Boga Bahasa, yaitu Bahasa Sunda; Tetapi saying Bahasa Sunda belum
menjadi bahasa yang dibanggakan oleh Orang Sunda, kadang orang Sunda
sendiri malu menggunakan bahasa yang diwariskan leluhurnya.
Boga Aksara, yaitu aksara Sunda. Demikian juga nasib aksara Sunda, jangkan
di kota yang sudah tercemar budaya kiriman, di kampong adat Sunda
hamper punah.
Menurut pendapat kami (tidak ada tapi ada). Ki Sunda itu ”ngahiang” oleh
karena itu Tatar Sunda sering disebut Parahiayangan. Walaupun di masa
keemasannya, kerajaan-kerajaan yang berada di Tatar Sunda seperti
Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Pakuan Pajajaran, Kerajaan Galuh, begitu
termashur sampai ke penjuru dunia, tetapi ketiga begitu ”ngahiang”, itu
semua tidak ada, hanya tertinggal ciri-ciri atau tanda-tanda bahwa kerajaan
itu pernah ada. Dari situlah tapak lacak Ki Sunda yang sampai sekarang oleh
masyarakat kelompok minoritas dijadikan tradisi dari sisi hidup dan
kehidupannya. Dari situlah kita semua dapat mengenalinya, yang dinamakan
kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang berada tersebar di Jawa
Barat dan Banten juga di perantauan sekarang masih kokoh melestarikan
adat istiadat/tradisi. Itu semua tidak terlepas dari cerminan nenek moyang.
Mereka punya definisi yang sama yaitu; Ada Wilayah bukan administratif
melainkan DAS (Daerah Aliran Sungai). Ada Masyarakat dan Ada Aturan
(falsafah). Bagi Negara/Pemerintah aturan itu undang-undang, bagi Umat
aturan itu berupa Kitab, bagi Masyarakat Adat aturan itu berupa falsafah.
Aturan-aturan yang ada pada masyarakat minoritas (adat) itu tidak tertulis,
melainkan lisan (tidak tersurat tapi tersirat).
Tatanan hidup dan kehidupan masyarakat adat itu sudah diatur oleh
”ugeran” (falsafah), diantaranya mengenai tatanan hidup dan kehidupan
suatu bangsa yaitu ”Leungit cirina, leungit ajeng jeun inajenna, ruksak
budayana, ruksak bangsana.” Nah, sebetulnya bangsa kita ini menurut
penulis sudah banyak mengabaikan, bahkan meninggalkan
budaya/kebiasaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang, mereka lebih
tergiur oleh arus modernisasi yang katanya mengikuti kemajuan zaman,
yang pada akhirnya apa yang dikatakan oleh nenek moyang menjadi
kenyataan bahwa, ”Pandita ilang sabarna, Wanita ilang wirangna.”
Saat ini kita semua berada dalam era modernisasi dengan segala aspek
negatif maupun positifnya. Era modernisasi tidak bisadihindari, cepat atau
lambat pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai perubahan
kehidupan sosial, tidak terkecuali di pelosok desa terpencil sekalipun.
Permasalahannya sekarang, bagaimana nilai-nilai baru (budaya kiriman dari
luar) disikapi secara arif dan bijaksana, kemudian diselaraskan dengan nilai-
nilai budaya tradisional yang ada di Tatar Sunda.
Saat ini nilai-nilai tradisi di Tatar Sunda berada di persimpangan jalan antara
dicintai dan diabaikan, bahkan dilupakan terutama oleh generasi muda yang
lebih menyukai budaya kiriman dibanding budaya lokal. Sebetulnya kita
sudah berada pada masa pendangkalan nilai-nilai tradisional (kearifan lokal),
ditengah-tengah membanjirnya budaya luar di negeri ini yang tidak sesuai
dengan pribadi dan jati diri bangsa dengan kata lain ”Jati kasindih ku Junti”.
Secara tidak sadar, nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki dan diwariskan oleh
nenek moyang sudah hampir punah. ”Luntur ku Lukut Usum, Laas ku Supa
Jaman”. Kehilangan makna dan arti dari falsafah warisan nenek moyang,
karena warisan tersebut telah ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.
Perrkembangan wayah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal dan
agama, dapat merusak alam dan lingkungan juga dapat menghancurkan
moralitas bangsa. Misalnya: Budaya gotong royong yang diwariskan nenek
moyang hampir punah. Masyarakat cenderung hidup individualisme,
akibatnya terjadi jurang pemisah antara Si kaya dan Si Miskin. Yang pada
akhirnya terjadi konflik horizontal antara komunitas atau satu dengan
komunitas yang lain. Karena sudah kehilangan ”asih, asah dan asuh” antar
sesama.
Pada upacara tradisonal di masyarakat adat, apapun agama yang dianut oleh
masyarakat adat itu sendiri, mereka tidak terlepas apa yang telah dan
pernah dilaksanakan oleh generasi terdahulu. Jadi secara turun-temurun dari
generasi ke generasi tetap dijalankan. Misalnya, di Kampung Naga,
Masyarakat adat sebagai pemeluk agama Islam baik yang berada dikawasan
ataupun di luar kawasan yang tersebar di beberapa desa/kecamatan dan
kabupaten, apabila sudah tepat pada waktu yang bekaitan dengan hari atau
bulan besar Islam, masyarakat adat Kampung Naga melaksanakan upacara
tradisional, yang lebih dikenal dikalangan adat kampung naga yaitu Hajat
Sasih.
Sumber:
http://wisatadanbudaya.blogspot.com