Anda di halaman 1dari 146

Janda Muda

Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi


dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.

Rendra
(dari “Sajak Kenalan Lamamu”)
Janda Muda
Kumpulan Cerita Pendek

Nh. Dini
JANDA MUDA
Kumpulan Cerita Pendek

Karya Nh. Dini

Diterbitkan oleh
PT Dunia Pustaka Jaya
Jl. Gumuruh No. 51, Bandung 40275
Telp. 022-7321911 Faks. 022-7330595
Email: pustakajaya.dpj@gmail.com
Anggota Ikapi

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved

Desain sampul: Ayi R. Sacadipura

Cetakan tahun 2003 oleh Grasindo

EDISI PUSTAKA JAYA


Cetakan pertama, 1983
dengan judul Segi dan Garis
Cetakan kedua, 2014

ISBN 978-979-419-419-5
Kata Pengantar

Di dalam kumpulan ini, saya tidak meninggalkan kebiasaan


dalam mengarang, yaitu memasukkan unsur kehidupan nyata
yang saya baca di surat kabar atau kebetulan saya lihat/dengar
di lingkungan. Tidak jarang kejadian di suatu tempat saya ga-
bungkan dengan bacaan dari koran-koran itu.
Cerpen “Pandanaran”, “Hujan”, dan “Sebuah Teluk” tampak
nyata merupakan hasil pengamatan saya di daerah asal, yaitu
kota Semarang dan kawasan hunian nelayan yang serba keku-
rangan, yang bahkan sampai kini di awal abad ke-21 pun masih
belum direngkuh kehidupan sejahtera.
Tokoh-tokoh di dalam cerpen “Pandanaran” mungkin bisa
tinggal di kampung lain. Tetapi di masa saya menulisnya, Jalan
Pandanaran merupakan satu jalur jalan besar yang dipinggiri
rumah-rumah gedung amat mewah jika dibandingkan dengan
kerumunan kampung di belakangnya. Dan saya sangat sering
lewat di sana untuk pergi ke RRI, sambil selalu mengawasi peng-
huni rumah-rumah reyot yang merana itu lalu lalang sebagai
tukang becak atau buruh. Demikian kontrasnya sehingga rasa
iba mendorong saya untuk mengabadikan nama jalan itu di
dalam cerpen saya.
Cerpen-cerpen “Di Langit, di Hati”, “Ke Luar Tanah Air”,
“Perjalanan”, dan “Wanita Siam” saya tulis ketika saya masih
bekerja di perusahaan penerbangan Garuda di paruh kedua

5
tahun 50-an. Seperti pembaca dapat melihat sendiri, lingkungan
yang saya gambarkan erat berhubungan dengan profesi saya di
masa itu.
Cerpen ‘Janda Muda” saya tulis kemudian, sekitar tahun
1970-an untuk merekam betapa sikap umum masyarakat terhadap
kaum janda. Hal ini di kemudian hari (dekade berikutnya) saya
kembangkan lagi di dalam novel saya Jalan Bandungan (1989).
Cerpen-cerpen lainnya adalah hasil observasi saya dalam
kehidupan Barat, di Eropa di tahun 1960-an. Ada yang saya
tulis di Versailles, yaitu rumah tempat tinggal pertama saya di
negeri adoptif Prancis; ada yang saya kerjakan di rumah sahabat
saya Mireille Labat, yaitu sebuah vila bernama La Barka di Trans-
en-Provence (Prancis Selatan). Bahkan ada yang saya kerjakan
di sebuah kapal.*
Ternyata ragam kehidupan di mana pun tetap sama: bergerak
penuh liku-liku yang menyengsarakan dan menggoda manusia.
Kita harus tanggap dan berlaku bijak dalam menyikapinya.

Sendowo, Mlati,
Juli 2003

Nh. Dini

* Seri Kenangan, buku Dari Parangakik ke Kampuchea (2003).

6
Daftar Isi

Kata Pengantar — 5

Janda Muda — 9
Pandanaran — 26
Hujan — 35
Sebuah Teluk — 49
Perjalanan — 61
Di Langit, Di Hati — 70
Keluar Tanah Air — 78
Wanita Siam — 86
Di Pondok Salju — 99
Ibu Jeanette — 108
Penanggung Jawab Candi — 117
Kebahagiaan — 128

Biografi Singkat — 142

7
8
Janda Muda

Warsiah telah siap berdandan.


Sore itu dia mengenakan kain kebayanya yang terbaru, dibeli
untuk berlebaran tahun lalu. Kainnya bukan batik tulis. Terlalu mahal
bagi sakunya yang tipis. Itu hanya batik cap-capan, tetapi berasal
dari Sala, dibawa langsung oleh kakak iparnya pedagang ulang-alik
antara kota-kota di sekitarnya. Coraknya lembut Daniris,1 disela
oleh beberapa bentuk bunga di sana-sini. Zaman sekarang banyak
terdapat tambahan pada pola dan corak batik klasik atau setengah
asli. Demikian pula campuran warna yang beraneka ragam. Warsiah
suka kepada kain itu. Daniris memberikan pandangan keseluruhan
yang nyaman, tanpa gambaran menonjol. Warna coklat terang sesuai
dengan suasana yang akan dia hadiri.
Kebayanya hijau agak gelap. Disampiri selendang tipis dari
bahan sederhana merah cerah. Ini cukup memberi nada ketidak-
murungan bagi keseluruhan pakaiannya.
Sore itu, dia akan menghadiri pertemuan perkenalan guru-guru
Sekolah Menengah di bagian kota sebelah barat. Surat undangan
menyebutkan pertemuan ramah-tamah, yang bagi Warsiah merupa-
kan perkenalan karena dia pendatang baru. Tetapi di dalam hati,
Warsiah menyimpan harapan tersembunyi, yang bahkan dia sendiri
pun dengan rasa malu berusaha menyingkirkannya.

1. udan riris, motif hujan gerimis dalam batik

9
Setiap kali “itu” singgah di kepalanya, dengan susah-payah
ia menyibukkan diri mengerjakan sesuatu yang bisa merebut
perhatiannya. Namun di samping itu, Warsiah kadang-kadang
termenung serta bergulat dalam hati untuk menentang bahwa
itu bukanlah perasaan yang patut dihindari.
Lalu dia biarkan lamunan itu menggambarkan kejadian-
kejadian yang akan datang, yang diharapkan bisa terjadi. Biasa-
nya itu berlarut-larut serta merupakan bayangan yang terlalu
berbahaya. Warsiah terbangun sadar dan kecewa menemukan
hal yang sebenarnya, jauh berbeda dari apa yang dia impikan.
Hal tersebut tidak menghalanginya buat mengulang lamunan
yang sama pada kesempatan yang datang kembali.
Sebagai anak terakhir keluarga biasa, Warsiah memikat pan-
dang tetangga maupun sanak-saudara karena warna kulitnya
yang kekuningan seperti buah langsat. Sedari kecil, tubuh yang
lebih terang dari keempat saudara kandungnya itu menjadikan-
nya anak sanjungan bapaknya. Pada waktu ibunya tidak mene-
mukan lagi alasan untuk mencegah anak-anak yang lebih besar
agar tidak berenang atau mandi-mandi di sungai di pinggir desa,
maka ia akan berseru,
“Lihatlah bagaimana kuningnya Warsiah! Ia tidak sering ke-
luar rumah! Kalau ke ladang selalu memakai caping. Kalau kalian
juga demikian, pastilah Bapak akan lebih senang kepada kalian.”

Dari kelima anak, Warsiah pulalah yang dapat dibanggakan


di lapangan pengajaran. Ia sampai pada tingkatan pendidikan
guru. Dengan izin istimewa dari bapaknya, Warsiah keluar dari
desa dan tinggal di asrama serta mengikuti pelajaran selama
tiga tahun.
Sebenarnya tidak jauh. Ada bus yang menghubungkan kedua
tempat itu dengan mudah. Kereta api juga tersedia, bahkan de-
ngan biaya jauh lebih rendah. Tapi Warsiah mempergunakan
bus guna mengunjungi keluarga pada waktu-waktu libur. Bus

10
itu dapat berhenti di pinggir jalan besar, dekat dengan kam-
pungnya.
Sejak turun dari kendaraan, dia lebih sering bertemu dengan
kenalan atau tetangga, kadang sanak-saudara, yang tanpa sem-
bunyi-sembunyi memperlihatkan kekagumannya. Karena War-
siah salah seorang di antara sebegitu sedikit anak perempuan di
desa itu yang bisa meneruskan sekolah melampaui tingkatan
dasar.
Pemuda-pemuda pun jarang yang meneruskan pendidikan.
Kalaupun ada, akhirnya mereka tidak lagi pulang kampung,
karena mendapat atau memilih bekerja di kota besar.
Selama tiga tahun Warsiah menerima anugerah ikatan dinas
dari pemerintah. Untuk membayarnya, bapaknya yang lanjut
usia itu menyarankan anak kesayangannya mengajukan permo-
honan ditempatkan di desa setelah lulus dari pendidikan guru.
Sebetulnya Warsiah ingin melihat kota, mengenal daerah lain.
Tetapi dia bukan anak yang bersifat membantah kemauan or-
ang tua. Dengan jelas, dia juga bisa melihat betapa keluarganya
hendak membanggakannya. Ia termasuk pengajar pertama yang
berasal dari desa itu setelah perang revolusi.
“Nak Warsiah adalah guru yang sesungguhnya,” kata Kepala
Desa bilamana ia turut duduk mengobrol di warung dekat jalan
besar, sambil menanti lewatnya bus-bus dari Ibu Kota. Bagi
mereka, guru yang sesungguhnya ialah guru lulusan dari Sekolah
Guru. Karena sejak perang revolusi, sekolah-sekolah yang dise-
lenggarakan di kampung-kampung mengambil guru dari kalang-
an mana saja, seadanya.

Seorang guru dalam keluarga! Alangkah bangganya! Seorang


perempuan yang mengajar di sekolah desa, tempat tinggal keluar-
ganya.
Betul umurnya yang muda dan tubuhnya yang kecil itu ba-
rangkali kurang meyakinkan orang terhadap Warsiah melak-

11
sanakan tugasnya. Tetapi baginya, mengajar di kelas rendahan
tidak memerlukan pengetahuan otak yang berbelit-belit. Apalagi
pada waktu itu, negara baru keluar dari kekacauan. Organisasi
belum teratur benar di segala lapangan. Mengajar di Sekolah
Dasar, yang dipentingkan ialah pengertian agar dapat dimengerti
oleh murid. Hal ini Warsiah dapat mencakupnya.
Dia suka kepada anak-anak. Ditambah dengan ajaran ilmu
jiwa yang diterima pendidikannya, ia bisa menanamkan penger-
tian. Hal itu menjadi lebih mudah lagi karena Warsiah molek-
moblong oleh wajah yang terang kekuningan. Dia mendapat sebut-
an cantik. Kepala sekolah melarang guru wanita bersolek. Waktu
itu, di kalangan tertentu, ramuan hiasan wajah dianggap sebagai
barang haram yang hanya dipergunakan oleh golongan perem-
puan tertentu dan kupu-kupu malam. Kalaupun itu boleh dipa-
kai, hanyalah sebagai hiasan pengantin yang bersanding di pela-
minan.
Beberapa mulut usil yang cemburu mengatakan badan War-
siah tidak begitu sehat. Karena itu, warna kulit tidak segelap
kebanyakan orang desa.
“Wajahnya selalu pucat,” sambung yang lain.
Memang mukanya tampak datar oleh garis kebiruan bibir-
nya. Apalagi pada musim-musim sejuk kala hujan yang tidak
berkeputusan melembabkan seluruh sawah-ladang. Tapi di sam-
ping itu, orang tidak dapat membantah bahwa Warsiah mempu-
nyai rambut lebat dan hitam, warisan dari ibunya. Matanya
biasa, membulat sederhana berwarna coklat tua. Demikian pula
alis serta bulu matanya lurus. Hidungnya kecil melebar, dengan
lubang yang kelihatan terlalu besar. Mulutnya menggaris dengan
bibir bawah yang tebal nggandul manas ati, menggantung dan
merangsang hati. Bagi laki-laki merupakan daya tarik tersendiri.
Dengan bekal itulah Warsiah mulai bekerja, mengajar di se-
kolah desanya. Hidup berlangsung tanpa perubahan- perubahan
yang mendadak. Lingkungan desa meluas. Rumah baru muncul
di sana-sini, mendesak dan menelan ladang serta sawah.
Tahun berganti tahun; batas desa yang satu dan desa lainnya

12
tidak kelihatan lagi karena kepadatan penduduk serta atap
rumah. Akhirnya, desa merupakan kota kecil yang kemudian
memiliki taman-taman dan gedung bioskop. Rombongan wayang
orang dan ketoprak bergiliran datang memeriahkan bangunan
bambu yang tersedia di alun-alun.
Demikian semuanya berlangsung hingga datanglah saatnya
pemerintah daerah merencanakan pembangunan tempat cadang-
an air minum yang akan disalurkan ke ibu kota provinsi, tidak
jauh dari sungai di pinggir desa itu.
Begitu kabar sampai di telinga mereka, pokok pembicaraan
yang baru merupakan kesibukan selama beberapa waktu. Wa-
rung di tepi jalan tempat orang-orang menunggu lewatnya bus
dan kendaraan lain menjadi pusat pemberitaan. Mereka berba-
hagia dapat menemukan pokok percakapan yang lepas dari ke-
biasaan. Dan dari sanalah pula tersebar kabar bahwa seorang
asisten insinyur bangunan tersebut adalah pemuda tegap ber-
wajah tampan yang berasal dari desa itu juga. Berduyunan pen-
duduk pergi menyelidik, memperhatikan, dan mengawasi para
buruh dan pekerja.
Bapak Warsiah telah lama mengandung kekhawatiran di
dada. Tiga tahun sudah berlalu sejak anak perempuan yang dika-
sihi itu kembali ke desa, menjalankan tugas yang dipercayakan
pemerintah mendidik calon-calon warga negara yang baik. Dari
tahun ke tahun pula bapak yang tua itu mengharapkan seorang
laki-laki yang dapat dijodohkan bagi Warsiah.
Sekali dua kali, seorang guru lelaki rekan anaknya berkun-
jung. Tetapi hanya sampai kepada pergaulan biasa. Tampaknya,
anak perempuan itu tidak mempunyai perhatian yang lebih dari-
pada kerja sama mengenai soal-soal sekolah. Berdua mereka bah-
kan mengawal anak-anak kelas tertinggi waktu berdarmawisata
ke Candi Borobudur. Lalu ia tidak menemukan kelanjutan yang
diharapkan oleh keduanya.
Ia juga bertanya-tanya di antara tetangga yang mempunyai
anak-anak muda. Dia mendengar tentang seorang pemuda yang
belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Jawa Barat. Anak muda itu

13
tidak pernah pulang sejak keluar dari sekolah. Dengan bapak
pemuda itu ia sering bertemu di warung pinggir jalan. Sekali-
sekali keduanya berhubungan mengenai pembagian benih baru
atau persoalan lain mengenai persawahan.
Bapak Warsiah tidak melihat kemungkinan mengawinkan
anaknya dengan pemuda dari Sekolah Tinggi itu.
Hingga tiba saat pembangunan bak cadangan air di pinggir
desanya. Seolah dia sendirilah yang akan kawin, hatinya ber-
debar ketika melihat pemuda itu untuk pertama kalinya sejak
bertahun-tahun. Gembira bercampur khawatir.
Akhirnya dia berkesempatan berbicara dengan bapak pe-
muda itu. Dari percakapan ke percakapan, keduanya akan mem-
pergunakan kebijaksanaan Mak Sum, perempuan setengah umur
yang kerjanya menggugah niat perkawinan atau hubungan gelap.
Hal itu tidak mengambil waktu lama. Nama Warsiah sendiri
cukup baik sebagai jaminan menjadi menantu. Pertemuan kedua
muda-mudi itu pun direncanakan. Dulu mereka telah saling
mengenal, tetapi telah lama tidak bertemu muka. Tahun dan
waktu menumbuhkan masa muda berkembang dan berseri, me-
nuruti lingkungan masing-masing.
Warsiah tidak mengetahui maksud bapaknya. Tapi di dalam
hati dia mengakui, hingga waktu itu, pemuda itulah yang paling
menarik. Mungkin ini disebabkan oleh caranya berpakaian yang
rapi atau pantas. Tidak seperti rekan-rekan guru atau pemuda
lain yang dia kenal. Atau barangkali oleh caranya berbicara yang
lemah lembut, suara rendah penuh perhatian.
Dua kali bertemu, Warsiah telah merindukannya. Lalu sam-
pailah saat mereka keluar bersama menonton film Amerika di
satu-satunya gedung bioskop kawasan desa. Mereka pergi ke
kota menonton pasar malam. Bersama para insinyur, keduanya
bertamasya ke candi Ratu Baka dan makan siang di sana.
Warsiah bahagia.
Akhirnya, bapaknya memberitahukan bahwa orang tua ke-
dua pihak sedang mempersiapkan perkawinan. Musim panen
segera datang. Sawah akan menghasilkan tabungan cukup jika

14
tikus dan hama tidak merajalela.
“Ini merupakan perkawinan terakhir yang kami seleng-
garakan,” kata bapaknya, “yang terakhir dan terbesar, karena
kau guru dan bakal suamimu calon insinyur!”
Warsiah termenung sebentar mendengarnya.
Bapak itu tidak menyembunyikan betapa besar kebanggaan
yang menguasai dadanya. Perkawinan itu akan merupakan pun-
cak kehidupannya hingga Tuhan akan memanggilnya kembali.
Warsiah mulai menyadari bahwa semua kejadian, pertemuan,
makan bersama sebagai selamatan ulang tahun, kunjung-me-
ngunjungi antara kedua keluarga, semuanya telah diatur serta
direncanakan.
Namun, ia pun tidak menyesali hal tersebut. Benih keka-
guman telah tumbuh menjadi kasih sayang. Pada waktu mereka
keluar berdua, dengan gemetar Warsiah mengharapkan perla-
kuan akrab pemuda itu. Sentuhan tangan, rangkulan di pundak.
Tetapi itu tidak pernah terjadi. Satu kali di gedung bioskop,
dan kali lain di dalam becak waktu hujan, tiba-tiba pemuda itu
meraih tengkuk dan mencium mulutnya dalam-dalam. Lidah
panjang dan panas hampir mencekiknya dan membuatnya ingin
muntah.
Gerakan yang kasar. Yang mengejutkan. Tetapi Warsiah tidak
berani membantah. Membiarkan dirinya dipeluk dan diraba.
Tangannya tergagap mencari pegangan. Demikian pula ketika
berkesempatan berdua di gubuk sawah bapaknya. Dalam ke-
asyikan diciumi oleh pemuda itu, Warsiah tidak sadar bahwa
gaunnya telah tersingkap, dan tangan pemuda pasangannya le-
luasa membelai bagian-bagian lekuk antara kedua pahanya. Dia
hampir berteriak ketika merasakan aliran listrik menyengat kepe-
kaan kulit itu. Namun, suaranya tenggelam jauh di tenggorokan,
tersumbat oleh mulut kekasihnya.
Dia tidak pernah mendapat pelajaran tentang terjadinya
kehidupan benih manusia. Di sekolah guru pun tidak diberita-
hukan hal-hal yang bersangkutan dengan hubungan laki-laki
perempuan. Tetapi di asrama, gadis-gadis biasa bertukar pikiran,

15
saling memberitahukan pengetahuan yang pernah didengar. Ke-
tika dulu pertama kali menyadari mengalirnya cairan merah
dari sudut rahasia tubuhnya, dengan tersedan dia mengabarkan
kepada ibunya. Lalu orang tuanya hanya membujuk dan menga-
takan bahwa hal itu biasa terjadi pada gadis kecil yang menjadi
dewasa. Di sekelilingnya sanak-saudara perempuan bergantian
mulai menggoda dengan senda atau ejekan manis. Mereka meng-
adakan selamatan menandai meningkatnya ke alam akilbalik.
Hari itu pula Warsiah menerima hadiah-hadiah sebagai pisung-
sung masuknya ke alam dewasa.
Seperti kebanyakan gadis maupun perempuan, Warsiah mem-
punyai impian bagaimana pemuda yang ingin dia cintai. Dia
juga membayangkan bagaimana pergaulan yang hendak dilaks-
anakan bersamanya. Baginya, laki-laki yang mencinta selalu
berkelakuan lemah lembut, penuh bujukan. Dua kali pemuda itu
memeluk dan menciuminya. Dan keduanya menyimpang sama
sekali dari apa yang selalu dibayangkan Warsiah. Tidak ada per-
kataan merayu atau memuji. Tanpa ada pandangan mengusap
yang meruntuhkan hati. Ajakan bercinta yang datangnya dengan
tiba-tiba tidak mengena di hati Warsiah yang polos, karena lebih
berupa serangan daripada cumbuan. Ciuman dan rabaan yang
dia terima tidak terasa kenikmatannya. Dan ketika yang ketiga
kalinya pasangannya mencium serta mengusapkan tangan pada
kulit pahanya, Warsiah lebih tersengat oleh naluri daripada kelem-
butan rayuan.
Agaknya naluri pulalah yang menyebabkan dia bermenung
ketika mendengar suara bapaknya mengabarkan bakal perka-
winannya dengan pemuda itu. Warsiah menyadari, ia tidak me-
ngenal pemuda itu baik-baik. Mereka bertetangga. Sama-sama
menjadi kebanggaan orang tua.
Umur Warsiah lebih tua beberapa bulan dari pasangannya.
Tingkatan pendidikan boleh dikatakan seimbang.
Dipandang sepintas lalu, segalanya bisa berlangsung dengan
baik. Perkawinan yang sepadan. Pasangan yang cocok!
Namun, Warsiah tidak puas. Dirasakan ada sesuatu yang

16
tidak pada tempatnya. Selama beberapa hari pada saat-saat me-
nyendiri, ia memikirkan apa yang tidak beres mengenai per-
gaulan mereka. Dan tunangannya, begitulah orang mulai menye-
butnya di rumah, terlalu mengenal kota besar. Terlalu mengerti
seluk-beluk kehidupan kota. Dia tentulah mengenal banyak gadis
dan wanita di sana. Dia bahkan mungkin telah beribu kali me-
ngelus dan mencium mereka seperti yang telah dikerjakan ter-
hadap dirinya.
Perkawinan bukan untuk dua atau tiga hari. Warsiah me-
nginginkan pengenalan lebih lanjut guna menyelami watak serta
sifat bakal suaminya. Tetapi desakan dari sana- sini meng-
himpitnya. Apa lagi yang ditunggu? Pertanyaan semacam itu
berulang kali terdengar, datangnya dari mulut yang berlainan.
Ya, apa yang dia tunggu?
Umurnya dua puluh empat tahun. Terlalu banyak gadis yang
tinggal di kota kecil maupun desa padat yang saling mengenal
dan memiliki hak buat membicarakan kehidupan gadis lain.
Kelompok Candi Loro Jonggrang yang megah menguasai kelu-
asan pemandangan sekitarnya, menambahkan pula ketergesaan
setiap keluarga untuk mengawinkan gadisnya. Anak-anak perem-
puan di daerah itu tumbuh dan dibesarkan oleh ancaman kutuk-
an Bandung Bondowoso bahwa jenis mereka tidak akan laku
kawin dan menjadi perawan tua.
Takhayul yang kemudian menjadi kepercayaan ini berlang-
sung sampai zaman mutakhir. Dan Warsiah yang telah mengecap
pendidikan tinggi di kalangan keluarganya pun tidak bisa mele-
paskan diri dari cengkeraman itu. Dalam hati kecil ia mengakui
ketakutannya terhadap kutukan tersebut. Barangkali itulah se-
babnya mengapa dia memutuskan tidak mencari-cari lagi apa
yang menyebabkan dia ragu-ragu mengawini pemuda tampan
si calon insinyur.
Perkawinan berlangsung meriah. Berbagai tontonan diseleng-
garakan. Kedua keluarga menghabiskan panen tahun ini. Meng-
gadaikan hasil yang akan datang. Tidak mengapa berutang sela-
ma bertahun-tahun yang menjelang. Pokoknya orang di desa

17
tidak cepat melupakan perhelatan yang megah itu.
Selama tiga hari tiga malam bergantian pertunjukkan dihi-
dangkan. Dari orkes keroncong, gamelan, tarian daerah yang
disuguhkan murid-murid sekolah, hingga wayang kulit yang
dilakukan oleh dalang terkenal di malam akhir. Demikian pula
pada hari ketujuh dan kedelapan, pesta disambung lagi karena
pengantin pindah dari rumah pihak perempuan ke pihak laki-
laki.
Warsiah bahagia.
Dia mengira sungguh-sungguh akan bahagia. Dari malam
pertama ke malam-malam selanjutnya ia mulai belajar mengenal
rahasia keakraban suami-istri. Dan dari hari ke hari dia merasa
mengetahui sifat laki-laki yang dia nikahi.
Sebulan sekali, selama beberapa hari, suaminya pergi ke Jawa
Barat untuk mengikuti kuliah beberapa mata pelajaran. Beberapa
hari pula pergi ke kota guna mengikuti pertemuan dengan para
ahli yang bertanggung jawab atas perkembangan bangunan di
sekitar. Setiap kali suami itu bepergian, Warsiah merasakan beta-
pa panjangnya hari, betapa lambatnya waktu berlalu.
Enam bulan telah lewat.
Tempat cadangan air yang dibangun di pinggir desa mende-
kati penyelesaiannya. Suami yang muda telah menghabiskan
masa prakteknya dan harus kembali ke kota tempatnya me-
nuntut pelajaran. Setelah berunding dengan keluarga, mereka
sepakat melepaskannya seorang diri. Warsiah menunggu di desa,
tinggal di tempat mertua. Sekali sebulan akan dikirim uang tam-
bahan supaya suami yang masih mahasiswa itu dapat datang
menengok istri.

Waktu berlalu dengan lambat dan berat.


Bagi Warsiah, setiap hari hanya merupakan penungguan su-
rat dan berita. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Segalanya ber-
langsung dengan baik sebagaimana direncanakan. Bulan yang

18
keempat terjadi musibah gugurnya bayi yang berumur dua bulan.
Dari rumah sakit, Warsiah langsung pulang ke rumah orang
tuanya sendiri.
Seolah-olah sejak waktu itu dia telah merasakan akan adanya
perubahan dalam hubungannya dengan si suami. Padahal yang
sebenarnya, dokter menasihatkan agar Warsiah banyak ber-
istirahat. Untuk itu, baginya, rumah orang tua sendiri selalu
merupakan tempat yang paling tepat. Karena ibu dan saudara-
saudara sekandung selalu lebih mengerti daripada pihak mertua.
Suaminya pulang selama dua hari menunggui Warsiah yang
berbaring lemah. Tetapi setelah itu, sebulan berlalu tanpa kun-
jungan. Surat-surat beruntunan datang mengabarkan kesibukan
ujian dan sebagainya. Berita urusan kuliah yang tidak habis-
habisnya diterima Warsiah tanpa kecurigaan. Dan ketika waktu-
nya tiba untuk mengajar lagi, ia menemukan sekolahnya kembali
dengan gembira. Dia rasakan murid-murid lebih menurut serta
mencintainya.
Barangkali selama dia sakit, kelasnya dipegang oleh Kepala
Sekolah yang terkenal keras.
Liburan panjang pun tibalah.
Suaminya mengirim surat mengatakan bahwa akan bisa pu-
lang selama sepekan. Kemudian akan kembali lagi ke tempat
belajarnya karena mendapat pekerjaan penting bagi kelanjutan
kariernya.
Seminggu bersama-sama dalam waktu liburan itu, Warsiah
hampir melupakan masa perpisahan yang lalu. Tetapi akhirnya
dia harus menginsyafi bahwa suaminya memang masih akan
meneruskan kuliah. Perundingan keluarga diperbarui dengan
usul barangkali Warsiah akan bisa mengajukan permintaan pin-
dah ke Jawa Barat. Tetapi anehnya justru suaminyalah yang
menentang. Karier dan kebiasaan istri tentang daerahnyalah
yang selalu ditonjolkan. Katanya lagi, dia tidak akan bisa belajar
dengan tenang jika Warsiah selalu mendampinginya.
Demikian sebulan berlalu. Lebaran datang, tapi suami berada
di tempat jauh. Bulan-bulan yang lain menyusul tanpa keha-

19
dirannya. Surat-surat yang datang pun semakin lama semakin
berkurang. Pada waktu Warsiah tidak sabar dan dengan tegas
bermaksud tidak akan menulis surat kepada suaminya, orang
tuanya atau keluarga cepat-cepat campur tangan.
“Bersekolah di perguruan tinggi tidak mudah. Sabarlah! Kau
yang harus menyurati, memberitahukan bagaimana keadaan-
mu,” kata orang.
“Barangkali dia sakit. Kasihan di rantau orang,” kata lainnya.
Dan hati Warsiah menjadi lumat kembali.
Memang benar. Seandainya suami itu sakit, alangkah me-
rananya. Lalu dalam suratnya yang kemudian, lemah lembut ia
menulis dan meminta agar sudi mengirimkan kabar barang seba-
ris pun. Kalau mungkin malahan datang menjenguk ke desa.
Lima bulan tanpa kabar berita.
Keluarga mertua mulai gelisah bercampur khawatir, marah
dan malu terhadap menantunya. Untuk ke sekian kalinya mere-
ka menulis sendiri, di samping menanyakan apakah kiriman-
kiriman uang sampai dengan selamat? Ditambah anjuran supaya
segera menulis berita sebagaimana layaknya.
Warsiah mengajar di sore hari juga untuk mengisi waktunya
yang semakin sukar dihabiskan tanpa merenung. Sepekan tiga
kali ke kota untuk belajar bahasa Inggris. Karena akhir-akhir
itu merupakan bahasa terpenting setelah bahasa nasional.
Ketika segala upaya surat-menyurat tidak membawa hasil,
bapak mertua memutuskan berangkat ke Jawa Barat. Sebagai
menantu yang semestinya, Warsiah mengantarkan ke stasiun.
Tetapi dia sendiri tidak mengharapkan sesuatu pun. Dalam
dirinya terkandung perasaan yang membisikkan bahwa semua-
nya telah berakhir. Bahwa satu kesalahan terjadi seperti yang
telah dia rasakan sejak semula. Naluri kewanitaan pulalah yang
mendorongnya semakin giat bekerja, tekun berusaha mempela-
jari sesuatu yang baru. Dia mulai menghargai kesendirian yang
dialaminya. Pada mulanya, dia bersusah payah menghabiskan
malam-malamnya yang panjang dan sedih. Tetapi sejak dua
bulan ini, Warsiah merasa lebih tenang. Sedikit demi sedikit, ia

20
mulai berpikir bahwa perkawinannya dengan pemuda tampan
itu merupakan masa yang telah lalu. Demikian pula waktu-
waktu penungguan yang penuh lamunan serta menyakitkan.
Karena memang betul-betul menyakitkan. Warsiah memerlukan
masa lebih panjang supaya hal itu bisa sekaligus terhapus. Yang
perlu selanjutnya adalah dia merasa lebih ringan supaya tidak
lagi merana dalam penungguan.
Seorang perempuan tidak semudah itu benar melepaskan
diri dari hari-hari yang lewat. Dengan cerdik Warsiah melipat
serta menyembunyikan sinar kecil harapan yang mencuat di
bawah sadarnya, yang kadang-kadang muncul mengatasi pera-
saan-perasaan lain. Tanpa kepastian, dia sendiri tidak mengerti
apakah yang dia harapkan. Agar mertua kembali bersama laki-
laki itu? Ataukah suatu kesimpulan? Suatu kata akhir kebenaran
dan tegas, yang bisa dianggap sebagai titik penutup ketidakpas-
tian?
Bagaimanapun, sepuluh hari kemudian mertua itu kembali.
Malamnya, ditemani istri, berkunjung ke rumah keluarga me-
nantu.
Tampak wajahnya muram. Keriput di dahi seakan-akan ber-
tambah dalam. Garis lengkung di bawah mata pun bagaikan
jurang yang mengerikan. Dengan terbata-bata dia menceritakan
bahwa alamat yang dipergunakan anaknya bukanlah tempat ber-
mukim yang sesungguhnya. Berhari-hari bapak itu mencari ru-
mah anaknya. Akhirnya, dapat bertemu.
Tetapi suami Warsiah telah berumah tangga dengan wanita
Priangan serta beranak satu. Konon inilah yang selalu dikha-
watirkan ibu mertua. Sebagai seorang ibu dan perempuan, sekali
lagi nalurinya berbicara dengan tepat. Selama suaminya menu-
turkan peristiwa tersebut, dia tak berkata sepatah pun, terisak
di pojok tanpa berani menatap mata menantunya.
Warsiah juga berdiam diri.
Akhirnya, bapak itu berkata bahwa bersama istrinya ia me-
rasa malu terhadap Warsiah dan kepada orang sekampung. Ka-
rena perkawinan yang disangkanya untuk pertama kali itu, tidak

21
lain dan tidak bukan ternyata yang kedua kalinya. Tidak dika-
takan olehnya bagaimana penyelesaian urusan pernikahannya
yang pertama dan pernikahan yang kedua.
Lalu kedua besan pun berunding. Dikemukakan hukum aga-
ma. Para istri membungkam. Warsiah terdiam mendengarkan
pembicaraan tersebut. Di dalam dadanya terasa suatu bongkahan
yang keras dan berat. Tetapi matanya tidak berlinang, kering.

“Kalau Nak Warsiah bersedia menjadi istri yang kedua, sua-


minya akan segera pulang dan dapat tinggal beberapa hari di
sini. Kebetulan sekarang mendekati waktu senggang di seko-
lahnya,” kata mertuanya.
Warsiah tidak segera menjawab. Bapaknya menoleh kepada-
nya. Warsiah sebentar menoleh ke arah ibunya, lalu berkata,
“Telah berbulan-bulan kami tidak hidup bersama. Juga telah
berbulan-bulan saya hidup dengan mempergunakan nafkah saya
sendiri. Jadi, kalau saya minta cerai, hukum akan membenarkan
saya maupun keluarga saya.”
“Warsiah!” seru bapaknya.
“Lebih baik engkau tunggu beberapa hari. Saya tahu, hal ini
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan,” kata bapak
mertuanya.
Apakah menjadi istri kedua merupakan pengalaman yang
menyenangkan?
Dengan selemah-lembut mungkin Warsiah mengulangi ke-
hendaknya yang sebenarnya. Ibu dan bapaknya sendiri tidak
berkata apa-apa lagi. Tetapi begitu kunjungan berakhir, mereka
bergantian membujuknya supaya menerima kedudukan sebagai
istri kedua. Agar muka dapat diselamatkan dari cemoohan dan
ejekan sekampung.
Namun, Warsiah tidak berubah pikiran. Dari semula ada
ketidakcocokan dalam pergaulannya bersama pemuda itu.
Kemudian dia telah belajar mencintainya, merindukannya.

22
Jodoh yang selalu disebut-sebut orang sebenarnya hanya ada
karena diadakan. Mereka merupakan pasangan yang kebetulan
terjalin disebabkan karena berbagai hal dan peristiwa. Dan jika
terjadi perpecahan seperti yang dia alami, orang pun akan ber-
seru lagi mencari dalih: karena ia bukan jodohnya! Seorang wa-
nita kebanyakan merasa dirinya sebagai belahan dari lelaki yang
menyentuh dan menidurinya. Bagi Warsiah yang tidak mengenal
laki-laki lain, suaminya adalah tujuan hidupnya, puncak keber-
hasilan yang diinginkan oleh keluarga dan dirinya sendiri. Se-
orang muda tampan sekaligus bernafsu di tempat tidur. Sejenak
tubuh Warsiah merasakan aliran listrik. Naluri kebinatangannya
tergugah. Tetapi harga dirinya segera menenggelamkannya kem-
bali.

Warsiah menyingkapkan kain jendela dan menjenguk ke luar.


Tukang becak yang tinggal tidak jauh dari pondoknya harus
datang menjemput sore itu. Ia akan mampir ke rumah seorang
rekan di jalan yang menuju ke tempat pertemuan. Bersama-
sama menghadiri undangan atau rapat lebih menyenangkan dari-
pada seorang diri.
Selama beberapa bulan ia sendiri mengurus permintaan cerai-
nya. Alasan cukup kuat dan terbukti untuk memenangkan hak-
nya. Setelah selesai, dia mengajukan permintaan meneruskan
pelajaran ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Pada waktu itu, tata pemerintahan mulai teratur. Di kota-
kota besar dibentuk sekolah-sekolah kejuruan yang diarahkan
sebagai pengajar Sekolah Lanjutan. Warsiah mengambil pendi-
dikan bahasa Inggris. Dan seperti pada masa silam, ia belajar
baik dan selalu berhasil pada waktu ujian.
Juga seperti pada masa yang lalu, kawan wanita dan pe-
ngagum lelaki pun tidak pernah kosong dari sampingnya. Seka-
rang dia mempergunakan nama bapaknya di belakang nama
Nyonya Warsiah. Oleh sebutan itu, dia sering kali merasa dijauhi

23
atau bahkan didekati, tergantung apa maksud sebenarnya pihak
laki-laki yang mengenalnya.
Sebagian menganggap tambahan “Nyonya” sebagai tanda
keamanan. Namun, seketika mereka mengetahui bahwa Warsiah
janda, beberapa di antara mereka berubah sikap. Seakan-akan
itu menjadi merek, tanda mutu dagangan. Seorang wanita yang
pernah bercerai dianggap mempunyai cela atau cacat, sehingga
patut dijauhi. Janda karena perceraian lain mutunya dari janda
yang ditinggal mati suami. Warsiah dengan sabar menanggung
akibat sikap dan pandangan lingkungannya.
Sekali lagi, dia menyibukkan diri menggali ilmu dan mende-
kati kaum muda yang dia didik.
Bagaimanapun juga, ia tetap manusia biasa. Dia merasa peka
terhadap perbedaan tanggapan rekan, baik lelaki maupun wanita
kepada dirinya. Semakin hari semakin dia merasakan keku-
rangannya bergaul dengan orang-orang muda sebayanya. Umur-
nya baru dua puluh lima tahun. Tetapi yang dia erati kebanyakan
keluarga yang lebih tua. Pada waktu tamasya serta pertemuan,
Warsiah berkesempatan berkenalan dengan pemuda-pemudi te-
man baru. Meskipun dia akan kembali ke pengalaman lama,
untuk beberapa saat dia bersenang hati merasakan pergaulan
tanpa pamrih yang bebas dan berudara cerah. Pemuda lebih
memilih berdekatan dengan wanita yang tidak mempunyai
sebutan “Nyonya” di depan namanya. Orang semakin mabuk
menuliskan gelar dan tingkat kesarjanaan yang dimilikinya. Se-
dangkan Warsiah dengan jujur mencantumkan kata “Nyonya”
dalam ijazah dan surat-surat resmi lainnya. Justru itu dianggap
sebagai momok yang menakutkan para lelaki muda.
Setiap kali, segalanya berulang. Setiap kali, harapan Warsiah
menipis. Tidakkah hadir di luasan negeri ini seorang laki-laki
muda yang sudi memperhatikan dia sebagai wanita muda pula,
yang mengajak dia keluar menonton atau makan di restoran
secara wajar?
Warsiah wanita muda yang oleh suatu kesalahan ataupun
kemalangan nasib, tergantung dari segi mana orang memandang,

24
telah memasuki dunia perkawinan dan kehilangan keperawanan.
Yang terakhir ini pun dengan “pertolongan” seorang laki-laki!
Warsiah tidak berhenti tetap mengharap.
Setiap kali ada pertemuan serta perhelatan, dengan rapi dan
teliti ia berdandan. Kekenesan wanita merupakan satu di antara
daya tarik yang dapat diandalkan.

Suara dering bel becak terdengar dari depan pondokan.

25
Pandanaran

Tek-tek-tek-dung tek-dung tek-dung, tek-tek-tek-dung tek-


dung, tek-tek-tek-dung ....
Lagunya berirama tunggal nada dan datar.
Kera berbaju merah itu berputar-putar bergulingan di atas
tanah, dekat batas lingkaran penonton. Sekali-sekali dia tertegun,
tegak, lalu menyeringai menentang mata orang tua yang meme-
ganginya serta menarik-narik rantai pengikat. Pandangannya
meronta, tapi beku dan tak berarti bagi orang tua itu. Dan gendang
yang dipukul dengan tongkat bambu terus berkumandang.
“Paidin main kepala bawah, Paidin main kepala bawah,”
orang tua itu berseru.
Tangannya terus menarik-narik rantai pada leher dan badan
kera. Satu kali binatang itu meringis menentang wajah tuannya.
Dia berjungkir balik seirama dengan tarikan rantai di leher.
Sebentar ia mempergunakan kepala sebagai kaki, kemudian
jatuh berguling sambil meringkik-ringkik. Lalu kaki belakang
berpegang pada rantai logam itu, seakan-akan mengirimkan
isyarat kepada tuannya agar mengurangi sentakan.
Dentang lagu sederhana, irama jungkir-balik, irama Paidin
main kepala bawah, itu seluruhnya menyatu di udara siang,
menyatu pada pelaksanaan tugas yang mesti dikerjakan seka-
ligus dengan kemasabodohannya. Karena itu semua buat pengisi
perut.

26
“Sekarang Painem akan berbelanja. Painem berbelanja
membawa tas. Painem berbelanja.”
Rantai yang pertama dijepit dengan ibu jari kaki.
Maka kera yang berbaju hijau pun berputar mengelilingi tu-
annya yang tetap berjongkok. Orang tua itu melemparkan se-
buah tas plastik berwarna hijau, lusuh usang. Binatang itu me-
ngendap-endap menyandang tas dan berjalan memutari ling-
karan sambil mengamati hadirin. Pandangnya nyata khawatir.
Kadang-kadang dia berhenti di dekat kawannya si baju merah.
Atau di lain saat berhenti meneliti tubuhnya sendiri, serta tiba-
tiba menggigit sesuatu yang dia kira kutu. Tapi pada saat itu,
rantai pengikat tubuhnya tersentak. Dan dia tersirik-sirik me-
megangi benda logam panjang tersebut untuk kemudian mene-
ruskan pertunjukannya.
“Paidin dan Painem sekarang berpidato. Pidato bersama-
sama.”
Kedua kera meloncat ke atas bangku kecil.
“Paidin dan Painem kasih salam: Merdeka! Paidin dan Pai-
nem pidato bersama-sama.”
Dan kaki depan keduanya pun terangkat tinggi-tinggi.
Inilah akhir tontonan tersebut. Lalu binatang-binatang itu
kembali menyeret langkah membawa bakul-bakul kecil menge-
lilingi lingkaran penonton untuk meminta uang sekadarnya.
Orang tua itu tetap berjongkok, memandang ke depan seolah-
olah tanpa melihat sesuatu pun. Mulutnya komat-kamit. Tangan-
nya tetap memegangi rantai. Semuanya itu juga datar seperti
irama gendang, seperti irama kotekan bambu. Kalau diperha-
tikan benar, lama-lama muka yang berkerut kurus itu mirip ben-
tuk muka kedua kera. Alis yang lengkung lebat amat putih, kaku
melindungi sinar mata yang telah kabur. Kumis serta jenggotnya
pun putih. Rambut di kepala demikian pula. Keseluruhan tulang
belulangnya menonjol seperti kekakuan setiap segi hidup yang
ditempuh.
Lalu rombongan itu berangkat dari sana mirip kedataran di
hari-hari lainnya: orang tua berjalan di depan bersama kera

27
berbaju merah di atas bahunya, Kardan memikul tempat gendang
serta alat-alat lain, kera berbaju hijau berayun di pikulan itu.
Iring-iringan berjalan seharian menapaki sepanjang lorong dan
kampung. Panas serta debu musim kering menjilati kulit mereka.
“Berapa, Dan?” parau orang tua itu bertanya tanpa menoleh.
Kera yang bertengger di atas bahu terangguk-angguk. Wajah
keduanya semakin mirip satu dengan yang lain.
“Delapan rupiah,” Kardan menjawab mertuanya.
Tanpa berbicara lagi, mereka meneruskan berjalan. Kediaman
turut menyertai sepanjang petualangan. Baru sembilan rupiah
yang mereka peroleh hari itu. Jumlah yang mengecutkan hati
buat menghidupi seisi rumah esoknya. Orang tua itu terus ter-
tunduk di depan. Mereka menelusuri setiap lorong. Kardan se-
bentar-sebentar memukul gendang sambil berseru,
“Kethek Ogleng! Kera menari! Joged kera! Kera berpidato!”
Hati mereka diberati beban tugas yang harus ditunaikan.
Di hati orang tua itu ada panji-panji kemenangan yang hingga
saat itu bisa terus dia pertahankan. Sampai hari itu dia dan
menantunya telah berhasil melalui gelombang kesulitan serta
cobaan agar bisa membawa sebungkus ketela, sekilo jagung atau
beberapa liter nasi menir.
Mereka hidup berenam dan tinggal jauh di kampung: istri,
anak perempuan, dan Kardan beserta kedua cucunya lelaki-pe-
rempuan. Keduanya tumbuh segar. Keduanya milik Emak, Ba-
pak, Nenek dan Kakek. Umur keduanya berbeda cukup jauh
sebagai kakak-adik yang saling menyayangi. Ketajaman panca-
indra keenam si Kakek mengatakan bahwa hanya kedua anak
itulah yang bisa lahir dari rahim anak perempuannya. Kemam-
puannya mengetahui makna sesuatu peristiwa secara gaib, me-
nyebabkan dia sanggup mengatasi pasang surutnya nilai-nilai
kehidupan.
Orang-orang kampung menganggapnya sebagai orang pintar.
Dengan campuran obat-obat sederhana yang ditumbuk istrinya,
kebetulan para tetangga bisa sembuh dari berbagai penyakit.
Dia tahu perhitungan hari buat pernikahan, pindah rumah, dan

28
sebagainya. Dia juga mengetahui doa-doa yang pernah dia
pelajari di pesantren desanya dulu. Dan kalau dia mengatakan
bahwa Kardan dan istrinya tidak akan mempunyai anak lagi,
itu merupakan ucapan yang pasti dipercaya oleh seluruh peng-
huni pondok maupun seluruh kampung.
Juga ketika dia berkata, bahwa cucu lelaki dan perempuannya
harus diruwat, harus diadakan kenduri secara khusus supaya
selamat dari segala godaan dan penyakit, Kardan dan seisi gubuk
mempercayai dia. Lalu berusaha agar dapat melaksanakannya
di kemudian hari.
Kedua anak yang mendapat sebutan gedhana-gedhini oleh
orang kampung itu tidak sedikit pun menunjukkan fisik yang
harus diselamatkan dengan kenduri. Mereka tampak sehat, lebih
gemuk dan berseri daripada anak-anak lain di kampung. Tetapi
semakin besar, Emak, Bapak, Nenek dan Kakek semakin kha-
watir terhadap malapetaka yang mungkin menimpa kedua anak
tersebut.
Bila mereka berangkat ke sekolah, suami-istri yang muda
itu saling berpandangan dengan rasa bangga, lalu berusaha be-
kerja lebih baik lagi hari itu. Masing-masing pergi, Kardan ber-
sama mertuanya menelusuri lorong-lorong kota, istrinya ke
pabrik rokok menggulung batang demi batang. Dan uang penda-
patan mereka sisihkan seberapa mungkin, untuk kenduri ruwat-
an anak terkasih.
Tiba-tiba orang tua itu tertunduk di depan gedung Sekolah
Lanjutan Atas. Tangannya memijat-mijat kepala. Kera di bahu
melompat ke tanah, langsung hendak menjauh. Tetapi rantai
tetap dipegang tangan pemiliknya.
“Mengapa, Pak?”
Kardan berhenti di samping mertuanya. Pikulan diletakkan,
lalu duduk.
“Sakit kepala.”
“Kita istirahat sebentar.”
Kardan mengambil rantai dari tangan si Kakek.
Jalan besar di depan mereka silau oleh matahari yang panas.

29
Pandang Kardan berkedip. Dia berpaling, melayangkan mata
ke belakang.
Anak-anak sekolah memenuhi pekarangan gedung. Tepat di
balik pagar kawat, beberapa di antara mereka bermain bola vol-
ley. Wajah mereka ria dan sehat. Pikiran Kardan terbang kepada
anak-anaknya. Degup kelelahan jantungnya semakin keras.
Setidak-tidaknya anak-anak itu harus melebihi tamatan Sekolah
Rendah*) katanya di dalam hati. Bagaimanapun juga! Dia akan
sangat bangga melihat anaknya menempati gedung sekolah yang
semegah itu!
“Panas sekali!” tiba-tiba keluh orang tua itu.
Matanya kabur, dia mencoba berdiri.
“Tunggu dulu kalau masih pening.”
Kakek itu terduduk kembali. Dia memandang ke arah kiri.
Air sirop merah beserta ramuan buah-buahan bermacam warna
memikat tenggorokannya. Air segar menetes semakin
menggairahkan. Tapi cepat ia menundukkan kepala. Kardan
memberikan rokok.
“Kita minum rokok saja,” kata menantunya, mengerti
kehausan mertuanya.
“Lama tidak hujan,” kata orang tua itu seolah-olah hendak
melarikan pikiran ke hal lain.
“Musim pancaroba, Pak. Panas dan banyak angin. Padi di
desa semakin tua,” jawab Kardan.
Ada kelembutan pada suara itu. Dan Kakek menoleh sebentar
ke arah menantunya, kemudian memandang ke jalan besar di
depannya. Serombongan tentara lewat berbaris. Pakaian hijau
menyejukkan mata di tengah-tengah terik panas. Barisan itu
menghilang di balik gedung sebelah kanan. Deru truk pergi dan
datang. Kardan dan orang tua itu mengikutinya. Serentak ingat-
an mereka berdua melayang ke desa ketika menjadi markas pim-
pinan angkatan perang di zaman gerilya. Ketika memberikan
pertolongan bahan makanan kepada para pemuda yang maju

*) SD

30
ke medan perang melawan serdadu Belanda.
“Sudah, Pak?”
Kakek itu tidak menjawab, berdiri perlahan, lalu mengambil
rantai kera dari tangan Kardan. Mereka beranjak, berjalan ber-
iringan.

Senja itu angin bertiup dari selatan.


Mendung yang semula berkumpul di atas bukit kecil di
belakang kota, kini tersebar rata di langit. Titik-titik air mulai
turun. Hujan musim pancaroba yang dibenci penduduk telah
tiba.
Kijah berdiri ragu di pelimbahan dekat pintu pabrik.
“Ambil becak saja, Jah!” kata Cina pembagi upah seraya men-
dekatinya.
“Ya?”
Hujan tidak reda-redanya. Awan yang kelabu padat meng-
isyaratkan tumpahan air yang panjang.
“Hujan begini tidak akan cepat habis. Mau becak?”
“Tidak, Tuan,” jawab Kijah tanpa memandang Cina itu.
Di antara pekerja-pekerja pabrik yang berlindung tidak jauh
dari situ muncul beberapa suara.
“Saya saja, Tuan Can!”
“Becak sih, saya mau! Bisa cepat sampai rumah.”
“Kalau bersama tuan Can ‘kan tidak langsung pulang ke
rumah,” ada suara terkikih.
“Saya saja Tuan Can!”
‘Ah, ‘kan Kijah yang ditawari. Jangan menawarkan diri be-
gitu!”
Serentak mereka tertawa ramai.
Kijah bergeser menjauhi Tuan Can. Dia awasi sebentar langit
yang mengancam. Lalu tiba-tiba dia memutuskan, turun dari
tempat berteduh, tertunduk-tunduk berjalan di bawah hujan.
Kepalanya tertutup selendang. Air yang menyelinap ke balik

31
kebaya terasa dingin menyentuh kulit.
Jalan yang diturutinya memanjang dan licin. Ujung-ujung
pohon yang berjajar di kedua tepinya kelihatan rapi menutupi
sebagian langit. Rumah-rumah batu kelihatan aman dan hangat,
cemerlang oleh lampu-lampu, sinarnya dipantulkan oleh kaca-
kaca jendela berwama-wami. Di sana-sini deretan cahaya yang
terang itu terpenggal oleh kelompok kemuraman yang hanya
disinari kelap-kelip lampu minyak.
Ke arah lingkungan yang muram itulah Kijah setiap malam
pulang. Ia tidak pernah menengok ke gedung-gedung yang te-
rang-benderang. Ia tidak pernah memikirkan betapa lembab dan
dingin tanah pondoknya jika dibandingkan dengan lantai ber-
kilat gedung-gedung milik orang Cina itu. Dia merasa wajar
hidup di pondok kampungnya.
Kijah tersaruk-saruk di bawah hujan. Sayup-sayup suara
gamelan dari gedung RRI terbawa angin. Kijah masuk ke jalan
yang menyobek kegelapan. Bibirnya biru gemetar. Lalu dia mem-
buka pintu gubuknya.
“Tidak mau makan kalau tidak ada cabenya,” terdengar suara
emaknya.
“Tidak ada cabe?” tanya Kardan.
“Satu biji harganya serupiah disuruh beli?” bantah si Emak.
Kijah memeras selendangnya. Dia kenakan sarung Kardan
sebagai ganti kain yang basah kuyup, kemudian mendekati anak-
nya.
“Tidak baik makan cabe saja, Nang. Malam ini makan apa
yang ada dulu. Besok aku belikan. Tadi akan belanja, hujan
turun.”
Anak itu cemberut, tidak menyentuh makanannya.
“Besok pagi sekolah, tapi tidak ada sarapan, ya! Makan seka-
rang saja,” Kardan menyambung.
“Limah sudah makan?” tanya Kijah.
“Badannya panas. Itu, di dalam.”
Kijah masuk ke dalam bilik.
“Makan, Mah!”

32
Mata gadis kecil itu hanya memandang sayu. Kijah tiba-tiba
terkejut. Hatinya tercekam kecemasan. Mata anak itu seperti
menagih sesuatu yang telah dijanjikan.
“Mak makan dulu ya, nanti kembali lagi,” katanya, lalu keluar
dengan cepat.
“Bapak di mana?” Kijah bertanya sambil duduk hendak ma-
kan.
“Ke rumah Dimin.”
“Hujan begini?”
“Anak Dimin kerasukan setan. Panas, mengigau terus sejak
siang.”
“Dijemput dengan payung tadi?”
“Tidak,” emaknya meyambung, “sudah pesan sejak pagi su-
paya Bapak ke sana.”
“Hujan begini nekat saja!” Kijah menggerutu. “Menolong
tetangga, Jah. Lagi pula Dimin banyak uang. Kita harus mem-
perhatikan orang seperti itu!”
“Ya, menolong orang lain, tapi setelah pulang nanti batuknya
menjadi-jadi! Siapa yang bisa tidur kalau sudah begitu! Mana
cucunya sendiri sakit!”
Dan hampir terlompat dari mulutnya bahwa mungkin
anaknya mati malam itu. Mungkin maut akan merenggutnya
karena kenduri belum juga terlaksana. Barangkali gedham-gedhini
akan menjadi mangsa Batara Kala malam itu!
Kardan termangu memandangi istrinya. Tiba-tiba ia berdiri,
pergi ke bilik. Dielusnya pipi anaknya. Panas! Mata yang semula
pejam, terbuka perlahan.
“Mah,” bisiknya.
Lalu bapak itu membaringkan diri di sampingnya seperti
hendak menjaganya, seolah hendak mengusir maut yang meng-
ancam si anak.
Malam itu, batuk Kakek meloncat-loncat dari satu bilik ke
bilik lain di dalam pondok. Tertahan-tahan, kadang-kadang
diselingi suara mengerang. Waktu Kijah bangkit menengoknya,
orang tua itu minta minum.

33
“Bagaimana, Pak? Masih pening? Saya gosok lagi dada dan
punggung dengan jahe?”
Orang tua itu tidak menyahut. Matanya yang kabur tidak
kelihatan jelas di dalam samar kegelapan seperti itu. Tiba-tiba
ia mengerang. Tubuhnya terlonjak. Tangannya memegang dada
sebelah kiri. Dari kerongkongan terdengar suara tersumbat.
Kemudian diam, berbaring lemas.
“Pak! Pak!” Kijah menggoyang-goyangkan badan kakek tua
itu.
Kijah mendekatkan pelita minyak dari meja samping.
Tampak olehnya mata bapaknya meredup, dan kian meredup.
Kemudian terpejam perlahan.
“Pak!” teriak anaknya.
Kijah berseru memanggil suami dan emaknya.
Ketiganya tertegun. Batara Kala datang di pekat malam itu,
tapi bukan untuk gedhana-gedhini. Barangkali kakek tua itu
berhasil melakukan tawar-menawar, serta rela menggantinya.
Jalan Pandanaran tetap memanjang di sana dengan jajaran
gedung di kanan-kiri, terseling oleh atap-atap rumbia dan juluran
lorong lembab berliku.
Di sana, seperti juga di rumah-rumah batu yang kokoh serta
hangat, bertumbuhan nyawa demi nyawa, kanak-kanak yang
dibesarkan berlarian ria.

34
Hujan

Sarman berhenti sebentar di muka warung. Seperti meng-


ingat-ingat sesuatu dia tertegun. Kemudian masuk.
“Tembakau.”
Tangannya menunjuk stoples berkaca buram di antara
deretan yang dijajakan di atas meja. Dia keluarkan uang sepuluh
rupiah.
“Dua rupiah,” katanya lagi.
Perempuan berambut putih di belakang meja mengambil
secarik kertas. Dengan ujung jari, dia tarik-tarik gumpalan coklat
hitam dari dalam stoples.
Diam-diam Sarman memandangi. Ketika perempuan itu
hendak melipat bungkusan, mata Sarman setengah membelalak
berkata,
“Hanya itu?”
“Tambah uangnya, kutambah tembakaunya.”
“Biasanya bisa dibikin tiga rokok,” kata Sarman.
“Naik lagi. Kalau mau tambah tiga rupiah, bisa kuberi
seperempat gumpal.”
Sarman tidak menyahut.
“Tambah atau tidak?”
Dia hanya menganggukkan kepala.
Sudah lima hari tidak membeli, harganya melonjak tanpa
diketahui. Sarman merogohkan tangan ke dalam saku untuk

35
meraba dua lembaran ratusan rupiah.
Perempuan itu memberikan bungkusan tembakau kepada-
nya, lalu menghitung sisa harganya.
“Uang rupiah semua tidak mengapa ya, Man,” sambil mengu-
lurkannya kepada Sarman.
Sarman tidak menyahut, hendak cepat berlalu.
“Tidak minum dulu? Akhir pekan begini ‘kan terima upah,”
kata perempuan tua itu lagi.
Sarman tetap diam, beranjak dari warung. Belum jauh dari
sana seseorang berseru,
“He, Man! Sarman!”
Tetapi Sarman meneruskan jalannya tanpa menoleh. Mata-
hari sore yang kering ada di belakangnya.
“Man!”
Seseorang yang mengayuh sepeda mendekati Sarman, ber-
jalan mengiringinya,
“Lihat, Man! Aku mendapat ini!”
Sarman menoleh dan memandang kepada yang mendekati.
Saleh turun dari sepeda sambil mengeluarkan sesuatu dari saku
celana.
“Kau mendapat apa?”
Sarman menatap benda yang ada di tangan kawannya.
“Kau mendapat apa?” Saleh mengulangi pertanyaannya.
“Tidak mendapat apa-apa.”
“Ah, kau! Bodoh benar!” maki Saleh tanpa sembunyi-
sembunyi, lalu sambungnya, “sudah berkali-kali kukatakan,
kalau ada kesempatan, ambil apa saja!”
“Ada polisi.”
“Mereka tidak selalu mengawasi!”
“Takut.”
“Kalau kau bisa mengambil hati, katakan saja hasilnya sete-
ngah-setengah, dibagi.”
Sarman kembali meneruskan langkahnya. Saleh mengikuti-
nya sambil menuntun sepeda.
“Pembongkaran kapal besar seperti itu tidak terjadi setiap

36
hari, Man,” kata kawannya lagi menyesali.
Sarman tidak menyahut.
“Kau bukan kuli pelabuhan yang sebetulnya. Tidak tulen!”
“Barangkali kau benar,” akhirnya Sarman menyetujui. “Ini
hanya soal keberanian!” teman itu berkata lagi. “Aku tidak mau
mencuri. Takut.”
Saleh mengeluh. Kesal!
“Itu kepunyaan orang-orang kaya! Milik orang-orang yang
berkehidupan lebih baik daripada kita, Man! Kita hanya
mengambil satu atau dua barang kecil. Itu tidak kelihatan. Tidak
merugikan buat mereka!”
Keduanya berjalan sepanjang tepi kanal yang melonjok
masuk pantai. Sarman tertunduk menuruti garis putih, ter-
bentuk dari ceceran tepung gandum yang keluar dari sisa ang-
kutan menuju gudang. Tiba-tiba matanya merasa sakit. Panas
matahari sore yang memantul dari tanah serta tepung menim-
bulkan rasa ngilu.
Akhirnya, Saleh menoleh dan berkata,
“Kau mau bawa ini ke kota?”
“Mengapa aku?”
“Aku tidak bisa pergi ke kota malam nanti maupun besok.”
Sarman diam sebentar.
“Biasanya Wardi yang menjualkan.”
“Wardi tidak punya waktu sampai pekan yang akan datang.”
Sekali lagi Sarman terdiam, tetap berjalan dengan langkah-
nya yang menyaruk tanah. Sebentar-sebentar keduanya me-
nyisih masuk ke pinggiran jalan yang berilalang untuk meng-
hindari becak.
“Jauh,” akhirnya Sarman berkata lagi.
“Kalau kau pergi ke kota malam ini, pakai sepedaku. Besok
aku memerlukannya.”
Karena tidak mendapat jawaban, Saleh meneruskan,
“Kaubawa ke toko yang nomor tiga sebelah kiri dari tempat
penitipan sepeda depan bioskop di alun-alun. Katakan, dari
Saleh yang bekerja di pelabuhan. Orang di sana sudah tahu.”

37
Saleh berhenti. Sekali lagi benda yang sama keluar dari saku
celananya. Sarman turut berhenti. Dia awasi kawannya menyan-
darkan sepeda pada tubuh, lalu membuka kotak kecil hitam
yang ada di tangan kirinya. Sebuah arloji bulat dan berkilat.
“Nanti kau menerima bagian,” kata Saleh, “bawa saja!” sam-
bil menyerahkan kotak itu kepada Sarman.
Tiba-tiba Sarman beranjak meneruskan jalannya.
“Simpan saja dulu! Aku khawatir menghilangkannya di ru-
mah.”
Saleh menyumpah.
“Kau tidak mau membawanya ke kota?”
Sarman diam.
“Terus terang saja! Kau ini memang penakut! Lelaki apa
kau ini!”
Sarman tidak peduli, meneruskan berjalan.
“Kapan kau akan jadi kaya dan hidup lebih baik kalau terus
begini? Kau tidak punya malu! Kaulihat semua kawan dari desa
kita sudah hidup cukup, punya uang buat melancong bersenang-
senang. Sedangkan kau?”
Sarman berpendapat bahwa dirinya dan keluarganya hidup
berkecukupan. Bisa makan. Apa perlunya melancong dan
pakaian lebih dari tiga potong? Tetapi dengan Saleh, Sarman
tidak suka berbantah. Kawannya itu selalu bersedia menolong
di waktu kesukaran.
“Aku tidak bisa pergi nanti malam,” akhirnya dia menyahut.
“Besok malam?” tanya Saleh.
“Juga tidak. Ikannya sudah tua, harus dijaga. Banyak maling
di tambak akhir-akhir ini.”
Jalan membelok, kelihatan agak naik ke titian yang menuju
rumah di antara petak-petak empang.
“He, Man!” Saleh tertinggal di pinggir memanggil kembali.
Sarman berhenti dan menoleh.
“Kutunggu di warung besok pagi kalau malam mau ke kota.”
Sarman hanya melambaikan tangan memberi tanda tidak,
lalu berjalan di pematang. Sebentar-sebentar menarik ranting

38
atau dahan pohon yang jatuh di pinggir tambak. Dengan seba-
tang tongkat, dia sisihkan daun-daun kering yang mengambang
ke tepi empang.
Sudah tiga musim dia menjaga peternakan ikan itu.
Setiap musim memberinya hasil sampingan yang dapat diper-
gunakan pulang ke desa pada hari Lebaran. Gaji yang didapatkan
sebagai kuli harian di pelabuhan hanya cukup buat membeli
makanan sekedarnya.
Sarman merasa bahagia bersama istri dan ketiga anaknya.
Dua di antaranya lahir dan tumbuh di pantai, ditempa sinar
matahari laut. Yang sulung berusia enam tahun, lahir ketika
Sarman berangkat ke kota. Badannya pipih meninggi, sekering
desanya yang jarang disinggahi hujan. Daerah yang gersang.
Batang-batang jagung yang bisa ditumbuhkan, daunnya pun
kuning menantang kegersangan. Penduduknya berturut-turut
meninggalkan desa menuju pinggir kota-kota besar, kemudian
terjun menjelajahi keluasannya. Selalu dengan harapan sama:
mencari nafkah.
Semarang tidak ketinggalan, menjadi serbuan penduduk
tanah kering sekitarnya. Kota pelabuhan itu tidak hanya mem-
berikan kelebihan kehidupan yang dimilikinya. Mereka yang
datang juga diajar hidup dengan watak dan perbuatan wajar
menurut kemampuan pribadi masing-masing. Segala macam
pengaruh serta kejahatan berkeliaran menyergap.
Hingga waktu itu Sarman masih dapat bertahan. Timangan
emak di desa yang miskin hanya satu: hidup baik dengan jalan
yang baik. Bagi orang seperti dia hanya sesuatu yang baiklah
yang akan abadi. Dan bagi Sarman yang kini telah menjadi
bapak, dia ulang-ulangi perkataan emaknya itu kepada anak-
anaknya pula.
Sarman berhenti di bawah lindungan pohon ketika anak
sulungnya berlari-lari kecil menuruni pematang.
“Pak! Pak!”
Terengah-engah Kardi menjinjing tas sekolahnya. Peluhnya
bertitik-titik di atas dahi. Sarman tersenyum memandangi. Lalu

39
tangannya terulur hendak menjangkau pelita minyak yang
terkurung rapi di dalam kotak kaca dan tergantung pada sebuah
dahan.
“Kuambilkan, Pak!”
Tanpa menunggu jawaban, Kardi sigap memanjat pohon yang
tumbuh di pantai itu. Dari atas dia berikan pelita tersebut kepada
bapaknya.
“Biarkan aku yang mengisi minyak ya, Pak. Mari kita ambil
pelita-pelita lain dari samping rumah. Tadi pagi waktu berangkat
sekolah kulihat minyaknya tinggal sejari.”
Lalu badan yang ramping itu meloncat turun, segera menge-
masi tas yang tersia di tanah hitam lembab.
“Kami libur seminggu, Pak. Aku boleh ikut Bapak ke pela-
buhan besok pagi?”
“Mengapa libur?”
Matanya memandang ke seberang tambak.
Langit berat dan kelabu. Udara panas pengap. Apakah itu
hujan lebat yang bersiap-siap di cakrawala? Tetapi suara Kardi
kedengaran lagi,
“Terima rapor. Lihatlah nanti, angka-angkaku tidak ada yang
merah. Berhitung mendapat delapan, Pak!”
Sarman tersenyum. Menoleh ke arah anaknya.
“Belikan sepatu ya, Pak,” suara Kardi membujuk.
“Bapak dulu tidak pernah memakai sepatu ke sekolah.”
“Panas sekali kakiku kena aspal, Pak. Apalagi sekarang di
kota. Kalau di desa tidak pakai sepatu tidak apa-apa, Pak.”
Sarman tertegun. Sekali lagi menoleh memandangi anaknya.
Sebentar mata keduanya beradu.
“Ya, Pak?”
Sambil menyembunyikan keluhan, akhirnya Sarman menya-
hut,
“Kalau betul-betul tidak ada merahnya.”
“Sungguh, Pak! Boleh lihat nanti!”
“Tapi kalau Bapak beli sepatu, bukan karena kau sekolah di
kota, melainkan karena kakimu kepanasan.”

40
Kardi tidak membantah. Mereka beriringan meniti tanggul
menuju ke samping pondok.
“Kauambil pelita-pelita yang kosong! Lalu cepat ke rumah!
Bapak lapar. Tadi siang cuma sempat makan ketela tiga potong.
Mana tasmu! Biar Bapak lihat rapornya sekalian.”
Kardi memberikan tas sekolahnya.
“Kita mengunjungi Nenek Lebaran nanti, Pak?”
“Ya.”
“Kita bawa apa buat Nenek?”
Sarman tidak menjawab.
“Kata Emak, Nenek ingin baju hangat yang tebal. Kita beli
kelak ya, Pak.”
“Kalau ada rezeki nanti. Lebaran masih dua bulan lagi.”
“Tiga bulan, Pak. Ini rapor terakhir sebelum kenaikan kelas.
Kata Ibu Guru, kalau aku belajar baik terus, aku naik kelas
Puasa ini.”
“Jadi masih ada waktu untuk beli baju Nenek. Cepat bawa
pelita-pelitanya!”
Mereka berpisah.
Seperti biasa, seisi pondok duduk di bangku panjang di depan
jendela untuk makan. Angin laut mulai menyiramkan kesejukan
sedikit. Namun udara tetap berat dan cuaca suram. Di sebelah
barat, langit bersemburatkan merah-ungu yang tebal.
Kadang-kadang Sumi melongokkan kepala untuk melihat
piring anak-anaknya. Tangannya sering diulurkan mencapai tu-
lang-tulang ikan, dia sisihkan dari jauh. Anaknya yang bayi ter-
baring di amben, menarik-narik cabikan kain berwarna-warni
yang tergantung di atasnya.
Sarman berdiri begitu selesai makan, keluar ke belakang. Di
samping pintu ada gentong tempat air. Kemudian kembali duduk
di tempatnya semula. Dia keluarkan bungkusan tembakau serta
helaian kertas tipis dari saku celana.
“Ada rokok di atas para,” kata Sumi.
Sarman meletakkan gulungan rokok, lalu pergi ke samping
amben. Kembali dengan dua bungkus rokok kretek dan rokok

41
putih. Baginya tidak merupakan keanehan jika ada merek-merek
rokok yang nikmat di pondoknya. Itu tanda bahwa pemilik
tambak telah singgah memeriksa ikan atau ada keperluan lain.
“Tuan tidak bertanya aku pergi ke mana?”
“Kukatakan, kau ke pasar Cina beli minyak lampu.”
Berjalan ke pasar itu cukup jauh. Tentu saja Sumi tidak akan
berterus terang bahwa suaminya bekerja membongkar muatan
di pelabuhan. Pemilik tambak yang cukup uang itu tidak akan
berpikir lebih jauh, bahwa orang-orang seperti Sarman tidak
dapat hidup nyaman hanya dengan satu macam penghasilan
saja. Hampir setiap buruh maupun pegawai kecil merangkap
dua atau tiga pekerjaan buat mencukupi biaya hidup. Selama
tiga musim ini pemilik tambak telah menunjukkan kebaikan
hatinya yang dermawan. Tetapi orang tidak bisa memuaskan
diri dengan apa yang diperolehnya.
Sarman bekerja sebaik-baiknya. Dia mengikuti nasihat ten-
tang kejujuran yang diajarkan emaknya. Tetapi dia ingin mem-
pergunakan waktu luang guna mendapatkan uang lebih banyak.
Ketika mendengar kabar bahwa di pelabuhan diperlukan kuli-
kuli harian, Sumi menyetujui suaminya mencatatkan diri. Hanya
satu syarat, apabila pemilik tambak datang dan bertanya, Sar-
man sedang berada di seberang kanal.
“Sudah kukatakan kepadanya, pagar bambu di pintu air ha-
rus diganti menjelang musim hujan,” kata istrinya lagi.
“Apa katanya?”
“Dia akan memesannya.”
“Tidak menentukan hari panen?”
“Katanya, barangkali pertengahan bulan. Dia pergi ke em-
pang sebelah barat, melihat benih-benih baru. Katanya masih
belum cukup besar buat panen bersama-sama. Jadi, barangkali
malahan sekaligus panen di akhir bulan.”
Panen yang lalu tidak menyenangkan bagi Sarman. Dia
tinggal di ambennya menahan panas-dingin malaria yang me-
lumpuhkan. Biasanya musim panen ikan begitu memberinya
banyak rezeki.

42
Tengkulak-tengkulak borongan maupun pembeli perseo-
rangan yang datang dan kemudian menentukan harga sering
kali menginap mulai malam sebelum panen. Mereka mendirikan
gubuk atau tenda sementara, tidak jauh dari empang. Pemilik
menyediakan tanah untuk keperluan tersebut. Sumi juga me-
nyiapkan air panas buat teh, kopi atau wedang jahe guna meng-
hangatkan tubuh pada malam hari yang sejuk di pantai. Rasa
air yang agak asin memberikan kesedapan tersendiri.
Lalu pada hari panen, tengah hari tepat bersamaan dengan
dengungnya sinyal pabrik di pelabuhan, orang-orang berhenti
mengeduk empang, lalu mengelilingi Sumi membuka dandang
serta menyaksikan berkepulnya nasi yang nikmat. Di dekatnya
telah dinyalakan api ranting, dan orang-orang dapat membakar
ikan bandeng pilihannya. Ikan-ikan itu ditusuk dengan bilah
bambu, terbungkus oleh tanah liat yang asin serta ramuan
bumbu sesukanya. Para pembeli bisa makan berkelompok di
bawah naungan pohon-pohon pantai atau di gubuk dan tenda.
Udara pantai yang terik segera diwangikan oleh bau ikan bakar
bersama rempah-rempah yang membangkitkan selera makan.
Ini adalah hasil pikiran Sarman yang dipuji majikannya. Cara
demikian mendatangkan pengunjung. Karena dari musim ke
musim seorang langganan selalu mengundang kawan atau ke-
nalan. Dan kenalan serta kawan mereka bergantian mengun-
dang kenalan atau kawannya yang lain pula. Sumi bisa menjual
sekadar makanan dan minuman. Sedangkan Sarman menerima
upah karena melayani mereka. Harga yang dibayarkan kepada
pemilik hanyalah harga ikan yang mereka ambil sendiri. Masing-
masing bergembira memancing. Orang-orang kota itu merasa
puas dapat makan di pantai, sejenak lepas dari kebiasaan hidup
sehari-hari. Pada waktu pulang, sering kali membawa hasil panen
yang dibeli lebih murah daripada harga di kota.
Malam itu, Sarman terbangun oleh detak air hujan yang
gaduh di atas atap. Bunyi angin melanda pohon-pohon bakau,
terdengar amat dahsyat.
Dia tarik sarungnya, lalu turun dari amben. Tetapi dia

43
terkejut karena kakinya terasa basah. Tangannya menggapai
pelita di atas kepala Sumi. Dengan gugup dia besarkan nyalanya.
Dia turunkan mendekati lantai.
Air! Dingin dan gelap melimpah memantulkan api pelita.
Nyala itu bergerak-gerak dihembus angin yang menerobos
dinding pondok.
“Sumi! Bangun, Mi!” serunya sambil menggoyang- goyang-
kan tubuh istrinya.
Tanpa menunggu, Sarman melompat turun, mengambil ca-
ping serta kelewang. Sarungnya dilemparkan ke atas amben.
“Ke mana?”
Sumi terduduk. Sarman berseni,
“Lihat ini! Air naik! Aku melihat ke luar sebentar! Kalau-
kalau di pantai diperlukan bantuan.”
Dalam sinar pelita yang menggeliat liar, Sarman berusaha
menemukan suluh-suluh bambu. Dia tahu masih ada obor sisa-
sisa musim panen yang lalu.
“Di atas para. Paling atas!” kata istrinya mencoba memban-
tunya dari jauh.
Bersamaan dengan terbukanya pintu, pelita di meja bagaikan
tertampar mendekati ajalnya. Sarman menuju belakang pondok.
Di sanalah pantai dan perkampungan nelayan. Selalu ada bebe-
rapa perahu yang bergantian beristirahat di atas pasir.
“Hooooooooooooi!” Sarman berseru.
Teriaknya disambut deru laut. Barangkali air telah naik
sampai batas tanah pabrik teluk.
“Hooooooi!” sekali, dua kali dia mengulangi panggilannya.
Di tanah yang lebih tinggi dari bagian empang, air telah
sampai pertengahan betis. Dan ketika Sarman mulai turun
menuju pesisir, dengan susah payah harus mengarungi air yang
mencapai lutut.
Angin keras mengancam nyala dua suluh di tangannya. Semua
ribut. Gaduh. Ditambah bunyi pukulan hujan pada capingnya.
“Hoooooooi!” samar-samar Sarman menangkap seruan yang
sama.

44
Hitam malam berbadai menelan segalanya. Tetapi Sarman
mengenal baik-baik daerahnya. Dia mengubah tujuan. Beberapa
waktu kemudian dia menangkap cahaya obor-obor yang
berkelompok. Dia semakin mempercepat jalannya di atas pasir
yang lunak, namun memenjarakan setiap langkahnya.
Dari kejauhan Sarman melihat beberapa kenalan dan te-
tangga sedang berjuang mempertahankan sebuah perahu agar
tertambat di darat. Mereka harus menyelamatkannya dari reng-
kuhan laut yang berlengan panjang malam itu.
Seseorang menunjuk-nunjuk ke lepas lautan.
“Apa? Ada apa?”
“Perahu Mardi!”
“Di mana Mardi?”
“Dia biasa tidur di dalam perahunya.”
“Hooooooooi!” salah seorang berseru, disambung yang lain-
lainnya berimbalan.
“Mardiiiiiii! Hoooooooi!”
Dari tempat mereka berdiri, tampak sebuah perahu nelayan
dilengkapi tiang serta atap peneduh. Oleh tarikan ombak dan
hembusan angin, perahu itu semakin jauh dari tepian.
“Masa dia tidak terbangun oleh ayunan keras begitu?”
“Barangkali dia tidak ada di sana!”
“Ada! Dia biasa tidur di atas perahu!”
Lalu mereka terdiam. Yang sibuk menarik perahu pun ter-
henti. Semua mata mengawasi benda yang kelihatan mengecil
serta tak berdaya dipermainkan gelombang.
“Bapaaaaaaak!”
Serentak mereka mengalihkan pandang ke tempat asal suara.
Seorang anak setengah berenang setengah melompat mendekati
mereka. Api suluh di tangan kanannya sebentar muncul sebentar
menghilang oleh pukulan angin. Ketika lebih dekat, Sarman
mengenali anak sulungnya. Dia melambai dan menyongsongnya.
“Pak!” seru anak itu, tegak beberapa depa dari bapaknya,
napasnya tersengal sambil mengusap air dari wajahnya, “empang
ikan, Pak!”

45
Sarman terkejut: ikan!
Cepat dia berbalik hendak meninggalkan pantai. Kardi ter-
lonjak-lonjak mengejarnya.
“Emak bilang, Bapak ingat hendak menolong tetangga, tapi
barangkali lupa, sekatan di pintu air sudah lapuk. Jangan-jangan
bedah. Lalu Emak menyuruhku mencari Bapak.”
Sarman seperti hendak terbang mengarungi air!
Pasir di kakinya berganti menjadi lumpur yang licin. Keha-
bisan napas keduanya mencapai empang di seberang kanal.
Titian telah tertutup air, tapi masih bisa diterka oleh rentangan
tali-tali batas yang dipasang setinggi badan.
Kardi tetap membuntuti bapaknya dengan sigap. Sekali-
sekali tergelincir ke dalam air yang menggenangi tambak hingga
setinggi tubuhnya, tapi cepat berenang ke tepi dan berpegang
pada tali yang warnanya masih cukup jelas dalam kepekatan
malam dan badai.
Mereka terus menuju ke barat, lalu berbelok ke arah laut.
Tiba-tiba Kardi terpeleset untuk kesekian kalinya. Untung
ia sempat berpegangan pada dahan pohon yang kebetulan ter-
gapai oleh tangannya.
“Ikan, Pak!”
Sarman melihat anaknya memeluk seekor ikan yang bergerak
liar. Sisiknya keperakan berkilat kena sinar suluh.
“Lepaskan!” dengan gugup Sarman berseru.
“Barangkali semuanya sudah turun ke laut,” suara Kardi
tanpa sengaja menggugah kemarahan bapaknya.
“Bagaimana kau tahu! Kita akan mengurungnya!”
“Dengan apa?”
Ya, dengan apa? Perkataan Kardi amat menyakitkan hati
bapaknya. Karena sesungguhnya, Sarman sendiri tidak tahu de-
ngan apa akan menyelamatkan panen yang demikian diharapkan.
Diam-diam mereka meneruskan langkah menuju batas em-
pang dan kanal yang mengairi tambak-tambak dengan air laut.
Semakin dekat, semakin tampak berkas-berkas bambu yang
terapung di sana sini.

46
Pintu air yang memang harus diperbaiki telah sampai pada
puncak kelapukannya. Tapi Sarman harus melakukan apa yang
bisa dikerjakan. Kardi membantu tanpa ragu-ragu. Terjun dan
berenang ke sana kemari, kembali menggigit atau menarik
bambu sebisanya.
Keduanya tiba di dekat pintu air. Sarman melihat sebatang
pohon pantai yang tumbang. Akar-akarnya mencuat dari
permukaan, sebagian masih bertahan di dasar. Dia potong kayu
seperlunya. Ditambah ranting, dahan serta berkas-berkas bambu,
dibentuk semacam pagar, segera dipasang membentengi pintu
yang lama.
“Lepaskan tali dari berkas bambu yang ketinggalan itu!”
Kardi menuruti perintah, memberikan tali kepada bapaknya.
Tetapi usaha itu tidak mencukupi. Sarman tahu bahwa tekanan
air akan semakin keras jika hujan dan angin akan terus seperti
itu. Dia harus mencari batang-batang kayu lain.
“Pegang ini!” serunya kepada Kardi, “jangan bergerak!”
Kardi mendekati bapaknya dan berdiri di sampingnya.
Belum sempat Sarman naik kembali ke titian, sebuah gelom-
bang dari laut datang mengguncang air kanal dan bergulung
dengan kekuatan dahsyat.
Suluh-suluh tersiram padam. Sejenak tak kelihatan sesuatu
pun. Semuanya hitam. Dan ketika air tersedot kembali ke laut
bagaikan helaan napas, tampak sosok pintu air, pohon-pohon
pantai yang terlipat dan merunduk menahan timpaan angin
dan hujan. Dahan-dahan patah berserakan, terapung di per-
mukaan air.
Sarman menggapai-gapaikan tangan mencari anaknya.
“Di! Kardi!” serunya, “di mana kau, Kardi!”
Sarman berenang. Kakinya menemukan tanah, ia naik hingga
air sampai di paha.
“Diiiiiii! Kardiiiiiiii!”
Semua gelap menyeramkan.
Tiba-tiba Sarman menggigil kedinginan. Sejak dia keluar dari
pondok hanya bercelana dalam tidak dia rasakan dingin maupun

47
besarnya titik hujan yang mengiris punggung dan tubuhnya.
Tiba-tiba dia merasa merana.
“Kardiiiii! Di mana kau!”
“Pak!”
Suara Kardi sekaligus merupakan cahaya yang lembut namun
pasti.
“Di sini, Pak. Pak!”
Setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, Sarman bisa
melihat anaknya beberapa depa dari tempatnya, dilingkungi
akar-akar bakau yang menonjol ke atas air. Sarman berenang ke
arahnya. Kardi tidak beringsut. Seakan-akan dirinya tersangkut
di sana. Sampai di tempat itu, Sarman meraba kepala anaknya
dengan mesra. Dan keduanya saling mendekatkan tubuh seakan-
akan hendak mencari kehangatan.
“Ada akar pohon di sini yang berkali-kali akan Bapak potong.
Ingat? Untung Bapak selalu lupa. Kalau tidak ....?”
Kardi tidak menghabiskan kalimatnya. Tetapi masing-
masing telah mengerti.
“Kita pulang,” akhirnya kata Sarman lemas.
Kedengaran gigi mereka gemelutuk dan gemetar.
Mereka berpegangan mencari-cari tanah ketinggian, lalu
berdiri mengikuti rentangan tali menuju ke arah pondok.
Letaknya jauh dari sana.
Sarman berpikir, biarlah panen tidak menguntungkan kali
itu. Lebaran mereka tidak akan bisa pulang menengok ke desa.
Di matanya terbayang unggun bara arang yang hangat dan kopi
panas yang disediakan istrinya.

48
Sebuah Teluk

Tangannya menggigil mengatur tali-temali di tiang layar.


“Sudah, tinggal saja, Jan!”
Angin laut yang membawa napas fajar semakin menggigit
tulang-tulangnya. Sarungnya diselimutkan rapat pada tubuh.
Lalu dia berjalan ke deretan rumah-rumah kecil di tepi perairan.
Nyaman dan asri pandangan terhadap sederet rumah tersebut,
berbataskan putih ujung lidah laut yang gemerlap kena sinar
langit fajar. Kirjan berjalan merunduk-runduk menahan angin
yang bersilangan arah antara darat dan laut. Matanya merin-
dukan pediangan api sekam, hangat di tengah gubuknya.
“Dapat banyak, Jan?” seseorang yang berjongkok di pema-
tang tambak bertanya.
“He-eh.”
“Apa? Dapat blanak juga?”
Tapi Kirjan telah jauh, meneruskan berjalan sambil meme-
gangi sarungnya erat-erat. Deru dari laut dikirim angin me-
ngoyak pohon bakau di sekitar. Kirjan semakin terhuyung mena-
han udara dingin, meniti pematang sepanjang tambak ikan. Ia
membelok ke kanan. Kakinya sudah melangkah menaiki hala-
man gubuknya ketika tiba-tiba matanya yang redup menang-
kap sesosok tubuh di samping pondok.
“Kang.”1) setengah memanggil, perempuan itu mendekat.

1) Kakang, abang dalam bahasa Jawa, sama dengan Mas.

49
Kirjan kembali turun ke pematang. Tangannya yang gemetar
meraih pipi wanita itu serta merabanya sejenak.
“Kau kumat?” tanya perempuan itu.
“Ya,” Kirjan mencoba tersenyum, “ada apa kemari?” desisnya
kering di antara giginya.
Perempuan itu tidak menyahut, menundukkan muka.
“Aku ingin cepat berbaring, supaya hangat. Pilku sudah
habis,” sekali lagi suara Kirjan dipaksakan, “tadi Wardi kuting-
galkan sendirian mengemasi perahu.”
“Besok sore saja,” perempuan itu beranjak akan pergi.
Kirjan cepat menangkap lengannya.
“Sekarang saja! Ada apa?”
“Kau sakit, Kang” tiba-tiba suara perempuan itu lebih lembut,
seolah iba dan murung.
Secepat wanita itu menghilang, secepat itu pula Kirjan masuk
ke dalam gubuk-nya.2) Angin laut sebentar turut menyelinap
melalui gerit pintu. Kirjan berjongkok di dekat amben, tangan-
nya didekatkan pada api pediangan. Bibirnya gemetar, matanya
setengah terpejam lesu memandang bara merah.
“Kirjan!”
Suara dari balik sekat dinding bambu kedengaran, disusul
batuk beruntunan.
“Ya, Yu.”3)
Kirjan mencoba membuka mata. Dia berdiri perlahan, lalu
membaringkan diri di amben. Wajahnya pucat. Napasnya kede-
ngaran beralun seirama dengan angin di luar.
“Kakangmu belum pulang?” suara itu terdengar kembali.
Kirjan tidak menjawab.
Kami keluar. Tertegun memandang tubuh adiknya yang ter-
bujur lurus dan diam.
“Kenapa kau?”

2) Pondok atau ramah sangat sederhana, biasanya terbuat dari bambu atau
papan bekas dengan atap rumbia.
3) Mbakyu, kakak perempuan.

50
Dengan susah payah, Kirjan mencoba membuka mata, lalu
terpejam lagi.
“Kumat.”
“Demam?”
“Ya.”
“Dingin?”
“Hmm.”
“Sudah kukatakan kemarin jangan turut makan tape. Itu
pantangan buat malaria. Dulu sudah diperingatkan Pak Mantri
di rumah sakit.”
Kami meneruskan gerutunya, berjalan ke belakang rumah.
“Bikin repot saja,” itulah yang kedengaran oleh Kirjan.
Ia tahu apa artinya sakit di gubuk seperti itu. Jadi, dia kembali
diam.
“Kemarin sore Minem cari kau,” Kami mendekat kembali.
Sekali lagi Kirjan memaksa membuka matanya.
Dia cari tempat kakaknya berdiri. Tubuh yang ramping kurus
itu sedang menggapai-gapai sesuatu di antara tiang dan atap.
Kirjan yang biasa pula berjingkat mencari simpanan tembakau
di sana, kini merasa pusing. Atap yang tepat di atas kepala Kami
seolah-olah akan menekannya lumat-lumat.
Cepat dia menutup kembali matanya. Bola-bola besar hitam
berdatangan seperti hendak melandanya. Ia mengeluh. Sekali
lagi dia berusaha berbicara atau berpikir, mengapa Minem men-
carinya? Minem datang kembali pagi itu. Udara yang lembab
seharusnya menyenyakkan tidur tubuh lesu yang terpanggang
sepanjang hari seperti halnya dengan Minem. Tetapi perempuan
itu keluar dari ambennya.4) Dia seperti hendak mengabarkan
sesuatu kepada Kirjan, sesuatu yang penting.
Kirjan mengeluh lagi. Dia memaksa diri menduga apa yang
akan dikatakan Minem. Mengenai hal-hal seperti biasanya? Atau
yang lain? Dia akan pulang ke desa? Atau dia mau kirim pakaian
kepada nenek, adik atau maknya di desa?

4) balai-balai.

51
Begitu saja Kirjan sudah menentukan jawabannya, bahwa
mereka, dia bersama Minem, seharusnya tidak mengirimkan
apa-apa ke kampung karena harus menyimpan uang buat kawin,
buat menyewa gubuk sendiri. Tetapi akan terus terangkah dia,
laki-laki, akan meminta kepada perempuan yang tercinta
sebagian uang simpanannya guna keperluan tersebut?
Penghasilan yang didapat setiap hari hanya bisa memberinya
makanan, dan sering kali jauh dari cukup. Laut yang memben-
tang antara pantai dan pulau-pulau kecil di teluk itu cuma mem-
berinya nafkah musiman yang tidak bisa dipastikan. Dia melaut
dan kembali ke daratan dengan antaran angin yang menghidupi
dirinya bersama kakaknya, suami-istri serta dua anak. Berarti
lima mulut yang mesti makan di gubuk kecil itu. Perahu Wardi
dan Kirjan harus kembali dengan muatan ikan yang bisa terjual
semahal-mahalnya. Musim demi musim memiliki jarak serta
ukuran hasil. Nasib dan keberuntungan mereka sangat tergan-
tung kepada kemauan alam dan persaingan dengan perahu- pera-
hu lain yang mempunyai motor.
Matahari telah mencapai atap pabrik tenun ketika Minem
sampai di sana. Sinyal pertama dari kapal keruk yang terapung
berderetan keluar dari sebelah timur, membelah permukaan air,
lembut halus lalu pecah menyeluruh teluk. Air hijau-kehitaman
di kanal itu tidak memantulkan apa pun selain bayangan yang
retak-retak. Tak ada bentuk. Tidak ada menara. Juga tak ada
tiang-tiang listrik atau atap mungil perahu-perahu yang merapati
seluruh pinggir kanal.
Minem masuk ke dalam pabrik tanpa kepastian niat. Demi-
kian pula tiada ketentuan nasibnya tentang hari esok. Seakan-
akan memang tidak ada sesuatu pun yang nyata dan pasti di
daerah itu. Bau sampah yang samar pun tidak bisa dipastikan
dari mana datangnya, untuk kemudian berganti dengan wangi
serta gurihnya minyak kelapa yang memenuhi udara kering di
seluruh teluk. Disusul bau nyinyir memuakkan, naik bagai asap
ringan, menyinggahi setiap pintu dan setiap hidung. Pendatang
baru akan bertanya dari mana berbagai bau itu datang? Tetapi

52
manusia yang tinggal di sana dihidupi oleh sungai dan kanal
beserta angin teluknya, memiliki rasa keakraban khusus yang
mencakup segalanya sebagai milik mereka.
Sinyal kapal keruk menjauh. Sosoknya perlahan semakin
hilang. Asapnya hitam berkelompokan menitiki langit bening
hari itu. Masih ada sinyal satu lagi yang akan terdengar. Saat
itulah Minem harus sudah duduk di tempatnya bersama buruh
lain, di bagian pemintalan benang.
Lorong masuk padat oleh pekerja yang beriringan datang.
Senda, ketawa dan suara mereka berdengung ditelan oleh ruang-
an luas penuh berbagai alat besar atau kecil.
Selama lima menit sinyal meraung mengabarkan kegiatan
kerja ke seluruh penduduk teluk. Orang akan memandang jam
tangan dan lonceng yang ada di rumah masing-masing. Mereka
juga lega menarik napas karena getaran suara itu memenuhi
seluruh kota.
Itu menandakan bahwa pabrik kebanggaan masih tetap
bernapas, masih menghasilkan. Dan jika pemogokan menceng-
keram teluk yang damai itu, orang akan sia-sia menunggu gaung
sinyal yang sehari-hari mengetuk pintu dan dinding rumah
mereka.
“Terlambat?”
Kawan yang berada di depan memandang kepadanya dari
celah-celah alat pemintal. Minem hanya mengangguk. Dia meng-
atur duduknya, mulai memilih juluran benang pada satu pin-
talan sebesar tinju tangan. Dia masih sempat menengok ke kiri
sebelum memutar lingkaran roda alat yang dia pegang.
“Belum datang,” kawan yang sama masih tetap menga-
wasinya.
“Tidak masuk,” sahut yang lain dari arah kanan.
Minem tersenyum ringan.
“Ke mana tadi? Kesiangan?”
Sekali lagi Minem tersenyum. Kali itu sambil menggelengkan
kepala. Kawan yang di depan menyelonong mendekatkan muka
pada roda pemutar sambil berbisik jelas,

53
“Semalam mereka bersama-sama lagi. Aku lihat sendiri!”
Minem menatap muka yang cemberut itu.
“Aku sudah tahu,” tiba-tiba jawabnya sebelum memutar
alatnya.
Dia tahu seluruh pojok ruang itu memandang kepadanya.
Seolah dia menjadikan dirinya sebagai tontonan yang meng-
asyikkan tanpa bayaran. Mereka saling berbisik. Minem berlagak
tidak peduli. Kupingnya merapat pada detak dan gerit alat
pemintalnya yang gaduh.
Minem memiliki tubuh padat, lampai, menggiurkan. Badan-
nya yang lebih tinggi dari kebanyakan perempuan di pabrik itu
saja telah cukup untuk menarik perhatian. Ditambah dengan
kesempurnaan lekuk-lekuk yang biasa merangsang laki-laki.
Hanya, dia dilahirkan di kalangan manusia yang tidak mam-
pu. Ini tidak akan menyusahkan hatinya kalau saja dia tidak
merasa dikesampingkan sejak kedatangan Suji di ruang pemin-
talan. Perempuan kampung di bilangan kota, tubuhnya kecil,
dadanya hampir kerempeng.
Satu kali Minem melihat Tarman makan di warung bersama
perempuan itu. Mereka bercanda amat menyakitkan hati.
Sebelum Suji masuk ke sana, Tarman merupakan jaminan
keuangan bagi Minem. Dia mandor kedua di seluruh ruang pe-
mintalan. Dan bisa memilih siapa yang harus pindah dan siapa
yang harus masuk siang ataupun pagi. Pada zaman sulit seperti
ini, orang berebutan mengerjakan lemburan guna mendapatkan
upah lebih banyak.
Harga-harga terus menanjak, barang kebutuhan hidup sema-
kin sukar dicari. Orang semakin menjauh dari usaha-usaha yang
jujur. Kesempatan dan waktu yang baik dicari buat kepentingan
diri sendiri.
Minem pun mendapatkan kelebihan upah lumayan selama
pergaulannya dengan Tarman. Setiap ada pembongkaran kapal,
Tarman selalu membawakan berbagai benda asing. Minem mene-
rimanya dengan selera kedesaan. Minem memakainya tanpa
menyembunyikan lagak kebanggaan.

54
Tapi sekarang ada Suji. Pembongkaran beras yang lalu,
Minem tidak menerima apa-apa dari Tarman. Dia memastikan
Suji menerima paling sedikit sepuluh kilo dari lelaki itu. Kecem-
buruannya semakin meluap ketika Sabtu yang lalu ia cuma
menerima uang kelebihan sejumlah beberapa lembar puluhan
rupiah. Sepekan terus-menerus dia masuk siang. Ini tidak adil,
katanya kesal kepada kawan- kawannya. Baru kali itulah dia
mengenal kata adil. Ia tidak pernah menyadari bahwa dia pun
pernah membikin kesal hati orang lain karena sering-sering
lembur.
Sinyal yang berikut kedengaran meraung dari cerobong
pabrik. Hari panas menyilaukan pekerja-pekerja yang berdu-
yunan keluar dan berpencaran. Angin dari laut tidak membawa
setitik kesejukan pun. Kapal-kapal hitam menodai cakrawala.
“Aku bawa ketela,” seorang kawan menawari Minem. Mereka
berjongkok di tepi pelimbahan, berlindung dari panas yang terik.
Deretan penjual es dan makanan lain memanjangi seluruh
tembok pabrik. Sebentar-sebentar, lalat pindah dari makanan
yang satu ke jajanan yang lain.
“Aku mau keluar,” kata Minem sambil mengunyah.
“Mendapat kerja di mana?”
“Belum cari. Entah nanti. Mungkin pulang ke desa.” Sebentar
tidak ada yang berbicara.
“Tidak menyesal nanti?”
Minem tidak menjawab. Apakah yang akan disesalinya?
Kehidupan kota yang diidamkan tidak bisa dia miliki. Keba-
nyakan dari kelompok yang ada di sekitarnya datang dari desa
yang sama. Tapi yang diidamkan Minem bukan hidup sederha-
na seperti waktu itu. Ia menginginkan suami yang mampu
memberi dia kehidupan berlebihan, secara layaknya orang kota.
“Semakin susah di sini,” katanya kemudian, seakan-akan
kepada dirinya sendiri.
“Panen tidak berlimpah musim ini.”
“Belum tentu. Tanah nenekku lebih baik.”
Laki-laki yang berada di deretan belakang menyambung, “Di

55
sini saja, Nem. Bisa lihat pilem, nonton wayang.”
“Kalau kau keluar, disangka kalah sama Suji.”
Mukanya tiba-tiba memerah.
“Biar aku remas matanya besok pagi kalau dia masuk! Aku
belum puas menjambaknya kemarin.”
Dan itu diiringi ketawa kawan-kawannya sambil ramai
mengingat kejadian kemarin.
Mereka menghadap ke arah kanal. Jalan di seberang penuh
buruh kapal, kuli-kuli pelabuhan dan orang-orang yang menon-
ton pembongkaran. Yang terakhir itu datang membawa bakul,
karung atau kantung dari bagor. Laki- laki dan perempuan berwa-
jah hitam, kurus. Pada hari-hari yang lalu ada pembongkaran
gula dan beras. Kadang-kadang gula dan garam. Mereka bere-
butan mengumpulkan butir-butir yang jatuh bertebaran dan ber-
timbunan, merupakan bukit-bukit kecil di atas tanah, mengalir
dari lubang karung bocor, atau yang memang dilubangi oleh
kuli-kuli pengangkut.
“Aku sudah bilang di kantor tadi,” Minem melanjutkan omong-
annya.
Bibirnya tercibir. Ia juga melonjorkan kaki serta bersandar
pada dinding pabrik.
“Kang Kirjan tahu?”
“Apa?”
“Kang Kirjan tahu kau mau keluar?”
“Belum.”
“Kawin saja, Nem!” kata lainnya.
“Dengan siapa?”
“Sama Kirjan.”
Minem tidak menjawab. Tangannya menemukan sebatang
kayu, mencoret-coretkannya pada tanah.
Sinyal keempat kedengaran memenuhi panas dan teriknya
hari. Minem berdiri diikuti kelompoknya. Ia mendekati penjual
es, mengambil sesuatu dari balik kebayanya.
“Hutang yang kemarin.”
Lalu ia melenggang di antara kelompok yang mulai masuk

56
ke dalam pabrik. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia menuju de-
retan kakus. Suaranya mendengung dipantulkan dinding yang
tinggi.
“Nem! Minem!”
Ia menoleh. Dia lihat Tarman mendekat. Minem terus me-
nyanyi.
“Kata orang, kau mau keluar.”
Minem tidak menjawab, memandang kepada laki-laki yang
sama tinggi dengan dirinya.
“Mendapat kerja di mana?”
“Mau kawin,” akhirnya menyahut tak acuh.
Tarman tertawa.
“Mengapa ketawa?”
“Kau lucu! Kawin dengan siapa?”
“Memangnya tidak ada laki-laki lain yang memperhatikan
aku?” bentaknya sambil menonjolkan dadanya ke tubuh Tarman.
Lelaki itu tidak berhenti tertawa, meraih pinggang Minem.
Lalu tersengal napasnya keras,
“Nanti sore, Nem.”
Tapi Minem menolak dan meludah.
“Setan!” serunya, “kau yang janji mau mengawiniku! Kalau
tidak ada Suji, kau kembali kepadaku!”
Tarman tampak tidak mengharapkan perlakuan itu. Wajah-
nya keheranan. Tapi segera menyahut,
“O, Suji? Dia orang alim, Nem. Janda muda itu terlalu kaku.
Kaukira aku tidur dengan dia? Percuma saja aku membuang
uang buat dia.”
“Kau mengadukan kerugianmu kepadaku sekarang?”
“Ah, Nem. Aku ‘kan laki-laki! Aku punya uang. Aku bisa
menggagahi perempuan yang mana pun tanpa mengawininya.
Yang mungil seperti dia atau yang montok seperti kau.” Tangan-
nya menyelonong nyaris masuk ke balik kebaya Minem dengan
gerakan kasar. Minem memberontak dan lari menuruti jalan
panjang menuju ke pemintalan. Suara mesin dan alat terdengar
dari balik kedua dinding tinggi yang lembab itu. Terengah-engah

57
dia sampai di tempat kerjanya. Ia terus masuk tanpa menoleh
sambil membetulkan sanggul serta kebayanya. Tangannya ge-
metar mulai memutar roda, kakinya sebentar-sebentar tertegun
lupa ke mana mesti digerakkan.
Tiba-tiba dia ingin melihat Kirjan.
Laki-laki itu berasal dari desanya juga. Jauh lebih tampan
dari Tarman yang mukanya penuh bintik-bintik dan lubang
bekas cacar. Kirjan selalu berkelakuan halus terhadapnya. Ketika
bulan yang lalu Kirjan memintanya supaya kawin cepat-cepat,
ia menolaknya karena mengharapkan Tarman akan mendahu-
luinya.
Kirjan selalu sabar. Wataknya lembut dan menerima apa
adanya.
“Seadanya saja yang bisa kita makan, Nem, tapi kita harus
kawin,” kata laki-laki itu, “aku tidak suka kau terus bekerja di
pabrik begitu.”
Kata-kata Kirjan selalu lepas dari kecemburuan. Mungkin
dia mengetahui pergaulannya dengan Tarman, tetapi tidak
pernah mengusiknya.
Kini Minem memutuskan. Dia akan menemui Kirjan sore
itu. Tadi pagi Kirjan sakit. Sore ini dia akan menunggui di pon-
dok Wardi.

“Pulang sana! Kau pergi terlalu jauh dari rumah!”


Kirjan menegur anak kakaknya. Mereka berdiri di tepi kanal,
menentang matahari yang sedang lingsir ke barat.
“Disuruh Mak cari rontokan,” laki-laki kecil itu menengadah
menjawabnya.
Kirjan mengangkat tangannya untuk melindungi mata dari
sinar matahari. Ia memandang ke seberang, ke cerobong yang
hitam mengepul, lalu menundukkan kepala sambil mengeluh.
Kepalanya pening oleh silaunya hari.
“Pulang saja! Bilang tak ada perahu dibongkar!” katanya,

58
kembali memandangi bocah di sampingnya.
“Ada, sebentar lagi,” bantah anak itu.
Jumlah manusia yang berdiri di sana semakin bertambah.
Tangan mereka menjinjing bakul atau wadah lain yang rapat
anyamannya serta ringan. Mata mereka berkedip mengawasi
ujung kanal. Deretan perahu datang bergerak seperti terayun-
ayun di mata Kirjan. Sebentar-sebentar ia mengeluh, lalu menu-
tup mata.
Perahu pertama merapat disambut oleh papan lebar yang
menghubungkannya pada daratan. Para kuli segera mengaitkan
ganco pada karung-karung muatan, lalu memanggul dan mem-
bawanya ke dalam gudang penimbunan. Aliran putih mengucur
dari lubang bekas kaitan ganco, tumpah ke bawah di sepanjang
jalan hingga pintu gudang.
Beras! Mata orang-orang menjadi buas. Seolah-olah didorong
oleh suatu kekuatan ajaib mereka bergerak serentak, berebutan
menjumputi butir-butir yang berceceran. Berdesakan tolak-menolak,
lalu tangan mencakup beras bersama kotoran dan tanah panas.
Kirjan berlari lalu menarik kemanakannya, dibawa menjauh.
Perahu kedua yang masih berjarak beberapa ratus depa dari
daratan mulai mendekat. Orang-orang mengawasinya dengan
mata garang. Mereka menggerombol di sana-sini. Perahu perta-
ma telah habis dikerumuni badan-badan kurus. Kini perahu
kedua menjadi bagian mereka. Beberapa orang sudah terjun agar
bisa mendahului yang lain, mendapat tempat bagus guna
menjumputi butir-butir berjatuhan.
Melihat itu, Kirjan merebut bakul dari tangan kemenakan-
nya. Dia buka sarungnya.
“Pegang ini!” kemudian dia bersiap-siap, menunggu perahu
yang segera tiba di depannya.
Orang-orang berloncatan naik, berdesakan memunguti tim-
bunan barang di beberapa bagian lantai perahu. Dan tidak itu
saja. Mereka bahkan mulai mengait dan merobek karung, meng-
aduk isinya hingga bertaburan, menjadi rebutan gerombolan
yang semakin liar.

59
Polisi-polisi pelabuhan menghampiri, memukul ke sana meng-
hantam ke sini. Tetapi orang-orang itu tidak peduli. Mereka lapar.
Mereka telah lama tidak melihat makanan selezat itu dimasak di
gubuk atau pondok mereka, bahkan masuk ke perut mereka.
Mereka juga masih ingin makan nasi meskipun hanya satu
kali sehari! Sedangkan harga sembako yang membubung tidak
bisa tercapai oleh penghasilan jauh di bawah ukuran sederhana.
Kirjan mulai memunguti ceceran beras dan cepat memasuk-
kannya ke dalam bakul. Jerit dan keluh mengaduh menyeling
desakan-desakan. Masing-masing mau mendapat lebih dari yang
lain. Tinju mengayun ke kepala seorang, dibalas cekikan.
Kirjan menolak orang yang menindih punggungnya. Tetapi
tiba-tiba dia terdesak dan terlempar ke sudut. Satu pukulan
menurun pada tengkuknya. Pukulan berat, benda logam yang
panas terbakar matahari. Di saat terhuyung mencari jalan keluar,
samar-samar dia mendengar suara sempritan dan deru truk yang
berhenti, disusul oleh seruan: Tentara! Tentara datang!
Sayup-sayup terdengar sinyal terakhir hari itu, mendengung
dengan irama terputus-putus. Tubuhnya terdesak oleh arus orang-
orang yang hendak keluar, takut tertangkap oleh polisi tentara yang
mulai turun dari truk. Akhirnya Kirjan jatuh tertelungkup. Bakulnya
tertumpah. Dia terbaring dan menjadi alas berpuluh kaki telanjang
kering yang berlarian menyelamatkan diri, terjun ke kanal.

Minem keluar dari pintu pabrik, matanya berkedip-kedip.


Ia tidak melalui jalan di seberang kanal. Hatinya tergesa
melewati jembatan di ujung, agar langsung dapat menginjak
tanah-tanah berpetak di mulut laut. Hatinya tergesa hendak
bercerita kepada Kirjan.
Angin laut yang menampar setiap pohon pantai di sana tidak
membawa kabar apa-apa kepadanya.

60
Perjalanan

Kota ini sebenarnya tidak kusukai. Panas berdebu. Kalau


datang musim yang sejuk, itu pun disertai hujan beruntunan
tiga-empat hari lamanya. Disusul oleh genangan air di jalan-
jalan. Di sini cokelat. Di bagian kota yang lain hitam atau kotor
berlumutan. Bagaimanapun warna air itu, akibatnya sama. Lalu
lintas terhenti. Kendaraan bermotor mogok, menyebabkan
semakin macetnya ketertiban. Tak terhitung pula tegangnya urat
saraf dan orang-orang kehilangan kesabaran. Dari belakang
sebuah kemudi orang berteriak, disambut suara tukang becak
yang bersusah payah mendorong muatan. Dari belakang kemudi
lain seorang tuan membentak. Mobilnya yang berkilat tergurat
oleh serempetan penunggang sepeda. Pertengkaran mulut,
disambung semburan klakson dari mobil-mobil lain di belakang.
Semua itu diselubungi langit kelabu mengancam.
Ya, banjir di Jakarta tidak seperti banjir di kota asalku yang
kecil. Di sana, orang bersampan serta menangkapi ikan. Anak-
anak ria menimba air yang belum mencapai tinggi rumah dari
anyaman bambu. Ayah beserta paman-pamanku bersiap menye-
diakan ruangan hangat di pojok lumbung untuk kandang babi,
kerbau, bebek, dan ayam. Kalau air naik tinggi sekali, barulah
binatang ternak itu digiring melalui papan-papan tangga.
Ibuku selalu cemas ketika titik hujan yang pertama jatuh.
Dia ribut menyuruh kami membantunya. Lalu kami pun

61
berlarian mengurung binatang-binatang yang berkaki dua. Me-
reka begitu kecil dan pendek. Air terkadang cepat sekali naik,
lalu dengan mudah menelan ternak kami tersebut. Yang terakhir
kami selamatkan ialah itik-itik. Mereka demikian gembira bere-
nang ke sana kemari, tanpa mengindahkan arus deras yang da-
tang dari hulu. Kesibukan itu bernada kekeluargaan, hampir
menyenangkan. Mendekati suasana perayaan, serba ria dan rela.
Tetapi aku meninggalkan kotaku yang terletak di tepi sungai
itu.
Pusat perusahaan tempatku bekerja ada di kota ini. Sebelum
pindah, aku sering mendengar bermacam-macam hal yang tidak
menyenangkan mengenai penduduknya, mengenai kesukaran
orang mendapat nafkah. Ini tidak pernah mengkhawatirkanku.
Kota besar selalu lebih padat dengan pengaruh berbagai
golongan, baik kesusilaan maupun politik. Tetapi di samping
itu, banyak pula keuntungan atau kelebihannya jika dibanding-
kan dengan kota-kota di daerah.
Aku telah mempertimbangkan segalanya masak-masak. Or-
ang tuaku tidak pernah memberati kepergianku. Mereka bahkan
bangga dengan pekerjaan yang kupunya kini.
Sejak pagi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Aku terlambat bangun. Dering weker sama sekali tidak ku-
dengar. Bersama kawan-kawan sekerja, aku keluar hingga larut
ke lantai dansa kemarin. Ajakan teman-teman pria yang berduit
untuk makan di restoran yang tergolong nomor satu di kota
besar itu tidak bisa kami elakkan begitu saja. Lalu kami berdansa
dan bercanda hingga jauh malam.
Aku terbangun ketika mobil perusahaan sudah menderu ber-
kali-kali menekan gas.
Demikianlah kerja di perusahaanku. Jam tugas kami tidak
teratur. Tergantung pada saat kedatangan dan ke berangkatan
pesawat, padahal kami menjadi nyonya rumah. Orang yang suka
tidur seperti aku ini tidak jarang dimaki oleh sopir perusahaan.
Tetapi aku berusaha bersikap baik kepada mereka. Sekali-dua
pada waktu aku pulang dari perjalanan luar negeri, kubagikan

62
rokok merek terkenal. Kadang-kadang di tahun baru, aku meng-
hadiahkan sekotak pisau cukur yang mahal harganya. Kuingat
siapa yang sudah atau belum menerima bagian, karena aku tidak
bisa sekaligus membeli banyak buat mereka semuanya. Dengan
jalan penyuapan kecil-kecilan itu aku mempertahankan hu-
bungan baik dengan mereka.
Pagi itu pun tanpa khawatir aku melompat dari tempat tidur,
keluar menyalakan lampu di halaman samping. Itu sebagai tanda
bahwa aku akan segera keluar. Tetapi kusempatkan diri mencuci
muka dahulu, lalu cepat-cepat mengenakan seragam. Aku akan
berhias di stasiun lapangan udara nanti. Itu memang biasa kami
kerjakan. Setelah lapor ke bagian penerbangan, kami biasa meng-
hilang ke toilet, membenahi rambut serta dandanan wajah. Sega-
lanya dapat kukerjakan dengan kecepatan yang tertib. Dan sejak
rambutku kupotong pendek, aku merasa lebih ringan. Kurasa
segalanya bisa kukerjakan lebih cepat. Apalagi di saat dinas pagi-
pagi buta seperti itu.
Orang yang berpakaian putih-putih di landasan mengacung-
kan tangan, telunjuk, dan jari tengah. Maka baling-baling sebelah
kanan pun berputar, teratur dengan aliran tenaga listrik yang
diterimanya. Makin lama makin cepat. Kemudian orang itu
mengacungkan jari telunjuk saja. Menyusullah baling-baling
sebelah kiri menyisihkan angin pagi dari laut. Beberapa waktu
kemudian, petugas-petugas lain memindahkan logam kuning
pengganjal dari roda pesawat. Lalu burung dari logam itu pun
bergerak, meluncur sepanjang landasan, menuju garis pener-
bangan sesuai petunjuk menara.
Kami memulai perjalanan hari itu dengan rentetan suguhan
yang sama: permen beraneka warna dan rasa, air wangi yang
sengak, kopi susu yang cair dan roti berisi selai atau telur dadar.
Surat-surat kabar terbitan pagi itu selalu menjadi rebutan,
karena perusahaan tidak pernah menyediakan secukupnya.
Kalau ada sindiran atau kritik dari penumpang, aku hanya ber-
masa bodoh. Sambil tersenyum tentu saja. Apa peduliku! Or-
ang-orang atasan waktu itu sibuk menimbun kekayaan pribadi

63
sehingga kurang memperhatikan kepentingan praktis, juga
lengkap tidaknya bagian-bagian dengan alat yang diperlukan.
Kebanyakan sarana kerja bermutu minim.
Aku hanya mengerjakan tugasku. Sudah! Kalau berkali-kali
mengajukan usul ini-itu tanpa mendapat hasil, aku menjadi
apatis. Aku bukan pegawai yang dibayar buat mempertahankan
nama baik perusahaan. Aku dibayar hanya buat bekerja. Begitu
saja.
Pesawat langsung berangkat ke Jawa Tengah. Hanya dua kursi
yang kosong di belakang. Kebanyakan penumpang pegawai
negeri, pengajar universitas atau tentara. Beberapa orang Tiong-
hoa, tentulah pedagang yang bisa membayar karcis.
Penumpang di samping kursi kosong memiliki wajah yang
tidak asing bagiku. Sejak semula kuperhatikan ia banyak
tersenyum kepadaku. Setelah pekerjaan mengurang, dia pergi
ke pantry*) menegurku.
“Anda dari Manado?”
Aku ingin menjawabnya tanpa berterus-terang. Tetapi tidak
sadar segera menyahut.
“Apa yang menyebabkan Anda berpikir demikian?”
“Saya mempunyai kawan baik dari sana. Kampung Hulu
Latimojong.”
Kuamati lebih teliti wajah laki-laki di depanku. Mungkinkah
aku pernah bertemu sebelumnya? Satu hal yang tidak mustahil
karena pekerjaanku. Dia barangkali pernah menjadi penumpang
pesawatku beberapa kali.
“Siapa nama kawan Anda?”
Penumpang itu menyebut nama kakakku.
“Dia kakak saya.”
Hari itu aku mengenalnya kembali.
Waktu masih kecil, Johan sering datang bersama kawan-ka-
wan kakakku yang lain. Tetapi Johan paling sering makan atau
tidur di rumah. Kadang-kadang menolong pekerjaan yang sedang

*) dapur

64
ditugaskan Ayah kepada kami. Aku masih sangat muda waktu
itu. Sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana rupa wajahnya.
Setelah pertemuan hari itu, Johan sering menelepon atau
datang mengambilku untuk makan di luar.
Undangan demikian tidak pernah kutolak. Apalagi berasal
dari teman keluarga! Dia banyak bercerita. Di antaranya ketika
aku masih kecil sering sekali digendong-gendong di punggung-
nya. Ketika Ayah mencoba perahu motor sungai, Johanlah yang
pertama-tama turut di dalamnya. Cerita-cerita yang bagiku sama
sekali tidak membosankan, karena mengingatkan kepada kotaku.
Aku tidak hanya keluar bersama Johan. Dengan kawan-
kawan sekerja lain aku tetap sering membuat kencan, berdansa
atau makan di restoran. Perayaan-perayaan ulang tahun hampir
selalu berakhir mendekati pagi.
Tetapi keluar dengan Johan selalu kurasakan lain.
Beberapa teman menyindirku bahwa aku pelupa dan pela-
mun akhir-akhir itu. Mereka mengejek atau menyindirku: ba-
rangkali aku sedang jatuh cinta.
Benarkah? Hatiku ingin mengelak bahwa sesungguhnya aku
hanya merasa dekat dengan Johan. Bukan cinta! Tetapi mengapa
dadaku berdebar jika dia memandangiku dengan matanya yang
setengah terpejam, seolah-olah mengintipku dari celah-celah bulu
matanya?
Ya, memang segalanya baik pada pemuda itu. Ia tampan,
sikapnya manis. Hingga saat itu, di antara kami kawan sekerja
sering saling menyentuh dan mencium, menuruti apa yang kami
usulkan masing-masing. Berangkulan pinggang atau pundak
bukan merupakan keanehan.
Tetapi bersama Johan, dadaku merasa menjadi bara jika dia
menempelkan mulutnya pada dahiku waktu kami berdansa.
Umur kami jauh berbeda. Barangkali dialah yang disebut lelaki
yang sudah matang. Mungkin karena itukah maka aku lebih
merasa terikat kepadanya? Ataukah karena Johan sekampung
denganku? Dia mengenal hampir semua yang kukasihi?
Sementara aku memusingkan semua hal itu, kami tetap

65
sering keluar bersama. Semakin berani aku terima sentuhan,
rabaan dan ciumannya yang kutanggapi dengan kegairahan yang
meluap. Satu kali, Johan mengajakku singgah ke pondoknya,
sebuah paviliun yang dia sewa jika berada di ibukota. Amat
mungil dan penuh benda-benda mewah. Itu diimpikan oleh
setiap wanita, setiap istri. Lemari es, tempat memasak makanan
dan kuih, radio, piringan hitam, tempat tidur, lemari pakaian
dan kursi-kursi rotan berbantal manis. Di rumahnya itulah Johan
membujukku buat bercintaan.
Aku hampir tidak bisa menolaknya. Pergaulan antara pria
dan wanita dari daerah kami bebas. Kaum muda tidak pernah
dihebohkan jika menuruti kehendak dan keinginannya. Dan
malam itu sebetulnya aku ingin menghabiskannya bersama
Johan.
Tetapi aku menolak.
Keesokannya aku bahkan menyesal. Aku sebenarnya begitu
ingin tahu mengalami “kejadian” itu. Semacam ingin tahu yang
lebih bersifatkan binatang daripada wanita.
Setelah malam itu, aku menyadari bahwa aku benar-benar
mencintai Johan. Dan aku menginginkan agar kami berdua
kawin. Itu merupakan kesempurnaan bagiku, karena teringat
kepada upacara perkawinan megah di gereja. Aku ingin berpa-
kaian putih, diiringi keluarga serta dikagumi. Itu merupakan
idaman hampir setiap perempuan. Dan oleh sikap Johan yang
sabar terhadap penolakan itu, aku merasa semakin mencintainya.
Sedangkan Johan tampak menanggapi harapanku, tetap mau
keluar bersamaku, tetap mendapatkan janji-janjinya, yang meski-
pun tidak jelas, tapi memuaskanku. Beberapa kali dia tetap men-
coba hendak bersanggama denganku, namun aku tetap meno-
laknya, halus dan penuh cinta.
Hari itu aku terbangun di kamar hotelku.
Pesawat yang rusak kemarin malam tidak bisa berangkat ke
Nusa Tenggara. Awak pesawat dan penumpang menunggu lama
di lapangan udara. Hingga akhirnya datang keputusan, perja-
lanan ditunda sampai esok hari.

66
Kulihat jam di meja. Masih pagi. Aku meneruskan berbaring.
Tanpa sadar pikiranku melayang kepada Johan. Begitulah cinta.
Tak suatu sebab pun, orang tidak bisa melepaskan pikiran dari
yang dikasihi. Benarkah akhirnya aku akan kawin dengan dia?
Uangnya cukup banyak karena kemajuan perdagangannya. Ada
mobil. Ia menjanjikan sebuah rumah di luar kota, tempat yang
kusetujui. Di sebelah selatan Jakarta. Seandainya Johan tidak
beruang, akan cintakah aku kepadanya? Ah, aku menggeleng
menghindarkan pertanyaan yang bodoh ini.
Setelah makan pagi bersama awak pesawat, aku berkata akan
pergi ke kota, sekadar berbelanja. Sebetulnya aku tidak ingin
membeli sesuatu pun. Tetapi aku tidak pernah tinggal mengu-
rung diri di hotel. Keberangkatan pesawat ditentukan pukul
lima belas hari itu.
Pilot Kedua hendak ke kota bersamaku. Lalu kami memanggil
becak, menuju kawasan perbelanjaan. Di sana kami masuk dan
keluar toko-toko Cina, satu demi satu, akhirnya berhenti seben-
tar di warung, berangkat lagi menelusuri trotoar sambil melihat
barang-barang di etalase.
Tiba-tiba aku tertegun. Dari luar kaca etalase aku melihat
Johan bersama dua kanak-kanak di dalam toko. Mereka ber-
bicara mengiringi gerakan tangan yang ramai. Kemudian mereka
menuju ke luar. Di pintu kutangkap percakapan mereka.
“Mainanku yang lain dipatahkan adik. Papa berjanji akan
mengganti,” kata anak yang lebih besar.
“Papa akan membelikannya di Jakarta minggu depan. Di
sini tidak ada yang baik. Mari, cepat! Mama menunggu di mo-
bil.”
Johan menggandeng mereka, masing-masing dengan sebelah
tangan, hendak menyeberangi jalan. Di sana kulihat ada mobil
berhenti. Saat mereka lewat, aku memalingkan muka ke arah
kaca toko.
“Salah seorang penumpang kita yang setia,” tiba-tiba Pilot
Kedua itu berkata,
“Mana?” tanyaku dengan bodoh.

67
“Itu tadi, di dalam mobil Mercedes.”
“Kau kenal?”
“Oh, sering-sering terbang bersama.”
“Itu istrinya?” tanyaku.
“Itu istri yang pertama. Dia Indo Belanda. Putih orangnya.
Manis ya?”
Aku merasa diri semakin bodoh. Dan semakin bodoh pula
kudengar pertanyaanku,
“Istrinya yang pertama?”
Kawan sekerjaku itu beranjak meneruskan jalannya. Jawab-
nya,
“Ya, istrinya yang kedua orang Sunda. Masa kau tidak kenal
orang itu? Dia orang Manado juga. Dulu Kristen. Menjadi Is-
lam karena mau kawin lagi.”
Aku tidak menyahut. Juga tidak bertanya lagi. Segalanya
telah jelas bagiku. Hanya, mengapa kawan sekerjaku itu lebih
banyak mengenal Johan daripada diriku? Aku yang selama
hampir dua tahun bersama lelaki itu, bergaul dan keluar dengan
keakraban yang hampir mencapai puncaknya.
“Tampaknya kau mengetahui banyak hal mengenai penum-
pang-penumpang kita,” kataku memancing.
Suaraku kupaksa agar terdengar sebiasa mungkin.
“Oh, itu percakapan antara lelaki, di waktu kerja atau di
lapangan. Banyak rekan kita dari daerahmu. Langganan, begi-
tulah! Kalau ke luar negeri, khabarnya dia mengundang awak
pesawat ke kabaret-kabaret yang seram!”
Demikianlah biasanya! Orang yang berkepentingan sering
kali justru tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Dalam
persoalan ini akulah yang buta. Dan aku tidak mengenal siapa
Johan sebenarnya. Memang banyak rekan kerja berasal dari
daerah yang sama denganku. Tetapi secara kebetulan, percakapan
kami tidak pernah satu kali pun menyinggung soal Johan.
Apakah aku harus merana oleh kebenaran yang baru kuke-
tahui? Dapatkah ini disebut sebagai kesalahan langkah? Aku
tidak tahu. Yang jelas kuketahui ialah Johan tidak puas dengan

68
milik yang satu. Dia berharta sehingga bisa melampiaskan nafsu,
membujuk perempuan yang bagaimanapun, di mana pun.
Dia membutuhkan hadirnya dua istri sebagai milik tetap.
Barangkali dua keluarga pula. Apakah aku direncanakan menjadi
yang ketiga? Ide yang benar-benar mengagetkan! Yang pertama
Indo, yang kedua Sunda, yang ketiga dia harap berasal se-
kampung dengan dirinya! Koleksi yang barangkali tidak akan
berhenti padaku saja.
Sekali lagi hal ini membuktikan betapa lelaki selalu diberi
hak lebih daripada kaum wanita. Johan sampai hati menunggangi
agama, berpindah dari yang satu ke yang lain. Tujuannya hanya
untuk mendapatkan apa yang dia kehendaki.
Aku tidak ingin mempersoalkan semua itu! Yang nyata bagi-
ku ialah watak manusia itu sendiri. Sedangkan watakku: tidak
akan membiarkan diriku tenggelam dalam kepedihan, keputus-
asaan, atau yang berbau pesimis.
Hari depanku masih panjang. Di situ juga mungkin terletak
cinta dan kehidupan keluarga yang kuidamkan, bersama seorang
suami yang puas “hanya” mempunyai satu istri.

69
Di Langit, Di Hati

“Di kabin semua tenang saja?” kapten Yasrul bertanya tanpa


melihat kepadaku.
Matanya tetap memandang ke depan. Tangannya erat pada
kemudi pesawat. Sekali-sekali badannya terayun miring seolah-
olah hendak mengatur keseimbangan.
“Seorang ibu dan anak-anaknya amat kebingungan,” sahutku
sambil meletakkan keranjang roti di lantai kokpit.
Aku segera hendak keluar ke kabin. Lenganku tiba-tiba
dipegang olehnya. Aku menoleh.
“Kau boleh tetap di sini kalau takut.”
Sebentar kutahan mata yang menatapku. Kemudian kupan-
dang tangannya yang ada di atas lenganku. Perlahan dia melepas-
kannya. Bekas merah kuusap dengan tangan kiriku.
“Tanggung jawabku di kabin,” kataku cepat sambil pergi
menghindarinya.
Di kabin kudapati keadaan seperti semula.
Perempuan berambut coklat kemerahan yang duduk di sebe-
lah kanan depan masih menundukkan kepala dengan mata ter-
pejam. Waktu aku lewat di dekatnya, penumpang yang duduk
di sampingnya tersenyum ringan. Maksudnya bercanda,
“Kita mati bersama-sama, Zus.”
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman kecut. Panggilan
zus tidak pernah menghangati hatiku. Aku lebih suka kalau

70
penumpang menyebutku nona, karena perkataan itu bahasa In-
donesia. Kalau tidak, dik.
“Bapak anak-anak ini menunggu di Makassar, Neng. Bagai-
mana nanti,” ibu yang berkerudung selendang bertanya kece-
masan.
Sekali-sekali diusapnya air mata yang sudah ada di pipinya
dengan ujung kerudung. Dua kanak-kanak duduk di dekat jen-
dela, memandang kepadaku. Pandang bening. Sambil menunduk
mendekatkan muka, kubujuk mereka selembut mungkin.
“Bertawakal saja kepada Tuhan, Bu. Itu orang yang duduk
di depan berdoa sejak tadi. Kita semua berdoa supaya selamat.”
Sewaktu kembali ke tempat dudukku di belakang, aku ber-
pikir apakah aku juga orang yang tawakal? Apakah aku sudah
melayangkan doa kepada-Nya dalam keadaan seperti ini? Sejak
tadi aku hanya mondar-mandir ke seluruh kabin dan kokpit
sambil tersenyum atau berbicara menyuarakan bujukan yang
barangkali tak berguna.
Telah satu jam lamanya awak pesawat menyadari bahwa me-
reka mengemudikan burung raksasa ini dengan satu baling-bal-
ing yang tidak berputar semestinya.
Kapten memerintahkan ketenangan. Aku meneruskan
perintahnya ke kabin. Aku “membujuk” mereka agar tidak takut.
Untuk mengharap keselamatan. Dan selama itu, aku kurang
sadar bahwa aku juga senasib dengan mereka, bahwa aku pun
berada di dalam pesawat pincang, lemah di tengah-tengah
angkasa dan cuaca buruk. Suara hujan yang menerpa badan
pesawat bersatu dengan deru mesin tua yang sebentar-sebentar
kedengaran terhenti.
Aku memandang ke luar. Baling-baling kiri tertegun-tegun
berputar. Di sampingku Elly masih juga menangkupkan kedua
tangan. Kepalanya tertunduk lemas. Mata terpejam. Kupandangi
bentuk muka dan rambut yang dipotong selaras. Manis dia.
Tiba-tiba matanya terbuka, tangan kanan membentuk salib di
dahi dan dada.
“Panjang doanya, Elly,” kataku tanpa melihat ke arahnya.

71
Aku merasa dia menatap wajahku. Seakan-akan mencari
sesuatu.
“Ya,” akhirnya dia menjawab, “doa orang yang masih
dipenuhi keinginan hidup.”
Perkataan ini memaksaku menengok kembali kepadanya.
Dia tak acuh, memandang ke depan. Kening yang kukerutkan
terasa membuatku sakit kepala. Kali itu dia berhasil memukul
kepekaanku. Hati dan otakku yang selama ini selalu penuh
perbantahan dan pemikiran serasa tiba-tiba terlalu padat meluap.
Setiap titik hujan yang jatuh pada sayap pesawat seperti langsung
menusuk perasaanku. Semakin pening dan sakit.
Kucoba mengalihkan pandang. Kulihat Elly memberi minum-
an kepada anak kecil di depan. Bukan waktunya makan maupun
minum. Tapi memang terhadap anak-anak kami kurang mene-
pati segala macam aturan.
“Dua kali saya mengalami peristiwa seperti ini, Zus. Mudah-
mudahan ini pun selamat seperti yang lalu,” kudengar seorang
penumpang berbicara.
Dari tempatku, aku hanya bisa melihat punggung Elly. Kini
dia menolong penumpang lain memakai selimut.
“Kalau kita semua mengharapkan selamat, pastilah Tuhan
mengabulkan, Tuan,” suaranya ramah.
Dan aku hampir dapat menduga, itu juga diiringi senyum.
“Kita dekat langit, Zus. Lebih dekat dengan Tuhan.”
Elly kembali ke sampingku. Kulihat di wajahnya tak ada
pengucapan sesuatu pun. Senyum pun telah menghilang.
“Lebih dekat dengan Tuhan juga lebih tampak kejahatan-
kejahatan kita terhadap-Nya,” bisikku seorang diri menyambung
kalimat penumpang itu.
“Juga Dia lebih tahu dendam dan benci yang berkecamuk
dalam pesawat ini. Sudah terbukti sejak dulu. Menurut ajaran-
Nya, dendam dan kebencian selalu menyebabkan kehancuran.”
“Elly! Sudah, cukup!” kataku hampir tidak bisa menahan
seruku.
Dengan khawatir kulayangkan pandang ke arah penumpang-

72
penumpang. Elly bangkit dan segera pergi ke pantry, sudut tempat
mengatur perbekalan.
Untuk kesekian kalinya aku memandang ke luar, ke langit
lepas yang gelap kelabu oleh mendung dan topan. Sambil ber-
pikir, aku meneliti diriku berapa persen dari kesadaran dan
nuraniku ini yang dikuasai oleh dendam dan kebencian seperti
kata Elly. Kuraba lengan kananku, yang pernah disentuh Yasrul.
Aku pernah mencintainya, tiba-tiba hatiku berkata. Timbul
perasaan lain yang berkata: aku masih mencintainya.
“Kau bisa mengerti ini, Din, kau pasti bisa!”
Kalimat itu diucapkan Yasrul kurang lebih empat bulan yang
lalu. Percakapan kami waktu itu diberati rasa kaku yang meng-
himpit dadaku, perasaan perempuan cemburu, iri, dan merasa
diri tertipu.
“Hidup di kota yang begini ragam isinya, di sana-sini selalu
melihat pemuda berduaan, berpacaran. Sedangkan aku harus
alim karena ada gadis lain yang menungguku di suatu sudut
tanah air,” kata Yasrul.
la membela diri dengan penjelasan atas kelakuannya jang
ditimpakan terhadap diriku.
Tetapi aku juga merasa perlu membantahnya.
“Di mana letak kejujuran? Berapa kali saja kau mengatakan
mencintaiku. Berapa kali kita keluar bersama disertai ini-itu.”
Ingin kusebutkan ciuman serta rabaannya yang panas
meluap, namun suaraku tersekat di tenggorokan.
“Justru karena aku mau jujur maka kukatakan ini kepadamu
sekarang! Dengan jujur pula kuakui kini aku terikat kepadamu
lebih dari yang kusangka semula. Aku menjadi terjerat oleh
permainanku sendiri, Din,” tangannya yang berat menyentuh
bahuku.
Reaksiku adalah menghindarinya.
“Mengapa? Kita tetap berkawan, bukan?”
“Sudah terlalu banyak gadis dengan siapa kau berkawan.
Sedangkan aku sendiri sudah terlalu merasa diberati oleh pera-
saan kekawanan kita.”

73
Kemarahan dan kesesakan hati kulampiaskan dengan cara
semurah-murahnya. Aku tidak peduli lagi mempergunakan kata-
kata kasar.
“Dinarti! Kau tidak berhak berbicara begitu sinis!”
“Mengapa mesti dipungkiri kalau memang demikian kenya-
taannya? Dan kenyataan lain lagi yang tidak dapat kau mengerti,
tidak bisa dimengerti laki-laki, ialah nama baikku di kalangan
teman-teman. Aku akan sukar berada di antara mereka dengan
kepercayaan diri seperti semula.” Dan sesungguhnyalah begitu.
Pada waktu itu, aku terlalu digolaki oleh rasa malu karena tertipu,
menyesal, dan cemburu terhadap gadis pilihan yang tertinggal
di kampung Yasrul.
“Semula aku hanya iseng keluar bersama kau. Tapi semakin
aku mengenalmu, aku semakin merasakan menemukan tempat
berteduh, sebuah rumah. Aku tenggelam dalam keisengan itu,
Din. Aku tidak bisa memutuskan hubungan kita.”
Akhirnya, aku menoleh memandang kepadanya. Kuterka ma-
tanya yang kucinta itu berlinang oleh kesungguhannya. Hatiku
mengecil. Dia menundukkan kepala , meneruskan,
“Kalau aku melepaskan kau, berarti aku hanya merusak hati
seorang manusia. Tapi kalau aku melepaskan dia yang ada di
kampung itu berarti Ayah, Ibu dan dia akan mengalami kehan-
curan. Kau bisa mengerti ini. Kau pasti bisa. Kau kuat, kau
harus menolongku.”
Menolongnya? Bagaimana? Dengan membiarkan dia menga-
wini gadis di kampung? Alangkah banyaknya permintaannya!
Permintaan laki-laki!
“Penerbang harus mempunyai rasa tanggung jawab yang
penuh. Dalam hidup dan dalam tugas, itu terbawa terus. Itu
sudah mendarah daging!”
Kuanggap itu sebagai kata akhir! Aku berdiri akan mening-
galkannya. Tetapi lenganku dia pegang erat. Sinar mata yang
kupandang waktu itu menyatakan cintanya, mengabarkan
kebimbangannya. Hatiku bergetar panas oleh luapan perasaan
lembut terhadapnya. Aku tiba-tiba ingin mengatakan bahwa aku

74
memahaminya, bahwa aku menerima nasibku. Tapi yang keluar
hanya,
“Kau bisa memutuskan sendiri. Dengan mengatakan hal yang
sebenarnya kepadaku, kau telah memilih gadis dari kampungmu,
dan menyisihkanku!”
Di antara rekan kerja, aku hanya bisa berkawan akrab dengan
beberapa. Elly seorang di antaranya. Kejadian itu kuberitahukan
kepadanya. Aku bisa mendengarkan pendapat serta nasihat
mereka. Tetapi kali itu pendapat Elly tidak kusetujui.
Katanya,
“Aku tidak mengerti kelakuanmu sekarang. Kita hidup buat
berjuang. Kalau dia bimbang tidak tahu memilih kau atau gadis
di kampung, kau harus gigih berusaha supaya dia memilihmu!”
“Apa yang mesti diperjuangkan di antara sesama perempuan,
Elly? Tidak. Aku hanya mengutuk ketololanku sendiri karena
begitu lama bisa dikelabui oleh bujuk dan rayuan.”
Menuruti pikiran rekan-rekan lain, aku berusaha sekeras-
kerasnya agar kepatahan hati tidak tampak di lingkungan. Hati-
ku tidak terbunuh ataupun hancur seperti yang dia sangka. Aku
memang ingin bisa mengatasi segala kegagalan cintaku. Ingin
kutunjukkan bahwa keisengan yang dilakukannya terhadapku
telah kuterima dengan keisengan pula. Hal yang kuakui sangatlah
berat.
Aku dikejutkan oleh tangis anak kecil.
Badan pesawat bergoyang ke kiri, lalu ke kanan. Aku segera
berdiri. Elly sedang menolong seorang penumpang mengenakan
alat pelampung. Sigap dan cepat dia menalikannya melingkari
tubuh penumpang itu. Kuedarkan pandang sekilas. Mereka sibuk
dengan persiapan masing-masing. Penumpang di depan yang
selalu tersenyum hendak mati bersama, kini termangu merenung
ke luar.
Kami terbang di atas laut. Tapi yang tampak hanya kelabu,
suram, disela kilatan petir menyilaukan. Kuusap pipi anak kecil
yang dipangku ibunya. Maksud baik itu mengejutkan dia.
Tangannya berpegang pada baju ibunya.

75
“Kita akan mendarat dengan selamat, Nyonya,” kataku
bagaikan sebuah janji.
Ibu muda itu tidak menyahut. Tangisnya tertahan. Anaknya
yang lain memandang kepadaku seakan-akan bertanya. Aku
hanya tersenyum kecut dan mengelak. Hatiku tiba-tiba berontak
oleh kemauan yang tak tertahankan. Kenapa anak semanis itu
mesti mati kalau benar-benar kami harus jatuh dalam cengke-
raman badai?
Bau air wangi dan muntahan orang tercampur mengedari
kabin. Kepalaku pening. Dan sewaktu membungkuk hendak
mengambil bantal yang terlempar di lantai, isi perutku terasa
akan melompat keluar. Terhuyung-huyung aku berjalan ke bela-
kang secepat mungkin. Tenggorokanku pahit. Sekuat tenaga
kutahan napasku. Lalu kumasukkan permen pedas ke dalam
mulut.
Elly memegang alat pengapung menghampiriku.
“Hanya kau yang belum memakainya,” katanya.
Aku hanya memandang kepada temanku. Isi perut bagaikan
diaduk berdesakan. Sambil bersandar pada dinding, kuatur
napasku perlahan.
“Akan muntah?” Elly bertanya langsung menyambar kantung
kertas dan didekatkan pada mulutku.
“Tidak!” bantahku, “tidak apa-apa.”
Aku belum pernah muntah dalam menjalankan tugasku sela-
ma empat tahun. Dan aku tidak akan muntah saat itu.
“Kabin kautinggalkan!” tuduhku mengusir rekanku.
“Ini, pakai dulu!” katanya sambil memberikan alat pelam-
pung.
Sekali lagi aku hanya memandangnya.
“Perintah Kapten!” tegas Elly mengucapkannya dalam bahasa
Inggris.
“Seolah-olah kalau kita sudah memakainya, udara lalu
menjadi cerah dan kita bisa sampai kembali ke bumi dengan
selamat,” gerutuku.
“Sekarang kita juga masih hidup, selamat. Dan kita berusaha

76
untuk hidup terus selama masih bisa,” kentara Elly tidak bisa
menahan kegusarannya, “coba kalau kau berani bicara begitu
di depan penumpang!”
Dia hendak berlalu cepat, tapi secepat itu pula tanganku
sempat mencengkam lengannya.
“Aku berani!” seruku tertahan, “aku akan katakan kepada
mereka, doa-doa dan benda karet kuning yang melekat pada
tubuh mereka itu tidak ada gunanya. Akan kukatakan sekalian,
sudah waktunya pesawat yang begini tua dan bobrok jatuh ke
bumi atau ditelan laut!”
“Dan akan kaukatakan pula supaya mereka menyerah saja
kepada nasib, tidak perlu takut mati? Kausangka mereka semua
seperti kau yang memasabodohkan hidup-matimu karena . . . “
Lonceng yang menghubungkan dapur dan kokpit berdering,
lampu merah menyala. Kapten memanggil pramugari. Kertas
untuk muntahan yang ada di tangan Elly teremas oleh pengen-
dalian perasaannya. Kami berpandangan. Keadaan panik dan
kebingungan telah membikin pertengkaran antara Elly dan aku.
Dan dalam memandangi matanya yang terang cokelat aku
menemukan lanjutan kalimat yang hendak dia ucapkan semula.
Aku mengeluh, membuang muka. Temanku keluar.
Kulihat langit, hujan yang masih menderas. Di sebelah kiri
sayup-sayup tampak garis hitam kabur. Bagaikan mendapat
semangat baru, aku bangkit berlari ke kabin.
Ya. Dari sana aku dapat melihat luasan daratan, ramah dan
memanggil.

77
Keluar Tanah Air

The Flying Tiger yang membawa rombongan pelarian itu ter-


paksa terbang kembali ke Singapura untuk diperbaiki. Menurut
kata ahli teknik yang bertanggung jawab, di stasiun kami tidak
ada suku cadang yang diperlukan.
Sejak sebulan kami pekerja darat bertambah kesibukan oleh
singgahnya pesawat-pesawat yang sejenis. Kami memberinya
julukan “Si Balsem Terbang” kepadanya. Meskipun jam kerja
kami menjadi goncang tidak keruan karena kedatangan pesawat-
pesawat tersebut pada saat-saat yang aneh: jam dua puluh tiga,
dua puluh empat, satu, dua atau tiga malam, tetapi kami dengan
ringan hati datang ke lapangan. Selain menerima uang lemburan
yang sangat berguna bagi saku, kami juga mendapatkan kese-
nangan tersendiri dengan julukan yang kami berikan.
Selagi ruang kabin dibersihkan, bensin ditambah dan mesin
diperiksa, penumpang-penumpang turun ke ruang transit. Kami
menyuguhkan minuman atau sekadar makanan kecil, tergantung
pada jadwal penerbangan. Jika ternyata pesawatnya memerlukan
pemeriksaan yang lebih teliti, kami menelepon rumah makan
stasiun udara supaya menyediakan makanan lengkap buat sekian
orang. Kami sebutkan jumlah penumpang terdaftar. Lalu bebe-
rapa orang di antara kami membagikan kartu-kartu makanan
kepada mereka.
Pada umumnya mereka bertubuh besar, tebal, dan berlemak.

78
Apalagi penumpang perempuan. Jarang kami menemukan pe-
numpang yang cantik, manis atau tampan. Kalau ada yang
demikian, bergegas kami mengabarkannya ke kamar tunggu atau
ruang penerangan. Lalu bergantian kami mencuri memandang-
inya di ruang makan restoran atau kamar tunggu.
Adakalanya pesawat tiba di pagi hari. Pada waktu itu, hampir
semua laki-laki yang turun tidak berbaju. Perempuannya kepa-
nasan, mengipaskan sapu tangan atau kain pada leher serta tu-
buh. Karena mereka tidak bisa membuka baju seperti rekan
lelaki! Tampak dada mereka lepas ke depan tanpa kutang. Seben-
tar-sebentar bagian depan baju ditarik, lalu tanpa segan-segan
tangannya tenggelam ke dalam untuk mengusap keringat di
dada.
Pesawat yang rusak terbang kembali ke Singapura.
Penumpang berjumlah puluhan itu terpaksa dibagi. Mereka
ditidurkan di rumah-rumah penginapan, asrama ataupun seko-
lah-sekolah yang sudah diatur untuk keperluan tersebut. Palang
Merah yang menjadi penerima tamu selalu bisa mengurusnya.
“Tuan Anestia?” tanyaku.
Orang yang ada di depanku mengangguk.
“Sudah beberapa hari ini saya mencari Anda,” lanjutku dalam
bahasa Inggris.
Badannya cukup tegap, tetapi punggungnya terbungkuk. Mu-
kanya simpatik, salah seorang yang tergolong tampan bagi kami
pekerja-pekerja darat di stasiun penerbangan. Matanya biru te-
rang, hampir kehijauan, seperti kaca.
“Ada pesan Tuan Landish untuk Anda. Dia sekarang sedang
ke Hongkong.”
Mendengar nama kawanku itu, tiba-tiba mukanya menjadi
lebih terang. Kuberikan sampul kepadanya sambil meneruskan,
“Setiap ada pesawat emigran dari negeri Anda, saya selalu
mencari nama Anda di daftar penumpang. Baru seminggu yang
lalu saya temukan. Lalu saya cari Anda ke hotel.”
“Kami dibagi tiga. Yang di hotel hanya wanita dan kanak-
kanak, atau keluarga.”

79
Tuan Anestia berbicara dalam bahasa Inggris yang amat jelek,
terbata-bata. Dia menatapku sebentar, lalu berkata meminta
persetujuan ingin membuka suratnya. Aku menyilakannya.
Belum selesai sampul dibuka, tiba-tiba dari halaman gedung
yang luas terdengar teriakan nyaring. Serentak kami menoleh.
Seorang anak laki-laki berumur sekitar sebelas atau dua belas
tahun berbicara keras. Tangannya menunjuk-nunjuk ke jalanan.
Kami menuruti arah tangannya dengan pandangan mata.
Beberapa buruh Pekerjaan Umum tampak di sana. Seorang
memanjat tangga, yang lain-lain menolong menempelkan satu
lembar potret besar laki-laki tua berkumis. Semua pengungsi
yang ada di gedung memandang ke sana. Anak lelaki itu terus
berseru, berteriak. Nyata kalimatnya penuh kemarahan, mung-
kin berisi caci-maki sambil menunjuk gambar tersebut.
Tiba-tiba dia meludah. Diinjaknya ludah itu dengan hem-
pasan kaki. Seketika itu pula dia berlari menuju tempat kami
berdua. Wajahnya bengis kemerahan. Sambil terus berbicara
kasar tangannya menunjuk kepadaku. Di antara kata-kata yang
tidak kumengerti, tersembul “komunis-komunis” yang jelas dan
diulang-ulang. Kutahan ketenanganku. Setengah kebingungan
kutatap muka Tuan Anestia yang baru kukenal. Kudengar dia
menghela napas, berkata perlahan,
“Anak ini menyesali bahwa di sini pun ada komunis.” Dan
seakan-akan khawatir mendengar jawaban dariku, dia meng-
alihkan pandang.
Aku berpaling menghadap anak laki-laki itu. Sambil mengu-
asai perasaan sekuat tenaga, aku mencoba menerangkan, “Di
sini memang ada komunis. Tetapi yang tidak komunis jauh lebih
banyak.”
Tuan Anestia memegang bahu anak itu, lalu menerjemahkan
apa yang telah kukatakan.
Muka yang kepanasan dan garang itu kini berubah. Yang
tampak adalah keputusasaan. Lesu dia membiarkan dirinya dide-
kap Tuan Anestia. Dari matanya mengalir air yang mengiringi
tangis tertahan.

80
Kelompok-kelompok pengungsi lain diam-diam mulai
menjauhi kami. Beberapa orang masih tinggal, seolah-olah ingin
melihat kelanjutan peristiwa itu. Tuan Anestia melayangkan
mata jauh ke jalanan.
“Dia pulang sekolah sewaktu tentara komunis datang
merebut kekuasaan di kota kami. Dengan berjalan berputar-
putar akhirnya anak ini mencapai rumahnya hanya untuk mene-
mukan bangkai anjingnya. Sampai sekarang dia tidak tahu apa
yang terjadi atas diri orang tua dan adik perempuannya.”
Dia memandangi tubuh di pelukannya. Tangannya mengusap
perlahan rambut pirang dan lebat. Seorang pemuda datang men-
dekat, merangkul anak itu serta membawanya menjauh. Kenalan
baruku memandang ke halaman. Aku menirunya. Buruh-buruh
Indonesia telah selesai, keluar dari sana untuk menempelkan
gambar poster di tempat lain.
“Saya mengerti penderitaan kalian,” aku bersuara karena
merasa perlu mengatakan sesuatu, “juga saya bersimpati kepada
anak itu. Hal itu bisa terjadi di mana-mana. Di negeri ini pun
berulang kali kami mengalami zaman pengungsian. Anak-anak
di sini juga banyak mengalami kehilangan orang tua pada waktu
demikian.”
“Tapi cobalah bayangkan, anak itu seorang diri, sebatang
kara. Sekarang dia sebagai emigran pelarian, akan datang di
negeri asing yang beriklim asing. Dia barangkali belum mem-
pelajari di sekolah di mana letak Selandia Baru dan Australia
itu!”
Suara Tuan Anestia jengkel, penuh tekanan.
Memang itu benar. Mereka akan menginjak bumi baru. Me-
reka harus bergumul mencari hidup di alam baru, dengan cara
baru pula. Palang Merah sedunialah yang mengatur pembe-
rangkatan pengungsian secara besar-besaran, disesuaikan dengan
persetujuan pemerintah negeri yang masih memiliki tanah ko-
song dan belum diolah. Mereka yang singgah itu semuanya da-
lam perjalanan ke Selandia Baru dan Australia.
“Kami ini pengungsi. Kami tidak tahu bahwa negeri tempat

81
kami singgah akan menerima kunjungan pemimpin negeri yang
memburu-buru kami,” kata tuan itu.
Tiba-tiba dia berbicara dalam bahasa Jerman. Kelihatan spon-
tan, langsung keluar dari hati, lebih lancar. Rupa-rupanya dia
lebih biasa mempergunakan bahasa itu.
“Kalian tinggal di sini karena pesawat yang rusak. Hal itu
tidak pernah direncanakan. Sedangkan kedatangan kepala peme-
rintahan Uni Sovyet sudah dirancangkan sejak lama. Anda ja-
nganlah mengira, karena dia mengunjungi negeri ini, berarti
kami semua orang komunis,” jawabku.
Sebentar dia memandang kepadaku, lalu meneruskan mem-
buka suratnya.
Aku meminggir agar bisa bersandar pada tembok yang me-
nutupi sebagian ruangan teras. Beberapa pot tanaman ada di
sana.
Tampak tanahnya kering. Kakiku mulai tersiksa oleh sepatu
tinggi bertumit lancip. Tidak ada kursi buat duduk. Tapi aku
harus tinggal di situ lebih lama. Tuan Landish berpesan kepadaku
supaya mengetahui sebanyak mungkin mengenai kawannya ini.
Kalaupun ada surat jawaban, aku harus membawanya. Sean-
dainya tidak ada, aku harus menyampaikan pesan agar Tuan
Anestia berjanji segera menulis sebegitu sampai di tanah tujuan.
“Dia masih seperti dahulu, selalu optimis,” komentarnya
mengakhiri bacaannya, selalu dalam bahasa Jerman.
Aku mengerti maksudnya, tetapi tidak bisa berbicara dalam
bahasa itu. Jadi kujawab dengan bahasa Inggris.
“Ya, mungkin tampak lebih tua daripada waktu Anda ber-
jumpa dia di Budapest beberapa tahun yang lalu.” “Bagaimana
Anda tahu kami di sana?” sekali lagi suaranya agak curiga, juga
dalam bahasa Jerman, “maaf, saya lebih biasa dengan bahasa
ini.”
“Tidak mengapa, saya mengerti. Tuan Landish menceritakan
perjalanan dan negeri-negeri yang pernah dia kunjungi. Juga
siapa saja yang menjadi temannya. Dia sering berkunjung ke
rumah kami, bercakap-cakap dengan paman saya. Dia kami

82
anggap sebagai anggota keluarga, bisa datang berkunjung
sewaktu-waktu. Kami menolongnya mengenal hidup dan kebu-
dayaan negeri ini.”
Keningnya berkerut. Matanya sekali lagi mengarah ke
jalanan. Tiba-tiba sikapnya kaku. Tetapi aku merasa perlu melan-
jutkan,
“Dia menunjukkan foto-foto di Budapest. Di antaranya juga
foto Anda di depan kantor berita.”
Tuan Anestia menggumamkan sesuatu. Aku tidak mende-
ngarnya dengan jelas.
“Ada apa? Ada yang tidak beres?”
Matanya yang terang kehijauan menentang pandangku. Teta-
pi mulutnya terbungkam. Lalu kami berdiam diri. Aku ingin
cepat membuka sepatuku! Tidak mungkin kami bisa diam begini
lama-lama!
“Tuan Landish ingin menerima jawaban dari Anda. Kalau
tidak, apakah ada pesan buat dia?”
Ia kembali memandangiku seolah-olah tidak mendengar ka-
limatku. Katanya,
“Saya kehilangan istri dalam pergolakan itu.” Seakan-akan
dia berbicara seorang diri. Ataukah itu jawaban yang harus ku-
sampaikan kepada tuan Landish? Atau barangkali, tiba-tiba dia
ingin mengurangi kepenuhan isi hatinya, mengatakan hal yang
sama sekali bukan masalahku?
“Kami baru dua minggu kawin,” Tuan Anestia melanjutkan,
“seperti orang lain, saya menyewa apartemen di perkampungan
pekerja. Sewaktu pergolakan meletus, dua hari lamanya saya
tidak bisa pulang, terkurung di pabrik. Ketika keadaan telah
agak reda, saya keluar dan pulang. Tetapi istri saya tidak ada.
Seperti juga di tempat-tempat lain, perkampungan terbakar ha-
ngus. Berhari-hari saya mencari istri saya. Bersama penduduk,
saya menggabungkan diri dalam pasukan pertahanan. Akhirnya,
saya terlibat dalam kerusuhan dengan tentara penindas. Di situ
saya menemukan kawan-kawan sekampung. Saya kena tembak.
Masih sempat melihat istri saya berlari menuju tempat perlin-

83
dungan kami. Dia tersungkur di samping saya. Tiga hari kemu-
dian meninggal oleh luka-lukanya. Di sini, di pelukan saya,”
kedua lengannya terangkat, dia amati, lalu terjatuh kembali le-
mas.
Pandangnya yang hijau-kabur menerawang ke kejauhan. Ka-
ta-katanya bagaikan dalam mimpi,
“Ia tidak meninggalkan pesan apa-apa. Dia juga tidak me-
ninggalkan anak buat saya. Sebab itu anak lelaki tadi sangat
saya kasihi. Mungkin sayalah yang akan bertanggung jawab atas
dirinya di kemudian hari.”
Aku beringsut. Ingin segera berlalu dari sana.
“Perang di mana-mana sama saja,” kataku dan hendak lang-
sung meminta diri.
Tetapi Tuan Anestia berkata keras,
“Tetapi tidak seperti yang terjadi di negeri kami. Kekuatan
yang tidak seimbang! Kami berhadapan dengan panser dan me-
riam. Tidak patut beradu dengan otot dan semangat kami.”
Kulayangkan pandang ke sekitar. Pengungsi-pengungsi lain
melihat ke arah kami.
“Anda berbicara terlalu keras,” sesalku setengah berbisik.
Dia meremas sampul yang ada di tangannya. Pandangnya
berpindah ke tempat kawan-kawannya.
“Sekeras ini pun Tuhan tidak mendengarnya!” katanya de-
ngan suara ditekan.
“Itu pikiran Anda? Dia bahkan mendengar apa yang kita
katakan di dalam hati!” sanggahku.
Sebentar dia tidak berbicara.
“Ah, maafkan! Akhirnya, saya tidak tahu apakah saya percaya
atau tidak kepada Tuhan. Saya hanya ingin menjadi manusia
biasa seperti yang lain, berhaluan sosial, yang ingin supaya sega-
lanya baik-baik di dunia ini. Selamat, sehat, bisa makan dan
berpakaian secukupnya.”
Aku tidak menyalahkannya.
Sarafnya tegang, terlalu tegang selama ini. Orang seperti dia
memerlukan kegembiraan, hiburan. Yang menunggu di depan

84
adalah perjuangan untuk menyesuaikan diri di tanah yang baru.
Orang harus berjiwa perintis untuk itu.
“Sejak bertunangan, kami sering pergi ke gereja. Kami berdoa
agar di kemudian hari memiliki tanah pertanian dan mempunyai
anak-anak yang manis.”
Ia berhenti, memandang kepadaku.
“Istri saya berulang kali mengatakan, ‘Kau akan menjadi
bapak yang baik’.”
Menurutku, memang dia pantas menjadi bapak yang baik.
Tuan Landish pernah bercerita, meskipun kawannya itu terpe-
lajar dan pandai sekali, ia juga manusia biasa yang ingin hidup
seperti kebanyakan orang lain. Sebagai insinyur pabrik, dia akan
bisa memperjuangkan masa depannya dengan gigih.
Akhirnya, aku berhasil mendapatkan pesan buat kawanku
Tuan Landish. Sebegitu tuan Anestia mempunyai alamat tetap
nanti, ia akan menulis surat ke Jakarta. Kami berjabatan tangan
waktu berpisah. Untuk pertama kalinya dia tersenyum. Matanya
yang biru-hijau bersinar.
Perlahan aku meninggalkan pondokan mereka.
Beberapa pasang mata mengiringkanku sampai ke jalan besar.
Sebelum memanggil becak, aku menoleh ke arah gambar yang
tertempel di antara dua batang tiang besar.
Wajah potret itu tidak berbeda dari wajah orang biasa yang
berkulit putih, tua, dan berkumis. Mengalirnya nasib dan seja-
rahlah mungkin yang membikin dia menjalani kehidupan ber-
lainan.

85
Wanita Siam

Kuhitung semua perkakas yang menjadi tanggung jawabku.


Terbang bersama Ana, kami berdua selalu membagi tugas dengan
jujur tanpa mengeluh. Sebab itulah dia kubiarkan turun menda-
huluiku.
Sekali lagi kuperiksa jumlah nampan, gelas dan piring
pasangannya, sendok, garpu dan pisaunya. Lalu kuambil kopor
kecilku beserta kotak palang merah, kemudian menuruni tangga.
Kulihat mereka telah menungguku di bawah sayap. Ana kepanasan
mengipas-ngipaskan sapu tangannya ke leher. Dia selalu demikian.
Dalam keadaan cuaca macam apa pun selalu berkeringat.
Rupanya mereka tinggal menungguku. Yun, ahli radio kami
dengan manis hendak mengambil kopor dari tanganku. Tetapi
kutolak. Berjalan kaki di tengah lapangan hanya menjinjing se-
buah kotak kecil membuatku merasa canggung.
Kami menuju stasiun pelabuhan udara, bertingkat dua. Kali
itu pesawat berhenti dekat sekali dengan pintu keluar. Kami
berjalan melalui pinggir deretan gedung bagian muatan dan bea
cukai untuk menghindari panas matahari.
Ketika mencapai kamar tunggu dan bagian imigrasi, aku mulai
berjalan lebih hati-hati. Lantai stasiun udara itu berkilap dan
licin. Dengan sepatu dinas yang tinggi, aku terlalu biasa berjalan
di tanah dan lantai stasiun udara di tanah air yang muram-pudar.
Dari bagian imigrasi, kami menuju duane. Sekadar meme-

86
nuhi tugas rutin, dua petugas memeriksa paspor dan mela-
yangkan pandang ke dalam bagasi kami.
Iring-iringan kami hampir mencapai pintu keluar ketika seo-
rang pramugari darat bergegas mendekati kami. Di dalam peluk-
annya ada seberkas bunga terbungkus kertas kaca.
“Ada pesan buat Anda,” dia menegurku, langsung memberi-
kan kembang yang dia pegang.
“Buat saya?” dengan bodoh aku bertanya.
“Ya,” sahutnya, sekalian menyebut namaku untuk memastikan.
Termangu aku menerima berkas kembang itu. Selintas kubaca
nama yang terselip. Tiba-tiba aku merasa seperti berada di suatu
tempat yang luas dan lengang. Kakiku ringan, tak merasakan
sesuatu pun. Perlahan tubuhku menerima tikaman pedih, tidak
kuketahui dari mana datangnya.
“Terima kasih,” sayup kudengar Ana berkata kepada pra-
mugari tersebut.
Mobil beranjak dari depan stasiun udara hendak menuju
bagian penerbangan. Kapten dan ahli radio turun melapor. Se-
pintas lalu kujawab pertanyaan Ana bahwa bunga itu berasal
dari kawan yang telah lama tidak kudengar kabar beritanya.
Kemudian aku terdiam.
Dalam perjalanan ke hotel aku tidak mencampuri percakapan
rekan-rekanku. Hatiku tiba-tiba begitu murung. Kupandang
jalanan yang kami lalui. Kota pagoda yang manis. Sebenarnya,
ia tidak lebih indah dari kota-kota lain yang telah kukenal. Empat
kali aku datang ke negeri itu. Setiap kali aku menguatkan pen-
dapat bahwa wanita-wanitanya adalah yang tercantik di seluruh
Asia. Badan mereka ramping, terbungkus dengan pantas oleh
sarung yang serasi dan baju yang sepadan. Cara mereka berjalan
seperti melayang, halus penuh kegairahan dan lampai. Di ping-
gir-pinggir kota, di tempat-tempat umum yang terbuka, kulihat
mereka selalu santun dan pantas.
Kecuali di bagian kota yang dihuni orang-orang Cina atau
pendatang lain, pada umumnya yang terlihat di jalanan meru-
pakan campuran kemolekan berbagai suku bangsa. Hal yang

87
sama tidak bisa ditemukan di Filipina. Kalau ada di antara mere-
ka yang manis dan cantik, jelas orang bisa melihat pengaruh
darah Eropa, kebanyakan Spanyol. Sering kali hanyalah wanita
dan lelaki dari tingkatan atas yang molek dan cakap.
Di Thailand amat berbeda. Kalau ditemukan perempuan ma-
nis, tak dapat ditentukan dari mana pengaruh kemanisan itu. Se-
muanya melumat jadi bentuk yang serasi. Wajah bulat atau lonjong.
Mata seperti buah kacang berpinggirkan lancip dengan pelupuk sipit
maupun lebar. Bibir selalu tebal berisi, memanjang atau mengumpul.
Hidung pun selalu pipih meskipun melebar agak terepes. Itu semua
tidak bisa ditentukan pasti dari keturunan Cina, India atau Campa.
Sejak kukenal kota itu, kurasakan seolah-olah keindahannya
datang langsung dari napas kaum wanitanya.
Kuraba kembang di pangkuanku. Hanya terdiri dari tiga tang-
kai. Tapi anggrek seperti itu tidak murah. Susunan daun bunga kaya
dengan berbagai warna dan bentuk. Ketiganya benar-benar sangatlah
elok. Sekali lagi kulihat kartu namanya. Di baliknya tertulis dengan
huruf Thai. Kuulang untuk sekian kali tulisan Latinnya. Sebentar
aku ketakutan menginsafi betapa besar arti yang kudapatkan.
Kusadari betapa pentingnya, karena nama itu kukenali! Atau aku
pernah mengenalnya. Apakah ini orang yang sama?
Sampai di hotel, kami mengambil kunci kamar masing-ma-
sing. Seperti biasa pada waktu dinas berdua, Ana dan aku men-
dapat kamar bersama. Petugas di hotel, Ba-Tahung, tersenyum
di belakang meja tamu. Hidungnya tiba-tiba menghilang oleh
kelebaran senyumnya. Artinya dia mengenaliku.
“Kabar baik, Nona?”
“Selalu baik,” sahutku, “dan Anda? Apakah ada sesuatu yang
baru sejak persinggahan kita yang terakhir?”
“Mengenai saya tidak ada,” katanya, “Nona Koban dari
UBA1) singgah di sini beberapa hari yang lalu. Dia menanyakan
titipan dari Anda.”
Doris Koban dari Rangoon kawanku sejak dua tahun ini.

1) Union of Burma Airways.

88
Kegemarannya terhadap benda-benda perak kukenali benar. Kami
berdua bertukar kiriman hasil kerajinan tangan negeri masing-
masing. Kali itu aku membawa dua pasang giwang Bali dan Yogya.
Maksudku semula akan mengirimkannya melalui pos di kota itu.
“Dia terbang ke mana?”
“Ke Manila, akan terus ke Jepang, Hongkong. Lusa kembali
ke Rangoon melalui Bangkok.”
“UBA ke Manila?”
“Ya, mulai bulan ini.”
“Kalau begitu, apakah saya dapat menitipkan bungkusan
kecil buat dia di sini?”
“Tentu saja!”
Ini berarti menghemat waktu bagiku. Kantor pos tidak ter-
letak di samping hotel. Selain harus membayar pengiriman, aku
harus menyewa taksi. Kalau Ba-Tahung sanggup menyampaikan
titipan untuk Doris, aku sangat menghargainya. Sebagai ganti
jerih payah, dapat kutinggalkan sedikit upah bersamaan waktu
menyerahkan kembali kunci kamar sebelum berangkat ke Jakarta.
Kami menuju lift. Sampai di tingkat kamarku, aku berkata
kepada Kapten,
“Sehabis minum teh, saya tidak turut keluar nanti, Kapten.”
“Capek?” tanyanya sambil meneliti wajahku.
“Tidak. Saya perlu menemui seorang kawan.”
Dia mengamatiku. Aku perlu menjelaskan.
“Kawan yang mengirimi kembang.”
“Apakah saya dapat mempercayakanmu kepadanya?” suara-
nya mengganggu.
“Dia kawan lama,” itulah satu-satunya jawaban yang bisa
kutemukan.
“Jangan terlalu malam. Besok pagi-pagi berangkat.”

Sesudah mandi di bawah pancuran air hangat, aku terme-


nung memandang ke jalan di bawah jendela kamar. Gerimis

89
kecil seperti asap menitiki udara sore.
Ana sudah berangkat ke kota bersama Yun. Ia tidak hentinya
membuat perhitungan harga-harga emas di negeri itu.
Ana adalah kawan kerjaku yang amat hemat. Tidak pernah
dia terbang melalui kota itu tanpa pulang dengan membawa satu
atau dua perhiasan. Uangnya selalu disimpan dalam penerbang-
an-penerbangan lain dengan harapan dapat dibelanjakan per-
hiasan emas. Itu merupakan tabungannya. Tidak seperti rekan-
rekan wanita lain, Ana tidak ceroboh membeli alat kecantikan
maupun pakaian. Sore itu pun dia hampir berhasil menyeretku
ke toko-toko emas. Untunglah Yun mau mengantarkan dia.
Sebenarnya, aku tidak tahu dengan pasti apa yang harus
kukerjakan. Beberapa waktu bersendiri barangkali akan membe-
riku pikiran lebih tenang.
Sekali lagi pandangku melayang kepada bunga ungu kiriman
orang. Kartu namanya telah kutanggalkan. Kertas pembung-
kusnya kubuka pada bagian atas. Tangkai kembang kucelupkan
ke dalam gelas berair. Esok pagi kami meninggalkan kota itu
menuju Jakarta kembali. Mungkin aku akan punya kesempatan
singgah lagi di waktu mendatang. Tetapi apakah yang akan dipi-
kirkan pengirim kembang itu jika dia ketahui aku telah mene-
rima kiriman dan tidak datang ke alamat yang dia minta?
Atau barangkali aku akan bisa hanya menulis beberapa kali-
mat terima kasih melalui pos?
Mahadi. Nama itu bisa ditemukan lebih dari satu di Indo-
nesia. Mungkin nama buruh, pembantu rumah tangga atau pega-
wai pemerintah. Tetapi di kota itu tentulah hanya ada seorang.
Hatiku cemas bercampur kecut, berusaha membujukkan segala
macam yang baik. Tetapi bahwa dalam hidupku sampai waktu
itu hanya mengenal satu nama Mahadi, membuat bawah-sadarku
menyiksa seluruh rohani.
Akhirnya, aku turun. Sebentar berdiri melihat peta kota yang
tergantung pada tembok dekat penerima tamu. Tidak begitu
jauh. Aku bahkan tidak perlu naik taksi, karena Jalan ke sana
tertutup bagi kendaraan jika datang dari arah hotel.

90
Aku bercakap-cakap mengenai satu dan lain hal, lalu menolak
tawaran Ba-Tahung untuk memanggilkan taksi. Kuucapkan sela-
mat malam sekalian karena tugasnya akan diganti oleh recepsi-
onist lain untuk semalam suntuk. Sampai di pintu kurapatkan jas
hujanku, lalu kubuka payungku. Segera aku keluar dari hotel.
Angin yang membawa gerimis menampar muka.
Setelah menempuh seluruh kepanjangan jalan besar, aku
membelok ke kiri. Gedung-gedung bioskop dan opera Cina berje-
jeran bersama hotel-hotel kelas rendahan. Kemudian kelenteng
yang beratap aneka warna kelihatan menjulang.
Aku mulai menghitung jalan-jalan kecil beraspal yang terda-
pat di sebelah kanan. Menurut keterangan Ba-Tahung, alamat
yang kucari tidak jauh dari sana. Lalu aku masuk ke kampung.
Jalan itu kelihatan sudah lama tidak diperbaiki. Di sana-sini
aspalnya hampir hilang. Sambil tertunduk-tunduk menghindari
lubang yang tergenang air, aku meneliti nomor-nomor rumah.
Jauh dari mulut kampung, akhirnya aku menemukan yang ku-
cari.
Aku berhenti. Rumah itu hijau muda, warna daun tetapi
lembut. Tampak lebih bersih dan berbeda dari kelilingnya.
Kembali aku ragu-ragu. Akan masukkah aku? Belum kusadari
keputusan mana yang kuambil, kakiku telah sampai di ambang
teras. Bersamaan dengan itu seorang perempuan setengah baya
muncul dari pintu dalam, menanyaiku dalam bahasanya. Aku
tertegun sebentar, tetapi segera menyahut mempergunakan
bahasa Inggris,
“Tuan Mahadi ada?”
Perempuan itu menatapku sebentar. Kemudian menghilang
ke dalam.
Aku meneliti kelilingku. Serambi kecil dihiasi tumbuh-tum-
buhan amat sepadan. Di pojok ada kursi-kursi rotan sederhana
dan manis, bagai mengundang orang untuk beristirahat di sana.
Tepat di tentangannya terdapat tanaman air berdaun lembut,
jenis pakis yang belum pernah kulihat di tanah air. Rangkaian
daunnya turun lebat dengan gaya lentik.

91
“Akhirnya Anda datang,” kudengar suara jernih, berbicara
bahasa Inggris.
Aku menoleh.
Seorang wanita mengulurkan tangan kepadaku. Selintas ku-
amati wajah dan tubuhnya, lalu menjabat salamnya. Agak lama
tanganku digenggamnya. Lalu dia menyilakanku duduk. Kursi
yang kukagumi kesederhanaannya, kini juga kurasakan betapa
tepatnya untuk pantatku.
Tak mengetahui bagaimana mesti membuka percakapan,
dengan kaku aku melanjutkan mengamati wanita di depanku.
Ia membetulkan sarung. Kemudian mengangkat muka menen-
tang pandangku.
“Kami tidak sabar menunggu Anda. Dua bulan ini kami me-
ngirimkan kembang ke lapangan udara setiap ada penerbangan
dari negeri Anda. Tetapi itu selalu kembali ke toko, karena Anda
tidak datang.”
“Yang tadi sudah saya terima. Terima kasih.”
“Biasanya baru keesokannya saya tahu sampai-tidaknya ki-
riman tersebut. Saya menelepon ke toko, atau toko yang mem-
beritahu saya.”
Kami terdiam. Tiba-tiba mata kami beradu lagi. Sinar dari
pandangnya hitam dan indah, membikinku gelisah.
“Tuan Mahadi?” tanpa kuketahui aku tidak meneruskan
kalimatku.
Wanita di hadapanku mengambil waktu untuk menjawabku.
“Kakak Anda meninggal dunia seminggu yang lalu.” Kalimat
itu diucapkan perlahan dan jelas. Tetapi aku terkejut. Bisikan
dari alam bawah sadar yang kudengar sejak kuterima kembang
di lapangan terbang dan kutelan serta kuhimpit, kini tiba-tiba
meletus.
Kakakku! Jadi, benarlah seperti yang kutakutkan sejak semula.
Dengan rasa malu yang tidak berguna, aku mengakui telah menjadi
pengecut. Betul nama Mahadi di kartu itu adalah Mahadi satu-
satunya yang hingga waktu itu kukenal. Kakak sulungku yang selama
delapan belas tahun menjadi teka-teki perihal hidup-matinya.

92
Dia berangkat ke Purwodadi, ke Blora, ke Madiun, ke Malang
dan entah kemudian ke mana lagi bersama pemuda-pemuda
lain yang dibentuk menjadi barisan Pembela Tanah Air2) oleh
penjajah Jepang. Sampai pada suatu kali dia pergi dan tidak
pernah pulang kembali dari medan Perang Dunia, sampai perang
kemerdekaan di tanah air, bahkan sampai diakuinya kedaulatan
pemerintah RI.
“Dia sangat ingin bertemu kembali dengan Anda,” kata wa-
nita itu.
“Mengapa dia tidak pulang? Kami semua menunggunya.
Setelah revolusi berakhir, setiap kali ada iring-iringan truk ten-
tara, kami mengharapkan dia muncul kembali. Kemudian ter-
dengar berita bahwa dia meninggal. Tetapi Ibu tidak pernah
mempercayainya.”
“Ayah Anda tidak mengharapkan dia pulang, bukan?”
Pertanyaan itu bagaikan guntur menyambar kepalaku.
Jadi, dia mengetahuinya. Kuteliti wajahnya, bulat panjang
penuh kelembutan. Pandangku menurun ke dadanya. Mataku
tersangkut pada secarik pita hitam yang disematkan di antara
kancing baju.
Istri kakakku?
Warna hitam adalah tanda berkabung. Hanya keluarga terde-
kat yang wajib mengenakan warna tersebut selama waktu terten-
tu. Kalau benar ini iparku, tentulah kakakku tidak menghin-
darkan dia dari rahasia dan peristiwa pribadi dalam keluarga
kami.
Di rumah tidak pernah ada kerukunan. Antara Ibu dan Ayah
tidak pernah ada kata sepakat. Kami tujuh bersaudara disuguhi
berbagai cekcok dari hari ke hari. Kemudian aku bahkan menge-
tahui bahwa kelahiranku merupakan kehadiran yang tidak dike-
hendaki oleh Ayah maupun Ibu.
Tujuh anak!
Kini setelah dewasa, aku masih sering bertanya-tanya bagai-

2) Peta, di zaman pendudukan Jepang.

93
mana hal itu bisa terjadi di dalam keluarga yang tidak pernah
ada kedamaian. Semakin aku menjadi besar, semakin kurasakan
betapa kami terbagi dua pihak. Masing-masing menuruti
kehendak Ayah atau kemauan Ibu.
Di kepalaku terekam kejadian yang berlangsung pada suatu
malam.
Tidak kuingat berapa umurku, tapi waktu itu aku belum
tamat Sekolah Rakyat,3) dan negara dalam cengkeraman penja-
jahan Jepang. Dua kali Ibu membangunkan kami di malam hari
supaya keluar berlindung di halaman, menjauhi rumah. Masing-
masing harus membawa tas kain berisi pakaian dan bekal yang
barangkali akan diperlukan jika diharuskan mengungsi.
Malam itu, salah seorang kakakku dan aku membersihkan
meja sesudah makan. Beberapa kakak yang lain mengerjakan lati-
han pelajaran. Tiba-tiba dari kamar tengah terdengar suara keras
perbantahan. Lalu kakakku Mahadi berlari ke luar diiringi Ayah.
Mereka bergumul, berguling- guling di tanah. Mereka saling
memukul, dorong-mendorong hingga ke beranda. Tetangga-
tetangga yang melihat kejadian itu bergegas datang untuk melerai.
Peristiwa itu tidak pernah kulupakan, menetap bagaikan
gambar yang terpaku di kepalaku. Aku tidak mengetahui sebab-
sebab pertengkaran itu. Aku juga tidak pernah menanyakan
kepada siapa pun. Hanya aku menyadari bahwa sejak itulah
Ayah dan kakakku Mahadi tidak saling menegur.
Aku tidak pernah menyukai ayahku. Terjadinya peristiwa
malam itu dengan sendirinya membuat aku memihak kepada
Mahadi. Menurut kesadaran kanak-kanakku, Mahadi meru-
pakan kepala rumah tangga kami. Pada waktu kampung meng-
adakan rapat, kondangan atau pertemuan lain, selalu kakakkulah
yang datang menghadirinya. Ketika suasana pendudukan Jepang
semakin menghimpit, dengan teliti kakakkulah yang memilihi
harta Ibu yang masih ada, lalu disembunyikan di tempat-tempat
tertentu.

3) Sekolah Dasar.

94
Ayahku jarang terlihat di rumah. Waktu itu aku mengira
tentulah dia sibuk bekerja mencari makan buat kami semua.
Namun semakin besar, aku semakin sering menyaksikan bahwa
Mahadilah yang mengulurkan uang belanja kepada ibuku.
Kehilangan-kehilangan benda kecil sampai perhiasan yang selalu
dituduhkan kepada pembantu atau anak-anak, kemudian
kuketahui bahwa ayahlah yang mencuri dan menjualnya buat
berjudi.
Mahadi bekerja sebagai juru tulis, lalu mencoba berdagang
buat mencari tambahan penghasilan. Ibu menerima jahitan dari
para tetangga. Dan kami terus bersekolah dan terus makan hasil
kerja mereka. Sering kali kami menyaksikan satu percekcokan
ke percekcokan lain di antara Ibu dan Ayah yang disebabkan
karena Bapak tidak pernah tinggal lama di satu tempat bekerja.
Sikapnya suka membantah kepala atau direktur. Baginya di
dunia ini hanya dialah yang benar. Dia tidak pernah bisa tunduk
meskipun berhadapan dengan atasannya.
Akhirnya, lama kulihat Ayah menganggur di rumah. Mes-
kipun sering pergi, pulang dengan tangan hampa. Dan Ibu sam-
pai putus asa hendak meminta uang kepadanya. Jika timbul
kebutuhan istimewa di rumah tangga, kepada Mahadilah Ibu
berani mengatakannya. Karena dialah yang akan berusaha men-
dapatkan uang. Hingga pada waktu berangkat yang terakhir
pun kakakku itu bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga.
Dia mengirimkan sekarung beras dari dusun yang baru dilewati.

“Kakak Anda mengidap penyakit paru-paru, warisan dari


pengembaraannya di rawa-rawa sewaktu kerja paksa di Birma
dan hutan-hutan semenanjung Malaka,” wanita itu memulai
ceritanya.
“Bagaimana dia sampai di sana?” tanyaku tanpa bisa me-
nahan keherananku.
“Tentara Jepang mengangkutnya dengan kapal dari salah satu

95
pelabuhan di pantai selatan Pulau Jawa. Katanya, mereka berjumlah
enam atau tujuh ribu. Banyak kawannya yang tewas karena malaria
dan kekurangan makan. Tidak ada pemeliharaan kesehatan. Mereka
baru mengetahui perang telah selesai setelah beberapa pemuda
berhasil meloloskan diri dan mencapai desa-desa di Malaysia.”
Tentara penjajah semua bersifat sama. Yang dari Jepang tidak
pula merupakan kekecualian.
“Kami kawin empat belas tahun yang lalu. Anak kami tiga
orang. Dua lelaki, seorang perempuan.”
Aku hampir tidak mendengarkan kawan bicaraku.
Alangkah asing perasaanku. Tahun-tahun berlalu, kami di
rumah tidak pernah menganggap Mahadi hidup, kecuali ibuku.
Kalimat-kalimatnya seperti: “Kelak bila kakakmu Mahadi
kembali” atau “Kakakmu Mahadi tentulah gembira melihatmu
berhasil menjadi manusia berguna” menunjukkan betapa kebe-
naran perasaannya sebagai seorang ibu.
Kini aku menyadari, memang selama ini ibukulah yang benar.
“Mengapa dia tidak mengirimkan berita? Surat atau tele-
gram. Atau melalui Kedutaan misalnya,” sekali lagi aku meng-
ucapkan penyesalanku.
“Selama empat tahun kakak Anda hampir terus-menerus ting-
gal di rumah sakit. Dia bekerja di percetakan kepunyaan ayah saya.
Keduanya berkawan baik. Selama bermukim di rumah peristirahatan,
semua biaya datang dari bapak saya. Setelah kami kawin, kakak
Anda memutuskan akan menetap di negeri ini dan menjadi warga
negara. Menurut katanya kemudian, itu merupakan cara membalas
kebaikan budi orang-orang yang selama ini melingkupinya dengan
keramahan. Katanya, hidupnya yang lalu sudah lewat. Dia tidak
pernah menyebut sesuatu pun mengenai keluarganya di negeri lain.
Hingga pada suatu hari dia mengira melihat Anda di hotel.”
“Bagaimana dia mengetahui saya? Bahwa saya adiknya?”
“Anda mirip sekali ibu Anda. Katanya hanya Andalah di
dunia ini yang berwajah seperti ibunya.”
“Mengapa dia tidak menegur saya?”
“Dia masih ragu-ragu. Setelah bolak-balik berulang kali, akhir-

96
nya atas anjuran saya, dia memberanikan diri pergi ke hotel.
Bertanya ke meja penerima tamu. Tetapi terlambat. Pesawat Anda
telah berangkat. Namun dia sempat mendapat keterangan nama-
nama awak pesawat. Sejak itulah dia mulai menceritakan sedikit-
sedikit mengenai keluarganya. Berkali-kali saya anjurkan agar
dia meminta tolong ayah saya membiayai perjalanan pulang-balik
ke Jakarta menengok kalian. Tetapi dia menolak. Dia bahkan
dengan keras melarang saya membicarakannya dengan ayah saya.”
“Bagaimana dia hidup selama ini? Maafkan saya, tentu saja ada
ayah Anda. Tetapi kakak saya adalah laki-laki yang tidak bisa
menggantungkan diri kepada orang lain. Apakah pekerjaannya?”
“Anda benar. Oleh sifatnya yang tahu diri dan agung itulah
Ayah dan kami sekeluarga mencintainya. Kakak Anda menjadi
kepala bagian reklame dan perencana buku. Dan pada waktu-waktu
senggang melukis dekor teater.” Kakakku menjadi seniman, menjadi
pelukis. Alangkah mengejutkan berita ini bagi keluarga.
Sore itu, aku tidak melihat alasan tepat untuk cepat kembali
ke hotel. Selain bemaksud menemui tiga kemenakanku yang ma-
sih sekolah, aku juga ingin mengetahui banyak hal lagi mengenai
segalanya, apa yang terjadi di tahun-tahun terakhir dan tentang
keluarga iparku. Aku harus melengkapi diri dengan jawaban yang
seterang-terangnya bila ibuku menimbuniku dengan pertanyaan-
pertanyaan yang beraneka ragam dan telah bisa kubayangkan.
Tetapi betulkah aku akan dapat menjawab seluruh pertanyaannya?
Seorang tua seperti dia tidak akan mengerti, mengapa Mahadi
menutup diri, menolak mengirim kabar ke rumah, mengingkari
keluarga di tanah air. Akan dapatkah ibuku menggambarkan betapa
cinta dan perhatian keluarga yang baru ditemukan di negeri asing,
lebih-lebih di waktu sengsara, bisa atau sanggup menghapus
kenangan dari kehidupan yang lalu?
Pada akhirnya, ketika aku kembali ke penginapan, hatiku
menjadi bimbang. Mungkin akan lebih baik bila aku tidak
mengabarkan pertemuanku dengan istri Mahadi kepada siapa
pun. Juga tidak kepada ibuku.
Tetapi berhakkah aku berbuat demikian?

97
Seandainya kukatakan juga, apakah yang akan dirasakan
hati ibuku sewaktu menerima berita tersebut? Aku sendiri tidak
dapat memastikan perasaan apa yang kusimpan. Kecewa karena
kakakku yang selama delapan belas tahun ini tetap hidup tetapi
tidak berkirim kabar?
Ya. Terutama kecewa itulah yang menguasai hatiku. Dan aku
mengerti kekecewaan ini tidak akan bisa disangga4) oleh jantung
ibuku yang lelah.
Seminggu yang lalu Mahadi meninggal. Ah, seumpama or-
ang dapat menarik waktu kembali, menggeser kehidupan ke
masa lalu yang dikehendakinya!

Semalaman aku tidak tidur.


Mataku berkedip dan takut bergerak, khawatir mengganggu
Ana. Semakin mendekati pagi, aku semakin gelisah. Apakah
yang harus kuperbuat? Bagiku, istri Mahadi merupakan wajah
keluarga yang mengangkat kakakku ke kehidupan layak dan
penuh cinta. Aku tidak akan melupakan keramahan rumah kecil
yang baru kutemukan, penerimaan masing-masing kemenakan-
ku yang spontan, dan kesungguhan hati perempuan yang
bermaksud mengenal keluarga suaminya.
Tiba-tiba kekayaan yang baru kurasakan menyelinap di hatiku.
Aku merasa kaya oleh pengetahuan bahwa di negeri itu aku
memiliki keluarga. Aku bahkan pernah punya seorang kakak yang
selama ini menjadi model karena sifat-sifatnya yang kuhargai.
Keesokan harinya, sambil mengantuk dan senyum yang
kupaksakan, aku kembali menghadapi para penumpang. Pesawat
menuju Jakarta.
Ini adalah pertama kalinya selama bertahun-tahun bekerja
sebagai pramugari aku tidak ingin pulang.

4) diderita

98
Di Pondok Salju

“Kamar tamu ada di ujung sebelah kanan,” kata Rachel


sambil menyimpan kembali berkas kuncinya di dalam tas, dan
sambungnya lagi, “aku harap Nyonya Belino mempunyai pikiran
yang baik, sudah menyalakan api di pediangan.”
Aku menyisih, membiarkan dia mendahuluiku.
“Nyonya Belino?” tanyaku.
“Orang yang tinggal di peternakan. Dia membersihkan dan
mengawasi seluruh milik ini dua kali seminggu. Nah, masuk!”
Tangannya masih berkaus memutar tombol pintu dengan ke-
biasaan yang amat kentara. Kami memasuki sebuah ruangan besar,
dengan jendela-jendela rendah menghadap ke kebun. Kursi-kursi
besar berkulit coklat gelap memberi kesan kebungkaman. Selintas
kulihat beberapa benda antik di atas perapian.
“Terus ke sebelah,” dan tanpa menungguku dia berjalan me-
nuju ke sebelah ruangan.
“Ah, ada api,” kudengar suaranya yang menunjukkan keri-
nganan hatinya.
Ruang itu lebih kecil dari yang terdahulu. Dua jendela kaca
berwarna menghadap ke hutan dan sebagian ke kebun.
Dua kursi serta satu bangku lunak dan bulat di depan per-
apian. Dinding sebelah kiri dan kanan penuh buku dalam bendel
yang menarik. Di sudut ada meja belajar yang sederhana.
Aku membuka kancing-kancing baju mantelku sambil me-

99
narik napas.
“Kedinginan? Sebentar lagi api tentu menghangatkan
ruangan.”
Sambil berdiri aku melayangkan pandang lebih teliti. Ada
sesuatu yang menarik dalam ruangan itu. Yang pasti ialah
keakraban yang menyentuh hati dan membuat seseorang merasa
tidak terlalu diamati.
“Lihat bagaimana Nyonya Belino menyiapkan segalanya!
Ada ketel kopi di perapian. Nanti kita akan melihat ke dapur,
apa yang ada untuk makan siang.”
Dari kotak meja kecil di samping perapian dia mengeluarkan
dua cangkir dan mulai menuangkan isi ketel. Harum kopi dusun
mengembang di ruangan itu.
“Terima kasih,” kataku menerima cangkirku, “amat manis
ruangan ini.”
Dia tidak menjawab, seperti tidak mendengarku. Diam-diam
aku menikmati kopiku. Panasnya serasa mengaktifkan kembali
aliran darah.
Udara bulan Mei masih membawa angin dingin. Dan di ru-
mah besar itu, aku merasa seolah setiap jengkal dinding menyim-
pan kelembaban yang tidak habisnya.
“Jadi kau akan kawin,” tiba-tiba dia berkata.
Nadanya tidak bertanya. Seakan-akan dia mengucapkan su-
atu tuduhan. Aku yang mengharapkan percakapan tidak akan
sampai ke sana, menggumamkan sesuatu yang bahkan aku sen-
diri tidak begitu pasti. Sekali dua, kuhirup kembali isi cangkirku.
“Kau orang yang beruntung,” katanya sambil melepaskan
sebuah keluhan lemah.
Dari atas cangkir masing-masing mata kami saling berpan-
dangan. Aku merasa diriku tersenyum. Mengapa tidak kalau
memang aku orang yang beruntung.
“Karena ada laki-laki yang mau mengawiniku?”
Sekali lagi kudengar ia mengeluh.
“Tentu saja bukan itu yang kumaksud, Raymonde. Kau
terlalu perasa.”

100
Kalaupun itu yang dimaksud, tak mengapa bagiku. Aku
terlalu biasa berpikir sendiri dan selalu seorang diri, kini ada
lelaki yang melamarku.
Sejak kecil aku mendengar dan diajar menyadari bahwa aku
tidak cantik, bahwa mataku terlalu besar untuk muka yang sede-
mikian ciut. Waktu mendengar bahwa aku akan kawin, ibuku
mulai memompakan berbagai pikiran, di antaranya aku tidak
seharusnya terlalu mencintai dan mengikat diri kepada seorang
laki-laki, karena aku akan amat menderita kalau sekali waktu
nanti laki-laki itu bosan kepadaku. Aku bukan “potongan” per-
empuan yang patut dicintai sampai hari matiku.
Di depan Rachel, aku tidak perlu mengatakan anggapan sinis
orang yang terdekat dalam keluargaku. Aku orang yang ber-
untung. Aku singgah beberapa jam di Jenewa untuk membeli
perbekalan yang akan kukirimkan kepada kawanku di Timur
Jauh. Dan aku sengaja menemuinya di toko tempatnya bekerja.
Wajah Rachel tetap muda. Rambutnya dipotong lebih pendek
dari musim panas tahun lalu. Badannya tegap dan segar dengan
bentuk yang pantas untuk seorang olah-ragawati.
Kami bertemu yang pertama kali di penginapan para pelan-
cong dan pemain ski. Disusul oleh pertemuan-pertemuan lain
yang cukup membawa kami saling mengenal, membicarakan
musik, buku-buku dan pengalaman-pengalaman yang tidak ter-
lalu menjemukan.
Hari itu dia mengundangku untuk mengunjungi rumah besar
di desa, untuk sekali lagi mengamatinya sebagai milik pribadi
sebelum para pelelang datang menentukan harganya.
“Ini kamar studi ayahmu?” suaraku kaku memecah ke-
sunyian.
Tiba-tiba aku merasa sayang kalau kamar secantik itu diubah
dan jatuh ke tangan orang yang tidak berselera.
“Ini kamar studi ayahku. Kau benar!”
Aku tidak suka caranya mengulang kata-kataku. Tetapi aku
tidak berkata lebih lanjut, berdiri melihat barisan buku yang
judul-judulnya tertulis dengan tinta emas.

101
“Kau juga akan melelang semua ini?” pandangku menunjuk
dua belah dinding yang tertutup rak buku sampai ke langit-
langit.
“Ada sebagian yang akan kupindahkan ke apartemenku di kota.
Sebagian lagi tentu saja tergantung kepada Pascal dan Michel.”
Aku mengerutkan kening dan menatapnya. Aku mendengar
keluhnya sebagai jawaban.
“Di mana mereka?”
“Michel tetap di Paris. Pascal tinggal di Jenewa sejak bulan
Januari.”
“Bekerja?”
Seperti mengumpulkan segala kekuatannya, Rachel mene-
ngadah memandang plafon kuning lemah dengan lampu kristal
yang cerah.
“Apakah kau bahagia, Raymonde?”
Tubuhnya tersandar pada kursi, dia bertanya. Tidak tahu
apa yang harus kukatakan, aku ganti bertanya,
“Dan kau?”
“Aku?” dia tertawa gugup, “eh, memang orang mempunyai
alasan yang baik dan mengira aku bahagia, beruntung. Ayahku
meninggal, atau tepatnya ayah angkatku meninggal dan aku
ahli waris utamanya.”
Dia angkat kepalanya, lalu menoleh ke arahku.
“Kau dengar? Aku yang mewarisi semua ini.” Disambung
lagi dengan ketawa tergagap,
“Tentu saja Michel dan Pascal disebut dalam surat warisan.
Tapi hanya sebagian. Sebagian kecil. Bahkan amat kecil,” sekali
lagi dia terkikih dengan anehnya.
Kurasa tak ada yang lucu dalam hal ini.
“Kira-kira sebulan sebelum meninggal, ayahku mempercayakan
suatu cerita yang sebenarnya konyol mengenai diriku. Dia tidak
pernah kawin. Suatu pagi, dia dibangunkan oleh lonceng pintu yang
ditekan orang. Dia turun dari tempat tidur dan didapatinya sebuah
keranjang dengan bayi yang ungu kedinginan dengan tulisan: namaku
Rachel. Seterusnya kaulihat sendiri sampai sekarang.”

102
Rachel Valade. Dan kini bayi itu menjadi pewaris utama
orang itu. Aku merasakan suatu keharuan yang mendesak di
dalam hati. Rachel yang manis! Mengapa dia harus mengerti
kebenaran yang seharusnya dibawa ke kubur. Kini tentunya dia
merasa terlalu sendirian.
“Mengapa kau diam? Seolah-olah kau meragukan ceritaku.
Tapi semuanya benar, Raymonde,” matanya melebar dan su-
aranya menanjak seperti hendak berteriak, ’’berkatalah sesuatu.
Umpamanya ucapkanlah selamat kepadaku atas semua warisan
ini.”
Tangannya melayang melukiskan seluruh rumah. “Kata-
kanlah umpamanya, bahwa aku orang kaya kini; bahwa aku
bisa membeli empat-lima mobil atau membeli toko tempatku
bekerja.”
“Kau orang yang beruntung,” dengan sederhana dan tenang
aku berkata.
Sejenak dia terdiam menatapku, kemudian kembali
terhenyak di kursinya.
“Aku orang yang beruntung,” ulangnya, suara perlahan, dite-
kankan pada setiap kata, “aku mempunyai kawan, pekerjaan
dan karier. Dan kini harta.”
“Orang hidup tidak cukup hanya dengan semua itu,” kataku.
Sebentar ia terdiam. Kukira dia tidak mendengarku. Akhir-
nya, dia berbicara, suaranya perlahan tapi terang.
“Kau selalu penuh pengertian. Sebab itu aku suka kepa-
damu.”
Dia menarik napas panjang.
“Kau ingat suatu waktu ketika kita berhenti di pondok kedua
dengan sepatu ski dan memerlukan tali yang lebih erat? Michel
yang datang dengan rombongannya berkata, ayahku ingin su-
paya aku kawin dengan salah seorang kerabat, atau seorang ke-
manakannya. Tentu saja aku mengerti maksud ayahku. Dia ingin
menyelamatkan harta ini dari tangan orang lain. Harta yang
menurut katanya merupakan hasil usahanya seorang diri.”
Orang tua yang baik hati. Aku ingat satu kali dibawa makan

103
siang Rachel dan dikenalkan kepada ayahnya. Michel datang
kemudian, menyambut tanganku dengan pandang ramah. Aku
merasa betapa orang tua itu menyembunyikan kekhawatiran
tentang tanggapan kemanakannya terhadapku waktu itu. Kami
berdua sering bersama di pondok dan meluncuri daerah-daerah
bersalju di antara pohon-pohon cemara. Aku menyukai Michel.
Tetapi tidak sebagai kawan hidup seterusnya. Dia terlalu cerewet
hingga kadang-kadang menjemukan.
“Aku berusaha menyenangkan hati ayahku. Dia begitu baik.
Karena cintanya kepadaku, tak pernah terlihat bahwa aku hanya
bayi yang mengetuk pintunya mencari perawatan,” dia mene-
gakkan kepala, menoleh kepadaku, “kukira antara Michel dan
kau ada apa-apa. Sebab itu aku mencoba melimpahkan perhatian
kepada Pascal.”
Suaranya terhenti.
“Cinta yang direncanakan,” aku menyela.
“Tapi aku tidak bisa mencintainya. Kau tahu sendiri dia agak
aneh, maksudku tidak seperti laki-laki lain, hidup dengan aturan
dan lain-lain.”
“Dia seniman,” kupotong kata-katanya.
“Ah, seniman juga bisa hidup seperti orang lain. Umpamanya,
menaruh perhatian sedikit saja kepada lingkungannya. Satu kali
dia mencoba melukisku. Aku keheranan karena menjumpai diri-
ku di kanvas terpenggal dalam keretakan-keretakan bentuk seper-
ti gitar. Ketika kutanya mengapa dia menggambarku demikian,
dia tersinggung dan berkata, bahwa jika aku bisa menarik garis-
garis sejajar di salju dengan sepatu ski, mengapa dia tidak berhak
membuat garis-garis menurut seleranya. Ah, sejak itu aku merasa
seperti ada suatu jarak yang tak tersambungkan antara dia dan
aku. Dan Alain ...” tiba-tiba dia berhenti.
“Alain?”
Dengan gelisah dia menjelaskan,
“Kau ingat? Dia kawan ayahku yang pernah satu kali
membawa kita naik sampai ke pos ketiga dengan mobilnya.”
Waktu itu, aku bertemu Rachel yang ketiga kalinya. Dia

104
sedang menyiapkan diri untuk kejuaraan besar se-Eropa. Seperti
biasa, aku mengambil liburan tahun itu untuk mengunjungi
bibiku di kota kecil di seberang Danau Leman, lalu naik gunung.
“Ada apa dengan Alain?”
“Dia mengatakan bahwa Pascal mempunyai anak dengan
seseorang.”
“Itu hanya karangan Alain,” aku tiba-tiba memastikan.
“Aku sudah bertemu dengan perempuan itu. Anaknya laki-
laki. Alain ingin menyelamatkan aku,” suaranya terang men-
datar.
Tiba-tiba kamar itu menjadi sepi.
Lagi satu kebenaran yang melemparkan Rachel ke sudut sen-
dirian. Rachel yang manis. Yang ingin menyenangkan hati ayah-
nya. Yang ingin menyelamatkan kekayaan ayah angkatnya.
“Kaucoba berhubungan dengan Michel?”
Dia tidak menjawab.
“Kini setelah kau tahu bahwa antara dia dan aku tidak ada
apa-apa, kau bisa mendekatinya. Dia baik. Kurasa dia akan men-
jadi suami yang baik buat kau.”
Dalam hati aku tersenyum. Michel memang baik. Antara dia
dan aku tidak ada apa-apa. Hanya beberapa ciuman dan belaian
untuk memanaskan darah di padang putih yang tingginya lebih
dari tiga ribu meter. Suatu malam, dia kubiarkan masuk ke dalam
kamarku dan kami menghabiskan malam hangat, berdua di atas
tempat tidur yang sempit. Keesokan harinya, dia semakin
menampakkan perhatiannya kepadaku. Tapi bagiku, dia seperti laki-
laki lain yang menyukai pengalaman-pengalaman menggetarkan.
“Sekali dua kali kami bersama dan makan malam di apar-
temenku. Tetapi sesudah itu, aku memutuskan tidak bisa hidup
dengan dia,” suaranya menurun, “aku selalu memikirkan Alain.”
“Tapi!” aku hampir berteriak, dan meneruskan dengan suara
tertahan, “tapi Alain sudah kawin bukan?”
“Anaknya satu.”
Aku mendekatinya agar bisa melihatnya dengan terang, jelas
seraya menatap matanya.

105
“Mengapa kau memandangiku seperti ini? Kau seperti
hendak menelanku hidup-hidup,” protesnya tenang dan tetap,
“salahkah aku jika kebetulan Alain yang kucintai? Karena dia
sudah kawin? Itu bukan satu kejahatan, Raymonde. Kau yang
selalu mengerti, kali ini pun kau masih bisa mengertiku,”
suaranya begitu pasti.
Aku berdiri tegak di depannya, memandang tepat ke matanya
yang biru jernih kehijauan. Seperti alirnya waktu yang berangsur
perlahan tapi tak tersadarkan, aku kini merasa ada sesuatu yang
berubah pada dirinya. Pandangnya yang dulu tajam dan kaku,
kulihat kini bersinar seperti kristal yang tergantung lena di
plafon. Dadanya lebih menonjol dengan kepenuhannya yang
rahasia. Seperti ada suatu persiapan yang suci dalam tubuhnya.
Dan aku tetap menatapnya diam-diam. Aku tahu kediaman
lebih berharga untuk menemukan hal yang sebenarnya. Kuingat
di dalam mobil dia berkata bahwa untuk tahun itu, dia meng-
undurkan diri dari kejuaraan yang sebelumnya selalu merupakan
bagian dari hidupnya.
Kuingat juga laki-laki yang menamakan diri Alain. Lembut,
penuh perhatian, berambut hitam kelam. Aku tidak tahu umur-
nya. Tapi wajahnya menunjukkan kebijakan yang abadi.
Wajah yang bijaksana. Ah, betapa senangnya aku kepada
orang yang berbahagia memiliki wajah jernih lepas dari kekha-
watiran. Dan Rachel mencintainya. Rachel yang tersentak dari
Pascal, pindah kepada Michel dan mungkin beberapa lainnya,
akhirnya memerlukan sesuatu yang tenang, sesuatu yang bisa
mengundangnya berteduh serta merasa tak lagi tersendiri.
Aku memahaminya. Aku telah menyeberangi pengalaman-
pengalaman perempuan muda yang bebas. Kini ada seorang
yang benar-benar membutuhkan aku, mencintai aku. Dan aku
orang yang beruntung. Laki-laki itu masih berhak mengawiniku.
“Kau sedang berpikir bahwa aku telah bertindak dengan
kelancangan yang tak bisa dimaafkan.”
“Aku sedang berpikir kau memerlukan seseorang. Dan seseo-
rang itu kebetulan Alain Stultz,” jawabku.

106
Bibirnya yang tipis menggariskan senyum dengan seder-
hananya.
“Umurku tiga puluh tahun, Raymonde,” dia berkata sambil
memandang ke arah lain, “aku telah berusaha mencintai dan
hidup menurut adat semestinya. Tetapi nasib menolakku. Kini
ada seseorang yang mencintaiku, yang kucintai, dia sudah ber-
istri. Mengapa mesti aku melarikan diri? Aku ingin memiliki
sesuatu yang tetap dari dirinya, yang memerlukanku. Aku tidak
mempunyai keberanian untuk hidup seterusnya dengan kesepian
yang seperti ini.”
“Rachel,” aku tiba-tiba ingin mendukung keberaniannya; dan
aku hanya bisa menyebut namanya perlahan.
“Mungkin aku yang lemah. Alain datang ke gunung bukan
untuk ski. Meski dia bisa bermain ski. Kemudian aku menyadari
dia ingin menyertaiku. Dan kami keluar bersama. Ber-Sabtu-
Minggu bersama. Kemudian kelengahan pertama kali mengu-
asaiku untuk berpasrah. Aku mencintainya, Raymonde. Aku
tidak berusaha untuk bersusah-payah menolaknya. Kesempatan-
kesempatan yang lain kami nikmati di kamarku. Kini aku memi-
liki apa yang kuinginkan. Ayahku pernah berkata, anak di luar
perkawinan bukanlah suatu kejahatan. Dia juga suci. Dia juga
berhak memiliki nama. Ayahku yang malang. Seakan dia melihat
garis nasib gadis angkatnya,” suaranya mendatar tapi lancar.
“Dan Alain?”
“Dia tidak mengetahuinya. Aku tidak memerlukan siapa pun
kini. Secepatnya rumah dan beberapa isinya terjual, aku akan
memiliki dua pertiga hasil penjualan. Lain bagian untuk Michel
dan Pascal, sesuai dengan kehendak ayahku. Mengapa? Oh, kau
tak perlu mengkhawatirkan nasibku. Kau baik. Aku suka kepa-
damu, Raymonde. Kau tahu benar bahwa aku akan bisa menjaga
diriku dengan apa yang kumiliki ini.”
“Kau orang yang tabah.”
Dia ketawa. Suaranya renyah. Ruangan itu tiba-tiba tambah
berseri karenanya.

107
Ibu Jeanette

“Madame, apa yang bisa saya kerjakan untuk Anda?”


“Ya, apa saja. Berilah saya pekerjaan misalnya ....”
“Apa yang bisa Anda kerjakan?”
Apa yang bisa aku kerjakan? Mengapa orang bertanya apa
yang bisa aku kerjakan? Aku bisa menjaga kafe, aku bisa me-
nyenangkan hati laki-laki!
Ah, tentu saja. Apakah aku akan mengatakannya kepada
Tuan Konsul yang terhormat ini?
Lalu tiba-tiba aku menemukan diriku bercerita panjang lebar
mengenai masa mudaku, masa kanak-kanakku yang terlalu sing-
kat dan yang selama ini mengendap dalam-dalam seperti air
asin di pelabuhan Marseille.
Kalau kabut tipis musim dingin turun, hal yang amat jarang
terjadi di pantai selatan negeriku, aku senang mengayun-ayun-
kan kaki di papan-papan yang berderet di pinggir air. Orang-
orang pelabuhan bersilangan mengurus pembongkaran atau pe-
muatan barang. Kalau hari lembab dan dingin sampai di bawah
sepuluh derajat, tubuh mereka harus menanggung beban dua
atau tiga baju dingin berlapis. Mereka melangkah dengan sepa-
tunya yang besar dan gaduh. Malam hari aku mengamati cahaya-
cahaya kapal dan lampu jalan yang bermain dan berayun. Kalau
hari berangin sedikit, kapal-kapal kecil terayun-ayun manja di
atas air kotor gelap. Aku berjalan dari ujung jalan ke ujung

108
lainnya, atau duduk-duduk di atas peti yang terkumpul satu-
dua di samping rumah-rumah kopi.
Waktu itu, hari sedang terang. Bibiku pergi ke Toulon untuk
keperluan yang tidak kuketahui. Kafe dijaga oleh saudara sepu-
puku yang berumur sepuluh tahun lebih dariku. Aku membantu
menebah-nebah bangku dan menyajikan kopi seperti biasanya.
Tiga kelasi masuk ke dalam kafe, lalu duduk rapi. Salah seorang
di antaranya berjenggot, lengannya penuh dengan tato berwarna-
warni. Aku mengamatinya penuh keingintahuan.
“Mari sini. Lihat! Pegang, ini betul-betul. Bukan tiruan, bu-
kan tempelan,” katanya ramah.
Aku berdiri berpegang pada tiang yang tak berapa jauh sambil
tetap mengamatinya. Tiba-tiba orang itu berdiri, mendekatiku
sambil berkata,
“Pegang!” tangannya yang besar memegang tanganku lalu
digosok-gosokkan pada bagian lengannya yang bergambar ra-
jah.
“Ini bukan palsu. Bagaimana pendapatmu? Oh, kau begitu
kecil. Mari!”
Dengan sekali gerak aku diangkat dan didudukkan di atas
pangkuannya.
Aku tidak berkata suatu pun. Kepalanya masih amat jauh di
atasku. Dadanya luas tegang rata oleh kaus kelasinya yang ber-
garis-garis. Aku menengadah memandangi jenggotnya. Warna-
nya kelabu bertitik putih-putih seperti salju yang bersih. Aku
menjangkaukan tanganku untuk menyentuhnya. Kudengar
mereka tertawa.
“Oh, kau manis, kau anak yang manis sekali.”
Orang itu menundukkan kepala serta mendekapku. Aku
tergesa turun dari pangkuannya.
“Aku belikan kau satu cangkir coklat dan makanan kecil yang
kausuka. Ambil yang mana.”
Saudara sepupuku dan aku masing-masing mendapat roti
krim dan secangkir coklat yang hangat.
Aku tidak pernah melupakan saat itu. Kapalnya bernama

109
Negara Angin, berlabuh di sebelah utara gudang. Tuan berjenggot
singgah tiga kali, kemudian dua bulan tidak pernah muncul.
Aku mendengarkan percakapan di antara kelasi dan tak hentinya
mengharapkan kedatangan kapalnya yang hitam bergaris putih
bagaikan ikat pinggang. Setahun kemudian tuan itu datang,
dan serta-merta mengangkatku tinggi-tinggi.
“Kau tambah besar. Tidak patut lagi duduk di pangkuanku.
Lihat ini, kakimu yang dulu kecil, kini telah panjang. Kaupotong
rambutmu? Jangan lagi. Laki-laki tidak suka kepada perempuan
berambut pendek. Di negeriku, semua perempuan berambut
panjang.”
“Di mana?”
“Kau duduk di kelas berapa?”
Aku baru saja meninggalkan sekolah. Bibiku tidak suka mem-
biarkanku belajar menghadapi buku, sedangkan di rumah ba-
nyak pekerjaan. Katanya, anak perempuan tidak boleh menjadi
pandai. Tapi aku tidak mau menceritakan ini kepada tuan ber-
jenggot itu. Lagi pula, kulihat kehadiran bibiku yang memelo-
totkan matanya dari sebelah meja panjang.
“Kelas enam,” jawabku tanpa berpikir panjang.
Dia berjongkok. Dengan jarinya dia menggambarkan bentuk.
“Di sini Negeri Arab, ini Laut Tengah. Nah, ini, yang terjepit
kecil ini negaraku. Kecil, bukan? Tetapi manis dan selalu banyak
angin!”
“Negeri Angin,” kataku sendirian.
“Ya,” sahutnya, kemudian seperti terkejut dia memandangku
tepat pada mata, “eh, kau ini anak cerdas! Kau harus datang ke
negeriku. Negeriku memerlukan orang cerdas seperti kau,” lalu
diusap jenggotnya sambil tetap memandangiku.
Itulah kali terakhir aku melihatnya. Orang pertama yang
berbaik hati kepadaku, yang mengundangku ke negerinya. Aku
tidak pernah melupakannya.
Aku tidak pernah mengingat wajah ayahku dengan jelas.
Ibuku meninggal ketika aku berumur lima tahun. Sejak itu,
yang kuingat pamanku yang memegang tanganku di samping

110
galian kuburan. Kemudian aku hidup atas belas kasihan keluar-
ganya, warungnya dan istrinya yang menimbuniku dengan ber-
bagai pekerjaan.
Seakan-akan tergesa oleh masa menjelang dewasa, pada suatu
malam aku menghabiskan keperawananku di pojok gudang de-
ngan seorang kelasi Inggris. Umurku tiga belas tahun. Tidak
kusesali benar pengalaman yang mengarahkanku ke masa dewasa
ini. Mengapa harus begitu? Aku pun tidak mengetahui. Bukan
salahku kalau Paman meninggal karena pencernaannya yang
terlalu payah oleh makanan berlemak, dan Bibi mengurus
dagangan, saudara-saudara sepupuku bergantian meninggalkan
rumah menuju tempat lain mengikuti suami atau kekasih, meng-
adu untung di ibukota.
Sedangkan aku, aku tinggal di tempat semula. Sekali-sekali
aku juga berhak menghibur diri di waktu senggang, bukan? Bibi
sering berkata bahwa aku tidak cantik, mukaku pucat, tubuhku
terlalu kerempeng. Tapi pada suatu malam ada laki-laki berbisik
di telingaku bahwa aku memiliki raut muka yang manis, lalu
mendorongku ke samping warung sampai tembok gudang. Di
antara napasnya yang sengal panas di leher dan bibirku, dia
berkata akan menungguku di belakang rumah sesudah warung
usai.
Paginya aku merasa dewasa. Hari lebih terang dari biasanya
di balik mataku yang berkejap bangun kesiangan.
Lima tahun kemudian, aku sampai di Negeri Angin. Orang-
orang di pelabuhan mengatakan, aku diculik oleh pedagang
budak. Lainnya mengutukku mau dipergundik oleh kelasi asing.
Tapi apakah bedanya kelasi itu dengan laki-laki lain? Masing-
masing memiliki caranya untuk menggenggam kesenangan di
dunia ini.
Yang sebenarnya, aku “terbawa” oleh kapal pengangkut babut
dan minyak. Kelasi yang menanggungku mampu memancang-
kanku di sebuah rumah yang layak. Aku mulai mengenal negeri
dan orang-orang yang sejak masa kecil menggariskan wajah or-
ang ramah yang berjenggot.

111
Kemudian datang perang. Kelasiku tidak pernah kembali.
Perang merembet ke Negeri Angin, dan aku mulai menyadari kedu-
dukanku. Suatu malam ketika aku berada di pelukan seorang
perayu, aku menyatakan kekhawatiranku. Kawanku berkata,
“Pergilah ke tempat konsulmu. Dia akan memberimu na-
sihat.”
Sebelum pergi ke konsulat aku masih sempat berpikir apakah
sebenarnya aku ini. Aku bersiap-siap menerima kata-kata yang
paling kejam pun dari wakil negeriku yang terhormat.
Dia mengikuti ceritaku seluruhnya. Kepalanya tunduk, kedua
tangannya ditangkupkan seperti pendeta alim. Sebentar-sebentar
memandangiku dengan teliti, seolah hendak membenarkan atau
menyalahkan bibiku, mengukur mukaku yang pucat atau me-
narik. Pandangnya tidak jarang menurun ke lekuk leher, kadang
selintas sampai ke betisku.
Pada akhir ceritaku, keningnya berkerut. Dan suaranya ren-
dah tanpa aling-aling,
“Tetapi, Madame, tidak ada pekerjaan di konsulat.”
“Sebagai apa saja, misalnya tukang sapu, atau pembantu
untuk membersihkan kantor,” kataku.
“Tetapi tidak ada seorang Prancis pun yang bekerja sebagai
penyapu di konsulat kita, di mana pun juga. Kami selalu meng-
ambil orang-orang pribumi sebagai pekerja kasar begitu.”
Dan kami berpandangan. Lama. Seperti saling bertanya apa-
kah memang sebenarnya tidak ada yang bisa kukerjakan.
Tuan Konsul itu tinggi. Rambutnya coklat tua berkilap, berse-
lingkan warna-warna putih di kedua pelipisnya. Matanya coklat
dengan pandang yang menggairahkan. Aku gemetar. Tiba-tiba
dia berdiri, membuka kamar di sebelah dan menyilakanku ma-
suk. Aku melewati ambang pintu. Dia berkata setengah berbisik,
“Bersiap-siaplah. Saya datang seperempat jam lagi.”
Kamar itu seperti sebuah salon, dengan kursi panjang ber-
kasur lunak dan amat lebar. Sebuah meja tidak seberapa tinggi,
satu piring hitam, keranjang sampah; rak-rak buku yang hampir
memenuhi dinding.

112
Apa yang harus kupersiapkan? Seperti diingatkan oleh se-
suatu, aku tersenyum. Kulepas sepatuku menyentuh babut yang
lembut dengan ujung-ujung jari kaki. Aku berdiri di atasnya,
seolah-olah tenggelam dalam bulu-bulu yang memerah anggur.
Pintu terbuka bahkan sebelum lima belas menit berlalu.
Serta-merta Tuan Konsul mencium mulutku. Dan aku tidak
bertanya-tanya lagi apa yang mesti kupersiapkan.
Sekali lagi aku tidak menyesali hidup yang mengemudikan-
ku. Aku hanyut menuruti alirnya air yang membawaku ke tepian
sejuk atau pantai pasir yang panas. Ketika perang mengulurkan
cakarnya ke Negeri Angin, aku telah menemukan sebuah rumah
yang tidak begitu mahal, terbuat dari tanah dan terbagi atas
beberapa ruang. Tuan Konsul dan aku menjadi dua orang sahabat
yang tidak pernah ada di dunia ini. Dia halus, selalu memper-
lakukanku dengan sikap yang membelai hati.
Suatu petang, aku terpaksa keluar membeli roti untuk makan
malam. Di tengah jalan terdengar tanda bahaya serangan. Sinyal-
nya berulang dua kali ketika aku mendengar dentuman-dentum-
an dan suara pesawat terbang. Aku yang semula tetap berjalan
menepi, terpaksa melemparkan diri ke parit terdekat. Lampu-
lampu telah dipadamkan seluruhnya.
Pada musim itu langit gulita, tidak ada seraut sinar kutub
yang tertinggal untuk sekadar menduga bayangan. Semuanya
gelap. Di seberang jalan kuingat ada ruangan warung kopi yang
lebar. Aku akan berusaha lari ke sana mencari tempat berlindung
sementara. Kutunggu suasana mereda. Kemudian dengan
menunduk dan kaki setengah gemetar aku menyeberangi jalan.
Ketika kakiku hampir melangkah masuk ke dalam kafe, tiba-
tiba sebuah pesawat meluncur bersama tembakan mengga-
duhkan. Sekali lagi aku melemparkan diri ke arah kegelapan.
Sikuku terbentur pada suatu sudut keras, mengakibatkan sen-
takan listrik pada uratku.
“Oh, bajingan, les salauds,” seruku seorang diri.
Tembakan senapan terdengar beruntun. Sekaligus padat,
sarat mengerikan. Lalu menjauh, menghilang bersama suara

113
pesawat. Kemudian sepi.
Entah berapa lama, disusul sinyal tanda berakhirnya bahaya.
Aku masih meringkuk di sudut, mulai membiasakan mataku
menembus kegelapan. Kudapati beberapa orang di keliling,
berbaring atau duduk dengan lutut ditarik ke dada, sosok yang
samar-samar.
Orang menyalakan lampu di dalam, lalu aku berdiri. Tiba-
tiba seseorang bertanya dalam bahasa ibuku,
“Maafkan saya, Madame, apakah Anda orang Prancis?”
Kulihat empat lelaki berpakaian tentara mengelilingiku. Aku
membetulkan letak rambut dan bajuku.
“Ya, dan tuan-tuan juga orang Prancis?”
“Oh, alangkah senangnya dapat berbicara sesama bahasa ibu
dengan seorang wanita,” tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berseru kegirangan.
Mereka menemaniku ke rumah. Kusediakan makanan dingin
sederhana. Mereka menghabiskannya; ramai berbicara ramah
dan tidak henti-hentinya. Rupanya mereka beberapa hari yang
lalu baru memasuki negeri ini setelah menyelundup menyebe-
rangi padang pasir. Hal ini sering-sering diramalkan oleh ka-
wanku Tuan Konsul.
“Tetapi bagaimana kalian dapat menduga bahwa saya ber-
kebangsaan Prancis?”
“Mudah saja. Tidak ada orang lain di dunia ini yang me-
nyumpahkan ‘salaud’ selain seorang Prancis yang baik!” Kami
tertawa bersama oleh kebenaran kalimat itu; meskipun dalam
hati aku merasakan sedikit keengganan. Cacian tersebut tidak
patut keluar dari mulut orang yang sopan!
Bagaimanapun mulai hari itu rumahku terbuka untuk me-
reka. Bergiliran datang, bergerombol menurut selera masing-
masing. Sekali lagi aku segera mengerti ke arah mana angin
menyorongku.
Kukumpulkan tiga-empat perempuan baik-baik yang lancar
atau sedikit-sedikit bisa berbicara bahasa Prancis untuk mene-
mani tamuku. Kemudian aku mulai memerlukan kamar-kamar

114
terpisah. Semula hanya ada dua. Mereka bergantian sepasang
demi sepasang masuk-keluar. Hingga pada suatu waktu seorang
yang berbadan besar dan seram datang menjumpaiku.
“Madame, Anda memiliki istana mungil yang patut diper-
besar.”
Suaranya parau. Matanya tidak berhenti menatapku, dengan
cara memandang dari atas yang menjengkelkanku.
Dia jenderal dari kesatuan yang hingga waktu itu selalu ku-
sambut dengan baik. Dan dia katakan pula bahwa aku telah
menolong tanah air dari keruntuhan.
“Anak-anak yang berperang itu memerlukan hiburan, perlu
ditingkatkan semangatnya.”
Mukanya berpaling dan memandang keluar. Tampak tamu-
tamuku duduk berdesakan minum atau makan di meja-meja
yang sempit.
Dia memintaku agar meneruskan menolong tentaranya yang
membela tanah air itu.
“Saya akan memberi Anda sebuah rumah yang lebih besar.
Tetapi dengan satu syarat: Anda membuka rumah itu untuk
siapa saja, terutama orang-orang kaya negeri ini. Kalau Anda
mendengar suatu cerita yang seremeh-remehnya pun, Anda ha-
rus menyampaikannya kepada saya.”
Pada mulanya, aku tidak menyadari benar arti syarat se-
derhana itu.
Rumahku kemudian berkamar dua belas, di sebelah depan
kujadikan kafe temaram, yang selalu sesak oleh kepulan asap
rokok dan candu.
Setelah segalanya teratur dan berjalan baik, aku baru sadar
apa jenis pekerjaan yang diberikan jenderal itu kepadaku.
Suatu kali, kami mengejutkan musuh yang menyerang dari
udara dengan tangkisan yang telah disiapkan sebelumnya. Kali
yang lain kesatuan Prancis berhasil merampas senjata selun-
dupan dari Eropa Tengah. Sebagai sahabat, aku semakin diper-
lukan oleh jenderal itu, Tuan Konsul, para perwira dan prajurit.
Sering pula datang berkunjung pedagang-pedagang negeri

115
ini yang berperut gendut. Kepada mereka aku tidak suka mela-
yani sendiri. Tapi kadang-kadang, untuk kepentingan tanah air,
aku terpaksa membelai kepala botak mereka dan kulit keriput
yang telah kehilangan kesegarannya, disertai bisikan cinta yang
itu-itu juga.
Perang telah lama berakhir. Tetapi aku belum berniat me-
ninggalkan Negeri Angin yang telah menimangku dengan nasib
yang jarang diterima oleh perempuan-perempuan lain di dunia
ini.

Hari ini aku menerima bintang kehormatan Légion d’Honneur


dari pemerintah Prancis, pada umurku yang ketujuh puluh tujuh.
Aku bangga oleh kata-kata Tuan Konsul yang baru. Tentulah
dia tidak asing terhadap segala keterangan mengenai diriku, an-
tara lain laporan yang ditulis oleh Konsul pelindungku pada
masa yang lampau.
“Madame Jeanette telah menyelamatkan semangat anak-anak
kita, pembela tanah air dan kedamaian dunia. Berkat kerja sama
itu pula, tentara kita berkali-kali mencapai kemenangan. Per-
juangan di lapangan itu patut dihargai, dan ucapan terima-kasih
negara yang tak terhingga menyertai tanda penghargaan ini.”
Hadirin berdesakan mendengarkan tekun. Warga negara
Prancis yang menjadi penting kedudukannya dan semakin ba-
nyak jumlahnya setelah perang, semua datang untuk minum
sampanye demi kesehatanku.
Aku berdiri lurus. Kepalaku tegak. Aku sekarang menjadi
wanita terhormat. Sikapku harus dapat dijadikan teladan.
Sebentar kutarik bagian leher bajuku untuk menutupi kulit
yang semakin menjauhi kemudaan.

116
Penanggung Jawab Candi

Turun dari tempat tidur, cepat dia mengenakan sarung yang


semula tersampir pada gantungan pintu. Lalu dia hentikan alat
pendingin.
Brrrrrr, sejak beberapa hari udara nyata menjadi lebih sejuk.
Musim hujan dengan angin musonnya tidak lama lagi akan men-
jenguk negeri itu. Perbaikan-perbaikan candi yang ada di bawah
pengawasannya, yang memang tidak berjalan lancar, akan ter-
henti sama sekali selama musim basah. Tetapi, oh, itu tidak
mengapa. Yang penting, dia tetap dibayar oleh pemerintah tuan
rumah. Tidak menjadi soal baginya jika pegawai serta pekerja
kecil bawahannya menerima gaji harian. Itu urusan mereka de-
ngan rajanya.
Dia keluar dari kamar, langsung duduk di hadapan meja
makan yang panjang dan lebar, menghadap kebun, lepas me-
minggiri semak-semak hutan di sekeliling komplek candi.
Dua puluh dua tahun sekarang jadinya. Selama itu dia ber-
tanggung jawab atas rumpunan bangunan kuno di negeri itu.
Waktu yang cukup untuk menjadikan seseorang dewasa. Buat
dia sendiri, jumlah itu merupakan jaminan akan tetap tinggal
di negeri tersebut tanpa gugatan serta usiran pihak pemerintah.
Dia orang penting. Menjadi penyelamat kumpulan bangunan
batu pemujaan nenek-moyang raja. Dia berhak menerima san-
jungan dan berbagai bentuk kebaikan hati semua penduduk.

117
Terutama dari raja sendiri.
Mereka, begitu pula orang-orang sebangsanya yang tinggal
di negeri itu, setiap kali mendengar namanya, berebutan saling
mengatakan berkenalan baik dengan dia, telah membaca atau
melihat buku-buku tulisannya.
Setiap kali dia turun ke Ibu Kota, kenalan dan pejabat tinggi
berebutan pula mengundang makan. Pengertian kesadaran untuk
itu semua membikin dia membusungkan dada oleh rasa bangga.
Siapa yang tidak senang hidup seperti dia! Apalagi jika semua
itu tercapai tanpa kerja keras maupun pemerasan tenaga yang
berlebihan. Karena semua itu adalah hasil dari keberuntungan
belaka.
Kebetulan dia lahir sebagai anak tunggal bapaknya, yang
pada waktu itu telah menjadi penanggung jawab candi di sana.
Orang tuanya memang telah bekerja keras; mengetahui setiap
lipatan batu-batu candi, mengenal setiap sudut dan mangan
tiap bangunan kuno di negeri itu. Siang-malam menyelidiki,
menemukan dan akhirnya mengerti makna gambaran atau
tulisan lama yang terdapat di situ. Dia mengumpulkan berbagai
teori, memperbandingkan kesamaan berbagai bahasa kuno yang
terdapat di sekeliling rumpunan candi, lalu mendengarkan pen-
dapat atau tafsiran penduduk lanjut usia.
Dia sendiri? Oh, biasa saja. Seperti telah menjadi tradisi,
dari Sekolah Menengah dia meneruskan studi ke tingkat ter-
tinggi. Dan seperti telah menjadi tradisi pula, dia memilih atau
diarahkan untuk memilih jurusan yang sama dengan lapangan
pengetahuan bapaknya. Tidak ada kemauan sendiri untuk meno-
lak. Baginya itu sama dengan pekerjaan lain. Tidak ada yang
dia sukai benar. Kalau memang dia mewarisi nama keluarga
bapaknya, lebih baik menjabat pekerjaan yang sama pula. Selain
merupakan kelanjutan, setidak-tidaknya banyak keuntungan pri-
badi yang akan dapat dia terima dari negeri bermatahari itu.
Jadi, dia pun mengarahkan pendidikannya ke sana. Benar
juga menghabiskan waktunya untuk belajar, untuk melalui ujian-
ujian, tetapi semuanya hanya berupa hafalan yang tidak banyak

118
meminta tenaga lebih dari semestinya. Apalagi itu disebabkan
karena sebagian besar guru yang memberi kuliah bukanlah ahli-
ahli yang mahir benar. Juga kemudahan yang dia terima di per-
guruan tinggi itu disebabkan karena sejak kecil dia telah berke-
cimpung di bidang tersebut. Dapat dikatakan dia tumbuh ber-
sama mengalirnya teori-teori yang muncul dari kepandaian ba-
paknya dalam seluk-beluk bangunan kuno.
Kemudian, setelah bapaknya meninggal, tepat ketika dia lulus
dari perguruan tinggi, catatan-catatan yang teliti dan menarik
dia temukan di laci bapaknya. Itu merupakan salah satu pe-
ninggalan yang berharga. Peninggalan lain yang tidak kurang
menyenangkan ialah jabatan sebagai penanggung jawab bangun-
an kuno. Barangkali raja dan lingkungannya berpendapat bahwa
itu lebih mudah daripada mencari orang lain. Barangkali pula
karena orang-orang itu memperkirakan kepandaian yang sama,
ketekunan yang sepadan serta ketelitian cara kerja yang sama
seperti ayahnya.
Dan dia tidak mau mengecewakan mereka. Dia memang
menunjukkan dinamika kerja. Dengan jipnya, orang dapat meli-
hat dia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Turun se-
bentar dari kendaraan untuk melihat ini-itu. Lalu menghilang.
Sekali-sekali, dikeluarkannya beberapa garis kalimat catatan
bapaknya untuk memperlihatkan hasil kerjanya.
Dalam laporan tertuju kepada raja, bercampur aduk dia susun
pendapat pribadi, ditambah hasil percakapannya dengan pelan-
cong cendikia yang dia jumpai ditambah teori hasil penyelidikan
bapaknya.
Pada waktu yang diperlukan, dia terpaksa benar-benar tekun
mempelajari buku-buku atau batu-batu kuno yang kebetulan
ditanyakan orang. Dengan demikian, dia selalu dapat memberi
jawaban pasti serta menyenangkan hati raja. Begitu tenar nama
yang diwarisi dari bapaknya, sehingga orang selalu menerima
pendapatnya. Maka tinggalnya di negeri itu semakin terjamin
kelanjutannya.
Makanan pagi dibawa oleh seorang wanita pribumi. Pakaian-

119
nya kain hitam mengkilat, turun hingga ke batas telapak kaki,
dengan baju berkembang-kembang warna terang, tepat sampai
di pinggang. Semua itu menunjukkan keindahan garis lekuk
punggung yang menuruni pinggul.
Dari kursinya, dia menuruti godaan yang dirasakannya. Ta-
ngan terulur untuk mengelus sejenak kenikmatan garis yang
tersuguh. Lalu naik menyelinap ke bawah baju. Perempuan itu
terkikih, melengoskan pandang sebentar ke arah Tuan, si ma-
jikan. Karena memang itulah sebutan yang diharapkannya di
tempat tinggalnya.
Lima hari yang lalu perempuan itu berganti menjadi “peng-
atur rumah tangga”. Setiap kali ada wanita pendatang baru,
Tuan menjelaskan agar hubungan di luar tempat tidur tetap
sebagai pekerja dan majikan. Di negeri yang masih serba penuh
dengan pengertian feodal, ini tidak merupakan kesukaran.
Perempuan-perempuan itu tidak begitu peduli. Yang penting
bagi mereka ialah memiliki kehidupan lebih baik daripada or-
ang-orang lain sebangsanya. Dapat bersolek, berdandan dan
makan lebih dari cukup. Ditambah hormat orang karena mela-
yani Tuan Besar.
“Tukang masak sudah ke pasar?” tanyanya dalam bahasa
pribumi yang beraksen keras.
“Belum. Menunggu Tuan. Saya bawakan buku belanjanya.”
Tukang masak telah lama tinggal bersamanya. Dia seorang
perempuan tua. Rambutnya dipotong seperti laki-laki. Entah
untuk memudahkan gerak atau kemalasan, sekalian disebabkan
oleh jarangnya air di musim kemarau, perempuan yang melam-
paui batas umur tertentu tidak lagi memiliki hiasan di atas ke-
pala. Kebanyakan pula nenek-nenek yang telah lanjut usia ber-
kepala licin halus. Dipandang dari jauh mereka tidak bisa
dibedakan dari kaum lelaki. Dada mereka rata dan keriput.
Sejak umur sebelas tahun, tukang masak itu tinggal di sana.
Tidak banyak jenis makanan atau lauk yang dapat dihidangkan.
Tetapi itu tidak menjadi soal. Yang penting bagi Tuan, perempuan
tua itu dapat mengikuti dan menuruti kemauannya. Tidak

120
banyak bicara. Pembantu tua itu sudah menyaksikan datang
dan perginya berbagai pengunjung, keluar masuknya “pengurus
rumah tangga”. Di samping itu, tidak seperti kebanyakan tukang
masak yang bekerja di rumah orang asing, perempuan tua itu
tidak terlalu menipu, menaikkan harga-harga makanan yang
dibeli di pasar maupun di warung.
Wanita itu datang kembali, memberikan buku tulis dengan
pensil pendek dan tumpul.
Dia melayangkan pandang selintas ke deretan angka. Harga-
harga belanja tertulis di situ. Beberapa tampak sekali atau dua
kali diganti dengan angka lebih tinggi.
“Masih ada sisa uang buat pelajaran menjahit dari yang kau-
bayarkan kemarin?” tanyanya.
“Masih,” jawab perempuan di samping Tuan.
“Berikan itu dulu untuk belanja!” perintahnya.
Dia menutup buku tulis, lalu hendak meneruskan makan.
Pengurus rumah tangga tetap berdiri di sana. Sebentar seperti
akan berlalu, tetapi ragu-ragu.
“Apa lagi?” tanya majikannya sambil mengunyah roti, “beri-
kan uang itu sekarang, sehingga tukang masak dapat pergi!”
“Uang sisanya buat membeli bahan.”
“Sudah atau belum?”
“Belum.”
“Berikan itu dulu, nanti kuganti!” dia mengulang. Perempuan
itu belum juga beranjak.
Dia mengangkat muka di atas kopinya untuk memandang
kepada perempuan muda itu. Tiba-tiba keduanya bertatapan
pandang. Wajah lonjong yang segar hitam itu seakan-akan berca-
haya dengan senyum merata. Dengan kepala yang digerakkan
manja, pengurus rumah tangga itu berkata,
“Sekolah menjahit itu jauh. Saya akan memerlukan sepeda.
Kalau tidak, harus selalu naik siklo*) pergi-pulang.” Sejak hari
pertama perempuan itu datang, telah berapa kali meminta ini

*) siklo: becak di kamboja.

121
dan itu. Lebih banyak menarik uang daripada para pendahu-
lunya. Majikan menurunkan pandangnya ke dada perempuan
muda itu. Lebih montok dan keras daripada yang lain. Meskipun
pinggangnya tidak seramping yang dulu, tetapi kakinya panjang
dan kuat buat kenikmatan-kenikmatan yang membutuhkan
waktu lama.
“Kita lihat nanti! Cepat berikan uang kepada tukang masak!
Katakan dia mesti berangkat sekarang.”
Akhirnya, perempuan itu berlalu. Langkahnya lampai indah.
Tuan mengikuti gerak betis yang membayang pada lapisan
sarung hingga ke pintu dapur.
Dia dapat leluasa membelanjakan uangnya. Rumah tempat
tinggal adalah milik yayasan di mana dia menjadi anggota.
Gajinya besar, ditambah hadiah serta biaya ini-itu yang dibayar-
kan pemerintah tuan rumah maupun Sekolah Tinggi di Paris.
Belum lagi terhitung warisan penjualan buku-buku tulisan bapak-
nya dan satu buku karangannya sendiri. Itu semua mengumpul
menjadi kekayaan menyenangkan.
Kelihatan benar bahwa dia memiliki kehidupan yang mudah.
Belum mencapai umur tiga puluh tahun, tubuhnya menggelem-
bung seperti balon karet. Badannya pendek bulat terlalu tebal.
Wajahnya selalu kemerahan oleh panas daerah tropis dan mi-
numan bir. Dia tidak melakukan sesuatu macam olahraga pun,
sehingga tubuhnya lembek, otot-otot kendur. Dari tahun ke ta-
hun, mukanya semakin tampak tua mendahului umurnya.
Sebetulnya banyak kesempatan yang tersedia untuk sekedar
berjalan dengan kakinya. Beberapa candi terletak jauh dari tem-
pat pengawasan utama di candi terbesar. Tetapi dia lebih suka
mengeram di sana. Kadang-kadang berteriak menyerukan bebe-
rapa perintah melalui jendela. Lalu asistennya datang berlari-
lari untuk mendengarkan instruksinya secara teliti.
Sekali-sekali jika kewajiban menghendaki, baru dia keluar
rumah, mengawasi perbaikan-perbaikan yang dikerjakan pe-
gawai-pegawai bawahannya. Kalau turun dari kendaraan, dia
hanya akan berjalan sampai teras candi induk. Kuli-kuli di sana

122
merunduk-runduk menyalaminya, perempuan penjual makanan
di warung tersenyum berusaha menarik hatinya.
Sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah buat membaca
kiriman roman-roman terbaru dari Prancis. Kadang-kadang
mendengarkan piringan hitam, dan tentu saja bercumbu dengan
pengurus rumah tangganya. Di atas meja kerja yang tebal dan
lebar selalu bertumpukan buku ilmu bangunan kuno, kertas-
kertas. Beberapa lembar sengaja dibiarkan terbuka. Pada waktu
ada kunjungan secara tiba-tiba, pembantu selalu membawa tamu
itu ke kamar tersebut. Maka dapatlah ditunjukkan bahwa pe-
nanggung jawab candi itu sedang bekerja dengan tekun. Oleh
karenanya, si pengunjung yang pada umumnya bersifat sopan,
akan berusaha meninggalkan tempat itu secepat-cepatnya.
Pagi itu, dia harus turun ke candi induk. Seperti telah diperin-
tahkan dan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang dia berikan,
para pekerja telah membuat patung singa dari semen untuk
menjadi pasangan singa lain dari batu yang terdapat di gerbang
teras candi. Hari itu orang akan membawa singa baru ke tem-
patnya. Kejadian penting yang harus dia awasi. Dia akan me-
nyaksikan untuk pertama kalinya sejak menjabat kerja tersebut
dua singa mengapit pintu masuk candi induk. Dua penjaga
seperti berabad-abad yang lalu.
Cepat dia hirup sisa kopi dari cangkirnya. Lalu menoleh ke
dapur dan memanggil. Perempuan muda yang tadi muncul dari
kamar tidur, berdiri di ambang sambil memandang. Tuan menyo-
rong kursinya dengan gaduh, lalu menghampiri pasangannya.
Dia tarik pinggang yang pasrah. Berdua menghilang ke kamar.

Sekali lagi, sesungguhnya dia bisa berjalan menuju candi


induk, tidak jauh dari pagar depan tempat kediamannya. Tetapi
tubuhnya terlalu berat untuk dibawa-bawa. Sebab itulah dia me-
nyetir kendaraan kantor, keluar dari gedung tua namun megah,
lalu membelok melewati jalanan tanah. Tanpa tergesa. Dalam

123
ingatannya dia masih sempat mengulangi kesedapan yang segar
serta muda dari badan pasangannya beberapa saat yang lewat.
Pertama kali dia melihat gadis itu ialah dalam perjalanan ke
Battambang, berkeliling memeriksa kumpulan candi lain. Ber-
henti minum di sebuah warung, dia tertarik oleh ketinggiannya
yang lampai. Lebih-lebih garis betis kaki memanjang, tergambar
di balik lipatan sarung hitam. Begitu saja dia rasakan rangsangan
kuat yang menggelapkan pandang.
Lalu dia berbicara kepada gadis itu. Tidak sukar. Orang asing
seperti dia tidak lagi dianggap asing oleh penduduk pribumi.
Yang menjadi keinginannya merupakan perintah. Sebentar ber-
bicara, malam itu juga gadis itu langsung dia bawa ke Battam-
bang. Lalu keperawanan gadis yang siang tadi dia lihat, malam
itu telah dia miliki.
Dua kali perjalanan, pada ketiga kalinya dia mengambil kepu-
tusan. Sesampai kembali di tempat kediamannya, dia membekali
pengatur rumah tangga yang hingga saat itu mengikutinya
dengan sejumlah uang. Beberapa hari kemudian, datanglah keka-
sihnya yang baru.
Itu adalah hidup yang mudah dan nyaman! Seperti ini tidak
akan dia miliki seandainya dia pulang serta menetap di negeri
asalnya. Orang-orang di sana hidup dengan cara tergesa. Masing-
masing berkepribadian kuat dan keras kepala. Segalanya mema-
kan biaya besar. Mengenai perempuan, tidak ada yang sepatuh
wanita negeri itu. Apabila tiba masa kebosanan, dia bisa berganti
tanpa soal tanpa kesulitan.
Ya, pada hakikatnya dia puas hidup begini. Selama negeri
tuan rumah penuh dengan orang bodoh dalam lapangan pengeta-
huan bangunan kuno, selama itulah dia dapat mempertahankan
kedudukannya. Sebab itulah dia berbuat sekuat tenaga untuk
mencegah berhasilnya orang-orang muda pribumi mencapai
ijazah ilmu bangunan tersebut. Banyak orang di perguruan tinggi
di Paris yang menjadi sekutunya.
Pengalaman yang dia peroleh dari sebuah negeri tetangga tidak
dia lupakan. Itu juga disebabkan karena negara tersebut memiliki

124
anak-anak negeri yang ahli dalam lapangannya. Ketika pada suatu
kali, disebabkan oleh suatu hal, dia diperbantukan oleh pemerintah
negeri tuan rumah ke negeri tetangga, terjadilah bentrokan beberapa
kali dengan ahli-ahli di sana. Karena para ahli itu tidak membiarkan
dia bekerja secara sembrono dan semaunya.
Negara tetangga itu ternyata lebih pintar daripada yang dia
sangka semula. Tanpa suara dia mengundurkan diri setelah me-
nerima surat dari kepala ahli bangunan kuno negeri itu. Isi surat
mengatakan, mereka tidak memerlukan kehadiran maupun per-
tolongannya. Dengan kemarahan yang tertahan di hati, dia
pulang ke kelompok candi yang menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai pembalasan dendam, dia menyebarkan cerita fitnah dan
komentar mengenai candi-candi tetangga yang dibangun kembali
berdasarkan cara-cara yang salah.
Dia hentikan kendaraan tepat di depan tangga candi sambil
membalas salam beberapa orang yang dia kenal dengan anggukan
kepala. Setelah berkeliling sebentar agar kelihatan sedikit sibuk, ia
mendekati pegawai-pegawainya. Mereka sedang membuka pem-
bungkus singa semen. Seorang bawahannya memberikan surat-surat
yang tiba pagi itu di kotak pos perguruan tinggi yang dia wakili.
Sambil menunggu, dia sobek beberapa sampul untuk mengetahui
isinya. Satu di antaranya bertuliskan tangan. Dia baca nama si
pengirim. Dia teringat, kepala sekolah pernah mengabarkan
mengenai si pengirim sampul tersebut. Penuh perhatian dia membaca
lembaran kertas tipis di tangannya. Bersama keluarganya, si penulis
surat ingin mengunjungi negeri yang terkenal penuh candi itu. Surat
tersebut berisi bermacam-macam pertanyaan serta permintaan
keterangan mengenai hal-hal praktis: kendaraan, hotel yang tidak
terlalu mahal, termasuk pula kemungkinan mendapatkan seorang
pembantu perempuan sebagai pamong anak berumur setahun.
Karena dia bersama keluarganya ingin tinggal sebulan lamanya.
Dia mengerutkan kening. Tidak pernah dia menyukai
pelancong yang terlalu bersungguh-sungguh, mengerti terlalu
banyak mengenai batu-batu kuno maupun yang membuat foto
terlalu baik. Kalau dia tidak keliru, kepala perguruannya telah

125
menyebutkan bahwa si pengirim surat itu termasuk orang serius
dan mengenal bangunan-bangunan kuno.
Sambil meneliti lembaran surat sepintas lalu, dia mulai me-
ngarang jawaban. Akan dia katakan kesukarannya untuk mene-
mukan pengasuh di negeri itu, supaya si pelancong membatalkan
kunjungannya. Akan ditambahkan bahwa tugasnya di negeri
tersebut sebagai ahli bangunan kuno. Bukan sebagai agen pari-
wisata yang dapat memberikan berbagai keterangan.
Seseorang memberitahukan bahwa singa dari semen telah
dikeluarkan dari bungkusan. Segalanya siap untuk penempatan-
nya. Dengan gerobak rendah, kuli-kuli mengangkut singa itu
menuruti jalan sampai ke pinggir tangga gerbang. Kelihatannya
berat; kereta itu bergoyang, kadang ke kiri kadang ke kanan,
diiringi suara gaduh para kuli.
Dia mengikuti dari belakang. Sampai di dekat tangga, pe-
gawai-pegawai bawahannya menurunkan singa ke tanah, kemu-
dian mengusungnya ke tingkat teras, berseberangan dengan singa
lain, yang terletak di sana sejak berabad-abad lamanya.
Perlahan dan hati-hati, para kuli mengangkat singa semen
ke atas batu alas sebagai tempat duduk.
Pada waktu itulah orang baru melihat bahwa singa dari semen
itu menolehkan kepalanya ke arah luar, berarti memunggungi
pasangannya! Dengan perkataan lain, merupakan tiruan tepat dari
singa yang telah ada di seberangnya. Padahal yang diperlukan adalah
singa yang menoleh ke arah dalam, tempat pengunjung candi
berduyunan masuk ke pintu teras. Dengan demikian kedua singa
itu seharusnya saling berhadapan, memandang satu jurusan!
Untuk beberapa waktu, tidak ada yang berani mengucapkan
kata-kata meskipun menyadari kesalahan tersebut. Para kuli
saling berbisik, pegawai bawahan mengelus kepala singa, seolah-
olah dengan sentuhan, binatang semen akan berbalik meno-
lehkan tengkuk ke arah lain. Masing-masing mencari kesibukan
untuk menghindarkan pertanyaan penanggung jawab candi yang
tertuju kepada mereka.
Tuan penanggung jawab candi bergerak ke belakang. Meman-

126
dang sebentar kepada dua singa yang saling memunggungi. Maju
lagi menyentuh kepala singa semen, lalu undur selangkah. Dia
memegang dagunya seolah berpikir keras. Lalu sekali lagi melihat
ke kedua singa yang saling membelakangi. Kemudian mengusap-
kan lengan pada dahi yang jelas bertitikkan keringat karena
panas matahari dan kekesalan hati.
Tiba-tiba dia memberi perintah. Seseorang datang membawa
palu besi. Setelah menerimanya, ia mendekati singa dari semen.
Dengan sekali pukul, dia menghajar singa baru itu. Debu keluar
dari kuping yang hancur mengepul. Dia minta pensil dari
pegawainya. Ditandainya keliling leher singa tersebut, melingkar
bagaikan kalung. Lalu dia memberi perintah supaya kepala singa
itu dihancurkan hingga ke leher sesuai dengan tanda yang dia buat.
Serentak orang beramai-ramai melaksanakan perintah.
Masing-masing pegawai dan kuli bersenjatakan batu atau
alat lain memukul keras kepala singa yang malang. Sebentar
kemudian, dari dalam semen muncullah juluran besi yang diper-
gunakan pematung sebagai rangka penegak. Itu pun dihantam,
dilengkungkan mengarah ke bawah serendah mungkin.
Kerja selesai, tuan penanggung jawab candi menapakkan kaki
lagi ke belakang untuk mengamati hasil jerih payah pegawainya.
Dari jauh kelihatan sempurna. Singa semen seolah-olah terletak
di sana sejak berabad lamanya, dengan kepala yang hilang entah
mengapa. Sedangkan singa pasangannya melihat keheranan.
Tentu saja jika diteliti dari dekat, orang-orang pandai dapat
menemukan garis leher singa baru itu yang menengok ke luar.
Tetapi itu tidak mengapa. Tidak akan banyak pelancong pandai
pergi ke sana. Kalaupun ada, biasanya mereka langsung melihat
dinding berukir di dalam candi, tidak akan memperhatikan
singa-singa maupun hiasan di pintu gerbang.
Dengan kedua tangan di dalam saku, penanggung jawab candi
mulai memerintahkan pembersihan sisa-sisa yang dihancurkan.
Dia layangkan pandangnya lagi ke arah singa yang baru.
Sekali lagi dia puas dengan kehidupan yang dia miliki. Perla-
han dia menuruni tangga, menuju kendaraannya.

127
Kebahagiaan

Hari itu Danau Leman menemukan wajah biasanya di hari


akhir musim panas. Rantai Alpen jelas dengan puncak-puncak
tajam bertaburan warna putih berkilat. Burung-burung camar
datang dari pulau kecil di tengah danau. Mereka mencari sisa-
sisa makanan yang dilemparkan ke air oleh para pengunjung
baik hati. Istana tua dengan dindingnya yang keemasan oleh
sinar matahari itu pun tetap berwujud segi tiga, digarisi oleh
jalan sempit dari batu-batu keras.
Aku tetap duduk di belakang setir sambil sekali-sekali melihat
tamasya, hangat dan cerah. Rokok yang keempat kunyalakan.
Aku masih belum bisa menemukan kepastian apa yang mesti
kuperbuat untuk menghabiskan waktuku sore itu.
Aku berusaha mengingat, menjalin serta merangkai kembali
hal-hal yang selama ini menyela dalam rumah tanggaku. Mung-
kin itu hanya merupakan kejadian kecil, yang remeh. Tetapi
kini keingintahuanku sebagai perempuan menguasai kecembu-
ruanku.
Sekali lagi aku mengulang dari awal, mencari kepincangan
kecil yang mungkin menjadikan dasar kenyataan sekarang. Per-
kawinan kami sudah berumur lima belas tahun. Anne lahir, di-
susul Marie Claude, kemudian Jean-Raoul yang mengakhiri
urutan keluarga kecil kami, dan menggunakan nama sama
dengan suamiku. Selama ini kukira kami hidup dalam

128
ketenteraman yang wajar di lingkungan suami istri, yang
berusaha untuk saling mengerti. Di sana-sini terseling beberapa
pertentangan. Dua hati berjalan bersama tidak selalu memiliki
pendapat sejajar. Dan dalam hal ini, suamiku selalu memperlihat-
kan kebaikannya, pengertiannya. Selalu.
Ah, tetapi justru karena itu maka kini aku semakin membuka
mataku lebih lebar. Aku bukan orang yang berwatak selalu ingin
tahu. Tapi ketika suatu kali, secara kebetulan aku melihat secarik
kertas berisi tulisan kecil-kecil yang ditandai nama perempuan
bukan kenalan kami, aku mulai mencium bau aneh dalam ling-
kungan keluargaku.
Selama kira-kira dua bulan, suamiku sering keluar untuk
makan malam. Katanya urusan perusahaan, diundang oleh
kenalan guna membicarakan pengiriman sesuatu barang. Atau
mengantarkan tamu dari luar negeri. Sebelumnya, aku selalu
menyertainya pada kesempatan-kesempatan semacam itu.
Aku tidak bertanya. Aku menerima sebagaimana adanya.
Atau jika aku mempunyai maksud menggodanya, aku bertanya,
“Undangan untuk Tuan saja?”
Dia menjawab setengah bersungut,
“Ini urusan pabrik. Kesulitan pekerjaan tidak dibicarakan
di depan istri.”
Alangkah baiknya mereka, pikirku waktu itu. Mereka mem-
beri kehidupan yang sebaik-baiknya kepada para istri, tidak mau
menyelipkan kekhawatiran dalam hati mereka.
Tetapi semua itu hanyut dalam pemikiran yang mengerikan
ketika pada suatu siang aku mengeluarkan semua pakaian musim
dingin suamiku untuk menyikatnya sepasang demi sepasang.
“Kekasih, tempat sudah dipesan. Pasangan Peseux tidak jadi
datang. Kita hanya berdua, tête à tête. Sampai Sabtu malam.
Sabine.”
Apakah yang diperbuat oleh seorang istri yang merasa
kebahagiaannya sedang bersiap-siap meluncur lepas dari jari-
jari tangannya?
Dua hari aku mengatur dan merancang bagaimana mestinya

129
aku bertanya kepada suamiku mengenai secarik kertas tersebut.
Tapi aku harus mengetahuinya. Aku istrinya dan aku berhak
mengetahui nasibku, kalau itu memang merupakan nasib.
Dia melihat sebentar kertas itu. Keningnya berkerut. Ke-
mudian melihat ke atas seperti mengingat sesuatu dengan susah-
payah.
“Ah,” akhirnya dia berkata, suaranya puas, “ini pesan dari
istri kawan sekerja untuk suaminya.”
“Pesan? Tapi mengapa kau menyimpannya dalam saku jas?
Betul-betul aku tidak mengerti.”
“Aku meneleponnya dan membacakan surat kecil itu un-
tuknya, lalu,” suaranya berubah jengkel, dan terputus-putus,
“lalu tanpa kusadari aku memasukkannya ke dalam saku.”
Kami berpandangan. Tapi hanya sebentar. Dia mengelak,
menyambung,
“Lagi pula mengapa kau begitu ingin tahu? Kau menemukan
kertas yang sudah kumal, sebaiknya kau melemparkannya ke
dalam keranjang. Kau tidak perlu menggelarnya untuk menge-
tahui isinya.”
Ya, mengapa aku ingin melicinkannya dan membacanya?
Aku hanya ingin tahu kalau-kalau itu secarik kertas berharga
yang seharusnya tersimpan di dalam berkas map suamiku. Aku
hendak mengatakannya, tetapi sejenak kuputuskan diam. Aku
memang diam, namun menyimpan berbagai pikiran yang mem-
buruku.
Suatu malam sewaktu makan, Marie Claude berkata, “Siang
tadi aku melihat Papa.”
“Hm, hm,” sahut suamiku tampak tanpa perhatian, dan sam-
bungnya, “di mana?”
“Di kafe,” jawab anakku.
Suamiku berhenti makan, tertegak memandangnya.
“Ya, di kafe. Aku melihat Papa dari bus. Kelas kami mengun-
jungi museum siang tadi. Kulihat Papa dengan seorang wanita.
Aku memanggil-manggil, tapi Papa tak mendengar.” Segera udara
yang beku dan berat bergabung di atas meja makan. Suamiku

130
terpaku memandangi Claude, lalu melirik gugup ke arahku. Ke-
mudian meneruskan menyuap butir-butir kentang dengan
tergesa.
“Kau pasti itu Papa?” aku turut bersuara.
“Tapi Mama, aku melihat dengan jelas! Dan aku mengenal
Papa dengan baik bukan?”
Tidak tahu apa yang mesti kukatakan, aku menoleh kepada
suamiku.
“Tentunya pada waktu makan siang.”
“Tepat. Aku mengajak Nyonya Bosch, juru tulis yang kau-
kenal itu makan beberapa potong roti,” dia menjawab tanpa
melihat kepadaku.
Cerita itu kubiarkan berlalu. Selama beberapa hari dia keli-
hatan penuh sayang kepada anak-anak, membawaku ke bioskop,
dan tinggal di rumah pada hari-hari libur. Sekali dua kali dia
tidak makan di rumah. Tapi dia pulang tidak terlalu malam
dengan alasan bahwa tamunya kurang menarik, bahwa keesokan
harinya banyak pekerjaan di pabrik.
Seharusnya aku menerima keadaan itu dengan lega. Tetapi
tidak. Aku bahkan semakin berhati-hati menafsirkan perubahan
itu. Atau mungkin aku melihat ada sikap suamiku yang tidak
wajar. Terlalu sering bertanya keadaanku atau keadaan anak-
anak di saat dia pulang dari kerja.
Suatu malam Minggu dia ke luar kota, beberapa puluh kilo-
meter dari tempat tinggal kami. Katanya untuk meninjau pen-
dirian pabrik baru.
Senin sore sebelum makan aku menolong Anne menggarap
pekerjaan sekolahnya. Waktu aku berdiri hendak turun ke dapur,
Anne berkata,
“Mama, kawanku berkata, ibunya melihat Papa di Rolle
kemarin.”
Aku berhenti di pintu memandang kepadanya. Tenang ku-
coba menanggapi,
“Papa memang ke luar kota sejak Sabtu.”
“Tapi Papa berkata ke Zurich, bukan?”

131
Kami berpandangan dengan anehnya. Di mata Anne kulihat
satu bahasa yang tidak kumengerti. Satu kekhawatiran? Atau
satu perasaan kasihan mungkin. Kasihan kepadaku? Atau kepada
dirinya? Kepada adik-adiknya? Dengan umurnya yang segera
mencapai empat belas tahun, dia mulai melihat sinar yang
sebenarnya dalam kehidupan keluarga kami.
“Kalau sudah selesai mengatur buku-bukumu, datanglah
menolong mengatur meja dengan Jean-Raoul,” kataku kepa-
danya, “dan kalau Papa datang, tidak perlu memberitahukan
kepadanya tentang cerita kawanmu. Dia terlalu lelah.” Jadi, dia
pergi ke Rolle, kataku dalam hati sambil menuruni tangga. Tapi
aku tidak mau dikuasai oleh bayangan-bayangan yang menya-
kitkan hati. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya. Dan aku
ingin melihat sendiri. Jika memang ada kebenaran itu.
Sepuluh hari kemudian, datanglah liburan musim panen ang-
gur bagi anak-anak. Seperti biasanya, mereka pergi ke desa ke
tempat bibiku. Aku mengantarkan dan ingin tinggal beberapa
hari menghirup udara dusun.
“Kalau bisa, aku ingin membawa mobil,” kataku kepada su-
amiku.
“Tentu saja, sayang. Jadi, kau bisa membawa anak-anak ber-
tamasya ke tepi danau atau ke bukit bila udara baik.”
“Kau bagaimana?”
“Ah, jangan khawatir mengenai diriku. Aku bisa pinjam mobil
dari pabrik atau ambil taksi.”
Dalam kalimat itu aku merasa ada nada kegembiraan.
Aku tinggal selama tiga hari di tempat bibiku. Pada waktu
kembali ke kota, aku mampir ke salon rambut. Sekeluar dari
sana aku menelepon suamiku di kantor. Sekretarisnya menerima
teleponku.
“Harap disambung dengan tuan Roth.”
“Nama Nyonya?”
“Nyonya Roth,” jawabku, “apakah suami saya ada, Nyonya
Bosch?”
“Selamat siang, Nyonya. Tuan baru saja keluar, katanya akan

132
mengambil sesuatu di rumah.”
Aku berpikir sebentar.
“Nyonya Roth?” suara juru tulis memanggilku.
“Ya, baik, terima kasih. Saya akan menelepon ke rumah saja.”
“Nyonya di mana sekarang?”
“Di salon rambut. Baik, Nyonya Bosch. Terima kasih.”
Aku tidak menelepon ke rumah. Aku mengemudikan mobil
tanpa tujuan.
Aku tidak ingin pulang. Hari terang. Udara yang baik akan
segera berakhir diusir angin dan hujan musim gugur. Dan selama
ada matahari, orang-orang berbondong keluar untuk menikmati
sinar yang tidak hadir setiap hari di dunia sebelah utara ini.
Perempuan-perempuan menyorong kereta bayi dan anak-
anak berjalan mengisap cuaca di luar kesempitan rumah mereka.
Trotoar penuh para pejalan kaki. Kafe-kafe juga berlimpah hingga
ke teras.
Dari perempatan ke perempatan lain, tiba-tiba aku mene-
mukan diriku di depan kantor suamiku. Aku berhenti, masuk
ke gedung, langsung menuju ke tingkat dua. Tidak ada orang.
Hanya tukang sapu yang mengatakan bahwa orang-orang telah
berangkat makan siang, bahwa aku kini semakin langsing dan
segar, bahwa anak-anak lelakinya akan segera mencapai ting-
katan yang lebih tinggi dari dirinya, dan lain-lain lagi.
Aku masuk ke dalam ruangan. Kulihat surat-surat yang ter-
timbun di atas mejanya. Tiba-tiba telepon berdering. Sebentar
aku terperanjat. Kubiarkan beberapa detik, kemudian memu-
tuskan cepat, kuambil telepon itu.
Aku lebih dulu mendengarkan.
“Halo, Raoul?”
“Perusahaan AL,” kataku berdebar.
“Oh, apakah tuan Roth sudah datang?” suaranya jelas dan
dekat.
“Dia keluar makan. Siapa yang berbicara?”
“Dia sudah pergi? Baik, terima kasih,” tanpa menunggu dia
memutuskan hubungan.

133
Suara perempuan. Lembut dan penuh belaian memanggil
nama suamiku. Ia tidak mau memberikan namanya. Dia me-
nunggu suamiku di suatu tempat.
Ah, kalau saja aku bisa menghapuskan itu dari hatiku. Tapi
mengapa? Tidakkah aku mempunyai hak untuk menentukan
kebahagiaanku? Mataku selintas terpaku pada sebuah buku
catatan kecil, tergeletak di lantai seperti barang yang tak ber-
harga. Perlahan aku mengambilnya dan mulai membukanya se-
lembar demi selembar. Buku alamat dan telepon suamiku. Aku
tidak pernah mengetahui bahwa dia menyimpan catatan sema-
cam itu selain buku telepon yang kami miliki bersama di rumah.
Seperti gerakan yang pasti aku mencari huruf S. Jalan Jen-
deral Anu Nomor 14, Sabine Roth? Dia senama dengan suami-
ku! Keluarga? Dia tak pernah mengatakan sesuatu pun mengenai
hal itu selain ibunya yang meninggal dua tahun lalu serta
kakaknya yang kini di Amerika. Aku tidak sempat membongkar
ingatanku.
Aku menuruni tangga serta menggumamkan sesuatu untuk
memuaskan hati perempuan pekerja yang sedang membersihkan
kantor.
Sore itu pertemuanku dengan suamiku amat sederhana.
Sebagai tatacara dia menciumku dan menanyakan kabar bibiku
serta anak-anak di dusun. Aku menceritakan semua yang kami
kerjakan bersama ketiga anak, panen anggur yang sudah dimulai
sehari sebelum libur, dan kegembiraan kami sebagai pendatang
dari kota. Aku menceritakan semua itu tidak sebagai basa-basi,
tetapi sebagaimana mestinya seseorang bercerita untuk menarik
kembali perhatian orang yang dicintai, dan yang sedang dira-
gukan apakah orang itu juga mencintainya.
Lima belas tahun perkawinan. Selama itu aku tidak pernah
meragukan kesetiaan laki-laki yang telah mengambil sumpah
di depan altar gereja untuk menjadi suamiku sampai akhir kehi-
dupannya. Kini aku merasa bahwa akhir kehidupan itu masih
panjang, tetapi kebahagiaanku dan kebahagiaan anak-anakku
terasa menggeser jauh sehari demi sehari.

134
Malam itu, selesai makan kami duduk di ruang tamu seperti
biasanya, mendengarkan musik sambil membaca. Sekali-sekali
aku bersiap hendak berbicara kepadanya. Tetapi aku tidak
sampai hati merobohkan ketenangan kami berdua di malam
yang sejuk itu, seperti malam-malam lain sebelum aku menyadari
perubahan tingkah laku suamiku. Dia ramah, kelihatan bahagia
oleh sesuatu yang tidak kuketahui namun kucurigai bentuk keju-
jurannya.
Keesokan pagi aku mengantarnya ke pabrik, karena aku me-
merlukan mobil untuk berbelanja ke tempat lain. Seperti biasa,
dia berterima kasih sebelum turun, dan menyambung,
“Aku tidak pulang makan siang.”
“Ada janji?” tanyaku.
“Tidak. Aku mau makan roti di kantin pabrik saja, lebih
cepat.”
“Tapi kau pulang makan malam?”
“Tentu, sayang.”
Perasaanku berkata bahwa dia sekali lagi memalingkan hati-
nya dariku. Sekali ini kecemburuanku mendesak-desak hendak
membuntutinya, melihatnya dari jarak tertentu. Mungkin akan
menyaksikan mereka berdua, dia bersama perempuan yang
begitu sering dilihat oleh anakku dan temannya.
Tapi aku tidak melakukan itu. Dengan tenang, aku berbelanja
untuk persediaan makanan. Ketika pulang, aku berkeliling jauh
ke pinggir kota, dan akhirnya berlabuh di jalan yang bersih,
hampir tidak ada yang lewat. Beberapa mobil berhenti di sudut.
Aku berhenti tidak jauh dari rumah nomor empat belas.
Sebuah gedung tua bertingkat empat. Aku masuk, melihat pa-
pan-papan nama dan kotak surat masing-masing. Tidak kute-
mukan nama yang kucari. Kulihat penjaga gedung yang sedang
membersihkan tangga.
“Nyonya bukan penghuni di ini. “suaranya menentukan,
dia mengawasiku.
“Saya mencari Nona Roth.”
Dia mengerutkan keningnya yang cokelat lebat.

135
“Tidak kenal,” katanya sambil menegakkan diri.
Tangan satu terpancang pada pinggul yang menonjol berat
ke kanan oleh kerja keras, sedang sebelahnya tergantung di
samping memegang kain kumal oleh minyak lantai.
“Oh, tunggu,” sambungnya kemudian, “wanita yang
berambut perak. Di sana, tingkat tiga di tempat Nona Batzli.
Oh, dia cuma menumpang beberapa bulan di sana. Suaminya
meninggal. Dia sedang mencari tempat yang cocok. Keduanya
sama saja, nona-nona itu. Tidak pernah pulang malam. Pagi-
pagi pukul empat atau lima baru tampak dan jalannya setengah
mabok. Kalau Anda mau ketemu dia, memang ini waktu yang
paling baik. Hanya mungkin Anda sedikit terlalu pagi. Dia ba-
ngun jam setengah dua belas.”
Perempuan yang cerewet. Dari dia aku hampir mengetahui
riwayat hidupnya! Jadi, dia berambut putih perak. Cantik?
Menarik? Ketika kutekan lonceng pintu, aku tidak mendapat
jawaban. Kuulangi menekan lagi lebih panjang. “Ya, ya, segera
datang! Oh, begini pagi mau apa dia.” Kudengar gerutu yang
mendekat. Lalu bunyi kunci. Pintu dibuka hanya cukup untuk
melongokkan kepala. “Ya?”
Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Lorong dalam rumah
tempatku berdiri itu tidak ditembus sinar dari atap. Kulihat
kepalanya terbungkus jaring rambut dan cepitan-cepitan penge-
riting.
“Saya ingin bertemu dengan Nona Roth. Sabine Roth.”
“Oh, masuk.”
Dia membukakan daun pintu selebar-lebarnya. Aku masuk,
menunggu. Dia menutup pintu dan menyilakan duduk. Ku-
dengar suara air dari kamar lain. Sambil berusaha mengatur
letak barang-barang di atas meja dan sandaran kursi, dia berkata
keras,
“Sabine! Tamu buat kau.”
“Siapa?” suara tinggi keluar dari kamar, tapi tidak bisa dipas-
tikan keramahannya.
“Seorang nyonya. Seorang nyonya yang berpakaian amat

136
rapi,” jawabnya berteriak sambil sekali lagi mengamatiku dari
rambut sampai kaki.
“Cepat! Aku mau meneruskan tidurku!”
Dia menghilang di balik salah satu pintu sambil menyeret
kaus-kaus kaki serta tas wanita yang semula terletak di kursi
panjang.
Dua menit, tiga menit aku menunggu. Ruang tempatku
duduk amat silau oleh sinar jendela yang menganga di sebelah
selatan gedung. Selintas aku melihat jelas bahwa ruangan itu
tidak sering diatur atau dibersihkan semestinya.
Tiba-tiba sepi. Air yang tercurah di ruang lain sudah berhenti
entah berapa lama. Kulihat seseorang keluar dari pintu sebelah
kiri. Dia langsung duduk di depanku sambil mengamatiku.
“Nyonya?”
“Anneli Roth,” jawabku.
Aku tidak meng ulurkan tangan, ganti memandang
kepadanya tanpa rasa segan setitik pun.
“Oh,” kudengar teriakan kecil yang terluncur dari mulutnya.
Dia semakin mengamatiku. Pada wajahnya aku tidak melihat
perubahan ekspresi yang mengesankan. Aku terpaksa berpikir
bahwa perempuan itu berkepala dingin. Dia sanggup menyimpan
perasaannya dalam-dalam.
“Nyonya akan berkencan dengan suami saya siang ini,
bukan?” tanyaku.
Aku keheranan oleh kebiasaan suaraku. Dan aku memang-
gilnya “nyonya”, seorang perempuan yang belum kukenal, tapi
yang tidak lagi kelihatan berumur belasan tahun.
Dia tidak menjawab. Matanya yang tetap menikamku itu
tiba-tiba meluap oleh kebencian, dengki bercampur ketakukan.
Ya, ketakutanlah yang lebih tercermin padanya.
“Nyonya takut,” tuduhku tanpa bisa menahan kegembiraan
dalam suaraku.
“Jadi akhirnya Nyonya mengetahui,” perlahan seperti tanpa
harapan dia berkata, “ya, saya takut. Saya takut kebahagiaan
yang memeluk diri saya selama tujuh tahun ini hancur. Ya,

137
memang saya takut.”
“Selama itukah pergaulan Nyonya dengan suami saya?”
sekali lagi aku keheranan atas nada suaraku yang lancar dan
pasti, “tadinya saya kira, Nyonya masih bersaudara dengan dia.”
“Kami saudara sepupu. Tidak ada salahnya kami bercintaan.
Dia kawin dengan Anda, saya bersuami tapi kami saling men-
cintai,” nada suaranya menurun, “dia mencintai saya. Dia ber-
buat apa pun untuk saya. Buktinya Anda tak mengetahui sedikit
pun mengenai diri saya selama ini.”
Aku merasa kupingku memanas. Dadaku seperti menciut
oleh kengerian hatiku ketika mendengarnya. Suamiku mencin-
tainya. Mencintai perempuan lain.
Kuamati perempuan di depanku itu dengan rasa iri. Tubuh-
nya terselip di balik gaun kamar berkembang biru. Rambutnya
yang seperti perak lurus, terikat oleh sepotong pita dengan pan-
tasnya. Wajahnya menarik oleh pengucapannya yang tajam. Dia
lebih muda dariku. Aku mengerti mengapa suamiku mencintai-
nya. Tapi pengertian itu menambah sakit hatiku.
“Nyonya hanya memikirkan diri sendiri. Nyonya tidak me-
mikirkan anak-anak kami,” kataku.
Dia menengadahkan kepala, lalu tertawa seperti hendak
melemparkan kegeliannya pada sandaran kursi.
“Oh, Nyonya terlalu membesar-besarkan. Kami selalu ber-
hati-hati menentukan pertemuan kami.”
“Tidak akhir-akhir ini! Anak saya Claude melihat Nyonya
bersama suami saya.”
Ketawanya terhenti, matanya menentangku. Aku cepat
meneruskan,
“Kalian berdua memasabodohkan perasaan anak-anak yang
mulai remaja dan berpikir secara wajar. Mengapa kalian tidak ber-
sembunyi seperti pada waktu yang lalu hingga tak seorang pun di
antara kami menyadari kehadiran Anda di dunia ini? Kalau Nyonya
mempunyai anak-anak seperti saya, Nyonya baru akan mengetahui
perasaan saya,” nada suaraku tiba-tiba penuh emosi.
Aku menatap kedua matanya dengan kegeraman yang tak

138
bisa kutahan.
Sejenak sepi. Dia mengalihkan pandangnya. Kemudian,
sambil menarik napas dia berkata seperti kepada dirinya sendiri,
“Anak! Setelah keguguran tiga kali, tak ada harapan bagi
saya untuk memilikinya.”
Sebentar suaranya terhenti seperti dihalangi oleh keraguan
yang tiba-tiba, lalu sambungnya,
“Sejak kecil saya mengaguminya. Ketika mendengar dia
kawin, saya amat kecewa. Sekeluar dari sekolah, saya bekerja di
tempat sejauh mungkin. Kemudian saya bertemu dengan Roger,
suami saya. Lalu kami berangkat ke Italia. Pada suatu liburan
saya pulang ke Swiss, dan secara kebetulan bertemu dengan
Raoul.”
Sekali lagi dia berhenti. Matanya menghadapku dengan
pandang yang bermimpi.
“Sejak itu saya menemukan kembali cinta yang lama ter-
pendam. Dan sejak itu pula saya mempergunakan segala waktu
dan kesempatan berlibur untuk menemuinya. Dia menceritakan
keadaan Anda dan anak-anak sebagaimana mestinya. Tapi saya
tidak peduli. Saya hanya mempedulikan kami berdua, bahagia
bersama-sama.”
Mulutnya yang pucat tipis gemetar oleh kepadatan pera-
saannya.
Jadi, selama itulah mereka telah bergaul bersama. Jadi, selama
itulah suamiku menipu aku dan anak-anakku, dengan alasan
kerja dan perjalanan kelilingnya pada musim panas dan keluar
kota pada hari libur Paskah.
Laki-laki yang malang. Anak-anak yang malang. Dan seka-
rang akhirnya aku yang malang. Selama ini kami hidup dalam
suatu panggung sandiwara yang diatur oleh dua kekasih.
Berbagai perasaan bergumul dalam diriku. Dendam, keben-
cian, dan terutama kesakitan yang tak terkirakan karena selama
ini aku dilecehkan oleh laki-laki yang kuberi seluruh perhatianku.
Aku selalu berusaha menyediakan makanan yang dia sukai. Aku
mengatur rumah bertingkat dua dengan tenaga sendiri setiap

139
hari agar di saat pulang dari kerja, mata suami yang lelah dapat
melihat kerapian yang segar.
Ataukah aku tidak bisa memuaskan dia dalam hal yang lain?
Rambutku cokelat tua, bukan perak berkilat seperti perem-
puan itu. Wajahku lebih condong pada melankoli dibandingkan
dengan pengucapan wajah wanita itu. Kalaupun dia hendak meng-
isap tubuh perempuan lain, aku tidak hendak melepaskan hati-
nya. Dia milikku. Hatinya termasuk milikku yang disahkan gereja.
Aku tidak mempedulikan kenikmatan badan yang dia cari.
Tapi kini kuketahui, dia telah memberikan hatinya kepada
perempuan itu. Dia sepupunya. Kini aku melihat jelas kehidupan
yang didasari oleh segala alasan palsu.
Aku bangkit akan menuju pintu. Kurasa tidak perlu mem-
perpanjang kehadiran di tempat yang tak menghendaki diriku.
“Sekarang apa yang akan Anda perbuat?”
Pertanyaan itu mengejutkanku. Aku sendiri belum memikir-
kannya di saat itu. Dia telah mengingatkan satu tugas penting.
“Nyonya akan mengatakan semua ini kepada Raoul dan ke-
mudian minta cerai?”
Aku menatapnya. Sebentar aku berpikir.
“Itu nasihat Nyonya?” tanyaku.
“Eh, itu hal yang biasa,” katanya setengah terputus-putus,
“seorang istri yang mengetahui suaminya tidak mencintainya,
akhirnya tentu meminta cerai.”
Jalan keluar yang gampang. Keputusan yang biasa!
“Dan sesudah itu?” aku tetap berdiri.
“Eh, sesudah itu tentu saja Nyonya bebas, Raoul bebas. Dan
masing-masing bisa berbuat sekehendak hatinya.”
Aku tiba-tiba melihat sinar yang memancar di sudut hatiku.
“Nyonya juga bebas sekarang,” kataku.
Agak ragu-ragu dia berkata,
“Suami saya meninggal empat bulan yang lalu.”
“Kalau Raoul bebas, dia akan mengawini Anda?”
“Kami tidak pernah berpikir sampai perkawinan. Tetapi kini
setelah suami saya meninggal, dan kalau Nyonya bercerai ....”

140
“Perempuan yang malang,” kataku, suaraku pasti memutus-
kan bicaranya.
Dia tertegak, mengerutkan kening.
“Nyonya memikirkannya terlalu baik, terlalu lurus,” aku ter-
senyum pahit, “saya tidak akan minta cerai. Kalaupun Raoul
yang memintanya, saya mempunyai hak menolaknya karena
usia anak-anak. Dan kami masing-masing akan meneruskan ke-
hidupan ini. Dia tidak akan mengawini Nyonya.”
Aku cepat membuka pintu, meninggalkan rumah yang penuh
debu itu.

Raoul tidak akan mengawininya, hatiku berkata sekali lagi.


Aku tidak pulang ke rumah, tapi harus terus menjalankan
mobilku dengan pikiran pasti dan terang. Aku ingin melihat
suatu tempat yang lapang, untuk menenangkan pergolakan yang
mendidih di dalam diriku.
Di tepi danau cerah hijau ini aku menemukan kedamaian.
Nyaris aku tidak bisa mempercayai kejadian siang itu. Seolah-
olah bangun di tengah malam oleh mimpi yang menakutkan.
Lonceng gereja kecil di seberang jalan berdentang mengi-
rimkan lagu lembut ke tepi di mana aku merenung.
Kulihat jam tanganku. Tiba-tiba aku merasa lapar. Aku telah
melewati lebih dari lima jam tanpa sepotong roti pun.
Lalu aku mulai memanaskan mesin, hendak mencari rumah
makan terdekat.
Sesudah itu, aku ingin pergi ke bioskop, kemudian kembali
ke dusun menjumpai anak-anakku. Aku ingin merengkuh kem-
bali kebahagiaanku tanpa suamiku, tanpa seorang pun yang tidak
memperhatikan diriku.
Untuk pertama kalinya dalam lima belas tahun, aku mema-
sabodohkan apa yang akan dimakan malam itu oleh suamiku.

Versailles, 1962

141
Biografi Singkat

Nh. Dini dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936. Berpendidikan


SMA Bagian Sastra (1956), Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta
(1956), dan Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960
ia bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan
seorang diplomat Prancis, berturut-turut ia bermukim di Jepang,
Prancis, dan Amerika Serikat. Sejak Tahun 1980, ia kembali ke In-
donesia, dan kini menetap di Semarang.
Ia mulai menulis sejak tahun 1951. Karya-karyanya antara
lain: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal
(1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko
(1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang
Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981),
Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Bersen (1982),
Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-Orang Tran (1985),
Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun
(1993), Panggilan Dharma Seorang Bhikku (1997), Tanah Baru, Tanah
Air Kedua (1997), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2002),
Monumen (2002), Istri Konsul (2003), dan Dari Parangakik ke Kam-
puchea (2003). Terjemahannya: Sampar (karya Albert Camus, 1985).
Ia pernah menjadi pemenang Lomba Penulisan Naskah Skenario
untuk Radio se-Jawa Tengah (1955) dan mendapat hadiah pertama
untuk Lomba penulisan Cerita Pendek dalam bahasa Prancis se-
Indonesia untuk cerpennya “Sarang Ikan di Teluk Jakarta” (1988).
Ia pun mendapat Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI (1989) dan memperoleh Piagam Penghargaan Upa-
pradana dari Pemda Tingkat I Jawa Tengah (1991).
Studi mengenai Nh. Dini dan karyanya: Sariyati Nadjamuddin-
Tome, Isu Wanita dalam La Barka (1997) dan Th. Sri Rahayu Prihatmi,
Nh. Dini: Karya dan Dunianya (1999).

142
143
Jandd Muda

Dalam kumpulan cerita pendek ini, Nh. Dini lebih dalam


memasuki dunia batin perempuan. Di dalam kehidupan
m e re k a ad a c in t a , k e p a s r a h a n , p e m b e r o n t a k a n ,
pengkhianatan, pertarungan dan persaingan yang getir. Selain
itu ada kisah tentang orang-oang yang hidup dalam
kesempitan rezeki. Satu keluarga yang bergantung pada usaha
pertunjukan topeng monyet keliling. Ada juga keluarga kecil
petani tam bak yang menaruh harapan pada panen ikan yang
seben tar lagi, nam un se ko n yo n g-ko n yo ng h am s rela
menyaksikan impian mereka yang sederhana hancur lebur
oleh hujan badai satu malam.

P U S T A K A JA V A

Jl. Gumuruh No. 51 Bandung 40275


Telp 022 7321911 Fax : 022 7330595
e-mail: pustakajaya.dpj@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai