http://satrioarismunandar6.blogspot.com/
(Pengantar: Artikel panjang ini ditulis oleh Redaktur Majalah Berita Mingguan Tempo. Saya tidak ingat
persis, bagaimana file tulisan ini bisa ada di koleksi saya. Tetapi mungkin ini berasal dari ketika saya
bekerja sebagai Redaktur Pelaksana di Majalah D&R, sekitar tahun 1998-1999. Waktu itu banyak wartawan
eks-Tempo pasca pembreidelan 1994 yang bekerja di sana. Artikel Teknik Penulisan Feature ini saya muat
di blog sebagai bahan belajar, dan sumbangsih buat dunia jurnalisme Indonesia. Karena tulisannya
panjang, akan dibagi dalam beberapa bagian. Semoga para jurnalis senior Tempo yang menyusun tulisan
ini juga mendapat pahala, karena berbagi ilmu penulisan. Amiiinnn. Satrio Arismunandar)
****
Dalam menulis berita di surat kabar yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan di
majalah berita, bentuk penulisan cenderung bergaya feature: "mengisahkan sebuah cerita".
Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata; ia
menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan
membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.
Bila seorang wartawan balai kota menggambarkan wali kota dengan sepatunya yang gemerlapan dan
kumisnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur kota akan marah karena tulisan itu bertele-tele. Tapi,
sebaliknya, bila reporter itu melupakan gambaran sang wali kota pada saat ia menulis feature, redaktur
kota mungkin akan berkata, "Orangnya seperti apa? Saya tidak bisa membayangkannya."
Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa
teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya
untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.
"Piramida terbalik" (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan
informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah -- hingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu
diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk
cerita yang baik. Feature yang singkat dan lucu, yang biasanya ditemukan di surat kabar di halaman
pertama, sering ditulis sesuai dengan urutan waktu.
Contohnya:
Brury, seorang petugas patroli, punya pengalaman paling sial Jumat malam yang lalu.
Pukul 4.30 sore ia lapor ke kantor. Lima menit kemudian, selama berpatroli dengan pakaian seragam,
lampu senternya jatuh. Ketika membungkuk untuk memungutnya kembali, celananya sobek di bagian
pantat.
Pukul 5.15 sore, ia mecoba menolong seekor anjing yang menggonggong. Sejam kemudian ia dirawat
karena kakinya digigit anjing.
Segera setelah pukul 7.00 malam ia kesenggol mobil ngebut. Pengemudinya seorang detektif narkotik yang
rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan pendapat. Dan edisi Minggu surat kabar diterbitkan
untuk menampung fiksi (misalnya cerita pendek).
Feature tidak boleh berupa fiksi, dan setiap "pewarnaan" fakta-fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila
penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan orang pada kita akan hancur.
Ada beberapa derajat "kefiktifan". Yang paling mencolok ialah bila seorang membuat cerita dengan bahan
yang sama sekali bikin-bikinan. Tapi tak banyak reporter yang segila itu.
Godaan yang paling sering terjadi, ketika penulis hampir menyelesaikan tulisan yang baik tapi ada
beberapa unsur yang tertinggal. Ia mungkin mencoba memperoleh unsur-unsur itu dengan mengajak tokoh
laporannya untuk bikin ramai cerita. Tokoh yang diwawancarai dengan demikian bersekongkol dalam
menjual cerita yang condong palsu.
Satu teknik lagi yaitu dengan menaruh satu kalimat (untuk jadi kutipan) ke mulut orang yang diwawancarai.
Caranya, wartawan mengawali kutipan yang sudah diarahkan dengan bertanya, "Apakah Anda...." dan
menunggu anggukan tanda setuju -- entah sungguhan atau khayalan.
Wartawan-wartawan yang tidak etis seperti itu memang terdapat di dunia pers, dan seperti lazimnya
pembohong, mereka hidup dalam ketakutan bila rahasianya terbongkar.
Untuk kepentingannya sendiri, seorang wartawan harus tahu bahwa nama baiknya adalah taruhan bagi
suksesnya. Wartawan yang ceroboh terhadap fakta akan segera kehabisan sumber berita yang bisa
memberi informasi kepadanya.
MENGUMPULKAN INFORMASI DENGAN TEPAT
Ketidakakuratan (kesalahan) dalam penerbitan kebanyakan disebabkan oleh kelalaian (kesembronoan)
yang tidak disengaja. Seorang reporter mungkin tidak menggunakan waktu secukupnya untuk mengecek
informasinya sebelum menulis. Kemudian ternyata ia salah menulis nama sumber berita.
Seorang wartawan kawakan akan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kesalahan
fakta:
1. Bila Anda mewawancarai seseorang, tanyakan namanya, umurnya, alamatnya, dan nomor teleponnya.
Setelah mengumpulkan informasi, ejalah namanya dan bacakanlah alamat dan nomor teleponnya
sehingga sumber berita bisa mengoreksinya. Nomor telepon tidak ditulis dalam cerita, tapi reporter harus
mempunyainya untuk mengadakan kontak dengan sumber berita itu.
2. Bila nama, umur, dan alamat Anda dapat dari tangan kedua, harap dicek pada buku telepon. Bila Anda
menyebut umurnya, tanyakan pada sumber berita untuk membetulkannya.
3. Jangan sekali-kali beranggapan bahwa Anda mengetahui semuanya. Anda selalu harus mengecek
ulang setiap informasi yang penting. Misalnya, seorang reporter balai kota mungkin mengira bahwa ia tahu
gelar atau jabatan resmi seorang pejabat. Tapi bila ia tidak yakin, ia harus menghubungi pejabat itu atau
sekretarisnya untuk mencocokkannya.
4. Bila tulisan Anda menyangkut materi yang rumit, pastikanlah dulu bahwa Anda mengetahui hal itu.
Seorang reporter sering menulis tentang suatu istilah teknis sedangkan ia tidak tahu atau tidak punya latar
belakang sama sekali tentang hal itu.
Mungkin seorang wartawan polisi membuat feature mengenai perlengkapan radar yang dipasang pada
lampu lalu-lintas. Seorang kapten polisi mungkin dengan lancar menerangkan istilah teknis tentang radar,
tapi reporter itu harus bisa memberi informasi yang gamblang kepada pembacanya. Maka, seorang
wartawan berpengalaman akan sering menghentikan penjelasan kapten itu untuk mencarikan terjemahan
istilah-istilah teknis tersebut yang mudah diterima awam.
Umumnya wartawan mengambil peranan sebagai seorang pembaca kebanyakan, dan mengajukan
pertanyaan sesuai dengan posisi itu.
5. Bila menggunakan statistik atau data matematis, reporter harus mengecek angka-angkanya dan
menghitung. Banyak wartawan yang berdalih macam-macam bila seorang pembaca yang kritis mengirim
surat ke redaksi dan menunjukkan perhitungan yang keliru dalam tulisan wartawan itu.
Statistik harus dicermati benar, dengan penuh kecurigaan. Anda bisa membuktikan apa saja dengan
statistik, tergantung bagaimana cara Anda menyajikannya dan apa saja yang Anda masukkan atau
tinggalkan. Tanyakanlah kepada sumber secara cermat untuk meyakinkan kebenaran angka-angka itu.
Misalnya, statistik kejahatan yang dikemukakan polisi harus dicek benar-benar sebelum dipakai sebagai
petunjuk tingkat kejahatan. Sebab, pada kenyataannya, banyak peristiwa kejahatan yang tidak dilaporkan
kepada polisi, dan karena itu tidak tercatat dalam statistik.
Seorang reporter tidak boleh membiarkan dirinya menjadi alat untuk menipu masyarakat. Kekritisan dan
pengecekan yang teliti sering bisa menghindarkan hal itu terjadi.
pada media itu rontok. Salah cetak mengurangi citra media tersebut sebagai sesuatu yang profesional, dan
membuat isinya selalu dicurigai para pembaca cerdik pandai. Bila koran ceroboh terhadap kata-kata,
bagaimana fakta-fakta di dalamnya bisa dipercaya?
Kepercayaan orang pada reporter bersangkutan juga luluh. Bila seorang reporter terlalu sering melakukan
kesalahan ejaan, bisa jadi ia memang tak cakap, tak cocok menjadi reporter, dan seorang editor bisa
memindahkannya ke bagian lain, atau mendepaknya.
Kesalahan pemakaian kata bisa berakibat serupa. Banyak orang salah memilih kata-kata dalam
percakapan sehari-hari karena mereka memungut suatu kata tanpa mengetahui persis artinya. Kesalahan
dalam percakapan bisa dimaafkan dan dimaklumi, tapi segala maaf habis bila seorang reporter salah
menerapkan kata dalam medianya.
Editor yang menginginkan standar profesional yang tinggi mungkin akan terlalu njlimet pada hal-hal sampai
sekecil-kecilnya.
Kata-kata yang dipakai secara salah bisa mengubah arti suatu cerita. Dalam sebuah tulisan yang
membahas soal utang dan piutang perusahaan, misalnya, penutupnya berbunyi demikian: "Seorang
direktur perusahaan tekstil mengatakan, di akhir tahun anggaran nanti perusahaannya akan memiliki
piutang yang jauh lebih besar daripada utangnya. Itu dikarenakan tiadanya kontrol penagihan.''
Andai saja antara kata "piutang" dan "utang" tertukar tempatnya, bisa saja sejumlah pemegang saham
perusahaan tekstil itu akan buru-buru menjual sahamnya karena perusahaan itu rugi --padahal yang terjadi
sebaliknya, meski keuntungan itu masih berupa piutang. Jelas, perbedaan antara kedua kata itu
berpengaruh besar pada sikap para pemegang saham.
Akibat kesalahan pemilihan kata, bisa fatal. Nama baik surat kabar merosot. Nama baik reporter sendiri
juga rusak. Dalam rapat pemegang saham perusahaan tekstil tersebut, baik direksi maupun pemegang
saham tak lagi punya respek besar kepada wartawan itu. Akibatnya, wartawan ini kehilangan sumber
informasi.
PEMAKAIAN BUKU PEDOMAN
Untuk mempertahankan citra keprofesionalan, surat kabar memerlukan buku pedoman penulisan. Baik
reporter, penulis, dan redaktur seharusnya menaati aturan yang tertulis dalam buku pedoman itu. Buku
semacam ini menggolong-golongkan bagaimana kata, gelar, dan tanggal harus dipakai untuk
mendapatkan keseragaman.
Ada beberapa alasan mengapa buku pedoman ini perlu:
1. Pemakaian yang seragam kelihatan lebih profesional.
2. Bila sebuah kata ditulis dalam berbagai bentuk, meskipun semuanya benar, terbuka peluang pembaca
akan mengambil kesimpulan salah: bahwa hanya satu kata yang benar. Misalnya kata persen, prosen, atau
%.
3. Keseragaman menghemat waktu. Seorang wartawan yang mempelajari buku pedoman tidak perlu raguragu memilih istilah yang harus dipakainya. Bila ia sedang diuber deadline, keraguan bisa berakibat mahal.
Manfaat buku pedoman, seperti juga kamus: untuk mengurangi kesalahan, mengurangi hal yang akan
mengurangi citra keprofesionalan Anda.
MENANGKAP KESALAHAN
Untuk menangkap kesalahan, baik ejaan, gaya, maupun pemakaian kata, memang hanya ada satu cara.
Yakni, membaca dan membaca naskah itu. Mereka yang dikaruniai kepandaian mungkin hanya sekali baca
sudah bisa melihat kesalahan. Tapi wartawan lain memerlukan membaca dan membuka kamus berkali-kali
untuk mengecek pekerjaannya.
Berikut ini salah satu cara mencari kesalahan dalam naskah Anda, tanpa banyak merugikan kelancaran
menulis.
Jangan mengecek ejaan atau pemakaian kata pada saat menulis cerita. Berkali-kali membuka kamus atau
buku pedoman di tengah Anda menulis akan menghambat kelancaran kreativitas dan itu memakan waktu.
Tapi, segera setelah cerita selesai, perhatikan naskah Anda kata demi kata. Pelototilah setiap kata seolaholah "musuh" Anda yang akan menyabot cerita Anda. Kalau ada kemungkinan salah, walau sekecil apa
pun, ceklah kata itu sampai Anda yakin bahwa itu sudah benar, atau Anda harus menggantinya.
Bila waktu memungkinkan, lakukanlah pengecekan ulang sekali lagi. Sering mata Anda terlena pada satu
baris atau paragraf, ketika Anda mengecek cerita Anda. Pengecekan ulang akan mengurangi kesalahan.
Untuk beberapa jenis feature mungkin Anda perlu bekerja beberapa hari, kemudian mengendapkan cerita
itu barang sehari atau dua setelah pengecekan sistematis. Kemudian sebelum menyerahkan cerita itu,
saringlah lagi kesalahan yang mungkin ada. Dengan pandangan yang segar, kesalahan sering tampak
lebih nyala.
Bila Anda menemukan kata yang salah eja atau salah pakai, tulislah. Beberapa reporter menyimpan daftar
kata yang membingungkannya, agar ia selalu bisa mengecek mana yang salah dan mana yang benar
dengan cepat. Belajar mengeja kata-kata itu akan sangat membantu.
Dan bila didesak oleh deadline, sementara itu Anda ragu arti sebuah kata yang hendak Anda gunakan,
pakai saja sinonim atau padanannya.
MENGAIL, DENGAN "LEAD"
KUNCI untuk penulisan feature yang baik terletak pada paragraf pertama, yaitu lead. Mencoba menangkap
minat pembaca tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan.
Setiap wartawan selalu sadar akan perlunya lead.Keranjang sampah penuh dengan lead tak bermutu,
karena wartawan memakai lead yang itu-itu juga dalam usahanya menarik minat pembaca.
Lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama.
1. Menarik pembaca untuk mengikuti cerita.
2. Membuat jalan supaya alur cerita lancar.
Banyak pilihan lead; sebagian untuk menyentak pembaca, sebagian untuk menggelitik rasa ingin tahu
pembaca, dan yang lain untuk mengaduk imajinasi pembaca. Dan masih ada yang lain, yaitu lead untuk
Wartawan rubrik kriminalitas sering memakai lead bercerita dalam cerita feature untuk melaporkan
peristiwa peristiwa kejahatan.
* Hari itu, ada lima mayat yang hangus terpanggang. Sesosok mayat laki-laki dewasa dan tiga anaknya
berserakan di sana-sini dengan tubuh rusak bekas dibantai. Pemandangan itu ditemukan penduduk di
puing sebuah gubuk yang hangus terbakar (TEMPO, 25 Januari 1992, "Tragedi di Kebun Karet").
Feature lain bisa begini:
* Toha gelagapan. Ia seperti menghirup ruang hampa. Sebisanya ia mengisap corong udara di hidungnya.
Tapi sia-sia. Tabung oksigen di punggungnya ternyata sudah kosong. Ia panik. Permukaan laut masih
puluhan depa di atasnya (TEMPO, 16 November 1993, "Suka Duka Sang Penyelam").
Lead ini mempunyai keuntungan karena bisa menggaet lebih efektif pembaca daripada lead lain. Begitu
pembaca mengidentifikasikan diri dengan - atau menjadi tokoh ceritanya, ia pasti sudah tergaet.
Tetapi ada kerugiannya: tak semua cerita yang bisa cocok diberi lead seperti itu. Reporter yang mencoba
memaksakan lead macam ini akan menghasilkan lead yang tidak wajar, atau lead itu akan merusakkan
cerita.
Lead deskriptif.
Lead deskriptif bisa menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat
kejadian. Lead ini cocok untuk berbagai feature dan digemari reporter yang menulis profil pribadi.
Lead yang bercerita meletakkan pembaca di tengah adegan atau kejadian dalam cerita, sedangkan lead
deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan
mencium baunya.
Pemakaian ajektif (kata sifat) yang tepat adalah kunci untuk lead deskriptif. Seorang reporter yang baik
bisa membuat tokohnya "hidup", seolah-olah muncul di tengah-tengah barang cetakan yang dipegang
pembaca.
Reporter sering mencoba memusatkan perhatiannya pada satu unsur yang paling mencolok dari sosok dan
penampilan tokohnya untuk diilustrasikan.
* Wajah Syaiful Rozi bin Kahar samasekali tak mengesankan bahwa ia seorang bajak laut. Ia
berpembawaan halus, sopan, dan ramah (TEMPO, 28 Agustus 1993, "Perompak yang Halus dan Ramah").
Untuk kebanyakan pembaca, lead itu mendebarkan. Pembaca seolah-olah terpaksa menerima kehadiran
seseorang yang berperangai halus, padahal ia bajak laut yang ganas.
Tokoh untuk lead ini tidak harus manusia. Objek tidak berjiwa pun bisa mempunyai "personalitas" yang bisa
ditangkap secara efektif oleh pembaca dari sebuah lead deskriptif yang baik.
* Laksana tarian peri langit, asap membubung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang
api (TEMPO, 30 Januari 1993, "Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali").
Lead deskriptif bisa menjadi karikatur yang efektif, seperti sketsa seorang pelukis, yang menekankan pada
ciri pokok dan mengabaikan perincian yang tidak menarik.
Atau sebuah lead deskriptif bisa menampilkan tokohnya dalam perwatakan yang menarik, dengan cara
menggambarkan sebuah latar (dekor) yang tepat.
* Bola mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari
balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (TEMPO, 2 Januari 1993,
"Kasmaran Maut di Sarang Elang").
Menyadari bahwa selalu ada kemungkinan untuk membuat lead deskriptif, maka tidak mengherankan bila
banyak reporter yang terpikat oleh lead jenis ini.
Lead kutipan.
Kutipan yang dalam dan ringkas bisa membuat lead menarik, terutama bila yang dikutip orang yang
terkenal. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke dalam watak si pembicara.
Ingat, lead harus menyiapkan pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita, sehingga kutipannya pun
harus memusatkan diri pada sifat cerita itu.
Sebuah contoh lead kutipan begini:
* "Tangkap hidup atau mati." (TEMPO, 29 Januari 1994, "Hidup atau Mati: Gendut Dicari").
Kutipan keras itu diucapkan Kapolri Letnan Jenderal Banurusman. Umumnya pembaca akan langsung
tergaet, ingin tahu bagaimana nasib orang yang sudah dipastikan harus ditangkap hidup atau mati itu.
Kerugian lead semacam ini adalah bahwa kutipan yang dipilih bisa keluar dari isi cerita, bila tekanan pokok
diletakkan kepada kutipan itu saja.
Misalnya Anda mewawancarai seorang tukang ojek tentang rencana pembangunan kawasan Kota, Jakarta
Pusat. Mungkin ia mengeluh, tentang rencana yang bakal menutup rezekinya itu dan berkata, "Kawasan
Kota mau ditutup sampai Pelabuhan Sunda Kelapa? Wuih..." (TEMPO, 26 Juni 1994, "Menyulap Kawasan
Kota").
Kutipan itu bisa menarik perhatian, sehingga seorang reporter mungkin memakainya sebagai lead. Tapi
kutipan itu tidak secara tepat menggambarkan perasaan si tukang ojek itu secara keseluruhan. Bila
wartawan tidak bisa memberikan penjelasan pada pembaca kapan kutipan itu keluar dan dalam kondisi
bagaimana, jangan-jangan kutipan itu memang tak ada kaitannya langsung dengan isi cerita.
Lead pertanyaan.
Lead ini efektif bila berhasil menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca.
Sering, lead ini dipakai oleh wartawan yang tidak berhasil menemukan lead yang imajinatif. Lead ini
Putihlah susu
Naik harga makanan
Ke langit biru
Reporter yang imajinatif -- meskipun tidak puitis -- bisa mencoba lead seperti ini pada saat menulis cerita
tentang kenaikan harga. Lead ini memikat dan informatif. Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu
bisa menarik pembaca, hingga ceritanya bisa laku.
Lead ini paling ekstrem dalam bertingkah. Tapi kekurangajarannya bisa menggaet pembaca, bila reporter
bisa mengikuti langkah pertamanya itu dengan cerita yang lincah dan hidup. Tapi nada lead ini susah
dijaga sepanjang keseluruhan cerita.
Beberapa koran enggan memakai lead ini. Memang ada bahayanya. Wartawan hidup dalam dunia katakata. Lead nyentrik membuka peluang wartawan untuk mengobral permainan kata hingga memualkan.
Hanya kebijaksanaan yang tegas yang bisa mencegah banjirnya permainan kata itu.
Lead nyentrik bisa juga hanya melukiskan suara bunyi-bunyian. Misalkan: "Tak dududuktak.
Duk." (TEMPO, 5 Januari 1985, "Mereka Bergerak, Selebihnya Silakan Lihat.")
Lead gabungan.
Di surat kabar sering ditemukan lead yang merupakan gabungan dari dua atau tiga lead, dengan
mengambil unsur terbaik dari masing-masing lead.
Lead kutipan sering digabungkan dengan lead deskriptif.
* "Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang," kata Fidel Castro dengan senyum lucu (TEMPO, 7 Mei
1994, "Castro, Revolusioner yang Belum Pensiun").
Lead penggoda bisa digabung dengan lead kutipan.
MENULIS LEAD
Sekali reporter memilih lead dan memilih pendekatan dasarnya, ia menghadapi problem memilih kombinasi
kata-kata.
Bagaimanapun imajinatif dan menariknya gagasannya untuk satu lead yang bagus, ia masih bisa tergelincir
dalam merenggut perhatian pembaca bila kombinasi kata-katanya payah.
Misalnya:
* Setiap pagi, sekitar pukul 07.30, ketika matahari masih bersinar merah di Percut, sebuah kota pantai 22
kilometer dari Medan, Hotman Sinaga, 32 tahun, memulai pekerjaannya sebagai penyadap tuak. Ia kayuh
sepedanya menuju kebun kelapa....(TEMPO, 11 Juni 1994, "Ketika Minuman Keras Melekat Bersama
Tradisi").
Lead tersebut terlalu panjang, tapi untunglah susunan kata-katanya bagus. Ide yang sama bisa ditulis lebih
jelek oleh reporter yang kurang mampu:
Pagi-pagi, lebih kurang pukul 07.30. pagi, ketika matahari terlihat bersinar merah di Percut, yakni sebuah
kota pantai yang terletak lebih kurang 22 kilometer dari Medan, seorang penyadap tuak bernama Hotman
Sinaga, 32 tahun, mulai bekerja sebagai penyadap tuak....
Bandingkanlah kedua lead itu. Idenya sama. Hal yang dibicarakan juga sama. Tapi yang pertama lebih
efektif dan ringkas, sedangkan yang kedua banyak kata bisa dihilangkan tanpa mengubah gambaran yang
ingin disampaikan.
Bila Anda menganalisa lead-lead itu, pedoman berikut untuk penulisan lead akan menjadi jelas.
Tulislah ringkas.
Jangan obral kata-kata. Lead kedua dalam contoh cerita inspektur di atas satu setengah kali panjangnya
daripada yang pertama. Tapi toh, lead kedua itu tidak memberikan informasi yang lebih banyak, selain
disebutnya nama perwira polisi itu.
Mengobral kata yang tidak perlu mengurangi keefektifan lead. Ibaratnya: kaldu yang kental bisa menjadi
sup yang hambar bila terlalu banyak air.
Tulislah alinea secara ringkas.
Kebanyakan penulis profesional berpedoman begini: Jangan lebih dari 4 baris (bukan kalimat) untuk
sebuah lead. Alinea yang ringkas akan dengan sendirinya lebih mudah mengundang. Bila ditambah
pemilihan kata dengan baik, akan lebih mudah dibaca.
Gunakan kata-kata aktif.
Lead harus punya nyawa dan tenaga. Pembaca harus merasakan suatu gerakan ketika ia membaca.
Penulis feature menaruh perhatian istimewa kepada kata-kata kerja, terutama yang ringkas dan hidup. Kata
kerja adalah busi. Ia memberikan kekuatan sehingga lead Anda "bergerak".
Kata-kata sifat bisa memberikan saham untuk mempercantik. Mempertegas kata sifat (misalnya "ramping",
"ringsek", "montok", "mengkilat") menambah vitalitas suatu kalimat.
Gaetlah pembaca pada beberapa kata pertama.
Dalam contoh sebelumnya, reporter membuka ceritanya dengan lead yang fokusnya menajam: "Mata yang
dingin...."
Perhatian pembaca segera ditarik. Ia mungkin akan membaca terus ... terus, sampai ia masuk jauh ke
dalam cerita itu.
Banyak ahli komunikasi yang mengatakan bahwa bila Anda gagal menggaet pembaca pada kata-kata
pertama, Anda akan kehilangan pembaca itu.
Ada beberapa contoh umum bagaimana kata-kata pertama gagal menggaet pembaca. Misalnya ini:
"Beberapa minggu yang lalu ....."
"Dalam rangka ....."
Kata-kata itu memaksa pembaca untuk bersusah-payah sebelum mengetahui apa yang akan dikemukakan
penulis. Bila saja topiknya tidak begitu mengundang keingintahuan pembaca, ia dengan sendirinya akan
mengatur kata-katanya secara efektif untuk mengkomunikasikan ceritanya. Umumnya, sebuah cerita
mendorong untuk terciptanya suatu "penyelesaian" atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi mutlak
perlu bagi banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan
tersebut terasa belum selesai.
Beberapa jenis penutup:
Penutup ringkasan. Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepaslepas dan menunjuk kembali ke lead.
Penyengat. Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya
menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga.
Penutup seperti ini mirip dengan kecenderungan film modern yang menutup cerita dengan mengalahkan
orang "yang baik-baik" oleh "orang jahat".
Klimaks. Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Ini seperti sastra
tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak
menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.
Tak ada penyelesaian. Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita dengan menekankan pada sebuah
pertanyaan pokok yang tidak terjawab. Selesai membaca, pembaca tetap tidak jelas apakah tokoh cerita
menang atau kalah. Ia menyelesaikan cerita sebelum tercapai klimaks, karena penyelesaiannya memang
belum diketahui, atau karena penulisnya sengaja ingin membuat pembaca tergantung-gantung.
Seorang penulis harus dengan hati-hati dalam menilai ending-nya, menimbang~nimbangnya apakah
penutup itu merupakan akhir yang logis bagi cerita itu. Bila merasakan bahwa ending-nya lemah atau tidak
wajar, ia cukup melihat beberapa paragrap sebelumnya, untuk mendapat penutup yang sempurna dan
masuk akal.
Menulis penutup feature sebenarnya termasuk gampang. Kembalilah kepada peranan "tukang cerita" dan
biarkanlah cerita Anda mengakhiri dirinya sendiri, secara wajar.
Seorang wartawan profesional selalu berusaha bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikinbikin.
TRANSISI
Anda sedang menulis feature dengan catatan panjang yang mencakup macam-macam fakta tentang pokok
persoalan yang akan Anda tulis. Setiap potong informasi sama halnya dengan sebuah batu bata yang
harus digabung dengan batu bata lain agar terbentuk bangunan cerita. Di antara sejumlah "batu bata" ada
transisi -- "adukan semen" yang merekatkan batu bata-batu bata itu menjadi keseluruhan cerita.
Transisi bisa berwujud satu kata, rangkaian kata, kalimat, atau mungkin paragrap. Ia punya dua tugas.
1. Ia memberi tahu pembaca bahwa Anda pindah ke materi yang lain.
2. Ia meletakkan materi yang lain itu pada perspektif yang selayaknya.
Dalam penulisan berita, transisi mudah dilihat. Penulis memadu fakta-fakta menjadi pemaparan pendekpendek yang satu sama lain direkatkan menjadi satu cerita.
Contohnya:
Para penjahat bertopeng yang mengacungkan senjata merampok bank 400 ribu dolar pagi ini.
Para bandit masuk pintu depan jam 09.15, memerintahkan langganan dan pegawai bank tengkurap di
lantai, kemudian menguras laci-laci uang tunai dan kotak uang.
Selama perampokan itu, terdengar sekali tembakan, tapi tak ada yang luka.
Kemudian, sersan polisi William Bowling menemukan mobil kosong dua kilometer dari bank. Ia tidak
menemukan uang.
Dekat mobil itu, polisi menemukan kantong-kantong uang kosong yang bercap
bank tersebut.
Sebelum perampokan itu, polisi sudah diberi tahu agen-agen FBI bahwa ada tiga perampok bank dari luar
kota yang diperkirakan beroperasi di kota itu.
Tapi, kata seorang juru bicara FBI, ketiga perampok yang berumur 20 tahunan itu tidak cocok identitasnya
dengan perampok yang dilaporkan itu.
Transisi harus sedemikian rupa, hingga pembaca tidak boleh merasa terganggu olehnya.
TEKNIK PENULISAN
Sampai di sini, Anda sudah mempunyai unsur-unsur lengkap untuk menulis feature. Lead adalah kepala,
struktur adalah kerangkanya, ending berarti ekornya, dan transisi adalah tali sendi yang mengikat unsurunsur menjadi satu.
Penulis harus memakai teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak
teknik untuk itu, ada tiga yang pokok.
1. Spiral. Setiap alinea (paragraf) menguraikan lebih terinci persoalan yang disebut alinea (paragraf)
sebelumnya.
2. Blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Catatan: bila paragraf
terlalu panjang, potong saja menjadi beberapa bagian lebih kecil.
3. Mengikuti Tema. Setiap alinea (paragraf) menggarisbawahi atau menegaskan lead-nya.
Kebanyakan penulis profesional memilih beberapa teknik, tergantung panjang dan jalannya cerita. Ini
dilakukan supaya orang tidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu juga.
Dalam menulis, beberapa petunjuk dasar dipergunakan untuk menyajikan tulisan dengan cara yang paling
menarik supaya menawan pembaca.
Alinea pendek. Paragraf atau alinea yang panjang hanya membuat pembaca segan membaca karena
mengira tulisan itu susah dibaca. Potonglah paragraf yang kelihatan terlalu panjang.
Ingat bahwa Anda menulis dengan gaya pers, bukan bahasa formal. Guru-guru bahasa memang
menekankan perlunya pengelompokan materi yang berkaitan dalam satu paragraf. Tapi wartawan yang
praktis dengan segera mengorbankan bentuk itu supaya mudah berkomunikasi.
Tulislah singkat dan sederhana. Kalimat majemuk yang panjang kadang kala memang benar menurut
tata bahasa. Tapi bila ternyata pembaca tersesat dan bingung, penulis itu gagal berkomunikasi. Tapi jangan
lantas menjadi fanatik pada kalimat pendek. Kalau kalimat Anda hanya terdiri atas pokok kalimat, kata
kerja, dan obyek terus-terusan, pembaca akan mengantuk setelah membaca dua paragraf.
Menyusun feature yang membuat pembaca tidak mengantuk, gampang saja. Setiap kalimat harus
gampang diikuti dan mudah dipahami. Kadang-kadang kalimat sederhana bisa melakukan fungsi ini. Tapi
kalau itu-itu saja yang dipakai, orang akan jemu.
Penggunaan kalimat sederhana memperkecil risiko salah menggunakan kata sambung. Sebab, dalam
pers, walaupun beberapa aturan tata bahasa sering di-"abaikan", kalimat harus logis dan benar tata
bahasanya.
KISAH NYONYA SULAIMAN
Setelah Anda memiliki alat-alat dasar untuk membuat feature, mari kita susun sebuah feature dari kejadian
ini:
Dalam tugas sebagai seorang reporter kepolisian Anda mendengar dua polisi bercerita tentang seorang
wanita tua yang menyapu halaman di depan rumahnya pada pukul 2.00 pagi setiap hari. Polisi mengatakan
kepada Anda bahwa wanita itu tidak hanya menyapu persis di depan rumahnya, tapi juga sepanjang gang.
Karena ingin tahu, Anda ikut mobil patroli polisi dengan harapan bisa bertemu dengan wanita itu.
Tepat pukul 2 malam polisi sampai di Jalan Kurcaci, dan benar, Anda melihat wanita itu sedang menyapu.
Polisi menghentikan mobilnya dan menyalami wanita itu yang kemudian membalas senyum. Anda
mendekati wanita itu, kemudian memperkenalkan diri sebagai wartawan. Salam basa-basi telah Anda
lakukan dan seterusnya.
"Mengapa Ibu menyapu setiap jam 2 malam?"
"Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini
kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya, maka saya pikir harus ada orang yang
membersihkannya," jawabnya.
Nah, Anda telah menemukan calon cerita feature, maka Anda pun meneruskan.
"Maaf, Ibu namanya siapa dan tinggal di mana? Saya ingin membuat cerita tentang Ibu," kata Anda.
"Cerita? Saya tidak ingin dimuat di koran. Saya tak mau tetangga tahu."
"Saya maklum," kata Anda. "Tapi saya harap Ibu berpikir kembali karena masyarakat ini perlu
mengembangkan semangat itu, dan Ibu menjadi teladan. Mungkin banyak orang nanti akan mulai bangga
pada lingkungan mereka dan mulai melakukan pekerjaan untuk kepentingan masyarakat. Juga, bila bapakbapak membaca tulisan ini, mereka akan mulai membersihkan gang ini."
Wanita itu mempertimbangkan alasan Anda, bimbang sebentar, kemudian setuju.
"Kalau engkau pikir ada manfaatnnya, baiklah ...."
Memilih lead: Melihat materi yang ada, Anda tahu bahwa cerita itu akan berjalan dengan sendirinya untuk
lead deskriptif, ringkasan, kutipan atau lead yang bercerita. Lead lain mungkin juga, tapi Anda pastikan
bahwa materi itu lebih baik dengan lead yang sudah disebut tadi. Karena menyangkut orang, Anda
menentukan lead deskriptif kegemaran Anda - atau lead yang bercerita.
Anda coba lead deskriptif dulu:
* Hanya lampu terang dan gerakan sapu yang teratur yang memecahkan kesunyian malam, pada saat
wanita tua itu menjalankan tugasnya membersihkan gang pada pukul dua malam.
Lead deskriptif ini memusatkan perhatian pada keadaan yang istimewa (jam dua malam orang menyapu
jalanan). Setelah itu penulis merangsang minat pembaca dengan menyorot wanita tua dan sapunya:
Nyonya Selasih Sulaiman, 69 tahun, sudah sekitar setahun menyapu gang di Jalan Kurcaci, setiap jam dua
malam, hampir setiap hari.
Lead ringkasan lebih sederhana. Dengan bahan feature yang kuat, lead ini bisa efektif:
Pukul dua pagi setiap hari, Nyonya Selasih Sulaiman menyapu gang depan rumahnya.
Pemakaian unsur waktu (pukul dua pagi) di situ tidak sekadar kata-kata percuma, karena unsur waktu itu
sangat unik dan menarik perhatian.
Lead yang bercerita agak efektif juga, tapi mengurangi unsur kuat action-nya:
Menyusuri sepanjang gang pada pukul dua malam, wanita tua itu sibuk menyapu sambil menembangkan
nyanyian Sunda yang gembira.
Misalkan Anda pilih lead yang deskriptif. Setelah alinea atau bagian berikutnya yang disebut "perangkai,"
Anda teruskan:
"Saya sudah melakukan hal ini sejak suami saya meninggal tahun lalu," Nyonya Sulaiman menjelaskan
dengan senyum ramahnya. "Saya tidak punya pekerjaan lain. Semua tetangga saya sibuk, selalu bekerja,
maka yang kecil inilah bagian saya."
Keheningan tugas malam ini hanya terganggu oleh patroli rutin mobil polisi. Petugas patroli Aritonang dan
Sujiwo mendatangi gang itu pada saat Nyonya Sulaiman ada di luar.
"Ia wanita yang baik. Bila tidak ada tugas lain, kami senang mendatangi daerah ini," kata Aritonang.
"Kedua anak ini berpatroli setiap malam untuk melihat apakah wanita tua gila ini aman," kata Nyonya
Sulaiman gembira. Meskipun ia menyebut dirinya "wanita tua gila," Nyonya Sulaiman menunjukkan
pandangan hidup seorang realis.
Mengakui bahwa gang itu tidak selalu kotor, ia menjelaskan, "wanita tua seperti saya ini perlu beramal.
Karena suami saya sudah meninggal dan anak cucu sudah dewasa, saya harus melakukan sesuatu."
Mula-mula, ia enggan berbicara tentang tugas malamnya membersihkan sampah di gang. Tetangganya
tidak tahu pekerjaan itu.
"Saya tidak ingin tetangga melihat saya dan mengira saya berusaha menjadi orang yang baik hati. Gang ini
kotor dan petugas balai kota tidak membersihkannya, maka saya pikir harus ada yang membersihkannya,"
katanya. "Saya tidak ingin ini dimuat di koran. Saya tidak mau tetangga tahu. Mengapa engkau risaukan
saya keluar jam 2 malam?"
Hanya dengan imbauan bahwa ada kebanggaan masyarakat, ia mau bercerita dan berharap bahwa warga
kota lainnya akan mengikuti jejaknya, tapi pada siang hari.
"Malam-malam begini sedikitlah orang yang keluar," katanya. "Kadang-kadang anak-anak lewat di sini
kalau Minggu pagi. Mereka mainkan klakson. Mereka tidak menggangu saya. Mereka selalu melambaikan
tangan."
Pekerja malam hari itu pernah satu kali menjadi penjaga tetangga yang sedang tidur dari kejahatan.
Suatu hari ketika ia sedang menyapu, Nyonya Sulaiman melihat seorang pria "bersembunyi di balik semak.
Maka, saya masuk lagi dan menelepon polisi. Kedua polisi yang baik hati ini datang 2 menit kemudian dan
menangkap orang itu yang sedang merangkak ke jendela tetangga sebelah."
Pada siang hari, tetangga di kiri kanan rumahnya dan sepanjang gang memanggil Nyonya Sulaiman
"Nenek". Matanya yang sayu penuh perasaan bila bercerita tentang tetangganya. "Mereka baik-baik,"
katanya. Anak-anak memanggil saya 'Nenek' dan selalu datang pada saya. Saya bikinkan kue untuk
mereka asal ibu mereka tidak melarang. Para pria di sini juga baik-baik, membantu saya mengangkat
barang-barang. Malah mereka mengecat rumah saya dengan gratis."
Tetangganya, para wanita, merawat Nyonya Sulaiman ketika ia agak sakit bulan Januari yang lalu, katanya.
"Tidak banyak wanita tua yang beruntung seperti saya ini."
"Mungkin saya sudah tua, tapi saya berusaha berpikir muda, Itulah kunci hidup supaya menyenangkan,
berpikir muda."
Setelah wawancara itu, Anda menghubungi beberapa tetangga untuk memperoleh materi yang baik untuk
penutup yang wajar dan efektif.
Tetangga sepanjang gang memberi tangan hangat.
"Nenek itu adalah yang paling aneh yang dimiliki lingkungan di sini," kata Ny. Tanzil Setiawan, tetangga
sebelahnya. Dan diteruskannya, "Kami mencintainya benar-benar."
Meskipun Nyonya Sulaiman berusaha menyembunyikan pekerjaannya pada jam dua malam, semua
tetangga mengetahui hal itu.
(Selesai)
Jakarta, 5 Juni 2013