu
berkunjung ke Tokyo. Waktu dan tempatnya pen­ting:­kaum na-
sionalis Jepang sedang menghalalkan postur militer­ ne­gerinya.
Dalam hubungan itu bahkan Tagore­secara­tak se­­ngaja­menge­
cam­pandangan yang tercantum dalam The Awakening­of Japan,
buku berbahasa Inggris yang terbit pada 1904, yang membenar-
kan penjajahan Jepang atas Korea: ”Korea­terletak bagaikan sebi-
lah keris yang selamanya terhunus­ke jantung Jepang”.
Kalimat itu penting sebab bukan suara seorang militer. Ia­dit-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ulis seorang Okakura Tenshin. Okakura justru seperti Tagore: hi­


dup dan menulis dalam lingkungan di mana seni dan pengalam­
an tentang keindahan diletakkan begitu penting dalam hidup
ma­nusia. Kedua orang itu bahkan saling kenal, dan dalam arti

Catatan Pinggir 8 355


NASIONALISME

tertentu, berteman.
Dalam bukunya terbaru, Another Asia, Rustom Bharuscha—
dari mana saya dapatkan kutipan buat tulisan ini—menggam-
barkan dengan cermat dan menilik dengan tajam peri kehidup­
an kedua ”sahabat” itu. Dari sini dapat kita lihat kembali soal-so-
al yang timbul tatkala bagian dunia yang disebut sebagai ”Asia”
ini—dengan definisi dan geografi yang tak sepenuhnya jelas—
harus bergulat dengan pertanyaan yang fun­damental tentang
iden­titas atau posisinya dalam sejarah. Diinjak-injak kolonial-
isme negeri-negeri Eropa, ”Asia” kemudian melihat bagaimana
sebuah negeri Eropa, yakni Rusia, dikalahkan Jepang pada 1905.
Sejak itu ”Asia” sibuk untuk ”ba­ngun”.­Nasionalisme adalah ja­
wab­annya.
Tapi itu bukan jawaban tanpa sisi yang gelap. Telah disebut­
bagaimana nasionalisme Jepang melahirkan imperialisme ter­
sendiri, mula-mula di Korea. Kontradiksi ini sudah terasa keti­ka
berkumandang suara—seperti juga yang diartikulasikan­ Oka­
ku­ra Tenshin—bahwa ”Asia” itu ”satu”, bahwa ”Asia” pu­nya­ciri
yang tersendiri, sebagaimana dinyatakan dalam ke­se­ni­an dan ke-
hidupan sosialnya.
Dalam bukunya, Bharuscha menunjukkan kontradiksi­itu le­
bih jauh dengan mengutip pelbagai ucapan Okakura:­ justru­ di
bangunan ”Asia” yang ”satu” itu, Jepang tak persis ber­ada di da­
lamnya. Jepang berada di atas, dimulai dengan posisinya­dalam
seni. Bagi Okakura, seni rupa Jepang—lahir dari alam yang ber-
beda—berada di tingkat yang lebih unggul ketimbang seni Cina,
yang ditandai ”keluasan yang monoton” dan ketimbang seni In-
dia yang punya ”kekayaan yang terlampau membebani”. ”Seni Je-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pang berdiri sendiri di dunia,” kata­nya, sebagaimana halnya ”Je-


pang berdiri sendiri menghadapi dunia”.
Yang diabaikan Okakura ialah bahwa dalam kata ”mengha­
dapi­dunia” ada ”yang lain” yang dihadapi.

356 Catatan Pinggir 8


NASIONALISME

Okakura sendiri sebuah persona. Ia sebuah penampilan. Ia


menyusun sebuah koreografi untuk hadirin yang dihadapinya.­
Dalam foto-fotonya, ia selalu tampak mengenakan kimono.
Dalam karya-karyanya, Okakura berbahasa Inggris. Bharuscha­
mengemukakan satu kutipan menarik, yakni sepotong nasihat
Okakura kepada anaknya: ”Janganlah berpakai­an Jepang jika
ba­hasa Inggris kamu patah-patah.”
Ke-”Jepang”-an sebagai koreografi penampilan, seni yang
unik yang menandai identitas nasional, bangsa yang homogen
sebagai nasib—itu semua menunjukkan apa yang tak diakui
Okakura dan kaum nasionalis: ketika kita bayangkan bangsa se-
bagai sesuatu yang esthetis, kita lupa ”orang luar” sebenarnya ikut
mendesak dan membentuk diri kita, dan ada yang brutal dalam
pro­sesnya.
Kimono yang dikenakan Okakura, yang menyertai lidah­yang
fasih berbahasa asing, mencoba menghilangkan sisi dirinya­yang
tak murni Jepang. Seni yang disebut ”unik” menampik sejarah
akul­turasi: sejak abad ke-8 pelukis Jepang datang ke Cina buat
belajar. Dan ketika bangsa ”Jepang” hanya­dibayangkan sebagai
kelanjutan ”ras Yamato”; telah terhapus orang Ainu dari ingatan.
Tak berarti nasionalisme sepenuhnya cerita penghapusan
yang berbekas darah dan besi. Dalam riwayatnya, nasionalisme
punya saat-saat yang membebaskan dan membangun. Kecaman
Tagore mengabaikan apa yang pernah dan dapat tercapai keti-
ka sebuah komunitas bersama dianggit (imagined, kata Benedict
Anderson), sebuah negara-bangsa berdiri, dan sebuah mekanisme
politik bekerja, dengan segala kekurangannya, untuk hidup ko-
munitas itu sehari-hari.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Partha Chatterjee benar ketika ia mengecam pemikiran­ Ta­


go­re:­dalam hidup sehari-hari ”kita mengikuti aturan lalu lintas,­
membayar pajak, memberikan suara atau tidak, menyiap­kan
anak kita ikut ujian, mengecam pemerintah yang tak berfaedah

Catatan Pinggir 8 357


NASIONALISME

dan politisi yang disogok”.


Kita hanya bermimpi indah jika kita anggap semua itu ada di
luar kita.
Tak berarti mimpi indah harus diberangus. Ada yang menye-
babkan wacana tentang negara dan bangsa tak sepenuhnya me­
ngu­asai ruang hidup. Di dunia Okakura dan Tagore, seperti di-
tunjukkan The Other Asia, kita bersua dengan pengalam­an ten-
tang keindahan. Di sanalah wacana yang perkasa, seperti nasio­
nal­isme dan anti-nasionalisme, menemui batasnya.

Tempo, 4 Maret 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

358 Catatan Pinggir 8


SHANGHAI

S
HANGHAI sebuah kota yang dilecut. Gedung-gedung
menyeruak ke langit seperti berlomba untuk dapat tem-
pat, atau nama, atau masa depan. Arsitektur seakan-akan
dipesan mendadak; deretan bangunan itu tampak tegang, riuh,
tak jarang sumbang. Dari distrik Waitan (orang Inggris menye-
butnya ”The Bund”), dari boulevard sepanjang Sungai Huangpu,­
orang akan terkejut, atau tertawa geli, melihat di seberang me­
na­ra TV ”Mutiara Timur” mencuat penuh ambisi hampir 500
meter—kaku, berpucuk runcing dan agresif, mirip jarum suntik
yang dibikin besar untuk mencocok awan.
Modernitas selalu tergoda kecepatan, terbujuk hasrat menju­
lang dan dengan agresif menjangkau. Tapi tak berarti de­ngan­
lang­kah bergegas itu baru sekarang Shanghai masuk ke dalam-
nya. Riwayat kota dari abad ke-11 ini berbeda dari kota Asia yang
lain. Setelah Perjanjian Nanking di tahun 1842, setelah Cina ter­
desak karena kalah dalam Perang Candu, negara (dan modal)­
Barat mendapatkan wilayah dan hak-hak khusus di kota itu.
Mereka membawa yang baik dan yang buruk dari dalam yang
”mo­dern”, yang belum pernah ada sejak Dinasti Sung.
Asosiasi pialang saham terbentuk pada 1898. Pasar Modal
Shanghai 1904. Kini bangunannya konon tiga kali lebih besar
ke­timbang Pasar Modal Tokyo, dan tak mengherankan bila ia
bisa jadi episenter sebuah gempa kapitalisme: Selasa yang lalu In-
deks Gabungan pasar modal kota itu turun hampir 9 persen,­dan
di seluruh dunia saham pun berjatuhan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Shanghai sebuah kekuatan tersendiri tampaknya; ia sejarah­


blasteran besar. Sejak dulu orang hidup dengan ”budaya Yang­
jingbang”, kata yang diambil dari nama kali yang kemudian di-
urug jadi jalan, tanda wilayah yang dikuasai orang asing. Dengan

Catatan Pinggir 8 359


SHANGHAI

kata lain: di sini hidup manusia liplap. Tak urung, me­reka­yang


membenci ketidak-murnian itu menyebut Shanghai ”Cabo Asia”.
Tapi sifat itulah yang membentuk dinamika dan tragedinya.­
Dalam novel Andre Malraux yang termasyhur itu, La Conditi­
on Humaine, (”Keadaan Manusia”, terbit 1933, dengan latarbela­
kang Shanghai tahun 1926), dinamika dan tragedi itu berpadu
pa­da pemberontakan. Tokoh Tchen dan Kyo Gisors orang revolu-
sioner (dengan kata lain: modern) yang hendak meng­ubah ma-
syarakat Cina jadi adil, tapi gagal. Tchen, sang teroris,­tewas keti­
ka mencoba meledakkan bom bunuh diri; Gisors, si pemimpin
pembrontak, tak hendak menyerah dan menelan racun.
Novel Malraux menampilkan Shanghai sebagai latar ”manu-
sia”. ”Cina” adalah bagian dari yang humaine itu. Bersama Tchen
dan Gisors, ada Baron De Clappique, seorang Prancis pen­judi;
May, istri Kyo, seorang Jerman. Dengan kata lain, pemberontak­
an itu sebuah perlawanan ”anak semua bangsa” yang tanpa ta­pal
batas. Dengan kata lain, perlawanan itu tak mengindahkan­wi­la­
yah­manusia yang dipagari tapal batas secara palsu. Itu agaknya
yang membuat novel Malraux klaustrofobik: hampir seluruh ke-
jadian berlangsung di ruang-ruang tertutup. La Condition Hu-
maine tak menggambarkan jalanan, sungai, taman, dan unsur
lain lanskap Kota Shanghai. Semua itu—yang seharusnya meru-
pakan ruang bersama—tak relevan karena tak lagi bisa buat ber-
sama.
Kini gambaran Malraux itu tentulah tak berlaku lagi, meski­
pun­ orang asing tetap terpisah: para ”expat” tinggal di wilayah
Hongqiao dan Gubei yang mahal, setelah orang Cina yang mis­
kin digusur. Shanghai 2007 tak akan berontak. Kota­yang di ta-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hun 1960-an menembakkan salvo pertama ”Revolusi­Kebudaya­


an” itu—yang mengganyang habis para pe­nempuh ”jalan kapi-
talis”—kini kembali memanggil modal­dari mana saja. Menara
IBM dan menara Passat tegak mencolok dan 25 lebih­perusahaan

360 Catatan Pinggir 8


SHANGHAI

multinasional buka cabang di Shanghai (hanya 11 di Beijing).


Penduduk ramai-ramai berjudi­di pasar­modal yang mereka sebut
du bo ji, mesin berselot penadah uang.
Setelah ”Revolusi Kebudayaan” gagal, setelah Mao terpacak
se­perti dewa yang jauh, ”budaya Yangjingbang” dilanjutkan­”bu-
daya Xingbake”—nama sebuah usaha kopi Shanghai yang me-
niru Starbucks. Tapi lebih dari di masa lalu, bahkan merek blas­
ter­an itu dikalahkan merk asli yang justru milik asing. Tahun lalu
hakim Lu di Peradilan Rakyat menganggap peng­usaha ”Xing-
bake” menjiplak secara tak sah Starbucks. Orang lokal itu diden-
da 62 ribu dollar.
Pada masa Mao, hakim Lu akan didera sebagai ”kom­prador”.­
Tapi kini ”keadilan” tak selamanya menguntungkan yang lemah;
”keadilan” tak selalu sama dengan ”pemerataan”. Seperti dimana-­
mana, juga di Jakarta, Shang Hai dilecut modernitas tapi dihan-
tui sejarahnya, ketika ”pemerataan” (yang di­janjikan Revolusi
Mao) begitu penting, identik dengan ”keadilan”.
Tapi itulah dilema itu tetap: tiap pertumbuhan ekonomi­yang
pesat dibarengi ketimpangan sosial yang berat. Cina 2007 mem-
bantah kesimpulan Mahbub ul-Haq. Tiga dasawarsa yang­ lalu,
pakar ekonomi itu mengatakan bahwa pembangun­an sosialis
Mao yang mendahulukan ”pemerataan” lebih bisa membuat per-
ekonomian tumbuh ketimbang cara India yang ”borjuis”. Kini
ceritanya terbalik. Perekonomian Cina tumbuh spektakuler sam-
pai persen, ketika, seperti ditunjukkan lapor­an­Akademi Ilmu-
Ilmu Sosial, 10 persen keluarga terkaya memiliki lebih dari 40
persen asset swasta, sedang 10 persen yang termiskin hanya me-
nikmati kurang dari 2 persen kekayaan total. Menurut Bank Du-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nia, koefisien Gini di Cina tahun 2005—yang mengukur jarak


antara si kaya dan si miskin—lebih­tinggi ketimbang India. Juga
ketimbang Indonesia.
Mungkin inilah La Condition Humaine kini: di dunia yang

Catatan Pinggir 8 361


SHANGHAI

tak mau melarat lagi, orang harus menjawab pertanyaan sulit


”neo-liberalisme”: bagaimana ”pemerataan” dicapai tanpa inter-
vensi Negara? Tapi bagaimana intervensi Negara tak menimbul-
kan korupsi dan kesewenang-wenangan?
Di episenter gempa kapitalisme, di mana pertanyaan itu be-
lum terjawab, saya bayangkan sebuah kawah. Di dalamnya ber-
golak magma kegelisahan yang entah akan jadi apa.

Tempo, 11 Maret 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

362 Catatan Pinggir 8


GANDHI

T
UHAN tak punya agama,” kata Gandhi.
Tak aneh bila di negeri seperti India kalimat ini datang
dari seorang yang dikenal alim, arif, dan adil. Agama te­
lah jadi tanda yang bengis. Maka terbit pikiran untuk menye­
la­matkan pengertian ”Tuhan” dari sempitnya pikiran dan jiwa
yang marah.
Gandhi sendiri bukti yang tragis tentang persoalan ini. Men­
jelang akhir Januari 1948, ia ditembak mati Nathuram Godse,
seorang penganut aliran ”nasionalis” Hindu. Bagi orang macam
Godse, Gandhi praktis berkhianat. Sang Mahat­ma berkampanye
untuk mengingatkan pemerintah India agar memenuhi janji ke-
pada pemerintah Pakistan, yakni menyerahkan aset yang telah
disepakati merupakan bagian negeri itu.
Gandhi—yang sebenarnya menentang ide perpisahan­ be­kas­
koloni Inggris itu jadi ”India” dan ”Pakistan”—meng­imbau­Re-
publik India agar ingat akan kewajiban moral dan ke­hormat­an
diri. Di balik itu kita bisa dengar pengertian yang sayup tentang
keadilan. Tapi bagi orang macam Godse, dengan rasa ter­luka dan
marah kepada orang Islam yang telah mendirikan sebuah negeri
yang terpisah, Gandhi terlampau lunak terhadap ”musuh”. Ia jadi
suara yang mengganggu.
Godse datang dari sebuah pandangan yang punya akar tua ta­
pi berbentuk baru. ”Nasionalisme”-nya—mengandung ke­sadar­
an akan supremasi kasta Brahmana, yang kemudian dirawat me-
lalui aliansi dengan raja, tuan tanah, kaum pemegang senjata,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan unsur lain kasta Ksatria—mengukuhkan diri se­ba­gai sebuah


ideologi: India adalah Hindu. Hindu adalah satu. Agama kaum
mayoritas adalah wakil paling sah kebudayaan nasional India.
Orang Islam, si minoritas, selalu cemas akan suara sepihak­

Catatan Pinggir 8 363


GANDHI

semacam ini. Terutama sejak awal abad ke-20. Pada 1900, pe­ngu­
asa­Inggris di wilayah yang kini disebut Uttar Pradesh, ne­geri ba-
gian terbesar India, memenuhi tuntutan kaum Hindu agar­baha-
sa Hindi, dengan aksara Devanagari, jadi bahasa­resmi menggan-
tikan bahasa Parsi yang datang dari bahasa para Maharaja Mu-
ghal. Bagi orang Islam waktu itu, langkah itu awal yang mena-
kutkan: ditindasnya ekspresi kebudayaan mere­ka di negeri mere­
ka sendiri.
Mereka bukan mayoritas, tapi mereka ikut membentuk per­
adab­an India sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Maka mereka
tak diam. Mereka ubah rasa cemas mereka ke dalam cita-cita
yang kemudian disuarakan Liga Muslimin.
Di tahun 1930, pemimpin Liga Muslimin waktu itu, Moham-
mad Iqbal, mengumandangkan cita-cita berdirinya sebuah nege­
ri yang khusus untuk orang muslim. Ia sebut negeri harapan itu
”Pakistan”, ”tanah yang murni”.
Saya tak tahu, sadarkah Iqbal, seorang penyair dan pemikir,
bah­wa wilayah seperti itu butuh kekuasaan, dan mengaitkan ke­
kuasaan dengan kemurnian sama artinya membuka pintu bagi
kekerasan dan kesewenang-wenangan. Sebab tak pernah jelas sia-
pa yang secara sah berhak menentukan ”kemurnian” itu, apalagi
jika itu didasarkan atas ukuran yang transendental. Apa yang ha-
rus dilakukan terhadap anasir yang ”tak murni”, selain dibabat
dan dicerabut?
Rasa cemas akan ditindas memang menyebabkan Pakistan
berdiri. Kehendak untuk jadi sebuah negeri yang ”murni” me-
nyebabkan Pakistan—sebuah republik Islam dengan hak-hak
istimewa bagi orang muslim—seakan-akan mereproduksi per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lakuan tak adil yang dulu ditakutkan orang Islam sendiri.


Tapi bukan tanpa akibat buruk. Ketika ketakadilan terletak di
dasar sebuah sistem politik, kekerasan pun akan tumbuh di atas-
nya. Mungkin itu sebabnya dalam empat dasawarsa ter­akhir­ini

364 Catatan Pinggir 8


GANDHI

problem politik Pakistan selalu diselesaikan tangan-tangan yang


bersenjata.
Dengan atau tanpa senjata, kekerasan pula yang sebenar­nya
jadi dasar ”nasionalisme” Hindu, dulu dan kini. Mereka juga
hen­dak menegakkan ”negeri yang murni”. Bila bagi mere­ka Hin-
du identik dengan India, dan India hanya murni bila ia Hindu,
Islam akan dianggap sebagai pendatang yang merusak. Maka na-
jis itu harus ditiadakan.
Demikianlah, 6 Desember 1992, kaum militan Hindu meng-
hancurkan Masjid Babri di Kota Ayodhya dan menyerang pen-
duduk muslim di wilayah itu. Tak urung, bentrokan meledak di
seluruh India.
Kaum ”nasionalis” Hindu punya dalih: Masjid Babri di­ba­
ngun­di atas tempat kelahiran Rama. Kata mereka, sebuah candi
Hindu di situs itu dihancurkan orang Islam di bawah titah Sultan
Babur, pendatang dari Asia Pusat di abad ke-16. Maka aksi ke-
kerasan di hari itu adalah tindakan menuntut hak kembali, dan
juga pemurnian.
2.000 orang tewas.
Saya kira suara Gandhi tentang agama akan terdengar lebih­
masygul seandainya ia masih hidup dan menyaksikan kekerasan
di Ayodhya itu—sebagaimana ia saksikan kerusuh­an­­ di sekitar­
Pemisahan (”Partition”) India-Pakistan di tahun 1947, ketika
tapal batas dibangun dan dijaga, ribuan keluarga­ digusur atau
me­milih pindah, tanah ladang dipecah, keke­ras­an meledak, dan
ribuan korban mati. Orang Islam, orang Hindu....
”Tuhan tak punya agama,” kata Gandhi.
Tapi yang menarik ialah bahwa, berbeda dari Nehru, Gandhi­
http://facebook.com/indonesiapustaka

tak hendak membuang agama ke masa lalu. Baginya, agama ada­


lah sumber nilai untuk membangun kehidupan bersama.
Yang tak diuraikan Gandhi ialah kemungkinan agama jadi
sumber kekuatan yang tak mengatasi kekerasan dan ketakadil­an,

Catatan Pinggir 8 365


GANDHI

malah justru jadi kekuatan yang memperkukuhnya. Tapi mung-


kin Gandhi tak perlu menjawab. Kematiannya telah bicara penuh:
pembunuhnya seseorang yang tak segan-segan menumpah­kan
darah, karena dalam dirinya datang sebuah kekuatan: fanatisme.
”Tuhan tak punya agama,” Gandhi berkata. Hari itu ia ru­buh
de­ngan tubuh berdarah dan mulut yang menyebut nama Tuhan,
tapi mungkin sebenarnya ia mengatakan, ”Pengorbanan tak pu-
nya agama.”
Ia memang seorang sekuler yang unik: politiknya berangkat­
dari nilai-nilai yang terhimbau oleh Yang Maha Adil, tapi justru
itu ia mengambil jarak yang sama dari tiap agama yang hidup­di
dekatnya. Ia tak hendak berat sebelah. Keadilan yang mengusik
hatinya tak memilih sebuah ajaran, sebuah sekte, atau sebuah
tempat ibadah.

Tempo, 18 Maret 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

366 Catatan Pinggir 8


SUTAWIJAYA

A
DEGAN itu saya ingat sejak saya kanak-anak: kisah
tewas­nya Aryo Penangsang, adipati dari Jipangpanolan,
dalam perang tanding melawan Sutawijaya.
Sebenarnya Sutawijaya tak membunuhnya. Pada suatu saat
anak muda itu memang berhasil menusukkan tombaknya ke­
lam­bung Penangsang. Adipati ini pun terlontar dari kuda dengan
perut robek dan usus terburai. Tapi ia sakti, ia segera bangkit lagi.
Dengan tenang ia lilitkan ususnya yang berlumur­darah itu ke sa-
rung kerisnya. Namun dengan itulah ajal datang. Ke­tika ia hunus
senjatanya yang termasyhur untuk menikam Sutawijaya, usus itu
tertoreh. Putus. Penangsang pun rubuh se­kali lagi. Mati.
Saya ingat adegan itu sering dihidupkan kembali di pang­
gung­­ketoprak sebagai klimaks pementasan. Lalu lakon akan usai
menjelang larut malam, dan orang pun pulang menge­nang akhir
tragis adipati Jipang itu—seorang kharismatis yang pemberang
dan brutal, dengan kudanya yang gagah, Gagak Rimang, dengan
kerisnya yang bertuah, Setan Kober, tapi akhir­nya kalah. Pesaing
dalam perebutan takhta Kesultanan Demak abad ke-16 itu tak
pernah jadi raja di Jawa.
Ketoprak—yang digemari pelbagai lapisan masyarakat Ja­
wa­—adalah sebuah teater ingatan. Di pentasnya orang memang-
gil masa lalu: fragmen sejarah sejak Mataram Hindu sam­pai Ma­
taram Islam, sejak Majapahit di abad ke-13 sampai Kartasura di
abad ke-17.
Cerita Aryo Penangsang termasuk dalam sejarah akhir Ke­ra­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ja­­an Demak. Saya tak tahu kenapa adipati ini yang jadi tokoh di
panggung; mungkin riwayatnya dramatis dan wataknya penuh
warna, dan itu memenuhi syarat buat sebuah lakon yang memu-
kau, seperti Richard III dalam teater Shakespeare. Sebab dalam

Catatan Pinggir 8 367


SUTAWIJAYA

sejarah Jawa, Penangsang sebenarnya hanya sosok­yang cepat hi-


lang di pinggir medan perubahan politik yang besar.
Justru tokoh abad ke-16 adalah Sutawijaya. Bermula ia cuma
seorang pendekar muda di bawah perintah Mas Karebet, orang
yang kemudian jadi raja di Pajang dalam pergulatan kekuasaan di
Jawa abad ke-16. Tapi ternyata kemudian Sutawijayalah yang jadi
pendiri Mataram Baru dan memulai dinasti yang bertakhta sejak
1586 hingga sekarang. Dialah—yang kemudian bergelar Panem-
bahan Senapati—yang di abad ke-19 dalam kitab Wedatama di-
anggap sebagai teladan ”laku utama” bagi orang Jawa.
Legenda mengisyaratkan, ia datang dari keluarga petani. Ia
putra Ki Ageng Pemanahan yang bernasib mujur karena ke­betul­
an­meminum air kelapa ajaib yang menyebabkannya jadi cikal-
bakal para raja. Dengan kata lain, biografinya dibangun dari se­
su­atu yang di luar hubungan sebab-dan-akibat. Dalam adegan
kematian Aryo Penangsang, di saat yang menentukan, Sutawija­
ya justru bukan pelaku yang menentukan.
Tampaknya selalu ada dua sisi yang tergambar dalam tokoh
ini. Sutawijaya seorang pemberani; nyalinya cukup besar buat da­
tang menghadapi Aryo Penangsang yang jauh lebih ulung dalam
perang tanding. Beberapa tahun kemudian, setelah ia diangkat
ja­di yang dipertuan di Mentaok, karena jasanya menyingkirkan
Penangsang, Sutawijaya juga yang berani menentang Sultan Pa-
jang yang semula disembahnya. Pajang akhir­nya tak berdaya, dan
di tahun 1584 Mataram berdiri. Dalam hal seperti ini Sutawijaya
punya sisi hidup yang lain: ia selalu tampak diberkahi.
Di Yogyakarta, di mana sebutan ”Mataram” tetap sebuah ke-
banggaan, masih ada jejak berkah itu. Sekitar 10 kilometer­ ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

arah selatan ada tempat bernama Bambang Lipura. Di sana­lah


ko­non Sutawijaya muda menerima wahyu ”lintang johar” dari
Tuhan.
Tampak, pendiri Mataram ini sering dikaitkan dengan yang

368 Catatan Pinggir 8


SUTAWIJAYA

sakral. Di situlah Wedatama menarik: di dalam kitab ini, yang


sakral itu ditampilkan sebagai yang meluluhkan yang profan—
kekuatan yang lahiriah, yang jasmani dan duniawi.
Kitab Wedatama, yang tak putus-putusnya dibaca dan di­
tem­­bangkan di ruang keraton, di tepi sawah, dan di emper toko,
menggambarkan Panembahan Senapati sebagai orang yang ge­
mar­ berkelana di waktu sepi, tahan tak makan dan tak tidur,
ingin­mencapai ”hati yang hening”, ingin mardawa­ing budya tu­
lus (”bersikap halus, sabar, dan tulus dalam mengguna­kan pi­
kir”). Dilukiskan pula Senapati selalu berbicara lembut kepada
se­­sama, dan siang-malam menumbuhkan rasa yang nyaman di
ha­ti orang lain.
Mungkin deskripsi itu tak sesuai dengan sejarah. Tapi yang
pen­­ting, syair itu berniat menonjolkan Senapati bukan sebagai
penakluk—meskipun ia, lewat pertentangan dan kekerasan, jadi
penguasa yang paling kukuh di Jawa. Ia tak menaklukkan liyan,
ia tak memperhamba manusia lain dan dunia di luar diri­nya.
Bah­kan laut di Selatan itu ia jadikan pendamping (itulah makna
mitologi tentang Ratu Kidul yang dipersuntingnya), justru keti-
ka luasnya samudra seakan-akan dapat digenggamnya dalam ta­
ngan,­dalam diri, dalam hati:

Kinemat kamot ing ndriya
Rinegam sagegem dadi

Dengan kata lain, ia jauh dari bagian dunia yang profan—


dunia tempat manusia mengalahkan yang lain. Penaklukan tak
ada hubungannya dengan berkah yang tak terduga-duga, tak ada
http://facebook.com/indonesiapustaka

hubungannya dengan wibawa yang hening dalam mysterium-nya.­


Kekuasaan yang kasar tampak begitu sepele ketika disanding­
kan dengan yang sakral, yang mungkin disebut Hidup,­di mana
berkah bekerja.

Catatan Pinggir 8 369


SUTAWIJAYA

Kitab Wedatama ingin mengajarkan pengetahuan tentang


agama ageming aji, ”agama mereka yang luhur”. Tapi karena Se-
napati adalah teladannya, ”pengetahuan” dan ”agama” itu tak sa­
ma dengan kepintaran berkhotbah di masjid dan memperketat­
syariat—sesuatu yang oleh Wedatama dicemooh sebagai pa­mer­
an­kekuatan lahiriah.
Bagi Wedatama, ”agama” yang luhur adalah agama yang bi­asa­
”menyampaikan kabar yang ramah”, mamangun marta martani:
kabar yang tergetar oleh yang sakral. Di sanalah Pa­nem­bahan Se-
napati adalah si Sutawijaya yang bersyukur dan menya­dari diri
sebagai bagian nasib yang tak terduga-duga, sejak Aryo Penang-
sang tewas tanpa ia membunuhnya.

Tempo, 25 Maret 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

370 Catatan Pinggir 8


PAGODA

A
GAMA dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir­
di dekat Buddha malam itu. Setelah enyah bala tentara­
Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Buddha­
me­lanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada cattâri
ariyasa­ccâni,” empat kebenaran luhur...”.
Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat.­
Buddha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di pun­cak
Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi
terpuncak, momen yang tak lazim, ketika sese­orang mengalami
ke­hadiran sesuatu yang Maha-Lain, yang numinous, sebagaima-
na digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan, memu-
kau. Di abad ke-5, atau 500 tahun se­belum­nya, Santo Agustinus
mengucapkan perasaan yang mirip: ”Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”
Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada
amor dan horror—tapi tampaknya sesuatu dalam sejarah manu­sia
telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: kons­­
truksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyak­
si­kan sesuatu yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan
kita kenisah yang megah, masjid yang agung, gereja yang gigan-
tis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda­ dengan pucuk
yang berkilau—dan umat yang makmum—berdesak.
Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori
William James, ”seorang jenius”) akhirnya selalu dicoba­di­abadi­
kan dengan sesuatu yang kukuh—yang sebenarnya fantasi­ ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tang yang kekal. Atau yang menjulang—yang sebenarnya fanta-


si tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan—yang sebenarnya
fantasi tentang yang indah mempesona.
Tidak, kita tak perlu terburu mengecam. Fantasi itu akhir­nya

Catatan Pinggir 8 371


PAGODA

toh menghasilkan seni bangun yang mengesankan: Gereja­Sacré-


Coeur, Pura Besakih, Qubbat as-Sakrah, Borobudur, dan ribuan
pagoda yang dari langit Bagan tampak bak deret­an beringin hu-
tan di sebuah dataran Myanmar. Fantasi itu buah rindu. Ia tanda
damba, takjub dan takzim kepada yang kekal, luhur, dan mem-
pesona—sesuatu yang mau tak mau akan muncul terus, sebab
yang dirindukan mustahil tercapai.
Maka fantasi adalah jejak ketakmampuan mencapai. Ia mem-
pertegas sebuah subyek yang muncul sebagai kekurang­an. Tapi
juga dengan mudah fantasi bisa jadi pengganti hal yang tak ter-
jangkau tangan, tak terpeluk hati—seperti berhala yang meng-
gantikan Rupa yang jauh.
Manusia, subyek dalam kekurangan, makhluk yang didefini­
sikan oleh ingin—bukankah itu menunjukkan benarnya cattâ­
ri ariyasaccâni? Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah
menurut ”empat kebenaran yang luhur”. Dukkha itu karena kita
tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan milik
dan milik atas hasrat.
Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebas­
kan­kita dari semua itu. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pa­
da senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya
jadi simtom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan
permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya­ berusaha
me­naklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-lain di dalam
dan di luar diri.
Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, meng­ambil
alih—dan tak hanya berupa masjid dan candi, tapi juga lembaga
dan hukum-hukum.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun


harus dengan kekuatan yang terhimpun. Siasat dan alat harus di-
kerahkan—persis seperti ketika kita membangun imperium dan
mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk

372 Catatan Pinggir 8


PAGODA

waktu. Maka waktu tak lagi momen ajaib seperti di situasi ter-
puncak ketika aku gemetar dengan ”kasih dan ngeri”. Waktu jadi
sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur.
Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang re­ligius:­
orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti uang,
harus dikuasai dan dipunyai.
Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, ”Sa­
lah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama
adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya.”
Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Mar-
cel, pemikir Katolik dari Prancis itu, tampaknya melihat dengan­
masy­gul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata­lebih men­
desak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, ju­
ga dalam kehidupan beragama berabad-abad lamanya, orang le­
bih­ tergerak oleh dimensi ”punya” (to have) ketimbang oleh di-
mensi ”ada” (to be).
Maka Buddhisme Batchelor adalah Buddhisme yang kembali
kepada to be. Ia tak punya dan tak dipunyai lembaga: ia tinggal-
kan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Buddhism­
without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang
sejak berumur 18 belajar di Dharmasala—pusat Buddhisme Ti-
bet selama Dalai Lama dalam pengasing­an—pada mulanya se­
orang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan,
ia melepas jubahnya.
Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil
yang megah: fantasi tentang keagungan yang lupa bahwa diri­
nya­adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di Yangon,­
yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lemba-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ga agama menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk


kuasanya.
Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Da­
gon. Di pelbagai sudut orang berdoa. Di sebuah serambi puluh­an

Catatan Pinggir 8 373


PAGODA

orang mendatangi loket penyumbang.


Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka­ se-
benarnya kian tersangkut di sana? Saya ingat U Po Kyin. Pe­jabat­
pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini—ko-
rup, licik, ambisius, rakus, buncit—seorang pembangun­pagoda
yang baik. Ia ingin terlepas dari hukuman Sang Buddha atas dosa
yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal transaksi:
ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mung-
kinkah?
”Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk
terbakar, kesadaran mata terbakar....”
Kalau tak salah, itu suara Sang Buddha.

Tempo, 1 April 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

374 Catatan Pinggir 8


AKHIR

K
” ITA tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di
mana kita akan mengakhiri.”
Itu ucapan George F. Kennan, sambil duduk dengan
tu­buh lemah di sebuah panti perawatan. Usia diplomat Amerika
termasyhur itu waktu itu 92 tahun. Ia kemudian meninggal ke-
tika mencapai 101—umur yang panjang, dengan pikiran yang
masih tajam.
Hari itu, 26 September 2002, Kennan berbicara tentang ni­at
pe­merintah Bush melancarkan perang yang kini disebut­”Pe­rang
Irak”. Meramalkah dia? Atau mengomel, seperti la­yak­­­nya­­orang
tua?
Kedua-duanya tidak. Dalam usianya yang lanjut, pak tua ini­
hanya mengingat sejarah, sebab ia—dibandingkan dengan Presi­
den Bush yang ingin tampak tegas dan gagah perkasa—telah me-
nyaksikan sendiri berbahayanya keperkasaan dan produktifnya
kesabaran.
Kennan, lahir pada 1904, jadi diplomat sejak umur 20an. Ia
dikirim ke Moskow sebagai salah satu staf kedutaan pada 1933,
ketika Amerika Serikat membuka hubungan diplomatik dengan
Uni Soviet.
Itulah masa ketika Stalin duduk di takhta Kremlin. Uni Soviet
jadi negeri di mana ketakutan adalah politik. Stalin meng­hukum
mati tokoh-tokoh Partai Komunis yang dianggapnya berkhianat
dan memenjarakan ribuan orang ke kamp-kamp tahan­an dan
melihat dunia luar dengan curiga berat. Kennan menyaksikan se­
http://facebook.com/indonesiapustaka

mua itu. Baginya, Uni Soviet—apalagi setelah berhasil membuat


bom atom—sebuah kekuatan berbahaya yang memandang du-
nia dengan tatapan ”neurotik”.
Tapi diplomat itu tak menganjurkan sebuah invasi. Di akhir

Catatan Pinggir 8 375


AKHIR

masa tugasnya pada 1946, Kennan mengirim sebuah telegram se-


banyak 5.300 patah kata kepada atasannya di Washington DC
de­ngan pesan yang tegas tapi tak galak: strategi yang tepat­bukan
menggempur, tapi ”mengurung”—dan pengurungan atau con-
tainment itu harus siap berjangka panjang, ”sabar tapi kukuh dan
waspada”.
Beberapa tahun setelah itu Kennan malah makin lunak me-
mandang Uni Soviet. Dalam Memoirs: 1925-1950 ia mengecam
orang yang memencongkan containment jadi pemicu perlombaan
senjata nuklir. Di sebuah wawancara ia bahkan me­negas­kan: Uni
Soviet bukan seperti negeri Hitler. Tak tampak ada niat Kremlin
untuk berperang lagi, kata Kennan, ketika harus bangkit kembali
dari kelelahan Perang Dunia II.
”Sabar tapi kukuh dan waspada”—dan ternyata itulah yang
benar. Tanpa ada sebutir peluru pun yang ditembakkan ke tubuh­
nya, Uni Soviet runtuh. Perang tak selalu perlu, perang penuh de-
ngan kelokan yang mendadak. ”Kita tahu di mana kita mulai.
Kita tak pernah tahu di mana kita akan meng­akhiri.”­
Tapi kata-kata itu tenggelam dalam suara serak patriotisme
Amerika yang menggila setelah ”11/9”. Syahdan, 20 Maret­2003,
dengan restu para wakil rakyat, pasukan Amerika­ me­nyerbu­
Irak. Suara serak segera bercampur dengan tepuk me­riah.­Hanya
dalam waktu tiga bulan perang itu selesai, Saddam­Hussein lari,
dan kemudian tertangkap.
Pada 1 Mei tahun itu, sebuah potret gilang-gemilang ber­edar­
di seluruh dunia: di atas USS Abraham Lincoln, ketika kapal
induk itu berada di dekat San Diego, Presiden Bush turun dari
kokpit Navy One, sebuah pesawat tempur Lockheed S3 Viking
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dipakai panglima tertinggi. Ia mengenakan seragam perang


seorang pilot, bak komandan yang baru saja pulang bertempur. Ia
melambai. Dengan latar belakang matahari­ tenggelam, sebuah
spanduk digelar: ”Mission Accomplished”.

376 Catatan Pinggir 8


AKHIR

Tapi tugas apa yang terlaksana? Kerja apa yang selesai? Hari
itu pun orang sudah mengomel kenapa spanduk macam itu yang
dipasang. Empat tahun kemudian, 20 Maret 2007—setelah lebih
dari 3.000 prajurit Amerika terbunuh oleh geril­yawan yang tak
selamanya jelas identitasnya—orang kian tak tahu apa artinya
”tugas” dan apa artinya ”selesai”.
Desember 2006: sebuah laporan dari sebuah tim studi yang
dipimpin mantan menteri luar negeri James Baker diumumkan.
Kesimpulannya: ”situasi di Irak gawat dan memburuk”, dan ”pa-
sukan AS tampaknya terperangkap dalam sebuah misi yang tak
kelihatan akhirnya”.
”Akhir”—betapa sukarnya kata ini dijabarkan dalam pe­rang­
kali ini! Dan betapa aneh. Sebuah perang modern menghen­
daki perencanaan yang seksama. Perencanaan ditentukan oleh
”akhir”,­(kata lain dari ”tujuan”), yang dirumuskan persis. Tapi
Pe­rang Irak rupanya sebuah perang yang pelaksanaannya lebih
ce­pat selesai ketimbang usaha merumuskan apa arti ”selesai”.
Pada 20 Maret 2003 itu, tentara AS menyerbu Irak untuk
meng­habisi senjata pemusnah massal yang dikabarkan diproduk-
si rezim Saddam Hussein. Ketika ternyata senjata itu tak ada—
sebuah kisah kekonyolan yang brutal, sebenarnya—perang itu
pun memaklumkan tujuan yang berbeda. Atau Amerika berada
dalam keadaan ketika sebuah dalih yang lain harus dikatakan.
Di geladak USS Abraham Lincoln Presiden Bush menyebut dua
ka­limat yang tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah
massal: ”Kita tengah membantu membangun kembali Irak”, dan
”transisi dari kediktatoran ke demokrasi”.
Tapi ”membangun kembali Irak” dan menjaga ”transisi ke de-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mokrasi” bukanlah tujuan yang secara rapi dirumuskan dalam


se­buah perencanaan. Sebab, jika yang hendak dicapai adalah se-
buah Irak yang ”bangun kembali dan demokratis”, apa artinya
”bangun”? Apa artinya ”demokratis”?

Catatan Pinggir 8 377


AKHIR

Tak ada jawaban—tapi untuk kekosongan itu balatentara


Amerika harus ditambah, harus lebih lama bertempur, sementa­
ra orang Irak tewas berpuluh-puluh tiap hari. Amerika yang
”menang” akhirnya hanya berarti Amerika yang ”tak mundur”.
Walhasil, Kennan benar: ”Kita tahu di mana kita mulai. Kita
tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”
Ia bukan meramal, ia bukan mengomel. Ia hanya melihat ana­
logi. Seandainya Bush menghadapi Saddam Hussein se­bagai­
mana AS dulu menghadapi Uni Soviet, seandainya bukan­invasi
melainkan containment yang jadi cara berkonfrontasi....
Tapi apa boleh buat. Orang Amerika telah memilih se­pa­sang­­
pemimpin, Bush dan Cheney, yang tak tahu berbahaya­nya­keper-
kasaan dan produktifnya kesabaran.

Tempo, 8 April 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

378 Catatan Pinggir 8


EROPA

”Aku tahu persis, wahai, Eropa, engkau akan runtuh.”

K
ALIMAT itu tertulis di kertas yang bergelimang darah
segar. Mohammed Bouyeri menuliskannya di antara
sederet kalimat lain, kemudian memaklumkannya de-
ngan cara yang mengerikan.
Setelah ia tembak mati Theo van Gogh dan lehernya ia sembe­
lih di tepi sebuah jalan di Amsterdam di pagi hari 2 Novem­ber
2004 itu, ia hunus sebilah pisau lain. Dengan itulah ia coblos­
kan kertas bertuliskan statemen itu ke dada mayat si kor­ban. ”Aku
tahu persis, wahai Eropa....”
Dan dunia pun terbelalak: pemuda keturunan Maroko yang­
baru berumur 26 itu merasa sedang berjihad melawan ke­­kufuran
Eropa, benua tempat ia dibesarkan. Pembunuhan Theo van Gogh
adalah bagian dari ”perang suci” itu. Tapi dunia­juga tahu, juga
da­lam ”benturan peradaban” yang dibayang­kan Bouyeri, Eropa
tak runtuh. Eropa hanya terperanjat.
Tiba-tiba benua itu sadar bahwa dari kancah 15 juta orang
mus­lim yang kini tinggal di sana telah muncul sejumlah orang­
ma­rah yang mengutip ayat yang marah dan melakukan tindak­an
yang marah. Dari Hamburg: Mohammad Atta, pemimpin rom-
bongan Al-Qaidah yang menabrakkan dua pesawat ke menara
World Trade Center pada 11 September 2001; ia orang Mesir yang
jadi radikal selama tinggal di Jerman. Di Madrid: orang muslim
lain meledakkan bom di kereta jalur Cercanías, membunuh 191
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang. Di Amsterdam, Mohammed­ Bouyeri menggorok Theo


van Gogh. Di London, 7 Juli 2005, setidak­nya tiga pemuda mus-
lim meledakkan diri dengan bom di ke­reta­api bawah tanah dan
membunuh 52 orang.

Catatan Pinggir 8 379


EROPA

Eropa terperanjat, menyalahkan orang lain, menyalahkan­diri


sendiri, bertanya, berdebat—sebuah proses diagnostik sebelum
menemukan terapi. Adakah kekerasan itu bagian dari sifat dasar
Islam sejak khalifah kedua dibunuh? Ataukah­ada frustrasi men-
dalam—seperti yang dialami para imigran mus­lim­yang merasa
di­hina dan terasing di tanahnya yang baru—yang mendapatkan
jawaban dan alasannya dalam Kitab Suci?
Sebenarnya orang muslim Eropa bisa ikut menjawab perta­
nya­an-pertanyaan itu—sepanjang mereka mau bertanya dan ber­
debat di antara mereka. Tapi problem yang berkecamuk ibarat
akar mimang: kian sengit kekerasan dilakukan orang muslim,
kian buruk pandangan terhadap Islam di Eropa, dan kian buruk
pandangan itu, kian marah pula orang muslim.
”Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawakan Muham-
mad, dan yang kita dapat hanya hal-hal yang keji dan tak manusia­
wi”—itu kalimat di sebuah kitab di akhir 1391. Bahwa kalimat
itu dikutip lagi pada tahun 2005 oleh Paus Benediktus XVI di se-
buah pidato di Kota Regensburg, Jerman—hingga memicu reak-
si sengit orang Islam di seluruh dunia—menunjukkan betapa
panjangnya akar mimang yang membelit Eropa sekarang.
Tapi benua itu bertahan, sebab ada kesediaannya untuk­ma-
suk ke dalam proses diagnostik yang terbuka—antara lain karena
Eropa telah berhenti jadi pusat dunia. Sejak akhir­Perang­Dunia
II, Eropa terbiasa mengakui keterbatasannya sendiri. Dan ten-
tu Sri Paus di Vatikan yang kecil itu tahu, kata-katanya tak bisa
mengubah dunia.
Dua setengah bulan setelah pidato di Regensburg, Sri Paus
berkunjung ke Turki. Sebenarnya kunjungan ini sudah disiapkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

sejak 2004, ketika Paus Yohanes Paulus masih bertakhta. Tapi


setelah ucapannya yang menyakitkan hati tentang Islam, kun-
jungan Paus punya sisi lain yang mendesak.
Dan di Masjid Biru, Sri Paus Benediktus XVI bergandeng­an

380 Catatan Pinggir 8


EROPA

tangan dan berdoa dengan Mufti Besar Istanbul....


Adakah Paus ini kembali ke semangat Nostra Aetate? Doku-
men itu, yang disusun semasa Paus Yohanes XXIII dan di­tanda­
tangani Paus penggantinya pada tahun 1965, sebuah dokumen
bersejarah. Buat pertama kalinya Gereja menyatakan ”rasa hor-
mat” kepada ”kaum muslimin”, sebab ”mereka me­muja­ Tuhan
yang Esa”, yang ”rahman dan mahakuasa, pen­cipta­ langit dan
bumi”.
Kita tak tahu, pernahkah Benediktus yang naik ke Takhta­Su­
ci pada tahun 2005 itu antusias terhadap Nostra Aetate. Dalam
sebuah tulisan yang terbit di The New Yorker, 2 April 2007, Jane
Kramer menelaah dengan cermat posisi Benediktus XVI dalam
menghadapi Islam.
Benediktus, menurut Kramer, tak amat percaya dialog theo­
lo­gis dengan mereka yang bukan Kristen akan berguna—bah­
kan malah mustahil. Baginya, Islam tak mudah ”dimasukkan ke
dalam wilayah bebas masyarakat pluralistik”. Maka tak menghe­
ran­kan bila sepuluh bulan setelah ia jadi Paus, Benediktus XVI
menggeser dialog antaragama (khususnya dengan Islam) menjadi
dialog kebudayaan.
Ia sangat ragu ”Islam” layak diajak bicara perkara theologis ....
Tapi jangan-jangan itulah yang seharusnya terjadi. Muham-
mad Javad Fariszadeh, duta besar Iran di Vatikan—se­orang filo­
sof yang fasih mengutip Nietzsche, Ricoeur, dan Foucault—
mendukung langkah Benediktus. ”Dialog theologis antaragama
akan mati begitu ia lahir,” katanya sebagai dikutip Kramer. Ba-
hasa theo­logis akan jadi militan ketika harus mempertahankan­
agamanya. Maka dalam dialog, kata Fariszadeh, lebih baik ”ting­
http://facebook.com/indonesiapustaka

gal­kan theologi di pintu dan kita datang dengan ’bunga’—dan


itu bisa berupa ’kebudayaan’”.
Dalam hal inilah Eropa satu saksi yang penting. Tapi ini ”Ero­
pa” yang tak dibayangkan Benediktus XVI. Ini bukan sebuah ru-

Catatan Pinggir 8 381


EROPA

ang yang ditopang satu atau dua sistem kepercaya­an, bukan se-
buah kehidupan yang hanya dibaca secara theo­logis. Ini Eropa
yang mau tak mau jadi tempat orang saling menawarkan ”bunga”.­
Sebab kebudayaan, juga di sini, terbentuk oleh laku, oleh hal
yang sepele dan sekuler—dengan atau tanpa Nostra Aetate: per-
tandingan sepak bola, lagu pop, film televisi, lotere, dan perde-
batan bagaimana menyehatkan pohon di taman. Itulah yang se-
benarnya terjadi di Eropa berabad-abad: yang disebut ”Eropa”
adalah sebuah lalu lintas perdagangan dan pengetahuan, yang se-
lalu membuka ruang yang kemudian disebut kebebasan, biarpun
terkadang susah payah.
Saya tak tahu bagaimana ia akan runtuh, Bouyeri.

Tempo, 15 April 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

382 Catatan Pinggir 8


JEREMIAH

”Aku Jeremiah.”
—Kurt Vonnegut Jr

T
AK setiap negeri membutuhkan Jeremiah. Tapi kalau-
pun harus ada nabi seperti itu—yang memperingatkan
manusia bahwa Tuhan marah dan kiamat bakal segera
datang—orang akan perlu satu hal lain: momen untuk ketawa.
Kurt Vonnegut Jr memenuhi kedua keperluan itu sekali­gus di
Amerika kini—tapi ia meninggal 11 April pekan lalu di Manha­t­
t­an, New York. So it goes....
Usianya 84. Penulis novel Slaughterhouse-Five itu, yang tak
putus-putusnya mengisap rokok Pall Mall selama lebih dari 70 ta-
hun, sudah siap mati, tapi ia pergi terlalu cepat. Seandainya ia hi­
dup­terus, kata-katanya yang mencemooh akan terus melubangi­
ruang kedap suara yang dibangun pemerintah Bush & Cheney,
sebuah bangunan yang akhirnya hanya terdiri atas dusta & para-
noia, ambisi & myopia. Di ruang sesak itu, dibutuhkan celah
yang membiarkan masuk suara ragu, suara lucu.
”Aku Jeremiah,” katanya dalam wawancara dengan Douglas
Brinkley di majalah Rolling Stone. Tapi ia tak bicara tentang Tu-
han. ”Aku bicara tentang kita yang sedang membunuh pla­net­...
de­ngan bensin.”
Lalu diutarakannya pesimisme yang kita kenal itu: bumi akan
pu­nah akibat karbon dioksida.
Dan Vonnegut bisa ekstrem. Ketika ditanya pendapatnya ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tang gerakan pembela lingkungan yang kini kian keras terdengar,


se­telah orang menonton film dokumenter An Inconvenient Truth,
sang Jeremiah menjawab, ”Tak ada yang bisa mere­ka lakukan.
Permainan sudah habis, Bung. Kita kalah.”

Catatan Pinggir 8 383


JEREMIAH

”Kita-kalah”—itu juga tema yang di abad ke-6 sebelum Mase-


hi disuarakan Jeremiah yang asli menjelang Yerusalem jatuh ke
tangan Raja Nebuchadnezar dari Babilonia. Bagi Jere­miah, bang-
sanya, Bani Israel, tak punya harapan lagi. Tak urung ia dianggap
khianat dan ditahan pemerintah Zedekiah. Tapi sang nabi benar.
Nebuchadnezar menduduki Yerusalem, Kenisah Sulaiman di-
hancurkan, dan bangsa Yahudi dibuang. Konon Jeremiah kemu-
dian diculik ke Mesir dan dibunuh kaumnya sendiri.
”Aku Jeremiah,” kata Vonnegut, meskipun ia tak disingkir-
kan. Hanya di awal tahun 1970-an, Slaughterhouse-Five di­larang­
di beberapa sekolah dan di sebuah kota di Dakota Utara novel itu
dibakar.
Tapi tindakan itu sudah cukup jadi cacat yang serius di ne­ge­­
ri yang konstitusinya menjaga kebebasan bersuara. Tampaknya,­
Amerika yang dibanggakan si Kurt kecil dulu telah hilang. Dan
makin hilang. Setahun setelah AS menyerbu Irak, kata-kata Von­
n­e­gut brutal: ”Aku tahu sekarang, tak ada satu kemungkinan di
neraka sekalipun Amerika akan jadi manusiawi dan memakai
nalar.” Baginya para pemimpin Amerika seperti ”simpanse yang
mabuk kuasa”.
Prosanya memang punya gaya tembak-langsung. Kata-kata­
yang dipilihnya terasa diulang dari amarah lama. Tapi Vonne­
gut memang tak punya pretensi membawa sastra yang ”tinggi”.
Dalam wawancaranya yang terbit dalam Paris Review di musim
semi 1977, ia anggap dirinya ”penuh berisi vul­gar­itas”;­itu sebab-
nya ia dulu menulis buat majalah macam Cosmopolitan dan Sa­
tur­day Evening Post.
Agaknya ia akan geli jika harus berbicara khidmat tentang pro­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ses kreatif. Ia lihat dirinya sendiri seorang ”teknokrat” yang ”bar-


bar”. Ia memperlakukan cerita seperti mobil Ford: bisa dikotak-­
katik. Tujuannya: memberi kenikmatan kepada pembaca.
Dengan kata lain, Jeremiah Amerika ini ingin juga menghibur.­

384 Catatan Pinggir 8


JEREMIAH

Di masa tuanya ia merasa tak mampu melucu lagi, tapi ”yang se­
penuhnya saya inginkan adalah membuat orang merasakan lega
karena ketawa”. Humor seperti tablet aspirin, kata Vonnegut.
Dan seperti Mark Twain yang dikaguminya, ia tangkas mem-
bagikan obat itu. Kata-katanya bisa cerdas, mencemooh, jenaka.
Cerita Harrison Bergeron, misalnya, dimulai dengan kalimat:
”Tahun itu 2081, dan tiap orang akhirnya setara sama rata. Mere­
ka tak hanya setara di depan Tuhan dan hukum. Mereka setara
dalam segala hal. Tak ada yang lebih pintar ketimbang yang lain.
Tak ada yang lebih rupawan ketimbang yang lain ...”.
Kisah ini bisa seperti novel 1984 Orwell. Salah satu tokoh­
nya, George, hidup dengan kuping yang dipasangi radio kecil.
Pe­sawat ini dihubungkan dengan stasiun pemerintah yang tiap
20 detik mengirim suara untuk mengingatkan George agar tak
menggunakan kecerdasannya yang lebih buat menang atas orang
lain.
Cerita yang suram, tapi membuat kita terbahak-bahak, se­
ti­dak­nya ketika kita menemukan ada kantor yang bernama
”United­­­Stated Handicapper General” alias ”Kantor Negara un-
tuk Pe­­ngelolaan Perbedaan Kemampuan” yang para agennya se-
lalu was­pada mengawasi para warga.
Dengan kombinasi geli-dan-ngeri ini, hidup tergambar ab­
surd­—mungkin sebuah parodi atas masyarakat Amerika yang
me­muja kesetaraan tapi menyangka kesetaraan sama artinya de­
ngan mediocrity. Sebab itu, orang seperti Bush, si-bakat-kodian,­
teladan mediocrity, dapat naik ke Gedung Putih. ”Jika kau orang
yang terdidik dan berpikir, kau tak akan diterima di Washington,
DC,” tulis Vonnegut dalam A Man Without a Country: A Memoir
http://facebook.com/indonesiapustaka

of Life in George W. Bush’s America.


Tapi benarkah hidup akan mengikuti ramalan mendiang Jere­
miah dari zaman Bush dan bumi-yang-memanas ini? Apa yang
jadi penawar agar hidup layak dipertahankan? Vonnegut sendiri,

Catatan Pinggir 8 385


JEREMIAH

pada umur lanjut, menjawab: ia menunggu janji pabrik rokok. Se-


jak dulu, Brown & Williamson Tobacco Company yang meng-
hasilkan Pall Mall ”sudah berjanji akan membunuh saya”.
Humornya gelap di kalimat itu, tapi itu tanda bahwa Maut
bu­kan satu-satunya penebus. Vonnegut masih memberi kita aspi-
rin. Ia juga masih punya penawar lain: musik, terutama blues, ”sa-
tu-satunya bukti bahwa Tuhan ada”. Dengan kata lain: perlawan­
an kecil-kecilan terhadap apokalipse yang mendekat....
Kalau tidak, masih ada fantasi tentang planet Tralfamadore,
yang menolong Billy Pilgrim di tengah ganas dan sia-sia­nya peng-
hancuran Kota Dresden dalam Slaughterhouse-Five. Tralfama-
dore: alternatif bagi dunia para nabi yang bermuram durja.
Sebab Jeremiah toh tak melihat semuanya.

Tempo, 22 April 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

386 Catatan Pinggir 8


SURAT

K
ARTINI tak dikenal. Sebuah lagu yang memujanya dan
dinyanyikan tiap 21 April menyebutkan betapa ”harum
namanya”. Ia memang telah jadi aikon sejak dasawarsa
awal abad ke-20, sebelum Bung Karno dikenal di pelbagai mim-
bar. Tapi Kartini lebih merupakan ”pokok” ketimbang ”tokoh”.
Ia sendiri memilih untuk berlindung. ”... aku ingin [menulis
di surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap
ti­dak dikenal... di Hindia ini”—begitulah tulisnya dalam surat
bertanggal 14 Maret 1902.
Ia seakan-akan memakai cadar. Ayahnya, sang Bupati Je­para­­
yang mencintainya dan dicintainya itu, menjaga agar hal­itu sete­
rusnya demikian. Bapak itu gagal, sebab akhirnya Kar­tini­ mau
tak mau dikenal. Tapi itu tak menyebabkan ia terjang­kau orang
ramai. Dengan catatan: ”cadar” sebetulnya bu­kan­kiasan yang te-
pat di sini. Lebih baik dikatakan, Kartini ber­­tatarias.
Ia tak sepenuhnya tak terlihat. Ia memperkenalkan diri dan
me­ngisahkan harapan dan kemurungannya kepada sejumlah
orang lewat surat-menyurat. Praktis hanya dengan korespondensi
itu kita tegakkan Kartini sebagai tokoh. Atau lebih tepat sebagai
pokok. Sebab Kartini tetap mengelak untuk disimak siapa sebe­
narnya dia.
Danilyn Rutherford pernah menelaah hal ini dalam sebuah
esai, ”Unpacking a National Heroine: Two Kartinis and Their
People”, dalam jurnal Indonesia yang terbit di Cornell Uni­versity;
ia membandingkan buku S. Soeroto, penulis Kartini,­Sebuah Bio­
http://facebook.com/indonesiapustaka

grafi, dan Pramoedya Ananta Toer, yang menulis­ Panggil Aku


Kartini Saja. Kesimpulannya: semua tulisan ten­tang­ ”pendekar
kaumnya” ini hanya tafsir, dan tiap tafsir me­rupa­­kan hasil ”pene­
trasi politik tertentu ke dalam teks tertentu”.

Catatan Pinggir 8 387


SURAT

Yang tak dibahas adalah bahwa jarak antara ”Kartini-yang-


sebenarnya” dan ”Kartini-dalam-tafsir” justru terjadi karena me-
dium yang dipilih Kartini sendiri.
Seandainya ia menulis catatan harian, dan kita bisa me­nemu­
kannya ....
Di sebuah kesempatan lain pernah saya katakan catatan hari­
an­adalah curahan konfesional tanpa pastor. Dalam medium­ini,
sang penulis masuk dan diam di sebuah ruang komunikasi yang
paling intim, tapi juga berada dalam ruang pikiran dan imajinasi
yang hampir tanpa batas. Tak ada orang lain. Atau orang lain itu
(seperti dalam catatan harian Anne Frank) diciptakannya sendiri
dan berada di bawah ampuannya: teman bicara imajiner itu tak
bisa menjawab.
Kecuali bila seseorang sadar bahwa catatan hariannya suatu
ketika akan dibaca orang, ia praktis bebas dari tatapan orang lain.
Ia tak berada di pentas.
Ia akan berada di pentas menghadapi orang banyak jika ia jadi
sosok media massa. Tapi ada paradoks dalam teknologi­Gutten-
berg dan kapitalisme-cetak: media massa itu men­jang­kau­sebuah
audiens yang besar, ia bisa luas didengar, tapi ia­juga membuat se-
seorang rentan. Sang penulis bisa merasa da­lam kekuasaan. Tapi
ia juga dalam sorotan yang tak bisa di­kendali­kannya.
Sebab ia tak mengenal audiensnya dengan akrab. Ia hanya
men­duga-duga, baik tingkat informasinya maupun potensinya­
me­nerima informasi baru, baik nilai-nilainya maupun kecemas­
annya.
Ketidakpastian inilah agaknya yang menyebabkan Kartini
gen­tar dan mengelak. Ia memilih berkorespondensi antarteman.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dalam korespondensi, ada seorang lain yang nyata, yang bisa


bertanya dan bereaksi. Orang lain itu juga dapat diidentifikasi-
kan, dan dari sini lebih mungkin terjalin keakraban.
Tapi apa boleh buat, keakraban itu mengandung ambivalensi.

388 Catatan Pinggir 8


SURAT

Ini tampak dalam surat-menyurat Kartini dengan Stella­­Zee-


handelaar. Perempuan muda dari Belanda ini ”sahabat pena”-nya.
Persahabatan itu terjalin, tapi di antara kedua pe­nulis­ surat ter­
bentang jarak ribuan kilometer. Keduanya hanya­ dihubungkan­
dengan sebuah instrumen kecil untuk me­nyam­pai­kan kata-kata:
”pena”.
Itu sebabnya Stella—yang surat-suratnya tak pernah di­ke­te­
mu­­kan—tampil sebagaimana Kartini merautnya­ de­ngan­­ pena
itu. Juga sebaliknya: kepada Stella, Kartini me­representasi­kan di­
ri terbatas sebagai respons terhadap surat sahabatnya. Ia bernego-
siasi, dengan menggunakan bahasa yang ia pelajari,­ untuk me-
nyesuaikan dan mengubah persepsi, untuk merumus­kan identi-
tas atau memodulasi identitas itu, untuk memilih apa yang di-
katakannya dan apa yang tak dikatakannya.
Itu sebabnya, dalam surat-surat Kartini, ungkapan ekspresif­
silih berganti dengan kalimat yang menjelas-jelaskan. Ke­hangat­
an dan keakraban silih berganti dengan rasa berjarak. Stella, yang
disebutnya ”pasangan jiwa”, tetap seorang asing.
Dengan kata lain, ke arah Stella, Kartini memakai rias. ”Pang-
gil aku Kartini saja,” tulisnya—sebuah kalimat yang mungkin
lebih merupakan cara Kartini untuk memudahkan Stella mema-
hami dan menerima dirinya, seraya memudahkan dirinya sendi­
ri dalam memilih identitas. Apa arti ”Raden Ajeng” bagi seorang
Belanda yang pengertiannya tentang aristokrasi berasal dari se-
jarah Eropa? Apa arti gelar itu bagi seorang gadis Jawa yang tahu
dirinya tak 100% berdarah ning­rat?
Kepada Stella Kartini mengatakan, ”Ibuku masih sangat­ter-
hubung dengan Kerajaan Madura.” Tapi Kartini tahu, dan Stella
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak, bahwa ”Ibu” di sini bukanlah ibunya sendiri,­ melainkan


ibu tirinya, permaisuri Bupati Jepara. Status ibu kandung­Karti-
ni, seorang dari kelas bawah, hanyalah selir.
Tapi haruskah semua jelas tentang sebuah aikon? Bahkan­

Catatan Pinggir 8 389


SURAT

se­bagai aikon, orang dapat membacanya secara bertentang­


an.­Dalam lagu karya W.R. Supratman itu ia disebut ”pendekar­
bangsa, pendekar kaumnya”, tapi yang bagi saya menyentuh da­
lam sosok Kartini justru dirinya yang terbelah: ia menjerit dan se-
bab itu didengar, ia korban dan sebab itu jadi lambang. Kita ta­hu
akhirnya ia gagal: seorang penentang poligami yang mati muda
se­bagai seorang madu. Tapi kegagalan itulah yang menunjukkan
betapa tak adilnya sistem tempat ia hidup—dan Indonesia pun
berteriak, ”Jangan, jangan lagi!”

Tempo, 29 April 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

390 Catatan Pinggir 8


MALL

J
IKA tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan
akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga du-
nia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur­
udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar
senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod
ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu
memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.
Sepuluh—bukan, lima—tahun yang lalu, malam tidak seper­
ti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.
Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu
mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu be­
rapa mega-kilowatt listrik dikerahkan untuk mem­bangun­kenik-
matan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika
sa­­ya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan­yang meriah di
Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, me­­nunjukkan kepada­
sa­ya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan keripik
ken­­tang. ”Tahukah Tuan,” tanyanya,­”jumlah tenaga listrik yang
di­­pa­kai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?”
Saya menggeleng, dan ia menjawab, ”Jumlahnya lebih besar­
ke­timbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bang­
ladesh.”
Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya mem-
bayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nya-
wa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya
sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya—mesin yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manu­


sia.
Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya­
bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah

Catatan Pinggir 8 391


MALL

mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang,


mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibanding­
kan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah ka­bupaten­nun di
pedalaman Flores.
Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ke­
tim­­pangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan me­nyakit­
kan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak tim­pang,
sesuatu yang sama: sakit dan kematian.
Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya
dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang
sa­tu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang sa­
tu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa­saja—terma-
suk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut
mis­kin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak
ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.
Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan ke­se­
rakah­an, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker­ kulit­
yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika­
bu­­mi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-­rata
ha­­nya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami­ bencana
yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata meng­habis­
kan11,4 kW.
”Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia,” kata teman Je-
pang itu pula, ”terlalu sulit, terlalu sulit.”
Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya
de­ngar ia hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin,­
mem­buat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk meng-
hasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam
http://facebook.com/indonesiapustaka

sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan


dan dimuntahkan—tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang,
”terlalu sulit, terlalu sulit.”
Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia.

392 Catatan Pinggir 8


MALL

Saya baca hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi­karbon


dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari
seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya­0,1%, tapi
naiknya permukaan laut di masa depan akibat­cairnya es di kutub
utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh
itu—dan tak menenggelamkan Amerika.
Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi
manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mere­ka
yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati
segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga
nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan meng­alami keseng-
saraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur
5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi
CO2 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari
seluruh wilayah Amerika, Kanada, Ero­pa, Jepang, Australia, Se-
landia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak-cucu
kita?
”Terlalu sulit, terlalu sulit,” kata teman Jepang itu.
Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup
yang lebih layak. ”Lebih layak” adalah sesuatu yang kini dike­
nyam­ dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu
miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil,­
televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan par-
fum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-
benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang
Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperem-
pat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan se-
perempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

buat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bu­
mi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mo­
bil, lemari es, baju bermerek, dan perjalan­an tamasya hanya akan
jadi benda yang sia-sia.

Catatan Pinggir 8 393


MALL

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga


segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu
berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak
relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya
sia-sia.
Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke se-
buah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk mem-
beli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya
me­lihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.

Tempo, 13 Mei 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

394 Catatan Pinggir 8


NUKLIR

T
ANGGAL 6 Agustus 1945 pukul 8:15 pagi, bom itu di-
jatuhkan di atas Kota Hiroshima. Hantamannya sama
dengan 22 kiloton bahan peledak, tapi ada yang lebih
me­ngerikan ketimbang itu: panas itu luar biasa. Seluas 10 kilome­
ter persegi wilayah kota itu rata dengan tanah, 100 ribu orang ma­
ti seketika. Api yang terbit dari panas itu seakan-akan bertaut de-
ngan api pembakaran jenazah yang tak putus-putusnya.
Saya akan selalu teringat sebuah foto tentang kiamat itu, yang
dipasang di bangunan peringatan di Hiroshima hari ini: ada se-
potong sisa trotoar di dekat bank, dan pada permukaan semennya
tercetak sebuah bekas hitam, seperti siluet sesosok tubuh manu-
sia. Kata orang, itu adalah bekas tubuh yang musnah dilalap pa-
nas sekian ratus derajat Celsius, dan tertinggal melekat di tanah,
ketika ia dihantam panas yang dahsyat.
Kengerian itu sekali-sekali diingat orang kembali, dan lama—
kelamaan jadi klise, dan perasaan jadi tumpul, dan horor di Hiro­
shima hanya jadi bagian dari petuah: ”Wahai, saudara-­saudara,
menggunakan senjata semacam itu dalam perang ada­lah sebuah
perbuatan yang jahat!”
Sudah tentu. Tapi bahwa sampai hari ini orang masih me­nyi­
ap­kan persenjataan nuklir menunjukkan bahwa petuah itu tak
efektif. Ada argumen bahwa jahat atau tidaknya sebuah keputus­
an dalam perang bergantung pada tingkat kecemasan untuk hi­
dup­terus, kecemasan kalau negeri lain—atau apa pun yang di­se­
but ”musuh”—menghantam negeri sendiri sampai luluh-lantak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Apa yang jahat dan tak jahat bukan lagi persoal­an yang rele­van­
ke­tika manusia terpaksa.
”Terpaksa” tentu saja keadaan yang ditentukan secara sepihak.­
Dengan demikian, ”jahat” atau ”tak jahat” di situ tak mung­kin

Catatan Pinggir 8 395


NUKLIR

ditentukan secara obyektif. Tapi manusia mem­butuh­kan peng-


halalan yang lebih universal. Akan dikatakan bahwa proses me-
nentukan batas ”keterpaksaan” itu dilakukan oleh para peng­
ambil­keputusan yang rasional. Dengan demi­kian­hubungan an-
tara rasionalitas dan kebijakan senjata nuklir dianggap sebagai se­
suatu yang patut.
Amerika Serikat, satu-satunya negara yang pernah mengguna­
kan senjata atom dalam sejarah, sejauh ini bisa menunjukkan
mu­ka bahwa kepatutan itu ada padanya. Pada Juli 1945 Presiden
Truman bersyukur, dan menulis dalam catatan hariannya: ”Pasti
se­suatu yang baik bagi dunia bahwa kerumunan Hitler dan Stalin
tak menemukan bom atom.” Dengan kata lain, bom yang mem-
bunuh 100 ribu manusia sekaligus di Hiroshima dan 40 ribu lagi
di Nagasaki pada 1945 itu juga tanda rasionalitas yang ”baik bagi
dunia”: penghancuran itu terpaksa dilakukan untuk memperce­
pat Jepang kalah dan Perang Dunia II selesai.
Orang lupa bahwa Jerman di bawah Hitler juga akan meng­
anggap ada rasionalitas dalam keputusan mereka seandainya ne­
ge­ri itu mampu menjatuhkan dua buah bom atom di nege­ri­mu-
suh. Tapi Hitler dan Stalin telah digambarkan sebagai kekuatan
ge­lap, dan kekuatan gelap pasti tak ada hubungannya dengan ra-
sionalitas. Kekuatan gelap adalah sesuatu yang ”tak normal”. Li-
hatlah kini Ahmadinejad di Teheran dan Kim Jong-il di Pyong-
yang: orang-orang yang ganjil....
”Normal” dan ”rasional” adalah kualitas yang ditentukan­de­
ngan­menyembunyikan apa yang tak ”normal” dan tak ”rasio­nal”
pada diri sendiri atau seorang lain. Sebab tak ada ja­min­an, ketika
saya tentukan bahwa saya harus mempertahan­kan diri, kalau per-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lu dengan cara paling brutal, ketentuan saya itu tak datang dari
pa­ranoia, atau trauma, atau sadisme, atau mungkin juga kesera­
kah­­an.
Menjelang akhir 1980-an, ketegangan hilang antara Amerika,

396 Catatan Pinggir 8


NUKLIR

Uni Soviet, dan RRC. Dunia bernapas lega. Sebuah kesempatan


untuk membangun perdamaian yang stabil terbuka, ketika tak
ada satu kekuatan pun terpaksa menyiapkan arsenal nuklir yang
me­nakutkan itu.
Dalam semangat ini, pada 1994 para wakil rakyat Amerika di
Kongres membuat sebuah ketentuan: harus jadi kebijakan Ame­
rika Serikat untuk tak melakukan riset dan pembangun­an senja­
ta nuklir tingkat rendah yang baru. Dengan kata lain, senjata
nuk­lir di bawah lima kiloton tak boleh dihasilkan lagi.
Tapi kemudian datanglah kabar buruk: pemerintahan Bush.
Wakil Presiden Cheney sudah lama menghendaki sebuah situasi­
yang akan menyatukan Amerika kembali jadi kekuatan yang am-
puh—seperti ketika menghadapi Perang Dunia II dan Perang
Di­ngin, dan sebab itu ia mendapat alasan yang bagus ketika ”11
September 2001” terjadi. Sejumlah anggota kabinetnya sudah la­
ma bersiap menunjukkan kekuasaan Amerika di dunia dengan
me­nyerbu Irak dan mengubah peta Timur Tengah, dan sebab itu
dipertalikannya Usamah bin Ladin dengan Saddam Hussein dan
Saddam Hussein dengan ”senjata pemusnah massal”.
Pemerintahan Bush juga yang kemudian memutuskan untuk­
membangun apa yang disebut ”bunker buster”, senjata­ nuk­lir
ting­kat rendah yang dapat dikirim buat menembus bunker yang
menyembunyikan senjata dan pasukan musuh di bawah tanah.
Sen­jata nuklir mini juga bisa dipergunakan seba­gai perlengkapan
taktis di medan perang.
Pada Mei 2003, Senator Dianne Feinstein dan Edward Ke­
nne­dy­ mengusulkan satu amendemen untuk mengembali­kan
ke­tentuan tahun 1994. Bagi para pendukung amendemen ini,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengaktifkan kembali penelitian nuklir akan mendiskreditkan


komitmen Amerika sendiri terhadap perjanjian melarang penye­
baran senjata maut itu. ”Seraya kita membujuk Korea Utara dan
Iran untuk mengakhiri program nuklir mereka,” kata Kenne-

Catatan Pinggir 8 397


NUKLIR

dy pada Juni 2004, ”seraya kita meminta bekas Uni Soviet un-
tuk mengamankan lumbung nuklirnya agar tak jatuh ke tangan
para teroris, pemerintahan Bush kini ingin meningkatkan per-
lombaan senjata.”
Tapi Feinstein dan Kennedy kalah suara di Senat. Dan kita
tak tahu, siapa yang ”normal” dan ”rasional” dalam memutuskan
keadaan ”terpaksa” bagi Amerika Serikat kini.

Tempo, 20 Mei 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

398 Catatan Pinggir 8


SANG FUNDAMENTALIS

J
ERRY Falwell meninggal dalam umur 73 di kantornya pe-
kan lalu, dan dunia kehilangan sebuah contoh yang baik
ten­tang hubungan iman dan kebencian.
Falwell bukan orang galak dan bengis. Saya bayangkan ia,
yang bertubuh gemuk dengan bentuk mirip bakpao, banyak­ke­
ta­wa, hangat, bicara kepada orang tanpa jarak. Tapi ada se­suatu­­
dalam masyarakat tempat ia hidup—masyarakat Ame­rika­ di
abad ke-20 dan awal ke-21—yang menyebabkan pendeta Kristen­
seperti Falwell, dengan Injil di tangan, secara luas didengar, di­du­
kung, dapat sokongan berjuta dolar, didekati kaum politisi ting­
kat nasional, justru ketika ia membawa berita yang muram, tapi
paradoksal: Amerika adalah tanah yang dijanjikan Tuhan, ”Yeru-
salem Baru,” tapi negeri ini sedang terancam, sebagaimana dunia
se­dang terancam. Musuh ada di mana-mana. Terorisme hanya
sa­lah satunya. Amerika harus di­selamatkan.
”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri orang-orang kulit putih­
yang diancam orang hitam—sebab itulah ia memusuhi ge­rakan
Martin Luther King yang menuntut hak-hak yang sama bagi si
”negro”. Sebab itu pula ia menolak sanksi kepada rezim apartheid
di Afrika Selatan.
”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri mereka yang Protestan,
yang bersembahyang, yang diancam orang Katolik, atau Yahu-
di, atau Islam, atau—dalam kekuatan yang lebih besar—orang-
orang ”sekuler”. Dalam deretan musuh dan pencemar ini, kini di­
tambah kaum homoseksual, majalah Penthouse dan Playboy, pen-
http://facebook.com/indonesiapustaka

dukung aborsi, mereka yang komunis, yang kiri, penentang pe­


rang­Irak, dan entah apa lagi.
”Kita sedang melawan humanisme, kita sedang melawan libe­
ral­isme... kita sedang melawan semua sistem Setan yang meng-

Catatan Pinggir 8 399


SANG FUNDAMENTALIS

hancurkan bangsa kita sekarang,” demikianlah Falwell berseru.­Ia


tak jarang mengutip Wahyu 19 dalam Injil: di sana Yesus di­gam­
bar­kan memegang sebilah ”pedang tajam” dan meluluhlantak­
kan­ bangsa-bangsa. Atau mengutip Perjanjian Lama, yang me-
nyambut Tuhan sebagai ”Tuhan Perang”.
Tak mengherankan bila ia dan mereka yang tergabung ke da­
lam apa yang sering disebut sebagai ”Kristen Kanan”, me­ngukuh­
kan diri sebagai kekuatan politik. Pada 1979, Falwell­membentuk
”Moral Mayoritas”, dengan klaim bahwa suara­orang-orang yang
taat beragama adalah suara moral dan bahwa­mereka didukung
se­bagian besar rakyat Amerika. Mere­ka men­dukung Partai Re-
publik. Mereka ini yang menyebabkan Bush kini jadi presiden.
”Ide bahwa agama dan politik tak bisa bercampur ditemukan
oleh Setan,” kata Falwell dalam sebuah khotbah 30 tahun yang
la­lu. ”Jika kita akan menyelamatkan Amerika dan membuat Injil
diterima di dunia, kita tak dapat menerima filsafat sekuler, yang
se­cara diametral bertentangan dengan kebenaran Kristen,” kata­
nya­ pula, sebagai alasan bagi mobilisasi politik yang sedang di-
siapkannya.
Politik Falwell tentu saja politik kecemasan dan paranoia—
po­litik kekurangan, yang mengharapkan hidup steril dari baksil
dan virus dan segala yang ganjil. Dengan kata lain, politik­untuk
menghapus dan membabat yang tak sama dengan ”kita”, yang
be­da.
Saya kira memang itulah yang terjadi dengan fundamental-
isme. Siapa yang percaya bahwa teks kitab suci adalah sesuatu
yang tak tersentuh sejarah akan memandang sejarah sebagai na-
jis.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itulah sebabnya kaum fundamentalis, Kristen, Islam, Yahudi,


atau Hindu menyimpan pesimisme yang radikal: sejarah berjalan
terus, perubahan akan terjadi, beda tak dapat dicegah.
Maka bagi kaum fundamentalis, masa kini adalah ke­merosot­

400 Catatan Pinggir 8


SANG FUNDAMENTALIS

an, terutama kemerosotan akhlak. Masa lalu dibayang­kan seba­


gai masa yang murni—seakan-akan tak ada dosa dan mala di ma­
sa itu. Dengan sendirinya, masa depan adalah jurang terkutuk:­
Dajal atau Antikristus akan datang.
Tapi pesimisme yang radikal membutuhkan optimisme yang
radikal pula, agar hidup tidak kehilangan makna, agar Tuhan tak
sia-sia. Maka setelah Antikristus akan datang, sebuah akhir yang
indah akan terjadi: ia akan dikalahkan oleh Messiah dalam se-
buah perang besar terakhir, di Armagedon.
Di sini sebenarnya politik Falwell dan kaum fundamentalis
me­nunjukkan kontradiksi yang tak bisa mereka pecahkan. Jika
Messiah memang yang ditunggu, Armagedon perlu, demikian­
juga saat datangnya Antikristus. Maka orang seperti Falwell, yang
menyebut diri ”Zionis”, mendukung Israel, tapi Israel seba­gai­sa-
rana untuk perang. Kaum ”Kristen Kanan” dan beberapa ca­bang
fundamentalisme Kristen, terutama kalangan ”dispensasi­onalis”,
tak gembira dengan usaha perdamaian, tak menyukai lembaga
macam PBB. Mereka percaya Armagedon akan berkobar di Ta-
nah Suci, Yesus akan datang, dan orang macam Falwell akan hi­
dup­dalam rahmat.
Tapi jika hidup dalam rahmat itu yang ditunggu—setelah
me­lalui masa kemerosotan dan peperangan terakhir—orang ma­
cam Falwell sebenarnya tak perlu ”menyelamatkan Amerika”.
Tak perlu pula perang melawan ”liberalisme”, ”sekularisme”, Is-
lam, homoseksual, pendukung aborsi ....
Yang mungkin bisa jadi penjelasan kemudian bukanlah argu-
men theologis, melainkan psikologis. Bukan fundamentalisme
yang melahirkan kebencian, kecemasan dan paranoia, melainkan­
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebaliknya. Falwell, Al-Qaidah, Ku Klux Klan, Jamaah Islami-


yah, tidak lahir dari teks suci. Mereka lahir dari sesuatu yang
kian tak terbendung di zaman ini: yang beda, yang lain, yang bu-
kan aku, liyan, datang berduyun-duyun, silih berganti. Dan itu

Catatan Pinggir 8 401


SANG FUNDAMENTALIS

semua, bagi mereka, dengan jiwa yang dirundung rasa tak aman
terus-menerus, sangat mengganggu.
Jerry Falwell hanya salah satu gejalanya. Ia kini tak ada lagi.
Saya tak tahu apakah dengan kebencian ia bisa masuk ke surga.
Tapi di kubur, setidaknya yang saya lihat dari luarnya, yang mati
telah mencapai sesuatu yang tak diperoleh oleh yang hidup:­kesa-
maan, tanpa sejarah.

Tempo, 27 Mei 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

402 Catatan Pinggir 8


MAKAM

B
UMI berkarang Kota Yerusalem praktis sebuah kuburan
tua yang kini tak jelas batasnya. Beribu-ribu tahun lama­
nya penghuni kota ini, apa pun agamanya, mengebumi-
kan jenazah keluarga mereka di tanah itu. Tak mengherankan
bila juga di dekat apartemen milik Tova Bracha itu, di Talpiot Ti­
mur, terdapat sebuah makam kuno.
Tak tampak ada yang istimewa di situs itu—sampai ketika
Discovery Channel menyiarkan sebuah film dokumenter yang me-
nyentakkan dunia. Para pembuatnya, sutradara TV Israel yang
ter­kenal, Simcha Jacobovici, dan sutradara film Titanic, James
Ca­meron, menyatakan makam itu adalah makam keluarga Ye-
sus. Bahkan sisa-sisa tubuh tokoh yang disembah sebagai Kristus,­
sang Penebus, itu sendiri mungkin diletakkan dalam salah satu
da­ri 10 ossuarium yang ditemukan di dalam rongga di tanah ber­
karang itu.
Yesus, yang tubuhnya dimakamkan, yang berkeluarga, bah­
kan­­mungkin punya istri dan anak....
Saya menonton versi pendek The Lost Tomb of Jesus pekan­la­
lu di Teater Utan Kayu bersama hadirin yang berjejal. Setelah itu,­
ceramah Ioanes Rakhmat, seorang pendeta yang juga baru me­
ner­bitkan bukunya, Yesus, Maria Magdalena, Yudas dan Ma­kam
Keluarga. Baik presentasinya maupun bukunya adalah paparan
yang jernih dan sangat terpelajar—yang menunjukkan, seperti
juga yang hendak dikemukakan film Jacobovici dan Cameron,
bahwa bukan mustahil Yesus sebenarnya tak per­nah diangkat
http://facebook.com/indonesiapustaka

lang­sung dengan seluruh tubuhnya ke surga di hari ia disalibkan


di bukit Golgotha.
Dengan kata lain: apa yang dituturkan dalam Perjanjian Baru
dan dengan versi yang berbeda dalam Quran bisa ”salah”.

Catatan Pinggir 8 403


MAKAM

Tapi apakah ”salah”, apakah ”benar”? Makam di Talpiot itu­


memang membuat kita berdebar-debar. Mungkin saja saya salah.
Mungkin akhirnya tak akan ada suatu guncangan yang drama-
tis dalam ketaatan religius di abad ke-21 ini. Apabila 10 ossuarium
itu akhirnya membuktikan bahwa keajaiban Tuhan tak terjadi
di Golgotha dan sesudahnya—Yesus ternyata wafat sebagaimana­
manusia biasa, dengan tubuh yang dimakamkan di bumi—
mung­kin banyak orang akan kembali menemukan cara untuk
terus tetap beriman. Seperti dikatakan Jacobovici, orang akan
per­caya pada yang ia ingin percayai.
Yang kemudian akan tertinggal bagi mereka yang tak mau
ber­henti berpikir adalah ulangan perdebatan klasik: mungkin­
kah­ mukjizat yang begitu dahsyat—tubuh manusia masuk
ke­ surga, yang selama ini dilukiskan sebagai bagian dari dunia
roh­—bisa terjadi dan Tuhan bisa mengalahkan hukum alam, ju­
ga hukum alam yang dikehendaki-Nya? Sejauh manakah beda
dan jarak antara Tuhan dan sejarah?
Betapa tak gampang untuk dijawab. Kehidupan Yesus me-
mang mengundang ketakjuban dan skeptisisme. Dalam Yesus,
Maria Magdalena, Yudas, Ioanes Rakhmat mencoba menjelaskan
dimensi ke-tuhan-an Yesus dan ke-insaniah-annya, dari kata-ka-
ta Paulus: ada pembedaan di antara ”Allah” Sang Bapa dan ”Tu-
han” sebagai sebutan Yesus. Ada kontinuitas dan diskontinuitas
an­tara kedua ”entitas” itu. Dalam diskontinuitas, dengan sendiri­
nya ”Yesus sejarah” akan didekati sebagai sosok dalam ruang dan
waktu.
Itulah sebabnya, sejak abad ke-18 di Eropa, ketika Zaman
Pen­cerahan mulai membuka jalan seluas-luasnya bagi rasio—
http://facebook.com/indonesiapustaka

per­sisnya sejak Hermann Samuel Reimarus (1694-1768)—para


penelaah mencoba menjelaskan ”Yesus sejarah” itu dengan berse-
mangat. Reimarus, misalnya, melihat pada diri Yesus dari Naza-
reth seorang revolusioner yang menjanjikan datangnya Messiah,

404 Catatan Pinggir 8


MAKAM

yang karena kegagalannya menyebabkan para pengikutnya men-


curi tubuhnya sehabis disalibkan, dan dari sini kisah kebangkit­
an kembali mulai—juga kelanjutan hidup sebuah agama baru.
Reimarus hanyalah pemula. Dan tak semua yang berbicara­
tentang ”Yesus sejarah” berkehendak menggugat iman. Bah­kan­
seperti disebutkan dalam karya Albert Schweitzer yang terkenal,
Von Reimarus zu Wrede (dalam versi Inggris: The Quest of the His-
torical Jesus ), para pakar theologi Kristen mencoba mendekati ke-
sejarahan Yesus dalam usaha mereka menjawab­apa yang jadi ke-
cenderungan zaman, ketika mukjizat tak dapat lagi diterima se­
ba­gai mukjizat, melainkan sebagai gejala alami­ah.
Pleidoi itu bisa dimengerti, dan bukan mustahil. ”Kekristen­
an sendiri,” tulis Ioanes Rakhmat, ”sebenarnya mengakui bahwa
Yesus itu seorang manusia juga.” Dari dasar ini rasionalisme­abad
ke-19 melahirkan pemikir dan theolog yang, seperti Schleierma­
cher, seorang penerus Kant, berusaha keras dengan nalar membe-
la agama Kristen dari para pengecamnya.
Tapi tak berarti ”Yesus sejarah” memadai. Schweitzer meng­­
ungkapkan hal ini dengan mengingatkan akan keimanan­Paulus,­
seseorang yang, berbeda dengan rasul-rasul lain, tak pernah ber-
temu dengan Yesus sendiri. Kita mengalami apa yang dialami Pa­­
ulus, tulis Schweitzer, ”ketika kita datang lebih dekat ke Yesus se-
jarah... bahkan sudah mengulurkan tangan untuk menariknya ke
dalam zaman kita, kita harus menyerah dan mengakui ke­ga­gal­an
kita.” Ia mengingatkan pesan Paulus yang paradoksal: menge­nal
Kristus dalam daging sebenarnya tak mengenalnya lagi.
Jarak atau dalam kata Ioanes Rakhmat ”diskontinuitas” itu
agaknya harus ditekankan kembali. Di abad ke-20, sehabis­ Pe­
http://facebook.com/indonesiapustaka

rang­Dunia I, Karl Barth adalah suara yang menegaskan ini. Tu­


han dan manusia berbeda secara radikal. Manusia tak akan me­
ngetahui-Nya. Manusia hanya bisa menunggu, dalam agama,
datangnya wahyu.

Catatan Pinggir 8 405


MAKAM

Tapi jika jarak antara Tuhan dan manusia begitu mutlak,­bila


an­tara keduanya tak ada dialektika, hanya mungkin ada ”dias­ta­
tasis”, bagaimana Ia bisa menggerakkan hati kita, bagai­mana pu­
la kita memahami-Nya? Bukankah akan lebih mudah bila kita
ba­­yang­kan seorang manusia, yang kesakitan dan mati sebagai
ma­­nusia, karena ia tahu betapa dekatnya Tuhan dengan kita yang
fana?
Terus terang, saya tak berani menjawab.

Tempo, 3 Juni 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

406 Catatan Pinggir 8


TENTARA

P
erlukah kita tentara?
Pertanyaan ini pasti mengejutkan jenderal yang duduk di
depan itu—dan itulah soalnya. Saya tak gemar menge-
jutkan siapa pun, terutama seorang jenderal gemuk yang tak saya
kenal, yang mungkin punya jantung berlemak, aorta yang macet,
dan telinga yang gampang terganggu. Saya duga, ia sudah lama
tak mendengar teriakan ”siap!” apalagi tembakan pistol. Maka
de­ngan tulus ikhlas pertanyaan itu tak saya teruskan.
Saya keluar dari ruang tunggu di bandara itu, berjalan me­
nu­ju kios makanan ringan sambil mencoba melupakan adegan
di Grati, Pasuruan, yang tersiar kembali di layar televisi: empat
orang penduduk Alas Tlogo mati ditembak oleh beberapa anggo­
ta Korps Marinir. Ini bukan perang, tentu saja. Orang-orang Alas
Tlogo itu bukan pasukan bersenjata republik lain. Mereka hanya­
ingin­ mendapatkan tanah yang jadi sengketa mereka dengan
Ang­katan Laut.
Seperti banyak orang, saya marah: penduduk Alas Tlogo­itu­
be­lum tentu punya alasan yang sah, misalnya untuk menebang­
12 ribu pohon mangga siap panen di tanah itu seperti yang me­
re­­ka lakukan pada tahun 2001. Apalagi, menurut Pengadil­an, ta-
nah itu milik sah Angkatan Laut, dan tak akan di­guna­kan­buat
bis­nis, melainkan untuk pusat latihan tempur. Dengan­kata lain,
yang bersenjata tak dengan sendirinya di pihak yang salah, dan
yang lemah tak serta-merta benar. Tapi ditembak?
Saya memandang ke luar, ke sebuah perempatan: sebuah mo­
http://facebook.com/indonesiapustaka

nu­men tampak. Sebuah patung prajurit, yang seperti di mana-


mana di Indonesia sejak 1967 ingin mengesankan bahwa negeri
ini didirikan dengan senjata—sebuah cara membaca sejarah yang
salah.

Catatan Pinggir 8 407


TENTARA

Di saat memandang monumen yang aneh itu saya makin ingin­


tahu seberapa jauh sebenarnya kita, dan Republik Indonesia,­per-
lu tentara. Kejadian di Grati dimulai dengan kebutuhan akan
tempat latihan tempur. Seandainya Indonesia tak perlu tentara,
ta­nah itu bisa digunakan untuk, misalnya, pabrik sepatu.
Tapi saya tak mengemukakan itu sebagai persoalan kepada­sia­
pa pun, apalagi kepada pak jenderal tadi. Saya tak mau ber­teng­
kar. Namun saya tetap ragu: saya tahu bahwa tentara­berfung­si­
untuk mempertahankan Republik, tapi jangan-jangan­ kita dan
tentara kita tak jelas benar apa saja dari Republik yang harus­di-
pertahankan, dan dari siapa ia harus dipertahankan. Seingat saya,
selama Indonesia berdiri, belum ada usaha yang terus-menerus
un­tuk merebut wilayah Indonesia. Masa depan juga tampaknya
aman; perang perebutan teritorial telah jadi amat mahal dan ru-
wet, dan tampaknya di dunia­sekitar­kita tak ada orang gila, juga
orang Singapura, yang ingin­melakukannya.
Tapi saya tahu, tentara memang dipertahankan dalam seja­
rah,­karena sejarah dibangun dari bayangan kemungkin­an­yang
ter­buruk. Peradaban bahkan bisa dikatakan telah di­­gerak­kan
oleh pelbagai gambaran mimpi yang mengganggu. Demikianlah­
lahir pelbagai manifestasi dari jimat, persembah­an korban, feng
sui, sabuk pengaman, asuransi kecelakaan, senjata nuklir, dan
tentara: manusia mengantisipasi­ kekalahannya, dan mencoba
me­nangkalnya. Maka sebuah negara berdiri dengan kemungkin­
an akan dijatuhkan negara lain—meskipun­kita tak hidup dalam
zaman yang dengan yakin mewarisi Mahabharata, Iliad, dan pe­
rang-­perang Perjanjian Lama.
Atau mungkin pada mulanya adalah Kain yang membunuh
http://facebook.com/indonesiapustaka

Abil. Manusia merasakan ada yang tak cukup dan ada yang tak
adil. Keadaan ”alami” yang digambarkan Hobbes—ketika ma-
nusia saling melenyapkan dan me-minggirkan—adalah keadaan
di mana semua sama-sama mempunyai a sense of entitlement, se­

408 Catatan Pinggir 8


TENTARA

mua sama-sama merasa berhak atas sesuatu, dan ”se­sua­tu” itu


lang­ka.
Dikotomi pun ditarik, antara ”kita” dan ”mereka”, dan se­gera
se­sudah itu, pelbagai kategori diciptakan, untuk mengendalikan
dunia dan orang lain. Negara dibangun dari kelangka­an dan pe­
ngendalian itu. Negara adalah pagar benteng: ada yang selalu
dibuang keluar dari ruangnya.
Tapi tidakkah ada alternatif? Mungkin ada. Saya terpikir sesu­­
atu yang agaknya tak terpikir jenderal gemuk itu, yakni­mem­ba­
ca sebaris sajak Subagio Sastrowardojo: ”Kematian hanya sela-
put/gagasan yang gampang diseberangi”. Bila kita tahu kemati­
an begitu akrab—demikianlah pikir saya—manusia akan tahu
bah­wa kelangkaan dan pengendalian hanya­lah satu bagian dari
per­­adab­an: bagian yang lupa, bahwa kita bukan hanya makhluk
yang menyadari potensi, tapi juga impotensi diri. Dalam kata-ka-
ta Agamben: ”Manusia adalah hewan yang mampu atas impoten-
sialitasnya”.
Di tepi jurang ketidakberdayaan itu, sebuah celah, sebuah te­
pi, terbuka. Masing-masing bukanlah kekuatan yang akan me­
nang sendiri, dan dengan demikian meminggirkan. Hidup­pada
akhirnya terbatas. Dengan demikian, kesadaran akan impotensi
itu adalah juga sebuah potensi. Dan hidup pun akan berlanjut,
akan lebih ada ruang bebas di atas kebutuhan akan kekuasaan
dan kekerasan.
”Tapi kita tak hidup dalam sebuah surga sebelum Kain mem-
bunuh Abil!” tiba-tiba saya bayangkan jenderal itu akan berkata
menjawab semua pikiran yang saya katakan kepadanya dan dia ti-
dak pingsan. ”Kau jangan melamun,” katanya pula.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja ia benar, dan saya akan mengakui itu dalam per-
cakapan yang sebenarnya tak pernah terjadi itu. Tapi juga kita
tak harus membayangkan semua kita adalah Kain dan Abil. Kita
juga tak bisa berilusi bahwa pembunuhan itu bisa menyebabkan

Catatan Pinggir 8 409


TENTARA

kemenangan. Kita tak melamun bahwa kita punya­ ruang, bah-


kan ruang yang luas dan selalu tersedia, di mana Tuan, wahai Jen-
deral, sebenarnya tak diperlukan!
Apakah saya terlalu agresif? Saya khawatir begitu. Tapi saya
kira di zaman ini tentara memang harus siap diperlakukan ber-
beda: sebagai ornamen sebuah Republik—bak sepasukan drum
band dalam parade hari kemerdekaan.

Tempo, 10 Juni 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

410 Catatan Pinggir 8


ISIS

H
UTAN tipis yang cuma sisa, burung penghabisan yang­
bersarang di tebing kering, dan manusia terakhir yang
terdesak di sebuah bumi yang kian panas imajinasi
ini memang muram, menakutkan. Tapi imajinasi ini juga bisa
memudarkan ilusi: hidup ternyata bukan seperti yang dibayang­
kan George W. Bush. Dengan mesin perang yang besar dan tiap
kali menghancurkan, dengan emisi karbon dioksida yang meng-
hambur dari jutaan knalpot tak henti-hentinya, dunia tak sela-
manya secerah, seramah, dan setenang gambar-gambar Norman
Rockwell atau iklan rokok Marlboro.
Tapi sebenarnya bukan hanya hari ini dipersoalkan apa yang
terjadi.
Semenjak para kesatria dalam cerita wayang mbabat alas wa-
namerta membuka hutan dan memperluas wilayah kekuasaan
me­­re­ka dan dengan ekspansi itu mempersempit daerah yang di-
huni para pertapa untuk bersemadi, telah muncul sebuah tema
perseteruan dua sisi, atau dua impuls, dalam sejarah.
Di satu sisi dorongan untuk merapatkan diri dengan gunung
dan rimba, seperti ketika Arjuna bertapa dalam lakon Begawan
Min­taraga. Di sisi lain dorongan menang dan menak­lukkan, se-
perti ketika Arjuna mencari senjata terdahsyat untuk perang
mem­perebutkan kerajaan. Di satu sisi muncul kemampuan ber-
empati kepada makhluk yang lain di tengah alam, seperti ketika
Rama bersahabat dengan Kera Sugriwa. Di sisi lain menonjol ke-
ampuhan destruktif tanpa perasaan benci, seperti ketika Rama
http://facebook.com/indonesiapustaka

membunuh Kera Subali yang tak bersalah apa pun kepadanya.


Di khazanah lain, dalam perumpamaan yang datang dari se-
jarah pemikiran Yunani, kedua dorongan itu jadi keyakinan sejak
orang membaca kalimat Heraklaitos di abad ke-5 sebelum Mase-

Catatan Pinggir 8 411


ISIS

hi: phusis kruptesthai philei.


Dalam The Veil of Isis versi Inggris dari buku Pierre Hadot yang
memaparkan sejarah perkembangan pengertian ”alam” dalam se-
jarah pemikiran Barat, diuraikan bahwa kalimat termasyhur itu
sebenarnya punya beberapa arti. Heraklaitos konon bermaksud
berkata, ”Alam suka menyembunyikan diri.” Tapi ia juga bisa
ber­maksud mengatakan, ”Apa yang dilahirkan, ia akan menghi­
lang.” Dalam tafsir Hadot, ketidakpastian makna itu khas pemi­
kiran Heraklaitos, yang keseluruhannya menunjukkan ”ketak­
jub­an di depan misteriusnya metamorfosis” dalam alam, juga ke­
takjuban dalam menemukan hidup dan kematian. Alam yang
tak sepenuhnya dapat ditebak dan dipahami menyebabkan kita
ter­kesima dan merunduk takzim. Alam yang bisa berubah-ubah,
bahkan punah, dan menunjukkan betapa fananya dia, menye-
babkan kita merasa bisa me­nguasai­nya atau, kalau tidak, merasa
perlu membekukannya agar abadi.
Ada dalam diri manusia sesuatu yang bisa dilambangkan da­
lam sosok akan Prometheus. Tokoh mitologi setengah dewa ini
se­ring dikisahkan sebagai makhluk yang mencuri api yang di­
sem­bunyikan Mahadewa Zeus agar tak terjangkau oleh pe­nge­ta­
hu­an insani. Prometheus membangkang dan memberikan raha­
sia itu kepada manusia. Dalam interpretasi Hadot, tokoh inilah
mo­del semangat untuk meraih dan mengetahui apa yang paling
da­lam dan jauh, sekaligus lambang kekuatan yang menyelidiki,­
menginterogasi, dan bahkan menyiksa. Di sini kita temukan ku­
tipan dari sepucuk surat Francis Bacon: ”Saya sebenar-benarnya
mendatangkan Alam dan anak-anaknya kepadamu, agar ia diikat
untuk melayanimu dan membuatnya jadi budakmu.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dari kebrutalan itulah ilmu dan teknologi lahir dan tumbuh.


Air gerimis dihentikan alirnya dan diurai jadi H2SO4. Sugriwa
abad ke-20 dimasukkan ke dalam kandang laboratorium untuk
jadi bahan eksperimen kimia, dengan nasib yang tak berbeda dari

412 Catatan Pinggir 8


ISIS

Subali yang dibantai di hutan-hutan.


Namun ada juga sifat manusia yang seperti Orfeus, yang de-
ngan nyanyi dan puisi merayakan pohon hijau, bulan yang jernih,
dan sungai deras di kaki bukit. Di sinilah kaum Romantik dan
para penyair seperti Goethe berdiri. Hadot pun mengutip sastra­
wan­ Jerman itu: ”Misterius bahkan di terang siang, Alam tak
mem­biarkan cadarnya ditanggalkan, dan apa yang tak di­ingin­
kan­­nya untuk terbentang di pikiranmu, tak dapat kau paksa...”.
Di kalangan para penyair ini alam dilambangkan sebagai Isis,
dewi yang bertetek banyak, yang bercadar. Sungguh me­narik­un-
tuk mengetahui, dari penuturan The Veil of Isis, bahwa Goethe
meskipun ia menggemari eksperimen ilmu membenci Newton
yang menyiksa cahaya dengan membelah-belahnya jadi satuan-
satuan warna. Cadar Isis telah dicoba direnggutkan, sang Dewi
hendak ditelanjangi.
Tentu saja tema pertentangan antara teladan Prometheus dan
Orfeus ini bukan sesuatu yang baru dan dalam hal ini The Veil­of
Isis tak menyajikan wawasan yang segar. Bahkan agak terbatas.
Risalah sejarah pemikiran ini kurang mengemukakan pi­lih­an-
pi­lihan sulit yang dihadapi manusia di benua di mana ke­langkaan
sesuatu yang lebih mendasar ketimbang kemiskinan bu­kan saja
membentuk ekonomi, tapi juga perilaku dan kebuda­yaan.
Kelangkaan pangan dan tempat hidup mendorong manusia
mem­buat sawah dan rumah. Tapi seakan-akan hendak­menebus
apa yang direnggutkan oleh cangkul, bajak, gergaji,­dan parang,
manusia mencoba mengembalikan bayang-bayang­ keindahan
pada teras sawah Bali, jejak keabadian pada padi yang disebut se-
bagai Dewi Sri, gema suara alam pada bunyi merdu yang ditiup
http://facebook.com/indonesiapustaka

dari bangsi. Rumah pun dibangun, tapi akhirnya tak hanya atap,
dinding, dan pintu. Ada arsitektur, cat merah daun jendela, dan
kembang leli di dalam bokor. Yang terluka hendak dipupus.
Tapi memang ada suatu dinamika lain yang datang, yang

Catatan Pinggir 8 413


ISIS

mem­buat kelangkaan seakan-akan sisi yang tragis dari ke­serakah­


an.­ Itu agaknya yang menyebabkan Indonesia sebuah republik
yang bukan bagian dunia yang kaya jadi negeri No. 3 di dunia
dalam menyumbang besarnya emisi kotor yang mengganggu
udara. Mereka yang pernah punya pengalaman traumatik dalam
kelangkaan, telah dengan cemas meraih, meraih, meraih.... Dan
hutan-hutan terbakar, dan kota-kota cemar.

Tempo, 17 Juni 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

414 Catatan Pinggir 8


PILKADA

”You got to make it out of Badness.... And you know why? Because there
isn’t anything else to make it out of.”
—Willie Stark, dalam All the King’s Men

S
EBUAH pilkada, di sebuah musim yang gerah pada 32°
C.­­Ekonomi muram dan timpang, korupsi setengah ber-
sembunyi, dan kemarahan si miskin setengah ditelan. Ini
Louisia­na tahun 1930-an: hari-hari depresi, zaman hal-hal yang
radikal berkecamuk, ketika Willie Stark datang, berteriak, dan
me­nang—seorang dengan niat baik yang bergelora dan akal yang
brutal yang menjamah apa saja. Orang ini akhirnya mati ditem-
bak seorang yang lurus hati, tapi kematian itu tak menyebabkan
apa yang kotor dalam proses politik tertebus.
Novel Robert Penn Warren, All the King’s Men, telah mem­buat­
cerita Willie jadi contoh klasik tentang bagaimana politik,­juga di
sebuah demokrasi di Amerika Serikat, datang dari harap­­an tapi
bisa tak memungkinkan tumbuhnya harapan.
Willie dipilih dengan dukungan yang antusias. Ia dikenal­se­
ba­gai seorang yang memprotes, ketika sebuah gedung se­kolah­ro-
boh. Ia orang berani yang menunjukkan bahwa pe­merintah dae-
rah membuat bangunan itu dengan menunjuk­se­orang kontrak-
tor yang curang. Semula protesnya tak didengar.­ Tapi beberapa
ta­hun kemudian, tatkala sebuah tangga kebakaran roboh dan be-
berapa anak luka parah, orang ingat benar­nya kata-kata Willie.
Ia langsung jadi tokoh yang diharapkan, dan sejumlah operator
http://facebook.com/indonesiapustaka

politik daerah menyiapkannya untuk jadi calon gubernur.


Yang tak disangka-sangka para operator itu ialah bahwa­Willie
ternyata bisa tak tergantung kepada mereka. Dengan ke­­yakinan
bahwa ia adalah si jujur yang berani bicara dan bertindak, dengan

Catatan Pinggir 8 415


PILKADA

kemampuannya memposisikan diri senasib se­penang­gungan de-


ngan para hicks yang miskin dan dibohongi,­ia bisa bicara lang-
sung dengan orang ramai itu, memukau lang­sung dan didukung
langsung oleh mereka.
Dari politik populis ini Willie kian yakin akan keluhuran
niat baiknya bagi orang banyak—sebuah keyakinan yang begitu
terang-benderang hingga menyebabkan pandangnya silau. ”Ca-
haya terang yang menerpa matanya membutakannya,” kata Jack
Burden, sang pembawa cerita dalam novel ini. Kekuasaan dan ke­­
yakinan yang membuatnya jadi perkasa akhirnya membuat Wil­
l­ie­ kebal, juga terhadap rasa sakit orang lain. Willie menyu­ruh
Jack membongkar masa lalu hakim Ir­win­yang menentang ren-
cana politiknya. Ketika Jack berhasil menemukan sesuatu yang
kotor di masa lalu itu, hakim tua itu bunuh diri.
Baru kemudian Jack tahu, hakim Irwin adalah ayah kan­
dung­nya sendiri. Tapi anak muda ini tak berhenti mengabdi­pada
Willie—bahkan ketika Willie mengambil Anna jadi gundiknya.
Anna gadis yang bagi Jack sejak masa sekolah telah membuat di­
ri­nya seperti diciptakan kembali dari lempung.
Sepasang manusia telah membuat novel ini memukau secara
mu­ram. Keteguhan Willie untuk tak tersentuh oleh rasa sakit
orang lain bertaut dengan pandangan Jack tentang tak penting­
nya subyektivitas dalam laku dan pilihan moral. Anak muda yang
pernah ingin menulis sejarah hidup seorang tokoh ini pada per­
kembangannya percaya bukan kepada manusia, melainkan ke­
pa­da apa yang disebutnya the Great Twitch. ”Kedut agung” ini,
da­lam pandangannya, adalah yang menentukan hidup. ”Semua
ka­ta yang kita ucapkan tak berarti apa-apa dan hanya ada degup
http://facebook.com/indonesiapustaka

da­rah dan kedutan saraf, seperti kaki seekor katak yang mati di
tempat eksperimen ketika setrum listrik itu menjalarinya.”
All the King’s Men—jika novel yang ditulis seorang penyair ini
agak disederhanakan—adalah catatan yang memaparkan nyaris

416 Catatan Pinggir 8


PILKADA

hilangnya harapan. Kedua tokoh utamanya berbicara dan berla­


ku dengan keyakinan bahwa tak ada kapasitas manusia buat me-
mihak Kebaikan, apa pun maknanya. Jack, yang percaya akan
ku­asa ”the Great Twitch”, menafikan tanggung jawab seseorang
dalam perbuatan baik dan buruk.
Ini tentu saja semacam nihilisme, tapi juga determinisme: ni-
lai-nilai, seperti halnya bahasa, dianggap tak berarti apa-apa, se-
bab manusia tak merdeka, sebab ia ditentukan oleh sesua­tu­yang
lebih besar ketimbang subyektivitasnya. Willie juga de­mikian:
ma­nusia ada dan tak bisa bebas dari Keburukan. Bad­ness, dan tak
ada yang lain dari itu, mendasari semuanya.­Dunia—juga kemu-
liaannya—dibangun oleh manusia-manusia­ yang culas dan ko-
rup.
Dengan pandangan itulah politik mereka jalankan di Louisi-
ana. Bisa dikatakan All the King’s Men adalah sebuah gugat­an ke-
pada politik, juga politik demokratis, yang ternyata tak membuat
kehidupan bersama bebas dari nihilisme. Baru di akhir novel
Willie Stark dalam keadaan luka tertembak hampir mati berbisik
kepada Jack bahwa keadaan sebenarnya bisa diubah; dengan kata
lain, saat itu ia ingin berbisik: manusia sebenarnya bisa memilih.
Jack sendiri akhirnya tahu: ada yang lebih tahan menggerak­
kan hidup ketimbang the Great Twitch yang seperti mesin sejarah
itu. Bukan rumusan baik dan buruk, bukan ajaran bukan agama,
melainkan sesuatu yang lebih awal ketimbang itu semua: ketika
manusia ternyata bisa menangis dan bertindak mengulurkan ta­
ngan­ketika yang tak berdaya, yang kelaparan, yang dipermalu-
kan dan dihinakan terkapar di halaman.
Politik memang sering menganggap bela rasa itu hanya ins­­tru­­
http://facebook.com/indonesiapustaka

men. Tapi ada selalu kebutuhan praktis sebuah kota, sebuah­po-


lis, untuk terus-menerus melawan, mencegah, agar orang seper­ti
Willie Stark, yang hanya tertarik kepada dirinya sendiri­dan ha­­
nya­percaya akan Keburukan, tak terus-menerus me­ngua­sai hi­

Catatan Pinggir 8 417


PILKADA

dup dan percakapan. Di situ politik berarti sebuah kerja, ketika­


engkau mengajakku memulihkan kembali harap­an: meskipun
Kebaikan tak selamanya jelas, Keburukan bukan­lah dasar se-
galanya.

Tempo, 24 Juni 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

418 Catatan Pinggir 8


YUDISTIRA

D
I pintu surga, Yudistira, raja tua yang lembut dan lurus
hati itu, ditolak masuk. Permukaan bumi konon ter­
ke­jut mendengarnya: bisa dipercayakah janji keadil­an
dalam hidup sesudah mati?
Berabad-abad manusia mengajukan pertanyaan seperti ini,
namun para dewa tak menengok. Tuhan tak menjawab.
Tapi kejadian hari itu memang luar biasa. Banyak orang
meng­­anggap ini salah satu adegan paling memukau dalam Ma­
ha­bharata.
Yudistira ditolak masuk ke surga karena ia bertekad membawa
ser­ta seekor anjing yang kurus dan kotor ke dalam. ”Kau harus­
me­ninggalkan hewan itu di luar,” kata Dewa Indra di gerbang
itu. ”Kalau tidak, kau tak bisa masuk.”
”Hamba harus membawanya,” jawab Yudistira.
”Tak mungkin. Ada aturan yang melarang binatang masuk ke
surga.”
Yudistira diam sejenak. ”Kalau begitu, hamba tak akan masuk
ke sana,” katanya. ”Lebih baik hamba kembali.”
”Ke mana?”
Yudistira terdiam. Ia tak tahu apa yang akan didatanginya.­Ta­
pi ia tak banyak punya pilihan. Ia pun membalikkan badan dan
me­langkah dengan memeluk anjingnya yang kini menggong­
gong­lirih.
Versi resmi Mahabharata menyebutkan di saat itulah menda-
dak hewan itu raib, dan yang tampak sosok Yamadharma. Dewa
http://facebook.com/indonesiapustaka

itulah—konon ayah Yudistira sendiri—yang selama itu sebe­nar­­


nya­menyertainya dalam perjalanan.
Yudistira terkejut. Tapi segera ia sadar, persoalannya tak ber­
ubah: ada yang tetap tak adil di situ. Pendakian ke surga di pucuk

Catatan Pinggir 8 419


YUDISTIRA

Mahameru itu begitu panjang, meletihkan, dan berbahaya—


hing­­ga istri serta empat saudaranya mati di jalan—tapi anjing
yang lemah itu menanggungkan semuanya. Ia dengan setia me­
ne­­mani Yudistira sejak batas kota Hastina, sejak semua peng­antar­
mengundurkan diri. Ia juga penolongnya jika jalan sulit dan arah
sesat.
Dalam diri binatang yang tanpa pamrih itulah Yudistira­me­
ne­­mukan sosok makhluk yang mulia; kepadanyalah ia merasa
ber­utang budi. Tapi kahyangan menghinanya. Bukan saja si an-
jing ditolak masuk surga, tapi ditunjukkan bahwa apa yang dila­
kukannya sebenarnya bukan kemuliaan. Perbuatan adalah mu-
lia jika ia dilakukan satu subyek yang bebas tapi juga menjadikan­
dirinya bagian dari pengorbanan. Yamadharma bukan subyek­se­
macam itu. Ia hanya menjalankan tugas ke­dewa­an. Ia tak me­
nang­gungkan rasa sakit.
Saya bayangkan Yudistira tetap memutuskan tak hendak ma­
suk­ surga. Baginya surga tempat yang sewenang-wenang. Para
de­wa melarang satu makhluk masuk hanya karena sebuah­batas­
an­a priori: ia anjing, titik. Tak ada artinya perbuatan baik.­Man-
tan raja Hastina itu percaya, jika ia melangkah ke dalam, ia akan
mengukuhkan ketidakadilan. Ia pun meninggal­kan gerbang.
Indra mencoba meyakinkannya. ”Dengarkan, Yudistira. Ka­­
hyangan menghargaimu karena tindakanmu memprotes keti­
dak­adilan. Ketidakadilan memang ada di sini, karena kederma­
wan­­an hati—dilakukan anjing atau bukan—dianggap tak ada.
Kau benar, ketika kau menggugat.”
”Tapi para dewa telah menipuku. Anjing itu sebenarnya tak
ada,” jawab Yudistira.
http://facebook.com/indonesiapustaka

”Memang tak ada,” kata Indra. ”Tapi pengorbanan itu ada”.


”Paduka berbicara pengorbanan sebagai sebuah ide. Hamba
ma­nusia. Pengorbanan adalah tindak, dengan pelaku dan peristi­
wanya. Jika anjing yang menderita itu tak ada, apa yang bernilai

420 Catatan Pinggir 8


YUDISTIRA

dari peristiwa itu juga tak ada.”


”Tapi engkau ada. Engkau berkorban, dan engkau ada.”
”Hamba berkorban untuk sebuah ilusi. Tak ada artinya. Ham-
ba tak layak di sini.”
Di mana sebenarnya budi baik? Yudistira mungkin akan men-
jawab: ketika ”aku” menegaskan diri, tapi dengan kesadaran­­
dan kebebasan itu pula ”aku” membuat diriku menghilang, agar
yang-lain, terutama yang membutuhkan, yang menderita,­ bi­sa
hadir, terbebaskan, terhibur, dihargai. Budi baik terbit dari se-
buah senyum: saat ketika kau melihat hidup sebagai pang­gil­­an
untuk memandang liyan dengan ramah, takzim, tanpa pamrih.
Liyan: kata bahasa Jawa untuk menyebut ”orang lain” ini me-
mang mengakui ”beda” dalam kedekatan—kedekatan yang jus-
tru membuat liyan sebuah enigma, keakraban yang justru mem-
buatnya selalu menjadi: aku tak bisa menudingmu, aku tak ber­
kuasa atas dirimu, aku tak bisa menentukan sejarahmu.
Di titik ini tiba-tiba Yudistira justru merasa bersalah. Ada
yang­ selalu tak pernah ia ketahui, sebenarnya, juga tentang se­
ekor anjing yang menemaninya berhari-hari di perjalanan. Ia ber­
utang­budi kepada hewan itu, tapi mengapa tak ia lihat dalam di­ri­
makh­luk yang kurus dan kotor itu ada sifat-sifat setengah de­wa,
se­perti dahulu Bisma: pengorbanan diri yang begitu jauh, dan se-
bab itu begitu suci? Bukankah tiap perbuat­an baik kepada yang
menderita adalah secercah cahaya keramat? Yudistira kini meng­­
akui: makhluk yang menolongnya sampai ke gerbang surga itu
akhir­nya tak penting identitasnya sebagai anjing; perbuatannya
ada­lah manifestasi Dharma.
Yudistira pun berhenti melangkah. Ia berpikir kembali: ja­
http://facebook.com/indonesiapustaka

ngan-­jangan ia—dan bukan kahyangan—yang telah menghina


yang-lain itu dengan satu definisi: ia ”anjing”, titik.
Ia pun berbalik. Ia mulai mendaki lagi. Namun pada ti­kung­
an yang ke-7 sebelum pucuk Mahameru ia berhenti melangkah.

Catatan Pinggir 8 421


YUDISTIRA

Bimbang merasukinya lagi. Buat apa sebenarnya ia ke surga: un-


tuk menikmati anugerah, atau untuk mengakui bahwa­Indra be­
nar?
Raja tua itu lelah. Ia kini tahu, kemurnian hati tak dengan
sen­dirinya membawa pikiran jernih. Langit makin gelap. Ia meli-
hat cahaya berpendar-pendar dari pucuk Mahameru, dan sayup-
sayup terdengar nyanyian langit. ”Jika aku diizinkan masuk ke
sana, surga akan menerima seorang yang bersalah. Atau seorang
yang pamrih. Atau seorang yang tak punya pilih­an lain, karena
aku takut ke neraka. Apa artinya tempat itu jika demikian?”
Ia menghela napas. Tiba-tiba ia sejenak merasa melihat di ger­
bang di kejauhan itu Indra muncul, tinggi dan agung. ”Kema­ri­
lah, manusia,” begitu ia dengar kata-kata. ”Kemarilah jika kau
tak merasa semua ini hanya ilusi.”

Tempo, 1 Juli 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

422 Catatan Pinggir 8


KOTOR

”Aku ini—tanganku kotor. Sampai ke siku. Telah kucelupkan ke­da­lam


tahi dan darah.”

U
capan Ketua Partai Komunis dalam lakon Les Mains
Sales karya Sartre itu kini dikenang sebagai perumus­an
kembali petuah Machiavelli dari abad ke-15: siapa saja
yang masuk ke kancah kekuasaan harus siap menyentuh najis.
Pengertian Les Mains Sales, ”tangan yang kotor”, telah jadi kiasan
abad ke-20 bagi sebuah kondisi ketika cita-cita yang baik terpaksa
dicapai dengan cara yang tak baik.
Machiavelli menasihati agar para penguasa mampu bertindak­
bagaikan hewan, bak rubah yang licik dan singa yang ganas. Sar-
tre menampilkan Hoederer, sang Ketua Partai, untuk menga­ta­
kan­bahwa yang suci murni hanyalah ”gagasan para rahib dan fa­
kir”. Ia mengecam para intelektual yang menyerukan la pureté.
”Kalian, kaum intelektual, anarkis borjuis,” kata Hoederer, ”ka­
lian­ pakai kesuci-murnian sebagai dalih untuk tak melakukan
apa-apa! Tak berbuat apa pun, tinggal diam saja, merapatkan le­
ngan­ke tubuh, mengenakan sarung ta­ngan!”­
Kata-kata Hoederer bukan tanpa arah ke luar panggung. La-
kon ini pertama kali dipentaskan pada 1948, pada zaman ketika
Eropa dibayang-bayangi intrik dan perebutan posisi dalam Pe­
rang­Dingin—sementara para pemikir bergulat dengan persoal­
an moralitas dalam revolusi dan demokrasi.
Dengan Les Mains Sales, Sartre memasuki perdebatan besar
http://facebook.com/indonesiapustaka

ini. Tapi tiap lakon yang baik tak berangkat dengan satu premis­
dan berakhir dengan satu pendirian. Ceritanya berlatar tahun
1930-an, ketika sebuah negeri Eropa Timur bernama Illyria—
negeri khayal yang juga dipakai Shakespeare dalam Twelfth

Catatan Pinggir 8 423


KOTOR

Night—menghadapi ancaman pendudukan Jerman.


Oleh kawan-kawan separtainya, Hoederer dianggap ber­k hi­a­
nat. Ia telah membentuk kerja sama dengan partai ”borjuis” un­
tuk menghadapi musuh dari luar itu. Pemimpin partai yang lain
me­mutuskan dia harus dihabisi, karena ia sangat berpengaruh.­
Yang ditugasi adalah Hugo Barine, seorang pemuda komunis
yang sebenarnya lebih seorang intelektual yang masuk Partai ka­
rena keyakinan ketimbang seorang pembunuh.
Anak muda ini bersama istrinya, Jessica, berhasil menyusup­
se­bagai sekretaris sang Ketua. Dalam percakapan dengan calon
pem­bunuhnya itulah Hoederer mengutarakan argumennya: ker-
ja sama dengan partai-partai ”borjuis” diperlukan karena baginya
Partai Komunis tak cukup kuat menghadapi ancaman Nazi dari
luar. Memang dengan demikian kemurnian prinsip jadi bengkok.­
Tapi mau apa lagi? ”Kau bayangkan orang bisa mengatur kekua-
saan dengan tanpa dosa?” tanya Hoederer kepada Hugo—sebuah
tanya yang tak bertanya.
Mengatur kekuasaan adalah sebuah posisi dan tugas yang pa­
da akhirnya diarahkan kepada sebuah efek. Hasil adalah yang
ter­penting, dan segala hal lain dinilai berdasarkan itu. ”Semua
cara dinilai baik,” kata Hoederer, ”bila efektif.”
Itu sebabnya ia tak ragu untuk menajiskan tangannya. Tapi
apa yang najis dan kurang najis telah diporak-porandakan Sartre
dengan menampilkan Hoederer. Pada akhirnya Hugo me­nem­
bak­­ mati Hoederer. Tapi bukan karena dorongan tugasnya. Ia
cem­buru. Jessica, istrinya, jatuh hati kepada Hoederer yang jauh
le­bih tua, lebih matang, dan sebenarnya orang baik yang gam­
pang­mempercayai orang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yang ironis ialah bahwa akhirnya Partai mengakui benarnya­


strategi Hoederer dalam membentuk front bersama dengan par-
tai-partai ”borjuis”. Hoederer dibersihkan namanya. Ia dinya­ta­
kan sebagai pahlawan, bukan seorang yang dibunuh karena telah

424 Catatan Pinggir 8


KOTOR

menyalahi garis politik, bukan pula karena soal cinta dan cem-
buru.
Ia akhirnya juga bagian dari dusta, bahkan ketika ia tak ber­
ada di kancah perjuangan lagi. Mungkin Jessica benar ketika ia
berkata, ”Indah sekali, manusia yang bersendiri.” Tapi dengan
itu sebuah dilema tak terelakkan. Dalam kesendiriannya, manu­
sia tak perlu mempengaruhi, menguasai, atau bersekutu dengan­
orang yang berfi’il jahat, tak perlu pula menggunakan siasat se­
tengah atau 100 persen menipu, tak perlu menyogok dan tak usah
menakut-nakuti. Tapi dalam kesendirian itu ba­gai­mana ia akan
mengerti yang baik dan buruk, dan meng­ubah hidup? Bagaima-
na, seperti kata Hoederer, ”orang bisa meng­atur­ kekuasaan de-
ngan tanpa dosa?”
Makna ”tangan kotor” dalam lakon Sartre memang harus di­
be­dakan dengan cara mereka yang bergelimang najis untuk ke-
pentingan diri sendiri. Tentu saja tak selamanya jelas, sejauh ma­
na seseorang tahu, atau tulus, ketika ia mengatakan bahwa­ia ber-
buat sesuatu dengan ”tangan kotor” untuk kepentingan yang le­
bih besar. Di Indonesia, bahkan tentara yang dikerahkan atas na­
ma keamanan nasional atau keutuhan teritorial mungkin hanya
berdasarkan perhitungan dana anggaran yang akan dicuri sejum-
lah jenderal yang gemar bicara tentang patriotisme....
Itu sebabnya ada kehendak yang sah agar mana yang najis,
mana yang mulia, tak ditentukan berdasarkan tujuan sebuah tin-
dakan. Ada yang, seperti Kant, menegaskan utamanya­dasar ni-
lai yang ”deontologis”: kita berbuat baik karena kewajiban moral,­
bukan karena akibatnya yang bermanfaat. Jika seorang pembu­
nuh datang ke Anda dan bertanya di mana orang yang akan di-
http://facebook.com/indonesiapustaka

bunuhnya bersembunyi, Anda tak boleh bohong, bila Anda tahu.


Bohong, biarpun untuk tujuan baik, adalah sesua­tu­yang secara
moral tak bisa dibenarkan.
Saya tak tahu akankah saya berbuat begitu. Ada yang mena-

Catatan Pinggir 8 425


KOTOR

kutkan dalam tiap pemutlakan. Apalagi dasar nilai ”deontologis”­


bisa merupakan problem, karena dalam hal menentukan apa
yang ”kotor” dan ”suci” mungkin terlibat sebuah proses po­litik
yang diam-diam menentukan siapa yang menang untuk­ dide­
ngar.­Hoederer mencoba membongkar konstruksi itu. Ia punya
alasan yang kuat. Tapi ia salah ketika menyimpulkan bahwa ”du-
nia diciptakan buruk”. Sebab, jika demikian, yang ”baik” harus
dibangun dari titik nol—sementara yang ”baik” bukan hal yang
mustahil ada di antara dan di dalam kita. Bukankah kejahatan
se­lalu berhadapan dengan kata ”tidak”?

Tempo, 8 Juli 2007


http://facebook.com/indonesiapustaka

426 Catatan Pinggir 8


Indeks

A
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi 13-15
Abdullah, Basuki 178
Abikoesno 205
Abram 195
Adam, nabi 54, 127
Adonis 43, 51, 331, 332, 334
Adorno 268
Agamben 413
Agung, sultan 176
Agustinus, santo 94
Ahmadinejad, presiden 196
Al-Duali, Abu’l-Aswad 50
Aletheia 121-124
Al-Ghazali 263
Al-Hadi, Ali 153, 154
Al-Hakim, Muhammad Bakr 274
Al-Hallaj 123, 199
Al-Hasanal, Askari 153, 154
Ali bin Abu Thalib 80, 98, 332
Alisjahbana, S. Takdir 316
Al-Jurjânî 43, 51, 79
Al-Mahdi, Muhammad 154
Al-Mamun, Abdullah 51
Al-Mansur 25
http://facebook.com/indonesiapustaka

Al-Maqdisi, Abu Muhammad 273


Al-Mutanabi 332
Al-Mutawakkil, Khalif 154, 155
Al-Rashid, Harun 49, 51

Catatan Pinggir 8 427


Al-Rummani 50
Al-Zarkawi, Abu Musab 273
Amal, Nukila 162
Amangkurat I 93
Ambalika 325
Ambika 325
Amongraga 173-175
Amongraga, ki 198
Anderson, Benedict 32, 62, 222, 243, 314, 357
Anshary, Isa, kiai haji 249-251
Anwar, Chairil 41, 45, 150, 313, 315-318
Arendt, Hannah 285
Aristoteles 138, 139
Arjuna 241, 415
Arnaldez, R. 262
Ashcroft, John 293
Atta, Mohammad 379
Attaturk, Kemal 283
Ayaan 269-271
Azahari 89, 91, 92, 95, 98
B
Ba’asyir, Abu Bakar 295
Bacon, Francis 412
Bagoes, ki 205
Baka, raja 277
Baker, James 377
Baldwin V, raja 2, 3
Bardot, Brigitte 179
http://facebook.com/indonesiapustaka

Barine, Hugo 424


Barre, Mohammad Said 269
Barth, Karl 405
Bayazid I, sultan 262

428 Catatan Pinggir 8


Bayle, Pierre 125, 128
Bazarov 113
Benediktus XVI, paus 21, 261-263, 267, 380, 381
Benjamin, Walter 155, 328
Berg, Nicholas 274
Bergman, Ingmar 336, 337
Bertolucci 159
Bharata 325
Bharuscha, Rustom 356, 357
Bisma, resi 323-325
Blair, Tony 285
Blake, William 18
Block, Antonius 336, 337
Bonang, sunan 198
Bondowoso, Bandung 277-280
Borges, Jorge Luis 53-55
Bouyeri, Mohammad 270, 379, 382
Bracha, Tova 403
Brahmana 298
Brecht, Bertolt 237, 239
Brinkley, Douglas 383
Brown, Peter 166
Brown, William (Jerry) 294, 295
Bruno, Giordano 115
Budiarta, I Made 59, 159
Burden, Jack 420, 421
Buruma, Ian 270
Bush, George Walter 57, 58, 122, 196, 285, 287, 292, 294, 295,
http://facebook.com/indonesiapustaka

303, 376-378, 383, 385, 397, 411


C
Cameron, James 403
Cantacuzenus, Johanes 262

Catatan Pinggir 8 429


Canterbury 95
Caputo 155
Centhini 173, 174
Chandravarman 158
Chatterjee, Partha 357
Chatterley, Constance 162, 163
Cheney, Dick 285, 378, 383, 397
Christie, Agatha 290
Cixous, Hèlène 235, 266
Clifford, sir 162, 163
Cordeñas, Garcia Lopez de 65
Covarrubias, Miguel 171
Coward, Noel 157
D
Damien 95
Damono, Sapardi Djoko 54
Darwin 67, 294
Darwish, Mahmoud 221, 223
Dash, Surendranath 119, 120
Daud, raja 127
DeLay, Tom 195
Deleuze, Gilles 266
Derrida, Jacques 89, 150, 155
Destarastra 323, 325
Dewantara, ki Hajar 205
Dewey 247
Dhanu 97-100
Diponegoro, pangeran, 316
http://facebook.com/indonesiapustaka

Donne, John 182, 212


Duras, Margaret 287
E
Edison, Thomas Alva 106

430 Catatan Pinggir 8


Einstein, Albert 123
Eisenhower, presiden 164
Ekirch 106
El-Khurasani, Abu Muslim 25
Engels, Friedrich 37, 38
Eusebius 217
F
Faldwell, Jerry 194, 399-402
Fariszadeh, Muhammad Javad 381
Fatimah, Siti 254
Faust 120
Feinstein, Dianne 397, 398
Firaun 328
Forst, Robert 108
Foucault, Michel 94, 381
Franckenberg 131
Frank, Anne 388
Fromm, Erich 151
Fruits, Strange 6
G
Gandari 323-325
Gandhi, Mahatma 363, 365, 366
Gandhi, Rajiv 97, 98
Gautama, Siddharta 297-299, 371
Geertz, Clifford 259
Gellman, Barton 57
Giri, sunan 173
Godse, Nathuram 363
http://facebook.com/indonesiapustaka

Goethe, Johann Wolfgang von 317, 413


Gogh, Theo van 270, 379
Gonzales, Alberto R. 57
Gorky, Maxim 284

Catatan Pinggir 8 431


Govinda 299
Gramsci, Antonio 83, 207
H
Habermas, Jurgen 206
Hadi, Asmara 232
Hadot, Pierre 412
Hamidah 254
Hamzah 276
Hamzah, Amir 19, 34, 145, 146, 149, 168, 222-235, 351
Hanim, Esma 282
Harris, Karsten 115
Haskell, Grace 194, 195
Hatta, Mohammad (Bung Hatta) 213, 339
Hatun 101-104
Hawa, Siti 54
Hefner, Hugh 180
Hegel, Georg Wilhelm Friedrich 38, 348
Heidegger, Martin 22, 23, 67, 235, 236, 258, 259, 344, 345
Helman, Isidore-Stanislas 327
Henri IV, raja 125
Heraklaitos 265, 411, 412
Herodotus 329
Hesse, Herman 298, 299
Hirohito, kaisar 245
Hitler, Adolf 141, 179, 254, 267, 329, 376, 396
Hobber 398
Hoederer 423-425
Hölderlin 22
http://facebook.com/indonesiapustaka

Holiday, Billie 5, 8
Homeros 265
Horkheimer 268
Housman, A.E. 313-315

432 Catatan Pinggir 8


Hussein, Fouad 273, 274
Hussein, Saddam 327, 329, 330, 376-378, 397
Hussey, Andrew 228
I
Ibn Hazn 262, 263
Ibn Mujahid 80
Ibn Rushd 264
Ibnu Khaldun 50
Ibnu Taymiyah 71
Inandiak, Elizabeth D. 173
Iñárritu, Alejandro González 352, 354
Iqbal, Mohammad 364
Irons, Jeremy 1
Irwin, hakim 416
Iskandar, Popo 54
Ismaya 336
Isse, Hirsi Magan 269
J
Jacobovici, Simcha 403, 404
James, William 371
Jenar, Siti 198
Johnson, Michael 315
Jolie, Angelina 178
Jones, Salena 305, 308
Jonggrang, Loro 277, 278
K
Kacasungkana, Nursyahbani 243
Kafka 353
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kant, Immanuel 21, 405


Kantorowicz, Ernst 217
Karim, Khalil Abdul 90
Kartini 313, 318, 387-390

Catatan Pinggir 8 433


Katz, Joel 6
Kennan, George F. 375, 376
Kennedy, Edward 397, 398
Kennedy, John F. 102
Khan, Ali 85
Khan, Jengis 217
Khan, Safar 85
Khomeini, ayatullah 187, 246
Kiarostami, Abbas 291
Kikuchi, Rinko 352
Killen, Edgar Ray 7, 8
Kim Jong-il 285, 286, 288
Kirsha 253, 256
Klausen, Jytte 143
Konstantin, raja 217
Kopernikus 113, 115
Krarup, Soren 143
Kristeva, Julia 42, 43
Kunti 325
L
Lacan, Jacques 219
Laclau, Ernesto 207
Lahab, Abu 209
Langballe, Jesper 143
Laozi 137
Lassale 38
Lawrence, D.H. 161-163
Le Pen, Jean-Marie 227
http://facebook.com/indonesiapustaka

Lefebvre, Henri 30-34, 107, 202


Lefort, Claude 215
Lennon, John 302, 311
Lesmana, Laddy 173

434 Catatan Pinggir 8


Lev, Dan 241-243
Levinas, Emmanuel 91
Lewis, Alun 81
Lim Koen Hian 205
Lincoln, Abraham 219, 376, 377
Lippmann, Walter 301-304
Lipura, Bambang 368
Loach, Ken 291
Locke, John 128
Louis XIV, raja 125, 327
Louis XV, raja 93
Luther, Martin 115, 399
Luxemburg, Rosa 309-312
Lyotard, Jean-Francois 147
M
Machiavelli 95, 427
Madjid, Nurcholish 45-47
Mahbub ul-Haq 361
Mahdi, Imam 155
Mahfouz, Naguib 253-256
Malraux, Andre 360
Mangkunegara IV 255
Manuel II, raja 261-263
Mao Zedong 187, 267, 361
Marcel, Gabriel 373
Marx, Karl 38, 83, 311
Mary, ratu 95
Marzuki, Ismail 289, 290
http://facebook.com/indonesiapustaka

Massoud, Ghassan 1
Maugham, W. Sommerset 153
Maximilian I, raja 337, 338
Meeropol, Abel 6

Catatan Pinggir 8 435


Melleors 163
Merkuri, dewa 158
Mikkelsen, Brian 141
Minto, lord 15
Monginsidi, Robert Wolter 313, 315, 316, 319
Monk, Theolinus 308
Monnet, Charles 327
Monroe, Marilyn 179
Morrison, Toni 305, 307
Muhammad SAW, nabi 78-90, 141, 142, 258, 262, 371
Multatuli 29
Munch, Edvard 111, 113
Murad I, sultan 261
Musa, nabi 145, 146, 151, 187, 235, 371
Mustafa, Sayyid 85
N
Naji, Abu Bakr 274
Nakula 391
Nasri, Sayid Misshosein 169
Nasser, Gamal Abdul 255
Nasution, Abdul Haris, jenderal 229
Nasution, Adnan Buyung 229, 243, 250
Nataraja, Syiwa 117
Natésa 118
Nebuchadnezar, raja 383
Nehru, Jawaharlal 365
Newton, Issac 413
Nicodemus 171
http://facebook.com/indonesiapustaka

Niebuhr, Reinhold 351


Nietzsche, Friedrich 114-116, 149, 352, 381
Nixon, Richard 301
Nordhaus 349

436 Catatan Pinggir 8


Nousimbaoum, Essad Bey 87
Nuh, nabi 66, 234
Nussimbaum, Lev 86, 87
Nuwas, Abu 49, 51, 52
O
Oakeshott, Michael 187
Odiseus 331, 333
Olmi, Ermanno 291
Olson, Donald 112, 113
Orfeus 413
Orwell, George 374, 385
Otto, Rudolf 19, 147, 371
Owens, Jesse 315
P
Pamuk, Orhan 281-284
Pandu 279, 323-325
Pane, Sanusi 117-120, 205
Panggung, pangeran 197, 198
Pape, Robert A. 97
Paulus III, paus 114
Pemanahan, ki Ageng 368
Penangsang, Aryo 367, 368, 370
Pigotta 93
Plato 107
Prometheus 416, 417
Proust, Marcel 266
Purwadarminta, W.J.S. 344
Puspa, Titiek 343
http://facebook.com/indonesiapustaka

Q
Qian, Sima 137
R
Raffles, Stamford Thomas 14

Catatan Pinggir 8 437


Rahman, Abdul 168, 171
Rakhmat, Ioanes 404, 405
Rama 278, 411
Ramadhan K.H. 215
Rancière 206
Raoulf, Abdul 168, 169
Ratulangi, Milly 313
Ratzinger 21
Reimarus, Hermann Samuel 404, 405
Reiss, Tom 86
Renan, Ernest 226
Rendra, W.S. 54, 149
Resnais, Alain 287
Rickels, M.C. 259
Ricoeur 381
Ricoldo, bruder 262
Rilke, Rainer Maria 345
Rimang, Gagak 367
Rinkes, D.A. 197, 198
Rockwel, Norman 411
Ronaldo 226
Ronggowarsito 117
Rumsfeld, Donald 286
Rushdie, Salman 269
Rutherford, Danilyn 387
S
Said, Ali Ahmad 51, 331
Said, Kurban 86, 87
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saladin 1, 2, 3
Saleh, Abdul Rahman 121
Salmawy, Mohamed 254
Samudra, Imam 75, 94

438 Catatan Pinggir 8


Samuelson 349
Sanggani, dewi 336
Sastrowardojo, Subagio 35, 219, 335, 408
Schama, Simon 202
Scheffler, Johann 129, 131
Schleiermacher 405
Schmitt, Carl 23, 214
Schneider, Peter 102
Schumacher, E.F. 11
Schweitzer, Albert 405
Scott, Ridley 1
Scotus, Duns 263
Sengkuni 324
Shahrazad 133-136
Shahriar, sultan 133-136
Shakespeare, William 54, 74, 246
Shakuntala 168
Shehadeh, raja 223
Shidiq, Abu Bakar 79
Sibil 102
Silesius, Angelus 130, 131
Simanjuntak, Marsillam 243
Simatupang, Landung 173
Sisoes, Apa 166
Sinta 279
Soedjatmoko 10, 11
Soeharto 341
Soeroto, S. 387
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sokrates 123
Spinoza 123
Srengenge, Sitok 162
Sri, dewi 159

Catatan Pinggir 8 439


Srihadi 54
Stalin, Josef 267, 375, 396
Stark, Willie 415-417
Steel, Ronald 302
Steinbeck 284
Subala, raja 323
Sugardo 313
Sugriwa 415
Sukarno (Bung Karno) 9, 11, 62, 178, 205, 206, 209, 210-213,
229-231, 245, 251, 339, 341, 387
Sukatno, Anom 117
Sumantri, Bambang 168
Supratman, W.R. 390
Surucu, Ayhan 101, 102
Sutanto, Sunaryati 173
Sutawijaya 367, 368, 370
Suwage, Agus 59
Sweeney, Amin 14, 15
T
Tagore, Rabindranath 355, 357
Tembangraras 173, 174
Tenshin, Okakura 355-358
Theroux, Paul 290
Tiberias 2
Tilas, Mat 306-308
Toer, Pramoedya Ananta 189-192, 284, 289, 387
Tokugawa 177
Tolstoy, Leo 345
http://facebook.com/indonesiapustaka

Top, Noor Din 89


Trace, Joe 305-307
Trenggana, sultan 198
Truman, Harry S., presiden 396

440 Catatan Pinggir 8


Twain, Mark 385
U
U Po Kyin 374
Ubayy bin Ka’b 78
Usamah bin Ladin 228, 275, 397
Usman bin Affan 79, 80, 98
V
Vai, Tom 66
Vattimo, Gianni 116, 150
Vitello, Vincenzo 150, 151
Voltaire 70, 71, 271
Vonnegut Jr, Kurt 383-386
W
Wadia, Sarawaswati 119
Wahid, Abdurrahman (Gus Dur) 209
Walcott, Derek 183
Waliba ibn al-Hubab 49
Warren, Robert Penn 415
Weber, Max 24, 27, 266
Weil, Simone 311, 312
Weisl, Wolfgang von 87
Werther 317
Wieseltier, Leon 69, 70, 72
Willis, Garry 293, 295
Wilson, Woodrow, presiden 301
Wright, Lawrence 274
Y
Yamadharma, dewa 419
http://facebook.com/indonesiapustaka

Yamadipati 335
Yap Thiam Hien 243
Yesus 7, 42, 115, 149, 195, 196, 202, 292, 399, 403-405
Yohanes XXIII, paus 381

Catatan Pinggir 8 441


Yudhoyono 217
Yudistira 419-421
Z
Zarkawi 274, 275
Zaydan, Jurji 25, 26
Zeehandelaar, Stella 389
Zeus 412
Zhuangzi 137, 139
Zidane, Zainuddin 225-227
Zidane, Zinedine 228
Zizek, Slavoj 185, 186
Zizou 225-227
http://facebook.com/indonesiapustaka

442 Catatan Pinggir 8


SELEPAS jadi pemimpin redaksi majalah Tempo
dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goe­
na­wan nyaris jadi apa yang ia pernah tulis da­
lam sebuah esainya: transit lounger. Seorang
yang berkeliling dari satu ne­ga­ra ke negara
lain: mengajar, berceramah, menulis. Seorang
yang berpindah dari satu tempat penantian ke
tempat penantian berikutnya, tapi akhirnya ha­
nya punya sebuah Indonesia. Seperti ditulisnya
da­lam sebuah sajaknya: ”Barangkali memang ada sebuah negeri yang ingin kita
lepaskan tapi tak kunjung hilang.
Dalam perjalanan itu lahir sejumlah karya. Bersama musisi Tony Prabowo dan
Jarrad­Powel ia membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi­
sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama di-
pentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Di tahun 2006, Pastoral, se-
buah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006.
Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreo-
grafer Wayan Dibya dan penari Ketut Rina beserta Gamelan Sekar Jaya di Berke-
ley, California. Tapi ia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam
ba­­hasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wa­yang­kulit yang di-
mainkan dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan dalang Slamet Gundono,
Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirto-
sudarmo. Ia menulis dan menyutradarai opera Tan Malaka pada 2010 dan 2011.
Kumpulan esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda sebagai si
Ma­­­lin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan
(1993), Se­telah Revo­lusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana
(1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001).
Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamun­
tjak,­terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
http://facebook.com/indonesiapustaka

Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antara­
nya terbit dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines
(1994) dan Conversations with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goe­
nawan bah­wa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam­
satu bait dalam sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.

ii Catatan Pinggir 6

Anda mungkin juga menyukai