Anda di halaman 1dari 4

Judul Materi : Pendekatan Sosial Budaya Dasar Dalam Pendidikan

Kebidanan Melalui Sistim Banjar

PEMBAHASAN

Pengertian Sistem Banjar


Banjar merupakan organisasi kemasyarakatan tradisional di Bali. Organisasi ini
seperti sistem RT atau RW pada masyarakat Indonesia modern. Banjar sudah ada sejak
zaman dahulu dan mulanya dikenal dengan nama subak. Pada awalnya, merupakan
organisasi yang hanya mengatur masalah-masalah di sawah karena masyarakat Bali
waktu itu sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Subak mengatur masalah
pegairan juga masalah lain yang berkaitan dengan pertanian, seperti penanggulangan
hama, penggadaan upacara di pura subak, membantu anggota yang panen, dan
sebagainya.
Di samping kelompok-kelompok kerabat patrilineal yang mengikat orang Bali
berdasarkan atas prinsip keturunan. Ada pula bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang
didasarkan atas kesatuan wilayah, ialah desa. Kesatuan-kesatuan sosial serupa itu
kesatuan yang diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara kegamaan yang
keramat. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa adat di pegunungan
dan desa adat di tanah datar. Desa-desa adat dipegununggan biasanya sifatnya lebih
kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir didesa itu juga.
Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (karma desa) dan
mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut bale agung, dan berhak
mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari tatap. Demikian
sering terdapat diferensiasi kedalam kesatuan-kesatuan adat yang khusus didalamnya,
yang disebut banjar. Banjar juga merupakan organisasi kemasyarakatan tradisional di
Bali. Banjar sudah ada sejak zaman dahulu dan mulanya dikenal dengan nama subak.
Pada awalnya, subak merupakan organisasi yang hanya mengatur masalah-masalah di
sawah karena masyarakat Bali saat itu sebagian besar mata pencahariannya bertani.
Subak mengatur masalah pengairan juga masalah lain yang berkaitan dengan pertanian,
seperti penanggulan hama, pengadaan upacara di pura subak, membantu anggota yang
panen, dan sebagainya.
Dengan berkembangnya zaman, banjar juga mulai berubah tepatnya bertambah
fungsi. Bila dulu hanya unutuk kepentingan di sawah, sekarang banjar juga mengurus
masalah administrasi pemerintahan.

Dikutip dari : Wahit Iqbal Mubarak, Nurul Chayatin, Iga Mainur, Ilmu Sosial Budaya Dasar
Kebidanan (Jakarta: ECG,2010), hlm. 190.

Macam-Macam Banjar
A. Banjar Dinas
Banjar Dinas adalah suatu organisasi sosial yang boleh atau tidak dimiliki oleh
setiap desa adat (tidak diwajibkan) di Bali. Ketuanya disebut kelian dinas. Fungsinya
lebih ke urusan administrasi, seperti pembuatan KTP, dan kartu keluarga dilakukan
disini. Anggota banjar dinas merupakan orang-orang yang tidak asli dari desa adat
tersebut. Angota banjar dinas berasal dari orang-orang luar yang merantau atau sudah
lama tinggal di dalam desa adat tersebut.
Dalam praktik kebidanan, peranan banjar sangat penting sebab merupakan
organisasi dengan rasa kekeluargaan yang sangat tinggi, prinsip utamanya adalah saling
memberi dan menerima. Secara tidak langsung seorang bidan dalam memberikan
asuhan kebidanan harus tulus, ikhlas menganggap klien seperti saudara sendiri dan
mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Sifat-sifat banjar dinas yaitu:
1. Keanggotaannya bersifat heterogen.
2. Kegiatan sosialnya tergantung dari program pemerintah.
3. Diikat oleh peraturan atau undang-undang dari pemerintah.
4. Dipimpin oleh kelian dinas.

B. Banjar Adat
Banjar Adat adalah suatu organisasi sosial yang dimiliki oleh setiap desa adat
dibali. Karena salah satu syarat terbentuknya desa adat harus memiliki beberapa banjar
adat. Ketuanya disebut kelian adat. Anggota banjar adat itu sendiri merupakan warga
asli diwilayah tersebut. Banjar ini mengurusi masalah sosial seperti saat ada kematian,
upacara perkawinan krama banjar, serta upacara-upacara keagamaan. Kelian adat dan
kelian dinas suatu banjar tidak selalu orang yang sama. Namun, walaupun mempunyai
dua orang kelian, dalam setiap sangkep (musyawarah, pertemuan) apapun, kedua kelian
ini diwajibkan hadir.
Sifat-sifat banjar adat yaitu :
1. Keanggotaan bersifat homogen yaitu beragama sama (Hindu).
2. Kegiatan sosialnya meliputi pasuka-dukaan (suka-duka).
3. Diikat dengan awig-awig.
4. Dipimpin oleh klian adat.
5. Bersifat otonom.

Cara Pendekatan Sistem Banjar di Bali


Para bidan mempunyai berbagai cara untuk pendekatan diantaranya :
a. Menggerakan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan
contohnya memberikan penyuluhan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan
kesehatan setempat.
b. Pemerintah memberikan, menerapkan, dan menjalankan PosKesDes (pos kesehatan
desa) yang ditunjukan kepada seluruh masyarakat.
c. Guna penyuluhan masyarakat bertujuan untuk dapat menghasilkan perubahan
perilaku yang lestari untuk keluarganya, individu keluarga dan masyarakat itu
sendiri.
d. Penyuluhan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
e. Membina dan memberikan bimbingan dan teknis kepada kader termaksud dukun,
(peran bidan sebagai pendidik), bersama kelompok dan masyarakat menanggulangi
masalah kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan para ibu, anak, dan KB.

Pendekatan praktik kebidanan melalui cara lain adalah melalui pendekatan


edukatif. Pendekatan edukatif adalah rangkaian yang dilaksanakan secara sistematis,
terencana dan terarah dengan partisipasi aktif individu, kelompok maupun masyarakat
secara keseluruhan, untuk memecahkan masalah yang dirasakan oleh masyarakat,
dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial ekonomi dan budaya setempat.
Tujuan pendekatan edukatif adalah memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat dan mengembangkan kemampuan masyarakat agar mampu memecahkan
masalah yang dihadapi. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi dasar yang ditempuh
ialah mengembangkan pemberian pelayanan kesehatan agar mempunyai kesamaan
sikap yang positif terhadap pendekatan yang ditempuh dan bersepakat
menyukseskannya.

Dikutip dari : Wahit Iqbal Mubarak, Nurul Chayatin, Iga Mainur, Ilmu Sosial Budaya Dasar
Kebidanan (Jakarta: ECG,2010), hlm. 190-191.

Anda mungkin juga menyukai