KASUS kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini
hanya ada di Bali. Masyarakat adat lain di Nusantara tak pernah mengenal hukum
model begini. Banyak masyarakat Bali yang tak paham, siapa yang seharusnya
mengayomi masalah ini. Mereka menumpahkan kekesalannya kepada Parisada yang
disebut-sebut tak berbuat untuk masyarakat sehingga muncul kasus kasepekang.
Pada dialog interaktif di Radio Global, beberapa vokalis terus menyalahkan Parisada.
Tentu ini salah sasaran, karena kasepekang termasuk kasus adat, bukan kasus agama.
Urusan adat ada yang menanganinya, yakni Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga
yang ada kepengurusannya dari tingkat desa (Majelis Desa Pakraman), kecamatan
(Majelis Alit Desa Pakraman), kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai
tingkat propinsi (Majelis Utama Desa Pakraman). Syukurlah majelis ini, pada
Pesamuan Agung II di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, telah menghasilkan
keputusan bahwa sanksi kasepekang tidak boleh diberlakukan lagi.
Memang, banyak orang menyebutkan, adat dan agama di Bali menyatu dan sulit
dipisahkan. Tetapi yang mengayomi dan membina adat dan agama itu berbeda.
Parisada tak bisa mencampuri urusan adat secara formal, karena Parisada mengurusi
agama Hindu di Nusantara yang pemeluknya terdiri atas berbagai adat, ada adat Bali,
adat Jawa, adat Batak dan sebagainya. Setiap adat punya aturan yang berbeda, namun
jika bicara masalah Hindu, ajarannya sama saja.
Sebagai orang Bali dan pengurus Parisada Pusat, saya sudah lama risau dengan kasuskasus adat, apalagi hukum kasepekang. Ini hukum di luar norma hukum masyarakat
modern. Di dalam masyarakat modern para terhukum menjalani tahanan. Ada istilah
tahanan kota, tahanan rumah, tahanan badan. Tahanan rumah tidak boleh keluar
rumah. Tahanan kota, tidak boleh keluar kota tetapi boleh keluar rumah. Tahanan
badan dimasukkan ke dalam penjara, dan hidupnya berkutat di sana saja.
Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak
menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Kasepekang itu
adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih
lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai sang terhukum membayar denda adat.
Bagi desa yang tergolong keras, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang
yang sedang kasepekang. Bahkan yang kasepekang dilarang ke pura untuk
bersembahyang. Hukum mana di dunia ini yang melarang orang untuk bertegur sapa?
Begitu kejamkah orang Bali? Ternyata tidak. Buktinya, yang terkena hukum
kasepekang hanya krama Bali, krama pendatang tidak kena apa-apa. Apalagi kalau
pendatang itu bukan orang Hindu, wah... halus sekali penerimaan orang Bali. Mana
ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat mengalami kasepekang?
Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang berjualan di desa adat kena
kasepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada pendatang, trotoar disediakan untuk
tempat berjualan para pendatang, padi-padi di sawah diserahkan kepada pendatang
untuk memanennya, buruh-buruh bangunan diberikan kepada pendatang. Yang
berjualan jagung rebus pun pendatang, orang Bali lebih baik menjadi penganggur.
Dan di situlah uniknya, para pendatang tak pernah kena kasus adat, karena mereka
dibolehkan untuk tidak menjadi warga adat, sementara orang Bali harus (sekali lagi
harus) menjadi warga adat.
Orang Bali, kalau tidak ngayah ke banjar adat kena denda. Dalam batas tertentu
mendapat sanksi adat lebih keras, dan puncaknya kasepekang. Kalau itu terjadi,
berbahaya, jika suatu saat ada keluarganya yang meninggal dunia tak bisa
dikuburkan, setidaknya dipersulit. Ada pun para pendatang tidak perlu ngayah,
mereka terus bekerja. Kalau keluarga pendatang itu ada yang meninggal dunia, ya...
dikubur sebagaimana layaknya. Banyak ada kuburan umum yang bisa dipakai
pendatang, sedangkan orang Bali tak punya kuburan umum. Kuburan di Bali milik
adat.
Ketika krama Bali masih hidup dalam budaya agraris, kekangan adat tak jadi
masalah, wong sama-sama petani. Ketika pariwisata masuk dan budaya agraris mulai
diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah. Bagaimana bisa seorang manajer
hotel harus ngayah ke pura membuat klakat, sementara dia harus menggelar rapat
setiap saat? Bagaimana bisa eksekutif di bank, atau perusahaan besar, harus pulang ke
desa adat untuk ngayah membuat peti mati? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali
kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas. Padahal ngayah itu bisa diatur
jamnya, tak harus bersama-sama. Bukan saatnya lagi kita hanyut dalam kenangan
nostalgia namun menghambat profesionalisme. Misalnya, pulang ke desa ngayah
membuat tusukan sate dengan meninggalkan pekerjaan penting. Kenapa tidak dikirim
saja tusukan sate dan bukankah barang itu bisa dibeli di pasar swalayan?
Saatnya majelis desa pakraman membuat peta permasalahan konflik adat, dengan
antisipasi zaman globalisasi. Solusi pemecahan konflik juga harus dibuat. Pasti ada
jalan keluarnya. Jangan malu mencontoh adat di luar Bali, termasuk adat orang-orang
Bali di rantauan. Orang Bali di luar Bali tak pernah punya kasus adat. Membuat
kuburan Hindu (bisa dalam bentuk krematorium seperti di Jakarta) bisa jadi salah satu
jalan keluar. Jalan keluar lainnya masih banyak, yang penting mau mencontoh adat
yang baik dan mau menerima masukan. Ayo adakan rembuk, malu hanya bisa
ngomong ajeg Bali, tetapi dalam praktik Bali dibiarkan merana.
http://okanila.brinkster.net/raditya/BaliCetak.asp?ID=210
Orang, bahkan salah satunya masih ada yang duduk di Taman Kanak-Kanak, orang
tua dan beberapa pemuda yang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
Diharapkan dengan kedatangan Yayasan Siwa Agung memberikan dukungan moral
dan bantuan untuk dapat bertahan hidup dan dapat memotivasi masyarakat Bali
lainnya memberikan dukungan dan dorongan yang sama, sehingga kami dapat lebih
bersemangat dan menumbuhkan spirit, ujarnya.
Pertemuan peduli kasepekang ini diakhiri dengan pengobatan serta pemberian
bantuan beras, mi instan, susu, sabun, kompor gas, air mineral dan lain sebagainya.
(ad18)
KASUS adat kasepekang kembali mencuat di Bali. Seorang warga Banjar Pakudui,
Desa Pakudui, Tegalalang, Gianyar, Made Rangga dikenai sanksi kasepekang oleh
banjarnya. Akibat sanksi ini, saat pengabenan ayahnya, almarhum Mangku Sunil
yang juga pemangku Pura Puseh Pakudui itu, Made Rangga dikenai kewajiban
membayar penanjung batu Rp 3.200.000. Kasus serupa sebelumnya juga muncul di
beberapa tempat lain di Bali. Orang pun kembali membincangkan masalah
kasepekang. Kerapnya kasepekang dikaitkan dengan hak untuk dikubur di kuburan
desa memunculkan pemikiran untuk menghapuskan saja sanksi kasepekang dalam
hukum adat Bali. Pasalnya, sanksi kasepekang yang disertai larangan mengubur di
kuburan desa dinilai tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Namun, ada juga yang memandang sanksi kasepekang masih perlu untuk
dipertahankan sebagai upaya tetap menjaga kekuatan hukum adat Bali.
-------------------------ISTILAH kasepekang masih sulit untuk dirunut asal-muasalnya. Peneliti hukum adat
Bali, Wayan P. Windia saat berbicara dalam semiloka bertajuk "Kasepekang dalam
Perspektif Hukum dan HAM" yang dilaksanakan Bali Santhi LPM Unud, Jumat
(19/9) lalu, ada banyak pendapat mengenai asal-usul kata kasepekang. Kersten,
seperti dikutip Windia, berasal dari kata sepek yang mengandung arti
'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang
dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan kata sepek diartikan
sebagai 'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan 'dikucilkan'. Hal yang sama
juga ditemukan dalam Hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA)
Provinsi Bali, 27 Februari 1997.
Pendapat lain tentang kasepekang dikemukakan oleh Wayan Koti Cantika. Dosen
hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud ini mengemukakan kasepekang berasal
dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak diajak bicara' atau 'dikucilkan'. Dalam
konteks sanksi adat, menurut Koti Cantika, kasepekang berarti masih diakui
keberadaannya sebagai warga, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar adat
atau desa adat.
"Kasepekang itu artinya di-tengilin (tidak diajak bicara) dan tidak diikutsertakan
dalam saurah-arih kegiatan suka duka adat. Tapi masih punya hak seperti krama adat
lainnya. Berbeda halnya dengan kanorayang yang artinya pipil-nya dikembalikan atau
diberhentikan sebagai krama adat," beber Koti Cantika.
Namun kenyataannya, antara kasepekang dan kanorayang selama ini kerap dianggap
sama. Kedua istilah itu juga disamakan artinya dengan kaeladang, kamenengang, tan
polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin gumi, kapuikin banjar, kapuikin desa atau
pun tan polih suaran kulkul.
Kasepekang pun menjadi istilah yang mengerikan dan ditakuti orang Bali.
Penyebabnya, kasepekang selalu disertai dengan adanya larangan penguburan
jenazah. Padahal, hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I
Bali tanggal 27 Februari 1997 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanjung Batu sudah
menentukan, krama desa adat yang dikenakan pamidanda kanorayang (pengucilan,
penyisihan, skorsing) tidak dikenakan penanjung batu bila menggunakan setra, karena
statusnya masih sebagai krama desa adat. Penanjung batu hanya dikenakan untuk
krama yang diberhentikan. Hanya memang, krama yang kanorayang tidak mendapat
bantuan banjar (tan polih penyanggran banjar), tidak mendapat menggunakan
kentongan (tan polih suaran kulkul), dan tidak mendapat pemberitahuan (tan polih
arah-arahan). Bersembahyang ke pura milik desa adat juga masih boleh tetapi wajib
melakukan penyuakan atau nyuwaka (pemberitahuan) terlebih dulu kepada prajuru
desa adat
Kendati sudah ada pedoman dari MPLA, toh masing-masing desa adat melaksanakan
sanksi adat dengan caranya sendiri. Kasepekang disertai larangan penguburan jenazah
umumnya tetap menjadi pilihan.
Karena itu, Majelis Desa Pakraman Bali mengeluarkan Keputusan Nomor
01/Kep/Psm 2/MDP Bali/X/2007 tertanggal 2007 yang menyatakan, "Penjatuhan
sanksi adat kasepekang dan kanorayang, dilarang sementara, sampai adanya rumusan
yang memadai mengenai pengertian dan tatacara mengenai penjatuhan sanksi adat
tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali".
Memang, kasepekang sebagai sanksi adat belum dilengkapi dengan hukum acara.
Karenanya, bagaimana pelaksanaan sanksi itu juga masih belum jelas. Bahkan, kerap
kali kasepekang dikenakan tanpa memberikan kesempatan orang yang dikenai untuk
membela diri. Kerap kali karena briuk siu.
"Kalau briuk siu itu sama dengan diktator mayoritas," kata Koti Cantika.
Windia berpandangan sanksi adat yang terbukti menjadi sorotan berbagai pihak
karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan HAM seperti sanksi
adat kasepekang sebaiknya ditinggalkan atau disesuikan sehingga lebih menjamin
tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu mengembalikan keseimbangan dalam
masyarakat dan menciptakan kasukertan sekala-niskala (kedamaian lahir bathin).
Selain itu, perangkat pimpinan (prajuru) desa perlu mengadakan perubahan orientasi
dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa). Penegakan awig-awig tidak lagi
harus bersikukuh pada interpretasi teks awig-awig atau kuna dresta (kebiasaan yang
diwarisi secara turun-temurun), melainkan lebih berorientasi pada konteks, manfaat
dan senantiasa memperhatikan norma agama Hindu. (*)
Diposkan oleh I Made Sujaya di 22:22
Label: Bali Berdebat
4 komentar:
Anonim mengatakan...
Forum Pemerhati Desa Pakraman (FPDP) Bebetin
Kepada Yth : Prajuru Desa Pakraman Bebetin dan Warga Krama
Tembusan Yth. Kpd. Kantor Hukum &Ham Melalui Pengadilan Tinggi
Denpasar, Bpk Gubernur Bali,Bpk Bupati Buleleng, Bpk Camat Sawan, Bpk
Perbekel Desa Bebetin, MDP Agung Bali , MDP Buleleng, MDP Kec.Sawan .
Dari : Forum Pemerhati Desa Pakraman (FPDP) Bebetin
Hal : Tragedi Kasepekang 4 Warga Krama dan seorang Truna Di Bebetin Th
2009 , Melanggar Keputusan Pesamuhan Agung II Majelis Pakraman
karena kasepekang termasuk kasus adat, bukan kasus agama. Urusan adat ada
yang menanganinya, yakni Majelis Desa Pakraman, sebuah lembaga yang ada
kepengurusannya dari Tingkat Desa (Majelis Desa Pakraman), Kecamatan
(Majelis Alit Desa Pakraman), Kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman)
sampai tingkat propinsi (Majelis Utama Desa Pakraman). Syukurlah majelis
ini, pada Pesamuan Agung II di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, telah
menghasilkan keputusan bahwa sanksi kasepekang tidak boleh diberlakukan
lagi. Parisada tak bisa mencampuri urusan adat secara formal, karena Parisada
mengurusi agama Hindu .Sebagai orang Bali dan pengurus Parisada Pusat,
saya sudah lama risau dengan kasus-kasus adat, apalagi hukum kasepekang.
Ini hukum di luar norma hukum Pidana. ( I Cening Sutiadnya ; Hukum Adat
Tak Boleh Melanggar Pancasila, dan UU diatasnya karena Awig Awig Desa
Pakraman Bebetin Berazas Pancasila ) , Jika dilaksanakan Kasepekang Maka
OKNUM /yang Mengumumkan yang menjatuhkan Sanksi Jelas tidak Tunduk
Pada Aturan yang berlaku dan disepakati Majelis pada Pesamuhan Agung
diatas. Bagi Wargga yang Mendukung Kasepekang dan/atau Tidak melakukan
Perubahan terhadap Awig awig/Sistem yang ada adalah termasuk WARGA
yang mengikuti Jaman Kolonial Memecah Belah Persatuan Warga
Kerama ).Bahkan kasepekang dilarang ke pura untuk ( Ngayah dan Nuur
Pemangku, Tidak mendapat pelayanan Adat seperti terjadi Prajuru Adat tidak
bersedia sebagai Saksi dalam Pernikahan Anak permpuan kedua dari Putu
wasa pada tgl 17 Desember 2009 namun di Depan Bpk Camat saat Persiapan
Kunjungan Bpk Bupati I Gde Suastha bersikap Manut, dan pada Hari H.
Hanya Kadus Nyoman Sutapa yang hadir , yg sebelumnya Nym Sutapa tidak
bersedia. Hingga I Cening Sutiadnya HP.081907005150 Koordinasi dengan
Perbekel Bebetin. pada kasus ini Putu Wasa di Bebetin ) Hukum mana di
dunia ini yang melarang orang, Ngayah di Pura dan lain lainnya. Banyak
Ajaran Hindu Karuna/ Cinta Kasih , Ahimsa Tidak Menyakiti/Tidak
Membunuh , Pada Tgl.16 Desember 2009 Pecaruan Desa, I GEDE
SUASTHA Telah mengumumkan dan diketahui Umum tentang Kasepekang
Putu Wasa dan Nyoman Budiartini melalui TOA.Hal tersebut tidak punya
Dasar Alas Hukum dan Awig Awig yang kuat yaitu Pawos/Palet berapa
disebut?.Jelas tidak ada Dasarnya. Jika Tak Berdasar /Beralas Hukum MAKA
KAMI NYATAKAN PRAJURU bertindak SEWENANG WENANG
Sekehendak Hati dan ini Tak Perlu mendapat Pembelaan dari Warga Krama
dalam ruang Desa Pakraman Bebetin, Bukanlah mementingkan kepentingan
Individu/Peroarangan dan/atau Kelompok Terbesar/terkecil, Bukan karena
menanam jasa/tidak dll JADI Kepentingan Bersama /umum di Kedepankan
jadikan UJUNG TOMBAK pengabdian di Adat. Mengabdi pada Adat
menjauhkan diri dari Larangan dan mengikuti Ajaran Agama. Bukan
Mengikuti Kehendak dan Melanggar Ajaran Agama dan Aturan/Hukum/ demi
kepentiana Duniawi )
Begitu kejamkah orang Bali?
dilanjut ke 3
20 Desember 2009 11:18
cening mengatakan...
lanjutan 3
KASUS kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi,
Banyak yang tak paham, siapa yang seharusnya mengayomi masalah ini.
Interaktif di Radio Global,., karena kasepekang termasuk kasus adat, bukan
kasus agama. Urusan adat ada yang menanganinya, yakni Majelis Desa
Pakraman, sebuah lembaga yang ada kepengurusannya dari Tingkat Desa
(Majelis Desa Pakraman), Kecamatan (Majelis Alit Desa Pakraman),
Kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai tingkat propinsi (Majelis
Utama Desa Pakraman). Syukurlah majelis ini, pada Pesamuan Agung II di
Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, telah menghasilkan keputusan bahwa
sanksi kasepekang tidak boleh diberlakukan lagi. Parisada tak bisa
mencampuri urusan adat secara formal, karena Parisada mengurusi agama
Hindu .Sebagai orang Bali dan pengurus Parisada Pusat, saya sudah lama
risau dengan kasus-kasus adat, apalagi hukum kasepekang. Ini hukum di luar
norma hukum Pidana. ( I Cening Sutiadnya ; Hukum Adat Tak Boleh
Melanggar Pancasila, dan UU diatasnya karena Awig Awig Desa Pakraman
Bebetin Berazas Pancasila ) , Jika dilaksanakan Kasepekang Maka
OKNUM /yang Mengumumkan yang menjatuhkan Sanksi Jelas tidak Tunduk
Pada Aturan yang berlaku dan disepakati Majelis pada Pesamuhan Agung
diatas. Bagi Wargga yang Mendukung Kasepekang dan/atau Tidak melakukan
Perubahan terhadap Awig awig/Sistem yang ada adalah termasuk WARGA
yang mengikuti Jaman Kolonial Memecah Belah Persatuan Warga
Kerama ).Bahkan kasepekang dilarang ke pura untuk ( Ngayah dan Nuur
Pemangku, Tidak mendapat pelayanan Adat seperti terjadi Prajuru Adat tidak
bersedia sebagai Saksi dalam Pernikahan Anak permpuan kedua dari Putu
wasa pada tgl 17 Desember 2009 namun di Depan Bpk Camat saat Persiapan
Kunjungan Bpk Bupati I Gde Suastha bersikap Manut, dan pada Hari H.
Hanya Kadus Nyoman Sutapa yang hadir , yg sebelumnya Nym Sutapa tidak
bersedia. Hingga I Cening Sutiadnya HP.081907005150 Koordinasi dengan
Perbekel Bebetin. pada kasus ini Putu Wasa di Bebetin ) Hukum mana di
dunia ini yang melarang orang, Ngayah di Pura dan lain lainnya. Banyak
Ajaran Hindu Karuna/ Cinta Kasih , Ahimsa Tidak Menyakiti/Tidak
Membunuh , Pada Tgl.16 Desember 2009 Pecaruan Desa, I GEDE
SUASTHA Telah mengumumkan dan diketahui Umum tentang Kasepekang
Putu Wasa dan Nyoman Budiartini melalui TOA.Hal tersebut tidak punya
Dasar Alas Hukum dan Awig Awig yang kuat yaitu Pawos/Palet berapa
disebut?.Jelas tidak ada Dasarnya. Jika Tak Berdasar /Beralas Hukum MAKA
KAMI NYATAKAN PRAJURU bertindak SEWENANG WENANG
Sekehendak Hati dan ini Tak Perlu mendapat Pembelaan dari Warga Krama
dalam ruang Desa Pakraman Bebetin, Bukanlah mementingkan kepentingan
Individu/Peroarangan dan/atau Kelompok Terbesar/terkecil, Bukan karena
menanam jasa/tidak dll JADI Kepentingan Bersama /umum di Kedepankan
Wayan P. Windia
Pendahuluan
Ada beberapa sanksi adat yang dikenal dalam hukum adat Bali, seperti danda
arta (denda), sangaskara danda (melaksanakan upacara tertentu) dan
kasepekang (diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga desa pakraman).
Diantara beberapa sanksi adat yang dikenal, sanksi adat kasepekang dapat
dikatakan paling terkenal. Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
adanya larangan penguburan jenasah, munculnya konflik intern desa dan
munculnya wacana pro dan kontra di media massa, segera setelah sanksi
kasepekang dijatuhkan.
Permasalahannya, bagaimana sebenarnya hukum adat Bali dan awig-awig desa
pakraman mengatur tentang sanksi adat ini dan bagaimana sanksi ini dipraktikan di
desa pakraman? Dua permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam tulisan singkat
ini. Untuk memudahkan dalam mengikuti, uraian akan disusun dengan sistimatika
sebagai berikut. Pertama-tama akan diuraikan mengenai sanksi dan hukum, disusul
uraian tentang sanksi adat kasepekang, sanksi kasepekang dalam beberapa awigawig desa pakraman, dan sanksi kasepekang dalam praktik. Keseluruhan uraian
ditutup dengan kesimpulan dan saran..
Mengutip pendapat L. Pospisil (1956) dalam disertasinya yang berjudul The Kapauku
Papuans and Their Law, Koentjaraningrat (1984: 22) mengemukakan bahwa hukum
adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi
pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dan aktivitas-aktivitas
kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang
peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dari hukum, atau attributes of law,
yaitu: (1) Attribute yang terutama disebut atributte of law authority (keputusankeputusan melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam
masyarakat). (2) Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal
application (keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan
sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang harus
dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang
akan datang. (3) Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation (keputusankeputusan dari pemegang kuasa itu harus mangandung perumusan dari kewajiban
pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus
dipenuhi oleh pihak kesatu). (4) Attribute yang keempat disebut attribute of sanction
(keputusan-keputusan dari pihak berkuasan harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti
seluas-luasnya).
Dengan demikian jelaslah kalau hukum dan sanksi seperti satu paket. Hukum
selalu disertai sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang mengingkari
hukum yang dimaksud. Oleh para ahli ilmu sosial sanksi ini diberi arti yang
lebih luas dari penggunaannya dalam hukum. Radcliffe-Brown menguraikan
sanksi menjadi dua yaitu: sanksi negatif dan sanksi positif. Sanksi negatif
diberikan bagi orang yang berlaku tidak sesuai dengan aturan hukum.
Sedangkan sanksi positif (pujian) bagi orang yang berlaku taat, tanpa merinci
siapa yang memberi pujian ataupun hukuman. (Ihromi, 1984: 60). Jadi sanksi
adalah perangkat aturan-aturan yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga
hukum mencapuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial
sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara
tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.
Kasepekang adalah salah satu sanksi adat yang dikenal di Bali. Menurut Kersten
(1984:521), kasepekang berasal dari kata sepek yang mengandung arti
mempermasalahkan di hadapan orang. Dalam Kamus Bali Indonesia yang
dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Prov. Dati I Bali (1991: 637) disebutkan
bahwa kata sepek diartikan sebagai kucilkan dan kasepekang sama dengan
dikucilkan. Hal senada juga dapat diketahui dari Hasil Pesamuhan Majelis Pembina
Lembaga Adat (MPLA) Prov. Bali tanggal 27 Februari 1997.
Pendapat lain tentang kasepekang dikemukakan oleh Wayan Koti Cantika. Dosen
hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud ini mengemukakan bahwa kasepekang
berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti kucilkan. Ka sepi ikang berarti
dikucilkan. Dalam konteks sanksi adat, menurut Cantika kasepekang berarti masih
diakui keberadaannya sebagai warga, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar
adat atau desa adat. Apabila seseorang berada dalam status bukan saja dikucilkan
tetapi benar-benar dianggap tidak ada, maka hal ini bukan lagi sekadar kasepekang,
melainkan kanorayang. Nora berarti tidak ada. (Penjelasan Wayan Koti Cantika,
dihadapan tokoh-tokoh Desa Adat Semita, Gianyar, tanggal 20 Maret 2007).
Istilah lain kasepekang adalah kaeladang, kamenengang, tan poleh arah-arahan,
kagedongin, dan kanoryang. Ada kalanya juga disebut kapuikin gumi, kapuikin
banjar, kapuikin desa, tan polih suaran kulkul. Apapun sebutan dan istilahnya, pada
dasarnya mengandung arti yang sama, yaitu diberhentikan dan dikucilkan sebagai
warga desa pakraman. Walaupun ada beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut sanksi adat ini, namun dalam uraian selanjutnya akan digunakan istilah
kasepekang. Hal ini didasarkan atas kenyataan, istilah ini mudah dimengerti, karena
telanjur terpublikasikan secara luas, baik lewat media cetak maupun elektronik.
Kedua, dalam ketentuan resmi seperti Keputusan Majelis Pembina Lembaga Adat
(MPLA) Bali maupun awig-awig tertulis, digunakan istilah kasepekang untuk
menyebut warga desa yang dikucilkan dari lingkungan desanya. Sebagai sebuah
sanksi adat, kasepekang mengandung arti pemberhentian sebagai warga (karma desa)
di desa adat atau sekarang disebut desa pakraman.
Desa pakraman menurut Goris (1954: 59), pada zaman Bali kuna disebut banwa atau
banua. Sebelum tahun 2001, apa yang sekarang dikenal dengan desa pakraman dan
banjar pakraman disebut desa adat dan banjar adat. Sebutan desa adat resmi
diganti berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perlu
ditegaskan bahwa perubahan nama ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan
terhadap keberadaan desa. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa desa adat
atau desa pakraman pada hakikatnya mengandung arti dan makna yang sama.
Sebuah desa adat/desa pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) Unsur
parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu). (2) Unsur pawongan
(warga desa yang beragama Hindu). (3) Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa
karang ayahan desa dan karang gunakaya). Desa pakraman di Bali kini berjumlah
1.349. Jumlah ini terus bertambah sejalan dengan keinginan krama desa dalam wadah
banjar pakraman untuk memisahkan diri dengan desa pakraman induknya dan
membentuk desa pakraman baru semakin meningkat.
Di atas telah dikemukakan bahwa dantara beberapa sanksi adat yang dikenal di
Bali, sanksi adat kasepekang-lah yang paling terkenal. Kenyataan ini
disebabkan antara lain: adanya larangan penguburan jenasah yang senantiasa
menyertai penganaan sanksi adat kasepekang, munculnya konflik intern desa
segera setelah sanksi kasepekang dijatuhkan oleh desa pakraman, dan
munculnya wacana pro dan kontra di media massa, setiap kali ada desa
pakrmaan yang menjatuhkan sanksi adat ini kepada warganya. Walaupun
demikian, sebagian desa pakraman di Bali masih mencantumkan sanksi adat
kasepekang dalam awig-awig desa pakraman. Beberapa contoh, seperti di
bawah ini.
Sementara dalam awig-awig Desa Adat Ketewel, Sukawati (28 Oktober 1994),
menggunakan pamidanda untuk menyebut sanksi adat. Pawos 92 menentukan sbb
:
Bacakan pamidanda luwire
(Yang disebut sanksi meliputi ):
a. Ayahan panukun kasisipan. (Wajib kerja pengganti kesalahan).
b. Danda artha (dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel urunan). (Denda
berupa uang beserta denda-denda yang lainnya).
c. Danda upacara panyangaskara. (Upacara pembersihan)
d. Kanorayang. (Diberhentikan sementara).
e. Kedaut karang ayahan desanya. (Diambil-alih tempat kediamannya yangberupa
karang ayahan desa).
Danda arta
Rerampagan
Kasepekang
Penyangaskara
Kasuwudang
Imba (contoh) awig-awig tertulis yang dikeluarkan oleh Biro Hukum Setwilda
Tingkat I Bali tanggal 15 Agustus 1998 (terakhir tahun 2002), mengatur bahwa
dalam menjatuhkan sanksi adat, agar disesuaikan dengan kesalahan yang telah
dilakukan (pamidanda sane katiwakang patut masor singgih manut ring kasisipane).
Selengkapnya pawos (pasal) 61 menentukan beberapa jenis danda (sanksi), seperti
berikut ini:
1. Desa/banjar wenang niwakang pamidanda ring warga desa sane sisip. (Desa
adat/banjar adat berwenang menjatuhkan snaksi, kepada warga dewa yang
bersalah ).
2. Paniwak inucap kalaksanayang olih bendesa/klian banjar. (Sanksi tersebut
dilaksanakan oleh bendesa/kelian banjar).
(1) Bacakan pamidanda luwire : (Yang disebut sanksi, yaitu):
a. Ayah-ayahan panukun kasisipan. (Kewajiban melaksanakan sesuatu pekerjaan,
sebagai pengganti atas kesalahan yang dilakukan).
Kasepekang
sebagai sanksi, telah dikenal sejak zaman dulu. Hal ini dapat diketahui dari
ketentuan awig-awig Desa Adat Bungaya. Beberapa jenis sanksi adat yang pernah
ada atau dikenal di Desa Adat Bungaya, berdasarkan awig-awig tertulis yang selesai
ditulis pada (puput sinurat) pada Weraspati Kerulut sasih Kasa tanggal ping 15
Amerta Masa, Rah 5 Tenggek 1, Isaka, 1715 (1793 Masehi) antara lain, kasepekang
(dikucilkan), kakesahang (diusir), danda (denda), penanjung batu (semacam uang
pangkal), upacara pegat sot (biasa berarti upacara perpisahan secara niskala dan
bisa juga berarti bayar kaol). Selain itu, beradasarkan awig-awig tidak tertulis,
dikenal juga adanya danda lis (sanksi adat berupa melaksanakan upacara tertentu).
Mengenai sanksi adat kasepekang, awig-awig tersebut menentukan sebagai berikut.
Yan ana tan anut sinalih tunggal tan anindihang sekadi pakerabe, wenang iya
kasepekang antuk Keliang Desa, Perbekel, Keliang Tempek, rawuhing kawulane alitalit, ne madesa mebanjar ring Bungaya sami, rawuhing ke Gumung, Papung,
Abiansoan, Kecicang
. (Kalau ada salah satu warga yang tidak taat dan tidak gigih terhadap kesepakatan,
dapat dikenaka sanksi kasepekang oleh kelihan desa, perbekel, kelihan tempek,
termasuk warga masyarakat yang masih kecil dan semua yang menjadi warga desa
dan warga banjar di Bungaya, sampai ke Gumung, Pupung, Abiansoan, Kecicang).
Mengenai sanksi adat yang berupa denda, dalam awig-awig itu ditentukan sebagai
berikut.
Yan ana jatmane wuus kasepekang kadi kocap ring arep, wetu iya masih
amurugang amargiang angewenang aken tan wenang, wenang kedanda, gung arta :
12.250, jinah bolong. (Kalau ada warga masyarakat sesudah kasepekang seperti
disebutkan di atas, masih juga melakukan sesuatu yang tidak patut, dapat didenda,
sejumlah 12.250 uang kepeng).
Apabila tidak siap membayar pada waktu yang telah ditentukan, pihak yang
dikenakan denda dapat diusir ke luar desa. Dalam awig-awig tertulis ditentukan
sebagai berikut.
Konflik Desa
Pengenaan Sanksi
No
Kabupaten
Pakraman dengan
Krama Desa
Adat Kasepekang
4
1
Karangasem
10
40 %
2
2
Klungkung
Bangli
Gianyar
18
Badung
50 %
3
37 %
7
39 %
3
50 %
Kodya Dps.
0%
Tabanan
7
40 %
3
8
Buleleng
Jemberana
75 %
0%
24
Jumlah
57
42%
Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang
konflik di Bali, selama tahun 1999-2006.
Dalam hubungan dengan tata cara pelaksanaan sanksi adat kasepekang, menarik
untuk dikemukakan hasil pesamuan Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat
I Bali, tanggal 27 Februari 1997, tentang Pedoman Pelaksanaan Penanjung Batu,
yang antara lain menentukan sebagai berikut.
Bagi krama desa adat yang dikenakan pamidanda kanorayang (pengucilan,
penyisihan, skorsing) tidak dikenakan penanjung batu bila menggunakan setra,
karena statusnya masih sebagai krama desa adat. Krama yang kanorayang tidak
mendapat bantuan banjar (tan polih panyanggran banjar), tidak dapat menggunakan
kentongan (tan polih suaran kulkul) dan tidak mendapat pemberitahuan (tan polih
arah-arahan). Demikian juga untuk melaksanakan persembahyangan di Pura milik
desa adat wajib melakukan penyuakan (nyuwaka) terlebih dahulu kepada prajuru
desa adat. Selama yang bersangkutan kanorayang, diberikan kesempatan kembali
sadar dan aktif mekrama desa adat dalam waktu paling lama satu tahun menurut
Tidak diijinkan mengambil air untuk diminum ataupun untuk mandi di pancuran, di
sungai, ataupun di parit dan sebagainya di wilayah Desa Adat Bungaya.
Tidak diijinkan melakukan adol atuku di Pasar Desa Adat Bungaya.
Demikian pula kepada mereka ditegaskan untuk tidak melakukan perbuatanperbuatan atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau
hukum yang berlaku.
http://customarylaw.unud.ac.id/ind/?p=47
Hukum ''Kasepekang''
ISTILAH hukum kadang terasa aneh. Ada istilah tahanan kota, tahanan rumah, tahanan
badan. Tahanan rumah semestinya yang ditahan tidak boleh keluar rumah. Tetapi kalau
orang kaya yang rumahnya banyak, mereka bisa keluar dari satu rumah untuk menuju
rumah lainnya. Pak Harto pernah berstatus tahanan kota, tetapi bisa pergi menengok
anaknya di Nusakambangan. Kota bagi Pak Harto begitu luas.
Di Bali, ada istilah hukum adat meskipun tak semua desa adat punya kebiasaan itu yang
disebut kasepekang. Ini pun terasa aneh. Batasannya tidak menyangkut badan (ditahan
atau disel), dan tidak juga menyangkut rumah (ia bisa keluar rumah sewaktu-waktu),
apalagi menyangkut kota. Ia bisa ke mana saja. Batas dari hukum kasepekang itu adalah
mereka dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan
dari desa adat sampai sang terhukum membayar kewajiban denda adat. Konon, di sebuah
desa yang memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, warga desa adat itu
dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Pokoknya sang terhukum ibarat
orang sakit gede. Warga adat tak boleh berbicara dengannya, tak boleh menolong orang
itu, dan orang yang sedang menjalani hukuman kasepekang tidak mendapatkan pelayanan
apa pun dari adat. Pokoknya hubungan putus tuntas-tas-tas. Kalau orang luar Bali
mendengar berita ini, akan langsung berkomentar: kejam betul orang Bali. Bahkan,
komentar serupa sering muncul di kalangan orang Bali yang sedang merantau.
Tetapi, nanti dulu. Orang Bali tidak kejam kok. Buktinya, mereka toleran benar kepada
tamu dan pendatang. Apalagi kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah halus sekali
orang Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat tertentu
mengalami kasus kasepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang
berjualan di desa adat tertentu kena kasepekang? Orang Bali itu baik sekali kepada orang
non-Bali.
Dulu di desa adat saya ada tiga keluarga pedagang sate ayam asal Madura. Mereka ikut
kegiatan desa, apa pun bentuknya, kecuali urusan bersembahyang ke pura. Suatu kali orang
Madura itu tak ikut kerja bakti di jalan karena berdagang di kampung tetangga yang sedang
ada upacara. Artinya, ia tak bisa bekerja bakti (ngayah) karena mencari peluang untuk
mendapatkan rezeki, mumpung ada keramaian. Masyarakat maklum saja, seolah-olah itu
tak ada masalah, pekerjaannya memang berdagang.
Lalu, di suatu hari, seorang warga adat Bali dan Hindu tidak ikut ngayah memperbaiki
selokan. Alasannya mendadak diminta lembur oleh perusahaannya karena order meningkat.
Warga desa banyak yang marah-marah dan ada yang usul agar orang itu kasepekang. Ia
harus dihukum, tak berlaku istilah pekerjaannya memang di pabrik. Untung kepala adat
punya wawasan dengan menyebutkan setiap orang punya masalah dengan pekerjaannya
dan apa yang disebut ngayah dalam konsep desa adat tak sama dengan kerja paksa. Ngayah
itu harus dilihat pula dari unsur tulus dan ikhlas. Manyama-braya dalam lingkup desa adat
adalah memahami masalah-masalah yang dihadapi warga desa dan kemudian menerapkan
konsep saling asah, saling asih dan saling asuh.
Di desa saya memang tidak ada istilah kasepekang, apa pun kasusnya. Aneh bin ajaib
sesama warga desa yang turun-temurun tinggal di desa saling menghukum, sementara
dengan pendatang kita begitu tolerannya. Saya tak mengatakan harus mengurangi toleransi
dengan pendatang, tetapi saya ingin mengatakan, janganlah sesama orang Bali, apalagi
satu agama, saling bertengkar dan mau diadu.
Banyak orang bertanya, kalaupun sekarang ini masih ada desa yang menerapkan
kasepekang, kok hal itu masih dianggap berat? Bukankah kasepekang tidak seperti tahanan
rumah, tahanan kota dan tahanan badan? Tak ada yang ditahan dan dibatasi. Yang ada
hanya sanksi adat, dan itu pun sanksi adat di mana sang terhukum terdaftar sebagai warga
adat. Solusinya kan gampang? Keluar saja dari desa adat itu dan mendaftarkan diri di desa
adat yang lain. Atau tak usah ikut-ikut desa adat.
Nah, ini bukan soal gampang, ternyata. Karena di Bali adat itu lebih mencengkeram
dibandingkan agama. Adat punya sarana yang mengatur hidup mati orang Bali yang
beragama Hindu. Soal hidup kaitannya dengan persembahyangan, Pura Kahyangan Tiga
terkait dengan adat. Soal mati menyangkut kuburan, yang punya kuburan itu adalah desa
adat. Apa mau kita hidup dan mati gentayangan?
Apa tak ada jalan keluar? Pasti ada, lembaga adat jangan kaku dan kuno, harus mengikuti
kemajuan zaman. Ini sudah banyak terjadi di Bali, bahkan awig-awig sudah dibuat modern.
Namun, jika lembaga adat tetap kaku, lembaga agamalah yang harus mendobraknya.
Dirikan Pura Jagatnatha minimal di setiap kota kabupaten, sehingga orang hidup bisa
sembahyang tanpa sekat adat. Buatlah kuburan Hindu apakah dalam bentuk krematorium
atau tanah biasa, agar orang mati segera bisa diupacarai. Umat Hindu di luar Bali
(termasuk yang etnis Bali) sudah menggunakan sarana ini, karena itu mereka tak kenal
kasepekang.
* Putu Setia
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/11/22/bd3.htm
KASUS adat kasepekang kembali mencuat di Bali. Seorang warga Banjar Pakudui,
Desa Pakudui, Tegalalang, Gianyar, Made Rangga dikenai sanksi kasepekang oleh
banjarnya. Akibat sanksi ini, saat pengabenan ayahnya, almarhum Mangku Sunil
yang juga pemangku Pura Puseh Pakudui itu, Made Rangga dikenai kewajiban
membayar penanjung batu Rp 3.200.000. Kasus serupa sebelumnya juga muncul di
beberapa tempat lain di Bali. Orang pun kembali membincangkan masalah
kasepekang. Kerapnya kasepekang dikaitkan dengan hak untuk dikubur di kuburan
desa memunculkan pemikiran untuk menghapuskan saja sanksi kasepekang dalam
hukum adat Bali. Pasalnya, sanksi kasepekang yang disertai larangan mengubur di
kuburan desa dinilai tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Namun, ada juga yang memandang sanksi kasepekang masih perlu untuk
dipertahankan sebagai upaya tetap menjaga kekuatan hukum adat Bali.
-------------------------ISTILAH kasepekang masih sulit untuk dirunut asal-muasalnya. Peneliti hukum adat
Bali, Wayan P. Windia saat berbicara dalam semiloka bertajuk "Kasepekang dalam
Perspektif Hukum dan HAM" yang dilaksanakan Bali Santhi LPM Unud, Jumat
(19/9) lalu, ada banyak pendapat mengenai asal-usul kata kasepekang. Kersten,
seperti dikutip Windia, berasal dari kata sepek yang mengandung arti
'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang
dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan kata sepek diartikan
sebagai 'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan 'dikucilkan'. Hal yang sama
juga ditemukan dalam Hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA)
Provinsi Bali, 27 Februari 1997.
Pendapat lain tentang kasepekang dikemukakan oleh Wayan Koti Cantika. Dosen
hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud ini mengemukakan kasepekang berasal
dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak diajak bicara' atau 'dikucilkan'. Dalam
konteks sanksi adat, menurut Koti Cantika, kasepekang berarti masih diakui
keberadaannya sebagai warga, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar adat
atau desa adat.
"Kasepekang itu artinya di-tengilin (tidak diajak bicara) dan tidak diikutsertakan
dalam saurah-arih kegiatan suka duka adat. Tapi masih punya hak seperti krama adat
lainnya. Berbeda halnya dengan kanorayang yang artinya pipil-nya dikembalikan atau
diberhentikan sebagai krama adat," beber Koti Cantika.
Namun kenyataannya, antara kasepekang dan kanorayang selama ini kerap dianggap
sama. Kedua istilah itu juga disamakan artinya dengan kaeladang, kamenengang, tan
polih arah-arahan, kagedongin, kapuikin gumi, kapuikin banjar, kapuikin desa atau
dunia ini yang melarang orang, Ngayah di Pura dan lain lainnya. Banyak
Ajaran Hindu Karuna/ Cinta Kasih , Ahimsa Tidak Menyakiti/Tidak
Membunuh , Pada Tgl.16 Desember 2009 Pecaruan Desa, I GEDE
SUASTHA Telah mengumumkan dan diketahui Umum tentang Kasepekang
Putu Wasa dan Nyoman Budiartini melalui TOA.Hal tersebut tidak punya
Dasar Alas Hukum dan Awig Awig yang kuat yaitu Pawos/Palet berapa
disebut?.Jelas tidak ada Dasarnya. Jika Tak Berdasar /Beralas Hukum MAKA
KAMI NYATAKAN PRAJURU bertindak SEWENANG WENANG
Sekehendak Hati dan ini Tak Perlu mendapat Pembelaan dari Warga Krama
dalam ruang Desa Pakraman Bebetin, Bukanlah mementingkan kepentingan
Individu/Peroarangan dan/atau Kelompok Terbesar/terkecil, Bukan karena
menanam jasa/tidak dll JADI Kepentingan Bersama /umum di Kedepankan
jadikan UJUNG TOMBAK pengabdian di Adat. Mengabdi pada Adat
menjauhkan diri dari Larangan dan mengikuti Ajaran Agama. Bukan
Mengikuti Kehendak dan Melanggar Ajaran Agama dan Aturan/Hukum/ demi
kepentiana Duniawi )
Begitu kejamkah orang Bali?
dilanjut ke 3
20 Desember 2009 11:18
cening mengatakan...
lanjutan 3
KASUS kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi,
Banyak yang tak paham, siapa yang seharusnya mengayomi masalah ini.
Interaktif di Radio Global,., karena kasepekang termasuk kasus adat, bukan
kasus agama. Urusan adat ada yang menanganinya, yakni Majelis Desa
Pakraman, sebuah lembaga yang ada kepengurusannya dari Tingkat Desa
(Majelis Desa Pakraman), Kecamatan (Majelis Alit Desa Pakraman),
Kabupaten (Majelis Madya Desa Pakraman) sampai tingkat propinsi (Majelis
Sekehendak Hati dan ini Tak Perlu mendapat Pembelaan dari Warga Krama
dalam ruang Desa Pakraman Bebetin, Bukanlah mementingkan kepentingan
Individu/Peroarangan dan/atau Kelompok Terbesar/terkecil, Bukan karena
menanam jasa/tidak dll JADI Kepentingan Bersama /umum di Kedepankan
jadikan UJUNG TOMBAK pengabdian di Adat. Mengabdi pada Adat
menjauhkan diri dari Larangan dan mengikuti Ajaran Agama. Bukan
Mengikuti Kehendak dan Melanggar Ajaran Agama dan Aturan/Hukum/ demi
kepentiana Duniawi )
Begitu kejamkah orang Bali? Ternyata tidak. Buktinya, yang terkena hukum
kasepekang hanya krama Bali, krama pendatang tidak kena apa-apa. Apalagi
kalau pendatang itu bukan orang Hindu, wah... halus sekali penerimaan orang
Bali. Mana ada pedagang sate dari Madura yang tinggal di desa adat
mengalami kasepekang? Mana ada pedagang pecel lele dari Jawa Timur yang
berjualan di desa adat kena kasepekang? Om Shanti Shanti Shanti Om.
Tertanda FPDP( forum pemerhati desa pakraman ) Bebetin.
20 Desember 2009 11:21
cening mengatakan...
lanjutan 4
Ayo adakan rembuk, malu hanya bisa ngomong ajeg Bali, dan tingkatkan
Budaya Malu bagi Perangkat Adat Desa dan Warga Krama yaitu ; Malu Pada
Diri Sendiri, Malu pada orang lain, dan Malu tidak berbuat /Malu Berdiam
diri apalagi sebagai Tokoh Adat atau Tokoh Masyarakat atau sebagai
Intelektual. tetapi dalam praktik Bali dibiarkan merana. (Putu Setia ) danKoti
Santika: Wicara medasar hasil pesamuan 3 tahun 1974, pamidanda
kesudamala desa. Masalah kasepekang yang dikaitkan dengan HAM dan
merupakan pelanggaran HAM. Pesan saya kita membuat awig-awig agar
fleksibel, tidak terlalu keras dan longgar. Om Santi Santi Santi, Om. I Cening
Sutiadnya; Penyebab banyak kasepekang di Desa Pakraman Bebetin karena :
1) Tidak ada dibentuk Majelis Desa Pakraman, 2) Tidak Ada Perangkat Kertha
Desa dan Sabha Desa ,3) Desa Pakraman hanya dipegang oleh Bendesa dan
Prajuru saja Penyebab Terjadinya Masalah Masalah Desa Adat. 4) Awig Awig
yang tidak sesuai dengan Azas Pancasila dan UU NKRI. Dan disalah Gunakan
Awig Awig oleh Perangkat Desa Pakraman.BUKTI BUKTI : Permasalahan
Adat dan Lingkungan , Bendesa TIDAK KOOPERATIF Mengayomi Warga
Krama, Keputusan -Keputusan penting di Desa Pakraman Bebetin di Kuasai
Bendesa dan Prajuru/Tidak sesuai aturan. Tidak terlaksana Rutinitas Paruman
Desa. Semua hal diatas berakibat: Warga Kerama Seolah olah Manut sanunut
dalam kondisi Tertekan secara psikis. ( ini merupakan Kekerasan Psikis )
dalam Ramah Tangga ada Payung Hukum UU Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ( UU P KDRT ) . bukan kekerasan Pisik saja diatur termasuk
kekerasan Mental/Psikis. HAMBATAN Nanti: Pengabdian di Adat bukan
lahan mencari Nafkah lebih banyak membutuhkan Abdi Tulus Desa
Pakraman. Bukan menjadi Abdi seumur hidup/MEWARIS.Kata Siapa? .
Kesimpulan FPDP Bebetin : 1)) Awig Awig Tertulis dibuat tanpa Tahapan yg
benar tidak mengayomi, Diskriminatif ,Tindakan &Keputusan di Adat diambil
sekelompok orang, Akibat Tidak dibentuk Struktur yg benar Pengurus Adat
( Adanya Kertha Desa, Sbaha desa, Majelis Desa) berakibat pada Kewenagan
dimonopoli, & Prajuru Tidak Patuh pada Perda/Keputusan Pesamuhan II
,Sabha.dll 2)) Kepada yang menjadi Tokoh Adat, Tokoh Desa untuk Aktif
berbicara dan mengambil tindakan Nyata tindak lanjut Perbaikan Sistem Tata
Desa Pakraman kearah lebih Maju ,Mengayomi Warga Krama Segera
REVISI.3)) Aspirasi Warga Krama Jangan dianggap LAWAN,4)) Kepada
semua Pihak agar berlaku Jujur pada Diri dan Adil dalam KAYIKA. 5))
Pemerintah Desa Perbekel,Camat, Bupati seharusnya Peka dan aktif dengan
masalah sosial di Bebetin. Jangan warga dielus saat
Pilkada/pilkades/pilkadus/pileleg saja .Bukan Tokoh kalau Ngekoh Ngomong.
, hendaknya Peduli ini ! Bukan pada Pembangunan Fisik saja. 6)) Bpk Camat
berjanji kpd Kt Tika Dkk.FPDB Bebetin bahwa setelah tgl 17 Des 2009
menyelesaikan tindak lanjut Surat MDP Buleleng No.76-MDP-BLL/XI/2009
tgl 14 Nop 2009. 7)) Surat Somasi Warga ( Gede Subandi dan Ketut Negara cs
Kpd Bendesa&Perbekel hal Hibah Tanahnya th 1978.Segera Sikapi. Dan
dijawab tertulis. Om Shanti Shanti Shanti Om. Tertanda FPDP Bebetin
http://pojok-bali.blogspot.com/2008/11/kasepekang-dihapuskan-saja-atau.html