Anda di halaman 1dari 100

PANJI SEMIRANG

TIDAK DIPERJUALBELIKAN
Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara
Perpustakaan Nasional, 2011

PANJI SEMIRANG

Bacaan Remaja

Diolah oleh
S. SASTRAWINATA

Perpustakaan Nasional Balai Pustaka


Republik Indonesia
PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan
BALAI PUSTAKA

BP No. 2125

Hak pengarang dilindungi undang--undang


Cetakan pertama - 1963 Cetakan kesebelas - 2000
Cetakan kedua - 1965 Cetakan kedua belas - 2000
Cetakan ketiga -1969 Cetakan ketiga belas - 2003
Cetakan keempat - 1978
Cetakan kelima -1986
Cetakan keenam -1991
Cetakan ketujuh - 1993
Cetakan kedelapan - 1995
Cetakan kesembilan - 1996
Cetakan kesepuluh -2000

398.2
Sas Sastrawinata, S
P Panji Semirang/diolah S. Sastrawinata. - Cet. 13
Jakarta : Balai Pustaka, 2003.
99 him. : ilus.; 21 cm. - (Sen BP No. 2125)

1. Cerita Rakyat. 1. Judul. II. Sen.

ISBN 9 7 9 - 4 0 7 - 3 1 2 - 1

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987


tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau


memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyakRp 100.000.000,00 (seratusjutarupiah).
2. Barang siapa dengan s e n g a j a m e n y i a r k a n , m e m a m e r k a n ,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

CMK012
Desain sampul : Balai Pustaka
Gambar dalam : B.L. Bambang Prasodjo
KATAPENGANTAR

Panji Semirang karangan S. Sastrawinata ini telah berulang kali


mengalami cetak ulang. Hal ini menandakan bahwa buku ini digemari
masyarakat pembacanya, khususnya kaum remaja.
Ceritanya mengenai kisah cinta antara Panji Inu Kartapati dengan
Dewi Candra Kirana di jaman Kerajaan Daha dan Jenggala. Yang
menjadikan kisah ini sangat menarik adalah tokoh ketiga yang
mengganggu perjalanan kisah-kisah antara kedua remaja tersebut
sehingga timbul berbagai petualangan dan penderitaan.
Dengan gaya bahasa yang halus dan lembut, pengarangnya telah
berhasil menghidupkan cerita inimenjadi memikat dan mengesankan.

Balai Pustaka

5
PRAKATA

Memenuhi keinginan Sidang Pengarang, Hikayat Panji Semirang ter-


bitan Balai Pustaka (PB No. 48) telah diolah Iagi seperii dalam ben-
tuknya yang sekarang dihadapi para pembaca. Baik susunan cerila
maupun bahasanya mengalami perubahan. Beberapa adegan telah "di-
bersihkan", sehingga naskah ini bolehlah disajikan kepada anak-anak
remaja sebagai bacaan dan isi perpustakaan sekolah.
Cerita-cerita Panji Semirang, hasil sastra antara tahun 1045 sampai
1222, seperti Panji Semirang ini kiranya tidak hanya dikenal oleh masya-
rakat Indonesia, melainkan juga digemari oleh masyarakat Siam dan
Kamboja.
Orang belum dapat mengatakan dengan pasti apakah Ceriia-cerita
Panji benar terjadi di masa kekuasaan raja-raja Janggala dan Daha,
ataukah hanya merupakan cerita perlambang. Akan tetapi adalah suatu
kenyataan, bahwa bangsa Indonesia sejak dulukala punya pujangga
dan/atau sastrawan yang patut dihargakan oleh anak-anak angkatan
sekarang dan angkatan masa datang. Melalui cerita-cerita kuno, kiranya
kita dapat mengenal kepribadian bangsa dan memperoleh unsur-unsur
yang berguna bagi pembangunan negara.
Demikianlah harapan kami. Setidak-tidaknya, semoga buku ini me-
nyenangkan hati para pembaca.

Penyusun

7
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar
1. Galuh Cendera Kirana 11
2. Pertunangan 16
3. Racun di Balik Senyum 21
4. Tunduk Tanpa Syarat 26
5. Cuaca Terang Sejenak 32
6. Panji Semirang Asmarantaka 40
7. Membangun Negara 46
8. Pertemuan yang Sangat Berkesan 53

9. Gambuh Warga Asmara 62

10. Boneka Ernas Membuka Tabir Rahasia 73

11. Kembalilah Putri yang Hilang 82

PNRI
PNRI
11
Galuh Cendera Kirana

UNDUNG-UNDUNGNYA sutra kesumba. Kembannya beledu abu-


abu. Kainnya batik Parang Kelitik; berwiru lipat sembilan. Rambutnya
hitam p e k a t - i k a l mayang-konde malang.
Cuaca terang di pagi hari menarik hati si gadis jelita. Lalu bercengke-
ramadi taman Banjaransari. Menghirup udara bersih-segar. Mata meman-
dang kembang anggrek putih-putih-mekar segar daun b u n g a - w a n g i
semerbak. Alangkah sedapnya! Burung kenari kuning-cilik menari,
menyanyi-nyanyi, menyambut si gadis manis, "Selamat pagi! Selamat
pagi Putri Cendera Kirana!"
Putri Daha, Cendera Kirana, mengulum senyum, menggigit bibir.
Aduh ayunya!
Kupu-kupu kuning terbang kian-kemari. Hinggap di daun, terbang ke
bunga. Dicucupnya sari kembang. Terbang lagi-hinggap di bahu
Cendera Kirana. Si kupu-kupu berbisik-bisik, "Selamat pagi Putri!"
Kirana menoleh, kupu-kupu terbang. Seperti mengajak menari di
tamansari.
Sang bayu meniup perlahan-lahan; membawakan wangi-wangian
kembang. Menggerakkan dedaunan. Mendesir-desir suaranya. Sayup-
sayup kedengaran dua emban*) berdendang-menghibur hati tuan putri.
Itulah dayang-dayang setia, Ken Sanggit dan ken Bayan, pengasuh Putri
Cendera Kirana.
"Wahai Emban! Alangkah nyaman hatiku di taman melihat bunga-
bunga warna-warni. Yang putih, yang merah, yang biru, yang ungu
semua ada. Semua wangi. Indah-indah semua. Menarik hati. Burung-
burung pada berkicau-pada menari-girang semua. Tidakkah kalian
senang hidup begini?"
Ken Sanggit genit lekas menjawab, "Oh tentu saja hamba senang,
Putri. Apalagi, kalau si dia dekat di mata dekat di hati. Aduh
senangnya!"

*) pengasuh

11

PNRI
' W a h a i E m b a n ! Alangkah nyaman hatiku di taman melihat bunga-bunga w a r n a - w a r n i .

PNRI
Ken Sanggit berkelakar. Matanya melirik kenes. Tangannya mencubit
pipi Ken Bayan. Ken Bayan membalas mencubit dagu Ken Sanggit.
Pura-pura hatinya gemas! Berkata menyambut kelakar, "Aduh genit-
nya!"
Keduanya tertawa-tawa. Terus berpantun madah jenaka. Saling me-
nyindir. Menyanyi bersama-sama. Melipur hati Cendera Kirana.
Cendera Kirana turut tertawa. Hatinya senang. Terus berjalan
perlahan-lahan, diiringkan para emban setia, menuju kolam di tengah
taman.
Di sana kelihatan seorang gadis yang hampir sebaya dengan Kirana.
Galuh Ajeng namanya, putri baginda raja dari selir yang paling muda.
Selir kekasih, Paduka Liku namanya.
Galuh Ajeng gadis rupawan juga. Tetapi sayang, hatinya pendengki.
Maklumlah, karena dia putri baginda dari selir yang kasar tabiatnya.
Sedangkan Cendera Kirana, putri baginda dari permaisuri-keturunan
ratu budiman.
Galuh Ajeng melihat Kirana memakai undung-undung sutra kesumba
hatinya iri. Matanya melirik sengit. Mukanya memberungut. Kaki di-
sepakkan ke tanah. Membuang muka. Angkat k a k i - t e r u s buru-buru
menuju Paduka Liku di pesanggrahan. Duduk di tanah, lalu merengek
seperti anak kecil manja. Galuh Ajeng mengoceh. Menunjuk-nunjuk
Kirana. Katanya, "Aduh Ibu! Mengapa hamba sangat dibedakan dari si
Kirana. Undung-undung hamba sutra biru jelek. Undung-undung si
Kirana sutra kesumba indah. Tiada dayang yang suka menemani hamba.
Tetapi lihat! Kirana selalu didampingi dayang-dayang. Dilipur hatinya.
Didendangkan nyanyian, dipantunkan madah jenaka, dipetikkan war-
na-warni bunga. Aduh Ibu, hati hamba sakit! Mengapa baginda raja
pilih kasih? Hamba lebih baik mati daripada melihat si Kirana."
Galuh Ajeng tak henti-hentinya menangis meratap, menyesali diri.
Tanpa merasa malu kepada siapa pun yang melihat.
Paduka Liku bangkit-terus merangkul Galuh Ajeng. Kepala si anak
diusap-usap. Tapi hatinya dibakar dengan kata-kata busuk yang melun-
cur dari mulutnya, "O, Anakku, jangan engkau menangis juga. Sudah
begini nasib kita orang desa. Jangan ingin disamakan dengan putri
baginda. Memang betul! Baginda berlaku pilih kasih. Kirana selalu
dimenangkan, senantiasa dilebihkan dari engkau. Lebih baik kita pulang
ke desa daripada hidup sengsara di sini!"
Sri baginda terharu hatinya mendengar, lalu mencumbu Paduka Liku
dan Galuh Ajeng. Kedua diraih baginda, diajak duduk sejajar.

13

PNRI
Baginda memanggil Cendera Kirana, lalu menyuruh menyerahkan
undung-undungnya kepada Galuh Ajeng. Tetapi Kirana menolak. la
pulang ke ¡stana diikuti Mahadewi*) dan dayang-dayang. Sri baginda
gusar hatinya, tetapi juga bingung. Sebab baginda tak menyangka
Kirana berani membangkang. Baginda hendak murka, tetapi malu
kepada permaisuri.
Untuk melipur hati, Kirana main anak-anakan di puri Mahadewi.
Boneka digendong dan dinyanyikan. Dipeluk dicumbu-cumbu ditimang-
timang. Tingkahnya seperti ibu sedang mengemong anak.
Tiba-tiba Galuh Ajeng muncul lalu menghampiri Cendera Kirana.
Boneka Kirana hendak direbutnya sekali. Tetapi cepat-cepat Cendera
Kirana mengelak. Tangan Galuh Ajeng dikibaskan. Merah padam muka
Galuh Ajeng karena merasa malu kepada dayang-dayang dan
Mahadewi. Ken Sanggit dan Ken Bayan tertawa tertahan-tahan sambii
menutup muka dengan tangan. Mahadewi membuang muka. Hatinya
mual melihat tingkah laku Galuh Ajeng yang kasar itu.
Bukan main malu Galuh Ajeng. Cepat-cepat ia berlari kepada Paduka
Liku! Mengadu lagi sambii menangis. Berguling-guling di tanah seperti
orang mabuk buah jengkol. Paduka Liku seperti orang kalap
tingkahnya. Menjerit-jerit minta tolong. Tangannya menarik-narik ram-
but kepala sehingga perempuan itu tiada bedanya dengan orang-orangan
di tengah sawah. Dayang-dayang yang hendak menolong ibu dan anak
yang sedang kalap itu tidak berhasil mencumbu. Siapa yang mendekat
dimaki-maki, disumpahi, diusir-usir. Para emban bingung.. Ada yang
lari ke sana kemari sambii berteriak-teriak minta tolong. Ada juga yang
berdiri melongo saja.
Datanglah sri baginda tergopoh-gopoh. Galuh Ajeng diangkat dari
tanah lalu dibaringkan di tempat tidur. Paduka Liku dipeluk sambii
dicumbu dengan kata-kata manis.
" A h , Dinda yang paling manis. Jangan menangis, sayang! Kasihani
kakanda. Kakanda tak sampai hati meiihat Dinda buah hatiku bersedih
hati. Mari kanda tolong. Ayo bersama-sama dengan kanda duduk-
duduk di baiai peranginan. Marilah wong**) ayu."
Paduka Liku dirangkul, lalu digendong dibawa ke baiai peranginan.
"Ada apa? Mengapa Dinda membikin kaget kakanda. Cup ... cup ...
Jangan menangis, wong ayu belahan hati."

*) Selir yang tertua


**) wong (Jawa) - orang

14

PNRI
Baginda mengeringkan air mata dari pipi dan mata Paduka Liku.
Kemudian menyisir rambut Paduka Liku yang kusut. Baginda mem-
perlihatkan benar kasih sayangnya kepada Paduka Liku, seperti orang
kena pekasih.
Paduka Liku terbelai hatinya. Ia berhenti menangis. Hanya sedu-
sedannya, juga yang masih kedengaran.
"Oh, Kanda junjungan hamba." Paduka Liku mulailah membalas
membelai hati baginda. "Betul-betulkah kanda masih cinta kepada ham-
ba?"
Baginda melihat keheran-heranan.
"Mengapa Dinda bertanya demikian? Ragu-ragukah Dinda akan cin-
ta mesra kanda kepada Dinda? Oh, Dinda! Jangan Dinda ragu-ragu.
Jiwa raga, harta kekayaan kanda Adindalah yang punya."
Paduka Liku terus dipeluk dan dibelai-belai Baginda.
"Jika Kanda tak cinta lagi kepada dinda, katakanlah terus terang.
Supaya dinda pulang ke desa. Tidak usah adinda menyiksa diri dalam
neraka seperti keraton ini."
"Tidak! Adinda tak boleh meninggalkan kanda!"
Alangkah senang hati Paduka Liku mendengar janji baginda
sedemikian. Maka tibalah waktunya bagi Paduka Liku untuk mengum-
pat, menjelek-jelekkan Cendera Kirana. Ya, bahkan permaisuri dan
Mahadewi pun hendak dikhianatinya.
Baginda raja bermenung. Memandang ke gumpalan-gumpalan awan
hitam di langit yang hendak menutupi sinar cahaya sang surya. Dan bila
langit mendung, maka hujan pun bakal turun dibarengi gemuruhnya
angin dan dentaman petir.
Fitnah dan umpat Paduka Liku kepada orang-orang yang dibencinya,
ibarat gumpalan-gumpalan awan di langit itu dengan segala akibatnya
dapat menghancurkan isi istana.

15

PNRI
10

Pertunangan

RAJA KURIPAN adalah kakak Raja Daha. Namanya masyhur ke


segenap negeri. Kerajaannya luas, tanahnya subur. Rakyatnya banyak
dan hidup makmur. Rakyat taat dan hormat kepada raja, sebab Sri
Baginda adil, amat sabar lagi budiman; seorang bangsawan yang bijak-
sana dan pendekar pula.
Putra sri baginda hanya seorang, Raden Inu Kartapati namanya. Elok
parasnya laksana Dewa Kamajaya dari kayangan; baik tingkah lakunya
dan amat dermawan.
Sri baginda serta permaisuri amat kasih akan putranya. Rakyat pun
demikian pula dan memberi Raden Inu Kartaparti gelar kesayangan
Raden Asmara Ningrat.
Sesuai dengan adat kebiasaan istana, Raden Inu Kartapati diasuh oleh
dayang-dayang dan inang pengasuh; orang-orang kepercayaan sri bagin-
da. Cukuplah usianya untuk belajar, maka Raden Inu Kartapati pun
belajar pelbagai ilmu kesaktian; pelbagai macam ilmu ketangkasan yang
patut dan berguna bagi seorang putra raja.
Sri baginda dan permaisuri amatlah bahagia melihat putranda, yang
bertambah besar bertambah elok parasnya dan semakin baik pula
tingkah lakunya.
Namun sudahlah menjadi adat hidup, manusia tak pernah puas
dengan apa yang sudah ada; suka dan duka silih berganti berkunjung
meninggalkan singgasana hidup.
Demikianlah pula halnya dengan Baginda Raja Kuripan. Sri baginda
memikirkan keadaan putranda Raden Inu Kartapati yang sekarang
sudah akilbalig dan sudah saatnya dicarikan pasangan hidup.
Pada suatu hari duduklah sri baginda bersama permaisuri di balai
peranginan, dihadapi oleh orang-orang tua dalam istana.
Permaisuri menghadapi sebuah puan; hatinya resah melihat wajah sri
baginda muram. Namun permaisuri tak berani bicara, tak berani ber-
tanya apakah gerangan yang memasygulkan hati sri baginda.
Untunglah, kesunyian lekas berakhir, karena sri baginda bersabda,

16

PNRI
"Ya, Adinda. Apakah bicara kita sekarang? Sungguhpun kita selama ini
hidup sejahtera dalam kerajaan yang demikian besarnya; selamat tanpa
gangguan, tetapi masih ada sesuatu yang tersangkut pada hati kakanda;
sesuatu yang ganjil dan makan pikiran kakanda."
Selesai sri baginda bersabda, suasana menjadi sepi kembali. Hati per-
maisuri yang lega karena terlepas dari gangguan kesunyian, kini menjadi
gelisah lagi, karena sabda sang nata*) samar-samar seperti teka-teki.
Permaisuri tak lekas menyambut titah sang nata, namun lama ber-
menung juga menerawang dinding batin, mendengarkan bisikan kalbu,
kalau-kalau ada noda yang memasygulkan hati sri baginda. Dibiarkan-
nya hatinya mengembara ke alam gaib, meneropong alam nyata, men-
cari jawab di balik dinding kesamaran.
Permaisuri tahu dan yakin akan keluhuran budi baginda raja. Jadi
betapa ruwet pun keadaan, sri baginda tak mungkin akan bertindak se-
wenang-wenang tetapi pasti memegang teguh keadilan. Setelah per-
maisuri merasa diri tak bersalah, timbullah pikiran, duga prasangka
kepada saudara-saudara sri baginda. Mungkinkah Raja Daha, Raja
Gagelang, dan Biku Gandasari merupakan sangkutan dalam hati sri
baginda?
Mata hati permaisuri kini meneropong ke alam jauh, melangkaui
batas kerajaan Kuripan, terus menuju istana Daha, tempat bersemayam
adinda sri baginda. Terbayang muka Raja Daha dengan permaisurinya
Puspa Ningrat, serta putrinya nan ayu Galuh Cendera Kirana. Kemu-
dian selir-selir sri baginda, yaitu Mahadewi dan Paduka Liku kekasih
baginda serta putrinya, yang pendengki hati, bernama Galuh Ajeng.
Seorang demi seorang diteropong dengan teliti. Siapakah gerangan di
antara mereka yang boleh disangka, diduga menjadi duri penyakit hati
sri baginda Kuripan? Pertanyaan tak terjawab. Permaisuri mengalihkan
pandangan hatinya ke istana Gagelang, tempat bersemayam adinda sri
baginda yang nomor dua. Pun di sini pertanyaan permaisuri masih
belum beroleh jawab. Maka Biku Gandasari kini kena teropong per-
maisuri. Namun sungguh sulit mencari cacat pada putri pertapa di
Gunung Wilis ini. Biku Gandasari, adinda sang Nata Kuripan yang
nomor tiga adalah pertapa kekasih dewa, yang terlalu sakti dan awas
penglihatan, yang tahu akan keadaan sekalian orang di tempat mana
pun; pertapa yang menguasai jin, hantu, di hutan rimba Gunung Wilis.
Selesai permaisuri bercengkerama di alam batin, tanpa beroleh hasil
yang diharap-harap, barulah ia bersembah kepada sri baginda, "Ya,

*) r a j a

PANJI SEMIRANG - 2 17

PNRI
PNRI
Kakanda. Apakah gerangan yang menjadi sangkutan hati Kakanda?
Hamba ingin sekali mendengar dan ingin diajak bermupakat. Sebab jika
Kakanda tidak memberitahukannya niscaya akan menjadi sangkutan jua
kepada hamba."
Sri baginda raja bertitah, "Adinda! Kakanda mendengar kabar, adin-
da Raja Daha ada berputri seorang yang amat elok parasnya. Pada
hemat kakanda, putranda Raden Inu patut benar menjadi teman hidup
kemenakan kakanda itu. Oleh karena itulah, kakanda bermaksud hen-
dak meminang putri Daha untuk putranda Raden Inu. Kakanda tahu,
tidak sedikit putri raja-raja yang lain, yang cantik-cantik, namun tiada
seorang pun dapat menandingi keelokan paras putri Daha, sanak
saudara kita itu."
Permaisuri lega hati mendengar titah sri baginda raja demikian, lalu
sembahnya, "Sesungguhnyalah! Kakanda sekai'i-sekali tidak keliru pen-
dapat dan tak salah pilih. Hamba mengucap syukur dan sangat setuju
dengan maksud kakanda. Sebenarnyalah! Sebaik-baiknya orang lain,
terlebih baik juga darah daging kita sendiri."
Sri baginda mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum puas men-
dengar kata mupakat permaisuri demikian. Segera sri baginda menitah-
kan mengarang sepucuk surat pinangan dan melengkapkan bingkisan
yang akan dikirim bersama-sama kepada adinda Raja Daha.
Surat dan bingkisan sri baginda lalu ditaruh di tampan emas.
Beberapa orang penggawa menaungi tampan emas itu dengan payung
keemasan disertai panji-panji yang berumbai-umbai mutiara.
Menteri, hulubalang, dan para prajurit, yang mengiringi bingkisan
kerajaan itu, sekaliannya berpakaian kebesaran. Demikian juga halnya
dengan gajah dan kuda tunggangannya; semuanya tampak sangat indah,
menyedapkan pandangan mata.
Setelah kepala rombongan bersembah sujud di hadapan sri baginda,
landa mohon restu dan mohon diri, lalu berangkatlah utusan kerajaan
menuju negeri Daha. Sepanjang jalan orang-orang bersorak-sorai
dengan sukacitanya diiringi bunyi-bunyian, kemong, kempul, gung, dan
saron. Amat gemuruh suaranya! Membangkitkan semangat orang-orang
yang mendengar; menambah rasa megah gembira para pengendara gajah
dan kuda; menambah tenaga orang-orang yang berjalan kaki. Berjalan
berduyun-duyun seperti semut mengangkut makanan.
Hati gembira ria melenyapkan rasa lelah; seolah-olah mempersingkat
perjalanan para utusan Sri Baginda Raja Kuripan itu ke negeri Daha.

19

PNRI
Pintu gerbang kerajaan Daha semakin jelas kelihatan, akhirnya para
utusan RajaKuripan berhenti di tempat perbatasan dan disambut oleh
penjaga pintu gerbang kerajaan Daha. Setengah di antara mereka dian-
tarkan masuk istana oleh penjaga pintu gerbang. Setengahnya lagi men-
dirikan pesanggrahan di luar kota.
Setelah Baginda Raja Daha berkenan hati menerima, maka berdatang
sembahlah menteri Kuripan ke hadapan sri baginda. Menteri bersujud,
menjunjung duli sang Nata Daha, dengan tertib dan penuh rasa khid-
mat. lalu dipersembahkannyalah tampan emas berisi surat pinangan dan
bingkisan sri baginda Kuripan.
Dengan mata cemerlang kegirangan, dengan bibir bersimpul senyum.
Sri Baginda Daha mendengarkan menteri yang membacakan isi surat
Raja Kuripan. Puas hati Sri Baginda Daha menerima berita yang sangat
menggembirakan hati itu. Baik sri baginda, maupun permaisuri sangat
setuju dengan pinangan Raja Kuripan akan Galuh Cendera Kirana un-
tuk dijadikan istri Raden Inu Kartapati, sri baginda bertitah, "Wahai
Menteri Kuripan! Sesungguhnyalah, kami sudah lama menanti-nantikan
kabar berita dari saudara-saudara kami. Baik kabar dari kakanda Raja
Kuripan, dari adinda Raja Gagelang maupun dari adinda Biku Gan-
dasari, pertapa di Gunung Wilis. Maka surat pinangan dan bingkisan
kakanda Raja Kuripan ini, sebenarnyalah sangat menyenangkan hati
kami. Dengan ikhlas kami persembahkan anak kami Galuh Cendera
Kirana kepada kehendak paduka kakanda. Sampaikanlah sembah kami,
bahwa jangankan anak kami, sedang negeri Daha dan negeri Gagelang
sekalipun sebagai ada di bawah perintah kakanda Raja Kuripan."
Selesai sri baginda bertitah demikian, para utusan Kuripan dan
hadirin dalam majelis menyembah. Kemudian, atas titah sri baginda,
para utusan Kuripan itu pun bersantap. Sementara itu sri baginda
menitahkan menteri mengarang surat balasan bagi Raja Kuripan.
Di luar istana kedengaran gemuruh bunyi-bunyian dan suara
penggawa-penggawa kerajaan yang menyiarkan berita istana tentang
pertunangan antara Putri Galuh Cendera Kirana dan Raden Inu Karta-
pati, putra Raja Kuripan. Rakyat sekaliannya senang gembira dan me-
nyatakan turut bersyukur atas kebahagiaan Galuh Cendera Kirana.
Para utusan Kuripan meninggalkan negeri Daha, membawa surat
balasan sri baginda; membawa kenang-kenangan yang menyenangkan
hati selama menjadi tamu di negeri Daha.

20

PNRI
10

Racun di Balik Senyum

UPACARA pertunangan Galuh Cendera Kirana telah berlangsung


dengan sangat meriah. Sejak saat itu pula Galuh Cendera Kirana telah
sah menjadi tunangan Raden Inu Kartapati.
Peristiwa yang sangat meriah dan penting itu merupakan kenang-
kenangan yang sangat berkesan. Berkesan baik kepada orang-orang
yang setuju atau beruntung. Namun sebaliknya, berkesan buruk kepada
pihak tertentu yang merasa dirugikan.
Sudah demikianlah keadaan di mayapada*). Agaknya, agar supaya
dunia tetap ramai, tetap bergerak hidup, berobah-obah dari abad ke
abad. Tiada sipat dunia yang demikian, sejarah kemanusiaan kesepian
isi.
Istana Sri Baginda Raja Daha kembali diliputi suasana keadaan yang
wajar, setelah peristiwa pertunangan yang meriah itu berlalu.
Sesungguhnya Raja Daha ibarat seorang penderita sakit radang paru-
paru. Atau seperti kayu dimakan binatang bubuk. Utuh kelihatan dari
luar, akan tetapi keropos dalamnya. Sebabnya, lantaran sri baginda
orang lemah hati, mudah sekali menuruti hawa nafsu, terutama
terhadap selir kekasihnya, Paduka Liku.
Segala keinginan dan permintaan Paduka Liku atau Galuh Ajeng,
selalu didengar dan diturut sri baginda. Tanpa berpikir masak-masak,
tanpa ditimbang dengan seksama baik buruk kesudahannya. Pendek
kata, selir kekasih dan anaknya itu, sedikit pun tiada bernoda, tiada ber-
cacat dipandang sri baginda.
Paduka Liku bukan main sakit hatinya lantaran Galuh Cendera
Kirana bertunangan dengan Raden Inu Kartapati. Iri hatinya melihat
Cendera Kirana bertambah disayang oleh sri baginda. Setiap hari
Paduka Liku tampak suram mukanya, bengkak-bengkak matanya lan-
taran tidak berhenti-henti menangis. Pikirannya tak mau lepas daripada
mencari akal untuk membunuh permaisuri Puspa Ningrat atau Galuh

*) dunia

21

PNRI
Cendera Kirana. Salah satu di antara kedua orang itu hendak dilenyap-
kannya dari muka bumi. Dengan cara bagaimana pun!
Pada suatu hari Paduka Liku membuat tapai yang dibubuhinya racun,
kemudian ditaruhnya dalam bokor kencana. Kernyut bibir si gundik itu
tiada bedanya dengan seringai serigala jahat, seringai maut.
Paduka Liku memanggil dayang-dayang dan menyuruh mereka mem-
persembahkan tapai itu kepada permaisuri. Bokor emas ditaruh di atas
talam emas, dinaungi kain sutra indah. Seorang dayang menating talam
yang amat elok itu, diiringkan dua orang dayang-dayang yang lain.
Mereka berjalan menuju istana permaisuri, tanpa hati syak wasangka,
bahwa mereka menating barang terkutuk, perusak keadaban manusia.
Sebaliknya, mereka senang seolah-olah beroleh kehormatan karena
boleh menyampaikan tanda kasih tuannya kepada permaisuri Sri Bagin-
da.
"Siapa tahu, permaisuri berkenan hati menganugerahkan apa-apa."
Boleh jadi demikianlah pikir dayang-dayang.
Sesampai di istana, ketiga dayang-dayang itu duduk bersimpuh
dengan sopan santun di hadapan permaisuri.
"Hamba dititahkan Tuan Putri Paduka Liku mempersembahkan tan-
da kasih dan sembah sujud tuan putri," sembah seorang dayang.
Permaisuri Puspa Ningrat tersenyum gembira melihat dayang-dayang
yang manis-manis lagi sopan santun itu, lalu menyambut persembahan
Paduka Liku dengan tiada duga persangka buruk.
Dayang-dayang Paduka Liku menyembah dan mohon diri setelah
menerima kembali bokor kencana kosong.
Paduka Liku tersenyum lega melihat dayang-dayangnya sudah kem-
bali, lalu pikirnya, "Begitu permaisuri mati, begitu aku menggantikan
dia menjadi permaisuri. Kekuasaan dalam istana jatuh di tanganku. Jika
Cendera Kirana yang mati, kujadikan Galuh Ajeng tunangan Raden Inu
Kartapati. Kerajaan Kuripan dan Daha biar dia persatukan dan dia
kuasai sekali. Kekuasaanku dengan sendirinya bertambah karena ke-
dudukan anak dan menantuku."
Paduka Liku hendak melanjutkan siasat jahatnya dan berunding
dengan Galuh Ajeng. Oleh karena itu ia menyuruh dayang-dayangnya ke
luar dari puri dan melarang berdatang sembah jika tidak dipanggil.
Dalam puri hanya tampak Paduka Liku, Galuh Ajeng dan seorang
paman Paduka Liku. Mereka berunding dalam bilik yang tertutup,
karena takut rahasianya bocor. Setelah Paduka Liku selesai mengurai-
kan keinginan hatinya, lalu katanya, "Sekarang paman harus

22

PNRI
menolongku; mencarikan tukang tenung yang pandai membuat guna-
guna untuk melembutkan hati orang; agar supaya aku jangan dimurkai
sang nata. Sebäliknya, sang nata harus tunduk kepada segala ke-
inginanku. Kasih sayang dan cintanya kepadaku harus tambah berlipat
ganda."
Si paman menganggukkan kepala tanda setuju dengan maksud
Paduka Liku dan setuju dengan segala janji-janjinya. Setelah menerima
bekal secukupnya, ia pun segera berangkat seorang diri.
Sesungguhnyalah tugas kewajiban yang dipikul si paman sangat berat
dan berbahaya. Akan tetapi ia mau juga melaksanakannya, hanya oleh
karena dorongan hati sayang kepada Paduka Liku. Dan karena ia meng-
harapkan upah serta pangkat, jika maksudnya terlaksana serta berhasil.
Perjalanan yang harus ditempuhnya, bukanlah pekerjaan main-main.
Hutan rimba, tempat berkeliaran binatang-binatang buas harus ditem-
puhnya. Bukit dan gunung harus didaki; sungai harus diseberangi dan
lembah ataupun jurang harus dituruninya. Di mana pula tempat kediam-
an tukang tenung itu? Si paman belum lagi tahu.
Oleh karena itu ia harus menyinggahi tempat tinggal segala ajar, per-
tapa, yang diberitahukan orang. Siang malam ia berjalan. la tak hendak
berhenti mencari dan pulang dengan tangan hampa. Demikian kuat
tekad si paman membela kepentingan Paduka Liku.
Berkat keuletan hati, akhirnya ia sampailah ke puncak gunung, tem-
pat tinggal seorang pertapa yang masyhur kesaktiannya. Sang pertapa
menerima kedatangan utusan Paduka Liku dengan ramah. Sekalipun
pertapa sudah tahu maksud kedatangan tamunya, namun dengan
saksama ia mendengarkan juga keterangan-keterangan yang dikemuka-
kan tamu itu.
Selesai berbicara, si paman menyembah dan menundukkan kepala.
Menunggu jawaban dan pesan-pesan sang Ajar.
Setelah bermenung sejenak sambii memejamkan mata, sang Ajar
berkata, "Hajat kemanakan Tuan telah kusampaikan dan dikabulkan
pula oleh Dewata yang maha mulia."
Pertapa itu membuang sepah sirih dan menyuruh tamunya memungut
lalu katanya, "Bungkuslah sepah sirih itu dengan kain atau sapu tangan.
Berikan kepada Paduka Liku. Tuan boleh pulang."
Dengan hati berdebar-debar karena girang, si paman menurut segala
perintah sang Ajar, lalu menyembah dan mohon diri.
Betapa besar hati si paman tiadalah terperikan. Tanpa kenal lelah ia
berjalan siang malam, oleh karena ia ingin lekas sampai dan ingin lekas

23

PNRI
.... Sambil memejamkan mata, sang A j a r berkata, " H a j a t kemanakan Tuan telah kusam-
paikan dan dikabulkan pula oleh Dewata yang ....

PNRI
menyerahkan perolehannya kepada Paduka Liku. Singkatnya cerita si
paman tiba di puri Paduka Liku.
Kebetulan Paduka Liku sedang duduk seorang diri sehingga si paman,
dapat berbicara leluasa. Paduka Liku dengan amat sukacita mendengar-
kan pesan-pesan sang Ajar dan menerima bungkusan sepah sirih itu dari
tangan si paman. Maulah ia menangis dan tertawa sekali, karena amat
sangat sukacitanya. Berkali-kali Paduka Liku mengucapkan terima
kasih dan memuji-muji kesetiaan si paman. Berkali-kali pula ia
menengadahkan kepala selaku orang menyampaikan doa dan terima
kasih kepada Dewata yang maha mulia.
Setelah berbisik-bisik dekat telinga si paman sambil menyodorkan se-
jumlah harta sebagai upah dan setelah si paman pulang, Paduka Liku
lekas menaruh bungkusan sepah sirih itu di bawah bantal ketidurannya.
Jika andaikata, ular senduk yang sangat berbisa dan jahat itu, pandai
senyum., kira-kira tiadalah beda dengan senyum Paduka Liku. Di balik.
kernyut bibir yang manis dan menggairahkan hati itu, kiranya tersem-
bunyi racun yang sangat berbahaya.
Paduka Liku sebentar duduk, sebentar merebahkan diri di atas tempat
ketidurannya. Sebentar berdiri bermenung, sebentar berjalan mondar-
mandir dalam biliknya. Hatinya berdebar-debar. Bukan berdebar
karena cemas dan takut, melainkan karena girang mengenangkan ke-
menangan yang bakal dicapai.
Hanya satu, hanya satulah tujuan hatinya! Yaitu kepentingan diri sen-
diri di atas kepentingan semua orang. Biar orang lain mampus binasa,
ibarat kata, asalkan dia sendiri hidup mewah, megah, berkuasa di atas
segala-galanya. Habis perkara!
Kemenangan pasti jatuh di tangannya! Dan ia pun tak perlu takut
akan perlawanan dan dendam kesumat orang. Hatinya besar.
Berani laksana ular senduk, sekalipun menghadapi raja rimba.
Paduka Liku merasa aman dan kuat, berkat hikmat sepah sirih
pemberian pertapa sakti. Demikian besar dan kuat kepercayaannya
kepada hikmat guna-guna itu.
Sebentar pikirannya melayang ke istana pemaisuri Puspa Ningrat dan
Galuh Cendera Kirana. Dari sanalah ia sewaktu-waktu boleh meng-
harapkan kabar yang menggemparkan isi kerajaan Daha.

25

PNRI
10

Tunduk Tanpa Syarat

AWAN HITAM lamban bergerak ditiup sang bayu. Bertebaran ber-


gumpal-gumpal, mengalang-alangi sinar sang surya. Burung elang
melayang-layang di udara mengintai mangsa; suaranya melengking
mengiris hati, menjerit-jerit mengikis langit. Pohon beringin di alun-alun
tampak alum, dedaunan kelihatan layu lemah lunglai tanpa daya.
Binatang-binatang buas di hutan rimba seperti segan berburu mangsa.
Orang-orang seperti enggan meninggalkan rumah, karena merasa aman
diam di tengah-tengah keluarga. Anak-anak remaja, pria dan gadis
segan bersenda gurau, seolah-olah lupa akan masa keremajaannya.
Apa gerangan yang membuat suasana demikian? Apa nian yang
menekan jiwa? Seorang pun tiada yang sanggup menerangkan, kecuali
orang-orang kudus yang pandai menerawang dinding alam nyata, pan-
dai meramalkan apa yang akan terjadi.
Keraton Daha menghadapi masa depan yang sangat suram. Sang
Dewata yang maha mulia menghendaki demikian. Makhluk-makhluk di
mayapada hanya merupakan pelaku-pelaku sejarah; hanya menurut
kehendak Ki Dalang di kayangan. Dan Ki Dalang pulalah yang meng-
hendaki agar supaya alam sekitar keraton Daha merasai suasana
kesuraman itu.
Puspa Ningrat, permaisuri Raja Daha, yang pada waktu itu sedang
duduk-duduk di baiai peranginan, sangat berlainan kelihatannya. Air
mukanya pudar. Cahaya matanya, senyumnya, pendek kata segala gerak
geriknya seperti lain daripada biasanya, seperti mengandung arti yang
sukar diduga orang.
Ketika seorang dayang berdatang sembah, permaisuri tiba-tiba ter-
ingat akan tapai persembahan Paduka Liku, lalu menyuruh dayang itu
mengambilnya.
Dayang segera mematuhi perintah dan mempersembahkan santapan
itu di hadapan permaisuri. Kini kain sutera tutup santapan itu dibuka
permaisuri ayu Puspa Ningrat.
Dilihatnya sebentar. Tangannya yang halus itu hendak menjamah
tapai tetapi tidak jadi oleh karena perhatiannya beralih pada burung-

26

PNRI
burung yang bertengger di dahan pohon dan ramai berkicau. Binatang-
binatang itu seolah-olah memperingatkan permaisuri agar supaya jangan
mau makan tapai beracun itu. Akan tetapi sayang! Permaisuri tak
mengerti bahasa burung. Ia hanya tersenyum melihat kepada burung-
burung yang sedang mengoceh itu. Tiba-tiba cecak jatuh dari loteng di
pundak permaisuri, sehingga tangan permaisuri tak jadi menyentuh
tapai celaka itu. Seandainya permaisuri mengerti akan maksud cecak
niscaya ia selamat.
Akan tetapi sayang! Kehendak Dewata tak dapat ditawar-tawar.
Waktu sudah tiba bagi Puspa Ningrat ayu untuk menyerah kalah kepada
kekuatan dan kekuasaan yang bukan tandingan untuk dilawan.
Begitu permaisuri makan sedikit tapai, begitu ia menghempaskan diri.
Pucat pasi muka permaisuri. Bola matanya seperti terbalik, sehingga
matanya putih belaka kelihatan. Mulutnya terkatup rapat, tangannya
terkepalkan keras, selaku orang menahan sakit yang sangat hebat.
Rambut dan badannya bersimbah keringat.
Gemparlah isi istana! Dayang dan inang pengasuh menangis, meratap,
berlari-lari ke sana ke mari tanpa tujuan; hati berdebar-debar kaki
tangan gemetar, karena takut dimurkai sri baginda raja. Suara orang-
orang yang meratap dan menangis bersimpang siur; atas mengatasi yang
satu dengan yang lain. Sri baginda segera menitahkan orang memanggil
dukun. Semua dukun, pendeta dan ajar yang sakti dikerahkan datang di
istana untuk menolong permaisuri. Segala mantera dan obat dicobakan.
Namun ajal permaisuri tak dapat dielakkan. Keadaan menjadi bertam-
bah gempar, karena sri baginda dan Galuh Cendera Kirana jatuh
pingsan. Mahadewi seperti hendak berobah ingatan karena sangat
bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat. Demikian juga tingkah laku
dayang-dayang dan inang pengasuh. Hanya orang yang tabah hati yang
masih sanggup metiguasai keadaan kalut seperti itu. Beberapa orang
menolong sri baginda. Beberapa orang lagi menolong Galuh Cendera
Kirana. Untung, keduanya lekas sadar.
Mahadewi menangis sambil meratapi dan mencium tangan mayat
Puspa Ningrat. Hatinya ngeri, pedih serasa disayat sembilu karena ingat
akan kebaikan hati permaisuri. Dan karena ingat akan penderitaan
Galuh Cendera Kirana nanti di bawah tindakan Paduka Liku dan Galuh
Ajeng. Mahadewi merangkul dan menciumi Galuh Cendera Kirana.
Membujuk-bujuk supaya tabah hati dan menerima akan nasib hidup.
Permaisuri mengakhiri hidupnya di dunia yang fana. Rohnya pulang
kembali ke tempat asal untuk terus hidup di alam baka. Kurungan per-

27

PNRI
maisuri Puspa Ningrat kejang; terbaring di tempat pembaringan mayat,
diselimuti kain sutera dewangga.
Sementara itu Galuh Cendera Kirana tak mau melepaskan tangannya
dari kaki jenazah ibunya. Air matanya berderai-derai membasahi pipi
dan haribaannya. Tiada hentinya ia menangis bersedu-sedan; memilu-
kan hati orang-orang yang melihat.
Setelah keadaan menjadi agak reda, sri baginda menanyakan asal
mula kematian permaisuri kepada dayang-dayang dan inang pengasuh.
Dayang yang tertua bersembah dengan suara gembira, sembahnya, "Ya
Tuanku! Hamba mohon beribu-ribu kali ampun ke bawah Duli Yang
Dipertuan. Hamba sekali-kali tidak tahu sebab yang sebenarnya hingga
permaisuri menjadi demikian. Hamba hanya melihat permaisuri tadi
bersantap tapai."
"Bersantap tapai!" titah baginda penuh curiga. Mukanya mendadak
menjadi merah padam karena amarah. Seperti orang disengat lebah, tiba-
tiba sri baginda membelalak menjadi sangat murka dan menyuruh
dayang-dayang mengambil tapai itu. Sambil menunjuk kepada makanan
itu, baginda bertitah dengan murka, "Hai dayang-dayang! Ini gerangan
yang menyebabkan permaisuri mati! Dari mana ia memperoleh santapan
tapai!"
"Persembahan Tuan Putri Paduka Liku, Gusti," sembah dayang-
dayang dengan gugup; badannya menggigil. "Hanya itulah yang hamba
tahu, Gusti," sembahnya pula.
Sri baginda melihat keheran-heranan. Hatinya menjadi bertambah
curiga, lalu melemparkan tapai itu ke haadapan anjing dan ayam.
Binatang-binatang yang memakan tapai, mati seketika itu juga. Keadaan
menjadi gempar karena Galuh Cendera Kirana jatuh pingsan lagi.
Bukan alang-kepalang murka Baginda Raja! Tingkahnya seperti
orang mabuk tuak. Dipeluknya Galuh Cendera Kirana yang sedang
pingsan itu, digendong lalu diletakkannya lagi di lantai. Kemudian ber-
jalan mondar-mandir, tiada tentu yang dikerjakan.
Tiba-tiba baginda mengambil pedang. Segera dihunusnya! Baginda
terus ke luar istana, menuju puri Paduka Liku.
Sekalian orang dalam istana gemetar ketakutan. Sangat ngeri melihat
tingkah laku baginda raja, berjalan, mengacungkan pedang terhunus.
Mukanya merah padam, matanya menyala laksana api.
Dengan suara menggelegar seperti suara Dasamuka*) menantang
musuh baginda raja bertitah, "Hari ini juga kuhabiskan nyawa Paduka

*) raksasa bermuka sepuluh

28

PNRI
Liku! Kupenggal batang lehernya! Kupotong tiga badannya! Baru puas
hatiku!"
Api amarah membara, membakar dada baginda. Darah panas meng-
gelegak; deras naik ke kepala; menggeletarkan kaki dan tangan. Mata
terbelalak, liar menatap. Napas berdengus, laksana dengus banteng
ketaton *). Kaki melangkah, tiada peduli apa yang dipijak. Sri baginda
langsung masuk puri selir yang hendak dipancung kepalanya itu.
Sementara itu kabar tentang meninggalnya permaisuri sudah sampai
pula ke telinga Paduka Liku. Tampak senyum puas di bibir Paduka
Liku. Tetapi bukan senyum manis bidadari, melainkan senyum iblis.
"Syukur! Mampuslah!" kata Paduka Liku dalam hati. Tetapi serta
mertdengar baginda raja murka dan mengancam, segera Paduka Liku
bersiap-siap. Sekarang tibalah saatnya bagi Paduka Liku untuk menguji
sampai di mana mujizat guna-guna sang pertapa sakti.
Baginda raja dengan sengitnya memburu. Paduka Liku lari! Terus
masuk ke dalam puri. Pintu-pintu tiada yang tertutup terkunci, tiada apa
pun yang mengalang-alangi sri baginda.
Paduka Liku masuk bilik; terus naik peraduan tempat menyem-
bunyikan bungkusan sepah sirih si guna-guna. Paduka Liku menahan
napas beb&rapa saat, membulatkan pikiran dan perasaan, menyatukan
pandangan mata pada satu titik pertemuan kedua belah mata sri bagin-
da, sambil berkata dalam batin, "Tunduk! Tunduk!" Dengan senyum
semanis madu ia menyilakan sri baginda duduk. Sikap dan senyumnya
menggiurkan hati baginda. Kecantikan dan gerak-gerik Paduka Liku
bertambah kuat merangsang, menggoncangkan iman Baginda Raja,
berkat hikmat sepah sirih si guna-guna. Senyum simpulnya manis, selegit
senyum bidadari yang baru turun dari kayangan; melumat-lembutkan
hati sri baginda.
Api mati karena bertemu air, dedaunan layu karena daya terik mata-
hari. Api amarah baginda lenyap karena daya hikmat si guna-guna.
Sinar mata yang semula liar dan galak, kini menjadi redup mengharap-
kan rindu. Tangan jantan sekeras baja menjadi lemah lunglai tanpa
tenaga. Dan lepaslah pedang terhunus itu dari tangan baginda raja.
Suara baginda yang semula garang, kini menjadi lemah-lembut, mer-
du seperti suara kumbang mencucup sari bunga.
" O , Adindaku manis! Mana gerangan anakanda Galuh Ajeng?
Sehari kakanda tak melihat dia, serasa berbulan-bulan lamanya," titah
baginda.
*) terluka

29

PNRI
Kecantikan dan gerak-gerik P a d u k a Liku bertambah kuat merangsang, menggoncangkan
iman Baginda R a j a , ....

PNRI
Mendengar suara sri baginda demikian lemah-lembutnya, Paduka
Liku bukan alang kepalang sukacitanya lalu katanya, "Ya, Kakanda
junjungan hati hamba, silakan Kakanda melepaskan lelah dulu. Anakda
Galuh Ajeng boleh jadi sedang main dengan dayang-dayang."
Hilang.lenyap ingar-bingar dalam puri. Yang kedengaran hanya kata-
kata cumbuan baginda raja; silih berganti dengan ketawa-tawa genit si
gundik Paduka Liku.
Setelah puas baginda raja bersenda gurau dengan Paduka Liku,
barulah baginda meninggalkan puri untuk menyelesaikan upacara pem-
bakaran jenazah permaisuri.
Langit mendung, hujan gerimis. Hujan rintik-rintik membasahi bumi,
seolah-olah alam menangis, bersedih hati. Margasatwa berdukacita;
beberapa pasang mata insan sembab, basah, tanpa cahaya; sedu-sedan
tangis sedih, menyaksikan upacara pembakaran. permaisuri Puspa
Ningrat.

31

PNRI
10

Cuaca Terang Sejenak

JASAD PERMAISURI Puspa Ningrat tiada lagi di istana Daha,


namun namanya masih terus hidup dalam ruang hati Cendera Kirana.
Dari pagi sampai malam, gadis piatu Cendera Kirana tak henti-hentinya
menangis mengenangkan mendiang ibunda. Menyepi dalam bilik, men-
jauhi pergaulan dengan orang-orang dalam istana, agar supaya hatinya
dapat bebas berbicara dengan badan halus mendiang ibunda. Dengan se-
puas-puas hati, Cendera Kirana mengadukan nasib hidupnya kepada
arwah ibunda. Dihantarkan sedu-sedan dan deraian air mata, Cendera
Kirana menjerit dalam hati, "Duhai Ibunda mestika hati, betapa berat
hidup hamba ditinggalkan ibunda. Hidup hamba tanpa pedoman; gon-
cang ibarat perahu tanpa kemudi; terapung, terombang-ambing di
samudera menuruti kehendak gelombang dan angin. Istana sekarang
bagi hamba ibarat ladang semak-semak berduri, sebab tiada orang yang
mengurus dan mengolahnya. Taman bunga nan indah semasa ibunda
hidup, kini menjadi tempat bertualang hewan-hewan jalang, hewan-
hewan kejam. Tempat binatang-binatang liar mengintai mangsa yang
hendak diterkam dan dibinasakan. Betapa pedih, betapa kecil hati ham-
ba, duhai Ibunda betapa gelap masa depan hamba."

Cendera Kirana memeluk bantal mendiang ibunda, menciumnya


mesra-mesra seolah-olah memeluk mencium jasad ibunda. Gadis piatu
itu menangis, meratap sejadi-jadinya sambil memeluk bantal.
" O h , Dewata yang maha mulia, mengapa gerangan Tuan pisahkan
hamba dari ibunda yang hamba cintai? Mengapa nyawa hamba tidak
Tuan cabut sekali bersama-sama sukma ibunda? Mengapa, mengapa
Tuan jadikan hamba anak piatu yang harus hidup merana di bawah
telapak kaki orang-orang kejam? Mengapa, mengapa ....?"
Cendera Kirana menggugat. Sambil menengadah, dengan tangan ter-
kembang ke muka, dengan rambut kusut masai, dengan hati berat
berkobar. Cendera Kirana menuntut pertanggungjawaban. Sejenak ia
diam, menantikan sambutan, menantikan jawab.
Jawab yang tegas!

32

PNRI
Namun tiada suara yang menyambut, tiada kata-kata yang menjawab.
Gugatannya, amarahnya, hanya ditelan habis-habis oleh sunyi malam.
Cendera Kirana kini kembali dikuasai perasaan sepi.
Untung masih ada Mahadewi yang dengan hati ikhlas meraih Cendera
Kirana; mau menjadi pengganti ibunda si gadis piatu. Dengan kasih
mesra, dengan kata-kata lemah-lembut Mahadewi mendampingi v dan
melipur hati lara Cendera Kirana. Tingkah lakunya tiada beda dengan
tingkah laku seorang ibu sejati terhadap anak.
Kabar tentang kematian permaisuri Raja Daha dan tingkah laku
Paduka Liku akhirnya sampai jugalah ke telinga Raja Kuripan.
"Bukan alang-kepalang jahat hati Paduka Liku!" titah Sri Baginda
Kuripan.
"Permaisuri dia bunuh. Dia kacau balaukan keadaan istana Daha."
Permaisuri menyambut, lalu sembahnya, "Ya, Kakanda! Kesalahan
ada pada adinda Raja Daha jugalah. Adinda Raja orang lemah hati. la
selalu menuruti sebarang keinginan Paduka Liku. Akhirnya, ia dikuasai
betul-betul si gundik jahat itu. Hamba kasihan akan Cendera Kirana. la
tentu diinjak-injak Paduka Liku dan Galuh Ajeng."
Sri baginda raja dan permaisuri hening sebentar, mengenangkan nasib
buruk Cendera Kirana.
"Sebaiknya kita kirimkan apa-apa kepada Cendera Kirana untuk
menghibur hatinya. Bagaimana pendapat Adinda?" titah sri baginda
kepada permaisuri.
"Adinda sangat setuju. Lebih lekas dikerjakan lebik baik," sembah
permaisuri.
Sri baginda raja segera bertitah, menyuruh panggil putranda Raden
Inu Kartapati, yang segera pula datang bersembah.
"Anakanda Inu Kartapati! Betapa sedih hati kami mendapat kabar
tentang kematian bibikmu, permaisuri Raja Daha, anakanda tentu
maklum. Bibikmu, Puspa Ningrat, belum begitu tinggi usianya. Akan
tetapi sudah demikian kehendak Dewata yang maha mulia, ajal tak dapat
dielakkan oleh manusia. Dan kita sendiri pun pada waktunya harus me-
ninggalkan dunia yang fana dan kembali ke alam baka. Keadaan istana
Daha sekarang mencemaskan hati kami benar. Terlebih lagi, jika kami
ingat akan nasib bakal istrimu Cendera Kirana. Kepedihan hati Cendera
Kirana lantaran kehilangan ibu sudah barang tentu tak mudah kita
bayangkan betapa beratnya. Kami tak sampai hati membiarkan dia
hidup dirundung lara; seperti anak sebatangkara yang tidak bersanak
saudara, tiada orang yang mau meraih mengasih sayang."

PANJI S E M I R A N G - 3 33

PNRI
Raden Inu Kartapati mendengarkan titah ayahanda raja dengan hati
terharu lalu sembahnya, "Hamba maklum, Ayahanda."
"Oleh karena itulah, Anakanda kami panggil. Kami bermaksud hen-
dak menghibur hati Galuh Cendera Kirana dengan boneka yang sangat
indah buatannya, sehingga dapat melipur hati lara tunanganmu itu!
Anakanda sendirilah yang harus membuat. Buatlah dua boneka. Yang
satu dari emas, yang satu lagi dari perak. Sekian pesan kami. Ker-
jakanlah sebaik-baiknya."
Raden Inu Kartapati bersujud di hadapan ayahanda raja lalu sem-
bahnya, "Titah Ayahanda hamba junjung setinggi-tingginya. Hamba
mohon diri."
Setelah diperkenankan undur oleh ayah dan ibunda, Raden Inu Karta-
pati kembali ke puri tempat kediamannya. Siang hari itu juga ia me-
ngumpulkan segala bahan dan alat-alat untuk membuat boneka. Malam-
harinya ia duduk sendirian di tempat sunyi, tepekur menghadap Dewata
yang maha mulia; mohon ilham. Beberapa lamanya ia duduk hening,
bertahan napas, membulatkan cipta. Dengan karunia Dewata yang
maha mulia, ilham masuk ke dalam raga Raden Inu Kartapati.
Sayup-sayup sampai kedengaran kokok ayam yang kedua kali, pertan-
da malam hari hendak menyongsong kedatangan sang Batara Surya.
Raden Inu Kartapati serasa diingatkan suara gaib untuk mengakhiri
tepekurnya lalu bangkit dari tempat duduknya, kemudian mandi air
kembang yang semerbak harum baunya.
Dengan hati bulat, tenang tenteram, mulailah Raden Inu Kartapati
bekerja; membuat boneka dari emas. Jari tangannya yang halus itu hati-
hati memainkan alat-alat: gergaji, pahat, kikir, dan palu kecil. Rambut
boneka dibuatnya ikal, halus, lembut, terurai seperti rambut bidadari
yang baru turun dari pemandian di kayangan. Boneka diciptakan seelok
mungkin; tanpa cacat sedikit juga. Lengan anak-anakan dibuatnya lam-
pai, jari tangannya lentik-lentik.
Sejenak Raden Inu Kartapati menatap boneka. Bagian-bagian kecil di-
periksanya dengan saksama. Yang terlalu panjang digergaji, yang masih
kasar dikikirnya. Segala-galanya dibuatnya laras.
Berkali-kali boneka dipandang dan ditatap Raden Inu; dari hadapan
dari belakang dan dari samping. Dalam khayal Raden Inu seolah-olah
berhadapan benar dengan Galuh Cendera Kirana, gadis molek tunang-
annya.
Dalam hati ia berkata mesra, "Oh, Adinda Kirana. Betapa resah hati
kakanda mendengar berita sedih tentang adinda sayang. Tetapi semoga

34

PNRI
boneka hasil karya kakanda ini menjadi pelipur hati adindaku manis."
Boneka dipeluk; lalu disimpan. Boneka emas rampung digarap, kemu-
dian boneka perak dikerjakan.
Setelah beberapa hari tekun berkarya, Raden Inu Kartapati meng-
akhiri pekerjaannya. Kedua boneka itu segera dipersembahkannya
kepada ayahanda sri baginda raja.
Dengan hati kagum sri baginda mengamat-amati boneka hasil karya
Raden Inu Kartapati. Permaisuri pun demikian pula. Bangga hatinya
tiada terhingga mempunyai putra sepandai itu.
Tanpa menunggu lama-lama sri baginda menitahkan palih mengum-
pulkan orang-orang yang akan diutus ke kerajaan Daha untuk memper-
sembahkan boneka-boneka itu kepada adinda raja.
Sri baginda menitahkan membungkus boneka emas dengan kain yang
serba buruk dan mengikatnya dengan tali kain hitam, sehingga tidak
menarik hati orang yang melihat. Akan tetapi sebaliknya, boneka perak
dibungkus dengan kain sutera dewangga berwarna merah jambu, ber-
sulamkan benang emas dan diikat dengan tali kain sutera, sehingga
sedap sekali dipandang mata.
Setelah selesai segala persiapan, maka hari ilu juga para utusan Raja
Kuripan berangkat menuju Daha, mengusung bingkisan yang dihiasi
segala tanda kebesaran.
Singkatnya kisah, para utusan sampailah di balai penghadapan istana
Daha dan diterima oleh sang nata serta menteri-menteri.
Sri Baginda Daha sangat berkenan hati menerima boneka-boneka
kiriman kakanda Raja Kuripan, lalu segera menitahkan Galuh Ajeng
memilih lebih dahulu.
Tiada terkira girang hati Paduka Liku oleh karena anaknya diboleh-
kan memilih lebih dahulu, sehingga sikap si gundik tampak benar ber-
tambah congkak.
Tanpa ragu-ragu, tanpa ayal Galuh Ajeng mengambil boneka yang di-
bungkus kain sutera dewangga. Dengan sombongnya ia melirikkan mata
kepada Cendera Kirana dan Mahadewi, seraya tersenyum mengejekkan.
Sri baginda kemudian menitahkan dayang-dayang menyampaikan
boneka yang sebuah lagi kepada Galuh Cendera Kirana. Mahadewi yang
menyaksikan tingkah laku sri baginda sedemikian, hatinya pedih sejadi-
jadinya. Ia Iekas meninggalkan majelis hendak menangis, hendak me-
lepaskan sedih hati, bersama-sama dengan Galuh Cendera Kirana.
Dicumbu dan dibujuknya Galuh Cendera Kirana, agar supaya ikhlas me-
nerima peruntungannya.

35

PNRI
"Anakanda manis, Cendera Kirana, pandai-pandailah membawa diri.
Siapa tahu peruntunganmu kelak lebih baik daripada sekarang. Ibu
doakan siang malam semoga Anakanda dikurniai Dewata yang maha
mulia hidup bahagia," bujuk Mahadewi.
Galuh Cendera Kirana menganggukkan kepala sambil menahan
tangis, lalu bungkus boneka dibukanya dengan hati segan. Akan tetapi
aduh, betapa girang hati Cendera Kirana, ketika tampak olehnya boneka
emas yang sangat indah itu. Maulah ia tertawa gelak-gelak dan me-
lonjak-lonjak seperti anak kecil yang kegirangan. Mahadewi pun bukan
main girang hatinya lalu memeluk dan mencium Galuh Cendera Kirana.
"Duhai Ibu Mahadewi, hamba belum pernah melihat boneka seindah
ini! Tangan manusiakah gerangan yang membuat, Ibunda? Alangkah
elok paras boneka! Lihat, lihat Ibunda! Boneka mengajak hamba ter-
tawa," kata Cendera Kirana dengan girang.
"Betul kata anakanda. Ia mengajak anakanda tertawa. Marilah kita
tertawa senang Cendera Kirana. Lihat-lihatlah dia jika anakanda ber-
sedih hati, supaya hilang gelap terbitlah cuaca terang," bujuk
Mahadewi.
Awan hitam yang mengalang-alangi sinar cahaya sang Batara Surya,
lambat-lambat lewat ditiup sang bayu. Langit biru tampak bersih cuaca
terang melapangkan pemandangan.
Boneka emas cilik rupawan, ciptaan Raden Inu Kartapati seniman
negeri Kuripan, tiada bedanya dengan sang bayu. Menghalau tirai hitam
dari rongga-rongga dada Cendera Kirana. Hilang rasa duka, tumbuh
hati rindu.
Si gadis berdendang riang, bersenandung sambil menggendong anak-
anakan. Tingkahnya seperti seorang ibu benar yang mencurahkan isi
kalbu kepada belahan hatinya. Boneka emas tersenyum manis dalam
buaian, seolah-olah mengerti segala yang tergores dalam hati si ibu,
seperti ikhlas berjanji hendak membalas kasih. Dengan mesra Kirana
mencium boneka, namun khayalnya mengembara jauh ke negeri
Kuripan.
Alangkah sayang, cuaca terang hanya tampak sejenak, sebab kabut
datang mengganggu.
Serta Galuh Ajeng melihat boneka kencana Cendera Kirana timbullah
iri hatinya, lalu merengek meminta boneka emas. Kata-kata ejekan yang
keji-keji bertubi-tubi keluar dari mulut busuk Daluh Ajeng, tetapi
Kirana tetap tak hendak melepaskan bonekanya. Galuh Ajeng cengeng
menangis, mengadu kepada Paduka Liku. Bujukan Liku, dayang-

36

PNRI
dayang dan inang pengasuh, hanya sia-sia juga, tak sanggup menghibur
hati Galuh Ajeng. Sambii menangis dan meratap gadis manja itu ber-
guling-guling di tanah, tidak ubahnya dengan tingkah laku anak pasar
yang kasar dan kurang ajar.
Lantaran ingar-bingar itu sri baginda datang melihat. Disambut oleh
Paduka Liku dengan ocehan dan pengaduan yang dibuat-buatnya.
Baginda lekas benar kena hasutan Paduka Liku. Tanpa periksa, tanpa
pikir baik-baik, sri baginda memurkai Cendera Kirana.
Betapa pun murka sri baginda, namun Kirana tak hendak mem-
biarkan bonekanya direbut orang.
"Daripada hamba dipaksa harus memberikan boneka hamba kepada
Galuh Ajeng, lebih baik ayahanda bunuh hamba. Duhai Ayahanda
apakah arti hamba di dunia tanpa anak-anakan yang hamba cintai?
Ibunda mati dibunuh orang, hamba menjadi anak piatu. Kini boneka
hamba hendak dirampas orang. Siapa pula pelipur lara hamba?
Daripada hamba hidup merana demikian, hamba ikhlas dibunuh
Ayahanda. Biarkanlah hamba menyusul ibunda permaisuri."
Cendera Kirana meratap menangis sedih. Berlutut, lalu mencium kaki
sri baginda. Lakunya seperti orang menyerahkan kepala supaya dipan-
cung. Mahadewi, dayang-dayang dan inang pengasuh, sekaliannya
menangisi gadis piatu Kirana.
Akan tetapi baginda raja tidak sedikit pun berkurang murkanya, lalu
titahnya, "Kirana, tingkah lakumu seperti anak kecil. Seperti anak tak
tahu adat, seperti bukan putri raja. Dahulu engkau membangkang.
Sekarang engkau masih juga berani menentang? Engkau berikan boneka
itu kepada Galuh Ajeng! Jika tidak, rambutmu pasti kupotong."
Cendera Kirana menggelengkan kepala. Menolak keras permintaan sri
baginda. Boneka emasnya dipegang erat-erat, didekapkan pada dada.
"Tidak, Ayahanda!" sembah Kirana dengan suara menantang.
"Hamba tidak mengizinkan! Boneka ini milik hamba, belahan hati ham-
ba. Silakan potong rambut hamba, sebab ayahanda berkuasa."
Murka sri baginda tambah berkobar. Sri baginda merasa dihinakan
Kirana karena permintaannya diabaikan. Dengan muka merah padam
baginda menjangkau gunting. Riuh rendah kedengaran jerit dan tangis
Mahadewi, dayang-dayang dan inang pengasuh. Keadaan menjadi gem-
par.
Dengan gemas sri baginda memotong rambut Kirana. kres-kres-kres!
"Nah, rasakan olehmu, anak durhaka! Lekas pergi dari sini! Aku tak

37

PNRI
Dengan gemas sri baginda memotong rambut Kirana. Kres-kres-kres!

PNRI
suka lagi melihat mukamu!" Sri baginda mengusir Cendera Kirana,
seperti menghalau anjing gila.
Titah sri baginda demikian kedengaran seperti bunyi petir di hari
terang. Amat sangat mengagetkan Mahadewi dayang-dayang dan inang
pengasuh oleh karena tidak disangka sri baginda akan sampai hati ber-
tindak sekejam iiu terhadap Cendera Kirana. Mereka menangis pilu
seperti anak kecil ditinggal mati ibu-bapak.
Hanya Paduka Liku dan Galuh Ajeng juga yang tampak bergirang
hati. Luar biasa puas hati kedua mereka itu melihai Cendera Kirana ber-
jalan terhuyung-huyung menuju puri tempat kediamannya.
Mahadewi, Ken Bayan, dan Ken Sanggit mengiringkan Cendera
Kirana, lalu membawa masuk ke peraduan. Pakaian Cendera Kirana
yang basali oleh air mata dan kotor karena potongan-potongan rambut
itu lekas mereka tanggalkan untuk diganti dengan pakaian bersih.
Dengan air bunga yang amat harum baunya, Cendera Kirana diman-
dikan, lalu pakaian bersih dikenakan.
Cendera Kirana masih menangis tersedu-sedu juga mengenangkan
nasib hidupnya yang malang itu. Pikirannya gelap, hatinya berasa berai
tertindih oleh bermacam-macam derita hidup.

39

PNRI
Panji Semirang Asmarantaka

BERTUMPUK-TUMPUK, bertindih-tindih derita menekan jiwa, me-


nyesakkan napas Cendera Kirana. Matahari tampak seperti semakin
lamban beredar, memanjang-manjang langkah menyongsong hari
malam.
Bagi Cendera Kirana siang hari serasa lebih lama daripada malam.
Andaikata ia mampu mendesakkan keinginannya; andaikata ia berkuasa
mengatur jalan matahari, pastilah dia hapuskan hari siang. Dia buat hari
malam yang abadi. Peduli apa hari siang yang penuh derita, penuh siksa
bagaikan neraka! Tetapi hari malam? O, itulah hari nikmat. Hari pem-
bebasan dari segala gangguan serigala-serigala istana, Paduka Liku dan
Galuh Ajeng. Pembebasan dari murka Sri Baginda. Ah, dia raja sareat-
nya, namun hakekatnya budak Paduka Liku dan Galung Ajeng!
Darah tersirap ke kepala Cendera Kirana. Kegemasan mengejangkan
urat-urat syaraf. Namun nafsu amarah lekas pula menjadi reda, kendur,
karena pengaruh rasa diri lemah. Karena tak sanggup mendobrak kekua-
saan pihak lawan yang jauh lebih besar itu, Cendera Kirana melepaskan
angan-angannya. Kembali kepada pikiran-pikiran yang wajar. Sampai-
lah ia pada persoalan mendapatkan jalan ke luar dari tekanan perasaan.
Pada suatu malam sunyi di suatu ruang tertutup, Cendera Kirana
berunding dengan Mahadewi dan paman menteri kepercayaan.
Masalah yang dirundingkan tentu gawat, melihat cara mereka berbicara.
Sedikit pun tak ada kata-kata yang dapat didengar orang dari luar
uangan.
Mahadewi mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata bisik-bisik,
"Ibunda setuju dengan maksud anakanda. Ibunda pasti ikut ke mana
pun anakanda pergi. Lebih lekas kita tinggalkan istana lebih baik."
Mahadewi dan Cendera Kirana memandang kepada Paman Menteri
seolah-olah ingin mendengarkan pendapatnya.
"Mamanda bersedia mengantarkan sampai ke tempat yang dikehen-
daki. Dan rahasia ini akan mamanda simpan baik-baik. Sekarang
mamanda mohon diri untuk menyiapkan kendaraan dan.perbekalan."

40

PNRI
Ken Bayan dan Ken Sanggit, serta inang pengasuh yang setia kepada
Cendera Kirana pada bangun lalu berkemas-kemas. Hampir semua
dayang dan inang pengasuh bersatu padu hendak ikut lari dengan
Cendera Kirana, putri raja yang mereka cintai. Tengah malam itu
mereka sibuk bersiap-siap. Pakaian, senjata, alat-alat dan makanan di-
masukkan ke dalam peti atau dibungkus dengan kain lalu dimuat ke
dalam kereta.
Setelah segala persiapan selesai, di kala orang-orang masih tidur
nyenyak, keluarlah Cendera Kirana dan rombongannya dari istana.
Kereta yang dihela beberapa ekor sapi itu berjalan tanpa dian; menem-
puh jalan yang diterangi hanya oleh sinar cahaya bintang-bintang di
langit.
Sepanjang jalan Galuh Cendera Kirana dan Mahadewi merenung,
memikirkan nasib hidup masing-masing. Kejadian-kejadian, sukaduka
hidup di masa silam, terbayang kembali di depan ruang mata; tampak
bermain seperti baru terjadi di hari kemarin. Perasaan yang beraneka
ragam timbul tenggelam, bercampur aduk dalam kalbu. Kini kedengaran
suara mengeluh, nanti kedengaran suara sedu-sedan, ditingkah bunyi
roda kereta berderak-derak dan derap kaki sapi. Kereta berjalan per-
lahan-lahan masuk hutan ke luar hutan, melintasi jalan-jalan sempit,
menyusur sungai, menuruni lembah, mendaki bukit. Penghuni hutan
terbangun sejenak di malam buta, karena kaget mendengar bunyi kereta.
Kera, lutung, dan siamang mengerih-ngerih membangunkan kawan,
menggaruk-garuk kepala seperti orang kehilangan akal; menggaruk-
garuk kulit perut seperti orang kegatalan karena gangguan kutu busuk.
Ada pula yang melompat-lompat, berayun dari dahan ke dahan karena
takut. Si burung hantu suaranya menceluk-celuk menyeramkan hati,
hingga bulu kuduk tegak berdiri. Keluang, kampret, dan codot pada
kaget, terbang berkepak-kepak, meninggalkan buah-buahan yang
sedang digerogoti.
Akan tetapi, begitu kereta sapi Cendera Kirana lewat, begitu hilang
pula perasaan takut penghuni hutan. Si lutung tidur lagi, ingin menerus-
kan impiannya yang belum habis. Keluang pun bergantungan lagi pada
cabang pohon sambil makan buah-buahan. Sedang si kukukbeluk
mengumandangkan suaranya supaya hutan tidak tenggelam dalam
kesunyian.
Fajar menyingsing; hari malam hendak berakhir, menyongsong ke-
datangan sang Batara Surya. Samar-samar kedengaran di kejauhan
kokok ayam berbalas-balasan. Suaranya melengking menembus udara,

41

PNRI
merisaukan hati kelana Galuh Cendera Kirana. Dengan pasti matahari
timbul di ufuk sebelah timur, menyinarkan cahaya sepanjang hari,
kemudian silam di ufuk sebelah barat.
Namun perjalanan Cendera Kirana tanpa kepastian, tanpa tujuan
yang direncanakan; menyongsong masa depan yang lepas tanpa
pegangan. Sebaliknya, ia menyerahkan diri kepada kehendak Dewata
yang malia mulia, menuruti gerak nurani hatinya.
Kereta bergerak lerus, melewati tapal batas Daha, masuk wilayah
kerajaan Kuripan. Kereta berhenti di suatu tempat yang sama jauh
letaknya antara Daha dan Kuripan.
Galuh Cendera Kirana memeriksa keadaan sekitar tempat itu, lalu
timbul keinginannya untuk membuat pesanggrahan di sana. Alat-aiat
segera dikeluarkan dan lekas pula masing-masing bekerja menurut
kecakapan dan keahliannya. Semangat rame ing gawe, sepi ing pamrih,
semangat bekerja giat bergotong-royong tanpa mengharapkan upah
jasa, melekaskan selesainya pekerjaan, memelihara semangat senang
bekerja.
Penghuni hutan kiri-kanan tempat pesanggerahan pada menyingkir
jauh ke dalam rimba, karena takut jika akan timbul huru-hara.

Galuh Cendera Kirana tersenyum puas melihat hasil kerja dayang-


dayang dan inang pengasuhnya, lalu mengajak mereka bersuka ria sam-
bii makan-makan dan minum-minum.
"Mamanda Menteri," kata Galuh Cendera Kirana, "pada hemat
hamba tempat ini baik sekali hamba pakai sebagai pangkal usaha men-
dirikan hidup baru. Hamba berangan-angan hendak menjadikan tempat
ini suatu kerajaan. Bagaimana pendapat Mamanda menteri dan Ibunda
Mahadewi?"
Paman Menteri dan Mahadewi sangatlah bersukacita mendengar
maksud Galuh Cendera Kirana dan berjanji hendak membantu sekuat
tenaga. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Malam hari tiba dan tibalah pula saatnya untuk mengaso. Angin se-
juk, cuaca terang, menenteramkan hati penghuni pesanggrahan baru.
Sang bayu meniupkan semangat hidup baru, menambah keberanian dan
ketabahan hati Cendera Kirana untuk melanjutkan perjuangan hidup-
nya.
Galuh Cendera Kirana berdendang sambil menciumi boneka kencana

42

PNRI
" Ibunda M a m a n d a Menteri! Tuan-tuan kiranya tak mengenal h a m b a . H a m b a si anak
piatu, Galuh Cendera Kirana.

PNRI
kesayangannya. Hatinya senang dan tenang; pikirannya melayang me-
ngenangkan si pencipta boneka emas, Raden Inu Kartapati.
Pagi-pagi buta Galuh Cendera Kirana bangun, terus menuju peman-
dian Pusparawan, lalu bersiram dengan air bunga yang serba wangi.
Tanpa kelihatan orang, Galuh Cendera Kirana mengenakan pakaian
pria. Putri ayu luwes sekarang menjelma menjadi seorang remaja putra
yang elok parasnya.
Mahadewi, Paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh
bukan alang kepalang kaget melihat kesatria cantik tiba-tiba muncul di
tengah-tengah mereka. Disangkanya sang Batara Kamajaya turun dari
kayangan. Mereka menyembah dengan khidmat menunggu titah sang
batara.
Galuh Cendera Kirana tertawa di dalam hati melihat tingkah laku
Mahadewi, Paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh
demikian, lalu berkata, "Ibunda, Mamanda Menteri! Tuan-tuan
kiranya tak mengenal hamba. Hamba si anak piatu, Galuh Cendera
Kirana."
Mula-mula Mahadewi tidak percaya; masih juga ia melihat keheran-
heranan. Akan tetapi akhirnya Mahadewi yakin, bahwa kesatria itu
betul-betul Galuh Cendera Kirana. Mahadewi bangkit dari tempat
duduknya, lalu memeluk Cendera Kirana sambil tertawa girang dan
memuji-muji.
Akan tetapi Paman Menteri, dayang-dayang, dan inang pengasuh
tampaknya masih ingin bertanya, "Apakah maksud Tuan Putri
menyamar?" Cendera Kirana berkulum senyum sambil menundukkan
kepala, menahan geli hatinya. Kemudian putri berkata dengan sungguh-
sungguh, "Ibunda Mahadewi dan Mamanda Menteri. Hari ini hamba
bermaksud hendak meresmikan tempat kedudukan kita ini sebagai suatu
kerajaan. Kerajaan baru di bawah perintah hamba. Selain itu hamba
resmikan pula nama hamba yang baru, yaitu Panji Semirang Asmaran-
taka."
Hening sebentar. Tampak mata Mahadewi cemerlang karena ke-
girangan. Paman Menteri mengangguk-anggukkan kepala menandakan
setuju. Dayang-dayang dan inang pengasuh berpandang-pandangan
sambil tersenyum girang.
"Mamanda Menteri," kata Panji Semirang. "Hamba mohon maman-
da menyimpan baik-baik rahasia hamba. Biarkanlah orang-orang di
Daha melupakan hamba. Hamba hendak berkelana, hendak membuat
lembaran baru dalam lakon hidup hamba. Sekarang selesai sudah

44

PNRI
maksud Mamanda Menteri menyelamatkan hamba ke luar dari istana,
neraka dunia bagi hamba itu. Hamba tak lupa mengucapkan terima
kasih banyak-banyak atas jasa Mamanda Menteri. Semoga Dewata yang
maha mulia melimpahkan karunia kepada mamanda Menteri. Dengan
hantaran doa selamat hamba ikhlaskan Mamanda Menteri pulang ke
Daha."
Paman Menteri Daha terharu hatinya mendengar kata-kata Panji
Semirang sedemikian. Maklumlah, sebab ia mengenal tuan putri sejak
kecil, sejak masih dalam asuhan mendiang permaisuri Puspa Ningrat.
Sesungguhnya, berat hatinya meninggalkan tuan putri. Namun apa
boleh buat!
Setelah Paman Menteri Daha mundur, mulailah Panji Semirang
mengatur pekerjaannya, dibantu oleh Ibunda Mahadewi.

45

PNRI
10

Membangun Negara

MERESMIKAN berdirinya suatu kerajaan baru tiadalah sukar.


Dengan beberapa patah kala, dengan pengumuman ringkas, orang bisa
lekas tahu. Janji bisa lekas dilupakan orang jika tanpa bukti, tanpa ujud
yang dapat dirasakan adanya.
Membangun, memajukan dan mempertahankan kedaulatan negara
merupakan tugas yang maha berat bagi Panji Semirang. Hal itu disadari
benar olehnya dan berkat dorongan kemauan yang kuat, segala sesuatu-
nya berjalan baik juga.
Tampak dua orang penjaga pintu gerbang. Elok paras mukanya.
Galak-galak sorot matanya. Langkahnya gagah seperti pahlawan yang
tak kenal takut.
Itulah Ken Bayan dan Ken Sanggit, dayang-dayang yang berpakaian
pria dan berganti nama pula. Yang seorang bernama Kuda Perwira dan
yang seorang lagi dipanggilkan Kuda Peranca.
Tugas mereka berat. Mereka harus mencegah orang-orang yang lewat,
baik yang datang dari arah Kuripan menuju Daha, maupun sebaliknya.
Hanya orang-orang Gagelang dibolehkan terus berjalan tetapi yang lain
harus dipaksa menghadap Panji Semirang. Kuda Peranca matanya beri-
ngas melihat serombongan pedagang yang hendak lalu. Ujung kumis
palsu dipelintir, supaya kelihatan bertambah bengis. Tangan kiri
memegang tombak. Tangan kanan bertolak pinggang. Berjalan gagah
seperti juara silat. Pangkal tombak ditumbukkan ke tanah. Mulut mem-
bentak, "Berhenti!" Para pedagang kecil hatinya melihat tingkah laku
Kuda Peranca, lalu berhenti berjalan.
"Kalian dari mana? Mau ke mana?"
"Kami dari Gagelang," jawab seorang kepala rombongan pedagang.
"Semua dari Gagelang?"
"Betul! Kami hendak berdagang."
"Hem! Dari Gagelang!" Kuda Peranca berkata sendirian sambil
menatap pedagang-pedagang itu seorang demi seorang. Tangan meme-
lintir ujung kumis palsu.

46

PNRI
"Kabarkan kepada orang-orang di negeri kalian tentang negeri kami.
Raja kami ialah Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka. Raja gagah
perkasa tapi adil."
Demikian perintah Kuda Peranca kepada pedagang-pedagang itu.
Maksudnya agar supaya nama Panji Semirang dikenal orang di mana-
mana.
"Baik Raden!" sahut para pedagang itu serentak.
"Kalian boleh lewat," kala Kuda Peranca.
Kemudian berjalanlah rombongan pedagang itu dengan hati lega, di-
ikuti oleh pandangan mata Kuda Perwira dan Kuda Peranca.
Selang beberapa jam sesudah itu, lampak pula serombongan orang
yang hendak lalu. Kuda Peranca dan Kuda Perwira bersiap-siap hendak
menegur bersama-sama. Sebab orang-orang yang hendak lewat itu agak
besa'r jumlahnya.
"Berhenti!" teriak Kuda Peranca dan Kuda Perwira dengan suara lan-
tang.
"Kalian dari mana? Mau ke mana?"
"Kami dari negeri Mentawan. Kami hendak pergi ke negeri Kuripan,
Raden," sahut kepala rombongan.
" O , dari negeri Mentawan? Apa maksud kalian ke Kuripan?" tegur
Kuda Peranca.
"Macam-macam Raden. Ada yang hendak berdagang, ada yang hen-
dak menjual tenaga atau ada juga yang hendak menyelenggarakan ton-
tonan. Seperti lais, ronggeng, debus, sunglap, dan macam-macam lagi
pertunjukan."
Jadi kalian semua dari negeri Mentawan?" Kuda Perwira minta kete-
gasan sekali lagi.
"Betul, Raden."
Kuda Peranca dan Kuda Perwira saling memandang. Kemudian Kuda
Perwira berkata, "Kalian dilarang meneruskan perjalanan ke Kuripan.
Kalian mesti ikut kami menghadap Sri Baginda Panji Semirang
Asmarantaka. Raja adil dan budiman. Di negeri kami, kalian boleh
mencari nafkah hidup. Sumber penghidupan luas terbuka bagi siapa
pun."
Kuda Perwira berhenti berbicara. Memandang muka para pedagang
yang tampak tidak setuju dan agak kesal hatinya. Mereka merasa
dibegal dan bakal menderita rugi. Berdagang di Kuripan sudah kelihatan
untungnya, sebab sudah banyak langganan di sana. Sedangkan di- negeri
yang baru itu segala-galanya belum tentu.
"Kami tidak setuju, Raden! Kami harus meneruskan perjalanan ke

47

PNRI
Kuripan. Langganan menunggu kedatangan kami di sana," sahut kepala
rombongan pedagang. Dan serentak pula pedagang-pedagang itu
bangkit hendak berjalan.
Kuda Peranca marah. Sambil rnenumbukkan pangkal tombaknya ke
tanah ia membentak, "Siapa-siapa tidak mau menurut perintah, kami
tangkap. Yang berani melawan dengan kekerasan kami bunuh! Menger-
ti?"
"Mengerti, Raden! Kami menurut saja kehendak Raden." Demikian
sahut orang-orang dari rombongan kesenian. Maka timbullah per-
pecahan di antara orang-orang negeri Mentawan itu. Segolongan
menurut dan segolongan yang lain membangkang.
Enam orang pedagang yang pemberani, serentak mencabut keris
masing-masing. Terus menyerang Kuda Peranca dan Kuda Perwira.
Timbullah pertikaian. Dua lawan enam! Dengan sigap kedua prajurit itu
memainkan tombak masing-masing. Mempertahankan diri. Tangkai
tombak dipegang sama tengah. Dengan cara demikian mereka bisa
memukul penyerang dengan ujung dan pangkal tombak. Tak! Musuh
kena pukul pangkal tombak. Musuh sempoyongan. Cos! Mata tombak
ditusukkan ke perut musuh. Sur! Darah membersit membasahi tanah.
Musuh j a t u h - m e n g e r a n g kesakitan-berdengus-dengus napasnya
-akhirnya mati.
Dua penyerang sudah terang jadi mayat. Yang empat lagi luka-luka
berat. Keenam-enamnya bergeletak di tanah tanpa daya.
Orang-orang Mentawan itu menjadi takut semua kepada Kuda Per-
wira dan Kuda Peranca. Mereka menurut tanpa syarat segala perintah
kedua prajurit itu. Kemudian terus digiring untuk menghadap Sri Bagin-
da Panji Semirang.
Dengan kata-kata lemah-lembut, dengan sikap yang menarik, baginda
raja menyampaikan sabdanya, "Dengan rasa persaudaraan, rakyat kami
menyambut kedatangan kalian di negeri kami. Rakyat kami mengajak
kalian bekerja bersama-sama; secara gotong-royong membangun negeri
kami sehingga menjadi bertambah makmur. Kehidupan kalian kami
jamin."
Selanjutnya sri baginda memerintahkan rakyat untuk menghibur
orang Mentawan dengan makan minum. Tiap keluarga harus menerima
dua tiga orang tamu di rumah masing-masing. Kemudian secara gotong
royong mendirikan perkampungan baru. Setelah itu mengadakan ke-
ramaian di alun-alun.
Orang-orang Mentawan senang hatinya mendengar sabda sri baginda

48

PNRI
sedemikian. Hilanglah takut mereka dan timbul rasa persaudaraan
dengan rakyat Baginda Raja Panji Semirang. Lambat laun mereka
merasa betah tinggal di negeri baru itu. Dengan sukarela orang-orang
Mentawan menyatakan hendak menjadi rakyat Sri Baginda Panji
Semirang Asmarantaka. Dengan demikian bertambah banyaklah rakyat
sri baginda. Keadilan dan kemakmuran yang dijanjikan sri baginda men-
jadi kenyataan, oleh karena rakyat sendiri patuh dan giat bekerja, rajin
usaha; masing-masing menurut kecakapannya sendiri-sendiri. Barang-
siapa merasa belum cakap bekerja pasti mendapat bimbingan.
Barangsiapa menghadapi kesulitan, pasti diberi pertolongan. Yang sakit,
yang papa atau pun cacat dirawat baik-baik. Anak-anak muda dilatih
membuat alat perkakas pertanian dan alat perang. Juga dilatih menjaga
keamanan negeri. Barangsiapa memperlihatkan kecakapan dan kera-
jinan bekerja yang luar biasa, pasti dikaruniai hadiah oleh sri baginda.

Nama Baginda Panji Semirang semakin harum tersiar ke mana-mana.


Semakin banyak rakyat berasal dari Daha, dari Kuripan, dan dari Men-
tawan pada pindah ke negara Panji Semirang. Banyak di antara orang-
orang pendatang itu yang hidup makmur dan beroleh pangkat dalam
kerajaan. Ada orang asal Daha menjabat pangkat menteri, ada orang
asal Kuripan menjadi demang atau temanggung. Tidak sedikit pula
orang-orang asal Mentawan-yang menjabat pangkat bupati.
Sementara itu Raja Mentawan bersedih hati, oleh karena rakyat
banyak yang pindah ke negeri Baginda Panji Semirang. Tidak hanya
rakyat biasa, melainkan juga orang-orang berpangkat pada mening-
galkan tempat, kemudian menjabat pangkat di negeri Panji Semirang.
Negeri Mentawan semakin lemah, semakin mundur. Raja Mentawan
cemas hatinya dan merasa takut kalau-kalau negerinya akhirnya
diserang dan dijajah Baginda Panji Semirang.
Menurut dugaannya Baginda Panji Semirang itu orangnya jahat, ganas.
Badannya tinggi besar seperti raksasa. Gagah perkasa tanpa tanding.
"Jika negeriku diserang, rakyatku rusak binasa. Permaisuri dan
kedua putriku pasti menjadi korban juga. Dijadikan seperti barang ram-
pasan." Demikian pikir Raja Mentawan. Perasaannya rusuh. Pikiran-
nya kelam kabut. Lebih-lebih mengingat kepada kedua putrinya, Puspa
Juita dan Puspa Sari.
Pada suatu hari isi keraton Mentawan menjadi gempar. Beratus-ratus
orang dari desa-desa pinggiran, berbondong-bondong menuju ibu kota.
Sebab di perbatasan negeri, tampak pasukan tentara Baginda Panji

PANJI S E M I R A N G - 4 49

PNRI
Semirang.Orang-orang menduga negeri Mentawan akan diserang musuh
yang sangat kuat.
Raja Mentawan segera mengutus palih pergi ke perbalasan untuk me-
nyelidiki benar tidaknya kabar yang disampaikan orang-orang
pengungsi itu. Patih bersama-sama hulubalang dan beberapa prajurit
segera berangkat ke perbatasan. Betul! Dari jauh sudah kelihatan betapa
banyak lasykar musuh yang sedang berkemah di sana. Dengan hati ber-
debar-debar patih terus mendapatkan hulubalang pasukan Panji
Semirang dan minta izin hendak menghadap Sri Baginda. Permintaan
patih diperkenankan. Dengan dihantarkan Hulubalang Kuda Perwira
dan Kuda Peranca, patih menghadap Sri Baginda Panji Semirang.
Patih terkejut ketika melihat Sri Baginda yang sangat cantik itu. Sung-
guh di luar dugaan! Sebab ia menduga akan berhadapan dengan seorang
raja yang serba kasar tingkah lakunya; yang jahat dan bengis perangai-
nya. Tetapi kiranya ia berhadapan dengan raja yang gagah perkasa tapi
molek cantik. Sangatlah kagum patih melihat kecantikan paras Sri
Baginda Panji Semirang! Serasa menghadap sang Dewa Kamajaya dari
keindraan.
"Paman Patih! Harap Paman sampaikan sembah sujud kami ke
hadapan Paduka Sri Baginda Mentawan. Jika paduka raja berkenan
hati kami bermaksud hendak menghadap untuk mengeratkan silaturah-
mi kami dengan paduka raja. Kami menunggu balasan paduka raja,
Paman." Demikian sabda Baginda Panji Semirang.
Bukan main lega hati patih mendengar sabda Baginda Panji Semirang
demikian. Dengan khidmat Paman Patih bersembah, "Hamba junjung
setinggi-tingginya sabda Paduka. Hamba mohon diri."
Patih segera naik kuda. Terus kembali ke istana Mentawan.
Kegemparan di istana mendadak menjadi reda. Kegelisahan hati
segera hilang lenyap, setelah patih mempersembahkan berita dari per-
batasan itu. Dan segera pula baginda raja menitahkan patih mengatur
segala persiapan untuk menyambut kedatangan tamu agung Sri Baginda
Panji Semirang. Permaisuri, Puspa Juita dan Puspa Sari berpeluk-
pelukan, tertawa-tawa oleh karena hatinya terlalu girang. Girang oleh
karena mereka tidak jadi diancam malapetaka, tetapi sebaliknya bakal
mendapat kehormatan menerima kunjungan muhibah Sri Baginda Panji
Semirang yang sudah masyhur namanya itu.
Tak lama kemudian kedengaranlah suara gamelan dan macam-
macam bunyi-bunyian, pertanda tamu agung beserta pengiringnya sudah

50

PNRI
tiba. Dan kedengaran pulalah sorak-sorai rakyat Mentawan yang me-
nyambut tamu agung itu sepanjang jalan.
Rakyat Mentawan berdesak-desakan, berjejal-jejal, karena ingin jelas
melihat sri baginda yang masyhur karena cantik dan gagah perkasanya
itu; yang dikabarkan sebagai penjelmaan Dewa Kamajaya itu.
Raden Panji nan cantik jelita, naik kuda berwarna putih bersih.
Menyambut rakyat Mentawan dengan senyum manis. Senyum mesra,
tanpa dibuat-buat ke luar dari kalbu bersih sang nata.
Banyak gadis lupa akan tunangan, karena hati terpikat Raden Panji.
Mata memandang tanpa kedip, mulut ternganga lebar. Jantung ber-
debar-debar, kaki tak berasa capek mengikuti sri baginda yang naik
kuda. Nenek-nenek lupa akan rambut sudah putih, bertingkah seperti
gadis remaja. Hendak berlari menyongsong baginda jelita, tapi kaki
kaku tak mau diajak cepat-cepat melangkah. Tinggallah nenek berdiri
sendirian, seperti orang-orangan di tengah sawah. Jika kakek tidak
menyeret pulang, maulah nenek menunggu sampai sri baginda nanti
kembali.
Jika nenek melihat cermin barulah ia sadar, bahwa masa muda sudah
lama meninggalkan dia.
Permaisuri Mentawan dan kedua putrinya, berdiri tertegun. Mata ter-
belalak seperti mata belalang melihat Sri Baginda Raja Panji Semirang
masuk istana, terus menyembah dengan hormatnya di hadapan Sri
Baginda Raja Mentawan. Istana sunyi senyap, orang-orang mulutnya
bungkam, berdiri seperti patung-patung; seperti dikuasai tenung.
Tutur kata, gerak-gerik Sri Baginda Panji Semirang sangat menarik
perhatian orang-orang Mentawan.
Selesai bersantap sambil beramah-tamah. Panji Semirang mohon diri.
Lalu menitahkan bersiap-siap untuk meninggalkan negeri Mentawan.
Kunjungan muhibah Sri Baginda Panji Semirang sesungguhnyalah me-
ninggalkan kesan baik yang takkan mudah dilupakan oleh rakyat Men-
tawan.
Untuk menambah eratnya hubungan persaudaraan, Puspa Juita dan
Puspa Sari diizinkan ayahanda raja untuk turut serta dengan Sri Baginda
Panji Semirang ke negerinya. Untuk melayani kedua putri itu, dua em-
ban turut pula, yaitu Ken Pamonang dan Ken Pasirian.
Hari malam ketika Baginda Panji Semirang masuk istana. Mahadewi
menyambut dengan senang gembira kedatangan Panji Semirang. Setelah
bercakap-cakap sejenak dengan Mahadewi, Panji Semirang pergi ber-
siram dengan air kembang yang harum baunya. Pakaian prianya ditang-

51

PNRI
galkan, rambutnya diurai, lalu bersiram dan berlangir. Baginda Panji
Semirang beralih rupa kembali menjadi Galuh Cendera Kirana.
Dalam bilik tertutup, di malam sunyi, Cendera Kirana menyepi se-
orang diri. Putri ayu hendak melepaskan pikiran dari segala kesibukan
kerja sebagai r a j a - i n g i n kembali menjadi manusia biasa sepanjang
malam-ingin menurutkan bisikan hati yang rindu kepada Raden Inu
Kartapati di Kuripan. Sambii berbaring di atas tilam empuk yang ber-
alaskan kain sutera indah, Cendera Kirana mencium boneka emasnya.
Anak-anakkan itu ditimang-timang, didendangkan nyanyian-nyanyian
merdu, dipeluk, didekap, diajak berbicara. Semua isi hati dicurahkan
Cendera Kirana kepada boneka kencana. Legalah hati Kirana. Kemu-
dian hanya napasnya jugalah yang sayup-sayup sampai kedengaran
dalam bilik itu. Putri ayu mengembara di alam mimpi.

52

PNRI
10

Pertemuan yang Sangat Berkesan

MAKIN LAMA makin makmur kehidupan rakyat, makin kuat pula


tentara Baginda Panji Semirang. Kuda Perwira dan Kuda Peranca
makin ditakuti orang karena keberanian dan keunggulannya dalam per-
tempuran melawan musuh.
Pada satu hari kedua pahlawan itu tampak sedang melakukan tugas
menjaga pintu gerbang. Seperti biasa, setiap orang yang lewat, harus
diminta keterangan.
Tampaklah oleh Kuda Perwira dan Kuda Peranca serombongan orang
naik kuda. Datang dari jurusan Kuripan menuju arah kerajaan Daha. Di
belakang orang-orang yang mengendarai kuda itu kelihatan sebarisan
orang yang berjalan kaki. Melihat kepada pakaian dan tunggangannya,
serta payung dan panji-panji yang mereka bawa, rombongan orang itu
mesti utusan kerajaan Kuripan.
Sesungguhnyalah! Mereka adalah utusan Raja Kuripan yang hendak
mempersembahkan uang jujuran bakal pengantin Raden Inu Kartapati
kepada Raja Daha. Utusan Kerajaan Kuripan itu dikawal oleh empat
orang pendekar pilihan, yaitu: Jerude, Kartala, Punta dan Persanta.
Gagah-gagah orangnya. Sorot matanya menakutkan orang yang melihat.
Kumisnya yang melintang di bawah hidung, cambangnya di pipi kiri
kanan, membuat takut orang yang memandang.
Akan tetapi hati Kuda Perwira dan Kuda Peranca sedikit pun tidak
gentar melihat keempat orang pahlawan Kuripan itu. Dengan suara lan-
tang Kuda Perwira berhenti sambil memintas jalan Jerude dan Punta.
"Kalian siapa? Hendak pergi ke mana?" Kuda Perwira menegur.
"Kami utusan Raja Kuripan hendak mempersembahkan uang jujuran
ke hadapan Raja Daha," Punta menyahut.
"Putra Raja Kuripan yang manakah hendak menikah? Dengan
siapa!?"
"Raden Inu Kartapati. Bakal istrinya bernama Putri Cendera
Kirana."

53

PNRI
Kuda Peranca bertanya pula, katanya, "Apakah Raja Daha miskin
dan perlu diberi uang oleh Raja Kuripan?"
Jerude, Kartala, Punta dan Pesanta saling memandang, karena heran
mendapat pertanyaan sedemikian. Akan tetapi dijawab juga oleh Punta,
katanya, "Kedua-duanya raja besar. Tidak kekurangan suatu apa. Per-
sembahan uang jujuran hanyalah keperluan menurut adat kebiasaan."
"Jika kedua raja itu orang-orang besar kekayaan mereka tak perlu
ditambah. Berikanlah kepada raja kami untuk rakyat kami," kata Kuda
Perwira.
Tersiraplah darah Punta karena perkataan Kuda Perwira itu. Ia me-
rasa dihina. Mukanya menjadi merah. Ia hendak melecut kudanya,
tetapi segera Kuda Perwira membentak, "Jangan bergerak! Kalian
berikan dulu harta benda rajamu kepada kami, baru kalian boleh lalu!"
Temenggung Kuripan tampil katanya, "Siapa rajamu? Tahukah
kamu? Tempat ini masuk wilayah kerajaan Kuripan!"
" R a j a kami Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka," sahut Kuda
Peranca. Temenggung merasa heran karena ia baru tahu ada kerajaan di
wilayah Kerajaan Kuripan. Ada negara dalam negara.
"Sekarang apa bicaramu? Menyerah atau berkelahi?" Demikian ben-
tak Kuda Perwira dengan nafsu amarah tertahan-tahan. Giginya diper-
geser-geserkan. Bergeretak bunyinya kedengaran. Darahnya bergejolak.
Jantungnya berdetak-detak.
Tiba-tiba Temenggung dan Patih meloncat dari kudanya. Keris di-
hunus! Terus menerjang Kuda Perwira dan Kuda Peranca. Dua lawan
dua. Sama-sama berani, sama-sama nekad hendak berkelahi mati-
matian demi kehormatan kerajaannya masing-masing. Prajurit-prajurit
Kuripan yang lain turut menyerang pula.
Wah, bukan main tangkasnya Kuda Perwira memainkan keris! Tusuk
kanan-kiri. Dua tiga prajurit bermandikan darah. Kuda Perwira melom-
pat, menerjang lawan. Kaki rikat menyikat. Tangan menangkis. Keris
beradu keris. Tak! Pyar! Bunga api memancar dari dua besi yang keras
beradu. Patih tampil ke depan. Menantang Kuda Perwira.Dua pasang
mata saling memandang beringas. Saling intai saat-saat lengah pihak
musuh. Saling pancing dengan gerak tipuan. Dada kembang-kempis
karena deburan jantung. Siut! Ujung keris patih hendak menusuk perut
Kuda Perwira. Nyaris kena! Kuda Perwira mengelak cepat. Keris lawan
menusuk angin. Cros! Keris Kuda Perwira makan lambung kiri patih.
Syur! Darah muncrat. Patih jatuh tergelimpang. Badannya berman-
dikan darah. Tiba-tiba Kuda Pewira diserang serentak dari kiri-kanan

54

PNRI
oleh beberapa prajurit. Cepat Kuda Perwira melompai. Cepat men-
jangkau tombak. Prajurit-prajurit memburu. Hendak menusuk Kuda
Perwira dari belakang. Celaka! Mereka menubruk temenggung yang
sempoyongan kena lusuk keris Kuda Peranca. Prajurit-prajurit Kuripan
pada jatuh celentang.
"Hai! Jangan main curang! Mau menusuk dari belakang! Ayo
bangkit! Serang aku dari depan!"
Punta dan Jerude menjadi kecil hatinya melihat kawan-kawannya
banyak yang kalah. Banyak pula yang mati. Terus melompat ke atas
kuda. Dilecut: Tar! Terus lari. Patih dan tumenggung yang masih hidup
menyusul. Kuda menderap deras, lari kembali ke Kuripan. Prajurit-
prajurit yang penakut pada melompat ke atas kuda masing-masing. Tar!
Kuda dilecut. Lari pontang-panting. Terus menyusul tumenggung.
Prajurit-prajurit Kuripan yang masih tinggal menjadi kalang k a b u t - k e -
bingungan.
"Ayo pengecut! Mau lari atau menyerah?" Kuda Perwira menantang.
"Siapa berani maju!" Kuda Peranca sesumbar sambil mengamangkan
keris.
Tetapi liada seorang prajurit Kuripan yang berani tampil ke depan.
Mereka menyerah kalah. Oleh karena itu mereka digiring masuk kota
untuk dihadapkan kepada Baginda Panji Semirang.
"Ah, sekarang sampailah ajal kita," kata prajurit Kuripan yang
seorang kepada yang lain. Kuda Perwira dan Kuda Peranca menyerah-
kan orang-orang lawanan itu kepada prajurit-prajurit untuk terus
dihadapkan kepada Sri Baginda Panji Semirang.
Prajurit-prajurit Kuripan tercengang-cengang melihat betapa can-
tiknya Baginda Panji Semirang dan betapa lemah-lembut tutur katanya.
Sebab mereka menyangka bakal dihadapkan kepada raja yang lalim.
"Wahai prajurit-prajurit Kuripan. Kalian jangan kuatir akan kami
siksa. Kalian di sini berada di tengah-tengah saudara kalian sendiri.
Uang jujuran untuk putri Daha, harta benda dan panji-panji kebesaran
Raja Kuripan akan kami kembalikan ke tangan Raden Inu Kartapati
sendiri jika dia datang mengambilnya. Sekarang bersantailah kalian
dengan rakyat kami." Demikian sabda Sri Baginda Panji Semirang.
Alangkah senang hati prajurit-prajurit Kuripan mendengar sabda
Baginda demikian. Sungguh di luar dugaan! Sebab, semula mereka me-
nyangka akan disiksa dan dipenjarakan sebagai tawanan. Tetapi apa
buktinya? Kesenangan jugalah yang diterima.

55

PNRI
Prajurit-prajurit Kuripan di jarriu makan minum oleh rakyat Panji
Semirang, lalu bersukaria bersama-sama.
Sekonyong-konyong, kedengaran derap kaki kuda beratus-ratus dan
teriak beratus-ratus orang. Riuh gemuruh kedengarannya. Itulah tentara
Kuripan yang dikepalai Raden Inu Kartapati sendiri yang hendak mem-
balas d e n d a m - h e n d a k menyerang kerajaan Panji Semirang.
Setiba di pintu gerbang, Raden Inu Kartapati dan tentaranya berhenti.
Kemudian bersiap untuk menghadapi pertempuran.
"Hai penjaga pintu! Aku Raden Inu Kartapati dari Kuripan. Kabar-
kan kepada rajamu kami minta kembali harta benda yang kalian ram-
pas. Jika kalian menolak, kami segera menyerbu."
"Baik! Kami sampaikan amanat Tuan kepada baginda r a j a , " sahut
Kuda Perwira.
Sementara menunggu Kuda Perwira kembali, hulubalang Kuripan me-
merintahkan prajurit-prajurit untuk berjaga-jaga. Keris dicabut dari
pendoknya dibacakan doa mantera kesaktian-ditiup tiga kali. Mata
tombak dijamah-dibacakan doa mentera. Pangkal tombak ditumbuk-
kan ke tanah tiga kali. Kuda meringkik-ringkik; kakinya disepak-
sepakkan ke tanah, seperti tak sabar menunggu; seolah-olah ingin lekas
menyerbu ke medan perang.
Kuda Perwira kembali dan berkata, "Tuan! Sri Baginda Panji
Semirang hanya bersedia menerima Raden Inu Kartapati. Harta benda
dan panji-panji kebesaran Kuripan harus diterima oleh Raden Inu Karta-
pati sendiri. Silakan, kami antar Tuan menghadap Baginda R a j a . "
Raden Inu Kartapati heran mendengar pesan Baginda Panji Semirang
demikian. Timbul curiga. Kemudian ia melecut kudanya. Sambil me-
megang keris terhunus ia menuju istana Panji Semirang.
Dari jauh tampak oleh Panji Semirang, Raden Inu Kartapati semakin
mendekat. Hatinya berdebar-debar. Tetapi bukan karena perasaan takut
bakal kalah dalam perang tanding. Melainkan disebabkan perasaan
girang bercampur sedih. Girang, lantaran mendapat kesempatan untuk
melihat dari dekat tunangan yang sudah lama dirindukan. Sebab baru
sekali ini Cendera Kirana alias Panji Semirang akan bertemu muka
dengan Raden Inu Kartapati, tunangannya itu.
Hati Panji Semirang sedih, oleh karena dalam keadaan seperti se-
karang ini, ia tidak bisa menurutkan rindu hatinya. Rindu hati seperti
antara sepasang merpati yang bercinta kasih dan sudah terikat oleh tali
pertunangan. Selain itu hatinya pun cemas, kalau-kalau Raden Inu

56

PNRI
Raden Inu Kartapati seperti kena tenung. M a t a n y a t a n p a kedip m e m a n d a n g kepada P a n j i
Semirang ....

PNRI
Kartapati lepas dari tangannya-kalau-kalau jadi didudukkan dengan
Galuh Ajeng.
Akan tetapi Panji Semirang tak hendak memperlihatkan kerisauan
hatinya dan bertekad hendak menyelesaikan lakonnya sebagai seorang
kelana sampai tercapai cita-citanya.
Raden Panji nan ayu naik kuda, menyongsong kedatangan Raden Inu
Kartapati. Lakunya seperti seorang adik sedang menyambut kedatangan
kakak yang baru kembali dari pengembaraan. Dua pasang mata ber-
pandang-pandangan. Dua jantung manusia berlainan jenis berdebar-
debar, risau. Mulut terkatup, namun hati kedua merpati itu saling
menyambut dengan kasih mesra.
Raden Inu Kartapati seperti kena tenung. Matanya tanpa kedip me-
mandang kepada Panji Semirang nan ayu seperti bidadari dari
kayangan. Tangannya seolah-olah menjadi lemah; tidak bertenaga me-
megang keris yang terhunus itu. Segera keris dimasukkan ke dalam
pendoknya.
"Selamat datang Kakanda Inu Kartapati. Semoga kakanda merasa
senang ada di kerajaan adinda. Silakan kakanda naik istana untuk ber-
santap."
Suara Panji Semirang yang empuk dan merdu itu kedengaran oleh
Raden Inu Kartapati sebagai suara Batara lndra. Dan bertambah
heraniah Raden Inu Kartapati. Dalam hati berkata, "Semula aku
mengira bakal menghadapi raja perampok yang jahat dan kasar tingkah
lakunya."
Sekali lagi Panji Semirang mempersilakan Raden Inu Kartapati masuk
istana untuk bersantap.
" O , Adinda Panji Semirang. Maafkanlah, pikiran kakanda sebenar-
nya sedang kacau. Jadi kakanda tidak dapat lekas menyambut kata-kata
adinda," kata Raden Inu Kartapati dengan suara gagap.
Sri Baginda Panji Semirang mengulum senyum, lalu sabdanya.
"Adinda mengerti Kanda. Mungkin oleh karena kakanda hendak men-
jadi pengantin. Hendak menjadi menantu raja Daha. Jika perkara itu
benar yang menjadi sebab, uang jujuran dan panji-panji kebesaran
Kuripan dapat segera kakanda terima untuk kemudian dipersembahkan
kepada Raja Daha. Adinda turut merasa bahagia dengan kakanda."
" A h , tidak benar samasekali pendapat adinda demikian. Akan tetapi
kiranya ada suatu kekuatan gaib yang menguasai kakanda dalam perte-
muan kita sekarang, Dinda. Sayangnya, kakanda belum mengerti
apakah gerangan yang akan terjadi atas diri kakanda. Akan tetapi

58

PNRI
sebaiknya kakanda beritahukan dahulu kepada tentara Kuripan agar
supaya jangan membuat huru-hara dalam kerajaan adinda. Malahan
sebaiknya tentara Kuripan bersahabat dengan tentara dan rakyat adin-
da."
"Adinda menurut saja kehendak kakanda," sabda Baginda Panji
Semirang.
Raden Inu Kartapati segera menyampaikan perintah kepada hulu-
balang untuk tidak membuat huru-hara. Tetapi sebaliknya harus meng-
ikat tali persahabatan dengan tentara dan rakyat Sri Baginda Panji
Semirang. Kemudian Raden Inu Kartapati masuk istana. Santapan yang
lezat-lezat telah tersedia.
"Silakan kakanda santap dulu. Adinda makan kemudian saja," sabda
Panji Semirang dengan rendah hati.
Raden Inu Kartapati melihat tercengang, lalu berkata, "Mengapa
kanda harus makan dahulu dan adinda kemudian? Dari tadi kakanda
menduga-duga, rupanya adinda wanita, maka tidak suka makan ber-
sama-sama pria sebagai kakanda ini."
"Kakanda salah sangka. Bukan itu sebabnya. Melainkan, karena
adinda punya penyakit. Adinda kuatir kalau-kalau kakanda ketularan
penyakit adinda. Jadi sebaiknyalah kanda makan dahulu." Panji
Semirang bersiasat.
Senang tak senang, Raden Inu Kartapati makanlah sendirian.
Sementara itu hari mulai remang-remang menjelang malam. Raden
Inu Kartapati tak hendak pulang ke Kuripan oleh karena hatinya masih
rindu kepada Panji Semirang. Ia berkata, pura-pura terpaksa harus ber-
malam di istana situ. Baginda Raja Panji Semirang mengizinkan, sebab
ada kamar disediakan bagi para tamu.
Panji Semirang memberitahukan kepada Mahadewi agar supaya tidak
menampakkan diri kepada Raden Inu Kartapati. Maksudnya agar
supaya rahasia mereka tidak terbongkar.
Malam itu Raden Inu Kartapati hatinya senantiasa gelisah karena me-
mikirkan perihal Panji Semirang. Keras dugaannya, bahwa Panji
Semirang adalah wanita. Akan tetapi ia tidak berani bertindak sembrano
demi kehormatan Panji Semirang dan demi kehormatan ayahanda Raja
Kuripan. Raden Inu tak dapat tidur. Berbaring, balik ke kanan balik ke
kiri. Hatinya gelisah. Kantuk tak mau juga datang.
Panji Semirang pun malam itu tak dapat lekas tidur. Hatinya risau,
goncang, disebabkan pergulatan yang hebat antara perasaan dan pikir-
an. Hatinya panas seperti dibakar, jika apa yang dicemaskannya esok

59

PNRI
lusa menjadi kenyataan-yaitu jika Raden Inu Kartapati, lantaran tidak
tahu, jadi nikah dengan Galuh Ajeng.
Aduh, betapa pedih rasa hati Panji Semirang! Serasa disayat-sayat
sembilu, pedih serasa luka parah digarami. Panji Semirang meme-
jamkan mata. Mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menggoda
hatinya. Akan tetapi, ah, syetan-syetan itu terus juga menggoda.
Tampaklah dalam khayal Panji Semirang seperti Raden Inu Kartapati
sedang duduk di samping Galuh Ajeng-bersenda gurau dengan mesra
sebagai pengantin baru. "Aduhai Dewata yang mulia, hamba tak sang-
gup melihat keadaan serupa itu. Lebih baik cabutlah segera nyawa ham-
b a . " Panji Semirang menjerit-jerit dalam hati sambil menutup muka
dengan tangan. Kemudian ia memeluk, mendekap erat-erat boneka ken-
cananya. Hatinya terus gelisah j u g a - t i d a k mau ditenangkan. Bayangan
yang mencemaskan hatinya tetap menggoda-tak mau d i l u p a k a n - t a k
mau hilang. Berbaring miring ke kiri tak enak, berbalik miring ke kanan
tetap tidak enak juga rasanya. Tetapi untung! Akhirnya Panji Semirang
dapat juga tidur barang satu jam.
Pagi-pagi buta Panji Semirang bangun, lalu ke luar bilik untuk meng-
hirup udara segar-untuk menenteramkan hatinya.
Raden Inu Kartapati bangun agak siang. Buru-buru ia bangkit dari
tempat tidurnya. Mukanya tampak pucat oleh karena semalam ia sangat
kurang tidur. Selesai bersantap pagi hari, maka ia pun bersiap-siap un-
tuk berangkat menuju Daha.
"Kakanda, terimalah uang jujuran dan panji-panji kebesaran Kuripan
yang hendak kakanda persembahkan kepada Baginda Raja Daha. Dan
terima pulalah tanda mata dari a d i n d a - i k a t pinggang pelangi yang tak
seberapa harganya. Semoga kakanda selamat dalam perjalanan dan
bahagialah kakanda dalam pernikahan." Panji Semirang menundukkan
kepala, memejamkan mata, menahan napas, menahan jeritan batin.
"Oh, Adinda Panji Semirang. Sesungguhnya berat hati kakanda un-
tuk berpisah dengan adinda. Entah apa benar sebabnya. Perkenalan an-
tara kita berdua yang sangat singkat ini, betapa mendalam berkesan di
hati kakanda. Tidak sangguplah kakanda menerangkan dengan kata-
kata kepada Adinda."
Raden Inu Kartapati menarik napas panjang. Matanya menatap Panji
Semirang yang masih menundukkan kepala itu. Suatu kekuatan gaib se-
olah-olah telah menggerakkan tangan Raden Inu Kartapati untuk men-
jamah tangan Panji Semirang yang halus itu. Panji Semirang kaget.

60

PNRI
Hatinya goncang. Srrr ... arus gaib menggeletarkan urat-urat syaraf
Panji Semirang.
"Oh! Betapa halusnya!" pikir Raden Inu Kartapati. Darahnya ter-
sirap. Jantungnya berdetak-detak dengan hebatnya.
Cepat-cepat Panji Semirang menarik tangannya seraya berkata, "Oh,
Kakanda, adinda kuatir kakanda ketularan penyakit adinda."
Raden Inu Kartapati bangkit dari kursi hendak berangkat.
"Alangkah berat kakanda melangkahkan kaki, Adinda," bisik Raden
Inu Kartapati.
"Selamat jalan dan selamat nikah, Kakanda," kata Panji Semirang.
Suaranya gagap dan hanya sayup-sayup saja kedengaran oleh Raden Inu
Kartapati.
Kedua insan yang sedang digoda perasaan hati masing-masing itu ber-
jalan perlahan-lahan menuju ambang pintu istana. Keduanya naik kuda
masing-masing. Kedua kuda itu berjalan berdampingan menuju pintu
gerbang.
Sebelum berpisah, kedua merpati itu bercakap-cakap sebentar. Empat
mata saling memandang. Dua hati saling menarik-saling menyambut.
Raden Inu Kartapati melecut k u d a n y a - s i Rangga Ringgit. Kuda
berlari. Raden Inu sebentar-sebentar menoleh ke belakang; memandang
Panji Semirang yang masih kelihatan duduk di atas kudanya di depan
pintu gerbang itu.
Raden Inu Kartapati hilang dari pandangan mata, namun masih ter-
bayang-bayang di hati Panji Semirang yang sedang dimabuk rindu.

61

PNRI
10

Gambuh Warga Asmara

SUNYI MALAM menguasai keadaan dalam negeri Panji Semirang.


Langit biru tanpa sinar purnama bertaburkan beribu bintang gemerlap-
an. Kelap-kelip bintang-bintang di langit seperti gadis dan teruna main
m a t a - d i m a b u k rindu kasih.
Panji Semirang pun dirundung rindu kasih. Merindukan teruna di
negeri D a h a - R a d e n Inu Kartapati. Bayangan-bayangan datang meng-
goda. Tiba-tiba darah Panji Semirang tersirap. Sur! Di ruang matanya
terbayang Raden Inu Kartapati sedang duduk berdampingan dengan
Galuh Ajeng, di atas puadai panji panca persada. Darah Panji Semirang
hebat bergejolak. Jantung berdebar-debar. Panji Semirang segera
bangkit. Terus naik kuda. Tar! Dilecut. Kuda lari kencang menembus
gelap m a l a m - m e n u j u istana Daha.
Perayaan nikah di istana sudah usai. Keraton yang beberapa jam yang
lalu bermandikan cahaya lampu, kini kelihatan setengah gelap. Keadaan
sunyi. Hanya kadang-kadang saja kedengaran orang mengorok dalam
tidur. Tukang-tukang masak dan pembantu-pembantunya tidur nyenyak
lantaran terlalu lelah. Perkakas dapur bergeletakan di sana-sini karena
belum sempat dibereskan. Kursi dan meja di tempat bekas pesta masih
malang-melintang. Juga karena belum ditata. Satu dua gelas, yang
kosong atau setengah berisi minuman, masih kelihatan di meja. Piring-
piring, cangkir-cangkir, mangkuk-mangkuk, baki dan baskom kotor,
tampak bersusun-susun berjejar di sana-sini. Dan janur, daun beringin
bekas menghiasi tempat pesta masih kelihatan bergantung pada tiang-
tiang atau patah-patah bergeletakan di lantai. Di tempat membuang
sampah anjing-anjing dan kucing-kucing tampak berpesta. Berebut sisa
makanan. Berdetak-detak bunyi tulang ayam dikerkah anjing. Berdesis-
desis, mengerang-erang suara kucing berkelahi melawan anjing, berebut
makanan. Tikus-tikus kecil dan wirog selandap-selundup di tempat
gelap, di antara tumpukan perabotan; mencari sisa makanan yang
mudah didapat di piring-piring.
Satu dua orang pedagang kopi atau penjual bajigur dan penganan ber-

62

PNRI
jalan beriring-iring di tepi jalan hendak pulang. Memikul keranjang
kosong. Mengantongi banyak uang. Cahaya lampu mereka sudah mulai
redup kelihatan, lantaran minyaknya hampir habis. Kadang-kadang ke-
dengaran percakapan mereka tentang pesta nikah di istana itu.
Berderap-derap kedengaran kaki kuda di malam sunyi itu. Orang-
orang yang belum pada tidur heran melihat. Bertanya-tanya, "Siapa
gerangan orang yang naik kuda itu?"
Panji Semirang menderapkan kudanya. Melalui penjaga-penjaga pin-
tu yang tidur nyenyak mabuk air tuak. Terus menuju istana Daha dan
dengan kudanya sekali terus masuk ruangan bekas pesta. Meja kursi ber-
derak-derak patah, bergelimpangan malang melintang; piring mangkuk,
barang-barang pecah belah, hancur binasa dilanda kaki kuda Panji
Semirang. Tangan kiri Panji Semirang memegang tali kendali kuda,
tangan kanannya memainkan pedang. Lampu-lampu yang bergantung-
an, piring-piring hiasan dinding, disabet dipecahkan dengan pedang.
Gemerincing bunyi barang-barang beling dan tembikar berjatuhan di
lantai. Pecah remuk!
Raden Inu Kartapati, pengantin baru, yang tidak bisa tidur lantaran
hatinya rindu kepada Panji Semirang dan lantaran muak sebal melihat
tingkah laku Galuh Ajeng yang kasar dan memalukan itu, segera
bangkit dan berlari meninggalkan kamar tidur. Disangkanya ada musuh
menyerang. Dengan keris terhunus ia melompat ke luar dari jendela.
Terus menuju ruangan yang ingar-bingar itu.
Akan tetapi, ah, terlambat! Panji Semirang sudah meninggalkan tem-
pat itu. Raden Inu Kartapati mendengar derap kaki kuda yang lambat
laun menghilang ditelan sunyi malam. Isi istana bangun semua. Kaget
melihat barang-barang rusak binasa. Ribut mempercakapkan kejadian
yang mengherankan itu.
Larut malam Panji Semirang baru sampai kembali di istana. Sekujur
badannya berasa capek, tetapi hatinya puas. Puas untuk sementara
waktu.
Setelah mengaso sebentar dan setelah membulatkan tekad hendak me-
ninggalkan istana, Panji Semirang kemudian membangunkan Kuda Per-
wira, Kuda Peranca, Puspa Juita, Puspa Sari, Ken Pamonang, dan Ken
Pasirian. Keenam orang itulah yang hendak diajak lari malam itu.
Setelah berunding, kemudian menyuruh keenam orang itu menyiapkan
pakaian dan senjata seperlunya, lalu Panji Semirang meninggalkan
istana.
Betapa sedih hati Panji Semirang meninggalkan kerajaan yang telah

63

PNRI
dibangunnya dengan susah payah itu. Betapa banyak harta dan jiwa
raga telah dikorbankan! Namun apa boleh buat! Sebab rasa bahagia
yang diimpi-impikan, yang diperjuangkan, belum tercapai.
Bintang-bintang di langit berkedip-kedip. Kilat malam sesekali me-
mancarkan cahayanya. Sinarnya menerangi jalan yang sedang ditempuh
sang Kelana. Hutan belukar dimasuki, bukit-bukit didaki, lembah-
lembah dituruni, sungai-sungai diseberangi. Sepanjang jalan Kelana
Panji Semirang mengenangkan kejadian-kejadian yang telah dialami-
nya. Pengalaman pedih semata. Seolah-olah hidupnya di dunia ini hanya
untuk menderita hidup sengsara. Akan tetapi orang berkata, "Ada siang
ada malam, ada tinggi ada rendah, ada dingin lantaran ada panas, ada
orang miskin lawan orang kaya. Jadi, segala apa pun ada kebalikannya.
Itu hukum alam! Keadaan yang wajar saja bagi dunia yang fana, yang
tidak langgeng ini. Habis gelap terbitlah terang; habis mendaki, jalan
menurun."
Kelana Panji Semirang merenung dan berpikir. Mukanya terkadang
tampak memberengut; terkadang kelihatan sedih dan sekali-sekali ber-
sinar girang senang. Alam sekeliling mulai terang. Margasatwa, mulai
bangun dari tidur. Mulai kedengaran ramai bersuara. Ayam-ayam mulai
kedengaran berkokok silih berganti. Pertanda Kelana sudah sampai di
perkampungan. Betul, Kelana sudah sampai di suatu kampung di kaki
Gunung Wilis, yang masuk wilayah Biku Gandasari, pertapa sakti.
Cuaca terang pagi itu. Udara pegunungan segar. Suasana tenteram
menenangkan hati Panji Semirang beserta pengiring-pengiringnya.
Kepada Kuda Perwira dan pengiring-pengiringnya yang lain, Sri
Baginda Panji Semirang bersabda, "Sebelum menghadap Bibinda Biku
Gandasari, marilah kita mandi dan ganti pakaian. Nama kita yang asal
kita pakai lagi."
Kuda Perwira dan pengiring-pengiring baginda yang lainnya menyem-
bah, lalu pergi ke tempat mandi. Panji Semirang pun pergi bersiram
kemudian mengenakan pakaian putrinya.
Kuda Perwira dan Kuda Peranca kembali ke asal. Menjadi emban,
inang pengasuh Ken Bayan dan Ken Sanggit.
Putri-putri Mentawan, Puspa Juita, dan Puspa Sari beserta kedua
embannya, tidak seberapa kaget melihat putri ayu Cendera Kirana.
Sebab dari semula pun mereka sudah menyangka, bahwa Baginda Panji
Semirang adalah seorang putri yang menyamar menjadi pria. Demikian
pula sangkaan mereka kepada Ken Bayan dan Ken Sanggit yang me-
nyamar menjadi pria dan bernama Kuda Perwira dan Kuda Peranca itu.

64

PNRI
Cendera Kirana kini kelihatan bertambah cantik, bertambah ayu dan
luwes.
"Adinda Puspa Juita dan Puspa Sari, Mbok*) Emban Ken Bayan,
Ken Sanggit, Ken Pamonang, dan Ken Pasirian. Senyampang hari masih
pagi, marilah kita berangkat. Kita menghadap bibinda pertapa Biku
Gandasari. Aku sudah kangen. Aku ingin mohon restu." Demikian kata
Cendera Kirana.
"Gusti Putri! Hamba menurut kehendak Gusti Putri," sembah ke-
empat-empat emban.
"Kami berdua pun menurut kehendak kakanda," kata Puspa Juita
dan Puspa Sari.
Putri Cendera Kirana berjalan di depan, kemudian kedua putri Men-
tawan; dan di belakangnya emban-emban itu. Jalan yang menuju perta-
paan melintasi sungai kecil lagi dangkal; airnya jernih. Kemudian men-
daki. Jalannya dilandasi batu-batu kali, sehingga kaki orang setelah
dicuci air sungai tadi, tetap bersih sampai di pertapaan.
Sebelum Cendera Kirana tiba di pertapaan, Biku Gandasari sudah
tahu bakal kedatangan kemenakannya dari Daha itu. Maklum, perta-
pa sakti yang we ruh sadurunge winarah**).
Cendera Kirana dan rombongannya sampailah di pertapaan. Putri
Daha dan para pengiringnya berlutut di hadapan sang biku, lalu me-
nyembah dan mohon restu. Biku Gandasari mencium ubun-ubun kepala
Cendera Kirana, lalu berkata, ' 'Selamat datang anakku Cendera Kirana
Dengan air mata bercucuran, Cendera Kirana mengisahkan pengalam-
an hidupnya yang serba pahit getir itu.
"Bibi sudah tahu semua yang kauceritakan itu, Anakku. Akan tetapi
anakku tak usah berkecil hati, apalagi putus asa. Buanglah jauh-jauh
dendam hati. Sebab orang-orang pendengki, orang-orang yang berbuat
jahat kepada sesamanya pasti akan menerima hukuman dari Dewa yang
mulia. Bibi sudah tahu juga tentang maksud anakku hendak berkelana
sampai tercapai kebahagiaan. Oleh karena itu, sebaiknya anakku ber-
sama-sama dengan pengiring-pengiringmu pergi mengunjungi Gagelang
sebagai rombongan, pemain gambuh. Maksud bibi, kalian menyamar diri
sebagai pemain gambuh. Rambut dipotong dan pakailah pakaian orang-
orang laki. Demikian nasihat bibi, mudah-mudahan anakku setuju."
Cendera Kirana menyembah dan katanya, "Hamba menurut kehen-
dak bibinda. Dan hamba mengucapkan terima kasih banyak-banyak."

*) M a k
**) T a h u sebelum t e r j a d i

PANJI SEMIRANG - 5 65

PNRI
Dengan air m a t a bercucuran, Cendera Kirana mengisahkan pengalaman hidupnya yang
serba pahit getir itu.

PNRI
Biku Gandasari kemudian menggunting rambut Cendera Kirana.
Emban-emban menggunting rambut putri-putri Mentawan, lalu mereka
sendiri silih berganti memendekkan rambut juga. Selain itu Biku Ganda-
sari pun mengganti nama Cendera Kirana menjadi Gambuh Warga
Asmara. Nama Puspa Juita diganti menjadi Gambuh Melari. Puspa Sari
sekarang dipanggilkan Gambuh Encik Asmara. Nama baru untuk Ken
Bayan ialah Gambuh Sekar Sari; untuk Ken Sanggit; Gambuh Melangi.
Kemudian, Ken Pamonang diganti namanya menjadi Gambuh Dingga
Pengrasa. Dan akhirnya, Ken Pasirian pun ganti nama dengan Gambuh
Asmara Danta.

Setelah memberikan restu, Biku Gandasari mengizinkan Cendera


Kirana berangkat menuju Gagelang. Dengan demikian Cendera Kirana
meneruskan hidupnya berkelana, bertualang, tetapi sekarang dengan
menyamar menjadi Gambuh Warga Asmara. Tiap kampung disinggahi.
Banyak orang, terutama anak-anak muda, tertarik oleh pertunjukan
rombongan Gambuh Warga Asmara itu. Tidak sedikit anak muda yang
menjadi tergila-gila, merasa sangat terpesona oleh kecantikan dan per-
mainan Gambuh Warga Asmara dan rombongannya. Ada yang tanpa
malu-malu mengikuti barang ke mana pun Warga Asmara pergi.
Saudagar-saudagar kaya, seperti yang ingin dipuji, berlomba-lomba
menghamburkan uang; hanya untuk menanggap Gambuh Warga
Asmara. Ada saudagar yang berantakan rumah tangganya, lantaran
obral uang hanya untuk memuaskan hati menonton Warga Asmara nan
elok itu. Penonton berjubel-jubel, berdesak-desak karena ingin paling
depan, paling dekat melihat gambuh yang menggiurkan hati itu.
Dari kampung yang satu, Warga Asmara dan rombongannya pindah
ke kampung lain. Akhirnya sampailah mereka di ibukota Gagelang. Dan
ramailah orang-orang mempercakapkan kebolehan rombongan gambuh
itu.
Warga Asmara dan kawan-kawannya singgah di rumah tukang kedai
untuk bermalam. Dan selama main gambuh di ibu kota Gagelang,
mereka bermaksud hendak menumpang di rumah tukang kedai itu.
Dari tukang kedai, Warga Asmara mendapat keterangan, bahwa
negeri Gagelang semakin ramai. Perdagangan maju. Banyak saudagar
kaya raya dari lain-lain negeri datang untuk berdagang.
"Malahan di istana baginda raja, sekarang ada tamu. Rupanya tamu
dari negeri j a u h . " Pada suatu hari tukang kedai bercerita kepada Warga
Asmara.

67

PNRI
"Kakak tahu? Siapa nama tamu agung itu?" Warga Asmara ber-
tanya.
"Boleh jadi putra raja yang sedang berkelana. Kalau saya tak salah
dengar, namanya Raden Panji Jayeng Kesuma. Seorang satria gagah.
Rupanya bagus, cantik. Tetesan sang Dewa Kamajaya barangkali. Peng-
iringnya, lima orang lelaki dan dua orang putri-putri ayu."
Sementara itu singgahlah ke kedai itu tiga orang laki-laki. Rupanya
langganan tukang kedai jugalah. Sebab, ketiga orang itu tingkah
lakunya bebas; tidak kaku. Mereka santai duduk di bale-bale yang
tersedia di depan kedai. Dari percakapan dan tegur sapanya, ketahuan-
lah nama tamu-tamu tukang kedai itu. Yang seorang bernama Semar,
yang seorang lagi Wirun; dan yang ketiga bernama Kalang. Lucu-lucu
ketiga orang itu. Mereka suka benar melawak dan membuat orang ter-
tawa terkekeh-kekeh. Waktu itu Warga Asmara ada dalam pondok. Jadi
tak kelihatan oleh orang dari luar.
Tukang kedai berbisik kepada Warga Asmara. Matanya melirik
kepada tamu-tamu yang baru datang itu. Katanya, "Mereka pana-
kawan*) Raden Panji Jayeng Kesuma."
Warga Asmara menganggukkan kepala. Hatinya agak berdebar-debar
oleh karena itu merasa pernah melihat muka ketiga orang itu.
"Wah, bagus betul pakaian Kak Semar hari ini! Patut hari terang!"
Tukang kedai menegur Semar. Matanya melirik.
"Memang, pakaian keramat! Hujan dan petir pada takut. Asal musim
kering, tanggung tidak bakal hujan dah! Wirun menggarami. Tukang
kedai tertawa lebar sambil menyodorkan wedang jahe**) dan talas rebus.
"Kamu tahu Wirun? Ayam dan bebek pada keta\ya. Kutu busuk pada
pesta kalau lihat baju keramat Kak Semar!" Kalang menambahi bumbu.
Semar tersenyum saja. Melihat ke kanan dan ke kiri. Memandang
kepada Wirun dan Kalang yang sedang melawak.
"Saya berkata terus terang saja Kak Semar." Tukang kedai menyela.
"Di negeri sini hanya putra raja yang punya pakaian seperti yang Kak
Semar pakai. Jadi, rupanya Kak Semar baru menerima anugerah dari
Raden Singa Menteri, putra baginda r a j a . "
"Orang kata, jika bulan terang, tenggorokan lurus, rejeki nomplok."
Semar baru mulai bicara demikian orang-orang yang mendengar
sudah geli hatinya. Semar melanjutkan ceritanya, "Kalian tahu? Raden
Singa Menteri iri hati benar kepada Raden Panji Jayeng Kesuma. Iri,
*) J u a k - j u a k = pengiring
*) Wedang j a h e = m i n u m a n (jahe dicampur gula diseduh air panas).

68

PNRI
oleh karena Raden Panji menarik perhatian putri-putri, gadis-gadis can-
tik. Banyak putri cantik yang menjadi tergila-gila kepada Raden Panji,
lantaran rupawan, gagah, budiman, dari memang satria tetesan darah
ratu. Raden Singa Menteri ingin menyamai, ya kalau dapat, ingin
melebihi kecantikan Raden Panji. Ia ingin benar gadis-gadis, putri-putri
pada tertawan hatinya."
Tukang kedai merapatkan tangan pada mulut dan katanya, "St!
Jangan keras-keras bicara. Celaka kita semua kalau Raden Singa
Menteri mendengar."
Tukang kedai melongok ke kanan dan ke kiri. Tingkahnya seperti
orang takut, kalau-kalau orang yang sedang diumpat tiba-tiba muncul.
Tetapi keadaan aman, sebab tukang kedai berani bicara lagi perlahan-
lahan. Katanya, "Memang dia sombong. Tingkahnya seperti orang yang
paling bagus, paling pintar, paling . . . . "
"Padahal mukanya seperti barongan, hihi."
Semar menyambungi sambil terkikih-kikih. Matanya dijulingkan,
mulutnya dilebar-lebarkan, sehingga lucu benar kelihatannya.
"Tetapi rupanya Kak Semar berhasil memikat hati Raden Singa
Menteri. Buktinya, mendapat anugerah segala," kata tukang kedai.
"Begini ceritanya. Singa Menteri panas benar hatinya sebab Baginda
Raja Gagelang memuji-muji kecantikan Raden Panji. Dia melihat juga
Raden Panji sering kali menciumi ikat pinggang pelangi. Dia mengira
ikat pinggang keramat itulah yang membuat orang cantik."
Warga Asmara terkejut. Darahnya tersirap. Jantungnya berdebur,
ketika Semar bercerita tentang Raden Panji Jayeng Kesuma menciumi
ikat pinggang pelangi. Di ruang matanya terbayang ikat pinggang
pelangi yang dia berikan dulu kepada Raden Inu Kartapati sebagai
kenang-kenangan. Muka Semar, Wirun, dan Kalang dipandangnya
baik baik. Nah, tak salah lagi! Ketiga orang itu tentu prajurit-prajurit
Kuripan yang mengawal Raden Inu Kartapati dan yang sekarang
menyamar. Pakai ñama samaran. Kemudian Warga Asmara men-
dengarkan lagi cerita Semar.
"Singa Menteri kubohongi. Kuberi dia ikat pinggangku. Kusuruh dia
bersamadi. Sesudah itu kuberitahukan kawan-kawan supaya memuji-
muji Singa Menteri sebagai orang yang paling cantik dan paling . . . "
Semar berhenti bicara.
"Paling tolol!" Kalang meneruskan. Tukang kedai, Wirun dan
Kalang tergelak-gelak.
"Jadi, baju inilah penukar ikat pinggangku yang bau tengik itu," kata

69

PNRI
Semar. Kedengaran mereka riuh tertawa-tawa. Tukang kedai rupanya
ingin tahu lebih banyak lagi tentang Raden Panji Jayeng Kesuma itu.
Sambil menuang wedang jahe ke dalam tempurung tempat minum ketiga
orang itu, tukang kedai berkata, "Saya berkata terang-terangan. Di
Gagelang tidak ada orang yang pandai melawak seperti kalian bertiga.
Sungguh mati!"
"Ah, jangan mati dulu! Nanti kami tak bisa minum wedang jahemu.
Dan berkelakar seperti sekarang." Kalang menyela.
"Memang! Kami pun tak mau minum wedang jahe buatan orang
mati." Wirun menggarami. Lagi-lagi mereka kedengaran ramai tertawa-
tawa.
"Maksudku begini. Aku ingin tahu. Sebetulnya Raden Panji Jayeng
Kesuma asal dari mana?" Demikian tanya tukang kedai. Warga Asmara
pasang telinga!
"Ah, itu rahasia!" kata Kalang.
"Negeri Raden Panji jauh dari sini. Namanya aku lupa. Akan tetapi
Raden Panji sedang berkelana ke sini. Ada seorang yang dia cari, namun
sampai sekarang orang itu belum juga bertemu." Semar berhenti ber-
cerita. Warga Asmara hatinya makin santer berdebur. Maka ia pun terus
pasang telinga.
Semar meneruskan ceritanya, "Raden Panji bertekad hendak terus
mencari. Sudah lama ia meninggalkan keraton dan sudah banyak juga
negara yang disinggahi. Negara yang memusuhi dan tak suka disinggahi,
diperangi Raden Panji Jayeng Kesuma. Sebab, boleh jadi negara itu me-
nyembunyikan orang yang sedang dicari. Sebaliknya negara yang mau
menerima kedatangan Raden Panji dengan baik-baik, dijadikan
sahabat. Negara-negara yang telah digempur dan ditaklukkan ialah
Sedayu dan Jaga Raga. Akan tetapi kedua negara itu tidak terus dijajah,
oleh karena memang bukan maksud Raden Panji hendak menjajah.
Negara Sedayu diserahkan kembali kepada raja yang telah takluk itu.
Putri Raja Sedayu yang bernama Galuh Nawang Kencana dengan
sukarela ikut Raden Panji mengembara. Raja Jaga Raga gugur dalam
perang. Kerajaan Jaga Raga diserahkan kepada menteri yang tertua.
Putra raja yang bernama Raden Wirantaka dan Putri Nilawati ikut
Raden Panji berkelana. Negara Jaga Raga ditinggal, kemudian Raden
Panji terus menuju negara Gagelang."
Tukang kedai menyela, "Aduh beruntung benar negeri kami tidak di-
perangi Raden Panji Jayeng Kesuma."

70

PNRI
"Masakan diperangi. Sebab Baginda Raja Gagelang adalah paman
Raden Panji Jayeng Kesuma," sahut Semar.
Warga Asmara hatinya senang. Sebab ia tak syak lagi, bahwa Panji
Jayeng Kesuma tentu Raden Inu Kartapati. Pasti!
Tukang kedai hatinya senang sekali mendengarkan cerita Semar.
Dengan suka hati ia menyuguhkan makanan dan minuman sambil ber-
kata, "Silakan wedangnya diminum. Habiskan ubi dan talas rebusnya.
Sebagai tanda suka hati kalian tak usah bayar. Kuberi dengan cuma-
cuma."
"Itu dia yang dicari! Ini namanya rejeki nomplok, tenggorokan
lurus!" Kalang berkata. Tangannya menjengkau ubi rebus lalu dima-
kannya.
"Sungguh tidak sia-sia kita punya Kak Semar yang pakai baju
keramat. Orang-orang cinta kepada kita." Wirun menyambungi.
Tangannya tanpa berhenti menyuapkan ubi rebus ke mulut. Wedang
jahe dan ubi rebus susul-menyusul masuk mulut Wirun. Kalang tak mau
kalah tentunya. Mulutnya seperti mesin giling sedang bekerja.
Tukang kedai bertanya, "Kalau aku tak salah sangka, rupanya orang
yang dicari Raden Panji itu wanita. Betul begitu Kak Semar?"
"Biasa! Pria mencari wanita! Apa lagi yang dirindukan para jejaka
kalau bukan wanita? Ada gula ada semut, ada pria ada wanita, dan ada
dewa ada dewi," kata Semar.
"Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Kak Semar mendongeng men-
dapat upah wedang jahe dan ubi rebus." Kalang nyeletuk. Tertawa.
"Apakah Raden Panji belum beristri Kak Semar?" Tukang kedai
rupanya belum kehabisan pertanyaan.
"Hanya sehari jadi pengantin! Terus bercerai lagi."
"Lho, kenapa begitu?" Tukang kedai heran. Warga Asmara ber-
debar-debar hatinya. Terus pasang telinga.
"Habis! Raden Panji merasa ditipu. Beli mutiara diberi batu kali!
Siapa mau?"
"Makin tak mengerti aku, Kak Semar."
"Begini dongengnya," kata Semar.
" H a , terus mendongeng Kak! Kalang dan aku boleh terus menyikat
makanan. Biar habis ludes, dah!" Wirun menyuapkan talas ke mulut-
nya. Tertawa-tawa.
"Raden Panji bertunangan dengan putri permaisuri raja. Waktu hen-
dak menikah yang diajukan kiranya putri raja dari selir. Nah, Raden
Panji tentu saja menolak mentah-mentah."

71

PNRI
" O , begitu? Siapa sih, raja itu namanya?"
"Aku lupa benar namanya. Maklum aku sudah tua. Banyak lupa!"
kata Semar sambil pura-pura menggaruk-garuk kepala.
"Maklum perut Kak Semar sudah kenyang!" sambung Kalang.
"Memang dia pelupa kalau perutnya kenyang. Dan rupanya dongeng
Kak Semar pun sudah habis." Wirun memberi isyarat mengajak pulang.
"Akhirulkata, terima kasih atas pemberian cuma-cuma wedang jahe
dan ubi rebus. Lain kali kami datang lagi mendongeng ke sini. Permisi."
Kalang mengakhiri pembicaraan lalu bangkit. Semar dan Wirun pun
bangkit dari bale-bale.
Tukang kedai berkata, "Kalian sudah mendengar? Di kota sini baru
datang gambuh masyhur. Gambuh Warga Asmara namanya. Aku kira
di negeri kalian tak ada gambuh. Datanglah besok siang ke sini. Kalian
tergila-gila!"
"Wah, betul?" Mata Wirun melotot.
"Buat apa aku bohong. Aku suka ngomong terus terang," kata
tukang kedai.
"Kami besok tentu datang ke sini. Permisi," kata Kalang.
Kemudian ketiga panakawan Raden Panji Jayeng Kesuma itu pulang.
Wah, lega benar hati Warga Asmara. Dalam hati ia berterima kasih
benar kepada tukang kedai itu.

72

PNRI
10
Boneka Emas Membuka Tabir
Rahasia
H ARI DEMI H ARI, permainan Gambuh Warga Asmara semakin me-
narik perhatian rakyat Gagelang. Para menteri, para temanggung, dan
para bupati semuanya kagum sesudah menyaksikan betapa elok paras
Warga Asmara dan betapa mengasyikkan permainannya. Apalagi jika
gambuh itu mementaskan lakon-lakon Cekel Wanangpati, Ken Sila
Berangti atau lakon Ken Semipuri, maka banyaklah penonton yang ter-
bawa hanyut perasaan hatinya oleh cerita-cerita asmara itu. Semar,
Kalang, dan Wirun tak habis-habisnya memuji kecantikan Warga
Asmara.
"Jika kuperhatikan betul raut muka dan gerak-gerik Warga Asmara,
seperti aku pernah melihat orang yang seperti dia benar. Sayang aku
pelupa. Aku tak ingat lagi," kata Semar.
Kalang dan Wirun pun ingat-ingat lupa kepada Warga Asmara.
"Sayang dia laki-laki. Jika dia perempuan, wah, tanggung kulamar
buat istriku," kata Wirun berolok-olok.
"Sepantasnya aku dulu yang melamar. Aku kan yang paling muda di
antara kita bertiga. Paling muda, paling gagah, paling . . . " Kalang belum
lagi habis bertutur, Wirun menyela. Katanya, "Paling tolol seperti
Raden Singa Menteri."
"Sudah, sudah! Jangan bersenda. Akhirnya nanti kalian berkelahi.
Sebaliknya, sebelum kita pulang ke Kuripan, kita minta Raden Panji
menanggap gambuh itu. Biar dia main di Karang Pesantren." Demikian
kata Semar.
Kalang dan Wirun setuju. Kemudian ketiga panakawan itu meng-
hadap Raden Panji Jayeng Kesuma di puri Karang Pesantren, tempat
Raden Panji menginap selama bertamu di Gagelang.
Singkatnya cerita Raden Panji pun setuju memanggil rombongan
Gambuh Warga Asmara. Akan tetapi Raden Panji belum lagi sempat
menyaksikan gambuh itu main karena tiba-tiba datang dua utusan Raja
Pudak Setegal dan Raja Lasern.

73

PNRI
"Siapa kalian? Apa maksud datang ke sini?" tegur Raden Panji
Jayeng Kesuma.
"Namaku Gangga Sura. Aku diutus Baginda Raja Pudak Setegal."
Sahut utusan yang seorang dengan congkaknya.
"Namaku Gajah Meta utusan Baginda Raja Lasem!" sahut utusan
yang seorang lagi.
"Kami berdua diutus baginda mencari Raden Panji Jayeng Kesuma,"
kata Gangga Sura dengan sombongnya.
"Akulah orangnya!" sahut Raden Panji dengan sikap menantang
oleh karena hatinya marah kepada kedua utusan yang sombong-
sombong itu.
" A ! Kebetulan! Raja kami hendak membalas dendam kepadamu
Jayeng! Jangan lari!" Gangga Sura menantang. Sombongnya menjadi-
jadi.
"Hai Gangga Sura! Gajah Meta!! Kalian tak tahu sopan santun, ya!
Tak pantas kalian menjadi utusan raja. Raden Panji Jayeng Kesuma
gustiku. Gustiku bukan orang sembarangan seperti macam kalian!
Hunus keris! Aku akan melayani kalian. Kalau aku mati berkalang
tanah, kalian baru boleh menantang gustiku!" Tiba-tiba Semar menan-
tang Gangga Sura dan Gajah meta. Muka Semar merah padam. Giginya
menggeretak karena dipergeser-geserkannya. Tangannya gemetar,
karena menahan marah.
Tiba-tiba tampil pula ke depan, Wirun dan Kalang. Juga dengan keris
terhunus. Terus sesumber menantang perang tanding. Satu lawan satu.
"Kak Semar! Biarkan kami menghajar orang-orang liar ini!" Wirun
menarik Semar ke belakang, lalu maju ke depan-menghadapi Gangga
Sura dan Gajah Meta.
Gangga Sura melototi Wirun. Puh! Meludah ke tanah. Katanya,
"Tunggu di alun-alun. Jangan pada lari! Raja kami sebentar lagi datang
menyerang."
Gangga Sura dan Gajah Meta melompat ke atas kuda masing-masing.
Kuda dilecut-terus menderap-kembali ke tempat raja mereka
menunggu.
Sementara itu Raden Panji Jayeng Kesuma bersiap-siap hendak me-
nyongsong lawan di alun-alun. Keris kesaktian Kalamisani segera di-
selipkan di pinggang. Terus naik ke atas kuda si Rangga Ringgit. Kuda
dilecut, lalu melesit seperti anak panah lepas dari busurnya. Disusul oleh
Semar, Wirun, Kalang dan Andaga yang juga naik kuda. Dalam tempo
singkat alun-alun sudah penuh orang yang hendak menonton perang

74

PNRI
tanding itu. Bunyi kendang, kempul dan kenong serta sorak-sorai
penonton yang gemuruh itu memanaskan hati pahlawan-pahlawan yang
hendak maju ke gelanggang. Si Rangga Ringgit, kuda yang banyak pe-
ngalaman di medan pertempuran, meringkik-ringkik dengan suara nya-
ring seolah-olah menantang musuh tak sabar menunggu lama-lama.
Matanya yang hitam pekat dan bersinar itu memandang galak. Kakinya
sebentar-sebentar disepakkan ke tanah. Raden Panji Jayeng Kesuma me-
mandang tenang ke depan. Mengucapkan dalam hati doa mantera ke-
saktian agar selamat dan unggul dalam perang tanding. Sebentar-
sebentar ia mencium ikat pinggang pelangi tanda mata dari Raden Panji
Semirang itu.
Semar, Wirun, Kalang dan Andaga, panakawan-panakawan setia itu
pun sudah siap melayani serangan musuh.
Di kejauhan tampak mengepul debu tanah dan kedengaran derap kaki
kuda. Pertanda musuh sudah mendekat.
Baginda Raja Lasem dengan suara lantang sesumbar. Tangannya
mengamang-amangkan keris.
"Hai Raden Panji Jayeng Kesuma! Aku saudara mendiang Raja Jaga
Raga. Aku mau membalas .dendam untuk saudaraku yang telah kamu
bunuh dan untuk putra dan putri Jaga Raga yang kamu rampas!"
"Aku sudah siap sedia melayanimu! Katakanlah kehendakmu. Kamu
mau main keris, main tombak, main pedang? Sekehendakmu kulayani."
Raden Panji Jayeng Kesuma membalas tantangan musuh.
Penonton bersorak riuh dan bertepuk tangan.
"E-e-e! Kamu anak masih hijau, Jayeng! Sudah berani sesumbar;
begitu sombong! Tidakkah lebih baik kamu menyerah saja daripada
kamu pulang nama, hai anak muda?" Raja Lasem menghinakan.
"Apamu yang patut kutakutkan? Jangan kamu menghinakan aku!
Bagiku sama saja: mati sekarang atau mati besok. Tak usah kamu
pedulikan benar." Raden Panji menjawab secara jantan.
"Kamu benar-benar anak sombong, Jayeng! Angkat tombak! Ayo
m a j u ! " Raja Lasem mengangkat tombak dengan tangan kanan.
Tameng dipasangnya di tangan kiri. Kakinya mengedik lambung kuda.
Kuda maju ke depan. Raden Panji Jayeng Kesuma berbuat demikian
juga. Kendang, kempul dan kenong ramai ditabuh orang. Penonton
menahan napas-hatinya berdebar-debar. Ngeri hati melihat ujung tom-
bak yang runcing itu! Mata penonton tertuju kepada kedua pahlawan di
tengah gelanggang.
Raja Lasem dengan napsu menyodokkan tombak. Tak! Ditangkis

75

PNRI
Raden Panji. Tombak Raja Lasern meleset-tak mengenai sasaran
menancap ke tanah. Raden Panji cepat mengangkat tombaknya. Cros!
Kena tameng Raja Lasern. Raden Panji menarik dan menojoskan sekali
tombaknya. Nyaris mengenai lambung musuh.
Penonton bersorak-sorai. Gemuruh! Raja Lasern mengangkat tom-
baknya. Lurus ditujukan kepada Raden Panji. Tak! Kena tameng. Tom-
bak Raja Lasern ditimpa. Tak! Lepas dari tangannya. Penonton sorak!
Tiba-tiba Raja Pudak Setegal menyerang Raden Panji. Kudanya di-
derapkan. Tombaknya diarahkan ke perut Raden Panji. Raden Panji
cepat mengelak ke kanan. Tak! Dipukulnya tombak musuh. Cap! Me-
nancap di tanah. Raja Pudak Setegal kehilangan keseimbangan. Tom-
bak lepas dari tangan. Gedebuk, jatuh terbanting ke tanah. Kudanya
mabur.
Penonton sorak riuh rendäh. Raden Panji melompat dari kudanya.
Terus menghunus keris. Raja Lasern menyerang dengan keris. Raden
Panji mengelak sedikit ke kiri. Raja Lasem menubruk ke kiri. Nyaris
kerisnya kena tangan Raden Panji. Raden Panji cepat membalik. Cris!
Kerisnya ditusukkan. Raja Lasem jatuh rebah. Raja Pudak Setegal kecut
hatinya melihat Raja Lasem bermandikan darah.
Gangga Sura dan Gajah Meta sesumbar. Terus keduanya masuk ge-
langgang. Menantang. Wirun dan Kalang gesit masuk ke gelanggang.
Gangga Sura lawan Wirun, Gajah meta lawan Kalang. Keempat juara
itu dengan nafsu amarah saling membanting. Saling memukul dengan
gada. Gangga Sura mengangkat W i r u n - t e r u s dibanting. Wirun jatuh di
atas kaki seperti kucing. Rikat bangkit! Terus melompat ke punggung
musuh. Leher musuh dipiting. Gangga Sura memegang kepala Wirun
dengan kedua tangan. Hup! Wirun diangkat terus dibanting. Wirun
jatuh jungkir balik. Gangga Sura menyergap. Celaka! Perutnya kena
terjang kaki Wirun. Gangga Sura gelap matanya-berkunang-kunang.
Berjalan sempoyongan. Puk! Puk! Kepalanya kena tinju Wirun.
Gedebuk! Gangga Sura jatuh. Ia tak sadarkan diri. Penonton bersorak
dan bertempik sampai memekakkan anak telinga. Berhenti sebentar
orang-orang bersorak, lalu riuh lagi berteriak-teriak karena Gajah Meta
jatuh dan meringkuk di t a n a h - t i d a k bergerak! Kepalanya berdarah
karena kena pukul gada Kalang.

Perang selesai. Raja Lasem, Raja Pudak Setegal dan kedua pana-
kawannya diangkut ke puri Karang Pesantren.
Kendang, kempul dan kenong terus ditabuh.. Orang-orang bersorak-

76

PNRI
sorak, bertepuk tangan, mengiringkan Raden Panji Jayeng Kesuma yang
unggul perang. Iring-iringan itu terus menuju puri Karang Pesantren.
Malam harinya rakyat Gagelang bersukaria oleh karena lepas dari
huru-hara besar, berkat kejayaan Raden Panji Jayeng Kesuma beserta
panakawan-panakawannya.
Sri Baginda Raja Gagelang dan permaisuri berkunjung ke puri Karang
Pesantren untuk memberi selamat kepada Raden Panji Jayeng Kesuma
dan untuk menyaksikan pertunjukan Gambuh Warga Asmara. Lakon
yang akan dimainkan malam itu ialah lakon Raden Panji Semirang,
yaitu atas permintaan putri-putri Galuh Nawang Cendera dan Nila Wati.
"Dinda mendengar kabar, gambuh Warga Asmara pandai sekali me-
mainkan lakon Panji Semirang, Kanda." Demikian kata Putri Nila Wati
kepada Raden Panji Jayeng Kesuma.
"Dan baiklah kanda perhatikan benar gerak-gerik Warga Asmara.
Adinda duga, dia seorang wanita," Putri Galuh Nawang Cendera me-
nambah keterangan.
Tiba-tiba tersiraplah darah Raden Panji Jayeng Kesuma. Tangannya
seolah-olah bergerak sendiri-mengangkat ikat pinggang pelangi dan
merapatkannya ke hidung. Raden Panji Jayeng Kesuma berkali-kali
menciumi ikat pinggang pelangi itu dengan mesranya.
"Wahai Kakanda!" Putri Nila Wati berkata. "Mengapa kanda selalu
menciumi ikat pinggang pelangi itu? Rupanya tanda mata dari kekasih
kanda."
Raden Panji Jayeng Kesuma tersenyum malu-malu. Hatinya ber-
debur-debur. Dan katanya, "Memang tanda mata dari Raden Panji
Semirang-sahabat karib kakanda-panglima perang yang gagah
berani. Orangnya tinggi. Tegap badannya. Mukanya kelihatan bengis,
tetapi hatinya lemah-lembut. Kumisnya hitam pekat melintang di bawah
hidung."
Sambil berkata demikian, Raden Panji Jayeng Kesuma membelalak-
kan mata, seperti orang bengis dan pemarah. Telunjuknya diusapkan
pada bibir atas ke kanan dan ke kiri lalu dipergeserkan dengan ibu jari,
meniru tingkah orang yang mengusap dan memelintir kumis.
Gambuh Warga Asmara mulai main; diiringi suara rebab, kendang,
kempul, dan kenong. Yang dimainkan hanya sebagian dari lakon Panji
Semirang, yaitu tentang Raja Kuripan yang menitahkan Raden Inu
Kertapati mempersembahkan uang jujuran kepada Raja Daha dan ten-
tang pertemuan Raden Inu Kertapati dengan Panji Semirang.
Peran Raden Inu Kartapati dipegang Warga Asmara sendiri. Asyik

77

PNRI
benar para penonton melihat lenggang-lenggok Warga Asmara di peri-
tas. Halus luwes gerak-gerik badan dan tangannya. Suaranya merdu.
Mata Raden Panji Jayeng Kesuma tidak kedip-kedip melihat. Hatinya
terus berdebar-debar. Tangannya tidak lepas dari ikat pinggang pelangi.
Hidungnya tak henti-hentinya menciumi ikat pinggang pelangi itu.
Khayalnya mengembara, melayang-layang ke masa l a l u - m a s a
pengalaman yang seindah-indahnya. Perasaan aneh menyelinap ke
dalam jantung. Berdenyut-denyut rasanya. Rasa haru menyayukan hati
Raden Panji Jayeng Kesuma.
Perasaan penonton dihanyutkan gelombang asmara ketika Panji
Semirang dan Raden Inu Kartapati hendak berpisah. Betapa pedih dan
goncang perasaan kedua makhluk yang sedang diombang-ambingkan
gelombang cinta itu. Rasa sedih pilu para penonton menjadi-jadi karena
suara suling dan rebab yang kedengaran melengis-lengis seperti suara
orang menangis.
Permainan berhenti, oleh karena malam sudah larut. Raden Panji
Jayeng Kesuma bangkit dari kursi, lalu menghampiri Warga Asmara.
Dengan jantung rusuh berdetak-detak, dengan sinar mata penuh berahi,
Raden Panji Jayeng Kesuma mendekati Warga Asmara.
"Mari saya perkenalkan adinda kepada Pamanda Raja dan per-
maisuri." Raden Panji Jayeng Kesuma berkata sambil membimbing
tangan Warga Asmara. Makin goncang deburan jantung Raden Panji
ketika berjabatan tangan dengan Warga Asmara. Aduh betapa halus-
nya! Cepat terlintas ingatannya ke masa lalu ketika ia menjamah tangan
Raden Panji Semirang-ketika duduk berdua. Ketika itu Panji Semirang
menundukkan kepala. Ah, alangkah rindu hati Raden Panji Jayeng
Kesuma. Terkenang kembali saat-saat yang indah itu!
"Pamanda Raja! Iniiah sahabat anakda," sembah Raden Panji
Jayeng Kesuma di hadapan Raja Gagelang, Baginda Raja, permaisuri
dan hadirin kagum melihat Raden Panji Jayeng Kesuma di samping
Warga Asmara. Mereka serasa melihat putra-putri sang Dewa Kamajaya
dari kahiyangan. Yang seorang gagah bergas dan rupawan; dan yang
seorang lagi langsing luwes cantik molek. Ya, sekalipun orang yang
belakangan ini berpakaian laki-laki.
Baginda Raja dan permaisuri meninggalkan puri Karang Pesantren.
Kembali ke istana. Para penonton yang lain pulang ke rumah masing-
masing. Warga Asmara digandeng Raden Panji Jayeng Kesuma, dibawa
ke tempat untuk mereka menginap malam itu.
Puri Karang Pesantren sunyi tenteram. Akan tetapi hati Raden Panji

78

PNRI
Jayeng Kesuma masih rusuh juga. Masih gelisah dimabuk rindu.
Demikian pula keadaan Warga Asmara. Ia tidak bisa tidur, karena
hatinya goncang. Rusuh resah diamuk rasa haru dan rindu kasih. Sambil
duduk berselonjor kaki Warga Asmara menimang-nimang boneka ken-
cana dan mengajaknya bercakap-cakap. Asyik benar Warga Asmara
berdendang, menyanyikan lagu-lagu rindu kasih untuk bonekanya.
Sekali-kali ia tak tahu akan sepasang mata yang sedang mengintai di
balik jendela.
Mata Raden Panji Jayeng Kesuma tercengang melihat Warga Asmara
menimang-nimang boneka emas. Tidaklah syak, tidaklah ragu-ragu lagi
hatinya sekarang. Warga Asmara pasti, tidak boleh tidak Cendera
Kirana yang dicari-carinya itu.
Segera pintu didobrak! Raden Panji Jayeng Kesuma terus masuk ke
bilik tempat Warga Asmara. Gemparlah dalam bilik itu. Para pengiring
Warga Asmara yang berkumpul di situ bubar sambii menjerit-jerit minta
tolong. Mereka menyangka ada durjana hendak merampok dan mem-
bunuh. Raden Panji Jayeng Kesuma terus memburu Warga Asmara.
Orang-orang. sekitar tempat itu bangun semuanya. Terus memburu ke
tempat yang ribut-ribut itu. Masing-masing membawa senjata tajam:
tombak, keris, pedang atau parang. Obor-obor dipasang. Tongtong
ditabuh. Mereka menduga, prajurit-prajurit Jaga Raga dan Pudak
Setegal memberontak. Bersimpang-siur teriak orang, "Tangkap!
Tangkap!"
Dalam keadaan yang mengemparkan itu Raden Panji Jayeng Kesuma
berlari-lari menggendong Warga Asmara, menuju istana baginda raja.
Ia kuatir kalau-kalau orang-orang menjadi mata gelap dan mengeroyok
karena kurang periksa dan karena amarah.
"Ada apa? Ada apa?" tegur baginda raja dan permaisuri dengan
gagap.
Tiba-tiba tampaklah oleh baginda raja, Raden Panji Jayeng Kesuma
datang menggendong Warga Asmara. Sebelum raja sempat berkata-
kata, Raden Panji Jayeng Kesuma bersembah dengan napas pendek-
pendek. Sembahnya, "Pamanda Raja, maafkan anakanda karena meng-
ganggu pamanda. Anakanda mempersembahkan putri Daha, Cendera
Kirana. Oh, Pamanda. Warga Asmara kiranya Cendera Kirana yang
anakanda cari-cari sekian lamanya."
"Cendera Kirana? Oh, anakku sayang! Mengapa anakda berbuat
begini? Pamanda tidak menyangka dapat bertemu dengan kemenakan
yang dikabarkaij orang lolos dari istana Daha." Raja mencium ubun-

79

PNRI
M a t a Raden P a n j i Jayeng Kesuma tercengang melihat Warga A s m a r a meninang-ninang
b o n e k a emas.

PNRI
ubun kepala Cendera Kirana dengan hati pilu bercampur gembira.
Cendera Kirana bersembah sujud di hadapan Raja dan permaisuri dan
sembahnya, " H a r a p Pamanda dan Bibi memaafkan anakda. Dan harap
Pamanda maklum pula, Raden Panji Jayeng Kesuma sebenarnya adalah
Raden Inu Kartapati, putra Raja Kuripan, yang anakda cari ke mana-
mana dan akhirnya bertemu di sini."
"Inu Kartapati? Putra kakakku Raja Kuripan? Oh, Dewa yang mulia!
Sungguh besar terima kasih hamba karena ditemukan dengan kedua ke-
manakan hamba ini." Raja bersabda sambil meratap dan memeluk ke-
dua kemenakannya itu. Kemudian raja segera memanggil menteri dan
menitahkan agar supaya rakyat tenang kembali.
"Katakan, orangnya sudah tertangkap!" Raja tersenyum, lalu menga-
jak Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana masuk kamar istana.
Tak lama kemudian segala ribut-ribut itu menjadi reda dan akhirnya
keadaan menjadi tenang lagi.

PANJI S E M I R A N G - 6 81

PNRI
11
Kembalilah Putri yang Hilang

HARI CERAH. Langit biru. Matahari belum lagi tinggi. Men-


dengung-dengung bunyi kedengaran di alun-alun. Menggema, mengu-
mandang bunyinya s.ekitar alun-alun Gagelang. Punggawa istana ber-
henti menabuh canang, lalu berseru-seru kepada orang-orang yang lalu
lintas, menyampaikan berita dari istana. Kabar penting tentang Putri
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati yang hendak meninggalkan
Gagelang. Rakyat dianjurkan agar supaya beramai-ramai menghormati
keberangkatan kedua kemenakan baginda raja. Ia berhenti bicara, lalu
canang ditabuhnya lagi. Berita istana itu disampaikan orang-orang dari
mulut ke mulut-secara beranting-akhirnya dimaklumi orang sampai
ke pelosok-pelosok negeri. Rakyat Gagelang yang patuh itu pada me-
ninggalkan rumah lalu berdiri di tepi jalan yang bakal dilalui Cendera
Kirana dan para pengiringnya.

Di pelataran istana tampak berpuluh-puluh kuda. Kuda tunggang dan


kuda beban. Si Rangga Ringgit kedengaran meringkik-ringkik girang.
Senang hatinya, oleh karena ia hendak pulang kandang ke Kuripan.
Para abdi, para emban, para panakawan dan para prajurit, yang hen-
dak mengiringkan Putri Cendera Kirana tampak girang dan tampak
sibuk. Berjalan mondar-mandir. Mengangkat dan mengangkut barang-
barang, pakaian, makanan, serta perkakas-perkakas yang hendak di-
bawa.
Di balairung tampak baginda raja, permaisuri, Cendera Kirana,
Raden Inu Kartapati, Galuh Nawang Cendera, Raden Wirantaka, Putri
Nila Wati, Puspa Juita dan Puspa Sari, para temenggung dan bupati.
Baginda raja dan permaisuri tampak sedih wajahnya, oleh karena hen-
dak melepas kedua kemenakan yang dicintainya itu.
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati kedua-duanya kelihatan
sedang diselimuti suasana kasih sayang mesra. Kadang-kadang tampak
kedua merpati itu lirik-melirik atau saling melontarkan senyum kasih.
Tiada banyak kata-kata yang mereka ucapkan dengan mulut, selain
dalam kalbu.

82

PNRI
Selesai baginda raja bersabda tentang maksud pertemuan, maka bang-
kitlah Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati dari kursi masing-
masing. Kemudian bersembah sujud di hadapan baginda raja dan per-
maisuri. Maksudnya tiada lain hanya hendak mohon diri dan mohon
restu pangestu. Baginda raja dan permaisuri mencium ubun-ubun kepala
kedua kemenakannya itu. Air mata bertetesan.
Kemudian, setelah upacara perpisahan di istana itu selesai, maka
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati naiklah kuda masing-masing.
Bunyi-bunyian ditabuh orang.
Iring-iringan Cendera Kirana didahului oleh barisan berkuda para per-
wira dan prajurit Gagelang, yang hendak mengantarkan sampai per-
batasan negeri.
Hiruk-pikuk, sorak-sorai rakyat Gagelang mengiringkan Cendera
Kirana yang hendak pulang. Penonton berdesak-desakan oleh karena
ingin lebih dekat melihat. Ingin mengagumi kecantikan Putri Cendera
Kirana, putri Daha yang beberapa hari yang lalu dikenal rakyat
Gagelang dengan ñama samaran Warga Asmara.
"Aduh cantiknya! Emh, ayunya seperti bidadari!" Demikian ke-
dengaran kata-kata pujian dari mulut anak-anak muda dan gadis-gadis.
Gadis-gadis saling melirik, saling menyenggol sambil tak henti-hentinya
mengeloceh memuji-muji. Ibu-ibu mengusap muka anaknya yang digen-
dong sambil berkata, "Moga-moga gadisku kelak secantik Putri
Cendera Kirana." Ibu yang duduk perut mengusap-usap kulit perut
seraya mengucap, "Jabang bayi, jabang bayi. Moga-moga muka kamu
molek seperti Putri Ayu Cendera Kirana. Jika kau anak laki, moga-
moga bagus-bergas seperti Raden Inu Kartapati."
Kakek-kakek yang sudah ompong dan berambut putih seperti kapas,
yang harus berdiri bertopangkan tongkat, matanya tanpa kedip meman-
dang kepada putri nan ayu. Boleh jadi kakek ingat kepada masa jejaka-
nya yang telah lewat ketika ia dimabuk perasaan rindu kasih kepada si
dia, kepada si nenek yang kini berdiri di sampingnya. Jika kaki kakek
masih kuat, maulah ia mengikuti kuda yang ditunggangi putri cantik itu.
Maksud hati hendak mengejar si cantik molek, apa daya jika kaki
mogok jalan. Kakek terpaksa harus mengukur baju diri sendiri, dan
menurut nenek yang menggandeng mengajak pulang.
Para jejaka yang sedang menanggung rindu, pada berlomba jalan-
cepat mengikuti iring-iringan putri Daha nan jelita. Terkadang ada yang
jatuh terguling-guling, lantaran kaki terserandung, lantaran mata terus
melihat kepada si juita putri, tanpa melihat jalan.

83

PNRI
Ada pula orang-orang yang merasa malu oleh karena merasa pernah
tergila-gila hatinya oleh Cendera Kirana sewaktu putri menyamar men-
jadi Warga Asmara. Ya, pendek kata Cendera Kirana meninggalkan
banyak kesan pada rakyat Gagelang.
Sementara itu iring-iringan Cendera Kirana tibalah di perbatasan
negeri Gagelang. Cendera Kirana mengucap terima kasih dan selamat
tinggal kepada rakyat Gagelang, lalu meneruskan perjalanan.
Kuda dilecut agar supaya berlari agak cepat untuk memburu waktu.
Jerude, Punta, Kartala, dan Persanta mengawal iring-iringan. Jerude
dan Punta di depan; Kartala dan Persanta di belakang barisan. Jalan
yang ditempuh, melalui hutan rimba, bukit dan lembah. Kadang-kadang
mereka pun harus menyeberangi sungai. Malam hari atau jika hari hu-
jan, maka kemah pun ditegakkan.
"Wahai Adinda Cendera Kirana. Kita ke Daha dahulu ataukah terus
ke Kuripan?" Raden Inu Kartapati bertanya.
Cendera Kirana berpikir sejenak, lalu menjawab, "Terus saja ke
Kuripan. Daha sama sekali tak menarik hati adinda. Bagi adinda, Daha
merupakan sumber kesedihan hati dan pangkal hidup sengsara. Selama
Paduka Liku dan Galuh Ajeng ada di sana, Daha merupakan tempat
bersarang ular-ular berbisa, tempat yang sangat berbahaya. Akan tetapi
»5
Raden Inu Kartapati memandang keheran-heranan oleh karena
Cendera Kirana berhenti bicara. Seolah-olah ada soal yang sukar untuk
dikemukakan.
"Tetapi bagaimana Dinda?" Raden Inu Kartapati minta keterangan.
Cendera Kirana tidak lekas menjawab oleh karena ia sedang berpikir
hendak memancing isi hati Raden Inu Kartapati.
" A h , rupanya dinda punya rahasia," kata Raden Inu Kartapati sam-
bil memandang kepada Cendera Kirana.
"Maksud dinda begini. Jika kakanda hendak pulang ke istana Daha
karena kakanda hendak bertemu dengan Galuh Ajeng, istri kakanda
silakanlah. Adinda tak hendak mengalang-alangi kehendak kakanda.
Tetapi adinda hendak terus menuju Kuripan." Demikian kata Cendera
Kirana sambil bernapas panjang seolah-olah melepaskan beban berat
dalam hati.
"Wahai Adinda Cendera Kirana, Galuh Ajeng bukan istri kakanda
lagi. Dia sudah kanda cerai. Sebab kanda merasa ditipu. Ibarat orang
membeli emas, diberi loyang. Cobalah adinda pikir. Kakanda bertunangan
Cendera Kirana, dinikahkan dengan Galuh Ajeng, perempuan yang tak

84

PNRI
tahu adat, yang sekali-kali tak patut disebut putri raja. Mana dapat
kakanda memperistrikan dia. Malam itu, selesai upacara nikah, hati
kakanda sangat kecewa dan marah. Kakanda tak pedulikan Galuh
Ajeng. Sampai larut malam kanda tidak mau tidur. Hati kanda senan-
tiasa mengembara di tempat jauh, seolah-olah mencari tempat berpantul
pada orang yang tak diketahui ke mana perginya-menghilang tanpa
meninggalkan bekas. Di ruang mata kanda terbayang selalu wajah
Raden Panji Semirang yang menurut firasat kanda tentu seorang putri
raja yang kanda rindukan."
Cendera Kirana tersenyum manis sambil menggigit bibir. Teringat
kembali olehnya saat-saat yang mengesankan di masa sedang menyamar
menjadi Raden Panji Semirang Asmarantaka; di saat sedang bertemu
muka dengan Raden Inu Kartapati; di saat tangannya dijamah oleh
tunangannya itu. Betapa aneh perasaan hatinya pada detik-detik itu.
Perasaan cintakah itu namanya? Entah, Cendera Kirana tidak tahu.
Namun nyata bahwa darah bertambah deras mengalir sekujur badan;
jantung berdetak-detak senang. Rasa bahagia, meresap, menyelinap
sampai ke dalam lopak-lopak kecil dalam hati.
"Di malam larut itu, Dinda." Raden Inu Kartapati meneruskan.
"Tiba-tiba kanda dikejutkan oleh suara ingar-bingar di ruang istana be-
kas pesta nikah. Kanda dengar ringkik kuda. Suara kuda yang tak asing
bagi telinga kanda, namun lupa kuda siapa gerangan. Kuda itu rupanya
dilecut oleh si penunggang, dipaksa melanda segala perkakas yang ada di
ruang bekas pesta itu. Meja, kursi, piring, mangkuk, lampu, gelas,
pendek kata segala barang yang ada di situ, dihancurkan. Segera kanda
ke luar. Terus masuk ruang istana itu. Namun ah, terlambat! Kanda
hanya melihat perkakas yang rusak binasa dan hanya mendengar derap
kuda yang bertambah jauh menghilang ditelan sunyi malam. Baik raja
maupun kakanda menduga, bahwa itu bukan perbuatan orang yang ber-
maksud jahat, melainkan perbuatan orang yang panas hati atau cem-
buru akan pernikahan kanda dengan Galuh Ajeng. Malam itu kanda tak
dapat tidur. Esok harinya kanda meninggalkan istana Daha. Terus
menuju istana Raden Panji Semirang. Maksud kanda tak lain, ha-
nya hendak menyelidiki benar tidaknya duga persangka kanda kepada
Raden Panji Semirang yang memabukkan benar pikiran dan perasaan
kanda. Jika Raden Panji Semirang benar putri tunangan kanda, hendak
segera kanda bawa ke Kuripan untuk dinikah."
Cendera Kirana geli hatinya. Raden Inu Kartapati meneruskan cerita-
nya, "Akan tetapi kanda amat kecewa! Kanda tidak bertemu dengan

85

PNRI
Raden Panji Semirang. Dia meninggalkan istana di malam larut.
Demikian Mahadewi berkata sambil menangis sedih. Dugaan kanda
tidak meleset setelah mendengar keterangan dari Mahadewi tentang
Raden Panji Semirang. Mahadewi kanda antarkan kembali ke istana
Daha. Dengan senang hati baginda raja menerima Mahadewi kembali.
Ya, malahan Mahadewi diangkat baginda menjadi permaisuri. Kanda
puji tindakan baginda raja demikian, oleh karena Mahadewi berbudi.
Rupanya baginda raja sudah mulai sadar akan kekeliruan-kekeliruan
yang telah dibuatnya di masa lalu. Sadar akan kelemahan hatinya ter-
hadap Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Baginda raja menyesali diri akan
tingkah lakunya yang kejam terhadap Cendera Kirana. Betapa sedih hati
baginda raja jika ingat akan nasib buruk mendiang permaisuri Puspa
Ningrat yang menjadi korban kejahatan Paduka Liku."
Air mata meleleh di pipi Cendera Kirana. Hatinya serasa ditusuk-
tusuk jarum jika Cendera Kirana ingat akan nasib mendiang ibunda.
Hatinya geram, marah kepada Paduka Liku dan Galuh Ajeng, kedua
iblis yang berbadan perempuan-perempuan cantik itu. Maulah ia me-
menggal batang leher kedua manusia jahat itu!
Raden Inu Kartapati melanjutkan bicaranya, "Baginda tidak menjadi
gusar dan paham mengapa kanda menceraikan Galuh Ajeng. Kemudian
baginda mendoakan supaya kanda berhasil menemukan adinda Cendera
Kirana. Kanda meninggalkan Daha dengan maksud hendak berkelana.
Hendak mencari buah hati kanda, Cendera Kirana."
Raden Inu Kartapati memutuskan ceritanya. Memandang ke langit.
Tampak awan hitam bergumpal-gumpal bertebaran. Alamat hari hen-
dak hujan. Oleh karena itu Raden Inu Kartapati menyuruh Jerude dan
kawan-kawannya segera mendirikan kemah.
"Kalau kanda tak salah lihat, kita sudah hampir sampai di perbatasan
kerajaan Daha. Lihat gunung itu." Raden Inu Kartapati berkata sambil
menunjuk ke gunung. "Kabarnya di puncak gunung itu berdiam seorang
pertapa sakti."
Cendera Kirana melepaskan pandangan matanya agak lama ke pun-
cak gunung itu. Seolah-olah ada daya gaib yang menarik perhatian
Cendera Kirana. Tidak aneh, sebab pertapa sakti yang berdiam di pun-
cak gunung itulah yang dulu pernah memberi menteri sepah sirih bagi
Paduka Liku. Sepah sirih atau guna-guna yang berhikmat besar bagi
Paduka Liku guna menundukkan Raja Daha.
Sementara itu hujan turun. Langit kelihatan kehitam-hitaman karena

86

PNRI
awan kelabu. Bunyi guruh bergelombang-gelombang seolah-olah bunyi
air samudra yang sedang mengamuk ditiup badai.
Samar-samar kelihatan seorang sedang berjalan di lereng gunung itu
menuju puncaknya. Dari jauh orang itu kelihatan seperti semut rangrang
yang sedang merayap-rayap.
Raden Inu Karpati dan Cedera Kirana memandang dengan penuh per-
hatian kepada tingkah laku orang yang sedang mendaki gunung itu.
Tiba-tiba cahaya tampak melejang di langit dan segera disusul oleh
bunyi petir kemudian disusul pula oleh jerit, orang yang mendaki
gunung itu. Dan tampaklah orang itu jatuh, kemudian terguling-guling
seperti batu. Anehnya! Hujan berhenti, lalu langit pun menjadi cerah.
" A j a i b ! " kata Raden Inu Kartapati dalam hati. Kemudian ia segera
menyuruh Jerude dan Punta memeriksa orang yang disambar petir itu.
Kedua prajurit itu melecut kudanya masing-masing lalu menuju tempat
orang itu.
Oleh karena hujan telah berhenti dan langit terang lagi, maka kemah
dibongkar. Raden Inu Kartapati bermaksud hendak meneruskan per-
jalanan, setelah Jerude kembali dari lereng gunung itu.
Derap kuda Jerude dan Punta semakin jelas, semakin mendekat ke-
dengaran. Dan tampak pulalah kedua utusan itu mengangkut mayat
orang yang disambar petir itu. Persanta dan Kartala menolong kawan-
kawannya. Mayat diletakkan di tanah untuk diperiksa. Sekujur badan
mayat itu hangus.
"Ketika hamba tiba di tempat dia menggeletak, dia masih bisa ber-
kata-kata. Dia mengaku menteri dari Daha, paman Paduka Liku. Dia
disuruh Paduka Liku mengunjungi tempat pertapa di puncak gunung."
Jerude memberi keterangan.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana saling memandang. Kedua
mereka menaruh curiga pada maksud Paduka Liku.
"Apa yang sebaiknya kita kerjakan dengan mayat menteri?" Raden
Inu Kartapati bertanya, "Kita kubur di sini atau kita serahkan dia
kepada Paduka Liku?"
"Dia minta agar supaya tidak dikuburkan di Daha," sembah jerude.
"Dia merasa takut dan berdosa kepada Baginda Raja Daha."
Cendera Kirana bertambah keras syak wasangkanya, bahwa Paduka
Liku tentu hendak berbuat jahat lagi dan menyuruh meminta bantuan
pertapa sakti. Jantung Cendera Kirana berdebar-dehar. Hatinya mual.
Terlintas dalam pikiran Cendera Kirana semua kejahatan Paduka Liku.
Raden Inu Kartapati segera menyuruh kuburkan mayat menteri.

87

PNRI
Setelah selesai dikerjakan upacara penguburan, kemudian iring-iringan
Cendera Kirana bergerak maju, meneruskan perjalanan.
Kerajaan Daha dilalui dan sampailah Cendera Kirana di tempat bekas
dia dahulu memulai berkelana. Tersirap darah Cendera Kirana melihat
bangunan-bangunan bekas istana dan bekas rumah-rumah para pana-
kawan dan prajurit-prajuritnya. Berbagai macam perasaan bersimpang-
siur dalam hati Cendera Kirana. Perasaan rindu, sedih, geli saling men-
jalin. Ken Bayan dan Ken Sanggit pun terkenang kembali kepada lakon
hidupnya dahulu. Kedua emban yang setia dan pemberani itu tersenyum
geli sambii saling memandang.
Iring-iringan Cendera Kirana berhenti berjalan. Cendera Kirana dan
Raden Inu Kartapati turun dari kuda. Maksudnya hendak melepaskan
lelah sebentar sambii mengenangkan kejadian-kejadian di masa lalu.
Tanpa disuruh, Ken Bayan dan Ken Sanggit mengadakan acara
hiburan. Maksudnya untuk sekedar menggembirakan suasana.
Ken Bayan dan Ken Sanggit berbisik-bisik kepada Jerude, Punta, Kar-
tala dan Persanta. Apa yang mereka percakapkan tak jelas kedengaran.
Yang tampak hanyalah angguk kepala dan senyum-senyum senang.
Ken Bayan dan Ken Sanggit membetulkan pakaian, menyelipkan
keris, lalu berdiri di depan pintu gerbang. Tingkah kedua emban itu se-
perti ketika mereka menyamar menjadi Kuda Perwira dan Kuda Peranca
dahulu itu. Kartala ica-icanya menjadi Raden Inu Kartapati dan Persan-
ta memainkan peran sebagai Cendera Kirana. Raden Wirantaka. Galuh
Nawang Cendera dan Nila Wati pun turut main.
Kartala, Punta, Jerude dan Raden Wirantaka naik kuda hendak me-
lintasi pintu gerbang. Ditegur oleh Ken Sanggit dengan gaya seperti pra-
jurit yang gagah berani.
"B'renti! Kalian dari mana? Mau pergi ke mana?" Ken Sanggit
menegur. Tangannya pura-pura memelintir kumis.
"Kami utusan Raja Kuripan. Hendak mempersembahkan uang jujur-
an ke hadapan Raja Daha." Jerude menjawab sambii bertolak ping-
gang. Katanya pula, "Kamu siapa? Gadis atau janda? Ataukah emban
yang kesasar ke mari?"
"Hus! Jangan sembrono! Aku prajurit pilihan." Ken Sanggit meng-
usap bibir dan pura-pura memelintir kumis.
"Siapa pula yang memilih kamu menjadi prajurit? Apa pula yang
kaupelintir? Kumis? Ah, kumis palsumu rupanya ketinggalan di bakul!"
Cendera Kirana, Raden Inu Kartapati tertawa senang. Pengiring-
pengiringnya yang menonton tertawa gelak-gelak, melihat Ken Sanggit

88

PNRI
mencari-cari kumis palsunya dalam lepitan setagen. Nah! Kedapatan
oleh Ken Sanggit tembakau susur, lalu dipasangnya di bawah hidung.
Bibir atasnya melipat ke atas untuk menahan supaya susur tidak jatuh.
"Kamu buta, hah! Ini bukan kumis namanya?" Ken Sanggit suaranya
sengau. "Hacih! Hacih!" Tiba-tiba ia bersin. Tembakau susurnya
meloncat.
Serentak penonton tergelak-gelak.
Ken Sanggit memungut tembakau susurnya lalu diselipkannya dalam
lipatan setagen. Dan katanya, "Berikan uang jujuran itu kepadaku."
"Aih, aih! Kau ingin kulamar rupanya. Baik, gadisku sayang!" sahut
Jerude. "Tapi nanti kalau sudah menerima gaji. Sekarang tanggung
bulan."
"Cis tidak malu! Lagaknya seperti orang kaya, tapi kantongnya
kosong." Ken Sanggit berkata sambil mencibir dan berjalan berleng-
gang-lenggok dengan genitnya.
Penonton tertawa-tawa lagi.
Ken Bayan tampil ke depan. Segera ditegur Jerude. Katanya, "Aduh
ayunya! Kau juga minta kulamar, gadis cantik?"
" E , e! Jangan kurang ajar, ya! Jelek-jelek aku ini prajurit Daha.
Serahkan uang jujuran itu kepadaku. Jangan dibawa ke Daha," kata
Ken Bayan.
"Sedang mengapa di sini prajurit Daha yang molek ini?"
"Kau tak tahu. Putri Daha yang hendak dilamar ada di sini. Tu lihat
istananya!" Ken Bayan menunjuk.
Jerude melihat tercengang kepada Kartala. Lalu katanya, "Betul?"
"Aku tak biasa berbohong. Aku berani sumpah. Biar kepalamu
disambar geledek kalau aku berdusta!"
"Aduh biung, biung! Kepalaku cuma satu. Jangan! Jangan disambar
geledek. Disambar bidadari aku mau!" Jerude sambil memegang-
megang kepala.
Persanta tampil ke muka. Disambut oleh Ken Sanggit dan Ken Bayan.
Kata ken Bayan, "Na, ini putri Daha bakal menantu Raja Kuripan."
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati geli hatinya. Penonton yang
lain tertawa-tawa gembira.
"Sebaiknya putri kita ajak ke Kuripan saja. Jadi kita tak perlu susah
payah pergi ke Daha," kata Kartala.
"Baik, baik-baik! Kita kembali ke Kuripan!" Para pemain berseru
bersama-sama. Permainan bubar.
Penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorak gembira.

89

PNRI
"Kakanda, pikir adinda lebih baik bekas istana adinda itu dibakar saja
sebelum kita meneruskan perjalanan ke Kuripan," kata Cendera Kirana.
Raden Inu Kartapati menganggukkan kepala tanda setuju, lalu
menyuruh Punta dan Persanta membakar bekas istana Panji Semirang
itu.
Disuruhnya Jerude lekas mengabarkan kedatangan Cendera Kirana
dan rombongannya kehadapan Baginda Raja Kuripan. Dan Kartala ha-
rus mengabari Baginda Raja Daha tentang keadaan Cendera Kirana.
Keempat prajurit itu segera melakukan tugasnya masing-masing. Dan
api pun segera berkobar, membakar bekas istana Panji Semirang beserta
perumahan para prajurit. Bergeretak suara bambú dan kayu dimakan
api. Asap menjulang ke angkasa lalu ditiup sang bayu. Yang tinggal
hanyalah reruntuh-reruntuh, arang hitam dan abu, yang kemudian akan
hilang pula dari tempatnya. Istana Panji Semirang hilang dari pan-
dangan mata, namun kisah asmara yang pernah berlangsung di sana
masih tetap hidup dalam kalbu Cendera Kirana dan Raden Inu Kar-
tapati. Jika reruntuh-reruntuh istana itu tidak bisu, tetapi bisa bicara
sendiri, maka ia kiranya akan sanggup berkisah kepada orang-orang
yang lalu-lintas ke tempat itu tentang dua makhluk yang berkelana,
berkasih-kasihan, dimabuk asmara.
Setelah selesai sekaliannya, maka iring-iringan Cendera Kirana itu me-
lanjutkan perjalanannya menuju Kuripan. Rakyat Kuripan pada ke luar
rumah, pada menyambut kedatangan Raden Inu Kartapati.
Meriam dipasang. Dan kedengaranlah bergelegar-gelegar dua puluh
satu kali dentuman sebagai tanda menghormat kedatangan Raden Inu
Kartapati beserta Putri Galuh Cendera Kirana.
Di istana tampak hadir baginda raja dan permaisuri serta para
temenggung, para bupati, para menteri, dan demang. Baginda raja dan
permaisuri yang sudah lanjut usianya itu tampak agak gugup oleh
karena hatinya sangat terharu. Mudah dimengerti, sebab mereka
samasekali tak menduga bahwa Raden Inu Kartapati masih hidup dan
bakal bertemu lagi.
Sorak-sorai rakyat makin ramai gemuruh berselingan dengan bunyi
tetabuhan, ketika iring-iringan Raden Inu Kartapati sampai di alun-
alun. Baginda raja dan permaisuri makin berdebar-debar hatinya, makin
tak kuasa menahan air mata mengalir, membasahi pipi.
Raden Inu kartapati dan Cendera Kirana dengan khidmat bersembah
sujud di hadapan baginda raja dan permaisuri.
"Ayahanda raja dan Ibunda permaisuri. Sudi apalah kiranya ayahan-

90

PNRI
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana dengan khidmat bersembah s u j u d di h a d a p a n
baginda r a j a dan permaisuri.

PNRI
da dan ibunda menerima sembah bekti anakanda berdua. Semoga ayah-
anda dan ibunda sudi mengampuni dosa anakda berdua dan sudi meng-
anugerahi restu pangestu," sembah Raden Inu Kartapati.
Baginda raja dan permaisuri mencium ubun-ubun kepala Raden Inu
Kartapati dan Cendera Kirana.
Baginda raja bersabda, "Sembah bakti kalian berdua ayah terima.
Dan terima pulalah doa salam bahagia ayahanda. Semoga Dewa yang
mulia senantiasa melindungi anakda berdua dari segala azab di dunia
dan di akherat.
Raden Inu Kartapati dipersilakan duduk di samping baginda raja dan
Cendera Kirana di samping permaisuri. Kemudian Raden Inu Kartapati
memperkenalkan putra-putra dan putri-putri yang ikut, kepada baginda
raja. Yaitu: putri-putri Raja Mentawan, Puspa Juita dan Puspa Sari;
putri Raja Sedayu, Galuh Nawang Cendera; putri Raja Jaga Raga, Nila
Wati; dan akhirnya putra Raja Jaga Raga yang bernama Raden Wiran-
taka.
Selesai bercakap-cakap, kemudian santapan dan minuman yang lezat-
lezat citarasanya diedarkan. Bunyi-bunyian ditabuh dan pesinden pun
memperdengarkan lagu-lagunya yang serba merdu lagi menyenangkan
hati para hadirin.
Beberapa hari kemudian rakyat Kuripan tampak sibuk bekerja; mem-
bersihkan pekarangan, mengapur rumah dan pagar, membuat gapura di
mulut lorong dan di persimpangan jalan. Para pedagang mendirikan
gubuk-gubuk di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Para
pendeta pada memanjatkan doa, mohon lindungan para dewa agar
supaya perayaan itu tidak beroleh aral melintang.
Bendera-bendera, panji-panji, ular-ular berwarna merah putih ber-
kibaran di pelataran istana, di tepi-tepi jalan, di depan rumah-rumah.
Pendek kata rakyat Kuripan hendak sekuat tenaga turut meriahkan
pesta pernikahan dan penobatan Raden Inu Kartapati menjadi Raja
Kuripan, menggantikan baginda raja yang sudah tinggi usianya itu.
Berpuluh-puluh ekor kambing, beratus-ratus ekor ayam dan itik di-
sembelih. Berbagai macam sayuran dan buah-buahan didatangkan; ber-
puluh-puluh gerobak. Laki perempuan ramai menumbuk padi, mem-
belahi kayu bakar. Sibuk benar perempuan-perempuan yang masak di
dapur; atau menyusun piring-piring, gelas-gelas, baskom-baskom dan
basi-basi. Orang-orang laki yang menghiasi istana dan pintu gerbang
tidak kurang sibuk pula. Masing-masing bekerja menurut tugasnya sen-
diri-sendiri. Di luar benteng istana para pedagang mendirikan gubuk un-

92

PNRI
tuk tempat berjualan. Pendek kata rakyat Kuripan sibuk bekerja semua.
Semua orang ingin turut merayakan hari yang mulia itu. Siang malam
mereka bekerja keras. Para pendeta dengan seksama mencari hari yang
paling baik; memanjatkan doa agar supaya tidak ada alangan apa pun di
hari yang akan dirayakan itu.
Kaum kerabat baginda raja yang jauh tempat tinggalnya, beberapa
hari sebelumnya, sudah datang. Demikian pula Baginda Raja Daha
dengan permaisuri. Pertemuan kembali antara Raja Daha dengan
Cendera Kirana diliputi suasana sedih, mengingat akan kejadian-
kejadian yang serba pahit getir yang menyebabkan keraton Daha men-
jadi berantakan. Yang menyebabkan permaisuri menjadi korban guna-
guna Paduka Liku, yang menceraikan ayah dan anak. Ya, kiranya sudah
kehendak Dewa yang mulia, maka Raja Daha harus mengalami hidup
sepahit i t u - m a k a Cendera Kirana harus hidup berkelana dahulu
sebelum mencapai kebahagiaan hidup.
Permaisuri Daha yang dahulu dipanggilkan Mahadewi, melipur hati
Cendera Kirana, katanya, "Anakku sayang! Lupakanlah segala kepahit-
an dalam kehidupan yang telah lalu. Dan semoga hidupmu selanjutnya
senang bahagia di samping suamimu Raden Inu Kartapati-suami yang
kau sangat cintai itu. Boleh dikatakan anakku sudah lulus dari cobaan
hidup yang maha berat. Tinggal lagi menerima upahmu yang setimpal."
"Ah, alangkah senang hati hamba, jika ibunda masih hidup dan me-
nyaksikan peristiwa pernikahan hamba." Cendera Kirana berkata
seraya terisak-isak sedih.
Air mata permaisuri Daha dan Cendera Kirana membasahi pipi dan
haribaan.
"Paduka Liku dan Galuh Ajeng akan hadir, Ibunda?" tanya Cendera
Kirana.
Permaisuri menggelengkan kepala dan katanya, "Tidak. Paduka Liku
menderita hukuman batin sejak ibu kembali ke istana Daha. Raja tidak
lagi menghiraukan Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Paduka Liku kiranya
akan merasa beruntung jika dia lekas mati dan lepas dari derita
hukuman batinnya. Dan ia pun sebenarnya dapat saja sewaktu-waktu
bunuh diri. Akan tetapi ia kuatir akan nasib buruk Galuh Ajeng, jika
anaknya itu ditinggal mati sebelum bersuami. Paduka Liku masih juga
main guna-guna sebab sepah sirih dahulu itu sudah tak berdaya lagi.
Disuruhnya menteri, pamannya sendiri, meminta lagi guna-guna sepah
sirih pertapa sakti untuk Galuh Ajeng. Namun celaka! Kabarnya
menteri disambar petir sampai dia mati seketika itu juga."

93

PNRI
"Hamba sendiri melihat mayat menteri. Hangus sekujur badannya,"
kata Cendera Kirana.
"Nah, itulah hukumannya yang setimpal bagi menteri, "kata per-
maisuri.
"Tetapi mengapa orang-orang jahat seperti paduka Liku dan Galuh
Ajeng masih juga dihidupi oleh Dewa yang mulia?" tanya Cendera
Kirana.
"Perkara hidup mati makhluk bukanlah manusia yang menentukan,
Anakku. Serahkan sajalah perkara itu kepada Dewa yang mulia. Dan
kita manusia wajib berbuat kebajikan bagi sesama manusia agar supaya
tidak mendapat murka Dewa yang mulia." Permaisuri mengakhiri we-
jangannya, oleh karana emban-emban hendak membaluri badan
penganten.
Seminggu lamanya Cendera Kirana dipingit di istana. la tak boleh
bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati. Hanya beberapa orang em-
ban dan pendeta sajalah yang boleh bertemu dengan Cendera Kirana.
Mereka itulah yang harus mengurus segala-galanya yang diperlukan oleh
Cendera Kirana, bakal penganten itu. Misalnya membuatkan jamu-jamu
untuk diminum; membuatkan boreh atau bedak. Dan juru rias harus
mengatur semuanya yang diperlukan untuk mempercantik dan memper-
indah pakaian penganten.
Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu, tibalah. Para tamu dan
kaum kerabat, dari tempat-tempat yang dekat ataupun jauh, sudah
hadir semua di ruangan istana.
Dengan khidmat tamu-tamu agung mengikuti gerak-gerik pendeta
yang melakukan upacara pernikahan. Selesai nikah, maka Raden Inu
Kartapati dinobatkan sekali menjadi Raja Kuripan.
Dentuman meriam dua puluh satu kali menandakan upacara sudah
selesai. Kemudian kedengaran rakyat bersorak-sorai dengan suka
hatinya. Bunyi-bunyian ditabuh dan pesta pun mulailah. Tujuh hari tu-
juh malam rakyat Kuripan bersukaria. Berangsur-angsur tamu-tamu dan
kaum kerabat baginda raja pada pulang ke tempat masing-masing. Dan
akhirnya Baginda Raja Daha beserta permaisurinya pun meninggalkan
istana Kuripan.
Dengan kasih mesra pemaisuri dar. Cendera Kirana berpeluk-pelukan
sebelum bercerai. Dan setelah mencium ubun-ubun kepala Cendera
Kirana sebagai tanda memberi restu, maka Baginda Raja Daha beserta
permaisuri berangkat menuju negerinya.

94

PNRI
Di suatu pagi cerah, bertelau-telau cahaya matahari menyinari taman-
sari Kuripan. Bunga-bunga warna-warni yang semerbak harum baunya,
burung-burung yang ramai berkicau bersahut-sahutan, menambah asri
keadaan taman, menambah perasaan bahagia dua sejoli penganten baru
yang sedang bercengkerama.
Kupu-kupu kuning bertengger di bahu Cendera Kirana seolah-olah
ingin berkata, "Selamat bahagia Putri Cendera Kirana," Kupu-kupu
terbang lagi, turun naik di udara, menggelepar-gelepar sayap seperti
mengajak Cendera Kirana menari-nari, menarikan lagu Irama Hidup.
Burung kenari kuning manis, bercuit-cuit mengajak Cendera Kirana me-
nyanyikan lagu Hidup Bahagia.
Cendera Kirana tersenyum manis.

95

PNRI
PNRI

Anda mungkin juga menyukai