Anda di halaman 1dari 217

je.

, • - - 5*

2005 jurnal kebudayaan


22

Redaktur Tamu: Manneke Budiman

Manneke Budiman Tentang Sastra Bandingan 3

Nirwan Dewanto Pembacaan Dekat atau Jauh? Melintasi Sastra


dan Seni Rupa 11

Lisabona Rahman Tragedi Buah Apel: Seks dalam Karya


Ayu Utami dan Erica Jong 33

Ari Jogaiswara Adipurwawidjana,


Lien Amalia, Lestari Manggong Ambivalensi Naratif dan Transisi Sosial:

Lady Chatterley's Lover dan The Satanic Verses 55

Intan Paramaditha Gender dan "Asia": Shanghai Baby dan

Andrew andJoey 81
u

Mikihiro Moriyama Dari Manuskrip ke Cetakan: Sastra Sunda


Paruh Kedua Abad Ke-19 105

Michael Rinaldo Rilke dan Chairil: Etos Kerja.Terjemah,

Silang Tenia 121

Aquarini Priyatna Prabasmoro Seks,Berahi, dan Cinta:Tiga Karya Nh. Dini 155

Melani Budianta TigaWajah Julius Caesar: Gender dan Politik


dalam Terjemahan 175

A. Zaim Rofiqi Cerita-Cerita yang Mengembara 197


I

OBITUARI S.Prinka (1947-2004) 209

BIODATA 213

kalam 22
GAMBAR KULIT MUKA: Muhamad Yusuf, Perjanjian Politik Antara Kaum Brahmana dan Tunequl
Ametuns, cat akrilik, 70 x 140 cm, 2003-2005.
KREDIT GAMBAR: Enin Supriyanto (10, 80, 120, 143, 154, 174, 198, 212).
Tulisan Nirwan Dewanto (11-32), Lisabona Rahman (33-54), Intan Paramaditha (81-104), dan
Mikihiro Moriyama (105-119) berasal dari Konferensi Intemasional Kesusastraan XV Himpunan
Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), 25-27 Agustus 2004, di Manado.

REDAKSI, NOMOR INI: Alex Supartono, Ayu Utami, Eko Endarmoko (sekretaris), Goenawan
Mohamad, Hasif Amini (ketua), Nirwan Dewanto, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge
DESAIN: Ari Prameswari. MANAJEMEN: Zulkifly Lubis. ALAMAT REDAKSI &TATA USAHA- Jl Utan
Kayu 68H, Jakarta 13120, Tel (021) 8573388 pes. 106, 141-147, Fax. (021) 8573387 Surat-e-
kalam@cbn.net.id. PENERBIT: Yayasan Kalam.

Memuat karya sastra dan karya telaah dari pelbagai disiplin, kalam adalah jurnal kebudayaan
yang menjadi bagian dari Komunitas Utan Kayu. kalam sangat menghargai cara pandang bam
dan gagasan segar. Kami tak membatasi diri dengan pokok dan aliran tertentu; kami terbuka
untuk pelbagai eksperimen penciptaan. kalam mengundang anda menulis. Harap anda
mengirim dalam bentuk cetakan, dalam disket, atau lewat surat-e. Untuk karya terjemahan,
harap menyertakan fotokopi dan sumbernya. Kami mengunoang juga para perupa membuat
kulit depan maupun gambar di halaman dalam. Jangan lupa menyertakan biodata anda yang
cukup lengkap (terutama kegiatan dan karya terbaru).

1 kalam 22
<

» r

MANNEKE BUDIMAN

TENTANG SASTRA BANDINGAN

TV\HUN 1993, Susan Bassnett, seorang komparatis terkemuka, melon-


tarkan pernyataan yang menantang soal sastra bandingan. la mem'ak-
lunikan "mati"-nya sastra bandingan dengan mengatakan: "Today, compa
rative literature in one sense is dead"} Bassnett tidak bermaksud mengimdang
perbantahan karena apa yang ia lontarkan itu ada benarnya, terutama jika
yang dimaksud adalah praktik tradisional dalam membandingkan sastra
yang cenderung Erosentris, khususnya di "pnsat-pusat" disiplin sastra ban
dingan, seperti Prancis,Jerman, dan Amerika Serikat.
Di tempat-tenipat itu sastra bandingan sudah sangat berubah, baik dari
segi pemikiran maupun kelembagaan, karena beberapa sebab. Pertama, di
tempat-tempat yang pada mulanya tidak mengenal sastra bandingan sebagai
sebuah disiplin, kliususnya di Duiiia Ketiga, telah bermunculan banyak
"pusat" baru untuk kajian sastra bandingan. Mereka menangkap adanya pe-
luang pemberdayaan diri lewat kajian bandingan atas teks-teks yang di Ba-
rat mungkin akan dianggap "Liyan" dan, oleh sebab itu, cenderung ter-
pinggirkan.Jadi, kerja membandingkan sastra tak lagi dilakukan sebatas kar-
ya-karya sastra Eropa-Amerika atanpun di kedua benua itu saja.
Bagi sebagian pembaca, barangjcali ada satu hal lain yang mengusik di
samping pernyataan Susan Bassnett itu. Pendekatan yang saya gunakan un
tuk berbicara tentang sastra bandingan berada dalam konteks disiplin ilmiah
dan, dengan demikian, tak dapat dilepaskan dari metode dan institusi aka-
demik. Sejarah perkembangan sastra bandingan di berbagai tempat jelas
memperlihatkan bahwa sastra bandingan bukan cunia perkara memban-

1 Susan Bassnett, Comparative Literature: A Critical Introduction (Oxford: Blackwell, 1993),


47.

kalam 22 3
s—;=»-

MANNEKE BUDIMAN

dingkan sebuah teks dengan teks lain sebagai suatu "kerja kesenian". De
ngan kata lain, suatu kajian bandingan bam diterima sebagai sebuah kerja
intelektual yang absah ketika ada kerangka konseptual-teoritis tertentu
yang dioperasikan. Konsekuensinya adalah tidak semua orang yang mela-
kukan kerja bandingan atas dua teks sastra atau lebih dapat disebut sebagai
seorang komparatis.
Tentu saja, posisi itu dapat terus-menerus diperdebatkan. Namun, dalam
kerangka sinyaleinen Bassnett tentang "mati"-nya sastra bandingan, posisi
yang saya ambil itu semoga cukup masuk akal. Ini lalu membawa saya ke
alasan kedua terkait dengan gong "kematian" sastra bandingan tersebut.
Persoalan teori tumt berperan besar dalam membawa praktik sastra ban
dingan tradisional menuju ke titik kritis tersebut. Sebabnya adalah di nega-
ra-negaia berbahasa Inggris, dan bahkan mungkin juga di banyak tempat
lain, melemahnya sastra bandingan sebagai sebuah institusi akademik secara
keseluruhan dipicu pula oleh pengambilalihan kekuasaan atas teori oleh ju-
rusan-jurusan sastra Inggris. Karena sejarah panjang imperialisme, jurusan-
jurusan sastra Inggris mengklaim bahwa mereka pun berhak atas wilayah-
wilayah budaya non-Barat yang, di mata para komparatis, dipandang seba
gai area mereka. Kajian bandingan atas sastra-sastra di bekas koloni Inggris
diyakini cukup sah dilakukan di jurusan sastra Inggris dan, karena keberte-
rimaan suatu kajian utamanya diukur dari bagaimana suatu teori dioperasi
kan dalam pendekatan, otoritas atas teori pun tak lagi terletak di satu tangan.
Hal ketiga yang juga masih berkaitan dengan masalah teori dan turut
mempercepat kematian sastra bandingan yang Erosentris adalah munculnya
cultural studies. Dalam cultural studies, kebudayaan dikaji melalui berbagai ma-
cam teks, dan sastra tidak diperlakukan secara istimewa. Di lain pihak, ba
nyak teori yang selama ini digunakan dalam kajian sastra kemudian juga di-
Ringsikan dalam cultural studies, tetapi dengan tujuan untuk berbicara ten
tang fenomena budaya nonsastra. Jadi, meskipun sastra bandingan menye-
diakan wadah bagi dialog antarteks dan antarbudaya, banyak porsi dari pe-
ranan tersebut yang diambil alih baik oleh studi sastra Inggris maupun cul
tural studies.
Lebih parah lagi, lahirnya studi terjemahan Sebagai sebuah disiplin baru
yang mengklaim kemandirian dari studi bahasa ataupun studi sastra kian
membuat sastra bandingan kehilangan pamornya. Apakah sesungguhnya
hubungan antara penerjemahan dan sastra bandingan? Kita tentu ingat

4 kalam 22
TENTANG SASTRA BANDINGAN

bahwa kolonialisme juga membawa sejenis aktivitas baru dalam ilmu pe-
ngetahuan, khususnya dalam filologi atau kajian naskah lama. Banyak nas-
kah klasik dari berbagai kebudayaan non-Eropa yang diterjemahkan ke da
lam bahasa-bahasa Barat selama berlangsungnya kolonialisme. Meskipun
ada bermacam-macam kepentingan dan motivasi dalam proyek besar pe
nerjemahan naskah-naskah klasik itu, pemikiran dominan yang melatarbe-
lakanginya kurang-lebih adalah pengukuhan superioritas Eropa atas Liyan
di luar dirinya.
Cara berpikir seperti ini sesungguhnya telah ada sejak masa Romawi
klasik dan tampaknya menjadi cikal bakal praktik sastra bandingan tradisio-
nal. Hugo Friedrich, dalam sebuah pidato di Heidelberg, memperlihatkan
bagaimana kecendemngan ini secara konsisten muncul dalam tradisi pener
jemahan di Eropa, paling tidak, hingga paruh pertama abad ke-18. la me-
ngutip Saint Jerome, penerjemah kitab Septuagint dari bahasa Yunani ke
bahasa Latin, yang menyatakan bahwa seorang penerjemah memiliki hak
prerogatif seorang penakluk (iure victoris) untuk mengalihkan gagasan dari
bahasa asing ke bahasanya sendiri. Para intelektual Romawi kala itu juga
menempatkan teks terjemahan dalam kontestasi dengan teks asli, dan
tujuan penerjemahan adalah untuk melampaui teb asli itu. Dalam hal ini,
teks asli pun menjadi sumber pengayaan bagi bahasa sendiri.
Edward Said2 menunjukkan bahwa pola pikir semacam itu tidaklah
berhenti pada abad ke-18, melainkan berlanjut hingga ke abad-abad beri-
kutnya. Terjemahan dilakukan bukan hanya untuk membandingkan baha
sa-bahasa Timur dengan bahasa-bahasa Barat, tetapi juga untuk mengenal
adat-istiadat, cara berpikir, tradisi, sejarah, dan agama orang Timur demi
mempertahankan superioritas Barat atas mereka. Gagasan ini disampaikan
oleh Lord Curzon dalam pidatonya di depanThe House ofLords di Parle-
men« Inggris, pada 1909. Lebih lanjut, Edward Fitzgerald, penerjemah se-
jumlah syair Parsi, dalam sebuah suratnya pada 1851 malah terang-terangan
mengatakan bahwa kerja penerjemahan atas sastra Parsi yang dilakukannya
adalah perkara sepele karena para penyair Parsi tidak cukup berkualitas di-
bandingkan dengan rekan sejawatnya di Barat. Upayanya menerjemahkan
teks-teks Parsi, katanya, justru akan memberi bobot seni yang lebih tinggi
kepada kesusastraan Parsi, yang dinilai masih "mentah" itu.

Edward W. Said, Orientalism (NewYork: Random House, 1978).


kalam 22
"•*•

MANNEKE BUDIMAN

Praktik sastra bandingan di Barat lahir dalam suasana intelektual seperti


itu dan, ketika sastra bandingan mulai mengalami pemapanan sebagai sebu
ah institusi akademik, ia pun menjadi bagian dari sebuah body of knowledge
mahabesar yang disebut orientalisme, bersama-sama dengan filologi, an-
tropologi, dan studi-studi sastra nasional yang telah ada sebelumnya. Kela-
hiran kembali penerjemahan sebagai sebuah studi mandiri menjadi sebuah
institusi akademik, sudah barang tentu, membuat nasib sastra bandingan
menjadi kian tak menentu.(
Selanjutnya, ketika kesadaran akan pentingnya dialog antarbudaya makin
mengental bersama dengan datangnya masa pascakolonial dan kajian-kajian
sastra non-Barat mulai diperhitungkan dalam kerja sastra bandingan, posisi
teori pun menjadi semakin penting. Ini terjadi tidak hanya dalam sastra
bandingan, tetapi juga dalam kajian sastra di jurusan-jurusan sastra Inggris,
dalam cultural studies, dan juga dalam studi terjemahan. Mungkin ini sebab-
nya Steven Totosy de Zepetnek3 sangat berkepentingan untuk menegaskan
posisi sentral metode dalam penelitian sastra bandingan. Sastra bandingan,
menurutnya, perlu lebih terfokus pada upaya menjawab pertanyaan "bagai-
mana" ketimbang sekadar berkutat dengan pertanyaan "apa". Persaingan
dengan disiplin-disiplin sejenislah, antara lain, yang mendorong timbulnya
keterikatan dengan teori dan metode ini. Baginya, ketidakpedulian pada
metodologi telah mengakibatkan kegagalan sastra bandingan tradisional da
lam merangkul dan memahami sastra secara inter-, intra-, dan multi-di-
sipliner. Akibatnya, studi sastra bandingan, atau bahkan studi sastra secara
umum, terancam kehilangan relevansinya.
Implikasi pernyataan tersebut jelas serius. Mengamati sastra dari luar teks
dianggap lebih penting daripada menghayatinya sebagai sebuah penga-
laman. Pendekatan yang bersifat "intuitif", bernada eseistik, dan penuh
dengan* ungkapan metaforik dalam inemperbincangkan sastra tak punya
tempat yang layak dalam skema ini. Pertanyaannya kemudian: di mana tem-
pat pembacaan dekat dan pembacaan jauh? Pembacaan dekat kerap dile-
takkan pada tataran pengalaman membaca dari dalam teks yang banyak
mengandalkan intuisi dan, akibatnya, derajat keilmiahannya kurang. Di lain
pihak, pembacaan jauh tak jarang dinilai terlalu teoritis, kurang memberi-

Steven Totosy de Zepetnek, Comparative Literature: Theory, Method, Application (Amster


dam dan Atlanta: Rodopi, 1998), 13.

6 kalam 22
• r
TENTANG SASTRA BANDINGAN

kan kenikmatan penghayatan, dan terlalu asyik bermain-main di luar teks.


Dapatkah sastra bandingan, sebagai sebuah metode membaca sastra, berbicara
tentang pengalaman membaca secara rinci dan mendalam, sambil pada saat
yang sama secara metodologis dapat diterima keilmiahannya? Persoalan ini
membawa kita kembali ke "bagaimana" sastra bandingan semestinya dila-
kukan.Jika hal ini dapat dijawab dengan memuaskan, barangkali kita akan
lebih siap untuk kembali berhadapan dengan pertanyaan yang lebih hakiki:
apakah sastra bandingan itu?
Para komparatis—baik yang bergelut dengan teori maupun yang berge-
rak pada tataran praktik—percaya bahwa upaya menjawab pertanyaan-per-
tanyaan tersebut hanyalah akan berujung pada kesia-siaan. Secara sederhana
dan minimalis, Bassnett mengemukakan bahwa sastra bandingan adalah
kajian interdisipliner atas teks-teks secara lintas budaya yang terfckus pada
pola-pola hubungan dalam sastra-sastra yang berbeda baik yang bersifat
lintas ruang maupun lintas waktu. Dikatakan minimalis karena ada banyak
praktik kajian sastra yang melibatkan lebih dari satu teks, tetapi tidak di-
lakukan secara lintas budaya, lintas ruang, ataupun lintas waktu. Tidak sulit
bagi kita untuk menerima kajian seperti ini sebagai sebuah kerja banding
an. Bahkan, kedua teks yang dibandingkan pun tidak hams teks sastra, di
jurusan-jurusan sastra bandingan di berbagai universitas sudah berlangsung
banyak kajian bandingan atas teks sastra dengan teks nonsastra.
Satu hal yang pasti berkaitan dengan pengertian yang ditawarkan Bass
nett itu adalah bahwa apa pun persoalannya, sastra bandingan adalah ten
tang relasi, dan bukan tentang esensi. Dan apabila aspek ini yang menjadi
lokus sentral sastra bandingan, maka dikotomi antara pembacaan dekat dan
pembacaan jauh mestinya tak lagi menjadi masalah besar sejauh keduanya
difiingsikan khususnya sebagai metode untuk mengungkapkan relasi-relasi
alih-alih esensi-esensi. Akar pemikiran ini sudah terlihat sejak tahun 1920-
an dalam Formalisme Rusia, terutama dalam gagasan-gagasan Yuri Tynya-
nov, dan masih terasa gaungnya pada masa kini dalam karya sejumlah sar-
jana, seperti dalam konsep polisistem Itamar Even-Zohar, seorang
teoritikus studi terjemahan dan Israel. Bila Tynyanov menyarankan bahwa
kajian atas bentuk sebuah teks dilakukan untuk melihat hubungan-
hubungan dalam sastra, maka Even-Zohar melihat sastra sebagai sebuah
sistem yang bersifat terbuka, historis, dan interpretif. Gagasan Even-Zohar
ini tetap berlaku bahkan jika kita percaya pada paradigma Saussurean yang

kalam 22
MANNEKE BUDIMAN
1
mengunci bahasa—komponen primer yang menjadi prasyarat bagi adanya
sastra—sebagai sebuah sistem tertutup. Dalam kerangka inilah peranan
sastra bandingan sebagai sarana pengaktian atas Liyan dan sarana dialog
dengan Liyan itu memperoleh ruang geraknya. Mestinya tak berlebihan
untuk dikatakan bahwa Tynyanov dan Even-Zohar telah meletakkan
fondasi penting bagi disiplin sastra bandingan yang lebih modern.

Seorang rahib yang hidup pada abad ke-12 berkata, "Orang yang masih
terikat pada tanah airnya adalah seorang pemula; orang yang merasa kerasan
di mana pun ia berada adalah seorang yang mahir; tetapi orang yang me-
mandang seluruh dunia sebagai sebuah negeri asing adalah seorang ahli."
Dalam kaitan dengan konsep-konsep fundamental di atas, kata-kata
sang rahib menjadi penting. Sebabnya adalah bahwa, hingga saat ini,
masih kuat tertanam asumsi akan adanya suatu wacana yang utuh ten
tang sastra, yang dapat direkonstruksi melalui suatu kajian yang meto-
dologis dan ilmiah, meskipun ada keragaman dan kemajemukan feno-
mena dalam sastra. Sastra bandingan pun tak luput dari jerat pemikiran
semacam ini.

Memang betul bahwa pada Zaman Pertengahan dahulu sastra-sastra di


Eropa dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah kesusastraan yang utuh dan
besar, terutama karena bahasa Latin di kala itu merupakan bahasa yang
umum digunakan dalam penciptaan sastra. Namun, mulai abad ke-19,
dengan berkembangnya studi-studi bandingan atas agama dan mitologi, pa
ra sarjana di Eropa mulai mengembangkan berbagai teori dan metode un
tuk melakukan hal yang sama di bidang sastra dari berbagai latar belakang
bahasa dan kebangsaan. Mungkin juga bukan suatu kebetulan bahwa, pada
kurun waktu yang kurang lebih sama, di Eropa lahir gagasan tentang nasio-
nalisme.yang mendorong penegasan atas perbedaan satu bangsa dengan bangsa
lainnya di benua itu. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh cara ber
pikir dengan orientasi keutuhan ini datang dari bermunculannya sastra-sastra di
luar Eropa yang kajiannya lebih terfokus pada penggalian atas perbedaan dari-
pada upaya pencarian kesamaan atau saling pengaruh. Ada atau tidaknya para-
digma atau orientasi ini sebagai semangat dan sasaran kerja bandingan dalam
sastra bisa saja dijadikan salah satu indikator untuk menentukan apa yang dapat
disebut kerja bandingan dan apa yang bukan pada masa kini.
Perjalanan sastra bandingan untuk menemukan dirinya dan menjelaskan

8 kalam 22
. TENTANG SASTRA BANDINGAN
i

dirinya sendiri tampaknya masih panjang, meskipun kematiannya telah te-


lanjur diumumkan. Dikotomi antara kerja bandingan yang ilmiah dan kerja
bandingan yang populer, misalnya, adalah persoalan yang masih akan terns
membayangi para komparatis. Terlepas dari kehadiran teori dan metode
yang cenderung dominan dalam perkenibangan disiplin sastra bandingan
kini, jenis "akademisme" yang dipromosikan De Zepetnek tidak boleh di-
biarkan menjadi perangkap. Dalam cakupannya yang paling luas, sastra ban
dingan mestinya juga mampu menjangkau "teks-teks" nonsastra, seperti
film, musik, fotografi, seni lukis, dan Iain-lain di samping berdialog dengan
bidang-bidang kehidupan kultural, seperti agama, teknologi, politik, dan la-
in-lain. Meskipun suatu metode membaca kedua jenis teks yang berbeda
spesies itu diperlukan, kelihatannya perlu ada batas yang jelas sejauh mana
seorang komparatis hams menguasai teori yang terkait dengan masing-ma-
sing jenis teks.
Persoalannya sama dengan yang menghantui dunia penerjemahan. Seca
ra ideal, seorang penerjemah hams menguasai dua bahasa dengan sama
sempurnanya bila hendak menerjemahkan sebuah teks dari satu bahasa ke
bahasa lain. Seorang komparatis pun menghadapi tuntutan yang sama.
Mampukah kondisi ideal ini dicapai tanpa mengakibatkan munculnya
komparatis yang spesialis, seperti halnya dengan penerjemah bilingual yang
spesialis? Padahal, semangat dasar sastra bandingan adalah keluasan dan ke-
terbukaan, bukan spesialisasi. Dan yang hendak diciptakan adalah kompara-
tis-komparatis, bukan spesialis. Yang jelas, kerja bandingan tidak dapat di-
hentikan atau dikekang oleh pertimbangan-pertimbangan teoritis dan me-
todologis. Jika institusi-institusi akademik tempat disiplin sastra bandingan
selama ini berada membiarkan dirinya tems-menerus terpukau oleh di-
mensi teoritis, bisa-bisa mereka akan kehilangan sastra bandingan sama se-
kali untuk selama-lamanya karena para komparatis di luar dinding universi
tas lebih mampu menyikapi persoalan teori dan metode dengan lebih ri-
ngan hati dan kurang peduli.

kalam 22
NIRWAN DEWANTO

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?


Melintasi Sastra dan Seni Rupa

BERTOLAK dari pengalaman sendiri, saya dapat mengatakan bahwa


pembacaan dekat adalah sebuah keniscayaan bagi penulis maupun pe-
nelaah. Membaca sastra secara dekat adalah memisahkan ia dari riwayat pe-
ngarangnya, dari ranah yang melahirkannya, dari segenap kuasa yang me-
lembagakannya.1 Hanya dengan pembacaan dekat kita dapat mengenali se
buah puisi atau sebuah novel sebagai pengetahuan sekaligus sumber pen-
ciptaan bam, dan bukan sebagai barang. Namun, tulisan ini bukanlah hen
dak mengukuhkan pengalaman itu, melainkan meragukannya. Maka, ba-
rangkali sebentar lagi, kita menyatakan betapa tak cukupnya pembacaan
dekat.
Karya yang kita telaah atau kita jadikan model pada dasarnp adalah karya
yang kita gandrungi—bila tak, mengapa kita mesti memilih karya tersebut di
antara lautan karya di dunia ini? Tapi kegandrungan tidaklah cukup, balikan
' menjerumuskan, kalau bukan melumpuhkan.Tak puas dengan hanya terpesona
kepada sebuah puisi, misalnya, kita memilih untuk terhisap habis ke dalamnya,
menukik ke seratnya, menghisap daging-dan-darah kata; tak percaya bahwa puisi
itu benar-benar memukau, kita mencoba mengulitinya.

1 Seorang pembaca dekat dapat diibaratkan dengan pencicip anggur yang harus mam
pu mengenali mutu si minuman tanpa tahu apa mereknya, berapa harganya, dari
mana asalnya, dan berapa umurnya. "All wines are blind-tasted," begitu kata majalah
Wine Spectator, menegaskan caranya dalam membuat peringkat anggur dari seluruh
dunia. Perbandingan yang melebih-lebihkan ini layaklah diketengahkan di sini ketika
banyak penelaah sastra kita tak mampu membaca—menilai—teks tanpa tertaklukkan
lebih dulu oleh publikasi atau keterangan apa pun perihal si teks dan si penulis, dan
oleh teori sastra.

kalam 22 11
NIRWAN DEWANTO

Mungkin sekali kita gagal, karena puisi itu tak berinti, melainkan utuh-
padu belaka. Usaha kita untuk menyingkapkan tatanya hanya membuat la
ta sekadar merasa bagaimana ia menggelincir dengan dahsyat dan mesra dari
semantika dan gramatika. Barangkali kita sekadar tahu bahwa puisi itu sem-
purna karena tak sebuah kata atau tanda baca pun mubazir di dalamnya.
Puisi itu pun menjadi milik suatu tradisi sekaligus memperbaruinya, pa
ling tidak menyegarkannya. Puisi itu, dengan segenap kelengkapan kosa-
bentuknya, menjadi tak terelakkan bagi para produsen sastra yang kemudi-
an. Tanpa pembacaan dekat, si produsen hanya mampu melakukan peng-
ulangan, yaitu penciptaan pada tarafyang lebih rendah.
Akan tetapi, tanpa pengetahuan, bahkan penguasaan, akan khazanah tra
disi yang melatarinya, pembacaan dekat tampaknya tak bisa terlalu dekat,
bahkan mungkin mustahil. Makna yang melimpah-ruah dari puisi itu ha
nya dimungkinkan jika ia bermain tangkap-dan-lari dengan sang tradisi.
Dengan kata lain, ia adalah aspek tradisi yang paling berakar sekaligus pa
ling subversifkepadanya. Pembacaan dekat adalah pengujian terhadap sebu
ah tradisi melalui karya yang (akan) menjadi komponennya.
Pembacaan dekat hendak menyingkapkan bagaimana serincinya kualitas
sastra bisa terselenggara. Kita hendak membuktikan bahwa kekuatan karya
itulah yang menggandrungkan kita, bukan sebaliknya. Bahwa unsur-unsur
kasatmatanya sendirilah yang membuat kita memperlakukannya sebagai se-
jenis organisme yang punya nalar tersendiri. Kita hendak mengejar pola
hubungan antar-anasir yang mencerminkan keseluruhan atau kebulatan
karya. Adapun pengejaran yang boleh jadi tak berujung ini—lantaran karya
itu adalah organisme yang tak hendak takluk kepada penalaran maupun
kepekaan kita—bisa berhenti sejenak karena dua hal: kita tak bisa menahan
diri membuat karya lain berdasarkan pembacaan kita; atau kita membaca
hasil pembacaan dekat orang lain yang lebih tajam, lebih masuk akal.
Tentu saja pembacaan dekat bukanlah sebuah metode; ia justru memer-
lukan metode. Kegandrungan terhadap sesuatu, apalagi terhadap buah cip-
taan, hanya merupakan kondisi awal dan sama sekali bukan segala-galanya;
cinta bisa menyesatkan, maka kita perlu mencurigai cinta itu sendiri supaya
kita mampu menempuh jalan yang benar, meskiruntuk sebentar waktu saja
(ya, lain kali kita bisa berganti jalan, yaitu jalan yang lebih benar).
Wawasan teori boleh jadi adalah sarana yang ampuh untuk menajamkan
kecurigaan itu, meski teori seni, misalnya, tak hams selalu tersurat dalam

12 kalam 22
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

tinjauan kita. Sayang sekali bahwa terjemahan Inggris pembacaan dekat


adalah close reading, istilah yang telanjur dikedepankan oleh mazhab Kritik
Baru:2 pembacaan yang kerap dikecam sebagai pembacaan apolitis lantaran
penabalannya akan karya sastra, khususnya puisi, sebagai struktur otonom.
Sekarang kita tahu bahwa pembacaan dekat sama sekali tidaklah untuk
menegakkan otonomi semacam itu. Namun, bila dalam pengamatan biasa
saja kita memisahkan obyek dari latar yang mengepungnya, pembacaan de
kat meradikalkan pemisahan ini. Tanpa itu, kita tak akan mampu meng-
ungkai hubungan antar-elemen dalam sang obyek—atau kita hanya me-
ngenalinya, secara mekanistik pula, sebagai sekadar bagian dari sang latar.
Pada suatu titik nanti, kita akan mampu mengenali latar itu kembali di da
lam karya itu sendiri.
Pembahasan yang sejak awal tak berniat menyingkap segi dalaman karya
seni—katakanlah, pembahasan yang berpretensi melebur seni ke lingkup
sosial dan sejarahnya—itulah yang telanjur populer di kampung halaman
kita sebagai pembahasan kontekstual. Padahal sebentuk formalisme sama
sekali tidak mengosongkan bentuk dari muatan politik: sebaliknya, ia hen
dak membuktikan bahwa bentuklah yang meradikalkan isi.
Tanpa pembacaan dekat—dengan kata lain, menjadi "kontekstualis"—
kita hanya menjadi semu-kiri; sementara itu, bila kita membaca setiap kata
di dalam sebuah puisi demi menyingkap segala kemungkinan konotasinya,
boleh jadi kita akan menjadi kiri radikal. Kita tak dapat begitu saja me-
nyungkupkan pra-anggapan sosial-politik ke dalam teks kecuali kita hen
dak menggunakan atau nienundukkan si teks demi pamrih politis yang
dangkal. Sebaliknya, kitalah yang mesti menyingkapkan daya subversif dari
balik kompleksitasnya: daya yang sanggup memberi kita gambaran dunia
yang baru.
I3emikianlah, supaya kegandrungan dan heroisme tak menjerumuskan,
kita memerlukan metode. Barangkali anda segera bertanya, apakah saya
hendak mengilmiahkan amalan sastra, lebih khusus lagi hendak menyaran-
kan, barangkali setengah memaksakan, pengguiiaan teori untuk nienerangi

2 "Wlxatever critical affiliations we may proclaim, we are all New Critics, in that it requires a
strenuous effort to escape notions ofthe autonomy ofthe literary work, the importance ofdemon
strating its unity, and the requirement of 'close reading'. "Lihat Jonathan Culler, "Beyond
Interpretation," The Pursuit ofSigns (London: Roudedge, 2001 [1981]), 3.

kalam 22 13
NIRWAN DEWANTO

dan menggalakkan telaah dan penciptaan? Bila saya belum bisa menjawab
tegas sekarang, perkenankan saya mengemukakan contoh.
Para penyair kita yang terbaik, misalnya, membaca para pendahulunya
dengan sangat anipuh—dengan cara tertentu: mereka menemukan puitika
di sana, sehingga mampu membuat persajakan terdahulu itu sebagai hipo-
gram. Tanpa metode demikian, tak akan sanggup para penyair itu melam-
paui, kalau bukan membunuh, sang ayah primal.
Beberapa waktu lalu saya pernah mengatakan perlunya naratologi agar
keterampilan para penulis cerita kita terselamatkan3; menyadari bahwa para
penulis kita hanya bisa terhisap oleh cerita realis atau cerita "absurd" tanpa
bergulat dengan bentuk (yaitu bentuk-bentuk yang sungguh kaya tak ter-
hingga di khazanah sastra dunia mutakhir), saya bayangkan telaah tentang
tata naratif akan menyumbang banyak pada penciptaan berikutnya.
Memang, naratologi belum terselenggara di kampung halaman kita, tapi
kini saya bisa mengatakan bahwa novel-novel kita yang paling menarik da
ri, katakanlah, enam tahun terakliir dibuat dengan kesadaran akan bentuk
yang setajam-tajamnya, dan ini setidaknya niembuktikan para novelis itu
menulis berdasarkan—untuk mengutip Subagio Sastrowardoyo—bukan
bakat alam, melalnkan intelektualisme. Buat saya, intelektualisme dalam
penciptaan sastra adalah kesadaran tentang bentuk, kalau bukan wawasan
teori.
Tentulah semua ini tak berarti bahwa seorang pesastra harus mendasar-
kan dirinya secara sadar pada teori tertentu. Namun,jika ia menyadari bah
wa karya sastra bukanlah sekadar benda melainkan problem—tepatnya ob
yek yang diliputi interes dan pengetahuan tertentu sehingga tak ada lagi
yang obyektif tentangnya—ia tak akan puas dengan cara baca yang lazim,
yang hanya berdasarkan akal sehat.
Ia akan mencari cara baca yang sungguh lain, yang majenun, yang bisa
membuatnya tergerak melecehkan hasil pembacaannya sendiri. Sesungguh-
nya, pembaca luar biasa yang diharapkannya itu bernama kritikus atau il-
muwan sastra. Akan tetapi, bila pembacaannya sendiri atas sejumlah karya
terdahulu bisa menyingkapkan tata makna yang baru, tetapi ia tak pandai

3 Baca tulisan saya "Masih Perlukah Sejarah Sastra?" di lembar Bentara, Kompas, 4 Maret
2000—dimuat kembali dalam J. B. Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, ed., Esei-
Esei Bentara 2002 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002), 184-196.

aa kalam 22
T3K 7—:——

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

atau tak berminat memmuskannya, ia "hanya" akan menulis ciptaan yang


mencerminkan tcmuannya; adalah ilmtiwan sastra yang mesti membahasa-
kan kembali temuan-itu.
Seorang ilmuwan sastra memang bertugas menibangun interpretasi sas
tra berdasarkan teori yang dikuasainya (atau menguasainya), tetapi saya tak
percaya bahwa •interpretasi demikian bisa terpisah dari penilaian. Benar
bahwa sang ilmuwan hams menyuratkan metoda untuk menjamin agar
pengamatannya tak ternodai oleh sclera pribadi, yang berarti bahwa dia tak
boleh terjebak oleh pembacaan permukaan yang dibimbing oleh akal
warasnya belaka. .
Bagi saya, pertautannya dengan teori tertentu mencerminkan pandang-
an dunianya, sejarahnya, "hasrat berkuasa"-nya, serta dorongannya yang ter-
sembunyi untuk meragukan segala niuatan dalam dirinya.Jangan lupa bah
wa Viktor Sliklovsky salah satu pendasar teori sastra modern, menegakkan
telaah aspek formal karya sastra justru dengan pikiran bahwa "hanya ben-
tuk-bentuk artistik baru yang dapat memulihkan kesadaran manusia terha
dap dunia."
Melihat amalan teori sastra di kampung halaman kita, sejenak mungkin
kita berbahagia: betapa dekatnya kita dengan perkenibangan terbaru di
khazanah dunia mutakhir. Sebentar kemudian. kita melihat perluasan gejala
ini dengan was-was, antara lain karena sang pengguna teori menjadi seka
dar penghatal jargon yang, sengaja atau tidak, menumpulkan kepekaan ter
hadap karya yang akan ditelaahnya. Kita perlu meneliti kenapa pengguiiaan
teori menjadi adat global.

SAYA belum lagi menggariskan batas-batas pembacaan dekat, meski sejak


awal saya katakan bahwa tanpa pengetahuan, bahkan penguasaan, akan
khazanah tradisi yang mendasari si karya, pembacaan dekat tampaknya tak
bisa terlalu dekat, barangkali juga mustaliil. Bila saja tradisi itu bernama sas
tra (berbahasa) Indonesia, dan bila segala perangkat dari situ tidak bisa lagi
menyinari karya yang saya geluti, maka saya mulai meragukan bahwa pem
bacaan dekat adalah segala-galanya.
Saya tak bisa lagi niemperlawankan atau mengaitkan buah-ciptaan kita
dengan tradisinya sendiri, karena dengan cara itu saya hanya mempertahan-
kan keterbatasan karya itu sekaligus lingkup pandangan saya sendiri. Mera
gukan esensi sastra yang diwariskan sejarah nasional, saya akan pergi ke pel-

kalam22 15
NIRWAN DEWANTO

bagai khazanah lain, kalau mungkin ke seluruh dunia, untuk menyerap, ka


lau bukan menyelami, bentuk-bentuk yang hidup dari sana. Bertanya-tanya
apakah sebuah bahasa terikat kepada bangsa ataukah umat manusia, kita
hendak mencari kesepadanan sastra'kita dengan sastra-sastra lain. Dari sini-
lah studi bandingan mulai.
Seorang penulis menemukan puitika pada sejumlah pendahulunya bu
kan hanya karena ia mampu mempertentangkan mereka dengan tradisi
yang melingkupi mereka, tetapi juga karena ia sanggup mengambil jarak
dengan tradisi itu seraya menyerap tradisi-tradisi lain. Ia tak mungkin
menghidupi bahasa. hanya dengan atavisme atau nasionalisnie sebab bahasa
sesungguhnya didasari nalar—dan adakah nalar yang tak universal?
Pembandingan pada akhirnya akan membuat kita mampu mengenali
kekayaan dan kemiskinan kita. Hujan batu di kampung sendiri tak lagi le
bih baik daripada hujan emas di negeri orang. Bila saya mengenali kekera-
batan antara puisi Sapardi Djoko Damono dan puisi Cina Klasik yang per-
nah diterjemahkannya, dan bila saya menemukan hesitation effect pada novel
Nukila Amal sebagaimana pada cerita pendek Borges dan teori sastra To-
dorov, itu berarti saya tak lagi menyandarkan diri pada pembacaan dekat.
Memang, saya pernah mengira bahwa saya mampu membaca dekat-de-
kat karya terjemahan, seakan sama dekat dengan karya dalam bahasa kita
sendiri.Ternyata tidak. Sebab saya tak membaca dalam bahasa aslinya (kecu-
ali itu bahasa Inggris), dan terjemahan tak bukan adalah sebentuk peng-
khianatan—pengalihan dari khazanah yang sata ke khazanah lain. Dengan
kata lain, kompetensi saya berakhir: saya tergantung kepada kerja oranglain,
yaitu para penerjemah.
Dan bukan hanya itu. Pilihan saya terhadap karya-karya tertentu itu se
sungguhnya ditentukan oleh bagaimana tradisi demikian disajikan oleh ah-
li-ahli fcersangkutan dan bagaimana ia dikemas oleh industri budaya global.
Ternyata kita tak pergi ke seluruh dunia, sebab dunia itulah—sebagian
dunia yang diunggulkan—yang mendesakkan diri kepada kita. Pada dasar-
nya kita tergantung kepada hasil pembacaan orang lain ketika kita mencoba
melintasi batas budaya kita sendiri.
Sebaliknya, kita juga perlu mengenali batas tradisi kita sendiri supaya ki
ta tak terkungkung olehnya. Pembacaan dekat, jika benar-benar berlang
sung, akan mengantarkan kita pada kenyataan bahwa karya yang unggul tak
cukup dikembalikan kepada tradisinya sendiri: sebab kaidah atau perangkat

16 kalam 22
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

tradisi itu tak meniungkinkan penjelasan yang memadai tentang si karya.


Karya itu akan berbicara dengan lebih baik, jauh lebih baik, kepada kita
jika kita menggunakan perangkat dari khazanah lain.Kesanggupan kita un
tuk mencerna khazanah lain barangkali saja dilandasi oleh kesadaran bahwa
khazanah kita sendiri sudah berhenti sebagai pengetahuan—lihatlah, para
penciptanya hanya memperlakukannya sebagai pemberi resep, bukan? Me
ngenali batas tradisi kita sendiri adalah memberinya wawasan konseptual,
kalau bukan wawasan teoritis, agar ia tak lagi bersifat tradisional.
Namun, sekali lagi, sebagai peziarah (yang mulai merasa beradat global)
terhadap pelbagai khazanah lain, ternyata kita tergantung kepada hasil pem
bacaan orang lain. Kita menemukan, misalnya, Borges, dekonsfruksi, atau
teori tentang akhir seni, bukan lantaran kita bergerak sendiri ke khazanah-
khazanah itu, tetapi lantaran itulah yang didesakkan oleh arus global ke
kampung halaman kita.
Betapapun dekat dan titi-teliti saya membaca teks-teks itu, yang bisa
mengubah pelbagai pendirian saya yang niendasar, yang saya hadapi pada
dasarnya adalah hasil temuan, terjemahan, konstruksi, interpretasi, tawaran,
dan mungkin desakan, dari pihak yang tak saya pilih sendiri. Saya mela-
kukan bukan lagi pembacaan dekat, tetapi pembacaan jauh.
Franco Moretti4 niemperkenalkan istilah pembacaanjauh, distant reading,
kepada kita. Menurut ia, sastra di sekitar kita"- adalah sistem planeter. Meng-
gemakan kembali istilah sastra dunia, Wcltliteratur, yang dikedepankan
Goethe serta Engels dan Marx pada abad ke-19, ia menyatakan bahwa sa-
saran penelitian "kita" adalah sastra dunia, bukan lagi (sekadar) sastra ban
dingan. Namun, jika di buana ini terdapat beratus bahasa dan sastra, bagai
mana kita melakukan penelitian itu?
Moretti bicara kepada para komparatis, mereka yang bertugas menyidik
keterl}ubungan atau keterbandingan sastra berbagai kliazanah. Ia meniusat-
kan pembicaraannya pada novel, bentuk yang dari arah ptisat, yaitu kliaza
nah Inggris-Prancis, mendesak dan berevolusi ke seluruh jagad. Tekanan

Franco Moretti, "Conjectures on World Literature," New Left Review 1, Januari-


Februari 2000. Selanjutnya ditulis "Conjectures on World Literature". Terima kasih
kepada Bambang Agung, yang dengan polemiknya dengan "Masih Perlukah Sejarah
Sastra?" menunjukkan jalan ke tulisan Moretti. Baca tulisannya "Sastra Nasional, Sastra
Dunia," Koran Tempo Minggu, 7 & 14 Desember 2003.

kalam 22 17
NIRWAN DEWANTO ' •

sang pusat selalu berusaha membuat khazanah novel dunia—sistem dunia


itu—seragam, tetapi tak kuasa menghilangkan kebedaan.
Sastra dunia, kata Moretti, adalah sistem yang satu tetapi timpang. Per-
bandingan pada dasarnya adalah cara untuk melihat bagaimana sintesis ter-
jadi antara bentuk asing, bahan lokal, dan bentuk lokal—lebih tepat lagi
antara plot asing, karakter-karakter lokal, dan suara naratif lokal. Demikian-
lah, penelitian kliazanah novel dunia akan menyingkapkan bagaimana he-
gemoni kuasa-simbolik dan reaksi terhadapnya niuncul dalam pelbagai
bentuk.5
Untuk mengenali sistem dunia, seorang komparatis mau tak mau harus
mengamalkan pembacaan jauh, sebab pembacaan dekat hanya termaktub
dalam kompetensinya sendiri—sebab ia, selaku komparatis, hanya mengua
sai satu-dua sastra nasional belaka. Ia terpaksa tergantung kepada pembaca
an orang lain atas pelbagai sastra nasional, sebagaimana dicontohkan Mo
retti sendiri.
Membaca banyak dan lebih banyak lagi, kata Moretti, jelaslah bukan ja
lan keluar. Seseorang bahkan hanya membaca sebagian kecil dari khazanah
bahasa yang dikuasainya, jangankan karya-karya dari khazanah lain. Maka
sastra dunia bukanlah obyek, melainkan masalah, yaitu masalah yang me-
minta metode baru, konsep baru. Pembacaan jauh adalah mengambil jarak
dengan teks: makin ambisius proyek pembacaan kita, makin jauh jarak yang
mesti diambil.
Demikianlah seorang komparatis, atau seorang pembaca sastra (sebagai
sistem) dunia, menjalankan kerangka konseptual, yang tak lain adalah kain
perca yang terbuat dari pelbagai nset orang lain tanpa pembacaan langsung
ke dalam teks tunggal. Bagi Moretti, telaah sastra dunia pada dasarnya
adalah "kerja sama" antara para pakar sastra nasional. Tanpa pembacaan jauh
secjemikian itu, kita tak akan mengerti sang sistem dalam keseluruhannya.
Namun, dengan begitu pula, kita akan menerima sistem itu juga sebagai
suatu system oj variations ketika perkecualian atau variasi dari khazanah
novel Eropa Barat dapat ditangkap sebagai perlawanan atau pengelakan ter
hadap desakan atau hegemoni sang pusat.

3 "The one-and-unequal literary system is not just an external work here, it doesn't remain out
side the text: it's embedded well into its form." Lihat"Conjectures on World Literature."

18 kalam 22
- i

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

Setelah bertahun-tahun menganggap bahwa sastra nasional kita tidak la


gi cukup sebagai dasar telaah maupun penciptaan, setelah mengusahakan
sejumlah penjelajahan" ke sastra-sastra lain yang kini mempakan alternatif
terhadap khazanah Amerika Utara dan Eropa Barat, saya masih merasa tesis
Moretti tentang sastra-sebagai-sistem dunia sebagai program yang tak
terjangkau.
Sekiranya peta morfologi sastra dunia tersaji di hadapan kita, dan peta
itu senantiasa nienunjukkan pasang naik dan pasang surut kuasa simboHk
pada pelbagai kliazanah nasional, barangkali terlalu asyik kita menunggu di
titik-titik mana lagi akan ada penyimpangan atau perlawanan terhadap sang
pusat. Anda tak dapat membuat atau menelaah novel jika anda berkonfron-
tasi dengan seluruh dunia, bukan?
Penciptaan mesti kembali kepada pembacaan dekat, kepada sekumpulan
kecil karya terpilih yang bisa mengilhanikan bentuk secocoknya. Mungkin
berdasarkan Utopia Moretti, atau sekadar berdasarkan peluang yang disedia-
kan globahsme, kita mencuri sejumlah btiah ciptaan atau wawasan teori, te
tapi pada saat hasil curian itu sudah berada di laboratorium kita, kita melu-
pakan seluruh dunia.
Namun, Moretti telah menyadarkan kita bahwa selama ini kita bukan
hanya melakukan pembacaan dekat: ketergantungan kita kepada terjemah
an dan telaah orang lain pada dasarnya adalah pembacaan jauh. Misalnya,
saya bukan hanya membaca Borges melalui terjemahan Inggris dan Indo
nesia, melainkan juga melalui Emir Rodriguez Monegal tentang biografi
literer Borges, Paul de Man danJohn Barth tentang strategi naratifnya, dan
Roberto Gonzalez Echevarria tentang naratologi Amerika Selatan.
Barangkali juga saya hanya membaca segelintir puisi Polandia dalam
terjemahan, tetapi saya kemudian lebih tertarik kepada sebentang luas
lanskap sastra Polandia yang disajikan Czeslaw Milosz dalam Tlie History of
Polish Literature. Dan bila kini saya mengenal seni rupa Thailand mutakhir
dengan lebih baik, misalnya, sesungguhnya saya terdorong lebih dulu oleh
ulasan Apinan Pohsyananda, kritikus-kurator dari negeri itu. Semua itu pa
da dasarnya adalah pembacaan jauh. Setelah Moretti, pembacaan dekat tak
cukup lagi. Atau, pembacaan jauh harus dilakukan sesadar-sadarnya.
Bila dengan sistem sastra dunia Moretti mengingatkan kita akan tim-
pangnya hubungan kuasa simbolik antara wilayah pusat dan pinggiran—
sistem sastra dunia kurang-lebih setara dengan sistem kapitalisme global—

kalam 22 19
-i—' —* '.I w

NIRWAN DEWANTO
1
maka, bagi saya, setiap pembacaan, jauh atau dekat, mestinya menyadari
keterbatasan pilihan. Jika saja penciptaan adalah upaya untuk memiuhkan
atau melampaui kondisi obyektif, bahan-bahan yang tersedia sesungguhnya
adalah yang disodorkan oleh industri budaya global.
Globalisme sesungguhnya adalah Anglo-globalisme, seperti diingatkan
oleh Jonathan Arac,'' yakni bahasa Inggris dalam budaya berlaku Sebagaima-
na dolar dalam ekonomi: sang alat yang meneijemahkan pengetahuan dari
yang lokal ke yang global, juga sebaliknya. Dan ini bukan berarti bahwa
kita hanya mungkin menjangkau pelbagai khazanah melalui terjemahan
Inggris. Sebagaimana saya katakan, cara mereka memandang dunia seakan-
akan cara kita juga: yang partikular menjadi seakan-akan universal.
Namun, adat global demikian tak dapat dibalikkan dengan semangat
mencari teori yang berakar dari kampung halaman sendiri, kecuali kita
hendak memercayai orientalisme baru yang dibiakkan kaum pribumi. Kita
hanya perlu bercuriga bahwa segenap teori sastra dan karya sastra yang me-
nentukan amalan pembacaan kita sesungguhnya adalah yang sudah ditapis
dengan sistematis oleh dunia akademi Amerika Utara.
Saya tak ingin mendramatisasi gambaran tentang kekuatan adidaya yang
bekerja dalam dunia pemikiran kita, tetapi saya katakan di sini bahwa peri-
laku dalam menyerap arus dominan di kalangan intelektual setara dengan
apa yang terjadi dalam budaya massa kita. Kita hanya mungkin menyerap
model, bentuk, gaya, pandangan dari wilayah pusat yang sesunggulinya
mengabaikan ciptaan kita. Itnlah yang disebut Moretti sebagai sistem yang
satu tetapi tak setara.
Pertanyaan buat kita: kapankah kita bisa niengganggu, kalau bukan
mengubah, bahkan membalikkan, hegemoni simbolik ini? Moretti menya-
rankan (atau memimpikan) kerja sama di antara pakar-pakar sastra nasional
untuk menerang-jelaskan sistem sastra dunia; setidaknya seorang komparatis
mesti melakukan sintesis terhadap pelbagai telaah sastra nasional. Akankah
kita menunggu seorang komparatis yang bisa berlaku adil terhadap sastra-
sastra nasional yang selama ini terabaikan, termasuk sastra kita?
Betapa jauh panggang dari api. Saya belum melihat sungguh-sungguh
adanya peluang itu dalam studi sastra di mana-mana; saya baru melihat bah
wa sang komparatis sendiri tak percaya bahwa langkahnya bisa menggun-

6 Jonathan Arac, "Anglo-Globalism?", New Left Revieiv 16,Juli-Agustus 2002.

20 kalam 22

i
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

cangkan sistem dunia yang dilukiskannya. Moretti sendiri dalam tulisannya


yang kemudian mengatakan, teori-teori hanya menjelaskan ketidaksetaraan,
tetapi tidak bisa menghapuskannya.7
Mungkin kita bertanya, untuk a*pa telaah yang tak berseluk dengan pen
ciptaan—abstraksi yang berpisah dan perubahan? Bila Moretti berkata
bahwa sudut pandang perbandingan selalu lebih baik, dalam arti membe-
baskan kita dari kepicikan dan kesatu-sisian, saya percaya itu pun baik bu
kan hanya untuk pengkaji tapi juga untuk pencipta. Tidak ada yang lebih
mustahak dalam cara memandang sastra nasional kita kecuali selalu me-
nyandingkannya dengan sastra-sastra lain.
Di titik ini perkenankanlah saya menyeberang sejenak ke ranah seni ru-
pa, untuk membuktikan bahwa ranah ini mengamalkan apa yang dihasrat-
kan Moretti, tetapi tak terjadi di ranah sastra sendiri: gangguan terhadap sis
tem dunia, kerja sama di antara penelaah khazanah nasional, pe'ncarian al
ternatif terhadap hegemoni kuasa simbolik, dan lekatnya telaah dengan
penciptaan. Dengan kata lain, sistem global itu lebih nyata bagi orang seni
rupa, dan itu memberikan contoh kepada kita bagaimana bertarung dan
bermain dengannya.

Sebacaimana novel dalam paparan Moretti, seni rupa modern kita—"seni


rupa atas" dalam istilah Sanento Yuliman—adalah "seni rupa yang dalam
kelahiran dan pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh faktor yang
memancar dari negeri berindustri maju."R MenurutJim Supangkat, hampir
semua seni rupa modern di luar Eropa-Amerika menghadapi "dominasi
wacana seni rupa modern melalui prinsip universalisme, yang percaya
hanya ada satu seni rupa modern dunia dengan satu sistem nilai."9
Penentang yang gigih seringkali mengatakan bahwa modernisme tidak
lam adalah internasionalisme gaya lama yang memandang seni rupa dari lu
ar wilayah inti sebagai cecabang yang rendah diri dari seni rupa modern

Franco Moretti, "More Conjectures", New Left Review 20, Maret-April 2003..
Sanento Yuliman, "Dua Seni Rupa," Dm Seni Rupa, ed.Asikin Hasan (Jakarta:Yayasan
Kalam, 2001), 24-31.
Jim Supangkat, "Membaca Modernitas Indonesia dalam Representasi Budaya pada
Seni Rupa," katalog pameran dalam rangka peresmian Galeri Nasional Indonesia, 8
Mei-8Juni 1999.

kalam 22 ?1
—7—

NIRWAN DEWANTO

Barat. Namun, para kritikus seni rupa dari wilayah pusat maupun wilayah
pinggiran tak sekadar menggainbarkan modernisme sebagai sistem yang sa
tu tetapi tak setara (jika istilah Moretti bisa digunakan di sini), melainkan
juga berusaha mengubahnya.
Setidaknya, mereka melakukan tawar-menawar tiada henti dengan pu-
sat-pusat lama. InternasionaHsme bam: bangkitnya sang lain, the other, yakni
apa yang dulu dianggap pinggiran, terbelakang, lokal, terjajah. Moretti
mencandra gerakan satu, arah, yakni dari pusat ke pinggiran. Namun, orang
seni rupa (mencoba) mendesakkan arus dari pinggiran ke pusat, dan juga
dari pinggiran ke pinggiran.
Pada suatu saat, proses tawar-menawar itu terbaca sebagai perlawanan
yang heroik: kritikus menganggap diri sebagai aktivis budaya yang melucuti
sistem kuasa-pengetahuan dalam amalan seni rupa; it is time for the centre to
be sent in exile, kata kritikus-kurator Cina Daratan Hou Hanru.1" Pada saat
lain, proses itu terasa lebih moderat. Bila bahasa Inggris digunakan di selu
ruh dunia dengan sekian banyak aksen lokal. dan yang beraksen itu tak le
bih rendah daripada Oxford English, begitu pula seni global sekarang —art
with an accent,kzte kurator-kritikus indonesiajim Supangkat.11
Pusat-pusat lama niembuka diri, sejalan dengan perubahan kondisi ka-
pitalisme global. Dahulu sang pusat niengambil bahan mentah dari wilayah
pinggiran, mengolahnya menjadi produk akliir dan melemparkannya kem
bali ke seluruh dunia; kini (sebagian) wilayah pinggiran bisa mendesakkan
produk akhir, dari pakaian sampai komputer, ke wilayah pusat. Bersama
arus barang-barang itu, kuasa simbolik juga menuntut kesetimbangan baru,
tata baru.
Saya pernah mengatakan bahwa pluralisme pada dasarnya adalah prinsip
yang dijalankan industri, khususnya industri kebudayaan.12 Keseragaman
bukan hanya menjenuhkan pasar, tetapi juga mematikan daya cipta industri
itu sendiri. Penghormatan kepada potensi lokal di seluruh buana adalah ja
lan nienuju pemanfaatan dan komodifikasinya. Hal ini berlaku dalam pel-

10 Hou Hanru, "Out of the Centre," dalam On the Mid-Ground, Yu Hsiao-Hwei, ed.,
(Hongkong:Timezone 8,2002), 40-53. \
1' Jim Supangkat, "Art with AnAccent," dalam Interpellations, katalog pameran CP Open
Bieannale 2003 di Jakarta.
12 Nirwan Dewanto, "InternasionaHsme Baru, Kelisanan Baru," Catatan Akhir Tahun
Dunia dan Kita, Kompas, 20 Desember 2003.

22 kalam 22
•- :

PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

bagai medan industri budaya: sepakbola, hamburger, lagu pop, kesusastraan,


mode, seni rupa, dan seterusnya.
Internasionalisme.baru: hadirnya pelbagai kliazanah nasional atau regio
nal sebagai kliazanah alternatifdi wilayah pusat. Dan bila sang penaja adalah
pusat lama yang telah membuka diri, kliazanah alternatif hams bisa mene-
rangkan sejaraJmya sendiri—bila tidak, yang terjadi adalah orientalisme ba
ru, bukan? Maka pameran di New York yang menampilkan seni rupa kon-
temporer dari, misalnya,Thailand, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Fili-
pina, pada dasarnya niena'nipilkan amalan pembacaan kurator-kritikus dari
kliazanah masing-masing.l3
InternasionaHsme baru: juga tumbuhnya pusat-pusat baru, misalnya, di
Jepang, Korea Selatan, Cina Daratan, dan Afrika Selatan, yang masing-ma-
sing hendak menampilkan politik pembacaan yang khas, berbeda, terhadap
seni rupa mutakhir. Biennale maupun triennale di sana pada dasarnya hendak
nienyajikan "pemandangan dari dalam", yang memungkinkan setiap kura
tor-kritikus dari pelbagai kliazanah nasional mempunyai peluang lebih baik
dalam menentang kuasa simbolik sejagad.
Para kurator ini pada akhirnya menjadi "komparatis" di medan inter-
nasional. Bila komparatis di bidang sastra mulai dengan pandangan yang
"netral dan obyektif" berdasarkan kompetensi kebahasaan masing-niasing
dan hanya bergerak ke lingkup sastra dunia ketika pembacaan dekat tak cu
kup lagi, maka para "komparatis" di bidang seni rupa sejak awal menjalan-
kan pandangan yang memihak.
Bahu-membahu antara para kurator dari pelbagai khazanah nasional se
karang sudah begitu lazim—ya, berterima kasihlah kepada pusat-pusat lama
maupun baru yang sungguh menyadari kondisi pascakolonial. Fasih meng-
amalkan ternia dan pendekatan yang sedang hangat di lingkaran akadeniis
Amenka Utara, para kurator itu pada gilirannya sanggup menggulirkan

13 Misalnya saja pameran Contemporary Art in Asia: Traditions/Tensions di New York


pada 1996, dengan penaja utama the Asia Society. Pameran yang menghadirkan Thai
land, India, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, dan India ini diantar oleh kurator
nasional masing-masing, antara lam Jim Supangkat; kurator utama adalah Apinan
Pohsyananda (Thailand). Juga pameran Inside Out: Ntw Chinese Art di New York,
San Francisco, dan Seattle pada 1999, dengan penaja yang sama. Pameran yang meng
hadirkan Cina Daratan, Taiwan, dan Hongkong ini juga diantar oleh kurator masing-
masing, antara lain Gao Minglu dan Hou Hanru.

kalam 22
23
NIRWAN DEWANTO

arus dari pinggiran ke pinggiran. Berkat merekalah, seni rupa kita bisa
membandingkan diri dengan, dan menyerap, khazanah-khazanah Thailand,
Filipina, dan Cina misalnya—perkara yang niskala di bidang sastra.
Apa yang ditanipilkan para kurator di medan internasional pada dasar
nya adalah pembacaan jauh terhadap khazanah nasional masing-masing-
pembacaan-kritis menurut mereka, tetapi bolehlah kita sebut sejenis smdi
budaya: pembeberan akan suatu latar yang pernah dibaku-bekukan oleh
orientalisme, yang diseret-miskinkan oleh modernisme, dan yang kini hen
dak menampilkan subversi terhadap sistem dunia.
Paradigma semacam ini menjalar jauh ke dalam ranah penciptaan seni:
seniman memberlakukan sejenis hermeneutika kecurigaan terhadap sejarah
kesenian, medium seni, fungsi seni, dan institusi penebar seni. Penciptaan
menjadi kritik budaya, pergulatan dengan bentuk tergantikan oleh strategi
pempaan, dan media seni adalah apa pun yang cngkau niatkan dengan konsep
sebagai barang seni.
Apabila kita kehilangan kritik seni (yaitu pembacaan dekat) dan men-
dapatkan studi budaya (yaitu pembacaan jauh), barangkali saja kita hams
bersiap kehilangan keindahan dan keharuan. Apabila anda masuk ke ruang
pameran terkini/'dan anda menemukan onggokan sanipah atau pesta nia-
kan malam yang awut-awutan di sana, percayalah bahwa itti senitia adalah
karya seni atau peristiwa seni, karena senimannya adalah pengusung wacana
yang piawai.
Gambaran karikatural ini hanya hendak menegaskan bahwa betapa seni
rupa dihantui oleh materialitas. Bila seni rupa modern adalah seni yang
mencari esensi melalui medium rupa dan mencapainya dengan modern
isme tinggi, maka seni rupa kontemporer menyangkal esensi tersebut de
ngan cara meleburkan diri ke medium apa pun. menjadi "realitas". Dunia
sastra tak mengalami perkara ini: betapapun berubah definisi tentang sastra,
realitas yang hendak dinyatakannya tetaplah berada di dalam rumah penjara
bahasa, bukan di luarnya.
Selaku pluralis, para kurator kini boleh berkata bahwa sistem penilaian
universal sudah goyah, kalau bukan tumbang. Jika demikian halnya, ba
gaimana kita melakukan penilaian? Apakah saya tidak bisa lagi melakukan
pembacaan dekat terhadap sebuah lukisan atau sebuah patung karena de
ngan demikian saya masuk ke jaringan kuasa modernis? Apakah sebuah
karya instalasi atau multimedia hanya layak dibicarakan sejauh ia dikaitkan
_. kalam 22
24
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

dengan wacana yang menentang modernisme?


Baiklah, saya coba tinggalkan anutan nilai dalam diri saya, yang mungkin
anda curigai sebagai anutan universal. Setelah menyangkal modernisme, sa
ya biarkan diri saya diresapi sebuah karya instalasi, misalnya. Namun, karya
itu akan merasuki diri saya hanya jika kokoh ikatan antar-unsurnya: saya
akan menghayati gagasan yang dikandungnya hanya melalui material dan
bentuknya sendiri. Karya itu sendirilah yang mempakan kritik budaya,14
bukan wacana yang dihidup-hidupkan senimannya. Artinya, seluruh kuasa
dan latar budaya yang diperkarakan si karya hanya tampak dalam wujud ra-
gawinya sendiri. •
Dilepaskan dari senimannya, yang boleh jadi menciptakannya berdasar
kan pembacaan jauh. misalnya saja teori tertentu (karena ia begitu terbiasa
dengan, lantas terbawa oleh, penteorian para kurator di medan internasio-
nal), karya itu bicara melalui pembacaan dekat kita.Ternyatalah hermeneu-
tika kecurigaan sanggup mengembalikan kita ke pembacaan dekat: kita ha
nya berkonfrontasi langsung dengan karya itu belaka, artinya menyingkir-
kan segenap suara yang akan mengarahkan pemaknaan kita.
Pluralisme bagi saya adalah makin beragamnya pembacaan dekat. Dan
hanya pembacaarf dekat yang bisa melucuti selubung kuasa-pengetahuan
pada si karya. Saya katakan hal ini manakala terlalu banyak yang percaya
bahwa studi budaya dengan sendirinya menyelenggarakan pluralisme. Sean-
dainya kenyataan seni rupa kita beragam, pandangan yang mencoba me-
rangkumnya masih serba tunggal. Sayang sekali bila studi budaya dilakukan
tanpa pembacaan dekat: dengan menyungkupkan pra-anggapan sosial-po-
litik ke dalam sebuah teks budaya, kekuatan subversif teks itu sendiri telah
dilucuti.
Gangguan terhadap sistem dunia dalam khazanah seni mpa dimulai de
ngan pembacaanjauh. Kini kian terbukti bahwa pembacaan yang membe-
sar-besarkan konteks nasional itu kian mirip dari satu kurator ke kurator
lainnya. Hasrat untuk menampilkan kebedaan dari pinggiran tidak diim-
bangi dengan suara yang berbeda tentang prinsip kebedaan itu sendiri. Kita
patut menyayangkan bila pinggiran hanya niemperlawankan diri dengan

14 Misalnya pameran instalasi Dadang Christanto Kengerian Tak Terucapkan di Bentara


Budaya Jakarta,Juli 2002. Baca ulasan saya, "Hujan Merah," Koran Tempo Minggu, 14
Juli 2002.

kalam 22 25
NIRWAN DEWANTO

pusat, bukan dengan pinggiran lainnya.


Atau barangkali sudah waktunya kita menyingkirkan konteks dari teks:
kita memerlukan kritik seni, bukan studi budaya. Hanya pembacaan dekat
yang bisa menyelaniatkan kita dari heroisnie yang tak perlu dari laku
membesar-besarkan hegemoni kuasa simbolik. Khususnva bila para kurator
hanya membidik sistem dunia dalam penyebaran dan penilaian seni rupa
tetapi tak kunjung menyadari Anglo-globalisme yang bekerja di dasar pi-
kiran mereka sendiri.

Sang komparatis dalam khazanah sastra bukanlah seperti sang kurator da


lam khazanah seni rupa; sebagaimana dikatakan Moretti, teori sistem dunia
hanya menjelaskan ketidaksetaraan dan tidak bisa menghapuskannya. Na
mun, sebagaimana dibuktikan sang kurator seni rupa, transformasi dalam
sistem dunia adalah sinergi antara perubahan kepentingan di pusat-pusat la
ma, pengambil-alihan teori-teori bam dari tanah asalnya, dan usaha pem-
baharuan di wilayah pinggiran. Si kurator sekadar menempatkan diri de
ngan tepat dalam kelindan arus demikian.
Dengan kata lain, sinergi tak terjadi dengan sendirinya karena kita be
kerja dengan sistem dunia. Setelah melihat kait-mengait antara pelbagai sas
tra nasional, setelah mengenali hubungan kuasa simbolik dalam khazanah
sastra dunia, barangkali kita sekadar tersadar bahwa kita tak lagi bisa sekadar
memilih satu di antara universalisme dan pluralisme, sastra dunia atau sastra
nasional.
Terlalu betali di rumah sendiri, tanpa sengaja kita melakukan pembaca
an jauh terhadap sastra nasional kita sendiri. Pembacaan jauh—pembacaan
alamiah, baik yang dilakukan oleh kritikus maupun pesastra—pada masa
kemarin telah menahbiskan sejumlah model puncak sastra Indonesia, dan
dengan demikian mengekalkan ciri nasional sastra kita. Paradoksnya, sastra
yang tak terukur dengan standar dari luar itu seringkali ditabalkan sebagai
sastra universal. Adapun lawan polemisnya, sebudah sastra kontekstualjuga
bertolak dari pembacaan jauh.
Setelah Moretti, saya dapat mengatakan bahwa sastra Indonesia adalah
bagian dari system of variations. Bila saya membaca sebuah novel Indonesia,
misalnya, saya akan menemukan kesamaan maupun kebedaamiya dengan
novel-novel dari kliazanah lain yang saya kenal. Kesamaan: novel itu sebe-
narnya hanyalah novel dunia tetapi ditulis dalam bahasa Indonesia. Artinya,

26 kalam 22
. PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

ia menuntut tolok-ukur yang melampaui sastra nasional. Kebedaan: novel


itu menjadi novel dunia justru karena bahasanya mengatakan apa-apa yang
tak terkatakan oleh, hieski mungkin terterjemahkan ke, bahasa-bahasa lain.
Namun, hanya segi-segi formal novel itulah yang mengizinkan saya me-
nilai. Telah saya katakan, membaca-dekat adalah membebaskan ia dari klia
zanah asalnya, menemukan bahwa keterkaitan antar-unsurnya itulah kece-
merlangannya sendiri. Dan menilai adalah mempeiiawankan kecemerlang-
an itu dengan khazanah lain. Pembacaan dekat mesti bersanding dengan
pembacaan jauh. Bila kita melakukan apa yang lebih jauh dari pembacaan
jauh, itulah yang niscaya bernania politik, yang mestinya tak terjangkau
oleh penulis maupun komparatis manapun, meski di masa kejayaan studi
budaya kini banyak yang percaya bahwa teori berimpit dengan politik.
Pelukisan sistem dunia dalam ranah sastra oleh Moretti sesungguhnya
adalah politik, sebagaimana yang dilakukan kurator seni rupa Dunia Ketiga.
Namun, jika yang terakhir ini sadar meiigguncang sang sistem, Moretti
tidak—atau sang komparatis ini tak menyadari risiko dari teorinya. Tentu,
seorang komparatis tak bisa menjadikan sebuah sastra nasional perlu bagi
bangsa-bangsa lain, kccuali telaahnya meniperoleh pengakuan dari lingkup
profesinya sendiri" dan bersambung-arus dengan industri budaya global. Po
litik tak lain ketimbang menempatkan diri secara strategis setelah melaku
kan pembacaan dekat dan pembacaan jauh.
Sebab arus tak melulu bergerak dari pusat ke pinggiran. Ketika hege
moni ekonomi dan politik Barat masih berlangsung, secara literer pinggiran
mampu bukan hanya membebaskan diri dari pusat, tapi juga mengubah-
nya, deniikianlah Efiain Kristal'5 merujuk khazanah Amerika Selatan: mo-
demismo dalam puisi pada akhir abad ke-19 adalah bentuk yang tumbuh
dari bumi sendiri, menjalar ke kawasan sekitar dan kemudian memperba-
harui perpuisian di Tanali Spanyol; kemudian Borges sampai Garcia Mar-
quez di pertengahan abad ke-20 mengubah watak prosa dunia.16
Tentulah tak mungkin memudakkan bentuk yang tumbuh dari bumi

15 Efrain Kristal, '"Considering Coldly . . .': A Response to Franco Moretti", New Left
Review 15, Mei-Juni 2002. Selanjutnya ditulis '"Considering Coldly . . .':A Response
to Franco Moretti".
16 Gerald Martin: . . . since the 1960s many of the most important uniters—halo Calvino,
Milan Kundera, Salman Rushdie, Umberto Eco—have had to become 'Latin American' novel
ist. Dikutip dari '"Considering Coldly ...'"

kalam 22 27
NIRWAN DEWANTO

sendiri, yang self-generating; Kristal sendiri menyadari pentingnya sistem du


nia, bukan sebagai sistem monopoli pusat atas pinggiran, tetapi sebagai
sistem peluang ketika bentuk bisa bergerak tak timer: dari pinggiran ke
pinggiran, dari pinggiran ke pusaf; sejumlah bentuk malah tak bergerak
sama sekali; dan strategi pemindahan ke arah mana pun selalu mengandung
penolakan, peiribelokan, dan transformasi.
Kita bisa mengatakan bahwa yang apa niendukung gerakan dari ping
giran ke pusat adalah kondisi obyektif bahasa Spanyol sendiri: kedudukan-
nya sebagai salah satu bahasa terpenting di dunia, bahasa (bekas) imperiuin,
bahasa yang dipentingkan sejak awal oleh studi sastra bandingan maupun
studi kawasan, bahasa yang berada di halaman belakang Amerika Serikat
dan halaman samping Eropa Barat. Kondisi demikian jelaslah "mengun-
tungkan" sistem dunia—atau sebaliknya.
Namun, sebagian besar sastra nasional di dunia ini adalah yang terabai-
kan oleh pusat atau sesama pinggiran, persis sebagaimana kita tak tahu apa
itu sastra Albania, Somalia, atau Paraguay, misalnya. Barangkali ada yang ber
kata, sistem dunia tak memadai, atau bahkan tak berguna bagi mereka yang
terlalu lama berada di pinggiran, yang sastranya tak pernah penting bagi
kajian sastra bandingan di dunia ini. Sebagaimana kapitalisme mutakhir tak
akan bermurah hati kepada pelbagai tanah air yang hanya mampu mengha-
silkan bahan mentali.
Namun, dunia tak lagi berada di luar sana, bukan? Kegandrungan akan
teori dan filsafat, misalnya, membuktikan betapa kerasnya Anglo-globalisme.
Apa yang sampai ke mari adalah sejenis fiaksi kanonik yang dipenting-pen-
tingkan oleh sang pusat, yang di tangan para pakar kita menjadi buku ma
nual. Dan para pengguna yang bersemangat itu tak kunjung menilik bagai
mana proses penapisan demikian terjadi.
Demikianlah di kampung halaman kita pascamodernisme menebalkan
pandangan konservatif, dekonstruksi membenarkan kekacauan gramatika
dalam prosa, teori puisi menumpulkan kepekaan terhadap puisi, studi bu
daya mengabsahkan ketidakmampuan dalam melakukan pembacaan dekat,
multikulturalisme sekadar dalih untuk menutupi bangkrutnya budaya-bu-
daya pinggiran, dan seterusnya. t
Bila penggunaan teori menjadi begitu doktriner dan tidak kreatif, besar
kemungkinan si pengguna belum mampu melakukan pembacaan dekat
terhadap khazanah bahasa sendiri. Teori menjauhkan dia dengan obyek

28 kalam 22
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

peneliriannya: dia bahkan sekadar terpesona kepada nama dan jargon yang
sedang ngetren, tanpa memahami politik global yang telah menapis, mengu-
kuhkan, dan menyebarkan segenap amalan teori itu. Sebaliknya pula, dia
bisa dikatakan berpolitik—misalnya saja untuk meraih posisi tertentu da
lam ruang publik—dalam mendekati obyeknya tanpa melakukan pemba
caan dekat maupun pembacaan jauh.
Namun, kegandrungan pada karya sastra tak dengan sendirinya meng-
hasilkan pembacaan dekat dan penggunaan teori yang mustahak. Tengok-
lah, misalnya, sebuah pandangan yang menuntut sastra kita menjadi sastra
besar, sejenis "teknologi sosial" untuk "niengorganisasikan pengalaman dan
menstrukturkan dunia."17 Memimpikan sastra menjadi sejenis sastra epik
dari zaman lampau atau sastra kanonik dalam kliazanah dunia hari ini, pan
dangan ini mengais-ngais isi di balik bentuk. Sayang sekali yang ditemu-
kannya di balik "bahasa yang menari-nari" hanyalah sejenis kekosongan
dan kekacauan. Sebab ia hanya melakukan pembacaan jauh terhadap teks
sastra: baginya metafor menjadi denotasi, interpretasi menjadi prasangka,
dan struktur menjadi esensi.
Sementara itu, bila dengan pembacaan dekat kita menemukan, misalnya,
dialogized heteroglossia dalam Saman, atau hesitation effect dan allegory of reading
dalam Cala Ibi, niscayalah itu tak berarti kedua novelis mengamalkan teori
sastra dengan sadar dalam karya mereka. Bagi saya, ini hanya membuktikan
bahwa penulisan secara alamiah tak mungkin lagi. Menulis adalah bermain
dan bertarung dengan, dan memilih, bentuk dan perspektif yang datang
bersama—dan bereaksi kepada—aliran modal, barang dan jasa sedunia.
Novel-novel itu tak bisa "dijelaskan" dengan bekal sejarah susastra Indone
sia maupun "teori yang berpijak di bumi sendiri."
Sampai di titik ini semogajelaslah bahwa dunia berada di kampung ha
laman kita sendiri. Membiarkan ia bekerja secara otomatis, "alamiah", ada
lah menjadikan pandangan mereka menentukan kebutuhan kita—atau
menjadikan pilihan mereka sebagai kehendak universal.18 Namun, me-
nyangkal dunia (dan nienjadikan kampung halaman kita sebagai antipoda-

17
Baca Nirwan Ahmad Arsuka, "Nalar Indra dan NalarrDunia: Krisis Penciptaan Sastra,"
Lembaran Bentara, Kompas, 5 Mei 2004.
18
Dalam "Anglo-Globalism," Arac juga mengkhawatirkan "the unavowed imperialism of
English; the diminishment of language-based criticism in favour of a monolingual master
scheme."

kalam 22 29
NIRWAN DEWANTO

nya) berarti niembiakkan orientalisme terbaru, yaitu orientalisme oleh ka-


um pribumi.
Menangani dunia sesadar-sadarnya, sebagaimana dilakukan Moretti,
adalah menyarikan ia sebagai sistem: setiap perubahan dan pembaharuan di
ranah nasional adalah reaksi terhadap sistem dunia. Namun, kita tahu bah
wa sistem tak pernah mudak menguasai dunia-kehidupan: selalu ada arus
yang bergulat dengan kondisi spesifiknya sendiri seraya mencuri tenaga dari
sang sistem, meletup ke luar melalui celah-celahnya dan pada suatu saat
(mungkin) niengubahnya. Jika tulisan ini, misalnya, terhisap betul ke dalam
sistem dunia saranah Moretti, bagaimana mungkin ia membersitkan harap
pada daya cipta di kampung halaniamiya sendiri?
Atau, bila kita tak mau bersikeras dengan sistem dunia lantaran kita tak
hendak berpolitik sebelum melakukan pembacaan (ya, ingatlah pada kasus
para kurator seni rupa), kita dapat mengatakan bahwa kritik sastra pada
dasarnya adalah sastra bandingan, entah tersurat atau tersirat. Kita tak dapat
menilai sebuah teks bila kita niengisolasinya ke dalam batas tradisinya sen
diri: ia hanya bicara bila diletakkan dalam perbandingan dengan teks dari
tradisi lain.
Namun, sebelum kritik sastra mencurigai obyek penelitiannya dengan
saksama, memisahkannya dari tradisinya sendiri dan meletakkannya ke latar
tradisi yang lain, ia perlu mencurigai dirinya sendiri; bila tidak, kritik sastra
akan sekadar membuat parafrase atau metanarasi tentang obyeknya. Dan
proses mencurigai diri ini berlangsung karena, antara lain, ia bersitatap, ber-
main, dan bertarung dengan teori. Lagi-lagi, hal ini berarti menolak "pan
dangan yang bersumber dari bumi sendiri."
Kritik sastra—dengan ini saya maksud segala jenis penelitian dan pem
bacaan sastra—hamslah disadari sebagai pantulan kecintaan terhadap baha
sa, seakan tak ada yang lebih patut-dicintai di dunia ini ketimbang bahasa
im sendiri. Hanya dengan begitu ia mampu sampai ke renik-renik karya
sastra demi "meraba" keseluruhannya. Maka kritik sastra bukanlah nielulu
tentang sastra, tetapi menjadi sastra im sendiri. Dia hanya mungkin melu-
cuti atau mengliidupkan karya sastra bila ia menandingi, setidaknya ber-
usaha menandingi, kekuatan ungkapannya. r
Gandrung terhadap bahasa—itulah syarat pertama dan utama pembaca
an dekat. Hal ini patutlah dikatakan terus-menerus mengingat kini kritik
sastra dikorbankan unmk apa yang bernania teori, tepamya pengguiiaan

3Q kalam 22
I
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?

teori secara doktriner dan berlebih-lebihan—overtheorizing. Entah untuk


meraih posisi tertentu di ruang publik atau akadeniis, atau untuk sekadar
menunjukkan diri sebagai manusia global, si penelaah menjadi penganut
saleh teori tertentu. Sesungguhnya, bila teori tidak menajamkan kegan
drungan terhadap bahasa dan bukan sarana untuk mencurigai diri sendiri.
kita akan keliilangan sastra sekaligus kritik sastra.
Tidakkah apa yang bernania teori im sesungguhnya sekadar fraksi ka-
nonik yang dipenting-pentingkan oleh Anglo-globalisme? Jika pun kita
sedikit terbebani oleh globalisme demikian, masih tersedia alternatif yang
cukup banyak: kita mesti pergi dari arus utama, ke wilayah "pinggiran",
yaitu dengan pembacaan jauh: kita mesti membaca pelbagai pembacaan
dekat terhadap sastra-sastra dari khazanah lain.
Pembacaan jauh adalah sebentuk pengkliianatan terhadap sastra ban
dingan, disiplin yang dalam sejarahnya bertolak dari filologi. Sastra ban
dingan mulai dengan kompetensi kebahasaan dan bekerja dengan pemba
caan dekat. Pengkhianatan itu mulai pelan-pelan, sebagaimana ditengarai
Edward Said pada pertengahan 1970-an, dengan makin tergantungnya stu
di sastra bandingan kepada terjemahan Inggris dari sastra dunia dan makin
tipisnya penguasaan terhadap bahasa-bahasa Eropa Barat. Dan sastra ban
dingan, dalam perkembangannya, makin terbuka kepada sastra-sastra lain,
kepada seluruh dunia, demi melunakkan warisannya yang Erosentris im.
Moretti telah melengkapkan pengkhianatan itu: studi sastra ban
dingan bisa bergantung kepada pembacaan jauh. Dia bicara kepada ka-
um komparatis, mereka yang sudah basah kuyup dengan pembacaan
dekat. Menurut ia, sastra bandingan bukanlah apa-apa jika tak menan-
tang secara permanen sastra nasional.19 Mengabaikan pesimisme Mo
retti bahwa teori sistem dunia hanya bisa menjelaskan ketimpangan te
tapi tak bisa mengubahnya, saya bertanya siapakah komparatis kita yang
bisa menjalankan tantangan demikian? ,
Studi sastra tidak perlu menjadi studi biidaya jika yang terakhir ini hanya
melakukan pembacaan jauh dalam arti mengaburkan teks dengan konteks

19 "Tlie point is that there is no otherjustification for the study ofworld literature (andfor the ex
istence ofdepartments ofcomparative literature) but this: to be a thorn in the side, apermanent
intellectual challenge to the national literatures—especially the local literature. Ifcomparative lit
erature is not this, it's nothing." Lihat "Conjectures on World Literature."

kalam 22 31
e . . .. i -

NIRWAN DEWANTO

budaya; pengaburan demikian hanya menjauhkan teks itu dari kekuatan


subversifhya untuk mengubah konteks. Di kampung halaman im, pemba
caan jauh bisa menyuburkan kelisanan yang terns menghantui tulisan kita,
membuatnya sekadar semu-ilmiah dan semu-sastra. Sebagaimana telah saya
katakan, studi sastra pada han ini pada dasarnya adalah sastra bandingan se
bab ia tak bisa memiskinkan karya sastra dengan menienjarakannya dalam
tradisinya sendiri, tetapi ia pun menyadari bahwa pembacaan jauh terhadap
khazanah lain barulah bisa dilakukan setelah pembacaan dekat terhadap
khazanah .sendiri dilaksanakannya.
Sastra bandingan dalam perkembangannya yang terbaru tak sekadar
membanding dengan sastra-sastra lain. Ia juga memadankan sastra dengan
bidang-bidang lain: demikianlah ia menyangkal esensi sastra sekaligus me-
luaskan batas-batas sastra. Ia bisa menjadi sejenis studi budaya bukan dengan
pembacaan jauh, tetapi dengan pembacaan dekat terhadap dua atau lebih
bidang, medium, disiplin: konteks hanya ada berkat kemampuannya nieng-
hubungkan pelbagai teks budaya im sebab konteks tak lain ketimbang ja-
linan antar-teks.
Sastra bandingan menjadi kritik sastra ketika ia menantang batas-batas
sastta sebagaimana digariskan oleh pesastra yang dihantui sejarah nasional
tetapi yang menganggap sastranya universal. Pinggiran tetaplah wilayah
yang merasa berdaulat dan cukup diri, sampai ia sungguh-sungguh terba-
ngun dan mendapati dirinya boyak terbandingkan dengan pinggiran lain
yang sudah mampu niengganggu atau mengubah pusat dunia. Dengan
membuka selubung kuasa-pengetahuan ini, sastra bandingan pun mengha-
dirkan tenaga dari pelbagai khazanah lain, media lain, disiplin lain, paradig-
ma lain, yang dapat mendorong penciptaan baru.
Jakarta, 17 Agustus 2004

-- kalam 22
1 ' a-" -

LISABONA RAHMAN

TRAGEDI BUAH APEL


Seks dalam Karya Ayu Utami dan Erica Jong

. .. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan
sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi penger-
tian. Lalu ia mcngambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga
kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun mema-
kannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka
telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat
" (Kejadian,Bab3:6-7).

LEBIH dari enam tahun setelih novel Saman (penulisnya sendiri me-
nyebutnya sebagai fiagmen) memenangi Sayembara Roman Dewan
Kesenian Jakarta, perdebatan mengenainya masih tetap berjalan. Perdebatan
ini tenm saja tidak secara khusus berkisar pada Saman, tapi meluas ke karya
tulis perempuan lainnya yang dianggap menggambarkan seks secara ekspli-
sit. Sejumlah perdebatan moral dan pembelaan teoritis telah berlangsung di
media massa untuk menilai karya-karya perempuan penulis tersebut. Per
debatan ini kemudian membuat si penulis—bukan karyanya—menjadi ob
yek pembahasan di mang-mang kritik sastra, bahkan dalam acara gosip di
televisi.
Akan tetapi penggambaran hubungan seksual dan seksualitas oleh penu
lis perempuan yang menjadi inti utama perdebatan ini justru tidak menda-
pat pembahasan yang lebih mendalam. Untuk melihat gagasan yang dita-
warkan penulis tentang pengalaman seksual perempuan, ada dua hal yang
akan saya bahas dalam tulisan ini: bagaimana penulis menampilkan hu
bungan heteroseksual dan bagaimana perempuan mengenal (atau diperke-
nalkan kepada) mbuhnya. Dalam tulisan ini saya memilih sam karya, Saman
(terbit 1998), dan membandingkannya dengan karya penulis Amerika Seri-

kalam 22 33
LISABONA RAHMAN
1
kat Erica Jong, Fear of Flying (terbit 1973).' Ketika Fear of Flying terbit -di
AS, Erica Jong juga mendapat kritik berkaitan dengan nioralitas karena
gambaran seks yang ia •tampilkan dalam novelnya. Kedua karya ini saya pilih
bukan karena pertimbangan mutu yang jauh lebih baik daripada karya-
karya perempuan lain yang mengangkat masalah seks dan seksualitas, juga
bukan karena saya anggap sebagai panutan dari karya sastra perempuan
yang menyoal masalah serupa, akan tetapi lebih karena kemiripan kondisi
dan tanggapan yang bermunculan saat kedua karya tersebut diterbitkan.
Dengan menyebut adanya kemiripan, saya juga tidak sedang menyamakan
karena kedua karya im terbit pada kurun yang jauh terpaut dan dalam
kondisi budaya yang berbeda pula.
Tanggapan terhadap tulisan mereka mirip penghakiman atas Eva, pe-
renipuan yang niencuri buah pohon pengetahuan.2 Analogi ini saya guna-
kan untuk niemperlihatkan bagaimana perempuan memulai pembicaraan
tentang seks (kelamin) dan seksualitas (kecenderungan seksual)-nya,3 sesua-
m yang menjadi tabu masyarakat (patriarkal). Di niana banyak larangan, di
situ berseniayam kebenaran, kata Nietzsche. Tenmnya kita bisa berdebat

1 Saman adalah bagian pertama dari bilogi Saman - Lanmg (2001) dan Fear of Flying
bagian dari trilogi Fear ofFlying - How to Save Your Own Life (1977) - Parachutes and
Kisses (1984).
2 Dalam Injil dia disebut Eva, sementara dalam al-Qur'an dia disebut Hawa. Buah yang
dicuri (tepamya diambil dan dimakan, dan itu menyalahi larangan Tuhan) dalam teks
Islam disebut khuldi, sementara dalam teks Injil berbahasa Inggris disebut apel.
Kebenaran bahwa Adam adalah manusia pertama dan Eva—perempuan pertama—
diciptakan dari rusuk Adam dipertanyakan oleh para feminis (lihat misalnya Enid
Dame dkk. ed., Which Lilith? Feminist Writers Re-create the World's First Woman,
Northvale, NJ: Jason Aronson, 1998). Mereka menyatakan bahwa Lilith adalah perem
puan pertama, diciptakan bersama dan sejajar dengan Adam. Karena tidak mau tun-
duk pada Adam, dia diusir Adam dari firdaus kemudian menjadi tokoh jahat, seorang
iblis perempuan dalam mitologi Eropa, misalnya dalam komik Garth. Adam meminta
teman perempuan kepada Tuhan. Maka, disulaplah tulang rusuk Adam menjadi
Hawa.
3 Seks menunjuk pada keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin jantan (male)
atau betina (female). Sedangkan seksualitas adalah proses sosial yang menciptakan,
mengatur, dan mengekspresikan serta mengarahkan hasrat [seksual]. Lihat Maggie
Humm, Ensiklopedia Feminisms, penerjemah Mundi Rahayu (Yogyakarta: Fajar Pus-
taka Baru, 2002), 432-434.

34 kalam 22
TRAGEDI BUAH APEL

tentang apa yang menjadi tabu dalam masyarakat patriarkal.Akan tetapi pa


da umumnya seks dan seksualitas ditakrifkan oleh laki-laki. Dalam sastra
Indonesia bisa kita sebut sejumlah karya Motinggo Boesje yang mengaki-
batkan kegemparan, tetapi bisa diterima sebagai gambaran sebuah realitas
kelompok masyarakat.
Ini bukan saja persoalan apa yang dituliskan berkaitan dengan seks dan
seksualitas tapi juga bagaimana kedua hal itu ditampilkaii kembali dalam
karya sastra, dan tentunya oleh siapa, karena kuasa menamai tidak terbagi se
cara merata dalam sebuah masyarakat. Mungkin tenia seks hampir tidak
pernah absen dari topik pembicaraan sehari-hari masyarakat, akan tetapi
ketika dimunculkan dalam sastra, ia memasuki sebuah ruang pertentangan
antara kebebasan ekspresi pengarang dan tuntutan peran pengarang sebagai
panutan.

Sedikit tentang cerita Saman dan Fear ofFlying


Tokoh utama yang mengikat keselumhan cerita dalam Saman adalah
Laila Gagarina, seorang juru foto yang masih perawan pada usia 30 tahun
yang jamh cinta pada Siliar, seorang pekerja tambang niinyak yang sedang
berupaya menguilgkap kasus kecelakaan kerja di sebuah rig. Dalam upaya
penyelesaian kasus tersebut ia bertemu kembali dengan Saman (Wisangge-
ni), seorang man tan pastor yang pernah ia cintai semasa SMA. Saman sen
diri terlibat kasus gerakan rakyat di daerah perkebunan sehingga hams me-
larikan diri ke luar negeri. Proses pelarian Saman dibantu oleh kawan-ka-
wan SMA Laila. Saman sendiri kemudian terlibat hubungan dengan Yas-
min, salah sam sahabat Laila, seorang pengacara yang banyak terlibat dalam
upaya penanganan kasus pelanggaran HAM. Hubungan Laila dan Sihar
berkembang sejalan dengan perkenibangan kasus ini dan ditingkahi persa-
habatan Laila dengan kawan-kawannya semasa SMA. Cerita Saman diputus
pada bagian yang mengisahkan hubungan Saman dan Yasmin—dan kemu
dian berlanjut dalam Larung.
Cerita Saman dituturkan oleh beberapa narator: Laila, Saman, Sha-
kuntala, Yasmin, dan orang ketiga. Kisah disampaikan lewat wicara
orang pertama dan dalam beberapa bagian rnenggunakan gaya episto-
laris, misalnya dalam bagian surat Saman kepada ayahnya atau kores-
pondensi Saman dengan Yasmin. Cerita dibuka dengan penantian "sa
ya" (kemudian kita mengenalnya sebagai Laila) akan Sihar, dilanjutkan

kalam 22 35
LISABONA RAHMAN

dengan awal pertemuan mereka berdua sampai akhirnya Laila mem-


perkenalkan Sihar kepada Saman. Bagian terbesar dalam novel ini (74
dari 195 halaman)- menceritakan riwayat hidup Saman lewat sudut
pandang orang ketiga sejak masa kecilnya di Perabumulih, penahbis-
annya sebagai pastor, hingga keterlibatannya dalam kasus gerakan rakyat
di daerah perkebunan kelapa sawit. Dalam kebingungan karena hu-
bungannya dengan Sihar yang sudah beristri (dan merasa membutuh-
kan hubungan seks), Laila selalu berkonsultasi pada sahabat-sahabat la-
manya: Shakuntala,Yasmin, dan Cok. Dari kebimbangan Laila tentang
seks, cerita kemudian membuka riwayat keempat sahabat, baik melalui
obrolan maupun melalui monolog Shakuntala.
Berbeda dengan Saman yang memiliki banyak tokoh, Fear ofFlying ha
nya memiliki tiga tokoh utama: IsadoraWhite Wing, Adrian Goodlove, dan
Benett Wing. Protagonis Isadora White Wing adalah seorang penyair/pe-
nulis AS keturunanYahudi berusia 29 tahun yang menikah dengan Benett
Wing, seorang psikiater AS keturunan Cina. Isadora pergi menemani sua
minya mengikuti sebuah kongres psikiatri di Wina. Di sini ia bertemu de
ngan Adrian Goodlove, seorang psikiater Inggris yang berasal dari tradisi
pemikiran Ronald D. Laing—seorang psikiater yang antipsikiatri dan
menganggap dirinya eksistensialis—berlawanan dengan Benett, seorang
Freudian yang teguh. Isadora menjalin hubungan dengan Adrian dan me-
ninggalkan suaminya untuk berkeliling Eropa dengan Adrian. Akhirnya
Adrian meninggalkan Isadora untuk bertemu dengan kekasih dan anak-
anaknya, sedangkan Isadora berusaha kembali menemui Benett. Sekimh cerita
dimmrkan lewat sudut pandang Isadora dengan menggunakan Lata ganti /.
Baik Saman maupun Fear ofFlying bertutur secara tidak linier, berulang-
alik antara potongan-potongan masa sekarang dan masa lalu dengan me-
nempuh risiko banyak terjadi pengulangan, dengan menambahkan bebera
pa detail baru Kedua novel memperlihatkan dua karakter karya feminis
yang berlainan. Saman ineniperHhatkan karakteristik yang disebut oleh Ra
chel DuPlessis sebagai tekstur estetika perempuan modern: cair, tidak linier,
terpencar, nonhierarkis, dan bersuara banyak.4 Rachel DuPlessis melihat

4 Rachel DuPlessis, "For the Etruscans" dalam Elaine Showalter, ed., Tlie New Feminist
Criticism: Essays on Women, Literature and Theory (London: Virago Press, 1989).
Selanjutnya ditulis The New Feminist Criticism.

36 kalam 22
TRAGEDI BUAH APEL

perbedaan antara estetika ini dan roman yang berstrukmr linier, kompak,
terpusat; di mana pengarang berada dalam posisi pengamat dan pencerita,
pemegang kuasa utama untuk mendefinisikan narasi. Pencerita dalam Sa
man terns berganti-ganti, kadang Laila^ Shakuntala, atau WLsanggeni/Saman.
Sementara itu, jauh berbeda dengan kemmitan narasi banyak karakter
Saman, Fear ofFlying adalah narasi tunggal Isadora yang bukan saja mence-
ritakan peristiwa, tapi juga dialog dalam dirinya sendiri. Pilihan ini mempa
kan semangat zaman yang melanda gerakan perempuan AS saat itu, bahwa
perempuan hams bersuara dan mengemukakan perasaan, ingatan dan fan-
tasi seksualnya. Fear ofFlying adalah "suara generasi baru perempuan muda
yang murka, dalam bahasa lisan yang tak kenal kejinakan"5 yang muncul sa
tu masa dengan gelombang pertama gerakan perempuan di AS. Karya-kar
ya pengarang feminis AS pada periode ini banyak mengambil benmk bio
grafi atau kuasi-biografi. Fear of Flying adalah novel kuasi-biografi, suatu
benmk yang sangat banyak digunakan oleh penulis perempuan, di mana
tokoh utama umumnya menampilkan diri sebagai si pengarang. Tokoh Isa
dora adalah seorang penulis seperti Erica Jong, sebuah pilihan yang me-
mungkinkan dia membahas pengalaman dan kegelisahan perempuan yang
menjalani profesi ini. Benmk biografi atau kuasi-biografi digunakan para
penulis perempuan untuk mengambil peran subyek dan menyuarakan diri
nya, sambil menipermasalahkan realitas dan kerja perempuan. Dengan
menjadi subyek pencerita dan menerbitkan karyanya perempuan tidak ha
nya menerima monopoli penggambaran oleh laki-laki, tapi menawarkan
gambarannya sendiri.
Saman dibuka dengan sebuah pertanyaan atas siapa yang memberi nama
benda-benda. Secara keseluruhan novel ini terus mengajukan pertanyaan
tersebut: bahwa kuasa laki-laki boleh menamai benda-benda dan keadaan,
sementara kuasa perempuan tidak. Jsadora pun sering gagal menempatkan
dirinya saat bicara dengan Adrian, atau merasa begitu gusar karena setiap
psikiater yang ia temui selalu bersikeras menamai permasalahannya dengan
referensi Freudian, meskipun nienumtnya im salah sama sekali. Dalam taf-
siran kritik sastra feminis, kepengarangan disimbolkan dengan pena (yang
mirip penis) dan terkait erat dengan kekuasaan sehingga dengan begitu da-

5 Elaine Showalter, "Killing the Angel in the House: The Autonomy of Women Writ
ers" dalam Antioch Revieiv Vol. 32, No. 3 (Musim Gugur 1972).

kalam 22 37
LISABONA RAHMAN

lam tafsiran psikoanalisis ortodoks pengarang perempuan selalu dan hams


pribadi yang bermasalah pula.
Kepengarangan—^menurut penelitian Sandra Gilbert dan Susan Gubar
tentang pengarang perempuan pada abad ke-19—adalah kegiatan yang
mengerikan dan sangat tidak sesuai untuk perempuan/1 Kegelisahan dan
pencarian seorang pengarang untuk menemukan bahasa sebagai alat eks-
presi identitasnya sebagai perempuan serta berbagai konflik antara keingin-
annya dan tanggapan masyarakat membuat perempuan pengarang meng-
hadapi masalah psikologis yang rumit. Sikap yang patut bagi perempuan
adalah menjalankan kewajiban rumah tangga dengan patuh dan s'esedikit
mungkin mengungkapkan diri di luar lingkungan domestik. Perempuan
yang menulis dianggap mengingkari tanggung jawabnya dan mempakan
tindakan pengungkapan diri pada publik yang memalukan. Para perempu
an yang menulis dan memberanikan diri menyebarluaskan karyanya meng-
badapi tentangan dari masyarakatnya.7 Komentar terhadap karya mlis se-
ring lebih mengarah kepada sosok penulis ketimbang tnlisannya seperti
yang terjadi pada Ayu Utami dan Erica Jong, sebagaimana akan saya bahas
lagi nanti.
Para akademisi feminis sampai sekarang terus berusaha menggali bahan-
bahan yang berkaitan dengan biografi pengarang perempuan yang sering-
kali menyesatkan. Salah satu contoh paling terkenal adalah penulisan ulang
biografi dan metabiografi Charlotte, Emily, dan Anne Bronte—tiga bersau-
dara yang menuliskan kisah cinta, seksualitas, dan kekerasan dalam rumah
tangga pada paruh awal abad ke-19 di Inggris. Penerbitan karya mereka
memicu reaksi keras masyarakat yang merasa bahwa perempuan tak pantas
mengarang, apalagi menulis kisah semacam itu.8 Melalui Fear of Flying, Eri
ca Jong mengajukan banyak pertanyaan dan pernyataan kepada penulis,
akademisi, aktivis perempuan, dan komunitas imigran Yahudi di AS, semua

'' Penelitian bertajuk The Madwoman in the Attic yang dilakukan pada 1979 ini dikutip
dalam Tlie New Feminist Criticism, 6.
Wendy Wall,"Our Bodies/Our Texts? Renaissance Women and the Trials ofAuthor
ship" dalam CarolJ. Singley dan Susan Elizabeth Sweeney, ed., Anxious Power: Reading,
Writing and Ambivalence in Narrative by Women (Albany: State University of New York
Press, la93), 51-52.
Kontroversi mengenai tiga saudara perempuan ini dibahas, misalnya, dalam buku
Lucasta Miller, The Bronte Myth (London: Vintage, 2002).

38 kalam 22
• ' TRAGEDI BUAH APEL

identitas yang melebur dalam dirinya. Meskipun pertanyaan-pertanyaan


reflektif yang diutarakan dengan cerdas menjadi kelebihan cara bertutur
novel ini, ketunggalan sudut pandang Isadora sepanjang cerita berisiko
membuat Fear of Flying menjadi repetitif, cerewet, dan pada bagian-bagian
tertenm sangat menggurui.

Tantangan atas stereotipe percintaan heteroseksual


Tokoh Laila dalam Saman membuka cerita dengan pernyataan yang cu
kup jelas tentang situasi c'intanya pada Sihar yang secara sosial tidak diper-
bolehkan. Ia mengungkapkan perasaan yang tidak diceritakan sebagai eks-
presi emosi cinta atau rindu yang umum akan kehadiran Sihar, akan tetapi
sebagai keinginan akan "mulut yang haus/ dari lelaki yang kehilangan masa
remajanya/ di antara pasir-pasir tempat ia menyisir arus" (3). Awal perte-
muan Laila dan Sihar yang diceritakan oleh dua narator sekaligus (orang
ketiga dan Laila) juga memperlihatkan bahwa selain mernerhatikan sikap
Sihar yang sanmn dan serius, ia juga menilai fisik Sihar: warna kulitnya, ha
ngat nafasnya, dan bau keringatnya. Penyisipan narasi Laila ke dalam tutur-
an narator memungkinkan perempuan ini bersuara, sekaligus membuat kita
menangkap ambiguitas karakternya: pergolakan keinginan dan perasaan da
lam seorang perempuan yang kelihatan pasif di tengah lingkungan masku-
lin sebuah kilang niinyak. Ia menempatkan laki-laki sebagai obyek visual
saat menggambarkan adnosfer erotis yang dirasakannya saat Sihar menco-
pot singletnya (11), sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh perempuan
yang hampir selalu diasosiasikan lebih berkonsentrasi pada perasaan dan bu
kan kontak badaniah. Sampai cerita berakliii Laila tetap berada dalam ke-
bingungan dan kegagalan mendamaikan keinginan seksuahiya dengan ke-
takutannya pada hukuman sosial dan agama, antara usaha menaklukkan Si
har dan ketakutannya merusak lembaga perkawinan. Laila sempat berharap
ia dan Siliar bisa terbebas dari tekanan sosial ketika berjanji akan bertemu
di New York, tapi pertemuan im gagal karena Sihar datang ke New York
bersama istrinya.
Berbeda dengan dongeng atau roman yang menempatkan perkawinan
sebagai akhir yang bahagia untuk hubungan heteroseksual, dalam Saman
maupun Fear of Flying pernikahan mempakan awal sebuah masalah atau
minimal menyumbang kemunculan masalah. Seks di dalam institusi perka
winan (satu-satunya yang dianggap sah secara hukum dan secara sosial)

kalam 22 39
t=- -

LISABONA RAHMAN

adalah sesuatu yang politis, penuh tawar-menawar sosial, dan munafik. Laila
mempertanyakan legitimasi perkawinan atas hubungan seksual, sehingga
hanya orang yang sudah menikah yang layak mempunyai kebutuhan seksu
al seperti kata Sihar,". . . orang yang sudah kawin tidak bisa tidak begitu"
dan seperti menyimpulkan " Sebab saya belum kawin, sehingga tak ha
ms begitu. Meski sebetulnya saya terlalu rindu." (6). Sementara Isadora
White Wing menyadari bahwa kebumhan seksual perempuan tidak bisa
diselesaikan dengan perkawinan,

What was it about marriage anyway? Even if you loved your husband,
there came that inevitable year when fucking him turned as bland as Velveeta
cheese: filling, fattening even, but no thrill to the taste buds, no bittersweet
edge, no danger. And you longed for an overripe Camembert, a rare goat
cheese: luscious, creamy, cloven-hoofed.
.... But what about all those other longings which after a while marriage did noth
ing to appease? The restlessness, the hunger, the thump in the gut, the thump in the
cunt, the longing to be filled up . . .

(Ada apa sih sebetulnya dengan perkawinan? Kalaupun kau mencintai su-
aminiu, lantas ada tahun-tahun yang tak terhindarkan saat bersetubuh dengan-
nya terasa sehambar keju Velveeta: mengenyangkan, bahkan menggemukkan,
tapi tak mengasyikkan buat bintil-bintil pengecap, tak ada sisi yang pahit-ma-
nis, tak ada bahayanya. Dan kau merindukan keju Camembert yang sudah ke-
lewat ranum, keju susu kambing yang langka: sensual, kental, dengan retakan-
retakan kasar.

.... Tapi bagaimana dengan semua keinginan lain yang tak mampu lagi di-
jinakkan oleh perkawinan setelah sekian lama? Gelisah, dahaga, gejolak di perut dan
vagina, keinginan akan sesuatu yang mengisimu penuh-selumh . ..) (16-11. Beda tipe
humftegak dan miring sesuai aslinya.)

Ia melakukan pencarian terus-menerus untuk menemukan sebuah


relasi antara cinta dan hubungan seksual yang sepadan. Ada kondisi ide
al dan rasa penasaran yang terus-menerus mendatangi setelah bertemu
dengan seorang laki-laki. Perasaan ini muncul bukan karena ada kebu
tuhan yang tidak tercukupi, melainkan karena kekosongan komunikasi
yang tak terjenibatani antara individu-individu yang terlibat dalam rela-

40 kalam 22
7T~"r— *«.-

TRAGEDI BUAH APEL

si percintaan/perkawinan/seksual sehingga hubungan seks yang sem-


purna cuma berlangsung dalam angan-angan.9 Pencarian akan hubung
an seks yang ideal .penting bagi Isadora, karena baginya Sex. 1 was terri
fied of the tremendous power it had over me. The energy, the excitement, the po
wer to make mefeel totally crazy! ... (Seks. Begitu takutnya aku pada kua-
sanya yang begitu besar atasku. Energinya, keasyikannya, kekuatannya
untuk membuatku merasa betul-betul gila!...") (144).
Bagi Isadora pemenuhan keinginan seksual yang ideal hanya ada pada
yang disebutnya ziplessfuck, hubungan seksual yang terjadi antara laki-laki
dan perempuan yang meniang nienginginkannya saat itu di situ, tanpa per-
mainan kuasa, tanpa maksud tersembunyi. Ziplessfuck adalah sebuah pe-
mampatan inipian dan bebas dari rasa bersalah atau penyesalan (19).
Baik dalam Fear of Flying maupun Saman, seks bukan hanya masalah
anatomi atau hubungan fisik dalam bentuk sekresi atau ekskresi, melainkan
juga sesuatu yang berjalan di dalam kepala (Fear of Flying, 40, Saman, 196).
Isadora menceritakan betapa masyarakat salah niemahami seks,

'' Erica Jong mengungkapkan kemarahan dan frustrasi mengenai cara pandang laki-laki
terhadap perempuan dengan lebih tegas dalam Fanny (1980). Ia menulis bahwa laki-
laki selalu melihat perempuan secara dikotomis: Alas, Belinda, most Men can only see us
either as the Embodiment of Virtue or the Embodiment ofVice; either as Bluestockings or un
learned painted Wlwrc; cither as Trollops or as Spinters; as Wives or Wantons; as Good Widows
or Bad Witches. But try to tell 'em, as I have, that a Woman is made of Sweets and Bitters, that
she is both Reason and Rump, both Wit and Wantonness—and you will butt your Head
against a stone Wall! Ttiey'll have it one Way or the other! Be clever, if you must, and forfeit
Reputation for Beauty and Sensuality, as well as all Pleasures of the Flesh. Or have your Plea
sures and your Loves—and in their Minds you'll always be a Witless Whore! ("Sial, Belinda,
kebanyakan Lelaki cuma melihat kita sebagai Penubuhan Moral atau Penubuhan Do-
sa; sebagai nona-nona berpendidikan atau pelacur buta huruf; atau sebagai Lonte atau
PerawanTua; Istri atau Jalang; Janda yang Baik atau Penyihirjahat. Tapi coba katakan
pada mereka, seperti yang kulakukan, bahwa Perempuan terdiri dari Yang Manis dan
Yang Pahit, bahwa perempuan adalah Pikir sekaligus Kelamin, Cerdas sekaligus Ja
lang;—dan akan kau benturkan kepalamu pada Dinding batu! Mereka hanya akan
memilih Salah Satu, dan tidak sekaligus dengan yang lainnya. Jadilah anak pintar, kalau
memang itu maumu, dan gadaikan reputasi Kecantikan dan Sensualitas, juga segala
Kenikmatan Badani. Atau pilihlah Kenikmatan dan Cintamu—dan dalam Pikiran
mereka kau akan selalu menjadi siJalang Berotak Udang!")

kalam 22 41
•*=i

LlSABONA RAHMAN

Masters and Johnsons charts and number and flashing lights and plastic pricks
tell us everything about sex and nodiing about it. Because sex is all in the head.
Pulse rates and secretions have nothing to do with it.Thats why all the best-selling
sex manuals are such gyps.They teach people how to ruck with their pelvises, not
with their heads.

(Peringkat dan angka-angka dari Masters dan Johnson serta senter dan
kontol plastik memberi tahu kita segala sesuatu tentang seks, sekaligus tak me
ngatakan apa-apa. Karena seks sepenuhnya berada dalam kepala.Tak ada hu-
bungannya dengan denyut nadi dan cairan tubuh. Itu sebabnya segala petun-
juk seks terlaris sekalipun cuma tipu-tipu. Mereka mengajar orang bersetubuh
dengan pinggul, bukan dengan kepala) (40).

Seperti Isadora, Yasmin juga membantah asumsi Saman tentang seks,


bahwa orgasme tidak hanya berkaitan dengan aktivitas fisik:

Saman,
Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme
jika membayangkan kaniu. Aku orgasme karena keseluruhanmu (196).

Asumsi ini sangat berbeda dengan asumsi maskulin tentang kepu-


asan seks yang diukur melalui yang tampak (ereksi, ejakulasi). Gambaran
tentang laki-laki yang memenuhi harapan tokoh perempuan dalam kedua
novel adalah laki-laki yang jauh dari gambaran perkasa: Adrian dan Saman
yang hampir impoten. Seks dalam kedua relasi ini menantang asumsi bah
wa hubungan heteroseksual adalah jalan menuju orgasme vaginal. Dalam
Saman tantangan ini diungkapkan dalam dialog antaraYasmin dan Shakun
tala bahwa seks adalah semua tindakan merangsang organ-organ seks, dan
bukan melulu penetrasi (130).
Seksualitas dalam Saman dan Fear ofFlying dilepaskan dari ftingsi repro-
duktifiiya (kecuali dalam korespondensi Saman dan Yasmin) dan digambar-
kan sebagai wilayah yang penuh pertikaian kepentingan kuasa. Pada cerita
mengenai keterlibatan Saman (Wisanggeni) dalani pergerakan rakyat mela-
wan pemsahaan perkebunan di Perabumulih, seksualitas menunjukkan po-
tensinya sebagai alat hukuman dalam bentuk kekerasan seksual berupa pc-
merkosaan (97-98) dan penyiksaan melalui alat kelamin (104). Dalam Fear

kalam 22
42
I
TRAGEDI BUAH APEL

of Flying pun Isadora melakukan hubungan seks karena paksaan pasangan-


nya yang saat im ingin membuktikan kemampuannya memuaskan Isadora
dan bahwa dirinya adalahTuhan (186-187).
Gugatan atas hubungan heteroseksual dalani kedua novel muncul
tanpa dengan tegas memberi alternatif yang lebih baik. Konsekuensi
kepemilikan dari percintaan heteroseksual dalam kedua karya digam-
barkan memuncak dalani perkawinan. Yang digugat adalah ketimpang-
an dalani hubungan perempuan dan laki-laki, bukan kecenderungan
heteroseksualnya. Posisi hierarkis perempuan dan laki-laki membuat
kedua jenis kelamin tidak saling mengenai sehingga tidak tahu kapan
hubungan seks bisa mengakibatkan kehamilan (Saman, 130) dan tak
tahu bahwa penetrasi vaginal bisa sangat menyakitkan (Fear of Flying,
185). Ketidaksetaraan hubungan dan keinginan berbeda yang tak
mungkin terpenuhi selania wacana seksualitas antara laki-laki dan pe
rempuan tetap asing satu sama lain. Yang satu dianggap sebagai kebe
naran sementara yang lain dicap abnormal atau aib. Kesulitan mencapai
kualitas hubungan yang ideal membuat Isadora dan Yasmin memilih
menienuhi kebuttihan seksualnya melalui masturbasi, karena dengan
demikian ia hanya berhubungan dengan dirinya sendiri, tanpa terlibat
dalam eniosi dan permainan kuasa dengan mitranya. Shakuntala dalam
Saman memberi alternatif biseksualitas (yang baru digarap lebih lanjut
dalam Lartmg), sementara Fear of Flying, meskipun mengajukan pilihan
promiskuitas dan orgy, kembali pada heteroseksualitas dan lembaga per
kawinan (kelak dalam Parachutes and Kisses jawabannya terletak pada
keibuan /motherhood).

Pengenalan terhadap tubuh dan seksualitas


Pengudaran pengalaman dan pernyataan tentang seksualitas dalam Sa
man sebagian besar disuarakan oleh Shakuntala yang bercerita tentang sosi-
alisasi seks dirinya dan teman-temannya. Tokoh ini menonjol karena hanya
dia dari empat sekawan (Laila, Shakuntala, Cok,Yasmin) yang diberi ham
pir seluruh jatah bersuara tentang seksualitasnya (kelak dalam Larung suara-
nya diimbangi oleh Cok). Ia adalah seorang penari Indonesia yang tinggal
di New York berkat beasiswa, seseorang yang kompleks dalani perenungan
tentang tubuh dan cinta. Pilihan menempatkan seorang penari sebagai na
rator tentang seksualitas saya kira dibuat untuk menegaskan kepekaan dan

kalam 22 43
^ *!Z

LISABONA RAHMAN

kefasihan Shakuntala berbicara tentang seluk beluk tubuh. Ia sendiri dicap


sundal oleh ayah dan kakak perempuannya karena ia "telah tidur dengan
beberapa lelaki dan beberapa perempuan" (116) dan jatuh cinta pada
raksasa.
Raksasa dalani cerita Shakuntala kemudian kita ketahui mempakan personi-
fikasi kekuasaan kblonial yang datang untuk berdagang rempali sembari niem-
buka wilayah baru sebagai koloni. Kerumitan hubungan dalani keluarga Sha
kuntala dan pilihan masa depannya mempakan sam benmk penjelasan lagi agar
pembaca mafhum mengapa ia paling lantang bicara dibanding kaiakter perem
puan lainnya. Ia juga dengan setengah mengejek menyatakan keheranannya atas
anggapan "orang-orang Barat" bahwa perempuan Timur"menikmati seks tanpa
pernah merasa tabu" dan membuat para lelaki "menyiksa kelamin mereka de
ngan alat-alat yang mengerikan ... untuk memuaskan penyiliir-penyiliir perem
puanyang haus inkubus" (135).
Shakuntala menggambarkan proses sosiahsasi seksualitas yang sangat
bertentangan bagi seorang perempuan. Di sam sisi keluarga menerapkan
aturan yang ketat agar perempuan menjaga keperawanannya, di sisi lain re
maja yang akil balig saling berbagi keingintahuan dan pengalaman seksual-
nya. Ketika Shakuntala beranjak remaja ia diberi tahu orangtuanya agar
menjaga keperawanannya. Proses sosiahsasi tentang tubuh dan seksualitas ini
dituturkan oleh Shakuntala,

Di sini, di kota ini, malam hari ia [Ayali, pen.] mengikatku padi tempat tidur
dan memberi aku dua pelajaran pertaniaku tentang cinta Pertama. Hanya laki-
laki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki
pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang
pantas, lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan.
Kelak, ketika dewasa aku menganggapnya persundalan yang hipokrit (120-121).
... ibuku membuka satu rahasia besar: bahwa aku ini ternyata sebuah por-
selin cina .. . mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya
ke tempat sampah .... Kemudian hari kutahu, dan aku agak kecewa, bahwa
ternyata bukan cuma aku saja yang istimewa. Semua anak perempuan sama
saja .... Sedangkan anak laki-laki? Mereka adalah gading: tak ada yang tak re
tak. Kelak, ketika dewasa, kutahu mereka juga daging.
Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan
kau cuma punya satu saja, seperti hidung. Karena itu jangan pernali diberikan sebe-

44 kalam 22
-r—t >._. -J ^.-

TRAGEDI BUAH APEL

luni menikah, sebab kau akan menjadi barangpecah belah(124-125).


. . . sementara itu diam-diam aku dan Cok mulai membagi pengalaman
bercumbu kami, saling kros-cek bentuk dan zona erotis laki-laki yang kami
pacari. Kadang mendenahkannya'pada secarik kertas. Dan kami tahu bahwa
laki-laki tidak sama satu dengan yang lain (150-151).

Sosialisasi ini membuat Shakuntala memilih memberontak dengan


cara merusak selaput daranya sendiri dan mengirimkannya dengan per-
antaraan anjing piaraan kepada raksasa yang ia kasihi dan memiliki ob-
sesi tentang tubuhnya. Proses sosialisasi seksualitas dalam keluarga ini
diangkat kembali dengan lebih rinci dalam Larung. Satu-satunya tokoh
perempuan yang bisa dikatakan bebas dari pengaruh sosialisasi ini ada
lah Upi, seorang gadis yang lambat perkenibangan mentalnya dan di-
anggap gila oleh keluarganya. Ekspresi seksual Upi melalui masturbasi
digambarkan sangat naluriah dan mandiri, tapi masyarakat menerima-
nya sebagai kelakuan orang gila. Keluarga Upi yang merasa malu me-
masungnya.
Dalani Fear of Flying Isadora menggambarkan kemarahannya karena
proses sosialisasi yang ambigu. Ibunya adalah seorang hippie yang liberal
dalam segala hal kecuali seks,

Perhaps sex accounted for my fury. Perhaps sex was the real Pandora's
box. My mother believed in free love, in dancing naked .. . .Yet of course,
she did not, or why did she say that boys wouldn't respect me unless I
'played hard to get'?
I never had the courage to ask my mother directly. I sensed, despite her
bohemian talk, that she disapproved of sex, that it was basically unmen
tionable.

.... Basically, I think, I was furious with my mother for not teaching
me how to be a woman, for not teaching me how to make peace between
the raging hunger in my cunt and the hunger in my head.

(Mungkin seks adalah sebab keinarahanku. ,Mungkin seks adalah kotak


Pandora yang sesungguhnya. Ibuku percaya pada percintaan bebas dan
menari telanjang .... Tapi, tentu saja, dia tidak sungguh-sungguh, lantas
untuk apa dia bilang anak laki-laki takkan menghormatiku kecuali aku

kalam 22 45
LISABONA RAHMAN

bersikap jinak-jinak merpati'?


Aku tak pernah berani bertanya langsung kepada ibuku. Kurasa, di ba
lik bicaranya yang'Bohemian, dia tak setuju tentang seks, bahwa itu pada
dasarnya tak layak diomongkan.
.... Sebenamya, pikirku, aku marali sekali kepada ibuku karena tak mengajar-
iku cara menjadi seorang perempuan, karena dia tak niengajariku cara mendamai-
kan dahaga yang mengarimk di vaginaku dan dahaga dalam kepalaku) (144-145).

Karena seks bukanlah sesuatu yang bisa dibicarakan dalani keluarga,


maka Isadora belajar mengenali gender seksualitasnya melalui tulisan la
ki-laki seperti D. H. Lawrence, Dostoyewski, dan Faulkner. Pada usia 13
tahun, ia pun mulai belajar dari teman-tenian dan kekasihnya. Meski
pun Isadora menjalani kehidupan seksual yang relatif bebas dari kontrol
keluarga, keluarganya tetap menuntut ia menikah dan melahirkan anak.
Proses sosialisasi tentang seksualitas (dan gender) perempuan adalah te
nia yang dihindari dalam hubungan orangtua-anak sehingga perempuan
belajar mengenali dirinya dengan jalan yang rumit. Keluarga menjadi insti
tusi kontrol atas pengetahtian perempuan atas tubuhnya dan yang memper-
kenalkan konstruksi sosial mengenai seksualitas dan memilih sikap meneri-
ma atau melawannya. Dalani kasus Upi, ketika keluarga merasa tidak mam
pu mengendalikan seksualitas perempuan, maka ruang gerak perempuan
dipasung.
Dalam Saman, pembahasan mengenai konstruksi sosial tentang seks dan
seksualitas dimulai setelah Yasmin berhubungan seks dengan Saman. Saman
menemukan bagian dirinya yang Lain setelah berhubungan dengan Yasmin. Pe-
ristiwa ini bagi saya mempakan pertanyaan terhadap kemuliaan hidup selibat da
lam tradisi Gereja Katolik dan penubuhan kembali manusia. Tarik-menarik da
lam wilayah seksualitas di sepanjang cerita ini terangkum dalam pernyataan Sa
man: "Kita hidup dalani kegentaran pada seks, tetapi laki-laki tidak mau dipersa-
lahkan sehingga kami melemparkan dosa itu kepada perempuan" (183).

Seks di ruang publik: tanggapan para kritikus sastra


•f

Penulis-penulis perempuan, much usia, berlomba mencabul-cabulkan kar


ya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syah-
wat Merdeka/Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa lendir

46 kalam 22
TRAGEDI BUAH APEL

yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga hari di selokan pasar desa/
Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu
aku memikirkannya (Taufiq Ismail, 2003).I0

Saman pertama kali diterbitkan bersama oleh Jurnal Kalam dan Kepus-
takaan Populer Gramedia pada bulan April 1998. Sejak im Saman menga-
lami cetak ulang berkali-kali. Lhngga Maret 2004, Saman telah dicetak
ulang 23 kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Popularitas kar
ya ini antara lain berkaitan dengan keberhasilannya menempati posisi pe-
nienang pertama dalam Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun
1998. Pencetakan ulang karya ini mempakan salah sam isyarat bahwa karya
ini diminati oleh masyarakat. Fear ofFlying di sisi lain, terjual jutaan eksem-
plar dan menjadi salah sam buku terlaris nasional. Novel ini diterbitkan
oleh Holt, Rinehart and Winston sebuah perusahaan penerbitan besar di
AS, sesuatu yang pada 1973 dianggap penting mengingat karya perempuan
dengan tema seksual jarang mendapat kesempatan dari perusahaan-pemsa-
haan penerbitan yang penting di negara tersebut." Buku ini tetap meng-
alami cetak ulang hingga saat ini, 31 tahun setelah pertama kali terbit, sebu
ah bukti bahwa niinat pembaca terhadap buku ini tetap besar.
Baik Saman maupun Fear ofFlying adalah karya yang sangat berhasil dari
segi pemasaran, akan tetapi keduanya memicu reaksi penolakan di media
massa karena mengangkat masalah seks. Penulis perempuan dianggap telah
menguak aib dan merendahkan diri mereka sendiri melalui ungkapan seks
yang vulgar. Anggapan "menguak aib" nienunjukkan bahwa yang disebut
"aib" itu memang ada, tapi disembunyikan. Seperti telah saya sebutkan pa
da awal tulisan ini, pembahasan mengenai seks mendapat perlakuan yang
berbeda ketika berada pada ruang publik, dalam hal ini ketika ia menjadi
bentuk publisitas. Sebagai contoh, di Indonesia pada 1980-an sebuah buku
pendidikan seks unmk anak-anak berjudul Adik Baru dinyatakan terlarang

10 Dikutip dari pembukaan tulisan Juniarso Bidwan di Pikiran Rakyat, 8 Januari 2004.
Kutipan ini sama sekali tidak mewakili pernyataan keseluruhan tulisan yang menge-
mukakan berbagai argumentasi tentang pentingnya ekspresi seksualitas perempuan
sebagai salah satu bagian emansipasi sosial.
1' Susan Rubin Suleiman mengutip Shere Hite dalam Subversive Intent: Gender, Politics,
and the Avant-Garde (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 121; selanjutnya di-
uilis Subversive. Intent.

kalam 22 47
LISABONA RAHMAN

dan ditarik dari peredaran karena dianggap vulgar. Reaksi ini menunjuk
kan ketidakmampuan institusi politik dan budaya untuk nienibedakan ma
na karya cabul dan mana yang bukan, serta tidak bisa menempatkan seks
sebagai bagian dari realitas masyarakat.
Medy Lukito menyajikan hasil survei kecilnya unmk melihat tanggapan
terhadap "sastra seksual" dengan materi utama lima novei yang ditulis oleh
perempuan, termasuk Saman.u Ia mengutip seorang responden perempuan
yang menyatakan rasa malunya ketika membaca karya penulis perempuan
yang terasa seperti meneranjangi diri sendiri (136). Melalui artikelnya ia
mempertanyakan tanggung jawab moral dan etika para perempuan penulis
karena "penjabaran seksualitas secara vulgar" (138) dapat menyesatkan ka-
um muda. Komentar Medy Lukito mendapat tanggapan dari Bonardo
Maulana W13 yang mempertanyakan argumentasi moral yang digunakan
Medy dalani studinya. Bagi Bonardo, argumentasi moral (Medy menggu
nakan pidato Pans Yohanes Paulus II) Medy mempakan tanda bahwa ia
mengabsahkan kebenaran dominan yang selama ini dipertahankan oleh
institusi agama yang patriarkal. Pilihan Medy untuk menggunakan pidato
Paus dalam artikel yang ia buka dengan "tinjauan feminisme" memang me
nunjukkan ambivalensi kritiknya. Ia juga tidak memberi sebuah kesim-
pulan pada artikelnya dan sepenuhnya mendasarkan pendapatnya pada ku-
tipan survei dan literatur seliingga pendapatnya sendiri tidak muncul begim
kuat, dan hanya terliliat dari kutipan-kutipan yang ia pilih.
Medy juga mempertanyakan mutti karya sastra para penulis perem
puan ini karena penggunaan bahasa yang terbuka belum tentu "men
dukung nilai sastra suatu karya" (135). Pernyataan ini menyarankan
bahwa ada "bahasa tertutup" yang harus digunakan untuk mendukung
nilai sastra suatu karya. Sunaryono Basuki Ks. dalam artikelnya "Seks,
Sastra, Kita" juga meragukan mutti karya perempuan dan lebih jauh la
gi mempertanyakan mengapa para penulis ini memilih seks sebagai
tema dan bukan "eksplorasi obyek-obyek kemasyarakatan lain yang le
bih mendesak untuk diatasi".14 Aquarini P. Prabasmoro15 menanggapi

12 Medy Lukito, "Perempuan & Sastra Seksual", dalam Ahmadun Yosi Herfanda el al.
ed., Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta (Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta dan Penerbit Bentang, 2003).
13 Bonardo Maulana W,"Miopia Si JuruTafsir", Koran Tempo Minggu, 11 Januari 2004.

48 kalam 22
S '- ±_>_ - -EZ

TRAGEDI BUAH APEL


<

Sunaryono Basuki, mempertanyakan tolok ukur mutti yang dia guna-


kan dalam "Seks, Sastra, Kita". Sunaryono membandingkan karya para
penulis perempuan dengan Motinggo Boesje, yang juga menulis ten
tang seksualitas secara eksplisit. Latar belakang Motinggo Boesje yang
berangkat dari "sastra serius" dianggapnya sebagai syarat kelulusan bah
wa seksualitas telah ditulis dengan indah dan "menukik ke jiwa dalani
obyek dan peristiwa." Sunaryono menyatakan kecurigaannya tentang
kehidupan seksual para penulisnya yang ternyata tidak segempar apa
yang mereka tuliskan. Pembahasan Sunaryono memperlihatkan bahwa
yang dinilai sebetulnya adalah para penulisnya dan bukan karya mereka.
Tulisannya juga menunjukkan kecenderungan diskriminatif karena me
nyatakan karya Motinggo Boesje dan D. H. Lawrence sebagai karya sas
tra yang indah, sementara perempuan mestinya mencari tenia lain yang
dia anggap lebih penting untuk dieksplorasi. Diskriminasi inilah yang
ditolak oleh Aquarini yang menyatakan bahwa perempuan berhak
mengeksplorasi pengalaman tubuhnya.
Pernyataan Medy Lukito yang menggunakan moral sebagai salah sam
tolok ukur penilaian kritisnya dan keheranan Sunaryono Basuki akan ke-
normalan kehidupan seksual para penulis perempuan menjauhkan pemba
hasan karya perempuan ini dari wilayah kreatif. Susan Sontag1'' menyatakan
keprihatinannya karena pornografi dan seks dalani sastra dianggap sebagai
fenomena sosial psikologis dan masalah moral dan bukan sebagai salah satu
perkenibangan imajinasi dan kreativitas literer. Baginya, karya sastra ber-
tema seksualitas, betapapun eksplisitnya, berbeda dengan pornografi17 yang
menggambarkan seks sebatas interaksi organ genital manusia. Karya-karya
bertema seksualitas inemiliki tujuan yang lebih kaya daripada sekadar des-

14
Sunaryono Basuki Ks,"Seks, Sastra, Kita", Kompas Minggu, 4 April 2004.
15
Aquarini R Prabasmorc, "Membaca (lagi) Seksualitas Perempuan", Media Indonesia
Minggu, 9 Mei 2004.
16
Susan Sontag, "The Pornographic Imagination" dalam Styles of Radical Will (New
York: Dell Publishing, 1969).
17
Sampai kini masih berlangsung perdebatan antara feminis yang pro dan kontra pornografi.
Argumentasi feminis kontra pornografi menyatakan keberatannya atas potensi eksploitasi
perempuan, sementara yang pro pornografi menganggap bahwa pornografi pun mempa
kan suatu wilayah perebutan yang memungkinkan perempuan menyatakan diri dan seksu-
alitasnya. Salah satu contoh perdebatan ini dapat dilihat dalam polemik antara Consuelo

kalam 22 49
LISABONA RAHMAN

kripsi peristiwa hubungan seks dan perangsangan libido. Rangkaian peris-


tiwa seksual dalani sebuah teks mempakan urutan kejadian dan pengalam
an yang menandai a"wal, tengah, dan akhir sebuah cerita. Dalam Saman
hubungan seks mempakan ilustrasi hubungan kuasa atas pendefinisian
seksualitas perempuan dan dalani Fear ofFlying seks mempakan cara Isadora
menemukan diri dan mengembangkan kreativitasnya. Bahasa dalam karya
tersebut juga menduduki tempat penting, lebih dari sekadar kendaraan un
tuk melukiskan sesuam, melainkan sebagai persoalan yang hams digeluti
dan dipermasalahkan.
Pengguiiaan bahasa sehari-hari yang vulgar dalani Saman dan Fear of
Flying mempakan tema bahasan yang banyak diangkat dalani kritik atas ke-
duanya. Pengguiiaan bahasa gamblang oleh Erica Jong dianggap yang per
tama kali dilakukan oleh perempuan pengarang dalam sastra AS, dan mem
pakan pembalikan yang disengaja atas stereotipe tentang perempuan yang
seharusnya tidak bicara kotor, serta mempakan semacam parodi atas karya
Henry Miller atau Norman Mailer. Ia mengambil struktur naratif dan kata-
kata yang sudah ada, tapi membuatnya diucapkan oleh "pembicara baru"
dan karenanya menciptakan konteks sosial yang membuat karyanya layak
dianggap sebagai perintis (Subversive Intent, 121 dan 1.23). EricaJong meng
gunakan kata fuck unmk menyebut persetubuhan, prick untuk penis dan
cunt untuk vagina, tiga kata yang akrab dalam percakapan sehari-hari akan
tetapi menjadi semacam skandal ketika hadir dalani sebuah karya sastra. Ayu
Utami juga menggunakan kata kontol atau kclentit yang hanya muncul da
lam buku-buku stensilan yang dijual bergerilya oleh pedagang-pedagang
buku kaki lima. Pemilihan dan penggunaan kata-kata ini secara asertif dan
tanpa rasa bersalah *tidak menunjukkan pengarang sedang menerapkan
penilaian berjarak atas kata-kata ini, melainkan memperlakukannya sebagai
istilah sehari-hari. Kata-kata yang lazim diucapkan dalam obrolan tiba-tiba
hams diasingkan dari teks sastra yang perlu menyebut benda yang sama.

M. Concepcion dan Alisa L. Carse di jumal fikafat HypathiaVol. 14, no. 1 (Musim Dingin
1999). Perdebatan mereka berkisar pada masalah definisi subordinasi perempuan dalam por
nografi yang tidak mungkin ditangkal atau dimusnahkan dengan membuat produk hukum
anti-pornografi. Hukum anti-pornografi membuka kemungkinan pemberangusan kebe-
basan ekspresi dan pilihan seksual (dalam konteks perjuangan persamaan hak perempuan)
dalam erotika lesbian, sastra yang eksplisit secara seksual ataupun pamflet-pamflet protes,jika
ditentukan oleh pejabat pemerintah yang tidak peka akan tujuan dan gagasan feminis.

50 kalam 22
' ' TRAGEDI BUAH APEL

temtama karena pengarang yang menghadirkan kata-kata ini adalah pe


rempuan. Kritik atas Erica Jong sebagian besar membahas kevulgaran novel
ini dan juga digunakan unmk menghakimi pengarangnya.18
Reaksi atas Fear ofFlying bisa dikatakan diametral: para kritikus laki-laki
menganggap karya ini terlalu vulgar dan agresif, sementara kritikus perem
puan merasa karya ini kurang berani. Namun, di antara pelbagai tanggapan
negatif terhadap karya ini, sejumlah kritik paling tajam justru berasal dan
perempuan. Salah satunya dinyatakan oleh Millicent Dillon, dalani The Na
tion, yang tidak setuju akan pemaduan "kevulgaran dengan penemuan diri
dan seni yang sadar-diri" (Subversive Intent, 121). Alfred Kazin dalani sebuah
majalah terbitan NewYork menulis "TheWriter as Sexual Show-Off" me-
nuduh John Updike (New Yorker) telah terpukau oleh "kecantikan blonde"
Erica Jong dan membahas kesebalannya akan kegamblangan seorang "pe
rempuan biasa" dan menyesalkan bahwa the age ofMailer was over. Goodbye to
the sexual Apache as radicalforemnner of God knows what revolution ("Zaman
Mailer sudah usai. Selamat tinggal pemberontakan seksual sebagai pejuang
radikal garda depan dari sebuah revolusi entail").19 Salah satu wawancara
Ayu Utami yang diterbitkan di surat kabar Kompas, juga menyiratkan
keraguan atas kernampuan si pengarang karena "diskursus lisan"-nya di
anggap tak selincah di dalani buku. Hasil wawancara yang disiarkan menyi
ratkan inkonsistensi pilihan politik Ayu Utami, termasuk sikapnya terhadap
perkumpulan pengarang wanita dan keraguan empat pewawancara terha
dap si penulis yang terns mengejarnya dengan pertanyaan mengenai detail
latar novel yang dijawab seperti patah-patah.20 Wawancara ini mendorong
Ayu Utami melayangkan surat protes kepada redaksi yang dianggapnya
telah sengaja membuang bagian-bagian wawancara yang positif dan me-
nonjolkan yang negatifdan tidak mewakili dirinya.21
Di luar penggunaan kata-kata yang dianggap tidak patut, ciri yang menonjol
pada kedua karya adalah penulisan bahasa dengan nuansa lisan. Dalani Fear of

18 Charlotte Templin membahas kritik terhadap Erica Jong di media massa yang
ditulisnya dalam buku The Politics ofLiterary Reputation: The Case ofEricaJong (Kansas:
University of Kansas Press, 1995).
19 Pernyataan Kazin dikutip dalam artikel Laura Miller di koran New York Times, 1Juni
2003.
20 Kompas Minggu, 5 April 1998.
21 Kompas Minggu, 12 April 1998.

kalam 22 51
•>£ •:

LISABONA RAHMAN

Hying EricaJong sering sekali melukiskan bagaimana seseorang melafalkan kata-


kata dan membuat teks ini sangat dekat dengan cara seorang perempuan men-
ceritakan pengalamannya kepada seorang kawan. Ayu Utami juga membahas
kecenderungan salah ucap karena btinyi sebuah Lata mirip dengan kata lain. Ke
miripan bunyi ini bukan menggambarkan kecerobohan atau keadakpiawaian si
pengucap dalam berbaliasa, melainkan suam pengliliatan ke dalani bawah sadar
dan asosiasi yang ditimbulkan oleh kata dan bunyinya. Kedekatan bahasa narator
perempuan dengan bahasa percakapan sehari-hari dan bukan "bahasa tinggi"
yang sastrawi juga mendekatkan cerita kepada pembaca dan menjadikaii kedua
karya muciali diterima khalayak.
Narator perempuan dalam kedua novel juga sering tidak sedang berbi-
cara tentang dirinya sendiri, akan tetapi tentang perempuan secara uniuni.
Sang narator menganggap persoalan seksualitas sebagai wilayah penting da
lam pengalaman perempuan, selain menarik generalisasi sifat penindasan
dalam pengalaman tersebut. Saman menghadirkan penindasan seksual dan
ideologis yang dialami semua tokoh perempuan dalani ceritanya dalani hu
bungan politik personal maupun publik, sementara Fear of Flying memper-
lihatkan bahwa baik perempuan yang terkurting dalam dinding rumah
tangga maupun yang "terbebaskan" seperti Isadora ternyata tetap terku
mng. Penempatan pengalaman seksual sebagai pengalaman penting dalani
babak kehidupan tokoh cerita, menyitir Rosalind Coward,22 mempakan
salah sam karakteristik menonjol dalam tulisan-tulisan feminis kontempo-
rer. Kecenderungan ini berbeda dengan fiksi romantis yang menempatkan
pertemuan, peristiwa perkawinan atau patah hati sebagai peristiwa yang le
bih penting dibanding pengalaman seksual. Menurut pengamatan Rosalind
Coward, wacana seksualitas perempuan mengalami perkenibangan yang
pesat unmk menjawab pertanyaan: Apa kenikmatan seksual menurut pe
rempuan? Tulisan para feminis menentang gambaran bahwa seksualitas pe
rempuan menjijikkan dan tidak patut. Pengalaman juga sesuatu yang me-
nyebabkan perubahan sikap atau kehidupan dan memengamhi penciptaan
ideologi pengetahuan dan juga kehidupan. Tokoh-tokoh Saman maupun
Fear of Flying adalah para perempuan kelas menengah berpendidikan dan
berpenghasilan, karenanya memiliki pilihan dan. peluang menentukan pe-

22 Rosalind Coward, "Are Women's Novels Feminist Novels?" dalam The Neu> Feminist
Criticism, 232-234.

52 kalam 22
--._-.- • ——~^—^?~

TRAGEDI BUAH APEL

rannya sendiri dalam kehidupan pribadi dan kehidupan politik.


Keterbukaan ekspresi seksualitas yang diletakkan paralel dengan gerakan so
sial dalani Saman meniperlihatkan bahwa perlawanan terhadap represi politik
hams mencakup keduanya. Kegentaran pada seks dalani sastra pernah dibahas
oleh Goenawan Mohamad dalani artikelnya "Seks, Sastra, Kita". Tema seks
menghilang dalam sastra modern Indonesia dan niuncul sebagai serangan ter
hadap perilaku seksual kaum borjuis dan kelas menengah yang dianggap meng-
gambarkan dekadensi dan ketidakadilan. Seks, menurut Goenawan, dalam sastra
Indonesia digambarkan dalani suatu pola: baliwa ia mempakan "sam bagian lo-
gis dari kebebasan berbuat (yang hanya dimiliki kaum feodal atau borjuis), sam
lanjutan dari kekuasaan dan kekayaan yang tidak sail".23
Saman, menurut hemat saya, juga sedang menggambarkan ketidakadilan
dan dekadensi. Dalam seksualitas ada permainan kuasa; setiap orang bisa
membiarkan diri terseret atau menolak dan bersikap. Yang bersikap dan
membuat pilihan-pilihaii sedang merintis pembebasan diri dan berhadapan
dengan institusi dan norma-norma. Sikap tersebut saya anggap mencer
minkan sikap pengarangnya.Jika Goenawan Mohamad berpendapat bahwa
pengarang Indonesia bersikap puritan dan menolak mengekspresikan segi
positif seksualitas'(kesenangan, kenikmatan, harapan) karena ketidakjelasan
kelasnya, maka Ayu Utami menetapkan posisi yang sangat jelas sebagai ba
gian perempuan kelas menengah Indonesia. Ungkapan panjang berbagai
pendapat tentang seksualitas yang dituturkan dalam sudut pandang Sha
kuntala menampilkan sosok perempuan Indonesia yang mandiri, berpen-
didikan, penuh pemberontakan, dan kritis terhadap seksualitas masyarakat.

Mencuri, membongkar

"One has to steal?" says Eve."Doing that makes me feel guilty. I don't like it."
"But precisely," I say, "all my authors like being guilty. What one wants," I
say, slowly beating about the bush,"is the fault."

("Orang mesti mencuri?" kata Eva. "Aku merasa bersalah melakukannya.


Aku tak suka." r
"Justru itulah," kataku, "semua pengarangku senangmerasa bersalah.

23
Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), 10.

kalam 22 53
_•--•<••

LISABONA RAHMAN

Yang diinginkan orang," kataku sembari pelan-pelan mengulur pembica-


raan, "adalah yang dituduhkan.") (Helene Cixous, Cruel Obstetrics, 2000)2"1

Meskipun jarak waktu antara 'terbitnya Fear of Flying dan Saman terpaut
hampir sam generasi, pun ada perbedaan konteks budaya penciptaan dan
tanggapannya; menarik unmk melihat bahwa kreativitas kedua pengarang
perempuan ini mendapatkan tanggapan yang hampir serupa. Karya Erica
Jong dan perjuangan perempuan bisa jadi telah mengilhami Ayu Utami
dan generasinya (yang juga adalah generasi saya). Akan tetapi, dalam Fear of
Flying permasalahan perempuan yang diangkat berkisar pada masalah
seksualitas individu, sementara dalam Saman permasalahannya terletak pada
konstruksi seksualitas oleh kuasa politik, budaya, dan agama. Konteks terbit
nya Saman pada 1998 saat gerakan sosial di Indonesia nienguat dan konteks
terbitnya Fear of Flying pada masa gelombang pertama gerakan perempuan
di AS, saat para penulis perempuan (baik fiksi maupun nonfiksi) banyak
menulis tentang seksualitas perempuan sebagai usaha mendefinisikan "apa
yang dirasakan perempuan secara seksual" (Subversive Intent, 120) bisa men-
jelaskan perbedaan antara keduanya.
Keistimewaan kedua pengarang bukan terletak pada penciptaan bahasa
maupun bentuk bam, melainkan pada pengguiiaan dan pemberian definisi
baru pada kata-kata dan struktur yang sudah ada. EricaJong dan Ayu Uta
mi mencuri kata-kata vulgar dari tatanannya dan menggunakannya untuk
balik menyatakan sesuatu pada tatanan narasi niaskulin yang sudah mapan.
Mereka berdua tentunya menyadari rambu-rambu sosial yang ada saat me
milih tenia dan nienuliskannya, akan tetapi bersikeras melakukannya de
ngan kesadaran penuh. Saman maupun Fear of Flying barangkali adalah bu
ah apel yang telah membukakan mata dan menjadi inspirasi buat penga-
rang-pengarang setelahnya dan sekaligus menjadi contoh buruk karena te
lah mempermainkan batas-batas tabu.Tetapi cukup jelas bahwa karya me
reka telah membuat tatanan yang ada hams menata ulang batas-batasnya
untuk membuka mang-mang lain, yang sebelumnya terlarang bagi penga
rang perempuan, sambil barangkali membangun dinding-dinding penyekat
baru. ..

24 Diambil dari bank data Autodafe (Musim Gugur 2000), dari situs www.autodafe.org.

54 kalam 22
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

AMBIVALENSI NARATIF
DAN TRANSISI SOSIAL
Lady Chatterley's Lover dan The Satanic Verses

KAJIAN ini—yang berfokus pada dua karya, yaitu lady Chatterley's


Lover (selanjutnya dituiis LCL) karya D. H. Lawrence dan The Satanic
Verses (selanjutnya dituiis TSV) karya Salman Rushdie—hendak melihat
betapa stmkmr sebuah teks naratif terkait dengan wacana ekonomi politik
yang melingkunginya. Asumsi awal yang diperkuat dengan simpulan se
mentara kami adalah bahwa: (1) kedua karya ini menyajikan dilema manu
sia yang terjepit dalam peralihan dari dominasi suam wacana lama ke ke-
bangkitan suam wacana bam; (2) transisi diskursif ini mengundang kon-
troversi, dalani arti ada beragam reaksi yang saling berlawanan dalani me-
nanggapi kehadiran kedua karya ini di tengah masyarakat; dan (3) stmkmr
naratif kedua karya mi menciptakan beraneka mang senjang yang mela-
hirkan suara ambivalen dalani hal keberpihakan serta ambigu dalam hal
makna.
Kami juga mendapati baliwa kontroversi seputar LCL—dari penyen-
soran awal sampai kepumsan pengadilan yang memberinya hak beredar
dan kontroversi serta konflik seputar TSV mempakan rangkaian peristiwa
yang benang merahnya adalah evolusi wacana liberal pasca-Pencerahan.
Dalam kajian ini tampak keterlibatan berbagai pihak dengan kepentingan
masing-niasing: individu (yang diwakili penulis), masyarakat (yang diwakili
pembaca), negara, dan korporasi (yang diwakili penerbit). Penguin, penerbit
kedua karya tersebut, adalah salah sam pemain penting di dunia kesusastra
an dalam hal menerbitkan edisi murah karya-karya klasik yang terjangkau
mahasiswa dan masyarakat luas, sehingga ia menjadi semacam kendaraan
bagi "pencerahan" umat manusia ala Aujkldrung. Sementara im, dalam
sejarah kesusastraan berbahasa Inggris, dua karya tersebut menempati posisi
kontroversial karena, di sam pihak, ditentang oleh sebagian masyarakat yang
kalam 22 55
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

menganggap karya tersebut tidak pantas dan tidak sesuai dengan sistem
nilai segmen tertentu masyarakat pembacanya.Wujud penentangan berkisar
dari protes di media massa, demonstrasi massa, sampai tindak penyensoran
atau penghambatan peredaran kedua buku itu oleh pihak-pihak yang
berwenang. LCL dilarang terbit selama 30 tahun di Inggris dan TSV
menyebabkan pelarangan beredarnya buku tersebut di beberapa negara,
aksi masyarakat yang nienentang terbitnya buku im, serta jatuhnya fatwa
mati atas pengarangnya oleh pemimpin Revolusi Iran Ayatollah Khomeini.
Namun, di lain pihak, ada kelompok tandingannya, termasuk tenm saja
penerbit Penguin, yang membela habis-habisan hak edar kedua karya
tersebut.
Secara logis karya-karya kontroversial memiliki ciri-ciri tematis dan
naratologis yang dianggap kontra-produktif bagi sistem ekonomi politik
yang berlaku—sebagaimana misalnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer,
atau LCL yang dinilai menyajikan materi yang tidak sesuai dengan cita rasa
umum, atau TSF yang dituduh mengliina akidah keislaman arus utama.
TSV dalam kerangka wacana dominan yang mengitarinya tidaklah jauh
berbeda dari LCL, bukan saja karena keduanya diterbitkan oleh Penguin,
melainkan juga karena suara yang tampil dalam narasi masing-masing jelas
bernada dasar Barat pasca-Renaisans/Pencerahan. I^edanya, dalani kasus
TSV, kontroversi yang terjadi lebih rumit karena melampaui batas-batas
wacana Barat dan melibatkan isu-isu yang muncul akibat kondisi (pas-
ca-)kolonial.
Berkaitan dengan kontroversi yang terutama menyangkut TSVf Said
mencatat bahwa "hanya sebagian kecil yang benar-benar membahas buku
im sendiri; baik yang menentangnya maupun menganjurkan pembakaran
buku itu serta menghukum mati pengarangnya, menolak membacanya, se
mentara mereka yang mendukung kebebasan menulis bagi pengarangnya
hanya berargumentasi tentang hak [bukan kandungan bukunyaj".1 Me-
mang demikianlah adanya: tokoh-tokoh utama yang secara publik menge-
cam karya ini mengaku tidak membaca karya tersebut. Syed Shahabuddin,
seorang anggota parlemen India dari Partai Janata (yang pada waktu im
mempakan partai oposisi), dalani tulisannya di Times of India, 13 Oktober

1 Edward W. Said, ed., Literature and Society (Baltimore:Johns Hopkins University Press,
1980), 397.

56 kalam 22

1
-*»- ^ -

AMBIVALENSl NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

1988, berkata: "Betul, saya belum membacanya, saya bahkan tidak berniat
membacanya. Saya merasa tidak perlu capek-capek membaca karya yang
kotor hanya unmk mendapati betapa kotornya karya tersebut."2 Demikian
pula, gejala kontroversi seputar LCL mulai terlihat ketika Lawrence mene-
rima surat dari Nelly Morrison, juru ketiknya, yang menyatakan betapa
novel tersebut membuatnya jijik karena berunsur pornografi. Tanggapan
Lawrence mengenai komentar tersebut: "Meskipun anda berada dalam ku-
bu para malaikat dan mayoritas masyarakat, saya menganggap pendirian
saya sesungguhnya berlandaskan nilai-nilai keluhuran dan keagamaan".3 Di
sini tampak bahwa, walaupun sejak awal sudah ada tentangan pembaca ter
hadap LCL, karya tersebut (juga Lawrence) berada dalam wacana yang sa
ma meski dengan argumentasi berbeda. Maka jelaslah bahwa kontroversi
terjadi bukan antara pihak-pihak yang sama sekali terpisah melainkan dua
bagian dari wilayah yang sama, yaitu kebudayaan Barat pasca-Renaisans/
Pencerahan. Jadi, meskipun (menurut W. H.Auden)4 Lawrence niengkritik
wacana borjuis liberal, ia pun berbicara dengan kerangka kelas menengah
yang"tercerahkan"—hanya saja dalam varian lain.
Demikian pula, pada bagian lain dalani tulisannya yang sama di Times ofIndia,
Syed Shahabuddin memandang kontroversi yang terjadi sebagai berikut:

Larangan impor dan distribusi novel yang dikeluarkan oleh pemerintah


India terhadap novel Satanic Verses, karya seorang penulis Eurasia bernama Sal
man Rushdie yang terlalu disanjung itu, tiruan dari Garcia Marquez, telah
membangkitkan gejolak di seantero bangunan politik "liberal" di dalani dan di
luar negeri. Mereka semua bermaksud memerangah pemerintah India agar
menarik kembali hak kedaulatannya dan kewajiban konstitusionalnya dalam
menjaga agar keresahan masyarakat tidak dibiarkan masuk ke negeri yang su
dah terbelah ini (Vie Rushdie File, 37).

Dikutip dalam Lisa Appignanesi dan Sara Maitland, ed., The Rushdie File (New York:
Syracuse University Press, 1990), 39. Selanjutnya dituiis The Rushdie File.
Harry T. Moore, D. H. Lawrence: The Man and His Works (Toronto: Forum House
Publishing Company, 1969), 1032. Selanjutnya dituiis D. H. Lawrence. Juga dalam
Keith Sagar, Vie Ufe of D. H. Lawrence: An Illustrated Biography (London: Eyre
Methuen, 1980), 221-222. Selanjutnya dituiis The Life ofD. H. Lawrence.
W. H. Auden, "Some Notes on D. H. Lawrence" dalam W.T. Andrews, ed., Critics on
D. H. Lawrence (London: George, Allen and Unwin, 1971).

kalam 22 57
rr» ry~ wrzr~2—» *-•

ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA,- LIEN AMALIA, LESTAR! MANGGONG .

Meski kata-kata Shahabuddin tersebut jelas dikerangkai kepentingan


politiknya dan Partai Janata sendiri, tersirat di sana komplekstitas perma-
salahan yang dibicarakan. Dan itu bukan hanya karena menyangkut kekha-
watiran tentang hal-hal-yang sedang dan dapat terjadi sebagai akibat per-
edaran buku tersebut ataupun pelarangan atasnya, melainkan juga karena,
sebagaimana peristiwa kontemporer lainnya, dimuati beban dan mempa
kan akibat dari masa lalu. Pernyataan Shahabuddin tersebut bukan saja me
nyingkap adanya semacam cibiran atas Rushdie yang dengan nienuhs buku
seakan-akan telah mengkhianati bangsanya sendiri, melainkanjuga ketidak-
nyamanan akan hadirnya "liberalisme" di India yang disiratkan berdam-
pingan dengan dampak kolonialisme Inggris di negara tersebut. Selain im,
ada perkara keragaman budaya di anak benua India yang sering mengemu-
ka dalam bentuk konflik politik. Situasi politik di India dianggap terlalu
genting dan rapuh unmk sanggup menerima kehadiran karya seperti TSV.
Tampak sekali di sini bahwa struktur teks im sendiri diabaikan dan
dianggap uerpisah dari stmkmr wacana yang nielingkungi kontroversi
tentangnya. Maka perlu kita perhatikan pandangan Stanley Fish,5 terutama
dalam memahanii makna sebagai efek dari penafsiran yang dilakukan ma
syarakat penafsir selaku konteks yang menenmkan makna sebuah teks, bah
wa yang hams ditanyakan bukan "Apa sesLingguhnya makna yang terkan-
dung dalam teks?" melainkan "Bagaimana teks tersebut beroperasi?" Me
mahanii cara teks beroperasi mempakan perkara yang rumit karena di-
rumitkan oleh:
1. Kompleksitas teks im sendiri. Teks sering dihasilkan unmk tujuan
berbeda-beda dan dari perspektif beragam pula;
2. Kompleksitas proses pencerapan sebagaimana dipengaruhi oleh be
ragam peran pihak pembaca, kebumhan, perspektif, dan kenyataan
bahwa ada berbagai jenis pembaca yang membaca dengan kebumh
an dan dari perspektif yang berbeda-beda;
3. Redefinisi makna dalam perjalanan waktu, dan pembahan situasi his-
toris khalayaknya.
Dengan demikian, perlu dilihat betapa stmkmr teks im sendiri menjadi
sam jaring yang berkelindan dengan stmktur wacana tempat teks im ber-

Stanley Fish, Is There a Text in This Class? The Authority of Interpretive Communities
(Cambridge: Harvard UP, 1980), 303-321.

58 kalam 22
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

ada dan beredar—tanpa melupakan bahwa tulisan kami pun berada dalam
sebuah wacana yang terkait dengan kontroversi tersebut. Asumsi awal kami
adalah bahwa adanya (1) ruang senjang yang ambivalen dan ambigu yang
tercipta dari elemen kala dan modus, dan (2) ketidakajegan jarak naratif
yang tercipta antara suara naratif novel dan pembaca tersiratnya niemung-
kinkan novel ditafsirkan ke berbagai kutub kepentingan dan dengan berba
gai cara. Dengan kata lain, ambivalensi, ambiguitas, dan inkonsistensi dapat
membuat sebuah karya menjadi kontroversial, karena bukan saja rentan ter
hadap sensor melainkan juga memungkinkan ditafsir lain bergantung pada
masyarakat penafsirnya.

Ambivalensi dan ambiguitas dalam struktur naratif


Di bagian sangat awal, sang narator LCL memberikan prolog tentang
latar belakang kisah novel tersebut. Paragraf awal narator ini adalah apa
yang oleh Genette disebut tuturan dalam tataran wacana. Seperti halnya
pementasan wayang, sang narator dalam LCL ibarat sang dalang yang
memberi pengantar/prolog tentang kisah yang akan dituturkannya:

Ours is essentially a tragic age, so we refuse to take it tragically. The cata


clysm has happened, we are among the ruins, we start to build up new little
habitats, to have new little hopes. It is rather hard work: there is now no
smooth road into the future; but we go round, or scramble, over the obstacles.
We've got to live, no matter how many skies have fallen.

(Zaman kita adalah zaman ttagis, maka kita menolak menerimanya secara
tragis. Bencana telah terjadi, kita berada di tengah puing-puingnya, kita mulai
membangun tempat tinggal kecil yang baru, memperoleh sedikit harapan
baru. Memang kerja agak berat: kini tidak ada jalan mulus menuju masa de-
pan; tetapi kita berputar-putar, atau bergumul, melampaui rintangan. Kita ha
ms bertahan hidup, betapapun banyaknya langit yang telah runtuh).6

Namun, di paragrafberikutnya, Lawrence menunjukkan siapa yang ber


ada dalam situasi tersebut: This was more or less Constance Chatterley's position.

6 D. H. Lawrence, Lady Chatterley's Lover: A Complete Authorised Reprint of the Unexpur-


gated Edition (NewYork: Signet Classic, 1959 [19621), 5.

kalam 22 59
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIENAMALIA, LESTARI MANGGONG

The war had brought the roof down over her head. And she had realised that one
must live and learn ("Demikianlah kurang-lebih pendirian Constance
Chatterley. Perang telah meruntuhkan atap rumah yang memayungi kepa-
lanya. Dan ia sadar bahwa orang hams terus hidup dan belajar") (LCL, 5).
Di sini, tampak terjadi dua macam pergeseran dari paragraf pertama ke
paragraf kedua,' Pertama, ada perubahan dalam kala dari kala kini menjadi
kala lampau di paragraf berikutnya. Kedua, terjadi pergeseran dalani fo-
kalisasi pengisahannya. Pada paragraf pertama yang ada adalah fokalisasi-nol
(zero-focalizafion) yang menunjukkan penyajian dunia secara umum. Na
mun, pada paragraf berikutnya fokalisasi menjadi terpaku fixed focalization)
pada Connie yang menjadi titik fokalisasi (focalizer), dan, karena itu, menjadi
semacam epitomi atau wakil bagi situasi yang dibicarakan pada paragraf se-
belumnya. Dalam kerangka tataran strategi naratif Genette, pada titik ini
terjadi pergeseran dari yang awalnya bersifat umum ke pemfokusan pada
salah sam karakter utama dalam novelnya. Baik pergeseran kala maupun
fokalisasinya menunjukkan upaya Lawrence membedakan tataran naratifdi
luar dunia Lady Chatterley, Clifford, dan karakter lainnya dalani novel ter
sebut (kala kini dengan fokalisasi-noi) dan tataran naratif dunia Lady
Chatterley, Clifford, dan karakter lainnya pada LCL (kala lampau dengan
fokalisasi terpaku).
Penataan kerangka luar TSV secara umum meniang problematis ka
rena, lebih daripada LCL, mencampurbaurkan tataran naratif yang ber-
beda-beda, walaupun tidak ada—sebagaimana dalani LCL—narasi yang
menggunakan kala kini. Pembagian bab yang sepertinya merupakan
kerangka luar naratif novel ini disusun sedemikian rupa sehingga tatar
an wacana Farishta sebagai fokalisator utama dengan latar kontemporer
berdampingan secara sejajar dengan tataran wacana Mahound yang me
nurut narasinya sendiri merupakan tokoh dalam mimpi delusif Farishta.
Bahkan, pada bab "Ayesha". kedua tataran ini menjadi tumpang tindih
dan silih-berganti. Kekaburan antara dunia mimpi dan kehidtipan nyata
Gibreel Farishta menciptakan ruang ambigu yang juga mencampur-
adukkan fiksi dengan fakta. Jadi, walaupun Ayesha yang menjadi tokoh
dalani narasi sesungguhnya berada dalani tataran Farishta, ia dapat ditaf-
sir sebagai tokoh yang berada dalam tataran Mahound melalui meto-
nimi paralel. Karena itu pula, situasi semacam itu menjadi semacam
landasan untuk memandang Jahilia—yang dalani novel ini jelas meru-

60 kalam 22
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

juk Mekah di awal sejarah Islam—dan rujukan nominal lainnya hadir


sebagai representasi dari yang dirujuknya: Mahound sebagai Mu
hammad, Ayesha sebagai Aisyah, Khalid sebagai Khalid, Bilal sebagai
Bilal, Salman sebagai Salman,Yathrib sebagai Yatsrib (Madinah).
Sebagaimana LCL dan kisah naratif pada umuninya, TSFmemiliki
kronologi ganda:

Ada waktu berlangsungnya hal yang diceritakan dan waktu penceritaannya


(waktu petanda dan waktu penanda). Dualitas ini bukan saja memungkinkan
segala distorsi temporal yang lazim ada dalam kisah naratif (tiga tahun masa
hidup si protagonis disimpulkan menjadi dua kalimat dalani novel atau bebe
rapa adegan dalam montase "frekuentatif" dalam film, dan sebagainya). Lebih
niendasar lagi, kisah naratif mengundang kita menipertimbangkan bahwa
salah satu fungsi naratif adaiah menciptakan [cetak miring dari penulis| sebuah
waktu dalam kerangka waktu yang lain.7

Jadi, TS V bermasalah karena mengisahkan hal-hal yang dalam fun-


damentalisme Islam diyakini sebagai sesuatu yang ekstratemporal, atau
di luar batas-batas waktu, atau bahkan non-temporal (dalam arti, sama
sekali tidak dapat dibatasi berdasarkan kriterium waktu). Dengan demi
kian, hal yang lazimnya dipahami sublim dan ineffable, dengan dikisah-
kan dalani sebuah novel, dibumikan atau dijadikan profan.Yang terjadi
dengan penceritaan peristiwa religius adalah sebuah historisasi atau se-
kularisasi. Dalani hal TSV itu terjadi pada peristiwa diturunkannya
wahyu kepada Muhammad, sedangkan—dalam varian yang lebih sub
til—dalani LCL peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di firdaus.
Dengan mengisahkannya dalam sebuah novel, ada implikasi bahwa
terjadi semacam pengulangan baru, Demikianlah, dengan niemperha-
tikan etimologi kata novel, genre ini dengan sendirinya sudah melaku
kan bidah.
Dalam konteks temporalitas ganda itu, munciillah saat-saat "in medias res,
yang diikuti oleh jabaran balik kepada waktu yang lebih dim" (Narrative
Discourse, 36). Dalam hal TSV dan LCL, saat infmedias res ini bukan hanya

Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method (Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1980), 33. Selanjutnya dituiis Narrative Discourse.

kalam 22 zw
-*rT~ - 1

ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

terjadi secara insidental dan aksidental melainkan menjadi stmkmr utama


narasinya. Narasi semacam ini dipahami oleh Deleuze dan Guattari sebagai
metode narasi novela, yaitu—tidak seperti sebuah dongeng yang narasinya
berputar pada pertanyaan: "Apa yang akan terjadi?"—berkitar di sekeliling
pertanyaan: "Apa yang telah terjadi sehingga berlangsung kondisi yang seka
rang?" Metode.narasi semacam ini "memiliki relasi yang fundamental de
ngan kerahasiaan",8 yang menyiratkan bahwa pengetahuan kita kini ten
tang sebuah peristiwa tidaklah benar dan, karena itu, hams diungkap—atau
setidaknya ditelusuri kemungkinan-kemungkinan—yang sesungguhnya
terjadi. Dengan demikian, yang ada pada permukaan narasi seperti mena-
warkan pernyataan-pernyataan angkuh bahwa ia-lah yang mengetahui dan
justru yang tersirat adalah pengetahuan umum yang"dikoreksinya".
Namun, baik TSVmaupun LCL bersifat ambivalen dalam hal metode
tersebut. Di sam pihak, kedua novel ini tampaknya bersifat reflektif karena
mengawali narasinya dengan pernyataan-pernyataan yang nierujuk situasi
kontemporer. Paragraf pembukaan dalani LCL ini, dalam hal kala, unik
dibandingkan pola naratif novel ini secara keseluruhan. Secara umum, kisah
yang disajikan dalam LCL berbentuk konvensional, yaitu menggunakan
kala lampau.
Jika keseluruhan LCL ditampilkan sebagai in medias res, sehingga kese
luruhan narasinya menjadi metafora bagi sesuatu yang disebutnya "tragic
age", dalam TSV penghentian waktu naratifdan peralihan ke masa lampau
mulai terjadi pada waktu dikisahkan episode-episode yang berlatar kota Ja-
liilia dan yang merujuk kepada sejumlah tokoh dalam sejarah Islam—wa
laupun ada beberapa yang sekadar memiliki kemiripan nama.
Di satu pihak, pergeseran tingkat naratif dalani LCL tampak wajar seba
gai teknik memperkenalkan apa yang akan dijadikan fokus narasi. Di lain
pihak, pada niomen pergeseran naratif ini tercipta kesenjangan sekaligus
jembatan antara tataran wacana tempat Lawrence sebagai penulis berada
dan tataran wacana tempat Connie Chatterley sebagai tokoh berada.
Wilayah persinggungan ini problematis karena menciptakan ruang naratif
yang ambivalen: pada saat yang sama memisahkan dunia Connie dari dunia
Lawrence, tetapi juga menunjukkan bahwa dunia Connie hanya dapat di-

Gilles Deleuze dan Felix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia
(LondonThe Athlone Press, 1988), 192 dan 193.

62 kalam 22
^= r. : *

AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

pahami dalam kaitannya dengan dunia Lawrence dan pembaca tersiratnya.


Dengan demikian, segala pernyataan tentang, atau setidaknya yang berkait
an dengan, tokoh-tokoh dalani cerita berpeluang dipahami sebagai meta-
fora bagi manusia dalam masyarakat Lawrence. Namun, dapat pula dipa
hami secara lebih ekstrim bahwa dunia Connie dan Clifford merupakan
perpanjangan atau, katakanlah, metoninii dari dunia Lawrence.
Kondisi sosial budaya dan psikologis masyarakat Inggris secara umum
digambarkan Lawrence sebagai berubahnya Inggris yang dikenalnya—dari
Inggris yang lama menjadi Inggris yang baru, sebagaimana dinyatakan
Clifford ketika berjalan-jalan di hutan bersama Connie: / consider this [wood]
is really the heart ofEngland,... this is the old England, the heart ofit; and I intend
to keep it intact ("Menurutku hutan ini benar-benar jantungnya Inggris,...
inilah Inggris sebagaimana aslinya, pusatnya; dan aku ingin meiijaganya agar
tetap utuh") (LCL, 45). Dengan demikian, karya narasi ini menjadi sema
cam dokumen sosial yang menandakan pergeseran tersebut. Pergeseran ta
taran naratif terjadi bersamaan dengan kisah Connie dan Clifford yang juga
menjelang sebuah tatanan dunia baru berwatak kapitalis industrial, tetapi
pada saat yang sama juga tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan sistem
sosial lama. Clifford, yang pernah pergi ke Jerman unmk mendalami tek
nologi pertambangan batu bara, tetap tidak dapat lepas dari tuntutan ayah-
nya, Sir Geoffrey, unmk menjadi Lord Chatterley dan menghasilkan pewa-
ris bagi Wangsa Chatterley.
Selain im, ambivalensi yang tercipta dari pergeseran tataran naratif di-
iringi dengan ambiguitas tentang isu yang terangkat melalui narasi tersebut.
Di satu pihak, novel ini berbicara gambling tentang kondisi masyarakat
Inggris yang sedang beralih dari sistem feodal ke sistem kapitalis, sebagai
mana digambarkan dengan Sir Geoffrey yang dianggap Clifford sebagai "a
hopeless anachronism" yang menyumbangkan hasil tanahnya serta pewarisnya
demi perang yang memperebutkan penguasaan atas sumber daya demi in
dustri dan modal. Di lain pihak ia berbicara gamblang tentang seks dan
seksualitas. Peralihan dari topik pertama ke topik kedua dan sebaliknya ti
dak selalu jelas. Bahkan banyak bagian dalani narasinya yang merupakan
metafora dan bahkan metonimi bagi bagian-bagian lain.
Peralihan tata kemasyarakatan itu menjadi suatu keprihatinan karena
tampak memisahkan seorang manusia dari manusia lain. Dengan demikian,
masalah "connexion" dan "satisfaction" menjadi topik penting yang berkitar

kalam 22 63
T*—7^—7-j.—r ^r>—: ^-

ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG .


1
dari masalah sosial ke seksual dan sebaliknya. Demikian pula masalah yang
terjadi antara Connie dan Clifford, Connie dan Mellors, Clifford dan
Mellors tumpang tindih antara masalah sosial dan seksual. Dalani usia per-
nikahan yang masih muda, dengan usia kedua pasangan yang masih muda,
kestabilan rumah tangga mereka terganggu oleh akibat perang atas CUfford:
ketidakmampuamiya secara fisik memenuhi perannya sebagai suami.
Perubahan drastis inilah yang memicu perkenibangan narasi LCL menjadi
lebih kompleks, yang memiliki garis merah isu seputar seksualitas dan kelas
sosial.
Yang menarik dalani TSV adalah bahwa narasinya bergerak ke masa
yang melampaui masa liidup si tokoh utama sehingga yang tersaji sesung
guhnya merupakan sebuah anakroni, atau penyajian sebuah peristiwa atau
sosok yang dalani sejarah sesungguhnya tidak ada. Jadi, berlangsung sesuatu
yang oleh Genette disebut analepsis: penceritaan peristiwa yang terjadi
sebelum peristiwa yang dikisalikan oleh alur utama novel. Lebih-lebih
analepsis tersebut, walaupun tampak justru lebih terkait dengan sejarah da
ripada narasi tentang Gibreel Farishta—sang bintang film dalam rangka
luar narasinya—sesungguhnya merupakan sebuah analepsis homodiegetik,
yang seluruhnya bersifat imajiner, yaitu jenis

mengingat dalam bentuk yang termurni, sengaja dipilih atau direkayasa


karena sifatnya yang biasa-biasa saja atau lazim. Namun, pada waktu yang sama
menyiratkan perbandingan antara masa kini dan masa lampau. sebuah perban-
dingan yang menenangkan untuk sesaat, karena niomen pengingatannya se
lalu bersifat euforis, walaupun membangkitkan masa lalu yang dengan
sendirinya menyakitkan (Narrative Discourse, 55).

Yang juga menjadi masalah lebih lanjut adalah bahwa cakupan atau ku-
antitas naratif antara berbagai tataran wacana ini bisa dikatakan seimbang
dan sejajar sehingga batas-batas antara berbagai zaman historis dan tataran
naratif ini pun menjadi kabur. Dengan kata lain, terjadi analepsis yang cu
kup jauh, melampaui sejarah dan geografi wilayah yang sedang menjadi
fokus narasinya—"di luar . . . medan temporal kisah utarrianya" (Narrative
Discourse, 61)—sehingga tampak bahwa narasi semacam ini bukan saja me-
ngisahkan kondisi historis serta imajinasi tentangnya melainkan juga ranah
ideal yang terbentuk unmk memaknai kenyataan material.

54 kalam 22
—I—.. .•••-
Is:

AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

Dengan demikian, tampaknya Gibreel Farishta memiliki anggapan de-


lusif bahwa identitasnya yang liminal, hibrida, dan tidak integral im berawal
pada saat awal sejarah Islam—seakan-akan awal sejarah Islam identik de
ngan awal Diri Gibreel Farishta.Yang menarik di sini adalah gabungan an
tara ciri identitas Gibreel yang bersifat sepele dan yang bersifat niendalam.
Kaitan Diri-nya dengan proses penurunan wahyu tampak dipicu hanya da
ri kesamaan antara nama Farishta dengan nama iiialaikat yang menjadi per
antara dalani proses penurunan wahyu tersebut. Nama tersebut bermakna
lebih niendalam lagi karena berkaitan dengan fungsi perantara ini. Gibreel
Farishta sepertinya merasa sebagai sosok yang berdiri di tengah hubungan
cahggung antara Inggris sebagai Vilayet imperial dan India sebagai wilayah
yang terjajah.
Dalam TSV, tampak ada semacam kebingungan tentang cara menentu-
kan identitas para tokohnya serta wilayah tempat mereka berada. Tokoh-to-
koh muncul sebagai anakroni dan anatopi sebagaimana ungkapan-ungkap-
an dalam bahasa Urdu bercampur baur dengan narasi utama yang berbalia
sa Inggris. Semua ini merupakan hasil kesatuan politis yang dibayangkan
menyatukan Inggris dengan (bekas) koloni-koloninya. Seperti telah dising-
gung sebelumnya, dalam novel ini, Inggris disebut sebagai Vilayet dari sudut
pandang India (atau Pakistan). Dengan demikian, betapapun secara formal
politis, wilayah-wilayah ini merupakan Vilayet yang berdaulat dan merdeka,
tampak si subyek pascakolonial masih menganggap dirinya sebagai sema
cam British subject. Jadi tampak bahwa identitas para tokoh dalani novel ini
serta wacana tempat novel ini berada tidak dapat memutuskan hubungan
mereka dengan sejarah.
Sampai di titik ini, dapat dikatakan bahwa TSV sengaja atau tidak mun
cul di tengah dunia pascakolonial tempat konflik dan tarik-ulur kepenting-
an akibat kolonisasi masih terasa. Alasannya: novel ini merupakan hasil dari
dan berbicara tentang subyek pascakolonial yang jati dirinya terpecah serta
upaya subyek tersebut menyingkap keresahan-keresahan tentang masa lalu
yang tersimpan dalam benaknya. Selain itu, tampak pula ada semacam
identifikasi Islam sebagai esensi keberadaan sebagai pihak yang terjajah.
Dengan demikian, unmk mengatasi masalah beban masa lalu, dirasakan
perlu ada upaya mengingat masa lalu yang traumatik untuk memulihkan
"kesehatan" psikis di masa kini. Leela Gandhi dengan merujuk Lyotard
menyebut ini sebagai anamnesis, yaitu sebuah metode analisis yang meng-

kalam 22 65
—r r*—rrzr

ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

upayakan agar pasien yang mengalami trauma "menjabarkan permasalahan


yang dihadapinya di masa kini dengan secara bebas mengaitkannya dengan
situasi di masa lalu yang tampaknya tidak relevan—agar dapat menyingkap
makna tersembunyi dalam kehidupan dan perilakunya".9 Bagi Gibreel Fa
rishta yang jelas mengalami gangguan kejiwaan hingga taraf delusi, upaya
mengimpikan riiasa lalu sebagaimana diingatnya dapadah dipahami. Farish
ta seakan-akan berusaha mengulangi masa lalunya agar dapat menghadapi
masa kininya yang penuh konflik, kontroversi, dan kontradiksi.
Dengan demikian, pola yang berkitar dari wacana Farishta ke wacana
Mahound dan kembali lagi secara berulang-ulang sehingga "penggandaan
sejumlah awal yang diciptakan oleh ingatan yang di antaranya (kecuali yang
terakhir) berfungsi selanjutnya sebagai prolog pendahuluan" (Narrative Dis
course, 46) menjadi semacam upaya mengoreksi kegagalan yang telah dia-
laminya sebagai pemain film maupun sebagai manusia.Yang menarik di sini
adalah Farishta mengkhayalkan bahwa "awal" ingatan dirinya sebagai ma
nusia dan sebagai orang India pascakolonial dimulai pada awal sejarah Islam.
Dalani bahasa Genette, hal ini disebut jangkauan, yaim "jarak waktu", yang
menciptakan anakroni dalam narasi. Namun, dalam TSV anakroni yang
terjadi amadah rumit karena melibatkan berbagai periode historis dalani
tradisi ingatan yang berbeda-beda: Muhammad dalam tarikli Islam,
Mahound dalani imajinasi abad pertengahan (yang dimuati sentimen anti-
Arab/Islam sejak Perang Salib), Jibril dalani iman Islam, dan Gibreel dalam
wacana polarisasi India-Inggris (pasca-)kolonial.
Lebih lanjut, Genette pun menggarisbawahi bahwa "pengulangan" se-
stinggulinya merupakan sebuah konstruksi mental, yang menyisilikan dari
kehadirannya setiap ciri yang merupakan bagian khas darinya seliingga
mempertahankan ciri-ciri yang juga dimiliki hal lain yang terniasuk satu
kelas dengannya [dengan demikian ia] merupakan abstraksi..., peristiwa-
peristiwa yang dianggap serupa hanya berdasarkan kemiripannya (Narrative
Discourse, 113).
Dalani TSV, itu juga berarti bahwa pengulangan masa lalu tarikh Islam
secara mental yang dilakukan Farishta dan gayutannya dengan keadaan pas
cakolonial yang traumatis bagi Farishta sepenuhnya bersifat khayali. Artinya,

9 Leela Gandhi, Postcolonial'Tlieory: A Critical Introduction (Crows Nest: Allen & Unwin,
1998), 8.

66 kalam 22
1~~^

AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

awal sejarah Islam dianggap relevan dalam narasi tentang situasi pascako
lonial yang melibatkan isu agama dan fanatisme sekalipun hanya relevan ji
ka dipahami relevan, tetapi tidak demikian secara hakiki. Contoh lain da
lam novel ini adalah peristiwa turunnya wahyu diulang dalam novel se
hingga memberi kesan bahwa peristiwa tersebut terjadi lagi. Dengan de
mikian, novel, itu menyediakan ruang dalani narasinya yang menyiratkan
pertentangan dengan akidah Islam yang menyatakan bahwa kenabian ber-
akhir pada Muhammad. Maka, bila tampak dalani novel ini, wahyu ditu-
runkan lagi, tenmnya kisah itu hanya mungkin berkaitan dengan seorang
nabi palsu, yaitu Mahound.
Namun, yang lebih penting daripada im, narasi ini mengulang sesuatu
yang menurut sebagian penafsir dapat dianggap aib bagi umat Islam, meski
oleh sebagian penafsir lain dikatakan sebagai mitos belaka, yaitu kontroversi
di seputar mrunnya "ayat-ayat setan". Dalam Qur'an dikatakan:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak seorang na
bi, melainkan apabila ia memiliki suatu keinginan, syaitan pun mctnasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syai
tan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. . . . Dia menjadikan apa yang
dimasukkan syaitan sebagai cobaan bagi orang-oiang yang hatinya berpenyakit dan
keras. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim benar-benar dalani permusuhan
yang sangat (Quran 23:52-53).

Zamakhsyari1" menjelaskan bahwa ayat itu turun karena Muhammad


resah bahwa kegiatan risalahnya menyebabkan kaumnya sedemikian men
jauhkan diri darinya sehingga beliau berharap tidak mendapat wahyu yang
akan semakin menjauhkan mereka. Dalani keadaan itu kemudian Mu
hammad mendapat wahyu sebagaimana yang ada dalani Surat al-Najm ayat
19-23. Namun, ketika sedang membaca ayat-ayat tersebut, sampai ke kali-
mat "dan Manat, yang ketiga, dan yang lain", beliau menggantikan wahyu
im dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan keinginannya. Ada yang meng
anggap beliau kehilangan konsentrasi, tetapi ada yang beranggapan bahwa
syaitan melakukan intervensi.
Dengan mengulangi peristiwa yang menyebabkan keraguan im dalam

10
F. E. Peters, A Reader on Classical Islam (Princeton: Princeton University Press, 1994),
177-178.

kalam 22 ^j
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSlSI SOSIAL

Berhubungan dengan perkara keterkaitan antara batas seksual dan sosial


sebagai bagian padu dari sistem yang sama, kita dapat mencatat soal yang
disajikan penulis lain-yang sezaman dengan Lawrence, yakni George Or
well. Orwell bukan sekadar sezaman dengan Lawrence melainkan juga se-
sama penulis utopis yang bersama dengan penulis lain, terutama Aldous
Huxley, juga mengisyaratkan kaitan seks dengan kekuasaan dalam karya-
karya mereka. Dalam novel distopisnya yang masyhur, 1984—terbit pada
saat LCL masih dilarang—Orwell menyatakan bahwa "kegiatan seksual,
bila berhasil.dilakukan, mempakan pemberontakan"" dengan menyiratkan
bahwa sebuah sistem kekuasaan perlu melakukan pengendalian atas ke
giatan seksual

... not merely to prevent men and women from forming loyalties which it
may not be able to control. Its real, undeclared purpose was to remove all
pleasure from the sexual act. Not love so much as eroticism was the enemy,
inside marriage as well as outside it. The only recognized pupose of marriage
was to beget children for the service of the [collective) ... to kill the sex in
stinct, or, ifit could not be killed, then to distort it and dirty it.

. . . (bukan saja menjaga agar orang tidak membangun kesetiaan pada hal-hal
yang tidak dapat dikendalikannya [negara atati struktur kekuasaan lainnya].Tu-
juannya sesungguhnya yang tak terujarkan adalah menghilangkan kenikmatan
dari kegiatan seksual. Sebenarnya bukannya cinta melainkan erotisismelah
yang menjadi musuhnya, di dalam maupun di luar pernikahan. Satu-satunya
tujuan pernikahan yang diakui adalah untuk berkembang biak sebagai bakti
kepada [masyarakat kolektif] .. .membunuh naluri seks, atau, jika tidak dapat
dibunuh, maka menyelewengkannya dan mengotorinya [cetak miring dan
penulis]) (1984,57).

Tampak sekali bahwa Orwell, walaupun tidak pernah menjalin hubung


an langsung dengan Lawrence, memiliki keprihatinan serupa, yaim pe
ngendalian kolektif atas individualitas. Individualitas dalam hal ini dikaitkan
dengan tubuh perorangan dan kegiatan ketubuhan yang dipersamakan

11 George Orwell, 1984 (New York: Vintage, 1992), 59. Pertama kali terbit pada 1948.
Selanjutnya dituiis 1984.

kalam 22 69
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

dengan seks. Yang disiratkan Orwell adalah bahwa seks demi seks semata
merupakan hal yang bersifat amat pribadi dan perorangan sehingga seakan-
akan mengancam kese'tiaan terhadap kehidupan bersama, yang stmkturnya,
menurut pandangan Lawrence, Orwell, Huxley, dan Wells ditandai dengan
pemisahan kelas dan kasta. Sebaliknya, seks yang dilakukan dengan tujuan
prokreasi justru' merupakan sumbangsih dan bakti kepada kehidupan
bersama. Karena im, ada usaha menciptakan citra kotor atas seks demi seks
semata.

Hal inilah tampaknya yang menjadi masalah bagi Lawrence. Ia seperti-


nya melihat bahwa perkembangan peradaban Barat mengarah pada pe-
nyangkalan atas individualitas dan kehidupan itu sendiri sehingga ia merasa
perlu menulis tentang "betapa manusia sudah kehilangan kepekaan dan ke
sadaran dan rasa hormat bagi kehidupan agar di atas segalanya dapat men-
jembatani kesenjangan kelas yang fatal itu" (The Life ofD. H. Lawrence, 209).
Jadi, agaknya bagi Lawrence menulis novel yang mengeniukakan kegiatan
seksual secara terinci dan gamblang mempakan "pemberontakan" dengan
tujuan menunjukkan bahwa sensitivitas (yang disajikan melalui adegan
seks) dapat membawa kesadaran dan rasa hormat atas kehidupan sekaligus
"membersihkan kembali seks dari pandangan kolektif yang pornografis atas
seks".
Berkaitan dengan hal tersebut, argumentasi Lawrence seputar alasan ia
melakukan penekanan pada pemerian gamblang dan terinci yang meli-
batkan mbuh dan seksualitas dipaparkan panjang lebar dalani A Propos of
Lady Chatterley's Lover (1930):

The mind has an old grovelling fear of the body and the body's potencies.
It is the mind we have to liberate, to civilise on these points .... From fearing
the body, and denying its existence, the advanced young go to the other ex
treme and treat it as a sort of toy to be played with, a slightly nasty toy, but still
you can get some fun out of it, before it lets you down .... I stick to my
book and my position: Life is only bearable when the mind and the body are
in harmony, and there is a natural balance between them,and each has a natu
ral respect for the other. ?

(Benak memiliki rasa takut yang menyedihkan terhadap tubuh dan daya
yang dimiliki tubuh. Benaklah yang harus kita bebaskan, adabkan dalam hal-

70 kalam 22
mi._?:

AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL


1
hal ini .... Dari rasa takut terhadap tubuh, dan penyangkalan keberadaannya,
kaum muda yang berpikiran maju melangkah ke ujung ekstrim yang lain dan
memperlakukannya -bak mainan, tapi kita masih bisa menikmatinya, sebelum
dikecewakan. Saya tetap berpegang pada pendirian dan buku saya ini: Kehi
dupan ini hanya dapat dijalani bila benak dan tubuh selaras adanya, dan ada
keseimbangan alami di antara keduanya, dan masing-masing saling menghor-
mati) (D. H. Laivrence, 227).

Lebih lanjut, dalam sejumlah surat unmk teman-temannya semasa LCL


dicetak di Italia, Lawrence berulang kali menjelaskan bahwa: this was a na
kedly phallic book, and that it had in it much tenderness ("[novel] ini merupakan
karya yang secara gamblang bersifat falik, dan di dalamnya terdapat kelem-
butan") (D. H. Laivrence, 227). Kemudian, sehubungan dengan ini, Law
rence mcngemukakan komentar dalam suratnya unmk Brewster: It's anovel
of the phallic Consciousness: or the phallic consciousness versus the mental-spiritual
Consciousness. (li[LCL] merupakan novel tentang Kesadaran falik: atau Ke
sadaran falik meiawan Kesadaran mental-spiritual") (D. H. Lawrence, 228).
Yang hendak dikatakan Lawrence di sini adalah pervasifhya dualisme Pla-
tonik-Cartesian yang mernisahkan akal dan tubuh—atau yang disebut Eli
zabeth Spelman sebagai somatophobia}2 Lebih daripada itu, gejala tersebut
mewujud dalam diskriminasi kelas yang perlu ada dalani sistem ekonomi
kapitalis yang sudah menjadi dominan pada zaman Lawrence. Dalam ka-
pitalisme, hams ada pembedaan antara pihak yang memiliki modal dan yang
memiliki tenaga kerja.
Pembedaan itu tampak gamblang dalam LCL. Misalnya pada cacat tu
buh Clifford, bukan saja sebagai pemilik (tanah) estat Wragby, tetapi juga
menyiratkan dirinya sebagai pewaris aristokrasi, pemilik modal yang pusat
identitasnya ada pada pemikiran. Sebagai kontras, ada Mellors, yang diper-
kenalkan ke dalam narasi LCL melalui kehadiran tubuhnya secara utuh
yang, walaupun masih tertutup kain di pinggang, ditampilkan memantul-
kan sinar matahari. Selain itu, tidak seperti Clifford yang betapapun ke
hilangan fungsi setengah tubuhnya tetap ditampilkan sebagai tokoh yang

12 Elizabeth Spelman dikutip Mary K. deShazer dalam Suzanne WJones, Writing the
Woman Artist: Essays on Poetics, Politics, and Portraiture (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1991), 284c51.

kalam 22 71
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

memainkan peran penting dalam masyarakatnya, para buruh tambang bam


bara bagi Connie Chatterley tampak haggard, shapeless, and dreary as the coun
tryside ("letih, hilang* benmk, dan hampa sebagaimana daerah pedesaan")
yang sudah "habis" diperah industri kapitalis yang mengolah earth's excre
ments ("kotoran bumi") sehingga menjadi soulless ugliness of the coal-iron
Midlands ("keburukrupaan tanpa jiwa daerah bam bara-besi di Midland")
(LCL, 13). Connie merasa resah karena merasa terpisah dari para buruh
tambang bam bara yang sudah menjadi as objects rather than men, parts ofthe
pits rather than parts of life, crude raw phenomena rather than human beings
("bagai benda bukan orang, bagian dari tambang bukan dari kehidupan,
wujud mentah yang kasar bukan manusia") (LCL, 15). Namun, keterpisah-
an Connie dari mereka yang bekerja dengan mbuhnya, menjadi bagian da
ri Inggris dengan mbuhnya, membuat Connie merasakan empati terhadap
mereka dan patos terhadap dirinya sendiri.
Pada momen semacam ini, kesadaran kelas dan kesadaran tubuh bersen-
tuhan. Kesadaran bahwa kelompok masyarakat tertentu terasingkan dari
kelompok yang lain menyebabkan pula munculnya kesadaran bahwa diri
nya terasingkan dari lingkungan dan bahkan tubuhnya sendiri. Karena im,
misalnya, setelah Connie melihat dan menafsir Mellors sebagai not the stuff
ofbeauty, not even the body ofbeauty, but a lambency, the warm whiteflame ofa
single life, revealing itself in contours that one might touch: a body ("bukan zat
yang indah, bahkan bukan mbuh yang indah, melainkan sebuah gelora, api
putih hangat sebuah kehidupan, menyingkap dirinya melalui garis-garis
permukaan yang dapat disentuh: sesosok mbuh") (LCL, 62). Atau, dengan
kata lain, seorang individu sebagaimana adanya, yang melaluinya ia kemudi
an menyadari kebertubuhan dirinya. Ia kemudian mengamati tubuh telan-
jangnya sendiri dan mendapati:
... a frail, easily hurt, rather pathetic thing a human body is, naked; somehow
a litde unfinished, incomplete! ... going meaningless, going dull and opaque,
so much insignificant substance.
. . . [making] herself immensely depressed and hopeless . . . with no gleam and
sparkle in theflesh .. old through neglect and denial, yes denial.
t

. . . (betapa rentannya, mudah sakitnya, agak mengenaskannya tubuh manusia


ketika telanjang; bagai sedikit belum rampung, tidak utuh! . . . menjadi tanpa
makna, menjadi tumpul dan kabur, zat yang begitu tak berarti.

72 kalam 22
~¥^

AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOJIAL

... [membuat] dirinya amat tertekan danputus asa ... tanpa-cahaya ataupun kedip pa
da tubuh .. menua akibat terl)engkalai dan terabaikan, ya, terabaikan (LCL, 65).
*

Dengan demikian, yang dipandang sebagai kemerosotan sosial mengeja-


wantah juga dalani benmk kerapuhan mbuh. Karena im, dapadah dipaliami
betapa Lawrence memandang bahwa novel yang menyajikan mbuh dan
seksualitas secara gamblang merupakan media penyadaran akan perlunya
perubahan sosial yang mengarah pada usaha memanusiakan kembali manu
sia dari stmkmr sosial yang bersifat menghisap.
Maka, perjumpaan Connie dengan Mellors—dalani pandangan Law
rence, juga Huxley, walaupun tidak seberapa bagi Orwell—merupakan pe-
nemuan kembali hakikat kemanusiaan dan kehidupan, yaim mbuh. Jadi, je
las tampak bahwa yang ingin dikedepankan Lawrence adalah kekuatan in-
dividu, bukan komunal.
Tampak di sini bahwa, dalani pengamatan Auden, mengemukanya tu
buh sebagai sebuah elemen dalani wacana Barat di zaman Lawrence mem
pakan sebuah evolusi dari perkara penting dalam wacana Kristiani Barat,
yaim ketubuhan Krisms yang dijadikan metafora bagi peralihan diskursif
dalani masa pasca-Pencerahan dari teosentrisme ke antroposentrisme. Ma
salah ini tampaknya menjadi lebih berarti dalam wacana liberal borjuis yang
beranjak dominan sebagaimana didokumentasi oleh LCL sendiri, temtama
dalam benmk perubahan Clifford dari Lord Chatterley menjadi pemilik
usaha pertambangan dan Connie dari Lady Chatterley menjadi manusia
bebas.
Moralitas borjuis liberal yang somatofobis di sini jelas, sebagaimana sudah
dipaparkan Orwell dalam novel distopisnya, dikaitkan dengan berkembangnya
sebuah sistem ekonomi yang tujuan utarrianya adalah produksi massal
dengan konsekuensi menjadikan individtialitas btiruli sekadar komponen bagi produksi
demi individualitas pemilik modal. Selain im Auden juga menyiratkan hal yang
dijabarkan secara luas oleh Thorstein Veblen, yaim penempatan kapasitas cogito di
atas pekerjaan fisik—yang secara sinis disebutVeblen sebagai leisure.Ymg diajukan
Lawrence, bukan saja dalam LCL,justru sebalibiya.
Isu tentang kelas tampak jelas disikapi secara, kritis oleh Lawrence. Me
lalui Clifford yang digolongkan kalangan kelas atas, isu perselingkuhan is-
trinya, Connie, memunculkan intrik di tengah ketidakberdayaan Clifford
secara fisik sebagai suami dengan latar belakang status sosialnya yang tinggi.

kalam 22 73
3—'i. *».

ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

Namun, bagaimanapun Clifford tidak digambarkan sepenuhnya mewakili


stams sosial itu, karena, sebagaimana dapat dilihat dari pemaparan narator
dalam novelnya:
Clifford Chatterley ivas more upper-class trian Connie. Connie was well-to-do intelli
gentsia, but he was aristocracy. Not the big sort, but still it ("Clifford Chatterley lebih
kelas-atas daripada Connie. Connie adalah intelektual yang cukup berada, tetapi
[Clifford] termasuk aristokrat. Bukan yang agung,tapi masih termasuk") (LCL,
10). Jadi, yang tampil dalani LCL adalah soal kelas yang
sama sekali. tidak sederhana karena, walaupun tampak ada diskriminasi
dan pemisalian antarkelas, batas-batas kelas itu pun sesungguhnya tidaklah jelas.
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa Lawrence tidak menyajikan
pandangan Marxis yang begitu kentara, tidak seperti misalnya Orwell,
O'Neill, atau Steinbeck. Ia tidak melihat permasalahan ini dari sudut pan
dang kelas pekerja—dalani arti bahwa fokalisator utama bukanlah tokoh
dari kalangan buruh atau the masses. Yang dilakukan Lawrence adalah niisti-
fikasi atas mbuh dan kerja fisik yang disajikan dengan jarak yang amat jauh
dalani narasinya. Connie, bahkan Mellors pun, tersaji lebih sebagai pencinta
alam yang bijak semacam Thoreau yang dengan sengaja memainkan peran
sebagai pihak tertihdas atas kematian sendiri.Tekanan-tekanan kondisi ekor
nomi sebagai basis pun tampak hadir dengan niat yang setengah-setengah.
Dalam kasus TSV, pada 28 Januari 1989,The Islamic Defence Council
atas nama "komunitas muslini Britania" dalam petisinya yang diajukan ke
pada pemilik Penguin Books (Tlie Rushdie File, 64-65) mendaftar beberapa
contoh bagian dari TSV yang dianggap "melecehkan dan menghina de
ngan cara yang kotor sebagaimana diupayakan novel ini" seperti menyebut
Ibrahim sebagai "bastard", Muhammad sebagai Mahound (yang berarti "ib-
lis" atau "nabi palsu"), para sahabat Nabi sebagai "bum" dan "scum", serta
memberi namaJahilia kota yang digambarkan seperti Mekkah.
Namun, penafsiran semacam im merupakan tindakan yang gegabah bila
tidak diiringi dengan penempatan nama-nama tersebut dalam konteks
stmkmr narasinya. Salah satu yang dianggap bersifat menghujat adalah
penggunaan nama Mahound. Syed Shahabuddin menyatakan bahwa "sia-
pa pun yang menguasai bahasa Inggris tentunya tahu bahwa Mahound me
mpakan benmk kuno dari Muhammad, nama Nabi" (The Rushdie File, 39).
Memang benar bahwa nama tersebut diperkenalkan ke dalani tradisi Barat
melalui karya masyhur Dante Alighieri Divina Commedia, yang menggam-

74 kalam 22
-V- - - * -Jg- ••=r-

AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

barkan tokoh Mahound sebagai nabi palsu yang menghuni lapisan neraka
terbawah. Dengan demikian, nama Mahound membangkitkan ingatan pa-
hit bagi umat Islam dalani konteks sejarah konflik Barat dan Islam sejak Pe
rang Salib. Ingatan menjadi semakln menyakitkan dalani konteks sejarah
yang lebih mutakhir, yaim kolonisasi negeri-negeri umat Islam oleh Barat.
Lebih daripada itu, dapat dipahami juga bahwa temtama bagian-bagian
yang menyajikan situasi seksual—baik tersurat maupun tersirat—bukan se
kadar melakukan historisasi atau sekularisasi atas peristiwa-peristiwa yang
dianggap sakral, melainkan juga menyiarkan hal-hal yang dianggap sangat
privat. AH Mazrui mencatat bahwa di kalangan intelektual di Pakistan se-
kitar November 1988 beredar pendapat:

Seakan-akan Rushdie menggubah sebuah syair cemerlang tentang kema-


luan orangtuanya, dan pergi ke pasar serta membacakan syair tersebut sehing
ga bersoraklah klialayak ramai, yang tentunya tertawa mendengar lelucon yang
disampaikannya tentang kelamin orangtuanya, sedangkan ia sendiri mendapat
uang dari melakukan hal itu (Vie Rushdie File, 206).

Tentu, dalani kasus TSV seks bukanlah isu utama. Jika kita manfiatkan
pandangan Deleuze dan Guattari, genre novel yang digunakan memberi
kesan bahwa novel ini menyajikan sebuah rahasia.
Namun, perlu diperhatikan pula cara nama Mahound diperkenalkan
dalam novel ini.

His name: a dream-name, changed by the vision. Pronounced correcdy it


means he-tbr-whom-dianks-should-be-given. but he won't answer to diat here
[penekanan oleh kami sendiri]: nor. diough he's well aware of what they call him,
to his nickname inJahilia down below:—he-who-goes-up-and-down-old-Coney. Here
he is neidier Mahomet nor MoeHammered; has adopted, instead, die demon-tag
the farangis hung around his neck. To turn insults into strengths, whigs, tories,
Blacks all chose to wear with pride the names they were given in scorn; likewise,'
our mountain-climbing, prophet-motivated solitary is to be the medieval baby-
frightener, the Devil's synonym: Mahound. .,

(Namanya: sebuah nama impian, diubah sebuah wangsit. Bila diucapkan


dengan benar, artinya ia-yang-patut-disyukuri, tetapi ia tidak akan menengok

kalam 22 75-
1"

ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

bila dipanggil itu di sini [penekanan oleh kami sendiri]; tidak pula [bila di-
panggil], walaupun ia tahu sebutan orang-orang, nama ejekan Orang-orang di
Jahilia di bawah sana—ia-yang-naik-tumn-Bukit-Kemcut. Di sini ia bukan Ma
homet maupun MoeHammered;'[ia] telah memakai nama baru, embel-embel
setan yang dikalungkan bangsa asing di lehernya. Mengubah hinaan menjadi
kekuatan, partai whig, partai tory, kulit liitam semuanya memutuskan menge-
nakan dengan bangga nama yang diberikan sebagai hinaan; demikian pula, si
pertapa yang suka naik gunung dan penuh ilham itu kelak menjadi tokoh
dongeng zaman pertengahan untuk menakut-nakuti bayi, sinonim iblis:
Mahound).13

Tampak jelas sekali di sini bahwa nama Mahound dipilih secara sengaja
tetapi tidak dengan niat menghina, justru sebafiknya.Yang meniilihnya pun
bukan Rushdie. Yang perlu diperhatikan adalah rujukan bagi kata "here",
yang tidak merujuk kepada tempat ataupun peristiwa historis melainkan
wilayah fiktifyang ada dalam impian Gibreel Farishta dan dalani novel ini
secara umum. Nama ini dipilih sebagai strategi perlawanan "untuk meng
ubah hinaan menjadi kekuatan" sebagaimana yang digunakan kaum kulit
hitam yang menggunakan kata "nigger" dewasa ini justru sebagai tanda ke-
banggaan atas jati diri mereka sebagai sebuah ras yang tertindas. Dengan
demikian, nama yang pada zaman pertengahan digunakan untuk "mena
kut-nakuti bayi, [sebagai] sinonim bagi Iblis" justru digunakan di sini seba
gai alat unmk mendefinisi ulang sebutan yang digunakan kaumfarangi (pi
hak asing) unmk menghina. Hal ini diperkuat dengan menyejajarkan peng-
hinaan yang digunakan tradisi Barat sejak zaman pertengahan dengan
pengejekan warga kota Jahilia (Mekah di zaman Jahihyah) terhadap tokoh
Mahound dalani kisah ini.
Sesungguhnya, seluruh novel ini nienggunakan strategi yang serupa de
ngan memanfaatkan genre magic realism, yang berfungsi sebagai mimik (da
lam pengerrian yang digunakan Homi K. Bhabha.14 Namun, masalahnya
adalah dalani kelaziman sastra sebagai resistensi (baik im yang berpandang-
an pascakolonial maupun feminis) yang dimimik (dalam arti meniru sekali
gus mengejek) adalah pihak yang berkuasa.Jadi, ragam magic realism ini ber-

13 Salman Rushdie, The Satanic Verses (London: Penguin, 1988), 93.


14 Homi K. Bhabha, The Location ofCulture (London: Roudedge, 1994).

76 kalam 22
• ' AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

fungsi sebagai satire. Dalam hal TSl^yang menjadi sasaran adalah para pe-
nguasa pascakolonial zalim di negara-negara niuslim, terutama Pakistan. Di
sini-lah masalahnya. Novel ini berada di wilayah antara, yaitu ruang yang
berkitaran antara penjajah dan terjajah, imperium dan koloni, beradab dan
biadab, Barat dan Timur-Islam. Perlu dicatat pula bahwa ruang liminal ini
merupakan bidang miring yang condong ke kutub yang memiliki gravitasi
lebih besar: Barat. Kecenderungan ini pun sesungguhnya tidak terelakkan
mengingat bahwa novel ini dituiis oleh seseorang yang dikenal sebagai to
koh advokasi hak imigrah di Inggris dalam bahasa Inggris—artinya, unmk
khalayak Inggris. Dalam keadaan seperti im, si subyek pascakolonial, baik
itu Rushdie maupun Farishta, mengalami semacam skizofrenia.
Penyakit psikologis-politis yang menempatkan seseorang dalani sebuah
wilayah liminal lazimnya diderita oleh subyek kelas menengah dalani waca
na pascakolonial. Dengan asumsi bahwa sebuah identitas bukanlah sebuah
entitas yang esensial secara a priori dan karena itu utuh, maka pelbagai sifat
yang ada padanya pun tidak berkaitan secara esensial melainkan secara in-
sidental dan sirkumstansial. Dengan demikian, si subyek dapat memiliki ci-
ri-ciri tambahan dari kutub-kutub yang berbeda, yang tumpang tindih se
hingga menciptakan ruang liminal tersebut.
TSV merupakan narasi yang, betapapun fiktifhya, mengandung ciri-ciri
yang sangat gampang dikecam dan rentan dimduh ofensif. Pertama, novel
ini berkesan amat gamblang dan tanpa malu-malu menyajikan keraguan
akan hal yang lazim dianggap sakral. Lebih dari itu pula, ia nienggunakan
gaya bahasa yang humoris sehingga berkesan menertawakan. Sebagaimana
yang dikatakan Rushdie sendiri, salah satu tenia utama novel ini adalah
"agama dan fanatisme," dan dengan demikian, tenia keraguan menjadi
penting. Karena fanatisme religius menganggap iman sebagai sesuatu yang
taken for granted, novel ini menawarkan (TSV, 92):

Question: What is the opposite of faith?


Not disbelief. Too final, certain, closed. Itself a kind of belief. •
Doubt.

(Pertanyaan: Apa lawan kata iman?


Bukan tidak percaya. Terlalu final, pasti, tertutup. Ia sendiri semacam
kepercayaan.
Keraguan.)

kalam 22 77
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG

Tokoh-tokoh utama dalani novel ini—Gibreel Farishta, Mahound—


tampak bergelut dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap be
nar. Meski demikian,jnereka juga bergelut dengan keraguan akan hal yang
dipercayai sebagai semacam alat uji-atas kepercayaan tersebut.
Kedua, ia menyajikannya dalani bahasa pihak yang selama ini melancar-
kan politik subprdinasi dan penghinaan kultural sehingga penggamblangan
kembali penghinaan tersebut seakan mengingatkan pada kondisi yang hen
dak dilupakan. Sesungguhnya, ada bebarapa ciri naratif dari novel ini yang
menghindar dari rujukan' ke kenyataan. Pertama, ia disajikan dalam ragam
magic realism yang jelas menyajikan gambaran dunia yang dibelokkan
sehingga berbeda dari kenyataan. Rushdie sendiri, dalam sebuah wawan
cara dengan Madhu Jain dalam surat kabar India Today, 15 September 1988,
mengatakan bahwa ia secara sengaja bemsaha memberi jarak bagi "peris
tiwa [dalam novel] dari peristiwa historis. Beberapa isu sedang diangkat:
masalahnya bukan benar tidaknya peristiwa [yang dikisahkan] secara his
toris" (The Rushdie File, 32). Memang fiksi, atau sastra pada umumnya, tidak
menyajikan kebenaran—dalam arti memiliki hubungan langsung dengan
kenyataan material—melainkan kebenaran secara abstrak. Pada awal salah
sam paragraf dalam bab pertama TSV dikatakan: Once upon a time—it was
and it was not so, as the old stories to say, it happened and it never did—
maybe then, or maybe not . . . ("Pada suatu ketika—demikian adanya dan bukan
demikian adanya, sebagaimana yang dikatakan dongeng-dongeng lama, itu
terjadi dan tidak pernah terjadi—mungkin demikian, atau mungkin tidak ...").
Kutipan im menunjukkan bahwa, dalam fiksi, terjadi atau tidaknya suam
peristiwa yang disajikan dalam narasinya bukanlali isu utama. Tampaknya
inilah dilenia yang senantiasa hadir dalani tradisi Barat dalani menghadapi
teks, mungkin sejak Renaisans atau setidaknya sejak Pencerahan: ketika
berlangsung pergeseran menuju wilayah diskursif yang disebut "moderni-
tas", saat diciptakan pembedaan antara teks yang fiksional dan yang faktual.
Dengan demikian, ketidakjelasan dan ketidakstabilan menjadi semacam
atmosfer yang menghidupinya.
Sebagaimana sudah kita lihat, kontroversi dan penyensoran yang terjadi
di sekitar LCL dan kisah di dalam serta struktur pengisahan yang tampak
pada teksnya menunjukkan bahwa karya tersebut munctil di tengah ambi
guitas makna dan ambivalensi nilai sebagai efek dari negosiasi yang harus
terjadi dalam pergeseran tersebut. TSV dapat dilihat sebagai kelanjutan dari

78 kalam 22
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL

kerumitan yang melandasi dan melingkungi LCL, sebagaimana bentuk dan


perkembangan kapitalisme serta kebangkitan kaum borjuis-liberal menjadi
pendahulu bagi terciptanya tata politik ekonomi kolonial dan pascakolonial
dunia dewasa ini. Dalam kasus TSV, baik secara tekstual maupun konteks-
tual, kita dapat nienyimak betapa sentimen pasca-Pencerahan dengan mitos
hunianis universalnya hams berhadapan dengan realitas sosial duniawi yang
tidak selalu berkembang sejalan dalani kisi-kisi grand narrative-nya.
Selain itu, kita juga melihat bahwa di tengah kegaduhan tentang kebe-
basan individu, hegemoni kolektif, dan beban masa lalu im, penerbit sema
cam Penguin berseniayam sunyi dan tenang. Pertanyaannya: apakah pener
bit semacam Penguin dalam transisi peradaban dunia ini merupakan ken-
daraan bagi wacana humanis pasca-Pencerahan; ataukah justru wacana ter
sebut merupakan efek suprastruktural dari sebuah perusahaan jual-beli
bundelan kertas yang jika ditanya mengapa menerbitkan karya yang pasti
menyebabkan kontroversi dan protes, ia dapat dengan tenang menjawab,
"Namanya juga usaha—business is business"

79
kalam 22
~=-n r. r—

"

C/Wr-T7"o<r
_jl. _*• s-—•.. s ._ r 2i—;—g ; y^- • k

« »

INTAN PARAMADITHA

GENDER DAN "ASIA"


Shanghai Baby dan Andrew and Joey

EDWARD Said pernah melakukan telaah terhadap karya-karya sastra


kanon Barat dan menyimpulkan bahwa di dalamnya kerap muncul
pencitraan dunia Timur yang sesungguhnya dikonstruksi oleh Barat. Re-
presentasi Timur yang penuh dengan stereotipe negatif—pasif, irasional,
terbelakang—digunakan oleh Barat untuk memandang dirinya sendiri di
kutub yang berseberangan—aktif, rasional, progresif.
Akan tetapi, era modern menyaksikan kemajuan teknologi yang
menciptakan budaya global dan meruntuhkan batas-batas negara. Batas-
an antara Barat dan Timur pun mengabur. Kini wajah kota-kota besar
di Timur tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar di Barat baik dari
segi fisik maupun nilai-nilai. Dalam Shanghai Baby karya Wei Hui,2 kita
melihat wajah Shanghai sebagai kota kosmopolitan tempat nilai-nilai
Barat dan Timur bertunipang tindih. Sementara itu, Bali, seperti yang
digambarkan oleh Jamie James dalam Andrew and Joey,3 merupakan
tempat yang tidak saja eksotis, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai yang
lebih longgar, termasuk terhadap fenomena h6moseksualitas. Kaburnya
garis batas antara Barat dan Timur mengakibatkan hubungan-hubung-
an antara kedua kutub ini menjadi lebih kompleks. Dengan latar bela-
kang abad ke-21 yang serbamodern dan global, saya mencoba melihat
hubungan-hubungan Timur dan Barat yang diangkat dalam kedua

1 Lihat Edward W. Said, Orientalism (New York: Random House, 1978). Selanjutnya
dituiis Orientalism.
2 Wei Hui, Shanghai Baby, penerjemah Bruce Humes (New York: Washington Square
Press, 2001).
3 Jamie James, Andrew andJoey (NewYorkThe Lontar Foundation, 2002).

kalam 22 81
^ - ' - - - : -i •-- ^ •-. -L

INTAN PARAMADITHA

novel itu, serta mengungkapkan bagaimana gender memaknai hubung


an kekuasaan di antara keduanya.
Said menyebutkan bahwa Timur dihubungkan dengan femininitas da
lam imajinasi Barat. Namun, menurut beberapa kririkusnya, Said kurang
membeberkan bagaimana gender bekerja dalam hubungan kekuasaan, se
perti ketika'ia melakukan telaah atas suam adegan dalani novel Gustave
Flaubert, Madame Bovary:

Pertemuan Flaubert dengan selir dari Mesir menciptakan model perem


puan Timur yang berpengaruh luas; ia tidak pernah bicara untuk dirinya sen
diri; ia tidak pernah menunjukkan emosi, keberadaan, dan sejarahnya. Ia
(Flaubert—pen.) yang bicara dan mewakilinya . . . Ini menunjukkan pola
hubungan kekuasaan antara Timur dan Barat, dan wacana tentangTimur yang
ditimbulkannya (Orientalism, 6).

Di sini Said hanya menunjukkan bahwa Timur disimbolkan oleh pe


rempuan Timur (Mesir) yang selalu diwakili dan tidak pernah bicara ten
tang dirinya. Yang aktif justru tokoh laki-laki Barat, yang selalu berbicara
atas nama si perempuan Timur tersebut. Said sudah menyumbangkan pe-
mikirannya tentang Barat yang selalu berbicara tentang Timur, sedangkan
Timur tidak pernah bicara tentang dirinya sendiri. Namun, menumt Sara
Ahmed, salah seorang pengkritik Said, Orientalism mengabaikan cara gen
der menentukan hubungan antara Timur dan Barat—bahwa dalam kasus
Madame Bovary, yang berbicara adalah laki-laki dan yang diwakili adalah
perempuan.4 Menurut Ahmed, tidak cukup mengatakan bahwa Timur
bertalian dengan yang feminin. Yang hams dilakukan adalah menelaah ba
gaimana Orientalisme dan gender bekerja dalam hubungan kekuasaan yang
bertunipang tindih.
Sehubungan dengan hal im, sekelompok kritikus dalam bidang pasca-
kolonialisme secara khusus menyoroti kesamaan antara dominasi seksual
dengan dominasi politik. Anne McClintock, misalnya, menyebutkan bahwa
maskulinitas penguasa diwujudkan melalui simbol feminin wilayah yang
ditaklukkan: "Maskulinitas negara dinyatakan dalam feminisasi simbolis wi-

4 Tess Cosslett, et al., ed., Women, Power and Resistance: An Introduction to Women's Studies
(Philadelphia: Open University Press, 1996), 139.
r,j kalam 22
GENDER DAN "ASIA"

layah yang terkalahkan, dan melalui erotisasi narasi kolonial tentang pene-
muan)."5 Sementara itu.Ashis Nandy6 mengungkapkan:

Kolonialisme juga sejalan dengan stereotipe seksual Barat yang ada dan fal-
safah hidup yang diwakilinya. Ini menghasilkan konsensus budaya yang me
nempatkan dominasi politik dan sosio-ekonomi laki-laki dan maskulinitas di
atas perempuan dan femininitas.

Kolonialisme berjalan seiring dengan stereotipe Barat mengenai laki-la


ki dan perempuan. Sistem gender yang menempatkan laki-laki sebagai
makhluk yang bersifat maskulin (aktif, heroik) dan perempuan yang bersi
fat feminin (pasif, pasrah) dalam kolonialisme ternyata digunakan untuk
inenenmkan siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Karena itu, dalani
hubungan Barat dan Timur, Barat selalu dikaitkan dengan sifat-sifat masku
lin yang mendominasi dan bahkan menginvasi Timur yang diberi sifat fe
minin. Tulisan ini akan membahas bagaimana gender bermain dalam hu
bungan tersebut di Asia era pascakolonialisme.

Bali: Utopia abad ke-21


Andrew and Joey sangat menarik karena aroma era milenium yang di-
hembuskannya. Buku ini berkisah tentang percintaan pasangan homoseks-
ual dalam benmk kumpulan surat elektronik atau e-mail. Penggunaan surat
sebagai media pengungkap cerita bukanlali hal yang asing. Dalam sebuah
jumpa pengarang di Universitas Indonesia pada 21 Maret 2003, Jamie
James sendiri pernah menyebutkan bahwa ia terinspirasi oleh novel Pamela
karya Samuel Richardson (1740), yang memprakarsai teknik penceritaan
melalui surat. Akan tetapi, benmk e-mail—bukan surat biasa—yang diguna
kan James menunjukkan kentalnya# modernitas novel ini karena e-mail bam
populer pada akhir tahun 1990-an.
Novel ini berkisah tentang Joey Breaux, seorang koreografer dari New
York yang mendapatkan beasiswa unmk belajar dan mengerjakan proyek

5 Gandhi, Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction (New South Wales:
Allen & Unwin, 1998), 98
6 Ashis Nandy, The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism (New
Delhi: Oxford University Press, 1983), 100.

kalam 22 83
. e .._ '^"

INTAN PARAMADITHA

tari di BaH. Ia pun membawa serta kekasih Amerikanya yang ketumnan


Cina,AndrewTan. Mereka merasa telah terikat"perkawinan" selama 14 ta
hun dengan restu dari teman-teman dan keluarga, meskipun pada awalnya
hubungan mereka im ditentang. Namun, hubungan langgeng itu retak saat
Joey berselingkuh dengan partner tarinya,Wayan, lelaki Bali yang baru me-
ninggalkan mass remaja. Andrew yang patah hati kembah ke Amerika, se
dangkan Joey sibuk menata Elegy for Walter Spies—tari yang mengangkat
kisah cinta antara seniman Jerman Walter Spies dan lelaki muda Bah keka-
sihnya—dengan dirinya danWayan sebagai pemeran utama.
Penggunaan e-mail sebagai teknik bercerita tidak berarti bahwa novel ini
kehilangan penggambaran latar belakang. Melalui penuturan tokoh-tokoh-
nya, terutama Andrew dan Joey, Pulau Dewata pada abad ke-21 digambar
kan sebagai surga eksotis dengan kecantikan membius. Saat Andrew dan
Joey tiba di Bali, mereka sempat singgah di sebuah bungalo di Ubud yang
pernah mereka tempati sebelumnya. Andrew menyebutkan tempat im se
bagai the most gorgeous, romantic place on earth (tempat paling cantik dan ro-
inantis di bumi) (29). Joey, yang sangat mencintai BaH bahkan lebih
daripada Andrew, senantiasa melukiskan Pulau Dewata lewat kata-kata
puitis yang terkesan berlebihan. Kepada Phillip, sahabat yang selalu
mendengarkan ceritanyajoey mengirim e-mail berisi kegilaannya pada Bali:

I LOVE Bali. I love everything about it. I love the land and the sea and the
sky. I love the men and the women. I love the clear honest gaze of the chil
dren, the fiery candor of the food, the majestic temples, the hundred high-fly
ing kites that twinkle in the last rays of the setting sun every evening. The of
ferings they make to the gods, litde bamboo trays with flowers and rice and
silver coins and incense, are exquisite works of art. But most of all, I ADORE
Balinese dance.

(Aku MENCINTAI Bah. Aku mencintai segalanya tentang Bali. Aku cinta
tanah dan laut serta langitnya. Aku cinta laki-laki dan perempuannya. Aku cin
ta tatapan jujur anak-anak, makanan yang pedas, kuil yang agung, ratusan la-
yang-layang beterbangan yang gemerlapan di penghujung sinar matahari ter-
benam setiap malam. Sesajen yang mereka siapkan untuk para dewa—kotak
bambu kecil dengan bunga dan beras dan koin perak dan dupa—adalah karya
seni yang indah. Namun, lebih dari semuanya, aku MENGAGUMI tari Bali) (50).

84 kalam 22
== 7^~- — =Z —n—• ; • w-

GENDER DAN "ASIA"

Kata-kata seperti "kuil yang agung" dan "ramsan layang-layang beter-


bangan yang bcrsinar gemerlapan di penghujung sinar matahari terbenam"
adalah pujian hiperbola seperti dalam niajalah-majalah pariwisata. Di sini
dapat kita lihat bagaimana pada era'modern BaH dianggap sebagai keindah-
an yang langka.
Ritual-ritual-di BaH pun digambarkan sebagai suam sistem unik yang
sulit dimengerti bila diHhat dari kacamata Barat. Bob Blankenship memak-
nai tarian di BaH begini:

The Balinese don't really consider what they do here "dance," in the sense
that we do. It's not art for art's sake; it always fulfills a ritual function . . . The
BaHnese spend halfdieir money and most of their time on the religion, and
dance is at the very essence of the whole system. It's incredibly compHcated:
after twelve years here, I still don't understand it at all.

(Orang Bali tidak terlalu menganggap apa yang mereka lakukan di sini se
bagai "tarian" seperti kita. Tarian bukan seni atas nama seni; ia selalu memiHki
fungsi ritual ... Orang BaH menghabiskan setengah uang mereka dan sebagi
an besar waktu mereka untuk agama, dan tarian adalah esensi dari keseluruh
an sistem. Ini benar-benar rumit: sesudah dua belas tahun di sini, aku masih
belum memahaminya sama sekali) (12).

Dapat kita Hhat bahwa eksotisme terletak pada jarak yang tercipta antara
budaya BaH dan budaya Barat. BaH adalah sebuah wilayah yang suHt dipa-
hami jika kita menggunakan nilai-nilai Barat. Andrew andfoey, dengan de
mikian, menganggap BaH sebagai surga dengan nilai-nilainya tersendiri pa
da era modern.
Selain eksotis, BaH juga digambarkan sebagai pulau impian tempat sega
la fantasi dapat terwujud. Ke situlah Joey mendapatkan dana yang cukup
besar dari sponsor untuk studinya dan niembeH segala kemewahan di In
donesia, bertemu dengan Wayan yang muda dan tampan, serta mendapat
kan pujian selangit atas karyanya. BaH dapat diibaratkan sebagai "impian te
ngah musim" karena tenia eskapisme yang ditawarkannya: Vie aura ofsex
was so thick you could almost smell it. Viere was aguy there selling pot, Viagra, and
poppers . . . a complete kit! (Aura seks benar-benar kental, kau bahkan nyaris
bisa menciumnya.Ada pria di sana menjual ganja,Viagra, dan obat-obatan .

kalam 22 85
«•-••* - - .-• -~-—= ; '~7~^—=

INTAN PARAMADITHA

. . paket komplit!)(46). Alam yang indah, gemerlapnya kehidupan malam


kaum gay, aura seks yang pekat, viagra, serta mariyuana menjadikan BaH
tempat pelarian fantastis yang jauh berbeda dari hiruk-pikuknya dunia Ba
rat yang selama ini dikenal tokoh-tokohnya. Tak heran bila BaH ditampil
kan secara eksotis, erotis, romantis, mistis—kata-kata sifat yang mengacu
kepada pengga'mbaran Timur secara tradisional—hingga tercipta tampilan
yang kontras dengan latar era milenium yang serba praktis, rasional, dan realistis.
Meskipun demikian, tpada saat yang sama, novel ini terus-menerus
mengingatkan pembaca bahwa BaH bukanlah suatu negeri antah-berantah.
Ia tetap ada pada masa sekarang, tetapi menjadi Utopia, tempat segala hal in
dah dan nyaris mustahil bisa terjadi. Hal yang paling mengingatkan kita
akan modernitas, selain e-mail, adalah tema homoseksual. BaH sebagai per-
wakilan dunia Timur digambarkan tidak penuh kekangan, melainkan pe
nuh kebebasan. Andrew cukup terkejut melihat banyaknya lelaki kulit pu-
tih pamh baya yang menggandeng lelaki Indonesia muda dan tampan. Joey
juga mehhat hal yang sama. Meskipun warga Bali terkenal reHgius, Joey te
tap meHhat para lelaki yang saling bergandengan tangan dan berpangku-
pangkuan: The boys are always holding hands and sitting in each other's lap; you
never see them with girls. There was a whole corps of rice queen at the party, either
short and pudgy or tall and skinny, with really cute young Indonesian guys . . .
("Kau tidak pernah melihat mereka dengan perempuan. Ada sekelompok
rice queen [lelaki homoseksual] di pesta, baik pendek dan gemuk atau tinggi
dan kurus, dengan pemuda Indonesia yang benar-benar manis .. .")(36).
Dalam pesta-pesta yang dikunjungi Andrew dan Joey, selalu ada saja rice
queen berkulit putih yang datang bersama lelaki muda Indonesia. Salah satu
pusat berkunipuHiya kaum homoseksual yang diceritakan dalam novel ini
adalah Cafe Luna. Melalui surat Andrew kepada kakaknya tentang kafe ini,
terHhat bagaimana BaH selalu menjadi pelarian kaum homoseksual Indone
sia yang sesungguhnya tidak memiliki banyak pilihan:

It seems that if you're gay in this country, your choice is either to go to


Jakarta or Bali and hang out with the gay foreigners, or else stay in your vil
lage and become a professional band, as they call homosexuals here. Bands
dress like women and their main job, traditionally, is to work as styksts for the
brides in the village. Seriously. So the gay boys who aren't into cosmetology
either go to Jakarta or come to Cafe Luna.

86 kalam 22
-jrr rjr;

GENDER DAN "ASIA"

(Sepertinya jika kau seorang homoseksual di negeri ini, pilihanmu hanya pergi
ke Jakarta atau Bali dan bergaul dengan kaum'homoseksual asing, atau tinggal di
desamu dan menjadi band profesional,julukan untuk homoseks di sini. Band ber-
pakaian seperti perempuan dan pekerjaan mereka, secara tradisional, adalah bekerja
sebagai perias pengantin di kampung. Serius.Jadi laki-laki homo yang tidak tertarik
pada kosmetika akan pergi keJakarta atau datang ke Cafe Luna) (45).

Di sini terungkap stereotipe homoseksual di Indonesia yang sangat tra


disional, yaitu selalu berp'rofesi sebagai banci perias pengantin. Jika seorang
homoseksual tidak ingin terjebak dalam pekerjaan kHse tersebut, ia hams
pergi ke Jakarta atau Bali. Dua tempat ini dipilih karena dianggap sebagai
lokasi yang toleran terhadap nilai-nilai Hberal. Bahkan, sejak zaman Walter
Spies pada tahun 1930-an, masyarakat BaH sudah digambarkan sebagai ma
syarakat yang terbuka. Dalam salah sam e-mail-nya, Joey mengirimkan se
buah artikel tentang Spies (yang uniknya benar-benar dituiis oleh Jamie
James untuk The Atlantic Monthly, 1999). Saat Spies ditahan karena dianggap
meiecehkan anak lelaki di bawah timur (yang sesungguhnya kekasihnya),
orang tua si anak justru membela Spies: He's our bestfriend, and it was an ho
norfor my son to be in his company. If both are in agreement, whyfuss? ("Ia te-
man baik kami, dan adalah sam kehormatan bagi anak saya untuk men-
dampinginya. Jika keduanya setuju, mengapa hams dipermasalahkan?")
(103). Saat pemerintah kolonial menganggap hubungan homoseksual Spies
dengan anak im sebagai sesuatu yang tidak pantas, masyarakat BaH justru
menunjukkan simpatinya.
Secara singkat, novel ini mengangkat eksotisme BaH secara berlebihan
sekaHgus terus mengingatkan pembaca bahwa BaH juga tidak terlepas dari
modernitas. Dari sini kemudian muncul hal-hal kontradiktif dalam peng-
gambaran BaH sebagai Utopia. Di sam sisi, Bali digambarkan secara sangat
romantis, tetapi di sisi lain ada keinginan untuk mengungkapkan bahwa
BaH hanyalah sebuah tempat di bumi yang tidak sempurna. Ini ditunjukkan
dengan adanya tokoh Philip, yang selalu mengingatkan Joey agar tidak ter-
bawa fantasi: Everything that you've known all your life until two months ago is
total shit. After you know a bit more about the Balinese, I'm sure you'll have afew
complaints about them, too ("Segalanya yang kau ketahui dalam hidupmu
sampai dua bulan yang lalu adalah omong kosong besar. Setelah kau tahu
lebih banyak tentang orang BaH, aku yakin kau juga akan mengeluh ten-

kalam 22 87
INTAN PARAMADITHA

tang mereka") (54). DuaHsme penggambaran BaH menunjukkan ideologi


buku ini, yang sesungguhnya meHhat BaH sebagai sesuatu yang nyata, tetapi
keberadaannya tidak lebih daripada sekadar sebuah Utopia di mata pemuja-
pemujanya. .

Shanghai: persimpangan Timur dan Barat


Dalani Shanghai Baby, Wei Hui memotret Shanghai sebagai sebuah kota
metropoHtan tempat bertemunya budaya Timur dan Barat. Tidak seperti
Andrew andJoey, yang lebih banyak menyoroti sisi BaH tradisional, novel ini
mengangkat masalah transisi budaya menuju westernisasi dengan sangat
gamblang dan bahkan provokatif. Kontroversi buku ini terletak pada ada
nya posisi tarik-menarik antara tradisi dan modernitas. Di sam sisi, fakta
bahwa Shanghai Baby dibakar oleh pemerintah Cina pada 1999 dapat diba-
ca sebagai perlawanan terhadap kentaHiya budaya Barat yang mewarnai bu
ku ini dan kota Shanghai. Menurut The People's Daily, sebuah media di Ci
na, Shanghai Baby menyodorkan pornografi dan degradasi moral, serta ter-
pisah dari "fondasi kokoh penulisan kreatifCina dan iatar belakang sejarah
dan budaya sastra Cina yang kaya".7 Namun, di sisi lain, pembakaran im
justru menjadikan Wei Hui selebriti dan Shanghai Baby international bestseller.
Ini menunjukkan bahwa bctapapun besar kekuasaan pemerintah Cina
yang konvensional, arus modernitas tetap tak bisa dicegah. Serupa dengan
posisi buku ini, yang justru kukuh karena adanya ketegangan antara tradisi
dan modernitas, tenia yang diangkat di dalamiiya juga menunjukkan bagai
mana dua kubu mi saHng mengisi, melengkapi, dan berlawanan.
Shanghai Baby mengisahkan perempuan muda bernania Coco, yang
berambisi menjadi penulis. Ia sangat mencintai kekasihnya, Tian Tian. seo
rang seniman impoten. Coco banyak bergaul dengan kaum yuppies Shang
hai dan menghadiri berbagai pesta maupun acara di tempat-tempat kelas
atas. Dalam salah sam ajang pergaulannya, Coco bertemu dengan Mark, se
orang lelaki Jerman berkarier sukses, dan mulai menjalin hubungan gelap
dengannya. Dengan latar Shanghai abad ke-21, cerita pun berpusat pada
hubungan Coco dan kedua pria dalam hidupnya: Tian Tian yang dicintai-
nya, tetapi tidak dapat memberikannya kepuasan seks, serta Mark yang—

7 John Sheng, "Afterthoughts on the Banning of Shanghai Baby", www.oycf.org/Per-


spectives/8_103100/Contents.hnnl

88 kalam 22
t-v

GENDER DAN "ASIA"

sebaliknya-^angat bisa memuaskannya, tetapi tidak dapat memberikan hu


bungan yang dalam.
Sejak awal, kota Shanghai dalam buku ini sudah digambarkan sebagai
kota yang mendua: Amysticalfog envelops the city, mixed with continual rumors
and an air ofsuperiority, ahangoverfrom the time ofthe shiH yangchang, thefor
eign concession ("Kabut mistis memagut kota, berbaur dengan rumor yang
tak kunjung habis dan sentuhan superioritas, sisa-sisa dan masa shili yang
chang, saat masuknya Barat") (1). Mistisisme Timur melekat pada kota
Shanghai, tetapi pada saat yang sama bercampur dengan atmosfer superior
yang dibawa sejak masuknya pengaruh Barat. Di bagian lam, Wei Hui
menggambarkan secara lebih jelas bagaimana Timur dan Barat melengkapi
wajah Shanghai modern:
I should write about turn-of the-century Shanghai. Tins fun-lovmg city:
the bubbles ofhappiness that rise from it, the new generation it has nurtured,
and the vulgar, sentimental, and mysterious atmosphere to be found in its
back streets and alleys. This is aunique Asian aty. Since the 1930s it has pre
served aculture where China and the West met intimately and evolved to
gether, and now it has entered its second wave of westernization. Tian Tian
once used the English term post-colonial to describe it.
(Aku hams menulis tentang Shanghai di penghujung abad. Kota yang ce-
na im: gelembung-gelembung kebahagiaan yang lahir darinya, generasi baru
yang ia besarkan, dan atmosfer vulgar, sentimental, dan misterms di jalan-jalan
belakang dan lorong-lorongnya. Inilah kota Asia yang unik. Sejak 1930-an ia
telah memekhara budaya Cina dan Barat yang bertemu secara mum dan ber-
jalan bersamaan, dan kmi ia sudah memasuki westernisasi gelombang kedua.
Tian Tian pernah menggunakan istilah bahasa Inggris pascakolonial untuk
menggambarkannya.) (25).
Sejak 1930-an, telah terjadi perpaduan budaya Cina dengan Barat di
Shanghai Kota ini masih menyimpan atmosfer Oriental yang "mistenus
dan sentimental", terutama di jalan-jalan dan gang-gang kecilnya. Namun,
tidak dapat dimungkin bahwa Shanghai sudah sangat "internasional' dan
saat ini sudah memasuki gelombang kedua pengaruh westermsasi.
Novel ini menampilkan bagaimana OrientaHsme menjadi sesuam yang
eksotis dan bahkan bemsaha dibangkitkan kembaH. Generasi muda Shang-

89
kalam 22
INTAN PARAMADITHA

hai meHhat pesona Shanghai masa lalu sebagai sesuatu yang unik. Mereka
banyak membuat pesta dan kostum bertema retro, yaitu kembali ke Shang
hai era 1930-an: »

Madonna invited me to a retro theme party called Return to Avenue


Joffre on the top floor of the high-rise at the corner of Huaihai and Yandang
Roads. Avenue Joffre inn the 1930s, Huaihai Road today, the boulevard has
long symbolized Shanghai's old dreams. In today fin-de-siecle, post-colonial
mindset, this boulevard—and the bygone era of the reveaHng traditional dress,
the qipao, calendar girl posters, rickshaws, and jazz bands—is fashionable
again, like a bow knotted over Shanghai's nostalgic heart.

(Madonna mengundangku ke sebuah pesta bertema retro bertajuk Return


to Avenue Joffre di lantai atas gedung tinggi di antara Jalan Huaihai dan Yan
dang. Avenue Joffre di tahun 1930-an,Jalan Huaihai masa kini, menyimbolkan
mimpi-mimpi masa lalu Shanghai. Dalam fin-de-siecle masa kini, cara pandang
pascakolonial, bulevar ini—dan masa lalu berupa gaun tradisional, qipao, pos
ter-poster perempuan dalam (calender, rickshaw, dan band jazz—menjadi fash
ionable kembaH ...) (27).

Dalani pesta Return to Avenue Joffre, kaum muda ingin membangkitkan


kembali Avenue Joffre, pusat hiburan nialam yang menyimbolkan "mimpi-
mimpi lama Shanghai". Suasana penuh nostalgia dibangkitkan dengan
gaun tradisional, qipao, rickshaw yang kembali menjadi mode.
Di sini Wei Hui meHhat perpaduan Timur-Barat sebagai sesuam yang
intim dan hadir secara bersama-sama, tetapi kemudian ia juga nienggam-
barkan bahwa kedua budaya itu tidak selalu akur. Shanghai tradisional hadir
sebagai masa lalu yang penuh pesona, tetapi dianggap tidak lebih penting
daripada sekadar mode. Tokoh-tokoh yang menjalani kehidupan di Shang
hai sudah sangat Barat dengan pola pikir mereka yang materialistis, kon-
sumtif, dan riiudah berganti-ganti pasangan. Shanghai tradisional yang sebe-
narnya hadir dalam benmk kehidupan di suam wilayah yang berisi orang-
orang Shanghai yang sudah kuno (The Old Shanghainese), tidak memiliki
banyak uang, dan menjalani rutinitas yang sama dari hari ke hari.
Everyone in that district share a warmheartedness unique to the older
Shanghainese. Almost none of them have any money to speak of. These laid-
off housewives arrange their daily lives meticulously. Small, air-dried fish and

90 kalam 22
' r

GENDER DAN "ASIA"


<

pickled turnips hand from the kitchen window, and smoke from a coal stove
drifts over from time to time. Kids in green school uniforms and red bandan
nas play every-poptilar war games. Old people gather in a corner of the small
park playing Big Ghost (a card game played between two teams of three), the
wind occasionally ruffling their snowy beards.
To the majority of older Shanghainese, this kind of neighborhood is what
they know best, and it has a nostalgic air. To the new generation, it's a place
that's been rejected and,will eventually be replaced, a lowly corner devoid of
hope.

(Semua orang di wilayah ini memiHki kehangatan yang khas orang-orang


tua Shanghai. Hampir semuanya tidak memiliki uang untuk dibicarakan. Para
ibu rumah tangga meijgatur hidupnya dengan hati-hati. Ikan asin kecil dan
acar dijemur di jendela dapur, dan asap dari tungku membubung setiap saat.
Anak-anak berseragam sekolah hijau dan bandana merah bermain perang-pe-
rangan. Orang-orang tua berkumpul di sudut taman kecil bermain Hantu Be
sar [permainan kartu yang melibatkan dua atau tiga rim], angin terkadang
menggoyangkan janggut putih mereka.
Bagi mayoritas orang tua Shanghai, Hngkungan seperti inilah yang mereka
kenal dengan baik, dan hngkungan ini memiliki sentuhan nostalgia. Bagi ge
nerasi baru, inilah tempat yang ditolak dan pada akhirnya akan segera digan-
tikan, sudut kumuh tanpa harapan) (56).

Kesan modern nyaris tidak ada dalam potret kehidupan Shanghai kuno
yang biasanya terdapat di gang-gang kecil itu. Gambaran ikan yang dike-
ringkan dan asap dari tungku tradisional terasa sangat kontras dengan
Shanghai yang gemerlapan. Orang-orang di dalamnya menjalani rutinitas
yang tidak sesuai dengan irama kota yang serba cepat, seperti dengan ber
main kartu di taman. Bagi masyarakat Shanghai yang sudah ma, Hngkungan
seperti ini merupakan nostalgia masa lalu. Namun, bagi generasi baru, tem
pat ini hanyalah sebuah sudut kota yang ditolak dan akan segera punah.
Dalam pesta-pesta di klub atau diskotek (latar hiburan malam terus-
menerus muncul dalani keseluruhan cerita, menonjolkan sifat kosmo
politan Shanghai), selalu ada orang asing dan rorang Cina asli yang ber-
interaksi. Namun, jika kita perhatikan, selalu ada hierarki kekuasaan di
dalamnya. Suatu pusat hiburan malam, misalnya, digambarkan sebagai
berikut:

kalam 22 91
INTAN PARAMADITHA

There were plenty of fair-haired foreigners, and lots of Chinese women


their tiny waistlines and silky black hair their'selling points. They all had a
sluttish, self-promoting expression on their faces, but mfact agood many of
them worked for multinational companies... some were also prostitutes who
specialized in the international market. They often wear their hair mcredibly
long (the better' for the foreign devil to admire his Asian woman's magical
hair when she's pressed close beneath him and his in sexual ecstasy).
(Ada banyak orang asing berambut pirang, dan banyak perempuan Cina,
pinggang kecil dan. rambut hitam haius adalah nilai jual mereka. Pada wajah
mereka terdapat ekspresi mempromosikan diri seperti pelacur, namun sebe-
:

narnya banyak di antara mereka yang bekerja di perusahaan multinasional


sebagian juga pelacur yang berspesialisasi di pasar internasional. Rambut me
reka seringkal, sangat panjang [semakin baik bagi setan asing untuk menga-
gumi rambut perempuan Asianya yang magis saat berada di bawahnya dan ia
sedang dalani gairah seksual]) (72).

Kebanyakan yang datang ke klub tersebut adalah perempuan Cina yang


mempunyai "nilai jual" bempa pinggang kecil dan rambut hitam panjang,
dan target mereka adalah laki-laki kuHt putih. Di sini terlihat bahwa Barat
lebih berkuasa karena memiliki daya beH, bisa memilih mana yang diingin-
kannya, sedangkanTimur hanya berfungsi sebagai penyedia produk.
Uang sebagai simbol kekuasaan menjadi isu utama dalani buku ini. La
ki-laki Barat selalu digambarkan kaya dan menggandeng perempuan
Shanghai yang cantik. Dalani satu bagian buku, digambarkan bagaimana
seorang perempuan Amerika tetangga Coco menegurnya karena memutar
musik terlalu keras. Ia mengatakan bahwa ia sudah membayar mahal unmk
apartemen im. Coco berkomentar: Nojv that the multinational corporations and
financial giants were staging acomeback, their economic clout would undoubtedly
give them asense of theforeigner's superiority ("Kini dengan kembaHnya per-
usahaan-perusahaan multinasional dan raksasa-raksasa finansial, kekuatan
ekonomi tentunya akan memberikan perasaan superior asing")(84). Barat
sangat memegang kendaH di Shanghai. Ini tidak saja ditunjukkan dari laki-
laki Barat yang menghamburkan uangnya di klub, tetapi juga masuknya
perusahaan multinasional yang membuat Cina tergantung pada Barat da
lam hal ekonomi.

92
kalam 22
GENDER DAN "ASIA"

Maka, di baHk kecantikan Shanghai, kekuasaan Barat telah mencengke-


ram sampai ke akar. Dengan singkat, Wei Hui merumuskan Shanghai seba-
gaiflowergarden with a,post-colonialflavor ("Kebun bunga dengan aroma pas
cakolonial")(210). Dari sini, sebenarnya kita sudah bisa meHhat bagamiana
Shanghai dihubungkan dengan sifat-sifat feminin (kebun bunga) yang me-
nerima invasi niaskulin dari Barat dengan segala penandanya (perusahaan
multinasional yang gedungnya tinggi menjulang dan mobil mewah yang
dimiliki laki-laki Barat).

Femininitas di luar sistem


Yang menarik dari Andrew andJoey, selain tenia homoseksualnya, adalah
bahwa sebagian besar tokoh yang terHbat di dalamnya laki-laki. Hanya ada
dua tokoh perempuan yang saHng mengirim e-mail, yaim Erica di Amerika
dan Pam di BaH. Mereka tidak secara langsung mengenai Andrew maupun
Joey, tetapi e-mail mereka ikut mengungkapkan perjalanan cinta dan karier
Joey. Melalui penumran para tokoh yang mayoritas laki-laki ini, kita dapat
meHhat bagaimana isu yang muncul bukan saja orientasi seksual (homo-
seksualitas), tetapi juga pemisahan gender antara feminin dan niaskulin
yang pada akhirnya menentukan hubungan Timur dan Barat.
Fokus utama dari rangkaian e-mail ini adalah hubunganJoey dengan ke-
kasih-kekasihnya. Ternyata, meskipun hubungan tersebut bukanlah hu
bungan heteroseksual, gender tetap bermain di dalamnya. Joey sebagai to
koh utama sering digambarkan sangat maskuHn dengan sifatnya yang am-
bisius dan "penuh vitaHtas" (30). Ia juga dengan jelas menyatakan: "Aku le
laki Cajun macho dari Louisiana" (162). Jadi, walaupun ia seorang homo
seksual, karakterJoey tetap berada di wilayah maskuHn.
Hubungan Joey dengan Andrew banyak diHhat orang seperti hubungan
suami istrkjoey sebagai suami dan Andrew sebagai istri. Andrew menyukai
pekerjaan yang bersifat feminin, seperti mendekorasi rumah dan membuat
kue, sedangkan Joey hanya senang bicara tentang pekerjaannya. Ia juga me
nyukai simbol-simbol maskuHn, seperti mobil. Ketika ia membeH mobil di
BaH, ia berkata, / bought a car (an essential attribute of modern tuanhood), a neat
BMW, '92,four-door sedan. Dark blue. Powerful asfuck ("Aku membeH mobil
[atribut esensial pertuanan modern], BMW yang apik, tahun 1992, sedan
empat pintu. Biru gelap. Benar-benar berkuasa")(58). Mobil sebagai smibol
kekuasaan yang identik dengan maskuHnitas, menurut Joey, wajib dimiliki

kalam 22 n^
INTAN PARAMADITHA

sebagai penyerta kesuksesannya di BaH.


Hubungan maskuHn-feminin ternyata tetap muncul ketika Joey me-
nyingkirkan Andrew unmk berseHngkuh dengan Wayan. Saat pertama kaH
bertemu, Joey mendeskripsikan Wayan secara sangat romantis: Divinely
beautiful, literally like agod—a perfect body, slim and strong, mth this wild animal
fire in his eyes ("Luar biasa cantik, benar-benar seperti dewa—tubuh yang
sempurna, langsing dan kuat, dengan api kebinatangan Har di mata-
nya")(57). Kata "cantik"—bukan "tampan"—bertebaran di mana-mana
unmk menggambarkan Wayan. Joey melihatnya sebagai makhluk cantik,
lugu, sekaligus sensual: He's so beautiful, so innocent yet so amazingly sensual,
like abeautiful wild animal ("la begim cantik, begitu polos namun begitu
sensual, seperti binatang Har yang jeHta")(78). Ini tidak hanya melalui peng-
amatan Joey, tetapi juga orang luar yang memperhatikannya. Pamela, misal
nya, meHhat Wayan sebagai "anak yang sangat manis" (92), yang mbuh
langsingnya menyempai model perempuan di Paris: Wayan's so tall andpretty,
with not the vaguest suggestion of hips, he could be arunway model in Paris (For
women's clothes, Imean) ("Wayan begitu tinggi dan cantik, tanpa sedikitpun
benmk pinggul, ia bisa menjadi model peragaan busana di Paris [Unmk
busana wanita, maksudku]")(93).
Wayan begitu elok dan eksotis, sehingga ia menjadi wujud BaH sendiri.
Maka, BaH dalam novel ini tidak hanya bempa tanah, laut, dan budaya, te
tapi juga dipersonifikasikan oleh tokoh Wayan yang berkuHt cokelat, tam
pan, serta anggun dengan sarung meliHt di tubuhnya. Walaupun Wayan ti
dak maliir berbahasa Inggris,Joey merasa bisa memahaminya lewat gerak
an—*eolah ada sesuam yang lebih transenden daripada bahasa. Seperti citra
eksotis BaH di mata dunia Barat, ia cantik, penuh spirituaHtas, dan juga sen
sual. Di sini dapat kita Hhat bahwa Wayan maupun BaH sama-sama memi-
Hki watak ferninin.
Hubungan Wayan dan Joey yang didasari pada gender (maskuHn-femi-
nin), dengan demikian, dapat dibaca sebagai analogi hubungan Barat dan
Timur.Joey sendiri menyebutkan bahwa ia seperti figur "ayah" yang mem
beri petunjuk kepada Wayan yang lugu: With Wayan, Ihave all the power. It's
almost likefatherhood in a way: I want to help him so much, while he looks to me
for guidance, and desperately seeks my approval ("Dengan Wayan, aku inemiHki
segala kuasa. Mirip peran seorang ayah: aku sangat ingin membantunya,
sedangkan ia mencari petunjuk dariku, dan sangat mengharapkan perse-

94 kalam 22
? 4 • •• S-_
*r ^JT^S
1- •'_ ?cr

>
GENDER DAN "ASIA'

mjuanku") (123). Joey merupakan pihak yang niaskulin—aktif dan lebih


memiHki kekuasaan ("memiliki segala kuasa")—sedangkan Wayan bersifat
feminin—pasif dan pasrah ("sangat mengharapkan persemjuanku"). Di sini
dapat kita lihat hierarki yang menempatkan maskuHnitas di atas femininitas,
seperti juga Barat—yang selalu dianggap dewa penolong—di atas Timur
yang selalu mehibutuhkan bimbingan.
Ketidakmampuan Wayan dalani hal bahasa dapat dibaca sebagai suHmya
memasuki wilayah aturan.simbolis yang bersifat maskuHn. Menurut Helene
Cixous, saat seorang anak mengenai bahasa, ia memasuki aturan-aturan
sang ayah yang bersifat maskuHn dan normatif dan meninggalkan "suara
ibu" yang bersifat feminin: tidak mengenai bahasa dan aturan. Sistem baha-
salah yang membedakan segala keteraturan di dunia yang niaskulin dengan
segala irasionaHtas praHnguistik yang bersifat feminin.8 Menurut Joey, Wa
yan doesn't speak much English, but it doesn't matter, the sound of his voice is so
sweet, it's like a strange kind ofmusic ("tidak terblu menguasai bahasa Inggris,
tapi im bukan masalah, suaranya terdengar sangat manis, seperti musik yang
ganjil")(79). Suara Wayan yang merdu seperti musik tetapi tidak dimengerti
Joey ditempatkan pada area feminin yang eksotis, tetapi terasing dari sistem
bahasa/tatanan budaya.
Wayan tidak mempunyai alat komunikasi agar bisa bertahan di dunia
modern dengan sistem di dalamnya. Ini dibenarkan oleh tokoh-tokoh da
lam novel, seperti PliiHp misalnya, yang mengatakan bahwa Joey hanya
ingin fucking a nineteen-year-old boy you met two months ago, with whom cyou
can't communicate ("bercinta dengan bocah 19 tahun yang kau temui dua
bulan lalu, namun kau tak bisa berkomunikasi dengannya")(82). Wayan
menjadi tokoh yang terpinggirkan dengan kemampuan bahasa Inggris
yang sangat minim. Di Bali, tempat segalanya seperti impian,Joey merasa ia
dan Wayan saHng memahami tanpa intervensi bahasa. Namun, di New
York—kehidupan yang sesungguhnya—barulah Joey menyadari suHtnya
berkomunikasi dengan Wayan karena kemampuannya hanya sebatas me
ngatakan, / sorry, Iforgot, now you angry for me (203). Tata bahasanya seperti
anak SMP, walaupun konon ia sudah lebih dari 19 tahun dan "bersekolah"
(Joey membantu niembuatkan PR bahasa Inggrisnya).
Femininitas Wayan juga identik dengan kepolosan, dan ini sangat kon-

8 Susan Watkins, Twentieth-Century Women Novelists (NewYork: Palgrave, 2001), 100

kalam 22 95
*—-- - "

INTAN PARAMADITHA

tras dengan Joey, yang selalu tahu apa yang ia inginkan. Berulang kaH Wa
yan dipadankan dengan kata "anak", "bocah", "bayi" dan bahkan "pera-
wan". Dengan begini, ia identik dengan kepolosan yang manis, tetapi pada
saat yang sama ia bisa menjadi anak nakal. Wayan akan berbinar-binar bila
diberi hadiah, tetapi bersikap keras kepala saat ditegur. Saat Joey membawa
Wayan ke New'York unmk mementaskan hasil koreografinya di panggung
internasional, ia berperan sebagai ayah yang niembimbing, mengayomi, ser
ta memaklumi sikap kekanakan Wayan (seperti membolos pada saat latihan
penting). Di sini Wayan menampilkan kepolosan BaH yang seolah terlepas
dari dunia yang telah ternoda, tetapi perlahan pembaca diajak menyadari
bahwa kecantikan Wayan sebenarnya hanya ilusi.
Kepolosan Wayan yang di BaH terlihat menarik justru menjadi konyol di
Amerika. Di sebuah acara makan malam ia menjadi tontonan yang aneh
karena memilih duduk di lantai dan makan dengan tangan (like a faithful
doggie "seperti anjing yang setia", 195). Rasa senangnya yang berlebihan ke
tika membuka situs porno di internet dengan password Joey juga menun
jukkan keterasingannya dari mahalnya teknologi. Tanpa sadar, ia menguras
$600 dari rekening Joey unmk akses situs terlarang. Saat Wayan yang dari
keluarga pas-pasan menganggap Amerika sebagai "sebuah Disneyland be
sar" (123),Joey menemukan realitas di sana: ketidaksenipurnaan Wayan dan
hubungannya dengan Andrew yang tidak mungkin rekat kembaH.
Hal lain yang lekat dengan femininitas maupun Timur adalah irasional-
itas.Wayan seolah memiHki pesona magis yang bisa membuat orang tergila-
gila. Ternyata, memang beredar gosip bahwa Wayan telah mengguna-gunai
Joey,9 dan ini dapat kita Hhat dalam e-mail antara Pamela dan Erica, Nyo-
man, my maid, told me that her brother Putu, who is also a dancer, has a good
friend who is a member ofJoe's seka, who told him that Wayan put a love spell on
Joe! ("Nyoman, pembanmku, mengatakan bahwa kakaknya Pum, yang juga
seorang penari, berteman baik dengan anggota seka Joe, dan ia mengatakan
padanya bahwa Wayan telah mengguna-gunai Joe!") (94).' Ini tidak hanya
menunjukkan mistisisme yang erat dengan dunia Timur, tetapi juga ira-

•r

Leslie Dwyer dalam "Selling Love and Lust in Bali" mengungkap bagaimana hu
bungan pesona laki-laki Bali dengan guna-guna di mata Barat dilihat sebagai "kejan-
tanan primitif" yang belum diporakporandakan oleh peradaban. Lihat Latitudes, Agus-
tus 2001: Vol. 07,10.

96 kalam 22
GENDER DAN "ASIA"

sionalitas yang berbenturan dengan modernisme. Contohnya adalah ketika


Wayan membakar sesajen di New York dan Joey membiiangnya. Ritual
menjadi tanpa makna karena Joey tidak melihat pentingnya sesajen selain
mengimdang semut.
Meskipun dalam setiap hubungan Joey dipandang sebagai pihak yang
maskuHn, Wayan memiliki kasus berbeda dengan Andrew sebagai kekasih
Joey sebelunmya. Baik Andrew maupun Wayan sama-sama kekasih Joey
dan sama-sama mewakiH Timur (Wayan dari BaH, sedangkan Andrew ketu-
runan Cina). Akan tetapi, karena memiHki latar belakang yang lebih Barat
(ia besar di CaHfornia), Andrew lebih menyerap nilai-nilai Barat, dan ini
menyebabkan dia mampu berunding dalani hubungan kekuasaan yang
tidak seimbang. Ketika Andrew mulai ditempatkan sebagai pihak yang in
ferior, ia mengungkapkan ketidaksukaannya lewat e-mail kepada kakaknya:
He's [Joey] getting so wrapped up in his new dance group that when I am
favored with a Brief visit from him, that's all he wants to talk about. I'm start
ing to feel too much like the .wifie, listening to the hubby talk about the of
fice, and then showing him the swatches for the new kitchen curtains. I've got
to somehow prevent this from happening.

(Ia Joey] begitu bersemangat dengan kelompok tari barunya sehingga ke


tika kami bertemu sebentar, hanya itulah yang ia ingin bicarakan. Aku mulai
merasa terlalu mirip dengan istri yang mendengarkan suaminya bicara tentang
kantor, lalu menunjukkannya tirai dapur yang baru. Bagaimanapun aku harus
niencegah ini terjadi) (55).

Andrew merasa tidak suka bila atribut feniininitas melekat padanya, yai
tu dengan selalu mendengarkan keberhasilan Joey seperti seorang istri. Ia
menunjukkan protesnya, seperti juga ia protes saat orang Indonesia me-
niandangnya dengan sebelah mata karena ke-Cina-annya. Ia nienuhs, Actu
ally, if I were blind, and I couldn't see my slitty eyes and straight black hair, I don't
think I would even know I was Chinese. Do you feel Chinese? Neither ofour par
ents speaks a word of the language ("SebetuHiya, jika aku buta, dan aku tak bisa
meHhat mata sipitku dan rambut hitam lurusku, kurasa aku tidak akan tahu
aku Cina. Apakah kau merasa Cina? Kedua orangtua kita tidak bicara sam
kata pun dalam bahasa im") (15). Andrew menunjukkan penolakannya ter
hadap stereotipe Cina melalui pengakuannya bahwa ia sama sekaH tidak

kalam 22 97
INTAN PARAMADITHA

merasa Cina dengan latar belakang Amerikanya. Ini tentu sangat berbeda
dengan Wayan yang kehadirannya hanya bisa ditangkap lewat penuturan
tokoh-tokoh lain dalam e-mail mereka.
E-mail tidak hanya memberi 'kenikmatan yang memungkinkan kita
mengintip cerita-cerita pribadi para tokoh,'" tetapi juga merupakan me
dium terpenting dalani teknik berceritaJames karena hanya lewat e-mail se
gala kejadian terungkap. Dunia cyber-lah yang membuat BaH-New York-
San Fransisco tak berjarak; arus informasi dan gosip bisa terkirim dalam
himngan menit. Ironisnya, meski Wayan punya posisi penting dalam cerita
sebagai penyebab putusnya hubungan Andrew dan Joey, ia sama sekaH tidak
memiHki kekuasaan dalam jaHnan e-mail yang membangun novel. Wayan
adalah Timur yang hanya bisa direpresentasikan oleh pihak lain (Barat),
seperti perempuan Mesir dalani Madame Bovary, dan karena im ia tidak bisa
menolak pelbagai anggapan yang direkatkan padanya. Keterasingan ini jelas
menunjukkan BaH terlepas dari dunia yang sesungguhnya, yakni dunia glo
bal-modern yang dismibolkan oleh e-mail.
Dalam hierarki antara Barat dan Timur, terlihat bahwa gender diguna
kan unmk menentukan mana yang superior (Joey/Barat) dan mana yang
inferior (Wayan/Timur). Ketidakniampuan Wayan berkomunikasi mencer
minkan wajah BaH yang, meski cantik dan memcsona, menjadi The Other
di luar sistem konvensional yang modern dan realistis. Kita pun meHhat ba
gaimana kepolosan Timur di mata Barat di satu sisi diHhat sebagai surga
yang murni tak tersentuh, dan di sisi lain sebagai ketidaktahuan, kenaifan,
dan bahkan keterbelakangan.

Materialisme Barat vs spiritualisme Timur


Sesuai dengan judul bukunya, Shanghai Baby, tokoh Coco benar-benar
mewakiH Shanghai modern. Ia perempuan yang kritis, pemberani, memi
liki daya tank seksual yang tinggi, dan bangga akan hal im. Coco perempu
an Shanghai yang sangat kebarat-baratan: lulusan universitas yang banyak
mengutip seniman, filsuf, penuHs, dan selebriti Barat dari AUen Ginsberg
sampai EHzabeth Taylor. Coco sendiri mengaku sangat menggemari penuHs
Henry Miller. Bahkan, dari semua kutipan orang rterkenal im, tidak ada sam
pun yang berasal dari Cina.

10 TheAsia Magazine, 13Januari 2003, Vol. 160 No. 1.

98 kalam 22
GENDER DAN "ASIA"

Uniknya, sifatTian Tian, kekasih Coco, bertolak belakang. Ia sangat sen-


sitifdan spiritual, sehingga dapat dikatakan ia lebih feminin daripada Coco.
Bila dibandingkan dengan kekasih gelap Coco, yaim Mark, Tian Tian terH-
hat sangat introvert dan tidak menonjol. SebaHknya, Mark terkhat sangat
maskuHn dengan kemampuan seks, kesuksesan dalam karier, serta sifatnya
yang selalu ingin mendapatkan segala sesuam yang ia ingmkan. MaskuHni-
tas Mark yang kontras dengan fenniiinitas Tian Tian tarik-menarik dalani
diri Coco; keduanya memiHki pesona yang suHt dilepaskan Coco. Hu
bungan Coco dengan kedua laki-laki ini pun menjadi metafora bagi posisi
Shanghai (Asia) yang berada di tengah tarik-menarik antara Timur dan Barat.
Sebagai seseorang yang sukses berkarier di perusahaan multinasional,
Mark sangat identik dengan kriteria kesuksesan Barat, yang selalu diukur
dengan fisik/materi. Ia mengendarai BMW dan mampu mengajak Coco
menginap di hotel mewah. Kesuksesan material ini terkait dengan sifatnya
yang sangat maskuHn, yaim penuh kendaH dan selalu tahu apa yang di-
inginkannya.

I could imagine a different Mark at work, prudent, thorough, rigorously


demanding, a man who means what he says to his staff and who always does
things by the book. A well-oiled, high-precision machine, like the German
clock on our apartment wall -that is never a second off

(Aku bisa membayangkan Mark yang berbeda di kantor, hati-hati, teliti,


menuntut dengan kejam, lelaki yang benar-benar serius tentang apa yang ia
katakan pada bawahannya dan tidak bekerja berdasarkan buku. Mesin akurat
yang diminyaki dengan baik, seperti jam Jerman di apartemen kami yang ti
dak pernah terlambat) (98-99).

Di sini dapat kita lihat bahwa Mark sangat mengikuti aturan dunia yang
maskuHn dengan sifat-sifatnya yang tegas, teratur, dan rasional. Ia juga sa
ngat menuntut. Saat pertama kaH mengajak Coco ke apartemennya, ia ti
dak meminta dengan halus, melainkan memperlakukan Coco seperti hasil
rampokan: No sooner had the words escaped me than Mark seized me like a bank
robber, allowing no argument, and dragged me out ofthe gallery in aflash, depositing
me in his BMW ("Tanpa banyak kata-kata Mark merebutku seperti peram-
pok bank, tidak membiarkan penolakan, dan menyeretku keluar dari galeri

kalam 22 99
~J-^ J- TT^-

INTAN PARAMADITHA . .

secepat kilat, menyimpanku ke dalani BMW-nya") (61). Kata-kata "peram-


pok bank" dan "menyimpanku ke dalani BMW-nya" mengimplikasikan
bagaimana Mark meniperlakukan Coco sebagai barang, atau obyek hasrat
seksuahiya.
Maskulinitas Mark tentunya semakin diperkuat dengan kenyataan bali
wa ia selalu bisa. rnemuaskan Coco. Sebelunmya Coco mengatakan bahwa,
bagi laki-laki, perfor.ma seksual bisa disamakan dengan hidup (5). Maka,
kemampuan rnemuaskan perempuan merupakan suatu kode maskuHnitas
yang wajib dimiliki oleh laki-laki. Dominasi Mark bahkan tidak dianggap
merendahkan perenipuan, tetapi sesuam yang diromantisasikan oleh Coco:
/ imagined what he would be like in high boots and aleather coat, and what kind of
cruelty would show in those Teutonic blue eyes. Vicse thoughts increased my excite
ment ("Kubayangkan bagamiana rupanya dengan sepatu bot tinggi dan
mantel kuHt, dan kekejaman macam apa yang terbayang di mata biru Teu-
toniknya. Pikiran-pikiran ini meningkatkan gairahku") (63). Coco justru
hanyut dalam fantasi tentang Mark yang sangat 'keras': berpenampilan di-
ngin dan bersikap kejam. Terlebih lagi, kekaguman Coco terhadap ukuran
organ seksual Mark dapat dibaca sebagai pemujaan terhadap maskulinitas:
His huge organ made mefeel swollen ("Organnya yang besar membuatku me
rasa membengkak") (63).
SebaHknya, Tian Tian bersifat sangat feminin. Ia tidak peduli dengan
kesuksesan. Ia juga merasa tidak hams niengendalikan atau mencapai sesua
tu. Ia membaca koran hanya untuk menyadari bahwa ia tinggal di Shang
hai, bukan mencari informasi demi perkenibangan dirinya: 77ms paper, which
he reads to remind himself that he still lives here, is the only thing that links him to
the everyday side ofShanghai ("Koran ini, yang ia baca unmk mengingatkan
dirinya bahwa ia masih tinggal di sini, adalah satu-satunya benda yang
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari Shanghai" (12). Tian
Tian sendiri mengaku bahwa ia tidak seperti Coco yang ambisius: We're dif
ferent types. You're ambitious and full ofjaith in the future ("Kita tipe yang
berbeda. Kau ambisius dan penuh harapan akan masa depan") (13). Men
capai mjuan yang merupakan watak maskuHn Barat tidak terdapat dalam
diri Tian Tian.
Tidak seperti saat bersama Mark, saat bersama Tian Tian Coco tidak bi
sa meras-ikan kepuasan seks secara utuh akibat impotensi yang dialami laki-
laki im: Tian Tian wasfrom a different species than my earlier men ... He couldn't

100 kalam 22
GENDER DAN "ASIA'

give me a complete sexual experience, and I couldn't keep my. body unsullied for him
like apiece offade. Everything was unfathomable ("Tian Tian adalah spesies ber
beda dari kekasih-kekasihku sebelumnya ... Ia tak bisa memberiku penga
laman seksual utuh, dan aku tak bisa membiarkan diriku tak ternoda un-
tuknya seperti bam giok. Semuanya tak bisa dipahami") (70). Meskipun Ti
an Tian tidak bisa rnemuaskan Coco secara seksual, Coco sangat mencin-
tainya: His voice became soothing music, like Beethoven's Moonlight Sonata, tam
ing the confusion inside me ("Suaranya menjadi musik yang menenangkan, se
perti Moonlight Sonata karya Beethoven, meredam kegelisahan di dalam di
riku) (100). Ia menjadi penyejuk dari jiwa—bukan tubuh—Coco.Bersama
Tian Tian, Coco merasa seperti dalani mimpi: My life with Tian Tian was a
bit like a dream rightfrom the start. I like that kind of dream—pure covers, intui
tive, and unburdened by loneliness ("Hidupku dengan Tian Tian agak menye
mpai mimpi sejak awal. Aku suka mimpi macam itu—murni, intuitif, dan
tidak dibebani rasa sepi").Jika Mark mewakiH hal-hal fisik, Tian Tian me-
wakiH dimensi nonfisik yang tidak bergantung pada kepuasan indra. Ini bisa
menjadi analogi Barat vang identik dengan materialisme/enipirisme, se
mentara Timur lebih menekankan spirituaHsme.
Dengan demikian Mark dan Tian Tian, sebagai simbol Barat danTimur,
juga menunjukkan kutub antara niaskulin dan feminin. Mark sebagai re-
presentasi Barat digambarkan penuh dengan sifat-sifat niaskulin, seperti te-
gas, m.inpunyai mjuan, tahu apa yang dHnginkannya, serta mewakiH hasrat
material. SementaraTian Tian sebagai representasi Timur digambarkan de
ngan sifat-sifat feminin, seperti tidak memiHki tujuan yang jelas, misterius,
sensitif, eksotis.
Lalu, manakah yang dipilih Coco? Ternyata, dari awal sampai akhir Co
co tidak bisa memutuskan.
i

A feeling of emptiness which I can never dispel, and yet at the same time, my
heart is swollen widi a love ofsorts diat I can't release. The man I love can't give me
a sexual satisfaction, and worse, he can't give me a sense of security. He smokes
drugs, and he's disengaged from the world ... meanwhile, a married man is giving
me physical satisfaction but has no impact on my emotions. We use our bodies to
interact and rely on them to sense each other's existence, but they're also a protec
tive layer between us, keeping from connecting mentally.

kalam 22 101
INTAN PARAMADITHA

(Rasa hampa yang tak pernah dapat kusingkirkan, namun pada saat yang
sama, hatiku bengkak dengan cinta yang tak dapat kulepaskan. Laki-laki yang
kucintai tidak dapat.memberiku kepuasan seksual, dan lebih buruk lagi, ia tak
bisa memberiku rasa aman. Ia menggunakan obat-obatan, dan ia terpisah dari
dunia . . . sementara, lelaki beristri memberiku kepuasan badaniah namun tak
bisa memengaruhi emosiku. Kami menggunakan tubuh kami untuk berinter-
aksi dan bergantung padanya untuk merasakan kehadiran satu sama lain, na
mun tubuh itu juga menjadi lapisan pelindung di antara kami, mencegah ada
nya hubungan jiwa) (104").
<

Dua laki-laki itu terns hadir dalani hidup Coco, seperti dua budaya yang
saHng bertemu di Shanghai: Timur dan Barat. Jika kita mengacu pada ke
puasan seks yang penting bagi Coco, maka Mark sebagai wakil Barat lebih
maskuHn dan lebih menduduki posisi superior. Sifat Coco yang maskuHn
cenderung menunjukkan pilihannya terhadap Barat. Sementara im, sifat fe
minin Tian Tian menyiratkan tradisi Cina yang spiritual dan romantis, te
tapi tidak bisa rnemuaskan secara fisik. Kematian Tian Tian di akhir cerita
menjadi aldiir yang pesimistis bagi Shanghai tradisional, yang sebelunmya
digambarkan terancam punah. Kenyataannya, Shanghai modern adalah
yang selalu diculis Wei Hui sebagai "zaman materi".Yang bertahan adalah
segala sesuam yang modern, ambisius, keras, maskulin, sementara Shanghai
oriental yang bersifat eksotis dan feminin adalah nostalgia yang akan segera
tergilas zaman.

Akhir sebagai penentu


Kita telah melihat bagaimana kedua novel menggunakan gender untuk
memaknai hubungan Timur dan Barat dan bahwa hubungan tersebut ber
sifat hierarkis. Dalam Andrew andJoey, BaH yang feminin dianggap sebagai
Utopia yang cantik, tetapi tidak sesuai dengan perkenibangan zaman. Di
akhir cerita,Joey dikisahkan kembali ke BaH dan bersenang-senang dengan
beberapa laki-laki berbeda: Joe slipped away to the dark end of the beach for a
while ivith one lad, then took another one home with him. Classy, huh ("Joe me-
nyeHnap ke ujung pantai yang gelap sejenak dengan seorang lelaki, lalu
membawa yang lain pulang ke rumah bersamanya. Berkelas, 'kan?") (289).
Ini memang menunjukkan bahwa BaH merupakan pilihan hidup Joey se
bagai tokoh utamanya. Namun, sebenarnya buku ini sama sekaH tidak me-

102 kalam 22
.' -_. - -i. V • - -i-

GENDER DAN "ASIA"

nunjukkan simpati terhadap sikap Joey. Dalam e-mail penutup, Pamela


menulis:

That's my yucky news. It was'too late to drive back to Ubud last night, so
Istayed at afriend's place in Kuta.Wlien Ileft, around neon, IsawJoe roaring
down Jalan -Legian on his motorcycle, bare-chested, the boy dinging to him,
trophy of the conquering hero.
This islandjust eats some men akve.

(Itulah berita nienjijikkanku. Sudah terlalu larut untuk pulang ke Ubud


tadi malam, jadi aku menginap di rumah seorang teman di Kuta. Ketika aku
pulang, sekitar tengah hari, kulihat Joe berkeliling Jalan Legian dengan mo-
tornya, bertelanjang dada, seorang pemuda memeluknya, piala sang pahlawan
penakluk.
Pulau ini telah memakan sebagian lelaki hidup-hidup) (289).

Di sini terHhat bagaimana tindakan Joey nieniiHh BaH sebagai piHhan


hidupnya dianggap "berita yang menjijikkan". Buku ini ingin menunjuk
kan bahwa, sampai akhir cerita,Joey tidak mau sadar dari mimpinya: bahwa
BaH adalah Utopia yang terseok-seok bila hams berjalan searah dengan arus
modernitas.
Sementara itu, persoalan dalam Shanghai Baby lebih kompleks. Coco
yang terus menunjukkan hasratnya terhadap Mark—meskipun mengaku
sangat mencintai Tian Tian—menyiratkan bahwa Barat yang maskuHn me-
mang lebih diinginkan. Namun, di akhir cerita, Coco tidak.mendapatkan
siapa-siapa. Tian Tian meninggal karena obat-obatan terlarang dan Mark
hams kembali keJerman. Coco pun ditinggal dengan kesedihan dan keter-
asingan dari dirinya sendiri: Vie ivoman in the makeup mirror was a stranger
with chapped lips and dark circles under her eyes, sick but impewious to medical
treatment because ofher multiple personalities and cowardice in love ("Perempuan
di cermin itu adalah orang asing dengan bibir pecah-pecah dan lingkaran
besar di bawah matanya, sakit namun tak bisa disembuhkan oleh obat
karena kepribadian gandanya dan kepengecutannya dalam percintaan")
(243). Dalani hubungan tarik-menarik antara Tian Tian (Timur) dan Mark
(Barat), novel ini menunjukkan kegamangan Shanghai yang terus berada di
tengah-tengah, tidak condong ke niana-mana. Ia bukan Barat, tetapi juga

kalam 22
103
INTAN PARAMADITHA

tidak sepenuhnya menunjukkan konsep difference bahwa dirinya adalah Ti


mur. Cerita ditutup dengan kalimat pertanyaan Coco terhadap dirinya sen
diri: Wlio am I? (263). Ini dapat dibaca sebagai pertanyaan introspektif
Shanghai untuk menegaskan diri sendiri di tengah ancaman punahnya bu
daya Timur dan invasi Barat dalam hal-hal yang bersifat material.
Pada akhirnya, penutup kedua novel tersebut menunjukkan ideologi
kedua pengarang yang berbeda.Jamie James menempatkan Andrew andJoey
pada posisi klasik dalam OrientaHsme, yaim bagaimana Barat memandang
Timur secara eksotis sekaHgus irasional. Sementara im, Wei Hui dalani
Shanghai Baby, meski di permukaan terkesan sangat memihak Barat, justru
menghadapkan pembaca pada jalan terjal dalam pencarian identitas Tiniur
di era modern ketika pertemuan budaya Timur dan Barat mengaburkan
konsep identitas tersebut.

•j04 kalam 22
3 • r 3:

<

' r

MIKIHIRO MORIYA/AA

DARI MANUSKRIP KE CETAKAN


Sastra Sunda Paruh Kedua Abad Ke-19

TULISAN menyusun kembaH kesadaran, demikian diktum terkenal


Walter J. Ong yang diringkaskan dari teorinya tentang efek keHsanan,
keberaksaraan kirografik,' dan keberaksaraan cetak. Kesadaran manusia
mengalami transformasi ketika keHsanan diambil aHh oleh keberaksaraan.
Hal yang sama juga dapat dikatakan ketika cetakan menggantikan tulisan
tangan: cetakan memperkuat efek-efek tuHsan atas pikiran dan perasaan
manusia.2
Dengan terbitnya buku pertama berbahasa Sunda, Kitab Pangadjaran Ba-
sa Soenda pada 1850, tuHsan Sunda memasuki suatu era baru. Penerbitan
mula-mula diusahakan oleh beberapa orang Belanda, seperti K. F. HoUe
(1829-1896), yang bukan hanya menaruh perhatian serius dan sangat pe-
duH pada masyarakat lokal, tetapi mermliki ide-ide yang sangat jelas tentang
bagaimana sebaiknya "sahabat-sahabat Sundanya" itu hams dibantu. HoHe
dan seorang sahabat Sundanya, Moehamad Moesa (1822-1886), telah
memberikan pengaruh besar dalam bidang pendidikan dan buku sekolah.
Namun, pengaruh mereka menghilang setelah waktu berganti ke abad ke-20.
Pencetakan buku dikerjakan terutama oleh percetakan rriilik pemerin
tah, Landsdrukkerij, di Batavia. Sebenarnya penduduk Jawa Barat sudah
terbiasa membaca naskah jauh sebelum buku cetakan pertama muncul di
tanah Sunda. Buku terbitan baru lebih mudah diperoleh daripada naskah
dan dapat menyentuh khalayak yang sangat luas. Hal ini telah menim-
f
1 Kirografik (chirographic) adalah istilah yang merujuk tahap kebudayaan naskah (manu
script), dengan fungsi aural yang masih kuat.
2 Walter J. Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (London &NewYork:
Roudedge, 1982), 117. Selanjutnya dituiis Orality and Literacy.

kalam 22 105
MIKIHIRO MORIYAMA

bulkan pelbagai konsekuensi yang sebelunmya tidak diperhitungkan oleh


man-man penjajah (Belanda).
Terbitan Landsdrukkerij merupakan bahan bacaan dalani bentuk visual
baru, aksara baru (Latin), dan jenis-jenis tulisan baru. Konsep tuHsan dan
bacaan pun mulai berubah. Karena im, hubungan antara pembaca dan pe
ngarang dalam teks ikut berubah, dan pelbagai tuHsan dengan gaya baru
pun berkembang. Sehubungan dengan hal ini, Belanda berperan penting
melalui pengadaan buku-buku sekolah dan terjemahan atau saduran dari
buku-buku Eropa. Sekolah dan buku sekolah telah menciptakan golongan
pembaca dan penulis baru.Terbentuklah khalayak baru yang berdanipingan
dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak lagi sepenuhnya buta
humf. Mereka masih terkait erat dengan tradisi lisan yang tetap dominan di
Jawa Barat unmk jangka waktu yang masih panjang. Makin banyak saja
anak-anak Sunda yang mulai membaca dan menuHs dalani bahasa Sunda.
Pendidikan model baru itu menghasilkan kawula baru dalam masyarakat
bangsa terjajah. Demikianlah, melalui buku-buku cetakan dalam huruf La
tin, pendidikan model bam itu telah menghasilkan tradisi keberaksaraan mo
dem. Efek semuanya ini jauh lebih dahsyat daripada yang diperkiiakan Belanda.
Munculnya budaya keberaksaraan cetak dan segala sesuam yang timbul
menyertai kehadirannya—buku sekolah, koran, cerita terjemahan—telah
menggoncangkan jagat kehidupan orang Sunda. Umpamanya, mereka ha
ras merumuskan kembaH pengertian semula tentang kesenian lisan, juga
tentang "buku", dan mereka hams membiasakan diri mengenai dan mera-
sakan nilai kesusastraan dalani tulisan.
Pengamatan atas hasil-hasil kesusastraan Sunda dari masa pamh kedua
abad ke-19 menunjukkan bahwa para penuHs Sunda mencoba mengadopsi
suam cara baru memberi makna kepada alam Hngkungan mereka. Salah se
orang tokoh kunci yang telah disebutkan di atas adalah Moehamad Moe
sa.3 Ia datang dari Hngkungan kaum menak Sunda yang hidup di antara
tradisi dan modernitas. Dia telah menulis 14 buku yang mencakup pelbagai
topik. Karya-karyanya berperan penting dalam kehidupan kesusastraan
Sunda dan memperoleh pengakuan dari kalangan kaum melek huruf Sun-

3 Mikihiro Moriyama, "Discovering the language" aad the 'literature' ofWest Java: an
introduction to the formation ofSundanese writing in 19* century West Java", South
Asian Studies 34 (1), 1990: 151-83.

*q, kalam 22
~ B—* - . :

DARI MANUSKRIP KE CETAKAN

da, dan juga di kalangan pegawai kolonial Belanda. Buku-bukunya dipakai


di sekolah-sekolah pemerintah bersubsidi dan dibaca oleh khalayak luas,
serta menawarkan suam
f
cara baru untuk memahami dunia modern. Oleh
karenanya, buku-buku tersebut menduduki posisi penting dalani perkem-
bangan tulisan Sunda baru. Tulisan ini akan membalias perubahan tradisi
penulisan Sunda dengan masuknya teknologi cetak, dengan titik berat pada
perubahan benmk tulisan dan aktivitas membaca.

Dari budaya naskah ke budaya cetak


Dalam budaya naskah dengan sifat oral-aural yang kuat, para pembaca
menyuarakan teks yang dituHs tangan yang diletakkan di hadapan mereka.
Sering juga pembacaan naskah merupakan kegiatan bersama dan kadang
kala diadakan dalam acara adat-istiadat ataupun ritual. Namun, sama halnya
ketika orang membaca sendirian, tampaknya selalu ada perasaan ketika
kata-kata hams dibagi bersama. Membaca naskah dengan bersuara juga
masih merupakan motivasi utama: di dalam naskah-naskah, kata-kata ber-
desakan bersama—atau ruang di antara kata-kata itu sempit, sehingga
membaca merupakan suatu kegiatan yang, dari segi susastra, hakikatnya
tidak lain adalah mengapresiasi kata-kata yang berada dalam proses
pelafalannya: orang menafsirkan sebuah teks secara oral-aural.
Tradisi membaca naskah tidak hilang—melainkan berubah—ketika bu
ku-buku yang tercetak secara mekanis muncul. Tentang hal ini, Walter Ben
jamin rnenuHs sebagai berikut:
. . . yang dihancurkan pada zaman reproduksi mekanis adalah aura karya
seni. Ini adalah proses simptomatis yang sifat-sifat pentingnya berada di luar
batas dunia seni. Orang boleh membuat generalisasi dengan berkata: teknik
reproduksi memisahkan obyek yang direproduksi dari ranah tradisi. Ba-
nyaknya reproduksi telah meniadakan berbagai perbedaan salinan yang
unik. Dan reproduksi memungki'nkan si penonton atau pendengar ber
temu dalam situasinya yang unik untuk mengaktifkan kembali obyek yang
direproduksi.4

Reproduksi mekanis memiliki sifat baru: masing-masing buku memiliki


bentuk yang sama dalani penampilan dan huruf-nurufhya betul-betul sama

4 Walter Benjamin, Illuminations (London, Collins: Fontana, 1970), 223.

kalam 22 107
~7 T—7~

MIKIHIRO MORIYAMA • '

pada setiap halaman, yang berbeda dari keanekaragaman yang mencolok


pada naskah-naskah. Keseragaman timbul karena percetakan niemperkuat
kecendemngan ke arah penguatan kesatuan suatu komunitas bahasa. Lagi
pula, masyarakat mulai berbagi rasa< dalam tuHsan dan pengetahuan tentang
perkenibangan bam, dan dengan demikian menjadi suatu komunitas bam.
MuncuUah praktik-praktik budaya yang baru dalam membaca dan menuHs
yang menciptakan pola-pola soHdaritas dan rasa kebersatuan yang hangat
yang mulai mempertanyakan otoritas naskah. Selanjutnya, budaya pernas-
kahan mulai melemah.
Budaya keberaksaraan cetak terbentuk seiring dengan budaya keberak
saraan naskah, walaupun keduanya masih terbatas pada sejumlah kecil ang-
gota masyarakat dalam komunitas penutur bahasa Sunda diJawa Barat pada
pamh kedua abad ke-19.5 Sejumlah karya yang dibaca berbentuk naskah
dan yang lainnya dibaca secara terpisah dalani bentuk cetakan. Para pemba
ca tidak berhenti memakai naskah yang memiHki makna kultural tersendi
ri, suatu "aura" yang tidak mungkin digantikan oleh buku cetakan. Selain
im, mereka yang membaca naskah pada masa lalu adalah orang yang sama
yang juga mulai membaca buku cetakan. Selama jumlah sekolah terus me-
ningkat. peningkatan juga terjadi pada buku cetakan, dan lingkaran yang
terbentuk oleh budaya keberaksaraan cetak menjadi semakin luas pula. Bu
daya keberaksaraan cetak merupakan dasar bagi pembaca modern untuk
memperkenalkan pembaruan dan perubahan dalam khazanah tuHsan ber
baliasa Sunda.
Di dalam tradisi pernaskahan Sunda, tidak ada tanda baca yang jelas se
bagaimana kita kenal dalam buku-buku cetakan.6 Ketiadaan hal ini me-

5 Dalam kasus bahasa Melayu, seorang penulis profesional dari Batavia, Muhammad
Bakir, memiliki 76 judul naskah untuk disewakan pada akhir abad ke-19, sementara
buku-buku cetakan juga dibaca orang. Ini memberikan sebuah contoh yang bagus
tentang tumpang tindih jumlah pembaca. Lihat H. Chambert-Loir, "Malay Literature
in the 19th Century: The Fadli Connection", dalam J.J. Ras and S. O. Robson, ed.,
Variation, Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour ofA.
Teeuw (Leiden: KITLV Press, 1991), 87-114. Selanjutnya dituiis "Malay Literature".
6 Cara menulis naskah mengenai tanda-tanda tertenur untuk membantu pemahaman
teks walaupun tidak sejelas tanda baca Barat. Demikian juga, peraturan pembuatan
puisi seperti dangding (tembang) atau pantun menunjukkan kesatuan sajak masing-
masing.

108 kalam 22
DARI MANUSKRIP KE CETAKAN
*

nimbulkan arus tertentu pada tulisan, sehingga hanya pembacaan yang da


pat menentukan kapan hams berhenti. Ini berbeda dengan teks-teks cetak
an karena tanda koma, titik, dan setiap pergantian paragraf membuat pem
bacaan berhenti. Cara baru mengatur teks telah menimbulkan efek pada
cara berpikir orang (Orality and Literacy, 117). Dalam teks cetakan, kata-kata
tampak lebih jelas, dan jauh lebih mudah dibaca dibanding membaca
naskah. Sifat mudah dibaca ini cenderung memudahkan orang membaca
dengan cepat dan akhirnya membaca dalani hati—yang pada giHrannya
menuju konseptuaHsasi lain dan pandangan dunia lain yang menjadikan
akumulasi uiformasi lebih penting daripada distribusi informasi di dalani
komunitas.
Buku-buku itu hadir dan memiHki konsep yang sama dengan buku-
buku Eropa. Dalani buku cetakan, halaman judul niuncul pertama: judul
buku, pengarangnya, lengkap dengan pekerjaan dan berbagai gelar yang
disandang oleh sang pengarang, pencetak dan penerbit (biasanya sama), dan
tempat serta tahun terbitan.
Naskah biasanya tidak memiliki judul seperti dalam pengerrian orang
Eropa. Unmk mjuan praktis, orang biasanya menyebut judul sebuah naskah
menurut nama tokoh utama dalani ceritanya, atau menamainya dengan
mengambil sam fiase dari teks itu. Sedangkan buku cetakan memiHki
judul. Lagi pula, ada buku yang memiliki dua halaman judul, satu dalam
bahasa Belanda dan laninya dalam bahasa Sunda, terutama pada masa awal
pencetakan buku-buku itu. BarangkaH, halaman judul dalam bahasa
Belanda dimaksudkan unmk menyenangkan para penguasa dan pembaca
Belanda—tetapi itu juga dimaksudkan unmk memberikan efek kepada
pembaca dari kalangan orang Sunda: mereka diceralikan lewat budaya
Eropa.
Buku-buku cetakan abad ke-19 menyuguhkan nama dan identitas pe
ngarangnya. Nama dan pekerjaan atau pangkat si pengarang dalam jajaran
achiiinistrasi kolonial dicetak juga di halaman pertama. PenuHs atau penya-
Hn kini menjadi "pengarang" yang, dengan "wibawa" pribadi, mendesak
tradisi pernaskahan ke pinggir. PenuHs atau penyaHn tidak terlalu jelas iden-
titasnya ataupun anomm dalam tradisi pernaskahan. Dengan kata lain, dia
tidak bertanggung jawab langsung atas penuHsan.Judul dan nama telah me
nempatkan pengarang pada posisi yang bertanggung jawab dan bebas dari
tugas untuk menyampaikan pengetahuan para nenek moyang. Dapat dika-

kalam22 109

MIKIHIRO MORIYAMA

takan bahwa pengarang menyampaikan pengetahuannya sendiri, dan dia


mengabsahkan pengetahuan tersebut bersama dengan identitasnya. Sang
pengarang membuat dirinya sendiri jelas dan menawarkan cara-cara baru
kepada pembaca untuk menytisun pengetahuan.

Konsep baru untuk kit ah: boekoe


Salah seorang sarjana Belanda terkemuka yang menguasai beberapa ba
hasa daerah di Hindia-Belanda, R. J. P. E Gonggrijp,7 memberikan
ringkasan dalam bahasa Melayu tentang inisiatif pemerintah dalam kegiatan
percetakan:

Dhoeloe-kala sabeloemnja orang tahoe iknoe menera itoe, maka segala


kitab djoega tersoerat dengan kalam. Koetika itoe segala kitab terlalo mahal
arganja dan adalah sedikit orang sadja jang mengarti menibatja dan toeks. Te
tapi pada sakarang ini Kangdjeng Goebernemen mengaloewarkan kitab jang
moerah sakaH sopaja segala orang ketjil, besar, boleh menibatja, dan sopaja
orang beroleh goena deri pada batjanja itoe.8

Gonggrijp memakai istilah kitab untuk merujuk pada buku secara umum,
sebuah kata untuk buku dalani benmk naskah maupun cetakan.
Setiap naskah dinamai menurut kandungan isi, sifat, dan benmk tulis-
amiya dalani tradisi. Umpamanya, dalam bahasa Sunda terdapat berbagai
istilah, seperti carios atau carita (cerita, kisah), wawacan (puisi naratif), dongeng
(cerita), sajarah (sejarah), serat (tulisan). Hal ini tercermin dalani judul-judul
buku cetakan yang awal, seperti Tjaritana Ibrahim (Cerita Ibrahim) dan Wa-

1 Gonggrijp (1827-1909) dikirim ke Hindia-Belanda pada 1849 oleh Serikat Penginjil


Belanda (NZG) yang bermarkas di Rotterdam, dan kemudian diangkat menjadi
pengajar agama Kristen di Depok dan Tugu, sampai kepulangannya kembali ke Be
landa pada 1864. Segera dia diangkat lagi menjadi pengajar, dan memperoleh gelar
profesor di Sekolah Pegawai Kolonial di Delft pada 1872. Di sana dia mendirikan
kursus bahasa Sunda yang pertama di Belanda. Baca Jan van der Putten, "Als een
hond bij de Turken? H. C. Klinkert en suiver Maleis", dalam Willem van der Molen
&Bernard Arps, ed., Woord en Schrift in de Oost; de betelzenis van zending en missie voor de
studie van taal en literatuur in Zuidoost-Azie, Semaian 19,2000,116-121.
8 J. R. P. F. Gonggrijp, Kitab Pengadjaran Akan Goena Anakh-anakh jang Bahroe Mengarti
Menibatja (Batavia: Landsdrukkerij, 1866), 6.

110 kalam 22
..- - i
~7r

. DARI MANUSKRIP KE CETAKAN

watfan Radja Soedibja. Rupanya, pemakaian istilah boekoe, dari bahasa Be


landa boek, yang pertama pada judul buku cetakan dalam bahasa Sunda
muncul tahun 1881* Boekoe Batjaan Salawe Toeladan Pikeun Moerid-Moerid
Pangkat Panghandapna (Buku Bacaan 25 Cerita Teladan unmk Murid Seko
lah PaHng Rendah), disusun oleh Wvan Gelder, guru kepala Sekolah Pela-
tihan Guru di Bandung. Secara berangsur-angsur kata boekoe digunakan
untuk semua bentuk buku cetakan. Gagasan baru tentang buku dibawa
masuk ke dalam kebudayaan Sunda seirmg dengan penyebaran buku-buku
cetakan. Di.lain pihak, istilah kitab tetap dipakai sebagai istilah unmk buku-
buku yang memberikan nasihat, dan dalani praktik lebih sering berupa na-
sihat-nasihat keagamaan. Kitab Indjil adalah istilah yang dibuat unmk me
nyebut terjemahan Injil, sementara buku-buku yang mengandung pesan-
pesan Islam diberi nama kitab kuning? Tambahan lagi, istilah kitab diguna
kan dalam judul sejumlah kecil buku selain yang bertemakan keagamaan.
Salah sam contoh yang bagus adalah Kitab Atoeran Bab Maradiian Djelema
noe Ngedjoeroe (Buku peraturan hal membantu orang yang melahirkan)
yang terbit pada 1901. Pendek kata, pemakaian istilah kitab oleh Gonggrijp
unmk merujuk semua benmk buku rupanya tidak bertahan lama.
Hal lain yang penting dalam pernyataan Gonggrijp di atas adalah harga
kitab dalam benmk naskah. Sebelum orang Eropa tiba, naskah tidak pernah
menjadi barang yang diperjualbelikan, melainkan dianggap sebagai harta
benda yang disucikan ataupun bukti nyata ilmu pengetahuan. Para sarjana
Eropa bersedia membayar untuk meniperoleh naskah-naskah im. Ini tidak
hanya mengubah hingsi dan stams naskah, tetapi juga mengilhami orang
pribumi yang melek huruf untuk memproduksi lebih banyak naskah dan
menjualnya kepada siapa saja yang bersedia membayar. Inilah yang menjadi
cikal-bakal pembentukan taman bacaan ("Malay Literature", 87-114).
Gonggrijp berharap "setiap orang" akan membaca buku ketika harga-
nya lebih murah, tetapi tidak demikian halnya yang terjadi: buku memang
lebih murah daripada naskah, tetapi tidak benar-benar murah bagi setiap
orang. Di samping im,jumlah orang yang melek humf tetap kecil dan me-

Kita dapat menemukan sejumlah kitab kuning berbaliasa Sunda dalam koleksi khusus
perpustakaan KITLV, yang dikumpulkan dan didaftar oleh Martin van Bruinessen.
Jumlah keseluruhan kitab dalam koleksi tersebut sebanyak 900 buah. Lihat
karangannya, "Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu",
Bijdragen tot deTaal-, Land- en Volkenkunde 146,1990 (2 dan 3), 226-269.
kalam 22 ...
MIKIHIRO MORIYAMA
"1
mang tidak "setiap orang" membaca. Lagi pula, bertolak belakang dengan
harapan Gonggrijp. naskah-naskah terns diproduksi dan "dikonsumsi" da
lam masyarakat penutur bahasa Sunda, bahkan juga setelah beredarnya bu
ku cetakan.
Masuknya buku cetakan ke dalam ranah tuHsan Sunda pada pertengah
an abad ke-19 tidak mengubah kebiasaan membaca orang Sunda secara
drastis. Naskah masih berada bersama buku dan belakangan juga koran dan
majalah yang tersebar baik dalam jalur pendidikan maupun jalur pasar. De
ngan kata lain, cetakan tidak mengakhiri budaya naskah. Namun demikian,
secara berangsur-angsur muncul sam kelompok dalam masyarakat yang
menjadi terbiasa dengan buku cetakan. Bagi orang tertentu, membaca bu
ku secara berangsung-angsur mulai menjadi sebuah kegiatan sehari-hari se
bagaimana dapat dilihat di bagian akhir tulisan ini.
Di lain pihak, tidak dapat dielakkan bahwa pengguiiaan buku sekolah
telah mengubah konsep yang telah ada tentang tuHsan dan bacaan, ter-
utama sifatnya yang terkait dengan kesenangan dan hiburan di wilayah pe
nutur bahasa Sunda. Im dapat terkait dengan apa yang oleh Gonggrijp di
sebut goena (guna). Sedangkan Moehamad Moesa juga mengatakan dalam
bukunya, "membaca bersenang-senang tidak berguna."Tenm saja, kadang-
kadang kita membumhkan cerita-cerita seperti Rama dan Angling Darma
unmk kegembiraan. Akan tetapi, kita hams membaca cerita-cerita yang
"bermanfaat" (manpaat). Dilanjutkannya sebagai berikut:

Sanget paneda kawoela,


ka Goesti raboel alamin.
ijeu teh djadi manpaat,
keur watjaeun moerangkalih,
soepaja djadi lantip,
ahirna manggih rahajoe,
anoe kagoengan poetra,
oelali rek koerang pamerdih,
ka poetrana sing matja ijeu tjarita.
1
Malaoer djeung matja tjarita,
anoe bohong taja hasil,
matak bae kasamaran,

112 kalam 22
' t

DARI MANUSKRIP KE CETAKAN

manahna maroerangkalih,
maroekan enja boekti,
noe diseboet sakti wedoek,
boga pikir noeroetan,
hajang wedoek reudjeung sakti,
anoe kitoe eta kasasar pikirna.10

(Saya sungguh-sungguh memohon kepada Tuhan pencipta alam bahwa ini


akan bermanfaat sebagai bacaan untuk anak-anak, sehingga mereka akan
menjadi pintar dan akhirnya akan meniperoleh kedamaian. Mereka yang pu
nya anakjangan lupa mendorong anak-anaknya untuk membaca cerita ini.
Ini lebih baik daripada membaca cerita yang bohong, tak ada hasilnya
yang menimbulkan kebingungan dalani pikiran anak-anak. Mereka jadi per
caya bahwa itu benar. Hal yang dikatakan sakti, dm kebal, [anak-anak] ingin
meniru mereka ingin menjadi kebal dan sakti, mereka yang melakukan ini pi-
kirannya akan tersesat.)

Hal ini menjadi salah satu akibat dari hilangnya posisi dominan sebuah
genre tradisional puisi naratif, wawacan.

Buku cetakan dan wawacan


Jumlah buku yang dicetak pada paruh kedua abad ke-19 kurang-le-
bih 200 judul. Sulit mengatakan apakah jumlah ini besar atau tidak, te
tapi dalani tinjauan kembali jelas bahwa buku-buku cetakan itu, yang
membantu perkenibangan sekolah-sekolah, mengubah tulisan Sunda
dan oleh karenanya juga mengubah kehidupan budaya di Jawa Barat.
Usaha-usaha percetakan lokal mulai berdiri, pelbagai bentuk tulisan
baru—jurnal, koran, dan buku-buku cerita terjemahan—berkembang,
dan kelompok orang yang memiliki gagasan progresif muncul dalam
masyarakat. "Cetakan"hanya merupakan salah satu sarana menuju mo-
dernisasi dalam tulisan Sunda. Selain itu ada sarana lain: lembaga-lem-
baga Islam, perkembangan bahasa Melayu, usaha-usaha kolonial untuk
membakukan "bahasa Sunda", pembangunan sekolah-sekolah. "Tulisan

Moehamad Moesa, Dongeng-Dongeng Pientengen (Batavia: Landsdrukkerij, 1867), 4.


Selanjutnya dituiis Dongeng-Dongeng Pientengen.
kalam 22 ....
MIKIHIRO MORIYAMA

modern Sunda" merupakan simpul yang mengikat semuanya secara


bersama-sama.
Ketika teknologi percetakan diperkenalkan ke dalam tulisan Sunda
pada pertengahan abad ke-19, wawacan sangat digemari orang Sunda.
Oleh karena itu, para sarjana Belanda menyimpulkan bahwa ini adalah
genre "paling tradisional" dan "paling bergengsi" di antara berbagai
bentuk tuHsan Sunda dan sarana paling baik untuk pendidikan. Peme
rintah kolonial menerbitkan publikasi berbaliasa Sunda dalani bentuk
wawacan. Dari 87 buku bacaan, 51 di antaranya merupakan teks wawa
can, atau hampir 60 persen dari jumlah keseluruhan. Banyak wawacan
diterbitkan dalam dua periode: pertama pada 1860-an, dan kemudian
pada sekitar pergantian abad. Pada 1860-an kebanyakan publikasi ber-
bentuk wawacan, khususnva yang diterbitkan oleh Landsdrukkerij. Ini
adalah pengaruh K. F. Holle, yang percaya bahwa wawacan paling efektif
dalani memperkuat secara langsung identitas orang Sunda dan memba
wa pencerahan.
Namun, wawacan secara berangsur-angsur kehilangan posisi domi-
nannya: bentuk puitik dan konvensi berceritanya tidak cocok lagi de
ngan sifat yang menyertai cetakan dan tuntutan modernitas. Makin ba
nyak prosa yang diproduksi dalani bentuk cetakan. Sudah barang tentu,
bentuk tulisan berinteraksi dengan dan mengubah kebiasaan membaca.
Secara berangsur-angsur perhatian orang terhadap cerita-cerita tradi
sional yang dituiis dalam bentuk puisi, yang biasanya digunakan dalam
acara-acara yang bersifat ritual, makin berkurang. Juga, melagukan dan
mendaraskan tidak lagi menjadi satu-satunya cara membaca. Tulisan
prosa dalam bentuk cetakan dibaca secara perseorangan, dan akhirnya
dalam kesunyian.
Tak pelak lagi, wawacan cetakan tidak teramat disukai oleh kalangan
orang Sunda yang melek huruf cetak, meskipun telah dipromosikan
oleh Hone dan pemerintah kolonial. Holle dan Moesa boleh jadi tidak
membayangkan bahwa orang akan lebih menyukai terjemahan dan sa-
duran yang berbentuk prosa daripada wawacan. Bukankah wawacan itu
"asli", dan tulisannya adalah bentuk puitik.vang digemari or^ng Sunda
lebih daripada yang lain? Sebagai hasilnya, kedua segi yang amat istime-
wa itu—"keaslian" dan bentuk puitik—tiuak dapat memuaskan murid-
murid yang niendambakan modernitas. Ini merupakan fenomena yang

114 kalam 22
' ' DARI MANUSKRIP KE CETAKAN

mengandung paradoks: Belanda mempromosikan wawacan sebagai sara


na untuk mencerahkan pikiran orang Sunda; tetapi wawacan cetakan,
dengan sedikit pengecualian, tidak betul-betul sukses. Wawacan dan bu
ku cetakan semakin tidak (mungkin) dapat didamaikan tampaknya.
Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa wawacan tidak disukai.
Katalog Ekadjati (1988) memperlihatkan bahwa di banyak tempat di
Jawa Barat wawacan telah terpeHhara dalani bentuk naskah. Wawacan
Amar Sakti atau Wawacan Ogin, misalnya, dapat ditemukan di berbagai
tempat.Tampaknya karya ini sering disalin dengan tangan;11 naskah-naskah
baru bahkan masih dibuat pada pertengahan abad ke-20.12 Wawacan terus
beredar dalam tradisi kirografik, terpisah dari wawacan cetakan.
Kenapa wawacan cetakan tidak digemari lagi? Memang, orang Belanda
menganggap wawacan sebagai genre sastra tradisional Sunda "paling murni"
dan "paHng bagus", sehingga mereka mencoba menggunakannya unmk
membawa informasi guna mencerahkan pikiran orang. Holle meminta
atau menyuruh para penuHs Sunda mengarang wawacan yang akan di-
pubHkasikan. Wawacan menjadi priniadona dan meminggirkan genre-genre
yang lain. Akan tetapi, kemudian wawacan cetakan itu lebih bersifat infor-
matif dan didaktik ketimbang wawacan "tradisional" dalam naskah-naskah
dan dikarang terutama untuk hiburan. Umpamanya, Wawacan Seca Nala
(Wawacan Secanala) yang diterbitkan pada 1863, oleh HoUe dan Moesa,
bertujuan memberikan informasi kepada para petani dan pedagang me
ngenai segala sesuam dan gagasan-gagasan yang dianggap berguna. Segi
"berguna" im suam nilai penting dalani penuHsan baru yang dikemukakan
oleh Gonggrijp di atas. Bentuk mlisan tradisional im amat dikenal oleh
penduduk, tetapi wawacan seperti im mengandung berbagai hal yang tidak
dikenal dan aneh, yang pelan-pelan mengakibatkan kematian wawacan.
Kandungan bam dalam bentuk-bentuk genre yang lama: ini merupakan
kombinasi yang ganjil, yang juga menjadi ciri begitu banyak usaha pendi
dikan lain di Hindia-Belanda dan membawanya ke kegagalan.

11
Sumber: komunikasi pribadi dengan penduduk lokal Sunda pada bulan Agustus dan
September 1995. Mereka adalah penduduk desa, beberapa orang guru musilc
tradisional yang mengajar di sekolah menengah umum (SMU), sejumlah pensiunan
guru sekolah dasar, beberapa peneliti kesusastraan Sunda, dan sejumlah novelis Sunda.
12
Ayatrohaedi dan Abdurachman, Wawacan Ogin Amarsakti (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1991).

kalam 22 115
MIKIHIRO MORIYAMA

Perubahan bentuk penulisan dan perubahan cara membaca


Wawacan, dalam pengerrian umum, adalah puisi naratif panjang unmk
dipermnjukkan di depan khalayak. Wawacan selalu didendangkan dan
kadangkala dinyanyikan dengan suara keras, yang dikarang dalani bentuk
sajak yang disebut dangding. Dangding menjadi suam tradisi setelah golongan
menak dan guru-guru agama Islam dalam wilayah penutur bahasa Sunda
nieminjamnya dari tradisi kesusastraan Jawa, macapat, tatkala Kerajaan
Mataram menguasai Jawa Barat. Dangding yang dinyanyikan disebut juga
tembang. Dangding sebagai suam benmk puisi dikagumi di Hngkungan kaum
menak Sunda dan merembes ke kaum eHtenya.
Moehamad Moesa menyadari keleniahan dangding jika dihliat dari segi
pemahaman isi. Dalam kata pengantar salah sam bukunya, Dongeng-Dongeng
Pientengen, Moesa menjelaskan mengapa ia tidak menulis dalam benmk
dangding:

Eta dongeng anoe reja,


teu dianggit make dangding,
ngan make pada kaHmah,
lain soesah njijeun dangding,
ngan eta leuwih hasil,
tara kasedek koe lagoe,
tjarita bisa kebat,
tara katarik koe dangding.
Didangoena ngeunah gampang kahantna
(lihat Dongeng-Dongeng Pientengen, 5).

(Kebanyakan cerita tidak d.karang dalam benmk dangding, tetapi dalam


benmk kalimah. Tidak berarti bahwa susah membuat dangding, tetapi [kalimah]
akan lebih baik hasilnya,jarang tersendat oleh lagu-lagu. Centa dapat bergerak
maju dengan cepat, jarang terhela oleh dangding. Enak didengar dan mudah
dimengerti.)

Kalimah adalah kata kunci di sun, dan kata itu,mungkin paHng bagus ji
ka diterjemahkan sebagai "prosa". Moesa menjelaskan mengapa prosa lebih
disukai daripada puisi (dangding): cerita-cerita yang dikarang dalam benmk
kalimah dapat bergerak maju lebih cepat ketimbang dalani benmk puisi,
kalam 22
116
' p
DARI MANUSKRIP KE CETAKAN

yangjalan ceritanya sering dibuat tersendat-sendat oleh unsur-unsur hiasan


(ornamentasi). Di samping im, prosa lebih jernih dan jelas. Dengan demiki
an, akibat kemuncujan teknik-tekiiik percetakan, mlisan Sunda mengikuti
suatu jalan baru, yaim bahwa sifat mudah dibaca dan mudah dimengerti
menjadi hal yang lebih penting daripada unsur-unsur seninya. Sudah ba-
rang tenm, ada ironi dalam kenyataan bahwa Moesa merasa terdorong un
mk menegaskan kelebihan prosa dalam dangding sebelum memulai cerita
nya yang berbenmk prosa—kenyataan ini dibaca seperti sebuah rnomen
simboHk masa transisi. Pada saatnya suara menjadi hening, demikian yang
disaksikan sendiri oleh Moesa, dan dangding akan kehilangan posisi superi-
ornya dalani khazanah tuHsan Sunda. Anak perempuan Moesa, Lenggang
Kantjana, membuat beberapa catatan menarik tentang prosa dan kegiatan
membaca:

Ijeu koe koela disalin,


dipindahkeun kana soenda,
tapi diomongkeun bae,
hanteu dikarang koe tembang,
saperkara soesahna,
neangan omongan roentoet,
parele bener dangdingna.

Sanadjan teu salah dangding,


ari teu beres omongan,
tangtoe henteu djadi sae,
kaoela remen manggihan,
noe ngarang basa soenda,
ngan ngoeroes bae dangdingdoeng,
basana pabeulit pisan.

Kadoea anoe dipambrih,


noe matak
henteu koe tembang,
baris aoseun diilo,
njaHra di p?goeHngan,
djeung dim korsi gojang,

kalam 22 117
-WZ • »T~

MIKIHIRO MORIYAMA

eta kitoe noe dimaksoed,


noeroetan oerang Eropa.13

(Ini saya yang menerjemahkan dialilikan ke bahasa Sunda, tapi diucapkan dalam
bentuk prosa saja,tidak dikarang dalam bentuk tembang. Pertama, sulk untuk men-
cari-cari omongan yang mntut yang hams bersesuaian dengan dangding.
Walaupun tak ada yang salah dengan dangding, jika omongan tidak beres,
tentu saja tidak akan jadi bagus. Saya sering menemukan orang-orang menga-
rang dalam bahasa Sunda, tapi hanya memperhatikan aturan dangding, sehingga
susunan katanya sangat membingungkan.
Kedua, apa maksudnya di sini, alasan menulis tidak dikarang dalam benmk
tembang adalah bahwa dia dibaca dalam hati ketika engkau sendirian di tempat
tidurmu atau di kursi goyang. Itulah yang saya maksud dengan mengikuti
orang Eropa).

Di dalam kata pengantar kumpulan cerita terjemahannya, Lenggang


Kantjana memakai kata omongan dengan am prosa. Lenggang Kantjana te
lah menjadi orang pertama yang menyatakan dalam tnlrsan bahwa mem
baca dapat dilakukan seorang diri, untuk diri sendiri, bahkan mungkin da-
tan hening. Cerita-centa adalah baris aoseun diilo, "sesuatu yang dibaca da
lam hati", demikian dia berpendapat; diilo mengacu kepada membaca sen
diri atan dengan suara yang lemah dan membaca cepat." Membaca sebuah
buku adalah aktivitas yang bisa dilakukan sendirian dalam hemng, yang
dapat dilakukan oleh para pembaca Sunda sambil tiduran di tempat tidur
atau duduk d. kurs, goyang, persis seperti yang dilakukan oleh orang Eropa.
Omongan dan diilo adalah istilah yang menyarankan kemunculan suatu cara
baru dalam membaca bersama dengan perubahan posisi prosa dan puis,
dalam penulisan Sunda. Masuknya mesin cetak ke dalam tradisi penulisan
Sunda mengubah pemahaman orang Sunda tentang penulisan pada perte-
ngahan abad ke-19.
^r^r^Ka^tjana, r^r^nj.W///(Batavia: Landsckukkerij, 1887), 1-2.
14 Kata diilo masm dlpakai dalam pengerrian "membaca dalam hati" (macaku hate)-
baca Satjadibrata, Kamus Basa Sunda (Djakarta: Perpustakaan Perguruau Kementnan
PPdan K., 1954), 156. Eringa mengulang! interpret Coolsma, membaca untuk
diri sendiri" (voor zichzelf to)-baca F. S. Ennga, Soendaas-Nederlands Woordenboek
(Doordrecht: Foris, 1984), 309.
kalam 22
118
• t

. DARI MANUSKRIP KE CETAKAN

Demikianlah, peraHhan dari keHsanan ke keberaksaraan perlu dikaitkan


dengan sarana atau media penuHsan. Ketika media cetak memasuki dunia
keberaksaraan, pelbagai segi kebudayaan berubah: perwujudan "buku",
benmk tuHsan, dan cara membaca.' Perubahan semacam im tampaknya ter
jadi juga ketika muncul radio dan televisi sebagai teknologi baru. Oralitas
dan auraHtas kembaH memasuki dunia pemikiran orang dengan cara yang
tak dikenal sebelunmya. Namun, itu berbeda dari budaya oral-aural dalam
pernaskahan dahulu. Juga visuaHtas mulai merasuki pemikiran orang dan
seniakin menjadi dominan dalam keliidupan orang. Mungkin sebagian
orang yang tak melek huruf di Indonesia langsung saja masuk ke dunia
"audio-visual" tanpa melalui keberaksaraan. MeHhat dan mendengar per
nah sangat penting dalam kesenian dan kesusastraan di komunitas-komu-
nitas tradisional, tetapi im akan menjadi penting dalam arti dan arah yang
berbeda, yaim dari komunitas ke individualitas. Orang tidak lagi berbagi
perasaan dengan orang lain dan lebih sering menyendiri di depan layar liq
uid-crystal, termasuk komputer pribadi. Apakah sastra pun akan ikut ber
ubah dalam pelbagai segi sebagaimana terjadi ketika mesin cetak memasuki
dunia sastra?

kalam 22 -^n
- ivy. o$
MICHAEL RINALDO

RILKE DAN CHAIRIL


Etos Kerja, Terjemah, Silang Tema

BISAKAH individu melepaskan diri dari masyarakat sekitarnya? Dalam


seni pertanyaan im muncul sebagai diskusi klasik tentang bisa atau ti
daknya sebuah karya seni berdiri sebagai institusi sendiri, di mana secara isi
ia menolak dan melepaskan dirinya dari pembahasan tenia sosial politik za-
mannya. Sedang secara bentuk, setidaknya dalani sastra, bahasa yang diguna
kan mencoba menjauhkan diri dari bahasa yang secara langsung berflingsi
menyampaikan suam informasi dan mencerminkan kebenaran empiris. Hal
ini dapat menjelaskan kesulitan dan keruwetan karya-karya penting mo
dernisme seperti "The Waste Land" EHot atau "Prose" Mailarme. Dengan
kata lain, sebuah karya seni tidak secara gampang berflingsi sebagai pencer-
minan/peniruan (mimesis) langsung kenyataan di sekitarnya, melainkan
cenderung mempakan interogasi terhadap konsep mimesis tradisional ini.
Tetapi usaha membangun otonomi seni ini adalah sebuah proyek yang
cenderung gagal, sehingga bagaimanapun kompieks, terfragmentasi, dan
suHtnya suam karya, pada akhirnya ia tetap berflingsi sebagai representasi
sebuah kenyataan modernitas abad ke-20 yang juga telah menjadi rumit
dan terfragmentasi. Menyusup baHknya kenyataan ke dalam seni inilah yang
menyebabkan sikap ambivalen beberapa teks puisi Hrik modernis terhadap
seni, sadar tidak hanya akan gagalnya usaha pelarian dari kenyataan sosial,
tetapi juga kepada perlunya kerumitan dan jarak benmk dalani sebuah kar
ya seni agar bisa mencerminkan fragmentasi dunia empiris. Pengasingan di
ri sang subyek dari dunia sekitarnya, terutama dalam tradisi puisi Hrik, me-
nuju kata dan grammar, tidak harus selalu dibaca sebagai penolakan terhadap
dan pelarian dari situasi sosial politik, tetapi justru merupakan penolakan
terhadap mimesis tradisional dan upaya menemukan cara bam menggam-
barkan zamannya. Tentu saja, upaya mimesis non-tradisional ini juga dihan-
kalam 22 ^21
4 , -

MICHAEL RINALDO

tui kegagalan, sehingga tidak semua karya yang rumit bisa serta-merta diar-
tikan sebagai representasi modernitas.
Dibanding kata "penantangan", kata "interogasi" lebih tepat digunakan
dalam mendiskusikan sikap-sikap yang ditemukan dalam pembacaan puisi-
puisi Rilke dan Chairil; dengan mempertanyakan representasi dan fungsi
seni(man), teks-teks kedua penyair ini pada akhirnya tidaklah mengambil
sam posisi tetap, malah mempertahankan ketegangan antara seni dan poH-
tik, individu dan masyarakat. Rilke hanyalah satu bagian dari pengaruh
puitika Eropa Barat terhadap Chairil.Jumlah puisi Chairil, yang tidak bisa
dibilang besar, tetap dapat menunjukkan adanya pengaruh ini.Terlebih lagi,
sedikitnya jumlah karya Chairil menunjukkan intensitas dan kehati-hati-
annya dalam pemiHhan kata yang menumbuhkan sifat kritis yang dalam
terhadap kepenyairannya sendiri.
TuHsan ini akan membahas tiga titik perbandingan antara Chairil Anwar
dan Rainer Maria Rilke.Yang pertama adalah mengenai metode kerja atau
penuHsan Chairil, yang saya yakmi mendapat pengaruh cukup penting dari
Rilke jika kita melihat terjemahan beberapa surat Rilke oleh Chairil.Titik
perbandingan kedua adalah penerjemahan karya Rilke oleh Chairil yang
lebih jauh menunjukkan kreativitas dan kemampuan penerjemahan penya
ir (berbahasa) Indonesia ini. Titik perbandingan ketiga, dan bagian utama
artikel ini, adalah persilangan tematis antara Rilke dan Chairil, mengingat
dalam puisi mereka dapat ditemukan beberapa ambivalensi mengenai oto-
nomi seni dalam era modern.

Etos kerja
Rilke adalah salah sam penyair puisi Hrik abad ke-20 yang paHng sering
dibaca setidaknya dalam khazanah sastra Barat. Ini mempakan suam ke-
janggalan mengingat bahwa baik tenia maupun benmk puisinya tidaklah
mudah. Tetapi pengaruh Rilke terhadap konvensi puisi Hrik pada abad ke-
20 tidaklah dapat diabaikan. Bukan hanya puisinya sendiri, tetapi juga surat-
suratnya mendapat perhatian dari pembaca puisinya.1 Walaupun tidak jelas
detailnya, Chairil berhasil mendapatkan kopi beberapa surat miHk Rilke
serta menerjemahkamiya. Bila vitaHsme Chairil^ dapat dikatakan dipenga-
l Sebagai contoh kecil, di Amerika Senkat surat-surat Rilke kepada penyair muda
Kappus, yang dikoleksi dengan judul Briefe an einemjungen Dichter, diterjemahkan dan
sering menjadi bagian dari silabus kelas-kelas penuHsan kreatif di berbagai universitas.
17? kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL

ruhi penyair ekspresionis Belanda Marsman, maka Rilke-lah yang meme-


ngaruhi etika kerja dan metode puitik Chairil. Seperti Rilke, dia menolak
inspirasi sesaat sebagai sumber utama seni. Semasa liidupnya Chairil sempat
menerjemahkan beberapa puisi dan flagmen surat-surat penyair modernis
Jerman ini.
Metode kerja Rilke sendiri dipengamhi oleh Auguste Rodin, seorang
pcmamng Prancis pada awal abad ke-20, terutama dengan diktunmya: //
faut toujours travailler—toujours.2 Mengingat dominannya kapitalisme dalani
pengguiiaan bahasa kontemporer, mungkin perlu diperjelas bahwa apa
yang disebut travailler, "bekerja", di sini bukanlali dalam arti sebuah profesi
atau pekerjaan mencari nafkah, melainkan usaha dalam penciptaan suatu
karya. Pengaruh metode puitik ini mulai timbul dalani diri Rilke ketika ia
bekerja di Paris sebagai sekretaris pribadi Rodin. Dua puisi Rilke yang di
terjemahkan oleh Chairil adalah "Herbsttag" dan "Ernste Stunde." Frag-
men terjemahan surat-surat Rilke berasal dari tiga surat yang berbeda, sam
ditujukan kepada Rodin, tertanggal 11 September 1902, dan dua dimjukan
kepada Lou Andreas-Salome, tertanggal 10 Agustus 1903 dan 19 Oktober
1904 [sic!]. Perlu diketahui bahwa flagmen terjemahan surat Rilke 19 Ok
tober 1904 oleh Chairil tidak sesuai, dan malah berbeda sama sekaH, de
ngan isi surat asHnya yang bertanggal sama; jadi, sangat mungkin ada kesa-
lahan penanggalan pada flagmen terjemahan surat tersebut.3
Ada dua kemungkinan mengapa Chairil tidak menerjemahkan surat-
surat tersebut secara keseluruhan, yaitu: karena 1) ia tidak sempat menyele-
saikannya sebelum meninggal, atau 2) ia hanya menerjemahkan apa yang ia
rasa penting. Bila diperhatikan, semua terjemahan surat Rilke oleh Chairil,
termasuk yang mungkin salah tanggal, memiHki sam kemiripan tema, yaim
tentang betapa pentingnya kerja dan kesabaran bagi seorang seniman. Dari
sini dapat diperkirakan bahwa pengulangan fokus dalani penerjemahan su
rat Rilke menandakan kekaguman dan penerimaan terhadap metode pui
tik penyair Jerman ini, sehmgga menjadi cara bekerja Chairil sendiri., Pe
ngaruh Rilke terhadap karya-karya Chairil tidak sejelas pengaruhnya dalam
hal etos kerja. Dalam surat-surat dan prosanya sendiri Chairil sering me
nulis mengenai pentingnya kerja dalani seni dan ketidakpercayaannya ter-

"[Kita] perlu selalu bekerja—selalu."


Terjemahan selengkapnya yang disertai kutipan surat-surat asli Rilke, lihat Lampiran.

kalam 22 123
MICHAEL RINALDO

hadap inspirasi yang tak ditempa. Contoh yang tepat dapat ditemukan
dalam dua kutipan yang sempat diulang Chairil baik dalam pidatonya ta
hun 1943 maupun dalam "Berhadapan Mata":
4

Sepeninggalnya Beethoven didapat buku-buku penuh catetan. Perse-


diaan dan persiapan untuk lagu-lagunya yang merdu murni serta sempur-
na itu. Bertahun-tahun ahli musik besar ini bersiapsedia, baru satu buah
masak luardalam baru bisa dipetik. Missa solemnis-nya dikerjakan lima ta
hun lebih.

dan

Kalau diturut mereka, maka pikiran dan dasar seni atau filsafat im datang
nya. sebagai cahaya sun/a dari langit, memanaskan kita dan jenak im juga ma-
tang!!! Akibatnya: Ange' ange' ciri' ayam!! [...] Jika kerja setengah-setengah saja,
mungkin satu waktu nana, kita jadi improvisator. Sungguhpun improvisator besar!
Tapi hasil seni improvisator tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni cipta.4

Walaupun ada perbedaan dalam gaya dan penyainpaian, tampak di


sini beberapa kemiripan di antara Chairil dan Rilke. Chairil memakai
metafora organisme tumbuhan dalam deskripsinya mengenai kema-
tangan sebuah karya seni Beethoven, suatu jenis metafora yang sering
dipakai Rilke dalani surat-suratnya kepada penyair muda Franz Xaver
Kappus. Rilke juga tidak memercayai inspirasi yang tidak disertai usaha.
Dengan melihat prosa Chairil, sekarang kita bisa melihat mengapa ia
bukanlah seorang penyair yang sangat subur; ada kalanya dalani satu
tahun ia hanya menghasilkan tiga buah puisi. Tetapi, selain menulis kar
ya asli, Chairil juga seorang penerjemah puisi dan prosa yang cukup ak-
tif, walau banyak terjemahamiya yang akhirnya tidak terselesaikan. De
ngan melihat penerjemahan karya-karya sastra oleh Chairil, kita juga
dapat mempelajari lebih dalam bagaimana pengaruh tema sastra mo
dernisme Eropa Barat muncul tidak hanya dalani metode puitik, tetapi
juga cara penerjemahan puisi.

4 Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (Jakarta: Horison,
1999).

124 kalam 22
:^r^-—r—r?

RILKE DAN CHAIRIL

Terjemah
Rilke tampaknya belum terlalu dikenal oleh khalayak pembaca In
donesia. Hal ini bisa disebabkan oleh suHtnya menerjemahkan karyanya
dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia. Namun, terlepas dari masalah
bahasa (jika kita bisa percaya bahwa ada masalah lain selain bahasa),
puisi Rilke sering dikatakan memiliki sebuah ciri universal dalam te-
ma-temanya. Menurut Alec Randall, Rilke adalah seorang penyair Jer
man yang tidak berakar kepada bangsa atau negaranya dan juga tanpa
suatu patriotisme eksklusif ataupun pengaruh dari berbagai sumber
Eropa. Randall juga menyatakan bahwa Rilke adalah penyair universal
yang secara kebetulan berlidah Jerman, dan "banyak karya Rilke juga
bisa dituiis dalam bahasa Prancis."5 Chairil, yang puisinya sendiri cen
derung menengok ke modernisme Barat dalani hal metode dan tenia,
menerjemahkan dua puisi Rilke ke dalam bahasa Indonesia. Pada bagi
an ini saya akan membahas secara singkat terjemahan Chairil atas puisi
Rilke "Ernste Stunde". Berikut adalah kutipan teks asli dan diikuti
oleh terjemahannya:

Ernste Stunde

Werjetzt weint irgendwo in der Welt


ohne Grund weint in der Welt,
weint iiber mich.

Wer jetzt lacht irgendwo in der Nacht,


ohne Grund lacht in der Nacht,
lacht mich aus.

Wer jetzt geht irgendwo in der Welt,


ohne Grund geht in der Welt,
geht zu mir.

5 Alec Randall, "Rainer Maria Rilke, Universal Poet with a German Tongue", dalam
John Gross, ed., The Modern Movement: A TLS Companion (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 185 dan 186.

kalam 22 125
MICHAEL RINALDO

Wer jetzt stirbt irgendwo in der Welt,


ohne Grund stirbt in der Welt,
sieht mich an.

Jejak Berhenar

Yang kini entah dimana didunia nangis,


tidak berpijakan didunia nangis,
nangiskan aku.

Yang kini entah dimana tertawa dalam malam,


tidak berpijakan tertawa dalam malam,
mentertawakan aku.

Yang kini entah dimana didunia berjalan,


tidak berpijakan didunia berjalan,
datang padaku.

Yang kini entah dimana didunia mati,


tidak berpijakan didunia mati,
pandang aku.

Hal pertama yang langsung menarik perhatian kita adalah mengapa


Chairil menerjemahkan Ernste Stunde (Jam/Wakm yang Serius/Sungguh-
sungguh) menjadi "Jejak Berbenar"? Apa yang membuatnya meniilih kata
"jejak" unmk menggantikan Stunde (Jam)? Unmk menjawab ini haruslali
dilihat terjemahan kata Grund dalam baris kedua bait pertama. Dalani ba
hasa Jerman, Grund dapat berarti "alasan" atau "tanah". Dengan adanya arti
ganda dalam kata ini, kita sudah dapat meHhat hubungan tersirat antara
Grund dengan Welt. Chairil memiHh menggunakan ekspresi "tidak berpi
jakan" unmk menerjemahkan ohne Grund (tanpa dasar).Terjemahan Chairil
di sini lebih mengonkritkan Grund dengan menitikberatkan arti kata terse
but secara fisik sebagai materi, yaim "tanah". Terjemahan Chairil seakan
menghilangkan arti ganda kata yang muncul dalam bahasa asalnya. Akan
tetapi, dampak diksi Chairil hams dipertimbangkan bersama-sama dengan
bagaimana ia menerjemahkan baris tersebut secara keseluruhan.

.4 26 kalam 22
Tn—

RILKE DAN CHAIRIL

Seorang penerjemah yang mencoba mengikuti penempatan dan refe-


rensi kata sedekat-dekatnya dengan baris asalnya mungkin akan menuHs:
"tanpa dasar/alasan menangis di dunia" (ohne Grund weint in der Welt), ber
beda dari apa yang dituhs Chairil:"tidak berpijakan didunia nangis". Dalani
teks asalnya in der Welt (di dunia) muncul setelah kata kerja weint (nangis),
sedangkan Chairil meletakkannya sebelum kata kerja tersebut dalam terje-
mahannya. Terkecuali bait kedua, inversi ekspresi in der Welt dan kata kerja
di baris kedua suam bait muncul berulang-ulang dalam semua bait lainnya
yang diterjemahan Chairil. Berkat perbedaan penempatan in der Welt, kaH-
mat terjemahan Chairil mempunyai dampak yang berbeda dari kalimat
asaHiya. Dalam versi Rilke, Welt (dunia) lebih menjadi latar belakang tempat
sosok yang dideskripsikan menangis tanpa alasan. Sementara itu, dalam
versi Chairil, "dunia" ini justru yang menjadi tempat berpijak sosok yang
digambarkan, sehingga sosok ini menangis sambil tidak berpijak di atas
dunia. Pada awalnya, terjemahan baris ini lebih menitikberatkan aspek fisik
kata Gmnd sebagai tanah berpijak dengan nienyandingkannya dengan
ekspresi "didunia" (;'// der Welt) sehingga membuat hubungan antara Welt
dan Gmnd menjadi kentara.
Menariknya, pembanciingan terjemalian Chairil dengan teks asahiya me-
mmbulkan perlawanan antara apa yang dikatakan dan bagaimana ia dinyatakan.
Di sam sisi, baris kedua dalani terjemahan Chairil masih niengekspresikan tidak
berpijakannya seseorang.Tetapi di sisi lain,jika kita membandingkan terjemalian
dan teks asalnyajukstaposisi kata "berpijakan" din "di dunia" terjemalian Chairil
seakan mendorong sifat harfiah fisik kata Gnmd yang di dalam teks asalnya masih
lebih tersirat dan berbagi dengan arti abstraknya, yakni "alasan". Citra kata Gnmd
di sini telah diarahkan—meski tidak sepenuhnya—kepada sesuatu yang konkrit
dalam terjemahan Chairil.Tetapi apakah perubahan terhadap teks asal yang ada
dalani penerjemahan ini lalu bisa dibaca sebagai strategi retorik Chairil yang ber-
hasil menciptakan semacam pijakan bahasa terhadap figur dalani "Ernste Stun
de" yang tidik memiliki dasar, sehingga sebagai konsekuensi menghilangkarj"
banyaknya arti kata Gnmd? Saya merasa ini bukanlah pembacaan yang sepenuh
nya tepat.
Pada tingkat analisis bahasa yang lain, penulihan dan peletakan kata pada
baris kedua oleh Chairil justru tidaklah harus dibaca sebagai penghilangan
arti ganda Grund. Melainkan, dengan adanya kesan konkrit literaHtas dalani
baris ini, versi Chairil justru mempeiiuas, sehingga mencakupi seluruh
baris, unsur metaforis yang hadir dalani kegandaan arti kata Gmnd di versi

kalam 22 .^
MICHAEL RINALDO

Rilke. Seperti yang telah dibahas di atas, bahasa dalani puisi acapkali tidak
berflingsi sebagai pencerminan langsung kenyataan empiris, terutama da
lam ams sastra modernis di mana mimesis langsung seperti ini cenderung
dipertanyakan. Michael Riffaterre menyebut ketidaklangsungan represen
tasi dalam puisi sebagai "indireksi", yaitu mengatakan satu hal tetapi sebe
tulnya memberikan arti yang lain dan mengancam representasi kenyataan
dalani sastra.6 Kata-kata dalam sebuah puisi tidaklah seharusnya dibaca seca
ra terburu-buru sebagai pengarahan kata kepada dunia/kenyataan. Menje-
jaki teori pembacaan Jonathan Culler, yang membedakan pembacaan puisi
dari pembacaan, misalnya, sebuah berita perampokan dalani sebuah koran,
adalah relevansi mungkinnya pembacaan suatu teks puisi sebagai sesuam
yang lain dari penyampaian informasi. Walau mungkin digunakan untuk
membaca atau menelaah cara dan strategi penyampaian suatu teks tentang
perampokan di dalani majalah atau koran, hal ini tidaklah sepenting me-
ngetahui detail seperti tanggal, siapa pelaku, dan korbannya. Sedangkan di
dalani puisi, pada umumnya,7 konvensi pembacaan yang ada terhadap jenis
wacana seperti ini mengizinkan kita membaca kata-kata yang ada sebagai
sesuatu yang tidak hanya memberikan informasi. Penggunaan bahasa dan
cara penyampaian sebuah informasi menjadi sesuatu yang sama, bila tidak
lebih, penting daripada informasi yang disampaikan. Dengan adanya an-
caman terhadap mimesis tradisional, puisi nieniungkinkan pembaca tidak
membaca arti kata sebagai pengarahan menuju dunia, malah mendo-
rongnya menafsirkan unsur-unsur penggunaan bahasa dan retorik da
lam suatu teks sebagai sesuatu yang penting.8
Kembali kepada telaah terjemahan Chairil, jika sekarang kita tidak bisa
begitu saja nienerima suatu kata sebagai representasi benda empiris dan
mimesis tradisional menjadi dipertanyakan, Hteralitas ekspresi "tidak berpi
jakan didunia" pada baris kedua bisalah mengundang kita mengubah pem-

'' Michael Riffaterre, Semiotics ofPoetry (Indiana: Indiana University Press, 1978), 1-2.
Walau pembacaan puisi pasca-Holocaust seperti karya Paul Celan merupakan
tantangan tersendiri karena ketegangan yang muncul antara bentuk dan bahasa puitik
dengan kebenaran sejarah. ,
8 Untuk diskusi lebih dalam mengenai strategi pembacaan dan konvensi genre, lihat
Jonathan Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature
(London: Routledge, 2002 [1975]). Lihat terutama bab "Literary Competence" dan
"Poetics of the Lyric".

128 kalam 22
"«--• -

RILKE DAN CHAIRIL

bacaan baris ini menjadi figuratif, di mana ekspresi ka.justru dapat berfungsi
sebagai metafora tiadanya alasan sang sosok yang dideskripsikan dalani
"Ernste Stunde", yang semula hanya dilambangkan dalam versi Rilke me
lalui satu kata Gmnd.Walau pemilihan kata-kata dalam menerjemahkan ba
ris kedua "Ernste Stunde" menjadi "yang tidak berpijakan di dunia nangis",
membuatnya menjadi lebih harfiah, pemilihan kata-kata yang sama inilah
yang memperluas kemungkinan pembacaan metaforis baris ini. Kegandaan
dalani arti kata Gmnd di sini diterjemahkan oleh Chairil menjadi kete-
gangan yang muncul antara bertambahnya kesan harfiah dalam kata-katanya
chn meningkamya kemungkinan pembacaan figuratifpada baris ini.
Maka, pemiHhan judul "Jejak Berbenar" kini lebih dapat dimengerti da
lam konteks bagaimana Chairil menitikberatkan aspek fisik Grund dan Welt
dalam teijemahannya. Kata "jejak" dalam perubahan judul niengutamakan
tenia perjalanan yang sudah dibtiat lebih nyata dan harfiah dalam terjemah
an dan penataan ulang baris kedua "Ernste Smnde".
Chairil juga menggunakan kebebasan lainnya dalani menerjemahkan.
Sebagai contoh, baris pertama: Werjetzt weint irgendwo in der Welt, diterje
mahkan menjadi "Yang kini entah dimana didunia nangis." Bila kita benar-
benar mematuhi kata-kata Jermannya, baris ini seharusnya diterjemahkan
menjadi "Siapa yang kini menangis di suatu tempat di dunia." Kata irgendwo
(di suam tempat) diterjemahkan menjadi "entah di mana". Dengan adanya
kata "entah" dalani terjemahan ini, kesan kehilangan dan ketakberakaran
individu menjadi lebih jelas, sesuatu yang secara tematis dapat dihubungkan
dengan ekspresi "tidak berpijakan di dunia" dalam baris kedua teks terje
mahan Chairil. Yang juga menarik adalah, kian jelasnya tema hilangnya pi-
jakan seorang individu di dunia menyebabkan teks terjemahan Chairil sea
kan atau secara tidak sengaja mengantisipasi pentingnya tema ini dalam
karya-karya Rilke yang kemudian, seperti Die Aiifzeichnungen des Make
Laurids Brigge, Duineser Elegien, dan Die Sonette an Orpheus.
Satu hal lagi mengenai baris pertama: selain menghilangkan "siapa"
(wer), terjemahan Chairil juga memendekkan kata kerja "menangis" (weint)
menjadi "nangis". Bukan tidak mungkin ini adalah juga sebuah pertim-
bangan gaya terjemahan yang sebisa mungkin mencoba mendekati niinim-
nya jumlah sukti kata dalam teks asHnya.9 '

Sebuah tafsir yang diajukan oleh Prof. Michael Feener dalam sebuah diskusi informal
di Reed College, Pordand, Oregon,musim semi 2002.

kalam 22 -|29
MICHAEL RINALDO

Walaupun tidak menerjemahkan puisi Rilke kata demi kata, Chairil te


lah memindahkan dan membawa unsur-unsur puitis dalam teks Jerman ke
dalam teks Indonesia, satu hal yang mungkin tidak akan ada bila Chairil
hanya menerjemahkan kata Grund menjadi "dasar". Kebebasan penerje
mahan Chairil di sini saya kira tidak semata didasari oleh ego sang penyair,
melainkan juga karena adanya kesadaran akan implikasi puitis kata-kata da
lam teks asalnya. Dengan demikian, teks yang muncul dalani bahasa target-
nya tidak mengkhianati atau membelot dari bahasa asalnya, tetapi SebaHk
nya, melengkapi karya aslinya dengan membawa perhatian pembaca ke
tenia tersirat karya Rilke. Aksi penerjemahan puisi sama sekaH bukan sebu
ah kegiatan obyektifyang memindahkan teks dari satu bahasa ke dalani ba
hasa yang lain. Seorang penerjemah, seperti Chairil dalani konteks ini, ada
lah seseorang yang tidak terlepas dari bias Hterernya sendiri. Bisa dikatakan
bahwa pembacaan Chairil juga sedikit banyak dibentuk oleh salah sam te
nia penting dalam puisinya sendiri, di mana pertanyaan mengenai otonomi
dan atau keberadaan individual dalam modernitas mempunyai peran yang
tidak kecil. Dengan latar belakang perbandingan ini, Chairil lalu dapat
membaca kata bermakna ganda Grund bukan sebagai arti obyektif dalani
sebuah bahasa yang bersifat insidental, melainkan sebagai bagian penting
dari yang dilihatnya sebagai satti tenia penting "Ernste Stunde", yaitu keti-
dakberakaran individu di dalani dunia.Tema ini tidak hanya bisa dibaca di
puisi ini, tetapi berulang-ulang muncul lagi dalam keseluruhan karya Rilke
(walaupun dinyatakan dalani tingkat keterampiian dan kematangan pe
nuHsan yang berbeda-beda).

Silang tenia
Selain pengaruh tema kefakberakann individu, kita juga bisa melihat
persilangan tematis antara puisi-puisi Rilke dan Chairil. Dalam artikel lain,
saya pernah berbicara mengenai pentingnya ambivalensi sebagai ciri mo
dernisme Chairil, yang tampak pada tegangan antara bentuk dan isi. Con
toh yang bagus adalah "Kepada Pelukis Afiandi". Ambivalensi inilah yang
bertindak secara subversif terhadap pandangan bahwa karya-karyanya hanya
memuja individualisme dan menaruh kepercayaan penuh terhadap puisi
sebagai seni serta bahasa Indonesia. Sebaliknya, beberapa tenia Chairil, ka
rena perselisihan dan tegangan puitik dalani puisinya, justru menunjukkan
kemiripan dengan karya-karya modernis Eropa Barat yang mempertanya-

130 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL

kan otonomi individu dan seni."1 Interogasi mengenai otonomi seni inilah
yangjuga menjadi tema penting dalam kepenyairan Rilke.
Menariknya, karya-karya penyair Jerman itu pun sulit diterima sebagai
salah satu contoh ciri kontradiksi modernisme. Seringkali ia lebih diHhat
sebagai penyair yang berasal dari tradisi pasca-Romantik sehingga puisinya
cenderung menyuarakan pengukuhan tanpa adanya suatu sikap kritis sedi-
kitpun terhadap masyarakat sekitarnya atau seni itu sendiri. Theodor Ador-
no adalah salah sam teoritikus yang memegang pandangan ini. Dalani kar-
yanya yang tidak terselesaikan, Aesthetic Theory, Adorno mengatakan adanya
kemungkinan bahwa dalam karya-karya Arthur Rimbaud, walaupun
- memperlihatkan oposisi yang pahit dan sarkastik terhadap masyarakat seki
tarnya, dapat ditemukan suatu kepatuhan yang tidak kritis. Menariknya, se
telah membuat pernyataan ini, Adorno membandingkan Rimbaud dengan
Rilke. Berikut adalah kutipan lengkapnya:

Dalam Rimbaud dapat ditunjukkan bahwa sebuah oposisi sarkastik dan


pahit terhadap masyarakat hadir berdanipingan dengan sebuah sifat patuh
yang tidak kritis, sebanding dengan terpesonanya Rilke kepada lagu-lagu ka-
baret dan wangi sebuah peti tua."

Walau Adorno sebenarnya mengkritik Rimbaud, perbandingan dengan


Rilke di sini perlu dipertimbangkan. Jika saya tidak salah membaca, bagi
Adorno puisi Rilke memperlihatkan sikap tunduk pada masyarakat dengan
mengagunii tradisi yang dilambangkan oleh lagu kabaret dan peti ma.
SebaHknya, beberapa teori menolak pandangan mengenai Rilke yang
sudah dibahas dalam paragrafsebelunmya.Judith Ryan menganggap bahwa
karya-karya seperti "Hydrangea Biru" (Blau Hortensie) dan "Flamingo"
Pie Flamingos), keduanya dari Puisi-Puisi Baru (Neuegedichte), justru me
ngandung sebuah kritik terhadap estetisisme, yang bersemboyan I'art pour
I'art}2 Saya mgin meleniparkan sebuah tesis bahwa karya-karya Rilke, seti-

10
Michael Rinaldo, "Ambivalensi Chairil Anwar", dalam Kalam 21,2005.
11
Theodor W. Adorno, Aesthetic Vieory, terjemahan Robert Hullot-Kentor, Theory and
History ofLiterature, vol. 88 (Minneapolis: University ofMinnesota Press, 1997), 53.
Selanjutnya dituiis Aesthetic Ttieory.
12
Judith Ryan, Rilke, Modcrninn, and Poetic Tradition (Cambridge: Cambridge UP, 1999),
59-65, dan 73-80. Selanjutnya dituiis Rilke.

kalam 22 .,.
MICHAEL RINALDO

daknya dalani Neucgedichte, memiliki ambivalensi dan tegangan yang mun


cul secara tematis dalam hubungan antara subyek dan obyek. Lagi pula, se
perti Chairil, ambivalensi ini juga berada dalam tegangan antara indahnya-
penggunaan kata-kata dalam puisi Rilke dan isi puisi itu sendiri.
Dalani bukunya The Vanishing Subject, Ryan mendiskusikan secara nien
dalam pandangan dan tanggapan Rilke mengenai menghilangnya sang sub
yek dalani sebuah modernitas ketika obyek-obyek material menjadi cende
rung dominan. Walaupun ia bukan seorang penyair dari tradisi ini, ide Ril
ke mengenai diri sangat dipengaruhi oleh puisi estetisis, yang menganggap
diri dibentuk oleh indra perasa, dan bukan rasionalitas. Walaupun Rilke
menyatakan bahwa puisi-puisinya dalam Neucgedichte adalah puisi menge
nai benda, Dinggedichte, Ryan berargumen baliwa koleksi ini mempertun-
jukkan kemustahilan segala upaya representasi obyektif. Malah, puisi-puisi
tersebut melakukan sebuah aksi penyeimbangan antara yang subyektif dan
yang obyektif. Aksi ini dalani karya-karya Rilke tidaklah stabil. Berawal dari
upaya menyajikan benda-benda secara obyektit, pada akhirnya, benda-ben
da tersebut hampir terasimilasikan dengan sang subyek. Puisi Dinggedichte
Rilke masih menggambarkan sifat saling tergantung antara subyek dan ob
yek. Namun, kaitan ini berbeda dari pandangan tradisional tentang hu
bungan subyek-obyek yang menganggap batas antara keduanya masih jelas
dan sang subyek masih dianggap sebagai sebuah being yang otononi. Ryan
lalu menyimpulkan bahwa "Rilke lebih banyak berpikir mengenai status
obyek dalani kesadaran manusia—bagaimana ia (obyek) dikaitkan dengan
obyek-obyek lain dan pengalaman—daripada dengan status obyek im
sendiri."13
Aksi penyeimbangan Rilke bukanlali berarti menghilangnya sang sub
yek, melainkan sebuah cara baru untuk melihat diri. Hal inilah yang dapat
disebut ncue atau "baru" dalani Neucgedichte dan dalam novelnya Aiifzeich
nungen des Make Laurids Brigge (Buku-Bukti Catatan Make Laurids Brigge).
Seorang kritikus lain, Lawrence Ryan, bersama dengan Judith Ryan, me
ngutip ahli fisika Austria Ernst Mach dalani telaah mereka tentang Rilke.
Secara singkat, Lawrence Ryan menjelaskan ide Mach sebagai penghilang-
an "dualisme raga dan pikiran dengan mereduksi pikiran sebagai kumpul-

13 Judith Ryan, Vic Vanishing Subject (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 51,
56-57.

132 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL

an-kumpulan sensasi yang cepat berlalu." Bila pikiran itu terdiri dari indra
perasa, maka pembentukan pikiran bergantung pada sensasi obyek. Seperti
Judith Ryan, Lawrence Ryan menolak pandangan bahwa "Puisi Benda"
Rilke adalah puisi mengenai benda-benda itu sendiri, melainkan lebih
mengenai hubungan antara subyek dan obyek yang lebih rumit. Di satu sisi,
yang subyektif menjadi berubah dan tidak nienghilang menjadi sebuah
konsep obyektif. Di sisi lain, yang obyektif itu sendiri membentuk ulang
perspektifsang subyek."
Mungkin bisa ditambahkan bahwa hanya dalam obyek-obyek itu sendi
ri sang "aku" puitis dapat menemukan sebuah subyektivitas. Tidaklah cu
kup bagi sang subyek unmk meHhat dirinya sendiri, tetapi ia hams me-
ngembangkan sebuah cara baru melihat obyek agar dapat menemukan
subyektivitas di dalani obyek tersebut. Salah satu puisi Neucgedichte yang pa
ling terkenal, "Torso Purba Apollo" (Archai'scher Torso Apollos), mengan
dung contoh paling tepat untuk pergeseran subyektivitas ini:

Sonst (...) dieser Stein[...|


[...] brache nicht aus alien seinen Randern
aus wie ein Stern: denn da ist keine Stelle
die dich nicht sieht. Du murk dein leben aiidern.

(Jika tidak bam ini[...|


[...] tak akan bersinar/bersorak keluar dari semua sisinya
bagai satu bintang: karena di sini tak ada tempat
yang tak melihatmu.Kau harus ubah hidupmu.)

Petunjuk subyektivitas dalani puisi itu, yaitu aksi melihat, tidak ha


nya ditemukan dalam sang pemandang/penonton, melainkan juga da
lam obyeknya sendiri, yaitu "batu", patung torso Apollo setengah ba-
dan. Secara tradisional, si pengamatlah yang melihat dan menafsirkan
realitas, tetapi di sini peran ini telah dibalikkan. Bukan pengamat tetapi
patung itulah yang melakukan aksi melihat, yang dapat kita temukan

14 Lawrence Rym,"Neue Gedichte-New Poems", dalam Erika Metzger M. dan Michael


Metzger M., editor, A Companion to the Works of Raincr Maria Rilke (New York:
Camden House, 2001), 129 dan 133.

kalam 22 .j-j-j
MICHAEL RINALDO

dalam baris "karena di sini tak ada tempat/yang tak melihatmu" (denn
da is keine stelle/ die dich nicht sieht).
Bila dalam "Torso Purba Apollo" tampak labilnya hubungan antara sub
yek dan obyek, dalani puisi seperti "Flamingo" dapatlah ditemukan juga se
buah interogasi terhadap otonomi seni dan bentuk puisi itu sendiri. Akan
kita lihat bahwa Rilke menjaga keindahan benmk puitis untuk mencipta
kan sebuah tegangan dengan isinya sendiri.
"Flamingo" dituHs dalam bentuk soneta, terbagi dalam empat stanza de
ngan jumlah baris 4-4-3-3. Satu hal yang membedakannya dengan soneta
tradisional adalah jumlah suku kata dalani setiap baris. Biasanya satu baris
dalam sebuah soneta memiliki 12 suku kata. Namun, "Flamingo" memiliki
pembagian suku kata sebagai berikut: 10-11-11-10, 11-10-10-11, 11-11-
10, 11 —10—11. Bagaimanapun juga, mengingat pembagian stanza dan su-
sunan rimanya, puisi ini masih sangat dekat dengan soneta tradisional. Pe
makaian benmk soneta tidak bisa diHhat sebagai imitasi murni Rilke terhadap
tradisi.

Die Flamingos

JARDIN DES PLANTES, PARIS15

1 Im Spiegelbildern wie von Fragonard


ist doch von ihrem Wein und ihrer Rote
nicht mehr gegeben, als dir einer bote
wenn er von seiner Freundin sagt: sie war

5 noch sanft von Sclilaf. Denn steigen sie ins Grtine


und stehn, auf rosa Stielcn lcicht gedreht,
beisammen, bliihend, wie in eineni Beet,
verfuhren sie verfiihrender als Phryne

9 sich selber; bis sie ihresAuge Bleiche


hinhalsend Bergen in der eiguen Weiche,
in welcher Schwarz und Fruchtrot sich versteckt.

15
Sebagai informasi, Jardin des Plantes adnlali sebuah taman di Paris yang memiliki
bermacam-macam flora dan tauna, termasuk panther,obyek sebuah puisi lain karya Rilke.

134 kalam 22
~*—- — = • = • — . .
; ^3 rr*

RILKE DAN CHAIRIL

12 Aufeinmal kreischt ein Neid durch dicVoliere;


sie aber haben sich erstaunt gestreckt
und schreiten einzeln ins Imaginare

Flamingo16

JARDIN DES PLANTES, PARIS

Gambar-cermin seperti miJik Fragonard


tak lebih menunjukkan putih dan merah mereka
dibanding jikaseorang memberitahumu
tentang pasangannya: dia masih

lembut dengan tidur. Karena meninggi antara kehijauan


dan berdiri atas tangkai dadu yang gemulai terputar,
bersama, berbunga, seperti di petak tanaman,
mereka memikat, lebih memikat dari Phryne,

diri mereka sendiri; sampai putih mata mereka


bersarang di balik lembut sisi sayap masing-masing
di mana tcrsembunyi hitam dan merah-buah.

Tiba-tiba menjerit rasa iri ke seluruh sangkar;


tapi mereka telah luruskan diri, terkejut,
dan melangkah terpisah ke yang kliayali.

Judith Ryan menafsirkan stanza pertama sebagai interogasi terhadap


ekspresi verbal dan ilustratifsebagai medium representasi untuk memerikan
sebuah obyek (Rilke, 75). Untuk memulai, perlu kita teliti apa peran lukis
an-lukisan Jean-Honore Fragonard, pelukis Prancis abad ke-18, dalam bait
pertama ini. Rilke mengagumi lukisan-lukisan erotis Fragonard sewaktu
penyair ini berdiam di Paris pada 1907. Baris pertama memberi sifat karya
Fragonard, secara perbandingan, sebagai Spiegelbildem (dari Spiegel/"cev-
min", B;W/"gambar"). Marilah kita lihat sebuah kutipan dari sebuah studi
salah satu lukisan terkenal Fragonard, The BathersMeh Jacques ThuilHer:

Terjemahan saya ini hanyalah bersifat pragmatis/menjelaskan dan tidak mencoba


menangkap setiap nuansa teks aslinya.

kalam 22 .^
MICHAEL RINALDO

Pertama-tania serahkan diriniu kepada kesenangan rampai wama-war-


na, merah dadu yang dalani, kuning sawo, hijau keabu-abuan; tak bisa di-
pisahnya bercampurnya tubuh-tubuh telanjang, air berbuih, dan dedaunan.
Lalu tarik diriniu kembali. Akan memakan waktu sejenak untuk bisa meli
hat logis pemandangan ini. . . kamu tak akan bisa gagal untuk mengerti
bahwa gambar ini pada awalnya hanyalah: sebuah bouquet warna-warna.
Suatu subyek yang mengesankan, tentunya, dan satu yang mencoba mem
beri kesenangan. Tapi ini bukanlali representasi. Di sini siapa yang peduli
mengenai kemasukakalan? Pohon yang tumbang, alang-alang yang me-
lengkung, tubuh-tubuh yang menggelincir atau jatuh terguling—mereka
semua tidak hanya menghindari kestatisan, tetapi juga tarikan kuatnya gra
vitasi yang lain itu, yaitu kenyataan. Alang-alang ini bukanlali alang-alang
tapi coretan-coretan pigmen; tirai-tirai ini yang beterbangan tanpa sebab
oleh tiupan angin yang paling lemah adalah pada awalnya beberapa
goresan-goresan merah dadu dan putih.17

Thuillier mengatakan bahwa yang diHhat dalam lukisan ini pada awal
nya adalah warna sebelum mencoba mengerti bentuk-benttik yang ada. Ia
tidak menyebut lukisan ini sebagai sebuah representasi karena ia menolak
kestatisan dan gravitasi, serta reaHtas. Namun, secara bersamaan. lukisan ini
dapat menggambarkan rigur-figur orang mandi yang dikelilingi oleh po-
hon-pohon. Jika kita melihat lukisannya seperti ini, 77/c Bathers tidaklah
meniru secara empiris obyek-obyek yang coba digambarkan.
KembaH ke baris pertama "Flamingo", kenapa si pembicara menierikan
ltikisan-lukisan Fragonard sebagai Spiegelbildcru, gambar-gambar pencer-
min? Apakah lukisan-lukisan tersebut menjadi cerinin sebuah obyek oleh
karena gaya yang tidak langsung, yang tidak secara empiris meniru reaHtas?
Pembahasan aspek im dalam lukisan-lukisan Fragonard menitinculkan se
buah pertanyaan mengenai representasi dan batas-batasnya. Seorang penulis
lain mendiskusikan pentingnya Fragonard sebagai seorang pelukis dari
sudut pandang berikut:

Kesuksesan (Fragonard) adalah sebagian karena kecepatan yang menui-

17 Jacques Thuillier, Fragonard: Biographical and Critical Study, penerjemah Robert Allen
(Geneva: Editions d'Art Albert Skira, 1967), 90. Karena keterbatasan sunibc. sewaktu
penulisan artikel, kutipan diterjemahkan dari terjemahan Inggris atas teks asli Prancis.

136 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL

singkan ini. Tidak terbatasi oleh subyek-subyeknya, Fragonard menangkap


percepatan waktu, carat marat saat itu, kelemahan dm kedangkalan zamannya.
Tanpa pernah mencoba bermoralisasi atau melukiskan sebuah kenyataan. ia
benar-benar melukis sebuah potret abad ke-18.18

Dapatkah evokasi Fragonard pada baris pertama "Flamingo" mencer


minkan cara si pembicara memerikan btirung-burung flamingo dalam
Jardin des Plantes? Kata Spiegclbildcrn menunjukkan bahwa karya-karya
Fragonard mencoba mencerminkan obyek yang dilukisnya. Akan tetapi,
sifat meniru ini tidak dapat digolongkan dalani gaya reaHs. Mimesis pada
baris ini lebih mendekati definisi Adorno, yang membedakaii mimesis
modern dan tradisional. Dalam pengerrian modern, mimesis bukanlali se
buah representasi. Ia adalah sebuah pendekatan (rapprochement) subyek ter
hadap obyek dalani cara yang tidak mendominasi. Garis batas antara subyek
dan obyek lalu menjadi berubah karena sang subyek hanya dapat menemu
kan subyektivitas dengan cara memindahkan perhatiannya kepada sang obyek.
Pentingnya sang obyek di sini lalu berakibat kepada meluasnya sang subyek.|l)
Dengan menyinggung Fragonard, Rilke telah meniunculkan kemung
kinan sebuah mimesis Adornian dalam puisi ini. Namun, Ryan menang-
gapi interogasi terhadap representasi dalani bait pertama "Flamingo" sepe-
iitilinya secara negatif, "puisi Rilke dimulai dengan menyinggung ketidak-
niampuan representasi verbal dan visual." Menurut dia, pembahasan keti-
dakniampuan cara-cara representasi mi juga mengundang kritik terhadap
cara-cara itu sendiri. Pembacaan negatif seperti ini cocok dengan tafsiran-
nya bahwa keseluruhan puisi ini mengkritik gagasan otonomi seni (Rilke,
73 dan 77). Namun, bila kita amati bait berikutnya, akan tampak bahwa ki
ta tidaklah harus membaca bait pertama sepenuhnya sebagai kritik.
Bagi Ryan, representasi visual sama tidak efektifhya dengan representasi
verbal, yang dapat kita lihat lebih lanjut pada akhir bait pertama dan awal
bait kedua melalui analogi seorang lelaki yang melukiskan kekasihnya: sie
war noch sanft von Schlaf ("dia masih lembut dengan tidur"). Sonoritas har-

18 Dari sebuah biografi singkat oleh KMG,"Jean Honore Fragonard: Biography", dalam
Humanities Web. http://\\ww.humaniciesweb.org/cgi-bin/human.cgi?s=g&p=r.S.-a
=b&ID=18.
19 Gunter Gebauer dan Christoph Wolf, Mimesis: Culture, Art, Society, penerjemah Don
Reneau (Berkeley: University of California Press, 1995), 293.

kalam 22
137
MICHAEL RINALDO

monis dan aHteratifantara kata sanft ("lembut" atau "halus") dan Schlaf ("ti
dur") dapat berfungsi sebagai lawan pengimbang ketidakmampuan repre
sentasi dalam bait pertama dan awal bait kedua. Bila analoginya gagal pada
tingkat logos, isi sebuah kata, kalimat ini menjadi berhasil pada tingkat lexis,
yakni kata im sendiri.Tanpa hams membicarakan benmk soneta "Die Fla
mingos", kita bisa melihat di sini sebuah pertentangan: isi bait pertama yang
mempertanyakan kenianipuan representasi verbal dituiis dengan bentuk
yang menunjukkan kepiawaian "strategi retorik" Rilke.
Si pembicara melanjutkan paparannya tentang burung-burung flamingo
dalani bait kedua dengan cara membandingkan mereka dengan bunga. Da
lam bait pertama, deskripsi pertama flamingo tersebut muncul dalani ben
tuk sinekdoke, dengan cara menggunakan warna-warna bulu mereka: ihrem
Weij] und Hirer Rote ("putih dan merah mereka"). Dapat kita lihat bahwa si
pembicara di sini tidak menggambarkan burung-burung tersebut secara
langsung. Ryan menganggap deskripsi verbal seperti ini seakan mengesan-
kan sebuah ketidaktahuan atau ketidaksadaran atas apa yang dia lihat seba
gai kemustahilan deskripsi (baik verbal ataupun visual) dalam bait pertama
(Rilke, 75). Di sini saya ingin mengatakan bahwa mungkin justru kita tidak
hams membaca pembahasan kemungkinan ketidakmampuan cara-cara re
presentasi sebagai sebuah kritik; Ryan mengambil kesimpulan yang terlalu
awal di sini. Andaikata ini adalah pembahasan ketidakmampuan representasi
verbal dan visual, mengapa si pembicara lain tetap menggunakan salah satu
cara ini dalani bait kedun "Die Flamingos"? Mungkin bait pertama bukan
lali sebuah kritik penuh, melainkan penunjuk adanya cara representasi yang
unik. tidak empiris, dan langsung. Sinekdoke yang muncul dalani bait
kedua tidak dapat dilihat sebagai medium puitik konvensional yang hanya
menciptakan efek keindahan. Sebaliknya, seperti yang saya sudah tunjukkan
sebelumnya, pemakaian sinekdoke dalani bait kedua menampakkan sebuah
pertentangan, atau apa yang oleh Adorno, meminjam istilah teori musik,
disebut disonansi. Penting dicatat bahwa, bagi Adorno, disonansi bukanlali
lawan melainkan bagian dari konsep harmoni itu sendiri (Aesthetic Theory,
110). Secara formal, inilah saat yang menunjukkan besarnya selfreflexivity
dalam puisi ini, yakni ketika si pembicara menjaga keindahan bentuk bersa
maan dengan kesadarannya akan kekurangan bentuk itu sendiri. Pembaca
an Paul de Man terhadap Rilke dapat menambah pemahaman kita tentang
hubungan antara kedua bait pertama "Die Flamingos":

138 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL

Adalah sebuah kesalahan untuk begitu saja menolak dan menganggap per-
hatian (Rilke) terhadap permukaan-permukaan yang atraktif sebagai sejenis
estetisisme [...] Penghalusan estetis bagi Rilke [...] adalah sebuah strategi
Appolonian yang memungkinkannya mengatakan apa yang dengan cara lain
tak bisa dikatakan. Dalam tataran pengalaman ini, estetika keindahan dan
keburukan tak dapat lagi dibedakan satu sama lainnya. Juga tidak mungkin
berpikir bahwa permukaan-permukaan yang menggoda (seductive) ini sebagai
suatu yang dangkal.2"

Dengan demikian, sinekdoke dalam bait kedua hams mempunyai


fungsi lebih dari sekadar apa yang disebut Ryan sebagai "nyaris tidak
sadarnya" si pembicara terhadap kekurangan-kekurangan bentuk repre
sentasi dalani bait pertama. Sebaliknya, saya ingin mengatakan bahwa
dengan menggunakan instrumen-instrumen puitik dalani deskripsinya
mengenai burung flamingo, teks ini telah memperluas garis batas eks
presi verbal dan menunjukkan kemungkinan adanya kritik terhadap ba
hasa puitik itu sendiri. Ironisnya, hanya dengan menggunakan sinek
doke dan metafora dapatlah si pembicara mulai membahas kekurangan-
kekurangan representasi puitis.
Pemilihan strategi metafora si pembicara mencerminkan ironi dalam
mitologi Yunani mengenai Phryne, seorang hetaira, wanita dari kelas
tersendiri yang sering menjadi gundik lelaki-lelaki terkenal atau kaya.
Phryne disidangkan dengan tuduhan ketidak-berimanan. Karena ke-
cantikannya begitu terkenal, ia dikabarkan pernah menjadi model un
tuk patting Eros karya pemahat Praxiteles. Dalani sidang tersebut, sang
pembela Hyperides akhirnya mengangkat jubah Phryne untuk menun
jukkan tubuhnya kepada para hakim ketika dia kehabisan kata-kata da
lam pembelaannya. Setelah melihat tubuh telanjang Phryne yang indah,
para hakim memutuskan menibebaskannya. "Ketika kata tidak lagi cu
kup, anekdot ini mempunyai implikasi bahwa bentuk-bentuk yang in
dah dapat 'berbicara' tanpa [kata-kata]" (Rilke, 77). Karena tidak lagi
dapat memerikan burung-burung flamingo dalani bahasa yang konven
sional dan empiris, si pembicara nienggunakan metafor dan sinekdoke.
Ketika bahasa empiris gagal, salah satu cara agar bisa mencapai sebuah

Paul de Man, "Tropes (Rilke)", dalam Allegories if Reading (New Haven dan London:
Yale UP, 1979), 23.

kalam 22 139
-J- •>

1
MICHAEL RINALDO

pemerian adalah melalui bahasa puitis. Dengan demikian, teks ini lebih
berhasil memberikan pemerian seorang kekasih dengan kalimat "sie war
noch sanft von Schlaf daripada bila ia bertahan pada bahasa empiris yang
masih berpegang pada hubungan langsung antara kata dan benda.
Tampaklah sekarang adanya paralelisme antara retorik non-verbal Hy-
perides dan keberhasilan analogi puitis dalani deskripsi sang kekasih pa
da bait kedua "Die Flamingo".
Sambil tetap mengingat goresan putih dan merah dadu Fragonard, seka
rang perhatian perlu diberikan kepada Phryne pada akhir bait kedua. Da
lani baris 8 dan 9, burung-burung flamingo yang sedang berbunga (bliihciid) ini
merayu diri mereka sendiri secara lebih memikat daripada Phryne.
Apakah arti dari perbandingan antara Phryne dan flamingo-flamingo?
Jawabannya dapat kita temukan dengan mengingat bahwa Phryne dibebas-
kan karena ia telah menunjukkan kemaluannya yang berwarna merah dadu
dan muda im kepada hakim-hakim dalam sidang itu. Phryne memiHki pe-
nonton. Para flamingo, sebaHknya, menjadi lebih memikat karena mereka
merayu dan menggoda diri mereka sendiri dan terisolasi dari mata para
penonton yang asing. Dalani bait ketiga, mata burung-burung ini meng-
arah kepada diri mereka sendiri.Tatapan mereka bersembunyi di antara bti-
lu-bulu sisi sayap putih dan merah dadu, tempat lapisan bam berwarna hi
tam dan merah-buah (fruchtrot) tersembunyi. Flamingo-flamingo ini hanya
dapat meHhat warna-warna yang tersembunyi ini bila mereka mengalihkan
perhatian mereka dari dunia luar, yaitu penonton mereka, dan beraHh ke
dalam diri mereka sendiri (dengan asumsi bahwa mereka berada di Jardin
des Plantes). Kita dapat tafsirkan aksi ini sebagai perubahan arah terhadap
abstraksi, ketika penampilan/penampakan secara langsung menjadi lebih la-
bil. Dengan dilambangkan oleh tatapan antara flamingo-flamingo tersebut
dan sang pemandang, komunikasi tak lagi bersifat langsung dan terbuka.
Tatapan para flamingo ini tidak mencoba berinteraksi dengan sang peman
dang untuk memperlihatkan warna "hitam dan merah-buah".
Di sisi lain, menghindarnya tatapan para flamingo juga menjadi kunci
atraksi mereka di mata sang pemandang, yang di sini tidak dapat melihat
warna-warna yang tersembunyi di balik bulu-bulti sayap sang Flamingo.
Frustrasi sang pemandang muncul pada awal bait keempat: Auf einmal
kreischt ein Neid durch die Voliere ("tiba-tiba menjerit rasa iri ke seluruh
sangkar"). Terkejut oleh jeritan mi, flamingo-flamingo ini meluruskan

kalam 22
140
RILKE DAN CHAIRIL

posturnya dan kabur ke sesuam yang kliayali: sie aber haben sich erstaunt
gestreckt/und schreitcu cinzclu ins Imaginarc ("terkejut, mereka telah luruskan
diri/dan melangkah terpisah ke yang khayaH"). Kata schreiten, selain berarti
"berjalan" atau "melangkah", juga mempunyai arti gaya berjalan sengaja
yang angkuh atau berpamer. Namun, kata ini juga bisa berarti "mengambil
langkah yang panjang", sebuah pengertian yang perlu diperhatikan meng
ingat panjangnya kaki para flamingo ini. Mungkin burung-burung ini me
langkah kabur, schreiten, dalam sebuah gaya yang angkuh dan berpamer, se
akan masih menyadari tatapan sang pemandang. Bahkan dalam kaburnya
mereka ke sesuam yang kliayali dan abstrak, tatapan sang pemandang, dunia
luar, masih memiliki peran dan tidak sepenuhnya hilang. Mungkin sebuah
contoh dari masa kini dapat memperjelas hal ini: bayangkan seorang model
yang berjalan mengelilingi catwalk. Satu bagian dari apa yang membuat
model itu begitu menarik adalah nienghindarnya tatapannya dari mata
sang penonton, bahkan lensa kamera. Namun, memancarnya keindahan ca
ra jalannya yang angkuh dan berpura-pura itu juga bergantang kepada se-
pasang mata sang pemandang.
Dengan demikian, kaburnya para flamingo tersebut dengan keangkuh-
annya mempunyai sebuah "motivasi sosial". Namun, ini tidak juga berarti
bahwa sang pemandang mendominasi para flamingo karena apa yang
membuat mata sang pemandang mengarah kepada burung-burung terse
but adalah gaya jalan mereka yang angkuh. Mereka tidak mencoba berhu
bungan secara langsung dengan penonton. Melangkahnya mereka ke dalam
sesuam yang imajiner, mungkin lambang otonomi seni, tidak bisa dilepas-
kan sepenuhnya dari tatapan dunia luar yang mereka coba hindari. Dengan
demikian, sebuah ketegangan di seputar mustahil atau tidaknya otonomi
seni tetap ada sampai baris terakliir puisi ini. Aksi kaburnya burung fla
mingo ini menunjukkan sebuah janji positif seni, yang mengatakan ya ke
pada otonomi seni, tetapi berhenti sebelum niemenuhinya. Karena seni,
betapapun tidak jelas dan bersifat pribadi, tetap, karena strukturnya (seperti
teks, misalnya), pada akhirnya mempunyai motivasi dan gema sosial. Puisi
Hrik Pdlke mempunyai gema sosial walaupun kehhatannya tidak mempu
nyai "motivasi sosial", dan malah cenderung pribadi.
Kata Imaginarc di sini mempunyai kesamaan 'rima dengan Voliere—kata
Prancis untuk "sangkar". Mungkin kesamaan rima antara dua kata ini
memperlihatkan bahwa yang maya itu sendiri tidaklah tak terbatas, mela-

kalam 22 -J41
MICHAEL RINALDO

inkan malah menunjuk pada batas "sangkar"-nya sendiri. Dengan meng


gunakan kata-kata "...ins Imaginarc" Rilke di sini juga menunjukkan betapa
terkurungnya burung-burung ini dalani sangkar mereka (mungkin di Jar-
cHn des Plantes).Tidaklah jelas siapa atau apa yang membayangkan area un
tuk kaburnya burung-burung ini. Apakah yang niaya di sini hasil sang pe
mandang? Atau para flamingo? Ataukah si pembicara? Bila yang niaya ini
berasal dari khayalan flamingo itu sendiri, berarti subyektivitas di sini malah
ditemukan dalam obyek puisi ini. Imajinasi para flamingo di sini menjadi
paralel dengan tatapan torso tanpa mata itu dalani "TorsoArkais Apollo".
Rilke dengan piawainya telah menggunakan bentuk soneta secara unik
karena bentuk ini dalani "Die Flamingos" bertentangan dengan isinya, yang
menginterogasi bentuk-bentuk representasi itu sendiri. Sesuai dengan self-
reflcxivity modernisme, teks ini telah secara kontradiktif mengkritik pemu-
jaan keindahan dalam estetisisme melalui keindahan bahasa benmk soneta
puisi ini. Kritik ini tidaklah dibaca sebagai arahan untuk tidak mengguna
kan bentuk soneta im sendiri, atau bahkan puisi, karena ia tak bisa mere-
presentasikan reaHtas secara empiris. Sebaliknya, hanya melalui bentuk so
neta dan metafora serta sinekdoke ketajaman kritik terhadap otonomi este-
tis dapat diasah. "Die Flamingos" adalah sebuah puisi yang menunjukkan
kemampuan bahasa puitis untuk menggambarkan kenyataan melalui indi-
reksi, tempi pada saat yang sama juga mempertanyakan kemampuannya sendiri.
Dalani paham seperti itu, dapatlah kita melihat sebuah persilangan te-
matis modernisme antara Rilke dan Chairil. Walaupun berasal dari situasi
geo-poHtis yang berbeda, kedua penyair ini hams menghadapi batas-batas
penggunaan bahasa dalam puisi. Ada kemiripan strategi dalam penulisan
mereka: menggarap bentuk dengan begitu piawai sehingga mungkin
nienyamarkan apa yang sebenarnya dimaksud dan dikatakan sebuah teks.
Maka, jika kita menyadari hal ini mengenai Rilke dan Chairil, yang hams
berubah dalani pembacaan atas mereka adalah: 1) tidak membaca Chairil
sepenuhnya sebagai penyair sosial dan solider sehingga menutupi aspek-as-
pek Hrik dan pribadi puisinya, serta 2) tidak membaca Rilke sebagai penya
ir neo-romantik yang konservatif dan mengartikan keindahan kata serta
bentuk puisinya hanya sebagai penunjuk aspek-aspek pengukuhan puisi.
Kedua jenis pembacaan ini gagal menyadari poteiisi kritis dalam kedua kar
ya penyair tersebut, baik terhadap seni puisi im sendiri maupun masyarakat,
sebagai suam ciri penting modernisme dalam khazanah sastra.

•|42 kalam 22
t*l*-\1 of
MICHAEL RINALDO

Lampiran

Catatan penulis: Berikut adalah tiga terjemahan surat Rilke oleh Chairil, di
mana terjemahan Chairil dilampirkan terlcbih dahulu lalu diikuti oleh surat asli
Rilke. Berhubung Chairil tidak menerjemahkan surat-surat tersebut secara keselu
ruhan, maka surat asli Rilke pun hanya disertakan di sini dalam bentuk frogmen.
Satu pcrkecualian adalah surat yang bertanggalkan 19 Oktober 1904, yang saya
tampilkan di sini secara penuh untuk menunjukkan kemungkinan adanya salah
pcnanggalan dalam terjemahan ketiga Chairil. Untuk kemudalian pembaca, surat
Rilke dengan tanggal itu saya terjemahkan dengan bantuan Junike RomuU, yang
saya hams uluri tcrima kasih untuk kescdiaannya membaca dan merevisi terjemah
an tersebut. Bila terjemahan itu tidak dapat menangkap nuansa penulisan Rilke,
tanggung jawab sepenuhnya ada pada saya.

Oberneuland (dekat Bremen)


lOAgustus 1903

Kepada Lou Andreas-Salome

Rodin adalah suatu contoh tiada bertara, keajaiban yang menyinar sampai
jauh—tapi toll seorang tua, sepi tidak tertuliskan, sepi dalam kebesaran suasana
orang tua.Tidak, tidak ada dia melepaskan apa-apa, sehidupnya dia mengum-
pulkan kehidupan penuh arti sekelilingnya, tidak apa pun dibiarkannva ter-
tinggal dalani ketidaktentuan, dibulatkannya semua: dari melancarnya perasaan
yang terterpa, dari bekas tinggalan suatu mimpi. dari pangkal pembayangan
yang masih samar dijadikannya—"benda-benda"dan ditarokannva sekeliling
nya; selalu yang baru; benda yang sunyi dan melingkung jauh yang memper-
hubungkan dia dengan benda-benda lain—lebih lama sehingga seperti dia
adalah turunan dari Rumah yang raya dan megah; dari itulah ketenangan dan
kebesarannya, usia tinggi yang tidak tahu gentar, superioritasnya atas orang-
orang yang terlalu gelisah, terlalu sangsi, terlalu banyak bermain dengan kese-
timbangan-kesetimbangan, atas mana dia—nyaris tidak sadar—berpijak.
[...] bukan membentuk aku harus belajar dari dia, tetapi konsentrasi yang
dalam untuk membentuk. Aku harus belajar bekerja Lou, bekerja. Inilah ke-
kuranganku! Barangkali ini cuma semacam tidak sigap yang menghalangi aku

144 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL

bekerja, maksudku mengumpul-satukan dari segala yang terjadi.


Berminggu aku di Paris, di Perpustakaan Nasional membaca buku-buku
yang sudah lama kuingini; tapi catetan-catetan yang kubikm di situ tidak sedi
kit pun menolong; sebab ketika aku menibaca segalanya terasa baru sangat
serta penting dan datang ingin menyalin seluruh buku. karena tidak bisa ku-
bawa; tiada berpengalaman dengan buku dalani keheran-totolan pak tani aku
ke sana-sini di situ, lalu kusut keluar, diberatkan dengan macam-macam yang
tak perlu. Dan kira-kira begitu pula tidak-sanggupnya aku berdiri-hadapan
dengan kejadian-kejadian yang datang dan pergi, tidak berbakat membikin sa
tu pilihan, sonder penyerahan dalam melihat, cermin yang dibolak-balik, me-
nyinarkan kembali segala bayangan... oleh itu bukan main perlunya bagiku
mendapat pesawat dari kesenianku sebuah palu, paluku dan dia jadi yang me-
merintahkan, mengatasi segala bunyi. Semustinya ada suatu pekerjaan terma
suk dalam kesenian ini terus-terusan, tiap hari, menggunakan segala musti
mungkin juga di sini...
Dengan satu atau lain jalan kau musti membikin apa-apa; bukan menggeliat
(plastik—pcnyalin), tapi yang tertulis, realiras-realitas, tersembur diri bekerja...

Oberneuland
10-8-1903

Rilke an Lou Andreas-Salome

Er [Rodin) ist der Wichstigsten Einer, Ein Zeichen weit iiber der Zeit, ein
ungemeines Beispiel, ein weithinsichtbares Wunder- und doch nichts als ein
unsaglich einsamer, alter Mann, einsam in einem groBen Greisenthum. Sieh,
er hat nichts verloren, er hat zusaminengetragen und urn sich gesammelt ein
groBes Leben lang; er hat nichts in Umgewissen gelassen und aller ver-
wriklicht: aus der Flucht eines erscchreckten Gefiihls, aus eines Traumes
Triimmern, aus dem Anfang einer Ahnung schon hat er Dinge gemacht und
hat sie urn sich gestellt, Dinge und Dinge; so wuchs um ihn eineWirkkchkeit,
eine wite stille Verwandtschaft von Dingen, die ihn mit anderen und alteren
Dingen verband, bis er selbst aus einer Dynastie groBer Dinge zu stammen
schien: seine ruhe und seine Geduld kommt von daher, sein angstloses,
dauerndes Alter, seine <berlegenheit iiber die Manschen, die viel zu beweglich

kalam 22 -J45
MICHAEL RINALDO

sind, zu schwankend, zu sehr spielend mit den Gleichgewichten. in denen er,


fast unbewuBt, ruht.
[...]nicht bildcn muB ich lernen von ihn, aber tiefes Gesammeltsein urn
des Bildens willen. Arbeiten muB ich lernen, arbeiten, Lou, das felilt mir
so![...|
Vielleicht ist es nur eine Art von Ungeschliklichkeit, die mich verhindert
zu arbeiten d.h. zu sammeln aus allem was geschieht; [...]
Wochenlang saB ich in Paris in der Nationalbibliothek und las Biicher,
die ich mir lange gew.nscht hatte; aber die Notizen, die ich damals gemacht
habe, helfen mir zu nichts; denn wahrend ich las, schien mir alles ungemein
neu und wichtig und die Versuchung lag nahe, das ganze Buch abzu-
shchreiben, da ich es nicht mitnehnien konnte; unerfahren in Biichern, gehc
ich dann in steter dummer Bauernbewunderung in ilmen umlier und
komme verwirrt heraus mit den iiberHiissigsten Gegenstaiiden beladen. Und
ahnlich unbeholfen bin ich den ereignissen gegen,ber, die kommen und
gehen, ohne die Gabe der Auswahl, ohne die Gelassenheit der Aufnahme, ein
bin und der gewendeter Spiegel aus dem alle Bilder fallen [....]
Aber danim thut es mir so fiirchtbar noth, das Werkzeug meincr Kunst zu
finden, den Hammer, meinen Hammer, daB er Herr werde un wachse iiber alle
Gerausche. Es muB ein Handwerk stehen audi unter diesci Kunst. cine treue,
tagliche Arbeit,die alles verwendet, muB doch auch hier moglich sein!|...|
Irgendwie muB auch ich dazu kommen, Dinge zu machen; nicht
plastische, geschribene Dinge—Wirklichkeiten. die aus dem Handv/erk
hervorgehenf...]

Paris, 11 September 1902

Kepada Rodin

Saya ditang ke tuan bukan hanya untuk membikin satu studi, tetapi un
tuk menanyakan pada tuan: bagaimanakah kita musti hidup? Dan jawab tuan
pada saya: "dalam bekerja". r
Dan saya mengerti ini betul-betul. Saya rasa bekerja adalah: hidup dengan
tak usah mati. Saya penuh terima kasih dan penuh kegirangan. Sedari jaman
kanak saya cobakan begini. Tetapi kerjaan saya, karena terlalu saya suka pa-

146 kalam 22
-f£l -7i—tz-—z——

RILKE DAN CHAIRIL

danya, dalam berianjut tahun menjadi suam yang gagah, pesta yang terhubung
dengan ilham yang jarang, dan sampai minggu saya tidak berbuat apa selain
menanti, dengan duka tak terhingga, saat mencipta. Itu adalah hidup penuh
jurang. Tetapi saya tidak sekali berani menggapai keilham yang jauh f...J Se
karang saya tahu bahwa jalan satunya ialah menggenggamkannya. Dan inilah
kelahiran kembali dari hidup saya yang hebat dan dari pengharapan yang tuan
kurniakan.

Paris II RueToullier
den 1I.September 1902

Rilke an Rodin

Nicht nur weil ich eine Studie machen wollte, bin ich zu Ihnen
gekommen.-sondern um Sie zu fiageii: Wie soil man leben? Und Sie haben
mir geantwortet: Indem man arbeitet.
Und ich verstehc das gut. Ich tiihlc. daB Arbeiten Leben ohne zu sterben
bedeutet. Ich bin voller Dankarbeit und Freude. Denn seit meiner friihesten
Jugend wollte ich nichts als dies. Und ich habe es versucht. Aber mcine
Arbeit, weil ich sie so liebte, ist wahrend dieser Jahre zu etwas Feierlichen ge-
worden, zu einem Fest, gebunden an die seltenen Momente der Eingehung;
und es gabWochen, da ich nichts anderes tat, als mit undendlicherTraurigkeit
die schopferische Stunde zu erwarten. Es war ein Leben voller Abgriinde. Ich
habe angstlich jedes kiinsdiche Mittel gemieden,[...] Jetzt weiB ich, daB dies
die einzige Moglichkcit ist, sie zu bewahren.- Und dies ist di GroBe Wieder-
geburt meiner Lebens und meiner Hoffnurig, die Sie mir geschenkt haben.

Turnborg, 19 Oktober 1904

Kepada Lou Andreas-Salome

Kalau tidak semuanya menipuku akan maju aku selangkah ke depan dan
sudah mustinya kulakukan setidaknya sekarang di masa yang dikurniai ini.
Aku mungkin mengambil berapa pulusan untuk hidup tambah banyak
bekerja dan lebih sedar dari kini.

kalam 22 -|47
T~t ST

MICHAEL RINALDO

Aku rasa di sini bagaimana banyaknya pengaruh yang baik datang berkumpul
padaku. Sipat sebenarnya yang memang baik dan kerelaan yang dalani akan meno
long dari orang di sini, tenaga dan beningnya kejemihan jiwa mereka—perasaan-
perasaan berhubung dengan yang tinggi, rasa tertekan serta kenikmatan yang murni
dari musim gugur bekerja di diriku dan aku bertukar benar. Aku sepotong besi
yang akan lantas pijar dan palu akan berganti-ganti mendera.
Dalam sajak yang menjadi olehku bagiku lebih banyak rasanya tersimpan
kebenaian dari dalam perhubungan atau persahabatan.Jika aku kuasa mencip
ta, adalah aku benar dan inginlah aku mendasarkan hidupku atas kebenaran,
atas kesederhanaan ini yang tidak putusnya dan kegembiraan yang kadang-ka-
dang diberikan padaku.
Sedari aku pergi ke Rodin itulah kucari; sebab dari intuisi sudah bertahun te
rasa olehku tentang yang tidak bertara dan patutnya diturut kerjanya karena setelah
kutinggalkan dia sekaiang, tahu aku bahwa tidaklah pula lain yang hams kuingmi
dan kucari dari terkabulnya kerjaanku sendiri.. Tetapi bagaimana aku memtilai ja
lan ini- di manakah letaknya tenaga tangan buat kesenianku, bagian yang paling da
lam dan kecil, di mana aku bisa mulai supaya cekatan?
Aku mau mulai tiap jalan kembali dari pangkalnya dan semua yang kutuhs
akan tiada, lebih hilang lagi dari usapan di ambang, karena tiap tamu baru
membawa pergi pula jejak kakinya. Dalam diriku ada kesabaran yang berabad
dan akan hidup serasa waktuku sangat panjangnya.

Nach Gottingen
Furuborg,aml9.0kt. 1904

Rilke an Lou Andreas-Salome

heute morgen ist mir in einer groBen Helligkeit dieses Klar geworden: ich lebe
seitJahren mit schlectem Gewissen und mit seichter Kraft: alles was mir begegnet,
ist nur eineWeile flott, fihrt, aber plotzlich kreischt es aufden Grund und sitzt fest.
Soil mein Leben besser worden, so muB ich vor allem an diese beiden
Dinge denken: Kraft und Gewissen. Die Kraft (das hat die Blut-Analyse
bestatigt) ist unzureichend. Eine Kurzeit m Skqdsborg oder bei Lahmann
konnte das bessern. Danach forgesetzes naturgemaBes und einfaches Leben.
Was ist aber das Gewissen? Ich sehe, daB es so mit meiner Arbeit nicht
weitergeht; daB ich lhr neue Zuflusse aufthun muB, nicht weil ich sie nicht

14g kalam 22
—m r—

RILKE DAN CHAIRIL

ordnen [,] nicht verbinden kann. Ich muB greifen lernen und halten: arbeiten
muB ich lernen. Das sage ich mir seit Jahren und pfusche doch so weiter.
Davon das arge Gewissen; umso arger wenn andere Vertrauen zu mir haben.*
Ich kann vor mir selbst nicht froh sein und deshalb bin ich es nie.
Mir fehlen vielleicht nur ein paar Handgriffe und Hulfen.Wenn man mir
nur die erste Thiir ofihete, cih denke den Mechanismus der anderen wiirde
ich dann schon zu behandeln wissen. Und wemi jetzt piiltzlich Wasser, viel
Wasser iiber meine Rader kaiiie, irgend ein ZufluB, der zu stiirzen und su
rauschen weiB, vielleicht ware das ganze Elend dieses tragen Malilgangs fur
immer vorbei. Doch du denkst, daB ich das alles schon gesagt habe. Und daB
das Einbildungen sind. Und daB man da nicht einsetzen kann, weil es un-
moglich ist, alle dieTabesbewegungen meinesWillens mitzumachen.
Aber das ist auch nicht die Klarheit, die ich heute morgen, auf einem
hohen Wildplatz luftbadend, empfing. Diese Klarheit ist wirklich klar, lautet:
Ich will jetzt noch einige Wochen hier Gast bleiben, mirWache, Kleider und
Schuhe kaufen (wovon ich so gut wie nichts mehr besaB). Sparen, wie es das
Gastsein erlaubt. Ordnen. Arbeiten, so gut es geht. Dann will ich mehrere
Wochen in Kopenhagen sein; um zwei bestimmter arbeiten willen.
Dann will ich nachhause gehen und Weihnachten haben bei Ruth. Lange
Weihnachten. Dann will ich entweder nach Skodsborg oder zu Lahmann
gehen und eine ausfiihrliche Kur aushalten, so wahrend Februar-Marz, in der
Zeit, da meine Influenza wiederzukommen pflegt.
Dann will ich eine kleine Reise machen, dorthin wo Du dann sein wirst...
Dann, zum Sommersemester, will ich an eine Universitat gehen und
studieren: Geschichte, Naturwissenschaften, Physiologic, Biologic, experimented
Psychologic, etwas Anatomie* u.s.w.
Dabei handelt es sich um zwei Dinge.
1. Die Universitat zu finden, die am zweckmaBigsten fur mich ist.
2. Eine Personlichkeit zu entdecken, die mir hilft, so daB die Sache aus
einer allgemeinen zu einer Angelegenheit von Mensch zu Mensch wird.
Zu 1: denke ich oft an Zurich. Weil es dort vermuthHch angeht, landHch
zu wohnen und vegetarisch zu essen.- Weil es eine Universitat mit deutscher

Catatan kaki Rilke: meine Nachsten; mein Vater, der jetzt auf eine so traurige Art
geduld mit mir hat; Ellen Key, die Menschen hier im Hause.
*
Catatan kaki Rilke: Grimm'sches Worterbuch nicht zu vergessen.

kalam 22
149
-zrsr

MICHAEL RINALDO

Vortragssprache ist, ohne doch eigendich deutsch zu sein; weil, wie ich
vermuthe, dort am ehesten, nicht Studenten, sondern Menschen zu finden
sind (und russische Menschen.)
Aber zu 2: findet sich dort ein Lehrer von Bedeutung, zu dem ich
personHch mit meinen Fragen und Wunschen, mit der ganzen Fiille meiner
Unerfahrenheit kommen kann? (daB ich nicht einer hunderten sein muB: in
soldier Lage gehe ich ganz verloren, falle mit alter Wucht auf mich selbst
zuriick...) In diesem Sinne, wie ich es meine, hatte seinerzeit Simmel mir
helfen wollen, wenngleich tiabei nichts Gutes flir mich hatte herauskommen
konnen, nichts als eine ungeheure Komplikation meiner Konflikte. In diesem
Sinne, wollt auch Kurt Breysig mir helfen und wiirde es wohl, obwolil ich
mich damals mit aller Unart abgewendet habe, noch wollen. Aber ich glaube
er ist unbedeutend und eitel und fleiBig.-Da ware ein Mensch wie der alte
Jacob Burckhardt der richtige gewesen.-
In Ziirich lebt, meines Wissens, jetzt Richarda Huch, die, wie ich
mehrmals gehort habe, von mir weiB. Sie wiirde gewiB in mancher
Beziehung helfen konnen und wollen, vermittelnd und rathend.
Und ist nicht Fore! noch da?-
Liebe Lou, ich sende meinem Brief von vorgestern diesen nach; er ist
zwar ebenso schlecht und stiickhaft,- aber ich denke er ist von etwas festerer
Strukuir und unterstiitzt meine Bitte, Du mochtest mir helfen, dadurch daB
er besser sehen laBt, wo zu helfen ware; daB er absehbarer ist.
Es wiirde sich also darum handeln, in den nachsten Monaten die
Universitatsfrage gut zu tiberlegen; Du sollst Dich nicht darum bemuhen,
aber es kann leicht sein, daB Du etwas horst oder Hest was mich weiter-
bringen kann. Auch hast Du ja eigene Errinerungen an Zurich. Das hilft viel.
Liebe Lou, ich danke Dn Sir alles, fiir jeden Gcdanken, furjede Geduld.
Und hab es gut.Vielleicht ist "der Sieg" doch noch auf Deiner Seite und Du
muBt nicht so lange liegen und kannst so langsam, langsam wieder ganz
gesund werden.
Ich denke jetzt oft an die Kleine Madonna in dem silbernen Gehause;
nachdem ich sie jahrelang ganz vergessen hatte, kenne ich sie jetzt wieder
genau und denke an sie als hatte ich sie gestern'in der Hand gehalten, au£-
und zugemacht. Leb wohl.

Rainer.

150 kalam 22
' V >• f

RILKE DAN CHAIRIL

Dekat Gottingen
Furuborg, 19 Okt. 1904

Kepada Lou Andreas Salome

Lou,

hari ini, di bawah suatu sinar yang besar, satu telah menjadi jelas: aku telah
hidup bertahun-tahun dengan perasaan tidak enak dan kekuatan yang dang-
kal: semua yang telah kutemui, hanyalah sesuatu yang bersifat sementara, ber
jalan, tetapi tiba-tiba berhenti di atas tanah dan berakar.
Agar hidupku bisa menjadi lebih baik, aku harus memikirkan dua hal ini
sebelum segala yang lain:Tenaga dan perasaan hati/kesadaran. Tenaga ini (yang
telah dipastikan oleh analisa darah) tidaklah cukup. Mungkin berada sejenak di
Skodsborg atau Lahmann dapat meningkatkannya.
Tetapi apakah itu perasaan? Aku melihat. bahwa aku tidak dapat menerus-
kan pekerjaanku. bahwa aku harus menemukan anak sungai yang baru untuk-
nya, tetapi bukan karena segalanya terjadi dari anak sungai ini dan keberadaan
[Dasem| menjadi kecil,-hanya: karena dia tidak mengaturku, aku tidak bisa
menyalurkannya. Aku harus belajar menggapai dan mencengkram: haruslah
aku belajar untuk bekerja. Hal ini sudah kukatakan selama bertahun-tahun
dan kemudian tetaplah aku melakukannya dengan ceroboh. Dari situlah tim-
bul perasaan yang buruk; lebih buruk lagi bila seseorang lain telah menaruh
kepercayaan kepadaku.* Tak ada kegembiraan dari dalam diriku dan karena
itu aku tak pernah bersuka cita.
Mungkin aku hanya kekurangan sepasang sodoran tangan dan pertolong-
an. Bila seseorang telah membukakan pintu pertama bagiku, aku berpikir
akan kuketahui bagaimana menggunakan mekanisme yang lain. Dan bila kini
tiba-tiba air, banyak air menerpa gerigi rodaku, entah sebuah anak sungai,
yang terjun dan bergeniuruh, akanlah semua yang tadmya lemah bagaikan
penggiHng gandum yang seret menjadi masa lalu. Mungkin kamu berpikir,
bahwa semua ini sudah pernah kukatakan. Dan mi hanyalah sebuah imajinasi.
Dan aku tak akan bisa mengikutsertakan, karena tidak mungkin, semua yang

Catatan kaki oleh Rilke:Tetanggaku; ayahku, yrng kirn punya kesabaran dengan aku
yang cenderung sedih; Ellen Key, orang-orang dalam rumah ini.
kalam 22
151
MICHAEL RINALDO

dilakukan oleh gerakan-gerakan keinginanku yang sudah mendarah daging/


merasuk tulang.
Tetapi ini bukanlali satu-satunya kejernihan yang kuterima hari ini, di atas
sebuah hutan tinggi yang bermandikan udara. Kejernihan ini benar-benar je
las. yang berkata: aku ingin tinggal di sini sebagai tamu satu minggu lagi, un
tuk membeli pakaian, dan sepatu (yang boleh dikatakan tidak kumiliki lagi).
Untuk menabung uang, yang bisa kulakukan selama menjadi tamu. Untuk
bekerja sebaik mungkin. Dan aku ingin tinggal beberapa minggu lagi di Ko-
penhagen; untuk dua pekerjaan yang pasti.
Dan ingin aku balik ke rumah dan melewatkan Natal bersama di tempat
Ruth. Natal yang panjang.
Dan aku ingin pergi ke Skodsborg atau Lahmann dan berusaha bertahan
selama terapi penyembuhan infliienzaku yang biasa datang pada waktu Fcbru-
ari-Maret.
Lalu aku ingin melakukan perjalanan kecil, di mana kamu akan ikut ber
ada... Lalu, pada waktu semester musim panas, aku ingin mendaftar dan belajar
di satu universitas: sejarah, IPA, Fisiologi, Biologi, Psikologi eksperimental, dan
mungkin anatomi dsb.
1)engan ini dua hal harus diperhatikan.
1. Mencari satu universitas, yang paling berguna untukku.
2. Menemukan seseorang, yang akan menolongku, agar subyek yang
umum akan dapat menjadi satu yang dibicarakan secara perorangan.
Mengenai 1: aku sering berpikir mengenai Zurich. Karena kiranya, di Sana
aku bisa hidup dalani suasana pedesaan dan menjadi vegetarian- Di samping
itu ada satu universitas dengan bahasa pengantar Jerman biarpun sebenarnya
bukan sebuah universitas Jerman tanpa harus menjadi orang Jerman dan o-
rang-orang yang akan kutemui di sana. sebagaimana telah kuduga sebelunmya,
bukanlah mahasiswa, melainkan orang-orang (dan orang-orang Rusia).
Tapi mengenai 2: Dapatkah kutemukan di sana seorang pengajar yang ber
arti bagiku, yang dapat kudatangi dengan pertanyaan-pertanyaan dan harapan-
harapan beserta dengan segala kemiskinan pengalamanku? (Dan aku tidak ha
rus menjadi salah satu dari sekian ratus mahasiswa: karena dengan posisi yang
begitu segalanya akan menjadi hilangjatuh kembali dengan begitu kerasnya
di atas diriku...) Dengan pengertian ini, pengertianku, Simmel pernah ingin

* Catatan kaki oleh Rilke:Tanpa melupakan kamus Grimm.

•| 52 kalam 22
•3T

RILKE DAN CHAIRIL

menolongku pada waktu itu, meskipun pada saat yang sama tak ada suatu pun
yang bagus dapat diraih darinya, melainkan hanya komplikasi dahsyat kon-
flikkti. Dalam hal ini Kurt Breysig juga pernah ingin menolongku dan selalu
bersedia, walaupun aku pada waktu itu dengan segala tipu daya menghin-
darinya. Tapi menurutku dia itu tidak berguna bagiku, bertingkah sombong
dan rajin bekerja. Orang yang mungkin cocok bagiku adalah si tua Jacob
Burckhardt.

Setahuku Richardi Huch sekarang hidup di Zurich, dan yang kudengar lagi,
dia mengenalku. Dan dia juga pasti dalani beberapa hal bersedia menolong, siap
dihubungi dan memberi nasihat. Dan bukankah Foreljuga masih di sana?
Lou (sayang), aku menyusulkan surat ini atas surat sebelunmya, tapi isinya
sama buruknya dan putus-putus, - tapi kupikir surat ini mengandung struktur
yang lebih kokoh dan menyokong permohonanku, agar kau mau menolong
ku. agar surat ini dapat tampak lebih baik, dan traiisparan; agar surat ini lebih
patut dicontoh.
Mungkin bulan depan pertanyaan mengenai universitas pantas dibahas.Ja-
nganlah kamu mengkhawatirkan hal ini, tapi hal ini dapat menjadi lebih mu
dah, bila aku diberi tahu, dari apa yang sudah kamu dengar atau baca, apa
yang dapat kubawa denganku. Dan ingatanmu sendiri mengenai Zurich. Hal
itu akan membantu banyak.
Lou (sayang), aku berterima kasih kepadamu untuk semuanya, untuk seti
ap ide, untuk setiap kesabaran. Dan aku merasa beruntung. Mungkin "keme-
nangan" masih berada di sisimu dan kamu tidak harus bcrbaring begitu lama
dan bisa lambat laun sepenuhnya sehat kembali.
Aku sekarang sering memikirkan patung kecil Bunda Maria dalam kotak
peraknya. Setelah aku begitu lama benar-benar nielupakannya, sekarang aku
sudah mengenalnya kembaH dan berpikir tentangnya seperti baru kemarin sa
ja aku menggenggamnya di tanganku, membuka dan menutupnya kembaH.
Jaga diriniu baik-baik.

Rainer.

kalam 22 -n
"* . . --*,— T—&-

h^
-

Mi
h

a I r tl ^ViM^^Ca^^

^D
X
i. '.- • J- - 77

AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

SEKS, BERAHI, DAN CINTA


Tiga Karya Nh. Dini"

VfH' DINI adalah salah satu dari sekian banyak penulis perempuan
1 Nyang ikut mewarnai dunia sastra Indonesia.Telaah terhadap karyanya
menunjukkan bahwa karyanya berpandangan feminis. Melalui mlisannya,
Nh. Dim bahkan ingin menjadi "wakil wanita"1 untuk menyampaikan
"usul dan protesnya",- serta menjadi suara dari kebisuan perempuan. Jika
beberapa karya penulis perempuan yang tergolong berpandangan feminis
seringkali digugat sebagai "sastra seksual" belakangan ini, Nh. Dini telah
melakukan perlawanan terhadap konstruksi seksualitas perempuan sejak ta
hun 1970-an. Kemawmn, misalnya, yang menggugat mitos malam pertama
dengan menekankan kesakitan perempuan yang biasanya terbisukan oleh
wacana kegagahan dan kejantanan laki-laki. Karya-karya Dini lainnya yang
berapa novel menggugat perkawinan sebagai lembaga yang seringkali
mengabaikan subyektivitas—termasuk seksualitas—perempuan.
Daya tank lain karya Nh. Dini bagi saya adalah dakm hal pemilihan latar,
terutama latar tempat di luar negeri. Nh. Dini jeH menangkap perbedaan budaya,
adat dan kebiasaan, serta cara pandang yang bersama-sama membangun per
lawanan terhadap apa yang diterima sebagai kelaziman, terutama mengenai
identitas perempuan, termasuk seksualitasnya. PerspektifTimur yang seringkaH
diambilnya bukan semata-mata penerimaan Timur sebagai Liyan (the Other)

Bagian dari tesis Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya Nh. Dini,
Program Kajian Wanita Universitas Indonesia. '
Lihat Nh. Dini, Sekayu (Jakarta: Gramedia, 2000), 76. Cetakan pertama oleh Pustaka
Jaya, 1980.
Lihat Th. Sri Rahayu Prihatmi, Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1977), 47.

kalam 22 .__
155
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

dalam pertentangan Timur-Barat. Nh. Dini bersikap kritis terhadap Barat


sebagaimana ia bersikap kritis terhadap Tiniur.
Sebagai dikemukakan oleh beberapa pemikir feminis, seperti Beauvoir,
Millett, Oakley, Hyde:3 hasrat, berahi, penderitaan dan tubuh, serta seksua
litas perempuan secara umum tidak mendapat tempat dalam budaya patri-
arki. SeksuaHtas perempuan juga seringkali dipahami secara taksa dan ambi
valen, yang kemudian menyebabkannya menjekiia mitos. Peminggiran
seksualitas perempuan dan penibentukannya sebagai mitos menunjukkan
bahwa konstruksi sosial pada dasarnya merupakan konstruksi seksual yang
terutama diaralikan untuk mendefinisi dan menguasai seksualitas perempu
an. Dalani UiHsan mi saya membahas bagaimana isu seks, berahi, dan cinta
ditampilkan dalam Pada Sebuah Kapal,4 La Barka,5 serta Nantaku Hirokof
yang menurut saya merupakan karya penting Nh. Dini.

Struktur narasi
Yang menarik pada PSK adalah dua narasi yang berbeda sebagai cer-
minan pandangan perempuan (Sri, penari) dan pandangan laki-laki
(Michel Dubanton, pelaut). Kedua narator menceritakan kehidupan
masing-masing ketika keduanya saling bertemu, terutama di atas kapal yang
ditumpangi Sri dan dinakhodai Michel. Narasi terpisah ini, menurut saya,
menguatkan asumsi atas oposisi biner femininitas dan maskuHiiitas, serta
seksualitas perempuan dan laki-laki. Lebih daripada sekadar representasi
perempuan, Sri juga merupakan wakil Tiniur (bukan putih), tandingan
Michel yang laki-laki dan Barat (putih).

Lihat Simone de Beauvoir, The Second Sex, penerjemah dan editor H. M. Parshley
(Vintage Book Edition, 1997). Selanjutnya dituiis Tlie Second Sex: Kate Millett, Sexual
Politics (London:Virago Press Limited, 1991); Ann Oakley, Sexuality, ringkasan dari
Sex, Gender and Society, dalam Stevi Jackson dan Sue Scott Feminism and Sexuality: A
Reader (New York: Columbia University Press, 1972); Janet Shibley Hyde, Half the
Human Experience, edisi ke-3, (Lexington, Massachusetts, Toronto: D. C. Heath and
Company, 1985).
4 Pada Sebuah Kapal (Jakarta: Gramedia, 2000). Cetakan pertama oleh Pustaka Jaya,
1973. Selanjutnya dituiis PSK. r
La Barka (Jakarta: Gramedia, 2000). Cetakan pertama oleh Pustaka Jaya, 1975.
Selanjutnya dituiis LB.
6 Namaku Hiroko (Jakarta: Gramedia, 1989). Cetakan pertama oleh Pustaka Jaya, 1977.
Selanjutnya dituiis NH.

156 kalam 22
SEKS, BERAHI, DAN CINTA

Narasi Sri mengenai Michel disampaikan secara sederhana sesuai de


ngan karakternya. Narasi Sri dapat juga dibaca oleh perempuan sebagai ba
gian dari pengalamannya sendiri. Misalnya, saat terjadi konflik batin, dia se
bagai perempuan berikut hasrat seksuahiya harus berhadapan dengan
kungktingan norma-norma perkawinan.

Kurasakan getaran-getaran kehendaknya sampai ke lapisan kulit dan da-


gingku. Aku pun menghendakinya. Tetapi aku takut Serasa diriku membelah
dua.Yang satu berteguh kepada keinginan tetap menjadi isteri yang menyetiai
suami, satunya lagi parah dan berlumuran darah (PSK, 171).

Narasi Michel Dubanton bagi saya sendiri tidak menarik dan terkesan
terlalu dipaksakan bersuara "maskulin". Nil. Dini sepertinya bemsaha
menghadirkan stereotipe laki-laki, misalnya ketidaksetiaan, yang seolah-olah
mewakiH karakter semua laki-laki, dengan penggunaan kata ganti pertama
jamak "kami" yang dampaknya memtikul rata semua laki-laki: "Kami laki-
laki ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang tidak setia." (PSK, 263).
Dalam narasi Michel, seksualitas perempuan ditampakkan sebagai me-
nantang dan menyerah pada keinginan dan berahi laki-laki. SeksuaHtas pe
rempuan yang takluk itu ditampilkan monolitik serta melewati batas-batas
ras dan budaya. Misalnya, perempuan Italia adalah "Sepotong daging yang
patut dicoba" (PSK, 260), perempuan India "tahu menaklukkan Anda" atau
perempuan Tionghoa "memang bukan man"(PSK, 262). Tidak jadi soal
apa rasnya karena, dalam stereotipe kacamata laki-laki, perempuan adalah
obyek seksual yang menjanjikan.
Seperti hampir semua novel Nh. Dini, tokoh utama dalani LB adalah
"aku". Cerita ini sebenarnya adalah semacam buku harian yang diudis to
koh Rina untuk kekasihnya. Rina adalah seorang janda bersatu anak yang
tengah menanti keputusan perceraian dan suaminya. Rina berselingkuh
dengan seorang wartawan, yang kemudian meninggalkannya untuk berhu
bungan dengan perempuan lain. Dalani masa menunggu itu, Rina tinggal
di La Barka, yang menjadi pusat cerita baik secara kiasan maupun harfiah.
Meskipun narasi disampaikan oleh tokoh Rina, dan Rina adalah bagian
dari cerita, altir cerita tidak hanya beifokus pada dia. Rina sendiri lebih
merupakan pusat pandangan atas segala sesuatu yang berlangsung di seputar
rumah peristirahatan La Barka. La Barka, dalani hal ini, menjadi seperti

kalam 22 *cj
s*-.—ssr

AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

panggung tempat aktor dan aktris menipersembahkan suatu pertunjukan.


Dengan demikian, Rina merupakan tokoh yang "menonton"dan bercerita
kepada pembaca. Watak para tokoh di dalamnya, termasuk dia sendiri, dilu-
kiskan lewat kacamata Rina. Ia juga menyampaikan pandangan yang me-
ngedepankan subyektivitas diri perempuan karena dia-lah, dalam pandang
an Benveniste,7 "Aku" yang berbicara kepada "Kau"; Aku sebagai Subyek,
dan Kau sebagai Obyek. Subyek dan Obyek itu sendiri kemudian berada
dalani dialog, sehingga posisi Subyek dan Obyek tidak pernah mutlak.
LB adalah cerita tentang perempuan oleh perempuan. Alur dalam cerita
disusun seperti mosaik kehidupan beberapa perempuan, terutama dalani
hubungannya dengan laki-laki, baik di dalam maupun di luar lembaga per
kawinan. Masing-masing tidak hanya menampilkan cerita sendiri-sendiri,
tetapi juga mewakiH sosok perempuan unik yang melawan mitos seksuali
tas perempuan sebagai "malaikat dan pelacur".
Hal itu tercermin juga dalam penamaan bab dalam novel ini yang teidiri dari
nama tokoh perempuan yang nielaktikan pengembaraan di LB. Dengan pe
mikiran ini, "Perempuan" bukanlali penanda kolektif melainkan sekumpulan
subyek yang subyektivitasnya tidak ajck din selalu dalam proses "menjadi".
Perempuan menjalani pengalamannya dengan cara bed^eda-beda, menubuhi di
rinya dengan cara berbeda, dan menjalani tubtilinya dengan cara berbeda pula.
Novel ketiga yang saya tilik adalah NH, sebuah novel tentang perem
puan yang berusaha "mengubah posisi dari obyek yang dituiis menjadi sub
yek yang menulis".8 Penceritaan tokoh utama, "aku", menjadi kuat karena
ia ditempatkan sebagai subyek yang bercerita. Dalam strategi retorik itu,
pembaca menjadi obyek yang hanya dapat melihat dan mengetahui apa
yang diHhat dan diceritakan Hiroko. Sebagai narator tunggal, narasi Hiroko
tidak mendapat sanggahan, tentangan, atau pun dukungan dari narator lain
kecuali melalui ujaran yang disampaikan kepada Hiroko. PemiHhan teknik
narasi ini memberi keleluasaan dalam melukiskan perjalanan hubungan
Hiroko dengan laki-laki, yang dialami dan dimaknai Hiroko dengan cara
yang menyimpangi penggambaran seksualitas perempuan yang normatif.

Toril Moi, Feminist Tlieory and Simone de Beauvoir (Cambridge: Blackwell Publishers,
1993).
Melani Budianta, "Yang Memandang dan yang Dipandang: Potret Orang Kecil dan
Wacana (Post)-Kolonial", Kalam 2,1994.

158 kalam 22
-3S5-

SEKS, BERAHI, DAN CINTA

Alur novel ini berpusat pada hubungan Hiroko dengan laki-laki. Setiap
hubungannya dengan laki-laki bermakna dalani pembentukan watak dan
sikapnya. Hiroko menjaHii hubungan dengan beberapa laki-laki. Ia
berturut-turut berhubungan dengan Sanao, sang majikan,Yukio, Suprapto,
dan Yoshida.

Seks, berahi, dan cinta


Dalam PSK Sri digambarkan mengalami kekerasan verbal dan keter-
asingan bukan saja karena ia terikat perkawinan bersama laki-laki yang ti
dak lagi dikenalnya, tetapi juga karena ia memang berada di tempat "asing".
Charles, suaminya yang semula lembut, berubah menjadi kasar, baik dalani
perkataan maupun cara berhubungan seks dengannya. Dalani perkawinan-
nya Sri mengalami kesepian dan keterasingan yang lebih menyakitkan dari
pada sakitnya hubungan seks yang tidak lagi diinginkannya bersama Charles.
Perkawinan memberikan "hak" bagi laki-laki atas seks dan seksuaHtas
perempuan yang dikawininya. Seks, ketika hubungan "cinta" tidak lagi ada,
adalah bagian dari hubungan kekuasaan antara "yang mengawini" dan
"yang dikawini". Sri, sebagai istri, tereduksi dan tidak lagi berada dalani hu
bungan romantis laki-laki dan perempuan, melainkan sebagai istri yang se
penuhnya merupakan aset dan hak miHk suami. Ironisnya, Charles meng
anggap istrinya tidak cukup menjadi obyek semata. Ia juga menginginkan
Sri menjadi sekutu dalani obyektivitasnya. Keengganan Sri untuk berparti-
sipasi aktif dalam pemenuhan kebuttihan seks Charles dapat dikatakan se
bagai bentuk perlawanan seksualnya. Charles dapat saja menikmati tubuh
nya, tetapi Sri tidak ingin menjadikan dirinya obyek ganda dengan mem
berikan kenikmatan lebih bagi Charles daripada apa yang dipenuhinya sen
diri. Dalam perspektif ini, bagi Sri hubungan seks haruslah dilakukan de
ngan cinta.
Sri sendiri menganggap hubungan seks sebagai bagian penting dalam
hubungan perempuan dan laki-laki. Ia, misalnya, menganggap perkawinan
tidak lebih dari sekadar masalah administrasi semata yang tidak terkait de
ngan hubungan seks. Keputusannya melakukan hubungan seks sebelum
menikah dengan Saputro mencerminkan hal itu. ,

Malam itu kami habiskan tandas. Aku tidak menunggu saat perkawinan
kami lagi seperti kebanyakan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Saputro telah

kalam 22
159
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

kembali. Dan aku mencmtainya. Apakah lagi yang mesti kami tunggu untuk
saHng nielumat satu dengan laimiya, memasabodohkan hukum yang hanya di-
bikin oleh manusia abad-abad terakhir [PSK, 96).

Pada kutipan di atas, terlibat juga kesadaran Sri bahwa dalam perlawa-
nannya terhadap norma-norma sosial/seksual, ia harus menganggap dirinya
sebagai Liyan yang berdiri di luar strtiktur. la menganggap diri sebagai bu
kan gadis dari keluarga baik-baik, padahal ia berasal dari keluarga yang di
gambarkan hangat dan 'baik-baik". Seksualitas membentuk tidak saja tu
buh perempuan, tetapi juga kesadaran dan cara perempuan melihat dirinya.
KetidakpeduHannya terhadap norma membuatnya menjadi Liyan, tetapi
dalam hal ini, aHh-aHh dipandang sebagai Liyan dan atau "menyerah" pada
norma patnarkal itu, Sri terlebih dtilu memandang dirinya sebagai Liyan.
Dengan demikian, alat perlawanan Sri adalah alat yang sama yang telah
membatasinya dalam norma patriarki.
Sebagai perempuan, Sri juga digambarkan memiHki berahi, sebagaimana
laki-laki seperti Michel. Bahkan dalam percintaannya dengan Saputro dan
Michel, keinginan itu muncul dalani metafora panas yang menyerang dan
dirasakan tubuhnya, "Setiap kah aku kembali ke pelukannya, aku tahu bah
wa dia merindukanku. Alnan panas yang kurasakan dari tubuhnya, dari
sentuhannya, menenangkan perasaanku" (PSK, 169).
Tubuh Sri mengalami berahi dan, pada saat yang sama, merasakan bera-
hi Michel. Seks yang kemudian dapat dinikmati Sri adalah seks yang ber
langsung berbalasan, yang kedua subyeknya mengalami dan dialami, me-
nyentuh dan disentuh. Seks bukanlali wacana subyek yang menjadikan sub
yek lain sebagai obyek, seperti yang selama ini ia alami dengan suaminya.
Dengan Michel, Sri mendapatkan kepuasan seksual yang tidak pernah ia
peroFeh dalam perkawinaniiya. Meskipun demikian, menyadari posismya
sebagai istri, kepuasan seksual yang ia dapat dan laki-laki lain itu meniiii-
bulkan rasa bersalah, sesuatu yang merupakan bagian dari konstruksi seksu
alitas perempuan dalam budaya patriarki.
"Aku telah menghianati suamiku," seperti rnembutuhkan pengakuan, aku
berkataperlahan . . .
"Kau menyesal?"
Benarkah aku menyesal? Apakah yang bisa disesali dari sikap dan rabaan-

kalam 22
160
S :i±- *.' -••-

SEKS, BERAHI, DAN CINTA

rabaan kasar yang akhirnya tidak sampai kepada kepuasan mutlak seperti yang
telah kuperoleh darinya? Aku tidak menyesaHnya. Kebahagiaan yang baru ku-
kecap bersamanya belum pernah kurasakan. Seolah baru sekali itulah aku be
nar-benar mengenai kedalaman arti hidup antara laki-laki dan perempuan
(PSK, 174).

Alih-alih rasa bersalah itu, menurut Sri, kebutuhan seksnya-lah yang


sudah seharusnya diperhatikan, sehingga penyelewengan im menjadi cukup
berharga untuk diteruskan. Lebih dari itu, hubungannya dengan Michel
memberinya kebahagiaan. Kehadiran serta ketidakhadiran Michel menjadi
penting dalam kehidupan Sri selanjutnya. Berahi, kebutuhan seksual, serta
cinta yang diinginkan dan dipenuhi dalam hubungannya dengan Michel
menoreh pada tubuhnya, dan ketidakhadiran Michel mendatangkan kesa
kitan dan kekosongan, "Tiba-tiba kehendak yang kejam akan rengkuhan
lengannya yang kuat menyebabkan kepalaku menjadi kosong. Perasaan
ngilu dan derita kehendak akan sesuatu yang tak terterakan, kesemuanya
mencekamku ..." (PSK, 220).
Bagi Sri, cinta, seks, dan berahi adalah tiga hal yang saling berhubungan
erat. Seks bukan hanya kebumhan fisik, tetapi juga kebutuhan mental yang
harus dipenuhi dalam hubungan yang saHng membahagiakan antara pe
rempuan dan laki-laki. Seks adalah media komunikasi yang menandai kein-
timan suatu hubungan. Ketiadaan cinta menyebabkan seks dan berahi tidak
lagi bermakna dan tidak membahagiakan. Perempuan berhak meniperoleh
kepuasan seks, dan seks yang membahagiakan hanya dapat diperoleh dalam
hubungan yang membahagiakan, yang tidak selalu harus berupa lembaga
perkawinan.
Pada LB, Rina juga berada di ambang perceraian karena ia pun menga
lami kekerasan verbal dalani rumah tangganya. Seperti Sri, Rina merasakan
keterasingan karena tidak dapat lagi mengenaH suaminya dan bahkan diri
nya sendiri. La Barka sendiri adalah tempat berbagai jenis hubungan pe
rempuan dan laki-laki dipertontonkan. Berbagai hubungan itu membentuk
suatu "tubuh" kegagalan hubungan perkawinan dan hubungan perempuan
dan laki-laki pada umumnya. Pada LB secara spesifik digambarkan bahwa
hubungan perkawinan yang dibangun dalam budaya patriarkal tidaklah
menguntungkan perempuan, misalnya, melalui tokoh Monique, Francine,
Christine, dan Rina.

kalam 22 ...
161
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

Seperti juga Sri, Rina mengalami hubungan seks yang sangat tidak
membahagiakan karena hubungan dia dengan suaminya juga tidak menye-
nangkan. Lebih dari itu, kebutuhan seks kemudian menjadi sesuatu yang
mendera karena pemenuhannya tidak dapat begitu saja dilakukan oleh
sembarang laki-laki, termasuk suami. Hubungan seks dengan orang yang
tidak diinginkan bagi Rina dirasakan sebagai tindakan yang rendah dan
merendahkan diri.

Malam yang satu disusul oleh malam yang lain bila dia menghendaki tu-
buhku. Hingga tiba saatnya aku berpikir dengan stingguh-sungguh bahwa aku
hanya dianggapnya sebagai alat, sebagai suatu benda berguna baginya guna
mencapai puncak-puncak kenikmatan yang mungkin berbeda dari kenikmat-
an-kenikmatan yang didapatnya dari perempuan-perempuan lain [...] Sejak
itulah aku menjadi kurang berhasrat menerima dan menanggapi belaiannv.i
yang kuakui selalu membikin aku kehilangan akal. Ini tidak dapat berlangsung
terus, seruku di dalam hati setiap kaH peristiwa semacam itu berulang. Dari
baHk hati terasa harga diriku yang menderita, yang pasrah, terasa luka seluruh
perasaanku sebagai perempuan, yang sadar akan kesanggupan hidupku tanpa
bantuan maupun belaian laki-laki semacam suamiku (LB, 44-45).

Di sini, sekaH lagi, ada perlawanan yang kuat terhadap lembaga perka
winan sebagai lembaga patriarkal karena sebagai lembaga yang mengesah-
kan seks, perkawinan tidak banyak berarti dalani memberikan kepuasan
seks. Seks ternyata tidak cukup bermakna hanya karena dilakukan secara
"legal". Sebaliknya, seks dalam perkawinan seringkali kemudian berubah
wujud menjadi bentuk relasi kekuasaan antara suami sebagai subyek dan is
tri sebagai obyek. Seks kemudian menjadi benmk kekerasan. atau paHng ti
dak bentuk penguasaan.
Meskipun PUna tidak secara tegas mengemukakan hubungan seksualnya
dengan kekasihnya yang wartawan, pembaca diarahkan untuk percaya bah
wa keduanya menjalani hubungan seksual juga. Hubungan seks yang dice
ritakan Pana berikutnya adalah antara dirinya dan Robert. Di sini Rina
mendapatkan kepuasan tidak saja karena ia memang sudah lama tidak ber
hubungan seks dan sangat membuUihkan serta nienginginkanny i. tetapi ']

juga karena hubungannya dengan Robert memberi dia sebentuk kebaha


giaan, meskipun tidak dalam bentuk hubungan yang jelas.

162 v' *l n
SEKS, BERAHI, DAN CINTA

Malam itu Robert menjadi kekasihku .... Dengan laki-laki seperti dia,
aku tidak lagi mempunyai tempat untuk niengundurkan langkah. Ia terlalu
terlalu mengerti betapa aku merindukannya, menghendaki dan menanggapi
belaiannya Dia menderita, seperti juga dia mengerti aku menderita oleh
perasaan yang sama Ya, malam itu aku bernapas dengan kebaruan. Seolah-
olah hendak memuntahkan kau dari dalam diriku. karena selama ini
menyekat di tenggorokan dan menghalangiku menyerukan kebebasan. Ketika
akhirnya aku tertidur. tak sedikit pun aku teringat lagi padamu, Robert
mencintaiku malam itu (LB, 237-238).

TerHhat bahwa Rina menganggap hubungan seksualnya bersama Rob


ert merupakan hubungan yang berbalasan. Suaminya sendiri dianggap tidak
ada, meski bukan berarti tidak hadir dalam wacana kebutuhan seksual Rina
yang selama ini terabaikan. Dapat juga dinyatakan bahwa meskipun ada pe
rasaan romantis di antara Rina dan Robert, keduanya belumlah dapat dise
but sebagai sepasang kekasih. Meskipun demikian, yang paling penting bagi
Rina, "malam itu Robert mencintai[nyaj". Cinta kemudian dapat berupa
berahi menggelegak yang dirasakan bersama tanpa harus nielibatkan hu
bungan serins dan atau berjangka panjang. Seks yang diinginkan dapat juga
dimaknai sebagai cinta.
Hubungan antara Pvina dan Robert itu juga menepis gambaran seksua
litas perempuan yang (lebih) pasif dan romantis, seperti ditampilkan oleh
tokoh Sri. Tokoh-tokoh perempuan pada LB lebih terbuka mengenai
seksualitasnya, membicarakan dan melakukannya. Tokoh Monique, misal
nya, digambarkan sebagai tokoh yang sangat kuat mencerminkan ketidak-
puasan seksual perempuan dalam lembaga perkawinan. Ia mempunyai ke
kasih yang ditemuinya dalam periode tertentu hanya untuk "bermimpi"
selama beberapa hari, dan ini didukung oleh Rina, "Bertemu dengan orang
yang dicintai selalu menyegarkan hati dan pikiran" (LB, 133).
Tokoh Sophie bahkan digambarkan berganti-ganti laki-laki. Ia mengen-
cani dan tidur dengan beberapa laki-laki, di samping juga lebih bebas me-
nerima dan memberi senmhan serta ciuman spontan. Hal itu tidak dapat
dimcngerti Rina, yang menganggap dirinya sebagai orang Tiniur.

Apakah dengan merangkul badan Sophie sedemikian intim, Rene tidak


merasakan rangsangan nafsu? Mereka kelihatan bercanda, tetapi akulah yang

kalam 22 -iz-j
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

merasakan malu untuk melihat lebih dari beberapa detik saja. Demikian ber
beda kebiasaan kami bangsa Tiniur (LB, 87).

Kendati digambarkan bebas, tokoh-tokoh perempuan itu juga menga


lami perasaan bersalah, seperti yang dialami Sri. Perasaan bersalah ini meru
pakan bagian dari tegangan antara keinginan untuk bebas dan konstruksi
patriarkal yang sudah membentuk subyektivitas dan seksuaHtas perempuan.
Kebebasan seksual yang dinikmati tokoh perempuan adalah tindakan yang
menyimpang, apalagi bagi pasangan yang sudah menikah. PUna, misalnya,
setelah hubungan semalamnya dengan Robert, merasa bahwa tindakannya
itu dapat mendatangkan malapetaka. "Aku tiba-tiba khawatir akan datang
nya sesuatu malapetaka karena telah mengecap saat-saat hening dengan la
ki-laki seperti Robert. Karena kebahagiaan itu meluap-luap dalani hatiku,
aku tidak menyadarinya" (LB, 238).
Rina menganggap saat-saat bahagia itu sekadar sebagai "ketidaksadar-
an". Karena itu, ketika "sadar", ia merasa kebahagiaannya adalah kesalahan
yang layak mendapat hukuman "malapetaka". Tetapi, di lam pihak, ia me
rasa kesalahan dan penyesalannya tidak berarti dibandiiigkan dengan ke
bahagiaan yang ia dapat, dan bahwa "sesaljnya] akan memburtt selama be
berapa hari. Tetapi im akan mengliilang bersama kesibukan yang melmg-
kupi[nya]"(LB, 239).
Yvonne, tokoh perempuan lain, nienutupi rasa bersalah karena menye-
leweng dengan selalu mengacti kepada laki-laki pasangannya sebagai "sua
mi". Ini tak luput dari pengamatan Rina.

Kawanku Monique pernah berkata bahwa Yvonne sejak beberapa tahun


tinggal serumah dengan seorang laki-laki. Tetapi Yvonne menyebut laki-laki
itu "suamiku". Dengan jelas aku melihat bahwa padanya masih ada rasa ren
dah diri, perasaan bersalah karena tinggal bersama tanpa kawin dengan seo
rang laki-laki. Ataukah dia berpikir bahwa orang-orang yang kawin menda
patkan tempat lebih terhormat? Lebih-lebih bagi seorang perempuan?" (LB, 138).

Bagi Rina, seorang perempuan suHt mengakui secara terbuka bahwa ia


hidup serumah tanpa nienikah dengan seorang laki-laki. Tetapi Rina juga
mempertanyakan perasaan bersalah dan rendah diri itu. Ada nada ketidak-
setujuan dalani pandangan PJna terhadap konstmksi sosial/seksual yang

..£4 kalam 22
-X-r-

SEKS, BERAHI, DAN CINTA

menyebabkan perempuan harus merasa bersalah. Dengan nada yang sama,


Rina niencermati perasaan bersalahnya sendiri setelah berhubungan de
ngan Robert.

Di negerimu orang berkata. kalau seorang perempuan berbuat kesalahan


satu kali, tentulah ia akan mengulangi berkali-kali. Mengapa orang hanya me
ngatakan "seorang perempuan"? Laki-laki juga tidak terlepas dari kesalahan
yang satu itu. Ucapan itu seakan-akan membenarkan tingkah laki-laki jika dia
menghianati pasangan liidupnya, dan mengutuk wanita yang berbuat demiki
an. Seolah-olah menjadi haknya bila seorang laki-laki mengecap kenikmatan
tubuh lain selain kekasih atau istrinya. Perasaan-perasaan yang dipunyai laki-
laki dapatjuga dirasakan oleh perempuan (LB, 238-239).

Rina mempertanyakan konstruksi sosial/seksual yang niembedakan


konsekuensi sosial yang harus ditanggung perempuan dan laki-laki, padahal
keduanya sama-sama mempunyai berahi dan nafsu seksual. Beratnya konse
kuensi sosial yang ditimpakan kepada perempuan kemudian digampangkan
dalam asumsi bahwa perempuan seharusnya "aseksual" dalani ruang pubHk,
meski dituntut menjadi seksual dalani ruang domestik. Perempuan sekaH
lagi terbagi dalani harapan-harapan hegemonis yang tidak mungkin ter-
wujud dalani satu mbuh. Bagaimana perempuan dapat menjadi sekaHgtis
aseksual dan seksual? Bagaimana mungkin hanya perempuan yang dipersa-
lahkan, padahal seks cuma bisa dilakukan bersama orang lain, dalam hal ini
laki-laki? Melalui Rina, yang berdialog dengan kekasihnya, saya rasa re-
nungan serta "usul dan protes" Nh. Dini mendapatkan corongnya seolah-
olah protes itu disampaikan kepada laki-laki dan konstruksi patriarki.
Seperti Sri pula, Rina dengan persepsi dan perlawanan seksualitas diri
nya, serta pandangan-paiidangan mengenai perkawinan yang dipompakan
ke dalam pikirannya, nieHyankan dirinya dari yang normatif dan meman
dang dirinya sebagai "yang di luar pagar". Dengan tindakan "peliyanan di
ri" ini, Pvina mengekspresikan dirinya sebagai Diri sebagaimana ia hendak
mendefinisikannya.
•>

Ajaran yang diberikan orang kepadaku memberikan anggapan yang seba-


ik-baiknya terhadap perkawinan. Dengan bertambahnya umur serta hidup se-
kelikng yang kulihat dan kualami, kini aku menempatkan diri di luar anggap-

kalam 22 165
-*———r-

AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

an atau ajaran itu. Kalaupuu aku jadi bercera, barangkali aku akan hidup ber
sama seorang laki-laki, tetap. tidak untuk kawin lap (LB. 188).
Kutipan di atas jug. merupakan bentuk pembebasan dan perlawanan
terhadap definisi-definisi yang selama ini d.terapkan kaum otontas ter
masuk gereja" dan lembaga-lembaga agama lam terhadap perempuan. Arti
nya bankan kerika drtentukan oleh struktur patnarku (termasuk lembaga
a^ama), perempuan dapat nrengmtemalrsas, itu dan menentukan drnnya
setagai bernda d, h.strukuir,sehingga strukturtidak dapat fag, menyenmhnya.
Dari ketiga novel yang saya bahas, NH adalah novel yang paling lugas
membrcarakan seks, terutama dalam am yang sangat ragaw: berahi.
Persembuhan, karena sifatnya yang "mengubah" •*""*£
pengalaman yang n,enandai perubahan atau kesadaran Bagi Hnok*
persttubuhan pertama merupakan titik awal yang nrenanda, kesadarannya
akan seksuaHtasnya.
taifah mm yang sehamsnya membayar sewa kam.ir paling imih.il buatku.
Aku beiharmg dengan kemabukan yang uikmat, dr dalam kamarku yang terfalu
sempit,di atas kasnr yang kubeli dengan uang bekal dari to (NH, 48).
Mitos "malam pertama" membayangi gambaran malam pertama itu.
Dalam persembuhan pertama, bagarmanapun lenabutnya, terjadr kekerasan
yang menyakatkan, karena terjad, "perusakan" terhadap organ tubu p-
rempuan. Mitos malam pertama pada umumnya lebih mengacu kepada ke
nangan dan kenikmatan fakt-laki. Dalam paparan tentang hubungan seks
pertama Huoko, Nh. Dim sama sekali tidak menggarnbarkan rasa *te
"ang diternna Hrroko. Meskipun demikian, Nh. Dim menunjukkan adanya
La kehrfangan aQu rasa sesal pada Hrroko yang tidak dapat dakenal, sehabnva.
Hingga beberapa waktu bmanya aku tidak beram mengingat kembali ma-
fan, per'tamaku. Seolah-olah aku hendak melarikan diri dari kenangan ,tu. Ba
rangkali disebabkan oleh rasa kesalahan. Atau rasa penyesalan telah kehilangan
sesuatu (NH, 48).

" Saya menulis "gereja" karena gerqa merupakan lembaga agama yang d.tub Nh. Din
dlr novel LB, dan Rina digambarkan beragama Kato.ik. Saya sendir, berpendapa.
lembaga agama apa pun sangat mungkin menafsirkan agama secara pamarkal.
kalam 22
166
SEKS, BERAHI, DAN CINTA

Seperti terliliat pada telaah atas kedua novel lain, perasaan bersalah me
rupakan bagian dari konstruksi paferiarkal yang membatasi kebebasan seks
ual perempuan. Seks bagi perempuan hanya berterima dalani kerangka
"cinta" atau perkawinan. Hiroko, misalnya, berilusi bahwa dirinya dan
Sanao saHng jatuh cinta, dan anggapan bahwa cinta itu ada membuatnya
rela membiarkan dirinya digiring menuju ke "kedewasaan" dan "terkatung-
katung seperti hidup dalam mimpi".
Persetubuhan pertama menabalkan Hiroko menjadi orang yang mem
punyai "pengalaman". Ia bukan lagi perempuan lugu yang tidak tahu, me
lainkan perempuan yang sadar akan potensi seksualitas dalani dirinya dan
dalani diri laki-laki yang dihadapinya,"... kebaruan tersebut adalah tanda
terlepasku dari dunia ketidaktahuan yang selama ini meniencilkan diriku
dari percakapan-percakapan dewasa"(NH, 50). Pada diri Hiroko juga mun
cul kesadaran akan lingkuiigannya, "Sejak keesokannya, aku mulai meman
dang sekelilingku dengan mata lebih teliti" (NH, 50). Hiroko bahkan me-
numbuhkan kepercayaan diri yang cukup kuat, yang membuatnya berani
membantah niajikannya dan mengambil keputusan-keputusan penting da
lam hidupnya.
Pengetahuan yang didapat Hiroko bahwa seksualitas adalah kekuatan
untuk meniperoleh kekuasaan menjadi kekuatannya untuk mengubah po
sismya dari obyek menjadi subyek. Ia tidak lagi terpencilkan dari pembi-
caraan yang menurutnya merupakan "percakapan-percakapan dewasa",
melainkan merupakan bagian dari hngkungan dewasa itu sendiri. Jika ke-
terpencilan itu dianalogikan dengan wacana Diri dan Liyan, kesadararmya
terhadap wacana "dewasa" mengubah Hiroko dari Liyan menjadi Diri. Ia
kini mempunyai pengetahuan tentang seks, dan pengetahuan itu memberi
dia kekuatan untuk menciptakan peluang demi mencapai tujuan hidupnya.
Di sisi lain, pengetahuan itu juga nielahirkan kebumhan baru yang selama
ini belum dikenalnya: kebutuhan seksual.
Hiroko digambarkan sebagai perempuan yang memandang hubungan
seksual sebagai kebutuhan banal yang harus dipenuhi. Hasrat untuk men
dapatkan kepuasan seksual diaktii Hiroko secara bebas, dan juga ditunjuk-
kan oleh perilaku seksuahiya. Dalam sosok Hiroko yang mengakui naf-
sunya, Nh. Dini menunjukkan bahwa perempuan juga manusia yang
mempunyai nafsu, dan nalsu seksual bukanlah monopoli laki-laki, juga bu
kan sesuatu yang memalukan. Mitos yang berkembang di dalani masyarakat

kalam 22
167
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

bahwa perempuan bersifat pasif", menunggu, menerima, dan mengabdi di-


berontaki oleh pelukisan perempuan yang tidak pasif dan tidak membiar
kan dirinya menjadi obyek kecuaH dengan kesadaran mengenai obyektivi-
tasnya. Tokoh Hiroko membongkar mitos itu dengan pembeberan "napsu
binatangnya". Keluarnya Hiroko dari pekerjaannya sebagai pembantu kare
na ia tidak ingin menjadi obyek seksual majikannya menunjukkan bahwa
ada perbedaan niendasar antara memiHh menjadi obyek dan berlaku pasif
dengan menjadi obyek yang pasif, sebagaimana dikatakan Simone de Beau
voir (The Second Sex, 400). "Memilih menjadi obyek" adalah tindakan se
orang Subyek, sementara "menjadi" obyek adalah bagian dan fakta
obyektivitas seseorang.
Hiroko menyadari bahwa dalam hubungannya denganYoshida ia adalah
Obyek yang inferior terhadap Subyek. Meskipun demikian, penempatan
diri Hiroko sebagai obyek bukanlali tanpa disadarinya. Karena im, obyek-
tivitasnya bukanlah suatu hal yang terjadi secara pasif. Hiroko aktif me-
mutuskan menjadi obyek. Kesadaran ini membuat tindakannya tidak dapat
dikatakan "menjadikan diri sebagai obyek" dalam arti yang sesungguhnya,
sebab hal im dilakukannya sebagai subyek. Hanya saja, dengan memperha-
tikan pemikiran Beauvoir, tindakan mi dapat tergolong sebagai "kesadaran
semu" yang menjadikan posisi obyek menarik karena menjadi obyek
membebaskan Diri dari tanggung jawab atas keber-Ada-annya.
Kesadaran dan kebutuhan seksual itu kemudian membawanya kepada
pengetahuan bahwa berahi adalah sebuah permainan rayuan. Baudnllard
mengatakan bahwa rayuan merupakan suatu bentuk alternatif yang ironis,
yang memecali referensiaHtas seks dan memberikan ruang yang bukan
terbentuk dari hasrat, melainkan dari permainan dan penyimpangan.1" Jika
berahi adalah "permainan dan penyimpangan", maka berahi memberi ru
ang untuk terjadinya tarik-menarik antara keinginan dan keterbatasan, se
perti perhitungan permintaan dan penawaran.
Hiroko juga menyadari ruang berahi ini. Bahkan, sebagian perjuangan-
nya untuk menjadi subyek adalah menguasai permainan berahi.Tarik-me
narik dalam permainan berahi ini juga tercermin dalani pola retonka an-

10 But seduction as an ironic, alternativeform, one that breaks the nferenhality ofsex and provides
a space, not of desire, but of play and deviance. Lihat Jean Baudrillard, Seduction,
penerjemah Brian Singer (NewYork: St. Martins Press, New York, 1990), 21.

168 kalam22
•^7

seks, berahi, dan cinta

tara pembaca dan "Aku". Sejak awal Hiroko terus-menerus niemompakan


keinginan dan hasratnya, yang kadang-kadang terasa radikal. Pembaca yang
tidak sependapat dengan pemikiran Hiroko dihadapkan pada pembelaan
dan pembenaran. Hiroko adalah Diri, sedangkan pembaca adalah Liyan.
Sudut pandang orang pertama tunggal ini menguatkan pembenaran terse
but karena pembaca dipaksa mengerti dan bersinipati terhadap jalan pikir
an sang Aku. Pembenaran atas jalan pikiran Hiroko yang radikal dapat terli
bat, misalnya, dari pendapatnya tentang pekerjaannya sebagai penari telan-
jang. Pekerjaan itu di kebanyakan kebudayaan tidaklah diterima sebagai pe
kerjaan yang "baik-baik". Hiroko tidak inemberitahukan pekerjaannya itu
kepada kebanyakan temannya, tetapi mentirutiiya hal itu ia lakukan, "Bu
kan karena inalu .... Bagiku itu merupakan salah satu pekerjaan yang
memberi aku gaji secara jujur .... Pertimbangan moril atau kesopanan ba
giku sama sekali tidak kuperlukaii" (NH, 148-149). Dalani tindakannya itu,
Hiroko mengganggu tatanan pemikiran mengenai apa yang [seharusnya]
memalukan dan apa yang tidak.
Sebagai penari telanjang, ia menyajikan permainan berahi yang lebih
merupakan ilusi. Laki-laki penontonnya diperdaya dengan seksualitas pe
rempuan yang dibesar-besarkan, dibtiat percaya bahwa tubuh yang dilihat-
nya dapat diniilikinya, dan ketika pertunjukan usai, ilusi im pun hilang. Pa
da permainan berahi ini, para penari harus meiiiainkan peran obyek,
mangsa, dan penerima. Hiroko menampilkan diri sebagai paradoks karena
sesungguhnya dia adalah subyek. Ia-lah yang memegang kendali berahi. Ia
dengan sengaja menjadikan dirinya obyek untuk kepuasan laki-laki. Ob-
yektivitas Hiroko sebenarnya adalah subyektivitasnya. Adalah Hiroko yang
menjadikan laki-laki sebagai obyek dengan niemanfaatkan totahtas femini-
tasnya. Laki-laki penonton dibtiat kehilangan kendali, kehilangan penam-
pilannya sebagai subyek dan cair dalam permainan tarik ultir yang ditam
pilkan si penari. Nh. Dini menampilkan obyek yang mempermainkan sub
yek dan, dengan demikian, obyek adalah subyek dan subyek adalah obyek.
Laki-laki yang datang untuk menikmati suguhan tarian telanjang Hiro
ko tak ayal menjadi obyek yang mendatangkan kenikmatan bagi Hiroko ti
dak saja dalani wacana seksuaHtas, tetapi juga kekuasaan. Posisinya sebagai
penari telanjang memberi Hiroko kekuasaan untuk mempermainkan dan
menertawakan laki-laki yang terserap dalam permainan beraliinya. Di atas
panggung Hiroko membalikkan tatanan kekuasaan laki-laki perempuan di
dalam masyarakat.

kalam 22 169
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

Dia dengan muka penonton laki-laki yang telah kukenal: bodoh dan ber-
napsu. Aku menggeliat menantang. Untunglah aku tidak seorang diri di atas
panggung Berdua kami mendesak napsu penonton hingga ke puncak ba-
tasnya. Berdua kami senang hati meHhat akibat yang lahir dari kegilaan gerak-
an-gerakan kami. Kami biasa terkikih setiba kembali di belakang panggung,
membicarakan penonton yang duduk di sebelah kiri atau kanan, mentertawa-
kan laki-laki yang menopangkan seluruh muka di lantai panggung untuk
mengawasi kaki-kaki kami sampai pertunjukan selesai (NH, 211).

Dengan menampilkan tokoh Hiroko yang menggaH segi femininitas


dan seksualitasnya secara ekstrim, saya kira Nh. Dini memperlihatkan bah
wa seksualitas perempuan sesungguhnya bukanlali harga mati. Bahkan, da
lam situasi ketika perempuan ditempatkan sebagai obyek, ia masih bisa
mempermainkan situasi itu dan menjadi subyek.
Seperti dua novel terdahulu, pada NH juga ada perlawanan terhadap
lembaga perkawinan. Hiroko tidak pernah nienikah dengan kekasihnya
yang terakhir,Yoshida, suami Natsuko, sahabatnya. Meski dengan cara ber
beda, seperti Sri dan Rina, Hiroko pun memilih berada "di luar pagar" dan,
dengan demikian, dapat menginternalisasi keHyanannya, sehingga ia dapat
memandang diri sebagaimana yang diproyeksikannya.

Aku tergolong kelompok lain. Dari jenis yang dikatakan di luar pagar. Pe-
rempuan-perempuan seperti aku menghirup keliidupan tanpa setengah-sete-
ngah. Kemahiran untuk mengecap kenikmatan tidak terbatas hanya pada ben
tuk menerima. Kami pun bisa memberi, meinulai dan mengambil langkah
pertama. Juga dalani mencinta. Tidur dengan perempuan seperti kami, laki-
laki dapat mengkhayalkan memiliki sepuluh perempuan sekakgus (NH, 240).

Terutama dalam perbandingan dengan tokoh Natsuko, seksualitas Hiro


ko merupakan cerminan ketaksaan konstruksi seksuaHtas perempuan oleh
budaya patriarki. Nh. Dini menampilkan ironi dalani oposisi biner perem
puan baik-baik dan perempuan jalang. Di sam sisi, perempuan baik-baik
seperti Natsuko adalah perempuan yang "di dalani pagar", artinya yang
diterima oleh budaya patriarki, dan Hiroko adalah perempuan di luar pagar
karena dianggap melewati batas-batas norma yang diatur oleh ideologi
patriarki. Di sisi lain, fakta bahwa Natsuko adalah cerminan perempuan

kalam 22
170
SEKS, BERAHI, DAN CINTA

yang dibentuk oleh norma patriarki (pasif, ibu rumah tangga yang baik, pe
rempuan baik-baik) justru membuatnya terlempar dari lingkaran perem
puan yang disukai atau diinginkan laki-laki, dengan catatan baliwa pa-
tokannya adalah pemenuhan kebutuhan seksual (laki-laki).
Dengan kondisi itu, perempuan menjadikan dirinya sebagai obyek terhadap
subyek yang memegang otoritas untuk menerima atau menolak. Pada Hiroko,
subyektivitasnya cair dalam pembenaran yang diajukan Yoshida. Hiroko mem
biarkan dirinya dikuasai Yoshida. Pada saat yang sama, ia membiarkan dirinya
berada dalam kompetisi dengan Natsuko untuk meniperoleh perhatian Yoshida
dan mencoba nienienangkannya dengan menawarkan seksualitas.

Ya. Yoshida tidak dapat melepaskanku. Aku termasuk jenis yang berlainan
dari Natsuko. Kini Yoshida tidak dapat lagi melupakanku. Dalani dirinya selalu
akan ada pertengkaran dan perdebatan untuk mengatakan kesimpulannya: .se
belum kukenal Hiroko dan sesndah kukenal Hiroko. Dan jika pada suatu keti
ka dia tidur dengan perempiian lain, dia akan selalu membandingkannya de
ngan aku .... Hubungan kami bertambah erat. Perasaan cinta atau entah na-
manya, tumbuh menjadi pcnyatuan yang menguasai diriku (NH, 240).

Karena menawarkan seksualitasnya dan bukan "pelayanan" sebagai ibu


rumah tangga, Hiroko seolah-olah mendapatkan pembenaran atas hu
bungannya dengan Yoshida. Untuk menyenangkan diri, Hirokojuga meya-
kinkan dirinya baliwa ia tidak berada dalani kompetisi langsung dengan
Natsuko. Lebih dari itu, Hiroko mengaktii bahwa Yoshida, tidak seperti di
rinya, masih bebas mencoba hubungan seksual dengan orang lain. Ketidak
setiaan dianggap berterima pada laki-laki tetapi durhaka pada perempuan.
Dalam konteks ini. Hiroko tidak dalani posisi mempertanvakan kesetiaan
Yoshida, melainkan hanya berharap baliwa pelayanan seks yang ditawarkan
nya masih lebih baik daripada yang diberikan perempuan lain.
Mitos yang diciptakan budaya patriarki, yang membagi perempuan da
lam dua kelas berbeda, perempuan jalang dan perempuan baik-baik, serta
penjenjangan perempuan, telah mempertentangkan perempuan dalam
arena yang sejak awal sudah dimenangkan olehjaki-laki. Pertentangan ini
terlibat dari kutipan berikut.

Aku mendapat sebutan perempuan simpanan dari nitilut masyarakat. Teta-

kalam 22 yjy
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO

pi itu tidak menyinggung perasaanku. Aku danYoshida saling niembutuhkan


Dia memberiku segala yang kuminta. Tetapi aku tidak pernah mengganggu
ketentraman orang lain; tidak merugikan siapapun. Bahkan aku menolong ba
nyak kawan dan kenalan dengan hartaku. Penghasilan bar Manhattan kuper-
gunakan buat membangun kembaH rumah orang tuaku. Juga buat menye-
kolahkan adikku. Seorang belajar ilmu pertanian, lainnya ilmu peternakan.
Kedua pengetahuan itu dapat digabung untuk pembangunan desa (NH, 242).

Ada perasaan bersalah dalam diri Hiroko yang berusaha ditutupinya.


Hiroko menjadikan dirinya subyek dengan menjadikan Yoshida sebagai ob
yek, mengorbankan Natsuko, dan menggunakan keluarga serta kawan-ka
wannya sebagai pembenaran. Hiroko bahkan mengatasnamakan "pemba
ngunan desa". Kebebasan seksual Hiroko tidak pernah tidak bersyarat. Pe
rasaan bersalah yang harus ditepisnya merupakan cerminan sosoknya seba
gai perempuan yang seharusnya selalu berada di dalani pagar. Pilihan berada
di luar pagar, bagi Hiroko, mengundang perasaan bersalah dan keterasingan
bahkan dari dirinya sendiri, serta keputusan yang diambilnya. Subyektivitas
Hiroko, sekali lagi, berkaitan erat dengan permainannya untuk menjadikan
dirinya sebagai obyek. Seksualitas bagi Hiroko adalah bagian penting dan
keseluruhan subyektivitasnya. Sebagai perempuan, Hiroko memanfaatkan
seksuaHtasnya sebagaimana seseorang memanfaatkan kemampuan serta
kelebihan lain yang ada pada dirinya.
Demikianlah, Nh. Dini menghadirkan perlawanan terhadap mitos, ste
reotipe, dan konstruksi seksualitas perempuan oleh budaya patriarki, yang
menempatkan perempuan secara monolitik dan dalani oposisi biner seba
gai "perempuan baik-baik" dan "perempuan jalang". Ketiga novel Nh. Dini
yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa perempuan tidak dapat dika
takan homogen, juga tidak dapat dikontraskan sebagai "perempuan baik-
baik" dan "perempuan jalang" atau perempuan Barat dan perempuan Ti
mur. Pada dasarnya, perempuan, seperti juga laki-laki, merupakan kelom
pok manusia yang mempunyai kebutuhan seksual dan seksualitas yang sama
dan beragam.
Melalui berbagai hubungan tokoh perempuan dan laki-laki dalani keti
ga novel ini, Nh. Dini juga menggugat romantisasi hubungan perkawinan
dan memperlihatkan bahwa kegagalan seringkaH terjadi karena adanya ke-
timpangan kekuasaan antara suami dan istri, atau antara laki-laki dan pe-

172 kalam 22
- »

SEKS, BERAHI, DAN CINTA

rempuan secara umum. Meskipun demikian, Nh. Dini tidak berpendapat


baliwa hubungan laki-laki dan perempuan tak mungkin wujud karena ia
menggambarkan adanya hubungan yang membahagiakan, meskipun bukan
merupakan hubungan perkawinan. Jadi, yang dipersoalkan oleh Nh. Dini
adalah cara beroperasinya hubungan perkawinan, dan bukan hubungan an
tara laki-laki dan perempuan.
Ada gugatan terhadap konstruksi patriarkal atas seksualitas dan subyek
tivitas perempuan pada ketiga novel Nh. Dini itu.Tokoh-tokoh perempuan
di dalamnya menggugat budaya patriarki dengan cara menginternaHsasi
dan mendekonstruksi, mengartikulasi, atau melebih-lebihkan konstruksi
seksuahtas/subyektivitas perempuan dalani budaya patriarkal.
Dengan membaca karya Nh. Dini dari sudut pandang feminis, saya te
lah menunjukkan adanya potensi perlawanan terhadap konstruksi patriarki,
terutama dalam usaha merebut kembali serta menyuarakan seksualitas dan
subyektivitas perempuan di dalani dialektika atau di luar hegemoni Sub-
yek/Obyek, Diri/Liyan, Barat/Timur dan perempuan baik-baik/pelacur.

kalam 22
173
£&< Is*-- '

ttin'vus

. »"•, l. o^i
-c= 1—r.
EHaaaVB

MELANI BUDIANTA

TIGA WAJAH JULIUS CAESAR


Gender dan Politik dalam Terjemahan*

JULIUS CAESAR adalah salah satu lakon Shakespeare yang paling


dikenal di Indonesia, dan telah berulang kali diterjemahkan serta
dipentaskan. Terjemahan Indonesia paling awal digarap oleh Muhamad
Yaiiiin di tahun 1951.' Lakon itu diterjemahkan kembali dua dasawarsa
kemudian, pada 1976, oleh Asrtil Sam.2 Ada sebuah terjemahaii lain yang
tidak diterbitkan, dikerjakan oleh Ikranegara dan digunakannya ketika ia
mengarahkan Teater Kecil dalam pementasan lakon tersebut pada 1973.3
Pada 1985, diilhami keadaan, Ikranegara menulis kembaHJulius Caesar dari
sudut pandang berbeda; liasilnya adalah sebuah lakon baru, berjudul Caesar
us Brutus, yang dipentaskaiinya pada tahun yang sama dalani suam produksi besar
yang melibatkan aktor dan aktris film Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia).
Tiga dari empat versi Julius Caesar di atas lahir pada saat kekuasaan poli
tik Orde Baru tengah menguat, sementara pementasan lakon tersebut pa
ling sering diadakan justru pada saat Orde Baru berada di ambang kejatuh-
annya. Pada 1997—setahun sebelum Soeharto didesak niundur dari kursi

Tulisan ini pernah disajikan dalam seminar terjemahan yang diselenggarakan oleh
Archipel, di Paris, 2-5 April 2000.
1 William Shakespeare, Julius Caesar, penerjemah Muhamad Yamin (Jakarta: Pemba-
ngunan, 1951). Semua kutipan diambil dari edisi ini, sesuai dengan ejaan aslinya.
William Shakespeare,Jii/no- Caesar, penerjemah Asrul Sani (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
Semua petikan diambil dari edisi ini.Versi terjemahan ini kemungkinan besar sudah
dibuat pada awal 1970-an, sebab Ikranegara menyatakan telah membaca versi Asrul
Sani sebelum ia menulis versinya pada tahun 1973. Asrul Sani menegaskan kemung
kinan itu (wawancara informal dengan Melani Budianta, 12Januari 2002).
3 William Shakespeare, Tragedi Brutus, penerjemah Ikranegara, naskali yang tidak diterbitkan.
Semua kutipan naskah Ikranegara diambil dari versi ini. Selanjutnya dituiis Tragedi Bnitus.

kalam 22 175
MELANI BUDIANTA

kepresidenan yang telah didtidukinya selama tiga dasawarsa—hasil ter


jemahan Asrul Sani dipentaskan di lima kota besar di Jawa oleh Studiklub
Teater Bandung.4 Pada tahun itu juga, sedikit lebih awal, Teater Lembaga
dari Institut Kesenian Jakarta memainkan versi Ikranegara untuk suatu per-
tunjukan yang diberitakan secara luas. didukung oleh bintang iklan dan si-
netron Tamara Bleszynski sebagai Calpurnia.5 Lakon ini kemudian disiar-
kan oleh sebuah televisi swasta dalani beberapa kali tayangan.6
Secara retrospektif, Asrul Sani dan Ikranegara menegaskan anggapan
bahwa Julius Caesar menarik karena relevansinya dengan keadaan politik
waktu itu. Terjemahan Asrul Sani pada 1976 merupakan pesanan Dewan
Kesenian Jakarta dalam rangka suatu rencana penerjemahan Sastra Dunia
bekerja sama dengan Penerbit PustakaJaya. Hamlet, Macbeth, dan King Lear
diterbitkan secara bersamaan. Asrul Sani niemiHh menerjemahkan Julius
Caesar karena lakon itu sesuai dengan keadaan poHtik tahun 1970-an.7 De
ngan lebih langsung Ikranegara mengakui bahwa "pementasan itu (pada
1971) menyindir situasi ketika itu. Soeharto dan kliknya (sebagian milker,
politikus, dan mahasiswa) sudah melenceng dari cita-cita menegakkan de-
mokrasi dan pemerintahan yang bersih yang diperjtiangkan oleh mahasiswa
Angkatan l66".8 Sebagai jawaban mengapa ia memilihJulius Caesar, Joseph
Ginting, yang menyuti-adai-ai pementasan bulaii Juli 1997 itu, berkata dengan
mengutip dari teks bahwa "bulu-bulu sayap penguasa harus dicabuti"."
Ikranegara menyatakan bahwa pesan poHtiknya tertangkap oleh penon
ton. Ia menyebut sebuah resensi mengenai pertunjukan itu, di harian Indo-

4 Pertunjukan-pertunjukan itu berlangsung di Teater Rumentang Siang, Bandung, 10-


13 Juli;Taman Budaya, Surakarta. 19-20 Juli;Taman Budaya Cak Durasim, Surabaya,
9-10 Agustus;Taman Budaya Denpasar, Bali, 14-15 Agustus; dan di Gedung Kesenian
Jakarta, 9-10 September.
Pertunjukan Teater Lembaga diadakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail
Marzuki, 11-13 Juli 1997.
6 Versi televisi disiarkm oleh AN-TV dari 25 sampai 29 Agustus 1997, pukul 20.00WD3
"Isu kekuasaan!;paling menonjol dalam drama itu," kata Asrul Sani. dalam wawancara
via telepon derigarj Paris Sarumpaet, Desember 2001, ditegaskan kembali dalam
wawancara informal dengan Melani Budianta, Maret 2002.
Surat-menyurat lewat e-mail dengan Melani Budianta, 27Juli 2001.
Joseph Ginting, dalam wawancara lewat telepon dengan Melani Budianta, 12
Desember 2001. '

176 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

ncsia Raja,m yang menggarisbawahi masalah pemerintahan yang bersih. Na


mun, soal apa sebenarnya pesan itu mempakan suatu pertanyaan yang selalu ber
sifat terbuka seperti lakon Shakespeare itu sendiri. Bagi Suyatna Anirun,sutradara
pementasan naskah terjemahan Asrul Sani, lakon itu "mengisahkan betapa peng-
ambilalihan kekuasaan membawa perang saudara dan keruntuhan bagi suatu
bangsa. Sebuah kepahlawanan yang anti-hero, yang mempertanyakan nilai-nilai
patriotisme bagi suatu bangsa" (Suara Pembanian, 31 Maret 1997).
Bagi Goenawan Mohamad, seperti dikutip oleh Ikranegara, "Agaknya
mengganggu perasaan kita, bahwa kekerasan memang telah menjadi unsur
yang sah dalani sejarah, khususnya sejarah politik." Meskipun demikian, ia
bersimpati pada Brutus dan menyesalkan nasibnya: "Yang juga menggeli-
sahkan mereka yang sangat dekat dengan hidup yang kongkrit, dengan
ketentranian yang kongkrit dan kasih-sayang yang sehari-hari ialah kenya
taan bahwa Brums telah kalah."" Bagi Emmanuel Subangun, Brutus
menggambarkan kelemahan humanisme abstrak ketika berhadapan dengan
politik praktis (Kompas, 9 JuH 1973). Justru karena menyadari kedudtikan
Brutus yang ambigu sebagai pejuang melawan tirani yang bernasib tragis,
Ikranegara dalam lakon versinya sendiri, Caesar vs Brutus (1985), meng-
akhiri lakon itu pada titik klimaksnya, yakni penibunuhan Caesar.
Jika dapat kita setujui anggapan bahwa teks aslinya12 sendiri merupakan
suatu medan perang ideologi penuh kontradiksi internal, maka kita dapat
melihat ketiga terjemahan bukan hanya sebagai penafsiran atas sebuah teks
yang bersifat terbuka, tetapi juga sebagai ajang yang menghadirkan medan
perang itu dalam bahasa dan konteks yang baru dan berbeda-beda. Dalam
pembahasan berikut, kita akan meHhat bagaimana ketigaJulius Caesar versi
Indonesia diwarnai oleh gaya dan nuansa ideologis masing-niasing
penerjemahnya, dan dibingkai oleh bahasa dan kekuatan-kekuatan yang
sedang bertarung di zaman mereka.

Indonesia Raja adalah sebuah surat kabar bersuara kritis dan lantang di bawah pimpin-
an Mochtar Lubis. Koran ini dibredel Soeharto pada 1974 karena mengemukakan
perkara korupsi di perusahaan mniv.ik milik pemerintah Indonesia, Pertamina.
Dikutip dari siaran pers Ikranegara, "Brutus: Kecemasan Anak Manusia Yang Ami
Tirani", 15 Mei 1973.
12
Teks Shakespeare di sini hanya dianggap sebagai titik tolak penerjemahan. bukan se
bagai suatu teks untuk mengukur jauh-dekat atau buruk-baikny.; sebuah terjemahan.

kalam 22
177
MELANI BUDIANTA

Tiga bahasa, tiga konteks


Bahwa ketiga teks tersebut memakai ragam bahasa yang berbeda sudah
jelas dengan sendirinya. Bagi Asrul Sani maupun Ikranegara di tahun 1970-
an, teks Muhamad Yamin dari tahun 1950-an menggunakan bahasa Indo
nesia yang sudah menjadi asing. Begitu pula, bahasa Asrul Sani yang ber-
nuansa sastra dan "bergaya kebuku-bukua.f, berbeda bak langit dan bumi
dengan gaya Ikranegara memainkan jargon sosial dan politik zanianiiya de
ngan bahasa sehari-hari. SekaHpun teks-teks Asrul Sani dan Ikranegara di
tuiis dalani dasawarsa yang sama (1970-an), ketiga penerjemah itu sesung
guhnya mewakiH tiga generasi dengan jarak umur sekitar dua puluh tahun
antara satu dan lainnya. MuhamadYamin lahir di Sawahlunto, Sumatra Ba
rat, pada 1903 (meninggal 1962), ketika Indonesia (yang waktu itu ber
nania Hindia-Belanda) masih merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Asrul Sam dilahirkan di Rao, Sumatra Barat, pada 1926, ketika benih-benih
lusionalisme Indonesia mulai tumbuh. Pada masa itu MuhamadYamin me-
mimpin pergerakan Jong Sumatra, dan dua tahun kemudian menjadi pen-
dukung utama Sumpah Pemtida tanggal 28 Oktober 1928, tonggak berse-
jarah bagi nasionalisme Indonesia. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia.Ya-
min terkenal sebagai penyair pertama dalani Hngkungan Baku Pustaka, yang
memperkenalkan dan meniopulerkan bentuk soneta. Ketika Ikranegara la
hir di BaH pada 1943, Indonesia sedang diduduki bangsa Jepang, tetapi dua
tahun kemudian memproklaniasikan kemerdekaannya. Pada masa itu Asrul
Sani sudah merupakan salah seorang intelektual yang lantang menyuarakan
aspirasi kelompoknya—oleh H. B. Jassin dijuluki sebagai Angkatan '45-
yang bervisi individuaHs dan universalis. Ikranegara nienuhs dan meiiyutra-
darai lakon-lakonnya pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, ketika Indone
sia berada di bawah rezim Orde Baru (1960-1998). Meskipun ketiga teks
diterbitkan antara dasawarsa 1950-an dan 1970-an, bahasa Indonesia yang
dipakai Yamin, Asrul Sani, dan Ikranegara diwarnai oleh selera dan konteks
zaman masing-masing, yakni dasawarsa 1920-an, 1950-an. dan 1970-an.
Perubahan dinamis dan perkembangan bahasa Indonesia yang terjadi
dalam jangka waktu beberapa dasawarsa tcrlili.it dari diksi dan sintaksis ke
tiga teks itu. Dari segi diksi, teks Yamin mengtipayakan padanan berbagai
kata ilmiah teknis atau benda-benda yang belum dikenal dalam bahasa In
donesia. Strategi Yamin adalah memerikan benda yang bersangkutan atau
memakai kosakata yang lazim pada zanianiiya. Bahasa Indonesia dalam teks

17R kalam 22
'

TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

Asrul Sani menyajikan kosakata yang kaya, dipinjam dari bahasa Sanskerta,
Arab, atau Melayu, dan mencerminkan pendewasaan bahasa Indonesia. Ba
hasa Indonesia Ikranegara berlanggam bahasa percakapan sehari-hari, sela-
ras dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern serta jargon politik
kontemporer.
Hal ini tampak dari cara ketiga teks menerjemahkan kata-kata pertama
yang diucapkan dalam lakon, yakni melalui ucapan Flavius dan Marullus,
yang menyapa dan mencela orang-orang yang sedang bergembira meraya-
kan kemenangan Caesar atas Pompei:14

Muhamad Yamin:

FLAVIUS

Ajoh, pulanglah semuanja kernniah kembali; pemalas kamu semuanja. Dari


sini! Hari besarkah hari ini? Tidak tahukah kamu, bahwa sebagai orang tukang
tidak boleh berdjalan-djalan pada hari pekerdjaan biasa dengan tidak memakai
tanda pertukanganmu? Berilah djawah pertukangan apa jang kamu kerdjakan?

WARGA PERTAMA
Saja 1111 tukang kaju. tti.ni

MARULLUS
Mengapa kamu tidak memakai pakaian oto-kulit, dan dimana pula kaju-
pengukurmu?

Terjemalian Asrul Sani jauh lebih singkat daripada versi Muhamad Ya


min (tiga puliih delapan kata dibanding lima pultih mjuh):

FLAVIUS

Hai! Pulang. pemalas, pulang. Apa hari ini libur? Apa kau sebagai pekerja

13 Flav. Hence! Home, you idle creatures,get you home:/Is this a holiday? what! know you not,/
Being mechanical, you ought not walk/Upon a labouring day without the sign/Ofyour profes
sion? Speak, what trade art thou?/\ Cit. Why. sir, acarpenter. /Mar. Wlierc is thy leather apron
and thy n</<'?/Kutipan-kutipan diambil dari Shakespeare, "Julius Caesar" dalam Peter
Alexander, ed., William Shakespeare, Tlie Complete Works (London: Collins, 1973),969-
998.

kalam 22 ^79
MELANI BUDiANTA

tak tahu, kau tak boleh berjalan di hari kerja tanpa lanibang-lambang peker-
jaanmu? Katakan, apa kerjamu?

RAKYAT 1
Tukang kayu,Tuan.

MARULLUS
Mana pakaian kerjamu dan niistarmu?

Dan di bawah ini terjemahan percakapan itu oleh Ikranegara dengan


bahasa sehari-hari:

Flavius: Bubar! Pulang, kamu orang-orang malas, ayo pulang semua! Apa
sekarang ban libur? Maumu apa. tidak ingat lagi, bahwa kamu Idas pekerja.
harusnya tidak gclandangan pada han-hari kerja dan tidak meninggalkan
seragam tanda profesimu masing-masing.Jawab,apa pekerjaan kamu.

Tk Kayu: Ann, pak.Tukang Kayu.

Marullus: Mana pakaian seragammu dan nieteranninr

Marilah kita bandingkan kosakata dari ketiga teks berkenaan dengan


metafora alat-alat dan pakaian tukang kayu. Kata untuk rulc\r\ dalani teks
Yamin adalah "kaju pengukur", suatu pemerian verbal benda itu, sedang
kan Asrul Sani memakai padanan asal Arab "rmstar". Tetapi pada zaman
Ikranegara, kata "mistar", yang tidak lagi termasuk dalam bahasa umum. di-
ganti dengan "meteran" yang lebih bersifat teknis. Celemek kerja dari kulit
bukan pakaian lazim di Indonesia, apalagi sebagai pakaian tukang kayu.
Dengan "oto-kulit" Yamin bemsaha meiiggambarkan bentuk pakaian dan
hahannva secara rinci, dan cenderung menerjemahkan secara harfiah kata
demi kata. Asrul lebih suka mengambil intinya, diabaikannya perbedaan
budaya dalani hal pakaian dan dipilihnya kata "pakaian kerja" yang lebih
netral. Pilihan Ikranegara "pakaian seragam" mengandung nuansa yang
beiiainan sama sekaH. Kata ini mengacu pada zaman ketika industri kapi
talis maupun Negara mengharuskan pemakaian seragam untuk karyawan
kantor, untuk anak sekolah, pegawai sipil, dan lam sebagainya. Hendaknya
diperhatikan di sini kontras antara "pakaian kerja" dengan sentuhan indi-

aon kalam 22
loU
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

vidual dan universaHiya, dan "pakaian seragam" yang mengungkapkan kon-


formitas kelompok.
Cara Yamin memerikan benda sedekat mungkin pada teks sumber de
ngan rangkaian kata yang panjang, sentuhan seni Asrul, dan ujaran Ikrane
gara yang teknis dan pragniatis, memberi warna tersendiri kepada masing-
masing teks. Marilah kita amati contoh lam.Yamin menerjemahkan ucapan
Brutus bahwa the exhalations, whizzing in the air/ Give so much light that I
may read by them menjadi "tiap berapi-api dan bunyi gemtirtih di udara
memberi cukup cahaya kepada saya untuk menibaca surat ini". Asrul Sani
meiigungkapkannya secara puitis: "bintang berekor yang berpacu di nila-
kandi begitu banyak memberikan penerangan, hingga aku dapat membaca
dalani cahayanya". Dalani teks Ikranegara: "Meteor simpang siur di langit,
memberikan cahaya cukup terang kepada saya untuk bisa membaca ini."
Perpaduan istilah ilmiah setempat "bintang berekor" dengan istilah Kawi
"nilakandi" memberi nuansa sastrawi dan warna lokal kepada teks Asrul
Sani, sedangkan piHhan kata "meteor" yang teknis dan sederhana. dan "la
ngit" tanpa embel-embel, menjadikan teks Ikranegara lebih lugas, modern,
dan sehari-hari.
Teks Yamin mengandung beberapa kata kuno yang tidak lagi terdengar
dalani pemakaian bahasa Indonesia kontemporer, seperti "Cis! (Nyahlah
kau)" yang merendahkan, dan "Aduhai" yang membahagiakan, yang di da
lam teks-teks berikutnya hanya menjadi "Oh" (Asrul Sani) atau "O" (Ikra
negara). Bahwa makna berubah oleh waktu, dibuktikan dengan pemakaian
kata "diperkosa" oleh Yamin, yang berarti "diserang", ketika ia melukiskan
kematian Cato, salah seorang pengikut Brutus, "Cato diperkosa dan tiwas"
(153). Dari segi sintaksis, struktur berkepanjangan mewarnai gaya bahasa
tahun 1920-an versi Yamin. oleh kalimat-kalimat yang lebih ringkas Asrul
dari Angkatan '45, dan oleh cara blak-blakan gaya Ikranegara. Dalam kutip
an pertama antara Flavius dan tukang kayu di atas, "berilah djawab" terje
mahan Yamin beralih menjadi "katakan" dalani teks Asrul Sani, dan "mau-
niu apa?" dalani teks Ikranegara.
Perbedaan ketiga teks antara lain disebabkan oleh mjuan dan flingsi teks
yang berlainan._/w/n.tf Caesar terjemahan Yamin cHm^ksudkan sebagai sebuah
peneHtian sastra dan sejarah. Oleh karenanya, teks Yamin dilengkapi biografi
Shakespeare, catatan tentang tokoh sejarah Julius Caesar berikut sejarah
lakon Shakespeare tersebut, serta catatan kaki dan nngkasan setiap babak,

kalam 22
181
MELANI BUDIANTA

beserta keterangan tambahan yang menurut anggapan Yamin diperlukan


unmk kalangan pembaca Indonesia. Dengan demikian terjelaskan mengapa
sepanjang lakon Yamin memberi uraian tambahan yang mengandung pe-
nifsiraii.Terjemahan Asrul San. merupakan bagian dan sebuah proyek lebih
besar penerjemahan karya-karya besar dunia. disponsori oleh Dewan Kese
nian Jakarta pada awal 1970-an. Proyek tersebut mencakup lakon-lakon
Sophocles, Moliere, Stnndberg, Mishima.Tagore, KaHdasa, Sartre, dan bebe
rapa lakon Shakespeare terpciting lainnya. Berlawanan dengan teks Yamin
yang menekankan bobot historisnya, terjemahan kedua memusatkau per
hatian pada teks lakonnya sendiri.Terjemahan Ikranegara dibuat dalam pe-
riode yang sama, tetapi merupakan naskah untuk persiapan pertunjukan,
dan belum pernah diterbitkan sebagai buku. Dengan demikian teks Ikra
negara lebih merupakan bahan untuk pementasan daripada sebagai karya
sastra tertuHs. Penggunaan kata-kata seperti "Ann" dan kata-kata sort, lain
nya menunjukkan orientasi teatrikal. Pemakaian -'tukang kayu sebagai
pengganti kata citizen (yang oleh Yumn dan Asrul Sam diterjemahkan men
jadi "warga" dan "rakyat") juga disiapkan untuk peniain yang akan meme-
rankannya.Jika kedua penerjemah pcrta.ua di sana-snu menglnlangkan be
berapa bans, Ikranegara dengan leluasa memotong beberapa adegan. yang
menurut pernyataannya dilakukannya untuk menjaga agar pertunjukan
berlangsung sesuai jam main tertentu.
Ketiga Jtdim Caesar itu tak pelak lagi drwarnai oleh nuansa budaya yang
berbeda-beda. Nuansa-nuansa Melayu mewarnai baik teks Muhamad Ya
min ("membentangkan", "lebuh") dan kosakata Asrul Sani ("tempuhan",
"bengkarak"), meskipun dalani teks yang belakangan tercampur kata-kata
pinjaman dari acuan budaya yang lain sehingga lebih bersik.t nasional dari
pada kedacrahan. Bahasa Ikranegara yang modern dan campur baur, dibu-
bulu di sana-snu dengan kosakata dan logatjawa, membawa nuansa urban
dan sindiran terhadap dominasi budaya Jawa dalam budaya poHtik Orde
Baru (antara lain: "tanpa tedeiig-aling-aling", "Sapa manggil?", "Alah".
"Mangkanva","menggereiideng","puyeng").
Dalani hal ini, ketiga teks itu tidak hanya mencerminkan perkembangan
bahasa, tetapi juga perubahan-perubahan sosial politik. I)alam kutipan per
tama di atas umpamanya, kita dapat melihat perubahan dan "pertukangan ,
sistem industri rumah tangga, ke "pekerjaan", hubungan kerja yang lebih
individual, dan akhirnya ke profesionalisme kapitalis modern ("profesi") di
kalam 22
182
Ji- yv»^-

TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

dunia Ikranegara. Setiap teks memakai jargon politik yang sedang populer
pada zaman yang bersangkutan. Istilah Yamin untuk the people dalam "leave
us Publius, lest that the people,/Rushing on us, should do your age.some mischief "
adalah "Rakjat Murba": "tinggalkan kami, Publius, supaja Rakjat Murba
djangan mengerojok kita. Nana binasalah usia-umurmu". "Rakjat Murba"
mengiiigatkan kita pada partai politik yang didirikan olehTan Malaka pada
tahun 1948, bernania Partai Murba yang pernah diketuai Adam Malik. Par
tai yang berorientasi kiri ini kurang bersesuaian dengan Partai Komunis In
donesia dan kemudian dilarang sewaktu PK1 mendapat kekuasaan di tahun
1960-an. "Murba" dan "Marhaen" adalah istilah-istilah yang lazim dalani
jargon oolitik sebelum dan sesudah Kemerdekaan, dan mengacu kepada
rakyat biasa. Asrul memakai istilah dasar "rakyat", yang diubah dengan di-
tambah "yang marah" untuk menyatakan ketidaksetujuan rakyat atas per-
buatan para senator.Terjemahan Ikranegara "Massa yang berbondong-bon-
dong" menggemakan jargon zaman Orde Baru untuk mengacu kepada
kun.pulan orang banyak (terkandung di dalamnya ancaman akan terjadinya
amuk massa). Demikian pula kata tyranny berturut-turut diterjemahkan de-
ngan "Si Ganas sewenang-wenang", "kezaliman", dan "tirani" oleh Yamin,
Asrul Sani. dan Ikranegara. Dengan urutan yang sama kahmat Ambition's
debt is paid du'lihbahasakan menjadi "pentjari nama sudahlah menjelesaikan
utang-piutangnja" (Yamin),"Hutang gila kuasa sudah dibayar" (Asrul Sani),
dan "Ambisi telah dibalas" (Ikranegara). Di sini kita melihat bahwa istilah-
istilah Inggris yang dipakai Shakespeare, yang dengan susah payah dicari
ungkapan setempamya oleh Yamin dan Asrul Sani, telah kembali ke asHnya
dalani teks Ikranegara. Pada gilirannya istilah-istilah asing itu diterima se
bagai kosakata yang lazim dipakai dalam bahasa Indonesia meiijelang akhir
abad ke-20.
Perlu dicatat di sini, bahwa baik Asrul Sani maupun Ikranegara menya
takan ketidakpuasan mereka terhadap bahasa terjemahan teks sebelumnya.
Ketidakpuasan ini menjadi pendorong utama mereka menuHskan kembaH
Julius Caesar. Bagi Asrul Sani, teks Muhamad Yamm "terlalu memberi te
kanan pada sifatnya sebagai teks sastra, dan mengabaikan aspek teaternya"
yang menurut pendapatnya penting.14 Akan tetapi bagi Ikranegara, baik
teksYamin maupun teks Asrul Sam tidak cocok unmk pertunjukan di pen-

14 Wawancara dengan Asrul Sani, 12Januari 2002.

kalam 22 183
-jc J ._ J_- ~—^^

MELANI BUDIANTA

tas. Ikranegara menganggap teks Asrul Sani terlalu "bersifat sastra" dan ba
hasanya terlalu asing bagi penonton teater masa kini.1"1 MeHhat perkem
bangan dinamis bahasa Indonesia yang tercermin dalam ketiga teks itu, kita
boleh mengharapkanJulius Caesar yang baru pada awal tahun 2000-an.
Pro atau kontra Brutus: posisi ideologis
Pembahasan tentang diksi politik dalani ketiga karyaJulius Caesar di atas
menunjukkan bahwa masalah bahasa tidak terpisahkan dari masalah ldeo-
logi. Latar belakang penerjemah dalam hal ini tidak bisa tidak memenga-
ruhi karya mereka. Ketiga pengarang berasal dari latar belakang kelas me
nengah yang berpendidikan tinggi,yang mendapat pengaruh. bahkan dibe-
sarkan dalani kebudayaan Barat. Namun, masing-masing penerjemah me
miliki gagasan intelekmal dan ideologis yang berbeda satu sama lain, yang
muncul dalani teks yang sama mengenai perjuangan Caesar meraih kekua
saan. Bagaimana ketiga teks itu menyuarakan ideologi yang berbeda-beda,
itulah yang menjadi pokok bahasan berikut.
Satu hal yang dengan kuat menunjukkan perbedaan tersebut adalah na-
da teks terhadap tokoh Brutus, sang pahlawan sekaligus pemberontak yang
tragis. Mengenai persoalan yang khusus ini, teks Yamin dan teks Ikranegara
bertolak belakang. Jika Brutus ditonjol-tonjolkan sebagai pahlawan dalani
terjemahan Ikranegara. dalam pementasan yang disutradarainya di tahun
1973, dan dalam saduran Ikranegara yang berjudul Caesar vs Brums, teks Ya-
min meHhat Brutus dari segi yang berlawanan.
Pada daftar dramatis personae,Yaimn menambahkan keterangan dan ko-
mentar yang memberi cap pada Marcus Brutus sebagai "musuh JuHus Cae
sar dan tidak setia kepada tjita-tjita Republik Roma". Sesuai dengan janji
yang tertera pada halaman kulit unmk memberi penjelasan sejarah dan ke
susastraan,16 teks Yamin menambahkan sejumlah uraian yang menonjolkan
kegarangan kelompok Brutus. Di sela antara percakapan atau di tengah-te-

15 Asrul Sani di lain pihak menganggap /h/iiu Caesar-nya Ikranegara bukan suatu terje
mahan karya Shakespeare, melainkan sebuah sandiwara baru karangan Ikranegara sen
diri, suatu gagasan yang memang diakui oleh Ikranegara (Lihat catatan kaki 22).Wa
wancara dengan Asrul Sani, 12januari 2002.
16 "Salinan lengkap sandiwara tentang pembunuhan Julius Caesar berbahasa Inggens
dengan dibubuhi pendjelasan sedjarah dan kesusasteraan oleh penjalin Mr. Muhamad
Yamin."

I«4 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

ngah pidato yang panjang, Yamin sering kali niembubulii petunjuk


pemanggungan yang tidak terdapat dalam teks sumber. mungkin dittijukan
untuk membantu pembaca membayangkan adegannya. Di tengah pidato
panjang Cassius mengenai utang budi Caesar terhadapnya di masa lalu,Ya
min menyisipkan deskripsi perasaan Casca, "rasa dengkinja bertambah-
tambah", dan dengan demikian menggarisbawahi rasa iri Casca pada Cae
sar. Petunjuk pemanggungan yang lain menyebut Brutus dan sekutunya se
bagai "gerombolan pemberontak" Sebagai pengantar setiap babak, Yamin
juga memberi ringkasan yang membingkai adegan itu sesuai dengan pe-
nafsiramiya. Pada awal babak pertama, misalnya, ia mengabaikan komplek
sitas pemberontakan terhadap Caesar dan memberikan satu kesimpulan
yang menghakimi:
Didorongkan oleh beberapa sebab, maka sekumpul pemberontak dan
pengchianat lalu merantjang dan bertindak hendak membunuh Julius Caesar
itti sebelum keinginan rahasia dilaksanakan seperti ditudnhkan hendak men-
djadi radja mendjundjung mahkota negara Roma.

Dalam ringkasan ituYamin dengan tegas menyatakan keberpihakannya.


Ia menunjukkan bahwa ambisi Caesar menjadi raja sebagai suatu "ttiduh-
an" belaka. Sebaliknya ia memberi sebutan-sebutan negatif kepada mereka
yang berkomplot melawan Caesar.
Dalam pada im penggambaran Brutus oleh Yamin sebagai yang "tidak
setia kepada tjita-tjita Repubhk Roma" bertentangan dengan pelukisan
watak Brums—bahkan oleh musuh-niusuhnya—sebagai warga Roma
yang terhormat. Keputusan Brutus untuk membunuh Caesar, setelah ber-
gulat dengan hati nuraninya senialani penuh, dalam terjemahan Yamin, di-
ambilnya karena "itu hanjalah untuk kepentingan Republik" (53), suatu
pembenaran moral yang tetap dipertahankannya dalam solilokuinya mau
pun dalam pidatonya yang tersohor ("Bukannja karena saja kurang menja-
jangi Caesar, melainkan karena saja lebih mentjintai Roma", 98). Tragedi
yang nienimpa Brutus, sebagaimana tampil dari teks Yamin, bukan karena
ia berkhianat, melainkan karena kelemahan-kelemahannya. Teks menun
jukkan sifat Brutus yang kurang bisa menilai orang. Ia digambarkan sebagai
orang yang terlalu mudah percaya pada pihak-pihak yang bisa berbalik
menjadi musuh-musuhnya, dan cara berpikirnya terlalu abstrak, kebuku-
buktian. Meskipun peringatan keras Yamin terhadap pengkhianatan politik

kalam 22 185
MELANI BUDIANTA

didukung oleh akhir tragis yang dialami Brutus dan kawan-kawannya,


upaya Yamin untuk membingkai teks bertentangan dengan kompleksitas
makna yang disajikan teks itu sendiri.
Oriental politik Yamin dan suasana tahun 1950-an, ketikaJuhus Caesar
versi Indonesia yang pertama diterjemahkan, dapat menjelaskan mengapa
Yamin begitu waswas terhadap kudeta pol.t.k.Yamin menvalurkan rasa cin
ta tanah airnya melalui upaya senium hidup untuk membangun bangsa In
donesia. Kumpulan syair-syaimya, Tanah Air, dan penelitian-peneliuan seja-
nhnva mengenai bendera Indonesia dan pahlawan "nasional" seperti Gajah
Mada menunjukkan "bahwa ia mencari landasan sejarah bag, konsep ke
bangsaan dan cita-cita Indonesia", suatu semangat yang secara "khas menci-
rikaa hidup dan karyaYamin"'7 Gadjah MA"pahlawan yang menyatukan
Nusantara", mencerminkan nasionalismeYamin sendiri yang penuh gairah,
pembelaannya yang tak habis-habis akan pentingnya kebersamaan dalam
satu bangsa. ,
Saat yang sama. kurun 1950-an, di Indonesia merupakan periode
yang penuh kekacauan adnnmstratif dan gejolak pohtik. Dalani waktu
beberapa tahun terjadi tiga perubahan besar ketatanegaraan: Republik
Indonesia Senkat (yang diresmika.i pada 2 November 1949) berubah
kembali menjadi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Kabmet
baru muncul dan dijatuhkan secara berturut-turut. Pada dasawarsa
1950-an juga Indonesia terkoyak-koyak oleh pergerakan-pergerakan
separatis yang berdarah, antara lain gerakan Angkatan Perang Ratu Add
(APRA) yang dipimpm perwira Belanda, Kapten Raymond Westerlmg,
pemberontakan Audi Azis, bekas prajunt Hindia-Belanda di Makassar
pada April 1950, pergerakan separatis Republik Maluku Selatan yang
didirikan oleh Christiaan Robert Steven Soumokil pada 2April 1950,
pergerakan Darul Islam untuk mendinkan Negara Islam di Jawa Barat
dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh, dan meiijelang akhir
1950-an munculnya Republik Indonesia Revolusioner di Sumatra Ba
rat. Keadaan diperburuk dengan perpecahan dalam tubuh angkatan
bersenjata, dan perpecahan antara presiden, parlemen, dan tentara. Da
lam konteks demikian tidaklah meiigheraiikaia bahwa, mengingat gai-

" Lihat ATeeuw, Modern Indonesian Umamrc, jilid 1 (Riverton: Foris Publicat.ons.
1986), 13.
kalam 22
186
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

rah iiasionalismeYamm,>//n,- Caesar-nya menyuarakan pesan-pesan an-


ti-pengkhianatan dan anti-separatisme yang sangat kuat.
Julius Caesar versi Ikranegara, di lam pihak, dituiis pada puncak "kesta-
bilan" pohtik di bawah hegemoni Orde Baru Soeharto. Pada tahun 1973
Soeharto mengakhiri lima tahun pertama dan pemerintahan "peralihan
nya setelah melumpuhkan kekuasaan Sukarno, enam bulan setelah pergo-
lakan di akhir September 1965. Pada bulan Maret di tahun 1973 tersebut.
Soeharto dipilih kembali oleh parlemen untuk penode lima tahun beri
kutnya. Tahun-tahun 1970-an merupakan saat yang menenttikan, ketika
Orde Baru di bawah Soeharto membentuk struktur kekuasaan yang makin
lam;, makin menggurita. Langkah pertama yang diambil adalah "menye-
derhanakan" sistem partai, yang hanya memberi tempat kepada dua partai
besar selain kelompok lungsionaris poHtik Orde Baru yang dinamakan
Golongan Karya. Langkah kedua adalah merangkul berbagai lapisan masy-
arakat sipil (buruh, orgauisasi pemuda,kaum perempuan) dengan mendi-
rikan organisasi-organisasi yang sebenarnya merupakan kepanjangan dan
sistem Orde Baru, seperti KNPI (Komite Nasional lV.nudu Indonesia),
FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia),DharmaWanita, dan seterusnya.
Lima tahun masa bulan madu tersebut diakhin dengan munculnya
suara-suara kritis yang diwakili mahasiswa. Mereka turun ke jalan
memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), tin-
da kan-tindakan represif yang diambil oleh Kopkamtib, dan korupsi.
Protes mahasiswa meningkat sejalan dengan kcnaikan harga akibat kri-
s,s moneter sedunia pada pertengahan 1973, dengan sorotan khusus
terhadap politik ekonomi pemerintah. Dalam peristiwa Malari di bulan
Januari 1974, mahasiswa ditangkapi dan diadili, dan kehidupan kampus
mendapat pengawasan yang ketat. Tindakan represif lain pada masa itu
adalah pembredelan surat kabar Sinar Harapan pada Januari 1973, dan
Indonesia Raja, pada tahun berikutnya, karena kedua media massa terse
but menibeberkaii korupsi di tubuh Pertamin.,
Dengan latar belakang sosial politik itulahJulius Caesar dipentaskan
pada 1973, dengan penekanan. yang bisa dipahami, "untuk mencabuti
btilu-bulu Caesar": (

Bulu-bulu yang tumbuh di sayap kebesaran Caesar harus dicabuti terus.


Agar dia terbang pada ketinggian yang biasa saja. Tak boleh lagi ada seseorang

kalam 22 187
MELANI BUDIANTA

yang menjulang tinggi sendirian. Tak boleh lagi ada kecemasan dalam hidup
berupa ancaman (Tragedi Brutus, 2).

Jika Yamin menamakan Brutus dan kelompoknya "pemberontak", Ikra


negara menyebut mereka "gerakan pembersih". Penyisipan kata-kata seper
ti "Bapak-bapak wakil Rakyat yang terhormat" dan jargon kontemporer
lainnya—yang tidak diperlukan oleh teks sumber—di tengah-tengah se
buah kaHniat, mencuatkan komentar politik Ikranegara. Pesan poHtik Ikra
negara disampaikan dalani kaHniat terakhir Brutus yang diteijemalikannya
sedemikian rupa sehingga menjadi aktual / shall have glory by this losing day,/
More than Octavius and Mark Anthony/ By this vile conquest shall attain unto,
("Kemasyhuran yang saya peroleh di hari kekalahan ini/ Lebih besar
dibandingkan yang diperoleh Antonius dan Octavius,/ Karena mereka
niemustihi gerakan revolusioner yang nienentang tirani") (45).
Untuk lebih menggarisbawahi orientasi politiknya, teks Ikranegara de
ngan bebas menghilangkan sejumlah adegan—suatu keputusan yang di
anggapnya perlu tidak hanya untuk menjaga agar pertunjukannya sing-
kat, tetapi juga "agar pusat perhatian lakon itu tetap pada Brutus". Sa-
yangnya, gunting Ikranegara telah memotong bagian-bagian lakon
yang sebenarnya berfungsi nienipertajam fokus pada Brutus itu. Seba
gian dari ucapan Cassius yang berhasil meniengaruhi Brutus, dihilang-
kan. (O you and I have heard our fathers say/ Their was a Brutus once that
would have brook'd/ Th 'eternal devil to keep his state in Rome/ As easily as a
king). Ucapan ini sebenarnya nienegaskan posisi Brutus melawan tirani
sebagai alasan utanianya untuk bergabung dengan komplotan pembu-
ntih Caesar. Yang juga hiking ialah sebagian besar peranan Portia di
dalam lakon itu, termasuk dialog tentang kematiannya yang mema-
tahkan hati Brutus menjelang akhir hidupnya. Ada sebuah adegan
pendek (Babak II adegan 2) yang hilang, ketika Caesar berkata kepada
Brutus, and we, like friends, will straightway go together, ucapan yang
menikam hati nurani Brutus: (Aside) Tliat every like is not the same, O
Caesar/ The heart of Brutus earns to think upon! Yang terpotong di sini
justru dimensi kemanusiawian Brutus, Brutus sebagai suami, sebagai sa
habat yang ragu-ragu mengenai niatnya untuk berkhianat. Akan tetapi,
seperti halnya tambahan Yamin, pengurangan yang dilakukan Ikranega
ra tidak dapat mematok Julius Caesar dalam bingkai ideologis yang

188 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

tun-gal, karena teks Shakespeare yang kompleks tidak mcmungkinkan


hal itu Rangkaian peristiwa dalani lakon itu nienghantar nasib Brutus
menjadi tokoh terhormat yang kalah, bukan pejuang kebenaran yang
menang. Itulah sebabnya mengapa Ikranegara kemudian menulis lakon-
nya sendiri: Caen vs. Brums (1985) yang berakhir pada khmaks keja-
ttihan Caesar.18
Dibandingkan dengan kedua teks di atasJwKus Caesar terjemahan Asrul
Sam merupakan terjemahan yang paling setia terhadap gambaran Shakes
peare yang kompleks tentang Brutus. Kedekatan Asrul Sam dengan nilai-
mlai liberal Barat nampak dari terjemahan frase tiga serangka. liberty, free-
dom> enfranchisement Yamin memberi tekanan pada makna kemerdekaan
dan kebebasan,"lepas, merdeka, bebas"; begitu pula Ikranegara "bebas, mer-
deka merdeka". Namun terjemahan Asrul Sani, "kebebasan, kemerdekaan,
persaudaraan" mengingatkan kita pada Uberti, cgalitc, fiatemiti semboyan
Revolusi Prancis. Wawasan Asrul Sani yang hunianis liberal, digabung
dengan selera seni tmggi yang modernis cocok dengan selera sutradara
Suyatna Anirun. Mendiang sutradara Studiklub Teater Bandung itu me-
manggun^an teks Asrul Sani di berbagai kota di jawa pada 1997 dengan
gaya yang "konservatif" dan "konvensional", terutama jika dibandingkan
dengan pementasan penuh glamor teks Ikranegara oleh Teater Lembaga.'9
Baik teks maupun pementasan lakon yang aktual dengan zanianiiya mi
menempati lokasi yang berbeda-beda dalam "medan produksi budaya"
pada akhir masa Orde Baru.jl'

18 "Tokoh Brutus bagi saya bukan pengkhianat seperti banyak digunakan oleh orang la
in kalau mau memberi stigma pada kelompok politik tertentu. Brutus justru usaha
koreksi politik agar jangan menecas itu telur bencana, karena memang Julius Caesai
|,,m ingin mengubur demokrasi dan fepublik, dia ingin n.enegakkan kembali kekae-
snan yang ditangannva semua kekuasaan bisa d.genggam .... Karena itulah pada pe
mentasan berikutnya ... saya tidak meneruskan ke masa setelah terbunuhnyaJulius
Caesar oleh Brutus dan pengikutnya. Ke-hero-an Brutus menjadi lebih me.idapatkan
ketegasan dan jastifikasi dalam 'Kaisar versus Brutus' ini. Saya ingin menegaskan. bali
wa menumbangkan rezim yang punya potensi untuk menjadi rezim otonter itu sah."
(Ikranegara, 28 Juli 2001, lewat e-mail.)
19 Lihat resensi dua pementasan itu dalam Yenni Kwok, "Theater Group Hails Julius
Caesar' with Sundanese Accent". VieJakarta Post, 12 Oktober 1997.
2<> Produksi Studiklub Teater Bandung ditujukan kepada penonton "elite intelektual",

, 77
kalam 22 189
MELANI BUDIANTA
1
Politik gender dalamJulius Caesar Indonesia
Kita telah meHhat bagaimana tiga teks Julius Caesar versi Indonesia me
lakukan penafsiran, dan niemainkan perrarungan ideologis masing-masing
melalui strategi penerjemahan yang berbeda-beda.Yang tidak kurang men-
colok ketika membandingkan ketiga teks itu ialah siasat mereka yang ber
beda dalani menyajikan kembali politik gender lakon Julius Caesar. Dari se
gi bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris memiHki sistem gender yang •
berlainan. Kata ganti he dan she yang menyatakan jenis kelamin, tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia yang hanya memiliki "ia" yang netral.
Kata man yang berjenis kelamin, dan yang pada umumnya mengacu kepada
semua orang, dapat diterjemahkan dengan kata netral "manusia", "orang",
atau yang berjenis kelamin yakni "laki-laki". Namun. masalah dalam me
nerjemahkanJulius Caesar bukan soal linguistik belaka. Kritik feminis ter
hadap lakon-lakon Shakespeare mencatat adanya ideologi gender yang am
bivalen, atau balikan kontradiktif. Ada beberapa kritikus yang sampai mem
beri sebutan proto-feminis kepada Shakespeare, oleh karena ia meiiggam
barkan tokoh perempuan sebagai pribadi yang kuat, baik dari segi kecer-
dasan maupun fisik, dan karena nadanya yang kritis terhadap nilai-nilai pa
triarki. Di pihak lain, bahasa dan stereotipe seksis berserakan dalam lakon-
lakonnya. Politik gender dalamJulius Caesar adalah soal penting, karena ma
salah kekuasaan dan keberanian berturnpu pada batas pemisah antara dunia
feminin dan maskulin.
Kelemahan perempuan dikontraskan dengan ketegaran laki-laki;
wenches—gambaran perempuan tua yang bawel dan jahat—merupakan
metafora irasionaHtas, yang dikontraskan dengan rasionaHtas "laki-laki seja-
ti".Jika tokoh-tokoh yang nienentukan nasib negara adalah laki-laki, tokoh
perempuan yang hanya terdiri dari dua orang saja, yaitu istri Brutus, Portia,
dan istri Caesar, Calpurnia, tokoh pelengkap yang senantiasa dipiiiggirkan

tapi dari segi komersial kurang berhasil. Produksi STB yang digelar di Gedung
Kesenian Jakarta yang bergengsi itu didukung oleh alumni ITB dan para pelukis yang
bertempat tinggal di Bandung dan yang menyumbangkan lukisan-lukisan mereka
guna mengumpulkan dana untuk pertunjukan tersebut.? Produksi Teater Lembaga
yang memakai teks Ikranegara, disesuaikan pada selera penonton muda dari kelas
menengah, dengan pengarahannya yang lebih populer. Untuk mengetahui konsep
pemetaan produksi budaya dan "selera", lihat Pierre Bourdieu, The Field of Cultural
Production (NewYork: Columbia University Press, 1993).

•j 90 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

oleh pasangan mereka—bersama dengan aliH ntijum, penyair, guru—semua


dianggap mengganggu atau merintangi urusan kekuasaan dan keberanian
kaum yang jantan. Di lain pihakJulius Caesar adalah sebuah lakon yang di-
kenang karena orasi Portia yang indah dan tajam tentang peran konvensio
nal istri dalani perkawinan. Lagi pula, sebuah pembacaan alternatif dapat
membahkkan tafsir yang lazim. Lakon itu dapat dibaca sebagai rongrongan
terhadap oposisi biner dalam sistem patriarki. karena tragedi dalam lakon
itu terjadi akibat salah mengerti dan salah memperlakukan kaum perem
puan—yang tahu apa yang akan terjadi tetapi selalu diabaikan.
Ketiga terjemaliaii>/mi- Caesar menyiasati semua kontradiksi dalani teks
Shakespeare yang heteroglosik itu untuk mengemukakan poHtik gender
masing-masing. Bahasa seksis dalani lakon ini terutama terdapat dalam dia
log antara Casca dan Cassius. Dalam pada itu Brutus, balikan juga Portia
sendiri, tidak terhindar dari kecenderungan itu, terutama dalani mengang
gap kelemahan sebagai suatu sifat perempuan. Maka idiom-idiom seksis
dalam lakon ini bukan suatu cara untuk melukiskan watak, melainkan rem-
besan nilai patriarki melalui bahasa. Ketiga penerjemah menunjukkan ke-
kikukan dalani menangani hal ini, yang terlihat melalui cara yang tidak
konsisten saat menerjemahkan ungkapan-ungkapan seksis. Marilah kita si-
mak bagian ketika Casca berbicara dengan nada menghina tentang reaksi
emosional /t>//r wenches atas pingsannya Caesar. Casca mengemukakan bah
wa there is no heed to be taken of them; If Caesar had stabb'd their mothers, they
would have done no less. Ikranegara menerjeniahkan wenches menjadi "pe-
rempuan-perempuan biasa", tetapi kemudian disisipkannya kembaH nada
negatif dengan mengatakan bahwa "perempuan-perempuan macam begitu
tidak perlu diperhitungkan". Yamin menerjemahkan wenches menjadi "pe
rempuan jalang" yang lebih berkonotasi negatif, tetapi firase itu lalu dilu-
nakkan dengan menghilangkan jenis keiamimiya: "orang serupa itu tak
perlu diacuhkan benar". Asrul memakai ungkapan-ungkapan yang paHng
"sopan" dengan menerjemahkan wenches dengan "perempuan" saja, dan apa
yang mereka katakan "itu tak perlu diperhatikan". Dengan demikian Asrul
Sani mengalihkan perhatian dari para perempuan ke perbuatan mereka.
Dibandingkan dengan kedua penerjemah lainnya, Asrul Sani dengan le
bih konsisten bemsaha tetap dekat pada teks ashriya, dengan risiko mener
jemahkan secara harfiah, dan menghasilkan ungkapan yang datar. Ambillah,
sebagai contoh, keluhan Cassius tentang semangat para perwira yang sema-

kalam22 191
MELANI BUDIANTA

km lemah: But woe the while! Ourfather's minds arc dead and we are govern'ed
with our mothers'spirits, Our yoke and sufferance show us womanish. Terjemahan
Asrtil Sani, "Tapi sedihnya, sementara itu, semangat moyang kita sudah
mati, dan kita dikuasai oleh semangat ibu kita, hingga dalam menahan te
kanan dan denta perbudakan. kita ternyata perempuan". Terjemahan mi
kalah hidup dibandingkan dengan versi Yamin: "Tetapi tjelakalah sesuatu
zaman apabila semangat nenek pojang mendjad, mati dan djikalau kita
dibesarkan dengan semangat perempuan. Belenggu dan pendentaan me-
njatakan kita sudah berkonde seperti perempuan."
Pilihan untuk memperkuat konotasi terlihat pada terjemahan Ikranega
ra Ketika Cassius membandingkan Julius Caesar yang mengerang karena
demam dengan seorang gadis yang sakit (as asick gift), baik Yamin maupun
Asrul dengan setia menerjemahkan kata-kata itu dengan "gadis yang sakit ,
sementara Ikranegara menegaskan ejekan itu dengan memakai "betma sa
kit". Ungkapan pilihan Ikranegara memperkuat bahasa seksis itu, tetapi se
kaligus mengaHlikan kiasan berbasis gender itu dan manusia ke binatang.
Di bagian lain. Ikranegara lebih suka memadakan sama sekali nuansa gen-
dernya Kata-kata Brutus to kindle cowards, and to steel with valour/ the melting
spirits of women diterjemahkan olehYamin "untuk niencetuskan segala pe-
nakut dan mewajakan segala wanita yang lemah lembut menjadi beram
Terjemahan Asrul Sam: "Untuk membakar para pengecut dan menempa
semangat wanita yang lumer. membaja jadi keberanian". Ikranegara me-
nanggalkaii sama sekaH kaican dengan subyek perempuan dengan mengata
kan "Bakar habis semua rasa takut, dan jadikan baja semua yang lemah .
Masih ada kemungkinan lain untuk menyiasati soal gender itu, yaim de
ngan menghapuskan sama sekali ungkapan yang membuat masalah. Ikrane
gara menghilangkan seluruh Babak 1adegan 3. Dalam adegan tersebut be
berapa tokoh melaporkan adanya tanda-tanda buruk, yaitu adanya jagat
yang terguncang, sebuah adegan khas dalam tragedi Shakespeare, yang me
nunjukkan terganggunya keselarasan jagat raya akibat ulah manusia. Dalam
JuUus Caesar Shakespeare, hal ini terjadi sewaktu Casca dan Cassius membi-
carakan kelemahan zaman dan kebutuhan mendesak akan perbuatan-per-
buatan perkasa. Dengan menghilangkan seluruh adegan itu, Ikranegara ter-
hindar dari keharusan menerjemahkan ungkapan-ungkapan seksis.
Celakanya, gunting Ikranegara juga memotong bagian yang mengan
dung nuansa-nuansa "feminis" yang paling kuat dalani lakon itu, yaitu pro-
kalam 22
192
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

tes Portia terhadap Brums yang tidak adil memperlakukan dia sebagai istri
nya. Percakapan antara Portia dan Brutus menunjukkan watak Portia yang
sangat cerdas, fasili, dan tegas. Waktu ia diperingatkan Brutus agar demi
kesehatannya Portia "tidak membiarkan badannya yang lemah terkena
udara pagi yang dingin sekaH" (It is not for your health thus to expose/Your
weak condition to the raw cold morning), Portia dengan cerdik menjawab agar
Brums juga jangan melakukannya (not for yours neither). Yang langsung
terlihat adalah perhatian tulus dari istri terhadap suami. Pada saat yang sama,
frase pendek ini berasumsi bahwa badan Brutus juga sama rentannya
terhadap cuaca buruk itu. Dalam dialog dengan Brums, Portia menyangkal
setiap dalih yang dikemukakan suaminya unmk menyembunyikan masalah
dari dirinya, sebelum pada akhirnya ia menghunjamkan gugatan feminisnya
yang tersohor:

Am I your self
But as it were, in sort of limitation?
Tc keep with you at meals, comfort your bed
And talk to you sometimes? Dwell I but in the suburbs
Ofyour good pleasure? If it be no more
Portia is Brutus' harlot, not his wife.

(Yamin)
Betulkah haniba ini hanja sebagai belahan badan kanda hanja sedikit-sedi-
kit sadja, seolah-olah dibatasi mendjadi teman waktu makan-minum dan
waktu berbaring dan ketika bertjakap-tjakap? Benarkah hamba ini hanja ber-
diam diri dipinggir kota keberahian kanda? Djikalau begitu, tak lebih dari pa
da itu, maka si-Portia ini bukanlali isteri kanda, melainkan hanja seorang gun-
dik belaka.

(Asnil)
Apa aku milikmu seseorang yang terbatas, artinya hanya untuk nienemani
kau di waktu makan, menghiburmu di atas ranjang. Dan kadang-kadang
untuk bercakap-cakap denganmu? Apa aku hanya berdiam di perbatasan
kesenanganmu? Kalau tidak lebih dari itu, maka Portia adalah piaraan Brutus,
bukan isterinya.

Watak dua Portia versi Indonesia di atas diwarnai oleh pemakaian "kan
da" dan kata "hamba" yang merendahkan diri di dalam teks Yamin, dan

kaiam 22 ^93
MELANI BUDIANTA

"kau" yang lebih egaHter dalani teks Asrul Sani. Portia versi Ikranegara ter-
bungkam dan terdesak lebih jauh lagi ke belakang. Dalam teks Ikranegara,
baik Portia yang kuat maupun Portia yang lemah, yang mengaku mem
punyai otak laki-laki, tetapi kekuatan perempuan dan mengeluh tentang
perasaan rapuh seorang perempuan. dihilangkan dari lakon.
Menurut Ikranegara, penghapusan Portia perlu dilakukan agar perhatian
tetap terpusatkan. pada Brutus. Tetapi perlu dicatat di sini bahwa bagian
Calpurnia sebagai istri cerewet Caesar dibiarkan tetap utuh. Hilangnya Por
tia adalah akibat penafsiran yang melihat perannya kurang penting diban-
ding urusan-tirusan "politik" yang maskuHn.Yang sebenarnya terhapus ber
sama Portia dalani teks Ikranegara justru dimensi politik dari hubungan an-
tarjenis kelamin. Diletakkan dalam konteks zamannya, pidato Portia sangat
berseberangan dengan ideologi gender Orde Baru, yang oleh Julia Surya
kusuma dilukiskan sebagai "Ibuisme Negara", sebuah ideologi yang "me-
nentukan perempuan sebagai embel-enibel dan pendamping bagi suami
nya, sebagai ibu bangsa, sebagai ibu dan pendidik anak, sebagai ibu rumah
tangga, dan sebagai warganegara—sesuai urutannya".
Konstruksi perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam wacana Negara
hadir bersamaan dengan orientasi pasar dalam "ekonomi gelembung" ta
hun 1970-an dan 1980-an yang cenderung menjadikaii tubuh perempuan
sebagai obyek seksual penuh glamor. Sukses Teater Lembaga dalani me-
manggungkan teks Ikranegara sebanyak dua kaH dengan karris yang habis
terjual di Jakarta, memang tidak bisa dilepaskan dari dtiktingan media. Sa
lah satu alat promosi media adalah daya tarik seksual Tamara Bleszynski
yang memakai gaun malam rancangan Harry Dharsono, dengan potongan
pinggir yang memamerkan pahanya. Ironisnya, teks Ikranegara dan pemen
tasan lakonnya di tahun 1990-an, yang ditujukan unmk "mencabuti bulu-
bulu" tirani Orde Baru, justru menjiplak ideologi gender dari tatanan yang
sedang dilawannya.

Di balik tiga wajah


Apa yang ditunjukkan oleh tiga versi IndonesiaJulius Caesar im? Perta-

21 Lihat Julia Suryakusuma, "The State and Sexuality mNew Order Indonesia", dalam
Laurie J. Sears, ed., Fantasizing the Feminine in Indonesia (London: Duke University
Press, 1996), 101.

194 kalam 22
... -

TIGA WAJAH JULIUS CAESAR

ma, perkembangan dinamis bahasa Indonesia dari waktu ke waktu. Kedua,


tiga teks im mencerniinkan iklim intelektual zaman dan orientasi ideologis
penerjeniahnya masing-niasing: Indonesia bagi MuhamadYamin adalah se
buah bangsa yang sedang dibangun, yang membumhkan kesatuan. Indone
sia bagi Asrul adalah perayaan jati diri budaya nasional, dan Indonesia bagi
Ikranegara adalah perjuangan melawan tirani Orde Baru. Meskipun demi
kian, ketiga wajah di atas tidak menampilkan ideologi gender maupun po
litik yang konsisten, melainkan raut-raut penuh goresan pergolakan in
ternal yang tak pernah lurtih.
Ketiga wajah Julius Caesar versi Indonesia im memperlihatkan bahwa
menerjemahkan, meminjam istilah Ikranegara, adalah suatu "strategi inter
tekstual"22 untuk mengolah teks sumber menjadi teks miHknya sendiri.
Strategi intertekstual itu diperlukan bukan karena Ikranegara, Muhamad
Yamin, atau Asrul Sani berurusan dengan teks Shakespeare yang suHt.Teks
Shakespeare dalani tuHsan ini merupakan contoh betapa niustahihiya
menghadirkan kembaH keasHan, dan bagaimana teks "asli" melawan dirinya
sendiri dan sekaligus membuka kemungkinan makna bagi suatu penerje
mahan.23 Ketika merebut dan mengolah teks Shakespeare secara kreatif un
tuk menjadi miliknya sendiri, teks Muhamad Yamin, Asrul Sani, dan
Ikranegara seakan-akan menjalin dialog kritis secara intertekstual sam de
ngan lainnya. Pada saat yang sama, masing-masing teks, dengan bahasa dan
gaya yang berbeda, membentangkan arena, tempat para tokoh (laki-laki dan
perempuan), palilawan atau pengkhianat, bertarting dalani tataran linguistik
maupun ideologis, dalani bayang-bayang yang saHng niembaur.

Penerjemah: Winarsih P. Arifin

22 "Maka sang sutradara bukan lagi sekedar penafsir sesuai dengan naskah, melainkan
sudah menjadi kreatornya sendiri untuk pertunjukannya itu. Semacam strategi
intertextual?" (Ikranegara, e-mail, 17 Desember, 2001).
23 Saya berutang budi kepada Joseph F. Graham yang memakai teori-teori dekonstruksi
untuk menggugat the system ofcategories that divides language into form, meaning and effect,
the very system that presides over that standard of theory and ordinary practice of translation
(sistem kategori yang membagi bahasa menjadi bentuk, makna, dan efek, suatu sistem
yang menguasai teori baku penerjemahan dan praktik penerjemahan sehari-hari).
Dalam konteks dekonstruksi, the difference is already there in the original (perbedaan
sudah terdapat dalam sumber aslinya). Lihat Joseph F. Graham (eu.), Difference in Trans
lation (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 20 dan 21.

kalam 22 195
-r= i -

li'i \|/ •c'T


•z—r"r=—'- ' = ~y"

A. ZAIM ROFIOJ

CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA

MUNCUL pada akhir 1960-an dari seorang Hnguis Prancis kelahiran


Bulgaria, Julia Kristeva, istilah interteksmalitas segera mengusik du
nia pemikiran sastra, linguistik, dan budaya pada umumnya. Konsep baru
ini seakan niembalikkan pemahaman tradisional yang kukuh dipegang
oleh hampir semua pemikir kebudayaan: bahwa dalani membaca sebuah
teks—khususnya teks sastra—yang pertama-tama dituju adalah suatu mak
na; bahwa sebuah teks mengandung suatu makna yang utuh, padu, dan
berdiri sendiri.
Pembacaan sebuah teks, menurut teori intertekstualitas, adalah tindak
yang membenanikan sang pembaca dalam (berbagai) jaringan hubungan
tekstual. Dengan demikian, teks sastra adalah suam jaringan yang terbangun
dari berbagai sistem, kode, dan tradisi yang didedahkan oleh teks-teks sastra
sebelunmya. Berbagai sistem, kode, dan tradisi dari teks-teks lain di luar sas
tra juga berandil dalam membangun makna sebuah teks.
Sifat intertekstual seperti itulah yang secara kuat muncul ketika kita
membaca kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004)
karya A. S. Laksana. Hampir semua cerita dalani buku ini memaksa pemba
ca bergerak bolak-balik dari teks yang sedang dibaca ke jaringan luas teks-
teks lain yang telah ada dalam tradisi sastra dunia. Makna—jika hal ini di
anggap ada—menjadi sesuam yang hadir dan bergerak di antara teks yang
sedang dibaca dan semua teks lain yang diacu dan memiHki kaitan dengan-
nya dalam suatu jaringan yang luas. Sebagai mis'al dapat kita Hhat "Seorang
Ibu yang Menunggu" dan "Burling di Langit dan Sekalerig Lem".
Cerpen "Seorang Ibu yang Menunggu" bercerita tentang seorang bo-
cah yang, entah karena apa, bertanya dan ingin meHhat jalan masuk dan ke-
kalam 22
197
--r

T
A. ZAIM ROFIQI

luarnya bayi. Karena tak mendapat jawab rnemuaskan dari sang ibu, bocah
ini lalu selama berminggu-niinggu "niengembara":

Pada minggu keHma, si anak muncul di kamar ibunya. . . . "Lewat mana


bayi laliir, Ibu? Aku ingin mengintip dia sekarang." . . ."Aku ingin mengintip
dia dari jalan masuknya dan jalan yang akan dilewatinya jika ia keluar nanti,"
tegasnya."Aku sudah membawa kaca pembesar" (37).

Selanjumya sang anak menegaskan keliendaknya (humfmiring dari penuHs):

"Cepat tunjukkan kepadaku, Ibu!" desak si anak."Sudah lama aku ingin me-
lihatnya. Bcrminggu-minggu aku mencari kaca pembesar, dan sekarang aku
mendapatkannya. Aku ingin melihatnya dalam ukuran besar" (38).

Teks ini tentu bukan sekadar"bualan" sang pencerita karena sepintas tak
menawarkan makna apa pun yang utuh dan padu. Namun,bila kita kaitkan
dengan teks-teks lain dari pelbagai tradisi lain, misalnya konsep (baca: teks)
kompleks Oedipus dalani tradisi psikologi Freudian, akan tampaklah siratan
makna dalani teks itu. Kisah (baca: teks) Oedipus dalam Yunaiii Kuno
menceritakan pengembaraan dan akhirnya kepulangan sang tokoh un
tuk—tanpa sengaja—mengawini ibunya sendiri. (Bandingkan cerita di atas:
sang anak "niengembara" selama berminggu-minggu dan pulang hanya
untuk melihat "jalan" di mana bayi keluar dan masuk.) Kecenderungan
kompleks Oedipus yang seakan diidap sang anak dalam cerita ini seniakin
terasa ketika di akhir cerita ia bersikeras meHhat "jalan" im meski sang Ibu
menolak (huruf miring dan garis bawah dari penuHs):

"Kenapa wajahmu tolol, Ibu?" tanya si anak.


"Hilangkan ketakutan dari wajahmu yang tolol itu. Dengan kaca pembe
sar, malam ini kita akan berpraktck untuk mengenai kejadian-kejadian. Karena selu
ruh rahasia harus dipecahkan" (39).

"Ayolah, Ibu, kenapa kau sia-siakan waktu?"


Perempuan itu mendengar jam dinding berdentang ribuan kali. Jam bera-
pakah sekarang ini?
"Jam berapakah sekarang ini?" tanya perempuan itu.

198 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA

"Wah, kau terlalu bertele-tele," sahut si anak.


Si anak mcn)>ingkapkau kain ibunya dan mcndekatkan kaca pembesamya. Perempuan
itu membacakan niantra-inantra. Siapa tahu ada yang niendengar mantra itu din
menolongnya mendapatkan kembali si anak yang dirindukannya (40).
Meski cerita mi tidak secara tegas mengungkapkan keinginan sang anak
untuk bersetubuh dengan sang ibu, tetapi dari keseluruhan cerita dan kaH
niat yang diungkapkan sang anak, kita dapat merasakan suasana kompleks
Oedipus yang mendasari keinginan sang anak.
Pandangan teori intertekstuaHtas bahwa semua teks^astra atau bu
kan—tidak mengandung makna yang utuh, padu, dan mandiri, menemu
kan pengejawantahannya yang/jelas dalam cerpen "Burung di Langit dan
Sekaleng Lem". Makna cerpen im, jika hal ini dianggap ada, tidak pernah
stabil. Sifat intertekstualnya selalu membawa pembaca kepada hubungan-
hubungan tekstual baru. Bercerita tentang tokoh "aku", seorang gelan-
darigan penghisap lem, separuh cerpen ini seolah meiiggiring pembaca pa
da suatu makna utuh yang ditawarkan cerita: denta anak-anak jalanan yang
seringkaH harus melarikan diri dari kenyataan, bahkan lewat sekaleng lem.
Namun, di tengah cerita, ketika cerpen ini dengan jelas menyirat ke kisah
lam, keutuhan makna yang sebelunmya hampir terbangun menjadi tertun-
da, bahkan buyar:

Pernah kudengar, dan ibuku, cerita tentang raja besar yang suka menyu-
suri jalanan. Ia mengenakan jubah hitam panjang dan turtin ke jalan ketika
gelap datang. Ia mampir ke rumah-rumah sebagai tamu yang tak dikenaH dan
melongokkan matanya ke dalani panci yang dijerang di atas tungku oleh ibu-
ibu. Ia ingin tahu apa yang saat itu ditanak oleh mereka: ataukah nasi ataukah
batu.
Aku menyusuri jalanan sepanjang siang sepanjang malam seperti raja besar
yang diam-diam ingin melihat nasib rakyatnya. Namun aku tak bisa mampir
ke mmah-rumah. Belakangan ini seniakin sulit untuk masuk ke rumah-ru
mah karena setiap rumah memasang pengumuman:"Maaf tidak melayani pu-
ngutan atau sumbangan apa pun kecuali ada izin dari RT/RW setempat" (45).

Meski bagian selanjutnya cerpen im masih berfokus pada denta anak


jalanan, masuknya siratan kisah lain tersebut—yang dalam catatan kaki di-

kalam22 1"
A. ZAIM ROFIQJ

sebut sebagai kisah KhaHfah Umar bin Khattab yang sering menyamar dan
bertandang ke rumah-rumah rakyatnya—menjadikan pembaca bertanya-
tanya: apakah cerpen ini' bercerita tentang "derita anak-anak jalanan yang
seringkaH harus melarikan diri dari kenyataan, bahkan lewat sekaleng lem"
atau parodi tentangnya.
Intertekstualitas dalam cerpen "Bidadari yang Mengembara" lebih
menarik dan mengasyikkan. Bercerita tentang pengembaraan Alit da
lam mencari pasangan hidup, cerpen ini dengan sangat halus memasuk-
kan dan mengocok unsur-unsur cerita dari tradisi lain tanpa terasa se
bagai suatu tempelan yang mengganggu, melainkan terserap kuat, men
jadi bagian integral cerita. Seiring dengan perkenibangan cerita, lewat
berbagai peristiwa yang dialami Alit, kita merasakan gating lembut ber
bagai kisah yang telah ada sebelumnya dalam tradisi-tradisi dunia. Li-
hatlah apa yang dialami Alit pada hari ketiga perjalanannya, setelah
"pertemuan yang menekan jantung dengan Nita":

[S|eribu kunang-kunang membimbingnya ke sebuah muara yang tak per


nah dikunjungi orang.... Ia tiba di sana pagi-pagi.... Burung-burung warna
merah memenuhi permukaan langit. . . . Dan sebuah mukjizat diturunkau
sekali lagi: tiba-tiba kumpulan caniar itu benar-benar menjadi lidah api yang
menyala merah di atas permukaan laut hijau. . . . Alit pingsan karena cahaya
yang menyilaukan dan rasa lapar yang tak teitahankan. . . .Tiga ekor burung
bangau hinggap di atas tubuh Alit yang terkapar di tepi muara. . . . Dalam
pingsannya, AHt melihat tiga sosok malaikat—berbentuk burung-burung ba
ngau—turun dari Luigit menuju ke tempatnya berbaring. Mereka datang un
tuk membisikkan sejumlah isyarat. Ia masih belum sadar benar ketika para
malaikat im menyampaikan bisikan pertama mereka.-Kupingnya hanya bisa
menangkap samar-samar. Lalu para malaikat bangau itu niengulang bisikan
mereka.Tetap samar ... (21-22).

Ketika cerita sampai di bagian ini, gema lamat kisah Nabi Muhammad
didatangi beberapa malaikat yang hendak menyucikan dirinya mulai terasa.
Namun, bukannya terjebak untuk nielanjutkan cerata sesuai dengan kisah
Muhammad, pengarang justru membelokkan cerita dan menjadikan kisah
Muhammad tersebut sebagai gating yang hanya membayang saja. Penga*-
rang niengembangkan ceritanya sendiri tanpa harus terbeban siratan atau

200 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA

gating kisah lain yang ia lekatkan pada ceritanya. Lanjutan cerita ini me
nunjukkan hal tersebut:

Ketiga kalinya bangau-bangau itu memekik keras. Alit seperti mendengar


Icngkitig pcluit kcreta apt yang hendak herangkat ke Scmarang.
Ia meronta-ronta dan mengatakan bahwa ia tidak ingin pulang lagi ke
Semarang.
"Mungkin kita salah orang," bangau yang paling besar mulai ragu-ragu.
"Tapi tanda-tandanya jelas, ada memar di dadanya," kata yang lain.
"Tapi ia meronta," kata bangau besar. "Ia tidak paham bahasa kita."
"Aku yakin kita tidak salah," kata bangau ketiga. "Mungkin ia tidak paham
bahasa kita, namun kelak ia akan bisa membuat tafsirnya" (22-23).

Bagian yang saya miringkan tersebut menunjukkan kepiawaian dan si


kap rileks pengarang dalani membelokkan (gema) kisah-kisah yang me-
rembes dalani ceritanya. Kisah Mtihanmiad yang hanya menggaung lamat
itu memungkinkan cerpen ini bergerak dan berkembang dengan bebas.
Alih-aHh "terserap" dan berkembang mengikuti kisah Mtihanmiad, cerita
malah berkembang ke arah lain dengan memasukkan gema kisah yang lain
lagi, kaH ini kisah penciptaan Hawa:

Api di laut sudah stirut ketika Alit siuman ... Hari itu dunia seperti masih
sangat muda, namun AHt tidak merasa berada di tempat asing. Apakah ia
manusia pertama di dunia yang masih muda itu?
Ia meraba dada, meraba reranting tulang rusuknya.
Ada bagian yang sempal pada deretan tulang rusuk di dadanya.
Alit berpikir bahwa Tuhan pasti telah mematahkan sedikit tulang rusuknya
ketika ia pingsan. Lalu Ia ciptakan makhluk perempuan dari patahan mlang
rusuk itu.Tapi, disembunyikan di mana makhluk itu? Dan bagaimana ia kelak
bisa mengenak bahwa seorang perempuan yang melintas di depan matanya
adalah patahan tulang rusuknya? Bagaimana kalau ia keliru mengambil patah
an rusuk orang lain dan memasangkannya ke dadanya? (23-24).

Dalani cerita "Seekor Ular dalani Kepala" dan "Seto Menjadi Kupu-
Kupu" sifat intertekstuaHtas terasa lebih kuat karena siratan teks-teks dari
tradisi lain muncul secara jelas dalam cerita. Dalam cerpen "Seekor Ular

kalam 22
201
A. ZAIM ROFIQI

dalam Kepala" nuansa itu bahkan telah muncul dalam judul. Judul cerpen
ini segera membuat kita membayangkan (dan mungkin mengharapkan)
penggambaran tentang ular yang selama ini telah umum dikenal: ular
sebagai tokoh atau simbol kejahatan yang membujuk Hawa memetik buah
terlarang di Taman Firdaus, yang akhirnya melemparkan ia keluar dari
keadaannya yang damai dan permai. Sebanding dengan im, dalam cerpen
ini tokoh ular pula yang membuat kehidupan rumah tangga yang semula
damai dan permai jadi berantakan.
Cerpen ini berkisah tentang Lin yang bangun pagi dan "merasakan ada
seekor ular kecil menyeHnap dalam Hang teHnganya". Guncangan keliidup
an rumah tangga Lin dan Rob bermula saat Lin di tengah sarapan bercerita
kepada suaminya tentang apa yang dialaminya pagi itu. Rob, yang tidak
menyukai kejutan dan "menghendaki segala hal yang biasa-biasa saja", de
ngan segera menganggap istrinya tidak normal, bahkan gila. Namun Lin
justru sangat menikmati keadaan barunya itu: ia merasa sangat sehat dan
"bahkan merasakan suatu pesona kehidupan yang amat lain" serta "sensasi-
sensasi yang meniberinya tenaga untuk keluar dari rutin yang dia jalani".
Suatu malam saat tidur, misalnya, Lin merasa ular di dalam kepalanya
mengajak bercengkerama dan "berjalan-jalan di hutan". Beberapa saat ke
mudian, si ular membisikkan "sebuah tipuan yang amat kuno dan klise":
memetik buah apel. Karena ia dan suaminya tak mampu meraih apel itu,
Lin meminta bantuan seorang psikiater yang menjadi konsultaiinya. Sang
psikiater berhasil mengambil apel itu, dan mereka pun akhirnya berpacaran.
Lin kemudian menyatakan kepada Rob bahwa ia dan sang psikiater akan
segera nienikah begitu Rob menceraikannya. Rob, yang seniakin lama
merasa seniakin tak tahan dengan perilaku dan keadaan Lin, di akhir cerita
memutuskan memecah kepala istrinya, mengeluarkan sendiri ular dari
dalam kepala, dan kemudian menceraikannya.
Kekuatan "Seekor Ular dalani Kepala" tidak hanya terletak pada perta-
utannya dengan kisah Taman Firdaus itu, tetapi juga pada penyimpangan-
nya demi mjuan cerita pengarang sendiri. Interteksmalitas "Seekor Ular da
lam Kepala" tidak hanya berhenti pada tafsir ulang atas teks dari tradisi lain.
namun bergerak lebih jauh dengan menyerap un^ur-unsur dari teks lain
dengan tujuan membangun cerita tersendiri. Unsur-unsur cerita (citra.
simbol) dari teks lain tersebut dipakai hanya sebagai titik tolak pengarang
unmk membangun kisahnya sendiri, yang mungkin lebih menarik dan sa-

202 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA

ma sekaH berbeda dari cerita asal.


Seperti yang terjadi dalam "Burung di Langit dan Sekaleng Lem", kuat-
nya unsur intertekstual pada "Seto Menjadi Kupu-kupu" kembali menggi-
ring pembaca ke situasi ambang-iiiakna; kali ini balikan lebih kuat. Pada
cerpen ini, pembaca berhadapan secara keras dengan makna teks yang tak
pernah stabil. Sifat intertekstual cerita selalu menibenamkan pembaca pada
hubungan-hubungan tekstual baru. Berhadapan dengan cerita semacam ini,
gagasan tentang "penafsiran yang obyektif" dan "makna yang padu dan sta
bil" sebagaimana diyakini para kritikus sastra strukturalis dan pernali begitu
ktiat menguasai dunia sastra, menjadi mandul. Cerpen ini menegaskan
klaim teori intertekstual kritikus sastra pascastrukmraHs baliwa semua teks
tidak lain adalah hasil tenunan, rajutan pengarang atas berbagai kepingan
teks yang telah ada sebelumnya.1 Simasi ambang-makna dalam "Seto Men
jadi Kupu-kupu" ini terasa lebih kuat karena sang narator sendiri merasa ti
dak begitu yakin tentang benar-tidaknya peristiwa yang dialami Seto. Sete
lah dengan lugas mentittirkan kenapa Seto sampai jatuh cmta kepada anak
penjual martabak—karena cahaya yang memancar dari paras gadis itu—
sang aku narator kemudian meragukan apa yang dialami Seto dengan me-
in.isukkan gema dari kisah lain:

Aku ingin memberi sedikit catatan tentang dua hal menyangkut anak
penjual martabak itu; pertama tentang lenggang yang riang dan kedua tentang
cahaya di wajah
Tentang kilau cahaya di wajah perempuan itu, aku tidak bisa memastikan
benar-tidaknya pengliliatan Seto, sebab dulu adajuga perempuan, istri seorang
akuwti, yang memancarkan kilau cahaya. Penulis Babad Singasari mengabarkan
tentang cahaya yang memancar dari beds perempuan itu, bukan dari paras
mukanya, dan suatu hari Ken Arok, seorang pencuri yang gelap asai-usulnya,
melihat cahaya pada betis itu. Kupikir wajah Ken Dedes pun bercahaya, na
mun karena waktu itu orang-orang jelata harus menundukkan kepala ketika
pemilik istana melintas, maka si pencuri itu pun tak bisa melihat paras muka
perempuan itu dan cuma bisa melihat kerlap cahaya pada betisnya (81-82).

Masuknya gema dari kisah Ken Arok ini menjadikan keutuhan dan ke-
paduan makna yang mungkin sebelumnya mulai terbangun menjadi buyar:

1 Graham Allen, Intertextuality (London: Routledge, 2()(H I), 6.

kalam 22 203
A. ZAIM ROFIQJ

pembaca tak lagi yakin apakah cerpen ini adalah tentang kisah cinta Seto
pada anak penjual martabak yang parasnya merhancarkan cahaya; atau pa-
rodi cerita Ken Arok yang jamh cinta kepada Ken Dedes yang betisnya
memancarkan cahaya.
Dalam cerpen-cerpen yang sekilas tampak mengusung makna utuh, pa-
du, dan mandiri seperti "Buldoser" dan""Rumah Unggas", sifat interteks
tual juga masih dapat kita temukan. Dalam cerpen-cerpen ini, "teks" luar
yang diacu bukan lagi teks-teks sastra dalani tradisi sastra dunia yang telah
mapan dan umum dikenal, melainkan peristiwa-peristiwa (baca: teks-teks)
sosial dan politik yang menjadi menu rutin berita di berbagai koran pada
dekade 1990-an: penggusuran rumah yang menghancurkan kehidupan se
orang ayah dan sebuah keluarga ("Buldoser") dan pencuHkan aktivis-aktivis
mahasiswa yang dianggap subversif oleh milker ("Rumah Unggas").
"Cerita tentang Ibu yang Dikerat", yang diletakkan di bagian akhir
kumpulan ini, juga menggunakan gaya bercerita yang unik. Sebuah gaya
yang menunjukkan kuatnya kesadaran pengarang pada bentuk cerita. Cer
pen ini bercerita tentang Alit yang sejak kematian ibunya—karena lehernya
dikerat orang—menjadi penyendiri dan cenderung "meniru gaya hidup
orang-orang zaman dulu". Cerpen ini mengocok mitos-mitos masa lalu
dalani cerita (dongeng Janibu Monyet [143-146]; kisah Nabi Sulaiman
[143, 149]), termasuk kisah Musa membelah lautan unmk memperkuat
peristiwa-peristiwa yang dialami AHt:

Di tepi sungai ini, suatu hari, Alit berubah pikiran. Ia dalam perjalanan ke
sekolahnya waktu itu, menyusuri sungai yang deras sehabis hujan, dan
berhenti agak lama di sebuah tepian
. . . Ia teringat pada permukaan laut yang membelah karena pukulan
tongkat. Karena itu disempalnya ranting waru yang lurus dan tidak terlalu be
sar dan dengan tongkat dari ranting waru itu ia menuruni tebing sungai hing
ga dekat sekaH ke permukaan air. Pada sebongkah batu ia berjongkok, lalu di-
pukulkannya tongkat warunya ke permukaan air (138).

Setelah berulang kaH memukulkan tongkatnya ke permukaan air, akhirnya


Alit membuang tongkat yang tidak mampu membelah permukaan air itu ke
arus sungai. Ia berpikir bahwa tongkat yang tidak mampu membelah permu
kaan air tentu tidak bisa berubah menjadi ular. Lantas, apa gunanya sebatang

204 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA

tongkat jika ia tidak bisa berubah menjadi ular? Ia tidak akan bisa mencaplok
ular-ular lain yang suatu hari mungkin dikirinikan oleh para tukang sihir un
tuk nienyerangnya.
Tongkat yang ia btiang itu terbawa arus kaH dan tidak pernah berubah
menjadi ular atau apapun (140-141).

Seperti telah sedikit disinggung di atas, yang menjadikan cerpen itu


berbeda dan lebih kuat dibanding cerpen-cerpen sebelunmya bukan hanya
sifat intertekstual yang integral dan terserap ke dalani cerita, melainkan juga
gaya bertutur dan bentuk cerpen ini yang unik—untuk tidak menyebut is-
timewa. Dengan menggunakan teknik penggandaan—seperti pada cerpen-
cerpen Jorge Luis Borges—cerpen ini mengaburkan berbagai peristiwa
yang dialami aku narator dan Alit dengan meragukan kesaliihan ingatannya
dan otoritas cerita yang ia sampaikan. Pola kilas balik seniakin memperkuat
efek ambiguitas dalani teknik penggandaan tersebut: siapa sesungguhnya
yang mengerat leher ibu Alit? Seperti seorang detektif yang harus
merekonstruksi sendiri kejadiaii, di akliir cerita pembaca dibawa ke posisi
ambang-kebenaran dan dipaksa menentukan sendiri versi peristiwa (yang
diyakininya sebagai) yang sebenarnya.

Selain intertekstualitas, tinsur lain yang sangat menonjol—sekaHgtis da


pat dianggap sebagai ciri khas gaya bercerita A. S. Laksana—adalah kuatnya
parodi. Jika pada umumnya parodi dittijukan untuk mengguncang posisi
mapan seorang penulis atau aHran penulis,2 dalam Bidadari yang Mengembara
parodi dittijukan pada cerita-cerita yang sudah mapan. Hampir semua" ceri
ta dari luar yang diintegrasikan. diparodikan unmk kemudian dikuliti dari
"amanat luhur"yang mereka emban. Cerita-cerita dalam Bidadari yang Me
ngembara berkembang sedemikian rupa sehingga pembaca sering merasakan
kesuHtan menemukan pesan yang biasanya melekat pada cerita-cerita yang
diparodikan.
Contoh paHng kuat dari tindak parodi atas cerita yang sudah mapan ini
dapat diHhat dalam cerpen "Bidadari yang Mengembara". Kisah Nabi Mu-

The New Bxcyclopaedia Britannica (Chicago: The University of Chicago Press, 1992),
167.

kalam 22 2Q5
A. ZAIM RORQJ

hammad didatangi oleh beberapa malaikat yang hendak meiiyucikan di


rinya dan kisah penciptaan Hawa dari mlang rusuk Adam yang dimasuk
kan dalam cerpen tersebut menjadi kehilangan "aura". Hilangnya beban
pesan pada kedua cerita tersebut memungkinkan "Bidadari yang Me
ngembara" bebas mengembangkan jalan ceritanya sendiri:
Dalam pingsannya, Alit melihat tiga sosok malaikat-berbentuk burung-
burung bangau-turun dan lang.t mentiju ke tempatnya berbarmg. Mereka
datang untuk membis.kkan sejumlah isyarat. la masih belum sadar benar keu-
ka para malaikat itu menyampaikan bisikan pertama mereka. Kuprngnya ha
nya bisa menangkap samar-samar. Lalu para malaikat bangau itu mengulang
bisikan mereka.Tetap samar. Ketiga kalinya bangau-bangau itu memekik keras.
Alit seperti mendengar kngkingpeluit kereta api yang hendak berangkat ke Semarang.
hmeronta-ronta dan mengatakan hahwa ia tidak iugiu pulang lagi ke Semarang (22).
Pola intertekstuaHtas yang bercampur dengan parodi—menggemakan
dan kemudian memarodikan kisah-kisah yang telah mapan-berulang
hampir di semua cerpen dalam kumpulan ini. Pada "Seto Menjadi Kupu-
kupu", parodi cerita Ken Arok dan Ken Dedes dilakukan dengan menyini-
pangkannya ke arah yang sama sekaH lain:
Kalimat tentang dada yang dipenuhi laron-laron itu, yang kutemui dalam
babad yang dituHs scenaknya sendiri untuk melukiskan kejadian denn kejadi-
an di kalangan istana, kucomot dan kupakai di sini untuk Seto. Sebab, sama
seperti pencuri itu, Seto pun melihat cahaya yang memancar dan seorang pe
rempuan, bukan pada betis; ia bahkan tak memperhatikan betis perempuan
itu Seto meHhat wajah gadis itu, sebab anak tukang martabak itu bukan pe
milik istana dan ia tak perlu menundukkan muka ketika gadis itu mehntas di
depannya (83).

DipiHhnya parodi dan bukan tafsir ulang—yang belakangan ini sangat


menjamur dalam khazanah sastra Indonesia—memungkinkan pengarang
menghindar dari dua "penyakit" yang umum mepghantui pengarang yang
menggarap tema-tema kelam. Pertama, ideaHsasi dan sendmentahsme; ke
dua pencarian efek, umumnya efek ham. Semua cerpen dalam kumpulan
mi sebenarnya menggarap tema-tema kelam: kejamnya seorang ibu
kalam 22
206
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA

("Bidadari yang Mengembara"); penyinipangan psikologis seorang bocah


("Seorang Ibu yang Menunggu"); kerasnya kehidupan anak jalanan
("Burung di Langit dan Sekaleng Lem"); retaknya hubungan suami-istri
("Seekor Ular dalam Kepala"); pernikahan yang tak direstui keluarga ("Te
lepon dari Ibu"); penggusuran rumah ("Buldoser"); kasih tak sampai ("Seto
Menjadi Kupu-kupu); pecahnya sebuah keluarga ("Bangkai Anjing"); kelu
arga miskin yang tak harmonis ("Rumah Unggas"); konflik dan kebencian
seorang anak kepada ayahnya ("Peristiwa Pagi Hari"); pembunuhan seo
rang ibu oleh anaknya ("Cerita tentang Ibu yang Dikerat").
Dalam kekelaman im, pengarang berhasil menggunakan parodi menjadi
semacam penawar anipuli untuk menghindarkan cerita dari sentimentaHs-
me, idealisasi tokoh, dan pencarian efek ham yang seringkali mengganggu.
Kuatnya parodi juga menjaga jarak pembaca dengan cerita dan menikmati
cerpen-cerpen ini sepenuhnya sebagai karya sastra. Pembaca masih dapat
tersenyum saat membaca cerita kelam tentang kejamnya seorang ibu kepa
da anak kandungnya dalam "Menggambar Ayah", atau mesem-mesem saat
menibaca cerita pedih tentang penggusuran rumah dalam "Buldoser".
Dengan kata lain, parodi yang begitu kuat dalam cerpen-cerpen yang
terkumpul dalam Bidadari yang Mengembara berftingsi sebagaimana "efek
pengasiiigan" (alienation effect) dalam teater Brecht. Ia mencegah pembaca
melakukan identifikasi emosional dengan cerita dan tokoh, menghalangi
pembaca terserap total ke dalani cerita, dan menjaga sikap kritis pembaca
dengan terus inenyadarkan bahwa yang diliadapinya "hanyalah sebuah kar
ya sastra" dan bukan reaHtas im sendiri.
Tengoklah, misalnya, sebuah adegan dalam "Burung di Langit dan Seka
leng Lem" ini:

Suatu hari seorang polisi yang tidik memahami keadaanku menghardik aku.
"Kenapa kau berkeliaran di jalan malam-malam hegini?"
"Aku harus berkeliaran di mana?"
"Masuklah ke dalam rumahmu."
"Aku seorang gelandangan. Maksudku, tuna wisma."
"Kau melanggarjam malam, tahu!"
"Aku tak pernah meHhat jam. Siang dan malam aku dijalanan."
"Kau menje.ngkelkan.Apa yang kau bawa itu?"
"Tas plastik hitam."

kalam 22 ?f)7
A. ZAIM ROFIQJ

"Aku sudah tahu.Apa isinya?"...


Ia meringkusku sebagai seorang yang "gerak-geriknya mencurigakan" dan
dimasukkannya aku ke dalam mobil patroH (42).

Btikannya jamh ke dalani sentimentalitas, idealisasi tokoh. atau pencari


an efek haru, pengarang malah mendedahkan unsur parodi pada peristiwa
"tragis" im, dan dengan demikian menjadikan pembaca tetap berjarak de
ngan cerita. Pelbagai dialog atau deskripsi lucu dalam peristiwa "serius, tra
gis, dan mengenaskan" seperti di atas—yang bertebaran dalani Bidadari yang
Mengembara—dapat dipastikan membuat pembaca tersenyum dan sadar
baliwa yang dihadapinya "hanyalali karya sastra" dan bukan reaHtas im sendiri.

208 kalam 22
OBITUARI

S. PRINKA
(1947-2004)

BERSAMA S. Prinka, kami membangun Kalam. Anda tahu, Kalam


bermula sebagai suplenien kebudayaan empat-bulanan pada majalah
Tempo. Ketika suplenien im berumur kurang lebih tiga tahun, para peng-
garapnya merasa perlu memperluasnya. Pada heniat kami, pada masa im di
Tanah Air tak ada jurnal—atau apa pun namanya—yang mampu menam-
pung sekaligus merangsang penulisan di bidang kebudayaan secara luas
sekaligus tajam. Kami mencita-citakan sebuah medium di mana kalangan
intelektual, peneliti, seniman, dan sastrawan bisa saling bergesekan. Maka
suplenien itu pun menjadi jurnal kebudayaan Kalam—terbit pertama kali
pada Februari 1994.
Kalam digarap di kantor Tempo di Jalan Rasuna Said Kav. C-l7,Jakarta
Selatan. Adalah Prinka, bersama S. Malela Mahargasarie—keduanya desai-
ner majalah im—yang membuat logotype dan desain Kalam. Prinka adalah
pencinta kerapian, tetapi ini adalah kerapian yang mampu mewadahi gairah
dan "keHaran" seni dan pemikiran. Bila anda masih ingat: kuHt depan Kalam
nomor pertama dengan tajuk "Posttnodernisme di Sekitar Kita" im meng
gunakan patung Eddie Hara Seekor Anjing yangJatuh ke Bumi yang sungguh
nakal, namun sang desainer menatanya dengan tertib, yaitu dengan menyi-
sakan seluas mungkin bidang putih sebagai latar belakang. Demikian juga
halaman dalani: satu bentangan dengan marjin-putih lebar di kiri dan ka
lian, dan dua koloni untuk setiap halaman dengan huruf Garamond yang
begim lembut.
Tiga nomor Kalam telah terbit ketika Tempo ditutup oleh Pemerintah
Soeharto pada 21 Jtini 1994. Kantor diJalan Rasuna Said itu pun bubarlah.
Dengan susah payah kami mencoba menerbitkan nomor-nomor berikut-

kalam 22 209
OBITUARI

nya, antara lain dengan dukungan dana sejumlah pribadi. Saya sendirilah
yang terpaksa niengerjakan tata letak Kalam, dengan Macintosh tua pin-
jaman seorang teman.Tergagap-gagap sebagai operator amatiran, saya selalu
bertanya kepada Prinka bagaimana mengatasi kesulitan teknis sekaligus
mencari rupa yang tcrbaik. Dalam situasi darurat itu, kami mampu mener
bitkan dua nomor,sebelum akhirnya, pada awal 1996, Kalam bisa berkantor
di Jalan Utan Kayu 68-H, JakartaTiniur, di sebuah kompleks-bekas rumah-
toko yang kini dikenal sebagai Komunitas Utan Kayu.
Lelaki yang lahir di Bogor, 27 Februari 1947 ini memang tak lagi me-
nangani tata letak Kalam, tetapi ia tetaplah bergiat sebagai anggota Dewan
Redaksi Kalam. Kemudian, berdirilah Galeri Lontar di Komunitas Utan
Kayu pada Juni 1996, sebuah galeri yang berniat nienampilkan karya para
seniman terbaru maupun karya tersembunyi para seniman yang sudah di
kenal. Prinka, bersama sejumlah redaktur Kalam, menjadi kurator galeri ini.
Demikianlah kami menjadi lebih kerap lagi bertemu, baik unmk merenca-
nakan pameran di Galeri Lontar maupun memperbincangkan rupa Kalam.
Prinkalah yang begitu bersemangat mengusulkan pameran gambar dan lu
kisan Firman Lie, lukisan kaca Hariadi Suadi, cetak-saring dan lukisan T.
Sutanto, serta keramik Suyatna. Inilah nama-nama yang jauh dari hingar-
bingar pasar seni lukis ketika itu.
Mulai nomor 15, yang terbit April 2000, Kalam berubah benmk menja
di lebih mirip buku. Ini adalah upaya kami menegaskan lagi bahwa Kalam
bukanlah majalah sebagaimana disarankan ukuran sebelunmya. Dengan
ukuran yang baru ini, kami harapkan Kalam bisa bertahan lama di antara
deretan buku, bukan di rak majalah yang cepat sekali berganti pajangan.
Tentulah dengan ukuran baru itu kami bisa juga membuat tata letak bukan
hanya lebih sederhana, tapi juga lebih tajam, yakni untuk membuat pemba
ca sepenuhnya berkonsentrasi pada teks. Di nomor yang bertajtik "Mengu
ak Tubuh" itu Prinka bukan hanya membuat kerapian tetap bertahan di se
panjang halaman Kalam (meski, nyatanya, kami bekerja dengan penata letak
yang berbeda-beda), tapi juga merancang samptil depannya berdasarkan lu
kisan Luca SignoreUi dan gambar AndreasVesalius.
Ketika kesehatan Prinka stisut perlahan-lahan—rsudah lama ia mempu
nyai masalah dengan jantungnya—ia masih juga bemsaha menghadiri per-
temuan yang kami adakan. Seringkali rapat redaksi Kalam atau dewan ku
rator Galeri Lontar berlangsung di Kedai Tempo, bukan di kantor Kalam

210 kalam 22
-*—

S. PRINKA

atau Galeri Lontar yang berada di lantai kedua atau di Teater Utan Kayu
yang kurang-lebih satu tingkat di bawah muka tanah, sebab Prinka tak lagi
boleh naik-turun tangga. Saya pun terkadang mendatangi dia di kaiitornya
di Jalan Thamrin bila hendak meminta usulnya, termasuk ketika saya men
desak dia untuk merancang kulit muka Kalam nomor 17 (yang bertajuk
"Kiri di Asia) berdasarkan seri lukisan Agus Suwage.
Pembaharu desain majalah berita, pengajar yang tekun, penggerak seni
gambar, dan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru—itulah sosok Syahrinur
(Prinka, begitu nama lengkapnya, yang telah banyak dicatat oleh kawan-ka-
wan di pelbagai Hngkungan profesinya. Bagi kami, ia adalah kawan yang
hangat dan penuh humor (meski hemat bicara) dan, tentu saja, bagian pen
ting dari riwayat kami—riwayat Kalam dan Galeri Lontar, riwayat Komu
nitas Utan Kayu pada timumnya. Mengenang Prinka, Galeri Lontar pada
15-30 Maret lalu memamerkan karya gambar dan desainnya di majalah
Tempo.
Prinka wafat di Jakarta pada stibuh ban 22 Desember 2004. Betapa tak
cukup sekadar duka cita untuk mengantar ia ke tempat istirahnya yang
terakhir.

Nirwan Dewanto

Kami turut berduka cita atas wafatnya

sastrawan-sejarawan Kuntowijoyo
dan

pelukis Semsar Siahaan

pada Selasa, 22 Februari 2005.

KOMUNITAS UTAN KAYU

kalam 22 211

MB
-je:
PARA PENYUMBANG

A. Zaim Rofiqi kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Ja


karta. Saat ini bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan be
kerja di Freedom Institute. la juga menulis puisi, cerpen, esai, dan me
nerjemahkan buku.
Aquarini Priyatna Prabasmoro meniperoleh MA dalam Feminist Cul
tural Theory and Practice, Lancaster University, Britania Raya, pada
2002, dan M. Hum dari Program Kajian Wanita, Universitas Indone
sia, pada 2003. Buku pertamanya, Becoming White: Representasi Ras,
Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Man Sabun, dan karya terjemah-
annya, Feminist Thought, terbit pada 2004. Mengajar di Jurusan Sastra
Inggris, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Ari Jogaiswara Adipurwawidjana mengajar teori kritik dan sastra bahasa
Inggris di Universitas Padjadjaran. Tulisannya tentang kesusastraan dan
kebudayaan serta konteks pascakolonial dimuat di berbagai media.
Meniperoleh MA di bidang Sastra Inggris dari University of Ken
tucky, Lexington, AS, pada 1995.
Enin Supriyanto bekerja sebagai kurator lepas di sejumlah galeri, sering
menulis tentang masalah gratis di berbagai media. Pernah bekerja se
bagai art director dan creative director di sebuah biro iklan.
Intan Paramaditha mengajar Kesusastraan Gothik dan Romantik di
Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia. Ia banyak menulis tentang gender dan sastra, di samping
menulis cerpen di sejumlah surat kabar, seperti Kompas dan Koran
Tempo.
Lestari Manggong mengajar fiksi modern berbahasa Inggris dengan fo
kus pada kesusastraan persemakmuran dan I'ecriture feminine. Gelar

kalam 21 213
MA-nya di bidang kajian pascakolonial ia peroleh dari University of
Kent at Canterbury, Inggris.
Lien Amalia mengajar fiksi berbahasa Inggris di Universitas Padjadjaran
dan English for Special Purposes di berbagai.perguruan tinggi swasta
di Bandung, serta menerjemahkan prosa dan puisi.
LiSABONA Rahman bekerja sebagai koordinator peneliti di Women Re
search Institute Jakarta dan penulis lepas di berbagai media.
Manneke Budiman mengajar cultural studies, penerjemahan, dan kritik sastra
di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Pernah
belajar Sastra Bandingan di University of Winconsin-Madison, AS.
Melani Budianta mendapatkan gelar doktomya di bidang kesusastraan dan
Cornell University, AS. Ia banyak menulis tentang sastra, gender, dan
persoalan-persoalan Hntas budaya. Kini ia ketua Departemen Susastra di
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Michael Rinaldo 'pernah belajar sastra bandingan di Reed College,
Portland, Oregon, AS. Kim tinggal di Jakarta.
Mikihiro Moriyama mengajar di Department of Asian Studies, Faculty
of Foreign Studies di Nanzan University, Nagoya, Jepang. Mendapat
kan gelar doktomya di Universiteit Leiden, Belanda. Bukunya Sema
ngat Bam: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad Ke-19
(2005).
Nirwan Dewanto bekerja sebagai redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam
dan penanggung jawab Lembar Seni Koran Tempo edisi Minggu, serta
kurator pada Galeri Lontar.
Winarsih P. Arifin bekerja sebagai penerjemah lepas. tinggal di Jakarta.
Ia menerjemahkan antara lam kaiya Marguerite Yotirccnar, Cerita-Cerita
Timur (1999) danJuHen Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual (1W).

Kami mengimdang anda menulis esai seputar tema yang kann rencanakan
untuk Kalam nomor mendatang:

kalam 23: Tentang fotografi. Pembahasan tentang ibtografi, yang demikian


banyak dipraktekkan dan dikonsnmsi di era reproduksi mekanis ini, sangatlah
tidak memadai, baik sebagai proses teknis maupun kultural. Kami berharap
nomor ini dapat turut mengisi kelowongan tersebut. (Tenggat pertengahan
Juni 2005.)

kalam 21
214

Anda mungkin juga menyukai