Anda di halaman 1dari 222

Tanah Baru,

Tanah Air Kedua


Terima kasih kepada Emil Salim
dan Erna Witoelar yang memperkenalkanku,
kepada hutan di Sumatra,
kepada pematung Amrus Natalsya
yang membawaku mengenal
hutan Kalimantan Selatan.

N.D.

Dadanya bagai daun talas yang lebar


dengan keringat berpercikan
Ia selalu pasti, sabar dan sederhana
Tangannya yang kuat mengolah nasibnya.

Rendra
(dari sajak “Rumah Pak Kartu”)
Tanah Baru,
Tanah Air Kedua

Nh. Dini
TANAH BARU, TANAH AIR KEDUA

Karya Nh. Dini

Diterbitkan oleh
PT Dunia Pustaka Jaya
Jl. Gumuruh No. 51, Bandung 40275
Telp. 022-7321911 Faks. 022-7330595
Email: pustakajaya.dpj@gmail.com
Anggota Ikapi

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved

Desain sampul: Ayi R. Sacadipura

Cetakan pertama, 1997 oleh Grasindo

EDISI PUSTAKA JAYA


Cetakan pertama, 2014

ISBN 978-979-419-424-9
1

Sudah lebih dari tiga menit Samirin berada di situ.


Tangan kanan memegang bolpoin, di bawah matanya terbuka
helaian formulir yang harus diisi. Nama, tanggal dan tempat
kelahiran, pendidikan, sudah atau belum beristri, pengalaman
kerja. Pertama kalinya dia akan mengisi data-data tersebut untuk
keperluan mencari nafkah! Di halaman masih banyak yang
lowong, berbagai pertanyaan belum dijawabnya. Permintaan su-
rat-surat lampiran beserta foto harus pula dilengkapi.
’’Pinjam bolpoinnya, Mas,” seseorang berkata di sampingnya.
Samirin menoleh, mengamati orang di dekatnya itu. Meski-
pun tanpa ucapan permintaan, karena nadanya sopan dan rupa-
nya tidak kurang ajar, dia menahan kekesalan perasaannya.
’’Sedang saya pakai sendiri,” sahutnya.
Seolah-olah tidak percaya, orang di samping melihat ke for-
mulir di papan loket.
’’Masih lama?” dia bertanya.
“Ya, ini! Sedang saya pikir baik-baik apa yang akan dan harus
saya tulis!”
Samirin mulai tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Di mana pun, di tempat-tempat umum, selalu terdapat orang-
orang yang tidak mempunyai alat tulis! Padahal mereka datang ke
sana sudah mengetahui akan membutuhkannya. Di kantor pengi-
riman telegram, di instansi-instansi pemerintah, dan ini di Dinas

5
Tenaga Kerja. Mereka adalah orang-orang yang cukup berpendi-
dikan. Seharusnya mengerti bahwa alat tulis diperlukan guna meng-
isi buku tamu maupun formulir.
Orang di samping masih berdiri sebentar di sana. Sikapnya
menunggu. Samirin membaca sekali lagi dari atas. Sebenarnya
dia dapat meminjamkan alat tulisnya kepada orang itu. Semen-
tara, dia bisa berpikir santai, merangkai dan mengatur kalimat
untuk diisikan pada kolom-kolom tertentu. Tetapi dia berbuat
menuruti kekesalan hati yang sejak beberapa hari itu membe-
baninya. Orang-orang ini harus diajar untuk mencukupi sendiri
keperluannya. Berdikari, demikian bahasa baru di koran-koran.
Enaknya saja menggantungkan diri pada orang sebelah! Samirin
mulai merasakan sekarang bahwa dia juga harus mandiri segala-
nya. Hari-hari itu mondar-mandir lari ke seluruh penjuru kota
untuk mencari pekerjaan, mengumpulkan tambahan informasi
apa pun yang berhubungan dengan pengajaran.
Selintas dia melayangkan pandangan ke ruangan yang se-
makin panas. Orang yang sama masih berdiri sambil meme-
gangi formulir. Barangkali dia menunggu dan mencari sasaran
guna meminjam pena atau alat tulis lain. Di depan loket juga
masih berjubelan. Lembaran-lembaran kertas tergeletak di papan
tempat menulis atau terkapar di lantai, terpijak tersaruk kaki.
Lainnya merupakan gumpalan-gumpalan, terbuang di samping
tempat sampah atau di pojok ruang. Samirin masih belum juga
memutuskan yang pasti, apakah dia akan mengisi seluruh kolom
atau berbuat seperti beberapa orang lainnya meremas kertas itu
dan melemparkannya di kotak sampah. Sikunya terpaku di
papan untuk menulis, pandangnya kembali terarah ke atas for-
mulir. Sudut kiri tiba-tiba lebih menarik perhatiannya. Di situ
tertulis nomor induk yang harus diisi oleh pegawai kantor ter-
sebut. Berarti nomor pendaftaran. Segera dia berpaling meman-
dang ke bagian dalam. Di salah satu sekatan papan dia menang-
kap bayangan orang yang tadi disalaminya. Dia mendekati loket.
Badannya yang tinggi dengan mudah diperhatikan orang dari
balik ruangan. Samirin mengangguk sambil minta tolong dipang-

6
gilkan kenalannya. Dia menyebutkan nama, sekaligus ibu jari-
nya menunjuk ke bagian di mana orang itu bekerja. Lalu Samirin
menyingkir ke pinggir, menunggu di batasan yang membagi
ruangan itu. Tidak lama dia di sana.
“Ada apa?” langsung suara orang itu menunjukkan nada keke-
luargaan. ’’Kesulitan?”
’’Tidak, Pak! Saya malahan belum mengisi formulir.”
’’Mengapa? Tidak begitu sukar!”
’’Memang tidak. Tapi saya ingin mengetahui,” lalu nadanya
merendah, setengah berbisik.
Kepala yang sudah bercampur uban itu menunduk, melekat
pada terali kawat penyekat. Kedua orang itu meneruskan per-
cakapan sebentar. Kemudian bapak itu menjauh. Samirin tetap
bersandar, badannya menghadap ke tengah ruang yang tetap
penuh. Sebentar lagi akan menjadi pengap oleh panas yang lem-
bab dan bau keringat. Dia tidak berpikir ke satu hal yang pasti,
mengabur oleh kebimbangan. Tetapi dia merasa bahwa perta-
nyaan yang ditujukan kepada kenalannya akan sangat berguna.
Sambil berjalan mencari kendaraan ke timur, Samirin berta-
nya-tanya sendirian apakah betul dia telah mengambil keputusan
yang semestinya. Petugas yang dikenalnya dengan baik bukan
orang lain. Dia ipar dari saudara Bapak, sepupu ke sekian dari
pihak Ibu, anaknya menjadi teman bermain Samirin sejak kecil.
Pendek kata, masih keluarga sendiri. Dari dia Samirin menda-
patkan keterangan, bahwa Daerah Istimewa memerlukan enam
ratus dua puluh tenaga pengajar SD tahun pengajaran menda-
tang. Yang mendaftarkan di instansi itu ada delapan ribu sekian!
Pemilihan formulir akan ketat sekali. Atau dengan jalan imbalan
jasa. Jalan lain lagi ialah hubungan keluarga atau kenalan baik.
Alangkah hitamnya semua itu di mata Samirin. Dia sudah sering
mendengar liku-liku administrasi yang dilancarkan dengan uang
pelicin. Polisi yang membuka SIM dan mengambil lembaran
uang di dalamnya, pembayaran perlindungan agar kios pedagang
tidak digasak. Perbendaharaan katanya mengenal istilah amplop
di sela-sela map, tempat yang basah, pungli. Tetapi itu semua

7
dia baca dan dia dengarkan. Secara pribadi dia belum pernah
mengalami atau menyaksikannya dari dekat. Kini dia telah tamat
menuntut ilmu. Dia berumur hampir dua puluh satu tahun dan
akan menerjuni kehidupan bermasyarakat. Kalau jalan untuk
mendapatkan pekerjaan pertamanya harus melewati apa yang
disebut ’’sistem keluarga atau kenalan” maupun dengan uang
sogokan, ah, benarkah itu? Ketika diberi tahu data-data di kantor
tenaga kerja tadi, Samirin berterima kasih. Kertas pendaftaran
tidak diisi lengkap. Dia langsung keluar. Buat apa mendaftarkan
kalau jumlah pelamar delapan ribu! Dia mempunyai perhitungan
akan ditolong oleh kenalan itu. Dia juga barangkali lahir dengan
keberuntungan, sehingga tanpa pertolongan siapa pun kertasnya
akan terpilih. Nilai-nilai kelulusannya biasa. Pastilah banyak
calon guru yang setaraf dengan dirinya. Tetapi gerakan pertama
yang mendiktenya berbuat telah dia ikuti. Kalaupun nanti dia
berganti pikiran, besok pagi kembali ke kota dan memberikan
formulirnya.
’’Kamu hanya menuruti kemauan sendiri! Dasar anak tidak
bisa diatur orang tua!”
Dia masih mengetahui sebelumnya bahwa Bapak akan tidak
menyukai tindakannya hari itu. Sebab itu dia baru pulang sore.
Naik Colt sampai di pasar, dia menunggu Mbah Yudo sampai
dagangannya hampir habis. Kemudian turut ke rumahnya,
masuk ke arah Juwangen. Makan di sana sambil menceritakan
kejadian di Dinas Tenaga Kerja. Semua mendengarkan. Terma-
suk Marsi. Tidak banyak komentar yang diberikan. Percakapan
santai dan selalu mengarah yang dia kehendaki. Samirin men-
dapat kesan seolah-olah segala keputusannya selalu baik. Mereka
bertanya dan mengeluarkan pendapat. Tetapi tidak pernah Sa-
mirin merasakan paksaan untuk menyetujui atau mengikuti
maksud mereka. Dan kalau akhirnya dia bersendiri merenung-
kan kembali kata-kata mereka, ternyata banyak yang diingat
serta masuk ke dalam nalarnya.
Itu adalah salah satu dari sebab-sebab yang selalu menariknya
kembali berkunjung. Tidak hanya karena Marsi hidup di sana.

8
Rumah kayu adem dan lindung itu selalu ramah terhadapnya.
Seperti di rumahnya sendiri, di situ juga sering kali ramai oleh
suara anak-anak. Yang bertengkar, yang menangis, yang mere-
ngek. Tetapi semuanya berbeda dari di rumah orang tuanya.
Perbawa apakah sebenarya yang membikin tempat tinggal ke-
luarga Marsi selalu kelihatan tenteram? Pohon-pohon di halaman
depan dan samping rumah orang tuanya lebih banyak, sehingga
memberikan keteduhan. Sejak Bapak mendapat bagian warisan,
tembok dan sirap mengganti dinding papan serta genting di
atas. Akhir-akhir itu bahkan sudah mempergunakan pompa lis-
trik untuk dapur dan kamar mandi. Padahal, di kota pun, ini
masih merupakan kemewahan yang jarang. Tetapi Samirin tidak
mendapatkan ketenangan di dalamnya.
Setelah makan, dia berbaringan di amben tengah bersama
Bapak. Ibu dan Marsi duduk di lincak,1 membungkusi kedelai
yang beberapa hari lagi akan menjadi tempe. Dia dibiarkan sam-
pai tertidur hingga asar. Tanpa pompa tanpa alat modern, dia
bersenang hati menimba air untuk mengisi kulah.2 Lalu dia
mandi. Marsi berkata bahwa sebaiknya dia pulang dulu ke ru-
mahnya sendiri. Mengapa harus begitu? Jauh dalam lubuk hati
dia sudah mengetahui mengapa. Tetapi rasa pemberontakan-
nya menghimpit kesadaran wajib anak terhadap orang tua. Maka
dengan malas yang seberat apa pun, dia pamit. Berjalan meram-
bat untuk mengulur waktu menuju Sorogenen.
Mengetahui bahwa bapaknya sedang duduk menghadang
angin di bangku halaman muka, Samirin masuk melalui pintu
belakang. Kamar mandi di sumur kosong. Dia pura-pura mandi
lalu ganti baju. Baru setelah itu, dia menemui orang tuanya.
’’Kalau kamu tidak mau berbuat seperti orang-orang lain, lalu
mau hidup sendiri saja, ya!” bapaknya menambah sesalannya.
’’Orang lain pada sikut-menyikut untuk mendapatkan tem-
pat, kamu tinggal memasukkan pendaftaran saja tidak sudi!”
’’Rasanya saya akan terus-menerus berutang budi kalau dito-
long pada pekerjaan pertama ini. Bapak seharusnya mengerti
perasaan saya, Pak.”

9
’’Tidak perlu utang budi itu dibesar-besarkan. Dia saudara
kita. Apa gunanya punya saudara atau teman kalau tidak di-
manfaatkan kedudukannya! Kalau mereka perlu kita, kita juga
mau membantu seimbang dengan kesanggupan kita. Sama-sama!”
Itu juga nalar, pikir Samirin.
Tetapi dia ingin bersih. Mencari uang buat hidup untuk per-
tama kalinya harus disertai kejujuran yang paling murni. Biarlah
orang lain berbuat sekehendak mereka. Dia mempunyai prinsip
itu. Bapaknya mengejek kenaifannya. Zamannya tidak lagi ber-
kejujuran. Apalagi sistem keluarga atau kawan bukan hal yang
baru. Sedari dulu sudah ada. Sejak zaman kerajaan kuno. Dan
itu tidak akan menghilang dari muka bumi selama orang meng-
anggap persaudaraan dan persahabatan adalah salah satu kele-
bihan manusia dari makhluk lain.
Samirin akhirnya diam. Berbantah atau berdiskusi dengan ba-
paknya, dia tidak pernah bisa mencapai persetujuan maupun
kompromi. Sewaktu berita kelulusannya disampaikan, perbantahan
sudah dimulai. Dia ingin meneruskan sekolah. Dia kira, bagian
warisan yang sekarang menjadi milik orang tuanya masih cukup
besar. Dia merasa berhak meminta sedikit untuk biaya menuntut
ilmu. Tetapi kekecewaan diberikan bapaknya dengan jawaban,
bahwa uang itu sudah hampir tuntas guna pembangunan rumah,
pembelian mesin pengupas padi, kendaraan roda dua dan
keperluan-keperluan kecil lain.
’’Bekerja dulu! Rasakan jerih payah sendiri sambil mencari
pengalaman. Nanti gampang sekolah lagi mencari gelar. Semen-
tara mesin pengupas padi akan memasukkan uang, kebun nanas
dan pisang demikian pula.”
Samirin memang ingin bekerja. Tetapi seandainya ada biaya,
dia akan merangkap mengikuti kuliah sambil mengajar. Kekecewaan
menerima penolakan demikian tidak mudah dilupakan. Dia merasa
sebagai anak lelaki sulung. Dia kira bapaknya bersifat seperti keba-
nyakan orang tua, mengharapkan anaknya bertitel sarjana. Anak
laki-laki harus bisa memanggul tinggi dan memendam dalam-dalam,3 Apa-
kah kata-kata dalam tradisi Jawa ini tidak berarti bagi orang tuanya?

10
Dia memang tidak pernah bisa mendekati pikiran Bapak.
Apa pun yang dikerjakan, Samirin tidak pernah mendapat pujian
dari orang tua itu. Masuk ke sekolah guru juga tidak sesuai.
Maka kini setelah lulus, Samirin merasa semakin berhak memu-
tuskan sendiri apa yang akan dikerjakan selanjutnya. Dia me-
ngerti mengapa pengeluaran ditumpahkan ke perbaikan rumah.
Penjelasan bahwa tempat tinggal merupakan pokok milik bersa-
ma yang harus dibikin semapan-mapannya, cukup diterima hati
mudanya. Kendaraan memang ada dua. Pagi sampai siang dia
yang memakainya. Tetapi itu juga milik bersama. Kata Bapak,
mesin buat padi adalah investasi. Selain buat sawah keluarga
besar mereka sendiri, para tetangga datang ke sana menyerahkan
hasil sawah mereka. Semuanya serba jelas ke mana habisnya
uang. Namun begitu, Samirin mencurigai penyimpangan- pe-
nyimpangan lain. Baginya tidak masuk akal ada seorang bapak
yang tidak memikirkan kelanjutan sekolah anak sulungnya. Laki-
laki lagi! Dan kekesalan hatinya tidak tanggung-tanggung dia
perlihatkan dalam kelakuan.
Dia semakin jarang tinggal di rumah. Kalau bapaknya ada,
dia menghindar. Berbicara sepatah-sepatah kalau perlu. Kede-
katan terhadap lima adiknya memang tidak pernah dirasakan.
Barangkali hanya yang terkecil, karena Marsi sering mengajaknya
pulang ke pondok keluarga. Lain-lainnya menjadi wakil keonaran
yang selalu gaduh, baik bermain maupun bercekcok. Disebabkan
karena ibunyalah Samirin masih tahan tinggal di situ. Dia iba
melihat wanita yang melahirkannya itu menjadi bayangan suami.
Seakan-akan tidak mempunyai pikiran dan kemauan, dia adalah
gema kehendak gurulaki,4 Bapak adalah majikan di rumah itu.
Seperti layaknya perempuan-perempuan yang menerima didikan
yang disebut baik, Ibu tunduk serta mengabdi pada kepentingan
suami dahulu, baru memperhatikan anak-anak. Dan Ibu ini
memperlihatkan mengerti perubahan sikap Samirin, si anak
sulung laki-laki. Bagaimanapun besar kekaguman dan kesa-
yangan Ibu terhadap anak pertama, dia tak akan melangkahi
kehendak suami yang dianggap sebagai undang-undang di dalam

11
rumah itu. Sekali-sekali, dengan suara rendah dan kecemasan,
Samirin mendengar ibunya berkata kepada Bapak, “Itu putranya
sudah pulang.” Tapi sang suami tetap menenggelamkan muka
di koran, tidak mengeluarkan sesuatu kata tanggapan pun. Baik
tanda keramahan atau kemasygulan. Lalu Samirin semakin mera-
sakan iba dalam hati untuk ibunya. Wanita itu memberanikan
diri menyela kesibukan suami dengan maksud supaya Sulung-
lelaki berdamai-damai dengan dia.
Samirin menjadi pendiam di rumahnya sendiri. Selalu Ibu
yang menegurnya lebih dahulu. Dan selalu mengatakan, di sore
hari, bahwa dia sudah dibikinkan teh kental bergula batu seperti
yang disukainya. Kalau Samirin duduk di meja makan sambil
menghirup minuman itu, ibunya turut duduk pula. Diam-diam
Samirin meneguk sambil sepenuhnya sadar bahwa Ibu meng-
amatinya. Dia merasa seakan-akan keibaan semakin menjadi-
jadi jika dia tidak mengajak Ibu itu berbicara. Maka dia menga-
takan apa saja. Bertanya, pagi ketika berbelanja, bertemu siapa.
Berita baru apakah yang terdengar di pasar mengenai
keseluruhan desa atau lain-lain hal. Ibunya tampak senang dapat
bercerita. Karena sangat jarang dia diberi kesempatan menge-
luarkan suara. Apalagi didengarkan. Dan Samirin adalah pen-
dengar yang baik. Demikian itulah cara mereka berkabar. Nada
perbincangan mendatar, rendah, bahkan setengah berbisik. Telah
terjalin antara keduanya kesepakatan tanpa rundingan, karena
mereka tidak ingin menarik kedatangan anggota keluarga lain.
Jika pada akhirnya seorang adik muncul di pintu, turut berga-
bung ke acara minum teh, Samirin kembali membungkam. Di
saat kedatangan adik lainnya, bagi Samirin tibalah waktu meng-
undurkan diri. Satu-satunya pojok penuh keselamatan adalah
kamarnya. Tetapi sering kali dia keluar lagi, berjalan menelusuri
desa dan tersangkut di salah satu rumah tetangga. Pada waktu-
waktu memerlukan belajar, dia mengungsi ke tempat Marsi. Ke-
tika melihat Samirin bangkit dari kursinya, Ibu mengucapkan
satu dua pertanyaan lain, berusaha memenangkan waktu bebe-
rapa detik atau semenit bersama Sulungnya. Namun, Samirin

12
tidak menjawab. Dia hanya mengangguk atau menggumam. Tak
ada lagi kesantaian dalam suaranya seperti ketika mereka hanya
berduaan.
Sore itu Samirin mengikuti nasihat Marsi melaporkan ke-
jadian pendaftaran di Dinas Tenaga Kerja kepada bapaknya.
Ternyata tidak ada kesepakatan. Samirin berdiri dan langsung
hendak masuk ke kamarnya. Ibu duduk di meja makan, men-
cegat dengan tegurannya,
’’Tehmu, Le!5 Ada lemet6 kesukaanmu!”
Terdorong oleh kekesalan hati, dia ingin terus saja ke kamar.
Tetapi terdengar Ibu menambahkan, ’’Marsi kemari tadi pagi,”
Samirin duduk. Ibunya menyodorkan wadah makanan, ter-
tumpuk berbentuk bulat panjang.
“Ada apa?” tanyanya. “Lama dia di sini?”
Dia selalu ingin tahu sebanyak mungkin apa yang dikerjakan
gadis itu. Di rumahnya tadi, mereka tidak menyinggung soal
kunjungan tersebut.
’’Membawakan hasil panen kacang yang pertama.”
Dia mengambil makanan. Geraknya lambat, tanpa gairah.
Dia hanya memenuhi harapan ibunya mencicipi lemet yang spe-
sial dibikin untuk dia.
’’Sampai adik-adikmu pulang Marsi di sini. Kusuruh makan
siang sekalian, tetapi tidak mau.”
Tentu saja. Karena Marsi mengira bahwa Samirin akan da-
tang ke rumahnya. Ternyata memang benar!
Tiba-tiba Ibu melihat bibir anak sulungnya terangkat dan
bergerak akan merekah. Meskipun pandangnya menunduk meli-
hat kuih yang sedang dilepas dari bungkusan daun pisang, wanita
itu menerka kedipan mata yang lembut. Ya, Samirin tersenyum.
Hatinya dilumuri kemesraan oleh pengetahuan bahwa Marsi
tidak mau makan di tempat lain karena menunggu dia. Satu
ujung lemet sudah terkupas, dia mengangkat muka sambil ma-
kan. Matanya tertumbuk pandang Ibu. Bagaikan bertemunya
dua batu api, keduanya saling tersenyum. Samirin telah lama
tidak melihat wajah ibunya sedemikian cerah.

13
’’Enak, Bu!”
Masih terpesona oleh sambungan batin bersama Sulungnya,
Ibu itu tidak menyahut. Tetap memandangi anaknya makan
sambil tersenyum.
’’Ibu mendengar omongan saya dengan Bapak?” akhirnya
Samirin memulai pembicaraan serius.
“Ya.”
Ibu juga mengetahui bahwa saya tidak jadi mendaftarkan,
karena di antara delapan ribu, yang akan diambil hanya kira-
kira enam ratus guru.”
“Ya, Le. Aku sudah mendengar semuanya.”
Samirin meneruskan makan. Ibunya tetap mengamati, me-
nunggu. Samirin menghabiskan satu lemet, mengambil satu lagi.
Perempuan dihadapannya menelengkan kepala, mulutnya ge-
metar membentuk senyum semakin nyata.
“Apa saja yang dibicarakan dengan Marsi, Bu?”
’’Macam-macam. “
Samirin menghirup teh manisnya.
’’Misalnya apa, Bu?”
“Yaaaa, mengenai bagaimana panennya kacang kali ini. Me-
ngenai air yang mulai sukar di seberang jalan,” ibunya berhenti.
Tangannya mengelus taplak, menyisihkan remah-remah yang
ditemukan di sana. Dan tanpa melihat kepada Sulung-nya, Ibu
itu meneruskan, ’’Marsi juga mengatakan bahwa sudah bebe-
rapa siang ini kamu pulang ke sana.” Samirin berhenti minum.
Tetapi cangkir tidak diletakkan kembali di atas lepekan. Kedua-
nya berpandangan. Sebentar tidak ada yang berbicara. Ibunya
menambahkan,
’’Kita harus memikiri kata orang, Lel”
Samirin meneruskan menghirup teh. Lalu, “Mereka tentu
sudah tahu bahwa kami akan segera tukar cincin.”
’’Segera bukan berarti sudah.”
Suara ibunya perlahan seperti biasanya. Tetapi kalimat ter-
akhir itu tidak disangsikan kebenarannya. Samirin menunduk,
menghindari mata Ibu.

14
’’Lalu kalau kamu tidak mau kembali mendaftarkan lagi
seperti yang kaukatakan kepada Bapak tadi, apa yang akan kau-
kerjakan?”
’’Belum tahu! Menunggu.”
Kalimat itu juga benar. Memang Samirin belum melihat ke-
mungkinan-kemungkinan lain. Menunggu pun dia tidak jelas
apa yang dinantikan.
’’Katamu dulu, begitu lulus, tukar cincin, lalu mulai mengajar.
Setahun kemudian, kawin”.
Samirin tetap tidak menatap muka ibunya. Rencana bisa
saja dibikin. Tetapi pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang
dikirakan.
“Mbok ya jangan terlalu keras begitu! Cobalah menurut se-
dikit, memenuhi kemauan Bapak!”
Baru kali itu Samirin mendengar ibunya membujuk agar
berpendirian sama dengan bapaknya. Yang telah lewat, kalau
Ibu menemui serta berbicara dengan dia, memang berupa rayuan
juga. Tetapi rayuan berisi kata-kata pelipur, penenang supaya
Sulungnya kurang merasakan tekanan-tekanan dalam rumah
itu. Supaya Samirin krasan tinggal bersama keluarganya.
“Apa yang akan kau kerjakan, Le?”
Samirin merasakan desakan pertanyaan ini. Hatinya mulai
kesal. Dia sudah bersiap-siap akan berdiri ketika ibunya berkata
lagi,
’’Kamu seperti bapakmu! Buteng7 dan mau menangnya sen-
diri!”
Ibu mendahului bangkit. Dari seberang meja meraih gelas
yang telah kosong, menyumpalkan daun pisang bekas bungkus
lemet ke dalamnya, lalu menuju ke dapur tanpa berkata-kata
lagi.
Beberapa detik Samirin termangu. Kaget dia mendengar nada
tegas diucapkan dengan suara kaku oleh ibunya. Walaupun
dalam keadaan marah kepada anak-anaknya, belum pernah Sa-
mirin merasakan ketegangan suara itu.
Dia menunggu sebentar di tempat semula. Tetapi Ibu tidak

15
kembali. Sebelum adik-adiknya kelihatan, dia mendahului
masuk ke kamarnya. Langsung dia membuka lemari pakaian.
Di belakang timbunan celana, dia mengeluarkan kotak panjang
ukiran Jepara. Warnanya cokelat, tampak terlalu sering dipegang
sehingga sudah kehilangan vernisnya. Samirin mempergunakan-
nya sebagai tempat alat tulis sejak kelas empat SD. Waktu itu
dia naik kelas. Nenek memberi tas baru berisi kotak tersebut.
Dia membawanya ke dekat tempat tidur, meletakkannya di atas
peti di mana berderetan buku-bukunya. Dia membuka celana
panjang dan memakai sarung. Bajunya juga dilepas. Hanya me-
ngenakan kaos singlet, Samirin duduk di ranjang, menyandarkan
diri ke dinding sambil merentangkan kaki.
Kotak itu dia buka.
Satu demi satu isi dikeluarkan, ditaruh di atas seprei atau di
pangkuan. Semua kekayaan benda sekaligus kenangan indah
bagi Samirin tersimpan di dalamnya. Batu-batu berwarna atau
berbentuk aneh, cangkang siput laut berkilat dan licin seperti
porselin, satu taring musang yang dia tangkap bersama Kakek,
secuil perunggu berbentuk segitiga seperti mata panah. Ini juga
dia temukan bersama Kakek ketika mereka masuk ke salah satu
gua di Parangtritis. Dan akhirnya, Samirin membuka gumpalan
kapas yang telah kehilangan warna putihnya. Di dalamnya ada
sebuah cincin stempel tebal. Besarnya lingkaran melebihi dua
kali ibu jarinya.
Dua bulan sebelum Kakek meninggal, lelaki itu meletakkan
barang emas yang berat itu di atas telapak tangan cucunya. Ting-
gal itulah milik pribadi Kakek. Sejak Nenek mendahului pergi
menghadap Tuhan, harta keluarga sudah dibagi. Kakek yang ma-
sih kuat dan gesit kembali hidup membujang. Sebulan di kota
satu meninjau anak yang ketiga, dua bulan di desa mengawasi
luasan sawah dan bersekutu dengan Samirin. Di waktu yang lain
pergi lagi menjenguk keluarga lain pula. Dia berkata bahwa cucunya
akan memerlukan cincin itu pada suatu hari. Dan tanpa maksud-
maksud jahat tertentu, Samirin menyimpannya tersembunyi,
menjadi bagian dari rahasia-rahasia yang mereka miliki berdua.

16
Kakek tidak pernah memakai cincin itu. Dia membelinya
dari seorang kelasi asing yang terdesak kebutuhan. Saat itu Kakek
berada pada salah satu dari petualangan-petualangannya. Di
Surabaya dia bertemu dengan kenalan-kenalan lama pelaut
Bugis. Melalui pemeriksaan kilat di toko kenalan yang lain, dia
yakin bahwa cincin itu terbuat dari emas murni. Kelasi itu tinggi,
besar. Perhiasan yang dijual kepada Kakek bukan satu-satunya
yang melingkari jarinya. Tangan kanan dan kiri orang itu penuh
dengan logam berharga. Ada yang bermata, kebanyakan berupa
bulatan-bulatan rantai biasa. Yang ditawarkan kepada Kakek
adalah yang terbesar dan paling tebal, sesuai dengan jumlah
uang yang dibutuhkan. Pelaut itu biasa bepergian demikian.
Benda-benda itu tidak dianggap sebagai alat kegenitan, melain-
kan sebagai pengganti uang, alat pembeli. Kalau membawa uang,
harus disimpan di kapal. Dia memilih membawa emas dalam
bentuk perhiasan yang bisa dipakai. Di setiap pelabuhan, di
waktu memerlukan uang, dia menjual satu atau beberapa cincin.
Itu yang paling sukar dicuri, karena melekat erat di jari-jarinya.
Badan yang kokoh dan tinggi mengilhamkan keseganan, bahkan
ketakutan bagi copet atau pencuri yang mengintai kilauan
tangannya.
Semakin Samirin bertambah umur, Kakek semakin banyak
menceritakan kejadian yang dialami atau hanya dia dengar. Dan
semakin Kakek menjadi tua, cerita itu berubah. Kadang-kadang
dikurangi bagian tengah, ditambah bagian akhir. Atau kota
disebut dengan nama lain. Perkelahian atau kemenangan lotre
maupun judi antara teman berganti jumlah lebih hebat menga-
gumkan. Pada mulanya Samirin membetulkan pergantian-per-
gantian itu. Dia kira Kakek lupa atau kelewatan menyebut keja-
dian maupun tempat seperti yang dituturkan orang tua itu di
waktu-waktu terdahulu. Tetapi kemudian, remaja menjadi de-
wasa, bersekolah sebagai calon guru, dia mengerti apa yang ter-
jadi dalam jiwa Kakek. Tidak saja dia mendengarkan semua
cerita tanpa komentar penyanggahan, Samirin bahkan menanya-
kan berulang kali peristiwa-peristiwa yang dia sangka paling

17
disukai. Sabar dan memperlihatkan perhatian penuh, dia men-
jadi pendengar Kakek yang bernostalgia, mengenang masa belia-
nya.
Cincin itu berulang-ulang dicuci serta disikat.
Kini benda itu terpasang terlalu besar di ibu jari kanannya,
kuning mencolok pandang karena kontras dengan kulit yang
hitam. Waktu sekaranglah dia akan digunakan Samirin. Apakah
yang dipikirkan Kakek ketika memberikan benda itu kepadanya?
Apakah prakiraan orang tua itu mengenai niat yang terkandung
di hati si cucu waktu ini? Semua kemungkinan keuntungan bisa
ditarik dari emas. Karena logam itu berasal dari satu-satunya
lelaki dengan siapa Samirin merasa mempunyai hubungan batin,
dia akan dijadikan permulaan yang menggarisi kehidupannya.
Emas murni sangat lembek. Tetapi kuat dalam nilai, ampuh
dan awet. Kakek menyerahkan barang itu sebagai milik terakhir,
seperti membagikan sesuatu yang dihematnya sedari dahulu.
Sebagian dari hubungan kedekatan sesama laki-laki.
Dari celah-celah deretan buku, Samirin mengambil sampul
putih. Cincin itu dimasukkan ke dalamnya. Dan sampul tersebut
dilipat dua kali, empat kali. Koleksi benda-benda kecil lain masuk
lagi ke kotak ukiran. Kapas bekas pelindung dilempar ke bakul
tempat sampah karena tugasnya selesai hari itu.
Malam sesudah makan, dia akan kembali ke rumah keluarga
Marsi. Besok pagi, dia akan membereskan urusan cincin itu.

18
2

Sekolah Marsi tidak pernah lebih jauh dari kelas dua SMP.
Kemampuan otak yang semakin dilemahkan oleh kemalasan
belajar membikin gadis itu tidak naik dua kali. Orang tuanya
putus asa. Marsi sendiri menerima kejadian itu sebagai satu
kewajaran. Les menjahit dan memasak kuih-kuih dilaksanakan
tanpa kesukaran. Akhirnya dia tinggal di rumah.
Samirin mengenal gadis itu sejak kecil.
Mereka berdua sering kali bertemu dan bermain di ladang
yang sama. Tarikan yang dirasakan Samirin terhadap gadis itu
selalu lembut, namun menunjam. Dia baru menyadari bahwa
itu cinta ketika Kakek membukakan matanya. Di Sorogenen
dan Juwangen semua orang saling mengenal. Dengan mudah
Kakek membayangkan kemungkinan pertalian antara keluar-
ganya dengan pihak Marsi. Sedangkan gadisnya sendiri tidak
diberi tahu. Tetapi semua mata mengawasinya. Kakek meng-
arahkan langkah-langkah kaki Samirin, mengambil prakarsa
satu atau lain hal pada waktu bersama Marsi. Ketika Samirin
masuk ke pendidikan guru, semakin dia perlihatkan perha-
tiannya kepada gadis itu. Dia berkunjung ke rumah Marsi terus
terang karena ingin bertemu dengannya. Tidak lagi malu-malu
bertanya, Apakah Marsi ada?” Dimulai dari waktu itu, seakan-
akan telah pasti bahwa mereka akan dijodohkan. Tanpa pengu-
muman, seluruh desa mengetahui hubungan mereka.

19
Sepekan berlalu sejak Samirin pergi ke Dinas Tenaga Kerja.
Ketegangan di rumah tidak nyata, tetapi hawanya panas bagi
ibu dan anak sulungnya. Samirin memutuskan untuk semakin
jarang tidur di tempat orang tuanya. Hingga akhirnya dia diberi
bantal dan sarung, menggunakan balai-balai di ruang tengah di
pondok keluarga Marsi sebagai ranjangnya.
Dua minggu kemudian, Bapak gadis itu dan Lurah mengantar
Samirin berbicara dengan orang tuanya. Samirin tidak mau
datang seorang diri, karena seperti di waktu-waktu yang lampau,
bapaknya tidak akan menyetujuinya. Dan ketidaksepakatan itu
masih akan disertai kemarahan perselisihan yang tetap tidak
berguna. Dengan membawa dua kawan, selain bertindak sebagai
penengah, mereka terlibat dalam urusan kesejahteraan desa.
Lama bapak Samirin mengelak dan hendak melarikan diri
dari tujuan sebenarnya mengapa ketiga orang itu hadir di rumah-
nya. Panjang lebar dan bersemangat dia mengulangi mendesak
dan menasihati anak sulungnya. Dua orang luar diambilnya
sebagai pendengar. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arah me-
reka dan mencari persetujuan keduanya. Kali itu Ibu turut du-
duk, tetapi di kursi agak jauh dari keempat lelaki. Diam dan
tegak, jelas menunjukkan kecemasan akan terjadinya satu mala-
petaka. Samirin mencari waktu. Dia berusaha menyelakan kali-
mat yang sedari tadi telah disiapkan. Tetapi semakin lama, Bapak
semakin giat. Dia ingin memperlihatkan kepada tetangga dan
Lurah bahwa dia berpendirian cocok dengan zamannya.
“Nikahnya tanggal tujuh belas, minggu depan. Surat-surat
sudah selesai”, tiba-tiba Lurah menumpangi suara bapak Samirin.
“Nikah apa? Siapa?” laki-laki itu terkejut.
“Nikah saya dengan Marsi, Pak. Semua sudah diurus. Ini
kami datang hanya untuk memberi tahu dan minta pangestu.”
“Yang mantu kami,” bapak Marsi menyambung cepat. ’’Se-
derhana sekali. Hanya sebagai peresmian. Yang diundang kam-
pung kita sendiri.”
“Apa ini? Saya juga bisa mantu! Mengapa kamu begitu lan-
cang melangkahi orang tua?”

20
Bapak menoleh kepada anak sulungnya. Suaranya naik,
nadanya keras mencapai puncak perdebatan yang biasanya ber-
akhir dengan mundurnya Samirin. Waktu itu pun Samirin bang-
kit dari kursinya, memberi tanda kepada kedua pengantar. Sam-
bil menuju ke pintu dia menambahkan, ’’Kami datang hanya
memberi tahu, Pak. Tidak mencari keributan.”
Sebelum meninggalkan rumah, Samirin menengok ke arah
ibunya. Perempuan itu sudah mengetahui rencana perkawinan.
Dia menyetujui pendapat bapak Marsi supaya Samirin bertemu
sekali lagi dengan Bapak, mengabarkan kehendaknya berumah
tangga. Ternyata tidak ada perubahan. Bapak itu tetap mengi-
nginkan anak sulungnya bertindak seperti yang dia nasihatkan.
Kunjungan yang dimaksudkan untuk berunding tenang-tenang
itu rupa-rupanya meleset.
Selintas Samirin menangkap bayangan Ibu menatap wajah-
nya. Lalu ditelan pintu, mendahului suami ke belakang. Ketika
menuju rumah Marsi kembali, Samirin membisu. Hatinya sedih.
Dia khawatir apa yang akan diderita lagi oleh ibunya malam
itu!
Dua cincin pertunangan telah siap. Ketika dikabarkan kepada
bapak Marsi, Mbah Yudo mengusulkan mengapa mereka tidak
kawin saja sekalian. Anggota keluarga yang paling tua itu tidak
suka melihat dua anak muda terlalu sering bersama hanya diikat
pertunangan. Apalagi dia juga mengetahui tekanan yang diterima
Samirin di rumahnya sendiri. Buat apa menunggu-nunggu lagi.
Pernikahan kecil, hanya sebagai peresmian bisa dilaksanakan
sepanjang tahun.
Tak usah menunggu panen atau pemasukan uang. Tetangga
pastilah telah melihat anak muda itu hilir mudik tidur di bawah
satu atap dengan Marsi.
Tanpa menolak, kedua anak muda mau segera dinikahkan.
Samirin yang membikinkan cincin tanda ikatannya dengan
Marsi. Pemberian Kakek begitu berat jumlah gramnya sehingga
cincin kawin terlunasi. Sisanya dijual. Masih cukup banyak,
disumbangkan untuk membeli kain dan kebaya bakal istrinya.

21
Pernikahan itu sebetulnya bisa berlangsung tanpa campur
tangan orang tua pihak lelaki. Tetapi bapak Samirin merasa
perlu mempertahankan harga dirinya. Alangkah malunya kalau
dia tidak ngunduh.8 Anak laki-laki sulung lagi! Samirin tidak
melihat alasan lain mengapa Bapak ikut-ikutan membayari seba-
gian dari kondangan perkawinannya. Dia tidak percaya bahwa
perasaanlah yang disertakan dalam hal ini. Karena sebegitu rame-
rame selesai dan pengantin menetap di rumah pihak istri, suara-
suara yang sampai di telinga Samirin sama seperti dahulu lagi.
Ibu sendiri tidak ada ceritanya. Tetap tak ingin menyakiti hati
Sulungnya. Kunjungannya sekali-sekali ke rumah menantu me-
rupakan kehadiran, tanpa banyak bicara. Dia bahagia mendapat
kesempatan mengawasi anak sulungnya selama beberapa menit,
beberapa waktu. Tetapi pembantu dan tetangga berlainan. Tanpa
maksud tertentu pun, mereka selalu berusaha membawakan
berita. Dan kalau ada kebaruan yang bisa mereka sampaikan,
alangkah senangnya orang-orang itu! Dari situlah Samirin
menerima ulangan penyesalan-penyesalan Bapak atas semua ke-
putusan si Sulung. Belajar menjadi guru bertahun-tahun, akhir-
nya hanya untuk menjadi pedagang tahu tempe! Itulah yang
menjadi puncak sesalan bapaknya.
Tinggal di rumah mertua, Samirin calon guru memang tidak
menganggur. Mendahului panggilan sembahyang subuh, dia su-
dah bangun. Mbah Yudo bahkan lebih pagi lagi, karena Samirin
selalu menemukannya sedang membuka bungkusan cetakan ta-
hu satu demi satu. Harus disiapkan kiriman-kiriman harian yang
berlangganan sejak bertahun-tahun. Samirin mengambil alih
tugas dua buruh, mengantar dagangan ke tempat-tempat jauh.
Setelah membawa satu-satunya adik Marsi ke jalan besar agar
mudah mendapat kendaraan ke sekolah, Samirin kembali ke
rumah mengambil dagangan. Sepagian dia keliling kota. Pu-
lang makan sebentar, terus ke ladang. Selalu ada yang dikerjakan
atau diawasi. Dari sana, mampir ke pasar menjemput Mbah
Yudo. Kalau tepat waktunya, dia langsung balik ke pinggir jalan
besar menunggu adik iparnya. Kalau tidak, dia mengurusi

22
sesuatu di pondok, Marsi yang menjemput adik. Karena ken-
daraan itu sebetulnya kepunyaan Marsi, dibelikan bapaknya
ketika akan belajar menjahit maupun masak-memasak. Tempat-
nya di kota, jauh di bagian barat. Kalau naik kendaraan umum
harus ganti tiga kali, dan waktunya sore. Pada hari-hari muram,
langit cepat sekali menjadi gelap. Mempunyai kendaraan sendiri
merupakan keringanan bagi semua, yang berangkat belajar dan
yang tinggal di rumah. Karena keluarga tidak resah, kurang kha-
watir jika ada keterlambatan baik waktu pulang atau berangkat.
Rezeki pertama yang kebetulan masuk ke tangan keluarga
bersamaan dengan tawaran kredit kendaraan di kantor seorang
saudara. Mbah Yudo memerintahkan bapak Marsi menyambar
kesempatan tersebut. Ternyata orang tua itu tidak salah per-
hitungan. Selain penting untuk mencari ilmu, kendaraan itu sa-
ngat berguna sebagai alat dagang.
Samirin tidak pernah menganggur.
Hari yang satu ke hari lain, tenaganya disumbangkan kepada
keluarga barunya. Dia tidak menerima gaji seperti pegawai atau
buruh. Tetapi semua keperluannya diberi. Kalau sakunya kosong,
dia minta. Dia tinggal mengatakan ingin makan masakan apa.
Pakaiannya cukup, selalu terlipat bersih dan licin. Sekali sebulan,
sekalian kulakan9 untuk warung Mbah Yudo di samping pondok,
Bapak atau Marsi atau dia sendiri ke pasar kota. Samirin me-
nambahkan nama barang atau sesuatu lainnya di dalam daftar
belanja, maka dia akan mendapatkannya tanpa diselidiki mau-
pun ditanya. Dia tidak kekurangan dan tidak merana.
Dipandang dari luar, seolah-olah pengetahuan yang diajarkan
di sekolah guru tidak berguna bagi kehidupan Samirin.
Kapaknya hanya melihat dia adalah pedagang tempe yang hina.
Matanya terselubung keiri-hatian dan kecemburuan, karena Su-
lungnya justru mau ’’turun derajat” menjadi seorang penjual
tempe daripada mengikuti nasihatnya. Hari satu ke hari lain,
Samirin bertambah pengetahuan tanpa pergi ke sekolah. Bulan-
bulan pertama dia menghayati diri sebagai pembikin makanan
yang menjadi dasar protein sebagian besar rakyat. Dia melihat

23
mertuanya meneruskan kebiasaan penyebaran dagangan,
kemudian penagihan hasil penjualan. Sambil magang, dia mulai
memikirkan cara-cara lain yang lebih produktif dan praktis.
Enam bulan mengikuti alur tradisi lama, barulah dia mengusul-
kan pikirannya. Sedikit demi sedikit Mbah Yudo terpengaruh.
Mertua mengikuti. Dan perlahan-lahan, pembaruan dimasuk-
kan. Samirin bahkan berani menawarkan dagangannya ke tem-
pat-tempat penjualan lain. Percobaan yang dilakukan akhirnya
diteruskan jika membawa hasil lebih dari jumlah tertentu. Kalau
tidak, dihentikan.
Badan Samirin berubah. Ketinggiannya yang dulu lampai
disertai gerakan lamban, kini menyuguhkan kehadiran yang ber-
wibawa. Lengannya tampak berotot dan kuat. Bahunya semakin
bidang, punggung tegak. Wajah Samirin menjadi lebih hitam.
Tetapi garis-garisnya nyata dewasa, penuh ketajaman, dilem-
butkan oleh matanya yang sering kali memandangi lawan bicara-
nya dengan redupan ramah. Hari satu ke hari lain, keseluruhan
jasmani dibentuk oleh kerja ladang. Di sana dia juga tak hentinya
belajar. Pengetahuannya mengenai sifat tanah, pemupukan, se-
rangga yang berguna atau yang harus dianggap musuh, penye-
maian yang memerlukan sinar maupun yang harus dilindungi.
Dan atap persemaian ini pun bermacam-macam arahnya. Tum-
buh di desa sejak lahir, belum pernah dia menaruh perhatian
sebesar sekarang ketika telah disebut ’’orang” oleh lingkungan-
nya. Rahasia alam yang dibukakan Kakek, sekarang dilengkapi
dan dibentuk di luasan tanah yang menjadi tanggung jawabnya.
Bapaknya sendiri yang memiliki kebun pisang dan sawah, dan
baru-baru ini percobaan kebun jeruk, tidak pernah melibatkan
Samirin dalam urusan pemeliharaan ataupun pemetikan hasil.
Lebih dari setahun perkawinannya, Marsi melahirkan bayi
laki-laki. Anak pertama, juga bayi yang telah lama dilupakan
tangisnya karena di rumah itu hanya ada dua bersaudara: Marsi
dan adiknya lelaki. Masuknya Samirin di keluarga itu sudah
dianggap sebagai tambahnya rezeki karena perbaikan-perbaikan
dan peningkatan penjualan tempe. Maka datangnya bayi

24
bagaikan limpahan cahaya yang menyilaukan. Seisi rumah ter-
gila-gila. Tidak mungkin bayi itu menangis lebih dari satu menit!
Karena semuanya repot dan berdatangan ke sampingnya untuk
mengetahui mengapa atau berebutan hendak menggendongnya.
Samirin yang semula takut dan tidak suka melihat bayi, kali ini
berpendapat, bahwa yang dilahirkan Marsi berbeda dari lain-
lain yang pernah diintipnya. Marsi sedang menyusui bayi, de-
ngan rambut terurai di punggung, di kening tertempel pilis10
yang berbau wangi. Pemandangan ini adalah yang paling dise-
nangi Samirin. Biasanya dia menemukan Marsi demikian di
sore hari, ketika matahari kuning terselip di sela-sela daun kelapa
sebelah barat rumah. Tergantung kepadatan kerja, apakah Sami-
rin tinggal di ladang sampai sore ataukah bisa menyerahkan
pengawasan kepada buruh. Namun, Samirin selalu berusaha
menyaksikan pemberian minum itu sesudah bayi dimandikan.
Rasa mesra yang bergumulan di dadanya seakan-akan tidak bisa
ditahan. Berkali-kali dia berjongkok di depan Marsi, lalu
memeluk ibu dan anak itu ke dalam dekapannya. Keduanya
ditekankan erat ke dirinya, sehingga Marsi berteriak. Geli ber-
campur khawatir, kalau-kalau si bayi tersesak napasnya. Kemu-
dian dengan merajuk Marsi marah-marah, mengatakan suami-
nya gila bersikap semacam itu.
Samirin hanya tersenyum-senyum, tetap berlutut di hadapan
dua makhluk yang membangkitkan rasa bahagia dalam dirinya
itu.
Kelahiran itu tidak menghentikan Samirin sebagai pedagang
tempe. Disusul tahun berikutnya yang datang dengan kecepatan
zaman penuh gerak. Tanpa disadari meluncurnya pergantian
hari dan bulan yang terisi penuh. Lalu tiba-tiba dua tahun berlalu
sejak Samirin lulus menjadi calon guru. Keluwesannya di bidang
pendidikan selama itu dimanfaatkan oleh rukun kampung dan
rukun tetangga. Hari-hari nasional yang diramaikan dengan upa-
cara atau pesta, Samirin menjadi motor penggerak kaum muda.
Dia pula yang memimpin kelompok berbagai cabang olahraga.
Pengetahuan kejiwaan dipraktekkannya untuk mengarahkan

25
anak-anak ke penggunaan waktu yang seisi mungkin. Melalui
organisasi desa itu dia menemukan kembali adik-adik kandung-
nya. Ketika masih serumah tidak pernah ada sambungan yang
bisa terjalin antara mereka. Semula Samirin tidak menaruh mi-
nat maupun perhatian istimewa kepada remaja-remaja itu. Bagi-
nya, mereka sama seperti anak-anak lainnya. Tetapi lama-kela-
maan, terasa olehnya bahwa adik-adik itu mendekat. Karena
menunjukkan kemauan baiknya dengan cara sering kali menga-
jukan diri sebagai sukarelawan jika ada tugas-tugas yang sukar
dilaksanakan oleh anggota lain. Misalnya karena kesukaran ken-
daraan, kurang tepatnya waktu. Samirin tidak segera menang-
gapi atau memperlihatkan kegembiraannya. Setelah menunggu
beberapa waktu, dia mulai meraih kesempatan. Berangsur-
angsur, rasa kedekatan yang belum pernah merasuki hatinya
terhadap saudara kandung pun dia alami. Dan dengan bangga
dia mengatakan kepada Marsi, bahwa waktu itulah dia mera-
sakan senangnya mempunyai adik.
Pengaruh keluarga Marsi sangat besar dalam hal ini. Bagi
mereka, hubungan darah tidak bisa dikhianati. Oleh karena itu,
meskipun bapak Samirin menyuarakan kalimat-kalimat keras
selalu diwarnai penyesalan. Marsi mewakili suami kadang-
kadang menjenguk ke rumah Sorogenen. Dan dia tidak sendi-
rian, selalu membawa bayinya. Katanya, dia berkewajiban me-
nunjukkan anak Samirin kepada Kakek. Apa pun dan bagai-
manapun sikap Kakek itu, Marsi tidak pernah menunjukkan
kelakuan yang keluar dari tradisi sebagai menantu yang baik.
Samirin melibatkan diri dalam banyak urusan. Dia pasrahkan
kepada Marsi usaha berbaik-baik kembali dengan Bapak. Dua
atau tiga kali sebulan dia pergi ke rumah orang tuanya hanya
untuk menyenangkan hati Ibu dan istrinya. Kalau Bapak ada,
dia memperlihatkan diri dan menyalaminya. Kebanyakan kali
tidak mendapat sambutan. Jadi, dia meneruskan kebiasaannya,
duduk berdua dengan ibunya sambil berbicara setengah berbisik.
Pada waktu adik-adik muncul, Samirin lebih sabar melayani
mereka.

26
Alur hidup demikian berlangsung selama dua tahun.
Dari berita radio, pada suatu petang Samirin mendengar,
bahwa Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan memerlukan
tenaga pengajar SD. Bantuan tambahan guru diharapkan datang
dari kota Ujungpandang dan Daerah Istimewa Yogyakarta, ka-
rena dua tempat itu menghasilkan tenaga pengajar lebih dari
yang dibutuhkan. Kepada peminat diharapkan supaya segera
menghubungi instansi-instansi yang bersangkutan.
Reaksi berita sekaligus berupa pengumuman itu langsung
terasa pada keluarga Samirin. Mereka berunding tenang. Kali-
mantan jauh. Konon masih liar. Kota-kota merupakan pulau
yang dikelilingi rimba raya. Samirin melihat dalam pengumuman
itu satu kesempatan membuka jalan hidupnya sendiri sebagai
kepala keluarga. Dia tidak bisa membayangkan berlarut-larut
turut usaha mertua. Apalagi sama sekali keluar dari bidang yang
ditujunya sejak remaja. Bertransmigrasi tidak pernah dia
pikirkan. Tetapi kini, undangan pemerintah daerah yang mem-
butuhkan bantuan pengajar menemukan gema dalam hati Sa-
mirin. Ini satu kemungkinan untuk merintis jalan buat masa
depan. Untuk Marsi, untuk anak mereka. Selain itu, ada se-
macam getaran yang menggelitik di dada mudanya. Dia juga
seperti kebanyakan kaum lelaki. Jiwanya haus pengalaman. Kali-
mantan yang sampai ke telinganya seolah-olah akan memenuhi
kehausan itu. Cerita-cerita mengenai transmigrasi tidak jarang
sampai pula di desa mereka. Ada yang menyenangkan, ada yang
sedih. Kata Mbah Yudo, sama seperti di zaman kuli-kuli kontrak
Deli. Kalau dahulu, buruh-buruh itu diculik atau dipaksa, seka-
rang bebas dan bisa memilih ke pulau mana hendak pindah.
Malam itu juga, Samirin mendapat persetujuan untuk men-
cari keterangan seperlunya. Keesokannya, dia pergi ke Dinas
Tenaga Kerja menemui kenalan lama. Di sana menerima surat
lampiran, meneruskan ke Biro Personalia. Dia bawa pulang for-
mulir yang harus diisi. Dia memerlukan berunding lagi dengan
seisi rumah. Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi, ter-
masuk keluarga ditinggal di Jawa. Dan karena keluarga itu akan

27
dipasrahkan kepada orang tua, Samirin harus mempunyai surat
izin atau kesanggupan dari orang tua tersebut.
Yang paling sukar ialah membujuk Marsi.
Istrinya mengaku mempunyai prakiraan, bahwa anak mereka
akan ditinggal sementara mereka suami istri masuk ke tanah
dan kehidupan yang baru di Kalimantan. Jika segalanya mulai
mapan, anak itu akan mereka ambil kembali. Kekecewaan sangat
menunjam menguasai Marsi. Karena itu, berita bahwa istri dan
anak tidak boleh dibawa membikin dia merajuk. Keluarga diting-
gal di Jawa justru merupakan syarat utama bagi guru yang sang-
gup berangkat. Dia tidak bisa mengerti mengapa pemerintah
memisahkan kesatuan keluarga. Kesukaran hidup suami harus
didampingi oleh istri. Kehadiran istri barangkali dianggap seba-
gai halangan pembangunan? Seorang perempuan juga bisa beke-
rja, mengerahkan tenaga jasmani sebagai pembuka tanah. Marsi
tidak kekurangan kata dan kalimat untuk menyalahkan persya-
ratan yang menyisihkan dirinya dari samping Samirin. Mbah
Yudo dan orang tuanya berusaha menemukan alasan-alasan ke-
praktisan guna menenangkan istri muda itu. Seakan-akan me-
reka menjadi utusan pemerintah, membela tercantumnya aturan
yang disertakan bagi para pengajar. Di tempat baru, wajib me-
numpahkan seluruh perhatian dan upaya. Pikirannya tidak
dapat dibagi dua jika istri turut berangkat bersama. Di Biro
Personalia sudah didapatkan keterangan, bahwa bersama bebe-
rapa guru lain, Samirin akan membuka sekolah. Tempatnya jauh
dari kota. Yang disebut desa adalah kelompok lima rumah, ber-
jarak beberapa kilometer, lalu lima atau enam rumah lagi. Marsi
terlalu biasa hidup dengan kemudahan-kemudahan yang ada di
Pulau Jawa. Nanti saja menyusul, kalau Samirin sudah mapan,
baik mental ataupun semua kebutuhan papan dan tugasnya.
Ketika malam tiba, pada sentuhan pertama dari suami, Marsi
menangis. Samirin tidak pandai merangkai rayuan. Dia hanya
bisa membelai. Kepanasan nafsunya semakin tergugah oleh
wajah Marsi yang menyuguhkan keporak-porandaan perasaan-
nya. Bersemangat dia mencium matanya, pipinya. Tangis yang

28
asin dihirup dan dia lahap. Marsi tersengal dan sekaligus terisak
oleh rabaan tangan suami yang pasti dan mengerti di mana dia
paling perasa. Keberangkatan Samirin belum dipastikan tang-
galnya, tetapi mereka telah memulai menambah tabungan ke-
nangan. Malam itu sangat panjang. Yang paling panjang sejak
perkawinan mereka. Selesai satu perjalanan, Marsi disiapkan
untuk perlawatan lain. Selalu berbeda. Selalu memberi kepuasan
tak terbataskan. Seluruh tubuh Marsi gemetar. Bara dari suami
membakar dirinya.
Keesokan harinya, orang rumah tidak mendengar lagi protes
maupun pemberontakan Marsi. Diam tanpa komentar dia mem-
biarkan anjuran atau nasihat Mbah Yudo. Kalau bapak atau
ibunya yang berbicara, dia menyahut sudah memaklumi aturan
pemerintah.
Samirin sibuk menghadapi bermacam-macam les. Sering kali
dia ke kelurahan untuk mengetik surat ini atau itu, mengecapkan
formulir satu dan lainnya. Semua kertas harus lengkap sebelum
mengikuti tes mental. Mulai dari waktu itu, segalanya berlalu
dengan cepat. Tiba-tiba saja keberangkatan Samirin sudah ada
di pekan yang mendatang. Marsi sedih dan lembut mengingat-
kan kedudukannya sebagai anak. Seluruh desa dan tetangga
mengetahui bahwa dia akan ke Kalimantan. Marsi secara pribadi
mengabarkan maksud suami kepada bapak mertua. Samirin
sendiri tidak berbicara lagi dengan dia. Meskipun masih tetap
menampakkan diri di rumah orang tuanya, tetapi tidak mau
lagi duduk menemui ataupun menyalaminya. Bapak tidak meng-
anggap kehadirannya sebagai manusia. Mengapa dia harus terus-
menerus merangkak dan mengambil hati.
Beberapa hari sebelum berangkat, akhirnya dia menuruti
permintaan istrinya. Demi anak mereka, katanya. Jangan sampai
dia pergi membawa kutuk laki-laki yang menurunkannya.
Sore itu dia datang, lewat pintu pekarangan depan. Langsung
dia mendekati bapaknya, duduk di kursi sebelah. Bapak sedang
membaca koran.
’’Saya berangkat ke Kalimantan Rabu nanti, Pak.”

29
Bapak tidak berkutik. Tiba-tiba ibu Samirin muncul, berdiri
di ambang pintu dan berkata,
’’Kemarin bapakmu mempertanyakan kira-kira apa yang bisa
diberikan kepadamu sebagai bekal.”
Samirin tidak segera menyahut. Surat kabar yang terbuka
lebar tampak tersingkap perlahan. Wajah Bapak memandang
ke arah Samirin.
“Aku dapat memberimu uang. Tetapi tidak banyak. Untuk
pengisi saku saja.”
’’Terima kasih, Pak.”
Samirin berhasil mengeluarkan jawaban itu dengan usaha
yang luar biasa. Hatinya penuh. Luapan perasaannya beralun,
menggelombang menguasai dadanya.
’’Pemasukan uang seret. Penagihan sukar sekali. Apalagi ini
tanggal tanggung,” kata Bapak. ’’Hanya empat puluh ribu.”
“Itu sudah banyak, Pak. Terima kasih.”
“Apa lagi, Le? Selain uang?” Ibu menyambung.
Samirin menelan ludah, menyiapkan kejernihan kerongkong-
an. Dia belum bisa sama sekali menekan keharuannya.
’’Kalau boleh, saya ingin membawa parang Kakek yang digan-
tung di ruang makan itu.”

30
3

Bersama Samirin, berangkat empat guru lain.


Pemerintah membiayai perjalanan kapal lewat Surabaya. Di
Banjarmasin, liku-liku administrasi masih dilanjutkan, diurus
di kantor Gubernur. Dari sana mereka berpencar. Samirin men-
dapat teman seorang, harus mengejar pembukaan tahun peng-
ajaran. Mereka diberi bagian di Kabupaten Tanah Laut, dekat
kota Kintap. Selesai persoalan kertas dan berbagai instruksi,
kedua calon guru disuruh pergi ke tempat tugas mereka tanpa
diberi uang bus atau kendaraan darat lain.
Hingga saat itu, Samirin menerima pelayanan dan perto-
longan yang dapat dibanggakan. Dia mulai berpikir, bahwa usaha
pemerintah daerah mendatangkan tenaga dari pulau lain disertai
kesungguhan dan penghayatan para pegawainya. Ketika petugas
yang bertindak sebagai penyambut, yang menjemput mereka
di pelabuhan, mengantar ke penginapan Pemda, menyertai mere-
ka ke semua loket kantor gubernuran, menyerahkan kembali
berkas masing-masing lalu mengulurkan tangan hendak bersa-
laman, Samirin mengetahui bahwa karyawan itu menganggap
kewajibannya telah rampung. Waktu itu temannya membisikkan
sesuatu mengenai biaya perjalanan selanjutnya.
Tetapi tak seorang pun dari mereka berlima yang menang-
gapinya. Semua terlalu bersemangat untuk segera berangkat ke
daerah tempat mereka ditugaskan. Caranya pergi ke sana

31
bagaimana, itu baru dipikirkan setelah pengantar berlalu.
Akhirnya mereka memutuskan, bahwa menurut nalar, kendaraan
ke luar kota pasti berkumpul di pasar atau di terminal. Inilah
yang harus mereka cari. Di tempat bermalam, pelayan cukup
cekatan dan banyak tahu perihal hubungan antarkota. Dia bah-
kan bisa memanggilkan tetangga yang mempunyai pick-up untuk
disewa bersama menuju ke pusat keberangkatan.
“Ini yang namanya taksi?” suara Wakijan setengah meng-
gerutu, tidak dimaksudkan untuk orang lain, hanya untuk me-
lampiaskan kekesalan hati sendiri.
’’Sssst,” desis Samirin, sikunya digerakkan menonjok lam-
bung teman seperjalanannya. ’’Kita di negeri orang! Jangan men-
cari perkara!”
Wakijan diam. Duduknya belum mapan. Mereka berdua
mendapat tempat di belakang. Dua bangku memanjang pinggir
kiri dan kanan: di tengah bertumpukan barang, dagangan, ta-
naman, binatang. Masing-masing mempunyai bentuk yang se-
akan-akan disengaja untuk memenuhi ruang. Hanya kopor dan
tas calon guru itu yang bergaris lurus, persegi. Proporsi panjang
dan lebarnya menuruti aturan pengambilan tempat yang praktis.
Mereka meletakkannya di bawah bangku. Tetapi bagian atasnya
segera menghilang, tertutup oleh gulungan seng dan kawat milik
penumpang lain. Ketika siap akan berangkat, kendaraan itu tidak
mempunyai ruangan lima senti pun yang belum terisi. Dari tem-
patnya, Samirin tidak bisa melihat ke bangku seberang. Di atas
ember-ember plastik yang tertutup dan diikat erat, bersemayam
bungkusan terpal sebesar anak gunung. Ini bergoyang dan berge-
rak, terbawa oleh baik buruknya jalan yang dilalui kendaraan.
Di setiap tikungan, penumpang yang berdekatan terpaksa meme-
ganginya supaya tidak tertimpa oleh bontotan 11 raksasa itu.
Tergantung arah belokan, kadang Samirin dan Wakijan beserta
penumpang lain di samping menarik dan mengganduli bung-
kusan itu dengan seluruh bobot diri mereka. Tidak mudah, kare-
na tali rafia yang melingkar tertunjam dalam. Hanya dua jari
Samirin yang berhasil masuk di antara terpal dan tali. Dan

32
apabila tikungan telah dilewati, dengan susah payah pula dia
menarik kembali jari-jarinya dari sana. Kalau belokan mengarah
ke kebalikan, ganti Samirin bersama penumpang di dekatnya
mati-matian menolak lindasan bola terpal itu. Dia tidak bisa
menyalahkan Wakijan, yang meneruskan gerutunya dalam ba-
hasa Jawa.
’’Anehnya, tak seorang pun memprotes atau mengeluh,” kata
Samirin menarik perhatian kawannya. ’’Anda dengar sendiri,
bukan? Sedari berangkat tidak ada yang berkata apa-apa
mengenai barang ini atau lainnya.”
Lalu berdua menarik kesimpulan, bahwa hal itu sudah
menjadi kebiasaan. Bahwa kendaraan yang disebut taksi, sama
sekali bukan taksi seperti yang ada di Pulau Jawa. Dan karena
mereka pendatang, harus menuruti cara-cara orang yang punya
rumah!
’’Heran! Mereka pasrah saja, ya! Bungkusan ini sebenarnya
kan bisa diikat ke atap, lebih rapi dan tidak mengganggu. Penum-
pang semua menyerah. Kalau begitu, filsafat pasrah itu tidak
hanya ada di Jawa, Mas. Di sini juga!”
’’Pasrah atau masa bodoh?”
Wakijan menunduk menyembunyikan ketawanya. Samirin
melirik rekan dan temannya itu. Mereka baru berkenalan sejak
masa-masa pendaftaran di Biro Personalia. Tetapi berdua sering
mempunyai pikiran sejajar. Untung mereka ditempatkan di satu
daerah!
Wakijan mencoba menggerakkan pantat, mendesak Samirin.
Keranjang yang bertengger di pangkuannya juga satu model de-
ngan barang-barang yang mengisi kendaraan itu hingga penuh
sesak. Meskipun bergaris sisi lurus atas dan bawahnya, tetapi
di tengah-tengah menggembung seperti lelaki berkehidupan ma-
pan tanpa gerak. Wakijan tidak dapat menahan tantangan untuk
tidak membawa bibit-bibit dari ladang orang tuanya. Di dalam
keranjang yang dimanja dalam pelukannya itu tersimpan bakal
pohon jeruk bali, jeruk nipis, belimbing, dua entah tiga macam
pisang, dan lain lagi yang tidak diingat oleh Samirin. Semuanya

33
sudah tumbuh. Tinggal memindahkan di tanah yang akan men-
jadi milik Wakijan. Samirin sendiri mampu menolak tawaran
mertuanya sehingga tidak membawa bibit-bibit. Tetapi di dalam
tasnya, pada lipatan kertas, tersimpan biji-bijian yang akan
menjadi sayur atau pohon buah yang cepat tumbuh.
Jalan aspal diteruskan jalan pasir, kemudian batu-batu. Akhir-
nya berubah lagi menjadi jalan tanah. Bekas hujan membikin
ban kendaraan lengket. Sebentar-sebentar terasa sopir menuruti
arah tergelincirnya ban untuk menghindari selip. Wakijan makin
hati-hati mendekap keranjangnya, sementara yang lain-lain ber-
juang menghindari runtuhan bola terpal. Seseorang yang duduk
hanya setengah pantat di ujung bangku berkata,
’’Disabar-sabarkan sampai Pleihari!”
Sebentar tidak ada yang segera mengerti maksud penumpang
itu.
“Ya, di Pleihari,” sambung kernet.
’’Siapa yang turun di sana, Dik?” Samirin memberanikan
diri mencampuri percakapan.
“Itu, pacarnya sopir! Bungkusan itu kepunyaan dia.”
Patut tak seorang pun yang memprotes atau mengeluh! Di
Jawa pun, kalau ada barang atau muatan yang bagaimanapun
besarnya sehingga mengganggu penumpang, dan diketahui bah-
wa itu milik sopir, tidak seorang pun berani berkutik. Jadi, ini
bukan kemasa-bodohan maupun kepasrahan. Samirin berbisik
kepada kawannya, menyanggah teorinya tadi.
’’Dari Jawa, Mas?” seseorang bertanya.
Samirin mengangkat muka, mencari si penanya.
’Ya.”
“Di sini di mana?”
’’Kintap.”
“Apa yang baik tumbuhnya di sana?”
Samirin tidak bisa menjawab.
’’Tidak tahu,” akhirnya dia tersenyum mengaku. ’’Kami baru
tiba.”
“Kok naik taksi! Rombongannya mana?”

34
Sekali lagi Samirin tidak melihat jelas arah pertanyaan
tersebut. Wakijan menyambung,
’’Kami hanya berdua ditempatkan di Kintap. Katanya sudah
ada guru dua orang.”
“Ya, kami mengajar di sana,” tambah Samirin setelah me-
ngerti bahwa mereka disangka anggota transmigrasi.
Mulai dari waktu itu, perbincangan tidak berhenti.
Orang yang memulai percakapan itu berasal dari Jember.
Samirin telah mengira sebelumnya, karena logat bahasanya
memang tekanan dari Jawa Timur. Dia merasa suasananya lebih
meyakinkan. Mengetahui bahwa di daerah itu banyak trans-
migran yang berasal dari Jawa membikin Samirin tenang. Sebe-
narnya ketika berada di Banjarmasin, dia diberi tahu, bahwa
Pasar Sudi Mampir penuh dengan pedagang sayur atau makanan
yang berasal dari Jawa.
Dari perjalanan itu, pendatang baru mendapat bermacam-
macam keterangan. Harga makanan dan bibit merupakan pokok
perbincangan penting. Dikatakan, konon bertransmigrasi hanya
bermodalkan tenaga. Sesungguhnya ini tidak benar. Kata orang
Jember itu, tenaga memang harus punya. Dan yang sehat, kuat.
Disebutnya malaria sebagai penyakit yang paling merajalela.
Samirin dan Wakijan berpandangan. Mereka tidak diberi tahu
hal itu. Malaria telah dianggap hilang di Pulau Jawa, sehingga
orang lupa penyakit apakah itu. Kemudian mereka berganti pem-
bicaraan, mengenai pembagian jatah, mengenai hutan, mengenai
pertanian. Dari mereka, Samirin tidak bisa mendapatkan
penjelasan sedikit pun perihal sekolah. Berapa anak yang dapat
berkumpul pada umumnya di tiga desa? Umurnya berapa saja?
Orang-orang itu terlalu sibuk dan repot memikirkan hidup dan
cara pengolahan tanah. Mereka merasa tidak atau belum terlibat
dalam pendidikan anak- anak mereka. Seseorang yang paling
tahu persoalannya, hanya dapat memberi satu nama pesantren.
Proyek-proyek transmigrasi kebanyakan belum memiliki
sekolah.
Lalu mereka mengganti lagi arah percakapan, mengenai

35
hujan. Senada dengan keadaan jalan yang menggojlok mereka
waktu itu. Samirin sendiri sudah sering mendengar cerita-cerita
tetangga desa yang menerima berita dari sanak keluarga dari
tanah transmigrasi di luar Jawa. Meskipun begitu, kalau disebut
jalan jelek, tidak mengira bahwa jalan itu hanya berupa tanah,
tanpa batu ataupun pasir. Sedangkan kini dia masuk ke perut
Pulau Kalimantan, belum lagi dua puluh kilometer menjauhi
kota, jalan beraspal sudah menghilang. Di situ dia semakin me-
nyadari, bahwa memang Pulau Jawa lebih, barangkali terlalu,
banyak menerima perhatian dibandingkan dengan daerah-da-
erah lain. Sedari masa-masa sekolah, dia sering mendengar kabar
dari radio berisi keluhan-keluhan daerah yang mengatakan di-
anak tiri-kan oleh Pemerintah Pusat. Dengan ikut-ikutan dia
mengulangi komentar guru-guru atau orang-orang dewasa.
Katanya Indonesia sukar diatur, karena jarak satu ke lain provinsi
sangat jauh. Keluasannya meliputi penyeberangan laut dan selat.
Harus diatur hubungan antarpulau dulu, maka barulah akan
bisa diadakan pembangunan daerah yang sama dengan di Jawa.
Samirin sekarang menyaksikan dan merasakan bahwa pemba-
ngunan memang harus diratakan. Menuju Kintap, jalan itu mele-
wati berpuluh batang air. Sungai besar ada beberapa. Yang lebar,
semuanya dalam dan terletak lebih rendah dari jalan. Paling banyak
ialah saluran-saluran yang kelihatannya serupa selokan, tapi alir
airnya deras. Dilihat dari ketinggian permukaan jalan, nyata bahwa
itu berasal dari curahan gunung atau cabang sungai-sungai yang
lebih besar. Dan jalan yang melewati kali itu mau tidak mau harus
melangkahi bagian atasnya. Jembatan yang dipasang di tempat-
tempat semacam itu sangat sederhana. Dipandang sepintas lalu,
apalagi oleh mata yang berasal Pulau Jawa, sama sekali tidak
meyakinkan. Setiap kali kendaraan tiba di tempat-tempat demi-
kian, sopir memperlambat alur jalannya. Hati-hati dan perlahan
mereka menyeberang. Penumpang-penumpang lain dengan penuh
kepercayaan meneruskan pembicaraan. Sedangkan Samirin dan
temannya menahan napas. Beberapa kali bahkan Wakijan menutup
mata karena kekhawatirannya.

36
’’Tidak apa-apa, Mas!” kata orang dari Jember setengah ter-
tawa. “Itu balok-balok kayu ulin yang ditumpuk di situ! Berapa
ton pun beratnya bisa lewat!”
“Kalau tidak, mana ada truk-truk yang bisa sampai ke Pagatan,
ke hutan mengambil kayu!” penumpang lain menyambung.
’’Kayu ulin, Mas! Tidak seperti kayu yang ada di Jawa!”
kata orang dari Jember. ’’Keras, kuat, tahan lama. Semua nilai
ada padanya.”
“Apa itu yang disebut kayu besi?”
Tidak ada yang tahu.
Dalam pelajaran sekolah, Samirin tidak pernah diberi tahu
bahwa hasil Pulau Kalimantan adalah kayu ulin. Selalu dikatakan
kayu besi.
“Itu kayu yang paling keras, bukan?”
“Tidak! Ada kayu lain yang lebih keras.”
“Yang diekspor, dijual ke luar negeri lain?” kata Samirin lagi.
’’Kalau yang dijual ke luar negeri ya ulin itu!” kata pe-
numpang lain, orang Banjar.
’’Kintap penuh hutan ulin. Banyak perusahaan penebangan
di sana.”
’’Perusahaan asing?”
’’Campuran. Ada asing dan orang-orang kita.”
’’Hampir semua penduduk Kintap bekerja di perkayuan,”
kata orang yang mengetahui mengenai pesantren. ’’Kalau tidak
ya nelayan.”
’’Anda sendiri?” Samirin mengambil risiko bertanya.
“Ya. Saya mempunyai penggergajian. Kecil-kecilan.”
’’Betul-betul yang dinamakan kaya sumber alam,” Wakijan
menyambung, seperti ditujukan kepada diri sendiri. “Di hutan
tinggal menebang, di laut tinggal mengambil.”
Samirin menengok ke arah temannya. Apa yang diucapkan
Wakijan mengandung arti yang dalam, luas.
’’Betul itu!” akhirnya dia menanggapi.
Lalu dia memindahkan arah pandang ke orang Banjar yang
seperti semula mengikuti percakapan, meneruskan,

37
’’Apakah dilakukan penanaman kembali bibit-bibit ulin?”
Tampaknya orang itu tidak mengerti maksud Samirin.
’’Karena banyak yang ditebang, ‘kan harus ditumbuhkan
yang baru!”
’’Saya kira tidak ada, Mas,” orang dari Jember menerangkan
’’Seperti kalau di Jawa dibikin oleh Kementerian Kehutanan
itu, bukan?”
“Ya.”
’’Tidak ada di sini.”
’’Lalu kalau ditebangi terus-menerus ‘kan bisa habis hu-
tannya!”
“Ah, lama sekali, Pak!” kata orang Banjar. ’’Hutannya luas.
Seluruh Kintap ini penuh hutan!” suaranya ringan dan optimis.
’’Bagaimanapun luasnya, kalau ditebangi setiap hari dan oleh
banyak perusahaan, ‘kan akan habis! Apalagi perusahaan asing!
Tentu dia mempergunakan alat-alat modern!”
“Ya, Mas! Traktor penarik, traktor derek dan penggali tanah.
Macam-macam! Belum angkutannya!” orang dari Jember mem-
banggakan perlengkapan tersebut seolah-olah dia turut me-
milikinya.
Samirin semakin bersemangat. Dia tidak bisa menerima ke-
nyataan bahwa penebangan besar-besaran itu tidak disertai usaha
keseimbangannya.
’’Lama-kelamaan hutannya ‘kan habis! Hilangi”
’’Tapi itu masih lama, Pak!”
’’Berapa tahun lagi? Sepuluh? Dua puluh tahun lagi?”
“Yaaaaa, kira-kira lima belas tahun lagi.”
’’Lalu kalau sudah tidak ada hutan, penduduk Kintap akan
mencari nafkah di mana? Umpamanya laut juga sudah kosong?”
’’Ooooh, masih lama, Pak. Itu sih, biar dipikirkan mereka
nanti.”
’’Malah kebetulan, Mas, kalau sudah tidak ada hutan. Tanah-
nya bisa untuk pertanian!” kata orang dari Jember.
Samirin telah siap membantah lagi, tetapi kali itu giliran
Wakijan yang menonjokkan siku ke perutnya. Samirin terlalu

38
jengkel menghadapi pendapat yang tidak mengingati kepen-
tingan orang lain. Samirin telah sedia untuk memberitahukan
perlunya hutan tropika dilestarikan. Dia akan mengulangi pela-
jaran yang dulu membuka matanya mengenai peredaran uap
dari kelompok tumbuh-tumbuhan menjadi awan, berubah men-
jadi hujan dan memberi minum bumi. Wakijan sekali lagi meng-
himpitkan keranjangnya ke perut Samirin. Apakah ada gunanya
berkhotbah di depan orang-orang seperjalanan yang kelihatan-
nya tidak mempunyai latar pendidikan dasar untuk mengerti
persoalan faedah hutan? Apalagi orang Banjar itu mengandalkan
penebangan sebagai sumber pencarian. Jangan-jangan, kalau
Samirin berkeras kepala menjubalkan pengetahuannya, akan
berakhir dengan percekcokan.
Samirin diam, menerima isyarat temannya.
Tapi dalam kediaman itu hatinya semakin kesal. Penumpang
lain berbicara dan melanjutkan persoalan tanah, jalan serta kayu.
Samirin tetap ingin mengatakan pendapat. Tetapi Wakijan tidak
hentinya menyodokkan keranjang, mengigatkan dia supaya
bungkam. Samirin menjadi gelisah, semakin terasa duduknya
tidak santai, tergoyang ke kanan, ke kiri. Bungkusan raksasa di
tengah dilepaskannya. Masa bodoh!
Ketika akan memasuki Kintap, semua penumpang diha-
ruskan turun. Jembatan di sana yang tampak seperti jembatan
sesungguhnya di Jawa belum diperbaiki. Bagian tengahnya
berlubang-lubang. Samirin merasa agak lega dapat terhindar se-
bentar dari kungkungan diskusi yang tidak seimbang serta sikap
duduk yang membikin anggota badan linu dan kaku.
’’Hati-hati kalau bicara, Mas,” kata Wakijan sambil berjalan
di sisinya.
’’Tadi ‘kan Mas sendiri yang mengingatkan saya!” tambahnya
lagi.
Samirin tidak menyahut. Mereka beriringan menyeberangi
jembatan raksasa.
’’Begini ini sudah berbulan-bulan, Mas. Belum juga diper-
baiki,” kata penumpang dari Jember.

39
’’Anda sering lewat di sini?”
’’Seminggu sekali.”
’’Urusan dagangan, Mas?” Samirin ingin menyambung.
’’Tidak. Urusan keluarga, karena saya ingin mendatangkan
adik ipar.”
’’Biaya sendiri begitu itu?”
’’Biasanya ya. Tapi kabarnya akan diberangkatkan rombong-
an dari Kediri, naik Herkules. Kalau surat-surat cepat terurus,
lumayan, dia bisa ikut rombongan itu.”
Samirin menoleh memandangi orang dari Jember. Kedengar-
annya orang itu cekatan dan gesit. Dia semakin ingin tahu lebih
banyak. Tetapi penumpang sudah dipanggil. Kendaraan menung-
gu di depan warung. Dan satu demi satu, mereka naik, berdem-
petan berjejeran.
“Di depan itu sudah Kintap, Mas. Turunnya di situ.”
Samirin dan Wakijan tidak mengatakan sesuatu pun. Badan
yang digojlok dua ratus kilometer tiba-tiba terasa letih, lesu.
Diam-diam mereka membiarkan diri dibawa ke tempat per-
hentian.
Dari tepi jalan utama mereka masih harus masuk ke dalam.
Tetapi orang di warung cukup baik hati, menyuruh anaknya
laki-laki mengantar calon guru ke kompleks sekolahan. Mereka
melalui kelompok rumah-rumah penduduk, berjalan di pinggir
sungai yang jernih tetapi penuh ilalang. Lalu mereka masuk ke
kebun orang. Pohon pisang, cengkih dan singkong merupakan
tanaman pokok. Batas pagar berganti pagar lain. Di sana juga
terdapat tiga macam tumbuhan itu. Wakijan yang terengah-
engah menjinjing kopor, tas dan keranjang masih sempat menga-
takan komentarnya mengenai jenis-jenis yang berulang kali di-
temuinya itu. Samirin tidak menanggapi, terus mengikuti si
penunjuk jalan.
“Itu sekolahnya!” kata anak laki-laki dari warung.
Samirin melihat ke arah telunjuk yang direntang di ujung
lengan. Bangunan memanjang putih beratapkan genting berada
di satu sisi. Di sekeliling, berjauhan dan terpencar, bangunan

40
lain persegi-persegi, lebih tinggi. Di bagian depan diberi tangga.
Dari kejauhan tidak jelas berapa anak tangga yang tersusun un-
tuk sampai di atas. Mereka masuk ke halaman bangunan yang
memanjang itu.
Matahari sudah hampir hilang ditelan kepadatan dahan dan
ranting ketika mereka duduk bersila menikmati teh panas suguh-
an guru kepala sekolah. Bergantian Samirin dan Wakijan mandi
air sumur yang baru jadi. Kini mereka menunggu makan malam
sambil membereskan soal surat-surat dinas. Kepala sekolah
berasal dari Kintap dan sudah berkeluarga. Dia menjadi tuan
rumah, menerangkan semua yang akan dan wajib dikerjakan.
Guru lainnya juga dari Banjar, tetapi lama tinggal di Jawa. Petang
itu sedang mempunyai urusan di Pleihari, ke kantor Bupati.
’’Sekolah ini baru saja selesai dibangun. Saya sudah sebulan
di sini. Memang maksud Departemen, saya diharapkan meng-
awasi taraf akhir pembangunan gedung, juga untuk rumah para
guru. Anda akan mendapat tempat tinggal yang lumayan. Mu-
dah-mudahan tidak mengecewakan. Tentu saja tidak memiliki
syarat-syarat kemewahan seperti di Jawa. Tetapi untuk hidup
di daerah seperti ini, setengah hutan dan setengah desa, bisa
dikatakan baik. Anda harus melengkapi sendiri dengan alat-
alat yang pokok seperti kompor, keperluan masak, tikar dan
kasur.
’’Untuk perlengkapan itu mestinya kami harus ke Ban-
jarmasin?” tanya Samirin.
“Yang kecil-kecil, seperti piring, panci sederhana, tikar dan
kasur, saya kira bisa dibeli dengan harga sama di Kintap. Atau
kalau mau lebih baik, di Pleihari. Harganya berbeda sedikit.
Kecuali kalau memang ingin sekaligus berbelanja banyak dan
kualitas tinggi, lebih baik ke Banjarmasin. Ada juga pasar-pasar
di mana dagangan bagus bisa dibeli. Di Sungai Danau hari Ming-
gu, Kintap sendiri hari Sabtu. Di situ juga lengkap. Yang paling
mahal barangkali lampu petromak dan kompor.”
Wakijan dan Samirin saling memandang. Belum-belum, se-
mua itu akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Samirin

41
sudah melihat bahwa uang pemberian mertua dan orang tuanya
sendiri akan ke sana larinya. Selintas, pikirannya melayang
kepada istrinya. Biarlah! Dia hendak membeli barang-barang
yang paling diperlukan dahulu. Dan yang paling bagus kualitas-
nya supaya tahan lama. Sedikit demi sedikit, meskipun sekali
beli hanya akan bertambah satu, tidak menjadi soal. Yang pen-
ting, bila Marsi datang, pondok itu mempunyai peralatan yang
masih bisa dipergunakan. Samirin tidak mau membeli asal mem-
beli. Dia tidak mau tergesa-gesa. Pemilihan barang yang diper-
lukan sekaligus yang baik harus dilakukan dengan teliti. Dia
mempunyai waktu untuk itu. Menurut keterangan Kepala Seko-
lah, mereka akan menerima jatah, sama seperti anggota trans-
migrasi. Jatah itu tidak berupa pembagian makanan, melainkan
seluasan tanah. Yang sudah nyata adalah rumah beserta peka-
rangan itu sendiri, keseluruhannya seperempat hektar. Satu tiga
perempat lainnya akan diterimakan dalam bentuk lotre. Dari
nomor yang ditarik, akan diketahui di bagian mana tanah itu
terletak.
“Terserah kepada Anda, akan ditanami apa saja. Nanti akan
saya usahakan agar kita juga mendapat jatah bibit. Saya sedang
membujuk orang yang berkepentingan di bagian itu.” ’’Bibit
apa, Pak?”
’’Bermacam-macam. Padi, jeruk, melinjo, pete, sayuran.”
’’Cengkih?”
’’Saya kira juga diberi, tetapi sangat tergantung pada perse-
diaan. Oya, kelapa juga ada.”
’’Kami melewati kebun-kebun tadi. Banyak pisang dan ceng-
kihnya.”
“Itu kepunyaan Pembakal.”12
’’Siapa itu?”
’’Lurah, kalau di Jawa. Dia juga pendatang. Asalnya bukan
orang sini. Dia banyak menerima tanah, karena anaknya banyak.
Dihitung setiap anggota keluarga. Tidak seperti yang lain-lain,
hanya mendapat bagian setiap kepala keluarga.
Nada suaranya jelas menunjukkan rasa iri. Samirin tidak

42
mengulur pembicaraan mengenai kebun itu. Baru datang, tidak
perlu terlalu menerobos ke seluk-beluk relasi antara orang yang
mendahului.
Malam itu mereka tidur di ruang duduk rumah Kepala Sekolah.
Hanya di atas tikar. Tetapi karena suasana yang tenang dan badan
capek, Samirin pulas hingga waktu subuh. Dimulai hari pertama,
Kepala Sekolah mengantar mereka lapor ke Pembakal, kemudian
ke kantor yang mempunyai papan nama berdesakan, campuran
antara urusan agraria, transmigrasi, keamanan daerah atau
kepolisian. Setelah menunggu agak lama, sementara dari bagian
lain yang dipisahkan dengan sekatan dinding tripleks terdengar
bisik-bisik yang gencar meributkan sesuatu, akhirnya Wakijan dan
Samirin diberi kotak kaleng bekas. Di situ terkumpul lipatan kertas
putih kecil-kecil. Mereka disuruh menarik nomor bagian tanah.
Setelah mendapatkan nomor, disertai kode-kode abjad yang
maknanya hanya dimengerti oleh orang-orang yang bersangkutan
di dalam sekatan itu, mereka harus menunggu lama lagi. Baru
ketika matahari tepat di tengah-tengah langit, diputuskan tempat
di mana pendatang baru dari Jawa itu menerima jatah ladang.
“Ini cukup jauh,” kata Kepala Sekolah ’’Kita pulang dulu,
makan dan istirahat sebentar. Nanti kita mencari pinjaman
sepeda.”
Istri Kepala Sekolah sudah mengatur hidangan makan siang
dengan lauk sederhana, tetapi diiringi ketulusan dan keramahan
yang besar. Mereka diam-diam mengisi perut. Samirin bersyukur
di hati mendapat Kepala Sekolah yang meskipun kelihatan masih
muda, tetapi mempunyai rasa wajib dan tugas yang dalam, se-
hingga mau mengantar dan mengurusi mereka berdua. Di waktu
makan, Kepala Sekolah mengatakan sesuatu kepada istrinya.
Samirin dapat menerka, bahwa dalam kalimat-kalimat yang
diucapkan terdengar kata-kata sepeda. Begitu selesai, selagi nyo-
nya rumah menyodorkan kopi, di depan kedengaran suara or-
ang bersalam. Dari tempat duduknya, Samirin melihat seorang
laki-laki dan bocah berumur kira-kira sebelas tahun. Masing-
masing menuntun sepeda.

43
Kepala sekolah menyilakan dalam bahasa Banjar. Lalu,
’’Kenalkan ini, Pak, guru-guru dari Jawa. Baru kemarin tiba.
Ini! Minum kopi sekalian!” sambil menengok ke luar, mencari
anak lelaki yang datang bersama-sama.
’’Sudah, biar! Kawannya menunggu di rumah!” kata Bapak
yang baru datang.
“Ini pemilik warung yang di pinggir jalan,” kata Kepala
Sekolah.
’’Kemarin Anda berhenti di depannya ketika sampai,”
nyonya rumah menambahkan.
Suaminya menambahkan,
’’Bapak ini banyak menolong kita, Guru. Kalau kami memer-
lukan apa saja, selalu bertanya ke sana. Dapat dipastikan beliau
menemukan jalan keluarnya!”
Untuk beberapa saat Kepala Sekolah memberitakan apa yang
terjadi sejak tamunya datang kemarin malam. Bapak itu bertanya
satu dan lain hal. Lalu percakapan sampai pada urusan tanah
pagi itu.
’’Ditambahkan kepunyaan Anda, sekarang ada tiga sepeda,”
kata Bapak itu.
’’Kalau boleh, saya ingin turut. Ingin melihat bagaimana
ladang itu.”
“Ya, tentu saja! Kita atur, Bapak digonceng, bergantian nanti.
Istri saya juga ingin ikut. Kemudian dari sana, kita menengok
tanaman di ladang kami.”
Ketiga sepeda kelihatan baru.
Bannya masih nyata menunjukkan relief, pelananya juga belum
lusuh. Melalui jalan setapak seperti kemarin, mereka menuju ke
jalan besar. Pemilik warung digonceng Samirin. Kepala Sekolah
membawa istrinya. Di belakang Wakijan terikat alat-alat perkebunan
untuk membersihkan atau mencangkul bagian yang dianggap perlu
dipelihara di ladang Kepala Sekolah. Sampai di pinggir sungai, mereka
berjalan kaki. Tepinya terlalu sempit, tebing yang menuju ke
permukaan air terlalu curam. Meskipun tanah kering, Kepala Sekolah
berkata, bahwa sering kali orang terjatuh ke air.

44
’’Meskipun tidak luka, sayang kalau kita jatuh bersama
sepeda. Untuk kembali naik, sukar sekali!” tambahnya lagi.
Samirin mengerti. Barangkali sama halnya dengan Wakijan.
Orang Jawa menganggap, tempat-tempat yang ada airnya selalu
lebih rawan dari lainnya. Apalagi sungai. Mereka sebagai penda-
tang, harus lebih berhati-hati, karena tidak mengenal cara-cara
hidup di situ. Kemarin ketika lewat di sana, Samirin tidak lupa
membaca doa-doa salam yang dia kira perlu diucapkan sebagai-
mana terjadi di Pulau Jawa.
Mereka menuju ke arah timur. Satu pal melalui jalan provinsi,
lalu masuk ke jalan setapak, ke arah utara. Mulai dari sana Sa-
mirin memperhatikan dan menghitung tanda-tanda yang terpan-
cang di pinggir setiap ladang. Banyak yang sudah jadi. Hampir
semuanya ditanami singkong, kacang panjang dan ketimun. Ada
yang dipagari rapat dan rapi. Tetapi banyak pula yang hanya
diberi lingkaran batas tanaman, jenis pagar hidup seperti di
Jawa.
“Ini, Pak! Ini!” yang empunya warung menemukan satu no-
mor. ’’Saya kira ini kepunyaan Pak Samirin.”
Semua mendekat, berkerumun.
Wakijan mengayuh mendahului, lebih ke utara. Serunya,
’’Saya kira kepunyaan saya tidak jauh dari sini.”
Kepala Sekolah melompat ke pelana, mengikuti. Istrinya dan
Samirin ditinggal. Membuntuti pemilik warung, mereka masuk
ke luasan tanah di mana tercantap nomor kode seperti yang
tertera di kertas atas nama Samirin.
’’Bagus tempatnya, Pak. Tidak terlalu pinggir, juga tidak di
tengah. Gangguan hama kurang.”
Samirin sayup mendengar seseorang mengatakan kalimat
itu.
Dia tidak sepenuhnya memperhatikan lagi siapa-siapa yang
berada di sampingnya. Matanya mengedar, mengukur kelebaran
dan kepanjangan tanah yang menjadi haknya. Diapit oleh la-
dang-ladang yang telah jadi, subur dipenuhi warna hijau. Untuk
ke sana dia harus menjauhi jalan setapak. Berarti tempat yang

45
lebih terlindung dari jangkauan tangan jahil. Dua sudut ke arah
dalam ditandai batang-batang besi bercat putih. Itulah batas
kelebaran tanah. Sayup-sayup ke utara, jajaran pohon, padat
dan tinggi, mengambil setengah lebarnya langit. Dari sana ter-
bentang warna sama sampai menghilang ditelan cakrawala.
“Itu hutan, Pak. Daerah yang belum digarap. Belum dirata-
kan,” suara pemilik warung.
Samirin baru sadar bahwa pemilik warung masih menemani-
nya. Laki-laki itu mengikuti semua gerakannya. Karena ketika
Samirin berjongkok mengambil tanah dan meremasnya di antara
jari-jari, dia berkata lagi,
’’Tanahnya memang kering, Pak. Berbatu-batu kecil. Apa na-
manya kalau di Jawa? Kerikil? Tapi ini subur, Pak. Asal tahu
apa yang ditanam. Jangan yang aneh-aneh, karena hanya per-
mukaan saja yang bertanah lembut. Tiga puluh senti di dalam
sudah sekeras batu.”
’’Tanaman apa yang tidak aneh-aneh itu, Pak?”
“Ya, yang biasa kelihatan di sini. Singkong, bangsa ubi-ubian,
jagung, sayur-sayuran.”
“Ini pasti keras kalau dicangkul. Air tidak ada di dekat-dekat.”
’’Tidak perlu disiram. Kita akan mendapat jatah dari langit,”
kata istri Kepala Sekolah.
Seluas ini, bagaimana akan mengerjakannya seorang diri?
Samirin terlalu biasa dengan sifat-sifat tanah di Jawa. Di samping
setiap petak, hampir selalu ada sumur atau saluran bagian air.
Ladang juga tidak begitu jauh dari rumah. Sekarang dia diha-
dapkan ke pengolahan tanah yang berbeda. Semangat yang se-
mula menyala dan bergairah oleh kegembiraan menerima ladang
yang luas itu kini mulai mengendur. Bapak di sampingnya se-
akan-akan mengerti, berkata lagi,
’’Jangan khawatir, Pak. Kita cari bantuan nanti. Rame-rame
kita babantai.”13
Samirin tidak mengerti apa arti kata terakhir itu. Tetapi suara
bapak itu cukup meyakinkan.
Dari kejauhan terdengar panggilan Wakijan. Mereka menoleh

46
ke arah pinggiran hutan. Dua lengan melambai-lambai.
“Itu tanah Pak Guru satunya,” kata istri Kepala Sekolah.
’’Kelihatannya lebih dekat ke hutan.”
“Wah, kasihan dia!” kata yang empunya warung. ’’Kalau
ladang jadi, babi-babi mesti ke sana dulu!”
Dua orang itu mulai beranjak, keluar dari lingkungan batas
ladang Samirin.
’’Ditinggal di sini ataukah turut kami, Pak?”
Tanpa menjawab, Samirin bergerak mengikuti mereka. Sebe-
lum meninggalkan tepi tanahnya, sekali lagi dia menengok. Apa-
kah yang akan ditanam di sana yang kira-kira sesuai dengan
kemauan Marsi?

47
4

Sekolah dibuka. Guru-guru mengajar murid umur seberapa


pun, memulainya dari kelas paling rendah. Menarik orang-orang
tua agar menyerahkan pendidikan anak-anak kepada guru tidak
semudah yang dibayangkan Samirin. Selain tempat tinggal yang
saling berjauhan, juga karena dengan masuknya anak menjadi
murid, berarti tenaga pekerja di ladang maupun di rumah mengu-
rang. Penyuluhan yang disertai sedikit tekanan tidak selalu mem-
beri hasil. Di pelosok-pelosok seperti daerah kerja Samirin masih
lumayan. Penduduk menuruti kata Kepala Sekolah. Dapat dika-
takan penduduk sudah banyak yang berpikiran maju. Mereka
lebih bisa mengerti bila diberi tahu bahwa ada peraturan peme-
rintah yang mewajibkan orang tua menyekolahkan anak-anak
mereka. Bahwa masa depan anak-anak akan lebih terjamin jika
mereka dapat membaca dan menulis latin. Bahwa di sekolah tidak
hanya diajar huruf-huruf. Pengetahuan lain yang bisa diperguna-
kan dalam kehidupan juga diketahui oleh guru, diajarkan ke-
pada anak didik.
Pengumpulan murid lebih banyak dikerjakan oleh Kepala
Sekolah. Selain dia tiba di daerah itu lebih dahulu dari anak
buahnya, dia lebih dapat menyelami cara-cara mendekati rakyat,
karena dia dianggap sebagai anak negeri itu. Ketika kelas dimulai,
jumlah murid yang datang untuk pertama kalinya amat lumayan.
Sambil membangun masa depan anak-anak itu, secara ber-

48
gilir, setiap hari ada dua atau tiga orang yang babantai, menolong
Samirin dan Wakijan membuka ladang. Gotong royong ini
mengingatkan kembali suasana tanah Jawa. Mau tidak mau,
semua hal kecil maupun besar membikin guru-guru muda itu
membandingkannya dengan tempat kelahiran mereka. Samirin
tidak biasa makan berlebihan. Sedangkan di Kalimantan, karena
tenaga terperas oleh kerja kasar lebih lama dari di Jawa, dia
tiba-tiba berubah menjadi rakus.
Gajinya waktu itu sembilan ribu lebih beberapa ratus ru-
piah.
Harga beras satu kaleng, berisi lima belas kilogram, sekitar
tiga ribu. Jumlah itu ternyata kurang mencukupi buat satu bulan.
Kalori banyak dibutuhkan selama tenaga dikerahkan besar-besar-
an. Maka uang pun selalu pas-pasan. Tidak satu rupiah pun
sempat terkirim ke keluarga di Jawa. Dia sadar bahwa pada dasar-
nya, ini tidak perlu dipersoalkan. Semua di sana mengerti bahwa
masa-masa permulaan memang sukar. Namun, sebagai suami
yang baik, bapak yang bertanggung jawab, Samirin mempunyai
keinginan yang sangat lumrah, ialah sekali dua bulan mengirim
sesuatu kepada anak atau istrinya. Apa saja, barang atau
makanan asli Banjar. Tetapi itu memerlukan biaya pos yang
meskipun dipandang tidak mahal bagi orang lain, sakunya
diwaktu-waktu itu beranggapan lain! Dan keinginan tetap berupa
keinginan. Ladang yang telah dicangkul dan diratakan memer-
lukan pupuk. Setelah itu harus ditanami. Bibit harus dibeli.
Membuka rintisan hidup baru semakin mempertebal rasa
ke-Jawa-annya. Sedari kecil, dia belajar bersembahyang dari
Kakek. Tetapi lima waktu dalam sehari jarang yang lengkap
dikerjakannya. Selain sering kali terlambat karena sekolah, juga
karena terlalu didesak tugas mengajar atau mengawasi kebun
orang tua Marsi. Mulai dari kepindahannya di Kalimantan, Sa-
mirin teratur bersembahyang. Kemudian terjebak lagi oleh ke-
padatan kerja di ladang. Berangkat siang setelah mengajar, pulang
petang menjelang magrib, sering kali tiba di pondok hanya
sempat melunasi waktu isya. Cara demikian itu tidak mem-

49
bikinnya merasa berdosa lebih dari orang-orang yang mencuri
agar bisa memberi makan keluarganya. Samirin tidak pernah
belajar agama dari seorang kiai atau ulama ahli. Islamnya penuh
ke-Jawa-an, penuh pikiran-pikiran tirakat dan kepasrahan serta
kerelaan, Bulan-bulan puasa diselesaikannya lengkap. Tanpa bisa
membaca Al-Qur’an, dia mengetahui doa-doa yang dia anggap
penting.
Tiba di Kalimantan, keharusan membuka tanah membikin-
nya sering kali kelaparan. Dia mencoba menekan nafsu makan-
nya. Meskipun berhasil, ternyata dirasakan kepalanya sering
kali pusing. Kekuatannya mengurang. Beberapa hari berlangsung
demikian. Akhirnya dia memutuskan, bahwa dia manusia biasa.
Dia khawatir akan jatuh sakit, atau tanahnya belum selesai dita-
nami. Padahal di Kalimantan orang bercocok tanam sekaligus
menggantungkan diri pada musim. Ladangnya harus siap untuk
menerima titik-titik hujan yang jatuh memulai musim, jasman-
inya tidak kuat menjalani alur hidup Kiai Ageng-Kiai Ageng
atau para Wali yang sambil mengembangkan agama, bekerja
keras atau tidak makan tidak tidur. Samirin tidak mempunyai
kesaktian apa pun tak mengapalah! Asal ladangnya rampung
digarap. Karena dia masih harus mengelilinginya dengan pagar.
Pagar hidup terdiri dari pohon Meranti. Dijalin dengan potong-
an-potongan kayu apa saja, asal parang Kakek dapat memang-
kasnya. Semua dapat diambil di hutan. Hari-hari yang terkumpul
guna penganyaman pagar sendiri lamanya tiga atau empat bulan.
Samirin tidak menggarapnya secara terus-menerus. Tergantung
pada jumlah orang yang datang membantu. Tergantung pada
pengangkutan dari hutan pula.
Samirin mengutamakan penanaman bibit cengkih di ladang.
Baru setelah itu selesai, ketimun, kacang panjang, beberapa kela-
pa serta melinjo. Diharapkan semuanya tidak menarik kedata-
ngan babi hutan. Di pekarangan, dia menanam singkong, ja-
gung, juga beberapa pohon kelapa. Sepetak lain disediakan seba-
gai persediaan dapur. Ada hampir semua keperluan bumbu, sedi-
kit jenis sayuran seperti bayam, ranti14 dan cabe.

50
Setahun berlalu seakan-akan kilasan waktu yang singgah.
Tetapi bagi Samirin, hasilnya meninggalkan kesan dalam dan
sangat berarti. Karena dia melihat ladang dan pekarangannya
semakin hari semakin tampak hijau. Dari halaman dia bisa me-
metik terong, bayam dan lain-lain untuk dijadikan lauk. Makan
hasil kebun sendiri sudah sering dia alami di Jawa. Tetapi kali
itu berlainan. Tanah di situ adalah tanah baru, tanah milik dia
sekeluarga. Ketika urusan pembelian bibit bisa ditinggalkan, dia
melengkapi pondok dengan keperluan-keperluan pokok yang
sebaiknya dibeli sebelum Marsi datang.
Dia menjadi salah satu laki-laki yang sebegitu berjauhan dari
keluarga, rajin menulis surat. Marsi mengetahui perkembangan
ladang. Dia juga diberi tahu bahwa suaminya mulai memasak
sayur asam yang terdiri dari hasil pekarangan. Dalam surat-
menyurat itu, Samirin meminta daftar benda- benda apa yang
harus ditambahkan guna kebutuhan rumah tangga.
Ketika tahun kedua dilampaui hingga pertengahan, Marsi
bersama anak sulung mereka datang. Samirin memanfaatkan
informasi yang dulu didapatkannya dari orang Jember mengenai
pesawat pembawa transmigran. Marsi membuktikan sanggup
menghubungi pihak dan instansi yang mengurus keberangkatan
rombongan berikutnya ke Pulau Kalimantan. Disesuaikan de-
ngan jadwal sekolah, maka pada suatu hari Samirin menjemput
istri beserta anak ke Banjarmasin. Pendatang kali itu berasal
dari tiga daerah: Jawa Tengah, ialah desa-desa sekitar Pati, Jepara
dan landaian Gunung Muria, Semarang serta Magelang. Jawa
Barat dari daerah Tasikmalaya, Jawa Timur sekitar Malang dan
Tulungagung, juga dari Madura. Mereka diberangkatkan ke lo-
kasi Tran15 di Sebamban, hampir perbatasan Kalimantan Selatan
dan Timur.
Di antara bawaan yang berupa alat-alat kegenitan wanita
seperti kosmetika dan pakaian, Marsi tidak mengabaikan me-
nyelipkan jamu-jamu luar: parem, minyak telon dan minyak
tawon, juga jamu lainnya yang harus diminum atau direbus.
Dan yang paling penting baginya adalah sekantung tanah dari

51
pekarangan orang tuanya di Juwangen. Ini disebarkan sedikit
di sekeliling pondok, sebagian lain di ladang mereka. Masih
tersisa segenggam, tetap disimpan di dalam rumah. Kepercayaan
bahwa anak akan segera bisa tenang hidup di lingkungannya
yang baru jika dibawakan tanah dari mana dia datang ini diprak-
tekkan keluarganya sejak turun-temurun. Marsi tidak ingin
menyalahi kebiasaan tersebut.
Kini Samirin lebih tenang hatinya. Mengajar, mengurus la-
dang, menolong Kepala Sekolah memberi penyuluhan seperlu-
nya kepada penduduk dalam segala hal kepraktisan. Semua itu
membikin dia tidur pulas setiap malam. Tetapi itu tidak mencu-
kupi bagi lelaki normal seperti dirinya. Samirin mengenal kehi-
dupan lain. Dan lebih-lebih lagi dia mengenal kesejahteraan rasa
di waktu-waktu bersama istri. Mengetahui bahwa perempuan
itu ada di dekatnya, di ruang samping atau di kebun, menye-
linapkan kesejukan segar ke dalam seluruh diri Samirin. Bersama
Marsi dia merasa kegunaan hidupnya. Anak Marsi membikin
dia semakin mengerti bahwa tugasnya sebagai guru tidak hanya
berupa mengajar menepati kurikulum yang ditugaskan Depar-
temen. Anak didik merupakan barang hidup yang tumbuh bagai-
kan tanaman, berkembang dengan ranting, kadang berbunga
bahkan berbuah. Tanpa membesar-besarkan arti kewajiban dan
tanggung jawab, anak-anak itu diharapkan menjadi manusia
yang tahu bermasyarakat sewajarnya, ditempa oleh zamannya.
Marsi tidak hanya tahu mengurus kedatangannya.
Tiba di samping suami, dia menunjukkan keterampilan berla-
dang di tanahnya yang baru. Bibit-bibit dari Jawa pemberian
orang tua segera mendapat tempat. Tunas-tunas bambu di sepan-
jang pagar menambah kerapatannya. Beberapa jenis pisang di
pojok halaman. Begitu mengetahui jalan ke petak tanah mereka,
dia berani berangkat sendiri, mengerjakan apa yang bisa dita-
ngani. Masa-masa mengandung menyusul, dia tetap giat. Perut
yang mulai menggembung pada bulan-bulan permulaan diikat
dengan setagen, lalu dia meneruskan mengayuh sepeda meng-
urus ladangnya. Kecekatannya dalam pergaulan juga diperlihat-

52
kan. Dia cepat menangkap beberapa kata Banjar. Kemudian,
bisa berbicara dalam bahasa itu melebihi suaminya. Meskipun
masih jelas berlogat Jawa, tetapi tidak salah menerima maksud
orang atau mengutarakan pikirannya sendiri.
Anak pertama berumur empat setengah tahun, yang kedua
lahir.
Yang pertama laki-laki, diberi nama Bayun dari kata pem-
bayun, berarti sulung. Kini perempuan, mendapat sebutan Dwi.
Rasa-rasanya kebahagiaan Samirin lengkaplah sudah! Hidup di
tanah asing yang sekaligus buminya sendiri, bersama Marsi yang
membawakan anak sepasang. Waktu bagaikan tak menjadi ha-
langan lagi. Bersama Marsi, waktu berlalu tanpa ada kerandatan.
Apa pun kesukaran yang melintang atau menghalangi alur per-
gantiannya. Semua menjadi jelas, gampang diselesaikan jika dia
membicarakannya bersama Marsi.
Demikian, tanpa penungguan, empat tahun berlalu sejak
dia sampai di tanah air keduanya. Dia mendapat tambahan
pengalaman dan pengetahuan hidup. Selain sekolah, daerah itu
mulai mempunyai usaha koperasi. Kepala Sekolah sudah pernah
membuka daerah lain. Dia mengetahui jalan dan cara penyaluran
hasil bumi. Samirin mengamati, membantu sesuai kemampuan
serta batas-batas kedudukannya. Sejak menandatangani per-
janjian ke luar Jawa, dia menyatakan sendiri bagaimana rumit
dan liku-likunya administrasi kota. Di kawasan setengah terbuka
itu dia menyaksikan kegesitan Kepala Sekolah, yang tidak saja
seorang teknokrat, melainkan tenaga lapangan yang sangat
menguntungkan daerah. Samirin belajar banyak dari rekan-
atasannya itu.
Hubungan dengan Departemen selalu melalui kantor ter-
dekat, yaitu Pleihari. Surat-menyurat yang ditujukan kepada
para guru pun dijatuhkan di kantor pos kota tersebut. Sekali
sebulan, salah seorang dari mereka pergi ke sana mengambil
gaji untuk semuanya. Sekaligus di waktu itu, guru itu pula yang
diserahi tugas menyelesaikan urusan pribadi buat kepentingan
masyarakat daerah dan rekan guru.

53
Sejak Samirin mengajar, kejadian penting dalam masalah
kerjanya ialah panggilan dari kantor Bupati di Pleihari untuk
menghadiri pertemuan dengan para wakil DPR tingkat satu.
Dalam surat undangan itu tertera penjelasan, bahwa beberapa
wakil rakyat itu ingin mendengarkan keluhan dan usul-usul petu-
gas pendidikan daerah Kintap. Kepala Sekolah bersemangat me-
nanggapi panggilan dari Kabupaten Tanah Laut. Berempat me-
reka berunding. Menyusun daftar pendapat, usul dan keluhan.
Tidak ketinggalan mereka melaporkan, sampai di mana kegiatan
mereka dalam usaha membawa daerah dan masyarakat setempat
ke kehidupan yang lebih baik. Dan diputuskan bahwa Samirinlah
yang berangkat mewakili mereka menyampaikan susunan isi
hati para guru itu.
Baru kali itu dia melihat pejabat tinggi dari dekat. Seragam-
nya dari kain tebal tetapi lembut, tidak tampak bekas-bekas
lipatan. Sudah sering dia mendengar namanya: safari. Berkali-
kali dia melihatnya dikenakan pegawai-pegawai berkedudukan
terpandang. Pada mulanya, Samirin tidak memperhatikan bahwa
model yang sama selalu tampak dikenakan mereka yang muncul
di televisi. Asrama sekolah guru baru mempunyai alat elektronik
itu ketika Samirin menginjak tahun pelajaran terakhir. Di desa-
nya, dia jarang berkumpul dengan keluarga menyaksikan siaran-
siaran. Sedangkan di rumah keluarga Marsi, baru pada masa-
masa terakhir pula mereka membelinya secara kredit.
Samirin sederhana dan rendah hati menghadapi anggota
DPR tingkat satu. Namun, dia tidak menyembunyikan kegem-
biraan ketiga rekan dan dirinya, dan secara bersungguh-sungguh,
dia menyampaikan semua pesan yang telah tersusun. Serius
dia menunjukkan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
program. Laporannya dianggap jelas oleh ketiga rekan guru. Itu
berisi keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami di daerah
mereka. Tampaknya wakil-wakil rakyat yang ditemuinya meng-
ikuti bicaranya dengan perhatian besar. Berdiskusi dengan
Samirin, bertanya serta menanggapi pendapat pribadi guru muda
yang nyata-nyata kelihatan mencintai pekerjaannya. Dan kali

54
itu Samirin pulang dari Pleihari puas. Sejak dia membikinkan
cincin kawin buat Marsi, belum pernah dia merasa sepuas itu.
Seakan-akan semua usul dan keluhan sudah sampai ke telinga
yang tepat. Bahkan dia merasa, seolah-olah berbagai kekurangan
telah menjadi lebih baik hanya dengan berbicara di depan para
wakil rakyat yang berpakaian sama serta berbau wangi itu. Dia
bersemangat menyampaikan kesan-kesannya kepada rekan peng-
ajar, bahwa tak ayal lagi, pemerintah semakin memperhatikan
pembangunan daerah. Khususnya bidang pendidikan. Maka de-
ngan sendirinya guru pun diteropongi keadaannya.
Apakah Samirin terlalu bersemangat ataukah dia sudah ter-
kena pelet wakil-wakil rakyat yang pandai berbicara itu? Nyata-
nya berbulan-bulan usul ataupun permintaan sederhana sekali-
pun tidak tampak dipenuhi. Undangan rapat, atau lebih tepat
panggilan rapat ke Pleihari masih tetap tidak disertai uang biaya
kendaraan. Padahal kehadiran mereka merupakan keharusan.
Kalau tidak mengirim seorang dari mereka, angka konduite tu-
run. Mereka terkena akibat absen pada pertemuan-pertemuan
semacam itu. Maka terpaksalah gaji mereka tetap terpotong
guna pembiayaan perjalanan tersebut. Dan sebagai tambahan
kesusahan, kumpul-kumpul di Pleihari cukup sering diadakan.
Karena ada tamu dari Pusat. Karena Bupati hendak membica-
rakan soal ini atau itu. Karena lain dan karena lainnya lagi.
Samirin bersama rekan-rekannya tidak mengerti mengapa
begitu jadinya. Mereka bahkan menjadi jahat. Meskipun diiringi
cara berkelakar, menebak-nebak apa nasib laporan yang dengan
susah payah diketik Wakijan hingga jauh malam di kantor ko-
perasi dulu? Barangkali tetap tertidur di laci seorang dari wakil
rakyat itu? Barangkali bahkan sudah terbuang di sampah? Atau
siapa tahu, turut terjual kiloan serta sudah menjadi pembungkus
cabe atau bawang?
Benar-benar Samirin tidak tahu mengapa pembicaraan serius
berjam-jam berakhir sedemikian kabur. Dan yang tidak dia keta-
hui pula ialah, bahwa itu adalah tahun terakhir bagi penetapan-
nya di Kintap.

55
Tiba-tiba dia menerima surat keputusan dipindah ke Se-
bamban. Nama itu asing bagi dia. Mendengar namanya saja
pun baru sekarang. Pengetahuan ilmu buminya terbatas. Dia
tidak sanggup menempatkan di sudut mana di Pulau Kalimantan
Selatan daerah itu terselinap. Ya, pastinya terselinap, karena di
dalam surat perintah kepindahan disebutkan bahwa Samirin
harus membuka sekolah di lokasi transmigrasi Sebamban. Kepala
Sekolah sekaligus rekannya hanya dapat menolong memberi
penjelasan sedikit. Katanya, itu adalah daerah yang hampir me-
nyentuh perbatasan dengan Kalimantan Timur.
Untuk kesekian kalinya Samirin harus ’’menghadap” ke Plei-
hari. Dengan uangnya sendiri! Berkas cukup tebal diserahkan
orang kepadanya. Departemen pusat memang memberi dia data-
data kepindahan, lengkap dengan ulangan program serta berbagai
petunjuk memperingatkan kewajiban warga yang ber-Pancasila.
Di sepanjang perjalanan pulang, Samirin berusaha meneliti
kembali apa yang telah dia kerjakan selama itu. Adakah yang
salah? Ataukah pilihan jatuh ke dirinya itu berupa satu keun-
tungan? Pancasila. Mengapa kepada orang-orang yang sudah
berkeyakinan serta menghayati seperti dia, seperti rekan-rekan-
nya, ke-Pancasila-an itu dijubel-jubelkan? Berapa ribu rupiah
saja uang mereka habis sebagai biaya penataran yang berulang
kali. Harus dibelanjakan yang ini, yang itu! Selalu harus ke Plei-
hari. Dia mencoba mengerti mekanisme cara berpikir orang-
orang Pusat yang duduk di belakang meja dan berunding, ber-
bicara, lalu menyusun program, menulis kurikulum ataupun
aturan tanpa turun ke lapangan. Orang-orang itu barangkali
menerima surat, atau bertemu dengan wakil-wakil rakyat yang
menyebutkan berbagai soal. Namun, yang diingat hanya satu
atau dua hal. Dan itulah yang digarap. Celakanya, jenis yang
digarap ini sangat tergantung pada kapasitas otak atau kemauan
orang Pusat tersebut.
Bagaimanapun juga, Samirin terpaksa tunduk. Orang-orang
seperti dia memang harus ada. Seperti juga lain-lainnya: wakil
rakyat, orang Pusat. Yang paling penting sementara ini, dia harus

56
bisa menekan perasaan. Jangan terlalu kelihatan apa kata hati
yang sebenarnya. Karena yang diutamakan adalah keluarganya.
Marsi menerima kepindahan itu dengan segala kecurigaan.
Kepekaan perasaan perempuannya tersinggung.
’’Kita baru tenang dua tahun. Bersama-sama dan bahagia.
Mengapa mesti repot lagi! Pindahan di sini lain daripada di
Jawa. Dan ke mana kita pergi? Kalau itu baru dibuka buat trans-
migrasi, pastilah dekat hutan belukar! Kalau belum ada seko-
lahan, tentulah juga belum ada warung, belum ada kendaraan.
Siapa tahu, jalan pun baru dibikin, pasti hanya dari tanah!”
Sejak menerima berita itu, Marsi banyak mengomel. Samirin
berusaha menetralkan suasana, menyahut sebentar, memberi
keterangan di lain waktu. Dia menderita kekecewaan juga. Tetapi
dia mengerti bahwa perempuan lebih mengutamakan kesejah-
teraan dan kemudahan daripada lelaki. Kalau mereka pindah,
dan pindah ke pedalaman yang baru dibuka, berarti semua harus
dimulai lagi dari nol.
Dengan sabar dia biarkan Marsi melampiaskan kejengkelan
hati menggerutu. Karena memang semua yang dikatakan istrinya
itu benar. Samirin sudah empat tahun di Kalimantan. Tetapi
baru dua tahun bersama-sama Marsi. Dua tahun dengan ke-
banggaan dapat menyebut bahwa mereka memiliki rumah dan
ladang. Sama sekali lepas dari tanggungan siapa pun. Tetapi
benarkah demikian? Tidakkah dia masih di bawah tanggungan
Pemerintah Pusat? Karena kenyataannya, pemerintah yang
membayar gaji. Sebagaimanapun kecilnya, majikan masih berhak
untuk sewenang-wenang memindahkan karyawan. Waktu kapan
pun dan ke mana pun. Setelah dirundingkan bersama rekan-
rekan, Samirin bisa saja menulis alasan-alasan menolak kepin-
dahan tersebut. Tapi apakah itu tidak akan mempengaruhi ta-
hun-tahun dinasnya untuk selanjutnya? Apakah akan ada kete-
nangan batin setelah penolakan itu? Alangkah tidak enaknya
bekerja di bawah kekuasaan orang lain. Baru kali itulah dia mera-
sakan beda antara bekerja sebagai pembuat tempe dan guru
pemerintah di suatu pojok terpencil. Beda lain-lainnya yang

57
bersangkutan dengan kerja keras tidak pernah memukul rasa
kebebasannya.
“Apa saja yang kamu katakan kepada anggota DPR yang
datang dulu? Jangan-jangan ada yang salah! Lalu mereka meng-
anggap kamu terlalu mau turut campur tangan dalam urusan
pemerintahan. Atau mereka takut kau terlalu tahu! Lalu sekarang
kau dipindahkan ke daerah lebih ke pelosok lagi!”
Marsi semakin menjadi-jadi mengembangkan khayalannya.
Samirin bahkan tidak berpikir hingga ke sana.
“Itu pikiran jahat!” demikianlah komentarnya menanggapi
bayangan istrinya itu.
’’Tidak! Bukan jahat, tetapi curiga. Bagaimanapun juga ke-
pindahanmu tentu ada hubungannya dengan pertemuan di
Pleihari bersama para wakil rakyat yang terhormat itu! Karena
mengapa kau? Justru kamu? Mengapa bukan Dik Wakijan? Atau
Kepala Sekolah. Kalau memang harus membuka sekolah di tem-
pat baru, Kepala Sekolah ini jauh lebih tepat, karena berpenga-
laman dan lebih berumur.”
’’Justru kalau menurut pendapat dia, keputusan pemerintah
itu merupakan kenaikan pangkat bagiku.”
’’Tidak usah naik pangkat!” Marsi hampir membentak.
’’Menjadi guru biasa saja asal dibayar lebih, diberi uang kenda-
raan untuk rapat-rapat, aku sudah senang. Kalau kita berdua
senang, anak-anak turut bahagia.”
Alangkah benarnya semua itu!
Samirin tidak menemukan kata-kata lain. Dia terdiam, meng-
hindar untuk tidak menangkap kata-kata kebenaran lain. Dia ter-
paksa menekan lebih keras lagi perasaan hati yang melonjak-lonjak.
Dia pegawai negeri. Dia mempunyai keyakinan bahwa yang dimak-
sudkan orang-orang di Pusat selalu baik. Memerintah bukanlah hal
yang mudah. Harus ada kepandaian mengatur, merencana, meng-
organisir. Dia hanya menyayangkan, bahwa kebanyakan mereka
itu hanyalah berupa teknokrat. Hanya bisa menulis, tanpa melihat
dan terjun ke lapangan. Sehingga sering kali aturan- aturan yang
mereka keluarkan tidak sesuai untuk diterapkan, untuk dilaksanakan.

58
Mereka pastilah mempunyai alasan yang dianggap tepat
mengapa memilih dia buat membuka sekolah di lokasi trans-
migrasi yang baru. Atas dasar apa pun alasan tersebut, Samirin
harus menurut. Rela atau tidak. Selama dia bekerja digaji orang
lain, dia wajib tunduk. Dan ada kesadaran lain. Kesadaran yang
dahulu disebut bapaknya sebagai perasaan berlebih-lebihan kare-
na dia ingin masuk ke sekolah guru. Yaitu, dia ingin menanam-
kan atau membagikan pengetahuannya kepada anak-anak. Kalau
memang harus ada orang yang menjadi guru pertama di Sebam-
ban, mengapa bukan dia, Samirin asal Sorogenen? Transmigrasi
sudah dimulai dalam program pemerintah sejak berpuluh tahun.
Jadi, sudah ada guru-guru yang bersusah payah mendahului dia.
Takutkah Samirin? Kemapanan hidup selama dua tahun ini su-
dahkah cukup melemahkan semangat perjuangan di hidangnya?
Dan seakan-akan untuk menanggalkan kepengecutannya itu,
dia berkata lembut, tetapi tegas kepada istrinya,
’’Bagaimanapun juga, kita harus pindah. Aku tidak bisa hidup
sendirian di sana. Tanpa kau tanpa anak-anak. Aku membutuh-
kan kamu. Tetapi aku akan melihat-lihat keadaan, tiga atau
empat hari. Sesudah itu, baru kita pindah. Buatlah daftar leng-
kap keperluan hidup. Makanan, obat, dapur. Aku juga bikin
untuk peralatan pertukangan. Kita harus membawa semuanya,
karena ini daerah pedalaman!”
Itu adalah keputusan.
Marsi masih meneruskan mengomel, meskipun mengetahui
bahwa Samirin tidak akan mengubah langkah lagi. Kalimat-kali-
mat yang diucapkannya kedengaran sebagai akhir dari penjelasan.
Samirin mendapat izin kepala sekolah guna menjajaki da-
erahnya yang baru. Bermodalkan keterangan-keterangan dari
Pleihari, konon dia harus menuju ke Sungai Danau. Tergantung
cuaca, di sana dia bisa meneruskan perjalanan dengan perahu
atau kendaraan darat. Kata orang, ada taksi, ada truk, bahkan
ada ojekan. Kendaraan hanya bisa membawanya sampai di suatu
tempat. Setelah itu, harus berjalan kaki. Kecuali jika ada ojekan
yang mau mengantar.

59
Jalan kering waktu itu.
Karena sudah kenal dengan beberapa sopir taksi, dibantu
jabatannya sebagai guru, Samirin menerima perlakuan agak isti-
mewa. Hari itu dia duduk di depan, bersama seorang penumpang
lain. Di arah kaki hanya ada tasnya sendiri. Leluasa kaki diren-
tangkan. Di belakang, seperti biasa, orang- orang berdesakan
bersama barang, tanaman dan binatang. Tetapi ketika memulai
perjalanan, dia sudah bimbang ke mana sebetulnya arah tujuan
yang akan diambilnya.
’’Sebamban ada banyak, Pak. Sebamban Satu, Sebamban
Lima.”
“Ada berapa?”
’’Tahu!” kata orang di sebelahnya, yang meneruskan bertanya
ke sopir. “Kau tahu, Tajuddin?”
’’Tidak. Yang jelas, ada Sebamban Lima, Satu, tapi lain-lain
tidak pernah disebut.”
“Itu angka-angka, nama atau apa?”
’’Memang angka. Barangkali kabupaten atau kecamatan yang
bikin. Disesuaikan dengan waktu pembukaannya.” Jadi, ke mana
Samirin harus pergi? Keterangan dari Pleihari hanya mengata-
kan, membuka sekolah di lokasi baru Transmigrasi Sebamban.
Pegawai-pegawai kantor kabupaten memberi tahu bahwa dia
harus menuju Sungai Danau, naik perahu atau jalan darat. Alang-
kah kaburnya semua itu. Benar-benar berangkat ke petualangan
yang tak ketahuan ujung-pangkalnya.
’’Tapi Pak Guru ini mau ke Sungai Danau dulu?” kata Ta-
juddin, si sopir lagi.
“Ya, sebab menurut instruksi kabupaten, saya dianjurkan
ke sana.”
Orang yang duduk di sebelah Samirin cepat memprotes, ’’Ka-
lau akan ke Sebamban, jangan ke Sungai Danau! Terlalu jauh!”
’’Lalu ke mana?”
’’Sebelum Serindai, berapa batu gitu, masuk ke dalam.” “Ke
dalam?”
“Ke jurusan hutan, Pak,” sopir menerangkan.

60
Segalanya semakin tidak jelas.
’’Bapak ini mau ke mana sebenarnya?”
’’Perintah berbunyi: membuka sekolah di lokasi transmigrasi
yang baru di Sebamban. Begitu,” kata Samirin terpaksa memberi
tahu lebih rinci. ’’Lokasi mana yang baru saja dibuka?”
’’Seluruh Sebamban baru dibuka, belum ada setahun.”
Ternyata semakin ada penjelasan, semakin tidak kelihatan tujuan
Samirin!
’’Sudah ada sekolahnya?”
’’Baru di Blok F. Yang lain-lain belum punya.” ’’Barangkali
Guru akan ditaruh di Blok A, tempat orang orang Jawa.”
“Ya, betul,” sopir menyetujui penumpang di sampingnya.
Untuk beberapa lama Samirin berdiam diri. Percakapan terus
terjalin antara Tajuddin dan sebelahnya. Samirin belum menge-
tahui namanya. Tetapi tampak orang itu mengenal daerah Se-
bamban. Mungkin berasal dari sana.
’’Anda mengetahui betul daerah itu. Apakah berasal dari
sana?” akhirnya dia bertanya.
“Ya, Pak.”
Dan sebelum ada penjelasan lain, sopir menambahkan, “Ini
Suheimi, Pak Guru. Memang orang sana! Punya usaha pene-
bangan bersama saudara-saudaranya. Kalau orang bilang Suhe-
imi bersaudara, ya ini!”
“Ya, Pak. Lima tahun yang lalu kami bertiga bersaudara
ditambah seorang kawan mengumpulkan uang. Merambah jalan,
menebang ulin. Sekarang sudah punya truk satu.” Semua itu
baik didengarkan sebagai tambahan pengenalan bumi barunya.
Tetapi Samirin harus tahu di mana daerah barunya yang pasti!
’’Lalu, menurut Anda, saya harus turun di mana ini nanti?
Apakah terus ke Sungai Danau, atau seperti yang Anda katakan,
masuk ke lokasi yang mana saja?”
Sebentar pertukaran pendapat antara sopir dan pengusaha
penebangan. Samirin berdiam diri. Tidak begitu senang dijadi-
kan pokok persoalan.
“Ya, begitu saja! Diantar sampai ke Serindai. Turun di sana.

61
Pembakal barangkali bisa memberi keterangan. Seumpama salah,
kembali ke Kintap belum terlalu jauh.”
’’Anda kira Pembakal mengetahui soal-soal guru?” Samirin
menyambung.
’’Pasti! Hubungannya dengan Pemda dekat. Setidak-tidaknya
mengetahui rencana sekolah-sekolah dan selanjutnya. Dia juga
berurusan mendirikan Sekolah Inpres yang di sana itu! Yang
akhirnya tidak dipakai. Menjadi kandang kambing!”
’’Ssssst, jangan terlalu dibukakan rahasia dalam!” sopir
Tajuddin berkata lirih.
“Itu bukan rahasia! Semua orang mengetahuinya! Lebih baik
Pak Guru berhati-hati sedari sekarang, siapa-siapa yang dapat
dipercaya.”
Samirin tidak memberi komentar. Hanya menggumamkan
sesuatu sebagai terima kasihnya. Hatinya menggelitik ingin ber-
tanya lebih lanjut mengenai sekolah yang menjadi kandang terse-
but. Tetapi dia berpikir, barangkali belum waktunya terlalu me-
ngorek hal-hal demikian. Yang penting adalah tugasnya.
’’Kata orang Pleihari, daerah tujuan saya dekat-dekat dengan
Pagatan.”
“Itu yang saya katakan belum dibuka tadi.”
’’Belum ada yang tinggal di situ, Guru,” kata sopir menjelaskan.
Kalau menurut nalar, untuk apa dibangun sekolahan jika
belum ada penghuni. Samirin semakin bingung. Namun, tetap
tidak percaya, bahwa orang Pleihari demikian picik pengeta-
huannya tentang daerah transmigrasi.
’’Jadi, di dekat desa apa itu tadi? Sudah ada lokasi trans-
migrasi yang memiliki sekolah?”
“Di Blok F.”
“Di blok lain-lain?”
“Yang dikenal hanya Blok A dan D, lalu F.”
Terdengar sopir tertawa,
’’Seperti Sebamban itu, Guru! Ada Blok A, D, F. Lain-lain
tidak ada. Jangan bertanya mengapa, karena kami pun tidak
mengetahui sebab dan duduk perkaranya!”

62
Rupa-rupanya memang terlalu banyak hal yang tidak dime-
ngerti, tapi yang tetap dibiarkan. Malahan ditertawakan. Se-
baiknya kejadian mengenai dirinya pun jangan terlalu disusah-
kan! Dia pindah ke daerah yang disebut Lokasi Tran oleh
penduduk Banjar, tetapi konon masih kosong. Ternyata usul
Suheimi adalah yang paling dapat diandalkan. Yang disebut
Pembekal, atau di lain waktu Pembakal, itu adalah Lurah di
Jawa. Kalau orangnya cekatan dan pandai, pasti benar-benar
terlibat dalam usaha pembangunan daerahnya. Kata Suheimi,
Lurah di sana seharusnya mengurus kawasan Sungai Cuka,
Sungai Danau. Dapat diharapkan dia mengetahui banyak peri-
hal pembangunan sekolah.
Akhirnya diputuskan bahwa Samirin akan turun di Serindai.
’’Mudah cari penginapan di situ?”
“Di rumah saya saja, Guru,” cepat Tajuddin mengusulkan.
“Ya, itu lebih baik! Dia punya kamar kosong di atas. Kami
selalu bermalam di tempatnya kalau hujan, atau kemalaman
dari perjalanan.”
Samirin kebingungan mencari kata-kata tepat guna meng-
ucapkan rasa terima kasihnya.
“Ah, bukan apa-apa, Guru. Itu kamar dibikin gara-gara anak
sulung saya. Perempuan! Dia mulai genit, ingin punya kamar
sendiri! Tapi setelah jadi, takut menempatinya sendirian!”
’’Lalu kami ini yang memanfaatkannya!” Suheimi menyam-
bung ringan.
’’Tapi lebih baik lagi jika saya dapat langsung masuk ke lokasi.
Bermalam di sana,” kata Samirin.
’’Tergantung kalau ada ojekan,” Suheimi menjawab.
’’Anda ke mana ini nanti, Pak Tajud?”
’’Taksi ke Sungai Danau. Kalau cukup penumpang, ke Kintap
lagi. Lalu balik ke Serindai.”
Sebentar tidak ada yang berbicara.
“Yang jelas pekerjaan saya ‘kan di dalam lokasi,” Samirin
berbicara seakan-akan kepada diri sendiri.
’’Tapi belum tahu blok mana.”

63
’’Kalau minta tolong kepada Pembakal mengantarkan bagai-
mana?”
’’Bisa Anda coba, Guru. Asal ya itu, jangan terlalu
mengharap...,” kata Tajuddin.
’’Pokoknya jangan terlalu dipikir. Kalau tidak dapat masuk hari
ini, besok pagi pasti bisa diusahakan ojekan. Bu Tajuddin punya
warung, kenal banyak orang. Dia senang menolong. Dialah yang
punya kamar yang akan Anda tempati di atas warung itu, Guru.”
Bujukan Suheimi si pengusaha penebangan kayu ulin cukup
menenangkan hati Samirin. Selama percakapan itu, dia sudah
dapat menarik kesimpulan, bahwa selagi berada di sana, jangan
terlalu memastikan soal waktu. Apalagi jika dia tergantung pada
kendaraan orang lain. Dan bahwa keadaan cuaca juga sangat
menentukan. Karena jika hujan turun terlalu deras, jalanan tidak
dapat dilalui lagi.
Sampai di Serindai, Samirin dikenalkan kepada istri Tajuddin.
Waktu itu hampir tengah hari. Setelah ditunjukkan sumur dan
kamar mandi, dia dijamu seadanya. Sopir makan cepat, karena
beberapa penumpang masih menunggu untuk meneruskan
perjalanan ke Sungai Danau. Samirin dipersilakan beristirahat di
kamar, tetapi menolak. Dia ingin menemui Pembakal. Kalau bisa,
bermaksud berangkat ke pemukiman transmigrasi sebelum malam
tiba. Seorang anak yang kebetulan ada di depan kedai disuruh Bu
Tajuddin menunjukkan tempat tinggal Pembakal kepada Samirin.
Pembakal sedang mencuci kendaraan roda dua ketika Sa-
mirin menyalaminya. Dia memperkenalkan diri.
“Oooh, Guru yang ditunggu-tunggu!” seru Pembakal mes-
kipun belum bisa berjabatan tangan. ’’Silakan naik dulu ke ru-
mah. Saya menyusul sebentar lagi!”
Terdengar dia memanggil seseorang.
Sewaktu membuka sandal untuk duduk di serambi, Samirin
sempat berpikir lega karena benarlah di daerah ini dia ditugas-
kan. Bukan di dekat Pagatan.
Pembakal memberi tahu bahwa pada rapat terakhir di
Pleihari, dia menerima berita mengenai kedatangan guru baru.

64
Benarkah dirinya? Samirin masih ragu, menanyakan kepastian-
kepastian yang diberikan orang Pleihari kepada Lurah tersebut.
’’Katanya berasal dari Jawa Tengah dan sudah mengajar di
Kintap empat tahun ini,” Pembakal menjelaskan.
Hanya Wakijan dan Samirin-lah yang memenuhi deskripsi
itu. Maka tidak salah lagi memang dia yang harus menjadi guru
di lokasi Blok A. Yang meleset adalah informasi jalan yang harus
dia ambil guna menuju ke tempatnya yang baru. Dan dia sekali
lagi ingin mengetahui di mana sebenarnya ditugaskan.
’’Menurut instruksi dari Pleihari, saya harus membuka
sekolah di mana?”
“Di Blok D.”
’’Juga baru dibuka?”
’’Sudah setahun ini. Tapi orang-orang Jawa baru enam atau
tujuh bulan ini datang. Yang mendahului adalah orang-orang
Madura.”
’’Jauh dari sini?”
’’Tidak! Di batu yang kesepuluh lalu masuk.”
Itu tidak menjelaskan sesuatu pun kepada Samirin. ’’Berapa
kilometer dari sini?”
“Yaaaa, sekitar dua belas.”
Samirin melihat ke luar. Meskipun konon belum musim hu-
jan, langit kelihatan muram. Dia ingin segera berangkat.
’’Saya tadi singgah di rumah Bu Tajuddin. Katanya saya dapat
dicarikan ojekan. Lebih baik saya minta diri sekarang.”
’’Kenal dengan orang warung?”
’’Tajuddin menyopir bolak-balik ke Pleihari. Saya sering ber-
sama dia kalau rapat atau bertugas ke ibu kota kecamatan itu.”
’’Tidak usah cari ojekan, saya antar sendiri ke dalam. Biar
saya kenalkan dengan RT-nya,” kata Lurah itu.
Samirin mencoba menghindari antaran Pembakal. Tetapi pe-
rangkat pemerintah ini berkeras kepala. Berkali-kali diucapkan
kata-kata ’’kewajiban saya”. Samirin menyerah. Ketika berangkat,
mereka mengambil tas di dekat pintu Bu Tajuddin. Setelah itu,
Samirin digonceng Pembakal keluar dari Serindai.

65
5

Empat tahun tinggal di Kalimantan, baru kali itulah dia meli-


hat pemukiman transmigrasi secara meluas. Jalan menuju ke
sana lebar. Memang jelas disiapkan dengan rencana sebagai sara-
na penghubung utama. Tanahnya merah. Permukaan penuh batu
kerikil sewarna. Samirin tahu bahwa sifat tanah sama dengan
yang di Kintap, yaitu menjadi lengket sebegitu hujan pertama
menyentuhnya. Kampung demi kampung mereka lalui. Rumah-
rumah mempunyai bentuk seragam seperti yang pernah dia lihat
di pemukiman sekitar Kintap. Hanya yang ini tampak seperti
kotak-kotak rumah tawon atau kandang ternak, karena jumlah
demikian banyak dalam keseragamannya. Setiap tempat tinggal
memiliki luasan tanah yang harus diurus sebagai pekarangan,
sekaligus penghasil bahan makanan. Bersama rumahnya menca-
pai ukuran luas satu hektar. Sisa jatah satu hektar lagi kadang-
kadang tergelar di belakang, kadang-kadang terletak jauh dari
rumah. Seperti halnya ladang Samirin di Kintap.
Dia dibawa langsung ke tempat RT. Ipar si tuan rumah se-
orang pemuda bernama Parmono yang mempunyai ijazah Se-
kolah Pendidikan Guru, tetapi belum pernah bekerja. Keluarga
itu berasal dari Kediri. Hanya beberapa menit berkenalan, Sa-
mirin merasa akan bisa bekerja sama dengan guru muda itu.
Meskipun belum berpengalaman, tapi keberanian meninggalkan
kampung halaman untuk mencoba nasib di luar Jawa sangat

66
mengesankan Samirin. Bicaranya sederhana, tidak bertele-tele
berisi hal yang muluk dan besar. Pengetahuannya mengenai pede-
saan akan banyak menolong menghubungi anak-anak dalam
soal kerja tanah.
Sebelum matahari hilang ditelan pinggiran hutan, mereka
berdua bergoncengan sepeda untuk melihat sekolah serta me-
milih rumah tempat tinggal.
’’Masih banyak rumah, Mas. Pilih saja. Saya sendiri juga
akan pindah dari rumah kakak saya.”
’’Kapan pindah?”
’’Kalau sudah selesai mengecat. Hari ini bagian belakang
saya kerjakan. Beberapa hari lagi, bagian dalam akan kurang
baunya. Barangkali minggu depan pindah.”
’’Mengapa masih banyak rumahnya? Apa memang memba-
ngunnya terlalu banyak?”
’’Masih ditunggu kurang lebih lima puluh kepala keluarga.”
’’Dari mana?”
’’Kabarnya dari Jember.”
’’Kapan datang?”
’’Tidak tahu,” sahut Parmono, lalu menyambung, ’’mudah-
mudahan masih lama.”
Samirin ingin bertanya mengapa, tapi tidak jadi. Beberapa
menit kemudian Parmono menerangkan sendiri,
’’Saya berencana pulang dua bulan lagi, Mas. Mau kawin.”
’’Ke Jawa?”
“Ya. Tapi kembali lagi bawa istri.”
Sebutan pulang masih juga menuju ke Jawa. Samirin me-
nyadari hal itu ketika berbicara dengan para transmigran lain
yang dikenalnya di daerah Kintap. Meskipun memiliki ladang
dan rumah di pulau ini, namun mereka belum menganggapnya
sebagai asal-usul yang mengikatnya. Bagaimanakah nantinya
dengan dirinya? Marsi dan anak-anak? Hingga waktu itu, mereka
belum pernah berpikir untuk pergi, berkunjung maupun berlibur
ke Jawa. Masa dua tahun bersama-sama meluncur dengan kece-
patan yang sama sekali tidak mengganggunya.

67
Sepeda dihentikan.
“Ada aliran air yang sampai sekarang belum dipasangi jem-
batan,” kata Parmono menuntun kendaraan mendahului teman-
nya. ’’Harus berjalan kaki sedikit. Itu tidak jauh. Mas Sudah
kelihatan.”
Mulai dari sana, rumah-rumah masih kosong. Diam-diam me-
reka beriringan. Senja sangat muram. Sebegitu matahari ditelan
pucuk-pucuk pohon yang paling dekat dengan permukiman, malam
menyergap menutupi langit. Deretan kotak-kotak putih kelihatan
seolah-olah memaksakan kehadirannya dalam cahaya yang suram
itu. Salah satu daripadanya tampak lebih jelas. Ke arah inilah tangan
Parmono menunjuk, katanya,
“Itu rumah saya!”
Bersela kira-kira sepuluh atau sebelas rumah dari batang air
tanpa jembatan.
’’Kalau Anda mau, rumah di dekat itu masih kosong. Berka-
mar dua.”
Pilihan yang bagus, karena letaknya di pojok persimpangan
jalan kecil. Pembagian karas lebih besar kelihatannya. Tetapi
apakah Marsi mau tinggal di sudut seperti itu? Persoalan selokan,
pemasangan pagar dan lain sebagainya harus diketahui untuk
dikabarkan kepada istrinya.
’’Ladang jatah kita di mana?”
’’Tidak begitu jauh. Hanya satu setengah pal kira-kira dari
sini.”
Samirin tersenyum.
’’Mengapa, Mas?” Parmono ramah bertanya, ingin tahu.
’’Saya ingat percakapan tadi dengan yang lain-lain, penduduk
asli. Mereka selalu menyebut batu sebagai ukuran jarak. Seka-
rang Anda mengatakan pal! Bedanya orang Jawa dari orang
Banjar....”
Parmono tertawa kecil. Lalu,
’’Anda beruntung diterima baik oleh orang-orang itu.”
’’Sopir taksi memang sudah lama kenal. Seorang lagi Su-
heimi, konon pengusaha kayu.”

68
“Oh, mereka tidak menjadi masalah. Normal-lah! Yang agak
mengherankan, Pembakal mau mengantar Anda sampai ke
lokasi!”
’’Masak iya? Biasanya bagaimana?”
Parmono tidak segera menyahut, masuk ke rumah yang baru
dicat hijau muda. Halaman bersih. Pinggiran mulai ditanami
pagar hidup yang berbunga-bunga.
“Enggak apa-apa,” akhirnya dia menjawab. ’’Hati-hati saja
Mas Samirin berhubungan dengan dia.”
Sambil menaiki tangga, dia menyalakan lampu senter yang
besar dan panjang.

Empat hari penuh Samirin diantar berkeliling.


Dia mulai memikirkan cara pembagian kerja setelah mereka
pindah. Selagi Marsi mengatur rumah, dia mengurus pengum-
pulan anak-anak yang berumur wajib sekolah. Siang hingga sore,
harus ke ladang. Seorang diri ataupun berdua mengaduk tanah
dengan pupuk. Ini harus dikerjakan sebelum hujan datang.
Kemudian, yang termasuk penting adalah pemagaran karas,
sekeliling rumah serta pekarangan. Sesudah itu, baru pagar di
ladang. Samirin diberi tahu Parmono dari mana dapat memotong
kayu yang terdekat.
Hari yang kelima, pagi-pagi mereka berdua ke desa untuk
naik taksi. Samirin turun di Kintap, Parmono ke Banjarmasin
mengurus surat-surat untuk dibawa ke Jawa. Setelah kawin, dia
akan menunggu keberangkatan rombongan transmigrasi dari
Surabaya ke Banjarmasin. Kalau surat-surat bisa lengkap dipero-
leh, mereka akan bisa turut naik pesawat Hercules, tanpa penge-
luaran biaya sendiri.
Enam hari penuh Samirin pergi dari rumah.
Omelan Marsi sudah mereda. Tetapi jelas protesnya belum
dilupakan sama sekali. Di sana-sini, dalam percakapan, setiap
ada kesempatan, muncul kata-kata penyesalan.

69
“Dua bulan lagi barangkali cengkih kita berbunga. Akan lima
tahun umurnya. Justru waktu itu kita tinggalkan!” Padahal Marsi
tahu bahwa Samirin sudah mengatur penjagaan dan penitipan
kebun mereka kepada tetangga yang bisa dipercaya. Sore, mereka
biasa membagi tugas. Bergantian, anak sulung atau Marsi, atau
Samirin sendiri, menyiram pekarangan. Bagian muka, samping
dan belakang. Tidak saja Marsi memperlihatkan kemalasannya
menolong seperti dahulu, tetapi dia juga berusaha mempenga-
ruhi anak sulungnya.
’’Secukupnya saja, asal basah. Tidak perlu capek-capek, Le!
Bulan depan kita pindah!”
Rumah pun asal disapu. Apalagi tungku. Berjubelan abu di
dalamnya, hanya disisihkan bertimbun disorong ke belakang
dan ke belakang lagi.
Samirin kurang menanggapi cara istrinya mengambek itu.
Dia malahan menganggap ulah Marsi sebagai kemanjaan. Sikap
kekanak-kanakan yang menambah kharismanya. Tetapi setelah
berhari-hari lewat, dia mulai merasakan suasana rumah yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hidup bersama yang diingin-
kannya. Marsi tidak lagi gesit. Tidak lagi cekatan. Gerakannya
menjadi lamban, sama sekali tidak produktif, lebih sering kelihat-
an duduk di samping ambang pintu dan berbicara dengan tetang-
ga dari kejauhan. Siapa pun yang lewat menjadi komplot pertu-
karan pikiran simpang-siur, asal omong.
Suatu sore, setelah menyapu latar bagian belakang, Samirin
berseru ke arah Marsi di pintu,
’’Mana Bayun? Panggilkan!”
’’Tahu!”
“Apa tidak kelihatan dari situ dia di samping ataukah di
depan?”
Marsi beringsut ringan, melongokkan kepala.
’’Bayun! Bayun! Dipanggil Bapak!”
Ada jawaban jauh, menjelaskan sesuatu yang panjang, tetapi
tidak terang.
Samirin tidak mengerti, bertanya,

70
“Apa katanya?”
’’Tahu!”
’’Atau kamu saja! Tolong ambilkan sekaleng minyak tanah.”
’’Buat apa?”
’’Untuk membakar sampah.”
’’Allaaaah, apa perlunya! ‘Kan kita akan berangkat. Biarkan
saja!”
Samirin yang sudah mulai beranjak menuju ke lubang sam-
pah, segera berhenti dan berbalik.
’’Justru karena kita akan pindah itulah! Jangan sampai orang
yang menempati rumah ini berpikir bahwa kita termasuk jenis
yang menyukai kejorokan. Kamu tidak membersihkan rumah,
kebun terbengkalai! Kalau sampah dibakar ‘kan sekurang-ku-
rangnya kelihatan rapi. Rupa-upanya kamu lupa, bahwa meski-
pun rumah ini kita tinggalkan dan ditempati orang lain, sekarang
adalah tempat tinggal kita!”
Tanpa menunggu komentar, Samirin menuju ke pojok
pengumpulan sampah.
Barang mereka tidak banyak. Terutama terdiri dari perkakas
dapur, pecah-belah, seperangkat meja-kursi rotan sederhana, pak-
aian dan buku-buku ataupun majalah. Lemari pun mereka tidak
punya. Sebagai gantinya, Samirin menumpuk kotak-kotak bekas
sabun. Biasa disusun di sepanjang dinding kamar. Untuk tempat
buku dan majalah demikian pula, berderet di pinggir dinding
ruang duduk. Semuanya divernis untuk menanggulangi kelem-
baban. Kerdus-kerdus dipergunakan sebagai tempat menyimpan
pecah-belah yang jarang dikeluarkan. Untuk pindahan, ken-
daraan taksi tidak cukup besar sebagai pengangkut, karena
Samirin membawa berbagai alat dan perkakas besar keperluan
pertukangan. Tangga dari bambu saja mencapai kepanjangan
yang melebihi tempat duduk belakang sebuah taksi. Belum terhi-
tung papan-papan, asbes, bambu utuh. Yang ringkas dan kecil
seperti kaleng cat, batu bata, genting serta semen dan kapur
pun akhirnya sangat memerlukan ruangan. Akhirnya Samirin
memutuskan akan menyewa truk. Sekali jalan, tetapi semua

71
bisa terangkut. Apalagi dia membawa bermacam-macam bibit
yang berasal dari ladang milik mereka sendiri. Kepala Sekolahnya
membikinkan anggaran kepindahan tersebut, dan berhasil
mendapatkannya dari Pleihari.
Pesta perpisahan diselenggarakan oleh rekan-rekan guru di-
bantu para murid. Lima tahun Samirin berhasil menanamkan
pengetahuan dasar kepada anak-anak. Tanpa ambisi terlalu besar,
dia mengharapkan siswa-siswa itu akan menjadi manusia yang
menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan mereka.
Samirin tidak pernah mengira bahwa kehadirannya di desa itu
mengambil peranan dan tempat berarti di hati penduduk. Dia
menyadari bahwa pekerjaan sebagai guru merupakan jaminan
tersendiri di kalangan rakyat sederhana. Tetapi kepindahan yang
disesali, bahkan ditangisi, tidak pernah terbayangkan olehnya.
Pidato selamat jalan dan selamat tinggal yang semula dianggap
pengisian basa-basi, tiba-tiba menjadi bagian kenangan yang
akan selamanya teringat serta memperkaya pengalamannya.
Pagi-pagi setelah subuh, mereka berangkat.
Perjalanan cukup lancar, meskipun beberapa kali terselip per-
bantahan kecil yang menegangkan. Istrinya semakin gugup dan
pemarah. Hari itu menjadi-jadi, kurang sabar menghadapi ulah
atau kenakalan bocah. Sebentar-sebentar berteriak, bahkan me-
mukul. Tidak sepadan dengan kesalahan yang dilakukan si anak.
Samirin bosan campur tangan, lalu mengajak Bayun meneruskan
perjalanan di belakang. Ternyata setelah diatur sedemikian rupa,
mereka lebih santai. Dapat tiduran di tengah barang-barang pin-
dahan. Pada kesempatan berhenti yang lain, anak yang kecil
ingin menggabung. Dan Marsi dibiarkan tenang duduk sete-
rusnya di samping sopir.
Langit kelihatan mengancam ketika mereka tiba di Serindai.
Oleh karenanya, sopir tergesa-gesa untuk meneruskan tujuan
ke lokasi transmigrasi. Samirin meminta waktu beberapa menit.
Dia ingin memperkenalkan Marsi kepada Bu Tajuddin. Selain
mendapat kesempatan pergi ke kamar kecil bersama anak-anak,
dia berpikir berangkali ada baiknya istrinya mengetahui bahwa

72
ada wanita ramah di daerah yang baru itu. Meskipun sambil
bersungut-sungut. Marsi menuruti kehendak Samirin turun serta
mengikutinya ke warung. Ketika muncul kembali dari sumur,
wajahnya lebih cerah. Sentuhan air menyegarkan perasaan.
Marsi berbincang ramai bersama yang empunya warung, bahkan
tertawa manis mengucapkan terima kasihnya ketika mengetahui
anak-anak diberi makanan dan buah-buahan.
Mendung semakin memburu, demikian pula sopir semakin
khawatir. Dia tidak mau tersekap oleh hujan sehingga tidak bisa
keluar lagi dari lokasi. Semua orang tahu bahwa jalan menjadi
licin sebegitu hujan tercurah. Tanah berubah menjadi lumpur
jika air turun lebih dari satu jam. Meskipun berkali-kali dia
berkata bahwa itu belum musimnya hujan datang, namun dia
mengebut kalau keadaan jalan memungkinkan.
Parmono sudah menempati rumahnya. Ketika melihat truk
mendekat, dia datang menolong menurunkan barang. Samirin
segera memperhatikan, bahwa ilalang telah dibersihkan, sehingga
ada jalan masuk rapi dari pinggir selokan hingga ke rumah.
Untuk tidak mengulang pekerjaan, barang-barang pertukangan
ditimbun di luar. Sedangkan lain-lainnya langsung dimasukan
ke bagian rumah yang dianggap sebagai ruang duduk. Di sana
pun kelihatan bersih.
Parmono pastilah telah menyapu, atau barangkali bahkan
mencuci lantai papan itu. Kemudian sopir tidak mau menunggu
suguhan makan yang dibawa Marsi dari Kintap. Sebegitu pem-
bayaran dilaksanakan, dia membawa kendaraan pergi.
Di serambi selebar dua meter, Marsi mengumpulkan panci
rantang berisi nasi dan lauk. Beberapa piring disediakan. Par-
mono menghilang sebentar ke rumahnya. Kembali membawa
panci dan ceret berisi teh.
’’Masakan bujangan, Mas, Yu!11 silakan mencobanya!” Lauk
yang dibawa Marsi semua yang praktis, dalam bentuk keringan.
Sayur dari Parmono merupakan pelembab yang berguna.
’’Pura-puranya sayur bobor, Yu. Tapi tidak pakai lempe
bosok.”

73
’’Enak, kok Dik,” Marsi membujuk sopan. ’’Pakai teri, ya.”
“Ya, Yu.”
Marsi bersila di tikar yang telah digelar. Dia melayani anak-
anak sambil makan sendiri. Kedua lelaki menyangga piring ma-
sing-masing, duduk di anak tangga.
’’Terima kasih, Dik, alang-alangnya dibabat. Saya lihat rumah
juga dibersihkan,” kata Samirin.
“Ah, hanya sebisa saya, Mas. Kalau datang capek, melihat
tempat tinggal tidak karuan, pasti kesal di hati. Saya memikirkan
Mbakyu.”
Samirin menoleh ke arah Marsi. Rupa-rupanya istrinya tidak
mendengar kata-kata Parmono yang terakhir. Ataukah masa
bodoh? Samirin menggumam di antara kunyahannya, ’’Anda
benar-benar penuh perhatian.”
Diam-diam mereka menyuap, minum. Udara lengang. Hutan
yang terletak seterbang burung dari tempat mereka tidak mengi-
rimkan suara-suara kehidupan sesuatu pun. Seolah-olah semua
makhluk beristirahat, mengumpulkan kekuatan baru guna me-
nanggulangi kepengapan hari yang baru setengahnya terjalani.
Angin juga berhenti. Ilalang dipekarangan hingga ranting po-
honan terdekat lunglai tanpa gerak.
“Yang sukar di sini air, Yu,” Parmono memecah kesunyian.
’’Saya lihat ada sumur di sekolah,” sela Samirin.
’’Memang bisa digali, Mas. Tapi jarang yang deras sum-
bernya.”
’’Anda sendiri mendapatkannya dari mana?” Marsi tertarik.
’’Saya ambil dari sungai. Jauh. Lumayan, jernih. Harus punya
tong buat penyimpanan.”
’’Kita tidak punya,” kata Marsi, seakan-akan menyesali entah
siapa.
“Ya, itu yang saya lupa,” Samirin menyambung.
’’Kita bisa ambil tong bekas-bekas aspal di pinggir jalan besar.”
’’Sukar membersihkannya,” suara Marsi memprotes.
Anak sulung mulai resah, ingin bergerak. Dia turun ke halam-
an, mencukil-cukil tanah dengan kayu yang dia temukan di sana.

74
’’Rumahnya selesai diatur, Dik?” kata Samirin sambil me-
mandang ke tempat tinggal Parmono.
’’Belum teratur betul. Tapi buat tinggal sendirian ya cukup.
Saya lihat rumah ini banyak bocornya, Mas.”
’’Bagaimana bisa mengetahuinya?”
’’Warna lantai di beberapa tempat berlainan. Selama ini tidak
hujan, jadi saya belum melihat keadaan yang sebenarnya.”
Samirin bangkit, mendekati jeriken. Setelah mencuci tangan,
masuk ke kumpulan barang yang disatukan di ruang tamu. Kem-
bali dan berkata,
’’Kita lihat saja bagaimana nanti. Saya membawa gulungan
plastik. Juga masih punya terpal. Untuk menutupi kalau-kalau
hujan.”
Tanpa kesepakatan, kedua lelaki mengarahkan pandang ke
langit.
’’Kata sopir, belum waktunya hujan,” Marsi bersuara dari
samping.
’’Mudah-mudahan betul. Tapi di sana gelap sekali!” bantah
suaminya.
Parmono tidak menanggapi, melihat ke jalan. Seseorang lewat
dan mengenalinya. Parmono turun menemui orang itu. Lalu
kembali bersamanya. Demikian beberapa kali tetangga bergan-
tian diperkenalkan kepada pendatang baru. Siang hari biasa
dipergunakan penghuni menengok ladang masing-masing yang
tidak terlalu jauh dari pemukiman. Mereka singgah sebentar
berbicara dengan Samirin dan Marsi, tetapi masing-masing
menekuni jadwal, harus meneruskan kegiatan. Keadaan cuaca
menjadi perbincangan, namun kebanyakan yang singgah tetap
berangkat ke kebun atau ke tujuan semula. Seakan-akan mereka
yakin bahwa mendung tebal bukan berarti hujan di lokasi me-
reka.
Kemudian keluarga itu ditinggal lagi. Hanya Parmono yang
menolong mengatur barang-barang.
Rumah yang dipilih Samirin menempati luasan tanah kira-
kira tujuh puluh meter persegi. Setelah naik tangga yang terdiri

75
dari lima baris papan, sebelum pintu masuk, di sebelah kanan
terdapat serambi yang lumayan lebarnya. Di situlah tadi Marsi
duduk bersama anak-anak. Melewati ambang pintu, ada ruang
terbesar, dimaksudkan sebagai ruang duduk. Dindingnya bersatu
dengan kamar tidur. Berhadapan dengan kamar itu ada satu bilik
lagi lebih kecil. Dindingnya menyekat sebelah kiri jika orang ma-
suk ke ruang duduk. Pintu kamar tidur kedua ini mengarah ke
belakang, yaitu ruangan memanjang dan cukup lebar. Bisa dija-
dikan dapur menurut pendapat Samirin. Sebelah kanan, ke kamar
mandi. Seluruh papan bangunan rumah disusun memanjang tidur,
seperti rumah-rumah dalam film Amerika yang dulu sering dilihat
Samirin.
Meskipun dia memilih sendiri dan telah mengunjunginya
ketika datang sambil mengenal daerah barunya, yang menge-
jutkan Samirin sewaktu masuk adalah perasaan tertekan di
dalamnya. Ini disebabkan karena tidak adanya jendela di ka-
mar-kamar. Hanya ruangan tamu yang mempunyai lubang pem-
bawa udara dari luar. Siang itu sambil mulai mengumpulkan
serta membagi barang ke kelompok kegunaannya, Samirin me-
lihat perbaikan tambahan apa dan di mana yang harus segera
dilakukan di rumah itu. Bagaimanapun sukarnya kehidupan
yang menunggu pada bulan-bulan pertama mendatang, dia
mengerti bahwa kemapanan adalah syarat utama. Itu merupakan
kemewahan sementara yang sekurang-kurangnya bisa dia beri-
kan kepada istri dan anak-anaknya.
Justru kemapanan ini sudah diragukan pada malam ke-
datangan mereka.
Samirin memperhatikan bahwa Marsi tetap tegang. Berbicara
pendek dan terbatas. Ketika melayani tetangga yang datang ber-
kenalan, ia memperlihatkan keramahan yang berjarak. Itu bukan
Marsi yang sebenarnya. Meskipun demikian, Samirin merasa
bahwa istrinya menunjukkan sikap keterlibatannya di ling-
kungannya yang baru. Ketika Parmono minta diri, Marsi bahkan
mau mengikutinya untuk memandikan anak-anak. Menerima
tawaran mempergunakan barang orang lain, bagi Marsi adalah

76
satu tanda kedekatan. Dari seberang, Samirin mendengar suara-
nya renyah, menasihati dan melarang Bayun bermain dengan
air. Maka dengan senang hati Samirin memasang plastik serta
tikar, kemudian mengusung dua kasur ke atasnya. Lampu petro-
mak dinyalakan, ditaruh di lantai di antara semua ruang. Cahaya
yang bersumber daripadanya terpancar, dapat dimanfaatkan di
semua bagian rumah. Di dekat pintu kamar tidur Samirin mele-
takkan lampu senter, kalau-kalau istrinya memerlukannya. Ke-
mudian dia kembali menyibukkan diri dengan barang pindahan
di ruang duduk.
Selesai makan dan menidurkan anak, tanpa diminta, Marsi
juga datang ke kumpulan barang. Dia melihat bahwa Samirin
telah menyisihkan benda-benda dapur dan serta peralatan untuk
makanan. Diam-diam dia langsung membawanya ke belakang,
dideretkan di pinggir ruang yang menyentuh tangga keluar.
Sambil bekerja, Samirin mengatakan kepada istrinya bahwa dia
akan membikinkan meja panjang bersama raknya, menempel
dinding belakang itu. Seperti rumah di Kintap, sehingga alat-
alat dapur dan pecah-belah bisa diatur, tidak terlalu mengganggu
pemandangan. Karena Samirin tahu Marsi menyukai kerapian.
Istri yang suka menjahit dan memasak kebanyakan mengingin-
kan semua barang mendapat tempat pasti dan tidak dipindah-
pindah. Samirin menyebutkan hal-hal lain lagi, menanggapi kete-
rangan-keterangan tetangga atau Parmono siang tadi. Menanya-
kan sesuatu lainnya pula. Tetapi Marsi dingin, menyahut dengan
’’nggak tahu” atau ’’semaumu”. Sering kali bahkan sepi tidak
menjawab sama sekali, barangkali pura-pura tidak mendengar.
Jelas hatinya masih menyimpan kekesalan. Samirin tidak berhasil
mengembalikan kesantaian hubungan mereka.
Jauh sebelum tengah malam, tiba-tiba hujan menyergap tan-
pa gerimis tanpa guntur. Deras sekali. Suaranya gemuruh, seolah-
olah air turun tidak menuruti garis sendiri-sendiri, melainkan
menyatu dalam curahan mendadak. Belum sampai lima menit,
terdengar di dekat Samirin bunyi menetes. Satu tempat, disusul
tempat lain, diikuti gemercik aliran. Samirin menyalakan senter

77
mencari asal bunyi-bunyi itu. Dari atap, air mengaliri seluruh kepan-
jangan dinding. Beberapa sambungan papan langit-langit mengirim
tetesan hujan yang semakin besar dan semakin besar. Samirin berseru
memanggil istrinya. Tangkas dan cepat memindahkan barang-barang
ke bagian ruang yang dikira kurang menerima kebocoran. Lalu
diulangi memanggil. Bertambah gugup dia ketika menerima jawaban
kurang jelas. Mengapa Marsi tidak segera datang! Dia tidak
memerlukan sahutan, tetapi uluran tangan untuk cepat menggeser
barang-barang mereka. Berdua pastilah akan lebih banyak yang
diselamatkan dari kelembaban. Apalagi buku-buku dan pakaian!
Maka sambil berteriak menyatakan kehilangan kesabaran, Samirin
melangkah panjang-panjang menuju ke belakang. Selintas dilihatnya
tak seorang pun berada di dapur. Tetapi lampu minyak menyala di
atas sebuah kotak kayu. Dia mendengar suara pintu kamar tidur
besar dibentur sesuatu. Pada waktu itu dia melihat Marsi berjalan
mundur sambil menyeret plastik di mana satu kasur tergelar di atas-
nya. Anak-anak terguling di sana. Dengan menguncupkan sedikit
lembaran kelebaran kasur, Marsi berhasil melewatkan bebannya di
ambang pintu. Dan sewaktu istrinya mengatur arah yang akan
ditujunya, Samirin cepat berkata,
’’Jangan ke dalam!”
Pandang Marsi bertanya.
“Di dapur saja! Kelihatan kering!”
Lalu Samirin menolong. Seorang diri dia menarik plastik dan
kasur. Marsi balik ke kamar. Muncul kembali memanggul gulung-
an lain. Suaminya telah menggelar tampat tidur anak-anak di
tengah-tengah dapur. Kelebarannya tepat, sehingga orang harus
berjalan di atasnya jika hendak pergi lebih jauh. Setelah meng-
hempaskan bawaannya di arah dinding. Marsi sibuk menggeser
perkakas dan alat memasak ke sudut yang lebih aman, Samirin
lupa kekesalan hatinya, kembali ke ruang tengah. Kekuatannya
bagaikan berganda. Dia mengangkat dan mengatur barang-barang
sendirian. Waktu seolah-olah tidak menghambatnya. Tiba-tiba
semuanya telah rapi terkumpul di satu pojok yang dianggap kurang
basah. Di atasnya dia menyelubungkan plastik yang dilepas lang-

78
sung dari gulungannya. Pada kepanjangan yang mencukupi, lalu
digunting. Kemudian Samirin pergi ke kamar tidur yang paling
besar. Beberapa peti kayu berisi pakaian sudah basah kuyup. Isinya
ditaruh di atas lembaran plastik, lalu dibungkus. Hanya disorong
ke suatu tempat. Peti-peti dibawa keluar. Satu di antaranya yang
selamat menyimpan kain-kain batik bekas dan selimut cukup tebal.
Ini diangkat hingga ke dapur.
Oleh guncangan dan keributan, anak anak terbangun. Tetapi
hanya sebentar. Ketika Samirin mengurus kamar tidur, suara
mereka masih lamat-lamat17 terdengar. Sampai di dapur, Samirin
melihat keduanya sudah kembali tidur lelap. Seakan-akan tidak
terjadi sesuatu pun. Dia membentangkan selimut di atas tubuh
mereka, lalu menoleh mencari istrinya. Lampu teplok tidak
menyala lagi. Tetapi sinar petromak di pintu ruang tengah cukup
besar untuk memberikan pemandangan temaram. Samirin me-
lihat istrinya duduk di lantai, bersandar ke kasur yang masih
tergulung. Lutut ditarik terlipat, dahi ditekankan di atasnya,
wajahnya tersembunyi.
’’Kita gelar kasurnya?”
Tanpa menunggu jawaban, setelah menggelar plastik dan
tikar, Samirin memegang pinggir lingkaran kasur. Marsi mene-
gakkan kepala. Pada waktu itulah Samirin melihat wajah istrinya
basah. Pelapukan gembung, jelas masih menyimpan kepedihan
tangis. Tidak berkata-kata lagi, Samirin mengatur tempat tidur.
Setelah siap, menarik lengan istrinya perlahan hendak dibuai
di pelukannya. Marsi menolakkan dada Samirin serta berusaha
bangkit. Tetapi Samirin tidak melepaskan pegangannya. Tolakan
Marsi semakin keras. Lalu berubah menjadi pukulan. Gerak apa
saja asal bisa membebaskan diri dari pegangan suami.
“Emoh18 aku! Emoh! Lepaskan aku!” akhirnya suara itu keluar
dari mulutnya.
Samirin mencengkam kedua bahu istrinya dan sekuat tenaga
didekapnya tubuh yang meronta-ronta itu. Maka meledaklah
tangis Marsi. Di sela-sela isakan, di antara napas yang tersengal
dikuasai kepadatan perasaan kekesalan, kemarahan dan apa pun

79
lainnya, dia sempat mencurahkan kata-kata sesalan,
“Ini salahmu! Semua ini salahmu!”
Kepalanya terlonjak. Seluruh badan bergetar oleh sedu se-
dan yang dahsyat.
’’Kita sudah enak di Kintap. Punya rumah, punya kebun.
Mengapa mesti kemari! Untuk menemukan ini semua! Lihat
anakmu! Tidur di rumah tersiram hujan! Di kolong jembatan
di Jawa malahan aman daripada di sini!”
Samirin tetap memenjarakan Marsi di pelukannya. Diciumi-
nya dahi, pelipis, kuping dan kepalanya. Perlahan-lahan, sedikit
demi sedikit, tekanan lengan dikendorkan. Tangan satu mem-
belai rambut, turun ke tengkuk. Sebentar lagi ke punggung.
Seperti biasa kalau tinggal di rumah di waktu malam, Marsi
tidak mengenakan kutang. Bajunya santai, longgar, untuk me-
mungkinkan udara sejuk menyelinap ke bagian-bagian terbuka.
Dari punggung, tangan Samirin meminggir, dan hinggap pada
kebulatan payudara yang menyundul tergerak oleh tangis. Sa-
mirin menarik istrinya, menjatuhkan diri berdua, terbaring di
kepanjangan kasur. Air mata asin diteguk diminumnya ke dalam
ciuman bertubi-tubi di seluruh wajah itu. Hingga akhirnya bibir-
nya tertancap di mulut istrinya untuk tidak melepaskannya lagi.
Marsi terlalu dikuasai emosi. Terlalu capek oleh ketandasan pe-
rasaan dan penggunaan kekuatan pemberontakannya. Dia men-
jadi lemah. Isakannya tersekap oleh kecupan suami yang ber-
angsur memanas penuh nafsu.
Entah berapa lama Samirin tertidur.
Bangun kembali, lengannya terasa ngilu. Oleh gerakan, darah
mengaliri lagi bagian badan yang ditindihi kepala istrinya. Ber-
hati-hati, dia menarik lengan itu, diletakkan di samping meman-
jangi tubuh. Lalu bangkit, menggeret lipatan selimut dari peti.
Ditutupkan di atas diri mereka berdua. Marsi beringsut, miring
mendekat. Matanya tetap terpejam. Samirin menghadapkan diri
ke arah istrinya. Dirangkul dan diciuminya.
Baru kali itulah dia memaksakan birahinya pada Marsi.
Berhari-hari, berpekan hampir sebulan dia ditolak istrinya.

80
Untuk keperluan-keperluan lain, dia dilayani dan ditolong. Perca-
kapan ditanggapi singkat. Sering kali tidak diacuhkan. Begitu
dia memperlihatkan gairah lelaki, Marsi menghindar. Bahkan
menolak sentuhan-sentuhan pembangkit kemesraan. Pada
waktu-waktu tertentu, dirasakan hingga nyeri kepadatan yang
hendak dibaginya bersama istrinya itu. Tetapi Samirin sabar.
Sejak perkawinannya, Marsi tidak pernah bertingkah. Saat-saat
kemasygulan yang terbawa sampai di ranjang biasanya dapat
cepat ditawarkan dengan desakan lembut. Kali itu berbeda.
Keputusan kepindahan yang sangat mengecewakan mempe-
ngaruhi semua gerak-gerik maupun perasaan Marsi. Tidak ku-
rang-kurangnya Samirin membujuk dan berusaha membukakan
pandang istrinya ke cakrawala lebih luas dalam pengertian ke-
wajiban sebagai guru pembangunan. Memperkenalkan Marsi
ke pikiran dan penghayatan pionir sampai ke jiwa disertai kere-
laan berkorban. Di lain pihak, Samirin mengerti perasaan kese-
jahteraan yang disukai istrinya. Yang disukai dan menjadi cita-
cita semua kaum perempuan. Pengertian itulah yang mendukung
kesabarannya selama ia menahan penolakan Marsi.
Tetapi malam itu adalah batas kepadatan yang kuasa dia
kendalikan. Rasa salah membikin Samirin khawatir, namun
menghilang ketika melihat Marsi merapatkan diri mencari
kehangatan kedekatannya.
Sekali lagi dia mencium wajah istrinya. Bekas air mata me-
ninggalkan kelembaban di pelipis, terselinap di sela-sela anak
rambut.
’’Hujan sudah berhenti,” Marsi berbisik.
Samirin terkejut. Disangkanya Marsi masih lelap.
“Ya,” sahutnya, sambil merengkuh istrinya lebih erat.
Marsi mengganti letak badan. Berbaring menengadah. Sa-
mirin terpaksa melepaskan rangkulan. Tangannya masih bisa
mencapai leher dan pundak Marsi. Dia membelainya untuk
melestarikan kontak.
’’Besok pagi kita cari rumah lain. Masih banyak yang
kosong,” katanya.

81
Maksudnya membujuk. Juga karena tiba-tiba dia merasakan
kebutuhan untuk menjanjikan sesuatu. Marsi diam. Petromak
sudah mati. Dalam kegelapan, terdengar tetes-tetes air di sana-
sini. Angin menggerisikkan entah daun entah ranting. Hutan
sepi.
Samirin tidak tahu apakah mata istrinya terpejam ataukah
terbuka. Tangannya menyentuh muka. Mata Marsi berkejap.
’’Asal ada yang atapnya utuh,” kata istrinya.
Suara itu netral. Tidak berisi kejengkelan atau ejekan. Suara
dengan nada lama, seperti di waktu-waktu sebelum Marsi
bersikap tegang dan menghindarinya.
’’Kalau tidak ada, kita pindah ke sekolah.”
Sebentar tidak ada sahutan. Lalu Marsi berkata lagi kehe-
ranan,
“Ke sekolah?”
’Ya.”
’’Katamu bangunannya belum selesai.”
’’Justru itulah! Kita bisa tinggal di salah satu kelas buat se-
mentara.”
Marsi diam lagi. Samirin meniru, dua-tiga menit, kemudian,
’’Atau mendirikan rumah lain di dekatnya. Masih banyak
tanah.”
’’Lebih enak kalau bisa tinggal di dekat sekolah,” kata Marsi.
’’Betul? Kamu lebih suka demikian?”
“Ya.”
Untuk ke sekian kalinya mereka diam. Lebih lama. Terlalu
lama sehingga Marsi yang khawatir, bertanya,
“Kau tidak suka?”
’’Suka! Mengapa?”
’’Karena diam saja!”
“Aku sedang berpikir-pikir.”
“Apa?”
’’Ketika aku datang dulu, tukang-tukang sedang bikin deretan
kamar kecil. Lantainya semen. Melihat kualitas bangunan, ma-
lahan kelihatan lebih kuat dari lain lainnya. Itu bisa ditempati.”

82
’’Lalu kakus sekolah?”
’’Dibikinkan lagi. Lebih sederhana tetapi bisa dipergunakan.
Umpamanya dibangun dekat kebun, lebih baik, karena tidak
terlalu dekat dengan sumur.”
“Ada sumur?”
“Ya.”
Marsi semakin tertarik. Katanya hampir berseru,
“Aku mau tinggal di situ!”
Seolah-olah untuk menekankan kehendaknya, dia setengah
bangkit, menghadap dan menatap muka suaminya. Katanya
lagi,
’’Bagaimana besarnya? Apa cukup buat kita? Ada kamar
tidur, ruang tamu?”
’’Saya kira hanya cukup untuk itu. Karena bentuknya
memanjang, disekat. Satu untuk duduk-duduk. Satu untuk tidur.
Tidak ada dapur.”
“Ah, bisa memasak di luar. Di belakang!”
Marsi kembali membaringkan diri, muka menengadah. Lalu
meneruskan,
’’Kamu bikinkan aku bangunan terbuka, di belakang. Seperti
di Kintap.”
Samirin bahagia.
Keruwetan dan kekesalan hati Marsi sudah terurai. Dia sudah
mau mengatakan apa yang diinginkannya. Apa yang dikehen-
dakinya. Samirin telah berhasil mengembalikan kesantaian hu-
bungan mereka.
Dia setengah bangkit, tengkurap, menunduk di atas wajah
istrinya.
“Ya, aku bikinkan dapur di belakang seperti di Kintap.” Le-
ngan Marsi terulur, merengkuh tengkuk suaminya. Samirin me-
rasa kepalanya ditarik mendekat.

83
6

Memang benar, mereka memulai segalanya dari nol lagi.


Membanting tulang bukan perkataan tepat untuk menyebut
apa yang mereka kerjakan. Juga yang dikerjakan ribuan kepala
keluarga beserta anggotanya di daerah pemukiman yang baru
dibuka, di tanah air mereka yang kedua, di bumi mereka yang
baru; mereka tidak hanya mempergunakan tenaga jasmani, me-
lainkan juga membolak-balikkan pikiran buat mengatur hidup.
Waktu: dari keseluruhan tugas yang menunggu, manakah yang
harus didahulukan berhubungan dengan keadaan cuaca, dengan
datangnya air dari langit. Pagi-pagi atau siangkah mengerjakan
cocok tanam? Yang mana lebih dipentingkan, tanaman sekeliling
tempat tinggal ataukah ladang yang jauh dari rumah? Dari jatah
bibit yang diberikan, manakah yang ditanam di pekarangan?
Lahan yang diterima Samirin memang sudah dibabat, cukup
bersih. Tetapi sebagaimana biasa terjadi di lokasi transmigrasi,
pangkal pohon bergaris tengah paling sedikit satu setengah meter
masih kokoh tertunjam di tanah. Tenaga manusia dibantu mata
pacul paling tajam pun tidak bisa mendongkelnya hanya dengan
kerja terus-menerus selama dua hari. Samirin membongkar yang
kecil-kecil saja. Dia merasa digesakan oleh waktu. Kelak, sambil
jalan, dengan santai akan menggali pangkal-pangkal yang besar.
Samirin berjudi dengan nasib: dia menanam padi di ladang-
nya. Menurut keterangan yang diperoleh, tanah bagiannya

84
mengandung banyak air. Tempatnya datar, lebih dekat ke hutan
daripada ke lahan cadangan. Menurut teori, lahan cadangan ini
harus dibiarkan utuh dengan pohon dan satwanya. Tetapi entah
disengaja atau tidak, perusahaan yang menyiapkan satuan pemu-
kiman tran di sana membabatnya sama seperti lahan-lahan yang
dibagikan. Hal ini menyebabkan cadangan air di dalam tanah
akan segera habis bagi lingkungannya. Untunglah Samirin me-
narik nomor bagus. Meskipun jauh dari rumah, jaminan kelem-
baban tanah dapat diandalkan. Dan di situ Samirin mencocok-
kan batang-batang padi yang telah disemaikan di dekat rumah.
Benihnya bukan dari jatah, melainkan pesangon yang diberikan
mertua kepada Marsi ketika datang menyusulnya dulu. Benih
dari pembagian memang satu kaleng. Tetapi jenisnya VUTW.19
Kalau sudah menjadi nasi, keras dan tidak gurih. Hasil riset
para ahli pertanian itu memang cepat tumbuh dan menghasilkan.
Ditambah satu keuntungan lagi, yaitu tidak disukai oleh hama.
Samirin berkata kepada Marsi bahwa tentu saja wereng tidak
menyukainya karena memang tidak enak. Sedangkan Samirin
termasuk golongan manusia yang mau bekerja keras, hidup
sukar, tetapi juga bisa mengecap keenakan sekali-sekali. Ma-
kanan termasuk penting tidak hanya sebagai pengisi perut dan
penjaga kesehatan. Dia juga ingin merasakan kesedapannya di
lidah. Meskipun Marsi lebih memilih jenis padi nomor-nomor
I R. Samirin akhirnya menyemaikan jenis Pelita. Seandainya
dia mempunyai benih Rojolele, Krengseng atau Cianjur, pastilah
itu yang dia tanam.
Untuk kesekian kalinya Samirin merasa lebih beruntung dari
orang-orang Tran di sekelilingnya. Dia memiliki sedikit modal
berupa bibit dan mertua petani yang kadang kala mengirim
uang bantuan. Dari padanyalah dia membeli bahan pertukangan
dan pupuk. Karena hingga dua bulan mereka berada di lokasi
itu, jatah penyubur tanah tetap masih ditunggu-tunggu. Pendu-
duk lokasi yang bisa menjual sesuatu memang dapat segera me-
ngerjakan ladang. Mereka bersama-sama membeli pupuk ke Ban-
jarmasin. Lain-lainnya ada yang langsung bercocok tanam tanpa

85
penyubur, ada pula yang masih tetap menunggu. Padahal hujan
tidak menunggu. Dan pada akhirnya, orang-orang itu pun me-
niru tetangga mereka, untung-untungan mengerjakan ladang
dengan apa adanya. Jatah bibit pun tidak serapi yang sering
dikabarkan di koran-koran yang terbaca oleh Samirin ketika
masih sekolah. Dia pribadi dari Kintap membawa barang satu
truk penuh. Sepertiga truk terdiri dari bibit pohon, kalengan
benih serta bahan dan alat pertukangan. Penghuni lokasi yang
tiba di sana sebelum Samirin benar-benar bertransmigrasi. Jatah
bibit yang diberikan tidak sekaligus, sehingga penanamannya
pun tidak bisa dilaksanakan bersama-sama. Dua bulan keluarga
Samirin sudah menjadi anggota daerah pemukiman itu, bibit
kelapa dan cengkih belum ada. Konon sedang disemaikan. Itu
pun tidak akan bisa diberikan kepada semua penduduk bersama-
sama. Harus bergantian menunggu giliran.
Tiga bulan setelah Samirin bergulat, pucuk-pucuk hijau mulai
kelihatan di tanahnya. Sayuran Marsi dari pekarangan sudah
dapat dilalap atau masuk ke panci. Kacang panjang yang diram-
batkan di kandang ayam mulai membentuk isi serta menambah
ukuran panjangnya. Batasan lahan milik mereka hampir selesai
dipagari. Setiap siang Samirin ke sana. Bayun yang berumur
lima tahun sering dibawa ke mana pun dia pergi, termasuk ke
ladang. Anak itu dibikinkan tempat duduk spesial dari kotak
kayu bekas sabun. Bisa diikat atau dilepas pada goncengan sepe-
da. Karena sandaran dan pelindung yang turun berbentuk
selubung terbuat dari plastik, Bayun kelihatan seperti seorang
pangeran di atas singgasananya. Musim hujan yang menyiram
tanaman tidak baik jika terlalu banyak membasahi manusia.
Apalagi yang berumur lima tahun.
Pembukaan sekolah dihadiri wakil Bupati.
Samirin yang didampingi Parmono tidak mengetahui alasan
mengapa Bupati tidak hadir sendiri. Orang Pleihari berkata
bahwa Bupati menghadiri rapat penting di Banjarmasin. Tetapi
bisik-bisik lain mendesuskan berita kepergian Bupati ke Jakarta
karena diminta menghadap kantor pengadilan di Pusat.

86
Bagaimanapun juga, Samirin merasa diremehkan. Pembu-
kaan sekolah di pelosok dengan murid permulaan dua puluh
satu orang memang dapat dianggap tidak berarti. Kebalikannya,
bisa pula dipandang sebagai lambang gemilangnya masa depan
pelosok itu. Sepantasnyalah jika pemerintah daerah memperhati-
kannya. Status dari Pusat, Sebamban termasuk wilayah Kota-
baru. Sedangkan menurut daerah Sebamban masuk ke Kabu-
paten Tanah Laut. Sering kali terjadi kekisruhan dalam urusan
administrasi karena perubahan status yang belum juga dihafal
ataupun diketahui semua aparat pemerintah. Dan keadaan sema-
cam itu seakan-akan dipertahankan oleh segolongan orang, kare-
na dapat dijadikan sumber tambahan penghasilan.
Kekecewaan Samirin karena Bupati hanya mengirim salah
seorang sekretaris terhibur oleh kehadiran orang lain. Dia adalah
pegawai P dan K di Banjarmasin. Seperti orang-orang pemerin-
tah lain yang bertugas, dia juga mengenakan seragam safari
ketika sampai, diteruskan pada hari upacara pembukaan. Dia
datang bersama sopir dan tinggal dua hari di sana, kemudian
mengadakan perjalanan peninjauan. Katanya setengah pribadi
setengah dinas. Dan selama hari-hari setelah pembukaan, pejabat
itu hanya memakai kaus santai. Tak sedikit pun menunjukkan
sikap ingin dianggap penting. Dua malam dia tidur di ruang
duduk Marsi yang dahulu berisi lubang-lubang kakus. Samirin
merasa semakin heran ketika orang yang sama memberi tahu
telah membaca semua laporan kiriman guru tersebut. Mengenai
kesalahan informasi perihal lokasi. Mengenai pertanyaan Sami-
rin siapa sebenarnya yang menentukan pemborongan pendirian
bangunan sekolah? Karena ada yang lengkap berupa kelas-kelas
bersama kantor dan perumahan guru seperti yang dilihatnya di
Kintap, tetapi ada yang melulu kelas seperti di lokasi itu. Se-
hingga ketika dia dan Marsi memutuskan akan tinggal dalam
pekarangan sekolah, terjadi sedikit perbantahan dengan pem-
borong. Akhirnya Samirin mengerjakan semua perombakan
sendiri, berdua dengan Marsi atau dibantu penjual atap. Pem-
borong berlaku sangat pongah, tidak menolong sama sekali.

87
Di dalam laporan itu Samirin juga mencantumkan keheran-
annya karena masih adanya pendirian sekolah di desa-desa yang
sulit dicapai penduduk sekitarnya. Hubungan yang sukar antara
tempat satu dan lainnya apakah tidak dipelajari sebelum pen-
dirian sekolah itu. Samirin bahkan mengetahui, bahwa beberapa
dari sekolah itu dibangun tanpa diketahui lebih dulu siapa-siapa
yang akan mengajar di sana. Sekolah-sekolah itu sekarang te-
lantar karena tidak dipergunakan, menjadi kandang kambing
dan sarang semua jenis serangga yang hidup di daerah kelem-
baban.
Kemudian Samirin mengantar pejabat itu ke pedalaman. Dia
buktikan isi laporan yang pernah dia tulis. Samirin tidak meng-
harapkan pegawai Banjarmasin itu akan berbuat lebih dari wakil-
wakil rakyat yang pernah datang ke Pleihari. Tetapi kenyataan
bahwa orang itu tidak memakai baju safari membikinnya tampak
lebih dekat dengan rakyat jelata. Dan Samirin senang melihat
ulahnya yang sederhana, makan suguhan Marsi yang seadanya,
menolong Samirin membenahi pagar ladang yang belum sama
sekali tertutup. Hampir sepuluh hari penuh Samirin mening-
galkan sekolah untuk menemani pejabat tinggi itu. Hanya, dia
tidak sampai hati membiarkan Parmono terlalu lama sendirian
mengawasi murid-murid. Ketika perjalanan orang itu akan
diteruskan menyeberang ke Kotabaru, Samirin kembali ke lokasi.
Semakin bersemangat dia menunaikan tugasnya sebagai
guru. Seakan-akan merasa penuh dadanya oleh keyakinan dan
kepercayaan bahwa pemimpin-pemimpin yang tinggal di kota
masih ada yang mengacuhkan kerja orang-orang seperti dia,
seperti Parmono. Selesai mengajar, Samirin tidak berhenti. Kalau
tak ada pertukangan atau perbaikan di rumah, dia berada di
kebun. Pagar yang dia katakan semula belum perlu dipasang
mengitari pekarangan, tiba-tiba dimulai dan diselesaikannya.
Dari perjalanan bersama pejabat Banjarmasin, dia membeli bibit
kelapa jenis Hibrida. Kelapa sering kali diperlukan. Menurut
ajaran kakeknya, seluruh bagian pohon bisa dipergunakan. Jenis
yang dipilihnya itu tumbuh tidak terlalu tinggi, cepat memberi

88
hasil. Dia sudah minta kepada mertuanya supaya mengirim bibit
kelapa gading. Kalau bisa yang kuning dan yang hijau. Itu sangat
berguna untuk obat. Hingga waktu itu, orang tua Marsi me-
nunggu kesempatan keberangkatan rombongan atau orang yang
mau dititipi kiriman tersebut.
Tanpa dikehendaki, Samirin lebih dipandang sebagai tokoh
di lokasi itu daripada di Kintap. Menjadi guru saja sudah diang-
gap mengetahui segala-galanya di tempat terpencil seperti itu.
Apalagi Kepala Sekolah. Meskipun muridnya belum mencapai
jumlah tiga lusin. Hal yang sama dengan pengalaman di Kintap
ialah dia tidak hanya mengurus pelajaran murid. Caturwulan
pertama dia setuju dengan Parmono untuk tidak terlalu ketat
mengikuti kurikulum. Tidak gampang menerapkan peraturan-
peraturan yang dibikin di belakang meja di Kantor Pusat. Para
penyusunnya kebanyakan adalah orang-orang pembuat teori.
Jarang yang pernah turun ke lapangan, apalagi mengalami meng-
ajar di pelosok yang jauh dari hubungan ke mana pun. Memulai
memasukkan kembali pengetahuan dasar kepada anak-anak yang
pernah sekolah dan yang berumur sembilan, sepuluh atau sebelas
tahun, Samirin tidak menggunakan kurikulum sebagai pegangan.
Di samping itu, menyesuaikan manusia dengan lingkungannya,
Samirin sepakat dengan Parmono untuk berusaha menanamkan
kebiasaan-kebiasaan ketekunan kepada murid-murid. Dalam
istilah lain, itu disebut disiplin; kalau bisa ketekunan intelek
disejajarkan dengan keterlibatan mereka dengan alam. Ada bebe-
rapa anak yang sebelum meninggalkan desa di Jawa sudah duduk
di kelas tiga, empat atau lima. Karena kebiasaan membaca pun
dilepaskan, mereka harus mulai lagi mengenali huruf-huruf.
Hutan dan tanah luas di dekat mereka dimanfaatkan guru-
guru. Pengenalan dan pemeliharaan tanaman maupun binatang
tidak kurang pentingnya dari membaca dan menulis. Selama
guru Agama belum ditunjuk oleh Pleihari, pelajaran yang dibe-
rikan lebih bersilat budi pekerti. Sudah termasuk dalam buku-
buku paket PMP, namun Samirin menambahnya dengan do-
ngeng-dongeng rakyat, lalu dikupas nilai budi pekertinya.

89
Waktu berlalu cepat karena orang sibuk. Setahun lebih ke-
luarga Samirin menjadi orang tran di daerah itu. Keseluruhan-
nya, tidak ada yang terlalu dikeluhkan. Sampai-sampai panen
ladang pun termasuk sangat lumayan. Padahal banyak orang yang
meragukan kenekatan Samirin menanam jenis padi yang disukai
hama itu. Penghuni pemukiman itu tidak ada yang berani mem-
pertaruhkan tenaga, waktu dan bibit untuk penanaman pertama.
Samirin mengakui, dia berani karena mempunyai cadangan. Ka-
rena mempunyai kebun lain di Kintap yang mulai memberi hasil.
Dalam penyuluhan pertanian selalu dianjurkan oleh pejabat-
pejabat tinggi atau petugas bawahannya penanaman padi UTW.
Insinyur-insinyur pertanian bahkan mengusulkan supaya
pemerintah mengeluarkan larangan resmi penanaman padi jenis
C-4, Pelita dan lain-lain yang menarik hama. Samirin tidak bisa
menahan diri tertawa ketika diberi tahu hal itu oleh pejabat P
dan K yang datang untuk pembukaan sekolah dulu. Itu sama
saja seperti melarang rakyat makan enak. Orang-orang yang meng-
usulkan peraturan tersebut dapat dipastikan tidak pernah makan
beras pembagian kantor mereka. Jatah yang mereka terima selalu
dijual oleh pembantu untuk dibelikan beras lain yang menjadi
makanan pejabat itu sehari-hari. Kecuali pegawai pemerintan
rendahan, Samirin tidak percaya ada pegawai tinggi, bahkan me-
nengah, yang pernah makan beras dari kantor. Di sekitar lokasi,
hanya Pembakal yang mempunyai ladang ditanami padi enak.
Kali itu Samirin mencobanya pula. Dan ternyata panennya baik.
Memang benar dia memeliharanya dengan sungguh-sungguh.
Barangkali dia menghabiskan waktu lebih banyak daripada sean-
dainya yang ditanam adalah jenis VUTW. Apalagi sewaktu biji-
biji mulai berisi. Serangga yang di Jawa dinamakan wereng, di
daerah itu disebut empangau, suka memilih batang padi enak
sebagai tempat di mana dia meninggalkan telur. Kalau telur mene-
tas, batang padi yang manis itu menjadikan makanan ulat, lalu
terputus. Dan panen tidak jadi karena tangkai-tangkai padi patah
terkulai jauh sebelum waktunya. Dalam perlengkapannya, Samirin
sempat membeli semprotan besar dari Banjarmasin. Tetapi dia

90
tidak banyak mempergunakan DDT. Seorang tetangga di Kintap
pernah memberi tahu dia jenis rumput yang jika dikeringkan
dan dibakar bisa mengusir empangau itu. Setiap hari Samirin
mengawasi ladang hingga waktu panen tiba. Hasilnya membikin
kebanggan lokasi itu meskipun untuk dimakan sendiri.
Sekolah juga berjalan lancar. Yang diterima tidak hanya anak-
anak tran, melainkan juga penduduk asli. Salah seorang anak
Pembakal sudah lama menganggur. Menurut berita, pernah mon-
dok di pesantren. Tidak ada yang tahu mengapa tidak mene-
ruskan. Ketika sekolah dibuka, bapaknya sopan dan rendah hati
menyerahkan anak itu kepada Samirin Kalimat yang diucapkan
pun mengena di hati Kepala Sekolah itu.
“Tolonglah Guru jadikan dia orang,” kata Pembakal.
Tetapi sikap yang mengikuti kata-kata itu kurang me-
nyenangkan Samirin. Anak tersebut meninggalkan pesantren
kelas empat katanya. Di sekolah itu dia ditempatkan bersama
mereka yang sudah pernah bisa membaca dan menulis. Karena
Samirin dan Parmono hanya membikin dua kelas. Kelas satu
untuk permulaan, dan kelas dua untuk anak-anak yang pernah
duduk di kelas tiga, empat, bahkan lima. Selama tahun pertama
guru-guru akan melihat bagaimana kemajuan golongan terakhir
ini. Kalau ternyata ada yang lebih maju, dapat diusahakan pela-
jaran tersendiri.
Pembakal tidak puas mengetahui anaknya berada di kelas
dua. Meskipun Samirin berulang kali menjelaskan bahwa tahun
itu adalah tahun penyesuaian, Pembakal tetap menunjukkan
muka cemberut. Parmono mengira dia tidak jadi memasukkan
anaknya ke sekolah itu. Tetapi pada waktu pembukaan, anak
itu muncul, dibawa bapaknya. Pembakal memang harus hadir
sebagai Lurah desa.
Setahun mengamati anak itu, Samirin dan Parmono menye-
tujui suara-suara yang disentilkan orang-orang tran: licik, malas,
rakus dan nyaris jahat. Sifat paling akhir ini pastilah tambahan.
Samirin tidak percaya bahwa ada anak lahir membawa benih
kejahatan. Itu adalah akibat lingkungan si anak. Badannya besar

91
buat umur yang baru sembilan tahun. Dia sudah dapat membaca
meskipun tidak lancar. Setahun guru-guru berusaha menggali
sifat-sifat kebaikan anak Pembakal. Sifat-sifat yang umum dan
yang masih bisa diarahkan. Barangkali keasliannya sebagai anak
manja masih bisa diselamatkan. Karena meskipun umurnya be-
lum mencapai belasan tahun, dia mempunyai ulah dan sikap
dewasa. Sayangnya dalam hal yang kurang semestinya. Akalnya
banyak, tetapi dipergunakan buat mencuri, mengambil milik
orang lain. Juga untuk berbohong. Tetapi nihil jika menyentuh
keterampilan otak maupun tangan. Jadi, dia malas. Dan karena
dia licik, untuk menutupi kemalasan, dia berbohong. Samirin
sampai pada kesimpulan, bahwa anak itu mau sekolah lagi karena
selain diantar dan dijemput, juga karena dia mempunyai alasan
halal untuk tidak membantu di ladang.
Akhir tahun pelajaran, dengan berat Samirin “mengkatrol”
anak Pembakal naik ke kelas tiga. Perbantahan kecil seperti tahun
lalu terjadi lagi antara Kepala Sekolah dan Pembakal. Samirin
tidak suka menghadapinya, tetapi masih ingat terhadap tugas-
nya. Dia terpaksa mengatakan hal yang sebenarnya, yaitu bahwa
anak Pembakal diberi kesempatan untuk memperbaiki kelakuan
dan nilainya. Siapa tahu kepindahannya ke kelas yang lebih
tinggi akan membangkitkan semangat serta kerajinannya belajar.
Tetapi Samirin tidak sampai membukakan kesepakatan nya
bersama Parmono. Kalau tahun mendatang ternyata tidak mem-
bawa perubahan, sekolah itu tidak dapat menerimanya lagi. Anak
itu memberi pengaruh buruk kepada siswa-siswa lain.
Jumlah murid bertambah, sedangkan guru tetap dua orang.
Dengan adanya ladang, mereka tidak dapat atau tidak mau
mengajar pagi dan sore. Murid-murid yang biasa-biasa saja sudah
cukup menjemukan! Mereka tidak perlu mendapat tambahan
murid sukar, apalagi yang merusak anak-anak lain. Tetapi semua
ini tidak dikatakannya kepada Pembakal. Samirin khawatir, Pem-
bakal menafsirkan pemberitahuan itu sebagai ancaman. Dan
persoalan itu dianggap selesai oleh para guru, karena si anak
naik ke kelas tiga.

92
*

Transmigran dari Jawa mempunyai cara untuk memberi na-


ma-nama tempat di daerah mereka yang baru. Pendatang pal-
ing awal, ketika menjelajahi lingkungan, sampai di suatu tepian
sungai nyaman dan terang. Mereka berhenti melepaskan lelah.
Tempat itu untuk seterusnya diberi nama Sayahan. Sayah adalah
perkataan yang bagus untuk lelah dalam bahasa Jawa. Dan or-
ang tran mengabadikan nama tersebut. Misal yang lain adalah
nama sebuah danau. Sebetulnya bukan danau, melainkan ge-
nangan air yang luas. Tempat itu menerima kelebihan air bebe-
rapa sungai yang lewat di sana. Namanya Rawaduda. Kabarnya,
karena yang sampai di situ pertama kalinya adalah sekelompok
lelaki yang kebetulan tidak beristri. Duda berarti janda lekaki,
karena bercerai atau karena ditinggal mati istri. Ada lagi yang
diberi nama Banyubiru. Di situ, bagian sungai berwarna biru
pada waktu-waktu tertentu. Pantulan ganggang atau tumbuh-
tumbuhan yang hidup di dasar memberi warna biru indah jika
tertimpa sinar tengah hari.
Argopeni adalah nama yang diberikan orang-orang tran kepa-
da desa Serindai, meliputi rantai bukit-bukit kecil yang dapat
dipandang dari desa itu juga. Memang dipandang dari beberapa
tempat, datang ke atau meninggalkan desa, semuanya serba in-
dah. Keindahan yang tidak mencolok, tetapi yang diam-diam.
Juga bukan kebesaran sawah-sawah bertingkat seperti di Jawa.
Sinar matahari berlainan warnanya. Barangkali disebabkan oleh
kelompok awan atau kelembaban berbeda. Hutan lebat sangat
mempengaruhi semua itu. Sedangkan yang disebut hutan di
Jawa hanya berupa jajaran pohon-pohon karet atau jati hasil
tanaman manusia.
Suatu sore, berdua dengan Parmono, Samirin meninggalkan
Argopeni. Sepeda mereka membawa beban di kemudi dan di gon-
cengan. Mereka baru berbelanja di warung Bu Tajuddin. Samirin
memanfaatkan liburan sekolah untuk menambah rak dan mengganti
pintu dapur Marsi. Dia membeli paku dan perlengkapan lain. Hari

93
Sabtu sebelumnya, Marsi membeli gentong di Pasar Sungai Danau,
lalu dititipkan pada Bu Tajuddin. Sekarang benda itu diikat kokoh
di belakang pelana. Parmono tidak kalah, menambah persediaan
dapur. Kebetulan ada penjual bibit cengkih di depan warung, dia
membeli tiga pohon. Ketiganya ditaruh di dalam kotak kerdus supaya
tetap berdiri, diikat pada goncengan sepedanya.
Tiba di tanjakan, guru-guru itu turun. Mereka menuntun ken-
daraan, menaiki jalan tanah perlahan-lahan. Hari mendekati ambang
malam. Udara sejuk kiriman dari hutan di sekitar, mengisyaratkan
pergantian waktu. langit tidak berawan sama sekali. Tetapi matahari
yang merayapi punggung bukit bersinar temerawang, seperti berada
di balik tirai. Cahayanya lembut, memberi warna mimpi kepada
semua yang ditimpanya. Panggilan makak20 burung dan suara
serangga menambah keteduhan suasana. Sekali-sekali mengawasi
tanah, sekali-sekali mengamati sekeliling, kedua guru itu berjalan
diam-diam. Barisan pucuk-pucuk tanah setinggi tempat mereka
tampak di kejauhan meminggiri langit, sudah mulai dilapisi warna
kebiruan untuk menyongsong malam. Cercah-cercah cahaya kuning
muda merupakan titik-titik berkilauan bagaikan manik-manik yang
disulam pada beledu.
Untuk beberapa waktu Samirin tidak memindahkan pandang-
nya dari sana. Lalu berkata,
“Pantas kalau orang menamakan Argopeni.”
Belum dua detik dia mengucapkan kalimat itu, terdengar suara
benda keras menimpa sepeda. Di susul lainnya, lainnya lagi.
“Aduh!”
Kali itu Samirin berteriak. Tangannya terangkat ke wajah.
“He! Siapa itu! Hayo! Jangan lari! Awas kamu!” Parmono ber-
seru.
Sebenarnya dia kebingungan mencari sandaran untuk sepe-
danya. Barang-barang bergantungan di kemudi dan di goncengan
terlalu berat, sehingga kendaraan tidak mungkin berdiri hanya
disangga sesuatu yang kecil. Cepat matanya tertarik oleh parit
di pinggir jalan. Parmono berlari menerjunkan sepeda ke dalam-
nya, lalu sigap melompat menuju ke ladang orang. Sepanjang

94
tepi jalan adalah lahan yang sudah setengah dibabat. Seberang
menyeberang kadang-kadang ada rumah bambu. Bentuknya
mirip dangau, tetapi lebih besar dan berpintu. Samirin yang
kesakitan menoleh hendak mengetahui ke mana kawannya pergi.
Parmono mencapai gubuk yang baru saja mereka lewati. Se-
kelilingnya rimbun oleh tanaman merambat pada anjang-anjang,
terus naik ke atap. Timbunan kayu, bambu serta berbagai ke-
ranjang berserakan di kolong. Parmono merunduk ke bawah
tangga, lalu menghilang di balik susunan paling depan.
Samirin masih berdiri di tempat semula. Badannya menahan
berat sepeda beserta muatan. Dalam cahaya yang mulai meremang,
dia mencoba menghitung berapa batu telah dilemparkan orang ke
arahnya. Dan entah berapa yang menabrak besi pelindung ruji!
Untung hanya dua yang mengenai dirinya. Satu bahkan berhasil
melukai pipi kanannya, tepat di bawah mata. Satu lagi terhempas
pada lengan.
Sebetulnya cahaya masih terang; cukup untuk menentukan ben-
tuk satu benda dari lainnya. Tetapi Samirin mulai merasa ngilu.
Seluruh muka bagian kanan serasa tebal. Dia terpaksa memicingkan
mata untuk mengendurkan rasa kekakuannya. Dia menoleh lagi ke
arah Parmono pergi.
Terdengar mesin roda dua di kaki tanjakan jalan. Hampir
berbarengan dengan teriakan Parmono. Tidak jelas. Kemudian
mesin kendaraan menjauh, ke jurusan desa. Parmono menyum-
pah, menggertak. Beberapa waktu lamanya deru mesin mengisi
kelengangan. Cicit-cicit burung dan monyet tersekap oleh pan-
tulan yang mengumandang memenuhi penjuru. Semakin jauh,
semakin sayup. Belum sampai hilang sama sekali, tertindih suara
Parmono berbicara. Di sela suara lain. Ada dua, laki-laki. Ke-
tiga orang itu kedengaran mendekat. Mereka akhirnya muncul
di samping dangau.
Yang menyertai Parmono adalah orang-orang yang jelas baru
selesai mengerjakan ladang. Selain pakaian dan kakinya yang lusuh,
mereka tampak membawa perlengkapan seperlunya yang sudah
menjadi pemandangan umum di lokasi-lokasi tran. Termasuk kele-

95
wang atau parang yang tergantung di pinggang, rantang bekal makan-
an dan ceret besar dari aluminium berisi teh bening.
“Bagaimana, Mas? Kena?”
Parmono langsung memegang sepeda kawannya, meringankan
beban Samirin.
“Ah, itu! Itu kena mukanya! Matanya Pak Guru!” seru seorang
dari pendatang yang bersama Parmono.
“Bukan! Bukan mata! Tapi hampir saja!” sahut Samirin.
“Duduk, Pak Guru!” kata yang lain.
Samirin memang tiba-tiba merasakan kebutuhan untuk berle-
pas lelah. Meletakkan pantat dan menyelonjorkan kaki. Tanpa
mempedulikan kerepotan Parmono yang mencari tempat buat me-
nyandarkan sepeda, dia mendampingi laki-laki yang baru datang
duduk di pinggir jalan.
“Ini adik-adik atau mas-mas siapa saja?” tanyanya.
“Saya Sudarman. Itu Wikarjo.”
“Saya dari Weleri, Pak Guru,” kata Wikarjo keras. Dia meno-
long Parmono menurunkan sepeda ke dalam parit.
“Saya dari Muntilan.”
“Untung tidak kena mata, Pak Guru! Anak Pembakal memang
kurang ajar! Semua orang tahu!”
Sambil mengatakan kalimat itu, Wikarjo mendekat, turut duduk.
Parmono menggabung. Dia melompat ke pinggir parit yang lain,
berhadapan dengan Samirin.
“Iya, Mas! Itu tadi anak Pembakal!” katanya, matanya meng-
awasi pipi Samirin. “Sakit sekali itu, Mas! Mulai biru-merah war-
nanya.”
“Kalian yakin benar bahwa itu tadi anaknya Pembakal?”
“Yakin, Pak Guru!”
“Ya, betul-betul yakin!” sambung Sudarman. “Jelas tidak ada
orang lain yang lewat. Apalagi berlari-lari begitu! “Kan tandanya
ketakutan karena berbuat jahat!”
“Bisa dijadikan perkara ini, Mas!” kata Parmono.
“Kalau jadi perkara, kami sedia jadi saksi!” kata Wikarjo spontan,
melihat ke arah kawannya. “Ya, Man?”

96
“Tentu! Benar, Pak Guru!”
Samirin diam. Tangannya terangkat. Duajari dieluskannya ke
pipi.
“Dikompres, Pak Guru!” kata Sudarman. “Kamu punya kain di
keba21 itu!”
“Ah, jangan! Ini ‘kan gombal! Kotor!”
“Saputangan saja kalau ada,” kata Parmono. “Mas, punya sapu-
tangan, ‘kan?”
Samirin mengambilnya dari saku. Sudarman membasahinya
dengan air teh. Masih kuyup diberikan kepada Samirin.
“Sebenarnya dibersihkan dahulu,” kata guru ini.
“Apa luka, Mas?” tanya Parmono sambil mendekatkan muka.
“Saya kira tidak. Hanya garis-garis, tapi ‘kan kulitnya terbuka
juga.”
“Yang jelas tidak akan mendapat tetanus di sini. Tidak ada kuda,”
kata Parmono lagi.
Saputangan diperas sedikit, lalu ditempelkan ke pipi.
“Mestinya nanti, sampai di rumah, terus dibikinkan beras ken-
cur,” kata Wikarjo.
Dan mereka melanjutkan membicarakan anak Pembakal. Par-
mono memberi tahu kenalan baru mereka apa yang menjadi sebab
ulah anak itu. Karena mendendam tidak dimasukkan ke kelas empat,
maka dia menyerang Kepala Sekolah. Kedua orang tran
menambahkan beberapa kejadian yang didengarnya ketika anak
itu masih mondok di pesantren.
Samirin tidak turut berbicara. Dia merasa semakin lunglai, se-
makin capek. Bagian muka kanan kaku, serasa tebal sekali. Sukar
digerakkan. Dari percakapan itu dia mengetahui bahwa laki-laki
yang baru dikenalnya tinggal di Blok A. Paling dekat dengan desa.
Sebab itu mendengar banyak hal mengenai keluarga Pembakal. Tapi
belum pernah terjadi apa yang baru dialami Samirin. Melukai guru!
Sama seperti memukul orang tua sendiri! Samirin terlalu tenggelam
dalam renungan ketidak-mengertiannya sehingga tidak mendengar
kelanjutan percakapan di dekatnya.
“Ya, Mas? Begitu atau bagaimana?”

97
Samirin tidak sadar bahwa kalimat itu ditujukan kepadanya.
“Pak Guru bermalam di Blok A. Besok pagi mengadu ke bagian
keamanan di desa. Ke rumah Pembakal sekalian.”
Samirin tertegak. Udara sudah lebih sejuk. Matahari tidak
kelihatan lagi. Tetapi orang masih bisa melihat jelas. Samirin bangkit,
menggeliat. Saputangan yang basah masih berada di genggamannya.
“Blok A tidak jauh, Pak Guru. Daripada pulang ke lokasi. Anda
apa bisa?”
“Berdesakan di rumah saya tidak mengapa. Tidur di kamar anak-
anak! Biar mereka bersama kami,” kata Sudarman.
Ajakan itu alangkah manisnya. Samirin mengetahui bagaimana
kehidupan orang-orang tran. Apalagi dalam Satuan Kawasan
Pemukiman yang baru dibuka. Blok A termasuk yang pertama-tama
dihuni. Namun, tidak berarti bahwa penduduknya sudah dapat
hidup sambil bergoyang kaki. Waktu jatah mereka sebenarnya telah
melewati batas. Tetapi Samirin mendengar, bahwa penduduk
mengajukan setengah tahun perpanjangan. Hama, iklim yang tidak
memenuhi jadwal dan beberapa keteledoran pembagian bibit serta
pupuk membikin para pendatang itu terlambat segala-galanya. Belum
terhitung keadaan tanah, yang di tempat-tempat tertentu ternyata
kejam. Tidak saja gersang, melainkan juga penuh rayap. Berita yang
didengar Samirin, rayap di situ berlainan dari di Jawa. Mereka tidak
hanya menyukai kayu. Tetapi juga akar dan batang-batang tanaman.
Jagung serta singkong yang merupakan palawija utama anjuran
penyuluh pertanian, kebanyakan kali tidak mencapai waktu panen.
Samirin bisa membayangkan kesedihan pemilik tanah yang
demikian. Dan kini dia diampirkan.22 Dipersilakan singgah sema-
lam, tentu saja akan menerima suguhan sepiring nasi dan ikan asin,
lengkap dengan tikar dan sarung buat tidur. Dia tidak akan dapat
melupakan nasi jatah siapa yang ditelan itu.
“Kita bawa lampu,” katanya menyiapkan penolakannya. “Saya
tidak merasa pusing atau apa pun lainnya. Hanya rasa tebal di wajah
karena memar. Adik-adik ini baik sekali. Tapi lebih baik kami terus
saja.”
Untuk membuktikan kata-katanya, Samirin bangkit.

98
Benar dia merasa segar. Parmono mengamatinya baik-baik.
“Betul, Mas?”
“Ya! Kita berangkat sekarang saja,” dia langsung menuju ke tem-
pat sepedanya.
Wikarjo menolong mengangkat kendaraan dari parit.
“Minum dulu sebelum berangkat, Pak Guru!” tiba-tiba Sudar-
man sudah ada di sisi Samirin memegang cangkir dari kaleng.
Samirin tidak haus. Tetapi tawaran yang bermaksud baik dan
diucapkan dengan tegas itu mendorongnya mengulurkan tangan
dan menyambut. Secangkir penuh dia habiskan.
“Nuwun,”23 katanya sambil mengembalikan tempat minuman.
Parmono juga minum.
“Kalau kami diperlukan, jangan ragu-ragu, Pak Guru. Kami selalu
bersedia menjadi saksi. Pak Parmono sudah mengetahui ancer-ancer
rumah kami di Blok A. Mudah, di pusat permukiman.”
Mereka beriringan berjalan menaiki bukit.
Untuk pergi ke Blok A sebetulnya ada jalan memotong, lewat
lahan. Tetapi kedua orang tran itu mengikuti Samirin dan Parmono
sampai puncak tanjakan. Di sana guru-guru menaiki kendaraan
masing-masing. Dan sekali lagi mengucapkan pamitan serta terima
kasih mereka.
Beberapa waktu berlalu. Saling diam, kedua guru itu mengayuh
sepeda. Mencari tanah yang datar dan menghindari kerikil-kerikil.
Kedengaran Parmono berkata,
“Mereka masih di atas, Mas.”
Samirin berhenti. Karena muatannya banyak, dia tidak berani
berbuat seperti temannya yang menoleh ke belakang sambil
meneruskan mengayuh. Samirin turun dari kendaraan, lalu me-
mandang ke atas bukit. Dia melambai kepada kenalan barunya.
Sebegitu dibalas, dia kembali naik sepeda dan menggenjot. Meskipun
hatinya tersinggung karena dilempari batu oleh muridnya, tapi tiba-
tiba Samirin merasakan kepuasan lain.
Parmono yang juga turut berhenti, bergegas memburunya.
“Jangan cepat-cepat, Mas! Tunggu!”

99
7

Peristiwa itu dibicarakan orang, tersebar ke semua blok mau-


pun desa. Keesokan hari, kunjungan pertama yang diterima Sami-
rin adalah dari bagian keamanan. Secara kebetulan dia bertemu
dengan orang tran di Blok A. Hanya satu kebetulan. Tapi yang
oleh Parmono dimanfaatkan benar-benar. Dialah yang banyak
berbicara. Lalu menggonceng motor petugas ini, pergi ke tempat
Pembakal. Mereka berdua setengah memaksanya agar datang ke
rumah Samirin. Biar dia melihat keadaan muka guru dan
sepedanya, kata Parmono.
Pembakal kebingungan menyampaikan permintaan maafnya.
Dia bersedia mengganti kerugian untuk memperbaiki ruji-ruji, atau
kalau perlu rodanya sekalian, atau penutup rantainya pula. Anaknya
sudah dua hari tidak tidur di rumah, katanya. Dia menginap di
tempat anak sulung. Karena berjanji mau menjenguk dan merawat
ladang di dekat sana, Pembakal mengizinkan anak itu membawa
kendaraan satunya lagi.
’’Maklum, Pak Guru! Hari-hari ini saya mempunyai banyak
urusan. Harus ke Pleihari rapat, harus ke Sungai Danau menagih
pembayaran kayu. Jadi, saya pikir, kalau dia mau kerja sedikit di
ladang, saya serahkan Honda kepadanya!”
Padahal umurnya belum mencapai izin mengendarai motor.
Tapi di pelosok seperti itu, siapa yang mengacuhkan SIM!
Di depan Pembakal, Samirin tidak menunjukkan sikap gusar

100
maupun memaafkan. Dia hanya dingin. Namun, dia sempat
mengatakan kalimat yang sebenarnya ditujukan kepada orang tua
murid.
’’Anak itu salah pengertian. Dia mengira bahwa secara mutlak
kelas menunjukkan kepandaian seseorang. Padahal itu tidak selalu
betul. Di tempat-tempat yang tidak ada sekolahnya bagaimana!
Kepandaian tergantung juga bagaimana pengalamannya ke
sekeliling.”
Ketika ditanya petugas keamanan apakah akan mengajukan
pengaduan, Samirin tidak memberi tahu keputusannya. Dia akan
berpikir-pikir dulu. Yang jelas, karena itu termasuk dalam
pengalaman sebagai guru, dia akan mengirim laporan ke Pusat.
Sekali lagi Pembakal kebingungan mengucapkan kata-kata
penyesalannya.
Sikap Marsi lebih agresif. Dia bukan perempuan yang tidak
turut berbincang. Samirin memang membiasakan istrinya men-
campuri urusan. Dan dalam hal pelemparan batu itu, Marsi me-
rasa lebih terlibat daripada masalah-masalah lain yang pernah
mereka alami bersama. Di depan tamu-tamu dia tidak menyem-
bunyikan kepanasan hatinya karena suami yang menjabat sebagai
Kepala Sekolah itu diremehkan oleh anak Pembakal.
’’Anda lihat sendiri mukanya! Coba, seandainya batu menge-
nai matanya! Kalau suami saya sampai buta, apa Anda kira itu
juga bisa ditebus dengan ganti rugi saja!”
Dan di depan tamu-tamu orang tran lain yang bergiliran da-
tang mencari berita mengenai kesehatan guru, Marsi menam-
bahkan,
’’Untung anak itu kurang terampil! Sampai-sampai melempar
batu pun tidak mengenai sasaran tepat. Karena saya yakin dia
pasti membidik pilingan atau mata! Maksudnya supaya banyak
darah keluar dan suami saya mati, atau kena mata lalu menjadi
buta!”
Bulu roma Samirin berdiri mendengar komentar istrinya itu!
’’Sssst, jangan terlalu berkhayal!” katanya menenangkan Mar-
si yang berkobar-kobar.

101
Kemasygulan Marsi didengarkan orang banyak. Suara itu pasti
akan tersiar ke Kesatuan Pemukiman-Pemukiman lain. Samirin
merasa berkewajiban menambahkan kalimat apa saja untuk sedikit
menetralkan suasana. Meskipun itu hanya bersifat semu.
Pada malam kecelakaan itu Samirin gelisah.
Marsi menumbuk beras kencur. Baik untuk dipoleskan pada
bagian wajah yang memar maupun untuk diminum airnya. Rasa
pening menambah kekakuan kepala bagian kanan, menggaris sam-
pai ke rahang serta leher. Di samping kengiluan tersebut, benak
Samirin dikuasai pertanyaan: mengapa itu terjadi pada dirinya?
Tingkah salah manakah yang setahun ini telah dia lakukan? Dia
tidak pernah memutuskan seorang diri pertimbangan-per-
timbangan yang dikenakan pada murid-murid. Parmono mem-
berikan pendapatnya. Rekan yang telah menjadi teman itu benar
tanpa pengalaman mengajar, tetapi nalurinya kuat dan terang.
Kehidupan di Kalipang, desa asalnya, kedengarannya tidak diliputi
kemewahan sesuatu pun. Bentuk-bentuk kemudahan sebagai syarat
kehidupan enak dan santai tidak pernah diceritakan ada di tempat
itu. Dan tidak seperti kebanyakan kaum muda yang menghendaki
kekayaan cepat serta hidup bersenang-senang, Parmono berani
mengikuti kakaknya bertransmigrasi. Membuka ladang, bekerja
keras. Jiwa petani tidak hanya membekali naluri pengaturan waktu
bersama matahari, tetapi juga mengenali watak manusia dari ulah
dan suara. Samirin merasa beruntung bekerja dengan Parmono.
Selain sama-sama berasal dari desa, mereka berdua mempunyai
tanggapan yang saling melengkapi. Perbedaan pendapat yang bagi
kebanyakan orang, apalagi yang sudah tercekam kehidupan rutin
di kota-kota besar, membikin mereka saling memukul saling
mencekik, bagi orang-orang seperti Parmono dan Samirin justru
merupakan kekayaan. Mereka berunding dan kadang-kadang
berbantah. Tetapi keluar dari sana menjadi lebih saling mendekat.
Karena mereka saling lebih mengerti dan melihat jelas apa yang
dimaksudkan pihak lainnya. Karena masing-masing sudah lebih
membuka pikiran dan mau menyampaikannya kepada lainnya.
Menerima pendapat kawan, meskipun tanpa menyetujui, dianggap

102
sebagai satu dalil kekawanan itu sendiri. Satu bentuk dari
kedermawanan. Dan begitulah Samirin bisa menyebut Parmono
sebagai kawannya. Menyukai Parmono sebagaimana adanya.
Antara tugas sebagai guru dan hidup pribadinya tidak ada batas
bagi Samirin. Karena dia berangkat dari Jawa untuk keduanya.
Untuk menjadi pengajar anak-anak sebagai manusia pengganti
generasi dan untuk keluarganya sendiri.
Di Kintap sudah mapan, harus ditinggal dan tunduk pada perin-
tah instansinya. Setahun membangun kembali segalanya dari
permulaan dia lewati dengan hati ringan. Kalaupun di sana-sini
terasa kelelahan, luka diisap pacet atau tersobek belukar rotan
maupun tancapan duri. Namun, itu merupakan gangguan yang
mempertebal dan memperkuat kepekaan kulit. Lalu Samirin
menjadi hitam. Badannya kekar-kokoh oleh keketatan urat-urat.
Penampilannya semakin mengesankan bagi yang melihatnya
selintas pandang. Dan begitu orang mengetahui jabatannya,
semakinlah orang mempunyai rasa keseganan. Semua itu untuk
keguruan yang dia pilih. Untuk Marsi dan anak-anak mereka. Istri
yang mendampinginya pun jarang bertopang dagu. Selalu bergerak,
selalu berusaha menolong, mengatur dan mengerjakan yang setaraf
dengan kekuatannya. Bulan-bulan terakhir harus dikendurkan,
karena mengalami dua kali keguguran. Badan Marsi menyusut,
kini mulai kelihatan segar berkat jamu-jamu kiriman dari Jawa.
Mulai mempunyai nafsu makan kembali.
Tidak hanya Marsi, tetapi Samirin pun harus berhati-hati. Ke-
duanya sepakat untuk mempunyai anak lagi. Puskesmas hanya meru-
pakan nama yang sering kedengaran. Bangunannya memang ada di
desa dan di lokasi. Tetapi aspirin atau obat merah pun tidak kelihatan
di dalamnya. Menurut teori, harus ada petugas kesehatan berjaga di
situ seharian sekali seminggu. Dokter harus datang sekali sebulan.
Tetapi sejak sekolah dibuka, orang-orang tran menganggap Samirin
sebagai mantri kesehatan ataupun dokter sekaligus. Samirin tidak
mengeluh selama dia masih mempunyai pil kinine anti malaria,
aspirin dan obat merah. Dan memang hanya ketiga obat itulah yang
bisa dijangkau sakunya dalam kesanggupan menolong orang lain.

103
Itu semua berlalu, masuk ke rutin hidup sehari-hari yang dila-
kukan tanpa perhitungan mencari untung ataupun rugi. Sekali
lagi demi Marsi, demi anak-anak. Dan sebagai guru disebabkan
dorongan hati, demi anak-anak didik. Setahun menjalani
pelaksanaan kurikulum tidak berarti hanya di sekolah. Guru di
pelosok mempunyai kedudukan yang setaraf, malahan lebih dihor-
mati, dengan Lurah. Yang sama pula, mereka mempunyai citra
sebagai pemuka dan pembimbing. Sebagai tokoh masyarakat.
Dan yang terjadi pada diri Samirin di akhir tahun pertama
menurut umur sekolahan menghancurkan gambaran tersebut. Se-
andainya orang belum mendengar keistimewaan anak Pembakal,
tentu gurulah yang disalahkan. Masakan ada murid yang berani
kepada guru! Di mana pun, di Jawa atau di pulau-pulau lain, hal
itu pastilah dianggap sebagai sesuatu yang keluar dari garis
kebiasaan. Sedangkan semua peristiwa yang tidak biasa, diingat
lama. Mau tidak mau, nama Samirin menjadi buah bibir orang.
Barangkali akan lama berlangsung, untuk berpuluh tahun. Siapa
tahu, bahkan akan muncul dalam cerita-cerita keturunan orang-
orang tran. “Itu lho, gurujawa, Kepala Sekolah yang dilempari batu
oleh anak Pembakal!” Dan dapat dipastikan, cerita itu dituturkan
dalam bahasa yang sudah bukan asli dari si pembicara lagi. Karena
sebutan orang tran mungkin sudah akan berupa satu pangkal, satu
akar keturunan. Sebagai predikat asal-usul. Bahkan barangkali
sebagai salah satu suku ataupun jenis manusia di Indonesia.
Tata lahir, Samirin memperlihatkan ketenangan pada kejadian
yang diperankannya sebagai korban itu. Memang dia tidak
bermaksud mengadu melalui jalur hukum. Dia sudah puas me-
nyaksikan reaksi di sekitar. Kalau hukum sampai bercampur tangan,
dia akan kehilangan waktu banyak sekali mondar-mandir ke
Pleihari. Bahkan barangkali ke Banjarmasin. Biaya kendaraan, siapa
yang bayar? Belum terhitung kecemaran lokasi dan sekolah yang
baru dibuka. Kerja di ladang masih banyak. Urusan lain harus
dibereskan pula.
Beberapa waktu setelah kejadian tersebut, Samirin membawa
keluarganya ke Kintap. Sekalian berlibur, menengok kebun ceng-

104
kih. Suasana yang berbeda, kebesaran hati menyadari menjadi
pemilik pohon-pohon cengkih yang subur dan terpelihara, mem-
bikin kepala Samirin jernih dan dada lapang ketika pulang kem-
bali ke lokasi Sebamban. Beban pertanyaan-pertanyaan mengu-
rang.
Luka di bawah mata masih tampak bekasnya. Kengiluan juga
belum sama sekali hilang. Namun, Samirin siap untuk mengger-
gaji batang-batang kayu, melunasi janjinya membikinkan tambahan
rak di dapur Marsi.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, dia mendengar panggilan Par-
mono berulang kali. Pintu depan sudah dibuka. Tetapi suara
kawannya itu masih berada di jalan setapak.
Samirin keluar, berdiri di ujung tangga, menunggu. Belum turun
dari sepeda, Parmono sudah berseru,
’’Gawat di pai ke-3, Mas! Orang-orang Madura!”
’’Mengapa mereka?”
’’Berkumpul untuk melabrak Jemain.”
Mendengar nama itu, ketegangan Samirin mengurang. Bukan
pertama kalinya Jemain terlibat dalam keonaran.
’’Urusan apa lagi?”
’’Kali ini tidak kecil-kecilan, Mas. Menyangkut kehormatan.
Menurut saya, Mas harus ke sana! Nanti di jalan saya ceritakan
lebih panjang. Saya harus pulang dulu!” Parmono sudah mem-
balikkan arah kendaraannya, akan keluar dari karas Samirin.
’’Kehormatan siapa?” Samirin menyempatkan bertanya.
’’Urusan dengan perempuan! Salah-salah, ada keroyokan. Ma-
lah kematian!”
Kalau Parmono bilang begitu, Samirin tahu bahwa memang
demikianlah halnya! Tanpa menanyakan yang lain-lain, dia juga
membalikkan badan, masuk untuk bersiap-siap.
Pai ke-3 cukup jauh. Harus keluar dulu dari lokasi. Tetapi bisa
dicapai dalam waktu setengah jam kalau jalan kering. Orang-or-
ang tran sudah biasa mengayuh pedal cepat.
’’Tahu Makerah, Mas? Penjaga warung di tempat orang-orang
Madura?”

105
’’Tahu.”
“Nah, kata orang, dia menghilang empat hari. Tiba-tiba pu-
lang, rupanya tidak karuan seperti orang gila. Tidak mau bicara,
tidak mau makan, menangis terus. Seharian dibujuk-bujuk mbak-
yu-nya. Akhirnya mengaku bahwa dia dibawa Jemain ke Banjar.
Di sana ditiduri sampai empat hari.” Samirin pernah melihat Ma-
kerah di warung. Wanita janda ini turut kakak perempuannya
bertransmigrasi setelah suaminya meninggal. Banyak cerita yang
didengar Samirin mengenai janda muda itu. Sepintas lalu, wanita
itu biasa saja. Samirin tidak pernah melihatnya lama maupun dari
jarak dekat. Tetapi menurut berita yang disebarkan laki-laki,
Makerah pintar memikat. Ulahnya genit, selalu mengundang
perhatian. Satu kali, ketika Samirin mempunyai urusan di lokasi
orang Madura, dari jauh Makerah hanya berseru dengan keramahan
yang lumrah, ’’Mampir minum dulu, Pak Guru!” Dan karena
memang semua orang mengetahui siapa Samirin! Tapi semua or-
ang juga mengetahui Samirin memiliki dasar tidak suka makan
atau minum di warung. Kalau dia turut duduk dan menghadapi
suguhan di warung Bu Tajuddin, itu bersifat lain lagi. Bukan karena
dia membeli atau singgah untuk makan maupun minum, melainkan
karena dia bertemu sebagai teman. Kedatangannya berupa
kunjungan. Berangkat pagi dari rumah, Marsi selalu membekalinya
rantang berisi nasi beserta lauk secukupnya. Teh bening juga mengisi
botol yang selalu dibawa-bawanya ke mana pun pergi. Samirin
membikin keranjang yang disangkutkan di depan kemudi
sepedanya. Di situ selalu terdapat keperluan penting yang paling
utama. Di antaranya lampu senter dan serba alat kecil, tidak
ketinggalan makanan dan minuman. Diundang kondangan atau
pergi ke mana pun, Samirin masih tetap memilih masakan Marsi.
Sedangkan air minum, dari dapur sendiri merasa lebih yakin, bahwa
itu benar-benar telah mendidih dalam waktu yang cukup lama.
Sepanjang jalan, kedua guru membicarakan persoalan Makerah
dan Jemain. Kalau lelaki itu membawa si janda ke Banjarmasin,
pastilah karena ada kesepakatan. Sebetulnya tidak ada masalah,
karena tidak ada paksaan. Makerah sudah dewasa, mengerti apa

106
yang bakal terjadi jika bepergian dengan laki-laki. Ipar perempuan
itu mau minta pertanggungan jawab Jemain. Seluruh lokasi Madura
solider. Pagi-pagi buta Parmono diberi tahu RT.
Sekarang suami kakaknya itu sedang menjemput bagian ke-
amanan. Parmono meneruskan kabar kepada Samirin. Entah apa
yang akan dapat mereka lakukan. Kalau bisa, mencegah permainan
’’hakim sendiri”. Untuk menyegarkan ingatan, kedua rekan guru
itu saling mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Jemain.
Pada umumnya selalu menyangkut perkara utang-piutang. Lebih-
lebih tentang penyewaan tenaga penebang kayu atau pekerja kasar
setempat tetapi yang tidak dibayar setelah tugas selesai. Orang
tran lokasi mana yang tidak mengeluh karena diperlakukan semena-
mena oleh pendatang Bugis itu. Yang mengherankan, Jemain masih
bisa meneruskan usaha kayunya. Masih selalu ada pekerja atau
buruh yang mau diupahnya. Orang itu sekali-sekali muncul di
lokasi atau di desa. Selalu membawa tas hitam, yang dikepit di
bawah lengan dengan kekhawatiran yang berlebih-lebihan. Bicara
dan senyumnya berkilauan, karena giginya bagian depan penuh
warna metal kuning dan putih.
Pal ke-3 kelihatan dari jauh, tetapi sebagian perempatannya
terlindung oleh atap rumah-rumah. Tidak kedengaran suara
percakapan atau gumaman.
’’Jangan-jangan sudah berangkat, Mas!”
Dan keduanya semakin giat mengayuh.
Benar mereka sudah berangkat ke rumah Jemain yang terletak
di pinggir jalan besar, satu-satunya yang menghubungkan Banjar
dan Argopeni. Samirin dan Parmono tidak berkata-kata lagi, sibuk
bernapas dan mendorong pedal. Sesudah kelokan, barulah tampak
orang-orang berpakaian hitam, berbondong menuju ke arah Kintap.
’’Berapa mereka, Dik?” tanya Samirin di tengah-tengah suara
napasnya yang keras.
’’Entah, Mas, dua puluh? Dua puluh lima?”
’’Pastilah semua bawa arit.”24
Parmono tidak menyahut.
Dalam hati Samirin mengharap supaya bagian keamanan yang

107
dijemput RT segera menyusul. Dia tidak pernah tahu bagaimana
bergaul baik-baik dengan orang Madura. Dia telah banyak men-
dengar cerita-cerita pengalaman orang-orang tran Jawa yang selalu
mengalah terhadap perlakuan orang Madura guna menghindari
perselisihan. Konon berkenalan atau bertetangga dengan orang
Madura lebih merupakan kebingungan daripada ketenteraman batin.
Kalau orang Madura datang ke rumah orang Jawa, melihat sesuatu,
bibit atau barang, dia mengambilnya sambil berkata, ’’Saya bawa
bibit ini!” Atau, ’’Saya bawa barang ini!” Tanpa meminta persetujuan
si pemilik. Cerita-cerita mengenai watak orang Madura yang pemarah
juga terkenal. Sedikit-sedikit mengeluarkan pisau atau golok. Mereka
menamakan senjata itu clurit, bentuknya seperti arit lebih kecil.
Kedua guru itu semakin mendekati rombongan pejalan kaki.
’’Kakak Anda belum kelihatan ya, Dik?”
’’Saya tidak melihatnya, Mas!”
Kemudian Parmono berkata lagi,
’’Mas yang bicara atau saya, Mas?”
Dan sebelum Samirin menjawab, Parmono menyela, ’’Saya saja,
Mas. Mereka tahu bahwa saya bisa pencak. Lagi pula saya dari
Kediri. Saya juga bisa main kasar. Barangkali ada gunanya ter-
hadap mereka.”
Memang semua itu benar. Tetapi di samping itu, Samirin ber-
pikir, apakah kekasaran harus ditanggapi dengan sikap yang sama?
Samirin lebih tua dari Parmono, dalam jabatan maupun dalam
umur. Rasa-rasanya kewajiban Samirinlah untuk maju lebih dahulu.
’’Saya saja, Dik. Saya kira, yang perlu adalah mengulur waktu.
Kalau bisa, sampai kakak ipar Anda dan bagian keamanan tiba di
sini. Bagaimana?”
Parmono tidak segera menyahut.
’’Saya merasa ini tugas saya. Anda lebih muda. Tetapi penge-
tahuan Anda bersilat pun berguna. Kita berdua waspada sajalah.
Siapa tahu! Anda menjadi pengawal saya.”
Parmono menyetujui pikiran itu.
“Rame-rame, Mas! Mau ke mana?” Samirin masih di atas pe-
lana menegur orang yang paling belakang.

108
“Ke Jemain.”
’’Semua?”
“Ya.”
Orang kedua menoleh. Disusul yang ketiga, keempat dan sete-
rusnya.
’’Berapa orang ini semuanya? Seperti mau nglurug25 saja!” Kali
itu kedengaran gumam mereka. Samirin memperhatikan seseorang
di depan berbisik dan berbicara rendah kepada orang lain. Tiba-
tiba rombongan berhenti. Bagian depan semua menghadap ke arah
Samirin dan Parmono. ’’Turun, Mas,” Parmono mendesiskan kata-
kata di antara bibirnya yang terkatup.
“Ada apa, Pak Guru?” kata seseorang yang baru mendekat dari
arah muka.
Pakaiannya hitam seperti lain-lainnya, kecil, ikat kepalanya
miring jauh ke samping. Di bawah baju kokok, kelihatan kaus
bergaris besar-besar. Tepat seperti gambaran orang-orang Madura
penjual sate di Jawa.
’’Katanya mau ke rumah Jemain. Mengapa berbondongan se-
perti ini?” tanya Samirin kepada orang itu. ’’Mas yang memim-
pin?”
’’Kang Amang yang punya warung, Mas,” Parmono menyela
memperkenalkan.
Seketika itu Samirin mengetahui bahwa inilah ipar
Makerah.
’’Adik saya dinodai Jemain.”
’’Saya Rahman,” suara lain menyelonong, meneruskan. ’’Kami
mau minta pertanggungan jawab Jemain.”
Samirin termasuk tinggi badannya. Tetapi berbicara dengan yang
namanya Rahman, dia terpaksa menengadah sepuluh atau lima belas
senti. Meskipun di muka ada bekas luka, kelihatan tampan.
’’Saya memang mendengar berita itu, tetapi kurang jelas.
Bagaimana duduk perkara yang sesungguhnya? Apa memang perlu
Anda ke sana membawa teman sebegini banyak?”
’’Harus bikin perhitungan, Pak!” seseorang menyeletuk. ’’Ka-
mi semua solider.”

109
’’Berapa orang ini semuanya?”
Sekali lagi suara bergumam.
’’Bagaimana terjadinya?” tanya Samirin kepada yang namanya
Amang.
Sementara ipar Makerah berkisah, Samirin dan Purnomo
bergantian menyela, bertanya atau memerlukan penjelasan. Per-
lahan dan sesantai mungkin, Samirin mengedarkan pandang.
Mereka berdua berdiri setengah bersandar ke kendaraan masing-
masing.
Hari itu bukan hari pasar di Sungai Danau. Jalan lengang. Dia
menyadari bahwa orang-orang Madura itu semuanya menye-
linapkan kelewang, golok dan arit pada pinggang masing-masing.
Dan bahwa dia dan Parmono berada di tengah-tengah kerumunan
tersebut. Mereka membikin Samirin teringat kepada pemain-
pemain ketoprak, berkostum dan berlagak. Tetapi Samirin juga
sadar bahwa mereka tidak berada di atas panggung. Bahwa dia
dan Parmono harus pandai-pandai berbicara.
’’Minggir, Mas! Minggir! Ada truk!” kata Parmono. Seperti
didorong oleh satu gerakan, kerumunan itu menyatu dan mem-
bulat ke arah tepi jalan. Samirin dan Parmono masih tetap berada
di tengah-tengah.
’’Kalau menurut cerita Anda, Makerah memang setuju dibawa
ke Banjar. Dibawa ke losmen tanpa paksaan.”
’’Tetapi dengan janji akan dinikahi.”
’’Kapan akan dinikahinya katanya?”
’’Inilah kami akan minta supaya Jemain menepati janjinya!”
’’Mengapa tidak Anda saja ketemu dia? Atau ditemani dua
saksi umpamanya. Kang Rahman atau siapa begitu.”
’’Biar takut, Pak! Jemain sih, kami kenal bagaimana orangnya!
Serba mau janji!”
“Dia biar lihat bahwa kami tidak bisa dipermainkan!”
’’Membawa teman banyak seperti ini berbahaya. Apalagi se-
mua bawa senjata!”
Sebenarnya itu juga perlengkapan kerja di ladang. Samirin dan
siapa saja mengetahui, bahwa orang bepergian di sana tidak ada

110
yang tidak membawa senjata tajam. Tetapi kali itu jelas ada mak-
sud penggunaan yang lain.
’’Kalau rundingan terlalu panas, kepala tidak bisa tetap dingin,
Mas,” kata Samirin lagi,
“Ah, tidak akan terjadi apa-apa, Pak Guru!” sahut yang namanya
Rahman.
’’Masakan kami lupa daratan?” ada suara lain.
’’Siapa tahu?”
’’Antara kita, Kang,” kata Parmono. ’’Siapa yang akan percaya?
Tangan terulur untuk bersalaman atau untuk memukul!”
Samirin ngeri mendengar Parmono berbicara demikian terang-
terangan. Seolah-olah sebuah tantangan!
“Di tempat Jemain penuh anak-anak. Dia tidak sendirian di
situ. Semua saudara-saudaranya menumpang dia,” Parmono me-
nambahkan lagi.
Matahari yang semula berwarna kuning, kini berubah memerah
silau.
Samirin melirik kejam di pergelangan tangannya ketika kede-
ngaran suara motor. Tampak ipar Parmono mendekat. Tetapi gon-
cengan di belakang kosong. Rombongan tersibak, membelah dan
memberi ruang sampai RT itu tiba di tengah. Dan rundingan dite-
ruskan. Sebagian diulangi. Dua tiga kali.
Samirin ingin menanyakan mengapa RT itu datang sendirian,
tetapi setiap kali itu pula ipar Parmono mendahului mengatakan
sesuatu yang ditujukan kepada kedua guru. Akhirnya Samirin me-
nanggapi isyarat tersebut. Dia terdiam, hanya mengikuti alur
pembicaraan seperlunya.
Kemudian diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke rumah
Jemain. Rahman dan Amang nyata-nyata kurang bersemangat
mempengaruhi gerombolan agar separo pulang ke lokasi. Lalu
semuanya berangkat. Agak lama barulah Samirin dan Parmono
bisa memisahkan diri, berjalan di belakang. Kemudian berhenti
sebentar untuk membentuk jarak seperlunya, agar bisa menaiki
kendaraan mereka sambil mengikuti rombongan. Ipar Parmono
berbuat sama.

111
’’Keamanan sudah ke rumah Jemain,” kata RT itu dengan nada
rendah kepada kedua guru.
’’Lewat mana?”
’’Lewat sini! Tadi ikut truk ulin!”
Memang ada satu truk yang lewat. Tetapi tidak kelihatan siapa
duduk di samping sopir.
’’Mengapa dia mendahului ke sana?” tanya Parmono. ’’Kami
khawatir sedari tadi!”
’’Kalau Jemain ada, disuruh pergi ke Banjar atau ke mana saja.
Lebih baik menghindar selama beberapa hari.”
Samirin merasa lega, tanpa mengetahui apakah dia menye-
tujui atau tidak tindakan tersebut. Dia tidak menyukai Jemain.
Tetapi dia juga tidak senang malapetaka menimpa orang itu. Lebih-
lebih jika Samirin menjadi saksi kenaasannya. Hanya sayang Jemain
lolos dari penuntutan janji-janjinya. Mudah-mudahan akan ada
penagihan lagi, dengan cara yang lebih damai.
Dan betul Jemain tidak ada di rumahnya ketika bondongan
orang Madura mencapai tempat tinggal orang Bugis itu.
Sebelum tengah hari, Parmono dan Samirin meninggalkan
urusan di tangan petugas keamanan. Memikirkan orang lain me-
mang baik. Tapi keperluan keluarga sendiri jangan sampai telantar!
Samirin harus mengejar jadwal sekolah dimulai lagi. Pagar di ladang
hendak disempurnakan kekuatannya. Pertukangan di rumah belum
selesai. Termasuk rak di dapur Marsi. Samirin bermaksud menger-
jakannya sambil jalan setelah liburan habis. Tugas di rumah dapat
ditunaikan secara sambil lalu. Sekarang pagar lahan yang harus
didahulukan. Tahun ini Samirin tidak menanam padi. Untuk meng-
istirahatkan tanah, dia menanaminya dengan beberapa jenis pala-
wija. Kurang menarik wereng, tetapi babi dan kera mempunyai
mata jeli terhadap jagung serta umbi-umbian.
Menginjak tahun kedua di lokasi itu, sekali lagi Samirin ber-
janji akan menyelamatkan panennya.

112
8

Ledung-ledung26 jagung di ladang Samirin.


Batangnya hijau setebal ibu jari kaki. Keras dan tegak. Setiap
ruas digarisi lingkaran cincin warna kekuningan. Pada setiap sisi
tersembul rambut cokelat kemerahan bagaikan tembaga keluar dari
tempaan. Sebagian buah mulai pada berisi. Bersarungkan lipatan-
lipatan hijau yang lain, tergulung gilig,27 meruncing. Merangsang
raihan tangan supaya menyentak dan menanggalkannya dari pokok
induk yang jelas lebih pipih. Sebagian masih muda dan masih
kurus. Tertutup dan melekat, seakan-akan masih membutuhkan
perlindungan batang yang melahirkannya. Daun-daun terjulur
dengan pucuk-pucuk terjurai ke arah tanah. Lengkungannya
lembut, membentuk gerakan garis luwes. Seperti menyalami bumi
yang memberinya air kehidupan. Warnanya juga hijau. Dan
keseluruhan petak jagung menyuguhkan berbagai nada kehijauan
yang nyaman setiap kali Samirin melabuhkan mata ke sana.
Dia tiba pagi-pagi bersama menanjaknya matahari di pinggir
langit. Panen pertama cengkih di Kintap dipergunakan meng-
angsur utang kepada orang Tua Marsi. Sisanya untuk membeli
ulin. Potongan-potongan paling pinggir ketika digergaji sebagai
papan dijual murah. Samirin memesannya kepada Suheimi ber-
saudara. Sekarang tertimbun di pojok-pojok ladang. Bagian demi
bagian pagar lahan diganti dengan kayu itu. Tingginya satu
setengah meter. Ditanam lebih dari sejengkal dalamnya.

113
Panen pertamanya merupakan satu keberuntungan. Semua
penghuni pemukiman berpendapat demikian pula. Hingga saat
itu petak-petak lahan bagian Samirin beserta tetangga berde-
katan belum menarik hama berkaki empat. Barangkali karena
masih termasuk baru. Mungkin juga karena hutan lebat berada
cukup jauh. Kata penduduk asli, babi hutan menyukai belukar
yang berpaya-paya. Tetapi keterangan itu tidak bisa dijadikan
pegangan. Kawanan binatang tersebut merusak satu ladang, dan
berturut-turut mendatanginya setiap malam. Sedangkan ladang
di sebelah menyebelah dibiarkan saja. Malahan celeng-celeng
itu mengunjungi tanah pertanian lain yang agak jauh dari sana.
Padahal isi lahan itu hampir sama semuanya. Seakan-akan
mereka mempunyai pilihan ke mana lebih suka mendapatkan
makanan. Apakah jenis tanah, susunan bahan kimia yang ada
di dalam masing-masing petak menarik ataupun mengusir
kawanan binatang perusak itu? Di Kintap, kebun Samirin selalu
mendapat kunjungan babi hutan. Ditanami apa pun, pada per-
mulaan penanaman maupun musim panen. Tidak ada kekecu-
aliannya, celeng selalu datang. Sangat sukar mengusir dan
menanggulanginya. Pada suatu ketika, untuk beberapa waktu,
Samirin berhasil mematikan beberapa ekor. Dia mempergunakan
racun yang dibeli di Banjar. Tetapi babi hutan menjadi lebih
waspada. Mereka tidak mau menyentuh umpan lagi. Dan
meskipun ada yang terkena racun, tidak banyak menolong si
pemilik kebun. Babi hutan selalu datang berkawanan. Sering
kali satu keluarga terdiri dari sepuluh atau lima belas ekor. Mati
seekor atau dua tidak ada manfaatnya.
Hari itu Samirin juga membawa Bayun, anak sulungnya.
Dia tidak lagi menggonceng dengan tempat duduk beratapkan
plastik. Sekarang sudah merasa lebih besar, malu duduk di atas
kotak. Sewaktu-waktu ikut bapaknya ke mana pun, bertengger
di belakang pelana dengan tegak. Kedua kakinya lepas di sebelah
kiri dan kanan, jauh dari putaran roda.
Membawa anak sulungnya ke lahan sudah menjadi kebiasaan
bagi Samirin. Apalagi sekarang dapat membantu mencabuti

114
rumput di antara tanaman garapan. Tanpa memaksa, guru dan
Kepala Sekolah itu dengan bangga bisa berkata bahwa anaknya
senang berkebun. Karena terlalu sering dibawa bepergian, meli-
hat dan mendengar percakapan orang dewasa, Bayun mempu-
nyai daya tanggap yang cepat dan peka. Berkali-kali Marsi dan
Samirin saling memandang karena terkejut mendengar anak
sulung mereka mengucapkan kalimat terlalu cepat dan terlalu
tepat bagi anak seumurnya. Namun, ini tidak dianggap ke-
salahan oleh kedua orang tua seperti Samirin dan Marsi.
Dari tempatnya bekerja, kedengaran suara laki-laki menegur
Bayun. Terlalu jauh untuk diterka isi percakapan mereka. Pastilah
anak sulung itu berada di dekat pintu pagar, karena suara lelaki
itu bergerak. Semula berupa panggilan dari jalan setapak, dan
akhirnya lebih mendekat. Bayun lancar berbicara. Tandanya dia
sudah kenal dengan orang itu. Tetapi Samirin tidak sabar me-
nunggu untuk mengetahui siapa yang datang. Dia menegakkan
badan, melongokkan kepala ke sela-sela batang singkong dan
jagung.
’’Siapa Le?” serunya.
“Pak Darsono, Pak!” teriak Bayun.
’’Saya sudah masuk, Pak Guru!” kata suara yang dikenalinya.
Beberapa saat kemudian, bayangan orang-orang melintas.
Samirin kembali berjongkok, meneruskan kesibukannya. Setelah
menanam lima atau delapan kayu ulin, dipaku sebagai penguat
dengan ulin lain yang melintang. Kini dia tinggal menancapkan
paku terakhir untuk kesatuan deretan yang sudah siap.
Darsono dianggap sinting oleh orang-orang tran seang-
katannya. Barangkali dia tiba di lokasi Blok A dua setengah
atau tiga tahun yang lalu. Samirin tidak bisa menerka berapa
umur laki-laki itu. Tidak muda lagi kalau mendengar cerita-
cerita pengalamannya. Dia mempunyai bentuk tubuh dan muka
yang umum. Yang tidak dapat dibedakan dari tahun ke tahun.
Selalu sama, dan selalu terbakar. Meskipun dikatakan baru ba-
ngun dari kambuh malarianya pun, Darsono tetap kelihatan
sehat.

115
Katanya berasal dari Ponorogo. Tetapi seluruh Jawa sudah
dijelajahinya. Pernah bekerja sebagai pemelihara kuda tentara,
penjaga malam gudang berbagai pelabuhan, sopir truk jarak jauh.
Istrinya jauh lebih muda, berasal dari Banyuwangi. Keduanya
pekerja keras yang gigih. Ketika datang, seperti orang-orang tran
lain, mereka menarik nomor bagian tanah garapan. Entah apa
yang salah, sampai waktu jatah habis, lahan itu tidak mengha-
silkan bahan makanan yang diharapkan. Memang benar pem-
bagian jatah pupuk terlambat datangnya. Pencampurannya
dengan tanah pun dikerjakan setelah hujan turun. Tetapi Darso-
no tidak seorang diri mengalami nasib demikian. Tanah bagian-
nya dicangkul dan dipupuk, kemudian ditanami palawija. Yang
keluar adalah pucuk-pucuk tanaman lembek dan tidak mau
tegak. Yang berhasil hidup, membuahkan jagung tanpa isi. Sing-
kongnya tanpa umbi. Kalaupun ada, berupa pentolan-pentolan
aneh. Kadang-kadang berhasil mencapai kepanjangan jari-jari
di tangan. Tapi kebanyakan tanaman enggan hidup di lahan
Darsono.
Akhirnya, setelah pemberian jatah diperpanjang, Darsono
juga mendapat rezeki lain. Sukarelawan untuk keamanan harus
ditambah. Darsono terpilih. Juga tidak ketahuan dengan pasti
mengapa dia yang terpilih. Barangkali karena tidak ada orang
lain yang mau. Meskipun semua berkata bahwa Darsono sinting,
kalau ada tugas yang kurang menyenangkan, dialah yang me-
nyanggupinya. Sebagai imbalan menjadi peronda dan penolong
RT untuk keamanan, Darsono mendapat lahan tambahan. Tetapi
lebih jauh letaknya, yaitu di petak-petak yang sama dengan
Samirin. Dan sifat tanah ini kebalikan dari yang terdahulu. Subur
serta ramah. Yang dihasilkannya berlimpah-limpah sehingga
Darsono kuwalahan.28 Setiap panen, dia tidak tahu lagi bagaima-
na cara menghabiskannya. Maka dia pun mempunyai caranya
sendiri. Sebagian dikeringkan sebagai cadangan, sebagian lain
dibagi-bagikan kepada semua tetangga dan kenalan yang mau
membawanya sendiri dari kebun.
Lokasi yang sudah berumur sebegitu lama sebenarnya bisa

116
ditolong pemerintah daerah atau Proyek Tran untuk memiliki
koperasi. Baik sebagai tempat penyediaan keperluan lokasi mau-
pun sebagai penyalur hasil lahan. Karena secara perseorangan,
penduduk pemukiman tidak mampu untuk menyewa kendaraan
guna penjualan panen ke Sungai Danau atau Pleihari. Hanya
ada dua taksi di dekat-dekat lokasi. Dan yang dinamakan dekat
adalah sepuluh hingga dua puluh kilometer. Jalan tanah hanya
bisa dilewati kalau udara kering.
Darsono lebih suka membagi-bagikan panennya daripada
hasil itu busuk dan kembali ke tanah. Barangkali kelakuan ini
membikin dia semakin mendapat sebutan sinting. Samirin meli-
hatnya demikian. Orang itu berwatak polos dan suka berterus
terang. Bicaranya panjang lebar, terlalu berlarut-larut. Tetapi
bagi Samirin itu bukan tanda-tanda kegilaan. Tergantung bagai-
mana suasananya, Darsono tidak pernah membahayakan atau
mengancam kesejahteraan orang lain. Justru sebaliknya. Dan
ini malahan sering kali dimanfaatkan oleh sekitarnya. Orang
mencarinya untuk memasang pagar. Orang memintanya untuk
menolong mengerjakan sesuatu. Darsono selalu mau. Sampai-
sampai akhirnya istrinyalah yang mengeluh. Pertukangan di
rumah telantar, lahan agak terbengkalai karena Darsono terlalu
mengurusi kerapian di tempat lain. Semua itu tanpa imbalan.
Katanya, karena orang minta tolong. Samirin menyukainya da-
lam batas-batas tertentu, yaitu asal tidak terlalu sering bertemu.
Karena Darsono memang sangat tahan ngobrol. Waktu lulus
tanpa terasa kalau bersama dia. Samirin khawatir terseret oleh
keasyikan cerita-cerita pengalamannya.
Belum kelihatan orangnya, Samirin sudah mendendai per-
tanyaannya,
’’Sudah makan, Pak Guru?”
’’Belum, masih pagi, ‘kan?” sahutnya sambil menoleh.
Di belakang Darsono tampak laki-laki lain.
“Ini Suhadi,” kata Darsono menjawab pandang Samirin.
Orang itu mengangguk, maju dengan sikap akan mengulurkan
tangan.

117
’’Maaf, tangan saya kotor sekali! Kenalkan saja, saya Sa-
mirin.”
Samirin bangkit, merentangkan bahu dan pinggang. ’’Tadi
pagi kami melihat Pak Guru lewat. Saya pikir, kita bisa makan
siang bersama-sama. Biar rame. Saya bikinkan singkong bakar.
Boleh bikin api di pojok ya, Pak Guru!”
’’Silakan! Tapi kayunya mesti cari di luar.”
’’Sudah ada! Mas Darsono sudah cari di dekat tanahnya.”
’’Kalau begitu, silakan! Buat saya, tanggung untuk berhenti
sekarang,” kata Samirin lagi. ’’Tinggal menutup ini satu potong,
lalu dipaku.”
’’Saya tolong, Pak! Biar Mas Darsono bikin api, saya bersama
Anda.”
Tanpa basa-basi lagi, Suhadi mengambil linggis, mulai
menggali untuk menancapkan potongan kayu.
’’Tanahnya bagus ini! Mempur29 lagi!” katanya seorang diri.
“Di tempat sana, tetangganya Mas Darsono, melekat sekali. Se-
perti tanah liat.”
’’Tapi di tempat Mas Darsono bagus, ‘kan?”
“Ya, seperti ini. Kalau di Utara, waaaah. Tidak mungkin ada
yang begini!”
“Di mana?”
“Di sana, di tempat saya. Lokasi sama sebetulnya, tapi
pemukiman dari kesatuan lain. Gambut!”
Samirin pernah mendengar jenis tanah itu.
’’Adik dari sana?”
“Ya, saya sudah dua hari di sini.”
’’Jalan-jalan atau ada perlu?”
’’Saya sedang cari tempat, Pak Guru. Ingin pindah kemari
kalau bisa. Celaka di Utara!”
Bau kayu bakar disampaikan angin.
’’Sudah berapa lama di sana?”
’’Satu tahun lebih. Jatah sudah habis, mendapat perpanjang-
an tujuh bulan lagi.”
“Apa yang sudah ditanam?”

118
’’Tidak ada. Semua tanaman mati. Terlalu asam tanahnya.”
’’Lalu?”
Sudah sering Samirin mendengar berita tentang kepongahan
tanah yang gambut. Tetapi sekarang dia berhadapan dengan
salah seorang transmigran yang mengusahakan pengolahannya.
Serasa tidak masuk di akal baginya, yang belum pernah menga-
lami mendapati jenis tanah yang angkuh seperti itu. Di Jawa,
biji apa pun yang jatuh di tempat-tempat yang pernah dia kenal
selalu tumbuh. Memang dia belum pernah ke daerah-daerah
kering seperti Gunung Kidul. Konon kemandulannya juga tidak
terbayangkan.
’’Akan mencapai dua tahun saya meninggalkan dusun. Malu
kalau pulang membawa cerita tidak berhasil di negeri orang.”
Negeri orang! Kata-kata itu mencubit hati Samirin.
“Ini Kalimantan, Dik. Bagian dari Indonesia, tanah air kita
juga! Anda berasal dari mana?”
’’Dari Muntilan,” diam sebentar, meneruskan, ’’Benar! Ini
negeri kita juga.”
Kini bau singkong bakar menggelitik perut Samirin. ’’Maaf,
Pak Guru! Itu tadi pengertian orang Jawa. Meskipun perginya
ke Temanggung atau ke Wates, hanya beberapa kilometer dari
Muntilan, namany; sudah negeri orang!”
Samirin tersenyum. Nostalgia ke-Jawa-an menelusupi hati-
nya. Suhadi turut tersenyum.
’’Sebetulnya, kalau sudah mendapat jatah tanah, kita harus
mengatakan, bahwa ini adalah tanah air kita yang kedua, Dik,”
kata Samirin.
Dengan sekali gerak, dia berdiri, menghela napas.
“Ayo! Ini kita tinggal dulu! Saya mulai lapar!”
Tanpa mengindahkan kenalan barunya, dia beranjak. Kemu-
dian berhenti, menambahkan,
’’Kalau ada hajat, di sudut-sudut ada penimbunan sampah.
Asal ditutup daun-daun sesudahnya. Sekalian membentuk pu-
puk!”
Dia sendiri menuju ke salah satu pojok untuk kencing. Anak-

119
nya memanggil-manggil. Terdengar suara Suhadi menjawab.
Disusul gerisik batang dan daun tersentuh dan bunyi kaki yang
berlari. Terengah-engah Bayun tibadi samping bapaknya di tepi
lubang sampah.
’’Tunggu, Pak! Kita bikin persilangan!” katanya, tangannya
cepat merogoh sela-sela celana pendeknya. “Ayo!”
Samirin merendahkan badan, Bayun berjingkat berdiri di
atas ujung jari-jari kaki. Dua pancaran air sebentar terayun men-
cari pertemuan, untuk kemudian saling bersilangan. Bayun me-
noleh menengadahkan muka. Samirin memandang ke arah anak-
nya. Dan keduanya tertawa kecil. Renyah dan puas.
Samirin mengetahui itu adalah waktu-waktu yang sangat dise-
nangi Bayun. Sejak pertama kalinya dibawa ke lahan garapan,
apabila anak itu menunjukkan gejala-gejala tidak mau ikut, buang
air kecil bersama-sama dengan cara demikian adalah salah satu
bujukan yang bisa diandalkan Samirin. Dia berhasil menanamkan
beberapa kebiasaan untuk mereka berdua yang hanya dikerjakan
di luar rumah, di luar pekarangan. Kebun sekeliling rumah lain
dari ladang. Dan apa yang mereka berdua perbuat di ladang seolah-
olah hanya menjadi milik mereka keduanya.
Selesai kelegaan tersebut, Samirin berjongkok menghadap-
kan punggung ke arah anaknya. Bayun sigap naik. Tangannya
dirangkulkan ke leher bapaknya.
“Apa yang ada di panci?” tanya Samirin setiba di tempat
mereka mengumpul untuk makan.
’’Botok daun singkong. Bu Darsono yang bikin, Pak Guru,”
sahut Darsono.
“Wah! Dengan ikan asin?”
’’Pakai teri. Kalau ikan asin harus pilih yang tidak ada
tulangnya. Mahal, Pak Guru! Lain kali!”
’’Teri juga enak!” kata Samirin.
Dia buka rantang nasi dan lauk yang disiapkan Marsi tadi
pagi. Biasanya berisi sisa-sisa makanan kemarin.
’’Kita bagi nasinya. Ini banyak sekali. Bayun tidak akan bisa
menghabiskan bagiannya.”

120
’’Saya makan singkong saja,” sahut Suhadi. ’’Ingin mencicipi
hasil bumi di sini.”
’’Saya juga, Pak,” sambung Bayun.
’’Kamu harus makan nasi sedikit,” kata Darsono kepada anak
itu. ’’Masih harus menjadi besar. Sedikit saja, lalu tambahnya
singkong. Saya juga bawa nasi, Pak Guru.”
“Kok sudah ada yang sebesar ini!”
’’Galian pertama, di sisi Timur. Jenis petruk ini, Pak. Baru
mencoba.”
’’Silakan makan tanpa menunggu saya,” kata Suhadi. ’’Saya
permisi sebentar.”
Samirin yang sedang menyiapkan tutup rantang sebagai pi-
ring untuk Bayun melihatkan kenalan barunya meninggalkan
tempat mereka. Setelah terlindung sama sekali oleh badan dan
daun jagung, dia bertanya,
“Ke mana dia? Saya kira tadi sudah buang air di sudut lain.”
’’Sembahyang, Pak,” sahut anaknya. ’’Tadi bertanya di mana
tempat yang kering. Saya tunjukkan sana, tempat kita biasanya
tidur-tiduran.”
’’Tekun dia, Pak Guru,” sambung Darsono. ’’Ibadahnya kuat.”
’’Boleh sembahyang tanpa wudhu ya Pak!” kata Bayun lagi.
’’Boleh, tanpa wudhu tanpa alas. Dulu Nabi Muhammad juga
begitu di tengah-tengah padang pasir. Kalau ada yang diperguna-
kan, kalau tidak ya tanpa apa-apa. Bersembahyang juga bisa
sambil berbaring kalau orangnya sakit.”
Bayun memandangi bapaknya dengan mata tidak berkejap.
Semua itu baru baginya.
’’Makan!” kata Darsono. ’’Nanti singkong yang ini buat ka-
mu!” katanya sambil mengorek abu dan membetulkan letak kayu
bakar supaya singkong di dalamnya lebih dikelilingi udara panas.
Samirin mulai menyuap. Darsono mengikuti.
’’Sudah dengar ceritanya tadi, Pak Guru?”
’’Sudah sedikit. Kasihan dia, ya.”
’’Bukan main perjuangannya! Rupa-rupanya yang saya alami
belum separo dari kesengsaraannya.”

121
Samirin mengamati kawannya. Setelah mengenalnya baik-
baik, memang Samirin menganggapnya sebagai teman. Sepe-
nanggungan sebagai pekerja tanah. Senasib sebagai orang tran
yang mencari tempat untuk menanamkan diri dan membentuk
akar kehidupan baru. Mulai bisa mengatakan bahwa mereka
berkenalan baik, tetapi Samirin masih sering dikejutkan oleh
pengetahuan Darsono. Tidak jarang pula kata-kata orang yang
disebut sinting itu begitu mencolok kebenarannya. Kali itu
Darsono menyadari bahwa dia sangat beruntung jika diban-
dingkan dengan orang-orang tran seperti Suhadi.
’’Tapi Dik Hadi tampak sehat!” akhirnya Samirin memberi
komentar.
“Ya, benar.”
’’Bagaimana Anda kenal dia?”
’’Tiga hari yang lalu di rumah Pembakal. Dia sedang mencari
keterangan bagaimana untuk pindah. Barangkali harus ke
Pleihari. Ataukah berhubungan saja dengan Proyek. Atau harus
keduanya dan Pemda.”
“Ya, tadi dia beri tahu saya mengenai hal itu. Tapi apakah
tidak cukup ke Kintap saja, langsung ke Proyek?”
“Dia tidak sendirian lho, Pak Guru! Banyak kawannya yang
mau tanah di sini. Bukan persoalan tanah dua atau tiga hektar.”
“Di mana kawan-kawannya?”
“Ya masih di Utara! Di lokasi mereka!”
Samirin baru menyadari bahwa yang dimaksud adalah kepin-
dahan hampir semua penduduk satu pemukiman. Suhadi datang
sebagai wakil teman-teman seangkatannya.
Teriknya tengah hari kurang panas rasanya di ladang. Udara
di pemukiman sudah berbeda sejak setahun itu. Bertambahnya
manusia membikin kepengapan. Macam-macam kebutuhan me-
nimbulkan uap. Selain badan manusia sendiri, kepanasan juga
disebabkan oleh dapur, lampu minyak atau petromak, ditambah
pembakaran sampah.
Samirin merasakan diri dilindungi dan diberkahi Tuhan.
Nyaman mereka makan di sana. Tenang menikmati hasil jerih

122
payah dari tanah garapan sambil membicarakan kesengsaraan
orang-orang tran lainnya. Ketika Suhadi datang dan menggabung
makan, Samirin semakin melihat jelas bagaimana kesengsaraan
di lokasi Utara. Itu adalah pergulatan kehidupan antara manusia
dan tanah yang pongah. Kalau mendengar cerita Suhadi, apa
pun yang dikerjakan, rasa-rasanya tidak ada kompromi. Selalu
manusia yang kalah.
’’Saya dengar di Sungai Ranau, pemukiman sudah diting-
galkan. Semua pada lari.”
“Di mana itu?” tanya Samirin, meskipun menjadi guru, dia
mengaku, masih banyak nama tempat yang tidak dia ketahui.
’’Kalimantan Barat, Pak Guru,” Darsono menjelaskan.
Dan dia meneruskan,
’’Saya ketemu dengan bekas transmigran dari sana di Banjar.
Malu pulang ke desa masing-masing, banyak yang menjadi kuli
pelabuhan. Kalau yang bisa dagang sedikit, jual macam-macam
di Pasar Sudi Mampir. Bisa dipastikan kalau ada penjual dawet
atau pecel, selalu orang Jawa. Lain-lainnya bikin benda-benda
anyaman bambu untuk keperluan rumah tangga.”
’’Begitu, Pak Guru! Biasanya malu kepada orang di desa,
lalu pindah sendiri-sendiri. Lapor kepada Kepala Proyek tidak
digubris ya pindah sendiri-sendiri seperti itu. Susahnya, mereka
tidak menjadi petani lagi. Menjadi apa saja asal bisa hidup.”
Samirin mengetahu hal itu. Dia pernah mendengar cerita
yang sama melalui saudara atau keluarga di desanya yang sudah
bertransmigrsi ke Lampung. Selain tidak bercocok tanam lagi,
kebanyakan orang tran yang gagal mengumpul di kota-kota besar.
Maksud semula dari perpindahan penduduk ke tempat-tempat
yang longgar tidak tercapai. Kalaupun ada sebagian daripadanya
yang mau memilih tempat bermukim di luar kota, mereka selalu
menggerombol di daerah pinggiran. Sehingga di dalam atau di
tepi, mereka menambah kepadatannya. Dan di mana ada
kepadatan penduduk, syarat-syarat kebersihan sangat sukar dipe-
nuhi. Apalagi kota-kota yang dilewati sungai, orang-orang itu
berjejalan di sana. Air didekati karena diharapkan menjadi

123
sumber berbagai kemudahan hidup, lalu berbalik, justru menjadi
pengantar seribu macam penyakit. Akhir-akhir itu Samirin mem-
baca timbulnya istilah-istilah kesehatan yang baru untuk menja-
jari hadirnya penyakit-penyakit yang baru muncul pula.
Tidak usah bertransmigrasi, di Jawa saja orang-orang yang
meninggalkan dusun pada berduyunan menuju ke kota. Mereka
mencari hidup mudah dan cepat mendapatkan uang.
Berapa persen penduduk negeri ini yang masih mau menjadi
petani? Samirin melihat sendiri di desanya. Karena kesukaran
mencari tenaga kerja, orang tua Marsi terpaksa mengikuti contoh
bapak Samirin, menanami sebagian sawah dengan pohon buah.
Penanaman padi yang membutuhkan lebih banyak perhatian
memberi hasil yang tidak menutupi biaya pengolahannya. Tena-
ga manusia semakin sukar di Sorogenen. Orang-orang mudanya
memilih hidup di kota. Kalaupun ada desa-desa yang masih dihuni
banyak penduduk, tanahnya kurang luas atau kurang memberi
hasil. Program transmigrasi diciptakan untuk menyebar kepadatan
semacam itu. Desa-desa di Jawa yang tidak dilalui jalur pemba-
ngunan atau hubungan jalan besar menjadi desa mati.
Samirin baru mengenal perkataan tanah gambut maupun
tanah pasang surut ketika datang di Kintap. Kepala sekolahnya
yang berpengalaman dalam pendidikan juga mengenal cara-cara
persawahan orang Bugis. Di antaranya, dia banyak membicara-
kan sifat-sifat tanah gambut. Di Indonesia, tanah itu konon
meliputi luasan tujuh belas juta hektar, dengan ketebalan rata-
rata lima puluh senti. Selain di Kalimantan, juga terdapat di
kepulauan Riau, Sumatra dan Irian. Itulah yang dipilih sebagai
lokasi transmigrasi berasal dari Pulau Jawa. Contoh yang menim-
bulkan pikiran penyebaran penduduk ke sana adalah berhasilnya
orang-orang Bugis dan Banjar menjinakkan jenis tanah tersebut.
Kedua suku itu pengembara dan perantau tersohor, berpindah-
pindah tempat sesuai dengan musim dan kebutuhan. Cocok
tanam lebih sering mereka lakukan di tanah gambut, karena
hanya jenis itulah yang mereka temukan. Dan mereka berhasil
mendapatkan buah dari jerih payah mereka.

124
’’Aneh! Mestinya kalau akan mengirim orang ke satu tempat
‘kan semuanya diselidiki dulu. Tanah tempat pertanian lebih-
lebih lagi!” kata Darsono mengucapkan kata hatinya keras-keras
menanggapi Samirin yang mengulangi penjelasan kepala seko-
lahnya itu untuk temannya.
’’Kata orang-orang Agraria memang begitu,” Samirin me-
nambahkan.
’’Tanah pasang surut ada garamnya, Pak Guru! Tidak hanya
satu jenis garam. Kalau bagian atas mengering, perubahan kimia
menjadikannya racun. Entah macam-macam sebutannya, apa itu
istilahnya,” tangan Darsono melambai untuk membayangkan
nama-nama asing dan sukar. “Itu tidak saja racun untuk tanaman.
Manusia kalau meminumnya juga bisa sakit atau mati perlahan-
lahan!” ’’Lalu Anda mendapat air minum dari mana?” Samirin
menoleh ke arah Suhadi.
“Ya, air itu! Proyek yang menyiapkan pemukiman membikin
parit-parit, seperti sungai kecil. Air selalu ada di situ, tetapi
sesudah melalui sistem penyaringan.”
’’Air genangan atau mengalir terus ke tampat lain?”
“Di pusat-pusat pemukiman, air digenangkan. Banyak dan
sedikitnya diatur oleh pintu air.”
’’Cukup baik, asal penyaringan betul-betul tuntas,” komentar
Darsono.
’’Tapi bisa juga menjadi sarang nyamuk!”
’’Memang. Akhir-akhir ini RT membagi obat, seperti bubuk
dimasukkan ke parit-parit. Katanya untuk mencegah nyamuk
menyukai tempat itu.”
Sama dengan di lokasi Samirin. Tapi obat anti nyamuk
apakah bisa larut dalam tubuh manusia setelah air itu direbus
untuk dijadikan air minum! Samirin merasa beruntung tidak
minum air dari parit atau kali. Marsi memang betul. Enak tinggal
di sekolah. Selain dekat dengan tempat kerja, sumur yang dalam
sudah digali sebelum mereka datang.
Darsono juga merasa beruntung tidak tinggal di lokasi
bertanah gambut.

125
’’Saya ceritakan kepada Suhadi perang tanding saya dengan
lahan di Blok A, Pak Guru. Dia hanya tersenyum, karena dia
merasa lebih digdaya30 dalam perjuangannya melawan racun-
racun tanah di sana!” kata Darsono.
“Ya,” kata Suhadi, dan dia mengulangi senyumnya pula.
’’Juga disebabkan karena saya sudah melihat bahwa tanah di
sini bukan gambut. Entah apa namanya. Tetapi sifatnya juga
sangat asam. Harus ditelateni31 dipupuk terus. Suatu ketika akan
bisa menghasilkan.”
Darsono tidak berkata apa-apa. Samirin memandang kepada
temannya, dan merasa perlu membujuknya,
“Itu, Mas! Ada harapan!”
“Ya, Pak Guru,” sahutnya biasa saja. ’’Sementara ini saya
sudah merasa diberi kurnia-Nya,” mukanya ditengadahkan ke
langit; lalu meneruskan, ’’tanah yang di situ memberi makanan
banyak kepada kami berdua. Eh, tidak hanya Bu Darsono dan
saya! Orang-orang lain juga turut mendapat bagian!”
Lalu Samirin bercerita kepada Suhadi bagaimana Darsono
mengundang tetangga dan semua yang mau untuk mengambil
hasil bumi di lahan garapannya.
“Yaaaa, diamalkan!” kata Darsono mengulangi kalimat yang
sudah menyatu dengan dirinya sehingga semua kenalan hafal
lanjutannya, ’’Daripada busuk kembali ke tanah!”
’’Kalau saya ceritakan kepada kawan-kawan selokasi di Utara
alangkah terheran-heran mereka,” Suhadi sedih suaranya. ’’Rasa-
rasanya tidak mungkin!”
Sebentar tak ada yang mengucapkan sesuatu pun. Udara siang
juga hening. Hutan belukar yang semakin jauh karena per-
tumbuhan pusat-pusat pemukiman, tidak mengirimkan ocehan
burung atau panggilan kera. Samirin mulai meringkasi bekas-
bekas tempat makanan. Kemudian berkata kepada Darsono,
’’Kira-kira kapan tanah di Blok A akan mulai ditanami lagi,
Mas?”
’’Akan saya coba kalau hujan sudah datang. Di tengah musim
begitulah. NPK yang baru sudah saya campurkan.”

126
“Apa yang akan ditanam?”
’’Saya sedang coba-coba bikin bibit cengkih untuk lahan itu.”
“Apa tidak terlalu berani, Mas? Belum-belum kok cengkih?
Kalau gagal...,” suara Suhadi khawatir.
’’Sepuluh dulu! Bu Darsono malahan bilang dua puluh
sekalian! Kalau pembikinan bibit tidak berhasil, beli saja. Kata
Bu Darsono, dia mau menggadaikan giwangnya! Ya, saya me-
nurut. Sekali-sekali menurut istri ya, Pak Guru. Pikir punya
pikir, tanah itu sudah satu tahun tidak ditanami, tetapi saya
pelihara terus. Seperti memelihara anak. Saya ajak omong, saya
cangkul, saya beri teh wayu32- yang saya kumpulkan setiap hari.”
Lalu menambahkan sambil menggulung rokoknya,
’’Semua itu ‘kan kita coba! Eeeeh, siapa tahu tanah itu mau
berbaik-baik dengan kami. Lagi pula, dalam hidup ini kalau
kita tidak berani mengambil risiko, akan sampai ke mana?”
Samirin mengamati Darsono yang menyalakan ujung rokok di
mulutnya. Memang sinting orang ini, pikir Samirin. Tetapi ada
benarnya yang dikatakan Darsono. Tidakkah dia sendiri juga
mengambil risiko ketika menanam lahannya dengan padi bibit
dari desa? Kenyataannya bisa tumbuh dan tidak terlalu merepotkan.
Memang benar ada faktor keberuntungan. Siapa tahu Darsono
juga akan beruntung dengan lahan yang demikian sukar dijinakkan!
Seandainya bibit tidak mati, bisa tumbuh subur, harus ditunggu
lima tahun untuk bisa dipetik bunganya. Betul-betul memerlukan
keberanian. Dan seharusnya, orang-orang yang beranilah yang
berhasil. Sinting atau tidak, Samirin menyukai Darsono. Siang itu
kawannya tidak terlalu nyelonong bicaranya. Barangkali merasa
terlalu serius membicarakan nasib orang tran di lokasi Utara.
’’Jadi, Anda tetap mendapat jatah sampai sekarang?” Samirin
mengembalikan percakapan kepada Suhadi.
“Ya, Pak Guru. Dan karena kami dengar orang-orang pemu-
kiman sini bisa hidup dari hasil bumi, saya dikirim untuk me-
lihat-lihat.”
’’Kalau bertemu dengan Pembakal, Pak Guru dorong sedikit
supaya lebih aktif membantu!” Darsono mengatakan usulnya.

127
’’Tentu saja!”
’’Anehnya, mengapa orang-orang Bugis dan Banjar berhasil
membuat sawah mereka. Kata orang-orang Proyek, pemerintah
mengirim ahli-ahli untuk menyelidiki tempat-tempat itu. Mestinya
orang-orang lulusan sekolah tinggi itu mengetahui persoalannya!”
Suara Suhadi jelas mengandung kejengkelan.
’’Tentunya mereka ya mengerti. Tidak mungkin pemerintah
mengirim orang sembarangan,” sahut Samirin.
’’Mengerti bagaimana dulu, Pak Guru!” kali itu suara Dar-
sono mengejek.
Samirin tidak begitu menanggapinya. Dia mendengarkan
Suhadi yang langsung berkata lagi,
“‘Kan banyak insinyur pertanian, ahli-ahli tanah dan tanam-
an! Kalau ada yang dikirim ke tempat orang-orang Bugis dan
Banjar, mestinya ‘kan mereka bisa menambah pengetahuan.”
Darsono mendesis,
“Yang diperlukan bukan ahli-ahli atau insinyur. Mereka itu
semua cuma pandai menghitung angka dan membikin garis sta-
tistik. Seharusnya yang dikirim menyelidiki itu dukun-dukun!”
Samirin tidak bisa menahan seruannya,
’’Mas! Ah! Masa bicara begitu!”
“Lho, iya! Orang-orang Banjar dan Bugis itu percaya bahwa
semua yang ada di bumi dikendalikan oleh kekuatan astral.
Kekuatan di langit! Entah itu Tuhan, dewa atau bintang-bintang.
Pokoknya di sanalah!” sekali lagi lengan Darsono terulur menun-
juk ke atas, lalu meneruskan, “di samping itu, mereka percaya
bahwa kalau manusia berbuat baik terhadap alam, maka alam
dengan sendirinya akan mengembalikan perbuatan yang sama.
Kehidupan bagi orang-orang itu terbatas pada kelumrahan. Biasa
saja. Nah, pertanian juga sama dengan hal-hal lain. Harus biasa
saja. Artinya untuk kehidupan yang lumrah saja. Tidak untuk
menghasilkan besar-besaran. Secukupnya. Orang Bugis dan Ban-
jar mengembara, berlayar, menggarap sawah. Lalu pindah lagi.
Pertanian bukan untuk eksploitasi, melainkan untuk kebutuhan
saja. Sebab itu mereka diberi hasil oleh Tuhan.”

128
Tidak habis-habisnya orang ini menakjubkan Samirin.
Semua dikembalikan ke kekuasaan langit. Padahal Darsono
belum pernah ketahuan bersembahyang maupun berpuasa di
bulan Ramadan.
Dengan penuh perhatian Samirin melirik kepada anaknya.
Sedari tadi Bayun manis, makan dan diam. Samirin yakin bahwa
sebegitu mereka tinggal berdua, akan banyak pertanyaan yang
diajukan. Anak itu selalu memasang kuping mengikuti perca-
kapan orang-orang dewasa.
’’Pertanian di Jawa dulu juga sangat tergantung pada suasana
langit. Nama-nama bintang, umpamanya gubuk menceng,33
wluku,34 itu semua mempunyai sambungan erat dengan peng-
garapan sawah. Apalagi kalau kerja itu berupa penanaman padi
gogo. Embah saya dulu....”

129
9

Berbicara mengenai tanah bersama Darsono dan Suhadi


serasa tidak akan pernah bisa diputuskan begitu saja. Samirin
menyadari hal itu. Dia harus menyentakkan diri dari kesantaian.
Bagian pagar yang dikerjakan mestinya bisa selesai sore itu!
Akhirnya Suhadi membantu Samirin. Darsono kembali ke
lahannya, tapi hanya sebentar. Untuk selanjutnya mereka bertiga
merampungkan sisi pagar yang sejak berhari-hari dikerjakan
Samirin. Sebelah Timur dimulai sedikit, dengan potongan kayu
lebih pendek guna membiarkan matahari pagi menyentuh seba-
gian besar tanah di dalamnya.
Belum sampai seharian penuh bersama Darsono, Samirin
mendapat banyak tambahan berita dan pengetahuan. Kabar
yang didapatkannya sesudah makan ialah kedatangan seorang
seniman Ibu Kota bersama rombongan ke daerah tersebut. Ko-
non setelah melampaui liku-liku urusan dengan Pembakal dan
Jemain. Tentu saja ditambah pendapat pribadi Darsono yang
selalu terus terang dan sering kali menyakitkan hati.
“Pak Guru bayangkan! Orang jakarta dan seniman pula!
Merupakan makanan empuk bagi orang-orang seperti Pembakal
dan jemain!”
Katanya, meskipun ketika datang meninjau sudah menyerah-
kan uang secukupnya kepada Pembakal supaya mendirikan
rumah panggung dari papan, rupa-rupanya seniman itu hanya

130
menemukan rumah yang beratap separo. Untuk melengkapinya,
harus keluar biaya lagi dan atas usaha sendiri.
“Di sebelah mana dia tinggal?”
“Di pinggir sungai. Berseberangan dengan rumah yang biasa
dipergunakan Suheimi dan lain-lain. Termasuk Jemain!”
Tiba-tiba Samirin ingin mengetahui sesuatu.
’’Urusan dengan orang-orang Madura apa sudah beres?”
’’Belum!” sahut Darsono, tetapi cepat menambah, ’’Urusan
yang mana yang Pak Guru maksudkan?”
’’Mengenai janda yang diajak ke Banjar oleh Jemain.”
“Oh, itu! Entahlah! Sudah atau belum, saya tidak dengar
lagi. Yang lain mengenai jalan!”
’’Jalan? Jalan apa? Di mana?”
’’Orang-orang Madura menutup jalan yang biasa dilewati
truk-truk pengangkut ulin.”
Jawaban Darsono membikin Samirin termangu. Tidak tahu
lagi dia apa yang mesti dikatakan. Persoalan itu sudah dia dengar
lama, sejak dia baru sampai di lokasi tersebut.
Kini rupa-rupanya orang Madura tidak mengindahkan bujuk-
an ataupun janji-janji pencarian cara agar semua damai. Ketika
masih tinggal di Kintap. Samirin pernah mengetahui bahwa
pembagian lahan di beberapa tempat transmigrasi tidak selalu rapi,
apalagi jujur! Dimulai dari pelelangan kepada perusahaan mana
Proyek pembukaan pemukiman bersama lahan garapan dan
cadangan itu akan diserahkan. Serba-serbi aneka permainan
dilakukan di semua bagian. Dari pembelian alat-alat yang dibagikan
kepada para transmigran, sampai kepada penentuan bibit, sampai
ke pembagiannya. Masing-masing kantor, instansi, jawatan hingga
ke penjual peralatan serta orang yang membagikan bibit, tidak
ada kekecualiannya, tidak selalu memikirkan si transmigran sebagai
manusia dan warga negara yang bermartabat penuh. Orang tran di
mata mereka hanyalah satu tujuan, objek: nah, ini dia! Sumber
dari mana bisa ditarik keuntungan sepuluh hingga ratusan juta!
Samirin semakin tidak mengerti mengapa permainan uang besar-
besaran dan diputuskan dengan ketenangan hati bisa dilaksanakan

131
dengan pengetahuan, bahwa puluhan ribu keluarga tersangkut di
dalamnya. Nasib kebanyakan rakyat tingkat rendah, petani, pekerja
kasar dari daerah paling miskin di Jawa, Madura dan Bali terbawa
dalam permainan tersebut sebagai korban.
Perpindahan penduduk yang sering disebut-sebut menteri
dan pejabat tinggi lainnya diharapkan bukan sebagai perpindah-
an kemiskinan. Nyatanya itu adalah perpindahan kemeranaan
dan penderitaan! Konon sebelum Pelita keberapa, harus dipin-
dahkan lima ratus ribu keluarga. Barangkali jumlah itu akan
tercapai karena memang di-”harus”-kan. Maka tidak peduli
keberhasilan angka itu didasari penderitaan atau tangis dua per-
tiga manusia yang dipindahkan. Atau barangkali lebih dari dua
pertiga. Karena orang-orang tran yang beruntung punya uang
atau keluarga yang menunjang seperti Samirin-lah yang kuat
bertahan. Berapa persen lagi adalah orang-orang seperti Darsono.
Uang punya sedikit, karena dia menabung bertahun-tahun,
pengalaman banyak karena memang sifat manusianya yang
gigih. Sedangkan persentasi lainnya adalah orang-orang yang
memiliki keberuntungan, yang telah digariskan Tuhan selalu
mempunyai jalan nasib terang.
Orang-orang jenis terakhir ini betul-betul ada. Samirin sudah
berkali-kali menemuinya sendiri. Semua yang mereka kerjakan
baik, semua pembagian yang mereka dapatkan sempurna. Lahan
garapan dan pekarangan mereka bagaikan tidak pernah tertimpa
bencana hama. Kehidupan mereka tenang, mulus, tidak kede-
ngaran persoalan ini maupun itu yang menghalangi kelancaran.
Biasa saja, anak-anak ingusan, sang bapak atau emak sebentar
kambuh penyakit malaria atau pening di kepala. Keseluruhan-
nya, lumayanlah. Dan dua tahun setelah bertransmigrasi, uang
tabungan dari penjualan
hasil ladang yang sedikit demi sedikit, sudah bisa dibelikan
tanah lain. Demikian seterusnya. Dan orang-orang seperti itu,
meskipun jumlahnya tidak banyak, kelak lima tahun kemudian
sudah bisa berkunjung ke kampung halaman, tempat akar, ke
rumah orang tua mereka. Itulah yang disebut berhasil!

132
Di dalam satu Pusat Pemukiman, golongan beruntung itu
hanya berjumlah paling banyak lima orang, lalu yang lain-lain?
Mereka terengah-engah mengikuti alur hari, berusaha sedapat
mereka agar kelihatan bahagia di waktu-waktu orang besar, para
pejabat berkunjung dari kota. Alangkah munafiknya itu! Samirin
tidak bisa menahan untuk menggelengkan kepala. Seolah-olah
ingin mengenyahkan pikiran busuk itu dari dalam dirinya.

Persoalan orang-orang Madura melibatkan penduduk asli.


Oleh karena itu, Samirin merasa perlu mencari penjelasan ke
RT lokasinya sebegitu ada waktu. Dia menjadi guru di sana.
Kewajiban moral mendorongnya untuk menunjukkan perhatian
pada semua kejadian. Tidak perlu mendetil, tetapi asal dalam
porsi yang sebenarnya terjadi. Persoalan orang-orang Madura
bisa dianggap bukan urusannya. Tetapi kesatuan citra orang
tran di mata penduduk asli menjadi urusan semua kaum pen-
datang. Tidak hanya dari Sunda, Jember ataupun Jawa Tengah
seperti dia. Nama daerah Sebamban tentu juga akan tersitir
dalam penceritaan peristiwa tersebut seandainya betul-betul
kepanasan hati orang Madura meledak menjadi perkelahian.
Sedangkan sekolah di situ baru menginjak tahun kedua. Dan
Samirin-lah yang menjadi kepalanya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dia menuruti ajakan Par-
mono menemui Bagian Keamanan Proyek. Dari sana, mereka
dianjurkan supaya langsung melihat ke tempat orang-orang
Madura dan berbicara sendiri dengan yang berkepentingan.
Untuk kedua kalinya Rahman maju menjadi juru bicara.
Pertemuan mereka terasa lebih santai, meskipun suasana kema-
rahan membuat seluruh bagian lokasi orang Madura tampak
bersiaga. Tetapi tidak nyata bersiap-siap untuk mengerjakan apa.
’’Tujuh bulan kami tunduk, diam-diam, Pak Guru,” kata Rah-
man. ’’Sekarang sudah tiga, hampir empat bulan ini kami terus-
terusan ke Pembakal. Kami selalu mengingatkan masalah kami

133
supaya diajukan ke Pleihari, ke Bupati. Lahan yang diberikan
kepada kami yang ternyata menjadi bagian jalan tidak kami
olah selama ini. Kami menunggu. Saya kira Anda sudah melihat
di beberapa potongan jalan. Kalau kena tanah yang mandul,
tidak apa-apa. Tapi kalau tanahnya subur, ‘kan berarti kerugian
bagi si pemilik! Berapa puluh atau ratus kilo jagung atau palawija
lain yang hilang! Apalagi kami dekat jalan besar. Begitu panen,
bisa diikutkan truk Proyek sampai ke Sungai Danau. Lumayan
ditukar barang-barang kebutuhan lain!”
’’Kata Keamanan, sekarang jalan itu Anda pagari,” kata
Samirin.
“Ya, kami pagari dan sudah kami tanami.”
’’Malahan kami bergilir jaga, Pak Guru,” kata orang lain.
Setiap orang tran menerima jatah keperluan hidup yang po-
kok untuk tujuh bulan sampai setahun. Yaitu sampai saat lahan
garapan diprakirakan mampu memberi hasil. Memang kalau
sebagian lahan itu tidak dikerjakan, dengan sendirinya hasil
mengurang.
Lebih-lebih yang menyedihkan Samirin ialah jalan itu, justru
yang sekarang dibagikan kepada orang-orang Madura. Bukan
bagian Jemain, bukan diberikan kepada Pembakal atau peng-
usaha penebang kayu pribumi lain yang membikinnya. Jalan
yang oleh Proyek diberikan menjadi bagian lahan orang tran
Madura, enam tahun yang lalu dirintis dan dibabat oleh Suheimi
bersaudara. Mereka menyewa dua belas orang sebagai penambah
tenaga kerja. Satu bulan katanya mereka memotong pohon dan
semak belukar, kemudian membakar ranting dan meratakan
tanah. Seluruhnya dapat selesai dua bulan, barulah jalan itu
bisa dilalui truk pengangkut. Setelah itu, menyusul penduduk
lain yang menggunakan jalan tersebut. Tidak menjadi masalah
selama Suheimi juga diperbolehkan melewati jalan-jalan yang
dibuat orang-orang lain. Di hutan tidak diperlukan izin tertulis.
Kalau orang berkepentingan, membangun gubuk atau ramah
panggung di mana saja. Sesudah kerja selesai, rumah itu di-
tinggal. Siapa pun bisa menempatinya, tetapi mereka tidak

134
memilikinya. Karena peraturan hutan tidak tertulis menganut
sistem serba terbuka bagi kepentingan siapa pun yang mem-
butuhkan. Tetapi kalau ada potongan balok-balok ulin, itulah
yang tidak boleh disentuh. Mengambil yang kecil-kecil tidak
pernah dipersoalkan. Itu bukan mencuri. Tetapi mengambil ge-
londongan satu batang, berarti pencurian. Dan mencuri ulin
segera ketahuan di daerah itu. Semua saling kenal, semua saling
bicara. Tempat persembunyian pun tidak ada di Pemukiman
maupun di desa. Ketika mengangkutnya saja merupakan kerja
berpuluh orang.
Bagaimana mengatur agar antara Suheimi dan orang-orang
Madura terjadi pendekatan. Menurut ipar Parmono, masing-
masing saling mengerti kebutuhan pihak lainnya. Tetapi di sam-
ping pengertian itu, masing-masing saling tinggi hati untuk
mendahului mendekat. Apalagi berbicara atau berunding menge-
nai hak.
Samirin dibawa bersepeda melihat lahan yang menjadi pokok
sengketa. Rapi, dipagar dengan tanaman hidup dan batang kayu
putih. Yang paling pinggir, dikuatkan dengan potongan-potongan
ulin. Semua sudah ditanami. Tidak tampak kejanggalan atau
keanehan, kecuali jaluran jalan selebar sepuluh meter itu tiba-
tiba tertutup. Seolah-olah buntu, hanya sampai di situ.
’’Kami bertekad menjaga siang dan malam,” kata Rahman.
Dan seseorang yang menyertai mereka menyambung,
’’Kalau truk berani juga menabraknya....”
Samirin tidak ingin mendengar lanjutan kalimat itu, langsung
bersuara,
’’Suheimi sudah melihat ini?”
Pertanyaan ini tidak ada gunanya, karena Darsono pernah
menceritakan bahwa Suheimi mengajak dia melihat keadaan di
tempat.
’’Saya tidak tahu apakah pihak Suheimi tahu atau tidak. Itu
bukan urusan kami!” kata Rahman tegas.
’’Mereka yang bikin jalan, lho Kang!” kata Parmono.
’’Mereka yang bikin jalan, memang! Tapi mereka tidak

135
memiliki tanah jalan ini. Sedangkan kami, kami mempunyai
surat-surat hak milik!”
Ini dia! Sampai kepada hak milik!
Samirin harus mencari kalimat tepat supaya tidak melukai
kepekaan. Seharusnya dicari cara bicara lain. Tidak langsung.
Karena orang Madura terkenal penaik darah. Juga karena bantah-
an yang diajukan Rahman memang benar. Mereka dikuatkan
oleh adanya surat-surat. Tanda bukti hitam di atas putih. Perkara
itu sudah bisa berhenti di situ. Orang-orang Madura menggarap
keseluruhan lahan mereka dan tidak mempedulikan apakah
Pembakal menyampaikan keluhan-keluhan ke Bupati di Pleihari.
Barangkali Suheimi dan pengusaha-pengusaha penebang kayu
akan diam pula dan menyerah. Lalu mereka membikin jalan
lain. Tetapi hubungan antara pendatang dan penduduk setempat
akan menjadi suram untuk seterusnya. Hal terakhir inilah yang
tidak dikehendaki Samirin, Parmono bersama kakak iparnya.
Seperti kejadian beberapa pekan yang lalu mengenai janda Ma-
kerah, suasana siap siaga yang serba tegang menyelubungi seluruh
lokasi. Sikap dan omongan setiap penghuni pemukiman Madura
menunjukkan kekompakan yang berlebih-lebihan. Sekali lagi
Samirin menyadari kedudukannya sebagai orang yang ’’dituakan
dan didengar” omongannya. Dia menyukai Suheimi bersaudara.
Dengan sendirinya Samirin merasa wajib melibatkan diri lebih
daripada peristiwa Jemain dengan janda muda yang lain.
Setelah meninjau lahan yang dipagari dan menghalang jalan,
Rahman membawa kedua guru ke warung. Mereka dijamu ma-
kan siang, ditemui Amang dan seorang Madura lain. Kali itulah
Samirin melihat dengan lebih seksama janda yang bernama Ma-
kerah. Ataukah dia memandangnya dengan mata lain? Terpe-
ngaruhkah dia oleh kejadian yang baru lalu? Masuk ke warung,
Samirin kaku dan bingung mengucapkan kata basa-basi. Diam-
diam dia mengikuti yang lain-lain, duduk di tempat yang ditun-
juk Amang.
“Apa makanan hari ini?” tanya Rahman kepada Amang. Dari
pintu dapur terdengar sahutan,

136
“Ada soto. Kebetulan aku mendapat kacang hijau, lalu aku
bikin kecambah. Dagingnya daging kijang. Mau?”
’’Sayur, Yu?” tanya Parmono.
’’Lalapan kalau mau. Ada terong glatik itu di pekarangan.
Saya bikinkan sambel trasi!”
Amang pergi ke dapur, jelas akan membantu Makerah.
Parmono berkata lagi sambil melihat ke arah Rahman, ’’Urusan
dengan Jemain dulu sudah selesai atau belum?” Samirin agak
terkejut, mengamati muka Rahman. Dalam hati dia menyesali
temannya mengapa menyinggung soal itu. Bagaimanapun besar
keinginannya sendiri untuk mengetahuinya, tapi dia masih bisa
bertahan. Dia khawatir menerima reaksi yang mengejutkan. Si-
apa tahu dengan orang-orang Madura! Tapi rupa-rupanya Par-
mono tenang-tenang saja.
’’Bukan rahasia, Pak Guru! Semua orang tahu jemain akan
menikah dengan Makerah.”
’’Istri Jemain bagaimana?”
“Dia setuju. Asal rumah yang dia tinggali diberikan kepada-
nya. Hidup bersama anak-anak dan saudaranya dijamin!”
’’Lalu bikin rumah lagi?”
’Ya. Jemain memang sudah lama memulai bikin rumah
panggung di dekat desa.”
Amang datang membawa teh. Samirin diam mengikuti perca-
kapan. Kedengarannya semua baik.
’’Kalau mau cuci tangan, ada sumur di belakang, Pak Guru!”
kata Amang.
Samirin tidak melewatkan kesempatan itu, berdiri dan meng-
ikuti Amang. Bagian samping dan belakang dipergunakan
sebagai tempat tinggal. Kamar mandi menyatu dengan sumur.
Gentong plastik besar memenuhi ruang. Ikan warna-warni bere-
nang menghindari cidukan Samirin. Jelas itu ikan sungai. Tetapi
Samirin belum pernah menemukan jenis yang demikian.
Meninggalkan sumur, dia berdiri terpesona memandangi pe-
tak tanah di hadapannya. Berderet rapi tanaman hijau daun
brambang dan kucai. Sebelahnya ada pare yang merembet ke

137
atap. Daunnya rintip berpinggiran seperti renda. Sebelahnya
lagi ada rumpun terong glatik, sarat dengan buahnya. Dan lebih
jauh lagi, terkumpul warna aneka kembang yang di Jawa dinama-
kan pagi-sore. Kuncupnya besar-besar. Meskipun belum terbuka,
warna kelopaknya terang tergambar jingga, merah kesumba dan
putih.
’’Makanan sudah siap, Pak Guru.”
Mata Samirin bertatapan pandang dengan Makerah. Perem-
puan ini berdiri di tengah pigura pintu, memegang serbet. Lalu
maju dua langkah, tepat seperti sebuah potret yang indah. Di
depannya terpampang kehijauan yang rapi, tanaman dan bunga.
Pemandangan itu hanya dilihat Samirin di desa-desa di Jawa.
Belum pernah ada di lokasi transmigrasi!
’’Nanti dingin sotonya. Kurang enak!”
“Oya!” kata Samirin tergesa, sambil beranjak dari tempatnya
berdiri.
Beberapa detik kemudian dia tiba di samping Makerah.
Seakan-akan merasa perlu mengatakan sesuatu, dia berkata, ’’Sa-
ya mengagumi tanaman ini. Semua keperluan bumbu ada. Dan
bunga-bunga itu....”
“Ah, itu hanya tanaman biasa. Kembang-kembang juga yang
paling lumrah. Itu di sana, di pagar, penuh kembang pacar dan
tembelekan.35 Tahu ‘kan? Di Jawa namanya tembelekan. Saya men-
dapat bibitnya dari Surabaya sebelum berangkat dulu.”
’’Anda yang menanam semua ini?”
“Iya! Siapa lagi? Tidak ada orang lain yang tinggal di sini.
Saya menjaga warung Kang Aman; sambil lalu, dibikinkan kamar
dan sumur. Bebas, Pak Guru! Daripada di rumah bersama mbak-
yu. Anak-anak selalu ribut.”
Samirin masuk ke dapur, karena harus lewat sana untuk
sampai ke dalam warung. Makerah membuntutinya.
’’Baru sekarang Pak Guru singgah. Jadi, baru lihat tanah di
belakang,” kata perempuan itu lagi.
Samirin menggumamkan sesuatu, langsung menggabung
para lelaki. Makerah duduk di kursi tidak berapa jauh, di kelom-

138
pok lain. Dan dia tinggal di sana tenang. Sekali-sekali menang-
gapi pembicaraan, di lain waktu menyahut memberi jawaban.
Banyak hal yang ditanyakan kepada Amang, tetapi kakak ipar
ini sering kali memerlukan bantuan Makerah untuk menjelaskan
semuanya. Rahman sendiri akhirnya mengucapkan kebanggaan
Pemukiman itu, karena Makerah adalah satu-satunya wanita
yang lulus Sekolah Dasar.
“Ya lulus SD ya khatam Al-Qur’an, Pak Guru!” Amang me-
nambahkan.
“Dia juga jagoan masak!” kata Rahman. ’’Kalau kami mem-
punyai hajat, kenduri syukuran atau slametan, selalu Makerah
yang dipasrahi makanan. Pasti beres!”
’’Beres itu kalau uangnya cukup, Kang! Kalau kurang, wah,
seribu kali jungkir balik pikiran saya!” Makerah memprotes.
“Yang sederhana saja! Yang sederhana saja!” Rahman mem-
bela diri.
“Dan asal ada bantuan tenaga!” Amang sekali lagi mencam-
puri. “‘Kan istri dan adik saya tidak selalu bisa kerja sendirian!”
“Ya itu, Pak Guru! Semua berjalan baik pada wanita ini sam-
pai dia kecantol sama Jemain! Si Setan Jemain! Entah apanya
yang menarik. Orang sewarga sendiri tidak ada yang digubris!”
Kalimat-kalimat Rahman itu disambut senyuman oleh
Makerah. Tidak ada komentar.
’’Rupa Jemain jelek!” Parmono menambah pendapat Rah-
man. ’’Mulut penuh gigi emas!”
’’Atau barangkali malahan itu yang menarik buat Makerah,”
Amang menyambung. “Iya, begitu?” tanyanya kepada iparnya.
’’Habis dia yang bicara kawin! Dia yang bicara rumah! Dia
yang mau kasih uang belanja tetap! Mana ada lelaki lain yang
bilang begitu!”
Suara Makerah renyah, hampir berkelakar. Seolah-olah tidak
ada nada kesungguhan. Seolah-olah percakapan itu hanya meru-
pakan lelucon. Tapi tiba-tiba muka wanita itu berubah, pan-
dangnya tekun menatap mata Samirin, katanya, ’’Perempuan
seumur saya ‘kan tidak perlu main-main lagi ya, Pak Guru! Yang

139
saya cari ‘kan kemapanan, ketenangan!” Samirin terpaksa
mengangguk. Membenarkan kehendak Makerah akan kesejah-
teraan memang tidak salah. Tidak berat. Tetapi Samirin merasa
ada sesuatu yang menyekat tenggorokan, menghalang kerong-
kong pernapasannya jika Jemain dijadikan orang yang memberi
kesejahteraan. Entah mengapa begitu! Hatinya serasa disengat
barang panas. Apakah itu? Cemburu? Samirin harus berkata
sesuatu, bergerak, apa saja asal mengibaskan rasa-rasa yang aneh
itu.
’’Biasanya wanita memang memerlukan ketentraman. Ada
rumah, anak-anak, suami.”
’’Naaaah, itu ‘kan!” seru Makerah, nyata bahagia oleh campur
tangan Samirin. ’’Laki-laki lain cuma mau ‘nyentuh- nyentuh’.
Pegang sini pegang sana kalau bercanda, Tapi kalau saya mulai
bicara uang tetap, apalagi nikah, waaah pada lari menjauh. Or-
ang Madura, Kang? Mana yang punya uang? Apa ada yang
sekiranya bisa menghidupi saya meskipun saya tetap menjaga
warung misalnya?”
Wanita yang matang. Bicaranya tegas dan jelas. Selalu me-
nunjukkan pengertian yang dikuatkan nalar. Samirin heran, me-
ngapa baru sekarang dia kenal Makerah. Ah, meskipun kenal
sebelum hari itu pun mau apa dia? Barangkali membelokkan
perhatian perempuan itu dari Jemain? Lalu mengarahkan pan-
dang Makerah kepada siapa? Siapa yang punya uang di sana?
Yang punya tanah? Ya orang-orang yang itu-itu juga. Atau ba-
rangkali adik-adik Suheimi? Mahlan baik. Samirin lebih suka
Mahlan daripada Aini. Keduanya lebih muda dari Makerah,
tetapi apakah mereka mau kawin dengan perempuan Madura?
Dengan pendatang? Benar Makerah tidak cantik. Hari itu Sa-
mirin menyatakan sendiri, bahwa perempuan itu mempunyai
daya tarik luar biasa. Dia tidak bisa menanggalkan pandangnya
dari keseluruhan janda tersebut. Entah apanya. Pakaiannya se-
derhana sekali. Kain kebaya, dua-duanya lungset36 dan sudah
kehilangan warna aslinya. Gumpalan rambut hanya diputar dan
disumpalkan. Terpancang di atas tengkuk dengan pertolongan

140
dua harnal besar. Wajahnya bulat telur, jelas tanpa kosmetika.
Tiba-tiba Samirin membandingkannya dengan Marsi.
Istrinya berbaju rumah atau untuk bepergian yang bagai-
manapun modelnya tidak pernah kelihatan rapi. Muka Marsi
selalu tampak terang karena ramuan bedak dan tambahan warna,
baik di atas alis maupun di bibir. Tanpa sadar, Samirin mencari-
cari apa yang membikin perbedaan cara berdandan kedua wanita
itu semakin tajam mencolok. Ataukah bukan dandanannya?
Ya, barangkali betul, bukan baju atau pakaian yang membedakan
keduanya. Cara tegak duduknya, cara berbicara. Sampai-sampai
tekanan suara pun bisa menentukan kepribadian. Dan Samirin
yang dulu pernah mengetahui hal itu, lalu melupakannya, kini
tiba-tiba mengingatinya kembali.
Dia juga hampir lupa akan tugas dan maksud sebenarnya
mengapa datang ke lokasi orang-orang Madura. Untung per-
bincangan meluncur ke sana dengan sendirinya. Karena Amang,
Rahman dan kawannya terlalu bersemangat sehingga tidak dapat
melepaskan diri dari soal perladangan.
Setelah beberapa waktu duduk makan bersama, kedengaran
orang-orang itu lebih luwes. Lebih ramah dalam arti tidak terlalu
cepat memotong kalimat-kalimat kedua guru jika menyinggung
nama-nama orang yang pernah membikin jalan. Demikian pula
jalan yang melalui lahan mereka. Makerah menunjukkan sikap
menerima usul guru-guru supaya diadakan pertemuan dengan
pembuat jalan. Setidak-tidaknya Suheimi dan Jemain. Lelaki
Madura dengan lemah membantah, dan akhirnya mengakui
bahwa jika sekiranya masalah lahan dan jalan bisa diselesaikan
di antara mereka sendiri, tanpa campur tangan Bupati, mereka
akan bangga juga.
’’Tetapi yang menyakitkan hati ialah mereka di kabupaten
goyang kaki tidak mempunyai masalah! Enak saja mereka
menasihati atau menunjuk Proyek pada waktu pembagian tanah,
tetapi setelah ternyata ada kesalahan, mereka cuci tangan, Pak
Guru!”
’’Lebih baik jangan dilihat dari sudut pandang itu. Kita

141
melihatnya dari kemandirian kita. Tunjukkan kepada orang Pem-
da ataupun orang Proyek, bahwa kaum pendatang dan pen-
duduk asli bisa bersepakat,” kata Samirin.
“Ya, Kang!” Parmono menyambung. ’’Kami khawatirkan ka-
lau-kalau persengketaan ini dijadikan alat untuk memecah-be-
lah orang tran dan penduduk setempat.”
Rahman memandang kepada Parmono. Tanpa berkata-kata
ganti menoleh ke Samirin. Kelihatan dia berpikir. Ialu sambil
tetap mengamati Samirin, dia bertanya,
’’Masa begitu, Pak Guru?”
’’Kita harus berhati-hati, Mas. Pokoknya waspada saja! Ada
golongan-golongan yang sukanya memanfaatkan suasana. Ja-
ngan sampai kita mau dibikin buta oleh mereka. Ya buta perasaan
ya buta mata,” jawab Samirin.
’’Kita tidak sebodoh yang mereka kirakan,” kata Parmono
lagi.
’’Siapa, Pak Guru? Pembakal? Orang di Kabupaten?”
“Enggak tahu siapa,” sahut Parmono. ’’Tapi jelas ada.... Ka-
rena kalau memang sedari dulu Anda menyampaikan keluhan
tidak diperhatikan, pasti ada maksudnya. Lebih baik kita tidak
perlu mencari di mana dan siapa, tetapi kita waspada, itu saja!
Dan jangan mau ditunggangi untuk kepentingan mereka.”
Orang-orang Madura saling berpandangan. Akhirnya, Make-
rah yang bersuara, seolah-olah membikin keputusan, ’’Jadi, ka-
pan harus ketemu dengan pengusaha-pengusaha itu?”

Ketika mengayuh pedal memunggungi pemukiman orang-


orang Madura, Samirin merasakan hatinya kosong. Dia tidak
mengerti mengapa. Padahal dia mendapatkan hasil permulaan
dari tujuannya, ialah merukunkan Suheimi dan pemilik lahan
lokasi Madura.
’’Kita jadi lewat pinggiran sungai, Mas?”
’’Mengapa?”

142
’’Melihat-lihat pemukiman orang-orang yang datang ke-
marin,” sahut Parmono.
“Oya,” kata Samirin; dia sama sekali lupa bahwa sebelum
berangkat, mereka berdua telah merencanakan kunjungan
tersebut.
’’Kata RT, dari Jawa Barat, bukan?”
“Ya, dari Pandeglang,” jawab Parmono. ’’Jadi, Mas?”
“Ayo!”
Parmono meninggalkan jalan utama, masuk ke jalur jalan
setapak. Samirin mengikutinya. Bekas-bekas roda gerobak jelas
kelihatan. Di beberapa tempat, tapak-tapak kaki kerbau tercetak
dalam limbahan. Semakin mereka maju, semakin tampak tanda-
tanda bahwa mereka mendekati aliran sungai atau rawa-rawa.
’’Anda yakin bahwa ini jalannya?”
“Ya, Mas! Ikuti saya saja!”
’’Mudah-mudahan ban kita selamat,” kata Samirin.
Meskipun tanah lunak, tetapi banyak cabang dan ranting
tergeletak di mana-mana. Tidak jarang kayu-kayu itu penuh
duri. Kedua guru berusaha menghindari tancapan kanan ataupun
kiri.
’’Sebentar lagi kita sampai di Kedungwangi. Dari situ kita
mulai menelusuri tepi sungai. Terus ke Selatan.”
’’Berapa pal?”
’’Tidak tahu, Mas. Barangkali kurang dari tiga kilo.”
’’Terang pinggirannya?”
’’Terang. Sudah dibabat untuk pemukiman itu. Memang
dimaksudkan untuk jalan setapak.”
Siang seperti itu, di udara terbuka panasnya terik dan mem-
bakar kepala. Tapi di antara pohon dan semak terasa lindung.
Dahan serta ranting menjadi atap, menahan tembusan sinar.
Berkas-berkas cahaya yang berhasil menerobos mengirim keha-
ngatan yang mengolah bau dedaunan. Di tanah, di beberapa
tempat di mana timbunan daun terkumpul, samar-samar keli-
hatan uap mengepul.
Setelah melewati hambatan rotan terpadat, mereka tiba di

143
tepi sungai. Dan begitu saja, tiba-tiba udara berbau sedap. Kata
Parmono itu adalah wanginya sejenis rumput yang menyatu
dengan semacam pandan air. Tempatnya dinamakan Kedung-
wangi oleh orang-orang tran. Sungai itu tampak sempit. Air yang
mengalir kelihatan jernih, tetapi deras meskipun hanya selebar
satu depa. Kalau hujan tiba, tepiannya melebar, jaluran air yang
mengalir menggemuk dan meronta. Bisa mencapai sepuluh dua
puluh depa. Oleh karena itulah sisi seberang, di mana lahan
kesatuan Pemukiman sudah dibuka, sebenarnya harus dibangun
tanggul. Tetapi rupanya sampai saat ini belum ada tanda-tanda
persiapannya. Padahal menurut keterangan RT, para transmigran
sudah mulai berdatangan dari Jawa Barat.
Mereka menuntun sepeda. Kesantaian lingkungan membikin
mereka bisa berbicara lagi. Jalan setapak ternyata terang dan
kering seperti kata Parmono. Mereka tidak perlu terlalu repot
menghindari ranting tajam dan sebagainya seperti ketika berada
di bawah pepohonan. Sebentar percakapan menyentuh kondisi
tanah. Kemudian lepas jauh, memperbandingkan yang masing-
masing ketahui di desa mereka di Jawa. Kembali lagi ke tempat
kaki mereka berpijak. Dan akhirnya, seakan-akan tidak bisa
lagi ditanggalkan dari bagian kehidupan mereka di hari-hari
selanjutnya selama perkara tersebut belum ada penyelesaiannya,
Samirin dan Parmono membicarakan orang-orang Madura.
Entah siapa yang memulai. Dan dengan sendirinya pula,
karena membicarakan orang-orang Madura, Makerah termasuk
di dalamnya. Parmono bersemangat menunjukkan keheranan
dan rasa tidak setuju Makerah menikah dengan Jemain. Satu
kalimat ke kalimat lain, lama-kelamaan, Samirin menyadari
betapa perhatian Parmono juga terpikat oleh semua sikap atau-
pun ulah dan gerakan janda muda itu. Hati-hati Samirin meng-
iyakan, membetulkan, tetapi sering kali menyangkal pendapat
kawannya mengenai perempuan tersebut. Karena dia ingin mem-
perlihatkan berlainan pendapat. Samirin ingin mengingkari ke-
benaran daya tarik Makerah yang telah menjerat mereka berdua.
Tata lahir, Samirin tidak mau Parmono mengetahui bahwa dia

144
juga sependapat, bahwa Makerah jelas berbeda dari wanita-
wanita lain. Antara sadar dan tiada, dia merasa seolah-olah tidak
akan bisa membebaskan diri lagi dari pemikiran terhadap
perempuan Madura itu.
Dengan lega Samirin menunjuk ke seberang, katanya,
“Itu pemukimannya, Dik!”
Berarti pembicaraan tentang orang-orang Madura harus
dihentikan. Atau setidak-tidaknya untuk sementara!
Meskipun baru kelihatan dari jauh, namun pemandangan
lokasi itu tidak mengundang. Tidak mengesankan satu kera-
mahan atau satu kekrasanan.57 Lingkungannya terang. Terlalu
terang sehingga siang hari seperti itu memberi gambaran keger-
sangan. Dan sebegitu mereka masuk ke sana, mendadak keger-
sangan itu dibantah oleh genangan air hitam berlumut. Lalu
tidak ada kesan lain yang tinggal kecuali kesedihan serta kemu-
raman.
Rumah-rumah berkapur putih berderet seperti dalam Kesa-
tuan Pemukiman yang lain. Semuanya berbentuk panggung,
dengan anak tangga sepuluhan jumlahnya. Di antara jajaran
yang berhadapan itu ada jalan. Tanahnya keras dan kering, nyata
bekas lindasan traktor yang memadatkan. Untuk menuju ke
rumah, orang harus meninggalkan jalan, yang berarti juga me-
ninggalkan tanah kering. Samirin mencoba dua kali; yang ketiga
kalinya dia mundur teratur. Untuk sampai di tangga rumah-
rumah itu dia terjun ke tepi jalan yang semula dikiranya lubang
parit. Tetapi rupa-rupanya parit itu menerus, dasarnya sama
rata hingga ke suatu tempat, baru agak naik sedikit.
Dia termasuk tinggi bagi ukuran laki-laki di sekelilingnya.
Permukaan air yang berlumut hitam itu menggarisi betis, kemu-
dian naik hingga ke lutut. Parmono tidak berani menjajaki lebih
jauh dari pinggiran jalan. Rupa-rupanya dengan pembukaan
pemukiman itu, jaluran jalanlah yang dibikin tinggi. Tanah yang
dipergunakan sebagai pemadat dikeruk dari kanan kiri, yaitu
tempat di mana kemudian dibangun rumah-rumah putih. Ha-
silnya, air yang merembes dari sungai melimpah ke tempat-

145
tempat yang lebih rendah, atau yang sama tinggi dengan aliran
kali. Lahan di situ bisa dikatakan lahan pasang surut.
Tiba-tiba Samirin teringat kepada Suhadi dan cerita-cerita-
nya. Air hitam yang menyentuh kaki terasa gatal. Dia tidak
bisa menahan diri lagi, berlari ke tepi sungai.
Ketika kembali ke tengah-tengah Pemukiman, Samirin meli-
hat beberapa orang berkelompok di muka salah satu rumah.
Kelihatan Parmono bersama mereka dan melambai ke arahnya.
Samirin mendekat. Seorang perempuan berjongkok, tiga anak
mengelilinginya. Ibu itu sedang menyuapi mulut kecil-kecil di
sampingnya. Seorang wanita lain lebih tua menyisihkan dan
mengatur barang, dijadikan kelompok menuruti kegunaannya.
’’Embah dan ibu ini baru datang, Mas,” kata Parmono.
’’Kemarin ya, Bu?” kata Samirin setelah mengangguk mem-
beri salam.
“Ya, kemarin petang,” wanita tua menyahut.
Anak-anak kelihatan rakus. Hanya satu kali melihat ke arah
Samirin. Mata ketiganya terpaku ke panci yang dipangku ibunya.
Dari sana beruntunan keluar sendok berisi nasi dan secuil lauk
yang digoreng. Setiap suapan, jari-jari ibu itu memotong sesuatu,
menyelinapkannya di antara butiran nasi. Tanpa menyentuhnya,
orang tahu bahwa nasi itu terlalu keras.
’’Katanya dari Pandeglang, Bu?” kata Samirin lagi, berusaha
mengaitkan perhatian penuh ke Nenek yang melayaninya ber-
bicara.
“Ya.”
’’Lalu mengapa sekarang kok masih di luar?”
’’Pindah, Mas,” Parmono menjelaskan.
Diteruskan oleh si Nenek.
’’Kemarin sudah gelap. Asal masuk rumah yang mana saja.”
’’Embah dan Ibu ini bersama-sama?” tanya Samirin, mencoba
menangkap pandang perempuan yang sibuk dengan anak-anak-
nya.
Tetapi yang berbicara tetap yang tua,
’’Bersama-sama datang. Tapi kami dua keluarga.”

146
Nenek itu berhenti. Berdiri menegakkan punggung, meman-
cangkan kedua tangan ke pinggang bagian belakang sambil
menggeliat. Dia melihat ke wanita yang lebih muda, seakan-
akan menunggu dia berbicara. Tetapi perempuan itu tetap diam,
baru saja menutup botol air minum. Dia juga mulai menyuapi
mulutnya sendiri.
“Dia dan anak-anak ikut suaminya, anak saya,” kata Embah
itu kemudian.
Pandangnya terarah ke rumah paling dekat. Di sana kelihatan
dua lelaki keluar masuk mengusung barang. Lalu tampak satu
laki-laki lagi, berumur belasan tahun.
“Itu juga anaknya, Mbah?” tanya Parmono.
’’Cucu, tapi sudah lama turut kami. Jadi, sudah menjadi
anak begitulah!”
Samirin dan Parmono memandang ke sana. Anak muda itu
sedang mengangkat dua barang sekaligus. Tampak mudah dan
ringan. Lengannya jelas kokoh, bahunya bidang. Tubuh berotot
seperti itu pastilah sangat berguna di daerah transmigrasi. Apalagi
bagi orang-orang tua seperti yang mereka hadapi. Samirin tidak
berani meramalkan kerja berat mana yang menunggu mereka. Baik
tenaga tua ataupun muda. Di samping perjuangan mereka melawan
nyamuk, yang membawa penyakit maupun yang tidak. Karena
genangan air di bawah setiap rumah kelihatan begitu mencurigakan.
Dan malaria adalah yang paling umum di hutan tropika.
Seorang laki-laki kembali, menyeberangi lautan hitam. Ter-
nyata memang genangan di sana tidak begitu dalam. Banyak
bagian-bagian yang permukaan airnya hanya mencapai setengah
betis. Bahkan tanah yang ada di bawah tangga kelihatan menon-
jol meskipun terbalut oleh kelicinan lumut. Naik ke jalan dan
mendekati kumpulan barang-barang lain, lelaki itu basah kuyup.
Bagian bawah oleh air, atasnya oleh keringat.
’’Kami guru-guru dari Blok D, Mas,” Parmono memperke-
nalkan diri.
Laki-laki itu tidak menyahut, hanya mengangguk, langsung
akan mengangkat kerdus pindahan.

147
’’Hati-hati, perlahan, Kang....”
Selang dua detik istrinya berseru, bawah kotak kerdus itu
terbuka dan, Pyaaaar, krepyek....
Bunyi piring dan gelas terhempas. Pecah belah bertumpukan
teronggok hancur, disusul jeritan,
’’Akaaaaang!”
Dan dengan suara gumaman, wanita tua berkata kepada diri
sendiri dalam bahasa Sunda,
’’Sedari kemarin sudah diberi tahu bahwa kerdusnya basah.”
Laki-laki itu tertegun, kaget. Sebentar tetap berdiri dengan
tangan bersikap masih memegang kotak yang jebol. Kemudian
terjongkok, meletakkan bawaannya setengah dibanting. Samirin
bagaikan ikut terhenyak bersama kerdus itu. Tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Dia mengerti bahasa Sunda sedikit-
sedikit. Ketika masih sekolah, dia dibawa berlibur oleh temannya
yang berasal dari Cimahi lebih dari sekali. Dan selama tinggal
di Blok D, semakin banyak orang Jawa Barat yang dia kenal.
Setelah selintas saling memandang, Samirin dan Parmono
bersamaan mendekat. Tetapi sebelum menyentuh sesuatu pun,
ibu yang muda bangkit, meninggalkan anak-anak yang di-
suapinya.
’’Biar aku saja,” seketika itu pula si Nenek sudah memegang
benda pecahan. ’’Teruskan menyuap! Biar tenang kalau perut
kenyang!”
Perlahan dan hati-hati, dia mengangkat lempengan demi lem-
pengan.
’’Kalau mendengar bunyinya, pasti semua pecah!” katanya
lagi seorang diri. ’’Diberi tahu sejak kemarin....”
’’Lupa!” tiba-tiba laki-laki itu membentak. ’’Orang ‘kan bisa
lupa! Apalagi kalau dari subuh tidak berhenti. Rumah ini tidak
jadi, rumah itu tidak mau! Mana perut keruyukan!” Kalimat-
kalimat itu meluncur keras dan jengkel. Parmono sudah sampai
di sisinya, memegang siku lelaki itu.
’’Berhenti dulu, Mas! Ayo minum di sana. Tempatnya teduh!”
Suami itu berdiri, menuruti gerak Parmono. Samirin merasa

148
tidak berdaya, tetapi masih bisa menambahkan, ’’Kami punya
makanan sedikit. Mari, Kakek sekalian!” Bekal yang dibawa
kedua guru itu akhirnya dimanfaatkan. Mereka sudah makan
di warung Amang, dilayani Makerah. Kini bisa diberikan kepada
yang memerlukannya.
Mereka menuju ke pinggir kali. Samirin menyusul, katanya,
’’Kakek tidak mau. Nanti saja, sama-sama cucunya.”
’’Biar saja! Kalau dia dan yang lain-lain selalu ada yang ngu-
rus. Saya, tidak ada yang mikir!”
Samirin mendapat keterangan sedikit mengenai perjalanan
pendatang baru itu. Sejak dari pengumpulan di asrama Banjar,
banyak hal menjadi masalah. Semua tidak teratur. Pembagian
jatah makanan kurang. Kamar-kamar bocor, sehingga barang
dan orang menjadi lembek karena air. Sekarang sampai di lokasi,
Pemukiman juga berada di tengah-tengah kubangan!
’’Saya tidak tahu akan begini jadinya. Waktu penerangan,
kedengarannya semua lancar, baik-baik dan enak tempatnya.”
Parmono muram. Setahun ini Samirin merasa cukup mengenal-
nya. Dia segera memberi isyarat agar guru muda itu bertahan tidak
menambahi rasa berontak yang tersekap di dalam dada pendatang
baru. Berapa kali, lebih-lebih akhir-akhir itu, mereka mendengar
kekisruhan organisasi yang mengurus orang-orang tran. Kuping
mereka seharusnya sudah kebal terhadap keluhan ataupun
pengaduan. Namun, hati mereka terlalu dekat dengan pengertian
hidup beradab. Tata krama58 yang diajarkan ke-Jawa-an mereka
mengakui kehidupan miskin, tetapi menolak perbuatan semena-
mena dengan pengetahuan akan membikin orang menderita.
Makanan mereka ludes dihabiskan pendatang dari Pande-
glang. Bersama lingsirnya59 matahari ke pucuk-pucuk ulin sebelah
Barat, kedua guru meninggalkan tempat itu. Mengayuh sepeda
di belakang Samirin, Parmono berkata seperti ditujukan kepada
dirinya,
’’Keadaan di desa asalnya harus benar-benar sengsara untuk
bisa menyenangi tempat seperti itu. Mudah-mudahan mereka
tidak patah semangat.”

149
Samirin tidak segera menanggapi. Kemudian suaranya te-
nang, tetapi jauh dari kecerahan hati,
’’Kebanyakan mereka terpikat oleh janji muluk. Penerangan-
penerangan di desa atau di tempat pengumpulan dibikin me-
narik. Bagaimana dengan Adik dulu?”
’’Untung saya tidak begitu, Mas. Cukup lumayan saja. Me-
mang ada pikatan, bujukan, tapi lumayanlah keseimbangan-
nya! Juga diberi tahu bahwa akan berjalan kaki jauh, akan bekerja
keras. Bagi kami, yang sangat meleset yaitu: pembagian pupuk,
bibit dan sejenisnya.”
Memang! Itu Samirin juga mengalaminya. Tidak ada kese-
pakatan antara Proyek dan Pertanian. Orang-orang yang punya
uang bisa membeli bibit sendiri. Tetapi kebanyakan transmigran
hanya mengandalkan pembagian.
’’Yang jelas, kita tidak berendam di air kubangan seperti orang-
orang Pandeglang!” kata Samirin menghela napas. “Di rumah ada
piring dan gelas yang kelebihan. Barangkali istri saya mau mem-
baginya beberapa untuk ibu tadi. Kasihan!” “Ya, betul, Mas. Saya
mau tanya mbakyu kalau-kalau ada baju anak-anak yang terlalu
kecil dan masih baik. Bisa diteruskan buat anak-anak tadi. Udara
di sana lembab terus. Tambahan pakaian pasti ada gunanya!”
Samirin menoleh ke arah kawannya, terharu. Untuk kesekian
kalinya dia menyadari betapa beruntungnya mempunyai rekan
seperti pemuda itu.
Diam-diam mereka mengayuh pedal, mencari jalan yang rata
menuju ke Blok D. Masing-masing disibuki pikirannya. Tiba-
tiba Samirin merasakan aliran hangat di dadanya. Selintas, di
dalam kepala terbayang Makerah berdiri di ambang pintu. Sele-
baran tanah berisi kehijauan yang berbaris rintip dengan selingan
warna lembut lain terhampar di depan perempuan itu.

150
10

Setelah berkali-kali ke rumah Suheimi tidak bertemu, dan


Samirin meninggalkan pesan, akhirnya mereka bisa berkumpul
di waktu jam pelajaran. Sementara itu, waktu sudah berselang
lima hari. Orang-orang Madura mulai tidak percaya terhadap
maksud baik guru-guru untuk mendekatkan kaum pendatang
dengan penduduk setempat.
Tetapi hari-hari yang berlalu itu dipergunakan penuh oleh
Parmono. Ketika pergi ke Banjarmasin dia berhasil mengintip
rencana pembangunan di daerah di bagian lokasi mereka. Jadi,
dia mengetahui kilometer berapa dan pai berapa jalan besar
antarkota akan dibikin. Dia juga mengetahui jaringan jalan seta-
pak mana yang akan ditiadakan atau tetap dipakai, ataupun
dirintis lagi sebagai tambahan. Dengan demikian, Parmono dapat
menunjukkan, ke mana jalan yang terpotong oleh lahan orang-
orang Madura itu bisa dibelokkan.
Dicari tempat pertemuan netral. RT tidak dapat menerima
tamu karena dua anaknya sakit. Sebentar mereka berpikir untuk
minta tolong kepada Pembakal. Tapi cepat dibantah mereka
sendiri. Harus merupakan tampat di mana mereka, masing-ma-
sing pihak merasa santai. Samirin mengusulkan rumahnya. Su-
dah disetujui, tetapi pada detik terakhir terpaksa diambil alih
oleh Parmono.
Marsi tidak sekuat biasanya sejak mengandung lagi. Berkali-

151
kali dalam sehari dia merasa lemas, harus sering berbaringan.
Tak seorang pun mengharapkan dia mengalami keguguran lagi.
Meskipun tidak terlalu merepotkan, pertemuan antara orang-
orang Madura dan Suheimi sebagai wakil pengusaha penebangan
penduduk asli berarti rundingan-rundingan yang lama. Barang-
kali berhenti sebentar, tetapi harus disambung berkali-kali.
Mungkin akan berisik mengganggu orang yang ingin beristirahat.
Dengan senang hati istri Parmono mengambil alih tugas men-
jamu orang-orang yang akan didamaikan itu. Selain Rahman
dan Amang, ada dua anggota kerabatnya yang memperkuat dele-
gasi mereka. Suheimi datang tiga bersaudara, Mahlan dan Aini.
Samirin tidak begitu menyukai Aini. Pemuda ini selain pendiam,
kerjanya pun lamban dan kurang rapi. Mahlan yang termuda
justru bersifat mandiri. Selalu mencari kesibukan. Semua tugas
yang diserahkan Suheimi kepada kedua adiknya, dapat disebut
Mahlanlah yang mengerjakan sebagian besar. Tetapi Mahlan
tidak pernah mengeluh maupun mengadu. Dalam pertemuan
pertama itu ternyata Mahlan juga banyak memberikan bantuan
sebagai penyiram api. Suheimi bersaudara adalah keturunan
Dayak-Banjar. Dua sifat asing bagi Samirin. Setahun berkenalan
dan sering berhubungan dengan mereka, Samirin mengira baru
mengerti jalan pikiran tiga bersaudara itu.
Orang-orang Madura bersikap kaku. Kehadiran pihak yang
dianggapnya sebagai lawan membikin mereka tegang. Selalu siap
untuk membantah, mengadakan perdebatan. Samirin merasakan
suasana demikian sejak perbincangan dimulai. Dengan keseder-
hanaannya, Mahlan membiarkan kakaknya berbicara dahulu.
Baru setelah Suheimi mengatakan pendapat dan isi hatinya,
Mahlan menambahkan pelembut kata, mengulur kepanjangan
benang supaya persoalan yang dilepas tidak terlalu kaku. Dia
memang bersikap seperti menerbangkan layang-layang. Samirin
juga sangat menghargai kehadiran RT dan Parmono. Dia kagumi
kesabaran ipar rekannya itu dalam mengulang-ulangi penjelasan,
usul ataupun nasihat. Samirin sanggup menghadapi anak-anak
dan orang dewasa sebagai murid. Tetapi berunding dengan pri-

152
badi-pribadi yang datang dengan persiapan buat menang sendiri,
Samirin tunduk di bawah kemampuan Parmono. Pengalaman
bergaul dengan orang sedesanya di Juwangen maupun Sorogenen
terlalu halus untuk mendasari kejutan-kejutan yang mungkin
diperlihatkan orang-orang Madura.
Tentu saja pertemuan satu kali belum mencukupi. Harus
dilanjutkan dengan dua bahkan tiga pembicaraan lagi sebelum
masak dan kompak benar. Sesudah itu, baru keputusan bersama
akan disampaikan kepada Pembakal. Sebagai wakil pemerintah
daerah yang terdekat dengan penduduk, juga sebagai pengusaha
kayu. Jemain dianggap sudah turut berunding. Meskipun berka-
li-kali diminta datang, tidak pernah menunjukkan ujung hidung-
nya. Tetapi Rahman dan Amang menanggung, Jemain akan
menerima dan membantu keputusan apa pun yang dihasilkan
pertemuan-pertemuan mereka. Kalau tidak...! Samirin kali itu
masa bodoh apa yang mungkin terjadi pada Jemain. Baginya,
Suheimi jauh lebih penting. Dan untuk menyelamatkan kepent-
ingan Suheimi, maka dia tekun mengikuti perundingan-perun-
dingan.
Karena adakalanya harus meninggalkan jam pelajaran, Sami-
rin membiarkan Parmono dan RT berangkat untuk pertemuan
di lokasi orang Madura. Tetapi kemudian, RT mempunyai
urusan lain, harus pergi ke Banjarmasin. Samirin menggantinya.
Dan tentu saja pertemuan-pertemuan itu diadakan di warung
Amang. Pada waktu itulah Samirin membebaskan diri dari selu-
ruh perasaannya untuk memperhatikan Makerah sepuas-puas-
nya.
Pada waktu itu pulalah dia yakin, sesuatu telah terjadi dalam
dirinya. Suatu pengalaman tak teraba maupun terlihat telah me-
nyelinap. Sejak diundang makan dan melihat lingkungan janda
yang dikenal hanya dari berita itu, dia tidak pernah melupakannya.
Sesaat dan sesaat yang lain bentuk tubuh perempuan itu muncul
dalam kenangan Samirin tanpa diundang. Makerah duduk,
bersideku di meja. Makerah berpegang pada pagar mengantar tamu
pulang. Dan yang paling sering adalah bayangannya di depan

153
kegelapan ambang pintu ketika menyilakan Samirin makan.
Kumpulan warna hijau dan kuncup-kuncup aneka kembang pagi-
sore membikin jarak antara Samirin dan janda tersebut. Gambaran
itu tercetak kuat di kepala dan hati Samirin. Setiap kali ingat,
Samirin merasakan satu sensasi yang menggelitik. Satu perasaan
yang telah lama terlupakan. Entah kapan terakhir kali gelombang
kepanasan seperti itu melanda keseluruhan syarafnya.
Dimulai dari kejadian masa lalu, jauh sebelum pernikahan-
nya. Ketika waktu-waktu kosong tugas sekolah, dia turut
beberapa kawan keluar asrama. Biasanya ke Kaligarang untuk
mandi-mandi dan bermain bola di air. Sungai besar dan dahsyat
di kala banjir itu menunjukkan keramahan dan keakraban di
waktu badannya menyusut. Apalagi bagi orang-orang yang tahu
bagaimana menggaulinya.
Samirin dan teman-temannya mengenal baik lingkungan sungai
itu. Mereka mengetahui di mana arus yang deras, tempat mana
menyimpan kedung,40 di mana pula harus menyeberang. Seperti
penduduk sekitar, siswa-siswa calon guru juga memiliki kesopanan
menyapa dan bersalam sebelum kerkecimpung di air. Karena terlalu
sering kelihatan di sana, mereka juga dikenal penduduk, menjadi
bagian dari keramaian yang ada di saat-saat sesudah sekolah hingga
matahari terbenam. Samirin mengenali siapa-siapa yang biasanya
memancing. Kelompok wanita-wanita yang mencuci sambil mandi.
Lelaki yang menjala di bagian-bagian lebih dalam.
Suatu hari, setelah merapikan sepeda di pinggir, Samirin
menyusul kawan-kawannya ke sana. Mereka sudah menuju ke
tempat biasa yang mereka pilih. Samirin paling belakang, me-
lompat dari batu ke batu. Terdengar temannya menegur satu-
satunya wanita yang mencuci di dekat batu-batu itu. Berpuluh
kali, barangkali lebih, Samirin melihat perempuan mandi di desa
atau di Kaligarang atau di sungai mana pun. Kain batik basah
melekat di badan hingga memperlihatkan lekuk dan bentuk kein-
timan. Bahu mereka terbuka. Rambut biasa tergumpal menjadi
sanggul di tengkuk, atau jauh di pucuk kepala. Semuanya belum
pernah mempesona Samirin.

154
Tetapi hari itu lain yang terjadi. Padahal yang tampak tidak
ada bedanya. Berlima pemuda-pemuda berloncatan menghindari
genangan sungai di sela batu-batu. Seorang demi seorang meng-
ucapkan kata nuwun atau amit sambil lalu. Perempuan itu mene-
ngadah, memandang satu-satu yang lewat. Lindungan pohon
munggur yang jatuh di air membikin bayangan teduh. Melalui
celah-celah dahan, panas matahari menembus dan mengirim
kilauan warna menakjubkan pada bahu dan bagian dada wanita
yang tidak terselimuti kain pinjungannya.41 Indra Samirin goyah,
kakinya tidak memijak tepat tengah-tengah batu. Dia terpeleset.
Belum-belum celana pendeknya basah. Wanita itu berseru,
’’Hati-hati, Nang!”
Dan mata mereka bertatapan. Seketika itu Samirin merasa
seolah-olah dirinya dicengkeram oleh sesuatu kekuatan. Ter-
angkat lalu melambung di dalam uap panas menyesakkan. Per-
lahan, perlahan sekali, dia kembali turun. Pandangannya kabur,
seperti terhalang kabut asap, hangat menyelubungi sekeliling.
Suara sayup-sayup adalah keributan teman-temannya. Sedikit
demi sedikit, kekaburan tersingkap. Samirin melihat kawan-
kawannya membuka pakaian, bergantian mencebur ke sungai,
melempar bola.
Dalam gerak kebiasaan, dia meniru. Indranya masih lumpuh,
hanya menyadari satu tarikan: berkali-kali dia menoleh ke tem-
pat perempuan itu menggosok cucian. Keseluruhan peman-
dangan itu menggugah berahi remajanya. Sekali tolehan, ke arah
mana pun matanya berlabuh, sebuah aliran panas menggulung
menguasai dada, kepala, merata, untuk kemudian bersarang di
sela-sela paha. Dia menyepak dan menendang di dalam air untuk
mengusirnya. Namun, derita itu berulang-ulang menyergap sebe-
gitu dia melayangkan pandang ke keteduhan pohon munggur.
Malamnya, Samirin demam, menggigil, badannya menyekap
bara. Hari-hari berikutnya dia dikuasai rasa sakit yang sama
jika mengenang perempuan di Kaligarang siang itu.
Sejak waktu itu Samirin menjadi pengamat yang tekun ter-
hadap wanita-wanita yang sibuk di sungai. Tetapi tidak akan

155
pernah lagi dia menerima tamparan udara panas seperti siang
itu. Dan untuk seterusnya, Samirin masih melihat perempuan
itu satu kali lagi. Pengaruh pertemuan selintas tetap mengganggu
serta mengejarnya. Samirin menjadi pelamun. Dalam kebingung-
an menentukan antara meng-enyahkan rasa merananya atau
selalu berbalik mengenanginya, dia tidak sabar menunggu kesem-
patan pulang ke desa. Hanya kepada Kakek dia akan dapat le-
luasa menceritakan pengalaman barunya itu.
Dan Kakek terkekeh-kekeh mendengarkan.
Badannya yang kurus terlipat, perutnya kaku. Sampai terba-
tuk-batuk digegarkan oleh kegeliannya. Geli dan gembira. Cucu
yang disayanginya disinggahi rasa-rasa kejantanan yang pertama.
Satu sisi dari kejantanan yang dipegang Kakek sebagai ukuran.
Selesai kedahsyatan ketawanya, Kakek bicara dengan nada
bersungguh-sungguh: dia berjanji akan memberikan kelanjutan
rasa tersebut kepada sang cucu. Tidak segera. Samirin harus
membuktikan dulu sampai di mana dia bisa memelihara dan
mengembangkan pengalaman barunya sambil bersekolah yang
baik! Kelak jika Kakek mengira waktunya tiba, baru Kakek akan
menolong Samirin menambah pengetahuan menjadi laki-laki.
Untuk sementara, Samirin hanya menerima petunjuk bagaimana
caranya tidak mengeram rasa demam yang sekali-sekali mence-
kamnya.
Samirin tidak pernah lupa bayangan di Kaligarang itu.
Kenangan itu terlipat rapi, tersimpan di hati. Dengan teratur
dia mengambilnya, menyingkap dan membukanya. Dan teratur
bayangan itu mengantarkannya pada kepuasan yang membikin
dia lena, santai hingga waktu yang terbalas. Diajar serta diarah-
kan Kakek, berangsur-angsur Samirin dapat mengembangkan
rasa-rasa yang semula mencekam dan membuat menderita. Ting-
kat demi tingkat dia bisa menikmati. Keanehan dan kemeranaan
yang dulu dirasakannya, ternyata merupakan satu dari puncak-
puncak kenikmatan manusia hidup. Dan alangkah bahagianya
pula dia mempunyai Kakek seperti yang dia miliki.
Lalu datang saat di mana Kakek membawanya ke Muntilan.

156
Dia dipasrahkan pada Yu Saliyah. Kata Kakek, wanita itu tidak
mempunyai umur. Sejak dia mengenalnya, sudah bertubuh dan
berwajah demikian. Sekarang Kakek ganti memperkenalkan cucu
agar diperlengkapi dengan pengetahuan untuk menyenangkan
dan membahagiakan pasangannya kelak. Yu Saliyah tetap sedet42
dan merak ati43 Yang mau percaya mengatakan, bahwa perempuan
itu juga mempunyai kepandaian menyembuhkan penyakit.
Bagi Samirin, mengikuti penjelasan Kakek, dia berkepan-
daian mendidik anak-anak muda menjadi lelaki yang tidak hanya
tahu memuaskan diri, tetapi lebih-lebih tahu memuaskan istri-
istri mereka di kemudian hari. Dia tidak menerima panggilan
lain daripada lelaki itu kecuali mbakyu, yang berarti kakak perem-
puan. Tetapi menerima tuturan serta belaian Yu Saliyah tidak
mengubah pola gambaran yang ada di kepala Samirin. Cetakan
bayangan perempuan mandi di Kaligarang pada ’’siang itu” tetap
nyata. Bahkan lebih sering tersingkap, mengambang paling atas
di antara segala kenangan.
Demikian seterusnya sampai waktu dia meniduri Marsi. Tak
ada gempa tak ada angin ribut, perempuan yang menjadi istrinya
itu menyapu banyak kenangan, termasuk rabaan api yang
menggugah Samirin dalam kepekaan nafsu jasmaniah, tujuh
tahun? Ataukah delapan tahun perasaan itu meninggalkan diri-
nya?
Kini tiba-tiba Samirin dikejutkan oleh sengatan rasa yang
sama. Tetapi dia sekarang lebih tahu bagaimana menikmati serta
menahannya lama-lama di kedalaman dirinya. Aneh sekali! Dia
merindukan Makerah. Mengapa begitu? Rasa-rasanya tidak
mungkin dia mengkhianati Marsi meskipun hanya dalam
pikiran. Pada mulanya, bayangan janda itu menelusup sendiri
ke dalam ingatannya. Tapi hari menuju ke hari, semakin Samirin
mengurus keberesan hubungan orang-orang Madura dengan
pengusaha penebangan kayu, semakin dia merasakan kebutuhan
untuk meyakinkan diri, apakah wanita itu masih menghuni be-
naknya. Samirin-lah yang mencari bayangan tersebut.
Penuh-penuh kesadarannya menolak perbandingan antara

157
Marsi dan Makerah. Tidak ada kesejajarannya. Dia tidak menge-
nal perempuan Madura itu seperti dia mengenal Marsi. Dan di
atas segala-galanya, Marsi adalah ibu anak-anaknya. Tapi justru
dengan menyebut anak itu, bawah sadarnya berteriak tepat di
kuping hatinya, bahwa semakin bertambah anak, istrinya
bertambah nglomprot,44 Tidak berperhatian merapikan diri. Ram-
but yang panjang dan tebal, yang dulu paling disenangi Samirin
baik sebagai pemandangan maupun belaian, sekarang tidak
berkilau. Kalau tidak ditegur, bau campuran minyak dan keringat
tercium dari jarak berjauhan. Betul, memang! Marsi tidak me-
nunjukkan memelihara diri seperti dahulu lagi. Mengapa? Ba-
rangkali terlalu sibuk?
Bertransmigrasi bukan berarti berleha-leha. Tetapi penjelasan
itu dibantah sendiri oleh Samirin. Kalau hanya untuk mencuci
rambut, masih tersisih waktu. Uang pembeli sabun pun ada.
Justru mereka memiliki merang padi rojolele yang wangi untuk
dibakar dijadikan londo,45 Sejak meninggalkan Kintap, dapat
dikatakan selalu Samirin yang mengingatkan istrinya mencuci
rambut. Kemasabodohan terhadap pemeliharaan badan itu ber-
tambah menjadi-jadi. Mungkin disebabkan karena rasa capek,
karena keguguran demi keguguran yang dialami Marsi? Tapi
barangkali pula karena memang istri Samirin merasa tidak perlu
lagi merapikan diri karena jarang keluar lingkungan Pemukiman.
Samirin menyayangkan hal itu. Sekarang lebih-lebih lagi setelah
mengetahui Makerah dari dekat.
Setiap kali ada keperluan ke lokasi orang-orang Madura,
hatinya melonjak kegirangan. Samirin tidak berusaha lagi mene-
kan kerinduannya terhadap Makerah. Suatu kali, selain menca-
pai kata setuju yang paling kompak antara orang-orang Madura
dan Suheimi, pihak Jemain juga hadir. Bertemu dengan orang
itu di warung, melihatnya berbicara dengan Makerah, Samirin
diserang kecemburuan dan iri hati yang tak terkirakan. Bersusah
payah dia menyembunyikan keberangannya selama perundingan
dilaksanakan. Kemudian, di sepanjang jalan pulang, dia tidak
berhasil menemukan sepatah kata pun guna memulai perca-

158
kapan. Selalu Parmono yang membawa permasalahan. Samirin
hanya menanggapi dengan kata-kata singkat. Hingga waktu
berpisah di dekat rumah, rekan dan temannya itu merasa perlu
bertanya apakah Samirin sakit. Dengan kepengecutannya dia
menjawab, bahwa memang sedang merasa mriang.46
Itu terbawa sampai di bawah atap keluarganya, Samirin tidak
banyak bersuara. Wajahnya muram. Segala sesuatu tidak ber-
kenan di hatinya. Terhadap anak-anak, dia masih bisa menahan
diri. Tetapi terhadap Marsi sukar sekali. Dia khawatir mulutnya
mengeluarkan kata-kata yang terlalu benar, tetapi menusuk pera-
saan istrinya. Semua membikin Samirin merasa jengkel. Oleh
karena itu, satu-satunya jalan adalah diam. Menyendiri duduk
di tangga setiap kali selesai makan malam. Demikian pun tidak
selalu mudah, karena Marsi dan anak-anak masih membun-
tutinya. Diam. Harus menahan supaya bibir tidak membentuk
kata atau kalimat berlebihan. Karena satu kelebihan saja sudah
akan cukup membikin pertengkaran. Sisa-sisa kesadarannya
merasa, bahwa Marsi juga dalam keadaan sama peka seperti
dirinya. Apa pun yang dilakukan anak-anak, bagi Marsi tidak
ada yang betul. Sedikit-sedikit istrinya berteriak atau mem-
bentak. Dalam kemabokan nama Makerah, Samirin masih ingat
bahwa Marsi mengandung. Dia masih memiliki kesopanan
untuk mengalah, menghindari perbantahan.
Tetapi akhirnya, sering kali Samirin tidak bisa menghalangi
terjadinya perselisihan kata. Dan ujung daripadanya ialah kaki
yang melangkah menuruni tangga. Mengungsi ke rumah te-
tangga atau berjalan memutari petakan pemukiman dua tiga
kali. Pada waktu-waktu begitu, biasanya Bayun mengejarnya.
Dan tanpa berkata sesuatu pun anak itu menyelipkan tangannya
ke dalam genggaman bapaknya. Samirin trenyuh47 menggenggam
tangan kecil itu erat-erat.
Sudah setengah bulan lamanya Bayun tidak dibawa-bawa
bapaknya. Selesai makan siang, Samirin pergi untuk keperluan
Suheimi dan orang-orang Madura bersama Parmono atau RT,
tergantung mana yang bisa meluangkan waktu. Bila ke ladang,

159
tidak mengajak anak sulungnya, karena Samirin langsung ke
sana setelah pertemuan diadakan. Di samping Bayun dianggap
akan merepoti urusan orang-orang dewasa, Samirin sengaja ingin
menyendiri di lahan. Begitu selesai makan, dia mengambil per-
alatan dan ceret teh, ke luar rumah tanpa pamit. Di ladang dia
membersihkan daun- daun kering, memperbaiki dan menegak-
kan yang perlu. Lalu membuat tempat untuk berbaring. Mem-
baca sebentar, selanjutnya Samirin melamun.
Dia kembali seperti di zaman sekolah. Ketika terakhir kali
Bayun masih turut ke kebun, Samirin mengakui telah teledor.
Disebabkan oleh kerepotan pikiran dan lebih-lebih oleh kema-
bokan hatinya, dia sampai lupa membuat ’’silang” bersama anak
sulungnya. Berkali-kali Samirin kencing sendirian. Pertama ka-
linya, dengan muka terbuka ke langit menadah panasnya hari
yang menelusupi setiap lubang dahi dan pipi. Pikiran melayang
ke kepuasan lain. Ke bayangan yang bermula di Kaligarang.
Tepat hampir selesai, Bayun melihatnya. Tergesa-gesa anak itu
hendak menggabung, tetapi terlambat. Bapaknya sudah mengu-
ras tetesan yang terakhir. Samirin melihat kekecewaan di wajah
anaknya. Namun, dia tidak menyadari berapa besar kekecewaan
tersebut. Bayun bisa kencing seorang diri! Dan Samirin berjanji
untuk kesempatan berikutnya.
Lahan itu melebar dan meluas. Masing-masing sibuk. Bayun
lebih berpikir ke permainan. Sedangkan Samirin bekerja sambil
melayangkan pikiran ke berbagai hal. Sehingga tiga kali dia lupa
bahwa anaknya ada di ladang bersamanya. Sewaktu pulang,
barulah Samirin menyadari betapa hal itu mempengaruhi pe-
rangai Bayun. Ketika akan naik sepeda, Samirin mengusulkan
membuat ’’silang” bersama, seberapa pun yang bisa dikeluarkan
dari ginjal masing-masing. Barangkali satu silang kecil sekali!
Bayun menolak. ’’Tidak usah!” Tidak lucu!” kata anak itu. Baru-
lah Samirin merasa iba. Sepanjang perjalanan menuju Pemu-
kiman, Bayun tidak mempedulikan usaha Samirin guna mengisi
kekosongan dengan percakapan. Dia memberikan keterangan
dan ajaran tentang binatang, pohon dan lainnya seperti biasa.

160
Bayun membungkam, tidak menanggapinya. Kalau bapaknya
bertanya, dia menjawab pendek. Terang-terangan anak itu
menunjukkan rasa hatinya. Hingga hari-hari berikutnya, Samirin
berusaha ramah, lebih berperhatian. Samirin bertanya-tanya sen-
dirian mungkinkah anaknya mengetahui mengapa dia demikian?
Adakah kecurigaan mengenai sesuatu perasaan yang berhu-
bungan dengan Kaligarang? Pendeknya dengan perempuan yang
bukan ibunya? Samirin lalu enggan bertatapan pandang dengan
laki-laki kecil yang pada suatu ketika nanti akan menjadi pemuda
itu. Mungkin akan memerlukan jawaban dan penjelasan seperti
dia sendiri dulu membutuhkannya dari Kakek.
Oleh karena rasa kesalahan itulah Samirin membiarkan anak
sulungnya turut keluar berjalan-jalan. Dan berdua, antara lelaki,
mereka diam. Sentuhan tangan seolah-olah telah mencukupi
sebagai ganti perbincangan. Ada rasa kekomplotan yang tiba-
tiba terjalin di antara keduanya. Samirin berhati-hati untuk tidak
mengecewakan Bayun dan membuat kesalahan tingkah lagi. Dan
bagaikan mengerti, bocah itu juga tidak cerewet ataupun terlalu
bertanya. Dia sudah merasa senang berdampingan dengan ba-
paknya.

Keputusan untuk babantai membelokkan jalan memberi ke-


lapangan pikiran kepada semua pihak. Samirin juga menda-
patkan kepuasan lain yang tidak dapat dibayangkan orang lain.
Delegasi orang Madura bersama penebang kayu berhasil mem-
pengaruhi Pembakal sehingga mendapatkan bantuan traktor dan
truk dari Proyek. Mereka memberi makan sopir serta membayar
bahan bakarnya.
Jalan yang dibikin cukup panjang. Samirin dan Parmono
sebagai guru tidak bisa terus-menerus mengulurkan tenaga. Te-
tapi seruan mereka meminta bantuan di blok-blok yang ber-
dampingan dengan jalur rintisan jalan disambut penghuni. Se-
tiap hari tidak kurang dari dua puluh orang datang menolong.

161
Penduduk asli, orang tran dan pekerja Proyek yang kebetulan
menganggur bersama-sama membabat belukar dan semak. De-
ngan adanya traktor, pekerjaan menumbangkan pohon menjadi
lebih gampang. Truk dipergunakan untuk mengangkut kayu ke
tempat penimbunan. Juga untuk mengambil serta mengantar
sukarelawan ke bagian-bagian pemukiman yang dilalui jalur jalan
besar. Tidak ada yang memberi makan maupun minum. Masing-
masing membawa bekal seperti kalau pergi ke lahan untuk ber-
kebun.
Enam belas hari kerja bakti dilaksanakan. Dari jalur jalan
utama, diperkirakan sepuluh kilometer untuk mencapai hutan.
Dari arah desa malahan lebih dekat. Lokasi orang-orang Madura
terletak lebih ke Utara. Sedangkan belokan jalan baru itu dapat
diambil sebelum sampai ke pinggir Pemukiman tersebut. Dipra-
kirakan jalan itu akan ramai. Lebih dipergunakan daripada jalan
lama. Ada harapan hubungan akan menjadi lebih mudah. Pemu-
kiman di sekitar jalur itu akan menjadi terbuka, sehingga penya-
luran hasil bumi juga akan lebih lancar.
Untuk sementara, beberapa orang sudah merasa lega.
Samirin begitu pula. Beban yang dianggapnya sebagai per-
tanggungan jawab moral terhadap Suheimi dan penduduk setem-
pat menghilang dengan selesainya jalan tersebut. Sesuai dengan
kesederhanaan dan kekurangan yang mereka hayati, tidak ada
selamatan makan-makan.
Hari yang dianggap terakhir dari kerja besar itu, seorang
ulama dari lokasi Madura membacakan doa. Suheimi membawa
sesajen yang diletakkan di salah satu pinggiran. Jalan selebar
tujuh meter sudah rata. Beberapa tempat yang dialiri batang air
ditindihi potongan-potongan kayu ulin. Itu diambil dari pusat-
pusat penebangan. Biasanya terbengkalai bertimbun, karena ti-
dak ada gunanya untuk pembikinan barang maupun dijual. Si-
apa pun dapat mengambilnya, tinggal mencari alat pengang-
kutnya saja. Untuk memagari lahan garapannya, Samirin mem-
pergunakan potongan-potongan yang sama.
Khusuk dan diam para sukarelawan mendengarkan doa, lalu

162
meneruskan kerja yang masih harus dilangsungkan hari itu. Yang
tidak dibutuhkan tenaganya, saling bersalaman dan saling mem-
beri selamat. Penduduk asli bersama orang tran dari Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura sebentar memandangi
hasil kerja bersama mereka sebelum berpisahan. Seseorang me-
nyeletuk,
“Ini bukti kemandirian kita, Mas!”
Rahman yang berbicara. Samirin dan Parmono mengangguk
dan tersenyum kepadanya.

163
11

Hari Minggu berikutnya orang-orang Madura mengadakan


kenduri. Pemilik lahan-lahan yang dulu terpotong oleh jalan
lama mengumpulkan bahan makanan, lalu diserahkan kepada
Amang dan Makerah. Warung itu menjamu warga lokasi Madura
yang pernah turut menyumbangkan tenaga selama babantai. RT,
keamanan, Pembakal dan guru-guru juga diundang. Pesta kecil
semacam itu dijadikan alasan untuk mengumpul. Orang tran
asal Jawa Timur tiba-tiba mengeluarkan siter, gong dan kenong.
Lodrakan yang belum pernah dilihat Samirin di kawasan pemu-
kiman, hari itu meramaikan suasana di sana.
Begitu sampai, guru-guru diperkenalkan kepada seniman
yang baru datang dari ibu kota.
’’Amrus, Mas!” katanya ketika bersalaman. ’’Saya dengar
Anda dari Yogya. Sorogenen, ya!”
’’Betul.”
’’Saya tahu itu! Desa yang rejo48 sekali! Semuanya tertib.”
’’Anda pernah ke sana?”
’’Tidak hanya pernah! Dua belas tahun saya tinggal di Yogya!
Ada teman-teman yang punya keluarga di desa itu.” Amrus me-
nyebut beberapa nama. Semuanya dikenal Samirin. Dan begitu
saja, dia merasa seolah-olah telah lama kenal seniman itu. Melalui
nama-nama yang baru dikatakan Amrus, Samirin seakan-akan
memandang sebagian dari desanya.

164
Amrus adalah orang Batak yang datang ke Yogya untuk
bersekolah di ASRI. Terpikat dengan gadis Jawa, akhirnya lama
menetap di sana. Hidup sebagai pelukis, kemudian penggambar
iklan, dilanjutkan sebagai pematung. Tampak umurnya jelas
lebih tua dari Samirin. Barangkali sebaya dengan Amang atau
Rahman. Mendengarkan dia berbicara barulah orang mengetahui
perbedaannya dari sekelilingnya. Dia mengingatkan Samirin
kepada Darsono.
Ya, lama orang itu tidak kelihatan. Pasti dia sedang mempu-
nyai kesibukan lain sehingga tidak menghadiri akhir kerja pem-
babatan yang bersejarah bagi orang-orang tran itu. Atau sakitkah
dia? Pikiran ini tiba-tiba mengganggu Samirin. Pada permulaan
hari-hari gotong royong Darsono masih kelihatan. Tidak ada
gejala-gejala yang mencurigakan. Juga tidak ada cerita-cerita me-
ngenai maksud untuk tidak akan membantu pelaksanaan jalan
baru itu. Samirin terlalu asyik mengingat-ingat pertemuannya
dengan Darsono yang paling akhir sehingga tidak mengikuti
sepenuhnya percakapan di meja. Ketika sadar kembali, dia
dengar suara Amrus,
“Ya, Mas. Saya heran sekali itu bisa terjadi!”
’’Berkat Pak Guru-Pak Guru ini!” sahut Rahman.
Parmono melihat ke arah Samirin. Pandangnya seperti me-
nunggu. Samirin tergagap, bergantian melihat ke Amrus dan
Rahman.
“Ya tidak hanya kami berdua!” Parmono segera menyahut.
“Pak Samirin dan saya hanya turut melancarkan rundingan.
Ya, Mas! Kata Kang Rahman, berkat kami berdua maka jalan
ini bisa jadi!”
“Yang penting, dengan terlaksananya kerja babantai ini kita
mendapat bukti, bahwa penduduk asli dan orang tran bisa ber-
satu,” RT turut menyambung.
Samirin melihat jelas sekarang apa yang mereka bicarakan.
’’Betul!” selanya. ’’Jadi, citra daerah kita ini tidak hanya yang
jelek saja. Apalagi untuk orang-orang Madura, Kang Rahman!
Mestinya Anda juga sering mendengar sendiri bahwa orang

165
Madura hanya dikenal suka berkelahinya, penaik darahnya dan
lain-lain yang menakutkan hidup kolektif!”
Amang terkikih, melemparkan pandang pendek-pendek ke
rekan-rekan di sekitarnya. Rahman tenang, memegang rokok
yang baru selesai dia gulung di satu tangan. Jari-jari tangan yang
lain memijit-mijit pucuknya.
’’Sayang orang yang juga banyak memberi gagasan kepada
saya selama perundingan ini kok tidak kelihatan,” kata Samirin.
’’Siapa, Pak Guru?”
’’Mas Darsono.”
“Dia ‘kan ke Banjar.”
“Ya, Mas,” sela Parmono, ’’waktu itu dia sudah bilang akan
mengawal orang-orang Blok F.”
’’Diantar ke Banjarmasin?”
Rahman menyalakan rokoknya. Mengisap sambil menyam-
bung,
’’Pesawat Herkules yang membawa transmigran Jawa Barat
‘kan kembali ke Surabaya hari itu. Orang tran banyak yang me-
manfaatkannya untuk pulang ke Jawa.”
’’Lumayan, Pak Guru! Tidak bayar!” kata Amang.
Ya, Samirin mengetahui itu.
’’Mas Darsono juga jadi kurir. Dia membawa surat-surat titip-
an kami. ‘Kan dulu dia tanya kepada kita juga, Mas?” Parmono
mengingatkan.
Tapi Samirin sama sekali tidak sempat mengingatinya. Hati-
nya repot dengan kenangan lain! Kini baru menyadari telah
melewatkan kesempatan baik.
“Ada orang Yogya yang berangkat pulang?” tanyanya.
’’Tidak ada! Kebanyakan Jawa Timur.”
“Ada yang pulang ke Semarang.”
’’Herkulesnya ‘kan menuju ke Surabaya, Pak Guru,” Rahman
memberi penjelasan. “Dua orang Madura juga pergi.”
’’Anda juga titip?”
Rahman menyandarkan diri ke kursi, tampak lebih serius,
katanya menghela napas,

166
“Iya, Pak Guru! Dan surat ini yang ketiga kalinya!”
’’Istrinya Kang Rahman sudah setengah tahun ini ditunggu-
tunggu,” Amang membantu memberi keterangan.
’’Saya ingin mengetahui pastinya! Dia mau apa enggak
datang!”
’’Lantas surat-surat itu bagaimana? Dibawa Mas Darsono
ke Banjar untuk diposkan atau dititipkan Herkules?”
’’Diposkan di Banjar. Lebih cepat, Pak Guru, kalau surat
saya, saya titipkan kepada orang Madura. Satu desa, terang
akan sampai.”
’’Siapa tahu yang dulu-dulu enggak sampai, Kang!” kata
Parmono.
’’Sampai! Saya tahu betul, karena yang bawa surat sudah
balik lagi kemari!”
Sebentar tidak ada yang berbicara. Sikap Rahman membikin
yang hadir turut terlibat dengan kesungguhannya. Samirin bisa
membayangkan kesalnya hati menunggu istri dan keluarga yang
tidak kunjung datang. Dia ingin menanyakan apakah Rahman
punya anak. Berapa? Tapi dia menarik kembali pertanyaan itu
ke dalam hatinya, khawatir akan menambah ketegangan pera-
saannya.
Makanan disuguhkan. Sedari tadi, Samirin belum melihat
jelas orang yang diharapkan akan muncul menyalami dia atau
semua yang dijamu Amang. Suaranya terdengar, sibuk mengatur
dan memberi petunjuk orang lain yang bekerja di dapur. Banyak
orang hilir mudik. Mereka selalu melewati pintu yang menuju
ruang tempat mereka duduk. Tetapi lain-lainnya keluar melalui
pintu samping di mana terdapat petak tanaman asri.
’’Saya tidak tahu Mas Darsono turut campur tangan dalam
kumpul-kumpul ini,” kata Amrus.
“Tidak secara langsung, Mas,” jawab Parmono. “Dia sering
memberi pikiran, jalan keluar. Pertimbangan-pertimbangannya
sering kali lebih matang dan nalar daripada kami.”
’’Benar-benar saya senang urusan ini sudah selesai. Saya se-
nang sekali kepada Suheimi,” kata Amrus tanpa ragu-ragu.

167
Parmono dan Samirin saling berpandangan, lalu melirik ke
Pembakal. Sedari tadi laki-laki ini duduk di sana, turut minum
dan sekarang mulai makan. Tetapi kehadirannya jelas hanya
sebagai pelengkap. Dia banyak berbicara mengenai kayu dan
persoalannya dengan orang-orang Madura yang ada di samping
Rahman.
Samirin mengetahui dari Suheimi bahwa antara dia dan Pem-
bakal tidak ada kecocokan. Pembakal hanya bisa bekerja sama
dengan Jemain. Suheimi sendiri tidak menyukai Jemain. Jadi,
perputaran usaha mereka sudah menggaris. Masing-masing
mempunyai daerah kerja dan luang pemasaran yang berbeda.
Sampai-sampai tukang-tukang penebang pun berlainan. Jarang
buruh-buruh yang sudah bekerja dengan Suheimi langsung saja
dengan mudah mau bekerja untuk kepentingan Jemain atau
Pembakal. Tetapi kehidupan sering kali sukar di daerah yang
serba berlawanan itu. Sekaligus tampak mudah, di samping itu
orang harus membanting tulang untuk mendapatkan makanan.
Hukum-hukum rimba masih berlaku. Hanya yang kuat dan gigih
yang berhasil. Dan Suheimi-lah kebanyakan kali yang menolong
pihak-pihak yang kurang memiliki kekuatan. Lain-lainnya justru
mencaplok dan mengeksploitir yang lemah.
’’Saya sudah khawatir perkaranya akan menjadi-jadi,” kata RT.
’’Sebetulnya tidak pernah ada perkara, Pak,” kata Amang.
“Yaaa, urusan, begitulah!” Parmono membenarkan.
’’Kesalahpahaman yang semakin bertele-tele,” kata Samirin.
“Yang seandainya ditangani dulu-dulu segera bisa rampung. Cu-
kup membawa berkas ke Pleihari, bicara dengan Bupati dan
Kepala Proyek. Dengan sedikit kemauan baik dan pengertian
tulus dari semua pihak, pasti cepat selesai!”
Samirin mengamati Pembakal yang kebetulan sedang tidak
berbicara. Laki-laki itu tampak penuh perhatian mendengarkan.
Tapi tepat pada saat itu Jemain masuk, langsung mendekatinya.
Samirin melihat orang Bugis ini ketika pembacaan doa berlang-
sung di jaluran jalan baru. Setelah upacara selesai, tidak tampak
lagi.

168
Kini orang itu membisikkan sesuatu. Pembakal berdiri, lalu
keduanya keluar. Mereka yang di meja meneruskan makan.
Amang baru kembali dari mengisi bakul nasi di dapur.
’’Silakan terus makan, Pak RT, Pak Guru!” dari dapur ter-
dengar suara, ’’saya repot. Belum sempat menyalami Anda se-
mua!”
Samirin tertegak. Di pintu, Makerah berdiri dalam kese-
luruhan yang baru kali itu dilihatnya. Sanggul rapi, dengan sung-
garan di atas kuping. Kebayanya warna temugiring,49 dari bahan
yang tidak terlalu tipis. Batiknya latar-ireng50 berpolakan helaian
bulu-bulu garuda dan titik-titik kembang tanjung. Alangkah
anggunnya semua itu. Dan alangkah pantas paduan keanggunan
dan suasana kerepotan yang terbayang di muka Makerah. Sam-
pai-sampai lap yang tersampir di pundak kirinya pun tidak
mengganggu pemandangan yang saling berlawanan itu.
’’Repot, ya Yu!” Parmono menoleh menegurnya.
’’Nanti jangan lupa kami ditemoni51 sebentar ya!” RT me-
nyambung.
Samirin terdiam. Mulut yang mengunyah makanan tidak
merasakan apa-apa. Matanya menikmati seluruh kepantasan
yang dipancarkan dari pintu dapur. Arus kehangatan yang deras
meraba dadanya, dikejutkan oleh suara Pembakal.
’’Maafkan! Saya harus pergi sekarang,” lalu orang itu menge-
lilingi meja, mengulurkan tangan. “Ada tamu di rumah.”
Setelah berjabatan dengan semua, Pembakal beranjak. Rah-
man mengantar keluar.
’’Tentunya mereka sibuk mengurus pemburuan,” kata Amrus.
’’Pemburuan apa?”
’’Babi, Pak Guru,” kali itu Amang yang menyahut.
“Di mana? Siapa yang berburu?” Parmono tampak tertarik.
Dia menoleh ke kakak iparnya, meneruskan,
“Kok kami tidak diberi tahu.”
’’Saya sendiri baru tahu kemarin,” RT menangkis.
“Itu sih urusan Pembakal dan Jemain!” kata Amrus. ’’Cari
uang!”

169
’’Kami tidak diundang!” Parmono terus berperhatian.
’’Tidak ada yang diundang, Pak Guru!” Amang tertawa.
’’Kalau ada puluhan ribu dalam permainan, masakan meng-
undang orang!” RT menambahkan.
’’Sssst!” tiba-tiba Amang seperti ingat sesuatu, lalu suaranya
rendah meneruskan, ’’pelan-pelan! Ipar saya dengar!”
’’Kalau memang benar, mengapa?” kata Amrus tanpa meng-
ubah nada suaranya. “‘Kan betul mereka cari uang! Kalau Jemain
mendapat untung, Makerah pun turut menerima!”
Sedari tadi Samirin tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kini bahasa seniman yang terlalu terus terang itu melukai hati-
nya. Karena Makerah masuk ke dalam persoalan itu! Amrus
kelihatan mengetahui banyak hal mengenai Jemain dan semua
yang bersangkutan dengan kebiasaan orang sekitarnya. Lebih
dari Samirin dan Parmono. Padahal dia baru masuk di daerah
mereka. Orang luar yang terlalu tahu! Apalagi mengenai Make-
rah! Samirin menjadi lebih peka lagi. Dan yang kurang disukai
Samirin ialah pematung dari Jakarta itu tampak demikian akrab
dengan Amang, ipar Makerah. Samirin sedang menimbang-nim-
bang apakah dia iri terhadap Amrus, ketika Parmono berkata,
’’Siapa yang berburu, Kang?”
’’Orang-orang Cina,” jawab Amang.
’’Orang-orang Cina?” kini Samirin mengulang.
“Ya! Dari Banjar.”
’’Katanya dua kendaraan.”
’’Perlengkapan masuk hutan?”
“Iya! Satu landrover, satu Toyota hartop!”
Parmono tampak semakin penasaran, bertanya lagi,
“Ini diputuskan kapan? Kok saya tidak dengar apa-apa!”
’’Begini, Mas!” Amrus membuka rahasia putaran tangan dan
kerlingan mata Pembakal dibantu Jemain. Si motor penggerak pada
asalnya adalah Jemain. Rupa-rupanya setelah satu kali menjadi
korban kedua orang tersebut, seniman dari ibu kota itu menjadi
awas. Sehingga dia mempunyai pendengaran dan penglihatan lebih
tajam dari Samirin atau Parmono yang berada di daerah lebih dahulu.

170
Babi hutan sukar diberantas. Pemilik ladang, kalaupun ber-
hasil, hanya bisa membunuh satu atau dua. Jumlah yang datang
merampas dan menggali palawija jauh lebih banyak. Yang lahir
mengganti yang mati pun begitu pula. Cara paling baik ialah
memburu mereka dengan senjata api. Dan senjata seperti itu
barangkali hanya ada tiga di tangan orang sipil. Yaitu orang-
orang yang berkedudukan di perusahaan- perusahaan penebang-
an kayu milik orang asing di kawasan Sungai Danau. Di Sebam-
ban ada bagian keamanan. Berarti satu senjata yang jarang-jarang
bisa di-”pinjam” guna membunuh hama perusak itu. Tergantung
kepada pemegang senjata, mau atau tidak mengulurkan bantuan.
Karena juga harus diperhitungkan pelurunya. Tapi apalah arti
satu senjata menghadapi ratusan babi hutan yang tersebar di
pelosok semak berlubang-lubang!
Tidak kurang-kurang keluhan disampaikan kepada pejabat
Pemerintah Daerah yang datang berkunjung atau meninjau. Pen-
duduk setempat dan orang tran setuju mengatakan bahwa babi
hutan hanya bisa diberantas dengan pertolongan angkatan ber-
senjata. Tapi sampai waktu itu, tidak ada hasil nyata sebagai
sambutan keluhan tersebut. Kebanyakan orang tran dan pen-
duduk setempat mematuhi agama. Mereka tidak berprakarsa
untuk memburu hama itu. selain alat tidak punya, jugaa karena
menyentuh pun dilarang agama. Mereka menjerat kijang, ayam
hutan dan lain hewan. Mana saja yang bisa dimakan dan dijual
di pasar Sungai Danai atau Kintap. Kalau babi hutan yang masuk
ke jeratan, mereka malah kesusahan. Bingung kepada siapa itu
diberikan atau bagaimana membuangnya. Beruntung kalau di
dekat-dekat orang itu ada yang mau memegang lalu menguliti
babi hutan. Karena dagingnya bisa dikeringkan, didendeng, lalu
dijual di Banjar dengan harga yang sangat lumayan.
Samirin mengetahui, bahwa bagi orang Jawa, daging celeng
mengandung khasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit.
Pasaran di Banjar ramai untuk dendeng ini. Jemain mengetahui.
Dengan radar dan raihan lengannya yang bercabang-cabang se-
perti gurita, dia menghubungi orang-orang Cina. Pembakal

171
sebagai wakil Pemerintah Daerah diberi tahu, wajib diberi tahu.
Itu berarti berapa persen hasil buruan masuk ke saku keduanya.
“Mereka itu yang betul, Mas!” kata Amrus. “Mereka tahu
memanfaatkan keadaan. Kita-kita saja yang bodoh, mengapa
dari dulu tidak sampai ke sana pemikiran kita!”
“Anda juga tidak memikirkannya, Mas! Padahal terkenal
orang Jakarta pintar cari duit!” kata Samirin.
“Saya ini Batak, tapi sudah Batak-Jawa, Mas! Ditambah lagi
seniman! Soal-soal uang, saya tidak bisa main sulap. Sejak dulu,
dalam hal mencari makan, bisa saya hanya menuruti jalan yang
biasa saja: menjual jasa dan kepandaian sebagai pelukis atau
pematung, setelah jadi, tagihannya sukar sekali! Padahal saya
harus membayar asisten dan tukang-tukang saya!”
“pakai asisten dan tukang-tukang, Mas?” Parmono heran
mendengar keterangan Amrus.
“Ya! Kalau saya menganggap patung batu marmer misalnya.
Besarnya sampai dua meter! Saya gambar polanya, lalu harus
dikerjakan berdua atau bertiga. Nanti kalau sudah jadi, untuk
menggosok supaya halus, cukup diserahkan kepada tukang.”
“Ambil dari mana marmernya?” kini Amang yang merasa
heran.
“Satu-satunya tempat ya Jawa Timur.”
“Jauh dari Jakarta, Mas!”
“Jauh! Itu juga uang lagi!
Sebentar mereka asyik memperbincangkan cara peng-
angkutan bahan-bahan yang dipergunakan Amrus. Tapi kemu-
dian kembali ke perihal perburuan. Parmono berpaling ke arah
keamanan.
“Apa tidak ada batas-batas izin berburu, Mas?”
“Itulah! Dua hari ini Anda dan saya tidak jemu-jemu meng-
ingatkan pembekal. Yaaa, begitu! Kami diberi tahu hewan-hewan
mana yang dilindungi. Jadi, harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
Tapi ‘kan Anda tahu sendiri! Tanah dan hutan sebegini luas!
Kalau masuk hutan, mana kita tahu mereka tidak menembak
orangutan atau kijang bertutul!”

172
“Setidak-tidaknya, pada waktu keluar lewat desa ‘kan bisa
digeledah,” usul RT.
“Ya, hanya itu yang bisa saya kerjakan,” suara keamanan
sedikit putus asa.
“Yang pasti, mereka malam ini tidur di rumah saya,” kata
Amrus.
“Mengapa, Mas?” hampir serempak Parmono dan Samirin
bertanya.
“Yaaa karena saya bodoh! Karena saya pengecut tidak bisa
berkata, tidak boleh!”
Parmono jelas menunjukkan kurang puas dengan jawaban
itu. Amrus segera memotong,
’’Jangan ditambahi pertanyaan-pertanyaan lain, Mas! Saya
sudah terlalu kenyang dimarahi! Saya ‘kan bawa rombongan?
Satu pematung seperti saya, dua tukang, dan seorang wartawan-
pengarang wanita. Dia ini yang saya serahi mengatur urusan
rumah tangga. Ada atau tidaknya makanan saya serahkan dia.
Dia mengomel terus ketika mengetahui bahwa saya memberi
izin Jemain untuk membawa pemburu-pemburu tidur di rumah!
Habis bagaimana, Mas? Di hutan! Siapa saja yang singgah ya
situlah! Seadanya tempat! Silakan-silakan saja!”
’’Tapi kalau orang dari kota dan bawa perlengkapan
sendiri...,” bagian Keamanan menyahut.
’’Naaaah, itu juga yang dikatakan kawan saya wartawan!
Katanya, biar saja mereka berkemah sendiri! Dia malahan kha-
watir, setelah diberi tempat tidur, nanti minta makan!” ’’Gawat,
Pak Amrus!” kata Amang yang turut menyela. ’’Kalau mengenal
Jemain, bisa sampai ke situ nantinya!” ’’Saya pikir-pikir benar
juga kawan saya itu. Katanya memang betul kayu bakar tinggal
ambil di hutan. Tapi ‘kan harus dipotong, dibelah dan dijemur!
Semuanya serba kerja. Sedangkan mereka berburu, nantinya
akan menjual hasilnya. Kita enggak mendapat apa-apa!”
’’Kecuali, Mas,” Parmono menyambung, ’’bikin saja seperti
cerita-cerita lelucon itu! Pada waktu orang-orang itu akan pergi
lagi, Anda sodorkan nota pembayaran!”

173
Semua tertawa, menyetujui.
’’Akhirnya jadi pedagang semua kita ini!” kata Amrus.
’’Besar rumahnya, Mas?” tanya Samirin.
’’Lumayan! Ada kamarnya tiga. Belakang dapur, terus keluar
menuju ke sungai, satu cabang ke kakus, satu ke kamar mandi.
Di muka ada beranda lebar, terbuka. Di situ tempat orang-orang
tidur. Ya siapa saja yang mau dan memerlukan.” Amrus tampak
seperti berpikir, ingat sesuatu, lalu, ’’Anda berdua belum pernah
ke sana, ya? Silakan! Kapan-kapan jalan-jalan ke sana! Boleh
menginap seadanya seperti yang saya ceritakan tadi. Amang sering
datang. Melihat tele.”
“Lho ada televisinya?”
Ada. Tapi antene kurang kuat. Meskipun tiap hari diganti-
ganti tempatnya, kadang-kadang bisa menangkap gambar, ka-
dang-kadang tidak.”
“Pak Amrus juga bawa film,” kala Amang.
Ya, video, Mas. Film murahan, untuk menghibur anak-anak.
Tapi juga ada film Indonesia beberapa. Pinjaman!” ’’Kalau begitu
betul-betul seperti pindahan, Mas. Bawa banyak perlengkapan.”
’’Saya bermaksud tinggal paling sedikit empat bulan di hutan.
Jadi, ya sebisanya, dibikin semapan mungkin.”
’’Patung apa saja yang dibikin, Mas. Lama kalau mau tinggal
empat bulan!” kata Parmono.
’’Saya datang kemari untuk membuat patung kaligrafi.”
“Apa itu, Mas?” Parmono bertanya, sambil menoleh ke arah
Samirin.
“Itu tulisan Arab yang diperbagus, Dik,” Samirin memberi
keterangan kepada rekannya.
’’Saya tidak bisa membayangkan tulisan Arab kok dibikin
patung,” kata Parmono lagi.
“Apa saja, Mas?” tanya Samirin.
’’Hanya satu: Allahu Akbar, tapi bermacam gaya.”
Sambil memberi jawaban itu Amrus mengeluarkan kertas
dari saku hem. Menarik bolpoin, lalu menulis. Mendekatkan
kertas ke hadapan Parmono, katanya,

174
“Ini tulisan biasa.”
Lalu di bawah, mencoretkan huruf-huruf lain, dengan
lengkungan dan garis yang lebih panjang atau melingkar. Indah,
seperti dekorasi.
“Ini kaligrafi. Artinya sama dengan yang di atas.”
“Ini lebih bagus! Seperti lukisan!” komentar Parmono. Semua
mendekatkan diri untuk turut melihat.
’’Bagus, Mas!” bergantian Samirin dan Parmono memuji.
’’Bikin banyak patungnya, Mas?”
’’Yang kecil-kecil sebagai percobaan, ada beberapa yang sudah
jadi. Amang sudah melihatnya, ya Mang?”
“Ya, Pak Guru. Bagus! Saya senang!”
’’Anda bilang untuk percobaan, Mas. Mengapa?”
’’Karena yang harus saya bikin untuk pesanan orang itu pa-
ling kecil lima meter. Saya harus membuat lima patung. Paling
besar hampir sebelas meter.”
Agak lama mereka ribut membicarakan soal pengangkutan hasil
kerja seniman itu kelak setelah selesai. Rahman yang kembali duduk
memberikan pikiran menyewa kapal layar. Dibantah Keamanan,
katanya biasanya pengangkutan demikian tidak termasuk asuransi.
Harus membayar sendiri, dan pastilah mahal. Lalu percakapan
kembali ke perburuan. Rahman diminta Jemain mencarikan tenaga
pembantu untuk mendobrak dan menggiring celeng-celeng supaya
keluar dari sarang. Paling sedikit sepuluh orang. Parmono tampak
bersemangat, ingin turut. Tetapi tidak disetujui oleh RT maupun
Samirin. Akhirnya Rahman menarik kesimpulan,
’’Biar Pembakal saja yang cari tenaga. Dari desa lebih dekat
dengan Blok F. Di sana banyak orang tran Kristen. Mereka tidak
takut memegang babi.”
Mereka sudah lama selesai makan. Makerah tiba-tiba ada di
samping meja mereka.
’’Pepaya, Pak!”
Amang menyisihkan piring yang sudah terpakai, membawanya
ke dapur. Makerah berdiri di antara Parmono dan Samirin,
mengisi mangkuk-mangkuk.

175
’’Irisan yang hijau itu apa, Yu?” tanya Parmono.
’’Agar-agar.”
“Kok hijau?”
’’Pakai air daun suji.”
’’Mmmmmm, pasti enak, Yu!” kata Parmono lagi.
’’Masakan Makerah selalu enak!” Rahman menunjukkan ibu
jarinya.
’’Kapan menikah, Yu?” tiba-tiba Samirin bertanya.
Tidak ada jawaban. Samirin memajukan badan untuk bisa
melihat wajah Makerah lebih seksama.
“Ya, Yu! Kapan Kawin?” Parmono mengulang.
’’Sudah jangan mikir yang lain-lain! Ini dimakan saja! Kalau
enak! Kalau enggak, ya biarkan situ!”
Selesai mengisi mangkuk terakhir, Makerah beranjak akan
meninggalkan meja mereka.
“Ke mana? Sini saja! Sejak tadi belum duduk menjamu tamu-
tamu kita!” kata Rahman.
Makerah tetap berlalu, tidak peduli.
Samirin memandang Parmono. Berganti ke Rahman. Bertiga
mereka saling memandang. Suara Makerah sengol53 Kata-katanya
tidak kasar, tetapi sengak53 untuk ditujukan kepada tamu.
’’Kenapa dia?” Samirin berbisik.
’’Jangan jangan dia dengar omongan kita tentang Jemain!”
Parmono mengingatkan rendah.
’’Atau saya yang salah bertanya tentang pernikahannya?”
“Ah, enggak!” Rahman menyahut. ’’Biar saja! Makerah begitu
kalau lagi capek!”
Dan sebagai penguat, Rahman memandang kepada Amang.
’’Betul enggak, Amang?”
’’Tidak usah capek, Makerah memang judes!”
Amrus tidak turut berbicara, mulai makan pepaya.
“Wah segar!” komentarnya, mengelus kumis dan jenggotnya.
Sebentar yang kedengaran hanya kecap dan bunyi air buah
yang dihirup mulut lelaki.
’’Betul enak sekali!” Parmono menggumam.

176
’’Sudah lama saya tidak makan agar-agar bikinan sendiri.
Apalagi diberi daun suji,” Samirin berkata lirih. ’’Saya ingin
minta kalau ada bibitnya. Tapi kalau Yu Makerah marah....”
“Ah enggak apa-apa, Pak Guru! Nanti ambil saja itu di
samping!” kata Rahman.
“Ya, nanti saya ambilkan!” Amang menyambung.
“Yang tanam ‘kan Yu Makerah!”
“Ya, tapi dia pasti boleh! Asal bilang kita ambil!” Tiba-tiba
Samirin teringat cerita-cerita mengenai orang Madura yang
sering didengungkan di blok-blok lain. Kalau mereka melihat
sesuatu yang disukai, asal berkata kepada pemilik, lalu mereka
ambil! Sekarang dia akan berbuat sama! Rahman bersandar ke
kursinya, menengadah dan berseru, ’’Enak pepayanya, he,
Makerah!” Suaranya menggelegar mengejutkan.
Diteruskan dalam bahasa Jawa logat Surabaya,
’’Boleh ambil lagi yang wong ayu!”54
Bergaul dengan orang-orang Madura, tidak henti-hentinya
Samirin dikejutkan oleh tingkah maupun kebiasaan mereka.
Kali itu dia terkejut dan heran. Yang memanggilkan kata-kata
kesayangan itu Rahman. Tetapi dia tidak merasa cemburu atau
iri. Berbeda dari Jemain. Tadi dia hanya melihat sepintas lalu
bayangannya, mati-matian Samirin menyelidik dan ingin menge-
tahui gerak-gerik Makerah.
Belum habis keheranan tersebut, dari pintu dapur terdengar
teriakan,
’’Tentu saja wong bregas!55 Habiskan kalau kamu suka!” Sepu-
taran meja menoleh ke asal datangnya suara. Makerah berdiri
di ambang pintu. Sebuah bakul anyaman bambu dikempit dalam
gendongan. Tangan kanan memegang centong nasi dari kayu.
’’Saya juga ya, Yu!” Parmono dan Amrus hampir bersama
menyambung.
’’Enak sekali!” Samirin cepat menyusul.
’’Kemari, Yu! Sebentar lagi kami pulang, belum sempat ngo-
brol!” kata Amrus lagi.
Samirin mengamati Makerah yang tetap tegak di tempatnya.

177
Alangkah pantasnya perempuan itu! Berdiri mendekap bakul
dalam kelengkapan pesta. Tetap luwes! Tidak kelihatan aneh.
Semua sepadan jika Makerah yang menghayatinya. Samirin
ingin bangkit, menggandengg wanita itu untuk datang duduk
bersama mereka. Oleh keasyikan mengawasi pintu dapur, dia
tidak menyadarai bahwa Rahman telah meninggalkan tempat
duduknya.tiba-tiba lelaki yang jangkung gagah itu sudah berada
di depan Makerah, langsung menarik lengannya.
’’Eeeee, sebentar!”
Makerah masih sempat meletakkan bakul dan centong di
meja yang dilewati. Dia menarik-narik kebaya, depan dan bela-
kang. Mengusapkan tangan ke sunggaran.56
’’Selamat siang, bapak-bapak!” salamnya.
Samirin adalah yang pertama bangkit, disusul Parmono dan
Keamanan. Mereka bersalaman.
’’Tangan saya basah! Tangan tukang masak,” kata janda itu
sambil matanya beredar mengelilingi meja.
’’Tangan tukang masak selalu bersih, Yu. Karena kena air
terus,” kata Samirin.
Senyum yang tersimpul di bibir Makerah seketika merata
di seluruh mukanya. Samirin merasakan kelembutan sinar mata
yang tertuju ke arahnya. Guru itu tidak tahan lagi, menunduk
sambil kembali duduk.
’’Capek, Yu!” Parmono menegur, menggeret kursi dari sam-
ping untuk perempuan itu.
Semua duduk. Semua mengatakan sesuatu yang manis serta
menyenangkan kepada Makerah. Sebentar mereka memperbin-
cangkan tulisan Arab. RT lulusan pesantren menopangi. Make-
rah yang pandai membaca Al-Qur’an menunjukkan perhatian
besar kepada apa yang sedang dikerjakan Amrus. Orang-orang
lain berbicara tentang transmigran dari Jawa Barat yang baru
datang. Lalu percakapan berpindah mengenai tanah, sifat dan
keadaannya.
Suheimi dan saudara-saudaranya datang. Masih mendapat
bagian sisa-sisa pepaya. Mereka keluar ditemani orang-orang

178
Madura lain. Yang tinggal masih meneruskan pertukaran pikiran
mengenai bibit, meloncat mengenai kesehatan. Dan seakan-akan
soal-soal kesehatan tidak bisa dipisahkan dari keluarga, mereka
lalu membicarakan anak-anak dan sekolah.
Samirin yang sedari Makerah menggabung duduk lebih suka
diam, terpaksa memberikan suaranya kadang-kadang. Namun,
dia terang-terangan menyerahkan kewajiban kepada Parmono.
Dia ingin lebih banyak mendapat kesempatan mengamati Ma-
kerah. Mendengarkan suaranya. Dengan selesainya urusan
Suheimi, dia menyadari tidak akan ada lagi dalih buat datang
ke lokasi orang-orang Madura.
Kalau dituruti, dia pun ingin duduk hingga petang menjadi
tamu di warung itu. Tetapi dia harus menjenguk lahan hari itu.
Selagi udara cerah. Hujan sudah jatuh satu kali untuk memulai
musim. Terlalu cepat. Tetapi masih mungkin itu hanya hujan
pendahuluan yang disebabkan oleh pembukaan tanah terlalu
besar-besaran di bagian lain, dan kebakaran di sebelah lainnya
lagi.
Akhirnya Parmono, Keamanan dan Samirin pamit. Ketiganya
sepakat untuk menengok kebun bersama-sama.
’’Meskipun tidak ada urusan lagi, silakan datang juga, Pak
Guru!”
Itulah kalimat yang dikatakan Makerah ketika bersalaman.
Samirin terlalu bingung dan gugup, menggumamkan sesuatu
yang selanjutnya tidak dia ingat lagi.

179
12

Ketika meninggalkan Kintap, jumlah murid mencapai seratus


lima puluh enam. Gurunya empat.
Pada tahun kedua di sekolah yang dikepalai Samirin, murid
mereka ada delapan puluh tujuh. Kurikulum mulai dapat diikuti
lebih saksama. Dari sembilan mata pelajaran, yang paling diuta-
makan adalah keterampilan dan Moral Pancasila. Maksudnya
ialah untuk memberi bekal secukupnya kepada anak-anak yang
terpaksa meninggalkan sekolah pada kelas-kelas sebelum tamat
ataupun tidak meneruskan ke institusi pendidikan lebih lanjut.
Di daerah itu Samirin kurang menemukan kasus ketidakhadiran
murid. Anak-anak yang tidak masuk biasanya hanya mengambil
waktu dua sampai empat hari. Mereka menolong orang tua di
ladang untuk membersihkan, mencabut singkong atau memetik
jagung. Lain-lain murid berorang tua yang memiliki usaha di
muara, pada musim udang turut menjala dan membikin terasi.
Pada umumnya mereka absen lebih lama.
Dari musim ke musim, beda jumlah murid yang hadir dapat
dikatakan tidak menyebabkan penghalang kelanjutan pelajaran.
Berlainan dari di Kintap. Jorong Kintap atau Muara Kintap di
musim ikan membawakan murid banyak bagi sekolah. Setelah
pencarian ikan selesai, anak-anak dibawa pergi lagi oleh orang
tua mereka ke pedalaman. Juga tidak sedikit yang berlayar ke
Makassar dan Banjarmasin. Selama Samirin bekerja di sana,

180
dia hanya mengetahui seorang anak yang ditinggal orang tuanya,
dipondokkan pada keluarga agar dapat meneruskan sekolah.
Hal seperti ini sangat jarang terjadi. Barangkali disebabkan
karena keadaan ekonomi mereka yang sangat rendah, sehingga
tidak bisa membayar uang penitipan anak. Mungkin pula karena
kesadaran orang tua untuk memberikan didikan kecerdasan de-
ngan pengetahuan umum masih sangat kurang. Di samping itu,
keinginan si anak pun menjadi faktor penting. Biasanya mereka
memang lebih suka mengikuti orang tua ke mana pergi. Malas
menuntut ilmu.
Tahun pelajaran kedua itu berjalan lebih menyenangkan. Me-
nurut laporan Parmono, dari seluruh anak berumur wajib belajar
di daerah Sungai Cuka, tinggal tujuh belas yang belum men-
daftar. Yang waktu itu bersekolah berasal dari lima puluh empat
KK. Ada satu KK yang memasukkan dua atau tiga anak. Guru-
guru merasakan, bahwa murid-murid lebih biasa bersekolah.
Lebih mudah dididik. Ketika sekolah dibuka, hanya mempunyai
dua puluhan murid. Meningkat menjadi delapan puluh lebih
merupakan kemajuan pesat. Menunjukkan tanda-tanda keper-
cayaan penduduk sekitar, kesadaran orang tua, dan keinginan
bocah untuk belajar.
Samirin mulai melihat samar-samar hasil perintisannya. Di
tahun pertama di daerah itu, dia menyimpan keragu-raguan.
Berapa bangunan inpres yang dia lihat terbengkalai di sepanjang
jalur jalan yang menghubungkan desa-desa! Bagaimana muram
dan tertutupnya muka penduduk setempat yang rajin didatangi
dengan bujukan supaya mendaftarkan anak-anak bersekolah.
Dan tanahnya sendiri memang membikin orang khawatir.
Dengan istri seperti Marsi, yang semula menyesali kepin-
dahan berganti dengan kegiatan membantu, satu tahun berjalan
dengan alur rutin tanpa harapan. Tetapi tahun kedua ini Samirin
yakin, bahwa sekolahnya akan bisa terus hidup berkat kehadiran
anak-anak.
Untuk murid-murid yang menginjak tahun kedua, sama sekali
tidak ditemukan kesukaran. Anak Pembakal tidak kelihatan masuk,

181
meskipun dengan resmi Samirin tidak mengeluarkannya. Pada
bulan-bulan pertama, kepada murid baru lebih diajarkan cara-cara
hidup bergaul dengan orang lain, dengan alam lingkungan. Disiplin
dan keteraturan diperkenalkan kepada mereka. Baik melalui teladan
murid lama ataupun melalui susunan pelajaran.
Caturwulan pertama hampir selesai bersamaan dengan pem-
beresan soal pembelokan jalan. Pada waktu itu Samirin men-
dapat kiriman tenaga pengajar satu lagi. Seorang anak muda
lulusan pendidikan guru Yogyakarta, bernama Suprayitno. Se-
perti dahulu sama halnya dengan Parmono, guru muda ini belum
berpengalaman. Tetapi ini tidak mengecewakan Samirin. Yang
penting baginya, kehendak keluar dari pulau Jawa itu saja. Kare-
na dari tindakan demikian, sudah jelas seseorang memperlihat-
kan keterbukaannya untuk mencari dan menambah pengeta-
huan dan pengertian hidup. Dan Samirin bersedia membagi
apa yang telah didapatkannya selama ini kepada mereka yang
bersifat terbuka.
Kembali penuh-penuh menggiatkan diri bagi kepentingan
sekolah, membuat Samirin merasa lebih tenang. Dua kelas yang
ada sekarang diserahkan kepada rekan-rekan mudanya. Dia
membantu memberi pelajaran keterampilan dan Moral Pancasila
di samping mengerjakan administrasi sekolah yang cukup padat.
Sekolah juga mengharapkan akan segera menerima pengajar
Agama dari Departemen keagamaan. Setahun itu, berdua dengan
Parmono, dia bergantian berusaha memberikan dasar-dasarnya
dalam kedisiplinan menaati ibadah. Lebih bersifat pelajaran budi
pekerti daripada menjurus ke kedalaman agama. Samirin juga
kembali menggantikan Parmono menghadiri rapat-rapat serta
pengambilan gaji di Pleihari.
Namun, setenang bagaimanapun, Samirin masih merasa
perlu sekali-sekali menghindar dari rumah. Bersendiri, lepas dari
suasana yang menekan. Meskipun dia merasa kurang gugup,
dia mengakui tidak sesantai dahulu lagi. Apakah umur yang
menyebabkannya? Padahal kemauannya benar-benar ada untuk
menemukan kekrasanan tinggal di bawah atap keluarga. Tetapi

182
di sana udaranya serasa tidak sehat lagi. Marsi dengan serba
kepekaannya selalu memerlukan perhatian istimewa. Dan ini
sangat melelahkan Samirin.
Dia membutuhkan keluar dari lingkungan, bepergian dan
bertemu orang serta pemandangan lain yang lepas dari kerewelan
perempuan. Pergi ke Pleihari bukan tamasya yang menyegarkan.
Namun demikian, setelah perjalanan yang berjarak dua kali
seratus kilometer, ditambah kelelahan menunggu serta panas
lembabnya udara, hati Samirin malahan menjadi ringan. Siap
untuk menghadapi omelan dan teguran apa saja dari istrinya.
Lebih-lebih yang menunjang Samirin bersabar adalah kehadiran
bayangan dari Kaligarang. Itu tetap tertancap dalam benaknya
sejak perkenalannya dengan Makerah. Masih tetap muncul bila
dia mengingati janda muda itu dalam segala sikapnya. Di kala
dia mendengar kembali susunan kata-kata tertentu yang
diucapkannya. Yang terakhir kali dan yang menunjukkan kepin-
tarannya adalah mengenai kaligrafi si seniman dari Jakarta.
Rumpunan daun suji yang ditanam di pekarangan sudah segar
bersemi. Bagi Samirin, tanaman itu mempunyai arti lain. Tidak
hanya sebagai pemberi aroma dan warna pada makanan. Daun-
daun sempit panjang dan runcing itu hijaunya adalah kepan-
tasan Makerah. Ditanam di mana pun, daun-daunnya selalu tegak
dan rapi. Helai demi helai terselip selalu teratur. Ukurannya tepat.
Tidak terlalu panjang tidak terlalu lebar. Semuanya serba begitulah
seharusnya! Ketika pulang membawa dua pucuk tanaman
tersebut, Samirin cepat-cepat menanamnya malam itu juga.
Gerutu Marsi yang sudah membiasa, malam itu hampir-hampir
membikin Samirin mengira bahwa istrinya mulai melihat perasaan
kekagumannya terhadap si pemberi daun suji.
’’Sudah malam! Besok pagi saja turun ke halaman. Datang-
datang capek! Belum mandi belum makan!”
Meskipun jenuh, Samirin masih sering mementingkan keso-
panan. Jadi, dengan kesal dia menjawab, berusaha bersuara tenang,
’’Besok keburu layu.”
’’Ditaruh di ember dulu!” tangkis Marsi.

183
Biasanya memang demikian. Tapi malam itu Samirin tidak
dalam keadaan seperti biasanya. Tanpa mempedulikan Marsi,
dia mengambil alat berkebun, menggulung celana sampai lutut.
Ketika akan menuruni tangga, masih terdengar suara istrinya,
’’Memang ada apa sih dengan daun itu! Semua yang datang
dari lokasi orang Madura selalu mendapat perlakuan istimewa!
Sampai-sampai kembang esuk-sore yang tidak memberi hasil pun
ditengok setiap bangun! Terong gelatik masih lumayan, bisa
dilalap!”
Barulah Samirin menyadari betapa istrinya memperhatikan
rasa penasarannya beberapa waktu belakangan itu. Setiap hari
Samirin memeriksa kotak penyemaian. Seakan-akan hendak
diukurnya ketinggian bibit kembang esuk-sore dan terong gelatik
yang tumbuh di situ. Kemudian setelah cukup panjang, tempat
penanamannya harus sedemikian rupa sehingga dapat terlihat
dari beranda. Setiap saat dia berada di sana, cukup hanya meno-
leh, Samirin mengintip keluarnya setiap daun baru. Lalu disusul
mekarnya bunga esuk-sore. Hatinya turut merasa terbuka ketika
dia melihat pertama kalinya dua kuntum merekah.

Kejadian penting selagi sekolah menyiapkan diri dengan


ulangan-ulangan sebagai bahan pengisian rapor ialah kedatangan
pejabat-pejabat dari Banjarmasin. Sebenarnya Samirin tidak
mempunyai sangkut-paut dalam kunjungan itu. Mereka adalah
tamu Pembakal. Tidur di Balai Desa, di dekat rumah kepala
desa. Tidak ada tugas istimewa yang mengharuskan Samirin
sebagai kepala sekolah menyambut mereka. Orang-orang itu
bukan pegawai Departemen di mana Samirin tergantung. Bi-
dangnya juga bukan pengajaran maupun kesenian. Tetapi karena
mengetahui bahwa ada dua sekolah di sana, mereka ingin me-
ninjau.
Sebelum sampai di Serindai, mereka ke Tajau Pecah. Yaitu
satuan Kawasan Pemukiman Transmigrasi yang telah diumum-

184
kan pemerintah sebagai satu keberhasilan. Seluruh Indonesia
mengetahuinya, karena lokasi itu dimunculkan di televisi sebagai
contoh. Sejak permulaan menjadi penghuni daerah itu, Samirin
mendengar banyak perihal Tajau Pecah. Darsono yang selalu
penuh ironi mengatakan, bahwa lokasi itu disiapkan sedari semu-
la untuk menjadi pemukiman transmigrasi yang berhasil. Dise-
ngaja untuk dijadikan lokasi teladan. Pemilihan tempatnya
diteliti dengan kesaksamaan yang luar biasa. Menuruti aturan
yang benar, daerah yang terpilih itu difoto dari udara. Diper-
hitungkan faktor kemiringan tanah, kekayaan air yang terkan-
dung di dalamnya, jenis tanah yang merupakan saringan-saring-
an pun dikaji baik-baik.
Rupa-rupanya Tajau Pecah memenuhi syarat dalam seluruh
keuntungannya. Kebetulan pula letaknya terhampar antara Ban-
jarmasin dan Kintap, jalur jalan yang menuju ke Pagatan dan
Kotabaru. Semuanya menunjukkan kemungkinan bagus untuk
menumbuhkan lokasi itu menjadi rejo. Transmigran yang dikirim
ke sana juga pilihan. Tentulah diambil dari daerah yang padat
penduduknya dengan taraf kehidupan rendah, dan berasal dari
tempat yang mengalami kebanjiran, angin lesus,57 letusan gunung
maupun musibah alam lain.
Persiapan orang-orang itu lebih diteliti. Dibikin lebih lengkap.
Dibuat supaya instansi Pemerintah yang turun tangan betul-
betul saling membantu dengan kerja sama yang kompak. Sega-
lanya sedemikian tertib dan memenuhi kewajiban dengan baik
sehingga sebegitu para transmigran sampai di tempat, jatah su-
dah tersedia lengkap: bibit, alat pertanian, ternak, pupuk serta
kebutuhan pokok. Sampai-sampai bibit cengkih pun! Setiap KK
langsung menerima dua belas batang cengkih! Berarti empat
atau lima tahun kemudian, orang-orang tran di Tajau Pecah sudah
bisa memetik hasil. Apalagi karena sifat tanah adalah pilihan!
Di sekolah, Samirin menerima kunjungan tamu-tamu yang
baru saja melihat kesuksesan seperti itu. Kedatangan mereka ke
sekolah yang baru berumur setahun tiga bulan itu tidak termasuk
dalam acara atau rencana. Kata mereka, sambil lalu mereka jalan-

185
jalan, melihat-lihat. Samirin tidak berkeberatan melayani orang-
orang datang, sepintas lalu menengok sekolah yang dikepalainya.
Mulai dari kalimat pertama, dia segera mengetahui bahwa dua di
antara tamu-tamu itu suka berbicara. Berbicara asal bersuara.
Dan karena baru mengunjungi Tajau Pecah, maka semua yang
dilihat dibandingkan dengan lokasi teladan tersebut. Keduanya
benar-benar mewakili kesempitan pikiran kota. Setidak-tidaknya
kota sebagai tempat, di mana nilai akhlak manusia menurun.
Kota yang dibayangkan sebagai tempat dengan manusia-manusia
berdiri berdempetan seperti wayang kulit yang ditata berjejeran
di atas kanan kiri layar pedalangan. Dua tamu itu bergantian,
seolah-olah saling melengkapi, terheran-heran menyaksikan
keadaan pemukiman yang melarat. Mengapa tidak seperti Tajau
Pecah? Semua yang ada di Tajau Pecah bagus dan bersih. Lahan
usaha satu dan lahan usaha dua penuh tanaman subur dan
menghasilkan. Penduduknya sigap, tampak bahagia.
Waktu itu Samirin menemui tamu-tamu seorang diri. Tidak
ada alasan buat menghentikan pelajaran. Suprayitno dan Par-
mono masih memenuhi jadwal jam pengajaran. Tetapi perte-
muan dengan pengunjung itu belum berlangsung sepuluh menit,
Samirin mulai menyesali ketidakhadiran Parmono. Dalam segala
macam suasana, rekan itu selalu bisa menciptakan kenetralan.
Dia mempunyai kesabaran luar biasa guna menghadapi pem-
bicaraan dan tingkah laku orang dewasa. Dalam perundingan-
perundingan mengenai pembelokan jalan dari lahan orang-or-
ang Madura, Parmono telah menunjukkan bukti kemahirannya.
Setelah mengutarakan keheranan karena daerah yang sede-
mikian luas hanya memiliki sekolah berisi dua kelas, karena
murid-murid tingkat terendah masih digabung, karena ini dan
itu yang berkelanjutan tiada hentinya, maka tamu meneruskan
ke soal kehidupan orang tran di sana.
Sopan namun tertekan, Samirin mendengarkan mereka. De-
ngan kesal hati dia menyabarkan diri mengikuti celaan semena-
mena. Kritikan sangat sukar diterima jika dia datang dari orang
yang tidak tahu-menahu. Jika diucapkan oleh mereka yang tidak

186
menggauli ataupun menghidupi bidang pendidikan dan per-
tanian.
Pada mulanya Samirin masih sanggup menanggapi serta men-
jawab sekuasa ketenangan perasaannya. Bagaimanapun sukar-
nya, dia masih mengingati kedudukannya sebagai tuan rumah.
Berkali-kali dia terang-terangan melirik ke jam di pergelangan.
Tetapi waktu mengalir terlalu lambat rasanya! Samirin menderita
dalam meneguhi hukum keramahan sebagai yang empunya ru-
mah. Pembakal sebagai pengantar tidak dapat diharapkan mem-
beri penjelasan atau kata-kata penengah yang bermutu. Laki-
laki itu hanya mengangguk mengiakan, membenarkan pendapat
serta pikiran para tamu. Tepat sebagaimana mestinya sikap se-
orang penderek,58 pengikut setia.
Kedua tamu saling bertanya-tanya sendiri mengapa koperasi
belum dibentuk. Seakan-akan menyitir pelajaran yang baru saja
mereka dapatkan, bergantian menyebut susunan organisasi dalam
satu lokasi transmigrasi. Bahwa setelah berhasil mengolah lahan
penghasil pangan dan lahan produksi, penduduk pemukiman wajib
mencari penyelesaian masalah baru yang pasti timbul. Terutama
soal pendidikan, penyaluran hasil lahan. Sambil menggerakkan
dagu ke atas, menunjuk atap sekolah, tamu dari kota berkata,
“Ini sudah dicoba menyelesaikannya! Baik! Bagus! Berapa
tahun kata Anda tadi?”
’’Menginjak tahun kedua,” Samirin masih tenang menyahut.
“Dua tahun. Hmmm. Tetap dua guru. Ruangan hanya tiga
tadi saya lihat dari luar.”
’’Memang hanya tiga. Ada tiga pengajar,” Samirin membe-
tulkan, tetapi tampak tidak digubris tamu itu.
Orang dari Banjar satunya meneruskan, bahwa sesudah pen-
didikan, ada soal agama, rumah sakit, balai desa. Kemudian
menoleh ke arah Pembakal.
’’Balai desa lumayan. Cara Pembakal mengatur bagus. Ada
mejanya lebar, penting buat musyawarah.”
’’Balai desa itu tidak termasuk dalam lokasi,” sekali lagi
Samirin merasa perlu membikin koreksi.

187
’’Sudah ada pasar?”
“Di Sungai Danau dan Kintap,” Pembakal turut menyahut.
“Dua kali sepekan.”
’’Tapi jauh itu!” seru salah satu tamu. ’’Tidak boleh!”
’’Harus dibikin yang dekat-dekat sini. Untuk melayani
pemukiman!”
Suaranya serba mau penting sendiri! Sok tahu! Seolah-olah
hanya merekalah yang mengetahui seluk-beluk kehidupan semes-
tinya di lokasi transmigrasi! Dengan kepicikan yang keras kepala,
memandang semua persoalan dengan mata teknokrat. Dari bela-
kang meja, di sebuah ruang ber-AC. Tetapi Samirin masih ber-
usaha ramah, menjawab bahwa baru bisa didirikan jika jalan
untuk pengangkutan hasil bumi itu ada. Sekarang, satu-satunya
jalur besar, atau yang kecil-kecil sebagai penghubung petak-petak
dalam pemukiman masih belum dapat diandalkan. Sangat ter-
gantung pada cuaca. Di waktu-waktu tertentu, tidak mungkin
dilewati gerobak sapi, taksi atau truk. Hujan sedikit, sepeda
yang merupakan kendaraan para guru pun tidak mudah diper-
gunakan. Tanah di sana lengket dan licin sebegitu terkena air.
Maka sampailah tamu-tamu orang kota itu pada kesimpulan,
bahwa daerah transmigrasi yang tidak berhasil hanya disebabkan
karena kemalasan penghuninya. Karena kurang usaha. Karena
orang tran terlalu suka menggantungkan diri. Kata-kata itu
diucapkan dengan gaya tenang, seolah-olah bukan cercaan, bu-
kan celaan. Selumrah kembang-kempisnya hidung yang meng-
isap dan mengembuskan udara.
Samirin menerima perkataan ’’malas” itu sebagai satu tusuk-
an di jantungnya. Seketika dia tidak bisa bernapas. Meskipun
dididik untuk selalu mudah berbicara sebagai alat tugasnya ber-
komunikasi dengan murid, pada waktu itu dia tergagap keha-
bisan kesabaran. Dia melemparkan pandang ke arah Pembakal.
Dialah yang seharusnya mempunyai daya usaha lebih untuk
mengembangkan daerahnya bersama orang tran.
Aparat pemerintah itu bersikap seperti tidak mendengar
hinaan itu. Ataukah barangkali dia tidak menyadari bahwa itu

188
satu hinaan? Kemalasan, tidak berusaha, senang menggan-
tungkan diri! Semuanya adalah kata-kata kejam yang tidak patut
diucapkan terhadap siapa pun yang sudah bergulat di daerah
tran seperti penduduk lokasi mereka. Samirin tahu betul orang
demi orangnya.
Dan kini dia sangat marah kepada orang-orang kota yang
semena-mena itu!
Segera Samirin menegakkan bahu, melebarkan dada. Sebe-
lum berkata, menghirup udara penuh-penuh dengan sekali
tarikan panjang.
’’Hanya orang-orang lapangan yang bisa mengetahui dan
menghargai usaha orang tran, di mana pun lokasi mereka. Ma-
cam-macam faktor menjadi penyebab berhasil tidaknya orang
tran itu membangun kehidupannya yang baru. Kalau kemalasan
Anda sebutkan sebagai hal umum, jelas Anda menunjukkan asal
Anda yang sebenarnya. Yaitu kota, terkurung di antara empat
dinding sebuah kantor yang penuh dengan orang-orang yang
terlalu banyak bicara, tetapi tidak pernah turun ke lapangan.
Oya, berhubung dengan kemalasan, maafkan saya! Terpaksa Anda
semua saya tinggal. Saya sudah cukup lama bermalas-malasan
melayani Anda, sehingga pekerjaan di kantor terbengkalai.”
Dan dengan sekali langkah yang panjang, tanpa bersalaman.
Samirin beranjak dari hadapan para tamu.
Kejadian itu tersekat di tenggorokan Samirin, menjadi peng-
halang kejernihan pikirannya. Membikin bongkahan yang meng-
himpit rasa harga dirinya. Lebih menyakitkan dari peristiwa-
peristiwa pelemparan batu oleh anak Pembakal.
Didorong keinginan membagi pengalaman, juga sebagai
pengaduan yang meringankan beban hati, dia menceritakannya
kepada kedua guru yang lain. Parmono menggerak-gerakkan
kepala sambil setiap kali mengumpat: Gila! Gila! Lalu senada
dengan Samirin, mengulangi penyesalan yang sudah-sudah:
Mengapa Pembakal bersikap lepas dari orang tran? Tidak sedikit
pun memperlihatkan keterlibatan. Berdiri di luar pagar.
Memajukan dan mengembangkan daerah bukan hanya ke-

189
wajiban atau kepentingan orang tran. Memang benar urusan uang
mengambil peranan di balik sikap masa bodoh tersebut. Tetapi
Samirin dan Parmono tetap mengharapkan satu keajaiban, ialah
tibanya saat, di mana Pembakal agak turut campur dalam usaha
mengembangkan lokasi transmigrasi, bahkan desanya sekalian.

Berbeda dari perasaan Samirin, Marsi yang tetap pemarah


tidak menyetujui ulah suaminya terhadap para tamu. Dia meng-
khawatirkan akibatnya. Marsi belum melupakan peristiwa yang
dianggapnya sebagai biang keladi kepindahan mereka dari Kin-
tap. Waktu itu Samirin menghadiri pertemuan dengan wakil-
wakil DPR di Pleihari. Bagi Marsi, disebabkan oleh pembicaraan
dalam pertemuan itulah maka suaminya mendapat surat kepu-
tusan pindah. Kini, ada tamu dari Banjarmasin, Samirin telah
berani mengusir secara halus.
’’Salah-salah mereka lapor ke Departemen! Siapa tahu kamu
dipecat!”
Samirin menjelaskan bahwa tidak gampang memecat orang
begitu saja. Kalaupun itu terjadi, barangkali malahan kebetulan!
Mereka akan dapat kembali ke Kintap. Membikin usaha sendiri.
Sekarang dengan kebun cengkih yang menghasilkan, mereka
bisa berharap untuk berdagang sedikit- sedikit. Mungkin Samirin
akan mendirikaan pembuatan tempe kecil-kecilan.
Marsi bersungut. Tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang
dahulu diucapkan mertuanya, bapak Samirin,
’’Berijazah guru, menjadi pedagang tahu tempe!”
Belum selesai gerutu Marsi, muncul kejadian lain yang tidak
kalah pentingnya.
Suatu siang, Samirin baru saja menghabiskan nasi di piring-
nya ketika Darsono dan Amrus datang. Mereka membawa seo-
rang gadis kecil. Dari muka dan tubuhnya, orang memperkirakan
umurnya sekitar sebelas atau dua belas tahun. Memang sikapnya
juga nyata masih kekanak-kanakan.

190
Belum lama mereka dipersilakan duduk, Parmono menyusul
bersama kakak iparnya.
Sejak pertemuan di lokasi orang Madura. Samirin dan Par-
mono sudah diantar Darsono mengunjungi pematung Amrus
di tengah-tengah hutan. Mereka naik sepeda sampai di lahan
garapan. Dari sana perjalanan diteruskan berjalan. Seluruhnya
berjarak kira-kira sebelas kilometer. Yang disebut gubuk oleh
Amrus ternyata menyuguhkan pemandangan asri dan teratur
bagi Samirin. Berandanya lebar, tanpa pintu dari depan. Anyam-
an bambu merupakan setengah dinding di bagian kiri-kanan.
Bagian tengah, sebelah kiri berderet-deret tiga kamar, dari depan
ke belakang, kanannya lorong lepas, terus ke belakang, dinding
seluruh kepanjangannya sampai di dapur diberi rak. Di ujung
lorong itu ada tiga tungku. Dari sana ada jalan ke kanan yang
bercabang. Satu ke kakus, satu menurun ke sungai, berbentuk
tangga setengah jembatan. Di tengah-tengah sungai ada gubuk
kecil. Itulah kamar mandi seniman dan rombongannya. Semua
pintu dan rak terbikin seperti anak tangga, yaitu dari batang
kayu bulat-bulat kecil yang dikupas.
Untuk pekerjaan dapur, Amrus menggaji seorang wanita tran
dari Blok F. Untuk membantu membersih-bersihkan rumah dan
mencuci, tukang masak itu membawa seorang gadis kecil. Kata-
nya anak itu memerlukan pertolongan, karena lari dari rumah or-
ang tuanya. Anak itu sudah agak lama tinggal bersama wanita itu.
Ketika Samirin mengunjungi Amrus seharian, dia melihat
gadis tersebut untuk pertama kalinya. Dalam percakapan, Amrus
juga menerangkan bagaimana dia mengatur rumah tangganya.
Termasuk bagaimana dia bisa menemukan wanita pemasak dan
sebagainya. Mengenai anak perempuan itu, Amrus mendapat
cerita singkat, bahwa dia adalah anak ketiga dari tujuh kakak
beradik, merupakan anak perempuan pertama.
Orang tuanya mungkin ingin segera meringankan beban
mereka, karena anak perempuan kurang kuat tenaganya untuk
bekerja di ladang. Entah melalui perjanjian yang mana, tiba-tiba
anak itu dikawinkan dengan seorang lelaki berumur empat puluhan.

191
Perkawinan itu dilangsungkan di depan ulama, disaksikan para
tetangga dekat. Pada malam pernikahan, anak gadis yang tidak
tahu-menahu soal hubungan suami-istri itu melarikan diri dari
rumah sambil berteriak-teriak gilo, gilo!59 Itu adalah pengucapan
bahasa Jawa, dapat diartikan jijik, disertai rasa takut
Selama tinggal di rumah Amrus, dua bulan tidak terjadi se-
suatu pun. Lalu Darsono memberitahukan bahwa orang tua gadis
itu mengatakan akan mengambil kembali anaknya di tempat
Amrus. Amrus tidak tahan melihatnya demikian merana. Dia
memutuskan akan menyelamatkan anak yang sejak beberapa
waktu itu sudah menjadi anggota keluarganya.
Bersepakat dengan Darsono, dia membawa anak itu keluar
dari rumah di rimba. Sementara menunggu kesempatan ber-
angkat ke Jawa, anak itu akan dititipkan kepada orang yang
bisa dipercaya.
’’Pokoknya dia biar tenang dulu. Di mana saja asal orang
tuanya tidak mengetahui!” kata Amrus kepada Samirin.
’’Maksudnya untuk dibawa pulang ke rumah orang tua atau
ke rumah si laki-laki?”
’’Katanya anak itu harus kembali ke suaminya!” sahut Dar-
sono.
’’Kalau begitu mereka tidak tahu bahwa perkawinan itu tidak
sah!” sela Parmono.
’’Sudah saya jelaskan!” kata Darsono lagi. ’’Tapi ya dasar
orang-orang seperti itu mempunyai pikiran lain!”
’’Pembakal harus diberi tahu. Setidak-tidaknya orang peme-
rintah. Barangkali bapak-ibu si anak lebih menurut.”
’’Kita jelas tidak bisa mengharapkan sesuatu pun dari Pem-
bakal!” Darsono memotong usul itu.
’’Benar! Dia hanya akan semakin meruwetkan persoalan!”
RT menyambung.
Sejenak mereka diam. Seolah-olah masing-masing berpikir
jalan mana yang paling tepat diambil. Lalu Amrus berkata,
’’Pasti ada soal keuangan di balik ini, Mas! Kasarannya, anak
itu dijual atau ditukar dengan sesuatu begitulah!”

192
’’Emaknya pintar sekali bicara. Bapaknya hanya sedikit
campur omongan. Dan ibunya itu selalu mengulangi: anak itu
harus kembali ke suaminya karena sudah diberikan kepadanya!
Begitu!”
Samirin turut merasakan keterlibatan Amrus
Setelah dipertimbangkan baik-baik di mana anak itu akan
bernaung buat sementara, disetujui, bahwa Samirin akan meng-
ambilnya. Marsi sedang ke desa, tidak mengetahui mengenai
kunjungan tersebut. Tetapi Samirin berpikir barangkali istrinya
akan bersenang hati dapat menolong anak itu. Apalagi bisa
disuruh-suruh momong atau mencuci piring serta pakaian.
Pendek kata, Samirin mengira Marsi tidak akan keberatan.
’’Tidak lama, Mas. Permulaan bulan depan saya ke Jakarta.
Anak itu bilang ingin turut bibinya di Sukabumi,” kata Amrus,
lalu merendahkan suaranya supaya anak yang duduk di beranda
tidak mendengarnya. ’’Malahan barangkali istri saya akan bisa
mengantarkannya kelak. Dia juga berasal dari sana. Tapi ini
belum saya beri tahukan. Biar kalau tidak jadi, dia tidak kecewa
berangkat sendirian naik bis dari Jakarta.”
’’Sebelum pergi, harus memberi tahu orang tuanya,” kata
Darsono.
“Ya, tentu saja!” kata Amrus.
’’Kalau tidak, nanti bisa dituduh menculik anak orang!”
Ketua RT turut menyetujui.
’’Anak orang atau istri orang?” sambung Parmono.
’’Kalau turut peraturan negara, dia belum kawin resmi. Tapi
kalau peraturan adat nikah, di hadapan ulama itu sudah dibe-
narkan, ya apa boleh buat!” RT menjelaskan.
’’Bagaimanapun, nanti kapan-kapan Mas Darsono dan saya
akan mengunjungi orang tuanya. Kalau perlu, kami tanyakan
harus memberi uang ganti rugi berapa. Saya tidak kaya, tapi
untuk menolong anak itu saya mau usaha. Kasihan! Menangis
terus!” kata Amrus.
Lalu, kesepakatan dicapai. Jadi, anak itu tinggal di rumah
Samirin. Akan lebih netral sebenarnya jika Ketua RT yang meng-

193
ambilnya. Tetapi di sana penuh. Ipar Parmono tidak sanggup.
Parmono menawarkan jasanya, tetapi Samirin mendesak agar
gadis kecil itu dipasrahkan kepadanya sementara menunggu
keberesan urusan selanjutnya.
Anak itu hanya satu malam tinggal di bawah atap keluarga
Kepala Sekolah. Marsi terang-terangan menolak melindungi
anak yang malang itu. Samirin benar-benar tidak mengerti lagi
jalan pikiran istrinya.
“Aku tidak mau kita turut campur urusan pribadi orang!
Kalau Amrus memang mau mengambil anak itu, kenapa dia
tidak sepenuhnya bertanggung jawab?”
Dua kali, tiga kali, sampai berulang kali Samirin menjelaskan
duduk perkaranya. Marsi tetap keras kepala. Malahan akhirnya,
dia menuduh Amrus menghendaki gadis itu untuk dirinya sendiri!
’’Omongnya saja dia mau menolong! Siapa tahu dia mau
melalapnya sendiri! Istrinya ‘kan sudah dua. Masih bisa dua
lagi menurut agama Islam!”
Samirin semakin keheranan mendengarkan Marsi. Demikian
menjadi-jadi praduga dan kecurigaannya terhadap semua orang!
Gadis kecil itu biasa saja penampilannya. Seluruh anggota
badan dan muka belum betul-betul terbentuk. Kurus kerempeng.
Sungguh tidak patut diperebutkan antara laki-laki. Apalagi Am-
rus, orang kota! Dengan keluasan pergaulannya sebagai seniman,
pasti dia memandang wanita dengan nilai-nilai lain.
Karena menghendaki kedamaian. Samirin meminta Parmono
mengambil alih kesanggupannya. Anak perempuan itu pindah
ke rumah Parmono. Istrinya sedang mengandung tua. Oleh ka-
rena itulah pada permulaannya dia memang mengusulkan supaya
gadis kecil itu tinggal bersama mereka. Kerja rumah tangga
kelihatan lumrah serta ringan. Yang sebenarnya, itu memerlukan
pengaturan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Sedangkan istri
Parmono merasa bahwa beban di perutnya semakin berat setiap
harinya. Parmono mengatakan kepada Samirin, bahwa kehadiran
seorang pembantu yang meringankan tugas mencuci pakaian atau
membersihkan rumah sangat menguntungkan mereka berdua.

194
Tetapi di tempat guru itu pun si gadis tidak tinggal lama.
Sedang santai-santainya pasangan muda itu menikmati hidup
ditolong tenaga semuda apa pun, pada minggu kedua, tiba-tiba
orang tua anak itu muncul hendak menjemputnya. Entah siapa
yang memberi tahu bahwa dia ada di lokasi itu.
Istri Parmono tidak mau melepaskan si gadis. Katanya, karena
Pak RT memasrahkannya kepada Parmono. Orang tua itu sampai
siang menunggu guru pulang dari mengajar. Satu kejutan yang
tidak menyenangkan! Parmono yang biasa tenang menghadapi
berbagai perundingan, seperti yang diceritakannya kemudian
kepada Samirin, siang itu sukar sekali menahan ketidaksabaran-
nya. Sebelum mulai pembicaraan, dia ingin makan lebih dahulu.
Orang tua anak itu juga dipersilakan, tetapi menolak. Bagaimana-
pun desakan suami istri muda itu! Seakan-akan sudah dimaksud-
kan dari rumah bahwa keduanya tidak mau menerima kebaikan
yang berupa apa pun dari orang-orang yang dianggap menyem-
bunyikan gadis mereka!
Dalam percakapan selanjutnya, Parmono mengetahui bahwa
Amrus dan Darsono sudah mengunjungi bapak ibu tersebut.
Jelas semuanya sudah diberitahukan. Dan menuruti akal yang
sehat, seharusnya mereka bersenang hati ada orang yang mau
memperhatikan nasib anak mereka. Namun, kelihatannya or-
ang tua itu dingin, tanpa semangat. Selalu si ibu yang berbicara.
Dan selalu kata-kata sama yang diucapkan sebagai pengukuhan
kehendak mereka menjemput anak itu: harus dikembalikan
kepada suaminya!
Parmono tidak berbuat lain daripada membiarkan mereka
mengambil anak itu. Semua wejangan ataupun usul tidak ada
gunanya. Memang terang segalanya, bahwa perkiraan anak itu
sudah dijual kepada si laki-laki ’’suami” itu semakin nyata ada
kebenarannya. Parmono bertanya, mengapa bukan ’’suami” itu
yang datang menjemput. Emak gadis itu menyahut, menantunya
sibuk sekali di ladang. Maka karena gagal merenggut anak itu
dari tangan orang tuanya, Parmono minta kepada si ibu agar
sebelum dibawa ke rumah “suami”-nya, gadis itu diberi beberapa

195
penerangan mengenai bagaimana kehidupan sebagai seorang
istri. Dan ditekankan masalah perilaku di atas ranjang!
’’Apakah Ibu mau memberitahukan hal ini kepadanya? Ka-
rena kalau tidak, sekarang akan saya katakan bersama istri saya.
Saya guru. Tahu cara-caranya mengajarkan hal tersebut.”
Untuk pertama kalinya si ibu menunjukkan kegelisahan. Me-
lirik kepada suaminya, menoleh ke arah pintu yang menuju ke
dalam rumah.
Parmono memanggil istrinya dan berseru supaya si anak
juga disuruh datang.
’’Biar saya saja, nanti di rumah sendiri!” akhirnya ibu itu
bersuara.
’’Tetapi betul-betul harus diberi tahu. Karena kalau tidak,
dia akan berteriak-teriak lalu melarikan diri lagi. Hal itu akan
sama halnya dengan perkosaan. Apakah Ibu dan Bapak tidak
malu? Kalau ini dilaporkan sampai ke Bupati, suami dan Anda
berdua bisa masuk penjara!”
Dan banyak lagi Parmono menambahkan. Pokoknya, dia
mengharap agar orang tua itu tahu membangkitkan rasa keingin-
an tahu si anak, sehingga mau melakukan hubungan dengan
“suami”-nya. Karena menurut dia, kalau anak itu tergugah rasa
ingin tahunya, pasti juga ingin mengalaminya.
’’Kalau Anda tahu cara mengatakannya, tanggung setahun
lagi ngemban60 cucu!”
Sambil menangis anak gadis itu sekali lagi terpaksa meng-
gulung tikar dan menyelipkan bantal di dalam gendongannya,
kemudian mengikuti ayah ibunya. Siang itu juga Parmono ke
rumah Samirin melaporkan kejadian tersebut. Sedih dan ter-
mangu Samirin mendengarkan.
Parmono yang pintar berunding dan berhasil menjadi peng-
hubung antara orang-orang Madura dan penduduk asli, kini
gagal menjauhkan seorang gadis kecil dari nasib jeleknya.
“Itu relatif, Mas. Belum tentu itu nasib jelek. Mungkin kehi-
dupan di rumah laki-laki itu justru lebih baik! Makan cukup,
diberi pakaian lebih bagus daripada yang dipunyainya seperti

196
Anda lihat sendiri! Begitu tambal-tambalan.”
’’Nasib juga termasuk suasana pikiran, Dik. Kalau hati tidak
senang, makan banyak atau berpakaian bagus pun tidak ada
artinya.”
“Sebab itu, tadi saya berkhotbah tentang pelajaran seks kepa-
da orang tuanya.”
Dan Parmono menceritakan lanjutan kejadian itu sampai si
anak berangkat di belakang langkah kedua orang tuanya. Sejak
peristiwa itu, Samirin menjadi lebih pendiam.
Dia sudah pendiam sejak Marsi menunjukkan gejala-gejala
kegugupan serta kemudahannya naik darah. Kini makin
bertambah-tambah.
Berkat Amrus, pengalaman anak itu ketahuan. Samirin percaya
bahwa kejadian yang sama pasti ada di lokasi-lokasi lain. Di desa-
desa terpencil di Jawa pun hal itu masih sering terdengar. Tetapi di
sana keadaannya barangkali berbeda. Orang-orang tua barangkali
lebih menyiapkan si anak, sehingga tidak ketakutan ataupun
melarikan diri pada waktu dipegang-pegang pihak lelakinya.
Meskipun tidak sampai pada penjelasan mendetil, secara kelakar,
orang-orang dan anak-anak kampung atau desa di Jawa bersikap
terbuka melihat binatang ternak dan peliharaan yang berpasangan
di depan mereka. Dengan sendirinya pertanyaan ingin tahu dari
pihak anak juga dijawab, walaupun tidak terlalu mendalam. Itu sudah
cukup membangkitkan perhatian anak-anak daripada sikap yang
sama sekali tertutup. Hal itu menyebabkan wawasan si anak gelap,
tidak tahu apa-apa. Yang diketahui hanya: laki-laki dan perempuan
berbeda, tidak boleh melihat lain jenis telanjang. Sedangkan gadis
kecil yang tiba-tiba dikawinkan dan bekerja di ramah Amrus
mengatakan ’’suaminya” menyuruh dia memegang ’’anunya”.
Langsung saja dia menjerit dan lari bersembunyi di ramah tetangga!
Pada kesempatan pertama bertemu dengan Pembakal, ipar
Parmono memberitahukan peristiwa gadis kecil itu. Amrus demi-
kian pula, disaksikan oleh Darsono. Lalu seniman itu menguatkan
maksud baiknya. Meskipun tidak pernah mengharap lurah itu akan
menunjukkan reaksi penolong, namun Samirin menyatakan kecewa

197
juga, karena setelah ditunggu sepekan dua pekan, tidak ada usaha
sesuatu pun dari pihak Pembakal. Bersama kelompoknya, Samirin
menjatuhkan keputusan, bahwa daerah mereka tidak akan
berkembang, materi ataupun moral, kalau tetap ditangani oleh or-
ang seperti itu.
Samirin semakin kurang tidur. Tidak enak makan. Tetapi
badannya yang tinggi dengan kulit terbakar tetap tampak gagah.
Hanya mukanya yang berubah. Lingkaran tulang di mata kelihat-
an menggali cekungan yang bara. Pandang yang keluar dari sana
tidak menyinarkan semangat atau kegesitan. Sayu dan dingin.
Tulang rahang semakin jelas, diterasi oleh tonjolan garis tulang
pipi. Bibirnya terkatup, semakin jarang bersuara sebegitu dia
tiba di ramah.
Di samping itu semua, di sekolah dia merasa dekat dengan
murid-murid. Hanya mengajar dua mata pelajaran, namun padat
dan ketat dia berusaha merasuki hati anak-anak didiknya. Dibu-
kanya pengertian mereka terhadap arti hidup bersama lingkung-
an sebagai manusia jujur dan saling menghormati.

Menurut perhitungan, musim hujan sudah harus mulai sepe-


nuhnya bulan itu. Tetapi air datang dari langit hanya berupa
titik-titik besar dan jarang. Berlangsung tidak lama, sehingga
tidak cukup membasahi tanah. Bahkan tidak cukup menghapus
lapisan debu yang menutupi permukaan daun- daun di bagian
pinggiran lahan. Hujan tahun lalu juga terlambat. Sangat terlam-
bat, sampai-sampai penanaman padi dan palawija dilaksanakan
jauh di pertengahan musim.
Samirin sudah panen meskipun terlambat. Banyak tetangga
lahan yang belum. Entah apanya yang lain, kebun Samirin me-
numbuhkan semua yang dikandungnya cepat dan mentes,61
Demikian pula tanah Darsono yang terletak tidak jauh dari sana.
Lahan produksi yang digarap Samirin tetap dia anggap sebagai
ladang penghasil pangan selama angkutan hasil untuk pema-

198
sarannya belum bisa diatur. Betapa berlimpahnya tanah itu mem-
beri buah. Samirin berusaha memanfaatkannya sendiri. Seba-
gian dikeringkan guna cadangan. Sebagian ditukarkan ke seke-
liling. Ada yang menanam kacang cina. Ada pula yang memenuhi
seperempat kebunnya dengan koro,62 seperti buncis lebar-lebar.
Waktu panen, koro itu dikupas, menghasilkan kacang tipis yang
besar-besar berwarna merah. Pada waktu masih basah, langsung
bisa direbus dengan garam, lalu dimakan begitu saja. Tapi lebih
nikmat jika dicampur dengan parutan kelapa. Sebagai pelengkap,
kadang-kadang dimasukkan dalam sayur asem atau sup.
Secara bergiliran Parmono, Darsono dan tetangga lahan lain
bergantian panen. Selama beberapa hari mereka sibuk bercampur
gembira. Kebun lain-lain banyak yang tetap berisi hasil yang
belum dipetik. Di antaranya tanah Suprayitno.
Karena paling baru, dia menerima bagian lahan paling ujung.
Tempatnya berjarak kurang lebih tiga pal dari deretan kebun guru-
guru lain. Pengerjaan ladang itu juga terlambat. Jadi, hujan yang
turunnya terlalu melonjok musim justru merupakan satu kebe-
tulan yang baik bagi Suprayitno. Pengalaman dan bantuan
kelompok Samirin sangat banyak kepada guru muda itu. Teruta-
ma penunjukan jenis bibit yang ditanam serta pembikinan pagar.
Sebagai percobaan, dia memilih tanaman yang paling biasa,
yaitu jagung dan singkong. Tidak seluruh lahan dipenuhi. Karena
masih bujangan, dia merasa tidak perlu terlalu banyak memiliki
cadangan kering. Ternyata keputusan itu ada betulnya, karena
tanah bagian Suprayitno sangat subur. Senilai dengan kepunyaan
Darsono dan Samirin. Yang pasti, Suprayitno akan membutuh-
kan bantuan tenaga untuk panen. Walaupun seandainya seba-
gian panen dimakan babi hutan sekalipun.
Sejak Pembakal dan Jemain mengundang pemburu dari kota,
selama beberapa waktu hama itu kurang giat melancarkan se-
rangannya. Tetapi sementara tanaman di lahan tumbuh dan
buah bermunculan, babi yang kecil sisa-sisa dari yang selamat
telah menjadi dewasa, untuk kemudian tiba gilirannya mempu-
nyai anak pula. Memang benar seperti kata Amrus, pikir Sami-

199
rin. Mengapa kesatuan-kesatuan ABRI tidak datang menolong
penduduk memburu hama tersebut. Umpamanya dua bulan
sekali. Cara demikian pasti bisa mengatur keseimbangan ant-
arajumlah celeng dan keamanan ladang. Daripada pribadi-pri-
badi seperti Jemain yang menanganinya.
Tentulah ABRI dapat memanfaatkan hasil buruan seperti itu.
Kata Darsono, di negeri-negeri dunia Barat, pada zaman damai,
angkatan perang dipergunakan untuk menolong masyarakat. Di
waktu-waktu pemogokan pegawai kotapraja, mereka bahkan mau
membersihkan jalan dan mengangkut sampah. Di Inggris, ketika
dikabarkan terlalu banyak rubah berkeliaran sehingga mengganggu
peternakan di pinggir kota London, angkatan perang diperintahkan
memburu mereka. Demikian pula sewaktu sebuah kapal tangki
minyak kandas di perairan antara Perancis dan Inggris, tentara kedua
negara itu bersama-sama bersukarela membersihkan laut dan pantai.
Mereka juga turut memelihara serta mencoba menyelamatkan belibis
dan burung camar yang menjadi korban polusi. Darsono yang banyak
membaca mengatakan, bahwa seandainya tentara Indonesia mau
berbuat sama, pastilah orang-orang tran sangat berterima kasih.
Sayangnya pihak yang berwenang tidak berpikir demikian. Padahal
tentara hanya tinggal mematuhi perintah.
Lahan Suprayitno termasuk berpagar rapat. Tetapi letaknya
paling ujung. Lebih-lebih setelah beberapa lahan sebelah-me-
nyebelah sudah dipanen, babi hutan tertarik oleh kesuburan isi
kebun guru muda itu. Mereka menggali lubang di bawah
tancapan kayu pagar. Atau langsung mendobrak ikatan batang-
batang kayu sampai patah, lalu roboh.
Pada suatu pagi, Suprayitno tidak seperti biasanya kalau
datang ke sekolah. Dia tidak masuk ke kelasnya, tetapi menemui
Samirin di rumahnya. Ramai dan bersemangat dia bercerita
bahwa kebunnya berantakan, jagung tua dan muda yang dekat
pagar Timur porak-poranda. Tidak hanya buahnya yang hilang.
Pupus-pupus daun pun habis. Bagian lahan yang tidak digarap
ditumbuhi ilalang. Tetapi itu pun kusut masai seperti baru diiin-
jak puluhan kaki.

200
’’Pagarnya utuh, Mas! Tidak ada satu batang kayu pun yang
berganti letak sejak saya perbaiki tiga hari yang lalu.”
’’Jadi, jelas bukan babi hutan,” Samirin mengambil ke-
simpulan.
’’Tidak mungkin!”
’’Atau orang?”
“Ah, bukan, Mas! Pintu tetap tertutup. Gemboknya tidak
rusak. Anda lihat sendiri rantai yang saya punyai? Besar, ‘kan?
Tidak! Bukan manusia! Kalaupun orang, untuk apa merusak
begitu?”
Memang betul! Rasa-rasanya tidak mungkin! Suprayitno
baru di daerah itu. Kurang cukup lama untuk membikin musuh!
’’Atau kera!” tiba-tiba Samirin ingat.
Ya, pasti kera! Yang bisa memanjat, tanpa merusak pagar!
Dia pernah mendengar bahwa di beberapa daerah, kera masuk
ke lahan dan menjadi hama panen apa saja. Sejak tinggal di
Kintap, belum pernah dia mengalaminya sendiri. Sedangkan di
daerah itu, sekali-sekali terdengar berita gangguan binatang ter-
sebut. Tetapi selalu terjadi jauh dari lokasi mereka.
’’Kalau itu betul kera, tentu banyak jumlahnya! Bukan main,
Mas! Seolah-olah baru dipakai main bola saja!”
Dan pada waktu-waktu istirahat, percakapan para guru hanya
mengenai lahan Suprayitno. Parmono penasaran ingin menyak-
sikan sendiri kerusakan di sana.
Dia turut rekannya menengok ladang siang setelah makan.
Sore ketika kembali, langsung melaporkan apa yang dia lihat
kepada Samirin. Katanya di jalan bertemu dengan Wikarjo dari
Blok F, yang mereka kenal pada peristiwa anak Pembakal.
Bersama-sama mereka ke lahan Suprayitno.
Keesokannya, Darsono dan Keamanan datang ke sekolah.
“Kera itu, Pak Guru!” kata Keamanan pasti.
’’Anda sudah ke sana? Melihat kerusakannya?”
“Ya, saya diberi tahu orang Blok F.”
Anehnya, sudah lama mereka tidak turun sampai ke lahan
kita. Dua tahun ini sepi,” kata Darsono.

201
Itu tandanya bahwa mereka tidak mendapatkan makanan
lagi di kawasannya,” kata Samirin
’’Saya kira itulah sebabnya. Dengan dibukanya lokasi baru
di tengah-tengah, kera-kera itu tidak mempunyai tempat tinggal
dan daerah perburuan lagi.”
“Yang mana yang baru dibuka, Mas?” tanya Suprayitno.
“Di antaranya sepanjang sungai yang menjadi pemukiman
orang-orang Pandeglang itu!” sahut Parmono menjelaskan. Ini
harus dilaporkan,” kata Keamanan.
Mereka terdiam. Berapa kali saja laporan yang lewat Pem-
bakal tidak pernah mendapat tanggapan dari Bupati atau pega-
wai-pegawainya di Pleihari.
’’Anda lapor langsung saja ke kabupaten!” usul Parmono.
“Harus disebut juga dalam surat tahunan kepada Departemen
kelak, Mas,” sambil mengucapkan kata-kata ini dia menoleh
memandang Kepala Sekolah.
Samirin terdiam sebentar, lalu,
“Yang paling baik sebetulnya ialah menulis di surat kahar. Jangan
surat daerah, melainkan koran ibu kota, sifatnya nasional!”
Tidak ada yang segera menanggapi. Kemudian Parmono
berkata,
“Di tempat Amrus ‘kan ada wartawan! Dia bisa kita hu-
bungi!”
“Yang wanita itu?”
“Ya, betul!” kata Darsono ’’Dalam percakapan dia tampak
hebat. Kata Amrus, tulisannya bagus. Barangkali memang itu
jalan terbaik!”
’’Tetapi sebelumnya, kita harus pasti dulu. Harus melihat
sendiri binatang apa yang masuk ke lahan saya itu,” kata
Suprayitno.
Mereka memperbincangkan bagaimana sebaiknya. Apakah
setiap malam harus berjaga? Mungkin binatang itu tidak datang
setiap hari. Kerusakan yang ketahuan pertama kalinya tidak
berubah ataupun bertambah. Berarti mereka baru datang satu kali.
Itu adalah hari ketiga. Barangkali mereka datang malam nanti.

202
“Ayo kita berjaga malam ini!” ajak Parmono yang selalu ber-
semangat untuk berburu.
Mereka membagi tugas.
Malam itu Suprayitno, Darsono dan Parmono akan me-
nunggui ladang. Kalau Keamanan tidak mempunyai tugas isti-
mewa, akan turut menguatkan rombongan.
Tetapi malam itu tidak terjadi apa-apa. Hari berikutnya me-
reka mendapat bantuan dari Blok F. Sudarman dan seorang ka-
wannya. Pemuda ini juga dikenal guru-guru ketika anak Pem-
bakal melukai Samirin. Darsono dan Parmono giat mengatur
penjagaan. Mereka hadir setiap malam. Istri Parmono sudah
diantar ke kota, tinggal bersama kenalan baik sampai bayinya
lahir. Dengan begitu, Parmono lebih leluasa. Akhir bulan dia
akan mengambil cuti, menyusul istrinya ke Banjarmasin.
Malam kelima Samirin ikut berjaga karena keesokannya hari
Minggu. Pada hari-hari sebelumnya dia menyediakan diri sebagai
cadangan, mengganti rekannya kalau terlalu capek untuk menga-
jar kelasnya. Dia juga ingin menyaksikan apa yang terjadi. Dulu
di Kintap, dia sering berjaga-jaga dengan seorang tetangga. Tetapi
hamanya jelas babi hutan. Sejak dia tinggal di lokasi itu, belum
pernah dia tidur malam di lahan.
Masing-masing membawa perbekalan, tikar dan pakaian
tahan air maupun udara dingin. Samirin mengenakan surjan
dan kain lurik yang hangat, kain leher dan jaket tebal. Keduanya
dibeli mahal di sebuah toko di pinggir Pasar Sudi Mampir. Terlalu
panas jika dipakai di kota. Tetapi malam-malam di hutan sangat
lembab. Bulan tua di langit juga mempengaruhi. Lagi pula, hari-
hari akhir itu gerimis turun di waktu-waktu mendekati fajar.
Pintu pagar lahan Suprayitno dibiarkan dirantai. Cukup de-
ngan sekali tarikan mudah dibuka. Darsono menasihatkan demi-
kian. Dia yang sudah banyak makan garam memikirkan segala
kemungkinan. Seandainya mereka harus cepat-cepat menghin-
dar, akan dapat keluar dari lahan tanpa halangan. Diatur sebe-
lum tengah malam mereka berpisahan. Yang bisa tidur, lebih
baik tidur. Asal bergilir.

203
Sekitar jam sepuluh ada suara langkah di jalan setapak. Mere-
ka terdiam memperhatikan. Kemudian terdengar panggilan per-
lahan. Keamanan dan dua orang dari Blok F datang menggabung.
Untuk mendapatkan sinar matahari, Suprayitno hanya mena-
nami kebun bagian Timur. Bagian kebalikannya, meskipun sudah
dibersihkan, sekarang ditumbuhi alang-alang. Pada tempat-tempat
tertentu kelihatan bosah-basih,63 seakan-akan baru dijadikan landasan
pendaratan helikopter. Menurut Darsono, mungkin kera-kera
bergulingan di sana. Selesai makan, binatang-binatang bersantai-
santai atau bermain di tempat itu. Melihat bekas-bekasnya, mereka
tidak hanya berjumlah tiga atau lima. Keamanan mengira kawanan
itu paling sedikit berupa kelompok sepuluh atau dua belas ekor.
Setengah sembilan, langit mulai terang oleh kehadiran bulan.
Di keluasan warna kelam, mega kelabu atau putih teronggok di
sana-sini, seolah-olah tidak bergerak. Siliran angin di ladang hanya
terasa sekali-sekali, tetapi tajam mendinginkan daun telinga. Suasa-
nanya sepi. Serangga pun kedengaran ragu. Sebentar gencar bunyinya
lantang, lalu terputus. Suatu ketika suara ranting dan daun bergeser-
an. Disusul kepak sayap gaduh. Kata Darsono, itu burung yang
sedang bermimpi dan hampir terjatuh dari tempatnya bertengger.
Malam itu lebih sepi dari hari-hari yang telah lewat. Parmono
yang menyatakan demikian, disetujui oleh Keamanan. Dan Par-
mono menghitung pasaran hari menurut pekan Jawa. Besok
adalah Minggu Kliwon! Hari baik ataukah hari keramat, pokok-
nya yang mengandung kliwon selalu berbeda, katanya. Mulailah
mereka bercerita mengenai hantu. Tentang adanya siluman yang
di waktu siang menjadi manusia, berubah menjadi harimau sebe-
gitu matahari terbenam. Ini terkenal di pedalaman Kalimantan.
Konon harimau itu bisa terbang.
Asap rokok Darsono yang berbau klembak64 memenuhi udara,
membikin lingkungan bertambah seram.
“Kolik.... Kolik.”
Suara burung terbang rendah melintasi lahan. Dari jauh
disambut,
’’Uhuuu.... Uhuuuuuu.”

204
Samirin menengadah. Mereka mengelompok, duduk di pojok
kebun. Bergantian ada yang meronda ke bagian Timur. Tetap
mendekap kedua lututnya, Samirin berkata,
“Di Jawa, kalau ada burung itu lewat, artinya akan ada orang
mati, atau akan ada maling!”
“Dia lewat terus kalau di hutan! Berarti ada orang mati terus!
suara Darsono jengkel. ’’Atau ada maling terus!” Dari sudut
lain terdengar ketawa seseorang yang menggumam.
“Burung apa itu, Mas?” tanya Suprayitno.
’’Burung Kolik!” Darsono menyahut.
Samirin menyambung,
’’Kalau memang sama dengan yang di Jawa, di tempat kami
dinamakan Emprit Gantil.”
’’Kalau begitu, kecil ya.”
’’Memang kecil.”
Lalu mereka berbicara tentang burung. Yang berkicau atau
yang pandai, bisa diajar mengucapkan kata-kata. Harga perkutut,
suara serta warna bulunya yang biasa hingga yang paling langka.

Dari tempat Samirin terdengar suara dengkuran. Keamanan


dan kawannya sudah bisa beristirahat. Darsono mendahului ber-
baring, dan segera tertidur. Satu jam kemudian dibangunkan,
ganti Samirin dan Parmono Suprayitno dibiarkan pulas.
Samirin hanya memejamkan mata. Di atas kasur empuk saja
dia sukar tertidur, apalagi beralaskan tikar di tanah yan? me-
nusuk kelembabannya. Suasana yang tenang hanya semu Kete-
gangan menunggu tidak bisa dihilangkan dari hati Samirin.
Sebenarnya dia tidak berharap akan melihat apa-apa. Empat
malam kosong yang dialami kawan-kawannya membikin dia
mengira, bahwa kera atau binatang apa pun lainnya tidak akan
muncul. Pikiran Samirin mengembara dari satu masalah ke soal
lain. Lalu teringat kepada Bayun.
Anak itu ingin sekali ikut. Seperti bapaknya, dia belum pernah

205
menginap di lahan. Samirin merasakan satu tantangan untuk
mencoba membawa anak sulungnya. Tapi Marsi tidak memper-
bolehkan.
Samirin saja dilepas dengan omelan. Katanya, mengapa
mengurusi kebun orang lain! Katanya lagi, akhir-akhir itu Sami-
rin terlalu memperhatikan kepentingan orang lain. Kini, berba-
ringan dengan mata terpejam, berpelukan dengan udara dingin,
Samirin menyadari kebenaran gerutu istrinya. Memang secara
berturutan dia menangani kehebohan atau kejadian di luar
rumah tangganya. Namun, watak laki-lakinya mencari dalih:
dia tidak betah tinggal di dekat Marsi yang dianggapnya telah
berubah. Disusul samar-samar kesadaran lain yang menyela:
ataukah mungkin dia juga berubah?
Tiba-tiba ingatannya melayang kepada Kakek yang sangat
dia cintai. Pengalamannya yang segudang penuh belum ada yang
menceritakan tentang menjaga ladang untuk melihat binatang
apakah yang telah merusak sedemikan dahsyat. Sejenak Samirin
mengulangi cepat setiap cerita Kakek. Bagaikan kilatan cahaya
yang menyilaukan, dia mendengar kembali kata-kata orang tua
itu tentang perempuan yang sedang mengandung, sering kali
mempunyai kemauan yang menyimpang dari jangkauan nalar.
Lebih-lebih nalar lekaki. Yang sudah-sudah, Marsi selalu meng-
inginkan makanan. Mengandung Bayun, dia tidak suka makanan
yang dimasak di rumah. Anak kedua berlainan, Marsi mengidam
banyak makanan pedas dan asam. Samirin terheran-heran melihat
banyaknya rujak dan sambal yang dilalap istrinya, namun tanpa
mengakibatkan sakit perut. Kini Samirin baru menyadari, bahwa
mengandung yang kali ini, Marsi tidak menunjukkan keinginan
sesuatu pun. Karena kelemahan badannya, dia lebih banyak
berbaring, beristirahat untuk menghindari keguguran.
Samirin membuka matanya. Mengapa istrinya tidak meng-
idam ini atau itu seperti biasanya? Ataukah Samirin sendiri
yang selama ini tidak melihat? Tidak tajam merasakan isyarat
maupun tanda-tanda yang terselip dalam kelakuan istrinya seha-
ri-hari? Sejak diketahui bahwa Marsi mengandung, mereka tidak

206
berhubungan jasmaniah. Pada mulanya, mereka masih tidur ber-
dekatan. Saling menyentuh, saling meraba mencari kedalaman
keakraban mereka. Kemudian Marsi selalu menghentikan
permainan percintaannya lebih dahulu. Alasannya selalu capek.
Dia mau dibelai dan dicium. Tetapi tidak mengembalikan gerak-
an yang sama. Dua kali Samirin masih meminta. Jelas Marsi
kurang melayaninya. Tangannya lemas tanpa kemauan, sehingga
Samirin tidak pernah sampai ke puncak kepuasan.
Langit masih terang dengan latar belakang warna pekat mem-
pesona. Mata Samirin mengedar keluasan yang bisa dilihatnya
dan kebun. Kebekuan angin menelusup ke celah-celah kaki
celana, menggelitik bulu-bulu di betis. Degup jantungnya tiba-
tiba berpacu keras. Dan untuk kesekian kalinya Makerah muncul
memenuhi rongga kepala. Ya. Pada waktu-waktu Marsi tidak
menyampaikan dia ke kenikmatan klimaks itulah bentuk wanita
berpinjung di Kaligarang timbul kembali. Dan bagaikan satu
kesatuan: wanita di Kaligarang sama dengan Makerah! Keduanya
membangkitkan gairah, mendahului mimpi-mimpi yang men-
olong Samirin keluar dari tekanan. Lalu dia tidur di mana saja,
asal berjauhan dari tubuh istrinya. Karena dia tidak ingin lagi
bergeseran kulit dengan Marsi. Bersama di satu ruangan saja
menimbulkan ketegangan yang mengantar ke perbantahan.
Setiap soal kecil dijadikan bahan omelan Marsi. Bukan keda-
maian lagi yang ditemui Samirin pada istrinya, melainkan justru
keonaran. Yang sesungguhnya tidak ada, dicari dan dicukil-cukil
supaya ada. Itulah yang dilihat Samirin.
Tapi waktu ini, di lahan Suprayitno, dia meragukan kepekaan-
nya sendiri. Barangkali dia kurang tanggap pengaruh si bayi yang
bersarang di bawah jantung istrinya. Mungkin seharusnya dia
selama ini menunjukkan sikap lembut, mencinta dan melindungi.
Lebih daripada yang dia lakukan. Memang benar dia sabar dan
sebisa-bisanya menghindari percekcokan. Sering kali dia menerima
kecerewetan Marsi tanpa bantahan. Tapi sikap itu pasif. Tak pernah
membujuk. Apalagi memeluk atau mencium. Barangkali justru
itu yang dibutuhkan Marsi, perempuan yang sedang mengandung.

207
Kejadian demi kejadian akhir-akhir itu sering membawa Samirin
ke luar rumah, karena dia menghendaki demikian. Sebetulnya dia
dapat berbuat agak mengurangi perhatiannya kepada orang lain.
Seandainya Marsi juga kurang keterlaluan pemarahnya! Seum-
pamanya istrinya itu lebih ramah sedikit! Ah, tapi semua itu memang
mungkin bawaan si bayi. Hawanya anak dalam kandungan ibu.
Bagitulah kenangan Samirin kepada kakeknya yang dalam
hal pengalaman dapat dijajarkan dengan Darsono. Kelak jika
orang ini sudah tua, bercerita dan berdialog dengan yang muda-
muda, pastilah seperti Kakek dulu menghadapi Samirin. Seka-
rang Samirin sudah menjadi bapak dua anak, menunggu kela-
hiran yang ketiga. Dia mengulang-ulangi perkataan seandainya
dan seandainya, akhirnya jatuh ke diri sendiri. Dia mengakui,
selama ini dia kehilangan ketajaman kepekaannya. Tidak hanya
Marsi yang sakit dan selalu lelah berhubung dengan kandungan-
nya yang berkali-kali gugur. Rupa-rupanya badan Samirin juga
kurang berfungsi dengan sempurna, sehingga hampir memu-
tuskan jaringan komunikasi antara dia dan istrinya.
’’Mas! Mas! Pak Guru!”
Samirin tidak mendengar jelas itu suara siapa. Lirih tetapi tegas.
’’Cepat, Mas! Sini, sebelah Timur! Di pagar!”
Samirin menggoyang-goyangkan kaki Parmono dan Supra-
yitno supaya bangun. Dia sendiri segera bangkit, menyeberangi
sisa-sisa tanaman jagung yang masih tegak.
Dua orang dari Blok F yang dibawa Keamanan sedang
mengintip di pagar.
“Apa, Dik?”
Samirin tiba di sana bersamaan dengan Keamanan. Masing-
masing menempelkan hidung ke pagar kayu.
Banyak sekali, Pak Guru!” Keamanan tidak bisa menahan
rasa terkejutnya.
Di sebelah Timur pagar terdapat luasan tanah yang memisah-
kan pinggir hutan dari lahan Suprayitno. Di tanah yang sudah
dibabat itu, dalam cahaya malam yang kekuningan, tampak ben-
tuk-bentuk hitam. Kadang berhenti, kadang bergerak. Selalu

208
melumat dalam keremangan bayangan tonggak-tonggak pohon
yang telah ditebang. Sisa-sisa pohon lain yang dibakar kelihatan
lebih tinggi dari kedataran. Itu bisa tiba-tiba bergoyang keras.
Bentuk bulatan memanjat dan meloncat ke atasnya. Ilalang yang
sudah tumbuh lagi di beberapa tempat, terkibas dan tersibak.
Dari pagar tempat Samirin berdiri tampak seperti lubuk air yang
berputar tanpa ketahuan dari mana asalnya. Kelompok- kelom-
pok makhluk berlarian di antara rerumputan itu.
Semula Darsono sudah mengatur siasat. Mereka diberi tahu
bahwa kalau bisa, kera-kera dihalangi masuk ke lahan. Caranya
ialah dengan membikin kegaduhan. Mereka telah menyiapkan
berbagai piring dan tutup panci untuk dipukuli. Orang-orang
yang menemani Keamanan ada yang membawa kentongan kecil,
suaranya sangat lantang. Tetapi kalau binatang itu berani juga
masuk, apa boleh buat! Mereka juga harus berani! Atau mundur!
Semua membawa senjata tajam. Darsono yang kaya dengan
koleksi jenis parang dan kelewang, malam itu memperkuat diri
dengan sebuah tombak setinggi tubuhnya.
’’Berapa, Mas?”
’’Belum tahu! Yang jelas, saya menghitung tujuh!”
Seperti lutung kalau di Jawa ya, Mas,” Suprayitno mencoba
menerka.
’’Masih terlalu jauh! Saya belum melihat muka atau ekor-
nya,” Darsono menjawab.
“Dipukul sekarang saja, Mas! Biar sedari sekarang mereka
tahu bahwa kita berada di sini,” orang dari Blok F tidak sabar.
’’Jangan! Ya kalau mereka memang akan kemari! Kalau tidak!
Biar saja dulu! Kita amati baik-baik!” sahut Keamanan.
’’Saya kira mereka memang akan kemari!” kata Darsono.
“Tapi kita tunggu dulu! Jangan bikin gaduh! Mereka masih ber-
main-main. Satu pemandangan yang mengasyikkan ya!” Samirin
berpikir demikian juga. Tiba-tiba dia tidak lagi merasakan kete-
gangan seperti tadi. Seakan-akan mereka berdiri di luar pagar
kebun binatang, menyaksikan sekawanan kera yang sedang ber-
cengkrama!

209
’’Biasanya setelah makan, bersantainya lain lagi. Mereka ti-
duran, bergulingan,” tambah Keamanan.
Samirin turut menghitung. Dia hanya bisa mendapatkan
lima. Jelas bergerak. Atau kalaupun diam, merupa dalam bentuk
yang berlainan dari sekeliling. Jaraknya kurang dari sepuluh me-
ter dari pagar.
Lalu seekor daripadanya memisahkan diri, berlari ke tanah
menuju ke ladang. Tidak jauh di belakangnya, seekor lain meng-
ikutinya. Kini semua yang tampak mengarahkan pandang ke
lahan Suprayitno.
’’Ada yang mendekat, Mas! Kita bunyikan kentongan?” Ka-
limat itu baru saja selesai, di dalam kebun terdengar gerisik
daun. Disusul bunyi ribut mencuet-cuet.
’’Mas! Di belakang sudah masuk!”
Tanpa ada perintah, semua alat dipukul serempak! Samirin
berbalik memunggungi pagar, memukul cangkir besar dari alumi-
nium dengan sendok keras-keras. Beberapa langkah di depannya
dia melihat seekor kera telah menikmati pucuk batang jagung.
Seekor lain duduk di sebelahnya, sedang menarik-narik batang
yang bertimbun di bawah pantat mereka. Beberapa binatang
menggerombol, mengerumuni sisa-sisa kerusakan yang disi-
sihkan Suprayitno di suatu tempat di tengah.
’’Mengelilingi, Mas! Berputar! Kanan dan kiri,” kata Darsono
perlahan.
Dan kegaduhan tetap disuarakan. Anehnya, binatang-
binatang itu tampak tenang saja. Tidak terkejut tidak tercengang
menemui orang-orang. Samirin mendapat bagian yang ke kiri.
Entah siapa yang ada di dekatnya, dia tidak memperhatikan.
Dia mencari jalan dengan rabaan kakinya tanpa melepaskan
pandang dari kera yang menggerombol di tengah-tengah. Men-
dengar keributan suaranya, jelas masih banyak lainnya.
Yang kelihatan warnanya hitam, sebesar kera-kera biasa yang
sering tampak bergayutan di pohon-pohon yang dikenal Samirin
sejak dia masuk ke pedalaman Kalimantan.
Sebelah kiri adalah bagian Selatan ladang. Di situ masih

210
rimbun karena rupa-rupanya singkong kurang disukai. Atau ba-
rangkali belum disentuh! Samirin terpaksa merunduk, meng-
hindari daun-daun. Badannya yang tinggi menjadi penghalang
dalam kepentingan menyembunyikan diri seperti itu. Tenggelam
dalam keasyikan antara menebak beberapa ekor kera yang ada
di kebun itu dan perhatian mencari jalan, dia tidak menyadari
telah tiba di pagar sebelah Barat.
Awas, Mas!” keras dan jelas jerit Parmono.
Tapi terlambat!
Seketika itu juga Samirin merasa sesuatu menimpa pung-
gungnya! Begitu mendadak dan berat sehingga dia terbungkuk,
langsung tersuruk. Lututnya menyentuh tanah. Cangkir di ta-
ngan kiri terpelanting jauh. Tangan kanan yang semula meme-
gang sendok untuk dipukulkan ke cangkir membuka jari-jarinya,
menahan kejatuhan yang lebih parah.
’’Hoooo! Hayo! Hush! Hayo!” Parmono berteriak meng-
gertak dan menakut-nakuti sambil masih terus memukul panci,
bising dan ramai.
Lalu tiba-tiba tidak kedengaran lagi. Digauli desingan benda
pipih yang disabit-sabitkan ke sana kemari. Parmono tetap
menghardik, mengusir dengan suaranya yang keras. Samirin
merasa empat kaki mencengkeram punggung dan bahunya. De-
kat di kuping, napas binatang yang panas tiba-tiba bercampur
lengkingan. Memekik dan membeker dalam kekasarannya.
Samirin berusaha melepaskan diri dari beban itu dengan meng-
goyang-goyangkan bagian belakang badannya. Tapi semakin keras
dia bergerak, dirasakan kuku-kuku binatang itu semakin menancap
berpegang. Dia mengganti taktik, perlahan-lahan mencoba bangkit.
Berat yang menekan bahunya memakukannya di tanah.
Mas Darsono! Kemari, Mas! Tolong, Mas!” suara Parmono
mulai parau kedengaran.
Samirin kembali tidak berkutik. Lalu sekali lagi mencoba
bangun.
’’Jangan bangun, Pak Guru! Jangan bangun! Tidur! Tidur,
rebahkan badan seluruhnya! Sembunyikan muka!”

211
Samirin tidak tahu suara siapa itu, tetapi menurut. Tengkurap,
seluruh badan dibaringkan. Lengan melindungi muka. Suara itu
tidak asing. Antara lupa dan ingat. Kemudian perhatiannya dirampas
oleh suara-suara mengusir, dekat sekali. Disusul bunyi pukulan jatuh
ke benda di punggung Samirin. Jeritan tinggi penuh kemarahan.
Sebentar Samirin merasakan cengkeraman yang mengendur di
pundaknya, lepas. Tapi kembali terkait di tempat lain. Dan suara-
suara hardikan serta usiran bertambah. Yang paling dekat tetap yang
menasihatinya supaya menyembunyikan muka. Mundur. Maju lagi!
Pukulan lagi. Mundur lagi. Semua itu terasa berlangsung lama sekali.
Seolah-olah tak akan habis-habisnya! Hidung Samirin yang
tertunduk mencium kelembaban tanah Kalimantan. Tanah yang
sejak enam tahun ini menjadi bumi tempatnya berpijak, menjadi
tanah air keduanya, kampung halamannya yang baru. Yang
dermawan dan menghidupinya bersama Marsi dan anak-anaknya.
“Minggir, Jang! Hati-hati jangan kena gigitan!” Samirin men-
dengar Keamanan dari jauh.
’’Jangan ditembak, Pak! Terlalu banyak! Ngamuk nanti!” su-
ara yang tadi menyahut.
’’Tidak! Tapi kau minggir dulu! Menjauh!”
Terdengar suara ledakan pertama. Samirin semakin meneng-
gelamkan muka. Satu kali lagi. Satu kali lagi. Seperti datangnya,
tiba-tiba beban di punggung menghilang.
Ke pagar! Semua ke pagar! Keluar, Mas!” Darsono memberi
perintah.
’’Mana Ujang!” Parmono mencari. “Jang! Cepat!”
’’Mas, Ayo! Biarkan setan-setan itu merusak kebun saya asal
kita selamat!” Suprayitno turut memanggil.
Gerisik daun disibakkan. Ceklek-ceklek batang atau dahan
dipatahkan kelewang dan injakan kaki. Samirin merasa dirinya
didorong, lengannya ditarik. Seseorang membuka pintu. Dia
masih terus ditarik, masih terus disorong. Terengah-engah suara
napas mengiringi lari mereka menjauhi lahan Suprayitno.
Lalu Samirin tidak tahan lagi. Lututnya gemetar. Kakinya
lemas.

212
“Cukup jauh, Mas!” terdengar Parmono usul kepada lain-
lainnya.
Samirin baru menyadari bahwa teman dan rekannya itu ber-
ada di sisinya. Menoleh ke kiri, dia melihat anak Pembakal. Jadi,
mereka berdua yang setengah memapahnya keluar dari kebun!
Samirin terhenti, merangkulkan lengan ke bahu anak itu. Tiba-
tiba dia tidak bisa menapakkan kaki lebih jauh. Seluruh berat badan
ditahan anak Pembakal. Berdua mereka terjatuh, duduk di jalan
setapak. Seorang demi seorang mengikuti. Engahan napas gaduh
dan keras mengawangi udara yang seketika terasa terlalu panas
bagi Samirin. Dia merentangkan kaki. Tidak sabar membuka rit
jaketnya, kemudian merebahkan diri. Telentang. Sambil mengatur
napas dalam-dalam, matanya menentang langit.
’’Bangsat!” Darsono mengumpat di sela-sela kesibukannya
menghirup udara segar.
“Apa itu tadi, Mas?” tanya Suprayitno.
’’Orang sini menyebutnya, bangko-e.”
’’Besar sekali!”
’’Besar! Sama seperti orang utan! Kuat lagi!”
“Ada berapa itu tadi?” orang dari Blok F turut bertanya.
“Dua puluh? Tiga puluh? Sukar dihitung! Pokoknya banyak.”
’’Campur wawa, kera biasa,” Keamanan menjelaskan.
’’Heran! Seperti berjanji, kencan ketemu semua di situ!” kata
Darsono jengkel.
’’Ujang juga!” kata Keamanan. ’’Tiba-tiba saja kamu muncul,
Jang! Seperti berjanji saja!”
’’Betul!” Darsono menyambung, ’’dari mana kalian berdua
tadi?”
Samirin baru mengerti. Suara-suara asing yang mengusir tadi
adalah anak Pembakal dan temannya.
’’Jalan saja, Pak. Biasa malam-malam begini. Cari ayam hu-
tan. Bulan tua, langit terangnya lama. Sampai pagi.”
’’Berani sekali kamu! Berapa kali bangko-e itu kau pukul?”
’’Berkali-kali, Mas!” Parmono menjawab. ’’Saya ngeri meli-
hatnya!”

213
’’Habis! Saya kasihan Pak Guru! Saya takut tiba-tiba dia
menyobek kepala Pak Guru!”
Rasa sejuk menyelinapi hati Samirin mendengar anak itu
berkata demikian. Dia bangkit, duduk. Menarik kedua lutut
untuk menopangkan dagu. Dalam cahaya malam, dia mengamati
anak Pembakal.
“Yang mengherankan juga, mereka tiba-tiba saja ada di dalam
kebun! Tanpa kita sadari!” kata Parmono.
’’Rupa-rupanya mereka mempunyai taktik penyerangan
juga,” sambung Samirin.
Darsono bangkit, mendekati.
“Bagaimana, Mas? Untung pakai kain leher! Pakai jaket
tebal!”
’’Mengapa, Mas?”
’’Kain leher menutupi sebagian besar daun telinga. Kalau
kelihatan tentu diganyang! Kuku-kukunya runcing, panjang. Pas-
ti cakarnya membahayakan. Pakaian tebal menolong!”
Saya memang merasakan cengkeramannya.”
’’Begitu sampai di rumah, bekas-bekas kuku diberi injet.65
Jangan kena infeksi! Kotor mereka! Hidupnya tidak hanya di
pohon!”
Keamanan turut mendekat.
’’Tapi tidak digigit, Mas?”
’’Tidak.”
Keamanan kelihatan lega. Samirin merentangkan kakinya
kembali. Dia perhatikan Darsono dan Keamanan memanggilnya
Mas, tanpa mengulangi dengan Pak Guru seperti seolah-olah
membetulkan sebutan yang pertama. Di waktu-waktu yang lam-
pau, kalau keduanya mempergunakan panggilan Mas, selalu
disusul dengan sikap penyesalan karena telah menunjukkan ke-
akraban. Kali ini lain halnya. Suara panggilan itu mantap.
Samirin kembali merebahkan diri, berbaring.
Bergantian sekelilingnya mengisahkan apa yang dialami. Par-
mono menjadi panik ketika ada binatang yang menerkam
Samirin. Semua menebak berapa kilo beratnya. Jelas tidak ku-

214
rang dari lima puluh kilo. Pasti jantan yang sudah dewasa.
Barangkali bandotnya. Kepala kelompok. Kalau itu orang, Par-
mono tahu bagaimana menghadapinya. Pandai bersilat tidak
dapat menanggulangi kera yang menggagahi punggung kawan
seperti itu, katanya. Sebab itu dia memanggil-manggil minta
bantuan. Tiba-tiba anak Pembakal datang. Dia tidak tahu dari
mana! Anak ini mengatakan sedang menunggu jeratan yang
dipasang untuk ayam hutan. Mendengar suara ribut, dia men-
dekat. Tahu bahwa di situ ada ladang-ladang yang belum dipa-
nen. Terus masuk saja turut bertempur. Tanpa tahu siapa-siapa
yang ada di dalam kebun.
Anak yang disangka orang jahat, kini terbukti mempunyai
naluri penolong. Tanpa mengetahui siapa yang ditolong. Pokok-
nya bergerak maju dulu. Barangkali sifat spontan, langsung inilah
yang selama menjadi murid di sekolahnya tidak ketahuan. Im-
pulsif, bertindak menuruti perasaan seketika.
’’Saya mendengar Anda memanggil! Tapi saya tidak bisa ke
tempat kalian. Bagaimana melewati gerombolan yang asyik
mengunyah! Di depan saya dua jantan gede-gede, tiga sedang-
sedang. Saya takut-takuti dengan tombak. Saya acu-acukan ke
arah mereka. Tapi, eeeee, malah yang paling dekat maju, mau
menyerang! Heran! Mereka tidak gentar terhadap manusia!”
’’Saya juga lama baru bisa sampai di tempat kalian,” kata
Keamanan. ’’Mencari jalan tanpa menarik perhatian, itu yang
sukar!”
Samirin tetap menatap langit.
Bulan sudah jauh ke pinggir. Sinarnya semakin pucat, tapi
masih mampu memberikan kecerahan warna pada keluasan ang-
kasa. Bintang yang tertangkap pandang Samirin berkerlipan genit.
Beberapa suara burung mulai terdengar dari selinapan dahan dan
ranting sekeliling. Dini hari hampir usai. Ini sudah hari yang
baru. Nikmat dan nyaman berbaring di atas tanah jalan setapak,
di dekat orang-orang yang bisa disebut kawan. Selesai menunaikan
tugas, tidak peduli kalah atau menang, berhasil atau gagal, mereka
berkumpul dengan pikiran yang menyatu.

215
Dari arah hutan kedengaran sejenis kera berseru. Semula
perlahan. Disambut suara sama, juga lirih dan ragu dari pojok
berlawanan. Kemudian disusul yang lain dari pohon tengah.
Terus bersambungan. Dalam waktu sekejap, suara-suara itu men-
jadi paduan. Membentuk orkestra berkesinambungan.
Mereka menyongsong kedatangan matahari. Laki-laki tran
semua terdiam.
’’Mereka tentunya sudah pergi.”
Samirin mendengar Suprayitno berkata seakan-akan kepada
dirinya sendiri.
“Kita harus merasa beruntung bisa mendengar irama pagi
seperti ini,” Darsono berkata, suaranya berat, khusuk. Sepuluh
tahun, lima belas tahun mendatang mungkin tidak akan ada
lagi. Ulin habis. Hutan lenyap. Burung dan kera tidak mem-
punyai tempat hinggap atau bertengger.”
Samirin terduduk, memandang ke sekitar.
Dia baru tahu, bahwa ketika terjatuh, dia menghadap ke
Timur. Mereka berlari ke Barat. Hampir sampai di ladang Dar-
sono, di mana mereka menyimpan sepeda. Tetapi nanti harus
kembali ke lahan Suprayitno untuk melihat hasil kunjungan
bangko-e kali itu. Juga untuk mengambil ceret tempat perbekalan
mereka. Kalau tidak dimusnahkan oleh binatang-binatang itu!
Singkong tetap utuh, sekalipun di sana-sini tanamannya pa-
tah. Tetapi batang jagung tak satu pun selamat. Suprayitno
tampak tidak terkejut. Katanya rela,
’’Mereka juga perlu makan. Kalau daerahnya diambil ma-
nusia, mengapa mereka tidak ganti mengambil milik manusia!
Saya anggap, kali ini giliran saya yang memberi makan mereka.”
’’Nanti Anda mendapat bagian dari panen saya,” kata Dar-
sono.
’’Tanam lagi, Pak! saya bantu bersama kawan saya ini!” anak
Pembakal langsung menanggapi.
Samirin terharu. Darsono dengan sifat kedermawanan yang
berlebihan sehingga dianggap sinting oleh kebanyakan orang!
Anak Pembakal yang ternyata malam itu menunjukkan sisi lain

216
dari dirinya! Dia beijanji akan membicarakannya dengan Supra-
yitno. Tidak perlu anak itu diambil kembali di sekolah. Cukup
disuruh sering-sering datang, sehingga dapat diberi suntikan-
suntikan pikiran serta ulah yang berguna untuk hidup bermasya-
rakat. Suprayitno lebih muda dari mereka berdua. Barangkali
dia lebih mudah memberikan pengaruh yang diharapkan kepada
anak itu.
’’Hasil kebun saya juga cukup dimakan seorang lagi, Dik,”
Parmono menambahkan.
Samirin akan berkata kepada Marsi supaya sering-sering meng-
irim makanan yang dibikin dari jagung kepada Suprayitno. Hidup
bertransmigrasi seperti bersaudara. Ada rasa kedekatan yang mem-
buat orang bagaikan menderita ataupun berbahagia bersama-sama.
Marsi.
Lintasan aliran listrik seolah-olah meraba dada Samirin. Dari
bahan apa saja istri itu memasak, selalu nikmat dan cocok bagi
seleranya. Sepekan penuh menyuguhkan makanan yang terbuat
dari jagung atau singkong, dirasakan berbeda-beda dan tidak
membosankan. Waktu sakit, waktu capek, Marsi selalu tahu
menyulap memenuhi meja dengan apa yang disukai Samirin
beserta anak-anak. Ya. Selama ini dia kurang mempedulikan
istrinya. Apakah yang diidamkannya kali ini?
Mengayuh sepeda menuju ke jalan besar, mereka masih mem-
bicarakan lahan, bangko-e, tanaman keras, jatah dan lain sebagainya.
Samirin diam. Dadanya sakit oleh penyesalan bercampur
kerinduan. Dia ingin cepat tiba di rumah. Dia ingin merengkuh
dan menekankan kepala Marsi ke jantungnya.

Empang Lembang 1983

217
Kosakata Bahasa Jawa

1. lincak: balai-balai
2. kulah: bak kamar mandi
3. memanggul tinggi dan memendam dalam: pepatah Jawa ’’manggul
duwur, mendem jero” yang artinya ialah anak diharapkan dapat
membuat orang tuanya merasa bangga
4. gurulaki: suami
5. le dari tole”, disingkat ”le”, yang artinya sebutan atau panggilan ke-
pada anak lelaki
6. lemet: makanan yang terbuat dari parutan singkong dicampur pa-
rutan kelapa dan gula merah, lalu dibungkus daun pisang panjang-
panjang seperti lemper, kemudian dikukus
7. buteng: keras kepala yang negatif
8. ngunduh: pengantin lelaki yang diboyong ke rumah pihak lelaki
9. kulakan: membeli dalam jumlah besar
10. pilis: ramuan obat tradisi Jawa yang ditempelkan di dahi perem-
puan yang baru melahirkan
11. bontotan: bungkusan yang berbentuk tidak teratur
12. pembakal: kepala desa
13. babantai: gotong-royong
14. ranti: tomat Jawa, kecil-kecil
15. tran: transmigrasi, kosakata yang digunakan para transmigrasi
16. yu: singkatan dari mbakyu, panggilan untuk kakak perempuan
17. lamat-lamat : sayup-sayup
18. emoh: tidak mau
19. VUTW: Varietas Unggul Tahan Wereng
20. makak: nama kera
21. keba: tas yang terbuat dari anyaman daun pandai sungai
22. diampirkan: disuruh singgah, diundang
23. nuwun: terima kasih
24. arit: celurit
25. nglurug. invasi, menyerang
26. ledung-ledung: tumbuh subur, tinggi dan banyak daunnya
27. gilig: bulat panjang
28. kuwalahan: kehilangan akal, bingung
29. mempur: tidak lekat

218
30. digdaya: mampu, sangat mampu
31. ditelateni: ditekuni
32. wayu: dibikin kemarin, tidak baru
33. menceng: tidak lurus
34. waluku: bajak, alat untuk mengerjakan/membalik tanah di sawah/
ladang
35. tembelekan: lamtana
36. lungsek: lusuh
37. kekrasanan: nyaman, rasa terlindung/sejahtera
38. tata krama: sopan-santun
39. lingsir: turun, bergeser
40. kedung: lubuk
41. pinjungan: cara membebatkan kain batik pada tubuh sampai ke
bawah ketiak
42. sedet: berbadan singset
43. merak ati: menarik hati
44. nglemprot: tidak rapi dalam arti badan, pakaian, dandanan pribadi
45. londo: sampo yang terbuat dari merang atau jerami yang dibakar
46. mriang: demam ringan
47. trenyuh: terharu
48. rejo: indah dan subur-makmur
49. temugiring: warna kuning tua bersinar
50. latar-ireng: nama jenis corak kain batik klasik Solo atau Yogya
51. ditemoni: ditemui
52. sengol: diucapkan dengan suara kasar
53. sengak: menyakitkan hati si pendengar
54. wong ayu: si cantik
55. wong bregas: si tampan, ganteng
56. sunggaran: tatanan rambut pada kanan kiri di arah telinga
57. lesus: angin topan '
58. penderek: pangikut, bawahan
59. gilo-gilo: jijik, ngeri
60. ngemban: menggendong
61. mentes: berisi, padat.
62. koro: buncis besar
63. bosah-basih: kacau balau
64. klembak: ramuan rempah-rempah
65. injel: kapur

219
Biografi Singkat

Nh. Dini dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936. Berpendidikan


SMA Bagian Sastra (1956), Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta
(1956), dan Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960
ia bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan
seorang diplomat Prancis, berturut-turut ia bermukim di Jepang,
Prancis, dan Amerika Serikat. Sejak Tahun 1980, ia kembali ke In-
donesia, dan kini menetap di Semarang.
Ia mulai menulis sejak tahun 1951. Karya-karyanya antara
lain: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal
(1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko
(1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang
Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981),
Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Bersen (1982),
Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-Orang Tran (1985),
Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun
(1993), Panggilan Dharma Seorang Bhikku (1997), Tanah Baru, Tanah
Air Kedua (1997), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2002),
Monumen (2002), Istri Konsul (2003), dan Dari Parangakik ke Kam-
puchea (2003). Terjemahannya: Sampar (karya Albert Camus, 1985).
Ia pernah menjadi pemenang Lomba Penulisan Naskah Skenario
untuk Radio se-Jawa Tengah (1955) dan mendapat hadiah pertama
untuk Lomba penulisan Cerita Pendek dalam bahasa Prancis se-
Indonesia untuk cerpennya “Sarang Ikan di Teluk Jakarta” (1988).
Ia pun mendapat Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI (1989) dan memperoleh Piagam Penghargaan Upa-
pradana dari Pemda Tingkat I Jawa Tengah (1991).
Studi mengenai Nh. Dini dan karyanya: Sariyati Nadjamuddin-
Tome, Isu Wanita dalam La Barka (1997) dan Th. Sri Rahayu Prihatmi,
Nh. Dini: Karya dan Dunianya (1999).

220

Anda mungkin juga menyukai