Anda di halaman 1dari 20

Teknik Menulis Feature a'la Majalah Tempo (Bagian 1)

http://satrioarismunandar6.blogspot.com/
(Pengantar: Artikel panjang ini ditulis oleh Redaktur Majalah Berita Mingguan Tempo. Saya tidak ingat
persis, bagaimana file tulisan ini bisa ada di koleksi saya. Tetapi mungkin ini berasal dari ketika saya
bekerja sebagai Redaktur Pelaksana di Majalah D&R, sekitar tahun 1998-1999. Waktu itu banyak wartawan
eks-Tempo pasca pembreidelan 1994 yang bekerja di sana. Artikel Teknik Penulisan Feature ini saya muat
di blog sebagai bahan belajar, dan sumbangsih buat dunia jurnalisme Indonesia. Karena tulisannya
panjang, akan dibagi dalam beberapa bagian. Semoga para jurnalis senior Tempo yang menyusun tulisan
ini juga mendapat pahala, karena berbagi ilmu penulisan. Amiiinnn. Satrio Arismunandar)
****
Dalam menulis berita di surat kabar yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan di
majalah berita, bentuk penulisan cenderung bergaya feature: "mengisahkan sebuah cerita".
Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata; ia
menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan
membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.
Bila seorang wartawan balai kota menggambarkan wali kota dengan sepatunya yang gemerlapan dan
kumisnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur kota akan marah karena tulisan itu bertele-tele. Tapi,
sebaliknya, bila reporter itu melupakan gambaran sang wali kota pada saat ia menulis feature, redaktur
kota mungkin akan berkata, "Orangnya seperti apa? Saya tidak bisa membayangkannya."
Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa
teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya
untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.
"Piramida terbalik" (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan
informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah -- hingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu
diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk
cerita yang baik. Feature yang singkat dan lucu, yang biasanya ditemukan di surat kabar di halaman
pertama, sering ditulis sesuai dengan urutan waktu.
Contohnya:
Brury, seorang petugas patroli, punya pengalaman paling sial Jumat malam yang lalu.
Pukul 4.30 sore ia lapor ke kantor. Lima menit kemudian, selama berpatroli dengan pakaian seragam,
lampu senternya jatuh. Ketika membungkuk untuk memungutnya kembali, celananya sobek di bagian
pantat.
Pukul 5.15 sore, ia mecoba menolong seekor anjing yang menggonggong. Sejam kemudian ia dirawat
karena kakinya digigit anjing.
Segera setelah pukul 7.00 malam ia kesenggol mobil ngebut. Pengemudinya seorang detektif narkotik yang

sedang menguber padagang heroin.


Pukul 9.50 ia dipanggil ke sebuah bar untuk melerai pertengkaran. Setengah jam kemudian, ia dirawat
karena luka-luka di kepalanya akibat pukulan botol wiski. Perawatan dilakukan di pusat kesehatan
masyarakat setempat.
Brury kembali ke rumah sakit itu lagi pukul 11.40 malam setelah menguber tersangka perampokan. Kaki
kanannya terkena kaca ketika ia jatuh.
Setelah meninggalkan rumah sakit, ia kembali ke kantor polisi pukul 12.05 dini hari untuk mengakhiri
tugasnya. Tapi waktu itu seorang pengendara motor menabrak dari belakang mobil dinas Brury di lampu
lalu lintas. Sekali ini, ia tidak terluka.
Akhirnya pukul 12.30 Brury pulang, Ketika ia sampai di tempat parkir, ia menerima satu laporan polisi lagi.
Dicuri: sebuah sepeda motor Honda, STNK nomor B 1995 GK. Pemiliknya: Brury, umur 31 tahun, tinggal di
Gang Kenari 27.
Reporter yang menulis cerita Brury sebagai feature, dan tidak menuliskannya sebagai berita, memperoleh
hasil yang baik dari bahan yang tersedia. Feature itu pantas dimuat di halaman pertama, sedangkan
sebagai berita sedikit sekali nilainya. Bila dibuat berita, bentuknya seperti ini:
Brury, seorang petugas patroli, dirawat karena luka-luka kecil (ringan) pada tiga insiden terpisah Jumat
malam. Polisi itu juga mengalami kecelakaan mobil ringan.
Brury, 31 tahun, digigit anjing pukul 5.15 sore, kepalanya terkena botol wiski di bar pada pukul 09.50
malam; dan kakinya luka karena pecahan kaca ketika ia jatuh dalam suatu pengejaran pukul 11.27. Ia
dirawat dan kemudian dibolehkan pulang dari pusat kesehatan masyarakat setempat setelah kecelakaan
itu.
Suleman, 38 tahun, penghuni Jalan Kebyar nomor 19, ditangkap dan dituduh menyerang polisi pada satu
pertengkaran di bar.
Mobil dinas Brury sedikit rusak ketika ditabrak dari belakang oleh mobil yang dikemudikan Ny. Amenah di
persimpangan Kuningan pukul 12.05 hari ini. Tidak ada seorang pun yang luka.
Perhatikan bahwa berita lebih banyak menyampaikan informasi mengenai kecelakaan dalam cerita itu, dan
tidak menyebut-nyebut materi yang tidak punya nilai berita -- tapi penting ~-- seperti celana sobek.
Reporter berita bisa dengan mudah mengambil keputusan untuk meninggalkan cerita tentang pencurian
motor, karena itu terpisah dan tidak langsung berhubungan dengan cerita tentang luka atau hampir luka
yang dialami seorang polisi. Cerita mana yang lebih menarik? Cerita mana yang lebih informatif? Cerita
yang mana yang lebih enak ditulis?
AKURAT, BUNG!
PENULIS feature tentu membutuhkan imajinasi yang baik untuk menjahit kata-kata dan rangkaian kata
menjadi cerita yang menarik. Tapi, seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, imajinasi penulis tidak
boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya.
Pendeknya, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature.
Seorang wartawan profesional tidak akan menipu pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar terhadap
etika dan bahaya yang bakal mengancam.
Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi tidak boleh ada, kecuali pada bagian tertentu surat kabar. Tajuk

rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan pendapat. Dan edisi Minggu surat kabar diterbitkan
untuk menampung fiksi (misalnya cerita pendek).
Feature tidak boleh berupa fiksi, dan setiap "pewarnaan" fakta-fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila
penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan orang pada kita akan hancur.
Ada beberapa derajat "kefiktifan". Yang paling mencolok ialah bila seorang membuat cerita dengan bahan
yang sama sekali bikin-bikinan. Tapi tak banyak reporter yang segila itu.
Godaan yang paling sering terjadi, ketika penulis hampir menyelesaikan tulisan yang baik tapi ada
beberapa unsur yang tertinggal. Ia mungkin mencoba memperoleh unsur-unsur itu dengan mengajak tokoh
laporannya untuk bikin ramai cerita. Tokoh yang diwawancarai dengan demikian bersekongkol dalam
menjual cerita yang condong palsu.
Satu teknik lagi yaitu dengan menaruh satu kalimat (untuk jadi kutipan) ke mulut orang yang diwawancarai.
Caranya, wartawan mengawali kutipan yang sudah diarahkan dengan bertanya, "Apakah Anda...." dan
menunggu anggukan tanda setuju -- entah sungguhan atau khayalan.
Wartawan-wartawan yang tidak etis seperti itu memang terdapat di dunia pers, dan seperti lazimnya
pembohong, mereka hidup dalam ketakutan bila rahasianya terbongkar.
Untuk kepentingannya sendiri, seorang wartawan harus tahu bahwa nama baiknya adalah taruhan bagi
suksesnya. Wartawan yang ceroboh terhadap fakta akan segera kehabisan sumber berita yang bisa
memberi informasi kepadanya.
MENGUMPULKAN INFORMASI DENGAN TEPAT
Ketidakakuratan (kesalahan) dalam penerbitan kebanyakan disebabkan oleh kelalaian (kesembronoan)
yang tidak disengaja. Seorang reporter mungkin tidak menggunakan waktu secukupnya untuk mengecek
informasinya sebelum menulis. Kemudian ternyata ia salah menulis nama sumber berita.
Seorang wartawan kawakan akan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kesalahan
fakta:
1. Bila Anda mewawancarai seseorang, tanyakan namanya, umurnya, alamatnya, dan nomor teleponnya.
Setelah mengumpulkan informasi, ejalah namanya dan bacakanlah alamat dan nomor teleponnya
sehingga sumber berita bisa mengoreksinya. Nomor telepon tidak ditulis dalam cerita, tapi reporter harus
mempunyainya untuk mengadakan kontak dengan sumber berita itu.
2. Bila nama, umur, dan alamat Anda dapat dari tangan kedua, harap dicek pada buku telepon. Bila Anda
menyebut umurnya, tanyakan pada sumber berita untuk membetulkannya.
3. Jangan sekali-kali beranggapan bahwa Anda mengetahui semuanya. Anda selalu harus mengecek
ulang setiap informasi yang penting. Misalnya, seorang reporter balai kota mungkin mengira bahwa ia tahu
gelar atau jabatan resmi seorang pejabat. Tapi bila ia tidak yakin, ia harus menghubungi pejabat itu atau
sekretarisnya untuk mencocokkannya.
4. Bila tulisan Anda menyangkut materi yang rumit, pastikanlah dulu bahwa Anda mengetahui hal itu.
Seorang reporter sering menulis tentang suatu istilah teknis sedangkan ia tidak tahu atau tidak punya latar
belakang sama sekali tentang hal itu.
Mungkin seorang wartawan polisi membuat feature mengenai perlengkapan radar yang dipasang pada

lampu lalu-lintas. Seorang kapten polisi mungkin dengan lancar menerangkan istilah teknis tentang radar,
tapi reporter itu harus bisa memberi informasi yang gamblang kepada pembacanya. Maka, seorang
wartawan berpengalaman akan sering menghentikan penjelasan kapten itu untuk mencarikan terjemahan
istilah-istilah teknis tersebut yang mudah diterima awam.
Umumnya wartawan mengambil peranan sebagai seorang pembaca kebanyakan, dan mengajukan
pertanyaan sesuai dengan posisi itu.
5. Bila menggunakan statistik atau data matematis, reporter harus mengecek angka-angkanya dan
menghitung. Banyak wartawan yang berdalih macam-macam bila seorang pembaca yang kritis mengirim
surat ke redaksi dan menunjukkan perhitungan yang keliru dalam tulisan wartawan itu.
Statistik harus dicermati benar, dengan penuh kecurigaan. Anda bisa membuktikan apa saja dengan
statistik, tergantung bagaimana cara Anda menyajikannya dan apa saja yang Anda masukkan atau
tinggalkan. Tanyakanlah kepada sumber secara cermat untuk meyakinkan kebenaran angka-angka itu.
Misalnya, statistik kejahatan yang dikemukakan polisi harus dicek benar-benar sebelum dipakai sebagai
petunjuk tingkat kejahatan. Sebab, pada kenyataannya, banyak peristiwa kejahatan yang tidak dilaporkan
kepada polisi, dan karena itu tidak tercatat dalam statistik.
Seorang reporter tidak boleh membiarkan dirinya menjadi alat untuk menipu masyarakat. Kekritisan dan
pengecekan yang teliti sering bisa menghindarkan hal itu terjadi.

Teknik Menulis Feature a'la Majalah Tempo (Bagian 2)

PENGEJAAN DAN PEMAKAIAN KATA


"Kata-kata adalah alat pokok dalam pekerjaan ini. Bila kau tidak bisa mengeja dengan tepat atau tidak bisa
memakai kata-kata dengan efektif dan akurat, kau tidak tepat untuk masuk dalam percaturan surat kabar."
Teguran ini dikatakan seorang editor yang marah karena menemukan beberapa kata yang salah tulis
dalam naskah seorang reporter. Reporter itu memegang teguh teguran itu dan, sejak saat itu, memakai
kamus secara serius.
Ejaan bukan hanya latihan akademis untuk menakut-nakuti mahasiswa. Ejaan adalah satu keharusan bagi
kelangsungan hidup dunia pers yang penuh persaingan.
Tak banyak reporter yang bisa gampang ingat ejaan, memang. Tapi kebanyakan kita tentunya bisa
membaca kamus. Dan sekadar membalik-balik kamus tentulah bisa dilakukan, bahkan ketika diuber
deadline.
Beribu-ribu kata diproses setiap hari di meja editor. Memang, editor bertanggung jawab untuk menyaring
kesalahan pada naskah-naskah. Tapi, secara manusiawi, tidaklah mungkin ia bisa menyaring setiap kata.
Karena itu seorang editor, mau tak mau, dituntut untuk selalu awas ketika memeriksa naskah. Ia harus
selalu curiga bahwa naskah yang ia baca itu mengandung salah eja.
Bila salah ejaan sudah tercetak, banyak hal bisa terjadi -- dan tidak satu pun yang baik. Kepercayaan orang

pada media itu rontok. Salah cetak mengurangi citra media tersebut sebagai sesuatu yang profesional, dan
membuat isinya selalu dicurigai para pembaca cerdik pandai. Bila koran ceroboh terhadap kata-kata,
bagaimana fakta-fakta di dalamnya bisa dipercaya?
Kepercayaan orang pada reporter bersangkutan juga luluh. Bila seorang reporter terlalu sering melakukan
kesalahan ejaan, bisa jadi ia memang tak cakap, tak cocok menjadi reporter, dan seorang editor bisa
memindahkannya ke bagian lain, atau mendepaknya.
Kesalahan pemakaian kata bisa berakibat serupa. Banyak orang salah memilih kata-kata dalam
percakapan sehari-hari karena mereka memungut suatu kata tanpa mengetahui persis artinya. Kesalahan
dalam percakapan bisa dimaafkan dan dimaklumi, tapi segala maaf habis bila seorang reporter salah
menerapkan kata dalam medianya.
Editor yang menginginkan standar profesional yang tinggi mungkin akan terlalu njlimet pada hal-hal sampai
sekecil-kecilnya.
Kata-kata yang dipakai secara salah bisa mengubah arti suatu cerita. Dalam sebuah tulisan yang
membahas soal utang dan piutang perusahaan, misalnya, penutupnya berbunyi demikian: "Seorang
direktur perusahaan tekstil mengatakan, di akhir tahun anggaran nanti perusahaannya akan memiliki
piutang yang jauh lebih besar daripada utangnya. Itu dikarenakan tiadanya kontrol penagihan.''
Andai saja antara kata "piutang" dan "utang" tertukar tempatnya, bisa saja sejumlah pemegang saham
perusahaan tekstil itu akan buru-buru menjual sahamnya karena perusahaan itu rugi --padahal yang terjadi
sebaliknya, meski keuntungan itu masih berupa piutang. Jelas, perbedaan antara kedua kata itu
berpengaruh besar pada sikap para pemegang saham.
Akibat kesalahan pemilihan kata, bisa fatal. Nama baik surat kabar merosot. Nama baik reporter sendiri
juga rusak. Dalam rapat pemegang saham perusahaan tekstil tersebut, baik direksi maupun pemegang
saham tak lagi punya respek besar kepada wartawan itu. Akibatnya, wartawan ini kehilangan sumber
informasi.
PEMAKAIAN BUKU PEDOMAN
Untuk mempertahankan citra keprofesionalan, surat kabar memerlukan buku pedoman penulisan. Baik
reporter, penulis, dan redaktur seharusnya menaati aturan yang tertulis dalam buku pedoman itu. Buku
semacam ini menggolong-golongkan bagaimana kata, gelar, dan tanggal harus dipakai untuk
mendapatkan keseragaman.
Ada beberapa alasan mengapa buku pedoman ini perlu:
1. Pemakaian yang seragam kelihatan lebih profesional.
2. Bila sebuah kata ditulis dalam berbagai bentuk, meskipun semuanya benar, terbuka peluang pembaca
akan mengambil kesimpulan salah: bahwa hanya satu kata yang benar. Misalnya kata persen, prosen, atau
%.
3. Keseragaman menghemat waktu. Seorang wartawan yang mempelajari buku pedoman tidak perlu raguragu memilih istilah yang harus dipakainya. Bila ia sedang diuber deadline, keraguan bisa berakibat mahal.

Manfaat buku pedoman, seperti juga kamus: untuk mengurangi kesalahan, mengurangi hal yang akan
mengurangi citra keprofesionalan Anda.
MENANGKAP KESALAHAN
Untuk menangkap kesalahan, baik ejaan, gaya, maupun pemakaian kata, memang hanya ada satu cara.
Yakni, membaca dan membaca naskah itu. Mereka yang dikaruniai kepandaian mungkin hanya sekali baca
sudah bisa melihat kesalahan. Tapi wartawan lain memerlukan membaca dan membuka kamus berkali-kali
untuk mengecek pekerjaannya.
Berikut ini salah satu cara mencari kesalahan dalam naskah Anda, tanpa banyak merugikan kelancaran
menulis.
Jangan mengecek ejaan atau pemakaian kata pada saat menulis cerita. Berkali-kali membuka kamus atau
buku pedoman di tengah Anda menulis akan menghambat kelancaran kreativitas dan itu memakan waktu.
Tapi, segera setelah cerita selesai, perhatikan naskah Anda kata demi kata. Pelototilah setiap kata seolaholah "musuh" Anda yang akan menyabot cerita Anda. Kalau ada kemungkinan salah, walau sekecil apa
pun, ceklah kata itu sampai Anda yakin bahwa itu sudah benar, atau Anda harus menggantinya.
Bila waktu memungkinkan, lakukanlah pengecekan ulang sekali lagi. Sering mata Anda terlena pada satu
baris atau paragraf, ketika Anda mengecek cerita Anda. Pengecekan ulang akan mengurangi kesalahan.
Untuk beberapa jenis feature mungkin Anda perlu bekerja beberapa hari, kemudian mengendapkan cerita
itu barang sehari atau dua setelah pengecekan sistematis. Kemudian sebelum menyerahkan cerita itu,
saringlah lagi kesalahan yang mungkin ada. Dengan pandangan yang segar, kesalahan sering tampak
lebih nyala.
Bila Anda menemukan kata yang salah eja atau salah pakai, tulislah. Beberapa reporter menyimpan daftar
kata yang membingungkannya, agar ia selalu bisa mengecek mana yang salah dan mana yang benar
dengan cepat. Belajar mengeja kata-kata itu akan sangat membantu.
Dan bila didesak oleh deadline, sementara itu Anda ragu arti sebuah kata yang hendak Anda gunakan,
pakai saja sinonim atau padanannya.
MENGAIL, DENGAN "LEAD"
KUNCI untuk penulisan feature yang baik terletak pada paragraf pertama, yaitu lead. Mencoba menangkap
minat pembaca tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan.
Setiap wartawan selalu sadar akan perlunya lead.Keranjang sampah penuh dengan lead tak bermutu,
karena wartawan memakai lead yang itu-itu juga dalam usahanya menarik minat pembaca.
Lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama.
1. Menarik pembaca untuk mengikuti cerita.
2. Membuat jalan supaya alur cerita lancar.
Banyak pilihan lead; sebagian untuk menyentak pembaca, sebagian untuk menggelitik rasa ingin tahu
pembaca, dan yang lain untuk mengaduk imajinasi pembaca. Dan masih ada yang lain, yaitu lead untuk

memberi tahu pembaca tentang cerita yang bersangkutan secara ringkas.


Wartawan jarang menyadari, termasuk lead yang bagaimana yang dipakainya. Untuk memudahkan
memilih lead, tampaknya perlu diketahui berbagai lead, seperti di bawah ini.
Lead ringkasan
Lead ini sama dengan yang dipakai dalam penulisan "berita keras". Yang ditulis hanya inti ceritanya, dan
kemudian terserah pembaca apakah masih cukup berminat untuk mengikuti kelanjutannya.
Lead ringkasan ini sering dipakai bila reporter mempunyai persoalan yang kuat dan menarik, yang akan
laku dengan sendirinya. Karena lead ini sangat gampang ditulis, banyak reporter yang langsung
memilihnya bila diuber deadline, atau bila ia bingung untuk mencari lead yang lebih baik.
Beberapa contoh lead ringkasan:
* Ini satu lagi kasus peninggalan bekas Gubernur DKI Jaya Wiyogo Atmodarminto: Pasar Regional
Jatinegara(TEMPO, 30 Januari 1993, "Komisi di Jatinegara").
* Ada orang ketiga di rumah tangga, kalau bukan bikin sewot istri, ya, bikin melotot
suami (TEMPO, 1 Januari 1994, "Two in One Versi Tuban").
Dari setiap contoh jelas bahwa yang akan diceritakan dalam cerita itu sudah tertulis dalam lead. Pembaca
tahu, setelah membaca lead. Kata "kasus" dalam contoh pertama menunjukkan bahwa cerita yang akan
disampaikan adalah tentang ketidakberesan di Pasar Regional Jatinegara yang dibangun di zaman
Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Sedangkan dalam lead yang kedua, sudah bisa dibaca
bahwa yang akan diceritakan adalah tentang hadirnya orang ketiga yang menimbulkan keributan di sebuah
rumah tangga.
Kedua cerita itu umumnya dianggap cukup kuat menarik minat pembaca. Yang pertama, masalah
ketidakberesan sebuah proyek tempat masyarakat bertemu. Yang kedua, masalah yang bisa menimpa
hampir tiap rumah tangga: kehadiran orang ketiga.
Lead yang bercerita.
Lead ini, yang digemari penulis fiksi (novel atau cerita pendek), menarik pembaca dan membenamkannya.
Tekniknya adalah menciptakan satu suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama, entah
dengan cara membuat kekosongan yang kemudian secara mental akan diisi oleh pembaca, atau dengan
membiarkan pembaca mengidentifikasikan diri di tengah2Dtengah kejadian yang berlangsung.
Hasilnya, berupa teknik seperti yang dibuat dalam film yang baik. Apakah Anda pernah merasa haus ketika
menyaksikan seorang pahlawan (film) kehausan di tengah padang pasir? Apakah Anda gemetar di tempat
duduk Anda menyaksikan film horor?
Lead semacam ini sangat efektif untuk cerita petualangan. Misalkan seorang wartawan yang melaporkan
suasana di sudut sebuah rumah di Bosnia Herzegovina yang lagi dilanda perang saudara.
* Kami makan anggur kematian, dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis dan asam. Mereka
menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik muslim yang istrinya belum
lama tewas oleh bom orang Serbia. Ini senja di Bosnia, langit sama biru tuanya dengan anggur-anggur
itu. (TEMPO, 27 Maret 1993, "Potret Berdarah dari Dalam").

Wartawan rubrik kriminalitas sering memakai lead bercerita dalam cerita feature untuk melaporkan
peristiwa peristiwa kejahatan.
* Hari itu, ada lima mayat yang hangus terpanggang. Sesosok mayat laki-laki dewasa dan tiga anaknya
berserakan di sana-sini dengan tubuh rusak bekas dibantai. Pemandangan itu ditemukan penduduk di
puing sebuah gubuk yang hangus terbakar (TEMPO, 25 Januari 1992, "Tragedi di Kebun Karet").
Feature lain bisa begini:
* Toha gelagapan. Ia seperti menghirup ruang hampa. Sebisanya ia mengisap corong udara di hidungnya.
Tapi sia-sia. Tabung oksigen di punggungnya ternyata sudah kosong. Ia panik. Permukaan laut masih
puluhan depa di atasnya (TEMPO, 16 November 1993, "Suka Duka Sang Penyelam").
Lead ini mempunyai keuntungan karena bisa menggaet lebih efektif pembaca daripada lead lain. Begitu
pembaca mengidentifikasikan diri dengan - atau menjadi tokoh ceritanya, ia pasti sudah tergaet.
Tetapi ada kerugiannya: tak semua cerita yang bisa cocok diberi lead seperti itu. Reporter yang mencoba
memaksakan lead macam ini akan menghasilkan lead yang tidak wajar, atau lead itu akan merusakkan
cerita.

Teknik Menulis Feature a'la Majalah Tempo (Bagian 3)

Lead deskriptif.
Lead deskriptif bisa menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat
kejadian. Lead ini cocok untuk berbagai feature dan digemari reporter yang menulis profil pribadi.
Lead yang bercerita meletakkan pembaca di tengah adegan atau kejadian dalam cerita, sedangkan lead
deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan
mencium baunya.
Pemakaian ajektif (kata sifat) yang tepat adalah kunci untuk lead deskriptif. Seorang reporter yang baik
bisa membuat tokohnya "hidup", seolah-olah muncul di tengah-tengah barang cetakan yang dipegang
pembaca.
Reporter sering mencoba memusatkan perhatiannya pada satu unsur yang paling mencolok dari sosok dan
penampilan tokohnya untuk diilustrasikan.
* Wajah Syaiful Rozi bin Kahar samasekali tak mengesankan bahwa ia seorang bajak laut. Ia
berpembawaan halus, sopan, dan ramah (TEMPO, 28 Agustus 1993, "Perompak yang Halus dan Ramah").
Untuk kebanyakan pembaca, lead itu mendebarkan. Pembaca seolah-olah terpaksa menerima kehadiran
seseorang yang berperangai halus, padahal ia bajak laut yang ganas.

Tokoh untuk lead ini tidak harus manusia. Objek tidak berjiwa pun bisa mempunyai "personalitas" yang bisa
ditangkap secara efektif oleh pembaca dari sebuah lead deskriptif yang baik.
* Laksana tarian peri langit, asap membubung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang
api (TEMPO, 30 Januari 1993, "Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali").
Lead deskriptif bisa menjadi karikatur yang efektif, seperti sketsa seorang pelukis, yang menekankan pada
ciri pokok dan mengabaikan perincian yang tidak menarik.
Atau sebuah lead deskriptif bisa menampilkan tokohnya dalam perwatakan yang menarik, dengan cara
menggambarkan sebuah latar (dekor) yang tepat.
* Bola mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari
balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (TEMPO, 2 Januari 1993,
"Kasmaran Maut di Sarang Elang").
Menyadari bahwa selalu ada kemungkinan untuk membuat lead deskriptif, maka tidak mengherankan bila
banyak reporter yang terpikat oleh lead jenis ini.
Lead kutipan.
Kutipan yang dalam dan ringkas bisa membuat lead menarik, terutama bila yang dikutip orang yang
terkenal. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke dalam watak si pembicara.
Ingat, lead harus menyiapkan pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita, sehingga kutipannya pun
harus memusatkan diri pada sifat cerita itu.
Sebuah contoh lead kutipan begini:
* "Tangkap hidup atau mati." (TEMPO, 29 Januari 1994, "Hidup atau Mati: Gendut Dicari").
Kutipan keras itu diucapkan Kapolri Letnan Jenderal Banurusman. Umumnya pembaca akan langsung
tergaet, ingin tahu bagaimana nasib orang yang sudah dipastikan harus ditangkap hidup atau mati itu.
Kerugian lead semacam ini adalah bahwa kutipan yang dipilih bisa keluar dari isi cerita, bila tekanan pokok
diletakkan kepada kutipan itu saja.
Misalnya Anda mewawancarai seorang tukang ojek tentang rencana pembangunan kawasan Kota, Jakarta
Pusat. Mungkin ia mengeluh, tentang rencana yang bakal menutup rezekinya itu dan berkata, "Kawasan
Kota mau ditutup sampai Pelabuhan Sunda Kelapa? Wuih..." (TEMPO, 26 Juni 1994, "Menyulap Kawasan
Kota").
Kutipan itu bisa menarik perhatian, sehingga seorang reporter mungkin memakainya sebagai lead. Tapi
kutipan itu tidak secara tepat menggambarkan perasaan si tukang ojek itu secara keseluruhan. Bila
wartawan tidak bisa memberikan penjelasan pada pembaca kapan kutipan itu keluar dan dalam kondisi
bagaimana, jangan-jangan kutipan itu memang tak ada kaitannya langsung dengan isi cerita.
Lead pertanyaan.
Lead ini efektif bila berhasil menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca.
Sering, lead ini dipakai oleh wartawan yang tidak berhasil menemukan lead yang imajinatif. Lead ini

gampang ditulis, tapi jarang membuahkan hasil terbaik.


Dalam banyak hal, lead ini cuma taktik. Wartawan yang menggunakan lead ini tahu bahwa ada pembaca
yang sudah tahu jawabannya, ada yang belum. Yang ingin ditimbulkan oleh lead ini rasa ingin tahu
pembaca: yang belum tahu, mestinya terus ingin membacanya; sedangkan yang sudah tahu dibuat raguragu apakah pengetahuannya cocok dengan informasi bung wartawan.
Banyak editor enggan memakai lead ini karena pembaca serinq dibuat kesal oleh jebakannya. Biasanya
lead bercerita atau deskriptif lebih disukai.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa lead pertanyaan lebih rendah mutunya daripada yang lain.
Kadang-kadang ada cerita yang bisa diberi lead pertanyaan secara wajar.
Seorang wartawan Sekretariat Negara yang menulis feature tentang kenaikan gaji pejabat tinggi bisa
menulis begini:
* Berapa gaji Presiden Soeharto sekarang? (TEMPO, 23 Januari 1993, Presiden Naik, DPR Naik).
Seperti juga lead-lead yang lain, lead pertanyaan hanya bisa efektif bila materinya memang secara wajar
bisa diberi lead pertanyaan.
Contoh lain:
* Apa yang membuat sekelompok orang ngotot, menolak pindah, meski gubuk tempat mereka tinggal terus
dirayapi oleh air yang menggenang? (TEMPO, 27 April 1991, "Kedungombo").
Lead menuding langsung.
Bila reporter berkomunikasi langsung dengan pembaca, ini disebut lead menunjuk langsung. Ciri-ciri lead
ini adalah ditemukannya kata "Anda" yang disisipkan pada paragraf pertama atau di tempat lain.
Keuntungannya jelas. Pembaca -- kadang-kadang tidak secara sukarela -- menjadi bagian cerita.
Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda secara pribadi dalam cerita itu.
Misalnya seorang reporter yang mangkal di kantor imigrasi dan menemukan adanya kesalahan cekal
terhadap seseorang yang tidak bersalah, mungkin membuat lead demikian.
* Bila Anda punya nama "kodian", harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh ke luar
negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, "Gara-gara Nama Sama".)
Lead seperti itu langsung melibatkan pembaca secara pribadi, rasa ingin tahu mereka sebagai manusia
disinggung: jangan-jangan namanya atau nama keluarga dekat atau teman dekatnya tergolong nama
kodian. Menggunakan lead seperti ini memang terasa sebagai taktik untuk memikat.
Ada contoh lain. Lead ini secara langsung menyeret pembaca ke dalam persoalan dan membawanya untuk
membaca tulisan secara keseluruhan.
* Bila harus memilih antara diet kolesterol dan penyakit jantung, tentu Anda memilih yang
pertama (TEMPO, 5 Februari 1994, "Para Eksekutif, kolesterol dan Jantung".)
Yang perlu diingat, membuat lead yang menuding langsung seperti contoh tersebut memerlukan imajinasi
yang kuat. Sebab, ada bahaya di sini, salah-salah Anda membuat lead yang cenderung kedengaran sok

dan amatir. Misal:


* Kalau (Anda) mau hidup enak dan terhormat, jadilah eksekutif di perusahaan konglomerat (TEMPO, 6
Februari 1993, "Eksekutif Jutaan Rupiah".)
Berbeda dengan yang sebelumnya, meski tetap punya daya tarik (hidup enak dan terhormat tentunya
diminati umumnya orang), yang ini terasa kurang memikat. Soalnya, tak semua orang punya kesempatan
menjadi eksekutif, apalagi di perusahaan konglomerat. Dengan kata lain, lead ini kurang melibatkan
banyak pembaca secara pribadi.
Lead penggoda.
Lead penggoda ini adalah cara untuk "mengelabui" pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya
menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca seluruh cerita.
Lead jenis ini biasanya pendek dan ringan. Umumnya dipakai teka-teki, dan biasanya hanya memberikan
sedikit, atau sama sekali tidak, tanda-tanda bagaimana cerita selanjutnya.
* Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50. (TEMPO, 4 Januari 1992, "Angka Misterius Santa
Cruz".)
Dari kalimat itu pembaca belum tahu pasti kunci cerita tentang angka 50 itu. Justru karena itu
keingintahuannya dibangkitkan, dan untuk memenuhi keingintahuannya itu, mau tak mau, ia akan
membaca kelanjutan kalimat tersebut, sampai tahu apa yang dimaksudkan dengan "angka 50" itu. Setelah
pembaca tahu teka-teki angka 50 itu (dalam hal ini adalah tentang jumlah korban kekerasan militer di
kuburan Santa Cruz, Dili, pada tahun 1991), tergantung cerita itu sendiri apakah cukup menawarkan daya
tarik untuk diikuti terus, atau tidak.
Cara lain menampilkan lead jenis ini, mengiming-imingkan (memamerkan) potongan fakta di depan hidung
pembaca supaya terpancing untuk terus membaca:
* Pendatang baru itu tampak misterius dan agak menakutkan. Namanya memang bagus, Chlamydia
pneumoniae, tapi wataknya merepotkan para peneliti (TEMPO, 19 Februari 1994, "Chlamydia yang
Mempersulit Diagnosa").
Pembaca yang tak tahu apa atau siapa nama itu, tentunya bisa punya asosiasi macam-macam membaca
lead itu: apakah itu seseorang, atau benda, atau apa. Barulah di kalimat-kalimat berikutnya diceritakan
yang sebenarnya:Itulah kuman penyebab penyakit radang paru-paru, yang tidak tergolong jenis bakteri,
tapi juga bukan virus. Para ahli mengatakan, kuman itu membawa sebagian sifat bakteri, sebagian lagi sifat
virus.
Pembaca yang sudah tahu tentang kuman itu pun diharapkan tetap ingin membaca artikel ini, karena
diiming-iming dengan kata "misterius" dan "menakutkan". Benarkah si Chlamydia itu semisterius dan
semenakutkan sebagaimana ia ketahui, atau kurang dari itu, atau lebih menakutkan?
Lead nyentrik.
Hijau sayuran

Putihlah susu
Naik harga makanan
Ke langit biru
Reporter yang imajinatif -- meskipun tidak puitis -- bisa mencoba lead seperti ini pada saat menulis cerita
tentang kenaikan harga. Lead ini memikat dan informatif. Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu
bisa menarik pembaca, hingga ceritanya bisa laku.
Lead ini paling ekstrem dalam bertingkah. Tapi kekurangajarannya bisa menggaet pembaca, bila reporter
bisa mengikuti langkah pertamanya itu dengan cerita yang lincah dan hidup. Tapi nada lead ini susah
dijaga sepanjang keseluruhan cerita.
Beberapa koran enggan memakai lead ini. Memang ada bahayanya. Wartawan hidup dalam dunia katakata. Lead nyentrik membuka peluang wartawan untuk mengobral permainan kata hingga memualkan.
Hanya kebijaksanaan yang tegas yang bisa mencegah banjirnya permainan kata itu.
Lead nyentrik bisa juga hanya melukiskan suara bunyi-bunyian. Misalkan: "Tak dududuktak.
Duk." (TEMPO, 5 Januari 1985, "Mereka Bergerak, Selebihnya Silakan Lihat.")
Lead gabungan.
Di surat kabar sering ditemukan lead yang merupakan gabungan dari dua atau tiga lead, dengan
mengambil unsur terbaik dari masing-masing lead.
Lead kutipan sering digabungkan dengan lead deskriptif.
* "Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang," kata Fidel Castro dengan senyum lucu (TEMPO, 7 Mei
1994, "Castro, Revolusioner yang Belum Pensiun").
Lead penggoda bisa digabung dengan lead kutipan.

Teknik Menulis Feature a'la Majalah Tempo (Bagian 4)

MENULIS LEAD
Sekali reporter memilih lead dan memilih pendekatan dasarnya, ia menghadapi problem memilih kombinasi
kata-kata.
Bagaimanapun imajinatif dan menariknya gagasannya untuk satu lead yang bagus, ia masih bisa tergelincir
dalam merenggut perhatian pembaca bila kombinasi kata-katanya payah.
Misalnya:
* Setiap pagi, sekitar pukul 07.30, ketika matahari masih bersinar merah di Percut, sebuah kota pantai 22
kilometer dari Medan, Hotman Sinaga, 32 tahun, memulai pekerjaannya sebagai penyadap tuak. Ia kayuh
sepedanya menuju kebun kelapa....(TEMPO, 11 Juni 1994, "Ketika Minuman Keras Melekat Bersama
Tradisi").

Lead tersebut terlalu panjang, tapi untunglah susunan kata-katanya bagus. Ide yang sama bisa ditulis lebih
jelek oleh reporter yang kurang mampu:
Pagi-pagi, lebih kurang pukul 07.30. pagi, ketika matahari terlihat bersinar merah di Percut, yakni sebuah
kota pantai yang terletak lebih kurang 22 kilometer dari Medan, seorang penyadap tuak bernama Hotman
Sinaga, 32 tahun, mulai bekerja sebagai penyadap tuak....
Bandingkanlah kedua lead itu. Idenya sama. Hal yang dibicarakan juga sama. Tapi yang pertama lebih
efektif dan ringkas, sedangkan yang kedua banyak kata bisa dihilangkan tanpa mengubah gambaran yang
ingin disampaikan.
Bila Anda menganalisa lead-lead itu, pedoman berikut untuk penulisan lead akan menjadi jelas.
Tulislah ringkas.
Jangan obral kata-kata. Lead kedua dalam contoh cerita inspektur di atas satu setengah kali panjangnya
daripada yang pertama. Tapi toh, lead kedua itu tidak memberikan informasi yang lebih banyak, selain
disebutnya nama perwira polisi itu.
Mengobral kata yang tidak perlu mengurangi keefektifan lead. Ibaratnya: kaldu yang kental bisa menjadi
sup yang hambar bila terlalu banyak air.
Tulislah alinea secara ringkas.
Kebanyakan penulis profesional berpedoman begini: Jangan lebih dari 4 baris (bukan kalimat) untuk
sebuah lead. Alinea yang ringkas akan dengan sendirinya lebih mudah mengundang. Bila ditambah
pemilihan kata dengan baik, akan lebih mudah dibaca.
Gunakan kata-kata aktif.
Lead harus punya nyawa dan tenaga. Pembaca harus merasakan suatu gerakan ketika ia membaca.
Penulis feature menaruh perhatian istimewa kepada kata-kata kerja, terutama yang ringkas dan hidup. Kata
kerja adalah busi. Ia memberikan kekuatan sehingga lead Anda "bergerak".
Kata-kata sifat bisa memberikan saham untuk mempercantik. Mempertegas kata sifat (misalnya "ramping",
"ringsek", "montok", "mengkilat") menambah vitalitas suatu kalimat.
Gaetlah pembaca pada beberapa kata pertama.
Dalam contoh sebelumnya, reporter membuka ceritanya dengan lead yang fokusnya menajam: "Mata yang
dingin...."
Perhatian pembaca segera ditarik. Ia mungkin akan membaca terus ... terus, sampai ia masuk jauh ke
dalam cerita itu.
Banyak ahli komunikasi yang mengatakan bahwa bila Anda gagal menggaet pembaca pada kata-kata
pertama, Anda akan kehilangan pembaca itu.
Ada beberapa contoh umum bagaimana kata-kata pertama gagal menggaet pembaca. Misalnya ini:
"Beberapa minggu yang lalu ....."
"Dalam rangka ....."
Kata-kata itu memaksa pembaca untuk bersusah-payah sebelum mengetahui apa yang akan dikemukakan
penulis. Bila saja topiknya tidak begitu mengundang keingintahuan pembaca, ia dengan sendirinya akan

pindah ke cerita lain.


Reporter harus bisa menarik pembaca dengan modal lead-nya. Sebab, walaupun ceritanya sendiri hebat,
hanya sedikit pembaca yang mau mengarungi lead yang tidak menarik, yang membosankan, untuk masuk
ke dalam cerita hasil kerja keras Anda.
TUBUH DAN EKOR
MISALKAN Anda sudah punya lead yang hidup dan menarik. Problem Anda berikutnya (yang kadangkadang paling sulit) adalah menyusun materinya sehingga bisa memikat pembaca untuk mengikuti dari
awal sampai akhir.
Dalam penulisan berita, hal ilu lebih gampang, karena setiap cerita ditulis dalam bentuk yang sama:
piramida terbalik. Banyak feature yang menganut bentuk ini. Tapi sebenarnya tidak ada patokan bentuk
feature yang tegas. Ini membuat penulisan feature lebih sulit dalam beberapa hal. Tapi juga memungkinkan
kreativitas dan kecakapan.
Apakah "piramida terbalik" itu dan apa manfaat praktisnya?
Dalam "piramida terbalik", bahan tulisan (informasi) disusun sedemikian rupa sehingga pembaca
memperoleh bagian terpentingnya segera pada awal tulisan. Materi disusun sesuai dengan urutan
pentingnya: informasi makin ke bawah makin kurang penting, lebih banyak detail, sementara pokoknya
sudah dimuat di atas.
Dalam dunia pers yang terburu-buru, piramida terbalik mempunyai dua fungsi.
Pertama, bentuk piramida terbalik itu memungkinkan editor memotong naskah dari bawah. Karena berita
disusun sesuai dengan nilai pentingnya maka editor bisa dengan cepat memotong dari belakang sesuai
dengan halaman yang tersedia. Ini sangat menolong, terutama bila naskah diserahkan menjelang dealline.
Editor tidak perlu membaca terlalu teliti
Kedua, bentuk penulisan tersebut memungkinkan diketahui dengan cepat apakah berita itu layak dimuat
atau tidak: editor cukup membaca leadnya saja. Editor tahu bahwa unsur terpenting cerita itu mesti ada
pada lead.
Apa hubungan hal ini dengan feature? Bentuk paling umum suatu feature juga piramida terbalik, tapi ada
satu tambahan: ending, atau penutup tulisan.
Suatu feature memerlukan -- bahkan mungkin harus -- ending karena dua sebab:
1. Menghadapi feature hampir tak ada alasan untuk terburu-buru dari segi proses redaksionalnya. Editor
tidak lagi harus asal memotong dari bawah. Ia punya waktu cukup untuk membaca naskah secara cermat
dan meringkasnya sesuai dengan ruangan yang tersedia.
Bahkan feature yang dibatasi deadline diperbaiki dengan sangat hati-hati oleh editor, karena ia sadar
bahwa kebanyakan feature tak bisa asal dipotong dari bawah. Feature mempunyai penutup (ending) yang
ikut menjadikan tulisan itu menarik.
2. Ending bukan muncul tiba-tiba, tapi lazimnya merupakan hasil proses penuturan di atasnya yang
mengalir. Ingat bahwa seorang penulis feature pada prinsipnya adalah tukang cerita. Ia dengan hati-hati

mengatur kata-katanya secara efektif untuk mengkomunikasikan ceritanya. Umumnya, sebuah cerita
mendorong untuk terciptanya suatu "penyelesaian" atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi mutlak
perlu bagi banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan
tersebut terasa belum selesai.
Beberapa jenis penutup:
Penutup ringkasan. Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepaslepas dan menunjuk kembali ke lead.
Penyengat. Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya
menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga.
Penutup seperti ini mirip dengan kecenderungan film modern yang menutup cerita dengan mengalahkan
orang "yang baik-baik" oleh "orang jahat".
Klimaks. Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Ini seperti sastra
tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak
menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.
Tak ada penyelesaian. Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita dengan menekankan pada sebuah
pertanyaan pokok yang tidak terjawab. Selesai membaca, pembaca tetap tidak jelas apakah tokoh cerita
menang atau kalah. Ia menyelesaikan cerita sebelum tercapai klimaks, karena penyelesaiannya memang
belum diketahui, atau karena penulisnya sengaja ingin membuat pembaca tergantung-gantung.
Seorang penulis harus dengan hati-hati dalam menilai ending-nya, menimbang~nimbangnya apakah
penutup itu merupakan akhir yang logis bagi cerita itu. Bila merasakan bahwa ending-nya lemah atau tidak
wajar, ia cukup melihat beberapa paragrap sebelumnya, untuk mendapat penutup yang sempurna dan
masuk akal.
Menulis penutup feature sebenarnya termasuk gampang. Kembalilah kepada peranan "tukang cerita" dan
biarkanlah cerita Anda mengakhiri dirinya sendiri, secara wajar.
Seorang wartawan profesional selalu berusaha bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikinbikin.

Teknik Menulis Feature a'la Majalah Tempo (Bagian 5)

TRANSISI
Anda sedang menulis feature dengan catatan panjang yang mencakup macam-macam fakta tentang pokok
persoalan yang akan Anda tulis. Setiap potong informasi sama halnya dengan sebuah batu bata yang
harus digabung dengan batu bata lain agar terbentuk bangunan cerita. Di antara sejumlah "batu bata" ada
transisi -- "adukan semen" yang merekatkan batu bata-batu bata itu menjadi keseluruhan cerita.

Transisi bisa berwujud satu kata, rangkaian kata, kalimat, atau mungkin paragrap. Ia punya dua tugas.
1. Ia memberi tahu pembaca bahwa Anda pindah ke materi yang lain.
2. Ia meletakkan materi yang lain itu pada perspektif yang selayaknya.
Dalam penulisan berita, transisi mudah dilihat. Penulis memadu fakta-fakta menjadi pemaparan pendekpendek yang satu sama lain direkatkan menjadi satu cerita.
Contohnya:
Para penjahat bertopeng yang mengacungkan senjata merampok bank 400 ribu dolar pagi ini.
Para bandit masuk pintu depan jam 09.15, memerintahkan langganan dan pegawai bank tengkurap di
lantai, kemudian menguras laci-laci uang tunai dan kotak uang.
Selama perampokan itu, terdengar sekali tembakan, tapi tak ada yang luka.
Kemudian, sersan polisi William Bowling menemukan mobil kosong dua kilometer dari bank. Ia tidak
menemukan uang.
Dekat mobil itu, polisi menemukan kantong-kantong uang kosong yang bercap
bank tersebut.
Sebelum perampokan itu, polisi sudah diberi tahu agen-agen FBI bahwa ada tiga perampok bank dari luar
kota yang diperkirakan beroperasi di kota itu.
Tapi, kata seorang juru bicara FBI, ketiga perampok yang berumur 20 tahunan itu tidak cocok identitasnya
dengan perampok yang dilaporkan itu.
Transisi harus sedemikian rupa, hingga pembaca tidak boleh merasa terganggu olehnya.
TEKNIK PENULISAN
Sampai di sini, Anda sudah mempunyai unsur-unsur lengkap untuk menulis feature. Lead adalah kepala,
struktur adalah kerangkanya, ending berarti ekornya, dan transisi adalah tali sendi yang mengikat unsurunsur menjadi satu.
Penulis harus memakai teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak
teknik untuk itu, ada tiga yang pokok.
1. Spiral. Setiap alinea (paragraf) menguraikan lebih terinci persoalan yang disebut alinea (paragraf)
sebelumnya.
2. Blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Catatan: bila paragraf
terlalu panjang, potong saja menjadi beberapa bagian lebih kecil.
3. Mengikuti Tema. Setiap alinea (paragraf) menggarisbawahi atau menegaskan lead-nya.
Kebanyakan penulis profesional memilih beberapa teknik, tergantung panjang dan jalannya cerita. Ini
dilakukan supaya orang tidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu juga.
Dalam menulis, beberapa petunjuk dasar dipergunakan untuk menyajikan tulisan dengan cara yang paling
menarik supaya menawan pembaca.
Alinea pendek. Paragraf atau alinea yang panjang hanya membuat pembaca segan membaca karena
mengira tulisan itu susah dibaca. Potonglah paragraf yang kelihatan terlalu panjang.

Ingat bahwa Anda menulis dengan gaya pers, bukan bahasa formal. Guru-guru bahasa memang
menekankan perlunya pengelompokan materi yang berkaitan dalam satu paragraf. Tapi wartawan yang
praktis dengan segera mengorbankan bentuk itu supaya mudah berkomunikasi.
Tulislah singkat dan sederhana. Kalimat majemuk yang panjang kadang kala memang benar menurut
tata bahasa. Tapi bila ternyata pembaca tersesat dan bingung, penulis itu gagal berkomunikasi. Tapi jangan
lantas menjadi fanatik pada kalimat pendek. Kalau kalimat Anda hanya terdiri atas pokok kalimat, kata
kerja, dan obyek terus-terusan, pembaca akan mengantuk setelah membaca dua paragraf.
Menyusun feature yang membuat pembaca tidak mengantuk, gampang saja. Setiap kalimat harus
gampang diikuti dan mudah dipahami. Kadang-kadang kalimat sederhana bisa melakukan fungsi ini. Tapi
kalau itu-itu saja yang dipakai, orang akan jemu.
Penggunaan kalimat sederhana memperkecil risiko salah menggunakan kata sambung. Sebab, dalam
pers, walaupun beberapa aturan tata bahasa sering di-"abaikan", kalimat harus logis dan benar tata
bahasanya.
KISAH NYONYA SULAIMAN
Setelah Anda memiliki alat-alat dasar untuk membuat feature, mari kita susun sebuah feature dari kejadian
ini:
Dalam tugas sebagai seorang reporter kepolisian Anda mendengar dua polisi bercerita tentang seorang
wanita tua yang menyapu halaman di depan rumahnya pada pukul 2.00 pagi setiap hari. Polisi mengatakan
kepada Anda bahwa wanita itu tidak hanya menyapu persis di depan rumahnya, tapi juga sepanjang gang.
Karena ingin tahu, Anda ikut mobil patroli polisi dengan harapan bisa bertemu dengan wanita itu.
Tepat pukul 2 malam polisi sampai di Jalan Kurcaci, dan benar, Anda melihat wanita itu sedang menyapu.
Polisi menghentikan mobilnya dan menyalami wanita itu yang kemudian membalas senyum. Anda
mendekati wanita itu, kemudian memperkenalkan diri sebagai wartawan. Salam basa-basi telah Anda
lakukan dan seterusnya.
"Mengapa Ibu menyapu setiap jam 2 malam?"
"Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini
kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya, maka saya pikir harus ada orang yang
membersihkannya," jawabnya.
Nah, Anda telah menemukan calon cerita feature, maka Anda pun meneruskan.
"Maaf, Ibu namanya siapa dan tinggal di mana? Saya ingin membuat cerita tentang Ibu," kata Anda.
"Cerita? Saya tidak ingin dimuat di koran. Saya tak mau tetangga tahu."
"Saya maklum," kata Anda. "Tapi saya harap Ibu berpikir kembali karena masyarakat ini perlu
mengembangkan semangat itu, dan Ibu menjadi teladan. Mungkin banyak orang nanti akan mulai bangga
pada lingkungan mereka dan mulai melakukan pekerjaan untuk kepentingan masyarakat. Juga, bila bapakbapak membaca tulisan ini, mereka akan mulai membersihkan gang ini."
Wanita itu mempertimbangkan alasan Anda, bimbang sebentar, kemudian setuju.
"Kalau engkau pikir ada manfaatnnya, baiklah ...."

"Tentu," Anda jawab.


"Nama saya Selasih Sulaiman, dan saya tinggal di sana, Jalan Kurcaci nomor 16," katanya.
"Berapa umur Ibu? Sudah berapa lama Ibu melakukan hal ini?"
"Umur saya 69 tahun -- dan saya sudah melakukan hal ini sejak suami saya meninggal tahun yang lalu.
Saya tidak punya pekerjaan, tetangga saya semuanya sibuk, selalu bekerja, maka yang kecil inilah bagian
saya."
"Selain bapak polisi ini, apa ada orang lain yang berhenti dan menyapa Ibu?"
"Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar," katanya sambil tertawa kecil. "Kadang-kadang anakanak muda lewat di sini kalau Minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak mengganggu saya.
Mereka selalu melambaikan tangan.
"Suatu saat ada pencuri. Polisi ini mengetahuinya. Waktu itu saya akan keluar menyapu dan melihat orang
yang sedang bersembunyi di balik semak. Maka, saya masuk lagi dan menelepon polisi. Kedua polisi yang
baik hati ini datang dua menit kemudian dan menangkap orang itu yang sedang merangkak ke jendela
tetangga sebelah."
Polisi itu mengangguk dan tertawa kecil.
"Apakah gang ini selalu kotor?"
"Tidak," wanita itu mengakui. "Tidak selalu kotor, tapi wanita tua seperti saya ini perlu beramal. Karena
suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa saya harus melakukan sesuatu."
"Apakah Ibu khawatir akan keselamatan Ibu?"
"Tidak, tidak, bila ada kawan-kawan polisi di dekat saya. Dua pemuda ini selalu mengontrol setiap malam
untuk melihat apakah wanita tua yang gila ini aman. Saya menyapu setengah jam dan mereka selalu
datang pukul 2.10 kemudian pergi jam 2.20, seperti arloji saja."
"Apakah Ibu senang dengan tetangga?"
"Ya, mereka baik-baik," katanya. "Anak-anak memanggil saya Nenek dan selalu datang pada saya. Saya
bikinkan kue untuk mereka asal ibu mereka tidak melarang. Para pria di sini juga baik-baik, membantu saya
mengangkat barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis. Dan wanitanya, ketika
saya agak sakit bulan Januari yang lalu, mereka merawat saya. Tidak banyak wanita tua beruntung seperti
saya ini."
Dengan tertawa gembira, ia menambahkan, "Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda.
Itulah kunci hidup supaya menyenangkan, berpikir muda."
Anda mengucapkan terima kasih kepadanya dan naik lagi ke mobil polisi. Anda duduk dan memperhatikan
dia sebentar. Ia membungkuk di atas sapunya, bernyanyi kecil, sebuah lagu Sunda. Jalannya terhuyunghuyung, langkahnya hati-hati. Rambutnya yang memutih diatur rapi. Anda mengingat matanya yang jernih,
dan mukanya sudah berkerut karena usianya. Kerutan wajahnya mencerminkan kegembiraan karena
mereka membentuk pola sekitar mata dan mulutnya yang selalu dihiasi senyum selama 69 tahun.
Anda memiliki feature nomor wahid! Sebagai seorang reporter yang baik, Anda memanfaatkan kepribadian
dan sopan santun Anda untuk membujuk wanita tua itu agar berbicara. Anda memancing semangat
pengabdian kemasyarakatan wanita itu untuk memberi alasan kepadanya supaya bicara. Beberapa
pertanyaan lain bisa dicari jawabannya untuk menghasilkan tulisan yang lebih baik, tapi sementara itu
Anda tahu bahwa Anda telah mempunyai segala unsur yang diperlukan. Langkah berikutnya adalah
menulis cerita itu.

Memilih lead: Melihat materi yang ada, Anda tahu bahwa cerita itu akan berjalan dengan sendirinya untuk
lead deskriptif, ringkasan, kutipan atau lead yang bercerita. Lead lain mungkin juga, tapi Anda pastikan
bahwa materi itu lebih baik dengan lead yang sudah disebut tadi. Karena menyangkut orang, Anda
menentukan lead deskriptif kegemaran Anda - atau lead yang bercerita.
Anda coba lead deskriptif dulu:
* Hanya lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam, pada saat
wanita tua itu menjalankan tugasnya membersihkan gang pada pukul dua malam.
Lead deskriptif ini memusatkan perhatian pada keadaan yang istimewa (jam dua malam orang menyapu
jalanan). Setelah itu penulis merangsang minat pembaca dengan menyorot wanita tua dan sapunya:
Nyonya Selasih Sulaiman, 69 tahun, sudah sekitar setahun menyapu gang di Jalan Kurcaci, setiap jam dua
malam, hampir setiap hari.
Lead ringkasan lebih sederhana. Dengan bahan feature yang kuat, lead ini bisa efektif:
Pukul dua pagi setiap hari, Nyonya Selasih Sulaiman menyapu gang depan rumahnya.
Pemakaian unsur waktu (pukul dua pagi) di situ tidak sekadar kata-kata percuma, karena unsur waktu itu
sangat unik dan menarik perhatian.
Lead yang bercerita agak efektif juga, tapi mengurangi unsur kuat action-nya:
Menyusuri sepanjang gang pada pukul dua malam, wanita tua itu sibuk menyapu sambil menembangkan
nyanyian Sunda yang gembira.
Misalkan Anda pilih lead yang deskriptif. Setelah alinea atau bagian berikutnya yang disebut "perangkai,"
Anda teruskan:
"Saya sudah melakukan hal ini sejak suami saya meninggal tahun lalu," Nyonya Sulaiman menjelaskan
dengan senyum ramahnya. "Saya tidak punya pekerjaan lain. Semua tetangga saya sibuk, selalu bekerja,
maka yang kecil inilah bagian saya."
Keheningan tugas malam ini hanya terganggu oleh patroli rutin mobil polisi. Petugas patroli Aritonang dan
Sujiwo mendatangi gang itu pada saat Nyonya Sulaiman ada di luar.
"Ia wanita yang baik. Bila tidak ada tugas lain, kami senang mendatangi daerah ini," kata Aritonang.
"Kedua anak ini berpatroli setiap malam untuk melihat apakah wanita tua gila ini aman," kata Nyonya
Sulaiman gembira. Meskipun ia menyebut dirinya "wanita tua gila," Nyonya Sulaiman menunjukkan
pandangan hidup seorang realis.
Mengakui bahwa gang itu tidak selalu kotor, ia menjelaskan, "wanita tua seperti saya ini perlu beramal.
Karena suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa, saya harus melakukan sesuatu."
Mula-mula, ia enggan berbicara tentang tugas malamnya membersihkan sampah di gang. Tetangganya
tidak tahu pekerjaan itu.
"Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini
kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya, maka saya pikir harus ada yang membersihkannya,"
katanya. "Saya tidak ingin ini dimuat di koran. Saya tidak mau tetangga tahu. Mengapa engkau risaukan
saya keluar jam 2 malam?"

Hanya dengan imbauan bahwa ada kebanggaan masyarakat, ia mau bercerita dan berharap bahwa warga
kota lainnya akan mengikuti jejaknya, tapi pada siang hari.
"Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar," katanya. "Kadang-kadang anak-anak lewat di sini
kalau Minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak menggangu saya. Mereka selalu melambaikan
tangan."
Pekerja malam hari itu pernah satu kali menjadi penjaga tetangga yang sedang tidur dari kejahatan.
Suatu hari ketika ia sedang menyapu, Nyonya Sulaiman melihat seorang pria "bersembunyi di balik semak.
Maka, saya masuk lagi dan menelepon polisi. Kedua polisi yang baik hati ini datang 2 menit kemudian dan
menangkap orang itu yang sedang merangkak ke jendela tetangga sebelah."
Pada siang hari, tetangga di kiri kanan rumahnya dan sepanjang gang memanggil Nyonya Sulaiman
"Nenek". Matanya yang sayu penuh perasaan bila bercerita tentang tetangganya. "Mereka baik-baik,"
katanya. Anak-anak memanggil saya 'Nenek' dan selalu datang pada saya. Saya bikinkan kue untuk
mereka asal ibu mereka tidak melarang. Para pria di sini juga baik-baik, membantu saya mengangkat
barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis."
Tetangganya, para wanita, merawat Nyonya Sulaiman ketika ia agak sakit bulan Januari yang lalu, katanya.
"Tidak banyak wanita tua yang beruntung seperti saya ini."
"Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda, Itulah kunci hidup supaya menyenangkan,
berpikir muda."
Setelah wawancara itu, Anda menghubungi beberapa tetangga untuk memperoleh materi yang baik untuk
penutup yang wajar dan efektif.
Tetangga sepanjang gang memberi tangan hangat.
"Nenek itu adalah yang paling aneh yang dimiliki lingkungan di sini," kata Ny. Tanzil Setiawan, tetangga
sebelahnya. Dan diteruskannya, "Kami mencintainya benar-benar."
Meskipun Nyonya Sulaiman berusaha menyembunyikan pekerjaannya pada jam dua malam, semua
tetangga mengetahui hal itu.
(Selesai)
Jakarta, 5 Juni 2013

Anda mungkin juga menyukai