Anda di halaman 1dari 64

Dahulu bernama Putu Setia - Jurnalis TEMPO Media Grup.

Sejak menjadi pendeta Hindu, 21 Agustus 2009, tinggal di


Pasraman Dharmasastra Manikgeni, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali.

Senin,11 Agustus 2014 @ 09:35

Desa Adat Jangan Diganggu


DESA adat atau yang sudah populer dengan sebutan Desa Pekraman jangan diganggu dengan urusan-urusan kenegaraan.
Tak ada sangkut pautnya desa adat dengan tata kelola pemerintahan karena sejatinya desa adat dibentuk untuk urusan adat
istiadat. Di dalam adat istiadat itu ada wilayah agama yang sakral. Desa adat mempunyai syarat yang prinsip, yakni sebuah
kawasan yang diikat oleh adanya Pura Tri Kahyangan, yaitu Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Adalah
Mpu Kuturan yang punya konsep ini.
Dulu desa adat itu otonom dan tersirat dari adanya awig-awig yang tak sama antara satu desa adat dengan desa adat yang
lain. Awig-awig ini didasarkan pada dresta (kebiasaan yang diwarisi temurun). Belakangan ini pada saat ada upaya
penyeragaman yang disertai dengan dalih pembinaan maka di atas pimpinan desa adat (bendesa) dibuat Majelis Alit di
tingkat kecamatan. Lalu di tingkat kabupaten ada Majelis Madya dan di tingkat provinsi ada Majelis Utama. Cukuplah sampai di
sini adanya pembinaan itu, jangan diganggu lagi dengan urusan lain.
Apa yang saya maksudkan dengan gangguan? Ada upaya agar desa adat didaftarkan untuk mendapatkan status desa
menjelang diberlakukannya Undang Undang Tentang Pemerintahann Desa. Apalagi dalam UU Desa ini ada kucuran dana
setiap tahun sebesar Rp1 milyar sampai Rp 1,4 milyar, seolah-olah desa adat ditarik untuk berebut uang itu. Mohon hal ini
dikaji lebih jauh.
Dalam tata kelola pemerintahan, sudah ada desa dan di Bali agar membedakan dengan desa adat maka disebut desa
dinas, padahal dalam administrasi tak ada kata dinas itu. Desa ini dipimpin Kepala Desa. Himpunan desa dikordinasikan
oleh Camat, dan di atas camat ada Bupati, lalu Gubernur dan seterusnya presiden.
Struktur administrasi ini saja sudah berbeda dengan desa adat. Belum lagi batas wilayahnya. Desa dinas pasti berada di satu
kecamatan dan tentunya di satu kabupaten. Tetapi desa adat karena wilayahnya berdasarkan wewengkon Tri Kahyangan,
bisa jadi ada wilayahnya berbeda kecamatan. Istilah yang dipakai saling seluk. Artinya wilayah teritorial desa adat dengan
desa dinas tidak sama, karena persyaratannya yang berbeda.
Anggotanya (warga) juga berbeda. Di desa adat penduduk pendatang yang bukan beragama Hindu karena adanya
kewajiban mengempon Tri Kahyangan tidak dimasukkan warga desa adat. Bahkan pendatang yang beragama Hindu tidak
harus menjadi warga desa adat. Tetapi warga yang tinggal di kawasan desa dinas, apapun agamanya, haruslah terdaftar
sebagai penduduk.
Anak saya bertahun-tahun tinggal di Pedungan, Denpasar, tak terdaftar sebagai warga desa adat, karena dia tak memuja di
Pura Puseh Pedungan. Dia tetap warga desa adat Pujungan, Tabanan, karena di sana Tri Kahyangan yang dipuja. Tetapi
administrasi kependudukan semuanya dari Pedungan, bukan dari Pujungan. Kalau ada kerja bhakti membersihkan got dia
datang, tetapi kerja bhakti di pura Pedungan tentu tak datang.
Ada yang menganalogikan begini: desa adat itu berurusan dengan niskala, desa dinas berurusan dengan skala. Meski tidak
tepat benar tetapi masuk akal, karena kenyataan yang terlihat desa adat berurusan erat dengan masalah keagamaan (niskala),
sedangkan desa dinas berurusan dengan administrasi kependudukan dan pembangunan wilayah desa (skala).
Desa adat seperti halnya desa sejenis di luar Bali dengan berbagai sebutan, eksistensinya tak akan hilang dengan lahirnya UU
Desa. Karena keberadaan desa adat diatur dalam konstitusi (UUD 1945 termasuk dengan amandemennya), sementara desa
dinas mulai ditata dengan undang-undang yang dibawah konstitusi. Saya tak paham dari siapa awalnya muncul agar ada
pilihan untuk didaftar, apakah desa dinas atau desa adat, untuk menyambut kucuran dana APBN sesuai UU Desa itu. Di luar
Bali tak ada kewajiban untuk mendaftar karena otomatis yang dimaksudkan dengan desa dalam UU Desa ini adalah desa yang

sudah berjalan sesuai tata kelola pemerintahan ini, yakni desa dinas.
Coba bayangkan kemudian jika desa adat didaftar sesuai UU Desa dan katakan saja misalnya diterima oleh pusat
(Kemendagri). Bendesa Adat yang selama ini mengurusi masalah ritual di Tri Kahyangan berserta awig-awig yang menyangkut
kehidupan sosial religius, tiba-tiba harus tahu seluk-beluk anggaran. Lalu siapa atasannya untuk melaporkan anggaran itu?
Camat atau Majelis Alit? Dan di atasnya lagi Majelis Madya atau Bupati? Akan kacau dan tumpang tindih. Saya
membayangkan ruwet, selama ini Bendesa Adat tempat umat bertanya apakah kala gotongan atau semut sedulur (sehingga
bisa menguburkan jenazah) tiba-tiba harus paham beda mata anggaran untuk perbaikan got dan mata anggaran memperbaiki
kakus umum.
Dari sisi filosofi juga berbenturan. UU Desa punya filosofi mensejahtrakan masyarakat. Kucuran dana sebesar itu (dengan
mempertimbangan besar kecil penduduk setempat) untuk kesejahtraan lahir bukan kesejahtraan bathin. Dana semilyar itu
untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Jika ekonomi bergerak, masyarakat makmur, otomatis masyarakat bisa
mensejahtrakan bathinnya. Bukan dibalik. Jadi, dana itu bukan untuk membangun Pura Puseh dengan batu hitam dari Gunung
Agung. Kalau begitu, masyarakat tak tergerak lagi medana punia karena toh ada uang dari Jakarta setiap tahun satu milyar.
Ini persepsi salah.
Tentu saja boleh dana dari UU Desa untuk kepentingan agama, tetapi itu bukan prioritas utama. Nah, dalam hal wilayah desa
dinas dan desa adat berbeda jauh, nanti pasti ada cara untuk mengatur dana itu supaya adil dengan prinsip pengelolaan mata
anggaran yang transparan. Kalau seperti di desa saya, desa dinas dan desa adat wilayahnya sama, permasalahan bisa tak
besar. Tapi jelas beda sasaran yang dituju. Jangan sampai ada kesan, setelah UU Desa berlaku dan kucuran uang datang,
warga tak mau lagi bayar urunan untuk piodalan. Yadnya pun tergantung dana dari Jakarta. Akhirnya yang besar piodalannya,
ekonomi masyarakat tetap tak bergerak, warga miskin tetap ada. Mari jangan diganggu desa adat dengan iming-iming kucuran
dana melimpah, cukup dana dari pemda saja.

Senin,04 Agustus 2014 @ 09:31

Bali dan Dubai


MENARIK perbandingan yang diucapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil seperti yang diberitakan koran ini
terbitan Sabtu (2/8) lalu mengenai dampak dari penduduk pendatang yang semakin banyak ke Bali. Djalil mengkhawatirkan
Bali akan seperti Dubai. Yang dimaksudkan tentu saja penduduk Bali akan mengalami pergeseran fungsi di tataran sosial
ekonomi yang pada akhirnya bisa mengubah budaya Bali yang luhur itu. Contoh Dubai amat jauh, padahal ada contoh yang
lebih dekat, misalnya, warga Betawi di Jakarta yang terpinggirkan.
Bagaimana gambaran yang ada di Dubai? Dubai ini adalah salah satu emirat terkaya yang kini bergabung ke dalam Uni Emirat
Arab (UEA). Dubai yang pada awalnya adalah penghasil permata terkenal di dunia kini tumbuh menjadi emirat terkaya di UEA.
Permata tak lagi membuat kawasan padang pasir ini terkenal, tetapi perdagangan dan usaha real estate yang membuat emirat
itu kaya. Pendapatan dari permata sudah jauh turun, sementara pendapatan dari minyak dan gas bumi bumi hanya
menyumbang 6 %. Tetapi real estate dan konstruksi melonjak jadi 22,6 %. Ini data pada tahun 2006.
Perdagangan dan usaha real estate ini yang membuat banyak pekerja imigran datang ke Dubai dan akhirnya menjadi warga
dengan status penduduk pendatang. Penduduk asli Dubai hanya 17 %, lalu India 42,3 %, Pakistan 13,3 %, Bangladesh 7,5
%, Arab di luar UEA 9,1 % dan selebihnya datang dari dunia Barat.
Orang India yang menetap dan membangun Dubai mayoritas pemeluk Islam, seperti halnya orang Pakistan dan Bangladesh.
Namun dalam masalah agama emirat Dubai tak begitu mengekang warga yang non-Islam. Di Dubai, pemeluk Hindu, Kristen,
Buddha dan Sikh bebas memiliki tempat ibadah sendiri dan mereka dapat beribadah secara bebas. Yang tak punya tempat
ibadah bebas pula menggunakan rumah pribadi sebagai tempat ibadah. Cuma, menyebarkan literatur keagamaan untuk
kelompok non-Muslim dilarang. Kalau melanggar bisa dianggap kriminal dengan sanksi ditahan atau yang paling keras
dideportasi. Sejauh ini tak ada gejolak akibat kebijakan ini dan Dubai tetap mempertahankan budayanya yang berdasarkan
monarki keemiratan.
Bagaimana dengan Bali? Penduduk pendatang menyerbu Bali karena angka pertumbuhan di Bali rata-rata di atas nasional.
Ketua BPK Rizal Djalil menyebut angka pertumbuhan di Bali 6,7 % sementara pertumbuhan rata-rata nasional cuma 5 %. Ini
membuat pendatang dari Jawa dan NTB berduyun-duyun ke Bali mengadu rejeki. Ini hukum ekonomi, ketika di daerah
tetangga ekonomi sulit tumbuh dan kesempatan kerja berkurang maka penduduknya pasti memilih daerah yang tumbuh baik.
Dan Bali menjadi tumpuannya.
Sebagai negara kesatuan, Bali tentu tak bisa melarang penduduk pendatang menyerbu ke sini, seperti halnya penduduk Bali
tak bisa dilarang pergi ke luar daerah untuk mencari nafkah. Membatasi penduduk pendatang adalah sia-sia karena tak punya

landasan hukum. Paling banter melarang masuk penduduk yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi, apa
sulitnya mendapatkan KTP? Lagi pula, razia KTP dikenal hangat-hangat tahi ayam, lebih banyak kendor dari ketatnya.
DKI Jakarta pernah membatasi pendatang dengan mengatur bahwa setiap orang yang datang ke Jakarta harus ada yang
menjamin bahwa mereka punya pekerjaan. Artinya, warga yang datang ke Jakarta dalam status menganggur dan baru mencari
pekerjaan, meski pun punya kTP, dilarang masuk. Tetapi itu tak bertahan lama karena landasan hukumnya tak ada. Bagaimana
kalau mereka berdalih piknik, siapa yang membatasi keperluan orang untuk bertamasya? Nah, di Bali mustahil pula hal seperti
itu dilakukan. Justru Bali mengundang banyak pelancong.
Artinya memang sulit membendung penduduk pendatang ke Bali. Lalu bagaimana cara agar budaya Bali yang adiluhung di
masa lalu itu bisa dibendung dari kemerosotan yang terus terjadi? Maka betul sekali, Dubai bisa dijadikan contoh, tapi bukan
contoh buruk. Emirat Dubai yang kini tergabung dalam UEA, yang dirintis oleh keluarga Al Maktoum sejak 1833, berhasil
melanggengkan budaya lokalnya padahal penduduknya hanya 17 %, karena menerapkan aturan bagi pendatang di mana
tanah dipijak di sana langit dijunjung. Artinya, pendatang menyesuaikan diri dan menghormati budaya lokal. Pendatang tidak
mengembangkan budaya yang mereka bawa.
Apa yang terjadi di Bali? Sudah jauh keblablasan. Para pendatang sudah membangun pemukiman dengan cara berdesakdesakan, tak jelas lagi mana ulu dan mana teben. Konsep Tri Hita Karana di Bali sama sekali tak digubris. Meski tahu rumah
tetangganya ada pura keluarga, pendatang bisa membangun rumah dengan jemuran yang bersebelahan dengan pura. Bahkan
lebih tinggi. Mereka tak peduli karena merasa membangun di tanah sendiri, sementara orang Bali juga takut menegur supaya
tak ada keributan.
Pernah dirawat di RS Dharma Usadha Denpasar? Pada dini hari suara adzan subuh begitu kerasnya, sangat mengganggu
pasien. Tak ada toleransi bahwa masjid itu dekat dengan rumah sakit. Di Yogyakarta saja hal ini diperhatikan karena adzan tak
harus keras dan tak ada aturan dalam ajaran Islam harus menggunakan pengeras suara. Kalau tak dekat rumah sakit, tentu
tak masalah.
Banyak contoh lainnya. Berjualan dan mengemis di lampu merah bukan budaya Bali, tetapi itu sekarang merebak di kota-kota
di Bali. Berjualan di kaki lima pun bukan budaya Bali, karena orang Bali menghormati pemilik rumah atau bangunan orang lain.
Sekarang justru orang Bali menyewakan halaman depan rumahnya untuk pedagang kaki lima. Artinya, kesalahan orang Bali
juga sangat besar dalam mengundang pendatang masuk. Lihat saja pada saat lebaran yang lalu, orang Bali sulit membeli sate
dan pecel lele karena pedagang kaki lima pada mudik. Yang terjadi adalah ketergantungan kepada pendapatang, termasuk
pada saat panen padi.
Nah, ini sebaiknya jadi renungan, bagaimana agar budaya Bali tidak luntur. Caranya adalah mengatur para pendatang untuk
menghormati budaya Bali dengan menerapkan di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung dan orang Bali jangan selalu
tergantung kepada pendatang.

Senin,21 Juli 2014 @ 13:36

Bali yang Mendua


Pandita Mpu Jaya Prema
Kalau kita mau kritis menyikapi situasi sosial budaya yang ada di Bali, maka kita menemukan sikap yang sering mendua, baik
itu di kalangan pejabat maupun tokoh masyarakat. Sikap mendua ini bukan saja pada akhirnya kita tak pernah bisa
memutuskan sesuatu secara tuntas, namun bisa pula menjadi suatu perdebatan yang tanpa ujung. Tak ada habis-habisnya
dibicarakan karena memang tak ada penyelesaian.
Mari kita ambil beberapa contoh. Dari soal paling baru, yakni pengenaan peci dan kerudung pada petugas jalan tol yang ada di
Bali. Tentu saja busana itu sangat tidak cocok untuk budaya Bali mengingat jalan tol perairan itu ada di Bali. Tetapi apakah kita
ngotot membawa masalah itu ke masalah agama, yang ujung-ujungnya SARA? Bukankah para pejabat kita suka juga
mengenakan peci? Bahkan Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti dengan penampilan yang keren memakai peci ketika
memutasi ratusan pejabat di lingkungan Pemda Tabanan. Foto ini terpampang di halaman 4 koran Pos Bali terbitan Rabu 16/7
lalu. Di halaman 2 koran terbitan yang sama, ada Kepala Humas Setda Pemda Bali Dewa Mahendra, juga memakai peci
hitam. Peci diperkenalkan oleh Bung Karno sebagai simbol nasionalisme, bukan simbol agama.
Lalu, petugas tol wanita yang katanya memakai kerudung. Pemberitaan rancu karena ada yang menyebutnya jilbab, busana
khas kaum wanita Muslim (Muslimat). Saya tak tahu yang benar, dalam foto di koran pun tak jelas. Kerudung itu beda dengan
jilbab. Kerudung adalah budaya khas sejak zaman Majapahit, bahkan di desa saya, mungkin karena dingin banyak ibu-ibu
yang mengenakan kerudung saat bersembahyang malam hari. Kalau sehari-hari kerudung itu memakai handuk dan
disebut tengkuluk. Kalau saat mebhakti (panca sembah) baru diturunkan kain itu dari kepala. Kerudung ini sangat populer juga

di masyarakat Jawa, tak peduli apa agamanya. Pemakai kerudung rambutnya masih ada yang kelihatan.
Kerudung bukan simbol Islam. Yang simbol Islam itu disebut jilbab. Jilbab itu menutup seluruh aurat dan dalam Islam rambut
dikatagorikan sebagai aurat. Jadi, tak selembar rambut pun boleh nampak. Namun tak semua Muslimat sependapat dengan
ini, sehingga kita saksikan tak semuanya memakai jilbab. Itu tak usah kita polemiknya, ini urusan agama tetangga. Tetapi
kalau yang dipakai pegawai tol cuma kerudung dan bukan jilbab, kenapa harus diprotes dengan membawa nama-nama
agama? Kalau berjilbab baru kita protes karena pegawai itu agamanya Hindu. Jadi, kalau pun mau protes, ya, protes dari sisi
budaya, meski pun kita mendua, juga sering memakainya.
Contoh mendua yang kedua, masalah yang sering saya katakan. Bali memberikan konstribusi ke pusat devisa yang besar
sekali, 41 trilyun. Sementara dana perimbangan dari pusat hanya 950 milyar. Hal ini kembali disinggung oleh Wagub Bali Ketut
Sudikerta ketika membuka Pementasan dan Peragaan Seni Budaya Bali di Taman Budaya 13/7 lalu. Sangat tak adil. Namun,
pemerintah pusat tahu, karena devisa asalnya dari pariwisata maka dikucurkanlah dana pariwisata melalu proyek
kepariwisataan jangka panjang yakni lewat 11 KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Ternyata dana itu mau ditolak.
Kalau curiga pusat akan mendatangkan investor dan membangun fasilitas kepariwisataan yang merusak kawasan wisata
religius itu, kenapa tidak memperkuat Perda Lingkungan, memperketat izin dan sebagainya. Kalau ragu pejabat di Bali (entah
itu Gubernur atau Bupati) bisa disetir investor, pengawasan di DPRD difungsikan maksimal. Kalau pun masih ragu DPRD dan
Pemda kongkali kong, bisa diawasi oleh LSM, lembaga adat, lembaga agama. Jadi, pengawasan yang diperketat dan bhisama
kesucian pura yang ditegakkan, bukan uangnya yang ditolak. Daerah lain berlomba-lomba menanti uang itu.
Contoh ketiga, soal listrik yang mandiri untuk Bali. Semua orang tahu bahwa Bali sangat tergantung pasokan listrik dari Jawa.
Bali belum punya pembangkit listrik yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan Bali. Semua orang juga tahu dengan
ketergantungan dari Jawa banyak masalah yang muncul. Ada kabel laut yang rentan dengan kerusakan dan kalau itu terjadi
perlu butuh waktu lama untuk memperbaiki. Nah, ketika listrik di Bali padam total, semua orang ribut, menyalahkan PLN yang
tak memberi tahu sebelumnya. Bagaimana memberitahu kalau jaringan yang rusak itu secara tiba-tiba di Pulau Jawa?
Bali perlu listrik secara mandiri. Awalnya dilirik panas bumi di Bedugul. Sudah diuji coba dan sudah menghasilkan listrik yang
cukup memadai kalau proyek itu diteruskan. Tetapi para sulinggih keberatan karena itu kawasan suci. Penggiat lingkungan
juga menolak karena itu hutan lindung. Akhirnya Pemda pun sepakat menolak bersama DPRD. Bahkan pekan lalu ditegaskan
lagi oleh Kepala Humas Pemda Bali agar lebih jelas. Maka mubazirlah proyek yang dulu diberi izin itu.
Gagal di Bedugul, PLN berusaha menambah mesin di pembangkit Sanggaran lewat anak perusahaannya Indonesia Energi.
Kabarnya mesin sudah siap datang, masyarakat Sanggaran melakukan protes keras. Baliho penolakannya berbulan-bulan
dipajang di perempatan Benoa. Ya, tentu riskan kalau proyek trilyunan itu diteruskan dengan mendapat penentangan dari
masyarakat.
Sejumlah pengusaha merancang pembangkit listrik di kawasan Bali Timur, sekitar perairan Klungkung-Karangasem dengan
memakai bahan batubara. Dipilih perairan ini karena akan membangun pelabuhan yang bisa bersandar kapal-kapal besar
pengangkut batubara. Tetapi proyek ini juga ditentang dengan alasan akan mencemari lingkungan. Kalau lingkungan cemar
maka kepariwisataan di daerah itu terganggu. Batal lagi.
Pembangkit listrik di Pemaron juga harus diperbesar kalau Bali ingin menambah daya. Tetapi Pemaron itu sangat dekat
dengan kota Singaraja dan akan menggusur wilayah pemukiman padat. Tak memungkinkan. Lalu ke mana lagi? Terpaksa
yang dilirik hanya Celukan Bawang dan Gilimanuk, ini pun dengan berbagai kendala yang rumit karena faktor lingkungan.
Artinya, kita ingin listrik cukup di Bali, tapi jangan merusak lingkungan. Lantas mau dibangun di mana dong, sementara kalau di
Jawa mereka juga tak mau lingkungannya dirusak hanya untuk memasok listrik di Bali. Selain ada kendala jarak karena
dibatasi laut. Mau membangun jembatan laut Gilimanuk-Ketapang? Wow, orang Bali pasti paling cepat teriak-teriak. Coba kita
hilangkan sikap mendua. Kalau kita butuh sesuatu harus ada yang jadi korban dan mari cari korban terkecil. Protes boleh, tapi
apa solusinya?

Senin,14 Juli 2014 @ 11:30

Memfungsikan Taman Budaya


Pandita Mpu Jaya Prema
Pesta Kesenian Bali (PKB) sudah berakhir. Akankah Taman Budaya atau yang biasa disebut Art Centre di Jalan Nusa Indah
Denpasar, kembali sepi? Akankah gedung-gedung yang megah itu kembali kusam dan berdebu karena tak ada kegiatan apaapa?

Untuk sementara jawabannya adalah: Tidak. Sebelum PKB secara resmi ditutup, hari Minggu kemarin dilangsungkan
pembukaan Peragaan dan Pementasan Seni Budaya Bali tahun 2014 yang juga berlangsung sebulan, sampai 13 Agustus
yang akan datang. Kegiatan seni yang diprakarsai Institut Seni Indonesia (ISI) ini dibuka oleh Wakil Gubernur Bali Ketut
Sudikerta. Wagub Sudikerta di sela-sela membacakan sambutan tertulis Gubernur juga menyinggung bagaimana cara
memfungsikan Taman Budaya agar bangunannya tidak kusam. Sudikerta menyebutkan Taman Budaya bisa untuk berbagai
kegiatan seperti seminar, judisium atau tempat wisuda berbagai perguruan tinggi, pameran kerajinan dan seni.
Rektor ISI Denpasar Dr I Gede Arya Sugiarthatelah menjawab tantangan ini dengan menggelar kegiatan budaya yang sejalan
dengan program Bali Mandara di bidang kebudayaan. Bagaimana bentuk peragaan dan pementasan itu tentu harus kita lihat
selama sebulan ke depan. Namun dari sambutan Rektor ISI tersirat bahwa pementasan selama sebulan pasca PKB ini akan
diisi oleh sanggar-sanggar seni atau kelompok seni pedesaan tanpa lagi menyandang predikat mewakili sebuah kabupaten.
Jadi sanggar-sanggar itu mandiri.
Lalu bagaimana dengan PKB sendiri? PKB yang sudah memasuki tahun ke 36 ini tentu dinyatakan berakhir dan akan kembali
lagi digelar tahun depan. Dengan segala kerutinannya, sejak dari acara pembukaan, program-program acara, kisruh soal harga
stand pameran dan tentu saja yang sangat sulit diatasi adalah masalah parkir. Gubernur Bali Made Mangku Pastika sudah
secara pasti mengatakan bahwa kegiatan sebesar PKB sudah tak mampu lagi didukung oleh kawasan Taman Budaya
Denpasar yang makin sumpek dan tak punya lahan parkir itu. Mangku Pastika mengajak kita untuk berpikir, di mana mencari
lahan yang tepat untuk PKB.
Sesungguhnya sejak lama ada usul bagaimana kalau PKB tidak selalu dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Kenapa PKB
tidak digilir saja ke sembilan kabupaten/kota sehingga seluruh masyarakat Bali secara bergilir menikmati PKB dengan segala
permasalahannya? Itu dengan catatan wujud PKB seperti saat ini, ada pentas seni, ada pameran kerajinan, dan ada stand
makanan. Tetapi ada usulan yang lebih serius dan terasa berat yakni, kenapa tidak dipisahkan saja kegiatan seni tradisi, seni
pelestarian, seni kontemporer termasuk memisahkannya dengan pameran seni dan kerajinan? Kalau dijabarkan usulan itu
adalah ada yang bernama Pekan Budaya sebagai sebuah ajang pementasan seni bermutu dengan Pesta Seni sebagai arena
pementasan seni pop, sementara kegiatan pameran kerajinan itu dibuat tersendiri. Atau pameran kerajinan dengan seni pop
bisa saja digabung.
Jika ada wacana PKB mau digilir ke kabupaten-kabupaten tentulah wajah PKB itu seperti sekarang ini, ada berbagai
pementasan seni dari yang pop sampai yang tradisi termasuk seni yang berstatus dalam pembinaan. Sementara itu Pekan
Budaya hanya menampilkan puncak-puncak kreatifitas seniman selama waktu tertentuk, misalnya, setahun terakhir. Puncakpuncak kreatifitas seni itu tak terbatas, bisa seni tari, seni drama, kontemporer. Dan Taman Budaya inilah tempat yang pas
untuk Pekan Budaya itu.
Kalau PKB digilir dan keluar dari kandang Taman Budaya selain akan ada napas baru belum tentu juga lebih bagus akan
ada kesibukan yang terbagi. Keterlibatan orang bisa pula digilir sehingga menghilangkan kesan rutin. Jadi coba pindahkan
PKB ke Taman Ayun Mengwi, atau ke kota Tabanan, atau ke Negara, Singaraja dan sebagainya. PKB jadi tidak hanya milik
warga Denpasar, tetapi jadikan PKB milik warga Bali.
Pemindahan PKB ini juga bisa mengukur sejauh mana masyarakat punya apresiasi seni. Ketika PKB diselenggarakan di
Singaraja, misalnya, pada saat itu akan diukur, benarkah penduduk Denpasar dan sekitarnya punya apresiasi seni yang tinggi?
Kalau punya, mereka akan berbondong-bondong ke Singaraja. Kalau tidak, selama ini masyarakat Denpasar dan sekitarnya
hanya datang ke PKB karena iseng atau sekedar jalan-jalan melihat "orang ramai" sambil membeli makanan.Bukan melihat
kesenian.
Kalau PKB suatu waktu digelar di Singaraja, misalnya, semangat berkesenian di Bali Utara akan semakin terangsang. Ada
rasa lebih memiliki PKB bagi seniman daerah. Akanmuncul kelompok-kelompokseni yang mencoba bentuk-bentuk kesenian
moderen dengan akar tradisi, suatu hal yang banyakdilakukan seniman Bali Utara. Begitu pula kalau PKB digelar di Bali Barat,
pasti seniman-seniman Jembrana akan bergairah.
Nah, sementara PKB digilir atau dicarikan tempat yang lebih luas dan memadai, maka Taman Budaya Denpasar dijadikan
pusat pengembangan budaya yang bermutu dengan menyelenggarakan semacam Pekan Budaya, baik yang bertarap nasional
maupun yang bertarap internasional. Taman Budaya akan menjadi rumah budaya para seniman kreatif dan jadi pusat dialog
kebudayaan yang bergengsi.
Keberadaan Taman Budaya yang bersebelahan dengan kampus ISI Denpasar semakin memungkinkan Taman Budaya
menjadi rumah budaya yang terpandang. Tinggal bagaimana menyusun jadwal seni apa yang ditampilkan dan tentu dialog
budaya dengan berbagai seniman dari segala penjuru ditingkatkan. ISI Denpasar bisa berperan besar karena mereka punya
mitra di berbagai kampus seni.
Apakah Peragaan dan Pementasan Seni Budaya Bali tahun 2014 yang dibuka kemarin menjadi cikal bakal dari menjadikan
Taman Budaya sebagai rumah budaya? Digilir atau tidaknya PKB, begitu pula apakah PKB dipindahkan ke tempat lain atau
tidak, kegiatan yang diprakarsai ISI Denpasar ini adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Minimal Taman Budaya jadi
berfungsi setiap waktu.

Senin,07 Juli 2014 @ 02:50

Mari Membicarakan Arja


SAAT ini memasuki masa tenang karena dua hari lagi pemilihan presiden sudah dilakukan. Segala bentuk kampanye dilarang
dan kalau ada yang melanggar akan kena tindak pidana. Teorinya seperti itu, entah kalau memang tegas dilaksanakan.
Di masa tenang ini ada baiknya berjalan-jalan ke Pesta Kesenian Bali. Kita bisa dihibur oleh tari joged dengan pengibingnya
yang banyak lucu. Atau menonton pergelaran topeng yang serius. Atau menonton gong kebyar yang tetap ramai penonton
meskipun statusnya tidak lagi dilombakan, cukup diparadekan saja.
Bagaimana kalau kita menonton arja? Masih ada arja dari sekehe sebunan (dari satu desa tertentu) yang pentas di wantilan
dengan penonton yang sepi. Memang, kesenian ini menuntut pemainnya serba bisa. Bisa menari dan bisa menembang.
Karena itu sangatlah sulit. Lagi pula drama tari yang dikenal sebagai opera dari Bali ini sudah kehilangan penggemar di
kalangan anak-anak muda. Satu-satunya arja yang masih punya penggemar banyak adalah arja Keluarga Kesenian Bali (KKB)
RRI Denpasar. Namun, arja yang didukung pemain profesional ini sudah pentas di PKB. Tak ada pementasan yang kedua.
Yang unik dari arja KKB RRI Denpasar adalah pemainnya sudah pada tua. Pemain pun mengakui hal itu di pentas dengan
menyebut sudah pada punya cucu. Kalau pengkaderan macet, bisa jadi teater arja akan surut dan mungkin mengikuti
kematian drama tari gambuh yang dikenal sebagai ibunya drama tari Bali. Dalam sejarah tari arja hanya KKB RRI Denpasar
yang bisa melestarikan kesenian itu. Sebelum tahun 1970-an dikenal dengan nama Arja Bon Bali karena pemainnya dari
berbagai daerah. Penamaan ini untuk membedakan dengan arja sekehe sebunan yang dimiliki oleh desa tertentu.
Arja Bon Bali kemudian berubah nama menjadi Arja Candra Metu RRI Denpasar. Selain memenuhi pentas di berbagai desa,
secara rutin mereka menggelar pertunjukan di panggung yang dibuat di kompleks stasiun RRI Denpasar di Jl. Melati. Bahkan
gedungnya itu diberi nama Chandra Metu. Demikian populernya, nama-nama seperti Ribu, Sadru, Monjong, Ida Bagus Buduk,
Jero Suli menjadi buah bibir di masyarakat.
Generasi itu diganti dengan generasi yang sekarang ini dengan memakai nama dinas yakni Keluarga Kesenian Bali. Karena
di daerah lain namanya juga begitu, misalnya, Keluarga Kesenian Jawa RRI Yogya. Kenapa kelompok ini bisa eksis? Karena
arja RRI secara rutin disiarkan lewat radio pada hari minggu pukul 10.00 sampai 12.00 Wita. Sudah puluhan tahun siaran ini
tetap ada dan masih tetap ajeg sampai saat ini.
Jika saat ini pemainnya sudah tua, penyebabnya adalah soal pengkaderan karyawan di lembaga publik RRI itu. Lembaga
penyiaran ini mengalami pasang surut dan menjadi karyawan bukannya sesuatu yang mudah. Dilema ini membuat kesenian di
RRI mana pun mengalami masalah. Pemain arja yang tergabung dalam KKB RRI itu adalah karyawan RRI. Sehari-hari mereka
juga mengisi siaran yang bukan arja, misalnya, acara dagang gantal, kembang rampai, tembang penasar dan berbagai bentuk
seni lain.
Senimankaryawan yang ada di RRI Denpasar begitu pula di RRI Yogya, Semarang, Bandung -- terus berkurang. Tidak ada
kaderisasi karena tak ada pengangkatan pegawai baru, sementara pegawai yang pensiun tak bisa ditunda. Ini bukan kisah
sedih RRI Denpasar saja, di seluruh RRI juga bernasib sama setelah induk lembaga penyiaran yang dulu berada di
Departemen Penerangan dibubarkan pemerintah. RRI Yogyakarta, RRI Surakarta dan RRI Semarang yang sangat dikenal
masyarakat Jawa karena siaran seni tradisionalnya, mengalami nasib sama dengan RRI Denpasar. Cuma di Jawa kelompok
seniman yang mengisi acara di RRI itu dibantu oleh pemerintah daerah. Ini mengingat pesan yang disampaikan lewat radio
tak cuma menghibur, tetapi banyak pesan-pesan moralnya. Kalau kita perhatikan siaran arja RRI Denpasar setiap hari minggu
dan acaratembang penasar setiap Sabtu, pesan moralnya sangat bermutu. Apakah pemerintah daerah Bali sudah membantu
mereka? Entahlah.
Kembali ke teater arja. Pertanyaan besarnya adalah jika pengkaderan di RRI Denpasar macet, bagaimana nasib kesenian ini?
Terbukti arja sekehe sebunan maupun kelompok sanggar tak berhasil mengangkat arja, padahal sudah dibina dan diberi
panggung di PKB.
Sementara itu pembaruan yang dilakukan oleh seniman profesional belum berhasil mengangkat teater arja. Prof. Dr. I Wayan
Dibia lewat sanggarnya Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu, berkali-kali melakukannya. Pada karya
pertamanya, Ketemu Ring Tampaksiring, seniman akademis ini memperkenalkan dua pembaruan. Pertama, soal cerita. Jika
selama ini arja mengambil lakon Panji dan cerita rakyat Bali, kali ini memakai karya sastra moderen, cerita pendek karangan
Made Sanggra. Kedua, pelaku utama yakni pemeran wartawan Belanda tidak memposisikan dirinya sebagai Mantri Manis,
tetapi memakai kostum moderen dan dialog tanpa tembang. Memang terasa janggal Punta dan Wijil mengiringi penari berjas
dan berdasi itu. Kejanggalan ini akhirnya menjadi pemanis pentas karena pemeran wartawan itu adalah Made Sidia yang
memang seorang penari dan dalang. Jadi, meski pakaiannya moderen, ia tahu angsel gamelan dan tahu bagaimana
merespon tembang pemain lain.
Karya kedua Wayan Dibia adalah Prabu Adhipusengara. Ini adaptasi dari lakon teater klasik Eropa yang sangat
legendaris, Odipus Sang Raja. Pentas ini berhasil baik, cuma saja banyak penonton tak paham alur ceritanya, kalau tidak

mengikuti pementasan sampai akhir, apalagi kalau penontonnya tak mau berpikir. Masalahnya, Wayan Dibia mengubah judul
lakonnya, kalau saja dia tetap memakai judul Odipus Sang Raja, barangkali penontonnya lebih siap.
Karyaketiga Wayan Dibia memakai bentuk arja doyong, sebuah pentas arja yang busananya tidak seperti arja klasik. Lakonnya
tetap karya sastra moderen, yaitu Sukreni Gadis Bali karya sastrawan Panji Tisna. Yang tetap dipertahankan Wayan Dibia
adalah cara keluarnya penari (pepeson), agem tari dan tentu saja tembang. Ketika dipentaskan ternyata respon penonton juga
kurang.
Kalau pembaruan Wayan Dibia dianggap belum berhasil sementara arja klasik yang ada di RRI Denpasar tinggal menunggu
pensiun akankah arja seperti gambuh atau wayang wong hilang begitu saja?

Senin,30 Juni 2014 @ 07:24

Sanksi Adat Untuk Pendatang


Pandita Mpu Jaya Prema
KASUS pembunuhan yang dilakukan secara mutilasi (mayat korban dipotong-potong oleh pelaku) yang menggemparkan
masyarakat Klungkung menyisakan persoalan baru yang sesungguhnya sudah lama menjadi masalah. Yakni, bagaimana
memberikan sanksi adat kepada pelaku yang kebetulan tidak beragama Hindu dan juga tidak terdaftar sebagai warga adat di
sebuah pemukiman di Bali. Para pendatang itu selama ini tak menikmati sanksi atau hukum adat karena memang tak
terdaftar sebagai warga adat. Kalau pun mereka tercatat secara administrasi kependudukan, statusnya penduduk desa dinas.
Setelah kejadian mutilasi di Klungkung orang seperti baru disadarkan bahwa persoalan itu sungguh mengerikan. Ketakutan ini
akan menjadi trauma berkepanjangan jika tidak dilakukan langkah-langkah untuk membersihkan pawongan yang sudah mulai
dicemarkan oleh darah dan bangkai manusia. Apakah itu pembersihan secara sekala(kasat mata) maupun
secara niskala (kerohanian). Yang terakhir ini menjadi masalah karena pelaku maupun korban adalah pendatang dan bukan
beragama Hindu.
Untunglah, mereka tinggal di sebuah kos-kosan, bukan rumah pribadi. Jadi persoalan bisa dibuat lebih sederhana dengan
memberi beban kepada pemilik rumah kos untuk melaksanakan ritual pembersihan. Bahkan karena potongan mayat korban
berpencar, Pemda Klungkung turun tangan dengan melaksanakan pecaruan manca sata (dengan lima ayam warna-warni) di
tempat-tempat di mana potongan mayat ditermukan. Sedangkan pecaruan yang besar dengan tingkatan labuh gentuh akan
dipusatkan di perempatan agung (catus pata) Klungkung.
Bagaimana kalau misalnya pembunuhan itu terjadi di rumah pribadi yang penghuninya bukan beragama Hindu, sementara
wilayah di mana rumah itu dibangun berada dalam suatu kawasan desa adat yang bercirikan Tri Kahyangan? Lalu bagaimana
kalau penghuni rumah dan keluarga besar mereka tak mau melakukan upacara pecaruankarena itu tidak dikenal dalam ajaran
agamanya? Ini persoalan yang belum pernah dibicarakan secara terbuka. Kita belum pernah membahas bagaimana status
pemukiman umat non-Hindu jika itu berada di kawasan desa adat. Bahkan yang lebih kecil dari itu, bagaimana status keluargakeluarga non-Hindu yang tinggal di wilayah desa adat?
Warga adat terikat dengan awig-awig (peraturan adat). Awig-awig di setiap desa adat bisa berbeda dengan desa adat yang
lain, meski pun penyeragaman terus-menerus diupayakan. Kalau ada warga adat yang menyimpang dari awig-awig bisa
dikenakan denda. Malah kalau penyimpangan itu dianggap besar dan desa adat itu kaku melaksanakan awig-awig bisa kena
hukum yang sangat berat, yaknikesepekang(dikucilkan).
Tapi bagaimana dengan pendatang yang tinggal di desa adat itu? Orang Bali sangat toleran, mereka hampir tak
tersentuh awig-awig. Jenis pekerjaan yang disebut ayah-ayahan di desa adat tak selalu berkaitan dengan ritual, ada yang
tidak. Misalnya membersihkan lingkungan. Tapi apa pernah pendatang itu kena denda karena tak ikutngayah membersihkan
got? Sementara warga adat diabsen (istilah di desa: cacak), siapa yang tak turun kerja didenda. Pernahkah ada pedagang
pecel lele atau penjual sate yang kena denda apalagi sampai kesepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada pendatang.
Di sebuah desa adat yang jauh dari kota (sayatak ingin menyebut nama desanya)ada tiga keluarga pedagang baksoasal Jawa.
Mereka sudah sepakat ikut kegiatan di desa, apapun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali pendatang
dari Jawa itu tak ikut kerja bhakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang ada upacaraadat.Kerja bhakti
itu tak ada urusan dengan upacara agama, ini semata-mata untuk keindahan desa. Sementara pendatang asal Jawa itutak
bisa kerja bhakti (ngayah)karena mencari penghasilan. Prajuru (pemimpin) adat memaklumi hal itu dan mereka tak kena
denda.
Lalu, di suatu hari, seorang warga adat yang Bali dan Hindu tidak ikut ngayahmemperbaiki selokan, alasannya mendadak
diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat.Artinya juga karena pekerjaan mencari penghasilan.Tapi prajuru
adat langsung mengenakan denda.Apakah itu adil? Pro kontra terjadi. Akhirnya konsep ngayahpun dikembalikan ke asalnya,
yakni kerja bhakti berdasarkan keihklasan tanpa dikenakan denda. Akibatnya, setiap ada kerja bhakti membersihkan

lingkungan banyak yang absen. Semua beralasan mencari penghasilan.


Ada banyak hal yang tak masuk akal dalam urusan adatkalau dilaksanakan dengan kaku. Ada sebuah desa di Bali yang
melarang warganya membawa jenasah di jalan umum yang berada di depan Pura Puseh. Dulu jalan itu adalah Jaba Pura dan
dianggap suci. Sekarang, ketika Jaba Pura itu sudah menjadi jalan raya, kesuciannya mau dijaga. Dalamawig-awig adat
disebutkan larangan membawa jenasah di jalan raya depan pura itu. Akibatnya, warga desa tak boleh membawa jenazah lewat
sana, sementara warga desa lain bebas menggunakan jalan raya itu. Uniknya lagi ada pendatang yang tinggal di sana bisa
lebih bebas lagi.
Ada cerita yang lucu, ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten Tabanan. Pada saat panen padi, seperti umumnya yang terjadi,
pemanen adalah pendatang dengan menggunakan tenda-tenda kecil seperti orang berkemah. Maklum orang Bali sudah tak
mau ambil pekerjaan ini. Di suatu malam pemilik sawah memergoki pasangan pendatang itu melakukan hubungan suami istri
di tenda yang kecil. Pemilik sawah marah karena pasangan itu bukan suami istri, lagi pula tenda itu sedang berdiri di hulu
sawah yang ada sanggah. Pemilik sawah merasa kesucian sudah cemar di sawah itu. Akhirnya dilakukan
upacara pecaruan dan itu dibiayai sendiri karena tak mungkin membebankan kepada buruh pendatang. Jadi,
yangmecaru pemilik sawah, yang nikmat adalah buruh-buruh pendatang itu.
Perlu disusun semacam pedoman apa kewajiban pendatang yang tinggal dan mencari pekerjaan di wilayah desa adat. Dan itu
disosialisasikan kepada pendatang agar mereka maklum apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. (*)

Senin,23 Juni 2014 @ 09:49

Bali Bangkit dan Hebat


Pandita Mpu Jaya Prema
PEMILU presiden tinggal belasan hari lagi. Siapa pun yang terpilih, apakah Prabowo dengan slogan Indonesia Bangkit atau
Joko Widodo dengan slogan Indonesia Hebat, Bali harus mengambil kedua-duanya. Bali harus bangkit dan hebat. Saat ini
warga Bali sudah banyak kalah di berbagai bidang dan harus bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Bahkan bangkit dari
keterpurukan, meski pun belum parah benar.
Pertanian Bali harus tetap dijaga kelangsungannya, betapa pun daerah ini disebut sebagai ikon pariwisata di Indonesia.
Kabupaten Tabanan sebagai lumbung beras harus mampu bertahan setidaknya tak sampai kekurangan beras sehingga
didatangkan dari kabupaten lain atau bahkan dari luar Bali. Begitu pula hasil pertanian di luar beras, kopi, jeruk, salak dan
buah-buah lain harus mampu berswasembada.
Apa itu mungkin atau pertanyaan yang lebih tajam, apa Bali bisa memenuhi kebutuhannya dalam bidang pertanian? Selama ini
tidak, ketergantungan kita pada daerah lain sangat besar. Lihatlah di Pasar Batu Kandik perbatasan Denpasar-Badung. Setiap
hari puluhan truck pengangkut pisang datang dari Jawa. Bukan cuma pisang, hampir semua kebutuhan ritual keagamaan
orang Bali sudah didatangkan dari Jawa.Janurdan bungasemuanya didatangkan dari luar Jawadan buah-buahan malah eks
impor yang memenuhipasar swalayan. Juga ayam dan itik. Jadi, bukan saja hasil pertanian di Bali yang tak bisa memenuhi
kebutuhan orang Bali, juga hasil ternaknya belum memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dalam program Bali Mandara telah dipopulerkan kembali berbagai usaha untuk kembali menggarap sektor pertanian,
misalnya, dalam program Simantri. Tetapi hasilnya belum nampak secara signifikan. Bahkan lahan pertanian di Bali terus
menerus berkurang karena kebutuhan akan rumah karena penduduk bertambah dan sarana yang menunjang pariwisata.
Harus ada upaya untuk mempertahankan lahan pertanian agar tidak susut, dan harus ada gerakan yang besar untuk
kebangkitan sektor pertanian di Bali.
Selain masalah pertanian, revolusi mental juga harus dilakukan kalau kita ingin bangkit dan menuju daerah yang hebat.
Orang-orangBali terlanjurdisanjung sebagai orang yang berbudaya tinggidan sangat taat menjalankan ritual yang diwariskan
leluhurnya. Sanjungan ini memabukkan, maka kalau terjadi bencana di Bali termasuk misalnya saat bom meledak di Kuta -penyelesaiannya selalu ritual: mecaru, melabu gentuh, mulang pekelem, dan berbagai ritual lainnya. Ingat ketika bom Bali
pertama meledak di Kuta diadakan upacara Karipubaya. Pada saat air danau surut diadakan ritual Wanakertih.Semuanya
memakan biaya yang besar, dan tentu saja sarananya kebanyakan datang dari Jawa pula, karena pertanian Bali tak mampu
mendukung sarana untuk banten itu. Ritual itu sah saja, namun kalau bisa tentu dibuat lebih sederhana. Yang sering dilupakan
adalah kenapa tidak mengadakan penghijauan untuk menahan air hujan sehingga danau tak cepat surut.
Orang Bali disanjung sebagai seniman.Dan seniman harus menjaga penampilannya sehari-hari. Sementara itu datang orang
luar Bali mencari peluang, masuk ke sektor riil dan sektor informal. Mereka berdagang di trotoar, mendirikan tenda di terminal,
membawa rombong keliling desa. Yang dijual bakso, jagung rebus, pecel lele, bahkan pisang goreng yang seharusnya bisa
dikerjakan orang Bali. Namun karena orang Bali dipuji sebagai seniman yang harus menjaga penampilannya, maka sektor

informal itu seolah-olah tabu dilakukan.


Ini termasuk penyakit mental yang harus dilawan dengan gerakan besar semacam revolusi mental seperti proram capres
Joko Widodo. Orang Bali tak mau merambah sektor informal itukarena malu dan gengsi. Akibatnya terjadilah fenomena yang
kini mulai dirasakan, orang luar Bali berjualan bakso untuk membeli tanah Bali, dan orang Bali menjual tanah untuk membeli
bakso. Lihatlah pemukiman baru yang dikembangkan perusahaan proverti di pedesaan, rumah-rumah yang kecil dengan tanah
satu are banyak diminati kaum pendatang.
Lalu fakta lain yang perlu dipelajari. Orang luar Bali jarangyang berbelanja ke warung orang Bali, mula-mula atas nama agama,
namun sesungguhnya yang terjadi adalah solidaritas sosial yang sengaja mereka bangun. Untuk menandakan mana warung
Bali dan mana warung luar Bali mereka membikin tulisan: Soto Lamongan, Siomay Bandung, Pencel Madiun, yang terbanyak
Warung Muslim dan Warung Jawa. Adapun orang Bali sendiri, tetap berbelanja di mana saja, tanpa ada fanatisme agama dan
kesukuan. Akibatnya, pedagang kaki lima pendatang cepat kaya dan membeli tanah-tanah kapling, mengundang saudaranya
ke Bali, sementara warung-warung Bali sepi tak berkembang.
Pakaian orang Bali dalam melaksanakan ritual juga diatur bisnis luar. Dengan dalih orang Bali pencinta seni, maka kain poleng
yang dulu hanya hitam putih, sekarang sudah banyak versinya, poleng dengan variasi warna lain. Ini semuanya produksi
pabrik tekstil di Bandung, plus brokat tembus pandang produksi Jakarta dan Semarang. Kain tenun endek Gianyar, songket
Klungkung, dan sebagainya sudah bangkrut. Jarangdijumpai orang Bali memakai baju endek ke pura seperti dulu.
Kita tidak tahu siapa presiden yang akan terpilih pada pemilu presiden bulan depan. Kita hanya bisa menduga saja dan itu pun
terbius oleh kampanye kedua pasangan yang selalu menyatakan diri lebih unggul dari lawan. Tetapi siapa pun yang terpilih
para tokoh-tokoh Bali, pejabat pemerintah, pemimpin partai dan politikus, harus menyadari bahwa Bali perlu bangkit untuk
mempertahankan budaya, namun dilandasi oleh kemandirian. Kalau kemandirian itu bisa kita rebut kembali, maka Bali akan
menjadi hebat. Jadi, mari bangkit bersama-sama untuk menuju kehebatan itu. (*)

Senin,16 Juni 2014 @ 09:45

PKB dan Ritual Hindu


Pandita Mpu Jaya Prema
Pesta Kesenian Bali (PKB)sudah digelar dantahun ini mengambil tema Kertha Masa. Ini istilah khas petani dalam hal
kesepakatan bercocok tanam, tapi sekarang diartikan sesuai dengan kata-katanya. Jadilah masa kesejahtraan. Apalah arti
tema, karena PKB sudah punya tradisi mengambil tema yang bahasanya sulit, padahal tak selalu pentas kesenian
menyesuaikan dengan tema itu. Dulu ada tema Sang Kala, Yadnya Cakra dan sebagainya, tetapi penjabarannya di pentas seni
tak nampak.
Tahun ini PKB memasuki usia ke 36, usia yang sudah matang dan seharusnya banyak belajar dari pengalaman yang sudahsudah. Tetapi kesan rutinitas tetap saja ada. Lihatlah pawai pembukaan PKB pada Jumat lalu, sangat sederhana, tak ada
kejutan, bahkan terkesan lesu. Apakah ini bertepatan dengan kampanye pemilihan presiden sehingga konsentrasi terbagi, atau
karena memang sudah kehilangan ide-ide besar karena sudah dianggap rutin. Kalau pun ada yang segar justru penampilan tim
dari Kodam Udayana yang mengawali pawai. Kalau tak keliru, ini untuk pertama kalinya prajurit Kodam Udayana memeriahkan
pawai pembukaan PKB. Bahkan tema yang diusungnya adalah kebhinekaan. Sesuatu yang patut diapresiasi pada saat
kebhinekaan mulai luntur akibat berbagai gempuran.
Selebihnya tak ada hal yang baru. Kontingen kabupaten masih mengusung sarana persembahan ke pura seperti nyuwun
pajegan. Kabupaten Tabanan masih menampilkan seni okokan. Bahkan Kodya Denpasar menggelar tradisi ritual ngurek.
Sesuatu yang seharusnya sakral tetapi dijajakan di jalan-jalan.
Mandegnya kreatifitas dalam PKB sudah nampak sejak PKB Kabupaten dan Kota digelar beberapa waktu yang lalu. Tak ada
greget apa-apa, tak ada daya tarik yang bisa membuat orang berbondong-bondong menyaksikan pentas seni di PKB
Kabupaten. Bahkan beritanya pun nyaris sepi karena media massa tak mendapat kabar yang layak untuk diberitakan.
Sudah memasuki tahun ke 36, PKB masih juga menggelar seni yang sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan agama,
bahkan ritual itu sendiri. Apa yang dulu pernah dipisah dengan jelas antara seni sakral dan seni profan seperti tak ada garis
sekarang ini. Memang, ritual Hindu di Bali berkaitan erat dengan kesenian, tetapi seni ritual tak sepatutnya dijajakan dengan
cara-cara murahan.
Hampir rutin di PKB ada lomba yang berkaitan dengan ritual agama Hindu. Misalnyaada lomba berbusana ke pura. Untuk apa
dikaitkan dengan kesenian? Seolah-olahmengajakorang datang ke pura untuk memamerkan mode pakaian, sehingga mode
ini perlu diperlombakan. Ini salah kaprah yang akan berdampak besar bagi perkembangan agama Hindu di kemudian hari.

Akan ada anggapan seperti yang sudah terjadibelakangan inidi Bali bahwake pura harus memakai pakaian adatseperti yang
ada dalam perlombaan itu.Padahal orang ke pura bertujuan sembahyang, dan pakaian apapun yang dikenakan asal bersih
dengan hati yang tulus, bisa dibenarkan secara agama. Tidak harus memakai kain brokatdengan model tertentu, apalagi brokat
tembus pandang yang justru menyalahi norma agama. Tak harus memakai pakaian model safaribagi lelaki.
Kesalah-kaprahan ini akhirnya berdampak buruk, yakni orang Hindu etnis Bali tidak akan merasa sreg bersembahyang ke pura
kalau tidak sedang berpakaian adat. Ini yang menyebabkan orang Bali kelihatan malas bersembahyang. Lihat saja di kantorkantor atau sekolah, berapa banyak pegawai atau guru-guru yang datang ke pura di lingkungan kantor dan sekolah itu pada
siang hari untuk melaksanakan Puja Trisandhya? Karena mereka mengira bersembahyang itu harus berpakaian adat. Pura di
perkantoran akhirnya tak berfungsi setiap hari, hanya ada persembahyangan kalau piodalan. Beda betul dengan keberadaan
mushola di perkantoranyang tiap hari difungsikan.
Dengan asumsi itu, PKB bisamengajarkan sisi-sisi negatif bagi perkembangan agama Hindu. Apalagi pada saat
pembukaannya, selalu ada tontonan orang membawa pajegan ke pura, atau tari-tarian sakral yang hanya ada di pura tertentu.
Kita secara tidak sadar telah melecehkan ritual agama dengan menjatuhkan martabatnya sebagai barang tontonan. Orang luar
boleh menonton umat Hindu di Bali pada saat melaksanakan ritual, tetapi akan menyedihkan sekali jika orang Bali sengaja
mempertontonkan ritual agamanya itu pada saat yang bukan sesungguhnya ritual.
PKB seharusnya memberikan inspirasi bagi perjalanan budaya agama Hindu di Bali. Kesenian yang muncul dalam PKB
semestinya memberi arti yang lebih dalam terhadap ajaran Hindu itu sendiri. Contohnya adalah terciptanya tari bernuansa
religius tetapi tidak sakral seperti Siwa Nitiprajadi masa lalu. Atau digarapnya fragmen yang penuh dengan nuansa Hindu
seperti Sutasoma, petikan Mahabharata, dan sebagainya. Jadi bukan mementaskan baris gede yang sudah sakral, atau
mempertontonkan rangda apalagi disertai orang ngurek di hadapan pejabat-pejabat yang hadir.
PKB baru berjalan tiga hari, kita tak tahu kesenian apa yang menjadi bintangnya, dan pola apa yang diambil pemerintah untuk
memajukan kesenian. Sepertinya, karena rutinitas menjadi penyakit kronis, acara kesenian tak beranjak dari tahun-tahun lalu.
Ada parade gong kebyar anak-anak, gong kebyar dewasa dan gong kebyar wanita. Ada seni pop seperti joged bumbung dan
lagu-lagu Bali. Drama gong yang dulu sempat populer sudah kehilangan penggemar karena seniman drama gong tak bisa
mengemas dramanya untuk tontonan masa kini.
Apakah akan dipentaskan lagi seni dengan dalih pelestarian? Entahlah. Dulu program ini seperti wajib karena PKB
menyandang predikat melestarikan kesenian Bali. Gambuh punah, lalu menjelang PKB beberapa sekehe gambuh dibina untuk
tampil di PKB. Begitu pula wayang wong dan arja. Bahkan dibina pula arja remaja. Hasilnya? Mereka memang pentas di PKB,
tetapi setelah itu tak ada lagi beritanya, apakah grup yang dibina itu tetap eksis atau sudah mati suri.
Apa yang menjadi masalah? PKB ini hanya pesta setahun sekali dan selalu dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Usai PKB
tak ada lagi pesta seni di tempat lain, bahkan di arena PKB itu sendiri. Pentas seni seharusnya berkesinambungan dan tentu
lebih baik menyebar di berbagai daerah. Puncak pencapaian itu baru ditampilkan di dalam PKB. Semoga ada yang memikirkan
hal ini lebih serius. (*)

Minggu,01 Juni 2014 @ 22:07

Pilih Presiden yang Menjaga Kemajemukan


Pandita Mpu Jaya Prema
Pasangan capres dan cawapres sudah resmi diumumkan dan sudah pula mendapat nomor urut. Sebentar lagi mulai
kampanye yang riuh. Jadwal kampanye belum dimulai saja sudah ada hingar bingar kampanye terselubung. Masing-masing
kubu mengaku mendapat banyak dukungan dan setiap hari ada deklarasi. Ini berkat perang media massa, terutama televisi,
yang dimiliki masing-masing kandidat.
Pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa yang dimotori Partai Gerindra didukung partai-partai berbasis Islam. Bukan saja asasnya
jelas-jelas Islam, lambang partai pun langsung menggunakan simbol Islam seperti Kabah. Sedang pasangan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla yang dimotori PDI Perjuangan didukung partai nasionalis. Memang di sana ada juga Partai Kebangkitan Bangsa,
namun partai yang didirikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini menghormati kemajemukan. Basis partai PKB ini memang
Nahdatul Ulama, ormas terbesar umat Islam, tetapi keterbukaannya sudah dibuktikan orang. Di era Gus Dur minoritas
mendapat pengayoman yang lebih baik. Imlek, misalnya, boleh dirayakan dengan terang benderang dan Konghucu sebagai
agama mendapat pembinaan secara resmi.
Kemajemukan ini penting untuk dikemukakan karena posisi kita sebagai orang Bali dan pemeluk Hindu termasuk minoritas di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita tak punya partai berasaskan Hindu dan kita hanya mengandalkan partai
nasionalis. Karena itu cara kita memilih pemimpin, dalam hal ini presiden dan wakil presiden, seharusnya tak bisa lepas dari

konsep bagaimana mempertahankan kemajemukan itu.


Ketika negara ini didirikan, para Bapak Bangsa sudah menyadari bahwa negara ini terdiri dari ribuan pulau dengan berbagai
ragam etnis. Bahkan etnis yang besar seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang dan sebagainya memiliki bahasa daerah yang
terawat dengan baik. Keragaman ini diperhitungkan dengan cermat dan negara pun didirikan dengan mencari persamaan dari
perbedaan. Maka lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Sekarang, kita kewalahanmerawat keragaman itu. Karena ada upaya dari kelompok mayoritas dengan berkedok ajaran agama
memaksakan kehendak dan merusak kemajemukan itu dengan menciptakan aturan-aturan yang dipakai kelompoknya untuk
kepentingan umum. Gejala ini muncul belakangan dengan mendompleng kendaraan reformasi.
Jika kita mengingat bagaimana para Bapak Bangsa berkutat berhari-hari untuk merumuskan dasar negara dan kemudian
membuat perangkat hukum utama seperti Undang-Undang Dasar, kita sungguh khawatir terhadap perjalanan bangsa ini.
Sekarang bukan persamaan yang dicari untuk dijadikan perekat persatuan, tetapi perbedaan itu yang ditonjolkan. Perangkat
hukum kita sudah mulai memihak ke perbedaan. Kalau ini terus berlangsung bukan tak mungkin pada saatnya nanti
kebanggaan kelompok akan mencuat di atas kebanggaan berbangsa. Kita tidak lagi bangga sebagai bangsa yang besar,
sebagai bangsa multikultural, karena muncul chaovinisme sempit.
Kita ambil contoh kecil, misalnya, ada wacana mengubah sistem tata negara kita dengan bentuk syariah sesuai dengan ajaran
Islam. Meski pun banyak ditentang termasuk oleh tokoh-tokoh Islam, tetapi kenyataannya sudah banyak ada peraturan daerah
yang berdasarkan syariah. Bahkan sistem perbankan dengan embel-embel syariah sudah resmi berjalan, termasuk juga
beroperasi di Bali.
Juga adaUndang-Undang tentang Zakat. Setiap zakat yang dilakukan oleh umat Islam mendapat konpensasi dalam
perhitungan pajak tahunan. Bagaimana dengan umat lain, misalnya, umat Hindu yang memberikan dana punia untuk kegiatan
sosial, kenapa tidak mendapat konpensasi dalam perhitungan pajak tahunan?Nah, di sini kemajemukan itu sudah mulai
tergerus, sadar atau tidak kita sadari.
Di Tangerang pernah adaperaturan daerahyang melarang orang berjualan di hari Jumat, dengan alasan pada saat itu umat
Muslim melaksanakan sholat berjamaah. Bagaimana dengan pedagang yang bukan Muslim? Tentu saja mereka dirugikan,
termasuk masyarakat umum yang ingin berbelanja. Tapi konon peraturan daerah ini sudah mulai dikoreksi karena Tangerang
bukan daerah khusus seperti Aceh, dan penduduknya pun beragam.
Sebagian orang ingin memaksakan budaya tertentu masuk dalam perangkat ketata-negaraan setelah berhasil menggolkan
UU tentang Zakat. Kalau saja budaya tertentu itu masih budaya lokal yang bernafaskan budaya Nusantara, masih lumayan.
Tetapi kali ini adalah budaya asing yakni budaya Timur Tengah. Wanita harus berpakaian tertutup dan sama sekali tak boleh
memperlihatkan bagian tubuh tertentu yang sensual. Budayawan kondang Goenawan Mohamad menyebutkan budaya ini
datang dari Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahhabi yang keras. Padahal di sana seringkali terjadi perkosaan dan ini
membuktikan bahwa urusan birahi tak memandang cara berpakaian, tetapi berdasarkan pikiran yang mudah membayangkan
sensualitas.
Banyak sekali contoh lain bagaimana kemajemukan di negeri ini sudah mulai pudar pelan-pelan. Belum lagi kelompokkelompok minoritas yang sering mendapat perlakuan kasar. Penyerangan oleh orang-orang berjubah pekan lalu di Sleman,
Yogyakarta, kepada kelompok Nasrani yang sedang menyelenggarakan doa, adalah contoh terkini bagaimana kemajemukan
itu mau dihilangkan. Ini betul-betul tindakan kriminal yang dilakukan atas nama perbedaan keyakinan.
Nah, bagaimana kita memilih presiden dan calon presiden nanti? Sebagai masyarakat yang secara nasional adalah minoritas
mau tak mau kita harus memilih presiden yang betul-betul mau menjaga keutuhan bangsa sebagai bangsa yang majemuk.
Presiden yang mau mengayomi kelompok-kelompok minoritas. Presiden yang didukung oleh partai-partai nasionalis, bukan
presiden yang didukung partai berbasis Islam yang keras. Jadilah pemilih cerdas dan jangan mau diprovokasi untuk memilih
presiden yang rekam jejaknya buruk. Masih ada waktu untuk berpikir jernih.

Jumat,30 Mei 2014 @ 22:48

Transmigrasi dan Gengsi


Masalah pengiriman transmigran dari Bali sempat menjadi pembicaraan yang ramai di media sosial ketika ada berita ratusan
calon transmigran asal Buleleng menunggu giliran berangkat. Di Kabupaten Tabanan program transmigrasi juga termasuk
mulus. Kampanye transmigrasi masih ada berupa baliho yang dikeluarkan dinas transmigrasi. Sesungguhnya ini adalah
program pemerintah yang sudah berusia lama dengan tujuan memberikan kehidupan yang lebih layak. Karena di daerah

transmigrasi selain ada jaminan hidup sebelum tanah yang digarap berproduksi, jatah lahan pertanian maupun perumahan
yang sederhana disediakan pemerintah.
Namun, jika sekarang orang berbicara soal transmigrasi di Bali, maka nadanya sangat minor. Komentar negatif muncul. Untuk
apa memindahkan kemiskinan ke luar Bali? Hanya orang-orang malas yang ingin transmigrasi. Kalau mau bekerja, di Bali tak
kurang pekerjaan, bisa lebih berhasil dibandingkan transmigran. Untuk apa mengirim transmigran ke luar Bali sementara
penduduk pendatang ramai-ramai ke Bali? Masih banyak komentar yang rada sinis.
Tentu ada benar dan ada pula salah pahamnya. Lahan di Bali terbatas untuk pertanian, sementara tidak semua penduduk Bali
bisa mengais rejeki dari sektor pariwisata dengan segala imbasnya. Kenyataan tidak semua transmigran itu tetap miskin.
Setelah mereka berhasil mengolah tanah pertanian dan mereka bisa mengembangkan usahanya di luar Bali, banyak
transmigran yang sudah sukses. Orang Bali eks transmigran yang ada di Lampung, Kalimantan, Sulawesi banyak yang kaya.
Mereka bisa pulang ke Bali setiap ada piodalan dengan menumpang pesawat.
Masyarakat Bali di masa lalu adalah masyarakat agraris. Lahan pertanian masih luas.Mereka hidup dari hasil pertanian. Bidang
lain seperti kesenian adalah pekerjaan sampingan sebagai kesenangan belaka. Karena itu ketika bencana alam datang,
misalnya, Gunung Agung meletus, masyarakat agraris ini pergi bertransmigrasi. Merekamencari tanah pertanian baru dan
mereka dikirim ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Pekerjannya tentu tetap sebagaipetani.
Ketika industri pariwisata masuk, orang Bali yang mulai berebut tanah pertanian yang makin kurang sementara penduduk
bertambah, mulai melirik pekerjaan sebagai pelayan dan mereka bekerja di hotel-hotel. Di beberapa daerah, pekerjaan seni
terutama mengukir dan melukis mulai dikerjakan sebagai pekerjaan utama. Merekatetap melayani sektor pariwisata yang
sesungguhnya dikendalikan oleh orang luar Bali. Nah, dua pekerjaan besar itulah yang kini masih membekas pada benak
orang Bali: bertani dan bekerja di sektor pariwisata.
Kini lahan pertanian di Bali sudah menyempit karena sektor pariwisata membutuhkan berbagai fasilitas yang mendukung
industri pariwisata itu. Penduduk pun bertambah. Nah, kalau orang Bali yang sedari dulu bertani tak mampu bersaing di sektor
pariwisata, maka sesungguhnya mereka hanya menjadi pengangguran terselubung. Atau minimal bekerja serabutan. Sulit
menciptakan lapangan pekerjaan baru kalau tak punya kemampuan, apalagi wawasan yang kurang memadai.
Kenapa pendatang banyak masuk ke Bali dan mereka seperti kelihatan sukses meskipun berdiam di rumah yang sederhana
bahkan mendekati kumuh? Karena mereka menggarap sektor informal yang tidak disukai orang Bali. Sektor informal itu
dianggap pekerjaan yangjauh dari gengsi. Misalnya mendorong gerobak berjualan bakso, pisang goreng, es kelapa muda,
pecel lele, bebek bakar dan sebagainya. Bahkan ada yang berjualan canang sari, sampai membuatnya sendiri. Orang Bali
masih berpikir agraris padahal bukan lagi di era agraris. Berpikir agraris artinya pekerjaan yang diambil adalah pekerjaan yang
menetap, karena sawah pertanian tak pernah berpindah tempat. Karena itu orang Bali yangtidak bekerja dengan pola
menetap, menyebut dirinya pengangguran. Mereka bekerja di hotel meskipun menjadi tukang cuci piring. Tetapi jika mencuci
piring sambil berjualan di emper toko, apalagi gerobak dorong, mereka gengsi.
Sektor informal ini yang diambil pendatang terutama yang dari Jawa maupun Lombok. Sektor informal adalah pekerjaan
jalanan, orang Bali enggan melakukan itu karena sama dengan pengangguran. Mencuci piring di hotel dan restoran beda
sekali dengan mencuci piring di pinggir jalan, yang terlihat oleh umum. Meski sama-sama mencuci piring, gengsi yang
membedakannya.
Gengsi masal ini membuat seluruh sektor informal di Bali sudah dikuasai pendatang. Warung-warung pinggir jalan, baik yang
pakai gerobak dorong maupun semi permanen, hampir semuanya dikuasai pendatang. Ini tidak hanya di kota Denpasar, tetapi
sudah di seluruh Bali. Saya sudah berkeliling ke seluruh terminal besar di kota kabupaten dan kecamatan di Bali pada malam
hari, saat terminal itu berubah menjadi pasar malam. Sebagian besar pedagang adalah para pendatang. Bahkan kalau ada
piodalan di Pura Sakenan, Pura Dasar Gelgel, sampai Pura Besakih, kebanyakan pedagang di sana kaum pendatang. Orang
Bali justru menghidupkan pedagang pendatang itu dengan berbelanja di sana. Padahal tradisi agraris di masa lalu, jika
bersembahyang ke pura, membawa sesajen yang ada makanannya, selesai sembahyang surudan (prasadam) itu yang
dimakan. Sekarang ini, salah satu keasyikan orang Bali ke pura adalah membeli sate sapi di Warung Jawa atau sate kambing
di Warung Madura.Coba lihat ketika piodalan Betara Turun Kabeh di Besakih baru-baru ini, kebanyakan yang menyewa kios itu
pendatang.
Kita tentu sulit membendung pendatang kalau tidak ada pelanggaran. Kita juga tak bisa menutup Bali dari pendatang. Kenapa?
Karena orang Bali yang datang ke Jawa atau ke daerah lain mencari penghasilan yang lebih baik juga banyak. Bahkan kalau
didata, etnis (keturunan) Bali yang ada di luar Bali jauh lebih banyak dengan orang Bali yang masih ada di Bali. Negara kita
adalah negara kesatuan, tak bisa membatasi lalu lintas antarpulau di satu negara. Cuma tentu saja ada cara membatasi
pendatang, yakni dengan memberlakukan peraturan ada jaminan pekerjaan. Juga orang Bali jangan menjual tanahnya kepada
pendatang, kalau mereka tak punya rumah lama-lama tentu tak betah.
Sementara itu untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan yang pola pekerjaannya masih agraris, ikut program transmigrasi tak
ada salahnya. Cuma, jangan menjual lahan warisan yang ada di Bali, sehingga suatu saat masih bisa ditengok sebagai tanah
leluhur.

Kamis,22 Mei 2014 @ 22:41

Cukup Dua Partai


Pandita Mpu Jaya Prema
Akhirnya sudah resmi ada dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang bertarung pada 9 Juli nanti. Artinya ini
pemilihan presiden (pilpres) yang irit. Ini penting disebutkan karena pilpres akan berlangsung satu putaran. Partai yang ada
mampu berkoalisasi dengan dasyat.
Poros PDIP yang mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkoalisi dengan Partai Nasdem, PKB dan Hanura. Poros
Gerindra dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa berkoalisi dengan PAN, PKS, PPP, PBB dan Golkar. Adapun Demokrat
memilih netral. Sampai batas akhir tak punya teman koalisi dan sibuk mengurusi konvensi yang sudah jelas tak ada
manfaatnya. Satu partai kecil lagi, PKPI, tak ada kabar beritanya.
Proses koalisi menarik. PPP sempat pecah, namun belakangan mantap ke poros Gerindra. PPP dan PKS sempat mengancam
jika Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN, menjadi capres Prabowo. Tapi akhirnya bisa menerima. Golkar, pemenang kedua, paling
seru, ngebet betul ke poros PDIP. Tapi karena permintaannya banyak sementara Jokowi mengisyaratkan koalisi tanpa syarat,
Aburizal Bakrie lari ke Gerindra. Prabowo menjanjikan Aburizal jabatan menteri utama yang mengkordinir sejumlah menteri di
bidang ekonomi. Golkar pun bergabung.
Apa artinya? Koalisi itu memang untuk membagi kekuasaan. Koalisi di poros Jokowi pun tak akan seratus persen tanpa syarat,
itu hanya kata-kata indah. Kata indah lainnya adalah koalisi terbentuk karena kesamaan plat form partai. Bagaimana
menjelaskan hal ini kalau bertahun-tahun partai itu bersaing?
Pelajaran dari hiruk-pikuk koalisi ini, jumlah partai terlalu banyak, ada 12. Dua saja sudah cukup. Atau kalau ditambah satu
lagi. Caranya resmikan koalisi saat ini sebagai partai baru. Dari poros Jokowi partai itu menjadi Partai Demokrasi Kebangsaan
Nasional, misalnya. Poros Prabowo menjadi Partai Persatuan Amanat Indonesia Sejahtra. Kalau mau tiga, gabungan
Demokrat dengan PKPI dan partai yang kecewa dengan poros Jokowi dan Prabowo. Setelah pilpres pasti banyak partai
kecewa.
Dengan dua atau tiga partai kita lebih siap menyongsong Pemilu 2019 yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai pemilu serentak. Artinya tak ada lagi pemilu legislatif dan pemilu presiden. Yang ada satu pemilu untuk memilih DPR,
DPRD, DPD dan Presiden. Pasangan capres dan cawapres pun diusung oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu
sesuai bunyi konstitusi. Dengan dua atau tiga partai maka jumlah pasangan capres dan cawapres ada dua atau tiga pula.
Bayangkan kalau partai itu tetap 12, berarti ada kemungkinan pasangan capres dan cawapres juga 12, karena memang
dibolehkan konstitusi. Tak ada urusan lagi dengan jumlah kursi atau perolehan suara karena kursi atau suara itu justru dicari
saat bersamaan.
Memang koalisi boleh karena konstitusi menyebutkan pasangan capres dan cawapres bisa diusung gabungan partai. Tapi
kalau partai masih banyak, bagaimana caranya koalisi sementara untuk memilih DPR dan DPRD masing-masing partai
bersaing. Tentu rumit, partai berjuang untuk meraih kursi sementara ada pasangan capres cawapres yang diusung dengan
cara bergabung.
Pelajaran dari pilpres 2014 ini bisa dijadikan tonggak penyederhanaan partai. Toh koalisi saat ini juga banyak mengecewakan
rakyat karena suara mereka seenaknya digabung. Orang mencoblos partai A karena tak suka partai B, tiba-tiba A dan B koalisi,
suara rakyat dipermainkan. Mari ciutkan partai hanya dua atau paling banyak tiga, ini bisa mengurangi hiruk pikuk politik.
(Diambil dari Koran Tempo Kamis 22 Mei 2014)

Selasa,06 Mei 2014 @ 08:20

Cawapres Rasa Capres


Pandita Mpu Jaya Prema
Joko Widodo sibuk blusukan, bahkan ke wilayah yang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi, begitu nama popnya, sedang mencari pendamping dalam statusnya sebagai calon presiden. Kenapa repot? Sebab, ia
belum punya pengalaman cukup untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Pendapat umum yang diucapkan banyak orang:

pendamping Jokowi haruslah tokoh yang berpengalaman untuk menambal kekurangannya.

Untungnya, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi telah selesai dalam urusan koalisi. Partai ini sudah berhasil menggaet
Partasi NasDem tanpa syarat apa pun. Dengan koalisi dua partai, mereka sudah bisa mengusung pasangan capres dan
cawapres. Partai lain semuanya belum aman dan perlu koalisi, perlu saling tawar-menawar posisi, karena tak ada yang seperti
Nasdem, mau koalisi tanpa syarat.
Dalam bahasa sederhana, sebenarnya Jokowi sedang mencari pendamping yang harus lebih berpengalaman daripada dirinya.
Sejatinya, yang dicari "cawapres dengan rasa capres". Dan pencariannya ini, astaga, membuat partai lain bak menari dalam
irama gendang Jokowi.
Jokowi mengincar Jusuf Kalla karena disodori asumsi, hanya Kalla tokoh yang berpengalaman sebagai wapres. (Dalam
catatan saya, yang berpengalaman sebagai wapres dan masih sehat lainnya adalah Hamzah Haz, Try Soetrisno, B.J. Habibie,
dan, oya, Megawati). Media mengumbar, kepiawaian JK, baik mengenai politik internasional maupun ekonomi makro, akan
membantu Jokowi yang lemah dalam bidang itu. Apalagi Kalla bisa menggaet suara Indonesia timur.
Tapi pasti Jokowi mikir, Kalla terlalu senior, masak sih wakil? Lagi pula usianya lanjut dan konon Kalla sangat dominan dalam
mengambil langkah. Untuk itu, atas desakan opini yang lain, bahwa yang dihadapi negeri ini sesungguhnya lemahnya hukum,
Jokowi mendekati Mahfud MD. Nah, tokoh satu ini "milik" Partai Kebangkitan Bangsa. Jika Mahfud diambil, PKB tentu diajak,
bagaimana kalau PKB dalam berkoalisi menentukan "syarat dan ketentuan berlaku"? Lagi pula Mahfud berasal dari Madura,
Jawa Timur, yang masih dekat dengan Solo.
Horee ada tokoh alternatif! Abraham Samad, Ketua KPK. Dilirik yuk, mungkin begitu pikiran Jokowi. Samad anak muda,
berani, paham hukum, dan berasal dari Indonesia timur seperti Kalla. Tapi ketika Jokowi sowan ke Tebu Ireng untuk bertemu
Salahuddin Wahid, Si Gus memberi bisikan: "paham hukum dengan pengalaman sepuluh tahun". Si Samad baru beberapa
tahun namanya berada dalam radar "tokoh nasional".
Jokowi mengaku sudah mengantongi nama cawapres, tapi pasti nama itu lebih dari satu. Ia sedang mengkalkulasi, kalau ambil
ini, pengikut yang itu pasti kecewa. Ya, harus diiming-imingi harapan, misalnya, jadi juru bicara. Kalau ambil yang itu, pengikut
yang ini kesal, ya, minimal diberi menteri atau kalau ngotot lebih, menko kesra.
Utak-atik nama boleh diperpanjang, tapi larinya sudah pasti soal bagi-bagi kursi, betapa pun akal Jokowi menutupinya. Sebab,
pangkal masalahnya, yang dicari "cawapres rasa capres". Kalau saja Jokowi "sudah merasa capres" dan percaya diri
memimpin negeri ini, soalnya jadi lain.
Yang mengherankan, partai tengah-di luar tiga besar-pada ikut "menari", bukan memukul gendang dengan menciptakan tari
sendiri. Kenapa tidak menghimpun diri dan lupakan "tarian Jokowi"? Juga lupakan dua partai besar lainnya, termasuk capres
yang sudah dikoarkan. Lalu usung, misalnya, JK-Mahfud atau Mahfud-Hatta Rajasa atau Hatta dengan pemenang konvensi
Demokrat. Hal ini lebih memberi gairah masyarakat untuk ikut mencoblos, karena Jokowi punya lawan tanding. *
(Diambil dari Koran Tempo Selasa 6 Mei 2014)

Senin,05 Mei 2014 @ 08:18

Ormas Keagamaan
Pandita Mpu Jaya Prema
SEORANG teman yang juga seorang aktifis di Jakarta bertanya pada saya, apakah ormas-ormas yang muncul di Bali
belakangan ini termasuk ormas keagamaan atau ormas biasa saja yang bergerak di bidang sosial budaya. Dia menyebut
beberapa nama, antara lain, Laskar Bali, Pemuda Bali Bersatu, Baladika yang posternya banyak bertebaran di jalan-jalan. Dia
bertanya begitu karena dalam poster ada pajangan pengurusnya yang semuanya memakai kain adat Bali dan bagi orang luar
Bali pakaian adat itu diartikan sebagai lekat dengan Hindu.
Saya menjawab bahwa ormas itu bukan ormas keagamaan. Tapi akhirnya kami sepakat pula bahwa sesungguhnya sulit untuk
memilah apakah sebuah ormas yang membawa-bawa label agama bisa disebutkan sebagai ormas keagamaan. Laskar Bali
dan sejenisnya itu bisa disamakan levelnya dengan ormas semacam Forum Betawi Rembug di Jakarta. Apakah itu ormas
keagamaan? Tentu tidak. Tetapi apakah Forum Pembela Islam (FPI) adalah ormas keagamaan untuk umat Muslim? Apakah
pagayuban yang memakai nama Hindu adalah ormas keagamaan untuk umat Hindu?
Susah mengelompokkan demikian. Karena kaitannya sering tidak nyambung dengan majelis keagamaan. Apakah majelis
agama yang dimiliki oleh semua agama yang ada di Indonesia, bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu?

Mengayomi dalam maksud memberikan bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan karena organisasi kemasyarakatan itu
jelas-jelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas, mereka bisa menegur ormas keagamaan
yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa
karena tak mampu dibina, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan, jika
sudah sangat meresahkan.
Tentu tak bisa seperti itu. Majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan
tidak menjadi bawahan majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya itu hanyalah
organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298).
Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan lainnya) mereka lantas
disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rembug atau Laskar Bali
dengan catatan kalau ormas itu terdaftar di Kemendagri, karena ada ribuan ormas yang tak terdaftar.
FPI sering melakukan aksi-aksi yang dianggap meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Islam (MUI)
menegurnya, bukankah tak ada hubungan organisatoris? Demikian pula di Hindu, jika ada paguyuban yang memakai label
Hindu berbuat yang meresahkan masyarakat, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) tentu tak bisa berbuat apa-apa.
Apalagi yang tak berlabel agama seperti misalnya bentrok antarormas di Bali, PHDI tak bisa berbuat apa-apa. Karena sejatinya
semua ormas itu bukanlah dalam payung majelis agama yang sah.
Jika demikian halnya, sesungguhnya peran, tugas dan kewajiban majelis-majelis agama dalam menentramkan umatnya dari
kemungkinan gesekan dengan ormas yang selama ini dianggap dekat dengan agama, sama sekali tidak ada secara
organisasi. Yang bisa dilakukan hanyalah memberi imbauan untuk tenang dan menjaga kerukunan bersama. Majelis agama
tak bisa bertindak sebagai polisi agama untuk hal seperti itu.
Tentu kita berharap, ormas-ormas yang membawa label agama betul-betul menerapkan ajaran agama yang luhur dalam setiap
langkahnya. Jika perlu dipikirkan adanya peraturan atau perundangan yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana
diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Majelis dan forum ini belum
dipayungi oleh undang-undang. FKUB misalnya lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun
2006 dalam kaitan pembangunan tempat ibadah. Kenyataannya banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus
pun bermunculan, seperti kasus Gereja Yasmin di Bogor. Ada wilayah yang sulit mendirikan tempat ibadah untuk kaum
minoritas, misalnya, sulit membangun pura di Sumatra Barat dan lainnya. Namun sebaliknya ada wilayah yang gampang
membuat tempat ibadah, seperti pembangunan masjid-masjid di pedesaan Bali.
Akan halnya organisasi kemasyarakatan disesuaikan dengan gerak langkahnya. Yang betul-betul bersentuhan dengan agama
dan jelas dari namanya sudah memakai nama agama tertentu, diresmikan saja sebagai ormas keagamaan. Kemudian diatur
bagaimana hubungannya dengan majelis agama. Bagi yang tidak berlabel agama, sebut saja ormas sosial budaya, karena
kalau disebut ormas sosial politik tentu tak mungkin karena itu wilayahnya sudah ada di partai politik.
Dengan demikian akan menjadi jelas, apakah ormas yang tumbuh di Bali belakangan ini seperti Laskar Bali, Pemuda Bali
Bersatu, Baladika dan lain-lainnya itu bergerak di bidang sosial budaya atau keagamaan. Orang luar memang sulit menerka
karena baliho yang dipajang berkesan nuansa Hindu, apalagi slogannya tentang kedamaian yang juga slogan umat Hindu.
Namun, kalau kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya untuk apa sih ormas-ormas itu? Dan untuk apa pula memajang baliho
yang banyak di jalanan? Lebih baik membuat paguyuban suka duka atau pesemetonan yang banyak bekerja ke masyarakat,
tetapi tidak banyak pamer.

Senin,28 April 2014 @ 10:09

Tunggu Limpahan KSPN Besakih


Pandita Mpu Jaya Prema
PEMERINTAH pusat lewat Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah mulai menggelontorkan dana Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional (KSPN). Jumlahnya bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan di lokasi KSPN. Yang jelas tidak seluruh
dana yang dibutuhkan dipenuhi pemerintah karena tetap dirangsang dana swadaya masyarakat. Untuk Bali, dana KSPN yang
sudah digelontorkan sebesar Rp 5 milyar dengan sasaran membenahi Pantai Mertasari.
Pantai Mertasari berada di KSPN No. 41 dengan nama KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan sekitarnya. Untuk Mertasari dana
dikelola bersama oleh Dinas Pariwisata Pemkot Denpasar, karena pentaan itu disinergikan dengan rencana yang sudah
disusun Pemkot Denpasar. Sedangkan penataan di pulau Serangan, menurut rencana, akan dikelola bersama oleh Dinas
Pariwisata Provinsi Bali, karena asset di sana sebagian besar milik Pemda Provinsi.
Sesungguhnya KSPN di Bali masih bermasalah karena ada penolakan dari sebagian masyarakat. Mungkin ini membuat

pemerintah pusat hati-hati mengucurkan dana. Dana hanya diberikan kepada kawasan yang sudah ada rencana master
plan sebelumnya, seperti penataan Pantai Mertasari itu yang sudah dirancang Pemkot Denpasar dengan anggaran Rp 50
Milyar. Artinya, pembangunan di kawasan KSPN sepenuhnya dirancang oleh daerah yang bersangkutan, bukan intervensi dari
pusat sebagaimana yang dicurigai. Tentu saja asal sesuai dengan denah dan program yang sudah rinci dalam KSPN itu.
Karena ada penolakan oleh sebagian masyarakat terhadap KSPN Besakih (resminya KSPN No 84 BesakihGunung Agung
dan sekitarnya) yang dicurigai mengganggu kawasan suci padahal jelas yang ditata alam sekitarnya termasuk jalan, maka
Pemda Bali ingin meninjau seluruh KSPN yang ada. Gubernur Bali sudah membentuk tim pengkaji ke 11 KSPN yang ada di
Bali. Tim beranggotakan 22 orang dari berbagai unsur dan elemen ini sayangnya belum berhasil mendapatkan kesimpulan
final, apakah seluruh KSPN itu ditolak atau hanya KSPN Besakih saja yang ditolak. Kalau hanya KSPN Besakih yang ditolak,
lainnya diterima, apa alasannya padahal di seluruh KSPN ada tempat suci. Tim Pengkaji 11 KSPN yang diketuai Prof. Made
Bakta ini seharusnya segera menyelesaikan tugasnya, supaya ada kepastian.
Kepastian ini ditunggu, baik oleh masyarakat Bali (yang menolak maupun yang menerima), oleh pemerintah pusat, juga oleh
Pemda Provinsi lainnya yang akan menerima limpahan. Dalam sebuah diskusi di Candi Sukuh (bersamaan dengan program
budaya) beberapa bulan lalu, sudah ada semacam penantian yang menggembirakan masyarakat sekitar Gunung Lawu,
Kabupaten Karanganyar itu, jika KSPN Besakih ditolak. Bahkan jika semua KSPN di Bali ditolak. Dengan demikian akan terjadi
revisi pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2020. Jika revisi itu terjadi, maka Pemda Jawa Tengah akan mengusulkan KSPN baru limpahan dari Bali. Saya yang
hadir dalam diskusi di Candi Sukuh itu setuju sepanjang yang dimajukan sebagai limpahan dari Bali adalah kawasan Gunung
Lawu. Karena nuansa Hindu lebih kental dibanding misalnya untuk kawasan wisata yang bernuansa Islam seperti masjidmasjid kuno di Demak, Kudus dan sekitarnya.

Seperti diketahui, dalam PP No. 50/2011, program pembangunan kepariwisataan jangka menengah (10 tahunan) dibagi antara
KSPN dan KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional). KPPN statusnya di bawah KSPN, termasuk besar dan
prioritas anggarannya. Di Bali karena dianggap destinasi pariwisata yang sudah menghasilkan banyak uang, seluruhnya (11
kawasan) langsung masuk KSPN, tak ada KPPN. Ini dianggap wajar karena uang yang diperoleh negara wajib diberikan lebih
banyak kepada daerah penghasil devisa.

Di Jawa Tengah tak semua langsung masuk KSPN. Masjid Demak dan Kudus yang diusulkan tak masuk. Candi Cetho
Sukuh dan sekitarnya masuk katagori KPPN No. 84 disusul Tawangmangu Sarangan dan sekitarnya masuk KPPN No. 85.
Nah, jika revisi terjadi, limpahan KSPN Besakih akan diperjuangkan untuk menaikkan status KPPN Candi Cetho-Sukuh dan
sekitarnya. Saya sangat setuju jika itu terjadi dengan alasan sama-sama memperhatikan umat Hindu. Bahkan saya mau ikut
berjuang. Tentu dalam artian kalau KSPN Besakih ditolak. Kalau tak ditolak, ya, untuk apa dialihkan? Saya kan tinggal di Bali
lebih sering ke Besakih.
Candi Cetho peninggalan akhir Kerajaan Majapahit di abad 15, sudah menjadi kawasan wisata religius. Meski pun candi
berstatus cagar budaya yang dikelola pemerintah, umat Hindu yang bersembahyang bebas masuk ke dalamnya. Tak ada
larangan bersembahyang di sana, bahkan kalau umat Hindu yang datang tak disertai pemangku, ada pemangku khusus di
sana. Tentu umat Hindu etnis Jawa.
Saya rutin paling tidak dua kali setahun ke sana. Saat Purnama Ketiga karena odalan di Pura Kepasekan dan Anggarkasih
Medangsia, odalan di Cetho. Pada Anggarkasih Medangsia 17 Juli 2007 Pura Cetho diruwat dengan upacara yang disebut
Panca Walikrama, entah kenapa namanya begitu. Di hutan lindung atas candi berdiri Patung Saraswati dengan tempat
pemujaan yang lapang, di sebelahnya ini sumber air suci yang sangat dingin. Nah, kawasan antara candi dan Patung
Saraswati yang kini berkembang menjadi pusat belanja oleh-oleh akan ditata. Pemerintah Kab. Karanganyar dan Pemda
Prov. Jateng tentu berharap besar dana itu juga dipasok dari KSPN. Jadi saya setuju, karena yang akan merasakan nikmatnya
berkunjung nanti adalah umat Hindu, selain memberdayakan ekonomi umat setempat yang juga pemeluk Hindu etnis Jawa.
Pada diskusi di Candi Sukuh, saya minta agar Pura Kepasekan di Kecamatan Karangpandan dimasukkan kawasan Candi
Cetho Sukuh dan sekitarnya. Alasannya, kawasan sekitar Candi Sukuh tak perlu ditangani lagi karena sudah asri ditata
Pemda Kabupaten Karanganyar. Pura Kepasekan perlu jalan masuk lebih lebar dan belum ada sarana parkir. Meski pura ini
lebih dekat dengan Tawangmangu, KPPN Tawangmangu itu melebar ke Sarangan di wilayah Magetan.
Jadi, nasib KSPN Besakih, apakah ditolak atau tidak, juga tak sabar saya tunggu. Diterima syukur karena saya lihat kawasan
sekitarnya masih perlu dibenahi apalagi saat upacara Bethara Turun Kabeh ini. Diberi uang kok tidak diterima, kesannya
sombong amat. Tapi kalau KSPN Besakih ditolak, ya, apa boleh buat, siapa tahu Candi Cetho dapat limpahannya. Demi umat
Hindu juga. (*)

Senin,14 April 2014 @ 08:01

Jiwa Guncang Pasca Pemilu


Pandita Mpu Jaya Prema
PEMILU legislatif sudah selesai. Kini Kementrian Kesehatan yang sibuk. Bukan ikut mengurusi pemilihan ulang karena surat
suara yang tertukar, tetapi mempersiapkan perawatan bagi mereka yang kena gangguan jiwa. Semua rumah sakit jiwa di
Nusantara berstatus siaga satu begitu pencoblosan selesai.
Kesibukan serupa belum pernah terjadi di masa lalu. Biasanya kementrian ini hanya mengantisipasi kalau terjadi korban di
jalanan saat kampanye terbuka. Atau kerusuhan saat pencoblosan. Sekarang, kampanye sudah aman karena rakyat sudah
malas menghadiri kampanye. Pencoblosan pun damai karena rakyat sudah sadar beda pilihan bukan berarti musuh.
Korban pemilu sekarang bukan lagi rakyat, tetapi para calon legislator (caleg). Jenis penyakitnya bukan luka, tetapi jiwanya
terguncang. Makanya Kementrian Kesehatan tak menyiapkan Puskesmas atau rumah sakit umum, melainkan rumah sakit jiwa.
Dalam bahasa rakyat, korban yang masuk ke rumah sakit ini adalah mereka yang tidak waras.
Karena korbannya orang berpendidikan hampir semua caleg memamerkan gelar akademiknya meski pun tak jelas kuliah di
mana kamar-kamar yang disiapkan di rumah sakit jiwa tergolong baik. Semuanya kelas satu. Tapi, belum terdengar ada
yang masuk rumah sakit karena suara di daerah pemilihan (dapil) sedang dihitung. Di Cirebon seorang caleg Partai Demokrat
hanya dibawa ke rumah seorang ustad yang biasa menangani orang stress.
Inilah pemilu yang menghasilkan orang tak waras. Yang tidak terpilih masuk rumah sakit jiwa atau jadi beban sosial di
masyarakat karena ulahnya pasti menyebalkan. Yang terpilih kelihatan seperti waras tetapi jiwanya terganggu. Karena yang
dipikirkannya adalah bagaimana bisa duduk aman sebagai wakil rakyat selama lima tahun sembari mendapatkan proyekproyek berduit di luar gaji. Ia harus membayar utang untuk biaya kampanye dan memenuhi janji-janji kepada rakyat.
Jika kita rajin mengamati para calon legislator, entah itu melihat bagaimana mereka tampil di baliho, maupun memberi janjijanji saat kampanye, sebenarnya sudah banyak yang terganggu jiwanya. Mereka tak bisa membedakan antara harapan yang
bisa diperjuangkan, dan khayalan yang hanya mimpi. Umumnya mereka membeo, begitu kata perubahan laku, semuanya
bicara perubahan. Ada ungkapan berjuang untuk rakyat, semua ngomong begitu. Ini mencerminkan bahwa mereka
sebenarnya tak menguasai apa-apa, hanya mengumbar slogan yang mereka sendiri tak memahami arti sebenarnya. Ada yang
bergaya bak pahlawan yang ditunggu-tunggu, tapi dia lupa jejak langkahnya sudah terekam buruk di masyarakat. Orang tak
bisa berubah drastis dalam sekejap atau karena ada Pemilu. Hanya penari topeng yang bisa berubah total wataknya begitu
topengnya diganti.
Ada caleg di kampung saya yang menjanjikan mengaspal jalan sepanjang 1 km. Dia mengumbar janji: Kalau jalan ini belum
diaspal sebelum pencoblosan, usir saya pakai anjing. Dua hari sebelum pemilu datang satu truck berisi kapur untuk menambal
jalan yang berlubang. Setelah pencoblosan ternyata rakyat sadar, proyek pengaspalan ini biaya dari kabupaten yang sudah
dijanjikan bupati jauh sebelumnya. Sampai sekarang pun tak ada tanda-tanda dikerjakan.
Gangguan jiwa ini bisa pula disebabkan oleh berubah-ubahnya sistem pemilu. Dulu nomor jadi berdasarkan nomor urut,
sehingga pemilih cukup mencoblos gambar partai. Karena partai tidak memiliki cara rekrutmen kader yang benar maka yang
terjadi pengurus partai mengambil cara membela yang bayar. Nomor urut tidak didasarkan pada kemampuan kader, tetapi
pada yang bayar. Ketika mendadak sistem berubah dan nomor urut tidak menentukan kemenangan seorang calon, para
pemegang nomor besar mendapat angin untuk menantang. Rasakan sekarang, siapa yang didukung rakyat, mungkin begitu
sumpahnya. Calon yang bernomor urut kecil, yang jiwanya sudah goncang karena harus bayar dan melakukan penjilatan,
tiba-tiba harus berjuang keras pula. Semuanya kemudian mencari akal bagaimana cara agar bisa mendapatkan suara melebihi
yang lain, termasuk cara yang tak masuk akal (bagi orang normal) seperti menjual harta warisan untuk membeli suara.
Bagaimana tidak stress kalau hasilnya gagal?
Biaya ikut nyaleg jadi tinggi karena harus bertempur sesama teman di partai. Caleg harus menjelaskan kepada masyarakat
bagaimana mencoblos nomor yang berada di bawah. Kartu peragaan juga harus dibuat selain sosialisasi terbuka, yang
semuanya makan ongkos. Hasilnya belum tentu benar. Di desa saya, ibu-ibu yang tua bingung menghitung nomor urut untuk
mencari nama caleg itu. Banyak yang akhirnya ngawur. Yang lucu ada yang memilih dua nama di satu surat suara, tetapi
partainya beda. Alasannya, kedua caleg itu memberi sembako. Lagi pula dia mendengar boleh mencoblos dua nama yang
beda. Tentu boleh asal surat suaranya juga beda, misalnya yang satu untuk DPRD Kabupaten yang satu untuk DPRD Provinsi.
Coblos dua nama dengan partai beda di satu surat suara tentu jadi tak sah.
Sistem dan aturan pemilu perlu dikaji kembali agar mendapatkan wakil rakyat yang jiwanya tidak terganggu. Partai peserta
pemilu mesti dikurangi, entah bagaimana caranya. Caleg jadi kembalikan ke nomor urut supaya memudahkan rakyat memilih,
terutama pemilih tua. Cukup mencoblos gambar partai. Tentu saja seleksi caleg harus ketat, misalnya, nomor urut calon
ditentukan berdasarkan uji kelayakan dan betul-betul yang paling pantas menjadi wakil rakyat.
Ini artinya, kita kembali ke masa lalu. Tetapi yang kembali hanya sistem, pelaksanaan pemilu tentu lebih demokratis, cerdas,
berkualitas, termasuk slogan lama yang harus dipertahankan: jujur, adil dan rahasia. Biaya pemilu bisa lebih hemat dan caleg
tak perlu sampai menjual sawah dan kebun warisan untuk membiayai kampanye. (*)

Senin,07 April 2014 @ 07:56

Menunaikan Dharma Negara


Pandita Mpu Jaya Prema
Dua hari lagi pemilihan umum yang memilih anggota legislatif dilakukan serentak di seluruh negeri. Mereka yang mempunyai
hak pilih akan berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS). Mereka bisa memilih dengan bebas, partai
mana yang dirasakan cocok untuk dicoblos atau caleg mana yang dirasa bisa memperjuangkan nasib rakyat. Tak ada tekanan
atau paksaan dan tak ada kode-kode di kertas suara, seperti pemilu di era Orde Baru. Mari memilih dengan cerdas.
Bagi umat Hindu, hak dan kewajiban memilih pemimpin ini termasuk menunaikan tugas menjalankan dharma agama. Seperti
kita ketahui, ada dua kewajiban (dharma) yang ditetapkan pada saat berdirinya Parisada Hindu Dharma Indonesia,
yakni dharma agamadan dharma negara. Ketetapan itu diputuskan saat 11 sulinggih dan 22 welaka yang diyakini sebagai
figur-figur terkemuka umat Hindu melangsungkan pertemuan tanggal 17-23 November 1961 di Campuan, Ubud. Pertemuan
penting yang menghasilkan Piagam Campuan ini hasilnya sangat monumental. Di situ diputuskan sebutan agama Hindu Bali
diganti dengan Hindu tanpa ada embel-embel Bali. Karena tak ada agama Hindu Bali, tak ada kitab suci agama Hindu Bali, tak
ada Rsi yang menerima wahyu agama Hindu Bali. Yang ada adalah agama Hindu. Keputusan penting lain adalah melahirkan
istilah dharma agama dan dharma negara.
Dharma negarainilah yang menjadi pedoman umat Hindu dalam meniti masalah-masalah berbangsa dan bernegara. Wawasan
kenegaraan dalam dharma negara ini meliputi penegasan bahwa umat Hindu sadar menempatkan posisi dirinya sebagai
bagian keluarga besar bangsa Indonesia, bangsa yang berdiri atas persamaan nasib dan pengalaman sejarah, lalu bersatu
dan membina kehidupan kenegaraan di atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa nasional. Sebagai konsekuensi dari
"ikrar"dharma negara itu, umat Hindu menerima tanggung jawab untuk tidak sekedar memperhatikan kepentingan pribadi dan
kelompok sendiri, melainkan bertanggung jawab secara bersama-sama mewujudkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan yang lebih baik.
Butir satu dharma negara berbunyi: tidak dapat menyetujui penjajahan atas wilayah dan bangsa lain. Butir dua: menyesalkan
penggunaan pengetahuan untuk pemusnahan peradaban dan mahkluk Tuhan. Kedua butir ini menyiratkan penegasan dan
tanggung jawab umat Hindu guna turut serta menciptakan perdamaian dunia dan kehidupan kemanusiaan yang luhur di atas
bumi ini.
Kita harus bersyukur, bahwa umat Hindu di Indonesia sampai sekarang tetap memegang teguh komitmen dharma
negara sebagaimana yang dirumuskan itu. Setidak-tidaknya, belum pernah muncul masalah besar antara umat Hindu dengan
pemerintah, apalagi misalnya pemberontakan umat Hindu terhadap negara. Bagi umat Hindu menjaga keutuhan bangsa dan
negara adalah juga kewajiban menjalankan agama. Dalam kitab Rg Weda VIII 25.16 disebutkan: Tasya vratani anu vas
caramasi, yang artinya hendaknya selalu dan semua taat dan patuh kepada peraturan negara.
Sekarang dalam masa eforia kebebasan justru ada pertanda wawasan kebangsaan dan wawasan bernegara mengalami
pergeseran. Definisi kebangsaan di masa lalu disatukan oleh persamaan nasib sebagai daerah-daerah yang terjajah, kita
disatukan oleh penderitaan yang sama di bawah kolonial Belanda, dan wawasan kebangsaan kita dilahirkan pula oleh
perjuangan yang sama, yakni mengusir penjajah. Namun setelah bangsa dan negara ini berada dalam kemajuan demokrasi
yang dikatakan mengarah lebih baik, terjadi kerenggangan. Mulai dirasakan ketidak-adilan yang makin lama makin membesar
antar daerah, antar etnis, antar suku, juga antar agama. Mulai muncul kelompok-kelompok sempit dan kasus-kasus yang
melibatkan antar etnis. Ada bentrokan antar suku di Lampung maupun di Flores yang melibatkan etnis Bali. Ada korban harta
dan nyawa dari kerusuhan itu. Ada bentrok masalah agama, syukurlah hal ini tak terjadi dalam penganut agama Hindu.
Yang menyedihkan adalah ketika kebebasan itu muncul di era reformasi ini, akumulasi dari kekecewaan karena perlakuan
tidak adil pemerintah di masa lalu, mencuat ke permukaan menjadi semacam pemberontakan dan melahirkan wawasan
kewilayahan atau wawasan kedaerahan yang lebih sempit jika kita bandingkan dengan wawasan kebangsaan pada saat
mendirikan negara ini. Berbagai gejolak di daerah dan ancaman disintegrasi bangsa menghantui negeri ini. Aceh dan Papua
pernah mendeklarasikan sebagai wilayah yang merdeka lepas dari republik ini. Syukur hal itu bisa diselesaikan, entah
penyelesaian yang langgeng atau tidak, waktu akan menjawab. Dan kita di Bali tak pernah punya pemikiran untuk Bali
Merdeka misalnya.
Nah, apa yang mestinya diantisipasi oleh umat Hindu? Umat Hindu harus tetap bersatu dan berjuang bersama-sama umat lain
yang tetap mempertahankan wawasan kebangsaan. Umat Hindu harus ikut menjaga perahu bangsa agar tidak bocor. Kenapa
harus begitu? Karena umat Hindu berpencar di seluruh republik ini. Umat Hindu di Bali hanya sepertiga -- atau mungkin kurang
-- dari jumlah keseluruhan umat Hindu yang ada di Indonesia. Umat Hindu tak bisa lagi hanya mengklaim Bali sebagai "wilayah
agamanya". Jika Aceh, misalnya, melepaskan diri dari republik ini, mungkin pengaruh buruknya terhadap umat Hindu kecil,
karena sedikit umat Hindu di sana. Tapi bagaimana kalau Papua merdeka, atau daerah lainnya lagi, ini akan membawa
dampak besar buat umat Hindu etnis Bali yang sudah puluhan tahun menjadi transmigran di sana. Mereka bisa terusir
sebagaimana halnya petani Bali yang sudah sukses di Timor Timur, tiba-tiba terlantar karena Timor Timur pisah dengan

Indonesia.
Karena itu dalam menunaikan dharma negara pada saat pemilu ini, marilah kita mencoblos partai nasionalis yang tetap
memperjuangkan bangsa dalam bingkai bhineka tunggal ika. Kita tak punya partai berasaskan agama Hindu, dan mungkin tak
perlu agama disekat-sekat dalam politik. Mari kita coblos caleg yang punya wawasan kebangsaan untuk berjuang menegakkan
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang majemuk. Selamat memilih. (*)

Senin,24 Maret 2014 @ 07:46


Siap Kalah Siap Menang
Pandita Mpu Jaya Prema
Slogan yang dipakai judul ini terasa klise. Setiap ada pemilihan, apakah itu pemilihan kepala desa, pemilihan bupati atau
gubernur, termasuk pemilihan umum, selalu diawali dengan pernyataan bersama dari para pesaing: siap menang dan siap
kalah. Bahkan pernyataan itu dijadikan semacam kontrak politik untuk menciptakan suasana yang damai. Namun dalam
praktek, setelah pemilihan selesai, pasti ada protes, ada tuntutan sebagai pertanda bahwa sesungguhnya ada yang tak siap
kalah. Tuntutan itu biasanya dibungkus dengan dalih ada kecurangan, entah kecurangan pesaing maupun kecurangan panitia.
Banyak contoh soal ini. Pemilihan kepala desa dan lurah di Denpasar bermasalah. Bahkan dalam skala yang lebih luas seperti
pemilihan Gubernur Bali, juga menyimpan masalah. Ada yang tak siap kalah. Apakah pada pemilu legislatif nanti akan ada
orang-orang atau partai yang tak siap kalah? Akan sangat disayangkan kalau itu masih ada.
Padahal jika kita menelusui budaya Bali tradisional, tidak dikenal kekalahan yang permanen. Kekalahan sama artinya dengan
belum menang sedangkan kemenangan sama dengan sudah menang. Ini artinya masih ada kesempatan menang di
kemudian hari bagi mereka yang belum menang dan yang sudah menang sebelumnya sudah sering kalah.
Berbagai jenis permainan tradisional Bali telah memberikan contoh betapa pelaku permainan itu sejak awal sudah siap
menang dan siap kalah. Dalam adu gangsing atau lomba layang-layang, misalnya, kekalahan itu bukanlah berarti kehancuran
gangsing dan layang-layang itu. Semuanya tetap dipelihara dengan baik, karena kekalahan itu hanya faktor nasib.
Teater tradisional Bali, dari gambuh, arja sampai drama gong, jarang sekali menampilkan lakon tentang kekalahan yang
absolut. Selalu ada kesempatan, yang kalah itu akhirya bisa menang, sedang yang menang akhirnya bisa kalah. Cerita
berakhir sesuai dengan prinsip budaya Bali, yang menang adalah yang membela kebenaran, meski sebelumnya terpuruk
dalam penderitaan.
Dalam Mahabharata yang juga menjadi Kitab Itihasa bagi umat Hindu, diberi contoh perjudian yang licik antara Kurawa dengan
Pandawa. Meski tahu dicurangi, toh Pandawa menjalani kekalahan dengan kesatria, menyamar belasan tahun dan tidak boleh
ketahuan memasuki istana. Pesan moral yang ditangkap dari sini adalah sportifitas menerima kekalahan. Pandawa tidak
melakukan protes atau tuntutan, tidak merusak aset-aset kerajaan, karena mereka yakin suatu saat bisa menang kembali.
Pesan moral ini yang perlu diteladani jika membaca Mahabharata di bagian permainan judi ini. Bukan pesan bahwa berjudi itu
sudah ada sejak dulu, jadi tak apa-apa dilakukan.
Sekarang apakah orang Bali siap menerima kekalahan? Jika itu menyangkut sosial kemasyarakatan yang dikaitkan dengan
adat dan agama, sebenarnya orang Bali sudah siap menang dan siap kalah. Pemilihan Bendesa Adat jarang menimbulkan
ribut-ribut. Tetapi jika urusannya politik, orang Bali belum siap untuk kalah. Penyebabnya adalah orang Bali yang sedang
bermain di kancah politik tidak memiliki kultur berpolitik yang sehat. Dulu, beda politik adalah musuh bebuyutan, harta dan
nyawa jadi taruhan. Korban dalam tragedi G 30 S di Bali mencatat hal itu. Sekarang faktor globalisasi juga menjadi sebab
karena ada contoh yang jelas ditonton lewat media televisi.
Misalnya, dalam masalah penegakan hukum. Semua orang mudah berkata, biarkan hukum yang bicara. Tetapi ketika ada
warga atau tetangga yang ditahan polisi karena melanggar hukum, ada upaya mencari jalan nonhukum dengan mengadakan
aksi demo menuntut supaya orang yang ditahan polisi itu dibebaskan. Tentu karena contoh seperti itu banyak terjadi di
berbagai tempat. Jadi, mulai ada pengaruh luar dalam masalah sosial kemasyarakatan orang Bali.
Pemilihan legislatif sebentar lagi akan berlangsung. Setelah itu disusul pemilihan presiden. Apa yang akan terjadi di Bali? Bisa
jadi ada caleg yang tak terima dengan kekalahan itu dan mereka justru ingin ada keributan. Maklum uang yang dikeluarkan
banyak sekali. Untungnya, situasi kini mulai berubah di pedesaan. Jika calegnya tidak siap kalah, masyarakat justru lebih siap
untuk tenang dan damai dalam menyikapi suatu kekalahan atau pun suatu kemenangan. Artinya, masyarakat Bali sudah mulai
paham, urusan politik biarkan yang bertarung secara langsung itu yang merasakan kalah dan menang. Masyarakat semuanya
menang.
Apakah ini pertanda warga Bali sudah sadar berpolitik? Nampaknya demikian. Dalam politik tidak ada musuh atau kawan
abadi. Berbeda politik hanya berbeda pilihan, kalau pilihan itu salah, ya, diulang lagi pada pemilu mendatang. Yang menang tak
harus mengejek atau bisa seenaknya kepada yang kalah. Yang kalah pun tak harus merasa menjadi korban. Tragedi di masa
lalu, sebut misalnya pada G 30 S tahun 1965 dan setelah itu, di mana pengikut partai yang kalah betul-betul menderita tak
boleh lagi terjadi. Cukuplah sudah trauma dari tragedi ini di mana berakibat masyarakat takut menjadi anggota partai.
Era reformasi mulai mengikis ketakutan pada partai-partai. Masyarakat mulai terbiasa dengan perbedaan partai. Di desa-desa
berkibar bendera partai yang beragam, suatu hal yang tak biasa kita lihat di era orde baru. Kalau begitu halnya, orang-orang di
desa sebenarnya tak takut kalah dan menang, bahkan mungkin tak peduli siapa yang menang dan kalah. Maka sudah
selayaknya para caleg betul-betul dewasa untuk bersikap jika pada pemilu nanti ternyata kalah. Jangan memprovokasi
masyarakat untuk melakukan protes. (*)

Senin,17 Maret 2014 @ 23:04

Kampanye yang Cerdas


Pandita Mpu Jaya Prema
Kampanye pemilu sudah dimulai. Di Bali kampanye pemilu dipotong libur nyepi dan rapat umum dengan pengerahan massa
mungkin tidak seramai pemilu-pemilu yang lalu. Rakyat bukan saja sudah bosan dengan hal itu, melainkan juga tak ada
pengaruhnya untuk pencoblosan. Pengerahan massa juga membutuhkan dana. Sudah dananya besar masyarakat direpotkan
dengan jalanan yang macet dan justru jadi antipati pada partai yang memacetkan jalan itu. Bukan hal positif yang didapat,
malah hal yang negatif.
Lagi pula dalam kampanye pengerahan massa mudah didomplengi oleh orang-orang yang sebenarnya hanya ingin hura-hura,
atau malah ugal-ugalan di jalanan. Di tempat rapat umum jarang ada yang mendengarkan pidato juru kampanye. Para juru
kampanye pun hanya bicara hal-hal yang kosong, janji-janji yang sering tak masuk akal.
Kampanye yang efektif adalah pertemuan terbatas. Dalam bahasa Bali sering disebutsimakrama. Secara umum sering
dikatakan kampanye door to door, dari pintu ke pintu. Efektif dari segi waktu, sasaran yang dicapai, dan cenderung tak
memunculkan konflik. Tapi repotnya, seringkali yang muncul adalah janji-janji untuk membantu proyek sosial dari para caleg.
Bahkan jika proyek yang dijanjikan itu tak mempan, mulai muncul pemberian uang. Ini artinya sudah membeli suara.
Apa pun bentuk kampanyenya, sudah saatnya para caleg memaparkan program-program yang cerdas dan jelas
juntrungannya. Kalau kita baca kampanye tertulis para caleg di baliho, semuanya tidak jelas apa yang dimaksudkan.
Semuanya hanya minta doa restu dan dukungan. Lalu dengan enaknya menulis: memperjuangkan rakyat Bali atau menuntut
hak-hak rakyat Bali atau bahasa yang lebih klise seperti bersama rakyat membangun Bali atau berjuang untuk ketahanan
pangan. Bagaimana cara membangun itu, apa caleg itu punya konsep, harus dijelaskan. Apa hak rakyat Bali yang harus
diperjuangkan, apalagi sampai dituntut? Apakah para caleg itu sudah menyiapkan daftar yang akan diperjuangkan dan
bagaimana cara memperjuangkannya?
Sebut misalnya soal subak. Ini bukan saja menyangkut kesejahtraan petani tetapi juga masalah ketahanan pangan. Tanpa ada
petani bagaimana kita bisa mewujudkan Indonesia yang pangannya tak tergantung impor. Nah, apakah para caleg itu sudah
punya sikap?
Subak semakin merana dan bagaimana menghidupkan kembali subak itu. Jika langkah yang ditempuh hanya dengan memberi
bantuan uang kepada subak, itu bukan penyelamatan terhadap keberlangsungan subak, tetapi memanjakan pengurus subak
dan rawan penyalahgunaan. Uang bantuan mengucur, pengurus subak kaya, petani tetap saja merana. Bahkan ada janji caleg
yang memperjuangkan bantuan lebih besar kepada subak sambil menganjurkan agar subak dipecah-pecah. Kalau subak
makin banyak, tentu bantuan yang diterima makin banyak. Padahal ini akal-akalan saja, karena subak yang banyak itu tidak
berarti lahan pertanian bertambah, itu hanya memecah saja. Kita semua tahu, lahan pertanian di Bali terus-menerus berkurang
karena alih lahan.
Persoalan subak yang pertama-tama adalah lahan pertanian. Bagaimana membicarakan subak kalau tidak ada sawah?
Bukankah sawah sudah menyempit di Bali seirama dengan berpindahnya kepemilikan tanah Bali kepada orang-orang nonBali? Selain sawah menyempit, sawah juga terjepit. Yang menjepitnya adalah bangunan-bangunan yang dibiarkan oleh
pemerintah, bahkan pemerintah sendiri yang ikut membangun. Adalah pemandangan yang biasa kita lihat ada sawah yang
terkurung oleh bangunan, entah itu perumahan, ruko, pabrik dan sebagainya.
Lalu, ada masalah pajak. Pemerintah menerapkan sistem pajak berdasarkan di mana tanah kena pajak itu berada, dan bukan
dengan sistem apa yang dihasilkan oleh tanah itu. Misalnya, subak-subak yang kini dibelah oleh jalan besar. Dengan adanya
jalan itu maka harga tanah melonjak. Bangunan komersial dan perumahan berdiri yang ikut mendongkrak harga tanah.
Pemerintah kemudian melakukan koreksi terhadap NJOP (nilai jual obyek pajak) dengan menaikkan tarif di sana. Tarif yang
dinaikkan tidak sekedar tarif bangunan saja, tetapi juga tarif tanah. Akibatnya, tanah yang masih berupa sawah pun kena pajak
yang tinggi, padahal produksi dari tanah sawah itu tetap saja tak berubah yakni padi.
Nah, apakah para caleg yang berkoar-koar menyelamatkan subak itu paham bagaimana mencari solusi dalam kasus ini?
Apakah hak-hak petani Bali ini bisa dituntut dan kemana mengajukan tuntutan? Jangan cuma bisa menulis slogan di baliho tapi
tak mempelajari di mana masalahnya dan bagaimana memecahkannya.
Petani yang menjerit karena kenaikan pajak ini pada akhirnya akan membiarkan sawahnya terlantar. Lama-lama tanah dijual.
Lalu, apa yang dilakukan para caleg setelah terpilih menjadi wakil rakyat, apa masih berteriak untuk menghidupkan subak
hanya dengan memberikan sumbangan uang?
Oke, mari kita cari contoh lain soal hak-hak orang Bali yang harus dituntut ke pusat. Bandara Ngurah Rai betul-betul semua
keuntungannya dibawa lari ke pusat. Memang Pemda Bali tak punya saham di sana, semuanya dikuasai Angkasa Pura II.
Bukankah Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng juga begitu? Pemda Tangerang tak punya saham. Tetapi mereka bisa
menuntut hak atas lahan parkir, sehingga ada pemasukan untuk Kabupaten Tangerang. Di Bandara Ngurah Rai urusan parkir
pun diembat pusat, bahkan sampai muncul kasus korupsi karena jadi rebutan.
Yang aneh dan ini sering menjadi gerutuan, di Bandara Ngurah Rai pengantar penumpang juga kena biaya parkir, meskipun
tak perlu parkir karena hanya numpang lewat. Di bandara lain termasuk Bandara Soekarno-Hatta pengantar tak perlu bayar

parkir, karena areal parkirnya ada pintu tersendiri. Di Bandara Ngurah Rai seluruh komplek itu dikurung sehingga siapa pun
yang masuk harus membayar. Orang Bali rakus, begitu gerutuan orang. Padahal, Bali hanya dapat getah, kerakusan
diambil orang lain. Nah, apakah hak-hak itu termasuk yang akan dituntut oleh para caleg? Jangan-jangan mereka pun tak
memikirkannya.
Kalau calegnya tak cerdas bagaimana menjadikan pemilu yang mendidik masyarakat untuk cerdas? (*)

Senin,03 Maret 2014 @ 22:48

Setelah Pamelepeh Jagat


Pandita Mpu Jaya Prema
Upacara pamelepeh jagat sudah dilaksanakan pada Sabtu (1 Maret) lalu bertepatan pada Tilem Sasih Kewulu di Pura Kentel
Gumi Klungkung. Sejumlah pejabat hadir termasuk Gubernur Bali. Di beberapa desa juga ada yang melakukan pecaruan
yang intinya sama, tentu dalam skala yang kecil.
Kenapa ritual pamelepeh jagat itu diadakan? Bendesa Agung Majelis Desa Pekraman Bali, Jro Gede Suwena Putus
Upadesa dalam dharma gita yang disiarkan BMC TV pada Jumat sore (28/2) menyebutkan, ritual ini untuk mengharmoniskan
jagat dan mohon kerahayuan karena Bali terkena bencana. Jro Gede Suwena memerinci bencana itu tak cuma yang
disebabkan oleh alam seperti tanah longsor, angin kencang, banjir dan sebagainya. Tetapi juga hal-hal yang tergolong aneh.
Beliau menyebut misalnya ada rangda ngereh di Karangasem yang ditusuk orang kerahuan, ternyata penari rangda
meninggal dunia. Ada anak yang membunuh orang tuanya di Mengwi, padahal orang tuanya pendeta. Ada orang yang
meninggal dunia pada saat manjang wadah di Tabanan, padahal orang itu mengantarkan jenazah kakaknya ke kuburan.
Semua kejadian ini dirasakan aneh.
Apa yang disebut Jro Gede Suwena itu benar adanya, ada sesuatu yang gaib yang tak bisa dijelaskan dengan logika, kenapa
peristiwa itu terjadi. Seperti ada energi buruk yang tersebar di alam semesta ini yang mempengaruhi perilaku orang. Karena
itulah energi buruk harus segera dihilangkan dengan ritual pamelepeh jagat.
Sesungguhnya banyak lagi contoh-contoh energi buruk yang seperti gentayangan di alam semesta ini yang mempengaruhi
perilaku orang. Sebut saja misalnya yang paling ramai dibicarakan adalah polemik dirobohkannya patung Wisnu Murti di Kediri
Tabanan dan akan diganti patung Bung Karno. Ini jelas energi buruk yang menguasai pejabat-pejabat di Tabanan.
Bayangkanlah kenapa patung Wisnu Murti di catus pata itu dirobohkan, bukankah catus pata adalah sesuatu yang sakral?
Kalau mau memajang patung Bung Karno kenapa tidak di tempat lain? Jika Pemda Tabanan ingin agar patung Bung Karno itu
terletak di jalan besar utama, kenapa tidak dipasang di patung Adipura di pertigaan Pesiapan? Untuk apa patung Adipura,
sebuah monumen kebanggaan yang tak selalu diperoleh. Kalau di sini patung Bung Karno dipasang tak akan ada masalah dari
sisi ritual, karena pertigaan itu bukan catus pata. Paling masalahnya adalah dari sisi penghinaan pada Bung Karno kok
patungnya ditaruh di jalanan. Nah, dengan membongkar patung Wisnu Murti berarti ada dua penghinaan, menghina agama
Hindu dan menghina Bung Karno.
Tidak semua perempatan itu disebut catus pata. Yang disebut catus pata adalah perempatan di mana semua arah di
sekelilingnya masuk dalam satu desa adat. Perempatan Renon atau perempatan Ubung di Denpasar bukan catus pata, karena
itu boleh saja dibangun patung pahlawan. Catus pata desa adat Denpasar adalah perempatan Puputan Badung dan di situ ada
patung Catur Muka. Nah apakah Bupati Tabanan dan Nyoman Nuarta yang membuat patung Bung Karno tak tahu soal ini?
Nyoman Nuarta yang tinggal di Bandung mungkin sudah lama tercerabut dengan ke-Bali-annya. Coba kita tanya, menghadap
ke mana patung Bung Karno itu dalam rencananya nanti? Kalau menghadap ke barat, di jalur pemisah di barat ada Padmasari
tempat orang sembahyang, jadi kesannya Bung Karno itulah yang dipuja. Kalau menghadap ke timur, bebarti Bung Karno
membelakangi (pantatnya) menghadap Padmasari. Jika menghadap ke selatan atau utara, tentu tak sesuai dari sisi tujuan
memajang patung itu karena jalan utama timur-barat. Jadi betul-betul patung Bung Karno tak layak di sana dan kembalilan saja
Wisnu Murti, bisa saja dengan versi baru karena wujud Wisnu Murti itu bermacam-macam.
Energi buruk yang lebih baru lagi adalah aksi demo dengan spanduk cap jempol darah dengan tulisan penggal kepala Mangku
P. Ini betul-betul keblablasan. Selain kata-kata yang kasar yang tak patut diucapkan (diperlihatkan) di depan umum, cap
jempol darah itu bukanlah tradisi Hindu dan juga bukan tradisi Bali. Itu aksi politik yang dilakukan di perkotaan Jawa, di luar
Jawa juga jarang. Dalam tradisi Hindu di Bali, mengucurkan darah manusia itu adalah cuntaka (sebel atau leteh) sehingga apa
pun perbuatan yang dilakukan saat cuntaka berarti tak suci. Itu sebabnya perempuan yang datang bulan dilarang masuk
tempat suci, karena ada darah keluar dari tubuhnya. Di beberapa pura, kalau ada orang luka pada saat ngayah, orang itu
harus nunas tirta ke pemangku, supaya tidak cuntaka. Bahkan dalam sastra Hindu, bukan hanya darah yang
menyebabkancuntaka, juga air susu ibu. Itu sebabnya orang yang menyusui bayi tak disarankan masuk ke jeroan pura. Susu
ibu dianggap ada unsur darahnya.
Nah, pertanyaannya, apakah setelah ritual pamelepeh jagat semua energi buruk itu akan hilang? Manusia hanya bisa

berharap dan memohon, namun kekuasaan alam semesta dan kekuasan Tuhan yang akan menentukan, apa yang terjadi.
Setiap selesai ritual tentu yang diharapkan kerahayuan dan itu bisa diperoleh juga dengan mengembalikan pikiran yang jernih.
Kita lantas bisa mengurai kenapa peristiwa buruk bisa terjadi. Kenapa penari rangda bisa meninggal dunia ketika ditusuk keris,
apakah runtutan acaranya salah. Konon keris itu sebelum dipakai menusuk rangda ditancapkan di tanah, jelas ini tak boleh.
Kenapa anak membunuh orangtuanya yang pendeta. Konon sang anak ada dalam pengaruh narkoba. Lalu kenapa anak itu
dibebaskan berkeliaran dan kenapa tidak diterapi? Kenapa ada orang manjang wadah bisa jatuh, bukankah sebelumnya sudah
diperingatkan karena kondisinya memang tak sehat? Kenapa orang Bali mau cap jempol darah, tidakkah itu dihasut oleh
budaya luar? Jadi semuanya bisa dianalisa dengan pikiran jernih. Termasuk polemik patung Bung Karno itu, kalau memang
membuat pro kontra berkepanjangan dan memecah belah masyarakat, kenapa tidak dikembalikan saja ke asalnya?
Pamelepeh jagat bukan saja upaya mengharmoniskan alam, tetapi mari kita jadikan upaya menjernihkan pikiran, sehingga
jagat kecil dalam diri kita ikut bersih. (*)

Kamis,27 Februari 2014 @ 22:38

Negarawan
Pandita Mpu Jaya Prema
Ada 12 calon hakim konstitusi yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka akan
bersaing untuk mengisi dua kursi yang ditinggal Akil Mochtar dan Harjono. Akil kini sedang diadili dalam perkara suap,
sedangkan Harjono akan segera pensiun.
Dari 12 calon hakim itu, sembilan orang adalah dosen yang mengajar di fakultas hukum, seorang pensiunan di Kementerian
Hukum, seorang notaris, dan seorang lagi anggota DPR dari fraksi PPP, Dimyati Natakusumah. Gembar-gembor sebelumnya
menyebutkan, ada empat anggota DPR yang akan "melamar pekerjaan" sebagai hakim MK, tiga yang tidak jadi itu adalah
Benny Kabur Harman dari Fraksi Demokrat, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan Taslim Chaniago dari Fraksi PAN.
Hakim konstitusi adalah negarawan, UUD 1945 menyebutkan demikian. Apakah mereka negarawan? Menarik ketika Dimyati,
dalam sebuah tayangan di televisi, menyebutkan dirinya seorang negarawan. Alasannya, pernah menjadi pejabat negara,
yakni bupati dua periode di Kabupaten Pandeglang dan menjadi wakil rakyat. Bagi dia, itulah negarawan, seperti halnya
sastrawan adalah pengarang sastra dan dermawan adalah orang yang suka bederma.
Kalau negarawan seperti itu, camat dan lurah pun bisa disebut negarawan. Dimyati sepertinya tak bisa membedakan antara
negarawan dan orang yang bekerja untuk negara. Yang terakhir ini umum disebut pegawai negeri. Padahal negarawan bisa
juga tokoh yang tak pernah menjadi pegawai negeri.
Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara
(pemerintahan); pemimpin yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau
mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Ada beberapa unsur di sini: ahli, taat asas, bijaksana, dan berwibawa. Beda dengan sastrawan, yang dalam kamus disebut: (1)
ahli sastra dan (2) pengarang prosa dan puisi. Tak disebutkan apakah mereka harus taat asas dalam menulis puisi, apalagi
dikaitkan dengan wibawa. Wartawan dalam KBBI disebut: orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, juru warta.
Apakah sudah ahli dalam jurnalistik dan punya kewibawaan? Tak dipersoalkan. Dermawan dalam KBBI disebut: pemurah hati,
orang yang suka bederma. Bahkan dramawan hanya dengan dua kata: pemain drama.
Jadi, "wan" dalam negarawan tak bisa disamakan dengan "wan" dalam sastrawan, wartawan, dermawan, dramawan, maupun
"wan-wan" yang lain. Rujukan para ahli bahasa yang dirangkum dalam kamus ini menjadi "bahasa kebatinan" para perumus
konstitusi ketika mengamendemen (ketiga) UUD 1945 dan melahirkan Pasal 24C ayat 5 yang menyebutkan persyaratan
negarawan buat hakim konstitusi itu. Negarawan hanya salah satu syarat, lainnya integritas tinggi dan tidak tercela.
Nah, apakah Dimyati Natakusumah seorang negarawan, seorang ahli dan bijaksana, serta berintegritas tinggi dan tidak
tercela, sebagaimana disyaratkan konstitusi dan sebagaimana bunyi KBBI, tentu terpulang pada tim seleksi yang semuanya
adalah koleganya sendiri di Senayan. Ke-11 calon lainnya baik juga mematut-matutkan diri, apa benar seorang negarawan.
Masyarakat wajib mengawal seleksi ini agar MK bisa selamat untuk sementara, sebelum ada penyelamatan yang menyeluruh.
*
(Diambil dari Koran Tempo Kamis 27 Februari 2014)

Minggu,23 Februari 2014 @ 10:52

Patung Bung Karno dan Dewata Nawa Sanga


Pandita Mpu Jaya Prema
Hari Sabtu (22/2) yang lalu, ada dua peristiwa penting yang patut diapresiasi. Keduanya soal patung atau setidaknya berkaitan
dengan patung yang sakral sekaligus monumental. Yang pertama, pagi hari, di tempat Gubernur Bali melaksanakan
simakrama dengan masyarakat. Di sana maestro pelukis Nyoman Gunarsa mengusulkan agar Bali dikunci dengan patung
Dewata Nawa Sanga untuk menjaga kesuciannya. Yang kedua, sore hari, di lokasi bekas patung Wisnu Murti
di catuspata (perempatan) Kediri, Tabanan. Masyarakat sembahyang meminta kerahayuan akibat dirobohkannya patung
Wisnu Murti.
Apa yang dilakukan masyarakat Kediri ini menarik sekali. Warga yang diwakili berbagai banjar adat itu berkumpul dulu di Pura
Puseh. Selesai sembahyang di sana, mereka berjalan kaki menuju lokasi bekas patung Wisnu Murti yang kini sudah berdiri
bantaran minimalis yang akan dipajang patung Bung Karno. Mereka tidak membawa poster, mereka pun tidak meneriakkan
pernyataan setuju atau tidak setuju dengan pendirian patung Bung Karno. Mereka tidak larut dalam pro dan kontra. Mereka
sama sekali tidak berpolitik. Warga desa ini hanya melakukan persembahyangan.
Lalu, apa yang didoakan? Mereka berdoa supaya kerahayuan yang datang, termasuk rahayu bagi mereka yang merobohkan
patung itu. Warga adat ini menyerahkan urusannya pada dunia niskala. Ini adalah sikap netral kalau dilihat secara sederhana.
Namun maknanya luar biasa dalam. Masyarakat pasti merasakan atau menduga akan ada dampak negatif dari perobohan
patung Wisnu Murti itu, karena itulah mereka berdoa.
Sudah berbulan-bulan terjadi pro dan kontra di sana, bahkan bantaran (dasar) patung Bung Karno itu kini dipenuhi spanduk
yang mendukung patung Bung Karno. Ada aksi dari LSM di Tabanan yang mendukung dan memasang spanduk itu, dan orang
tahu siapa di baliknya. PHDI Bali sudah menyayangkan pendirian patung Bung Karno yang membongkar patung Wisnu Murti.
PHDI Tabanan dan pemuka agama, koh ngomong dan tidak bersikap. Seharusnya Pemda Tabanan tahu apa makna dari
sikap ini.
Persembahyangan Sabtu yang lalu semakin jelas apa yang tidak tersirat ketika tokoh yang memimpin persembahyangan itu
menyebutkan: semoga pengambil kebijakan di Tabanan berpikir jernih. Apakah imbauan berpikir jenih ini akan
dilaksanakan?
Saya sependapat dengan masyarakat Kediri. Sepakat bahwa hal ini tak usah dijadikan ribut-ribut dengan aksi demo yang
hanya membuat macet dan menakutkan masyarakat sekitar. Serahkan secara niskala, baik buruk akan diterima secara niskala.
Saya yakin karena patung Bung Karno ini sarat muatan politis maka jika jadi dipasang umurnya tak akan lama. Setelah bupati
berganti, patung Bung Karno itu pasti dipindahkan ke tempat yang lebih sesuai, misalnya, di Taman Kota atau di halaman
Gedung Mario. Ini tempat yang baik untuk memuliakan pahlawan bangsa, sementara di catuspata tempat baik untuk memuja
kebesaran Tuhan dengan berbagai manifestasinya. Masyarakat yang berpikir jernih pasti akan mendapatkan kesucian dan
mereka yang berpikir kurang jernih akan menerima pahala juga. Yang penting masyarakat Kediri dalam keadaan rahayu
sebagaimana permohonan dalam persembahyangan itu.
Berita kedua, usul Nyoman Gunarsa untuk mengunci Bali dengan Dewata Nawa Sanga juga saya apresiasi. Saya sepakat
seratus persen. Apalagi ide menempatkan empat patung dewa di empat penjuru angin (timur, selatan, barat dan laut)
semuanya berada di pinggir pantai yang dijadikan pintu gerbang masuk ke Bali. Kecuali Pelabuhan Buleleng yang kini tak aktif
lagi sebagai pintu gerbang, Pelabuhan Padangbai, Benoa dan Gilimanuk adalah pintu gerbang utama. Kesan yang ada selama
ini, tak ada simbol apa pun untuk menyambut tamu yang datang.
Identitas Bali tak muncul di pintu gerbangnya, termasuk di Bandara Ngurah Rai. Kalau saya pulang dari Jawa, di manakah
ngaturang rarapan sesampai di Gilimanuk? Paling di Rambut Siwi, itu pun penyawangan pinggir jalan. Atau kalau lewat
utara di Pura Teluk Terima. Terlalu jauh. Begitu pula kalau pergi ke Jawa, untuk mepamit meninggalkan Bali juga di Rambut
Siwi atau Teluk Terima. Penyeberangan masih jauh.
Seperti yang diusulkan Nyoman Gunarsa, empat dewa ini prioritas utama, sebelum komplit menjadi sembilan atau sanga.
Tentu di masa depan ke sembilan dewa itu harus komplit sehingga benar-benar Bali dikunci oleh Dewata Nawa Sanga.
Tanggapan Gubernur Mangku Pastika yang setuju ide ini namun harus dikaji lebih jauh dengan mengadakan seminar
atau work shop juga penting. Pendapat tokoh agama dan para pendeta Hindu harus diminta. Karena kaitannya adalah selama
ini Dewata Nawa Sanga itu sudah dipuja di berbagai pura besar, meski pun secara duniawi letaknya tak persis. Seperti
diketahui, letak Dewata Nawa Sanga itu adalah Iswara (timur) di Pura Lempuyang, Maheswara (tenggara) di Pura Goa Lawah,
Brahma (selatan) di Pura Andakasa, Rudra (barat daya) di Pura Uluwatu, Mahadewa (barat) di Pura Luhur Batukaru, Sangkara
(barat laut) di Pura Puncak Mangu, Wisnu (utara) di Pura Ulundanu Batur, Sambu (timur laut) di Pura Besakih dan Siwa

(tengah) di Pura Pusering Jagat.


Nah, karena pemujaan itu sudah ada di pura yang sudah ditetapkan, maka patung Dewata Nawa Sanga menurut saya lebih
sebagai monumen yang pujawalinya terbatas, mirip patung sakral yang ada di catuspata. Artinya, tak perlu ada ngenteg
linggih, piodalan besar dan sebagainya. Jadi yang ada hanya patung dewa itu, tak ada pelinggih apapun lagi, seperti umumnya
sebuah kahyangan. Monumen itu akan berfungsi sebagai pelajaran agama sehingga ornamen masing-masing dewa
dilengkapi. Misalnya, senjata para dewa, kendaraan para dewa, warna para dewa, dan sebagainya.
Kajian lebih dalam perlu dimatangkan kalau memang ada niat serius membangun monumen Dewata Nawa Sanga, termasuk di
mana monumen itu dibangun. Bali memang perlu dikunci atau istilah lain dibentengi. Dharma Adyaksa PHDI Pusat, Ida
Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, bahkan sudah melangkah jauh membentengi Indonesia dengan Dewata Nawa Sanga,
menunjuk pura besar yang ada sebagai stana tempat pemujan itu. Semoga pikiran yang baik dan jernih datang dari banyak
orang untuk kerahayuan bersama. (*)

Senin,17 Februari 2014 @ 01:02

Cuntaka Karena Kematian


Pandita Mpu Jaya Prema
Melalui media sosial ada umat Hindu di Sulawesi Barat yang bertanya, bagaimana sesungguhnya masalah cuntaka jika ada
kematian. Siapa saja yang cuntaka, apakah batasannya keluarga ataukah suatu wilayah. Yang jadi soal adalah komunitas
umat Hindu di rantauan itu datang dari berbagai desa di Bali yang semuanya punya pengalaman yang berbeda-beda sesuai
tradisi yang dibawanya dari Bali. Jadi ada banyak versi.
Memang, masalah cuntaka (disebut juga sebel dan leteh) bagi umat Hindu di Bali masih belum ada keseragaman.
Terutama cuntaka dalam hal kematian. Bisa terjadi di desa adat yang berbeda, versi cuntaka juga berbeda. Di luar Bali,
semestinya perbedaan bisa diatasi karena masyarakatnya majemuk dan tidak berasal dari satu desa di Bali, sehingga jangan
memakai tradisi dari daerah asal tertentu. Yang dijadikan pegangan adalah Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama
Hindu yang pernah dihasilkan pemuka agama di Bali.
Seminar Kesatuan Tafsir mengenai cuntaka merujuk pada Lontar Catur Cuntaka. Di sana disebutkan, cuntaka kematian hanya
berlaku untuk keluarga yang kematian dan paling jauh pada tingkat mindon. Tidak ada suatu wilayah di luar pekarangan rumah
duka yang menjadi kotor hanya karena ada kematian. Jadi, yang cuntaka (arti rohaninya adalah kotor sehingga tak boleh
melakukan sesuatu) hanyalah rumah duka, tempat di mana jenazah disemayamkan dan keluarga yang meninggal sampai
pada garis mindon.
Namun, tradisi di Bali begitu kuat, hasil Seminar Kesatuan Tafsir bisa tidak mempan. Jika di suatu desa masyarakatnya tak
mau mengubah tradisi, maka kebiasaan masa lalu yang tak jelas rujukannya itu tetap saja dipakai. Tetapi jauh lebih banyak
desa-desa adat yang sudah menyesuaikan dengan perkembangan baru yang merujuk kepada sastra agama termasuk hasil
seminar itu.
Di desa saya di masa lalu, tradisi cuntaka juga begitu ketat. Setiap ada orang meninggal dunia, membatalkan piodalan di pura
yang ada di desa, apakah itu pura panti, paibon, atau tri kahyangan. Dulu, penduduk yang sedikit, tidak ada masalah. Paling
hanya sesekali saja piodalan batal karena cuntaka. Tetapi, dengan jumlah penduduk yang besar, melebihi seribu kepala
keluarga, akan membuat masalah. Bayangkanlah kalau persiapan piodalan sudah dilakukan jauh-jauh hari, banten sudah
dibuat lengkap, teruna-teruni siap untuk ngayah, ada orang meninggal dunia, lalu piodalan batal. Bukankah ini kerugian yang
sangat besar?
Mengubah tradisi memang tidak mudah, perlu memberi pemahaman kepada orang-orang tua penjaga tradisi. Jika berhasil,
dalam beberapa hal perlu ada masa transisi. Misalnya, kalau ada kematian sementara akan ada piodalan, dicarikan akal agar
desa dianggap tidak cuntaka. Apa akal itu? Jenazah dikuburkan malam hari setelah matahari terbenam, pada kesempatan
pertama. Tidak boleh jenazah diinapkan di rumah, tidak boleh memukul kentongan, tidak boleh ada upacara apapun di rumah
duka, semua upacara dilakukan di kuburan. Dengan akal-akalan seperti ini desa tetap dianggap bersih (bebas dari cuntaka)
karena penguburan itu disebut memaling (mencuri atau di luar aturan). Piodalan tetap berlangsung, hanya keluarga yang
kematian saja tak boleh ke pura.
Namun, sekarang hal seperti itu pun sudah dihilangkan juga. Tak ada penguburan malam hari karena hal ini sangat merugikan
keluarga yang berduka. Bagaimana kalau keluarga itu belum kumpul, masih ada yang ditunggu karena tinggal di rantauan,
bukankah kesempatan untuk menyaksikan penguburan itu tidak mungkin? Akhirnya ditetapkan, penguburan seperti biasa.
Piodalan pun tetap berlangsung, yang kena cuntaka dan tidak boleh ke pura hanya keluarga yang kematian. Artinya, hasil

seminar kesatuan tafsir sudah dipakai.


Bahwa ada desa adat yang masih memberlakukan cuntaka dengan ketat seperti di masa lalu, itu karena sosialisasi Seminar
Kesatuan Tafsir tidak dilakukan dengan baik. Jika pun ada sosialisasi, penjelasannya tidak banyak dilakukan, sehingga tak
mampu mengubah pikiran para penjaga tradisi yang umumnya orang-orang tua. Ada sebuah desa adat di Bali yang jarang
sekali melakukan piodalan, hanya karena terkena cuntaka. Jenis cuntakayang bisa membatalkan piodalan itu banyak sekali,
bukan sekedar kematian, tetapi juga kelahiran. Bahkan ada yang menyebutkan, piodalan juga batal hanya karena ada anjing
beranak. Bisa bertahun-tahun tak ada piodalan di pura desa itu. Cobalah lantas dibayangkan, bagaimana umat Hindu
menjalankan ritual agamanya kalau dikekang dengan tradisi cuntaka seperti ini? Untuk apa pula membangun pura kalau tidak
digunakan sebagai tempat bersembahyang?
Mengubah tradisi sangat pelik, karena sejumlah orang tua menganggap tradisi itu sebuah agama. Dengan menyebutkan nak
mula keto (sudah begitu dari dulu) mereka agak sulit diyakinkan bahwa agama yang benar mempunyai ajaran yang baku.
Kalau tradisi itu melanggar ajaran agama, ya, harus diperbaiki. Masalahnya bagaimana menunjukkan dan kemudian
meyakinkan umat di lapisan bawah bahwa ada ajaran Hindu yang harus dijadikan pedoman di luar tradisi.
Saat ini masih ada mayat yang lama tak bisa dikuburkan karena ada upacara piodalan di desa. Apalagi kalau piodalan itu
besar pula, misalnya, ngenteg linggih dan sebagainya. Kalau jenazah itu dikuburkan artinya cuntaka, karena masih
memberlakukan sistemcuntaka berdasarkan wilayah, yaitu wilayah desa adat. Bukan dibatasi oleh wilayah rumah duka. Jadi
orang yang meninggal itu tetap tak bisa dikuburkan dan dibiarkan di rumah dengan status masih tidur. Tidak ada upacara
kematian apapun. Bagi orang yang hidup sederhana, apalagi masih serba kekurangan, jelas ini sangat berat karena harus
merawat jenazah di rumah. Belum lagi faktor kesehatan jika penanganan jenazah kurang baik. Bagi orang kaya tak masalah,
bahkan kalau meninggalnya di rumah sakit, sekalian menyewa tempat jenazah di rumah sakit.
Mari kita berpikir yang lebih jernih soal cuntaka kematian ini. Kalau pemuka agama Hindu sudah membuat tafsir yang
menyebutkan cuntaka itu hanya terbatas pada rumah duka dan keluarga sampai garis mindon, kenapa hal itu tidak kita pakai
rujukan. (*)

Minggu,16 Februari 2014 @ 00:59

Balada Pemasang Baliho


Pandita Mpu Jaya Prema
Mobil pikap itu datang lagi. Sopirnya bergegas menurunkan setumpuk bahan baliho sebagai alat peraga calon legislator. Pan
Darma, yang sedang membelah bambu, menyambut dengan sigap. "Ini ada lagi empat baliho caleg, masing-masing dua puluh,
terserah mau dipasang di mana," kata sang sopir.
Tak perlu lagi dialog lain. Sopir itu adalah karyawan perusahaan digital printing yang tumbuh menjamur. Mesin cetaknya
bahkan ada di kota/kecamatan. Biaya cetak pun murah, hanya Rp 15 ribu per meter persegi. Spanduk dari kain yang disablon
dianggap lebih mahal dan sudah kedaluwarsa. Pan Darma adalah tukang pasang baliho paling top di kampung itu. Dia punya
kebun bambu.
Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan. Puluhan pula baliho yang tumbang oleh angin,
tapi dia tak peduli. Kontrak kerjanya hanya membuat bentangan baliho dan memasangnya. Urusan lain-roboh oleh angin atau
dirobohkan orang-ia tak peduli. Pan Darma hanya menjual jasa plus menjual bambunya.
Dia juga sering tak peduli akan wajah caleg pada baliho itu, bahkan tak memedulikan pemilu itu sendiri. Toh, Pan Darma kerap
heran lantaran wajah dan slogan atau apa pun namanya yang tertulis pada baliho itu hampir seragam. "Mohon doa restu dan
dukungannya", lalu ada wajah manis dengan tangan seperti mengemis. Kalau pun ada kalimat lain, semuanya gombal.
"Berjuang meningkatkan kehidupan petani dan wong cilik." Puih, Pan Darma sering meludah ketika memasang bentangan
bambu pada baliho itu.
Kali ini, tatkala dia membuka sebuah outdoor banner untuk mengetahui besar bentangannya, dia kaget. Wajah perempuan itu
dikenalnya betul. "Ini teman SMA-ku, gobloknya selangit," ia mengumpat dalam hati. Tapi memang cewek caleg itu terkenal
sebagai pemain drama gong, dan ketika drama tak laku lagi, dia menjadi penari "joged binal", yang hanya bisa menganggukangguk. "Betul dia populer, tapi bisa apa? Saya lebih pantas jadi wakil rakyat, tapi saya tak punya uang dan tentu saja karena
saya orang waras."
Pan Darma sering menonton televisi yang mengumbar caleg artis. Yang ia ingat adalah Angel Lelga dan Camel Petir, keduanya
penyanyi. Pan Darma pun bertanya, kalau mereka betul menjadi wakil rakyat bersama penari joged goblok ini, seperti apa
wajah Tanah Air? Dia tak bisa membayangkan, bagaimana wakil rakyat seperti itu akan memilih hakim agung, gubernur bank

sentral, duta besar, Ketua KPK, dan seterusnya?


Seperti ada yang menyuruh, Pan Darma membuka bahan baliho dari ikatan yang lain. "Ya ampun, dia jadi caleg?" Cetakan
digital itu sempat dibantingnya. Dia tahu lelaki itu. Penjudi sabung ayam dan makelar togel. Memang lelaki itu dekat dengan
pejabat. Entah ia berkuliah di mana, tiba-tiba pada balihonya ada gelar S.Sos.
Tiba-tiba ada rasa menyesal pada diri Pan Darma, kenapa dia mau menjadi tukang pasang baliho kalau yang dipajang itu
orang-orang tak layak semua? Ia seperti mengkampanyekan orang-orang buruk. Pasti masih ada caleg yang baik, tapi mereka
enggan memasang baliho, atau bisa jadi tak punya biaya. Bagaimana masyarakat memilih caleg yang baik kalau mereka tidak
dikenal. Balihonya tak ada, televisi dan koran tak memajang wajah mereka yang tak kuat beriklan. Tapi Pan Darma tak mau
pula disalahkan. "Kalau saya salah, pemilik televisi lebih salah lagi. Kenapa caleg seperti itu dipamer-pamerkan?" Dia cuma
membatin.
(Diambil dari Koran Tempo Selasa 11 Februari 2014)

Senin,10 Februari 2014 @ 07:11

Wartawan adalah Pendeta Minus Ritual


Pandita Mpu Jaya Prema
(Tulisan Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda berikut ini untuk menyambut Hari Pers Nasional, 9 Februari 2014 dan dibukukan
dalam kumpulan tulisan oleh PWI Bali).
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebelum adanya berbagai organisasi wartawan di luar PWI,
dalam Pasal 1 berbunyi: Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat
kepada Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi
kepada kepentingan bangsa dan negara, serta terpercaya dalam mengembang profesinya.
Ketika era reformasi dan tumbuh berbagai organisasi wartawan yang memang diperbolehkan oleh undang-undang,
dirumuskan kembali KEJ yang berlaku untuk seluruh wartawan, baik anggota PWI maupun bukan. Sebanyak 29 organisasi
wartawan berkumpul di Jakarta pada 14 Maret 2006 dan berhasil merumuskan KEJ untuk wartawan Indonesia. Secara
eksplisit tak ada dikaitkan dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun jiwanya tetap sama. Bahkan
dalam pengantar ada disebutkan: Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya
kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Jadi, wartawan Indonesia sangat menghormati norma-norma agama. Bahkan, kalau saya telusuri KEJ baik versi PWI maupun
versi gabungan organisasi wartawan, lalu dikaitkan dengan etika seorang pendeta atau lazim disebut sesana kawikon
hampir tak ada bedanya. Semuanya mengabdi untuk kepentingan bangsa dan umat, punya tanggungjawab sosial, dan untuk
mencerdaskan. Coba saya urai lebih jauh.
Kriteria kompetensi seorang pendeta adalah empat hal utama, yakni (1) Sang Satya Wedi, (2) Sang Apta, (3) Sang Pathirtan,
dan (4) Sang Panadahan Upadesa. Keempat kompetensi ini dipertegas pula dalam kitab Sarasamuccaya Sloka 40.
Sang Satya Wedi adalah seorang pendeta senantiasa mewartakan ajaran tentang kebenaran dengan cara yang baik dan
bertanggungjawab. Satya artinya kebenaran, Wedi artinya mengatakan. Bukankah wartawan sama seperti itu, tak boleh
memberitakan sesuatu yang bohong? KEJ PWI Pasal 3 menyebutkan Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya
jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balik fakta, bersifat fitnah, cabul serta
sensional. Sementara KEJ organisasi wartawan dalam Pasal 1 sudah menyebutkan: Wartawan Indonesia bersikap
independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Sang Apta artinya orang yang dapat dipercaya. Untuk memiliki kepercayaan itu seorang pendeta harus punya moralitas dan
kepribadian yang luhur. Wartawan pun begitu. Pasal 2 KEJ menyebutkan Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kerja professional itu membutuhkan dan menjaga kepercayaan. Sekali
wartawan dan media di mana wartawan itu bekerja menyia-nyiakan kepercayaan ini, misalnya, menulis berita bohong, maka
pembaca akan meninggalkannya. Sulit untuk menumbuhkan kembali kepercayaan yang hilang. Karena itu dalam berbagai
kode etik, kerja professional dan membuat berita yang jujur serta berimbang sangat penting. Sama dengan pendeta, sekali
berbohong atau perilakunya (sesana) menyimpang maka kepercayaan umat akan luntur.
Sang Pathirtan artinya seorang pendeta berfungsi untuk tempat umat memohon kesucian. Kesucian yang dimaksudkan bukan
sekedar membuat thirta suci, tetapi yang lebih utama adalah menuntun umat untuk menempuh hidup suci yang tak tercela.
Intinya adalah mendidik umat dan mencerdaskan. Ini sejalan dengan tugas wartawan yang juga berfungsi mencerdaskan

masyarakat. Dalam bahasa jurnalistik sering disebutkan, pers (termasuk wartawan sebagai penggeraknya) selalu harus
selangkah di depan. Artinya, wartawan itu harus lebih dulu tahu apa yang diinginkan masyarakat. Namanya saja menjual
informasi, tentulah tak ada wartawan yang ketinggalam informasi dibandingkan masyarakat yang membaca produknya.
Wartawan dituntut cerdas dan terus-menerus mengasah kecerdasannya agar bisa menuntun masyarakat yang membaca
medianya. Kalau ada media yang tak memberikan ilmu atau informasi baru, sudah pasti akan ditinggalkan pembaca.
Yang terakhir Sang Penadahan Upadesa. Yang dimaksud adalah pendeta itu memiliki swadharma memberikan pendidikan
moral atau kesusilaan agar masyarakat hidup harmonis dengan moral yang luhur. Semua KEJ wartawan menempatkan
masalah moralitas sebagai hal yang penting untuk dijaga. Diatur dengan ketat bagaimana memberitakan kasus-kasus asusila
dan korban pemerkosaan. Pasal 4 KEJ jelas menyebut: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Pasal 3 KEJ PWI yang sudah dikutip di atas, tak membenarkan ada berita bersifat fitnah, cabul serta sensional.
Seperti halnya pendeta, wartawan juga tak boleh mengadu-domba masyarakat dengan pemberitaannya. Pendeta bisa lahir
dari berbagai klan (di Bali disebut soroh), tetapi setelah menjadi pendeta maka dia tak boleh membeda-bedakan umat
berdasar klan. Pendeta milik seluruh umat. Wartawan pun begitu. Ada yang bekerja di berbagai media, tetapi tak boleh
mementingkan medianya sendiri dalam hal memberitakan suatu kebenaran. Semuanya harus berdasarkan fakta.
Maka tak berlebihan kalau saya menyebutkan, wartawan yang taat mematuhi kode etik jurnalistik dan bekerja secara
professional sebenarnya adalah pendeta minus ritual. Artinya, fungsi dan tugasnya dalam masyarakat sejalan, hanya saja
wartawan tak bisa menyelesaikan urusan ritual keagamaan. Semoga renungan ini ada manfaatnya.
*) Penulis adalah pendeta Hindu. Nama walaka Putu Setia, pernah Pengurus PWI Jakarta, kini Redaktur Senior Tempo Media
Grup, Wartawan Utama Dewan Pers No. 086-WU/DP/V/2011.

Senin,10 Februari 2014 @ 01:42

Wayang Sakral yang Merana


Pandita Mpu Jaya Prema
Pekan ini, di mulai hari Minggu kemarin, masyarakat Hindu di Bali mengenalnya denganWuku Wayang. Orang yang lahir
pada wuku ini pada umumnya melakukan upacarapengelukatan atau istilah lebih umum ruwatan. Sarana yang digunakan
adalah wayang kulit, apakah itu dengan pementasan atau pun dengan memohon (nunas) tirtha kepada dalang. Tetapi untuk
yang lahir persis hari Sabtu Kliwon atau Tumpek Wayang, sekali dalam hidupnya harus diruwat dengan pementasan
wayang sapuh leger.
Nanti kita akan membahas wayang sapuh leger itu. Sekarang kita membahas soal wayang kulit sakral yang sangat
memprihatinkan di Bali. Boleh disebutkan bahwa wayang sakral di Bali sedang merana.
Kesenian wayang di Nusantara awalnya adalah seni sakral. Masyarakat Indonesia di masa lalu, mementaskan wayang bukan
untuk hiburan, tetapi untuk pelengkap upacara keagamaan. Apalagi jelas-jelas disebutkan dalam kalender Bali dan Jawa,
ada wuku yang bernama wayang. Ini adalah rentetan hari selama seminggu untuk menyelenggarakan upacara dengan inti
memohon tirtha suci dari perantaraan wayang kulit, dipentaskan atau tidak.
Kesakralan seni wayang pun masih membekas di luar Bali. Pada masyarakat Sunda, baik di Jawa Barat maupun di Banten,
pertunjukan wayang golek masih dipakai pada upacara panen laut. Wayang golek dipentaskan semalam suntuk dan di pagi
hari sesaji yang ada di pentas, dibawa para nelayan ke tengah laut. Kalau di Bali mirip melasti dan mulang pekelem.
Masyarakat Jawa, apa pun agamanya, seringkali mementaskan wayang kulit untuk ruwatan bumi maupun ruwatan orang.
Pementasan wayang pun bisa semalam suntuk. Belakangan ruwat-meruwat ini bertambah menjadi ruwatan politik. Misalnya,
dipentaskan wayang kulit pada hari ulang tahun partai politik. Sebelum acara dimulai, seorang tokoh partai yang
menyelenggarakan hajatan itu memberikan sebuah wayang kepada Ki Dalang sebagai pertanda pertunjukan bisa dilanjutkan.
Dengan doa apa Ki Dalang di Jawa meruwat? Tentu dengan doa-doa yang disesuaikan dengan Ki Dalang dan orang yang
diruwat. Umumnya memakai doa-doa dalam Islam, meski pun banyak orang di Bali yang meyakini bahwa wayang kulit itu
adalah budaya Hindu. Yang jelas, selain doa sesuai agama Ki Dalang, juga diselipkan banyak pencerahan rohani, kenapa
seseorang harus diruwat.
Di Bali kesakralan wayang kulit tak cuma berhubungan dengan ruwatan orang, juga pada upacara lain seperti Pitra Yadnya,
Manusa Yadnya, maupun Dewa Yadnya. Lakon-lakon yang dipentaskan pada Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya, misalnya,
pencarian air suci. Apakah itu mengambil cerita Dewa Ruci saat Bima mencari air suci di laut, atau versi lain yang banyak ada,
terserah sang dalang. Lakon dalam Pitra Yadnya seringkali dalam urusan pergi ke sorga, apakah lakon Bimaswarga (Bima ke

sorga) atau lainnya. Dulu yang terkenal malah lakon Cupak ke Sorga. Nah, semua tirtha yang dicari dalam lakon itu kemudian
oleh sang dalang dijadikan tirtha yang akan dipersembahkan kepada orang yang diruwat atau untuk pelengkap tirtha lainnya.
Selain itu juga ada yang disebut wayang lemah. Lemah di sini dalam bahasa Bali artinya siang hari. Panggung tidak memakai
kelir, hanya berisi tiga baris benang. Jadi panggung terbuka lebar. Pementasan ini pun bisa untuk upacara apa saja,
perkawinan, ngaben, maupun di pura.
Dahulu, pementasan wayang sakral ini dilakukan sang dalang sambil mengupas makna dan filosofi dari kesakralan
pertunjukan itu. Jika menyangkut Manusa Yadnya, yang banyak dikupas adalah masalah budi pekerti. Jika pertunjukan untuk
Pitra Yadnya, sang dalang mengupas inti dari yadnya itu. Kupasan bisa melebar, tak hanya melulu penjelasan tentang ritual
tetapi juga pencerahan agama. Ki Dalang berfungsi sebagai guru, tokoh agama, pendharma wacana, dan penonton
memposisikan diri sebagai murid dan orang yang haus pelajaran agama.
Itu dulu. Sekarang, situasi sudah sangat berbeda. Hiburan begitu banyak berseliweran, ada televisi dan video yang canggihcanggih. Pedesaan juga gemerlap, listrik ada di mana-mana. Pertunjukan wayang kulit pun hingar-bingar dengan pengeras
suara. Tapi, yang menonton pentas wayang tak ada. Wayang lemah tak ada yang menonton, orang sibuk dengan upacara,
sementara yang tak ikut menjalankan upacara, juga mondar-mandir. Jadi yang asyik cuma dalang, pembantu dalang dan
penabuh gender.
Pertunjukan wayang kulit Bali, yang mengiringi upacara yadnya, tidak lagi ditonton orang. Pergelaran wayang kulit yang masih
ditonton adalah pergelaran nonsakral, yang dipenuhi banyolan-banyolan. Itu pun saat ini bisa dihitung dengan jari dengan yang
paling top Dalang Cenk Blonk (Wayan Nardayana) dari Belayu. Pementasan tak lagi semalam suntuk, cukup dua setengah
jam. Dan cerita sama sekali tak ada kaitannya dengan yadnya, bahkan tak ada penekanannya dengan ephos Mahabharata
atau pun Ramayana. Yang utama kritik sosial yang dibungkus banyolan.
Kenapa wayang kulit di Jawa tetap ditonton sampai pagi? Karena antara ritual (ruwatan) dan hiburan dijadikan satu. Mereka
yang diruwat, meski hanya mendengarkan petuah-petuah tentang kebajikan sambil mengantuk duduk di kursinya, tak ingin
meninggalkan pertunjukan itu. Apalagi pada saat jam-jam mengantuk tiba, dalang memunculkan goro-goro yaitu adegan
lelucon dan juga penuh sindiran yang dimainkan para punakawan. Di Bali, pertunjukan wayang antara banyolan dan serius tak
ada batas, kapan pun bisa.
Nah, kenapa kita tidak kembali menghormati wayang sakral? Kalau pun kita tak tertarik dengan jalan cerita atau cara dalang
menyampaikannya (ini berarti dalangnya kurang diminati), minimal kita berikan mereka tempat terhormat. Jangan mondarmandir di depan panggung wayang lemah. Cara menghormati yang lain adalah jangan mekidung ataupesantian pada saat
pementasan wayang lemah. Kalau ada seni sakral lainnya yang dipentaskan juga, lakukan giliran. Jadi, antara wayang
lemah dan topeng Sidakarya, misalnya, bergantian pentasnya. Jangan sampai di sini wayang lemah, di situ topeng Sidakarya,
di sana lagi kelompok pesantian asyik menembang. Hiruk pikuk tak karuan. Lagi pula, kalau wayang sakral itu memang tak
ditonton, tak diperhatikan, hanya sebagai pelengkap, untuk apa mementaskan wayang sakral? Bawa saja banten ke rumah
sang dalang dan nunas tirtha di sana. Biaya pun hemat. Kalau kita sendiri tak menghargai seni sakral kita, siapa lagi yang
menghargainya. (*)

Sabtu,08 Februari 2014 @ 01:38

Pergantian Hari Menurut Wariga


Pandita Mpu Jaya Prema
Ternyata banyak sekali umat Hindu di Bali yang belum paham benar, kapankah hari berganti menurut perhitungan wariga. Jika
hal ini belum dipahami benar dan terjadi kesalah-pahaman, maka kaitannya adalah wetonan seorang anak. Seperti umum
diketahui, anak-anak Bali yang beragama Hindu sejak lahir sampai dewasa, masalah ritual pribadinya selalu dikaitkan
dengan wariga. Hari ulang tahun boleh saja dirayakan, namun wetonan adalah wajib untuk diperingati dengan ritual
keagamaan.
Yang dimaksudkan dengan wariga itu adalah wewaran, dari eka wara sampai dasa wara. Lalu wewaran ini dikaitkan
dengan wuku yang berjumlah tiga puluh itu. Tidak ada kaitan dengan sasih, karena sasih mengikuti kalender Saka, tahun
berdasarkan peredaran bulan.
Hari berganti menurut wariga yang digunakan di Bali adalah pagi hari sebelum matahari terbit. Umumnya secara gampang
disebutkan pukul 06.00 pagi waktu setempat, namun kalau ingin lebih cermat sebaiknya mengikuti terbitnya matahari. Seperti
halnya Puja Trisandhya yang untuk gampangnya ditetapkan setiap pukul 06.00 pagi, pukul 12.00 siang dan pukul 18.00 sore,
sesungguhnya itu sering tidak tepat. Misalnya, aat ini di mana kedudukan matahari berada di selatan katulistiwa, pukul 18.00
sore matahari masih nampak di barat, jadi sesungguhnya belum sandyakala. Tetapi karena dianggap rumit untuk
menyesuaikan dengan tenggelamnya matahari, Puja Trisandya pun tetap berkumandang di televisi pada pukul 18.00. Itu

bedanya dengan azan magrib bagi umat Islam yang selalu menyesuaikan dengan kedudukan matahari.
Nah, hari berganti menurut wariga adalah pagi hari setelah matahari terbit. Dan itu terus berlangsung sampai esok harinya
ketika matahari terbit kembali. Jadi malam hari itu adalah milik hari sebelumnya. Dengan demikian, kalau ada anak yang lahir
lewat tengah malam, misalnya pukul 03.00 sampai mendekati pukul 06.00 dini hari, anak itu weton-nya mengikuti hari kemarin.
Bukan mengikuti hari yang akan datang sebagaimana perhitungan tahun Masehi. Ini yang sering tidak diketahui.
Akibat kesalah-pahaman dalam menentukan pergantian hari menurut wariga ini, banyak yang salah weton (salah hari otonan).
Ini mempengaruhi watak sang anak karena setiap hari ada peruntungannya dan ada pantangannya. Apalagi kalau terjadi
beda wuku, misalnya, anak yang lahir hari Minggu dini hari menurut kalender Masehi, seharusnya adalah milik hari Sabtu
menurut wariga. Antara Sabtu dan Minggu sudah beda wuku. Perwatakan wuku sangat beda, pengaruhnya pun besar.
Saya berikan contoh yang akan berakibat luas. Misalnya, hari ini, Sabtu 8 Februari 2014,wuku Ugu. Jika ada bayi yang lahir
lewat tengah malam nanti, misalnya, pukul 03.00 atau pukul 05.00, maka weton-nya tetap Sabtu (Saniscara) Pon Wuku Ugu.
Bukan mengikuti hari Minggu (Redite) Wage Wuku Wayang. Kalau salah menentukan pergantian hari karena terpengaruh
tahun Masehi, dan anak itu ditetapkan weton Minggu Wage Wuku Wayang, maka anak itu harus dibuatkan upacara
pengelukatan wayang dengan runtutan penubahan Wayang Sapu Leger. Padahal seharusnya itu tak terjadi.
Bagaimana kalau terlanjur salah weton? Ini sering terjadi dan umumnya kalau keluarganya menyadari kesalahan itu, pada
saat weton-nya diadakan perubahan weton. Dan ini banyak dilakukan, upacaranya juga tidak jelimet, hanya menambah
beberapa sesajen.
Masalah hari ulang tahun, tentu mengikuti tahun Masehi, karena ulang tahun tidak berdasarkan wariga (tak memakai hari dan
wuku), tetapi memakai tanggal. Kalau anak itu lahir seperti contoh di atas, ulang tahunnya tetap saja 9 Februari, karena
pergantian Tahun Masehi adalah pukul 00.00 tengah malam.
Pergantian hari itu berbeda-beda menurut kalender. Pergantian hari Tahun Masehi pada saat tengah malam, pukul 00.00.
Sedang Tahun Hijrah yang digunakan umat Islam (dan sekarang diikuiti pula oleh Tahun Jawa), pergantian harinya dimulai
magrib pada hari tersebut. Jadi, malam hari ini setelah magrib adalah milik hari esoknya. Karena itu umat Islam, misalnya,
menyebut malam Jumat itu adalah hari Kamis malam yang biasa dikenal di Bali.
Semoga tidak ada lagi yang salah menentukan weton anaknya jika lahir menjelang dini hari. (*)

Senin,03 Februari 2014 @ 01:35

Bencana Sekitar Kita


Pandita Mpu Jaya Prema
IBU pertiwi sedang dilanda bencana. Gunung Sinabung di Sumatra Utara tak berhenti-hentinya meletus dan bahkan kembali
memakan korban. Banjir hampir merata di sepanjang pulau Jawa, dari kota besar seperti Jakarta sampai ke pelosok-pelosok
desa, dari ujung barat ke ujung timur. Lalu lintas tersendat, dan itu dampaknya bisa dilihat di Bali, jalan utama Gilimanuk
Denpasar yang biasanya dipenuhi truck besar dari Jawa, jadi sepi. Jalan pun lancar, tak ada truck yang mogok atau terguling.
Tapi itu bukan berkah buat Bali. Bagaimana pun bencana juga mengintip Bali. Ada banyak tanah longsor di Kabupaten
Buleleng, juga memakan korban. Begitu pula di Kabupaten Tabanan, terutama di daerah pegunungan. Sejumlah pohon roboh
ditumbangkan angin kencang. Bahkan ada bangunan suci di pura yang rusak karena tertimpa pohon. Sedangkan di pesisir
pantai, sampah berserakan dibawa arus laut. Bencana ada di mana-mana, di sekitar kita.
Dalam pergerakan sasih di Bali para tetua memang menyebut kan, memasuki Sasih Kewulu ini akan terjadi banyak masalah.
Angin begitu kencang dan hujan pun pada puncaknya. Semua harus waspada dan berhati-hati. Gubernur Bali Made Mangku
Pastika juga sudah meminta saran dalam sebuah konsultasi dengan para sulinggih di Bali, bagaimana supaya kita bersamasama mendoakan Bali selamat dari musibah ini. Ada yang menyarankan untuk membuat semacam ritual yang akan
mengharmoniskan alam. Tentu saja sebuah usulan yang bagus, meski pun mengharmoniskan alam juga bisa dilakukan
dengan pekerjaan nyata.
Mengharmoniskan alam dengan ritual, apakah itu dalam bentuk caru yang paling kecil sampai tawur yang amat besar, boleh
saja dilakukan. Namun bagaimana kalau kita rajin memeriksa apakah alam kita ini masih sehat atau sudah sakit. Kita harus
rajin pula memeriksa apakah pohon besar di dalam pura atau sekitar pura, sudah tua dan lapuk atau masih segar. Betul bahwa
semua yang ada dan tumbuh di dalam pura dikatagorikan sakral, apalagi pohon beringin yang sudah berusia ratusan tahun.
Tetapi kita pun juga harus tahu bahwa pohon punya roh. Sesuatu yang punya roh memiliki siklus hidup, tumbuh dan mati yang
dalam bahasa agama disebut utpeti, stiti. pralina. Kalau pohon sudah pada siklus mau mati atau mendekati masa pralina,

sebaiknya dipangkas saja. Jika perlu ditebang. Kalau tidak resikonya tumbang pada saat kita lengah dan menimpa bangunan
pelinggih. Biaya memperbaiki pelinggih dan upacara ritualnya jauh lebih besar dari menumbangkan pohon yang sudah
mendekati pralina itu.
Umat Hindu punya ajaran yang sangat bagus dalam memelihara alam ini. Salah satunya adalah ajaran Tri Hita Karana,
harmonis dalam tiga komponen. Harmonis dengan Tuhan, harmonis dengan sesama makluk hidup, dan harmonis dengan
alam. Karena itu mari kita tetap menjaga kesehatan alam dan tidak merusak ekosistem alam.
Pohon punya roh, kalau dia ditebang di hutan maka kekuatan akarnya menahan air tak ada lagi. Tanah jadi labil, maka longsor
yang terjadi. Karena itu mari bersama-sama mengawasi hutan lindung, karena dalam hutan lindung yang lebat, air hujan
ditahan oleh akar-akar pohon di dalam tanah. Tanah tahu kapan air yang disimpannya itu akan dikeluarkan dalam bentuk mata
air.
Air dari mata air akan memberi kehidupan besar pada umat manusia. Air itu bisa saja disimpan lebih dulu di danau untuk
kemudian dialirkan lewat sungai, menjadi harapan petani untuk bercocok tanam dan segala keperluan hidup manusia lainnya.
Air yang tak dimanfaatkan manusia, terus mengalir lewat sungai menuju laut dan di sana mereka berkumpul dengan seluruh air
dari segala penjuru. Alam sudah mengatur semua ini dengan cermat.
Tetapi manusia yang tidak bersahabat dengan alam, yang mengingkari ajaran Tri Hita Karana, merusak aturan yang sudah
dirancang Sang Semesta ini. Sungai banyak yang dirusak sempadannya. Tebing-tebing sungai sudah dijadikan rumah mewah
atau villa yang disewakan. Sungai jadi tercemar oleh limbah buangan air kotor, dan juga jadi tempat pembuangan sampah.
Pinggiran sungai yang seharusnya dijaga oleh pohon sehingga tanah masih menyimpan air, kini tidak lagi. Karena pinggiran
sungai sudah kena beton untuk berbagai bangunan. Jika air besar maka tak ada lagi tanah yang menyerap, semuanya bablas.
Celakanya, di daerah pemukiman, resapan air juga berkurang karena begitu banyaknya tanah yang disumbat oleh bangunan.
Jadinya, air tak menemukan jalan ke rumahnya di laut. Air itu tersesat karena jalannya sudah dihambat manusia. Bagaimana
tidak banjir di sejumlah pemukiman dan di kota-kota?
Kembali ke ajaran Tri Hita Karana adalah sesuatu yang mutlak. Bersahabat dan harmonis dengan alam adalah memelihara
alam itu sendiri sehingga semua makhluk diuntungkan. Manusia memang harus harmonis dengan sesama manusia, tetapi itu
baru satu point dari Tri Hita Karana. Harmonis dengan alam dan sekaligus harmonis dengan pencipta alam yakni Tuhan itu
sendiri, adalah kesempurnaan mempraktekkan ajaran Tri Hita Karana.
Sekarang banyak hotel, restoran dan sarana pariwisata diberi hadiah sebagai pengemban ajaran Tri Hita Karana. Tetapi sejauh
mana mereka benar-benar menjaga keharmonisan dengan alam? Barangkali cuma di lingkungannya saja, tetapi iklan-iklan
promosinya di alam terbuka, merusak alam. Begitu pula para caleg partai yang akan bertarung di Pemilu 2014 ini. Banyak yang
berkoar-koar mensejahtrakan rakyat, menjaga alam Bali, melestarikan Bali dengan bahasa yang muluk-muluk. Tapi lihat baliho
dan spanduk yang mereka pasang, sebagian besar melanggar dan merusak alam. Ini bisa menjadi bencana kalau baliho yang
besar itu roboh dan menimpa orang di jalan. Kejadian itu sudah pernah ada.
Sejatinya, bencana di sekitar kita ini juga karena kita sendiri yang membuatnya. Jutaan atau milyaran uang habis untuk
upacara tawur mengharmoniskan alam, jika kita sendiri sebagai manusia pelaku tak harmonis dan malah merusak alam, maka
ritual itu akan mubazir. Mari kita selalu berdoa supaya terhindar dari bencana, tetapi mari kita juga menoleh apa yang sudah
kita laksanakan untuk mencegah bencana ini. (*)

Senin,27 Januari 2014 @ 01:27

Awig-Awig yang Bersinergi


Pandita Mpu Jaya Prema
Menarik sekali untuk dibahas dan sekaligus dicarikan jalan keluarnya dengan adanya gesekan antara dinamika masyarakat
Bali saat ini yang dikaitkan dengan problema adat. Terjadinya gesekan itu dikemukakan secara tersirat oleh praktisi
pariwisata Bagus Sudibya dalam koran ini, terbitan Selasa pekan lalu (21/1) dengan judul: Awig-Awig Harus Bersinergi dengan
Dinamika Budaya Masyarakat.
Saya garis bawahi kata-kata awig-awig harus bersinergi. Seharusnya memang masyarakat Bali modern ini punya awig-awig
yang bersinergi dengan kemajuan zaman. Awig-awig saat ini kebanyakan warisan masa lalu di mana masyarakat Bali hidup di
era agraris. Pada masa itu kebersamaan, termasuk semangat gotong royong, sangat tinggi di pedesaan karena warganya
punya pekerjaan yang sama yaitu petani. Masyarakat petani ini secara bersama bisa menentukan lewat lembaga adat, kapan
harus piodalan, kapan harus gotong royong, bagaimana harus melakukan simakrama dan me-nyabra braya.

Sekarang, meski pertanian masih ada, masyarakat punya pekerjaan yang majemuk. Banyak yang mencari penghidupan di luar
desanya, terutama setelah terjadi ledakan ekonomi yang begitu dasyat dari perkembangan pariwisata. Waktu luang yang sama
tidak lagi berdasarkan musim tanam atau musim petik buah kopi, misalnya. Bagaimana bisa melakukan kerja adat (sering
disebut nyayah) yang harus diikuiti oleh seluruh warga, kalau ada yang bekerja di luar desa menjadi pegawai atau pekerja di
sektor pariwisata? Bahkan di lingkungan warga yang tetap tinggal di desa, hal itu juga sulit dilakukan. Karena meski pun tinggal
di desa, jenis pekerjaannya tidak sama. Ada yang berdagang keliling, ada yang jadi ojek motor, ada yang berburuh bangunan,
dan sebagainya.
Intinya adalah lebih sulit melakukan pekerjaan bersama (ngayah). Nah, kalau dalam awig-awig absennya ngayah adat itu
disertai denda, tentu memberatkan warga yang tidak tinggal di desa. Kalau harus pulang, seperti yang dikatakan Bagus
Sudibya, akan membuat warga itu meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di sektor pariwisata. Apalagi kalau awig-awig itu
begitu ketat, misalnya, absen sekian kali ngayah, tak cukup bayar denda tapi juga kena hukum kesepekang.
Bagaimana mensinergikan awig-awig dengan dinamika masyarakat saat ini? Tentu ada banyak sekali hal yang bisa
disinergikan. Saya hanya menyebut contoh-contoh kecil saja. Di desa saya saat ini, ngayah adat itu bisa dikurangi dengan cara
membagi pekerjaan ke rumah masing-masing. Misalnya ada piodalan. Tentu sudah ada patokan bantennya. Nah, itu dibagi,
siapa yang membuat banten ini, siapa yang membuat banten itu, lalu dikumpulkan pada waktunya. Orang yang dapat bagian,
bisa mengerjakannya di rumah, entah dikerjakannya malam hari, atau bahkan membeli. Ornamen banten saat ini, dari daksina
sampai alat caru, banyak yang menjual. Dengan demikian, ibu-ibu yang di masa lalu berhari-hari ngayah adat membuat
banten, sekarang paling hanya ngayah saat metanding saja.
Demikian pula yang laki-laki. Pekerjaan dibagi, siapa membuat kelakat, siapa membuatsanggah cucuk, tusukan sate, dan
sebagainya. Pada hari tertentu tinggal dikumpulkan. Yang bekerja di luar desa kalau dapat bagian itu, bisa membelinya di Desa
Kapal, misalnya. Jadi, tidak harus meninggalkan pekerjaan di hotel untuk pulang hanya untuk membuat tusukan sate.
Demikian pula di luar ngayah, misalnya, pesuka-dukaan. Dalam praktek di masa lalu (ada desa adat yang memasukkannya
dalam awig-awig, ada yang tidak), setiap ada orang yang meninggal dunia, warga adat wajib datang. Pagi membuat sarana
untuk menguburkan jenazah (kalau tidak langsung ada upacara pitra yadnya), siang mengantar ke kuburan. Itu masih mending
kalau ada hari baik menguburkan jenazah, jadi cukup izin satu hari. Kalau ada kala gotongan, semut sedulur dan sebagainya,
di mana jenazah tak bisa hari itu dikubur, warga yang di luar desa bisa izin lebih dari sehari.
Apa solusinya? Kewajiban itu tak dibatasi waktu. Alat penguburan dibuat keluarga inti yang meninggal. Di wilayah perkotaan,
ada diatur pembuatan sarana itu dilakukan mulai pukul 06.00 pagi, sehingga selesai pukul 08.00. Jadi warga masih bisa ke
kantor. Mengantar ke kuburan cukup seadanya. Warga yang sulit dapat izin atau bolos, tak usah ikut ke kuburan. Nah,
wujud pesuka-dukaan tetap berjalan dengan cara warga yang kerja kantoran datang sore hari atau di malam hari untuk
melayat. Bahkan suasana ini bisa lebih khusyuk karena tak perlu tergesa-gesa dan bawaan pun bisa lebih berharga.
Tentu banyak contoh lain. Sinergi itu harus diputuskan bersama dengan saling menghormati profesi orang lain. Dalam
mengupayakan sinergi itu, kebersamaan tetap harus dijaga. Intinya adalah jangan sampai warga kena hukum kesepekang,
karena sistem ngayah adat sekarang ini terbuka untuk direvisi dan masalah pesuka-dukaan akan menemukan format baru
yang sesuai dengan zaman.
Satu hal yang perlu diingatkan lagi adalah awig-awig itu bukanlah sesuatu yang sakral. Ada anggapan di banyak orang, karena
awig-awig itu disahkan dengan ritual pasupati dan dihadiri pejabat pemerintah dan majelis adat, lantas disebutkan sakral dan
berlaku ketat seterusnya, tak bisa lagi dirombak. Tidak begitu. Awig-awig itu buatan manusia, seperti pula Undang Undang
Dasar 1945. Bukankah UUD 45 sudah empat kali diperbaiki atau diamandemen?
Sebagaimana halnya undang-undang, peraturan daerah dan sebagainya, awig-awig pun dibuat untuk ketentraman dan
kenyamanan bersama. Maka tak ada awig-awig yang membelenggu warganya dan membuat perpecahan di desa adat.
Bagaimana kita bisa menghukum warga adat, padahal pendatang yang datang dari luar Bali, tak dikenakan awig-awig padahal
mereka juga tinggal di wilayah desa adat. Marilah kita selalu sinergikan awig-awig dengan perkembangan zaman, karena kita
tak tahu lagi apa yang akan terjadi di masa mendatang. (*)

Senin,13 Januari 2014 @ 02:57

Antisipasi Caleg Gila


Pandita Mpu Jaya Prema
(Pengantar: Kadangkala, pada saat menulis Cari Angin untuk Koran Tempo, saya selalu mengawali dengan "asal tulis".
Jadinya panjang. Tulisan panjang itulah saya edit untuk disesuaikan dengan kolom Cari Angin. Proses editing bisa berubah di
sana sini. Dan ini tulisan yang awal, yang panjang itu. Bandingkan dengan yang dimuat untuk Cari Angin, di postingan
sebelumnya).

Pemilu semakin dekat. Banyak orang yang sibuk. Komisi Pemilihan Umum sibuk. Partai politik lebih sibuk lagi. Para caleg luar
biasa sibuknya. Dia harus kampanye, membuat baliho, mengunjungi desa-desa membuat pertemuan dan menebar janji-janji.
Dan satu lagi instansi yang ikut sibuk adalah pengelola Rumah Sakit Jiwa. Di berbagai kota di Jawa dan Sumatra, rumah sakit
jiwa mulai berbenah untuk menambah pasien mengantisipasi lonjakan setelah pemilu. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur,
Surabaya, misalnya menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk menampung pasien gila setelah pemilu.
Siapa yang bakal gila? Ya, tak lain adalah para calon legislatif yang gagal memperoleh suara. Berdasarkan pengalaman pemilu
2004 dan 2009, caleg yang gila itu terus bertambah jumlahnya. Mereka tiba-tiba shock setelah gagal menjadi anggota dewan,
apalagi setelah mengeluarkan uang yang begitu banyak. Para caleg tersebut telanjur berutang banyak dan berharap bisa
ditebus ketika sudah menjadi anggota dewan. Atau, sudah kadung menjual semua harta bendanya. ''Kami sudah
mengantisipasi. Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan hal itu,'' kata Direktur Utama RSJ Menur Surabaya dr Adi
Wirachjanto.
Apakah RSJ Bangli sudah menyiapkan hal serupa mengantisipasi caleg gila? Saya kira perlu antisipasi hal ini. Jika tidak dan
lonjakan caleg gila banyak sementara daya tampung tak cukup, berbahaya sekali orang gila ini gentayangan di masyarakat.
Caleg-caleg di Bali seperti bertaruh untuk menjadi anggota dewan. Mereka mengharap uang itu akan kembali setelah menjadi
anggota dewan. Tentu bukan mengandalkan gaji belaka. Bisa dari bermain-main dana proyek, termasuk mempermainkan
bansos (bantuan sosial) yang seharusnya diterima utuh oleh masyarakat, tapi dia potong dengan alasan telah
memperjuangkannya.
Seorang ayah yang anak perempuannya menjadi caleg untuk DPRD Kabupaten mendatangi saya. Dia konsultasi, apakah
anaknya harus bertarung menjadi caleg atau pasrah saja. Lo, kalau sudah menjadi caleg, kenapa harus pasrah? Sang ayah
menceritakan, anaknya itu perempuan yang sangat polos, pergaulannya biasa-biasa saja, tak pernah menjadi pengurus
organisasi apapun, dan pengalamannya hanya pernah menjadi pegawai koperasi. Karena dia tamatan SMA dan memenuhi
syarat menjadi caleg, dia dipinang oleh partai untuk memenuhi persyaratan 30 persen wakil perempuan. Dia bersedia dan
mendapat nomor urut 5 untuk daerah pemilihan (dapil) yang mencakup dua kecamatan.
Tadinya anak itu diam saja karena memang tak berminat menjadi anggota DPRD, apalagi merasa tak mampu. Macam apa
pekerjaan itu sama sekali tak terbayangkan oleh dia. Namun, beberapa teman anak itu tiba-tiba memanas-manasi dan siap
menjadi tim sukses. Ada yang siap membuatkan baliho sampai memasangnya. Ada yang janji mencarikan calon pemilih. Anak
itu tiba-tiba kepingin serius bertarung. Dia minta uang kepada orangtuanya dengan memaksa. Sang ayah mengaku sudah
mencari uang dengan berbagai cara, termasuk menjual sebagian kebun kopi. Terkumpul uang Rp 400 juta. Apakah modal
sebanyak itu cukup? Tanya ayah caleg dadakan itu.
Saya katakan terus terang, uang itu tak cukup, dan akan habis percuma. Persoalannya bukan cuma uang, tetapi anak itu
belum bergaul dengan masyarakat, bagaimana mau menjadi anggota Dewan? Jangankan bersaing dengan caleg partai lain,
dengan caleg di partainya sendiri saja tak akan bisa. Pemilu sistem sekarang ini adalah bertarung dengan sesama caleg di
partai, kemudian baru bertarung dengan caleg di partai lain. Ayah anak itu kaget mendengar saran saya. Kalau uang Rp 400
juta itu habis percuma dan anak saya tak bisa jadi anggota dewan, bukan saja dia yang gila. Saya ikut gila. Uang itu besar
sekali buat keluarga saya, kata sang ayah.
Saya pun setuju uang itu besar. Lebih baik untuk modal berdagang, mumpung sudah terlanjur jual kebun kopi. Tak usah mimpi
jadi anggota dewan. Orang-orang yang menyebut mau menjadi tim sukses itu hanya cari untung. Sekarang banyak tim sukses
yang untung, apalagi mereka hanya mau bekerja jika dibayar lebih dulu. Di kampung saya, banyak orang yang menjual jasa
dari memasang baliho. Selain ada upah memasang, mereka juga menjual bambu. Tak heran, mereka selalu ngompori caleg
untuk pasang baliho. Tapi tak berarti mereka simpatisan partai, kalau balihonya jatuh, ya, dibiarkan saja. Tim sukses dan
tukang pasang baliho ini tak peduli apakah caleg itu gagal atau sukses.
Di Bali ada sesonggan (pepatah) yang berbunyi: buke ngae baju, sikutang di deweke, artinya, jika membuat baju ukur di
tubuh sendiri. Maksudnya, ukur diri sendiri sebelum memilih pekerjaan tertentu. Atau sering kali juga disebut, cobalah
bercermin apakah pantas memegang jabatan yang diimpikan itu. Para caleg ini harus bercermin atau mengukur dirinya, apa
memang pantas menjadi anggota dewan? Termasuk pula calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), apa memang
pantas memegang jabatan itu?
Di internet para caleg dan calon DPD banyak yang sudah kampanye. Mereka menebar visi dan misi dan kata-kata yang
diumbar adalah: mensejahtrakan rakyat Bali, mengajegkan Bali, memperjuangkan umat Hindu dan seterusnya. Kalimatkalimat yang jelas jiplakan atau mungkin dibuat oleh orang lain. Saya sendiri heran, apakah para caleg itu sadar apa yang
ditulisnya? Atau jangan-jangan mereka sendiri juga tak paham.
Menjadi anggota dewan itu berat, kalau bekerja dengan serius. Mereka harus paham ilmu tata negara, suka membaca, suka
berdebat, mengetahui seluk-beluk permasalahan bangsa, dan seterusnya. Ngomong di rapat banjar saja belepotan,
bagaimana menjadi anggota dewan? Struktur bahasa dan runtutan omongan harus jelas. Tak bisa mengandalkan uang, dan
bahkan juga keterkenalan. Seorang artis atau pelawak menjadi anggota DPD, bisa berbuat apa di Jakarta, berhadapan dengan
politisi yang terlatih? Akhirnya hanya diam dan masyarakat rugi memilihnya.
Caleg dan calon anggota DPD sekarang ini kebanyakan tipe orang yang tak bisa mengukur diri. Maka jalan pintaslah yang
ditempuh, yakni menebar duit untuk menjaring suara. Harapannya, setelah terpilih ia bisa memainkan segala proyek agar
modalnya kembali, padahal dia tak tahu pengawasan sekarang ketat. Bermain dana bansos bisa-bisa masuk penjara. Itu bagi
yang terpilih. Kalau yang tak terpilih, ya, bisa stress dan akhirnya menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa. Masyarakat juga harus

sadar, janganlah memilih sembarangan, yang tak bisa berbuat apa-apa untuk rakyat Bali, yang hanya memperbanyak orang
gila. (*)

Senin,06 Januari 2014 @ 02:49

Bhineka Tunggal Ika


Pandita Mpu Jaya Prema
KITA sudah memasuki tahun politik 2014. Pemilihan umum yang memilih anggota legislatif segera digelar, dan jadwalnya 9
April nanti. Lalu disusul pemilihan umum untuk memilih Presiden di bulan Juli. Itu kalau sesuai dengan jadwal karena saat ini
undang-undang mengenai pemilu diuji oleh Mahkamah Konstitusi atas gugatan Yusril Ihza Mahendra. Kalau gugatan itu
dipenuhi MK, bisa jadi pemilu diadakan serempak dan bisa jadi mundur dari tanggal 9 April.
Apa pun yang terjadi, itu hanya soal jadwal. Pemilu sekarang ini menjadi penting karena nasib bangsa akan dipertaruhkan,
akan dibawa ke mana negeri ini. Dan siapa orang-orang yang akan duduk di parlemen maupun siapa yang akan
mengendalikan negeri ini menjadi presiden. Apakah mereka masih punya semangat nasionalisme atau hanya mementingkan
kelompok sendiri? Apakah mereka toleran terhadap perbedaan ataukah diterpa angin intoleransi, sebagaimana benih-benihnya
telah bertebaran saat ini?
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan berkeping-keping jika keberagaman dan perbedaan tidak diakomodasi
dengan baik. Kita sudah sejak lama mengenal sesanti Bhineka Tunggal Ika. Sesanti itu tertulis di antara dua kaki Burung
Garuda yang menjadi lambang negara. Ini sudah menjadi simbol negara. Jika ada burung garuda tanpa ada tulisan itu, tak ada
gunanya dipajang di kantor-kantor resmi.
Kenapa Bhineka Tunggal Ika itu dijadikan sesanti oleh para pendiri bangsa ini? Bagaimana kisahnya? Banyak generasi muda
yang tidak tahu. Seorang calon legislatif pernah saya tanya, apa dia tahu kenapa slogan atau sesanti bangsa ini Bhineka
Tunggal Ika. Dia tak bisa menjawab. Agak memalukan memang, padahal sebagai orang Bali semestinya dia tahu. Minimal
pernah mendengar. Karena sesanti ini ada pada Kekawin Sutasoma.
Kekawin Sutasoma menceritakan petualangan spiritual Sutasoma sebelum dan sesudah menjadi Raja Hastina. Bagian yang
paling menarik memang saat munculnya sesanti Bhineka Tunggal Ika itu. Prabu Sutasoma siap untuk dijadikan korban
santapan Bethara Kala sebagai pengganti dari 100 raja yang sudah ditangkap oleh raja raksasa Porusada. Raja Porusada ini
memang membayar kaul mengorbankan 100 raja kepada Bethara Kala jika kakinya sembuh dari penyakit yang aneh.
Prabu Sutasoma ikhlas mengorbankan dirinya, tapi dia meminta satu hal. Yakni, nanging ana pamintaku, uripana sahananing
ratu kabeh. Artinya: tapi ada permohonanku, hidupkanlah para raja itu semuanya. Sutasoma mau dijadikan korban santapan
raksasa Porusada, asal 100 raja yang sudah terlebih dahulu dibunuh, dihidupkan kembali.
Pengorbanan diri Sutasoma ini menyentuh hati Bethara Siwa yang menitis pada Porusada. Siwa kemudian meninggalkan
tubuh Porusada dan kembali ke kahyangan. Sutasoma pun gagal menjadi santapan Porusada, sementara 100 raja yang sudah
dibunuh hidup kembali dan dilepaskan untuk pulang ke kerajaannya. Ke seratus raja ini mengembangkan gaya kepemimpinan
yang berbeda, memimpin masyarakat yang juga berbeda-beda, bahkan masing-masing raja menganut keyakinan (aliran atau
sekte) yang berbeda. Namun tujuannya adalah satu, untuk kebenaran. Mpu Tantular, pengarang kisah Sutasoma ini menulis
kata-kata bertuah: Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
Berbeda-beda tetapi tunggal tujuan, menegakkan dharma, menegakkan kebenaran, mensejahtrakan rakyat. Kata-kata ini
mengusik hati Muhammad Yamin, dalam sidang persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia lalu mengusulkan kepada Bung Karno
agar kata ini dijadikan lambang persatuan Indonesia. Soekarno terhenyak dan dia setuju. Agar orang-orang tahu bagaimana
saktinya kata Bhineka Tunggal Ika itu, Soekarno lalu meminta Dalang Granyam dari Sukawati untuk mementaskan wayang
Sutasoma agar para tokoh bangsa lebih jelas menangkap makna dari sesanti ini. Dan sejarah pun mengukir, sesanti itu
akhirnya menjadi simbol kenegaraan.
Karya sastra Sutasoma akhirnya begitu populer di tanah air, termasuk di Bali. Ahli sastra Bali, I Gusti Bagus Sugriwa, berjasa
mempopulerkan Sutasoma dengan membuat Kekawin Sutasoma. Kepopuleran Sutasoma kemudian menyebar melewati batas
sastra. Ia muncul dalam lakon wayang kulit, sendratari, lukisan di atas kanvas, lukisan yang menghias Bale Kambang di
Klungkung, dan pergelaran tari.
Namun Mpu Tantular tidak begitu populer di Bali, padahal beliau bisa dikatakan sebagai leluhur orang Bali. Ayahnya adalah
Mpu Bahula, putra Mpu Baradah. Ibu Mpu Tantular adalah Ratna Manggali putri tunggal Mpu Kuturan. Mpu Tantular menurunkan Danghyang Siddhimantra, Danghyang Panawasikan, Danghyang Kepakisan, dan Danghyang Smaranatha. Danghyang
Smaranatha menurunkan Danghyang Nirarta dan Danghyang Angsoka.

Kenapa Mpu Tantular tidak sepopuler kakeknya di Bali? Atau kalah populer dengan cucu-cucunya di Bali? Karena dia tak
pernah menetap lama di Bali dan tidak mewariskan tempat peninggalan suci atau pura. Pernah ada ide untuk mendirikan
perguruan tinggi swasta di Bali dengan nama Mpu Tantular, tetapi tidak jadi. Yang berdiri justru di Jakarta, ada Universitas Mpu
Tantular. Museum Mpu Tantular dibangun di Kota Surabaya, berdiri di atas gedung di Jalan Taman Mayangkara 6, Surabaya.
Meski museum itu merana dan sepi pengunjung, tetapi di situ tersimpan peninggalan Mpu Tantular dalam bentuk karya sastra.
Orang Bali lebih tahu tentang karya dibandingkan sang pencipta. Mpu Tantular boleh jadi kurang dikenal di Bali, tetapi kisah
Sutasoma begitu populernya. Tari oleg Tamulilingan begitu populer, tetapi Ketut Mario yang menciptakannya tidak dikenal
orang. Lukisan wayang Kamasan juga populer, tetapi siapa yang melukisnya tidak dikenal. Pernahkah orang Bali merenung
sejenak, siapa yang menciptakan dramatari arja, gambuh, topeng dan sebagainya?
Terlepas dari semua itu, slogan Bhineka Tunggal Ika haruslah terus dihidupkan oleh wakil-wakil Bali, apakah dia akan duduk di
DPR, DPD atau tokoh-tokoh publik lainnya. Pertanda bangsa ini mulai rapuh kebhinekaannya terlihat dari banyaknya
intoleransi. Misalnya, dilarang mengucapkan selamat hari raya untuk agama yang bukan dipeluk, dilarang merayakan tahun
baru Masehi padahal penanggalan resmi yang dipakai adalah tahun Masehi, pemaksaan idiom agama tertentu di wilayah
mayoritas beragama lain seperti Hotel Syariah di Kuta, misalnya. Banyak contoh lain.
Namun, semangat mengumandangkan terus sesanti Bhineka Tunggal Ika harus pula tahu sejarah lahirnya sesanti itu, seperti
yang teruari di atas. Agar tak dicap, bisa mengatakan tapi tak tahu kisahnya. (*)

Senin,30 Desember 2013 @ 03:20

Pohon Obat yang Langka


Pandita Mpu Jaya Prema
SAMPAI di ujung tahun 2013 ini, masyarakat Bali masih sibuk dengan masalah lingkungan. Tetapi yang banyak dipersoalkan
soal lingkungan hidup di pantai. Soal menanam dan memelihara hutan bakau di pantai, terutama di Bali Selatan. Belum lagi
soal reklamasi Teluk Benoa yang tak habis-habisnya menjadi pro dan kontra. Orang lupa bahwa kekayaan Bali tak cuma
pantainya yang indah, tetapi juga alam di pedesaan termasuk hutannya. Siapa yang peduli pada hutan Bali ini? Dan juga yang
penting, siapa yang peduli pada hutan yang dihasilkan tanah Bali?
Padahal tanah Bali ini harus dipelihara dari pantai sampai ke gunung. Justru di gunung perhatian harus lebih serius, karena
ritual agama Hindu yang ada di Bali lebih berkaitan dengan gunung termasuk hasil hutannya. Kalau kita membaca puranapurana mengenai tanah Bali, maka kita mendapatkan gambaran tentang tanah yang begitu asri yang sangat dijaga para
leluhur. Pantai, sungai, tebing dan hutan, semua mempesona. Di situlah para leluhur Bali mendirikan tempat suci.
Begitu kaya alam Bali. Di hutan-hutan di pegunungan, berbagai tanaman ada. Kekayaan alam inilah yang dipersembahkan
dalam ritual keagamaan di pura. Konsep leluhur orang Bali di masa lalu adalah, tempat suci di Bali harus didukung oleh alam
indah dan sarana persembahyangan yang datang dari alam Bali sendiri. Kalau mau dikaitkan dengan Weda, persembahkanlah
hasil kekayaan alam sekitar dalam setiap pemujaan.
Sayangnya, kini manusia Bali sudah berubah, melupakan warisan leluhurnya dan sudah menyimpang jauh dari purana yang
ada. Janur (busung) sudah datang dari Banyuwangi dan Situbondo, demikian pula bunga, ayam, itik dan telur. Buah bertrucktruck datang dari luar Bali termasuk dari luar negeri seperti Amerika, Cina, Thailand dan sebagainya. Sotong, juwet, belimbing,
jeruk Bali, sudah kalah gengsi dengan buah peer dari Cina, apel dari Amerika dan sebagainya.
Padahal, tanaman khas Bali yang dipelihara para leluhur orang Bali di masa lalu, bukan saja untuk persembahan di pura, juga
untuk sarana mengobati orang sakit. Antara tanaman yang tumbuh di tanah Bali dan penyakit yang diderita orang Bali, klop.
Keahlian orang Bali dalam meracik hasil-hasil alam ini memunculkan apa yang disebut dengan Usada Bali, sebuah ilmu
pengobatan penyakit dari bahan alam. Memang, ilmu semacam ini bukan hanya ada di Bali, di berbagai belahan bumi juga
ada. Tapi yang pasti, ilmu ini (Usada Bali) kini terbilang merosot pengikutnya dibandingkan yang dipraktekkan di India maupun
Cina. Bahkan dunia kedokteran moderen sudah mengakui keunggulan ini sehingga banyak obat-obatan dan suplemen
kesehatan yang memakai racikan dari alam. Herbal, begitulah istilah populernya.
Seberapa besarkah kekayaan alam Bali yang menyimpan berbagai tanaman yang bisa dijadikan bahan obat? Syahdan, di
masa lalu, Mpu Kuturan melakukan semadhi di kuburan. Beliau melakukan semadhi karena hampir putus asa setelah tidak
berhasil mengobati orang sakit. Sebelumnya, selain mengajarkan agama dan menata kehidupan sosial orang Bali, Mpu
Kuturan selalu berhasil menyembuhkan orang sakit. Kali ini tidak, untuk itulah ia melakukan semadhi agar mendapatkan
pewisik.
Karena laku semadhinya yang kuat, pewisik (bisikan gaib) diperoleh. Pohon kepuh yang ada di kuburan tiba-tiba bisa bicara

dan bertanya pada Mpu Kuturan: Ilmu apa yang ingin Mpu dapatkan? Setelah Mpu Kuturan menjelaskan maksudnya, pohon
kepuh berkata: Saya, pohon kepuh, memang tidak bisa dipakai menyembuhkan orang sakit, itu sebabnya saya lebih banyak
menghuni kuburan. Tetapi, pohon-pohon yang lain, bisa dijadikan obat. Nanti pohon itu akan datang menjelaskan
kegunaannya.
Demikianlah, akhirnya satu persatu pohon datang di depan Mpu Kuturan sambil menjelaskan kegunaannya. Begitu banyak
pohon yang mengandung obat, jumlahnya ada 202 buah. Kisah ini dikutip dari lontar Taru Premana yang menggunakan
bahasa Jawa Kuno (Kawi). Meski pun uraian dalam lontar sering tidak logis untuk zaman moderen ini, namun intisari dari apa
yang ditulis lontar ini sangat tepat. Dalam terapi pengobatan Usada Bali, khasiat tanaman yang mengandung obat ini diakui
kebenarannya. Bahkan dalam brosur-brosur suplemen herbal yang banyak datang dari luar negeri, khasiat tanaman ini jelasjelas disebutkan.
Masalahnya, apakah tanah Bali saat ini masih menyimpan 202 pohon obat itu? Kalau saja separohnya ada, mungkin masih
lumayan. Lagi pula yang perlu dipertanyakan, kalau pun pohon obat itu masih ada, masih sempatkah orang Bali membuat
racikan dari bahan pohon itu? Pertanyaan ini masih bisa diteruskan, misalnya, kalau pun racikan itu masih ada yang membuat,
apakah orang Bali sekarang masih sreg berobat secara tradisional, sementara Puskesmas sudah ada di desa-desa? Ini
masalah besar, karena perilaku orang Bali saat ini sudah moderen keblablasan. Pada saat negara-negara maju kembali ke
alam dan kembali menggunakan obat-obatan dari alam (herbal) karena effek samping yang jarang, orang Bali melupakan
Usada Bali yang dulu sangat populer itu.
Di masa Orde Baru, ada gerakan menanam tanaman obat di pekarangan rumah yang dilakukan oleh PKK. Istilah yang
dipakai saat itu adalah membuat apotek hidup. Yang ditanam, misalnya, jahe, kunyit, sirih, kumis kucing, kemanggi dan
sebagainya. Namun gerakan ini hilang. Mungkin orang Bali sudah berpikir maju, untuk apa lagi membuat apotek hidup toh
obat-obatan sudah banyak gratis di Puskesmas.
Ironisnya adalah pohon obat khas Bali itu kini juga sulit didapat. Jeruk Bali sudah menghilang dari Bali, namun dipelihara
dengan baik di Sukabumi, Jawa Barat. Daun jeruk Bali ini bisa diracik dengan menambah cuka untuk mengobati penyakit
reumatik. Pohon juwet, sudah langka di Bali. Padahal babakan (kulit) pohon ini bisa ditumbuk halus untuk mengobati penyakit
kelamin. Pohon jambu Bali (sotong), memang masih banyak ada dan orang Bali pun tahu kalau buah sotong ini bisa dijadikan
obat diare. Tetapi berapa banyak yang tahu kalau daun sotong muda ini jika ditambah dengan ketumbar dan digiling halus, bisa
dipakai obat jerawat?
Sekarang memang ada gerakan kembali memelihara tanaman obat (usada), tapi lebih banyak dilakukan oleh kalangan
industri. Sudah mulai muncul obat-obatan khas alam Bali, baik berupa boreh maupun berbentuk cairan. Tapi keterlibatan
masyarakat belum nampak, apalagi keterlibatan aktivis lingkungan hidup. Mereka masih asyik dengan proyek-proyek yang
berkaitan dengan dunia wisata sehingga alam Bali yang mereka klaim untuk dipelihara hanyalah yang berkaitan dengan
investor. Mereka lupa kalau hutan dan pohon yang berkhasiat untuk obat sudah mulai langka di Bali. (*)

Kamis,26 Desember 2013 @ 03:14

Kebersamaan Natal
Pandita Mpu Jaya Prema
Ritual Natal sudah berlalu. Yang tersisa adalah rangkaian perayaannya yang lebih bersifat silaturahmi. Tentu tak ada kata
terlambat untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Natal" kepada umat Nasrani, semoga bumi ini semakin damai dan
persaudaraan tetap abadi.
Mengucapkan selamat Natal bagi saya tak ada masalah. Saya menyampaikan selamat kepada orang lain, bukan kepada diri
sendiri. Artinya, yang khusyuk dengan ritual Natal itu orang lain. Saya hanya berdoa agar mereka selamat dalam menunaikan
ibadah itu, tanpa ikut ritualnya. Bukankah sangat wajar dalam pergaulan modern? Saya sebut pergaulan modern karena, saya
amati di desa-desa, ucapan formal begini tak penting amat. Yang suka formal itu gubernur, bupati, ketua DPRD, dan
seterusnya, dengan memasang iklan di media massa. Sekarang, pada saat menjelang pemilu, para calon legislator pun
mengobral ucapan selamat itu di spanduk-spanduk sambil memajang tampang mereka.
Di pedesaan, jika penduduknya beragam keyakinan, ada silaturahmi yang sangat menonjolkan kearifan lokal. Di Bali, misalnya,
di desa yang penduduknya beragam agama, perayaan hari keagamaan apa pun seperti dimiliki oleh seluruh warga. Sehari
menjelang Natal, umat Kristiani mengantar makanan kepada pemeluk Hindu. Tradisi ini disebut "ngejot", arti sesungguhnya
adalah "membawa oleh-oleh makanan ke tetangga". Pada hari menjelang Galungan, umat Hindu yang "ngejot" ke pemeluk
Kristen atau Katolik. Tradisi "ngejot" antara umat Nasrani dan Hindu lebih semarak lantaran tak mengharamkan daging babi,
dan jenis masakan pun hampir sama. Tak berarti di kalangan umat muslim Bali diharamkan "ngejot" atau menerimanya. Warga
muslim di Kepaon (Denpasar), Pegayaman (Buleleng), dan Melaya (Bali Barat), yang komunitasnya berbudaya Bali,

melestarikan juga tradisi "ngejot" ini dengan makanan yang disesuaikan ajaran agamanya.
Yang ingin saya katakan adalah budaya itu tetap bisa lestari sesuai dengan warisan leluhur meski agama atau keyakinan
berbeda-beda. Umat Kristiani di Bali pergi ke gereja yang berukir ornamen Bali, datang dengan berkain adat Bali lengkap
dengan destarnya. Tentu saja, karena mereka orang Bali. Dan pakaian adat plus destar itu bukanlah "pakaian agama tertentu",
itu budaya lokal. Tak ada "pakaian Hindu". Umat Hindu Jawa tak memakai destar jika sembahyang, apalagi umat Hindu
Kaharingan atau etnis India.
Sebaliknya, dengan menghormati budaya lokal, banyak pejabat yang datang ke Bali mengenakan pakaian adat Bali, termasuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang gambarnya banyak terpajang di baliho sekarang ini. Tak ada yang menyebut
Presiden Yudhoyono mengenakan "pakaian Hindu" dan saya yakin keimanan Presiden tak sedikit pun ternoda oleh kekhasan
budaya lokal ini.
Budaya Nusantara begitu beragam, indah nan mempesona. Budaya yang datang dari luar memang tak bisa dibendung dalam
era global ini. Budaya Timur Tengah atau budaya India, misalnya, boleh saja diimpor dan beradaptasi dengan budaya lokal.
Tapi, memaksakan budaya itu untuk dipakai dengan dalih bahwa dari negeri itulah asal muasal agama dan turunnya kitab suci
agaknya berlebihan. Ajaran agama harga mati untuk pengikutnya, tapi budaya lokal yang tak bertentangan dengan ajaran
agama tentu berhak dilestarikan.
Dengan tetap melanggengkan budaya lokal sembari memberikan kebebasan umat dalam memeluk keyakinan, hari-hari raya
keagamaan seperti milik bersama. Dan itulah yang terasa pada setiap Natal di Tanah Air ini, khususnya di Bali, ada
kebersamaan pada hari yang kudus itu, sebagaimana kebersamaan pada Idul Fitri dan hari raya Hindu
(Diambil dari Koran Tempo Kamis 26 Desember 2013)

Senin,23 Desember 2013 @ 03:12

Asap Rokok di Pura


Pandita Mpu Jaya Prema
BARU-BARU ini di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar sejumlah orang ditangkap karena merokok di
lingkungan rumah sakit. Mereka tak sekedar diberi peringatan, tetapi sudah mulai didenda. Orang yang kena denda itu kaget,
karena mereka tidak tahu ada peraturan yang sudah memberikan denda bagi siapa saja yang merokok di tempat umum.
Larangan merokok di rumah sakit sudah sejak lama. Bahkan ada atau tidak ada larangan merokok, rumah sakit seharusnya
seteril dari asap rokok. Tetapi sudah umum para penunggu pasien mengepulkan asap rokok di lorong-lorong zal. Apalagi kalau
sudah berada di taman sekitar zal-zal, hampir semua lelaki merokok. Hanya di ruang VIP saja larangan merokok itu
diperhatikan pengunjung dan keluarga pasien.
Larangan merokok di tempat umum sudah dijadikan Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali sejak 2011. Peraturan Daerah
ini melarang orang merokok di tempat umum seperti rumah sakit, sekolah, perkantoran, terminal, termasuk di tempat ibadah.
Meski Peraturan Daerah ini disahkan DPRD Bali tahun 2011 namun baru diberlakukan dendanya pada bulan Juni 2012.
Alasannya adalah sosialisasi karena ada unsur pidananya. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Perda ini seperti macam
ompong. Baru awal bulan ini terdengar ada sanksi buat pelanggar larangan merokok di RSUP Sanglah. Di tempat lain tak
pernah terdengar. Di tempat umum seperti terminal, apalagi pura, pelanggaran seperti hal yang biasa. Tak ada pengawasan
untuk menegakkan peraturan ini.
Apalagi di pura-pura yang letaknya di pegunungan, di mana udara dingin membuat orang banyak merokok, Perda itu sudah
sama sekali tak berlaku. Beberapa orang bahkan menyebutkan, lebih baik tidak datang bersembahyang ke pura kalau dilarang
merokok. Apakah ini karena masih belum terbiasa atau karena umat kurang terlatih mengekang dirinya? Bisa kedua-duanya.
Di daerah lain Perda larangan merokok sudah lama ada dan pengawasan ketat. Apalagi di Jakarta, semua tempat ibadah
termasuk pura tak boleh ada orang merokok. Bahkan sebelum ada Perda larangan merokok ini, di Pura Aditya Jaya
Rawamangun tidak ada yang merokok di Jaba Tengah, apalagi di jeroan. Padahal tidak ada tulisan Dilarang Merokok namun
umat tertib untuk tidak merokok. Mereka tahu dari berbagai dharmawacana, asap yang ada di dalam pura hanyalah asap dupa
dan asap pengasepan di hadapan Pinandita atau Sulinggih. Jangan lagi ada asap lain, apalagi asap rokok. Nah, setelah
adanya Perda, maka larangan merokok ini secara otomatis berlaku di seluruh kawasan pura termasuk di Jaba Pura sebagai
areal milik umum.
Di Bali, jangankan umat sebagai pemedek, para pemangku pun saat menunggu atau selesai nganteb banten, biasanya
merokok. Ini dilakukan di mana saja di wilayah pura itu, termasuk di piasan (balai pewedan). Apalagi pura yang terletak di

pegunungan, dengan alasan dingin, sebagian besar umat Hindu merokok di dalam pura.
Dalam kitab Weda memang tidak ada larangan merokok. Bahkan kata rokok itu sendiri juga tak pernah ditemukan. Namun
ada dijumpai kata-kata yang menyebutkan bahwa asap mengepul dari tempat-tempat persembahyangan, dan asap itu
datangnya dari api yadnya (dipa dan dupa), tidak dari yang lainnya. Artinya, tidak diperbolehkan ada asap lain yang menyertai
asap dari api pemujaan. Di India semua tempat ibadah Hindu tidak memperbolehkan orang merokok. Begitu pula di ashramashram. Ashram Gandhi yang didirikan almarhum Ibu Gedong Bagoes Oka di Candi Dasa, Karangasem, termasuk yang ketat
menjalankan tradisi dilarang merokok, sejak memasuki ashram itu di pekarangan. Kalau kalian terbiasa merokok, cobalah
tahan beberapa jam saja keinginan merokok itu selama di ashram ini, begitu Ibu Gedong biasanya menegor tamunya yang
kecanduan rokok. Di pasraman saya tak bisa ketat seperti itu, orang masih merokok di halaman. Kecuali di merajan dan di aula
di mana saya menerima tamu sehari-hari. Tapi kalau ada acara seperti diskusi atau penataran di aula, orang pun merokok,
sudah capek melarang. Saya yang mengalah. Sulinggih memang seharusnya pantang merokok, namun dijumpai satu dua
memang tidak banyak sulinggih yang ternyata merokok, tetapi bukan saat melaksanakan yadnya.
Tidak merokok termasuk pengendalian diri. Kalau demikian halnya, apakah tidak mungkin dipikirkan oleh pemuka agama
Hindu, bagaimana supaya umat tidak merokok selama berada di pura. Ini selain untuk menegakkan Perda yang sudah dibuat,
juga untuk menjaga kesucian pura itu sendiri dari asap yang bukan dari sarana yadnya.
Umat haruslah diberi penyadaran bahwa asap yang bukan dari dipa dan dupa di dalam pura, fungsinya hanya mengotori
kesucian pura. Namun, kalau memang tak bisa dilarang secara drastis sebagaimana bunyi Perda, saya usulkan secara
bertahap dan juga kawasan yang betul-betul steril dari asap rokok. Misalnya hanya di jeroan (mandala utama) saja yang tak
boleh merokok. Toh waktunya tidak lama di jeroan. Di Jaba Tengah (mandala madya) dibolehkan. Kalau tidak tahan ingin
merokok, termasuk Jro Mangku, keluar dulu ke jaba, merokoklah di sana. Setelah selesai merokok masuk lagi ke jeroan.
Kalau jeroan itu luas dan larangan merokok tak bisa dilakukan dengan ketat, orang yang duduk di piasan atau balai pewedan
sama sekali tidak boleh merokok. Ini sudah harga mati. Kalau umat dan apalagi pemangku masih merokok selama duduk
di piasan, itu pertanda mereka tidak bisa mengendalikan indriya-nya. Kalau mengendalikan indriya saja tak bisa, bagaimana
mengendalikan pikiran dan hal-hal lain sebagaimana yang diatur dalam sesana kepemangkuan? Nah, nanti kalau sudah
terbiasa tidak merokok di jeroan, barulah ditingkatkan tidak boleh merokok di Jaba Tengah. Itu pun dengan catatan, jika saat
muspa (biasanya dengan panca sembah) ada pemedek yang muspa dari Jaba Tengah, rokok harus dimatikan. Ingat,
sebagaimana dicantumkan dalam Weda, dalam pemujaan jangan sampai ada asap lain selain dipa dan dupa.
Sudah saatnya kita memperbaiki sikap memuja dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan. Termasuk untuk tidak merokok di
kawasan tempat suci. Seharusnya umat mulai menyadari pengendalian diri ini, apalagi pemerintah ikut campur mengatur
masalah kesucian asap di pura ini dengan melahirkan Perda larangan merokok. Mari kita patuhi dan pemerintah seharusnya
mulai ketat menjalankan Perda ini. Untuk apa Perda dilahirkan kalau tidak dilaksanakan. (*)

Senin,16 Desember 2013 @ 03:05

Kiprah Wanita Bali


Pandita Mpu Jaya Prema
BALIHO caleg sudah bertebaran di jalan-jalan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Banyak caleg wanita yang menghiasi
jalanan itu. Mereka memamerkan senyumnya yang manis, hampir pasti foto-foto itu dibuat setelah pulang dari salon
kecantikan. Mereka minta doa restu untuk berkiprah di dunia politik sambil mencakupkan tangan minta dikasihani. Semoga
saja mereka benar-benar berjuang untuk Bali dan mengangkat martabat wanita Bali. Bukan sekadar jadi obyek partai untuk
memenuhi syarat 30 persen wanita dalam daftar calon legislatif.
Wanita Bali sejak dulu kala dikenal gigih, ulet, pekerja keras, dan menghormati martabat keluarga. Itu sisi positifnya.
Namun, dari sisi lain, wanita Bali terkenal pula pasrah menerima keadaan buruk, tidak mendapatkan penghargaan yang wajar,
bahkan warisan pun tidak ia terima. Lebih sedih lagi, masih ada anggapan lahir sebagai wanita adalah lahir sebagai manusia
kelas dua. Kelas satu adalah para lelaki. Kalau dana pendidikan keluarga tidak cukup, anak wanita tidak disekolahkan, atau
terpaksa berhenti bersekolah. Untuk apa bersekolah, toh setelah besar diambil orang lain, begitu sering diucapkan orang desa
di masa lalu.
Keuletan wanita Bali sudah digambarkan oleh para pelukis asing sebelum masa kemerdekaan. Dan citra ini tak bisa lepas
sampai sekarang, lantaran buku-buku tentang Bali di luar negeri kebanyakan masih mengacu ke buku yang ditulis para pelukis
itu. Atau ditulis oleh penulis asing dengan ilustrasi dari pelukis yang juga orang asing.
Kita melihat, misalnya, bagaimana wanita Bali mengusung kayu bakar yang berat, atau menjunjung periuk tanah berisi air,
sementara lelaki Bali asyik dengan ayam aduannya. Gambaran lain, wanita Bali berkutat dengan begitu banyak sesajen yang
rumit, sementara lelaki Bali duduk bengong bersandar di tembok meniup seruling. Ini gambaran dalam lukisandi masa lalu.

Adapun dalam cerita, dengan gamblang disebutkan bagaimana wanita Bali sangat rajin melaksanakan ritual keagamaan ke
pura, sementara lelaki Bali tetap dengan ayam aduannya. Ketika istrinya pulang dari sembahyang, lelaki Bali itu dengan sikap
tanpa bersalah meminta air suci (tirtha) yang dibawa istrinya untuk diminum.Si lelaki jarang bersembahyang.
Tentu saja ini gambaran lama. Tetapi, citra buruk ini sama sekali tak pernah dianggap noda oleh orang Bali. Citra buruk buat
lelaki Bali yang dicap sebagai pemalas dan tak punya etos kerja tinggi. Citra buruk bagi wanita Bali yang tak bisa memberontak
dari kungkungan tradisi yang membelenggu.
Memang harus diakui bahwa dalam sejarah Nusantara para wanita sering dipinggirkan. Namun, sejarah Nusantara juga
mencatat bagaimana wanita-wanita itu memberontak, baik memberontak karena lingkungan adat dan tradisi seperti yang
dilakukan Raden Ajeng Kartini di Jepara, memberontak kepada penjajah seperti dilakukan Cut Nyak Dien di Aceh,
memberontak mengatasi kebodohan seperti dilakukan Dewi Sartika di Jawa Barat. Lalu, apa yang dilakukan wanita Bali
sebelum dan setelah kemerdekaan? Tak begitu banyak tercatat dalam sejarahnasional, paling sejarah lokal bagaimana
Tabanan punya pejuang wanita yang kini sudah dibuatkan patungnya.
Tokoh-tokoh pergerakan wanita berkumpul di Yogyakarta dan hari bersejarah itu diperingati sebagai Hari Ibu, namun peristiwa
ini tak memunculkan tokoh wanita asal Bali. Ini menandakan bahwa wanita Bali belum bisa memainkan perannya dalam
urusan sosial politik. Beragam alasan yang bisa dicatat. Misalnya, pengaruh situasi daerah di mana wanita dikekang untuk
menonjolkan diri. Juga faktor pendidikan, wanita Bali tidak mendapatkan prioritas pendidikan tinggi. Penyebab paling parah
adalah adat dan tradisi Bali tak memberi kesempatan wanita untuk menjadi pemimpin. Dalam adat Bali, wanita tak bisa ikut
rapat adat, tak bisa menjadi kepala keluarga, artinya adat Bali tak akan bisa melahirkan pemimpin wanita. Wanita Bali bisa
berstatus purusa (menerima waris dan meneruskan kawitan keluarga) dengan catatan dia kawin nyentana, tetapi dalam adat
status purusa itu tidak berlaku, yang mewakili dalam rapat-rapat adat tetap lelaki yangnyentana itu.
Dalam hal spiritual juga begitu. Meski wanita Bali pintar membuat sesajen, namun untuk menjadi pemangku (dengan
upacara ekajati) dan sulinggih atau pendeta (dengan upacara dwijati) tertutup jalannya. Wanita Bali hanya bisa menjadi
pemangku atau sulinggih jika mengikuti suaminya, statusnya sebagai pendamping. Ia baru boleh meneruskan peran itu jika
suaminya sudah meninggal. Atau ada syarat lain, yakni wanita Bali bisa menjadi sulinggih jika tidak kawin-kawin, ini pun hanya
terjadi di beberapa soroh.
Apakah ini ajaran Hindu? Tidak, ini adalah tradisi. Ajaran Hindu memuat begitu banyak sloka tentang kepemimpinan seorang
wanita, bahkan keagungan wanita disebut-sebut bisa menyelamatkan bumi. Di mana wanita tidak dihormati, di sanalah
ketentraman tidak ada, demikian sloka yang banyak disebut para tokoh agama.
Memang muncul satu dua tokoh wanita Bali di forum nasional. Misalnya, pernah ada politisi Ida Ayu Utami Pidada. Apakah ini
hasil pemberontakan dalam tradisi Bali? Tidak persis, karena Utami Pidada menjadi politisi yang cukup disegani pada
eranya,ternyata mewakili Jawa Barat, bukanmewakili Bali. Karena itu perjuangan Utami Pidada untuk wanita Bali hampir tak
ada.
Ibu Gedong Bagoes Oka (sudah tiada) bisa disebutkan hasil pemberontakan pada tradisi dengan mendirikan Ashram Canthi
Gandhi, sekarang ashram di Candi Dasa itu berubah nama menjadi Ashram Gedong Gandhi. Namun karena jalur Ibu Gedong
dalam bidang spiritual yang berbau intelektual, pengaruhnya juga tidak banyak mengangkat harkat wanita Bali. Pernah ada
gerakan yang dipelopori almarhum I Gusti Ngurah Bagus untuk mengangkat kehidupan wanita Bali, tapi dukungan wanita Bali
justru kurang kuat, sehingga gerakan itu mati sebelum beraksi.
Jadi sudah sejak lama wanita Bali tidak sadar dirinya tertinggal, tidak tahu kalau hak-hak mereka sebagai wanita Hindu banyak
yang dikebiri oleh adat. Apalagi kiprahnya dalam sosial politik. Belakangan memang sudah muncul LSM yang
memperjuangkan wanita Bali. Organisasi Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Bali juga sudah aktif, meskipun tidak seaktif
WHDI di luar Bali. Syukurpula, di kalangan keluarga sudah banyak yang berpikir maju, anak-anak wanita diperlakukan sama
dengan anak lelaki, terutama di sektor pendidikan. Bahkan, karena ketentuan adat yang tidak memberikan hak waris kepada
kaum wanita, banyak keluarga maju yang memberikan harta kepada anak perempuannya sebelum kawin, sehingga harta itu
menjadi miliknya.
Tapi, di pedesaan terutama di kalangan keluarga tak mampu, wanita Bali tetap anak kelas dua, kasihan juga melihat
kenyataan ini.Nah, ini yang harus diperjuangkan para caleg wanita itu, bagaimana membuat wanita Bali bangkit dan sejajar
dengan para lelaki. Jangan cuma menebar senyum di baliho. (*)

Kamis,12 Desember 2013 @ 23:11

Peradilan Hindu
Pandita Mpu Jaya Prema

WACANA penting yang digulirkan saat ini di Bali adalah Otonomi Khusus. Draff Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus
itu konon sudah selesai, namun belum ada media yang memuatnya secara utuh, apa isi dari draff itu. Apakah Otonomi Khusus
ini akan terus digulirkan sampai ada hasilnya, minimal berhasil dibahas di pusat, entahlah.
Sebelum wacana Otonomi Khusus, pernah pula digulirkan wacana Peradilan Hindu. Ini pun sudah bertahun-tahun yang lalu,
tak jelas pula sampai di mana wacana itu. Mandeg atau diteruskan. Atau adakah Peradilan Hindu itu ada di dalam Otonomi
Khusus, tak jelas juga bagi publik. Mungkin tim yang menanganinya berbeda.
Saya ingin membahas satu persatu dulu, mulai dari yang lebih dulu diwacanakan, yakni Peradilan Hindu. Sesungguhnya apa
yang mendasari niat sebagian tokoh-tokoh Hindu untuk membuat Peradilan Hindu? Apakah karena maraknya pencurian
benda-benda sakral termasuk pratima di sejumlah pura? Apakah karena ada kekhawatiran tentang tindak pidana ini tidak akan
mendapatkan hukuman yang setimpal di pengadilan umum, mengingat hakim menjatuhkan vonis hanya atas nilai benda sakral
tersebut?
Ataukah wacana tentang perlunya Peradilan Hindu karena kenyataan umat Hindu mengalami kesulitan dalam mengurus
masalah akte perkawinan, perceraian, bagi waris dan sebagainya? Jadi masalahnya adalah urusan keluarga. Atau hanya
karena umat lain, yakni Islam, punya Pengadilan Agama (Islam), lalu umat Hindu ikut-ikutan memikirkan hal serupa. Atau
mungkin karena memang undang-undang dan sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia memungkinkan adanya peradilan
agama, lalu kita ngotot punya Peradilan Agama Hindu?
Mari kita coba mengulasnya dengan berpikir jernih dan berpijak pada bumi yang ada dalam situasi sekarang ini. Jangan kita
bermimpi di tahun 3.000 ketika semua umat Hindu paham susastra Hindu. Dengan berpola pikir situasi saat ini, kita kaji apa
mungkin membuat Peradilan Hindu itu.
Kalau kasusnya adalah masalah keluarga (perkawinan, perceraian, bagi waris, mengasuh anak dan di sekitar itu), kenapa
harus membuat Pengadilan Agama Hindu yang utuh dari pidana sampai perdata. Umat Islam saja hanya punya Pengadilan
Agama (Islam) untuk urusan keluarga, bukan dalam urusan pidana maupun perdata. Urusan di luar keluarga dipakai hukum
positif negara. Memang, hukum Islam (syariah) dipakai di Nanggro Aceh Darussalam, dan kita tahu betapa rumitnya masalah
itu. Harus ada polisi syariah, ada hakim syariah dan semacam KUHP Syariah.
Sekarang kalau kita membuat Pengadilan Agama terbatas seperti umat Islam, apakah tradisi dalam masyarakat Hindu itu
sudah seragam? Apakah ada perkawinan Hindu, jangan-jangan yang ada perkawinan adat Bali dan perkawinan adat Jawa
dan perkawinan adat Kaharingan.
Soal membagi waris saja sudah beda. Umat Hindu dari suku Bali tidak memberikan warisan kepada anak perempuan dengan
alasan anak perempuan tidak meneruskan kawitan. Padahal umat Hindu di luar Bali tidak membedakan anak lelaki dan anak
perempuan. Bahkan banyak umat Hindu asli Bali termasuk saya yang tetap memberikan warisan kepada anak perempuan.
Cuma untuk menghindari masalah adat, anak perempuan itu diberi waris sebelum dia menikah atau pada saat menikah, dan
umumnya tidak berupa tanah. Kalau pun berupa tanah, itu bukan tanah warisan leluhur.
Jadi, bagaimana kita membuat Pengadilan Agama Hindu kalau antara tradisi Hindu suku Bali beda dengan tradisi Hindu suku
Jawa, suku Kaharingan, dan sebagainya?
Sudah gugur secara teori untuk membuat Pengadilan Agama Hindu walau pun cuma terbatas pada urusan keluarga. Ini
disebabkan, dalam susastra Hindu tidak ada aturan rinci soal itu, bagaimana membagi waris, bagaimana mengasuh anak, dan
sebagainya. Kalau pun ini dipaksakan, akan lahir Pengadilan Agama Hindu versi Bali yang tak lain adalah Pengadilan Adat.
Atau Pengadilan Hindu khusus untuk Hindu di Bali. Kalau ini terjadi, jangan-jangan nanti masuk urusan manak salah, asu
pundung, nyerod, dan sebagainya yang justru bertentangan dengan HAM (hak asasi manusia) dan sudah dihapus.
Sekarang mari kita coba ke hal yang lebih besar, yakni urusan pidana. Punyakah kita hukum Hindu? Ada yang menyebutkan
punya, karena sudah ada berbagai kitab tentang itu, seperti misalnya Manawa Dharmasastra. Kerajaan Majapahit juga telah
mewariskan berbagai kitab tentang hukum Hindu, yang dipergunakan saat itu.
Katakanlah hal itu cukup, lalu bagaimana kita menyusun Kitab Undang Undang Hukum Pidana Hindu (KUHP Hindu) dan
bagaimana pula melengkapinya dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Hindu (KUHAP Hindu) yang sesuai
dengan zaman ini? Kalau itu bertabrakan dengan hukum nasional, dengan tuntutan zaman, apalagi dengan HAM, maka akan
terjadi kerumitan yang luar biasa. Kalau pun semua kesulitan itu bisa diatasi, orang bisa bebas menentukan apakah akan
menggunakan Hukum Hindu dengan Pengadilan Hindu atau menggunakan hukum negara dengan Pengadilan Negeri. Bisa
kosong Pengadilan Agama Hindu.
Kita belum berbicara soal siapa yang akan menyusun KUHP Hindu dan KUHAP Hindu itu, dan yang lebih penting lagi siapa
yang akan membiayai. Ini memerlukan perhatian yang serius kalau memang kita mau serius ke sana. Berbagai diskusi dan
seminar harus dilewati. Saya sangat pesimistis hal ini akan berhasil. Jangankan bicara masalah hukum yang akan memberi
sanksi kepada umat, membicarakan hal-hal yang membantu umat dari kehidupan sehari-hari saja sulit.
Jadi, membentuk Peradilan Hindu, masih jauh dari harapan. Untuk apa membuang-buang energi, lebih baik energi disalurkan
untuk pendidikan generasi penerus mengingat SDM Hindu paling buruk di antara SDM umat lain. Lebih baik energi disalurkan

untuk pencerahan kepada umat, agat umat tahu bagaimana mempraktekkan agama sesuai susastra Hindu.
Akan halnya berkaitan dengan hukum, kita didik hakim-hakim Pengadilan Negeri dengan nilai-nilai Hindu. Kita siapkan saksi
ahli Hindu untuk kasus-kasus yang menyerempet agama. Misalnya dalam hal pencurian pratima, sesuatu yang marak yang
menyebabkan ada ide tentang pendirian Peradilan Hindu. Kita yakinkan hakim, nilai sebuah pratima bukan dari harga
bahannya semata-mata, tetapi ritualnya yang jauh lebih mahal. Jika ini sudah menjadi kesepakatan, maka hakim di dalam
menjatuhkan vonis untuk pencuri pratima akan mempertimbangkan nilai itu, yakni nilai yang kasat mata dari bahannya dan nilai
yang tak terlihat dari biaya upacaranya. Cara-cara ini lebih logis mengingat kalau kita bicara soal Hindu, maka itu artinya
agama yang dipeluk umat manusia dari berbagai etnis, bukan hanya penduduk Bali.
Ini bedanya dengan Otonomi Khusus. Kalau soal otonomi, ini menyangkut penduduk suatu daerah, dalam hal ini Bali. Tapi
saya belum tahu, apa saja yang diatur dalam Otsus Bali ini karena penduduk Bali tidak semuanya Hindu, ada Muslim, Kristen,
Katolik, Buddha maupun Konghucu. Nanti saja kita bahas. (*)

Minggu,01 Desember 2013 @ 23:24

Membangun Jalan Layang


Pandita Mpu Jaya Prema
Membangun jalan layang di Bali itu sudah tidak mungkin, karena mengganggu ritual orang melasti ke laut. Pratima yang
merupakan simbol Tuhan di dalam ritual melasti tak boleh berjalan di bawah jalan yang dilalui mobil. Karena tidak suci lagi,
siapa yang menjamin kalau mobil yang lewat di atasnya tidak membawa orang yang sedang cuntaka, entah itu cuntaka
kematian atau wanita datang bulan.
Begitulah cerita yang saya dengar ketika jalan bypass Prof. Mantra tengah dibangun. Di setiap persimpangan jalan ini pada
awalnya dirancang ada jalan layang, sehingga jalan bypass itu betul-betul bebas hambatan di perempatan jalan, jadi mirip jalan
tol. Tetapi jalan layang itu batal dan tak mungkin dilaksanakan karena pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat Bali tidak
setuju, dengan alasan kesucian ritual melasti menjadi tercemar.
Saya pun mendengar cerita entah benar atau tidak persimpangan di patung Dewa Ruci yang terkenal dengan nama
Simpang Siur, tadinya juga dirancang flyover (jalan layang). Juga di pertigaan Tuban (menuju bandara dari Kuta) tadinya
dirancang jalan layang. Tapi tak mungkin karena alasan yang sama.
Umat Hindu di Bali sangat percaya hal itu dan sudah menjadi tradisi bahwa mengarak pratima yang merupakan benda sangat
sakral tak boleh mesulub (berjalan di bawah bangunan). Harus berjalan paling atas. Bahkan, ini lagi-lagi cerita entah benar
atau tidak, atau hanya guyonan saja, ada pendeta Hindu yang diundang ke Yogya tak mau menginap di Hotel Ambarukmo.
Karena kamar sudah disediakan dan hari sudah malam, pengundang tak mungkin mencarikan hotel lain. Pendeta pun
mengalah, beliau tidur di mobil. Supirnya yang masuk ke hotel dan tidur di kamar mewah hotel bertingkat itu. Tentu saja ini
cerita sudah lama karena sekarang ini pendeta Hindu semuanya mau menginap di hotel. Rapat-rapat pendeta (Sabha Pandita)
acapkali berlangsung di hotel.
Tradisi melasti di kampung saya di masa lalu tak boleh naik kendaraan bermotor. Ada orang yang kerauhan (susup Ida
Bethara) yang melarang naik motor, siapa melanggar akan celaka. Jadi dari Pujungan ke Pantai Soka sepanjang 29 km
berjalan kaki, ditempuh selama dua hari pulang pergi. Tahun 1990-an mulai berubah, boleh naik mobil dan motor. Rupanya Ida
Bethara sudah maklum, daripada susah-susah berjalan dua hari lebih enak naik mobil. Cuma saja, setiap ketemu abangan
(saluran air yang melintang di jalan), mobil berhenti. Pratima diturunkan dulu dan dibawa naik ke tebing agar tidak mesulub di
saluran air. Pemedek juga begitu. Ini agar kesuciannya tetap terjaga. Ada dua abangan yaitu di Desa Belimbing dan Desa
Ampadan, jadi memang repot sekali.
Sejak lima tahun lalu terjadi perubahan. Terjadi diskusi. Kalau sulinggih (pandita) muput yadnya dibuatkan pemiosan (bale
tempat memuja). Pemiosan itu pasti beratap supaya sulinggih tidak kepanasan atau kehujanan. Di pura pun kalau ada
pemiosan atau balai pewedan yang permanen, pasti beratap. Nah, bukankah sulinggih juga mesulub, kok tetap suci?
Ternyata penyebab tetap suci pemiosan itu adalah ada kain putih di bawah atap, persis di atas sang sulinggih. Kain putih itu
merupakan perlambang langit atau bisa juga diartikan perlambang tembus ke langit, sehingga apa pun yang ada di atas itu
tidak mengganggu kesuciannya. Kalau begitu, kenapa abangan (saluran air) di Belimbing dan Ampadan tidak diisi kain putih
saja di bawahnya, sehingga pratima saat melasti tetap bisa berjalan di bawahnya? Nah, itu yang dilakukan sampai sekarang.
Ternyata ini sudah diikuti oleh seluruh desa-desa di Kecamatan Pupuan yang melasti ke Pantai Soka. Pratima dan pemedek
tak turun di abangan, kerepotan pun berkurang sementara kesuciannya tidak luntur. (Namun luntur atau tidaknya itu masalah
perasaan saja, tapi bukankah yadnya itu masalah rasa?)
Siapa yang sudah pernah melintas dari Tabanan ke Bajera sekarang ini? Ada tiga proyek raksasa yaitu membangun jalan
layang yang menghindari kelokan tajam. Jalan layang dari Penyalin tembus ke Samsam, jalan layang dari Meliling melintas di
ketinggian sungai tembus ke Bantas, satu lagi di kelokan tajam Bantas tembus ke Megati. Jalan Penyalin-Samsam ada

kuburan di samping bawahnya. Jalan Meliling-Bantas ada sungai yang dikeramatkan dan tempat mengambil air suci di
bawahnya. Di jalan Bantas-Megati ada pura juga di bawahnya. Apakah Ida Bethara tidak cemar dan takut tidak suci lagi?
Diskusi sebelum jalan-jalan layang itu dibangun melibatkan sulinggih yang kesimpulannya tak ada kesucian yang berkurang
karena semuanya ada cara untuk menjaga kesucian itu. Justru kalau ada ritual atau iringan-iringan ritual melewati jalan itu, Ida
Bethara akan senang karena tidak macet. Sekarang ini, satu saja truck dari Jawa yang besar itu mogok, macetnya bisa
berjam-jam. Kalau ketiga jalan layang itu selesai, kemacetan yang parah bisa lebih teratasi.
Sebuah cerita ringan ketika saya muput di Desa Ungasan. Ketika saya dijemput di Griya Pedungan, jalan sekitar Benoa
macet. Supir menanyakan apakah saya boleh diajak melintas di underpass (jalan bawah tanah) di Simpang Siur. Saya
memancing dengan pertanyaan, kenapa tak boleh? Kan Ida Mpu membawa siwakrama sakral, nanti kesuciannya berkurang,
kata supir. Saya bilang lewat saja. Pandita itu kalau munggah yang pertama dilakukannya adalah membersihkan
(menyucikan) semua peralatan yadnya, lalu membersihkan diri, baru memuja.
Sekarang ini lagi banyak ada wacana pembangunan infrastruktur di Bali. Ada rencana membangun berbagai jalan, baik itu
jalan arteri sampai jalan tol. Ada rencana membangun jalan tol dari Kuta menuju Pekutatan lewat laut, ada pula rencana jalan
tol itu dari Soka berbelok ke Seririt di atas kebun dan sawah. Belum lagi ada wacana membangun rel kereta api keliling Bali.
Saya tak tahu apakah wacana itu tetap wacana atau ada realisasinya. Tapi yang pasti, cepat atau lambat, pembangunan jalan
itu pasti akan ada, jika tidak Bali akan krodit luar biasa dan macet total karena pertumbuhan mobil dan motor yang demikian
cepat tak diimbangi pembangunan jalan.
Jika demikian halnya dan untuk antisipasi dari sekarang, kenapa kita takut membangun jalan layang di Bali, yang dikaitkan
dengan kesucian? Saya kira tak masalah karena semua kesucian itu bisa kita jaga sesuai sastra yang ada, karena prinsip
dalam yadnya adalah tidak menjadi beban oleh berbagai hal. Yadnya tak boleh jadi beban karena kurangnya dana, karena bisa
memakai yadnya yang sederhana. Yadnya tak boleh jadi beban karena kondisi lingkungan, karena bisa diharmoniskan dengan
berbagai sarana ritual. Tentu saja tinjauan saya ini adalah dari sisi kesucian semata, bukan dari sisi keindahan, tata ruang,
maupun hal teknis lainnya. (*)

Senin,25 November 2013 @ 06:50

Mengelola Pura Jagatnatha


Pandita Mpu Jaya Prema
Rabu pekan (20 November 2013) lalu saya diundang untuk memberikan ceramah pada Seminar Orang Muda Lintas Agama.
Seminar dan pentas seni religius ini diselenggarakan oleh Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa bekerjasama dengan
Masjid Agung Ibnu Batutah yang berdampingan di Komplek Puja Mandala di Nusa Dua. Seminarnya diselenggarakan di aula
Gereja Katolik sedang pentas seni diselenggarakan di aula masjid. Perwakilan umat Hindu ada yang menjadi peserta, di
antaranya murid-murid SMA Dwijendra Denpasar dan dari Ashram Gandhi. Bahkan pada pembukaan seminar diisi lagu Ajeg
Bali dan tari Margapati oleh anak-anak Hindu.
Saya baru pertamakali ke Puja Mandala ketika semua rumah ibadah itu selesai dibangun. Saya sempat memeriksa apa saja isi
dari deretan tempat suci itu. Sungguh mengagumkan. Tempat parkirnya luas dan menyatu tanpa sekat. Paling barat adalah
masjid yang diberi nama Ibnu Batutah. Lantai paling atas adalah tempat suci tempat umat Muslim sholat. Lantai di bawahnya
aula besar, juga bisa dipakai untuk umat sholat jika lantai atas penuh. Di bawahnya lagi tempat anak-anak muslim belajar
agama, lengkap dengan perpustakaan. Di sinilah digelar pentas seni ketika acara itu pekan lalu. Di bawahnya ada lagi
bangunan untuk penginapan dan gudang.
Bangunan kedua dari barat adalah Geraja Katolik yang diberi nama Bunda Maria Segala Bangsa. Lantai paling atas adalah
tempat suci untuk kebaktian. Lantai kedua di bawahnya sebagian untuk aula (tempat seminar), ruangan uskup yang mewah
lengkap dengan ruang tamunya. Di bawahnya lagi untuk penginapan dan paling bawah adalah dapur serta gudang. Lokasi
semua tempat ibadah ini ada dalam kemiringan, sehingga semua bangunan itu bertingkat ke bawah. Dari tempat parkir
seperti bangunan satu lantai.
Di timur gereja Katolik ada vihara Buddha yang juga tak kalah indahnya dengan patung gajah mengapit gapura. Tempat suci ini
pun bertingkat ke bawah, kiri kanan ada kamar-kamar untuk para bikhu. Lantai bawah juga untuk ruang pertemuan dan ruang
belajar, tapi saya tak bisa memeriksa karena petugas sedang tidak ada.
Di timur vihara adalah Gereja Kristen Protestan yang diberi nama Bukit Doa. Bangunan ini bahkan bertingkat enam (ke bawah)
dengan ruang kebaktian paling atas sangat megah. Ada balai bengong dan menara yang indah. Sayang tempat itu terkunci
sehingga saya tak bisa masuk ke dalamnya, tetapi dari informasi yang saya terima, lima lantai di bawahnya adalah untuk ruang
pendidikan dan juga kebaktian dalam berbagai bahasa.
Di ujung paling timur itulah pura Hindu yang diberi nama Pura Jagatnatha Nusa Dua. Kalau dilihat dari tempat parkir, bangunan

itu biasa saja sebagaimana Pura Jagatnatha yang ada. Pelinggih besar yang ada hanyalah Padmasana, lalu ada balai-balai di
kiri dan kanan mandala seperti wantilan. Halaman pura ditumbuhi rumput. Karena pura lagi digembok pagarnya saya tak bisa
masuk dan tak ada orang yang bisa memberikan informasi, apakah bangunan pura itu juga bertingkat ke bawah. Tapi dugaan
saya juga dugaan orang yang memberi informasi nampaknya tidak. Jika benar begitu, lembah yang menurun itu mungkin
ditimbun sebelumnya. Sungguh kasihan, kemiringan itu tak dimanfaatkan untuk ruangan sebagaimana empat rumah ibadah
tetangganya. Jadi pura hanya satu lantai dan sepenuhnya tempat suci. Di mana umat Hindu belajar agama, di mana ruang
diskusi, di mana kamar-kamar sulinggih atau pemangku, dan yang penting di mana kamar mandi dan WC? Nampaknya tidak
ada. Di tempat parkir depan pura juga tak ada bangunan itu. Pura Jagatnatha ini seperti dibangun tanpa konsep pura umum.
Yang memprihatinkan, menurut masyarakat di sana, Pura Jagatnatha ini sering kesepian, tidak seperti tempat ibadah untuk
umat Buddha, Kristen, Katolik dan Islam di sebelahnya. Yang biasa sembahyang ke sana hanyalah karyawan BTDC (Bali
Tourism Development Corporation) yang mengelola kawasan Nusa Nusa dan umat Hindu yang kost di sekitar itu. Memang,
kompleks Puja Mandala ini dibangun oleh BTDC dan tanahnya pun milik BTDC. Semuanya hak pakai dalam waktu tak
terbatas.
Kenapa Pura Jagatnatha Nusa Dua sering sepi? Ini bisa dimaklumi. Masyarakat Hindu di Bali tak terbiasa dengan Pura
Jagatnatha. Pura Jagatnatha hanya tempat memuja Tuhan, bukan memuja leluhur dan bukan pula memuja secara khusus
Istadewata (seperti misalnya Pura Trikahyangan tempat memuja Brahma, Wisnu dan Siwa). Sehingga Pura Jagatnatha tak
punya pengempon yang emosional secara sosial kemasyarakatan. Masyarakat Desa Adat Bualu tentu tak mau menjadi
pengempon karena ini akan menjadi beban. Beban memelihara dan beban yadnya kalau ada piodalan dan hari raya
keagamaan.
Pura Jagatnatha berkembang di luar Bali karena masyarakatnya tidak tersekat oleh keturunan atau klan, dan tidak pula
mengelompok di sekitar pura sehingga merupakan suatu pemukiman yang khusus. Di Bali kota yang memiliki Pura Jagatnatha
adalah Denpasar, Negara, Singaraja, Amlapura. Saya belum mendengar di kota lain. Dan saya pun tak tahu bagaimana
mereka mengelola pura itu, siapa pengempon intinya, apakah ada pemangku yang khusus dan siapa yang mengangkatnya.
Pura seperti ini memang penting untuk masyarakat urban, terbukti Pura Jagatnatha Denpasar selalu ramai saat Purnama atau
hari raya lainnya. Yang meramaikan adalah pelajar atau penduduk yang memang tak bisa pulang ke desanya untuk
bersembahyang.
Pura Jagatnatha harus dikelola secara khusus dan ada semacam Badan Pengelola atau Badan Otorita. Pura ini harus menjadi
laboratorium Hindu tempat orang belajar agama, seminar dan sebagainya. Di Pura Jagatnatha Denpasar seingat saya ada
malam sastra pada hari-hari tertentu. Pura Jagatnatha Nusa Dua harus dikembangkan dengan cara itu. Kalau cuma untuk
bersembahyang, masyarakat sekitarnya sudah banyak punya pura. Pura itu harus dijadikan sarana meningkatkan SDM Hindu
seperti masjid, gereja dan vihara di sebelahnya.
Satu contoh Pura Jagatnatha yang dikelola dengan bagus adalah Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta. Setelah dibentuk
Badan Otorita pura yang dulu sepi itu langsung ramai. Badan Otorita menata pura, di jaba tengah dibangun wantilan yang bisa
untuk pentas kesenian, malam sastra dan diskusi keagamaan. Di jaba luar dibangun ruang-ruang sekolah (dari usia SD sampai
mahasiswa), ada aula untuk diskusi sosial, ada kamar untuk pendeta (sulinggih) dan ada warung-warung tertata rapi. Tentu
ada KM/WC yang bagus bahkan ada tempat untuk cuci muka dan tangan sebelum sembahyang. Ketika saya memimpin
Forum Cendekiawan Hindu, pura ini dijadikan sekretariatnya dan sekaligus tempat pertemuan. Begitu juga pemuda Hindu,
wanita Hindu dan Suka Duka Banjar, semua terpusat di sini.
Pura Jagatnatha Nusa Dua bisa dikelola seperti itu. Kumpulkan karyawan yang bekerja di lingkungan Nusa Dua dan bentuk
Badan Otorita. Jadikan pura ini laboratorium Hindu, tempat belajar dan seminar keagamaan. Tentu dengan melengkapi
sarana penunjang seperti KM/WC yang bisa mengambil sedikit lahan parkir. Wantilan digunakan untuk serba guna. Ya, sarana
yang terbatas, apa boleh buat, dibandingkan kesepian padahal Pura ini jadi tuan rumah di Komplek Puja Mandala yang ada
di Bali dengan penduduk mayoritas Hindu. (*)

Senin,18 November 2013 @ 02:29

Tempat Suci Sebagai Obyek Wisata


Pandita Mpu Jaya Prema
Banyak sekali tempat suci berbagai agama yang menjadi obyek wisata. Beragam hal yang menarik bisa dilihat wisatawan. Ada
mengenai artsitekturnya, sejarahnya, lokasi tempatnya berdiri yang begitu indah, atau gabungan dari unsur-unsur itu.
Orangyang ke Roma (Italia) pasti berniatmengunjungi Kota Suci Vatikan.Kota Vatikan adalah salah satu obyek wisata menarik
di dunia. Wisatawan mengagumi arsitekturnya, koleksi yang bersejarah, tentu pula suasana religius untuk wisatawan yang
beragama Katolik. Karena ini adalah tempat suci, tak semua ruangan bisa dimasuki wisatawan. Kapel Sistina, misalnya, di
mana para kardinal berkumpul pada saat pemilihan Paus yang baru, tak bisa dimasuki wisatawan. Pada hari-hari tertentu

keagaman Katolik beberapa bangunan juga steril dari pengunjung.


Di India, tempat suci umat Hindu pun menjadi obyek wisata yang menarik, tak hanya dikunjungi oleh pemeluk Hindu. Bahkan
ada masjid atau tempat suci umat Islam yang menjadi obyek wisata yang penuh sesak pengunjung. Yakni Taj Mahal yang
terletak di Agra. Arsitekturnya sangat dikagumi orang.
Di dalam negeri begitu banyak tempat suci di luar tempat suci umat Hindu yang jadi obyek wisata. Bukan saja pura yang
dikunjungi wisatawan, juga masjid, gereja dan wihara. Masjid Istiqlal di Jakarta tiap hari (kecuali Jumat) dikunjungi pelancong
yang tak semuanya beragama Islam. Ini masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun oleh Presiden Soekarno pada 21
Agustus 1951. Arsitektur masjid bertingkat lima ini justru dibuat oleh penganut Kristen Protestan yaitu Frederich Silaban.
Masyarakat non-Muslim yang berkunjung ke masjid ini sebelumnya mendapat pembekalan informasi mengenai Islam dan
Masjid Istiqlal, seperti halnya wisatawan yang berkunjung ke Pura Besakih mendapat informasi dari pemandu wisata. Tentu
ada aturan yang harus dipatuhi, misalnya, melepas alas kaki, tidak merokok dan berlaku sopan. Saya beberapa kali berkeliling
ke sini terutama melihat perpustakaannya. Kebetulan di masjid ini juga berkantor berbagai ormas Islam.
Masjid Kudus yang lebih dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus, juga menjadi daya tarik wisatawan. Masjid yang
dibangun tahun 1530oleh Sunan Kudus (nama asli Jafar Sodiq)ini memanfaatkan peninggalan kuil Hindu yang dijadikan
menara masjid, sampai kini. Bahkan karena memakai peninggalan budaya Hindu, Sunan Kudus meminta masyarakatnya untuk
tidak menyembelih sapi, menghormati agama Hindu yang memuliakan sapi. Sampai sekarang tak ada penyembelihan sapi di
Kudus, di sana yang terkenal daging kerbau. Kalau pun ada dijual sate sapi, daging sapi itu didatangkan dari Pati. Masjid
Menara Kudus dijadikan lambang perpaduan harmonis budaya Hindu dan Islam dengan arsitekturnya yang tinggi. Saya
berkali-kali ke masjid ini.
Masjid Agung Demak pun menarik bagi wisatawan. Ini masjid peninggalan Wali Songo yang dibangun tahun 1479. Masjid ini
mengungkap banyak sekali sejarah Islam di Tanah Jawa selain arsitekturnya yang sangat dikagumi dengan begitu banyak
tiang penyangga. Kisah unik adalah pembangun soko guru (tiang utama) masjid. Sunang Bonang membuat tiang di bagian
barat lau, Sunan Kalijaga di timur laut, Sunan Ampel di tenggara, Sunan Gunung Jati di barat daya. Satu dari tiang utama ini
tidak memakai kayu yang utuh, tetapi potongan-potongan kayu yang direkatkan begitu saja.
Masjid Menara Kudus dan Masjid Agung Demak sudah masuk ke dalam destinasi pariwisata nasional. Dalam rencana induk
kepariwisataan nasional 2011-2026 masjid-masjid ini masuk dalam KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional) dan
belum berhasil masuk ke dalam KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Tinggal menunggu giliran saja.
Gereja Katedral Jakarta yang berdiri kokoh di sebelah utara Lapangan Banteng Jakarta setiap hari dikunjungi banyak
wisatawan. Bahkan gereja umat Katolik yang bangunannya bergayaarsitektur neo-Gotik ini dijadikancagar budaya nasional. Ini
membuat gereja itu terpelihara dengan baik dan koleksinya terus bertambah. Kita di Bali jangankan menjadikan Pura Besakih
sebagai cagar budaya, untuk dijadikan warisan budaya dunia saja menolak, bahkan kini masuk KSPN juga ditolak. Takut
kesuciannya luntur, padahal terbukti gereja dan masjid terkenal tak pernah takut kesuciannya luntur hanya karena wisatawan.
Tentu ada bagian-bagian yang suci dan bagian-bagian yang bebas untuk dinikmati. Gereja Katedral Jakarta yang
dibangunpada 1891 ini dilengkapi museum yang padat dikunjungi wisatawan. Salah satu yang menarik, misalnya, bagian yang
menyimpan busana rohaniawan Katolik, mulai dari jubah, topi, kasula berbagai warna. Kasula adalah lapisan terluar busana
yang dikenakan rohaniwan Katolik. Warna kasula yang dikenakan seorang pastor memiliki makna tertentu. Kasula berwarna
putih biasanya dipakai untuk ibadah sehari-hari, sedangkan ungu dan merah digunakan untuk acara duka seperti misa tutup
peti dan paskah.
Hal serupa juga saya lihat ketika mengunjungi vihara yang disebut-sebut sebagai terbesar di Asia, yaitu Maha Vihara Duta
Maitreya di kota Batam. Banyak sekali ornamen yang digunakan oleh para bhiku dalam ritual maupun pernik-pernik ritual itu
sendiri. Pengunjung bahkan bisa membeli replikanya untuk kenang-kenangan.
Belajar dari sejumlah tempat suci non-Hindu yang jadi obyek wisata dan mau dikembangkan menjadi kawasan strategis
pariwisata, saya lalu membayangkan Pura Besakih menjadi tempat suci yang juga kawasan strategis pariwisata. Boleh saja
Pura Besakih tak perlu dijadikan cagar budaya seperti Kaderal Jakarta, karena kita takut. Atau tetap menolak dijadikan warisan
budaya dunia seperti Taj Mahal dan sebagainya, karena kebetulan pendaftarannya sudah selesai. Namun, sekiranya Besakih
mau dimasukkan dalam KSPN Besakih Gunung Agung dan Sekitarnya dan kemudian terbentuk Badan Otorita Besakih,
maka pura ini akan bersinar kesuciannya dan menjadi obyek wisata yang menarik.
KSPN Besakih itu yang dibangun pusat, hanya jalan lokal ke hutan lindung untuk melindungi flora dan fauna. Namun karena
target wisata adalah tempat ibadah atau peninggalam masa lalu, dana dari pusat bisa dikelola Badan Otorita untuk
membangun hal-hal di luar areal suci. Seperti halnya Katedral yang areal kebaktiannya tak bisa dimasuki turis, Pura Besakih
tak bisa dimasuki turis pada bagian manda utama (jeroan). Semua jeroan tak boleh dimasuki apalagi yang mahasuci
Penataran Padma Tiga. Apapun alasannya, jika tidak bersembahyang, tak boleh masuk ke sana. Nah di luar itu lorong-lorong
dibangun yang bagus. Wantilan Besakih di jaba bisa dijadikan museum (atau membangun yang baru), pamerkan berbagai
sarana ritual, dokumentasi yadnya dan meniru Katedral pamerkan busana sembahyang. Kalau walaka (orang biasa)
bagaimana busananya, kalau pemangku bagaimana, kalau sulinggih bagaimana pernik-pernik dan artinya itu. Sekarang ini
banyak yang tak tahu apa arti warna ketu (bawa) sulinggih, apa arti genitri dan sebagainya.

Kesucian Besakih tak akan ternoda kalau kita meniru Katedral. Juga meniru masjid-masjid, di mana saat sholat Jumat tak
boleh ada kunjungan turis. Nanti di Besakih diperlakukan pula, saat ada Panca Wali Krama dan sejenisnya Pura Besakih
ditutup untuk wisatawan. Besakih jadi semakin suci (dibandingkan sekarang) dan semakin tertata rapi jika Badan Otorita mau
menata lingkungannya. Dana KSPN bisa ditarik untuk ini. Tapi kalau KSPN sudah ditolak, ya sudahlah, kita akan tetap melihat
Besakih yang semerawut seperti sekarang, pedagang merangsek sampai lorong-lorong dan turis seenaknya masuk Penataran
asal memakai kain. Kita kekurangan dana mengelola tempat suci ini jika hanya mengandalkan Pemda. Mengurusi sampah
upacara saja sulit. (*)

Selasa,12 November 2013 @ 03:42

KSPN di Tahun Politik (Bagian II-Habis)


Pandita Mpu Jaya Prema
Setelah kita membahas 3 KSPN, mari dilanjutkan ke KSPN No. 55 Bali Utara/Singaraja dan sekitarnya. Ini pesisir Bali Utara
dengan ujung barat di Uma Anyar dan ujung timur Pelabuhan Buleleng. Sangsit saja tak kena. Sasaran yang dikembangkan
adalah obyek wisata air panas Banjar, kawasan Lovina, Pelabuhan Buleleng. Yang dibangun selain jalan-jalan lokal adalah
jalan arteri dan pelabuhan Buleleng. Di sini pun ada puluhan pura, tapi bukan Kahyangan Jagat.
Lanjut KSPN No. 72 Karangasem Amuk dan sekitarnya. Kawasan ini membentang dari kota Semara Pura (Klungkung) di
barat sampai Ulakan di timur. Pura besar yang ada: Batu Klotok, Dasar Bhuwana Gelgel, Goa Lawah, Silayukti. Yang
dikembangkan adalah pelabuhan laut (Padangbai dan mungkin pula Gunaksa) dan jalan arteri. Sarana olahraga dan lainnya
tak ada.
Menyusul KSPN No. 78 MenjanganPemuteran dan sekitarnya. Kawasannya dari Pulau Menjangan sampai Celukan
Bawang. Ada pura besar di sini yakni Pura Pulaki dan tentu Pura Majapahit Menjangan. Namun karena kawasan wisata ini
targetnya bukan tempat suci, pura yang agak di tengah seperti Pura Pemuteran, Pura Kawat, Pura Melanting tak masuk
kawasan. Yang dikembangkan adalah wisata bahari dan menata pelabuhan laut. Jalan arteri juga diprioritaskan.
KSPN No. 79 Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya. Di sini ada Pura Segara Rupet, Makam Jayaprana (yang sekarang
disatukan dengan Pura Payogan Bethara Sakti Wawu Rawuh). Kawasan yang dibenahi air panas Banyuwedang, pelestarian
hutan lindung sebagai kawasan konservasi, museum purba di Gilimanuk. Yang dikembangkan pelabuhan dan jalan arteri.
KSPN No. 80 TulambenAmed dan sekitarnya. Kawasan ini kecil, membentang di pesisir Tulamben sampai Amed dengan
sasaran wisata bahari. Tak ada pura besar, pembangunan sarana jalan pun tak ditambah, kecuali sarana wisata bahari itu
sendiri.
KSPN No. 81 Bedugul dan sekitarnya. Kawasan ini mengelilingi tiga danau: Beratan, Tamblingan, dan Buyan. Ada Pura Ulun
Danu (Pura Luhur Bedugul). Yang menarik di sini selain akan dikembangkan wisata danau juga direncanakan kereta api wisata
yang relnya mengelilingi tiga danau itu. Menakjubkan kalau itu terwujud karena menyerupai wisata danau di Jepang. Jadi detail
KSPN itu jelas-jelas disebutkan dalam lampiran III.
KSPN No. 82 Nusa Penida dan sekitarnya. Seluruh pulau Nusa Penida termasuk Lemongan dan Ceningan masuk kawasan
ini. Ada pura besar di sini seperti Pura Dalem Peed, Pura Batu Medau, Pura Goa Karang Sari. Selain dikembangkan wisata
bahari, nah, di sinilah jelas-jelas disebut akan dikembangkan kawasan olahraga. Saya tak mengikuti penelitiannya di masa
lalu, tapi saya menduga olahraga yang dimaksudkan sebatas olahraga air, seperti menyelam, berselancar dan sebagainya.
Andaikata di Nusa Penida akan dikembangkan olahraga balap (sirkuit, misalnya), dari sudut KSPN memungkinkan, tetapi izin
tetap dari daerah mempertimbangkan perda yang ada. Karena dalam KSPN pembangunan yang diutamakan jalan lokal dan
pelabuhan laut.
KSPN No. 83 Ubud dan sekitarnya. Kawasan ini termasuk luas bahkan mencakup tiga kabupaten. Dari Pasar Sukawati, kota
Gianyar, Istana Tampaksiring, Goa Gajah, lalu masuk ke Bangli. Ke barat meliputi Taman Ayun, Sangeh (Kabupaten Badung).
Banyak sekali pura besar di sini: Samuan Tiga, Penataran Sasih, Pucak Sari, Taman Ayun. Ini KSPN yang paling komplit
disasar daya tariknya. Selain alam, tempat ibadah, seni kerajinan, adat tradisi, fauna flora, ada disebut festival budaya, taman
bertema, wisata belanja. Inilah satu-satunya KSPN di Bali yang mencantumkan perencanaan wisata belanja. Nah, apakah
penjabarannya dibangun puluhan restoran atau mal? Yang saya tangkap dari niat positif ini (saya selalu berpikir positif) akan
dikembangkan pasar-pasar seni yang merakyat seperti Pasar Seni Sukawati dan Pasar Seni Guwang. Bukan pasar moderen
seperti Pusat Oleh-Oleh atau mal, restoran maupun kafe, karena semuanya ini sudah diambil alih oleh swasta.
Demikian gambaran selintas sebelas KSPN yang ada di Bali. Satu-satunya yang jelas ada kawasan olahraga hanya KSPN
Nusa Penida dan satu-satunya yang menyebut wisata belanja hanya KSPN Ubud. Dari mana timbul kekhawatiran akan
dibangun lapangan golf, hotel, kafe, apalagi di KSPN Besakih yang sempit dan berhutan lindung itu? Kalau pun sarana itu
dibangun di luar KSPN, mari kita awasi izin dari Pemda. Kalau melanggar Perda RTRW dan Bhisama Kesucian Pura, kita

protes sampai batal. Yang jelas detail KSPN tak bersinggungan dengan itu.
Sekarang dengan alasan Pura Besakih dikhawatirkan tak suci lalu KSPN Besakih ditolak, maka benar pula ide Gubernur
Mangku Pastika, sebaiknya semua KSPN ditolak. Siapa yang menjamin Mangku Pastika tak diobok-obok dengan kesucian
Pura Samuan Tiga, Pura Uluwatu, Pura Peed dan seterusnya? Bukankah itu sama-sama dalam kawasan KSPN?
Dan jika Bali menolak KSPN, pemerintah pusat pasti tidak keberatan. Tak perlu sampai class action, pemerintah pusat akan
mengalihkan dana milyaran itu untuk memasukkan KSPN lainnya. Seperti diketahui, ketika penentuan KSPN ini, Pemda Jawa
Tengah protes keras kenapa Bali yang kecil itu mendapat 11 KSPN. Beberapa KSPN yang diusulkan Jawa Tengah gagal
seperti Demak-Kudus dan sekitarnya (ada masjid Demak dan Masjid Kudus yang antik), Tawangmangu-Candi Cheto dan
sekitarnya. Apalagi Kraton Solo dan sekitarnya dicoret pula, padahal Kraton Yogya masuk dengan KSPN No. 52 Yogyakarta
Kota dan sekitarnya dan di Jakarta ada KSPN No. 14 Kota Tua Sunda Kelapa dan sekitarnya.
Ke 88 KSPN yang jadi Rencana Induk Kepariwisataan Nasional 2010-2025 ini menjadi rebutan ketika disusun prioritasnya,
karena semua provinsi berlomba-lomba ingin dapat jatah kue pariwisata itu. Sebelum berstatus KSPN ada disebut KPPN
(Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional) dan jumlahnya mencapai 222 buah. (Lihat lampiran II PP No. 50). KPPN Bali
semua masuk ke KSPN, sementara daerah lain termasuk Jawa Tengah masih banyak dalam status KPPN. Tunggu giliran
2025-2040, ini kalau kebijakan pemerintah tetap setelah ganti presiden. Beralasan kalau Bali mendapat 11 KSPN karena
sumbangan Bali ke pemerintah pusat dari hasil pariwisata terbesar dibanding provinsi lain. Nah, kenapa uang itu ditolak?
Bukankah selama ini kita mengeluh, Bali menyumbang banyak uang dari pariwisata kenapa tak dikucurkan ke daerah? Pas
dikucurkan untuk pengembangan pariwisata justru ditolak. Aneh bin ajaib hanya dengan alasan kesucian pura yang sejatinya
tak pernah disinggung dalam KSPN.
Tapi, saya netral dan cenderung setuju KSPN ditolak, jika berpikir tentang diri sendiri. Pertama, saya tinggal di desa petani kopi
yang tak bersinggungan langsung dengan turis. Kedua, setelah menjadi sulinggih tentu menuntut kesucian pura, jangan
sampai saya disebut ikut menjual pura untuk turis. Ketiga, saya tak ingin Gubernur Bali (siapa pun yang menjadi gubernur
karena KSPN ini periode 15 tahunan sementara setiap 5 tahun ada Pilkada) diobok-obok dengan dalih kesucian pura. Apalagi
didomplengi masalah politik. Cuma, perlu dipikirkan masa depan Bali, apakah kita memang tak mau mengembangkan lagi
pariwisata dan justru menolak dana yang seharusnya memang milik kita? Adakah kita sudah kaya atau sebaliknya: belog
ajum? Saya sudah uzur, tak suka ribut-ribut lagi, kaum mudalah yang memikirkan serta waktu yang menjawab: siapa yang
membangun Bali dan siapa yang menjegal dana pembangunan untuk Bali
. (Penulis saat walaka bernama Putu Setia, pernah menjabat Ketua Himpunan Penulis Pariwisata dengan berbagai
penghargaan).

Senin,11 November 2013 @ 02:52

KSPN di Tahun Politik (Bagian I)

Polemik tentang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berujung pada niat Gubernur Bali Made Mangku Pastika
untuk membatalkan seluruh KSPN yang ada di Bali. Bahkan diteruskan dengan wacana untuk menutup tempat suci pura
sebagai obyek wisata, agar kesuciannya tidak ternoda. Sementara Ketua Komisi I DPRD Made Arjaya mengemukakan
perlunya pembentukan suatu tim untuk membahas dan menyikapi KSPN, supaya tidak ditunggangi masalah politik.
Apakah KSPN sarat dengan muatan politik? Saya tak berani bilang ya atau tidak. Tapi fakta yang ada di lapangan, di kota
Denpasar ada spanduk dari PDI Perjuangan yang isinya menolak Pura Besakih dijadikan KSPN meski pun dengan embelembel menghormati keputusan Sabha Pandita PHDI. Lalu pernah ada pernyataan dari seorang anggota DPD wakil Bali yang
akan berjuang ke pusat untuk membatalkan KSPN Besakih. Kemudian pertemuan-pertemuan yang diadakan selama ini
kebanyakan yang berbicara adalah aktifis, meski pun mengatas-namakan akademisi, agamawan, atau tokoh masyarakat.
Bermuatan atau ditunggangi politik, itu sah-sah saja. Saat ini adalah tahun politik, kurang dari enam bulan lagi Pemilu legislatif.
Partai politik dan para calegnya, termasuk calon DPD perlu panggung. Salah satu panggung yang paling populer saat ini
adalah menyerang apapun kebijakan pemerintah. Media massa juga rajin memberitakan setiap apa pun yang berlawanan
dengan pemerintah. Kalau tidak begitu, kenapa KSPN yang diputuskan tiga tahun lalu baru sekarang diributkan? Bukankah
tiga tahun lalu itu Gubernur Bali dan Wakilnya masih didukung PDI Perjuangan? Jangan-jangan karena wakil gubernur jarang
masuk kerja, lalu gubernur menyerahkan urusan ini kepada dinas terkait, maka KSPN luput dari perhatian. Tetapi memang,
KSPN itu adalah rencana induk kepariwisataan nasional, suatu kebijakan pusat untuk jangka waktu 15 tahun, dari 2010
sampai 2025.

Lagi pula KSPN itu kebijakan nasional yang sama sekali tak mengganggu urusan di daerah, karena ini arahan strategis.
Pelaksanaan pembangunannya diserahkan daerah dengan berbagai aturan, sementara dananya disediakan pusat (APBN).
Apakah yang menolak KSPN sudah membaca PP No. 50 tahun 2011 dengan lampiran II dan lampiran III yang tak terpisahkan
dari PP? Jangan-jangan yang dibaca hanya PP tanpa melihat lampirannya atau ada yang disembunyikannya. Karena ada
tokoh yang menyebutkan, jika KSPN Besakih tetap dilaksanakan bisa jadi dibangun lapangan golf dan hotel atau malah kafe.
Bahkan ada profesor yang menyebutkan Besakih dan sekitarnya itu harus jelas di mana wilayah sekitarnya. Ini pasti karena
tak dibaca lampirannya yang rinci. PP itu pedoman umum untuk seluruh KSPN yang berjumlah 88 buah, jadi memang ada
beberapa fasilitas yang dibangun, tetapi rincian per KSPN ada dalam lampiran III.
Agar masyarakat Bali tahu, mari kita kupas satu persatu 11 KSPN yang ada di Bali. Kita mulai dari KSPN yang jadi masalah,
KSPN No 84 BesakihGunung Agung dan sekitarnya. Wilayah KSPN ini tak seberapa luas, sekitar pertigaan jalan ke Besakih
- Pura Dalem Puri dan langsung ke atas gunung. Jangankan kota kecamatan Rendang, Desa Menanga dan Sebudi saja tak
seluruhnya kena. Hanya sebagian kecil. Daya tarik yang mau disasar disebutkan: bentang alam, flora-fauna, dan situs
sejarah/tempat ibadat. Hanya tiga itu, tak ada sarana olahraga, hotel, restoran dan sebagainya. Adapun target yang dibenahi
cuma dua: jalan kolektor dan jalan lokal.
Dari sini bisa dibaca, dalam rencana pembangunan pariwisata nasional itu, yang ditata adalah flora dan fauna dalam arti luas
menyelamatkan alam atau hutan lindung di atas Pura Besakih dengan membangun jalan-jalan lokal. Pura Besakih tak diutakatik tapi jadi target untuk dilihat wisatawan. Bahwa sebatas mana boleh dilihat, itu urusan pengempon pura atau diatur pemda
tentu dengan mempertimbangkan kesucian pura. Bagaimana bisa ada kekhawatiran dibangun hotel atau lapangan golf? Di
mana lahannya kalau hutan di atas Pura Besakih terjal dan hutan lindung? Nah, kalau KSPN ini ditolak dengan alasan
kesucian Pura Besakih terganggu, maka semua KSPN di Bali harus ditolak. Gubernur Mangku Pastika benar dalam hal ini,
batalkan saja semuanya. Dibandingkan akan diobok-obok lagi, kenapa cuma Pura Besakih yang dibebaskan dari KSPN,
kenapa pura lain tidak? Repot kan?
Mari kita lihat KSPN yang lain mulai dari urutan angka terkecil. Dari 88 KSPN di Indonesia, nomor 1 adalah KintamaniDanau
Batur dan sekitarnya. Saya tak tahu kenapa ini nomor satu, bisa saja kita menduga karena Jero Wacik yang saat itu Menteri
Pariwisata dan Kebudayaan ingat kampung halamannya. Sekali lagi itu dugaan yang dipas-paskan, tapi apalah arti nomor
urut. Berapa luas KSPN ini? Membentang dan mengitari Danau Batur. Pura besar yang ada di dalam KSPN ini adalah Pura
Penulisan, Puru Ulun Danu Batur, Pura Ulun Danu Songan, Pura Jati, lalu puluhan pura kecil. Wilayahnya dari Penelokan-Bukit
Penulisan-Desa Trunyan-Desa Songan. Lalu apa target disasar? Ada 3 yakni: bentang alam, adat tradisi, situs sejarah/tempat
ibadah. Di sini fauna-flora justru tak masuk target, mungkin hutannya tak banyak. Tetapi ada target adat tradisi dan itu pasti
ingin mempertahankan kelestarian budaya di Trunyan dan sekitarnya. Lalu apa yang dibangun? Sama dengan di Besakih,
yaitu jalan kolektor dan jalan lokal namun ditambah jalan arteri kemungkinan memperlebar jalan Kedisan-Trunyan yang
sempit dan sangat terjal. Tak ada dibangun hotel atau sarana olahraga.
Lanjut KSPN No. 41 KutaSanurNusa Dua dan sekitarnya. Ini KSPN terbesar di Indonesia. Seluruh Kodya Denpasar masuk
sampai Badung Selatan. Pesisir utaranya dari Pantai Batubeling. Tentu banyak pura di sini, terbesar adalah Pura Uluwatu dan
Pura Sakenan. Daya tarik sama dengan yang lainnya ditambah wisata bahari. Sarana yang dibangun sama dengan yang lain,
ditambah pengembangan pelabuhan laut dan udara karena di sini ada Benoa dan Bandara Ngurah Rai. Apakah dibangun
hotel, lapangan golf, sirkuit F1, itu tak ada tercantum dalam KSPN. Artinya, kalau sarana itu dibangun urusan lokal, tergantung
izin pemerintah daerah. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) PP 50 itu disebutkan: Pembangunan Daya Tarik Wisata dilaksanakan
berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen
atraksi untuk menciptakan Daya Tarik Wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk
menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber dayanya.
Jadi, KSPN ini jiwanya sangat memperhatikan kelestarian alam dan menjunjung tinggi nilai agama.
(Bersambung)

Senin,04 November 2013 @ 07:48

Masihkah Pariwisata Budaya

Pandita Mpu Jaya Prema

Sudah lama Bali dijadikan daerah tujuan wisata (DTW). Bahkan dalam catatan sejarah pariwisata Indonesia, Bali termasuk
DTW yang paling utama, jadi ikon dari kepariwisataan di Indonesia. Sejak dimasukkan sebagai DTW, konsep Bali dalam
industri tanpa asap ini adalah: pariwisata budaya. Yang dijual kepada wisatawan adalah produk budaya. Dan orang pun tahu,
produk budaya itu lahir dari agama yang dianut mayoritas orang Bali. Masihkah itu kita pegang sampai saat ini?
Bagi pelancong manca negara, Bali adalah daerah tujuan wisata yang mempesona. Pada tahun 1998 majalah pariwisata

terkenal, Conde Nast Traveler, memberi predikat The Best Island untuk Bali, menyisihkan "pulau pariwisata" lainnya seperti
Cheju, Hawaii, Kreta, Tonga, Maladewa, Phuket dan sebagainya.
Di tahun 2000 terjadi penurunan peringkat. Majalah itu kembali membuat penilaian serupa. Hasilnya Bali bukan lagi The Best
Island. Bali hanya menduduki peringkat ke empat setelah Maui, Kausi dan Fraser. Namun, hal ini adalah imbas kerusuhan di
Jakarta dan berbagai daerah yang ternyata ada pengaruhnya buat Bali.
Setelah pelaku pariwisata di Bali sekuat tenaga bekerjasama untuk memberikan citra ke luar bahwa Bali tetap daerah yang
aman-aman saja, keadaan lebih baik. Misi-misi budaya Bali tetap dikirim ke luar negeri untuk mengkampanyekan Bali yang
aman. Tentu saja, misi budaya itu dibarengi dengan kampanye pariwisata khas jargon Bali: pariwisata budaya.
Karena yang dijual budaya, pada awalnya tidak seluruh pulau Bali dijadikan daerah penginapan wisatawan. Bali Selatan, yang
dulu dikenal sebagai daerah gersang berbukit tandus, bagai disulap untuk dijadikan "kandang turis". Turis-turis tidak dianggap
perlu dibangunkan fasilitas penginapan atau restoran di daerah lain. Ini untuk menjaga tata ruang Bali agar keindahan alam
Bali tidak terganggu. Keindahan alam dan budaya ini adalah daya tarik Bali yang sudah disepakati sejak lama dan sudah diatur
dalam peraturan daerah mengenai Pariwisata Budaya. Apalagi, Bali pulau yang sempit, ke ujung mana pun pergi, toh bisa
pulang lagi menginap di pemukiman yang sudah dibangun di Bali Selatan itu. Kalau sarana wisata seperti hotel, restoran dan
sebagainya dibangun pula di daerah lain, maka lahan Bali berkurang dan berkurang pulalah sarana aktifitas rakyat Bali dalam
melakukan aksi budayanya.
Kalau begitu, bagaimana kue (hasil pariwisata) ini dikelola sehingga dirasakan oleh seluruh rakyat Bali? Maka dibuatlah
aturan dan kesepakatan menata ruang Bali itu. PHR (Pajak Hotel dan Restoran) yang dipungut Kabupaten Badung
separohnya dibagikan kepada tujuh kabupaten (waktu itu Kota Denpasar masih menjadi wilayah Badung) secara merata. PHR
ini sebelumnya disebut Pajak Pembangunan I. Dengan uang itu kabupaten yang lain menata daerah tujuan wisatanya tanpa
harus mendirikan hotel dan restoran. Saat itu lantas dikenal ada istilah daerah tujuan wisata dan daerah pemukiman wisata
untuk Bali.
Namun, belakangan muncul ketidak-adilan karena Kabupaten Badung makin tak transparan dan mulai muncul ketidak-puasan
di kabupaten yang lain. Ada kesan kabupaten lain seperti mengemis minta bagian PHR. Kabupaten di luar Badung bergolak
pelan-pelan. Dipelopori oleh Kabupaten Tabanan dengan kawasan Tanah Lot yang berdiri Nirwana Bali Resort waktu itu milik
Aburizal Bakrie -- lalu Kabupaten Gianyar dengan kawasan Ubud, dan diikuti kabupaten lain dalam skala kecil-kecilan.
Kabupaten Badung justru melawan dan mereka kemudian hanya mau membagi 30 persen hasil PHR yang dipungutnya untuk
disumbangkan ke kabupaten yang lain.
Otonomi daerah yang berbasis di kabupaten kemudian memporak-porandakan kesepakatan pembagian kue pariwisata ini.
Otonomi daerah membuat setiap kabupaten harus bersaing menghimpun sendiri PAD (penghasilan asli daerah). Seluruh
kabupaten di Bali berlomba-lomba membangun fasilitas untuk wisatawan, mulai dari hotel sampai restoran. Ini membuat carutmarut wajah Bali. Di kawasan Kintamani restoran tumpang tindih sampai menyapu keindahan alam. Hal serupa terjadi di
kawasan Bedugul, juga di Ubud. Tata ruang Bali mengenai kawasan wisata sudah tidak ada giginya lagi.
Bukan saja hotel dan restoran dibangun, objek wisata pun tak cuma terpaku pada budaya. Ada lapangan golf, taman safari,
kebun binatang dan sebagainya, yang tak dikenal dalam khasanah seni budaya Bali. Bahkan pernah ada ide membangun
sirkuit F 1 di Jembrana. Tata ruang Bali bisa kacau balau jika hal seperti ini tak bisa dikendalikan, karena semuanya akan
mengambil lahan Bali yang sempit. Syukurlah kemudian ada Perda Tata Ruang dan bahkan jauh sebelumnya Parisada Hindu
Dharma Pusat mengeluarkan keputusan tentang Kawasan Suci Pura. Tempat persembahyangan umat Hindu dilindungi
wilayah kesuciannya, meski pada saat keputusan itu lahir, beberapa pura sudah tak memiliki wilayah suci sebagaimana yang
diatur.
Pura dalam konsep pariwisata budaya ini juga tak diatur secara jelas, apakah pura sebagai tempat wisata atau bukan.
Kesucian pura diatur oleh pengemong setempat (meski juga lewat campur tangan Pemda) bahwa wisatawan tidak dibolehkan
masuk kejeroan (mandala utama), jika tidak bersembahyang. Jadi status pura itu abu-abu dan itu sebabnya turis tak bisa
dipungut karcis masuk ke pura. Tapi akibatnya, lihat di Pura Besakih. Turis sering mengganggu di lorong-lorong dan pelataran
pura, bahkan ada kalanya nyelonong masuk ke jeroan, tergantung yang mengajak.
Sementara itu pemerintah pusat membuat istilah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN). Ini adalah strategi
pembangunan di kawasan wisata, yang sejatinya tak ada berkaitan dengan kesucian pura, bahkan apa yang dibangun di
kawasan ini tetap mengacu kepada ketentuan lokal termasuk Bhisama Kesucian Pura PHDI, Perta RTRW dan berbagai jenis
aturan di daerah. KPSN ini sekarang dipermasalahkan karena hampir semua KPSN di Bali ada pura di dalamnya. Bisa
dimaklumi karena Bali pulau seribu pura.
Padahal masalah mendasar yang perlu dirumuskan ulang adalah apakah Bali tetap menjual pariwisata budaya? Atau malah
pertanyaan: apakah Bali akan tetap dipertahankan sebagai daerah tujuan wisata? Atau tujuan wisata terbatas? Atau kembali
bertumpu pada pertanian, meski sawah dan kebun sudah enyempit? Semuanya punya konsekwensi dan ada korban. Tinggal
mengkaji korban mana paling minim.
Namun di atas segalanya, otonomi khusus untuk Bali sehingga masalah budaya dan pariwisata bisa diatur di satu tempat,
lebih penting diperjuangkan ke pusat dibandingkan KPSN yang tak ada kaitannya dengan kesucian pura. (*)

Senin,28 Oktober 2013 @ 04:40

Rintangan Menuju Pura


Pandita Mpu Jaya Prema
Umat Hindu di Bali seperti tak henti-hentinya mengunjungi pura di bulan Oktober ini. Sambung menyambung. Selain ada
Purnama Kapat yang merupakan tegak odalan di beberapa pura besar, antara Galungan dan Kuningan merupakan hari
piodalan di berbagai pura. Pura di Bukit Lempuyang seperti Lempuyang Luhur dan Lempuyang Madya ada piodalan seperti
bersambung. Begitu pula di Putra Ulun Danu baik yang lama di Songan maupun yang baru di pinggir jalan besar Kintamani.
Pura Pulaki, Pura Batukaru pun odalan pula. Hari ini, Pemacekan Agung giliran Pura Dasar Bhuawana di Gelgel dan nanti
pada Kuningan di Pura Dalem Sakenan Serangan.
Katanya bersembahyang memuja Tuhan bisa di mana saja. Cukup menggelar tikar dan mengucapkan mantram Tri Sandhya.
Lalu apa daya tariknya mengunjungi pura di berbagai tempat dan siapa pula yang dipuja di sana? Kenapa Pura Luhur Batukaru
penuh sesak pada saat Manis Galungan yang lalu? Begitu pula saat odalan di Pura Lempuyang Luhur dan Madya, umat parkir
jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan
untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu? Hari ini pasti umat berjubel memenuhi Pura Dasar
Bhuwana di Gelgel.
Jelas ada daya tariknya, baik secara religi maupun secara duniawi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat adalah pura
itu tempat tinggal Sesuhunan (sebutan untuk para Dewa di pedesaan Bali), stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Namun,
kalau umat ditanya lebih jauh, apakah mereka mengetahui dan bisa memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu?
Tak banyak yang tahu, yang penting ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan lagi karena sudah berjubel, apakah
persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana.
Yang dipuja pada berbagai pura yang bertebaran, baik di puncak gunung maupun di tepi danau dan laut adalah pemujaan
kepada leluhur kita. Leluhur yang sudah menjadi Bethara. Dalam konsep Hindu, leluhur kita dan siapa pun yang sudah
meninggal dunia rohnya menyatu dengan Hyang Widhi. Jadi bukan seperti konsep agama tetangga, di mana rohnya ada di
sisi Tuhan. Dengan begitu tidak salah, memuja leluhur atau memuja Bethara itu pada akhirnya sampai juga pada memuja
Tuhan. Itu sebabnya pura, betapapun jauh dan penuh rintangan, selalu dikunjungi umat.
Jika begitu halnya, untuk apa leluhur kita membangun pura di tempat yang terpencil, di puncak gunung, di tebing pantai yang
curam, bahkan di tengah laut seperti Tanah Lot dan Sakenan. Pasti ada maksud tertentu.
Leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, di
tempat-tempat di mana orang harus melakukan perjalanan penuh rintangan sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu
Batur (yang asli di Desa Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan
berjalan kaki di terjal-terjal. Atau naik jukung dari Kedisan. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di
puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam lalu mendaki terjal. Pura
Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik
turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang.
Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti
Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan?
Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya rintangan dalam perjalanan. Dengan adanya
rintangan itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah
menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. Rintangan itu tak lain adalah cara tak langsung untuk
melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan
langsung bisa dimulai.
Sayang sekali, sekarang rintangan itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura
Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu
umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah.
Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus karena tak punya uang. Suasana ngedumel dan tangisan
dibawa langsung masuk pura, bagaimana bersembahyang dengan hening dan khusuk?
Pikiran apakah yang dibawa umat ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh pemangku? Tak
lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal
dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat
sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura. Kita melakukan
japa dan samadhi ketika dalam perjalanan naik jukung, sampai suasana itu kita bawa masuk ke pura. Luar biasa
konsepnya. Rintangan ini juga ada di Tanah Lot, kita selalu berdoa supaya air tidak pasang. Di Pura Lempuyang setiap

undakan yang kita naiki penuh dengan doa.


Pura besar yang tidak berada di tempat terpencil, godaan yang ada saat ini adalah banyaknya pedagang kaki lima dan juga
pedagang yang tak ada hubungannya dengan persembahyangan, seperti jual VCD atau mainan anak-anak. Kalau dibiarkan
pedagang merangsek ke jaba pura, maka konsentrasi umat pun bisa terpecah dan tidak focus pada persembahyangan. Mari
kita kurangi godaan ini sehingga kita bisa bersembahyang memuja leluhur dan Tuhan dengan cara khusuk. (*)

Senin,21 Oktober 2013 @ 00:31

Galungan dan Kemerosotan Moral


Pandita Mpu Jaya Prema
Selamat menyongsong (nyanggra) Hari Raya Galungan kepada seluruh umat Hindu di mana saja berada, baik yang
merayakannya maupun yang tidak. Semoga dharma, kebenaran yang sejati, bisa singgah di hati kita semua. Semoga
adharma, kegelapan pikiran akibat nafsu serakah, surut ke titik yang paling rendah.
Sulit memenangkan dharma, karena itu sulit pulalah bisa merayakan Galungan dengan benar. Baik bagi mereka yang paham
betul apa arti dan makna Galungan, maupun bagi mereka yang tidak paham akan arti dan makna Galungan. Antara yang
paham dan tidak, merayakan Galungan juga berbeda, namun kesulitannya tetap sama karena pengaruh lingkungan.
Mereka yang tak paham dengan makna Galungan, merayakan hari itu dengan kebiasaan yang sering kita lihat di masyarakat
Bali belakangan ini. Sebelum Galungan mereka sibuk menyiapkan berbagai hal. Perlengkapan upacara, misalnya, mulai dari
membuat penjor Galungan sampai mendapatkan buah-buah untuk sesajen, semuanya bisa dibeli secara bebas. Buah pun
tersedia di berbagai supermarket dan toko-toko modern yang sudah bertebaran di beberapa desa. Padahal Galungan mesti
dirayakan dengan mempersembahkan hasil bumi dari alam di lingkungan sendiri, sebagai rasa terimakasih kepada ibu pertiwi
yang telah memberi karunia kehidupan kepada manusia. Bukankah 25 hari sebelum Galungan ada yang disebut Tumpek
Pengarah atau Tumpek Uduh, di mana orang-orang mendatangi pohon yang akan menghasilkan buah untuk persembahan
Galungan?
Begitu pula perlengkapan pesta hari raya. Babi dan berbagai hewan disembelih untuk memaknai Hari Penampahan, padahal
sejatinya yang justru disembelih adalah sifat-sifat binatang yang ada di dalam diri kita. Pesta pun berlanjut dengan arak dan
tuak, dan di banjar-banjar biasanya ada bar Galungan, tentu dengan minuman beralkohol sejenis bir. Lalu berjudi, main ceki
atau domino. Bagaimana bisa memenangkan dharma kalau situasinya sudah seperti ini?
Bagi yang paham arti dan makna Galungan, tentu sudah terbebas dari kebiasaan seperti itu. Mereka berusaha mengekang diri
untuk bertekad mengalahkan adharma demi kemenangan dharma. Sejak enam hari sebelum Galungan, mereka sudah
membersihkan lingkungannya sendiri termasuk alat-alat yang dipakai untuk upacara Galungan. Itu disebut Sugihan Jawa.
Esoknya, pada Sugihan Bali mereka membersihkan diri sendiri tentu selain phisik adalah pembersihan rohani. Setelah itu
mereka berusaha melakukan pengekangan diri entah melalui meditasi atau upawasa (puasa) untuk menghindari
cengkeraman Sang Bhuta (Kala) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta
Amangkurat. Ini sudah diuraikan pada Mimbar Hindu Sabtu (19/10) yang lalu.
Persoalannya, apa semudah itu melakoninya dalam situasi yang begitu banyak godaan ini? Di tengah-tengah lingkungan kita
telah terjadi perubahan yang menggambarkan betapa semakin merosotnya moralitas masyarakat. Berbagai perseteruan
terjadi, bukan saja antar pribadi, tetapi juga antar ormas. Lihatlah baliho ormas yang memenuhi pinggir jalan di Bali, semuanya
menyebutkan akan menjaga Bali dan meng-ajeg-kan Bali. Tapi yang terjadi adalah perseteruan antar ormas, meski masih bisa
didalihkan dengan menyebut itu cuma oknum-oknum saja.
Lihat pula betapa serakahnya orang-orang yang tak malu mau menjadi pemimpin, entah itu dengan sebutan calon wakil
rakyat atau calon Dewan Perwakilan Daerah. Balihonya sudah menyebar di Bali,, memohon dukungan sambil mencakupkan
tangan menyampaikan selamat Hari Galungan. Mereka sudah duduk di jabatan itu lima tahun ini, apa yang mereka kerjakan
untuk Bali? Tak pernah ada suaranya, kok masih mau minta dukungan? Jelas, orang-orang seperti ini nantinya hanya
mengandalkan kekuatan uang agar terpilih. Marilah kita tidak tergoda oleh uang itu, karena jelas uang dan polah mereka tak
sesuai dengan dharma.
Pola hidup konsumtif dan bergesernya nilai-nilai kegotong-royongan membuat orang asyik dengan kesendiriannya dan cuek
dengan sesama. Lihatlah situasi lalu lintas di Bali saat ini, pengendara sepeda motor seenaknya di jalanan, tak lagi di jalur kiri
sebagai mana aturan berlalu-lintas. Sepeda motor sudah berada di tengah-tengah jalan bahkan menyalip mobil dari kanan,
padahal itu jalur kendaraan roda empat atau lebih. Ini cermin ego keblablasan karena mereka merasa berhak karena sudah
membayar pajak, tetapi mereka lupa akan kewajiban menegakkan aturan berlalu-lintas.

Moralitas di era ini sudah sedemikian merosot. Beberapa orang mengkaitkan dengan zaman yang disebut Kali Yuga, zaman
penuh kegelapan. Kalau kita telusuri perjalanan zaman, Kali Yuga itu sudah dalam rentang waktu yang sangat panjang, ada
yang menyebut dimulai pada saat penobatan Raja Parikesit, cucu Raden Arjuna. Kalau sepanjang itu zaman kegelapan,
kenapa di masa lalu pada saat Kerajaan Singosari, Majapahit, Kerajaan Gelgel dan seterusnya, moralitas masyarakat masih
tinggi dan kejujuran masih dipelihara dengan baik? Bukankah sama-sama di zaman Kali Yuga?
Kegelapan selalu menyelimuti manusia. Beruntung agama Hindu memiliki hari yang punya siklus tertentu untuk berperang
melawan kegelapan, berperang melawan adharma, yang di masing-masing wilayah diberi nama berbeda. Di India dirayakan
dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Lalu di bulan Oktober (Kartika) dirayakan
dengan nama Nawa Ratri. Umat Hindu etnis Bali menamainya Hari Galungan warisan yang sejatinya sudah dibawa dari
Jawa, yang siklusnya juga dua kali setahun, namun dalam tahun wariga, yakni enam bulan wariga atau 210 hari.
Kalau saja umat Hindu konsisten dalam setiap siklus itu mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma, maka seharusnya
moralitas itu tetap terjaga. Kalau saja semakin banyak umat merayakan Galungan dengan benar sesuai tatwanya, kita tak
khawatir akan kemerosotan moral. Mari kita mulai dari pribadi, lingkungan keluarga dan menular ke tetangga sampai desa dan
seterusnya. Jagalah moral dengan merayakan Galungan. (*)

Senin,14 Oktober 2013 @ 00:25

Beryadnya Sesuai Kondisi


Pandita Mpu Jaya Prema
Hari-hari ini umat Hindu di Bali menyongsong Galungan dan Kuningan. Sekarang memasuki Wuku Sungsang, hari Kamis nanti
sudah Sugian Jawa, dilanjutkaan Sugian Bali pada esok harinya. Para ibu sudah sibuk menyiapkan berbagai ornamen
menyambut hari raya itu. Tentu saja tidak sesibuk di masa lalu.
Di masa lalu kesibukan itu tergolong luar biasa. Rangkaian sesajen sudah dibuat jauh sebelumnya. Kue-kue khas dibuat jauh
hari, jaje sirat, kaliadrem, dodol, satuh, tape dan banyak lagi. Dan ketika hari raya itu datang, rangkaian sesajen sudah kusam
bentuknya, kue khas itu sudah pada jamuran, tak layak lagi dimakan. Terkadang berbau amis. Semut pun banyak
mengerubung. Tak pernah ada yang iseng bertanya saat itu, Apakah tidak kasihan dengan Tuhan diberi sesajen yang sudah
bau?
Sekarang malah sebaliknya, bukan Tuhan yang perlu dipertanyakan. Justru pemangku atau sulinggih yang perlu ditanya; Apa
mantap nganteb atau muput upacara yang sesajennya sudah bau, bunganya layu, bahkan banyak dikerubungi semut? Nah,
mulai ada kesadaran tentang sarana upacara yang layak untuk dipersembahkan.
Globalisasi ikut mengubah cara-cara menyambut hari raya. Sarana berupa jajan mulai dibuat dekat-dekat hari raya karena ada
teknologi, baik cara membuatnya dengan alat-alat yang lebih modern, maupun cara menyimpannya, misalnya, ada kulkas.
Janur mudah didapat di pasar, bahkan mulai ada janur yang tahan lama yang didatangkan dari Sulawesi. Lalu ada yang lebih
praktis bagi mereka yang sibuk dengan pekerjaan, membeli ornamen sarana ritual yang banyak dijual sekarang ini. Lihatlah di
sepanjang jalan antara Lukluk-Kapal atau di berbagai pasar desa, berbagai ornamen sudah ada yang menjual.
Yang tak kalah pentingnya adalah cara-cara umat melakukan yadnya itu sudah mulai praktis, yakni disesuaikan dengan situasi
dan kondisi, termasuk ketersediaan dana. Disebut praktis karena untuk apa membuat jajan yang banyak ragamnya dan banyak
jumlahnya, kalau tidak ada yang makan lungsuran atau prasadamnya. Untuk apa membuat banten yang besar kalau yang kecil
saja sudah sesuai dengan sastra agama. Contoh kecil, dulu di kampung saya setiap orang membuat rangkaian banten pejati
selalu ada ketipat gong lengkap dengan rokok dan koreknya. Sekarang yang ada ketipat gong hanya untuk tempat khusus.
Kesadaran umat itu tentu karena pendidikan yang sudah lebih maju. Juga berkat intensifnya penataran maupun dharma
wacana yang diberikan para tokoh-tokoh agama. Umat Hindu di pedesaan sebenarnya sangat menurut kalau diberi penjelasan
yang baik. Dulu mereka sering terjebak oleh rasa takut dan salah dalam melakukan tirual. Takut tidak komplit bantennya, takut
kurang ini atau kurang itu. Kalau salah, nanti Tuhan memberikan kutukan. Ida Bethara juga memberikan kutukan atau setidaktidaknya memberikan sakit sebagai sinyal dari adanya kesalahan itu. Padahal mereka sendiri sejatinya juga tidak tahu,
kurang itu dari mana ukurannya. Mereka mengukurnya dari tradisi yang sudah turun-temurun, salah atau benar, kurang atau
tidak, mereka sebenarnya tak tahu.
Istilah di pedesaan seperti kepongor atau kepanesan adalah suatu kepercayaan bahwa para leluhur dan bahkan dalam
tingkat tertinggi yakni Hyang Widhi dianggap sebagai penjatuh kutukan. Tuhan dan Bethara lebih sebagai penghukum, bukan
sebagai Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun.
Karena itu, supaya tidak salah, maka upacara ritual pun harus lengkap. Lengkap versi siapa? Lengkap menurut tradisi yang

sudah turun-menurun, tanpa peduli lagi apakah tradisi itu benar atau salah. Karena itulah orang beryadnya dengan besarbesaran, berbagai kue dibuat yang pada akhirnya lungsuran-nya tidak dimakan dan diberikan babi. Artinya babi yang
menerima prasadam yang utama itu.
Beryadnya yang tidak mahal dan sederhana, bagaimana ukurannya? Bagaimana cara mengurangi banten? Apakah daksina
buah kelapanya boleh dipotong-potong dan telurnya separo saja? Tentu bukan itu maksudnya. Kelapa dan telur dalam daksina
itu adalah lambang, kalau dipotong-potong berarti sudah menyimpang dari lambangnya. Baju jas kalau lengannya dipotong
tentu tak lagi bernama jas. Yang dilakukan adalah kalau memang tak mampu membuat yadnya dengan banten besar seperti
rangkaian bebangkit, misalnya, buatlah yang kecil, cukup ayaban tumpeng. Analognya, kalau tak mampu membeli jas, pakai
saja baju batik, toh tetap rapi.
Beryadnya itu ukurannya perasaan hati tetapi juga disesuaikan dengan kondisi, karena perasaan bisa dikendalikan. Pernah
saya melakukan Manusa Yadnya di desa dan saya ditanya kenapa melakukan yadnya yang besar, memakai topeng sidakarya,
mendatangkan sekehe shanti, menjamu pemuka adat dan pemangku. Bukankah saya mengajurkan yadnya yang sederhana?
Jawaban saya: Bukankah saya memiliki perangkat gong, punya grup topeng, punya sekehe shanti, kalau itu tidak
dipertontonkan untuk apa saya membina kesenian itu? Lalu kapan kesenian itu tampil kalau tidak ada yadnya?
Begitu juga istilah menjamu warga dan pemuka adat. Kapan saya bisa bersosialisasi dengan pemuka adat kalau tidak dalam
yadnya? Artinya kondisi sosial itu penting. Tapi kalau tidak punya sarana dan masih banyak kebutuhan dalam hidup, untuk apa
beryadnya besar-besaran dengan cara berhutang menggadaikan kebun? Janganlah agama Hindu dijadikan alasan untuk
beban dalam hidup.
Mari kita menyongsong hari raya Galungan dan Kuningan dengan yadnya yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing, tak
perlu mahal dan besar-besaran kalau masih ada kebutuhan lain yang lebih penting, misalnya, menyekolahkan anak. (*)

Senin,07 Oktober 2013 @ 00:18

Ilmu, Amal dan Iman


Pandita Mpu Jaya Prema
Istilah ilmu amal dan iman ini populer di pertengahan dasawarsa 1900-an, namun kini mulai menguap dilindas berbagai istilah
yang lebih mutakhir. Adalah BJ Habibie, yang saat itu Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Ketua Umum Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) mempopulerkan istilah ini. Tema ini dijadikan dasar kerjasama antarorganisasi cendekiawan berbagai
agama.
Di kalangan cendekiawan Hindu istilah itu kemudian dicarikan pembanding karena kata-kata amal dan iman dirasakan
kurang pas. Muncul kemudian beberapa istilah, misalnya, dipakai kata bhakti untuk amal, lalu kata srada untuk iman.
Namun apa pun istilahnya, kata-kata itu tetap saja punya maksud yang sama, bahwa setiap manusia yang beradab haruslah
menguasai ilmu pengetahuan, lalu mengamalkan ilmu itu ke tengah-tengah masyarakat dengan catatan bahwa pengalaman
ilmu itu harusnya disertai dengan iman atau keyakinan pada ajaran agama. Itu saja intinya.
Apapun istilah yang dipakai, apakah ilmu amal dan iman atau ilmu bhakti dan srada, hal ini penting terus didengungkan
untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan. Dan tetap relevan sepanjang masa, baik untuk menjadi pedoman para pemimpin
ataukah jadi acuan setiap orang.
Penguasaan ilmu sangat penting. Umat Hindu sangat memuliakan ilmu pengetahuan dengan dipujanya Saraswati, Dewi Ilmu
Pengetahuan. Namun, setelah ilmu dikuasai, amalkan ilmu itu. Janganlah ilmu itu dipendam sendiri. Dalam kitab-kitab Weda, di
banyak sloka disebutkan, sebarkan apa yang kau tahu meskipun itu hanya sekelumit pengetahuan, bahkan hanya sepenggal
sloka. Amalkan apa yang kau pelajari, meskipun pelajaran itu belum sempurna. Jangan takut gagal.
Ada anggapan salah, bahwa seseorang setelah berilmu hendaknya semakin merendah sesuai dengan kata pepatah seperti
padi, semakin berisi semakin merunduk. Merendah dan merunduk bukan berarti tidak mengamalkan ilmu itu, tetapi
maksudnya janganlah menjadi sombong. Orang tetap terlihat saleh walau mengamalkan ilmunya sepanjang dia tidak
memonopoli ilmu itu sebagai kebenaran pribadinya. Ada sloka Weda yang menyebutkan begini: Menjadi orang saleh dan
mengurung diri di dalam kamar, tidaklah istimewa di hadapan Tuhan, karena Tuhan berbangga melihat insan ciptaanNYA
mengalami berbagai luka dan jatuh bangun di dalam kelemahannya sebagai seorang manusia biasa, namun tetap mantap di
dalam melayani sesama.
Jadi, kita tidak perlu takut mengamalkan ilmu itu. Ilmu tanpa diamalkan sama saja dengan bohong. Justru dengan ilmu yang
didapat dan kita jadi tahu yang mana benar dan yang mana salah, dalam praktek sehari-hari hal itu harus diamalkan. Setiap
malam melakukan pesantian, mencari ilmu dari Purana dan Itihasa, membaca kekawin atau geguritan yang penuh pesan

kebajikan, hendaknya di siang hari ilmu itu diamalkan. Kita diajarkan lewat ephos Mahabharata bagaimana Pandawa dihukum
dan menderita karena main judi. Nah, amalkan itu dengan menjauhi judi, jangan lagi main ceki atau ke tempat sabungan ayam.
Malamnya ikut pesantian mendengarkan berbagai nasehat, siangnya masih mabuk-mabukan minuman keras, jelas nyaplir.
Bertahun-tahun mempelajari pencangkokan tanaman di laboratorium, misalnya, sekarang amalkan di lapangan untuk
kesejahtraan petani. Berbulan-bulan belajar agama dan menghafal mantra, sesekali praktekkan ketika ada piodalan di pura.
Kepandaian yang hanya di simpan untuk diri sendiri tak ada manfaatnya.
Namun, dalam pengamalan ilmu itu jangan lupa pada iman, pada srada, pada ajaran luhur agama. Srada itu adalah dasardasar ajaran agama, jadi jangan sampai mengamalkan ilmu ini menyimpang dari ajaran agama. Kita tahu ilmu merakit bom,
tetapi dalam pengamalannya melanggar ajaran agama, bom diledakkan untuk membuat kerusuhan, bukan di medan perang.
Kita tahu dari ilmu geologi bahwa di Bedugul tersimpan sumber panas bumi. Kita mau amalkan, kita bor bukit Bedugul itu. Ini
salah besar jika di kawasan itu ada tempat-tempat suci. Kita tahu ilmu ekonomi, minuman keras disukai turis yang berkunjung
ke Bali dan kita menguasai ilmu membuat minuman keras itu. Lalu kita amalkan, kita buat pabrik minuman keras di pedesaan
yang pemasarannya hanya sebagian kecil kepada orang asing. Ini salah besar karena agama Hindu melarang minuman keras,
apalagi pabriknya di tengah-tengah pemukiman masyarakat.
Contoh-contoh ini bisa diperpanjang bagaimana ilmu, amal, dan iman harus selaras. Penyelarasan ini yang kurang sekarang
atau setidaknya sudah luntur. Coba bayangkan seorang pengajar di sekolah tinggi agama bisa melakukan korupsi, padahal
setiap hari kitab agama dijadikan acuan. Ada pemangku yang masih suka metajen, bahkan ada yang ikut terlibat dalam
pencurian pratima. Anggota DPRD di Bali masih banyak yang suka main ceki dengan taruhan besar, padahal ilmu yang
mereka dapatkan seharusnya sudah cukup untuk dijadikan panutan masyarakat. Hakim yang seharusnya mengadili ternyata
tidak adil karena terpengaruh suap.
Kenyataan yang kita lihat sekarang ini justru mereka yang berilmu (dalam hal ini berpendidikan tinggi) yang paling banyak
melakukan korupsi. Jadi untuk apa ilmu itu kalau digunakan untuk menyengsarakan rakyat? Marilah umat Hindu menjadi
pelopor dari pengamalan ilmu yang berdasarkan iman atau srada. Kita sudah mewarisi keyakinan yang luhur, di mana kita
memuja Dewi Saraswati sebagai dewinya ilmu pengetahuan dan kita pun memuja Ganesha sebagai Dewa Kebijaksanaan.
Gunakan ilmu secara bijaksana untuk kepentingan umat. (*)

Senin,30 September 2013 @ 00:04

Mari Tanam Pohon


Pandita Mpu Jaya Prema
Ada yang menarik dari simakrama yang dilakukan Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada Sabtu (28/9) yang lalu di
Wantilan DPRD Bali. Yakni ketika Mangku Pastika menjelaskan bahwa sektor pertanian dan peternakan sangat menjanjikan
untuk memenuhi kebutuhan Bali yang saat ini tak bisa dipenuhi oleh Bali sendiri. Mangku Pastika menyebutkan contoh
sederhana bagaimana sebuah restoran di Renon setiap hari mendatangkan ribuan ikan mujahir dari Jawa. Bahkan disebutkan
ayam betutu Men Tempeh yang pusatnya di Gilimanuk dan kini sudah punya cabang di berbagai tempat setiap hari
mendatangkan ribuan ayam kampung dari Jawa Timur. Kenapa Bali tak menggarap sektor ini?
Sebenarnya kalau contoh itu diteruskan sangatlah panjang. Janur pun setiap hari didatangkan dari Situbondo. Bahkan hampir
semua sarana persembahyangan di Bali bahan bakunya datang dari Jawa. Lihatlah di Pasar Badung bagaimana bunga dari
Jawa mengalir ke Bali, dan lihat pula di Pasar Kandik bagaimana puluhan truck dari Jawa datang membawa pisang. Bali
sangat tergantung pasokan bahan-bahan upacara dari Jawa.
Kenyataan ini semakin menarik dibahas karena Sabtu itu, tatkala Gubernur Bali melakukan simakrama, bertepatan dengan
rahinan Tumpek Uduh atau disebut juga Tumpek Pengatag. Tumpek ini bisa disebutkan sebagai awal dari rangkaian panjang
Hari Raya Galungan Kuningan, hari kemenangan dharma yang diperingati dengan meriah oleh umat Hindu etnis Bali. Di hari
Tumpek Uduh itu orang-orang Bali menghaturkan sesajen ke kebun-kebun, tempat di mana pohon-pohon yang sedang
berbuah. Upacara ritual ini masih tetap berlangsung terutama di pedesaan pegunungan. Pohon pisang, pohon mangga, jeruk,
durian, sotong, dan semua pohon berbuah diberikan sesajen atau setidaknya sesajen dihaturkan di sebuah tempat di mana
berjenis-jenis pohon itu berada. Dalam tradisi para tetua di masa lalu, pohon-pohon itu malah dipeluk sambil diajak berdialog
seolah-olah pohon itu bisa mendengar: Kaki-kaki enggalang nasak buahne, Galungan buin selae lemeng. (Ini bahasa Bali
madya yang artinya: Kaki-kaki cepat matang buahnya, Galungan lagi 25 hari.)
Artinya, orang Bali di masa dulu sudah menyiapkan rangkaian Galungan dengan berharap bahwa buah yang akan
dipersembahkan itu adalah buah dari kebunnya sendiri, buah yang sudah diperciki tirta suci saat Tumpek Uduh. Sampai
sekarang ritual ini berlangsung, meski pun pohon yang berbuah itu sudah mulai jarang ada, atau masih ada satu dua.
Nah, ironisnya apa yang terjadi pada saat Galungan, bahkan pada saat orang-orang Bali menghaturkan sesajen tatkala ada

hari raya keagamaan? Buah dibeli di pasar swalayan. Ada buah peer dari Cina, apel dari Amerika atau New Zeland, jeruk dari
Bangkok. Kalau pun bukan buah impor semuanya buah dari luar Bali, jeruk Pontianak, apel Malang, pisang dari Jember dan
sebagainya. Dengan alasan lebih mudah dengan cara membeli dan bentuknya lebih indah, maka buah lokal menjadi
dikesampingkan. Kalau begitu halnya, untuk apa ada Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, untuk apa lagi pohon-pohon buah
di Bali diberikan sesajen? Bukankah berarti sesajen itu lebih tepat kalau dihaturkan di pasar swalayan?
Mari kita introspeksi atau istilah Bali mulat sarira. Ada yang salah dalam menerapkan ajaran agama yang prakteknya sudah
diwariskan para leluhur kita di masa lalu. Leluhur kita sejak menanam pohon, tumbuh besar, berbuah, semuanya dalam
rangkaian ritual. Sejak menanam itu yadnya sudah mulai dipersembahkan. Di dalam berbagai ajaran Hindu ada disebutkan,
persembahkanlah hasil tanaman dari bumi di mana tanah itu dipijak, di mana keringat membasahi ibu pertiwi. Sekarang kita
sudah menyia-nyiakan buah dari ibu pertiwi Bali hanya karena disebut kurang indah dilihat. Kita tak lagi menghaturkan nenas,
sotong, juwet tetapi buah-buah dari pasar swalayan, bahkan yang masih terbungkus plastik pula jangan-jangan masih ada
label harganya. Lalu kalau ditambah dengan janur dari Sitobondo atau janur Sulawesi dan bunga dari Banyuwangi, ayam atau
itiknya dari Probolinggo maka lengkaplah sudah yang dipersembahkan itu datang dari bumi yang bukan kita pijak. Apalagi
pada hari Galungan, babi yang disembelih pun sudah babi putih hasil peternakan di Jawa, padahal ada hari Tumpek Kandang
di mana hewan di Bali pun diberikan sesajen.
Sebaiknya kita menyadari kesalahan ini dengan berangsur-angsur memenuhi kebutuhan dari dalam Bali sendiri terutama
dalam kaitan dengan yadnya. Pikiranpun jadi hening dan tidak was-was karena yakin buah dan bunga yang kita pakai
persembahan itu tumbuh di tempat suci, bukan di tempat yang kotor. Maka ajakan Gubernur Mangku Pastika untuk kembali
menanam pohon buah, kembali beternak ikan dan hewan lain, adalah ajakan yang layak diikuti. Setiap halaman yang kosong
sebaiknya ditanami pohon, kalau tak memungkinkan pohon berbuah, tanamilah dengan bunga. Kita sudah kehilangan ritual
ngelinggihang Hyang Nini karena padi di sawah sudah menjadi gabah dan tak bisa diangkut ke lumbung, lagi pula lumbung
itu sudah tidak ada. Apakah suatu saat kita akan kehilangan ritual Tumpek Uduh karena tidak ada lagi pohon berbuah yang
dijadikan persembahan yadnya?
Seyogyanya para pemerhati dan pegiat lingkungan ikut mengambil peran dalam hal ini, karena persoalannya bukan saja dalam
kaitan yadnya, tetapi nilai ekonomisnya pun tinggi karena kebutuhan itu ada. Dibandingkan aksi demo terus-menerus, sesekali
mari ajak warga untuk menanam pohon, entah itu pohon yang menyangga lingkungan dalam pengertian melestarikan alam,
maupun pohon berbuah dan berbunga yang dibutuhkan untuk ritual yadnya. (*)

Minggu,22 September 2013 @ 20:20

Membangun Buleleng
Hanya sehari setelah dilantik sebagai gubernur untuk masa jabatan yang kedua, I Made Mangku Pastika langsung melakukan
kunjungan kerja ke Kabupaten Buleleng. Sejumlah daerah dikunjungi Gubernur Bali itu, termasuk menginap di sebuah rumah
yang baru saja kecipratan program bedah rumah. Ini menyiratkan komitmen gubernur asal Buleleng untuk membangun Bali
Utara itu tak usah diragukan lagi.
Kawasan Bali Utara memang sudah lama seperti daerah yang terlupakan selama ini. Padahal dulu pusat pemerintahan Bali
ada di Singaraja. Bahkan bukan hanya menjadi pusat Bali, juga pusat pemerintahan Sunda Kecil. Ketika ibukota dipindahkan
ke Denpasar berangsur-angsur pula semua kantor-kantor pemerintahan diboyong ke Denpasar. Singaraja praktis menjadi kota
mati. Sempat sejenak mulai ada napas kehidupan baru ketika pemerintah membentuk Kowilhan (Komando Pertahanan
Wilayah) di mana wilayah Nusa Tenggara dijadikan Kowilhan V. Singaraja dipilih sebagai markas Kowilhan itu. Namun ini juga
tak lama, Kowilhan bubar maka kembali Singaraja menjadi sepi.
Sekarang Buleleng mendapat momentum baru yang harus segera disambut dengan baik dan jangan sampai terlewatkan.
Yakni, ada rencana pembangunan bandara internasional karena Bandara Ngurah Rai sudah tak mungkin lagi dikembangkan
untuk masa-masa mendatang. Bandara Ngurah Rai dikelilingi laut di kedua ujung landasan, ke mana pun diperluas tetap akan
mengurug laut. Bandara di Buleleng sudah disurvey keberadaannya dengan ada dua pilihan, di wilayah barat di Kecamatan
Gerokgak dan wilayah timur di Kecamatan Kubu Tambahan. Berlarut-larutnya pro kontra terhadap pilihan ini bisa
menyebabkan proyek yang akan mengangkat martabat Buleleng itu menjadi sekadar wacana, tak bisa diwujudkan dalam
waktu dekat. Malah kalau pilihan itu tak segera diputuskan dan pemerintah pusat merasa dipermainkan, bandara baru bisa
diambil alih Kabupaten Tabanan atau Kabupaten Negara. Maka bandara sebagai ikon baru yang akan menularkan
pembangunan yang lebih mensejahtrakan rakyat akan hilang selamanya dari Bali Utara,
Kabupaten Buleleng harus bangkit karena kawasan ini sebenarnya wilayah yang sangat unik. Membujur dari ujung barat ke
timur di bagian utara Pulau Bali, wilayahnya betul-betulnyegara gunung. Laut dan gunung seperti bertetangga, sehingga tidak
ada hamparan lahan pertanian yang luas.

Secara budaya, Buleleng pun unik. Hanya di Buleleng kata kaja dalam bahasa Bali tidak sama dengan utara dalam bahasa
Indonesia. Kata kelod juga tidak berarti selatan. Kajadan kelod harus melihat posisi gunung dan laut, dan kebetulan saja laut
dan gunungnya itu membujur di satu arah. Di wilayah lainnya di Bali, kata petunjuk kaja dan kelod tak pernah berubah,
meskipun laut ada di barat (misalnya di Kabupaten Jembrana dan Tabanan) atau berada di sisi timurnya (seperti di
Karangasem).
Dalam banyolan bebondresan, keunikan Buleleng dimunculkan dengan kekontrasannya. Misalnya disebutkan Buleleng yang
kaya raya dengan air karena sejumlah desa memakai nama-nama air seperti Yeh Sanih, Banyu Wedang, Banyu Biru, Banyu
Poh, Banyu Ning dan sebagainya, namun tak pernah punya abian (kebun) seperti di Bali Selatan: Abian Kapas, Abian Tuwung,
Abian Base dan banyak lagi.
Bebondresan lainnya yang sering dimunculkan adalah kesaktian Buleleng. Tak percuma wilayah itu didirikan dan dipimpin
oleh Ki Panji Sakti. Semua jalur menuju Buleleng harus dilewati dengan hati-hati. Kalau memakai jalur timur, kita bisa kena
culik (ada Desa Culik di Karangsem), lewat barat kita bisa dicekik (ada Desa Cekik di Jembrana), lewat tengah langsung digigit
(Desa Gitgit) atau bisa nyeririt (Desa Seririt).
Itu banyolan dan memang dicari-cari. Tetapi yang jelas, kreatifitas nyama Buleleng sebenarnya hebat-hebat. Ketika drama
gong lahir dan mewabah di Bali Selatan, Buleleng tampil dengan drama gong yang mengandalkan kecanggihan panggung.
Semua sekaa(grup) drama gong punya perlengkapan pentas berupa layar-layar lebar untuk dekorasi panggung. Adegan
kerajaan ada latar belakang gambar istana, adegan di hutan ada gambar pemandangan hutan, bahkan adegan di taman,
misalnya, dibuat demikian kreatif seperti membuat kolam-kolam dengan air mancurnya. Kalau dipikirkan saat ini, betapa
mengagumkan kreatifitas itu, karena di tahun 1970-an peralatan listrik dan teknologi tak semaju sekarang, tetapi mereka bisa
membuat gerak-gerak tipuan seperti bidadari yang seolah-olah terbang ke angkasa, atau adegan orang naik perahu.
Di bidang seni tabuh dan tari, nyama Buleleng juga kreatif. Di wilayah ini pernah lahir Tari Badminton selain Tari Nelayan yang
populer itu. Jadi, temanya keseharian. Yang membuat orang heran, di bidang tabuh pernah muncul Tabuh Memetik Daun Teh,
padahal di mana ada kebun teh di Bali.
Demikian pula di bidang arsitektur, terutama ukiran-ukirannya. Gaya Buleleng menyiratkan ukiran kerakyatan, tidak jelimet dan
sedikit kasar tetapi ada nuansa kejantanan dan kekokohan. Sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata, tetapi lihatlah angkulangkul pada rumah-rumah kuno atau candi bentar pada sejumlah pura yang tua.
Kreatifitas warga Buleleng ini pasti akan semakin tumbuh jika pembangunan bergerak lebih lincah di daerah ini. Buleleng akan
menemukan jati dirinya sendiri dan bisa mengembangkan kekhasan daerahnya yang beda dengan kabupaten lain di Bali.
Caranya tentu dengan membangun Kabupaten Buleleng agar tidak menjadi kabupaten tertinggal di Bali. Dan itu antara lain
dengan segera menangkap momentum adanya rencana pemerintah pusat membangun bandara di kawasan ini, entah di barat
atau di timur. (*)

Senin,16 September 2013 @ 20:02

Merawat dan Mengamankan Museum


Pandita Mpu Jaya Prema
Berita yang mengagetkan di luar urusan politik dan kriminal adalah hilangnya empat artefak yang menjadi koleksi Museum
Nasional di Jakarta. Mengagetkan karena museum ini dijaga dengan pengamanan yang ketat, namun malingnya dengan
mudah dan leluasa mencongkel lemari untuk mengambil koleksi yang sangat berharga itu. Benda yang dicuri itu adalah
peninggalan Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno di abad 10.
Pencurinya pasti orang yang tahu nilai sejarah dari benda purbakala itu. Bisa jadi bagian dari sindikat, ada tukang tadahnya,
lalu ada orang-orang kaya yang ingin memiliki koleksi itu. Seperti halnya pencurian pratima pura yang sering terjadi di Bali,
bukan nilai barangnya itu yang utama, tetapi nilai sejarah dan nilai religius dari benda suci itu yang utama.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini? Kita terlalu meremehkan benda-benda budaya. Memang, museum adalah
tempat yang baik untuk menyimpan benda budaya itu, karena museum bisa dikunjungi setiap saat untuk mempelajari sejarah
peradaban. Namun, setelah benda budaya itu disimpan di museum, bagaimana kita bisa merawat benda itu dan yang lebih
penting lagi bagaimana mengamankan benda-benda itu. Ini yang nampaknya kurang dipedulikan baik oleh pemerintah yang
mengelola museum milik negara, maupun pengelola museum swasta. Harus ada dana yang mencukupi uttuk perawatan dan
pengamanan itu.
Museum memang penting, karena dari sana kita bisa belajar perjalanan sejarah bangsa, maupun sejarah budaya. Berbagai

jenis museum sudah dibuat dan mungkin akan dibuat lebih banyak lagi. Di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta setiap
kementrian (dulu departemen) berlomba-lomba membuat museum. Ada Museum Perangko, Museum Listrik, Museum Iptek,
Museum Pers dan masih banyak lagi. Instansi-instansi pun membuat museum. Ada Museum Kereta Api di Ambarawa, akan
dibangun Museum Tebu di Klaten.
Di Bali museum juga bertebaran dan semuanya bisa dipertanyakan apakah perawatan dan pengamanannya sudah optimal.
Bagaimana dengan Museum Gedong Kirtya di Singaraja, tempat menyimpan lontar-lontar kuno itu? Apakah sudah dirawat atau
jangan-jangan lontarnya sudah keropos dimakan rayap? Apakah ada dana untuk merawat itu? Lalu siapa saja yang
memanfaatkan museum itu, apakah pengamanannya cukup? Jangan-jangan banyak lontar yang raib tak tahu siapa yang
mencuri.
Museum Subak di Kediri, Tabanan, apa kabarnya? Masihkah tersimpan alat-alat pertanian tradisional di sana, seperti tengala,
lampit, ani-ani dan sejenisnya? Apakah itu dirawat? Siapa saja yang mengunjungi dan apakah ada petugas yang menjaga
sekaligus menjelaskan apa saja fungsi benda yang dipamerkan?
IdeMuseum Subak ini menarik. Di sana banyak terlihat barang-barang yang tidak dipakai lagi, karena mengolah tanah
sekarang ini sudah jauh lebih moderen. Juga banyak ditemukan alat-alat pertanian ketika sawah masih murni dari semprotan
pupuk kimia. Ada pula yang sifatnya ritual, katakanlah misalnya ngelinggihan Hyang Nini, membawa padi ke lumbung. Sisasisa ritual itu hanya ada di museum karena saat ini padi tidak ada masuk lumbung. Padi rontok di tengah sawah masuk karung,
diangkut mobil ke tempat penyosohan. Di mana tempatnya Hyang Nini sekarang ini, kalau bukan di museum?
Artinya, Museum Subak itu dibangun memang sudah mengantisipasi kemajuan zaman bahwa suatu saat subak dengan segala
pernik-pernik perlengkapannya akan hilang. Sedih juga kita mendengarnya, sebuah organisasi tradisional Bali yang begitu
dikagumi dunia dan menghasilkan berbagai buku, tiba-tiba rontok oleh perubahan. Tentu kita akan makin sedih jika cerita
kehebatan subak itu tak bisa lagi kita kenang lagi, dan karena itu museum khusus dibuat. Nah persoalannya kalau merawat
museum ini tak bisa, maka habislah kisah-kisah bagaimana leluhur kita di masa lalu mengolah tanah pertaniannya.
Museum Bali di Denpasar yang dikelola pemerintah saja sudah mulai ditinggalkan pengunjung. Kita seperti tak biasa
mengunjungi museum, karena kita malas mempelajari sejarah peradaban bangsa. Kalau museum milik pemerintah saja seperti
itu, bagaimana dengan museum semi pemerintah, sebut misalnya Museum Puri Lukisan di Ubud, Museum Ni Polok di Sanur.
Masih mending museum swasta yang dibuat sendiri oleh para seniman, museumnya terawat baik. Karena si seniman ini punya
ketergantungan bisnis dengan tema museum itu. Sebut misalnya Museum Neka di Ubud, Museum Rudana di Peliatan,
Museum Klasik Gunarsa di Klungkung.
Pernah ada ide untuk membuat Museum Canang di Bali. Apaide di balik pendirian museum ini? Ada yang mengatakan, canang
dan segala jenis banten lainnyasuatu ketika akan lenyap. Umat Hindu yang semakinmoderen, mulai meninggalkan canang.
Mereka tidak lagi membutuhkan simbol-simbol itu, karena mereka sudah bisa mengucapkan mantram langsung dari kitab
Weda. Untuk apa lagi simbol?Lagi pula, canang sekarang ini sudah bukan canang lagi karena ornamen di dalamnya tidak lagi
lengkap. Karenacanang bisa dibeli sembarangan di pasar, dan pembelinya tidak lagi menghiraukan apakah semuanya
lengkap, tinggal diisi dupa langsung dipakai sembahyang. Dan pembeli pun tak usah mikir, apakah janurnya hasil curian,
pokoknya langsung ditaruh di sanggah. Apakah itu canang yang benar atau tidak, pokoknya begitu dibeli dari pasar langsung
dihaturkan.
Untuk itu perlu Museum Canang agar generasi muda Hindu bisa belajar membuat canang yang benar. Karena mereka tak bisa
belajar dari orangtuanya yang sibuk, tak bisa belajar dari buku dan VCD, ya, datanglah ke museum. Di museum sanganak itu
akan berkata: O, ini toh namanya sesayut, ini namanya canang sari. Kalau tak ada porosan itu bukan canang sari, namanya.
Seperti itulah idealnya sebuah museum, pengunjung datang untuk belajar. Tapi siapa yang sekarang ini suka mendatangi
museum? Dan apakah koleksi museum itu masih utuh, sehingga bisa jadi bahan belajar yang lengkap? Pemerintah harus
semakin peduli pada lembaga yang bernama museum ini. Di tengah-tengah komersialisasi yang melanda negeri ini, belajar
tentang peradaban sangat penting untuk memperkaya jiwa dan batin kita. Mari kita rawat museum yang ada dan
mengamankan koleksi di dalamnya.

Minggu,08 September 2013 @ 07:40

Menjaga Kedamaian Bali


Pandita Mpu Jaya Prema
Senin,05 Agustus 2013 @ 00:20

Merdeka Secara Budaya

Pandita Mpu Jaya Prema


Sebentar lagi kitamemperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.Penjual bendera merah putih biasanya sudah ada di manamana, mungkin karena penjualnya lagi mudik ke Jawa menyambut lebaran, merah putih belum berkibar di jalanan. Maklumlah,
peluang seperti itu banyak dilakukan oleh para pendatang. Masyarakat Bali jarang yang mau mengambil peran sebagai
pedagang asongan, bahkan untuk berdagang di kaki lima saja tak mau.
Apakah masyarakat Bali belum merdeka secara sosial budaya? Kenapa banyak kehidupan sosial budaya yang harus ditopang
oleh para pendatang? Pertanyaannya bisa juga dibalikbegini: Kenapa harus merdeka, bukankah Bali tak pernah merasa
dijajahsecara budaya? Sebuah wilayah budaya yang merasa tak pernah dijajah, tentu saja tak pernah merasakan apa artinya
merdeka.
Masalah ini memang sangat absurd, susah untuk dijelaskan.Sulit menjelaskan bagaimana budaya yang terjajah dan
bagaimana budaya yang merdeka. Orang Bali merasa bebas merdeka mempergunakan bahasa, mau pakai bahasa Indonesia
atau bahasa Bali, terserah saja. Bahkan sudah banyak yang memakai bahasa Jawa sebagai ekspresi kebebasan dan
sekaligus menunjukkan pernah merantau ke Jawa. Atau untuk gengsi-gengsian punya pacar orang Jawa, yang kini banyak
sekali jumlahnya di Bali.Contohnya orang sudah umum memakai kata mbak untuk menyebut kakak perempuan, bukan lagi
memakai kata mbok, karena mbok di Jawa artinya ibu. Orang Bali sudah memakai kata kates untuk pepaya, bukan lagi
kata gedang karena gedang berarti pisang di Jawa. Nah, untuk kasus ini ada yang menyebutkan Bali sudah dijajah secara
budaya lewat bahasa.
Bahasa Bali menjadi terpinggirkan, tak diminati oleh anak-anak muda sebagai bahasa pergaulan.Penyiar radio swasta sudah
berkoar-koar dengan bahasa gaul, paduan bahasa Indonesia slank dan Jawa. Kini mulai banyak ada kursus privat pelajaran
bahasa Bali. Peserta kursus bukan turis asing, tetapi orang yang lahir di Bali sendiri, yang tak mengenal huruf Bali dan bahasa
Bali secara benar, karena ibunya yang juga orang Bali tak bisa mengajarinya. Malah ibu dan bapaknya berbahasa Indonesia.
Sastrawan Bali mendiang Made Sanggra pernah berkata, sudah lama sekali, bahwa bahasa Bali "sedang terjajah dan
berusaha untuk merdeka". Kenapa beliau menyebut berusaha merdeka? Karena mulai ada radio-radio swasta yang siaran
dalam bahasa Bali. Bahkan ada radio yang saat itu sepenuhnya siaran bahasa Bali. Sekarang dengan alasan iklan dan
sponsor, radio itu kembali berbahasa campuran, bahasa Bali hanya untuk pengantar lagu pop Bali. Kalau Made Sanggra masih
hidup, pasti beliau kecewa, karena bahasa Bali belum juga merdeka dari penjajahbahasa lain.
Kalau kita teliti memperhatikan perkembangan sosial budaya keagamaan di Bali saat ini, penjajahan tak cuma dalam
berbahasa. Ritual keagamaan punsudah dijajah oleh budaya luar.Kebanyakansarana ritual Hindu di Bali tidak lagi bisa
diproduksi oleh alam Bali. Janur, kelapa, telur hampir semua didatangkan dari luar Bali. Bahkan bunga dan buah-buahan yang
dipakai ritual juga datang dari luar. Orang maturan sudah memakai apel dan buah pear impor yang dibeli di pasar swalayan.
Kemana buah sotong, buah jambu, buah wani yang dulu banyak tumbuh di Bali? Padahal hakekat maturan adalah
mempersembahkan hasil alam sendiri.
Pantai di Bali sudah jarang dihiasi nyiur melambai, sebagai mana lirik lagu wajib di masa lalu. Pantai sudah dihiasi beton hotel,
villa atau restoran. Pohon enau (jaka menurut orang Bali) juga jarang, karena itu orang Bali bangga dengan adanya busung
dari Sulawesi yang kini berton-ton memasuki wilayah Bali lewat pelabuhan Benoa.
Kini ada perkembangan baru. Dupa yang banyak beredar di Bali adalah dupa yang mengandung zat kimia. Menurut seorang
dokter di RSUP Sanglah sudah banyak pemangku dan sulinggih yang menderita kelainan di paru-paru karena menghirup asap
dupa berzat kimia itu. Maka diproduksilah dupa herbal, bahannya antara lain, bunga kamboja. Di mana bunga itu datangnya?
Dari Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Padahal di Bali banyak pohon kamboja, cuma pohon itu seperti tak dipelihara
dibiarkan tinggi sehingga bunganya sulit dipetik.
Di Pasar Sanglah dan Pasar Badung sudah banyak dijual sarana upacara yang kecil-kecil seperti canang sari, daksina, pejati.
Di antara mereka ada yang bukan orang Bali dan bukan Hindu. Memang mereka mengaku hanya menjualnya saja, yang
membuatkan orang Bali. Tapi kenyataannya pedagang yang nonBali itu sambil menunggung pembeli sudah bisa merangkai
canang sari sambil membuat ketupat untuk pejati.
Yang memprihatinkan, orang Bali terus menjual tanahnya, baik di gunung mau pun di pantai. Sawah-sawah antara Kuta dan
Soka sudah habis dikapling-kapling begitu ada wacana membangun jalan tol.Sementara itu di jalan baypass Kediri Tabanan
ada baliho Bupati Tabanan yang mengajak masyarakat Bali bertransmigrasi. Apakah kita benar-benar sudah kalah oleh
penjajah dan tak sanggup merdeka? Lihatlah patung Wisnu Murti di perempatan Kediri, Tabanan. Patung itu sekarang sudah
hancur dan akan diganti patung lain. Saya tak tahu patung apa yang akan dibangun, mungkin patung yang bernuansa
moderen yang jauh dari budaya keagamaan orang Bali.

Saya kira sudah saatnya dirumuskan kembali sebuah kebijakan yang mendasar untuk membentengi budaya Bali dari
"penjajahan budaya" yang datang dari luar. Kita punya slogan yang mentereng soal ini, misalnya, pariwisata budaya. Tapi,
makhluk apa itu? Tak pernah lagi kita evaluasi, apa benar pariwisata yang ada sekarang ini menguntungkan budaya Bali? Mari
kita duduk bersama untuk merumuskan kembali strategi kebudayaan diBali, jangan hanya bisa menyalahkan saja, berikan
solusi.Budaya berubah itu sudah jamak, tetapi biarlah perubahan itu dilakukan oleh pendukung budayanya. (*)
Senin,05 Agustus 2013 @ 00:20

Merdeka Secara Budaya


Pandita Mpu Jaya Prema
Sebentar lagi kitamemperingati hari kemerdekaan 17 Agustus.Penjual bendera merah putih biasanya sudah ada di manamana, mungkin karena penjualnya lagi mudik ke Jawa menyambut lebaran, merah putih belum berkibar di jalanan. Maklumlah,
peluang seperti itu banyak dilakukan oleh para pendatang. Masyarakat Bali jarang yang mau mengambil peran sebagai
pedagang asongan, bahkan untuk berdagang di kaki lima saja tak mau.
Apakah masyarakat Bali belum merdeka secara sosial budaya? Kenapa banyak kehidupan sosial budaya yang harus ditopang
oleh para pendatang? Pertanyaannya bisa juga dibalikbegini: Kenapa harus merdeka, bukankah Bali tak pernah merasa
dijajahsecara budaya? Sebuah wilayah budaya yang merasa tak pernah dijajah, tentu saja tak pernah merasakan apa artinya
merdeka.
Masalah ini memang sangat absurd, susah untuk dijelaskan.Sulit menjelaskan bagaimana budaya yang terjajah dan
bagaimana budaya yang merdeka. Orang Bali merasa bebas merdeka mempergunakan bahasa, mau pakai bahasa Indonesia
atau bahasa Bali, terserah saja. Bahkan sudah banyak yang memakai bahasa Jawa sebagai ekspresi kebebasan dan
sekaligus menunjukkan pernah merantau ke Jawa. Atau untuk gengsi-gengsian punya pacar orang Jawa, yang kini banyak
sekali jumlahnya di Bali.Contohnya orang sudah umum memakai kata mbak untuk menyebut kakak perempuan, bukan lagi
memakai kata mbok, karena mbok di Jawa artinya ibu. Orang Bali sudah memakai kata kates untuk pepaya, bukan lagi
kata gedang karena gedang berarti pisang di Jawa. Nah, untuk kasus ini ada yang menyebutkan Bali sudah dijajah secara
budaya lewat bahasa.
Bahasa Bali menjadi terpinggirkan, tak diminati oleh anak-anak muda sebagai bahasa pergaulan.Penyiar radio swasta sudah
berkoar-koar dengan bahasa gaul, paduan bahasa Indonesia slank dan Jawa. Kini mulai banyak ada kursus privat pelajaran
bahasa Bali. Peserta kursus bukan turis asing, tetapi orang yang lahir di Bali sendiri, yang tak mengenal huruf Bali dan bahasa
Bali secara benar, karena ibunya yang juga orang Bali tak bisa mengajarinya. Malah ibu dan bapaknya berbahasa Indonesia.
Sastrawan Bali mendiang Made Sanggra pernah berkata, sudah lama sekali, bahwa bahasa Bali "sedang terjajah dan
berusaha untuk merdeka". Kenapa beliau menyebut berusaha merdeka? Karena mulai ada radio-radio swasta yang siaran
dalam bahasa Bali. Bahkan ada radio yang saat itu sepenuhnya siaran bahasa Bali. Sekarang dengan alasan iklan dan
sponsor, radio itu kembali berbahasa campuran, bahasa Bali hanya untuk pengantar lagu pop Bali. Kalau Made Sanggra masih
hidup, pasti beliau kecewa, karena bahasa Bali belum juga merdeka dari penjajahbahasa lain.
Kalau kita teliti memperhatikan perkembangan sosial budaya keagamaan di Bali saat ini, penjajahan tak cuma dalam
berbahasa. Ritual keagamaan punsudah dijajah oleh budaya luar.Kebanyakansarana ritual Hindu di Bali tidak lagi bisa
diproduksi oleh alam Bali. Janur, kelapa, telur hampir semua didatangkan dari luar Bali. Bahkan bunga dan buah-buahan yang
dipakai ritual juga datang dari luar. Orang maturan sudah memakai apel dan buah pear impor yang dibeli di pasar swalayan.
Kemana buah sotong, buah jambu, buah wani yang dulu banyak tumbuh di Bali? Padahal hakekat maturan adalah
mempersembahkan hasil alam sendiri.
Pantai di Bali sudah jarang dihiasi nyiur melambai, sebagai mana lirik lagu wajib di masa lalu. Pantai sudah dihiasi beton hotel,
villa atau restoran. Pohon enau (jaka menurut orang Bali) juga jarang, karena itu orang Bali bangga dengan adanya busung
dari Sulawesi yang kini berton-ton memasuki wilayah Bali lewat pelabuhan Benoa.
Kini ada perkembangan baru. Dupa yang banyak beredar di Bali adalah dupa yang mengandung zat kimia. Menurut seorang
dokter di RSUP Sanglah sudah banyak pemangku dan sulinggih yang menderita kelainan di paru-paru karena menghirup asap
dupa berzat kimia itu. Maka diproduksilah dupa herbal, bahannya antara lain, bunga kamboja. Di mana bunga itu datangnya?
Dari Kabupaten Probolinggo dan Situbondo. Padahal di Bali banyak pohon kamboja, cuma pohon itu seperti tak dipelihara
dibiarkan tinggi sehingga bunganya sulit dipetik.
Di Pasar Sanglah dan Pasar Badung sudah banyak dijual sarana upacara yang kecil-kecil seperti canang sari, daksina, pejati.
Di antara mereka ada yang bukan orang Bali dan bukan Hindu. Memang mereka mengaku hanya menjualnya saja, yang
membuatkan orang Bali. Tapi kenyataannya pedagang yang nonBali itu sambil menunggung pembeli sudah bisa merangkai

canang sari sambil membuat ketupat untuk pejati.


Yang memprihatinkan, orang Bali terus menjual tanahnya, baik di gunung mau pun di pantai. Sawah-sawah antara Kuta dan
Soka sudah habis dikapling-kapling begitu ada wacana membangun jalan tol.Sementara itu di jalan baypass Kediri Tabanan
ada baliho Bupati Tabanan yang mengajak masyarakat Bali bertransmigrasi. Apakah kita benar-benar sudah kalah oleh
penjajah dan tak sanggup merdeka? Lihatlah patung Wisnu Murti di perempatan Kediri, Tabanan. Patung itu sekarang sudah
hancur dan akan diganti patung lain. Saya tak tahu patung apa yang akan dibangun, mungkin patung yang bernuansa
moderen yang jauh dari budaya keagamaan orang Bali.
Saya kira sudah saatnya dirumuskan kembali sebuah kebijakan yang mendasar untuk membentengi budaya Bali dari
"penjajahan budaya" yang datang dari luar. Kita punya slogan yang mentereng soal ini, misalnya, pariwisata budaya. Tapi,
makhluk apa itu? Tak pernah lagi kita evaluasi, apa benar pariwisata yang ada sekarang ini menguntungkan budaya Bali? Mari
kita duduk bersama untuk merumuskan kembali strategi kebudayaan diBali, jangan hanya bisa menyalahkan saja, berikan
solusi.Budaya berubah itu sudah jamak, tetapi biarlah perubahan itu dilakukan oleh pendukung budayanya. (*)
Senin,29 Juli 2013 @ 00:15

Menolong Sesama Manusia


Pandita Mpu Jaya Prema
Saat ini saya tak bisa meninggalkan desa saya, karena di griya atau pasraman tempat saya tinggal ada upacara Pitra Yadnya
yang diikuti satu keluarga besar. Ritual yang masih memegang pola tradisi lama ini menyita waktu lebih dari dua minggu,
karena Pitra Yadnya dilanjutkan dengan Manusa Yadnya. Waktu yang lama tidak membuat mereka gelisah, justru mereka
gembira melakoninya. Mereka adalah petani, kebersamaannya tidak dihalangi oleh pekerjaan sehari-hari. Suatu hal yang sulit
dilakukan oleh masyarakat perkotaan yang warganya beraneka profesi.
Tolong-menolong mereka masih kuat. Karena tak semua menggarap kebun milik sendiri, ada yang hanya berburuh, ada yang
bagi hasil dan sebagainya, maka untuk ritual ini iuran tidak sama. Besar iuran semampunya. Uang dikumpulkan lebih dulu,
setelah diketahui jumlahnya, mereka berkonsultasi dengan sulinggih, tingkat upacara apa yang bisa dilakukan dengan uang
yang ada. Tingkat upacara ini hanya berkaitan dengan banten, bukan mengubah tradisi mereka yang mengulur-ulur waktu.
Bagi warga desa saya, ngaben yang hanya lima tahun sekali, haruslah berkesan, tak bisa cuma dua atau tiga hari selesai.
Sesajen yang mereka bikin pun sederhana. Buah yang dipakai umumnya lokal, jeruk dari ladang sendiri, begitu pula pisang.
Saya katakan, untuk apa sesajen yang penuh buah impor kalau kita tak mampu membelinya? Apalagi pengeluaran untuk janur
besar biayanya, karena kelapa sulit tumbuh di kampung saya. Lewat ritual ini justru kebersamaan yang dipupuk dan tolongmenolong sesama warga semakin nampak.
Kita sering lupa menolong orang, menolong sesama manusia, karena lebih senang jor-joran dalam melaksanakan ritual.
Membeli banten untuk ngenteg linggih bisa sampai Rp 350 juta, tetapi menyekolahkan anak tak mampu. Atau contoh lebih
kecil dan sederhana seperti ini. Misalkan Anda melaksanakan persembahyangan ke tempat yang jauh, membawa sesajen
yang banyak berisi buah dan jajan, lalu di perjalanan ada seorang peminta-minta yang kelaparan, apakah Anda akan
memberikan buah dan kue di sesajen itu? Umumnya tidak.
Dalam kisah kehidupan para sanyasin di India, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah
sanyasin bernama Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia
menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: Kita teruskan saja perjalanan ke
bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan dari sesajen ini.
Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi,
dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali:surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada
istilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya)
berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam.
Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya:
Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan
gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.
Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun
meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan, tanpa membawa sesajen. Rahji puas karena bersembahyang diikuti
perasaan lega telah menolong sesama ciptaan Tuhan. Untuk apa sembahyang atau beryadnya, jika setelah itu kita jadi marahmarah atau sedih karena ada barang yang digadikan, misalnya? Apalagi Rahji percaya wejangan dalam Bhagawad Gita, dalam

keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga dan setangkai daun.
Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi
hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kisah-kisah sufi dalam ajaran Islam, yang banyak memberi contoh
tentang kebajikan antar manusia, bahkan menjadi buku yang sangat digemari. Dalam sastra Hindu, kisah-kisah itu tercecer di
sana-sini.
Umat Hindu mengenal konsep Tri Hita Karana. Dimulai dari hubungan harmonis kita sesama manusia, kemudian hubungan
harmonis manusia dengan alam, barulah hubungan harmonis rohani manusia dengan Hyang Widhi. Artinya, keharmonisan
sesama manusia dengan tolong menolong itu hal yang paling utama. Kenapa? Karena kita menjaga keharmonisan sesama
makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam hal ritual Manusa Yadnya, kenapa rujukan kita hanya mengedong-gedongan, tiga bulanan, otonan, potong gigi dan
seterusnya? Kenapa tidak dikembalikan sebagai yadnya untuk kemanusiaan? Mungkin dalam perjalanan ke depan hal ini lebih
mendapatkan perhatian.
Renungan untuk sekedar sesuluh ini saya tulis dalam suasana ritual di kampung yang penuh dengan kesederhanaan. Juga
pada saat umat Muslim menyongsong hari raya Idul Fitri, hari-hari di mana umat Muslim diingatkan untuk peduli kepada
sesama manusia. Mari kita terus pupuk semangat untuk tolong menolong sesama manusia, karena kita yakin tak bisa hidup
sendiri di dunia ini. Dan kelak ketika kita meninggalkan dunia ini pun kita tak membawa harta apa-apa, hanya kebajikan dan
amal yang dikenang dan selanjutnya karma akan menentukan perjalanan kita. Untuk sahabat-sahabat Muslim saya ucapkan
selamat hari lebaran, maaf lahir batin.
Minggu,11 Agustus 2013 @ 23:30

Reklamasi dan Alih Lahan


Pandita Mpu Jaya Prema
Masalah alih lahan di Bali menjadi perbincangan yang ramai belakangan ini. Lahan yang dimaksudkan tentu saja lahan
produktif seperti sawah yang subur maupun hutan yang menyangga kelestarian alam. Ada pun ramainya perbincangan karena
dipicu oleh adanya rencana reklamasi di Tanjung Benoa. Pro dan kontra reklamasi ini sudah melebar ke mana-mana dan sarat
kepentingan politik, baik menjelang Pemilu 2014 mau pun pasca Pilkada Bali yang lalu.
Masalah reklamasi Tanjung Benoa itu sesungguhnya masalah sederhana kalau saja kita mau melihat permasalahannya
dengan jujur tanpa ada kepentingan politik tertentu atau untuk menjatuhkan pejabat tertentu. Reklamasi sebagai upaya
menambah lahan baru, baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan bisnis, bukanlah sesuatu yang buruk. Di banyak
negara hal itu dilakukan, di negeri ini pun banyak pula dilakukan. Kawasan Ancol yang kini sebagian berdiri Taman Impian Jaya
Ancol adalah lahan bekas reklamasi. Perluasan bandara Ngurah Rai pun sesungguhnya reklamasi yang terbatas, yang tidak
menimbulkan masalah, mungkin karena terlalu kecil.
Namun banyak juga reklamasi yang bermasalah, karena struktur pantai dan arus di pantai itu yang tak memungkinkan adanya
reklamasi. Misalnya, karena reklamasi terjadi arus stagnan di perairan yang menyebabkan aliran air dari daratan tak segera
bisa dibuang ke laut, akibatnya daratan banjir.
Kita tak tahu apa yang terjadi di Tanjung Benoa, karena itu diadakan kajian oleh LPPM Unud. Karena kajian ini memerlukan
biaya yang besar, tentu harus ada hitam di atas putih, ada surat keputusan untuk melaksanakan kajian. Sementara kajian
belum selesai, ternyata kita ributnya setengah mati. Padahal kalau kita sedikit tenang, tunggulah hasil kajian Unud. Kalau
memang tak ada pengaruhnya yang buruk untuk kawasan sekitar, mari dilanjutkan. Atau kalau pengaruhnya lebih kecil dan
bisa diatasi sementara manfaatnya lebih besar, tetap dilanjutkan dengan membendung pengaruh buruk yang lebih kecil itu.
Tetapi kalau hasil kajian ternyata kawasan itu tak memungkinkan direklamasi, ya, tidak usah dilanjutkan. Buang semua
rencana pembangunan yang diimpikan, baik menyangkut keperluan umum maupun bisnis. Surat keputusan mengkaji bisa
dicabut atau dihentikan sama sekali. Bahwa ada yang rugi karena pengkajian memerlukan ongkos besar, itu adalah resiko
yang biasa. Mencari sumur minyak di lautan ongkosnya juga jauh lebih besar dan tidak semua berhasil. Kerugian pun milyaran
padahal prakajian sudah diduga ada sumber minyak. Ini hanya menyebut contoh bahwa kajian ilmiah termasuk resiko yang
harus ditanggung. Tak sepatutnya menghujat tim pengkaji sebelum hasil kajian itu menyimpulkan suatu keputusan yang final.
Kita sering meributkan suatu masalah tanpa melihat perimbangan masalah yang dihadapi. Ide Pemda Bali dan wakil-wakil
rakyat di Bali yang mengijinkan adanya kajian reklamasi itu sebenarnya terobosan untuk memperkecil alih lahan di Bali. Dalam
benak mereka tentu kalau reklamasi itu tidak menimbulkan dampak buruk, maka alih lahan untuk kepentingan kawasan baru
bisa diatasi, meski tetap sebagian kecil saja. Tetapi kalau reklamasi menimbulkan dampak buruk, ya, tidak jadi. Dan alih lahan
di Bali mungkin menjadi tantangan berat, karena bagaimana pun Bali membutuhkan kawasan lebih untuk menyongsong

penduduk yang makin berjubel.


Ada orang yang sok idealis dengan menyebutkan lahan di Bali harus tetap dipertahankan. Hutan dan sawah subur harus tetap
seperti dulu, malah jika perlu ditambah. Namun, mereka juga tiap hari mengeluh soal kemacetan di Bali. Jalan di Bali sangat
terbatas, Denpasar-Gilimanuk hanya ada satu jalur jalan, di sana berjubel mobil pribadi, truck besar dari Jawa, sepeda motor
yang tiap bulan bertambah ribuan. Lalu mereka menghujat, kenapa pemerintah tidak punya pikiran untuk membangun jalan
baru? Nah, ketika ada rencana membangun jalan bypass (kemudian diwacanakan menjadi jalan tol) Denpasar Soka Seririt
Gilimanuk, mereka pun berteriak: jangan jual tanah Bali kepada investor, pertahankan sawah Bali. Yang mana yang benar?
Penduduk Bali pasti bertambah, penduduk pendatang pun bertambah. Jelas ini perlu lahan baru untuk perumahan, belum lagi
untuk tempat usaha mereka. Lihat saja pertumbuhan perumahan di kawasan Bali, luar biasa. Berhektar-hektar sawah sudah
jadi perumahan dan poster jual tanah kapling terserak di sudut-sudut jalan. Rumah yang dibangun pun banyak untuk kalangan
yang hidup sederhana, cukup dua kamar dengan lahan hanya setengah are. Pembelinya penjual bakso, penjual pecel lele.
Berapa lahan subur yang dialih-fungsikan?
Harus ada terobosan untuk mengatasi alih lahan ini, yang tidak sekedar mengimbau penduduk agar tak menjual tanah, slogan
yang lebih besar jangan jual murah Bali. Penduduk perlu rumah, Bali perlu jalan lebih luas dan lebih banyak agar bisa
bergerak. Ada yang meramalkan lalu lintas di Bali akan krodit luar biasa empat tahun mendatang kalau tak ada terobosan baru.
Kawasan bisnis pun perlu lahan, ini hukum ekonomi, manusia bertambah kepentingan bertambah.
Nah, perlu terobosan itu. Misalnya, kenapa tak diperkenalkan rumah susun yang terbatas, artinya kalau ada Perda yang
membatasi ketinggian bangunan 15 meter, ya, rumah susun empat tingkat. Perlu underpass dan jalan layang diperbanyak
(yang dulu dianggap tabu), selain membenahi angkutan umum dan membatasi mobil pribadi. Saya kira ide reklamasi itu
termasuk terobosan tentu kalau memungkinkan setelah dikaji. Pembangunan membutuhkan pengorbanan dan mari mencari
terobosan dengan korban paling kecil. Contohnya, pembangunan jalan tol Benoa-Bandara-Nusa Dua. Orang-orang mengeluh
tentang kemacetan menuju bandara dan Nusa Dua, tapi ketika dibuatkan jalan tol yang mengambil lahan tergolong kecil,
mereka memprotes. Terus, maunya apa? Mari membangun Bali dengan santun dan saling mengingatkan, bukan saling
menyalahkan. (*)
Senin,22 Juli 2013 @ 00:08

Ajarkan Bahasa Bali


Pandita Mpu Jaya Prema
Tahun ajaran baru sudah dimulai. Tahun ajaran dengan diberlakukannya kurikulum baru yang disebut Kurikulum 2013. Pro dan
kontra kurikulum baru ini sudah selesai dan hasilnya tentu saja semua pakar pendidikan percaya dengan keberhasilan
kurikulum baru ini. Apa yang dikhawatirkan sebelumnya bahwa kurikulum ini kurang mengadopsi muatan lokal dalam dunia
pendidikan, tidak sepenuhnya benar. Misalnya bahasa daerah, tetap mendapatkan porsi yang penting. Tentu kemudian
tergantung bagaimana pengelola sekolah menerapkan muatan lokal itu. Dan di Bali, sampai saat ini bahasa Bali dianggap
tetap mendapat kedudukan yang terhormat. Bukan saja di sekolah-sekolah, Pemda Provinsi Bali bahkan sampai punya ide
membuat peraturan daerah tentang bahasa Bali ini.
Dua cucu saya mulai menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Denpasar. Yang satu pindah dari kota lain dan duduk di bangku
kelas 2 SD, adiknya mulai di kelas 1. Keduanya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan kini mereka siap-siap
untuk menerima bahasa asing lain selain bahasa Inggris. Yakni bahasa Bali. Disebut bahasa asing karena memang ia tak
pernah menggunakan bahasa Bali dalam kesehariannya. Saya percaya mereka segera bisa karena lingkungan pergaulannya
dan teman-teman di sekolahnya sudah banyak yang memakai bahasa Bali, meski pun pengantar pelajaran di sekolah tetap
bahasa Indonesia. Saya membelikan kamus Bahasa Bali Indonesia. Bekal kamus ini penting untuk mendidik seorang anak
agar tak selalu bertanya sesuatu pada orang lain, padahal sesuatu itu bisa dicarinya sendiri. Seorang anak harus dilatih sejak
dini untuk mencari informasi dari buku atau internet kedua cucu saya sudah mahir membuka Google, misalnya. Bertanya
tentu boleh tetapi tidak setiap hal harus ditanyakan.
Seberapa penting melestarikan bahasa daerah? Bagi saya melestarikan bahasa Bali adalah hal yang utama. Saya ingin
membantah teori para ahli bahasa yang menyebutkan bahwa bahasa daerah akan punah dengan sendirinya dilanda arus
globalisasi. Dan ada yang meramalkan bahwa bahasa Bali sebagai bahasanya orang (etnis) Bali akan mati pada tahun 2041.
Teori ini menggunakan alih generasi dengan perkiraan generasi baru seperti cucu saya sudah tak akan mengenal bahasa Bali
lagi karena ayah dan ibunya sendiri berbahasa Indonesia sehari-hari.
Teori ini tentu saja akhirnya menjadi semacam ramalan: bisa ya, bisa pula tidak. Tapi jangan diremehkan, karena dengan
meremehkan kita jadi tak berbuat. Kenyataan menunjukkan sudah lebih dari 350 bahasa etnis di dunia mati. Puluhan bahasa
daerah di Nusantara ini juga sudah mati. Tak usah jauh-jauh, bahasa Using yang dipakai masyarakat Blambangan

(Banyuwangi) sudah mulai mati suri. Padahal Banyuwangi dan Bali hanya dibatasi selat pendet.
Jika pun tidak mati, akankah nasib bahasa Bali sama buruknya dengan nasib bahasa Sanskrit (Sansekerta)? Bahasa
Sansekerta memang tidak mati, tetapi tidak lagi menjadi bahasa pergaulan. Bahasa Sansekerta tinggal menjadi bahasa agama
(khususnya Hindu), karena kitab suci Weda memakai bahasa itu. Di India ada 35 bahasa etnis yang tergolong besar yang
menjadi bahasa pergaulan, Sansekerta tidak masuk di dalamnya.
Atau bahasa Bali akan mirip dengan nasib bahasa Jawa Kuno, di Bali seringkali disebut bahasa Kawi? Bahasa Kawi sudah
mati sebagai bahasa pergaulan, tetapi masih hidup mengap-mengap sebagai bahasa seni (para dalang wayang kulit selalu
mempelajari bahasa ini) dan bahasa ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Hindu. Banyak
terjemahan Weda dan tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Jawa Kuno baik dalam bentuk prosa maupun puisi, dibuat
oleh pujangga-pujangga Hindu di zaman Kerajaan Kediri dan Majapahit. Warisan kitab ini pun banyak ada di Bali, misalnya,
Kekawin Ramayana.
Kenapa bahasa Jawa Kuno mati sebagai bahasa pergaulan? Karena agama Hindu mendapat serangan gencar dari agama
Islam yang masuk lewat pesisir Jawa. Islam datang di Jawa bukan saja mengislamkan orang Hindu tetapi lambat laun
membelokkan budaya-budaya Hindu, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa Kuno mengalami perubahan yang disebut dengan
bahasa Jawa Pertengahan, kemudian Jawa Pesisir, lalu Jawa Baru dan akhirnya menjadi bahasa Jawa yang kini dipakai
bahasa pergaulan sehari-hari.
Kalau bahasa Bali bernasib sama dengan bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi, apa argumentasinya? Bahasa Bali bukan
bahasa Weda. Dulu memang ada anggapan, semasih agama Hindu dipeluk penduduk Bali, bahasa Bali pasti tetap hidup.
Belakangan anggapan itu berkurang, karena sudah banyak sekali ritual yang memakai bahasa Bali diganti ke mantram dalam
Sansekerta. Para pemangku apalagi pendeta di Bali saat ini sudah lancar melafalkan mantram yang langsung berbahasa
Sansekerta. Pemujaan sudah mulai bergeser dalam penggunaan bahasa.
Alasan lain sangat sedikit ada tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Bali. Jangankan tafsir, terjemahan Weda ke dalam
bahasa Bali juga jarang. Saya hanya menemukan satu kitab terjemahan Bhagawadgita memakai bahasa Bali, kitab-kitab suci
lainnya jarang diterjemahkan ke bahasa Bali. Nah, kalau suatu saat bahasa Bali tidak lagi menjadi bahasa pergaulan,
bagaimana ia bisa menjadi bahasa ilmu kalau jejaknya tidak ada?
Mari lestarikan bahasa Bali dan mari ajarkan anak-anak berbahasa Bali. Minimal kita akan memperpanjang hidup bahasa Bali
di tengah-tengah bahasa dunia lainnya. Penggunaan bahasa Bali dalam forum-forum resmi yang bermuatan budaya, apalagi
itu berlangsung di Bali, bisa lebih dipersering. Peraturan daerah untuk menyelamatkan bahasa Bali layak untuk diteruskan
meski dengan kehati-hatian agar tidak menjadi bumerang. (*)
Senin,15 Juli 2013 @ 08:28

Jadikan Banjar Sebagai Pasraman


Pandita Mpu Jaya Prema
Istilah pasraman kini mulai populer, bukan saja di Bali tapi sudah dalam skala nasional. Selama ini di Bali pasraman itu lebih
banyak bersifat pendidikan nonformal. Kata pasraman yang diambil dari kata ashram, mula-mula dikaitkan dengan pendidikan
di lingkungn griya rumah para pendeta Hindu yang sistem pendidikannya jauh dari formal. Murid atau lebih tepatnya sisya
yang datang pun beragam dalam usia, dari anak-anak sampai orang tua. Dan yang memberikan pelajaran atau lebih tepatnya
wejangan mengenai kerohanian adalah pendeta itu sendiri. Sistem aguron-guron menurut tradisi leluhur di masa lalu.
Kemudian istilah pasraman melebar keluar dari lingkungan griya ke lingkungan Desa Pekraman. Karena pemerintah Prov Bali
memberikan dana setiap tahun untuk Desa Pakraman yang dituangkan dalam bantuan kepada Majelis Alit Desa Pakraman
sebesar Rp 50 juta. Dana ini diharapkan ada yang dipakai untuk mendirikan pasraman. Maka lahirlah pasraman desa, yang
sesungguhnya model pendidikannya juga tak jelas dan tak seragam di setiap desa. Pada awal-awalnya setiap minggu terlihat
anak-anak sekolah, datang ke pasraman desa, mereka diberikan pendidikan agama ala kadarnya oleh tokoh setempat atau
oleh guru agama Hindu yang ada di desa itu. Pemda Prov. Bali merencanakan menaikkan bantuan ini menjadi Rp 100 juta per
tahun dengan catatan Rp 20 juta khusus untuk pasraman desa. Lalu pola pendidikan semacam apa yang dilaksanakan di
sana? Belum jelas benar wujudnya.
Sementara itu di tingkat nasional pendidikan dalam wadah pasraman diberikan tempat dalam undang-undang. Lewat UU No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasraman disejajarkan dengan pendidikan madrasah yang ada di
pesantren-pesantren. Bahkan dalam bahasa keseharian disebutkan bahwa pasraman itu adalah pesantren umat Hindu atau
oleh beberapa umat Hindu di balik bahwa pesantren itu adalah pasraman umat Islam. Inilah pasraman yang formal, namun
syarat-syarat pendirian itu juga begitu formal: dinaungi organisasi yang berbadan hukum, punya gedung sendiri, kurikulum
jelas, tenaga pengajar yang cukup, dan berbagai syarat yang hampir sama dengan sekolah swasta lainnya. Bahkan pasraman

dalam kaitan dengan undang-undang ini tak lain dari sekolah swasta yang bernapaskan Hindu.
Apakah di Bali kita siap dengan pasraman formal seperti itu? Bukankah sekolah swasta yang dimiliki oleh lembaga yang
bernapaskan Hindu di Bali kalah segalanya dibandingkan sekolah swasta yang bernapaskan agama non-Hindu? Gubernur Bali
Mangku Pastika pernah mengeluhkan hal itu, kenapa anak-anak Hindu lebih banyak bersekolah di sekolah milik yayasan
Kristen dan Katolik. Jawabnya adalah prasarana di sana lebih lengkap yang menunjang mutu pendidikan jadi lebih baik.
Melihat hal ini, sesungguhnya biarkan saja di Bali muncul pasraman desa adat atau pasraman di griya Sulinggih, sementara
jika ada yang mau membangun pasraman formal yang sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional silakan saja. Apalagi di
Bali sudah terbentuk Dewan Pasraman yang nampaknya lebih banyak menaungi pasraman nonformal itu.
Kalau kita membaca kitab-kitab agama dan meneruskan apa yang dirintis oleh para leluhur di masa lalu, sistem banjar adat di
Bali dengan adanya balai banjar adalah pasraman sebagai tempat menggembleng manusia Hindu untuk menjadi manusia
yang andal dalam berbagai bidang kehidupan.
Kitab Brahma Purana pada sloka 228, 45 menyebutkan tujuan hidup adalah Dharma artha kama mokshanam sarira
sadhanam. Lalu kitab Agastia Parwa menyebutkan tahapan dalam perjalanan hidup yang disebut Catur Asrama yaitu
Brahmacari Asrama, Grhastha Asrama, Wana Prastha Asrama dan Sanyasin Asrama.
Di India asrama ini biasa disebut ashramdan di Bali sekarang dipopulerkan menjadipasraman. Memang, kata asrama untuk
Indonesia yang terbayang adalah asrama militer atau asrama mahasiswa, ada sejumlah ruang tidur, ruang belajar, ruang
makan, ruang sekretariat, aula dan perlengkapan lainya. Padahal bukan itu yang dimaksudkan. Mpu Kuturan, leluhur orang
Bali, memperkenalkan konsep Desa Pekraman yang memiliki Kahyangan Tiga sebagai sarana untuk mempersatukan umat.
Itulah penjabaran asrama yang termuat dalam kitab-kitab Hindu. Di wilayah Desa Pekraman inilah umat menempuh pendidikan
yang bertujuan mewujudkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha secara bertahap sesuai dengan tahapan Catur Asrama.
Memang, dalam perjalanan zaman, ada yang hilang dari konsep lama ini, yakni unsur pendidikannya. Urusan pendidikan
sudah diserahkan sepenuhnya ke pemerintah atau dalam istilah kerennya pendidikan formal. Banjar tidak lagi menjadi tempat
pendidikan. Memang di beberapa banjar ada pesantian, tetapi itu lebih banyak diikuti oleh orang-orang tua. Dan itu pun
sesugguhnya bukan pendidikan dalam arti untuk diamalkan, tetapi sekedar urusan kesenian. Jika penekanannya seni, orang
hanya mahir menembang atau mewirama, tetapi tidak mengamalkan apa filosofi dari sastra yang dibaca itu. Contohnya, orang
bisa mahir menembangkan berbagai kekawin dan geguritan, hafal Geguritan Sucita Subudi atau Kekawin Ramayana, tetapi
kesehariannya masih suka metajen, meceki, mabuk-mabukan dan sebagainya.
Sejalan dengan ide Pemda Prov Bali yang menggagas Pasraman Desa Pekraman dengan memberikan bantuan setiap tahun,
maka sebaiknya konsep banjar sebagai pasraman layak dihidupkan lagi. Pendidikan agama dan budaya benar-benar
dilakukan di sini. Biarlah belajar matematika atau bahasa Indonesia di sekolah negeri, tetapi belajar agama Hindu, belajar
bahasa Bali, belajar menembang dan sebagainya diintensifkan di balai banjar yang dijadikan pasraman desa. Hidupkan
kembali banjar sebagai pasraman karena membuat pasraman yang formal sangat sulit. Tentu pasraman formal yang sulit itu
boleh saja dirintis. (*)

Pemerintah pusat akhirnya mengambil keputusan agar penyelenggaraan Miss World dilangsungkan sepenuhnya di Bali.
Tadinya, kontes kecantikan tingkat dunia yang diikuti lebih dari seratus negara ini acara puncaknya dilangsungkan di Sentul,
sebuah kota metropolitan baru yang masuk Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tapi karena banyaknya penolakan dari ormas
Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia padahal ini bukan acara keagamaan akhirnya Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy
Mizwar, yang dulunya bintang film yang sangat menyenangi acara-acara glamour semacam ini, menolak diselenggarakan di
wilayah Jawa Barat.
Kita di Bali sejak awal menyambut baik acara Miss World karena ini akan makin memperkenalkan Bali ke penjuru dunia.
Indonesia sudah tiga tahun meloby panitia Miss World agar acara itu diselenggarakan di negeri ini, dan ketika berhasil ternyata
banyak pihak yang menolaknya. Saya berharap kita tak meruncingkan konflik pro dan kontra, apalagi kalau dikaitkan dengan
budaya. Budaya di dunia itu beragam dan di negeri ini juga beragam. Apalagi kalau menyoroti dari satu sisi, misalnya,
pornografi. Pentas dangdut di kota-kota Jawa jauh lebih porno dari ajang Miss World ini. Apalagi kita bisa mengendalikan
peserta Miss World agar mematuhi budaya Bali.
Sesungguhnya, sebagian besar orang Bali tak begitu peduli dengan acara ini. Peserta sudah beberapa hari lalu tiba di Bali,
mereka berkumpul di hotel mewah kawasan Tanah Lot sebelum akhirnya mengikuti acara resmi di hotel mewah kawasan Nusa
Dua. Orang Bali hanya sedikit saja yang menaruh perhatian, umumnya mereka yang bergerak di bidang pariwisata. Selebihnya
tetap seperti biasa, yang petani bekerja di sawah dan dikebun, apalagi sekarang panen raya kopi. Para pengerajin sibuk
berkarya. Bahkan ritual terus berlangsung. Saya hampir setiap hari sibuk melayani ritual, apalagi bulan ini hari baik untuk
upacara perkawinan.
Namun, ketika penolakan ajang Miss World ini menyinggung masalah Bali dengan budaya dan agamanya, orang-orang Bali
pun seperti bangun dari tidurnya. Saya terpaksa ikut peduli. Tetapi bukan peduli pada acara kontes itu, namun peduli untuk
menjelaskan bagaimana orang Bali mempertahankan adat dan budayanya. Adat kita di Bali adalah menerima tamu yang
datang dengan baik-baik secara baik-baik pula. Tamu adalah raja. Kalau ada yang mau mencederai tamu, kita wajib untuk
membela keselamatannya. Apalagi kalau ada yang mau merusak kedamaian Bali hanya karena kedatangan tamu itu, kita wajib
menjaga Bali dari orang-orang yang ingin merusak.
Orang Bali mewarisi ephos Mahabharata dan Ramayana sebagai kitab Ithiasa dalam konteks Weda. Begitu banyak contoh
yang diberikan bagaimana kita wajib mempertahankan wilayah (negara atau kerajaan). Bahkan dalam Ramayana ada tokoh
Kumbakarna, adik kandung Rahwana yang sakti mandraguna. Kumbakarna tahu kalau kakaknya itu seorang durjana, haus
kekuasaan, melecehkan para wanita, memerintah dengan kekerasan. Tetapi, tatkala Negeri Alengka didatangi tentara Rama
dengan pasukan kera yang ingin menghancurkannya, Kumbakarna pun bangun dari tidurnya. Dia ambil senjata, menuju ke
medan perang dan berkata: Saya tidak membela Rahwana, saya tidak membela Raja Alengka. Saya berperang membela
tanah air saya, membela ibu pertiwi saya, di mana saya lahir, hidup dan dibesarkan.
Saat ini banyak orang Bali yang tiba-tiba bangun dari tidurnya meniru Kumbakarna, untuk mempertahankan kedamaian Bali
ketika diusik oleh pernyataan keras gara-gara ada ajang Miss World. Aliansi Muda Hindu menggelar aksi demo mengecam
ormas-ormas Islam yang menolak Miss World itu. Ormas-ormas Bali pun ribut di media sosial dan siap berangkat ke Gilimanuk
untuk mencegah para perusuh yang datang.
Apa sebenarnya yang terjadi? Kita bukannya membela panitia Miss World. Perhelatan ini soal kecil, bahkan bagi saya dan
mungkin banyak pemuka Bali, Miss World ini bukan panggung bermutu. Pesta Kesenian Bali yang juga mengundang tim dari
luar negeri jauh lebih bermutu. Jangan-jangan pula Miss World ini hanya persaingan stasiun televisi, satu kelompok adalah
sponsornya yang pasti akan mereguk keuntungan, satu kelompok tak kebagian apa-apa. Jadi Miss World ini bukanlah
pergelaran yang bergengsi amat. Tetapi apa yang kita bela? Yang kita bela adalah kedamaian Bali pada saat tamu-tamu
peserta Miss World itu berada. Diinspirasi ucapan Kumbakarna, yang kita bela adalah kedamaian tanah Bali dan tamu yang
datang, bukan acara Miss Worldnya.
Kalau begitu kenapa ajang Miss World tidak ditolak saja? Ini pertanyaan bodoh. Budaya tak bisa diseragamkan. Persepsi
orang tentang keindahan pun tak bisa diseragamkan, apalagi keindahan tubuh. Ada orang yang senang melihat wanita
berkerudung, ada yang suka melihat wanita rambutnya digelung. Selera di masyarakat Bali pun beda, padahal ini pulau kecil.
Karena itu ada wanita Bali dengan kerudungnya yang khas, ada banyak wanita Bali yang menggelung rambutnya yang disebut
mepusungan. Bahkan ada berbagai jenis pusungan itu. Jadi, kenapa harus dipaksakan semua wanita harus berkerudung?
Apalagi perhelatan Miss World ini sama sekali tak bertentangan dengan agama Hindu, agama mayoritas orang Bali. Mereka
mengunjungi pura tentu sebatas area yang bisa dikunjungi dengan pakaian adat Bali, bukan memakai bikini. Mereka orangorang yang sopan dan mau beradaptasi dengan Bali. Adapun orang Bali sendiri, yang tidak suka ya tak menonton perhelatan
Miss World. Seperti saya sama sekali tak tertarik meski misalnya diundang bahkan dijemput. Kalau suka silakan datang.
Jangan sekali-kali membatasi kesukaan orang sepanjang kesukaan itu tidak mengganggu ketentraman umum dan melanggar
aturan hukum.
Mari jaga kedamaian Bali. Pihak keamanan sudah cukup antisipasi, pasukan Raider dan Kopassus sudah siap membantu
polisi Bali meski ini terasa berlebihan. Ormas-ormas Bali dan anak-anak muda Hindu, janganlah mau dikompori, serahkan
kepada aparat. Namun, kalau itu tak cukup, mari kita bela Bali dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran agama. Agama
tak mengajarkan kekerasan. Janganlah kita berseru tentang kemaha-besaran Tuhan tetapi tangan membawa pentung dan
kelewang. Mari kita berseru dengan damai dan kasih. (*)

Anda mungkin juga menyukai