Anda di halaman 1dari 106

Monumen

Kenangan kepada
Ir. Edith Budiman, Hesty Utami, S.H., Lenie Loebis, S.H.,
Dr. Kusmiyati, dan Ir. Ninditarini
Monumen
Kumpulan Cerita Pendek

Nh. Dini
MONUMEN
Kumpulan Cerita Pendek

Karya Nh. Dini

Diterbitkan oleh
PT Dunia Pustaka Jaya
Jl. Gumuruh No. 51, Bandung 40275
Telp. 022-7321911 Faks. 022-7330595
Email: pustakajaya.dpj@gmail.com
Anggota Ikapi

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved

Desain sampul: Ayi R. Sacadipura

Cetakan pertama, 2002 oleh Grasindo,

EDISI PUSTAKA JAYA


Cetakan pertama, 2014

ISBN 978-979-419-422-5
Kata Pengantar

Cerpen “Monumen” yang saya susun menurut gaya dan cara


saya ini adalah 100% realita yang saya hidupi pada suatu kurun
waktu.
Pada suatu ketika di tahun 1991 tercetus gagasan untuk
membentuk cabang Rotary Club di Semarang dengan semua
anggota hanya kaum perempuan berkarier. Hesty Utami, S.H.
yang telah menjadi anggota salah satu club tersebut, tetapi cam-
puran pria dan wanita, ingin melibatkan saya. Maka ketika akhir-
nya perkumpulan terbentuk dengan nama Rotary Club Sema-
rang Kunthi, selama hampir tiga tahun lebih saya turut memban-
tu kelancaran roda organisasi sosial bertaraf internasional itu.
Di antaranya ialah dengan keberhasilan saya memasukkan dana
dari luar Indonesia untuk pengadaan air bersih di sebuah desa.
Kami kaum perempuan tidak bermaksud menyaingi para
rekan seperjuangan di bidang sosial tersebut. Hanya kami ber-
pendapat, mungkin kaum kami memiliki kelenturan dalam
menelusup ke sana atau kemari. Baik untuk mencari dana mau-
pun dalam hal pendekatan terhadap mereka yang dinamakan
“rakyat jelata”.
Pembaca yang berwawasan luas tentu sudah bisa menafsirkan
bahwa yang saya tulis sebagai cina lemu adalah budayawan Jaya
Suprana. Untuk waktu yang lama, dialah yang memegang pucuk
pimpinan organisasi bertaraf internasional itu di Indonesia. Se-

5
perti kebanyakan anggota Rotary Club Semarang Kunthi, dia
bersama istrinya saya anggap sebagai adik spiritual saya.
Cerpen-cerpen lain yang nyaris seluruhnya berdasarkan ke-
jadian nyata di kampung Sekayu (Semarang) adalah “Si Pencit”,
“Beduk”, dan “Ayam”.
Cerpen “Kampung Kuning” dan “Hanya Seorang Ibu” juga
berdasarkan kenyataan, saya tulis di rumah anak saya di Paris
tahun 1990-an setelah saya membaca banyak artikel/ berita di
koran mengenai peristiwa-peristiwa kebengisan yang dipicu oleh
kaum ekstrem sesuatu agama, baik di Afrika Utara maupun di
kota-kota di Eropa.
Cerpen “Perumnas” mempunyai latar belakang Perumahan
Beringin Indah, tempat saya tinggal sejak tahun 1994. Bibit cerpen
“Yustina” dan “Kawin Perak” sebetulnya sudah tersimpan di dalam
salah satu map ketika pada suatu hari Marulina Pane (juga adik
spiritual bagi saya) dari majalah Femina bertanya apakah saya
mempunyai cerpen yang bertema “begini-begini”, tepat seperti
catatan yang telah saya kumpulkan. Kebetulan pada waktu itu,
saya sangat terdesak, memerlukan dana untuk perawatan kese-
hatan. Setelah kami saling setuju mengenai honorarium, kedua
cerpen itu pun diumumkan majalah Femina tahun 1990-an.
Cerpen “Pulau” saya anggap sebagai cerpen yang paling isti-
mewa karena lahir berkat omong-omong bersama almarhum
Kang Amang Rachman di depan salah satu lukisannya. Gagasan-
nya berasal dari pelukis senior itu, sedangkan rangkaian “kem-
bangan” atau hiasan untuk memadati cerita merupakan kejadian
sesungguhnya yang saya dengar dari sana-sini di antara teman
dan relasi saya.

Beringin Indah (Semarang), Juni 2002

Nh. Dini

6
Daftar Isi

Kata Pengantar — 5

Si Pencit — 9
Beduk — 17
Pulau — 22
Ayam — 31
Hanya Seorang Ibu — 39
Kampung Kuning — 48
Perumnas — 59
Monumen — 70
Yustina — 77
Kawin Perak — 92

Biografi Singkat — 104

7
8
Si Pencit

“Ciklet, Ciklet.”
Bus malam sudah penuh. Ini yang terakhir akan berangkat
ke barat. Gito menyeret kaki melangkahi tas, bungkusan dan
kardus yang bergeletakan di antara tempat duduk.
“Ciklet, Mas, Bu, Ciklet,” serunya lagi, “rasanya segar kenyal.
Ciklet dari karet tapi bukan sandal. Mas, Ciklet. Semarang-
Tegal ditanggung awet.”
Seluruh terminal mulai mengenal bayangan Gito sejak awal
tahun. Anak Mak dan Bapak yang paling muda sudah berumur
dua belas tahun ketika tersusul Gito lahir. Gito anak Mak yang
dikatakan jatuh dari perut dan diterima ke dalam pelukan
Paryah. Sewaktu dukun datang, bayi sudah dibersihkan dengan
lap dilembapi air hangat.
Sebelumnya, selama tiga pasaran Mak sakit keras. Badannya
membara penuh bintik-bintik merah seperti gigitan nyamuk. Air
kelapa dan madu dapat menurunkan panas, tetapi tubuhnya nyeri
serta lemah. Dalam keadaan demikianlah perutnya mulai sakit.
Setelah dukun datang, memotong tali pusat dan membenahi
ari-ari, barulah Paryah dan Bapak menyadari bahwa Mak sudah
tidak bernapas. Penanaman ari-ari dibarengi dengan penguburan
Mak yang tidak mengenal wajah Gito bayi. Dia menjadi boneka
Paryah, satu-satunya anak yang tinggal di rumah. Enam saudara
lainnya terpencar menjadi buruh di kota.

9
Antara tetangga, dukun, Bapak dan Paryah, Gito tumbuh
melewati bulan-bulan pertama. Merekalah yang menyusun cam-
puran makanan bayi. Yang tetap ialah air tajin dan gula batu
atau gula aren. Bergantian kadang-kadang ditambah susu kerbau
atau susu kambing, tergantung apa yang kebetulan tersedia di
dekat-dekat sana. Dukun pulalah yang pertama mengetahui
bahwa satu telapak kaki si anak tidak lurus mendatar. Mula-
mula rasa kecewa dan kecemasan mencekam hati Bapak dan
Paryah. Tetapi segera melumat oleh wajah Gito bocah yang selalu
cerah. Tangisnya jarang, hanya berlangsung sebentar.
Dia terus tumbuh, menjadi asuhan semua orang, termasuk
dua saudaranya lelaki yang pulang dari kota. Mereka menjadi
buruh pabrik minuman botolan yang baru didirikan di tepi jalan
besar. Bapak tetap menjaga kebun orang, menggarap tanah
sendiri yang lumayan lebarnya dan memelihara ternak apa saja
yang dititipkan kepadanya. Selesai makan petang, dia menga-
nyam bakul, keranjang atau tampah. Pohon bambu di pedalaman
desa mereka masih ada beberapa yang selamat, terhindar dari
tebangan tukang pemasang listrik. Seperti rumput makanan
ternak, bambu menjadi sumber alam yang makin berharga. Bah-
kan di desa-desa pesisiran, bambu yang tua sukar didapatkan
tanpa biaya cukup tinggi.
Hari berlalu, Gito mulai belajar berjalan. Tak sekilas pun dia
tampak terganggu oleh kakinya yang cacat. Seolah-olah selama-
nya dia telah belajar berjalan dengan satu kaki yang menyeret
kaki lainnya. Anak-anak desa menggoda serta mengejek. Mereka
yang melempari batu dan kata-kata menusuk akhirnya tidak
berdaya menghadapi ketidakpedulian Gito.
Lalu Gito mendapat tambahan nama Pengkor.
Kata Bapak, dia diberi nama Gito karena cepat lahir tanpa
menunggu bantuan dukun. Tetapi sekarang, Gito Pengkor sering
dicaci orang karena jalannya tidak cepat, karena gerakannya
tidak sealur dengan manusia lingkungannya.
Gito bocah tujuh tahun terlalu sering kencing di waktu tidur.
Syaratnya hanya satu, kata dukun: Gito harus disunat. Ketika

10
ditanya berani atau tidak, Gito Pengkor berkata tegas: berani.
Bersama beberapa anak desa yang berumur empat atau lima
tahun di atasnya, Gito “dibersihkan” oleh dukun.
Sembuh dari khitanan, dia langsung belajar naik sepeda ka-
kak yang bekerja di pabrik. Semua orang tertawa memegangi
perut kegelian melihat ulahnya. Paryah menuntun sepeda, Gito
yang berkaki pengkor serius tegang. Keduanya tidak mengacuh-
kan sekelilingnya. Bapak terpaksa campur suara jika si pemilik
sepeda menakut-nakuti dengan gertakan agar pelajaran dihen-
tikan karena dia malu saudaranya ditertawakan.
Lalu tibalah hari penemuan: Gito dapat duduk di atas pelana.
Bumi yang tidak rata bagi kaki cacat ternyata tidak merupakan
masalah sebegitu roda-rodalah yang langsung berurusan dengan
tanah. Kendaraan meluncur bagaikan mengalir dengan sendiri-
nya. Pengayuh utama adalah kaki kiri. Dialah motornya. Yang
kanan mengikut, sekali-sekali meneruskan gerakan yang telah
terbentuk. Penemuan ini memberi rasa percaya diri yang luar
biasa pada si Pengkor.
Anak umur delapan tumbuh pesat. Seolah-olah dari kedalaman
jiwanya membersit sumber air yang menyuburkan badannya. Maka
Gito Pengkor menjadi longgor, meninggi dan meninggi mendahului
umurnya. Dia mendapat tambahan julukan “Gito Pencit”.
Tubuhnya kerempeng, tetapi tidak kering. Campuran tajin dan
susu kerbau atau susu kambing telah mendasarinya dengan
kekuatan otot serta daya tahan terhadap penyakit. Yang dikatakan
anak ingusan tidak pernah dia alami. Di waktu-waktu orang lain
terkena batuk atau selesma, Gito yang berkaki tidak lurus berbadan
tinggi meliuk dan melenggang dengan santainya.
Dalam beberapa hal, dialah anak yang paling diperhatikan.
Dia si Kecil di rumah. Tetapi perhatian tidak berarti membiarkan
dia bermalas-malas. Gito diajar mengerjakan segalanya. Menim-
ba dan mengusung air, menyapu dan menyiram pekarangan,
membawa ternak mandi atau mencari makanan mereka, meng-
anyam peralatan rumah tangga. Bahkan menanak nasi.
Dia ditumbuhkan sama seperti anak-anak desa lainnya, ke-

11
cuali panggilannya saja yang bertambah-tambah. Sebutan itu
tumbuh bersama dia, menjadi nama yang melekat senilai dengan
Gito yang pernah lahir cepat, tanpa menunggu dukun.
“Jangan habiskan sayurnya! Pengkor belum makan,” kata
Bapak kepada anak-anaknya yang lain.
“Siapa yang bawa anyaman ke pasar?”
“Si Pencit,” sahut seseorang di rumah.
“He, Pengkor! Kok pagi-pagi sudah berangkat bawa kambing?
Cari rumput ke mana?” seorang tetangga berteriak dari pintu
rumahnya.
Bapak tidak pernah bisa membaca, apalagi menulis. Asal
sudah terampil menghitung, mengenali beberapa gabungan hu-
ruf, meneliti tanda-tanda di langit dan membaca isyarat alam,
bagi dia sudah mencukupi. Tetapi anak-anaknya diharuskan
dapat membaca dan menulis. Hanya Gito yang tidak bersekolah.
Modin di langgar mengajar dia mengaji dan pengetahuan
dasar tulis-baca-hitung sehingga segalanya gamblang. Buktinya,
ketika Gito berangkat ke kota turut saudaranya, dia lancar mem-
baca surat keterangan yang dibekalkan Lurah kepadanya. Berkala
menuruti musim, dia menjadi buruh di pasar kota sedari dini
hari hingga siang. Lalu di waktu petang mengayuh becak. Tiga
bulan kemudian pulang untuk ikut panen, menunggu hingga
musim tandur. Kemudian balik ke kota.
Gito menjadi dewasa terlalu cepat. Otot-otot mengembang,
badan kekar berbahu bidang. Muka yang selalu cerah kelihatan
matang oleh mata yang memancarkan ketekunan. Ketika mendo-
rong becak dia dipanggil Pak. Tetapi di saat mengusungi dagang-
an di pasar, orang memanggilnya Nang, yang berarti anak laki-
laki. Silih berganti menjelma sebagai bapak yang membecak
atau anak lelaki yang memburuh, Gito puas. Dan sewaktu pulang
membawa sisir dan bedak buat Paryah serta ikat pinggang untuk
Bapak, dadanya meluapkan rasa bahagia.
Pada salah satu kesempatan pulang demikian, dia tidak
menemukan Paryah. Mbakyu dan ibunya itu terbujuk oleh kenalan
dari pabrik, mendaftarkan diri berangkat ke Maluku sebagai tenaga

12
kerja tani. Kabarnya, pemetikan cengkih harus dilakukan cepat.
Sedangkan buruh di sana sangat kurang, selalu didatangkan dari
Jawa dan Bali. Tenaga perempuan lebih disukai karena teliti dan
sabar. Belum ada mesin modern yang mampu menggantinya.
Paryah belum pernah meninggalkan dusun. Bahkan si Peng-
kor pun dibiarkan merantau mencari uang saku. Kini Paryah
menuntut haknya, dan Bapak terpaksa melepasnya. Apalagi yang
mencari tenaga dikenal baik oleh penduduk desa. Mereka per-
caya kepada laki-laki itu. Jaminan keuangan hebat, penginapan
juga disediakan di Surabaya sementara menunggu kapal.
Baru kali itulah Gito ditinggal Paryah. Kerinduan selama
dia berada di kota dapat diatasi dengan janji akan bertemu kem-
bali tiga bulan kemudian. Namun kali itu, perpisahan terentang
sampai delapan bulan. Ketika Gito pulang lagi, yang dia temukan
bukan mbakyu sekaligus ibu yang ia kenal selama itu. Paryah
yang sekarang pendiam. Sebentar-sebentar terkejut geragapan.
Tangannya gemetar mengerjakan anyaman yang tak kunjung
usai.
Peraturan paling baru di kota tidak mengizinkan becak mela-
lui jalan-jalan besar. Di berbagai tempat, bahkan menyeberang
pun dilarang. Gito tidak mengerti. Rupanya kalau kehidupan
dikatakan modern, rakyat kecil seperti dia harus disingkirkan.
Orang bepergian di kota yang menyesuaikan diri dengan pem-
bangunan, kabarnya hanya dibenarkan jika naik bus dan semua
kendaraan yang mengeluarkan asap. Padahal selama Gito mem-
becak, beratus kali dia mengangkut barang berbagai bentuk mau-
pun ukuran. Becak sangat luwes. Bisa mematutkan diri menuruti
keperluan. Dengan pengayuh cukup berakal mampu mengusung
seisi rumah atau seisi pasar. Sedangkan bus dan kendaraan ber-
motor lain tidak mungkin, kecuali jika disewa seluruhnya. Rak-
yat kecil di pasar dan penghuni kampung tidak cukup kaya
untuk pindah dengan menyewa kendaraan semacam itu.
Disebabkan peraturan kota, ditambah oleh keadaan Paryah,
Gito memutuskan meninggalkan pekerjaan sebagai tukang
becak. Meskipun yang sesungguhnya dia menyukai pekerjaan

13
yang dikatakan biadab oleh para petinggi penata kota. Gito mera-
sa menuruti jalan yang benar. Kata Bapak, orang-orang yang
menengadahkan tangan tanda meminta itulah yang biadab dan
seharusnya disingkirkan. Bukan pendorong becak.
Selama setahun Gito di kota, dia semakin mengerti apa itu
kehidupan. Dan Gito yang berkaki tidak rata juga mengenal
hakikat pergaulan antara lelaki-perempuan. Di desa tidak ada
video. Pertunjukan film keliling yang dinamakan “misbar” karena
kalau gerimis bubar menyuguhkan tontonan dibintangi muka-
muka setengah Belanda dan yang buka baju dalam adegan
mandi-mandi yang mengasyikkan. Tetapi tumbuh di desa, Gito
menyaksikan ajaran alam yang lebih langsung. Di pasar kota,
kalangannya memperkenalkan dia kepada perempuan-perem-
puan yang bisa dijadikan pasangan sesaat tanpa mempedulikan
kakinya rata atau tidak.
Sekarang, dia tetap berada di pasar dari subuh hingga tengah
hari. Setelah tugas dilunasi, Gito melenggang meliuk ke arah
selatan. Menurut Bapak, dulu di situ ada gedung Kabupaten
anggun dan indah. Kini menjadi deretan kios.
Gito tinggal memilih mana yang akan dijadikan tempat ber-
baring. Di bagian atas hampir semuanya kosong. Jam tiga atau
setengah empat, Gito bangun, mencari truk yang bisa dia tum-
pangi menuju terminal. Lengan kiri terlipat ke dada, dia menjin-
jing kotak berisi aneka merek gula-gula dan minyak gosok. Tangan
kanan digerak-gerakkan menyuarakan sentuhan isi dua bungkus
permen sambil disorong-sorongkan ke wajah penumpang.
Inilah kerjanya di stasiun bus. Penumpang yang sopan meng-
geleng, kebanyakan lainnya tidak peduli. Gito masuk ke dalam
bus. Penumpang di deretan tengah mengumpat. Bus tidak hanya
digunakan sebagai pengangkut orang. Itu juga melayani pengi-
riman barang. Tempat bagasi begitu penuh sehingga bawaan
penumpang berjubelan di antara bangku atau di bawah tempat
duduk. Kaki utuh dan sehat pun memerlukan keseimbangan
untuk melangkahi bermacam bentuk aneka bungkusan itu.
“Ciklet, Bu, Mas, Ciklet. Semarang-Tegal ditanggung awet.”

14
Gito menyeret kaki kanan, mencoba menempatkan langkah di
sela-sela barang.
“Sudah akan berangkat kok masih naik,” gerutu seorang pe-
numpang di tengah. Kernet melongokkan kepala ke dalam.
“He, Pencit! Turun!” serunya galak. Sopir telah duduk di
belakang setir, mengintip kaca spion, berseru,
“Ini 4536, Dir. Ingat pintu belakang agak rewel!”
Kernet menghilang, muncul di mulut pintu belakang, ber-
teriak,
“Ayo, Pengkor, cepat! Nanti kalau bus sudah jalan mana
mungkin kamu melompat dengan kaki yang peyok itu!”
Tubuh Gito mendekati pintu, terlenggok dan terliuk.
“Sabar, Mas, sabar. Belajar sabar banyak manfaatnya,” ka-
tanya.
Kernet menyisih membiarkan Gito turun. Tangan yang ter-
genggam gemas perlahan hendak dia tolakkan pada tengkuk si
Pengkor. Gito meringis, sigap mengelak.
“Aaah, jangan marah, Mas.”
Kernet geram. Seakan-akan kejengkelannya hendak dia lam-
piaskan pada pintu, badan bus bergetar mengikuti kegaduhan
suara kayu yang berbenturan. Gito memandang bus bergerak
maju. Berdiri begitu di peron, tubuhnya tetap melenggok. Berat
badan tertumpu ke kiri. Tinggal menyeberang, bus terakhir ke
Selatan akan membawanya pulang. Setiap petang dia menemu-
kan Bapak dan Paryah.
Hari itu dia mendengar berita dari mulut ke mulut bahwa
petugas pabrik yang menjadi calo pekerja wanita ketahuan naik
Colt jurusan Juana. Laki-laki itu menghilang dari pabrik dengan
membawa daftaran buruh paling akhir bersama isi kas koperasi.
Buruh perempuan yang wajahnya cukup manis tidak pernah
sampai ke tujuan. Seorang daripadanya adalah penduduk desa
tetangga. Dia berani mengadu ke kelurahan, terus ke polisi. Se-
mentara diberi dalih menunggu kapal, perempuan-perempuan
itu disuguhkan kepada laki-laki segala bangsa di sebuah tempat
yang nyaman dan berbau wangi.

15
“He, Pencit! Ikut pulang apa enggak?” seorang melambai
dari bus hijau di seberang.
Gito turun ke aspal, melenggang meliuk. Kotak dagangan
tertekan ke dadanya. Matanya bersinar aneh. Gigi-gigi digegat-
kan. Jangan sampai polisi mendahului menangkap orang itu,
katanya di dalam hati. Gito mempunyai rencana sendiri. Tidak
peduli uang penduduk atau pegawai pabrik yang dilarikan or-
ang itu. Masa bodoh dia memalsu nota pembelian bahan
bangunan. Bagi Gito, masalahnya adalah Paryah.
Si Pencit melompat gesit, naik bus jurusan Rembang.
“Awas kau, germo! Mentang-mentang kakiku peyok! Jangan
dikira aku tidak bisa menghajarmu!”

16
Beduk

Bertambah umur berarti yang tersisa semakin sedikit. Akhir-


akhir itu Pak Lurah semakin merenungkannya. Zaman-zaman
yang telah dia lewati amatlah beragam. Tidak banyak yang dia
sesali. Tetapi yang satu itu, ah, selalu mengiris jantungnya di
saat dia mengingatinya.
Jika Pak Lurah termenung dan Indun melihatnya, wanita
itu tahu mengundurkan diri. Dengan penuh rasa terima kasih,
Pak Lurah menyadari bahwa pengertian itu tidak dimiliki oleh
semua istri. Indun tidak merengek atau mendesak. Melalui sikap
atau satu dua kalimat, istri itu memperlihatkan bahwa dia tahu
suaminya sedang berusaha mengurai jeratan masalah. Apakah
penyelesaiannya harus dirundingkan berdua ataukah akan
ditangani sendirian, keputusan diserahkan kepada Pak Lurah.
Pendamping yang renta oleh kelahiran tiga belas anak itu mem-
punyai sifat yang kena sebagai pelengkap diri Pak Lurah. Sungguhlah
dia tidak salah memilihnya lima puluh tahun yang silam. Dua kakak
beradik diajukan orang tuanya sebagai calon istri. Terus terang dia
bingung menentukan, mana dari keduanya yang paling dia sukai.
Hari Raya Besaran, kedua keluarga bertemu di Masjid De-
mak. Anak-anak yang sudah saling mengenal sejak kecil, wak-
tu itu mendapat kesempatan bersentuhan ujung jari sebagai
salam mereka. Sudah akil balig. Salaman dan teguran tidak
lagi berlangsung seperti zaman kanak-kanak. Malam harinya,

17
Syahdi yang belum menjadi lurah mendengar pendapat ayahnya
memuji kecantikan kedua anak gadis Pak Tohari.
Syahdi sudah cukup umur. Dua tahun lagi akan dicalonkan
mengganti ayahnya. Kepala kampung harus mempunyai istri.
Anak Pak Tohari tentulah cukup berpendidikan. Berasal dari
Kudus Kulon menjamin keimanan mereka. Pastilah tahu mengaji
dengan alunan suara membelai langit. Siapa tahu yang besar
barangkali sudah khatam Al-Qur’an.
Gosokan dan desakan orang tua menghasilkan kunjungan
mereka ke keluarga Tohari. Maka berulanglah pengenalan Syahdi
terhadap makam Sunan Kudus, jam besar di menara merah dan
rumah kapal milik raja pabrik rokok Nitisemita. Lebih-lebih
lagi pengenalannya terhadap Masnun dan Indun. Tetapi waktu
itu tidak bergantian dibonceng sepeda berkeliling halaman se-
perti ketika masih ingusan.
Empat hari di sana, Syahdi hanya melihat kedua gadis itu
sekilas-sekilas. Di saat akan pulang, barulah dia berhasil berbicara
agak lama dengan mereka. Baru waktu itu pula Syahdi menen-
tukan pilihannya. Dia lebih menyukai Indun.
“Mengapa?” tanya ayahnya. “Dua-duanya cantik. Sama-sama
putihnya. Muka mereka tidak berbeda, sama-sama mempunyai
cetakan kelurahan Kudus Kulon.”
Ditambahkan lagi bahwa kalau Syahdi mau ganti pikiran,
segalanya bisa lebih cepat dan mudah dilaksanakan tahun itu
juga. Syahdi tetap pada pendiriannya.
“Mengapa?” tanya ayahnya lagi. “‘Kan sama saja! Asal anak
dari keluarga baik-baik dan cantik supaya anak-anakmu juga tam-
pan!”
Namun buat Syahdi, pandang matalah yang membedakan kedua
anak gadis Pak Tohari. Indun selalu memandang kepadanya dengan
kecerahan yang langsung. Sebagai kanak-kanak, dulu dia juga tidak
ceriwis, meskipun tetap berani berebutan mempertahankan hak
gilirannya diboncengkan dari tepi dinding satu ke dinding lain di
halaman.
Maka repot bukan kepalang orang tua Syahdi mencarikan calon

18
suami gadis pertama. Kalau Masnun cepat kawin, akan mudahlah
melamar Indun. Orang tua Syahdi mendengar si Anu di kampung
Melayu yang punya jejaka sebaya dengan anak mereka. Tapi jangan,
kata kenalannya. Pemuda itu penjudi. Kasihan Tohari mendapat
menantu seperti itu. Di Kauman ada yang mungkin lebih cocok.
Anak si Itu yang baru pulang dari naik haji. Terampil dia! Sendirian
menjalankan tokonya sewaktu orang tuanya pergi. Siapa lagi? Coba
cari lainnya untuk cadangan.
Sibuk hingga ke Tegal, ke Pekalongan mereka mencari. Tidak
sampai tiga bulan, bapaknya Syahdi berangkat ke Kudus mene-
mani seseorang mengajukan lamaran buat anak gadis pertama. Dan
belum lewat satu tahun setelah kakaknya menikah, Indun diboyong
ke kota pelabuhan, menjadi pendamping Syahdi calon lurah.
Di depan rumah Pak Lurah, masjid kampung menempati te-
ngah-tengah empat lorong yang berjuluran menghubungkan empat
penjuru desa. Itulah satu-satunya bangunan dari batu. Ketika Syahdi
masih anak-anak dia sudah melihatnya berdiri gagah di situ.
Menurut cerita, sedari dahulu sudah demikian, karena peme-
rintah Hindia Belanda menghormati sejarahnya sebagai salah
satu cikal bakal tempat beribadah yang didirikan kaum ulama
di tanah Jawa. Pintu jeruji dari kayu tidak pernah terkunci. Dia
berada di sana hanya untuk menghalangi ayam yang berkeliaran.
Sesuai dengan keterbukaannya, selain sebagai tempat berjamaah
orang sekampung, dia juga menerima musafir yang memerlukan
tempat sesudut buat bermalam. Air di bak luber berlimpahan.
Dan beduknya, wah, beduknya sungguhlah hebat.
Kegendutannya kelihatan memakan ruang di serambi kanan.
Penjalin yang melingkari dan merengkuhnya adalah rotan utuh
setebal dua ibu jari Syahdi-dewasa. Kulit yang terentang tempat
menerima pukulan sudah dua kali dibalik ke sebelah luar. Hingga
pada suatu ketika, kedua sisi mengkilat, berwarna aus. Tetapi itu
tidak mengurangi kewibawaan yang terpancar dari kenyaringan
suaranya.
Di masa muda, Pak Lurah menyaksikan satu kali perbaikan
gendang tersebut. Orang berkata bahwa kerangkanya berasal dari

19
zaman para wali ketika mereka dalam perjalanan ke Demak. Untuk
memperbaiki kulitnya, seseorang didatangkan dari jauh. Pada waktu
penurunan, dari pintu masjid Syahdi mendengar ahli gendang
menggumamkan doa Islam dan Jawa. Enam orang yang menopang,
lalu menggotong beduk untuk dibaringkan di atas tikar. Sesuai
dengan adat, sebagai selamatan tolak bala, satu nyiru penuh nasi
gudangan disuguhkan. Perbaikan dikerjakan di serambi dan halaman
masjid. Itu adalah tontonan yang luar biasa bagi penduduk kampung.
Lebih-lebih ketika tiba saat melemaskan penjalin supaya dapat
dilekuk dipatutkan pada rentangan kulit yang baru. Nyala api jingga
kebiruan meliuk-liuk berkobar di ujung mulut sebuah obor. Anak-
anak dan orang dewasa berkerumun berdesakan. Namun, semua
tenang. Suara busikan menandakan rasa segan dan hormat mereka.
Selain beduk besar, masjid juga mempunyai beduk lain ber-
bentuk ramping. Panjangnya satu depa, beduk itu digantung
berdiri di samping beduk besar. Ini adalah sumbangan ayah ka-
keknya Syahdi ketika diangkat menjadi lurah. Empat generasi
berlangsung, dua beduk itu berpasangan tanpa sengketa tanpa
menimbulkan masalah pada warga kampung.
Ketika tiba zaman pendudukan Jepang, beduk besar hampir
dipaksa meninggalkan rumahnya. “Perkosaan” itu dilaksanakan
atas nama pejabat militer yang berkuasa.
Pertama kali ketika beduk sudah ditaruh di atas gerobak,
roda alat pengangkut itu mendadak menggelinding lepas. Beduk
dikembalikan naik ke gantungannya.
Kedua kali, beduk dibawa gerobak menuju ujung kampung
untuk dimuatkan ke atas truk. Barangkali karena sempitnya
jalan kampung, sopir yang bermata sipit dan berkaki bengkong
itu tiba-tiba tersandung sesuatu. Dia dipapah naik becak, kata-
nya akan mengirim sopir yang lain. Hingga sore tak ada petugas
datang, maka beduk dipulangkan ke masjid.
Ketiga kalinya, pejabat militer itu sendiri yang masuk kam-
pung. Semua berjalan mulus. Untuk menaikkan ke dalam truk,
lima orang mendorong dari bawah, lima lainnya menarik, berdiri
di atas truk. Pada sepertiga kepanjangan papan, seolah-olah ter-
halang sesuatu, beduk tidak bergerak. Tenaga ditambah, beringsut

20
pun tidak. Akhirnya sepuluh mendorong, sepuluh menarik, tali
tiba-tiba rantas dan beduk meluncur berlumuran debu kampung.
Ketika magrib, beduk itu kembali dipukul sebagai tanda per-
mulaan panggilan sholat. Pekan itu juga Pak Lurah mendengar
kabar bahwa pejabat militer yang sama dipindah ke kota lain.
Perang revolusi membawa tentara pendudukan yang lain.
Pak Lurah waswas. Maka beduk besar diangkut ke belakang
masjid. Dia ditimbuni gulungan dan lipatan tikar. Di atasnya
ditaruh keranda serta peralatan lain milik kampung.
Kemudian, pekik merdeka mengantarkan beduk besar pulang
ke gantungannya menemui pasangannya. Cukup lama Pak Lurah
berbangga bisa meneruskan tradisi mengumandangkan gelegar
suara benda itu ke seluruh penjuru kampung. Tetapi tidak semua
orang menyukai tradisi. Lebih-lebih jika mendadak ada lurah
lain karena zaman berganti nama: Orde Baru.
Dia ini tidak dipilih. Tidak berasal dari kampung itu. Dia ini
juga meneruskan tetap tinggal di tempat lain. Istilah barunya, diter-
junkan dari Pemerintah Daerah; tiba-tiba saja menjadi lurah di sana.
Meskipun warga kampung tetap memanggil Syahdi “Pak Lurah”,
dia sudah tersepak dari pengaturan kampung yang dia cintai.
Dan pukulan beduk yang meninggalkan dengung khusyuk
namun akrab pun menghilang. Disusul kedatangan orang-orang
ke masjid tersebut memanjat ke sini, mengulur dan menarik ka-
bel ke dalam maupun ke atap bangunan. Lalu sayup-sayup azan
yang meluruhkan hati pun berganti menjadi bentakan pengeras
suara yang dialirkan dari satuan listrik atas biaya isi saku
penduduk kampung.
Pada suatu hari, beduk besar diturunkan, menghilang entah ke
mana. Kemudian tersebar berita bahwa lurah yang baru membikin
rumah baru. Bahwa dia membeli kendaraan buat dirinya sendiri
dan empat anaknya yang sudah besar. Semua dibayar lunas.
“Sampeyan sedang memikirkan hal itu lagi, Pakne,” tegur
Indun di samping Pak Lurah Syahdi. “Sudah! Direlakan saja!
Suatu hari kelak dia pasti kuwalat.”
Pak Lurah tersenyum membalas pandang istrinya. Dia tidak
menyesal memilih Indun yang berani menatap matanya.

21
Pulau

Hidup Darsan berhasil. Inilah yang sering terdengar di sekitar


tempat tinggalnya. Lebih sering diiringi nada iri daripada keka-
guman. Dari mereka itu tidak banyak yang mengetahui lara-
lapa pengusaha besar Sudarsan asal Jawa Timur. Tidak banyak
yang mendapatkan angin mengenai masa lampaunya.
Semua pekerjaan pernah dia lakukan, yang dihalalkan me-
nurut pendidikan yang pernah dia terima. Sebenarnya, dia tidak
mempunyai latar belakang pendidikan yang dianggap pantas
untuk menjadi orang. Sejak kecil dia berada di jalanan. Tanpa
bisa memilih, dia memang pernah dingengerkan di sebuah pe-
santren. Dua tahun, dia lari dari sana. Tetapi masa itu membe-
kalinya kecakapan membaca dan menulis. Lalu tanpa sengaja
dia bisa berbahasa Jepang karena bekerja di kandang kuda tentara
pendudukan. Di zaman revolusi, tanpa sengaja lagi dia turut
menggempur tangsi musuh, menjadi kurir pembawa kata-kata
sandi dan pistol, menyelundup masuk keluar kota. Itu dia kerja-
kan lebih dengan semangat petualangan daripada kesadaran mut-
lak berjuang untuk negara.
Ketika kemerdekaan tiba, tak seorang pun dari mereka yang
pernah dia layani mempertaruhkan nyawa mengingati Darsan.
Dan dia kembali ke jalanan, tanpa pekerjaan tetap. Supaya bisa
makan agak teratur, malam mengayuh becak, siang menjadi tu-
kang. Paling sering, dia gogo di sungai. Bersama seorang kawan,

22
berbagai benda dia bebaskan dari cengkeraman lumpur kali di
luar dan di dalam kota kelahirannya. Mereka tumpuk barang di
tepian, mereka pilihi dan tawarkan. Potongan pedang, mata
tombak atau anak panah, bermacam benda utuh atau aus dan
uang logam. Kesemuanya itu tidak membikin mereka kaya. Tapi
mereka bisa membeli baju di rombengan serta makan hampir
setiap kali merasa lapar.
Kenalan dan teman dari Ibu Kota berdatangan menyampai-
kan cerita menggiurkan: Uang mudah dicari di sana. Darsan
berangkat bersama kawannya. Setiap dinihari, bergiliran mereka
ke Stasiun Senen kulakan telur. Setelah menitipkannya di bebe-
rapa warung, mereka turun ke sungai. Petang tiba, Darsan me-
ngayuh becak. Supaya tidak dikenali orang, malam pun dia me-
ngenakan topi.
Sungai di Ibu Kota berbeda dari yang mereka kenal di daerah.
Tidak banyak yang mereka keluarkan dari lumpurnya. Plastik
dan sampah menggunung menyumbat aliran. Tetapi besi tua
yang sedikit selalu bisa dijual untuk menambah uang makan
dan sewa kamar yang bocor. Antara telur, becak, dan besi tua,
Darsan bertekad untuk tidak ditelan bulat-bulat oleh kota besar
itu. Berangsur dengan jalannya bulan dan tahun, isi sungai ber-
ubah. Kulit Darsan begitu pula. Kalau dahulu hitam berminyak,
kini menjadi keriput kering. Lalu tumbuh busul-busul kecil di
bagian tubuh yang peka dan terlipat. Bila tersentuh rasanya
ngilu membakar. Dia oleskan air kapur. Rasa ngilu dan bintik
menghilang, tetapi kulit semakin kering. Setiap kali anggota
badan digerakkan, seperti tertarik dan teriris. Satu tempat sem-
buh, tumbuh di bagian lain. Tubuh Darsan bagaikan kacang
panjang yang tua merekah, terkelupas kaku dengan biji-biji siap
untuk ditanam.
Darsan berhenti gogo. Dia menunggui temannya di pinggir
kali sambil membersihkan barang yang ditemukan. Beberapa
waktu berlalu.
Suatu sore, sedemikian kawannya keluar dari air, dia pegang
perutnya dan berguling di tanah. Begitu matanya terbuka, isi

23
perutnya mendesak keluar. Tanah bergoyang, tanah bergerak,
katanya. Dia berusaha berdiri, tapi sempoyongan terjatuh kem-
bali. Air sungai beracun.
Kali di Ibu Kota tidak menghendaki mereka. Lama Darsan
menganggur di siang hari. Bersepeda ke sana kemari, berusaha
menemui kenalan dan teman. Setengah parasit, dia turut minum
atau makan di mana saja. Dan dia bertahan tidak menggadaikan
sepedanya. Untuk membuka ban yang akan ditambal, dia pergi
ke bengkel berdekatan dengan jalan tempat tinggalnya. Dia
ditawari pekerjaan membantu apa saja. Bagaikan telah diatur,
keesokan harinya, di situ dia bertemu kembali dengan orang
yang memimpin penyerangan tangsi musuh. Darsan ditanya
apakah masih ingat berbahasa Jepang. Sambil tertawa, dia men-
jawab dalam bahasa tersebut.
Itulah kunci ke masa barunya yang panjang. Orang tersebut
menanggungnya, Darsan bersekolah satu tahun. Tiba-tiba pakai-
annya lebih dari tiga setelan celana panjang dan hem. Sepatu
berkilau harus selalu dia kenakan meskipun kakinya sakit
terpencet. Penampilannya bersih dan rapi, dia berangkat men-
jadi juru bicara di sebuah perwakilan RI. Sejalan dengan nasib-
nya yang membaik, dompetnya selalu berisi. Pendidikan dari
jalanan yang menumbuhkannya sempat menggariskan patokan
bahwa orang yang baik itu tidak mencuri dan tidak membunuh.
Untuk seterusnya, keduanya menjadi pokok hidup Darsan. Dia
tidak mencuri, hanya mengambil yang menjadi haknya. Dia
tidak membunuh, hanya makan binatang yang telah berupa
masakan. Dan sejalan pula dengan perbaikan keberuntungan
itu, Darsan melengkapi pendidikan diri sendiri.
Rasa ingin tahunya sangat membantu. Sejak mulai bisa mem-
baca, Darsan rajin mencari. Dulu, bila dia temukan rentetan
huruf, dengan semangat besar dia mengungkapkan kata-kata
yang terbentuk. Gedek di kakus pesantren penuh dengan tulisan.
Ketika hidup bergelandangan, tembok kota menjadi papan
tulisnya. Sesobek halaman surat kabar atau buku amatlah ber-
harga baginya.

24
Kini, karena mempunyai uang, Darsan mampu menyewa
dan membeli buku. Dia banyak membaca. Dia bertanya dan
mendengarkan jawaban serta pendapat orang. Bahasa Jepang
ditambah dengan bahasa Inggris. Menyusul bahasa Belanda,
Jerman, Prancis, Spanyol, dan Italia. Ketika kesempatan ter-
suguh, dia masuk sekolah lagi. Karier pegawai negeri tertinggi
diraih sebagai konsul. Hanya dialah pegawai tinggi di negeri ini
yang mampu berbicara dan membaca tujuh bahasa asing. Dia
memang unik. Sudarsan, orang Jawa Timur bekas tukang becak,
tukang gogo dan tengkulak telur.
Meskipun tidak sempat memikirkan masa lalunya sebagai
sesuatu yang aib, dia tidak suka membicarakannya. Apabila anak
orang-orang yang pernah kenal dia di tempat asal mendadak
muncul, dia tidak mau disebut Pak Darsan. Panggil oom saja,
katanya. Dia suka disebut oom, karena bagi Darsan, Pak dan
Bu sudah kabur pengertiannya. Kepada tukang becak, penjaja
makanan, sopir, pengemis, dua perkataan itu tidak lagi berisi
arti perbedaan umur yang muda memanggil yang tua. Pada
zaman sekarang, itu mengandung penudingan: mereka termasuk
tingkatan paling rendah. Sama seperti mang dan bibi yang digu-
nakan Darsan jika berbicara kepada penjaga kebun rambutannya
di Pasar Minggu dan Ciputat. Sebaliknya, kalau Pak dan Bu
dikenakan sebagai panggilan terhadap hansip yang berwajah
bocah, polisi yang baru praktek kerja, kepada para menteri serta
pegawai tinggi semua instansi, itu berarti bahwa pekerjaan
merekalah yang dihormati. Pangkat, kedudukan, golongan, telah
merampas arti panggilan kedekatan yang maunya akrab itu.
Maka Darsan lebih suka bersembunyi di balik perkataan
oom. Dia merasa aman dalam pengkhianatan pemakaian bahasa
asing itu. Panggil aku Oom Darsan. Dia terkenal di antara keme-
nakan-kemenakan yang tidak sedarah tersebut. Oom Darsan
dermawan, baik hati, suka menolong. Karena dia punya uang,
kini berpuluh, beratus orang menjadi parasitnya. Pengatur rumah
tangganya setiap hari bertanggung jawab mengadakan makanan
buat paling sedikit tiga puluh mulut. Mereka itu setengah

25
bekerja, setengah sekolah. Setiap bulan harus dibayari berbagai
kebutuhannya. Darsan tidak berkeberatan.
Dia memang menganggap diri berhasil. Dia tidak beragama,
tetapi mempunyai Tuhan. Dia ber-aku-Kau dengan-Nya.
Katanya, “Berkat Kau aku sekarang menjadi orang, mendapat
keberuntungan.” Di kala para pegawai perwakilan ulang-alik
memperdagangkan barang porselin dan kristal, Darsan tidak
seperti mereka. Dia merasa tidak berhak. Tetapi dia memper-
gunakan haknya, pulang pensiun membawa mobil Mercedes
putih. Sampai di tanah air dijual. Uangnya dibelikan tanah di
empat penjuru pinggiran Jakarta dan kota kelahirannya.
Darsan tahu memilih. Belum dua tahun kemudian, harganya
melesat melonjak. Sebagian demi sebagian dijual lagi. Dia beli
tiga usaha besar. Dia sebarkan ratusan modal kepada petani
anggrek, pedagang sayur serta petani buah di daerah kelahir-
annya. Dia berdiri di belakang yayasan A dan yayasan B sebagai
pemberi beasiswa kepada anak-anak pengusaha kecil itu. Mereka
disekolahkan ke jurusan yang praktis dan menghargai kema-
nusiaan. Darsan suka membagikan rezeki yang telah diberikan
Tuhan kepadanya.
Tapi dia melarang keras lingkungannya memberi uang kepada
pengemis. Pengemis itu orang yang malas, katanya. Mereka
punya rumah lebih baik dari pada gubuk tukang becak. Mereka
punya kelompok, bahkan tidak sedikit yang diam-diam memiliki
tabanas atau rekening di giro pos atau bank. Naiklah becak
sebentar, lalu beri uang. Tambahnya lagi, di saat tukang becak
berangkat dari kamarnya yang berbau apek buat menantang
kerasnya kerja dan teriknya matahari, pengemis juga mening-
galkan rumah mereka diboncengkan kendaraan bermotor oleh
anaknya, lalu ngepos di pojok jalan. Pura-pura buta atau lumpuh,
menengadahkan telapak tangan buat meminta.
Itulah kata Darsan, dan dia yakin bahwa dia benar.
Pastilah Tuhan setuju, karena segalanya berjalan lancar, semua
baik-baik. Perkawinannya dengan wanita manis dan penurut
pun tanpa halangan. Keempat anaknya sudah menjadi orang

26
pula, mampu menghidupi anak-istri masing- masin g,
mempergunakan gelar kesarjanaannya dengan tepat di bidang
masing-masing.
Darsan baru mendapatkan cucu ketujuh ketika tiba-tiba istri-
nya meninggal. Mengapa begitu cepat? Dia tahu bahwa dunia
ini tidak langgeng. Tetapi dia ingin mati lebih dulu dari istrinya.
Bagaikan ada sesuatu yang terputus dalam dadanya: Apakah
Tuhan tidak berkenan dengan tindakannya yang paling akhir? Yang
mana? Mengapa dia dihukum ditinggalkan teman hidupnya?
Ekspor kayu ke Jepang memang benar, dia melipatgandakan
harganya. Tetapi laba berjumlah luar biasa itu sudah langsung dia
bagikan untuk memperbaiki katedral dan pendirian masjid baru
di kota kelahirannya. Perbuatan terhadap istrinya? Rasa-rasanya
tidak ada tindakan yang lain dari kebiasaan lampau. Sedari mula
perkawinan, Darsan tidak pernah mengabaikan kesempatan-
kesempatan yang tersuguh. Pelayanan perseorangan atau
perusahaan yang berupa gadis-gadis dan wanita muda selalu dia
manfaatkan. Dia lelaki beruang. Dia merasa berhak memanfaatkan
kodrat yang diberikan Tuhan bahwa laki-laki tidak berisiko hamil
seberapa kali pun bercengkerama dengan seberapa perempuan pun.
Tapi dia tidak pernah melupakan istrinya. Permintaan oleh-
oleh besar dan kecil selalu dia lunasi. Lalu perbuatan mana yang
dihukum Tuhan? Istrinya pernah tidak menyetujui tindakan
yang mana?
Ah, ya! Teman hidupnya itu tidak menyetujui Darsan men-
calonkan dirinya sebagai wakil rakyat. Terbujuk oleh kawannya
bekas pejuang, memang dia sudah terdaftar masuk ke pemilihan
umum. Kamu menolong banyak orang, itu sangat baik dan aku
turut senang, kata pendamping hidupnya. Kamu membangun
kembali masjid reyot dan memperbaiki gereja tanpa orang
mengetahui namamu secara besar-besaran. Itu amat membantu
orang lain menjalankan ibadahnya dan aku ikut bangga. Tetapi
kalau kamu menjadi anggota DPR, kamu akan mulai menjadi
munafik. Dari saat itulah kamu akan berhenti menolong orang
dalam arti sesungguhnya.

27
Darsan terpukul, karena dia yakin bahwa itulah sebab kema-
tian istrinya terlalu cepat. Maka Darsan mengundurkan diri.
Dia bersembunyi di pulaunya. Dia beli tanah itu memang buat
menyepi. Segala kepraktisan dibangun dan diadakan. Cadangan
air dan makanan selalu diperbarui. Kebun sayur dan bunga ter-
lindung di bawah atap kaca. Tambak ikan laut langsung mencapai
tepian pasir merupakan tempat yang paling dia sukai. Tombol
berbagai macam alat elektronik dan radio terdapat di mana-
mana. Sewaktu-waktu bila dikehendaki, dia bisa berhubungan
kembali dengan dunia luar.
Kini, Darsan sudah empat bulan di pulaunya tanpa merasa
kesepian. Tanpa merasa terganggu. Hingga siang itu.
Setelah menyemprot tanaman dan memasang alat penanak
nasi, dia menimba air buat bak kamar mandi. Dia senang
mengerjakan semua urusan itu. Lalu dia berenang sebentar dan
langsung ke tambak untuk memilih ikan.
Pada waktu itulah dia melihat orang itu. Cepat serok diletak-
kan. Darsan berteriak memanggil dan akan memburu. Orang
itu menghilang. Setengah kesal setengah heran, Darsan menge-
rutkan kening. Siapa? Dia tahu bahwa dia sendirian di sana.
Orang itu tidak mengenakan apa-apa selain celana dalam hijau,
basah kuyup.
Darsan lapar. Dia bergegas pulang, menyiapkan ikan lalu
makan. Selesai membenahi dapur, dia berbaringan di kebun kaca.
Bukunya tidak disentuh, dia merenung memandangi laut lepas
yang menggaris lewat dinding kaca. Lalu kosong.
Ketika sadarkan diri, dia menoleh ke jam di samping pintu.
Hanya tujuh menit dia tertidur. Lengannya merasa gatal. Dia
lihat bintik-bintik kecil merah berderet ke arah pergelangan.
Apa ini? Sudah lama dia tidak mempunyai keluhan mengenai
kesehatannya. Selama hidup kaya dia tahu mengimbangi gizi
dengan segala vitamin. Dia tidak diet karena merasa sayang:
Sekarang dia bisa membeli semua jenis makanan yang dikehen-
daki, mengapa membatasi ini dan itu!
Darsan minum pil antialergi, lalu berangkat mengitari

28
pulaunya, menelusuri pantai pasir dan berhenti di rawa yang
penuh pepohonan.
Burung-burung mulai berdatangan pulang. Darsan duduk
di tempat kesukaannya mengamati mereka. Beberapa saat ber-
lalu, mendadak hatinya berdebar kaget. Dia melihat seorang
lelaki berpakaian lengkap, dengan jaket, berdiri di tepian yang
berseberangan. Mereka sempat bertatapan pandang. Tiga detik?
Empat detik? Orang itu berbalik dan pergi.
He! Darsan berteriak. Kali ini nadanya keras menghardik.
Tapi dia tidak bergerak karena sadar tidak akan bisa mengejarnya
cepat-cepat.
Sebelum hari gelap, dia menuju ke rumahnya. Siapa tahu
orang itu mencari dia di sana. Sampai dia berangkat tidur malam
itu, tak ada yang mengganggu Darsan.
Keesokannya, dia hampir tidak bisa berjalan. Tiba-tiba ka-
kinya kanan sakit sekali. Dia tidak jatuh ataupun terkilir kema-
rin. Sambil minum kopi, pandangnya untuk kesekian kalinya
lepas melintasi kebun, menggapai cakrawala yang perak berki-
lauan. Ingatannya melayang.
Hari itu dia tidak pergi jauh. Tetapi dia melihat kembali dua
lelaki yang kemarin, ditambah seorang lagi yang berpakaian sport
putih-putih sambil berjalan mengayunkan tongkat golf. Mereka
muncul tiba-tiba di suatu tempat dan hanya selama beberapa
kejapan pandang.
Kejadian itu berulang pada hari-hari selanjutnya. Semakin
hari, Darsan semakin gelisah. Terhitung lima orang yang terkum-
pul di pulaunya.
Kemudian sore kemarin ketika kembali dari bukit memetik
kelapa muda, Darsan melihat seseorang sedang berjongkok be-
kerja di halaman. Mendengar suara pintu, orang itu menegakkan
badan dan membalik ke arah luar.
Seketika itu Darsan terlonjak hampir pingsan: orang itu ba-
gaikan kembarnya. Itu pakaiannya! Itu wajahnya! Sejenak orang
itu memandanginya, tetapi segera melihat ke belakang Darsan
sambil menggerakkan kepala seolah-olah menyalami. Darsan

29
menoleh. Kelima laki-laki lain yang sehari-hari telah membuntuti-
nya berdiri tidak jauh. Mereka berpenampilan sama seperti di
masa lampau. Darsan pakai topi merang, tangan hitam penuh
lumpur. Darsan bercelana, berkaos dan mengenakan sandal jepit.
Itu adalah pakaian dinasnya sebagai tukang becak.
Kepala Darsan pusing. Dia mengarahkan pandang ke hala-
man lagi. Orang itu telah lenyap. Dia menoleh, lima laki-laki
lainnya juga menghilang. Darsan terduduk dan merenung di
bangku kebun.
Jadi, semuanya adalah bayangan dirinya sendiri.
Dimulai dari saat dia mengenangkan masa lampaunya,
bermunculan wakil-wakil dari masa yang telah menggembleng-
nya ke arah kehidupan sekarang. Gogo di sungai yang membuah-
kan busul membakar ngilu, puluhan akhir pekan di gunung di
kala dia mengantar tamu asing berlintas alam jalan kaki, bermain
golf sebagai ukuran gengsi konglomerat.
Darsan sadar. Di waktu berada di dunia ramai dia tidak sem-
pat memikirkan dirinya secara berkesinambungan. Tidak sempat
sakit karena waktunya tersita mengurusi perusahaan, memikir-
kan penambahan laba, bersenam otak menemukan lapangan
kerja dengan menggunakan laba tersebut. Berupaya agar ling-
kungannya dapat turut memanfaatkan hidup baik dan sejahtera.
Menyepi di suatu tempat mungkin baik untuk beberapa waktu.
Tapi dia tidak berhak meninggalkan tugasnya memikirkan orang
lain. Dia tidak berhak membentuk kekosongan arti kehadirannya.
Pulau kehidupannya yang sesungguhnya bukanlah di bong-
kahan tanah yang telah dia beli itu. Walaupun dia tidak merasa
kesepian, ternyata bawah sadarnya menderita, menghayati ke-
sengsaraan orang lain di lingkungannya.
Darsan harus pulang. Rumahnya adalah di tengah-tengah
manusia yang membutuhkan bantuannya. Di sana itu pula pu-
launya yang sesungguhnya.

30
Ayam

“Pilih bambu yang tua, Pak. Yang lurus dan tua. Beli lebih.
Biar tersisa tidak apa-apa. Biasanya kalau musim hujan tiba,
tidak akan ada kiriman lagi dari desa. Sewaktu-waktu kita me-
merlukan buat cagak atau palang, sudah ada cadangan di ru-
mah.” Sumantri memberikan uang kepada pekerja.
Sekarang, kandang sudah selesai. Empat puluh ayam kam-
pung berbagai umur terlindung di dalamnya. Di sekat-sekat ber-
isi campuran yang sesuai, pasangan atau keluarga. Setiap pagi
mereka akan dilepas, dibiarkan keluar bergerak dalam ling-
kungan yang berpagar. Panjang dan lebarnya tidak kurang dari
dua puluh lima langkah. Di situ mereka bisa mengais atau terjun
ke selokan. Air dari dapur selalu membawa butir-butir nasi atau-
pun makanan lain yang tidak turut terbuang ke dalam sampah.
Sumantri puas memandangi kenyataan impiannya. Dua puluh
tahun dia sudah setia menunaikan tugas sebagai pegawai negeri.
Di zamannya, tidak ada istilah “tempat yang basah” untuk
menyebutkan sesuatu bagian sebuah instansi yang memberi ke-
untungan pribadi. Sebagai kepala kantor, dulu Sumantri dikenal
keterlaluan menuruti kelurusan jalannya. Semua dia sangkutkan
pada keadilan dan harga dirinya. Pantang dia meminta. Me-
nerima yang bukan haknya pun dia malu.
Tak sudi. Orang seangkatan, atau yang berada sedikit di ba-
wahnya, bila berhenti bekerja sudah mampu membeli rumah
batu. Sumantri tidak.

31
Rumah papan milik orang tuanya yang berada di kampung
tidak ada yang menunggui. Maka dia bawa istri beserta tujuh
anaknya pulang ke sana. Karena dia tidak pernah menjadi ang-
gota sesuatu partai buruh pun, pesangonnya penuh. Hampir
lima juta rupiah waktu itu.
Ketika menerimanya, dari kantor dia langsung ke toko, mem-
beli salah satu idamannya: televisi berwarna. Di kompleks per-
mukiman instansinya, hanya dia yang masih menggunakan ko-
tak berlayar kecil dengan gambar hitam-putih.
Sumantri memang sangat meneguhi sikap hidup yang lurus.
Ketaatan pada kejujuran menyebabkan dia menolak semua ha-
diah pribadi berbentuk benda yang dianggap terlalu berharga. Ma-
kanan dan barang kecil-kecil lainnya dia terima. Itu pun segera dia
bagi kepada mereka yang kebetulan ada di dekatnya. Dia juga
bukan kepala kantor yang tidak bergerak. Kota-kota di pesisir utara
dia kenal. Jaringan instalasi telepon hingga ke pelosok pernah dia
tangani. Tidak ada tukang atau sopir kantor telepon yang tidak
mengenal namanya di zaman itu. Karena Sumantri tidak pernah
ragu-ragu memanjat tiang dan menarik kabel sendiri.
Setelah mapan di dalam kampung, rumah menjadi kan-
tornya. Tiada hari berlalu tanpa dia mengerjakan pertukangan.
Kerusakan apa pun selalu dia bereskan sendiri. Halaman depan
asri, berisi tanaman hias. Bersama istrinya dia menggarap sendiri
semuanya.
Setelah sembahyang subuh, pekerjaan pertama baginya ialah
membuka pintu-pintu kandang. Di saat itulah kepuasan batin
seorang pensiunan menghangati jantungnya. Sumantri berdiri
di tengah-tengah latar berpagar, memandangi ternaknya yang
bertambah dari waktu ke waktu. Dia sanggup menelan sekaligus
empat hingga lima telur ayam kampung setiap hari. Kenikmatan
yang dia rasakan jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya. Di
dapur, tiada bosannya dia melayangkan pandang ke keranjang
tempat butir-butir itu bertumpuk. Indah sekali. Pertemuan apa
pun yang dia hadiri, selalu menjadi dalih untuk menawarkan
hasil kandang di halaman tempat tinggalnya.

32
Dulu dia malu menjual. Dia bukan keturunan pedagang.
Apalagi saudagar. Sejauh dia ingat, leluhurnya selalu menjabat
sebagai patih, kanjeng atau bupati. Bapaknya sendiri adalah
wedana yang dihormati. Sejak kecil, Sumantri dijubeli dengan
cita-cita mengabdi pemerintah dengan jalan yang sama. Pen-
jualan hanya dilakukan oleh kasta lain. Bukan oleh keturunan
kanjeng atau patih seperti dia.
Tapi, sejak perantauannya ke Irian, Sumantri mengurangi
kekakuan sikap dalam hal itu.
Benar. Dia pernah menjadi tenaga perintis, turut membangun
serta mengembangkan jaringan telepon di wilayah yang waktu
itu baru jatuh ke pangkuan RI. Ketika atasannya bertanya apa-
kah dia mau berangkat, Sumantri ganti bertanya kepada istrinya.
Ibu tujuh anak, dari umur remaja turun ke satu tahun itu tegas
menjawab: berangkat.
Kehidupan di rantau sederhana sekaligus berlebihan. Tidak ada
pembantu. Semua urusan rumah tangga dan kantor harus langsung
dirampungkan sendiri. Kebalikannya, makanan dalam kaleng yang
merupakan kemewahan di Jawa, di sana mudah dibeli. Di saat-saat
kapal datang berlabuh, orang bisa mendapatkan daging segar dan
semua perbekalan. Beras yang sesungguhnya termasuk bahan pangan
mahal di Irian tidak menjadi masalah, karena Sumantri mendapat
jatah dari kantor. Secara berkala, ada toko yang mau menjual ketan.
Semua itu dengan mudah terbeli oleh gaji Sumantri. Hal itu tidak
masuk di akal seandainya dia berada di Jawa.
Lebih-lebih yang gampang terbeli setiap saat ialah ikan laut.
Membeli seekor ikan sama seperti menyembelih seekor anak
sapi. Harus seminggu menghabiskannya.
Pada waktu itu, istri Sumantri segera tanggap. Dia mengerti
bahwa penghuni kota yang kebanyakan terdiri dari pendatang
itu membutuhkan suguhan makanan tertentu. Dia tukang masak
unggul bagi keluarganya. Lalu keunggulan itu dimanfaatkan
untuk dijual. Dia bikin risoles dan kroket. Isi makanan diganti
dengan ragout ikan laut. Rempah-rempah ditambah lebih banyak
guna mengurangi keamisannya.

33
Tidak sukar menitipkan dagangan tersebut di sebuah toko.
Yang sulit ialah membujuk suaminya keturunan wedana itu
supaya sudi mengantarkan makanan ke tempat penjualan.
Namun, berkat kegigihannya dalam mengatasi kerepotannya,
istri pegawai negeri itu bisa menyampaikan masakannya ke toko.
Dua bulan lewat. Di situlah Sumantri menyatakan bahwa
gajinya utuh. Keluarga dapat hidup dari hasil masakan ibu rumah
tangga. Barulah mata hati keturunan patih dan bupati itu
terbuka. Untuk selanjutnya, gaji bisa digunakan sebagai peng-
angsur mobil dan lemari es. Dan setiap pagi, dengan hati ringan,
wajah cerah, Sumantri tidak hanya mengantar anak-anak ke
sekolah, melainkan juga keranjang berisi berbagai makanan. Keti-
ka mereka pulang ke Jawa, di seluruh permukiman instansinya,
hanya mereka yang memiliki lemari es dan mobil pribadi.
Kepuasan mapan di rumah kayu yang telah diperbaiki de-
ngan uang pesangon agak tergoncang sewaktu beberapa kenalan
memberikan pendapat. Mengapa Sumantri tidak membeli rumah
sendiri? Atau, dia sebenarnya bisa membeli tanah, lalu mendirikan
rumah sederhana di atasnya. Kemudian rumah itu dikontrakkan.
Sambil menempati rumah di kampung, dengan uang kontrakan,
secara berangsur-angsur Sumantri dapat mengadakan perbaikan.
Terus terang, gagasan itu tidak pernah terlintas di kepala Sumantri.
Maklumlah dia bukan keturunan orang yang biasa memperhi-
tungkan untung-rugi. Pada saat itu, hampir-hampir dia menyesali
nasib tidak lahir di keluarga pedagang. Namun, kegelisahan
hatinya menghilang berkat hiburan istrinya: sisa pesangon masih
ada, ditabung untuk sekolah dua anak yang bakal keluar SMA.
Dan Sumantri meneruskan kelangenannya memelihara
ayam. Cukup banyak kenalan yang memesan telur. Konon, telur
ayam kampung lebih manjur sebagai campuran ramuan obat.
Menuruti usul istrinya, Sumantri menyekat kandang yang
dikhususkan bagi ayam-ayam berbulu hitam saja atau putih saja.
Keduanya sering dicari orang. Itu diperlukan untuk melengkapi
persyaratan dalam kenduri kaulan atau ruwatan.
Kemapanan Sumantri di kampung disyukuri orang banyak.

34
Sehabis Jumatan, tabungan kaleng di masjid dibuka. Kalau ada
lembaran uang ribuan, orang dapat memastikan bahwa itu
adalah sumbangan Sumantri dan istrinya. Anak-anak mereka
juga selalu kelihatan memasukkan kepingan ratusan, bahkan
lembaran lima-ratusan. Di waktu RT mencari sumbangan buat
kegiatan lingkungan, dari ketukan pintu di rumah Sumantri
selalu menghasilkan dana yang tidak mengecewakan.
Dan yang lebih-lebih lagi merasakan keuntungan kepindahan
tersebut adalah tetangga yang tinggal di belakang rumahnya.
Sumantri memang agak menganggap enteng perbaikan pagar
yang membatasi halamannya dengan deretan permukiman di
bagian belakang. Antara tetangga, apalagi di kampung, apalah
masalahnya. Tidakkah terkenal bahwa rasa kedekatan dan go-
tong royong masih mendalam di desa dan kampung? Sumantri
hanya membeli gedek, anyaman bambu sebagai pagar. Kemudian
supaya kuat, digapit dengan batangan bambu lain, diselingi
perdu-perdu yang menghasilkan dedaunan untuk lalapan.
Setahun Sumantri tidak terganggu oleh keputusannya itu.
Dia tenang menikmati kehidupan bekas pegawai negeri kantor
telepon yang puas dengan seratus ribu uang pensiun bersama
ternak ayamnya.
Tiba-tiba di suatu pagi buta, dia menemukan dua ayam asing
berjalan santai di lingkungan kandang besar. Petak-petak ayam-
nya sendiri belum dibuka. Suara berkotek mengundangnya
untuk mengangkat kepala. Tiga ayam lain bertengger di pagar
setinggi satu setengah meter, siap akan terjun ke halamannya.
Maka sejak hari itu, perang dingin yang sebenarnya telah
dimulai dari masa perbaikan rumah, meningkat dalam bentuk
kebekuan yang menguasai pikiran Sumantri setiap saat setiap
waktu.
Tidak seperti tetangga-tetangga lain, penghuni di belakang
rumahnya termasuk golongan orang kaya baru yang nyata di-
ciptakan Tuhan untuk menggoda keteguhan orang beriman. Teta-
pi rupa-rupanya Sumantri tidak menyadari hal itu. Ketika dia
memulai perbaikan rumah orang tuanya, dari kelurahan datang

35
petugas untuk memeriksa. Katanya, lurah menerima laporan
bahwa Sumantri sedang membangun rumahnya menjadi ber-
tingkat. Itu akan mengganggu keselarasan kampung. Apakah
ada izinnya?
Seumur hidup pengabdiannya kepada pemerintah, Sumantri
selalu jujur. Dia mengetahui dan menganut semua aturan. Agak
tersinggung, dia menjawab, bahwa dalam perbaikan itu dia
menuruti pola lama. Tidak dibutuhkan izin apa pun. Tetapi
karena kelurahan tetap merongrong, mengikuti petunjuk istrinya
yang tanggap, Sumantri terpaksa memberi amplop kepada kepala
kampung.
Baru kemudianlah Sumantri mengetahui dari para tetangga
lain bahwa sering kali orang di belakang itu bersekongkol dengan
lurah mereka.
Tidak lama dari kejadian tersebut, seolah-olah takut dida-
hului, orang kaya baru itu justru menambah bangunan di atas
atapnya, menjadi tingkat dua. Meskipun bahannya dari seng,
ketinggiannya menutupi kelepasan pandang dari halaman
Sumantri.
Hati pensiunan pegawai negeri yang tak pernah mengambil
jalan menyimpang itu tertekan dua kali: karena telah menyuap
dan karena kelepasan pandangnya tersumbat. Dan itu belum
sembuh ataupun reda, kini dia menyatakan bahwa tetangga
belakang menggoda dengan ternak barunya. Setengah bermental
orang kampung setengah desa, meskipun tidak memiliki hala-
man pun mungkin dia pikir bisa beternak seperti Sumantri.
Jadi, dia mengharap ayam-ayamnya mencari makan di rumah
tetangganya.
Menempel pada pagar Sumantri, dia bangun sebuah kandang
dari bahan bekas bangunan dan kotak sabun, beratap se-
jangkauan loncatan ayam.
Pagi-pagi Sumantri mengintip. Dia memperhatikan ulah si
binatang bersama yang empunya. Terdengar suara orang itu
menggusah, mengusir. Ayam muncul dari bawah lindungan, lalu
diarahkan supaya naik ke atap setengah kandang tersebut. Diusir

36
lagi supaya naik ke pagar. Sampai di sana disorong-sorong de-
ngan tangkai sapu. Tentu saja binatang-binatang itu turun ke
tempat Sumantri.
Ketika sore, suara tetangga itu memanggil-manggil. Anehnya,
binatang berkepala kecil itu menurut. Mereka mengadakan perja-
lanan pulang, melewati loncatan-loncatan ke batang jambu, ke-
lapa gading yang baru tumbuh, ke perdu, terus ke ujung pagar.
Lalu menghilang di sebaliknya.
Sumantri memotong semua cabang yang menyentuh atau
berdekatan dengan pagar. Tetapi ayam-ayam terlanjur mahir
terbang. Kebanyakan kabur lenyap. Yang masih muda kurang
pengalaman, tersangkut tidur di cabang dan dahan yang masih
ada. Rupanya si pemilik tidak khawatir. Barangkali dia yakin
bahwa Sumantri tidak akan berbuat sesuatu yang menyalahi
kelurusannya.
Namun, kebekuan yang menggumpal di dada semakin me-
nekan. Terjadi perbantahan sendiri: Sumantri “harus” menga-
lahkan harga dirinya, merunduk merendahkan diri, membicara-
kan semuanya baik-baik ke rumah tetangga. Atau, dia harus
berbuat penyimpangan. Tapi benarkah ini penyimpangan?
Bukankah ada peraturan, jika dahan pohon orang lain meng-
gelayut ke halamannya, dia berhak memotong dahan tersebut?
Dia pikir, binatang sama saja!
Belum mengambil sesuatu tindakan, tersusul munculnya se-
ekor induk yang dikerumuni delapan bulatan kecil coklat keku-
ningan. Tidak mungkin mereka terbang melewati pagar! Su-
mantri melangkah menyelidiki. Dia meniru polisi-polisi dalam
film yang disiarkan TVRI. Dia memeriksa bawah pagar sejengkal
demi sejengkal. Ah, ada satu bagian yang tersobek, diganjal de-
ngan batu. Hanya benda tajam yang bisa membikin kerataan
potongan itu.
Lalu mulailah perburuan. Dia kejar, dia usir ayam-ayam itu.
Binatang yang kelihatan tenang tanpa dosa itu ternyata sigap,
tidak mudah ditangkap. Satu kali, Sumantri berhasil menjebak
seekor jantan. Gagah, berbulu hitam, dan merah-hijau mengkilat.

37
Dia masukkan ke dalam tas, dia buang ke jalan besar. Makanan
beracun disebar di sekitar. Ayamnya sendiri dikurung. Tetapi
ayam tetangga tidak sudi menyentuhnya. Bahkan semakin
kurang ajar. Jago-jago kecil berani menggigiti mencoba
mematahkan bambu kandang ayam hitam dan ayam putih
mulus. Kemurnian rasnya terancam!
Di saat itulah Sumantri kehilangan akal jernihnya.
Dia keluarkan senapan angin yang telah lama tertidur di
gudang sejak dia sekeluarga kembali dari Irian. Ketika petang
mulai mengembangkan sayapnya, dia duduk di tempat yang
tersembunyi. Sambil menunggu, mulutnya bergerak-gerak,
menggerutu tanpa ujung pangkal. Seekor demi seekor, ayam
mengikuti nalurinya, mulai berpulangan tanpa dipanggil.
Sumantri mengangkat bedil. Begitu ayam mencapai pagar,
dia membidik. Satu kali, dua kali, terdengar bunyi “klang”.
Tembakannya meleset, menghantam dinding tingkat atas.
Tetapi tidak jarang dia mengenai sasaran. Dan di saat tubuh
ayam tetangga itu terjatuh ke balik pagar, Sumantri meringis.
Di matanya menari-nari sinar giras yang belum pernah
terlihat di sana.

38
Hanya Seorang Ibu

Mataku silau. Ya Allah. Mengapa aku begini berani menyanggupi


berbicara di depan kamera! Apa yang mendorongku mau menerima
ajakan wartawati asing ini? Bayaran dinar, ya benar! Itulah yang
menggiurkanku. Kami tidak pernah memiliki uang cukup untuk
bisa menabung. Ada saja kebutuhan yang mengejar kami. Tetapi
bujukan wartawati berupa pemberian sejumlah dinar sebagai bayaran
ceritaku sebenarnya juga ditambah sebab yang lain. Aku melihat
dia mengusap matanya berkali-kali ketika meliput berita peledakan
tangsi perwira Prancis di Skikda. Dia turut menyaksikan istri-istri
bersama anak mereka berangkulan tersedu-sedu meratapi kematian
suami dan ayah mereka. Di dalam tangsi juga terdapat tentara Aljeria
yang sedang belajar. Ibu-ibu berkerudung berkerumun di trotoar,
harap-harap cemas menunggu berita mengenai anak-anak mereka.
Semoga Tuhan memaafkan aku. Uang yang akan kuterima
adalah halal. Aku disuruh bercerita di depan alat perekam
gambar. Janji sejumlah dinar itu bukanlah godaan setan. Kami
benar-benar memerlukannya untuk membayar pemakaman dan
perawatan rumah sakit.
“Arahkan lampu ke samping!” wartawati itu agak keras ber-
bicara. “Tidakkah kalian lihat matanya berkedip?”
Lalu dia mendekatiku, katanya, “maaf, Nyonya,” sambil me-
narik cadar di kepalaku ke depan sehingga lebih melindungi
bagian kanan wajahku.

39
“Begini lebih nyaman? Kurang silau?”
Dia melabuhkan pandangnya yang biru seindah perbukitan
Djeffa tempat kelahiranku, tepat di mataku. Manisnya anak
ini. Barangkali kepribadiannya yang ditopang kebiruan cahaya
itu pulalah yang memicu keberanianku hingga sanggup menu-
turkan semuanya di hadapan orang-orang ini.
Kutundukkan mukaku. Terasa ada gumpalan membara me-
landa tenggorokan, mendesak naik sampai ke wajahku. Genang-
an air membanjiri mataku. Hafiyah. Hanya dia dari sembilan
anakku yang memiliki mata biru seperti neneknya. Hafiyah dela-
pan belas tahun. Gadis calon guru, sekolahnya tinggal setahun
lagi. Dia akan menjadi wanita lebih baik dari neneknya, dari
diriku, dari semua kakaknya. Hafiyah. Mendadak kurasa ada
sesuatu menyentuh tanganku. Jari-jari wartawati itu menekannya
lembut.
Kutegakkan kepalaku. Kutelan kembali air asin yang melanda
hidung dan pelapukan. Kami berpandangan. Tanpa ucapan satu
kata pun, kami berdua saling memahami. Aku harus meneruskan
langkah ini, di antaranya juga demi Hafiyah, demi ibu-ibu lain,
demi perempuan-perempuan lain.
Seorang laki-laki mendekati kami. Dia memegang satu alat,
diarahkan pada sisi telingaku.
“Saya mengukur kepadatan sinar, Nyonya.”
Aku tahu. Aku mengenali jenis benda tersebut. Salah seorang
majikanku juga suka memotret dan memiliki benda semacam
itu. Aku diajari membenahi dan merapikan peralatannya, mana
yang masuk ke kopor logam, mana yang masuk ke dalam tas.
Kalau aku melihat barang-barang itu di meja atau di sofa, harus
segera disimpan baik. Karena anak-anaknya masih kecil, belum
tahu nilai dan kegunaannya.
“Nyonya jangan sungkan-sungkan,” wartawati itu meng-
ulangi arahannya sekali lagi, “Anda hanya bercerita apa saja yang
ingin Anda katakan.”
“Saya agak gugup. Mudah-mudahan saya tidak akan melu-
pakan hal-hal yang penting.”

40
“Jangan khawatir. Saya akan mengingatkan Anda. Suara saya
tidak akan masuk rekaman.”
Demikianlah, selama lebih dari satu jam kemudian, aku
berbicara seorang diri. Berkali-kali aku terhenti karena rasa keha-
ruan. Kupaparkan peristiwa-peristiwa dalam hidupku, dari awal
pernikahan sampai saat-saat kerunyaman yang menghancurkan
keluarga kami. Saat-saat yang selalu membangunkanku di waktu
malam, yang mengusikku di sela-sela kesibukanku ketika pagi,
siang atau sore.
“Skikda kota pantai yang hangat. Seperti tempat-tempat lain
di tepi Laut Tengah, daerah permukimannya mengelompok ber-
warna putih kekuningan, tersusun naik menjauhi pantai. Ke sa-
nalah saya diboyong laki-laki dengan siapa saya menikah dua
puluh empat tahun yang silam. Segera setelah mengunjungi mer-
tua, kami berpindah dari kota ke kota pinggiran Laut Tengah.
Bahkan ke ibu kota Aljir. Bahkan ke tepian seberang di negeri
Prancis, di mana selama dua tahun suami saya menjadi buruh di
sebuah peternakan. Tetapi ketika mertua lelaki saya meninggal,
tokonya terbengkalai. Saudara-saudara suami saya tidak ada yang
sanggup mengelola atau meneruskan usaha ayah mereka.
“Buat apa menjadi pedagang kacang-kacangan dan gandum?
Kacang shish, cabe kalengan harissa dan nasi kuskus bisa dibeli di
mana saja! Mempunyai toko begitu berarti hidup kita tersekap
terus di sana!” kata seorang saudara iparku.
Maka diputuskan bahwa siapa yang mau mengelola toko
tersebut juga akan memilikinya bersama rumah tempat tinggal
yang bergandengan di sisinya.
Sebagai istri, jarang sekali saya bisa mempengaruhi suami saya.
Tetapi untunglah, dalam hal toko itu saya berhasil melunakkan
kekerasan kepalanya. Saya katakan bahwa tempat tinggal dan toko
merupakan kesempatan luar biasa. Artinya, kami bisa menetap,
dan anak-anak bisa bersekolah mantap di negeri sendiri.
“Ternyata pengalaman bekerja di Prancis juga dapat saya man-
faatkan. Selagi suami mengelola toko, saya menjadi pembersih
rumah-rumah orang asing terdekat dengan permukiman kami.

41
Dibantu anak-anak yang menerima pelajaran bahasa Prancis, saya
bisa menulis dan berbicara bahasa tersebut. Yang tertulis tidak
banyak, cukup untuk membaca dan menyampaikan pesan belanja.
Maka tidak sedikit majikan saya yang juga menjadi langganan
toko kami.”
“Anak Nyonya berapa?” bisik wartawati kepadaku dari ke-
jauhan.
“Di Skikda itulah kami menetap. Anak kami sembilan. Tetapi
pada kejangkitan wabah demam, Tuhan mengambilnya empat
orang. Ibu mertua saya juga meninggal pada musibah itu. Lalu
saya mendatangkan ibu saya dari Djeffa, karena di sana dia
juga sendirian. Hidup kami senang. Anak saya tinggal lima, tiga
perempuan, dua laki-laki. Karena merasa cukup dalam hal
keuangan, anak-anak kami sekolahkan semua. Mereka menye-
lesaikan sekolah dasar. Yang laki-laki bisa dua tahun di sekolah
teknik, lalu tidak mau meneruskan. Sedangkan yang perempuan,
hanya Hafiyah yang mampu lulus sekolah dasar, sekolah me-
nengah, lalu meneruskan ke pendidikan guru.”
Aku berhenti. Sekali lagi ada bongkahan yang menekan
dadaku. Kulihat wartawati bangkit, pandangnya bertanya. Seba-
gai jawaban, cepat-cepat aku meneruskan ceritaku. Aku harus
kuat menaklukkan kecengenganku.
“Mempunyai anak lelaki rasanya berbeda dari mempunyai anak
perempuan. Bagi bangsa kami, anak laki-laki adalah penerus
keluarga, gantungan cita-cita dan nasib keluarga. Entah mengapa
demikian. Padahal, anak-anak perempuan yang sudah kawin
terbukti juga mampu mencari nafkah membantu belanja rumah
tangga. Padahal semua orang lahir dari rahim wanita. Raja yang
paling kuasa sekalipun tidak akan bisa menjadi raja jika tidak
dilahirkan oleh ibunya. Bersama Hafiyah, saya sering mem-
perbincangkan hal itu. Dia adalah satu-satunya anak perempuan
saya yang serba memprotes jika merasa kami membedakan
perlakuan terhadap kakak-kakaknya lelaki dan yang perempuan
atau dirinya. Tidak hanya kami yang diprotes. Rupanya guru agama
pun begitu pula. Menurut ceritanya, guru agama itu selalu menakut-

42
nakuti anak-anak perempuan yang tidak rajin mengenakan cadar.”
“Kalian akan masuk neraka, menjadi hamba-hamba syaitan
di kerajaan api!” demikian ajarannya. Maka karena takut men-
jadi penghuni neraka, siswa-siswa perempuan patuh mengenakan
jilbab di atas kaftan mereka. Dan ketika saya bertanya apakah
dia mengenakan cadar juga karena sebab yang sama, sambil ter-
tawa, anak saya Hafiyah menjawab, dia suka mengenakan pakaian
tertutup demikian karena ingin memiliki kulit putih bersih.
“Kalau terkena matahari setiap saya keluar, kulitku bisa se-
hitam Kak Syuhdi atau Mukdin,” katanya sambil terus tertawa.
Ingatan terhadap suara dan ketawa ringan Hafiyah itu mem-
beri kecerahan di hatiku. Sambil agak tersenyum, kulanjutkan
ceritaku betapa anakku yang satu itu tidak tahan lagi berdiam
diri ketika gurunya mengatakan bahwa penghuni surga keba-
nyakan kaum lelaki. Anakku bertanya mengapa. Sahut gurunya
ialah karena banyak wanita yang gagal menyelesaikan puasanya
di bulan Ramadan disebabkan oleh masa haid mereka, dan
karena banyak istri yang tidak cukup meminta maaf kepada
suami mereka. Hafiyah membantah; katanya, Tuhan yang Maha
Adil tidak mungkin membikin umat-Nya perempuan tersiksa
semacam itu.
Bukankah Dia pula yang membikin kaum wanita mendapat
haid? Apalagi, banyak wanita yang membayar utang puasa me-
reka setelah bulan Ramadan usai. Guru agama belum pernah
pergi ke surga. Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan tentang
sensus penduduk surga. Bagaimana dia dapat mengatakan me-
ngenai banyak sedikitnya orang perempuan di sana! Gurunya
mengatakan istri-istri setiap malam harus bersikap rendah hati
sambil meminta maaf kepada suami mereka. Mengapa tidak
kedua suami-istri yang saling meminta maaf? Atau meminta
maaf kepada Allah, Yang Paling Kuasa dan Akbar dari segalanya?
Anakku Hafiyah selalu bersemangat menyampaikan kekesalan
hatinya kepadaku. Katanya, semuanya itu disebabkan karena
disebutkan di Kitab Suci bahwa lelaki bertingkat satu derajat
lebih tinggi dari wanita. Konon karena Hawa diciptakan sesudah

43
Adam. Di dalam Al-Qur’an tidak tertulis tentang Allah meng-
ambil tulang rusuk Adam sebagai bahan pembuatan Hawa. Itu
hanya legenda yang memitoskan.
Lalu anakku itu sampai kepada keputusan yang menakutkan,
yaitu karena Kitab Suci itu sedari berabad-abad disalin terus-
menerus oleh tangan-tangan manusia, maka kemungkinan besar,
di waktu menyalin, terjadi perubahan-perubahan dan tambahan.
Bukankah para penyalin itu kaum pria? Besar praduga anakku
Hafiyah bahwa banyak kata-kata yang dimaksudkan agar kaum
perempuan selalu berada di pihak yang terkalahkan, dirugikan.
“Saya sering kali merasa capek mendengarkan omelan anak
yang saya anggap paling pandai dan paling cerdas itu. Apa pun
yang dia katakan, perhatian saya tetap lebih besar terhadap anak-
anak lelaki. Syuhdi semakin jarang berada di rumah. Apabila
saya mengeluhkan kerinduan saya kepada Syuhdi, ayahnya
membelanya,
“Biarkan dia! Anak laki-laki! Ke mana pun dia pergi, kita
tidak akan mendapatkan aib karena tingkahnya!”
“Saya memang mempercayai suami saya. Lelaki bisa memper-
tahankan diri. Dia tidak bakal pulang membawa janin di perut-
nya. Jika anak lelaki tertua kami itu muncul, selalu menjadi
lebih kurus, rambut kusut. Lalu saya repot berusaha menyenang-
kan hatinya. Saya juga tega mengambil uang di kas toko untuk
berbelanja apa saja yang dia perlukan atau ingin makan. Setelah
tinggal bersama kami beberapa hari, Syuhdi menghilang kembali
entah ke mana. Oleh karena itu, Mukdin yang lebih muda pun
saya manja-manjakan, karena saya khawatir, dia juga tidak akan
lama selalu bersama kami. Namun, ternyata Mukdin berlainan
dari kakaknya. Walaupun tidak mau melanjutkan sampai kelas
penghabisan di Sekolah Teknik, dia cepat mendapat pekerjaan
di sebuah bengkel perbaikan alat elektronik rumah tangga. Setiap
menerima gaji, tidak pernah lupa memberi hadiah kepada adik-
adik dan kakaknya. Bahkan ketika pulang dari Aljir, dia mem-
bawakan kaftan bagus untuk ayahnya dan sebuah peniti hias
berukir dari perak untuk saya. Indah sekali!”

44
Tentulah wartawati itu melihat wajahku bersinar bahagia.
Tampak dia tersenyum kepadaku sambil mengangguk.
“Dari kedua anak kami perempuan, yang tertua sudah mem-
berikan tiga cucu. Yang seorang di Annaba bersuamikan seorang
tukang kayu, bekerja di pelabuhan; yang seorang lagi tinggal di
Paris. Suaminya pembersih sebuah perusahaan besar. Dia sendiri
bekerja di beberapa rumah tangga. Penghasilan mereka cukup
sehingga setiap tahun mereka dapat pulang menengok kami
dan keluarga suaminya. Pendek kata, hidup kami biasa: makan,
berpakaian, membiayai anak sekolah. Tanpa bisa menabung,
tetapi juga tidak tercekik oleh para rentenir yang serakah itu.”
Tuhan Maha Pemurah. Setiap kali bersembahyang, aku bisik-
kan rasa terima kasihku kepada Allah Yang Maha Akbar karena
mengaruniai kami kehidupan keluarga yang bahagia. Hanya
Syuhdi yang tetap kucemaskan. Kumohon agar Tuhan selalu
melindungi anak-anakku di mana pun mereka berada.
Sudah lebih dari dua bulan Syuhdi tidak muncul. Sungguh hatiku
kecut bila memikirkan dia. Tahun itu, negeri diguncang oleh pen-
culikan-penculikan anggota pemerintah dan orang-orang Prancis
yang bertugas di Aljir. Disusul ledakan kantor-kantor penting di
kota-kota besar. Bahkan sekolah-sekolah. Semua itu mengorbankan
nyawa tentara, wanita, dan anak-anak. Di televisi disiarkan berita
kekacauan tersebut. Kabarnya golongan Islam fundamentalis yang
amat kejam dan kaku itulah penanggung jawab segala tindakan ke-
kerasan. Hafiyah semakin gencar mengkritik golongan yang memang
sedari dulu dia anggap melecehkan kaum wanita, tidak manusiawi,
hanya mementingkan aliran agama dan kelompoknya.
Lalu tibalah saat musibah itu.
Hari itu aku bekerja membersihkan hanya dua rumah tangga.
Sebelum pulang, aku sempat belanja sayuran untuk kuah nasi
kuskus. Sisa panggang domba masih ada; itu dapat dicampurkan
di dalam kuah, dan kuskus dikukus di atasnya sehingga menda-
pat uap yang berbau sedap. Sebelum pukul dua belas, aku sudah
tiba di rumah. Kemarin Hafiyah mengatakan juga akan pulang
lebih awal karena tes-tes kelas yang lebih rendah. Begitu pintu

45
depan terbuka, aku melihat Syuhdi duduk di tikar menghadapi
dua wadah makanan. Dia selalu kelaparan jika pulang. Suamiku
tampak di sana pula, di depan agak ke samping. Kudengar suara
anakku perempuan melayani seorang langganan di toko. Kuucap-
kan salam dengan ringan hati. Sungguh aku berterima kasih
kepada Allah karena membawa anakku pulang. Kemudian aku
menyingkap korden ruangan tidur, membuka kerudung dan
meletakkan tas. Kudengar ada ucapan salam yang keras dari
luar. Kuduga suamiku bangkit ke pintu untuk melihat siapa
yang berkunjung. Seketika itu pula terdengar ribut-ribut, disusul
tembakan satu kali, dua kali, tiga kali, kemudian berentetan
diiringi teriakan dan jeritan Hafiyah. Lalu sepi.
Aku berhenti lagi bercerita, mengatur pikiran, menata napas.
Aku cepat melanjutkan karena khawatir akan kehilangan rantai
kisahku,
“Ketika saya menguakkan korden mengintip ke ruang tengah,
tampak Syuhdi tersungkur di dekat jendela, tangannya meme-
gang pistol. Di dekat pintu masuk, ayahnya terduduk pada din-
ding, nyata dadanya berlumuran darah. Anak saya Hafiyah ma-
sih berdiri, bersandar di ambang pintu yang datang dari toko.
Tangannya memegangi bawah dada. Warna merah tua jelas
mengacaukan kerudung putihnya. Tiga atau entah berapa laki-
laki hilir mudik, ke atau dari toko. Yang lain mendorong saya,
masuk ke kamar, melongok ke setiap sudut. Bau mesiu me-
nyesakkan hidung.”
Lalu bagaikan menyitir hafalan, kubuka hatiku menyampaikan
kesedihanku ditinggal mati suami dan anak lelakiku Syuhdi. Hafiyah
luka parah. Pihak tentara yang berpakaian biasa hanya bertugas
menangkap Syuhdi. Tetapi karena anakku melepaskan tembakan
ke arah mereka dan malahan membunuh ayahnya sendiri, maka
tentara terpaksa membalas. Hafiyah yang baru akan masuk dari
toko turut terlibat, terjebak dalam kegentingan tembak-menembak.
Iga-iganya hancur, satu peluru bersarang di paru-parunya. Tetapi
dia masih bernapas.
Air mata tidak tertahankan lagi, panas berdesakan kubiarkan

46
mengaliri pipiku. Aku merasa menjadi seorang wanita yang
paling sengsara di dunia. Tanpa rasa malu dan sungkan, aku
menangis sambil terus berbicara,
“Saya diberi penjelasan oleh para petugas bahwa Syuhdi sudah
empat tahun menjadi anggota aktif Islam fundamentalis. Dia
merakit bom dan bahan pembakar atau peledak lain, berkelana ke
sana kemari memusnahkan gedung dan membunuh orang di
dalamnya. Dia bahkan sering turut menculik orang dewasa maupun
anak-anak, suster dan anggota gereja lain. Inilah anak lelaki kami,
yang kami anggap tidak bakal memberi aib kepada keluarga. Mati
pun dia tidak sendirian, malahan membawa ayahnya. Mukdin tidak
terhindar dari bencana. Karena dicurigai terpengaruh kakaknya,
sekarang disekap entah di penjara mana. Sejak kejadian itu, saya
bolak-balik ke kantor yang berwajib, bertanya mengenai nasib anak
lelaki saya itu. Namun, tidak ada yang bisa memberi keterangan.
Saya hanya seorang ibu. Hanya seorang perempuan rakyat jelata.
Tidak mengerti urusan partai, golongan ataupun pemerintahan.
Keinginan saya hanya berkumpul dengan sisa keluarga yang masih
ada. Allah menjadi saksi, agama saya bukan untuk membunuh atau
mencelakakan umat Tuhan yang mana pun. Saya bersumpah hanya
ingin supaya anak saya lelaki satu-satunya dikembalikan kepada
saya. Saya bersaksi atas nama Allah, Mukdin tidak seperti kakaknya.
Dia orang yang suka tinggal di rumah, sayang kepada makhluk
hidup walau binatang sekalipun. Kembalikanlah dia kepada saya,
ibunya ini! Kembalikanlah dia kepada saya....”
Sesak dadaku. Seluruh tubuhku diguncang oleh perasaan yang
tidak bisa kukendalikan lagi.

Arti/Penjelasan Kata-Kata dalam Bahasa Asing


Kacang Shish : sejenis kacang bogor
Harissa : cabe yang digiling, kering atau dilembekkan dengan
minyak dan air
Kuskus : gandum yang ditumbuk menjadi butiran kecil-kecil
seperti nasi jagung

47
Kampung Kuning

Dulu ketika Meiling baru tiba dari barak pengungsian di Hong


Kong, bibinya pernah bercerita.
“Pamanmu pintar dalam urusan tanah, properti, jual-beli di bi-
dang itu. Hampir seluruh Paris 13 ini menjadi kawasan masyarakat
kita adalah berkat pamanmu bersama kelompoknya. Secara ber-
angsur, perlahan tetapi pasti, mereka menawarkan pembelian usaha-
usaha dan apartemen penduduk asli di Paris 13. Ketika kami baru
menetap di sini, harga tawaran itu cukup standar. Sekaligus, para
pemilik diberi prakiraan harga pada masa mendatang, ialah pasti
menurun. Sebab, penghuni sudah bukan asli Prancis lagi, melainkan
orang-orang kulit berwarna. Sebelum terlanjur, kalau mau menjual,
harga bisa dikatakan masih menguntungkan.”
Setelah bekerja dan tinggal satu tahun di Paris 16, mulai tiga
bulan lalu, setiap hari Meiling menuju ke bagian kota Paris yang
kini disebut Pecinan. Atau Kampung Kuning bagi masyarakat pen-
datang itu sendiri.
Keluar dari kereta bawah tanah yang datang dari Rue de La
Pompe, Meiling menerobos desakan penumpang menuju tangga.
Stasiun Chatelet mempunyai lorong-lorong dan tangga berliku naik-
turun amat panjang. Tetapi Meiling tidak dapat menghindari, setiap
hari harus melewati tempat itu untuk mengejar lanjutan metro yang
menuju ke Place d’Italie. Kemudian dari stasiun tersebut, dia berjalan
di udara terbuka guna mencapai flat dan restoran bibinya.

48
“Dua franc, Nona! Buat tambah-tambah,” lelaki berpakaian lusuh
itu mencegat, mengulurkan telapak tangan. Seperti penumpang-
penumpang lain, Meiling menghindar. Kerumunan pejalan di lorong
itu pun tersibak bagaikan air yang terhalang oleh batu atau dahan
besar. Karena melewati stasiun itu dengan rute pergantian kereta
yang selalu sama, Meiling mengenali laki-laki berkulit putih tersebut.
Nanti di Place d’Italie ada lagi seorang lelaki peminta-minta bangsa
Vietnam.
Dua franc memang bukan jumlah yang besar. Meiling punya
recehan itu di dompetnya. Memberilah jika kamu berkecukupan,
dulu ibunya sering mengulang-ulanginya kepada lingkungannya.
Tetapi di negeri adopsi itu, Meiling harus memperhitungkan benar
tentang perkataan berkecukupan. Dua franc bisa untuk satu perja-
lanan dengan kereta bawah tanah sampai ke tujuan mana pun; dan
selama dia tidak keluar dari batas jaringan metro, seharian pun dia
bisa tetap tinggal di dalam stasiun. Demikian yang sering kali dilaku-
kan para gelandangan. Pagi-pagi mereka meninggalkan panti penam-
pungan, makan pagi hasil pengorekan sampah, kemudian masuk ke
salah satu stasiun dengan menggunakan satu karcis kereta bawah
tanah atau metro. Kalau beruntung tidak diusir petugas, seharian
bisa tinggal di hanya satu perhentian metro. Tetapi jika ketahuan
petugas, mereka naik kereta yang menuju ke mana pun. Biasanya
stasiun-stasiun lain sama hangatnya di waktu musim dingin. Bagai-
manapun juga selalu lebih lumayan 2 atau 3 derajat dari udara me-
nyengat di jalanan luar. Kemudian, di saat hampir penutupan pintu
stasiun, gelandangan-gelandangan itu keluar lagi ke arah pos-pos
dapur umum yang diorganisir oleh Pemda atau yayasan sosial lain.
Dari sana mereka kembali ke tempat penampungan yang mereka
kenal.
Ibunya. Tiba-tiba Meiling merasakan cubitan nyeri di dadanya.
Di manakah orang tua dan ketiga adiknya sekarang? Perjalanan
mereka sekeluarga yang membahagiakan paling akhir ialah meng-
hadiri syukuran di rumah bibi Meiling di Phnom Penh. Dari Battam-
bang mereka naik kereta api ke ibu kota. Adik-adiknya amat gembira
walaupun gugup karena mereka baru kali itu bepergian dengan

49
gerbong-gerbong berkepala aneh yang disebut loko. Itu adalah
pertemuan berpesta terakhir dengan saudara-saudara dan teman
dekat ibu Meiling. Acaranya sungguh menakjubkan bagi anak-anak
kecil: bibinya sekeluarga menjadi kewarganegaraan Prancis. Anak-
anak Bibi yang menuntut ilmu di Singapura bahkan hadir pula hari
itu. Setelah tinggal beberapa waktu liburan di ibu kota, Meiling
sekeluarga kembali naik kereta menuju Battambang. Pada kesem-
patan itu, ayah Meiling menjelaskan rasa heran Meiling dan adik-
adiknya mengapa orang harus mempunyai kewarganegaraan. Me-
ngapa Bibi dan Paman justru mengambil negeri asing, bukan Kam-
boja atau Vietnam yang telah begitu mereka kenal tata cara kehi-
dupannya? Meiling mengerti penjelasan ayahnya. Begitu pula mung-
kin adiknya yang duduk di sekolah dasar. Sedang dua lainnya tentu
masih kebingungan.
Bagaimanapun juga, kira-kira sebulan dari perjalanan yang me-
ngesankan itu, pada suatu pagi mereka diseret keluar rumah oleh
pasukan revolusi. Nama itu asing, baru pagi itu mereka dengar.
Seragam lelaki dan perempuan yang menggedor rumah dan
menggiring bahkan memukuli penduduk itu berwarna merah,
berloreng-loreng seperti pakaian tentara. Semua membawa senjata,
tetapi tidak hanya satu jenisnya. Senapan, kelewang, tongkat besi,
juga potongan-potongan bambu panjang.
Dari sanalah awal perjalanan panjang Meiling sebelum terdam-
par di barak penampungan di perbatasan Siam-Kamboja, kemu-
dian diangkut ke tangsi pengelompokan lain di Bangkok. Terpisah
dari ayah-ibu dan adiknya, diperkosa entah berapa puluh kali oleh
anak-anak belasan tahun dari pasukan berkelakuan serigala, Meiling
tidak juga menyadari bahwa itu benar-benar terjadi. Dia jalani semua
hinaan, penderitaan dan kemeranaan dengan rasa tidak percaya.
Dia selalu menyebut nama Buddha Sang Pengasih dan Penyayang
penuh harapan bahwa suatu pagi dia akan terbangun, berada di
rumah mereka bersama ayah-ibu serta tiga adiknya.
Lalu pada suatu ketika, tanpa rencana, bahkan tanpa sengaja,
dia berada terlalu jauh dari barak tahanan. Tidak mengetahui mana
utara mana selatan, dia meneruskan berjalan mengikuti sumber suara

50
aliran air. Buddha Yang Agung mengarahkan langkahnya ke
kelompok pelarian yang sedang bersembunyi di semak-semak, me-
nunggu matahari terbenam. Seperti dalam mimpi, Meiling mengikuti
rombongan itu menelusuri sungai ke arah hulu sambil menghindari
ranjau, peluru dan berbagai jebakan tentara Khmer Merah. Sambil
sekaligus berusaha dan berdoa agar tidak terpisah dari kelompok
yang telah sudi menerimanya.
Meiling terbangun. Tidak terbangun di Battambang di dalam
rumah keluarga yang kecil dan sejuk karena lindungan pohon-po-
hon kelapa, melainkan di barak pengungsian Hong Kong. Dia sadar,
sungguh sadar, ketika petugas Palang Merah Internasional me-
nyodorkan daftar nama orang-orang Kamboja dan Vietnam yang
sudah mapan di berbagai negara. Meiling disuruh membaca, kalau-
kalau ada yang dia kenali, supaya bisa diberi tahu mengenai keha-
dirannya di pengungsian tersebut.
Dua setengah tahun dia menunggu. Selama itu dia hidup dan
bergerak dalam kesadaran sepenuhnya. Selama itu pula dia tidak
meninggalkan monolognya kepada Buddha Yang Agung.
Karena suka memasak, dia langsung diperbantukan di dapur
tangsi. Di sana dia segera menjadi sahabat satu keluarga yang se-
dikit banyak bertanggung jawab atas makanan bagi barak sebelah
barat, namanya Engsrun. Alangkah baiknya mereka berempat ter-
hadap dirinya.
Sebegitu bibinya mengenali namanya, Palang Merah langsung
mengurus tiket perjalanan Meiling ke Prancis. Keluarga bibinya
kehilangan seorang anak perempuan seumur Meiling. Sebab itulah
secara berkala dia atau kerabatnya mencari informasi di cabang
organisasi sosial itu di Prancis.
Sejak liburan Hari Raya Tet tiga bulan lalu, Meiling mendapat
kegairahan hidup yang lain. Setiba di Paris, bibinya mendapatkan
pekerjaan untuknya di sebuah rumah makan milik orang Kamboja
juga di Paris 16. Untuk liburan, Bibi meminta agar dia menginap di
Paris 13. Rupanya ada pembicaraan serius yang dilaksanakan: bibinya
akan membuka restoran kedua di Porte de Choisy, tidak jauh dari
apartemen dan usaha pertamanya.

51
“Sudah setahun kamu bekerja pada orang lain. Umurmu cukup
matang untuk memegang usahamu sendiri. Menjadi buruh orang
lain memang bukan merupakan kesalahan. Hanya, aku tidak rela
kau terus-menerus bergantung kepada orang lain. Harus ada
peningkatan.”
“Mengapa saya yang disuruh memegang rumah makan itu?
Anak-anak Bibi dan Paman bagaimana? Mengapa tidak memanggil
Seulan dari Amerika? Atau Builong dari Belanda?”
Meiling berusaha menghindar dari tanggung jawab yang dia ang-
gap terlalu berat baginya. Bayangkan! Mengelola restoran dengan
paling sedikit sepuluh atau dua belas meja. Harus siap pukul tujuh
hingga tengah malam. Harus mengurusi uang yang tidak sedikit,
belanja makanan, menu, orang gajian. Belum mengerjakan saja, dia
sudah khawatir dan merasa capek!
“Tidak mungkin,” bibinya menyahut, “kau sendiri tahu bahwa
mereka mempunyai dasar pendidikan Inggris. Apalagi, Seulan sudah
nyaman hidupnya di Los Angeles. Anak-anaknya mapan bersekolah,
restorannya berjalan mulus. Builong di Scheveningen juga kurang
pintar berbahasa Prancis. Laican di Sydney ikut suaminya yang
berpenghasilan cukup. Ciwen begitu pula, suami istri menjadi dosen
di Melbourne, sudah senang. Mereka tidak bisa kita ganggu.
Saudaraku terdekat tinggal kamu yang belum mapan. Kamu sudah
kuanggap seperti anakku sendiri.”
Meiling merasa matanya memanas. Berusaha menekan keha-
ruannya, dia bertanya kepada pamannya,
“Paman bagaimana?”
“Kau tidak berurusan dengan pamanmu melainkan dengan aku.
Restoran adalah busnisku pribadi. Kalau perumahan, tanah, ya kamu
bertanya kepadanya. Itu uangnya sendiri.”
“Aku setuju, Mei,” kata paman itu singkat.
Meiling masih perlu didorong lagi, bertanya,
“Apa saya mampu, Bi? Saya takut....”
“Takut apa?”
“Mengurus uang begitu banyak, orang gajian, belanja besar....”
“Belum soal pajaknya...,” pamannya menyela.

52
Meiling menoleh ke arah pamannya. Walaupun pipanya telah
padam, lelaki itu masih terus mengisap-isap benda tersebut.
Bibi Meiling melambaikan tangannya, berteriak lembut,
“Jangan kamu takut-takuti dia! Belum-belum sudah merasa ter-
ancam dia karena kau!”
Kemudian ganti memandangi Meiling, Bibi meneruskan,
“Memang kau harus bekerja lebih keras karena kamu juragan.
Memimpin sesuatu tidak berarti hanya bisa memerintah. Kamu
harus bisa mengerjakan semuanya, tetapi ada orang yang kaugaji
untuk melaksanakan semua itu. Tentu kau mampu. Nanti kau segera
magang di sini beberapa bulan. Di dapur, turut belanja, menyiap-
kan menu, di kasa, melayani atau menemui dan berbicara ramah-
tamah dengan para tamu. Pendeknya, kamu harus dapat menangani
semua dengan luwes dan benar sehingga pegawaimu tidak bisa
mengelabui kamu kelak.”
“Bibi akan terus membimbing saya?”
“Mana mungkin aku akan tega melepasmu. Nanti sore kubawa
kau melihat lokasinya, restoran dan apartemen di atasnya. Pemiliknya
juga setuju meninggalkan beberapa barang pokok seperti lemari
dinding, tempat tidur, beberapa meja-kursi serta peralatan dapur.
Untuk restoran, aku sudah memesan peralatan lengkap sebagai
pengisi ruangan. Tinggal membikinkan kamar MCK, biar praktis.”
Bibi adalah satu-satunya saudara ibu Meiling. Dan dia kini
memikirkan semuanya itu untuk Meiling. Semakin besar cintanya
kepada wanita itu. Dan Meiling merasa bahwa ikatan kedekatan
yang tulus terjalin erat di antara mereka berdua.
“Kalaupun seandainya aku tidak ada, urusan rumah makan dapat
kautanyakan kepada Bibi Susan, istri notarisku. Dia memegang
kantin mahasiswa di Paris 7. Besok aku kenalkan,” tambah Bibi
yang bijaksana itu.
Sejak sore itu, segalanya berjalan cepat. Sangat cepat. Diputus-
kan bahwa Meiling segera dibantu kendaraan dengan bak terbuka
untuk memindah barang-barang besar. Dia tidak dapat hidup tanpa
tanaman. Sebab itu, pot-pot besar kecil sudah berdesakan di dalam
kamar sewaan di Paris 16. Menurut bibinya, itu malahan bagus.

53
Karena untuk sementara akan digunakan menghias ruangan restoran.
Kemudian, secepatnya, Meiling harus menempati apartemen di
atasnya.
Hari-hari berikutnya, sambil magang, Meiling dibawa berkenalan
dengan banyak relasi bibinya. Menurut Meiling, wanita itu sangat
hebat. Bibinya mengetahui semua gudang dan toko penjual berbagai
alat elektronik, barang-barang biasa maupun tradisional. Untuk me-
nata ruangan, Meiling memberikan usul sentuhan artistik. Lalu dia
melihat bahwa bibinya sangat senang dengan pilihan-pilihannya itu.
“Restoran itu akan kita beri nama Mekhong. Kamu setuju?”
tanya Bibi.
Di Place d’Italie, rumah makan bibinya dinamakan Phnom Penh.
Untuk yang kedua, Meiling kira juga akan bernama sama. Tetapi
Mekhong memang sangat cocok, karena sungai itu melewati ibu
kota Kamboja sebelum memanjang terus ke timur memasuki wilayah
Vietnam.
Semua kenangan itu membantu Meiling merasa cepat tiba di
stasiun tujuan. Sebelum menapak di tangga listrik ke arah mulut
metro di jalan Bobillot, Meiling mengeluarkan logam 5 franc. Itu
dia berikan kepada lelaki Vietnam yang selalu mengemis pejalan di
keliling tangga.
Tiba di udara terbuka, Meiling menyebut nama Buddha Yang
Suci, berterima kasih karena perjalanannya pagi itu lancar dan sela-
mat. Akhir-akhir itu, kota Paris menjadi sasaran teroris penuntut
pembebasan rekan-rekan yang berada di penjara di seluruh Eropa.
Kereta bawah tanah, toko besar, perusahaan penerbangan serta kan-
tor-kantor pemerintah selalu menjadi incaran golongan yang biadab
itu.
Lima franc banyak sekali. Tetapi Meiling merasa harus mem-
bagikan rezeki dan kebaikan hati bibinya kepada orang dengan siapa
dia merasa dekat. Vietnam, Kamboja, Laos merupakan ras pengungsi
dengan siapa Meiling merasa sepenanggungan dulu.
Seperti biasa, dia menuju ke apartemen bibinya sebelum ke Rue
de Choisy. Ketika pintu flat terbuka, di luar dugaannya, bukan Cihaai
yang berdiri di depannya. Dia tidak segera mengenali suami bibinya.

54
“Tidak ada orang di rumah,” kata lelaki itu, “makanan disiap-
kan di dapur. Lihatlah sendiri! Kata Cihaai, kamu sudah biasa.”
Setelah mencuci tangan dan mengambil makanan, Meiling duduk
di arah depan pamannya. Laki-laki itu berubah. Tidak hanya
rambutnya yang dicat terlalu hitam, ya betul, pakaiannya pun tidak
seperti dulu. Baju hemnya bukan model klasik biasa, melainkan
berkerut-kerut di kanan-kiri kancing. Lengannya menggembung,
dihiasi saku-saku panjang sempit di bagian atas. Keseluruhan bentuk
baju
itu seperti kostum pangeran yang dikenakan di saat pentas tea-
ter. Satu detil lagi: kancing baju dibiarkan terbuka sampai bagian
dada di mana bulu-bulu panjang mulai tumbuh. Leher dilingkari
rantai emas sangat tebal.
Memang telah lama Meiling tidak melihat pamannya. Betul,
sejak Hari Raya Tet, tiga bulan lalu. Kalau dia bertanya, Bibi atau
pembantu yang sudah bagaikan anggota keluarga itu menyahut bah-
wa suami Bibi sering ke luar kota, atau sedang ada urusan. Sambil
makan, Meiling mencuri mengamati lelaki di hadapannya. Untung-
lah, kenorakan penampilan yang sama sekali tidak cocok menuruti
seleranya itu segera berakhir.
“Bibimu berpesan, dia membayar tiket pesawat Engsrun hari
ini. Jadi dapat diharapkan, mereka datang pekan depan. Sekarang
kamu kutinggal. Jangan lupa mengunci pintu sebelum pergi.”
Bau wangi yang terlalu manis masih menyebar di ruangan wa-
laupun paman itu telah keluar. Meiling bergegas. Pagi itu akan datang
beberapa barang yang dipesan. Mulai malam itu, dia akan tidur di
apartemen Rue de Choisy.
Keluarga Engsrun akan segera datang dari Hong Kong. Derita
mereka di barak pengungsian akan segera berakhir. Berkat Bibi,
Engsrun akan bekerja di restoran Mekhong.

Alangkah rapuhnya kehidupan. Betapa hina dan kecilnya ma-


nusia ini. Belum sampai seminggu berlalu Meiling bergairah meng-

55
ikuti bibinya, bergantian menyetir mobil memesan dan memilih
barang. Semuanya telah dibayar dilengkapi kontrak tanggungan tukar
atau perbaikan. Sebagian sudah datang serta ditata di tempat masing-
masing. Meiling bergairah akan mengelola sebuah restoran, berjanji
kepada Buddha Yang Agung akan semakin membantu para
pengungsi. Namun, tiba-tiba kini dia kembali pada pertanyaan
semula: akan mampukah dia menjalankan usaha bibinya itu?
Yang Mahakuasa mempunyai pola sendiri dalam menentukan
takdir setiap manusia. Saudara satu-satunya ibu Meiling itu
mendadak dihempaskan oleh ketentuan nasib. Dia bersama saha-
batnya Susan membayar tiket yang sudah dikirim guna menjemput
keluarga Engsrun. Setelah urusan selesai, Susan menyeberang jalan
akan membeli sesuatu sebagai makan siang mereka. Bibi antre untuk
mendapatkan uang tunai di salah sebuah ATM. Di saat yang naas
itu bom meledak, menghancurkan salah satu perwakilan perusahaan
penerbangan besar di Prancis. Bibi Meiling mati seketika bersama
sebelas korban lainnya.
Belum lepas dari kejutan ditinggal Bibi tercinta, keesokan upacara
di kuil dan kremasi, paman Meiling datang ke bakal restoran di Rue
de Choisy. Meiling mengira suami mendiang Bibi itu menjenguk
dia. Ingin mengetahui sampai di mana Meiling menangani penataan
dan dekorasi. Malahan dia mempunyai praduga kemanjaan,
mungkin paman itu melakukan pendekatan karena mereka baru
ditinggal oleh wanita yang sama-sama mereka cintai. Bukan main
senangnya Meiling menerima kunjungan itu.
“Kuperkenalkan ini Sibao, kawanku,” langsung paman itu berkata
sambil mengedarkan pandangnya, meneruskan, “Wah, bagus sekali!”
Memang persiapan hampir selesai. Tinggal memasang korden
dan membersihkan kamar mandi. Tukang yang mengerjakan ka-
mar kecil hilir mudik membereskan tugasnya.
“Silakan naik, Paman. Saya buatkan teh.”
“Ada teh? Sudah punya peralatan dapur?”
“Sudah lengkap. Saya sudah hampir seminggu tinggal di sini,”
sahut Meiling, “telepon juga ada.”
Meiling melihat pamannya berpandangan dengan teman yang

56
bernama Sibao itu. Dia merasa ada kata-kata yang tidak diucapkan.
Waktu itu dia baru sadar bahwa kedua lelaki itu mempunyai
kesamaan, sekaligus berbeda. Sibao berumur paling banyak 22-23
tahun. Pamannya mendekati 70 tahun. Tetapi keduanya berbadan
dan berpakaian secara identik. Hanya Sibao lebih berkilau karena
selain mengenakan kalung, dia juga memakai gelang, dua giwang di
satu telinga, dan empat entah lima jari dilingkari cincin.
“Kami hanya sebentar. Di sini saja,” kata paman itu.
Seolah-olah merupakan isyarat, Sibao keluar ke patio. Tanaman
Meiling ditempatkan di sana. Benar seperti kata Bibi, menghias
keliling halaman kecil itu. Udara bulan April sejuk, kadang-kadang
dingin dan berhujan. Pagi itu matahari bersinar temaram, curahan
sinar kuning menguatkan daun-daun dan sisa rumput yang tahan
musim dingin.
“Aku mempunyai gagasan, Mei,” kata paman Meiling setelah
mereka duduk, “lebih mudah bagimu kalau yang memegang res-
toran ini Sibao. Kamu sudah terlanjur pindah tempat tinggal, itu
tidak apa-apa buat sementara. Nanti aku carikan pondokan lain,
mudah di dekat-dekat sini. Tentu saja kau bisa bekerja di sini juga.”
Meiling terkejut. Tetapi mengapa dia tidak heran pamannya
mempunyai gagasan itu? Cepat komputer di kepalanya mengemu-
kakan prakiraan-prakiraan. Jelas sekali hubungan apa yang terjalin
antara paman itu dengan anak semuda Sibao. Meiling mengira dia
bukan orang Vietnam maupun Kamboja. Laos? Siam? Sebentar
Meiling gugup. Tidak tahu harus menjawab bagaimana.
Sekilas, terbayang wajah bibinya, lalu Tante Susan. Secepat itu
pula Meiling berkata,
“Ini dapat dirundingkan tentu saja, Paman. Apakah tidak lebih
baik jika kita menunggu pembacaan surat wasiat? Bukankah kita
disuruh berkumpul di kantor notarisnya Bibi besok pukul sepuluh
pagi?”
Meiling tidak mengharapkan sesuatu warisan pun dari saudara
ibunya itu. Walaupun begitu, bibinya selama lebih dari setahun
bertemu kembali dengan kemenakannya itu, sering sekali mengulang-
ulangi bahwa kalau bukan atas usul ibunya Meiling, Bibi tidak

57
mungkin berani melangkah memulai berusaha di bidang
perdagangan. Ketika rumah dan tanah warisan Kakek di Battambang
dijual, ibu Meiling memberikan sebagian besar bagiannya kepada
adiknya agar dimasukkan ke dalam usaha perhiasan emas. Toko itu
akhirnya jadi di Phnom Penh. Terkenal di antara para pribumi dan
penduduk orang asing. Setiap bulan, ibu Meiling menerima jatahnya,
semacam bunga dari tabungan yang sangat lumayan jumlahnya.
Namun, Meiling semalam suntuk tidak tidur. Pikiran saling ber-
bantahan mengganggu ketenangan jiwanya. Benar juga paman itu.
Ada sedikit kelegaan di hati Meiling seandainya dia tidak jadi
mengelola restoran. Sangat tenang menjadi karyawati saja.
Sebaliknya, semangat yang ditanamkan bibinya di bidang jasa boga
pun telah berakar di sudut hati Meiling. Tetapi, walau ada semangat,
kalau tidak ada modal bagaimana? Bibi meninggal, pastilah semua
jatuh ke tangan suami dan anak-anaknya. Seandainya Meiling ter-
masuk di dalam surat wasiat, jumlah uang bagiannya pasti tidak
bakal mencukupi untuk modal sesuatu usaha.
Maka malam itu, Meiling mulai mengemas kembali barang-
barangnya. Keputusannya ialah dia tidak akan mampu menjalan-
kan restoran bibinya karena yang memegang modal adalah pa-
mannya. Oh, Sang Maha Suci, lindungilah semua pengungsi di dunia
ini. Termasuk diri Meiling. Begitu dia terus menggumamkan doanya
sambil mengumpulkan pakaian, kaset, dan buku-bukunya. Tanpa
dikehendaki, air mata membanjir, deras berderai di pipi Meiling.
Bertahun-tahun bertapa di barak pengungsian setelah terlepas dari
aniaya Khmer Merah, sebenarnya sudah sangat baik nasib Meiling:
menjadi pelayan rumah makan. Bahkan sebentar dapat menikmati
kasih sayang seorang bibi.
Ya, benar. Masih banyak pengungsi yang bernasib jauh lebih
buruk.

58
Perumnas

Sebenarnya itu bukan Perumnas. Tapi orang-orang desa menye-


but demikian semua permukiman yang mengelompok, rumah
dibikin dari batu dan semua penghuni dianggap punya mobil.
Kebalikannya, penduduk perumahan mewah dan setengah mewah
itu memanggil warga desa-desa lingkungan sana “orang bawah”.
Bukan karena maksud merendahkan. Hanya karena memang letak
desa-desa tersebut kurang tinggi jika dibandingkan beberapa
kelompok hunian yang secara beruntun terus dibangun di pinggiran
ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu.
“Eh, sssttt diam! Itu pacarnya Kino datang.”
“Yang mana? Yang mana?”
“Yang mana, No?” pemuda pertama yang menggugah rasa ingin
tahu kaum muda di depan masjid itu malahan ganti bertanya.
“Kamu ini! Bilang sendiri, sekarang tanya.”
“Masalahnya, Kino ganti lagi. Tahu-tahu, yang dulu dia incar
orang Kristen. ‘Kan haram!”
“Tidak haram kalau dia mau ganti agama, masuk Islam. Justru
Kino mendapat pahala karena menarik satu umat,” pemuda lain
menjelaskan.
Di sebelah lain, ibu-ibu tua dan muda berbisikan,”Itu! Itu babu-
babu Perumnas!”
“Biarkan! Biarkan! Mereka biar di belakang situ. Ayo kita pe-
nuhi bagian sini!” kata seorang perempuan sambil mendorong-
dorong kelompoknya supaya menyebar. “Lik, sampeyan ke sana.

59
Duroh maju, biar kelihatan penuh.”
“Benar. Mereka selalu ribut melulu.”
“Mereka datang bukan untuk tarawih.”
“Itu ada tempat bolong di tengah. Cepat diisi. Biar mereka sam-
pai di tiang itu saja,” kata ibu lain lagi.
“Mengapa mereka masih kemari? Padahal mushola Perumnas
sudah dibesarkan. Terataknya seperti panggung. Bawah pakai papan,
supaya kalau rumput digenangi air, aman buat sholat.”
“Lalu kenapa mereka masih terus kemari?”
“Barangkali karena khotbahnya bagus.”
“Ah, yang ceramah di mushola itu juga datang dari Pondok. Pak
Kiai sendiri yang bilang, setiap malam mereka bergilir ke Perumnas-
Perumnas.”
“Ah, tentu saja babu-babu itu memilih kemari. Mereka ‘kan cari
suami!”
Dan seolah-olah jawaban itu merupakan kebenaran mutlak, ibu-
ibu di sana terdiam.
Sesungguhnya Siti tidak suka ikut tarawih ke “bawah”. Satu
rombongan bersama pembantu-pembantu lain seperti arak-arakan.
Pernah dia hitung, semuanya empat belas. Seperti akan kondangan
saja! Semua memakai kerudung dan baju atau celana panjang bagus-
bagus. Penutup kepalanya saja berwarna-warni. Ada yang berkerlipan
ditempeli merjan. Siti paling ingin yang dimiliki Sadiyah, merah
bata disulami benang berkilauan seperti perak. Di tepi dipasang
renda bulat-bulat kaca, juga merah tua. Katanya itu dibeli di Pasar
Johar. Sejak dua tahun di kota, Siti belum pernah ke pasar besar itu.
Dia pasti ke sana untuk mencari kerudung yang diidamkan jika
gajinya diberikan kepadanya lagi.
Karena mulai bulan itu dia tidak menerima upah kerjanya. De-
mikian seterusnya, akan berlangsung setengah tahun lamanya.

Beberapa hari sebelum Puasa, pagi-pagi bapaknya muncul di


tempatnya bekerja. Begitu melihatnya, badan Siti lemas karena
khawatir.

60
“Ada apa, Pak? Siapa yang sakit? Simbah? Simbok?”
Bapaknya ketawa-ketawa tanpa suara. Gigi-gigi merongos serta
ternodakan nikotin itu menonjol di wajah hitam penuh kerutan.
“Tidak. Tidak. Tenang saja. Tenang saja.”
Lega hati Siti.
Biasanya, kalau orang tua pembantu datang ke perumahan ialah
untuk menjemput anak karena ada anggota keluarga yang sakit,
kecelakaan atau meninggal. Selama bekerja di sana, Siti mengetahui
dua pembantu yang dijemput untuk dikawinkan. Mimah setengah
dijual bapaknya kepada seorang lelaki berumur dua kali usianya
sendiri, lalu berangkat ke Irian bertransmigrasi. Asnah disusul
kakaknya, dibohongi. Katanya nenek sakit dan ingin melihat cucunya
yang bekerja di kota. Kemudian Siti tahu dari penjual sayur bahwa
temannya itu dikawinkan dengan buruh tani, karena orang tuanya
tidak bisa membayar utangnya kepada laki-laki itu.
Siti baru menjalin perkenalan baik dengan Supri, pembantu
sebelah majikannya. Tiba-tiba teman barunya itu dijemput bapaknya.
Dia juga akan dikawinkan. Alasannya ialah Supri sudah cukup umur.
Menangis-nangis Supri berpamitan kepada Siti.
“Apa kamu tidak bisa menolak?”
“Aku sudah menolak. Kukatakan bahwa aku masih ingin be-
kerja di kota dan hidup sendirian. Padahal, kalau aku kerja, hasilnya
juga buat mereka. Aku tidak menikmati gajiku sendiri.”
“Berarti, kalau kamu kawin, bapakmu tidak menerima uang lagi
dari sini.”
“Itu sudah kukatakan. Tapi dia bilang, aku harus berbakti.
Kalau membantah, aku anak durhaka. Katanya aku pasti masuk
neraka. Sebagai anak, dia bilang aku harus membayar budi or-
ang tua dengan menuruti perintahnya. Sejak kecil dipelihara,
dikasih makan. Katanya, tidak berguna aku sembahyang kalau
tidak menuruti kata orang tua.”
Siti merasa iba. Pembantu-pembantu di sana banyak yang keku-
rangan wawasan, seperti Supri. Lancar membaca tulisan Arab, ter-
tegun-tegun mengenali huruf-huruf Latin. Untunglah Siti suka cerita,
sehingga meskipun hanya keluaran kelas empat SD, dia baca semua
koran dan majalah milik majikannya dengan penuh perhatian. Dan

61
dia merasa bisa berpikir lebih mudah daripada dulu ketika masih
terkurung mengurusi adiknya dan serba kesibukan rumah bersama
Simbok. Dia berterima kasih kepada tukang sayur Perumnas. Berkat
wanita pedagang itulah Siti berangkat ke kota dan menjadi pembantu.
“Mengapa Bapak kemari kalau di rumah tidak ada yang sakit?”
Siti mendesak, hatinya kurang enak.
Pasti ada apa-apanya maka orang tuanya datang.
“Mau ketemu sama Bu Agus.”
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Urusan orang tua. Kamu tidak usah turut
campur.”
Tidak usah turut campur ini berakibat enam bulan gaji Siti di-
bawa bapaknya yang beralasan “buat membayar utang”. Seolah-
olah Siti tidak tahu bahwa utang itu disebabkan karena kalah berjudi.
Sedih Siti memikirkan Simbok dan Simbah Wedok. Mengapa sela-
lu laki-laki yang membikin perempuan hidup merana? Dulu, Simbah
Lanang juga sering merongrong dada Nenek karena ulahnya yang
mata keranjang. Berapa kali saja lelaki itu tidak menyerahkan hasil
penjualan sayur untuk keperluan rumah tangga. Di Hari Raya
Besaran, kambing dijual untuk kurban, tetapi uangnya habis buat
bergila-gilaan bersama pelacur kota.
Tanpa meminta pendapat Siti, majikan berkata,
“Bapakmu datang minta gajimu enam bulan. Kabarnya desa
terkena celeret. Banyak rumah yang rusak. Kalian beruntung, karena
hanya bagian belakang rumah kalian yang disambar. Atapnya harus
diperbaiki.”
Siti hanya diam. Celeret adalah angin ribut mendadak dan ha-
nya menyerang satu desa. Itu sering terjadi di kerumunan desa-desa
Godong, Grobogan, sekitar Purwodadi. Tetapi di bulan-bulan terakhir
itu tidak terdengar kabar apa pun tentang bencana tersebut. Men-
tang-mentang menjadi orang tua, bapaknya gampang sekali
menguras hak milik Siti. Musnahlah gaji enam bulan. Dari sebelum
subuh mengepel, mencuci pakaian tiga anak dan dua dewasa,
menyapu rumah dan halaman, memasak, dipukul dan dijambak
anak sulung majikan. Bila petang tertidur kecapekan, masih dipanggil
disuruh ini atau itu.

62
Dia yang bekerja, hasilnya diambil dengan semena-mena. Amat
sakit hati Siti, karena majikannya juga kebangeten. Sekurang-
kurangnya, Siti harus diminta pendapatnya. Tentu Siti akan terpaksa
berkata “ya”. Tetapi dia juga bisa meminta sebagian untuk dirinya.
Dasar orang sabrang, tidak tahu menghargai perasaan orang.
Di rumah itu ada dua kamar. Siti tidur bersama anak-anak.
Malam, sewaktu bapaknya membaringkan diri di tikar di depan
lemari, Siti berkata,
“Tinggali aku sepuluh ribu, Pak.”
“Buat apa,” suara bapaknya tidak bertanya, tapi kesal. Aneh.
Malahan bapaknya yang kesal.
“Buat pegangan.”
“Kamu tidak perlu apa-apa. Makan dikasih. Pakaian sudah pu-
nya. Buat apa pegang uang. Malah akan kamu boroskan saja!”
Ingin sekali Siti mengatakan unek-unek yang menyumpal di
dadanya. Boros apa! Judi laknatmu itu yang boros. Dasar orang tua
yang tidak bisa di-tua-kan. Tapi Siti ingat. Dia eling, seperti yang
selalu diajarkan oleh Simbok dan Simbah. Eling, Nduk. Baca
Astagafirullah.
Siti menarik napas. Dua detik, terdengar dengkuran bapaknya
yang masa bodoh.
Rengekannya tegas dia ulangi keesokan pagi sebelum bapak itu
pulang ke desa. Dia hanya berhasil mendapatkan dua lembar uang
ribuan kumal yang berbau keringat. Dengan ucapan minta maaf
lagi kepada Tuhan, di dalam hati dia berseru, “Aku tidak pernah
menyukaimu, Pak. Aku selalu mencintai Simbok dan Simbah Wedok.”

“Itu lho Mak, pembantu yang bekerja di perpustakaan, rumah


dekat tengki air. Badannya bagus. Tinggi, tidak gemuk. Rambutnya
panjang.”
“Yang mana? Ada dua. Keduanya rambutnya panjang dan ba-
dannya bagus.”
“Yang mana saja, saya mau.”
“Eeeeh, jangan!” perempuan yang agak tua menopang, “Haram!

63
Mereka kafir, orang-orang Kristen itu! Apa kalian tidak pernah lihat
kalau hari Minggu selalu pergi membawa kitab sucinya, dandanannya
rapi. Itu mereka berangkat ke gereja.”
“Benar?”
“Benar. Masa aku berbohong kepadamu? Dulu ketika aku ma-
sih jualan sayur keliling, rumah itu langgananku. Nama mereka Yani
dan Yanti, kakak beradik. Baik sebetulnya. Tapi Kristen.”
Kino terdiam. Kedua ibu di sana juga tidak bersuara.
“Yang lain saja,” akhirnya salah seorang wanita itu berkata.
“Tidak tahu. Lain-lainnya tidak bisa disawang. Muka tidak manis,
badan juga. Kalau kurus, terlalu kerempeng. Kalau gemuk sedikit,
malah bentek.”
“Jangan hanya dilihat luarnya saja. Kalau hatinya baik, sifat lahir
tidak penting.”
“Alllllaaaaaah Mak ini! Apa Mak mau punya menantu yang ma-
tanya juling bibirnya sumbing!”
“Yaaaa, bukan begituuuuu,” sahut Mak Munah sambil meng-
awasi anak lelakinya.
Kino berbadan tinggi bagi ukuran orang biasa. Walaupun hi-
tam, wajahnya cukup tampan karena hidung yang mancung. Dia
sendiri, bukankah dulu pernah dikenal sebagai Munah kembang
desa Duwet? Jadi, kalau Kino menginginkan istri “yang bisa
dipandang”, itu pantas saja.
“Hati dan sifat baik itu namanya cantik dalamnya,” bekas pen-
jual sayur berkata lagi.
“Bagaimana tahu cantik dalamnya kalau belum kenalan!” suara
Kino setengah putus asa.
“Yaaah kenalan dulu,” sekali lagi mantan tukang sayur menyahut,
lalu meneruskan, “Puasa nanti ‘kan banyak babu-babu Perumnas
ikut tarawih ke sini. Kabarnya banyak pendatang baru. Itu Perumnas
yang di sebelah barat sudah banyak penghuninya. Semua mesti
punya pembantu. Kamu lihat saja nanti!”
“Untuk berkenalan, gampang. Pokoknya kamu pilih-pilih dulu,”
Mak Munah menambahkan.
Tiba-tiba, dari samping terdengar,
“Cari yang pantatnya besar, No. Itu artinya kuat main di tempat

64
tidur.”
“Dasar lelaki!” ibunya Kino memaki perlahan.
Matanya membelalak tertuju keluar jendela, di balik mana
suaminya sedang memasah sebatang kayu.
Begitulah caranya laki-laki di “bawah” mencari korbannya.
Pembantu dan pendatang perempuan merupakan sumber pilihan
sebagai calon istri ataupun objek penipuan. Sebaliknya, penduduk
“bawah” menampung buruh-buruh bangunan yang berdatangan dari
tempat lain dan memerlukan pondokan sementara. Secara berkala
terbentuklah pasangan-pasangan yang diresmikan dengan
pernikahan. Namun, tidak jarang terjadi juga hubungan gelap, nista,
membuahkan perkelahian dan corengan di muka.
Selama hampir dua tahun Siti bekerja di sana, sudah terdengar
tiga kali siswa Pondok berasal Jawa Timur yang dicari polisi karena
mendodosi toko-toko swalayan di kota. Empat kali pembantu
“kecelakaan”, dihamili buruh bangunan dan penduduk “bawah”.
Satu kali seorang istri desa di “bawah” mencoba bunuh diri karena
suami keterlaluan bermain mata dengan pembantu Perumnas yang
satu lalu ganti lainnya. Dan entah berapa kali Siti mendengar perkara
laki-laki menipu babu-babu Perumnas: uang atau perhiasan menguap
tak ketahuan ke mana, janji dinikahi juga hilang bersamanya.
Tapi semua keonaran itu cepat berlalu. Cepat terlupakan oleh
datangnya orang-orang baru, karena perumahan masih terus
bermunculan. Karena lelaki dan perempuan di “bawah” atau di Pe-
rumnas serta keduanya akan melanjutkan saling mendekat, untuk
saling berbuat kebaikan ataupun saling menyakiti.
Tidak ada istilah cinta bagi orang di “bawah” dan babu-babu di
Perumnas. Kalau cocok, bisa bergaul dan bergurau bersama, jadilah
perjodohan itu. Pemikiran itu amat memudahkan hidup. Orang-
orang yang sederhana demikian tidak bersusah payah melewati
kerumitan cinta untuk membentuk pasangan. Tapi kecemburuan
hadir di sana. Itu didorong oleh emosi dan harga diri.
Yang utama ialah, bagi perempuan, sebaiknya sudah kawin pada
usianya yang kedelapan belas. Lain halnya buat lelaki. Tidak punya
pasangan atau istri bukan merupakan cacat. Itu juga bukan satu
kekurangan, karena dia bisa jajan di pinggir-pinggir jalan Tanahmas

65
atau pelabuhan. Kendaraan ulang-alik seribu rupiah, kepuasan
sejenak tiga ribu, paling mahal lima. Jumlah tidak mencapai upah
sehari seorang buruh bangunan.
Sesungguhnya, Siti ingin tarawih di masjid Perumnas saja. Tapi
dia diseret-seret Mbak Ronah, pembantu paling lama di permukiman
itu.
“Kalau ke ‘bawah’, kamu bisa tambah kenalan. Banyak jejaka di
sana. Ditambah lagi ada dua Pondok. Siapa tahu ada guru-guru
yang belum punya istri.”
“Walaupun terkait sama yang sudah kawin juga tidak apa-apa.
Itu Pak Musal, Pak Subir, istrinya dua. Masing-masing dibikinkan
rumah, diberi dadah,” kata pembantu lain.
Maka Siti turut aliran arus.
Ini adalah Puasa kedua dia bekerja di tempat yang sama. Tahun
lalu dia tidak tarawih ke “bawah”. Karena baru datang, kenalan
baiknya hanyalah pembantunya Direktur Perumahan yang sudah
agak berumur. Ibu itu berkata, daripada pergi jauh-jauh, lebih baik
mengikuti sholat tarawih di lokasi saja.
Bersama rekan dan teman pembantu, biasanya Siti adalah yang
paling diam. Dia tidak setuju bila rombongannya cerewet sendiri
sementara da’i menyampaikan ceramahnya.
“Lihat itu Pak Sabir, duduk di sana. Wah, ganteng ya,” kata
seorang pembantu.
Cepat temannya menopang,
“Pantas saja istrinya dua.”
“Kamu mau jadi yang ketiga? Ngunggah-unggahi sana!”
“Katanya, kalau perempuan melamar lelaki, petukonnya lebih
banyak. Harus punya duit,” pembantu lain berbusik.
“Pak Sabir tidak memerlukan uang. Dia sendiri sudah kaya.
Kabarnya, sapi dan sawahnya banyak di Ambarawa.”
“Ssssstttt! Jangan berisik!”
“Ini Mbak Ronah melirik Pak Sabir terus.”
“Bukan dia yang aku awasi. Kino itu lho. Sedari tadi bolak-balik
menengok ke sini. Siapa yang dia incar ya?”
“Jangan-jangan Mbak Ronah sendiri.”
“Iiih, anak ingusan. Aku jauh lebih tua dari dia. Lagi pula,” Mbak

66
Ronah memanjangkan leher ke arah depan, lalu meneruskan, “aku
pernah kawin dua kali, sudah tahu bagaimana laki-laki! Bosan. Lebih
baik hidup sendirian. Tidak ada yang mengomeli.”
“Ada majikan yang mengomeli.”
“Ya, tapi dia membayar, menggaji kita. Sedangkan suami? Dia
kasih uang sedikit, maunya makan dengan lauk daging-dagingan!
Kalau diberi tahu-tempe, marah. Mana tidur gratis lagi dengan kita!”
“Ssssssstttttt,” Siti tidak tahan lagi, turut campur mengingatkan
rombongannya.
Dia juga memperhatikan ulah Kino.
Pemuda itu sebenarnya sudah agak lama mengenal Siti. Gadis
itu biasa saja. Tidak cantik, tidak seksi. Orangnya hitam, rambut-
nya hanya sebatas bahu. Keseluruhannya, yaaa, bisa dipandanglah.
Sayang giginya besar-besar, sehingga kalau tertawa pemandangan
menjadi agak kacau.
Ujian SMP gagal, Kino magang menjadi buruh bangunan tujuh
tahun silam. Sekarang dia dipercaya memegang kunci gudang salah
satu Perumnas. Siti sudah kenal dengan pemuda itu. Kino berbaik
hati sering memboncengkan anak-anak asuhan Siti berkeliling taman.
Dia sendiri juga tidak jarang meminjam sepeda Kino untuk pergi ke
warung di “bawah”. Gudang dan tempat kerja Siti nyaris berhadapan,
hanya berantarakan sebuah taman kecil. Di mana ada waktu, Kino
bersandar ke pagar memanggil-manggil anak asuhan pembantu itu.
Mereka semua keluar, begitu pula Siti. Lalu pertemuan dilanjutkan
dengan perbincangan.
Dari situlah Siti tahu bahwa sesungguhnya seluruh penduduk
desa “bawah” masih mempunyai hubungan keluarga satu dengan
yang lain. Dan bahwa walaupun tampak miskin, setiap keluarga
mempunyai tabungan penting berupa sawah, kebun jambu kelu-
tuk, kebun durian atau nangka maupun rambutan. Milik tersebut
kemudian dibagi-bagikan kepada setiap anak-cucu yang memisahkan
diri untuk berkeluarga.
“Seperti aku misalnya,” kata Kino pada suatu waktu, “kalau aku
kawin, sudah ada rumah yang dibikinkan Nenek untukku. Kakakku
dulu juga begitu. Dia kawin diberi sawah di Weleri. Sebagian dia
jual, uangnya ditaruh di bank untuk sekolah anak-anaknya. Sekarang

67
dia bekerja sebagai Satpam, tapi juga punya sawah.”
Siti berharap. Namun, dia takut memberi bentuk dan nama
harapan tersebut. Dia usir dan dia enyahkan agar dia tidak dihantui
olehnya.
Dan petang itu, ketika tarawih usai, kelompok pembantu ribut
berbicara dan berkelakar sambil mengemasi sajadah serta mukenah.
Siti mendahului siap, keluar dari masjid.
“Lebaran pulang, Ti?”
Siti menoleh. Kino tiba-tiba saja berada di sampingnya.
“Belum tahu.”
“Lho kenapa?”
“Tidak punya sangu.”
Lalu, tanpa kendali, dia ceritakan bagaimana gajinya terkuras
habis. Puas sekali dia bisa mengadukan nasibnya sebagai sapi pe-
rahan kepada seseorang. Apalagi kepada Kino.
“Bosan aku hidup begini. Kalau ada modal, aku ingin ke Jakarta
saja, biar jauh. Kabarnya di sana dicari orang untuk mengganti
pembantu yang pulang Lebaran.”
“Kamu berani ke Jakarta?” suara Kino penuh keheranan.
“Supaya bebas dari bapakku, aku berani ke mana saja!”
Kino menunduk. Kaki kanannya mengais pasir di halaman
masjid, membentuk bulatan kecil, memberi teman bulatan lain di
sisinya. Kemudian mukanya ditegakkan, menatap Siti.
“Kalau kubayari busnya, kita bersama pulang ke desamu mau?
Aku ingin dolan ke tempatmu.”
Darah di seluruh tubuh Siti mengalir deras. Dadanya berde-
gupan. Siti mau menjawab, tapi tidak ada kata-kata yang siap keluar
dari bibirnya. Memang beberapa kali Kino memberi tahu dia bahwa
ingin dolan ke desa Siti, berkenalan dengan Simbok dan Simbah.
Tidak dikira sekarang pemuda itu mengulanginya lagi.
Kepala Kino merendah, berkata lirih,
“Jangan bilang-bilang kepada orang lain. Kalau kau setuju, tiba-
tiba saja kita pergi. Boleh menginap di rumahmu? Ada tempat?”
Tidak sukar. Di pondok Simbah Wedok banyak tempat.
Siti mengangguk, tersenyum. Namun, mulutnya tetap mem-
bungkam.

68
Pembantu-pembantu lain keluar, mendekat. Kino sudah pergi.
“Ada apa?” tanya Mbak Ronah, suaranya curiga.
“Tidak ada apa-apa,” sahut Siti.
Kepalanya penuh, serasa akan terbelah dan mengeluarkan butir
kata-kata yang bersinar berkilauan.
Tapi Siti diam dalam kegugupannya. Dia tidak hendak meng-
ungkapkan rahasia itu kepada siapa pun.
Sambil berjalan mengikuti rombongan, bibirnya masih mem-
bentuk senyum.

Arti/Penjelasan Kata-Kata dalam Bahasa Daerah


Lik : panggilan kepada wanita atau lelaki yang diang-
gap lebih tua dari si pemanggil.Pak Lik, Bu Lik
Sampeyan : Anda
Simbah : Kakek atau nenek.
Simbah Lanang ; Kakek. Lanang = laki-laki.
Simbah Wedok = Nenek. Wedok= perempuan.
Hari Raya Besaran : Hari Raya Kurban; Besar = nama bulan.
Sabrang/seberang : orang luar Pulau Jawa.
Eling : ingat
Disawang : dipandang
Bentek : gemuk dan pendek
Nduk : dari perkataan Genduk = anak perempuan.
Dadah : kebun dalam arti ladang, tidak di lingkungan
tempat tinggal. Sinonim: dagi
Ngunggah-unggahi : si pelamar adalah perempuan = melamar
Petukon : emas kawin; tuku = beli
Sangu : bekal, bisa berupa uang atau makanan, untuk
keperluan di jalan
Dolan : pergi ke suatu tempat untuk bermain-main,
berkunjung.
Mbak : dari perkataan Mbakyu = kakak perempuan

69
Monumen

“Ana Cina lemu, ana Cina lemu” anak-anak berlarian sambil


berseru-seru.
Semakin jauh ke dalam desa rombongan itu berjalan, semakin
banyak anak yang mendahului atau mengiringkan. Satu demi
satu, rumah yang berpenghuni memuntahkan lelaki atau pe-
rempuan tua, ibu-ibu menyusui bersama asuhan mereka ke arah
depan. Mereka mengumpul, bertanya dan berbicara,
“Ada apa?”
“Siapa Cina gendut?”
“Di mana?”
Desa yang biasa sepi peristiwa, yang tampak ditaburi pohon-
pohon pisang nyaris gundul serta jambu batu terlalu kering tak ter-
pelihara, sejak hari itu menjadi tempat kunjungan nyonya-nyonya
cantik, mengiringkan lelaki berkulit putih berambut emas keperakan.
Secara berkala, di muka kantor Kepala Desa bertenggerlah dua atau
tiga kendaraan jenis Kijang, jip bahkan sedan yang berkilat berkilau
karena kebersihan serta kemulusan catnya.

Tanpa penghasilan kecuali buah-buah dari halaman sendiri


maupun tetangga, penduduk di pinggiran Semarang itu setiap
hari mencegat bus atau kendaraan omprengan yang lewat dari

70
Boja menuju tengah kota atau Tanjungmas. Lelaki menjadi buruh
pelabuhan, bangunan dan pabrik-pabrik yang tersebar di kawasan
Tugu dan Tambakaji. Para wanita tersuruk-suruk, punggungnya
dibebani apa saja yang waktu itu berkenan keluar dari pepohonan.
Kluwih, sukun, ace, namun yang paling sering adalah lipatan rapi
lembaran daun pisang klutuk dan buah jambu klutuk. Barangkali tidak
pernah ada yang mengajari mereka bahwa pohon pun memerlukan
perawatan. Nyatanya semua yang tumbuh di sana kelihatan me-
rana. Hampir semua tua, ranting dahannya kerempeng. Tidak ada
pula tanda-tanda peremajaan. Penghuni desa hanya menunggu ke-
luar dan masaknya buah, memetik serta mengangkutnya ke pasar
Ngalian atau Jrakah. Buah-buah nangka dan durian tampak langka,
dibungkus plastik atau kain tua, diikat pada batang-batang yang
ditumbuhi. Pelepah daun-daun pisang batu yang tertinggal tegak
menunjukkan gapaiannya ke langit. Satu daun muda melindungi
gulungan pupus di tengah-tengah.
Di dalam desa terdapat tiga sumber air, hanya satu yang
cukup besar dan berarti. Jika dibiarkan, dapat memenuhi kolam
dua puluh kali dua puluh depa luasnya. Mungkin karena kemis-
kinan, warga desa hanya membuatkan kolam atau bak penam-
pungan tanpa semen. Tidak ada dinding atau sekatan yang me-
lindungi paha-paha dan punggung wanita yang mandi di sana.
Sumber yang muncul bening segar itu kemudian berubah penuh
ganggang, warnanya hijau. Jika udara bergerak di dekatnya, nya-
muk serta aneka serangga beterbangan menghindar.
Meskipun begitu, orang-orang antre untuk mendekat untuk
mendapatkan air. Mandi dan mencuci ataupun buang air seni
dilakukan tidak jauh dari penampungan. Limbah buih dan lain-
nya mencari jalan sendiri, menemukan sendiri lekukan bebera-
pa langkah dari bak itu, lalu mendekam di sana berbentuk com-
beran. Tidak mengherankan jika kebanyakan penduduk, lebih-
lebih kaum tua dan kanak-kanak secara rutin bergantian men-
derita sakit perut.
Namun, penghuni desa yang bermukim di dekat-dekat sum-
ber itu merasa bersyukur. Bagaimanapun rupanya, air itu berasal

71
dari sumber dan terletak di dalam desa. Untuk memperoleh air
yang betul-betul bersih, harganya sangat mahal, karena harus dipi-
kul dari ngarai di bawah sana. Jauh di sebelah timur desa, turun
lima puluh meter, kembali naik lebih dari 70 meter ke desa.
Menuruti petunjuk Bu Dokter Massai, petugas Puskesmas di
Mijen, kelompok wanita anggota organisasi sosial internasional
memilih desa tersebut sebagai anak asuh atau desa binaan. Jelas
yang paling penting dari segalanya ialah menarik air bersih dari
ngarai sampai ke tanah datar di dalam desa. Biayanya amat besar:
harus dibikin beberapa tandon air, pompa berkekuatan tinggi,
mesin pembangkit tenaga listrik, pipa ratusan meter.
Maka seperti yang lazim dilakukan organisasi itu, kelompok
ibu-ibu cantik mengirim usulan rencana anggaran ke sesama
organisasi di luar negeri. Tanpa diduga, dari Australia segera
mendapat sambutan.
Sebab itulah, desa yang di waktu siang nyaris tanpa penghuni,
dan tidak pernah diinjak bangsa asing selama lima puluh tahun
itu tiba-tiba melihat Tuan Gibbson yang tampak selalu sibuk
mengusap peluhnya.

Untuk tidak dikatakan lancang, namun karena kepentingan


publikasi, wakil nyonya-nyonya cantik digiring ketua organisasi
kawasan Nusantara mengunjungi petinggi pemerintahan. Istilah
umum ialah untuk melapor serta meminta pengarahan. Padahal
yang sesungguhnya, wanita-wanita berkarier penuh di rumah
tangga maupun di masyarakat itu sudah tahu sendiri apa yang
harus dikerjakan.
Wartawan koran lokal terbesar diundang untuk meliput. Dia
akan menerima sampul berisi puluhan ribu rupiah.
“Jangan memalukan begitu! Itu artinya kita menjual kemis-
kinan kepada bangsa asing!” pejabat tertinggi wilayah itu ber-
suara dan bersikap berang.
Terkejut bukan kepalang nyonya-nyonya cantik mendengar

72
komentar bapak yang paling terhormat di wilayah mereka itu.
Sejenak tidak ada yang menanggapi, hanya saling berpandangan.
Tetapi Cina gendut ketua organisasi internasional bagi kawa-
san tanah air itu tidak pernah kehilangan akal. Selama tumbuh
dan menjadi dewasa, dia digembleng filsafat serta pendidikan
Bali-Jerman-Jawa. Batin dan pikirannya kaya dengan kesiapan
guna menghadapi aneka serangan dalam hidup yang fana ini.
Sadar dan tenang dia berkata,
“Kami tidak akan menerima bayaran karena menjual kemis-
kinan bangsa sendiri, Pak. Tetapi kami akan menerima bantuan
dana, sumbangan guna membangun cadangan air bersih. Prin-
sipnya sama dengan bantuan-bantuan Bank Dunia yang diberi-
kan kepada Pemerintah RI, Pak” dan hampir saja dia menam-
bahkan, “Kalau begitu, bisa dikatakan pula pemerintah kita men-
jual kemiskinan kepada bangsa asing. Malahan pihak tertentu
pastilah menyunat bantuan itu di beberapa tempat. Sedangkan
organisasi kami, Tuhan menjadi saksi, tidak pernah mengambil
satu rupiah pun bantuan yang dikirim dari segala penjuru dunia.”
Tetapi kelapangan dada manusia Cina-Jerman-Jawa itu sama
luasnya dengan ketiga tanah tempat dia tumbuh dan dibesarkan.
Kemahirannya berbicara sama pastinya seperti kemantapan jari-
jarinya di saat menggubah tembang serta memainkan piano.
Tuhan segala etnis manusia selalu memantau umatnya yang ber-
buat baik. Yang Mahakuasalah yang mengarahkan dia. Bukan
pejabat tertinggi atau siapa pun lainnya.
Mata bapak pejabat berkedip-kedip memandangi si Cina
gendut, ganti melirik ke arah wakil wanita-wanita cantik.

Terjadikah penolakan atau penerimaan penalaran yang logis


itu? Dia mengganti posisi duduknya, bersandar, beringsut, lalu
balik lagi maju merentangkan tangan di atas meja kayu besar
serta berkilauan. Ruangan dingin. Sangat dingin. Sinar pagi yang
menerobos kaca jendela tidak mampu mengirim kehangatan.

73
Pendek kata, para wakil organisasi sosial itu keluar dari ruang
pertemuan sedingin lemari es di gedung megah dengan hati lega.
Pekerjaan akan segera bisa dilaksanakan. Dua nyonya cantik
insinyur menjadi perancang sekaligus mandor proyek mereka
guna menolong desa tertinggal. Sebagai dasar bangunan, pen-
duduk desa yang dipilih harus berpartisipasi kerja bakti me-
ngumpulkan batu-batu di Sungai Gondorio, yang mengalir turun
dari Gunungpati dan melintasi pinggir desa. Pasir diambil dari
tepian sungai tersebut, terletak di batas dukuh paling timur.
Maka selama beberapa waktu, lima belas buruh yang biasa
harus ke kota untuk mencari nafkah, bisa tinggal di dekat rumah
mereka. Semua tugas dilakukan dengan rapi dan riang hati, lebih-
lebih karena mandornya cantik-cantik. Yang terberat sekalipun!
Ialah ketika harus menurunkan pompa dan mesin disel pem-
bangkit listrik jauh ke dalam ngarai.
Semua baik dan menuruti rencana. Namun, ketika sampai
pada pembikinan kamar-kamar mandi beserta kakus, nyonya-
nyonya cantik mendapat ganjalan: di mana? Dana empat puluh
juta rupiah pas saja, tidak cukup buat membeli tanah lagi untuk
MCK. Untunglah ada Pak Bayan dan istrinya.
“Bagaimana kalau dadah di sebelah barat itu kita berikan
supaya dibikin MCK, Makne?”
“Semua, Paknel”
“Tidak tahu. Kita persilakan ibu-ibu itu mengukur, meng-
ambil yang diperlukan.”
“Terserah, Pakne!’
“Kita semakin tua. Anak-anak sudah mapan semua. Tidak
ada yang mau tinggal di desa. Dadah di Silayur masih ada tiga
ribu depa. Di Sulanji, rumah yang kita kontrakkan ada empat.”
“Benar, Pakne. Apalagi sampeyan dan saya amat repot meng-
urusi dadah di depan. Yang di belakang tidak kepegang lagi.
Jadi jembrung, singup!’
“Jadi kamu setuju, Makne?”
“Silakan, Pakne, silakan!”
Sealur dengan perkembangan pembangunan tandon air dan

74
delapan MCK di tanah yang dihibahkan Ibu dan Pak Bayan,
merayaplah busik-busik di antara penghuni desa.
“Orang bule itu Kristen. Ibu-ibu cantik itu pasti juga ber-
agama Kristen.”
“Jangan-jangan mereka akan menjajah kita dengan agamanya.”
“Kita diberi tempat berak, tetapi harus masuk Kristen!”
“Ah, tidak usah saja!”
Maka Pak Lurah didampingi Pak Bayan memerlukan mene-
mui salah seorang anggota kelompok ibu-ibu cantik yang tinggal
di perumahan dekat Ngalian. Mereka menyampaikan unek-unek
warga desa binaan.
“Ibu-ibu itu banyak yang Jawa asli, Pak. Memang ada yang
beragama Katolik atau Protestan. Tetapi tidak sedikit yang sem-
bahyang lima waktu sehari, berpuasa di bulan Ramadan. Malah
sudah ada tiga yang hajjah. Seorang dari insinyurnya beragama
Buddha. Dua ibu berasal dari Bali, keduanya pengikut agama
Hindu Bali. Kami Pancasila, Pak!”
Mendengar Pancasila disebut, bersinarlah wajah Pak Lurah.
Bukankah para Bapak di Jakarta sering kali menggunakan kata
itu pula dalam pidato-pidatonya? Pak Lurah akan bisa menyi-
tirnya juga kepada warga desanya!
Kini semua itu sudah berlalu. Pembukaan berlangsung kaku,
tetapi kemudian disantaikan oleh Cina gendut yang berlomba
dengan Pak Bayan, siapa paling keras melontarkan air seni ke
dalam kakus. Kelakar dan tawa akhirnya dapat mengeluarkan
air mata geli mengaliri pipi ibu-ibu cantik. Istri Walikota bahkan
berkenan turut menyumbangkan kehadiran dan keramaian jerit-
kegeliannya.
Satu bulan kemudian, beberapa wakil nyonya-nyonya cantik,
termasuk seorang insinyurnya menengok proyek mereka. Se-
belum berkunjung ke rumah Pak Bayan, ibu-ibu cantik lang-
sung menuju ke MCK. Kedelapan pintu kamar mandi dan kakus
digembok. Di bangunan tanpa atap yang berisi tandon air dan
tempat mencuci, mereka bertemu ibu-ibu warga desa.
“Ya, digembok semua oleh Pak Bayan, Bu. Dia dan warga

75
terdekat pada terganggu karena pengguna MCK tidak mau
membersihkan setelah berak atau kencing. Baunya busuk dan
sengak! Karena orang-orang diberitahu tidak menurut, tidak ada
yang patuh, ya lalu dikunci saja oleh Pak Bayan! Katanya: biar
kamar dan kakus-kakus itu menjadi monumen saja daripada bau-
nya mengganggu keluarganya yang tinggal paling dekat. Kasihan
dia! Padahal mereka sudah baik hati memberikan tanahnya ...”
“Lalu warga desa ke mana kalau buang air besar?”
“Ya ke mana-mana saja seperti dulu. Bisa ke kebun, ke ngarai
kalau dekat, bisa ke pinggir sungai!”
“‘Kan alir air sungai kecil sekali kalau tidak hujan?”
“Betul. Tapi kalau kelak hujan, ‘kan kotorannya terbawa ha-
nyut sendiri!”
Sementara itu, lalat beterbangan dan hinggap di mana-mana,
sebelum lari tertarik oleh suguhan makanan apa saja!
Masing-masing nyonya cantik itu menoleh, saling berpan-
dangan. Di hati mereka menyebut, “Ya, Tuhan! Bagaimana cara-
nya mendidik orang-orang ini?”

Arti/Penjelasan Kata-Kata dalam Bahasa Daerah


Cina lemu : Cina gemuk sekali
Pisang klutuk : pisang batu
Jambu klutuk : jambu batu
Dadah : kebun/halaman
Sampeyan : anda
Jembrug : kotor, lembap
Singup : agak gelap, mengerikan

76
Yustina

“Mengapa Anda ingin bekerja?”


Yustina mengira telah menjawab pertanyaan-pertanyaan ter-
dahulu dengan baik. Kedua pejabat Kedutaan RI di hadapannya
tampak jelas berpengalaman. Usianya pasti jauh di atas umur
Yustina sendiri. Seorang wanita, lainnya pria, keduanya tenang
dan tidak memburu atau mendesak. Tetapi kalimat paling akhir
itu agak mengejutkan Yustina.
“Saya ingin mandiri dalam hal keuangan,” sahutnya.
Lalu terpikir mungkin orang tidak akan mempercayainya
bila ketahuan siapa ayah-ibunya. Cepat dia menambahkan,
“Lagi pula anak saya sudah besar. Waktu pendaftaran sekolah
nanti dia cukup umur untuk masuk TK.”
“TK hanya setengah hari,” kata pejabat wanita itu.
Mungkin dia juga seorang ibu,
“Bagaimana Anda akan mengatur waktu?”
“Di surat lamaran saya sebutkan bahwa untuk sementara,
saya memohon pekerjaan paruh waktu. Misalnya, dari pagi
sampai pukul satu siang. Kebetulan tetangga saya juga mempu-
nyai anak yang akan masuk TK. Dia sanggup menjaga anak
saya sampai saya pulang.”
“O, bagus kalau begitu.”
Kemudian Yustina dipersilakan menunggu di luar. Tidak
mencapai sepuluh menit, dia dipanggil kembali. Dia sudah men-

77
duga akan dites menggunakan komputer. Di Indonesia dia sudah
pernah kursus menggauli alat elektronik canggih tersebut. Na-
mun, hard ware atau soft dan berbagai kuncinya berlainan dari di
Prancis. Untunglah kadangkala dia berkesempatan “bermain-
main” dengan komputer suaminya untuk mengirim e-mail atau
membantu menuliskan terjemahan surat dalam bahasa Inggris
buat kantor suaminya. Dia tetap sarjana di bidang bahasa asing
itu walaupun keseluruhannya didukung skripsi yang ditulis oleh
orang lain.
Beberapa saat berlalu, lembaran contoh kemampuannya dipe-
riksa. Selesai. Dia dipersilakan pulang, Kedutaan akan memberi
kabar mengenai keputusan mereka.

Ayah Yustina sudah pensiun sejak lama, dengan tabungan


berjubel di bank-bank Tokyo, Jerman, Swiss, dan beberapa lain-
nya di Asia Tenggara. Sehubungan dengan penyakit kolesterol
dan darah tinggi, dokter menyarankan agar lelaki itu tidak beper-
gian terlalu jauh sehingga kelelahan.
“Jangan capek-capek. Kalau tidak periksa di Jakarta, ya ke Singa-
pura atau Australia. Itu paling aman. Dekat. Banyaklah jalan kaki.
Ciputat bagus. Periksalah kebun-kebun buah Anda sesering mungkin
sekalian berolahraga. Perusahaan bonsai Anda yang di Tugu juga
pas buat kesibukan,” begitu nasihat dokter keluarga.
Bapak itu adalah orang yang di dunia Barat bisa disebut gold
finger. Apa pun yang dia sentuh bisa menghasilkan uang. Seluruh
umur kariernya sebagai pejabat di luar negeri, tidak satu kali
pun dia menyeleweng dari garis kejujuran. Ketika kembali pal-
ing akhir ke Tanah Air sebagai pejabat RI, seseorang menawarkan
tanah. Karena kasihan, dia membelinya. Disusul saudara pem-
bantunya yang terdesak memerlukan uang, menjual tanah. Ba-
pak Yustina juga membelinya. Begitu seterusnya, sampai-sampai
saudaranya atau ayahnya pembantu tetangga sekalipun menda-
tangi rumah Yustina karena mendengar bahwa si Bapak bisa

78
“menolong” membeli tanah, kebun, sawah mereka yang berada
di tempat-tempat pinggiran Jakarta, Bogor serta berbagai kota
kecil dengan pendahuluan nama Ci-.
Tidak pernah diperhitungkan kepentingan lokasi. Ayah Yus-
tina membeli dan terus saja membeli jika ditawari dan dia me-
nyukainya. Tanpa menunggu lima tahun, menyusul sepuluh ta-
hun, harga tanah yang telah pindah ke tangannya itu berlipat
ganda hingga ratusan, bahkan ribuan persen. Kota mendesak
daerah pinggiran, terus masuk ke pedalaman sehingga tidak ada
lagi yang menjadi tepiannya.
Si Bapak menyisakan cukup banyak untuk dirinya dan empat
anaknya.
Hanya Yustina yang perempuan. Hanya Yustina yang berta-
hun-tahun bertengger di sebuah universitas tanpa ketahuan ka-
pan akan selesai. Sampai pada suatu saat ibunya memutuskan
akan menuliskan skripsi anak itu. Tetapi dia sudah terlalu lama
meninggalkan kuliahnya sendiri. Dia tidak pernah menginjak
tahun ketiga karena memang kuliah dia anggap sebagai batu
loncatan untuk mencari suami. Barulah si ibu itu menyadari
bahwa berbicara dan membaca bahasa Inggris dengan lancar
bukan berarti gampang menulis skripsi. Padahal bukunya bacaan
menumpuk di kamar-kamar empat atau lima rumahnya di Men-
teng, Kebayoran atau Parung. Setiap pergi berbelanja ke Singa-
pura atau Bangkok, tidak pernah dia pulang tanpa membawa
tambahan buku bacaan berbahasa Inggris.
“Yustina tentu lulus. Tulis skripsi orek-orekan saja! Itu hanya
sebagai syarat. Asal ada kertas kerjanya, bagaimanapun bentuk-
nya, pasti lulus!” begitulah kata kawan-kawan dosen yang dekat
dengan keluarga miliarder itu.
Keputusan lain pun menyusul: harus ditemukan orang lain yang
mau menuliskan skripsi. Tidak mudah, tetapi ada. Di Indonesia
masih banyak orang pandai, namun kekurangan biaya hidup. Dan
akhirnya Yustina mendapatkan gelar Dra-nya. Bukan hanya hadiah
berupa barang yang dia terima. Dia juga dibawa berjalan-jalan ke
setengah lingkaran bumi oleh ibunya. Nomor satu adalah Jepang

79
karena Yustina lahir di sana, lalu di usianya yang keenam keluarganya
pulang ke Tanah Air. Perjalanan diteruskan ke Eropa. Di setiap tempat
yang dituju, Kedutaan menyediakan tenaga khusus sebagai pengantar
dan mengurusi segalanya.
Mereka ke negeri Prancis, tentu ke Lourdes untuk berziarah.
Sebagai umat Katolik, si ibu khusyuk berterima-kasih kepada
Tuhan dan nabinya karena keempat anaknya telah menyelesai-
kan perguruan tinggi. Kini yang dia inginkan ialah satu-satunya
anaknya perempuan segera mendapatkan jodoh. Dia bersembah-
yang sambil membayangkan betapa akan hebat dan ramainya
perhelatan luar biasa yang bakal diselenggarakannya di ibu kota
RI untuk mengawinkan si bungsu tersebut.
Sebelum ke Roma, mereka beberapa hari bersantai di bebe-
rapa kota wisata Prancis. Yustina jatuh cinta kepada Paris. Hanya
dengan susah payahlah ibunya bisa membujuknya untuk mene-
ruskan perjalanan mereka.
Sepulang dari keliling setengah dunia itu, Yustina langsung
mendaftarkan diri kursus bahasa Prancis. Orang rumah dan
lingkungannya belum pernah melihatnya serajin itu. Gadis yang
dulu selalu berbaringan di kamar sambil menonton televisi acara
film apa pun, kini giat belajar. Memang televisi masih dibiarkan
menyala, tetapi siaran yang terdengar adalah CNN atau berba-
hasa Prancis.
Tidak hanya itu perubahan di rumah tersebut. Yang mene-
lepon juga bertambah. Di antaranya bahkan pernah tersesat
menyelonong ke rumah bagaikan kastil di Ciputat yang berka-
mar dua puluh. Di waktu itu, ayah Yustina sedang “dinas” meng-
awasi panen rambutan. Turun dari mobil, barulah dia tahu bahwa
topinya ketinggalan di rumah Menteng. Dia memasuki “kastil”-
nya untuk mencari topi lain. Dia terima telepon di dekatnya.
“Yustina tidak ada di sini. Ini bapaknya,” kata si ayah dengan
kesal karena merasa terganggu, maka langsung mengutarakan
siapa dirinya.
“Maaf, Pak. Perkenalkan, saya Erik. Apakah Tina tidak kursus
bahasa Prancis hari ini?”

80
Tina? Tadi menanyakan Yustina, sekarang berganti menjadi
Tina.
“Masuk! Dia kursus setiap hari,” kata si bapak lagi.
Kini ada nada kebanggaan karena anaknya rajin.
“Kami menunggunya. Pelajaran akan dimulai, tapi dia belum
datang,” suara di ujung lain menjelaskan, lalu segera disusul
ucapan terima kasih dan kata-kata sopan lain sebagai permintaan
maaf.
Tina? Keluarga memanggil satu-satunya anak perempuan
itu Yustina, Yus atau Yustin. Tiba-tiba sekarang ada nama baru.
Begitu sampai kembali di rumah Menteng, si ayah masih mem-
persoalkan siapa yang namanya Erik itu. Istrinya tidak bisa mem-
beri informasi. Dia terlalu sering keluar arisan berlian atau mobil,
kerapkali mencoba restoran atau kafe yang baru buka bersama
kawan-kawan berharta lain sehingga jarang mengurus telepon-
menelepon. Pembantu justru lebih bisa memberi penerangan.
Pak Erik sudah sering menelepon. Pagi, siang, sore.
“Mengapa pakai Pak?” tanya ayah Neng Yustin.
“Karena dia menyebut dirinya begitu.”
“Bagaimana?”
“Yaaa, waktu telepon, saya tanya dari siapa. Dia menjawab
dari Pak Erik. Begitu.”
“Kalau mendengar suaranya, orangnya pasti ganteng,” kata
pembantu lain yang tidak ditanyai tapi mengikuti percakapan
di pintu.
Kelihatan bangga bisa memberikan pendapat.
Seperti biasa, Yustina pulang larut malam. Seperti biasa, lang-
sung masuk ke kamarnya tanpa bertemu dengan orang tuanya.
Di rumah orang-orang berharta, masing-masing anggota keluarga
mempunyai kendaraan, di kamar tersedia semua fasilitas perseo-
rangan untuk membangun individu-alisme. Baru keesokannya
si bapak berkesempatan berbicara dengan satu-satunya anak
perempuan tersayang.
“Ooo, Erik!” Yustina berseru kecil menjawab pertanyaan
ayahnya, “Dia pengajar di tempat kursus. Sebetulnya bukan

81
dosen atau guru, melainkan coopérant, tenaga sukarela yang mau
ditempatkan di luar Prancis. Calon insinyur, tapi bisa mengajar
Prancis.”
Dan itu merupakan awal dari masuknya nama Erik ke dalam
cerita-cerita Yustina yang dibawa ke tengah keluarganya. Dari
hari ke hari, makin banyak cerita itu. Sampai pada suatu hari,
Yustina membawa pemuda itu pulang. Karena Bapak senang
berbincang-bincang dengan dia dan si ibu memahami pancaran
mata anak perempuannya, Erik ditahan untuk makan malam.
Cepat-cepat ibu itu masuk ke dapur. Membuka kaleng ini-itu,
menggoreng bumbu dan bahannya. Dalam sekejap, di meja
sudah ada tambahan tiga lauk.
Pada suatu hari, Volvo manis yang biasa dikendarai Yustina
tidak kelihatan di garasi. Ayahnya bertanya di mana kendaraan
itu. Santai dan yakin, anak satu-satunya perempuan itu menja-
wab Erik yang membawanya. Dan itu tidak dipersoalkan. Neng
Yustin bisa diantar sopir dengan mobil lain kalau perlu. Dan
bukankah setiap sore Pak Erik menjemput untuk pergi bersama
ke kursus? Bila tanggalan memuat warna merah, sudah pasti
Yustin menginap di salah satu rumah di luar kota. Dan Erik
tentu bersamanya. Yang diributkan orang tua Yustina hanyalah
bagaimana mereka makan. Harus bawa ini ataukah itu? Beli
saja! Atau, ambil uang di laci secukupnya, ajak Erik ke rumah
makan yang itu. Tentu dia belum pernah ke sana. Dan seterusnya
dan sebagainya.
Tiba-tiba ayah dan ibu itu ikut-ikutan memanggil anak pe-
rempuan mereka Tina. Itu nama yang bagus. Bukankah dalam
keluarga miliarder Onasis si raja kapal Yunani juga ada yang ber-
nama demikian? Berdua mulai membayangkan mempunyai
menantu lelaki Barat. Sama-sama Katolik, tidak apa-apa. Orang
Yogya Katolik terkenal berwawasan luas sesama umat. Melampaui
batas negeri maupun bangsa. Diam-diam mereka malahan bangga.
Sudah beberapa lingkungan orang kaya sahabat mereka yang
mempunyai menantu bangsa asing. Dengan perkawinan Tina dan
Erik, keluarga itu tidak ketinggalan zaman!

82
Belum setahun Erik dan Tina berkenalan, masa kontrak
pemuda itu habis.
Dia akan memperbaruinya, tapi harus pulang dulu ke ne-
gerinya. Maka disepakati, sekembalinya ke Jakarta, Erik akan
menempati rumah keluarga di Menteng atau Kebayoran yang
belum dikontrak orang. Kendaraan juga akan disediakan. Erik
akan banyak menulis, karena dia akan menyelesaikan studinya.
Benarlah perkawinan Yustina menjadi berita besar di ibu
kota RI. Semua anggota keluarga datang dari Prancis. Ayah Yus-
tina menyewa satu lantai sebuah hotel bergengsi. Kontrak perka-
winan adalah gono-gini. Semuanya adalah milik bersama walau-
pun apartemen lima ruang di Paris ayah Yustinalah yang mem-
bayari. Meskipun perjalanan pengantin diiringkan keluarga ke
Bali dan Lombok atas tanggungan ayah Yustina.

Yustina menikmati menata rumahnya.


Sesungguhnya Erik juga mempunyai sebuah studio, atau
apartemen beruang satu. Itu dia beli dengan uang warisan
neneknya ditambah tabungan perumahan yang sejak kecil disim-
pankan ayahnya. Tetapi Yustina membutuhkan ruang tamu yang
besar, kamar tidur besar, gudang yang besar pula.
Keenakan berumah tangga sendiri hanya beberapa waktu dia
rasakan. Karena di Paris, semua harus dikerjakan sendiri. Untung-
lah punya uang. Ketika dia mulai merasa mual-mual mengidam,
segera didatangkan wanita Spanyol sebagai pembersih rumah. Pada
awalnya, Yustina bangun pagi menemani suami minum kopi. Tapi
itu hanya sebentar berlangsung. Dia biarkan Erik bangun dan
membuat kopinya sendiri. Suami itu menciumnya sekilas sebelum
turun menuju tempat kerjanya. Sambil lalu, dia juga membawa
sampah ke ruang bawah tanah.
Di dalam barang pindahan, Yustina tidak membawa bumbu-
bumbu masakan Jawa. Dia tidak pernah berpikir akan membu-
tuhkan gula merah untuk membuat sambal rujak ataupun terasi

83
serta petis untuk dicampurkan pada tahu goreng. Ibunya tidak
pernah memberinya pengarahan, kecuali harus memilih kain
batik Iwan Tirta buat korden, memesan sutra batikan untuk
dijadikan hadiah-hadiah. Apalagi memasak; menyambal, me-
numbuk cabe dan terasi saja Yustina tidak pernah.
Maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah menelepon
meminta kiriman.
Sementara menunggu, bukankah di Kedutaan ada seorang
karyawati yang dulu membantu mereka? Ibu Puji menawarkan
jasanya jika Yustina memerlukan sesuatu. Dan segera itu dilaku-
kan. Ah, hanya berkabar, katanya. Setelah berbasa-basi ini dan
itu, sampailah pada keluhan ingin makan segala masakan yang
mentradisi: rujak, tahu petis, klepon, bubur candil dan seterus-
nya lagi. Seperti yang diharapkan Yustina, Ibu Puji yang baik
menyilakan datang ke Kedutaan. Kebetulan dia mempunyai
cobek yang tidak dipakai. Kebetulan banyak gula merah, kebe-
tulan ini itu dan semuanya serba kebetulan.
Belum pernah Tina, Neng Yustin merasa kaya hanya karena
mempunyai cobek dan muntu sebagai pasangannya. Sepulang
dari Kedutaan, dia suruh taksinya singgah ke toko makanan
Vietnam di Mauberg Mutualité. Bu Puji bahkan memberinya
sebuah buku masakan lama yang katanya difotokopi berkali-
kali karena keaslian resepnya. Sopir taksi menerima pourboir
besar. Maka dengan serta-merta menawarkan jasa mengantarkan
belanjaan sampai ke tingkat enam hingga di depan pintu rumah.
“Akan berpesta, Madame? Wah, pasti enak masakan Asia,
ya!” katanya berkelakar, lalu mengucapkan “Bonne Fête” dan tu-
run.
Yustina pernah memberi tahu Erik bahwa dia tidak bisa me-
masak.
“Tidak perlu memikirkan masakan. Bikin stek dan kentang
goreng saja. Kalau ingin makan lainnya, kita ke restoran,” demi-
kian tanggapan suaminya.
Kebalikannya, ibu mertua berkata,
“Belajarlah memasak! Lelaki harus dipegang lewat perutnya.

84
Kalau dia tidak puas makan di rumah, pasti cari lainnya di luar.
Erik gemar Le mouton Grillé Aux Petits Oignons. Resepnya ada di
buku ini,” lalu ibu mertua itu memberikan sebuah buku ma-
sakan.
Sungguh membingungkan. Mana yang harus diikuti. Tapi
sekarang Yustina akan menjadi tukang masak karena mual-mual
di perut hanya dapat hilang jika dia makan masakan Jawa. Kalau
tidak, dengan mata terpejam pun, bayangan makanan yang dia
inginkan menari-nari di pelapukannya.
Di hari pertama Neng Tina memasak, sudah terjadi peru-
bahan.
“Di mana kamu, Chéri?” seru suaminya sambil menutup pin-
tu kembali.
Yustina belum sempat keluar menyongsong, dia hanya men-
jawab dari dapur,
“Sebentar, Chéri. Aku cuci tangan dulu.”
Keduanya saling memanggil dengan kata Sayang, sehingga
nama mereka tidak pernah lagi diucapkan. Di mana pun berada,
Sayang sudah menyatu menjadi ganti Tina dan Erik.
Yustina mendekati suaminya, menguncupkan diri untuk di-
rengkuh ke dalam pelukan.
“Uhhh, baumu bumbu-bumbu!” seru Erik sambil menolak-
kan kepala istrinya, memandang dari jarak tiga puluh centi dan
meneruskan,
“Aku seharian tidak melihatmu! Kalau bertemu, inginku men-
ciummu seluruh tubuh. Tapi jangan berbau seperti ini!”
Hari kedua, Yustina tanggap. Sebelum pukul lima, dia sudah
mandi dan bersolek ringan. Lebih-lebih yang paling penting,
Erik tidak suka mencium bibir istrinya bila dipolesi gincu. Dia
juga tidak boleh mengenakan celana panjang, karena gaun lebih
terbuka untuk belaian dan jangkauan.
Masa mengandung tidak mengurangi waktu percumbuan.
Hanya caranya saja yang berbeda. Erik tahu menata dan meng-
arahkan istrinya hingga mencapai ujung perjalanan yang mele-
lahkan namun memberi kepuasan.

85
*

Tapi benarkah Yustina puas hingga ke kedalaman lubuk hatinya?


Di tahun ketiga perkawinan, walaupun dibantu oleh seorang
pengasuh anak khusus berijazah negara, Yustina benar-benar
bosan tinggal di rumah. Dasarnya dia memang tidak pernah
suka anak-anak. Tetapi anaknya lucu, perempuan. Pas untuk
dijadikan boneka. Kunjungan saudara dan teman dari Indone-
sia tidak berkeputusan menyebabkan Yustina semakin jarang
tinggal di rumah seharian. Maka sekali-sekali menggendong dan
mencium anaknya membikin dia lupa pahit getirnya orang beru-
mah tangga. Karena dia sudah merasakan ketidakenakannya
hidup bersama Erik.
Baru tahun lalu suami itu mencapai usia yang berkepala tiga.
Tetapi kini perutnya buncit. Dahi yang dulu terlindung oleh
rambut pirang, sekarang kelihatan menonjol telanjang sehingga
tampak terlalu lebar. Itu semua membikin rusak garis-garis har-
monis yang dulu menyebabkan Yustina tertarik kepadanya.
Perut gendut menandakan kemapanan.
“Biar saja!” kata mertua perempuan Yustina. “Itu tandanya
kamu memberinya makanan enak-enak, dapurmu terus berasap.
Laki-laki boleh gemuk. Tapi kita perempuan harus menjaga daya
tarik kita supaya suami tidak melirik ke arah lain.”
Yustina tidak mendapatkan kegairahan bercinta lagi dari su-
aminya.
Meskipun kepadatan nafsunya sama, tetapi kemapanan juga
memasuki gairah percumbuannya. Tidak ada lagi belaian mema-
naskan yang begitu disukai Yustina. Tahap awal sekarang dihi-
langkan, langsung saja Yustina dipaksa suaminya ke tengah per-
jalanan. Dulu mereka berdua berjalan ibaratkan bergandengan,
perlahan, selalu seirama. Selangkah demi selangkah hingga sam-
pai pada taraf kecepatan yang dipadu untuk berdua. Inilah yang
disukai Yustina. Tapi kini, itu sudah menguap entah ke mana.
Tidak dibisikkan lagi kata-kata lembut, panggilan-panggilan ke-
sayangan yang menyertai pemanasan ataupun perjalanan.

86
Bercinta dengan suaminya sekarang hanyalah merupakan
sport berlari untuk mencapai tujuan. Itu saja. Benar Yustina
memang mencapai tujuan tersebut, sama seperti Erik. Namun,
dia tidak menikmatinya. Itu hanya merupakan pelampiasan
kebutuhan biologis saja.
Tidak hanya itu yang membuat Yustina kecewa berumah
tangga.
Dilihat selintas, keluarga besan sayang kepadanya. Tetapi
yang sesungguhnya, Yustina merasakan iri hati di bidang segala-
nya. Kakak Erik tidak kawin, hidup serumah dengan seorang
aktivis politik golongan oposisi. Seolah-olah peduli lingkungan,
selalu ikut serta di mana pun terjadi kegiatan ekstrem yang me-
nyerempet mendekati soal ekologi. Tetapi bila dicari namanya,
tak satu pun organisasi lingkungan hidup yang mencatatnya
sebagai anggota. Dia hanya ikut-ikutan. Yang pasti, dia memang
mempunyai kartu tanda anggota Partai Sosialis negeri itu. Peker-
jaan yang menopang hidupnya adalah Tata Kota di sebuah pro-
vinsi terdekat dengan Paris. Maka tidak jarang dia tiba-tiba mun-
cul, sendirian atau didampingi kakak perempuan Erik. Mereka
sengaja datang untuk turut bersama makan siang di hari libur,
atau makan malam di hari biasa. Tetapi bukan itu yang meng-
ganjal bagi Yustina.
Kalimat-kalimat yang diucapkan orang tua dan saudara-sau-
dara Erik selalu siap menunjam dada anak perempuan satu-
satunya si bapak bertangan emas itu. Yustina dan kakak-kakak-
nya memang terpelajar karena mempunyai gelar sarjana. Tetapi
pengetahuan mereka terbatas. Mereka tidak tertarik kepada hal-
hal di luar bidang masing-masing. Apalagi Yustina. Bahasa Pran-
cisnya maju karena dia menggunakannya untuk berbicara sehari-
hari. Tetapi jika harus menulis atau membaca, matilah dia. Dia
juga berbicara bahasa Inggris. Tetapi ilmunya memudar terdesak
oleh tahun-tahun yang hilang. Maka dalam perbincangan
bersama saudara, orang tua atau lingkungan besan itu, Yustina
hanya diam. Nyata lingkungan barunya tidak mempedu-
likannya. Mereka tidak menganggapnya sejajar karena setiap

87
kali diminta pendapat, jawabannya kekanak-kanakan atau
meleset jauh dari pokok persoalan. Bahkan dua atau tiga kali
terluncur kata-kata kakak Erik yang jelas ditujukan kepadanya.
“Orang-orang kaya di dunia inilah yang memelihara kemis-
kinan. Karena kalau mereka memang rela menghapus kemela-
ratan, sebenarnya bisa. Kaulihat misalnya ayah Tina, dia menjadi
tuan tanah ukuran raksasa. Apakah dia menjamin sekolah buruh-
buruhnya supaya lebih pandai? Tidak bukan? Karena bila buruh
diberi tambahan pengetahuan, mereka akan meninggalkan ke-
bun, bekerja pada orang lain!”
Lalu di kesempatan yang berbeda, sedang asyiknya mereka
minum kopi sesudah makan, ayah Erik melirik ke arah menan-
tunya wanita Indonesia itu.
“Aaaah, kopi dari Jawa! Inilah nikmatnya mempunyai me-
nantu orang berasal dari Jawa. Anak orang kaya pula! Jadi, sim-
panan kopi tidak bakal habis karena selalu menerima kiriman.”
“Ya, benar,” adik Erik yang juga bekerja sebagai insinyur me-
nopangi, “tahukah Ayah, Tina sering menerima kiriman langsung
dari Jakarta dibawa pesawat sehari semalam tiba di sini? Begitu
itu kalau menjadi anaknya orang kaya! Seperti Duta Besar saja!”
Nada-nada suara mereka bukannya bercanda, melainkan
diselubungi iri hati. Walaupun semula Yustina menanggapinya
serius, kemudian ganti dengan sikap ringan seolah-olah tidak
memperhatikan, lama-kelamaan dia merasa kesal juga. Hingga
pada suatu ketika, keluarlah kalimat lain,
“Kita ini ‘kan kaum pekerja yang harus berkeringat untuk
menutupi kebutuhan kita. Bukan begitu Ayah?” dan adik Erik
melayangkan pandang ke arah suami Yustina sekaligus mencari
di mana si nyonya rumah duduk, kemudian meneruskan, “Tidak
seperti Erik. Sesungguhnya dia tidak perlu ke kantor setiap hari.
Hidupnya sudah dijamin sang mertua!”
Ibunya Erik menyahut,
“Kalau Erik tidak bekerja, bayangkan, badannya akan meng-
gelembung seperti disengat lebah karena semakin tidak bergerak,
hanya makan melulu kegiatannya.”

88
“Ya, Ibu benar,” ipar itu setuju.
Dia sudah melihat di mana Yustina duduk, maka katanya
kepada istri Erik itu, “dan kamu, Tina, kapan kamu akan mulai
bosan sehari-hari berbelanja, bersolek dan bersenam saja? Kapan
kamu akan mulai bekerja seperti orang-orang lainnya?”
Kali itu Tina, Neng Yustin atau Yus tidak bisa lagi menahan
dirinya. Santai dia menjawab,
“Kalau aku bekerja, namanya bukan lagi anaknya orang kaya.
Anda mestinya juga tahu, bahwa orang tuakulah yang membayari
belanja kebutuhan pokok kami yang selalu Anda makan baik
siang atau malam di sini. Padahal Anda semua bukan orang-
orang miskin peliharaan ayahku!”
Malam itu Yustina tidak keluar lagi mengucapkan selamat
jalan kepada keluarga Erik. Langsung terjadi pertengkaran hebat
pertama di antara suami istri. Di lain waktu telah pernah ada
perselisihan. Namun, masih bisa dianggap kecil. Sepele. Lumrah,
karena “hanya” mengenai anak sakit, anak menangis, anak tidak
mau makan. Hingga saat itu, pertengkaran agak gawat adalah
tentang cara Erik bercinta. Yustina nyaris “mogok” tidak mau
disentuh lagi oleh suaminya. Alasannya ialah Erik tidak romantis
lagi. Yustina menginginkan kelembutan seperti dulu. Erik men-
jawab bahwa dia capek karena seharian bekerja di kantor. Tetapi
nyatanya, pada hari-hari libur pun kelembutan yang diharapkan
isterinya tidak pernah hadir lagi. Yustina menuduh adanya pe-
rempuan lain. Erik menuduh Yustina terlalu manja, selalu ingin
dituruti kehendaknya. Dan sebagainya dan sebagainya, dan seba-
gainya.
Dua hari kemudian, ibu Yustina datang menghibur. Mudah
sekali karena membayar tiket bukan merupakan masalah. Hanya
sayang harus meninggalkan undangan acara pembukaan hotel
besar di Bali.
Itu juga bukan kali pertama ibunya datang berusaha mene-
tralkan suasana rumah tangga. Usaha yang sebenarnya justru
menampilkan kenyataan yang berbalikan. Karena kehadiran si
ibu malahan menyodorkan pemandangan kemewahan perhiasan

89
yang bergelantungan serta menempel pada badan orang setengah
keriput itu. Aksesori logam mulia dan permata asli memang
bagus jika dikenakan oleh wanita-wanita muda ataupun dipakai
secara sederhana. Tetapi kalau keterlaluan banyaknya, kalau
bertumpuk dan bersusunan, kelihatan si pemakai seperti toko
berjalan.
Diam-diam Yustina menyimpan rahasia penyesalannya
kawin dengan lelaki bangsa lain. Seandainya suaminya orang
Jawa, pastilah tidak akan keluarga besan berkelakuan seperti
itu. Orang Jawa senang jika semuanya dibayari, jika menantunya
mempunyai kekayaan. Tapi apakah suami Jawa dapat mencumbu
dan membelai seperti Erik? Yustina pernah hampir berpacaran
dengan dua pemuda dulu. Seorang dari suku Batak. Satunya
lagi dari Jawa Timur. Tetapi akhirnya keduanya tidak menarik
bagi Yustina. Namun, kawin dengan bangsa sendiri sekurang-
kurangnya Ayah atau Ibu bisa langsung berhubungan dengan
keluarga besan jika terjadi ketidaksepakatan di rumah tangga.
Sedangkan sekarang, walaupun ibu Yustina datang, seolah-olah
hanya bisa bertindak sebagai batang penengah percekcokan. Hu-
bungan suami istri tampak membaik, tapi lamis saja.
“Ayo ikut pulang ke Jakarta bersamaku!” ibunya Yustina
mengajak. “Tinggalkan suamimu selama satu atau dua bulan.
Bawa anakmu bersama pengasuhnya sekalian. Biar Erik kela-
bakan.”
Yustina tidak menjawab. Bukannya Erik malahan akan terlalu
senang mempunyai seluruh apartemen buat dirinya sendiri?
Siapa tahu, keluarganya justru akan berpesta dan mondok di
sana.
“Aku sungguh tidak tahan lagi mendengarkan sindiran-sin-
diran mereka,” Yustina melampiaskan kekesalan hatinya kepada
sang ibu, “seolah-olah mereka tidak turut menikmati uang Ayah.”
“Jangan didengarkan!”
“Bagaimana bisa! Meskipun Ibu tidak pernah mengajarku
bertengkar, akhirnya kesopananku runtuh. Aku membalas ting-
kah mereka yang menjengkelkan. Apalagi si sosialis! Sementara

90
mengkritik terus, perutnya sendiri selalu kenyang dan makan
enak!”
“Sekarang mereka masih kemari? Makan di sini?”
“Sudah seminggu ini tidak. Aku sudah menyiapkan kalimat
jawaban bila ada yang telepon mengatakan akan makan di sini.”
“Apa yang akan kaukatakan?”
“Akan kuberi tahu mereka bahwa aku sekarang bekerja men-
cari nafkah. Bahwa uang dari Bapak tidak kugunakan buat mem-
beli kebutuhan bahan pokok. Oleh karenanya, jika mereka akan
kemari, sebaiknya membawa urunan makanan sendiri-sendiri.”
“Ah, kau ada-ada saja! Mana mereka percaya kamu akan
bekerja!”
“Mereka harus percaya, karena aku memang akan bekerja!”
Ibu itu mengerutkan kening mendengar suara anaknya. Dia
amati baik-baik mata satu-satunya anak perempuan yang dia
miliki itu.
“Benar, Mah! Aku akan bekerja. Hari Selasa depan aku di-
panggil ke Kedutaan sambil membawa surat lamaran.”

Arti/Penjelasan Kata-Kata dalam Bahasa Daerah/Asing


Coopérant : mahasiswa yang magang sebagai tenaga sukarela
Muntu : pasangan cobek untuk menggerus bumbu/rempah
Pourboir : upah
Madame : Nyonya
Le mouton Grillé Aux
Petits Oignons : kambing bakar dengan sejenis bawang Bombay kecil-
kecil sebesar kelereng
Chéri : tersayang, terkasih

91
Kawin Perak

Petugas di kantor itu segera mengenalinya. Wanita seperti dia


cepat diingat orang. Walaupun badannya tidak tinggi, kulitnya terang
berkat darahnya yang campuran. Ibunya sendiri tidak cantik.
Ayahnyalah yang tampan. Maka Darini, setengah Jawa setengah
Belanda, memiliki penampilan yang lebih dari lumayan.
“Bapak sudah menunggu, Bu,” kata Satpam sebegitu melihat
dia.
Percakapan dengan Hakim Pengadilan Agama lancar, karena
pejabat tersebut telah membaca “sejarah hidup” Darini yang dise-
rahkan kira-kira sepuluh hari lalu.
“Anda hebat. Bisa tahan sampai dua puluh lima tahun,” demikian
pujian Hakim kepada Darini, lalu dilanjutkan, “barangkali, istri-
istri lain, kalau mengalami kejadian yang sama, sudah lari dulu-
dulu.”
Laki-laki itu menunjukkan rasa simpatinya. Darini senang men-
dengarnya. Meskipun dia tidak yakin bahwa omongan pejabat itu
delapan puluh persen benar. Karena Darini mengira, banyak istri
yang tetap tinggal bersama suami walaupun diperlakukan secara
semena-mena.
“Saya membaca berkas Anda terus-menerus, satu kali selesai
tanpa berhenti. Ini betul-betul seperti novel saja.”
Kali itu Darini terpaksa membuang muka, khawatir Hakim akan
melihat warna semburat merah yang menandakan emosinya. Dia

92
tidak tahu apa yang bisa dikatakan sebagai jawaban tanggapan baik
tersebut.
“Dengan berkas seperti ini, tidak akan ada kesulitan. Perceraian
mudah Anda dapatkan.”
Bagus. Darini semakin senang.
“Berapa lama?”
“Normal saja.”
“Tiga bulan?”
“Barangkali kurang. Tapi, yaaaa, maksimum begitulah, tiga
bulan.”
Itu memang jangka waktu yang dia prakirakan. Sementara sam-
bil menunggu, dia menyelesaikan revisi disertasinya yang harus
secepatnya dikirim ke Universitas Antwerpen, Belgia. Untuk menjadi
doktor saja antre. Harapannya ialah ketika menerima panggilan maju
mempertahankan kertasnya itu di luar negeri nanti, urusan cerai
sudah usai. Sehingga dia bisa merasakan kegagahan menyandang
gelar tanpa suami yang munafik selalu membanggakan istri namun
bersikap kebalikan, melecehkan dan menghina dirinya. Tetapi Darini
tetap harus berpikir baik-baik tentang nama yang bakal dia pakai.
Apalah arti sebuah nama. Demikian kata seorang pujangga ter-
kenal bangsa Inggris. Bagi Darini, besar sekali arti nama itu. Dia
harus mengambil keputusan nama siapa yang akan dicantumkan,
nama keluarga bekas suami ataukah nama ayahnya.
Ya, barangkali dia akan menggunakan nama orang tuanya saja
di belakang namanya sendiri Darini. Tetapi, orang tidak akan melihat
hubungannya dengan anak-anaknya.
Ketiganya sedang menuntut ilmu. Pada suatu hari kelak, me-
reka akan berkarier. Sekarang pun, di paspor mereka digunakan
nama keluarga yang sama seperti ayah mereka. Jika orang melihat
persamaan nama di belakang Doktor Darini dengan anak-anaknya,
sekurang-kurangnya orang itu akan menanyakan apa hubungan
mereka.
Rasa bangga punya anak yang berhasil apakah hanya legal dipu-
nyai si ayah saja? Ibu anak pun berhak berbahagia dalam hal itu. Di
negeri Barat, dalam sejarah budaya atau politik, selalu nama kedua

93
orang tua yang disebut dan dilibatkan. Apa peranan ibu pelukis
Renoir atau Descartes dalam kesuksesan putra atau putri mereka.
Di Indonesia, ibu-ibu dimasabodohkan. Disebut namanya saja pun
tidak. Selalu hanya ayah yang mendapat nama baik.
Ah, sungguh sulit memutuskan. Akhirnya, Darini harus me-
nentukan juga. Baiklah. Demi anak-anak dan rasa kebanggaannya
terhadap mereka, dan hanya demi itu, Darini akan menggunakan
dua nama keluarga. Di belakang namanya sendiri dicantumkan nama
keluarga bekas suami, disambung dengan nama ayahnya.
“Kamu selalu merasa lebih pandai ya. Merasa paling pandai sen-
diri!” Karyono berteriak.
Waktu itu mereka sekeluarga berada di dalam kendaraan ber-
merek, di jalan Tol Jagorawi, akan kembali ke Bogor. Sejak beberapa
waktu, Karyono berusaha mendahului mobil yang ada di depannya.
Yang lain-lain sudah tertinggal jauh. Karena sesuai dengan sifatnya,
Karyono selalu menjalankan kendaraan ekstra cepat dan tidak mau
bila orang lain meluncur di hadapannya. Dia harus yang paling
depan.
Dengan suaranya yang amat biasa, perlahan dan halus, Darini
mencoba mengingatkan bahwa jalan licin, baru hujan deras. Jarak
Jakarta-Bogor tidak terlalu jauh. Tidak perlu tergesa-gesa. Sebetulnya,
Darini dan anak-anak ingin cepat pulang sebegitu acara makan siang
di rumah kakak Karyono selesai. Namun, si suami dan ayah itu
mungkin merasa malu bila menyetujui permintaan istri serta anak-
anaknya. Dia bersikeras menonton pameran mobil-mobil baru.
Karena Karyono selalu mengganti kendaraan pribadinya dengan
merek yang paling bergengsi.
“Bukan begitu, Mas Kar. Aku hanya....”
Belum sempat Darini menyelesaikan kalimatnya, satu tamparan,
disusul satu lagi datang dari samping. Anak terkecil menjerit. Yang
sulung berseru,
“Ada apa sih, Papa? Mengapa tiba-tiba Mama dipukul?”
“Diam! Apa kamu juga mau ya. Ini, rasakan...!”
Tangan kanan tetap memegang setir, yang kiri terulur ke belakang,
menjangkau, meraih, hendak menyentuh dengan genggaman kepala

94
anak sulung. Anak-anak yang waktu itu masih duduk di bangku SD
menjadi ribut. Semua bertindihan memojok untuk menjauhi tangan
bapak jahanam itu. Sebentar kendaraan oleng. Meleot ke kanan,
berombak ke kiri. Anak yang paling kecil menjerit lagi. Lalu mobil
berhenti.
“Kamu keluar! Sana! Keluar!” Karyono menghardik sambil men-
dorong-dorong Darini keluar dari kendaraan.
“Papaaaaaa.... Kenapa Papa jahat kepada Mama....”
Darini terhuyung keluar. Mobil berjalan lagi.
Jalan basah. Hujan masih turun, titikan kecil-kecil kerap dan
tajam. Di dalam mobil, Darini sudah menanggalkan jaketnya. Seka-
rang dia mendekapkan kedua tangan ke dada, berdiri di tepi. Dia
belum sadar apa yang terjadi. Kepalanya pusing terkena hantaman
suami laknat.
Peristiwa itu hanya salah satu pengalaman padat yang meng-
gambarkan bagaimana lelaki bergelar doktor insinyur itu memper-
lakukan dirinya sebagai istri. Laki-laki yang dalam pergaulan ter-
lihat selalu ramah, tersenyum, merunduk-runduk terlalu sopan itu
menjadikan istri dan anaknya objek pelampiasan “kejantanannya”.
Setelah memukul, beberapa saat berselang, sementara si korban masih
menangis, karena sakit dan terhina, suami dan ayah itu datang
memeluk-meluk membelai-belai. Lalu katanya, suaranya biasa, tanpa
nuansa penyesalan,
“Aku ini ‘kan seperti Bima. Aku suka marah, suka memukul,
tapi hatiku sangat baik. Sudah, diam. Aku cinta kepadamu.”
Sebagai bukti kebenaran kata-kata itu, di ruang tamu, terpam-
pang sebuah lukisan batik murahan tapi berbingkai ratusan ribu
rupiah, tokoh wayang tersebut sedang bergulat dengan seekor naga
di tengah samudra. Lalu kepada siapa pun yang datang, tidak pernah
terlupakan dia berkata,
“Itu simbol saya. Saya ini seperti Bima,” sambil mulutnya
meringis, kepalanya berangguk-angguk, Karyono menatap sang ta-
mu.
Dan bagi pengunjung yang mengenal dia sebagai pemukul istri,
dia bukan Bima. Karena Panenggak Pendawa itu hanya memukul or-

95
ang yang bersalah, tidak sombong ataupun semena-mena. Di dalam
hati, tamu pengenal itu berbisik sendirian: Kamulah Rahwana, si
Muka Sepuluh, karena kamu bisa tersenyum-senyum selagi hatimu
dihuni ulat.
Amit-amit, Darini muak jika mengingat kembali semua itu.
Celakanya, itulah suami pilihannya sendiri. Waktu itu, Karyono
baru kembali dari Amerika, meraih gelar doktor termuda Indonesia
lulusan negeri itu. Darini baru saja ditinggal kawin pemuda yang
selama setahun mengencani dia. Kencan di masa itu. Hanya pegang-
pegangan tangan dan cium-cium di pipi. Karyono belum botak.
Pandai bicara lagi! Keruan Darini cepat terpikat.
Dari agama Katolik, Darini menyeberang ke Islam. Foto besar
perkawinan adat Jawa masih tergantung pada dinding ruang tamu.
Itu menjadi saksi ratusan kali pertengkaran, yang aslinya hanyalah
berupa perbantahan tak seimbang. Menjadi saksi lebih-lebih ratusan
pukulan serta teriakan si pengantin lelaki kepada pasangannya yang
kemudian memberinya tiga anak manis-manis. Ruang tamunya ala
Amerika, dengan bar penyekat yang menghubungkan dapur. Maka
jika berkali-kali suami itu memukul kepala sang istri dengan alat
dapur sampai patah pun, foto itu tetap mengawasi. Karena Karyono
tidak memilih tempat, waktu atau hadirin jika kehendak memukul
itu muncul dari sarang ulat-ulat di hatinya.
Anehnya, selama dua puluh lima tahun, Darini tidak pernah
merasa malu kalau ketahuan orang bahwa suaminya ringan ta-
ngan. Pada awal hidup bersama, mereka tinggal di kompleks
rumah dosen. Tentu saja mulut pembantu merupakan corong
berita yang ampuh. Seluruh kampung mengetahui, namun keso-
pananlah yang menahan keusilan ibu-ibu untuk tidak bertanya
mengapa muka Darini tembam bengkak. Atau apa yang dialami
dokter wanita muda itu sehingga sebelah matanya biru-hitam
seperti bekas benturan. Waktu itu PKK dan RT belum segalak
sekarang. Masing- masing keluarga diam bila masalah percekcokan
timbul di rumah. Namun sebaliknya, di luar orang-orang yang
bersangkutan, berita menjalar dari kampung ke kampus, ke
seluruh fakultas, universitas, hingga seluruh kota mengetahui.

96
Karyono? Yang insinyur doktor mana? Oooh, itu, yang suka
memukuli istri.
Demikianlah, tukang pukul istri melekat menjadi predikat Kar-
yono. Juga kalau orang menyebut nama dokter Darini. Siapa dia?
Yang mana? Orang biasa menjawab: Itu lho, wanita cantik putih
yang sering kelihatan mukanya bengkak karena sering dipukuli
suaminya.
Tentu saja macam-macam reaksi rekan atau kawan sepergaulan.
Masya Allah! Wanita cantik dan pintar seperti dia kok sudi-sudinya
hidup bersama monster seperti Karyono. Dasar laki-laki sialan! Ada
reaksi lain. Biasanya ini datang dari kalangan pemraktek agama
Islam paling tekun. Katanya: Habis mau bagaimana? Karyono itu
‘kan suaminya. Istri harus patuh....
Ibu Darini sendiri tidak mampu mempengaruhi anaknya. Per-
nahkah dengar seorang ibu intelek mengajarkan kepada anaknya
yang dua kali lipat inteleknya agar minta cerai? Ya ini, ibunya Darini.
“Cerai saja. Kita urus semua. Kamu pulang ke kota kami, buka
praktek, lalu ambil spesialisasi. Kamu masih muda. Pasti banyak
lelaki layak yang akan mencintai kamu.”
Barangkali Karyono sendiri tidak pernah mendengar bahwa di-
rinya disebut monster pemukul istri. Mungkin dia merasa berwenang
memperlakukan sang istri semau hati gelapnya karena agamanya
memperbolehkannya. Untung saja Darini ndubleg, masa bodoh.
Bukan agama yang menyebabkan Darini tahan hingga dua puluh
lima tahun berdampingan dengan lelaki seperti Karyono. Cintanya
kepada anak-anaknyalah yang membikin dia terus berumah tangga
dengan si monster itu.
Yang sulung laki-laki. Sifatnya banyak seperti ibunya. Dan acuh
tak acuh ini menyelamatkannya dari ratusan kali pukulan. Dibentak
atau disuruh apa saja oleh si ayah, dia menurut, dia diam. Atau,
kalau kesal, pergi dari hadapan sang bapak.
Anak kedua juga lelaki. Tapi aduuuuh, anak ini memiliki sifat
amat sangat peka. Sedikit-sedikit hatinya tersinggung. Apabila dia
disuruh-suruh atau disalahkan pada hal memang dia berkelakuan
baik, dia membantah. Inilah yang fatal. Maka begitu saja “plek”,

97
tangan sang ayah mendarat dengan kecepatan suara di kepalanya.
Karena membantah atau menjawab Karyono di saat hatinya yang
gelap sedang kecewa di kantor maupun dalam perjalanan pulang,
tahulah akibatnya! Dia paling gemar menjadikan istri dan anaknya
sebagai sasaran pelampiasan ulah orang di kantor atau di jalanan.
Sampai anak kedua berusia kuliah sekalipun, Karyono tidak
ragu maupun sungkan meneruskan kebiasaan main pukul terhadap
siapa yang dia sebut “pantas” menerima hantamannya.
Dari waktu ke waktu para pembantu berharap, mereka berbisik-
bisik,
“Cepatlah datang hari di mana anak-anak itu berbalik, ganti
menggampar ayahnya!”
Anak terakhir perempuan. Tampaknya ini disayang-sayang oleh
Karyono. Tetapi anak ini melihat dan menyaksikan betapa sayang-
sayang itu entah kapan akan mendadak berubah menjadi pukulan
yang menyakitkan serta menghina. Maka, tanpa hasutan, Darini
yakin bahwa anak-anak merasa lebih dekat dengan ibunya daripada
dengan ayahnya.
Begitu anak ketiga lahir, Darini nyaris tidak disentuh lagi oleh
suaminya. Kebetulan waktu itu, kebahagiaan dokter wanita Darini
memang tidak bergantung pada tempat tidur. Dia bersama anak-
anaknya merundingkan kegiatan apa yang bakal dilaksanakan selama
liburan sekolah, kapan mencoba makanan di warung tegal yang
baru buka, itulah isian hidupnya.
Lalu, pada suatu siang, Karyono pulang membawa salah seorang
siswanya. Mereka makan siang sekeluarga. Dan begitu saja, pemuda
studen itu menjadi langganan. Datang sore, datang siang, bahkan
pagi untuk berangkat bersama ke kantor. Dan setiap saat ketika
bersama keluarga, mulut Karyono hanya dipenuhi cerita tentang
siswanya yang ganteng itu.
Darini ndableg, cantik, hebat di bidangnya, tetapi dia juga “bo-
doh”. Dia tidak memiliki kepekaan emosional untuk membaca
suasana. Dia inilah tipe orang yang pintar ber-IQ tinggi. Bukan jenis
manusia yang ber-EI. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Sampai pada
suatu siang, di tempat yang terang benderang dan dilihat anak-

98
anak, Karyono membelai-belai tengkuk siswanya si ganteng. Darini
sendiri tidak merasakan cemburu selagi melihat suaminya
membetulkan sikap duduknya, tanpa memperlihatkan rasa sungkan
ataupun bersalah.
Terang-terangan Karyono telah membongkar asal keasliannya,
siapa dia yang sesungguhnya. Dua anak lelaki saling berbisik,
“Pantas saja dulu ketika kita kecil, Papa selalu mendesak me-
mandikan kita. Lalu kau ingat? Kalau menggosok kita dengan was-
lap, dengan sabun ....”
Darini mendengar bisik-bisik itu. Dia bukannya sedih. Dengan
besar kepala dia berkata kepada diri sendiri, “Aku akan me-
nyembuhkan dia.”
Tapi Darini bukan psikiater. Dalam beberapa hal, sebenarnya,
malahan dia juga memerlukan bantuan ahli jiwa buat dirinya, buat
batin dan nuraninya.
Suaminya semakin menjadi-jadi homonya. Darini semakin digen-
cet. Tidak hanya semakin dipukuli, melainkan juga masalah ke-
uangan menambah lagi keruncingan hubungan. Karena suami yang
punya pacar selalu menjadi semakin pelit. Apalagi jika memang
dasarnya, dari sono-nya memang mempunyai bakat itungan.

Darini baru mengerti kenikmatan bercinta setelah bertemu de-


ngan seorang lelaki lain.
“Dia luar biasa. Dia menakjubkan. Dia memanjakanku dengan
perilaku bercinta yang tidak bisa kaubayangkan. Pendek kata, laki-
laki yang berbuat demikian, pasti mencintaimu,” dengan penuh
semangat Darini memberi tahu teman-teman dekatnya.
Dan bila Darini mempunyai teman dekat, pasti jumlahnya me-
lebihi hitungan jari di tangan dan kaki.
Revisi disertasi dikerjakan sambil berpacaran. Demikian gencar
dan dahsyat hubungan mereka. Darini mendekati usia setengah
abad, namun tidak tampak tua. Wanita zaman sekarang kelihatan
tua pada umur ketujuh puluh. Wajah Darini tambah bersinar dan

99
berseri. Dia bahagia karena cintanya. Sayangnya, kelakuannya
menjadi kemanja-manjaan. Bila orang bertemu dia kebetulan
bersama anaknya perempuan, si mahasiswi itulah yang tampak lebih
dewasa daripada si ibu dosen. Darini juga lupa sikap rendah hati.
Dia berbangga serta bersombong, misalnya, “Eh, tahu enggak, saya
diundang ke Eropa sebagai hadiah ulang tahun. Setelah ujian, saya
keliling Eropa....”
“Eh, kalian tahu? Saya baru saja pulang dari Italia untuk cera-
mah. Hanya empat hari. Itu adalah ceramah paling mahal. Untuk
mendengarkan omongan saya dua jam, mereka mau mengeluarkan
uang sebegitu banyak. Hebat ya ....”
Darini lepas kendali.
Semakin bertambah lagi ketika dia pulang membawa gelar dok-
tor. Menjadi semakin ini semakin itu. Semakin suka berbicara karena
semakin yakin bahwa orang mendengarkan. Dan orang memang
harus mendengarkan. Karena jika orang lingkungannya menambah
sedikit jumlah kata-kata yang ditujukan kepadanya, dia
“menggosipkannya” kepada orang lain. Katanya,
“Ah, si itu sekarang tambah tua tambah cerewet!”
Kualitasnya sebagai dokter nyaris menguap sebab dia menjadi
kurang sabar mendengarkan. Sedangkan pasien datang bermaksud
menyampaikan keluhan. Padahal Darini harus mendapatkan uang,
terus mencari uang guna membiayai gaya hidup yang turut berubah.
Entah disengaja atau tidak, kini dia serba glamor, mengikuti cara
aktris-aktor atau peragawati yang sekali menyampaikan iklan di
televisi dibayar enam puluh juta.
Walaupun perceraian sudah beres, pembagian harta diatur oleh
bekas suami. Anak-anak yang turut bapak sekaligus turut ibunya
menderita, karena sang ayah lebih rela mengeluarkan uang buat
keperluan pacar daripada diberikan kepada anak. Sekolah anak-
anak keluar negeri pun bukan orang tua yang menanggung. Entah
bagaimana cara mainnya, Karyono berhasil mendapatkan bea siswa
perusahaannya bagi kedua anak lelaki.
Sementara berbahagia dengan gaya hidup baru, sekaligus
menjalani kerepotan huru-hara pembagian harta, petir menyambar

100
Darini di siang hari terang benderang: Si pacar keliling Amerika
bersama wanita lain. Wanita yang masih berstatus punya suami
punya anak.
Robohlah semua angan-angan yang dia bentuk akan dikerjakan
bersama kekasihnya. Runtuhlah bangunan idaman yang telah dia
pastikan akan terwujud, yaitu hidup bersama lelaki yang berkata
mencintainya itu.
Tetapi untunglah Darini bersifat ndableg. Kekacauan batin dia
alami paling lama satu bulan. Benar dia masih menangis di saat
menceritakan kembali ulah sang pacar yang mencampakkannya
kepada siapa pun yang dia temui. Karena tiba-tiba sekarang semua
orang menjadi teman “dekat”-nya. Dan dalam cerita itu, Darini
menyimpulkan harapannya sendiri, seolah-olah itu dikatakan oleh
orang-orang lain.
“Kata si Anu, tidak mungkin hubungan mereka bisa bertahan.
‘Kan dia masih bersuami. Sedangkan suaminya tidak akan mence-
raikannya karena anak-anak. Si itu juga mengatakan hal yang sama.
Suami istri itu adalah pasangan yang serasi. Di mana-mana, semua
orang menganggap mereka harmonis. Jadi, tidak mungkin mereka
bercerai.”
Darini sudah lupa bahwa dahulu, dia bersama Karyono dan
anak-anak pun selalu mendapat sebutan pasangan serasi maupun
keluarga yang bahagia.
Apa kekeliruannya maka kekasih meninggalkannya?
Darini tidak menyadari bahwa terbebas dari Karyono, tidak ada
lagi orang yang memerintah dan mengatur “kamu harus begini atau
begitu”. Darinilah yang sekarang mengatur dan menyuruh-nyuruh
orang lain. Barangkali seorang teman menganggapnya sebagai or-
ang yang baik hati. Namun sebegitu menginap, hidup bersama selama
beberapa hari, teman itu pasti akan tunggang langgang menjauhinya.
Karena bersama siswa, perawat atau pasien, Darini leluasa meng-
arahkan serta memerintah. Sedangkan terhadap teman, apalagi keka-
sih, Darini sering kali lupa bertenggang rasa maupun bersopan-sopan.
Kunjung-mengunjungi, bermalam di hotel atau bersama di ma-
sing-masing rumah mereka, Darini dan kekasihnya pasti tidak hanya

101
hidup bercintaan. Tentu berdiskusi, melewati waktu dengan kerja
serta kegiatan masing-masing sebagai anggota masyarakat yang layak.
Dan selama ini, sang pacar juga pasti melihat dan mengalami
bagaimana perilaku Darini sehari-hari. Lelaki itu mungkin merasa
bahwa Darini terlalu “memiliki”-nya. Barangkali justru laki-laki itu
menjauh karena dia tidak menyukai Darini yang baru bersama
setahun namun sudah membicarakan “tinggal bersama”, bahkan
menyebut-nyebut kemungkinan perkawinan mereka.
Betul, Darini bersikap bagaikan lintah terhadap sang pacar. Dia
melekat erat sehingga laki-laki itu sesak bernapas. Dia kekurangan
ruang gerak. Darini membelikan ini dan itu, ditinggal di rumahnya
sendiri dengan kata “supaya jika kamu datang, sudah ada keperl-
uanmu”. Laki-laki yang biasa melajang sampai setua kekasih Darini,
tentu saja kurang tanggap. Dia bergaul “intens” seperti katanya,
dengan sang pacar, namun tidak mengenalnya dengan baik: Laki-
laki itu hanya ingin bersama Darini sekali-sekali saja.

“Masih cantik saja.”


Itu ucapan orang di saat bertemu Darini sekarang. Dia memang
senang dengan kalimat tersebut. Tetapi bukan itu yang dia harapkan.
“Semakin cantik saja,” inilah yang sesungguhnya dikehendaki
Darini.
Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dia miliki. Dan
kalau Darini pernah berumah tangga, punya anak-anak yang masih
terus belajar serta sering mengunjunginya, bahkan dia nyaris mera-
yakan kawin perak dengan pesta seperti yang umum dirayakan ling-
kungannya, kini dengan kesendiriannya Darini masih berharap.
Itu baik. Harapan sering kali dilukiskan orang sebagai tanda
kehadiran semangat hidup.
Yang tidak baik ialah setiap kali bertemu dengan laki-laki baru,
Darini menjadi salah tingkah. Di seminar, di kongres, ceramah-cera-
mah, Darini pasang aksi. Sebegitu dia melihat ada seorang lelaki
yang menarik hatinya, tanpa sungkan dia melekat. Dan dia teruskan

102
sampai menelepon ke rumah atau tempatnya menginap. Sampai-
sampai melalui sambungan internasional sekalipun.
Terlalu kentara dia tunjukkan harapan ingin menemukan pacar
atau bahkan suami baru. Laki-laki lebih muda tidak sedikit yang
mengerumuninya. Tentu Darini menanggapi perhatian tersebut.
Beberapa kali bahkan dia terjerumus sampai ke pergaulan akrab.
Tidak apa-apa, dia memang memerlukannya. Darini selalu mem-
butuhkan seorang lelaki yang memujanya. Sebegitu besar kebutuhan
tersebut, sehingga sering kali akal sehatnya tersapu kabut, tersisihkan.
Anak-anaknya yang lebih waspada berkomentar: Mama sedang
menjalani kehidupannya yang kedua.
Dan kehidupan kedua itu sedemikian lepas, sedemikian long-
gar. Tiba-tiba saja Darini menjadi mitoman. Dia bercerita tentang
hal yang hanya hadir di benaknya. Tentang suami istri dia “pas-
tikan” bahwa si perempuan menteror sang suami, tentang seorang
yang terlalu kekanak-kanakan sambil lengkap memaparkan satu ke-
jadian yang berupa khayalannya sendiri.
Maka Darini mendapat julukan lagi, “itu lho, dokter yang suka
mengarang mengenai hal-hal yang tidak sebenarnya...”

Arti/Penjelasan Kata-Kata dalam Bahasa Daerah/Asing


Penenggak Pendawa : anak kedua dari lima bersaudara
Amit-amit : maaf; bisa juga diucapkan mengandung arti: se-
moga anak cucu saya tidak sama seperti dia
Lho : kata tambahan dalam bahasa Jawa, biasanya di-
pakai sebagai kata seru
Kok : kata tambahan dalam bahasa Jawa
Ndableg : masa bodoh, tidak peduli
EI (emotionally intelligent): kecerdasan emosional
Sono : sudah menjadi sifat atau pembawaan sejak lahir-
nya
Itungan : selalu memperhitungkan untung rugi dalam se-
gala hal
Enggak : tidak

103
Biografi Singkat

Nh. Dini dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936. Berpendidikan


SMA Bagian Sastra (1956), Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta
(1956), dan Kursus B-I Jurusan Sejarah (1957). Tahun 1957-1960
ia bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah menikah dengan
seorang diplomat Prancis, berturut-turut ia bermukim di Jepang,
Prancis, dan Amerika Serikat. Sejak Tahun 1980, ia kembali ke In-
donesia, dan kini menetap di Semarang.
Ia mulai menulis sejak tahun 1951. Karya-karyanya antara
lain: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal
(1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko
(1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang
Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981),
Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Bersen (1982),
Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-Orang Tran (1985),
Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun
(1993), Panggilan Dharma Seorang Bhikku (1997), Tanah Baru, Tanah
Air Kedua (1997), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2002),
Monumen (2002), Istri Konsul (2003), dan Dari Parangakik ke Kam-
puchea (2003). Terjemahannya: Sampar (karya Albert Camus, 1985).
Ia pernah menjadi pemenang Lomba Penulisan Naskah Skenario
untuk Radio se-Jawa Tengah (1955) dan mendapat hadiah pertama
untuk Lomba penulisan Cerita Pendek dalam bahasa Prancis se-
Indonesia untuk cerpennya “Sarang Ikan di Teluk Jakarta” (1988).
Ia pun mendapat Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI (1989) dan memperoleh Piagam Penghargaan Upa-
pradana dari Pemda Tingkat I Jawa Tengah (1991).
Studi mengenai Nh. Dini dan karyanya: Sariyati Nadjamuddin-
Tome, Isu Wanita dalam La Barka (1997) dan Th. Sri Rahayu Prihatmi,
Nh. Dini: Karya dan Dunianya (1999).

104

Anda mungkin juga menyukai