, • - - 5*
Andrew andJoey 81
u
Aquarini Priyatna Prabasmoro Seks,Berahi, dan Cinta:Tiga Karya Nh. Dini 155
BIODATA 213
kalam 22
GAMBAR KULIT MUKA: Muhamad Yusuf, Perjanjian Politik Antara Kaum Brahmana dan Tunequl
Ametuns, cat akrilik, 70 x 140 cm, 2003-2005.
KREDIT GAMBAR: Enin Supriyanto (10, 80, 120, 143, 154, 174, 198, 212).
Tulisan Nirwan Dewanto (11-32), Lisabona Rahman (33-54), Intan Paramaditha (81-104), dan
Mikihiro Moriyama (105-119) berasal dari Konferensi Intemasional Kesusastraan XV Himpunan
Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), 25-27 Agustus 2004, di Manado.
REDAKSI, NOMOR INI: Alex Supartono, Ayu Utami, Eko Endarmoko (sekretaris), Goenawan
Mohamad, Hasif Amini (ketua), Nirwan Dewanto, Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge
DESAIN: Ari Prameswari. MANAJEMEN: Zulkifly Lubis. ALAMAT REDAKSI &TATA USAHA- Jl Utan
Kayu 68H, Jakarta 13120, Tel (021) 8573388 pes. 106, 141-147, Fax. (021) 8573387 Surat-e-
kalam@cbn.net.id. PENERBIT: Yayasan Kalam.
Memuat karya sastra dan karya telaah dari pelbagai disiplin, kalam adalah jurnal kebudayaan
yang menjadi bagian dari Komunitas Utan Kayu. kalam sangat menghargai cara pandang bam
dan gagasan segar. Kami tak membatasi diri dengan pokok dan aliran tertentu; kami terbuka
untuk pelbagai eksperimen penciptaan. kalam mengundang anda menulis. Harap anda
mengirim dalam bentuk cetakan, dalam disket, atau lewat surat-e. Untuk karya terjemahan,
harap menyertakan fotokopi dan sumbernya. Kami mengunoang juga para perupa membuat
kulit depan maupun gambar di halaman dalam. Jangan lupa menyertakan biodata anda yang
cukup lengkap (terutama kegiatan dan karya terbaru).
1 kalam 22
<
» r
MANNEKE BUDIMAN
kalam 22 3
s—;=»-
MANNEKE BUDIMAN
dingkan sebuah teks dengan teks lain sebagai suatu "kerja kesenian". De
ngan kata lain, suatu kajian bandingan bam diterima sebagai sebuah kerja
intelektual yang absah ketika ada kerangka konseptual-teoritis tertentu
yang dioperasikan. Konsekuensinya adalah tidak semua orang yang mela-
kukan kerja bandingan atas dua teks sastra atau lebih dapat disebut sebagai
seorang komparatis.
Tentu saja, posisi itu dapat terus-menerus diperdebatkan. Namun, dalam
kerangka sinyaleinen Bassnett tentang "mati"-nya sastra bandingan, posisi
yang saya ambil itu semoga cukup masuk akal. Ini lalu membawa saya ke
alasan kedua terkait dengan gong "kematian" sastra bandingan tersebut.
Persoalan teori tumt berperan besar dalam membawa praktik sastra ban
dingan tradisional menuju ke titik kritis tersebut. Sebabnya adalah di nega-
ra-negaia berbahasa Inggris, dan bahkan mungkin juga di banyak tempat
lain, melemahnya sastra bandingan sebagai sebuah institusi akademik secara
keseluruhan dipicu pula oleh pengambilalihan kekuasaan atas teori oleh ju-
rusan-jurusan sastra Inggris. Karena sejarah panjang imperialisme, jurusan-
jurusan sastra Inggris mengklaim bahwa mereka pun berhak atas wilayah-
wilayah budaya non-Barat yang, di mata para komparatis, dipandang seba
gai area mereka. Kajian bandingan atas sastra-sastra di bekas koloni Inggris
diyakini cukup sah dilakukan di jurusan sastra Inggris dan, karena keberte-
rimaan suatu kajian utamanya diukur dari bagaimana suatu teori dioperasi
kan dalam pendekatan, otoritas atas teori pun tak lagi terletak di satu tangan.
Hal ketiga yang juga masih berkaitan dengan masalah teori dan turut
mempercepat kematian sastra bandingan yang Erosentris adalah munculnya
cultural studies. Dalam cultural studies, kebudayaan dikaji melalui berbagai ma-
cam teks, dan sastra tidak diperlakukan secara istimewa. Di lain pihak, ba
nyak teori yang selama ini digunakan dalam kajian sastra kemudian juga di-
Ringsikan dalam cultural studies, tetapi dengan tujuan untuk berbicara ten
tang fenomena budaya nonsastra. Jadi, meskipun sastra bandingan menye-
diakan wadah bagi dialog antarteks dan antarbudaya, banyak porsi dari pe-
ranan tersebut yang diambil alih baik oleh studi sastra Inggris maupun cul
tural studies.
Lebih parah lagi, lahirnya studi terjemahan Sebagai sebuah disiplin baru
yang mengklaim kemandirian dari studi bahasa ataupun studi sastra kian
membuat sastra bandingan kehilangan pamornya. Apakah sesungguhnya
hubungan antara penerjemahan dan sastra bandingan? Kita tentu ingat
4 kalam 22
TENTANG SASTRA BANDINGAN
bahwa kolonialisme juga membawa sejenis aktivitas baru dalam ilmu pe-
ngetahuan, khususnya dalam filologi atau kajian naskah lama. Banyak nas-
kah klasik dari berbagai kebudayaan non-Eropa yang diterjemahkan ke da
lam bahasa-bahasa Barat selama berlangsungnya kolonialisme. Meskipun
ada bermacam-macam kepentingan dan motivasi dalam proyek besar pe
nerjemahan naskah-naskah klasik itu, pemikiran dominan yang melatarbe-
lakanginya kurang-lebih adalah pengukuhan superioritas Eropa atas Liyan
di luar dirinya.
Cara berpikir seperti ini sesungguhnya telah ada sejak masa Romawi
klasik dan tampaknya menjadi cikal bakal praktik sastra bandingan tradisio-
nal. Hugo Friedrich, dalam sebuah pidato di Heidelberg, memperlihatkan
bagaimana kecendemngan ini secara konsisten muncul dalam tradisi pener
jemahan di Eropa, paling tidak, hingga paruh pertama abad ke-18. la me-
ngutip Saint Jerome, penerjemah kitab Septuagint dari bahasa Yunani ke
bahasa Latin, yang menyatakan bahwa seorang penerjemah memiliki hak
prerogatif seorang penakluk (iure victoris) untuk mengalihkan gagasan dari
bahasa asing ke bahasanya sendiri. Para intelektual Romawi kala itu juga
menempatkan teks terjemahan dalam kontestasi dengan teks asli, dan
tujuan penerjemahan adalah untuk melampaui teb asli itu. Dalam hal ini,
teks asli pun menjadi sumber pengayaan bagi bahasa sendiri.
Edward Said2 menunjukkan bahwa pola pikir semacam itu tidaklah
berhenti pada abad ke-18, melainkan berlanjut hingga ke abad-abad beri-
kutnya. Terjemahan dilakukan bukan hanya untuk membandingkan baha
sa-bahasa Timur dengan bahasa-bahasa Barat, tetapi juga untuk mengenal
adat-istiadat, cara berpikir, tradisi, sejarah, dan agama orang Timur demi
mempertahankan superioritas Barat atas mereka. Gagasan ini disampaikan
oleh Lord Curzon dalam pidatonya di depanThe House ofLords di Parle-
men« Inggris, pada 1909. Lebih lanjut, Edward Fitzgerald, penerjemah se-
jumlah syair Parsi, dalam sebuah suratnya pada 1851 malah terang-terangan
mengatakan bahwa kerja penerjemahan atas sastra Parsi yang dilakukannya
adalah perkara sepele karena para penyair Parsi tidak cukup berkualitas di-
bandingkan dengan rekan sejawatnya di Barat. Upayanya menerjemahkan
teks-teks Parsi, katanya, justru akan memberi bobot seni yang lebih tinggi
kepada kesusastraan Parsi, yang dinilai masih "mentah" itu.
MANNEKE BUDIMAN
6 kalam 22
• r
TENTANG SASTRA BANDINGAN
kalam 22
MANNEKE BUDIMAN
1
mengunci bahasa—komponen primer yang menjadi prasyarat bagi adanya
sastra—sebagai sebuah sistem tertutup. Dalam kerangka inilah peranan
sastra bandingan sebagai sarana pengaktian atas Liyan dan sarana dialog
dengan Liyan itu memperoleh ruang geraknya. Mestinya tak berlebihan
untuk dikatakan bahwa Tynyanov dan Even-Zohar telah meletakkan
fondasi penting bagi disiplin sastra bandingan yang lebih modern.
Seorang rahib yang hidup pada abad ke-12 berkata, "Orang yang masih
terikat pada tanah airnya adalah seorang pemula; orang yang merasa kerasan
di mana pun ia berada adalah seorang yang mahir; tetapi orang yang me-
mandang seluruh dunia sebagai sebuah negeri asing adalah seorang ahli."
Dalam kaitan dengan konsep-konsep fundamental di atas, kata-kata
sang rahib menjadi penting. Sebabnya adalah bahwa, hingga saat ini,
masih kuat tertanam asumsi akan adanya suatu wacana yang utuh ten
tang sastra, yang dapat direkonstruksi melalui suatu kajian yang meto-
dologis dan ilmiah, meskipun ada keragaman dan kemajemukan feno-
mena dalam sastra. Sastra bandingan pun tak luput dari jerat pemikiran
semacam ini.
8 kalam 22
. TENTANG SASTRA BANDINGAN
i
kalam 22
NIRWAN DEWANTO
1 Seorang pembaca dekat dapat diibaratkan dengan pencicip anggur yang harus mam
pu mengenali mutu si minuman tanpa tahu apa mereknya, berapa harganya, dari
mana asalnya, dan berapa umurnya. "All wines are blind-tasted," begitu kata majalah
Wine Spectator, menegaskan caranya dalam membuat peringkat anggur dari seluruh
dunia. Perbandingan yang melebih-lebihkan ini layaklah diketengahkan di sini ketika
banyak penelaah sastra kita tak mampu membaca—menilai—teks tanpa tertaklukkan
lebih dulu oleh publikasi atau keterangan apa pun perihal si teks dan si penulis, dan
oleh teori sastra.
kalam 22 11
NIRWAN DEWANTO
Mungkin sekali kita gagal, karena puisi itu tak berinti, melainkan utuh-
padu belaka. Usaha kita untuk menyingkapkan tatanya hanya membuat la
ta sekadar merasa bagaimana ia menggelincir dengan dahsyat dan mesra dari
semantika dan gramatika. Barangkali kita sekadar tahu bahwa puisi itu sem-
purna karena tak sebuah kata atau tanda baca pun mubazir di dalamnya.
Puisi itu pun menjadi milik suatu tradisi sekaligus memperbaruinya, pa
ling tidak menyegarkannya. Puisi itu, dengan segenap kelengkapan kosa-
bentuknya, menjadi tak terelakkan bagi para produsen sastra yang kemudi-
an. Tanpa pembacaan dekat, si produsen hanya mampu melakukan peng-
ulangan, yaitu penciptaan pada tarafyang lebih rendah.
Akan tetapi, tanpa pengetahuan, bahkan penguasaan, akan khazanah tra
disi yang melatarinya, pembacaan dekat tampaknya tak bisa terlalu dekat,
bahkan mungkin mustahil. Makna yang melimpah-ruah dari puisi itu ha
nya dimungkinkan jika ia bermain tangkap-dan-lari dengan sang tradisi.
Dengan kata lain, ia adalah aspek tradisi yang paling berakar sekaligus pa
ling subversifkepadanya. Pembacaan dekat adalah pengujian terhadap sebu
ah tradisi melalui karya yang (akan) menjadi komponennya.
Pembacaan dekat hendak menyingkapkan bagaimana serincinya kualitas
sastra bisa terselenggara. Kita hendak membuktikan bahwa kekuatan karya
itulah yang menggandrungkan kita, bukan sebaliknya. Bahwa unsur-unsur
kasatmatanya sendirilah yang membuat kita memperlakukannya sebagai se-
jenis organisme yang punya nalar tersendiri. Kita hendak mengejar pola
hubungan antar-anasir yang mencerminkan keseluruhan atau kebulatan
karya. Adapun pengejaran yang boleh jadi tak berujung ini—lantaran karya
itu adalah organisme yang tak hendak takluk kepada penalaran maupun
kepekaan kita—bisa berhenti sejenak karena dua hal: kita tak bisa menahan
diri membuat karya lain berdasarkan pembacaan kita; atau kita membaca
hasil pembacaan dekat orang lain yang lebih tajam, lebih masuk akal.
Tentu saja pembacaan dekat bukanlah sebuah metode; ia justru memer-
lukan metode. Kegandrungan terhadap sesuatu, apalagi terhadap buah cip-
taan, hanya merupakan kondisi awal dan sama sekali bukan segala-galanya;
cinta bisa menyesatkan, maka kita perlu mencurigai cinta itu sendiri supaya
kita mampu menempuh jalan yang benar, meskiruntuk sebentar waktu saja
(ya, lain kali kita bisa berganti jalan, yaitu jalan yang lebih benar).
Wawasan teori boleh jadi adalah sarana yang ampuh untuk menajamkan
kecurigaan itu, meski teori seni, misalnya, tak hams selalu tersurat dalam
12 kalam 22
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
2 "Wlxatever critical affiliations we may proclaim, we are all New Critics, in that it requires a
strenuous effort to escape notions ofthe autonomy ofthe literary work, the importance ofdemon
strating its unity, and the requirement of 'close reading'. "Lihat Jonathan Culler, "Beyond
Interpretation," The Pursuit ofSigns (London: Roudedge, 2001 [1981]), 3.
kalam 22 13
NIRWAN DEWANTO
dan menggalakkan telaah dan penciptaan? Bila saya belum bisa menjawab
tegas sekarang, perkenankan saya mengemukakan contoh.
Para penyair kita yang terbaik, misalnya, membaca para pendahulunya
dengan sangat anipuh—dengan cara tertentu: mereka menemukan puitika
di sana, sehingga mampu membuat persajakan terdahulu itu sebagai hipo-
gram. Tanpa metode demikian, tak akan sanggup para penyair itu melam-
paui, kalau bukan membunuh, sang ayah primal.
Beberapa waktu lalu saya pernah mengatakan perlunya naratologi agar
keterampilan para penulis cerita kita terselamatkan3; menyadari bahwa para
penulis kita hanya bisa terhisap oleh cerita realis atau cerita "absurd" tanpa
bergulat dengan bentuk (yaitu bentuk-bentuk yang sungguh kaya tak ter-
hingga di khazanah sastra dunia mutakhir), saya bayangkan telaah tentang
tata naratif akan menyumbang banyak pada penciptaan berikutnya.
Memang, naratologi belum terselenggara di kampung halaman kita, tapi
kini saya bisa mengatakan bahwa novel-novel kita yang paling menarik da
ri, katakanlah, enam tahun terakliir dibuat dengan kesadaran akan bentuk
yang setajam-tajamnya, dan ini setidaknya niembuktikan para novelis itu
menulis berdasarkan—untuk mengutip Subagio Sastrowardoyo—bukan
bakat alam, melalnkan intelektualisme. Buat saya, intelektualisme dalam
penciptaan sastra adalah kesadaran tentang bentuk, kalau bukan wawasan
teori.
Tentulah semua ini tak berarti bahwa seorang pesastra harus mendasar-
kan dirinya secara sadar pada teori tertentu. Namun,jika ia menyadari bah
wa karya sastra bukanlah sekadar benda melainkan problem—tepatnya ob
yek yang diliputi interes dan pengetahuan tertentu sehingga tak ada lagi
yang obyektif tentangnya—ia tak akan puas dengan cara baca yang lazim,
yang hanya berdasarkan akal sehat.
Ia akan mencari cara baca yang sungguh lain, yang majenun, yang bisa
membuatnya tergerak melecehkan hasil pembacaannya sendiri. Sesungguh-
nya, pembaca luar biasa yang diharapkannya itu bernama kritikus atau il-
muwan sastra. Akan tetapi, bila pembacaannya sendiri atas sejumlah karya
terdahulu bisa menyingkapkan tata makna yang baru, tetapi ia tak pandai
3 Baca tulisan saya "Masih Perlukah Sejarah Sastra?" di lembar Bentara, Kompas, 4 Maret
2000—dimuat kembali dalam J. B. Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, ed., Esei-
Esei Bentara 2002 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2002), 184-196.
aa kalam 22
T3K 7—:——
kalam22 15
NIRWAN DEWANTO
16 kalam 22
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
kalam 22 17
NIRWAN DEWANTO ' •
3 "The one-and-unequal literary system is not just an external work here, it doesn't remain out
side the text: it's embedded well into its form." Lihat"Conjectures on World Literature."
18 kalam 22
- i
kalam 22 19
-i—' —* '.I w
NIRWAN DEWANTO
1
maka, bagi saya, setiap pembacaan, jauh atau dekat, mestinya menyadari
keterbatasan pilihan. Jika saja penciptaan adalah upaya untuk memiuhkan
atau melampaui kondisi obyektif, bahan-bahan yang tersedia sesungguhnya
adalah yang disodorkan oleh industri budaya global.
Globalisme sesungguhnya adalah Anglo-globalisme, seperti diingatkan
oleh Jonathan Arac,'' yakni bahasa Inggris dalam budaya berlaku Sebagaima-
na dolar dalam ekonomi: sang alat yang meneijemahkan pengetahuan dari
yang lokal ke yang global, juga sebaliknya. Dan ini bukan berarti bahwa
kita hanya mungkin menjangkau pelbagai khazanah melalui terjemahan
Inggris. Sebagaimana saya katakan, cara mereka memandang dunia seakan-
akan cara kita juga: yang partikular menjadi seakan-akan universal.
Namun, adat global demikian tak dapat dibalikkan dengan semangat
mencari teori yang berakar dari kampung halaman sendiri, kecuali kita
hendak memercayai orientalisme baru yang dibiakkan kaum pribumi. Kita
hanya perlu bercuriga bahwa segenap teori sastra dan karya sastra yang me-
nentukan amalan pembacaan kita sesungguhnya adalah yang sudah ditapis
dengan sistematis oleh dunia akademi Amerika Utara.
Saya tak ingin mendramatisasi gambaran tentang kekuatan adidaya yang
bekerja dalam dunia pemikiran kita, tetapi saya katakan di sini bahwa peri-
laku dalam menyerap arus dominan di kalangan intelektual setara dengan
apa yang terjadi dalam budaya massa kita. Kita hanya mungkin menyerap
model, bentuk, gaya, pandangan dari wilayah pusat yang sesunggulinya
mengabaikan ciptaan kita. Itnlah yang disebut Moretti sebagai sistem yang
satu tetapi tak setara.
Pertanyaan buat kita: kapankah kita bisa niengganggu, kalau bukan
mengubah, bahkan membalikkan, hegemoni simbolik ini? Moretti menya-
rankan (atau memimpikan) kerja sama di antara pakar-pakar sastra nasional
untuk menerang-jelaskan sistem sastra dunia; setidaknya seorang komparatis
mesti melakukan sintesis terhadap pelbagai telaah sastra nasional. Akankah
kita menunggu seorang komparatis yang bisa berlaku adil terhadap sastra-
sastra nasional yang selama ini terabaikan, termasuk sastra kita?
Betapa jauh panggang dari api. Saya belum melihat sungguh-sungguh
adanya peluang itu dalam studi sastra di mana-mana; saya baru melihat bah
wa sang komparatis sendiri tak percaya bahwa langkahnya bisa menggun-
20 kalam 22
i
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
Franco Moretti, "More Conjectures", New Left Review 20, Maret-April 2003..
Sanento Yuliman, "Dua Seni Rupa," Dm Seni Rupa, ed.Asikin Hasan (Jakarta:Yayasan
Kalam, 2001), 24-31.
Jim Supangkat, "Membaca Modernitas Indonesia dalam Representasi Budaya pada
Seni Rupa," katalog pameran dalam rangka peresmian Galeri Nasional Indonesia, 8
Mei-8Juni 1999.
kalam 22 ?1
—7—
NIRWAN DEWANTO
Barat. Namun, para kritikus seni rupa dari wilayah pusat maupun wilayah
pinggiran tak sekadar menggainbarkan modernisme sebagai sistem yang sa
tu tetapi tak setara (jika istilah Moretti bisa digunakan di sini), melainkan
juga berusaha mengubahnya.
Setidaknya, mereka melakukan tawar-menawar tiada henti dengan pu-
sat-pusat lama. InternasionaHsme bam: bangkitnya sang lain, the other, yakni
apa yang dulu dianggap pinggiran, terbelakang, lokal, terjajah. Moretti
mencandra gerakan satu, arah, yakni dari pusat ke pinggiran. Namun, orang
seni rupa (mencoba) mendesakkan arus dari pinggiran ke pusat, dan juga
dari pinggiran ke pinggiran.
Pada suatu saat, proses tawar-menawar itu terbaca sebagai perlawanan
yang heroik: kritikus menganggap diri sebagai aktivis budaya yang melucuti
sistem kuasa-pengetahuan dalam amalan seni rupa; it is time for the centre to
be sent in exile, kata kritikus-kurator Cina Daratan Hou Hanru.1" Pada saat
lain, proses itu terasa lebih moderat. Bila bahasa Inggris digunakan di selu
ruh dunia dengan sekian banyak aksen lokal. dan yang beraksen itu tak le
bih rendah daripada Oxford English, begitu pula seni global sekarang —art
with an accent,kzte kurator-kritikus indonesiajim Supangkat.11
Pusat-pusat lama niembuka diri, sejalan dengan perubahan kondisi ka-
pitalisme global. Dahulu sang pusat niengambil bahan mentah dari wilayah
pinggiran, mengolahnya menjadi produk akliir dan melemparkannya kem
bali ke seluruh dunia; kini (sebagian) wilayah pinggiran bisa mendesakkan
produk akhir, dari pakaian sampai komputer, ke wilayah pusat. Bersama
arus barang-barang itu, kuasa simbolik juga menuntut kesetimbangan baru,
tata baru.
Saya pernah mengatakan bahwa pluralisme pada dasarnya adalah prinsip
yang dijalankan industri, khususnya industri kebudayaan.12 Keseragaman
bukan hanya menjenuhkan pasar, tetapi juga mematikan daya cipta industri
itu sendiri. Penghormatan kepada potensi lokal di seluruh buana adalah ja
lan nienuju pemanfaatan dan komodifikasinya. Hal ini berlaku dalam pel-
10 Hou Hanru, "Out of the Centre," dalam On the Mid-Ground, Yu Hsiao-Hwei, ed.,
(Hongkong:Timezone 8,2002), 40-53. \
1' Jim Supangkat, "Art with AnAccent," dalam Interpellations, katalog pameran CP Open
Bieannale 2003 di Jakarta.
12 Nirwan Dewanto, "InternasionaHsme Baru, Kelisanan Baru," Catatan Akhir Tahun
Dunia dan Kita, Kompas, 20 Desember 2003.
22 kalam 22
•- :
kalam 22
23
NIRWAN DEWANTO
arus dari pinggiran ke pinggiran. Berkat merekalah, seni rupa kita bisa
membandingkan diri dengan, dan menyerap, khazanah-khazanah Thailand,
Filipina, dan Cina misalnya—perkara yang niskala di bidang sastra.
Apa yang ditanipilkan para kurator di medan internasional pada dasar
nya adalah pembacaan jauh terhadap khazanah nasional masing-masing-
pembacaan-kritis menurut mereka, tetapi bolehlah kita sebut sejenis smdi
budaya: pembeberan akan suatu latar yang pernah dibaku-bekukan oleh
orientalisme, yang diseret-miskinkan oleh modernisme, dan yang kini hen
dak menampilkan subversi terhadap sistem dunia.
Paradigma semacam ini menjalar jauh ke dalam ranah penciptaan seni:
seniman memberlakukan sejenis hermeneutika kecurigaan terhadap sejarah
kesenian, medium seni, fungsi seni, dan institusi penebar seni. Penciptaan
menjadi kritik budaya, pergulatan dengan bentuk tergantikan oleh strategi
pempaan, dan media seni adalah apa pun yang cngkau niatkan dengan konsep
sebagai barang seni.
Apabila kita kehilangan kritik seni (yaitu pembacaan dekat) dan men-
dapatkan studi budaya (yaitu pembacaan jauh), barangkali saja kita hams
bersiap kehilangan keindahan dan keharuan. Apabila anda masuk ke ruang
pameran terkini/'dan anda menemukan onggokan sanipah atau pesta nia-
kan malam yang awut-awutan di sana, percayalah bahwa itti senitia adalah
karya seni atau peristiwa seni, karena senimannya adalah pengusung wacana
yang piawai.
Gambaran karikatural ini hanya hendak menegaskan bahwa betapa seni
rupa dihantui oleh materialitas. Bila seni rupa modern adalah seni yang
mencari esensi melalui medium rupa dan mencapainya dengan modern
isme tinggi, maka seni rupa kontemporer menyangkal esensi tersebut de
ngan cara meleburkan diri ke medium apa pun. menjadi "realitas". Dunia
sastra tak mengalami perkara ini: betapapun berubah definisi tentang sastra,
realitas yang hendak dinyatakannya tetaplah berada di dalam rumah penjara
bahasa, bukan di luarnya.
Selaku pluralis, para kurator kini boleh berkata bahwa sistem penilaian
universal sudah goyah, kalau bukan tumbang. Jika demikian halnya, ba
gaimana kita melakukan penilaian? Apakah saya tidak bisa lagi melakukan
pembacaan dekat terhadap sebuah lukisan atau sebuah patung karena de
ngan demikian saya masuk ke jaringan kuasa modernis? Apakah sebuah
karya instalasi atau multimedia hanya layak dibicarakan sejauh ia dikaitkan
_. kalam 22
24
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
kalam 22 25
NIRWAN DEWANTO
26 kalam 22
. PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
15 Efrain Kristal, '"Considering Coldly . . .': A Response to Franco Moretti", New Left
Review 15, Mei-Juni 2002. Selanjutnya ditulis '"Considering Coldly . . .':A Response
to Franco Moretti".
16 Gerald Martin: . . . since the 1960s many of the most important uniters—halo Calvino,
Milan Kundera, Salman Rushdie, Umberto Eco—have had to become 'Latin American' novel
ist. Dikutip dari '"Considering Coldly ...'"
kalam 22 27
NIRWAN DEWANTO
28 kalam 22
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
peneliriannya: dia bahkan sekadar terpesona kepada nama dan jargon yang
sedang ngetren, tanpa memahami politik global yang telah menapis, mengu-
kuhkan, dan menyebarkan segenap amalan teori itu. Sebaliknya pula, dia
bisa dikatakan berpolitik—misalnya saja untuk meraih posisi tertentu da
lam ruang publik—dalam mendekati obyeknya tanpa melakukan pemba
caan dekat maupun pembacaan jauh.
Namun, kegandrungan pada karya sastra tak dengan sendirinya meng-
hasilkan pembacaan dekat dan penggunaan teori yang mustahak. Tengok-
lah, misalnya, sebuah pandangan yang menuntut sastra kita menjadi sastra
besar, sejenis "teknologi sosial" untuk "niengorganisasikan pengalaman dan
menstrukturkan dunia."17 Memimpikan sastra menjadi sejenis sastra epik
dari zaman lampau atau sastra kanonik dalam kliazanah dunia hari ini, pan
dangan ini mengais-ngais isi di balik bentuk. Sayang sekali yang ditemu-
kannya di balik "bahasa yang menari-nari" hanyalah sejenis kekosongan
dan kekacauan. Sebab ia hanya melakukan pembacaan jauh terhadap teks
sastra: baginya metafor menjadi denotasi, interpretasi menjadi prasangka,
dan struktur menjadi esensi.
Sementara itu, bila dengan pembacaan dekat kita menemukan, misalnya,
dialogized heteroglossia dalam Saman, atau hesitation effect dan allegory of reading
dalam Cala Ibi, niscayalah itu tak berarti kedua novelis mengamalkan teori
sastra dengan sadar dalam karya mereka. Bagi saya, ini hanya membuktikan
bahwa penulisan secara alamiah tak mungkin lagi. Menulis adalah bermain
dan bertarung dengan, dan memilih, bentuk dan perspektif yang datang
bersama—dan bereaksi kepada—aliran modal, barang dan jasa sedunia.
Novel-novel itu tak bisa "dijelaskan" dengan bekal sejarah susastra Indone
sia maupun "teori yang berpijak di bumi sendiri."
Sampai di titik ini semogajelaslah bahwa dunia berada di kampung ha
laman kita sendiri. Membiarkan ia bekerja secara otomatis, "alamiah", ada
lah menjadikan pandangan mereka menentukan kebutuhan kita—atau
menjadikan pilihan mereka sebagai kehendak universal.18 Namun, me-
nyangkal dunia (dan nienjadikan kampung halaman kita sebagai antipoda-
17
Baca Nirwan Ahmad Arsuka, "Nalar Indra dan NalarrDunia: Krisis Penciptaan Sastra,"
Lembaran Bentara, Kompas, 5 Mei 2004.
18
Dalam "Anglo-Globalism," Arac juga mengkhawatirkan "the unavowed imperialism of
English; the diminishment of language-based criticism in favour of a monolingual master
scheme."
kalam 22 29
NIRWAN DEWANTO
3Q kalam 22
I
PEMBACAAN DEKAT ATAU JAUH?
19 "Tlie point is that there is no otherjustification for the study ofworld literature (andfor the ex
istence ofdepartments ofcomparative literature) but this: to be a thorn in the side, apermanent
intellectual challenge to the national literatures—especially the local literature. Ifcomparative lit
erature is not this, it's nothing." Lihat "Conjectures on World Literature."
kalam 22 31
e . . .. i -
NIRWAN DEWANTO
-- kalam 22
1 ' a-" -
LISABONA RAHMAN
. .. Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan
sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi penger-
tian. Lalu ia mcngambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga
kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun mema-
kannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka
telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat
" (Kejadian,Bab3:6-7).
LEBIH dari enam tahun setelih novel Saman (penulisnya sendiri me-
nyebutnya sebagai fiagmen) memenangi Sayembara Roman Dewan
Kesenian Jakarta, perdebatan mengenainya masih tetap berjalan. Perdebatan
ini tenm saja tidak secara khusus berkisar pada Saman, tapi meluas ke karya
tulis perempuan lainnya yang dianggap menggambarkan seks secara ekspli-
sit. Sejumlah perdebatan moral dan pembelaan teoritis telah berlangsung di
media massa untuk menilai karya-karya perempuan penulis tersebut. Per
debatan ini kemudian membuat si penulis—bukan karyanya—menjadi ob
yek pembahasan di mang-mang kritik sastra, bahkan dalam acara gosip di
televisi.
Akan tetapi penggambaran hubungan seksual dan seksualitas oleh penu
lis perempuan yang menjadi inti utama perdebatan ini justru tidak menda-
pat pembahasan yang lebih mendalam. Untuk melihat gagasan yang dita-
warkan penulis tentang pengalaman seksual perempuan, ada dua hal yang
akan saya bahas dalam tulisan ini: bagaimana penulis menampilkan hu
bungan heteroseksual dan bagaimana perempuan mengenal (atau diperke-
nalkan kepada) mbuhnya. Dalam tulisan ini saya memilih sam karya, Saman
(terbit 1998), dan membandingkannya dengan karya penulis Amerika Seri-
kalam 22 33
LISABONA RAHMAN
1
kat Erica Jong, Fear of Flying (terbit 1973).' Ketika Fear of Flying terbit -di
AS, Erica Jong juga mendapat kritik berkaitan dengan nioralitas karena
gambaran seks yang ia •tampilkan dalam novelnya. Kedua karya ini saya pilih
bukan karena pertimbangan mutu yang jauh lebih baik daripada karya-
karya perempuan lain yang mengangkat masalah seks dan seksualitas, juga
bukan karena saya anggap sebagai panutan dari karya sastra perempuan
yang menyoal masalah serupa, akan tetapi lebih karena kemiripan kondisi
dan tanggapan yang bermunculan saat kedua karya tersebut diterbitkan.
Dengan menyebut adanya kemiripan, saya juga tidak sedang menyamakan
karena kedua karya im terbit pada kurun yang jauh terpaut dan dalam
kondisi budaya yang berbeda pula.
Tanggapan terhadap tulisan mereka mirip penghakiman atas Eva, pe-
renipuan yang niencuri buah pohon pengetahuan.2 Analogi ini saya guna-
kan untuk niemperlihatkan bagaimana perempuan memulai pembicaraan
tentang seks (kelamin) dan seksualitas (kecenderungan seksual)-nya,3 sesua-
m yang menjadi tabu masyarakat (patriarkal). Di niana banyak larangan, di
situ berseniayam kebenaran, kata Nietzsche. Tenmnya kita bisa berdebat
1 Saman adalah bagian pertama dari bilogi Saman - Lanmg (2001) dan Fear of Flying
bagian dari trilogi Fear ofFlying - How to Save Your Own Life (1977) - Parachutes and
Kisses (1984).
2 Dalam Injil dia disebut Eva, sementara dalam al-Qur'an dia disebut Hawa. Buah yang
dicuri (tepamya diambil dan dimakan, dan itu menyalahi larangan Tuhan) dalam teks
Islam disebut khuldi, sementara dalam teks Injil berbahasa Inggris disebut apel.
Kebenaran bahwa Adam adalah manusia pertama dan Eva—perempuan pertama—
diciptakan dari rusuk Adam dipertanyakan oleh para feminis (lihat misalnya Enid
Dame dkk. ed., Which Lilith? Feminist Writers Re-create the World's First Woman,
Northvale, NJ: Jason Aronson, 1998). Mereka menyatakan bahwa Lilith adalah perem
puan pertama, diciptakan bersama dan sejajar dengan Adam. Karena tidak mau tun-
duk pada Adam, dia diusir Adam dari firdaus kemudian menjadi tokoh jahat, seorang
iblis perempuan dalam mitologi Eropa, misalnya dalam komik Garth. Adam meminta
teman perempuan kepada Tuhan. Maka, disulaplah tulang rusuk Adam menjadi
Hawa.
3 Seks menunjuk pada keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin jantan (male)
atau betina (female). Sedangkan seksualitas adalah proses sosial yang menciptakan,
mengatur, dan mengekspresikan serta mengarahkan hasrat [seksual]. Lihat Maggie
Humm, Ensiklopedia Feminisms, penerjemah Mundi Rahayu (Yogyakarta: Fajar Pus-
taka Baru, 2002), 432-434.
34 kalam 22
TRAGEDI BUAH APEL
kalam 22 35
LISABONA RAHMAN
4 Rachel DuPlessis, "For the Etruscans" dalam Elaine Showalter, ed., Tlie New Feminist
Criticism: Essays on Women, Literature and Theory (London: Virago Press, 1989).
Selanjutnya ditulis The New Feminist Criticism.
36 kalam 22
TRAGEDI BUAH APEL
perbedaan antara estetika ini dan roman yang berstrukmr linier, kompak,
terpusat; di mana pengarang berada dalam posisi pengamat dan pencerita,
pemegang kuasa utama untuk mendefinisikan narasi. Pencerita dalam Sa
man terns berganti-ganti, kadang Laila^ Shakuntala, atau WLsanggeni/Saman.
Sementara itu, jauh berbeda dengan kemmitan narasi banyak karakter
Saman, Fear ofFlying adalah narasi tunggal Isadora yang bukan saja mence-
ritakan peristiwa, tapi juga dialog dalam dirinya sendiri. Pilihan ini mempa
kan semangat zaman yang melanda gerakan perempuan AS saat itu, bahwa
perempuan hams bersuara dan mengemukakan perasaan, ingatan dan fan-
tasi seksualnya. Fear ofFlying adalah "suara generasi baru perempuan muda
yang murka, dalam bahasa lisan yang tak kenal kejinakan"5 yang muncul sa
tu masa dengan gelombang pertama gerakan perempuan di AS. Karya-kar
ya pengarang feminis AS pada periode ini banyak mengambil benmk bio
grafi atau kuasi-biografi. Fear of Flying adalah novel kuasi-biografi, suatu
benmk yang sangat banyak digunakan oleh penulis perempuan, di mana
tokoh utama umumnya menampilkan diri sebagai si pengarang. Tokoh Isa
dora adalah seorang penulis seperti Erica Jong, sebuah pilihan yang me-
mungkinkan dia membahas pengalaman dan kegelisahan perempuan yang
menjalani profesi ini. Benmk biografi atau kuasi-biografi digunakan para
penulis perempuan untuk mengambil peran subyek dan menyuarakan diri
nya, sambil menipermasalahkan realitas dan kerja perempuan. Dengan
menjadi subyek pencerita dan menerbitkan karyanya perempuan tidak ha
nya menerima monopoli penggambaran oleh laki-laki, tapi menawarkan
gambarannya sendiri.
Saman dibuka dengan sebuah pertanyaan atas siapa yang memberi nama
benda-benda. Secara keseluruhan novel ini terus mengajukan pertanyaan
tersebut: bahwa kuasa laki-laki boleh menamai benda-benda dan keadaan,
sementara kuasa perempuan tidak. Jsadora pun sering gagal menempatkan
dirinya saat bicara dengan Adrian, atau merasa begitu gusar karena setiap
psikiater yang ia temui selalu bersikeras menamai permasalahannya dengan
referensi Freudian, meskipun nienumtnya im salah sama sekali. Dalam taf-
siran kritik sastra feminis, kepengarangan disimbolkan dengan pena (yang
mirip penis) dan terkait erat dengan kekuasaan sehingga dengan begitu da-
5 Elaine Showalter, "Killing the Angel in the House: The Autonomy of Women Writ
ers" dalam Antioch Revieiv Vol. 32, No. 3 (Musim Gugur 1972).
kalam 22 37
LISABONA RAHMAN
'' Penelitian bertajuk The Madwoman in the Attic yang dilakukan pada 1979 ini dikutip
dalam Tlie New Feminist Criticism, 6.
Wendy Wall,"Our Bodies/Our Texts? Renaissance Women and the Trials ofAuthor
ship" dalam CarolJ. Singley dan Susan Elizabeth Sweeney, ed., Anxious Power: Reading,
Writing and Ambivalence in Narrative by Women (Albany: State University of New York
Press, la93), 51-52.
Kontroversi mengenai tiga saudara perempuan ini dibahas, misalnya, dalam buku
Lucasta Miller, The Bronte Myth (London: Vintage, 2002).
38 kalam 22
• ' TRAGEDI BUAH APEL
kalam 22 39
t=- -
LISABONA RAHMAN
adalah sesuatu yang politis, penuh tawar-menawar sosial, dan munafik. Laila
mempertanyakan legitimasi perkawinan atas hubungan seksual, sehingga
hanya orang yang sudah menikah yang layak mempunyai kebutuhan seksu
al seperti kata Sihar,". . . orang yang sudah kawin tidak bisa tidak begitu"
dan seperti menyimpulkan " Sebab saya belum kawin, sehingga tak ha
ms begitu. Meski sebetulnya saya terlalu rindu." (6). Sementara Isadora
White Wing menyadari bahwa kebumhan seksual perempuan tidak bisa
diselesaikan dengan perkawinan,
What was it about marriage anyway? Even if you loved your husband,
there came that inevitable year when fucking him turned as bland as Velveeta
cheese: filling, fattening even, but no thrill to the taste buds, no bittersweet
edge, no danger. And you longed for an overripe Camembert, a rare goat
cheese: luscious, creamy, cloven-hoofed.
.... But what about all those other longings which after a while marriage did noth
ing to appease? The restlessness, the hunger, the thump in the gut, the thump in the
cunt, the longing to be filled up . . .
(Ada apa sih sebetulnya dengan perkawinan? Kalaupun kau mencintai su-
aminiu, lantas ada tahun-tahun yang tak terhindarkan saat bersetubuh dengan-
nya terasa sehambar keju Velveeta: mengenyangkan, bahkan menggemukkan,
tapi tak mengasyikkan buat bintil-bintil pengecap, tak ada sisi yang pahit-ma-
nis, tak ada bahayanya. Dan kau merindukan keju Camembert yang sudah ke-
lewat ranum, keju susu kambing yang langka: sensual, kental, dengan retakan-
retakan kasar.
.... Tapi bagaimana dengan semua keinginan lain yang tak mampu lagi di-
jinakkan oleh perkawinan setelah sekian lama? Gelisah, dahaga, gejolak di perut dan
vagina, keinginan akan sesuatu yang mengisimu penuh-selumh . ..) (16-11. Beda tipe
humftegak dan miring sesuai aslinya.)
40 kalam 22
7T~"r— *«.-
'' Erica Jong mengungkapkan kemarahan dan frustrasi mengenai cara pandang laki-laki
terhadap perempuan dengan lebih tegas dalam Fanny (1980). Ia menulis bahwa laki-
laki selalu melihat perempuan secara dikotomis: Alas, Belinda, most Men can only see us
either as the Embodiment of Virtue or the Embodiment ofVice; either as Bluestockings or un
learned painted Wlwrc; cither as Trollops or as Spinters; as Wives or Wantons; as Good Widows
or Bad Witches. But try to tell 'em, as I have, that a Woman is made of Sweets and Bitters, that
she is both Reason and Rump, both Wit and Wantonness—and you will butt your Head
against a stone Wall! Ttiey'll have it one Way or the other! Be clever, if you must, and forfeit
Reputation for Beauty and Sensuality, as well as all Pleasures of the Flesh. Or have your Plea
sures and your Loves—and in their Minds you'll always be a Witless Whore! ("Sial, Belinda,
kebanyakan Lelaki cuma melihat kita sebagai Penubuhan Moral atau Penubuhan Do-
sa; sebagai nona-nona berpendidikan atau pelacur buta huruf; atau sebagai Lonte atau
PerawanTua; Istri atau Jalang; Janda yang Baik atau Penyihirjahat. Tapi coba katakan
pada mereka, seperti yang kulakukan, bahwa Perempuan terdiri dari Yang Manis dan
Yang Pahit, bahwa perempuan adalah Pikir sekaligus Kelamin, Cerdas sekaligus Ja
lang;—dan akan kau benturkan kepalamu pada Dinding batu! Mereka hanya akan
memilih Salah Satu, dan tidak sekaligus dengan yang lainnya. Jadilah anak pintar, kalau
memang itu maumu, dan gadaikan reputasi Kecantikan dan Sensualitas, juga segala
Kenikmatan Badani. Atau pilihlah Kenikmatan dan Cintamu—dan dalam Pikiran
mereka kau akan selalu menjadi siJalang Berotak Udang!")
kalam 22 41
•*=i
LlSABONA RAHMAN
Masters and Johnsons charts and number and flashing lights and plastic pricks
tell us everything about sex and nodiing about it. Because sex is all in the head.
Pulse rates and secretions have nothing to do with it.Thats why all the best-selling
sex manuals are such gyps.They teach people how to ruck with their pelvises, not
with their heads.
(Peringkat dan angka-angka dari Masters dan Johnson serta senter dan
kontol plastik memberi tahu kita segala sesuatu tentang seks, sekaligus tak me
ngatakan apa-apa. Karena seks sepenuhnya berada dalam kepala.Tak ada hu-
bungannya dengan denyut nadi dan cairan tubuh. Itu sebabnya segala petun-
juk seks terlaris sekalipun cuma tipu-tipu. Mereka mengajar orang bersetubuh
dengan pinggul, bukan dengan kepala) (40).
Saman,
Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme
jika membayangkan kaniu. Aku orgasme karena keseluruhanmu (196).
kalam 22
42
I
TRAGEDI BUAH APEL
kalam 22 43
^ *!Z
LISABONA RAHMAN
Di sini, di kota ini, malam hari ia [Ayali, pen.] mengikatku padi tempat tidur
dan memberi aku dua pelajaran pertaniaku tentang cinta Pertama. Hanya laki-
laki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki
pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang
pantas, lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan.
Kelak, ketika dewasa aku menganggapnya persundalan yang hipokrit (120-121).
... ibuku membuka satu rahasia besar: bahwa aku ini ternyata sebuah por-
selin cina .. . mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya
ke tempat sampah .... Kemudian hari kutahu, dan aku agak kecewa, bahwa
ternyata bukan cuma aku saja yang istimewa. Semua anak perempuan sama
saja .... Sedangkan anak laki-laki? Mereka adalah gading: tak ada yang tak re
tak. Kelak, ketika dewasa, kutahu mereka juga daging.
Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan
kau cuma punya satu saja, seperti hidung. Karena itu jangan pernali diberikan sebe-
•
44 kalam 22
-r—t >._. -J ^.-
Perhaps sex accounted for my fury. Perhaps sex was the real Pandora's
box. My mother believed in free love, in dancing naked .. . .Yet of course,
she did not, or why did she say that boys wouldn't respect me unless I
'played hard to get'?
I never had the courage to ask my mother directly. I sensed, despite her
bohemian talk, that she disapproved of sex, that it was basically unmen
tionable.
.... Basically, I think, I was furious with my mother for not teaching
me how to be a woman, for not teaching me how to make peace between
the raging hunger in my cunt and the hunger in my head.
kalam 22 45
LISABONA RAHMAN
46 kalam 22
TRAGEDI BUAH APEL
yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga hari di selokan pasar desa/
Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu
aku memikirkannya (Taufiq Ismail, 2003).I0
Saman pertama kali diterbitkan bersama oleh Jurnal Kalam dan Kepus-
takaan Populer Gramedia pada bulan April 1998. Sejak im Saman menga-
lami cetak ulang berkali-kali. Lhngga Maret 2004, Saman telah dicetak
ulang 23 kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Popularitas kar
ya ini antara lain berkaitan dengan keberhasilannya menempati posisi pe-
nienang pertama dalam Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun
1998. Pencetakan ulang karya ini mempakan salah sam isyarat bahwa karya
ini diminati oleh masyarakat. Fear ofFlying di sisi lain, terjual jutaan eksem-
plar dan menjadi salah sam buku terlaris nasional. Novel ini diterbitkan
oleh Holt, Rinehart and Winston sebuah perusahaan penerbitan besar di
AS, sesuatu yang pada 1973 dianggap penting mengingat karya perempuan
dengan tema seksual jarang mendapat kesempatan dari perusahaan-pemsa-
haan penerbitan yang penting di negara tersebut." Buku ini tetap meng-
alami cetak ulang hingga saat ini, 31 tahun setelah pertama kali terbit, sebu
ah bukti bahwa niinat pembaca terhadap buku ini tetap besar.
Baik Saman maupun Fear ofFlying adalah karya yang sangat berhasil dari
segi pemasaran, akan tetapi keduanya memicu reaksi penolakan di media
massa karena mengangkat masalah seks. Penulis perempuan dianggap telah
menguak aib dan merendahkan diri mereka sendiri melalui ungkapan seks
yang vulgar. Anggapan "menguak aib" nienunjukkan bahwa yang disebut
"aib" itu memang ada, tapi disembunyikan. Seperti telah saya sebutkan pa
da awal tulisan ini, pembahasan mengenai seks mendapat perlakuan yang
berbeda ketika berada pada ruang publik, dalam hal ini ketika ia menjadi
bentuk publisitas. Sebagai contoh, di Indonesia pada 1980-an sebuah buku
pendidikan seks unmk anak-anak berjudul Adik Baru dinyatakan terlarang
10 Dikutip dari pembukaan tulisan Juniarso Bidwan di Pikiran Rakyat, 8 Januari 2004.
Kutipan ini sama sekali tidak mewakili pernyataan keseluruhan tulisan yang menge-
mukakan berbagai argumentasi tentang pentingnya ekspresi seksualitas perempuan
sebagai salah satu bagian emansipasi sosial.
1' Susan Rubin Suleiman mengutip Shere Hite dalam Subversive Intent: Gender, Politics,
and the Avant-Garde (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 121; selanjutnya di-
uilis Subversive. Intent.
kalam 22 47
LISABONA RAHMAN
dan ditarik dari peredaran karena dianggap vulgar. Reaksi ini menunjuk
kan ketidakmampuan institusi politik dan budaya untuk nienibedakan ma
na karya cabul dan mana yang bukan, serta tidak bisa menempatkan seks
sebagai bagian dari realitas masyarakat.
Medy Lukito menyajikan hasil survei kecilnya unmk melihat tanggapan
terhadap "sastra seksual" dengan materi utama lima novei yang ditulis oleh
perempuan, termasuk Saman.u Ia mengutip seorang responden perempuan
yang menyatakan rasa malunya ketika membaca karya penulis perempuan
yang terasa seperti meneranjangi diri sendiri (136). Melalui artikelnya ia
mempertanyakan tanggung jawab moral dan etika para perempuan penulis
karena "penjabaran seksualitas secara vulgar" (138) dapat menyesatkan ka-
um muda. Komentar Medy Lukito mendapat tanggapan dari Bonardo
Maulana W13 yang mempertanyakan argumentasi moral yang digunakan
Medy dalani studinya. Bagi Bonardo, argumentasi moral (Medy menggu
nakan pidato Pans Yohanes Paulus II) Medy mempakan tanda bahwa ia
mengabsahkan kebenaran dominan yang selama ini dipertahankan oleh
institusi agama yang patriarkal. Pilihan Medy untuk menggunakan pidato
Paus dalam artikel yang ia buka dengan "tinjauan feminisme" memang me
nunjukkan ambivalensi kritiknya. Ia juga tidak memberi sebuah kesim-
pulan pada artikelnya dan sepenuhnya mendasarkan pendapatnya pada ku-
tipan survei dan literatur seliingga pendapatnya sendiri tidak muncul begim
kuat, dan hanya terliliat dari kutipan-kutipan yang ia pilih.
Medy juga mempertanyakan mutti karya sastra para penulis perem
puan ini karena penggunaan bahasa yang terbuka belum tentu "men
dukung nilai sastra suatu karya" (135). Pernyataan ini menyarankan
bahwa ada "bahasa tertutup" yang harus digunakan untuk mendukung
nilai sastra suatu karya. Sunaryono Basuki Ks. dalam artikelnya "Seks,
Sastra, Kita" juga meragukan mutti karya perempuan dan lebih jauh la
gi mempertanyakan mengapa para penulis ini memilih seks sebagai
tema dan bukan "eksplorasi obyek-obyek kemasyarakatan lain yang le
bih mendesak untuk diatasi".14 Aquarini P. Prabasmoro15 menanggapi
12 Medy Lukito, "Perempuan & Sastra Seksual", dalam Ahmadun Yosi Herfanda el al.
ed., Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta (Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta dan Penerbit Bentang, 2003).
13 Bonardo Maulana W,"Miopia Si JuruTafsir", Koran Tempo Minggu, 11 Januari 2004.
48 kalam 22
S '- ±_>_ - -EZ
14
Sunaryono Basuki Ks,"Seks, Sastra, Kita", Kompas Minggu, 4 April 2004.
15
Aquarini R Prabasmorc, "Membaca (lagi) Seksualitas Perempuan", Media Indonesia
Minggu, 9 Mei 2004.
16
Susan Sontag, "The Pornographic Imagination" dalam Styles of Radical Will (New
York: Dell Publishing, 1969).
17
Sampai kini masih berlangsung perdebatan antara feminis yang pro dan kontra pornografi.
Argumentasi feminis kontra pornografi menyatakan keberatannya atas potensi eksploitasi
perempuan, sementara yang pro pornografi menganggap bahwa pornografi pun mempa
kan suatu wilayah perebutan yang memungkinkan perempuan menyatakan diri dan seksu-
alitasnya. Salah satu contoh perdebatan ini dapat dilihat dalam polemik antara Consuelo
kalam 22 49
LISABONA RAHMAN
M. Concepcion dan Alisa L. Carse di jumal fikafat HypathiaVol. 14, no. 1 (Musim Dingin
1999). Perdebatan mereka berkisar pada masalah definisi subordinasi perempuan dalam por
nografi yang tidak mungkin ditangkal atau dimusnahkan dengan membuat produk hukum
anti-pornografi. Hukum anti-pornografi membuka kemungkinan pemberangusan kebe-
basan ekspresi dan pilihan seksual (dalam konteks perjuangan persamaan hak perempuan)
dalam erotika lesbian, sastra yang eksplisit secara seksual ataupun pamflet-pamflet protes,jika
ditentukan oleh pejabat pemerintah yang tidak peka akan tujuan dan gagasan feminis.
50 kalam 22
' ' TRAGEDI BUAH APEL
18 Charlotte Templin membahas kritik terhadap Erica Jong di media massa yang
ditulisnya dalam buku The Politics ofLiterary Reputation: The Case ofEricaJong (Kansas:
University of Kansas Press, 1995).
19 Pernyataan Kazin dikutip dalam artikel Laura Miller di koran New York Times, 1Juni
2003.
20 Kompas Minggu, 5 April 1998.
21 Kompas Minggu, 12 April 1998.
kalam 22 51
•>£ •:
LISABONA RAHMAN
22 Rosalind Coward, "Are Women's Novels Feminist Novels?" dalam The Neu> Feminist
Criticism, 232-234.
52 kalam 22
--._-.- • ——~^—^?~
Mencuri, membongkar
"One has to steal?" says Eve."Doing that makes me feel guilty. I don't like it."
"But precisely," I say, "all my authors like being guilty. What one wants," I
say, slowly beating about the bush,"is the fault."
23
Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), 10.
kalam 22 53
_•--•<••
LISABONA RAHMAN
Meskipun jarak waktu antara 'terbitnya Fear of Flying dan Saman terpaut
hampir sam generasi, pun ada perbedaan konteks budaya penciptaan dan
tanggapannya; menarik unmk melihat bahwa kreativitas kedua pengarang
perempuan ini mendapatkan tanggapan yang hampir serupa. Karya Erica
Jong dan perjuangan perempuan bisa jadi telah mengilhami Ayu Utami
dan generasinya (yang juga adalah generasi saya). Akan tetapi, dalam Fear of
Flying permasalahan perempuan yang diangkat berkisar pada masalah
seksualitas individu, sementara dalam Saman permasalahannya terletak pada
konstruksi seksualitas oleh kuasa politik, budaya, dan agama. Konteks terbit
nya Saman pada 1998 saat gerakan sosial di Indonesia nienguat dan konteks
terbitnya Fear of Flying pada masa gelombang pertama gerakan perempuan
di AS, saat para penulis perempuan (baik fiksi maupun nonfiksi) banyak
menulis tentang seksualitas perempuan sebagai usaha mendefinisikan "apa
yang dirasakan perempuan secara seksual" (Subversive Intent, 120) bisa men-
jelaskan perbedaan antara keduanya.
Keistimewaan kedua pengarang bukan terletak pada penciptaan bahasa
maupun bentuk bam, melainkan pada pengguiiaan dan pemberian definisi
baru pada kata-kata dan struktur yang sudah ada. EricaJong dan Ayu Uta
mi mencuri kata-kata vulgar dari tatanannya dan menggunakannya untuk
balik menyatakan sesuatu pada tatanan narasi niaskulin yang sudah mapan.
Mereka berdua tentunya menyadari rambu-rambu sosial yang ada saat me
milih tenia dan nienuliskannya, akan tetapi bersikeras melakukannya de
ngan kesadaran penuh. Saman maupun Fear of Flying barangkali adalah bu
ah apel yang telah membukakan mata dan menjadi inspirasi buat penga-
rang-pengarang setelahnya dan sekaligus menjadi contoh buruk karena te
lah mempermainkan batas-batas tabu.Tetapi cukup jelas bahwa karya me
reka telah membuat tatanan yang ada hams menata ulang batas-batasnya
untuk membuka mang-mang lain, yang sebelumnya terlarang bagi penga
rang perempuan, sambil barangkali membangun dinding-dinding penyekat
baru. ..
24 Diambil dari bank data Autodafe (Musim Gugur 2000), dari situs www.autodafe.org.
54 kalam 22
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG
AMBIVALENSI NARATIF
DAN TRANSISI SOSIAL
Lady Chatterley's Lover dan The Satanic Verses
menganggap karya tersebut tidak pantas dan tidak sesuai dengan sistem
nilai segmen tertentu masyarakat pembacanya.Wujud penentangan berkisar
dari protes di media massa, demonstrasi massa, sampai tindak penyensoran
atau penghambatan peredaran kedua buku itu oleh pihak-pihak yang
berwenang. LCL dilarang terbit selama 30 tahun di Inggris dan TSV
menyebabkan pelarangan beredarnya buku tersebut di beberapa negara,
aksi masyarakat yang nienentang terbitnya buku im, serta jatuhnya fatwa
mati atas pengarangnya oleh pemimpin Revolusi Iran Ayatollah Khomeini.
Namun, di lain pihak, ada kelompok tandingannya, termasuk tenm saja
penerbit Penguin, yang membela habis-habisan hak edar kedua karya
tersebut.
Secara logis karya-karya kontroversial memiliki ciri-ciri tematis dan
naratologis yang dianggap kontra-produktif bagi sistem ekonomi politik
yang berlaku—sebagaimana misalnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer,
atau LCL yang dinilai menyajikan materi yang tidak sesuai dengan cita rasa
umum, atau TSF yang dituduh mengliina akidah keislaman arus utama.
TSV dalam kerangka wacana dominan yang mengitarinya tidaklah jauh
berbeda dari LCL, bukan saja karena keduanya diterbitkan oleh Penguin,
melainkan juga karena suara yang tampil dalam narasi masing-masing jelas
bernada dasar Barat pasca-Renaisans/Pencerahan. I^edanya, dalani kasus
TSV, kontroversi yang terjadi lebih rumit karena melampaui batas-batas
wacana Barat dan melibatkan isu-isu yang muncul akibat kondisi (pas-
ca-)kolonial.
Berkaitan dengan kontroversi yang terutama menyangkut TSVf Said
mencatat bahwa "hanya sebagian kecil yang benar-benar membahas buku
im sendiri; baik yang menentangnya maupun menganjurkan pembakaran
buku itu serta menghukum mati pengarangnya, menolak membacanya, se
mentara mereka yang mendukung kebebasan menulis bagi pengarangnya
hanya berargumentasi tentang hak [bukan kandungan bukunyaj".1 Me-
mang demikianlah adanya: tokoh-tokoh utama yang secara publik menge-
cam karya ini mengaku tidak membaca karya tersebut. Syed Shahabuddin,
seorang anggota parlemen India dari Partai Janata (yang pada waktu im
mempakan partai oposisi), dalani tulisannya di Times of India, 13 Oktober
1 Edward W. Said, ed., Literature and Society (Baltimore:Johns Hopkins University Press,
1980), 397.
56 kalam 22
1
-*»- ^ -
1988, berkata: "Betul, saya belum membacanya, saya bahkan tidak berniat
membacanya. Saya merasa tidak perlu capek-capek membaca karya yang
kotor hanya unmk mendapati betapa kotornya karya tersebut."2 Demikian
pula, gejala kontroversi seputar LCL mulai terlihat ketika Lawrence mene-
rima surat dari Nelly Morrison, juru ketiknya, yang menyatakan betapa
novel tersebut membuatnya jijik karena berunsur pornografi. Tanggapan
Lawrence mengenai komentar tersebut: "Meskipun anda berada dalam ku-
bu para malaikat dan mayoritas masyarakat, saya menganggap pendirian
saya sesungguhnya berlandaskan nilai-nilai keluhuran dan keagamaan".3 Di
sini tampak bahwa, walaupun sejak awal sudah ada tentangan pembaca ter
hadap LCL, karya tersebut (juga Lawrence) berada dalam wacana yang sa
ma meski dengan argumentasi berbeda. Maka jelaslah bahwa kontroversi
terjadi bukan antara pihak-pihak yang sama sekali terpisah melainkan dua
bagian dari wilayah yang sama, yaitu kebudayaan Barat pasca-Renaisans/
Pencerahan. Jadi, meskipun (menurut W. H.Auden)4 Lawrence niengkritik
wacana borjuis liberal, ia pun berbicara dengan kerangka kelas menengah
yang"tercerahkan"—hanya saja dalam varian lain.
Demikian pula, pada bagian lain dalani tulisannya yang sama di Times ofIndia,
Syed Shahabuddin memandang kontroversi yang terjadi sebagai berikut:
Dikutip dalam Lisa Appignanesi dan Sara Maitland, ed., The Rushdie File (New York:
Syracuse University Press, 1990), 39. Selanjutnya dituiis The Rushdie File.
Harry T. Moore, D. H. Lawrence: The Man and His Works (Toronto: Forum House
Publishing Company, 1969), 1032. Selanjutnya dituiis D. H. Lawrence. Juga dalam
Keith Sagar, Vie Ufe of D. H. Lawrence: An Illustrated Biography (London: Eyre
Methuen, 1980), 221-222. Selanjutnya dituiis The Life ofD. H. Lawrence.
W. H. Auden, "Some Notes on D. H. Lawrence" dalam W.T. Andrews, ed., Critics on
D. H. Lawrence (London: George, Allen and Unwin, 1971).
kalam 22 57
rr» ry~ wrzr~2—» *-•
Stanley Fish, Is There a Text in This Class? The Authority of Interpretive Communities
(Cambridge: Harvard UP, 1980), 303-321.
58 kalam 22
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL
ada dan beredar—tanpa melupakan bahwa tulisan kami pun berada dalam
sebuah wacana yang terkait dengan kontroversi tersebut. Asumsi awal kami
adalah bahwa adanya (1) ruang senjang yang ambivalen dan ambigu yang
tercipta dari elemen kala dan modus, dan (2) ketidakajegan jarak naratif
yang tercipta antara suara naratif novel dan pembaca tersiratnya niemung-
kinkan novel ditafsirkan ke berbagai kutub kepentingan dan dengan berba
gai cara. Dengan kata lain, ambivalensi, ambiguitas, dan inkonsistensi dapat
membuat sebuah karya menjadi kontroversial, karena bukan saja rentan ter
hadap sensor melainkan juga memungkinkan ditafsir lain bergantung pada
masyarakat penafsirnya.
(Zaman kita adalah zaman ttagis, maka kita menolak menerimanya secara
tragis. Bencana telah terjadi, kita berada di tengah puing-puingnya, kita mulai
membangun tempat tinggal kecil yang baru, memperoleh sedikit harapan
baru. Memang kerja agak berat: kini tidak ada jalan mulus menuju masa de-
pan; tetapi kita berputar-putar, atau bergumul, melampaui rintangan. Kita ha
ms bertahan hidup, betapapun banyaknya langit yang telah runtuh).6
kalam 22 59
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIENAMALIA, LESTARI MANGGONG
The war had brought the roof down over her head. And she had realised that one
must live and learn ("Demikianlah kurang-lebih pendirian Constance
Chatterley. Perang telah meruntuhkan atap rumah yang memayungi kepa-
lanya. Dan ia sadar bahwa orang hams terus hidup dan belajar") (LCL, 5).
Di sini, tampak terjadi dua macam pergeseran dari paragraf pertama ke
paragraf kedua,' Pertama, ada perubahan dalam kala dari kala kini menjadi
kala lampau di paragraf berikutnya. Kedua, terjadi pergeseran dalani fo-
kalisasi pengisahannya. Pada paragraf pertama yang ada adalah fokalisasi-nol
(zero-focalizafion) yang menunjukkan penyajian dunia secara umum. Na
mun, pada paragraf berikutnya fokalisasi menjadi terpaku fixed focalization)
pada Connie yang menjadi titik fokalisasi (focalizer), dan, karena itu, menjadi
semacam epitomi atau wakil bagi situasi yang dibicarakan pada paragraf se-
belumnya. Dalam kerangka tataran strategi naratif Genette, pada titik ini
terjadi pergeseran dari yang awalnya bersifat umum ke pemfokusan pada
salah sam karakter utama dalam novelnya. Baik pergeseran kala maupun
fokalisasinya menunjukkan upaya Lawrence membedakan tataran naratifdi
luar dunia Lady Chatterley, Clifford, dan karakter lainnya dalani novel ter
sebut (kala kini dengan fokalisasi-noi) dan tataran naratif dunia Lady
Chatterley, Clifford, dan karakter lainnya pada LCL (kala lampau dengan
fokalisasi terpaku).
Penataan kerangka luar TSV secara umum meniang problematis ka
rena, lebih daripada LCL, mencampurbaurkan tataran naratif yang ber-
beda-beda, walaupun tidak ada—sebagaimana dalani LCL—narasi yang
menggunakan kala kini. Pembagian bab yang sepertinya merupakan
kerangka luar naratif novel ini disusun sedemikian rupa sehingga tatar
an wacana Farishta sebagai fokalisator utama dengan latar kontemporer
berdampingan secara sejajar dengan tataran wacana Mahound yang me
nurut narasinya sendiri merupakan tokoh dalam mimpi delusif Farishta.
Bahkan, pada bab "Ayesha". kedua tataran ini menjadi tumpang tindih
dan silih-berganti. Kekaburan antara dunia mimpi dan kehidtipan nyata
Gibreel Farishta menciptakan ruang ambigu yang juga mencampur-
adukkan fiksi dengan fakta. Jadi, walaupun Ayesha yang menjadi tokoh
dalani narasi sesungguhnya berada dalani tataran Farishta, ia dapat ditaf-
sir sebagai tokoh yang berada dalam tataran Mahound melalui meto-
nimi paralel. Karena itu pula, situasi semacam itu menjadi semacam
landasan untuk memandang Jahilia—yang dalani novel ini jelas meru-
60 kalam 22
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL
Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method (Ithaca, New York: Cornell
University Press, 1980), 33. Selanjutnya dituiis Narrative Discourse.
kalam 22 zw
-*rT~ - 1
Gilles Deleuze dan Felix Guattari, A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia
(LondonThe Athlone Press, 1988), 192 dan 193.
62 kalam 22
^= r. : *
kalam 22 63
T*—7^—7-j.—r ^r>—: ^-
Yang juga menjadi masalah lebih lanjut adalah bahwa cakupan atau ku-
antitas naratif antara berbagai tataran wacana ini bisa dikatakan seimbang
dan sejajar sehingga batas-batas antara berbagai zaman historis dan tataran
naratif ini pun menjadi kabur. Dengan kata lain, terjadi analepsis yang cu
kup jauh, melampaui sejarah dan geografi wilayah yang sedang menjadi
fokus narasinya—"di luar . . . medan temporal kisah utarrianya" (Narrative
Discourse, 61)—sehingga tampak bahwa narasi semacam ini bukan saja me-
ngisahkan kondisi historis serta imajinasi tentangnya melainkan juga ranah
ideal yang terbentuk unmk memaknai kenyataan material.
54 kalam 22
—I—.. .•••-
Is:
kalam 22 65
—r r*—rrzr
9 Leela Gandhi, Postcolonial'Tlieory: A Critical Introduction (Crows Nest: Allen & Unwin,
1998), 8.
66 kalam 22
1~~^
awal sejarah Islam dianggap relevan dalam narasi tentang situasi pascako
lonial yang melibatkan isu agama dan fanatisme sekalipun hanya relevan ji
ka dipahami relevan, tetapi tidak demikian secara hakiki. Contoh lain da
lam novel ini adalah peristiwa turunnya wahyu diulang dalam novel se
hingga memberi kesan bahwa peristiwa tersebut terjadi lagi. Dengan de
mikian, novel, itu menyediakan ruang dalani narasinya yang menyiratkan
pertentangan dengan akidah Islam yang menyatakan bahwa kenabian ber-
akhir pada Muhammad. Maka, bila tampak dalani novel ini, wahyu ditu-
runkan lagi, tenmnya kisah itu hanya mungkin berkaitan dengan seorang
nabi palsu, yaitu Mahound.
Namun, yang lebih penting daripada im, narasi ini mengulang sesuatu
yang menurut sebagian penafsir dapat dianggap aib bagi umat Islam, meski
oleh sebagian penafsir lain dikatakan sebagai mitos belaka, yaitu kontroversi
di seputar mrunnya "ayat-ayat setan". Dalam Qur'an dikatakan:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak seorang na
bi, melainkan apabila ia memiliki suatu keinginan, syaitan pun mctnasukkan godaan-
godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syai
tan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. . . . Dia menjadikan apa yang
dimasukkan syaitan sebagai cobaan bagi orang-oiang yang hatinya berpenyakit dan
keras. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim benar-benar dalani permusuhan
yang sangat (Quran 23:52-53).
10
F. E. Peters, A Reader on Classical Islam (Princeton: Princeton University Press, 1994),
177-178.
kalam 22 ^j
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSlSI SOSIAL
... not merely to prevent men and women from forming loyalties which it
may not be able to control. Its real, undeclared purpose was to remove all
pleasure from the sexual act. Not love so much as eroticism was the enemy,
inside marriage as well as outside it. The only recognized pupose of marriage
was to beget children for the service of the [collective) ... to kill the sex in
stinct, or, ifit could not be killed, then to distort it and dirty it.
. . . (bukan saja menjaga agar orang tidak membangun kesetiaan pada hal-hal
yang tidak dapat dikendalikannya [negara atati struktur kekuasaan lainnya].Tu-
juannya sesungguhnya yang tak terujarkan adalah menghilangkan kenikmatan
dari kegiatan seksual. Sebenarnya bukannya cinta melainkan erotisismelah
yang menjadi musuhnya, di dalam maupun di luar pernikahan. Satu-satunya
tujuan pernikahan yang diakui adalah untuk berkembang biak sebagai bakti
kepada [masyarakat kolektif] .. .membunuh naluri seks, atau, jika tidak dapat
dibunuh, maka menyelewengkannya dan mengotorinya [cetak miring dan
penulis]) (1984,57).
11 George Orwell, 1984 (New York: Vintage, 1992), 59. Pertama kali terbit pada 1948.
Selanjutnya dituiis 1984.
kalam 22 69
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG
dengan seks. Yang disiratkan Orwell adalah bahwa seks demi seks semata
merupakan hal yang bersifat amat pribadi dan perorangan sehingga seakan-
akan mengancam kese'tiaan terhadap kehidupan bersama, yang stmkturnya,
menurut pandangan Lawrence, Orwell, Huxley, dan Wells ditandai dengan
pemisahan kelas dan kasta. Sebaliknya, seks yang dilakukan dengan tujuan
prokreasi justru' merupakan sumbangsih dan bakti kepada kehidupan
bersama. Karena im, ada usaha menciptakan citra kotor atas seks demi seks
semata.
The mind has an old grovelling fear of the body and the body's potencies.
It is the mind we have to liberate, to civilise on these points .... From fearing
the body, and denying its existence, the advanced young go to the other ex
treme and treat it as a sort of toy to be played with, a slightly nasty toy, but still
you can get some fun out of it, before it lets you down .... I stick to my
book and my position: Life is only bearable when the mind and the body are
in harmony, and there is a natural balance between them,and each has a natu
ral respect for the other. ?
(Benak memiliki rasa takut yang menyedihkan terhadap tubuh dan daya
yang dimiliki tubuh. Benaklah yang harus kita bebaskan, adabkan dalam hal-
70 kalam 22
mi._?:
12 Elizabeth Spelman dikutip Mary K. deShazer dalam Suzanne WJones, Writing the
Woman Artist: Essays on Poetics, Politics, and Portraiture (Philadelphia: University of
Pennsylvania Press, 1991), 284c51.
kalam 22 71
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG
72 kalam 22
~¥^
... [membuat] dirinya amat tertekan danputus asa ... tanpa-cahaya ataupun kedip pa
da tubuh .. menua akibat terl)engkalai dan terabaikan, ya, terabaikan (LCL, 65).
*
kalam 22 73
3—'i. *».
74 kalam 22
-V- - - * -Jg- ••=r-
barkan tokoh Mahound sebagai nabi palsu yang menghuni lapisan neraka
terbawah. Dengan demikian, nama Mahound membangkitkan ingatan pa-
hit bagi umat Islam dalani konteks sejarah konflik Barat dan Islam sejak Pe
rang Salib. Ingatan menjadi semakln menyakitkan dalani konteks sejarah
yang lebih mutakhir, yaim kolonisasi negeri-negeri umat Islam oleh Barat.
Lebih daripada itu, dapat dipahami juga bahwa temtama bagian-bagian
yang menyajikan situasi seksual—baik tersurat maupun tersirat—bukan se
kadar melakukan historisasi atau sekularisasi atas peristiwa-peristiwa yang
dianggap sakral, melainkan juga menyiarkan hal-hal yang dianggap sangat
privat. AH Mazrui mencatat bahwa di kalangan intelektual di Pakistan se-
kitar November 1988 beredar pendapat:
Tentu, dalani kasus TSV seks bukanlah isu utama. Jika kita manfiatkan
pandangan Deleuze dan Guattari, genre novel yang digunakan memberi
kesan bahwa novel ini menyajikan sebuah rahasia.
Namun, perlu diperhatikan pula cara nama Mahound diperkenalkan
dalam novel ini.
kalam 22 75-
1"
bila dipanggil itu di sini [penekanan oleh kami sendiri]; tidak pula [bila di-
panggil], walaupun ia tahu sebutan orang-orang, nama ejekan Orang-orang di
Jahilia di bawah sana—ia-yang-naik-tumn-Bukit-Kemcut. Di sini ia bukan Ma
homet maupun MoeHammered;'[ia] telah memakai nama baru, embel-embel
setan yang dikalungkan bangsa asing di lehernya. Mengubah hinaan menjadi
kekuatan, partai whig, partai tory, kulit liitam semuanya memutuskan menge-
nakan dengan bangga nama yang diberikan sebagai hinaan; demikian pula, si
pertapa yang suka naik gunung dan penuh ilham itu kelak menjadi tokoh
dongeng zaman pertengahan untuk menakut-nakuti bayi, sinonim iblis:
Mahound).13
Tampak jelas sekali di sini bahwa nama Mahound dipilih secara sengaja
tetapi tidak dengan niat menghina, justru sebafiknya.Yang meniilihnya pun
bukan Rushdie. Yang perlu diperhatikan adalah rujukan bagi kata "here",
yang tidak merujuk kepada tempat ataupun peristiwa historis melainkan
wilayah fiktifyang ada dalam impian Gibreel Farishta dan dalani novel ini
secara umum. Nama ini dipilih sebagai strategi perlawanan "untuk meng
ubah hinaan menjadi kekuatan" sebagaimana yang digunakan kaum kulit
hitam yang menggunakan kata "nigger" dewasa ini justru sebagai tanda ke-
banggaan atas jati diri mereka sebagai sebuah ras yang tertindas. Dengan
demikian, nama yang pada zaman pertengahan digunakan untuk "mena
kut-nakuti bayi, [sebagai] sinonim bagi Iblis" justru digunakan di sini seba
gai alat unmk mendefinisi ulang sebutan yang digunakan kaumfarangi (pi
hak asing) unmk menghina. Hal ini diperkuat dengan menyejajarkan peng-
hinaan yang digunakan tradisi Barat sejak zaman pertengahan dengan
pengejekan warga kota Jahilia (Mekah di zaman Jahihyah) terhadap tokoh
Mahound dalani kisah ini.
Sesungguhnya, seluruh novel ini nienggunakan strategi yang serupa de
ngan memanfaatkan genre magic realism, yang berfungsi sebagai mimik (da
lam pengerrian yang digunakan Homi K. Bhabha.14 Namun, masalahnya
adalah dalani kelaziman sastra sebagai resistensi (baik im yang berpandang-
an pascakolonial maupun feminis) yang dimimik (dalam arti meniru sekali
gus mengejek) adalah pihak yang berkuasa.Jadi, ragam magic realism ini ber-
76 kalam 22
• ' AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL
fungsi sebagai satire. Dalam hal TSl^yang menjadi sasaran adalah para pe-
nguasa pascakolonial zalim di negara-negara niuslim, terutama Pakistan. Di
sini-lah masalahnya. Novel ini berada di wilayah antara, yaitu ruang yang
berkitaran antara penjajah dan terjajah, imperium dan koloni, beradab dan
biadab, Barat dan Timur-Islam. Perlu dicatat pula bahwa ruang liminal ini
merupakan bidang miring yang condong ke kutub yang memiliki gravitasi
lebih besar: Barat. Kecenderungan ini pun sesungguhnya tidak terelakkan
mengingat bahwa novel ini dituiis oleh seseorang yang dikenal sebagai to
koh advokasi hak imigrah di Inggris dalam bahasa Inggris—artinya, unmk
khalayak Inggris. Dalam keadaan seperti im, si subyek pascakolonial, baik
itu Rushdie maupun Farishta, mengalami semacam skizofrenia.
Penyakit psikologis-politis yang menempatkan seseorang dalani sebuah
wilayah liminal lazimnya diderita oleh subyek kelas menengah dalani waca
na pascakolonial. Dengan asumsi bahwa sebuah identitas bukanlah sebuah
entitas yang esensial secara a priori dan karena itu utuh, maka pelbagai sifat
yang ada padanya pun tidak berkaitan secara esensial melainkan secara in-
sidental dan sirkumstansial. Dengan demikian, si subyek dapat memiliki ci-
ri-ciri tambahan dari kutub-kutub yang berbeda, yang tumpang tindih se
hingga menciptakan ruang liminal tersebut.
TSV merupakan narasi yang, betapapun fiktifhya, mengandung ciri-ciri
yang sangat gampang dikecam dan rentan dimduh ofensif. Pertama, novel
ini berkesan amat gamblang dan tanpa malu-malu menyajikan keraguan
akan hal yang lazim dianggap sakral. Lebih dari itu pula, ia nienggunakan
gaya bahasa yang humoris sehingga berkesan menertawakan. Sebagaimana
yang dikatakan Rushdie sendiri, salah satu tenia utama novel ini adalah
"agama dan fanatisme," dan dengan demikian, tenia keraguan menjadi
penting. Karena fanatisme religius menganggap iman sebagai sesuatu yang
taken for granted, novel ini menawarkan (TSV, 92):
kalam 22 77
ARI JOGAISWARA ADIPURWAWIDJANA, LIEN AMALIA, LESTARI MANGGONG
78 kalam 22
AMBIVALENSI NARATIF DAN TRANSISI SOSIAL
79
kalam 22
~=-n r. r—
"
C/Wr-T7"o<r
_jl. _*• s-—•.. s ._ r 2i—;—g ; y^- • k
« »
INTAN PARAMADITHA
1 Lihat Edward W. Said, Orientalism (New York: Random House, 1978). Selanjutnya
dituiis Orientalism.
2 Wei Hui, Shanghai Baby, penerjemah Bruce Humes (New York: Washington Square
Press, 2001).
3 Jamie James, Andrew andJoey (NewYorkThe Lontar Foundation, 2002).
kalam 22 81
^ - ' - - - : -i •-- ^ •-. -L
INTAN PARAMADITHA
4 Tess Cosslett, et al., ed., Women, Power and Resistance: An Introduction to Women's Studies
(Philadelphia: Open University Press, 1996), 139.
r,j kalam 22
GENDER DAN "ASIA"
layah yang terkalahkan, dan melalui erotisasi narasi kolonial tentang pene-
muan)."5 Sementara itu.Ashis Nandy6 mengungkapkan:
Kolonialisme juga sejalan dengan stereotipe seksual Barat yang ada dan fal-
safah hidup yang diwakilinya. Ini menghasilkan konsensus budaya yang me
nempatkan dominasi politik dan sosio-ekonomi laki-laki dan maskulinitas di
atas perempuan dan femininitas.
5 Gandhi, Leela Gandhi, Postcolonial Theory: A Critical Introduction (New South Wales:
Allen & Unwin, 1998), 98
6 Ashis Nandy, The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism (New
Delhi: Oxford University Press, 1983), 100.
kalam 22 83
. e .._ '^"
INTAN PARAMADITHA
I LOVE Bali. I love everything about it. I love the land and the sea and the
sky. I love the men and the women. I love the clear honest gaze of the chil
dren, the fiery candor of the food, the majestic temples, the hundred high-fly
ing kites that twinkle in the last rays of the setting sun every evening. The of
ferings they make to the gods, litde bamboo trays with flowers and rice and
silver coins and incense, are exquisite works of art. But most of all, I ADORE
Balinese dance.
(Aku MENCINTAI Bah. Aku mencintai segalanya tentang Bali. Aku cinta
tanah dan laut serta langitnya. Aku cinta laki-laki dan perempuannya. Aku cin
ta tatapan jujur anak-anak, makanan yang pedas, kuil yang agung, ratusan la-
yang-layang beterbangan yang gemerlapan di penghujung sinar matahari ter-
benam setiap malam. Sesajen yang mereka siapkan untuk para dewa—kotak
bambu kecil dengan bunga dan beras dan koin perak dan dupa—adalah karya
seni yang indah. Namun, lebih dari semuanya, aku MENGAGUMI tari Bali) (50).
84 kalam 22
== 7^~- — =Z —n—• ; • w-
The Balinese don't really consider what they do here "dance," in the sense
that we do. It's not art for art's sake; it always fulfills a ritual function . . . The
BaHnese spend halfdieir money and most of their time on the religion, and
dance is at the very essence of the whole system. It's incredibly compHcated:
after twelve years here, I still don't understand it at all.
(Orang Bali tidak terlalu menganggap apa yang mereka lakukan di sini se
bagai "tarian" seperti kita. Tarian bukan seni atas nama seni; ia selalu memiHki
fungsi ritual ... Orang BaH menghabiskan setengah uang mereka dan sebagi
an besar waktu mereka untuk agama, dan tarian adalah esensi dari keseluruh
an sistem. Ini benar-benar rumit: sesudah dua belas tahun di sini, aku masih
belum memahaminya sama sekali) (12).
Dapat kita Hhat bahwa eksotisme terletak pada jarak yang tercipta antara
budaya BaH dan budaya Barat. BaH adalah sebuah wilayah yang suHt dipa-
hami jika kita menggunakan nilai-nilai Barat. Andrew andfoey, dengan de
mikian, menganggap BaH sebagai surga dengan nilai-nilainya tersendiri pa
da era modern.
Selain eksotis, BaH juga digambarkan sebagai pulau impian tempat sega
la fantasi dapat terwujud. Ke situlah Joey mendapatkan dana yang cukup
besar dari sponsor untuk studinya dan niembeH segala kemewahan di In
donesia, bertemu dengan Wayan yang muda dan tampan, serta mendapat
kan pujian selangit atas karyanya. BaH dapat diibaratkan sebagai "impian te
ngah musim" karena tenia eskapisme yang ditawarkannya: Vie aura ofsex
was so thick you could almost smell it. Viere was aguy there selling pot, Viagra, and
poppers . . . a complete kit! (Aura seks benar-benar kental, kau bahkan nyaris
bisa menciumnya.Ada pria di sana menjual ganja,Viagra, dan obat-obatan .
kalam 22 85
«•-••* - - .-• -~-—= ; '~7~^—=
INTAN PARAMADITHA
86 kalam 22
-jrr rjr;
(Sepertinya jika kau seorang homoseksual di negeri ini, pilihanmu hanya pergi
ke Jakarta atau Bali dan bergaul dengan kaum'homoseksual asing, atau tinggal di
desamu dan menjadi band profesional,julukan untuk homoseks di sini. Band ber-
pakaian seperti perempuan dan pekerjaan mereka, secara tradisional, adalah bekerja
sebagai perias pengantin di kampung. Serius.Jadi laki-laki homo yang tidak tertarik
pada kosmetika akan pergi keJakarta atau datang ke Cafe Luna) (45).
kalam 22 87
INTAN PARAMADITHA
88 kalam 22
t-v
89
kalam 22
INTAN PARAMADITHA
hai meHhat pesona Shanghai masa lalu sebagai sesuatu yang unik. Mereka
banyak membuat pesta dan kostum bertema retro, yaitu kembali ke Shang
hai era 1930-an: »
90 kalam 22
' r
pickled turnips hand from the kitchen window, and smoke from a coal stove
drifts over from time to time. Kids in green school uniforms and red bandan
nas play every-poptilar war games. Old people gather in a corner of the small
park playing Big Ghost (a card game played between two teams of three), the
wind occasionally ruffling their snowy beards.
To the majority of older Shanghainese, this kind of neighborhood is what
they know best, and it has a nostalgic air. To the new generation, it's a place
that's been rejected and,will eventually be replaced, a lowly corner devoid of
hope.
Kesan modern nyaris tidak ada dalam potret kehidupan Shanghai kuno
yang biasanya terdapat di gang-gang kecil itu. Gambaran ikan yang dike-
ringkan dan asap dari tungku tradisional terasa sangat kontras dengan
Shanghai yang gemerlapan. Orang-orang di dalamnya menjalani rutinitas
yang tidak sesuai dengan irama kota yang serba cepat, seperti dengan ber
main kartu di taman. Bagi masyarakat Shanghai yang sudah ma, Hngkungan
seperti ini merupakan nostalgia masa lalu. Namun, bagi generasi baru, tem
pat ini hanyalah sebuah sudut kota yang ditolak dan akan segera punah.
Dalam pesta-pesta di klub atau diskotek (latar hiburan malam terus-
menerus muncul dalani keseluruhan cerita, menonjolkan sifat kosmo
politan Shanghai), selalu ada orang asing dan rorang Cina asli yang ber-
interaksi. Namun, jika kita perhatikan, selalu ada hierarki kekuasaan di
dalamnya. Suatu pusat hiburan malam, misalnya, digambarkan sebagai
berikut:
kalam 22 91
INTAN PARAMADITHA
92
kalam 22
GENDER DAN "ASIA"
kalam 22 n^
INTAN PARAMADITHA
94 kalam 22
? 4 • •• S-_
*r ^JT^S
1- •'_ ?cr
>
GENDER DAN "ASIA'
kalam 22 95
*—-- - "
INTAN PARAMADITHA
tras dengan Joey, yang selalu tahu apa yang ia inginkan. Berulang kaH Wa
yan dipadankan dengan kata "anak", "bocah", "bayi" dan bahkan "pera-
wan". Dengan begini, ia identik dengan kepolosan yang manis, tetapi pada
saat yang sama ia bisa menjadi anak nakal. Wayan akan berbinar-binar bila
diberi hadiah, tetapi bersikap keras kepala saat ditegur. Saat Joey membawa
Wayan ke New'York unmk mementaskan hasil koreografinya di panggung
internasional, ia berperan sebagai ayah yang niembimbing, mengayomi, ser
ta memaklumi sikap kekanakan Wayan (seperti membolos pada saat latihan
penting). Di sini Wayan menampilkan kepolosan BaH yang seolah terlepas
dari dunia yang telah ternoda, tetapi perlahan pembaca diajak menyadari
bahwa kecantikan Wayan sebenarnya hanya ilusi.
Kepolosan Wayan yang di BaH terlihat menarik justru menjadi konyol di
Amerika. Di sebuah acara makan malam ia menjadi tontonan yang aneh
karena memilih duduk di lantai dan makan dengan tangan (like a faithful
doggie "seperti anjing yang setia", 195). Rasa senangnya yang berlebihan ke
tika membuka situs porno di internet dengan password Joey juga menun
jukkan keterasingannya dari mahalnya teknologi. Tanpa sadar, ia menguras
$600 dari rekening Joey unmk akses situs terlarang. Saat Wayan yang dari
keluarga pas-pasan menganggap Amerika sebagai "sebuah Disneyland be
sar" (123),Joey menemukan realitas di sana: ketidaksenipurnaan Wayan dan
hubungannya dengan Andrew yang tidak mungkin rekat kembaH.
Hal lain yang lekat dengan femininitas maupun Timur adalah irasional-
itas.Wayan seolah memiHki pesona magis yang bisa membuat orang tergila-
gila. Ternyata, memang beredar gosip bahwa Wayan telah mengguna-gunai
Joey,9 dan ini dapat kita Hhat dalam e-mail antara Pamela dan Erica, Nyo-
man, my maid, told me that her brother Putu, who is also a dancer, has a good
friend who is a member ofJoe's seka, who told him that Wayan put a love spell on
Joe! ("Nyoman, pembanmku, mengatakan bahwa kakaknya Pum, yang juga
seorang penari, berteman baik dengan anggota seka Joe, dan ia mengatakan
padanya bahwa Wayan telah mengguna-gunai Joe!") (94).' Ini tidak hanya
menunjukkan mistisisme yang erat dengan dunia Timur, tetapi juga ira-
•r
Leslie Dwyer dalam "Selling Love and Lust in Bali" mengungkap bagaimana hu
bungan pesona laki-laki Bali dengan guna-guna di mata Barat dilihat sebagai "kejan-
tanan primitif" yang belum diporakporandakan oleh peradaban. Lihat Latitudes, Agus-
tus 2001: Vol. 07,10.
96 kalam 22
GENDER DAN "ASIA"
Andrew merasa tidak suka bila atribut feniininitas melekat padanya, yai
tu dengan selalu mendengarkan keberhasilan Joey seperti seorang istri. Ia
menunjukkan protesnya, seperti juga ia protes saat orang Indonesia me-
niandangnya dengan sebelah mata karena ke-Cina-annya. Ia nienuhs, Actu
ally, if I were blind, and I couldn't see my slitty eyes and straight black hair, I don't
think I would even know I was Chinese. Do you feel Chinese? Neither ofour par
ents speaks a word of the language ("SebetuHiya, jika aku buta, dan aku tak bisa
meHhat mata sipitku dan rambut hitam lurusku, kurasa aku tidak akan tahu
aku Cina. Apakah kau merasa Cina? Kedua orangtua kita tidak bicara sam
kata pun dalam bahasa im") (15). Andrew menunjukkan penolakannya ter
hadap stereotipe Cina melalui pengakuannya bahwa ia sama sekaH tidak
kalam 22 97
INTAN PARAMADITHA
merasa Cina dengan latar belakang Amerikanya. Ini tentu sangat berbeda
dengan Wayan yang kehadirannya hanya bisa ditangkap lewat penuturan
tokoh-tokoh lain dalam e-mail mereka.
E-mail tidak hanya memberi 'kenikmatan yang memungkinkan kita
mengintip cerita-cerita pribadi para tokoh,'" tetapi juga merupakan me
dium terpenting dalani teknik berceritaJames karena hanya lewat e-mail se
gala kejadian terungkap. Dunia cyber-lah yang membuat BaH-New York-
San Fransisco tak berjarak; arus informasi dan gosip bisa terkirim dalam
himngan menit. Ironisnya, meski Wayan punya posisi penting dalam cerita
sebagai penyebab putusnya hubungan Andrew dan Joey, ia sama sekaH tidak
memiHki kekuasaan dalam jaHnan e-mail yang membangun novel. Wayan
adalah Timur yang hanya bisa direpresentasikan oleh pihak lain (Barat),
seperti perempuan Mesir dalani Madame Bovary, dan karena im ia tidak bisa
menolak pelbagai anggapan yang direkatkan padanya. Keterasingan ini jelas
menunjukkan BaH terlepas dari dunia yang sesungguhnya, yakni dunia glo
bal-modern yang dismibolkan oleh e-mail.
Dalam hierarki antara Barat dan Timur, terlihat bahwa gender diguna
kan unmk menentukan mana yang superior (Joey/Barat) dan mana yang
inferior (Wayan/Timur). Ketidakniampuan Wayan berkomunikasi mencer
minkan wajah BaH yang, meski cantik dan memcsona, menjadi The Other
di luar sistem konvensional yang modern dan realistis. Kita pun meHhat ba
gaimana kepolosan Timur di mata Barat di satu sisi diHhat sebagai surga
yang murni tak tersentuh, dan di sisi lain sebagai ketidaktahuan, kenaifan,
dan bahkan keterbelakangan.
98 kalam 22
GENDER DAN "ASIA"
Di sini dapat kita lihat bahwa Mark sangat mengikuti aturan dunia yang
maskuHn dengan sifat-sifatnya yang tegas, teratur, dan rasional. Ia juga sa
ngat menuntut. Saat pertama kaH mengajak Coco ke apartemennya, ia ti
dak meminta dengan halus, melainkan memperlakukan Coco seperti hasil
rampokan: No sooner had the words escaped me than Mark seized me like a bank
robber, allowing no argument, and dragged me out ofthe gallery in aflash, depositing
me in his BMW ("Tanpa banyak kata-kata Mark merebutku seperti peram-
pok bank, tidak membiarkan penolakan, dan menyeretku keluar dari galeri
kalam 22 99
~J-^ J- TT^-
INTAN PARAMADITHA . .
100 kalam 22
GENDER DAN "ASIA'
give me a complete sexual experience, and I couldn't keep my. body unsullied for him
like apiece offade. Everything was unfathomable ("Tian Tian adalah spesies ber
beda dari kekasih-kekasihku sebelumnya ... Ia tak bisa memberiku penga
laman seksual utuh, dan aku tak bisa membiarkan diriku tak ternoda un-
tuknya seperti bam giok. Semuanya tak bisa dipahami") (70). Meskipun Ti
an Tian tidak bisa rnemuaskan Coco secara seksual, Coco sangat mencin-
tainya: His voice became soothing music, like Beethoven's Moonlight Sonata, tam
ing the confusion inside me ("Suaranya menjadi musik yang menenangkan, se
perti Moonlight Sonata karya Beethoven, meredam kegelisahan di dalam di
riku) (100). Ia menjadi penyejuk dari jiwa—bukan tubuh—Coco.Bersama
Tian Tian, Coco merasa seperti dalani mimpi: My life with Tian Tian was a
bit like a dream rightfrom the start. I like that kind of dream—pure covers, intui
tive, and unburdened by loneliness ("Hidupku dengan Tian Tian agak menye
mpai mimpi sejak awal. Aku suka mimpi macam itu—murni, intuitif, dan
tidak dibebani rasa sepi").Jika Mark mewakiH hal-hal fisik, Tian Tian me-
wakiH dimensi nonfisik yang tidak bergantung pada kepuasan indra. Ini bisa
menjadi analogi Barat vang identik dengan materialisme/enipirisme, se
mentara Timur lebih menekankan spirituaHsme.
Dengan demikian Mark dan Tian Tian, sebagai simbol Barat danTimur,
juga menunjukkan kutub antara niaskulin dan feminin. Mark sebagai re-
presentasi Barat digambarkan penuh dengan sifat-sifat niaskulin, seperti te-
gas, m.inpunyai mjuan, tahu apa yang dHnginkannya, serta mewakiH hasrat
material. SementaraTian Tian sebagai representasi Timur digambarkan de
ngan sifat-sifat feminin, seperti tidak memiHki tujuan yang jelas, misterius,
sensitif, eksotis.
Lalu, manakah yang dipilih Coco? Ternyata, dari awal sampai akhir Co
co tidak bisa memutuskan.
i
A feeling of emptiness which I can never dispel, and yet at the same time, my
heart is swollen widi a love ofsorts diat I can't release. The man I love can't give me
a sexual satisfaction, and worse, he can't give me a sense of security. He smokes
drugs, and he's disengaged from the world ... meanwhile, a married man is giving
me physical satisfaction but has no impact on my emotions. We use our bodies to
interact and rely on them to sense each other's existence, but they're also a protec
tive layer between us, keeping from connecting mentally.
kalam 22 101
INTAN PARAMADITHA
(Rasa hampa yang tak pernah dapat kusingkirkan, namun pada saat yang
sama, hatiku bengkak dengan cinta yang tak dapat kulepaskan. Laki-laki yang
kucintai tidak dapat.memberiku kepuasan seksual, dan lebih buruk lagi, ia tak
bisa memberiku rasa aman. Ia menggunakan obat-obatan, dan ia terpisah dari
dunia . . . sementara, lelaki beristri memberiku kepuasan badaniah namun tak
bisa memengaruhi emosiku. Kami menggunakan tubuh kami untuk berinter-
aksi dan bergantung padanya untuk merasakan kehadiran satu sama lain, na
mun tubuh itu juga menjadi lapisan pelindung di antara kami, mencegah ada
nya hubungan jiwa) (104").
<
Dua laki-laki itu terns hadir dalani hidup Coco, seperti dua budaya yang
saHng bertemu di Shanghai: Timur dan Barat. Jika kita mengacu pada ke
puasan seks yang penting bagi Coco, maka Mark sebagai wakil Barat lebih
maskuHn dan lebih menduduki posisi superior. Sifat Coco yang maskuHn
cenderung menunjukkan pilihannya terhadap Barat. Sementara im, sifat fe
minin Tian Tian menyiratkan tradisi Cina yang spiritual dan romantis, te
tapi tidak bisa rnemuaskan secara fisik. Kematian Tian Tian di akhir cerita
menjadi aldiir yang pesimistis bagi Shanghai tradisional, yang sebelunmya
digambarkan terancam punah. Kenyataannya, Shanghai modern adalah
yang selalu diculis Wei Hui sebagai "zaman materi".Yang bertahan adalah
segala sesuam yang modern, ambisius, keras, maskulin, sementara Shanghai
oriental yang bersifat eksotis dan feminin adalah nostalgia yang akan segera
tergilas zaman.
102 kalam 22
.' -_. - -i. V • - -i-
That's my yucky news. It was'too late to drive back to Ubud last night, so
Istayed at afriend's place in Kuta.Wlien Ileft, around neon, IsawJoe roaring
down Jalan -Legian on his motorcycle, bare-chested, the boy dinging to him,
trophy of the conquering hero.
This islandjust eats some men akve.
kalam 22
103
INTAN PARAMADITHA
•j04 kalam 22
3 • r 3:
<
' r
MIKIHIRO MORIYA/AA
kalam 22 105
MIKIHIRO MORIYAMA
3 Mikihiro Moriyama, "Discovering the language" aad the 'literature' ofWest Java: an
introduction to the formation ofSundanese writing in 19* century West Java", South
Asian Studies 34 (1), 1990: 151-83.
*q, kalam 22
~ B—* - . :
kalam 22 107
~7 T—7~
5 Dalam kasus bahasa Melayu, seorang penulis profesional dari Batavia, Muhammad
Bakir, memiliki 76 judul naskah untuk disewakan pada akhir abad ke-19, sementara
buku-buku cetakan juga dibaca orang. Ini memberikan sebuah contoh yang bagus
tentang tumpang tindih jumlah pembaca. Lihat H. Chambert-Loir, "Malay Literature
in the 19th Century: The Fadli Connection", dalam J.J. Ras and S. O. Robson, ed.,
Variation, Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour ofA.
Teeuw (Leiden: KITLV Press, 1991), 87-114. Selanjutnya dituiis "Malay Literature".
6 Cara menulis naskah mengenai tanda-tanda tertenur untuk membantu pemahaman
teks walaupun tidak sejelas tanda baca Barat. Demikian juga, peraturan pembuatan
puisi seperti dangding (tembang) atau pantun menunjukkan kesatuan sajak masing-
masing.
108 kalam 22
DARI MANUSKRIP KE CETAKAN
*
kalam22 109
•
MIKIHIRO MORIYAMA
Gonggrijp memakai istilah kitab untuk merujuk pada buku secara umum,
sebuah kata untuk buku dalani benmk naskah maupun cetakan.
Setiap naskah dinamai menurut kandungan isi, sifat, dan benmk tulis-
amiya dalani tradisi. Umpamanya, dalam bahasa Sunda terdapat berbagai
istilah, seperti carios atau carita (cerita, kisah), wawacan (puisi naratif), dongeng
(cerita), sajarah (sejarah), serat (tulisan). Hal ini tercermin dalani judul-judul
buku cetakan yang awal, seperti Tjaritana Ibrahim (Cerita Ibrahim) dan Wa-
110 kalam 22
..- - i
~7r
Kita dapat menemukan sejumlah kitab kuning berbaliasa Sunda dalam koleksi khusus
perpustakaan KITLV, yang dikumpulkan dan didaftar oleh Martin van Bruinessen.
Jumlah keseluruhan kitab dalam koleksi tersebut sebanyak 900 buah. Lihat
karangannya, "Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu",
Bijdragen tot deTaal-, Land- en Volkenkunde 146,1990 (2 dan 3), 226-269.
kalam 22 ...
MIKIHIRO MORIYAMA
"1
mang tidak "setiap orang" membaca. Lagi pula, bertolak belakang dengan
harapan Gonggrijp. naskah-naskah terns diproduksi dan "dikonsumsi" da
lam masyarakat penutur bahasa Sunda, bahkan juga setelah beredarnya bu
ku cetakan.
Masuknya buku cetakan ke dalam ranah tuHsan Sunda pada pertengah
an abad ke-19 tidak mengubah kebiasaan membaca orang Sunda secara
drastis. Naskah masih berada bersama buku dan belakangan juga koran dan
majalah yang tersebar baik dalam jalur pendidikan maupun jalur pasar. De
ngan kata lain, cetakan tidak mengakhiri budaya naskah. Namun demikian,
secara berangsur-angsur muncul sam kelompok dalam masyarakat yang
menjadi terbiasa dengan buku cetakan. Bagi orang tertentu, membaca bu
ku secara berangsung-angsur mulai menjadi sebuah kegiatan sehari-hari se
bagaimana dapat dilihat di bagian akhir tulisan ini.
Di lain pihak, tidak dapat dielakkan bahwa pengguiiaan buku sekolah
telah mengubah konsep yang telah ada tentang tuHsan dan bacaan, ter-
utama sifatnya yang terkait dengan kesenangan dan hiburan di wilayah pe
nutur bahasa Sunda. Im dapat terkait dengan apa yang oleh Gonggrijp di
sebut goena (guna). Sedangkan Moehamad Moesa juga mengatakan dalam
bukunya, "membaca bersenang-senang tidak berguna."Tenm saja, kadang-
kadang kita membumhkan cerita-cerita seperti Rama dan Angling Darma
unmk kegembiraan. Akan tetapi, kita hams membaca cerita-cerita yang
"bermanfaat" (manpaat). Dilanjutkannya sebagai berikut:
112 kalam 22
' t
manahna maroerangkalih,
maroekan enja boekti,
noe diseboet sakti wedoek,
boga pikir noeroetan,
hajang wedoek reudjeung sakti,
anoe kitoe eta kasasar pikirna.10
Hal ini menjadi salah satu akibat dari hilangnya posisi dominan sebuah
genre tradisional puisi naratif, wawacan.
114 kalam 22
' ' DARI MANUSKRIP KE CETAKAN
11
Sumber: komunikasi pribadi dengan penduduk lokal Sunda pada bulan Agustus dan
September 1995. Mereka adalah penduduk desa, beberapa orang guru musilc
tradisional yang mengajar di sekolah menengah umum (SMU), sejumlah pensiunan
guru sekolah dasar, beberapa peneliti kesusastraan Sunda, dan sejumlah novelis Sunda.
12
Ayatrohaedi dan Abdurachman, Wawacan Ogin Amarsakti (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1991).
kalam 22 115
MIKIHIRO MORIYAMA
Kalimah adalah kata kunci di sun, dan kata itu,mungkin paHng bagus ji
ka diterjemahkan sebagai "prosa". Moesa menjelaskan mengapa prosa lebih
disukai daripada puisi (dangding): cerita-cerita yang dikarang dalam benmk
kalimah dapat bergerak maju lebih cepat ketimbang dalani benmk puisi,
kalam 22
116
' p
DARI MANUSKRIP KE CETAKAN
kalam 22 117
-WZ • »T~
MIKIHIRO MORIYAMA
(Ini saya yang menerjemahkan dialilikan ke bahasa Sunda, tapi diucapkan dalam
bentuk prosa saja,tidak dikarang dalam bentuk tembang. Pertama, sulk untuk men-
cari-cari omongan yang mntut yang hams bersesuaian dengan dangding.
Walaupun tak ada yang salah dengan dangding, jika omongan tidak beres,
tentu saja tidak akan jadi bagus. Saya sering menemukan orang-orang menga-
rang dalam bahasa Sunda, tapi hanya memperhatikan aturan dangding, sehingga
susunan katanya sangat membingungkan.
Kedua, apa maksudnya di sini, alasan menulis tidak dikarang dalam benmk
tembang adalah bahwa dia dibaca dalam hati ketika engkau sendirian di tempat
tidurmu atau di kursi goyang. Itulah yang saya maksud dengan mengikuti
orang Eropa).
kalam 22 -^n
- ivy. o$
MICHAEL RINALDO
MICHAEL RINALDO
tui kegagalan, sehingga tidak semua karya yang rumit bisa serta-merta diar-
tikan sebagai representasi modernitas.
Dibanding kata "penantangan", kata "interogasi" lebih tepat digunakan
dalam mendiskusikan sikap-sikap yang ditemukan dalam pembacaan puisi-
puisi Rilke dan Chairil; dengan mempertanyakan representasi dan fungsi
seni(man), teks-teks kedua penyair ini pada akhirnya tidaklah mengambil
sam posisi tetap, malah mempertahankan ketegangan antara seni dan poH-
tik, individu dan masyarakat. Rilke hanyalah satu bagian dari pengaruh
puitika Eropa Barat terhadap Chairil.Jumlah puisi Chairil, yang tidak bisa
dibilang besar, tetap dapat menunjukkan adanya pengaruh ini.Terlebih lagi,
sedikitnya jumlah karya Chairil menunjukkan intensitas dan kehati-hati-
annya dalam pemiHhan kata yang menumbuhkan sifat kritis yang dalam
terhadap kepenyairannya sendiri.
TuHsan ini akan membahas tiga titik perbandingan antara Chairil Anwar
dan Rainer Maria Rilke.Yang pertama adalah mengenai metode kerja atau
penuHsan Chairil, yang saya yakmi mendapat pengaruh cukup penting dari
Rilke jika kita melihat terjemahan beberapa surat Rilke oleh Chairil.Titik
perbandingan kedua adalah penerjemahan karya Rilke oleh Chairil yang
lebih jauh menunjukkan kreativitas dan kemampuan penerjemahan penya
ir (berbahasa) Indonesia ini. Titik perbandingan ketiga, dan bagian utama
artikel ini, adalah persilangan tematis antara Rilke dan Chairil, mengingat
dalam puisi mereka dapat ditemukan beberapa ambivalensi mengenai oto-
nomi seni dalam era modern.
Etos kerja
Rilke adalah salah sam penyair puisi Hrik abad ke-20 yang paHng sering
dibaca setidaknya dalam khazanah sastra Barat. Ini mempakan suam ke-
janggalan mengingat bahwa baik tenia maupun benmk puisinya tidaklah
mudah. Tetapi pengaruh Rilke terhadap konvensi puisi Hrik pada abad ke-
20 tidaklah dapat diabaikan. Bukan hanya puisinya sendiri, tetapi juga surat-
suratnya mendapat perhatian dari pembaca puisinya.1 Walaupun tidak jelas
detailnya, Chairil berhasil mendapatkan kopi beberapa surat miHk Rilke
serta menerjemahkamiya. Bila vitaHsme Chairil^ dapat dikatakan dipenga-
l Sebagai contoh kecil, di Amerika Senkat surat-surat Rilke kepada penyair muda
Kappus, yang dikoleksi dengan judul Briefe an einemjungen Dichter, diterjemahkan dan
sering menjadi bagian dari silabus kelas-kelas penuHsan kreatif di berbagai universitas.
17? kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL
kalam 22 123
MICHAEL RINALDO
hadap inspirasi yang tak ditempa. Contoh yang tepat dapat ditemukan
dalam dua kutipan yang sempat diulang Chairil baik dalam pidatonya ta
hun 1943 maupun dalam "Berhadapan Mata":
4
dan
Kalau diturut mereka, maka pikiran dan dasar seni atau filsafat im datang
nya. sebagai cahaya sun/a dari langit, memanaskan kita dan jenak im juga ma-
tang!!! Akibatnya: Ange' ange' ciri' ayam!! [...] Jika kerja setengah-setengah saja,
mungkin satu waktu nana, kita jadi improvisator. Sungguhpun improvisator besar!
Tapi hasil seni improvisator tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni cipta.4
4 Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (Jakarta: Horison,
1999).
124 kalam 22
:^r^-—r—r?
Terjemah
Rilke tampaknya belum terlalu dikenal oleh khalayak pembaca In
donesia. Hal ini bisa disebabkan oleh suHtnya menerjemahkan karyanya
dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia. Namun, terlepas dari masalah
bahasa (jika kita bisa percaya bahwa ada masalah lain selain bahasa),
puisi Rilke sering dikatakan memiliki sebuah ciri universal dalam te-
ma-temanya. Menurut Alec Randall, Rilke adalah seorang penyair Jer
man yang tidak berakar kepada bangsa atau negaranya dan juga tanpa
suatu patriotisme eksklusif ataupun pengaruh dari berbagai sumber
Eropa. Randall juga menyatakan bahwa Rilke adalah penyair universal
yang secara kebetulan berlidah Jerman, dan "banyak karya Rilke juga
bisa dituiis dalam bahasa Prancis."5 Chairil, yang puisinya sendiri cen
derung menengok ke modernisme Barat dalani hal metode dan tenia,
menerjemahkan dua puisi Rilke ke dalam bahasa Indonesia. Pada bagi
an ini saya akan membahas secara singkat terjemahan Chairil atas puisi
Rilke "Ernste Stunde". Berikut adalah kutipan teks asli dan diikuti
oleh terjemahannya:
Ernste Stunde
5 Alec Randall, "Rainer Maria Rilke, Universal Poet with a German Tongue", dalam
John Gross, ed., The Modern Movement: A TLS Companion (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 185 dan 186.
kalam 22 125
MICHAEL RINALDO
Jejak Berhenar
.4 26 kalam 22
Tn—
kalam 22 .^
MICHAEL RINALDO
Rilke. Seperti yang telah dibahas di atas, bahasa dalani puisi acapkali tidak
berflingsi sebagai pencerminan langsung kenyataan empiris, terutama da
lam ams sastra modernis di mana mimesis langsung seperti ini cenderung
dipertanyakan. Michael Riffaterre menyebut ketidaklangsungan represen
tasi dalam puisi sebagai "indireksi", yaitu mengatakan satu hal tetapi sebe
tulnya memberikan arti yang lain dan mengancam representasi kenyataan
dalani sastra.6 Kata-kata dalam sebuah puisi tidaklah seharusnya dibaca seca
ra terburu-buru sebagai pengarahan kata kepada dunia/kenyataan. Menje-
jaki teori pembacaan Jonathan Culler, yang membedakan pembacaan puisi
dari pembacaan, misalnya, sebuah berita perampokan dalani sebuah koran,
adalah relevansi mungkinnya pembacaan suatu teks puisi sebagai sesuam
yang lain dari penyampaian informasi. Walau mungkin digunakan untuk
membaca atau menelaah cara dan strategi penyampaian suatu teks tentang
perampokan di dalani majalah atau koran, hal ini tidaklah sepenting me-
ngetahui detail seperti tanggal, siapa pelaku, dan korbannya. Sedangkan di
dalani puisi, pada umumnya,7 konvensi pembacaan yang ada terhadap jenis
wacana seperti ini mengizinkan kita membaca kata-kata yang ada sebagai
sesuatu yang tidak hanya memberikan informasi. Penggunaan bahasa dan
cara penyampaian sebuah informasi menjadi sesuatu yang sama, bila tidak
lebih, penting daripada informasi yang disampaikan. Dengan adanya an-
caman terhadap mimesis tradisional, puisi nieniungkinkan pembaca tidak
membaca arti kata sebagai pengarahan menuju dunia, malah mendo-
rongnya menafsirkan unsur-unsur penggunaan bahasa dan retorik da
lam suatu teks sebagai sesuatu yang penting.8
Kembali kepada telaah terjemahan Chairil, jika sekarang kita tidak bisa
begitu saja nienerima suatu kata sebagai representasi benda empiris dan
mimesis tradisional menjadi dipertanyakan, Hteralitas ekspresi "tidak berpi
jakan didunia" pada baris kedua bisalah mengundang kita mengubah pem-
'' Michael Riffaterre, Semiotics ofPoetry (Indiana: Indiana University Press, 1978), 1-2.
Walau pembacaan puisi pasca-Holocaust seperti karya Paul Celan merupakan
tantangan tersendiri karena ketegangan yang muncul antara bentuk dan bahasa puitik
dengan kebenaran sejarah. ,
8 Untuk diskusi lebih dalam mengenai strategi pembacaan dan konvensi genre, lihat
Jonathan Culler, Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature
(London: Routledge, 2002 [1975]). Lihat terutama bab "Literary Competence" dan
"Poetics of the Lyric".
128 kalam 22
"«--• -
bacaan baris ini menjadi figuratif, di mana ekspresi ka.justru dapat berfungsi
sebagai metafora tiadanya alasan sang sosok yang dideskripsikan dalani
"Ernste Stunde", yang semula hanya dilambangkan dalam versi Rilke me
lalui satu kata Gmnd.Walau pemilihan kata-kata dalam menerjemahkan ba
ris kedua "Ernste Stunde" menjadi "yang tidak berpijakan di dunia nangis",
membuatnya menjadi lebih harfiah, pemilihan kata-kata yang sama inilah
yang memperluas kemungkinan pembacaan metaforis baris ini. Kegandaan
dalani arti kata Gmnd di sini diterjemahkan oleh Chairil menjadi kete-
gangan yang muncul antara bertambahnya kesan harfiah dalam kata-katanya
chn meningkamya kemungkinan pembacaan figuratifpada baris ini.
Maka, pemiHhan judul "Jejak Berbenar" kini lebih dapat dimengerti da
lam konteks bagaimana Chairil menitikberatkan aspek fisik Grund dan Welt
dalam teijemahannya. Kata "jejak" dalam perubahan judul niengutamakan
tenia perjalanan yang sudah dibtiat lebih nyata dan harfiah dalam terjemah
an dan penataan ulang baris kedua "Ernste Smnde".
Chairil juga menggunakan kebebasan lainnya dalani menerjemahkan.
Sebagai contoh, baris pertama: Werjetzt weint irgendwo in der Welt, diterje
mahkan menjadi "Yang kini entah dimana didunia nangis." Bila kita benar-
benar mematuhi kata-kata Jermannya, baris ini seharusnya diterjemahkan
menjadi "Siapa yang kini menangis di suatu tempat di dunia." Kata irgendwo
(di suam tempat) diterjemahkan menjadi "entah di mana". Dengan adanya
kata "entah" dalani terjemahan ini, kesan kehilangan dan ketakberakaran
individu menjadi lebih jelas, sesuatu yang secara tematis dapat dihubungkan
dengan ekspresi "tidak berpijakan di dunia" dalam baris kedua teks terje
mahan Chairil. Yang juga menarik adalah, kian jelasnya tema hilangnya pi-
jakan seorang individu di dunia menyebabkan teks terjemahan Chairil sea
kan atau secara tidak sengaja mengantisipasi pentingnya tema ini dalam
karya-karya Rilke yang kemudian, seperti Die Aiifzeichnungen des Make
Laurids Brigge, Duineser Elegien, dan Die Sonette an Orpheus.
Satu hal lagi mengenai baris pertama: selain menghilangkan "siapa"
(wer), terjemahan Chairil juga memendekkan kata kerja "menangis" (weint)
menjadi "nangis". Bukan tidak mungkin ini adalah juga sebuah pertim-
bangan gaya terjemahan yang sebisa mungkin mencoba mendekati niinim-
nya jumlah sukti kata dalam teks asHnya.9 '
Sebuah tafsir yang diajukan oleh Prof. Michael Feener dalam sebuah diskusi informal
di Reed College, Pordand, Oregon,musim semi 2002.
kalam 22 -|29
MICHAEL RINALDO
Silang tenia
Selain pengaruh tema kefakberakann individu, kita juga bisa melihat
persilangan tematis antara puisi-puisi Rilke dan Chairil. Dalam artikel lain,
saya pernah berbicara mengenai pentingnya ambivalensi sebagai ciri mo
dernisme Chairil, yang tampak pada tegangan antara bentuk dan isi. Con
toh yang bagus adalah "Kepada Pelukis Afiandi". Ambivalensi inilah yang
bertindak secara subversif terhadap pandangan bahwa karya-karyanya hanya
memuja individualisme dan menaruh kepercayaan penuh terhadap puisi
sebagai seni serta bahasa Indonesia. Sebaliknya, beberapa tenia Chairil, ka
rena perselisihan dan tegangan puitik dalani puisinya, justru menunjukkan
kemiripan dengan karya-karya modernis Eropa Barat yang mempertanya-
130 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL
kan otonomi individu dan seni."1 Interogasi mengenai otonomi seni inilah
yangjuga menjadi tema penting dalam kepenyairan Rilke.
Menariknya, karya-karya penyair Jerman itu pun sulit diterima sebagai
salah satu contoh ciri kontradiksi modernisme. Seringkali ia lebih diHhat
sebagai penyair yang berasal dari tradisi pasca-Romantik sehingga puisinya
cenderung menyuarakan pengukuhan tanpa adanya suatu sikap kritis sedi-
kitpun terhadap masyarakat sekitarnya atau seni itu sendiri. Theodor Ador-
no adalah salah sam teoritikus yang memegang pandangan ini. Dalani kar-
yanya yang tidak terselesaikan, Aesthetic Theory, Adorno mengatakan adanya
kemungkinan bahwa dalam karya-karya Arthur Rimbaud, walaupun
- memperlihatkan oposisi yang pahit dan sarkastik terhadap masyarakat seki
tarnya, dapat ditemukan suatu kepatuhan yang tidak kritis. Menariknya, se
telah membuat pernyataan ini, Adorno membandingkan Rimbaud dengan
Rilke. Berikut adalah kutipan lengkapnya:
10
Michael Rinaldo, "Ambivalensi Chairil Anwar", dalam Kalam 21,2005.
11
Theodor W. Adorno, Aesthetic Vieory, terjemahan Robert Hullot-Kentor, Theory and
History ofLiterature, vol. 88 (Minneapolis: University ofMinnesota Press, 1997), 53.
Selanjutnya dituiis Aesthetic Ttieory.
12
Judith Ryan, Rilke, Modcrninn, and Poetic Tradition (Cambridge: Cambridge UP, 1999),
59-65, dan 73-80. Selanjutnya dituiis Rilke.
kalam 22 .,.
MICHAEL RINALDO
13 Judith Ryan, Vic Vanishing Subject (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 51,
56-57.
132 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL
an-kumpulan sensasi yang cepat berlalu." Bila pikiran itu terdiri dari indra
perasa, maka pembentukan pikiran bergantung pada sensasi obyek. Seperti
Judith Ryan, Lawrence Ryan menolak pandangan bahwa "Puisi Benda"
Rilke adalah puisi mengenai benda-benda itu sendiri, melainkan lebih
mengenai hubungan antara subyek dan obyek yang lebih rumit. Di satu sisi,
yang subyektif menjadi berubah dan tidak nienghilang menjadi sebuah
konsep obyektif. Di sisi lain, yang obyektif itu sendiri membentuk ulang
perspektifsang subyek."
Mungkin bisa ditambahkan bahwa hanya dalam obyek-obyek itu sendi
ri sang "aku" puitis dapat menemukan sebuah subyektivitas. Tidaklah cu
kup bagi sang subyek unmk meHhat dirinya sendiri, tetapi ia hams me-
ngembangkan sebuah cara baru melihat obyek agar dapat menemukan
subyektivitas di dalani obyek tersebut. Salah satu puisi Neucgedichte yang pa
ling terkenal, "Torso Purba Apollo" (Archai'scher Torso Apollos), mengan
dung contoh paling tepat untuk pergeseran subyektivitas ini:
kalam 22 .j-j-j
MICHAEL RINALDO
dalam baris "karena di sini tak ada tempat/yang tak melihatmu" (denn
da is keine stelle/ die dich nicht sieht).
Bila dalam "Torso Purba Apollo" tampak labilnya hubungan antara sub
yek dan obyek, dalani puisi seperti "Flamingo" dapatlah ditemukan juga se
buah interogasi terhadap otonomi seni dan bentuk puisi itu sendiri. Akan
kita lihat bahwa Rilke menjaga keindahan benmk puitis untuk mencipta
kan sebuah tegangan dengan isinya sendiri.
"Flamingo" dituHs dalam bentuk soneta, terbagi dalam empat stanza de
ngan jumlah baris 4-4-3-3. Satu hal yang membedakannya dengan soneta
tradisional adalah jumlah suku kata dalani setiap baris. Biasanya satu baris
dalam sebuah soneta memiliki 12 suku kata. Namun, "Flamingo" memiliki
pembagian suku kata sebagai berikut: 10-11-11-10, 11-10-10-11, 11-11-
10, 11 —10—11. Bagaimanapun juga, mengingat pembagian stanza dan su-
sunan rimanya, puisi ini masih sangat dekat dengan soneta tradisional. Pe
makaian benmk soneta tidak bisa diHhat sebagai imitasi murni Rilke terhadap
tradisi.
Die Flamingos
15
Sebagai informasi, Jardin des Plantes adnlali sebuah taman di Paris yang memiliki
bermacam-macam flora dan tauna, termasuk panther,obyek sebuah puisi lain karya Rilke.
134 kalam 22
~*—- — = • = • — . .
; ^3 rr*
Flamingo16
kalam 22 .^
MICHAEL RINALDO
Thuillier mengatakan bahwa yang diHhat dalam lukisan ini pada awal
nya adalah warna sebelum mencoba mengerti bentuk-benttik yang ada. Ia
tidak menyebut lukisan ini sebagai sebuah representasi karena ia menolak
kestatisan dan gravitasi, serta reaHtas. Namun, secara bersamaan. lukisan ini
dapat menggambarkan rigur-figur orang mandi yang dikelilingi oleh po-
hon-pohon. Jika kita melihat lukisannya seperti ini, 77/c Bathers tidaklah
meniru secara empiris obyek-obyek yang coba digambarkan.
KembaH ke baris pertama "Flamingo", kenapa si pembicara menierikan
ltikisan-lukisan Fragonard sebagai Spiegelbildcru, gambar-gambar pencer-
min? Apakah lukisan-lukisan tersebut menjadi cerinin sebuah obyek oleh
karena gaya yang tidak langsung, yang tidak secara empiris meniru reaHtas?
Pembahasan aspek im dalam lukisan-lukisan Fragonard menitinculkan se
buah pertanyaan mengenai representasi dan batas-batasnya. Seorang penulis
lain mendiskusikan pentingnya Fragonard sebagai seorang pelukis dari
sudut pandang berikut:
17 Jacques Thuillier, Fragonard: Biographical and Critical Study, penerjemah Robert Allen
(Geneva: Editions d'Art Albert Skira, 1967), 90. Karena keterbatasan sunibc. sewaktu
penulisan artikel, kutipan diterjemahkan dari terjemahan Inggris atas teks asli Prancis.
136 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL
18 Dari sebuah biografi singkat oleh KMG,"Jean Honore Fragonard: Biography", dalam
Humanities Web. http://\\ww.humaniciesweb.org/cgi-bin/human.cgi?s=g&p=r.S.-a
=b&ID=18.
19 Gunter Gebauer dan Christoph Wolf, Mimesis: Culture, Art, Society, penerjemah Don
Reneau (Berkeley: University of California Press, 1995), 293.
kalam 22
137
MICHAEL RINALDO
monis dan aHteratifantara kata sanft ("lembut" atau "halus") dan Schlaf ("ti
dur") dapat berfungsi sebagai lawan pengimbang ketidakmampuan repre
sentasi dalam bait pertama dan awal bait kedua. Bila analoginya gagal pada
tingkat logos, isi sebuah kata, kalimat ini menjadi berhasil pada tingkat lexis,
yakni kata im sendiri.Tanpa hams membicarakan benmk soneta "Die Fla
mingos", kita bisa melihat di sini sebuah pertentangan: isi bait pertama yang
mempertanyakan kenianipuan representasi verbal dituiis dengan bentuk
yang menunjukkan kepiawaian "strategi retorik" Rilke.
Si pembicara melanjutkan paparannya tentang burung-burung flamingo
dalani bait kedua dengan cara membandingkan mereka dengan bunga. Da
lam bait pertama, deskripsi pertama flamingo tersebut muncul dalani ben
tuk sinekdoke, dengan cara menggunakan warna-warna bulu mereka: ihrem
Weij] und Hirer Rote ("putih dan merah mereka"). Dapat kita lihat bahwa si
pembicara di sini tidak menggambarkan burung-burung tersebut secara
langsung. Ryan menganggap deskripsi verbal seperti ini seakan mengesan-
kan sebuah ketidaktahuan atau ketidaksadaran atas apa yang dia lihat seba
gai kemustahilan deskripsi (baik verbal ataupun visual) dalam bait pertama
(Rilke, 75). Di sini saya ingin mengatakan bahwa mungkin justru kita tidak
hams membaca pembahasan kemungkinan ketidakmampuan cara-cara re
presentasi sebagai sebuah kritik; Ryan mengambil kesimpulan yang terlalu
awal di sini. Andaikata ini adalah pembahasan ketidakmampuan representasi
verbal dan visual, mengapa si pembicara lain tetap menggunakan salah satu
cara ini dalani bait kedun "Die Flamingos"? Mungkin bait pertama bukan
lali sebuah kritik penuh, melainkan penunjuk adanya cara representasi yang
unik. tidak empiris, dan langsung. Sinekdoke yang muncul dalani bait
kedua tidak dapat dilihat sebagai medium puitik konvensional yang hanya
menciptakan efek keindahan. Sebaliknya, seperti yang saya sudah tunjukkan
sebelumnya, pemakaian sinekdoke dalani bait kedua menampakkan sebuah
pertentangan, atau apa yang oleh Adorno, meminjam istilah teori musik,
disebut disonansi. Penting dicatat bahwa, bagi Adorno, disonansi bukanlali
lawan melainkan bagian dari konsep harmoni itu sendiri (Aesthetic Theory,
110). Secara formal, inilah saat yang menunjukkan besarnya selfreflexivity
dalam puisi ini, yakni ketika si pembicara menjaga keindahan bentuk bersa
maan dengan kesadarannya akan kekurangan bentuk itu sendiri. Pembaca
an Paul de Man terhadap Rilke dapat menambah pemahaman kita tentang
hubungan antara kedua bait pertama "Die Flamingos":
138 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL
Adalah sebuah kesalahan untuk begitu saja menolak dan menganggap per-
hatian (Rilke) terhadap permukaan-permukaan yang atraktif sebagai sejenis
estetisisme [...] Penghalusan estetis bagi Rilke [...] adalah sebuah strategi
Appolonian yang memungkinkannya mengatakan apa yang dengan cara lain
tak bisa dikatakan. Dalam tataran pengalaman ini, estetika keindahan dan
keburukan tak dapat lagi dibedakan satu sama lainnya. Juga tidak mungkin
berpikir bahwa permukaan-permukaan yang menggoda (seductive) ini sebagai
suatu yang dangkal.2"
Paul de Man, "Tropes (Rilke)", dalam Allegories if Reading (New Haven dan London:
Yale UP, 1979), 23.
kalam 22 139
-J- •>
1
MICHAEL RINALDO
pemerian adalah melalui bahasa puitis. Dengan demikian, teks ini lebih
berhasil memberikan pemerian seorang kekasih dengan kalimat "sie war
noch sanft von Schlaf daripada bila ia bertahan pada bahasa empiris yang
masih berpegang pada hubungan langsung antara kata dan benda.
Tampaklah sekarang adanya paralelisme antara retorik non-verbal Hy-
perides dan keberhasilan analogi puitis dalani deskripsi sang kekasih pa
da bait kedua "Die Flamingo".
Sambil tetap mengingat goresan putih dan merah dadu Fragonard, seka
rang perhatian perlu diberikan kepada Phryne pada akhir bait kedua. Da
lani baris 8 dan 9, burung-burung flamingo yang sedang berbunga (bliihciid) ini
merayu diri mereka sendiri secara lebih memikat daripada Phryne.
Apakah arti dari perbandingan antara Phryne dan flamingo-flamingo?
Jawabannya dapat kita temukan dengan mengingat bahwa Phryne dibebas-
kan karena ia telah menunjukkan kemaluannya yang berwarna merah dadu
dan muda im kepada hakim-hakim dalam sidang itu. Phryne memiHki pe-
nonton. Para flamingo, sebaHknya, menjadi lebih memikat karena mereka
merayu dan menggoda diri mereka sendiri dan terisolasi dari mata para
penonton yang asing. Dalani bait ketiga, mata burung-burung ini meng-
arah kepada diri mereka sendiri.Tatapan mereka bersembunyi di antara bti-
lu-bulu sisi sayap putih dan merah dadu, tempat lapisan bam berwarna hi
tam dan merah-buah (fruchtrot) tersembunyi. Flamingo-flamingo ini hanya
dapat meHhat warna-warna yang tersembunyi ini bila mereka mengalihkan
perhatian mereka dari dunia luar, yaitu penonton mereka, dan beraHh ke
dalam diri mereka sendiri (dengan asumsi bahwa mereka berada di Jardin
des Plantes). Kita dapat tafsirkan aksi ini sebagai perubahan arah terhadap
abstraksi, ketika penampilan/penampakan secara langsung menjadi lebih la-
bil. Dengan dilambangkan oleh tatapan antara flamingo-flamingo tersebut
dan sang pemandang, komunikasi tak lagi bersifat langsung dan terbuka.
Tatapan para flamingo ini tidak mencoba berinteraksi dengan sang peman
dang untuk memperlihatkan warna "hitam dan merah-buah".
Di sisi lain, menghindarnya tatapan para flamingo juga menjadi kunci
atraksi mereka di mata sang pemandang, yang di sini tidak dapat melihat
warna-warna yang tersembunyi di balik bulu-bulti sayap sang Flamingo.
Frustrasi sang pemandang muncul pada awal bait keempat: Auf einmal
kreischt ein Neid durch die Voliere ("tiba-tiba menjerit rasa iri ke seluruh
sangkar"). Terkejut oleh jeritan mi, flamingo-flamingo ini meluruskan
kalam 22
140
RILKE DAN CHAIRIL
posturnya dan kabur ke sesuam yang kliayali: sie aber haben sich erstaunt
gestreckt/und schreitcu cinzclu ins Imaginarc ("terkejut, mereka telah luruskan
diri/dan melangkah terpisah ke yang khayaH"). Kata schreiten, selain berarti
"berjalan" atau "melangkah", juga mempunyai arti gaya berjalan sengaja
yang angkuh atau berpamer. Namun, kata ini juga bisa berarti "mengambil
langkah yang panjang", sebuah pengertian yang perlu diperhatikan meng
ingat panjangnya kaki para flamingo ini. Mungkin burung-burung ini me
langkah kabur, schreiten, dalam sebuah gaya yang angkuh dan berpamer, se
akan masih menyadari tatapan sang pemandang. Bahkan dalam kaburnya
mereka ke sesuam yang kliayali dan abstrak, tatapan sang pemandang, dunia
luar, masih memiliki peran dan tidak sepenuhnya hilang. Mungkin sebuah
contoh dari masa kini dapat memperjelas hal ini: bayangkan seorang model
yang berjalan mengelilingi catwalk. Satu bagian dari apa yang membuat
model itu begitu menarik adalah nienghindarnya tatapannya dari mata
sang penonton, bahkan lensa kamera. Namun, memancarnya keindahan ca
ra jalannya yang angkuh dan berpura-pura itu juga bergantang kepada se-
pasang mata sang pemandang.
Dengan demikian, kaburnya para flamingo tersebut dengan keangkuh-
annya mempunyai sebuah "motivasi sosial". Namun, ini tidak juga berarti
bahwa sang pemandang mendominasi para flamingo karena apa yang
membuat mata sang pemandang mengarah kepada burung-burung terse
but adalah gaya jalan mereka yang angkuh. Mereka tidak mencoba berhu
bungan secara langsung dengan penonton. Melangkahnya mereka ke dalam
sesuam yang imajiner, mungkin lambang otonomi seni, tidak bisa dilepas-
kan sepenuhnya dari tatapan dunia luar yang mereka coba hindari. Dengan
demikian, sebuah ketegangan di seputar mustahil atau tidaknya otonomi
seni tetap ada sampai baris terakliir puisi ini. Aksi kaburnya burung fla
mingo ini menunjukkan sebuah janji positif seni, yang mengatakan ya ke
pada otonomi seni, tetapi berhenti sebelum niemenuhinya. Karena seni,
betapapun tidak jelas dan bersifat pribadi, tetap, karena strukturnya (seperti
teks, misalnya), pada akhirnya mempunyai motivasi dan gema sosial. Puisi
Hrik Pdlke mempunyai gema sosial walaupun kehhatannya tidak mempu
nyai "motivasi sosial", dan malah cenderung pribadi.
Kata Imaginarc di sini mempunyai kesamaan 'rima dengan Voliere—kata
Prancis untuk "sangkar". Mungkin kesamaan rima antara dua kata ini
memperlihatkan bahwa yang maya itu sendiri tidaklah tak terbatas, mela-
kalam 22 -J41
MICHAEL RINALDO
•|42 kalam 22
t*l*-\1 of
MICHAEL RINALDO
Lampiran
Catatan penulis: Berikut adalah tiga terjemahan surat Rilke oleh Chairil, di
mana terjemahan Chairil dilampirkan terlcbih dahulu lalu diikuti oleh surat asli
Rilke. Berhubung Chairil tidak menerjemahkan surat-surat tersebut secara keselu
ruhan, maka surat asli Rilke pun hanya disertakan di sini dalam bentuk frogmen.
Satu pcrkecualian adalah surat yang bertanggalkan 19 Oktober 1904, yang saya
tampilkan di sini secara penuh untuk menunjukkan kemungkinan adanya salah
pcnanggalan dalam terjemahan ketiga Chairil. Untuk kemudalian pembaca, surat
Rilke dengan tanggal itu saya terjemahkan dengan bantuan Junike RomuU, yang
saya hams uluri tcrima kasih untuk kescdiaannya membaca dan merevisi terjemah
an tersebut. Bila terjemahan itu tidak dapat menangkap nuansa penulisan Rilke,
tanggung jawab sepenuhnya ada pada saya.
Rodin adalah suatu contoh tiada bertara, keajaiban yang menyinar sampai
jauh—tapi toll seorang tua, sepi tidak tertuliskan, sepi dalam kebesaran suasana
orang tua.Tidak, tidak ada dia melepaskan apa-apa, sehidupnya dia mengum-
pulkan kehidupan penuh arti sekelilingnya, tidak apa pun dibiarkannva ter-
tinggal dalani ketidaktentuan, dibulatkannya semua: dari melancarnya perasaan
yang terterpa, dari bekas tinggalan suatu mimpi. dari pangkal pembayangan
yang masih samar dijadikannya—"benda-benda"dan ditarokannva sekeliling
nya; selalu yang baru; benda yang sunyi dan melingkung jauh yang memper-
hubungkan dia dengan benda-benda lain—lebih lama sehingga seperti dia
adalah turunan dari Rumah yang raya dan megah; dari itulah ketenangan dan
kebesarannya, usia tinggi yang tidak tahu gentar, superioritasnya atas orang-
orang yang terlalu gelisah, terlalu sangsi, terlalu banyak bermain dengan kese-
timbangan-kesetimbangan, atas mana dia—nyaris tidak sadar—berpijak.
[...] bukan membentuk aku harus belajar dari dia, tetapi konsentrasi yang
dalam untuk membentuk. Aku harus belajar bekerja Lou, bekerja. Inilah ke-
kuranganku! Barangkali ini cuma semacam tidak sigap yang menghalangi aku
144 kalam 22
RILKE DAN CHAIRIL
Oberneuland
10-8-1903
Er [Rodin) ist der Wichstigsten Einer, Ein Zeichen weit iiber der Zeit, ein
ungemeines Beispiel, ein weithinsichtbares Wunder- und doch nichts als ein
unsaglich einsamer, alter Mann, einsam in einem groBen Greisenthum. Sieh,
er hat nichts verloren, er hat zusaminengetragen und urn sich gesammelt ein
groBes Leben lang; er hat nichts in Umgewissen gelassen und aller ver-
wriklicht: aus der Flucht eines erscchreckten Gefiihls, aus eines Traumes
Triimmern, aus dem Anfang einer Ahnung schon hat er Dinge gemacht und
hat sie urn sich gestellt, Dinge und Dinge; so wuchs um ihn eineWirkkchkeit,
eine wite stille Verwandtschaft von Dingen, die ihn mit anderen und alteren
Dingen verband, bis er selbst aus einer Dynastie groBer Dinge zu stammen
schien: seine ruhe und seine Geduld kommt von daher, sein angstloses,
dauerndes Alter, seine <berlegenheit iiber die Manschen, die viel zu beweglich
kalam 22 -J45
MICHAEL RINALDO
Kepada Rodin
Saya ditang ke tuan bukan hanya untuk membikin satu studi, tetapi un
tuk menanyakan pada tuan: bagaimanakah kita musti hidup? Dan jawab tuan
pada saya: "dalam bekerja". r
Dan saya mengerti ini betul-betul. Saya rasa bekerja adalah: hidup dengan
tak usah mati. Saya penuh terima kasih dan penuh kegirangan. Sedari jaman
kanak saya cobakan begini. Tetapi kerjaan saya, karena terlalu saya suka pa-
146 kalam 22
-f£l -7i—tz-—z——
danya, dalam berianjut tahun menjadi suam yang gagah, pesta yang terhubung
dengan ilham yang jarang, dan sampai minggu saya tidak berbuat apa selain
menanti, dengan duka tak terhingga, saat mencipta. Itu adalah hidup penuh
jurang. Tetapi saya tidak sekali berani menggapai keilham yang jauh f...J Se
karang saya tahu bahwa jalan satunya ialah menggenggamkannya. Dan inilah
kelahiran kembali dari hidup saya yang hebat dan dari pengharapan yang tuan
kurniakan.
Paris II RueToullier
den 1I.September 1902
Rilke an Rodin
Nicht nur weil ich eine Studie machen wollte, bin ich zu Ihnen
gekommen.-sondern um Sie zu fiageii: Wie soil man leben? Und Sie haben
mir geantwortet: Indem man arbeitet.
Und ich verstehc das gut. Ich tiihlc. daB Arbeiten Leben ohne zu sterben
bedeutet. Ich bin voller Dankarbeit und Freude. Denn seit meiner friihesten
Jugend wollte ich nichts als dies. Und ich habe es versucht. Aber mcine
Arbeit, weil ich sie so liebte, ist wahrend dieser Jahre zu etwas Feierlichen ge-
worden, zu einem Fest, gebunden an die seltenen Momente der Eingehung;
und es gabWochen, da ich nichts anderes tat, als mit undendlicherTraurigkeit
die schopferische Stunde zu erwarten. Es war ein Leben voller Abgriinde. Ich
habe angstlich jedes kiinsdiche Mittel gemieden,[...] Jetzt weiB ich, daB dies
die einzige Moglichkcit ist, sie zu bewahren.- Und dies ist di GroBe Wieder-
geburt meiner Lebens und meiner Hoffnurig, die Sie mir geschenkt haben.
Kalau tidak semuanya menipuku akan maju aku selangkah ke depan dan
sudah mustinya kulakukan setidaknya sekarang di masa yang dikurniai ini.
Aku mungkin mengambil berapa pulusan untuk hidup tambah banyak
bekerja dan lebih sedar dari kini.
kalam 22 -|47
T~t ST
MICHAEL RINALDO
Aku rasa di sini bagaimana banyaknya pengaruh yang baik datang berkumpul
padaku. Sipat sebenarnya yang memang baik dan kerelaan yang dalani akan meno
long dari orang di sini, tenaga dan beningnya kejemihan jiwa mereka—perasaan-
perasaan berhubung dengan yang tinggi, rasa tertekan serta kenikmatan yang murni
dari musim gugur bekerja di diriku dan aku bertukar benar. Aku sepotong besi
yang akan lantas pijar dan palu akan berganti-ganti mendera.
Dalam sajak yang menjadi olehku bagiku lebih banyak rasanya tersimpan
kebenaian dari dalam perhubungan atau persahabatan.Jika aku kuasa mencip
ta, adalah aku benar dan inginlah aku mendasarkan hidupku atas kebenaran,
atas kesederhanaan ini yang tidak putusnya dan kegembiraan yang kadang-ka-
dang diberikan padaku.
Sedari aku pergi ke Rodin itulah kucari; sebab dari intuisi sudah bertahun te
rasa olehku tentang yang tidak bertara dan patutnya diturut kerjanya karena setelah
kutinggalkan dia sekaiang, tahu aku bahwa tidaklah pula lain yang hams kuingmi
dan kucari dari terkabulnya kerjaanku sendiri.. Tetapi bagaimana aku memtilai ja
lan ini- di manakah letaknya tenaga tangan buat kesenianku, bagian yang paling da
lam dan kecil, di mana aku bisa mulai supaya cekatan?
Aku mau mulai tiap jalan kembali dari pangkalnya dan semua yang kutuhs
akan tiada, lebih hilang lagi dari usapan di ambang, karena tiap tamu baru
membawa pergi pula jejak kakinya. Dalam diriku ada kesabaran yang berabad
dan akan hidup serasa waktuku sangat panjangnya.
Nach Gottingen
Furuborg,aml9.0kt. 1904
heute morgen ist mir in einer groBen Helligkeit dieses Klar geworden: ich lebe
seitJahren mit schlectem Gewissen und mit seichter Kraft: alles was mir begegnet,
ist nur eineWeile flott, fihrt, aber plotzlich kreischt es aufden Grund und sitzt fest.
Soil mein Leben besser worden, so muB ich vor allem an diese beiden
Dinge denken: Kraft und Gewissen. Die Kraft (das hat die Blut-Analyse
bestatigt) ist unzureichend. Eine Kurzeit m Skqdsborg oder bei Lahmann
konnte das bessern. Danach forgesetzes naturgemaBes und einfaches Leben.
Was ist aber das Gewissen? Ich sehe, daB es so mit meiner Arbeit nicht
weitergeht; daB ich lhr neue Zuflusse aufthun muB, nicht weil ich sie nicht
14g kalam 22
—m r—
ordnen [,] nicht verbinden kann. Ich muB greifen lernen und halten: arbeiten
muB ich lernen. Das sage ich mir seit Jahren und pfusche doch so weiter.
Davon das arge Gewissen; umso arger wenn andere Vertrauen zu mir haben.*
Ich kann vor mir selbst nicht froh sein und deshalb bin ich es nie.
Mir fehlen vielleicht nur ein paar Handgriffe und Hulfen.Wenn man mir
nur die erste Thiir ofihete, cih denke den Mechanismus der anderen wiirde
ich dann schon zu behandeln wissen. Und wemi jetzt piiltzlich Wasser, viel
Wasser iiber meine Rader kaiiie, irgend ein ZufluB, der zu stiirzen und su
rauschen weiB, vielleicht ware das ganze Elend dieses tragen Malilgangs fur
immer vorbei. Doch du denkst, daB ich das alles schon gesagt habe. Und daB
das Einbildungen sind. Und daB man da nicht einsetzen kann, weil es un-
moglich ist, alle dieTabesbewegungen meinesWillens mitzumachen.
Aber das ist auch nicht die Klarheit, die ich heute morgen, auf einem
hohen Wildplatz luftbadend, empfing. Diese Klarheit ist wirklich klar, lautet:
Ich will jetzt noch einige Wochen hier Gast bleiben, mirWache, Kleider und
Schuhe kaufen (wovon ich so gut wie nichts mehr besaB). Sparen, wie es das
Gastsein erlaubt. Ordnen. Arbeiten, so gut es geht. Dann will ich mehrere
Wochen in Kopenhagen sein; um zwei bestimmter arbeiten willen.
Dann will ich nachhause gehen und Weihnachten haben bei Ruth. Lange
Weihnachten. Dann will ich entweder nach Skodsborg oder zu Lahmann
gehen und eine ausfiihrliche Kur aushalten, so wahrend Februar-Marz, in der
Zeit, da meine Influenza wiederzukommen pflegt.
Dann will ich eine kleine Reise machen, dorthin wo Du dann sein wirst...
Dann, zum Sommersemester, will ich an eine Universitat gehen und
studieren: Geschichte, Naturwissenschaften, Physiologic, Biologic, experimented
Psychologic, etwas Anatomie* u.s.w.
Dabei handelt es sich um zwei Dinge.
1. Die Universitat zu finden, die am zweckmaBigsten fur mich ist.
2. Eine Personlichkeit zu entdecken, die mir hilft, so daB die Sache aus
einer allgemeinen zu einer Angelegenheit von Mensch zu Mensch wird.
Zu 1: denke ich oft an Zurich. Weil es dort vermuthHch angeht, landHch
zu wohnen und vegetarisch zu essen.- Weil es eine Universitat mit deutscher
Catatan kaki Rilke: meine Nachsten; mein Vater, der jetzt auf eine so traurige Art
geduld mit mir hat; Ellen Key, die Menschen hier im Hause.
*
Catatan kaki Rilke: Grimm'sches Worterbuch nicht zu vergessen.
kalam 22
149
-zrsr
MICHAEL RINALDO
Vortragssprache ist, ohne doch eigendich deutsch zu sein; weil, wie ich
vermuthe, dort am ehesten, nicht Studenten, sondern Menschen zu finden
sind (und russische Menschen.)
Aber zu 2: findet sich dort ein Lehrer von Bedeutung, zu dem ich
personHch mit meinen Fragen und Wunschen, mit der ganzen Fiille meiner
Unerfahrenheit kommen kann? (daB ich nicht einer hunderten sein muB: in
soldier Lage gehe ich ganz verloren, falle mit alter Wucht auf mich selbst
zuriick...) In diesem Sinne, wie ich es meine, hatte seinerzeit Simmel mir
helfen wollen, wenngleich tiabei nichts Gutes flir mich hatte herauskommen
konnen, nichts als eine ungeheure Komplikation meiner Konflikte. In diesem
Sinne, wollt auch Kurt Breysig mir helfen und wiirde es wohl, obwolil ich
mich damals mit aller Unart abgewendet habe, noch wollen. Aber ich glaube
er ist unbedeutend und eitel und fleiBig.-Da ware ein Mensch wie der alte
Jacob Burckhardt der richtige gewesen.-
In Ziirich lebt, meines Wissens, jetzt Richarda Huch, die, wie ich
mehrmals gehort habe, von mir weiB. Sie wiirde gewiB in mancher
Beziehung helfen konnen und wollen, vermittelnd und rathend.
Und ist nicht Fore! noch da?-
Liebe Lou, ich sende meinem Brief von vorgestern diesen nach; er ist
zwar ebenso schlecht und stiickhaft,- aber ich denke er ist von etwas festerer
Strukuir und unterstiitzt meine Bitte, Du mochtest mir helfen, dadurch daB
er besser sehen laBt, wo zu helfen ware; daB er absehbarer ist.
Es wiirde sich also darum handeln, in den nachsten Monaten die
Universitatsfrage gut zu tiberlegen; Du sollst Dich nicht darum bemuhen,
aber es kann leicht sein, daB Du etwas horst oder Hest was mich weiter-
bringen kann. Auch hast Du ja eigene Errinerungen an Zurich. Das hilft viel.
Liebe Lou, ich danke Dn Sir alles, fiir jeden Gcdanken, furjede Geduld.
Und hab es gut.Vielleicht ist "der Sieg" doch noch auf Deiner Seite und Du
muBt nicht so lange liegen und kannst so langsam, langsam wieder ganz
gesund werden.
Ich denke jetzt oft an die Kleine Madonna in dem silbernen Gehause;
nachdem ich sie jahrelang ganz vergessen hatte, kenne ich sie jetzt wieder
genau und denke an sie als hatte ich sie gestern'in der Hand gehalten, au£-
und zugemacht. Leb wohl.
Rainer.
150 kalam 22
' V >• f
Dekat Gottingen
Furuborg, 19 Okt. 1904
Lou,
hari ini, di bawah suatu sinar yang besar, satu telah menjadi jelas: aku telah
hidup bertahun-tahun dengan perasaan tidak enak dan kekuatan yang dang-
kal: semua yang telah kutemui, hanyalah sesuatu yang bersifat sementara, ber
jalan, tetapi tiba-tiba berhenti di atas tanah dan berakar.
Agar hidupku bisa menjadi lebih baik, aku harus memikirkan dua hal ini
sebelum segala yang lain:Tenaga dan perasaan hati/kesadaran. Tenaga ini (yang
telah dipastikan oleh analisa darah) tidaklah cukup. Mungkin berada sejenak di
Skodsborg atau Lahmann dapat meningkatkannya.
Tetapi apakah itu perasaan? Aku melihat. bahwa aku tidak dapat menerus-
kan pekerjaanku. bahwa aku harus menemukan anak sungai yang baru untuk-
nya, tetapi bukan karena segalanya terjadi dari anak sungai ini dan keberadaan
[Dasem| menjadi kecil,-hanya: karena dia tidak mengaturku, aku tidak bisa
menyalurkannya. Aku harus belajar menggapai dan mencengkram: haruslah
aku belajar untuk bekerja. Hal ini sudah kukatakan selama bertahun-tahun
dan kemudian tetaplah aku melakukannya dengan ceroboh. Dari situlah tim-
bul perasaan yang buruk; lebih buruk lagi bila seseorang lain telah menaruh
kepercayaan kepadaku.* Tak ada kegembiraan dari dalam diriku dan karena
itu aku tak pernah bersuka cita.
Mungkin aku hanya kekurangan sepasang sodoran tangan dan pertolong-
an. Bila seseorang telah membukakan pintu pertama bagiku, aku berpikir
akan kuketahui bagaimana menggunakan mekanisme yang lain. Dan bila kini
tiba-tiba air, banyak air menerpa gerigi rodaku, entah sebuah anak sungai,
yang terjun dan bergeniuruh, akanlah semua yang tadmya lemah bagaikan
penggiHng gandum yang seret menjadi masa lalu. Mungkin kamu berpikir,
bahwa semua ini sudah pernah kukatakan. Dan mi hanyalah sebuah imajinasi.
Dan aku tak akan bisa mengikutsertakan, karena tidak mungkin, semua yang
Catatan kaki oleh Rilke:Tetanggaku; ayahku, yrng kirn punya kesabaran dengan aku
yang cenderung sedih; Ellen Key, orang-orang dalam rumah ini.
kalam 22
151
MICHAEL RINALDO
•| 52 kalam 22
•3T
menolongku pada waktu itu, meskipun pada saat yang sama tak ada suatu pun
yang bagus dapat diraih darinya, melainkan hanya komplikasi dahsyat kon-
flikkti. Dalam hal ini Kurt Breysig juga pernah ingin menolongku dan selalu
bersedia, walaupun aku pada waktu itu dengan segala tipu daya menghin-
darinya. Tapi menurutku dia itu tidak berguna bagiku, bertingkah sombong
dan rajin bekerja. Orang yang mungkin cocok bagiku adalah si tua Jacob
Burckhardt.
Setahuku Richardi Huch sekarang hidup di Zurich, dan yang kudengar lagi,
dia mengenalku. Dan dia juga pasti dalani beberapa hal bersedia menolong, siap
dihubungi dan memberi nasihat. Dan bukankah Foreljuga masih di sana?
Lou (sayang), aku menyusulkan surat ini atas surat sebelunmya, tapi isinya
sama buruknya dan putus-putus, - tapi kupikir surat ini mengandung struktur
yang lebih kokoh dan menyokong permohonanku, agar kau mau menolong
ku. agar surat ini dapat tampak lebih baik, dan traiisparan; agar surat ini lebih
patut dicontoh.
Mungkin bulan depan pertanyaan mengenai universitas pantas dibahas.Ja-
nganlah kamu mengkhawatirkan hal ini, tapi hal ini dapat menjadi lebih mu
dah, bila aku diberi tahu, dari apa yang sudah kamu dengar atau baca, apa
yang dapat kubawa denganku. Dan ingatanmu sendiri mengenai Zurich. Hal
itu akan membantu banyak.
Lou (sayang), aku berterima kasih kepadamu untuk semuanya, untuk seti
ap ide, untuk setiap kesabaran. Dan aku merasa beruntung. Mungkin "keme-
nangan" masih berada di sisimu dan kamu tidak harus bcrbaring begitu lama
dan bisa lambat laun sepenuhnya sehat kembali.
Aku sekarang sering memikirkan patung kecil Bunda Maria dalam kotak
peraknya. Setelah aku begitu lama benar-benar nielupakannya, sekarang aku
sudah mengenalnya kembaH dan berpikir tentangnya seperti baru kemarin sa
ja aku menggenggamnya di tanganku, membuka dan menutupnya kembaH.
Jaga diriniu baik-baik.
Rainer.
kalam 22 -n
"* . . --*,— T—&-
h^
-
Mi
h
a I r tl ^ViM^^Ca^^
^D
X
i. '.- • J- - 77
VfH' DINI adalah salah satu dari sekian banyak penulis perempuan
1 Nyang ikut mewarnai dunia sastra Indonesia.Telaah terhadap karyanya
menunjukkan bahwa karyanya berpandangan feminis. Melalui mlisannya,
Nh. Dim bahkan ingin menjadi "wakil wanita"1 untuk menyampaikan
"usul dan protesnya",- serta menjadi suara dari kebisuan perempuan. Jika
beberapa karya penulis perempuan yang tergolong berpandangan feminis
seringkali digugat sebagai "sastra seksual" belakangan ini, Nh. Dini telah
melakukan perlawanan terhadap konstruksi seksualitas perempuan sejak ta
hun 1970-an. Kemawmn, misalnya, yang menggugat mitos malam pertama
dengan menekankan kesakitan perempuan yang biasanya terbisukan oleh
wacana kegagahan dan kejantanan laki-laki. Karya-karya Dini lainnya yang
berapa novel menggugat perkawinan sebagai lembaga yang seringkali
mengabaikan subyektivitas—termasuk seksualitas—perempuan.
Daya tank lain karya Nh. Dini bagi saya adalah dakm hal pemilihan latar,
terutama latar tempat di luar negeri. Nh. Dini jeH menangkap perbedaan budaya,
adat dan kebiasaan, serta cara pandang yang bersama-sama membangun per
lawanan terhadap apa yang diterima sebagai kelaziman, terutama mengenai
identitas perempuan, termasuk seksualitasnya. PerspektifTimur yang seringkaH
diambilnya bukan semata-mata penerimaan Timur sebagai Liyan (the Other)
Bagian dari tesis Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel Karya Nh. Dini,
Program Kajian Wanita Universitas Indonesia. '
Lihat Nh. Dini, Sekayu (Jakarta: Gramedia, 2000), 76. Cetakan pertama oleh Pustaka
Jaya, 1980.
Lihat Th. Sri Rahayu Prihatmi, Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1977), 47.
kalam 22 .__
155
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
Struktur narasi
Yang menarik pada PSK adalah dua narasi yang berbeda sebagai cer-
minan pandangan perempuan (Sri, penari) dan pandangan laki-laki
(Michel Dubanton, pelaut). Kedua narator menceritakan kehidupan
masing-masing ketika keduanya saling bertemu, terutama di atas kapal yang
ditumpangi Sri dan dinakhodai Michel. Narasi terpisah ini, menurut saya,
menguatkan asumsi atas oposisi biner femininitas dan maskuHiiitas, serta
seksualitas perempuan dan laki-laki. Lebih daripada sekadar representasi
perempuan, Sri juga merupakan wakil Tiniur (bukan putih), tandingan
Michel yang laki-laki dan Barat (putih).
Lihat Simone de Beauvoir, The Second Sex, penerjemah dan editor H. M. Parshley
(Vintage Book Edition, 1997). Selanjutnya dituiis Tlie Second Sex: Kate Millett, Sexual
Politics (London:Virago Press Limited, 1991); Ann Oakley, Sexuality, ringkasan dari
Sex, Gender and Society, dalam Stevi Jackson dan Sue Scott Feminism and Sexuality: A
Reader (New York: Columbia University Press, 1972); Janet Shibley Hyde, Half the
Human Experience, edisi ke-3, (Lexington, Massachusetts, Toronto: D. C. Heath and
Company, 1985).
4 Pada Sebuah Kapal (Jakarta: Gramedia, 2000). Cetakan pertama oleh Pustaka Jaya,
1973. Selanjutnya dituiis PSK. r
La Barka (Jakarta: Gramedia, 2000). Cetakan pertama oleh Pustaka Jaya, 1975.
Selanjutnya dituiis LB.
6 Namaku Hiroko (Jakarta: Gramedia, 1989). Cetakan pertama oleh Pustaka Jaya, 1977.
Selanjutnya dituiis NH.
156 kalam 22
SEKS, BERAHI, DAN CINTA
Narasi Michel Dubanton bagi saya sendiri tidak menarik dan terkesan
terlalu dipaksakan bersuara "maskulin". Nil. Dini sepertinya bemsaha
menghadirkan stereotipe laki-laki, misalnya ketidaksetiaan, yang seolah-olah
mewakiH karakter semua laki-laki, dengan penggunaan kata ganti pertama
jamak "kami" yang dampaknya memtikul rata semua laki-laki: "Kami laki-
laki ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang tidak setia." (PSK, 263).
Dalam narasi Michel, seksualitas perempuan ditampakkan sebagai me-
nantang dan menyerah pada keinginan dan berahi laki-laki. SeksuaHtas pe
rempuan yang takluk itu ditampilkan monolitik serta melewati batas-batas
ras dan budaya. Misalnya, perempuan Italia adalah "Sepotong daging yang
patut dicoba" (PSK, 260), perempuan India "tahu menaklukkan Anda" atau
perempuan Tionghoa "memang bukan man"(PSK, 262). Tidak jadi soal
apa rasnya karena, dalam stereotipe kacamata laki-laki, perempuan adalah
obyek seksual yang menjanjikan.
Seperti hampir semua novel Nh. Dini, tokoh utama dalani LB adalah
"aku". Cerita ini sebenarnya adalah semacam buku harian yang diudis to
koh Rina untuk kekasihnya. Rina adalah seorang janda bersatu anak yang
tengah menanti keputusan perceraian dan suaminya. Rina berselingkuh
dengan seorang wartawan, yang kemudian meninggalkannya untuk berhu
bungan dengan perempuan lain. Dalani masa menunggu itu, Rina tinggal
di La Barka, yang menjadi pusat cerita baik secara kiasan maupun harfiah.
Meskipun narasi disampaikan oleh tokoh Rina, dan Rina adalah bagian
dari cerita, altir cerita tidak hanya beifokus pada dia. Rina sendiri lebih
merupakan pusat pandangan atas segala sesuatu yang berlangsung di seputar
rumah peristirahatan La Barka. La Barka, dalani hal ini, menjadi seperti
kalam 22 *cj
s*-.—ssr
Toril Moi, Feminist Tlieory and Simone de Beauvoir (Cambridge: Blackwell Publishers,
1993).
Melani Budianta, "Yang Memandang dan yang Dipandang: Potret Orang Kecil dan
Wacana (Post)-Kolonial", Kalam 2,1994.
158 kalam 22
-3S5-
Alur novel ini berpusat pada hubungan Hiroko dengan laki-laki. Setiap
hubungannya dengan laki-laki bermakna dalani pembentukan watak dan
sikapnya. Hiroko menjaHii hubungan dengan beberapa laki-laki. Ia
berturut-turut berhubungan dengan Sanao, sang majikan,Yukio, Suprapto,
dan Yoshida.
Malam itu kami habiskan tandas. Aku tidak menunggu saat perkawinan
kami lagi seperti kebanyakan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Saputro telah
kalam 22
159
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
kembali. Dan aku mencmtainya. Apakah lagi yang mesti kami tunggu untuk
saHng nielumat satu dengan laimiya, memasabodohkan hukum yang hanya di-
bikin oleh manusia abad-abad terakhir [PSK, 96).
Pada kutipan di atas, terlibat juga kesadaran Sri bahwa dalam perlawa-
nannya terhadap norma-norma sosial/seksual, ia harus menganggap dirinya
sebagai Liyan yang berdiri di luar strtiktur. la menganggap diri sebagai bu
kan gadis dari keluarga baik-baik, padahal ia berasal dari keluarga yang di
gambarkan hangat dan 'baik-baik". Seksualitas membentuk tidak saja tu
buh perempuan, tetapi juga kesadaran dan cara perempuan melihat dirinya.
KetidakpeduHannya terhadap norma membuatnya menjadi Liyan, tetapi
dalam hal ini, aHh-aHh dipandang sebagai Liyan dan atau "menyerah" pada
norma patnarkal itu, Sri terlebih dtilu memandang dirinya sebagai Liyan.
Dengan demikian, alat perlawanan Sri adalah alat yang sama yang telah
membatasinya dalam norma patriarki.
Sebagai perempuan, Sri juga digambarkan memiHki berahi, sebagaimana
laki-laki seperti Michel. Bahkan dalam percintaannya dengan Saputro dan
Michel, keinginan itu muncul dalani metafora panas yang menyerang dan
dirasakan tubuhnya, "Setiap kah aku kembali ke pelukannya, aku tahu bah
wa dia merindukanku. Alnan panas yang kurasakan dari tubuhnya, dari
sentuhannya, menenangkan perasaanku" (PSK, 169).
Tubuh Sri mengalami berahi dan, pada saat yang sama, merasakan bera-
hi Michel. Seks yang kemudian dapat dinikmati Sri adalah seks yang ber
langsung berbalasan, yang kedua subyeknya mengalami dan dialami, me-
nyentuh dan disentuh. Seks bukanlali wacana subyek yang menjadikan sub
yek lain sebagai obyek, seperti yang selama ini ia alami dengan suaminya.
Dengan Michel, Sri mendapatkan kepuasan seksual yang tidak pernah ia
peroFeh dalam perkawinaniiya. Meskipun demikian, menyadari posismya
sebagai istri, kepuasan seksual yang ia dapat dan laki-laki lain itu meniiii-
bulkan rasa bersalah, sesuatu yang merupakan bagian dari konstruksi seksu
alitas perempuan dalam budaya patriarki.
"Aku telah menghianati suamiku," seperti rnembutuhkan pengakuan, aku
berkataperlahan . . .
"Kau menyesal?"
Benarkah aku menyesal? Apakah yang bisa disesali dari sikap dan rabaan-
kalam 22
160
S :i±- *.' -••-
rabaan kasar yang akhirnya tidak sampai kepada kepuasan mutlak seperti yang
telah kuperoleh darinya? Aku tidak menyesaHnya. Kebahagiaan yang baru ku-
kecap bersamanya belum pernah kurasakan. Seolah baru sekali itulah aku be
nar-benar mengenai kedalaman arti hidup antara laki-laki dan perempuan
(PSK, 174).
kalam 22 ...
161
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
Seperti juga Sri, Rina mengalami hubungan seks yang sangat tidak
membahagiakan karena hubungan dia dengan suaminya juga tidak menye-
nangkan. Lebih dari itu, kebutuhan seks kemudian menjadi sesuatu yang
mendera karena pemenuhannya tidak dapat begitu saja dilakukan oleh
sembarang laki-laki, termasuk suami. Hubungan seks dengan orang yang
tidak diinginkan bagi Rina dirasakan sebagai tindakan yang rendah dan
merendahkan diri.
Malam yang satu disusul oleh malam yang lain bila dia menghendaki tu-
buhku. Hingga tiba saatnya aku berpikir dengan stingguh-sungguh bahwa aku
hanya dianggapnya sebagai alat, sebagai suatu benda berguna baginya guna
mencapai puncak-puncak kenikmatan yang mungkin berbeda dari kenikmat-
an-kenikmatan yang didapatnya dari perempuan-perempuan lain [...] Sejak
itulah aku menjadi kurang berhasrat menerima dan menanggapi belaiannv.i
yang kuakui selalu membikin aku kehilangan akal. Ini tidak dapat berlangsung
terus, seruku di dalam hati setiap kaH peristiwa semacam itu berulang. Dari
baHk hati terasa harga diriku yang menderita, yang pasrah, terasa luka seluruh
perasaanku sebagai perempuan, yang sadar akan kesanggupan hidupku tanpa
bantuan maupun belaian laki-laki semacam suamiku (LB, 44-45).
Di sini, sekaH lagi, ada perlawanan yang kuat terhadap lembaga perka
winan sebagai lembaga patriarkal karena sebagai lembaga yang mengesah-
kan seks, perkawinan tidak banyak berarti dalani memberikan kepuasan
seks. Seks ternyata tidak cukup bermakna hanya karena dilakukan secara
"legal". Sebaliknya, seks dalam perkawinan seringkali kemudian berubah
wujud menjadi bentuk relasi kekuasaan antara suami sebagai subyek dan is
tri sebagai obyek. Seks kemudian menjadi benmk kekerasan. atau paHng ti
dak bentuk penguasaan.
Meskipun PUna tidak secara tegas mengemukakan hubungan seksualnya
dengan kekasihnya yang wartawan, pembaca diarahkan untuk percaya bah
wa keduanya menjalani hubungan seksual juga. Hubungan seks yang dice
ritakan Pana berikutnya adalah antara dirinya dan Robert. Di sini Rina
mendapatkan kepuasan tidak saja karena ia memang sudah lama tidak ber
hubungan seks dan sangat membuUihkan serta nienginginkanny i. tetapi ']
162 v' *l n
SEKS, BERAHI, DAN CINTA
Malam itu Robert menjadi kekasihku .... Dengan laki-laki seperti dia,
aku tidak lagi mempunyai tempat untuk niengundurkan langkah. Ia terlalu
terlalu mengerti betapa aku merindukannya, menghendaki dan menanggapi
belaiannya Dia menderita, seperti juga dia mengerti aku menderita oleh
perasaan yang sama Ya, malam itu aku bernapas dengan kebaruan. Seolah-
olah hendak memuntahkan kau dari dalam diriku. karena selama ini
menyekat di tenggorokan dan menghalangiku menyerukan kebebasan. Ketika
akhirnya aku tertidur. tak sedikit pun aku teringat lagi padamu, Robert
mencintaiku malam itu (LB, 237-238).
kalam 22 -iz-j
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
merasakan malu untuk melihat lebih dari beberapa detik saja. Demikian ber
beda kebiasaan kami bangsa Tiniur (LB, 87).
..£4 kalam 22
-X-r-
kalam 22 165
-*———r-
an atau ajaran itu. Kalaupuu aku jadi bercera, barangkali aku akan hidup ber
sama seorang laki-laki, tetap. tidak untuk kawin lap (LB. 188).
Kutipan di atas jug. merupakan bentuk pembebasan dan perlawanan
terhadap definisi-definisi yang selama ini d.terapkan kaum otontas ter
masuk gereja" dan lembaga-lembaga agama lam terhadap perempuan. Arti
nya bankan kerika drtentukan oleh struktur patnarku (termasuk lembaga
a^ama), perempuan dapat nrengmtemalrsas, itu dan menentukan drnnya
setagai bernda d, h.strukuir,sehingga strukturtidak dapat fag, menyenmhnya.
Dari ketiga novel yang saya bahas, NH adalah novel yang paling lugas
membrcarakan seks, terutama dalam am yang sangat ragaw: berahi.
Persembuhan, karena sifatnya yang "mengubah" •*""*£
pengalaman yang n,enandai perubahan atau kesadaran Bagi Hnok*
persttubuhan pertama merupakan titik awal yang nrenanda, kesadarannya
akan seksuaHtasnya.
taifah mm yang sehamsnya membayar sewa kam.ir paling imih.il buatku.
Aku beiharmg dengan kemabukan yang uikmat, dr dalam kamarku yang terfalu
sempit,di atas kasnr yang kubeli dengan uang bekal dari to (NH, 48).
Mitos "malam pertama" membayangi gambaran malam pertama itu.
Dalam persembuhan pertama, bagarmanapun lenabutnya, terjadr kekerasan
yang menyakatkan, karena terjad, "perusakan" terhadap organ tubu p-
rempuan. Mitos malam pertama pada umumnya lebih mengacu kepada ke
nangan dan kenikmatan fakt-laki. Dalam paparan tentang hubungan seks
pertama Huoko, Nh. Dim sama sekali tidak menggarnbarkan rasa *te
"ang diternna Hrroko. Meskipun demikian, Nh. Dim menunjukkan adanya
La kehrfangan aQu rasa sesal pada Hrroko yang tidak dapat dakenal, sehabnva.
Hingga beberapa waktu bmanya aku tidak beram mengingat kembali ma-
fan, per'tamaku. Seolah-olah aku hendak melarikan diri dari kenangan ,tu. Ba
rangkali disebabkan oleh rasa kesalahan. Atau rasa penyesalan telah kehilangan
sesuatu (NH, 48).
" Saya menulis "gereja" karena gerqa merupakan lembaga agama yang d.tub Nh. Din
dlr novel LB, dan Rina digambarkan beragama Kato.ik. Saya sendir, berpendapa.
lembaga agama apa pun sangat mungkin menafsirkan agama secara pamarkal.
kalam 22
166
SEKS, BERAHI, DAN CINTA
Seperti terliliat pada telaah atas kedua novel lain, perasaan bersalah me
rupakan bagian dari konstruksi paferiarkal yang membatasi kebebasan seks
ual perempuan. Seks bagi perempuan hanya berterima dalani kerangka
"cinta" atau perkawinan. Hiroko, misalnya, berilusi bahwa dirinya dan
Sanao saHng jatuh cinta, dan anggapan bahwa cinta itu ada membuatnya
rela membiarkan dirinya digiring menuju ke "kedewasaan" dan "terkatung-
katung seperti hidup dalam mimpi".
Persetubuhan pertama menabalkan Hiroko menjadi orang yang mem
punyai "pengalaman". Ia bukan lagi perempuan lugu yang tidak tahu, me
lainkan perempuan yang sadar akan potensi seksualitas dalani dirinya dan
dalani diri laki-laki yang dihadapinya,"... kebaruan tersebut adalah tanda
terlepasku dari dunia ketidaktahuan yang selama ini meniencilkan diriku
dari percakapan-percakapan dewasa"(NH, 50). Pada diri Hiroko juga mun
cul kesadaran akan lingkuiigannya, "Sejak keesokannya, aku mulai meman
dang sekelilingku dengan mata lebih teliti" (NH, 50). Hiroko bahkan me-
numbuhkan kepercayaan diri yang cukup kuat, yang membuatnya berani
membantah niajikannya dan mengambil keputusan-keputusan penting da
lam hidupnya.
Pengetahuan yang didapat Hiroko bahwa seksualitas adalah kekuatan
untuk meniperoleh kekuasaan menjadi kekuatannya untuk mengubah po
sismya dari obyek menjadi subyek. Ia tidak lagi terpencilkan dari pembi-
caraan yang menurutnya merupakan "percakapan-percakapan dewasa",
melainkan merupakan bagian dari hngkungan dewasa itu sendiri. Jika ke-
terpencilan itu dianalogikan dengan wacana Diri dan Liyan, kesadararmya
terhadap wacana "dewasa" mengubah Hiroko dari Liyan menjadi Diri. Ia
kini mempunyai pengetahuan tentang seks, dan pengetahuan itu memberi
dia kekuatan untuk menciptakan peluang demi mencapai tujuan hidupnya.
Di sisi lain, pengetahuan itu juga nielahirkan kebumhan baru yang selama
ini belum dikenalnya: kebutuhan seksual.
Hiroko digambarkan sebagai perempuan yang memandang hubungan
seksual sebagai kebutuhan banal yang harus dipenuhi. Hasrat untuk men
dapatkan kepuasan seksual diaktii Hiroko secara bebas, dan juga ditunjuk-
kan oleh perilaku seksuahiya. Dalam sosok Hiroko yang mengakui naf-
sunya, Nh. Dini menunjukkan bahwa perempuan juga manusia yang
mempunyai nafsu, dan nalsu seksual bukanlah monopoli laki-laki, juga bu
kan sesuatu yang memalukan. Mitos yang berkembang di dalani masyarakat
kalam 22
167
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
10 But seduction as an ironic, alternativeform, one that breaks the nferenhality ofsex and provides
a space, not of desire, but of play and deviance. Lihat Jean Baudrillard, Seduction,
penerjemah Brian Singer (NewYork: St. Martins Press, New York, 1990), 21.
168 kalam22
•^7
kalam 22 169
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
Dia dengan muka penonton laki-laki yang telah kukenal: bodoh dan ber-
napsu. Aku menggeliat menantang. Untunglah aku tidak seorang diri di atas
panggung Berdua kami mendesak napsu penonton hingga ke puncak ba-
tasnya. Berdua kami senang hati meHhat akibat yang lahir dari kegilaan gerak-
an-gerakan kami. Kami biasa terkikih setiba kembali di belakang panggung,
membicarakan penonton yang duduk di sebelah kiri atau kanan, mentertawa-
kan laki-laki yang menopangkan seluruh muka di lantai panggung untuk
mengawasi kaki-kaki kami sampai pertunjukan selesai (NH, 211).
Aku tergolong kelompok lain. Dari jenis yang dikatakan di luar pagar. Pe-
rempuan-perempuan seperti aku menghirup keliidupan tanpa setengah-sete-
ngah. Kemahiran untuk mengecap kenikmatan tidak terbatas hanya pada ben
tuk menerima. Kami pun bisa memberi, meinulai dan mengambil langkah
pertama. Juga dalani mencinta. Tidur dengan perempuan seperti kami, laki-
laki dapat mengkhayalkan memiliki sepuluh perempuan sekakgus (NH, 240).
kalam 22
170
SEKS, BERAHI, DAN CINTA
yang dibentuk oleh norma patriarki (pasif, ibu rumah tangga yang baik, pe
rempuan baik-baik) justru membuatnya terlempar dari lingkaran perem
puan yang disukai atau diinginkan laki-laki, dengan catatan baliwa pa-
tokannya adalah pemenuhan kebutuhan seksual (laki-laki).
Dengan kondisi itu, perempuan menjadikan dirinya sebagai obyek terhadap
subyek yang memegang otoritas untuk menerima atau menolak. Pada Hiroko,
subyektivitasnya cair dalam pembenaran yang diajukan Yoshida. Hiroko mem
biarkan dirinya dikuasai Yoshida. Pada saat yang sama, ia membiarkan dirinya
berada dalam kompetisi dengan Natsuko untuk meniperoleh perhatian Yoshida
dan mencoba nienienangkannya dengan menawarkan seksualitas.
Ya. Yoshida tidak dapat melepaskanku. Aku termasuk jenis yang berlainan
dari Natsuko. Kini Yoshida tidak dapat lagi melupakanku. Dalani dirinya selalu
akan ada pertengkaran dan perdebatan untuk mengatakan kesimpulannya: .se
belum kukenal Hiroko dan sesndah kukenal Hiroko. Dan jika pada suatu keti
ka dia tidur dengan perempiian lain, dia akan selalu membandingkannya de
ngan aku .... Hubungan kami bertambah erat. Perasaan cinta atau entah na-
manya, tumbuh menjadi pcnyatuan yang menguasai diriku (NH, 240).
kalam 22 yjy
AQUARINI PRIYATNA PRABASMORO
172 kalam 22
- »
kalam 22
173
£&< Is*-- '
ttin'vus
. »"•, l. o^i
-c= 1—r.
EHaaaVB
MELANI BUDIANTA
Tulisan ini pernah disajikan dalam seminar terjemahan yang diselenggarakan oleh
Archipel, di Paris, 2-5 April 2000.
1 William Shakespeare, Julius Caesar, penerjemah Muhamad Yamin (Jakarta: Pemba-
ngunan, 1951). Semua kutipan diambil dari edisi ini, sesuai dengan ejaan aslinya.
William Shakespeare,Jii/no- Caesar, penerjemah Asrul Sani (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
Semua petikan diambil dari edisi ini.Versi terjemahan ini kemungkinan besar sudah
dibuat pada awal 1970-an, sebab Ikranegara menyatakan telah membaca versi Asrul
Sani sebelum ia menulis versinya pada tahun 1973. Asrul Sani menegaskan kemung
kinan itu (wawancara informal dengan Melani Budianta, 12Januari 2002).
3 William Shakespeare, Tragedi Brutus, penerjemah Ikranegara, naskali yang tidak diterbitkan.
Semua kutipan naskah Ikranegara diambil dari versi ini. Selanjutnya dituiis Tragedi Bnitus.
kalam 22 175
MELANI BUDIANTA
176 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
Indonesia Raja adalah sebuah surat kabar bersuara kritis dan lantang di bawah pimpin-
an Mochtar Lubis. Koran ini dibredel Soeharto pada 1974 karena mengemukakan
perkara korupsi di perusahaan mniv.ik milik pemerintah Indonesia, Pertamina.
Dikutip dari siaran pers Ikranegara, "Brutus: Kecemasan Anak Manusia Yang Ami
Tirani", 15 Mei 1973.
12
Teks Shakespeare di sini hanya dianggap sebagai titik tolak penerjemahan. bukan se
bagai suatu teks untuk mengukur jauh-dekat atau buruk-baikny.; sebuah terjemahan.
kalam 22
177
MELANI BUDIANTA
17R kalam 22
'
Asrul Sani menyajikan kosakata yang kaya, dipinjam dari bahasa Sanskerta,
Arab, atau Melayu, dan mencerminkan pendewasaan bahasa Indonesia. Ba
hasa Indonesia Ikranegara berlanggam bahasa percakapan sehari-hari, sela-
ras dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern serta jargon politik
kontemporer.
Hal ini tampak dari cara ketiga teks menerjemahkan kata-kata pertama
yang diucapkan dalam lakon, yakni melalui ucapan Flavius dan Marullus,
yang menyapa dan mencela orang-orang yang sedang bergembira meraya-
kan kemenangan Caesar atas Pompei:14
Muhamad Yamin:
FLAVIUS
WARGA PERTAMA
Saja 1111 tukang kaju. tti.ni
MARULLUS
Mengapa kamu tidak memakai pakaian oto-kulit, dan dimana pula kaju-
pengukurmu?
FLAVIUS
Hai! Pulang. pemalas, pulang. Apa hari ini libur? Apa kau sebagai pekerja
13 Flav. Hence! Home, you idle creatures,get you home:/Is this a holiday? what! know you not,/
Being mechanical, you ought not walk/Upon a labouring day without the sign/Ofyour profes
sion? Speak, what trade art thou?/\ Cit. Why. sir, acarpenter. /Mar. Wlierc is thy leather apron
and thy n</<'?/Kutipan-kutipan diambil dari Shakespeare, "Julius Caesar" dalam Peter
Alexander, ed., William Shakespeare, Tlie Complete Works (London: Collins, 1973),969-
998.
kalam 22 ^79
MELANI BUDiANTA
tak tahu, kau tak boleh berjalan di hari kerja tanpa lanibang-lambang peker-
jaanmu? Katakan, apa kerjamu?
RAKYAT 1
Tukang kayu,Tuan.
MARULLUS
Mana pakaian kerjamu dan niistarmu?
Flavius: Bubar! Pulang, kamu orang-orang malas, ayo pulang semua! Apa
sekarang ban libur? Maumu apa. tidak ingat lagi, bahwa kamu Idas pekerja.
harusnya tidak gclandangan pada han-hari kerja dan tidak meninggalkan
seragam tanda profesimu masing-masing.Jawab,apa pekerjaan kamu.
aon kalam 22
loU
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
kalam 22
181
MELANI BUDIANTA
dunia Ikranegara. Setiap teks memakai jargon politik yang sedang populer
pada zaman yang bersangkutan. Istilah Yamin untuk the people dalam "leave
us Publius, lest that the people,/Rushing on us, should do your age.some mischief "
adalah "Rakjat Murba": "tinggalkan kami, Publius, supaja Rakjat Murba
djangan mengerojok kita. Nana binasalah usia-umurmu". "Rakjat Murba"
mengiiigatkan kita pada partai politik yang didirikan olehTan Malaka pada
tahun 1948, bernania Partai Murba yang pernah diketuai Adam Malik. Par
tai yang berorientasi kiri ini kurang bersesuaian dengan Partai Komunis In
donesia dan kemudian dilarang sewaktu PK1 mendapat kekuasaan di tahun
1960-an. "Murba" dan "Marhaen" adalah istilah-istilah yang lazim dalani
jargon oolitik sebelum dan sesudah Kemerdekaan, dan mengacu kepada
rakyat biasa. Asrul memakai istilah dasar "rakyat", yang diubah dengan di-
tambah "yang marah" untuk menyatakan ketidaksetujuan rakyat atas per-
buatan para senator.Terjemahan Ikranegara "Massa yang berbondong-bon-
dong" menggemakan jargon zaman Orde Baru untuk mengacu kepada
kun.pulan orang banyak (terkandung di dalamnya ancaman akan terjadinya
amuk massa). Demikian pula kata tyranny berturut-turut diterjemahkan de-
ngan "Si Ganas sewenang-wenang", "kezaliman", dan "tirani" oleh Yamin,
Asrul Sani. dan Ikranegara. Dengan urutan yang sama kahmat Ambition's
debt is paid du'lihbahasakan menjadi "pentjari nama sudahlah menjelesaikan
utang-piutangnja" (Yamin),"Hutang gila kuasa sudah dibayar" (Asrul Sani),
dan "Ambisi telah dibalas" (Ikranegara). Di sini kita melihat bahwa istilah-
istilah Inggris yang dipakai Shakespeare, yang dengan susah payah dicari
ungkapan setempamya oleh Yamin dan Asrul Sani, telah kembali ke asHnya
dalani teks Ikranegara. Pada gilirannya istilah-istilah asing itu diterima se
bagai kosakata yang lazim dipakai dalam bahasa Indonesia meiijelang akhir
abad ke-20.
Perlu dicatat di sini, bahwa baik Asrul Sani maupun Ikranegara menya
takan ketidakpuasan mereka terhadap bahasa terjemahan teks sebelumnya.
Ketidakpuasan ini menjadi pendorong utama mereka menuHskan kembaH
Julius Caesar. Bagi Asrul Sani, teks Muhamad Yamm "terlalu memberi te
kanan pada sifatnya sebagai teks sastra, dan mengabaikan aspek teaternya"
yang menurut pendapatnya penting.14 Akan tetapi bagi Ikranegara, baik
teksYamin maupun teks Asrul Sam tidak cocok unmk pertunjukan di pen-
kalam 22 183
-jc J ._ J_- ~—^^
MELANI BUDIANTA
tas. Ikranegara menganggap teks Asrul Sani terlalu "bersifat sastra" dan ba
hasanya terlalu asing bagi penonton teater masa kini.1"1 MeHhat perkem
bangan dinamis bahasa Indonesia yang tercermin dalam ketiga teks itu, kita
boleh mengharapkanJulius Caesar yang baru pada awal tahun 2000-an.
Pro atau kontra Brutus: posisi ideologis
Pembahasan tentang diksi politik dalani ketiga karyaJulius Caesar di atas
menunjukkan bahwa masalah bahasa tidak terpisahkan dari masalah ldeo-
logi. Latar belakang penerjemah dalam hal ini tidak bisa tidak memenga-
ruhi karya mereka. Ketiga pengarang berasal dari latar belakang kelas me
nengah yang berpendidikan tinggi,yang mendapat pengaruh. bahkan dibe-
sarkan dalani kebudayaan Barat. Namun, masing-masing penerjemah me
miliki gagasan intelekmal dan ideologis yang berbeda satu sama lain, yang
muncul dalani teks yang sama mengenai perjuangan Caesar meraih kekua
saan. Bagaimana ketiga teks itu menyuarakan ideologi yang berbeda-beda,
itulah yang menjadi pokok bahasan berikut.
Satu hal yang dengan kuat menunjukkan perbedaan tersebut adalah na-
da teks terhadap tokoh Brutus, sang pahlawan sekaligus pemberontak yang
tragis. Mengenai persoalan yang khusus ini, teks Yamin dan teks Ikranegara
bertolak belakang. Jika Brutus ditonjol-tonjolkan sebagai pahlawan dalani
terjemahan Ikranegara. dalam pementasan yang disutradarainya di tahun
1973, dan dalam saduran Ikranegara yang berjudul Caesar vs Brums, teks Ya-
min meHhat Brutus dari segi yang berlawanan.
Pada daftar dramatis personae,Yaimn menambahkan keterangan dan ko-
mentar yang memberi cap pada Marcus Brutus sebagai "musuh JuHus Cae
sar dan tidak setia kepada tjita-tjita Republik Roma". Sesuai dengan janji
yang tertera pada halaman kulit unmk memberi penjelasan sejarah dan ke
susastraan,16 teks Yamin menambahkan sejumlah uraian yang menonjolkan
kegarangan kelompok Brutus. Di sela antara percakapan atau di tengah-te-
15 Asrul Sani di lain pihak menganggap /h/iiu Caesar-nya Ikranegara bukan suatu terje
mahan karya Shakespeare, melainkan sebuah sandiwara baru karangan Ikranegara sen
diri, suatu gagasan yang memang diakui oleh Ikranegara (Lihat catatan kaki 22).Wa
wancara dengan Asrul Sani, 12januari 2002.
16 "Salinan lengkap sandiwara tentang pembunuhan Julius Caesar berbahasa Inggens
dengan dibubuhi pendjelasan sedjarah dan kesusasteraan oleh penjalin Mr. Muhamad
Yamin."
I«4 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
kalam 22 185
MELANI BUDIANTA
" Lihat ATeeuw, Modern Indonesian Umamrc, jilid 1 (Riverton: Foris Publicat.ons.
1986), 13.
kalam 22
186
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
kalam 22 187
MELANI BUDIANTA
yang menjulang tinggi sendirian. Tak boleh lagi ada kecemasan dalam hidup
berupa ancaman (Tragedi Brutus, 2).
188 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
18 "Tokoh Brutus bagi saya bukan pengkhianat seperti banyak digunakan oleh orang la
in kalau mau memberi stigma pada kelompok politik tertentu. Brutus justru usaha
koreksi politik agar jangan menecas itu telur bencana, karena memang Julius Caesai
|,,m ingin mengubur demokrasi dan fepublik, dia ingin n.enegakkan kembali kekae-
snan yang ditangannva semua kekuasaan bisa d.genggam .... Karena itulah pada pe
mentasan berikutnya ... saya tidak meneruskan ke masa setelah terbunuhnyaJulius
Caesar oleh Brutus dan pengikutnya. Ke-hero-an Brutus menjadi lebih me.idapatkan
ketegasan dan jastifikasi dalam 'Kaisar versus Brutus' ini. Saya ingin menegaskan. bali
wa menumbangkan rezim yang punya potensi untuk menjadi rezim otonter itu sah."
(Ikranegara, 28 Juli 2001, lewat e-mail.)
19 Lihat resensi dua pementasan itu dalam Yenni Kwok, "Theater Group Hails Julius
Caesar' with Sundanese Accent". VieJakarta Post, 12 Oktober 1997.
2<> Produksi Studiklub Teater Bandung ditujukan kepada penonton "elite intelektual",
, 77
kalam 22 189
MELANI BUDIANTA
1
Politik gender dalamJulius Caesar Indonesia
Kita telah meHhat bagaimana tiga teks Julius Caesar versi Indonesia me
lakukan penafsiran, dan niemainkan perrarungan ideologis masing-masing
melalui strategi penerjemahan yang berbeda-beda.Yang tidak kurang men-
colok ketika membandingkan ketiga teks itu ialah siasat mereka yang ber
beda dalani menyajikan kembali politik gender lakon Julius Caesar. Dari se
gi bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris memiHki sistem gender yang •
berlainan. Kata ganti he dan she yang menyatakan jenis kelamin, tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia yang hanya memiliki "ia" yang netral.
Kata man yang berjenis kelamin, dan yang pada umumnya mengacu kepada
semua orang, dapat diterjemahkan dengan kata netral "manusia", "orang",
atau yang berjenis kelamin yakni "laki-laki". Namun. masalah dalam me
nerjemahkanJulius Caesar bukan soal linguistik belaka. Kritik feminis ter
hadap lakon-lakon Shakespeare mencatat adanya ideologi gender yang am
bivalen, atau balikan kontradiktif. Ada beberapa kritikus yang sampai mem
beri sebutan proto-feminis kepada Shakespeare, oleh karena ia meiiggam
barkan tokoh perempuan sebagai pribadi yang kuat, baik dari segi kecer-
dasan maupun fisik, dan karena nadanya yang kritis terhadap nilai-nilai pa
triarki. Di pihak lain, bahasa dan stereotipe seksis berserakan dalam lakon-
lakonnya. Politik gender dalamJulius Caesar adalah soal penting, karena ma
salah kekuasaan dan keberanian berturnpu pada batas pemisah antara dunia
feminin dan maskulin.
Kelemahan perempuan dikontraskan dengan ketegaran laki-laki;
wenches—gambaran perempuan tua yang bawel dan jahat—merupakan
metafora irasionaHtas, yang dikontraskan dengan rasionaHtas "laki-laki seja-
ti".Jika tokoh-tokoh yang nienentukan nasib negara adalah laki-laki, tokoh
perempuan yang hanya terdiri dari dua orang saja, yaitu istri Brutus, Portia,
dan istri Caesar, Calpurnia, tokoh pelengkap yang senantiasa dipiiiggirkan
tapi dari segi komersial kurang berhasil. Produksi STB yang digelar di Gedung
Kesenian Jakarta yang bergengsi itu didukung oleh alumni ITB dan para pelukis yang
bertempat tinggal di Bandung dan yang menyumbangkan lukisan-lukisan mereka
guna mengumpulkan dana untuk pertunjukan tersebut.? Produksi Teater Lembaga
yang memakai teks Ikranegara, disesuaikan pada selera penonton muda dari kelas
menengah, dengan pengarahannya yang lebih populer. Untuk mengetahui konsep
pemetaan produksi budaya dan "selera", lihat Pierre Bourdieu, The Field of Cultural
Production (NewYork: Columbia University Press, 1993).
•j 90 kalam 22
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
kalam22 191
MELANI BUDIANTA
km lemah: But woe the while! Ourfather's minds arc dead and we are govern'ed
with our mothers'spirits, Our yoke and sufferance show us womanish. Terjemahan
Asrtil Sani, "Tapi sedihnya, sementara itu, semangat moyang kita sudah
mati, dan kita dikuasai oleh semangat ibu kita, hingga dalam menahan te
kanan dan denta perbudakan. kita ternyata perempuan". Terjemahan mi
kalah hidup dibandingkan dengan versi Yamin: "Tetapi tjelakalah sesuatu
zaman apabila semangat nenek pojang mendjad, mati dan djikalau kita
dibesarkan dengan semangat perempuan. Belenggu dan pendentaan me-
njatakan kita sudah berkonde seperti perempuan."
Pilihan untuk memperkuat konotasi terlihat pada terjemahan Ikranega
ra Ketika Cassius membandingkan Julius Caesar yang mengerang karena
demam dengan seorang gadis yang sakit (as asick gift), baik Yamin maupun
Asrul dengan setia menerjemahkan kata-kata itu dengan "gadis yang sakit ,
sementara Ikranegara menegaskan ejekan itu dengan memakai "betma sa
kit". Ungkapan pilihan Ikranegara memperkuat bahasa seksis itu, tetapi se
kaligus mengaHlikan kiasan berbasis gender itu dan manusia ke binatang.
Di bagian lain. Ikranegara lebih suka memadakan sama sekali nuansa gen-
dernya Kata-kata Brutus to kindle cowards, and to steel with valour/ the melting
spirits of women diterjemahkan olehYamin "untuk niencetuskan segala pe-
nakut dan mewajakan segala wanita yang lemah lembut menjadi beram
Terjemahan Asrul Sam: "Untuk membakar para pengecut dan menempa
semangat wanita yang lumer. membaja jadi keberanian". Ikranegara me-
nanggalkaii sama sekaH kaican dengan subyek perempuan dengan mengata
kan "Bakar habis semua rasa takut, dan jadikan baja semua yang lemah .
Masih ada kemungkinan lain untuk menyiasati soal gender itu, yaim de
ngan menghapuskan sama sekali ungkapan yang membuat masalah. Ikrane
gara menghilangkan seluruh Babak 1adegan 3. Dalam adegan tersebut be
berapa tokoh melaporkan adanya tanda-tanda buruk, yaitu adanya jagat
yang terguncang, sebuah adegan khas dalam tragedi Shakespeare, yang me
nunjukkan terganggunya keselarasan jagat raya akibat ulah manusia. Dalam
JuUus Caesar Shakespeare, hal ini terjadi sewaktu Casca dan Cassius membi-
carakan kelemahan zaman dan kebutuhan mendesak akan perbuatan-per-
buatan perkasa. Dengan menghilangkan seluruh adegan itu, Ikranegara ter-
hindar dari keharusan menerjemahkan ungkapan-ungkapan seksis.
Celakanya, gunting Ikranegara juga memotong bagian yang mengan
dung nuansa-nuansa "feminis" yang paling kuat dalani lakon itu, yaitu pro-
kalam 22
192
TIGA WAJAH JULIUS CAESAR
tes Portia terhadap Brums yang tidak adil memperlakukan dia sebagai istri
nya. Percakapan antara Portia dan Brutus menunjukkan watak Portia yang
sangat cerdas, fasili, dan tegas. Waktu ia diperingatkan Brutus agar demi
kesehatannya Portia "tidak membiarkan badannya yang lemah terkena
udara pagi yang dingin sekaH" (It is not for your health thus to expose/Your
weak condition to the raw cold morning), Portia dengan cerdik menjawab agar
Brums juga jangan melakukannya (not for yours neither). Yang langsung
terlihat adalah perhatian tulus dari istri terhadap suami. Pada saat yang sama,
frase pendek ini berasumsi bahwa badan Brutus juga sama rentannya
terhadap cuaca buruk itu. Dalam dialog dengan Brums, Portia menyangkal
setiap dalih yang dikemukakan suaminya unmk menyembunyikan masalah
dari dirinya, sebelum pada akhirnya ia menghunjamkan gugatan feminisnya
yang tersohor:
Am I your self
But as it were, in sort of limitation?
Tc keep with you at meals, comfort your bed
And talk to you sometimes? Dwell I but in the suburbs
Ofyour good pleasure? If it be no more
Portia is Brutus' harlot, not his wife.
(Yamin)
Betulkah haniba ini hanja sebagai belahan badan kanda hanja sedikit-sedi-
kit sadja, seolah-olah dibatasi mendjadi teman waktu makan-minum dan
waktu berbaring dan ketika bertjakap-tjakap? Benarkah hamba ini hanja ber-
diam diri dipinggir kota keberahian kanda? Djikalau begitu, tak lebih dari pa
da itu, maka si-Portia ini bukanlali isteri kanda, melainkan hanja seorang gun-
dik belaka.
(Asnil)
Apa aku milikmu seseorang yang terbatas, artinya hanya untuk nienemani
kau di waktu makan, menghiburmu di atas ranjang. Dan kadang-kadang
untuk bercakap-cakap denganmu? Apa aku hanya berdiam di perbatasan
kesenanganmu? Kalau tidak lebih dari itu, maka Portia adalah piaraan Brutus,
bukan isterinya.
Watak dua Portia versi Indonesia di atas diwarnai oleh pemakaian "kan
da" dan kata "hamba" yang merendahkan diri di dalam teks Yamin, dan
kaiam 22 ^93
MELANI BUDIANTA
"kau" yang lebih egaHter dalani teks Asrul Sani. Portia versi Ikranegara ter-
bungkam dan terdesak lebih jauh lagi ke belakang. Dalam teks Ikranegara,
baik Portia yang kuat maupun Portia yang lemah, yang mengaku mem
punyai otak laki-laki, tetapi kekuatan perempuan dan mengeluh tentang
perasaan rapuh seorang perempuan. dihilangkan dari lakon.
Menurut Ikranegara, penghapusan Portia perlu dilakukan agar perhatian
tetap terpusatkan. pada Brutus. Tetapi perlu dicatat di sini bahwa bagian
Calpurnia sebagai istri cerewet Caesar dibiarkan tetap utuh. Hilangnya Por
tia adalah akibat penafsiran yang melihat perannya kurang penting diban-
ding urusan-tirusan "politik" yang maskuHn.Yang sebenarnya terhapus ber
sama Portia dalani teks Ikranegara justru dimensi politik dari hubungan an-
tarjenis kelamin. Diletakkan dalam konteks zamannya, pidato Portia sangat
berseberangan dengan ideologi gender Orde Baru, yang oleh Julia Surya
kusuma dilukiskan sebagai "Ibuisme Negara", sebuah ideologi yang "me-
nentukan perempuan sebagai embel-enibel dan pendamping bagi suami
nya, sebagai ibu bangsa, sebagai ibu dan pendidik anak, sebagai ibu rumah
tangga, dan sebagai warganegara—sesuai urutannya".
Konstruksi perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam wacana Negara
hadir bersamaan dengan orientasi pasar dalam "ekonomi gelembung" ta
hun 1970-an dan 1980-an yang cenderung menjadikaii tubuh perempuan
sebagai obyek seksual penuh glamor. Sukses Teater Lembaga dalani me-
manggungkan teks Ikranegara sebanyak dua kaH dengan karris yang habis
terjual di Jakarta, memang tidak bisa dilepaskan dari dtiktingan media. Sa
lah satu alat promosi media adalah daya tarik seksual Tamara Bleszynski
yang memakai gaun malam rancangan Harry Dharsono, dengan potongan
pinggir yang memamerkan pahanya. Ironisnya, teks Ikranegara dan pemen
tasan lakonnya di tahun 1990-an, yang ditujukan unmk "mencabuti bulu-
bulu" tirani Orde Baru, justru menjiplak ideologi gender dari tatanan yang
sedang dilawannya.
21 Lihat Julia Suryakusuma, "The State and Sexuality mNew Order Indonesia", dalam
Laurie J. Sears, ed., Fantasizing the Feminine in Indonesia (London: Duke University
Press, 1996), 101.
194 kalam 22
... -
—
22 "Maka sang sutradara bukan lagi sekedar penafsir sesuai dengan naskah, melainkan
sudah menjadi kreatornya sendiri untuk pertunjukannya itu. Semacam strategi
intertextual?" (Ikranegara, e-mail, 17 Desember, 2001).
23 Saya berutang budi kepada Joseph F. Graham yang memakai teori-teori dekonstruksi
untuk menggugat the system ofcategories that divides language into form, meaning and effect,
the very system that presides over that standard of theory and ordinary practice of translation
(sistem kategori yang membagi bahasa menjadi bentuk, makna, dan efek, suatu sistem
yang menguasai teori baku penerjemahan dan praktik penerjemahan sehari-hari).
Dalam konteks dekonstruksi, the difference is already there in the original (perbedaan
sudah terdapat dalam sumber aslinya). Lihat Joseph F. Graham (eu.), Difference in Trans
lation (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 20 dan 21.
kalam 22 195
-r= i -
A. ZAIM ROFIOJ
T
A. ZAIM ROFIQI
luarnya bayi. Karena tak mendapat jawab rnemuaskan dari sang ibu, bocah
ini lalu selama berminggu-niinggu "niengembara":
"Cepat tunjukkan kepadaku, Ibu!" desak si anak."Sudah lama aku ingin me-
lihatnya. Bcrminggu-minggu aku mencari kaca pembesar, dan sekarang aku
mendapatkannya. Aku ingin melihatnya dalam ukuran besar" (38).
Teks ini tentu bukan sekadar"bualan" sang pencerita karena sepintas tak
menawarkan makna apa pun yang utuh dan padu. Namun,bila kita kaitkan
dengan teks-teks lain dari pelbagai tradisi lain, misalnya konsep (baca: teks)
kompleks Oedipus dalani tradisi psikologi Freudian, akan tampaklah siratan
makna dalani teks itu. Kisah (baca: teks) Oedipus dalam Yunaiii Kuno
menceritakan pengembaraan dan akhirnya kepulangan sang tokoh un
tuk—tanpa sengaja—mengawini ibunya sendiri. (Bandingkan cerita di atas:
sang anak "niengembara" selama berminggu-minggu dan pulang hanya
untuk melihat "jalan" di mana bayi keluar dan masuk.) Kecenderungan
kompleks Oedipus yang seakan diidap sang anak dalam cerita ini seniakin
terasa ketika di akhir cerita ia bersikeras meHhat "jalan" im meski sang Ibu
menolak (huruf miring dan garis bawah dari penuHs):
198 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA
Pernah kudengar, dan ibuku, cerita tentang raja besar yang suka menyu-
suri jalanan. Ia mengenakan jubah hitam panjang dan turtin ke jalan ketika
gelap datang. Ia mampir ke rumah-rumah sebagai tamu yang tak dikenaH dan
melongokkan matanya ke dalani panci yang dijerang di atas tungku oleh ibu-
ibu. Ia ingin tahu apa yang saat itu ditanak oleh mereka: ataukah nasi ataukah
batu.
Aku menyusuri jalanan sepanjang siang sepanjang malam seperti raja besar
yang diam-diam ingin melihat nasib rakyatnya. Namun aku tak bisa mampir
ke mmah-rumah. Belakangan ini seniakin sulit untuk masuk ke rumah-ru
mah karena setiap rumah memasang pengumuman:"Maaf tidak melayani pu-
ngutan atau sumbangan apa pun kecuali ada izin dari RT/RW setempat" (45).
kalam22 1"
A. ZAIM ROFIQJ
sebut sebagai kisah KhaHfah Umar bin Khattab yang sering menyamar dan
bertandang ke rumah-rumah rakyatnya—menjadikan pembaca bertanya-
tanya: apakah cerpen ini' bercerita tentang "derita anak-anak jalanan yang
seringkaH harus melarikan diri dari kenyataan, bahkan lewat sekaleng lem"
atau parodi tentangnya.
Intertekstualitas dalam cerpen "Bidadari yang Mengembara" lebih
menarik dan mengasyikkan. Bercerita tentang pengembaraan Alit da
lam mencari pasangan hidup, cerpen ini dengan sangat halus memasuk-
kan dan mengocok unsur-unsur cerita dari tradisi lain tanpa terasa se
bagai suatu tempelan yang mengganggu, melainkan terserap kuat, men
jadi bagian integral cerita. Seiring dengan perkenibangan cerita, lewat
berbagai peristiwa yang dialami Alit, kita merasakan gating lembut ber
bagai kisah yang telah ada sebelumnya dalam tradisi-tradisi dunia. Li-
hatlah apa yang dialami Alit pada hari ketiga perjalanannya, setelah
"pertemuan yang menekan jantung dengan Nita":
Ketika cerita sampai di bagian ini, gema lamat kisah Nabi Muhammad
didatangi beberapa malaikat yang hendak menyucikan dirinya mulai terasa.
Namun, bukannya terjebak untuk nielanjutkan cerata sesuai dengan kisah
Muhammad, pengarang justru membelokkan cerita dan menjadikan kisah
Muhammad tersebut sebagai gating yang hanya membayang saja. Penga*-
rang niengembangkan ceritanya sendiri tanpa harus terbeban siratan atau
200 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA
gating kisah lain yang ia lekatkan pada ceritanya. Lanjutan cerita ini me
nunjukkan hal tersebut:
Api di laut sudah stirut ketika Alit siuman ... Hari itu dunia seperti masih
sangat muda, namun AHt tidak merasa berada di tempat asing. Apakah ia
manusia pertama di dunia yang masih muda itu?
Ia meraba dada, meraba reranting tulang rusuknya.
Ada bagian yang sempal pada deretan tulang rusuk di dadanya.
Alit berpikir bahwa Tuhan pasti telah mematahkan sedikit tulang rusuknya
ketika ia pingsan. Lalu Ia ciptakan makhluk perempuan dari patahan mlang
rusuk itu.Tapi, disembunyikan di mana makhluk itu? Dan bagaimana ia kelak
bisa mengenak bahwa seorang perempuan yang melintas di depan matanya
adalah patahan tulang rusuknya? Bagaimana kalau ia keliru mengambil patah
an rusuk orang lain dan memasangkannya ke dadanya? (23-24).
Dalani cerita "Seekor Ular dalani Kepala" dan "Seto Menjadi Kupu-
Kupu" sifat intertekstuaHtas terasa lebih kuat karena siratan teks-teks dari
tradisi lain muncul secara jelas dalam cerita. Dalam cerpen "Seekor Ular
kalam 22
201
A. ZAIM ROFIQI
dalam Kepala" nuansa itu bahkan telah muncul dalam judul. Judul cerpen
ini segera membuat kita membayangkan (dan mungkin mengharapkan)
penggambaran tentang ular yang selama ini telah umum dikenal: ular
sebagai tokoh atau simbol kejahatan yang membujuk Hawa memetik buah
terlarang di Taman Firdaus, yang akhirnya melemparkan ia keluar dari
keadaannya yang damai dan permai. Sebanding dengan im, dalam cerpen
ini tokoh ular pula yang membuat kehidupan rumah tangga yang semula
damai dan permai jadi berantakan.
Cerpen ini berkisah tentang Lin yang bangun pagi dan "merasakan ada
seekor ular kecil menyeHnap dalam Hang teHnganya". Guncangan keliidup
an rumah tangga Lin dan Rob bermula saat Lin di tengah sarapan bercerita
kepada suaminya tentang apa yang dialaminya pagi itu. Rob, yang tidak
menyukai kejutan dan "menghendaki segala hal yang biasa-biasa saja", de
ngan segera menganggap istrinya tidak normal, bahkan gila. Namun Lin
justru sangat menikmati keadaan barunya itu: ia merasa sangat sehat dan
"bahkan merasakan suatu pesona kehidupan yang amat lain" serta "sensasi-
sensasi yang meniberinya tenaga untuk keluar dari rutin yang dia jalani".
Suatu malam saat tidur, misalnya, Lin merasa ular di dalam kepalanya
mengajak bercengkerama dan "berjalan-jalan di hutan". Beberapa saat ke
mudian, si ular membisikkan "sebuah tipuan yang amat kuno dan klise":
memetik buah apel. Karena ia dan suaminya tak mampu meraih apel itu,
Lin meminta bantuan seorang psikiater yang menjadi konsultaiinya. Sang
psikiater berhasil mengambil apel itu, dan mereka pun akhirnya berpacaran.
Lin kemudian menyatakan kepada Rob bahwa ia dan sang psikiater akan
segera nienikah begitu Rob menceraikannya. Rob, yang seniakin lama
merasa seniakin tak tahan dengan perilaku dan keadaan Lin, di akhir cerita
memutuskan memecah kepala istrinya, mengeluarkan sendiri ular dari
dalam kepala, dan kemudian menceraikannya.
Kekuatan "Seekor Ular dalani Kepala" tidak hanya terletak pada perta-
utannya dengan kisah Taman Firdaus itu, tetapi juga pada penyimpangan-
nya demi mjuan cerita pengarang sendiri. Interteksmalitas "Seekor Ular da
lam Kepala" tidak hanya berhenti pada tafsir ulang atas teks dari tradisi lain.
namun bergerak lebih jauh dengan menyerap un^ur-unsur dari teks lain
dengan tujuan membangun cerita tersendiri. Unsur-unsur cerita (citra.
simbol) dari teks lain tersebut dipakai hanya sebagai titik tolak pengarang
unmk membangun kisahnya sendiri, yang mungkin lebih menarik dan sa-
202 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA
Aku ingin memberi sedikit catatan tentang dua hal menyangkut anak
penjual martabak itu; pertama tentang lenggang yang riang dan kedua tentang
cahaya di wajah
Tentang kilau cahaya di wajah perempuan itu, aku tidak bisa memastikan
benar-tidaknya pengliliatan Seto, sebab dulu adajuga perempuan, istri seorang
akuwti, yang memancarkan kilau cahaya. Penulis Babad Singasari mengabarkan
tentang cahaya yang memancar dari beds perempuan itu, bukan dari paras
mukanya, dan suatu hari Ken Arok, seorang pencuri yang gelap asai-usulnya,
melihat cahaya pada betis itu. Kupikir wajah Ken Dedes pun bercahaya, na
mun karena waktu itu orang-orang jelata harus menundukkan kepala ketika
pemilik istana melintas, maka si pencuri itu pun tak bisa melihat paras muka
perempuan itu dan cuma bisa melihat kerlap cahaya pada betisnya (81-82).
Masuknya gema dari kisah Ken Arok ini menjadikan keutuhan dan ke-
paduan makna yang mungkin sebelumnya mulai terbangun menjadi buyar:
kalam 22 203
A. ZAIM ROFIQJ
pembaca tak lagi yakin apakah cerpen ini adalah tentang kisah cinta Seto
pada anak penjual martabak yang parasnya merhancarkan cahaya; atau pa-
rodi cerita Ken Arok yang jamh cinta kepada Ken Dedes yang betisnya
memancarkan cahaya.
Dalam cerpen-cerpen yang sekilas tampak mengusung makna utuh, pa-
du, dan mandiri seperti "Buldoser" dan""Rumah Unggas", sifat interteks
tual juga masih dapat kita temukan. Dalam cerpen-cerpen ini, "teks" luar
yang diacu bukan lagi teks-teks sastra dalani tradisi sastra dunia yang telah
mapan dan umum dikenal, melainkan peristiwa-peristiwa (baca: teks-teks)
sosial dan politik yang menjadi menu rutin berita di berbagai koran pada
dekade 1990-an: penggusuran rumah yang menghancurkan kehidupan se
orang ayah dan sebuah keluarga ("Buldoser") dan pencuHkan aktivis-aktivis
mahasiswa yang dianggap subversif oleh milker ("Rumah Unggas").
"Cerita tentang Ibu yang Dikerat", yang diletakkan di bagian akhir
kumpulan ini, juga menggunakan gaya bercerita yang unik. Sebuah gaya
yang menunjukkan kuatnya kesadaran pengarang pada bentuk cerita. Cer
pen ini bercerita tentang Alit yang sejak kematian ibunya—karena lehernya
dikerat orang—menjadi penyendiri dan cenderung "meniru gaya hidup
orang-orang zaman dulu". Cerpen ini mengocok mitos-mitos masa lalu
dalani cerita (dongeng Janibu Monyet [143-146]; kisah Nabi Sulaiman
[143, 149]), termasuk kisah Musa membelah lautan unmk memperkuat
peristiwa-peristiwa yang dialami AHt:
Di tepi sungai ini, suatu hari, Alit berubah pikiran. Ia dalam perjalanan ke
sekolahnya waktu itu, menyusuri sungai yang deras sehabis hujan, dan
berhenti agak lama di sebuah tepian
. . . Ia teringat pada permukaan laut yang membelah karena pukulan
tongkat. Karena itu disempalnya ranting waru yang lurus dan tidak terlalu be
sar dan dengan tongkat dari ranting waru itu ia menuruni tebing sungai hing
ga dekat sekaH ke permukaan air. Pada sebongkah batu ia berjongkok, lalu di-
pukulkannya tongkat warunya ke permukaan air (138).
204 kalam 22
CERITA-CERITA YANG MENGEMBARA
tongkat jika ia tidak bisa berubah menjadi ular? Ia tidak akan bisa mencaplok
ular-ular lain yang suatu hari mungkin dikirinikan oleh para tukang sihir un
tuk nienyerangnya.
Tongkat yang ia btiang itu terbawa arus kaH dan tidak pernah berubah
menjadi ular atau apapun (140-141).
The New Bxcyclopaedia Britannica (Chicago: The University of Chicago Press, 1992),
167.
kalam 22 2Q5
A. ZAIM RORQJ
Suatu hari seorang polisi yang tidik memahami keadaanku menghardik aku.
"Kenapa kau berkeliaran di jalan malam-malam hegini?"
"Aku harus berkeliaran di mana?"
"Masuklah ke dalam rumahmu."
"Aku seorang gelandangan. Maksudku, tuna wisma."
"Kau melanggarjam malam, tahu!"
"Aku tak pernah meHhat jam. Siang dan malam aku dijalanan."
"Kau menje.ngkelkan.Apa yang kau bawa itu?"
"Tas plastik hitam."
kalam 22 ?f)7
A. ZAIM ROFIQJ
208 kalam 22
OBITUARI
S. PRINKA
(1947-2004)
kalam 22 209
OBITUARI
nya, antara lain dengan dukungan dana sejumlah pribadi. Saya sendirilah
yang terpaksa niengerjakan tata letak Kalam, dengan Macintosh tua pin-
jaman seorang teman.Tergagap-gagap sebagai operator amatiran, saya selalu
bertanya kepada Prinka bagaimana mengatasi kesulitan teknis sekaligus
mencari rupa yang tcrbaik. Dalam situasi darurat itu, kami mampu mener
bitkan dua nomor,sebelum akhirnya, pada awal 1996, Kalam bisa berkantor
di Jalan Utan Kayu 68-H, JakartaTiniur, di sebuah kompleks-bekas rumah-
toko yang kini dikenal sebagai Komunitas Utan Kayu.
Lelaki yang lahir di Bogor, 27 Februari 1947 ini memang tak lagi me-
nangani tata letak Kalam, tetapi ia tetaplah bergiat sebagai anggota Dewan
Redaksi Kalam. Kemudian, berdirilah Galeri Lontar di Komunitas Utan
Kayu pada Juni 1996, sebuah galeri yang berniat nienampilkan karya para
seniman terbaru maupun karya tersembunyi para seniman yang sudah di
kenal. Prinka, bersama sejumlah redaktur Kalam, menjadi kurator galeri ini.
Demikianlah kami menjadi lebih kerap lagi bertemu, baik unmk merenca-
nakan pameran di Galeri Lontar maupun memperbincangkan rupa Kalam.
Prinkalah yang begitu bersemangat mengusulkan pameran gambar dan lu
kisan Firman Lie, lukisan kaca Hariadi Suadi, cetak-saring dan lukisan T.
Sutanto, serta keramik Suyatna. Inilah nama-nama yang jauh dari hingar-
bingar pasar seni lukis ketika itu.
Mulai nomor 15, yang terbit April 2000, Kalam berubah benmk menja
di lebih mirip buku. Ini adalah upaya kami menegaskan lagi bahwa Kalam
bukanlah majalah sebagaimana disarankan ukuran sebelunmya. Dengan
ukuran yang baru ini, kami harapkan Kalam bisa bertahan lama di antara
deretan buku, bukan di rak majalah yang cepat sekali berganti pajangan.
Tentulah dengan ukuran baru itu kami bisa juga membuat tata letak bukan
hanya lebih sederhana, tapi juga lebih tajam, yakni untuk membuat pemba
ca sepenuhnya berkonsentrasi pada teks. Di nomor yang bertajtik "Mengu
ak Tubuh" itu Prinka bukan hanya membuat kerapian tetap bertahan di se
panjang halaman Kalam (meski, nyatanya, kami bekerja dengan penata letak
yang berbeda-beda), tapi juga merancang samptil depannya berdasarkan lu
kisan Luca SignoreUi dan gambar AndreasVesalius.
Ketika kesehatan Prinka stisut perlahan-lahan—rsudah lama ia mempu
nyai masalah dengan jantungnya—ia masih juga bemsaha menghadiri per-
temuan yang kami adakan. Seringkali rapat redaksi Kalam atau dewan ku
rator Galeri Lontar berlangsung di Kedai Tempo, bukan di kantor Kalam
210 kalam 22
-*—
S. PRINKA
atau Galeri Lontar yang berada di lantai kedua atau di Teater Utan Kayu
yang kurang-lebih satu tingkat di bawah muka tanah, sebab Prinka tak lagi
boleh naik-turun tangga. Saya pun terkadang mendatangi dia di kaiitornya
di Jalan Thamrin bila hendak meminta usulnya, termasuk ketika saya men
desak dia untuk merancang kulit muka Kalam nomor 17 (yang bertajuk
"Kiri di Asia) berdasarkan seri lukisan Agus Suwage.
Pembaharu desain majalah berita, pengajar yang tekun, penggerak seni
gambar, dan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru—itulah sosok Syahrinur
(Prinka, begitu nama lengkapnya, yang telah banyak dicatat oleh kawan-ka-
wan di pelbagai Hngkungan profesinya. Bagi kami, ia adalah kawan yang
hangat dan penuh humor (meski hemat bicara) dan, tentu saja, bagian pen
ting dari riwayat kami—riwayat Kalam dan Galeri Lontar, riwayat Komu
nitas Utan Kayu pada timumnya. Mengenang Prinka, Galeri Lontar pada
15-30 Maret lalu memamerkan karya gambar dan desainnya di majalah
Tempo.
Prinka wafat di Jakarta pada stibuh ban 22 Desember 2004. Betapa tak
cukup sekadar duka cita untuk mengantar ia ke tempat istirahnya yang
terakhir.
Nirwan Dewanto
sastrawan-sejarawan Kuntowijoyo
dan
kalam 22 211
MB
-je:
PARA PENYUMBANG
kalam 21 213
MA-nya di bidang kajian pascakolonial ia peroleh dari University of
Kent at Canterbury, Inggris.
Lien Amalia mengajar fiksi berbahasa Inggris di Universitas Padjadjaran
dan English for Special Purposes di berbagai.perguruan tinggi swasta
di Bandung, serta menerjemahkan prosa dan puisi.
LiSABONA Rahman bekerja sebagai koordinator peneliti di Women Re
search Institute Jakarta dan penulis lepas di berbagai media.
Manneke Budiman mengajar cultural studies, penerjemahan, dan kritik sastra
di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Pernah
belajar Sastra Bandingan di University of Winconsin-Madison, AS.
Melani Budianta mendapatkan gelar doktomya di bidang kesusastraan dan
Cornell University, AS. Ia banyak menulis tentang sastra, gender, dan
persoalan-persoalan Hntas budaya. Kini ia ketua Departemen Susastra di
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Michael Rinaldo 'pernah belajar sastra bandingan di Reed College,
Portland, Oregon, AS. Kim tinggal di Jakarta.
Mikihiro Moriyama mengajar di Department of Asian Studies, Faculty
of Foreign Studies di Nanzan University, Nagoya, Jepang. Mendapat
kan gelar doktomya di Universiteit Leiden, Belanda. Bukunya Sema
ngat Bam: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad Ke-19
(2005).
Nirwan Dewanto bekerja sebagai redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam
dan penanggung jawab Lembar Seni Koran Tempo edisi Minggu, serta
kurator pada Galeri Lontar.
Winarsih P. Arifin bekerja sebagai penerjemah lepas. tinggal di Jakarta.
Ia menerjemahkan antara lam kaiya Marguerite Yotirccnar, Cerita-Cerita
Timur (1999) danJuHen Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual (1W).
Kami mengimdang anda menulis esai seputar tema yang kann rencanakan
untuk Kalam nomor mendatang:
kalam 21
214