Anda di halaman 1dari 16

ETNIK TIONGHOA DI SURAKARTA

Etnik Tionghoa di Surakarta


Tulisan ini mungkin bukan sebuah tulisan tentang masyarakat Tionghoa di Surakarta yang
komprehensif tetapi sekedar catatan kecil pengetahuan dari keberagaman masyarakat yang
tinggal di Surakarta. Dan banyak serpihan-serpihan sejarah masyarakat Tionghoa di Surakarta
dalam tulisan ini yang masih tercecer diluar belum terangkum menjadi satu. Tetapi itu menjadi
bagian dari kita untuk terus mencoba melengkapi hingga menjadi rangkaian mozaik yang utuh
dari keunikan masyarakat yang tinggal di Surakarta sehingga dapat menjadi pemahaman kita
akan kehidupan yang beragam.
A.

Kedatangan Etnik Tionghoa di Surakarta

Etnik Tionghoa telah memasuki wilayah Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan nusantara
berdiri. Kedatangan etnik Tionghoa ini sebagian besar dikarenakan hubungan ekonomi yaitu
perdagangan. Jalur perdagangan nusantara telah menjadikan pertemuan antara etnik Tionghoa
dengan masyarakat Indonesia yang menghasilkan hubungan perdagangan bahkan sampai kepada
hubungan sosial, politik dan budaya. Tetapi, perdagangan memainkan peranan terpenting dalam
masuknya etnik Tionghoa ke wilayah kepulauan nusantara. Melalui perdagangan ini pula etnik
Tionghoa mulai menetap di kota-kota yang mereka singgahi dan terkadang kontak sosial yang
dilakukan dengan penduduk lokal menjadi perkawinan sehingga etnik Tionghoa menetap secara
permanen di kota-kota tersebut. Perkawinan ini menghasilkan keturunan yang telah bercampur
dengan penduduk lokal sehingga dalam perjalanan waktu di Indonesia terjadi istilah penyebutan
bagi etnik Tionghoa asli dengan keturunan. Etnik Tionghoa asli disebut sebagai totok dan
keturunan disebut sebagai Tionghoa keturunan atau peranakan.
Gelombang besar pertama bangsa Tionghoa datang ke Indonesia sekitar abad ke-16, tujuan
mereka adalah untuk berdagang. Selanjutnya gelombang kedua terjadi pada abad ke-17. Sebab
kedatangan mereka ke Indonesia karena terjadi perang, kekacauan, kelaparan di tanah air
mereka. Mereka datang bersamaan dengan munculnya bangsa Eropa (Belanda dan Portugis) ke
Indonesia. Gelombang ke tiga terjadi pada abad ke-19 tepatnya tahun 1911 karena adanya
kemelut di negeri Tionghoa. Migrasi gelombang ke tiga inilah yang kemudian dikenal sebagai

Tionghoa Totok atau Singkek. Mereka datang ke Indonesia membawa serta keluarganya. Mereka
datang dari propinsi-propinsi di wilayah Tionghoa Selatan seperti Hakka, Kanton, Kwantung.
Kelompok ini lebih memelihara kedekatan kultural dengan tanah leluhurnya dan tetap
menganggap dirinya sebagai warga negara Tionghoa. Sedang pada migrasi gelombang pertama
dan kedua yang datang hanya golongan pria, mereka kemudian menikah dengan wanita pribumi
hingga kemudian memunculkan ras baru yaitu ras campuran atau lebih dikenal dengan
peranakan.[1]
Mona Lohanda menjelaskan mengenai kedatangan para imigran Tionghoa ke Indonesia yaitu
imigran Tionghoa pertama berasal dari Hokkien di propinsi Fukien, Tionghoa Selatan dan
mendarat di Jawa melalui pelabuhan kota Amoy Philipina. Mereka berbicara dengan dialek
Hokkien dan semakin lama bahasa, kebiasaan, dan tradisi budaya mereka bercampur dengan
tradisi lokal. Hal ini terlihat dalam bahasa Betawi terutama dalam penyebutan makanan, dan
aspek dari budaya Hokkien dapat dikenali dalam budaya peranakan di Jawa.[2]
Imigran Tionghoa lain datang dari propinsi Kwantung, disebut Hakka, dari Kanton, disebut
Punti, Hoklo dari Swatow, Haifoeng dari kepulauan Hainan disebut Hai-lam dan dari Formosa.
Imigran Tionghoa yang berasal dari Hokkien banyak menempati wilayah Jawa, sedangkan yang
berasal dari Kwantung mendarat dan hidup di daerah Kalimantan dan Sumatra sebagai kuli
perkebunan. Imigran dari Kanton yang disebut Punti menetap di Batavia sebagai pembuat barang
furniture.[3]
Sebelum bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda datang ke Nusantara dan menguasai Batavia,
[4] dalam perdagangan dengan Kesultanan Banten bangsa Eropa harus melalui perantara yang
berasal dari etnik Tionghoa. Jan Pieterszoon Coen yang diutus oleh Gubernur Jenderal VOC
Pieter Both pada tahun 1611 untuk membeli rempah-rempah dari Kesultanan Banten harus
berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan Banten yang bernama Souw
Beng Kong (Bencon).[5]
Souw Beng Kong menjadi Kapitan Tionghoa pertama di Batavia setelah kota ini berhasil direbut
oleh VOC pada tahun 1619. Melalui tenaga-tenaga kerja Tionghoa ini, kota Batavia dibangun
menjadi bandar yang ramai menggantikan kedudukan Banten sebagai pelabuhan dagang di barat
pulau Jawa.[6] Melalui orang-orang Tionghoa pula pembangunan kanal di Batavia dilaksanakan.
Kanal tersebut membelah daerah Molenvliet dan disambungkan dengan sungai Ciliwung dengan
membelah daerah Noordwijk dan Rijswijk untuk menghindari banjir yang selalu menimpa kota
Batavia. Peranan yang sangat besar masyarakat Tionghoa dalam membangun Batavia disebutkan
oleh seorang pedagang Eropa, Francois Valentijn, yang mengatakan bahwa jika tidak ada
masyarakat Cina, Batavia menjadi kota mati.[7]
Masyarakat Tionghoa yang berada di luar tembok kota Batavia mengembangkan perkebunan
tebu dan industri terutama industri gula. Penggilingan dilakukan dengan teknologi sederhana.
Industri gula ini akhirnya mengalami kemunduran dan dipindahkan ke wilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Kerjasama antara VOC dan masyarakat Tionghoa tidak bertahan lama, hal ini disebabkan
kerusuhan yang melanda kota Batavia yang dilakukan oleh kemunduran industri gula dan

menurunnya harga gula dipasaran Eropa. Hal ini menyebabkan terjadinya pengangguran, tidak
terkontrolnya masyarakat Cina di wilayah Ommelanden[8] sehingga terjadi perbanditan dan
aktivitas ilegal yang dilakukan masyarakat Cina. Hal ini membuat pemerintah Hindia (Raad van
Indie) akan mendeportasi masyarakat Cina ke Ceylon. Akibatnya masyarakat Cina melakukan
pemberontakan dan terjadilah kerusuhan dan pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat
Cina di Batavia pada tahun 1740.[9]
Kerusuhan dan pembantaian masyarakat Cina ini disebabkan oleh berbagai faktor yaitu
pengangguran, tutupnya industri gula, meningkat pesatnya jumlah penduduk Cina, tindakan
kriminal dan tidak berfungsinya tugas yang dijalankan Kapitan Cina untuk mengontrol
masyarakat Cina sendiri. Laporan Vermeulen sendiri mengatakan bahwa peristiwa pembantaian
terhadap orang-orang Cina di Batavia merupakan dampak dari adanya kekurangan bahan
makanan terutama beras. Hal tersebut karena para pedagang beras dan kebutuhan pokok lainnya
sebagian besar orang Cina. Mereka banyak yang meninggal bahkan meninggalkan kota karena
ketakutan. Beberapa kebutuhan hidup tidak dapat mereka dapatkan sehingga mengakibatkan
harga-harga meningkat secara tajam.[10]
Kedatangan bangsa Tionghoa di Surakarta sendiri berawal dari peristiwa kerusuhan yang terjadi
di Batavia. Masyarakat Tionghoa banyak yang melarikan diri terutama ke Kartasura dimana pada
saat itu merupakan pusat kerajaan. Sunan Paku Buwana II yang saat itu berkuasa terbuka bagi
kehadiran orang-orang Cina ke dalam wilayahnya. Paku Buwana II menggunakan kesempatan
baik ini untuk memanfaatkan orang Cina menjadi satu kekuatan tambahan melawan VOC.
Walaupun kemudian orang Cina sendiri berbalik melawan dan menentang Sunan.[11] Inilah latar
belakang masuknya orang-orang Cina ke dalam wilayah Surakarta.
B.

Dinamika Sosial Etnik Tionghoa di Surakarta

Setelah pemerintahan VOC digantikan oleh pemerintah kolonial Belanda wilayah kerajaan
Surakarta disebut sebagai Vorstenlanden. Kerajaan Surakarta menjadi sebuah daerah semi
otonom di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan diawasi oleh Gubernur Jendral.[12] Wilayah
Surakarta terletak di kawasan yang strategis ditunjang dengan berbagai kemajuan dalam
komunikasi, transportasi, prasarana, sarana, seperti pasar sebagai aktivitas perdagangan,[13]
pembentukan pemerintahan tingkat desa dan pemberian otonomi lokal menuju perkembangan
kota.
Hingga Indonesia merdeka, kota Surakarta menjadi sebuah kota yang memiliki dinamika
kehidupan yang dinamis. Dengan fasilitas prasarana dan sarana yang telah terbangun sejak jaman
kolonial Belanda hingga saat ini kota Surakarta tetap menjadi pusat perdagangan, pariwisata dan
budaya. Sebagai kota yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pemukiman penduduk
kota Surakarta diatur pula oleh pemerintah kolonial. Pemukiman ini hingga saat ini masih
bertahan. Pemukiman masyarakat kota Surakarta pada masa kolonial Belanda diatur sesuai
bangsa-bangsa yang tinggal di Surakarta. Masyarakat pribumi tinggal di kawasan pedesaanpedesaan di Surakarta, sedangkan orang-orang Belanda, Cina, Arab tinggal di tengah-tengah
kota. Orang-orang Belanda tinggal di sekitar benteng Vastenburg sebelah utara alun-alun utara.
1.

Pemukiman dan Populasi Etnik Tionghoa di Surakarta

Pemukiman masyarakat Tionghoa terletak di utara Sungai Pepe sekitar Pasar Besar ke timur di
Ketandhan hingga Limalasan, ke utara samapai di Balong, ke sebelah utara menuju
Warungpelem. Sedangkan pemukiman masyarakat Arab terletak di Pasar Kliwon dan Kedung
Lumbu. Pemisahan ini menunjukan adanya sebuah politik segregasi yang diciptakan oleh
pemerintah kolonial sebagai kontrol atas kekuasaan politiknya. Hingga saat ini pemukimanpemukiman tersebut masih bertahan walaupun telah terjadi persebaran penduduk ke wilayahwilayah lain di Surakarta. Sebagian besar etnik Tionghoa di Surakarta tinggal di kota, pada
umumnya tempat tinggal mereka merupakan deretan rumah yang berhadap-hadapan di sepanjang
jalan utama. Deretan rumah-rumah tersebut merupakan rumah-rumah petak di bawah satu atap
dan tidak memiliki pekarangan. Bentuk rumah diperkampungan etnik Tionghoa juga dapat
terlihat dengan jelas karena memiliki ciri-ciri yang khas yaitu pada ujung atapnya selalu lancip
dan ada ukiran-ukiran yang berbentuk naga. Perumahan semacam ini nampak di daerah Pasar
Legi, Pasar Gedhe dan daerah Secoyudan.[14]
Kehidupan diperkampungan Tionghoa ini banyak dilakukan kegiatan-kegiatan tradisi etnik
Tionghoa yang berasal dari negeri leluhurnya. Diruang tamu selalu terdapat altar untuk memuja
para leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Dan di setiap tahun baru selalu diadakan
perayaan-perayaan yang menampilkan kesenian-kesenian dari tanah leluhur mereka.[15] Ciri
khas dari perkampungan etnik Tionghoa adalah perkampungan ini dikepalai oleh seorang etnik
Tionghoa yang diberi pangkat Mayor pada masa kolonial Belanda dan biasa disebut Babah
Mayor.[16]
Pemukiman Tionghoa di wilayah Surakarta maupun wilayah lain di Indonesia menurut Werner
Rutz ada melalui lima tahap perkembangan yaitu pertama pemukiman-pemukiman tua yang
lebih banyak dibentuk oleh pengaruh Hindu India. Dikatakan:
This was predetermined arrangement of the rulers seat, the place of worship and the central
meeting place around a central crossroads which was located following the main points of the
compass.
(bahwa pemukiman telah disusun oleh penguasa, tempat pemujaan dan tempat pusat pertemuan
berada disekitar jalan utama dimana terletak mengikuti arah mata angin).[17]
Kedua, tradisi asli pemukiman pre-Hindu Malayan yang disebut kampung. Ketiga
perkembangan struktur pemukiman ditandai dengan masuknya pendatang-pendatang dari daratan
Cina ke Asia Tenggara yang umumnya bertujuan dagang. Keempat adalah tahap perkembangan
struktur pemukiman modern yang dibangun oleh orang Eropa sekitar abad ke-17 seiring dengan
masuknya Portugis, Spanyol, dan Belanda. Tahap terakhir adalah terbentuknya berbagai
pemukiman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang menampilkan sosok pengaruh
industrialisasi Eropa. Dari kelima tahapan ini, tahap ketiga samapai kelima akan berkaitan
langsung dengan perkembangan pemukiman masyarakat Cina.[18]
Pemukiman etnik Tionghoa di Surakarta terbentuk akibat aktivitas perdagangan dengan berbagai
elemen penting yang terdapat di pemukiman tersebut. Elemen penting dalam pemukiman etnik
Tionghoa adalah adanya Klenteng sebagai pengikat dan penyatuan elemen masyarakat etnik
Tionghoa yang terdiri dari kelas pedagang, kelompok fungsional dan masyarakat biasa. Di

Surakarta Klenteng yang biasa digunakan oleh masyarakat Tionghoa adalah Klenteng Tien Kok
Sie di Pasar Gede yang berdiri pada tahun 1745 sebagai pemujaan kepada Dewi Kwam Im dan
klenteng ini bersifat budhis walaupun ada beberapa altar yang digunakan untuk pemujaan agama
lain.
Elemen penting lain adalah pasar dan pelabuhan (public harbour area) tetapi untuk masyarakat
Tionghoa yang berada di Surakarta, pelabuhan bukan sebuah elemen karena kota Surakarta
bukan kota pelabuhan. Jalan raya merupakan elemen penting untuk menghubungkan aktivitas
bisnis mereka.[19] Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar Elemen-elemen utama dalam pemukiman etnik Tionghoa di Surakarta.

Elemen-elemen ini jelas terlihat dalam setiap model pemukiman masyarakat Tionghoa terutama
di Surakarta. Aktivitas sosial antar etnik Tionghoa dilakukan di Klenteng sebagai elemen
pengikat etnikitas. Pasar sebagai aktivitas sosial dan ekonomi dengan penduduk lokal, sedangkan
akses atau orientasi serta jalan adalah penunjang bagi akrivitas ekonomi masyarakat Tionghoa di
Surakarta. Letak pemukiman yang strategis sepanjang jalan utama kota Surakarta dan dekat
dengan pasar menyebabkan aktivitas ekonomi etnik Tionghoa menjadi maju.
Pemukiman masyarakat Tionghoa sendiri di kota Surakarta semenjak masa kemerdekaan telah
tersebar dan tidak terpusat hanya di wilayah dekat dengan pasar saja tetapi telah masuk ke
pelosok-pelosok di setiap Kecamatan di kota Surakarta. Hal ini terlihat dari tabel berikut:
Tabel 1. Penduduk Warga Negara Republik Indonesia (WNI) Keturunan Tionghoa
Diperinci Per Kecamatan

No.

Kecamatan

1991

1992

1993

1996

2000

Laweyan

1.833

1.747

1.764

1.715

1.161

Serengan

4.483

4.608

4.517

4.612

2.689

Ps. Kliwon

2.235

2.255

2.282

2.529

1.925

Jebres

9.015

8.918

8.499

8.765

6.875

Banjarsari

7.389

7.086

6.997

6.497

4.944

24.955

24.614

24.059

23.610

17.549

Jumlah

Sumber: Kantor Pusat Statistik Kotamadya Surakarta.[20]


Tabel di atas menunjukan bahwa persebaran masyarakat Tionghoa telah merata dan tidak
terpusat pada satu wilayah. Hal ini berbeda pada masa kolonial dimana masyarakat Tionghoa
terpusat disebuah wilayah yang mudah diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Tabel tersebut
juga memperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa lebih besar berada di wilayah Kecamatan
Jebres dan Banjarsari yang merupakan wilayah yang strategis karena memiliki akses jalan utama
yang menghubungkan kota Surakarta dengan wilayah lain di Karesidenan Surakarta, dan sentra
ekonomi berupa pasar yaitu pasar Ledok Sari dan Pasar Legi sehingga sangat cocok dengan mata
pencaharian masyarakat Tionghoa sebagai pedagang.
Jumlah masyarakat Tionghoa ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan dalam jumlahnya,
hal ini disebabkan oleh politik yang dijalankan oleh Orde Baru melalui politik pembauran antara
masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Sehingga hasil sensus menunjukan bahwa
terjadi penurunan terhadap nmasyarakat Tionghoa peranakan. Bila dibandingkan dengan tahun
1966, masyarakat Tionghoa yang memiliki nama Tionghoa mencapai jumlah 20219 penduduk
yang tersebar di lima Kecamatan Kota Surakarta.
Tabel 2. Jumlah Penduduk yang Memakai Nama Tionghoa dalam Wilayah Kotamadya
Surakarta (berdasarkan Sensus Lokal bulan Nopember 1966)

Jumlah
No.

1.

Kecamatan

Serengan

Jumlah
Laki-laki

Perempuan

1673

1714

3387

2.

Pasar Kliwon

966

1000

1966

3.

Laweyan

694

731

1425

4.

Jebres

4012

4251

8263

5.

Banjarsari

2506

2672

5178

9851

10368

20219

Jumlah

Sumber: Badan Statistik Surakarta.


Artinya bahwa bila pemakaian nama Tionghoa hingga masa Orde Baru tetap diperbolehkan maka
kemungkinan besar jumlah masyarakat Tionghoa melebihi jumlah 17549 pada tahun 2000.
Pemerintah Orde baru memang mengeluarkan peraturan yang melarang pemakaian nama
Tionghoa di segala hal. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
240 tahun 1967 tentang Kebidjaksanaan Pokok Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia
Keturunan Asing dalam pasal 5 yang menyebutkan bahwa: terhadap warga negara Indonesia
keturunan asing jang masih memakai nama Tjina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan
nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.[21]
Penurunan jumlah penduduk Tionghoa juga disebabkan oleh berbagai peristiwa pada masa
reformasi tahun 1998. Kota Surakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia dilanda kerusuhan
anti Cina yang menelan korban cukup besar dikalangan masyarakat Tionghoa, sehingga banyak
masyarakat Tionghoa yang keluar dari kota Surakarta untuk menyelamatkan diri.[22] Peristiwa
kerusuhan anti Cina di kota Surakarta tercatat telah sering terjadi dari masa kolonial Belanda
hingga tumbangnya Orde Baru.[23] Hal ini kemungkinan besar menjadi penyebab menurunnya
jumlah masyarakat Tionghoa pasca tumbangnya Orde baru.
Jumlah masyarakat Tionghoa bila dibandingkan dengan masyarakat Arab yang berada di kota
Surakarta menunjukan kuantitas yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 3. Penduduk Kota Surakarta Menurut Wilayah Administrasi dan Suku Bangsa
tahun 2000[24]

Kecamatan

Tionghoa

Arab

Laweyan

1161

77

Serengan

2689

145

Pasar Kliwon

1925

3615

Jebres

6875

Banjarsari

4944

37

Sumber: Publikasi Sensus 2000, BPS Surakarta.


Penyebaran penduduknya Tionghoa juga lebih merata dibandingkan dengan masyarakat Arab.
Masyarakat Arab hanya terkonsentrasi pada Kecamatan Laweyan yang menjadi pusat
pemukiman sejak jaman kolonial Belanda. Dengan penyebaran yang merata tidak dapat
dipungkiri masyarakat Tionghoa menjadi elemen penting bagi kota Surakarta dalam menjalankan
roda perekonomian kota. Hal lain adalah dengan perkembangan kota Surakarta dan dibangunnya
pusat-pusat pemukiman modern berupa perumahan dan pusat perekonomian baru terjadi arus
perpindahan dan penyebaran masyarakat Tionghoa yang lebih merata terutama ke daerah
pinggiran kota seperti Solo baru, perumahan Fajar Indah, dan lain sebagainya.
2.

Kondisi Sosial Etnik Tionghoa di Surakarta

Sejak masa kolonial Belanda kehidupan sosial masyarakat Tionghoa di Surakarta mengalami
berbagai dinamika. Pada masa kolonial Belanda selain memiliki hak istimewa sebagai perantara
perdagangan dari bumiputra kepada pedagang bangsa Eropa, masyarakat Tionghoa juga
mengalami berbagai benturan, konflik bahkan diskriminasi dari penguasa kolonial. Konflik
antara masyarakat Tionghoa dengan pribumi Indonesia banyak disebabkan oleh politik adu
domba kolonial Belanda maupun persaingan dalam bidang ekonomi. Pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan berbagai kebijakan terhadap aktivitas masyarakat Tionghoa dengan
berbagai peraturan. Pengawasan terhadap segala aktivitas masyarakat Tionghoa dilakukan
dengan sentralisasi pemukiman, pemberlakuan surat jalan (passenstelsel) sebagai bentuk
pencegahan terhadap perkembangan masyarakat Tionghoa. Untuk wilayah Surakarta dan
Yogyakarta dimuat dalam Staatblad 1891 No. 214 berupa peraturan pemerintah dari Gubernur
Jendral tanggal 2 Oktober 1891 yang berbunyi, kepala wilayah dan pemerintah setempat tidak
berkenan memberikan surat jalan (reispassen) bagi orang Cina di Karesidenan Surakarta dan
Yogyakarta tanpa ijin terlebih dahulu dari residen di mana mereka tinggal.[25] Pemberlakuan
surat jalan bertujuan untuk menghambat perkembangan masyarakat Tionghoa secara kuantitatif

dan juga sebagai cara untuk menghindarkan terjadinya kontak sosial antara masyarakat Tionghoa
dengan pribumi secara intensif.
Tahun 1909 pemerintah Kerajaan Tiongkok mengeluarkan Undang-undang Kebangsaan yang
menyatakan bahwa seluruh orang keturunan Tionghoa atau setiap anak yang sah maupun tidak
sah dengan seorang ayah Tionghoa (atau seorang ibu Tionghoa apabila ayahnya tidak diketahui)
adalah berkebangsaan Tiongkok (azas jus sanguinus). Undang-undang Kerajaan Tiongkok ini
membuat pemerintah kolonial Belanda juga mengambil keputusan yang sama yaitu untuk
menandinginya, pada tanggal 10 Februari 1910, pemerintah Kerajaan Belanda mengumumkan
berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) atau Undang-undang tentang
Kawula Belanda (Ned.Stbl. No.55). WNO menyatakan bahwa seluruh orang Tionghoa yang telah
menjadi keturunan kedua yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula Belanda ( azas jus soli).
[26] Akibatnya timbul masalah dwi-kewarganegaraan, karena kedua pemerintah tersebut
mengklaim bahwa seluruh orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda menjadi warganya.
Masalah dwi-kewarganegaraan ini terus berlanjut sampai ditanda-tanganinya Perjanjian Dwikewarganegaraan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok pada tahun 1955.
Selain itu pada tahun 1907, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang
yang memungkinkan orang Tionghoa mengajukan permohonan untuk memperoleh persamaan
status hukum dengan golongan Eropa (gelijkstelling). Syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan status Eropa tersebut antara lain, fasih berbahasa Belanda, mempunyai kekayaan
yang cukup dan harus mengikuti wajib militer. Di samping itu pemohon harus dengan tegas
menyatakan secara tertulis bahwa ia sudah tidak cocok lagi hidup di kalangan masyrakat
Tionghoa.[27]
Sehingga antara masyarakat Tionghoa dan pribumi terjadi jurang pemisah dan kecurigaankecurigaan yang berdampak kepada gesekan-gesekan sosial bahkan konflik sosial. Peristiwa
konflik sosial besar di Surakarta terjadi pada masa awal abad ke 20 yang disebabkan oleh
persaingan dagang.[28] Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa terus berlanjut hingga masa
kemerdekaan dan bahkan konflik yang terjadi bertambah besar.
Pada masa Orde Lama masalah kewarganegaraan masyarakat Tionghoa dapat diselesaikan oleh
pemerintahan presiden Soekarno melalui perjanjian bilateral antara pemerintah Indonesia dengan
pemerintah Republik Rakyat Cina pada tahun 1955. Tetapi masalah diskriminasi tetap terjadi
pada masyarakat Tionghoa pada masa Orde Lama ini antara lain adalah adanya program
Benteng Importir, peraturan pembatasan perusahaan angkutan dan pergudangan (ekspedisi dan
veem), peraturan pembatasan penggilingan padi (huller) dan Gerakan Assat yang mencapai
puncaknya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10.[29]
Pasca kegagalan pemberontakan G 30 S, banyak masyarakat Tionghoa yang dituduh terlibat
dalam peristiwa tersebut. Akibatnya adalah pemerintah Orde Baru mengeluarkan berbagai
kebijakan yang merugikan bahkan membuat kehidupan masyarakat Tionghoa menjadi kelam.
Kehidupan masyarakat Tionghoa menjadi masyarakat yang terdiskriminasi secara total dalam
bidang sosial. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan melalui Instruksi Presiden No. 14
tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Dalam Inpres No. 14 tahun

1967 disebutkan bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat
pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis,
mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan
hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang
wajar.[30]
Dibatasinya pembangunan klenteng sebagai tempat ibadah umat Khonghucu dan penyebaran
agama Khonghucu yaitu dengan cara tidak diberikannya izin untuk memperoleh hak atas tanah
untuk pembangunan klenteng dan atau perluasan klenteng lama, dilarangnya menggunakan
tempat, bangunan, ruang dari suatu bangunan untuk klenteng serta pelarangan merehabilitasi
bangunan klenteng lama.[31] Pelarangan ini tidak hanya dalam bidang agama tetapi pemerintah
orde baru juga mengeluarkan pelarangan dalam bidang hukum perkawinan, pendidikan, dan
kewarganegaraan bagi masyarakat Tionghoa.[32] Kebijakan pemerintah Orde Baru yang lebih
besar adalah proses asimilasi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Tionghoa. Dalam
konteks asimilasi masyarakat Tionghoa yang minoritas harus menyesuaikan diri dan menerima
standar-standar budaya masyarakat dominan Orde Baru serta berintegrasi dengan struktur sosial
masyarakat Indonesia yang lebih luas. Bahkan pemerintah Orde Baru mengharuskan masyarakat
Tionghoa kehilangan keunikannya dan harus menyerupai masyarakat Indonesia.[33]
Walaupun Orde Baru telah tumbang tetapi kebebasan masyarakat Tionghoa masih belum
sepenuhnya didapatkan. Pemerintahan yang baru belum secara total menghapuskan diskriminasidiskriminasi yang masih melekat dikalangan masyarakat Tionghoa.
C. Tumbuhnya Organisasi Sosial Masyarakat Etnik Tionghoa di Surakarta
Perjalanan masyarakat Tionghoa yang cukup lama dengan berbagai diskriminasi yang
didapatkannya di Indonesia memunculkan gerakan-gerakan solidaritas untuk memperjuangkan
hak-hak mereka sebagai warga negara. Bentuk-bentuk solidaritas masyarakat Tionghoa ini
terwadahi dalam sebuah organisasi sebagai alat perjuangannya. Organisasi-organisasi yang
dibentuk masyarakat Tionghoa di Indonesia telah berdiri sejak jaman kolonial Belanda dan ada
pula yang didirikan pasca kemerdekaan Indonesia. Organisasi masyarakat Tionghoa pun
beraneka ragam dari yang bersifat kedaerahan seperti Hoo Hap, Sin Cung (PerHakkas), maupun
Fu Qing,[34] profesionalitas, keagamaan, hingga politik.
1. Organisasi Keagamaan Masyarakat Tionghoa di Surakarta.
Organisasi modern masyarakat Tionghoa pertama yang berdiri di Indonesia adalah Tiong Hoa
Hwee Kwan (THHK) Rumah Perkumpulan Tionghoa didirikan pada tahun 1900 oleh
beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia (Jakarta). Tujuan utama para pendirinya adalah
mendorong orang Tionghoa yang bermukim di kawasan Hindia Belanda untuk mengenal
identitas-nya. Mereka menginginkan masyarakat Tionghoa yang sudah bergenerasi hidup di
Hindia Belanda mengenal kebudayaan Tionghoa sehingga mereka bisa bersatu sebagai satu
kelompok masyarakat yang dihormati oleh penjajah Belanda. Proses pengenalan kebudayaan
atau pencarian identitas yang ditempuh oleh para pendiri THHK adalah penyebarluasan ajaran
Khong Hu Cu, ajaran atau agama yang dijunjung oleh masyarakat Tionghoa baik di dalam
maupun di luar Tiongkok pada waktu itu.[35] Menurut tafsiran pemuka THHK, hanya dengan

mempelajari bahasa Tionghoa, orang Tionghoa baru bisa benar-benar mengerti ajaran
Khonghucu.[36] Maka gerakan organisasi THHK adalah bidang pendidikan dengan mendirikan
sekolah-sekolah THHK di kota-kota besar Indonesia Bahasa pengantar yang dipergunakan
adalah bahasa Kuo Yu Mandarin. Guru-guru lulusan Tiongkok dan berbagai tempat lainnya di
import untuk mengajar dengan program pendidikan modern yang secara keseluruhan bersandar
pada apa yang berkembang di Tiongkok. Melalui program ini, ajaran Khong Hu Cu disebar
luaskan pula.
Usaha semacam ini tentunya disambut oleh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, baik
mereka yang berasal dari kelompok peranakan (yang sudah bergenerasi di Hindia Belanda)
maupun yang berasal dari kelompok totok (yang lahir di Tiongkok). Sekolah-sekolah THHK
berkembang pesat dan jumlah elajarnya meningkat dengan hebat. Karena bahan-bahan pelajaran
diambil dari Tiongkok, masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan THHK,termasuk
generasi mudanya, terdorong untuk berkiblat ke Tiongkok dan mengenal, bahkan mendukung,
nasionalisme Tiongkok.
Perkembangan yang sangat mempengaruhi jalan berpikir masyarakat Tionghoa di Hindia
Belanda ini mengkhawatirkan pemerintahan Belanda. Inilah yang menyebabkan mereka
membuka sekolah-sekolah Belanda khusus untuk masyarakat Tionghoa pada awal abad ke 20.
Tujuannya adalah menarik sebanyak mungkin siswa Tionghoa supaya pengaruh nasionalisme
Tiongkok bisa berkurang.
Pengaruh THHK dalam kalangan peranakan Tionghoa berangsur berkurang pada tahun 1930-an,
karena program pendidikannya dianggap kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Tionghoa
di zaman penjajahan. Pengaruh dan perannya boleh dikatakan hilang setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945.
Organisasi keagamaan Khonghucu di Surakarta pertama kali berdiri pada tahun 1918 dengan
nama Khong Kauw Hwee Sala yang mendapatkan ijin dari pemerintah kolonial Belanda
walaupun sebelumnya telah dilakukan ceramah-ceramah mengenai ajaran Khonghucu oleh
beberapa tokoh Khonghucu yang berada di Sala.[37] Pada saat berdirinya perkumpulan ini
merupakan organisasi yang memiliki anggota yang tidak terlalu besar, tetapi para anggotanya
berusaha menjalankan ajaran Khonghucu dalam kehidupan sehari-hari.[38] Bila pada awal-awal
perkembangannya Khong Kauw Hwee banyak mengadakan kegiatan organisasi di Klenteng
terutama Klenteng Tien Kok Sie dalam membicarakan kemajuan organisasi maka tahun-tahun
berikutnya organisasi ini telah memiliki kesekretariatan di daerah Jagalan dengan membeli
rumah yang kemudian dipugar kembali.[39] Kesekretariatan ini selain menjadi tempat
pembicaraan organisasi juga menjadi tempat dilaksanakannya khotbah-khotbah serta
pembahasan dan mempelajari ajaran-ajaran Khonghucu yang dilaksanakan secara teratur.[40]
Organisasi Khong Kauw Hwee juga memiliki terbitan majalah yang diberi nama Khong Kauw
Goat Po. Majalah ini hanya terbit beberapa tahun karena dianggap tidak mendapat respon yang
bagus dari para anggotanya. Sebagai gantinya diterbitkan majalah Bok Tok Goat Khan atau
majalah pembangunan kebajikan yang menjadi corong penyebarluasan agama Khonghucu.
Majalah ini hanya terbit hingga akhir masa jajahan Belanda pada masa jajahan Jepang majalah
ini tidak terbit.[41]

Selain terbitan organisasi ini juga mendirikan sekolah Khong Kauw yang bertujuan menyebarkan
bibit-bibit ajaran Khonghucu. Sekolah ini pertama kali memiliki murid berjumlah 25 siswa dan
dua tahun berikutnya memiliki murid sejumlah 100 siswa. Pembukaan sekolah secara resmi
dilakukan pada tahun 1935. Tetapi pada saat tentara Jepang masuk ke Indonesia Sekolah Khong
Kauw dimasukkan dalam lingkungan Ka Kyo So Kay, dimana sekolah mendapatkan subsidi dari
pemerintah dan setelah Jepang kalah perang sekolah ini tetap berdiri.[42]
Organisasi Khong Kauw Hwee ini dalam perjalanan waktu mengubah namanya menjadi
MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan cabang-cabang di daerah
bernama MAKIN (Majelis Khonghucu Indonesia). MAKIN Surakarta hingga saat ini masih
berdiri dan beraktivitas dalam bidang keagamaan dan juga pendidikan serta budaya. MAKIN
Surakarta memiliki sebuah sekolah yang hingga saat ini masih aktif, walaupun telah menjadi
sekolah umum yaitu SMP dan SMA Tripusaka.
2. Organisasi Sosial Masyarakat Tionghoa di Surakarta
Sejak tahun 1912, di daerah Surakarta tumbuh dan berkembang organisasi-organisasi Masyarakat
yang mempunyai latar belakang khusus dan tertutup untuk golongan atau kelompok tertentu.
Tumbuhnya organisasi-organisasi tersebut menunjukkan adanya dinamika masyarakat Surakarta.
Salah satu organisasi masyarakat dari etnik Tionghoa yang bergerakj dalam bidang sosial adalah
Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).
Organisasi PMS pertama kali terbentuk bernama Chun Min Kung yang merupakan peleburan
enam organisasi etnik Tionghoa di Surakarta yaitu perkumpulan Kong Tong Hoo, Hi Ang Gie
Hwee, Hap Gie Hwee, Kong Sing Hwee, Sam Ban Hien, dan Tiong Hoa Poen Sing Hwee pada 1
April tahun 1932. Chun Min Kung sendiri dalam realitanya banyak bergerak dalambidang sosial
kemasyarakatan terutama kematian.[43]
Pergantian nama menjadi PMS terjadi pada masa Orde Lama yaitu pada tanggal 1 Oktober 1959
dengan digiatkan dan disebarluaskannya gerakan integrasi[44] dikalangan orang-orang Tionghoa
Surakarta melalui organisasi ini. Gerakan integrasi yang diusung PMS merupakan tujuan dari
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).[45] Di lain pihak banyak
anggota PMS yang mendukung asimilasi[46] dengan mendukung Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa (LPKB) sehingga berakibat terjadinya perpecahan organisasi PMS.
Akibat adanya pertentangan ini PMS terpecah menjadi dua kubu dan berakhir pada saat Orde
Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru. Anggota PMS yang menedukung Baperki
tersingkir karena dianggap mendukung dan terlibat dalam peristiwa G 30 S. Semenjak itu PMS
mengadakan perubahan organisasi dan aktif dalam Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan
Bangsa (Bakom PKB) bentukan Orde Baru. Melalui Surat Keputusan Dirjen Sospol No.
220.090/115 tanggal 14 Januari 1981 PMS dan Bakom PKB ditugaskan untuk mengadakan
kegiatan-kegiatan yang positif di masyarakat Surakarta terutama dalam bidang sosial.[47]
Hingga sekarang PMS menjadi organisasi Tionghoa yang berpengaruh dengan kegiatan-kegiatan
bukan hanya dalam bidang sosial masalah kematian tetapi juga menangani berbagai kegiatan
yaitu bidang ekonomi, pendidikan, kepercayaan (agama), kebudayaan dan olahraga. Selain itu

kegiatan lain yang terpenting adalah kegiatan dialog antar etnik maupun agama bagi masyarakat
Surakarta.

[1] Puspa Vasanty, Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia, dalam Koentjaraningrat (ed),
Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1983, hlm. 355.
[2] Mona Lohanda, The Kapitan Tionghoa of Batavia 1837-1942, Jakarta: Djambatan, 2001,
hlm. 10. Perbedaan antara Tionghoa totok dengan peranakan adalah Tionghoa totok masih
menggunakan bahasa leluhur mereka sedangkan peranakan telah meninggalkan penggunaan
bahasa leluhur dan banyak menyerap gaya hidup masyarakat Indonesia.
[3] Ibid., hlm. 11.
[4] Batavia pada saat itu masih bernama Jayakarta dan dibawah Kesultanan Banten.
[5] Benny G. Setiono, Etnik Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia, Makalah
Diskusi Akbar Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Jakarta, 27 April 2002, hal. 1.
[6] Ibid. hlm. 2, lihat juga Mona Lohanda, Op.Cit., hlm. 7.
[7] Mona Lohanda, Ibid., hlm. 13.
[8] Wilayah dimana masyarakat tinggal diluar tembok kota Batavia.
[9] Ibid., hal. 15. Lihat juga Leonard Blusse, Strange Company: Chinesse Settlers, Mestizo
Woman and the Dutch in VOC Batavia, Dordrecht: Foris Publications, 1986.
[10] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Bagian II: Jaringan Asia, Gramedia: Jakarta,
1996, hlm. 358-359.
[11] Benny Juwono, Etnik Cina di Surakarta 1890-1927, dalam Lembaran Sejarah, Vol. 2 No.
1, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,:Yogyakarta, 1999, hlm. 62. Peristiwa penentangan
orang-orang Cina terhadap Sunan terkenal dengan nama Perang Cina dan membuat perpindahan
puasat kerajaan ke desa Sala yang sekarang terkenal dengan nama kota Sala.
[12] George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta
1912-1942, Gadjah Mada Press: Yogyakarta, 1990, hlm. 1.
[13] Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, Tiara
Wacana: Yogyakarta, 1991, hlm. 24.
[14] A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Grafiti Pers: Jakarta, 1985, hlm. 12-13.

[15] Kesenian-kesenian etnik Tionghoa biasanya berupa Barongsai dan Liong.


[16] Untuk lebih jelas mengenai kepemimpinan etnik Tionghoa pada masa kolonial Belanda lihat
Mona Lohanda, Op. Cit.
[17] Eddy Prabowo Witanto, Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah, Kajian Historis
Pemukiman Etnik Cina di Indonesia, dalam I. Wibowo, Op. Cit., hlm. 191.
[18] Ibid..
[19] Ibid. hlm. 197.
[20] Untuk data Demografis penduduk etnik Tionghoa keturunan tahun sebelumnya tidak
diperoleh karena pada data yang terdapat di Badan Statistik Surakarta tidak memprioritaskan
pendataan etnisitas secara periodik.
[21] Keppres No. 240 tahun 1967.
[22] Peristiwa kerusuhan anti Cina di Surakarta lebih jelas dapat dilihat pada M Hari Mulyadi,
dkk., Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit (Studi Radikalisasi Wong Sala Dan Kerusuhan
Mei 1998 Di Surakarta), LPTP: Surakarta, 1999.
[23] Kerusuhan anti Cina di Surakarta pada masa kolonial Belanda secara lengkap digambarkan
oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya yang berjudul Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di
Jawa 1912-1926, Grafiti press: Jakarta, 1997.
[24] Dalam data ini hanya diperlihatkan penyebaran penduduk Tionghoa dan Arab dan sekaligus
sebagai perbandingan tingkat penyebaran dan perkembangannya.
[25] Benny Juwono, Op. Cit.
[26] Ibid., hlm. 68, Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1986, hlm. 41.
[27] Benny G. Setiono, Loc. Cit., hlm. 9.
[28] Peristiwa bentrokan antara masyarakat Tionghoa (organisasi Kon Sing) dengan pribumi
(Rekso Roemekso) terjadi dengan adanya berita revolusi Tiongkok yang membuat status sosial
masyarakat Tionghoa lebih tinggi dari pribumi, selain itu juga disebabkan adanya persaingan
dagang dengan cara boikot. Lihat Takashi Shiraishi, Op. Cit., hlm. 62 juga A.P.E. Korver, Loc.
Cit.
[29] Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul Gerakan Assaat, suatu gerakan
yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian
fasilitas kepada pengusaha-pengusaha asli dan pribumi. Mr.Assaat yang pada saat itu
menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar

mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga


negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan.
Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program
anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh
dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai
golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan
Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai asli. Tanpa terduga
sebelumnya, Presiden Soekarno pada bulan November 1959 dengan tiba-tiba menanda tangani
Peraturan Pemerintah No.10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan P.P. 10. Peraturan ini
berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa)
untuk perdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra
tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak tanggal 1Januari 1960, Benny G. Setiono,
Op. Cit., hlm. 9.
[30] Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
[31] Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 Tahun 1988 tentang Klenteng.
[32] Pemerintah Orde Baru mengharuskan masyarakat Tionghoa mengurus SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia).
[33] Deddy Mulyana, Perubahan Identitas Etnik: Suatu Telaah Kepustakaan, dalam Deddy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2001, hlm. 160.
[34] Ketiga organisasi kedaerahan ini akan dibahas lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya.
[35] Siauw Tiong Djin, THHK, Baperki dan Nation-Building, Makalah dalam google.com.
lihat juga Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam
Hien, LP3ES: Jakarta, 1990.
[36] Ibid, hlm. 3.
[37] Peringatan 50 tahun Madjelis Agama Khonghutju Indonesia-Sala (16 Oktober 1918-1968),
hal. 11-12.
[38] Hari Ulang Tahun ke 35 Khong Kauw Hwee Sala (1918-1953), hal. 19.
[39] Khong Kauw Hwee Sala selama Tiga Puluh Lima Tahun (1918-1953), hal. 22-35.
[40] Peringatan Hari Ulang Tahun ke 60 MAKIN-Sala (16 Oktober1918-1978), hlm. 24.
[41] Ibid., hal. 27.
[42] Ibid., hal. 28-29.

[43] Hari Mulyadi, dkk., Loc. Cit., hlm. 235-236.


[44] Paham integrasi ini adalah suatu gerakan dimana golongan Tionghoa untuk
mengintegrasikan dirinya dalam semua tingkat kegiatan Indonesia, sehingga aspirasi rakyat
Indonesia menjadi aspirasi golongan Tionghoa. Mereka mempertegas bahwa untuk ini, suku
Tionghoa, sama halnya dengan para suku lainnya, tidak perlu menanggalkan ke-Tionghoaannya,
baik dari segi biologis maupun kebudayaan. Persatuan, bagimereka, tidak berarti semua
golongan yang ada dipaksa untuk meleburkan dirinya ke dalam tubuh pihak mayoritas.
[45] Ibid.,hlm. 237. untuk masalah Baperki lihat Siauw Tiong Djin, Op. Cit.
[46] Pihak yang melahirkan konsep assimilasi menghendaki golongan Tionghoa menanggalkan
atau mencampakkan ciri-ciri ke-Tionghoaan sehingga di suatu saat, golongan Tionghoa lenyap
dari permukaan bumi Indonesia.
[47] Ibid.
https://phesolo.wordpress.com/2012/07/13/etnik-tionghoa-di-surakarta/

Anda mungkin juga menyukai