sudah berjalan sesuai tata kelola pemerintahan ini, yakni desa dinas.
Coba bayangkan kemudian jika desa adat didaftar sesuai UU Desa dan katakan saja misalnya diterima oleh pusat
(Kemendagri). Bendesa Adat yang selama ini mengurusi masalah ritual di Tri Kahyangan berserta awig-awig yang menyangkut
kehidupan sosial religius, tiba-tiba harus tahu seluk-beluk anggaran. Lalu siapa atasannya untuk melaporkan anggaran itu?
Camat atau Majelis Alit? Dan di atasnya lagi Majelis Madya atau Bupati? Akan kacau dan tumpang tindih. Saya
membayangkan ruwet, selama ini Bendesa Adat tempat umat bertanya apakah kala gotongan atau semut sedulur (sehingga
bisa menguburkan jenazah) tiba-tiba harus paham beda mata anggaran untuk perbaikan got dan mata anggaran memperbaiki
kakus umum.
Dari sisi filosofi juga berbenturan. UU Desa punya filosofi mensejahtrakan masyarakat. Kucuran dana sebesar itu (dengan
mempertimbangan besar kecil penduduk setempat) untuk kesejahtraan lahir bukan kesejahtraan bathin. Dana semilyar itu
untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Jika ekonomi bergerak, masyarakat makmur, otomatis masyarakat bisa
mensejahtrakan bathinnya. Bukan dibalik. Jadi, dana itu bukan untuk membangun Pura Puseh dengan batu hitam dari Gunung
Agung. Kalau begitu, masyarakat tak tergerak lagi medana punia karena toh ada uang dari Jakarta setiap tahun satu milyar.
Ini persepsi salah.
Tentu saja boleh dana dari UU Desa untuk kepentingan agama, tetapi itu bukan prioritas utama. Nah, dalam hal wilayah desa
dinas dan desa adat berbeda jauh, nanti pasti ada cara untuk mengatur dana itu supaya adil dengan prinsip pengelolaan mata
anggaran yang transparan. Kalau seperti di desa saya, desa dinas dan desa adat wilayahnya sama, permasalahan bisa tak
besar. Tapi jelas beda sasaran yang dituju. Jangan sampai ada kesan, setelah UU Desa berlaku dan kucuran uang datang,
warga tak mau lagi bayar urunan untuk piodalan. Yadnya pun tergantung dana dari Jakarta. Akhirnya yang besar piodalannya,
ekonomi masyarakat tetap tak bergerak, warga miskin tetap ada. Mari jangan diganggu desa adat dengan iming-iming kucuran
dana melimpah, cukup dana dari pemda saja.
landasan hukum. Paling banter melarang masuk penduduk yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi, apa
sulitnya mendapatkan KTP? Lagi pula, razia KTP dikenal hangat-hangat tahi ayam, lebih banyak kendor dari ketatnya.
DKI Jakarta pernah membatasi pendatang dengan mengatur bahwa setiap orang yang datang ke Jakarta harus ada yang
menjamin bahwa mereka punya pekerjaan. Artinya, warga yang datang ke Jakarta dalam status menganggur dan baru mencari
pekerjaan, meski pun punya kTP, dilarang masuk. Tetapi itu tak bertahan lama karena landasan hukumnya tak ada. Bagaimana
kalau mereka berdalih piknik, siapa yang membatasi keperluan orang untuk bertamasya? Nah, di Bali mustahil pula hal seperti
itu dilakukan. Justru Bali mengundang banyak pelancong.
Artinya memang sulit membendung penduduk pendatang ke Bali. Lalu bagaimana cara agar budaya Bali yang adiluhung di
masa lalu itu bisa dibendung dari kemerosotan yang terus terjadi? Maka betul sekali, Dubai bisa dijadikan contoh, tapi bukan
contoh buruk. Emirat Dubai yang kini tergabung dalam UEA, yang dirintis oleh keluarga Al Maktoum sejak 1833, berhasil
melanggengkan budaya lokalnya padahal penduduknya hanya 17 %, karena menerapkan aturan bagi pendatang di mana
tanah dipijak di sana langit dijunjung. Artinya, pendatang menyesuaikan diri dan menghormati budaya lokal. Pendatang tidak
mengembangkan budaya yang mereka bawa.
Apa yang terjadi di Bali? Sudah jauh keblablasan. Para pendatang sudah membangun pemukiman dengan cara berdesakdesakan, tak jelas lagi mana ulu dan mana teben. Konsep Tri Hita Karana di Bali sama sekali tak digubris. Meski tahu rumah
tetangganya ada pura keluarga, pendatang bisa membangun rumah dengan jemuran yang bersebelahan dengan pura. Bahkan
lebih tinggi. Mereka tak peduli karena merasa membangun di tanah sendiri, sementara orang Bali juga takut menegur supaya
tak ada keributan.
Pernah dirawat di RS Dharma Usadha Denpasar? Pada dini hari suara adzan subuh begitu kerasnya, sangat mengganggu
pasien. Tak ada toleransi bahwa masjid itu dekat dengan rumah sakit. Di Yogyakarta saja hal ini diperhatikan karena adzan tak
harus keras dan tak ada aturan dalam ajaran Islam harus menggunakan pengeras suara. Kalau tak dekat rumah sakit, tentu
tak masalah.
Banyak contoh lainnya. Berjualan dan mengemis di lampu merah bukan budaya Bali, tetapi itu sekarang merebak di kota-kota
di Bali. Berjualan di kaki lima pun bukan budaya Bali, karena orang Bali menghormati pemilik rumah atau bangunan orang lain.
Sekarang justru orang Bali menyewakan halaman depan rumahnya untuk pedagang kaki lima. Artinya, kesalahan orang Bali
juga sangat besar dalam mengundang pendatang masuk. Lihat saja pada saat lebaran yang lalu, orang Bali sulit membeli sate
dan pecel lele karena pedagang kaki lima pada mudik. Yang terjadi adalah ketergantungan kepada pendapatang, termasuk
pada saat panen padi.
Nah, ini sebaiknya jadi renungan, bagaimana agar budaya Bali tidak luntur. Caranya adalah mengatur para pendatang untuk
menghormati budaya Bali dengan menerapkan di mana tanah dipijak di sana langit dijunjung dan orang Bali jangan selalu
tergantung kepada pendatang.
di masyarakat Jawa, tak peduli apa agamanya. Pemakai kerudung rambutnya masih ada yang kelihatan.
Kerudung bukan simbol Islam. Yang simbol Islam itu disebut jilbab. Jilbab itu menutup seluruh aurat dan dalam Islam rambut
dikatagorikan sebagai aurat. Jadi, tak selembar rambut pun boleh nampak. Namun tak semua Muslimat sependapat dengan
ini, sehingga kita saksikan tak semuanya memakai jilbab. Itu tak usah kita polemiknya, ini urusan agama tetangga. Tetapi
kalau yang dipakai pegawai tol cuma kerudung dan bukan jilbab, kenapa harus diprotes dengan membawa nama-nama
agama? Kalau berjilbab baru kita protes karena pegawai itu agamanya Hindu. Jadi, kalau pun mau protes, ya, protes dari sisi
budaya, meski pun kita mendua, juga sering memakainya.
Contoh mendua yang kedua, masalah yang sering saya katakan. Bali memberikan konstribusi ke pusat devisa yang besar
sekali, 41 trilyun. Sementara dana perimbangan dari pusat hanya 950 milyar. Hal ini kembali disinggung oleh Wagub Bali Ketut
Sudikerta ketika membuka Pementasan dan Peragaan Seni Budaya Bali di Taman Budaya 13/7 lalu. Sangat tak adil. Namun,
pemerintah pusat tahu, karena devisa asalnya dari pariwisata maka dikucurkanlah dana pariwisata melalu proyek
kepariwisataan jangka panjang yakni lewat 11 KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional). Ternyata dana itu mau ditolak.
Kalau curiga pusat akan mendatangkan investor dan membangun fasilitas kepariwisataan yang merusak kawasan wisata
religius itu, kenapa tidak memperkuat Perda Lingkungan, memperketat izin dan sebagainya. Kalau ragu pejabat di Bali (entah
itu Gubernur atau Bupati) bisa disetir investor, pengawasan di DPRD difungsikan maksimal. Kalau pun masih ragu DPRD dan
Pemda kongkali kong, bisa diawasi oleh LSM, lembaga adat, lembaga agama. Jadi, pengawasan yang diperketat dan bhisama
kesucian pura yang ditegakkan, bukan uangnya yang ditolak. Daerah lain berlomba-lomba menanti uang itu.
Contoh ketiga, soal listrik yang mandiri untuk Bali. Semua orang tahu bahwa Bali sangat tergantung pasokan listrik dari Jawa.
Bali belum punya pembangkit listrik yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan Bali. Semua orang juga tahu dengan
ketergantungan dari Jawa banyak masalah yang muncul. Ada kabel laut yang rentan dengan kerusakan dan kalau itu terjadi
perlu butuh waktu lama untuk memperbaiki. Nah, ketika listrik di Bali padam total, semua orang ribut, menyalahkan PLN yang
tak memberi tahu sebelumnya. Bagaimana memberitahu kalau jaringan yang rusak itu secara tiba-tiba di Pulau Jawa?
Bali perlu listrik secara mandiri. Awalnya dilirik panas bumi di Bedugul. Sudah diuji coba dan sudah menghasilkan listrik yang
cukup memadai kalau proyek itu diteruskan. Tetapi para sulinggih keberatan karena itu kawasan suci. Penggiat lingkungan
juga menolak karena itu hutan lindung. Akhirnya Pemda pun sepakat menolak bersama DPRD. Bahkan pekan lalu ditegaskan
lagi oleh Kepala Humas Pemda Bali agar lebih jelas. Maka mubazirlah proyek yang dulu diberi izin itu.
Gagal di Bedugul, PLN berusaha menambah mesin di pembangkit Sanggaran lewat anak perusahaannya Indonesia Energi.
Kabarnya mesin sudah siap datang, masyarakat Sanggaran melakukan protes keras. Baliho penolakannya berbulan-bulan
dipajang di perempatan Benoa. Ya, tentu riskan kalau proyek trilyunan itu diteruskan dengan mendapat penentangan dari
masyarakat.
Sejumlah pengusaha merancang pembangkit listrik di kawasan Bali Timur, sekitar perairan Klungkung-Karangasem dengan
memakai bahan batubara. Dipilih perairan ini karena akan membangun pelabuhan yang bisa bersandar kapal-kapal besar
pengangkut batubara. Tetapi proyek ini juga ditentang dengan alasan akan mencemari lingkungan. Kalau lingkungan cemar
maka kepariwisataan di daerah itu terganggu. Batal lagi.
Pembangkit listrik di Pemaron juga harus diperbesar kalau Bali ingin menambah daya. Tetapi Pemaron itu sangat dekat
dengan kota Singaraja dan akan menggusur wilayah pemukiman padat. Tak memungkinkan. Lalu ke mana lagi? Terpaksa
yang dilirik hanya Celukan Bawang dan Gilimanuk, ini pun dengan berbagai kendala yang rumit karena faktor lingkungan.
Artinya, kita ingin listrik cukup di Bali, tapi jangan merusak lingkungan. Lantas mau dibangun di mana dong, sementara kalau di
Jawa mereka juga tak mau lingkungannya dirusak hanya untuk memasok listrik di Bali. Selain ada kendala jarak karena
dibatasi laut. Mau membangun jembatan laut Gilimanuk-Ketapang? Wow, orang Bali pasti paling cepat teriak-teriak. Coba kita
hilangkan sikap mendua. Kalau kita butuh sesuatu harus ada yang jadi korban dan mari cari korban terkecil. Protes boleh, tapi
apa solusinya?
Untuk sementara jawabannya adalah: Tidak. Sebelum PKB secara resmi ditutup, hari Minggu kemarin dilangsungkan
pembukaan Peragaan dan Pementasan Seni Budaya Bali tahun 2014 yang juga berlangsung sebulan, sampai 13 Agustus
yang akan datang. Kegiatan seni yang diprakarsai Institut Seni Indonesia (ISI) ini dibuka oleh Wakil Gubernur Bali Ketut
Sudikerta. Wagub Sudikerta di sela-sela membacakan sambutan tertulis Gubernur juga menyinggung bagaimana cara
memfungsikan Taman Budaya agar bangunannya tidak kusam. Sudikerta menyebutkan Taman Budaya bisa untuk berbagai
kegiatan seperti seminar, judisium atau tempat wisuda berbagai perguruan tinggi, pameran kerajinan dan seni.
Rektor ISI Denpasar Dr I Gede Arya Sugiarthatelah menjawab tantangan ini dengan menggelar kegiatan budaya yang sejalan
dengan program Bali Mandara di bidang kebudayaan. Bagaimana bentuk peragaan dan pementasan itu tentu harus kita lihat
selama sebulan ke depan. Namun dari sambutan Rektor ISI tersirat bahwa pementasan selama sebulan pasca PKB ini akan
diisi oleh sanggar-sanggar seni atau kelompok seni pedesaan tanpa lagi menyandang predikat mewakili sebuah kabupaten.
Jadi sanggar-sanggar itu mandiri.
Lalu bagaimana dengan PKB sendiri? PKB yang sudah memasuki tahun ke 36 ini tentu dinyatakan berakhir dan akan kembali
lagi digelar tahun depan. Dengan segala kerutinannya, sejak dari acara pembukaan, program-program acara, kisruh soal harga
stand pameran dan tentu saja yang sangat sulit diatasi adalah masalah parkir. Gubernur Bali Made Mangku Pastika sudah
secara pasti mengatakan bahwa kegiatan sebesar PKB sudah tak mampu lagi didukung oleh kawasan Taman Budaya
Denpasar yang makin sumpek dan tak punya lahan parkir itu. Mangku Pastika mengajak kita untuk berpikir, di mana mencari
lahan yang tepat untuk PKB.
Sesungguhnya sejak lama ada usul bagaimana kalau PKB tidak selalu dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Kenapa PKB
tidak digilir saja ke sembilan kabupaten/kota sehingga seluruh masyarakat Bali secara bergilir menikmati PKB dengan segala
permasalahannya? Itu dengan catatan wujud PKB seperti saat ini, ada pentas seni, ada pameran kerajinan, dan ada stand
makanan. Tetapi ada usulan yang lebih serius dan terasa berat yakni, kenapa tidak dipisahkan saja kegiatan seni tradisi, seni
pelestarian, seni kontemporer termasuk memisahkannya dengan pameran seni dan kerajinan? Kalau dijabarkan usulan itu
adalah ada yang bernama Pekan Budaya sebagai sebuah ajang pementasan seni bermutu dengan Pesta Seni sebagai arena
pementasan seni pop, sementara kegiatan pameran kerajinan itu dibuat tersendiri. Atau pameran kerajinan dengan seni pop
bisa saja digabung.
Jika ada wacana PKB mau digilir ke kabupaten-kabupaten tentulah wajah PKB itu seperti sekarang ini, ada berbagai
pementasan seni dari yang pop sampai yang tradisi termasuk seni yang berstatus dalam pembinaan. Sementara itu Pekan
Budaya hanya menampilkan puncak-puncak kreatifitas seniman selama waktu tertentuk, misalnya, setahun terakhir. Puncakpuncak kreatifitas seni itu tak terbatas, bisa seni tari, seni drama, kontemporer. Dan Taman Budaya inilah tempat yang pas
untuk Pekan Budaya itu.
Kalau PKB digilir dan keluar dari kandang Taman Budaya selain akan ada napas baru belum tentu juga lebih bagus akan
ada kesibukan yang terbagi. Keterlibatan orang bisa pula digilir sehingga menghilangkan kesan rutin. Jadi coba pindahkan
PKB ke Taman Ayun Mengwi, atau ke kota Tabanan, atau ke Negara, Singaraja dan sebagainya. PKB jadi tidak hanya milik
warga Denpasar, tetapi jadikan PKB milik warga Bali.
Pemindahan PKB ini juga bisa mengukur sejauh mana masyarakat punya apresiasi seni. Ketika PKB diselenggarakan di
Singaraja, misalnya, pada saat itu akan diukur, benarkah penduduk Denpasar dan sekitarnya punya apresiasi seni yang tinggi?
Kalau punya, mereka akan berbondong-bondong ke Singaraja. Kalau tidak, selama ini masyarakat Denpasar dan sekitarnya
hanya datang ke PKB karena iseng atau sekedar jalan-jalan melihat "orang ramai" sambil membeli makanan.Bukan melihat
kesenian.
Kalau PKB suatu waktu digelar di Singaraja, misalnya, semangat berkesenian di Bali Utara akan semakin terangsang. Ada
rasa lebih memiliki PKB bagi seniman daerah. Akanmuncul kelompok-kelompokseni yang mencoba bentuk-bentuk kesenian
moderen dengan akar tradisi, suatu hal yang banyakdilakukan seniman Bali Utara. Begitu pula kalau PKB digelar di Bali Barat,
pasti seniman-seniman Jembrana akan bergairah.
Nah, sementara PKB digilir atau dicarikan tempat yang lebih luas dan memadai, maka Taman Budaya Denpasar dijadikan
pusat pengembangan budaya yang bermutu dengan menyelenggarakan semacam Pekan Budaya, baik yang bertarap nasional
maupun yang bertarap internasional. Taman Budaya akan menjadi rumah budaya para seniman kreatif dan jadi pusat dialog
kebudayaan yang bergengsi.
Keberadaan Taman Budaya yang bersebelahan dengan kampus ISI Denpasar semakin memungkinkan Taman Budaya
menjadi rumah budaya yang terpandang. Tinggal bagaimana menyusun jadwal seni apa yang ditampilkan dan tentu dialog
budaya dengan berbagai seniman dari segala penjuru ditingkatkan. ISI Denpasar bisa berperan besar karena mereka punya
mitra di berbagai kampus seni.
Apakah Peragaan dan Pementasan Seni Budaya Bali tahun 2014 yang dibuka kemarin menjadi cikal bakal dari menjadikan
Taman Budaya sebagai rumah budaya? Digilir atau tidaknya PKB, begitu pula apakah PKB dipindahkan ke tempat lain atau
tidak, kegiatan yang diprakarsai ISI Denpasar ini adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Minimal Taman Budaya jadi
berfungsi setiap waktu.
mengikuti pementasan sampai akhir, apalagi kalau penontonnya tak mau berpikir. Masalahnya, Wayan Dibia mengubah judul
lakonnya, kalau saja dia tetap memakai judul Odipus Sang Raja, barangkali penontonnya lebih siap.
Karyaketiga Wayan Dibia memakai bentuk arja doyong, sebuah pentas arja yang busananya tidak seperti arja klasik. Lakonnya
tetap karya sastra moderen, yaitu Sukreni Gadis Bali karya sastrawan Panji Tisna. Yang tetap dipertahankan Wayan Dibia
adalah cara keluarnya penari (pepeson), agem tari dan tentu saja tembang. Ketika dipentaskan ternyata respon penonton juga
kurang.
Kalau pembaruan Wayan Dibia dianggap belum berhasil sementara arja klasik yang ada di RRI Denpasar tinggal menunggu
pensiun akankah arja seperti gambuh atau wayang wong hilang begitu saja?
Akan ada anggapan seperti yang sudah terjadibelakangan inidi Bali bahwake pura harus memakai pakaian adatseperti yang
ada dalam perlombaan itu.Padahal orang ke pura bertujuan sembahyang, dan pakaian apapun yang dikenakan asal bersih
dengan hati yang tulus, bisa dibenarkan secara agama. Tidak harus memakai kain brokatdengan model tertentu, apalagi brokat
tembus pandang yang justru menyalahi norma agama. Tak harus memakai pakaian model safaribagi lelaki.
Kesalah-kaprahan ini akhirnya berdampak buruk, yakni orang Hindu etnis Bali tidak akan merasa sreg bersembahyang ke pura
kalau tidak sedang berpakaian adat. Ini yang menyebabkan orang Bali kelihatan malas bersembahyang. Lihat saja di kantorkantor atau sekolah, berapa banyak pegawai atau guru-guru yang datang ke pura di lingkungan kantor dan sekolah itu pada
siang hari untuk melaksanakan Puja Trisandhya? Karena mereka mengira bersembahyang itu harus berpakaian adat. Pura di
perkantoran akhirnya tak berfungsi setiap hari, hanya ada persembahyangan kalau piodalan. Beda betul dengan keberadaan
mushola di perkantoranyang tiap hari difungsikan.
Dengan asumsi itu, PKB bisamengajarkan sisi-sisi negatif bagi perkembangan agama Hindu. Apalagi pada saat
pembukaannya, selalu ada tontonan orang membawa pajegan ke pura, atau tari-tarian sakral yang hanya ada di pura tertentu.
Kita secara tidak sadar telah melecehkan ritual agama dengan menjatuhkan martabatnya sebagai barang tontonan. Orang luar
boleh menonton umat Hindu di Bali pada saat melaksanakan ritual, tetapi akan menyedihkan sekali jika orang Bali sengaja
mempertontonkan ritual agamanya itu pada saat yang bukan sesungguhnya ritual.
PKB seharusnya memberikan inspirasi bagi perjalanan budaya agama Hindu di Bali. Kesenian yang muncul dalam PKB
semestinya memberi arti yang lebih dalam terhadap ajaran Hindu itu sendiri. Contohnya adalah terciptanya tari bernuansa
religius tetapi tidak sakral seperti Siwa Nitiprajadi masa lalu. Atau digarapnya fragmen yang penuh dengan nuansa Hindu
seperti Sutasoma, petikan Mahabharata, dan sebagainya. Jadi bukan mementaskan baris gede yang sudah sakral, atau
mempertontonkan rangda apalagi disertai orang ngurek di hadapan pejabat-pejabat yang hadir.
PKB baru berjalan tiga hari, kita tak tahu kesenian apa yang menjadi bintangnya, dan pola apa yang diambil pemerintah untuk
memajukan kesenian. Sepertinya, karena rutinitas menjadi penyakit kronis, acara kesenian tak beranjak dari tahun-tahun lalu.
Ada parade gong kebyar anak-anak, gong kebyar dewasa dan gong kebyar wanita. Ada seni pop seperti joged bumbung dan
lagu-lagu Bali. Drama gong yang dulu sempat populer sudah kehilangan penggemar karena seniman drama gong tak bisa
mengemas dramanya untuk tontonan masa kini.
Apakah akan dipentaskan lagi seni dengan dalih pelestarian? Entahlah. Dulu program ini seperti wajib karena PKB
menyandang predikat melestarikan kesenian Bali. Gambuh punah, lalu menjelang PKB beberapa sekehe gambuh dibina untuk
tampil di PKB. Begitu pula wayang wong dan arja. Bahkan dibina pula arja remaja. Hasilnya? Mereka memang pentas di PKB,
tetapi setelah itu tak ada lagi beritanya, apakah grup yang dibina itu tetap eksis atau sudah mati suri.
Apa yang menjadi masalah? PKB ini hanya pesta setahun sekali dan selalu dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Usai PKB
tak ada lagi pesta seni di tempat lain, bahkan di arena PKB itu sendiri. Pentas seni seharusnya berkesinambungan dan tentu
lebih baik menyebar di berbagai daerah. Puncak pencapaian itu baru ditampilkan di dalam PKB. Semoga ada yang memikirkan
hal ini lebih serius. (*)
transmigrasi selain ada jaminan hidup sebelum tanah yang digarap berproduksi, jatah lahan pertanian maupun perumahan
yang sederhana disediakan pemerintah.
Namun, jika sekarang orang berbicara soal transmigrasi di Bali, maka nadanya sangat minor. Komentar negatif muncul. Untuk
apa memindahkan kemiskinan ke luar Bali? Hanya orang-orang malas yang ingin transmigrasi. Kalau mau bekerja, di Bali tak
kurang pekerjaan, bisa lebih berhasil dibandingkan transmigran. Untuk apa mengirim transmigran ke luar Bali sementara
penduduk pendatang ramai-ramai ke Bali? Masih banyak komentar yang rada sinis.
Tentu ada benar dan ada pula salah pahamnya. Lahan di Bali terbatas untuk pertanian, sementara tidak semua penduduk Bali
bisa mengais rejeki dari sektor pariwisata dengan segala imbasnya. Kenyataan tidak semua transmigran itu tetap miskin.
Setelah mereka berhasil mengolah tanah pertanian dan mereka bisa mengembangkan usahanya di luar Bali, banyak
transmigran yang sudah sukses. Orang Bali eks transmigran yang ada di Lampung, Kalimantan, Sulawesi banyak yang kaya.
Mereka bisa pulang ke Bali setiap ada piodalan dengan menumpang pesawat.
Masyarakat Bali di masa lalu adalah masyarakat agraris. Lahan pertanian masih luas.Mereka hidup dari hasil pertanian. Bidang
lain seperti kesenian adalah pekerjaan sampingan sebagai kesenangan belaka. Karena itu ketika bencana alam datang,
misalnya, Gunung Agung meletus, masyarakat agraris ini pergi bertransmigrasi. Merekamencari tanah pertanian baru dan
mereka dikirim ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Pekerjannya tentu tetap sebagaipetani.
Ketika industri pariwisata masuk, orang Bali yang mulai berebut tanah pertanian yang makin kurang sementara penduduk
bertambah, mulai melirik pekerjaan sebagai pelayan dan mereka bekerja di hotel-hotel. Di beberapa daerah, pekerjaan seni
terutama mengukir dan melukis mulai dikerjakan sebagai pekerjaan utama. Merekatetap melayani sektor pariwisata yang
sesungguhnya dikendalikan oleh orang luar Bali. Nah, dua pekerjaan besar itulah yang kini masih membekas pada benak
orang Bali: bertani dan bekerja di sektor pariwisata.
Kini lahan pertanian di Bali sudah menyempit karena sektor pariwisata membutuhkan berbagai fasilitas yang mendukung
industri pariwisata itu. Penduduk pun bertambah. Nah, kalau orang Bali yang sedari dulu bertani tak mampu bersaing di sektor
pariwisata, maka sesungguhnya mereka hanya menjadi pengangguran terselubung. Atau minimal bekerja serabutan. Sulit
menciptakan lapangan pekerjaan baru kalau tak punya kemampuan, apalagi wawasan yang kurang memadai.
Kenapa pendatang banyak masuk ke Bali dan mereka seperti kelihatan sukses meskipun berdiam di rumah yang sederhana
bahkan mendekati kumuh? Karena mereka menggarap sektor informal yang tidak disukai orang Bali. Sektor informal itu
dianggap pekerjaan yangjauh dari gengsi. Misalnya mendorong gerobak berjualan bakso, pisang goreng, es kelapa muda,
pecel lele, bebek bakar dan sebagainya. Bahkan ada yang berjualan canang sari, sampai membuatnya sendiri. Orang Bali
masih berpikir agraris padahal bukan lagi di era agraris. Berpikir agraris artinya pekerjaan yang diambil adalah pekerjaan yang
menetap, karena sawah pertanian tak pernah berpindah tempat. Karena itu orang Bali yangtidak bekerja dengan pola
menetap, menyebut dirinya pengangguran. Mereka bekerja di hotel meskipun menjadi tukang cuci piring. Tetapi jika mencuci
piring sambil berjualan di emper toko, apalagi gerobak dorong, mereka gengsi.
Sektor informal ini yang diambil pendatang terutama yang dari Jawa maupun Lombok. Sektor informal adalah pekerjaan
jalanan, orang Bali enggan melakukan itu karena sama dengan pengangguran. Mencuci piring di hotel dan restoran beda
sekali dengan mencuci piring di pinggir jalan, yang terlihat oleh umum. Meski sama-sama mencuci piring, gengsi yang
membedakannya.
Gengsi masal ini membuat seluruh sektor informal di Bali sudah dikuasai pendatang. Warung-warung pinggir jalan, baik yang
pakai gerobak dorong maupun semi permanen, hampir semuanya dikuasai pendatang. Ini tidak hanya di kota Denpasar, tetapi
sudah di seluruh Bali. Saya sudah berkeliling ke seluruh terminal besar di kota kabupaten dan kecamatan di Bali pada malam
hari, saat terminal itu berubah menjadi pasar malam. Sebagian besar pedagang adalah para pendatang. Bahkan kalau ada
piodalan di Pura Sakenan, Pura Dasar Gelgel, sampai Pura Besakih, kebanyakan pedagang di sana kaum pendatang. Orang
Bali justru menghidupkan pedagang pendatang itu dengan berbelanja di sana. Padahal tradisi agraris di masa lalu, jika
bersembahyang ke pura, membawa sesajen yang ada makanannya, selesai sembahyang surudan (prasadam) itu yang
dimakan. Sekarang ini, salah satu keasyikan orang Bali ke pura adalah membeli sate sapi di Warung Jawa atau sate kambing
di Warung Madura.Coba lihat ketika piodalan Betara Turun Kabeh di Besakih baru-baru ini, kebanyakan yang menyewa kios itu
pendatang.
Kita tentu sulit membendung pendatang kalau tidak ada pelanggaran. Kita juga tak bisa menutup Bali dari pendatang. Kenapa?
Karena orang Bali yang datang ke Jawa atau ke daerah lain mencari penghasilan yang lebih baik juga banyak. Bahkan kalau
didata, etnis (keturunan) Bali yang ada di luar Bali jauh lebih banyak dengan orang Bali yang masih ada di Bali. Negara kita
adalah negara kesatuan, tak bisa membatasi lalu lintas antarpulau di satu negara. Cuma tentu saja ada cara membatasi
pendatang, yakni dengan memberlakukan peraturan ada jaminan pekerjaan. Juga orang Bali jangan menjual tanahnya kepada
pendatang, kalau mereka tak punya rumah lama-lama tentu tak betah.
Sementara itu untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan yang pola pekerjaannya masih agraris, ikut program transmigrasi tak
ada salahnya. Cuma, jangan menjual lahan warisan yang ada di Bali, sehingga suatu saat masih bisa ditengok sebagai tanah
leluhur.
Untungnya, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi telah selesai dalam urusan koalisi. Partai ini sudah berhasil menggaet
Partasi NasDem tanpa syarat apa pun. Dengan koalisi dua partai, mereka sudah bisa mengusung pasangan capres dan
cawapres. Partai lain semuanya belum aman dan perlu koalisi, perlu saling tawar-menawar posisi, karena tak ada yang seperti
Nasdem, mau koalisi tanpa syarat.
Dalam bahasa sederhana, sebenarnya Jokowi sedang mencari pendamping yang harus lebih berpengalaman daripada dirinya.
Sejatinya, yang dicari "cawapres dengan rasa capres". Dan pencariannya ini, astaga, membuat partai lain bak menari dalam
irama gendang Jokowi.
Jokowi mengincar Jusuf Kalla karena disodori asumsi, hanya Kalla tokoh yang berpengalaman sebagai wapres. (Dalam
catatan saya, yang berpengalaman sebagai wapres dan masih sehat lainnya adalah Hamzah Haz, Try Soetrisno, B.J. Habibie,
dan, oya, Megawati). Media mengumbar, kepiawaian JK, baik mengenai politik internasional maupun ekonomi makro, akan
membantu Jokowi yang lemah dalam bidang itu. Apalagi Kalla bisa menggaet suara Indonesia timur.
Tapi pasti Jokowi mikir, Kalla terlalu senior, masak sih wakil? Lagi pula usianya lanjut dan konon Kalla sangat dominan dalam
mengambil langkah. Untuk itu, atas desakan opini yang lain, bahwa yang dihadapi negeri ini sesungguhnya lemahnya hukum,
Jokowi mendekati Mahfud MD. Nah, tokoh satu ini "milik" Partai Kebangkitan Bangsa. Jika Mahfud diambil, PKB tentu diajak,
bagaimana kalau PKB dalam berkoalisi menentukan "syarat dan ketentuan berlaku"? Lagi pula Mahfud berasal dari Madura,
Jawa Timur, yang masih dekat dengan Solo.
Horee ada tokoh alternatif! Abraham Samad, Ketua KPK. Dilirik yuk, mungkin begitu pikiran Jokowi. Samad anak muda,
berani, paham hukum, dan berasal dari Indonesia timur seperti Kalla. Tapi ketika Jokowi sowan ke Tebu Ireng untuk bertemu
Salahuddin Wahid, Si Gus memberi bisikan: "paham hukum dengan pengalaman sepuluh tahun". Si Samad baru beberapa
tahun namanya berada dalam radar "tokoh nasional".
Jokowi mengaku sudah mengantongi nama cawapres, tapi pasti nama itu lebih dari satu. Ia sedang mengkalkulasi, kalau ambil
ini, pengikut yang itu pasti kecewa. Ya, harus diiming-imingi harapan, misalnya, jadi juru bicara. Kalau ambil yang itu, pengikut
yang ini kesal, ya, minimal diberi menteri atau kalau ngotot lebih, menko kesra.
Utak-atik nama boleh diperpanjang, tapi larinya sudah pasti soal bagi-bagi kursi, betapa pun akal Jokowi menutupinya. Sebab,
pangkal masalahnya, yang dicari "cawapres rasa capres". Kalau saja Jokowi "sudah merasa capres" dan percaya diri
memimpin negeri ini, soalnya jadi lain.
Yang mengherankan, partai tengah-di luar tiga besar-pada ikut "menari", bukan memukul gendang dengan menciptakan tari
sendiri. Kenapa tidak menghimpun diri dan lupakan "tarian Jokowi"? Juga lupakan dua partai besar lainnya, termasuk capres
yang sudah dikoarkan. Lalu usung, misalnya, JK-Mahfud atau Mahfud-Hatta Rajasa atau Hatta dengan pemenang konvensi
Demokrat. Hal ini lebih memberi gairah masyarakat untuk ikut mencoblos, karena Jokowi punya lawan tanding. *
(Diambil dari Koran Tempo Selasa 6 Mei 2014)
Ormas Keagamaan
Pandita Mpu Jaya Prema
SEORANG teman yang juga seorang aktifis di Jakarta bertanya pada saya, apakah ormas-ormas yang muncul di Bali
belakangan ini termasuk ormas keagamaan atau ormas biasa saja yang bergerak di bidang sosial budaya. Dia menyebut
beberapa nama, antara lain, Laskar Bali, Pemuda Bali Bersatu, Baladika yang posternya banyak bertebaran di jalan-jalan. Dia
bertanya begitu karena dalam poster ada pajangan pengurusnya yang semuanya memakai kain adat Bali dan bagi orang luar
Bali pakaian adat itu diartikan sebagai lekat dengan Hindu.
Saya menjawab bahwa ormas itu bukan ormas keagamaan. Tapi akhirnya kami sepakat pula bahwa sesungguhnya sulit untuk
memilah apakah sebuah ormas yang membawa-bawa label agama bisa disebutkan sebagai ormas keagamaan. Laskar Bali
dan sejenisnya itu bisa disamakan levelnya dengan ormas semacam Forum Betawi Rembug di Jakarta. Apakah itu ormas
keagamaan? Tentu tidak. Tetapi apakah Forum Pembela Islam (FPI) adalah ormas keagamaan untuk umat Muslim? Apakah
pagayuban yang memakai nama Hindu adalah ormas keagamaan untuk umat Hindu?
Susah mengelompokkan demikian. Karena kaitannya sering tidak nyambung dengan majelis keagamaan. Apakah majelis
agama yang dimiliki oleh semua agama yang ada di Indonesia, bisa mengayomi dan membina ormas keagamaan itu?
Mengayomi dalam maksud memberikan bimbingan, tuntunan, dan juga perlindungan karena organisasi kemasyarakatan itu
jelas-jelas mencantumkan identitas agamanya. Membina tentu dalam arti yang luas, mereka bisa menegur ormas keagamaan
yang aksinya merugikan pemeluk agama lain, karena ini juga berarti menodai agamanya sendiri. Dalam keadaan terpaksa
karena tak mampu dibina, majelis agama ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah supaya ormas itu dibubarkan, jika
sudah sangat meresahkan.
Tentu tak bisa seperti itu. Majelis agama bukanlah berada dalam satu struktur dengan ormas keagamaan. Ormas keagamaan
tidak menjadi bawahan majelis agama. Ormas keagamaan bahkan sebutan yang salah kaprah, karena sejatinya itu hanyalah
organisasi kemasyarakatan biasa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298).
Hanya karena labelnya mencantumkan nama agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan lainnya) mereka lantas
disebut ormas keagamaan. Jadi, Front Pembela Islam sama kedudukannya dengan Forum Betawi Rembug atau Laskar Bali
dengan catatan kalau ormas itu terdaftar di Kemendagri, karena ada ribuan ormas yang tak terdaftar.
FPI sering melakukan aksi-aksi yang dianggap meresahkan masyarakat. Bagaimana mungkin Majelis Ulama Islam (MUI)
menegurnya, bukankah tak ada hubungan organisatoris? Demikian pula di Hindu, jika ada paguyuban yang memakai label
Hindu berbuat yang meresahkan masyarakat, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) tentu tak bisa berbuat apa-apa.
Apalagi yang tak berlabel agama seperti misalnya bentrok antarormas di Bali, PHDI tak bisa berbuat apa-apa. Karena sejatinya
semua ormas itu bukanlah dalam payung majelis agama yang sah.
Jika demikian halnya, sesungguhnya peran, tugas dan kewajiban majelis-majelis agama dalam menentramkan umatnya dari
kemungkinan gesekan dengan ormas yang selama ini dianggap dekat dengan agama, sama sekali tidak ada secara
organisasi. Yang bisa dilakukan hanyalah memberi imbauan untuk tenang dan menjaga kerukunan bersama. Majelis agama
tak bisa bertindak sebagai polisi agama untuk hal seperti itu.
Tentu kita berharap, ormas-ormas yang membawa label agama betul-betul menerapkan ajaran agama yang luhur dalam setiap
langkahnya. Jika perlu dipikirkan adanya peraturan atau perundangan yang mengatur ormas keagamaan dan sekaligus di sana
diatur pula apa itu majelis agama dan apa itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Majelis dan forum ini belum
dipayungi oleh undang-undang. FKUB misalnya lahir dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun
2006 dalam kaitan pembangunan tempat ibadah. Kenyataannya banyak FKUB yang tak berfungsi, sehingga berbagai kasus
pun bermunculan, seperti kasus Gereja Yasmin di Bogor. Ada wilayah yang sulit mendirikan tempat ibadah untuk kaum
minoritas, misalnya, sulit membangun pura di Sumatra Barat dan lainnya. Namun sebaliknya ada wilayah yang gampang
membuat tempat ibadah, seperti pembangunan masjid-masjid di pedesaan Bali.
Akan halnya organisasi kemasyarakatan disesuaikan dengan gerak langkahnya. Yang betul-betul bersentuhan dengan agama
dan jelas dari namanya sudah memakai nama agama tertentu, diresmikan saja sebagai ormas keagamaan. Kemudian diatur
bagaimana hubungannya dengan majelis agama. Bagi yang tidak berlabel agama, sebut saja ormas sosial budaya, karena
kalau disebut ormas sosial politik tentu tak mungkin karena itu wilayahnya sudah ada di partai politik.
Dengan demikian akan menjadi jelas, apakah ormas yang tumbuh di Bali belakangan ini seperti Laskar Bali, Pemuda Bali
Bersatu, Baladika dan lain-lainnya itu bergerak di bidang sosial budaya atau keagamaan. Orang luar memang sulit menerka
karena baliho yang dipajang berkesan nuansa Hindu, apalagi slogannya tentang kedamaian yang juga slogan umat Hindu.
Namun, kalau kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya untuk apa sih ormas-ormas itu? Dan untuk apa pula memajang baliho
yang banyak di jalanan? Lebih baik membuat paguyuban suka duka atau pesemetonan yang banyak bekerja ke masyarakat,
tetapi tidak banyak pamer.
pemerintah pusat hati-hati mengucurkan dana. Dana hanya diberikan kepada kawasan yang sudah ada rencana master
plan sebelumnya, seperti penataan Pantai Mertasari itu yang sudah dirancang Pemkot Denpasar dengan anggaran Rp 50
Milyar. Artinya, pembangunan di kawasan KSPN sepenuhnya dirancang oleh daerah yang bersangkutan, bukan intervensi dari
pusat sebagaimana yang dicurigai. Tentu saja asal sesuai dengan denah dan program yang sudah rinci dalam KSPN itu.
Karena ada penolakan oleh sebagian masyarakat terhadap KSPN Besakih (resminya KSPN No 84 BesakihGunung Agung
dan sekitarnya) yang dicurigai mengganggu kawasan suci padahal jelas yang ditata alam sekitarnya termasuk jalan, maka
Pemda Bali ingin meninjau seluruh KSPN yang ada. Gubernur Bali sudah membentuk tim pengkaji ke 11 KSPN yang ada di
Bali. Tim beranggotakan 22 orang dari berbagai unsur dan elemen ini sayangnya belum berhasil mendapatkan kesimpulan
final, apakah seluruh KSPN itu ditolak atau hanya KSPN Besakih saja yang ditolak. Kalau hanya KSPN Besakih yang ditolak,
lainnya diterima, apa alasannya padahal di seluruh KSPN ada tempat suci. Tim Pengkaji 11 KSPN yang diketuai Prof. Made
Bakta ini seharusnya segera menyelesaikan tugasnya, supaya ada kepastian.
Kepastian ini ditunggu, baik oleh masyarakat Bali (yang menolak maupun yang menerima), oleh pemerintah pusat, juga oleh
Pemda Provinsi lainnya yang akan menerima limpahan. Dalam sebuah diskusi di Candi Sukuh (bersamaan dengan program
budaya) beberapa bulan lalu, sudah ada semacam penantian yang menggembirakan masyarakat sekitar Gunung Lawu,
Kabupaten Karanganyar itu, jika KSPN Besakih ditolak. Bahkan jika semua KSPN di Bali ditolak. Dengan demikian akan terjadi
revisi pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2020. Jika revisi itu terjadi, maka Pemda Jawa Tengah akan mengusulkan KSPN baru limpahan dari Bali. Saya yang
hadir dalam diskusi di Candi Sukuh itu setuju sepanjang yang dimajukan sebagai limpahan dari Bali adalah kawasan Gunung
Lawu. Karena nuansa Hindu lebih kental dibanding misalnya untuk kawasan wisata yang bernuansa Islam seperti masjidmasjid kuno di Demak, Kudus dan sekitarnya.
Seperti diketahui, dalam PP No. 50/2011, program pembangunan kepariwisataan jangka menengah (10 tahunan) dibagi antara
KSPN dan KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional). KPPN statusnya di bawah KSPN, termasuk besar dan
prioritas anggarannya. Di Bali karena dianggap destinasi pariwisata yang sudah menghasilkan banyak uang, seluruhnya (11
kawasan) langsung masuk KSPN, tak ada KPPN. Ini dianggap wajar karena uang yang diperoleh negara wajib diberikan lebih
banyak kepada daerah penghasil devisa.
Di Jawa Tengah tak semua langsung masuk KSPN. Masjid Demak dan Kudus yang diusulkan tak masuk. Candi Cetho
Sukuh dan sekitarnya masuk katagori KPPN No. 84 disusul Tawangmangu Sarangan dan sekitarnya masuk KPPN No. 85.
Nah, jika revisi terjadi, limpahan KSPN Besakih akan diperjuangkan untuk menaikkan status KPPN Candi Cetho-Sukuh dan
sekitarnya. Saya sangat setuju jika itu terjadi dengan alasan sama-sama memperhatikan umat Hindu. Bahkan saya mau ikut
berjuang. Tentu dalam artian kalau KSPN Besakih ditolak. Kalau tak ditolak, ya, untuk apa dialihkan? Saya kan tinggal di Bali
lebih sering ke Besakih.
Candi Cetho peninggalan akhir Kerajaan Majapahit di abad 15, sudah menjadi kawasan wisata religius. Meski pun candi
berstatus cagar budaya yang dikelola pemerintah, umat Hindu yang bersembahyang bebas masuk ke dalamnya. Tak ada
larangan bersembahyang di sana, bahkan kalau umat Hindu yang datang tak disertai pemangku, ada pemangku khusus di
sana. Tentu umat Hindu etnis Jawa.
Saya rutin paling tidak dua kali setahun ke sana. Saat Purnama Ketiga karena odalan di Pura Kepasekan dan Anggarkasih
Medangsia, odalan di Cetho. Pada Anggarkasih Medangsia 17 Juli 2007 Pura Cetho diruwat dengan upacara yang disebut
Panca Walikrama, entah kenapa namanya begitu. Di hutan lindung atas candi berdiri Patung Saraswati dengan tempat
pemujaan yang lapang, di sebelahnya ini sumber air suci yang sangat dingin. Nah, kawasan antara candi dan Patung
Saraswati yang kini berkembang menjadi pusat belanja oleh-oleh akan ditata. Pemerintah Kab. Karanganyar dan Pemda
Prov. Jateng tentu berharap besar dana itu juga dipasok dari KSPN. Jadi saya setuju, karena yang akan merasakan nikmatnya
berkunjung nanti adalah umat Hindu, selain memberdayakan ekonomi umat setempat yang juga pemeluk Hindu etnis Jawa.
Pada diskusi di Candi Sukuh, saya minta agar Pura Kepasekan di Kecamatan Karangpandan dimasukkan kawasan Candi
Cetho Sukuh dan sekitarnya. Alasannya, kawasan sekitar Candi Sukuh tak perlu ditangani lagi karena sudah asri ditata
Pemda Kabupaten Karanganyar. Pura Kepasekan perlu jalan masuk lebih lebar dan belum ada sarana parkir. Meski pura ini
lebih dekat dengan Tawangmangu, KPPN Tawangmangu itu melebar ke Sarangan di wilayah Magetan.
Jadi, nasib KSPN Besakih, apakah ditolak atau tidak, juga tak sabar saya tunggu. Diterima syukur karena saya lihat kawasan
sekitarnya masih perlu dibenahi apalagi saat upacara Bethara Turun Kabeh ini. Diberi uang kok tidak diterima, kesannya
sombong amat. Tapi kalau KSPN Besakih ditolak, ya, apa boleh buat, siapa tahu Candi Cetho dapat limpahannya. Demi umat
Hindu juga. (*)
Indonesia.
Karena itu dalam menunaikan dharma negara pada saat pemilu ini, marilah kita mencoblos partai nasionalis yang tetap
memperjuangkan bangsa dalam bingkai bhineka tunggal ika. Kita tak punya partai berasaskan agama Hindu, dan mungkin tak
perlu agama disekat-sekat dalam politik. Mari kita coblos caleg yang punya wawasan kebangsaan untuk berjuang menegakkan
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang majemuk. Selamat memilih. (*)
parkir, karena areal parkirnya ada pintu tersendiri. Di Bandara Ngurah Rai seluruh komplek itu dikurung sehingga siapa pun
yang masuk harus membayar. Orang Bali rakus, begitu gerutuan orang. Padahal, Bali hanya dapat getah, kerakusan
diambil orang lain. Nah, apakah hak-hak itu termasuk yang akan dituntut oleh para caleg? Jangan-jangan mereka pun tak
memikirkannya.
Kalau calegnya tak cerdas bagaimana menjadikan pemilu yang mendidik masyarakat untuk cerdas? (*)
berharap dan memohon, namun kekuasaan alam semesta dan kekuasan Tuhan yang akan menentukan, apa yang terjadi.
Setiap selesai ritual tentu yang diharapkan kerahayuan dan itu bisa diperoleh juga dengan mengembalikan pikiran yang jernih.
Kita lantas bisa mengurai kenapa peristiwa buruk bisa terjadi. Kenapa penari rangda bisa meninggal dunia ketika ditusuk keris,
apakah runtutan acaranya salah. Konon keris itu sebelum dipakai menusuk rangda ditancapkan di tanah, jelas ini tak boleh.
Kenapa anak membunuh orangtuanya yang pendeta. Konon sang anak ada dalam pengaruh narkoba. Lalu kenapa anak itu
dibebaskan berkeliaran dan kenapa tidak diterapi? Kenapa ada orang manjang wadah bisa jatuh, bukankah sebelumnya sudah
diperingatkan karena kondisinya memang tak sehat? Kenapa orang Bali mau cap jempol darah, tidakkah itu dihasut oleh
budaya luar? Jadi semuanya bisa dianalisa dengan pikiran jernih. Termasuk polemik patung Bung Karno itu, kalau memang
membuat pro kontra berkepanjangan dan memecah belah masyarakat, kenapa tidak dikembalikan saja ke asalnya?
Pamelepeh jagat bukan saja upaya mengharmoniskan alam, tetapi mari kita jadikan upaya menjernihkan pikiran, sehingga
jagat kecil dalam diri kita ikut bersih. (*)
Negarawan
Pandita Mpu Jaya Prema
Ada 12 calon hakim konstitusi yang sudah mendaftarkan diri di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka akan
bersaing untuk mengisi dua kursi yang ditinggal Akil Mochtar dan Harjono. Akil kini sedang diadili dalam perkara suap,
sedangkan Harjono akan segera pensiun.
Dari 12 calon hakim itu, sembilan orang adalah dosen yang mengajar di fakultas hukum, seorang pensiunan di Kementerian
Hukum, seorang notaris, dan seorang lagi anggota DPR dari fraksi PPP, Dimyati Natakusumah. Gembar-gembor sebelumnya
menyebutkan, ada empat anggota DPR yang akan "melamar pekerjaan" sebagai hakim MK, tiga yang tidak jadi itu adalah
Benny Kabur Harman dari Fraksi Demokrat, Ahmad Yani dari Fraksi PPP, dan Taslim Chaniago dari Fraksi PAN.
Hakim konstitusi adalah negarawan, UUD 1945 menyebutkan demikian. Apakah mereka negarawan? Menarik ketika Dimyati,
dalam sebuah tayangan di televisi, menyebutkan dirinya seorang negarawan. Alasannya, pernah menjadi pejabat negara,
yakni bupati dua periode di Kabupaten Pandeglang dan menjadi wakil rakyat. Bagi dia, itulah negarawan, seperti halnya
sastrawan adalah pengarang sastra dan dermawan adalah orang yang suka bederma.
Kalau negarawan seperti itu, camat dan lurah pun bisa disebut negarawan. Dimyati sepertinya tak bisa membedakan antara
negarawan dan orang yang bekerja untuk negara. Yang terakhir ini umum disebut pegawai negeri. Padahal negarawan bisa
juga tokoh yang tak pernah menjadi pegawai negeri.
Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara
(pemerintahan); pemimpin yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau
mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Ada beberapa unsur di sini: ahli, taat asas, bijaksana, dan berwibawa. Beda dengan sastrawan, yang dalam kamus disebut: (1)
ahli sastra dan (2) pengarang prosa dan puisi. Tak disebutkan apakah mereka harus taat asas dalam menulis puisi, apalagi
dikaitkan dengan wibawa. Wartawan dalam KBBI disebut: orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita, juru warta.
Apakah sudah ahli dalam jurnalistik dan punya kewibawaan? Tak dipersoalkan. Dermawan dalam KBBI disebut: pemurah hati,
orang yang suka bederma. Bahkan dramawan hanya dengan dua kata: pemain drama.
Jadi, "wan" dalam negarawan tak bisa disamakan dengan "wan" dalam sastrawan, wartawan, dermawan, dramawan, maupun
"wan-wan" yang lain. Rujukan para ahli bahasa yang dirangkum dalam kamus ini menjadi "bahasa kebatinan" para perumus
konstitusi ketika mengamendemen (ketiga) UUD 1945 dan melahirkan Pasal 24C ayat 5 yang menyebutkan persyaratan
negarawan buat hakim konstitusi itu. Negarawan hanya salah satu syarat, lainnya integritas tinggi dan tidak tercela.
Nah, apakah Dimyati Natakusumah seorang negarawan, seorang ahli dan bijaksana, serta berintegritas tinggi dan tidak
tercela, sebagaimana disyaratkan konstitusi dan sebagaimana bunyi KBBI, tentu terpulang pada tim seleksi yang semuanya
adalah koleganya sendiri di Senayan. Ke-11 calon lainnya baik juga mematut-matutkan diri, apa benar seorang negarawan.
Masyarakat wajib mengawal seleksi ini agar MK bisa selamat untuk sementara, sebelum ada penyelamatan yang menyeluruh.
*
(Diambil dari Koran Tempo Kamis 27 Februari 2014)
masyarakat. Dalam bahasa jurnalistik sering disebutkan, pers (termasuk wartawan sebagai penggeraknya) selalu harus
selangkah di depan. Artinya, wartawan itu harus lebih dulu tahu apa yang diinginkan masyarakat. Namanya saja menjual
informasi, tentulah tak ada wartawan yang ketinggalam informasi dibandingkan masyarakat yang membaca produknya.
Wartawan dituntut cerdas dan terus-menerus mengasah kecerdasannya agar bisa menuntun masyarakat yang membaca
medianya. Kalau ada media yang tak memberikan ilmu atau informasi baru, sudah pasti akan ditinggalkan pembaca.
Yang terakhir Sang Penadahan Upadesa. Yang dimaksud adalah pendeta itu memiliki swadharma memberikan pendidikan
moral atau kesusilaan agar masyarakat hidup harmonis dengan moral yang luhur. Semua KEJ wartawan menempatkan
masalah moralitas sebagai hal yang penting untuk dijaga. Diatur dengan ketat bagaimana memberitakan kasus-kasus asusila
dan korban pemerkosaan. Pasal 4 KEJ jelas menyebut: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Pasal 3 KEJ PWI yang sudah dikutip di atas, tak membenarkan ada berita bersifat fitnah, cabul serta sensional.
Seperti halnya pendeta, wartawan juga tak boleh mengadu-domba masyarakat dengan pemberitaannya. Pendeta bisa lahir
dari berbagai klan (di Bali disebut soroh), tetapi setelah menjadi pendeta maka dia tak boleh membeda-bedakan umat
berdasar klan. Pendeta milik seluruh umat. Wartawan pun begitu. Ada yang bekerja di berbagai media, tetapi tak boleh
mementingkan medianya sendiri dalam hal memberitakan suatu kebenaran. Semuanya harus berdasarkan fakta.
Maka tak berlebihan kalau saya menyebutkan, wartawan yang taat mematuhi kode etik jurnalistik dan bekerja secara
professional sebenarnya adalah pendeta minus ritual. Artinya, fungsi dan tugasnya dalam masyarakat sejalan, hanya saja
wartawan tak bisa menyelesaikan urusan ritual keagamaan. Semoga renungan ini ada manfaatnya.
*) Penulis adalah pendeta Hindu. Nama walaka Putu Setia, pernah Pengurus PWI Jakarta, kini Redaktur Senior Tempo Media
Grup, Wartawan Utama Dewan Pers No. 086-WU/DP/V/2011.
sorga) atau lainnya. Dulu yang terkenal malah lakon Cupak ke Sorga. Nah, semua tirtha yang dicari dalam lakon itu kemudian
oleh sang dalang dijadikan tirtha yang akan dipersembahkan kepada orang yang diruwat atau untuk pelengkap tirtha lainnya.
Selain itu juga ada yang disebut wayang lemah. Lemah di sini dalam bahasa Bali artinya siang hari. Panggung tidak memakai
kelir, hanya berisi tiga baris benang. Jadi panggung terbuka lebar. Pementasan ini pun bisa untuk upacara apa saja,
perkawinan, ngaben, maupun di pura.
Dahulu, pementasan wayang sakral ini dilakukan sang dalang sambil mengupas makna dan filosofi dari kesakralan
pertunjukan itu. Jika menyangkut Manusa Yadnya, yang banyak dikupas adalah masalah budi pekerti. Jika pertunjukan untuk
Pitra Yadnya, sang dalang mengupas inti dari yadnya itu. Kupasan bisa melebar, tak hanya melulu penjelasan tentang ritual
tetapi juga pencerahan agama. Ki Dalang berfungsi sebagai guru, tokoh agama, pendharma wacana, dan penonton
memposisikan diri sebagai murid dan orang yang haus pelajaran agama.
Itu dulu. Sekarang, situasi sudah sangat berbeda. Hiburan begitu banyak berseliweran, ada televisi dan video yang canggihcanggih. Pedesaan juga gemerlap, listrik ada di mana-mana. Pertunjukan wayang kulit pun hingar-bingar dengan pengeras
suara. Tapi, yang menonton pentas wayang tak ada. Wayang lemah tak ada yang menonton, orang sibuk dengan upacara,
sementara yang tak ikut menjalankan upacara, juga mondar-mandir. Jadi yang asyik cuma dalang, pembantu dalang dan
penabuh gender.
Pertunjukan wayang kulit Bali, yang mengiringi upacara yadnya, tidak lagi ditonton orang. Pergelaran wayang kulit yang masih
ditonton adalah pergelaran nonsakral, yang dipenuhi banyolan-banyolan. Itu pun saat ini bisa dihitung dengan jari dengan yang
paling top Dalang Cenk Blonk (Wayan Nardayana) dari Belayu. Pementasan tak lagi semalam suntuk, cukup dua setengah
jam. Dan cerita sama sekali tak ada kaitannya dengan yadnya, bahkan tak ada penekanannya dengan ephos Mahabharata
atau pun Ramayana. Yang utama kritik sosial yang dibungkus banyolan.
Kenapa wayang kulit di Jawa tetap ditonton sampai pagi? Karena antara ritual (ruwatan) dan hiburan dijadikan satu. Mereka
yang diruwat, meski hanya mendengarkan petuah-petuah tentang kebajikan sambil mengantuk duduk di kursinya, tak ingin
meninggalkan pertunjukan itu. Apalagi pada saat jam-jam mengantuk tiba, dalang memunculkan goro-goro yaitu adegan
lelucon dan juga penuh sindiran yang dimainkan para punakawan. Di Bali, pertunjukan wayang antara banyolan dan serius tak
ada batas, kapan pun bisa.
Nah, kenapa kita tidak kembali menghormati wayang sakral? Kalau pun kita tak tertarik dengan jalan cerita atau cara dalang
menyampaikannya (ini berarti dalangnya kurang diminati), minimal kita berikan mereka tempat terhormat. Jangan mondarmandir di depan panggung wayang lemah. Cara menghormati yang lain adalah jangan mekidung ataupesantian pada saat
pementasan wayang lemah. Kalau ada seni sakral lainnya yang dipentaskan juga, lakukan giliran. Jadi, antara wayang
lemah dan topeng Sidakarya, misalnya, bergantian pentasnya. Jangan sampai di sini wayang lemah, di situ topeng Sidakarya,
di sana lagi kelompok pesantian asyik menembang. Hiruk pikuk tak karuan. Lagi pula, kalau wayang sakral itu memang tak
ditonton, tak diperhatikan, hanya sebagai pelengkap, untuk apa mementaskan wayang sakral? Bawa saja banten ke rumah
sang dalang dan nunas tirtha di sana. Biaya pun hemat. Kalau kita sendiri tak menghargai seni sakral kita, siapa lagi yang
menghargainya. (*)
bedanya dengan azan magrib bagi umat Islam yang selalu menyesuaikan dengan kedudukan matahari.
Nah, hari berganti menurut wariga adalah pagi hari setelah matahari terbit. Dan itu terus berlangsung sampai esok harinya
ketika matahari terbit kembali. Jadi malam hari itu adalah milik hari sebelumnya. Dengan demikian, kalau ada anak yang lahir
lewat tengah malam, misalnya pukul 03.00 sampai mendekati pukul 06.00 dini hari, anak itu weton-nya mengikuti hari kemarin.
Bukan mengikuti hari yang akan datang sebagaimana perhitungan tahun Masehi. Ini yang sering tidak diketahui.
Akibat kesalah-pahaman dalam menentukan pergantian hari menurut wariga ini, banyak yang salah weton (salah hari otonan).
Ini mempengaruhi watak sang anak karena setiap hari ada peruntungannya dan ada pantangannya. Apalagi kalau terjadi
beda wuku, misalnya, anak yang lahir hari Minggu dini hari menurut kalender Masehi, seharusnya adalah milik hari Sabtu
menurut wariga. Antara Sabtu dan Minggu sudah beda wuku. Perwatakan wuku sangat beda, pengaruhnya pun besar.
Saya berikan contoh yang akan berakibat luas. Misalnya, hari ini, Sabtu 8 Februari 2014,wuku Ugu. Jika ada bayi yang lahir
lewat tengah malam nanti, misalnya, pukul 03.00 atau pukul 05.00, maka weton-nya tetap Sabtu (Saniscara) Pon Wuku Ugu.
Bukan mengikuti hari Minggu (Redite) Wage Wuku Wayang. Kalau salah menentukan pergantian hari karena terpengaruh
tahun Masehi, dan anak itu ditetapkan weton Minggu Wage Wuku Wayang, maka anak itu harus dibuatkan upacara
pengelukatan wayang dengan runtutan penubahan Wayang Sapu Leger. Padahal seharusnya itu tak terjadi.
Bagaimana kalau terlanjur salah weton? Ini sering terjadi dan umumnya kalau keluarganya menyadari kesalahan itu, pada
saat weton-nya diadakan perubahan weton. Dan ini banyak dilakukan, upacaranya juga tidak jelimet, hanya menambah
beberapa sesajen.
Masalah hari ulang tahun, tentu mengikuti tahun Masehi, karena ulang tahun tidak berdasarkan wariga (tak memakai hari dan
wuku), tetapi memakai tanggal. Kalau anak itu lahir seperti contoh di atas, ulang tahunnya tetap saja 9 Februari, karena
pergantian Tahun Masehi adalah pukul 00.00 tengah malam.
Pergantian hari itu berbeda-beda menurut kalender. Pergantian hari Tahun Masehi pada saat tengah malam, pukul 00.00.
Sedang Tahun Hijrah yang digunakan umat Islam (dan sekarang diikuiti pula oleh Tahun Jawa), pergantian harinya dimulai
magrib pada hari tersebut. Jadi, malam hari ini setelah magrib adalah milik hari esoknya. Karena itu umat Islam, misalnya,
menyebut malam Jumat itu adalah hari Kamis malam yang biasa dikenal di Bali.
Semoga tidak ada lagi yang salah menentukan weton anaknya jika lahir menjelang dini hari. (*)
sebaiknya dipangkas saja. Jika perlu ditebang. Kalau tidak resikonya tumbang pada saat kita lengah dan menimpa bangunan
pelinggih. Biaya memperbaiki pelinggih dan upacara ritualnya jauh lebih besar dari menumbangkan pohon yang sudah
mendekati pralina itu.
Umat Hindu punya ajaran yang sangat bagus dalam memelihara alam ini. Salah satunya adalah ajaran Tri Hita Karana,
harmonis dalam tiga komponen. Harmonis dengan Tuhan, harmonis dengan sesama makluk hidup, dan harmonis dengan
alam. Karena itu mari kita tetap menjaga kesehatan alam dan tidak merusak ekosistem alam.
Pohon punya roh, kalau dia ditebang di hutan maka kekuatan akarnya menahan air tak ada lagi. Tanah jadi labil, maka longsor
yang terjadi. Karena itu mari bersama-sama mengawasi hutan lindung, karena dalam hutan lindung yang lebat, air hujan
ditahan oleh akar-akar pohon di dalam tanah. Tanah tahu kapan air yang disimpannya itu akan dikeluarkan dalam bentuk mata
air.
Air dari mata air akan memberi kehidupan besar pada umat manusia. Air itu bisa saja disimpan lebih dulu di danau untuk
kemudian dialirkan lewat sungai, menjadi harapan petani untuk bercocok tanam dan segala keperluan hidup manusia lainnya.
Air yang tak dimanfaatkan manusia, terus mengalir lewat sungai menuju laut dan di sana mereka berkumpul dengan seluruh air
dari segala penjuru. Alam sudah mengatur semua ini dengan cermat.
Tetapi manusia yang tidak bersahabat dengan alam, yang mengingkari ajaran Tri Hita Karana, merusak aturan yang sudah
dirancang Sang Semesta ini. Sungai banyak yang dirusak sempadannya. Tebing-tebing sungai sudah dijadikan rumah mewah
atau villa yang disewakan. Sungai jadi tercemar oleh limbah buangan air kotor, dan juga jadi tempat pembuangan sampah.
Pinggiran sungai yang seharusnya dijaga oleh pohon sehingga tanah masih menyimpan air, kini tidak lagi. Karena pinggiran
sungai sudah kena beton untuk berbagai bangunan. Jika air besar maka tak ada lagi tanah yang menyerap, semuanya bablas.
Celakanya, di daerah pemukiman, resapan air juga berkurang karena begitu banyaknya tanah yang disumbat oleh bangunan.
Jadinya, air tak menemukan jalan ke rumahnya di laut. Air itu tersesat karena jalannya sudah dihambat manusia. Bagaimana
tidak banjir di sejumlah pemukiman dan di kota-kota?
Kembali ke ajaran Tri Hita Karana adalah sesuatu yang mutlak. Bersahabat dan harmonis dengan alam adalah memelihara
alam itu sendiri sehingga semua makhluk diuntungkan. Manusia memang harus harmonis dengan sesama manusia, tetapi itu
baru satu point dari Tri Hita Karana. Harmonis dengan alam dan sekaligus harmonis dengan pencipta alam yakni Tuhan itu
sendiri, adalah kesempurnaan mempraktekkan ajaran Tri Hita Karana.
Sekarang banyak hotel, restoran dan sarana pariwisata diberi hadiah sebagai pengemban ajaran Tri Hita Karana. Tetapi sejauh
mana mereka benar-benar menjaga keharmonisan dengan alam? Barangkali cuma di lingkungannya saja, tetapi iklan-iklan
promosinya di alam terbuka, merusak alam. Begitu pula para caleg partai yang akan bertarung di Pemilu 2014 ini. Banyak yang
berkoar-koar mensejahtrakan rakyat, menjaga alam Bali, melestarikan Bali dengan bahasa yang muluk-muluk. Tapi lihat baliho
dan spanduk yang mereka pasang, sebagian besar melanggar dan merusak alam. Ini bisa menjadi bencana kalau baliho yang
besar itu roboh dan menimpa orang di jalan. Kejadian itu sudah pernah ada.
Sejatinya, bencana di sekitar kita ini juga karena kita sendiri yang membuatnya. Jutaan atau milyaran uang habis untuk
upacara tawur mengharmoniskan alam, jika kita sendiri sebagai manusia pelaku tak harmonis dan malah merusak alam, maka
ritual itu akan mubazir. Mari kita selalu berdoa supaya terhindar dari bencana, tetapi mari kita juga menoleh apa yang sudah
kita laksanakan untuk mencegah bencana ini. (*)
Sekarang, meski pertanian masih ada, masyarakat punya pekerjaan yang majemuk. Banyak yang mencari penghidupan di luar
desanya, terutama setelah terjadi ledakan ekonomi yang begitu dasyat dari perkembangan pariwisata. Waktu luang yang sama
tidak lagi berdasarkan musim tanam atau musim petik buah kopi, misalnya. Bagaimana bisa melakukan kerja adat (sering
disebut nyayah) yang harus diikuiti oleh seluruh warga, kalau ada yang bekerja di luar desa menjadi pegawai atau pekerja di
sektor pariwisata? Bahkan di lingkungan warga yang tetap tinggal di desa, hal itu juga sulit dilakukan. Karena meski pun tinggal
di desa, jenis pekerjaannya tidak sama. Ada yang berdagang keliling, ada yang jadi ojek motor, ada yang berburuh bangunan,
dan sebagainya.
Intinya adalah lebih sulit melakukan pekerjaan bersama (ngayah). Nah, kalau dalam awig-awig absennya ngayah adat itu
disertai denda, tentu memberatkan warga yang tidak tinggal di desa. Kalau harus pulang, seperti yang dikatakan Bagus
Sudibya, akan membuat warga itu meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di sektor pariwisata. Apalagi kalau awig-awig itu
begitu ketat, misalnya, absen sekian kali ngayah, tak cukup bayar denda tapi juga kena hukum kesepekang.
Bagaimana mensinergikan awig-awig dengan dinamika masyarakat saat ini? Tentu ada banyak sekali hal yang bisa
disinergikan. Saya hanya menyebut contoh-contoh kecil saja. Di desa saya saat ini, ngayah adat itu bisa dikurangi dengan cara
membagi pekerjaan ke rumah masing-masing. Misalnya ada piodalan. Tentu sudah ada patokan bantennya. Nah, itu dibagi,
siapa yang membuat banten ini, siapa yang membuat banten itu, lalu dikumpulkan pada waktunya. Orang yang dapat bagian,
bisa mengerjakannya di rumah, entah dikerjakannya malam hari, atau bahkan membeli. Ornamen banten saat ini, dari daksina
sampai alat caru, banyak yang menjual. Dengan demikian, ibu-ibu yang di masa lalu berhari-hari ngayah adat membuat
banten, sekarang paling hanya ngayah saat metanding saja.
Demikian pula yang laki-laki. Pekerjaan dibagi, siapa membuat kelakat, siapa membuatsanggah cucuk, tusukan sate, dan
sebagainya. Pada hari tertentu tinggal dikumpulkan. Yang bekerja di luar desa kalau dapat bagian itu, bisa membelinya di Desa
Kapal, misalnya. Jadi, tidak harus meninggalkan pekerjaan di hotel untuk pulang hanya untuk membuat tusukan sate.
Demikian pula di luar ngayah, misalnya, pesuka-dukaan. Dalam praktek di masa lalu (ada desa adat yang memasukkannya
dalam awig-awig, ada yang tidak), setiap ada orang yang meninggal dunia, warga adat wajib datang. Pagi membuat sarana
untuk menguburkan jenazah (kalau tidak langsung ada upacara pitra yadnya), siang mengantar ke kuburan. Itu masih mending
kalau ada hari baik menguburkan jenazah, jadi cukup izin satu hari. Kalau ada kala gotongan, semut sedulur dan sebagainya,
di mana jenazah tak bisa hari itu dikubur, warga yang di luar desa bisa izin lebih dari sehari.
Apa solusinya? Kewajiban itu tak dibatasi waktu. Alat penguburan dibuat keluarga inti yang meninggal. Di wilayah perkotaan,
ada diatur pembuatan sarana itu dilakukan mulai pukul 06.00 pagi, sehingga selesai pukul 08.00. Jadi warga masih bisa ke
kantor. Mengantar ke kuburan cukup seadanya. Warga yang sulit dapat izin atau bolos, tak usah ikut ke kuburan. Nah,
wujud pesuka-dukaan tetap berjalan dengan cara warga yang kerja kantoran datang sore hari atau di malam hari untuk
melayat. Bahkan suasana ini bisa lebih khusyuk karena tak perlu tergesa-gesa dan bawaan pun bisa lebih berharga.
Tentu banyak contoh lain. Sinergi itu harus diputuskan bersama dengan saling menghormati profesi orang lain. Dalam
mengupayakan sinergi itu, kebersamaan tetap harus dijaga. Intinya adalah jangan sampai warga kena hukum kesepekang,
karena sistem ngayah adat sekarang ini terbuka untuk direvisi dan masalah pesuka-dukaan akan menemukan format baru
yang sesuai dengan zaman.
Satu hal yang perlu diingatkan lagi adalah awig-awig itu bukanlah sesuatu yang sakral. Ada anggapan di banyak orang, karena
awig-awig itu disahkan dengan ritual pasupati dan dihadiri pejabat pemerintah dan majelis adat, lantas disebutkan sakral dan
berlaku ketat seterusnya, tak bisa lagi dirombak. Tidak begitu. Awig-awig itu buatan manusia, seperti pula Undang Undang
Dasar 1945. Bukankah UUD 45 sudah empat kali diperbaiki atau diamandemen?
Sebagaimana halnya undang-undang, peraturan daerah dan sebagainya, awig-awig pun dibuat untuk ketentraman dan
kenyamanan bersama. Maka tak ada awig-awig yang membelenggu warganya dan membuat perpecahan di desa adat.
Bagaimana kita bisa menghukum warga adat, padahal pendatang yang datang dari luar Bali, tak dikenakan awig-awig padahal
mereka juga tinggal di wilayah desa adat. Marilah kita selalu sinergikan awig-awig dengan perkembangan zaman, karena kita
tak tahu lagi apa yang akan terjadi di masa mendatang. (*)
Pemilu semakin dekat. Banyak orang yang sibuk. Komisi Pemilihan Umum sibuk. Partai politik lebih sibuk lagi. Para caleg luar
biasa sibuknya. Dia harus kampanye, membuat baliho, mengunjungi desa-desa membuat pertemuan dan menebar janji-janji.
Dan satu lagi instansi yang ikut sibuk adalah pengelola Rumah Sakit Jiwa. Di berbagai kota di Jawa dan Sumatra, rumah sakit
jiwa mulai berbenah untuk menambah pasien mengantisipasi lonjakan setelah pemilu. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur,
Surabaya, misalnya menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk menampung pasien gila setelah pemilu.
Siapa yang bakal gila? Ya, tak lain adalah para calon legislatif yang gagal memperoleh suara. Berdasarkan pengalaman pemilu
2004 dan 2009, caleg yang gila itu terus bertambah jumlahnya. Mereka tiba-tiba shock setelah gagal menjadi anggota dewan,
apalagi setelah mengeluarkan uang yang begitu banyak. Para caleg tersebut telanjur berutang banyak dan berharap bisa
ditebus ketika sudah menjadi anggota dewan. Atau, sudah kadung menjual semua harta bendanya. ''Kami sudah
mengantisipasi. Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan hal itu,'' kata Direktur Utama RSJ Menur Surabaya dr Adi
Wirachjanto.
Apakah RSJ Bangli sudah menyiapkan hal serupa mengantisipasi caleg gila? Saya kira perlu antisipasi hal ini. Jika tidak dan
lonjakan caleg gila banyak sementara daya tampung tak cukup, berbahaya sekali orang gila ini gentayangan di masyarakat.
Caleg-caleg di Bali seperti bertaruh untuk menjadi anggota dewan. Mereka mengharap uang itu akan kembali setelah menjadi
anggota dewan. Tentu bukan mengandalkan gaji belaka. Bisa dari bermain-main dana proyek, termasuk mempermainkan
bansos (bantuan sosial) yang seharusnya diterima utuh oleh masyarakat, tapi dia potong dengan alasan telah
memperjuangkannya.
Seorang ayah yang anak perempuannya menjadi caleg untuk DPRD Kabupaten mendatangi saya. Dia konsultasi, apakah
anaknya harus bertarung menjadi caleg atau pasrah saja. Lo, kalau sudah menjadi caleg, kenapa harus pasrah? Sang ayah
menceritakan, anaknya itu perempuan yang sangat polos, pergaulannya biasa-biasa saja, tak pernah menjadi pengurus
organisasi apapun, dan pengalamannya hanya pernah menjadi pegawai koperasi. Karena dia tamatan SMA dan memenuhi
syarat menjadi caleg, dia dipinang oleh partai untuk memenuhi persyaratan 30 persen wakil perempuan. Dia bersedia dan
mendapat nomor urut 5 untuk daerah pemilihan (dapil) yang mencakup dua kecamatan.
Tadinya anak itu diam saja karena memang tak berminat menjadi anggota DPRD, apalagi merasa tak mampu. Macam apa
pekerjaan itu sama sekali tak terbayangkan oleh dia. Namun, beberapa teman anak itu tiba-tiba memanas-manasi dan siap
menjadi tim sukses. Ada yang siap membuatkan baliho sampai memasangnya. Ada yang janji mencarikan calon pemilih. Anak
itu tiba-tiba kepingin serius bertarung. Dia minta uang kepada orangtuanya dengan memaksa. Sang ayah mengaku sudah
mencari uang dengan berbagai cara, termasuk menjual sebagian kebun kopi. Terkumpul uang Rp 400 juta. Apakah modal
sebanyak itu cukup? Tanya ayah caleg dadakan itu.
Saya katakan terus terang, uang itu tak cukup, dan akan habis percuma. Persoalannya bukan cuma uang, tetapi anak itu
belum bergaul dengan masyarakat, bagaimana mau menjadi anggota Dewan? Jangankan bersaing dengan caleg partai lain,
dengan caleg di partainya sendiri saja tak akan bisa. Pemilu sistem sekarang ini adalah bertarung dengan sesama caleg di
partai, kemudian baru bertarung dengan caleg di partai lain. Ayah anak itu kaget mendengar saran saya. Kalau uang Rp 400
juta itu habis percuma dan anak saya tak bisa jadi anggota dewan, bukan saja dia yang gila. Saya ikut gila. Uang itu besar
sekali buat keluarga saya, kata sang ayah.
Saya pun setuju uang itu besar. Lebih baik untuk modal berdagang, mumpung sudah terlanjur jual kebun kopi. Tak usah mimpi
jadi anggota dewan. Orang-orang yang menyebut mau menjadi tim sukses itu hanya cari untung. Sekarang banyak tim sukses
yang untung, apalagi mereka hanya mau bekerja jika dibayar lebih dulu. Di kampung saya, banyak orang yang menjual jasa
dari memasang baliho. Selain ada upah memasang, mereka juga menjual bambu. Tak heran, mereka selalu ngompori caleg
untuk pasang baliho. Tapi tak berarti mereka simpatisan partai, kalau balihonya jatuh, ya, dibiarkan saja. Tim sukses dan
tukang pasang baliho ini tak peduli apakah caleg itu gagal atau sukses.
Di Bali ada sesonggan (pepatah) yang berbunyi: buke ngae baju, sikutang di deweke, artinya, jika membuat baju ukur di
tubuh sendiri. Maksudnya, ukur diri sendiri sebelum memilih pekerjaan tertentu. Atau sering kali juga disebut, cobalah
bercermin apakah pantas memegang jabatan yang diimpikan itu. Para caleg ini harus bercermin atau mengukur dirinya, apa
memang pantas menjadi anggota dewan? Termasuk pula calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), apa memang
pantas memegang jabatan itu?
Di internet para caleg dan calon DPD banyak yang sudah kampanye. Mereka menebar visi dan misi dan kata-kata yang
diumbar adalah: mensejahtrakan rakyat Bali, mengajegkan Bali, memperjuangkan umat Hindu dan seterusnya. Kalimatkalimat yang jelas jiplakan atau mungkin dibuat oleh orang lain. Saya sendiri heran, apakah para caleg itu sadar apa yang
ditulisnya? Atau jangan-jangan mereka sendiri juga tak paham.
Menjadi anggota dewan itu berat, kalau bekerja dengan serius. Mereka harus paham ilmu tata negara, suka membaca, suka
berdebat, mengetahui seluk-beluk permasalahan bangsa, dan seterusnya. Ngomong di rapat banjar saja belepotan,
bagaimana menjadi anggota dewan? Struktur bahasa dan runtutan omongan harus jelas. Tak bisa mengandalkan uang, dan
bahkan juga keterkenalan. Seorang artis atau pelawak menjadi anggota DPD, bisa berbuat apa di Jakarta, berhadapan dengan
politisi yang terlatih? Akhirnya hanya diam dan masyarakat rugi memilihnya.
Caleg dan calon anggota DPD sekarang ini kebanyakan tipe orang yang tak bisa mengukur diri. Maka jalan pintaslah yang
ditempuh, yakni menebar duit untuk menjaring suara. Harapannya, setelah terpilih ia bisa memainkan segala proyek agar
modalnya kembali, padahal dia tak tahu pengawasan sekarang ketat. Bermain dana bansos bisa-bisa masuk penjara. Itu bagi
yang terpilih. Kalau yang tak terpilih, ya, bisa stress dan akhirnya menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa. Masyarakat juga harus
sadar, janganlah memilih sembarangan, yang tak bisa berbuat apa-apa untuk rakyat Bali, yang hanya memperbanyak orang
gila. (*)
Kenapa Mpu Tantular tidak sepopuler kakeknya di Bali? Atau kalah populer dengan cucu-cucunya di Bali? Karena dia tak
pernah menetap lama di Bali dan tidak mewariskan tempat peninggalan suci atau pura. Pernah ada ide untuk mendirikan
perguruan tinggi swasta di Bali dengan nama Mpu Tantular, tetapi tidak jadi. Yang berdiri justru di Jakarta, ada Universitas Mpu
Tantular. Museum Mpu Tantular dibangun di Kota Surabaya, berdiri di atas gedung di Jalan Taman Mayangkara 6, Surabaya.
Meski museum itu merana dan sepi pengunjung, tetapi di situ tersimpan peninggalan Mpu Tantular dalam bentuk karya sastra.
Orang Bali lebih tahu tentang karya dibandingkan sang pencipta. Mpu Tantular boleh jadi kurang dikenal di Bali, tetapi kisah
Sutasoma begitu populernya. Tari oleg Tamulilingan begitu populer, tetapi Ketut Mario yang menciptakannya tidak dikenal
orang. Lukisan wayang Kamasan juga populer, tetapi siapa yang melukisnya tidak dikenal. Pernahkah orang Bali merenung
sejenak, siapa yang menciptakan dramatari arja, gambuh, topeng dan sebagainya?
Terlepas dari semua itu, slogan Bhineka Tunggal Ika haruslah terus dihidupkan oleh wakil-wakil Bali, apakah dia akan duduk di
DPR, DPD atau tokoh-tokoh publik lainnya. Pertanda bangsa ini mulai rapuh kebhinekaannya terlihat dari banyaknya
intoleransi. Misalnya, dilarang mengucapkan selamat hari raya untuk agama yang bukan dipeluk, dilarang merayakan tahun
baru Masehi padahal penanggalan resmi yang dipakai adalah tahun Masehi, pemaksaan idiom agama tertentu di wilayah
mayoritas beragama lain seperti Hotel Syariah di Kuta, misalnya. Banyak contoh lain.
Namun, semangat mengumandangkan terus sesanti Bhineka Tunggal Ika harus pula tahu sejarah lahirnya sesanti itu, seperti
yang teruari di atas. Agar tak dicap, bisa mengatakan tapi tak tahu kisahnya. (*)
dan bertanya pada Mpu Kuturan: Ilmu apa yang ingin Mpu dapatkan? Setelah Mpu Kuturan menjelaskan maksudnya, pohon
kepuh berkata: Saya, pohon kepuh, memang tidak bisa dipakai menyembuhkan orang sakit, itu sebabnya saya lebih banyak
menghuni kuburan. Tetapi, pohon-pohon yang lain, bisa dijadikan obat. Nanti pohon itu akan datang menjelaskan
kegunaannya.
Demikianlah, akhirnya satu persatu pohon datang di depan Mpu Kuturan sambil menjelaskan kegunaannya. Begitu banyak
pohon yang mengandung obat, jumlahnya ada 202 buah. Kisah ini dikutip dari lontar Taru Premana yang menggunakan
bahasa Jawa Kuno (Kawi). Meski pun uraian dalam lontar sering tidak logis untuk zaman moderen ini, namun intisari dari apa
yang ditulis lontar ini sangat tepat. Dalam terapi pengobatan Usada Bali, khasiat tanaman yang mengandung obat ini diakui
kebenarannya. Bahkan dalam brosur-brosur suplemen herbal yang banyak datang dari luar negeri, khasiat tanaman ini jelasjelas disebutkan.
Masalahnya, apakah tanah Bali saat ini masih menyimpan 202 pohon obat itu? Kalau saja separohnya ada, mungkin masih
lumayan. Lagi pula yang perlu dipertanyakan, kalau pun pohon obat itu masih ada, masih sempatkah orang Bali membuat
racikan dari bahan pohon itu? Pertanyaan ini masih bisa diteruskan, misalnya, kalau pun racikan itu masih ada yang membuat,
apakah orang Bali sekarang masih sreg berobat secara tradisional, sementara Puskesmas sudah ada di desa-desa? Ini
masalah besar, karena perilaku orang Bali saat ini sudah moderen keblablasan. Pada saat negara-negara maju kembali ke
alam dan kembali menggunakan obat-obatan dari alam (herbal) karena effek samping yang jarang, orang Bali melupakan
Usada Bali yang dulu sangat populer itu.
Di masa Orde Baru, ada gerakan menanam tanaman obat di pekarangan rumah yang dilakukan oleh PKK. Istilah yang
dipakai saat itu adalah membuat apotek hidup. Yang ditanam, misalnya, jahe, kunyit, sirih, kumis kucing, kemanggi dan
sebagainya. Namun gerakan ini hilang. Mungkin orang Bali sudah berpikir maju, untuk apa lagi membuat apotek hidup toh
obat-obatan sudah banyak gratis di Puskesmas.
Ironisnya adalah pohon obat khas Bali itu kini juga sulit didapat. Jeruk Bali sudah menghilang dari Bali, namun dipelihara
dengan baik di Sukabumi, Jawa Barat. Daun jeruk Bali ini bisa diracik dengan menambah cuka untuk mengobati penyakit
reumatik. Pohon juwet, sudah langka di Bali. Padahal babakan (kulit) pohon ini bisa ditumbuk halus untuk mengobati penyakit
kelamin. Pohon jambu Bali (sotong), memang masih banyak ada dan orang Bali pun tahu kalau buah sotong ini bisa dijadikan
obat diare. Tetapi berapa banyak yang tahu kalau daun sotong muda ini jika ditambah dengan ketumbar dan digiling halus, bisa
dipakai obat jerawat?
Sekarang memang ada gerakan kembali memelihara tanaman obat (usada), tapi lebih banyak dilakukan oleh kalangan
industri. Sudah mulai muncul obat-obatan khas alam Bali, baik berupa boreh maupun berbentuk cairan. Tapi keterlibatan
masyarakat belum nampak, apalagi keterlibatan aktivis lingkungan hidup. Mereka masih asyik dengan proyek-proyek yang
berkaitan dengan dunia wisata sehingga alam Bali yang mereka klaim untuk dipelihara hanyalah yang berkaitan dengan
investor. Mereka lupa kalau hutan dan pohon yang berkhasiat untuk obat sudah mulai langka di Bali. (*)
Kebersamaan Natal
Pandita Mpu Jaya Prema
Ritual Natal sudah berlalu. Yang tersisa adalah rangkaian perayaannya yang lebih bersifat silaturahmi. Tentu tak ada kata
terlambat untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Natal" kepada umat Nasrani, semoga bumi ini semakin damai dan
persaudaraan tetap abadi.
Mengucapkan selamat Natal bagi saya tak ada masalah. Saya menyampaikan selamat kepada orang lain, bukan kepada diri
sendiri. Artinya, yang khusyuk dengan ritual Natal itu orang lain. Saya hanya berdoa agar mereka selamat dalam menunaikan
ibadah itu, tanpa ikut ritualnya. Bukankah sangat wajar dalam pergaulan modern? Saya sebut pergaulan modern karena, saya
amati di desa-desa, ucapan formal begini tak penting amat. Yang suka formal itu gubernur, bupati, ketua DPRD, dan
seterusnya, dengan memasang iklan di media massa. Sekarang, pada saat menjelang pemilu, para calon legislator pun
mengobral ucapan selamat itu di spanduk-spanduk sambil memajang tampang mereka.
Di pedesaan, jika penduduknya beragam keyakinan, ada silaturahmi yang sangat menonjolkan kearifan lokal. Di Bali, misalnya,
di desa yang penduduknya beragam agama, perayaan hari keagamaan apa pun seperti dimiliki oleh seluruh warga. Sehari
menjelang Natal, umat Kristiani mengantar makanan kepada pemeluk Hindu. Tradisi ini disebut "ngejot", arti sesungguhnya
adalah "membawa oleh-oleh makanan ke tetangga". Pada hari menjelang Galungan, umat Hindu yang "ngejot" ke pemeluk
Kristen atau Katolik. Tradisi "ngejot" antara umat Nasrani dan Hindu lebih semarak lantaran tak mengharamkan daging babi,
dan jenis masakan pun hampir sama. Tak berarti di kalangan umat muslim Bali diharamkan "ngejot" atau menerimanya. Warga
muslim di Kepaon (Denpasar), Pegayaman (Buleleng), dan Melaya (Bali Barat), yang komunitasnya berbudaya Bali,
melestarikan juga tradisi "ngejot" ini dengan makanan yang disesuaikan ajaran agamanya.
Yang ingin saya katakan adalah budaya itu tetap bisa lestari sesuai dengan warisan leluhur meski agama atau keyakinan
berbeda-beda. Umat Kristiani di Bali pergi ke gereja yang berukir ornamen Bali, datang dengan berkain adat Bali lengkap
dengan destarnya. Tentu saja, karena mereka orang Bali. Dan pakaian adat plus destar itu bukanlah "pakaian agama tertentu",
itu budaya lokal. Tak ada "pakaian Hindu". Umat Hindu Jawa tak memakai destar jika sembahyang, apalagi umat Hindu
Kaharingan atau etnis India.
Sebaliknya, dengan menghormati budaya lokal, banyak pejabat yang datang ke Bali mengenakan pakaian adat Bali, termasuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang gambarnya banyak terpajang di baliho sekarang ini. Tak ada yang menyebut
Presiden Yudhoyono mengenakan "pakaian Hindu" dan saya yakin keimanan Presiden tak sedikit pun ternoda oleh kekhasan
budaya lokal ini.
Budaya Nusantara begitu beragam, indah nan mempesona. Budaya yang datang dari luar memang tak bisa dibendung dalam
era global ini. Budaya Timur Tengah atau budaya India, misalnya, boleh saja diimpor dan beradaptasi dengan budaya lokal.
Tapi, memaksakan budaya itu untuk dipakai dengan dalih bahwa dari negeri itulah asal muasal agama dan turunnya kitab suci
agaknya berlebihan. Ajaran agama harga mati untuk pengikutnya, tapi budaya lokal yang tak bertentangan dengan ajaran
agama tentu berhak dilestarikan.
Dengan tetap melanggengkan budaya lokal sembari memberikan kebebasan umat dalam memeluk keyakinan, hari-hari raya
keagamaan seperti milik bersama. Dan itulah yang terasa pada setiap Natal di Tanah Air ini, khususnya di Bali, ada
kebersamaan pada hari yang kudus itu, sebagaimana kebersamaan pada Idul Fitri dan hari raya Hindu
(Diambil dari Koran Tempo Kamis 26 Desember 2013)
pegunungan, dengan alasan dingin, sebagian besar umat Hindu merokok di dalam pura.
Dalam kitab Weda memang tidak ada larangan merokok. Bahkan kata rokok itu sendiri juga tak pernah ditemukan. Namun
ada dijumpai kata-kata yang menyebutkan bahwa asap mengepul dari tempat-tempat persembahyangan, dan asap itu
datangnya dari api yadnya (dipa dan dupa), tidak dari yang lainnya. Artinya, tidak diperbolehkan ada asap lain yang menyertai
asap dari api pemujaan. Di India semua tempat ibadah Hindu tidak memperbolehkan orang merokok. Begitu pula di ashramashram. Ashram Gandhi yang didirikan almarhum Ibu Gedong Bagoes Oka di Candi Dasa, Karangasem, termasuk yang ketat
menjalankan tradisi dilarang merokok, sejak memasuki ashram itu di pekarangan. Kalau kalian terbiasa merokok, cobalah
tahan beberapa jam saja keinginan merokok itu selama di ashram ini, begitu Ibu Gedong biasanya menegor tamunya yang
kecanduan rokok. Di pasraman saya tak bisa ketat seperti itu, orang masih merokok di halaman. Kecuali di merajan dan di aula
di mana saya menerima tamu sehari-hari. Tapi kalau ada acara seperti diskusi atau penataran di aula, orang pun merokok,
sudah capek melarang. Saya yang mengalah. Sulinggih memang seharusnya pantang merokok, namun dijumpai satu dua
memang tidak banyak sulinggih yang ternyata merokok, tetapi bukan saat melaksanakan yadnya.
Tidak merokok termasuk pengendalian diri. Kalau demikian halnya, apakah tidak mungkin dipikirkan oleh pemuka agama
Hindu, bagaimana supaya umat tidak merokok selama berada di pura. Ini selain untuk menegakkan Perda yang sudah dibuat,
juga untuk menjaga kesucian pura itu sendiri dari asap yang bukan dari sarana yadnya.
Umat haruslah diberi penyadaran bahwa asap yang bukan dari dipa dan dupa di dalam pura, fungsinya hanya mengotori
kesucian pura. Namun, kalau memang tak bisa dilarang secara drastis sebagaimana bunyi Perda, saya usulkan secara
bertahap dan juga kawasan yang betul-betul steril dari asap rokok. Misalnya hanya di jeroan (mandala utama) saja yang tak
boleh merokok. Toh waktunya tidak lama di jeroan. Di Jaba Tengah (mandala madya) dibolehkan. Kalau tidak tahan ingin
merokok, termasuk Jro Mangku, keluar dulu ke jaba, merokoklah di sana. Setelah selesai merokok masuk lagi ke jeroan.
Kalau jeroan itu luas dan larangan merokok tak bisa dilakukan dengan ketat, orang yang duduk di piasan atau balai pewedan
sama sekali tidak boleh merokok. Ini sudah harga mati. Kalau umat dan apalagi pemangku masih merokok selama duduk
di piasan, itu pertanda mereka tidak bisa mengendalikan indriya-nya. Kalau mengendalikan indriya saja tak bisa, bagaimana
mengendalikan pikiran dan hal-hal lain sebagaimana yang diatur dalam sesana kepemangkuan? Nah, nanti kalau sudah
terbiasa tidak merokok di jeroan, barulah ditingkatkan tidak boleh merokok di Jaba Tengah. Itu pun dengan catatan, jika saat
muspa (biasanya dengan panca sembah) ada pemedek yang muspa dari Jaba Tengah, rokok harus dimatikan. Ingat,
sebagaimana dicantumkan dalam Weda, dalam pemujaan jangan sampai ada asap lain selain dipa dan dupa.
Sudah saatnya kita memperbaiki sikap memuja dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan. Termasuk untuk tidak merokok di
kawasan tempat suci. Seharusnya umat mulai menyadari pengendalian diri ini, apalagi pemerintah ikut campur mengatur
masalah kesucian asap di pura ini dengan melahirkan Perda larangan merokok. Mari kita patuhi dan pemerintah seharusnya
mulai ketat menjalankan Perda ini. Untuk apa Perda dilahirkan kalau tidak dilaksanakan. (*)
Adapun dalam cerita, dengan gamblang disebutkan bagaimana wanita Bali sangat rajin melaksanakan ritual keagamaan ke
pura, sementara lelaki Bali tetap dengan ayam aduannya. Ketika istrinya pulang dari sembahyang, lelaki Bali itu dengan sikap
tanpa bersalah meminta air suci (tirtha) yang dibawa istrinya untuk diminum.Si lelaki jarang bersembahyang.
Tentu saja ini gambaran lama. Tetapi, citra buruk ini sama sekali tak pernah dianggap noda oleh orang Bali. Citra buruk buat
lelaki Bali yang dicap sebagai pemalas dan tak punya etos kerja tinggi. Citra buruk bagi wanita Bali yang tak bisa memberontak
dari kungkungan tradisi yang membelenggu.
Memang harus diakui bahwa dalam sejarah Nusantara para wanita sering dipinggirkan. Namun, sejarah Nusantara juga
mencatat bagaimana wanita-wanita itu memberontak, baik memberontak karena lingkungan adat dan tradisi seperti yang
dilakukan Raden Ajeng Kartini di Jepara, memberontak kepada penjajah seperti dilakukan Cut Nyak Dien di Aceh,
memberontak mengatasi kebodohan seperti dilakukan Dewi Sartika di Jawa Barat. Lalu, apa yang dilakukan wanita Bali
sebelum dan setelah kemerdekaan? Tak begitu banyak tercatat dalam sejarahnasional, paling sejarah lokal bagaimana
Tabanan punya pejuang wanita yang kini sudah dibuatkan patungnya.
Tokoh-tokoh pergerakan wanita berkumpul di Yogyakarta dan hari bersejarah itu diperingati sebagai Hari Ibu, namun peristiwa
ini tak memunculkan tokoh wanita asal Bali. Ini menandakan bahwa wanita Bali belum bisa memainkan perannya dalam
urusan sosial politik. Beragam alasan yang bisa dicatat. Misalnya, pengaruh situasi daerah di mana wanita dikekang untuk
menonjolkan diri. Juga faktor pendidikan, wanita Bali tidak mendapatkan prioritas pendidikan tinggi. Penyebab paling parah
adalah adat dan tradisi Bali tak memberi kesempatan wanita untuk menjadi pemimpin. Dalam adat Bali, wanita tak bisa ikut
rapat adat, tak bisa menjadi kepala keluarga, artinya adat Bali tak akan bisa melahirkan pemimpin wanita. Wanita Bali bisa
berstatus purusa (menerima waris dan meneruskan kawitan keluarga) dengan catatan dia kawin nyentana, tetapi dalam adat
status purusa itu tidak berlaku, yang mewakili dalam rapat-rapat adat tetap lelaki yangnyentana itu.
Dalam hal spiritual juga begitu. Meski wanita Bali pintar membuat sesajen, namun untuk menjadi pemangku (dengan
upacara ekajati) dan sulinggih atau pendeta (dengan upacara dwijati) tertutup jalannya. Wanita Bali hanya bisa menjadi
pemangku atau sulinggih jika mengikuti suaminya, statusnya sebagai pendamping. Ia baru boleh meneruskan peran itu jika
suaminya sudah meninggal. Atau ada syarat lain, yakni wanita Bali bisa menjadi sulinggih jika tidak kawin-kawin, ini pun hanya
terjadi di beberapa soroh.
Apakah ini ajaran Hindu? Tidak, ini adalah tradisi. Ajaran Hindu memuat begitu banyak sloka tentang kepemimpinan seorang
wanita, bahkan keagungan wanita disebut-sebut bisa menyelamatkan bumi. Di mana wanita tidak dihormati, di sanalah
ketentraman tidak ada, demikian sloka yang banyak disebut para tokoh agama.
Memang muncul satu dua tokoh wanita Bali di forum nasional. Misalnya, pernah ada politisi Ida Ayu Utami Pidada. Apakah ini
hasil pemberontakan dalam tradisi Bali? Tidak persis, karena Utami Pidada menjadi politisi yang cukup disegani pada
eranya,ternyata mewakili Jawa Barat, bukanmewakili Bali. Karena itu perjuangan Utami Pidada untuk wanita Bali hampir tak
ada.
Ibu Gedong Bagoes Oka (sudah tiada) bisa disebutkan hasil pemberontakan pada tradisi dengan mendirikan Ashram Canthi
Gandhi, sekarang ashram di Candi Dasa itu berubah nama menjadi Ashram Gedong Gandhi. Namun karena jalur Ibu Gedong
dalam bidang spiritual yang berbau intelektual, pengaruhnya juga tidak banyak mengangkat harkat wanita Bali. Pernah ada
gerakan yang dipelopori almarhum I Gusti Ngurah Bagus untuk mengangkat kehidupan wanita Bali, tapi dukungan wanita Bali
justru kurang kuat, sehingga gerakan itu mati sebelum beraksi.
Jadi sudah sejak lama wanita Bali tidak sadar dirinya tertinggal, tidak tahu kalau hak-hak mereka sebagai wanita Hindu banyak
yang dikebiri oleh adat. Apalagi kiprahnya dalam sosial politik. Belakangan memang sudah muncul LSM yang
memperjuangkan wanita Bali. Organisasi Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Bali juga sudah aktif, meskipun tidak seaktif
WHDI di luar Bali. Syukurpula, di kalangan keluarga sudah banyak yang berpikir maju, anak-anak wanita diperlakukan sama
dengan anak lelaki, terutama di sektor pendidikan. Bahkan, karena ketentuan adat yang tidak memberikan hak waris kepada
kaum wanita, banyak keluarga maju yang memberikan harta kepada anak perempuannya sebelum kawin, sehingga harta itu
menjadi miliknya.
Tapi, di pedesaan terutama di kalangan keluarga tak mampu, wanita Bali tetap anak kelas dua, kasihan juga melihat
kenyataan ini.Nah, ini yang harus diperjuangkan para caleg wanita itu, bagaimana membuat wanita Bali bangkit dan sejajar
dengan para lelaki. Jangan cuma menebar senyum di baliho. (*)
Peradilan Hindu
Pandita Mpu Jaya Prema
WACANA penting yang digulirkan saat ini di Bali adalah Otonomi Khusus. Draff Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus
itu konon sudah selesai, namun belum ada media yang memuatnya secara utuh, apa isi dari draff itu. Apakah Otonomi Khusus
ini akan terus digulirkan sampai ada hasilnya, minimal berhasil dibahas di pusat, entahlah.
Sebelum wacana Otonomi Khusus, pernah pula digulirkan wacana Peradilan Hindu. Ini pun sudah bertahun-tahun yang lalu,
tak jelas pula sampai di mana wacana itu. Mandeg atau diteruskan. Atau adakah Peradilan Hindu itu ada di dalam Otonomi
Khusus, tak jelas juga bagi publik. Mungkin tim yang menanganinya berbeda.
Saya ingin membahas satu persatu dulu, mulai dari yang lebih dulu diwacanakan, yakni Peradilan Hindu. Sesungguhnya apa
yang mendasari niat sebagian tokoh-tokoh Hindu untuk membuat Peradilan Hindu? Apakah karena maraknya pencurian
benda-benda sakral termasuk pratima di sejumlah pura? Apakah karena ada kekhawatiran tentang tindak pidana ini tidak akan
mendapatkan hukuman yang setimpal di pengadilan umum, mengingat hakim menjatuhkan vonis hanya atas nilai benda sakral
tersebut?
Ataukah wacana tentang perlunya Peradilan Hindu karena kenyataan umat Hindu mengalami kesulitan dalam mengurus
masalah akte perkawinan, perceraian, bagi waris dan sebagainya? Jadi masalahnya adalah urusan keluarga. Atau hanya
karena umat lain, yakni Islam, punya Pengadilan Agama (Islam), lalu umat Hindu ikut-ikutan memikirkan hal serupa. Atau
mungkin karena memang undang-undang dan sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia memungkinkan adanya peradilan
agama, lalu kita ngotot punya Peradilan Agama Hindu?
Mari kita coba mengulasnya dengan berpikir jernih dan berpijak pada bumi yang ada dalam situasi sekarang ini. Jangan kita
bermimpi di tahun 3.000 ketika semua umat Hindu paham susastra Hindu. Dengan berpola pikir situasi saat ini, kita kaji apa
mungkin membuat Peradilan Hindu itu.
Kalau kasusnya adalah masalah keluarga (perkawinan, perceraian, bagi waris, mengasuh anak dan di sekitar itu), kenapa
harus membuat Pengadilan Agama Hindu yang utuh dari pidana sampai perdata. Umat Islam saja hanya punya Pengadilan
Agama (Islam) untuk urusan keluarga, bukan dalam urusan pidana maupun perdata. Urusan di luar keluarga dipakai hukum
positif negara. Memang, hukum Islam (syariah) dipakai di Nanggro Aceh Darussalam, dan kita tahu betapa rumitnya masalah
itu. Harus ada polisi syariah, ada hakim syariah dan semacam KUHP Syariah.
Sekarang kalau kita membuat Pengadilan Agama terbatas seperti umat Islam, apakah tradisi dalam masyarakat Hindu itu
sudah seragam? Apakah ada perkawinan Hindu, jangan-jangan yang ada perkawinan adat Bali dan perkawinan adat Jawa
dan perkawinan adat Kaharingan.
Soal membagi waris saja sudah beda. Umat Hindu dari suku Bali tidak memberikan warisan kepada anak perempuan dengan
alasan anak perempuan tidak meneruskan kawitan. Padahal umat Hindu di luar Bali tidak membedakan anak lelaki dan anak
perempuan. Bahkan banyak umat Hindu asli Bali termasuk saya yang tetap memberikan warisan kepada anak perempuan.
Cuma untuk menghindari masalah adat, anak perempuan itu diberi waris sebelum dia menikah atau pada saat menikah, dan
umumnya tidak berupa tanah. Kalau pun berupa tanah, itu bukan tanah warisan leluhur.
Jadi, bagaimana kita membuat Pengadilan Agama Hindu kalau antara tradisi Hindu suku Bali beda dengan tradisi Hindu suku
Jawa, suku Kaharingan, dan sebagainya?
Sudah gugur secara teori untuk membuat Pengadilan Agama Hindu walau pun cuma terbatas pada urusan keluarga. Ini
disebabkan, dalam susastra Hindu tidak ada aturan rinci soal itu, bagaimana membagi waris, bagaimana mengasuh anak, dan
sebagainya. Kalau pun ini dipaksakan, akan lahir Pengadilan Agama Hindu versi Bali yang tak lain adalah Pengadilan Adat.
Atau Pengadilan Hindu khusus untuk Hindu di Bali. Kalau ini terjadi, jangan-jangan nanti masuk urusan manak salah, asu
pundung, nyerod, dan sebagainya yang justru bertentangan dengan HAM (hak asasi manusia) dan sudah dihapus.
Sekarang mari kita coba ke hal yang lebih besar, yakni urusan pidana. Punyakah kita hukum Hindu? Ada yang menyebutkan
punya, karena sudah ada berbagai kitab tentang itu, seperti misalnya Manawa Dharmasastra. Kerajaan Majapahit juga telah
mewariskan berbagai kitab tentang hukum Hindu, yang dipergunakan saat itu.
Katakanlah hal itu cukup, lalu bagaimana kita menyusun Kitab Undang Undang Hukum Pidana Hindu (KUHP Hindu) dan
bagaimana pula melengkapinya dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Hindu (KUHAP Hindu) yang sesuai
dengan zaman ini? Kalau itu bertabrakan dengan hukum nasional, dengan tuntutan zaman, apalagi dengan HAM, maka akan
terjadi kerumitan yang luar biasa. Kalau pun semua kesulitan itu bisa diatasi, orang bisa bebas menentukan apakah akan
menggunakan Hukum Hindu dengan Pengadilan Hindu atau menggunakan hukum negara dengan Pengadilan Negeri. Bisa
kosong Pengadilan Agama Hindu.
Kita belum berbicara soal siapa yang akan menyusun KUHP Hindu dan KUHAP Hindu itu, dan yang lebih penting lagi siapa
yang akan membiayai. Ini memerlukan perhatian yang serius kalau memang kita mau serius ke sana. Berbagai diskusi dan
seminar harus dilewati. Saya sangat pesimistis hal ini akan berhasil. Jangankan bicara masalah hukum yang akan memberi
sanksi kepada umat, membicarakan hal-hal yang membantu umat dari kehidupan sehari-hari saja sulit.
Jadi, membentuk Peradilan Hindu, masih jauh dari harapan. Untuk apa membuang-buang energi, lebih baik energi disalurkan
untuk pendidikan generasi penerus mengingat SDM Hindu paling buruk di antara SDM umat lain. Lebih baik energi disalurkan
untuk pencerahan kepada umat, agat umat tahu bagaimana mempraktekkan agama sesuai susastra Hindu.
Akan halnya berkaitan dengan hukum, kita didik hakim-hakim Pengadilan Negeri dengan nilai-nilai Hindu. Kita siapkan saksi
ahli Hindu untuk kasus-kasus yang menyerempet agama. Misalnya dalam hal pencurian pratima, sesuatu yang marak yang
menyebabkan ada ide tentang pendirian Peradilan Hindu. Kita yakinkan hakim, nilai sebuah pratima bukan dari harga
bahannya semata-mata, tetapi ritualnya yang jauh lebih mahal. Jika ini sudah menjadi kesepakatan, maka hakim di dalam
menjatuhkan vonis untuk pencuri pratima akan mempertimbangkan nilai itu, yakni nilai yang kasat mata dari bahannya dan nilai
yang tak terlihat dari biaya upacaranya. Cara-cara ini lebih logis mengingat kalau kita bicara soal Hindu, maka itu artinya
agama yang dipeluk umat manusia dari berbagai etnis, bukan hanya penduduk Bali.
Ini bedanya dengan Otonomi Khusus. Kalau soal otonomi, ini menyangkut penduduk suatu daerah, dalam hal ini Bali. Tapi
saya belum tahu, apa saja yang diatur dalam Otsus Bali ini karena penduduk Bali tidak semuanya Hindu, ada Muslim, Kristen,
Katolik, Buddha maupun Konghucu. Nanti saja kita bahas. (*)
kuburan di samping bawahnya. Jalan Meliling-Bantas ada sungai yang dikeramatkan dan tempat mengambil air suci di
bawahnya. Di jalan Bantas-Megati ada pura juga di bawahnya. Apakah Ida Bethara tidak cemar dan takut tidak suci lagi?
Diskusi sebelum jalan-jalan layang itu dibangun melibatkan sulinggih yang kesimpulannya tak ada kesucian yang berkurang
karena semuanya ada cara untuk menjaga kesucian itu. Justru kalau ada ritual atau iringan-iringan ritual melewati jalan itu, Ida
Bethara akan senang karena tidak macet. Sekarang ini, satu saja truck dari Jawa yang besar itu mogok, macetnya bisa
berjam-jam. Kalau ketiga jalan layang itu selesai, kemacetan yang parah bisa lebih teratasi.
Sebuah cerita ringan ketika saya muput di Desa Ungasan. Ketika saya dijemput di Griya Pedungan, jalan sekitar Benoa
macet. Supir menanyakan apakah saya boleh diajak melintas di underpass (jalan bawah tanah) di Simpang Siur. Saya
memancing dengan pertanyaan, kenapa tak boleh? Kan Ida Mpu membawa siwakrama sakral, nanti kesuciannya berkurang,
kata supir. Saya bilang lewat saja. Pandita itu kalau munggah yang pertama dilakukannya adalah membersihkan
(menyucikan) semua peralatan yadnya, lalu membersihkan diri, baru memuja.
Sekarang ini lagi banyak ada wacana pembangunan infrastruktur di Bali. Ada rencana membangun berbagai jalan, baik itu
jalan arteri sampai jalan tol. Ada rencana membangun jalan tol dari Kuta menuju Pekutatan lewat laut, ada pula rencana jalan
tol itu dari Soka berbelok ke Seririt di atas kebun dan sawah. Belum lagi ada wacana membangun rel kereta api keliling Bali.
Saya tak tahu apakah wacana itu tetap wacana atau ada realisasinya. Tapi yang pasti, cepat atau lambat, pembangunan jalan
itu pasti akan ada, jika tidak Bali akan krodit luar biasa dan macet total karena pertumbuhan mobil dan motor yang demikian
cepat tak diimbangi pembangunan jalan.
Jika demikian halnya dan untuk antisipasi dari sekarang, kenapa kita takut membangun jalan layang di Bali, yang dikaitkan
dengan kesucian? Saya kira tak masalah karena semua kesucian itu bisa kita jaga sesuai sastra yang ada, karena prinsip
dalam yadnya adalah tidak menjadi beban oleh berbagai hal. Yadnya tak boleh jadi beban karena kurangnya dana, karena bisa
memakai yadnya yang sederhana. Yadnya tak boleh jadi beban karena kondisi lingkungan, karena bisa diharmoniskan dengan
berbagai sarana ritual. Tentu saja tinjauan saya ini adalah dari sisi kesucian semata, bukan dari sisi keindahan, tata ruang,
maupun hal teknis lainnya. (*)
itu biasa saja sebagaimana Pura Jagatnatha yang ada. Pelinggih besar yang ada hanyalah Padmasana, lalu ada balai-balai di
kiri dan kanan mandala seperti wantilan. Halaman pura ditumbuhi rumput. Karena pura lagi digembok pagarnya saya tak bisa
masuk dan tak ada orang yang bisa memberikan informasi, apakah bangunan pura itu juga bertingkat ke bawah. Tapi dugaan
saya juga dugaan orang yang memberi informasi nampaknya tidak. Jika benar begitu, lembah yang menurun itu mungkin
ditimbun sebelumnya. Sungguh kasihan, kemiringan itu tak dimanfaatkan untuk ruangan sebagaimana empat rumah ibadah
tetangganya. Jadi pura hanya satu lantai dan sepenuhnya tempat suci. Di mana umat Hindu belajar agama, di mana ruang
diskusi, di mana kamar-kamar sulinggih atau pemangku, dan yang penting di mana kamar mandi dan WC? Nampaknya tidak
ada. Di tempat parkir depan pura juga tak ada bangunan itu. Pura Jagatnatha ini seperti dibangun tanpa konsep pura umum.
Yang memprihatinkan, menurut masyarakat di sana, Pura Jagatnatha ini sering kesepian, tidak seperti tempat ibadah untuk
umat Buddha, Kristen, Katolik dan Islam di sebelahnya. Yang biasa sembahyang ke sana hanyalah karyawan BTDC (Bali
Tourism Development Corporation) yang mengelola kawasan Nusa Nusa dan umat Hindu yang kost di sekitar itu. Memang,
kompleks Puja Mandala ini dibangun oleh BTDC dan tanahnya pun milik BTDC. Semuanya hak pakai dalam waktu tak
terbatas.
Kenapa Pura Jagatnatha Nusa Dua sering sepi? Ini bisa dimaklumi. Masyarakat Hindu di Bali tak terbiasa dengan Pura
Jagatnatha. Pura Jagatnatha hanya tempat memuja Tuhan, bukan memuja leluhur dan bukan pula memuja secara khusus
Istadewata (seperti misalnya Pura Trikahyangan tempat memuja Brahma, Wisnu dan Siwa). Sehingga Pura Jagatnatha tak
punya pengempon yang emosional secara sosial kemasyarakatan. Masyarakat Desa Adat Bualu tentu tak mau menjadi
pengempon karena ini akan menjadi beban. Beban memelihara dan beban yadnya kalau ada piodalan dan hari raya
keagamaan.
Pura Jagatnatha berkembang di luar Bali karena masyarakatnya tidak tersekat oleh keturunan atau klan, dan tidak pula
mengelompok di sekitar pura sehingga merupakan suatu pemukiman yang khusus. Di Bali kota yang memiliki Pura Jagatnatha
adalah Denpasar, Negara, Singaraja, Amlapura. Saya belum mendengar di kota lain. Dan saya pun tak tahu bagaimana
mereka mengelola pura itu, siapa pengempon intinya, apakah ada pemangku yang khusus dan siapa yang mengangkatnya.
Pura seperti ini memang penting untuk masyarakat urban, terbukti Pura Jagatnatha Denpasar selalu ramai saat Purnama atau
hari raya lainnya. Yang meramaikan adalah pelajar atau penduduk yang memang tak bisa pulang ke desanya untuk
bersembahyang.
Pura Jagatnatha harus dikelola secara khusus dan ada semacam Badan Pengelola atau Badan Otorita. Pura ini harus menjadi
laboratorium Hindu tempat orang belajar agama, seminar dan sebagainya. Di Pura Jagatnatha Denpasar seingat saya ada
malam sastra pada hari-hari tertentu. Pura Jagatnatha Nusa Dua harus dikembangkan dengan cara itu. Kalau cuma untuk
bersembahyang, masyarakat sekitarnya sudah banyak punya pura. Pura itu harus dijadikan sarana meningkatkan SDM Hindu
seperti masjid, gereja dan vihara di sebelahnya.
Satu contoh Pura Jagatnatha yang dikelola dengan bagus adalah Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta. Setelah dibentuk
Badan Otorita pura yang dulu sepi itu langsung ramai. Badan Otorita menata pura, di jaba tengah dibangun wantilan yang bisa
untuk pentas kesenian, malam sastra dan diskusi keagamaan. Di jaba luar dibangun ruang-ruang sekolah (dari usia SD sampai
mahasiswa), ada aula untuk diskusi sosial, ada kamar untuk pendeta (sulinggih) dan ada warung-warung tertata rapi. Tentu
ada KM/WC yang bagus bahkan ada tempat untuk cuci muka dan tangan sebelum sembahyang. Ketika saya memimpin
Forum Cendekiawan Hindu, pura ini dijadikan sekretariatnya dan sekaligus tempat pertemuan. Begitu juga pemuda Hindu,
wanita Hindu dan Suka Duka Banjar, semua terpusat di sini.
Pura Jagatnatha Nusa Dua bisa dikelola seperti itu. Kumpulkan karyawan yang bekerja di lingkungan Nusa Dua dan bentuk
Badan Otorita. Jadikan pura ini laboratorium Hindu, tempat belajar dan seminar keagamaan. Tentu dengan melengkapi
sarana penunjang seperti KM/WC yang bisa mengambil sedikit lahan parkir. Wantilan digunakan untuk serba guna. Ya, sarana
yang terbatas, apa boleh buat, dibandingkan kesepian padahal Pura ini jadi tuan rumah di Komplek Puja Mandala yang ada
di Bali dengan penduduk mayoritas Hindu. (*)
Kesucian Besakih tak akan ternoda kalau kita meniru Katedral. Juga meniru masjid-masjid, di mana saat sholat Jumat tak
boleh ada kunjungan turis. Nanti di Besakih diperlakukan pula, saat ada Panca Wali Krama dan sejenisnya Pura Besakih
ditutup untuk wisatawan. Besakih jadi semakin suci (dibandingkan sekarang) dan semakin tertata rapi jika Badan Otorita mau
menata lingkungannya. Dana KSPN bisa ditarik untuk ini. Tapi kalau KSPN sudah ditolak, ya sudahlah, kita akan tetap melihat
Besakih yang semerawut seperti sekarang, pedagang merangsek sampai lorong-lorong dan turis seenaknya masuk Penataran
asal memakai kain. Kita kekurangan dana mengelola tempat suci ini jika hanya mengandalkan Pemda. Mengurusi sampah
upacara saja sulit. (*)
protes sampai batal. Yang jelas detail KSPN tak bersinggungan dengan itu.
Sekarang dengan alasan Pura Besakih dikhawatirkan tak suci lalu KSPN Besakih ditolak, maka benar pula ide Gubernur
Mangku Pastika, sebaiknya semua KSPN ditolak. Siapa yang menjamin Mangku Pastika tak diobok-obok dengan kesucian
Pura Samuan Tiga, Pura Uluwatu, Pura Peed dan seterusnya? Bukankah itu sama-sama dalam kawasan KSPN?
Dan jika Bali menolak KSPN, pemerintah pusat pasti tidak keberatan. Tak perlu sampai class action, pemerintah pusat akan
mengalihkan dana milyaran itu untuk memasukkan KSPN lainnya. Seperti diketahui, ketika penentuan KSPN ini, Pemda Jawa
Tengah protes keras kenapa Bali yang kecil itu mendapat 11 KSPN. Beberapa KSPN yang diusulkan Jawa Tengah gagal
seperti Demak-Kudus dan sekitarnya (ada masjid Demak dan Masjid Kudus yang antik), Tawangmangu-Candi Cheto dan
sekitarnya. Apalagi Kraton Solo dan sekitarnya dicoret pula, padahal Kraton Yogya masuk dengan KSPN No. 52 Yogyakarta
Kota dan sekitarnya dan di Jakarta ada KSPN No. 14 Kota Tua Sunda Kelapa dan sekitarnya.
Ke 88 KSPN yang jadi Rencana Induk Kepariwisataan Nasional 2010-2025 ini menjadi rebutan ketika disusun prioritasnya,
karena semua provinsi berlomba-lomba ingin dapat jatah kue pariwisata itu. Sebelum berstatus KSPN ada disebut KPPN
(Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional) dan jumlahnya mencapai 222 buah. (Lihat lampiran II PP No. 50). KPPN Bali
semua masuk ke KSPN, sementara daerah lain termasuk Jawa Tengah masih banyak dalam status KPPN. Tunggu giliran
2025-2040, ini kalau kebijakan pemerintah tetap setelah ganti presiden. Beralasan kalau Bali mendapat 11 KSPN karena
sumbangan Bali ke pemerintah pusat dari hasil pariwisata terbesar dibanding provinsi lain. Nah, kenapa uang itu ditolak?
Bukankah selama ini kita mengeluh, Bali menyumbang banyak uang dari pariwisata kenapa tak dikucurkan ke daerah? Pas
dikucurkan untuk pengembangan pariwisata justru ditolak. Aneh bin ajaib hanya dengan alasan kesucian pura yang sejatinya
tak pernah disinggung dalam KSPN.
Tapi, saya netral dan cenderung setuju KSPN ditolak, jika berpikir tentang diri sendiri. Pertama, saya tinggal di desa petani kopi
yang tak bersinggungan langsung dengan turis. Kedua, setelah menjadi sulinggih tentu menuntut kesucian pura, jangan
sampai saya disebut ikut menjual pura untuk turis. Ketiga, saya tak ingin Gubernur Bali (siapa pun yang menjadi gubernur
karena KSPN ini periode 15 tahunan sementara setiap 5 tahun ada Pilkada) diobok-obok dengan dalih kesucian pura. Apalagi
didomplengi masalah politik. Cuma, perlu dipikirkan masa depan Bali, apakah kita memang tak mau mengembangkan lagi
pariwisata dan justru menolak dana yang seharusnya memang milik kita? Adakah kita sudah kaya atau sebaliknya: belog
ajum? Saya sudah uzur, tak suka ribut-ribut lagi, kaum mudalah yang memikirkan serta waktu yang menjawab: siapa yang
membangun Bali dan siapa yang menjegal dana pembangunan untuk Bali
. (Penulis saat walaka bernama Putu Setia, pernah menjabat Ketua Himpunan Penulis Pariwisata dengan berbagai
penghargaan).
Polemik tentang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berujung pada niat Gubernur Bali Made Mangku Pastika
untuk membatalkan seluruh KSPN yang ada di Bali. Bahkan diteruskan dengan wacana untuk menutup tempat suci pura
sebagai obyek wisata, agar kesuciannya tidak ternoda. Sementara Ketua Komisi I DPRD Made Arjaya mengemukakan
perlunya pembentukan suatu tim untuk membahas dan menyikapi KSPN, supaya tidak ditunggangi masalah politik.
Apakah KSPN sarat dengan muatan politik? Saya tak berani bilang ya atau tidak. Tapi fakta yang ada di lapangan, di kota
Denpasar ada spanduk dari PDI Perjuangan yang isinya menolak Pura Besakih dijadikan KSPN meski pun dengan embelembel menghormati keputusan Sabha Pandita PHDI. Lalu pernah ada pernyataan dari seorang anggota DPD wakil Bali yang
akan berjuang ke pusat untuk membatalkan KSPN Besakih. Kemudian pertemuan-pertemuan yang diadakan selama ini
kebanyakan yang berbicara adalah aktifis, meski pun mengatas-namakan akademisi, agamawan, atau tokoh masyarakat.
Bermuatan atau ditunggangi politik, itu sah-sah saja. Saat ini adalah tahun politik, kurang dari enam bulan lagi Pemilu legislatif.
Partai politik dan para calegnya, termasuk calon DPD perlu panggung. Salah satu panggung yang paling populer saat ini
adalah menyerang apapun kebijakan pemerintah. Media massa juga rajin memberitakan setiap apa pun yang berlawanan
dengan pemerintah. Kalau tidak begitu, kenapa KSPN yang diputuskan tiga tahun lalu baru sekarang diributkan? Bukankah
tiga tahun lalu itu Gubernur Bali dan Wakilnya masih didukung PDI Perjuangan? Jangan-jangan karena wakil gubernur jarang
masuk kerja, lalu gubernur menyerahkan urusan ini kepada dinas terkait, maka KSPN luput dari perhatian. Tetapi memang,
KSPN itu adalah rencana induk kepariwisataan nasional, suatu kebijakan pusat untuk jangka waktu 15 tahun, dari 2010
sampai 2025.
Lagi pula KSPN itu kebijakan nasional yang sama sekali tak mengganggu urusan di daerah, karena ini arahan strategis.
Pelaksanaan pembangunannya diserahkan daerah dengan berbagai aturan, sementara dananya disediakan pusat (APBN).
Apakah yang menolak KSPN sudah membaca PP No. 50 tahun 2011 dengan lampiran II dan lampiran III yang tak terpisahkan
dari PP? Jangan-jangan yang dibaca hanya PP tanpa melihat lampirannya atau ada yang disembunyikannya. Karena ada
tokoh yang menyebutkan, jika KSPN Besakih tetap dilaksanakan bisa jadi dibangun lapangan golf dan hotel atau malah kafe.
Bahkan ada profesor yang menyebutkan Besakih dan sekitarnya itu harus jelas di mana wilayah sekitarnya. Ini pasti karena
tak dibaca lampirannya yang rinci. PP itu pedoman umum untuk seluruh KSPN yang berjumlah 88 buah, jadi memang ada
beberapa fasilitas yang dibangun, tetapi rincian per KSPN ada dalam lampiran III.
Agar masyarakat Bali tahu, mari kita kupas satu persatu 11 KSPN yang ada di Bali. Kita mulai dari KSPN yang jadi masalah,
KSPN No 84 BesakihGunung Agung dan sekitarnya. Wilayah KSPN ini tak seberapa luas, sekitar pertigaan jalan ke Besakih
- Pura Dalem Puri dan langsung ke atas gunung. Jangankan kota kecamatan Rendang, Desa Menanga dan Sebudi saja tak
seluruhnya kena. Hanya sebagian kecil. Daya tarik yang mau disasar disebutkan: bentang alam, flora-fauna, dan situs
sejarah/tempat ibadat. Hanya tiga itu, tak ada sarana olahraga, hotel, restoran dan sebagainya. Adapun target yang dibenahi
cuma dua: jalan kolektor dan jalan lokal.
Dari sini bisa dibaca, dalam rencana pembangunan pariwisata nasional itu, yang ditata adalah flora dan fauna dalam arti luas
menyelamatkan alam atau hutan lindung di atas Pura Besakih dengan membangun jalan-jalan lokal. Pura Besakih tak diutakatik tapi jadi target untuk dilihat wisatawan. Bahwa sebatas mana boleh dilihat, itu urusan pengempon pura atau diatur pemda
tentu dengan mempertimbangkan kesucian pura. Bagaimana bisa ada kekhawatiran dibangun hotel atau lapangan golf? Di
mana lahannya kalau hutan di atas Pura Besakih terjal dan hutan lindung? Nah, kalau KSPN ini ditolak dengan alasan
kesucian Pura Besakih terganggu, maka semua KSPN di Bali harus ditolak. Gubernur Mangku Pastika benar dalam hal ini,
batalkan saja semuanya. Dibandingkan akan diobok-obok lagi, kenapa cuma Pura Besakih yang dibebaskan dari KSPN,
kenapa pura lain tidak? Repot kan?
Mari kita lihat KSPN yang lain mulai dari urutan angka terkecil. Dari 88 KSPN di Indonesia, nomor 1 adalah KintamaniDanau
Batur dan sekitarnya. Saya tak tahu kenapa ini nomor satu, bisa saja kita menduga karena Jero Wacik yang saat itu Menteri
Pariwisata dan Kebudayaan ingat kampung halamannya. Sekali lagi itu dugaan yang dipas-paskan, tapi apalah arti nomor
urut. Berapa luas KSPN ini? Membentang dan mengitari Danau Batur. Pura besar yang ada di dalam KSPN ini adalah Pura
Penulisan, Puru Ulun Danu Batur, Pura Ulun Danu Songan, Pura Jati, lalu puluhan pura kecil. Wilayahnya dari Penelokan-Bukit
Penulisan-Desa Trunyan-Desa Songan. Lalu apa target disasar? Ada 3 yakni: bentang alam, adat tradisi, situs sejarah/tempat
ibadah. Di sini fauna-flora justru tak masuk target, mungkin hutannya tak banyak. Tetapi ada target adat tradisi dan itu pasti
ingin mempertahankan kelestarian budaya di Trunyan dan sekitarnya. Lalu apa yang dibangun? Sama dengan di Besakih,
yaitu jalan kolektor dan jalan lokal namun ditambah jalan arteri kemungkinan memperlebar jalan Kedisan-Trunyan yang
sempit dan sangat terjal. Tak ada dibangun hotel atau sarana olahraga.
Lanjut KSPN No. 41 KutaSanurNusa Dua dan sekitarnya. Ini KSPN terbesar di Indonesia. Seluruh Kodya Denpasar masuk
sampai Badung Selatan. Pesisir utaranya dari Pantai Batubeling. Tentu banyak pura di sini, terbesar adalah Pura Uluwatu dan
Pura Sakenan. Daya tarik sama dengan yang lainnya ditambah wisata bahari. Sarana yang dibangun sama dengan yang lain,
ditambah pengembangan pelabuhan laut dan udara karena di sini ada Benoa dan Bandara Ngurah Rai. Apakah dibangun
hotel, lapangan golf, sirkuit F1, itu tak ada tercantum dalam KSPN. Artinya, kalau sarana itu dibangun urusan lokal, tergantung
izin pemerintah daerah. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) PP 50 itu disebutkan: Pembangunan Daya Tarik Wisata dilaksanakan
berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen
atraksi untuk menciptakan Daya Tarik Wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk
menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber dayanya.
Jadi, KSPN ini jiwanya sangat memperhatikan kelestarian alam dan menjunjung tinggi nilai agama.
(Bersambung)
Sudah lama Bali dijadikan daerah tujuan wisata (DTW). Bahkan dalam catatan sejarah pariwisata Indonesia, Bali termasuk
DTW yang paling utama, jadi ikon dari kepariwisataan di Indonesia. Sejak dimasukkan sebagai DTW, konsep Bali dalam
industri tanpa asap ini adalah: pariwisata budaya. Yang dijual kepada wisatawan adalah produk budaya. Dan orang pun tahu,
produk budaya itu lahir dari agama yang dianut mayoritas orang Bali. Masihkah itu kita pegang sampai saat ini?
Bagi pelancong manca negara, Bali adalah daerah tujuan wisata yang mempesona. Pada tahun 1998 majalah pariwisata
terkenal, Conde Nast Traveler, memberi predikat The Best Island untuk Bali, menyisihkan "pulau pariwisata" lainnya seperti
Cheju, Hawaii, Kreta, Tonga, Maladewa, Phuket dan sebagainya.
Di tahun 2000 terjadi penurunan peringkat. Majalah itu kembali membuat penilaian serupa. Hasilnya Bali bukan lagi The Best
Island. Bali hanya menduduki peringkat ke empat setelah Maui, Kausi dan Fraser. Namun, hal ini adalah imbas kerusuhan di
Jakarta dan berbagai daerah yang ternyata ada pengaruhnya buat Bali.
Setelah pelaku pariwisata di Bali sekuat tenaga bekerjasama untuk memberikan citra ke luar bahwa Bali tetap daerah yang
aman-aman saja, keadaan lebih baik. Misi-misi budaya Bali tetap dikirim ke luar negeri untuk mengkampanyekan Bali yang
aman. Tentu saja, misi budaya itu dibarengi dengan kampanye pariwisata khas jargon Bali: pariwisata budaya.
Karena yang dijual budaya, pada awalnya tidak seluruh pulau Bali dijadikan daerah penginapan wisatawan. Bali Selatan, yang
dulu dikenal sebagai daerah gersang berbukit tandus, bagai disulap untuk dijadikan "kandang turis". Turis-turis tidak dianggap
perlu dibangunkan fasilitas penginapan atau restoran di daerah lain. Ini untuk menjaga tata ruang Bali agar keindahan alam
Bali tidak terganggu. Keindahan alam dan budaya ini adalah daya tarik Bali yang sudah disepakati sejak lama dan sudah diatur
dalam peraturan daerah mengenai Pariwisata Budaya. Apalagi, Bali pulau yang sempit, ke ujung mana pun pergi, toh bisa
pulang lagi menginap di pemukiman yang sudah dibangun di Bali Selatan itu. Kalau sarana wisata seperti hotel, restoran dan
sebagainya dibangun pula di daerah lain, maka lahan Bali berkurang dan berkurang pulalah sarana aktifitas rakyat Bali dalam
melakukan aksi budayanya.
Kalau begitu, bagaimana kue (hasil pariwisata) ini dikelola sehingga dirasakan oleh seluruh rakyat Bali? Maka dibuatlah
aturan dan kesepakatan menata ruang Bali itu. PHR (Pajak Hotel dan Restoran) yang dipungut Kabupaten Badung
separohnya dibagikan kepada tujuh kabupaten (waktu itu Kota Denpasar masih menjadi wilayah Badung) secara merata. PHR
ini sebelumnya disebut Pajak Pembangunan I. Dengan uang itu kabupaten yang lain menata daerah tujuan wisatanya tanpa
harus mendirikan hotel dan restoran. Saat itu lantas dikenal ada istilah daerah tujuan wisata dan daerah pemukiman wisata
untuk Bali.
Namun, belakangan muncul ketidak-adilan karena Kabupaten Badung makin tak transparan dan mulai muncul ketidak-puasan
di kabupaten yang lain. Ada kesan kabupaten lain seperti mengemis minta bagian PHR. Kabupaten di luar Badung bergolak
pelan-pelan. Dipelopori oleh Kabupaten Tabanan dengan kawasan Tanah Lot yang berdiri Nirwana Bali Resort waktu itu milik
Aburizal Bakrie -- lalu Kabupaten Gianyar dengan kawasan Ubud, dan diikuti kabupaten lain dalam skala kecil-kecilan.
Kabupaten Badung justru melawan dan mereka kemudian hanya mau membagi 30 persen hasil PHR yang dipungutnya untuk
disumbangkan ke kabupaten yang lain.
Otonomi daerah yang berbasis di kabupaten kemudian memporak-porandakan kesepakatan pembagian kue pariwisata ini.
Otonomi daerah membuat setiap kabupaten harus bersaing menghimpun sendiri PAD (penghasilan asli daerah). Seluruh
kabupaten di Bali berlomba-lomba membangun fasilitas untuk wisatawan, mulai dari hotel sampai restoran. Ini membuat carutmarut wajah Bali. Di kawasan Kintamani restoran tumpang tindih sampai menyapu keindahan alam. Hal serupa terjadi di
kawasan Bedugul, juga di Ubud. Tata ruang Bali mengenai kawasan wisata sudah tidak ada giginya lagi.
Bukan saja hotel dan restoran dibangun, objek wisata pun tak cuma terpaku pada budaya. Ada lapangan golf, taman safari,
kebun binatang dan sebagainya, yang tak dikenal dalam khasanah seni budaya Bali. Bahkan pernah ada ide membangun
sirkuit F 1 di Jembrana. Tata ruang Bali bisa kacau balau jika hal seperti ini tak bisa dikendalikan, karena semuanya akan
mengambil lahan Bali yang sempit. Syukurlah kemudian ada Perda Tata Ruang dan bahkan jauh sebelumnya Parisada Hindu
Dharma Pusat mengeluarkan keputusan tentang Kawasan Suci Pura. Tempat persembahyangan umat Hindu dilindungi
wilayah kesuciannya, meski pada saat keputusan itu lahir, beberapa pura sudah tak memiliki wilayah suci sebagaimana yang
diatur.
Pura dalam konsep pariwisata budaya ini juga tak diatur secara jelas, apakah pura sebagai tempat wisata atau bukan.
Kesucian pura diatur oleh pengemong setempat (meski juga lewat campur tangan Pemda) bahwa wisatawan tidak dibolehkan
masuk kejeroan (mandala utama), jika tidak bersembahyang. Jadi status pura itu abu-abu dan itu sebabnya turis tak bisa
dipungut karcis masuk ke pura. Tapi akibatnya, lihat di Pura Besakih. Turis sering mengganggu di lorong-lorong dan pelataran
pura, bahkan ada kalanya nyelonong masuk ke jeroan, tergantung yang mengajak.
Sementara itu pemerintah pusat membuat istilah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN). Ini adalah strategi
pembangunan di kawasan wisata, yang sejatinya tak ada berkaitan dengan kesucian pura, bahkan apa yang dibangun di
kawasan ini tetap mengacu kepada ketentuan lokal termasuk Bhisama Kesucian Pura PHDI, Perta RTRW dan berbagai jenis
aturan di daerah. KPSN ini sekarang dipermasalahkan karena hampir semua KPSN di Bali ada pura di dalamnya. Bisa
dimaklumi karena Bali pulau seribu pura.
Padahal masalah mendasar yang perlu dirumuskan ulang adalah apakah Bali tetap menjual pariwisata budaya? Atau malah
pertanyaan: apakah Bali akan tetap dipertahankan sebagai daerah tujuan wisata? Atau tujuan wisata terbatas? Atau kembali
bertumpu pada pertanian, meski sawah dan kebun sudah enyempit? Semuanya punya konsekwensi dan ada korban. Tinggal
mengkaji korban mana paling minim.
Namun di atas segalanya, otonomi khusus untuk Bali sehingga masalah budaya dan pariwisata bisa diatur di satu tempat,
lebih penting diperjuangkan ke pusat dibandingkan KPSN yang tak ada kaitannya dengan kesucian pura. (*)
Moralitas di era ini sudah sedemikian merosot. Beberapa orang mengkaitkan dengan zaman yang disebut Kali Yuga, zaman
penuh kegelapan. Kalau kita telusuri perjalanan zaman, Kali Yuga itu sudah dalam rentang waktu yang sangat panjang, ada
yang menyebut dimulai pada saat penobatan Raja Parikesit, cucu Raden Arjuna. Kalau sepanjang itu zaman kegelapan,
kenapa di masa lalu pada saat Kerajaan Singosari, Majapahit, Kerajaan Gelgel dan seterusnya, moralitas masyarakat masih
tinggi dan kejujuran masih dipelihara dengan baik? Bukankah sama-sama di zaman Kali Yuga?
Kegelapan selalu menyelimuti manusia. Beruntung agama Hindu memiliki hari yang punya siklus tertentu untuk berperang
melawan kegelapan, berperang melawan adharma, yang di masing-masing wilayah diberi nama berbeda. Di India dirayakan
dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Lalu di bulan Oktober (Kartika) dirayakan
dengan nama Nawa Ratri. Umat Hindu etnis Bali menamainya Hari Galungan warisan yang sejatinya sudah dibawa dari
Jawa, yang siklusnya juga dua kali setahun, namun dalam tahun wariga, yakni enam bulan wariga atau 210 hari.
Kalau saja umat Hindu konsisten dalam setiap siklus itu mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma, maka seharusnya
moralitas itu tetap terjaga. Kalau saja semakin banyak umat merayakan Galungan dengan benar sesuai tatwanya, kita tak
khawatir akan kemerosotan moral. Mari kita mulai dari pribadi, lingkungan keluarga dan menular ke tetangga sampai desa dan
seterusnya. Jagalah moral dengan merayakan Galungan. (*)
sudah turun-menurun, tanpa peduli lagi apakah tradisi itu benar atau salah. Karena itulah orang beryadnya dengan besarbesaran, berbagai kue dibuat yang pada akhirnya lungsuran-nya tidak dimakan dan diberikan babi. Artinya babi yang
menerima prasadam yang utama itu.
Beryadnya yang tidak mahal dan sederhana, bagaimana ukurannya? Bagaimana cara mengurangi banten? Apakah daksina
buah kelapanya boleh dipotong-potong dan telurnya separo saja? Tentu bukan itu maksudnya. Kelapa dan telur dalam daksina
itu adalah lambang, kalau dipotong-potong berarti sudah menyimpang dari lambangnya. Baju jas kalau lengannya dipotong
tentu tak lagi bernama jas. Yang dilakukan adalah kalau memang tak mampu membuat yadnya dengan banten besar seperti
rangkaian bebangkit, misalnya, buatlah yang kecil, cukup ayaban tumpeng. Analognya, kalau tak mampu membeli jas, pakai
saja baju batik, toh tetap rapi.
Beryadnya itu ukurannya perasaan hati tetapi juga disesuaikan dengan kondisi, karena perasaan bisa dikendalikan. Pernah
saya melakukan Manusa Yadnya di desa dan saya ditanya kenapa melakukan yadnya yang besar, memakai topeng sidakarya,
mendatangkan sekehe shanti, menjamu pemuka adat dan pemangku. Bukankah saya mengajurkan yadnya yang sederhana?
Jawaban saya: Bukankah saya memiliki perangkat gong, punya grup topeng, punya sekehe shanti, kalau itu tidak
dipertontonkan untuk apa saya membina kesenian itu? Lalu kapan kesenian itu tampil kalau tidak ada yadnya?
Begitu juga istilah menjamu warga dan pemuka adat. Kapan saya bisa bersosialisasi dengan pemuka adat kalau tidak dalam
yadnya? Artinya kondisi sosial itu penting. Tapi kalau tidak punya sarana dan masih banyak kebutuhan dalam hidup, untuk apa
beryadnya besar-besaran dengan cara berhutang menggadaikan kebun? Janganlah agama Hindu dijadikan alasan untuk
beban dalam hidup.
Mari kita menyongsong hari raya Galungan dan Kuningan dengan yadnya yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing, tak
perlu mahal dan besar-besaran kalau masih ada kebutuhan lain yang lebih penting, misalnya, menyekolahkan anak. (*)
kebajikan, hendaknya di siang hari ilmu itu diamalkan. Kita diajarkan lewat ephos Mahabharata bagaimana Pandawa dihukum
dan menderita karena main judi. Nah, amalkan itu dengan menjauhi judi, jangan lagi main ceki atau ke tempat sabungan ayam.
Malamnya ikut pesantian mendengarkan berbagai nasehat, siangnya masih mabuk-mabukan minuman keras, jelas nyaplir.
Bertahun-tahun mempelajari pencangkokan tanaman di laboratorium, misalnya, sekarang amalkan di lapangan untuk
kesejahtraan petani. Berbulan-bulan belajar agama dan menghafal mantra, sesekali praktekkan ketika ada piodalan di pura.
Kepandaian yang hanya di simpan untuk diri sendiri tak ada manfaatnya.
Namun, dalam pengamalan ilmu itu jangan lupa pada iman, pada srada, pada ajaran luhur agama. Srada itu adalah dasardasar ajaran agama, jadi jangan sampai mengamalkan ilmu ini menyimpang dari ajaran agama. Kita tahu ilmu merakit bom,
tetapi dalam pengamalannya melanggar ajaran agama, bom diledakkan untuk membuat kerusuhan, bukan di medan perang.
Kita tahu dari ilmu geologi bahwa di Bedugul tersimpan sumber panas bumi. Kita mau amalkan, kita bor bukit Bedugul itu. Ini
salah besar jika di kawasan itu ada tempat-tempat suci. Kita tahu ilmu ekonomi, minuman keras disukai turis yang berkunjung
ke Bali dan kita menguasai ilmu membuat minuman keras itu. Lalu kita amalkan, kita buat pabrik minuman keras di pedesaan
yang pemasarannya hanya sebagian kecil kepada orang asing. Ini salah besar karena agama Hindu melarang minuman keras,
apalagi pabriknya di tengah-tengah pemukiman masyarakat.
Contoh-contoh ini bisa diperpanjang bagaimana ilmu, amal, dan iman harus selaras. Penyelarasan ini yang kurang sekarang
atau setidaknya sudah luntur. Coba bayangkan seorang pengajar di sekolah tinggi agama bisa melakukan korupsi, padahal
setiap hari kitab agama dijadikan acuan. Ada pemangku yang masih suka metajen, bahkan ada yang ikut terlibat dalam
pencurian pratima. Anggota DPRD di Bali masih banyak yang suka main ceki dengan taruhan besar, padahal ilmu yang
mereka dapatkan seharusnya sudah cukup untuk dijadikan panutan masyarakat. Hakim yang seharusnya mengadili ternyata
tidak adil karena terpengaruh suap.
Kenyataan yang kita lihat sekarang ini justru mereka yang berilmu (dalam hal ini berpendidikan tinggi) yang paling banyak
melakukan korupsi. Jadi untuk apa ilmu itu kalau digunakan untuk menyengsarakan rakyat? Marilah umat Hindu menjadi
pelopor dari pengamalan ilmu yang berdasarkan iman atau srada. Kita sudah mewarisi keyakinan yang luhur, di mana kita
memuja Dewi Saraswati sebagai dewinya ilmu pengetahuan dan kita pun memuja Ganesha sebagai Dewa Kebijaksanaan.
Gunakan ilmu secara bijaksana untuk kepentingan umat. (*)
hari raya keagamaan? Buah dibeli di pasar swalayan. Ada buah peer dari Cina, apel dari Amerika atau New Zeland, jeruk dari
Bangkok. Kalau pun bukan buah impor semuanya buah dari luar Bali, jeruk Pontianak, apel Malang, pisang dari Jember dan
sebagainya. Dengan alasan lebih mudah dengan cara membeli dan bentuknya lebih indah, maka buah lokal menjadi
dikesampingkan. Kalau begitu halnya, untuk apa ada Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, untuk apa lagi pohon-pohon buah
di Bali diberikan sesajen? Bukankah berarti sesajen itu lebih tepat kalau dihaturkan di pasar swalayan?
Mari kita introspeksi atau istilah Bali mulat sarira. Ada yang salah dalam menerapkan ajaran agama yang prakteknya sudah
diwariskan para leluhur kita di masa lalu. Leluhur kita sejak menanam pohon, tumbuh besar, berbuah, semuanya dalam
rangkaian ritual. Sejak menanam itu yadnya sudah mulai dipersembahkan. Di dalam berbagai ajaran Hindu ada disebutkan,
persembahkanlah hasil tanaman dari bumi di mana tanah itu dipijak, di mana keringat membasahi ibu pertiwi. Sekarang kita
sudah menyia-nyiakan buah dari ibu pertiwi Bali hanya karena disebut kurang indah dilihat. Kita tak lagi menghaturkan nenas,
sotong, juwet tetapi buah-buah dari pasar swalayan, bahkan yang masih terbungkus plastik pula jangan-jangan masih ada
label harganya. Lalu kalau ditambah dengan janur dari Sitobondo atau janur Sulawesi dan bunga dari Banyuwangi, ayam atau
itiknya dari Probolinggo maka lengkaplah sudah yang dipersembahkan itu datang dari bumi yang bukan kita pijak. Apalagi
pada hari Galungan, babi yang disembelih pun sudah babi putih hasil peternakan di Jawa, padahal ada hari Tumpek Kandang
di mana hewan di Bali pun diberikan sesajen.
Sebaiknya kita menyadari kesalahan ini dengan berangsur-angsur memenuhi kebutuhan dari dalam Bali sendiri terutama
dalam kaitan dengan yadnya. Pikiranpun jadi hening dan tidak was-was karena yakin buah dan bunga yang kita pakai
persembahan itu tumbuh di tempat suci, bukan di tempat yang kotor. Maka ajakan Gubernur Mangku Pastika untuk kembali
menanam pohon buah, kembali beternak ikan dan hewan lain, adalah ajakan yang layak diikuti. Setiap halaman yang kosong
sebaiknya ditanami pohon, kalau tak memungkinkan pohon berbuah, tanamilah dengan bunga. Kita sudah kehilangan ritual
ngelinggihang Hyang Nini karena padi di sawah sudah menjadi gabah dan tak bisa diangkut ke lumbung, lagi pula lumbung
itu sudah tidak ada. Apakah suatu saat kita akan kehilangan ritual Tumpek Uduh karena tidak ada lagi pohon berbuah yang
dijadikan persembahan yadnya?
Seyogyanya para pemerhati dan pegiat lingkungan ikut mengambil peran dalam hal ini, karena persoalannya bukan saja dalam
kaitan yadnya, tetapi nilai ekonomisnya pun tinggi karena kebutuhan itu ada. Dibandingkan aksi demo terus-menerus, sesekali
mari ajak warga untuk menanam pohon, entah itu pohon yang menyangga lingkungan dalam pengertian melestarikan alam,
maupun pohon berbuah dan berbunga yang dibutuhkan untuk ritual yadnya. (*)
Membangun Buleleng
Hanya sehari setelah dilantik sebagai gubernur untuk masa jabatan yang kedua, I Made Mangku Pastika langsung melakukan
kunjungan kerja ke Kabupaten Buleleng. Sejumlah daerah dikunjungi Gubernur Bali itu, termasuk menginap di sebuah rumah
yang baru saja kecipratan program bedah rumah. Ini menyiratkan komitmen gubernur asal Buleleng untuk membangun Bali
Utara itu tak usah diragukan lagi.
Kawasan Bali Utara memang sudah lama seperti daerah yang terlupakan selama ini. Padahal dulu pusat pemerintahan Bali
ada di Singaraja. Bahkan bukan hanya menjadi pusat Bali, juga pusat pemerintahan Sunda Kecil. Ketika ibukota dipindahkan
ke Denpasar berangsur-angsur pula semua kantor-kantor pemerintahan diboyong ke Denpasar. Singaraja praktis menjadi kota
mati. Sempat sejenak mulai ada napas kehidupan baru ketika pemerintah membentuk Kowilhan (Komando Pertahanan
Wilayah) di mana wilayah Nusa Tenggara dijadikan Kowilhan V. Singaraja dipilih sebagai markas Kowilhan itu. Namun ini juga
tak lama, Kowilhan bubar maka kembali Singaraja menjadi sepi.
Sekarang Buleleng mendapat momentum baru yang harus segera disambut dengan baik dan jangan sampai terlewatkan.
Yakni, ada rencana pembangunan bandara internasional karena Bandara Ngurah Rai sudah tak mungkin lagi dikembangkan
untuk masa-masa mendatang. Bandara Ngurah Rai dikelilingi laut di kedua ujung landasan, ke mana pun diperluas tetap akan
mengurug laut. Bandara di Buleleng sudah disurvey keberadaannya dengan ada dua pilihan, di wilayah barat di Kecamatan
Gerokgak dan wilayah timur di Kecamatan Kubu Tambahan. Berlarut-larutnya pro kontra terhadap pilihan ini bisa
menyebabkan proyek yang akan mengangkat martabat Buleleng itu menjadi sekadar wacana, tak bisa diwujudkan dalam
waktu dekat. Malah kalau pilihan itu tak segera diputuskan dan pemerintah pusat merasa dipermainkan, bandara baru bisa
diambil alih Kabupaten Tabanan atau Kabupaten Negara. Maka bandara sebagai ikon baru yang akan menularkan
pembangunan yang lebih mensejahtrakan rakyat akan hilang selamanya dari Bali Utara,
Kabupaten Buleleng harus bangkit karena kawasan ini sebenarnya wilayah yang sangat unik. Membujur dari ujung barat ke
timur di bagian utara Pulau Bali, wilayahnya betul-betulnyegara gunung. Laut dan gunung seperti bertetangga, sehingga tidak
ada hamparan lahan pertanian yang luas.
Secara budaya, Buleleng pun unik. Hanya di Buleleng kata kaja dalam bahasa Bali tidak sama dengan utara dalam bahasa
Indonesia. Kata kelod juga tidak berarti selatan. Kajadan kelod harus melihat posisi gunung dan laut, dan kebetulan saja laut
dan gunungnya itu membujur di satu arah. Di wilayah lainnya di Bali, kata petunjuk kaja dan kelod tak pernah berubah,
meskipun laut ada di barat (misalnya di Kabupaten Jembrana dan Tabanan) atau berada di sisi timurnya (seperti di
Karangasem).
Dalam banyolan bebondresan, keunikan Buleleng dimunculkan dengan kekontrasannya. Misalnya disebutkan Buleleng yang
kaya raya dengan air karena sejumlah desa memakai nama-nama air seperti Yeh Sanih, Banyu Wedang, Banyu Biru, Banyu
Poh, Banyu Ning dan sebagainya, namun tak pernah punya abian (kebun) seperti di Bali Selatan: Abian Kapas, Abian Tuwung,
Abian Base dan banyak lagi.
Bebondresan lainnya yang sering dimunculkan adalah kesaktian Buleleng. Tak percuma wilayah itu didirikan dan dipimpin
oleh Ki Panji Sakti. Semua jalur menuju Buleleng harus dilewati dengan hati-hati. Kalau memakai jalur timur, kita bisa kena
culik (ada Desa Culik di Karangsem), lewat barat kita bisa dicekik (ada Desa Cekik di Jembrana), lewat tengah langsung digigit
(Desa Gitgit) atau bisa nyeririt (Desa Seririt).
Itu banyolan dan memang dicari-cari. Tetapi yang jelas, kreatifitas nyama Buleleng sebenarnya hebat-hebat. Ketika drama
gong lahir dan mewabah di Bali Selatan, Buleleng tampil dengan drama gong yang mengandalkan kecanggihan panggung.
Semua sekaa(grup) drama gong punya perlengkapan pentas berupa layar-layar lebar untuk dekorasi panggung. Adegan
kerajaan ada latar belakang gambar istana, adegan di hutan ada gambar pemandangan hutan, bahkan adegan di taman,
misalnya, dibuat demikian kreatif seperti membuat kolam-kolam dengan air mancurnya. Kalau dipikirkan saat ini, betapa
mengagumkan kreatifitas itu, karena di tahun 1970-an peralatan listrik dan teknologi tak semaju sekarang, tetapi mereka bisa
membuat gerak-gerak tipuan seperti bidadari yang seolah-olah terbang ke angkasa, atau adegan orang naik perahu.
Di bidang seni tabuh dan tari, nyama Buleleng juga kreatif. Di wilayah ini pernah lahir Tari Badminton selain Tari Nelayan yang
populer itu. Jadi, temanya keseharian. Yang membuat orang heran, di bidang tabuh pernah muncul Tabuh Memetik Daun Teh,
padahal di mana ada kebun teh di Bali.
Demikian pula di bidang arsitektur, terutama ukiran-ukirannya. Gaya Buleleng menyiratkan ukiran kerakyatan, tidak jelimet dan
sedikit kasar tetapi ada nuansa kejantanan dan kekokohan. Sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata, tetapi lihatlah angkulangkul pada rumah-rumah kuno atau candi bentar pada sejumlah pura yang tua.
Kreatifitas warga Buleleng ini pasti akan semakin tumbuh jika pembangunan bergerak lebih lincah di daerah ini. Buleleng akan
menemukan jati dirinya sendiri dan bisa mengembangkan kekhasan daerahnya yang beda dengan kabupaten lain di Bali.
Caranya tentu dengan membangun Kabupaten Buleleng agar tidak menjadi kabupaten tertinggal di Bali. Dan itu antara lain
dengan segera menangkap momentum adanya rencana pemerintah pusat membangun bandara di kawasan ini, entah di barat
atau di timur. (*)
jenis museum sudah dibuat dan mungkin akan dibuat lebih banyak lagi. Di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta setiap
kementrian (dulu departemen) berlomba-lomba membuat museum. Ada Museum Perangko, Museum Listrik, Museum Iptek,
Museum Pers dan masih banyak lagi. Instansi-instansi pun membuat museum. Ada Museum Kereta Api di Ambarawa, akan
dibangun Museum Tebu di Klaten.
Di Bali museum juga bertebaran dan semuanya bisa dipertanyakan apakah perawatan dan pengamanannya sudah optimal.
Bagaimana dengan Museum Gedong Kirtya di Singaraja, tempat menyimpan lontar-lontar kuno itu? Apakah sudah dirawat atau
jangan-jangan lontarnya sudah keropos dimakan rayap? Apakah ada dana untuk merawat itu? Lalu siapa saja yang
memanfaatkan museum itu, apakah pengamanannya cukup? Jangan-jangan banyak lontar yang raib tak tahu siapa yang
mencuri.
Museum Subak di Kediri, Tabanan, apa kabarnya? Masihkah tersimpan alat-alat pertanian tradisional di sana, seperti tengala,
lampit, ani-ani dan sejenisnya? Apakah itu dirawat? Siapa saja yang mengunjungi dan apakah ada petugas yang menjaga
sekaligus menjelaskan apa saja fungsi benda yang dipamerkan?
IdeMuseum Subak ini menarik. Di sana banyak terlihat barang-barang yang tidak dipakai lagi, karena mengolah tanah
sekarang ini sudah jauh lebih moderen. Juga banyak ditemukan alat-alat pertanian ketika sawah masih murni dari semprotan
pupuk kimia. Ada pula yang sifatnya ritual, katakanlah misalnya ngelinggihan Hyang Nini, membawa padi ke lumbung. Sisasisa ritual itu hanya ada di museum karena saat ini padi tidak ada masuk lumbung. Padi rontok di tengah sawah masuk karung,
diangkut mobil ke tempat penyosohan. Di mana tempatnya Hyang Nini sekarang ini, kalau bukan di museum?
Artinya, Museum Subak itu dibangun memang sudah mengantisipasi kemajuan zaman bahwa suatu saat subak dengan segala
pernik-pernik perlengkapannya akan hilang. Sedih juga kita mendengarnya, sebuah organisasi tradisional Bali yang begitu
dikagumi dunia dan menghasilkan berbagai buku, tiba-tiba rontok oleh perubahan. Tentu kita akan makin sedih jika cerita
kehebatan subak itu tak bisa lagi kita kenang lagi, dan karena itu museum khusus dibuat. Nah persoalannya kalau merawat
museum ini tak bisa, maka habislah kisah-kisah bagaimana leluhur kita di masa lalu mengolah tanah pertaniannya.
Museum Bali di Denpasar yang dikelola pemerintah saja sudah mulai ditinggalkan pengunjung. Kita seperti tak biasa
mengunjungi museum, karena kita malas mempelajari sejarah peradaban bangsa. Kalau museum milik pemerintah saja seperti
itu, bagaimana dengan museum semi pemerintah, sebut misalnya Museum Puri Lukisan di Ubud, Museum Ni Polok di Sanur.
Masih mending museum swasta yang dibuat sendiri oleh para seniman, museumnya terawat baik. Karena si seniman ini punya
ketergantungan bisnis dengan tema museum itu. Sebut misalnya Museum Neka di Ubud, Museum Rudana di Peliatan,
Museum Klasik Gunarsa di Klungkung.
Pernah ada ide untuk membuat Museum Canang di Bali. Apaide di balik pendirian museum ini? Ada yang mengatakan, canang
dan segala jenis banten lainnyasuatu ketika akan lenyap. Umat Hindu yang semakinmoderen, mulai meninggalkan canang.
Mereka tidak lagi membutuhkan simbol-simbol itu, karena mereka sudah bisa mengucapkan mantram langsung dari kitab
Weda. Untuk apa lagi simbol?Lagi pula, canang sekarang ini sudah bukan canang lagi karena ornamen di dalamnya tidak lagi
lengkap. Karenacanang bisa dibeli sembarangan di pasar, dan pembelinya tidak lagi menghiraukan apakah semuanya
lengkap, tinggal diisi dupa langsung dipakai sembahyang. Dan pembeli pun tak usah mikir, apakah janurnya hasil curian,
pokoknya langsung ditaruh di sanggah. Apakah itu canang yang benar atau tidak, pokoknya begitu dibeli dari pasar langsung
dihaturkan.
Untuk itu perlu Museum Canang agar generasi muda Hindu bisa belajar membuat canang yang benar. Karena mereka tak bisa
belajar dari orangtuanya yang sibuk, tak bisa belajar dari buku dan VCD, ya, datanglah ke museum. Di museum sanganak itu
akan berkata: O, ini toh namanya sesayut, ini namanya canang sari. Kalau tak ada porosan itu bukan canang sari, namanya.
Seperti itulah idealnya sebuah museum, pengunjung datang untuk belajar. Tapi siapa yang sekarang ini suka mendatangi
museum? Dan apakah koleksi museum itu masih utuh, sehingga bisa jadi bahan belajar yang lengkap? Pemerintah harus
semakin peduli pada lembaga yang bernama museum ini. Di tengah-tengah komersialisasi yang melanda negeri ini, belajar
tentang peradaban sangat penting untuk memperkaya jiwa dan batin kita. Mari kita rawat museum yang ada dan
mengamankan koleksi di dalamnya.
Saya kira sudah saatnya dirumuskan kembali sebuah kebijakan yang mendasar untuk membentengi budaya Bali dari
"penjajahan budaya" yang datang dari luar. Kita punya slogan yang mentereng soal ini, misalnya, pariwisata budaya. Tapi,
makhluk apa itu? Tak pernah lagi kita evaluasi, apa benar pariwisata yang ada sekarang ini menguntungkan budaya Bali? Mari
kita duduk bersama untuk merumuskan kembali strategi kebudayaan diBali, jangan hanya bisa menyalahkan saja, berikan
solusi.Budaya berubah itu sudah jamak, tetapi biarlah perubahan itu dilakukan oleh pendukung budayanya. (*)
Senin,05 Agustus 2013 @ 00:20
keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga dan setangkai daun.
Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi
hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kisah-kisah sufi dalam ajaran Islam, yang banyak memberi contoh
tentang kebajikan antar manusia, bahkan menjadi buku yang sangat digemari. Dalam sastra Hindu, kisah-kisah itu tercecer di
sana-sini.
Umat Hindu mengenal konsep Tri Hita Karana. Dimulai dari hubungan harmonis kita sesama manusia, kemudian hubungan
harmonis manusia dengan alam, barulah hubungan harmonis rohani manusia dengan Hyang Widhi. Artinya, keharmonisan
sesama manusia dengan tolong menolong itu hal yang paling utama. Kenapa? Karena kita menjaga keharmonisan sesama
makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam hal ritual Manusa Yadnya, kenapa rujukan kita hanya mengedong-gedongan, tiga bulanan, otonan, potong gigi dan
seterusnya? Kenapa tidak dikembalikan sebagai yadnya untuk kemanusiaan? Mungkin dalam perjalanan ke depan hal ini lebih
mendapatkan perhatian.
Renungan untuk sekedar sesuluh ini saya tulis dalam suasana ritual di kampung yang penuh dengan kesederhanaan. Juga
pada saat umat Muslim menyongsong hari raya Idul Fitri, hari-hari di mana umat Muslim diingatkan untuk peduli kepada
sesama manusia. Mari kita terus pupuk semangat untuk tolong menolong sesama manusia, karena kita yakin tak bisa hidup
sendiri di dunia ini. Dan kelak ketika kita meninggalkan dunia ini pun kita tak membawa harta apa-apa, hanya kebajikan dan
amal yang dikenang dan selanjutnya karma akan menentukan perjalanan kita. Untuk sahabat-sahabat Muslim saya ucapkan
selamat hari lebaran, maaf lahir batin.
Minggu,11 Agustus 2013 @ 23:30
(Banyuwangi) sudah mulai mati suri. Padahal Banyuwangi dan Bali hanya dibatasi selat pendet.
Jika pun tidak mati, akankah nasib bahasa Bali sama buruknya dengan nasib bahasa Sanskrit (Sansekerta)? Bahasa
Sansekerta memang tidak mati, tetapi tidak lagi menjadi bahasa pergaulan. Bahasa Sansekerta tinggal menjadi bahasa agama
(khususnya Hindu), karena kitab suci Weda memakai bahasa itu. Di India ada 35 bahasa etnis yang tergolong besar yang
menjadi bahasa pergaulan, Sansekerta tidak masuk di dalamnya.
Atau bahasa Bali akan mirip dengan nasib bahasa Jawa Kuno, di Bali seringkali disebut bahasa Kawi? Bahasa Kawi sudah
mati sebagai bahasa pergaulan, tetapi masih hidup mengap-mengap sebagai bahasa seni (para dalang wayang kulit selalu
mempelajari bahasa ini) dan bahasa ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Hindu. Banyak
terjemahan Weda dan tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Jawa Kuno baik dalam bentuk prosa maupun puisi, dibuat
oleh pujangga-pujangga Hindu di zaman Kerajaan Kediri dan Majapahit. Warisan kitab ini pun banyak ada di Bali, misalnya,
Kekawin Ramayana.
Kenapa bahasa Jawa Kuno mati sebagai bahasa pergaulan? Karena agama Hindu mendapat serangan gencar dari agama
Islam yang masuk lewat pesisir Jawa. Islam datang di Jawa bukan saja mengislamkan orang Hindu tetapi lambat laun
membelokkan budaya-budaya Hindu, termasuk bahasanya. Bahasa Jawa Kuno mengalami perubahan yang disebut dengan
bahasa Jawa Pertengahan, kemudian Jawa Pesisir, lalu Jawa Baru dan akhirnya menjadi bahasa Jawa yang kini dipakai
bahasa pergaulan sehari-hari.
Kalau bahasa Bali bernasib sama dengan bahasa Sansekerta dan bahasa Kawi, apa argumentasinya? Bahasa Bali bukan
bahasa Weda. Dulu memang ada anggapan, semasih agama Hindu dipeluk penduduk Bali, bahasa Bali pasti tetap hidup.
Belakangan anggapan itu berkurang, karena sudah banyak sekali ritual yang memakai bahasa Bali diganti ke mantram dalam
Sansekerta. Para pemangku apalagi pendeta di Bali saat ini sudah lancar melafalkan mantram yang langsung berbahasa
Sansekerta. Pemujaan sudah mulai bergeser dalam penggunaan bahasa.
Alasan lain sangat sedikit ada tafsir-tafsir Weda yang menggunakan bahasa Bali. Jangankan tafsir, terjemahan Weda ke dalam
bahasa Bali juga jarang. Saya hanya menemukan satu kitab terjemahan Bhagawadgita memakai bahasa Bali, kitab-kitab suci
lainnya jarang diterjemahkan ke bahasa Bali. Nah, kalau suatu saat bahasa Bali tidak lagi menjadi bahasa pergaulan,
bagaimana ia bisa menjadi bahasa ilmu kalau jejaknya tidak ada?
Mari lestarikan bahasa Bali dan mari ajarkan anak-anak berbahasa Bali. Minimal kita akan memperpanjang hidup bahasa Bali
di tengah-tengah bahasa dunia lainnya. Penggunaan bahasa Bali dalam forum-forum resmi yang bermuatan budaya, apalagi
itu berlangsung di Bali, bisa lebih dipersering. Peraturan daerah untuk menyelamatkan bahasa Bali layak untuk diteruskan
meski dengan kehati-hatian agar tidak menjadi bumerang. (*)
Senin,15 Juli 2013 @ 08:28
dalam kaitan dengan undang-undang ini tak lain dari sekolah swasta yang bernapaskan Hindu.
Apakah di Bali kita siap dengan pasraman formal seperti itu? Bukankah sekolah swasta yang dimiliki oleh lembaga yang
bernapaskan Hindu di Bali kalah segalanya dibandingkan sekolah swasta yang bernapaskan agama non-Hindu? Gubernur Bali
Mangku Pastika pernah mengeluhkan hal itu, kenapa anak-anak Hindu lebih banyak bersekolah di sekolah milik yayasan
Kristen dan Katolik. Jawabnya adalah prasarana di sana lebih lengkap yang menunjang mutu pendidikan jadi lebih baik.
Melihat hal ini, sesungguhnya biarkan saja di Bali muncul pasraman desa adat atau pasraman di griya Sulinggih, sementara
jika ada yang mau membangun pasraman formal yang sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional silakan saja. Apalagi di
Bali sudah terbentuk Dewan Pasraman yang nampaknya lebih banyak menaungi pasraman nonformal itu.
Kalau kita membaca kitab-kitab agama dan meneruskan apa yang dirintis oleh para leluhur di masa lalu, sistem banjar adat di
Bali dengan adanya balai banjar adalah pasraman sebagai tempat menggembleng manusia Hindu untuk menjadi manusia
yang andal dalam berbagai bidang kehidupan.
Kitab Brahma Purana pada sloka 228, 45 menyebutkan tujuan hidup adalah Dharma artha kama mokshanam sarira
sadhanam. Lalu kitab Agastia Parwa menyebutkan tahapan dalam perjalanan hidup yang disebut Catur Asrama yaitu
Brahmacari Asrama, Grhastha Asrama, Wana Prastha Asrama dan Sanyasin Asrama.
Di India asrama ini biasa disebut ashramdan di Bali sekarang dipopulerkan menjadipasraman. Memang, kata asrama untuk
Indonesia yang terbayang adalah asrama militer atau asrama mahasiswa, ada sejumlah ruang tidur, ruang belajar, ruang
makan, ruang sekretariat, aula dan perlengkapan lainya. Padahal bukan itu yang dimaksudkan. Mpu Kuturan, leluhur orang
Bali, memperkenalkan konsep Desa Pekraman yang memiliki Kahyangan Tiga sebagai sarana untuk mempersatukan umat.
Itulah penjabaran asrama yang termuat dalam kitab-kitab Hindu. Di wilayah Desa Pekraman inilah umat menempuh pendidikan
yang bertujuan mewujudkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha secara bertahap sesuai dengan tahapan Catur Asrama.
Memang, dalam perjalanan zaman, ada yang hilang dari konsep lama ini, yakni unsur pendidikannya. Urusan pendidikan
sudah diserahkan sepenuhnya ke pemerintah atau dalam istilah kerennya pendidikan formal. Banjar tidak lagi menjadi tempat
pendidikan. Memang di beberapa banjar ada pesantian, tetapi itu lebih banyak diikuti oleh orang-orang tua. Dan itu pun
sesugguhnya bukan pendidikan dalam arti untuk diamalkan, tetapi sekedar urusan kesenian. Jika penekanannya seni, orang
hanya mahir menembang atau mewirama, tetapi tidak mengamalkan apa filosofi dari sastra yang dibaca itu. Contohnya, orang
bisa mahir menembangkan berbagai kekawin dan geguritan, hafal Geguritan Sucita Subudi atau Kekawin Ramayana, tetapi
kesehariannya masih suka metajen, meceki, mabuk-mabukan dan sebagainya.
Sejalan dengan ide Pemda Prov Bali yang menggagas Pasraman Desa Pekraman dengan memberikan bantuan setiap tahun,
maka sebaiknya konsep banjar sebagai pasraman layak dihidupkan lagi. Pendidikan agama dan budaya benar-benar
dilakukan di sini. Biarlah belajar matematika atau bahasa Indonesia di sekolah negeri, tetapi belajar agama Hindu, belajar
bahasa Bali, belajar menembang dan sebagainya diintensifkan di balai banjar yang dijadikan pasraman desa. Hidupkan
kembali banjar sebagai pasraman karena membuat pasraman yang formal sangat sulit. Tentu pasraman formal yang sulit itu
boleh saja dirintis. (*)
Pemerintah pusat akhirnya mengambil keputusan agar penyelenggaraan Miss World dilangsungkan sepenuhnya di Bali.
Tadinya, kontes kecantikan tingkat dunia yang diikuti lebih dari seratus negara ini acara puncaknya dilangsungkan di Sentul,
sebuah kota metropolitan baru yang masuk Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tapi karena banyaknya penolakan dari ormas
Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia padahal ini bukan acara keagamaan akhirnya Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy
Mizwar, yang dulunya bintang film yang sangat menyenangi acara-acara glamour semacam ini, menolak diselenggarakan di
wilayah Jawa Barat.
Kita di Bali sejak awal menyambut baik acara Miss World karena ini akan makin memperkenalkan Bali ke penjuru dunia.
Indonesia sudah tiga tahun meloby panitia Miss World agar acara itu diselenggarakan di negeri ini, dan ketika berhasil ternyata
banyak pihak yang menolaknya. Saya berharap kita tak meruncingkan konflik pro dan kontra, apalagi kalau dikaitkan dengan
budaya. Budaya di dunia itu beragam dan di negeri ini juga beragam. Apalagi kalau menyoroti dari satu sisi, misalnya,
pornografi. Pentas dangdut di kota-kota Jawa jauh lebih porno dari ajang Miss World ini. Apalagi kita bisa mengendalikan
peserta Miss World agar mematuhi budaya Bali.
Sesungguhnya, sebagian besar orang Bali tak begitu peduli dengan acara ini. Peserta sudah beberapa hari lalu tiba di Bali,
mereka berkumpul di hotel mewah kawasan Tanah Lot sebelum akhirnya mengikuti acara resmi di hotel mewah kawasan Nusa
Dua. Orang Bali hanya sedikit saja yang menaruh perhatian, umumnya mereka yang bergerak di bidang pariwisata. Selebihnya
tetap seperti biasa, yang petani bekerja di sawah dan dikebun, apalagi sekarang panen raya kopi. Para pengerajin sibuk
berkarya. Bahkan ritual terus berlangsung. Saya hampir setiap hari sibuk melayani ritual, apalagi bulan ini hari baik untuk
upacara perkawinan.
Namun, ketika penolakan ajang Miss World ini menyinggung masalah Bali dengan budaya dan agamanya, orang-orang Bali
pun seperti bangun dari tidurnya. Saya terpaksa ikut peduli. Tetapi bukan peduli pada acara kontes itu, namun peduli untuk
menjelaskan bagaimana orang Bali mempertahankan adat dan budayanya. Adat kita di Bali adalah menerima tamu yang
datang dengan baik-baik secara baik-baik pula. Tamu adalah raja. Kalau ada yang mau mencederai tamu, kita wajib untuk
membela keselamatannya. Apalagi kalau ada yang mau merusak kedamaian Bali hanya karena kedatangan tamu itu, kita wajib
menjaga Bali dari orang-orang yang ingin merusak.
Orang Bali mewarisi ephos Mahabharata dan Ramayana sebagai kitab Ithiasa dalam konteks Weda. Begitu banyak contoh
yang diberikan bagaimana kita wajib mempertahankan wilayah (negara atau kerajaan). Bahkan dalam Ramayana ada tokoh
Kumbakarna, adik kandung Rahwana yang sakti mandraguna. Kumbakarna tahu kalau kakaknya itu seorang durjana, haus
kekuasaan, melecehkan para wanita, memerintah dengan kekerasan. Tetapi, tatkala Negeri Alengka didatangi tentara Rama
dengan pasukan kera yang ingin menghancurkannya, Kumbakarna pun bangun dari tidurnya. Dia ambil senjata, menuju ke
medan perang dan berkata: Saya tidak membela Rahwana, saya tidak membela Raja Alengka. Saya berperang membela
tanah air saya, membela ibu pertiwi saya, di mana saya lahir, hidup dan dibesarkan.
Saat ini banyak orang Bali yang tiba-tiba bangun dari tidurnya meniru Kumbakarna, untuk mempertahankan kedamaian Bali
ketika diusik oleh pernyataan keras gara-gara ada ajang Miss World. Aliansi Muda Hindu menggelar aksi demo mengecam
ormas-ormas Islam yang menolak Miss World itu. Ormas-ormas Bali pun ribut di media sosial dan siap berangkat ke Gilimanuk
untuk mencegah para perusuh yang datang.
Apa sebenarnya yang terjadi? Kita bukannya membela panitia Miss World. Perhelatan ini soal kecil, bahkan bagi saya dan
mungkin banyak pemuka Bali, Miss World ini bukan panggung bermutu. Pesta Kesenian Bali yang juga mengundang tim dari
luar negeri jauh lebih bermutu. Jangan-jangan pula Miss World ini hanya persaingan stasiun televisi, satu kelompok adalah
sponsornya yang pasti akan mereguk keuntungan, satu kelompok tak kebagian apa-apa. Jadi Miss World ini bukanlah
pergelaran yang bergengsi amat. Tetapi apa yang kita bela? Yang kita bela adalah kedamaian Bali pada saat tamu-tamu
peserta Miss World itu berada. Diinspirasi ucapan Kumbakarna, yang kita bela adalah kedamaian tanah Bali dan tamu yang
datang, bukan acara Miss Worldnya.
Kalau begitu kenapa ajang Miss World tidak ditolak saja? Ini pertanyaan bodoh. Budaya tak bisa diseragamkan. Persepsi
orang tentang keindahan pun tak bisa diseragamkan, apalagi keindahan tubuh. Ada orang yang senang melihat wanita
berkerudung, ada yang suka melihat wanita rambutnya digelung. Selera di masyarakat Bali pun beda, padahal ini pulau kecil.
Karena itu ada wanita Bali dengan kerudungnya yang khas, ada banyak wanita Bali yang menggelung rambutnya yang disebut
mepusungan. Bahkan ada berbagai jenis pusungan itu. Jadi, kenapa harus dipaksakan semua wanita harus berkerudung?
Apalagi perhelatan Miss World ini sama sekali tak bertentangan dengan agama Hindu, agama mayoritas orang Bali. Mereka
mengunjungi pura tentu sebatas area yang bisa dikunjungi dengan pakaian adat Bali, bukan memakai bikini. Mereka orangorang yang sopan dan mau beradaptasi dengan Bali. Adapun orang Bali sendiri, yang tidak suka ya tak menonton perhelatan
Miss World. Seperti saya sama sekali tak tertarik meski misalnya diundang bahkan dijemput. Kalau suka silakan datang.
Jangan sekali-kali membatasi kesukaan orang sepanjang kesukaan itu tidak mengganggu ketentraman umum dan melanggar
aturan hukum.
Mari jaga kedamaian Bali. Pihak keamanan sudah cukup antisipasi, pasukan Raider dan Kopassus sudah siap membantu
polisi Bali meski ini terasa berlebihan. Ormas-ormas Bali dan anak-anak muda Hindu, janganlah mau dikompori, serahkan
kepada aparat. Namun, kalau itu tak cukup, mari kita bela Bali dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran agama. Agama
tak mengajarkan kekerasan. Janganlah kita berseru tentang kemaha-besaran Tuhan tetapi tangan membawa pentung dan
kelewang. Mari kita berseru dengan damai dan kasih. (*)