http://facebook.com/indonesiapustaka
Pusat DataPinggir
Catatan & analisa
6 TEMPO
iii
8
Kumpulan tulisan
GOENAWAN MOHAMAD
di majalah Tempo, Juli 2005-Juli 2007
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 i
http://facebook.com/indonesiapustaka
ii
Catatan Pinggir 8
GOENAWAN MOHAMAD 8
http://facebook.com/indonesiapustaka
MOHAMAD, Goenawan
Catatan Pinggir 8
Pusat Data dan Analisa Tempo, 2011
xxiv + 442 hlm.; 14.5 x 21 cm
ISBN 978-979-9065-43-8
http://facebook.com/indonesiapustaka
iv Catatan Pinggir 8
Daftar Isi
ix Pengantar
1 Saladin
5 Buah
9 BBM
13 Abdullah
17 Ahmadiyah
21 Ulama
25 Pasca-Sekuler
29 Sebuah Ruang, 17.000 Pulau
37 Negara
41 Doa
45 Lembing
49 Abu Nuwas
53 Si Golem
57 Porno
61 1965
65 Grand Canyon
69 Bencana
73 Soto
77 Tujuh
81 Maaf
85 Islam
89 Azahari
93 Iblis
http://facebook.com/indonesiapustaka
97 Dhanu
101 Hatun
105 Malam
Catatan Pinggir 8 v
2006
111 Dari Sebuah Jerit di Jembatan
117 Kahyangan
121 Aletheia
125 Ragu
129 Mawar
133 Shahrazad
137 Laozi
141 Karikatur
145 Tatap
149 Gurun
153 Samarra
157 Seks
161 Connie
165 Prempuan
169 Irtitad
173 Centhini
177 Pornografi
181 Selat
185 Dosa
189 Pramoedya
193 Ahmadinejad
197 Api
201 Amsterdam
205 Konsensus
209 Universal
213 Bukan
217 Bencana
http://facebook.com/indonesiapustaka
221 Gaza
225 Zizou
229 5 Juli
233 Glung
vi Catatan Pinggir 8
237 Libanon
241 Dan
245 D. L. L.
249 Isa
253 Mahfouz
257 Abangan
261 Percakapan ke-7
265 Logos
269 Ayaan
273 2020
277 Bandung Bondowoso
281 Pamuk
285 Kim
289 K. A.
293 Bush
297 Gautama
301 Batas
305 Jazz
309 Rosa
313 Monginsidi, Chairil, Kartini
2007
323 Gandari
327 Barbar
331 Adonis
335 Mati
339 Konstitusi
343 Hujan
347 Banjir
http://facebook.com/indonesiapustaka
351 Babel
355 Nasionalisme
359 Shanghai
363 Gandhi
427 Indeks
http://facebook.com/indonesiapustaka
Bagus Takwin
Catatan Pinggir 8 ix
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI
”Saya tak tahu, itukah yang terjadi dalam sejarah. Tapi film
ini—yang tampak berniat sedapat mungkin setia kepada yang
pernah dicatat para penulis tarikh, tapi juga tak hendak melepas-
kan hasratnya untuk jadi sebuah tontonan gaya Hollywood—
setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: bagaimana sebuah
kota yang ”tak ada” harganya juga bisa berarti ’segala-galanya’?”
x Catatan Pinggir 8
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI
Catatan Pinggir 8 xi
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI
sesuatu. Bisa kita temukan juga adanya negosiasi peran antara pe
nulis (pemilik cerita), teks, dan pembaca, termasuk peralihan da
ri sebuah konteks ke naratif, serta ide-ide penundaan ketidakper-
cayaan atau keraguan terhadap jalannya cerita. Setiap Catatan
Yudistira sendiri. Setelah itu disebutkan, ”... tak ada ucapan yang
terdengar. Hanya, saat itu, di luar menggores jerit burung, dan
suara anjing menyalak, dan langit malam seperti retak.” Pikiran
yang tampil di situ memilih menghindar dari perdebatan yang
resah dan pilu. Sang pikiran menunjuk kepada yang lain, yang
mungkin bisa lebih tegas dan yakin: ”Agaknya sesuatu… yang
bisa menjawab: tak seorang pun dapat memiliki orang lain, juga
dalam kemenangannya yang sah. Berlapis-lapis batas tetap me-
misahkan antara Drupadi dan penaklukan, antara hamba dan
tuan.”
Jarang perselisihan atau pikiran yang saling menjauh diperte
mukan dan diselesaikan. Malah sering kali setiap pikiran dibiar
kan berjalan sendiri-sendiri setelah pertemuan yang singkat da
lam esai-esai pendek itu. Catatan Pinggir jelas menampilkan diri
bukan sebagai pembawa solusi atau juru damai. Justru ia tampil
sebagai tukang tanya. Ia berpikir dengan pertanyaan, membantah
dengan pertanyaan, meragukan dengan pertanyaan, mengelak
dengan pertanyaan, juga menguatkan dengan pertanyaan. Cuk-
up beralasan jika ada yang mengelompokkan Catatan Pinggir se
bagai tulisan filosofis karena pertanyaan-pertanyaan yang diaju-
kannya kadang-kadang mengingatkan kita kepada dialog-dia-
log yang ditulis Plato. Catatan-catatan itu lebih mengedepankan
proses berpikir ketimbang simpulan yang ajek dan pasti.
Tetapi esai-esai itu sepertinya punya sebuah kerangka pikir
yang lebih abstrak tingkatannya dan lebih luas cakupannya dari
pikiran-pikiran yang secara tersurat melintas di sana. Sekali lagi,
ada sang Pemikir lain yang tak tampil tetapi diandaikan adanya.
Tetapi ia menolak pembekuan oleh pernyataan, entah karena ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 xv
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI
Jika yang universal tidak datang dari ”surga Ide yang biru”, ia
adalah sesuatu yang imanen; ada di dunia. Dan jika yang univer
salterus-menerus memanggil dan menuntut kesetiaan dan kerja
keras, dalam prakteknya yang universal adalah apa yang terus-
menerus diperjuangkan melalui kejadian-kejadian dalam hidup.
Menerima yang universal berarti juga menerima hidup, memper-
juangkan hidup, merayakan hidup.
http://facebook.com/indonesiapustaka
***
Jika boleh memperlakukan tulisan sebagai indeks dari pe
ngarangnya, kita bisa menerka-nerka seperti apa diri si penulis.
rena saya pakai metafor suara, pas juga kalau saya analogikan diri
Goenawan Mohamad sebagai paduan suara atau orkestra. Setiap
suara mengambil satu posisi yang bisa sejalan atau bertentangan
dengan posisi suara lain. Seperti dalam komposisi paduan suara,
kejelasan pada lalu lintas pikiran itu. Memang ini bukan hal
yang mudah dan tak selalu menyenangkan karena itu berarti juga
kita harus berpikir lebih keras, bahkan mungkin kita juga harus
membaca lebih banyak, dan berdialog lebih sering.
xx Catatan Pinggir 8
CATATAN PINGGIR: PEMIKIRAN DIALOGIS MELINTASI TEPI
bahwa di masa depan akan ada yang lebih baik lagi. Goenawan
Mohamad jelas menyadari ini, bahkan berulang-ulang menegas-
kan kefanaan itu, salah satunya dalam ”Kahyangan” (8 Januari
2006): ”Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kece-
Daftar Pustaka
Y
ERUSALEM, apa harga kota ini? Pertanyaan ini mung-
kin lebih tua ketimbang abad ke-12 dan tak berhenti
pada abad ke-21.
Konon, Oktober 1187, di depan tembok Yerusalem yang telah
bobol, itulah yang ditanyakan Balian, Baron dari Ibelin, yang
mempertahankan kota itu, kepada Saladin, pemimpin pasukan
Muslim yang mengepungnya. Pertempuran besar berhenti. Pu
luhan ribu manusia tewas di kedua belah pihak, sebelum akhirnya
Yerusalem diserahkan. Apa sebenarnya nilaidari kota yang telah
menimbulkan perang yang tak berkesudahan yang disebut”Pe
rangSalib” ini? Dalam film Kingdom of Heaven yang disutradarai
Ridley Scott, Saladin menjawab pendek pertanyaan sang Baron:
”Tak ada.” Lalu ia berjalan kembali ke arah pasukannya. Tiba-ti-
ba ia berpaling dan berkata, ”Segala-galanya.”
Saya tak tahu, itukah yang terjadi dalam sejarah. Tapi film
ini—yang tampak berniat sedapat mungkin setia kepada yang
pernah dicatat para penulis tarikh, tapi juga tak hendakmelepas-
kan hasratnya untuk jadi sebuah tontonan gaya Hollywood—
setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: bagaimana sebuah
kota yang ”tak ada” harganya juga bisa berarti ”segala-galanya”?
Saladin (dimainkan oleh Ghassan Massoud) tampak sebagai
pemimpin yang memikirkan baik-baik apa yang dikatakan dan
dilakukannya. Inginkah ia tunjukkan, dalam perang mempere-
butkan Yerusalem itu manusia memberikan makna yang tak
dapat ditawar-tawar kepada sesuatu yang sebenarnya nihil nilai
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 1
SALADIN
2 Catatan Pinggir 8
SALADIN
Catatan Pinggir 8 3
SALADIN
4 Catatan Pinggir 8
BUAH
S
EORANG perempuan hitam menyanyi, ”Buah yang gan-
jil bergantungan, di pepohonan daerah Selatan.” Suaranya
seperti terembus dari buluh perindu yang retak dibanting.
Ia Billie Holiday. Ia jazz dalam puisi:
dipatuk gagak,
dikuyupkan hujan,
diisap angin,
http://facebook.com/indonesiapustaka
dibusukkan surya,
dijatuhkan dahan.
Catatan Pinggir 8 5
BUAH
6 Catatan Pinggir 8
BUAH
dahdiajukan. Antara tahun 1880 dan 1960, hanya tiga yang lolos
oleh DPR, dan tak sekali pun Senat mengesahkannya.
Baru dua pekan yang lalu, 14 Juni 2005, satu seperempat abad
kemudian, Senat meminta maaf, mungkin kepada umat manusia,
karena kesewenang-wenangan yang berkepanjangan itu, setelah
selama 86 tahun sejak 1882, sudah sekitar 4.700 orang mati di-
gantung di pohon-pohon.
Keadilan memang bisa berjalan seperti siput yang luka. Kelak
mungkin orang akan mendengarnya dari Guantanamo, tapi se-
mentara ini, ada cerita di sudut Amerika yang lain, Mississippi.
Pada suatu hari 41 tahun yang lalu, tiga orang pemuda tiba-
tiba hilang di Neshoba County. Lebih dari sebulan kemudiantu-
buh mereka ditemukan ditimbun di dekat bendungan. Mereka
telah dibunuh.
Mereka, para aktivis hak asasi, datang ke daerah itu untuk
menggerakkan orang hitam menggunakan hak pilih, tapi men
dapatkan sebuah gereja orang hitam dibakar habis oleh serikat
Ku Klux Klan. Di tengah jalan mereka disetop wakil sheriff. Me
reka dituduh mengendarai mobil terlalu cepat. Mereka dikurung.
Dari sel mereka dikirim ke kematian. Wakil sheriff itu anggota ra-
hasia Klan.
Purbasangka si putih, kebencian dan kekejaman mereka,
juga ketakutan si hitam, bersengkarut di Mississippi. Maka tak
mudahmenyidik pembunuhan ini, juga setelah pemerintah fede
ral mengirim satu tim FBI untuk membongkarnya—sebuah
proses yang dengan dramatik dihidupkan kembali dalam film
Mississippi Burning. Baru tiga tahun setelah kejahatan terjadi,
18 laki-laki yang dituduh terlibat diadili. Hasilnya: tujuh orang
http://facebook.com/indonesiapustaka
dihukum, tapi tak ada yang lebih lama ketimbang tujuh tahun.
Orang yang terpenting, Edgar Ray Killen, bebas.
Killen seorang pendeta Gereja Baptist. Ia, tokoh Klan, me
ngibarkan kulit yang putih, dengan jubah dan salib putih—tak
Catatan Pinggir 8 7
BUAH
8 Catatan Pinggir 8
BBM
P
RESIDEN Sukarno membuat sebuah pantun. Ia mela
gukannya dengan riang:
Catatan Pinggir 8 9
BBM
10 Catatan Pinggir 8
BBM
Catatan Pinggir 8 11
BBM
12 Catatan Pinggir 8
ABDULLAH
I
A keturunan Arab dari Yemen, tapi darah Tamil mengalir
di tubuhnya. Ia bukan Melayu, tapi sering dianggap sebagai
”pelopor kesusastraan modern” Melayu. Hidup di Asia Teng-
gara yang sudah bercampur-aduk pada abad ke-19, Abdullahbin
Abdul Kadir tumbuh dalam sebuah paradoks: ia terasing, dan ia
menjangkau wilayah luas yang berbeda-beda.
Soalnya bermula pada huruf. Dari Hikayat Abdullah, otobio-
grafi yang selesai ditulisnya pada tahun 1843, ketika ia berumur
46, kita dapat membaca bagaimana pada masa kecilnya ayahnya
menghardiknya agar belajar menulis, menguasai aksara.
Mula-mula ia diharuskan membawa kertas dan pena ke mas-
jid. Di sana harus dituliskannya nama tiap orang yang masuk
dan keluar. Setelah lancar, datang ujian yang lebih sulit: ia harus
mengikuti imla sang ayah. Ketika taraf ini dilalui, ia harus menu-
liskan kembali kata-kata Quran sampai khatam.
Selama itu, tak pernah ada pujian terdengar. Justru pukulan
rotan yang didapatnya bila ia salah eja. Bak keterampilan silat di
kuil Shaolin, menulis seakan-akan suatu kemampuan yang harus
diserap dengan pengorbanan tubuh. Ketika Abdullah harus be-
lajar menulis dalam bahasa Tamil selama dua setengahtahun, te
lunjuknya aus karena terus-menerus membentuk huruf dalam
pasir. Dari jerih payah itu, aksara jadi sumber kekuatan tersendi
ri.
Hidup Abdullah akhirnya memang bertumpu di situ. Pada
umur 13, ia berpenghasilan dengan menuliskan teks Quran buat
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 13
ABDULLAH
14 Catatan Pinggir 8
ABDULLAH
Catatan Pinggir 8 15
ABDULLAH
rufmereka yang bicara, tak ada yang hadir itu. Tubuhtelah dina
fikan, seperti ujung telunjuk yang aus ketika keterampilan lahir
dan aksara jadi ampuh. Teks membangun dirinya sendiri. Ia su-
nyi, terasing selalu, tapi siap menjangkau peta yang berbeda, za-
man yang lain, hingga kebenaran dikejar dengan bebas, tapi tak
selamanya didukung.
Terkadang modernitas memang sebuah rasa sayu, dengan ke-
mungkinan baru.
16 Catatan Pinggir 8
AHMADIYAH
B
AYANGKAN tuan seorang penganut Ahmadiyah....
Ah,saya salah. Bayangkan tuan seorang muslim di Kota
Foca, di tikungan Sungai Drina yang deras di antara pe-
gunungan lebat di Bosnia Timur. Bayangkan ini musim semi
1992.
Pohon-pohon menghijau lagi, tapi tuan ketakutan. Milisia
Serbia dan Montenegro telah mengambil alih kota itu. Semua ke-
luarga muslim tak boleh keluar rumah. Setelah itu, penangkap
an dimulai. Tuan ikut digiring. Bayangkan tuan dibariskan ke
sebuah kamp. Di tengah jalan, tuan ingin sejenak menengok ke
arah Masjid Aladza.
Beberapa pekan lalu tuan salat di dalamnya, di atas permadani
berhiaskan kembang jingga dan merah, tak jauh dari mimbar
yang agak dekat ke tembok sebelah kanan, dekat jendela kaca se
tinggi dua meter. Tapi hari itu, pasukan Serbiadan Montenegro
yang menang, atas nama sebuah iman dan kebencian, telah me-
masang sejumlah dinamit. Tak lama kemudian,ledakan dahsyat
terdengar. Masjid yang dibangun pada tahun 1551 itu, sebuah
khazanah yang berharga, sebuah tempat ibadahyang cantik, lu-
luh-lantak.
Di Foca kekejaman tak hanya itu: perempuan-perempuan di-
perkosa untuk menista, laki-laki dibantai, penghuni digusur.Ke-
sewenang-wenangan juga merengkuh tempat-tempat lain, seperti
Srebrenika atau, yang kurang terkenal, Pocitelj, kota kecil cantik
di sebuah bukit di atas Sungai Neretva, di selatan Mostar. Di sana
http://facebook.com/indonesiapustaka
selama 500 tahun lamanya orang Islam dan Kristen hidup ber-
dampingan. Tapi pada Agustus 1993, semua berubah. Pasukan
Kroasia menghancurkan masjid tua kota itu, sebelum menggiring
orang-orang muslim ke kamp konsentrasi, seperti pasukan Nazi
Catatan Pinggir 8 17
AHMADIYAH
18 Catatan Pinggir 8
AHMADIYAH
Catatan Pinggir 8 19
AHMADIYAH
20 Catatan Pinggir 8
ULAMA
T
UHAN tak berhenti di pintu gerbang, juga di kota yang
sekuler. Ia Maha Tak Terhentikan. Tapi hari-hari ini kita
dengar suara sebagian ulama yang tak percaya pada ke-
ajaiban itu.
Mereka risau bahwa ”pluralisme”, ”sekularisme”, dan ”liberal
isme” akan mengalahkan-Nya, karena sejarah yang senantiasa
mengelak dari kemutlakan, karena manusia yang tak henti-hen
tinya jatuh-bangun, karena selalu cacat rumusan kita tentang ke-
batilan dan kebajikan. Di depan semua itu, para ulama—yang le-
mah keyakinan itu—nyaris putus asa.
Tapi mereka tak sendirian. Mereka punya teman yang juga ce-
mas di benua lain. Di negeri-negeri tempat ”pluralisme”, ”sekular-
isme”, dan ”liberalisme” tumbuh, selalu ada orang, yangbodoh
ataupun pintar, yang memandang semua itu sebagai pertanda
lanjut riwayat kejatuhan. Bagi mereka, dunia bukansaja ditandai
hilangnya yang magis. Dunia juga menderita hilangnya pedo-
man.
Paus Benediktus salah satu di antara suara risau itu. Ia telah
lama prihatin akan pengaruh skeptisisme ala Kant di dunia Kris-
ten: sejak abad ke-18, sejak modernitas berderap, orang jadi ragu
bisakah manusia sebenarnya menangkap kebenaran obyektif.
Sistem ethis yang terbentuk tak memakai kehendak Tuhan seba
gai kriterium tentang baik dan buruk. Yang jadi ukuran adalah
berkembang atau tidaknya pengertian manusia tentang keadilan
dan perdamaian.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 21
ULAMA
22 Catatan Pinggir 8
ULAMA
Catatan Pinggir 8 23
ULAMA
jelas benar, yang putih putih semua, yang hitam hitam semua.
Tapi kita tahu, salah satu gairah itu, bernama Nazi, akhirnya
memabukkan. Fanatisme terbit dan perang pecah—sesuatuyang
juga terjadi hari ini. Jika yang berlaku dalam politik sepenuhnya
adalah ”ethos keyakinan” yang dikatakan Weber, maka plural-
isme, liberalisme, dan sekularisme memang dosa.
Dosa? Bukankah seandainya Tuhan menghendaki, bisa di
satukan-Nya manusia jadi serdadu timah yang seragam untuk
perang kosmis yang panjang?
24 Catatan Pinggir 8
PASCA-SEKULER
B
ENDERA Hitam dari Khurasan saya baca ketika umur
saya belum 13. Saya hanya setengah mengerti: novel Jur
ji Zaydan, pengarang Libanon yang hidup di Mesir dan
meninggal pada tahun 1914 ini, tampaknya menggambarkan se-
buah fragmen sejarah di sekitar Bagdad. Tokohnya Abu Muslim
el-Khurasani. Pada musim panas abad ke-8, ia mengibarkanben-
dera revolusi di seluruh Khurasan, di timur laut Persia, dan akhir
nya menumbangkan khalif Bani Ummayyah terakhir. Praktis
dialah yang menghabisi kekuasaan dinasti itu dan menegakkan
daulat Abbasiyah.
Saya tak ingat lagi detail novel sejarah itu. Hanya satu adegan
menjelang penutup yang masih di kepala saya lamat-lamat:syah-
dan, Abu Muslim dikhianati. Pemimpin dinastiAbbasiyahyang
kedua, Al-Mansur, menjamu rombongan tamunya dengan ha
ngatdan ramah. Tapi sejumlah pembunuh telah disiapkan di ba-
lik pintu. Menjelang jamuan usai, para algojoitu menyelinap ma-
suk. Tiap tamu dibantai. Darah bergelimang, tubuh bergolekan
di antara santapan lezat di ruang itu, dan tuan rumah beserta
kawan-kawannya meneruskan santap malam....
Saya terpesona, agak mual, dan mulai risau. Darah mudah
tumpah dalam cerita itu, khianat amat kerap. Mungkinkah ini
karena penulisnya seorang Kristen yang memandang sejarah Is-
lam sebagai riwayat kebuasan? Tapi Jurji Zaydan dikagumi di du-
nia Islam. Barangkali karena ia hidup pada masa nasionalisme
Arab bangkit, dan beda antara yang ”Islam” dan yang bukan tak
http://facebook.com/indonesiapustaka
jadi soal. Mungkin juga karena orang maklum Zaydan tak bisa
lain. Ia hidup di sebuah geografi yang mengendapkan pengalam
an yang traumatik, tempat perkara yang amat penting—pergan-
tian kepemimpinan umat—selalu diselesaikan dengan penuh
Catatan Pinggir 8 25
PASCA-SEKULER
26 Catatan Pinggir 8
PASCA-SEKULER
ikuti selalu—mau tak mau harus terlibat dengan apa yang tak
mungkin kekal.
Sekularisasi adalah pengakuan akan adanya hal yang tak
mungkin kekal tapi tak terelakkan itu. Akhirnya manusia tak
dapat bermasyarakat hanya dengan bersandar pada semangat un-
tuk menegakkan yang ”baik” dan yang ”buruk” menurut keya
kinannya—sebuah kegagalan Gesinnungsethik, kata Weber. Ce
pat atau lambat, penilaian lain menonjol: penilaian berdasar rasa
bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat umumnya, de-
ngan segala beda keyakinan tentang ”baik” dan ”buruk” yang di
terima keramaian itu.
Pada saat itu, wibawa yang berlaku adalah wibawa kesepakat
an, yang sifatnya tak abadi, bukan wibawa kebenaran. Tentu,
mereka yang merasa harus suci terkadang mau menegakkan wi
bawa kebenaran dengan tegas. Mereka siap mendesak pihak lain
ke pojok. Tapi siapa saja yang melakukan itu akan harus siap de-
ngan kekerasan, dan yakin—kalaupun bisa yakin—bahwa ke-
kerasan tak akan menular hingga akhirnya moralitas yang hen-
dak ditegakkan akan berdiri lunglai di tengah puing.
Orang memang cemas bila hasrat untuk ”selamat” jadi begitu
penting hingga padam keyakinan manusia tentang yang ”benar”
dan yang ”suci”. Tapi itulah yang tak pernah terjadi. Sekularisme
gagal, karena, sebagaimana juga lawannya, ”islamisme”, ia hen-
dak membuat dunia bisa dibentuk dalam satu tata. Kini hasrat itu
kian mustahil.
Sekularisme tak bisa hidup sendiri, juga agama. Sekularisasi
yang berlangsung berabad-abad akhirnya justru melahirkan hari
ini—zaman ”pasca-sekuler” yang mengakui kompleksitas manu
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 27
PASCA-SEKULER
28 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
S
EBUAH metafora bisa memikat, juga ketika ia meleset.
Gambaran Multatuli tentang kepulauan ini (ia belum me-
nyebutnya ”Indonesia”) berulang-ulang dikutip para pe
mimpin pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tapi kiasan
adalah kiasan, bukan batasan.
”Zamrud” atau ”smaragd” (kalimat Multatuli, ”de gordel van
smaragd”) berasal dari bahasa Yunani, smaragdos: ”batu mulia
yang berwarna hijau”. Indahnya mempesona. Ia memang bisa
mengingatkan kita akan kesegaran hutan tropis yang tak habis-
habis. Tapi zamrud yang keras dan ditatah itu, ketika tampak se-
bagai ”sabuk” (gordel), adalah sesuatu yang telah jadi....
Sementara itu, 17.000 pulau yang ”sambung-menyambung
menjadi satu” (”itulah Indonesia”, kata sebuah lagu nasional)
adalah sebuah ruang yang tak pernah selesai. Ia tak berhenti di-
produksi. Proses persambungan itu terjadi lebih dahulu sebelum
yang 17.000 itu ”menjadi satu”, dan ia akan berlangsung terus
selepas itu.
Sebab keadaan ”menjadi satu” selalu menuntut untuk dilihat
kembali dan dikerjakan ulang. Sebab ”satu” adalah angkayang
penuh teka-teki. Kita tak selamanya pasti benarkah ada sebuah
”satu” yang tanpa celah, tanpa kurang, dan tanpaturah. Teruta-
ma jika ia merupakan transformasi dari ”tujuh belas ribu”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Yang kita tahu: sebuah ruang telah, tengah, dan akan terjadi.
***
Manusia memproduksikan ruang, dan sebuah ruang sosial
tumbuh. Tentu saja itu juga sebuah ruang politik. Saya pinjam se-
Catatan Pinggir 8 29
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
30 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
Catatan Pinggir 8 31
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
***
Sebuah untaian 17.000 pulau yang tampak bagaikan ”sa-
buk zamrud di khatulistiwa” adalah sebuah tamasya yang hanya
bisa disaksikan dari angkasa. Artinya: dari ruang yang tak tersen-
32 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
tuh waktu.
Di bumi, ruang dan waktu saling membentuk. ”Garis Wal
lace”,celah yang memisahkan Bali dan Lombok, Kalimantandan
Sulawesi—hingga berbeda benar fauna di kedua belahan17.000
pulau itu—adalah contohnya: dulu Benua Asia tak berujungdi
pantai Cina dan semenanjung Malaysia, melainkan mencakup
sampai Kalimantan dan Bali. Tarikh Pleistocene, yang berlang-
sung dua juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu, membuat
muka bumi berubah. Masa beku berganti-ganti dengan masa
hangat. Unggunan es mencair dan terbentuk, laut dan pulau pun
terjadi, benua bertaut atau berpisah. Geografi adalah sejarah.
Tapi ada masanya ketika proses saling bentuk antara ruang
dan waktu itu berubah. Dominasi ruang ”L” atas ruang ”R”—
yang menandai modernitas—menunjukkan perubahan itu. Di
sini saya akan kembali kepada tesis Lefebvre—ia seorang Marx-
is yang cemerlang—yang mengatakan: ”modernitas membuat
waktu lenyap dari ruang sosial”.
Waktu akhirnya memang hanya direkam dalam alat peng
ukur dan jam, buat fungsi yang terpisah-pisah. Waktu sebagai
sesuatu yang dihayati dalam ruang ”R”, waktu yang dekat de-
ngan tubuh dan simbol kehidupan bersama—pakuwon Jawa,
perhitungan hari baik, pesta panen, ritus potong gigi atau su-
nat—telah nyaris kehilangan makna. Ia jadi waktu dalam ruang
”L”: diterjemahkan secara visual dalam angka dan huruf, dapat
dibagi-bagi, dikerat dan diciutkan, dan bahkan dapat dihapus se
akan-akan tak ada. Atau jadi komoditas: dihargai karena bisa di-
pertukarkan dengan uang. Waktu, kata Lefebvre dengan drama-
tis, ”telah dibunuh masyarakat”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 33
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
hambat gerak?
Tapi di balik ruang maya yang diproduksi teknologi, ruang
fisik (seperti waktu) tak akan bisa dibunuh. Tak ada tanda kita
akan hidup seperti ”manusia pertama di angkasa luar” dalam pui-
34 Catatan Pinggir 8
SEBUAH RUANG, 17.000 PULAU
Catatan Pinggir 8 35
http://facebook.com/indonesiapustaka
36
Catatan Pinggir 8
NEGARA
D
AN negara pun usai....
Ketika Engels menyebut kata itu, ia tak bermaksud me
nunjuk agar negara harus berakhir dan dibubarkan.
Kata yang dipakai dalam kumpulan polemiknya yang kemudian
dikenal sebagai Anti-Dühring itu adalah ”Absterben des Staates”,
yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ”the
withering away of the state”. Di sana tersirat sebuah proses yang
berlangsung wajar: bangunan kekuasaan itu tak dipaksa roboh,
melainkan perannya telah selesai.
Engels memprediksi bahwa itulah yang akan terjadi, ketika
kelak dunia tak lagi dilecut oleh pertentangan kelas, ketikakelak
tak ada lagi manusia yang ditindas dan diisap tenaganya.Sebab
negara adalah buah sejarah. Ia tak hadir sejak alam baka. ”Pernah
ada masyarakat yang berlangsung tanpa itu,” tulis Engels,”dan
tak tahu apa-apa tentang negara serta kekuasaannya.”Kemudian
manusia memang membentuknya, karena perkembangan sosial-
ekonomi telah menyebabkan masyarakat terbelah ke dalam ke-
las yang bertentangan. Untuk mengendalikan pertentangan itu,
negara pun disusun. Tapi tak buat selama-lamanya.
Dalam risalah yang ditulis antara September 1876 dan Juni
1878 Engels memperhitungkan, ”Kini dengan cepat kita men
dekati sebuah tahap dalam pengembangan produksi yang mem-
buat kelas-kelas itu bukan saja tak perlu ada, tapi juga akan jadi
penghambat yang pasti.” Maka, kata Engels pula, seluruh kelas
sosial akan punah. ”Bersama mereka negara juga mau tak mau
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 37
NEGARA
kapak tembaga.”
Lebih dari satu abad kemudian kita tahu: polisi, hakim, jaksa,
birokrat, dan tentara belum jadi barang kuno. Tapi keadaan ini
tak dapat dikatakan secara umum, dan tak pula ada sebab yang
sama. Bahkan dapat saja dikatakan Engels benar—tapi dengan
ironi yang pahit: betul, negara usai, tapi itu bukankarena datang-
nya masyarakat komunis yang tak mengenal penindasan kelas.
Negara usai justru karena ternyata kapitalisme ulung.
Kini telah umum dibicarakan bahwa modal bukan saja sema-
kin terhimpun, tapi juga semakin mampu mengatasi kesulitan-
kesulitannya sendiri dengan cara bergerak dari tempat ke tempat,
kian lama kian cepat. Ruang dan teritorium jadi tak amat pen
ting. Peralatan negara kian tak mampu mengontrol, kalaupun
mereka berniat membuat kendali.
Atau negara memang tak sebagaimana dipikirkan kaum
Marxis. Saya tak tahu pernahkah Marx menguraikan pan
dangannya secara penuh tentang persoalan ini, seperti yang dijan-
jikannya dalam surat-suratnya kepada Lassale dan Engels. Hanya
petilan pemikirannya yang diketahui, yang kemudian disarikan
Lenin dengan gampangan: negara adalah alat menindassebuah
kelas atas kelas lain. Unsur terpenting adalah pemihakan dan ke-
kerasan.
Konflik, kekerasan, dan kekuasaan memang tak dapat dilepas-
kan dari dasar sebuah republik. Tapi mungkin dari pengalaman
dalam ketegangan itu tumbuh sesuatu yang lain: sebuah kepen
tingan, atau sebuah ”nilai”, yang secara universal dipegang bersa-
ma. Hegel menyebut soal ini sebetulnya, ketika ia menggambar
kan kekuasaan eksekutif sebagai elemen yang mengemban ”yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
38 Catatan Pinggir 8
NEGARA
Catatan Pinggir 8 39
NEGARA
40 Catatan Pinggir 8
DOA
T
IAP doa mengandung ketegangan. Doa selalu bergerak
antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara
hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim.
Di depanIlahi, Yang Maha Tak-Tersamai, lidah tak bisa berting-
kah.
Bila lembaga-lembaga agama memusuhi syair, itu karena
mereka lupa bahwa puisi juga sejenis doa. ”Di pintu-Mu aku me
ngetuk/aku tak bisa berpaling,” tulis Chairil Anwar pada saat yang
paling religius. Puisi, bahkan dalam pernyataannya yang tersu
ram,adalah rasa hampa tapi juga sikap bersyukur yang tak diakui.
Sebab itu Tuhan tak pernah meninggalkan metafora. Tiap
metafora menampakkan betapa melarat dan betapa ulungnya
bahasa manusia. Seorang penelaah sastra Arab menyebut ”me
tafora” semakna dengan isti’ara, yang secara harfiah konon ber
arti”meminjam”. Manusia, makhluk pembuat majas, penyusun
perumpamaan dan kiasan, adalah makhluk yang meminjam dan
meminjami. Ketika ”Tuhan” digambarkan dengan pintu dan
”Nasib” dikatakan menimpa manusia, kita lihat bagaimana kata
meminta bantuan dari kata lain yang jauh untukmenyampaikan
makna—dan sering memperolehnya secara tak disangka-sangka.
Metafora adalah sebuah lompatan ”meminjam”, terbang ulang-
alik antara yang abstrak dan yang konkret, ketika yang abstrak
terasa perlu diwujudkan dalam suatu kias atau gambar yang da
pat dicerap pancaindra.
Pernah orang berdebat haruskah kalimat kitab suci ditafsir-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan secara harfiah; dengan kata lain, sejauh mana bahasa bisa
menjamin kesetiaan makna. Tapi orang lupa bahwa bahasa, juga
yang dianggap pilihan Tuhan, adalah bahasa yang dibentuk oleh
kekurangan dan keinginan, oleh ingatan dan lupa, oleh keharus
Catatan Pinggir 8 41
DOA
42 Catatan Pinggir 8
DOA
tiap pojok, makna pun tak terbentuk lagi dari hubungan secara
vertikal. Sebuah tanda tak lagi ditentukan dengan penuh wiba-
wa oleh kandungan ”makna” yang ditandainya. Setelah Abad Te
ngahberakhir di Eropa, makna justru terbentuk dalam mata ran-
tai horizontal: kita menangkap apa arti ”salib” setelah kita tahu ia
di pucuk gereja dan bukan di mobil ambulans.
Demikianlah simbol digantikan tanda, dan di Eropa lahirlah
novel, begitulah kata Kristeva. Bentuk novel (dan bukan khot
bah) memang sebuah kancah tempat pelbagai suara, pelbagai
tanda, bertabrakan dan cepat lewat. Kristeva benar, tapi sebenar
nya ada contoh yang lebih tua yang tak dilihatnya: antara Sang
Sabda dan puisi, telah berlangsung ketegangan sentrifugal yang
tak habis-habis.
Ketegangan antara Sabda (sebagai pusat) dan puisi (yang
membebaskan diri dari pusat) terutama terjadi dalam sejarah ke-
susastraan Arab. Mungkin semua ini bermula karena Quran, de-
ngan ungkapannya yang puitis, tumbuh sebagai teks di lingkung
an tempat puisi dirayakan dalam bentuk lisan. Adonis, penyair
asal Suriah itu, dalam An Introduction to Arab Poetics, terjemahan
ceramahnya di Collège de France pada tahun 1984 mengutip Al-
Jurjānī, seorang teoritikus sastra dari abad ke-10: menulis puisi
adalah ”sejenis pembangkangan”, kata Al-Jurjānī, ”kimia yang
membuat sebuah argumen yang meragukan berhasil mendapat-
kan wibawa pembuktian, dan mengubah bukti jadi argumen
yang tak meyakinkan”.
Puisi memang tak menjanjikan pusat dan stabilitas apa pun.
Tafsir sebuah teks yang kreatif selalu ”dinamis, eksplosif, dan tak
terbelenggu”, kata Adonis. Teks yang kreatif tak putus-putusnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 43
DOA
44 Catatan Pinggir 8
LEMBING
L
IMA hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di se-
buah masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta, seorang kha
tib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan
sebuah otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata
Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan
bahwa wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi
khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan....
Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu
apa peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa fitnah—terutama
dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah di-
ulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan
sampah. Sampah itu bernama kebencian: buangan dari zaman
ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat guyah,
penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau bu-
suk—adalah sebuah mantra untuk menemukan kekuatan yang
melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia yang tidak
bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya pa
tutberiman bila mereka tampil dengan wajah sengit. Marah te
rus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan kata-
kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang
para ”ahli agama dan lembing katanya”.
Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang
percuma. Lawan dalam pikiran, sengketa dalam pendapat, ben-
trok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 45
LEMBING
46 Catatan Pinggir 8
LEMBING
Catatan Pinggir 8 47
http://facebook.com/indonesiapustaka
48
Catatan Pinggir 8
ABU NUWAS
S
EBUAH kota bisa mengejutkan, juga Bagdad pada abad
ke-9. Abu Nuwas adalah bagian dari yang mengejutkan
itu. Pada masa kecil di Indonesia kita mengenalnya dari
dongengbekas yang datang entah dari mana: ia seorang yang cer-
dik, licin, dan jenaka, tapi juga konyol, yang hidup pada masa
khalifah Harun al-Rashid. Tapi para penulis sejarah kesusastraan
Arab memandangnya dengan hormat: dialah penyair pembawa
suara modernitas (hadãtha) di sebuah zaman yang cemerlang tapi
tak selamanya mudah.
Ia lahir pada pertengahan abad ke-7 di Avaz, Persia, dan me-
ninggal sebelum umur 60 di Bagdad. Ibunya seorang perempuan
penenun dari Persia, dan ayahnya, yang tak pernah ia kenal, se
orang prajurit dari Damaskus. Dalam hidup yang terjepit, sang
ibu menjual si kecil Abu Nuwas kepada seorang tabib dari Yaman.
Dibawa ke Basra, anak ini belajar mengaji Quran. Tapi apa la
cur. Abu Nuwas adalah seorang remaja berwajah rupawan, ram-
butnya keriting panjang, dan geraknya luwes. Ia memikat hati pe-
nyair Waliba ibn al-Hubab, yang kemudian jadi guru dan keka
sihnya. Mereka hidup bersama di Kufa.
Dua tahun kemudian Abu Nuwas yang remaja itu kembali ke
Basra, ibu kota kebudayaan, untuk belajar puisi Arab sebelum Is-
lam. Dari sini ia tinggal selama setahun di antara orang Badui,
untuk menyerap ”kemurnian” bahasa mereka. Tapi ia tak betah.
Ia kembali ke kota besar:
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 49
ABU NUWAS
50 Catatan Pinggir 8
ABU NUWAS
Catatan Pinggir 8 51
ABU NUWAS
52 Catatan Pinggir 8
SI GOLEM
A
DA sebuah dongeng dalam bentuk sajak—atau mung-
kin ini sebuah sajak yang berpura-pura mendongeng—
tentang seorang rabbi yang hidup di Praha.
Pada suatu hari sang rabbi berhasil mengutak-atik sejumlah
huruf yang amat ruwet. Setelah mengucapkan ”Sang Nama yang
sang Kunci”, secara ajaib ia dapat menciptakan si Golem. Tapi
apa lacur: ciptaannya ini tak lebih dari sebuah tiruan yang kasar
dan kaku atas manusia, karena tak bisa bicara. Menatapsi Golem,
Pak Rabbi dalam sajak Jorge Luis Borges ini pun bingung dan ke-
cut:
Catatan Pinggir 8 53
SI GOLEM
54 Catatan Pinggir 8
SI GOLEM
Catatan Pinggir 8 55
SI GOLEM
56 Catatan Pinggir 8
PORNO
B
ERABAD-ABAD lamanya orang cemas akan pornogra
fi, memperdebatkan pornografi, memberangus porno
grafi.Berabad-abad lamanya pula pornografi terus diha
silkan, dipasarkan, dan dikonsumsi—dan negeri-negeri hancur,
tapibukan karena sejumlah tubuh yang bugil, tak senonoh, me
rangsang (dan sebenarnya juga membosankan), melainkan kare-
na kekerasan dan kebencian.
Kapan semua itu akan berakhir? Mungkin ia sebenarnya su-
dah berakhir sejak dimulai; selebihnya hanya pengulangan. Tapi
tak semua orang mau mengakui itu.
Hari-hari ini, di samping perang antiterorisme, pemerintah
Bush memulai sebuah perang baru: melawan ”porno”. Barton
Gellman, wartawan The Washington Post, dalam edisi 20 Septem-
ber mengabarkan: Jaksa Agung Alberto R. Gonzales (orang yang
menganggap sah tindakan menahan orang yang belum tentu ber-
salah di kamp konsentrasi Guantanamo sampaiwaktu tak terba-
tas) kini memerintahkan FBI agar menyiapkan sebuah regu khu-
sus. Pada akhir Juli kantor pusat agen rahasia itu mengedarkan
siaran ke 56 cabangnya dengan pesan penting itu. Perang anti-
porno, demikian pesan itu menyebutkan, merupakan ”salah satu
prioritas utama” Gonzales.
Tak jelas setarakah melawan ”porno” dengan melawan Al-
Qaidah. Tapi Kongres telah menyiapkan anggaran untuk perang
melawan ”ketidaksenonohan” itu pada tahun fiskal 2005. FBI di-
perintah menyiapkan 10 agennya untuk memeriksa ”pornografi
http://facebook.com/indonesiapustaka
orang dewasa”.
Apa gerangan yang dihasilkan nanti? Bagaimana orang bisa
tahu pemerintah menang atau kalah dalam perang melawan por-
no? Kaum ”Kristen fundamentalis”—yang membayang-bayangi
Catatan Pinggir 8 57
PORNO
diakui.
Yang juga tak dilihat ialah bahwa tabu dan hukum sebenarnya
punya pretensi yang tak sama. Undang-undang memproyeksikan
diri berlaku bagi siapa saja, kapan saja, di mana saja. Sebaliknya
58 Catatan Pinggir 8
PORNO
Catatan Pinggir 8 59
http://facebook.com/indonesiapustaka
60
Catatan Pinggir 8
1965
P
ADA pagi hari 1 Oktober 1965 itu saya duduk membaca
di sebuah kamar tempat saya menginap, rumah seorang
teman, dan tiba-tiba di radio terdengar sebuah peng
umuman: sebuah ”Dewan Revolusi” telah dibentuk, untuk—ka-
lau saya tak salah ingat—menyelamatkan Revolusi.
Saya, dalam umur 24 tahun, merasa bahwa sejarah Indonesia
sedang berubah mendadak. Pagi itu saya berdebar-debar. Apa
yang sedang terjadi? Apa yang akan terjadi?
Indonesia penuh dengan kata-kata gemuruh. ”Ganyang” dan
”kremus” jadi bagian dari bahasa politik yang menyusupkeper-
cakapan sehari-hari. Kata ”Revolusi” mempesona, menggetar
kan,dan sekaligus sebenarnya tak jelas. Bila di dalamnya terkan-
dung kekerasan (”menjebol”, dalam bahasa yang bergema masa
itu, adalah bagian hakiki dari ”Revolusi”) orang ramaitampak-
nya menerimanya—meskipun kian lama kian tak jelas benar
adakah Revolusi sebuah cara atau sebuah tujuan.
Membangun masyarakat yang ”adil dan makmur” memang
selamanya disebut sebagai tujuan, tapi kedua kata itu juga—se-
perti kata ”Revolusi” sendiri—ibarat bagian sebuah mantra, ge
lombang verbal dengan daya yang membuat orang, termasuk
saya, tergerak, tanpa bertanya apa gerangan maknanya.
Mungkin makna, dalam arti sesuatu yang ”dimengerti”, me
rupakan hal yang tak perlu lagi di situ. ”Makna” mungkintelah
sama dengan efek psikologis yang terjadi dalam diri saya dan yang
mempengaruhi cara saya memandang sekitar. Dan dalam penger-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 61
1965
62 Catatan Pinggir 8
1965
Catatan Pinggir 8 63
1965
64 Catatan Pinggir 8
GRAND CANYON
B
isakah agama menjawab semua hal? Bisakah ilmu?
Pada akhir musim panas 2005, sebuah rombongan da
tang ke Grand Canyon, di timur-laut Arizona, Amerika
Serikat: sebuah ceruk sedalam 1,5 kilometer, terbentang garang
bagai samudra yang disihir membeku. Di permukaannya, seperti
armada jung negeri hantu, ribuan bukit keras menjulang dari ka-
rang sembilan lapis.
Di ngarai akbar ini, sinar surya akan membuka warna yang
kasar: bentangan biru batu-kapur purba, merah lempung kedap
yang jadi karang penebal tebing, dan di sana-sini, hijau perdu ju-
niperus, daun-daun agave gurun....
Apa gerangan yang terbit dalam pikiran Garcia Lopez de
Cordeñas ketika ia pertama kali menyaksikan tamasya seluas 450
kilometer x 29 kilometer itu? Di tengah abad ke-16 itu belum ada
yang berbicara tentang batu-kapur Kaibab, lapisan Coconino, fo-
sil hewan laut, dan bekas lahar yang menggaris. Belum ditulis
orang bahwa ngarai itu palung laut yang dangkal, dulu, 500 sam-
pai 1.000 juta tahun yang lalu. De Cordeñas tak mengenal teori
apa pun. Mungkin ia hanya takjub di atas kudanya, berbisik: ”Pa-
dre nuestro....”
Tuhan yang ada di surga, ”Padre nuestro que estás en los cielos”,
memang satu-satunya sumber penjelasan saat itu. Tapi bukan ha
nya pada abad ke-16. Ketika pada akhir musim panas 2005 ini
rombongan yang saya sebut tadi—yakni 30 orang Kristen yang
saleh—turun ke Sungai Colorado yang mengalir di dasar ceruk,
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 65
GRAND CANYON
66 Catatan Pinggir 8
GRAND CANYON
Catatan Pinggir 8 67
GRAND CANYON
68 Catatan Pinggir 8
BENCANA
P
ADA suatu hari, Leon Wieseltier berlayar di dekat Pulau
Shelter, di sebuah selat di Alaska. Tiba-tiba perahunya di-
guncang angin keras, begitu keras. Ia ketakutan. Ia sendi
rian. Badai dan gelombang menodongkan ajal ke hadapannya.
Pada saat genting itu, seekor camar turun dan hinggap di bu
ritan. Burung laut itu menatapnya, tapi pandangnya tak acuh.
Ketika itulah—seperti kemudian dituliskannya—Wieseltier
baru menyadari betapa tak pedulinya alam kepada manusia yang
sedang celaka.
”Belum pernah aku dipandang dengan begitu tak berperike
manusiaan, belum pernah aku sebelumnya membayangkan ba
gaimana diriku tampak sendirian dalam pandanganalam. Men-
jijikkan.... Tujuanku tampak bukan apa-apa. Hidupdan matiku
hanya gerak materi....”
Dengan kata lain: pada saat seperti itu, alam—yang meng
ancam manusia—adalah sehimpun tenaga yang tak peduli. Se-
bab begitulah yang berlaku dalam kancah fisik: sebagaimana om-
bak yang diguncang badai dan layar yang patah di tengah,manu
sia yang terancam binasa (setelah ia bersembahyang sekalipun)
hanya hadir sebagai ”gerak materi, pengulangan yang netral dari
arus zat”.
Ada yang getir dalam kalimat Wieseltier itu. Tapi ia menulis
kannya dalam The New Republic, 17 Januari 2005, tak lama se
telah tsunami meluluh-lantakkan Asia. Menyaksikan ribuan ke-
matian yang terjadi dan kesengsaraan yang meluas, ia tersentuh.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 69
BENCANA
70 Catatan Pinggir 8
BENCANA
Catatan Pinggir 8 71
ABU NUWAS
pelaku, atau sebagai Ia yang tak peduli, seperti alam artik yang
ganas dalam kisah Leon Wieseltier? Benar. Tapi berbeda dengan
alam, kita tak bisa mengukur-Nya.
Mungkin itulah yang tak sempat menyentuh Wieseltier yang
getir: tersirat erat di alam itu, dalam badai, dalam gelombang dan
juga di kehadiran camar itu, ada isyarat ke-Maha-Lain-an yang
tak tepermanai.
72 Catatan Pinggir 8
SOTO
T
IAP 28 Oktober saya teringat soto. Hari itu, di tahun
1928, ketika para pemuda menyatakan bersumpah un
tukmemiliki ”satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”,
tak terdengarada kesepakatan untuk punya ”satu soto, soto Indo-
nesia”.
Demikianlah kini kita masih bisa merasai soto Bandung, soto
Banjar, soto Betawi, soto Kudus, soto Pekalongan (yang terakhir
ini belum juga mau disebut soto, melainkan ”tauto”, karena ada
unsur tauco di dalamnya), soto Madura, dan seterusnya, sehingga
dari barat sampai ke timur berjajar soto-soto—itulah Indonesia.
Soto agaknya satu hal yang mustahil diatur. Maksud saya, ia
sulit untuk dilebur dalam sebuah ”kesatuan”. Saya tak tahu, se-
jauh mana kalangan intelijen menganggap soto Bandung, soto
Banjar, soto Madura dan lain-lain itu sebagai ancaman dan me-
nyebarkan informasi: Awas, soto adalah pendukung diam-diam
federalisme dan pelawan ”NKRI”.
Adapun akronim ini sekarang dipakai sebagai bahasa resmi
untuk menyebut Republik kita—acap kali disebut dengan sete
ngahmenggertakkan geraham, khususnya ketika sampai di hu
ruf ”K”. Tapi kita tahu, lidah kita tak bisa merasakan soto dari
mana pun pada saat kita menggertakkan geraham.
Mungkin karena soto akan senantiasa luput dari bahasa resmi.
Ia bertaut erat dengan kelaziman perut dan lidah, yang umumnya
terbentuk oleh pengalaman dari sejak masa kanak-kanak. Orang
yang sejak berumur 6 tahun dihibur ibunya dengan makan soto
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 73
SOTO
74 Catatan Pinggir 8
SOTO
Pada saat yang sama, kita tahu sudah takdir kita: meskipun
penghuni 17.000 pulau ini tak hadir serentak di satu ujung jalan,
kita tahu bahwa tiap saat kita bersentuhan dengan orang yang
lain. Bahkan Imam Samudra harus mencoba meyakinkanorang
Catatan Pinggir 8 75
SOTO
76 Catatan Pinggir 8
TUJUH
A
NGKA bisa imajinatif. Pada waktu kecil saya mendengar
dengan terpesona orang-orang tua bicara tentang Laila
tul qadr: satu malam yang lebih baik ketimbang 1.000
bulan, malam ketika Quran turun, malam ke-21, 23, 25,27, 29
pada bulan Ramadan, ketika akan jatuh curahan cahaya....
Setelah lewat masa kanak, baru saya tahu Quran tak menyebut
secara spesifik pada malam keberapa wahyu diturunkan pada bu-
lan suci ini. Tak disebutkan pula bahwa pada malam ke-27 cahaya
akan meluncur dari langit.
Tapi perlukah kita kecewa? Bukankah, dengan sedikit renung
an dan keyakinan, bisa dikatakan peristiwa pewahyuan itu sendi
ri sudah sebuah keajaiban?
Keajaiban selamanya terasa di saat kita ada dalam ”sentuhan”
Tuhan. Tanpa rasa takjub dan gemetar, iman hanya akan terasa
sebagai sebuah tesis. Tanpa bimbingan kitab suci sekalipun, ma-
nusia selalu bisa terkesima akan keagungan-Nya. Pada momen
seperti itu, bahkan angka ikut bergetar dan tumbuh dalam wu-
jud yang imajinatif.
Dalam pelbagai tradisi hal itu terjadi. Di luar Islam, ada yang
menggabungkan semangat Kabbalah dalam mistik Yahudi de-
ngan rahasia nomor, seperti yang kita temukan dalam numerolo-
gi. Dalam agama Kristen, angka tujuh seakan-akan punya daya
pukau istimewa. Dalam gambaran yang sangat mencekam ten-
tang kiamat, Alkitab menyebut ”tujuh meterai” yang tampak pa
da gulungan kitab yang dipegang Tuhan, ”tujuh malaikat dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 77
TUJUH
Saya tak sempat bertanya. Saya hanya ingat akan yang sering
terjadi dalam sejarah: imajinasi tak selamanya aman. Ia sering
meresahkan, dan sebab itu dicoba dikendalikan oleh keinginan
akan kepastian. Apalagi ketika mengenai angka, bagian yang
78 Catatan Pinggir 8
TUJUH
han-bahan Quran yang lain, baik berupa teks yang utuh ataupun
serpihan tertulis, dibakar.
Sejarah mencatat, usaha menegakkan mushaf yang tunggal
berhasil, meskipun terbatas. Pelbagai cara baca atau dialek tetap
Catatan Pinggir 8 79
TUJUH
80 Catatan Pinggir 8
MAAF
M
” ohon maaf, lahir batin....” Kartu Lebaran beter
bangan, pesan pendek di telepon genggam mondar-
mandir. Hari Lebaran adalah hari ketika maaf otoma-
tis dimohon dan secara langsung diberikan.
Tapi maaf bukanlah pemberian.
Memberikan maaf bukanlah menghadiahi, melainkanmeng
akui yang tak abadi. Ada sebuah sajak Alun Lewis, seorang pe-
nyair Welsh yang membisikkan pengakuan itu: di air kolam di
hutan itu tampak parasnya sendiri seakan tengggelam, di celah
daun-daun yang jatuh terapung:
Maafkan jiwa ini, katanya, tak ada yang tetap di sana: lihatlah
pantulan wajah itu, sesuatu yang tak kekal. Memang dulu se
orang anak melihat ke cermin yang disiapkan orang tuanya dan
menyangka dirinya sosok yang utuh. Tapi di usia dewasa ia tahu
dalam dirinya tersirat ”this strange inconstancy of soul”. Ia subyek
yang retak, tak selamanya ajek dan mantap, terdorong niat dan
hasrat untuk mencapai yang sempurna, tapi apa daya tangan tak
sampai.
Tentu saja, maaf tak semata-mata mengakui yang tak abadi
dan tak terjangkau. Maaf (kecuali ”maaf” rutin pada hari Leba
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 81
MAAF
nah ada.
Gema ”politik identitas” itu masih terus, kecemasan kehilang
an ”jati diri” terus berkecamuk. Memang harus diakui: tatanan
normatif yang kita terima sering datang dari ”luar”. Tradisi Islam
82 Catatan Pinggir 8
MAAF
”sana”.
Dalam keadaan itu, tiap suara yang ingin menegakkan satu
tata normatif mengaku sebagai inkarnasi dari yang universal.
Tapi yang universal selamanya tak terucapkan, terasa jauh tapi
Catatan Pinggir 8 83
MAAF
84 Catatan Pinggir 8
ISLAM
M
EREKA berkuda ke luar kota, menuju ke arah padang
pasir. Bangsawan tua itu duduk tegak di pelana, dan
putranya, Ali Khan, berada di sebelahnya.
Anak muda itu sedang jatuh cinta. Ia berniat menikah. Sang
ayah pun mendengarkan kehendak itu, setengah acuh tak acuh,
lalu mengucapkan sepotong nasihat: ”Orang mencintai tanah
airnya,” katanya, ”atau menyukai perang. Sebagian mencintai
permadani yang cantik dan senjata yang langka. Tapi tak pernah
terjadi, laki-laki mencintai seorang perempuan.”
Bagi orang tua itu, perempuan adalah sebuah benda yang bisa
dinilai lebih rendah ketimbang karpet dan kelewang. Perempuan
adalah sarana untuk mendapatkan anak, tak lebih, tak kurang.
”Kamu masih sangat muda, Ali Khan,” kata sang ayah pula.
”Pinggul seorang perempuan lebih penting ketimbang pengeta-
huan bahasanya.”
Jika tuan terkejut, marah, atau tak nyaman mendengarucap
anmisoginistis yang menghina ini, baiklah kita ingatbahwa Ali
Khan dan ayahnya hidup dalam novel Ali und Nino, yang ter-
bit pertama kali pada 1937 di Wina. Ceritanyadibangunsebagai
deskripsi yang elok tentang sebuah tempat dan masa yang eksotis:
Kota Baku di Azerbaijan pada awal abad ke-20, ketika dua ”ke-
budayaan” bertemu, bersengketa, dan mencoba hidup bersama.
Yang pertama kebudayaan ”Eropa” atau ”Kristen”, yang lain ten-
tu saja ”Asiatik” atau ”Muslim”.
Dari kata-kata Safar Khan, sang ayah, kita bisa tahu apa peran
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 85
ISLAM
86 Catatan Pinggir 8
ISLAM
Catatan Pinggir 8 87
ISLAM
88 Catatan Pinggir 8
AZAHARI
M
EREKA bukan orang asing, jika ”asing” berarti ”gan-
jil” dan ”tak dikenal”. Tapi mereka bukan orang sini.
Azahari dan Noor Din Top masuk diam-diam dari
Malaysia ke Indonesia, merekrut orang-orang lokal untuk dilatih
buat meledakkan bom, membunuh orang yang tak bersalah, dan
sejak itu Indonesia pun terjerembap. Sejak itu negeri ini, yang
oleh anak-anak sekolah dinyanyikan sebagai ”aman dan sentau-
sa”, jadi tempat yang tak aman dan tak sentausa bagi siapa saja.
Tentu saja Azahari dan kawan-kawan mengatakan mereka
melawan Amerika Serikat dan Zionisme—dan jihad mereka ada
lah bagian dari perang global yang kini berkecamuk—tapi pada
akhirnya tetap: yang sakit bukanlah Amerika Serikat, bukan pula
Israel, melainkan Indonesia—sebuah negeri yang, bagi kedua
orang Malaysia itu, tak punya makna apa-apa.
Ya, mereka bukan orang sini. Kata ”sini” mengimplikasikan
sebuah perbatasan, antara ”dalam” dan ”luar”. Harus diakuiper
batasan itu tak datang dari Tuhan atau alam, melainkan dari se-
buah proses politik dalam sejarah. Perbatasan itu juga bukan ben-
da yang kekal. Tapi apakah yang tak kekal tak punyaarti dan tak
punya kekuatannya sendiri?
Azahari dan orang sejenisnya—yang bercita-cita mendirikan
sebuah kekhalifahan Islam yang mengatasi ”negara-bangsa”—
berangkat dari semangat ”de-lokalisasi”: melintasi lokalitas yang
mereka anggap membatasi diri. Mereka tak mau bersetia kepada
sebuah ”tanah air”, termasuk tanah air Indonesia.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 89
AZAHARI
90 Catatan Pinggir 8
AZAHARI
Catatan Pinggir 8 91
AZAHARI
92 Catatan Pinggir 8
IBLIS
S
aya suka memandangi gambar kuno.
Ada satu yang mengerikan dari Italia pada abad ke-17. Di-
cetak di kertas dengan teknik cukilan kayu, ilustrasi itu
merekam sebuah adegan di Milano pada tahun 1630. Inilah
rinciannya:
Pes merebak, dan sejumlah penduduk dituduh menyebarkan
wabah itu. Mereka, disebut para untori, ditangkap dan diarak de-
ngan kereta lembu keliling kota. Seraya disiksa.
Mula-mula tubuh mereka dirobek dengan kakaktua. Setiba
di Avenue Carrabio, tangan kanan mereka dipotong. Sesampai di
halaman mahkamah, mereka ditelanjangi; tulang kaki, lengan,
dan pinggang mereka dipatahkan di atas roda. Roda-roda yang
menopang tubuh mereka itu kemudian diangkat di atas galah,
dan dalam kesakitan itu mereka terpentang selama enam jam.
Lalu leher mereka dipenggal, jasad mereka dibakar.
Dari sebuah rumah sakit, seorang bernama Pigotta, yang ter-
kena penyakit pes, diambil. Ia dibawa ke Avenue Porta Vercellina.
Di sana ia digantung di sebelah kaki. Setelah terayun-ayun sela-
ma empat jam, ia ditembak mati.
Saya tak tahu tidakkah kekejaman seperti itu merisaukan Ero
pa. Yang pasti ia tak berakhir pada abad ke-18. Di sebuah gam-
bar kuno lain saya lihat hukuman atas Damien, yang pada tahun
1757 mencoba menikam Raja Prancis Louis XV. Ia disiksa. Tu-
buhnya tak cuma dirobek dengan kakaktua; ke dalam lukanya
dituangkan cairan timah panas. Dalam gambar yang dibuat tu-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 93
IBLIS
94 Catatan Pinggir 8
IBLIS
Catatan Pinggir 8 95
IBLIS
96 Catatan Pinggir 8
DHANU
K INI mungkin tak ada lagi yang ingat Dhanu. Gadis itu mati
pada 21 Mei 1991. Biarlah saya bacakan kembali yang terjadi
dengan dirinya.
Kurang-lebih sebulan sebelum kematiannya, ia datang dari
Jaffna ke Madras, kota di India bagian selatan itu. Di situ ia tam-
pak mencoba menikmati sebanyak-banyaknya apa saja yang bisa
didapat. Dalam buku Dying to Win: The Strategic Logicof Suicide
Terrorism oleh Robert A. Pape, diceritakan kembali hari-hari ter-
akhir Dhanu, sebagaimana disusun kembali oleh polisi yang ke-
mudian membongkar perbuatannya:
Gadis itu ke pasar, ke pantai, mengunjungi restoran tiap hari,
mereguk kemewahan yang jarang dijumpai orang di hutan-hutan
nun di Jaffna. Dibelinya pakaian, perhiasan, kosmetik, dan bah-
kan sepasang kacamata yang pertama kali dimilikinya sepanjang
hidup. Dalam masa dua puluh hari terakhirhidupnya, ia menon-
ton enam film di bioskop setempat.
Pada 21 Mei ia datang ke rapat umum untuk menyambut Rajiv
Gandhi, Ketua Partai Kongres India waktu itu. Beberapamenit
sebelum rapat dimulai, Dhanu berjalan mendekat ke arah Gan-
dhi, dan mempersembahkan sebuah karangan kembang. Tapi
pada saat itu juga ia menekan tombol yang memicusabuk bahan
peledak di tubuhnya. Ledakan pun terdengar. Terbunuhlah Gan-
dhi, Dhanu sendiri, dan beberapa orang di sekitar itu, termasuk
salah satu anggota komplotan yang bertugas membuat dokumen-
tasi video kejadian itu. Mereka orang Tamil Eelam, gerilyawan
pembebasan di Sri Lanka.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sejak itu, metode Dhanu dipakai sampai hari ini: satu atau
beberapa orang menyediakan diri untuk jadi semacam senjata,
ibarat torpedo yang meledak menghancurkan diri sendiri bersa-
ma sasaran dalam sebuah lingkungan yang tak disangka-sangka.
Catatan Pinggir 8 97
DHANU
98 Catatan Pinggir 8
DHANU
khalifah dan penganut Islam paling awal itu, sebagai orang yang
berdosa; tapi dulu orang-orang Khawarij berpendapat sebaliknya.
Tak ada yang baru dalam hal itu. Dalil pada akhirnya adalah
tafsir. Yang kekal pada akhirnya disalin jadi yang fana, yang mut-
lak diterjemahkan jadi yang nisbi.
Di situ tampak, dunia adalah sebuah realitas yang keras ke-
pala, lebih dari dalil apa pun. Maka tindakan orang yang menem
puh kematian itulah yang mengejawantahkan laku yang ”supra-
manusia”, yang dahsyat, menggetarkan, mengerikan, dan me
ngagumkan, yang bisa mengatasi kematian.
Yang menarik adalah dalam laku yang luar biasa itu, yang ber-
langsung sebenarnya adalah sebuah pementasan. Yang dahsyat,
yang menggetarkan, mengerikan, dan mengagumkan itu adalah
bagian dari sebuah panggung heroisme.
Tiap hero muncul dalam sebuah tragedi sebagai sosok yang
hadir di tengah kekosongan—sebuah gejala zaman ketika revo
lusi tak ada lagi. Kekosongan tragedi tampak seperti dalam lakon
Sophocles: dewa-dewa tak hadir. Mereka tak datang langsung ke
Kota Thebes dan padang pasir tempat Sphinx mencegat manusia;
mereka selalu memakai perantara, dengan orakel di Deplhi atau
penujum buta.
Sementara itu, manusia seakan ketabrak, bingung, dan tak
berdaya, oleh Nasib. Mereka pun rindu akan sesuatu yang tak
membingungkan, yang dapat memperkuat diri, misalnyapetuah
keadilan yang terang. Ketika mereka tak kunjung mendapat, me
rekalah yang bertindak: menatap Nasib, menghadapi dan meng
atasi kekuasaan duniawi, bahkan menaklukkan kematian: mere
ka dengan gagah berani menyongsong Maut. Langsung atau tak
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8 99
DHANU
ra. Makin banyak anak gadis berjilbab, dan makin banyak pula
tuntutan orang tua agar murid perempuan dibebaskan dari pela-
jaran olahraga, khususnya berenang. Perempuan berpurdah pan-
jang dengan wajah bercadar makin sering tampak: dinding itu
K
OTA ini seperti tak terbiasa juga dengan dingin, dengan
malam, meskipun berabad-abad ia berdiri, setengahle-
lah. Gedung-gedung menanggungkan musim tak pu-
tus-putusnya, tapi juga di ujung Desember ini ada yang terasa
mengkeret oleh cuaca; plaza, taman, boulevard, juga pasar yang
tadi siang terhampar. Hujan menjatuhkan ujungnya yang tajam,
kerap, dingin. Dari beberapa sudut, lampu jalan ”masing-masing
sepertibersendiri” adalah cahaya yang kuyup. Angin mengaum.
Kita mendengar derunya lewat di antara celah yang terbentuk
oleh bangunan tinggi.
Tak ada orang di jalanan. Semakin larut malam, semakin
tampak aspal dan semen bertambah datar. Mobil melintas satu-
satu, seperti terpaksa. Trem, bahkan dengan derak roda di rel,
jadi bagian dari sunyi yang tak dikehendaki.
Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam.... Tapi benar
kah? Tiap kota mengandung paras yang pura-pura. Tiap kota pu-
nya wajah yang hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin, De-
sember, datang. Tiap kota adalah ruang scene dan ob-scene: ada
yang dipertontonkan, ada yang disingkirkan seperti najis. Ge-
landangan yang merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam
yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajingan yang selamanya
siap. Di sebelah lain dari poster iklan Gucci yang dipasang di
halte-halte, mungkin ada anak kecil penjual korek api dari cerita
Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba melawan beku, di
sebuah hari Natal, dengan menyalakan batang-batang geretan
http://facebook.com/indonesiapustaka
satu demi satu, sampai habis. Kita tahu ia akan mati, tak tampak.
Yang tak tampak selalu hendak dikalahkan oleh yang tam
pak.Pada tahun 1746, di Prancis lampu-lampu mulai dipasang,
dan seseorang menulis dengan gegap-gempita bagaikan state-
tahari membuka mata, dan yang tak tampak jadi tampak. Keja-
hatan. Percabulan. Pembalasan dendam. Mungkinitu sebabnya
gelap dicoba dikalahkan terang, dan orang bicara ”habis gelap
terbitlah terang”, seakan-akan gelap adalah sebuah kekurangan
dari sebuah keadaan normal—sementara gelap punya sejarah
yang lebih tua, dan punya ”kebudayaan”-nya sendiri.
Tapi apa yang oleh Henri Lefebvre disebut sebagai ”serbuan
yang intens visualisasi” memang telah lama terjadi dalam ruang
hidup manusia. Seperti sudah disebutkan di atas, yang tak tam-
pak selalu hendak dikalahkan oleh yang tampak. Ada yang me
nunjuk awal sejarahnya sejak Plato—yakni sejarah kebudayaan
oculocentric, yang seperti dalam kisahnya tentang manusia di gua
yang terkenal itu, menaikkan derajat ”tampak mata” hingga sama
dengan ”mengetahui”. Yang visual akhirnya sama dengan yang
kognitif.
Dalam peradaban yang berkisar pada prestasi okular itu (dari
kata Latin oculus, yang berarti ”mata”), pelbagai perubahan ter-
jadi. Lampu ditemukan jauh sebelum Edison, dan cahaya dipa
sangsampai ke sudut-sudut jalan, seperti ketika pada tahun 1736,
di London orang mendirikan hampir 5.000 lampu minyak di
tempat untuk publik. Juga arsitektur rumah, gereja, keraton, di-
arahkan untuk menggapai dan menyadap matahari. Mambang
harus diusir, peri tak diberi tempat, sepanjang mereka adalah ba-
gian dari penghuni kegelapan. Manusia harus ”mengetahui” dan
itu artinya ”melihat”.
Kita tahu bahwa ”melihat” belum tentu sama dengan ”menge
tahui”. Kita tahu ”gelap” belum tentu sama dengan ”bodoh”. Kita
tahu bahwa malam tak hanya menghadirkan pelacur dan kunti-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8
2006
109
http://facebook.com/indonesiapustaka
110
Catatan Pinggir 8
DARI SEBUAH JERIT DI JEMBATAN
L
UKISAN yang dicuri dari museum di Oslo pada tahun
2004 itu tak akan mudah dilupakan orang. Di tengah
kanvas, dalam garis yang tergurat kasar tapi terasa ngilu,
tampak sebuah sosok yang ketakutan. Mukanya pucat, mirip
mayat tapi juga mirip bayi yang gagal lahir. Mulutnya terbuka,
menjerit. Matanya membeliak. Tangannya memagut kuping. Ia
berdiri di sebuah jembatan kayu yang tak tampak ujungnya. Di
latar belakang kelihatan dua orang lain berdiri seperti bayang-
bayang. Dan tak kurang memukau adalah gelombang warna
merah di angkasa yang terbentang di atas permukaan air fyord
yang luas.
Edvard Munch menamai karyanya yang termasyhur ini Jerit.
Di sudut tampak angka tahun ketika sang pelukis menyelesai
kannya: 1893. Kemudian kita tahu ada beberapa baris dalam
catatan hariannya dari tahun 1892. Saya kutip:
”Tak ada yang kecil, tak ada yang besar,” tulis Munch. ”Dalam
diri kita adalah dunia. Apa yang kecil membagi diri jadi apa yang
besar, apa yang besar membagi diri jadi apa yang kecil.”
Mungkin itulah yang bisa dikatakan tentang manusia.
Bencana alam datang seperti hantaman raksasa di punggung
Krakatau pada tahun 1883 dan di daratan Aceh pada tahun
2004, dan beribu-ribu nyawa punah, dan pada saat seperti itu,
apa lagi beda ”besar” dan ”kecil” dalam nasib?
Saya teringat akan Bazarov, tokoh yang paling menarik dalam
novel Turgenev, Para Ayah dan Putra Mereka. Ia merenung: ”Di
sini, aku berbaring di atas tumpukan jerami. Ruang sejentik yang
kutempati ini begitu tak tepermanai kecilnya dibandingkan de-
ngan ruang selebihnya, di mana aku tak ada... dan jangka waktu
yang tersedia untuk hidupku begitu sepele disandingkan dengan
keabadian yang belum dan tak akan pernah kuhuni....”
Bazarov melihat dirinya praktis tanpa arti. Novel itu menam
pilkannya sebagai seorang nihilis yang bertanya tentang hidup
”kecil” manusia: ”Bukankah ini memualkan?”
Tapi dengan itu sebenarnya ia sendiri melupakan apa yang di-
katakannya di ujung renungan itu: ”... dalam zarah ini, dalam ti-
tik matematik ini, darah mengalir, otak bekerja dan berkeingin
an....”
Maka Munch benar: tak ada yang ”kecil”, tak ada yang ”be-
sar”. Kita bisa menghina diri dan merasa terhina, atau tidak.
Memang pada kita bisa terbit gentar ketika memandang langit
senjakala seakan-akan tengah dijilat lidah api, kita terpesona dan
sadar, seperti pada Bazarov, akan betapa kecilnya bumi di tengah
alam semesta. Pada saat seperti itu kita mungkin akan teringat
http://facebook.com/indonesiapustaka
lah tolok ukur sebenarnya, sebab ia subyek yang bebas dan mam-
pu menemukan kebenaran, dan dengan metode ilmu yang pasti
mampu mengetahui sesuatu secara obyektif. Tak ayal, Gereja me-
nampik pandangan manusia-sentris ini. De Revolutionibus pun
D
I surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga per-
buatan.
Dalam tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wa
yang purwa, keabadian digambarkan dengan kalimat ini: ”Ana
padhangdudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi”.
Yang ada adalah ”terang yang bukan terangnya siang” dan ”gelap
yang bukan gelapnya malam”. Tak ada waktu, tak ada ruang, ha
nyakeluasan yang tanpa tepi—amung alam tumlawung ngalangut
datan patepi.
Yang menarik—seperti saya temukan dalam buku yang di
susun Anom Sukatno, Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo—
dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah
keadaan tak ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.
Kata ”suwung” berbeda dengan ”kosong” atau ”hampa”. ”Su
wung”sebenarnya bukanlah sebuah defisit. ”Suwung” punyawi
layahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ronggowarsito
menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam meditasi: ”wung
sakjatining isi” suwung namun sesungguhnya berisi. Maka bila
kahyangan digambarkan sebagai ”suwung” dan tak ada ”rasa pri
badi”, yang dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurang
an. Bahkan sebaliknya. ”Cipta, rasa dan karsa” tak ada karena
tak dibutuhkan. Keheningan itu total—yang juga berarti kebe-
basan dari pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawa-
ning rasa bungah lan susah.
Mungkin pengaruh Buddhisme ikut membentuk imajinasi
http://facebook.com/indonesiapustaka
Natésa berdiri
Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan
pa laku.
Di saat itu Sanusi lupa bahwa hidup adalah hidup dalam keter
batasan jasmani dan keasyikan tubuh. Dash jadi seperti Faust,
yang berkata kepada Ruh: ”Aku, aku Faust, sejawatmu!” Ia tak
mau mengaku, bahwa ia berada dalam sejarah.
Di dalam sejarah, di luar surga, manusia harus siap kecewa,
tapi mensyukuri apa yang fana.
I
NI terjadi di kota yang namanya tak perlu disebutkan, di ne
geri yang bukan Indonesia (tapi tak usah ditulis), pada za-
man yang tak begitu jelas.
Seorang perempuan ditangkap. Ia dibawa ke sebuah gedung
papak dengan dinding dingin berbau lumut.
Di sana telah duduk empat lelaki berjubah ungu gelap. Song-
kok merah marun bertengger di kepala mereka. Semuanya ber
kacamata hitam. Di depan mereka tercantum jabatan masing-
masing: ”Jaksa Negara”, ”Pemuka Agama Resmi”, ”Wali Kehar-
monisan Kultural”, dan ”Pejabat Tinggi Akal Sehat”.
Balai itu hening. Angker? Perempuan itu, duduk berkain song
ket dan berkerudung biru, seperti tak peduli. Matanya meman
dang ke kejauhan. Tatapan itu baru berubah ketika salah seorang
pengusut bertanya: ”Namamu Aletheia?”
”Betul, Tuan.”
Jaksa Negara: ”Tahukah kamu, kamu dituduh menyebarkan
ajaran yang sesat?”
Aletheia: ”Tahu.”
Jaksa Negara: ”Kamu mengakui perbuatanmu itu?”
Aletheia: ”Saya tak tahu, Tuan. Saya tak tahu—sebab siapa
yang berhak menentukan, mana yang ’sesat’ dan yang ’tak sesat’?
Sayakah? Tuankah?”
Pemuka Agama Resmi: ”Ajaran agamalah yang menentukan
http://facebook.com/indonesiapustaka
manusia kepada dunia. ”Bila kita tak berdosa kepada nalar, kita
tak akan ke mana-mana.”
Pejabat Tinggi Akal Sehat: ”Hai, kamu mau menyeret manu-
sia jadi irasional. Rupanya dengan itu kamu benarkan takhayul,
S
EBUAH komet melintasi langit malam Eropa yang di
ngin,dan orang pun gempar. Pada akhir tahun 1680 itu,
penduduk yang saleh menyangka itulah peringatan Tuhan
bahwa bencana akan datang.
Tapi di Rotterdam hidup seorang Prancis yang diduga tak be-
gitu baik imannya: Pierre Bayle. Ia tak gentar. Ia menulis Pensées
diverses sur la comète, (”aneka pikiran tentang komet”). Komet,
kata Bayle, melintasi angkasa menurut hukum yang tetap. ”Tu-
han... bertindak berdasarkan hukum tertentu yang ditegakkan-
Nya berdasarkan kemauan bebas-Nya.”
Mungkin niatnya hendak mencerahkan pikiran—tapi mung-
kin juga ada kemarahan tersembunyi kepada agama. Bayle baru
saja menyelamatkan diri dari Kota Sedan di timur laut Prancis.
Seminari Protestan tempat ia mengajar filsafat di kota itu ditutup
atas titah Raja Louis XIV. Bayle merasa, penganiayaan terhadap
orang Protestan (”Huguenot”) mulai berjangkit kembali di Pran-
cis.
Setelah 30 tahun perang yang melelahkan antara orang Hugu
enot dan orang Katolik, semacam perdamaian sebenarnya dico
ba. Pada tahun 1598 Raja Henri IV mengeluarkan Titah (”Edit”)
Nantes. Dalam maklumat itu orang Protestan diperkenankan
mendirikan gereja di tempat-tempat tertentu dalam radius 8 ki-
lometer dari Kota Paris. Tapi pada musim semi 1610, Raja Henri
tewas dibunuh. Sejak itu titahnya mulai diabaikan. Di bawah
Louis XIII beberapa kebebasan dicabut. Ketika Louis XIV meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka
dari kota kecil di bawah Pegunungan Pyrenia ini jatuh cinta ke-
pada para gurunya. Beralih ke iman yang baru, ia bahkan menco-
ba mengajak ayah dan adiknya berpindah agama. Ayahnya sabar,
tapi tak bersedia. Pierre kemudian yang kembali jadi Huguenot.
Dengan kata lain, ia murtad, dan ia takut. Pada tahun 1670
ia meninggalkan Prancis dan belajar di sebuah kolese di Jenewa.
Empat tahun kemudian ia kembali ke negeri kelahirannya de-
ngan memakai nama lain, dan pada tahun 1675 ia mengajar di
Sedan, sampai perguruan itu ditutup dan ia harus menyingkir
lagi.Untung ia dapat pekerjaan di Rotterdam, mengajar sejarah
dan filsafat di Êcole Illustre.
Di kota Protestan ini ia menghabiskan 14 jam sehari untuk
menulis, menampik waktu senggang untuk bersenang-senang,
memilih hidup lajang, sebab menganggap perkawinan seperti sa
lib besar yang harus ditanggungkan. Ia hanya merasakan ”nikmat
dan istirahat” dalam ruang studi di antara buku dan naskah,tu-
lisnya. Canem mihi et Musis—”Aku menyanyi untukdiriku sen
diri dan sumber ilhamku.”
Bagi banyak orang lain, terutama para musuhnya, Pierre Bayle
tak menyanyi, melainkan mengusik, dan apa yang ditulisnya jelas
bukan untuk dirinya sendiri. Ketika ia menulis mengingatkan
bahwa komet bukanlah tanda peringatan Tuhan,itu sebenarnya
bagian dari pendiriannya: ia tak percaya mukjizat. Yang ia per-
cayai hanya yang ditulis dalam Injil—meskipun ada yang men-
catat bahwa ini harus dinyatakannya agar bukunya dapat dicetak
di Belanda. Syahdan, orang mulai curiga: benarkah Bayle seorang
yang beriman, seorang pengikutCalvin sejati?
Sampai hari ini kita tak tahu jawabnya. Sebagian besar karya
http://facebook.com/indonesiapustaka
orang jadi ragu dan skeptis. Tapi pada saat yang sama ia juga suara
yang menganjurkan perlunya kebebasan beragama bagi mereka
yang bukan Kristen, khususnya Yahudi, muslim, dan lain-lain—
suatu pandangan yang bahkan tak diterima oleh pemikir seza-
K
ALIMAT Latin itu ditulis seorang dokter muda lulusan
Universitas Padua pada tahun 1649. Tak lama setelah
itu, Johann Scheffler, yang kemudian lebih dikenal se-
bagai penyair dan mistikus dengan nama Angelus Silesius, me
nempuh perjalanan dari kota kelahirannya, Breslau, Jerman, ke
sebuah kota di pedalaman, Oels. Ia diterima jadi dokter di kastil
Hertog Sylvius Nimrod di kota itu.
Dalam perjalanan sejauh 30 kilometer itu sang dokter muda
menyaksikan bagaimana dunia adalah nihil yang lain: kota peda
laman itu telah jadi reruntukan. Berkali-kali Oels dimeriam,di
serbu, dan dijarah pasukan Protestan dan Katoliksecara bergan-
tian selama Perang 30 Tahun. Penduduknya lenyapseparuh oleh
pembantaian, kelaparan, dan wabah. Rumah-rumah tak dapat
didiami lagi. Hanya kastil sang Hertogyang berdiri utuh di tepi
kota, dengan menara dan atapnya yang terjal, seakan-akan ngilu
dalam kesepian.
Itukah yang menyebabkan Angelus Silesius menulis:
A
PA gerangan yang menyelamatkan Shahrazad? Cerita
1001 Malam dimulai dengan ingatan. Sultan Shahriar
adalah lelaki yang menyimpan dendam. Pada suatu ha
ri permaisurinya berbuat selingkuh dan ia tak bisa melupakan
nista itu. Baginda pun bertitah agar wanita itu dipancung, de-
ngan tambahan sebuah program yang bengis: tiap hari ia akan
mengambil seorang perempuan untuk jadi permaisuri selama se-
malam, dan esoknya, di fajar menyingsing, istri-24-jam itu harus
dibunuh.
Baginya, wanita semuanya sama; perempuan hanya sebuah
rumus. Tiap rumus menghalau ciri yang berbeda-beda dari ben-
da dan manusia, dan merenggutkan mereka dari konteks. Tiap
konsep mencopot mereka dari sejarah, melenyapkan yang khas
dalam ruang dan waktu masing-masing. Walhasil, menurut kon-
sep, ”perempuan” adalah ”perempuan”, di mana pun dan kapan
pun.
Dari Sultan Shahriar kita tahu, konsep membuat persoalanja
di rapi, jelas, dan efisien: kita tak perlu terpesona dan mencermati
beda Aminah dari Audrey. Mereka bukan manusia konkret de-
ngan rasa riang dan kesunyian masing-masing. Mereka telah di
ringkus dan dibenamkan ke dalam definisi. Dari Shahriar kita
tahu, tiap definisi mengandung kekerasan.
Tapi Shahrazad selamat. Dalam cerita yang termasyhur ini,
gadis itu memang tak dapat menolak ketika ia diboyong ke istana
untuk jadi permaisuri dan calon korban penyembelihan. Tapi ia
http://facebook.com/indonesiapustaka
M
UNGKIN Laozi tak pernah ada. Mungkin ia lebih
baik disebut ”tuan yang tak meninggalkan tilas”, atau
”Yinjunzi”, seperti sejarawan Sima Qian menjuluki
nya.Barangkali ia hanya tokoh fiktif yang diciptakan Zhuangzi,
pemikir yang hidup pada abad ke-4 sebelum Masehi dan mempe-
sona kita sampai hari ini.
Memang ada yang bercerita, Laozi benar lahir di Kota Ku di
Negeri Chu. Orang yang dianggap pemula ajaran Daoisme ini hi
dup dalam masa Dinasti Zhou sebagai pustakawan negara. Ko-
non kepadanya Kongfuzi terkadang datang. Tapi bagaimana ia
sesungguhnya—ia yang juga disebut ”Lao Tan”—bahkan Kong-
fuzi tak mampu menggambarkannya.
”Guru, telah Tuan lihat Lao Tan,” kata seorang murid. ”Bagai
mana Tuan melukiskannya kira-kira?”
Sang Guru pun menjawab: ”Mungkin telah kulihat seekor
naga—seekor naga yang meliuk untuk memperlihatkan tubuh-
nya dalam penampilan yang terbaik... yang mengendarai napas
awan dan hidup dari yin dan yang. Mulutku terbuka dan aku
tak kuasa menutupnya, lidahku kelu dan aku tak mampu bica
ragagap sekalipun. Bagaimana mungkin aku mengutarakan ba
gaimana Lao Tan!”
Tak seorang pun dapat mengutarakan dengan lengkap orang
lain—itulah mungkin kearifan yang harus dipetik dari jawab
sang Guru. Orang lain senantiasa punya sisi yang ganjil, tak
terjelaskan, ajaib. Di depan enigma itu, lidah kelu, kata terbatas.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Atau ada kearifan lain yang tersirat dari jawaban itu: bahwa
ajaran yang baik tak perlu diketahui dengan jelas asal-usulnya.
Ajaran yang baik punya sejarah ketika ia dijalankan, kini, dan
bukan pula ketika ia dimuliakan sebuah masa lalu. Tiap asal-usul
hanyalah titik yang dipatok di masa lalu itu, tapi titik itu, seba
gaimana tiap titik dalam geometri, tak mungkin berdiri sendiri.
Ia selalu bertaut dengan titik-titik lain di garis tarikh. Tiap asal-
usul adalah nisbi.
Demikian juga jika kita bicara tentang riwayat filsafat seper
ti Daoisme, atau Konfuzianisme, bahkan juga agama wahyu.
Agama bisa menyatakan diri berasal dari sabda Tuhanyang di-
bisikkan ke seorang nabi, namun tiap nabi berada dalam sebuah
sejarah, dalam sebuah bahasa, yang tak lepas dari asal-usul yang
tak bisa persis ujungnya?
Dan apakah ”asal-usul” agama, kepercayaan dan pengetahu
ankita, selain ikhtiar mencari asal dari segala asal—yang tak mu-
dah terjawab tuntas? Seperti tentang akar dirinya sendiri, ten-
tang itu juga Daoisme bicara dengan mengakui kegaiban yang
ada: asal-usul itu sesuatu yang tak bernama, antara ada dan tia-
da, ”misteri dari semua misteri”. Tersebut dalam kitab Daodejing:
”Siapakah yang tahu, anak siapa nenek moyang para dewa itu?”
Pendeknya sesuatu yang agung ”mengalir ke mana saja”, dan se
gala hal pun ”ada”. Tapi sang asal-usul itu ”tak dipertuan”.
Dengan kata lain, tak ada archê seperti dalam pemikiran Aris
toteles: sebuah ”prinsip” yang memulai semuanya dan menguasai
semuanya. Memang ”Dao” atau ”Jalan” sebuah proses, artinya ge
rak. Tapi Daoisme tak melihat gerak dalam hubungan sebab-aki-
bat. Bagi Aristoteles segala hal bergerak tapi senantiasa digerak
kan sesuatu yang lain. Hanya pada akhirnya niscaya ada ”penye-
bab pertama yang tak digerakkan”, to proton kinoun akineton.
Pandangan Aristoteles ini, yang berasal dari telaah fisika, ber
gema dalam theologi monotheistis, ketika ia masuk dalam tafsir
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
ERAUT paras tembam. Alisnya tebal. Misainya lebat ka
sar. Sorbannya hitam, dengan kalimat syahadat berkali
grafi Arab. Yang lebih menarik: sorban itu bulat dengan
sumbu—sorban itu sebuah bom. Seandainya gambar itu terpa-
sang tanpa kata-kata, kita tak akan tahu itu karikatur tentang
Nabi Muhammad. Tapi toh kita akan tahu: itu sebuah gambar
cemooh buat orang Islam.
Bagi saya, itu saja sudah menunjukkan satu hal yang layak
dikecam. Koran Jyllands-Posten, dengan tiras sekitar 175 ribu,
adalah surat kabar terlaku di Denmark. Kantornya terletak
agak di luar Aarhus, kota kedua terbesar. Gedungnya mirip se-
buah pabrik yang rapi, dengan cat putih di bagian interior.Orang
yang tahu bilang koran itu dibaca para petani yang makmur dan
taat dan kelas menengah di daerah udik. Mereka sopan, tapi tak
mengherankan bila mereka tak nyaman melihat berbondong
orang datang dari negeri Selatan yang miskin dan umumnya
muslim dan ”bukan-orang kita”. Sebab selama berabad-abad me
reka terlindung dari apa saja yang ganjil dan mengejutkan.
Hari-hari ini mereka dukung sebuah pemerintah yang, seper
ti mereka, menatap para imigran dengan waswas, bahkan ber
musuhan. ”Kita berangkat perang menentang ideologi multikul
tural,” kata Brian Mikkelsen. Politikus berusia 39 tahun itu, kini
menteri kebudayaan, meneriakkan bahwa ”perangkebudayaan”
yang berkecamuk kini adalah untuk melawan gagasan yang ber-
sedia menerima ”norma dan cara berpikir muslim” di masyarakat
http://facebook.com/indonesiapustaka
jam. Dalam Der Ewige Jude: sosok dengan hidung bengkok, de-
ngan cambang dan misai menggelambir. Tangan kanannya me-
megang uang emas dan tangan kirinya cambuk.
Artinya, si Asing, yang merayap di jalan tetangga kita, begitu
rendah, begitu penuh teka-teki, begitu mengerikan....
Jytte Klausen, guru besar ilmu politik di Universitas Brandeis
di Boston (pengarang buku The Islamic Challenge: Politics and Re-
ligion in Western Europe), menunjukkan bahwa pekik peperangan
kebudayaan yang diteriakkan kaum ekstrem kanan itu memang
bisa begitu brutal. Beberapa waktu yang lalu, dua anggota Partai
Rakyat Denmark, Jesper Langballe dan Soren Krarup, meng-
gambarkan orang Islam sebagai ”sebuah kanker di masyarakat
Denmark”. Kedua mereka pastor Gereja Lutheran.
Seperti kaum ekstrem kanan lain (juga seperti MUI di antara
kita), kedua pastor itu menentang pluralisme. Seperti kaum pem-
benci lain (juga seperti Front Pembela Islam di celah-celah kita),
kedua pastor itu hendak merobohkan asas multikulturalisme
yang mencegah masyarakatnya ditaklukkan oleh monopoli satu
jenis nilai-nilai. Dan seperti kaum fanatik lain, mereka memakai
standar ganda. Tiga tahun yang lalu, Jyllands-Posten menampik
menerbitkan karikatur yang menggambarkan Yesus, atas dasar
tak hendak melukai hati para pembaca.
Maka yang merisaukan bukanlah hanya karena ada orang
yang menghina Nabi. Yang juga merisaukan adalah ketidakadil
an dan kebencian, dan gagalnya banyak pihak, yang beragama
maupun yang tidak, yang sekuler ataupun yang muslim, yang
marah dan dimarahi, untuk tak ditulari borok itu.
Rasanya kita belum bisa berharap banyak dari sebuah zaman
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
I atas gunung batu itu, Tuhan tak juga memperlihatkan
wajah-Nya.
Kitab Perjanjian Lama berkisah: kepada Musa yang
ingin menemui-Nya, Tuhan berkata, ”Ada suatu tempat dekat-
Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu. Apabila
kemuliaan-Ku lewat, Aku akan menempatkan engkau dalam le
kuk gunung itu dan Aku akan menudungi engkau dengan tan-
gan-Ku, sampai Aku melintas. Kemudian Aku akan menarik ta
ngan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku, tapi wajah-Ku
tak akan kelihatan.”
Wajah-Nya tak akan kelihatan. Musa hanya melihat ”bela
kang”-Nya, tanda ia hanya makhluk yang mengikut. ”Engkau
tak tahan memandang wajah-Ku, sebab tak ada orang yang me-
mandang Aku dapat hidup,” sabda Tuhan pula.
Memandang: bila itu berarti menatap, manusia dan Tuhan
akan berhadap-hadapan, dan itu tak akan terjadi. Sebab tak ha
nya itu. Menatap adalah memandang dengan tajam. Tatapan
adalah tetapan. Tetapan adalah hasil penetapan. Tapi bagaimana
Ia—yang maha-akbar dan tak tepermanai—dapat ditetapkan?
Bagaimana Ia dipasang beku di dalam satu cara memandang,
mandek di satu kerangka, terbatas di sebuah pigurapenglihatan?
Tidak. Yang terjadi sebenarnya bukanlah Tuhan telah diper
http://facebook.com/indonesiapustaka
untuk mengukuhkannya.
Ketika suara wahyu jadi huruf tercetak, tak diingat lagi sunyi.
Juga seakan-akan tak lagi ada jalan kembali ke dalam sunyi.Fir-
man telah jadi hukum. Loh batu itu kukuh. Ia mewakili Tuhan—
bahkan seperti Tuhan itu sendiri. Tuhan tak lagi dialami sebagai
Yang Maha Kudus yang tak hadir, yang senantiasa mengimbau
dan memanggil. Tuhan hanya dialami sebagai regulasi.
Untuk apa? Ketika pada suatu hari sang Rabbi bekerja di
ladang di hari Sabbath dan mengabaikan hukum Taurat, sebuah
pertanyaan yang mendalam pun tak bisa dilupakan: hukum un-
tuk manusia, atau sebaliknya, manusia untuk hukum?
Di hari-hari ini, orang akan harus mendengar pertanyaan itu
lagi.
K
ARIKATUR itu mencemooh Nabi. Ilmu itu tak per-
caya bahwa alam semesta diciptakan seperti dikatakan
Alkitab. Puisi Amir Hamzah menyebut Tuhan ”ganas”
dan ”cemburu” dan sajak Rendra menggambarkan Yesus me
rangkul seorang pelacur yang mengidap raja singa. Sebelumnya:
Nietzsche mengatakan ”Tuhan telah mati”....
Bisakah agama hidup bersama dengan ekspresi seperti itu—
hal-hal yang tak dapat dilepaskan dari pengalaman manusia yang
terdorong oleh sejenis impuls buat bicara bebas?
”Manusia dihukum untuk merdeka”, kalimat termasyhurini
dituliskan Sartre pada tahun 1946. Dalam kata-kata yang ter
dengar seperti oksimoron itu, yang mengesankan tak masukakal
karena isinya bertentangan—”kemerdekaan” adalah ”hukum
an”—tersirat sesuatu yang tragis dalam hidup kita: apa boleh
buat, pada akhirnya kemerdekaan tak bisa kita elakkan.Bahkan
ketika seseorang menyatakan ”aku tidak bebas”, ia sebenarnya te
lah memilih sendiri salah satu dari beberapa kemungkinan. Da
lam memilih ia mungkin meminta nasihatatau petunjuk orang
lain, tapi tak berarti ia tak dapat menampik nasihat atau petunjuk
itu. Bila dianalisis sampai akhir, selalu akan tampak ia sendiri, de-
ngan kemerdekaannya, yang menentukan.
Memang kenyataan itu membuat gentar. Kebebasan, seperti
nasib, adalah kesunyian masing-masing. Seandainya manusia ia
hanya akibat—dan tak pernah jadi sebab—seandainyaia terus-
menerus di hadapan, dalam kata-kata Kant, ”Tuhan dan keaba-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tuhanku
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
LKISAH, adalah seorang khadam di Kota Bagdad yang
disuruh tuannya pergi ke pasar. Tapi ia kembali tergo
poh-gopoh. ”Tuan, pinjamilah hamba kuda,” begitu pin-
tanya nyarismenangis.
”Kenapakah kau?”
”Hamba takut. Di pasar hamba lihat seseorang,” jawabnya.
”Ia mendesak ke arah hamba. Ketika hamba perhatikan wajah
nya, hamba mengenalnya. Ia Maut, Tuan. Ia mengancam akan
mencabut nyawa hamba malam ini. Maka pinjamilah hambaku
da. Hamba akan berangkat ke Samarra sekarang. Di sana hamba
akan terlindung.”
Maka tuannya pun meminjaminya seekor kuda, dan khadam
itu pun langsung kabur ke Samarra.
Segera sang tuan pergi ke pasar itu, dan benar, di sana ia meli-
hat seseorang yang aneh dan menakutkan. Tuan itu pun bertanya,
”Kaulah Maut, yang mengancam khadamku?”
”Benar. Tapi ia pergi terlalu cepat. Padahal aku masih ingin
memberitahunya: malam ini aku tak jadi mencabut nyawanya di
sini, di Bagdad, tapi di Samarra.”
Cerita ini, yang dikisahkan oleh W. Sommerset Maugham pa
da tahun 1933, agaknya sebuah sugesti tentang ajal yang tak ter
elakkan, hal yang kita sadari tapi tak selamanya kita pahami.
Entah kenapa Maugham menyebut Samarra dalam kisah itu.
Mungkin karena kota tua 105 kilometer agak ke arah barat laut
Bagdad itu punya sejarah panjang tentang rahasia kematian, rasa
http://facebook.com/indonesiapustaka
cemas, dan harapan yang tak sampai. Ketika dua pekan lalu orang
meledakkan makam Imam Ali al-Hadi dan Al-Hasan al-Askari,
dan kubah emasnya hancur dan puluhan orang tewas, mau tak
mau kisah tentang Samarra itu kembali teringat: di kota itu Maut
menunggu, dan kita tak tahu inikah janji misterius masa depan.
Jauh sebelum kubah selebar 20 meter dan setinggi 68 meter
itu dipasangi 72 ribu petakan emas pada tahun 1905, kompleks
kuburan itu sudah menyiapkan para peziarah sejak ia dibangun
pada abad ke-11. Sebab di sanalah drama kematian dan kegaiban
berlangsung dalam khazanah keyakinan kaum Syiah.
Pada awalnya adalah Al-Hadi, yang dipandang sebagai Imam
ke-10 sejak ia berumur enam tahun. Ia lahir di Madinah. Ia dan
putranya dibawa ke Samarra pada tahun 848, ketikakota itu ber
ada di bawah kekuasaan Khalif al-Mutawakkil.
Khalif ini, yang oleh orang Syiah digambarkan sebagai ”tiran
yang bergelimang darah”, juga dikenang sebagai penguasaIslam
yang mengharuskan orang Kristen dan Yahudi berpakaian warna
madu, boleh naik kuda asal dengan sanggurdi kayu, dan mema-
sang dua kancing di topi. Diskriminasi tak hanya di situ. Makam
bukan muslim tak boleh dibangun lebih tinggi ketimbang ma
kammuslimin; gereja dan sinagoge yang didirikan setelah Islam
datang ke Samarra harus dihancurkan.
Di bawah kekuasaannya pula Imam al-Hadi wafat, konondi-
racun, dan penggantinya, Imam ke-11, Al-Askari, tetap dalam
tahanan rumah sampai wafat pada tahun 874. Pada saat itulah
putranya, Muhammad al-Mahdi, dalam usia tujuh tahun, meng-
hilang. Dialah Imam ke-12. Ia dikisahkan raib di gua di bawah
masjid di Samarra itu, yang kini ditutup dengan gerbang Bab-al
Ghayba. Umat pun menunggu, yakin yang hilang akan kembali
pada suatu hari, dan dunia akan jadi baik, jadi adil, mungkin
1.100 tahun lagi.
Maka dari Samarra ada yang tragis dan nostalgis dalam keya-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kinan Syiah. Ada luka dan kepekaan yang tumbuh dari hidup di
bawah penindasan. Dalam doktrin tentang Ghayba tersirat ke
sadaran religius tentang apa artinya ketidakhadiran dan ketia
daan—sesuatu yang mengingatkan saya kepada yang dikatakan
S
AYA pernah menonton tujuh biji film porno di sebuah bi
oskop kecil di sebuah kota Eropa. Hari itu terik, musim
panas. Berdua dengan A., dulu teman sekuliah, saya me-
mutuskan pergi ke situ karena kami ingin tahu, sembari berte
duh, menghabiskan waktu, menunggu sebuah pertemuan yang
telat.
Di ambang pintu bilik kami sisipkan uang receh, lalu kami
masuk.
Film pertama mulai. Saya membelalak. Film kedua menyusul.
Saya mulai tak membelalak. Film ketiga seperti ulanganfilm se-
belumnya—dan sampai film terakhir saya tertidur. A. juga.
Noel Coward benar. ”Saya tak menganggap pornografi meru-
sak, tapi sangat, sangat membosankan.”
Coward pantas mengatakan itu sebab ia tahu bagaimana
membuat sesuatu yang tak membosankan. Ia menulis Blithe Spi
ritpada tahun 1941 (terjemahan Indonesia: Arwah-arwahBinal),
dan di West End, wilayah teater London itu, tiap malam komedi
itu dipanggungkan lagi, lagi, dan lagi... sampaipada tahun 1970.
Sementara itu, di sebelah lain London, di Soho, toko-toko seks
tak mampu selamanya mengundang pelanggan. Daya tariknya
tergusur, kini kafe dan restoran bermunculan di jalan itu.
Pornografi memang mudah dibuat tapi mudah pula hambar.
Sebab ia praktis hanya sebuah repetisi. Fokusnya tetap: bukan
manusia dengan karakter yang berbeda dan gejolak jiwa yang
berubah, melainkan organ tubuh yang sudah bisa diramalkan
http://facebook.com/indonesiapustaka
Kita tak tahu sejauh mana cerita itu bukan hanya sebuah dalih
untuk memiliki sesuatu yang asyik dilihat. Di India tak sedikit
kuil yang memaparkan sugesti seksual tanpa cerita seperti itu.
Candi Meenakshi di Madurai dan Veeraranarayan di Gadag bah-
T
UBUH bisa membuat getar, tapi juga gentar, seperti laut
an.
Saya ingat satu pasase dalam Lady Chatterley’s Lover:
perempuan itu mengalami ajaibnya gairah dalam persetubuhan.
Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri ”laut”. Ia deru
dan debur, samudra dengan gelombang gemuruh yang tak kun-
jung putus. ”Ah, jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergu-
lung, terbelah....”
Apa yang masuk menyusup ke dalam dirinya ia rasakan kian
lama kian dalam. Bertambah berat empasan, bertambah jauh
pula ia jadi segara yang berguncang sampai di sebuah pantai.
Baru di sini deru reda, laut lenyap. ”Ia hilang, ia tak ada,dania di-
lahirkan: seorang perempuan.”
Saya tak sanggup menerjemahkan seluruh pasase ini. Di sini
D.H. Lawrence sungguh piawai: ia uraikan suasana erotikdalam
novelnya dalam kalimat dengan ritme yang naik-turun, memba-
wa kita masuk ke paduan imaji-imaji yang, seperti geraklaut, tak
putus-putus, berulang-ulang....
Agaknya Lawrence, seperti kita semua, harus mengerahkan
seluruh kemampuan bahasa untuk menggambarkan sesuatu
yang tak mungkin tergambarkan: pengalaman tubuh ketikakata
belum siap, gejolak zat-zat badan ketika bahasa belum menemu-
kan pikiran.
Seorang sastrawan memang selalu dirundung oleh bahasa
yang ingin ekspresif tapi juga ingin komunikatif—dua dorong
http://facebook.com/indonesiapustaka
hasil.
Lawrence mampu menggabung kedua dorongan itu di bagi
an yang dikutip tadi, tapi bagi saya sebagai novel Lady Chatter
ley’s Lover terasa lebih digerakkan keinginan untuk menyatakan
sebuah pendirian. Kalimatnya lebih komunikatif ketimbang eks
presif. Pertautannya dengan bahasa (untuk tak menyebut ketaat
annya pada pesan dan tema) berbeda dengan misalnya Cala Ubi
Nukila Amal atau Menggarami Burung Terbang Sitok Srengenge,
dua novel yang, dengan bahasa yang puitik, tak hendak meng
ubah pandangan kita tentang hal-ihwal.
Lady Chatterley’s Lover memang sebuah kritik sosial; ia hendak
meyakinkan kita tentang muramnya masyarakatInggrissehabis
perang di tahun 1920-an. ”Zaman kita pada hakikatnya zaman
yang tragis, maka kita menolak untuk menyikapinyadengan tra-
gis,” begitulah novel ini dimulai. ”Kita ada di tengahpuing, kita
mulai membangun habitat baru kecil-kecilan, untukmendapat-
kan harap baru sedikit-sedikit.”
Dalam novel itu, puing itu sampai ke pedalaman. Masyarakat
terjebak lapisan-lapisan kelas, dan industrialisasi yang mulai me
rasuk, juga peran uang, membuatnya lebih buruk.
Kritik novel ini tersirat dalam tokoh Constance Chatterley.Ia
kawin dengan Sir Clifford, tuan tanah dan bangsawan pemilik
tambang. Lelaki ini luka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh,
juga impoten, dan hanya menunjukkan kelebihannyabila ia mu-
lai memimpin bisnisnya. Tampaknya perang, industrialisasi, ka
pitalisme—dan patriarki—menebarkan racunnya dan membuat
hidup perempuan itu, Lady Constance (”Connie”), terpojok. Ke-
sepian, bosan, hampa, dan tertindas, ia akhirnya menemukan
http://facebook.com/indonesiapustaka
dan gairah seks sebagai ”dosa”, yakni energi yang tak produktif.
Maka pemilik toko buku yang menjual Lady Chatterley’sLover
pun dibui, kantor pos menolak mengirimkan novel itu, dan Presi
den Eisenhower menganggapnya bacaan yang ”dreadful”. Baru
pada akhir tahun 1950-an pengadilan menganggap karya itu tak
pornografis.
Anehkah bila bertemu agama dan kapitalisme, juga komunis
me, yang rezim-rezimnya melarang Lady Chatterley’s Lover? Ti-
dak. Bagi mereka, tubuh kita hanya penting sepanjang bisa dibuat
berguna bagi yang mahakuasa, apa pun namanya.
S
EORANG istri guru ditangkap polisi di Tangerang.
Ia berada di jalan sekitar pukul tujuh malam. Ia harus
membuktikan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah
mengharuskan itu. Tuan-Tuan yang berkuasa di Tangerang tam-
paknya berpendapat, tiap perempuan yang berada di luar rumah
dalam remang itu perlu dicurigai sebagai ”jalang”....
Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini ”kaum perempu
an di Tangerang dicengkeram ketakutan”?
Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum
Solidaritas Perempuan Banten, 22 Maret 2006 itu—juga tak
membayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka pulang
terlambat dari kursus pada malam hari dan saudara mereka kem-
bali dari pabrik setelah senja.
Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan
dukungan Majelis Ulama): perempuan memang harus tinggal
di rumah, ”dilindungi”. Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas bawah
yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah istri yang jadi
pemijat, penunggu kios rokok atau bakul jamu. Lagi pula ayat su
ci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi Quran dan Hadis di-
kutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain
selain purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu
saja tak boleh jual jamu....
Perempuan selalu dekat dengan dosa—itulah mungkin pikir
Tuan-Tuan di Tangerang, seraya mendengar agama berbicara.
Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Siapa tahu. Sebab, ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia se
orang biarawan di Mesir abad ke-4.
... murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, ”Bapa, Bapa telah
tua. Mari kita pindah sedikit ke dekat tanah yang telah dihuni.”
Orang Tua itu menyahut, ”Di mana tak ada perempuan, ke tempat
itulah kita harus pergi.” Murid itu pun berkata kepadanya, ”Tem-
pat apa lagi yang tak ada perempuannya, kecuali gurun pasir?” Dan
Orang Tua itu berkata, ”Bawa aku ke gurun pasir.”
sir”.
”Gurun pasir”, bentangan alam yang garang itu, waktu itu pu-
nya makna tersendiri. Gurun pasir, dalam catatan Brown, ”mun-
cul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme Kristen”.
... dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata: ”Aku datang
untuk membatalkan kerja perempuan”....
”Engkau ganas.”
S
AYA sering ingat sebaris puisi Amir Hamzah yang memu-
kau itu—yang ditujukan kepada Tuhan. ”Engkau cembu-
ru,” katanya lagi, seakan-akan mengulang sabda Tuhan
tentang diri-Nya sendiri dalam Perjanjian Lama.
Mudah terhinakah Ia? Mudah irikah Ia? Ataukah ada be-
berapa tuhan di langit yang (seperti politikus dalam pemilihan
umum) bersaing memperebutkan pendukung?
Orang mungkin gentar bertanya demikian sekarang, teruta
ma di Indonesia yang makin ingar oleh suara yang tak toleran.
Tapi di koran saya baca cerita tentang Abdul Rahman, orang Af-
ganistan, dan sajak Amir Hamzah itu terlintas lagi di kepala.
Enam belas tahun yang lalu, Abdul Rahman yang dibesarkan
sebagai muslim berpindah agama. Ia jadi Nasrani ketikaumurnya
25. Mungkin ia tertarik kepada agama barunya sewaktu bekerja
dengan satu organisasi Kristen internasional yang membantu pa
ra pengungsi Afgan di Peshawar, Pakistan. Setelah itu, beberapa
tahun lamanya ia meninggalkan negerinyayang rusuh dan me
ngembara di Eropa. Tahun ini kembali. Tapi ia ditangkap. Ia di-
ancam hukuman mati.
”Meninggalkan Islam berarti menghina Tuhan,” kata Abdul
Raoulf, seorang ulama terkemuka di Kabul. ”Orang ini harus
mati.” Duduk di depan Masjid Herati di Kabul, ia berseru,”Peng-
gal kepalanya! Akan kami serukan kepada orang ramai agar men
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
PA gerangan yang didengarkan Centhini selama 40 ma
lam? Abdi yang setia itu selalu berada di dekat majikan
nya, Tembangraras. Ia bersimpuh di dekat kamar bah-
kan ketika Tembangraras sedang bersama suaminya, Amongra-
ga. Di situlah si Centhini, gadis yang penuh hasrat belajar itu,
menyimakapa saja yang diucapkan ketika pasangan itu berceng-
kerma dan bersetubuh.
mulaan abad ke-19. Tapi tak hanyaitu. Kita juga dapatkan urai
an cara ibadah Islam, deskripsi pesta makan dantontonan yang
asyik, seks yang gila, tatacara perkawinan. Bait-bait tembangMijil
menyebutkan berpuluh macam lauk (dhokowan, sayur asem, abon
wayang, empal kisi, sambel jinten...),dan bait-bait Dandhanggula
menceritakan bagaimana Amongraga—orang alim dan tokoh te-
ladan Serat Centhini—mengucapkan lailaha ilalah.
Kontras paling mencolok adalah klimaks dari Pupuh 362.
Bait-baitnya dimulai dengan Amongraga bersembahyang.Kemu
dian: adegan para santri yang menyanyi dan menari, seakan-akan
memberikan latar musik bagi adegan ranjang Amongraga dan
Tambangraras. Tapi di kamar itu tak ada yang erotik. Hari itu,
sebagaimana selama 40 hari pernikahannya, Amongraga tak ber-
sanggama sama sekali. Pria alim keturunan Sunan Giri ini hanya
memberi wejangan.
Tapi tak lama kemudian, kisah bergerak ke Jayengraga. Pagi
itu, lelaki tampan itu merasakan desakan syahwat yang dahsyat.
Dalam keadaan ereksi yang luar biasa ia gagal menyetubuhi istri
dan selir-selirnya; mereka sedang datang bulan. Ia pun menco
ba semuanya: felatio, merendam penisnya di air, dan akhirnya
melampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda pengiringnya. Ia
mencapai orgasme, dan segera sesudah itu, kokok ayam pun ter-
dengar. Datang subuh. Adegan homoseksual itu segera berpin-
dah: para pelaku mandi, mengambil air wudu, dan salat.
Baris-baris erotik yang terus terang semacam itu bahkan kita
temukan lebih seru dalam pasase lain Serat Centhini, yang diter-
jemahkan jadi Minggatnya Cabolang. Tak ayal, orang bisa berta
nya: pornografikah ini? Atau puisi mistik, ekspresi kenikmat
http://facebook.com/indonesiapustaka
ke dalam ”Hyang”.
Memang akhirnya Centhini bukanlah sesuatu yang padu,
berfokus, dan koheren. Buku ini bisa seperti sebuah ensiklope-
dia yang memasang nama-nama sayur dan angka silabel pelbagai
tembang Jawa. Tapi ia juga dapat tampil sebagai puisi yang sur-
realistis:
reka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan,
tanpa kalah atau menang.
G
AMBAR persetubuhan tanpa tedeng aling-aling, yang
merupakan peninggalan kerajaan muslim di India se
lama tiga abad sejak 1526, dibuat di lembaran yang
berjumlah terbatas. Baru di abad ke-20 seni rupa erotik zaman
Moghal itu diketahui orang ramai.
Begitu pula ukiyo-e di Jepang di masa Tokugawa, dua abad se-
jak 1603. Karya-karya dari ”dunia yang mengapung” ini—kata
lain untuk dunia perempuan penghibur—dibuat di atas kain,
dalam jumlah relatif terbatas, dan umumnya dimilikiorang ber
ada. Baru kemudian ia dicetak di atas kertas dan beredar di pasar
yang luas.
Ketika Serat Centhini dengan adegan-adegan cabul yang ter
selip di antara 12 jilid itu ditulis di abad ke-19, ia adalah sebuah
manuskrip tertulis tangan. Pembacanya mungkin tak sampai
1.000 orang: sebuah lingkaran intim yang relatif setara dan se
selera dalam menilai.
Namun, kemudian perdagangan menularkan permintaan.
Kapitalisme yang agresif dalam produksi dan distribusi pun
bangkit. Sebuah karya bisa mencapai kalangan yang jauh. Di
satu pihak ia tampak amat berkuasa. Di pihak lain ia merisaukan.
Tak semua orang yang menemukannya merasa akrab dengan ni-
lai yang melahirkannya. Tak semua yang menerimanya seusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Mungkin ada orang yang hanya kaget sejenak, tapi ada yang
menganggap gambaran adegan seks berbahaya atau berdosa.
Kian besar jumlah konsumen, kian tak pasti pula coraknya.
Dari ketidakpastian itu orang waswas: ”Awas, pornografi!”
saingan hegemoni.
Ada yang menyelesaikan persaingan ini dengan aksi sepihak:
memaksakan nilai-nilai sendiri ke seluruh bangunan sosial, ter-
kadang dengan kekerasan, seperti yang dilakukan Taliban di Af-
—kepada bangsaku.
H
ARI Sabtu itu, 22 April 2006, kita tahu apa arti 17.000
pulau. Tujuh belas ribu pulau sama dengan sekian juta
meter pantai. Tujuh belas ribu pulau berarti beratus-ra-
tus selat.
Tapi kita tahu bukan jumlah itu yang menjadikannya istime-
wa.
Sebab pantai adalah tepi. Tepi bukan hanya berarti perbatas
an, sebuah garis yang menutup dan menampik. Tepi juga am-
bang pintu. Tepi juga gerbang sebelum beranda.
Di tiap tepi selalu ada ”yang-lain” yang menyentuh—mung-
kin laut yang diberi nama oleh para pengelana asing, mungkin
ladang yang diolah kaum yang menyukai gandum, mungkin
Kota X yang mengirimkan berita tentang sirkus dan raja-raja. Di
tiap tepi ada pertemuan, juga ketegangan, bahkan sengketa. Di
tiap tepi benda-benda dipertukarkan, lembing dihunus, meriam
diisi. Tapi ke sana juga anak-anak bermain di atas pasir melepas-
kan merpati yang melintas ke seberang.
Sebab tepi ini adalah pantai yang terentang di sepanjang
17.000 pulau—artinya tepi yang lebih sering bersinggungan de-
ngan selat, bukan dengan samudra.
Selat, laut sempit itu, adalah sebuah kesempatan: selat jugalah
yang menyebabkan persentuhan dengan ”yang-lain” bukan sesu
atu yang ajaib, bukan seperti ketika nun di sebuah gurun yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
kosong dan luas datang seorang musafir dengan topi yang ganjil
dan kita bertanya: Dewikah tuan? Atau iblis? Atau pangeran kecil
dari asteroid di mana mawar tumbuh?
Di tiap pantai yang menggaris selat, ”yang-lain” adalah ”lain”,
D
ARI mana datangnya dosa? Dosa ada karena ada la
rangan, dosa ada karena hukum, dosa ada karena (se
telah hukum diberlakukan dan diterima) disadari seba
gai kesalahan.
Pernah ada masanya perempuan-perempuan di Bali berjalan
leluasa tanpa menutup buah dada mereka. Tapi kemudian peme
rintahan kolonial Belanda dan agama Kristen datang, dan kedua
kekuasaan itu—yang karena perkembangan sejarah dapat meng
ambil peran sebagai otoritas—menentukan bahwa buah dada
adalah sesuatu yang harus ditutupi. Sejak itu, tidak menutup bu
ah dada adalah sebuah kesalahan, dan bahkan akhirnya orang
Bali, mungkin terpaksa, berangsur-angsur menerima hukum itu.
Buah dada terbuka berarti dosa....
Demikianlah: larangan datang sebelum dosa dan bukan seba-
liknya. Agama-agama kemudian membuat kata ”dosa” dan ”la-
rangan” seakan-akan sesuatu di luar sejarah manusia. Kita yang
alim cenderung membayangkan, bahwa hukum tentang mana
yang berdosa merupakan sesuatu yang kekal, tak bermula pada
satu titik waktu di dunia. Kita jarang bertanya: sebelum cerita
Musa turun dari Gunung Tursina dengan membawa sepuluh pe
rintah Tuhan yang terpahat pada loh batu, apa sebenarnya yang
disebut dosa?
”Terpisah dari hukum, dosa tergeletak mati,” tulis Slavoj Zi
zek. ”Pernah aku hidup ketika terpisah dari hukum, tapi ketika
perintah itu datang, dosa hidup kembali dan aku mati.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
kehidupan?
Zizek tengah berbicara tentang psikoanalisis: ia melihatbah
wa sejak hukum digariskan dan larangan ditentukan, subyekter-
pecah. Di satu pihak, timbul kepatuhan (yang sadar) kepada hu-
kum. Di lain pihak, bangkit hasrat (yang tak sadar) untuk me-
nabrak aturan itu. Yang dilarang pun jadi obyek keinginan: jika
buah dada harus ditutupi, berarti ia sesuatu yang sangat menarik.
Apabila majalah Playboy diributkan, berarti ia layak dilihat atau
diintip.
Maka hukumlah yang ”membuka dan mempertahankan wi
layah dosa”, kata Zizek pula. Tapi paradoks tak berhenti di situ.
Sang penyusun hukum menegakkan hukum agar ia merasa nik-
mat ketika dapat membuat orang merasa berdosa karena melang-
gar. Sementara itu, si pelanggar dapat merasakan nikmat menci-
cipi sesuatu yang membuatnya merasa berdosa.
Apabila demikian halnya—sebuah cerita kenikmatan dari si
pembuat hukum dan si pelanggar aturan—dosa bukanlah sesu
atu yang akan dihabisi. Lagi pula ia mustahil dihabisi.
Hukum, juga yang dikatakan datang dari Langit, selamanya
mempunyai dimensi politik dan kekuasaan manusiawi. Dari pa-
hatan di loh batu yang ditorehkan Musa di Gunung Tursina itu
orang-orang Yahudi mendapatkan pegangan dan aturan, dan da
ri sana sebuah komunitas berjalan, hingga akhirnya kerajaan ter-
bentuk. Gereja tak akan berdiri kalau tidak hendak menegakkan
ketentuan apa yang boleh dan apa yang tidak. Perintah yang ditu-
runkan di Madinah hadir bersama berjalannya sebuah bangunan
kekuasaan di bawah Rasulullah.
Di dalam proses itu, dosa pun ditarik ke luar dari sebuah du-
http://facebook.com/indonesiapustaka
nia privat menjadi bagian dari dunia publik. Orang tak cukup
mengakui dosa kepada Tuhan; ia harus mengakui dosa di depan
yang berkuasa di bumi. Pada gilirannya, yang berkuasadi bumi
akan memegang tampuk kekuasaan yang merasa mampu menia-
J
ASAD Pramoedya Ananta Toer diturunkan ke liang lahat.
Tanah diuruk. Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh
langit Jakarta gelap, udara hamil hujan—seakan-akan per
siapan adegan akhir perkabungan di Karet Bivak itu. Sebuah
lagu tiba-tiba terdengar, dinyanyikan bersama dengan khidmat,
terutama oleh mereka yang muda:
D
UNIA harus hancur, kata mereka. Tuhan menghen-
daki itu. Telah dinubuatkan perang penghabisan akan
pecah, kata mereka. Iblis akan dihadapi dalam Arma-
gedon itu, sorga akan terkuak, dan ”Yang Setia dan Yang Benar”
akan turun mengendarai seekor kuda putih,
... memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-
Nya ialah: ”Firman Allah”. Dan semua pasukan yang di sorga
mengikuti Dia, mereka menunggang kuda putih dan memakai
lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah se-
bilah pedang tajam yang akan memukul semua bangsa....
Ada satu ciri kaum fundamentalis, dari agama apa pun: mere
kamemusuhi hidup. Hidup adalah sejenis hukuman, karena fana
dan diubah waktu. Bagi mereka waktu yang berubah adalah ja-
lan kemerosotan. Sebab itu, mereka cegah waktu dari doktrin,
tiap kalimat dalam Kitab Suci harus dipatok sebagai sesuatu yang
mandek. Bagi mereka hidup di dunia selalu terancam najis. Sebab
itu Tuhan adalah suara amarah: ”dari mulut-Nya keluarlah sebi-
lah pedang tajam yang akan memukul semua bangsa”.
Aneh, sebenarnya: Tuhan sebagai pembinasa, hidup sebagai
cela. Padahal kaum fundamentalis itu tak perlu berkeluh-kesah.
Mereka tak menanggung sakit dan miskin. Mereka orang Ameri-
ka yang makmur. Pengumpulan pendapat oleh majalah News-
week menjelang akhir 1999 (dua bulan sebelum milenium baru)
menunjukkan 40 persen penduduk negeri itu percaya akhir za-
man akan terjadi melalui Perang Besar Armagedon. Artinya me
reka percaya seperti tertulis dalam Wahyu: setelah perang itu,
setelah Iblis akan dilemparkan ke jurang maut, ’kemah Allah’
akan ditegakkan di tengah manusia, dan Ia akan menghapuskan
air mata dan kematian.
Begitu rentankah orang-orang itu terhadap duka dan ajal,
hingga bagi mereka sorga di bumi adalah kehidupan tanpa perka
bungan dan ratap tangis? Kenapa mereka tak menggambarkan
sorga sebagai situasi tanpa ketidak-adilan?
Apa pun sebabnya, Juru Selamat dalam bayangan kaum Kris-
ten fundamentalis tampaknya tak sama dengan ”Ratu Adil” da
lam bayangan orang-orang melarat di Jawa. Mungkin ”adil” bu-
kanlah persoalan pokok mereka.
Dalam sebuah buku yang kini dilupakan, Prophecy and Poli
http://facebook.com/indonesiapustaka
but, yang membawa damai dan sebab itu layak ”disebut anak-
anak Allah”?
Saya tak tahu. Yang saya tahu, Allah diseru di mana-mana,
tapi bersama itu juga dilakukan kebengisan. Kita sering mende
ngarnya dari mulut Muslim, tapi sebetulnya tak hanya Muslim.
Agaknya itulah inti surat Presiden Ahmadinejad kepada Presi
denBush: ”Tuan Presiden, tuan mungkin tahu saya seorang gu
ru. Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan
[Amerika] dipertautkan dengan nilai-nilai... yang dibawakan Ye-
sus Kristus, nabi perdamaian dan permaafan....”
Tentu saja Bush tak menjawab.
A
MSTERDAM: di antara lorong berliku di sekitar kanal-
kanal itu, sebuah sudut memajang pelacur satu-satu di
etalase-etalase sempit, perempuan-perempuan muda
yang duduk atau berdiri seperti boneka toko pakaian dengan ku-
tang terus-terang dan rok minimal. Mereka menanti pelanggan
di bawah lampu merah yang redup. Sebagian dengan paras pu-
tus asa.
Amsterdam tak mengutuk Rossen Buurt, wilayah lampu me
rah yang berkaitan dengan zina itu. Sejak 500 tahun yang lalu
para lelaki (mula-mula para kelasi) dari pelbagai bangsa datang
melepas syahwatnya di bandar ini. Kini tempat itu bahkan tam-
pak lumrah. Terletak tak sampai sekilometer dari Istana Ratu,
Rossen Buurt juga menderetkan toko video porno dan pertunjuk
an cabul, di antara warung pizza dan kedai kopi, bar dengan iklan
bir, teater homoseksual dan hotel pas-pasan—sebuah tanda bah-
wa pada akhirnya dosa (bukan persoalan baru) bukanlah urusan
kantor wali kota.
Dari jembatan yang menyeberangi salah satu kanal di sisi lama
kota itu tampak Oude Kerk, ”Gereja Tua”, seperti hantu Gothis.
Dibangun pada abad ke-13, ia kini bukan lagi tempat ibadah, tapi
ruang konser dan pameran tahunan World Press Photo: ia juga
saksi bahwa kota ini, dengan agama atau bukan, akhirnya tak
dapat memusnahkan kecabulan. Amsterdam bahkan memanfa
atkannya, memasarkannya atau memajak hasilnya. Pada akhir
nya, yang karnal dalam tubuh tak dapat diringkus sepenuhnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
UARANYA bergelora. Tapi di sana-sini terasa pidato
Bung Karno di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
itu menutupi sebuah rasa cemas.
Ia mencoba menenteramkan rekan-rekannya yang ”gentar-
hati”. Ia sendiri mungkin juga dicekam demam panggung: se-
buah republik sedang akan lahir, sebuah bangsa sedang meng
artikulasikan diri.... Mampukah ia bertahan?
Tak mengherankan bila pidato hari itu—diucapkan tanpa
teks yang dipersiapkan—berulang-ulang bicara tentang dua hal.
Yang pertama kemerdekaan. Yang kedua persatuan.
Tapi bila yang pertama telah jadi sebuah keputusan, yang ke
duamasih satu persoalan genting. Bila yang pertama dapat diper-
siapkan—dan mereka yang duduk di ”Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan” itu memang tengah mempersiapkan-
nya—maka yang kedua masih harus diteguhkan.
Itulah sebabnya Bung Karno menyebut perlunya mencarisatu
pandangan hidup atau filsafat, Weltanschauung, yang ”kita semua
setujui”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
ada ketimpangan posisi. Mereka yang menjelang Juni 1945 itu di-
undang dan hadir dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan
itu (yang ditunjuk oleh administrasi pendudukan Jepang) me-
letakkan diri sebagai wakil bangsa Indonesia seluruhnya. Tapi
T
IAP kali kata ”Islam” disebut, tiap kali pula terbit keti
dakpastian.
Tuan mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan
salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadan, membayar zakat
secara patut, dan naik haji pula, tapi selalu ada kemungkinan tu
an akan disebut ”tidak Islami”. Sebab tak pernah jelas siapa yang
sebenarnya berhak memasang atau mencopot label ”Islam” sese
orang. Gus Dur memandang diri ”muslim” dan dipandang de
mikian oleh jutaan orang, tapi dapat saja ia dianggap”kafir” atau
”Abu Lahab” oleh mereka yang menyebut diri ”pembela Islam”.
Yang sering tak disadari ialah bahwa itu justru menunjukkan
betapa guyahnya sebutan ”Islam”.
Identitas memang sesuatu yang penuh problem. Ketika se-
buah identitas diberi nama dan masuk ke bahasa—dan umum
nya demikian—kita memasuki risiko: selalu ada yang hilang
dalam bahasa. Bahasa bukanlah cermin yang jernih. Tak sepe
nuhnya yang bergejolak dalam kehidupan bisa direpresentasi
kannya.
Sebab itu identitas selalu berakhir dengan kegagapan. Ia tak
pernah tuntas. Ketika Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945
menguraikan argumennya tentang Pancasila, ia menyebut kata
”pihak Islam”. Apa gerangan artinya? Pada saat itu, dalam kon-
http://facebook.com/indonesiapustaka
praktis.
Tentu saja ada yang tak stabil di situ. Seandainya dilepaskan
dari konteks hari itu, yang ”Islam” niscaya berarti mereka yang
tak menganut paham ”kebangsaan”, dan yang menganut paham
”kebangsaan” niscaya bukan ”Islam”. Betapa menyesatkan pe-
maknaan itu. Bung Karno mengatakan bahwa ia ”orang Islam”.
Ia menegaskan, meskipun Islamnya ”jauh belum sempurna”, da
lam dadanya ada ”hati Islam”. Tapi adakah Bung Karno pernah
disebut mewakili ”pihak Islam”? Tidak.
Dari ketidakstabilan makna itu tampak, ”pihak Islam” tak
persis berarti ”kalangan yang beragama Islam”. Di sini ”Islam”
adalah sebuah identitas yang bergantung pada konteks: waktu,
tempat, dengan apa ia dibandingkan, kepada siapa kita bicara....
Kebanyakan kita lupa akan hal itu. Persoalan politik di Indo-
nesia bermula ketika identitas sosial diperlakukan sebagai sesu
atu yang final dan kekal. Perbedaan tak hanya diduga-duga; ia
dirumuskan. Administrasi negara—yang ingin segala hal rapi
dan gampang dipakai—merumuskan identitas-identitas, me-
letakkan mereka pada peta, seraya membangun kotak yang tegas.
Para birokrat ingin membuat klasifikasi sebagai sarana memper-
mudah kontrol. Para pekerja media dan pakar ilmu politik ingin
membuat perbedaan gampang dilihat dan dimengerti.
Pada giliranya, identitas sosial dianggap tertutup. Ketika ter-
kait dengan agama, bahkan ia jadi seakan-akan yang-tak-terce
mar. Tampaknya ada anggapan bahwa karena agama datang
dari Tuhan, otomatis agama akan membentuk satu umat—se-
buah identitas sosial—yang 100% cocok dengan bentuk idealnya
sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tentu saja itu hanya sebuah keinginan. Sejak dulu kata ”Is-
lam”, ”Kristen”, ”Buddha”, atau ”Hindu” menandai himpunan
manusia yang tak pernah berhenti menanti keselamatan, tak per-
nah berhenti mengutuk godaan. Sejak dulu kelompok-kelompok
agama merasa tak pernah bebas dari cemar; dengan kata lain,
mereka retak dalam diri mereka sendiri.
Tapi hidup manusia dibangun dari yang retak dan yang ku
rang. Sebab itu surga dianggap sebagai janji. Sebab itu sejarah ber
gerak karena manusia ingin membuat yang kurang jadi penuh.
Siapa pun, juga ”pihak Islam”, tak bisa mengelakkan keadaan be
lum-penuh itu. Ia mau tak mau harus mengakui keterbatasan
danketidak-kekalan dirinya.
Tentu, masing-masing ”pihak” merasa diri punya kelebihan.
Tapi mustahil ia bisa berasumsi bahwa ”pihak” lain serta-merta
mengakui itu.
Sebuah ”pihak” terjadi justru karena dua sisi yang bertentang
an. Di satu sisi, dengan identitasnya kelompok sosial ”A” hadir
berbeda. Tapi di sisi lain, sebagai satu identitas di tengah iden-
titas lain di bangunan bersama (”Indonesia”), ia tak berbeda: ia
tak lebih rendah dan tak lebih tinggi. Posisinya hanya sebagai ”A”
yang bukan ”B”, seperti halnya ”B” ada di sana sebagai bukan ”A”.
Keduanya setara: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Pada suatu saat ia bisa mempunyai hegemoni dalam kebersa
maan itu, tapi hegemoni itu bukan haknya yang asasi. Itu sebab-
nya, seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Panca
sila, ”pihak Islam” perlu menerima demokrasi: ”prinsip permu
syawaratan, perwakilan”. ”Pihak Islam” juga harus”bekerjaseke
ras-kerasnya”, untuk ”mengerahkan sebanyak mungkin utusan-
utusan Islam ke dalam badan perwakilan....”
Dalam usaha itu, jelas ia tak dapat terus-menerus menegaskan
diri sebagai ”lain dari yang lain”. Ia bukan makhluk yang ganjil
hanya karena harus berbeda dari yang ”Barat”. Ia juga tak dapat
http://facebook.com/indonesiapustaka
I
NDONESIA dimulai dengan sebuah kekosongan. Indone-
sia dimulai dengan kata ”bukan”.
Yang terjadi menjelang pagi hari 17 Agustus 1945 itu adalah
sebuah dislokasi. Tiba-tiba terjerembaplah gambaran tentang
sebuah kebersamaan (lebih sering disebut sebuah ”negeri” atau
”bangsa”) yang selama puluhan tahun dihadirkan ke orang ra-
mai: gambaran yang dibentuk dan dirawat kolonialisme. Dengan
gampang daulat Belanda runtuh oleh serbuan Jepang, dan Jepang
pun berkuasa. Tapi tiba-tiba Jepang kalah. Tiba-tiba menganga
sebuah kekosongan.
Orang pun cemas, berharap, berhasrat, bersemangat meski
pungugup—dan di Jakarta, pagi itu, mereka berduyun-duyun
datang ke Lapangan Ikada, saling merapat. Di sana BungKarno
dan Bung Hatta—atas nama ”bangsa Indonesia”—membaca se-
buah teks pendek yang ditulis tangan, dengan coretan di sana-si-
ni, menyatakan ”kemerdekaan Indonesia...”.
”Indonesia”: sebenarnya tak jelas betul apa arti kata ini. Nama
itu pada tahun 1925 dipakai buat pertama kalinya oleh sejumlah
pemuda yang tak sabar hidup di bawah kolonialisme; kemudian
ia dikukuhkan kembali pada tahun 1928 dengan sebuah maklu
mat yang disebut ”Sumpah Pemuda”. Tapi waktuitu ”Indonesia”
sebagai satuan geografis sebenarnya belum disepakati. Belum di
definisikan juga apa yang membuat seseorang bisa disebut anggo
ta ”bangsa Indonesia”.
Baru menjelang Juni 1945 perumusan itu dicoba dibuat de-
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
ANJIR menghancurkan dusun-dusun, gunung memun
tahkan lahar yang meringsek dan membunuh, gempame
remukkan kota, tsunami meluluh-lantakkan wilayah....
Begitu banyak orang mati, begitu luas kesengsaraan. Ketika
semua ini terjadi di sebuah masa yang dikerumuni persoalan so-
sial-politik yang belum juga terpecahkan, orang pun mencoba
mencari penjelasan dan kemudian merasa memperolehnya. Kare-
na tiap bencana berarti penghancuran, orang cenderung melihat
di dalamnya ada ”kekuasaan” yang berhubungan di sebuah po-
ros. Di ujung sana: kekuasaan Tuhan atau alam—daya di luar
kendali kita. Di ujung sini: kekuasaan manusia. Keduanya diper
tautkan seakan-akan dalam satu sistem. Atau dicocok-cocok-
kan....
Hasilnya dua macam lelucon—tapi lebih baik saya menang-
gapinya dengan serius.
Yang pertama lelucon yang sengaja bercanda. Mendengar be-
gitu banyak bencana terjadi di bawah kepresidenan SusiloBam-
bang Yudhoyono, seorang kemenakan yang tangkas mengirim
sebaris sandek ke telepon genggam saya: ”S-B-Y” = ”Sering Ben-
cana, Ya?” Tersirat dalam canda ini adalah kecenderungan umum
yang melihat terjadinya bencana alam terkait dengan kekuasaan
seorang presiden.
Yang kedua adalah pendapat yang lucu secara tak sengaja: ada
orang yang percaya bahwa bencana alam hanya dapat diterang
kan sebagai indikasi sikap Tuhan yang berkuasa di alam raya ter-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Ada le riel, kata Lacan: ada yang selalu luput dari wacana dan
tak dapat diutarakan dalam tata simbolik. Ia menghantuikita—
misalnya ketika di depan bayi yang baru lahir kita terkesima, tak
tahu dari mana nyawa itu datang dan apa yang akan terjadi pada
si orok kelak. Atau ketika malapetaka mara begitu rupa dan kita
berseru ”Allahu Akbar!”.
Sebutlah itu rasa gentar: sebuah perasaan ketika kita tahu bah-
wa tak ada yang menyambung kekuasaan manusia dengan yang
di luarnya. Tapi bukankah itu yang menyebabkan kita—rakyat,
raja, ulama, ilmuwan—berendah-hati? Banjir yang menghancur-
kan dusun-dusun, lahar yang mengancam dari Merapi.... Aneh
atau tidak, dari bencana kita bisa kembali berpikir tentang keber-
samaan dan demokrasi.
P
” ALESTINA”: mungkin ini sepatah kata dengan gema
kehilangan, dan jadi penting justru karena kehilangan,
pada zaman ini. Ketika tank-tank Merkava Israel mema-
suki wilayah Gaza pada akhir Juni 2006, dunia mendengar gema
kata itu kembali, dengan rasa ngilu. ”Lihat,” Israel yang menyerbu
itu seakan-akan menegaskan, ”orang Palestina boleh merasa pu
nyapemerintahan dan negara tersendiri, tapi itu hanya fiksi!”
Mungkin Mahmoud Darwish juga yang benar. Penyair Pa
lestina itu menulis baris ini dalam sajaknya: ”Kami bepergian se-
perti orang lain, tapi pulang ke sebuah tempat yang tak ada”. Di
situ seperti terungkap rasa sedih yang ditelan: tempat yang tak
ada itu justru begitu berarti—tempat yang tak hadir tapi diben-
tangkan tiap hari:
mortir, AK-47, dan sabuk berisi peledak, seraya tahu mereka akan
kalah. Pesawat-pesawat tempur jet F-16 Israel mengaum di langit,
dan orang-orang itu hanya bisa mengatakan, ”Kami punya tubuh
yang bisa meledak.”
ragam yang di sini dan di sana di tengah kita memang dapat me-
nampung, tapi tak dapat menangkap lengkap, masa lalu,” tulis
Edward Said dalam After the Last Sky, renungannya sebagai se
orang cendekiawan Palestina di tanah asing. Ruang-ruang itu
J
IKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latin-kan de-
ngan lafal Inggris, ia adalah Zīn ad-Dīn. Di Indonesia ia
akan dipanggil Zainuddin. Konon itu berarti ”ornamen
iman”.
Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bukit-bu
kit Aljazair yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika
yang dilecut niat memperbaiki nasib, Smaïl Zidane, si ayah, pergi
merantau ke Paris. Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pin-
dah ke Marseille, di selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh
dari negeri asal.
Pada pertengahan 1960-an itu, Smaïl bekerja sebagai petugas
gudang, sering dalam giliran malam. Ia ingat Zainuddinmudah
bermimpi buruk bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu
senggangnya ia penuhkan perhatian bagi anak yang lembut hati
yang dipanggilnya Yazid atau ”Yaz” itu.
Ketika Zidane muda sudah jadi pemain bola termasyhur,dan
seluruh Prancis mengelu-elukannya sebagai pahlawan,dan para
pengagumnya memanggilnya ”Zizou”, bukan ”Yaz”, ia tak melu-
pakan apa yang diberikan ayahnya. ”Saya mendapatkan semangat
dari dia,” katanya. ”Ayahlah yang mengajarikami bahwa seorang
imigran harus bekerja dua kali lipat kerasnya jika dibandingkan
dengan orang lain—dan tak boleh menyerah.”
Daerah La Castellane, di bagian utara Kota Marseille, tempat
Zainuddin Zidane dibesarkan, tempat ia bermain bola di lapang
an Place de la Tartane, bukanlah wilayah yang ramah. Orang me
http://facebook.com/indonesiapustaka
Dalam hal itu ”Zizou” mau tak mau memikul sebuah perta
nyaan—meskipun kita tak tahu sadarkah ia akan hal itu.
Ketika Prancis keluar sebagai kampiun Piala Dunia 1998, se-
buah perayaan spontan meluap di Paris: satu setengah juta manu
sia berderet di Champs Elysees. Sebuah potret besar Zidane, pen
cetak gol yang menjadikan negerinya sang juara, diproyeksikan
di Arc de Triomphe. Ribuan orang berseru, tiba-tiba, ”Zidane!
Président!””
Zainuddin, keturunan minoritas yang disebut les beurs, serta-
merta jadi sebuah ikon bagi sebuah bangsa yang sering disebut
”paling rasialis” di Eropa.
Agaknya Piala Dunia sebuah simtom: kompetisi itu adalah
ekspresi nasionalisme dalam demamnya yang tak berbahaya. Juga
nasionalisme yang tak sama dengan rasialisme. Eropa pernahme
lahirkan Naziisme, tapi ada sesuatu yang sering diabaikan: nasio
nalisme punya kemampuan untuk melupakan.
Prancis semenjak revolusi pada abad ke-18 merupakan contoh
nya. Dari pengalaman itu pada abad ke-19 Ernest Renan menge-
mukakan pentingnya ”lupa” dalam membentuk bangsa: sebuah
”nasion” terjadi ketika ikatan kedaerahan, rasial, dan keagamaan
tak lagi diingat-ingat. Telah tumbuh hasrat untuk berbareng (le
désir de l’ être ensemble) di antara anasir yang berbeda-beda. Se-
buah kebersamaan pun terbangun.
Zidane menerima dan diterima oleh kebersamaan itu—yang
bernama ”Prancis”—ketika ada kehendak ”melupakan” ikatan-
nya dengan sesuatu yang bukan ”Prancis”. Juga di lapangan hijau
itu: ”Prancis” hadir bukan cuma pada warna kaus yang seragam,
tapi juga pada agresivitas Zidane yang melupakan diri bahwa ia
http://facebook.com/indonesiapustaka
D
EMOKRASI diberi cap buruk dan akhirnya dibuang
dari Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959.
Republik berubah sejak itu.
Konstitusi yang disusun pada tahun 1950, yang salah satu sen
dinya adalah hak-hak asasi manusia, dihapus. Sebuah majelis pe-
nyusun undang-undang dasar yang dibentuk berdasarkan hasil
sebuah pemilihan umum yang bebas pada tahun 1955—majelis
yang disebut ”Konstituante”—dibubarkan.
Praktis, Presiden Sukarno mengambil-alih kekuasaan. De-
ngan ”Dekrit 5 Juli” itu pula, Undang-Undang Dasar yang di
susun pada tahun 1945 diberlakukan kembali. Orang tahu, juga
saat itu, bahwa dengan undang-undang dasar itu—yang dising-
kat dengan ”UUD 45”—kekuasaan terpusat di tangan presiden.
Sebuah sistem yang disebut sebagai ”demokrasi terpimpin” dite
rapkan.
Bagi Presiden Sukarno, itulah jalan ke arah ”penemuan kem-
bali revolusi kita”.
Segera sesudah itu, kata ”Revolusi” (ditulis dengan ”R”) ber
kembang jadi kata yang sakti: ia bisa menggetarkan, ia bisa meng-
gugah, ia menghalalkan atau membabat apa saja yang dikehen
dakisang penafsir. Sang penafsir tentu saja sang ”Pemimpin Be-
sar Revolusi”, dan itu adalah Bung Karno.
Agak aneh, sebenarnya. Jika kita baca buku Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusionil di Indonesia, Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, kita akan melihat pada
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
OLA api tampak di langit Pangandaran, suara ”glung”
dan”bleg” terdengar di bawah bumi Yogya. Orang pun
gentar, setengah terkesima: apa arti semua itu?
Barangkali itu isyarat, bisik sebagian mereka, entah dari ang-
kasa luar, entah dari palung lautan. Barangkali itu waham,kata
yang lain. Barangkali alam dan rasa takut telah berkait, barang-
kali alam dan suasana berkabung tumpang-menumpang,dan tak
jelas lagi mana yang menyebabkan dan mana pula yang disebab-
kan.
Apa boleh buat: bencana menghantam kita berturut-turut—
dua kali tsunami dalam jarak waktu belum dua tahun, dua kali
gempa yang membunuh ratusan manusia, Gunung Merapiyang
memuntahkan lumpur panas berhari-hari .... Dengankata lain,
kesadaran kita dengan serta-merta digebrak oleh sesuatu yang tak
dapat sepenuhnya dijinakkan penjelasan ilmu, tak dapat ditata
oleh wacana, tak terjangkau utuh oleh tata simbolik. Bahasa kita
jadi gagap, dan bola api itu terasa semakin besar, suara ”glung”
dan ”bleg” itu terasa semakin menakutkan, dan kita semakin
berkabung.
Amir Hamzah pernah menggambarkan situasi manusiadan
alam yang dilimbur bencana dalam sebuah puisi yang dengan
plastis memantulkan bunyi-bunyi yang mengerikan bahkanse-
jak dari konsonan dan aliterasi kata-kata yang dibariskannya:
”terban hujan, ungkai badai, terendam karam, runtuh ripuk ta-
manmu rampak.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
”lain” yang radikal itulah yang menyebabkan kita tak akan per-
nah rampung dan usai menerjemahkannya: kita tak akan mung-
kin membuatnya sedemikian rupa sehingga ”sama” dengan kita.
Agaknya itulah yang membentuk sikap ethis kita: berhadap
an dengan yang berbeda, kita tergetar, tak akan jumawa, bahkan
kita menatapnya dengan hormat yang berkabung.
Sebab kita tahu ada yang tetap tersembunyi. Ada misteri
yang tak mungkin dianggap sekadar sebagai problem untuk ke
cerdasan kita. ”Dunia tak pernah merupakan sebuah obyek yang
tegak di depan kita dan dapat disimak”, kata Heidegger. Dunia
selalu tak berlaku jadi sasaran subyektif kita, selama ”jalan kela-
hiran dan kematian, rahmat dan kutuk, tetap membawa kita ke
dalam ada”.
Maka bola api itu mungkin tampak mungkin tidak di langit
Pangandaran, bunyi ”glung”” itu mungkin terdengar mungkin
tidak di bawah Yogya....
P
ESAWAT tempur yang mengoyak langit memang hanya
peduli akan satu hal: meniadakan yang hidup di bawah
sana. Puisi Brecht tentu saja tak menjelaskan ganasnya
kapal-kapal terbang pancar gas Israel di Libanon hari ini. Sajak
itu lebih bicara tentang hubungan kapitalisme dan perang: keper-
kasaan militer adalah indikasi niat bertahan yang lucu, ketika
yang berkuasa tak hendak mengakui betapa busuknya ”serakah
dan nestapa”.
Tapi bukankah ”serakah” (Gier) tak hanya berarti hasrat
memperbesar milik—modal atau wilayah—melainkan juga ke-
inginan memperluas rasa jeri di hati musuh dalam tingkat yang
tak sebanding dengan ancaman sang musuh itu sendiri? Yang ter-
jadi di Libanon bukanlah ”satu mata dibalas satu mata”, melain-
kan ”satu mata dibalas berpuluh-puluh mata”. Belum sampai 60
orang Israel tewas, termasuk prajurit, setelah dua orang tentara
ditangkap gerilyawan Hizbullah dan roket-roket dilontarkan
ke kota-kota Israel, tapi diperkirakan telah 600 orang Libanon
mati—sebagian besar warga yang tak hendak berperang.
”Nestapa” dalam sajak Brecht punya arti khusus: kesengsara-
http://facebook.com/indonesiapustaka
E
MPAT bulan sebelum meninggal, Dan Lev menjemput
saya di tempat saya menginap di University District, Seat-
tle. Ia masih melangkah gagah pada umur 72. Ia menge
nakan jas abu-abu dan pull-over putih. Hari itu di musim semi,
Seattle agak dingin.
Kami berpelukan. Saya lihat rambutnya menipis dan ia pucat.
Saya ingat sepucuk surel yang ia kirim di pekan ketiga Janu
ari 2006: ”Baru saja, sesudah biopsi, ternyata saya kena kanker
paru-paru. Belum terang apakah para dokter bisa berbuat apa-
apa.... Akibatnya, saya nggak bisa ke Indonesia tahun ini. Macam-
macamlah.”
Seakan-akan kanker itu gangguan yang sepele.... Tipikal Dan:
ia tak hendak membuat persoalannya dramatis. Hari itu dibawa
nya saya ke sebuah restoran dim-sum di International District.
Sambil menyetir mobilnya memasuki 24th Avenue East ia me
ngatakan kemo—dan radioterapi pada paru-parunya—telah di-
hentikan. Tumornya hanya susut sedikit. Dokter bilang—kata
nya,sambil terus memandang ke jalan di depannya—ia akan hi
dupmungkin hanya enam bulan sampai setahun lagi. Ia ucapkan
itu seperti ia mengulang ramalan cuaca.
Ia tak ingin siapa pun sedih. Terutama hari itu: ia bebas dari
kemo—dan radioterapi. Dalam salah satu surat-elnya ia me-
mang menyebut: ”Kemo itu racun memang... campuran radiasi
semacam penyiksaan yang mungkin bisa saja... dalam imajinasi
Bush cs.” Ia masih melucu-seraya menyodok Presiden Amerika
http://facebook.com/indonesiapustaka
yang tak pernah disukainya itu. Dan saya pura-pura tak murung.
Di restoran yang tak saya ingat namanya itu ia makan tujuh
potong dim-sum tanpa sambal. Ada yang terasa sakit jika ia
menelan yang pedas, katanya. Saya terdiam mendengar itu. Tapi
kannya.
Ini tentu karena Dan punya kelebihan: ia kenal pribadi para
pejuang demokrasi Indonesia yang lahir di awal abad ke-20-yang
aktif di tahun 1950-an—dan ia juga bergaul dengan mereka yang
T
EKS bersejarah itu sederet kata yang bergegas. Tak pan-
jang. Seluruhnya terekam di atas secarik kertas separuh
folio. Kita mengingatnya kembali saban 17 Agustus,
sebab hampir di tiap hari kemerdekaan itu koran dan majalah
memuat kembali foto dokumen ringkas itu, atau orang merepro
duksinyadalam ukuran besar pada papan untuk diarak dalam pa
wai: ”Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdeka
an Indonesia....”
Huruf-huruf itu jelas tulisan tangan Bung Karno yang kita ke-
nal coraknya dari dokumen-dokumen lain. Mungkin kalimatnya
diguratkan dengan sebuah pena yang kasar. Ada coretan dan per-
baikan lebih di satu tempat.
Gugupkah ia waktu menuliskannya? Kita tak tahu. Yang kita
hanya dapat bayangkan: sebuah suasana tegang. Di satu ruang
an di kota yang masih dikuasai tentara Jepang, Bung Karno dan
Bung Hatta dikelilingi para pemuda yang tak sabar. Semua telah
mendengar dari radio rahasia bahwa tiga hari yang lalu, 14 Agus-
tus 1945, kemaharajaan Nippon telah kalah perang. Maharaja
Hirohito telah menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Artinya kekuasaan itu ambruk dan tak punya daya—apalagi
hak—untuk mengklaim bahwaia berdaulat di Indonesia. Jika Je-
pang sudah takluk, itulah saat yang baik untuk merebut posisi.
Kekuasaan harus dipindahtangankan. Kapan lagi? Ayo, Bung,
ayo! Sekarang juga kita merdeka!
Bung Karno pun menulis. Waktu sempit. Keadaan mendesak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajaran dan pe
tuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika proklamasi itu bisa di-
anggap bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresisebuah prag-
matisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada
A
DA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek,
bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas,
dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih meng
ingatsosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa
Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan
tonggaktersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau me-
mandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan
untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebat
an politik dan persaingan yang terbuka.
Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan
umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnyase
bagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam kehidupan
demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi
kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.
Tapi tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidup
an masyarakat. Retorika bisa begitu berkobar dan percikannya
bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini, ucapan-
ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang
mungkin kelak ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia
setelah 1959.
Dari pemilihan 1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante,
dewan perwakilan yang bertugas merumuskan konstitusi. Keti-
ka pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan berlang-
sung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar nega
ra,Pancasila atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh
http://facebook.com/indonesiapustaka
masing-masing pendukungnya.
Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi se-
dikit yang segalak pidato Isa Anshary dalam majelis yang bersi-
dang di Bandung itu:
252
Catatan Pinggir 8
MAHFOUZ
D
I lorong itu ada kedai kopi Kirsha. Dindingnya yang
doyong dihias ragam arabesk berwarna-warni. Bau
racikan jamu menyebar: aroma masa lampau yang jadi
bumbu dan obat orang ramai.
Tapi dari latar yang apak itu ada sikap menampik anasir masa
lalu, seakan-akan ingin menghalau warisan yang membentuk diri
dalam ketertinggalan bertahun-tahun. Ketika datang seorang
pengamen tua memainkan alat gesek dua dawai buat mengiringi
selawat Nabi, Kirsha berteriak: ”Kau mau paksa kami dengarkan
itu lagi? Sudah, cukup, cukup! ’Kan sudah kuperingatkan ming
gu lalu!”
Bagi Kirsha, penyair-penembang tua itu hanya sisa yang di-
lampaui sejarah. ”Kami hafal semua kisah yang kau ceritakan....
Orang kini tak menghendaki penyair. Mereka terus-menerus
minta radio, dan aku sudah memasangnya di sudut itu. Pergilah.
Tinggalkan kami....”
Zuqaq al-Midaqq (Lorong Midaq), novel Naguib Mahfouz
yang pertama kali terbit pada tahun 1947, dalam banyak hal ber-
cerita tentang Kairo, tapi juga Mesir, dan juga, dalam arti tertentu
”Dunia Ketiga”—sebuah dunia yang, menurut Mahfouz dalam
pidato penerimaan Hadiah Nobel-nya pada tahun 1988, tempat
orang didera kerja untuk membayar utang, tenggelam dalam
bencana dan rudin dalam kelaparan, tempat manusia didiskrimi-
nasikan dan, seperti orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat Su
ngaiJordan, hidup terasing di tanah mereka sendiri. Tak meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka
herankan bila novel ini dapat disadur jadi sebuah film Meksiko.
Tapi bukan kesengsaraan itu sebenarnya yang mengusik. Di
dunia seperti yang menghuni lorong Midaq, hidup bagaikan se
petak tanah genting. Ia terbentang di antara masa lampau yang
bak istana purba yang megah tapi berdebu dan masa depan yang
tak jelas tapi gemilang, karena apa pun bentuknya, yang akan
datang niscaya lebih baik ketimbang yang ada sekarang.
Hamidah, gadis cantik dalam novel ini, yang mendambakan
lepas dari masa kininya, bersedia diperistrikan Abbas, seorang
pemuda yang tak menarik hatinya namun bisa menjanjikan jalan
keluar. Lelaki itu bekerja jadi barbir bagi pasukanInggris. Hami-
dah sendiri kemudian jadi pelacur melayani tentara Sekutu yang
bermarkas di Kairo pada masa perang melawan Hitler itu. Ger-
monya memberinya nama baru, ”Titi”. Hamidah patuh. Nama,
baginya, seperti ”pakaian tua, dapat ditanggalkan dan dilupa
kan”.
Tapi tak semua hal mudah dilupakan. Lorong Midaq, sebagai
mana dilukiskan Naguib Mahfouz, adalah ”permata dari zaman
yang telah berlalu yang pernah bercahaya seperti bintang berkilap
dalam sejarah Kairo”. Sejarah memang telah membentuk sedi-
men yang tebal di kota itu. Pada 969 para pengikut Fatimah, pu-
tri Nabi, menaklukkan kota itu ketika mereka hendak menegak-
kan daulat sendiri melawan Daulat Abbasiyah di Bagdad. Nama
Kairo pun dimulai. Al-Qahira berarti ”Yang Menang”. Posisinya
menanjak. Pada abad ke-13 ia jadi ibu kota ketika kaum Mame-
luk berkuasa, dan begitulah seterusnya, juga ketika yang bertakh-
ta berganti-ganti.
Saya tak kenal pandangan Mahfouz dan tak tahu bagaimana
ia memandang masa silam. Seperti banyak orang, saya hanya
menduga tiap imajinasi tentang Mesir—negeri yang begitu erat
di hati Mahfouz dan praktis tempat ia tak pernah beranjak—di
bentuk oleh sejarah yang memberat di kepala, seperti mahkota
http://facebook.com/indonesiapustaka
datang karena merasa iman terancam dan agama tak lagi utuh
dan stabil.
Persoalannya: keadaan terancam itu akan selalu menyertai
tiap iman, tiap dogma, karena sumber Kata tak lagi terjangkau.
Tapi anehnya manusia justru bisa nyaman dengan itu. Seperti di-
katakan Kirsha, si pemilik kedai, orang tak butuh lagi penyair
yang menembangkan selawat Nabi. Mereka butuh radio.
Seperti penyair tua di novel itu, Mahfouz pergi, bahkan se
belum ia meninggal pekan lalu. Bunyi-bunyi lain telah mening
kah suaranya yang kian lemah.
P
ADA suatu saat di abad ke-19, seorang sastrawan Jawa
bertanya gelisah kepada dirinya sendiri: lebih berat ke
manakah hatiku, ke Allah atau ke Ratu?
Untuk beberapa lama ia tak bisa menjawab. Tapi akhirnya ia,
seperti tertulis dalam kitab Wedatama, menentukan sikap: dalam
soal bot Allah apa gusti, kesetiaannya tertuju lebihkepadaia yang
bertakhta di bumi. ”Allah” bukan pilihan pertama.
Kita sekarang akan menganggap pilihan itu kontroversial.
Tapi sudah disebutkan, ini abad ke-19. Penulis puisi itu—konon
ia Mangkunegara IV sendiri, yang memerintah Surakarta dari
1857 sampai 1881—menganggap yang dihadapinya bukanper-
soalan theologi atau filsafat, melainkan identitas sosial.
Alasannya sederhana: ia bukan keturunan khatib atau tokoh
agama. Ia anak ”priayi”, lapisan pejabat kerajaan yang terpaut
langsung atau tak langsung dengan aristokrasi. Sang penyair We-
datama tak merasa tergabung dalam kalangan kaum, sebutanun-
tuk orang-orang yang penampilan dan pernyataan dirinya diben-
tuk idiom ”Islam”. Ia bukan ”santri”. Dengan keangkuhan yang
setengah disembunyikan ia anggap ia akan ”nista” bila bergabung
dengan kasta kaum yang di bawah itu. ”Yèn muriha dadi kaum te
mah nista....”
Dengan demikian, ”Allah” dilihat hanya sebagai salah satu
pilihan. Ia dapat dibandingkan dengan Raja. Keduanya praktis
sejajar. Bersamaan dengan itu, ”Allah” juga tak dianggap punya
daya imbau yang universal.
http://facebook.com/indonesiapustaka
N
ASKAH itu berupa 26 percakapan yang dilupakan
orang. Semuanya berlangsung menjelang akhir 1391.
Waktu itu Bizantium belum jadi wilayah Turki, tapi pe
nguasanya, Manuel II, harus merendah: ia masih disebut ”raja”
atau ”Autokrator”, namun praktis ia cuma seorang vasal di bawah
daulat sultan yang bertakhta di Anatolia.
Sejak 1379, Bizantium berdiri rapuh dan tergantung. Karena
perselisihan takhta dengan adiknya, Manuel yang waktu itu ber
umur 29 minta proteksi dari Sultan Murad I. Mulai dari sinilah
Bizantium harus bayar upeti dan ikut dalam aliansi militer de-
ngan negeri tetangganya di Selat Bosporus itu. Manuel selalu siap
patuh.
Pada tahun 1391 itu ia dititahkan ikut dalam peperangan di
pantai Laut Hitam. Tapi agaknya di Ankara ia punya waktu un-
tuk hal lain. Sejak Oktober sampai Desember ia berbincangde-
ngan seorang ”kadi” kota itu. Dari sinilah meskipun mungkin
tukar-pikiran itu tak sepenuhnya terjadi lahir naskahDua Puluh
Enam Dialog dengan Seorang Parsi. Dokumen ini umumnya tak
ditengok lagi sampai ketika Paus Benediktus XVI mengutipnya
di sebuah ceramah di Universitas Regensburg, Jerman, pekan
lalu.
Saya tak pernah membaca sendiri tulisan Manuel II. Tapi saya
tak akan heran jika di sana sikap anti-Islam bergema kuat. Sang
Autokrator adalah ahli waris konflik dan kekalahan di hadapan
kekuasaan Turki, nama yang waktu itu berarti ”Islam”. Ayahnya
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
ADA mulanya logos. Kemudian keraguan.
Adapun logos, menurut para pakar, berasal dari kata
Yunani legein, ”menghimpun”. Tapi kita akan terkecoh
bila menyangka kata dari zaman kuno itu tak berkait dengan
rasionalitas.
Ketika dalam puisi Illiad Homeros menggunakan kata kerja
yang akarnya sama dengan logos untuk menggambarkan laku
menghimpun senjata, baju zirah, roti, dan lain-lain, di sana telah
tersirat penyusunan kategori—sesuatu yang kemudian kita ke-
nali dalam katalogus. Yang termasuk ”senjata” punya anasir yang
berbeda dengan ”makanan”. Ada proses abstraksiyang memben-
tuk konsep: ”panah” lain dari ”lembing”, tapi keduanya dirumus-
kan sebagai senjata.
Logos pun berarti ”kata”, sesuatu yang merumuskan (dan juga
memberi bentuk) benda atau laku yang beraneka ragamsebagai
satu acuan. Logos pula yang menyusun alur dan struktur cerita
dalam prosa, mengatur argumentasi dalam discourse.
Artinya, yang centang-perenang diletakkan ke dalam sebuah
tata. Keanekaragaman yang tampak sebagai chaos ditiadakan.
Dari ”kekacauan” perbedaan itu ada yang bisa diidentifikasikan
sebagai sejenis, digolongkan sebagai satu. Agaknya sebab itu He
rakleitos mengatakan, siapa yang mendengarkan logos (yang uni-
versal) akan mengakui bahwa semua hal adalah satu.
Tapi ”satu” bisa palsu. ”Satu” juga bisa kaku. Ketika yang bhi
neka ditampilkan jadi eka, tidakkah ke-anekaragam-an itu di
http://facebook.com/indonesiapustaka
bila pada saat yang sama ”Eropa”-lah yang dinilai mewakili ”akal
budi” yang seperti itu. Di Indonesia kita tak perlu membaca kritik
Adorno dan Horkheimer (dua pemikir yang pada suatu saat ter
singkir dari Eropa) untuk melihat ”Eropa” juga bisa berarti pen-
jajahan, ketika pada mulanya logos, kemudian kita tak bisa lolos.
A
YAAN, anak gadis yang kelak membuat heboh Eropa
itu,memulai pemberontakannya di sebuah gedung bios-
kop. Itu terjadi ketika ia, asal Somalia, bersama ibu, ka-
kak, dan adiknya tinggal sebagai keluarga pengungsi di Kenya
pada akhir tahun 1980-an.
Pada umur belasan tahun itu ia jatuh cinta kepada seorang pe
muda yang ia beri nama rahasia ”Yussuf”. Bagi keluarga Ayaan,
hubungan itu salah. Pemuda itu orang Kenya. Tapi seandainya
pun bukan, pacaran adalah perbuatan cela bagi gadis muslimah
seperti dia.
Maka di dalam gelap di depan layar putih itulah Ayaan mene
mukan jalan bagaimana bisa duduk berdampingan dengan ”Yus
suf”. Mereka bersentuhan tangan. Tapi hatinya berdebar keras
oleh gairah dan juga rasa bersalah. Di depan mereka adegan-
adegan A Secret Admirer—sebuah film komedi Hollywood buat
remaja—diputar, dan mereka melihat bagaimana anak-anak mu
da nun di ”Barat” itu berciuman di bibir, tanpa ketakutan, dan
akhirnya bahagia.
Ayaan bukannya tak datang dari sebuah keluarga terpelajar.
Ayahnya, Hirsi Magan Isse, seorang pakar bahasa dan bahkan
pernah belajar di AS. Lelaki ini percaya bahwa demokrasi pen
ting, begitu juga pendidikan untuk perempuan. Ia jadi seorang
aktivis. Somalia berada di bawah kediktatoran Mohammad Said
Barre, dan Hirsi melawan. Ia dipenjarakan. Ketika itu Ayaan la-
hir. Keluarga itu meninggalkan tanah kelahiran mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka
272
Catatan Pinggir 8
2020
P
ADA tahun 2020, dunia baru akan lahir. Kekhalifahan
Islam akan menang, dan ”umat manusia sekali lagi akan
dituntun ke pantai rasa aman dan oasis kebahagiaan ....”
Waktu itu berakhirlah ”konfrontasi total” antara kaum ”muk
minin” dan ”orang kafir” yang berlangsung di seluruh dunia—
dan tahap ketujuh dalam rencana besar Al-Qaidah akan terpe
nuhi.
Jika benar seperti yang diuraikan Fouad Hussein dalam buku
yang versi Inggrisnya disebut Al-Zarqawi: The Second Generation
of Al-Qaeda, rencana Al-Qaidah untuk menang itu—yang terdiri
dari tujuh tahap—sudah mulai tampak sekarang. Tahun 2006
termasuk ”tahap kedua”, ketika Irak jadi tempat Al-Qaidah me
nemukan tenaga baru dari anak-anak muda yang ingin menye
rang Amerika—musuh yang angkuh dan bodoh yang masuk ke
perangkap yang dibuatnya sendiri.
Tapi, sebelum saya lanjutkan cerita ini, baiklah saya perkenal-
kan sedikit Fouad Hussein. Ia seorang wartawan Yordania.Dari
sosoknya yang kurus dan sikapnya yang tenang—ia sering tam-
pak di Café Vienna di Kota Amman—kita tak akan menduga ia
punya bahan cerita yang mengagetkan. Tapi 10 tahun yang lalu
Fouad—yang tulisan-tulisannya tak selamanya menyenangkan
raja—disekap pemerintah di penjara Suwaqah. Di situlah ia ber-
temu dengan dua tahanan lain. Yang satu seorang Palestina, Abu
Muhammad al-Maqdisi. Yang lain Abu Musab al-Zarkawi.
Maqdisi sudah lama dikenal sebagai perumus ideologi gerak
http://facebook.com/indonesiapustaka
yak....”
Suara seperti ini memang seharusnya tak ganjil. Tapi kata ”ji-
had” telah membangkitkan kultus kepada darah dan besi, bu-
kan kesadaran akan rasionalitas sesama manusia. Retorika pun
B
ANDUNG Bondowoso menyusun batu dan menegak-
kan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam.
Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-
suara pagi datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak ber-
hasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentu-
kan.
Legenda Loro Jonggrang—yang menjelaskan asal-usul him
punan candi yang mempesona di Prambanan itu—memang se-
buah cerita kegagalan.
Syahdan, Bandung Bondowoso yang menang perang berhas-
rat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang
telah dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnyatelah
jatuh ke tangan kekuasaan Pengging—dan itu berarti ia bukan
lagi orang yang merdeka. Tak mungkin ia menampik kehendak
seorang lelaki yang kini dipertuan.
Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan
mau menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegak-
kan dalam satu malam.
Bandung Bondowoso setuju.
Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agak
nyalegenda Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang
ingin bercerita bahwa tiap kemenangan selalu mengandung ke
kalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan dan di
luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah mema-
http://facebook.com/indonesiapustaka
mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Peng-
ging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam
hubungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempuan
itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki.Bahkan Ban
dung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan Jonggrang.
Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam
hubungan itu adalah cinta, dan cinta—dengan atau tanpa mem-
baca kalimat Thomas ă Kempis pada abad ke-15—tak merasakan
beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba
apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di
hadapan kemustahilan”.
Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung me-
nerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang
telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasamalu untuk
menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi dalam satu
malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengandung peng
akuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam
posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga
menemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan
yang lain yang tegak di luar itu—yang lain yang memandang ke
arahnya.
Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada se-
buah senja ia berkata kepada peminangnya: ”Sebenarnya saya
takjub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang.
Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan ber-
buat,” jawab Bandung Bondowoso.
http://facebook.com/indonesiapustaka
”Untuk apa?”
Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengan
nyadan berjalan kembali ke markas pasukan, melewatideretan
panji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemuiLoro Jong-
K
ETIKA Orhan belum berumur 10 tahun, ia memba
yangkan Tuhan sebagai seorang perempuan tua bertu-
dung putih.
”Tiap kali bayangan itu muncul di depanku, aku rasakan ke
hadiran yang kuat, luhur dan sublim, tapi anehnya aku tak takut-
takut amat, ” tutur Orhan Pamuk dalam Istanbul (versi Inggris-
nya terbit pada tahun 2005).
”Seingatku, aku tak pernah meminta tolong Dia dan petun-
juk-Nya. Aku sadar Ia tak pernah tertarik kepada orang macam
diriku. Ia hanya peduli kepada mereka yang miskin.”
Hidup novelis Turki ini memang jauh dari mereka yang mis
kin. Sampai sekarang, dalam usia 54, ia tinggal di lantai ke-4 ba
ngunan lima tingkat yang dulu seluruhnya ditempati keluarga
besar Pamuk dan diatur seorang nenek gemuk dari tempat tidur.
Dari jendela kamar itu akan tampak Masjid Hagia Sophia, Laut
Marmara, Selat Bosporus, Istana Topkapi—hiasan termasyhur
tamasya Istanbul.
Si kaya yang aman yang tak menganggap penting Tuhan—
itulah yang tergambar dari kenangan Pamuk tentang hidupnya di
kota tua yang melankolis itu. Malah mungkin ada sikap yang le
bihradikal, jika novel Beyaz Kale (versi Inggris: The White Castle)
kita anggap mengandung anasir otobiografis si pengarang. Kakek
si Faruk, sejarawan pemabuk dalam novel ini, tak percaya kepa-
da Tuhan tapi kepada Pencerahan Eropa. Ia ingin membawa ra-
sionalisme ke Turki dan menulis 48 jilidensiklopedia. Kakek si
http://facebook.com/indonesiapustaka
nya”. Bagi si kecil ini, Tuhan ada buat menolong mereka yang ke-
sakitan, menawarkan rasa senang kepada mereka yang tak punya
uang untuk mendidik anak, membantu para pengemis yang tak
henti-hentinya menyebut nama-Nya.
Kesalehan dan kemiskinan, kelas atas dan kemungkaran—
pola ini, yang dalam variasi berbeda juga pernah tampak di Indo-
nesia, (dengan lapisan aristokrat yang dekat dengan Belandadan
orang kebanyakan yang mendapatkan kekuatan dari Islam)—di-
hadirkan Pamuk dengan sedikit sayu, sedikit cemooh, tapi penuh
empati.
Dalam Istanbul ada Esma Hanim, misalnya, si batur yang tiap
waktu senggang akan cepat-cepat ke biliknya untuk menggelar
sajadah dan bersembahyang. ”Tiap kali ia merasabahagia, sedih,
takut, atau marah, ia akan teringat Tuhan,” tulisPamuk tentang
pelayan pada masa kecilnya itu. ”Tiap kali ia membuka atau me-
nutup pintu..., ia akan menyebut nama-Nya dan kemudian mem-
bisikkan beberapa kata lain, lirih-lirih.”
Umumnya keluarga Pamuk—yang tak pernah berpuasapada
bulan Ramadan tapi menyiapkan berbuka dengan gairah—me-
nerima sikap itu dengan nyaman. ”Bahkan bisa dikatakan, kami
merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada... kekuatan
lain yang membantu mereka menanggungkan beban.”
Tentu saja ada rasa waswas, ”kalau-kalau orang miskin itu bisa
menggunakan hubungan khusus mereka dengan Tuhan untuk
menghadapi kami”.
”Hubungan khusus” itulah yang memang kemudian dipakai
mereka yang melarat dalam Kar, (versi Inggrisnya, Snow, terbit
pada tahun 2005), novel tentang seorang penyair yang datang ke
http://facebook.com/indonesiapustaka
H
OROR tak pernah tampil sebagai yang normal. Juga
ketika kita tak bersama cerita hantu. Dalam kisah Flash
Gordon, horor adalah Kaisar Ming; dalam film James
Bond: Dr No; dalam wayang: raksasa berhidung grotesk.
Hari ini horor dunia juga datang dari sosok yang ganjil, atau
dianggap ganjil: sebuah republik teka-teki, negeri di utara yang
dulu disebut ”Kerajaan Pertapa” dan kini benteng tertutup, se-
buah ”demokrasi rakyat” yang menyembah seorang lelaki yang,
menurut sejarah resmi, lahir di pucuk gunung sakral ketika bin-
tang menyilaukan. Ia Kim Jong-il, ahli waris takhta yang tetap
manja pada umur 65, pemimpin yang disanjung dengan gelar
yang muluk-muluk, penguasa yang dikelilingi jenderal berbin-
tang emas, kepala negara yang rakyatnya lapar tapi menantang
seluruh jagat dengan menyiapkan senjata nuklir.
Jarum jam apokalipse itu, yang beristirahat sejak Perang Di
nginselesai 20 tahun yang lalu, kini tampak bergerak lagi. Bah-
kan lebih mencemaskan: ia tak jauh dari telunjuk sang otokrat
yang duduk tak terjangkau, penuh rahasia, di sebuah istana di
Kota Pyongyang.
Dan horor pun bertengger di atas horor; yang menakutkan
bertaut dengan yang tak lazim.
Tapi jika horor selalu berkait dengan yang aneh dan tak ter-
jangkau, bukan berarti ia tak bisa berupa kejadian sehari-hari. Ia
bahkan bisa terasa banal; kita ingat Hannah Arendt pernah ber-
bicara tentang ”the banality of evil”.
http://facebook.com/indonesiapustaka
telah dipermak jadi ruang yang melupakan apa yang terbelah da
lam dirinya—ruang yang normal dan banal.
Banal—itu juga yang bisa dikatakan tentang dalih Bush dan
orang sejenisnya. Ketika ribuan kematian hanya mereka anggap
H
IDUP memang bukan pasar malam, kata seorang to
koh novel Pramoedya Ananta Toer, tapi mungkin hi
dupibarat kereta api. Maka kali ini saya ingin menulis
tentang sepur dan manusia—sepur bukan hanya sebuah sarana
perjalanan, tapi juga sebuah ruang pertemuan dengan orang lain
yang bergerak dari dan ke tempat yang berbeda, semacam keber-
samaan dan kesendirian yang tak kekal.
Mungkin karena itulah adegan di kereta api sering masuk ke
pelbagai bentuk ekspresi yang mengemukakan saat yang ajaib,
ketika manusia seakan-akan menemukan degupnya kembali, jus-
tru dalam satu trayek lurus yang sebenarnya membuat jemu.
Dalam lagu Sepasang Mata Bola, misalnya. Lagu ini ditulisdi
masa perjuangan bersenjata melawan Belanda pada tahun 1940-
an—ketika hidup sosial terguncang-guncang, ketika tempat asal
dan tujuan sama-sama jadi hanya sejenis ruang transit, ketika
orang dengan cepat berpindah lokasi dan kelas.
uang untuk beli tiket. Terhadap yang terakhir inilah para penum-
pang tadi jadi kontras tapi sekaligus bagian dari sebuah solidari-
tas. Si profesor mengantarkan segelas susu panas bagi si bayi imig
ran yang terusir dari bordes, trio penggemar bola itu merelakan
M
ENYEBUT Yesus Kristus ”filosof” adalah sebuah tin-
dakan yang ganjil. Seorang filosof mengamati hidup,
merumuskan pandangan dan sikapnya—dan pada
suatu saat digugat, dikritik, atau dibatalkan filosof lain. Seorang
Kristen lazimnya tak akan menganggap Yesus seenteng itu. Bush,
yang dalam kedudukannya sebagai Presiden Amerika Serikat
menghidupkan ”kelompok studi Injil” di Gedung Putih, tentu
menyadari itu. Tapi ia—dan juga orang-orang konservatif di seki-
tarnya—memang punya kecenderungan mencampur-adukkan
yang ”ilahiyah” dan yang ”duniawi”. Mereka ingin mengalahkan
pemisahan antara agama dan negara, antara agama dan pengelo-
laan masyarakat, antara agama dan ilmu.
John Ashcroft, tokoh Pantekosta yang kemudian diangkat ja
di Jaksa Agung, pernah dikutip mengatakan bahwa dinding yang
memisahkan gereja dan negara adalah ”dinding penindasan atas
agama”. Garry Willis, dalam tulisannya untuk The New York
Review of Books 16 November 2006, menguraikan bagaimana
pemerintahan Bush dan orang-orang Kristen sayap kanan men-
coba meluruskan—dan dengan demikian mengobrak-abrik—
pengertian tentang pelbagai hal, termasuk keadilan, yang diba
ngundari pengalaman manusia berabad-abad, pengalaman yang
sering disertai kesengsaraan dan kebodohan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
296
Catatan Pinggir 8
GAUTAMA
K
ITA tahu cerita termasyhur ini: seorang pangeran la-
hir di dekat kota kecil Kapilavastu, putra mahkota yang
jeritpertamanya dari kandungan ditandai oleh keceria
an alam. Yang dramatis dari riwayat ini ialah ketika ia dewasa,
Siddharta Gautama memulai sebuah sejarah besar dengan se-
buah selamat tinggal yang radikal.
Masa lalunya, yang ditopang takhta dan kekuasaan, dijalin le
zatnya hidup di puri dan bahagianya hidup berumah tangga, jadi
masa yang terasa sebagai ilusi. Pangeran yang lembut hati itu—
meskipun dicoba dijauhkan dari dunia di luar istana yang ter
lindung—telah melihat seorang yang sakit, menyaksikan orang
jadi tua renta, dan bersua dengan jenazah yang diusung. Agaknya
kefanaan yang disaksikannya itu mengguncang hatinya benar. Ia
akhirnya menyadari bahwa semua itu bagian dari hidup—yakni
sebuah jurang yang dalam, di mana kematian dan ketiadaan me-
lekat erat dengan dan dalam diri.
Tapi yang menarik ialah bahwa hal itu tak memberi Buddhis
me—yang berangkat dari pandangan dan pengalaman Siddhar
taGautama itu—sebuah dalih untuk membinasakan hidup dan
diri sendiri. Saya bukan seorang Buddhis, dan hanyasedikit yang
saya pahami tentang agama ini, tapi jika ada yang menggugah
dari dalamnya ialah bahwa seraya melihat hidup sebagai sesuatu
yang mengapung-apung di atas ketiadaan, Buddhisme tak me-
nyebarkan sikap yang pahit dan amarah terhadap nasib. Yang
berubah ketika kita sadar akan hal itu ialah tatapan dan gerak
http://facebook.com/indonesiapustaka
kita di dunia. Kita tak lagi maju dengan bergegas ke depan, tak
sabar merengkuh dan menaklukkan dunia. Dengan menyadari
bagaimana ketiadaan atau maut berada dalam inti hidup, kita
akan menyentuh dengan mesra apa yang langsung hadir di bawah
kaki.
Dalam arti tertentu, itu juga mengandung sikap bersyukur
yang sederhana—sesuatu yang dilupakan di sebuah masa ketika
begitu sering sikap tak hendak mengenal syukur berbentuk keti-
daksabaran. Ketidaksabaran itulah pangkal keserakahan, hasrat
mendapatkan sebanyak-banyaknya dalam hidup, dengan lekas.
Ketidaksabaran pula yang jadi awal penaklukan dan pembasmi
an. Yang mengerikan di masa ini ialah ketika ketidaksabaran
mendapatkan teladannya pada dua hal: manusia yang menang
dan Tuhan yang murka.
Manusia yang menang—yang bisa mempengaruhi opinidu-
nia, yang bisa menaklukkan orang lain, yang bisa membelihal-
ihwal, dan yang bisa mengakumulasikan milik dan kuasa—itu
kita saksikan setiap hari di media, di gedung-gedung peradilan
dan pemerintahan, di pasar, di medan perang dan konflik. Se-
dangkan Tuhan yang murka kita dengarkan hampir tiap pekan
lewat mimbar agama yang mengancam hidupdengan api neraka.
Tapi kita tahu bahwa akhirnya ketidaksabaran akan terbentur
dan kemenangan hanya terbatas jangkauannya. Di situlah kesa
daran akan ”sunyata”, akan apa yang suwung, sunyi dan ”hampa”
yang tersembunyi dalam hidup jadi penting untuk membentuk
kesadaran akan terbatasnya ”aku”....
Pada tahun 1922, pengarang Jerman yang memenangkan
Hadiah Nobel pada tahun 1946, Herman Hesse, menerbitkan
Siddhartha—kisah perjalanan pencarian spiritual seorang pemu-
da yang akhirnya berjumpa dengan Sang Buddha sendiri.Seperti
Sang Guru yang namanya mirip dengan namanya, Siddhartha
bermula dari rasa murung dan berakhir dengan rasa tenteram
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
OM atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, de
ngancahaya panas yang mengerikan pada bulan Agustus
1945. Jepang pun takluk. Maka Amerika Serikat keluar
dari perang besar itu dengan kekuatan yang membuat gentar sia-
pa saja. Tak ada yang menandingi. Dari musim panas yang berse-
jarah itu, abad ke-20 seperti sudah siap menjadi ”Abad Amerika”.
Tapi pada bulan November, Walter Lippmann menuliskan
kata-kata itu dalam kolom regulernya, Today & Tomorrow: ”Beta-
papun besarnya, kekuatan Amerika terbatas.”Ia tak terbawa oleh
suasana bertepuk tangan. Ia tak hanyut.
Saya tak tahu kenapa ia bisa melihat, sendirian, apa yang tak
dilihat orang ramai itu. Lippmann pernah mencemaskan demo
krasi sebagai medan ”mentalitas kawanan”. Ia melawan itu, dan
anehnya terkadang ia bisa memberikan sesuatu kepadaorang ba
nyak yang tengah menghadapi tahun-tahun yang merisaukan.
Tahun yang seperti itu tak putus-putusnya datang pada abad
ke-20. Dan Lippmann, jurnalis terbesar pada zamannya, yang
hidup antara 1889 dan 1974, telah melintasi pelbagai babakan
besar dalam sejarah: dua perang dunia, beberapa dasawarsa ”Pe
rangDingin”, dan sederet panjang pemerintahan, sejak Presiden
Woodrow Wilson sampai Richard Nixon. Hampir tiap hari da
lam hidupnya ia mengamati, merenungkan, menulis—dengan
pikiran jernih dan rasa prihatin yang sejati.
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan suara PBB dan suara orang ramai di dunia, begitu ia memu-
tuskan untuk menyerang Irak. Batas, baginya, adalah kata yang
sulit dipahami. Ia tak pernah membaca Lippmann: ”Tak ada kiat
yang lebih sulit ketimbang menjalankan sebuahkekuasaan yang
besar dengan tepat... semua tergantung bagaimana kita secara
kena mengukur kekuatan kita, dan bagaimana secara benar meli-
hat kemungkinan-kemungkinan dalam keterbatasannya....”
S
ALENA Jones menyanyi ke udara Jakarta dalam Jakjazz
2006. Dalam rasa asyik, tiba-tiba kita merasakan seakan-
akan kota ini sedang menopang sebuah musik yang men-
jerit, terkadang serak, melankolik. Kota ini jadi ruang di mana
ada yang menjulang tak kunjung terjangkau, tapi juga ada liang
di jalan yang tak diingat, gorong-gorong yang pada saat yang
sama menyembunyikan celurut, sampah, dan mungkin sampar.
Kota ini setengahnya sebuah tempat ekspresi, setengahnya yang
lain sebuah ujian stamina.
”Kota seperti ini membuatku bermimpi muluk dan merasa
dekat pada hal ihwal...,” kata sang pembawa cerita dalam Jazz,
novel Toni Morrison tahun 1992. ”Baja cerah yang bergoyang
di atas keteduhan di bawahnya itulah yang membuatnya demi
kian.”
Sang kota, ”the City”, dalam novel yang seakan-akan terdiri
dari cetusan improvisasi dengan pelbagai peserta ini, adalah Har-
lem, New York, pada tahun 1920-an. Meskipun punya sejarah
yang berbeda dengan kota mana pun, apalagi Jakarta, ia punya
pola seperti Jakarta: kota yang merangsang dan sekaligus mem-
batalkan impian.
Ia adalah tempat pelarian yang menyingkir dari muramnya
hidup di pedalaman. Di Amerika Serikat masa itu, ”muram” ber
arti ”hitam” yang dianiaya oleh orang-orang kulit putih di wi
layah Selatan. Di Indonesia masa kini, ”muram” berarti si muda
yang terimpit miskin dan pengangguran. Kedua-duanya berbe-
http://facebook.com/indonesiapustaka
da, dan perbedaan itu amat penting, tapi pada akhirnya kedua-
duanya mengiris dan menorehkan kepedihan. Juga kebengisan.
Dalam Jazz, Joe Trace menyingkir dari kota kelahirannya
di bagian Selatan itu, Vienna, yang habis terbakar. Api merah
Maka jika ada yang menonjol dalam hijrah sekuler itu bukan-
lah adanya keyakinan, tapi tiadanya teks suci dan kekuasaan me
reka yang menjaganya. Bahkan teks suci apa pun tak akan dapat
menguasai sepenuhnya liku-liku hidup orang seperti Joe Trace
S
AYA ingin bercerita tentang harapan yang tak selamanya
berkaitan dengan Tuhan, meskipun ini bulan Desember.
Juga tak ada hubungannya dengan kabar baik yang dita-
warkan katedral baru kapitalisme, di mana lagu Malam Sunyi di
sebar di ruang terang-benderang bukan untuk menyambut su-
nyi—ruang-ruang Pondok Indah Mall, Senayan City, dan entah
apa lagi.
Saya ingin bercerita tentang harapan justru dari sebuah sel ge
lap yang menyekap seorang yang menolak kapitalisme dan me-
nampik Tuhan. Ia Rosa Luxemburg, tokoh besar dalam sejarah
sosialisme Eropa yang akhirnya mati dibunuh.
Syahdan, pada bulan Desember 1917, Rosa menulis sepucuk
surat dari Penjara Breslau. Perempuan ini disekap pemerintah
Jerman karena ia, seorang warga negeri baru, dengan berani dan
berapi-api menentang perang yang tengah berlangsung dengan
gegap-gempita genderang patriotisme.
Tahun-tahun itu banyak hal terjadi: revolusi, aksi massa bu-
ruh, perpecahan kaum sosialis, nasionalisme yang berkibar-kibar,
dan ketegangan politik Eropa dalam perang. Rosa Luxemburg
disekap—setahun kemudian ia dibunuh—tapi aneh, sepucuk
surat itu tak membahas hal-hal besar itu.
”Di sinilah aku terbaring,” tulisnya, ”dalam sebuah sel gelap
di atas lapik yang keras seperti batu; gedung ini sesunyi sebuah
pelataran gereja, begitu rupa hingga orang sama saja dengan di-
kuburkan.”
http://facebook.com/indonesiapustaka
suara batuk kering penjaga bui yang dengan sepatu larsnya yang
berat jalan-jalan sejenak untuk meluruskan kaki. Tapi dalam ke-
adaan bosan, tak bebas, dan kedinginan itu ada perasaan ganjil:
”... jantungku berdetak dengan rasa riang yang tak terukur dan
tak dapat dimengerti, seakan-akan aku tengah memasuki cahaya
matahari yang cemerlang yang melintasi ladang bunga.Dan di da
lam gelap aku tersenyum kepada hidup, seakan-akan akulah pemilik
tuah yang memungkinkan aku mengubah semua yang keji dan tragis
ke dalam ketenteraman dan bahagia”.
”... malam yang gelap pekat ini lembut dan cantik seperti bele
du,jika saja kita memandangnya secara demikian. Geretau kerikil
lembab yang terinjak oleh langkah pelan dan berat si penjaga bui ju
ga seperti sebuah nyanyi kecil yang manis kepada hidup—bagi ia
yang bertelinga untuk mendengar”.
Jika demikian, seseorang bisa punya kabar baik yang tak hanya
berupa Natal dan iklan-iklan. ”Riwayatnya, hidupnya, karyanya,
surat-suratnya, semua mengukuhkan kehidupan dan bukannya
ajal,” tulis Simone Weil, pemikir Prancis perempuan itu, tentang
M
EREKA menembak mati Monginsidi di Pacinang,
Makassar, tanggal 5 September 1949.
Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum
dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan
Belanda itu memberikan maaf kepada regu serdadu yang bertu-
gas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lu-
kas yang merekam apa yang dikatakan Yesus pada saat-saat pe-
nyaliban. Tapi mungkin juga ia—yang tak mau meminta grasi
kepada pemerintah kolonial—sudah lama menerima apa yang
datang bersama zamannya.
Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Ja-
karta, Milly Ratulangi—sepucuk surat yang ditulisnya empat
hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya—ia menggambar-
kan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda
zamannya ”sebagai bunga yang sedang hendak mekar ... digugur-
kan oleh angin yang keras”.
Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter
Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo,
menuliskan kenangannya tentang Si ”Woce” di majalah Mimbar
http://facebook.com/indonesiapustaka
Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlet: ia anak pintar,
http://facebook.com/indonesiapustaka
does not last. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlet baru yang
akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai
sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung
ke dalam mereka yang pernah jaya tapi ”namanya mati sebelum
orangnya”, ”the name died before the man” .
Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya
mati sebelum yang empunya. Kejayaan tak selamanya gampang
hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas
di Olimpiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson
tercatat lebih unggul dalam Olimpiade Atlantapada 1996 seba
gai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400
dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds
no worse than cheers—diam yang menyertai mereka yang mati, se-
habis ”bumi menutup kuping”—tak lebih buruk ketimbang tem-
pik-sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi
itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka
yang telah melakukan sesuatu yang berarti,diam adalah sebuah
sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero—yang
berubah, fana dan berdosa—tapi sikap hormat ditujukan buat
tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh sela-
ma-lamanya.
Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas
tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, tapi oleh tindak
an-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Mongin
sidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, melainkan sebagai ke
sediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama.
”Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru:
apa salahnya ”segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada
atau tak ada ”gizi”? Tidakkah dalam ”segar” ada sesuatu yang le
bihberarti—yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibe-
bani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai
ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik,
seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegu-
nungan: sementara aku berpikir mencarijawab tentang sebab dan
akibat, seorang ”bocah cilik” menemui hidup dengan ”main ke-
jaran dengan bayangan”.
Kiranya memang hanya si ”bocah”—dan mereka yang ma-
sih punya ke-bocah-an dalam dirinya—yang tak takut untuk
melakukan hal-hal yang ganjil: ”main kejaran dengan bayangan”.
Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-
hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini—juga kecemas
an orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita
sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang—yang ber-
asal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan
cetusan subyektif dan spontan dalam kreativitas untuk mela-
wan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab pada masa
itu—sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu
yang sementara dan tak serius.
Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, to-
koh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers
(Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gai-
rah dirinya selalu mendekati taraf tanpa nalar dan berlebihan, tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka
limpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang
menyebabkan puisi Chairil—yang ditulis pada tahun 1940 ke-
tika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang
berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir—
adalah bagian yang terkena ”angin yang keras”. Ia melampaui tata
yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai ”ke-
budayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terken
dali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan meng
empas.
Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam ge
lombang.
***
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isi
nya,melainkan juga gayanya. ”Gelombang” adalah kiasan yang
tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan
badai yang terkadang tak segera kelihatan. Kita mendapatkan
ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan
antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang di-
cintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tan-
da seru.
Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang ke
mudian termasyhur itu—cerminan rasa gelisah dan protes pe
rempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa pada
akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkung
an kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang
tak sampai—Kartini meninggal pada tahun 1904.
Umurnya baru 25.
Ia meninggal sebagai seorang ibu. Pada akhir hidupnya yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
22 Desember 2006
320
Catatan Pinggir 8
http://facebook.com/indonesiapustaka
Catatan Pinggir 8
2007
321
http://facebook.com/indonesiapustaka
322
Catatan Pinggir 8
GANDARI
I
A bisa diselamatkan dari para penujum, tapi bisakah ia dibela
dari nasib? Sejak Raja Subala mendengar ramalan buruk itu,
ia perintahkan agar siapa saja yang hendak membaca masa
depan tak diperkenankan masuk ke istana. Baginda tak akan lupa
ucapan brahmana yang datang di musim semi itu—penujum ter-
akhir yang diantar dengan bergegas ke luar balairung: ”Kelak,
putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.”
Tentu saja Gandari tak mendengar kata-kata itu.
Tapi ia praktis hidup dengan sejenis tabir. Ayahnya, Raja Su
bala yang lembut hati, memerintah sebuah kerajaan kecil yang te
nang nun di utara, di bagian bumi yang kini disebut Kandahar.
Tapi itu ketenangan yang rapuh. Ketika pada suatu hari datang
utusan dengan sepucuk surat yang ditulis Bisma, sang wali penja-
ga takhta kerajaan Hastina, Raja Subala tak bisa menampik. Ker-
ajaan Hastina di seberang itu begitu kuat. Lagi pula surat itu se
buah pinangan. Siapa tak akan terbujuk jika Bisma menyatakan
Gandari akan dipersandingkan dengan raja muda Destarastra
dari wangsa Bharata?
Yang waktu itu tak diberitahukan kepada Gandari dan ke
luarga kerajaan Gandara ialah bahwa sang calon mempelai se
orang yang buta; Destarastra seorang yang lemah. KerajaanHas-
tina praktis diperintah Pandu, adiknya yang lahir dari ibu yang
berbeda. Si muka pucat yang jadi pendekar perang dan penakluk
wilayah inilah yang memegang tampuk, sampai akhirnya ia me-
ninggalkan takhta, hidup di hutan dan meninggal sebagai resi.
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
UBUH Saddam Hussein terayun ke bawah dan lehernya
langsung tercekik tali gantungan—dan kita melihatnya
di sebuah rekaman video yang melukiskan kembali saat
dramatis itu, dan kita mungkin berbisik: seorang diktator mati di
sebuah ruang pengap, sebuah demokrasi lahir.
Tapi apa sebenarnya yang bisa kita katakan tentang demokra-
si?
Di Eropa dan Amerika, orang-orang yang beradab merasa
ngeri dan mual dan berkata: ”Ah, barbarisme negeri Arab!” dan
mereka lupa bahwa demokrasi yang mereka kenal juga dimulai
dengan sebuah pertunjukan leher raja yang putus. Charles Mon-
net menggambar adegan penting dalam Revolusi Prancis itu,
disebutnya Journée du 21 Janvier, dan Isidore-Stanislas Helman
kemudian membuat karya-cetaknya. Gambar itu beredar luas.
Di sana bisa kita lihat bagaimana kepala Raja Louis XVI yang
berlumuran darah tercengkeram di tangan algojonya, setelah di-
pungut dari dasar guillotine, untuk dipertontonkan ke khalayak
ramai yang hadir di lapangan eksekusi itu.
Pada saat seperti itu, kepala sang raja tampak bersih, tak suci,
tak berpengaruh, juga kepala Saddam Hussein di atas tulang le-
her yang patah. Kekuasaan, betapapun besarnya, tak bisa mem-
beri dirinya sendiri garansi untuk tak tersentuh najis dan ter
ancamkejatuhan. Sejak Revolusi Prancis, orang sadar bahwa jika
si berkuasa bisa diibaratkan sebagai kepala, sebuah masyarakat
perlu bersiap untuk kecewa.
http://facebook.com/indonesiapustaka
membuat kategori ”barbar” bagi siapa saja yang tak datang dari
kalangan mereka—sebagai usaha menegakkan dan meneguhkan
identitas ”Yunani”—di Jerman penguasa Nazi melahirkan ide
tentang makhluk yang ”bukan-Arya” untuk menggariskan dan
S
EORANG eksil adalah seorang yang ditundung. Ia hidup
di luar negerinya sendiri, terusir, seperti puluhan orang In-
donesia yang tak bisa pulang setelah 1965 karena paspor
mereka dicabut tanpa dipastikan apa alasannya. Seorang tun
dungan pada dasarnya hidup dalam perpindahan yang belum
sampai ke mana pun juga: di dalam dirinya tersemat sebuah nege
ri yang tak terlupakan namun harus ditinggalkan, sementara itu
ia menemukan sebuah negeri lain yang kini jadi alamat tinggal
namun bukan sebuah tempat pulang.
Tak mengherankan bila ada yang retak di situ. Seperti ditulis
dalam puisi Adonis, yang mengambil kiasan tokoh epos Yunani
Kuno, Odiseus, pendekar perang yang pulang dari Troya dan me
nempuh wilayah-wilayah yang ganjil dan mengancam:
Namaku Odiseus
datang dari negeri tanpa batas
dipanggul orang ramai.
Aku sesat di sini, sesat di sana
dengan sajakku
Dan kini aku di sini, cemas dan jadi alum
tak tahu bagaimana tinggal
tak tahu bagaimana pulang
Adonis adalah Ali Ahmad Said, sastrawan yang lahir pada ta-
hun 1930 di Al-Qassabin, dekat Kota Lakasia, Suriah. Meskipun
http://facebook.com/indonesiapustaka
B
EGITU banyak orang mati di dekat kita hari-hari ini:
dalam sekejap, beberapa ratus meninggal, bahkan lenyap,
karena kecelakaan pesawat terbang di udara yang pekat
dan guncang, karena tenggelamnya kapal di laut yang gaduh, ka
renatanah longsor yang membunuh, karena flu burung yang ko-
non berkecamuk—meskipun di sini kematian relatif tidak ke
rap—atau karena anjloknya kereta api....
Dan kematian makin akrab—sepotong kalimat dalam sajak
Subagio Sastrowardojo.
Kalimat itu mengejutkan, memang. Sebab, dalam imajinasi
manusia berabad-abad, tak terbayangkan ada keakraban antara
kematian dan kita sehari-hari. Dalam Kitab Wahyu 6:8 ada gam-
baran yang mengusik dan mengilhami imajinasi orang Nasrani
dari zaman ke zaman: imaji seekor kuda berwarna putih pucat
yang berderap datang, dan Maut duduk menungganginya....
Di situ Ajal datang dari jauh. Ia datang dengan deras.
Tapi kalimat puisi Subagio tak aneh, bila, dalam meditasi
yang senyap, kita bisa merasakan betul bahwa ajal sebenarnya tak
datang dari ufuk nun di sana. Kematian tersemat dalam hidup.
Ketiadaan berada di dasar ada.
Mungkin jarak antara ajal dan kehidupan adalah beda yang
dirumuskan nenek-moyang kita ketika mereka kemekmek, ngeri,
tapi tak mampu memecahkan misteri asal dan akhir manusia.
http://facebook.com/indonesiapustaka
tempat pemakaman yang unik: tiap kubur diberi nisan salib dari
kayu yang digambari secara lucu satu corak penting hidup si men-
diang.
Ada juga sebuah anekdot tentang Maharaja Maximilian I ke-
P
ARA jenderal yang kehilangan kekuasaan, lihatlah:
konstitusi bukanlah wahyu, bangsa ini bukan makhluk
dongeng.
Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impi
an, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu
untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhanasaja.
Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, ke
pintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan ke
kuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu
burung. Kita bukan peri.
Konstitusi kita—yang terkadang kalian perlakukan seperti
benda sakti dengan nama ”UUD 45” itu—tak datang dalam du-
nia peri. Ia dirumuskan sejumlah orang yang berasal dari him
punan manusia yang konkret dan bisa sakit itu.
Ia bahkan datang dari sebuah ketidakjelasan. Ketika sejumlah
orang—kini disebut sebagai bapak dan ibu pendiri RepublikIn-
donesia—bertemu di sebuah gedung di Jakarta pada bulan Juli
1945 sebagai anggota panitia ”persiapan kemerdekaan”, mereka
dianggap mewakili pergerakan rakyat ”Indonesia”. Tetapi ada
yang tak mudah dijawab dalam soal ini: bagaimana itu mungkin,
jika saat itu ”Indonesia” belum ditentukan batasannya?
Siapa pula yang menentukan bahwa mereka mewakili rakyat
Indonesia? Penguasa militer Jepang yang waktu itu sedang akan
http://facebook.com/indonesiapustaka
M
UNGKIN hari ini kita menyaksikan metamorfosis
hujan.
Dulu kita bernyanyi lagu Maluku yang indah itu, ”Ka-
lau hujan sore-sore.” Dulu kita ikut bersenandung dengan nada
lembut Titiek Puspa, ”rintik-rintik, hujan rintik-rintik.” Dulu hu-
jan adalah melankoli. Kini, tiap kali curah air dari langit men
deras, kita dengan telaten tapi cemas mengikuti berita radio ten-
tang berapa meter tinggi air bah yang merasuki dusun dan kota,
meringsek rumah dan sekolah, klinik dan restoran, melumpuh-
kan komunikasi telepon dan mengganggu perdagangan. Seakan-
akan kita tengah mengikuti reportase tentang seekor naga buas
yang tengah memporak-porandakan kampung kita.
Sesuatu telah berubah, memang. Kita telah tahu itu. Saya tak
mengatakan hal yang baru jika di sini saya tulis bahwa banjir, ta-
nah longsor, tanggul yang bobol, rel kereta yang rusak, roa-roa
yang remuk—dan akhirnya bumi yang semakin panas karena la
pisan ozon yang melenyap—adalah akibat ”kemajuan” yang ra
kus dan hasrat ”memperbanyak” yang tak jera.
Tapi apa mau dikata: tak selamanya kita sadar akan sifat ta-
mak yang sering kita pelihara dan manjakan sendiri itu. Padahal
tiap potong kursi yang dibuat dari kayu hutan tropis, tiap are ta-
nah yang diambil buat pusat perbelanjaan, tiap lembar kantong
plastik yang dibuang sebagai sampah, tiap tetes sabun deterjen
yang tercecer, tiap liter bensin yang diuapkan sebagai karbon di
oksida, tiap butir zat kimia sintetis yang mengalir ke kali—semua
http://facebook.com/indonesiapustaka
F
OTO itu tampak seperti sebuah lukisan surrealis yang
setengah seram setengah lucu: di sana tampak sebuah ko
ta, tapi tanpa trotoar dan bulevar. Yang mempertautkan
nya adalah air coklat yang menggenang tinggi di sela-sela ge-
dung-gedung megah, seakan-akan ruang telah disihir jadi cair,
sementara ribuan penghuni berderet menadahkan tangan kepada
kekuatan yang entah di mana....
Foto itu seperti sebuah lukisan surrealis, dan kelak mungkin
seseorang akan berkata: Ajaib, ini tempat manusia hidup di abad
ke-21!
Tentu saja benar. Ini Jakarta. Tak ada ibukota lain di dunia
yang seperti ini. Ini kota modern dengan bangunan yang disebut
”World Trade Center”, sebuah gedung pasar modal yang sibuk,
ratusan bank yang aktif, ruang-ruang belanja luas dengan etalase
Hugo Boss, Prada, Gucci, Bvlgari, Bang & Olufsen, dan Cartier,
tempat parkir dengan mobil BMW, Jaguar dan Ferrari, sejum-
lah hotel bintang lima dan restoran yang menyajikan santapan
dari pelbagai penjuru dunia, juga apartemen menjulang dengan
jaringan internet, beberapa sekolah tinggi yang masyhur, serang-
kaian studio televisi yang mentereng, rumah sakit yang canggih,
gedung pemerintahan pusat yang kukuh, termasuk Istana Presi
den dan kantor kabinet....
Tapi ini juga Jakarta yang lumpuh didera banjir.
Foto itu tentang sebuah anomali.
Yang terkadang luput ialah bahwa dari anomali itulah kita
http://facebook.com/indonesiapustaka
ngandung daya menyeleksi mana yang layak dan tak layak dalam
persaingan. Tapi ia bukannya 100 persen mahluk halus. Ia tak be
kerja di ruang hampa, di luar waktu.
Sementara itu, bersama waktu, ruang dengan cepat menyem
pit, hutan dengan cepat gundul, pohon-pohon masih akan lama
tumbuh, dan esok banjir akan datang lagi. Dalam keadaan itu,
”tangan yang tak terlihat” hanya bisa bekerjadengantangan yang
terlihat—mungkin sebuah tinju yang amarah.
M
EREKA tiba di tanah Sinear di sebelah timur. Mere
ka berniat menetap. Mereka berencana membangun
”kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai
ke langit”. Mereka ingin ”cari nama”, agar tak ”terserak ke seluruh
bumi”.
Tapi kisah Alkitab tentang Menara Babel ini berakhir mu-
ram. Tuhan murka. Tampaknya Ia melihat niat itu sebagai siasat
manusia meraih kekuasaan adidaya. Tuhan pun turun ke Sinear.
Ia buncang orang-orang itu ke pelbagai penjuru, dan Ia kacau-
balaukan bahasa manusia hingga mereka tak saling mengerti lagi.
Kenapa itu yang dilakukan-Nya? Kenapa Ia gagalkan proyek
menara itu, juga ide merumuskan satu identitas (”cari nama”) itu,
dan ia ”serakkan” manusia ke seantero bumi? Kenapatak dibiar-
kan-Nya mereka jadi ”satu bangsa dengan satu bahasa”?
Saya bukan penafsir Alkitab. Saya hanya mengulang pertanya
an yang tak kunjung selesai dijawab. Anda bisa katakan, tindak
an Tuhan itu sebuah laku divide et impera yang purba, modus si
kuasa menghadang lawan yang hendak menandinginya. Tuhan,
dalam Kitab Perjanjian Lama (dan juga dalam sajak Amir Ham
zah), memang disebut ”cemburu”.
Tapi Anda juga bisa katakan, yang terjadi hanyalah pengukuh
an nasib manusia: terserak-serak, tanpa bahasa yang universal,
tanpa makna yang dapat diterima jelas kapan saja dan di mana
saja.
Anda juga bisa kemukakan, dari nasib itu bisa datang se-
http://facebook.com/indonesiapustaka
kan kita akan kondisi kita sendiri. Seperti tampak pada si bisu,
komunikasi itu sesuatu yang mustahil, tapi niscaya, atau sebalik
nya niscaya, tapi mustahil.
Juga di tengah derap dunia baru yang katanya ”tanpa perba-
tasan” kini....
Di sinilah Babel—dibuat pada 2006—sebuah bantahan. Ia
meruntuhkan ilusi tentang sebuah ”dusun global”. Film ini me-
maparkan bagaimana manusia, dipertemukan di perbatasan,
justru dihubungkan oleh salah paham yang kejam dan paranoia
yang pekat. ”Dunia Ketiga” tampak sebagai teror kekal bagi ”Du-
nia Pertama”. Di tepi gurun, turis Amerika itu waswas bahkan
terhadap es batu bikinan Maroko (”Kau tak tahu dari air apa itu
dibuat,” katanya). Di bagian lain, seraya memasuki Kota Meksi
ko, si bocah Amerika dengan cemas berkata, ”Kata Mama, Mek-
siko itu berbahaya.”
Babel, sebuah portmanteau, memang serangkai cerita tentang
kontak antarmanusia yang tak terelakkan tapi tak membuahkan
pertemuan. Seorang anak gembala di bukit-bukit Maroko ingin
menguji ampuhnya senapan yang baru dibelibapaknya, dan se
orang perempuan Amerika, seorang turis, luka parah karena tin-
dakan yang tak sengaja itu. Pemerintah Amerika pun berteriak,
”Teroris!” dan seorang bocah ditembak mati. Sementara itu,
Amelia, batur Meksiko yang bekerja di sebuah keluarga Amerika,
membawa kedua anak majikannya ke kampung untuk ikut pesta
pernikahan yang asyik. Tapi keasyikan dan hangatnya persauda-
raan berakhir di tapal batas yang angkuh, di hadapan kekuasaan
Negara yang brutal: gerbang imigrasi. Dari Tokyo, seorang tu-
ris Jepang penggemar berburu menghadiahkan senapannya ke
seorang Maroko. Tapi tanda persahabatan itulah yang menghan-
curkan hidup sebuah keluarga miskin.
Manusia terserak, komunikasi retak.
Tapi tak selamanya jalan hanya buntu. Ada sebuah dialog
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ITA hidup dengan kontradiksi di tapal batas. Kini de
ngancerdik dan cekatan pelbagai hal—buruh, komo-
ditas, korupsi, agenda politik, terorisme—melintasi
perbatasan. Tapi di sana-sini tembok nasional dibangun makin
tinggi. Dunia menyempit, dunia kian sengit, dan wajar jika kita
bertanya: Bisakah nasionalisme dielakkan? Haruskah?
Nasionalisme punya sejarah, punya jejak, dan untuk menja-
wab pertanyaan itu penting kita lihat jejak itu kembali. Ada ma-
sanya ketika yang tersimpan rekaman kisah yang buruk. Rabin
dranath Tagore pernah menggambarkan sebuah keadaanketika
”bangsa-bangsa yang saling ketakutan intai-mengintai seperti
hewan buas di malam hari”. Dan penyair besar Indiaitu pun ber-
tanya, ”Haruskah kita bertekuk lutut kepada semangat nasional-
isme, yang menebar-siarkan benih rasa takut, rakus, curiga ... ke
seluruh dunia?”
Tagore mengucapkan itu pada 1916, ketika sastrawan berba
hasa Bengali yang mendapat penghargaan Nobel pada 1913 itu
berkunjung ke Tokyo. Waktu dan tempatnya penting:kaum na-
sionalis Jepang sedang menghalalkan postur militer negerinya.
Dalam hubungan itu bahkan Tagoresecaratak sengajamenge
campandangan yang tercantum dalam The Awakeningof Japan,
buku berbahasa Inggris yang terbit pada 1904, yang membenar-
kan penjajahan Jepang atas Korea: ”Koreaterletak bagaikan sebi-
lah keris yang selamanya terhunuske jantung Jepang”.
Kalimat itu penting sebab bukan suara seorang militer. Iadit-
http://facebook.com/indonesiapustaka
tertentu, berteman.
Dalam bukunya terbaru, Another Asia, Rustom Bharuscha—
dari mana saya dapatkan kutipan buat tulisan ini—menggam-
barkan dengan cermat dan menilik dengan tajam peri kehidup
an kedua ”sahabat” itu. Dari sini dapat kita lihat kembali soal-so-
al yang timbul tatkala bagian dunia yang disebut sebagai ”Asia”
ini—dengan definisi dan geografi yang tak sepenuhnya jelas—
harus bergulat dengan pertanyaan yang fundamental tentang
identitas atau posisinya dalam sejarah. Diinjak-injak kolonial-
isme negeri-negeri Eropa, ”Asia” kemudian melihat bagaimana
sebuah negeri Eropa, yakni Rusia, dikalahkan Jepang pada 1905.
Sejak itu ”Asia” sibuk untuk ”bangun”.Nasionalisme adalah ja
wabannya.
Tapi itu bukan jawaban tanpa sisi yang gelap. Telah disebut
bagaimana nasionalisme Jepang melahirkan imperialisme ter
sendiri, mula-mula di Korea. Kontradiksi ini sudah terasa ketika
berkumandang suara—seperti juga yang diartikulasikan Oka
kura Tenshin—bahwa ”Asia” itu ”satu”, bahwa ”Asia” punyaciri
yang tersendiri, sebagaimana dinyatakan dalam kesenian dan ke-
hidupan sosialnya.
Dalam bukunya, Bharuscha menunjukkan kontradiksiitu le
bih jauh dengan mengutip pelbagai ucapan Okakura: justru di
bangunan ”Asia” yang ”satu” itu, Jepang tak persis berada di da
lamnya. Jepang berada di atas, dimulai dengan posisinyadalam
seni. Bagi Okakura, seni rupa Jepang—lahir dari alam yang ber-
beda—berada di tingkat yang lebih unggul ketimbang seni Cina,
yang ditandai ”keluasan yang monoton” dan ketimbang seni In-
dia yang punya ”kekayaan yang terlampau membebani”. ”Seni Je-
http://facebook.com/indonesiapustaka
S
HANGHAI sebuah kota yang dilecut. Gedung-gedung
menyeruak ke langit seperti berlomba untuk dapat tem-
pat, atau nama, atau masa depan. Arsitektur seakan-akan
dipesan mendadak; deretan bangunan itu tampak tegang, riuh,
tak jarang sumbang. Dari distrik Waitan (orang Inggris menye-
butnya ”The Bund”), dari boulevard sepanjang Sungai Huangpu,
orang akan terkejut, atau tertawa geli, melihat di seberang me
nara TV ”Mutiara Timur” mencuat penuh ambisi hampir 500
meter—kaku, berpucuk runcing dan agresif, mirip jarum suntik
yang dibikin besar untuk mencocok awan.
Modernitas selalu tergoda kecepatan, terbujuk hasrat menju
lang dan dengan agresif menjangkau. Tapi tak berarti dengan
langkah bergegas itu baru sekarang Shanghai masuk ke dalam-
nya. Riwayat kota dari abad ke-11 ini berbeda dari kota Asia yang
lain. Setelah Perjanjian Nanking di tahun 1842, setelah Cina ter
desak karena kalah dalam Perang Candu, negara (dan modal)
Barat mendapatkan wilayah dan hak-hak khusus di kota itu.
Mereka membawa yang baik dan yang buruk dari dalam yang
”modern”, yang belum pernah ada sejak Dinasti Sung.
Asosiasi pialang saham terbentuk pada 1898. Pasar Modal
Shanghai 1904. Kini bangunannya konon tiga kali lebih besar
ketimbang Pasar Modal Tokyo, dan tak mengherankan bila ia
bisa jadi episenter sebuah gempa kapitalisme: Selasa yang lalu In-
deks Gabungan pasar modal kota itu turun hampir 9 persen,dan
di seluruh dunia saham pun berjatuhan.
http://facebook.com/indonesiapustaka
T
UHAN tak punya agama,” kata Gandhi.
Tak aneh bila di negeri seperti India kalimat ini datang
dari seorang yang dikenal alim, arif, dan adil. Agama te
lah jadi tanda yang bengis. Maka terbit pikiran untuk menye
lamatkan pengertian ”Tuhan” dari sempitnya pikiran dan jiwa
yang marah.
Gandhi sendiri bukti yang tragis tentang persoalan ini. Men
jelang akhir Januari 1948, ia ditembak mati Nathuram Godse,
seorang penganut aliran ”nasionalis” Hindu. Bagi orang macam
Godse, Gandhi praktis berkhianat. Sang Mahatma berkampanye
untuk mengingatkan pemerintah India agar memenuhi janji ke-
pada pemerintah Pakistan, yakni menyerahkan aset yang telah
disepakati merupakan bagian negeri itu.
Gandhi—yang sebenarnya menentang ide perpisahan bekas
koloni Inggris itu jadi ”India” dan ”Pakistan”—mengimbauRe-
publik India agar ingat akan kewajiban moral dan kehormatan
diri. Di balik itu kita bisa dengar pengertian yang sayup tentang
keadilan. Tapi bagi orang macam Godse, dengan rasa terluka dan
marah kepada orang Islam yang telah mendirikan sebuah negeri
yang terpisah, Gandhi terlampau lunak terhadap ”musuh”. Ia jadi
suara yang mengganggu.
Godse datang dari sebuah pandangan yang punya akar tua ta
pi berbentuk baru. ”Nasionalisme”-nya—mengandung kesadar
an akan supremasi kasta Brahmana, yang kemudian dirawat me-
lalui aliansi dengan raja, tuan tanah, kaum pemegang senjata,
http://facebook.com/indonesiapustaka
semacam ini. Terutama sejak awal abad ke-20. Pada 1900, pengu
asaInggris di wilayah yang kini disebut Uttar Pradesh, negeri ba-
gian terbesar India, memenuhi tuntutan kaum Hindu agarbaha-
sa Hindi, dengan aksara Devanagari, jadi bahasaresmi menggan-
tikan bahasa Parsi yang datang dari bahasa para Maharaja Mu-
ghal. Bagi orang Islam waktu itu, langkah itu awal yang mena-
kutkan: ditindasnya ekspresi kebudayaan mereka di negeri mere
ka sendiri.
Mereka bukan mayoritas, tapi mereka ikut membentuk per
adaban India sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Maka mereka
tak diam. Mereka ubah rasa cemas mereka ke dalam cita-cita
yang kemudian disuarakan Liga Muslimin.
Di tahun 1930, pemimpin Liga Muslimin waktu itu, Moham-
mad Iqbal, mengumandangkan cita-cita berdirinya sebuah nege
ri yang khusus untuk orang muslim. Ia sebut negeri harapan itu
”Pakistan”, ”tanah yang murni”.
Saya tak tahu, sadarkah Iqbal, seorang penyair dan pemikir,
bahwa wilayah seperti itu butuh kekuasaan, dan mengaitkan ke
kuasaan dengan kemurnian sama artinya membuka pintu bagi
kekerasan dan kesewenang-wenangan. Sebab tak pernah jelas sia-
pa yang secara sah berhak menentukan ”kemurnian” itu, apalagi
jika itu didasarkan atas ukuran yang transendental. Apa yang ha-
rus dilakukan terhadap anasir yang ”tak murni”, selain dibabat
dan dicerabut?
Rasa cemas akan ditindas memang menyebabkan Pakistan
berdiri. Kehendak untuk jadi sebuah negeri yang ”murni” me-
nyebabkan Pakistan—sebuah republik Islam dengan hak-hak
istimewa bagi orang muslim—seakan-akan mereproduksi per-
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
DEGAN itu saya ingat sejak saya kanak-anak: kisah
tewasnya Aryo Penangsang, adipati dari Jipangpanolan,
dalam perang tanding melawan Sutawijaya.
Sebenarnya Sutawijaya tak membunuhnya. Pada suatu saat
anak muda itu memang berhasil menusukkan tombaknya ke
lambung Penangsang. Adipati ini pun terlontar dari kuda dengan
perut robek dan usus terburai. Tapi ia sakti, ia segera bangkit lagi.
Dengan tenang ia lilitkan ususnya yang berlumurdarah itu ke sa-
rung kerisnya. Namun dengan itulah ajal datang. Ketika ia hunus
senjatanya yang termasyhur untuk menikam Sutawijaya, usus itu
tertoreh. Putus. Penangsang pun rubuh sekali lagi. Mati.
Saya ingat adegan itu sering dihidupkan kembali di pang
gungketoprak sebagai klimaks pementasan. Lalu lakon akan usai
menjelang larut malam, dan orang pun pulang mengenang akhir
tragis adipati Jipang itu—seorang kharismatis yang pemberang
dan brutal, dengan kudanya yang gagah, Gagak Rimang, dengan
kerisnya yang bertuah, Setan Kober, tapi akhirnya kalah. Pesaing
dalam perebutan takhta Kesultanan Demak abad ke-16 itu tak
pernah jadi raja di Jawa.
Ketoprak—yang digemari pelbagai lapisan masyarakat Ja
wa—adalah sebuah teater ingatan. Di pentasnya orang memang-
gil masa lalu: fragmen sejarah sejak Mataram Hindu sampai Ma
taram Islam, sejak Majapahit di abad ke-13 sampai Kartasura di
abad ke-17.
Cerita Aryo Penangsang termasuk dalam sejarah akhir Kera
http://facebook.com/indonesiapustaka
jaan Demak. Saya tak tahu kenapa adipati ini yang jadi tokoh di
panggung; mungkin riwayatnya dramatis dan wataknya penuh
warna, dan itu memenuhi syarat buat sebuah lakon yang memu-
kau, seperti Richard III dalam teater Shakespeare. Sebab dalam
A
GAMA dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir
di dekat Buddha malam itu. Setelah enyah bala tentara
Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Buddha
melanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada cattâri
ariyasaccâni,” empat kebenaran luhur...”.
Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat.
Buddha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak
Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi
terpuncak, momen yang tak lazim, ketika seseorang mengalami
kehadiran sesuatu yang Maha-Lain, yang numinous, sebagaima-
na digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan, memu-
kau. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus
mengucapkan perasaan yang mirip: ”Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”
Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada
amor dan horror—tapi tampaknya sesuatu dalam sejarah manusia
telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: kons
truksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyak
sikan sesuatu yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan
kita kenisah yang megah, masjid yang agung, gereja yang gigan-
tis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk
yang berkilau—dan umat yang makmum—berdesak.
Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori
William James, ”seorang jenius”) akhirnya selalu dicobadiabadi
kan dengan sesuatu yang kukuh—yang sebenarnya fantasi ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka
waktu. Maka waktu tak lagi momen ajaib seperti di situasi ter-
puncak ketika aku gemetar dengan ”kasih dan ngeri”. Waktu jadi
sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur.
Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius:
orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti uang,
harus dikuasai dan dipunyai.
Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, ”Sa
lah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama
adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya.”
Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Mar-
cel, pemikir Katolik dari Prancis itu, tampaknya melihat dengan
masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyatalebih men
desak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, ju
ga dalam kehidupan beragama berabad-abad lamanya, orang le
bih tergerak oleh dimensi ”punya” (to have) ketimbang oleh di-
mensi ”ada” (to be).
Maka Buddhisme Batchelor adalah Buddhisme yang kembali
kepada to be. Ia tak punya dan tak dipunyai lembaga: ia tinggal-
kan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Buddhism
without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang
sejak berumur 18 belajar di Dharmasala—pusat Buddhisme Ti-
bet selama Dalai Lama dalam pengasingan—pada mulanya se
orang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan,
ia melepas jubahnya.
Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil
yang megah: fantasi tentang keagungan yang lupa bahwa diri
nyaadalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di Yangon,
yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lemba-
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
” ITA tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di
mana kita akan mengakhiri.”
Itu ucapan George F. Kennan, sambil duduk dengan
tubuh lemah di sebuah panti perawatan. Usia diplomat Amerika
termasyhur itu waktu itu 92 tahun. Ia kemudian meninggal ke-
tika mencapai 101—umur yang panjang, dengan pikiran yang
masih tajam.
Hari itu, 26 September 2002, Kennan berbicara tentang niat
pemerintah Bush melancarkan perang yang kini disebut”Perang
Irak”. Meramalkah dia? Atau mengomel, seperti layaknyaorang
tua?
Kedua-duanya tidak. Dalam usianya yang lanjut, pak tua ini
hanya mengingat sejarah, sebab ia—dibandingkan dengan Presi
den Bush yang ingin tampak tegas dan gagah perkasa—telah me-
nyaksikan sendiri berbahayanya keperkasaan dan produktifnya
kesabaran.
Kennan, lahir pada 1904, jadi diplomat sejak umur 20an. Ia
dikirim ke Moskow sebagai salah satu staf kedutaan pada 1933,
ketika Amerika Serikat membuka hubungan diplomatik dengan
Uni Soviet.
Itulah masa ketika Stalin duduk di takhta Kremlin. Uni Soviet
jadi negeri di mana ketakutan adalah politik. Stalin menghukum
mati tokoh-tokoh Partai Komunis yang dianggapnya berkhianat
dan memenjarakan ribuan orang ke kamp-kamp tahanan dan
melihat dunia luar dengan curiga berat. Kennan menyaksikan se
http://facebook.com/indonesiapustaka
Tapi tugas apa yang terlaksana? Kerja apa yang selesai? Hari
itu pun orang sudah mengomel kenapa spanduk macam itu yang
dipasang. Empat tahun kemudian, 20 Maret 2007—setelah lebih
dari 3.000 prajurit Amerika terbunuh oleh gerilyawan yang tak
selamanya jelas identitasnya—orang kian tak tahu apa artinya
”tugas” dan apa artinya ”selesai”.
Desember 2006: sebuah laporan dari sebuah tim studi yang
dipimpin mantan menteri luar negeri James Baker diumumkan.
Kesimpulannya: ”situasi di Irak gawat dan memburuk”, dan ”pa-
sukan AS tampaknya terperangkap dalam sebuah misi yang tak
kelihatan akhirnya”.
”Akhir”—betapa sukarnya kata ini dijabarkan dalam perang
kali ini! Dan betapa aneh. Sebuah perang modern menghen
daki perencanaan yang seksama. Perencanaan ditentukan oleh
”akhir”,(kata lain dari ”tujuan”), yang dirumuskan persis. Tapi
Perang Irak rupanya sebuah perang yang pelaksanaannya lebih
cepat selesai ketimbang usaha merumuskan apa arti ”selesai”.
Pada 20 Maret 2003 itu, tentara AS menyerbu Irak untuk
menghabisi senjata pemusnah massal yang dikabarkan diproduk-
si rezim Saddam Hussein. Ketika ternyata senjata itu tak ada—
sebuah kisah kekonyolan yang brutal, sebenarnya—perang itu
pun memaklumkan tujuan yang berbeda. Atau Amerika berada
dalam keadaan ketika sebuah dalih yang lain harus dikatakan.
Di geladak USS Abraham Lincoln Presiden Bush menyebut dua
kalimat yang tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah
massal: ”Kita tengah membantu membangun kembali Irak”, dan
”transisi dari kediktatoran ke demokrasi”.
Tapi ”membangun kembali Irak” dan menjaga ”transisi ke de-
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ALIMAT itu tertulis di kertas yang bergelimang darah
segar. Mohammed Bouyeri menuliskannya di antara
sederet kalimat lain, kemudian memaklumkannya de-
ngan cara yang mengerikan.
Setelah ia tembak mati Theo van Gogh dan lehernya ia sembe
lih di tepi sebuah jalan di Amsterdam di pagi hari 2 November
2004 itu, ia hunus sebilah pisau lain. Dengan itulah ia coblos
kan kertas bertuliskan statemen itu ke dada mayat si korban. ”Aku
tahu persis, wahai Eropa....”
Dan dunia pun terbelalak: pemuda keturunan Maroko yang
baru berumur 26 itu merasa sedang berjihad melawan kekufuran
Eropa, benua tempat ia dibesarkan. Pembunuhan Theo van Gogh
adalah bagian dari ”perang suci” itu. Tapi duniajuga tahu, juga
dalam ”benturan peradaban” yang dibayangkan Bouyeri, Eropa
tak runtuh. Eropa hanya terperanjat.
Tiba-tiba benua itu sadar bahwa dari kancah 15 juta orang
muslim yang kini tinggal di sana telah muncul sejumlah orang
marah yang mengutip ayat yang marah dan melakukan tindakan
yang marah. Dari Hamburg: Mohammad Atta, pemimpin rom-
bongan Al-Qaidah yang menabrakkan dua pesawat ke menara
World Trade Center pada 11 September 2001; ia orang Mesir yang
jadi radikal selama tinggal di Jerman. Di Madrid: orang muslim
lain meledakkan bom di kereta jalur Cercanías, membunuh 191
http://facebook.com/indonesiapustaka
ang yang ditopang satu atau dua sistem kepercayaan, bukan se-
buah kehidupan yang hanya dibaca secara theologis. Ini Eropa
yang mau tak mau jadi tempat orang saling menawarkan ”bunga”.
Sebab kebudayaan, juga di sini, terbentuk oleh laku, oleh hal
yang sepele dan sekuler—dengan atau tanpa Nostra Aetate: per-
tandingan sepak bola, lagu pop, film televisi, lotere, dan perde-
batan bagaimana menyehatkan pohon di taman. Itulah yang se-
benarnya terjadi di Eropa berabad-abad: yang disebut ”Eropa”
adalah sebuah lalu lintas perdagangan dan pengetahuan, yang se-
lalu membuka ruang yang kemudian disebut kebebasan, biarpun
terkadang susah payah.
Saya tak tahu bagaimana ia akan runtuh, Bouyeri.
”Aku Jeremiah.”
—Kurt Vonnegut Jr
T
AK setiap negeri membutuhkan Jeremiah. Tapi kalau-
pun harus ada nabi seperti itu—yang memperingatkan
manusia bahwa Tuhan marah dan kiamat bakal segera
datang—orang akan perlu satu hal lain: momen untuk ketawa.
Kurt Vonnegut Jr memenuhi kedua keperluan itu sekaligus di
Amerika kini—tapi ia meninggal 11 April pekan lalu di Manhat
tan, New York. So it goes....
Usianya 84. Penulis novel Slaughterhouse-Five itu, yang tak
putus-putusnya mengisap rokok Pall Mall selama lebih dari 70 ta-
hun, sudah siap mati, tapi ia pergi terlalu cepat. Seandainya ia hi
dupterus, kata-katanya yang mencemooh akan terus melubangi
ruang kedap suara yang dibangun pemerintah Bush & Cheney,
sebuah bangunan yang akhirnya hanya terdiri atas dusta & para-
noia, ambisi & myopia. Di ruang sesak itu, dibutuhkan celah
yang membiarkan masuk suara ragu, suara lucu.
”Aku Jeremiah,” katanya dalam wawancara dengan Douglas
Brinkley di majalah Rolling Stone. Tapi ia tak bicara tentang Tu-
han. ”Aku bicara tentang kita yang sedang membunuh planet...
dengan bensin.”
Lalu diutarakannya pesimisme yang kita kenal itu: bumi akan
punah akibat karbon dioksida.
Dan Vonnegut bisa ekstrem. Ketika ditanya pendapatnya ten-
http://facebook.com/indonesiapustaka
Di masa tuanya ia merasa tak mampu melucu lagi, tapi ”yang se
penuhnya saya inginkan adalah membuat orang merasakan lega
karena ketawa”. Humor seperti tablet aspirin, kata Vonnegut.
Dan seperti Mark Twain yang dikaguminya, ia tangkas mem-
bagikan obat itu. Kata-katanya bisa cerdas, mencemooh, jenaka.
Cerita Harrison Bergeron, misalnya, dimulai dengan kalimat:
”Tahun itu 2081, dan tiap orang akhirnya setara sama rata. Mere
ka tak hanya setara di depan Tuhan dan hukum. Mereka setara
dalam segala hal. Tak ada yang lebih pintar ketimbang yang lain.
Tak ada yang lebih rupawan ketimbang yang lain ...”.
Kisah ini bisa seperti novel 1984 Orwell. Salah satu tokoh
nya, George, hidup dengan kuping yang dipasangi radio kecil.
Pesawat ini dihubungkan dengan stasiun pemerintah yang tiap
20 detik mengirim suara untuk mengingatkan George agar tak
menggunakan kecerdasannya yang lebih buat menang atas orang
lain.
Cerita yang suram, tapi membuat kita terbahak-bahak, se
tidaknya ketika kita menemukan ada kantor yang bernama
”UnitedStated Handicapper General” alias ”Kantor Negara un-
tuk Pengelolaan Perbedaan Kemampuan” yang para agennya se-
lalu waspada mengawasi para warga.
Dengan kombinasi geli-dan-ngeri ini, hidup tergambar ab
surd—mungkin sebuah parodi atas masyarakat Amerika yang
memuja kesetaraan tapi menyangka kesetaraan sama artinya de
ngan mediocrity. Sebab itu, orang seperti Bush, si-bakat-kodian,
teladan mediocrity, dapat naik ke Gedung Putih. ”Jika kau orang
yang terdidik dan berpikir, kau tak akan diterima di Washington,
DC,” tulis Vonnegut dalam A Man Without a Country: A Memoir
http://facebook.com/indonesiapustaka
K
ARTINI tak dikenal. Sebuah lagu yang memujanya dan
dinyanyikan tiap 21 April menyebutkan betapa ”harum
namanya”. Ia memang telah jadi aikon sejak dasawarsa
awal abad ke-20, sebelum Bung Karno dikenal di pelbagai mim-
bar. Tapi Kartini lebih merupakan ”pokok” ketimbang ”tokoh”.
Ia sendiri memilih untuk berlindung. ”... aku ingin [menulis
di surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap
tidak dikenal... di Hindia ini”—begitulah tulisnya dalam surat
bertanggal 14 Maret 1902.
Ia seakan-akan memakai cadar. Ayahnya, sang Bupati Jepara
yang mencintainya dan dicintainya itu, menjaga agar halitu sete
rusnya demikian. Bapak itu gagal, sebab akhirnya Kartini mau
tak mau dikenal. Tapi itu tak menyebabkan ia terjangkau orang
ramai. Dengan catatan: ”cadar” sebetulnya bukankiasan yang te-
pat di sini. Lebih baik dikatakan, Kartini bertatarias.
Ia tak sepenuhnya tak terlihat. Ia memperkenalkan diri dan
mengisahkan harapan dan kemurungannya kepada sejumlah
orang lewat surat-menyurat. Praktis hanya dengan korespondensi
itu kita tegakkan Kartini sebagai tokoh. Atau lebih tepat sebagai
pokok. Sebab Kartini tetap mengelak untuk disimak siapa sebe
narnya dia.
Danilyn Rutherford pernah menelaah hal ini dalam sebuah
esai, ”Unpacking a National Heroine: Two Kartinis and Their
People”, dalam jurnal Indonesia yang terbit di Cornell University;
ia membandingkan buku S. Soeroto, penulis Kartini,Sebuah Bio
http://facebook.com/indonesiapustaka
J
IKA tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan
akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga du-
nia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur
udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar
senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod
ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu
memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.
Sepuluh—bukan, lima—tahun yang lalu, malam tidak seper
ti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.
Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu
mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu be
rapa mega-kilowatt listrik dikerahkan untuk membangunkenik-
matan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika
saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalanyang meriah di
Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada
saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan keripik
kentang. ”Tahukah Tuan,” tanyanya,”jumlah tenaga listrik yang
dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?”
Saya menggeleng, dan ia menjawab, ”Jumlahnya lebih besar
ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bang
ladesh.”
Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya mem-
bayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nya-
wa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya
sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya—mesin yang
http://facebook.com/indonesiapustaka
buat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bu
mi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mo
bil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan
jadi benda yang sia-sia.
T
ANGGAL 6 Agustus 1945 pukul 8:15 pagi, bom itu di-
jatuhkan di atas Kota Hiroshima. Hantamannya sama
dengan 22 kiloton bahan peledak, tapi ada yang lebih
mengerikan ketimbang itu: panas itu luar biasa. Seluas 10 kilome
ter persegi wilayah kota itu rata dengan tanah, 100 ribu orang ma
ti seketika. Api yang terbit dari panas itu seakan-akan bertaut de-
ngan api pembakaran jenazah yang tak putus-putusnya.
Saya akan selalu teringat sebuah foto tentang kiamat itu, yang
dipasang di bangunan peringatan di Hiroshima hari ini: ada se-
potong sisa trotoar di dekat bank, dan pada permukaan semennya
tercetak sebuah bekas hitam, seperti siluet sesosok tubuh manu-
sia. Kata orang, itu adalah bekas tubuh yang musnah dilalap pa-
nas sekian ratus derajat Celsius, dan tertinggal melekat di tanah,
ketika ia dihantam panas yang dahsyat.
Kengerian itu sekali-sekali diingat orang kembali, dan lama—
kelamaan jadi klise, dan perasaan jadi tumpul, dan horor di Hiro
shima hanya jadi bagian dari petuah: ”Wahai, saudara-saudara,
menggunakan senjata semacam itu dalam perang adalah sebuah
perbuatan yang jahat!”
Sudah tentu. Tapi bahwa sampai hari ini orang masih menyi
apkan persenjataan nuklir menunjukkan bahwa petuah itu tak
efektif. Ada argumen bahwa jahat atau tidaknya sebuah keputus
an dalam perang bergantung pada tingkat kecemasan untuk hi
dupterus, kecemasan kalau negeri lain—atau apa pun yang dise
but ”musuh”—menghantam negeri sendiri sampai luluh-lantak.
http://facebook.com/indonesiapustaka
Apa yang jahat dan tak jahat bukan lagi persoalan yang relevan
ketika manusia terpaksa.
”Terpaksa” tentu saja keadaan yang ditentukan secara sepihak.
Dengan demikian, ”jahat” atau ”tak jahat” di situ tak mungkin
lu dengan cara paling brutal, ketentuan saya itu tak datang dari
paranoia, atau trauma, atau sadisme, atau mungkin juga kesera
kahan.
Menjelang akhir 1980-an, ketegangan hilang antara Amerika,
dy pada Juni 2004, ”seraya kita meminta bekas Uni Soviet un-
tuk mengamankan lumbung nuklirnya agar tak jatuh ke tangan
para teroris, pemerintahan Bush kini ingin meningkatkan per-
lombaan senjata.”
Tapi Feinstein dan Kennedy kalah suara di Senat. Dan kita
tak tahu, siapa yang ”normal” dan ”rasional” dalam memutuskan
keadaan ”terpaksa” bagi Amerika Serikat kini.
J
ERRY Falwell meninggal dalam umur 73 di kantornya pe-
kan lalu, dan dunia kehilangan sebuah contoh yang baik
tentang hubungan iman dan kebencian.
Falwell bukan orang galak dan bengis. Saya bayangkan ia,
yang bertubuh gemuk dengan bentuk mirip bakpao, banyakke
tawa, hangat, bicara kepada orang tanpa jarak. Tapi ada sesuatu
dalam masyarakat tempat ia hidup—masyarakat Amerika di
abad ke-20 dan awal ke-21—yang menyebabkan pendeta Kristen
seperti Falwell, dengan Injil di tangan, secara luas didengar, didu
kung, dapat sokongan berjuta dolar, didekati kaum politisi ting
kat nasional, justru ketika ia membawa berita yang muram, tapi
paradoksal: Amerika adalah tanah yang dijanjikan Tuhan, ”Yeru-
salem Baru,” tapi negeri ini sedang terancam, sebagaimana dunia
sedang terancam. Musuh ada di mana-mana. Terorisme hanya
salah satunya. Amerika harus diselamatkan.
”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri orang-orang kulit putih
yang diancam orang hitam—sebab itulah ia memusuhi gerakan
Martin Luther King yang menuntut hak-hak yang sama bagi si
”negro”. Sebab itu pula ia menolak sanksi kepada rezim apartheid
di Afrika Selatan.
”Amerika”, bagi Falwell, adalah negeri mereka yang Protestan,
yang bersembahyang, yang diancam orang Katolik, atau Yahu-
di, atau Islam, atau—dalam kekuatan yang lebih besar—orang-
orang ”sekuler”. Dalam deretan musuh dan pencemar ini, kini di
tambah kaum homoseksual, majalah Penthouse dan Playboy, pen-
http://facebook.com/indonesiapustaka
semua, bagi mereka, dengan jiwa yang dirundung rasa tak aman
terus-menerus, sangat mengganggu.
Jerry Falwell hanya salah satu gejalanya. Ia kini tak ada lagi.
Saya tak tahu apakah dengan kebencian ia bisa masuk ke surga.
Tapi di kubur, setidaknya yang saya lihat dari luarnya, yang mati
telah mencapai sesuatu yang tak diperoleh oleh yang hidup:kesa-
maan, tanpa sejarah.
B
UMI berkarang Kota Yerusalem praktis sebuah kuburan
tua yang kini tak jelas batasnya. Beribu-ribu tahun lama
nya penghuni kota ini, apa pun agamanya, mengebumi-
kan jenazah keluarga mereka di tanah itu. Tak mengherankan
bila juga di dekat apartemen milik Tova Bracha itu, di Talpiot Ti
mur, terdapat sebuah makam kuno.
Tak tampak ada yang istimewa di situs itu—sampai ketika
Discovery Channel menyiarkan sebuah film dokumenter yang me-
nyentakkan dunia. Para pembuatnya, sutradara TV Israel yang
terkenal, Simcha Jacobovici, dan sutradara film Titanic, James
Cameron, menyatakan makam itu adalah makam keluarga Ye-
sus. Bahkan sisa-sisa tubuh tokoh yang disembah sebagai Kristus,
sang Penebus, itu sendiri mungkin diletakkan dalam salah satu
dari 10 ossuarium yang ditemukan di dalam rongga di tanah ber
karang itu.
Yesus, yang tubuhnya dimakamkan, yang berkeluarga, bah
kanmungkin punya istri dan anak....
Saya menonton versi pendek The Lost Tomb of Jesus pekanla
lu di Teater Utan Kayu bersama hadirin yang berjejal. Setelah itu,
ceramah Ioanes Rakhmat, seorang pendeta yang juga baru me
nerbitkan bukunya, Yesus, Maria Magdalena, Yudas dan Makam
Keluarga. Baik presentasinya maupun bukunya adalah paparan
yang jernih dan sangat terpelajar—yang menunjukkan, seperti
juga yang hendak dikemukakan film Jacobovici dan Cameron,
bahwa bukan mustahil Yesus sebenarnya tak pernah diangkat
http://facebook.com/indonesiapustaka
P
erlukah kita tentara?
Pertanyaan ini pasti mengejutkan jenderal yang duduk di
depan itu—dan itulah soalnya. Saya tak gemar menge-
jutkan siapa pun, terutama seorang jenderal gemuk yang tak saya
kenal, yang mungkin punya jantung berlemak, aorta yang macet,
dan telinga yang gampang terganggu. Saya duga, ia sudah lama
tak mendengar teriakan ”siap!” apalagi tembakan pistol. Maka
dengan tulus ikhlas pertanyaan itu tak saya teruskan.
Saya keluar dari ruang tunggu di bandara itu, berjalan me
nuju kios makanan ringan sambil mencoba melupakan adegan
di Grati, Pasuruan, yang tersiar kembali di layar televisi: empat
orang penduduk Alas Tlogo mati ditembak oleh beberapa anggo
ta Korps Marinir. Ini bukan perang, tentu saja. Orang-orang Alas
Tlogo itu bukan pasukan bersenjata republik lain. Mereka hanya
ingin mendapatkan tanah yang jadi sengketa mereka dengan
Angkatan Laut.
Seperti banyak orang, saya marah: penduduk Alas Tlogoitu
belum tentu punya alasan yang sah, misalnya untuk menebang
12 ribu pohon mangga siap panen di tanah itu seperti yang me
reka lakukan pada tahun 2001. Apalagi, menurut Pengadilan, ta-
nah itu milik sah Angkatan Laut, dan tak akan digunakanbuat
bisnis, melainkan untuk pusat latihan tempur. Dengankata lain,
yang bersenjata tak dengan sendirinya di pihak yang salah, dan
yang lemah tak serta-merta benar. Tapi ditembak?
Saya memandang ke luar, ke sebuah perempatan: sebuah mo
http://facebook.com/indonesiapustaka
Abil. Manusia merasakan ada yang tak cukup dan ada yang tak
adil. Keadaan ”alami” yang digambarkan Hobbes—ketika ma-
nusia saling melenyapkan dan me-minggirkan—adalah keadaan
di mana semua sama-sama mempunyai a sense of entitlement, se
Tentu saja ia benar, dan saya akan mengakui itu dalam per-
cakapan yang sebenarnya tak pernah terjadi itu. Tapi juga kita
tak harus membayangkan semua kita adalah Kain dan Abil. Kita
juga tak bisa berilusi bahwa pembunuhan itu bisa menyebabkan
H
UTAN tipis yang cuma sisa, burung penghabisan yang
bersarang di tebing kering, dan manusia terakhir yang
terdesak di sebuah bumi yang kian panas imajinasi
ini memang muram, menakutkan. Tapi imajinasi ini juga bisa
memudarkan ilusi: hidup ternyata bukan seperti yang dibayang
kan George W. Bush. Dengan mesin perang yang besar dan tiap
kali menghancurkan, dengan emisi karbon dioksida yang meng-
hambur dari jutaan knalpot tak henti-hentinya, dunia tak sela-
manya secerah, seramah, dan setenang gambar-gambar Norman
Rockwell atau iklan rokok Marlboro.
Tapi sebenarnya bukan hanya hari ini dipersoalkan apa yang
terjadi.
Semenjak para kesatria dalam cerita wayang mbabat alas wa-
namerta membuka hutan dan memperluas wilayah kekuasaan
mereka dan dengan ekspansi itu mempersempit daerah yang di-
huni para pertapa untuk bersemadi, telah muncul sebuah tema
perseteruan dua sisi, atau dua impuls, dalam sejarah.
Di satu sisi dorongan untuk merapatkan diri dengan gunung
dan rimba, seperti ketika Arjuna bertapa dalam lakon Begawan
Mintaraga. Di sisi lain dorongan menang dan menaklukkan, se-
perti ketika Arjuna mencari senjata terdahsyat untuk perang
memperebutkan kerajaan. Di satu sisi muncul kemampuan ber-
empati kepada makhluk yang lain di tengah alam, seperti ketika
Rama bersahabat dengan Kera Sugriwa. Di sisi lain menonjol ke-
ampuhan destruktif tanpa perasaan benci, seperti ketika Rama
http://facebook.com/indonesiapustaka
dari bangsi. Rumah pun dibangun, tapi akhirnya tak hanya atap,
dinding, dan pintu. Ada arsitektur, cat merah daun jendela, dan
kembang leli di dalam bokor. Yang terluka hendak dipupus.
Tapi memang ada suatu dinamika lain yang datang, yang
”You got to make it out of Badness.... And you know why? Because there
isn’t anything else to make it out of.”
—Willie Stark, dalam All the King’s Men
S
EBUAH pilkada, di sebuah musim yang gerah pada 32°
C.Ekonomi muram dan timpang, korupsi setengah ber-
sembunyi, dan kemarahan si miskin setengah ditelan. Ini
Louisiana tahun 1930-an: hari-hari depresi, zaman hal-hal yang
radikal berkecamuk, ketika Willie Stark datang, berteriak, dan
menang—seorang dengan niat baik yang bergelora dan akal yang
brutal yang menjamah apa saja. Orang ini akhirnya mati ditem-
bak seorang yang lurus hati, tapi kematian itu tak menyebabkan
apa yang kotor dalam proses politik tertebus.
Novel Robert Penn Warren, All the King’s Men, telah membuat
cerita Willie jadi contoh klasik tentang bagaimana politik,juga di
sebuah demokrasi di Amerika Serikat, datang dari harapan tapi
bisa tak memungkinkan tumbuhnya harapan.
Willie dipilih dengan dukungan yang antusias. Ia dikenalse
bagai seorang yang memprotes, ketika sebuah gedung sekolahro-
boh. Ia orang berani yang menunjukkan bahwa pemerintah dae-
rah membuat bangunan itu dengan menunjukseorang kontrak-
tor yang curang. Semula protesnya tak didengar. Tapi beberapa
tahun kemudian, tatkala sebuah tangga kebakaran roboh dan be-
berapa anak luka parah, orang ingat benarnya kata-kata Willie.
Ia langsung jadi tokoh yang diharapkan, dan sejumlah operator
http://facebook.com/indonesiapustaka
darah dan kedutan saraf, seperti kaki seekor katak yang mati di
tempat eksperimen ketika setrum listrik itu menjalarinya.”
All the King’s Men—jika novel yang ditulis seorang penyair ini
agak disederhanakan—adalah catatan yang memaparkan nyaris
D
I pintu surga, Yudistira, raja tua yang lembut dan lurus
hati itu, ditolak masuk. Permukaan bumi konon ter
kejut mendengarnya: bisa dipercayakah janji keadilan
dalam hidup sesudah mati?
Berabad-abad manusia mengajukan pertanyaan seperti ini,
namun para dewa tak menengok. Tuhan tak menjawab.
Tapi kejadian hari itu memang luar biasa. Banyak orang
menganggap ini salah satu adegan paling memukau dalam Ma
habharata.
Yudistira ditolak masuk ke surga karena ia bertekad membawa
serta seekor anjing yang kurus dan kotor ke dalam. ”Kau harus
meninggalkan hewan itu di luar,” kata Dewa Indra di gerbang
itu. ”Kalau tidak, kau tak bisa masuk.”
”Hamba harus membawanya,” jawab Yudistira.
”Tak mungkin. Ada aturan yang melarang binatang masuk ke
surga.”
Yudistira diam sejenak. ”Kalau begitu, hamba tak akan masuk
ke sana,” katanya. ”Lebih baik hamba kembali.”
”Ke mana?”
Yudistira terdiam. Ia tak tahu apa yang akan didatanginya.Ta
pi ia tak banyak punya pilihan. Ia pun membalikkan badan dan
melangkah dengan memeluk anjingnya yang kini menggong
gonglirih.
Versi resmi Mahabharata menyebutkan di saat itulah menda-
dak hewan itu raib, dan yang tampak sosok Yamadharma. Dewa
http://facebook.com/indonesiapustaka
U
capan Ketua Partai Komunis dalam lakon Les Mains
Sales karya Sartre itu kini dikenang sebagai perumusan
kembali petuah Machiavelli dari abad ke-15: siapa saja
yang masuk ke kancah kekuasaan harus siap menyentuh najis.
Pengertian Les Mains Sales, ”tangan yang kotor”, telah jadi kiasan
abad ke-20 bagi sebuah kondisi ketika cita-cita yang baik terpaksa
dicapai dengan cara yang tak baik.
Machiavelli menasihati agar para penguasa mampu bertindak
bagaikan hewan, bak rubah yang licik dan singa yang ganas. Sar-
tre menampilkan Hoederer, sang Ketua Partai, untuk mengata
kanbahwa yang suci murni hanyalah ”gagasan para rahib dan fa
kir”. Ia mengecam para intelektual yang menyerukan la pureté.
”Kalian, kaum intelektual, anarkis borjuis,” kata Hoederer, ”ka
lian pakai kesuci-murnian sebagai dalih untuk tak melakukan
apa-apa! Tak berbuat apa pun, tinggal diam saja, merapatkan le
nganke tubuh, mengenakan sarung tangan!”
Kata-kata Hoederer bukan tanpa arah ke luar panggung. La-
kon ini pertama kali dipentaskan pada 1948, pada zaman ketika
Eropa dibayang-bayangi intrik dan perebutan posisi dalam Pe
rangDingin—sementara para pemikir bergulat dengan persoal
an moralitas dalam revolusi dan demokrasi.
Dengan Les Mains Sales, Sartre memasuki perdebatan besar
http://facebook.com/indonesiapustaka
ini. Tapi tiap lakon yang baik tak berangkat dengan satu premis
dan berakhir dengan satu pendirian. Ceritanya berlatar tahun
1930-an, ketika sebuah negeri Eropa Timur bernama Illyria—
negeri khayal yang juga dipakai Shakespeare dalam Twelfth
menyalahi garis politik, bukan pula karena soal cinta dan cem-
buru.
Ia akhirnya juga bagian dari dusta, bahkan ketika ia tak ber
ada di kancah perjuangan lagi. Mungkin Jessica benar ketika ia
berkata, ”Indah sekali, manusia yang bersendiri.” Tapi dengan
itu sebuah dilema tak terelakkan. Dalam kesendiriannya, manu
sia tak perlu mempengaruhi, menguasai, atau bersekutu dengan
orang yang berfi’il jahat, tak perlu pula menggunakan siasat se
tengah atau 100 persen menipu, tak perlu menyogok dan tak usah
menakut-nakuti. Tapi dalam kesendirian itu bagaimana ia akan
mengerti yang baik dan buruk, dan mengubah hidup? Bagaima-
na, seperti kata Hoederer, ”orang bisa mengatur kekuasaan de-
ngan tanpa dosa?”
Makna ”tangan kotor” dalam lakon Sartre memang harus di
bedakan dengan cara mereka yang bergelimang najis untuk ke-
pentingan diri sendiri. Tentu saja tak selamanya jelas, sejauh ma
na seseorang tahu, atau tulus, ketika ia mengatakan bahwaia ber-
buat sesuatu dengan ”tangan kotor” untuk kepentingan yang le
bih besar. Di Indonesia, bahkan tentara yang dikerahkan atas na
ma keamanan nasional atau keutuhan teritorial mungkin hanya
berdasarkan perhitungan dana anggaran yang akan dicuri sejum-
lah jenderal yang gemar bicara tentang patriotisme....
Itu sebabnya ada kehendak yang sah agar mana yang najis,
mana yang mulia, tak ditentukan berdasarkan tujuan sebuah tin-
dakan. Ada yang, seperti Kant, menegaskan utamanyadasar ni-
lai yang ”deontologis”: kita berbuat baik karena kewajiban moral,
bukan karena akibatnya yang bermanfaat. Jika seorang pembu
nuh datang ke Anda dan bertanya di mana orang yang akan di-
http://facebook.com/indonesiapustaka
A
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi 13-15
Abdullah, Basuki 178
Abikoesno 205
Abram 195
Adam, nabi 54, 127
Adonis 43, 51, 331, 332, 334
Adorno 268
Agamben 413
Agung, sultan 176
Agustinus, santo 94
Ahmadinejad, presiden 196
Al-Duali, Abu’l-Aswad 50
Aletheia 121-124
Al-Ghazali 263
Al-Hadi, Ali 153, 154
Al-Hakim, Muhammad Bakr 274
Al-Hallaj 123, 199
Al-Hasanal, Askari 153, 154
Ali bin Abu Thalib 80, 98, 332
Alisjahbana, S. Takdir 316
Al-Jurjânî 43, 51, 79
Al-Mahdi, Muhammad 154
Al-Mamun, Abdullah 51
Al-Mansur 25
http://facebook.com/indonesiapustaka
Holiday, Billie 5, 8
Homeros 265
Horkheimer 268
Housman, A.E. 313-315
Massoud, Ghassan 1
Maugham, W. Sommerset 153
Maximilian I, raja 337, 338
Meeropol, Abel 6
Q
Qian, Sima 137
R
Raffles, Stamford Thomas 14
Saladin 1, 2, 3
Saleh, Abdul Rahman 121
Salmawy, Mohamed 254
Samudra, Imam 75, 94
Sokrates 123
Spinoza 123
Srengenge, Sitok 162
Sri, dewi 159
Yamadipati 335
Yap Thiam Hien 243
Yesus 7, 42, 115, 149, 195, 196, 202, 292, 399, 403-405
Yohanes XXIII, paus 381
Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk majalah Tempo, di antara
nya terbit dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines
(1994) dan Conversations with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goe
nawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam
satu bait dalam sajaknya, ”dengan raung yang tak terserap karang”.
ii Catatan Pinggir 6