Anda di halaman 1dari 2

Mencari Jalan Pulang; Catatan Orang Pinggiran

Jika desa adalah ibu bumi, sebagai tempat kembali dan berbagi, maka inklusi
adalah salah satu jalan untuk kembali. Setapak jalan untuk menempuh perjalanan
kembali kepada ibu bumi dari belasan jalur yang digagas dan diperbincangkan
dalam Kongres Kebudayaan Desa tempo hari. Disamping inklusi masih ada 18
jalan kebudayaan yang dipetakan, jalan ekonomi, pendidikan, kesehatan,
keamanan dan ketertiban, keluarga, perempuan dan anak, pemuda, tata ruang
desa, kewargaan, masyarakat adat, media, datakrasi, kedaulatan pangan dan
lingkungan hidup, reformasi birokrasi serta akuntabilitas dan prinsip anti korupsi.

Kenapa inklusi social ditempatkan sebagai jalan pertama yang ditata, karena
inklusi harus ditempatkan sebagai perspektif, dia harus mengatasi (beyond)
sekaligus melingkupi segenap jalan kebudayaan diatas, sebagai penghormatan
atas semesta yang sejak awal penciptaannya tidak dalam wujud tunggal tetapi
beragam.

Penguasalah yang kemudian membagi dan mengkategorisasi dengan segenap


identitas yang dilekatkan. Yang oleh karenanya identitas yang dilekatkan itu, tidak
pernah bebas nilai, selalu bias akan kepentingan. Kota-desa, pusat-pinggiran,
maju-tertinggal dan dikotomi yang lainnya adalah identitas yang disengajakan
untuk dilekatkan sebagai alat kendali guna menunjukan siapa yang kuasa
mengatur dan siapa yang diatur, siapa didepan siapa dibelakang, siapa yang
disuarakan dan siapa yang didiamkan, siapa ditengahkan dan siapa yang
dipinggirkan. Dan dihari ini, peminggiran hadir dalam segenap realitas baik yang
tampak dalam keseharian, maupun yang bersemayam di alam bawah sadar.
Idionsikratis hadir secara struktural maupun kultural.

Inklusi sebagai perspektif, menjadikan jalan ekonomi harus berkeadilan, jalan


pendidikan harus membebaskan, rasa aman harus dijauhkan dari sifat represif,
ketertiban harus lahir dari kesadaran dan penghormatan, datakrasi yang
memberkuasakan dan bukan sekedar angka statistik yang mewujud sebagai alat
kendali.
Jika kongres kebudayaan desa dimaknai sebagai cara untuk memetakan medan
dan merancang peta jalan, maka festival inklusi ini adalah upaya untuk membuka
jalan, babat alas guna mencari pola pola keberhasilan dari titik mula perjuangan.
Membabat rumpun bambu yang merintangi jalan sekaligus meruncingkan batang
batang bambu sebagai alat perjuangan. Festival ini adalah ruang ruang yang
dibangun untuk mendesakan agar yang terpinggirkan di-tengah-kan, agar yang
terdiamkan di-bicara-kan, agar yang terbelakangkan di-depan-kan, agar
terbangun konstruksi baru, kesadaran baru.

Tatanan Indonesia Baru mensyaratkan perubahan mendasar, tananan Indonesia


baru mensyaratkan hadirnya aktor aktor baru dengan konstruksi berfikir dan
kesadaran baru. Tatanan lama, sebagaimana yang kita saksikan hari ini terengah
engah dihajar oleh kehendak alam, kehendak Tuhan. Masihkah kita akan percaya
dengan petitah petitih yang mendendangkan lagu pembangunan tanpa keadilan,
pertumbuhan tanpa pemerataan, pemanfaatan alam tanpa penghormatan, logika
tanpa kebijaksanaan, pendidikan tanpa pembelajaran, agama tanpa kemanusiaan
dan kebudayaan tanpa nilai? Lihatlah mereka terseok seok, tergopoh gopoh
menunggu kapan waktu akan tumbang.

Desa, keluarga, petani gurem, buruh dan kuli bangunan, perempuan, anak haram,
lansia, waria, difable, penghayat kepercayaan adalah Orang Pinggiran. Dan disini,
hari ini kami, Orang Pinggiran, telah berbicara atas nama semesta atas nama
kemanusiaan. Disini dihari ini, kami runcingkan bambu dan pemikiran untuk
meretas jalan perjuangan untuk sebuah tatanan baru yang patut, layak dan
bermartabat bagi manusia dan alam. Jalan lama telah usang, tatanan lama telah
tumbang. Jalan baru harus terus ditempuh, tatanan baru harus terus disepuh.

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.

Panjang Umur Perjuangan !

Anda mungkin juga menyukai