Seri 4: Membangun Budaya Melalui Desa Adat – Desa Adat Baduy Banten
Narasumber:
1. Sariyah (Tokoh Perempuan Adat Baduy)
2. Sukanta, M.Pd (Ketua SABAKI dan DAMANDA)
3. Junaedi Ibnu Jarta, S.Hut, Mr (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lebak)
Penanggap: Prof. Dr. H. Ahmad Sihabudin, M.Si
Moderator: Fitria Diah Anggraeni
Dan tentunya kita melihat bahwa kebudayaan Indonesia adalah umum dan abadi
serta perlu kita kaji ulang saat ini. bicara tentang kebudayaan juga mengerucut pada
yang akan kita bahas membangun budaya melalui desa adat dan di seri ke-4 ini kita
bicara tentang desa adat Baduy, menarik bicara tentang Baduy bahwa mendengar
desa adat Baduy kita berarti melihat sebuah kelompok adat komunitas adat yang
sangat dekat dengan alam. Sangat dekat dengan lingkungannya.
Dan kemudian tentunya diakhir-akhir ini kita mendengar berita-berita yang trending
dan viral tentang bagaimana masyarakat adat Baduy mencoba untuk menghilangkan
mereka dari destinasi wisata. Terlepas dari sebenarnya sudah ada counter discuss
juga tentang hal ini akan tetapi kita bisa melihat bahwa ada satu tawaran yang
menarik bahwa sebuah komunitas adat merasa memiliki kekuatan tersendiri, mereka
bisa berjalan dengan kekhasan mereka dengan kelebihan mereka dan wisdom
mereka.
Jadi kalau bisa dikatakan menarik memberikan sesuatu yang luar biasa untuk tatanan
Indonesia baru sendiri. Apa yang masyarakat Baduy tawarkan saat ini. Nah, dalam
kesempatan ini sobat Festival kita akan membahas membangun budaya melalui desa
adat khususnya desa adat Baduy kita akan membahas permasalahan ini dengan 3
narasumber dan satu penanggap.
Kami akan memperkenalkan terlebih dahulu sekaligus menyapa ibu Sariyah yang
merupakan tokoh perempuan adat Baduy. Pembicara kita berikutnya Sukanta, M.Pd -
Ketua SABAKI dan DAMANDA. Berikutnya Junaedi Ibnu Jarta, S.Hut, Mr, beliau adalah
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lebak. Penanggap kita Prof. Dr. H. Ahmad Sihabudin,
M.Si, terima kasih sudah bergabung bersama kami. Di paparan pertama akan
disampaikan ibu Sariyah untuk melihat dari perspektif perempuan. Tampaknya
belum terdengar suaranya. Terkendala audionya. Kita mungkin bisa ke pak Sukanta
untuk membahas mengenai dapatkah desa-desa di Kasepuhan menjadi desa Adat.
Masing-masing masyarakat adat mempunyai formulasi sendiri, saya berikan waktu
untuk pak Sukanta memberikan paparan selama 10 menit. Dihidupkan dulu mic-nya.
PAPARAN DARI SUKANTA , M.P D (KETUA SABAKI DAN DAMANDA)
Ya baik, terima kasih, ibu moderator. Berbicara masyarakat adat di Banten ini, perlu
saya sampaikan bahwa di Banten ini ada dua komunitas masyarakat adat. Yang
pertama tadi sudah banyak dibicarakan terkait masyarakat adat Badui, yang kedua
masyarakat adat Kasepuhan yang ada di Banten Kidul dalam hal ini. Masyarakat adat
Kasepuhan itu mereka yang tinggal dan menetap di kawasan ekosistem Sanggabuana
atau yang sering mungkin kita dengar adalah di wilayah kawasan Gunung Halimun,
yang tersebar di 3 kabupaten Lebak, Bogor, Sukabumi dan di 2 propinsi yaitu Jawa
Barat dan Banten. Masyarakat Kasepuhan yang tersebar di ekosistem Sanggabuana
itu berpijak pada 3 pilar yaitu apa yang dinamakan dengan Mokaha, Sara, dan Nagara.
Dan kesemuanya memiliki hubungan yang erat dengan Sumber daya alam khususnya
hutan.
Kemudian juga melaksanakan tradisi atau kegiatan rutin yang merupakan budaya
dari para leluhur. Sebaran Kasepuhan yang ada di Banten Kidul ini ada beberapa ciri,
yang pertama memiliki wilayah adat atau wewengkon, kemudian ada
kelembagaannya, kemudian ada pengikutnya atau yang mungkin sering kita dengar
namanya adalah Incu Putu, ada aturan juga yang harus dijalankan dan dipatuhi.
Secara struktur hierarki kelembagaan Kasepuhan atau masyarakat adat yang ada di
Banten ini dipimpin oleh seorang Pupuhu, kemudian di bawah Pupuhu ada
perwakilan atau sesepuh kampung, kemudian di bawah sesepuh kampung ada
rendangan atau gurumulan, kemudian di bawahnya ada tanggungan atau Incu Putu
atau yang kita kenal dengan nama rahayat atau rakyat. Kemudian bagaimana sistem
demokrasi yang ada di masyarakat adat Kasepuhan atau masyarakat adat yang ada di
Banten? Yang pertama segala sesuatu dalam menetapkan keputusan itu berdasarkan
hasil musyawarah adat atau musyawarah mufakat. Kemudian hasil musyawarah itu
menjadi hasil keputusan, kemudian lembaga pelaksana dari keputusan musyawarah
dijalankan oleh Incu Putu dan diperintahkan oleh Pupuhu Kasepuhan dan dibantu
oleh baris kolot atau pemangku adat yang ada di lembaga Kasepuhan itu sendiri.
Kemudian pola hubungan kelembagaan yang ada di kasepuhan atau lembaga adat
kasepuhan ini ada 3 pilar. Ada yang namanya amil atau penghulu, dia memang
bergerak di urusan keagamaan atau yang mungkin hari ini kita kenal dengan
namanya Sara tadi saya sampaikan. Kemudian ada juga jaro adat, dia yang menangani
urusan pemerintahan. Ada yang namanya Kasepuhan. Jaro adat itu sendiri kalau di
lembaga Kasepuhan, dia menaungi jaro-jaro nagara, atau kepala-kepala desa yang ada
di wewengkon atau Kasepuhan itu. Jadi yang namanya urusan kehamilan, urusan
keagamaan, penghulu, jaro adat, dan kasepuhan ini satu kesatuan yang memang tidak
bisa dipisahkan. Itu yang tadi saya sampaikan urusan Sara, urusan Nagara dan urusan
Mokaha. Kemudian perlu saya sampaikan pada kesempatan ini karena hari ini kita
berbicara persoalan yang menarik terkait dengan bagaimana desa-desa yang ada di
nusantara ini, perlu saya sampaikan bahwa di Banten atau di Banten Kidul, atau di
kasepuhan Banten Kidul ini ada beberapa kondisi yang perlu disampaikan.
Yang pertama ada 1 wewengkon adat terdiri dari 1 kasepuhan, tetapi di dalamnya
ada 5 desa administratif. Kemudian ada 1 wewengkon adat terdiri dari 1 kasepuhan
pupuhu dan 1 desa. Ada juga 1 wewengkon adat dihuni oleh 3 kasepuhan pupuhu dan
1 desa administratif. Dan 1 desa terdiri dari beberapa sesepuh kampung atau sesepuh
perwakilan. Karena memang di Banten ini unik ya, menarik. Ada 1 desa yang dihuni
oleh beberapa kasepuhan perwakilan, ada dalam 1 kasepuhan terdiri dari beberapa
desa, dan antara desa dan perwakilan kasepuhan ada yang beda wilayah
administratif. Satu contoh misalnya kasepuhan Ciptagelar yang ada di Sukabumi, ini
sesepuh perwakilannya atau sesepuh kampungnya banyak tersebar di wilayah
administratif propinsi Banten, kabupaten Lebak. Kemudian perbedaan pengambilan
keputusan antara adat dan negara terutama di arena pemilihan langsung di desa
kerap memunculkan konflik antar Incu Putu.
Tadi sudah disampaikan bahwa di desa Kanekes misalnya, sistem penunjukan kepala
desanya ini melalui musyawarah para baris kolot. Sama, masyarakat adat dari
kasepuhan maupun Baduy dengan mengubah status desa dari desa dinas menjadi
desa adat. Nah dalam kesempatan ini juga muncul pemikiran yang dalam posisi
dilematis bagi masyarakat kasepuhan dimana dihadapkan pada 2 pilihan, apakah
memilih desa adat atau memilih desa dinas. Seperti halnya Kanekes tadi pada
prakteknya sudah melaksanakan desa adat, tetapi secara regulasinya, payung
hukumnya ini masih masuk pada kategori desa dinas. Saya kira ini menjadi bahan
diskusi kita siang hari ini, kurangnya pemahaman dan pencerahan dari pihak terkait
tentang bagaimana ketika masyarakat mau memilih desa adat atau mau memilih desa
dinas. Pada kesempatan ini juga perlu kami sampaikan berdasarkan fakta yang ada di
Banten Kidul sudah coba kita usulkan ada 2 desa yang akan diusulkan menjadi desa
adat yaitu desa adat Biradong dan desa adat Kanekes. Hanya kita terkendala karena
konon katanya untuk SK desa adat ini perlu payung hukum berupa Perda yang
harusnya ini dilahirkan oleh pemerintah propinsi. Kalau di Lebak kita sudah ada
Perda walaupun baru berupa pengakuan perlindungan pemberdayaan masyarakat
kasepuhan yang ada di kabupaten Lebak, hanya untuk menuju desa adat betulkah
memang masih perlu ada peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah
propinsi Banten. Itu mungkin beberapa hal yang dapat kami sampaikan, kurang
lebihnya saya mohon maaf. Wabillahit taufiq wal hidayah, wassalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Sampurasun.
Kita akan menuju ke Ibu Sariyah. Baik, selamat siang Ibu. Akhirnya. Bersukacita disini
Bu, bisa didengar suara merdu dari Ibu Sariah. Luar biasa. Ibu apa kabar? Iya,
alhamdulillah baik, dan mungkin bisa lebih dekat ke laptop, ke sumber suara. Bisa
mendekat agar lebih mengenal Baduy dengan lebih dekat lagi. Baik Ibu, di siang hari
ini kami memberi waktu ibu untuk bercerita, untuk sharing tentang Baduy kepada
seluruh sobat festival disini dan tentunya mungkin juga dari perspektif seorang
perempuan. Seperti itu. Baik, silakan kami berikan waktu paparan Ibu 10 menit dan
nanti kita juga akan langsung menuju ke narasumber berikutnya dan langsung kita
akan membuka diskusi. Kami persilakan waktunya untuk Ibu Sariyah.
PAPARAN DARI SARIYAH (TOKOH PEREMPUAN ADAT BADUY)
Ya, jadi bagi masyarakat Baduy perempuannya beraktivitasnya berladang, terus
selain berladang bikin kerajinan. Sekaligus jadi ibu rumah tangga. Terus sekarang-
sekarang kan ada dampak Covid-19, jadi bagi masyarakat Baduy itu ada pengaruhnya.
Kenapa masyarakat Baduy ikut terpengaruh dengan Covid-19? Karena di nilai
ekonomi agak kurang karena pengrajin-pengrajin tenun itu kurang penjualan karena
nggak ada pengunjung sama sekali ke Baduy untuk melihat ketrampilan kami untuk
bikin kain tenun. Terus akhirnya ekonominya agak melemah bagi ibu-ibu perempuan
masyarakat Baduy. Separuhnya itu bikin kerajinan tenun dampak ekonominya jadi
kurang. Jadi kan di Baduy jadi desa adat tapi di negara belum dibikin desa adat, masih
belum tercantum di negara. Sedangkan kami dari nenek moyang kami tetap desa
adat.
Nah jadi sekarang mau diperhatikan sama pemerintah dibikin desa adat di Baduy.
Nah, untuk kami sebagai perwakilan ibu-ibu Komnasham perempuan di Baduy in
iingin dibikin untuk desa wisata adat, jadi kami ada pengaruhnya juga kalau misalkan
kami tercantum di negara, karena sampai hari ini belum tercantum di negara. Padahal
kami dari dulu desa adat.
Pak Ahmad Sihabudin, ternyata cukup menarik bahwa kalau kita berpikir bahwa desa
adat itu memiliki kekuatan yang luar biasa gitu. Tadi kemudian juga ada satu
testimoni tersendiri bahwa ternyata mereka juga tergantung secara ekonomi terkait
juga dengan adanya pandemi Covid-19 ini dan kemudian cara-caranya akhirnya jadi
bisa dikatakan, saya agak terkejut juga jadi bahwa ternyata ketergantungan ekonomi
itu luar biasa dengan pihak-pihak luar gitu. Ini apakah ada yang kemudian salah gitu,
atau seperti apa melihatnya Pak Ahmad Sihabudin? Bapak, mungkin bisa di-unmute
terlebih dahulu?
TANGGAPAN DARI PROF. DR. H. AHMAD SIHABUDIN, M.SI
Baik, selamat siang Pak Sukanta, Bu Sariyah, dan peserta diskusi pada siang hari ini.
Pertama-tama tentunya saya ingin coba ke belakang dulu ya, saya awal perkenalan
dengan masyarakat Baduy itu 2006 saat menulis tugas kuliah, kemudian berkenalan
dengan masyarakat Kasepuhan, dusunnya saya nggak hapal, maaf Pak Sukanta, itu
tahun 2011, 2012.
Saya sebetulnya tidak pandai bercerita ini, saya menulis. Saat 2010 itu kebetulan ada
buku kami yang ditulis bersama Pak Asep Kurnia ya, Bu Sariyah mungkin hapal,
suami dari Bidan Ros yang menangani kesehatan Baduy. Kemudian saat launching
waktu itu dengan beberapa tokoh Baduy Dalam ya, ada Ayah Yasina almarhum ya
sudah meninggal, Ayah Mukhsin, kemudian dari Jaro Dalam Cibeo, dan ada utusan
dari Jaro Alim Cikeusik. Itu bertanya begini. Pak Sihab, saya dengan kesederhanaan
masyarakat Baduy ini kalau dari Senayan ke istana dekat tidak? Bertanya seperti itu.
Ya kalau naik mobil dekat tapi kalau jalan kaki jauh. Karena orang-orang Baduy
Dalam kan jalan kaki ke Senayan itu. Bayangkan yang dari kampungnya di dalam
menuju Senayan itu berjalan kaki. Emang ada apa? Saya tanya waktu itu. Emang
kenapa? Ada apa, Ayah? Kami mau menagih janji, pada pemerintah saat itu berjanji
saat kami dikumpulkan masyarakat adat nusantara itu, akan membuatkan UU tentang
desa adat. Tapi sampai hari ini belum. Nah waktu itu saya lagi bersamaan dengan Mas
Imam Prasodjo, samping saya. Karena beliau yang kebetulan mengupas buku kami,
membedah buku kami. Jangan. Kata Mas Imam. Jangan ngomong di sini, dengan
berseloroh, nanti bukunya nggak laku lho. Nanti malah itu jadi beritanya. Jadi
sebetulnya permohonan, permintaan masyarakat adat yang saya tahu itu sejak 2005,
untuk ingin ada UU tentang desa adat. Tapi baru tercetus, saya baru dengar dari
masyarakat Baduy saat itu 2010.
Nah ini berarti kan sudah cukup lama, nah selang saya lupa, waktu dengan Jaro Saijah
satu panggung saya, Jaro Saijah dan Ayah Mursid kita diundang oleh satu kelompok
semacam Lembaga Swadaya Masyarakat lah, intinya memperjuangkan waktu itu
masalah kepercayaan Sunda Wiwitan. Kita berdiskusi di gedung negara, di gedung
milik DPRD Propinsi Banten, berkaitan dengan keinginan masyarakat adat untuk
dicantumkan kepercayaannya ya, Sunda Wiwitan. Saya berbicara waktu itu
berdasarkan mungkin nggak jauh beda ya apa yang saya sampaikan terkait dengan
eksistensi masyarakat adat.
Sebetulnya eksistensi masyarakat adat ini dalam pandangan saya mungkin juga
keliru, itu sudah cukup sih sebetulnya, dilindungi oleh beberapa peraturan ya, atau
dalam hal ini di UU Desa juga kan disebutkan sebetulnya ada penyebutan desa ini
disebut desa dan desa adat. Kan gitu. Nah, dalam waktu yang bersamaan waktu itu
juga, ada diskusi yang maaf Pak Sukanta, waktu itu juga ada yang penyelenggaranya
waktu itu Biro Pemerintahan di Propinsi Banten mengadakan diskusi juga dengan
rencana, mungkin Bapak hadir juga, itu hampir seluruh Kasepuhan dan termasuk
Baduy juga hadir saat itu membicarakan rencana tentang Perda tingkat propinsi ya
desa adat, tentang masalah masyarakat adat ini. Ya sambutannya sih saya baik ya,
saya dari sudut pandang orang luar dari Kasepuhan dan orang luar dari masyarakat
adat Baduy, ya mereka punya perangkat kan, mereka punya perangkat, sistem
sendiri, berkaitan dengan masyarakat adat tradisi mereka itu sebetulnya sudah bisa
kita katakan ini desa adat.
Sebetulnya maaf Pak Sukanta saya yang masih ingat itu waktu saya wawancara
dengan Abah Usep dari Kasepuhan Cisungsang, beliau mengatakan ya kami punya
cara sendiri dalam menentukan siapa-siapanya. Nah menentukan cara sendiri siapa-
siapa ini kan sebetulnya nilai-nilai adat. Seperti juga kalau tidak salah di Baduy juga
selama saya bergaul dengan mereka ya tentang penentuan Jaro Saijah yang sekarang
jadi Jaro Pamarentah yang mewakili. Jaro Pamarentahnya itu secara musyawarah
adat, di dalam kan itu Jaro Tangtu. Secara musyawarah Tangtu Cibeo, Tangtu
Cikertawana, Tangtu Cikeusik itu ya biasanya kalau dalam obrolan siapa nanti yang
diserahkan ke puun untuk dapat restu ya, nah nanti biasanya secara adat, mengikuti
musyawarah adatnya secara langsung saya belum pernah juga, hanya disampaikan
secara lisan oleh para tokoh adat seperti itu penentuan kepala desanya. Atau siapa
yang akan jadi Jaro Tangtu di Cibeo, siapa yang akan jadi Jaro Tangtu di Cikertawana,
siapa yang akan jadi Jaro Tangtu di Cikeusik, atau misalnya di Kasepuhan siapa nanti
yang akan jadi bengkong, paraji, puun itu biasanya kan kemudian ada istilah amil ya
tadi Pak Sukanta juga menyampaikan. Ini sebetulnya kan sistem adat yang sudah ada
sejak dulu gitu kan, kalau menurut cerita Apih Adeng, saat itu almarhum Apih Adeng
masih ada sempat saya wawancara. Di buku kan ada ini nanti saya kirimkan aja ini
Kasepuhan Cisungsang saya coba tuliskan. Saya tidak pandai berbicara kemudian
disertasi saya saya bukukan juga dalam buku Baduy.
Kalau dalam pandangan saya, kan di UU Desa sudah disebutkan diserahkan kepada
lokasi tempat tinggal desa atau tempat itu apa. Mau disebutnya apa. Seperti di Banten
Selatan, di Sabaki ya Pak Sukanta ya, itu kan mereka menyebutnya kasepuhan. Nah
itulah desanya gitu. Desa adatnya disebutnya kasepuhan. Nah kalau di Baduy kalau
tidak salah mereka menamakan dirinya, kan kalau ditanya kami orang mana pasti
disebutnya ada yang mengatakan kami ini bukan orang Baduy mereka biasanya
mengatakan kami ini orang Kanekes, Rawayan ya, karena ada nama aslinya itu gitu.
Berarti kan itu sebutan dari orang luar sebetulnya kalau menurut para peneliti
terdahulu. Seperti Profesor Yudhistira, Profesor Kusnaka, mereka mengatakan Baduy
itu kan karena cara berladangnya berpindah-pindah.
Sebenarnya kalau mereka ditanya pasti menyebutnya kami mah orang Kanekes. Nah
sebutan-sebutan ini kan di UU dicantumkan ya, saya lupa nama pasalnya itu. Mau
menyebut kasepuhan, mau menyebut ulayat, nah tapi keinginan mereka ada UU
tentang desa adat. Itu yang saya tahu dari tahun 2005 permohonannya itu. Mereka
saat berkumpul ada pertemuan masyarakat nusantara ya, adat nusantara di Taman
Mini waktu itu. Ya tinggal diini saja, pada masa presiden siapa itu tahun 2005 itu.
Sekarang ini kan mungkin masyarakat adat sudah cukup lama juga menanti UU itu.
Tapi kalau dari aspek peraturan baik UU Desa, UUD yang ke atas 1945, kemudian
Keppresnya, peraturan pemerintah baik tingkat satunya di daerah kalau di Banten
menurut saya itu sudah cukup eksis ya Pak Sukanta ya, pengakuan dari pemerintah
juga sudah ada Perdanya. Di Baduy juga kan.
Nah seperti yang disampaikan oleh Jaro Saijah saat pemutaran video memang
masyarakat Baduy ini bertambah terus saat di Perda itu tahun 2005 kampung,
lembur itu baru 51 kalau nggak salah Bu Sariyah ya. Kalau sekarang kan berkembang
terus itu. Kalau tidak salah hampir 71-72 lembur gitu kan. Artinya ada tanah-tanah
yang tadinya lahan produktif digunakan untuk tempat tinggal. Ini persoalan yang tadi
itu bu moderator ya, ada keterkaitannya dengan ekonomi di luar nanti juga. Karena
lahan kalau di Baduy kan lahan produksinya tadinya mungkin untuk produksi karena
perkembangan penduduk terus, penambahan perkampungan yang terus meskipun
mereka tidak akan menyentuh lahan yang bukan leuweung kolot, ya intinya lahan
produksinya itu berkurang digunakan untuk pemukiman. Karena dari 50 dari tahun
2005 sampai sekarang udah hampir 71 lembur, kampung ya. Kalau yang di saya tulis
ini kan jumlah penduduknya waktu itu sudah hampir 11.000. tapi alhamdulillah ini
kalau dari perkembangan mungkin Bu Sariyah bisa menyampaikan bahwa di Baduy
juga akseptor KB terus meningkat ya Bu ya. Tentang Keluarga Berencana ya, hidup
sehat berpola, keluarga berencana ini sudah banyak juga yang ikut gitu. Mungkin itu
saja dulu dari saya, mungkin nanti bisa dilanjut dengan diskusi ya.
Nah ini nanti akan kita bahas lagi terkait dengan membicarakan tentang desa adat
dan tentunya membicarakan perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy ini
berbicara juga tentang Perda yang ada di Kabupaten Lebak sendiri. Kalau bicara
tentang peraturan-peraturan tentunya kita akan menuju ke narasumber berikutnya
ini tentunya beliau sangat akrab dengan aturan dan mengawal di sisi legislatif untuk
pembuatan peraturan-peraturan daerah yang terkait dengan perlindungan terhadap
hak adat ya. Dan langsung saja kami akan menyapa ke narasumber berikutnya, Bapak
Junaedi Ibnu Giarta, MM. Beliau adalah wakil ketua DPRD Kabupaten Lebak. Selamat
siang Bapak, Bapak Ibnu, Junaedi Ibnu Giarta? Baik, belum terhubung. Selanjutnya
kita langsung memberikan waktu langsung masuk ke sesi tanya jawab. Silakan sobat
festival untuk bisa menanyakan hal-hal yang terkait dengan adat Baduy dan juga
tentunya aturan-aturan yang terkait dengan perlindungan terhadap hak atas
komunitas adat Baduy juga. Baik kita akan membuka langsung pertanyaan-
pertanyaan yang sudah masuk tentunya.
Ya ini dari Isa Yusidia di Lampung untuk semua panelis. Ingin bertanya bagaimana
masyarakat Baduy menjaga kelestarian adat budaya mereka di tengah era modern
sekarang ini. Seperti apa keterlibatan anak muda di Baduy dalam pelestarian adat
masyarakat Baduy. Jadi ini adalah pertanyaan untuk semua panelis tentang
bagaimana masyarakat Baduy menjaga kelestarian adat di era modern dan
keterlibatan anak muda dalam pelestarian adat. Kita mulai dari siapa dulu ini yang
akan menanggapi kita mulai dari Bapak Sukanta. Ya, kepada Pak Sukanta mungkin
bisa menanggapi pertanyaan tentang bagaimana masyarakat Baduy menjaga
kelestarian adat budaya mereka di tengah era modern ini juga keterlibatan anak
mudanya dalam pelestarian adat.
Jadi hubungan yang banyak membahayakan dengan urusan yang berkaitan dengan
urusan kimia atau hal-hal yang memang secara kesehatan ini banyak dilarang atau
membahayakan ini tidak banyak dilakukan oleh masyarakat Baduy dan masyarakat
kasepuhan. Jadi kami lebih percaya bahwa dengan banyak berhubungan atau
beraktivitas yang sifatnya di alam, kaya berkebun misalnya, beternak, akan lebih
aman sekalipun pada saat kondisi terserang atau terkena wabah seperti pada saat
seperti ini.
Jadi pernah para Jaro itu bicara, ini kok mau Seba kok bingung amat, padahal mereka
tuh ya, saya sampaikan di sini, mereka itu untuk Seba itu tidak penting yang nerima
siapa. Mau gubernur kek, mau wakil gubernur kek, mau Setda kek, yang penting
mereka melakukan ritual itu tidak mengubah kalender itu. Nah adakalanya
kepentingan pemerintah dengan masyarakat adat suka berbeda, seolah-olah
semacam mau dikomodifikasi. Iringan orang Baduy Seba, jalan kaki, diliput. Harinya
hari ini, hari ini, hari ini. Ini yang menurut saya akhirnya mengganggu siklus mereka.
Mustinya mereka sudah beres masalah-masalah adat ini. Karena mereka tadi, dengan
alamnya.
Dan menurut pandangan saya baik orang tua dan orang muda itu sama-sama
melakukan itu. Jadi cara orang tua mengajak anak muda, anak muda mengajak anak
yang lebih kecil, jadi mereka belajar. Mereka sekali ngajarin gitu. Ibu Sariyah saya
yakin beliau pandai membaca. Dari mana belajarnya? Nggak ada yang tahu
belajarnya. Saya tahu Jaro Mursyid itu bisa baca. Dimana belajarnya? Ya cara mereka
sendiri gitu. Saya mengamati ada sih tulisan-tulisan. Jadi bagaimana cara mereka
melestarikan alamnya itu dengan tidak mengingkari siklus kehidupan yang sudah
dibuat secara turun-temurun. Saatnya Seba, kami harus Seba. Saatnya nyacar kudu
nyacar di huma. Saatnya ngaduruk kudu ngaduruk.
Nah ini kan orang Baduy gitu. Jadi dia nggak mau kalau misalnya itu. Makanya
kemarin ada kejadian-kejadian aneh itu cerita-cerita yang dihubung-hubungkan lah
waktu ada kasus, maaf ya Bu Sariyah, ada warga Baduy dianiaya lah, itu katanya
dihubung-hubungkan dengan melencengnya siklus yang terlalu diatur. Saya juga
kadang ini gimana sih Dinas Pariwisata kok mengkomodifikasi Seba-nya orang Baduy.
Diatur-atur tanggalnya supaya pindah. Jadi caranya mereka melestarikannya dengan
taat pada kalender dan aktivitas warga Baduy. Ini saya catat tahun 2008-2009. Jadi
bulannya juga mengikuti seperti bulan Islam, Mbak.
Bergabung kembali Bapak Junaedi Ibnu Jarta, MR. wakil ketua DPRD Kabupaten
Lebak yang tentunya tadi saya sudah sedikit mencoba memberi gambaran bahwa
kalau dari legislatif tentunya mengawal kebijakan-kebijakan yang dalam hal ini
terkait dengan perlindungan hak adat dari masyarakat adat sendiri terutama kalau di
Lebak jelas, wakil rakyat dari masyarakat di Lebak termasuk salah satunya…
P APARAN DARI JUNAEDI IBNU JARTA, S.HUT, MR (WAKIL KETUA DPRD K ABUPATEN LEBAK)
Oke. Terima kasih Mbak MC atau moderator, perkenalkan saya Junaedi Ibnu Jarta,
wakil ketua II DPRD Kabupaten Lebak. Assalamualaikum wr.wb, selamat sore
semuanya. Saya mohon maaf tadi agak terlambat karena masih ada urusan dan yang
saya hormati semua narasumber, kemudian wakil khusus rekan-rekan panitia
penyelenggara Kongres Kebudayaan Desa yang Insya Allah berada di Yogyakarta.
Pertama saya juga mengucapkan terima kasih atas waktu yang diberikan juga
kesempatan saya untuk menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan acara ini dan
tentu saya diminta untuk menyampaikan kurang lebihnya berbicara mengenai
pembangunan di daerah atau berkaitan dengan masyarakat adat yang terintegrasi
dengan pembangunan daerah.
Nah oleh karena itu kalau kita melihat dari aspek yuridis, bahwa masyarakat adat itu
secara eksplisit di dalam UUD pasal 18 itu sangat jelas dicantumkan, namun
keturunan dari UU yang lain secara eksplisit memang pada waktu itu pemerintah
belum secara sistematis bagaimana masyarakat adat ini diperhatikan secara langsung
sehingga mempunyai peranan strategis yang tidak terpisahkan dalam hal
membangun Indonesia ini pasca kemerdekaan yang tentu bersama-sama dengan
masyarakat yang lain.
Nah, tapi kita perlu bersyukur bahwa setelah adanya keputusan MK 35 pada tahun
2010, bahwa masyarakat adat itu bagi yang bermasalah di wilayahnya yang berkaitan
dengan hutan negara itu sekarang sudah ada celah bagaimana caranya
memperjuangkan hak-haknya yang tadinya itu tidak jelas keberadaannya jika
berdomisili di dalam kawasan taman nasional. Kasuisitik itu misalkan di Kabupaten
Lebak. Nah oleh karena itu pengakuan ini secara yuridis dengan adanya perubahan
UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dan kemudian uji materi ke MK dan
dikabulkan menjadi keputusan no.35 tahun 2010 sehingga yang disebut dengan
hutan itu tidak hanya hutan negara tapi menjadi dua klasifikasi hutan, di antaranya
hutan negara dan hutan hak.
Nah di antara hutan hak itu ada salah satunya adalah hak adat. Nah, masyarakat adat
setelah adanya perubahan MK 35, dengan prasyarat penting harus ada pengakuan
dari pemerintah daerah dan Perda sebagai bentuk konsensus politik, maka
masyarakat adat ini menjadi prasyarat untuk mendapatkan pengakuan dari
pemerintah pusat. Dalam hal ini adalah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Dalam perspektif adat di Kabupaten Lebak, tentu alhamdulillah bahwa
kami sangat heterogen, artinya ada dua masyarakat adat di Kabupaten Lebak, yang
satu adalah masyarakat adat kasepuhan, dan yang kedua adalah masyarakat adat
Baduy.
Nah masyarakat adat Baduy itu mempunyai perda tersendiri. Pada tahun 2001
perdanya no. 32 tentang hak ulayat masyarakat Baduy. Kemudian untuk Perda
masyarakat Kasepuhan, tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat
Kasepuhan. Saya kira ketika berbicara mengenai tema saya pada siang atau
menjelang sore ini bahwa membangun komunitas adat yang berintegrasi dalam
pembangunan daerah saya kira dimulai dari aspek yuridis kehadiran pemerintah
tidak hanya secara de facto. Karena dengan adanya pengakuan secara yuridis dari
pemerintah, secara langsung dan tidak langsung masyarakat adat itu merasa diakui
secara de facto dan secara yuridis.
Nah oleh karena itu, jika diakui secara yuridis, maka hadir pemerintah di tengah
masyarakat tidak hanya berbicara legalitas pengakuan. Kita di Kabupaten Lebak ini,
setelah lahir Perda pengakuan, Baduy sudah ada perdanya sendiri, kemudian
masyarakat adat Kasepuhan sudah ada perdanya sendiri, nah bagaimana selanjutnya
ada 2 hal yang perlu kita perhatikan. Atau barangkali 3 hal.
Yang pertama itu bagaimana kita membangun sebuah kekuatan politik anggaran
untuk bisa sampai kepada masyarakat. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua,
bagaimana masyarakat adat juga berpartisipasi dalam konteks pembangunan dan
juga mendapatkan hak-haknya yang tidak dibedakan, tidak ada diskriminasi dari atau
dibandingkan masyarakat-masyarakat yang lain. Kemudian yang ketiganya
bagaimana juga kita membangun penguatan kelembagaan di masyarakat adat itu
sendiri dengan adanya perhatian pemerintah yang kemudian masyarakat adat itu
sendiri juga secara bersama-sama otomatis menjadi atau berpartisipasi dalam
konteks pembangunan atau berintegrasi dalam konteks pembangunan. Nah,
kemudian..
Nah langsung saja kita kembali ke pertanyaan yang juga sudah masuk untuk semua
panelis. Kita buka terlebih dahulu. Dan ini pertanyaan yang untuk Bu Sariyah kali ini.
Dari Gilang di Jawa Timur bertanya kepada Ibu Sariyah. Ibu Sariyah, jika desa adat
Baduy terus membuka diri terhadap masyarakat, bukankah ada risiko tertular Covid-
19. Apakah ada ketakutan dari masyarakat Baduy? Baik Ibu, yak.
Yang paling parah lagi, sebenarnya itu juga udah kepada pragmatisme dan
kapitalisme. Ada juga orang Baduy yang katanya punya mobil, punya showroom, gitu
kan. Kemudian jual beli tanah di luar Baduy. Nah ini mungkin salah satu dampak dari
begitu semaraknya atau banyaknya wisatwan yang dari luar ke Baduy sehingga justru
membawa perubahan yang kurang bagus terhadap tatanan hukum adat atau kearifan
lokal masyarakat Baduy. Tapi apa yang saya bicarakan tadi memang perlu
pembuktian. Seperti misalnya ada masyarakat Baduy yang beritanya punya
showroom, ada masyarakat Baduy yang beli tanah di luar, ada masyarakat Baduy
yang kemudian punya mobil, nah ini juga perlu ada penelitian yang lebih dalam. Tapi
informasi itu bukan rahasia lagi. Ada masyarakat Baduy yang punya HP padahal
Baduy Dalam, yang sesungguhnya itu dilarang, tidak boleh. Tapi ini perlu memang
dalam rangka menjaga kearifan lokal Baduy, bagi wisatawan yang hadir saya kira
tidak ada larangan, dengan pemerintah sudah sinergi, maksud saya pemerintah
daerah. Tapi kalau banyak wisatawan yang melakukan perubahan atau membawa
perilaku degradasi budaya Baduy nah ini yang harus dirubah. Intinya bahwa protektif
dan juga dipayungi oleh kekuatan kebijakan pemerintah di daerah, dalam hal ini
adalah Kabupaten Lebak.
Seri talkshow festival kebudayaan desa-desa nusantara ini, yang akan disampaikan
oleh Ibu Dewi Rizki, beliau adalah direktur “Sustainable Governance Strategic Focus”
dari Kemitraan, selamat sore, Ibu Dewi. Mungkin Ibu bisa langsung saja
menyampaikan overview, semacam ringkasan, atau pleno yang dari seri 1 sampai seri
4 apa yang sudah kita jalani sampai dengan hari ini. Silakan, Ibu.
Nah dari keempat panel yang disampaikan dalam Festival Kebudayaan Desa-Desa
Nusantara selama 2 hari ini merupakan pembelajaran yang berhasil dipanen oleh
komunitas adat melalui program peduli adat dan juga program Desa Peduli Gambut
di Kemitraan. Dan kalau kita melihat pada sesi pembukaan festival ini Sekjen
Kemendesa PDTT Pak Anwar Sanusi sudah menekankan tentang pentingnya
mengarusutamakan pembangunan berdasar komunitas adat di desa dengan 3
pendekatan utama kalau nggak salah, yang pertama adalah solidaritas antar
pedesaan, yang juga sudah dipahami sekali oleh teman-teman semua, lalu komitmen
kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika yang mendasari toleransi dan pluralisme untuk
membangun bangsa Indonesia melalui desa, yang ini memang harus kita tingkatkan
kembali, jangan memberikan celah kepada pihak luar untuk memecah belah. Dan
kemudian yang ketiga adalah budaya gotong-royong desa yang terus dikuatkan di
tingkat pedesaan dan nantinya jadi modal dasar untuk pembangunan desa ke
depannya. Dan bagaimana dengan tiga modalitas etos bangsa tersebut dan komunitas
adat di dalam wilayah mampu untuk merespons perubahan yang ada yang sekarang
ini dan merancang secara otonom masa depan mereka. Apalagi dengan adanya situasi
pandemi yang tidak akan selesai sampai dengan 100 tahun ke depan menurut para
ahli sebelum vaksin ditemukan.
Kalau kita melihat dari timur ke barat, refleksi membangun Indonesia dari pinggiran
dari 4 buah kasus diskusi yang sedang berjalan, saya ingin memberikan ulasan
mengenai Boti, dimana masyarakat Boti telah secara sosial suku Boti terdiri dari dua
kelompok, yaitu kelompok Boti yang masih menganut Halaika dan yang kedua
kelompok Boti yang tidak lagi menganut Halaika namun masih terikat pada adat. Dan
pada golongan pertama adalah kelompok Boti yang memegang teguh Halaika sebagai
agama sekaligus tradisi adat dalam setiap kehidupan, dan biasanya secara fisik suku
Boti penganut Halaika ini ditandai oleh penggunaan konde pada rambut laki-lakinya
dan masih tradisional dan paling tidak itu menganut agama Kristen Protestan atau
Katholik lebih fleksibel di dalam urusan pakaian dan lagi pemukiman tidak lagi
melulu tradisional, dan sudah menggunakan listrik untuk kebutuhan rumah tangga
mereka. Dan dalam konteks ini kita melihat perbedaan kategori golongan Boti itu
terkait pada aspek keanggotaan agama adat halaika. Jadi kalau kita melihat bahwa
Boti mengenal konteks 9 hari yang bermakna religius di atas dapat menginspirasi
warga masyarakat suku Boti itu untuk tidak berdiam diri, tetapi selalu bekerja dan
berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhan keluarga.
Nah kalau kita melihat 9 hari yang religius itu dapat menginspirasi warga masyarakat
suku Boti terhadap malapetaka yang akan menimpa manusia kelak. Jadi ada
pembelajaran di dalamnya sehingga di masa pandemik seperti ini warga suku Boti
tidak merasa kewalahan oleh karena adat dan budaya juga telah mengarahkan untuk
tetap percaya diri. Dan ini memang perlu untuk disebarluaskan juga kepada
kelompok masyarakat yang lain, bahwa suku Boti bisa mempunyai kepercayaan
seperti itu dan mereka mampu untuk mengarahkan kepercayaan diri. Dan ini sudah
dibuktikan dengan persediaan pangan yang cukup dalam kelompok masing-masing.
Dan tersedia juga di kebun masing-masing warga. Dan ini kiranya menjadi kekuatan
suku Boti itu sendiri. Lalu juga yang berikutnya adalah mengenai masyarakat Boti
yang dikenal jujur dan tidak suka meminta yang dibuktikan bahwa suku Boti masih
mampu mengolah ketahanan pangan di masa pandemik. Juga menolak bantuan dari
pemerintah. Kemarin juga sudah disampaikan dan hal ini dikarenakan bahwa
masyarakat Boti itu lebih percaya pada apa yang dilakukan di dalam dirinya dan
kepercayaannya. Dan ini menjadi hal yang positif bagi mereka untuk menjelaskan
bahwa konstruksi pengetahuan dari luar yang membedakan antara Boti Dalam dan
Boti Luar itu dianggap tidak benar. Dan ini disampaikan jelas sekali oleh Kepala Desa
Boti kemarin terkait dengan konstruksi keberagaman yang dapat diakui oleh
pemerintah dan jika kita melihat refleksi membangun Indonesia di Papua, kalau kita
beranjak dari kampung ke kampung yang didominasi oleh komunitas adat dari suku
Marind dan Merauke dan juga suku Yakai di Mappi di Papua, ini menjadi satu kasus
yang menarik sebetulnya.
Saat terdapat institusi negara seperti Badan Restorasi Gambut yang bersama
kelompok masyarakat sipil di tingkat nasional dan lokal itu mampu untuk
berkolaborasi bersama ekosistem gambut. Kalau kita melihat prosesnya memang
harus dimulai dengan rasa percaya dan bagaimana kita penetrasi ke dalam
masyarakat tersebut, itu sangat penting. Nah paradigma membangun di Papua yang
selama ini berkembang dalam tiga kerangka yaitu membangun Papua, membangun
untuk Papua, dan juga telah menunjukkan transisi pembangunan di Papua itu
berbasis kepada kebudayaan lokal yang untuk hal ekonomi, sosial dan budaya dari
komunitas adat di Papua. Ini yang sering dilupakan oleh para mitra pembangunan
yang harus kembali pada memang yang dibangun itu adalah komunitas adat di Papua
itu sendiri dan teman-teman Kemitraan terus memberikan masukan-masukan terkait
pembangunan di Papua. Lalu jika kita melihat kolaborasi dalam komunitas adat
mampu terlibat dalam advokasi penganggaran dana desa atau dana kampung. Jadi
dikuatkan kapasitasnya. Perencanaan berbasis data melalui pengetahuan wilayah
adat itu juga sudah dilakukan dan mereka mampu lalu hingga menempatkan kearifan
lokal sasi sebagai strategi adaptif di tengah restorasi kebakaran hutan dan lahan di
Papua.
Sesi ini memang menjadi kekuatan untuk kearifan lokal yang mungkin juga bisa
ditularkan ke tempat-tempat lain yang belum ada hal seperti itu, karena disinilah
mereka mampu untuk menjaga sumber daya alam mereka dengan baik. Dan juga
mampu untuk menahan untuk tidak mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Jadi
kolaborasi di dalam pemerintahan kampung, pemerintahan daerah, pemerintahan
pusat, mitra kerja seperti CSO, akan berkolaborasi dalam tata kelola kampung itu
sudah dilakukan. Bahwa itu menjadi prinsip dasar untuk komunitas adat di dalam
ekosistem yang rentan dan ini menjadi percakapan yang memang harus terus
digaungkan di komunitas Papua untuk kembali membangun bersama dengan mitra
pembangunan lainnya. Lalu kalau kita melihat kasus di Sigi, di komunitas adat Topo
Uma dan juga komunitas adat Kulawi yang memberikan refleksi strategi adaptasi
komunitas lokal untuk pasca dilanda beragam bencana dari gempa bumi, tsunami,
likuifaksi, juga bencana kesehatan pandemi, kita bisa melihat bahwa hakimalele
hingga polompua menjadi konsep-konsep adat di Topo Uma dan juga Kulawi yang
sampai saat ini dioperasikan sebagai strategi adaptasi untuk komunitas adat di
tengah bencana pandemi ini. Mereka menjadi kuat dengan adanya konsep-konsep
adat tersebut, dan dalam pandangan ini memberikan kerangka ekologis dan budaya
bahwa dalam paradigma pembangunan global yang terkapitalisir kita bisa menengok
kembali nilai-nilai apa yang perlu kita hidupkan kembali atau memang kita perlu
ubah paradigma pembangunan yang mencari hasil yang paling besar.
Dan pandemi Covid-19 ini memberikan dampak ekonomi ke komunitas yang lokal,
terutama yang mengandalkan pemasukan desa dari sektor wisata ya, jadi ini memang
berdampak, dan kalau kita melihat bahwa praktek pengelolaan pemerintahan
tradisional di kampung-kampung Kasepuhan dan Baduy itu juga masih
memperlihatkan bahwa terdapat tumpang tindih proses teknokratiknya. Dan juga
proses kultural dalam tata kelola kampung di tingkat adat ini memang mungkin bisa
diselaraskan ke depannya. Lalu ada pendapat ya bahwa gunung tidak boleh dilebur,
lebak tidak boleh ditukar, panjang dan lebar tidak boleh dipotong karena adat
menjadi nilai bagi komunitas Baduy dalam mengelola lanskap alam menjadi sumber
bagi kehidupannya.
Saya kira ini menjadi pegangan bagi masyarakat Baduy untuk mengimplementasikan
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayah mereka. Dari semua presentasi
saya bisa mengambil kesimpulan, kami mempunyai beberapa poin yaitu
pembelajaran komunitas adat di tempat panel, menyasar secara spesifik pada
masing-masing isu inklusi sosial bagi masyarakat minoritas dan termarjinalkan dan
juga komunitas desa yang hidup dan terdampak dari lanskap ekonomi gambut. Jadi
ini menjadi pembelajaran bersama, lalu juga keragaman pembelajaran komunitas
adat itu menyediakan model tata kelola desa untuk pelayanan publik baik itu bagi
komunitas lokal, juga adat termarjinalkan atau juga komunitas desa yang hidup di
tengah ekosistem gambut yang rentan. Ini banyak yang belum tersentuh oleh
pembangunan yang memang harus diluaskan lagi cakupan wilayahnya oleh para
mitra pembangunan, juga kerja sama dengan masyarakat lokal.
Dan selama ini desa dilihat sebagai implementor kebijakan yang dirancang oleh
pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Tetapi kita melihat melalui dua
program yang dijalankan oleh Kemitraan, desa itu menjadi perancang sekaligus
eksekutor kebijakan yang berbasis karakteristik persoalan sosial dan juga lingkungan
yang dihadapi oleh komunitas justru menjadi perancangnya dan juga sebagai
eksekutor dari kebijakan itu. Dan kalau kita melihat bahwa parafrase desa
membangun itu menjadi istilah yang digunakan oleh Kemitraan dalam panel ini agar
kita bisa memahami dinamika tata kelola desa dan juga kontribusi komunitas desa
sebagai subjek aktif pada kerangka pembangunan ekonomi dan juga ekologis di
dalam kehidupan komunitas adat dan komunitas lokal.
Dari Kemitraan kembali pada dasar bahwa masyarakat desa itu sendiri yang harus
membangun dan didampingi oleh para mitra agar menjadi desa mandiri dan juga ikut
sebagai aktor pembangunan. Saya kira itu saja Bu Fitria dan juga bapak panelis yang
lain, dari kami semoga acara ini bermanfaat buat kita semua untuk kemajuan desa
dan juga masyarakat adat. Terima kasih.